Pencarian

Memanah Burung Rajawali 34

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 34


berani merusak usahaku?"
Wanyen Lieh tidak mau melayani bicara.
"Masih kau tidak mau lekas-lekas menolongi siauw-ongya?" bentaknya kepada semua
pahlawannya. Belum lagi Yo Kang dipegang untuk dibawa pergi, dia sudah berlompat tinggi
hingga hampir kepalanya mengenai penglari, ketika dia sudah turun pula, dia
menuding pangeran Kim itu sambil berseru: "Kau bukannya ayahku! Sudah kau bikin
celaka ibuku, sekarang kau bikin celaka juga aku!"
"Siauw-ongya, sabar!" See Thong Thian membujuk. Ia mendekati, untuk memegang
kedua lengannya pangeran itu.
Yo Kang lihay, dia mendahului menangkap lengan orang she See itu, lalu ia
menggigit jempolnya. See Thong Thian menjerit bahna sakitnya, dia menarik tangannya, terus ia
melengak. Dengan lantas ia merasai tangannya kaku, hingga dia menjadi kaget
tidak terkira. Oey Yong mengawasi jago itu, ia kata dingin: "Inilah ikan cucut yang yang
keempat!" Cian Ciu Jin-touw Pheng Lian Houw kaget sekali. Dia memang bersahabat paling
erat dengan See Thong Thian. Dia pula yang pandai menggunai racun, maka dia tahu
apa yang dia mesti lakukan. See Thong Thian itu sudah keracunan. Dengan sebat
luar biasa, dia menghunus goloknya, dengan itu dia membabat kutung sebelah
lengan sahabatnya itu! Hauw Thong Hay kaget bukan main. Ia tidak tahu maksudnya Lian Houw itu.
"Pheng Lian Houw, kau melukai sukoku!" ia membentak. Ia lantas maju untuk
menyerang. Tapi Thong Thian, yang menahan sakitnya, berteriak: "Tolol! Pheng Toako justru
menolongi aku!" Thong Hay batal menyerang, ia melangak.
Yo Kang menjadi kalap, pikirannya was-was. Ia menyerang kalang kabutan, ia
meninju, menendang dan menggigit juga. Orang telah melihat contah dalam dirinya
See Thong Thian, mereka semua ketakutan, mereka pada menyingkirkan diri, semua
lari keluar, hingga kacaulah mereka. Burung-burung gagak dengan turut kaget lagi
dan beterbangan dengan berisiknya. Maka di pekarangan yang kosong di depan kuil,
terlihat bayangan mereka terbang serabutan, suara mereka saling sahut dengan
teriakan-teriakan Yo Kang!
Wanyen Lieh yang turut pergi ke luar kuil, tapi ia masih menoleh dan memanggil:
"Anak Kang! Anak Kang!"
Yo Kang mengucurkan air mata.
Wanyen Lieh girang, ia mementang kedua tangannya, untuk menyambuti putranya itu.
Maka berdua mereka saling merangkul.
"Anak, kau sudah mendingan?"" tanya ayah itu. Tapi di sinar rembulan, ia
menampak wajah orang yang tidak wajar, yang matanya terbuka lebar, terang dia
belum sadar, sedang gigitnya bercatrukan. Ia kaget ketika si anak mengangkat
tangan kirinya, menghajar ke arahnya. Dalam kagetnya, ia bukannya lompat mundur
atau lari, ia menjoroki tubuh putranya itu.
Pangeran muda itu kehabisan tenaganya, dia roboh terguling, terus dia tidak
merayap bangun. Menampak demikian, hatinya Wanyen Lieh mencelos, tidak berani ia mengawasi pula,
lantas ia lari terus, di luar kuil, ia lompat naik ke atas kudanya, untuk
dikasih kabur, maka ia segara diiringi sekalian pahlawannya. Lekas sekali,
mereka telah lenyap berikut bayangan mereka.....
Auwyang Hong mengawasi tubuhnya Yo Kang. Pemuda itu lagi bergulingan. Oey Yong
pun mengawasi. Maka mereka berdua ada masing-masing pikirannya sendiri: yang
satu berduka berbareng gusar, yang lain terharu dan puas. Mereka sama-sama
membungkam, sampai mendadak mereka mendengar suara berkeresek di atas genting.
"Mau apa kau mencuri mendengari"!" menegur Auwyang Hong. "Turunlah!"
Oey Yong kaget, ia menyangka Kwa Tin Ok yang naik ke genting. Ia lantas melihat
satu bayangan orang berlompat turun, orang itu lari masuk.
"Enci Bok!" ia berseru. Ia lantas mengenali orang. "Enci, kau datang!"
Nona itu tidak menghiraukan panggilan orang, ia lari terus pada Yo Kang, yang ia
lantas angkat tubuhnya untuk dipondong.
"Kau masih mengenali aku?" ia menanya halus.
Yo Kang menyahut, suaranya tidak karuan, terdengarnya cuma: "Ho...ho...."
"Ah, kau tidak dapat melihat aku...." kata Liam Cu. Ia memutar tubuh, untuk
mendapat sinar rembulan untuk si anak muda melihat mukanya. Ia tanya pula: "Kau
kenali aku atau tidak?"
Yo Kang mendelong mengawasi nona itu. Selang sesaat, baru ia mengangguk.
Liam Cu girang. "Hidup di dalam dunia sungguh sengsara..." katanya perlahan. "Kau menderita, aku
juga......Mari kita oergi! Maukah kau?"
Yo Kang mengangguk pula. Tapi mendadak dia berteriak.
Liam Cu mendeprok, dia memeluki erat-erat.
Menyaksikan semua itu, Oey Yong menghela napas. Tapi lekas juga ia menjadi
heran. Tubuh Liam Cu bergerak turun, menindih tubuh Yo Kang, kepalanya jatuh di
pundak si anak muda. Habis itu, keduanya terlihat tidak bergerak lagi.
"Enci Bok! Enci Bok!" ia memanggil-manggil, kaget.
Liam Cu tidak menyahuti, ia seperti tidak medengar, tubuhnya terus diam.
Nona Oey bingung, ia segera menghampirkan, dengan perlahan ia pegang pundak si
nona, untuk diangkat, atau mendadak tubuh itu roboh ke belakang!
Lagi sekali Oey Yong berteriak bahna kagetnya. Hanya sekaraqng ia melihat di
dada si nona menancap ujung tombak buntung, napas si nona sudah berhenti. Ketika
ia memandang Yo Kang, dada itu pun bekas tertusuk tombak, darahnya mengalir
keluar. Anak muda itu juga sudah putus jiwanya.
Liam Cu tidak tega melihat Yo Kang tersiksa, maka itu ia memeluknya dengan
memasang tombak pendeknya di dada si anak muda, tempo ia memeluk kuat, ujung
tombak melesak dalam, maka matilah kekasihnya itu, setelah mana, ia menikam
dadanya sendiri dengan cara serupa. Dari itu keduanya pulang bersama ke lain
dunia.... Oey Yong mendekam di tubuh Liam Cu, ia menangis sedih. Ia bersedih untuk nasib
buruk nona itu. Kemudian, kapan ia ingat peruntungannya sendiri, yang masih
kusut, ia menangis semakin sedih.
Auwyang Hong terus mengawasi semenjak tadi, sampai kemudian ia kata: "Bagus
matinya mereka, buat apa ditangisi lagi" Setengah malaman sudah orang mengacau,
sekarang akan lekas terang tanah. Mari kita melihat ayahmu!"
Si nona berhenti menangis.
"Di saat ini mungkin ayahku sudah pulang ke Tho Hoa To, buat apa dilihat lagi?"
bilangnya. Auwyang Hong melengak, terus ia tertawa dingin.
"Oh, budak, budak, kiranya kau menjual orang!" katanya keras.
"Dibagian depan dari kata-kataku, memang aku membohongi kau," berkata Oey Yong.
"Ayahku orang macam apa, mustahil dia membiarkan dirinya dikurung imam-imam
busuk dari Coan Cin Kauw" Jikalau aku tidak menyebut-nyebut Kiu Im Cin Keng,
maka kau mau mengijinkan aku memeriksa Sa Kouw?"
Kwa Tin Ok mendengar itu semua, ia kagum dan menyayangi Oey Yong. Ia sekarang
mengharap-harap si nona mendapat akal untuk menyingkir dari hadapannya manusia
lihay dan berbahaya ini. "Di dalam kata-katamu ada terkandung tiga bagian kebenaran, kalau tidak, aku si
bisa bangkotan, tidak nanti kena terpedayakan," kata Auwyang Hong. "Baiklah,
sekarang kau menjelaskan salinan dari ayahmu itu, jangan ada satu huruf juga
yang dilompati!" "Jikalau aku lupa, bagaimana?" Oey Yong tanya.
"Paling baik kau mengingat-ingatnya. Kalau budak secantik kau ini kena dicatol
ularku, itulah harus disayangi..."
Oey Yong jeri juga. Ia telah menyaksikan hebatnya kebinasaannya Yo Kang. Maka ia
berpikir keras; "Taruh kata aku memberitahukan terjemahan It Teng Taysu, tidak
nanti dia gampang-gampang melepaskan aku..... Bagaimana caranya aku bisa
menyingkir dari dia ini?" Ia tidak dapat pikiran yang baik, maka ia anggap
baiklah ia bersikap ayal-ayalan, untuk menang tempo.
"Jikalau aku melihat huruf Sansekertanya, mungkin aku dapat menjelaskan semua,"
katanya kemudian. "Coba kau membacakan, nanti aku mencoba-coba."
"Siapa sanggup membaca di luar kepala bahasa asing itu?" kata Auwyang Hong.
"Sudah, jangan kau main gila dengaku!"
Mendengar orang tidak dapat menghapal, Oey Yong mendapat pikiran. ia menganggap
pastilah See Tok menganggap kitab itu sebagai jiwanya.
"Baik," katanya, "Sekarang kau keluarkan kitabmu itu."
Auwyang Hong menurut. Dari dalam sakunya, ia mengeluarkan satu bungkusan, yang
ia buka. Bungkusan itu terdiri dari tiga lapis kertas minyak. Itu dia, kitab
yang ditulis Kwee Ceng. "Hm!" tertawa si nona di dalam hatinya. "Engko Ceng menulis ngaco, dia
memandangnya sebagai mustika!"
Auwyang Hong menyalakan api dengan sisa lilin. Ia lantas membaca.
"Itu artinya mesti pandai melihat lalu membuatnya menjadi duabelas macam tarikan
napas," Oey Yong menjelaskan.
See Tok girang. Ia membaca pula.
"Setelah dapat menghindari diri dari pelbagai ancaman maka perlahan-lahan akan
masuk ke jalan kesempurnaan," si nona menjelaskan pula.
Kembali si See Tok membaca.
Si nona berpikir, lalu ia menggeleng kepala.
"Salah, kau salah membacanya!" katanya.
Auwyang Hong membaca lagi tetapi si nona menggoyang pula kepalanya.
"Tidak salah, begini tulisnya," kata See Tok.
"Heran! Kenapa aku tidak mengerti?"
Auwyang Hong bergelisah, ia mengawasi tajam. Ia ingin orang lekas-lekas ingat
dan mengerti. "Ah, mungkin Kwee Ceng si bocah salah menulisnya!" kata si nona kemudian. "Mari
aku lihat!" See Tok tidak takut orang main gila, ia menyerahkan kitabnya.
Oey Yong menyambuti dengan tangan kanan, tangan kirinya mengambil api, ia
bersikap hendak menyuluhi, atau mendadak ia berlompat ke belakang hingga
setombak lebih. Lilin dan kitab ia lantas dekati satu dengan lain.
"Auwyang Peeh, kitab ini kitab palsu!" katanya mendadak. "Biar aku bakar saja!"
Auwyang Hong kaget bukan main.
"Eh, eh, kau kata apa"!" katanya. "Lekas pulangi padaku!"
"Kau menghendaki kitab atau jiwaku?" si nona tanya.
"Jiwamu buat apa!" bentak See Tok. "Lekas pulangi!" Ia bersikap hendak berlompat
maju, guna merampas. "Kau bergeraklah!" katanya mengancam. "Setiap kali kau bergerak, setiap kali aku
membakar sehelai! Akhirnya kau akan menyesal seumur hidupmu!"
Auwyang Hong kalah gertak.
"Hm!" ia mendongkol. "Kau letaki kitab itu. Kau pergilah!"
"Kaulah seorang guru besar, tidak dapat kau menelan kata-katamu!" kata si nona
tertawa. See Tok mengasih lihat roman bengis.
"Aku bilang, lekas kau letaki kitab itu!" katanya, suaranya dalam. "Kau
pergilah!" Oey Yong percaya, sebagai orang kenamaan, biarnya kejam, See Tok akan pegang
perkataannya itu, maka ia lantas meletaki kitab dan lilin.
"Auwyang Peehu, maaf," katanya tertawa. Ia memutar tubuhnya hendak pergi dengan
membawa tongkatnya. Auwyang Hong tidak berpaling lagi, mendadak dia menghajar ke belakang patunb Ong
Gan Ciang, hingga patung itu pecah separuhnya dan roboh dengan suara berisik.
Terus ia membentak: "Orang buta she Kwa, kau keluarlah!"
Oey Yong kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka. Ia lekas menoleh.
Kwa Tin Ok tidak mau bersembunyi lebih lama, ia berlompat turun seraya memutar
tombak di depannya. Nona Oey mendusin dengan lantas. Orang selihay See Tok tidak nanti gampang-
gampang diakali, pastilah suara napasnya ketua Cit Koay itu telah terdengarnya,
hanya semenjak tadi, si Bisa dari Barat berlagak pilon saja. Terpaksa ia
kembali, ia berlompat ke samping Tin Ok, bersiap untuk membelanya.
"Auwyang Peehu, aku tidak jadi pergi," katanya. "Kau kasihlah dia pergi!"
"Jangan Yong-jie!" berkata Tin Ok. "Kau pergi, kau cari anak Ceng. kau menyuruh
dia membalaskan sakit hati kami enam bersaudara!"
Si nona menjadi berduka. "Kalau Kwee Ceng percaya aku, dia sudah mempercayainya dari siang-siang!" ia
kata masgul. "Kwa Tayhiap, jikalau kau tidak pergi, penasaran ayahku sukar
dijelaskannya, sukar dilenyapkan. Kau bilangi Kwee Ceng, aku tidak sesalkan dia
dan minta dia jangan bersusah hati."
Kwa Tin Ok seoarng laki-laki, tidak sudi ia ditolong dengan si nona mengorbankan
diri, maka ia berkata pada si nona itu.
Auwyang Hong jadi habis sabar.
"Eh, budak cilik!" tegurnya. "Aku telah memberi janji kau pergi, perlu apa kau
masih banyak rewel?"
"Aku justru tidak mau npergi!" si nona membelar. "Auwyang Peehu, baik kau usir
pergi ini buta yang menyebalkan, nnati aku melayani kau berunding. Asal jangan
kau melukai dia........"
Auwyang Hong berpikir: "Kau tidak mau pergi, itu lebih baik lagi. Apa sangkut
pautnya dengan aku kalau si buta ini mau mampus atau hidup terus?" Maka ia
bertindak maju, ia menjambak dada Tin Ok.
Ketua Cit Koay ini menggeraki tongkatnya untuk membela diri, tetapi ketika
tongkat bentrok sama tangan, toya itu terlepas dan tangannya dirasai kesemutan,
dadanya juga sedikit sakit. Tombaknya itu mencelat ke atas, menembusi wuwungan.
Terpaksa ia berlompat mundur, akan tetapi belum lagi ia dapat menaruh kaki,
tubuhnya sudah disambar See Tok dan diangkat. Ia seorang berpengalaman, ia tidak
menjadi gugup atau takut, tangan kirinya diayunkan, hingga dua biji lengkak besi
menyambar ke muka jago dari Barat itu.
Auwyang Hong tidak menduga orang dapat bertindak demikian, terpaksa ia berkelit
sambil melengak seraya tangannya melemparkan tubuh jago Kanglam itu ke arah
belakang. Melihat itu Oey Yong menjerit. Tubuh Tin Ok terlempar mendahului lengkaknya itu,
hingga ia terancam bahaya senjata rahasianya sendiri. Tapi buta itu lihay
sekali, dia mendengar suara angin, dia mengulur tangannya, menyambuti lengkaknya
itu, maka ia turun ke bawah dengan tidak kurang suatu apa.
"Bagus!" berseru Auwyang Hong memuji. "Orang buta she Kwa, kau nlihay. Nah, kau
pergilah, aku beri ampun padamu!"
Kwa Tin ok bersangsi, I atidak langsung bertindak pergi.
Oey Yong mengerti keragu-raguan orang, ia tertawa dan berkata: "Kwa Tayhiap,
Auwyang Hong hendak mengangkat aku menjadi guru, dia mau belajar Kiu Im Cin-
keng, kalau kau tidak mau pergi, apa kau juga hendak mengangkat aku menjadi
gurumu?" Tin Ok masih berdiri diam. Si nona boleh tertawa tetapi ia ketahui baik ancaman
bahaya untuk si nona itu.
Auwyang Hong memandang langit.
"Langit sudah terang, mari kita pergi!" ia mengajak Oey Yong. Ia menarik tangan
si nona, untuk dituntun pergi. Cepat jalannya ke luar pintu.
"Kwa Tayhiap, kau ingat apa yang aku tulis di tanganmu!" kata Oey Yong sambil
mengikuti See Tok. Ketika ia mengakhiri pesannya itu, ia sudah etrpisah belasan
tombak, tetapi Tin Ok masih dapat mendengarnya. Hanya tertua Cit Koay ini heran,
terus ia berdiri menjublak. Ia masih berdiam kendati orang sudah pergi jauh.
Maka tak lama kemudian, riuhlah suaranya kawanan burung gagak yang beterbangan
di udara. Masih Tin Ok berdia diam sampai ia mendengar burung-burung itu terbang ke dalam
kuil, untuk memakan mayat orang. Ia ingat Bok Liam Cu, ia merasa kasihan untuk
nasib buruk nona itu, tidak pantas si nona menjadi umpan burung, maka ia lari ke
dalam kuil, ia cari mayatnya, terus ia keluar, ke belakang, di mana ia menggali
lubang untuk menguburnya. Setelah itu ia melompat naik ke atas genting, untuk
mencari tombak buntungnya.
"Ke mana aku mesti pergi?" tanya kepada dirinya sendiri sambil berdiri bengong.
Ia pun telah menjadi sebatang kara.
Sementara itu banyak burung gagak mengasih dengar suaranya yangs edih, lalu
bergantian mereka jatuh sendirinya dari udara dan mati. Mereka telah makan
daging beracun dari Yo Kang dan mati karenanya.
Menduga kepada nasibnya burung-burung itu, Tin Ok menghela napas, lalu ia
bertindak ke utara. Di hari ketiga, selagi berjalan, ia mendengar suaranya
burung rajawali yang berterbangan di atasan kepalanya.
"Mungkin anak Ceng ada di sini," pikirnya. Maka lantas ia memanggil-manggil,
"Anak Ceng! Anak Ceng!"
Belum lama maka terdengarlah suara kuda lari mendatangi, lantas Kwee Ceng tiba
bersama kuda merahnya. Dia girang sekali melihat gurunya dari siapa dia terpisah
dalam pertempuran kacau. Dia lompat turun dari kudanya, untuk merangkul gurunya


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu seraya memanggil: "Suhu! Suhu!"
Tapinya Tin Ok menggaplok muridnya itu dua kali hingga di murid melengak, lekas-
lekas ia melepaskan pelukannya.
Tin OK masih mencoba menyerang dengan tangan kirinya dan tangan kanannya
berulang-ulang dipakai menggaplok mukanya sendiri!
Menampak demikian, Kwee Ceng kaget dan heran.
"Suhu!" katanya. "Suhu, kau kenapa?"
"Sebab kau si tolol cilik dan aku si tolol bangkotan!" menjawab sang guru keras.
Masih Tin Ok memukuli muridnya dan dirinya sendiri. Sampai muka mereka pada
bengap, baru ia berhenti sendirinya. Setelah ini, dia mencaci kalang kabutan
kepada muridnya. "Suhu, kenapa?" tanya si murid, tetap bingung.
Sekarang ini Tin Ok telah menjadi tenang, maka itu ia lantas menuturkan apa yang
telah terjadi di kuil, terutama tentang penuturannya Oey Yong yang membuka
rahasianya Yo Kang dan Auwyang Hong yang telah membinasakan Cu Cong dan lainnya.
Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng heran, girang, malu dan berduka.
"Dengan begitu, kau telah berlaku keliru terhadap Yong-jie," katanya, menyesal.
"Maka itu, kau bilanglah," Tin Ok menutup ceritanya, "Kita berdua harus mampus
atau tidak?" "Memang suhu," berkata si murid. "Suhu, sekarang mari kita lekas menolongi Yong-
jie!" Kwee Ceng menganggap Oey Yong berada di dalam bahaya.
"Bagaimana dengan ayahnya?" Tin Ok tanya.
"Oey Tocu telah membawa Ang Insu ke Tho Hoa To untuk berobat. Suhu, kemana
kiranya Auwyang Hong membawa Yong-jie?"
Tin OK berdiam, nampaknya ia berpikir keras.
"Jikalau Yong-jie tidak dapat lolos dari tangannya Auwyang Hong, entah dia bakal
tersiksa bagaimana..." katanya. "Anak Ceng, pergilah kau tolongi dia! Aku sendiri,
hendak aku membunuh diri untuk menghanturkan terima kasih kepadanya...."
Kwee Ceng terkejut. "Suhu, janganlah berpikir demikian!" ia berkata. Ia berkhawatir karena ia tahu
benar tabiat keras dari suhunya ini, yang biasa melakukan apa yang dikatakan.
"Suhu, lebih baik suhu pergi ke Tho Hoa To untuk mengasih kabar, kau minta Oey
Tocu lekas menolongi putrinya itu. Dengan sebenarnya aku bukan lawan dari
Auwyang Hong." Kwa Tin Ok bisa berpikir, maka ia menganggap perkataannya murid itu benar
adanya. Karena ini ia batal membunuh dirinya, lantas ia berangkat, guna pergi ke
pular Tho Hoa To. Kwee Ceng merasa berat sekali untuk perpisahan pula, ia mengikuti.
"Kenapa kau masih belum pergi"!" membentak sang guru, yang mendapat tahu dirinya
diikuti. "Lekas pergi! Jikalau kau tidak dapat menolongi Yong-jie, maka jiwamu
akan aku ambil!" Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia mengawasi guru itu berjalan terus, sampai
si guru lenyap dari pandangan matanya. Ia masih berdiam sekian lama, karena ia
benar-benar bingung ke mana ia mesti mencari Oey Yong. Akhirnya sambil
menunggang kudanya dan mengajak burungnya, ia menuju ke arah Tiat Ciang Bio.
Hebat apa yang dia saksikan di kuil Tiat Ciang Bio itu dan disekitarnya. Banyak
sekali bangkai burung gagak bergeletakan, di luar dan di dalam kuil, dan di
dalam terlihat seperangkat tulang belulang manusis. Terang itulah sisa tubuhnya
Yo Kang. Ia menjadi terharu meskipun ia tahu pemuda itulah musuh dari guru-
gurunya. Ia masih ingat persahabatannya dengan Yo Kang dan perhubungan di antara
kedua pihak orang tua mereka. Maka ia pungut semua tulang itu, ia kubur di
belakang kuil di sisinya kuburan Bok Liam Cu. Ia memberi hormat sambil berlutut
dan mengangguk-angguk dan memuji: "Saudara Yo, saudara Yo! Jikalau kau masih
ingat budiku ini mengubur tulang-tulangmu, kau harus memayungi aku hingga aku
berhasil mencari Yong-jie, dengan begini dapatlah kau menebus segala dosamu
selama hidupmu............"
Bab 74. Ilmu perangnya Gak Hui
Bab ke-74 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Habis memuji, Kwee Ceng masih menjura empat kali kepada kuburannya Yo Kang dan
Bok Liam Cu itu, baru ia keluar dari kuil, untuk mulai dengan perjalannnya
mencari Oey Yong. Di sepanjang jalan, di mana saja, ia menanya-nanya orang
tentang nona itu dengan ia menunjuki petaan roman dan potongan tubuhnya si nona
serta Auwyang Hong. Inilah pekerjaan sukar untuknya. Setengah tahun lamanya ia
merantau. Ia telah minta keterangannya pihak Kay Pang dan Coan Cin Kauw dan
orang-orang yang ia kenal, ia tetap tidak memperoleh hasil. Ia bertabiat keras,
ia tidak mau menyerah kalah, ia tetap mencari. Selama itu pernah ia pergi ke
Pakhia, dan dua kali mendatangi kota Pianliang, di sana pun ia tidak mendengar
kabar halnya Wanyen Lieh.
Pada suatu hari pemuda ini tiba di propinsi Shoatang, kebetulan ia berada di
dalam satu daerah yang kosong, sebab di sepanjang jalan itu, dari sepuluh rumah,
sembilan yang ditinggal pergi penghuninya. Di jalan besar banyak orang yang lagi
berangkat mengunsi. Katanya tentara Mongolia dan Kim telah berperang, pihak Kim
kalah dan tentaranya kabur buyar, sembari kabur mereka itu main rampok dam
memperkosa. Tiga hari sudah Kwee Ceng berjalan - ia menuju ke Utara - ia mendapat kenyataan
daerah semakin kosong dan keadaannya semakin menyedihkan. Dengan begini ia
menjadi semakin sedih dan ia menginsyafi bahaya perang itu yang sangat merusak,
terutama sangat mengganggu rakyat negeri.
Dihari ketiga, anak muda kita tiba di sebuah dusun di dalam lembah, di situ ia
hendak singgah untuk mencari nasi dan air untuk kudanya, mendadak ia mendengar
suara berisik dari kuda dan manusia, ketika ia menoleh ke arah dari mana suara
itu datang, ia melihat tibanya beberapa seraddu Kim. Yang berjalan di muka ada
seorang punggawa di ujung tombak siapa ada tertusuk mayatnya seorang bayi,
punggawa itu sendiri tertawa terbahak-bahak, sedang barisannya mulai membakar
dusun, yang penduduknya mereka usir keluar dari rumahnya, untuk diikat dan
dibunuh mati, tidak peduli tua atau muda, cuma wanita yang muda mereka belunggu
untuk dibawa pergi. Menyaksikan keganasannya orang itu, Kwee Ceng menjadi naik darah. Ia mengajukan
kudanya menghampirkan punggawa itu. Paling dulu ia merampas tombak orang, habis
itu tangan kirinya menyusul melayang. Punggawa itu tidak menyangka sama sekali,
selagi ia kaget, tangannya si anak muda sudah tiba pada sasarannya, maka itu
sebelum ia berdaya, ia roboh seketika, biji matanya sampai melompat keluar,
jiwanya terbang melayang.
Semua serdadu Kim itu menjadi terkejut dan gusar, dengan serempak mereka
berseru-seru dan maju untuk mengepung si anak muda.
Kuda merah tidak takut, dikendalikan majikannya, dia membawa tubuh majikannya
kemana majikan itu bergerak. Kwee Ceng pun gusar sekali, kecuali tombak di
tangan kanannya itu, ia merampas sebatang golok besar, maka dengan kedua
tangannya dengan ilmu silat pengajaran Ciu Pek Thong, ia melabrak tentara Kim
itu. Ia menikam dan membacok dengan hebat.
Setelah melihat banyak kawannya yang roboh, serdadu Kim itu mencari kuncup
nyalinya. Mereka memang telah kehilangan pemimpin mereka. Maka dengan berteriak-
teriak, mereka melarikan diri ke luar dusun.
Sementara itu dari sebelah depan terlihat munculnya satu pasukan lebih dari
seratus serdadu Mongolia, di depannya tertampak benderanya yang besar. Melihat
begitu, tentara Kim itu, yang jeri kepada tentara Mongolia, lantas lari balik,
dengan terpaksa mereka menyerang Kwee Ceng pula, guna membuka jalan kabur.
Anak muda ini sangat membenci tentara Kim ini, ia lantas lari ke mulut lembah,
di sana ia menghadang. Dengan cepat ia berhasil merobohkan belasan serdadu
penunggang kuda, yang lari mendahului kawan-kawannya. Robohnya mereka itu
membikin kawan-kawan mereka serba salah, mundur tidak bisa, maju tidak dapat.
Barsisan Mongolia itu heran ada orang yang membantu pihaknya, dengan begitu
mereka berhasil menumpas sisa tentara Kim itu. Mereka jadi ingin juga mengetahui
siapa itu pembantu yang merintangi jalan molosnya musuh. Selagi pekhu-thio, yang
mengepalai mau maju untuk mencari keterangan, tiba-tiba seorang siphu-thio
berseru "Kim Too Huma!" dan terus ia berlutut di tanah untuk memberi hormatnya.
Kapan pekhu-thio itu mengetahui orang adalah menantu dari junjungan mereka, ia
pun lompat turun dari kudanya, guna memberikan hormatnya, setelah mana ia
memberi perintah untuk seorang serdadunya lekas memberi kabar kepada kepala
perangnya. Kwee Ceng tidak berdiam saja. Ia lantas menitahkan tentara Mongolia itu
memadamkan api yang dilepaskan tentara Kim tadi untuk membakar dusun itu. Karena
ini penduduk yang dapat tertolong itu pada datang menghaturkan terima kasih
mereka. Baru saja penduduk itu lega hatinya atau segera mereka dibikin kaget dan
ketakutan pula. Mereka telah mendapatkan datangnya lagi satu pasukan besar
sebagai mana suara kuda dan tentara itu membikin suara berisik di luar dusun.
Dengan muka pucat mereka saling mengawasi.
Itu waktu lantas terlihat seorang penunggang kuda kabur ke dalam dusun, kudanya
besar dan gagah. Dialah seorang panglima muda, yang lantas berseru: "Anda Kwee
Ceng di mana?" Kapan Kwee Ceng telah melihat panglima muda itu, ia girang sekali.
"Anda Tuli!" ia berseru.
Maka keduanya lantas lari saling menghampirkan, terus mereka saling rangkul.
Kedua burung rajawali mengenali Tuli, putranya Jenghiz Khan itu, keduanya
terbang menghampirkan, untuk mengulas-ulas panglima muda itu.
Tuli menitahkan seorang Cian-hu-thio mengejar tentara Kim, di lain pihak ia
memerintahkan mendirikan tenda di mana bersama Kwee Ceng dia duduk berkumpul,
untuk mereka bicara panjang lebar hal-hal semenjak mereka berpisahan.
Tuli menceritakan urusan ketentaraan di utara, maka itu Kwee Ceng jadi mendapat
tahu selama satu tahun lebih, Jenghiz Khan tidak hentinya berperang ke timur dan
barat, hingga dia dapat merampas banyak daerah, hingga keempat putranya yaitu
Juji, Jagatai, Ogotai dan Tuli ini, telah membangun banyak jasa, demikian juda
keempat panglimanya yang kenamaan, Mukhali, Borchu, Boroul dan Chilaun. Dan
sekarang ini Tuli bersama Mukhali lagi memimpin angkatan perangnya menyerang
negara Kim, di propinsi Shoatang ini, beberapa kali tentara Kim telah kena
dilabrak hingga kacau balau, hingga angkatan perangnya dipusatkan di kota
Tongkwan, di mana mereka mengunci pintu, tidak berani mereka melayani perang.
Baru beberapa hari berkumpul bersama Tuli itu, lantas ada diterima perintah dari
Jenghiz Khan di gurun Utara. Semua putra dan panglima dipanggil berkumpul di
sana. Tuli dan Mukhlai tidak berani menyangkal panggilan itu, setelah
menyerahkan tentaranya kepada wakilnya, mereka lantas berangkat.
Kwee Ceng teringat kepada ibunya, ia turut bersama. Dengan begitu ia jadi terus
dapat menemani Tuli. Pada suatu hari tibalah mereka di tepi sungai Onon, di sana memandang ke tegalan
yang luas sekali terlihatlah tenda-tenda tentara yabf sangat banyak jumlahnya,
sedang suara meringkiknya kuda-kuda perang berisik sekali. Ujung-ujung tombak
yang tajam bergemerlapan di antara cahaya matahari. Di antara puluhan ribu tenda
itu ada sebuah yang besar luar biasa yang warnanya kuning, ujung tenda teratas
terbuat daripada emas. Di depan tenda itu dipancar sebuah bendera besar, bendera
yang menjadi tanda kebesaran dari junjungan bangsa Mongolia. Dari situlah keluar
titah Jenghiz Khan memanggil berkumpul semua putra dan kepala perangnya.
Berdiri di atas sebuah tumpukan pasir tinggi, Kwee Ceng memandang ke seluruh
perkemahan itu. Ia merasakan keangkerannya angkatan perang Mongolia, ia berdiam
saja. Tak usah lama ia berdiam, dari arah marksa kelihatan datangnya satu
barisan berkuda yang kecil, menyambut Tuli dan Mukhali, maka di lain saat ia
sudah mengikuti pangeran dan panglima itu menuju ke tenda besar tadi. Setibanya
mereka di dalam, pemuda itu terperanjat. Ternyata lain-lain kepala perang sudah
berkumpul di situ. Jengiz Khan girang melihat ketiga orang itu. Tuli bersama Mukhali segera
memberikan laporannya, sedang Kwee Ceng memberi hormatnya sambil berlutut,
kemudian ia menambahkan: "Kha Khan menitahkan aku memotong batang lehernya
Wanyen Lieh, untuk mengambil kepalanya, akan tetapi beberapa kali sudah aku
menemui dia, saban-saban dia dapat meloloskan diri, dari itu aku mohon Kha Khan
memberikan hukumanmu padaku..."
Jenghiz Khan tertawa. Ia berkata: "Kalau burung elang sudah menjadi besar, pada
suatu hari pastilah dia akan dapat menerkam si rase, maka itu kenapa aku mesti
menghukum padamu?" Segera setelah itu, kepala perang Mongolia ini memulai dengan rapatnya untuk
mengatur tindakan menyerang besar-besaran kepada negara Kim. Kebanyakan panglima
mengusulkan kerja sama dengan pemerintah Song guna menggencet kota Tongkwan.
"Baiklah, begini kita mengambil keputusan," Jenghiz Khan menyatakan setuju.
Maka utusan segera dikirimkan ke Selatan, kepada kerajaan Song.
Sampai sore baru rapat dibubarkan, Kwee Ceng keluar dari markas, dalam cuaca
remang-remang ia hendak mencari tenda ibunya. Tiba-tiba ia merasakan dua tangan
yang halus menutupi matanya dan hidungnya dapat mencium bau yang harum. Ia
melengak sejenak, lantas ia memanggil: "Adik Gochin Baki!" Ia pun memutar
tubuhnya. Putrinya Jenghiz Khan itu berdiri dengan wajah yang manis. Sekarang ia tampak
terlebih jangkung dan romannya agung.
"Adik!" Kwee Ceng memanggil pula.
Putri itu menjadi kegirangan hingga ia menjadi terharu sendirinya.
"Ah, benar-benar kau kembali!" katanya.
Menyaksikan kepolosan nona itu, hati Kwee Ceng tergerak, sampai tak tahu ia
mesti mengucapakan apa. Keduanya berdiri diam, mata mereka saling mengawasi.
"Pergi kau menemui ibumu," katanya. "Kau pulang dengan masih hidup, maka kau
terkalah, siapa yang terlebih girang, aku atau ibumu...."
"Pastilah ibu akan girang luar biasa," menyahut Kwee Ceng.
"Apakah aku pun tidak akan sangat bergirang?" tanya sang putri.
Nona ini menunjuki kepolosan bangsa Mongolia, yang selalu mengucapakan apa yang
dia pikirkan. Mendengar itu, kembali Kwee Ceng merasa terharu.
Lantas keduanya, sambil berpegangan tangan, pergi ke tendanya Lie Peng, maka tak
usahlah dituturkan lagi bagaimana kegirangannya ibu dan anak itu.
Lewat beberapa hari, Jenghiz Khan panggil Kwee Ceng menghadap dan mengatakannya:
"Tentang semua perbuatanmu, aku telah mendengarnya dari Tuli. Kau dapat memegang
kepercayaanmu, anak, aku sangat girang sekali. Kau tunggu beberapa hari lagi,
nanti aku akan nikahkan kau dengan putriku."
Kwee Ceng sangat kaget. Segara ia ingat Oey Yong. Pikirnya: "Sampai sekarang ini
masih belum diketahui Yong-jie masih hidup atau sudah mati, mana bisa aku
membelakangi dia dengan menikahi lain orang?" Ia ingin menampik tetapi melihat
roman angker dari Jenghiz Khan, ia gagal membuka mulutnya.
Jenghiz Khan ketahui pemuda itu jujur, ia menyangka orang berdiam saking
girangnya, maka ia lantas memberikan hadiahnya berupa uang emas seratus kati,
kerbau lima ratus ekor dan kambing duaratus ekor. Dia memerintahkan untuk si
anak muda menyiapkan sendiri segala keperluan nikahnya itu.
Gochin Baki adalah putri tunggal dan ia sangat disayangi ayahnya, sedang itu
waktu berkat pelbagai kemenangan Jenghiz Khan, pelbagai suka bangsa Mongolia
merasa senang, maka juga, berhubung sama pernikahan si putri, yang telah lantas
diumumkan, dari sana sini segera datang pemberian selamat berikut rupa-rupa
hadiah, barang permata tak terkecuali, hingga semua itu mesti ditempati di dalam
beberapa puluh tenda. Gochin Baki girang bukan kepalang, akan tetapi Kwee Ceng sebaliknya murung,
apapula hari pernikahan mendatangi semakin dekat.
Lie Peng dapat melihat kedukaan dan kebingungan putranya itu. Pada suatu malam ia menanyakan sebabnya.
Kwee Ceng berlaku terus terang dengan menutur hal pergaulannya dengan Oey Yong.
Mengetahui hal putranya ini, nyonya Kwee terdiam.
"Ibu, anakmu menghadapi kesukaran ini, bagaimana baiknya?" Kwee Ceng tanya.
"Budinya Khan sangat besar mana dapat itu disia-siakan?" kata sang ibu. "Hanya
Yong-jie ini anak, walaupun aku belum pernah melihatnya, mestinya ia manis
sekali......" "Ibu, kalau umpama ayah menemui urusan begini, apakah akan dibuatnya?" Kwee Ceng
tanya pula. Inilah pertanyaan luar biasa. Lie Peng melengak. Kemudian ia tunduk, akan
memikirkan sifat suaminya, yang ia kenal baik sekali.
"Ayahumu lebih suka menderita daripada ia menyia-yiakan lain orang," jawab ibu
ini akhirnya. Kwee Ceng berbangkit, ia kata dengan gagah: "Anak belum pernah bertemu sama ayah
akan tetapi anak akan mencontoh sifatnya. Jikalau Yong-jie selamat, anak akan
memenuhi janji dan akan nikahi Gochin Baki, apabila atas diri Yong-jie tertjadi
sesuatu, anak tidak akan menikah seumur hidup!"
"Memang begitu mestinya," pikir sang ibu. "Tidak boleh keluarga Kwee dibikin
putus turunan olehnya. Tapi anak ini kukuh seperti ayahnya, tidak ada gunanya...."
Maka ia tanya: "Habis bagaimana kau hendak bicara dengan Khan?"
"Aku akan bicara terus terang," sahut sang anak.
Lie Peng adalah ibu yang bijaksana, ia bersedia mengiringi kehendak anaknya itu.
"Baik," katanya. "Di sini kita tidak bisa tinggal lebih lama pula, nah, pergi
kau bicara sama Khan. Besok pagi kita berangkat ke Selatan."
Kwee Ceng mengangguk. Ibu dan anak ini lantas berbenah membuntal bungkusannya. Mereka cuma membekal


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaian seperlunya dan sejumlah uang, yang lainnya, yang menjadi hadiahnya
Jenghiz Khan, mereka membiarkannya saja.
"Sekarang aku hendak pamitan dari putri Gochin Baki," kata Kwee Ceng selesainya
mereka berbenah. Lie Peng bersangsi. "Mana dapat itu diberitahukan dia," katanya. "Baik kau pegi dengan diam-diam
saja supaya dia tidak bersusah hati...."
"Tidak ibu, aku mesti berbicara sama dia," kata Kwee Ceng pasti. Dan dia
bertindak pergi. Putri Gochin Baki berdiam bersama ibunya di dalam sebuah kemah. Selama beberapa
hari ini ia gembira sekali. ia repot menyiapkan segala apa untuk pernikahannya,
maka ia heran waktu mendengar Kwee Ceng di luar kemah memanggil padanya. Ia pun
likat ketika ia berkata: "Ibu!"
Sang ibu tertawa dan berkata: "Lagi beberapa hari kamu bakal menikah, satu hari
tidak bertemu pun tidak dapat. Baiklah, kau pergi menemui dia."
Gochin Baki tersenyum, lantas ia pergi keluar.
"Engko Ceng..." katanya perlahan.
"Adik, aku ingin berbicara dengan kau," berkata Kwee Ceng, yang lantas mengajak
si nona bertindak ke arah barat, terpisah jauh dari perkemahan. Di sana mereka
duduk di atas rumput. Gochin menyenderkan tubuhnya di tubuh di anak muda.
"Engko Ceng, aku juga ingin berbicara sama kau," katanya perlahan.
Kwee Ceng terperanjat. "OH, kau npun telah mengetahuinya?" katanya. Ia lantas berpikir: "Dia sudah
mendapat tahu, inilah terlebih baik pula, jadi aku tidak usah bicara banyak!"
"Tahu apa?" kata si putri, ia heran. "Aku hanya hendak memberitahukan kau bahwa
aku bukan anak dari Kha Khan..."
"Apa kau bilang?" tanya Kwee Ceng, heran.
Gochin mengangkat kepalanya memandangi si Putri Malam yang baru mulai muncul.
"Kalau nanti aku sudah menikah sama kau," berkata si putri perlahan, "Aku akan
melupakan diriku bahwa akulah anaknya Jenghiz Khan, aku melainkan ketahui aku
ialah istrinya Kwee Ceng, maka apabila kau hendak memukul aku atau memaki aku,
kau boleh memukul dan memakinya, jangan nanti karena kau pikir karena ayahnya
Khan yang agung, kau nanti merasa terhina."
Kwee Ceng terharu sekali.
"Adikku, kau sangat baik," katanya. "Maka sayang sekali aku tidak setimpal
dijodohkan dengan kau..."
"Kenapa tidak setimpal?" Gochin tanya. "Di kolong langit ini kaulah orang yang
paling baik, kecuali ayah, tidak ada yang dapat menimpali kau. Keempat kakakku
itu, mereka tidak ada separuhmu!"
Kwee Ceng berdiam, tidak dapat ia membuka mulutnya, untuk memberitahukan bahwa
besok, kapan sang pagi datang, ia bakal meninggalkan Mongolia.
"Di dalam beberapa hari ini, aku girang sekali," Gochin berkata pula. "Ketika
itu aku mendengar kabar kau mati, aku ingin lantas turut mati juga, syukur
sekali Tuli telah merampas golok dari tanganku. Tidak demikian, mana sekarang
aku bisa menikah denganmu" Engko Ceng, jikalau aku tidak dapat menikah sama kau,
benar-benar aku tidak suka hidup lagi."
Kwee Ceng berdiam. "Kalau Yong-jie, tidak bisa ia bicara begini padaku," pikirnya. "Dua-dua mereka,
mereka baik sekali terhadapku..."
Ingat Yong-jie, ia menghela napas.
"Eh, mengapa kau menarik napas?" Gochin heran.
"Tidak apa-apa..." menyahut si anak muda bersangsi.
"Ah, kau tentu ingat kakakku yang nomor satu dan nomor dua," kata si putri.
"Mereka memang tidak menyukai kau. Tapi di sana ada kakakku yang nomor tiga dan
nomor empat, mereka baik sekali kepadamu. Baik kau jangan berduka, di depan ayah
aku telah mengatakan bahwa kakak yang nomor satu dan nomor dua itu tidak baik,
yang baik ialah kakak nomor tiga dan nomor empat."
Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" tanyanya.
Gochin agaknya senang. "Aku telah mendengar ibu berkata bahwa sekarang ini usia ayah sudah lanjut dan
ayah lagi memikir untuk mengangkat putra mahkota. Coba kau terka, siapakah yang
bakal terpilih?" "Pastilah kakakmu yang paling tua, Juji," menyahut Kwee Ceng. "Dia berusia
paling tua dan jasanya pun besar."
Putri itu menggeleng kepala, ia tertawa.
"Kau menerka keliru," bilangnya. "Menurut aku, menduga kakak nomor tiga, atau
kakak yang nomor empat."
Juji, putra sulung dari Jenghiz Khan, pintar dan pandai bekerja, putra yang
nomor dua, Jagatai, gagah dan pandai berperang, Ogotai, putra yang nomor tiga,
gemar minum dan berburu, hatinya lapang dan jujur. Dia menginsyafinya, yang
bakal menggantikan ayahnya tentulah Juji atau Jagatai, bahwa ia tidak mempunyai
pengharapan, dari itu dia tidak turut itu kedua saling bersaing mengejar
kedudukan Khan yang maha agung itu, karena ini, beberapa saudaranya, juga
adiknya yang perempuan, baik sekali dengannya. Maka itu Kwee Ceng menyangsikan
hanya dengan kata-katanya Gochin, Jenghiz Khan akan menukar putra mahkota
pilihannya itu. Kesangsiannya ia utarakan pada putri itu.
"Aku juga tidak tahu pasti, aku menduga saja." kata Gochin. "Hanya andaikata
benar salah satu kakakku yang nomor satu atau yang nomor dua yang menjadi Khan,
kau jangan khawatir, jikalau mereka berani mengganggumu, akan aku mengadu jiwa
dengan mereka itu!" Gochin Baki berani berkata begitu, sebab ia sangat disayangi ayahnya, hingga
keempat saudara suka mengalah terhadapnya. Kwee Ceng tahu putri ini bakal
lakukan apa yang dikatakannya itu, ia tersenyum.
"Tak usahlah sampai kau berbuat demikian," katanya.
"Itulah yang diharap. Umpama kata saudaraku itu memperlakukan kita berdua tidak
selayaknya, kita berangkat saja ke Selatan....."
"Aku justru hendak membilangi kau, aku hendak pulang ke Selatan!" kata Kwee
Ceng, membarengi ketikanya ini.
Gochin heran hingga ia melengak.
"Aku khawatir ayah dan ibuku pasti tidak memberi ijin..." katanya.
"Tapi aku akan pergi seorang diri..." kata Kwee Ceng.
"Ah, aku selalu mendengar perkataanmu," kata putri itu. "Kau membilangi hendak
pulang ke Selatan, aku akan turut kau, jikalau ayah dan ibuku tidak mengijinkan,
kita pergi secara diam-diam...."
Kwee Ceng tidak dapat menahan sabar lagi, ia berlompat bangun.
"Aku berdua dengan ibuku yang akan pulang ke Selatan!" katanya.
Kembali Gochin Baki heran, hingga ia duduk menjublak, matanya mengawasi si
pemuda, yang pun memandang kepadanya. Dia masih belum mengerti maksud orang.
"Adik, maafkan aku, aku menyesal yang aku tidak dapat menikah denganmu," kata
Kwee Ceng sesaat kemudian.
"Apakah aku telah melakukan sesuatu kesalahan?" tanya si putri. "Apakah kau
menyesal yang aku telah tidak membunuh diri" Benarkah itu?"
"Bukan, bukannya kau yang salah...." kata Kwee Ceng. "Aku pun tidak tahu siapa
yang salah, hanya setelah aku pikir-pikir, yang salah ialah aku. Duduknya
begini...." Pemuda ini lantas menuturkan hal persahabatannya dengan Oey Yong. Ketika ia
menceritakan sampai di bagian Oey Yong ditawan Auwyang Hong dan ia telah
mencarinya setengah tahun lebih dengan sia-sia, Gochin menepas air mata karena
ia turut merasa kasihan atas nasibnya nona yang dianggap bernasib malang itu.
"Maka itu adikku, kau lupakan saja aku," kata Kwee Ceng. "Aku pasti hendak
mencari dia." "Setelah kau berhasil mencari dia, kau akan datang menjenguk aku atau tidak?"
menanya si nona bangsawan.
"Jikalau dia selamat, aku pasti akan kembali ke Utara ini," Kwee Ceng menyahuti.
"Itu waktu, jikalau kau tidak menyia-nyiakan aku dan tetap masih
menginginkannya, aku akan menikah denganmu, tidak nanti aku menyesal."
"Jangan kau membilang begitu," berkata si putri. "Kau tahu sendiri, aku ini
untuk selama-lamanya ingin menikah sama kau. Nah, kau npergilah mencari dia! kau
cari dia, sepuluh tahun, ataupun duapuluh tahun, aku pun akan selalu mengingat
yang kau di sini, di padang rumput, lagi menantikan kau."
Gochin berlompat bangun, ia menyesapkan diri di dadanya si anak muda, ia
menangis tersedu-sedan. Kwee Ceng memeluk perlahan, matanya pun merah.
Justru itu empat penunggang kuda lari mendatangi dari arah barat dan lewat di
dekat sepasang muda-mudi ini, mereka itu langsung menuju ke kemah dari Jenghiz
Khan. Ketika terpisah lagi beberapa puluh tombak dari kemah, kuda yang satu
roboh terguling, tidak dapat dia bangun pula. Itulah tanda keletihannya yang
sangat. Penunggang kudanya telah berlompat bangun, terus dia kabur masuk ke
dalam kemah. Hanya sejenak saja, maka dari dalam kemah lari keluar sepuluh serdadu, mereka
berdiri di empat penjuru kemah itu, untuk memperdengarkan terompetnya.
Itulah terompet tanda panggilan kilat untuk sekalian perwira. Kalau terompet itu
dibunyikan, tidak peduli pangeran atau panglima yang tersayang, apapila Khan
yang agung menghitung dengan tekukan sepuluh jarinya tetapi belum ada yang
datang memenuhi panggilan, maka dia bakal segera dihukum potong kepala tanpa
ampun lagi. Kwee Ceng ketahui itu. "Kha Khan menghimpunkan panglima perang!" katanya. Tanpa banyak bicara lagi, ia
meninggalkan Gochin Baki untuk kabur pulang. Ia menggunai ilmunya ringan tubuh.
Dari segala penjuru, ia mendengar derapnya kaki kuda. Ketika ia tiba di dalam
kemah, Jenghiz Khan justru baru menekuk jeriji tangannya yang ke lima. Tempo
delapan jari tangan telah tertekuk, maka berkumpullah semua putra dan
panglimanya. Jenghiz Khan sudah lantas berkata dengan nyaring: "Adakah Muhammad itu mempunyai
putra-putra yang begini gesit" Adakah dia mempunyai panglima-panglima perang
yang begini gagah?" "Tidak!" menyahut sekalian pangeran dan panglima berbareng.
Jenghiz Khan menepuk dada.
"Kamu lihat!" katanya pula. Dia menunjuk. "Inilah perutusanku yang dikirim ke
Khoresm* ! Apakah itu Muhammad telah perbuat atas budak-budakku yang setia?"
*KHORESM atau KHIVA, dahulunya suatu negara dibawah pemerintahan seorang Khan, dan sekarang menjadi
salah satu propinsi daripada negara bagian USBESKISTAN di UNI SOVIET.
Semua orang berpaling ke arah yang ditunjuk junjungan mereka. Di situ ada
beberapa orang Mongolia dengan muka bengkak dan matang biru dan kumisnya
terbakar bersih. Kumislah tanda keagungan dari seorang pahlawan Mongolia. Kalau
kumis terbentur saja sudah merupakan penghinaan, sekarang terbakar habis. Maka
semua panglima itu menjadi sangat gusar hingga mereka berseru-seru.
"Khoresmia itu suatu negara besar di sebelah Barat kita," berkata pula Jenghiz
Khan. "Oleh karena kita memusatkan perhatian kita dalam penyerangan terhadap
anjing Kim, terhadapnya kita suka mengalah. Juji, anakku, kau bilang, bagaimana
sikapnya itu Muhammad terhadap kita?"
Juji maju satu tindak, ia menyahuti dengan nyaring: "Tahun dulu itu ayah
menitahkan anakmu menyerang bangsa Mergid yang harus mampus itu, anak pulang
dengan kemenangan. Ketika itu Muhammad itu telah mengirim satu pasukan perangnya
menggencet bangsa Mergid itu. Karenanya kedua pasukan telah bertemu satu sama
lain. Anak lantas mengirim utusan untuk mengadakan perhubungan baik dengan
membilang ayah suka bersahabat dengan Khoresm. Lantas Muhammad bilang: 'Meskipun
Jenghiz Khan tidak menitahkan kamu menyerang aku akan tetapi Tuhan memerintahkan
aku menghajar kamu.' Kita jadi bertempur dan kita menang, hanya pada waktu
tengah malam, lantaran jumlah musuh yang lebih besar sepuluh lipat, diam-diam
aku mengundurkan diri."
"Walapun demikian Kha Khan masih tetap berlaku baik terhadapnya," kata Boroul.
"Tempo kita mengirim kalifah perdagangan kita, semua barang kita dirampas
Muhammad dan semua saudagarnya dibunuh mati! Sekarang mengirim utusan untuk
mengikat persahabtan, Muhammad telah mendengar ojokannya Wanyen Lieh si pangeran
anjing dari negara Kim, dia membunuh utusan kita yang gagah dan menyerang
pengiring-pengiringnya utusan itu, separuh pengiring dibinasakan dan separuhnya
lagi dibakar kumisnya lalu diusir pulang!"
Mendengar disebutnya nama Wanyen Lieh, Kwee Ceng campur bicara. "Apakah Wanyen
Lieh ada di Khoresm?" ia tanya.
"Anjing Kim itu berserikat sama Khoresm," berkata Jenghiz Khan. "Mereka hendak
menggencet kita! Apakah kita takut?"
"Khan kita yang agung tak ada tandingannya di kolong langit ini!" berseru para
panglimanya. "Kha Khan, kau titahkan kita pergi menyerang Khoresm, nanti kita
menggempur kota-kotanya, kita membakar rumah-rumahnya, kita membunuh habis
rakyatnya laki-laki dan perempuan, kita rampas hewan mereka!"
"Muhammad itu mesti dibekuk! Wanyen Lieh mesti dibekuk!" Jenghiz Khan
menambahkan. "Ya!" berseru para hadirin hingga api lilin di dalam kemah berkelak-kelik.
Jenghiz Khan menghunus golok di pinggangnya, ia membacok ke depannya, lantas ia
lari keluar kemah, lompat naik ke atas kudanya, atas mana semua panglima turut
berlari-lari keluar, naik juga ke atas kuda mereka, lari mengikuti.
Jenghiz Khan melarikan kudanya beberapa lie, lalu dia naik ke sebuah bukit
kecil. Semua tahu junjungannya itu hendak mengasah pikiran seorang diri, mereka
tidak turut naik, mereka hanya lantas mengitari, mengurungi bukit kecil itu.
Jenghiz Khan melihat Kwee Ceng berada tak jauh di sampingnya.
Kwee Ceng mengeprak kuda merahnya, untuk menghampirkan.
Jenghiz Khan memandang ke tanah datar di mana tampak cahaya api bagaikan bintang
di pelbagai tenda tentaranya. Ia lantas mengayun cambuknya.
"Anak," katanya, "Dulu hari tempo kita dikurung Sangum dan Jamukha di atas
bukit, pernah aku omong sama kau. Apakah kau masih ingat kata-kata itu?"
"Aku masih ingat," menjawab si anak muda. "Ketika itu kau membilangi, kita
bangsa Mongolia mempunyai banyak orang gagah, asal kita tidak saling membunuh
hanya kita berserikat menjadi satu, maka kita bangsa Mongolia akan membuatnya
seluruh dunia menjadi lapangan penggembalaan ternak kita."
Jenghiz Khan menjeterkan cambuknya di udara.
"Benar," katanya. "Sekarang bangsa Mongolia telah bersatu padu, mari kita pergi
membekuk Wanyen Lieh!"
Kwee Ceng telah berkeputusan untuk besok pulang ke Selatan, tetapi dia sekarang
lagi menghadapi urusan besar ini, terpaksa ia mesti mengubah keputusannya itu.
Wanyen Lieh musuh besarnya, tidak dapat ia melepaskannya. Maka ia menjawab raja
Mongolia itu, "Kali ini kita pasti akan membekuk Wanyen Lieh!"
Jenghiz Khan berkata pula: "Khoresm itu terkenal sebagai suatu negara dengan
sejuta serdadu pilihan, akan tetapi menurutku, jumlahnya yang tepat kira-kira
enam - atau tujuhpuluh laksa jiwa. Kita di sini sebaliknya cuma mempunyai
duapuluh laksa jiwa, dari sini, beberapa laksa serdadu diperlukan menghajar
anjing Kim, dari itu dengan limabelas laksa serdadu melawan tujuhpuluh laksa
jiwa, kau bilang, apakah kita bakal menang?"
Kwee Ceng belum kenal urusan perang tetapi ia muda dan nyalinya besar, ia tidak
pernah jeri akan kesukaran, maka mendengar pertanyaan itu, ia kata dengan gagah:
"Pasti menang!"
"Ya, pasti memang!" berkata Jenghiz Khan. "Baru-baru ini aku telah mengatakan
kepada kau bahwa aku akan perlakukan kau sebagai anakku sendiri, mengenai ini
hendak aku membilang padamu, kata-katanya Temujin tidak pernah dilupakan!
Sekarang kau turut aku berperang ke Barat, setelah membekuk Muhammad dan Wanyen
Lieh, sepulangnya barulah kau menikah dengan putriku!"
Inilah apa yang Kwee Ceng harap, maka ia mengiyakan.
Jengiz Khan melarikan kudanya turun dari bukit.
"Kumpulkan semua tentara!" ia menitah.
Segera pasukan pengiringnya membunyikan terompet.
Jenghiz Khan melarikan terus kudanya ke kemahnya. Selama itu di sepanjang jalan
terlihat tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan dan banyak kuda berlari-
lari akan tetapi suara orang tidak terdengar sama sekali, suatu tanda dari tata
tertib yang sempurna. Ketika ia tiba di muka kemah, maka tiga laksa serdadunya
sudah berbaris rapi di padang rumput, golok panjang mereka berkilauan di antara
cahaya rembulan. Setibanya di dalam kemah, Jenghiz Khan memanggil juru tulisnya, untuk menitahkan
dia menulis surat pernyataan perang. Penulis itu tidak menanya jelas lagi, ia
menggelar kertas kambing di atas tanah, sambil berlutut, ia mulai menulis.
Mulanya ia memuji junjungannya, lalu ia mengancam musuh untuk membayar upeti.
"He, kepada siapa kau menulis surat"!" bentak Jenhiz Khan dengan murka, penulis
itu ia tendang terbalik. "Menulis sama raja musuh kenapa begitu rewel"!" Ia
mencambuk kepala orang seraya berkata keras: "Kau dengar! Apa yang aku bilang,
kau catat!" Penulis itu ketakutan, ia merayap bangun, akan mengambil kertas pula dan
bersiap. Ia berlutut seraya mengawasi mulut junjungannya.
Jengiz Khan menyingkapkah tendanya, ia memandang ke luar, kepada tiga laksa
serdadunya. Ia berpikir. Tapi lekas ia juga ia bilang: "Kau menulis begini, cuma


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enam huruf!" Ia berhenti sebentar, lantas ia mengatakan, keras: "Jikalau kau mau
berperang, lekaslah berperang!"
Penulis itu heran, tetapi ia menulis. Ia menulis dengan huruf-huruf yang besar!
"Berikan cap kebesaranku! Lekas kirim!" Jengiz Khan memerintah pula.
Mukhali maju, akan mencapi surat itu dengan dengan cap emas, dan seoarng opsir
pangkat cianhu-thio diperintah menyampaikan permakluman perang itu kepada musuh.
Semua panglima menanti sampai derapo kuda si utusan dan pengiringnya sudah
terdengar jauh, dengan serentak mereka berseru: "Jikalau kau mau berperang,
lekaslah berperang!" seruan itu disambut oleh tiga laksa serdadunya dengan
teriakan perangnya. Seperti biasanya, teriakan perang ini segera diikuti dengan pekiknya kuda
perang. Maka sejenak itu, seluruh tanah datar jadi seperti menggetar.
Sesudah semua itu, Jenghiz Khan menitahkan semua panglima dan tentaranya
mengundurkan diri, lalu seorang diri ia duduk di kursi emasnya, untuk berpikir.
Kursi itu adalah kursi rampasan diwaktu ia menyerang Chungtu, ibukota negara
Kim. Bagian belakang kursi berukiran naga melingkar merampas mutiara, sedang
dikedua tangan-tangannya ada ukiran masing-masing seekor harimau galak. Karena
itulah kursi takhta raja Kim. Ia memikirkan masa mudanya yang penuh dengan
penderitaan, ia memikirkan ibunya, istrinya, lima putra-putrinya, lalu juga
pelbagai kemenangannya, hingga negaranya menjadi besar dan luas, sedang sekarang
ia bakal menghadapi musuh tangguh.
Usia Khan ini sudah lanjut akan tetapi kupingnya masih terang sekali. Ia
mendengar suara seekor kuda yang datang dari kejauhan, beberapa kali binatang
itu mengasih dengar suara sedih, lantas berhenti. Ia tahu apa artinya itu. Ialah
kuda itu mendapat sakit yang tidak dapat diobati lagi, lalu majikannya, yang
tidak tega mengawasi penderitaannya, membunuhnya. Tiba-tiba ia ingat: "Aku sudah
tua, sekarang aku bakal pergi perang. Dapatkah aku bakal pergi perang" Dapatkah
aku kembali dengan masih hidup" Jikalau aku mati mendadak di medan perang, lalu
keempat putraku memperebuti takhta, kedudukan Khan yang agung, tidakkah itu
kacau" Dapatkah aku tidak mati untuk selama-lamanya?"
Ingat kematian, hatinya pendekar Mongolia ini tercekat.
"Aku mendengar di Selatan ada orang yang dinamakan tosu, yang katanya dapat
mengajari orang menjadi dewa, hidup seumurnya tanpa menjadi tua, benarkah itu?"
demikian ia berpikir. Lantas ia menepuk tangan, memanggil seoarng pahlawannya.
Pahlawan itu dititahkan lekas memanggil Kwee Ceng.
Pemuda itu muncul dalam tempo yang cepat. Ia lantas ditanyai mengenai halnya si
tosu atau imam. "Tentang hidup panjang umur hingga menjadi dewa, anak tidak ketahui benar atau
bohongnya," Kwee Ceng memberi keterangan, "Yang benar ialah halnya ilmu
bersemedhi, untuk menyalurkan napas dengan sempurna, guna menambah umur."
Jenghiz Khan girang mendengar keterangan itu.
"Kenalkah kau orang semacam itu?" ia tanya. "Lekas kau cari seorang saja untuk
dia datang menghadap aku!"
"Imam semacam itu, apabila dia dipanggil dengan cara sembarangan, pasti dia
tidak bakal datang," Kwee Ceng beritahu.
"Kau benar. Nanti aku mengutus satu pembesar berpangkat tinggi mengundang dia
datang ke Utara sini. Coba bilang, siapa yang mesti aku undang?"
Kwee Ceng lantas memikirkan kaum Coan Cin Pay, di antara siapa Tiang Cun Cu Khu
Cie Kee adalah yang paling mahir ilmu silatnya dan sifatnya pun suka gawe, maka
mundkin dia dapat diundang. Maka ia lantas memuji imam itu.
Jenghiz Khan girang, ia lantas memerintahkan penulisnya datang menghadap, untuk
dititah menulis surat undangan itu.
Baru saja penulis ini mendapat bagian, hatinya jadi kecil, maka setelah
berpikir, ia menulis ringkas, cuma enam huruf, bunyinya: "Kami mempunyai urusan,
lekaslah kamu datang!"
Membaca itu, Jenghiz Khan gusar.
"Terhadap musuh aku bicara begitu rupa, apakah terhadap orang cerdik pandai
mesti begitu juga"!" bentaknya. "Kau tahu, kau mesti menulis panjang lebar dan
hormat!" Penulis itu bingung, tetapi ia menurut. Ia lantas mengarang suratnya itu, yng
panjang dan lemah lembut bunyinya, junjungannya diangkat, Khu Cie Kee dipuji
tinggi. "Cukupkah ini?" ia menanya rajanya.
Jenghiz Khan tertawa. "Ya, begini cukup!" katanya. "Kau lantas rapikan, nanti aku mengutus Lauw Tiong
Lok, itu pembesar tinggi berbangsa Tionghoa, yang pergi membawanya, untuk
mengundang dia, pasti dia akan datang."
Penulis itu merampungkan suratnya.
Jenghiz Khan pun menyuruh Kwee Ceng menulis surat kepada Khu Cie Kee, untuk
memberitahukan undangannya itu serta Kwee Ceng sendiri meminta si imam suka
datang ke Utara. Habis itu, Lauw Tiong Lok lantas di utus.
Besoknya Jenghiz Khan mengadakan kurultai, rapat besar untuk membicarakan lebih
awal soal menyerang ke Barat, di antaranya Kwee Ceng diangkat menjadi "Noyon",
suatu pangkat paling tinggi, yang biasa tidak dianugerahkannya kecuali kepada
pangeran, keluarga raja terdekat atau panglima perang, setelah mana, anak muda
itu ditugaskan memimppin selaksa serdadu untuk turut berperang.
Kwee Ceng telah maju pesat ilmu silatnya tetapi dalam ilmu perang ialah seorang
asing, berhubung dengan ini kedudukannya yang baru, yang ia tidak dapat tampik,
ia lantas pergi ke Jebe Subotai untuk meminta pengajaran. Karena ia bebal, tidak
gampang-gampang ia lantas mengerti, dari itu untuk beberapa hari, ia masgul
sekali. Tidakkah tugasnya berat" Bagaimana kalau di harian keberangkatan perang,
titahnya tidak sempurna" Bagaimana kalau ia gagal" Tidakkah pasukannya bakal
termusnah dan kehormatannya Jenghiz Khan runtuh" Ia bingung hingga ia berniat
menhadap junjungannya untuk menampik tugas itu. Justru ia mau mengambil putusan
untuk penampikannya itu, tiba-tiba serdadu pengawalnya masuk dengan warta bahwa
ada seribu lebih orang Han yang datang dan lagi menantikan di luar kemah untuk
minta bertemu padanya. Ia menjadi girang sekali.
"Ah, begini cepat Khu Totiang datang?" pikirnya. Dengan cepat ia pergi keluar.
Setibanya di muka tangsi, ia melengak. Di sana ia menampak serombongan orang
dengan dandanan sebagai pengemis. Ia heran bukan main.
Dari dalam rombongan tukang minta-minta itu lantas muncul tiga orang, untuk
menghampirkan si anak muda, guna menunjuki hormatnya, guna memperkenalkan diri.
Ternyatalah mereka ada ketiga tianglo dari Kay Pang yaitu Lou Yoe Kiak, Kan dan
Nio Tianglo. "Tahukah kau tentang nona Oey Yong?" ia tanya. Mengingat Kay Pang, ia lantas
ingat nona kekasihnya itu.
"Kami telah mencarinya kemana-mana, belum pernah kami mendengar kabar tentang
Pangcu kami itu." berkata Lou Yoe Kiak. "Baru saja kami mendengar kabar koanjin
mau pergi berperang ke Barat, kami datang untuk menyerahkan diri kami."
Pemuda ini heran sekali. "Cara bagaimana kamu mendapat tahu?" ia tanya pula.
"Khan yang agung telah mengirim utusan mengundang Khu Cie Kee Totiang, kita
mendengarnya dari orang Coan Cin Pay," Yoe Kiak menyahut.
Kwee Ceng menjublak memandang ke arah Selatan, di mana ada gumpalan-gumpalan
mega putih, hatinya berpikir: "Kay Pang tersebar di seluruh negera, toh mereka
tidak ketahui tentang Yong-jie, kalau begitu, dia lebih banyak terancam bahaya
daripada menghadapi keselamatan..." Maka tanpa merasa, kedua matanya menjadi
merah. Tapi ia menerima kawanan pengemis itu, ia memerintahkan orangnya untuk
memernahkan mereka itu, ia sendiri menghadap Jenghiz Khan guna melaporkan.
"Baik," Jenghiz Khan menerima baik. "Kau masukilah mereka di dalam pasukan
perangmu!" Sekalian menghadap junjungannya itu, Kwee Ceng mengutarakan niatnya mengundurkan
diri. Jenghiz Khan gusar, ia kata dengan nyaring: "Siapakah yang dilahirkan lantas
dapat berperang" Tidak bisa, bukan" Maka itu, berperanglah, setelah beberapa
kali, kau tentu lantas bisa!"
Pemuda ini tidak berani banyak omong lagi, ia mengundurkan diri, akan balik ke
kemahnya. Ia bingung dan berduka.
Melihat sikapnya anak muda ini, Yoe Kiak heran, ia menanya sebabnya. Si anak
muda menuturkannya. "Itulah tidak apa," Yoe Kiak menghiburkan.
Sorenya, Yoe Kiak masuk ke dalam kemah, ia kata kepada pemuda itu: "Kalau tahu
begini, ketika berangkat dari Selatan tentulah aku membawa kitab ilmu perang
dari Sun Bun Cu atau kitabnya Kiang Thay Kong, dengan begitu, bereslah semua."
Mendengar itu, mendadak Kwee Ceng ingat kitab peninggalan Gak Hui.
"Ah, mengapa aku melupakannya?" pikirnya. "Bukankah itu kitab ilmu perang?"
Ia lantas mengeluarkan kitabnya Gak Hui itu, lantas ia membaca. Dan ia membaca
terus-terusan hingga malam itu ia lupa tidur dan lupa dahar. Paginya ia masih
melanjuti membaca. Sampai tengah malam barulah ia letih dan kantuk.
Kitabnya Gak Hui itu lengkap memuat segala apa mengenai pengaturan tentera dan
berperang, umpama siasat menyerang dan membela diri, mendidik tentara,
mengendalikan kepala-kepala perang, maka itu, si anak muda menjadi ketarik.
Ketika itu hari ia membacabya di dalam perahu, perhatiannya kurang, sekarang
lain. Tetapi ada bagian-bagian yang kurang jelas, maka ia mengundang Yoe Kiak
dan minta tianglo itu tolong menjelaskannya.
"Sekarang ini aku kurang mengerti," berkata si pengemis. "Nanti aku pikirkan
dulu, sebentar aku coba menjelaskannya."
Dan ia mengundurkan diri. Tidak lama ia kembali lagi, lalu ia menjelaskannya,
dengan sempurna. Bukan main girangnya Kwee Ceng, maka saban-saban ia minta bantuannya tianglo
itu. Sebaliknya Yoe Kiak aneh, setiap kali ia ditanyakan, tidak dapat ia
menjawab seketika juga, mesti ia berlalu dulu, untuk memikirkan dan
memahamkannya, tetapi setelah ia balik lagi, segera ia bisa mengasih keterangan
dengan baik sekali. Mulanya Kwee Ceng tidak memperhatikan itu, sesudah lewat
beberapa hari, ia menjadi heran dan curiga, maka ia ingin mencoba. Demikian itu
malam, ia undang Yoe Kiak, ia menanyakan satu huruf.
"Nanti aku pikirkan," berkata si tianglo yang lantas mengundurkan diri.
"Kalau satu soal, pantas itu dipikirkan," pikir Kwee Ceng, seberlalunya si
pengemis, "Akan tetapi ini hanya satu huruf, mustahil itu tidak dapat segera
diartikannya?" Maka ini kepala perang muda lantas menyusul dengan diam-diam pada pengemis itu,
untuk mencari tahu apa yang orang perbuat.
Lou Yoe Kiak bertindak cepat ke arah sebuah kemah kecil. Tidak lama dia berdiam
di dalam kemah itu, lantas ia kembali. Kwee Ceng lekas kembali ke kemahnya. Yoe
Kiak menyusul dengan cepat.
"Sekarang aku sudah mengerti," kata si pengemis yang terus menjelaskannya.
Kwee Ceng lantas tertawa.
"Lou Tianglo," katanya. "Kalau kau mempunyai guru, mengapa kau tidak mengundang
dia untuk bertemu sama aku?"
Pengemis itu melengak. "Tidak..." sangkalnya.
Kwee Ceng menggenggam tangan orang.
"Mari kita pergi lihat!" katanya. Dan ia berjalan sambil menuntun, untuk pergi
ke kemah kecil tadi. Di depan kemah itu itu ada menjaga dua orang pengemis, kapan mereka itu melihat
Kwee Ceng datang, keduanya berbatuk satu kali. Mendengar itu, si anak muda
melepaskan tangannya Yoe Kiak, ia lompat ke tenda untuk menyingkap. Ia melihat
tenda bagian belakang bergerak, seperti bekas orang keluar dari situ. Ia memburu
terus. Tiba di belakang tenda, ia menampak rumput tebal, tidak ada orang di
situ. Ia heran hingga ia berdiri diam saja. Kemudian ia menanyakan Yoe Kiak.
Tianglo itu mengasih tahu bahwa kemah itu kemahnya sendiri, tidak ada lain orang
tinggal bersama dengannya. Kwee Ceng heran dan masgul, ia tetap bercuriga.
Setelah itu Kwee Ceng menanyakan sesuatu kepada Yoe Kiak, pengemis itu baru
dapat menjawab di hari esoknya. Karena ini ia percaya benar, di sana pasti ada
seorang lain, hanya orang tidak sudi menemui padanya. Sebab orang tidak
bermaksud jahat, selanjutnya ia tidak memaksa ingin mengetahui orang itu, ia
membiarkannya saja. Selama belum berangkat perang, Kwee Ceng bekerja. Malam ia membaca kitab dan
memahamkannya, mengingatnya baik-baik, siang ia melatih tentaranya, melatih
berbaris dan berperang juga. Tentara Mongolia itu biasa berperang di tempat
terbuka dengan menuruti caranya sendiri, sekarang mereka berlatih, tugas itu
berat, tetapi mereka mesti turut perintah, mereka terpaksa melakukannya.
Satu bulan lebih Jenghiz Khan bersiap sedia terutama di bagian rangsum. Selama
itu Kwee Ceng telah berhasil melatih tentaranya itu hingga pasukannya mengerti
apa yang dinamakan delapan barisan Thian-hok Tee-cay, Hong-yang, In-sui, Liong-
hui, Houw-ek, Niauw-siang dan Coa-poan yang berdasarkan barisan rahasianya Cu-
kat Liang, hanya di tangan Gak Hui, barisan itu diubah pula.
Kemudian datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Limabelas laksa serdadu berkumpul
di tanah datar selagi udara bersih dan nyaman. Dis itu Jenghiz Khan mengadakan
sembahyang kepada langit dan bumi, untuk bersumpah untuk keberangkatannya pergi
berperang. Kepada semua panglima perangnya ia kata: "Batu itu tidak ada
kulitnya, jiwa manusia ada habisnya, lihat sekarang rambut dan kepala dan
kumisku sudah putih semua, maka itu, dengan kepergian perang ini, belum tentu
aku dapat pulang dengan masih hidup, karenanya hari ini hendak aku mengangkat
seorang putra mahkota, supaya sepeninggalnya aku, dia dapat menggantikan aku
mengangkat bendera yang agung ini!"
Mendengar kata-kata ini, yang tidak disangka, orang heran berbareng girang.
Heran sebab itulah luar biasa, dan girang karena memang Khan itu perlu memilih
ahli warisnya. Semua mata lantas diawasi kepada pemimpin mereka itu, untuk
mendengar disebutkannya nama calon penggantinya.
"Juji, kaulah putra sulungku," berkata Jenghiz Khan, "Kau bilang, aku harus
memilih siapa?" Juji kaget di dalam hatinya. Dia pandai bekerja, dia paling banyak jasanya, dia
pula putra sulung, maka dia percaya, kalau nanti ayahnya menutup mata, dengan
sendirinya dia bakal menggantikan ayahnya itu. Sekarang dia ditanya secara
mendadak, tidak dapat dia segera memberikan jawabannya.
Putra yang kedua dari Jenghiz Khan, Jagatai, bertabiat keras, dengan kakaknya ia
memang tidak akur, maka itu mendengar pertanyaan ayahnya itu dan melihat
kakaknya menjublak, dia kata dengan keras: "Juji hendak disuruh berbicara, dia
hendak diperintah apakah" Apakah kami dibiarkan diperintah oleh anak campuran
bangsa Mergid?" Ada sebabnya kenapa Jagatai mengatakan demikian. Pada mulanya pasukan Jenghiz
Khan lemah, itu waktu istrinya kena dirampas bangsa Mergid yang menjadi
musuhnya, tempo istrinya itu kembali, ia sedang hamil, kemudian terlahirlah
Juji. Meski demikian adanya si putra sulung, Jenghiz Khan menerimanya dengan
baik, dia memandang si putra sebagai putra sejatinya. Maka hebatlah sikapnya
Jagatai ini. Bukan main gusarnya Juji kepada adiknya itu, ia berlompat dan menjambak dada si
adik. Ia membentak: "Ayah sendiri tidak memandang aku sebagai orang luar, kenapa
kau begitu menghina aku" Kepandaian apa kau mempunyai yang dapat melebihkan aku"
Kau cuma menang jumawa! Marilah kita bertanding! Jikalau dalam hal mengadu panah
aku kalah dari kau, aku akan menguntungi jari jempolku! Jikalau kita bertempur
dan aku terkalahkan, akan aku rebah di tanah untuk selama-lamanya dan tidak akan
bangun pula!" Ia lantas berpaling kepada Jenghiz Khan dan berkata: "Ayah,
silahkan ayah mengeluarkan titahmu!"
Jagatai tidak suka dijambak, dia melawan maka dua saudara itu sudah lantas
berkutat. Beberapa panglima segera maju untuk memisahkan. Borchu menarik tangan Juji,
Mukhali menarik tangan Jagatai.
Jenghiz Khan berdiam, air mukanya muram. Ia ingat masa mudanya itu diwaktu mana
sekalipun kehormatan istrinya tidak sanggup ia membelanya, hingga sekarang
terjadilah pencederaan yang hebat ini.
Banyak panglima mempersalahkan Jagatai yang dikatakan tidak seharusnya berbuat
demikian hingga menyebabkan orang tuanya manjadi berduka.
Diakhirnya, Jenghiz Khan berkata juga: "Kamu berdua meletaki tangan kamu. Juji
putraku yang sulung, aku memang mencintai dan menghargai dia, maka itu mulai
hari ini dan selanjutnya, aku larang siapa juga yang bicara tentang dia!"
Jagatai melepaskan tangannya, ia tertawa dan berkata: "Juji memang gagah,
siapapun mengetahuinya. Hanya dia kalah dari adik ketiga Ogotai dalam hal
kemurahan hati, maka itu aku memilih Ogotai!"
"Juji, kau bagaimana?" Jenghiz Khan tanya putranya yang sulung.
Juji dapat melihat suasana, ia tidak mempunyai harapan lagi, karena ia baik
dengan Ogotai dan mengetahui baik dan murah hati dari adik ini, dan ia percaya
juga yang di belakang hari sang adik tidak bakal mencelekai padanya, maka ia
menjawab: "Baiklah! Aku juga memilih Ogotai!"
Putra keempat, Tuli, tidak menentang pemilihan itu, maka Jenghiz Khan lantas
mengadakan pesta, guna mengangkat dan meresmikan pangangkatan putra mahkota itu.
Perjamuan berjalan sampai jauh malam baru bubar.
Kwee Ceng pulang ke kemahnya dengan rada pusing, disaat ia hendak membuka baju,
untuk tidur, satu serdadu pengiringnya lari masuk ke dalam kemahnya itu dan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melaporkan: "Huma, hebat! Pangeran sulung dan pangeran kedua, yang telah minum
hingga mabuk, telah membawa masing-masing senjatanya untuk bertempur satu pada
lain!" Pemuda itu kaget bukan main.
"Lekas laporkan kepada Kha Khan!" ia memerintahkan.
"Kha Khan juga sudah mabuk, dia telah dipanggil-panggil tetapi tidak dapat
mendusin!" Kwee Ceng menjadi bingung. Hebat kalau dua saudara itu bertempur, sedang mereka
masing-masing mempunyai pengikut dan tentaranya. Pula hebat akibatnya untuk
angkatan perang Mongolia umumnya. Ia berjalan mondar-mandir. Ia mengoceh seorang
diri. "Kalau Yong-jie ada disini, dia dapat mengajari aku apa yang mesti aku
lakukan..." Sementara itu terdengar suara riuh, tanda kedua pangeran itu hendak mulai
bertempur. Mendengar itu, pemuda itu menjadi semakin bingung. Tiba-tiba saja Lou
Yoe Kiak datang masuk dan menyodorkan sepotong kertas di mana ada ini tulisan:
"Pakailah barisan Coa-poan untuk memisahkan kedua pasukan, lalu menggunai
pasukan Houw-ek untuk mengurung dan menawan yang tidak sudi menyerah."
Selama ini Kwee Ceng telah membaca hapal bunyinya kitab Gak Hui, maka itu begitu
melihat surat itu, ia sadar. Ia menyesalkan dirinya: "Kenapa aku begini tolol
hingga aku tidak dapat mengingat ini" Perlu apa aku membaca kitab ilmu perang?"
Segera ia menitahkan pasukan perangnya bersiap.
Tentara Mongolia telah terlatih baik, tata tertibnya sempurnya, biar banyak yang
sudah mabuk, begitu titah dikeluarkan, begitu mereka siap hingga sebentar saja,
mereka sudah berbaris rapi. Kwee Ceng lantas memimpin mereka memburu ke timur
laut, sampai beberapa lie. Di sana ia menerima laporan, kedua pihak pasukannya
Juji dan Jagatai sudah berhadapan dan pertempurannya mungkin telah dimulai. Ia
npun lantas mendengar teriakan riuh dari pasukan kedua pangeran itu.
"Jangan-jangan aku terlambat!" pikirnya bingung sekali. "Jangan-jangan bencana
besar tak dapat dicegah pula..." Tapi ia masih ingat untuk memberikan titahnya,
mengatur barisannya, Coa-poan atau Barisan Ular, yang ia titahkan terlebih jauh
untuk menghalang di antara pasukan-pasukan kedua saudara yang lagi menuruti hawa
nafsu amarahnya itu. Dua-dua Juji dan Jagatai menjadi heran atas datangnya pasukan sama tengah itu,
hingga mereka melengak. "Siapa" Siapa di sana"!" Jagatai berteriak-teriak dengan pertanyaannya, "Kau
hendak membantui aku atau Juji si anak haram"!"
Kwee Ceng tidak menjawab, ia bekerja terus. Ia mengubah barisan Ularnya, Coa-
poan-tin, menjadi barisan Sayap Harimau, Houw-ek-tin, guna seluruhnya itu datang
sama tengah, untuk mempengaruhi pasukannya kedua saudara itu.
Jagatai segera mendapat lihat benderanya Kwee Ceng, ia menjadi gusar.
"Memang aku tahu bangsat bangsa Lam-ban bukan manusia baik-baik!" serunya. Ia
lantas menitahkan tentaranya menerjang pasukan si anak muda itu.
Barisan Sayap Harimau sementara itu sudah bekerja. Itulah barisan yang di jaman
dahulu digunakan Han Sin menghajar Han Ie. Barisan itu terdiri dari pelbagai
barisan kecil dan barisan-barisan kecil inilah yang bertindak sebat sekali.
Jagatai telah mengerahkan dua laksa serdadunya tetapi sekarang dua laksa serdadu
itu kena dipisahkan satu dari lain. Memangnya tentara itu tidak berkelahi dengan
sungguh melawan pasukannya Juji, ke satu merekalah orang sendiri, kedua mereka
takut pada Jenghiz Khan, dan sekarang yang memisahkan mereka bangsa sendiri
juga. Kwee Ceng lantas berteriak-teriak: "Kita semua ada saudara-saudara bangsa
Mongolia, tidak dapat kita saling membunuh diri! Lekas kamu meletaki golok dan
panah kamu, supaya Khan yang agung tidak nanti menghukum potong kepala kamu!"
Berpengaruh suara anak muda ini, tentaranya Jagatai lantas saja lompat turun
dari kuda masing-masingnya dan meletaki senjata mereka.
Jagatai panas bukan main, dengan memimpin seribu lebih pengiringnya, ia
merangsak kepada si anak muda, untuk menyerang.
Di antara pasukannya Kwee Ceng lantas terdengar tiga kali suara tambur, lantas
ada delapan barisan kecilnya yang bergerak dari delapan penjuru, mereka itu
bukannya menyambut penyerangan hanya memapakinya dengan tambang-tambang kalakan,
maka hampir serentak, seribu lebih serdadunya Jagatai roboh, karena kaki kuda
mereka telah terkalak, lantas mereka ditubruk dan diringkus, tangan mereka
ditikung ke belakang. Juji kaget berbareng girang melihat sepak terjangnya Kwee Ceng itu. Ia hendak
menghampirkan untuk berbicara, atau mendadak ia melihat pasukannya Kwee Ceng
bergerak lebih jauh, mengurung kepada pihaknya. Ia terkejut sekali menyaksikan
cara bergeraknya tentara si anak muda itu. Ialah seorang peperangan ulung, meski
ia bingung, ia lantas memberikan titahnya untuk melakukan perlawanan. Tapi juga
tentaranya itu, dalam tempo yang pendek, kena dibubarkan dan ditawan tentarnya
si anak muda. Dua-dua Juji dan Jagatai menjadi berkhawatir sekali. Mereka ingat saat pertemuan
pertama kali dari mereka dengan Kwee Ceng. Juji telah mencambuki si anak muda
sampai anak muda itu mati hiudp dan hidup mati, sedang Jagatai pernah
menganjurkan anjing mengeroyok dan menggigitinya. Maka mereka berkhawatir si
anak muda menggunai ketikanya ini untuk mencari balas. Saking khawatir dan
kaget, mereka sadar dari mabuk arak mereka. Sekarang mereka pun menjadi takut
nanti dihukum ayah mereka, bukan main mereka menyesal.
Juga Kwee Ceng, setelah tindakannya itu, menjadi tidak tentram hatinya. Bukankah
ia bergerak lancang tanpa titah siapa juga" Bukankah ia, biar bagaimana, ada
orang luar" Tidakkah tindakannya ini berarti sangat besar" Maka ia tidak tahu,
apa akan jadi akibatnya: bencana atau kebaikan" Karena ini, ia pikir, baiklah ia
berdamai sama Ogotai dan Tuli. Tapi ia tidak dapat kesempatan akan menemui kedua
pangeran itu, kupingnya sudah lantas mendengar suara terompet, lalu ia melihat
lari mendatanginya Jenghiz Khan, yang akhirnya sadar juga dari pusingnya, hingga
ia kaget dan gusar mendengar hal pertempuran dua putranya itu, tanpa dandan
lagi, dengan rambut riap-riapan, ia lari keluar dari tendanya, ia kaburkan
kudanya. Ketika ia tiba, ia menjadi heran. Semua serdadu Juji dan Jagatai duduk
diam di tanah, dan tentaranya Kwee Ceng menilik mereka itu. Pula kedua putranya,
meski mereka tetap duduk di atas kuda mereka, mereka masing-masing diawasi oleh
delapan pahlawan yang bersenjatakan golok, yang mengurung mereka itu.
Kwee Ceng lantas menghampirkan, untuk sambil berlutut menuturkan duduknya hal,
juga tentang tindakannya sendiri untuk mencegah pertumpahan darah hebat.
Sesudah mengetahui duduknya kejadian, Jenghiz Khan girang bukan kepalang. Ia
lantas mengumpulkan semua panglimanya, ia lantas menegur hebat kepada Juji dan
Jagatai. Sebaliknya Kwee Ceng dan opsir-opsirnya dipuji dan diberi persenan.
Kwee Ceng menerima persenan, tetapi ia tidak ambil itu untuk dirinya sendiri, ia
lantas menghadiahkan itu kepada tentaranya, maka juga semua serdadunya bersorak
kegirangan. Setelah itu Kwee Ceng diberi selamat oleh sekalian panglima atas jasanya itu.
Anak muda itu menanti sampai semua tetamu sudah mengundurkan diri, dia ambil
surat yang dibawa Lou Yoe Kiak, surat yang mengajari ia bagaimana harus
bertindak tadi. Ia meneliti itu. Ia heran.
"Dua barisan Coa-poan dan Houw-ek memang telah aku melatihnya terhadap
tentaraku, tetapi belum pernah aku menyebutkan nama-namanya," pikirnya, "Kenapa
sekarang dia mengetahuinya" Mungkinkah dia mencuri baca kitab ilmu perangku itu"
Kitab itu tapinya selalu tersimpan di tubuhku, tidak pernah aku berpisah
dengannya, cara bagaimana dia dapat membacanya?"
Ia masih berpikir sekian lama, lantas ia menitahkan orangnya memanggil Lou Yoe
Kiak. "Lou Tianglo," ia berkata setelah si pengemis tiba, "Inilah kitab ilmu perangku,
jikalau kau suka melihatnya, ini aku beri pinjam kepadamu."
Yoe Kiak tertawa. "Si pengemis melarat ini, seumurnya dia tidak bakal menjadi jendral!" katanya.
"Untukku buat apakah sebuah kitab ilmu perang?"
Kwee Ceng menunjuk kepada surat yang ia terima dari pengemis itu.
"Kalau begitu, mengapa kau mendapat tahu tentang dua pasukan Coa-poan dan Houw-
ek ini?" ia tanya. "Bukankah Koanjin pernah membicarakan itu kepadaku?" balik tanya si pengemis.
Agaknya ia heran. "Apakah koanjin sudah lupa?"
Kwee Ceng berdiam. Ia tahu orang berdusta, ia tetap bingung. Ia tidak bisa
menerka duduknya hal yang benar.
Besoknya siang Jenghiz Khan berapat pula. Kali ini ia mengatur angkatan
perangnya. Sebagai pasukan nomor satu ditetapkan pasukannya Jagatai dengan
Ogotai sebagai komandannya, Jagatai sendiri dijadikan sianhong ialah pasukan
depan. Pasukan nomor tiga ialah pasukan kiri. Jenghiz Khan sendiri bersama Tuli
memimpin pasukan utama. Sebat sekali tindakan itu diambil, maka dilain saat berangkatlah angkatan perang
ini beserta iring-iringan rangsumnya menuju ke Barat, menghampirkan Khoresm.
Majunya makin lama makin jauh, masuknya makin lama makin dalam wilayahnya Shah
Muhammad Ala-ed-Din. Angkatan perang shah itu besar jumlahnya tetapi mereka
bukan tandingannya tentara Mongolia dalam ketangkasannya berperang, dengan
begitu ia kena terdesak. Pada suatu hari Kwee Ceng menunda pasukan perangnya di tepi sungai. Malamnya,
selagi ia membaca kitab perangnya, untuk dipahamkan terlebih jauh, ia medengar
suara berkelisik di atas tendanya, lalu pintu tendanya tersingkap dan satu orang
bertindak masuk. Beberapa serdadu penjaga mencegah, mereka membentak, tetapi
satu demi satu mereka kena ditotok roboh. Kwee Ceng segera menyimpan kitabnya,
ia berbangkit. Orang yang menerobos masuk itu lantas memandang kepadanya dan
tertawa Dialah See Tok Auwyang Hong.
Kwee Ceng kaget berbareng girang. Siapa sangka di tempat jauh sepuluh ribu lie
dari Tionggoan dia bertemu sama si Bisa dari Barat ini.
"Mana nona Oey?" itulah pertanyaannya yang pertama.
Bab 75. See Tok Auwyang Hong
Bab ke-75 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
"Aku justru hendak menanya kau, budak cilik itu ada di mana!" Auwyang Hong balik
menanya. "Lekas kau serahkan padaku!"
Mendengar itu Kwee Ceng terperanjat karena girangnya. Ia lantas berpikir: "Kalau
begitu, Yong-jie masih hidup dan ia telah lolos dari tangannya iblis ini!" Tapi
ia jujur, perasaan hatinya gampang terpeta pada wajahnya, kegirangannya itu
lantas dapat dilihat See Tok.
"Mana dia itu budak cilik"! Auwyang Hong membentak.
"Entahlah," menyahut Kwee Ceng sejujurnya, "Selama di Kanglam dia mengikuti kau,
kemudian bagaimana?"
See Tok tahu pemuda ini tidak pernah mendusta, ia menjadi heran. Menurut
dugaanya, Oey Yong mestinya berada di dalam pasukan perang ini. Kenapa pemuda
ini tidak mengetahuinya" Ia lantas duduk bersila untuk berpikir.
Kwee Ceng membebaskan orang-orangnya dari totokan, ia memerintahkan menyuguhkan
the moumiss. Auwyang Hong meminum satu cawan tanpa curiga.
"Anak tolol, tidak ada halangannya aku bercerita kepadamu," katanya kemudian.
"Memang benar bocah itu telah kena aku tawan di dalam kuil Tiat Ciang Bio di
Kee-hin, hanya itu malam juga dia berhasil meloloskan dirinya."
Kwee Ceng girang hingga ia berseru: "Bagus!" Ia pun menambahkan: "Dia sangat
cerdik, jikalau dia memikir untuk lari, pasti dia dapat lari. Bagaimana dia
lolosnya?" "Dia lolos di Kwie-in-chung di telaga Thay Ouw!" menyahut si See Tok sengit
sekali. "Hm, untuk apa menuturkannya" Tegasnya dia sudah kabur!"
Kwee Ceng tidak mendesak. Dia tahu orang besar kepala dan kejadian itu pastilah
membuatnya See Tok gusar dan malu dan menyesal sekali.
"Setelah dia kabur, aku mengejarnya," See Tok toh melanjutkan. "Beberapa kali
aku dapat menemui dia, hanya saban-saban dia lolos lagi. Aku mengejar terus,
terus aku berada di dekatnya, dia tidak dapat kabur pulang ke Tho Hoa To. Kita
main kejar-kejaran, sampai di perbatasan Mongolia. Mendadak dia lenyap. Maka aku
menduga dia mestinya berada di dalam pasukan perangmu ini. Demikian aku datang
padamu!" Mendengar Oey Yong telah tiba di Mongolia, Kwee Ceng heran berbareng girang.
"Apakah kau pernah melihat dia?" ia tanya.
Ditanya begitu, See Tok mendongkol.
"Kalau aku dapat melihat dia, mustahil aku tidak dapat membekuknya?" katanya
keras. "Siang dan malam aku mengintai dia di dalam pasukanmu ini. Aku menyangka
dia tinggal bersama kau tetapi aku belum pernah melihat dia. Eh, bocah tolol,
kau sebenarnya lagi main gila atau apa?"
Kwee Ceng terbengong. "Siang dan malam kau mengintai, mengapa aku tidak dapat tahu?" ia balik tanya.
Auwyang Hong tertawa puas.
"Aku ialah satu serdadu orang Wilayah Barat yang tidak berarti di dalam
barisanmu yang dinamakan barisan Thian-cian-ciong!" sahutnya. "Kaulah si kepala
perang, mana kau kenal aku?"
Di dalam tentara Mongolia terdapat banyak serdadu-serdadu musuh ynag tertawan
dan diberi pekerjaan, maka itu kalau seorang Wilayah Barat, atau See Hek, nyelip
di dalam satu barisan, dia memang sukar untuk diketahuinya. tapi mendengar
keterangan itu, Kwee Ceng terkejut. Ia berpikir: "Jikalau dia menghendaki
jiwaku, pastilah jiwaku sudah lama lenyap lama..." Lalu dengan suara tak tegas ia
menanya: "Kenapa kau bilang Yong-jie ada di dalam pasukanku?"
"Kau telah meringkus kedua putra Jenghiz Khan, kau berhasil memukul pecah kota-
kota dan melabrak musuh," menyahut Auwyang Hong, "Tanpa petunjuk dari si budak
cilik itu, mana dapat kau si tolol melakukannya semua itu" Hanya budak itu tidak
pernah memperlihatkan dirinya, ini benar-benar heran. Sekarang tidak bisa lain,
kau mesti bertanggungjawab, kau mesti menyerahkan dia itu padaku!"
Kwee Ceng tertawa. "Kalau Yong-jie memperlihatkan dirinya, itulah hal yang aku paling harapi!" ia
kata. "Sekarang cobalah kau pikirkan, dapatkah aku menyerahkan dia padamu?"
"Jikalau kau tidak mau menyerahkan dia, aku mempunyai jalanku sendiri!" kata
Auwyang Hong. Dia mulai mengancam. "Kau berkuasa atas pasukan tentara besar,
akan tetapi di mata Auwyang Hong, tendamu ini, di luar dan di dalam, adalah
seperti tempat di mana tidak ada barang satu manusia! Asal aku mau datang, aku
datang, asal aku mau pergi, aku pergi! Siapa dapat melarang aku!"
Omong itu bukan omong besar belaka, maka itu Kwee Ceng membungkam.
"Eh, bocah tolol, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?" Auwyang Hong tanya.
"Perjanjian apakah itu?"
"Kau menyebutkan tempat sembunyinya si bocah, aku tanggung tidak nanti aku
mengganggu sekalipun selembar rambutnya. Jikalau kau tidak sudi menyebutkannya,
aku akan mencari terus, biar perlahan, tetapi satu kali aku mendapatkan dia, hm!
Itu pasti bukannya urusan yang menyenangkan!"
Kwee Ceng tahu See Tok sangat lihay, kecuali si nona bersembunyi di ho Hoa To,
mesti dia akan dapat dicari.
"Baik, aku suka akan berjanji," katanya. "Hanya bukan menurut caramu itu!"
"Habis?" "Auwyang Sianseng, sekarang ini ilmu silat kau jauh terlebih menang daripada
kepandaianku," berkata si anak muda, "Akan tetapi usiaku jauh lebih muda
daripada usiamu, maka itu di belakang hari, setelah usiamu tambah dan tenagamu
berkurang, mesti datang satu hari yang kau bakal tidak sanggup melawan aku...."
Auwyang Hong tidak pernah memikirkan saat dari "Usia bertambah tua dan tenaga
berkurang", sekarang ia mendengar suara si anak muda ini, hatinya tercekat.
"Kata-katanya bocah ini bukan kata-kata dungu," pikirnya. Maka ia tanya: "Habis
bagaimana?" "Di antara aku dengan kau ada permusuhan disebabkan kau membinasakan guru-
guruku," berkata pula Kwee Ceng. "Dan sakit hati itu tidak dapat tidak dibalas,
maka itu walaupun kau kabur ke ujung langit, akan ada satu harinya yang aku
nanti dapat mencari padamu!"
Auwyang Hong tertawa terbahak.
"Justru sebelum aku tua dan loyo, sekarang aku bunuh padamu!" ia berseru. Belum
lagi suaranya berhenti, kedua kakinya telah lantas dipentang dan ditekuk, untuk
berjongkok, sedang kedua tangannya diangsurkan hebat ke depannya, ke arah si
anak muda. Kwee Ceng tahu orang menyerang ia dengan ilmu Kodok-nya, tetapi ia telah
menyakinkan sempurna "Ie-kin toan-kut-pian", ilmu "menukar otot dan melatih
tulang", maka begitu serangan tiba, ia berkelit, setelah berkelit, dengan cepat
ia membalas menyerang dengan jurus "Kian liong cay tian" dari Hang Liong Sip-pat
Ciang. Auwyang Hong menarik pulang kedua tangannya, ia menyambuti serangan pembalasan
si anak muda. Ia mengenal baik ilmu silat orang, yang ada ajarannya Ang Cit
Kong, ia merasa bahwa ia sanggup melayaninya. Hanya kali ini ia salah menduga.
Begitu ia menyambuti, begitu tubuhnya bergerak, hampir kuda-kudanya bergoyang.
Ia menjadi kaget. Kalau ia tidak bisa mengegosnya, pastilah ia terluka.
"Jangan-jangan belum lagi aku tua dan loyo, bocah ini dapat menyusul aku,"
pikirnya. Maka segera ia menyerang dengan tangan kirinya.
Kwee Ceng berkelit, terus ia membalasnya pula.
Sekali ini Auwyang Hong tidak mau menyambut keras dengan keras, ia menekuk
tangannya menangkis sambil berkelit, guna mengasih lewat ancaman bahaya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwee Ceng tidak dapat menangkap hati lawan, ia mengira orang cuma berkelit, ia
tidak tahu Auwyang Hong terus menyerang pula, maka kagetlah ia kapan ia
merasakan dorongan keras sekali. Dengan terpaksa ia mengeluarkan tangan
kanannya, guna menolak itu.
Mengenai tenaga dalam, Kwee Ceng kalah dari jago See Hek itu, maka kalau ia
terus bertahan secara demikian, tidak lama, ia bakal roboh. Ia memang dipancing
lawannya itu. Auwyang Hong girang melihat pancingannya memakan. Lantas dia
merasa tangannya Kwee Ceng menjadi lunak, seperti orang yang tidak dapat melawan
lebih jauh. Segera ia menambah tenaganya. Justru itu, tangan si anak muda
melejit licin. "Hari ini tibalah kematianmu!" pikir See Tok yang meneruskan mengulur lengannya
hingga jeriji tangannya segera akan tiba di dada lawan.
Kwee ceng menggunai tangan kirinya untuk menangkis ke depan dadanya, sembari
menangkis, tangan kanannya yang melejit itu, dengan telunjuknya, menotok ke arah
jalan darah tay-yang-hiat dari See Tok. Inilah It Yang Cie, ilmu silat totokan
ajarannya It Yang Taysu, yang telah lama ia menyakinkannya tetapi belum pernah
dipakai. It Yang Cie ialah penakluk dari Kap Moa Kang, ilmu Silat Kodok.
Auwyang Hong menjadi kaget sekali, dengan lantas ia menjejak tanah, untuk
melompat mundur. Sembari lompat ia berseru: "Ha, Toan Tie Hin si tua bangka
hendak membikin susah padaku!"
It Yang Cie dari Kwee Ceng ini belum mencapai kemahiran, masih belum dapat
dipakai memecahkan Kap Moa Kang, sudah begitu, ia pun tidak paham betul cara
menggunainya, habis menotok dan gagal, ia lantas menarik pulang pula. See Tok,
yang belum mundur lebih jauh, melihat itu. Seharusnya serangan dilanjutkan.
Melihat ini, jago tua itu tahu orang belum mahir, maka tanpa menanti ketika, ia
terus menyerang lagi, kembali dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng terkejut. Dengan luar biasa gesit, ia berlompat berkelit. Celakalah
meja di belakang, meja itu kena terhajar tangan lihay dari si Bisa dari Barat,
siapa terus tidak mau berhenti, terus ia mengulangi serangannya. Rupanya ia
berpikir, anak muda yang lihay ini mesti didesak habis-habisan.
Selagi menyerang, Auwyang Hong merasa ada bokongan dari arah belakang. Dia tidak
takut, tanpa berpaling lagi ia menendang ke belakang. Inilah tipu untuk
mendahului musuh, atau serangan untuk serangan. Kebetulan dibokong dengan
tendangan, maka kedua kaki bentrok, kaki si penyerang tertolak, tubuhnya roboh,
hanya kaki ia itu tidak patah. Dia heran, lantas ia menoleh. Sekarang di muka
tenda dia melihat tiga pengemis tua, ialah ketiga tianglo, Louw, Kan dan Nio.
Louw Yoe Kiak segera berlompat, kedua tangannya memegang masing-masing lengannya
kedua kawannya. Itulah siasat pembelaan diri dari Kay Pang. Ini pula siasat yang
digunai Kay Pang diharian rapat di Kun San, dengan apa mereka dapat mengadakan
pembelaan bagaikan tembok tangguh untuk mendesak Kwee Ceng dan Oey Yong, sampai
muda-mudi itu kewalahan. Auwyang Hong tertawa terbahak. Ia lantas menggunai siasat. Melawan Kwee Ceng dia
cuma menang seurat, kalau dia dikepung ketiga pengemis ini, yang cukup lihay, ia
bisa berabe. Ia pun berkata: "Anak tolol, ilmu silatmu maju pesat sekali!"
Setelah itu ia menekuk kedua kakinya, untuk duduk bersila, sama sekali ia tidak
menghiraukan Louw Yoe Kiak bertiga. Ia berkata pula kepada si anak muda: "Kau
hendak membuat perjanjian denganku, kau jelaskanlah!"
"Kau menghendaki nona Oey memberi penjelasan Kiu Im Cin-keng terhadapmu,"
berkata si anak muda. "Mengenai itu, dia sudi menjelaskan atau tidak, mestinya
terserah padanya, tidak dapat kau membikin dia celaka."
Auwyang Hong tertawa. "Jikalau dia suka memberi penjelasan, memang aku pun tidak tega mencelakai dia,"
sahutnya. "Memangnya Oey Lao Shia seorang yang dapat dibuat permainan" Hanya
kalau dia tetap tidak suka bicara, mana dapat aku tidak menggunai sedikit
kekerasan terhadapnya?"
"Tidak, aku larang!" Kwee Ceng menggeleng kepalanya.
"Kau menghendaki aku berjanji, habis apakah tukarannya untuk itu?"
"Itulah semenjak hari ini, jikalau kau terjatuh ke dalam tanganku, aku akan
memberi ampun padamu hingga tiga kali, kau akan dibebaskan dari kematian!"
See Tok berbangkit, ia tertawa lebar. Tajam tertawanya itu, terdengar sampai
jauh, hingga banyak kuda menjadi kaget dan meringkik saling bersahutan.
Kwee Ceng mengawasi dengan tajam.
"Inilah tidak lucu, tidak ada yang harus dibuat tertawa," katanya perlahan,
"Hanya kau harus ketahui sendiri, akan datang satu hari yang kau bakal terjatuh
ke dalam tanganku!" Auwyang Hong tertawa tetapi di dalam hatinya ia berpikir. Sedikitnya ia merasa
jeri juga. Ia lantas mendapat satu pikiran. Ia tertawa ketika ia berkata: "Aku
Auwyang Hong, aku menghendaki pengampunan dari kau, bocah busuk" Hm! Tapi
baiklah, kita lihat saja nanti!"
Kwee Ceng mengulur sebelah tangannya.
"Kata-katanya seorang kesatria...." ujarnya.
Auwyang Hong tertawa, dia menyambuti: "Seumpama kuda tercambuk satu kali!"
See Tok menepuk perlahan tangannya si anak muda hingga tiga kali.
Itulah janji mereka, janji menurut caranya orang di jaman dinasti Song. Siapa
menyangkal janji itu, selanjutnya dia akan terhina.
Habis membuat perjanjian itu, Auwyang Hong hendak menanya Kwee Ceng tentang Oey
Yong, hanya belum lagi ia membuka mulutnya, ia melihat bayangan berkelebat di
luar kemah, gerakannya sangat gesit. Ia bercuriga, lantas ia lompat keluar,
untuk menyusul. Ia ketinggalan, ia tidak melihat bayangan siapa juga setibanya
di luar. Maka ia berpaling ke arah tenda dan berkata: "Di dalam tempo sepuluh
hari, akan aku datang ke mari! Itu waktu kita akan lihat, kau yang memberi ampun
padaku, atau aku yang mengampunimu!"
Sambil tertawa lebar tubuh See Tok mencelat, lantas dia lenyap, sebab dalam
sekejab saja dia sudah memisahkan diri belasan tombak.
Louw Yoe Kiak bertiga saling mengawasi dengan bengong, hatinya mereka
mengatakan: "Dia sangat lihay, tidak heran dia sama tersohornya seperti Ang
Pangcu!" Kwee Ceng lantas memberitahukan ketiga tianglo bahwa kedatangan Auwyang Hong
untuk mencari Oey Yong. "Dia bilang Oey Pangcu ada di dalam pasukan ini, dia ngaco-belo!" berkata Yoe
Kiak. "Jikalau itu benar, mustahil kita tidak tahu" Laginya...."
Kwee Ceng menunjang jenggot.
"Akan tetapi aku berpikir dugaanya itu beralasan," katanya perlahan. "Sering aku
merasakan yang nona Oey seperti berada di sampingku, kalau ada soal-soal sukar,
selalu dia membantu memecahkannya. Hanya tidak peduli apa yang aku pikir, dia
tetap tidak sudi memperlihatkan dirinya padaku..."
Tanpa merasa kedua matanya pemuda itu menjadi merah.
"Baiklah koanjin jangan berduka," Yoe Kiak menghibur. "Inilah perpisahan sekejab
mata, diakhirnya toh kalian bakal berkumpul."
"Aku telah berbuatb keliru terhadap nona Oey, aku khawatir dia tidak sudi
menemui aku pula," kata lagi Kwee Ceng, yang mengaku salah. "Aku tidak tahu
bagaimana aku harus berbuat untuk menebus dosaku itu..."
Yoe Kiak bertiga saling memandang.
"Taruh kata dia tidak sudi berbicara sama aku," Kwee Ceng berkata pula, "Kalau
dia membiarkan aku melihatnya satu kali saja, hatiku tentu terhibur..."
"Kau letih, koanjin" berkata Yoe Kiak. "Silahkan kau beristirhata. Besok kita
berdamai pula untuk menjaga kalau-kalau Auwyang Hong datang mengacau lagi."
Kwee Ceng mengangguk, maka ketiga tianglo itu mengundurkan diri.
Besoknya angkatan perang maju terus, malamnya mereka singgah. Yoe Kiak datang ke
kemah Kwee Ceng membawa sehelai gambar lukisan. Ia kata: "Pada tahun yang lalu
selama di Kanglam aku telah mendapatkan gambar ini, aku seorang kasar, tidak aku
mengerti akan maksudnya itu, maka selagi sekarang koanjin kesepian, dapatlah
koanjin menikmati ini perlahan-lahan." Lantas gambarnya itu ia letaki di atas
meja. Kwee Ceng membebar itu, ia tercengang begitu ia melihat lukisannya: Seorang nona
tengah menenun, romannya mirip dengan Oey Yong, melainkan lebih perok, alisnya
turun, romannya lesu. Dia mengawasi terus. Di samping itu ia mendapati dua baris
huruf halus, bunyinya mirip dengan syairnya Eng Kouw. Yang pertama: "Tujuh
perkakas tenun... Suteranya habis, citanya rampung, jangan sembarangan dibuat
pakaian.....nanti tergunting rusak tak disengaja, hingga burung-burungnya hong dan
loan, terpisah menjadi dua pinggiran baju...." Dan yang kedua: "Sembilan perkakas
tenun....Sepasang bunganya, sepasang daunnya, sepasang cabangnya.... Cinta tipis
semenjak dahulu kala sering berpisah, dari mulanya sampai diakhirnya, hati
terikat, menembusi sehelai benang...."
Tidak lama si anak muda berpikir, lantas ia ingat. Pikirnya: "Ini gambar mesti
dilukis Yong-jie! Entah dari mana Lou Tianglo mendapatkannya..." Ketika ia
mengangkat tangan, untuk menanya, pengemis itu sudha berlalu dari kemahnya. Ia
lantas menyuruh serdadunya memanggil, akan tetapi waktu ditanya, pengemis itu
berkukuh membilang dia membelinya dari toko buku di Kanglam.
Biarnya dia sepuluh kali tolo, Kwee Ceng dapat menduga, hanya disebabkan Yoe
Kiak menutup mulut, ia kewalahan. Ia berpikir. Justru itu Kan tianglo datang,
pengemis itu berbicara dengan perlahan: "Barusan aku melihat bayangan orang di
ujung timur laut ini, maka aku menyusul, bayangan itu lenyap setahu ke mana.
Maka aku khawatir malam ini Auwyang Hong si bangsat tua nanti nyelusup ke dalam
tangsi!" "Baiklah," kata Kwee Ceng. "Mari kita bersiap untuk membekuk dia."
"Aku mempunyai satu akal, entah koanjin setuju atau tidak," kata Kan Tianglo.
"Mestinya itu bagus, coba kau tuturkan."
"Inilah tipu daya sangat sederhana," kata tianglo she Kan itu. "Kita menggali
liang jebakan. Kita menyuruh duapuluh serdadu menyiapkan karung terisi pasir
menjaga di luar kemah. Beruntung bangsat tua itu jikalau dia tidak datang, kalau
dia muncul, aku tanggung dia dapat datang tidak dapat pergi."
Kwee Ceng setuju dengan akal itu, ia terbahak girang. Ia percaya Auwyang Hong
bakal terjebak sebab See Tok sangat jumawa dan tidak melihat mata kepada lain
orang. Lou Tianglo bertiga lantas mengepalai sejumlah serdadu menggali tanah yang
dalamnya duapuluh tombak kira-kira, di atasnya ditutup rapi dengan permadani, di
situ ditaruhkan sebuah kursi kayu yang enteng. Duapuluh serdadu dengan karung-
karung pasir disembunyikan di luar tenda itu.
Pekerjaan menggali tanah itu tidak mencurigakan siapa pun juga sebab di gurun
pasir biasa orang menggali sumur untuk mendapatkan air.
Malam itu Auwyang Hong tidak muncul.
Besoknya itu Auwyang Hong juga tidak muncul.
Besoknya, tentara maju terus, malamnya singgah pula. Yoe Kiak bertiga menggali
liang jebakan yang baru, juga tidak di malam ketiga. Hanya di malam keempat,
Kwee Ceng mendengar suara apa-apa di kain tendanya, selagi hatinya berdebaran,
ia melihat Auwyang Hong muncul sambil tertawa panjang.
See Tok bertindak dengan tenang, terus ia menghampirkan kursi, untuk berduduk,
bruk! Maka terjebloslah kursi itu berikut orang yang duduk di atasnya. Liang itu
dalamnya duapuluh tombak, tidak bisa Auwyang Hong segera berlompat naik. Di lain
pihak, dua puluh serdadu yang bersembunyi itu segera datang menguruk dengan
karung pasir mereka itu. Lou Yoe Kiak girang sekali, hingga ia memuji: "Dugaan Yoe Pangcu tepat sebagai
malaikat..." Tapi ia berhentii secara tiba-tiba sebab Kan Tianglo mendelik
kepadanya. "Oey Pangcu apa?" tanya Kwee Ceng.
"Aku salah omong," berkata Yoe Kiak, menyambungi. "Aku mau menyebutnya Ang
Pangcu. Jikalau Ang Pangcu ada di sini, tentu dia girang sekali."
Kwee Ceng mengawasi tianglo itu, hendak ia menanya pula ketika serdadu-
serdadunya di luar menerbitkan suara berisik, bersama ketiga tianglo ia lari ke
luar. Di sana sekalian serdadunya itu membuatnya berisik sambil tangan mereka
menunjuk ke tanah. Tanah itu, yang tadinya rata, bergerak-gerak, sebentar
mumbul, sebentar rata pula.
Tidak lama anak muda ini mengawasi, ia segera mengerti sebabnya.
"Auwyang Hong lihay, dia bisa menyungkur tanah!" katanya. Lantas dia menitahkan
beberapa puluh serdadu menaik kuda, untuk jalan mondar-mandir di atas tanah itu,
di bagian mana saja yang munjul. Sekian lama sekalian serdadu itu bekerja, lalu
tidak ada lagi tanah yang munjul. Maka dianggap Auwyang Hong tidak tahan dan
telah mati karenanya. "Coba gali," Kwee Ceng menitah.
Ketika itu sudah tengah malam. Orang memasang obor. Semua serdadu berdiri
memutari tempat yang digali oleh belasan serdadu lainnya. Setelah menggali
belasan tombak, tubuh Auwyang Hong kedapatan berdiri diam. Tempat berpisah
duapuluh tombak dari liang jebabkan. Maka hebatlah tenaganya Auwyang Hong, tidak
peduli tanah di situ tidak keras. Berkat tenaga dalamnya, dia dapat nelusup
bagaikan tikus. Dia digotong naik, diletaki di tanah.
Lou Yoe Kiak menghampirkan untuk meraba dadanya. Tubuh See Tok masih hangat.
"Coba ambil rantai dan belunggu padanya," tianglo ini menitah.
Baru pengemis itu berkata demikian atau mendadak tubuh Auwyang Hong bergerak dan
sebelah tangannya menyambar kaki kanan si pengemis di bagian otot nadi kaki itu.
Semua serdadu kaget, mereka berteriak mengatakan mayat hidup pula. Mereka tidak
tahu Auwyang Hong telah menutup jalan napasnya dan berpura-pura mati, setelah
serdadu berada di luar urukan, dia membuka pula jalan napasnya itu seraya terus
membekuk si pengemis. Kwee Ceng berlompat menubruk, tangan kirinya menekan jalan darah kie-kut-hiat
dan tangan kanannya menekan jalan darah yang pentinng. Di dalam keadaan biasa,
tidak nanti Auwyang Hong dapat ditotok secara demikian. Dia terkejut, dia hendak
membela diri, tetapi kasep, dia kalah gesit. Dia merasakan tubuhnya kaku. Tapi
dia mengerti, Kwee Ceng tidak menyerang hebat, kalau tidak, dia bisa lantas
mati. Terpaksa ia melepaskan tangannya dari kakinya Yoe Kiak, dia berdiri diam.
"Auwyang Sianseng," Kwee Ceng berkata, "Hendak aku mengajukan satu pertanyaan
padamu. Adakah kau melihat nona Oey?"
"Aku melihat hanya bayangannya," menjawab See Tok. "Itu sebabnya kenapa aku
datang mencari ke mari."
"Apakah kau melihatnya nyata?" Kwee Ceng menanya pula.
"Jikalau bukannya setan budak itu berada di sini, kau pasti tidak dapat
menggunai jebakan ini untuk menangkap orang!" sahut si Bisa dari Barat.
Kwee Ceng melengak. "Nah, kau pergilah!" katanya akhirnya. "Kali ini aku memberi ampun padamu!"
Dengan satu dorongan tangan kanan dengan perlahan, pemuda ini membikin tubuh
orang terpelanting setombak lebih. Ia membuatnya begini karena ia khawatir jago
Barat yang lihay ini nanti menggunai ketika akan menyerang padanya.
Auwyang Hong berpaling, ia kata dengan dingin: "Biasanya aku bertempur sama
bangsa cilik, tidak pernah aku menggunai senjata, tetapi kau dibantui si budak
setan yang licik dan banyak akal muslihatnya, maka aku menyingkirkan dengan
kebiasaan itu. Di dalam tempo sepuluh hari, aku akan datang pula ke mari dengan
membawa tongkatku itu, dari itu kau berhati-hatilah!" Lantas ia mengangkat kaki.
Kwee Ceng mengawasi orang menghilang, lalu ia merasakan sambaran angin Utara
yang dingin, hingga ia menggigil sendirinya. Ia lantas mengingat lihaynya
tongkat See tok, ia merasa ngeri. Tongkat itu telah lenyap di dasar laut tetapi
sembarang waktu Auwyang Hong dapat memperoleh yang lainnya, sedang ular
berbisanya, dia mempunyai banyak. Berbayang di depan matanya bagaimana di Yan Ie
Lauw, si bisa bangkotan itu membuatnya Coan Cin Cit Cu kewalahan. Tentu seklai,
tongkat ular itu tidak dapat dilawan dengan tangan kosong sedang ia sendiri
tidak pernah menyakinkan ilmu silat dengan senjata yang tertentu, sedang apa
yang Liok Koay mengajarinya ada ilmu silat yang biasa. Ia menjadi bingung,
matanya mendelong mengawasi awan putih di langit.....
Tidak lama, hawa udara menjadi dingin sekali, maka serdadu pelayan menyalakan
api. Kwee Ceng berdiam di dalam kemahnya. Semua kuda pun di masuki ke dalam
tansi. Kawanan pengemis tidak membekali baju kulit untuk melawan hawa dingin
itu, mereka mencoba menggunai tenaga dalamnya masing-masing. Adalah kemudian,
Kwee Ceng menitahkan tentaranya membuat baju kulit kambing untuk mereka.
Besoknya hawa menjadi terlebih dingin, salju di tanah berubah menjadi es.
Menggunai saat dingin ini, tentara Khoresm datang menyerang, tetapi Kwee Ceng
telah bersiap, ia menyambutnya dengan barisan Liong Hui Tin, ia menang, lantas
ia melabrak, mengejarnya ke Utara.
Sudah biasa Kwee Ceng tinggal di gurun Utara, ia tidak takut hawa dingin. Tapi
ia ingat Oey Yong. Kalau benar si nona ada bersamanya, bagaimana nona itu dapat
melawan hawa dingin itu" Maka ia menjadi berkhawatir..........
Malamnya diam-diam pemuda ini memeriksa semua kemah. Tidak berhasil ia mencari
si nona. Ketika ia akhirnya balik ke kemahnya, di sana Yoe Kiak lagi mengepalai
penggalian lubang jebakan.
"Auwyang Hong itu sangat licin, setelah satu kali terjebak, mana dia kena
dijebak untuk kedua kalinya?" berkata si anak muda.
"Dia tentu menduga kita menggunai akal lain, tidak tahunya kita tetap sama
dengan liang kita ini," menjawab si pengemis. "Biarlah dia dibikin bingung
dengan itu pembilangannya, yang kosong ialah berisi dan berisi ttak dapat
diterkanya." Kwee Ceng mengawasi tajam. Ia berpikir: "Inilah akal muslihat dari kitab ilmu
perang, cara bagaimana kau mengetahuinya?"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yoe Kiak tidak menghiraukan sikap orang, ia berkata: "Kalau kita menggunai lagi
karung pasir, dia bakal dapat daya untuk menghindarkannya, maka kali ini kita
mengubah caranya, kita menggunai air panas, kita banjur dia!"
Memang Kwee Ceng mendapatkan di luar tenda ada puluhan serdadu lagi menyiapkan
belasan kuali besar, sebagai airnya mereka mengampaki kepingan-kepingan es dan
dimasuki ke dalam kuali itu, untuk dimasak lumer.
"Dengan begitu bukankah dia bakal mati terseduh?" si anak muda tanya.
"Memang koanjin telah berjanji padanya akan mengampuni dia tiga kali," menyahut
Yoe Kiak, "Tetapi kalau kali ini dia mampus, itulah bukannya dia rovoh langsung
di tangan koanjin, maka biar dia mau diberi ampun, tidak bisa. Dengan begitu
koanjin tidak menyalah janji."
Kwee Ceng menganggap alasan itu benar juga, ia diam saja.
Setelah sekian lama, selesai sudah jebakan itu diatur. Tetap sebuah kursi kayu
diletaki di tengah-tengahnya. Di luar, dapur pun dinyalakan apinya, untuk orang
memulai memasak air. Hawa ada sangat dingin, nyalanya api lambat, es lumer dan
keburu beku pula, maka Yoe Kiak berulangkali mendesak: "Lekas, kobarkan api!"
Justru di situ terlihat bayangan orang mencelat muncul! Dan itulah See Tok
Auwyang Hong. Dengan tongkatnya ia menyingkap tenda, terus ia berkata: "Eh,
bocah tolol, kali ini kau mengatur liang jebakan, kakekmu tidak takut!" Terus ia
menejot tubh ke arah kursi, untuk duduk bercokol di atasnya.
Yoe Kiak bertiga menjadi bingung sekali. Tidak disangka orang datang demikian
cepat. Air mereka belum termasak panas, bahkan air sangat dingin. Di dalam hati
mereka mengeluh menyaksikan See Tok bercekal di kursinya.
Mendadak terdengar teriakan nyaring, disusul sama caciannya Auwyang Hong. Kursi
telah terjeblos bersama orang yang duduk di atasnya. Di siti tidak ada
persediaan pasir, musuh tidak bisa diuruk pula. Untuk Auwyang Hong, gampang buat
berlompat naik dari liang jebakan itu.
"Koanjin, lekas keluar!" akhirnya ketiga tianglo berteriak sebab mengkhawatirkan
keselamatan si anak muda. Berbareng itu di belakang mereka terdengar teriakan:
"Tuang air!" Kapan Yoe Kiak mendengar suara itu, tanpa sangsi lagi ia berteriak-teriak:
"Tuang air! Tuang air!"
Sekalian serdadu itu menaati perintah, dengan sebat mereka menggotong kaali-
kuali besar itu, untuk airnya dituangkan ke dalam liang perangkap.
Auwyang Hong lagi berlompat naik ketika dia di seblok air, hingga ia kaget dan
kembali jatuh. Dia mengerti ancaman bahaya itu, dia lantas bersiap. Lagi sekali
dia berlompat naik. Kali ini dia salah menaksir. Dia mengira dia bakal terus
disiram dengan air. Memang benar, dia disiram, hanya dia lupa memikir, setelah
diangkat dari dapur, air es yang baru lumer itu segera membeku pula. Maka
sekarang ia tertimpa es yang keras. Ia kaget bukan main, ia kesakitan pada kepalanya. Kembali ia terjatuh. Sekarang ia jatuh hebat, sebab kakinya
pun terbelesak di dalam air yang lagi membeku menjadi es itu, hingga ia tidak
Pedang Angin Berbisik 24 Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 4
^