Pencarian

Raja Sihir Dari Kolepom 1

Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Bagian 1


RAJA SIHIR DARI KOLEPOM Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Alih Versi Oleh: Danny Situmenang
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil
dan jarang. sebentar lagi tentu akan berhenti. Di Ti-
mur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir
dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan
sedang membelai Kepulauan Aru dan segenap isinya,
baik benda hidup maupun benda mati. Terasa benar
angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat
menciptakan kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pe-
pohonan dan dedaunan hijau tampak me-lambai-
lambai seperti sedang menari riang gembira.
Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang
tadi sempat tersembul, kini tertutup lagi oleh awan,
seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja me-
nyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan ti-
upan angin yang tadi semilir, sekarang berubah jadi,
kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi dinilai se-
bagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan
dahsyat yang ingin merobohkan pepohonan dan apa
saja yang dilewati.
Benar saja, beberapa pohon tumbang, ter-kapar
di bumi seperti prajurit perang yang tewas diterjang
senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan naluri
alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian
yang ada, tetapi juga ketegangan atau permusuhan.
Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi
ambisi. Tidak perduli benar atau salah seolah-olah tia-
da batas lagi antara yang baik dan benar. Langit pun
menangis disertai raungan petir sambung menyam-
bung. Tampaknya demikianlah adanya suasana di Ke-
pulauan Aru sekarang ini. Kepulauan yang tadinya
aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan permu-
suhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap di-
rinya benar atau paling tidak selalu menilai dirinya tak patut disalahkan.
Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri se-
buah kerajaan yang sebetulnya hanyalah ter-diri satu
kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku.
Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala
keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan, yang se-
kelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya dibuat
runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh un-
tuk menyelusup ke dalam tanpa diketahui. Apalagi ka-
rena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara
pengawas, yang selalu dijaga oleh seorang laskar seca-
ra bergiliran pula.
Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah se-
buah istana yang jauh lebih besar dan megah diban-
dingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga
ketat oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di
dalam istana yang tentu saja terdiri dari penduduk
yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar pemu-
kiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran seki-
tar empat meter yang juga tak pernah ditinggalkan
laskar yang ditugasi untuk itu.
Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bu-
kannya raja seperti sebutan di masa-masa yang lebih
modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun
kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang ter-
lempar dari bibirnya merupakan titah yang tidak boleh
dibantah oleh siapapun, sehingga lebih tepat barang-
kali kalau dikatakan sebagai ultimatum.
Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku,
sehingga haruslah dipilih yang paling arif bijaksana.
Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang di-
pimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya
yang boleh dikatakan tiada batas itu.
Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala
Suku mereka sekarang adalah seorang yang arif bijak-
sana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil
dan jujur. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman
berat, tetapi sangat mencintai rakyatnya. Meskipun ia
tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau be-
tindak sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertim-
bangan atau saran-saran dari para penasehatnya.
Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkan-
nya boleh dikatakan semata-mata adalah kehendak
rakyatnya sendiri.
Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, ka-kak
ipar Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni
suami istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal
Baureksa terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan sa-
habat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai seka-
rang belum mereka ketahui di mana berada.
Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berke-
nalan dengan Nomina, adik kandung Pampani. Nomina
yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada Karta dan karena suatu hal
yang tak dapat dielakkan lagi,
maka keduanya kemudian menikah. Walaupun sebe-
tulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang
ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri
itu sekarang sudah dikaruniai seorang putra, sehat
dan kuat serta lincah sehingga sangat disukai pendu-
duk di kerajaan tersebut.
Boleh dikatakan, hampir semua penduduk san-
gat menyukai Pampani. Tindak tanduknya hampir tak
bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina,
istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut
dicontoh. Akan tetapi kedamaian yang tercipta lewat tangan
Pampani yang arif bijaksana itu tidak terlalu lama da-
pat dirasakan penduduk. Itu karena di Pulau Aru telah
muncul seorang tokoh sesat yang sangat berambisi jadi
penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menum-
bangkan kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I,
yang sebetulnya masih mempunyai hubungan keke-
luargaan dengan Pampani.
Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pam-
pani. Tetapi tokoh sesat itu adalah anak haram, se-
hingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah
Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak
segan-segan membunuh atau menyiksa siapa saja
yang dianggap berani menentangnya. Ilmunya pun
sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tan-
dingannya. Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenar-
nya adalah Maleang Pangaru, tetapi sejak sepak ter-
jangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah
membuat orang lupa akan nama itu, selain julukan Ib-
lis Pulau Aru. Sebuah julukan yang bukan saja menye-
ramkan, tetapi juga bisa membuat bulu roma merind-
ing. Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni se-
tiap muncul di muka umum, ia selalu mengenakan
semacam topeng ikan hiu. Mukanya ditutupi bagian
kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan
yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut
kakinya, melalui punggung. Hal itu membuat wajah-
nya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat
orang banyak. Sedangkan matanya yang selalu menco-
rong tajam dan dingin, menyambar melalui bagian ma-
ta ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa
sehingga ia bebas melihat ke mana saja seperti layak-
nya orang biasa. Selain Iblis Pulau Aru, Maleang Pan-
garu pun dijuluki pula si Manusia Hiu.
Dalam pertarungan melawan pihak Pampani be-
berapa waktu lalu, tokoh sesat itu bersama seorang
tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga
tak kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.
Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki ber-
topeng ikan hiu dan sempat merampas putra Karta
yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan tersebut.
Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas
itu, dikira hidup kembali. Mereka tidak tahu bahwa le-
laki yang muncul itu adalah Wan-Da-I sendiri, yang
sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membi-
kin kacau suasana di istana. Kalau suku yang dipim-
pin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir
Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu
akan ketakutan. Dengan demikian, akan mudah bagi
Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.
Dalam melaksanakan segala niatnya itu, Wan-
Da-I dibantu seorang raja sihir dari Pulau Kolepom
bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengena-
kan jubah serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hi-
tam yang sangat tangguh, sehingga bisa menguasai pi-
kiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan
apa saja pun sesuai kehendaknya.
Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbin-
cang-bincang di ruangan rahasia di bawah tanah. Ke-
duanya sedang asyik membicarakan tentang rencana
mereka selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan to-
peng ikan hiunya dan bicaranya tampak sangat ber-
semangat. "Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?"
"Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-
barang itu telah diangkut ke tempat yang kita renca-
nakan semula."
"Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bume-
rang Wori" Apa kita sudah bisa memakai dia?"
"Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendi-
ri. Ia bahkan hampir membunuh ketiga kawannya
sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan lagi."
"Ha-ha-ha!" Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak sehingga topeng ikannya bergoyang-
goyang, "Bagus! Bagus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah bisa
kita laksanakan secepat mungkin."
"Tentu, Tuan!"
"Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan
pemiliknya, kita akan langsung menerima tukarannya
sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib itu pasti
akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai
dentuman halilintar atau kutukan Dewa dari langit.
Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan se-
kitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya."
"Saya turut bergembira, Tuan!"
"Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara
dengan Wori. Tolong antarkan aku ke sana!"
Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena
gigi-giginya besar dan bibirnya pun tebal hitam, se-
nyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagai-
kan harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia mem-
bentangkan kedua tangan mempersilahkan Wan-Da-I
melangkah. "Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu seka-
rang!" Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan,
putra Iblis Pulau Aru itu melangkah diikuti oleh Wo-
mere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani
memandang majikan mereka karena sangat segan dan
takut. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam
ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam se-
buah peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan ba-
gian luarnya penuh ukiran dengan warna warni kon-
tras. Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena
kombinasi warnanya yang sangat kontras menimbul-
kan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu
adalah tempat iblis bersembunyi.
Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu
sambil menatap Womere, ia berkata:
"Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka
peti itu!"
"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!" ujar Womere sambil memberi isyarat agar
pengawal membuka peti mati itu. Ketika sudah dibuka dua pengawal,
Womere mengangguk seraya tersenyum ke arah Wan-
Da-I. "Cobalah Tuan berbicara padanya! Semua-nya
sudah berjalan dengan lancar!"
"Baik!" sahut Wan-Da-I sambil mengarah-kan
pandangan matanya ke wajah Wori.
"Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku" Cobalah
kau katakan siapa aku. Kau pasti kenal dengan suara-
ku. Jawablah!"
Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam
peti mati dengan kedua tangan dilipatkan di dada, kini
mulai tampak bergerak perlahan-lahan. Kelopak ma-
tanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan
sayu. Lalu bibirnya yang tampak kaku itu mengelua-
rkan kata-kata sahutan:
"Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksa-
nakan segala perintah Tuan. Apapun yang akan terja-
di, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa
atau kapan saja!"
"Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima
yang setia. Aku percaya sepenuhnya padamu!" kata
Wan-Da-I dengan gembira. Benar juga rupanya ucapan
si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori benar-


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah mela-
kukan apa saja dan kapan saja tanpa dapat memban-
tah. Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pen-
dekar Bumerang itu sebenarnya adalah sahabat baik
Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup ber-
sama di lingkungan Kerajaan Pampani. Ia adalah pen-
duduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Aus-
tralia. Sama seperti penduduk pribumi di sana, ia pun
sangat mahir menggunakan senjata bumerang, yakni
semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit
dengan kedua ujungnya yang sangat runcing dan ta-
jam. Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat
dan jika tidak mengenai sasaran, akan kembali me-
layang kepada pemiliknya.
Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk
memperdalam ilmunya yang kelak diharap-kan dapat
digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari
negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin
persahabatan dengan Pampani serta para pendekar
Pulau Jawa. Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam
bangunan bawah tanah yang menjadi mar-kas Wan-
Da-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja
dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat keheba-
tan ilmu sihir Womere, lelaki perkasa dan memiliki te-
naga yang sangat kuat itu berubah seperti binatang
jinak atau bahkan seperti boneka. Pikirannya telah di-
kuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka ha-
tinya. Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere,
sehingga beberapa waktu lalu, Wori hampir saja mem-
bunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.
Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bume-
rang itu, si Gila dari Muara Bondet ter-cebur ke dalam
laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia menye-
lusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, na-
mun tubuh Karta telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus
mencari Karta. Akan tetapi setelah hampir seharian
melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil,
Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri mena-
tap hamparan laut yang terbentang di hadapannya.
Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa mene-
mukan Karta. Bahkan rasanya mustahil pula pendekar
itu masih bisa menyelamatkan diri setelah begitu lama
berada di dalam laut. Si Kaki Tunggal Baureksa kemu-
dian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya yang
pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut,
seolah-olah dengan berbuat demikian ia ingin menya-
takan kepedihan hatinya mengingat nasib Karta.
Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia
menjadi tersentak mendengar suara gemerciknya ge-
lombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri
dan memusatkan perhatian. Melihat gerakan air itu,
yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak
sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu
adalah Karta sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncul-
lah sesosok mahluk aneh di hadapan Baureksa. Pen-
dekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena
sangat terkejut. Di-kucek matanya beberapa kali seo-
lah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri, na-
mun pemandangan di depannya tetap tidak berubah
sedikit pun. Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya
ditutupi sejenis celana dalam menutupi kemaluannya.
Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar
pohon seperti yang biasa dipakai suku di Pulau Aru.
Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan hidung
yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya
tidak ada sama sekali dengan kulit yang sama dengan
wajah, bergaris-garis hitam dan berlobang-lobang.
Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat
mahluk seperti itu, sehingga timbullah dugaannya
bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul dari
dasar laut. Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu me-
miliki kesaktian luar biasa serta suka memangsa
orang. Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah
karena sudah sangat lapar lalu ingin melahap siapa
saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun
segera mempersiapkan diri menghadapi segala ke-
mungkinan. Tongkatnya disilangkan di dada dan sepa-
sang matanya mencorong tajam.
Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang
saja. Ia kemudian tampak seperti hendak mencopot
kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru kaget.
Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru
sendiri. Hidung panjang melengkung serta kulit hitam
bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau ba-
rangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum
bisa memastikan.
Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain
sangat setia juga memiliki kesaktian yang cukup ting-
gi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal itu
karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagai-
kan raksasa dan sejak kecil sudah terbiasa melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula berlatih si-
lat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang
pun yang mampu mengimbangi kekuatan Bungoru se-
lain Wori sendiri.
"Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan te-
lah terjadi terhadap diri Karta," kata Bungoru sambil mempermainkan alat
selamnya yang ajaib.
"Oh, jadi kau pun mencarinya?"
"Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan
saudara kita itu. Hampir semalam suntuk aku menye-
lam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran,
entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya ka-
lau ada yang tenggelam, dalam beberapa jam saja su-
dah bisa kutemukan."
Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan
orang melihat setan di siang bolong, kini menjadi ter-
tawa geli. "He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi
geli. Ada-ada saja kau, Bungoru. Pakai apa sih itu" Bi-
kin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau adalah
Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari
mangsa." Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama
karena tadi dia sempat memperhatikan Baureksa
mundur beberapa langkah dan langsung memasang
kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sa-
habatnya itu tentu belum pernah melihat alat menye-
lam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat
bermanfaat. "Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa
alat ini, aku takkan mungkin dapat menyelam sema-
lam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sam-
pai ke permukaan air, Dengan demikian, aku tetap da-
pat menghirup udara walaupun sedang di dalam air."
"Wan, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelam
mu itu. Ternyata biar tubuhmu gendut bagaikan gajah,
otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat
ajaib itu."
"Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang
apa yang harus kita lakukan" Kita sudah berusaha
mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya
nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir sema-
lam suntuk mencarinya namun tak berhasil."
"Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berke-
cil hati. Mungkin sudah takdirnya harus begitu. Wa-
laupun begitu, kita doakan saja se-moga saudara Kar-
ta masih selamat. Memang melihat keadaannya, tipis
sekali harapan bahwa dia masih hidup. Tetapi nyawa
manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang
saja dulu ke istana. Biar aku nanti yang menjelaskan
semuanya."
Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada
juga benarnya. Dalam hidup ini banyak sekali kejadian
yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti kata
pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demi-
kian pula halnya dengan Karta.
Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang
laut dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuh Karta
akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya
yang panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak dengan posisi
tertelungkup, di mana sebatas pinggang
sampai ke kaki masih terbenam dalam air.
Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu
tergeletak dalam keadaan seperti itu, tak seorang pun
tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia merasakan
nyeri di sekujur tubuhnya. Dadanya pun mulai turun
naik, walaupun belum teratur tetapi telah menunjuk-
kan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka
kelopak matanya dan baru beberapa saat kemudian
bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan pandan-
gan kabur. Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam se-
buah gua, entah di pantai sebelah mana ia sekarang
berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu te-
rasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang sa-
ja, ia sudah yakin bahwa selama ini belum pernah
menginjakkan kaki di sana. Ia pun bertanya-tanya,
siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa
jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja
terdampar sewaktu dirinya masih tak sadarkan diri.
Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia
menyadari bahwa tubuhnya terasa sudah lebih segar
dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena dis-
erang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bang-
kit dan yang pertama-tama dilakukannya adalah me-
raba-raba dinding batu cadas di tempat itu. Siapa tahu
ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada
sama sekali, sehingga makin kuatlah dugaannya bah-
wa terowongan itu adalah buatan alam. Mungkin ka-
rena arus air laut yang deras memukul-mukul sepan-
jang hari, tebing cadas itu akhirnya berlobang mem-
bentuk terowongan.
Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak
sembrono. Sewaktu melangkah menyusuri terowongan
itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya se-
lama berada di Kepulauan Aru adalah banyak sekali
jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak sebelum-
nya. Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan
banyak sekali tumpukan tulang belulang dan tengko-
rak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut be-
kas keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret
arus ke dalam terowongan itu. Sadarlah Karta bahwa
selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut
dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah ma-
kanya dirinya selamat.
2 Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tam-
pak sunyi senyap. Semua penduduknya sudah tertidur
pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga, mung-
kin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan
perkampungan penduduk tampaklah sebuah lembah
di kaki bukit-bukit.
Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar be-
sar dan rimbun. Jarang ada penduduk yang berani
mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada
yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga
dipercaya penduduk bahwa di situ ada makhluk halus
yang suka mengganggu. Itulah sebabnya sampai saat
itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana, wa-
laupun tanahnya sebetulnya sangat subur.
Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani,
malam harinya pun tentu tambah takut lagi. Di tempat
itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir Pendeta
Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk
menduga, roh jahat yang suka mengganggu itu adalah
arwah nenek tua itu sendiri.
Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang
sunyi senyap dan menyeramkan itu, tampak sesosok
tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu
roh halus yang dipercaya penduduk sangat suka
menggoda" Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang
laki-laki yang masih tergolong muda. Usianya paling
sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya
ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak
terlalu gemuk, namun tetap tegar penuh otot, pertanda
dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat.
Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hi-
tam tampak mencorong tajam di kegelapan malam, tak
ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali berkedip.
Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang ke-
ras hati dan memiliki sifat kejam. Rambutnya yang ke-
riting dan hitam diikat dengan selembar kain yang di-
beri beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak
berkilauan di timpa sinar rembulan yang redup.
Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah: Wan-
Da-I itu melangkah menghampiri dua kuburan dan se-
telah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat.
Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi
muram, seperti langit yang disapu mendung. Perlahan-
lahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang se-
lama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keang-
kuhan dan kelicikan.


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh kare-
na itu aku telah memindahkan kuburanmu ke lembah
ini." Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari menyeka air mata yang
menggenangi pelupuk matanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian di-
angkat tegak lurus kembali.
"Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada
harus dikubur dalam makam pengasingan oleh Pam-
pani si keparat itu."
Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepa-
sang matanya mendorong, merah bagaikan meman-
carkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan
diangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.
"Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati pena-saran!
Masih ada aku anakmu yang akan menuntut balas.
Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa
hidup seribu kali. Akan ku-hancurkan si Pampani ke-
parat itu bersama anak buahnya. Akan kuhancurkan.
Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang men-
jadi saksi!"
Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak me-
nyeramkan, sehingga bergema ke seluruh lembah itu.
Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu
akan mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga
akan menggigil ketakutan.
"Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!"
Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil
membawa topeng ikan hiu. Dengan gerakan yang san-
gat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia
sudah meloncat dan berada beberapa langkah di bela-
kang Wan-Da-I. "Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran.
Tuan tampaknya lupa memakai topeng ikan hiu ini un-
tuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah me-
rupakan sebagian dari rencana kita!"
"Oh, kau Womere!"
"Pakailah terus sampai mereka patah semangat
karena gentar. Makin sering melihat kau memakai to-
peng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau
Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!"
"Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan
aku!" Tanpa banyak bicara lagi, Wan-Da-I segera mengenakan topeng ikan hiu itu.
"Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal
Tuan yang setia itu telah siap menjalankan perintah
selanjutnya!"
Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti
langkah Womere meninggalkan lembah itu. Tampak-
nya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere. Hal itu
tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang
paling diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Si-
hir tersebut. Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang
sejak tadi telah mengintip segala apa yang terjadi di
lembah itu. Mata itu sempat terbelalak saking kaget
mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Wan-Da-
I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sen-
diri, ketika hendak pulang tadi merasa curiga menden-
gar suara langkah di sekitar lembah itu, lalu mengintip dari balik pepohonan.
"Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pan-
garu dan Naomi memang sudah benar-benar mam-
pus," bisik si Kaki Tunggal.
"Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hi-
dup?" "Mungkin hari itu nyawanya belum mau meninggalkan raga. Sst, Bungoru!
Mereka sudah dekat, kita
cepat! Siap?"
"Siap!"
Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat
persembunyiannya dan langsung menghadang Wan-
Da-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali
tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak
menghentikan langkah.
"Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok
kalian sudah terbuka dan karena kalian bermaksud
meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini
juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!"
bentak si Kaki Tunggal sambil mengayun-ayunkan
tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin
pukulan yang dahsyat.
"He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar
iblis yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini,"
sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan
keras, ia menerjang Womere.
Kedua tangan Bungoru menyambar men-
cengkeram ke arah leher Womere dan ternyata biarpun
bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga
lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha
menunduk, namun sudah terlambat karena kedua
tangan Bungoru telah mencekik lehernya.
"Ekh!" Womere berseru tertahan sambil berusaha melepaskan cekikan lawan. Namun
tangan yang mencekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta, jepitan
itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya terasa hendak putus.
"Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kole-
pom!" bentak Bungoru sambil mendorong tubuh lawan
hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu
kemudian menindih Womere sementara cekikan len-
gannya pun tidak di-lepaskan, sehingga membuat la-
wan tampak semakin tak berdaya.
"Aaaaaak!" Womere menjerit panjang dengan ma-
ta mendelik. Kepalanya pun terkulai dan tidak berge-
rak-gerak lagi.
Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi.
Setelah berhasil mengelakkan sambaran tongkat si
Kaki Tunggal, ia terdesak oleh serangan-serangan yang
sangat cepat dan kuat serta mengandung maut. Jurus-
jurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa,
biarpun kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut,
namun gerakannya sangat cepat, sehingga tubuhnya
tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di
tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi ba-
nyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penju-
ru. Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu
sudah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapi
memiliki kesaktian yang tinggi, se-hingga mereka sege-
ra mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata
dalam waktu singkat keduanya segera dapat mendesak
lawan. Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si
Kaki Tunggal menyambar dahsyat ke arah jantung
Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal,
sehingga si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat
mengelak lagi. Dan ujung tongkat itu pun menancap di
bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.
Darah segar tersembur disertai jeritan panjang
yang terdengar sampai ke segenap penjuru lembah itu.
Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak belum
puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh la-
wan dan ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh
lainnya sampai beberapa kali.
"Orang seperti kau tidak boleh diberi am-pun!"
bentaknya geram. Lalu setelah tubuh Wan-Da-I tam-
pak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata ke-
pada Bungoru "Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang
Sihir itu!"
Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak
perut Womere. Ia pun tampak sangat senang dan
bangga, karena dalam waktu yang demikian singkat-
nya dapat membunuh lawan.
"Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak
ada setan gentayangan lagi," katanya. Dan memang
kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah
segar masih mengucur deras dari leher yang telah bun-
tung itu. Luar biasa kuatnya tenaga laki-laki bertubuh
raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat
memisahkan kepada dari badan.
"Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nan-
ti," teriak si Kaki Tunggal yang diam-diam merasa agak ngeri juga menyaksikan
kesadisan sahabatnya itu.
"Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Seka-
rang apa yang harus kita lakukan?"
"Sebaiknya kau pulang ke istana membawa
bangkai-bangkai ini kepada Pampani dan umum-
kan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini menco-
ba mengacau. Aku sendiri masih tetap di sini untuk
mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul nanti!"
"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan memban-
tumu mencari sahabat kita itu. Bagai-manapun juga,
kita harus menemukannya, hidup atau mati!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang ter-
tawa dari atas puncak bukit cadas. Suaranya keras
sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu sedang
menyaksikan sesuatu yang sangat lucu. Akan tetapi si
Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap
di lembah menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk
mereka meremang mendengar suara ketawa itu berge-
ma ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari
itu terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara
itu mendatangkan hawa dingin dan menusuk-nusuk,
sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti berde-
tak. Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pan-dang,
seperti dua orang yang baru tersadar dari mimpi bu-
ruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bu-
kit cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar re-
mang-remang rembulan, tampak dua sosok tubuh se-
dang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I
dan Womere sendiri.
"Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi
bertarung dengan batu-batu cadas. Benar-benar lucu,
dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan
batu. Luar biasa!" suara dari puncak bukit cadas itu terdengar sangat mengejek,
sehingga membuat si Kaki
Tunggal dan Bungoru tersentak.
Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di
hadapan mereka. Tubuh Wan-Da-I maupun Womere
yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan
tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya
di situ tergeletak atau lebih tepatnya berserakan peca-
han-pecahan batu cadas.
Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan
pendekar yang gagah perkasa dan dikagumi banyak
orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di
Pulau Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi
kenyataan seperti itu, tidak urung mereka terkejut ju-
ga. Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-Da-
I serta Womere dan dengan mudah dapat melumpuh-
kan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa
terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan
bahkan sedang tertawa-tawa atau mentertawakan me-
reka dari puncak bukit cadas"
Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang se-
benarnya telah terjadi, karena sebagai penduduk pri-
bumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang diperguna-
kan lawan. "Celaka, ternyata mereka telah menggunakan il-
mu sihir yang sangat memuakkan itu. Ku-rang ajar!
Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari Pulau Kolepom."
"Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak ta-
kut!" bentak si Kaki Tunggal sambil bersiap-siap menerjang lawan yang kini masih
berada di puncak bukit
batu cadas. "Ha-ha-ha!" Womere tertawa lagi, "Kenapa kalian begitu kesal seperti kakek
kehilangan tongkat" Hai,
Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa men-
galahkan aku?"
"Bangsat! Hiyaaaaat!" Bungoru sadar bahwa la-
wan yang dihadapi kini sangat hebat dan licik. Tetapi
bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan
seperti itu sudah gentar. Sejak masa mudanya, ia su-
dah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bah-
kan sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka
ia pun segera berteriak nyaring seraya meloncat me-
nerjang lawan. Si Kaki Tunggal pun tidak mau. tinggal diam. Ia
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang san-
gat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan ter-
bang ke puncak bukit cadas. Tongkatnya diputar cepat
sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang
secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan seran-
gan mautnya. Ia sekarang sengaja menerjang Womere
si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.
Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki
Tunggal mengayunkan tongkatnya dengan gerakan ki-
lat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu berseru
kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga
pukulan lawan tidak mengenai sasaran. Akan tetapi
Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena
ujung tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah
ubun-ubunnya. Cepat luar biasa gerakan si Kaki
Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang
ilmunya biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh seran-
gan itu. "Akh...!" Womere mengeluarkan seruan kaget lalu meloncat mundur. Akan tetapi
ujung tongkat lawan
seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan
mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak.
Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya
Womere tidak dapat mundur lagi karena tubuhnya
tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia tak
menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia
mencelat ke udara dan ketika tubuhnya meluncur tu-
run kedua tangannya memantul ke arah kepala dan
ulu hati si Kaki Tunggal.


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan
kuat, tetapi si Kaki Tunggal tampak tenang saja, bah-
kan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak se-
gera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hen-
dak menyentuh tubuhnya ia berkelit ke samping. Lalu
dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar
dahsyat ke arah ulu hati Womere.
"Blesss! Augh!"
Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghun-
jam di bagian jantung Womere hingga tembus sampai
ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu men-
jerit kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah
dalam keadaan bermandikan darahnya sendiri.
"Mampus kau!" Si Kaki Tunggal memaki geram,
mencabut tongkatnya, lalu mengayunkan ke arah leher
Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar
muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.
Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perla-
wanan berarti ia sudah berhasil merobohkan Wan-Da-
I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat
besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehing-
ga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.
Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menya-
takan kegembiraan hatinya karena berhasil membu-
nuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari
bahwa pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja
seperti yang pertama tadi. Tubuh Womere dan Wan-
Da-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah
menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah
berserakan pecahan-pecahan batu cadas.
"Astaga! Ke mana mereka" Tidak ada be-kasnya
sama sekali!" kata si Kaki Tunggal se-tengah berteriak.
"Sial, kita terkena sihir lagi." gerutu Bungoru geram. Kembali terdengar suara
tertawa terbahak-bahak
bergema ke seluruh lembah dan puncak bukit cadas
itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling
dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I
telah berada di puncak bukit cadas yang satu lagi.
"Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang ter-
lalu sukar dikalahkan," kata Bungoru yang tampak
mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir la-
wan. "Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang batil di alas bumi ini pasti
dapat dimusnahkan. Mereka
toh adalah manusia biasa, seperti kita juga. Mereka ti-
dak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal,"
kata si Kaki Tunggal sambil mempersiapkan tongkat-
nya kembali. "Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki
Tunggal?" Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada
di hadapannya yang merupakan pemisah bukit cadas
tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan
Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi kelihatannya cukup dalam.
Sekali loncat saja, orang yang il-
munya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat melewati
jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.
"Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang
yang pendek ini, kemudian akan menyerang mereka
secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus
mautku untuk menghajar mereka sekali gebrakan!"
"Tunggu, saudara Kaki Tunggal!" kata Bungoru
sambil menarik tangan Baureksa, "Jangan kau laku-
kan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi. Jangan
kau lakukan!"
"Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatan-
ku sendiri. Akan kuhajar mereka sampai mampus.
Hiyaaat!" Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu tubuhnya
mencelat bagaikan ter-
bang ke bukit cadas tempat Womere dan Wan-Da-I
berdiri sambil tertawa mengejek.
Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan den-
gan gerakan kilat menyambar dahsyat ke arah Womere
dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan sa-
lah satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal. Keistimewaan jurus itu selain
cepat dan kuat, juga memiliki
perkembangan yang sangat tidak terduga-duga dan
dapat dilakukan secara beruntun, sehingga dalam
waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh
dua orang lawan sekaligus.
"Wuuuuut!" Tongkat itu terus menyambar ke
arah lawan. Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak
kaget karena tiba-tiba tubuh kedua lawannya sudah
lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin.
Dan lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan
kakinya di bukit cadas itu, ternyata juga sudah lenyap.
Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal terhempas
jatuh ke dalam jurang.
Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pe-
mandangan yang ada di hadapan mereka hanyalah
permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolah-
olah melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit
cadas, padahal sebenarnya bukit itu tidak ada.
"Aaaaaa!" Si Kaki Tunggal menjerit panjang ketika menyadari bahwa tubuhnya sudah
terhempas jatuh
ke jurang di bawah bukit cadas. Ia berusaha menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud
kalau terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Berun-
tung sekali dia, karena tubuhnya terhempas tepat ke
dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa
berlumpur. Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak
disangka dalam keadaan seperti itu dia masih dapat
selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain kulit
pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur
lumpur rawa-rawa. Bagi pendekar sakti seperti dia ra-
sa sakit seperti itu tentu tidak ada artinya. Ia segera berusaha melangkah ke
luar dari rawa-rawa itu, akan
tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari
semakin banyak bergerak tubuhnya semakin terseret
dan terbenam dalam pasir berlumpur.
Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak
dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Na-
mun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan tubuh-
nya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir ber-
lumpur sudah sampai ke batas lehernya.
"Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir
berlumpur itu akan semakin menelan tubuhmu bila
bergerak. Tenanglah!" teriak Bungoru sambil meluncur turun dari atas puncak
bukit. Ia bagaikan pemain ski
es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan
sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia
sudah berada di tepi rawa-rawa maut itu.
Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana
terdengar lagi suara tertawa bersorak-sorak mengejek.
Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir Womere dan
Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal
mengulurkan tongkatnya kepada Bungoru.
"Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tung-
gal. Perlahan-lahan, jangan sampai membuat gerakan
mengejutkan. Ulur lagi...." kata Bungoru.
"Ha-ha-ha! Sungguh lucu tingkah mereka, Wo-
mere. Aku geli melihatnya," kata Wan-Da-I
"Sudah pasti mereka tidak akan tertolong, Tua-
nku! Pasir apung itu sangat lembut untuk dipijak. Ba-
gaimana pun tingginya ilmunya, mereka tidak akan bi-
sa selamat dari cengkeraman rawa-rawa itu. Lihat,
akan kubikin lebih lucu lagi!"
Setelah berkata begitu, Womere segera merubuh-
kan bebatuan dari atas puncak tebing dan langsung
berhamburan menggelinding ke arah si Kaki Tunggal
dan Bungoru. "Pengawal setia Pampani itu harus ikut ter-cebur
ke dalamnya. Biar tahu rasa dia!" teriak tukang sihir itu dengan suara keras
mengatasi hiruk pikuknya puluhan bahkan mungkin ratusan bongkah batu yang
runtuh. Hujan batu itu meluncur sangat cepat dan kare-
na jumlahnya banyak sekali, Bungoru tidak sempat
mengelak. Tubuhnya terpelanting ketika punggungnya
dihantam sebongkah batu yang sebesar rusa dewasa.
Laki-laki bertubuh raksasa itu masih mencoba berta-
han sambil menghindar ke samping, namun pada saat
itu, bongkahan batu lainnya kembali menghantam da-
danya. "Aaaaakh!" Bungoru menjerit panjang. Dadanya
terasa nyeri dan tanpa ampun lagi, tubuhnya pun ter-
cebur ke dalam rawa-rawa. Batu-batuan yang menyu-
sul menimpanya membuat tubuhnya cepat terbenam
ke dalam pasir berlumpur, sedangkan si Kaki Tunggal
yang berada di tengah rawa luput dari hantaman hu-
jan batu itu. "Awas, Bungoru!" teriak si Kaki Tunggal tanpa sadar. Secara refleks ia hendak
meloncat, namun tubuhnya malah tambah terbenam. Untunglah ia segera
menyadari bahaya yang mengancam keselamatan ji-
wanya, sehingga tak berani lagi bergerak.
"Wah, hebat sekali permainanmu. Aku benar-
benar puas mempermainkan mereka seperti itu." kata Wan-Da-I sambil tertawa
terpingkal-pingkal.
"Tak percuma Tuanku mengundang aku jauh-
jauh dari Pulau Kolepom. Biarlah mereka merasakan
penderitaan yang sangat hebat sebelum tewas. Tapi
sayang sekali, kita tidak bisa menyaksikan pemandan-
gan yang sangat menarik ini. Waktu kita sangat men-
desak, Tuanku! Sekarang kita harus menemui Wori,
karena se-galanya sudah siap. Tak perlu ragu, kedua
tikus itu pasti akan mampus di sana!"
"Baiklah kalau begitu, Womere. Bagaimana pun
urusan inilah yang paling penting bagi kita."
Kedua makhluk sakti tapi sesat itu berkelebat
bagaikan angin, meloncati bukit-bukit dengan sangat
ringannya, sehingga dalam sekejap sudah menghilang
dalam kegelapan malam.
Melihat kepergian kedua lelaki iblis itu, hati si
Kaki Tunggal agak lega. Akan tetapi karena sadar
bahwa ia dan Bungoru tidak akan mungkin menyela-
matkan diri tanpa bantuan orang lain, maka hatinya
pun cemas juga. Bagaimanapun juga, rawa-rawa ter-
sebut memiliki tenaga sedot yang sifatnya sangat le-
mas, sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan. Hal
itu kembali menyadarkan si Kaki Tunggal bahwa tena-
ga lemas sebetulnya jauh lebih berbahaya daripada te-
naga yang sifatnya keras. Seandainya tubuh si Kaki
Tunggal tertanam di dalam tanah atau bahkan di da-
lam tembok, besar sekali kemungkinan ia akan dapat
menyelamatkan diri. Tetapi sekarang, berada di dalam
rawa yang punya daya sedot dahsyat yang sifatnya lu-
nak ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Mala-
han semakin banyak bergerak, tubuhnya terasa makin
tersedot. Seorang pendekar gagah perkasa seperti si Kaki
Tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang
di dunia persilatan dan tidak terhitung lagi entah be-
rapa kali menghadapi atau terancam maut, sebenarnya
tidak pernah takut mati. Tetapi kalau caranya sangat
konyol seperti itu, diam-diam hatinya bergidik juga.
Kalau mampus sewaktu bertarung tentu mempunyai
kebanggaan tersendiri, paling tidak akan dianggap to-
koh yang bukan pengecut.
Untunglah saat itu terdengar suara derap lang-
kah kaki disertai suara pembicaraan yang] cukup ra-
mai. Si Kaki Tunggal dan Bungoru sangat girang kare-
na rombongan yang baru muncul di tempat itu adalah
pasukan laskar yang dipimpin langsung oleh Pampani.
"Tolong keluarkan kami dari lumpur iblis ini!" teriak si Kaki Tunggal. Sikap
pendekar itu tampak
menggelikan, wajahnya kadang-kadang pucat tetapi
sebentar kemudian berubah merah lagi. Hal itu mem-
buat beberapa orang anggota laskar tersenyum terta-
han-tahan dan menduga si Kaki Tunggal sangat takut
berada di dalam rawa tersebut tetapi juga merasa malu
untuk berterus terang. Baru sekarang mereka melihat
pendekar yang sangat sakti dan gagah perkasa itu ke-
takutan! Pampani segera melemparkan seutas tali ke arah
Kaki Tunggal, lalu setelah ujungnya dipegang erat-erat
oleh pendekar itu, ia berkata:
"Pegang erat-erat, jangan sampai terlepas. Jan-
gan khawatir, kau pasti selamat!"
Dibantu beberapa orang anak buahnya, Pampani
berhasil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal dari rawa
berlumpur itu. Sedangkan yang lain ramai-ramai pula
mengeluarkan tubuh Bungoru yang seperti gajah itu.
"Untunglah kalian segera datang. Kalau tidak...."
kata si Kaki Tunggal tanpa meneruskan ucapannya.
Sejenak ia melirik rawa berlumpur pasir itu. Sean-
dainya ia dan Bungoru terbenam tadi, tentu tidak akan
ada bekasnya dan mereka akan mampus tanpa pernah
diketahui di mana berada.
"Aku sengaja membawa laskar kita untuk menca-
ri saudara Karta. Tetapi tadi kami mendengar suara
mencurigakan di sekitar tempat ini, sehingga dapat
membantu kalian. Aneh, ada apa sebenarnya sampai
kalian tercebur ke dalam rawa-rawa itu?"
"Wah, kami baru saja bertemu dengan...."
"Ah, tidak!" Si Kaki Tunggal cepat-cepat menyela ucapan Bungoru yang tampaknya
sangat bernafsu
menceritakan pengalaman mereka tadi. Akan tetapi si
Kaki Tunggal segera menyadari bahwa di situ cukup
banyak pasukan laskar, karena itu pertemuan mereka
dengan Wan-Da-I serta Womere tidak perlu dicerita-
kan. Nanti nyali laskar itu menjadi ciut dan jika itu


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar terjadi yang rugi adalah mereka sendiri
"Kami kebetulan saja tergelincir dari atas tebing
cadas. Tapi aku sungguh tak menyangka akibatnya
seperti ini. Luar biasa, aku merasa seperti orang lum-
puh saja."
"Syukurlah kalian tidak apa-apa. Lalu bagaimana
dengan saudara Karta" Sebaiknya kita mengadakan
pencaharian lagi. Laskar yang ada di sini sekarang
sengaja kupilih orang-orang yang pintar menyelam. Ki-
ta harus bisa menemukannya!"
"Baiklah, Pampani. Tapi bagaimana dengan Bun-
goru" Tampaknya ia masih tak sadarkan diri dan
menderita luka-luka."
"Tidak apa-apa, tak perlu dikhawatirkan. Seben-
tar lagi dia pasti siuman. Dialah satu-satunya manusia
katak yang betah menyelam berjam-jam lamanya."
"Kasihan dia!"
Pampani cuma menghela nafas panjang, lalu me-
nyuruh beberapa anak buahnya merawat Bungoru.
Dan kepada yang lainnya, ia berkata dengan suara
yang tidak terlalu keras namun penuh wibawa:
"Sekarang kita harus melakukan pencaharian la-
gi. Saudara Karta jatuh di sekitar tempat ini. Kalau tidak terjadi sesuatu yang
luar biasa, tubuhnya pasti
masih di sekitar perairan tepi pantai ini!"
Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, para
laskar itu pun segera terjun ke laut menyelam mencari
Karta. Sebagian di antaranya berjaga-jaga di tepi pan-
tai sambil memeriksa keadaan di sekelilingnya siapa
tahu dapat menemukan tanda-tanda untuk memper-
mudah mereka melakukan pencaharian.
3 Sementara itu, si Gila dari Muara Bondet masih
duduk termenung di dalam terowongan di pinggir laut.
Ia yakin dirinya sekarang sudah sangat jauh dari tem-
patnya tercebur ke laut. Entah bagaimana sebenarnya
ia bisa selamat dan lebih mengherankan lagi, tubuh-
nya terasa segar kembali. Padahal tadinya ia menderita
luka-luka yang sangat parah hingga beberapa kali
memuntahkan darah segar. Ia pun menduga air laut di
sekitar tempat itu mengandung zat-zat penyembuhan
yang mujarab. Sekarang yang menjadi beban pikirannya adalah
bagaimana ke luar dari tempat itu, dan ke arah mana
ia harus berenang agar lebih cepat bisa kembali ke is-
tana. Ia teringat tulang belulang dan tengkorak manu-
sia di dalam terowongan, berarti kemungkinan besar
terowongan itu tidak jauh dari kandang ikan-ikan hiu.
Maka tanpa pikir panjang lagi, ia segera terjun dan
menyelam cepat sekali di dalam laut.
Karena Karta sejak kecil memang sudah sangat
pintar berenang, dan sekarang tubuhnya terasa jauh
lebih segar, maka tubuhnya pun melesat cepat sekali
bagaikan ikan cucut. Hanya dalam waktu singkat, ia
sudah berhasil menyelam jauh dari terowongan tadi.
Tiba-tiba telinga Karta yang tajam bagaikan alat
pendengaran lintah itu menangkap gerakan-gerakan
mencurigakan di atas permukaan laut, seperti gerak
benda yang sedang meluncur. Entah benda apa ia
sendiri belum bisa menduga. Ketika tubuhnya melun-
cur makin ke atas, suara itu semakin jelas terdengar
olehnya. Karena ingin tahu benda apa yang mencurigakan
hatinya itu, maka Karta pun segera muncul secara per-
lahan-lahan ke permukaan air laut. Ternyata sebuah
perahu! Entah perahu siapa, namun yang pasti bukan
perahu penduduk pribumi. Bukankah perahu pendu-
duk Kepulauan Aru biasanya selalu memakai cadik"
Tidak seperti perahu yang dilihatnya, selain tak mem-
punyai cadik, bentuknya juga tampak lebih bagus dan
diperlengkapi peralatan yang sangat menarik.
Karta segera menyelam kembali karena tidak in-
gin kehadirannya diketahui penumpang perahu itu, te-
tapi diam-diam ia mengikutinya dari jarak yang cukup
dekat. Ternyata perahu itu telah merapat di tepi pan-
tai, di bawah tebing-tebing cadas terjal. Karta pun se-
gera timbul ke permukaan di balik bebatuan agak jauh
dari perahu itu.
Di kegelapan malam, secara samar-samar Karta
dapat melihat penumpang perahu itu. Ternyata hanya
dua orang laki-laki berkulit putih. Tentu saja Karta
terkejut bukan main. Apa gerangan maksud kedua
orang kulit putih itu"
Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, si Gila
mengamati kedua laki-laki itu. Salah seorang di anta-
ranya sudah tua, mungkin berusia sekitar enam puluh
tahun, dengan kepala kelimis di bagian depan, se-
dangkan rambut yang tumbuh di belakang kepala su-
dah memutih dan tumbuh jarang. Tubuhnya gemuk,
namun tampak masih sehat dan kuat, terbukti dengan
langkah kakinya yang masih cukup cepat dan mantap
walaupun di punggungnya tergantung ransel beruku-
ran cukup besar. Laki-laki itu mengenakan kaca mata
tetapi hanya di sebelah mata kanan diikatkan dengan
rantai halus. Kumis dan janggutnya yang panjang dan
agak kurang terurus tampak sudah memutih. Melihat
ciri-cirinya dapat diduga ia datang dari negeri Belanda.
Lelaki berkulit putih lainnya masih muda belia,
paling berusia tiga puluh tahun. Kulitnya putih bersih
dan bentuk wajah yang bulat lonjong sehingga tampak
sangat tampan. Rambutnya yang pendek disisir rapi
dan tubuhnya tegak dan tampak sangat kuat. Sepa-
sang matanya selalu berbinar-binar dan tak henti-
hentinya melirik ke kiri ke kanan, pertanda lelaki itu
memiliki kewaspadaan yang tinggi. Tetapi bisa juga ia
seorang lelaki yang sangat sulit percaya kepada orang
lain dan memiliki sifat sombong. Di pinggangnya ter-
gantung sebuah pistol dan di punggungnya, di atas
ransel ia menyandang sebuah senapan laras panjang.
Kedua lelaki berkulit putih itu sama-sama men-
genakan sepatu laras panjang pula, sehingga selalu
menimbulkan suara berdetak-detak jika menginjak ba-
tu-batu cadas. Laki-laki tua itu adalah seorang ahli biologi dan
ilmu alam bernama Profesor Van Leinen, sedangkan
yang muda bernama Simon. Ahli biologi dan ilmu alam
itu tampaknya hendak melakukan penyelidikan di se-
kitar Kepulauan Aru, sedangkan Simon yang gagah ta-
pi terlihat angkuh merupakan pengawal.
"Aku yakin kita mendarat di tempat yang benar,"
kata Profesor Van Leinen sambil membuka sebuah pe-
ta yang tadi dikeluarkan dari saku bajunya.
"Enam setengah derajat lintang Selatan, seratus
tiga puluh empat derajat bujur Timur. Cocok pada pe-
ta," kata Simon setelah memperhatikan peta itu beberapa saat,
"Bagus! Kita sudah separuh berhasil, Simon. Du-
nia Barat tentu akan gempar oleh hasil ekspedisi kita.
Luar biasa! Nama kita akan terkenal dan dihormati pa-
ra ahli biologi di seluruh dunia." Sejenak profesor tua itu menghentikan
ucapannya sambil melepaskan kegembiraan hatinya dengan tersenyum.
"Menurut kapten kapal sahabatku yang di-
perkuat pula oleh keterangan nelayan-nelayan pribumi
di pulau ini, buruan kita itu berkeliaran di sekitar bukit-bukit itu. Kita tidak
mungkin salah lagi."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.
Prof?" "Sekarang adalah waktunya bagi kita untuk isti-
rahat. Kita harus menyusun tenaga untuk memulai
pemburuan beberapa hari lagi. Suatu perburuan be-
sar." Kedua orang kulit putih itu melanjutkan perjala-
nan dengan mendaki lereng-lereng bukit cadas. Simon
mengatakan agar mereka secepatnya memilih tempat
yang cocok untuk berkemah. Kawan seperjalanannya
mengangguk setuju, tetapi tiba-tiba Simon menghenti-
kan langkahnya.
"Tunggu dulu. Prof! Naluriku menyatakan bahwa
ada yang mengikuti kita dari belakang."
"Ah, kau Simon! Itu hanya ilusimu saja. Karena
kau baru mendarat di sebuah pulau asing, maka sela-
lu mencurigai setiap gemerisik daun-daunan."
"Mungkin juga. Prof!" sahut Simon agak ketus,
"Tetapi kau harus mengingat bahwa aku dari pendidikan kepolisian. Firasatku
sudah sangat tajam sebagai
seorang penyelidik!"
Mendengar itu, diam-diam Karta merasa kagum
juga. Betapa tidak, sejak tadi ia sudah mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya, namun ternyata laki-laki
yang dipanggil Simon itu masih sempat mencurigainya.
Kalau tidak memiliki ilmu pendengaran yang sangat
tajam, sedikitnya lelaki muda itu pastilah mempunyai
naluri yang sangat tajam.
"Jangan bergerak!" Tiba-tiba Simon sudah meloncat berbalik dan langsung
menodongkan pistolnya ke
arah Karta. "Tetap di tempat dan jangan coba-coba
menipu kami!" Nada bicara lelaki itu benar-benar mengancam dan dari sinar
matanya yang mencorong tajam
dan buas dapat diterka bahwa ia akan betul-betul me-
nembak jika kata-katanya tidak dituruti. Karta tidak
berani main-main lagi dan sudah bersiap-siap meng-
hadapi segala kemungkinan.
"Lihat, Profesor! Firasatku terbukti, bukan" Pen-
duduk pribumi ini hendak membokong kita. Dia harus
kita singkirkan!"
"Simon, jangan!" Profesor Van Leinen berteriak
mencegah. Namun sudah terlambat, karena senjata api
genggam itu sudah menyalak dan jilatan-jilatan api
mendesing ke arah si Gila Dari Muara Bondet.
Karta terkejut bukan main melihat sambaran ki-
latan api yang mengarah ke tubuhnya. Selama petua-
langannya di dunia persilatan ia sudah sangat sering
menghadapi senjata rahasia lawan. Tetapi peluru sen-
jata Simon tampaknya jauh lebih cepat dan berbahaya
lagi. Maka sambil berseru nyaring, ia segera meloncat
ke samping. Ia dapat mengelakkan peluru yang dilepas
Simon, tetapi tak urung dadanya berdebar juga karena
tadi nyaris ia tewas karena senjata lawan.
"Stop! Jangan menembak, Simon!" Kembali Profesor tua itu berteriak mencegah.
Tetapi Simon tampak
tidak mau perduli lagi. Sebagai seorang yang pernah
mengikuti pendidikan kepolisian di negerinya dan su-
dah sangat mahir menembak, ia penasaran juga meli-
hat lawan bisa menghindar. Hampir tak dipercaya dia
bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mengelak se-
cepat itu. "Kali ini tidak akan meleset! Mampus kau, kepa-
rat!" Kembali terdengar suara tembakan menggelegar dan beberapa butir peluru
akan menyambar tubuh
Karta. Namun tak percuma Karta dijuluki si Gila Dari
Muara Bondet kalau tidak bisa mengatasi ancaman
seperti itu. Setelah berhasil menghindari terjangan pe-
luru lawan, ia meraup segenggam rumput dan dengan
mengerahkan segenap tenaga dalam, ia menyambitkan
rumput-rumput itu ke arah pistol Simon.
Daun-daun itu meluncur dengan kecepatan luar
biasa sehingga tidak tampak oleh Simon maupun Pro-
fesor tua. Mereka hanya sempat melihat seberkas kilat
di kegelapan malam dan tahu-tahu pistol di tangan
Simon sudah terpukul jatuh.
"Hah?" Simon berseru kaget. Ia mencoba melihat ke arah mana senjatanya melayang.
Namun tiba-tiba ia
melihat sesosok bayangan berkelebat dan sebelum
menyadari apa yang telah terjadi, di hadapannya telah
berdiri Karta sambil menodongkan pistol ke arahnya.
Sungguh luar biasa kecepatan gerak Karta, se-
hingga Simon dan Profesor Van Leinen tidak sempat
melihat bagaimana caranya pendekar itu memukul ja-
tuh senjata itu kemudian menyambarnya. Tadi mata
Karta yang tajam bagaikan mata kucing sempat mem-
perhatikan bagaimana cara Simon mempergunakan
senjata maut itu, dengan demikian biarpun merasa
agak janggal ia sudah bisa menggunakannya.
"Jangan coba-coba melawan atau melarikan diri.
Kalau aku mau sekali pukul saja kalian berdua pasti
akan tewas. Karena itu sekarang jawab pertanyaanku.
Apa maksud kalian datang ke mari, hah?"
"E... eh...!" Simon tergagap dengan wajah pucat dibasahi keringat dingin. Ia
sadar sekali peluru senjata itu menyembur, maka nyawanya akan melayang. Tak
mungkin ia bisa berbuat atau mengelak seperti halnya
Karta. "Kalau kalian tidak mau menjawab, kupecahkan batok kepala kalian dengan
senjata ini. Kalian boleh
percaya, boleh tidak. Tetapi jangan menyesal jika aku
terlanjut membunuh kalian di sini. Hm, kalian tam-
paknya memilih diam daripada berterus terang. Baik-
lah, akan kuhitung sampai tiga dan jika kalian belum
juga menjawab jangan harap masih hidup lebih lama
lagi. Satu... dua... ti...."
"Tunggu!" teriak Profesor Van Leinen dengan wajah pucat pasi, "Jangan tembak
kami! Baiklah, kami akan bicara terus terang. Kedatangan kami ke pulau
ini sebenarnya adalah untuk menyelidiki tentang
adanya manusia kera, yang menurut keterangan
hanya muncul di kala terang bulan. Kami sama sekali
tidak bermaksud jahat. Harap saudara yang baik hati
mau memaafkan kami."
"Jangan coba-coba menipuku!"
"Tidak! Aku Profesor Van Leinen dan ini saha-
batku Simon bermaksud menyelidiki manusia yang
sewaktu-waktu bisa berubah jadi kera, yang di negeri
kami Eropa juga terdapat. Tetapi para Sarjana Eropa
saat ini sedang berlomba-lomba menyelidiki kebenaran


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu setelah mendapat petunjuk dari buku-buku kuno."
"Baiklah, orang tua seperti engkau tentu tidak
akan mau berbohong. Aku percaya pada keterangan
kalian. Hanya saja, kalian hanya akan menemui keke-
cewaan, karena makhluk seperti itu hanya ada satu di
kepulauan ini dan itu pun sudah mati kira-kira sebu-
lan yang lalu. Aku sendiri ikut menyaksikannya."
"Ah, tidak mungkin! Makhluk seperti itu tidak
mudah mati. Ia bisa menderita luka tapi tidak akan
mati, kecuali jika jantungnya ditembak dengan sebutir
peluru dari emas murni."
"Baiklah kalau begitu. Karena kalian tidak ber-
maksud buruk, maka pistol ini kukembalikan dan kita
bisa bersahabat. Mari kubantu kalian mendirikan per-
kemahan." Karta jelas mempercayai lelaki yang me-ngaku
bernama Profesor Van Leinen itu, karena sinar mata
dan sikapnya kelihatan benar-benar tulus, bukan se-
perti si orang muda bernama Simon yang tampaknya
angkuh. Ia sebetulnya menyadari bahwa manusia kera
yang dimaksud orang kulit putih itu adalah Wan-Dai-I
sendiri. Dikatakan bisa berubah sewaktu-waktu men-
jadi kera sebenarnya tidak demikian hanya karena to-
koh sesat itu memang sering mengenakan topeng se-
hingga mirip kera raksasa.
Namun diam-diam, Karta merasa kagum juga
mendengar penuturan profesor tua itu, bahwa si ma-
nusia kera hanya bisa mati jika jantungnya ditembak
dengan peluru emas murni. Siapa tahu ketika Wan-
Kaki Tiga Menjangan 36 Panji Wulung Karya Opa Pusaka Negeri Tayli 8
^