Pencarian

Memanah Burung Rajawali 5

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 5


membantui saudara mereka itu tetapi mereka tidak dapat melihat.
Tiba-tiba Hian Hong menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara
terhajarnya terdengar nyata. Mendengar itu, Po Kie semua bergirang. Itulah
tandanya kakak mereka mulai berhasil.
Selagi orang kegirangan, mendadak kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.
Coan Kim Hoat terkejut, ia berseru: "Toako, awas!"
Hian Hong sangat lihay dan gesit, selagi Kim Hoat bersuara, tubuhnya sudah
mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan tongkat lawan, yang
kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat itu ia papaki denagn
pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke atas, guna menangkap tongkat
musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan kiri ini, tangan kanannya menjambak
ke depan. Sinar kilat sudah lenyap tetapi sambaran itu telah mengenai
sasarannya. Tin Ok kaget tidak kepalang, ia melompat mundur. Gerakannya itu terhalang,
karena bajunya kena terjambak dan robek karenanya. Karena ini, Hian Hong lanjuti
serangannya tanpa berlengah sedetikpun, dengan mengepal lima jari tangannya, ia
lanjuti serangannya, lengannya itu terulur panjang.
Telak serangan itu, tubuh Tin Ok terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya.
Tongkatnya yang terampas Hian Hong, oleh Hian Hong dipakai menyerang ia dalam
rupa timpukan! Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia tertawa sambil berlenggak, ia
berpekik secara aneh. Justru itu, kilat berkelebat pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget sekali. ia
melihat bagaimana tongkat kakaknya itu, yang digunai Hian Hong, tengah menyambar
ke kakaknya itu, yang tubuhnya terhuyung. Syukur dalam kagetnya itu, ia masih
ingat untuk segera menyerang denagn cambuknya, guna mencegah dan melibat tongkat
itu. "Sekarang hendak aku mengambil nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!" berseru
Hian Hong, yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolongi kakanya itu. Ia
lantas berlompat, guna hampirkan si cebol. Tapi kakiknya terserimpat, seperti
ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu bertubuh kecil.
Ia menduga tak keliru, orang itu ialah Kwee Ceng! Segera ia menunduk, untuk
sambar bocah itu. "Lepaskan aku!" menjerit Kwee Ceng.
"Hm!" Hian Hong ksaih dengar suaranya yang seram.
Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong perdengarkan jeritan yang hebat sekali, tubuhnya
terus roboh terjengkang. Ia terkena justru bagian tubuhnya yang terpenting,
ialah kelemahannya. Ia melatih diri dengan sempurnya, ia menjadi tidak mempan
barang tajam, kecuali pusarnya itu. Lebih celaka lagi, ia terkena pisaunya Khu
Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup mengutungi emas dan batu kemala. Diwaktu
bertempur ia selalu melindungi perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu
bocah, ia lupa. Ini dia yang dibilang "Orang yang pandai berenang mati kelelap,
di tanah rata kereta rubuh ringsak". Sebagai jago is terbinasa di tangannya satu
bocah yang tidak mengerti ilmu silat.
Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi dapat dengar jeritan suaminya itu, dari atas bukit
ia lari untuk menghampirkan. Satu kali ia kena injak tempat kosong, ia terjeblos
dan roboh terguling-guling. Tetapi ia bertubuh kuat, berurat tembaga bertulang
besi, ia tidak terluka. Segera ia tiba di samping suaminya.
"Lelaki bangsat, kau kenapa?" ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya
membawa-bawa "bangsat", sebagaimana juga kebiasaan suaminya.
"Celaka, perempuan bangsat...." sahut Hian Hong lemah. "Lekas kau lari...!"
Kwee Ceng dengar pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia
bersembunyi di pinggiran. Ia takut bukan main.
Sang istri kertak giginya. "Akan aku balaskan sakit hatimu!" ia berseru.
"Kitab itu telah aku bakar..." kata Hian Hong, suaranya terputus-putus.
"Rahasianya...di dadaku..." Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya lantas
meretak berulang-ulang. Tiauw Hong tahu, disaat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya itu telah
membuyarkan tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak dapat mengawasi
suaminya itu tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan hatinya lalu dengan
tiba-tiba, ia hajar batok kepala suaminya. Maka sejenak itu, habislah nyawa jago
itu. Istri ini lantas meraba ke dada orang, untuk mengambil kitab yang dikatakan
suaminya itu, ialah kitab Kiu Im Cin Keng bagian rahasianya.
Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong ini asalnya adalah saudara satu perguruan,
mereka adalah murid-muridnya Tocu Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To di
Tang Hay, Laut Timur. Oey Yok Su adalah pendiri dari suatu kaum persilatan sendiri, kepandaiannya itu
ia ciptakan dan yakinkan di pulau Tho Hoa To itu. Sejak ia berhasil
menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak pernah ia pergi meninggalkan pulaunya
itu. Karena ini, untuk di daratan Tionggoan, sedikit orang yang ketahui
kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan
di Kwantong dan Kwansee dan Toan Sie yang kesohor di Selatan (Thian Lam).
Dua saudara seperguruan itu terlibat api asmara sebelum mereka lulus. Mereka
insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka bakal dihukum mati dengan disiksa.
Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka naik sebuah perahu kecil, kabur ke
pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana mereka menyingkir lebih jauh ke
Lengpo di propinsi Ciatkang.
Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya cukup untuk membela diri tetapi tak dapat
digunai untuk menjagoi, sekalian buron, maka ia tak berbuat kepalang tanggung,
ia curi sekalian kitab Kiu Im Cin Keng dari gurunya, untuk mana ia nyelusup
masuk ke kamar gurunya itu.
Kapan Oey Yok Su ketahui perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan main. Tapi
ia telah bersumpah tidak akan meninggalkan Thoa Hoa To, terpaksa ia membiarkan
saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya menjadi korbannya. Semua
muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga mereka menjadi manusia-manusia
bercacad seumur hidupnya, lalu ia usir mereka dari pulaunya.
Hian Hong dan Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk menyakinkan Kiu Im Cin Keng
itu. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum pernah ada orang
yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah minta bnayak korban,
apapula makin lama mereka jadi makin telangas.
Pada waktu suami istri kejam ini dikeroyok orang-orang gagah dari pelbagai
partai persilatan di utara Sungai Besar. Medan pertempuran ada di atas gunung
Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan, baru ketiga kalinya, mereka kena
dilukakan, hingga mereka kabur untuk sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan
terlalu banyak pengepungnya. Mereka sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak
ada kabar ceritanya, hingga orang percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya.
Tidak tahunya, mereka terus menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian "Kiu Im Pek Kut
Jiauw" atau "Cengkeraman Tulang Putih" dan "Cui Sim Ciang" atau " Tangan Peremuk
Hati". Aneh tabiat Hian Hong, walaupun pada istrinya, ia tidak hendak beri lihat kitab
Kiu Im Cin Keng itu, biar bagaimana Tiauw Hong memohonnya, ia tidak ambil
peduli, adalah setelah ia sendiri berhasil mempelajarinya, baru ia turunkan
kepandaian itu kepadanya istrinya. Ketika istrinya desak, Hian Hong menjawab:
"Sebenarnya kitab ini terdiri dari dua bagian. Saking tergesa-gesa, aku dapat
curi cuma sebagian, sebagian bawah. Justru di bagian atas adalah pelajaran pokok
dasarnya. Adalah berbahaya menyakinkan bagian bawah tanpa bagian atas. dari itu,
biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, atau kalau kau termaha, kau bisa
celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita sudah dapati dari suhu masih belum cukup
untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti memilih dengan teliti."
Tiauw Hong percaya pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Adalah sekarangm,
disaat dia hendak menutup mata, Hian Hong suka serahkan kitabnya itu pada
istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah bakar, hanya singkatannya
atau rahasia pokoknya. Tiauw Hong lantas raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia heran hingga
ia diam menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka ia hendak memeriksa,
untuk mencari terlebih jauh. Sayang untuknya, ia tidak sempat mewujudkan niatnya
itu. Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, membarengi
berkelebatnya kilat, hingga mereka bisa melihat musuh, sudah lantas maju
menyerang. Repot juga Tiauw Hong, yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya
mengandal pada kejelian kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu ada orang
serang padanya, ai melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat, ilmu Menyambar
dan Menangkap. Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh berkelahi rapat.
Ketiga Manusia Aneh ini menjadi cemas, bukan saja mereka tidak dapat mendesak,
mereka sendiri saban-saban menghadapi ancaman. Di dalam hatinya, Po Kie berkata:
"Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita buta, kita tidak berhasil,
runtuhlah nama nama Kanglam Cit Koay..." Maka itu, ia berpikir keras. Setelah itu
mendadak ia menyerang hebat kepada bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di
belakang musuhnya itu. Terdesak juga Tiauw Hong diserang hebat dari belakang. Ketika ini digunai Siauw
Eng akan menikam dengan pedangnya dan Kim Hoat dengan dacinnya. Hebat
pengepungan ini. Sekonyong-konyong datang angin besar, membawa mega hitam dan tebal, membuat
langit menjadi gelap-gulita pula. Saking hebatnya, pasir dan batu pada
beterbangan. Kim Hoat bertiga terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa celaka
mereka dirabu pasir dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas terlalu lama.
Hujan pun turut berhenti perlahan-lahan. Malah dilain saat, dengan terbangnya
sang mega, si putri malam pun mulai mengintai pula dan muncul lagi.
Han Po Kie yang paling dulu lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.
Bwee Tiauw Hong lenyap, lenyap juga mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah
tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong, lam Hie Jin dan Thio A Seng, empat
saudaranya itu. Kwee Ceng mulai muncul dari belakang batu dimana ia tadi
bersembunyi. Semua orang basah kuyup pakaiannya.
Dibantu oleh Siauw Eng dan Po Kie, Coan Kim Hoat lantas tolongi saudara-
saudaranya yang terluka itu. Lam Hie Jin patah lengannya, syukur ia tidak
terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong telah lihay ilmu dalamnya, walaupun
mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka mereka tidak parah. Adalah
Thio A Seng, yang tercengkeram Kiu Im Pek-kut Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya
terancam. Ia membikin enam saudaranya sangat berduka, karena sangat eratnya
pergaulan mereka, lebih-lebih Han Siauw Eng, yang tahu kakak angkatnya yang
kelima ini ada menaruh cinta kepadanya, sedang ia pun ada menaruh hati. Ia
lantas peluki A Seng dengan ia menangis tersedu sedan.
Thio A Seng adalah Siauw Mie To, si Buddha Tertawa, walaupun lagi menghadapi
bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya, untuk mengusap-usap
rambut adik angkatnya itu. "Jangan menangis, jangan menangis, aku baik-baik
aja..." ia menghibur.
"Ngoko, akan aku menikah denganmu, untuk menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?"
kata nona Han itu tanpa malu-malu.
A Seng tertawa, tapi lukanya sangat mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit,
hampir ia tak sadarkan diri.
"Ngoko, legakan hatimu," kata pula si nona. "Aku telah jadi orangnya keluarga
Thio, seumurku, aku tidak nanti menikah dengan lain orang....kalau nanti aku mati,
aku akan selalu bersama kamu..."
A Seng masih dengar suara tu, ia tersenyum pula, hingga dua kali. "Citmoay,
biasanya aku perlakukan kau tidak manis..." katanya. Masih dapat ia mengatakan
demikian. Siauw Eng menangis. "Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, inilah aku
ketahui," katanya. Tin Ok terharu sekali, begitupun dengan yang lainnya. Merek aitu pada
melinangkan air mata. "Kau datang kemari, kau tentu hendak berguru pada kami?" Cu Cong tanya Kwee
Ceng, ynag telah hampirkan mereka.
Bocah itu menyahuti, "Ya!"
"Kalau begitu, selanjutnya kau mesti dengar perkataan kami," kata Cu Cong pula.
Kwee Ceng mengangguk. "Kami tujuh saudara adalah gurumu semua," kata Cu Cong. "Ini gurumu yang kelima
bakal pulang ke langit, mari kau hunjuk hormatmu padanya."
Meski masih kecil, Kwee Ceng sudah mengerti banyak, maka itu, ia jatuhkan diri
di depan tubuh A Seng, untuk bersujud sambil mengangguk berulangkali.
Thio A Seng tersenyum meringis. "Cukup..." katanya. Ia menahan sakit. "Anak yang
baik, sayang aku tidak dapat memberi pelajaran kepadmu.... Sebenarnya sia-sia saja
kau berguru padaku. Aku sangat bodoh, aku pun malas kecuali tenagaku yang
besar.... Coba dulu aku rajin belajar, tidak nanti aku antarkan jiwa disini....."
Tiba-tiba kedua matanya berbalik, ia menarik napas, tapi masih meneruskan kata-
katanya: "Bakatmu tidak bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jikalau kau
alpa dan malas, kau lihat contohnya gurumu ini...."
Masih A Seng hendak berkata pula, tenaganya sudah habis, maka Siauw Eng pasang
kupingnya, di mulutnya kakak angkatnya itu. Si nona masih dengar: "Ajarilah ini anak dengan
baik-baik, jaga supaya ia jangan kalah dengan itu...imam..."
"Jangan khawatir," Siauw Eng menjawab. "Legakan hatimu, kau pergilah dengan
tenang...Kita Kanglam Cit Koay, tidak nanti kita kalah...!"
A Seng tertawa, perlahan sekali, habis itu berhentilah ia bernapas.....
Enam saudara itu memangis menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan main.
Walaupun semuanya bertabiat aneh, mereka tetap manusia biasa, mereka juga saling
menyinta. Dengan masih menangis, mereka menggali liang, untuk mengubur jenazah
saudaranya itu ditempat itu. Sebagai nisan, mereka mendirikan satu batu besar.
Itu waktu, cuaca sudah menjadi terang, maka Coan Kim Hoat dan Han PO Kie lantas
turun gunung untuk cari mayatnya si MayatPerunggu serta Bwee Tiauw Hong, si
Mayat Besi. Mereka mencari denagn sia-sia. Habis hujan lebat, di tanah berpasir
mesti ada tapak kaki tetapi ini tidak. Entah kemana perginya Tiauw Hong beserta
mayat suaminya itu. "Di tempat begini, tidak nanti wanita itu kabur jauh," kata Cu Cng sekembalinya
kedua saudara itu. "Sekarang mari kita antar anak ini dan kita pun merawat diri,
kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba kau pergi mencari pula."
Pikiran ini disetujui, maka habis mengucurkan airmata di depan kuburan A Seng,
mereka pun turun dari gunung. Mereka jalan belum jauh tempo mereka dengar
menderunya binatang liar, yang terus terdengar berulang-ulang.
Po Kie keprak kudanya, maka itu kuda berlompat ke depan. Lari serintasan,
binatang itu berhenti dengan tiba-tiba, tak mau ia maju walaupun dipaksa
majikannya. Po Kie menjadi heran, ia memasang mata ke depan.
Di sana tertampak serombongan orang serta dua ekor macam tutul menoker-noker
pada tanah. Itulah sebabnya kenapa kuda si kate tidak berani maju terus. Tidak
ayal lagi, Po Kie lompat turun dari kudanya, dengan cekal Kim-kiong-pian, ia
maju ke arah mereka. Segera ia dapat tahu perbuatannya itu macan tutul.
Dua ekor macan tutul itu telah dapat mengorek satu mayat, malah jago Kanglam ini
kenali itu mayatnya Tan Hian Hong, yang terluka dari leher sampai di perutnya,
seluruhnya berlumuran darah, seperti ada dagingnya yang orang telah potong.
Heran Po Kie. Ia berpikir: "Dia mati di atas gunung, kenapa mayatnya ada di
sini" Siapakah orang-orang itu" Apakah maksudnya maka itu mayat diganggu?"
Itu waktu Coan Kim Hoat semua telah datang menyusul, maka mereka pun saksikan
myatnya Hian Hong itu. Mereka menjadi heran sekali. Diam-diam mereka bergedik
menyaksikan itu musuh tangguh. Coba tidak ada Kwee Ceng, setahu bagaimana
jadinya dengan mereka. Kedua macan tutul itu sudah mulai gerogoti mayatnya Hian Hong.
"Tarik macan itu!" kata satu anak kecil yang menunggang kuda, yang berada di
antara rombongan orang tadi. Ia menitahkan orangnya, yang menjadi tukang
pelihara macan tutul itu. Tempo ia lihat Kwee Ceng, dia membentak: "Hai, kau
sembunyi di sini! Kenapa kau tidak berani membantui Tuli bertarung" Makhluk
tidak punya guna!" Bocah itu ialah Tusaga, putranya Sangum.
"Eh, kamu mengepung pula Tuli?" tanya Kwee Ceng, yang agaknya kaget. "Di mana
dia?" Tusaga perlihatkan roman tembereng dan puas. "Aku tuntun macan tutulku
menyuruhnya geharesi dia!" sahutnya. "Kau lekas menyerah! Kalau tidak, kau pun
bakal digegaren macanku!" ia mengancam tetapi ia tak berani dekati musuhnya,
jerih ia menampak Kanglam Cit Koay. Kalau tidak, tentulah Kwee Ceng telah
dihajarnya. Kwee ceng terkejut, "Mana Tuli"!" ia tanya.
"Macan tutulku telah gegares Tuli!" sahut Tusaga berteriak. Ia lantas ajak
pemelihara macan tutul itu untuk berlalu.
"Tuan muda, dialah putranya Khan besar Temuchin!" berkata itu tukang rawat macan
tutul, maksudnya memberitahu.
Tusaga ayun cambuknya, menhajar kepalanya orang itu. "Takut apa!" teriaknya.
"Kenapa tadi ia serang aku! Lekas!"
Dengan terpaksa, tukang rawat macan tutul itu turut perintah. Satu tukang rawat
macan tutul yang lainnya ketakutan, ia berkata, "Akan aku laporkan kepada Khan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar!" Tusaga hendak mencegah tapi sudah kasep. Dengan mendongkol ia berkata: "Biarlah!
Mari kita hajar Tuli dulu! Hendak aku lihat, apa nanti paman Temuchin bisa
bikin!" Kwee ceng jeri kepada macan tutul tetapi ia ingat keselamatannya Tuli. "Suhu,
dia hendak suruh macan itu makan kakak angkatku, hendak aku menyuruh kakak
angkatku lari," ia kata kepada Siauw Eng.
"Jikalau kau pergi, kau sendiri bakalan digegares macan itu," kata itu guru.
"Tak takutkah kau?"
"Aku takut..." sahut murid ini.
"Jadi kau batal pergi?" tanya gurunya lagi.
Kwee Ceng bersangsi sebentar, ia menyahuti: "Aku mau pergi!" Benar-benar ia
lantas lari. Cu Cong rebah di bebokongnya unta karena lukanya, ia kagumi bocah itu. Ia
berkata kepada saudara-saudaranya: "Bocah ini bebal tetapi dialah orang
segolongan dengan kita!"
"Matamutajam, jieko," kata Siauw Eng. "Mari kita bantu dia!"
Coan Kim Hoat lantas memesan: "Bocah galak itu memelihara macan tutul, ia
mungkin putranya satu pangeran atau raja muda, kita harus berhati-hati. Kita tak
boleh terbitkan onar, ingat, tiga dari kita terluka..."
Po Kie manggut, ia lantas saja lari menyusul Kwee Ceng, setelah menyandak, ia
ulur tangannya, akan cekuk bocah itu, untuk terus dipanggul!
Tetap tubuh Kwee Ceng di atas pundak orang, ia seperti lagi menunggang kuda,
yang larinya sangat pesat, sebentar kemudian tibalah di satu tempat, dimana
tampak Tuli sedang dikurung oleh belasan orang. Dia orang ini turut perintahnya
Tusaga, dari ini putranya Temuchin Cuma dikurung, tidak lantas dikeroyok.
Sebenarnya Tuli rajin melatih diri menuruti ajarannya Cu Cong, ia pun sangat
berani, ketika besoknya pagi ia tidak dapat cari Kwee Ceng, tanpa minta bantuan
Ogotai, kakaknya, seorang diri ia pergi memenuhi janji kepada Tusaga untuk
bertempur. Tusaga datang dalam jumlah belasan, heran dia melihat Tuli sendirian. Tapi ia
tidak peduli suatu apa, pertempuran sudah lantas dimulai. Hebat Tuli itu, ia
gunai jurus ajarannya Cu Cong, ia bikin musuh-musuhnya rubuh satu demi satu. Ia
tentu tidak tahu, jurusnya itu adalah jurus pojok dari "Khong Khong Kun", ilmu
silat tangan kosong. Tusaga penasaran, sebab dua kali ia rubuh mencium tanah dan hidungnya kena
diberi bogem mentah dua kali juga, saking murkanya, ia lantas lari pulang untuk
menagmbil macan tutul ayahnya. Tuli yang sedang kegirangan tidak menyangka
musuhnya itu bakalan minta bantuan binatang liar.
"Tuli! Tuli! Lekas lari, lekas!" Kwee Ceng berteriak-teriak sebelum ia datang
mendekat. "Tusaga bawa-bawa macan tutul!"
Tuli kaget, hendak ia lari, tapi ia lagi dikurung. Sementara itu Han Po Kie
dapat candak Tusaga dan melombainya.
Kanglam Cit Koay dapat lantas mencegah Tusaga apabila mereka kehendaki itu,
tetapi mereka tidak mau menerbitkan onar, sekalian mereka ingin saksikan sepak
terjangnya Tuli dan Kwee Ceng.
Itu waktu ada beberapa kuda dilarikan keras ke arah mereka, salah satu
penunggangnya berteriak-teriak. "Jangan lepaskan macan tutul! Jangan lepaskan
macan tutul!" Segera terlihat ternyata mereka itu adalah Mukhali berempat, yang dengan
laporannya si tukang pelihara macan tutul, tanpa perkenanan dari Temuchin lagi,
mereka lantas datang menyusul.
Itu wkatu Temuchin bersama Wang Khan, Jamukha, dan Sangum tengah menemani dua
saudara Wanyen di tenda mereka, mereka terkejut mendengar laporan si tukang
pelihara macan, semua lantas lari keluar tenda untuk naiki kuda mereka. Wang
Khan mendahului perintah satu pengiringnya: "Lekas sampaikan titahku, cegah
cucuku main gila!" Pengiring itu segera kabur dengan kudanya.
Wanyen Yung Chi kecewa gagal menyaksikan orang diadu dengan binatang, ia masgul,
sekarang ia dengar berita ini, kegembiraannya terbangun secara tiba-tiba, "Mari
kita lihat!" katanya.
Wanyen Lieh pun gembira tetapi ia tidak perlihatkan itu pada wajahnya. Ia pikir:
"Jikalau anaknya Sangum membinasakan anaknya Temuchin, kedua mereka bakal jadi
bentrok, dan inilah untungnya negaraku, negara Kim yang besar!" Ia terus kisiki
pengiringnya, yang pun lantas berlalu dengan cepat.
Wang Khan semua iringi kedua saudara Wanyen itu. Mereka jalan baharu satu lie
lebih, di depan mereka tertampak beberapa serdadu Kim tengah berkelahi sama
pengiring Khan ini yang tadi diberikan titah. Sebabnya adalah serdadu-serdadu
Kim itu menghalang-halangi orang menjalankan tugas, sedang si petugas tidak
berani abaikan kewajibannya.
Dua saudara Wanyen itu lantas memerintah serdadu-serdadunya berhenti berkelahi.
Mereka ini bilang: "Kami tengah berdiam disini, orang ini tidak ada matanya, dia
terjang kami!" Pengiringnya Wang Khan itu mendongkol dan tidak mau mengerti. Ia pun tidak karu-
karuan dipegat dan dikeroyok. Ia kata dengan sengit: "Aku toh ada di sebelah
depan kamu dan kamu di belakang aku...!"
Dua saudara Wanyen itu tidak inginkan mereka adu mulut. "Berangkat!" mereka
menitah. Jamukha lihat itu semua, ia menduga peristiwa itu terjadi karena bisanya dua
Wanyen ini, karena ia jadi waspada.
Tidak lama tibalah mereka di depan rombongannya Tusaga beramai. Dua ekor macan
tutul sudah lepas dari ikatan pada lehernya, keempat kakinya tengah menoker-
noker dan mulutnya meraung-raung tidak hentinya. Di depan mereka berdiri dua
bocah ialah Tuli dan Kwee Ceng.
Temuchin dan keempat pahlawannya segera siapkan panah mereka, diarahkan kepada
dua binatang liar itu. Temuchin ketahui baik, binatang adalah binatang
kesayangan Sangum, yang ditangkap sedari masih kecil dan dipelihara dan dididik
dengan banyak sukar hingga jadi b esar dan dapat mengerti, dari itu asal
putranya tidakterancam tidak mau ia memanah macan itu.
Tusaga lihat datangnya banyak orang dan kakek beserta ayahnya juga berada
bersama, ia jadi semakin temberang, berulang-ulang ia anjuri macannya lekas
menyerang. Wang Khan murka melihat kelakuan cucunya itu, disaat ia hendak mencegah, lalu
terdengar suara kuda berlari-lari mendatangi di arah belakang mereka. Sebentar
saja kuda itu, seekor kuda merah, tiba diantara mereka. Penunggangnya seorang
wanita usia pertengahan yang memakai mantel kulit indah dan mengempo satu anak
perempuan yang elok romannya, adalah istrinya Temuchin atau ibunya Tuli. Ia
lantas lomat turun dari kudanya.
Nyonya Temuchin tengah pasang omong dengan istrinya Sangum di tenda mereka,
tempo ia dengar perkara putranya, ia khawatirkan keselamatan putranya itu, maka
ia lantas menyusul. Anak perempuan yang ia bawa-bawa itu adalah putrinya, Gochin
Baki. "Lepas panah!" Yulun Eke segera memerintah. Ia sangat khawatir melihat putranya
terancam macan tutul itu. Gochin sebaliknya segera hampirkan kakaknya. Ia baharu
berusia empat tahun, romannya cantik dan manis, ia belum tahu bahaya. ia tertawa
haha-hihi. Kemudian ia ulurkan tangannya, berniat mengusap-usap kepalanya seekor
macan tutul. Macan itu lagi bersiap-siap, melihat orang datang dekat, segera ia berlompat
menubruk. Semua orang kaget, sedang Temuchin tidak berani melepaskan anak panahnya,
khawatir kena putrinya. Keempat pahlawannya lempar panah mereka dan menghunus
golok untuk maju menyerang.
Dalam saat mengancam itu, Kwee Ceng berlompat, ia tubruk Gochin, yang ia peluk,
untuk menjatuhkan diri, meski demikian, kuku macan telah mampir dipundaknya.
Di antara empat pahlawan, Boroul yang bertubuh kate dan kecil adalah yang paling
gesit, ialah yang maju di muka sekali, tetapi justru ia maju, kupingnya
mendengar beberapa kali suara angin menyambar, menyusul mana kedua macan itu
rubuh berbareng, rubuh celentang lalu tidak berkutik lagi. Ia menjadi heran,
apapula ia dapatkan, kedua binatang itu berlubang masing-masing di kedua
pelipisnya, yang darimana darah mengucur keluar. Terang itu adalah kerjaan orang
yang lihay. Kapan ia berpaling ke arah darimana suara angin itu datang
menyambar, tampak enam orang Han, pria dan wanita, lagi mengawasi dengan
sikapnya yang tenang sekali. Ia lantas menduga kepada mereka itu.
Yulun Eke lantas saja peluki putrinya, yang ia ambil dari rangkulannya Kwee
ceng. Anak itu menangis karena kagetnya, maka ia dihiburi ibunya, yang pun terus
tarik Tuli, untuk dirangkul dengan tangannya yang lain.
Sangum sangat murka. "Siapa yang membunuh macanku"!" ia tanya dengan bengis.
Semua orang berdiam. Walaupun kejadian berlaku di depan mata mereka, tidak ada
seorang jua yang ketahui siapa si penyerang gelap itu. Boroul sendiri tutup
mulut. "Sudahlah saudara Sangum!" berkata Temuchin sambil tertawa. "Nanti aku gantikan
kau empat macan tutul yang paling jempolan ditambah sama delapan pasang burung
elang." Sangum masih mendongkol, ia membungkam.
Wang Khan gusar, ia mendamprat Tusaga. Cucu ini didamprat di depan orang banyak,
ia penasaran, keluarlah alemannya, ia terus menangis sambil bergulingan di
tanah, ia tidak pedulikan walaupun kakeknya menitahkan ia berhenti menangis.
Diam-diam Jamukha kisiki Temuchin apa yang tadi terjadi di tengah jalan antara
pengiringnya Wang Khan dan serdadu-serdadu Kim.
Panas hatinya Temuchin. Ia menginsyafi peranan kedua saudara Wanyen itu. Di
dalam hatinya, ia kata: "Kamu hendak bikin kita bercedera, kita justru hendak
berserikat untuk menghadapi kamu!" Maka ia hampiri Tusaga, untuk dikasih bangun
dengan dipeluk. Anak itu mencoba meronta tetapi tidak berhasil.
Sambil tertawa, Temuchin hampiri Wang Khan dan kata: "Ayah inilah permainan
anak-anak, tak usah ditarik panjang. Aku lihat anak ini berbakat baik, aku
berniat menjodohkan dia dengan anakku, bagaimana pikirmu?"
Wang Khan girang, ia lihat, meskipun masih kecil, Gochin sudah cantik, setelah
dewasa, mesti dia jadi elok sekali. Ia tertawa dan menyahuti: "Mustahil aku
tidak setuju" Marilah kita tambah erat persaudaraan kita. Cucuku yang perempuan
hendak aku jodohkan dengan Juji, putramu yang sulung, Kau akurkah?"
Dengan girang, Temuchin kata sama Sangum. "Saudara, sekarang kita menjadi
besan!" Sangum itu angkuh, ia sangat bangga untuk keturunannya, terhadap Temuchin ia
berdengki dan memandang enteng, tak senang ia berbesan dengannya, tak senang ia
berbesan, akan tetapi disitu ada putusannya ayahnya, terpaksa ia menyambut
dengan sambil tertawa. Wanyen Lieh menjadi sangat tidak puas. Gagallah tipu dayanya. Selagi ia
berpaling, ia lihat rombongannya Kwa Tin Ok, dan Cu Cong rebah di atas unta. Ia
terperanjat dan heran sekali. "Eh, kenapa ini beberapa Manusia Aneh berada
disini?" katanya dalam hatinya.
Tin Ok beramai tidak mau menarik perhatian orang, mereka berdiri jauh-jauh.
Mereka tidak lihat Wanyen Lieh, itulah kebetulan bagi pangeran ini yang lantas
ngeloyor pergi duluan. Temuchin lantas dapat tahu enam itu ialah yang tolongi putranya, ia suruh Boroul
memberi hadiah bulu dan emas, sedang Kwee Ceng, yang ia usap-usap kepalanya, ia
puji untuk keberaniannya.
Tuli tunggu sampai Wang Khan semuanya sudah berlalu, ia tutur kepada ayahnya
sebabnya ia berkelahi sama Tusaga, ia pun bicara hal Kanglam Cit Koay ( yang
sekarang menjadi Kanglam Liok Koay sebab jumlah mereka telah berkurang satu).
Temuchin berpikir sebentar, terus ia kata pada Coan Kim Hoat, "Baik kamu berdiam
di sini mengajari ilmu silat kepada putraku. Berapa kamu menghendaki gaji kamu?"
Coan Kim Hoat senang dengan tawaran itu. Mereka memang lagi pikirkan tenpat
untuk bisa mendidik Kwee Ceng. Ia lantas menyahuti: "Khan yang besar sudi terima
kami, itu pun sudah bagus, mana kami berani minta gaji besar" Terserah kepada
Khan sendiri berapa sudi membayarnya."
Temuchin girang, ia suruh Boroul layani enam orang itu, untuk diberi tempat,
habis itu ia larikan kudanya, untuk susul kedua saudara Wanyen, guna mengadakan
perjamuan perpisahan untuk mereka itu.
Kanglam Liok Koay jalan perlahan-lahan, untuk merundingkan urusan mereka.
"Mayatnya Tan Hian Hong dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan
atau lawan..." kata Han Po Kie.
"Itulah aneh, aku tak dapat menerkanya," bilan Tin Ok. "Yang paling perlu ialah
mencari tahu dimana beradanya Tiat Sie."
"Memang selama ia belum disingkirkan, kita selalu terancam bahaya," menyatakan
Cu Cong. "Sakit hatinya ngoko memang mesti dibalas!" kata Siauw Eng.
Karena ini kemudian Po Kie bersama Siauw Eng dan Kim Hota lantas pergi mencari.
Mereka mencari bukan hanya disekitar tempat itu, malah diteruskan hingga
beberapa hari, mereka tidak peroleh hasil.
"Wanita itu rusak matanya terkena tok-leng toako, mestinya racunnya senjata itu
bekerja, maka mungkin ia mampus di dalam selat!" kata Po Kie kemudian
sepulangnya mereka. Dugaan ini masuk di akal. tapi Tin Ok tetap berkhawatir. ia baharu merasa
hatinya tentram kalau sudah dengan tangannya sendiri ia bisa raba mayatnya Tiat
Sie si Mayat Besi itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee Tiauw ong. Tentang
perasaannya ini ia tidak utarakan, ia khawatir saudara-saudaranya bersusah hati.
Sejak itu Kanglam Liok Koay menetap di gurun pasir, akan ajari ilmu silat kepada
Kwee Ceng dan Tuli yang juga diajari ilmu perang. Dan Jebe bersama boroul turut
memberi petunujk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng dipanggil belajar sendirian
untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia dan entengi tubuh. Sebab diwaktu
siang mereka diajari menunggang kuda, main panah dan ilmu tombak.
Kwee Ceng bebal, di sebelah itu ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti
membalas sakit hati ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia belajar
dengan rajin sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut, pisau tumpul kalau digosok
terus bisa menjadi tajam.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng mengajarakan ilmu kegesitan,
kemajuannya sedikit, tapi ajarannya Han Po Kie dan Lam Hie Jin tentang pokok
dasar silat, ia mengerti dengan cepat, malah ia segera dapatkan maknanya itu.
Sang tempo berjalan dengan pesat, sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang Kwee Ceng
telah menjadi satu anak tanggung berumur enam belas tahun. Lagi dua tahun akan
tiba saatnya janji pibu itu, adu kepandaian. Maka Kanglam Liok Koay perhebat
pengajarannya, hingga untuk sementara muridnya dilarang belajar naik kuda dan
memanah, dan siang dan malam terus ia belajar silat tangan kosong dan pedang.
Bab 11. Memanah Burung Rajawali
Angin mulai reda, salju yang turun secara besar-besaran baru berhenti, walaupun
demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih dingin. Dalam iklim
demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay membawa barang-barang
sembahyangan ke kuburannya thio A Seng, untuk sembahyangi saudara yang sudah
beristirahat untuk selamanya di alam baka itu. Kwee Ceng juga diajak bersama.
Tempat kediaman bangsa Mongol tidak berketentuan, maka itu untuk pergi ke
kuburan, rombongan ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian, baru mereka
tiba. Mereka itu atur barang sembahyangan, mereka pasang hio, lalu pai-kui.
Malah Siauw Eng berkata dalam hatinya: "Ngo-ko, belasan tahu kami didik anak
ini, sayang di bebal, dia tidak dapat teriam semua pengajaran kita, maka itu aku
mohon bantuan kau, untuk lindungi padanya, biarlah tahun lusa, dalam
pertandingan di Kee-hin, dia tidak sampai memalukan nam akita Kanglam Cit Koay!"
Sepuluh tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambu dan kumis jenggot
mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik
dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetpa menarik hati.
Di situ ada tulang-tulang yang berserakan, Cu Cong jadi seperti melamun. Ia
ingat pada Bwee Tiauw Hong, yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak ketemu,
mayatnya juga tidak kedapat. Kalau tidak mati, si Mayat Besi mestinya tak bisa
bersembunyi terus-menerus. Kemana perginya wanita seperti siluman itu"
Dalam sepuluh tahun itu, kepandaiannya Liok Koay juga turut bertambah. Umpamnya
Tin Ok, ia utamakan "Hok Mo Thung-hoat", ilmu tongkatnya, "Tongkat Menakluk
Iblis". Ia bersiap sedia menyambut Tiauw Hong.
Lam Hie Jin paling menyanyangi Kwee Ceng, si bebal tapi rajin. Ia ingat, dulu ia
pun ulet seprti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee Ceng, yang mebuat
ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng berbangkit, apa mau ia kena injak sebuah
batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat sekali, ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak
jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim Hoat, yang pun melihatnya.
"Mari!" katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri melindungi diri, dengan
tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.
Kwee Ceng terkejut tapi ia dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya
itu, lekas ia kasih turun pula!
Menampak itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.
"Coba kau kasih lihat kebiasaanmu, kau layani sie-suhu berlatih," Saiuw Eng
menganjurkan. "Kau kaih ngo-suhu lihat padamu!"
"Sie-suhu" yaitu guru keempat dan "ngo-suhu" guru ke lima.
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti, sedang serangannya Hie Jin pun dibatalkan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan kiri ke pinggang. kali
ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi Hie Jin lebih cepat pula,
dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat ini sudah menyusul dan tangan
kanannya kembali menjambak pundak. dengan mendak, Kwee Ceng luputkan dirinya.
"Balas menyerang, anak tolo!" Po Kie berseru. "Kenapa manda diserang selalu?"
Anjuran ini diturut, setelah itu, Kwee Ceng membalas. Ia gunai ajaran Lo Han
Kun, ilmu silat "Tangan Arhat" dari guru she Han itu, yaitu bagian Kay San
Ciang-hoat. Membuka Gunung. Ia pun dapat menempur dengan seru.
Selang beberapa jurus, dengan satu tolakan, Kwee Ceng dibikin terpental dan
jatuh, tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma mukanya yang merah.
Hie Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.
Selagi guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa, ynag
datangnya dari pepohonan lebat disamping mereka. Cu Cong dan Kim Hoat
terperanjat. "Siapa"!" mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah jalanan orang
buat lari turun. Orang yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya bersembunyi,
hingga tampak nyata ialah satu nona elok dengan muka putih potongan telur dan
kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum.
"Engko Ceng, apakah kau kena dihajar suhu?" ia tanya.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Siapa suruh kau datang ke mari?" ia menegur.
Nona itu tertawa. "Aku senang melihat kau dihajar!" sahutnya.
Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos dan jenaka. ia pun bukan lain daripada
Gochin Baki, putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda she Kwee ini,
usianya tak berjauhan serta biasa mereka bergaul, main bersama-sama. Ia sangat
disayangi ayah ibunya, ia rada manja, sedang Kwee Ceng jujur dan rada tolol.
Sering Kwee Ceng digoda, sampai mereka bentrok, tapi tak lama mereka akur pula,
selamanya si nona mengaku yang salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup
rukun seperti saudara saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng
telah menolongi putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering
diantarkan pakaian dan binatang ternak, pergaualan kedua anak muda itu juga
tidak dilarang. Hari itu Gochin tahu Kwee Ceng hendak pergi pai-bong (sembahyang kuburan), ia
pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di antara pepohonan lebat, hingga
ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng rubuh, baru ia muncul untuk
menggodai anak muda itu. Kwee Ceng malu, kurang senang dan berbareng girang.
"Apakah kau tidak senang aku datang?" tanya si nona dengan tertawa. "Baiklah,
nanti aku pulang...!" Ia bicara dengan merdeka, meskipun disana ada enam orang
lainnya. "Oh, tidak, tidak!" kata Kwee Ceng lekas. "Kita pulang bersama sebentar."
Gochin tertawa, tak jadi ia pergi.
Senang Cu Cong semua menyaksikan eratnya hubungan anak-anak ini, mereka
tersenyum. "Mana orang yang ikut padamu?" kemudian tiba-tiba Tin Ok tanya si putri.
Gochin melengak. "Siapa?" ia tanya. "Aku datang sendirian."
"Bukannkah kakakmu pun datang, dia dibelakangmu, untuk bergurau?"
"Kakak tidak datang! Benar aku datang sendirian."
"Liok-tee, coba lihat!" Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan
lebat di belakang kuburan.
Coan Kim Hoat pergi memeriksa. "Disini tidak ada orang," katanya.
"Terang sekali aku dengar suaranya dua orang!" Tin Ok berkukuh. Tadi dengar
tertawanya Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka orang itu adalah
kawannya si nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar tidak ada orang disitu, ia
menjadi heran. Ia lantas berpikir.
"He, tengkorak hilang satu!" tiba-tiba Kim Hoat berseru.
Dengan berlari-lari, semua orang hampirkan saudara she Coan itu. Memang telah
lenyap sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru saja orang curi
itu. Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat menjelaskan semuanya kepada
Tin Ok. "Cegat di empat penjuru!" seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri mendahului
lari turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari, ia apsang
kupingnya. "Disana ada tindakan kaki kuda, lekas susul!" toako ini menitah, tongkatnya
menuju ke selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada mengejar ke arah
selatan itu. "Apakah aku yang salah?" tanya Gochin pada si anak muda, perlahan bicaranya.
"Ini bukan urusanmu,"sahut Kwee Ceng. "Rupanya telah datang musuh yang lihay".
Si nona ulur lidahnya. Tidak lama dari itu muncul beberapa puluh penunggnag kuda, semuanya orang
Mongolia, yang dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu eskadron. Melihat
tuan putrinya, dia itu lompat turun dari kudanya, untuk memberi hormat.
"Tuan putri, Kha Khan titahkan aku menyambut," katanya.
"Untuk apakah?" tanya si putri, keningnya mengerut.
"Ada datang utusannya Wang Khan." sahut perwira itu.
Tidak senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. "Aku tak mau
pulang!" katanya sengit.
Pekhu-thio itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya: "Kalau
tuan putri tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini..."
Gochin dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul dengan
Kwee Ceng, meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan berpisah sama
ini anak muda. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama Tusaga, yang sombong dan
galak itu. Maka tak mau ia pulang.
Siauw Eng tidak turut saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia kata pada
Kwee Ceng: "Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang." Tanpa tunggu
jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul saudara-saudaranya.
Gochin masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentangi
ayahnya. Wang Khan itu mengantar panjar, Temuchin ingin putrinya temui si utusan.
Kwee Ceng tidak mengantar terus sampai di tenda Temuchin, ia terus balik ke
tendanya sendiri, di mana ia tinggal bersama ibunya. Ia berduka, maka ia duudk
diam saja. Ketika Lie Peng, ibunya, bertanya, ia tetap membungkam.
Itu waktu terdengar suara tetabuan, itulah tanda penyambutan pada utusan Wang
Khan. Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya ini. Ia lantas
menghibur: "Tuan putri benar baik sama kau, tetapi kita tetap orang Han, maka
itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang Khan..."
"Ibu, aku bukan pikiran itu," Kwee Ceng akhirnya mau juga buka mulutnya. "Hanya
Tusaga itu kasar dan kejam, denagn menikah sama dia, tuan putri bakal
bersengsara..." Lie Peng tahu baik hati anakanya itu, ia menghela napas. "Habis apa daya kita
sekarang?" katanya. Kwee Ceng berdiam terus sampai habis bersantap malam, setelah mana ia pergi ke
tenda gurunya, yang semuanya sudah pulang. Mereka itu sia-sia belaka menyusul
penunggang kuda atau pencuri tengkorak itu. Kim Hoat lantas ajari muridnya
jurus-jurus dari Tiang Kun, habis berlatih, muridnya pulang, untuk naik
pembaringan tanpa salin pakaian lagi.
Lapat-lapat Kwee Ceng dengar tetabuan, ia tidur terus sampai pulas. Adalah kira-
kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia dengar tanda tiga kali
tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke tendanya akan menyingkap dengan
hati-hati. Untuk kagetnya, di antara sinar rembulan, ia tampak satu tengkorak
tepat di jalanan di muka kemahnya. Ia pun dapat lihat tegas lima liang pada
tengkorak itu. "Musuh datang cari musuh..." pikirnya. "Suhu tidak ada di sini, seorang diri mana
aku sanggup melawan" Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam tenda untuk
melukai ibuku?" Ia ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. lalu ia sinngkap
tenda dengan tiba-tiba, untuk lompat keluar, untuk segera dupak tengkorak itu
hingga mental jauh beberapa tembok. Untuk lindungi diri, ia putar goloknya.
Setelah itu, dengan sipa sedia, ia memandang ke sekitarnya. Di sebelah kiri di
bawah pohon ia tampak seorang berdiri diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma
kata: "Kalau kau berani, mari turut aku"!". Dia bicara dalam bahasa Tionghoa,
bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.
"Siapa kau?" tanya Kwee Ceng. "Mau apa kau cari aku?"
"Kau toh Kwee Ceng"!" orang itu tegasi.
"Habis kau mau apa"!" tanya Kwee Ceng.
"Mana pisau belatimu yang tajam mempan besi" Mari kasih aku lihat!"
Tiba-tiba ia melompat mencelat, sampai di sisi anak si muda, kakinya menendang
jatuh golok orang, menyusul mana sebelah tangannya menekan ke dada orang.
Sebat gerakan orang itu, sampai Kwee Ceng tidak bisa lindungi goloknya. Tapi ia
sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu, tangan kirinya
menyerang sikut. Inilah jurus "Orang-orang patah bahunya" salah satu dari jurus
ilmu silat, "Membagi urat memisah Tulang". Kalau orang itu kena diserang, tanpa
ampun lagi, bahu kanannya mesti patah, terlepas sambungan sikutnya.
Ilmu silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan ini
karena ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im Pek-kut
Ciauw dari Bwee Tiauw Hong yang setiap waktu lambat atau cepat, bakal cari
padanya. Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab tadinya ia tidak pikirkan
untuk pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-
seng, si Mahasiswa Tangan Lihay, ia bisa asah otaknya menciptakan ilmu silat
itu. dan sekarang Kwee Ceng menggunai itu untuk melawan musuhnya.
Orang itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya Kwee
Ceng. Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah Kwee Ceng, yang
lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia lepaskan kedua tangannya
dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih merasa sakit terkena sambaran
anginnya serangan lawan itu.
Setelah itu Kwee Ceng lihat orang adalah satu imam muda yang mukanya bersih dan
tampan, yang usianya delapan atau sembilanbelas tahun. Ia pun dengar si imam
atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: "Tak kecewa pelajarannya, tidak sia-
sia pengajarannya Kanglam Liok Koay selama sepuluh tahun..."
"Kau siapa"!" tegur Kwee Ceng, yang masih berjaga-jaga. "Untuk apakah kau
mencari aku?" "Mari kita berlatih pula!" kata si imam, yang tidak gubris perkataan orang. Ia
pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.
Kwee Ceng menanti tidak bergeming, kapan tangan imam itu sudah hampir sampai
pada dadanya, ia mengegos ke kiri, tangan kirinya menyambar lengan si imam dan
tangan kanannya menyambar ke batang leher. Kalau ia berhasil, akan copotlah
batang leher si imam itu. Jurus ini oleh Cu Cong dengan lucu dinamakan "Sembari
tertawa dan berbicara melepaskan rahang".
Imam itu kenali serangan berbahaya itu, ia bebaskan diri pula.
Setelah belasan jurus, melihat keringan tubuh orang, yang dapat bergerak-gerak
dengan pesat sekali, Kwee Ceng segera mengerti bahwa imam ini ada terlebih
pandai daripadanya. Keinsyafan ini, ditambah sama kekhawatirannya akan munculnya
Bwee Tiauw Hong, membuat hatinya gentar, maka juga, tempo kakinya lawan
melayang, kempolan kanannya kena didupak. Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan
tak hebat, ia cuma terhuyung, tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri
dengan rapat, hingga ia menjadi terdesak. Disaat kewalahan, tiba-tiba ia dengar
seruan dari belakangnya: "Serang bagian bawahannya!"
Dengan tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng. Ia kenali suaranya sam-suhu,
gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas menggeser ke kanan untuk terus
menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak keenam suhunya itu telah hadir semua.
Saking memusatkan perhatian pada lawan, ia sampai tidak ketahui munculnya keenam
gurunya itu. Segera, menuruti petunjuknya Po Kie, ia mulai menyerang di bawah.
Imam itu licah gerakannya, tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini terlihat tegas
oleh Kanglam Liok Koay, maka itu Po Kie sadarkan muridnya. Karena ini, lantas
saja si imam berbalik terdesak, hingga terpaksa ia main mundur.
Kwee Ceng merangsak maju, sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak tempo lagi,
kedua kakinya saling sambar dengan tipunya Lian-hoan Wan-yoh-twie - kaki Burung
Wanyoh Berantai. Ia sampai tidak menyangka bahwa musuhnya bakal menggunai akal.
"Awas!" teriak po Kie dan Siauw Eng yang terkejut.
Kwee Ceng kurang pengalaman, meskipun ia telah diperingatkan, sudah terlambat,
kaki kanannya kena dicekal lawan, terus disempar, maka itu tak ampun lagi,
tubuhnya melayang, dengan suara keras, tubuhnya itu jatuh celentang, hingga ia
merasakan sakit sekali. Saking gesitnya, ia dapat lantas berlompat bangun dengan
gerakannya "Ikan Tambra Meletik". Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya
sudah mulai kurung si imam muda.
Tosu itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak menunjukkan
tanda hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya dengan rangkap kedua
tangannya, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok Koay. Ia kata: "Teecu In Cie
Peng, atas titah guruku Tiang Cun Cu Khu Totiang, teecu datang untuk memujikan
suhu semua sehat-sehat!" Lantas ia berlutut untuk mengangguk-angguk.
Cu Cong berenam bersangsi, mereka tidak mengulurkan tangan untuk mengasih
bangun, maka itu si imam bangkit snediri untuk terus merogoh ke dalam sakunya
guna menarik keluar sesampul surat, yang mana dengan kedua tangannya, ia
angsurkan kepada enam manusia aneh itu - tegasnya kepada Cu Cong.
"Mari kita bicara di dalam," kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan kaki
mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa Monglia.
Tanpa sangsi, In Cie Peng turut masuk.
Coan Kim Hoat menyulut lilin.
Tenda itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong tinggal berlima, karena Siauw Eng
tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia. Melihat itu, Cie Peng mengerti orang
hidup bukan main sederhananya. ia menjura ketika ia mulai berkata: "Suhu berlima
banyak cape! Guruku sangat bersyukur, dia titahkan teecu datang kemari untuk
menghanturkan banyak-banyak terima kasih".
"Hm!" Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: "Kalau kau datang dengan
maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng" Bukankah kau sengaja datang untuk
pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya bertanding?"
Itu waktu Cu Cong telah membuka sampul dan membaca suratny. Khu Cie Kee
memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di
Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A Seng. Ia memberitahu
bahwa pada sembilan tahun yang lalu ia telah berhasil mencari turunan Yo Tiat
Sim. Mengetahui ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan Cin Kauw banyak pengikutnya, yang
tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu nyonya yang lenyap,
benar-benar sulit. Tidak diayana, Cie Kee begitu cepat menemui nyonya itu serta
anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng secara kebetulan.
Surat itu diakhir dengan pemberitahuan bahwa lagi dua tahun, mereka berdua pihak
bakal bertemu pula di Cui Sian lauw di Kee-hin, disaat bunga-bunga mekar.
"Memang ini tulisannya Khu Totiang," kata Cu Cong akhirnya.
"Anak turunan she Yo itu bernama Yo Kang?" Tin Ok bertanya.
"Benar," sahut Cie Peng.
"Dia toh adik seperguruanmu?" Tin Ok menegaskan.
"Dialah kakak seperguruanku," sahut pula tosu she In itu. "Walaupun usiaku lebih
tua, diwaktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului dua tahun."
Dingin hatinya Kanglam Cit Koay mendengar keterangan itu. Kwee Ceng kalah oleh
In Cie Peng, satu sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo Kang, sang suheng"
Pula heran, Khu Cie Kee ketahui jelas tentang mereka, hal mereka dapatkan Kwee
Ceng, hal kematiannya Thio A Seng, dan hal sekarang mereka berdiam di padang
gurun ini.... Sebaliknya, mereka sendiri tidak tahu suatu apa perihal imam itu!
Inilah tanda mereka sudah berada di bawah angin.
"Apakah barusan kau layani dia untuk mencoba-coba?" Tin Ok tanya pula, suaranya
dingin. "Teecu tidak berani," jawab Cie Peng, yang berkhawatir oleh sikap orang.
"Sekarang kau sampaikanlah kepada gurumu itu," bilang Tin Ok, "Walaupun Kanglam
Liok Koay tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak bakal digagalkan,
jadi dia tidak usah khawatir suatu apa pun. Bilang bahwa kami tidak usah
membalas dengan surat."
Cie Peng likat, hingga ia berdiam saja.
"Ach ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia!" Tin Ok tanya pula.
Cie Peng berdiam. Tak sangka ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu. Ia
diperintah gurunya pergi ke utara untuk menyampaikan surat, ia dipesan untuk
sekalian selidiki Kwee Ceng, tentang sifatnya dan ilmu silatnya. Khu Cie Kee
memperhatikan putra sahabatnya, ia bermaksud baik, tetapi muridnya ini
menyeleweng sedikit, walaupun ia tidak bermaksud jahat. Setibanya di Mongolia,
di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak segera menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia
mencuri lihat Kwee Ceng berlatih, malah ia menguntit juga orang pay-bong
terhadap Thio A Seng hingga ia saksikan semuanya, tetapi ia diperogoki oleh Tin
Ok dan kabur. Coba ia lari tanpa sebat tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak
nanti ia menerbitkan kecurigaan.
"Apakah kau ada punya hubungan sama Hek Hong Siang Sat?" tanya Tin Ok sebab
orang diam saja. "Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu diantaranya
terbinasa di bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baharu Cie Peng menjawab: "Teecu ambil tengkorak itu untuk dibuat main, tak ada
maksud lainnya. Tentang Hek Hong Siang Sat dan Kiu Im Pek-ku Jiauw, teecu tidak
tahu-menahu..." "Hm!" bersuara Tin Ok yang terus berdiam.
Cie Peng jadi jengah. "Teecu memohon diri," katanya kemudian.
Tin Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng memberi hormat lagi sekali.
Mendadak orang she Kwa ini berseru: "Kau pun jumpalitan!" dan tangan kirinya
menyambar ujung baju orang di betulan dada.
Saking kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk membebaskan diri. Inilah
hebatnya, coba dia diam saja, dia Cuma akan jungkir balik. Kali ini ia
membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay. Tin Ok angkat tubuh orang dan
membanting. maka jatuhlah ia dengan hebat, bebokongnya sakit, sampai sekian
lama, baharu ia bisa merayap bangun, untuk dengan terpincang-pincang ngeloyor
pergi..... "Imam cilik itu tak tahu adat, tepat toako ajaradat padanya," kata Po Kie.
Tin Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti
kedukaan toako ini, mereka turut masgul pula.
"Ya, apa boleh buat...." kata Hie Jin kemudian.
"Benar, sieko," Siauw Eng bilang. "Kita bertujuh saudara sudah puas berkelana,
banyak pengalaman kita, baik pun yang berbahaya, kita belum pernah mengkerat
atau mundur!" Tin Ok mengangguk. "Sekarang pergilah kau pulang dan tidur," katanya pada Kwee
Ceng. "Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia."
Cu Cong semua gegutan. Hebat senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini. Senjata
itu adalah senjata rahasia istimewa penjaga diri sejak si kakak tak dapat
melihat matahari, tak pernah dipakai kecuali disaat genting, pula tak pernah
diwariskan kepada lain orang, tapi sekarang hendak siturunkan kepada murid ini.
"Anak Ceng, lekas menghanturkan terima kasih kepada toa-suhu," Siauw Eng ajari
muridnya itu. Kwee Ceng mengucap terima kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baharu
ia mengundurkan diri. Tin Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng dapat wariskan
kepandaiannya itu dengan sempurna.
Semenjak itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak mereka
agar si murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan Khu Cie Kee
menampak kemajuannya In Cie Peng itu. Akan tetapi sulit bagi mereka untuk
mewujudkan kehendak itu. Sekalipun seorang yang berotak cemerlang ada sulit
untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek, apa pula Kwee Ceng yang bebal itu,
yang lambat kesadarannya, malah makin didesak, ia membuatnya semakin banyak
kesalahan. Itu pagi Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam dijurus keempat yang
bernama "Di cabang pohong menyerang lutung putih". Untuk itu perlu orang
berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini mencoba berlompat, selama tujuh atau
delapan kali, ia gagal senantiasa, percuma gurunya ajari ia mesti begini mesti
begitu. Siauw Eng menjadi sangat berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan
lemparkan pedangnya, ia tinggalkan muridnya.
Kwee Ceng terperanjat, ia menyusul, ia memanggil-manggil, tapi gurunya berjalan
terus. Ia menjadi masgul sekali, hingga ia berdiri menjublak. Ia tahu semua
gurunya ingin ia maju, maka itu, ia mejadi sangat menyesal. ia menjadi gelisah
menampak guru-gurunya mulai perlihat roman tidak puas. ia masih berdiam tatkala
dari belakang, ia dengar teriakannya putri Gochin: "Engko Ceng, mari lekas, mari
lekas!" Kapan ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor kuda,
mengasih lihat roma cemas bernareng gembira. "Ada apa?" ia tanya.
"Mari lekas lihat!" sahut putri Temuchin itu. "Banyak burung rajawali lagi
bertarung!" "Aku lagi berlatih," Kwee Ceng beritahu.
Putri itu tertawa. "Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali
dimarahin gurumu?" dia tanya.
Kwee Ceng jujur, ia mengangguk.
Putri itu masih tertawa. "Hebat pertarungan itu!" ia kata pula mendesak. "Mari
lekas lihat!". "Aku tidak mau," sahut Kwee Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng barusan, ia
berduka sekali, ia lenyap kegembiraannya.
Akhirnya si putri menjadi tidak sabaran. "Aku sendiri sampai tidak melihat,
karena aku datang untuk mengajak kau!" katanya. "Kalau tetap kau tidak hendak
pergi melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku lagi!"
"Pergi kau kembali dan melihatnya sendiri," Kwee Ceng bilang. "Bukankah sama
kalau sebentar kau menceritakannya kepadaku?"
Gochin lompat turun dari kudanya, ia kasih moyong mulutnya. "Sudahlah, kau tidak
mau pergi, aku juga tidak mau pergi..." bilangnya sambil cemberut. "Aku todak
tahu, rajawalai yang hitam yang menang atau yang putih..."
"Apakah itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?" Kwee Ceng tanya.
"Benar! Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor
si hitam yang mampus..."
Mendengar itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. "Mari!" katanya, dan ia tarik
tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas kudanya itu, guna kabur
ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali hitam tengah mengurung dan
menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka pada rontok berhamburan. Rajawali
putih lebih besar dan patuknya terlebih kuat, hebat setiap patukan dan
cengkeramannya. Demikian seekor musuhnya yang terlambat berkelit, kena
disambarnya, lalu bangkainya jatuh di depan Gochin.
Sebentar saja sudah bnayak penduduk yang datang melihat pertempuran rajawali
itu, malah Temuchin yang mendengar kabar itu juga turut muncul. Ia datang dengan
mengajak Ogotai dan Tuli.
Sering Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu, hampir setiap
hari mereka tampak sepasang burung rajawali putih itu, terhadap burung itu
mereka mendapat kesan yang baik, maka itu tidak heran kalau sekrang mereka
mengharapi kemenangannya si putih hingga mereka berteriak-teriak menganjuri si
putih itu. Kata mereka itu saling ganti: "Hayo putih, patuk padanya! Awas di
kiri, ada musuh, lekas berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!"
Lagi dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih juga
telah mendapat luka, bulunya yang putih ternodai dengan darahnya yang merah.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas
berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal
lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton
bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih
mengejar. Habis pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara
terdengar riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam terbang
kembali, ke jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil merapikan
bulunya. "Bagus!" berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.
Hebat si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi
akhirnya ia jatuh karena luka-lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh ekor
musuhnya itu masih menyerbu terus.
Kwee Ceng bertiga, Tuli dan Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin lantas
menangis. "Ayah, lekas panah!" ia teriaki ayahnya.
Temuchin sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: "Si rajawali hitam menang
perang, mereka itu menggunai siasat, maka ingatlah kamu!"
Dua putra itu mengangguk Habis membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang di atas
jurang, dai liang itu tertampak munculnya dua kepala anak rajawali putih yang
mencoba membuat perlawanan.
"Ayah, masih kau tidak mau memanah?" tanya Gochin sambil menangis.
Temuchin tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu anak
panahnya nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh terbinasa
dengan segera. Riuh tempik sorak memuji Khan yang besar itu.
"Coba kau memanah!" kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.
Putra itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.
Tuli pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua
sisa burung rajawali hitam itu terbang kabur.
Panglima-panglima Teuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung hitam itu
sudah terbang tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung itu dapat
menyampok anak panah. "Siapa yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!" Temuchin
berseru. Jebe si Jago Panah berdiri di samping Temuchin, ia berniat pertontonkan ilmu
panahnya Kwee Ceng, ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk menyerahkan
panahnya itu. "Kau berlutut! Kau panah lehernya burung itu!" ia menyuruh dengan
suara perlahan. Kwee Ceng sambuti panah itu, ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan kiri
memegang busur dan tangan kanan mencekal anak panah berikut talinya, ia lantas
menarik hingga busur itu, atau tangannya menjadi melengkung. Busur itu beratnya
dua ratus kati tapi ia dapat menariknya, karena setelah sepuluh tahun berguru
kepada Kanglam Liok Koay, tenaganya menjadi besar sekali.
Justru itu dua ekor burung rajawali hitam terbang beredeng, datangnya dari arah
kiri. Tidak tempo lagi, Kwee Ceng menarik tangan kanannya, menarik habis hingga
busur itu melengkung sepenuhnya, semabri menarik, ia mengincar.
"Ser!" demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia ia
mencoba berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah itu tembus,
terus menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi rubuh bersama di
sampingnya si tukang panah.
Menampak itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang dibilang,
sekali memanah dua ekor burung. Dan karena ini, sisa burung yang lainnya terbang
kabur, tidak lagi berputaran di atas jurang.
"Serahkan burung itu kepada ayahku!" Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.
Si anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada
Temuchin, di depan siapa ia etkuk sebuah lututnya, kedua tangannya diangkat
tinggi, untuk persembahkan burung itu.
Seumurnya Temuchin paling menyukai panglima yang gagah perkasa dan orang kosen,
sekarang ia saksikan Kwee Ceng serta sikapnya itu, ia menjadi girang sekali.
Harus diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali ada besar luar biasa, kalau
sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai setombak lebih, bulu
sayapnya pun kuat seumpama besi, kapan ia menyambar ke bawah, ia dapat cekuk
seekor kuda kecil atau kambing besar, malah adakalanya harimau atau macan tutul
pun mesti lari dari burung ini. Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua
ekor, itulah hebat! Temuchin suruh pengiringnya ambil burung itu. "Anak yang baik, kau hebat!" ia
kata pada si bocah. "Inilah guruku yang mengajari," sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan
Jebe, gurunya itu. Temuchin tertawa pula. "Gurunya Jebe, muridnya juga Jebe!" pujinya. Di dalam
bahasa Mongol, "Jebe" itu berarti "ahli panah yang lihay atau dewa panah"
Tuli hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, "Ayah tadi bilang,
siapa yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu, sekarang saudaraku
ini memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak menghadiahkan dia apakah?"
"Apa pun boleh!" sahut ayahnya itu, yang terus tanya Kwee Ceng, "Kau menghendaki
apa?" Tuli girang sekali. "Benarkah barang apa pun boleh?" ia tegaskan ayahnya.
"Apakah aku dapat mendustai anak-anak?" ayahnya itu tertawa.
Semua orang mengawasi Kwee Ceng, sebab heran mereka atas sikapnya Khan mereka
itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal minta.
"Khan yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah punyakan
segala apa, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa lagi," berkata Kwee
Ceng dengan jawabannya. Temuchin tertawa lebar. "Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau lebih dulu
ingat ibumu!" katanya. "Kau sendiri, apakah yang kau kehendaki" Kau sebutkan
saja, jangan takut!"
Kwee Ceng perdengarkan suara perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut di depan
kudanya khan yang besar itu. Ia berkata: "Aku sendiri tidak menghendaki apa-apa,
aku hendak mewakilkan seseorang mohon suatu hal..."
"Apakah itu?" tanya Temuchin.
"Tusaga, cucunya Wang Khan itu busuk dan jahat," ia berkata. "Kalau Putri Gochin
dinikahkan dengannya, dibelakang hari mestinya tuan putri menderita, maka itu
aku mohon denagn sangat supaya janganlah tuan putri dijodohkan dengan dia itu"
sambungnya kemudian. Melengak Temuchin mendengar permintaan itu, lalu akhirnya ia tertawa terbahak.
"Sungguh ucapan kanak-kanak!" katanya. "Mana dapat. Baiklah, hendak aku
menghadiahkan kau serupa mustika!" Ia loloskan golok pendek di pinggangnya, ia
sodorkan itu pada si bocah.
Semua panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik hati.
Golok pendek itu adalah goloknya khan mereka sendiri, golok mustika yang pernah
dipakai membinasakan bnayak musuh. Coba tidak khan itu telah melepas kata, tidak
nanti ia serahkan goloknya itu.
Kwee Ceng menhanturkan terima kasih, ia sambuti golok itu, yang sarungnya
terbuat dari emas dan gagang golok berukirkan emas berkepala harimau, ditabur
sepotong batu kumala hitam, dimana ada terukir pula kata-kata: "Golok pribadi
dari Khan Temuchin". Di sebelah itu masih ada ukiran dua baris kata-kata,
bunyinya: "Membunuh musuh dan memusnahkan musuh bagai menyembelih harimau dan
kambing". Temuchin berkata, "Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang membunuhnya, kau
anak kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh mereka!"
Belum lagi Kwee Ceng sahuti si khan itu, mendadak Gochin menangis, terus ia
lompat naik atas kudanya yang lantsa kasih kabur!
Temuchin keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya yang
paling ia sayangi itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah, maka juga ie
menghela napas. Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke kemahnya.
Semua panglima dan pangeran mengikuti dari jauh-jauh.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, ia hunus golok pendek itu dan
melihat sinarnya yang tajam, yangs seperti mendatangkan hawa dingin adem. Pada
golok itu berpeta tanda darah, yang menyatakan entah berapa banyak korban yang
telah dimakan. habis membuat main itu golok, ia masuki ke dalam sarungnya.
Kemudian ia cabut pedangnya sendiri, untuk melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih
tidak berhasil menyempurnakan jurus "Di cabang pohon menyerang lutung putih".
Kalau ia tidak melompat terlalu rendah ia tentu tak keburu menggerakkan
pedangnya. Ia menahan sabar, ai mencoba pula, ia malah makin gagal, hingga ia
bermandikan keringat. Tengah ia berlatih, ia dengar suara berkelengannya kuda,
lalu ia tampak Gochin lari mendatangi dengan kudanya.
Putri itu tiba untuk terus lompat turun dari kudanya, buat terus rebahkan diri
di atas rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang kepalanya. Ia tidak
ganggu Kwee Ceng, yang lagi berlatih, hanya ia menontoni. Hanya ketika ia
saksikan kawan itu sangat mengeluarkan tenaga, ia berkata: "Sudah, engko Ceng,
jangan berlatih terus, mari beristirahat!"
"Kau jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara," kata
Kwee Ceng. Gochin berdiam, lalu ia tertawa mengawasi kawannya itu. Ia menanti sekian lama,
lalu ia mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia gumpal masing-masing
sesudah mana, ia timpuki itu kepada si anak muda. "Kau sustlah peluhmu!"
katanya. Kwee Ceng bersuara perlahan, agaknya ia terkejut, tetapi ia antap sapu tangan
jatuh di sampingnya, ia sendiri terus berlatih.
Gochin terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar suara
berisik dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing, menyusul mana
segera terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari si rajawali putih besar
yang terbang datnag. Dialah burung tadi, yang mengejar kawanan burung hitam itu,
yang rupanya baharu kembali. Dia rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui
kebinasaan pasangannya. Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.
Kwee Ceng berhenti berlatih, ia mengawasi burung itu.
"Engko Ceng, lihat bagaimana harus dikasihani burung itu..." berkata Gochin.
"Pasti ia sangat berduka," sahut si engko Ceng itu.
Lagi sekali burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke
atas seprti memasuki mega.
"Mau apa ia terbang ke atas?" tanya tuan putri itu.
Belum berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula, sangat
cepat, tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu gunung yang
besar, maka di detik lain, ia sudah roboh dengan tidak bernyawa lagi!
Dua-dua Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka menjerit dan sama-sama
mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya kadi terdiam.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sungguh harus dihormati! Sungguh harus dihormati!" tiba-tiba mereka dengar satu
suara nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi heran, lekas-lekas
keduanya berpaling. Mereka melihat satu tosu atau imam, yang berkumis abu-abu
tetapi mukanya merah dadu, yang tangannya mencekal hudtim atau kebutan pertapa,
yang aneh dandannya, sebab ia telah mebuat tiga konde kecil di atas kepalanya,
beroman sebagai huruf "pin", sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya
sedikit juga, tidak biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan ia pun
berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Gochin tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula, memandang ke
atas tebing, dan segera ia berkata: "Bagaimana dengan kedua anak burung itu"
Bapak dan ibunya telah mati..."
Sarang di liang di atas tebing itu sukar dipanjat orang, kedua burung itu masih
kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari makan" Bukankah
mereka itu bakal mati kelaparan...."
Bab 12. Imam Berkonde Tiga
Kwee Ceng menjublak sekian lama, baru ia buka suara. "Kecuali orang bersayap dan
dapat terbang naik ke atas sana, baru anak-anak burung itu dapat di tolongi..."
katanya. Ia pegang pula pedangnya dan mulai lagi denagn latihannya. Ia masih
saja tidak berhasil melatih jurus keempat yang bau diajari gurunya itu.
Tiba-tiba terdengar suara dingin di belakangnya, "Dengan belajar secara
demikian, lagi seratus tahun juga tidak bakal berhasil!"
Kwee Ceng berhenti bersilat, ia menoleh. Ia awasi imam berkonde tiga itu. Ia
menjadi tidak senang. "Apa katamu?" ia tanya.
Si imam tersenyum, ia tidak menyahuti, hanya mendadak ia maju mendekati, lalu
Kwee Ceng merasai bahunya kaku, lalu dengan satu kelebatan, pedangnya telah
pindah tangan kepada si imam itu.
Pernah Kwee Ceng diajari gurunya yang kedua, Cu Cong, ilmu dengna tangan kosong
merampas senjata musuh, akan tetapi ia belum dapat menyakinkan itu dengan
sempurnya, belum ia menginsyafi gayanya, maka itu, kagum ia untuk lihaynya ini
imam, gerakan siapa ia sepertinya tidak melihatnya. Mana bisa ia membela diri
atau berkelit" Berbareng dengan itu, ia berkhawatir untuk Gochin. Maka segera ia
melompat ke depan tuan putri itu, ia hunus golok hadiahnya Temuchin, untuk
bersiap melindungi putri ini.
"Liaht biar tegas!" bersuara si imam itu, yang tidak pedulikan sikpa orang,
hanya ia mencelat ke atas, hingga tahu-tahu ia sudah jalankan jurus yang Kwee
Ceng tak sanggup pelajari itu, sedang turunnya si imam adalah sangat cepat
tetapi tenang. Bocah ini berdiri melengak, mulutnya terbuka lebar.
Si imam lempar pedangnya ke tanah, ia tertawa.
"Burung rajawali putih itu harus dihormati, turunannya pun tak boleh tak
ditolongi!" ia berkata, setelah mana, ia lompat untuk lari ke jurang, untuk
mendaki dengan cepat, gerakannya bagai lutung atau kera. Ia berlari dengan kaki,
menjambret dan merembet dengan tangan, sebentar kemudian, ia sudah mencapai
hingga di atas jurang, di dekat liang yang merupakan sarang burung rajawali
putih itu. Hati Kwee Ceng dan Gochin berdenyut keras tak hentinya. Mereka kagum, heran dan
berkhawatir untuk keselamatan si imam. Jurang itu tinggi, tebing dan semua
batunya licin. Hancur-luluhlah kalau orang jatuh dari atasnya. Di atas tebing
itu si imam tampak menjadi kecil tubuhnya.
"Bagaimana?" tanya Gochin yang memeramkan matanya.
"Hampir tiba!" sahut Kwee Ceng. "Bagus! Bagus..!"
Gochin kasih turun kedua tangannya, justru ia melihat si imam lompat ke liang,
tubuhnya seperti terpelanting jatuh, hingga ia menjerit kaget. Akan tetapi si
imam tiba dengan selamat, dan dengan ulur kedua tangannya, ia mulai menangkap
dua anak rajawali itu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam sakunya, karena mana,
dilain saat, ia sudah mulai turun pula. Dia Tiba di bawah dengan tak kalah
cepatnya sewaktu ia mendaki.
Kwee Ceng dan Gochin lari menghampirkan pertapa itu, yang merogoh keluar kedua
anak burung itu, untuk mengangsurkan, seraya ia tanya Gochin, "Bisakah kamu
merawat anak-anak burung ini?"
"Bisa, bisa, bisa!" sahut si putri dengan cepat seraya menyambuti.
"Hati-hati, jangan sampai tanganmu kena dipatuk!" memperingati si imam. "Burung
ini kecil akan tetapi patokannya sakit sekali."
Gochin loloskan benang ikatan rambutnya, dengan itu ia ikat kakinya kedua burung
itu. Ia girang bukan main. "Aku nanti ambilkan daging untuk memelihara padanya!"
"Eh, tunggu dulu!" kata si imam. "Kau mesti berjanji padaku satu hal, baru suka
aku serahkan burung ini padamu!"
"Apakah itu?" si putri tanya.
"Aku ingin kau tidak beritahu siapa juga yang aku telah mendaki jurang itu dan
mengambil anak burung ini," kata si imam.
"Baik," sahut si nona. "Hal itu sebenarnya sulit juga, tapi biarlah aku tidak
menyebutkannya." Si imam ini tertawa, ia berkata: "Kalau nanti sepasang anak burung ini menjadi
besar, mereka bakal menjadi sangat kuat dan galak, maka itu diwaktu mengasih
makannya kau mesti hati-hati."
"Aku tahu," sahut Gochin, yang girangnya bukan main. Ia kata klepada Kwee Ceng:
"Engko Ceng, burung ini kita punyakan seorang seekor, akan tetapi sekarang
akulah yang bawa dulu, untuk aku memeliharanya. Akur?"
Kwee Ceng mengangguk. Gochin lantas lompat naik ke atas kudanya dan kabur pergi.
Kwee Ceng bengong mengawasiu tuan putri itu, lalu di lain pihak ia kagumi si
imam ini yang demikian lihay, yang pun pandai mainkan jurusnya yang sulit itu.
Ia menjadi seperti kehilangan semangatnya.
Si imam konde tiga itu pungut pedangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya,
habis itu ia memutar tubuhnya sembari tertawa, untuk berlalu.
"To...totiang, jangan pergi dulu...!" Kwee Ceng berkata, agaknya ia baru sadar,
hingga susah ia membuka mulutnya.
"Kenapa?" si imam tanya. Ia tertawa pula.
Bocah ini menggaruk-garuk kepalanya, rupanya sulit ia berbicara. tapi Cuma
sejenak, lantas ia jatuhkan diri berlutut di depan si imam dan manggut-manggut,
entah sampai berapa puluh kali.
"Eh, untuk apa kau pay-kui terhadapku?" si imam tanya, tertawa.
Mendadak Kwee Ceng mengucurkan air mata. Ia lihat si imam demikian sabar dan
ramah, ia seperti menghadapi satu sanaknya yang terdekat.
"Totiang, aku ada sangat bebal..." ia kata kemudian. "Aku belajar rajin dan ulet
akan tetapi tetap aku tidak dapat belajar dengan sempurna hingga karenanya aku
membuat keenam guruku menjadi tidak senang..."
"Habis, apakah yang kau kehendaki?" tanya si imam, tetap tertawa.
"Siang dan malam aku berlatih, tetap aku gagal..." Kwee Ceng kata pula.
"Apakah kau ingin petunjukku?" imam itu tanya lagi.
"Benar!" Dan Kwee Ceng mendekam pula, mengangguk-angguk lagi.
"Aku lihat kau jujur dan bersungguh hati, begini saja," kata si imam. "Lagi tiga
hari ada bulan pertengahan, nanti selagi rembulan terang menderang, aku nantikan
kau di atas puncak. Tapi kau tidak boleh beritahukan hal ini kepada siapa juga!"
Ia menunjuk ke puncak yang ia sebutkan.
Kwee Ceng menjadi bingung. "Aku...aku...tidak dapat mendaki...!" katanya.
Si imam sudah lantas berjalan, ia tidak memperdulikannya lagi, ia jalan terus.
"Kalau begini, sengaja totiang hendak menyulitkan aku," pikir Kwee Ceng, "Terang
dia tidak ingin mengajari aku..." Cuma sesaat ia berpikir pula: "Aku toh bukannya
tidak punyakan guru yang pandai" Di depan mataku toh ada enam guru yang
bersungguh-sungguh mengajari aku" Dasar aku yang tolol! Apa daya sekarang" Meski
totiang lihay sekali, mana dapat aku mewariskan kapandaiannya itu" Percuma aku
belajar dengannya..."
Bocah ini menjadi tawar hatinya. Tapi matanya masih mengawasi ke pundak. Lalu ia
ingat pula pelajarannya, maka terus ia berlatih lagi. Ia baru pulang sesudah
matahari turun dari gunung dan ia rasai perutnya lapar.
Tiga hari telah lewat. Hari itu Han Po Kie ajarkan muridnya ilmu cambuk Kim-
liong-pian. Senjata lemas itu beda darpada golok atau lainnya senjata tajam,
kalau tenaga latihannya kurang orang tak akan terlukai kerenanya, sebaliknya,
dia sendiri yang bisa bercelaka. Demikian sudah terjadi, satu kali Kwee Ceng
salah menggeraki tangannya dan cambuknya mengenai kepalanya sendiri!
Po Kie menjadi mendongkol, ia sentil kupingnya si murid itu, yang kepalanya
telah menjelut! Kwee Ceng tutup mulut, ia belajar terus.
Melihat orang bersungguh hati, lenyap rasa dongkolnya Po Kie. Ia membiarkan saja
walaupun si murid lagi-lagi membuat beberapa kesalahan.
Po Kie mengajari lima jurus, setelah pesan si murid belajar terus dengan
sungguh-sungguh, ia meninggalkan pergi dengan menunggang kudanya.
Benar-benar sukar ilmu cambuk itu, Kwee Ceng menjadi korban, hingga ia menjadi
babak-belur. Kepalanya dan jidatnya benjut, lengan dan kakinya matang biru.
Saban salah menarik, ujung cambuk mengenai diri sendiri. Maka itu akhirnya,
dengan merasa sakit dan letih, ia rebahkan diri di rumput dan kepulasan. Ia
mendusin sesudah rembulan muncul. Ia merasakan sakit pada tubuhnya, tapi ia
memandang ke atas bukit. Ia ingat janjinya si imam.
"Dia bisa mendaki, mustahil aku tidak!" akhirnya ia kata dengan penasaran. Dan
ia lari ke kaki jurang, untuk mulai mendaki. Ia jambret setiap oyot rotan, ia
naik seperti merayap. Ia bisa naik setinggi enam atau tujuh belas tombak, lalu
ia berdiam. Jalan naik lebih jauh batu melulu, seperti tembok yang licin.
"Mesti dapat!" ia keraskan hatinya. Dan ia mencoba. Ia cari lubang atau sela
batu, untuk dipegang, untuk ia menindak. Satu kali ia terpeleset, hampir
cekalannya terlepas, hampir ia terjatuh! Kapan ia memandang ke bawah, ia merasa
ngeri bukan main. Sekarang, naik tak dapat, turun pun sukar!
Kwee Ceng menghela napas bahna sukarnya. Tiba-tiba ia ingat perkataan gurunya
yang keempat: "Di kolong langit ini tidak ada urusan yang sukar, asal hati orang
kuat!". Maka ia kertak gigi. ia sekarang dapat akal, ialah ia pakai golok
pendeknya, untuk mencokel batu, guna menancap itu untuk dipakai sabagai alat
pegangan, buat dijadikan tempat injakan. ia merayap tetapi ia dapat maju
setindak dengan setindak, sangat ayal. Ia telah mesti menggunai tenaga terlalu
besar, baru manjat dua tombak, kepalanya sudah pusing, kakinya tangannya lemas.
Maka ia diam mendekam, ia bernapas denagn perlahan-lahan.
Setahu berapa banyak liang lagi harus dibikin untuk dapat naik ke atas. Kwee
Ceng tidak memperdulikannya. Setelah cukup beristirahat, ia mulai pula
mencongkel batu. Baru ia mulai, atau mendadak ia dengar suara orang tertawa
diatasnya. Ia heran, ia pun tidak berani dongak, untuk melihatnya. Untuk
heranya, tiba-tiba ada sehelai dadung meroyot turun, ujungnya berdiam tepat di
depannya! "Ikat pinggangmu, nanti aku tarik kau naik!" begitu suara terdengar. Ia kenali
suaranya si imam konde tiga. Tiba-tiba ia menjadi girang sekali, hingga
semangatnya terbangun pula. Tanpa banyak pikir, ia simpan goloknya, sambil
sebelah tangan terus pegangi liang batu, dengan tangan kanannya ia libat
pinggangnya, mengikat keras.
"Apakah kau telah selesai mengikat?" tanya si imam dari atas.
"Sudah!" sahut si bocah.
"Sudah atau belum?" tanya lagi suara di atas. Rupanya ia tidak dengar jawabannya
si bocah. Tiba-tiba ia tertawa, lalu menambahkan: "Ah, aku lupa! Suaramu tidak
cukup keras, tak sampai ke atas sini. Kalau kau sudah mengikat rapi, kau
tariklah dadung ini, tarik tiga kali!"
Kwee Ceng menurut, ia membetot tiga kali. Habis itu mendadakan ikatan pada
pinggangnya menjadi keras, segera tubuhnya terangkat, hingga terlepaslah
pegangannya pada batu dan injakan kakinya juga. Ia terkejut juga, tetapi sebab
tahu ia lagi diangkat naik, ia tidak terlalu berkhawatir. Hanya untuk herannya,
baru ia terangkat naik, tiba-tiba ia sudah sampai di atas, berdiri tepat di
depannya si imam! Bukan main ia girang dan bersyukur, tak tempo lagi ia tekuk lututnya, untuk pay-
kui, guna menghanturkan terima kasihnya, akan tetapi si imam cekal tangannya,
untuk ditarik, sambil tertawa, imam itu berkata: "Kemarin kau telah pay-kui
padaku seratus kali, sudah cukup, sudah cukup! Bagus, anak bagus, kau ada punya
semangat!" Puncak gunung itu boleh dibilang datar, di situ ada sebuah batu besar yang rata,
yang penuh dengan salju. "Duduklah di sana!" kata si imam.
"Biar teecu nerdiri saja menemani suhu," Kwee Ceng bilang.
"Kau bukannya orang kaumku, aku bukannya gurumu," kata si imam. "Kau juga bukan
muridku. Kau duduklah!"
Dengan hati bingung, Kwee Ceng berduduk.
"Keenam gurumu itu semua orang-orang Rimba Persilatan kenamaan," kata si imam,
"Walaupun kita tidak kenal satu sama lain akan tetapi kita saling menghormati.
Untuk kau, asal kau dapat pelajarakn kepandaian satu saja dari enam gurumu itu,
kau sudah bisa tonjolkan diri di muka umum. Kau bukannya tidak rajin belajar,
kenaapa selama sepuluh tahun ini kemajuanmu tidak banyak" Tahukah kau sebabnya?"
"Itulah karena dasarku yang bebal, biar suhu semua bersungguh-sungguh
mengajarainya, aku tidak bisa peroleh kemajuan," Kwee Ceng menjawab.
"Itulah tidak benar seluruhnya!" jawab si imam dengan tertawa. "Inilah dia yang
dibilang, yang mengajar tak jelas caranya dan yang belajar tak menginsyafi
jalannya..." "Kalau begitu, aku mohon su...su...eh totiang, sudi mengajarinya," Kwee Ceng
memohon. "Bicaranya tentang umumnya ilmu silat, sebenarnya sudah jarang orang Rimba
Persilatan yang sepandai kau," menerangkan si imam pula, "Kau baru belajar
silat, lantas kau dijatuhkan si imam muda, ini pun satu pukulan untukmu, kau
lantas merasa pelajaranmu tak ada faedahnya. Hahaha, kau ternyata keliru!"
Kwee Ceng heran. Kenapa imam ini ketahui urusan kekelahannya itu"
"Imam itu memang daripada kau, ia sebenarnya telah menggunai akal," berkata si
imam, "Coba kamu bertempur secara biasa, belum tentu ia dapat menangkan kau.
Disamping itu kepandaian keenam gurumu tak ada dibawahan aku, dari itu tidak
dapat aku ajarkan kau ilmu silat!"
Kwee Ceng heran berbareng putus asa.
"Ketujuh gurumu telah bertaruh sama orang," kembali si imam berkata, "Kalau aku
ajarkan kau ilmu silat dan kemudian gurumu memdapat tahu, mereka pasti menjadi
tidak senang. Mereka adalah orang-orang terhormat, dalam hal pertaruhan, mana
mereka mau berlaku curang?"
"Pertaruhan apakah itu totiang?" tanya Kwee Ceng.
"Rupanya gurumu belum memberi keterangan padamu, karena itu, sekarang baiklah
kau tidak usah menanyakan. Nanti dua tahun lagi, mereka akan memberitahukannya
padamu. Sekarang begini saja. Kesungguhan hatimu rupanya membuatnya kita
berjodoh. Akan aku ajarkan kau ilmu mengendalikan napas, duduk, jalan dan
tidur..." Kwee Ceng heran bukan main. "Ilmu bernapas, duduk, jalan dan tidur..?" pikirnya.
"Begitu aku terlahir, aku hampir bisa semua itu sendirinya. Perlu apa kau
mengajarinya pula...?" Ia tapinya tutup mulut.
"Kau singkirkan salju di atas batu itu," kata si imam. "Kau tidur di situ,"
lantjutnya kemudian. Kwee Ceng menjadi semakin heran, tetapi ia menurut, denagn kedua tangannya, ia
singkirkan salju itu, habis itu ia terus rebahkan dirinya di atasnya.
Si imam mengawasi. "Untuk tidur caramu ini, buat apa akukah mengajarinya?"
katanya. "Aku ada punya empat perkataan, kau ingat baik-baik. Inilah dia: Sue
teng cek ceng bong, Tee hie cek kie oen, Sim soe cek cin hoat, Yang seng cek im
siauw." Kwee Ceng menurut, ia ingat itu dan mengulanginya sampai beberapa kali. Ia
ingati terus, tetapi ia tak tahu apa artinya yang sebenarnya. Ia melainkan tahu
itu berarti: "Pikiran tenang, perasaan terlupa, tubuh kosong, hawa berjalan,
hati mati, semangat hidup, yang bangun, im hapus.
Imam itu berkata pula, menerangkan: "Sebelumnya tidur, orang mesti kosongkan
otaknya, jangan pikir suatu apa juga, barulah naik pembaringan dan rebah miring,
napas kasih jalan perlahan-lahan, semangat jangan goncang, jangan ngawur. Nah,
begini, kau mesti bernapas."
Lantas si imam mengajari caranya napas disedot masuk dan keluar sambil
bersemadhi. "Sekarang duduklah dan mulai!" katanya pula.
Kwee Ceng menurutm ia mencoba. Mulanya, pikirannya goncang, ada saja yang ia
ingat, tetapi ia lawan itu, ia coba lupai segala apa. Lama-lama ia menjadi
tenang juga. Hanya, selang satu jam, ia rasai kaki dan tangannya kaku dan
kesmutan. Si imam bersila di depan orang, buka matanya. "Sekarang kau rebahlah," katanya.
Kwee Ceng menurut pula. Ia rebah hingga ia tidur kepulasan tanpa merasa, tempo
akhirnya ia sadar, fajar sudah menyingsing.
"Sekarang kau pulang, sebentar malam datang pula." kata si imam, da ia kerek turun tubuh bocah itu.
Kwee Ceng menurut, maka seterusnya setiap malam ia datang pada si imam, yang
kerek ia naik, untuk ia belajar napas, duduk, tidur dan jalan. Lekas ia
merasakan suatu keanehan. Si imam tidak ajari ia ilmu lainnya, toh kapan di
waktu siang ia berlatih silat, ia rasai tubuhnya jadi ringan sekali dan gesit.
Selang setengah tahun, ia lantas dapat lakukan apa-apa yang tadinya ia tidak
sanggup lakukan.

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanglam Liok Koay lihat itu kemajuan, mereka girang sekali. Mereka menyangka
kemajuan muridnya ini berkat kerajinan dan keuletannya.
Lain keanehan yang nyata, Kwee Ceng rasai ia dapat mendaki jurang lebih tinggi
dan lebih gampang, baru di bagian yang licin, si imam kerek padanya.
Satu tahun telah berlalu dengan cepat, maka lagi beberapa bulan akan tibalah
saat pibu. Kanglam Liok Koay merasa gembira. Mereka percaya muridnya bakal
menang. Mereka juga girang akan lekas kembali ke Kanglam. Maka itu, setiap hari
mereka omongkan hal pibu dan bakal pulang itu.
Pada suatu pagi, Hie Jin kata pada muridnya: "Anak Ceng, selama ini kau belajar
mainkan senjata saja, mungkin kau kurang leluasa dengan tangan kosongmu, dari
itu mari kau coba-coba."
Kwee Ceng mengangguk. Ia lantas turut pergi ke tempat berlatih. Hie in sedang
hendak mulai berlatih sama muridnya itu tempo kelihatan debu mengepul jauh di
sebelah depan dan terdengar berisik suara kuda dan orang. Itulah segerombolan
kuda, yang lari larat, dan si penggembala, orang-orang Mongol, repot
mengendalikan. Baru semua kuda dapat dibikin tenang dan berkumpul, mendadak dari
arah barat datang seekor kuda kecil merah marong, kuda itu menyerbu ke rombongan
kuda banyak itu, menggigit dan menyentil, hingga kuda ini menjadi kacau pula.
Setelah itu, kuda itu lari pula ke utara dan lenyap. Tapi dia tidak pergi lama,
kembali terlihat ia mendatangi, kembali ia mengacau rombongan kuda tadi.
Kawanan penggembala itu menjadi dongkol, tapi mereka tidak bisa suatu apa.
Mereka hendak tangkap kuda merah itu, tetapi tak dapat karena kuda itu lari
kabur, lalu berdiri diam di tempat jauh seraya perdengarkan meringkiknya
berulang-ulang, rupanya ia puas sudah mengacau itu....
Liok Koay dan Kwee Ceng heran. Mereka pun kagumi kuda merah itu. Malah Han Po
Kie segera hampirkan rombongan penggembala itu, akan tanya kuda itu kepunyaan
siapa. Ia penggemar kuda, kudanya sendiri jempolan, tetapi masih kalah jauh
dengan kuda merah itu. "Setahu darimana keluarganya kuda kecil ini," sahut seorang penggembala. "Baharu
beberapa hari yang lalu kami lihat dia, kami mencoba menangkap padanya tetapi
gagal, dia menjadi penasaran terhadap kami, lau terus-terusan ia mengacau. Dia
ada sangat cerdik dan gesit."
"Itulah bukannya kuda," kata satu penggembala.
"Habis apakah itu?" tanya Po Kie.
"Inalah kuda turunan naga dari langit, dia tidak dapat diganggu!" jawab
penggembala itu kemudian.
Seorang penggembala lain tertawa. "Siapa bilang naga bisa menjdai kuda?"
katanya. "Ngaco belo!"
"Kau tahu apa, anak kecil" Sudah puluhan tahun aku menggembvala kuda, tidak
pernah aku lihat kuda semacam ini!" Ia belum tutup mulutnya, kapan kuda merah
itu sudah datang menyerbu pula.
Han Po Kie segera bertindak. ia memang seorang ahli kuda, tahu ia sifat atau
kebiasaannya hewan itu. Orang Mongol sendiri kagum padanya. Begitulah ia lari ke
tempat dimana kuda itu bakal mundur. Tepat dugaannya. Kuda itu lari ke arahnya.
Ia kate, ia seperti berada di bawahnya perut hewan itu. tapi ia tak kasih
dirinya dilompati, sebaliknya ialah yang melompat ke bebokong kuda itu. Ia kate
tapi ia dapat melompat tinggi. Segera ia berada di atas punggung kuda. Ia sudah
pandai, ia percaya bakal berhasil, siapa tahu, belum ia sempat mendudukinya,
kuda itu sudah lewati dia, hingga ia jatuh ke tanah, cuma tak sampai terguling,
ia jatuh sambil berdiri. Ia menjadi dongkol. lantas ia lari mengejar.
Hebat larinya kuda itu, dia tak tercandak, hanya disaat ia lari lewat, tiba-tiba
dari smaping ada satu orang yang lompat menyambar kepadanya, memegang surinya.
Dia kaget, dia lompat dan lari, karena mana, dia kena bawa orang yang
menyambarnya itu, sebab orang itu tidak mau melepas cekalannya.
Semua penggembala menjadi terkejut, mereka berteriak. kanglam Liok Koay pun
terkejut, karena itulah Kwee Ceng yang menyambar kuda itu. Disamping itu mereka
heran kapannya bocah ini pelajarkan sifatnya hewan, dan kapannya ia mempelajari
keng-sin-sut, ilmu enteng tubuh.
"Selama satu tahun ini, pesat majunya anak Ceng," kata Siauw Eng. "Mungkinkah ia
dipayungi ayahnya almarhum" Mungkinkah ngo-ko..."
Nona ini tidak tahu, kepandaian Kwee Ceng itu adalah hasilnya ajaran si imam
konde tiga, karena ketekunan Kwee Ceng sendiri yang bebal tapi rajin dan ulet.
Setiap malam ia naik turun jurang, tanpa ia merasa, ia tengah menyakinkan ilmu
ringan tubuh yang sangat lihay, yaitu "Kim-gan-kang" atau ilmu "Burung Welilis
Emas." Dia cuma tahu si imam konde tiga itu sangat baik hati suka memberi
pengajaran kepadanya hingga ia dapat bersemadhi...
Selagi Liok Koay bicarakan hal murid ini, tahu-tahu si murid sudah kembali
bersama kuda merah itu, yang terus angkat kedua kaki depannya, untuk berdiri,
kemudian ia meyentil dengan kedua kaki belakangnya. Kwee Ceng tidak rubuh
karenanya, ia memegangi dengan keras, kedua kakinya menjepit. Po Kie pun segera
ajar dia bagaimana harus membikin jinak kuda. Masih saja kuda itu berjingkrakan,
dai seperti ingin menjungkirkan penunggangnya.
Si penggembala, yang percaya kuda itu adalah turunan naga, sudah lantas berlutut
dan memuji supaya janganlah Tuhanbergusar karena kudanya itu dipermainkan...
Siauw Eng pun lantas berteriak, "Anak Ceng, lekas turun. Kasih sam-suhu gantikan
kau!" "Jangan!" teriak Po Kie, yang mencegah. "Kalau digantikan, dia bakal gagal!" Ia
tahu, kalau seorang dapat menakluki kuda binal, kuda itu bakal tunduk untuk
selama-lamanya kepada penakluk itu.
Kuda itu masih berjingkrakan, rupanya ingin dia membikin penunggangnya jungkir
balik, tetapi Kwee Ceng terus memegangi erat-erat, malah kemudian, bocah ini
memeluk ke leher, tenaganya dikerahkan, makin lama makin keras pelukan itu.
Diakhirnya, kuda itu sukar bernapas, lalu ia berhenti meronta-ronta, dia berdiri
diam! "Bagus! Bagus!" seru Po Kie. "Dia berhasil"
Kwee Ceng khawatir kuda itu bakal lari atau kabur, ia tidak mau lantas turun.
"Cukup sudah!" Po Kie bilang pada muridnya. "Kau turun! Dia sudah tunduk
kepadamu, walaupun kau usir, dia tidak nanti lari!"
Mendengar itu barulah Kwee Ceng lompat turun. Kuda itu benar tidak lari,
sebaliknya, dia jilati belakang telapakan tangan si bocah, dia jadi jinak
sekali. Menampak itu, dari kaget dan heran, orang menjadi tertawa!
Satu penggembala dekati kuda itu, ia dipersen jentilan hingga ia terjungkal!
Kwee Ceng lantas tuntun kuda itu ke sisi instal, untuk gosoki keringatnya, untuk
membersihkan badannya. Liok Koay tidak suruh muridnya itu berlatih lebih jauh, dengan masing-masing
mereka merasa heran, mereka masuk ke kemah mereka.
Tengah hari, habis bersantap, Kwee Ceng pergi ke kemah gurunya.
"Anak Ceng, ingin aku lihat seberapa jauh kau punya ilmu Kay-san-ciang," berkata
Coan Kim Hoat pada muridnya itu.
"Disini?" sang murid tegaskan.
"Ya. Di mana saja orang bisa menghadapi musuh, maka orang mesti siap akan
bertempur di kamar yang kecil." Kata-kata itu disusul sama ancaman tangan kiri
dan tinjuan kepalan kanan.
Kwee Ceng mennagkis dan berkelit, malah terus sampai tiga kali, setelah diserang
untuk keempat kalinya, ia membalas. Kim Hoat menyerang dengan hebat, malah ia
terus gunai jurusnya "Masuk ke dalam guna harimau". Ia mengarah ke dada. Ini
bukan jurus latihan, tapi serangan benar-benar yang berbahaya.
Kwee Ceng mundur, hingga bebokongnya nempel sama tenda. Ia kaget seklai. Tentu
saja, hendak ia membela diri. Ia putar tangan kirinya, guna menyingkirkan dua
tangan gurunya itu. Akan tetapi hebat serangan si guru, Cuma tempo ia menggenai
dada muridnya, ia rasai dada muridnya itu lembek seperti kapuk, lalu tangannya
kena dihalau! Untuk sejenak Kwee Ceng tercengang, tapi segera ia berlutut di depan gurunya
itu." Teecu salah, silakan liok-suhu menghukum," ia menyerah. Ia takut sekali,
tak tahu ia bersalah apa maka gurunya serang ia secara demikian telengas.
Tin Ok semua berbangkit, semua mereka menunjuk roman bengis.
"Secara diam-diam kau turut orang lain belajar silat, kenapa kau tidak beritahu
itu pada kita"!" tehur Cu Cong. "Coba tidak liok-suhu mencoba padamu, kau tentu
tetap hendak menyembunyikannya, bukan"!"
"Cuma guru Jebe mengajarakan teecu main panah dan tombak," Kwee Ceng menjawab.
Ia omong dengan sebenarnya. Si imam konde tiga tidak ajarkan ia ilmu silat, cuma
ilmu semadhi, sedang ilmu enteng tubuh, ia diajarkan diluar tahunya.
"Masih kau berdusta"!" Cu Cong bentak pula.
Kwee Ceng menangis, air matanya mengucur keluar. "Suhu semua memperlakukan teecu
sebagai anak, mana berabi teecu berdusta?" sahutnya.
"Habis darimana kau dapat kepandaianmu tenaga dalam"!" Cu Cong masih bertanya.
"Apakah kau hendak andalakn gurumu yang lihay itu maka kau jadi tidak pandang
lagi kami berenam"! Hm!"
"Tenaga dalam?" Kwee Ceng melengak. "Sedikit pun teecu tidak mengerti itu."
"Fui!" seru Cu Cong sambil ia ulurkan tangannya ke jalan darah hian-kee-hiat di
bawahan tulang iga. Siapa terkena itu, ia mesti pingsan.
Kwee Ceng tidak berkelit atau menangkis, ketika totokannya Cu Cong mengenai,
dagingnya bergerak sendirinya, membikin totokan itu kena dikemsampingkan. Si
bocah Cuma merasakan sakit, ia tak kurang suatu apa.
Cu Cong tidak menggunai tenaganya sepenuhnya, tapi ia terkejut dan heran.
"Nah, apakah ini bukannya tenaga dalam!" serunya.
Kwee Ceng terkejut. "Adakah ini hasil latihannya totiang?" ia tanya pada dirinya
sendiri. Lalu ia mengasih keterangan: "Selama dua tahun ini, ada orang yang
setiap malam mengajari teecu bagaimana harus menyedot napas, duduk bersila dan
tidur, teecu anggap ajaran itu menarik hati, teecu ikuti ia belajar terus. Sama
sekali ia tidak ajarakan ilmu silat pada teecu. Cuma ia pesan supaya teecu
jangan memberitahukan hal itu pada siapa pun. Teecu anggap hal ini bukan
perbuatan busuk, teecu juga tidak mensia-siakan pelajaranku, dari itu teecu
tidak memberitahukan kepada suhu semua." Ia lantas mengangguk-angguk dan
menambahkan: "Teecu tahu teecu bersalah, lain kali teecu tidak berani pergi
bermain pula..." Enam guru itu saling pandang. Terang murid ini tidak berdusta.
"Apakah kau tidak tahu, pelajaranmu itu bukan tenaga dalam?" tanya Siauw Eng
yang menegaskan. Tenaga dalam itu adalah Iweekang (laykang).
"Benar-benar teecu tidak tahu kalau itu adalah pelajaran tenaga dalam," Kwee
Ceng menyahuti. "Dia suruh teecu duduk, untuk menarik dan mengeluarkan napas
dengan perlahan-lahan, selama itu, tidak boleh teecu pikirkan apa juga. Mulanya
sulit, tetapi kemudian teecu merasakan hawa panas keluar masuk, dan ini menarik
hati..." Liok Koay heran berbareng girang di dalam hati. Tidak mereka sangka, muridnya
ini telah dapatkan Iweekang sedemikian rupa.
Kwee Ceng jujur, hatinya bersih, dari itu, ia dapat menyakinkan Iweekang lebih
cepat dari siapa juga. "Siapa yang ajarkan kau ilmu itu?" Cu Cong tanya. "Di mana dia mengajarkannya?"
"Dia tidak mau beritahu she dan nama atau gelarannya pada teecu, dia juga larang
teecu memanggil suhu padanya," Kwee Ceng jawab. "Malah dia suruh teecu bersumpah
untuk tidak menjelaskan roman tubuh dan wajahnya."
Liok Koay semakin heran, mereka menjadi curiga. Mulanya mereka menyangka Kwee
Ceng cuma bertemu orang pandai, tapi kalau begini, mesti ada sebab lainnya lagi.
Sebab apakah itu" "Nah, pergilah kau!" kata Cu Cong kemudian.
"Selanjutnya teecu tidak berani pergi bermain-main pula dengan dia itu," kata
Kwee Ceng. "Tidak apa-apa, kau boleh pergi memain seperti biasa," kata Cu Cong. "Kami tidak
persalahkan padamu, asal kau tidak beritahukan dia bahwa kami telah ketahui
urusan ini." "Baik, suhu," kata Kwee Ceng, yang terus undurkan diri. Ia girang gurunya tidak
marah. Setibanya di kemah, di sana Gochin sudah menantikan dia, di sampingnya
ada dua ekor rajawali putih. Kedua burung itu telah membesar denagn cepat,
berdiri di tanah, keduanya melebihkan tingginya tuan putri itu.
"Lekas, telah setengah harian aku menunggui kau!" kata putri itu.
Seekor rajawali angkat kakinya dan pentang sayapnya, terus ia terbang mencablok
di pundaknya Kwee Ceng. Dengan berpegangan tangan, dua kawan ini lari ke tegalan, untuk bermain dengan
burung mereka. Di dalam kemah, Liok Koay berbicara. "Dia ajarkan ilmu kepada anak Ceng, dia
tentu tidak bermaksud buruk," Siauw Eng mengutarakan pikirannya.
"Hanya kenapa dia tidak menghendaki kita mendapat tahu?" tanya Kim Hoat. "Kenapa
pada anak Ceng juga ia tidak menjelaskan hal Iweekang itu?"
"Mungkin dia adalah kenalan kita," Cu Cong bilang.
"Kenalan?" ulangi Siauw Eng, "Kalau dia bukan sahabat, tentulah ia itu musuh..."
Kim Hoat berpikir. "Di antara kenalan kita, rasanya tak ada yang berkepandaian
seperti dia...." katanya.
"Kalau dia musuh, nah untuk apakah ia mengajari anak Ceng?" Siauw Eng tanya
pula. "Siapa tahu kalau dia tidak tengah mengatur daya upaya busuk?" kata Tin Ok
dingin. Semua saudara itu terkejut.
"Kalau begitu, baiklah sebentar malam aku dan liok-tee pergi ikuti anak Ceng
untuk lihat orang itu," kata Cu Cong kemudian.
Tin Ok berlima mengangguk.
Malam itu Cu Cong dan Kim Hoat menanti di luar kemah ibunya Kwee Ceng.
"Ibu, aku hendak pergi!" begitu terdengar suaranya sang murid, lalu ia lari
keluar, cepat larinya. Kedua guru itu segera menguntit dari kejauhan. Syukur di
tanah datar itu tak ada sesuatu rintangan, maka itu, mereka dapat terus memasang
mata. Mereka sendiri tidak khawatir nanti terlihat si murid, yang larinya benar
pesat sekali. Sampai di lembah, masih si murid lari terus.
Ketika itu, dengan ilmunya maju pesat, Kwee Ceng dapat mendaki jurang tanpa
bantuan lagi. tentu saja, Cu Cong dan Kim Hoat heran bukan main. Mereka
menantikan, sampai Tin Ok berempat datang menyusul. Mereka ini berbekal senjata,
khawatir nanti ketemu musuh lihay. Cu Cong ceritakan halnya Kwee Ceng naik ke
atas jurang. Siauw Eng dongak, ia lihat mega hitam, ia gegetun.
"Mari kita sembunyi disini, tunggu sampai mereka turun," Tin Ok mengatur.
Mereka lantas ambil tempatnya masing-masing. Siauw Eng berpikir keras. Suasana
malam ini mengingati ia malam itu tempo mereka mengepung Hek Hong Siang Sat
dengan kesudahannya Thio A Seng menutup mata untuk selamanya. Ia menjadi sangat
berduka. Sang waktu lewat detik demi detik, di atas jurang tidak terdengar gerak apa
juga. Tanpa terasa, sang fajar telah menyingsing, sang matahari sudah keluar,
puncak jurang tetap sunyi senyp, malah Kwee Ceng tak tampak turun. Tak tampak
juga orang yang dikatan gurunya itu.
Lagi satu jam mereka menanti dengan sia-sia, akhirnya Cu Cong mengusulkan naik
ke atas guna melihat. "Bisakah kita naik?" Kim Hoat tanya.
"Belum tentu, kita coba saja," sahut kakak yang kedua itu.
Cu Cong terus lari pulang ke kemah untuk ambil dadung, dua buah kampak serta
beberapa puluh potong paku besar. Tempo mereka mulai menanjak, mereka gunai paku
itu, mereka saling menarik. Setelah bermandikan keringat, keduanya tiba juga di
atas. Segera juga mereka berserua karena kagetnya.
Di samping batu besar ada teratur sembilan buah tengkorak putih, di bawah lima,
di tengah tiga di atas satu, tepat dengan pengaturannya Hek Hong Siang Sat
dahulu hari. Semua tengkorak itu pun ada lubangnya, bekas totokan jari tangan,
seperti terkorak pisau tajam. Di pinggiran lubang itu ada tanda hitam, yang mana
dikhawatirkan ada sisa racun.
Keduanya kebat-kebit hatinya. Yang aneh, di situ tak ada orang, entah kemana
perginya Kwee Ceng serta orang yang dikatakan gurunya itu. Maka lekas-lekas
mereka turun pula, hati mereka tegang dan cemas.
Po Kie semua heran, mereka lantas tanya ada apa dan kenapa dengan kedua saudara
itu. "Bwee Tiauw Hong!" sahut Cu Cong, masih tegang hatinya.
Empat saudara itu terperanjat.
"Anak Ceng?" tanya Siauw Eng.
"Entahlah," sahut Kim Hoat, "Mungkin mereka turun dari sebelah..." Ia lalu
menjelaskan apa yang mereka lihat di atas sana.
"Belasan tahun cape lelah kita, siapa tahu, kita memelihara harimau untuk
meninggalkan bahaya untuk di kemudian hari," kata Tin Ok masgul.
"Anak Ceng jujur dan polos, dia bukannya satu manusia yang tak berbudi," kata
Siauw Eng, sangsi. "Habis kenapa ia ikuti si siluman itu selama dua tahun dan ia menutup mulut
terus?" tanya Tin Ok.
"Apakah toako mau artikan si perempuan siluman buta itu hendak pinjam tangan
anak ceng untuk celakai kita?" tanya Po Kie.
"Mestinya begitu," sahut Cu Cong, yang akur sama kakaknya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Taruh kata anak Ceng mengandung maksud tidak baik, tidak nanti dia dapat
berpura-rupa sedemikian rupa," Siauw Eng tetap bersangsi.
"Mungkin siluman perempuan itu anggap waktunya belum tiba dan dia belum
menjelaskan sesuatu kenapa anak ceng..." Kim Hoat pun mengutarakan dugaannya.
"Tubuhnya anak Ceng sudah cukup enteng, Iweekangnya sudah punya dasar, tetapi
ilmu silatnya masih kalah jauh denagn kita, kenapa si perempuan siluman itu
tidak ajarkan dia ilmu silat?" tanya Po Kie. ia pun heran.
"Perempuan siluman itu hendak pakai tangannya si Ceng, mana dia begitu baik hati
hendak menurunkan kepandaiannya?" kata Tin Ok. "Bukankah suaminya terbinasa di
tangannya si Ceng?" Semua orang berdiam, mereka menggigil snedirinya. Hebat ancaman bahaya yang
mereka khawatirkan itu. Tin Ok menghajar tanah dengan tongkatnya.
"Sekarang mari kita pulang!" ia mengajak. "Kita berpura-pura tidak tahu, kita
tunggu si Ceng datang pada kita, lalu tiba-tiba kita hajar dia hingga bercacat.
Biar pun ia lihay, mustahil kita berenam kalah padanya..."
Siauw Eng kaget, "Anak Ceng hendak dibikin bercacat"!" serunya. "Habis bagaimana
dengan janji pibu?" "Lebih penting nyawa kita atau pibu itu?" tanya Tin Ok.
Si nona berdiam begitupun yang lainnya.
"Tidak bisa!" seru Hie Jin kemudian.
"Tidak bisa apa?" tanya Po Kie.
"Dia tak dapat dibikin bercacat!" jawab Hie Jin.
"Tidak dapat?" Po Kie tegaskan pula.
Hie Jin mengangguk. "Aku setuju sama sie-ko," bilang Siauw Eng. "Lebih dulu kita mesti mencari
kepastian, baru kita pikir pula."
"Tapi urusan ada sangat penting. " Cu Cong peringati, "Kalau kita salah tindak
karena kita merasa kasihan terhadapnya, tak dapat diduga bagaimana hebatnya
bencana yang bakalan terjadi. Bagaimana kalau tindakan kita bocor?"
"Memang inilah berbahaya," kata Kim Hoat.
"Samtee, bagaimana kau?" tanya Tin Ok.
Po Kie bersangsi, akan tetapi kapan ia saksikan air mata adiknya, ia lantas
tetapkan hatinya. "Aku di pihak sietee," jawabnya.
Dari enam bersaudara itu, tiga setuju Kwee Ceng dibikin cacad dan tiga tidak,
maka akhirnya, Cu Cong menghela napas. "Coba ngotee ada di sini, kita pasti akan
memperoleh putusan, salah satu pihak tentulah lebih satu suara."
Mendengar disebut-sebutnya A Seng, berhneti mengucur air mata Siauw Eng. Ia
kata: "Sakit hati ngoko mana dapat tidak dibalaskan! Toako, kami dengar
titahmu!" "Baiklah!" kata toako itu. "Mari kita pulang dulu!"
Di dalam kemah mereka, mereka masih tetap ragu-ragu, hati mereka tidak tenang.
Langkah Manusia Beracun 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pukulan Si Kuda Binal 1
^