Pencarian

Omega Swordsman 1

Omega Swordsman Karya Mogei Bagian 1


Omega Swordsman OLEH : Mogei 01:07 - Tokoh Sakti Kedua orang tua itu terlalu sakti. Aneh, selama ini aku tidak pernah mendengar
apa-apa tentang mereka. Rimba persilatan yang tak pernah sepi dari kabar desas
desus tidak pernah menyebutkan sedikit pun tentang mereka. Namun, sekarang kami
menghadapi mereka. Dan tampaknya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat
mengalahkan mereka. Di depan, Ang Hong Taysu, seorang dari lima datuk rimba persilatan terpental
saat beradu tenaga dengan salah seorang dari kedua orang tua itu. Saat tubuhnya
melayang tiba-tiba saja seorang yang lain dari kedua orang tua itu melompat,
sepasang tangannya didorong ke arah Ang Hong Taysu. Aku, yang berada di barisan
paling belakang dari sekitar dua ratus lebih pendekar baik dari golongan putih
maupun hitam, merasakan hawa panas yang membakar kulit. Sebelum terdorong jauh
ke belakang aku sempat melihat tubuh Ang Hong Taysu hangus terbakar.
Aku jadi menyesal. Ang Hong Taysu bukan datuk rimba persilatan sembarangan. Di
usianya yang baru empat puluh tahunan dia berhasil menduduki tingkat nomor dua
dari lima datuk rimba persilatan. Sekarang tubuhnya hangus begitu saja. Aku
mendengar suara gedebuk keras sekali saat tubuh hangusnya membentur tanah.
Beberapa orang di baris depan yang terkena imbas dari hawa panas itu juga tak
dapat ditolong lagi nyawanya. Bau daging hangus menyebar di udara. Saat aku
bangkit kembali aku menyaksikan separo lebih dari jumlah kami tadi tak ada yang
bangkit lagi. Sebentar lagi malam. Langit mulai gelap. Sejak dua minggu yang lalu aku
melakukan perjalanan menuju tempat ini. Si Lidah Tak Pernah Salah Khong Guan
menyebar berita adanya sebuah pohon aneh yang menyimpan banyak sekali senjata
pusaka. Khong Guan, seorang tua cacat yang omongannya selalu terbukti
kebenarannya. Sekejap saja para pendekar dari berbagai golongan berebut peta
lokasi tempat pohon aneh itu. Menghindari pertumpahan darah yang tak berarti
Khong Guan menggambarkannya untuk mereka semua. Aku sebenarnya tidak terlalu
tertarik. Aku memang masih baru berkecimpung di rimba persilatan. Tak banyak
pengetahuanku yang berarti. Tapi guruku selalu berpesan untuk tidak percaya
begitu saja dengan kabar yang beredar di rimba persilatan. Bahkan dari si tua
Lidah Tak Pernah Salah Khong Guan sendiri. Masuk akal juga. Pikirku darimana
senjata pusaka sebanyak itu" Siapa yang membuatnya" Kenapa disembunyikan di
dalam pohon" Dan lebih lagi darimana Khong Guan, orang tua cacat yang tidak
dapat berjalan itu, mengetahuinya" Guru sudah lama mengasingkan diri. Dan aku
baru sebulan turun gunung. Ie Tong, teman baruku, murid termuda Ang Hong Taysu,
yang mengajakku. "Kau percaya berita itu?" tanyaku waktu itu. Ie Tong mengangkat bahu. Usianya
lebih muda dariku tapi kepandaiannya jauh di atasku. Maklum dia murid orang
sakti. "Mana mungkin guruku mengijinkan aku untuk tidak ikut?" Jawabnya santai.
Di tiap pertemuan penting Ang Hong Taysu memang tidak pernah ketinggalan. Ketiga
muridnya juga selalu mendampinginya. Meski sebagai seorang yang taat beribadat
Ang Hong Taysu berambisi sekali ingin menjadi pemimpin rimba persilatan.
"Gurumu percaya dengan berita itu?" tanyaku lagi. Kami sedang berada di dalam
rumah makan yang besar dan ramai. Meski begitu kami tidak ingin pembicaraan kami
didengar oleh orang lain. Kami, terutama aku, bukan tipe yang suka mencari
perhatian. Kalau aku tidak mendapat kesulitan karena memang tidak terkenal, tapi
Ie Tong harus berusaha keras untuk itu. Dia murid seorang tokoh ternama yang
sedang berusaha mengangkat nama.
Ie Tong tertawa hambar. Dia mengulapkan tangan menyuruhku mendekat lagi.
"Kau tahu guruku berhutang jasa kepada si tua Khong Guan itu," bisiknya.
Aku meliriknya dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Kejadian-kejadian belakangan ini selalu berhasil diselesaikan guruku berkat
bisikan dari orang tua itu."
Aku mengangguk-angguk lalu kembali ke posisi dudukku semula sambil meraih
cangkir tehku. Aku menghirup teh panas itu sambil menyumpit sepotong udang
pedas. Ie Tong tertawa hambar lagi. Tangan kirinya menyumpit sepotong udang
pedas juga. Kebetulan kami memang dilahirkan beda dengan orang lain yang
menggunakan tangan kanan untuk makan. Kebisaan kami itulah yang menyebabkan kami
jadi merasa cocok. "Tapi tentu saja itu juga bukan tanpa imbalan," lanjut Ie Tong setengah berbisik
sambil memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan uang besar.
Sebenarnya aku merasa heran. Guru Ie Tong seorang beribadat yang biasanya
setahuku jarang sekali mempunyai uang banyak. Tapi aku tidak mau menyinggung
perasaan Ie Tong. Dia memang bukan seorang murid yang penurut tapi jelas
kelihatan kalau dia sangat mengagumi gurunya itu.
"Kau ikutlah. Sekedar menambah pengalaman." Katanya.
Semula aku ingin menggelengkan kepala tapi setelah kupikir-pikir lagi tak ada
salahnya juga untuk melihat-lihat keramaian. Aku mengangguk.
Malam itu juga kami berangkat. Ang Hong Taysu menyewa lima ekor kuda jempolan.
Aku dapat menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, guru Ie Tong itu
mengeluarkan sebongkah logam emas besar untuk membayar. Dari saku di balik
bajunya aku mengira tentu dia membawa banyak sekali logam emas.
"Hok Sin, kau ikut tidak?" tegur Ie Tong yang sudah ada di atas pelana kuda. Aku
mengiyakan sambil lantas melompat ke atas punggung kuda yang disediakan untukku.
Ang Hong Taysu memastikan kami sudah siap semua. Lantas dihentaknya tali les
kudanya. Sekejap kuda itu pun telah jauh berada di depan kami. Tak mau
ketinggalan kami berempat pun lantas berangkat.
Tak selang beberapa lama kami melihat rombongan lain sedang berpacu menuju arah
yang sama dengan yang kami tuju. Tak jauh dari rombongan itu rombongan yang lain
lagi sedang berusaha mengejar. Tampaknya mereka sedang bertarung. Rombongan yang
di depan ada tujuh orang. Meski langit gelap namun tampak mereka memanggul
pedang panjang bergagang emas. Salah seorang dari mereka, yang berada paling
belakang, merogoh saku bajunya lantas menyambit ke arah rombongan di belakang.
Tampak kilauan sinar kecil-kecil bagaikan hujan menghujam ke arah keempat
pengejar itu. Tak ada lagi ruang untuk menghindar, bagi si penunggang maupun
kudanya. Tiba-tiba keempat pengejar dengan lincah secara berbarengan menutul
pelana kuda mereka, melesat ke depan sambil memutar pedang beronce merah di
tangan mereka. Terdengar suara gemerincing dan tampak kilatan-kilatan kecil
berpencaran di udara. Aku dapat menebak tentulah itu jarum-jarum yang
disambitkan oleh musuh di depan tadi. Seperti sudah diperhitungkan saja, tubuh
keempat pengejar itu dapat turun persis di atas pelana kuda mereka masing-
masing. Kami memacu kuda kami lebih kencang. Tampaknya Ang Hong Taysu tidak mau
mencampuri dan diganggu oleh mereka. Tetapi mereka juga saling berkejaran
semakin cepat. Mereka selalu berada tak jauh di belakang kami. Aku sempat
melihat rombongan yang di depan sisa 4 orang lagi. Sementara pengejarnya
berkurang 1 orang. Karena tak jauh dari mereka kami pun mau tak mau harus selalu
waspada. Tak jarang terdengar siuran angin tajam di belakang kami. Beberapa kali
Ie Tong menolongku menghalau hawa pedang atau senjata rahasia nyasar.
Selama hampir dua malam kami saling berkejaran.
Selama itu kami hanya makan ikan asin dan bakpau kering di atas pelana kuda.
Kami juga tidak tidur. Untuk mereka kelihatannya hal itu hanya soal kecil tapi
untukku jelas berat. Di malam ketiga aku tak tahan lagi. Mataku sangat berat.
Aku serasa berada di alam lain. Aku dapat merasakan tubuhku menjadi ringan.
Paginya, saat terbangun dengan tubuh terguncang-guncang, aku melihat tubuhku
terikat di atas punggung kuda. Ie Tong membantuku melepas ikatan itu.
"Kita tak bisa berhenti," katanya setelah melompat kembali ke atas pelana
kudanya. Aku mengangguk lemah. Kepalaku masih terasa berat.
"Asinan yang kemarin kuberi apa masih ada?" tanya Ie Tong yang melihatku tak
bersemangat. Aku hanya mengangguk.
"Kau makanlah tiga biji saja." Katanya. Kembali aku mengangguk sambil lantas
merogoh saku baju dan mengeluarkan 3 biji asinan yang berwarna merah kehitaman.
Bau asinan itu sangat tajam. Tercium baunya saja semangatku sudah mulai bangkit
lagi. "Eh, kemana mereka?" tanyaku sehabis mengunyah habis sebiji. Aku baru merasakan
laju kuda kami tidak sekencang sebelumnya. Saat menoleh ke belakang aku tidak
lagi melihat rombongan lain.
"Entahlah." Jawab Ie Tong tak acuh.
Esok paginya kami mampir di sebuah kota kecil. Di sana kami hanya istirahat
sampai tengah hari saja. Begitu kami hendak mulai berangkat lagi rombongan yang
lain dari kemarin melintas di depan kami. Ang Hong Taysu berteriak, memerintah
kami agar lekas menyusul.
Keluar dari pintu kota kami sudah berada tepat di belakang rombongan itu. Jalan
itu bercabang lima. Jalan yang berasal dari kota kecil tadi berada di tengahnya.
Masing-masing jalan dipisahkan oleh petak sawah. Aku dapat mengetahui kalau
jalan yang lain berasal dari desa tetangga. Saat itu kami mendengar suara
gemuruh di belakang. Aku menoleh. Dari kejauhan aku melihat rombongan lain yang
mengambil jalan dari masing-masing cabang jalan. Ada yang menunggang kuda ada
juga yang berlari, mengandalkan ilmu meringankan tubuh. Sekejap kemudian
persimpangan jalan itu pun penuh oleh para pendekar.
Entah siapa yang memulai lebih dulu tapi pertarungan tak dapat kami elakkan.
Ratusan pendekar saling berebut untuk dapat mendahului yang lain melalui jalan
itu. Dari pukulan, tendangan, pedang, golok sampai sambitan senjata rahasia.
Orang sebanyak itu tapi aku masih dapat mengenali empat datuk rimba persilatan
yang lain. Boleh dibilang semua yang mengatakan dirinya pendekar, baik dari
golongan lurus maupun sesat, berkumpul di sini untuk bertarung memperebutkan
jalan. Tetapi dari situ justru aku dapat melihat kenapa kelima datuk rimba persilatan
itu mendapatkan kehormatan disebut sebagai datuk. Mereka tidak mau bertempur
lama-lama. Mereka hanya berusaha membuka jalan bagi mereka dan rombongan mereka
sendiri saja. Ang Hong Taysu menggunakan ilmu silat Delapan Belas Tapak
Penggebuk Anjing. Sepasang tangannya bergerak sangat cepat sampai terlihat ada
sembilan pasang tangan bergerak ke sana kemari menghalau penghalang jalannya.
Kabarnya ilmu silat andalannya itu digabungkan dengan Delapan Belas Kaki
Penggebuk Anjing yang membuatnya menjadi jago nomor dua. Beruntunglah mereka
saat itu karena Ang Hong Taysu tidak mau meninggalkan kudanya. Kami masih
memerlukan kuda itu. Keluar dari gelanggang pertempuran Ang Hong Taysu menoleh ke kiri. Aku melihat
datuk nomor tiga dan empat beserta rombongan mereka baru saja keluar. Ang Hong
Taysu mendengus. Kudanya pun tahu-tahu sudah jauh berada di depan kami. Kami
bergegas menyusulnya. Dari kejauhan aku dapat melihat datuk nomor satu telah
jauh berada di depan. Datuk yang berusia hampir 70 tahun itu mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya. Sekejap saja dia hilang dari pandangan.
Tiba-tiba saja terasa ada hawa tajam di belakangku. Aku dapat menduga tentulah
itu hawa pedang musuh yang mengincarku. Pedang di punggungku kucabut untuk
menangkisnya. Terdengar bunyi dentingan yang sangat nyaring hingga menulikan
telingaku. Tanganku pun tergetar hebat. Untunglah pedang itu tidak terlepas.
Saat itu posisiku masih berada di paling belakang setelah Ie Tong. Tetapi antara
aku dengan Ie Tong pun sudah terpisah lumayan jauh. Saat menangkis tadi aku
melihat seorang murid dari datuk nomor tiga melaju di atas punggung kudanya
mendekat. Seorang murid lagi tiba-tiba muncul, terbang melayang di atas murid
yang tadi. Celaka! Hanya itu yang terbersit di pikiranku saat tiba-tiba saja aku merasakan
sesuatu melayang di atasku, bergerak secepat kilat menghadang murid musuh yang
sedang melayang mendekat. Murid yang sedang melaju di atas kudanya tiba-tiba
saja terpental bersama kudanya. Bagai terdorong angin kencang keduanya jatuh
terhempas dan terseret sampai beberapa tombak jauhnya.
Terdengar suara tulang patah yang disusul jerit kesakitan yang amat sangat.
Sesosok tubuh terhempas ke tanah hampir terinjak kuda datuk nomor tiga yang
sedang melaju. Untung saja orang tua itu bergerak sigap hingga tidak
membahayakan nyawa muridnya yang kini meringkuk sambil berteriak kesakitan.
Lengan kiri dan kaki kanannya patah.
Ang Hong Taysu berdiri tepat di depan mereka. Hanya terlihat sekejapan saja
tahu-tahu tubuhnya sudah menghilang dari pandangan. Sesuatu melayang di atas
kepalaku. Sangat cepat sampai terasa kiusaran anginnya.
Aku sempat menoleh saat melarikan kudaku lebih cepat lagi. Datuk nomor tiga, si
Buddha Lengan Seribu Yo Ceng, memandang dengan mata menyala penuh kebencian.
Tiga hari kemudian kami bermalam di tepi danau. Tidak ada tanda-tanda rombongan
lain menyusul. Ang Hong Taysu, seperti biasa, tidak tidur. Tokoh nomor dua rimba
persilatan itu sedang mempelajari peta buatan Khong Guan. Kami beristirahat di
situ hingga fajar. "Guru..." Ie Tong hendak mengatakan sesuatu. Ang Hong Taysu mengulapkan tangannya,
menyuruh Ie Tong diam. Guru dan ketiga muridnya tampak tegang. Aku tidak tahu
apa yang sedang terjadi. Ie Tong yang biasanya terlihat santai bahkan saat
menghadapi pertempuran di persimpangan jalan itu sekarang tampak serius sekali.
Lama mereka seperti menanti sesuatu. Tak ada yang bergerak sedikit pun. Raut
wajah Ang Hong Taysu sangat tegang. Sepasang matanya seakan terbelalak. Aku
tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba saja datuk nomor dua itu
mendongakkan kepala sambil meremas hancur peta yang ada di tangannya. Lama
kemudian mereka berlalu seperti tidak terjadi apa-apa.
"Apa yang barusan terjadi tadi?" bisikku pada Ie Tong setelah kami kembali
melanjutkan perjalanan. Dengan susah payah aku tadi berusaha mengejar Ie Tong
hingga bisikanku bisa terdengar. Ie Tong memandangku. Keningnya berkerut tapi
lama aku menunggu tidak ada jawabannya.
"Kau kenapa?" tanyaku. Tiba-tiba wajahnya tampak seperti kesakitan sekali lalu
dari mulutnya tersembur darah segar. Aku sempat mengelak hingga tak kena
semburannya. Meski jarak antara kami dengan yang lain cukup jauh tapi menurutku tidak terlalu
jauh bagi Ang Hong Taysu untuk dapat mendengar erangan Ie Tong. Namun, guru dan
kedua kakak seperguruannya seakan tidak mendengar apa-apa. Mereka terus melaju.
"Jangan berhenti!" seru Ie Tong tertahan. "Kita tidak boleh berhenti. Dia
membayangi kita." "Siapa?" "Sudahlah. Kita tidak boleh berhenti."
Ie Tong mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya yang lantas langsung ditelannya.
Matanya terpejam. Aku tak berani mengganggunya. Kami pun terus berpacu. Tiba-
tiba aku merasa bulu kudukku berdiri. Aku merasa ingin menoleh ke belakang. Saat
aku menoleh di kejauhan sana aku melihat sosok orang tua berambut putih sedang
berdiri. Dia si Orang Tua Tak Bernama. Meski menurutku jarak di antara kami
lumayan jauh tapi aku dapat melihat kilatan cahaya di sepasang matanya. Dia
berdiri di sana dan hanya memandang.
Seminggu kemudian kami sampai. Betapa terkejutnya kami waktu melihat di tempat
itu sudah ramai. Aku dapat mengenali beberapa orang yang sebelumnya ikut dalam
rombongan yang bertarung di persimpangan jalan itu. Jumlah mereka mencapai
ratusan. Dan semuanya sedang mengelilingi sebuah pohon besar dengan lubang di
tengahnya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh Ie Tong, gurunya dan kedua
kakak seperguruannya berhasil berada di barisan paling depan. Karena tak sanggup
mengikuti aku pun meloncat ke atas dahan sebuah pohon. Dari jauh tampak terjadi
pertarungan hebat di barisan terdepan. Dua orang tua dengan rambut, kumis dan
jenggot yang sudah putih semua sedang berusaha menghalangi mereka masuk ke dalam
lubang pohon itu. Hanya dalam waktu singkat puluhan pendekar bergelimpangan. Ie Tong berusaha
menyelamatkan jasad gurunya yang hangus terbakar dari injakan orang-orang. Kedua
kakak seperguruannya masih bertarung dengan sengit, berusaha membalas kematian
sang guru. Ie Tong mengamuk hebat saat beberapa orang mendesaknya. Para pendekar
itu berusaha mendekat ke kalangan. Mereka tampak beringas. Kiranya banyak dari
golongan mereka yang ikut binasa diterjang hawa panas tadi. Aku melompat ke sana
kemari berusaha mendekati Ie Tong. Dia kelihatan terluka parah. Darah membasahi
seluruh tubuhnya, tapi dia terus berusaha keluar dari pertempuran.
Kedua tokoh tua itu tak mau memberi sedikit kelonggaran. Tiap ayunan tangan atau
kaki mereka selalu membawa maut. Saat aku berhasil membantu Ie Tong di depan
datuk nomor satu rimba persilatan, si Orang Tua Tak Bernama, tengah terdesak
mundur dengan hebatnya. Tapi jagoan tua itu memang pantas disebut jago nomor
satu. Kedua tokoh tua misterius itu harus mendesaknya bersama-sama. Kesempatan
itu digunakan oleh beberapa pendekar untuk kembali mencoba menerobos masuk.
Melihat itu seorang dari kedua tokoh tua itu membuka mulutnya. Tidak terdengar
suara apa pun keluar dari mulut itu tapi para pendekar itu kelihatan seperti
sedang mendengar suara yang keras sekali. Mereka berteriak kesakitan sambil
menutup kedua telinga. Beberapa malah ada yang memuntahkan darah segar dan dari
lubang hidungnya keluar darah. Sepuluh orang berhasil dihalau kembali dalam
keadaan luka parah. Tiga orang berhasil masuk.
Kedua tokoh tua itu berjingkrakan tak karuan. Mereka tampak marah sekali. Mereka
seperti mengumpat tapi aku tak mengerti bahasanya.
"Mereka bukan manusia!" kata Ie Tong. Dia sedang mengunyah obat. Tubuh hangus


Omega Swordsman Karya Mogei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurunya telah kami amankan.
"Lihat!" Ie Tong menunjuk ke kalangan. Di sana, dari lubang pohon itu, tiba-tiba
muncul tiga sosok bayangan. Gerakan mereka sangat cepat. Jauh lebih cepat
daripada tiga orang pendekar yang berhasil menerobos masuk.
"Apa mereka sudah memperoleh senjata sakti?" tanya Ie Tong penasaran. Kami pun
meluruk ke tengah kalangan. Tetapi ternyata ketiga sosok itu bukan mereka yang
kami kira tadi. Tiga sosok itu mempunyai postur tubuh yang sama dengan kedua
tokoh tua itu. Mereka juga berambut, kumis dan jenggot putih semua. Sinar mata
mereka pun tampak sama. Begitu terang dan bernyala-nyala seperti ada api di
dalamnya. Bukan hanya kami tapi semua pendekar yang ada di situ tak kalah
terkejutnya. Meski begitu mereka langsung menyerang kembali. Kini kami menghadapi lima orang
tua misterius yang memiliki kepandaian di atas para datuk rimba persilatan. Tapi
jumlah kami masih jauh lebih banyak lagi. Dan empat orang datuk rimba persilatan
sedang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Si Orang Tua Tak
Bernama, Buddha Lengan Seribu, Pedang Ular dan Enam Nadi Pedang. Aku menyaksikan
pertarungan para tokoh sakti itu benar-benar bagai melihat para dewa bertarung.
Entah ilmu apa namanya yang digunakan para orang tua misterius itu, tapi tiap
kali mereka membuka mulut tanpa terdengar suara apa pun terasa gelombang tenaga
luar biasa yang membuat telingaku serasa tuli dan tubuh ini tergetar hebat.
Untung posisiku masih jauh dari medan pertarungan kalau tidak tentu nasibku sama
dengan beberapa orang yang tergetar jantungnya hingga copot. Tetapi sepertinya
mereka tidak dapat terus menerus menggunakan ilmu itu. Tiap kali habis
menggunakannya mereka tampak lebih lemah dari sebelumnya. Mereka perlu istirahat
sebelum tenaga mereka pulih kembali untuk menggunakan ilmu itu lagi. Hanya saja
mereka juga bukan orang tua bodoh. Mereka menggunakannya bergantian.
02:07 - Rembulan Tengah Malam
Langit mulai gelap. Kini hanya tersisa sekitar lima puluh orang termasuk para datuk rimba
persilatan. Aku, Ie Tong dan kedua kakak seperguruannya menjauh dari kalangan
untuk beristirahat. Namun, aku melihat kondisi mereka tidak memungkinkan lagi
untuk bertarung. Ie Tong luka dalam. Dari tadi dia memuntahkan darah. Kiranya
jantungnya tergetar hebat. Kondisi kedua kakak seperguruannya lebih parah lagi.
Yang seorang sepasang kakinya patah, yang seorang lagi mata kirinya buta
tertusuk pedang nyasar dan tenaganya habis. Hanya aku yang kelelahan dengan luka
goresan saja. Aku memang tidak pernah berhasil masuk ke dalam medan pertarungan.
"Mereka benar-benar bukan manusia." kata Ie Tong lirih. Darah kembali
dimuntahkannya. "Kau diamlah." Tegurku. "Kau harus banyak istirahat."
Ie Tong mencoba tertawa tapi kelihatan dia menahan sakit.
"Dendam guru harus dibalas!" serunya yang lantas memuntahkan darah lagi.
"Celaka! Kau bisa kehabisan darah!" Wajah Ie Tong pucat bagai kertas. Aku
menotok beberapa jalan darahnya. Ie Tong pun tertidur.
Kedua kakak seperguruan Ie Tong juga sudah terlelap. Mereka tadi meminum obat
yang katanya bisa menahan rasa sakit. Aku tadi membantu membersihkan dan
membalut mata yang tertusuk pedang. Lalu aku mendengar suara gemuruh. Aku
menoleh. Di tengah kalangan hanya tersisa sekitar sepuluh orang saja. Datuk
nomor lima si Enam Nadi Pedang tidak terlihat lagi. Buddha Lengan Seribu sedang
terduduk. Darah segar keluar dari mulutnya. Dari kejauhan aku melihat telinga
kirinya mengeluarkan darah juga. Kiranya datuk nomor tiga itu mengalami nasib
yang sama dengan Ie Tong.
Aku tidak melihat ketiga pendekar yang masuk ke dalam pohon tadi keluar. Apa
mereka masih berada di dalam" Atau mereka sudah binasa di tangan ketiga orang
tua yang barusan keluar tadi" Kenapa ketiga orang tua itu tidak keluar sejak
awal" Atau aku tidak dapat mengenali mereka karena langit berawan. Bulan purnama
tertutup awan tebal. Mungkin saja mereka sudah dari tadi keluar.
Aku mengambil pedang Ie Tong. Kini hanya sisa sepuluh orang saja tentu tidak
sulit bagiku untuk terjun ke tengah kalangan. Tetapi apa aku tidak hanya akan
mengantar nyawa saja"
Orang Tua Tak Bernama sedang bertarung melawan dua orang tua itu. Hanya datuk
nomor satu itu yang masih bertahan dengan keadaan tanpa luka yang berarti. Orang
tua itu betul-betul pantas menyandang gelarannya. Meski ada perasaan tidak suka
terhadap datuk itu karena pernah menyerang kami tapi mau tidak mau aku harus
segera memutuskan untuk membantunya atau tidak. Beberapa kali tadi aku selalu
menahan kakiku ketika melihat datuk itu berada dalam bahaya. Pertama karena aku
ingin membalas perlakuannya beberapa hari yang lalu. Kedua karena aku tahu aku
hanya mengantar nyawa saja. Ie Tong dan para pendekar bahkan datuk rimba
persilatan saja tidak mampu apalagi aku"
"Anak Sin, aku tidak dapat mewariskan semua ilmuku padamu." Kata guruku saat
hendak menyuruhku untuk turun gunung. "Kurasa waktuku tinggal menghitung hari
saja. Masih banyak mestinya yang harus kuajarkan padamu, tapi aku orang tua
bodoh tidak mengenal ilmu surat. Aku tidak bisa menuliskan ilmu kepandaianku.
Sekarang kondisiku tidak memungkinkan untuk mengajarmu lagi. Kau harus pergi
dari sini. Carilah guru baru. Bakatmu sangat besar."
Sejak dari kecil aku sudah tinggal bersama guruku di atas gunung. Guru tidak
pernah bercerita darimana dia mengambilku. Siapa kedua orang tuaku. Guru hanya
bilang aku bukan anaknya dan kami tidak mempunyai hubungan kekerabatan apa pun.
Kami hanya guru dan murid. Dan sekarang guru memintaku untuk meninggalkannya.
Juga rumah yang selama hampir dua puluh tahun kudiami. Sebelumnya tiap beberapa
hari sekali aku turun gunung untuk berbelanja. Aku membelinya dari desa di
bawah. Selain penjual bak pau kering, ikan asin, dan sayur mayur tidak banyak
yang kukenal. Meski begitu aku tahu aku ingin pergi, tapi kemana"
Kata guru ilmu kepandaianku semestinya berada di atas para pendekar pada
umumnya. Untuk melawan begundal, penjahat dan kawanannya aku masih mampu. Memang
tidak banyak teknik bertarung yang diajarkan guru. Guru lebih menekankan pada
penguasaan pernapasan untuk meningkatkan tenaga dalam. Guru tidak pernah
menceritakan perihal dirinya. Aku tidak tahu sehebat apa namanya di dunia
persilatan. Tapi aku pernah melihat kehebatan tenaga dalamnya. Aku yakin
kepandaiannya mungkin setingkat dengan si Orang Tua Tak Bernama. Celakanya, guru
pernah bilang untuk mempunyai tenaga dalam setinggi itu aku harus melatihnya
selama lima puluh tahun lebih. Jadi dengan ilmu silat yang masih jauh dari cukup
ditambah ilmu tenaga dalam yang baru kulatih selama kurang dari 15 tahun aku
harus menghadapi lima orang misterius yang kepandaiannya jauh di atas guruku.
Aku melihat ke depan. Di sana, Orang Tua Tak Bernama sedang dikeroyok oleh empat
orang tua sakti. Seorang yang lain sedang menghadapi lima orang pendekar yang
tersisa. Tapi aku melihat sebentar lagi, tak lama, mereka akan kalah. Dikeroyok
empat orang dengan kepandaian yang bisa dibilang menang setingkat di atasnya
membuat Orang Tua Tak Bernama kewalahan. Mulai terlihat napasnya memburu dan
gerakan tangan kakinya tidak banyak menimbulkan tenaga. Aku menggenggam pedang
Ie Tong kuat-kuat. Dapat kurasakan darahku bergejolak. Mungkin bila melihatku Ie
Tong akan tertawa tak karuan. Meski malam gelap tapi tentu Ie Tong akan dapat
melihat wajahku yang pucat dengan keringat dingin membasahi wajahku.
Gerakan keempat orang tua sakti itu semakin cepat. Tiba-tiba meluncur sesosok
bayangan yang langsung membantu mereka mengeroyok datuk nomor satu rimba
persilatan itu. Kiranya kelima pendekar yang tersisa tadi kini sudah tergeletak
tak berdaya semua. Lima pasang tangan menghantam ke arah si datuk nomor satu.
Terdengar suara seperti bunyi gemuruh. Daun-daun kering di atas tanah
berterbangan. Tampak pusaran angin mengurung orang tua itu. Hebatnya datuk itu
masih dapat bertahan. Melihat itu aku jadi kagum juga.
"K-kau bantulah!" Aku menoleh. Aku tadi mendengar suara Ie Tong. Tapi matanya
masih terpejam tenang. Tidak ada tanda-tanda dia habis bicara.
"Ie Tong?" "C-Cepat! Kau bantu orang tua busuk itu!" Ternyata benar Ie Tong yang bicara
tadi. Aku menggenggam gagang pedang kuat-kuat.
Apa boleh buat! Tubuhku meluncur ke arah mereka. Pedang Ie Tong kuayun beberapa kali di udara.
Aku sedang menggunakan jurus pamungkas dari ilmu silat terakhir yang berhasil
kupelajari dari guruku. Ilmu pedang Pedang Tak Bertuan.
"Anak Sin, kau kemarilah!" kata guruku selesai memberi petunjuk terakhir dari
ilmu pedang andalannya, Pedang Tak Bertuan.
"Guru," kataku sambil mendekat. "Ada apa, guru?"
"Kau ingat ilmu pernapasan yang kuajarkan sangat penting segera kau kuasai dan
kau tingkatkan. Ilmu pedang yang kuajarkan tak akan banyak berarti menghadapi
musuh dengan tenaga dalam yang lebih tinggi darimu."
"Murid mengerti, guru."
"Jurus pedang yang barusan kuajarkan padamu itu ilmu ciptaanku sendiri. Aku tahu
kau perlu waktu lama untuk dapat menguasai tenaga dalam yang tinggi sementara
mungkin aku tidak bisa mengajarmu terus. Jurus itu dapat digunakan tanpa tenaga
dalam sedikit pun untuk dapat menandingi lawan dengan tenaga dalam tinggi."
"Tapi apa murid bisa menang?"
"Bodoh! Tentu saja bisa! Buat apa aku menciptakan jurus itu kalau tidak ada
gunanya"!" Semoga guru benar! Seorang dari kelima orang tua itu melihatku. Aneh, aku melihat sinar matanya
tidak sebuas tadi" Mulutnya terbuka. Aku pasrah saja. Aku menantikan gelombang
tenaga dalam dahsyat yang akan menghantamku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Orang
tua itu seperti merana sekali. Dia menggapai rekannya yang beberapa saat yang
lalu menghantam mundur Orang Tua Tak Bernama. Rekannya, keempat orang tua itu,
menoleh ke arahku. Keempatnya membuka mulut. Tapi tubuhku terus meluncur tanpa
ada halangan. Aku tidak merasakan apa pun. Tidak ada getaran yang menggoncang
jantung, menghancurkan gendang telinga atau yang membuatku muntah darah. Sekejap
aku dapat melihat wajah mereka pucat. Saat itulah ujung pedangku menusuk dada
seorang dari mereka. Ternyata jurus ciptaan guru memang ampuh!
Keempat orang tua yang lain mengeluarkan suara ribut yang tak dapat kumengerti.
Mereka seperti berbicara bukan dengan bahasa manusia.
Apa Ie Tong benar" Apa mereka memang bukan manusia" Tapi darah yang keluar dari
luka tusukan itu berwarna merah.
Langit terang. Awan tebal yang menutup sinar rembulan telah lenyap tertiup
angin. Aku dapat melihat para pendekar yang tergeletak tidak semuanya mati.
Tetapi kebanyakan luka parah seperti Ie Tong dan kedua saudara seperguruannya.
Selain Orang Tua Tak Bernama, Pedang Ular dan lima orang pendekar yang tidak
kukenal semuanya tidak mungkin melanjutkan pertarungan. Bahkan mereka yang
tersisa itu pun perlu waktu untuk memulihkan tenaga mereka kembali.
Kelima orang tua misterius itu tidak menyerang lagi. Mereka berdiri berjaga-jaga
di depan lubang pohon besar itu. Dari raut wajahnya aku melihat mereka seperti
ketakutan sekali. Keempatnya bahkan tidak seperti sedang berusaha melindungi
rekannya yang terluka. Mereka mati-matian melindungi lubang pohon besar itu dari
kami. Apa jurus ciptaan guru ini benar-benar sehebat itu" Aku baru saja melukai
seorang di antara mereka. Belum tentu aku akan seberuntung tadi. Tetapi kenapa
mereka ketakutan seperti itu" Atau mereka mengenal jurus guruku ini"
Karena mereka tidak bergerak aku pun diam. Aku tidak yakin bisa seberuntung
tadi. "Kenapa kau diam saja?" tanya Ie Tong yang ternyata sudah berada di belakangku.
Dia sedang berjalan mendekat dengan sisa-sisa tenaganya.
"K-kau...?" Aku tidak sempat mencegah. Pedang di tanganku dirampasnya. Dengan mata
melotot dia menghampiri kelima orang tua itu. Aneh, kelima orang tua itu diam
saja. Keringat dingin mengucur dari dahi mereka. Mereka ketakutan. Melihat
kondisi Ie Tong tentu mereka, bahkan yang terluka sekali pun, tentu dapat dengan
mudah mengalahkannya. Tetapi kenapa mereka tetap saja ketakutan.
Ie Tong menghujamkan pedangnya ke salah seorang dari kelima orang tua itu. Orang
tua itu berhasil menghindar. Ie Tong menyabetkan pedangnya. Seorang tua yang
lain berhasil menghindar juga. Tapi tidak ada seorang pun yang berusaha membalas
menyerang. "Saudara Tong, tunggu!" Aku kasihan juga melihat jerih payah Ie Tong dengan
sisa-sisa tenaganya tidak membuahkan hasil sedikit pun. "Biar aku saja."
"Tidak! Aku ingin membalas kematian guru!" serunya yang lantas muntah darah
lagi. Kondisinya benar-benar payah.
Aku membiarkannya sekali lagi mengayun pedangnya. Kali ini berhasil merobek baju
seorang dari mereka. Sekali lagi dia mengayun pedangnya.
"Bocah tolol, apa yang kau lakukan"!" bentak Orang Tua Tak Bernama yang
tampaknya telah pulih kekuatannya. Datuk nomor satu itu mendorong Ie Tong hingga
terlempar jauh ke belakang. Sementara dia sendiri menghadapi kelima orang tua
itu. "Aku tidak pernah mendengar tentang kalian selama ini," katanya kepada mereka.
"Sebenarnya siapa kalian?"
Kelimanya saling berpandangan. Mereka berbicara dengan bahasa yang aneh.
Sepertinya mereka sedang mendiskusikan sesuatu.
"Kami hanya tidak ingin kalian masuk ke dalam pohon ini." kata seorang dari
mereka tak lama kemudian.
"Kenapa?" tanya Orang Tua Tak Bernama. Tubuhnya bergerak perlahan dengan sikap
mengancam. "Sebenarnya apa yang kalian cari?" mereka balik bertanya.
Orang Tua Tak Bernama bergerak maju. Langit gelap kembali. Kiranya langit
mendung. Awan tebal menutupi rembulan lagi. Aku tak dapat melihat dengan jelas
tapi datuk nomor satu itu telah bergerak. Gerakannya sangat cepat.
Terdengar suara benturan yang sangat keras. Gelombang tenaga panas menghantamku
yang tengah berusaha melindungi Ie Tong. Aku mendengar suara gedebuk di samping
dan ternyata Orang Tua Tak Bernama sudah tergeletak tak berdaya di sana.
Ie Tong menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. Aku pun merasa heran.
Saat aku menoleh kiranya tadi kelima orang tua itu bersama-sama memukul mundur
datuk nomor satu itu. "Hok Sin, ilmu pedang apa yang kau gunakan tadi?" tanya Ie Tong.
"Itu jurus pedang tanpa tenaga dalam ciptaan guruku." jawabku datar. Aku masih
merasa ada sesuatu yang salah.
"Maksudmu kita bisa mengalahkan mereka kalau kita tidak menyerang mereka dengan
tenaga dalam?" "Entahlah. Aku tidak yakin."
"Biar kucoba!" Ie Tong bangkit kembali. Dia meraih pedang tak jauh dari kami
yang entah milik siapa. Dengan sebentar-sebentar berhenti untuk menarik napas dalam-dalam Ie Tong
mendekati mereka. Segumpal awan gelap mulai bergeser tertiup angin. Aku dapat
melihat Ie Tong dengan jelas tapi tempat di mana kelima orang tua itu berdiri
masih gelap. Angin bertiup ke arah mereka seperti mengikuti langkah Ie Tong
saja. Tiba-tiba saja seorang dari orang tua itu membuka mulut. Gerakannya sangat
lambat tapi dari jauh aku sudah dapat merasakan gelombang tenaga mendatangi
dengan sangat kuat menekan. Aku menutup kedua telingaku sambil melompat. Ie Tong
berhasil kuraih. Kami berdua langsung tiarap menghindari lajunya gelombang
tenaga itu. Tak terdengar suara apa pun tapi akibat dari gelombang tenaga itu di sekitar
kami seakan tergoncang. "Hok Sin, gunakan jurus itu lagi!" seru Ie Tong penasaran. "Bunuh mereka semua!"
Langit kembali terang. Aku melihat kelima orang tua itu masih berdiam di tempat
mereka tadi. Tak ada seorang pun yang bergerak mendatangi. Aku menoleh sekejap
ke arah datuk nomor satu yang telah berusaha bangkit kembali. Kini aku melihat
dari kedua telinganya keluar darah. Kiranya barusan dia terhantam gelombang
tenaga tadi. "Bocah, kau murid siapa?" tanya datuk itu lirih sambil menoleh, memandangku.
"Ilmu pedang apa yang kau gunakan tadi?"
Aneh, bahkan seorang datuk nomor satu rimba persilatan tidak mengenal guruku"
Tetapi ilmu pedangku saja yang berhasil melukai mereka" Apa guru dulu tidak
mengangkat nama di rimba persilatan"
Aku memandang ke arah lima orang tua itu. Kembali aku melihat sinar mata
ketakutan. Tubuh mereka merapat satu sama lain. Hanya seorang tadi yang
menggunakan ilmu aneh itu. Jadi mestinya empat yang lain masih bisa menggunakan
ilmu itu padaku. Jadi kenapa mereka takut"
"Hok Sin!" Ie Tong mengangsurkan pedangnya.
Aku menoleh ke Orang Tua Tak Bernama. Dia memandang tanpa berkedip ke arahku.
Tampak sekali rasa penasarannya.
"Kau murid siapa?" tanyanya lirih setengah geram.
Aku menerima pedang Ie Tong. "Kau bilang kau datuk nomor satu rimba persilatan.
Bagaimana sampai kau tidak mengetahui siapa guruku?" tanyaku. Aku merasakan
suaraku bergetar. Bagaimana pun orang tua itu tokoh nomor satu yang disegani
semua kalangan. Aku hanya melampiaskan rasa kesalku terhadapnya karena menyerang
kami beberapa hari yang lalu.
Orang Tua Tak Bernama memasang tampang bengis.
Aku menghadapi kelima orang tua itu lagi. Aku memutuskan untuk menggunakan jurus


Omega Swordsman Karya Mogei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sepenuhnya. Aku melompat.
"Anak Sin, jurus pedang itu tak boleh kau gunakan melawan orang yang
kepandaiannya berada di bawahmu." Kata guru saat mengantarku pergi. Kami berada
di tepi jurang. Tempat kami tinggal memang tidak mudah diketahui orang luar.
Mereka yang tahu pun tidak mudah menjangkaunya. Baru waktu aku berumur 15 tahun,
saat aku sudah menguasai ilmu meringankan tubuh Selayang Pandang Selayang
Hilang, aku berhasil turun naik tepi jurang itu.
"Tapi bagaimana murid tahu orang itu mempunyai kepandaian tinggi atau tidak?"
"Gunakan ilmu pedangmu yang lain dulu. Kalau terdesak dan masih belum dapat
mengalahkannya baru kau gunakan jurus itu."
"Kenapa begitu, guru?"
"Meski tidak bertenaga tapi jurus itu sangat ganas. Perubahannya sangat banyak
dan hanya tergantung dari besarnya kehendakmu saja. Aku menciptakan jurus itu
tidak dalam waktu seketika. Aku selalu memikirkannya. Aku yakin dapat
menciptakan satu jurus pedang yang dapat menyatukan semua inti sari ilmu pedang.
Setelah jurus itu tercipta aku memikirkannya lagi siang malam. Waktu mengajarmu
tadi aku dapat melihat kalau jurus itu sudah sempurna. Kini aku puas."
Pedangku menusuk. Orang tua itu berusaha mengelak, tapi perubahan jurusku memang
luar biasa. Bukan hanya cepat tapi juga tidak terduga arah datangnya. Seorang
tertusuk paha kanannya. Dua orang yang lain paha kirinya. Seorang lagi kedua
kakinya dan seorang lagi sepasang tangannya. Aku memang tidak hendak membunuh
mereka. Aku hanya ingin membuat mereka tidak berdaya.
03:07 - Pohon Aneh Aku menempelkan ujung pedangku ke leher seorang dari kelima orang tua itu. Aku
perhatikan luka tusukan maupun goresan pedang di tubuh mereka sudah menutup
kembali. Aku dapat melihatnya dari balik pakaian mereka yang robek. Meski bekas
darahnya masih tapi jelas sekali tidak ada bekas tusukan atau goresan pedang.
"Beri kami obat kalian!" kataku.
"Berjanjilah dulu untuk tidak masuk ke dalam pohon itu!" kata orang tua yang
kuancam lehernya. "Kami akan menyembuhkan kalian semua."
Aku memandang Orang Tua Tak Bernama, Ie Tong dan yang lain. Mereka membuang
muka. Mereka tetap ingin masuk dan mengetahui ada apa sebenarnya di dalam pohon
itu. "Aku berjanji untuk tidak masuk." Kataku setelah lama memikirkannya.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanyanya lagi.
"Huh! Bocah itu ada hak apa bicara atasku?" tukas Orang Tua Tak Bernama.
Aku menggeleng kepala. "Kalau begitu kami hanya bisa menyembuhkanmu saja." Kata si orang tua. "Tapi aku
tidak melihat kau terluka."
"Berikan saja obat kalian. Aku jamin mereka tidak akan mengganggu lagi."
"Huh! Dengan ilmu kepandaianmu yang jauh di bawah mereka dengan jaminan apa kau
akan membuat mereka tidak mengganggu kami?"
Aku bingung. Sebenarnya, aku masih tidak mengerti. Menghadapi Ie Tong, bahkan
datuk nomor satu, mereka dapat dengan mudah mengalahkannya tapi menghadapi jurus
pedangku mereka tidak berdaya. Dan bukan hanya sekali tapi dua kali. Apa itu
hanya kebetulan" "Bocah, kau tidak menjawab kami."
"Tapi menghadapi kalian yang berilmu lebih tinggi dari mereka aku bisa menang."
Kataku ragu. Orang Tua Tak Bernama tiba-tiba telah berdiri di sampingku. Tangannya yang
panjang dan kurus meraup baju orang tua yang lehernya kutempel ujung pedang.
Terpaksa aku mengundurkan pedang itu kalau tidak tentu leher itu akan putus
karena datuk nomor satu itu sudah lantas menarik dan melemparnya.
"Orang tua, kau..." ujarku tertahan. Datuk nomor satu itu memandangku sekejap.
Sinar matanya sadis sekali. Meski kalau dilihat dari luarnya kemungkinan dia
luka dalam cukup parah tapi datuk itu terus merangsek maju. Seorang tua yang
mencoba menghalanginya dilemparnya ke belakang.
Saat datuk itu melangkahkan kakinya di bibir lubang aku mendengar suara ribut-
ribut di belakang. Waktu menoleh aku melihat Ie Tong dan lima orang pendekar
lain termasuk si Pedang Ular sedang mengerubuti kedua orang tua tadi. Mereka
memaksa keduanya untuk mengeluarkan obat luka dalam. Ie Tong meraup sebilah
pedang dan menghujamkannya ke salah seorang.
"Jangan!" Untung saja aku dapat menduga perbuatannya itu dan berhasil
mencegahnya. "Hok Sin, aku ingin membalas kematian guru!" teriak Ie Tong.
"Saudara Tong, itu masalah gampang." kataku menenangkan. "Mereka sudah berada di
tangan kita. Kupikir kesembuhan kedua kakak seperguruanmu dan yang lain lebih
penting lagi. Juga tentu kau ingin mengetahui apa yang terjadi dengan mereka
yang telah masuk ke dalam pohon itu bukan?"
Ie Tong terdiam. "Orang tua, kau berada dalam posisi yang tidak menguntungkan." Kataku kemudian.
"Kau berikan saja obat penyembuh untuk luka mereka."
Dengan enggan orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik bajunya.
Bungkusan itu lantas dilemparnya. Ie Tong, si Pedang Ular dan empat pendekar
lain berebut membuka bungkusan itu. Tanpa ragu mereka berebut menelan pil-pil
hitam yang ada di dalamnya.
Ajaib! Sekejap kemudian aku melihat wajah mereka tampak segar kembali. Wajah
pucat Ie Tong pun kini memerah. Terasa sekali luapan tenaga mereka hingga
membuat suasana menjadi hangat. Ie Tong tersenyum. Saat itu Orang Tua Tak
Bernama sudah hilang dari pandangan. Sementara ketiga orang tua yang masih
berusaha melindungi pohon itu berteriak-teriak tak karuan.
Orang tua yang melempar bungkus obat itu tertunduk sambil menggeleng-geleng
kepala. Dia menghela napas dalam.
Melihat datuk nomor satu itu telah masuk, si Pedang Ular tak mau ketinggalan.
Tubuhnya melesat cepat masuk ke dalam lubang pohon dan lenyap. Empat pendekar
yang telah pulih kekuatannya juga lantas menyusul. Melihat itu Ie Tong bergegas
menghampiri kedua kakak seperguruannya. Dia meminumkan obat ajaib itu. Tetapi
hanya seorang yang terluka dalam saja yang berhasil pulih kekuatannya. Mereka
berdua lantas melesat, menyusul masuk ke dalam pohon meninggalkan seorang yang
patah kedua kakinya. "Hok Sin, ayo!" seru Ie Tong di bibir lubang. Tapi tanpa menunggu jawabanku dia
lenyap, masuk ke dalam lubang pohon itu.
"Malam masih panjang." Kata orang tua yang melempar bungkusan obat kepada orang
tua di sampingnya. Temannya itu hanya mengangguk.
"Aku Ouw Sam." Katanya lagi padaku. Lalu sambil menunjuk temannya yang di
samping, "Dia Ouw Lam."
"Aku Hok Sin," kataku mengenalkan diri.
"Mereka yang di depan Ouw Kam, Ouw Yam dan Ouw Tam." Katanya kemudian sambil
menunjuk ke depan dari kiri ke kanan.
"Maafkan sudah terjadi peristiwa seperti ini." Kataku yang merasa sungkan dengan
kebaikannya. "Tidak apa. Sudah terjadi. Mereka sudah masuk." Katanya yang lalu menghela napas
dalam lagi. "Akan lebih banyak lagi yang di luar."
"Apa?" tanyaku yang tidak paham maksudnya. Tapi sebelum Ouw Sam menjawab tiba-
tiba saja dari dalam lubang pohon itu muncul delapan orang tua dengan rambut,
kumis dan jenggot putih. Mereka mendongak ke atas, memandang bulan purnama yang
bersinar terang sambil mengeluarkan seruan-seruan dengan bahasa yang aneh.
Mereka baru berhenti setelah Ouw Sam mengatakan sesuatu.
Ketiga belas orang tua itu berkumpul di depan lubang pohon itu. Mereka seperti
membahas sesuatu. Namun aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Kadang-kadang mereka hanya mengeluarkan suara seperti mendengung.
Lalu mereka semua berbalik ke arahku. Kini aku menghadapi ketiga belas orang tua
misterius yang kepandaiannya jauh di atasku. Kalau mereka menyerang aku hanya
bisa pasrah saja. Ouw Sam membuka mulutnya. Gerakannya sangat lambat. Aku
bersiap. Bukan untuk menyerang atau lari tapi menerima kemungkinan apa pun yang
akan terjadi. Dapat kubayangkan gelombang tenaga dalam yang akan bergerak
menghantamku. "Kau menunggu apa?" tanyanya. "Mereka tidak akan keluar."
"Kenapa" Kemana mereka pergi" Sebenarnya ada apa di dalam?" tanyaku.
Ouw Sam tidak menjawab. Kini, setelah lama kuperhatikan, baru kusadari sesuatu.
Ketiga belas orang tua itu mempunyai perawakan dan bentuk wajah yang sama. Hanya
panjang rambut, ketebalan kumis dan jenggot putih mereka saja yang berbeda.
Bahkan mereka mengenakan pakaian dengan model dan warna yang sama.
"Siapa sebenarnya kalian?" tanyaku setengah merinding. Baru kusadari mereka
sepertinya kembar. Kembar tiga belas! Apa mereka siluman yang sedang menyamar
menjadi manusia" Ouw Sam berpaling, menghadapi teman-temannya lagi. Dia berbicara sesuatu. Bicara
dengan bahasa aneh. Teman-temannya lantas menimpali. Sesaat kemudian mereka
saling bersahutan dengan bunyi degungan. Dari nadanya aku kira mereka sedang
berdebat sesuatu. Lama mereka berdebat sampai dari nada tinggi rendah bunyi degungan itu aku kira
aku dapat menebak kalau apa yang diusulkan Ouw Sam tadi telah disetujui.
Terlihat Ouw Sam mengangguk-angguk puas. Kedua belas orang tua itu lantas
meninggalkan Ouw Sam sendiri. Mereka menghampiri para pendekar yang terluka.
Dari balik baju mereka mengeluarkan bungkusan yang berisi pil hitam.
"Tenanglah, kami bermaksud baik." kata Ouw Sam yang masih berdiri di sana. "Kau
ingin tahu siapa kami?"
"Tentu saja." "Sebenarnya kami sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan kalian tapi
ternyata apa yang kami jaga selama ini akhirnya terbuka juga. Kami terlalu
teledor." Ouw Sam mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Bukan bungkusan obat itu karena
miliknya sudah dijadikan barang rebutan tadi. Dia mengeluarkan sebuah kotak
hitam sepanjang tangan orang dewasa tapi tipis. Di atas kotak itu menyala api
yang berwarna-warni. Tetapi anehnya api itu tidak membakar.
"Terpaksa hari ini kami langgar janji kami itu." katanya kemudian. "Nyawa teman-
temanmu berada dalam bahaya di dalam sana. Malam masih panjang. Tidak akan ada
yang bisa keluar bila teman-teman kami yang di dalam mengetahui ini semua."
"Teman-teman kalian" Di dalam sana" Ada berapa orang lagi di dalam" Pohon itu
memang besar tapi kukira tidak cukup besar untuk kalian semua" Ada apa ini?"
Ouw Sam memandang ke arah teman-temannya yang sedang mengobati para pendekar
itu. Ouw Sam menekan-nekan sesuatu di atas kotak hitam. Nyala api yang berganti-ganti
warna tiba-tiba berubah wananya menjadi merah semua. Lalu terdengar bunyi 'klik'
dua kali. Nyala api itu berubah menjadi hijau semua. Terdengar suara gemuruh
seperti saat hampir turun hujan deras. Suara gemuruh itu disertai bunyi logam
berdentingan. Layaknya ada yang sedang bertarung hebat di dalam sana.
Lalu aku melihat pohon besar itu seperti bergerak tapi tidak bergerak.
Pandanganku jadi sedikit kabur tapi waktu aku melihat ke arah lain pandanganku
jelas. Namun, saat memperhatikan pohon itu ternyata memang pohon itu yang
berubah seperti kabur. Perlahan-lahan warna dan bentuk pohon itu berubah.
Kilauan logam berangsur-angsur muncul menggantikan kulit pohon yang kering.
Pohon itu telah berubah. Bukan sebuah pohon besar lagi di depanku tapi sesuatu
seperti sebatang pedang raksasa layaknya yang tertancap di atas tanah hingga
separo badannya. Cahaya bulan purnama yang sedang bersinar terang membuat
kilauan-kilauan cahaya yang menyilaukan mata.
"Aku yakin kau siap mendengar cerita kami." kata Ouw Sam. Suaranya terdengar
sedikit aneh. Lebih ringan tapi terdengar jelas sekali. Seperti layaknya
suaranya keluar dari dentingan logam.
Aku menoleh, melihat ke arah mereka. Tapi yang kulihat bukan lagi tiga belas
orang tua yang berambut, kumis dan jenggot serba putih semua. Kini di hadapanku
berdiri tiga belas makhluk aneh. Mereka semua mempunyai bentuk tubuh yang sama,
kecil dengan kepala besar. Sepasang mata mereka tampak melotot dan bersinar
terang tapi tidak menyilaukan. Hidung mereka hanya tampak seperti dua titik
lubang hidung saja. Mulut mereka juga kecil dan tipis. Kulit mereka juga
berubah. Bukan seperti kulit manusia. Kulit mereka berwarna hijau.
"K-kalian S-siluman?"
04:07 - Krisis Ouw Sam menghampiriku. Jari telunjuk tangan kanannya yang panjang diacungkan.
Ujung jari itu menyala. Perlahan jari itu menghampiri dahiku. Terasa hawa panas
membakar kulit. Tapi tiba-tiba Ouw Sam berhenti. Jari itu belum sampai menyentuh
dahiku. Dia menarik tangannya.
"Aku tak dapat melakukan ini," katanya. "Belum saatnya generasi ini
mengetahuinya." "Apa yang akan kau lakukan" Sebenarnya siapa kalian?"
Ouw Sam memandangku dengan sepasang matanya yang besar dan tanpa kelopak mata
itu. Meski takut tapi aku berusaha untuk tidak memperlihatkannya. Juga karena
aku tidak merasakan ada bahaya mengancam darinya. Kalau pun ada apa yang bisa
kulakukan" "Kami datang dari negeri yang jauh sekali." kata Ouw Sam. Suaranya terdengar
nyaring dan jernih meski bibirnya kecil dan tipis. Tak dapat kubayangkan dari
mulut sekecil itu bisa keluar getaran suara yang dahsyat.
"Apa pedang raksasa itu yang membawa kalian?" tanyaku sambil menunjuk ke arah
bekas pohon besar itu. "Pedang raksasa?" tanya Ouw Sam yang lantas tersadar sesuatu. "Oh, itu. Ya, kami
datang dengan menggunakannya. Tapi itu bukan pedang raksasa. Kami menyebutnya
pesawat." "Pesawat?" Ouw Sam terdiam. Lalu katanya, "Sulit untuk menjelaskannya. Sebenarnya aku bisa
membuatmu mengerti tapi generasi ini masih terlalu jauh. Aku akan menciptakan
kekacauan kalau melakukan itu."
"Aku tidak mengerti."
"Sudahlah. Sebut saja itu pedang raksasa."
"Kenapa kalian datang kemari?" tanyaku.
"Kami terdampar. Pedang raksasa itu mengalami kerusakan saat terbang di atas
bumi ini..." "Terbang" Kalian terbang dengan pedang raksasa itu" K-kalian d-dewa?"
"Bukan. Kami bukan dewa." Ouw Sam terdiam lagi. Kulihat dia seperti kesulitan
menjelaskannya. "Tapi kalian bisa terbang. D-dan kalian tidak seperti kami." kataku.
"Tapi kami bukan dewa. Memang seperti inilah bentuk tubuh kami." kata Ouw Sam
yang mengerti yang kumaksud. "Kami hanya datang dari negeri yang amat jauh dari
sini." Aku melihat jari telunjuk Ouw Sam kembali bersinar. Dia memandangku.
"Sebenarnya semua dapat kujelaskan dengan mudah, tapi..." Sinar di jari
telunjuknya padam. "Tidak bisa begini."
"Sudahlah," kataku yang tidak sabar dengan keraguannya. "Kau jelaskan saja
kemana para pendekar yang masuk itu. Kau bilang nyawa mereka berada dalam
bahaya. Sebenarnya ada apa di dalam?"
Ouw Sam mengangguk. Lalu kulihat kedua belas temannya yang tadi mengobati para
pendekar yang terluka telah kembali. Mereka berkumpul bersama Ouw Sam di
hadapanku. Dapat kulihat bentuk tubuh dan wajah mereka yang sama semua. Mereka
betul-betul kembar tiga belas!
"Yang kau sebut pedang raksasa itu sebenarnya rumah kami." kata Ouw Sam
kemudian. "Kami harus tinggal di dalam karena di luar sini sangat menghabiskan
tenaga kami. Apalagi bila bulan purnama muncul. Kami menjadi lemah..."
"Aah, itu sebabnya aku bisa mengalahkan kalian! Jadi bukan karena ilmu
pedangku!" seruku agak menyesal.
"Benar. Kejadian tadi sangat kebetulan. Tiap kali kami harus melawanmu tiap kali
itu pula sinar bulan purnama tepat mengenai kami. Tetapi itu malah menguntungkan
kami. Ilmu kepandaianmu masih jauh lebih rendah dibandingkan teman-temanmu itu.
Kalau saja teman-temanmu itu mengetahuinya tentu nyawa kami sudah melayang."
Ouw Lam mendekat. "Kami juga berterima kasih karena kau tadi mencegah temanmu
menurunkan tangan jahat pada Ouw Sam."
"Jangan sungkan." kataku. "Sebenarnya waktu itu hanya keadaan Ie Tong saja yang
kupikirkan. Melihat luka kalian yang telah sembuh tak berbekas pikirku tentu
kalian membawa obat mujarab. Dan ternyata benar."
"Sebenarnya obat itu yang membantu kami untuk dapat hidup di luar sini." kata
Ouw Lam. Aku baru sadar ada sesuatu yang berbeda antara Ouw Sam dengan teman-temannya.
Wajah hijau Ouw Sam kelihatan lebih pucat.
"Tanpa obat itu kondisi kami akan lebih cepat melemah." kata Ouw Lam lagi. Saat
itulah aku sadar Ouw Sam diam lagi. Dari tadi kiranya dia berusaha untuk tampak
tegar. Beberapa kali dia terdiam bukan karena kesulitan untuk menjelaskan tapi
karena memang kondisinya melemah.
"Celaka! Barusan kalian membagi obat itu untuk mereka." seruku. Kini perlahan-
lahan wajah hijau mereka pun memucat.
"Tidak apa." kata Ouw Lam sambil menunjuk ke langit. "Kau lihat! Sebentar lagi
awan tebal itu akan menutupi cahaya bulan. Kami akan kuat lagi. Obat itu memang
tidak akan banyak pengaruhnya bila kami ada di bawah cahaya bulan. Tapi cukup


Omega Swordsman Karya Mogei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membuat kami tidak tambah lemas."
"Kau harus lekas masuk." kata Ouw Sam tiba-tiba. Langit kembali gelap. Wajah
mereka sudah tampak lebih gelap lagi.
"Sebenarnya kami tidak ingin kau masuk karena nanti teman kami yang di dalam
akan keluar seorang menggantikan kau yang masuk." kata Ouw Lam. "Kondisi itu
memang sudah diatur karena jumlah yang di dalam sudah dihitung dan tidak bisa
ditambah lagi. Bila ada yang masuk pasti akan ada yang keluar."
"Jadi itu yang terjadi." kataku yang sedikit mulai mengerti apa yang telah
terjadi. "Tapi untuk apa aku masuk ke dalam?"
"Kau harus menyelamatkan teman-temanmu." kata Ouw Sam. "Kondisi di dalam hanya
cocok untuk kami. Kalian hanya bisa bertahan semalaman saja di dalam. Kalau
tidak lekas keluar nyawa kalian akan hilang. Akibatnya akan lebih banyak lagi
dari kami yang terjebak di sini dan tak dapat masuk lagi ke dalam."
"Kenapa begitu?"
"Kondisi di dalam sudah dihitung untuk dapat membuat kami bertahan hidup sekian
lama ini. Bila kami berada di luar umur kami lebih pendek dari yang di dalam
karena kondisi di sini memang tidak cocok dengan kami. Kami sudah berada di sini
ribuan tahun dan kondisi di dalamlah yang membuat kami bisa bertahan selama itu.
Kalau ada yang meninggal di dalam maka kondisi di dalam akan menghitung ulang,
menyesuaikan dengan jumlah yang hidup. Kalau kami masuk maka teman kami yang di
dalam akan terpaksa keluar."
"Kenapa kalian tidak masuk saja sekarang" Bukankah dengan begitu teman-temanku
akan dipaksa keluar?"
"Sayangnya kami tidak bisa mengatur seperti itu. Kami tidak bisa memilih siapa
yang akan keluar. Kondisi di dalamlah yang mengaturnya. Kondisi itu yang akan
memilih siapa yang keluar. Dan itu bisa saja teman kami. Malam masih panjang.
Awan tebal di atas sebentar lagi tertiup angin dan cahaya bulan akan kembali
bersinar. Kami tidak mau mengambil resiko teman kami di dalam menerima siraman
cahaya bulan ini karena bisa memperpendek umur mereka. Tidak, resiko itu tidak
dapat kami ambil." "Tapi bagaimana bila aku tidak dapat mengajak mereka keluar" Dan... dan
bagaimana kalau aku tidak berhasil keluar?"
"Maka kami hanya bisa berpasrah saja di sini." kata Ouw Lam. "Toh, aku dan Ouw
Sam sudah lama berada di luar sini. Kami hanya tidak ingin yang lain menerima
nasib yang sama." "Kau dan Ouw Sam sudah lama berada di luar" Apa yang terjadi?"
"Beberapa tahun yang lalu sepasang pendekar masuk ke dalam. Sebenarnya itu
keteledoranku." kata Ouw Sam. "Mereka, oh, bukan. Seorang dari mereka sebelumnya
mengikutiku hingga akhirnya mengetahui tempat ini. Waktu itu aku bertugas
mencari makanan di luar. Tanpa sengaja aku berbenturan dengan pendekar itu.
Mungkin karena penasaran dengan ilmuku dia membuntutiku. Bodohnya aku tidak
mengetahuinya. Setahun kemudian, bertepatan dengan malam bulan purnama juga,
pendekar itu bersama seorang temannya masuk ke dalam. Kondisi di dalam membuat
aku dan Ouw Lam keluar. Sebelum keluar itulah aku sempat melihat siapa yang
masuk." "Siapa mereka?"
"Yang pernah bertarung denganku menyebut dirinya Hek Kong-kong. Yang seorang
lagi aku tidak tahu."
"Hek Kong-kong" Guruku penah bercerita tentangnya. Dia memang seorang pendekar
besar di jamannya." "Sayang, mereka terlalu lama berada di dalam. Mereka mati. Akibatnya kondisi di
dalam menghitung ulang jumlah yang hidup dan kami berdua terjebak di luar sini."
"Kenapa teman kalian tidak menyuruh mereka keluar waktu itu" Bukankah kalau
mereka keluar maka kalian akan dapat masuk kembali?"
"Benar. Tetapi saat itu malam bulan purnama juga. Meski berada di dalam tapi
cahaya bulan tetap berpengaruh meski tidak sekuat bila kami berada di luar. Aku
yakin teman-teman kami waktu itu lebih memilih diam. Bersembunyi di balik
bayangan. Di dalam pun kami bisa menciptakan tipuan seperti halnya tipuan pohon
besar itu. Kedua pendekar itu pasti terlena hingga terjebak dan mati di sana."
"Ah, jadi teman-temanmu yang di dalam tentunya sekarang berada dalam bahaya."
seruku. "Aku sangat mengenal Ie Tong. Dia orangnya sangat ingin tahu. Aku tidak
yakin dia tidak akan berhasil menemukan persembunyian teman-temanmu."
"Kalau itu terjadi maka lebih gawat lagi." kata Ouw Sam cemas. "Bukan. Aku bukan
mengkhawatirkan teman-temanku. Ouw Kam tadi bilang sejak kejadian waktu itu
mereka telah menciptakan sesuatu yang membuat cahaya bulan tidak berpengaruh
lagi bagi mereka yang di dalam."
"Celaka! Ada berapa orang lagi temanmu yang di dalam?" tanyaku mencemaskan Ie
Tong. "Banyak. Masih sangat banyak." jawab Ouw Lam. "Meski sebenarnya kami tidak suka
menyakiti manusia tapi..."
"Tapi apa?" "Tapi banyak juga di antara kami yang tidak suka dengan manusia." jawab Ouw Sam.
"Mereka yang lebih memilih berada di dalam dan tidak pernah sekali pun keluar.
Mereka yang memiliki kepintaran jauh di atas kami. Mereka yang menganggap
manusia sama dengan binatang."
"Kau harus segera masuk, Hok Sin." kata Ouw Sam pula sambil melihat ke arah
langit. Kini langit tampak cerah. Awan mendung telah habis tertiup angin. "Aku
tidak tahu apa alat yang kami ciptakan bisa bekerja dengan baik karena Ouw Kam
tadi bilang alat itu masih dalam tahap percobaan. Tapi aku tidak ingin Ouw Kam
dan yang lain berada di luar seperti aku dan Ouw Lam. Dan tentu kau pun tidak
ingin temanmu binasa di sana."
"Setelah berada di dalam apa yang harus aku lakukan" Bagaimana aku bisa membuat
mereka keluar?" Ouw Sam mengangsurkan kotak hitam yang mengeluarkan api hijau itu.
"Bawa ini!" katanya.
Aku menerima kotak hitam itu. Aneh, api itu tidak panas dan tidak membakar. Api
itu hanya bernyala-nyala saja.
"Apa ini?" tanyaku.
"Selain ada yang masuk kondisi di dalam tidak akan membuat kami yang di dalam
dapat keluar bila belum pada tahap kondisi untuk mencari makanan." jawab Ouw
Sam. "Gunakan alat itu untuk mencapai tahap itu. Kau tekan saja salah satu dari
tombol hijau itu." "Tombol hijau" Api hijau ini maksudmu?"
"Api hijau?" tanya balik Ouw Sam. "Oh, itu. Ya, kau tekan saja api hijau itu.
Jangan takut api itu tidak akan membakar jarimu."
"Tapi harus kau tekan setelah kau berada di dalam dan berhasil membujuk teman-
temanmu untuk keluar. Sebuah pintu nanti akan terbuka untuk kalian." kata Ouw
Lam. "Ini, aku menyisakan ini untukmu. Telanlah!"
Ouw Lam mengangsurkan pil hitam untukku dan Ouw Sam. Ouw Sam langsung
memasukkannya ke dalam mulut.
"Obat itu dapat menambah tenaga dalammu." Kata Ouw Lam setelah aku menelannya.
Pil hitam itu tidak terasa pahit seperti bayanganku sebelumnya. Rasanya manis
dan begitu menyentuh lidah langsung meleleh menjadi cairan yang menyegarkan
mulut. Saat aku menelan cairan itu hawa segar memenuhi tenggorokan dan dadaku.
Seketika aku merasakan tenagaku berlipat ganda. Hawa panas menyebar ke seluruh
tubuhku. "Obat itu mempunyai dua kegunaan." Kata Ouw Sam pula saat melihatku terbengong-
bengong karena merasakan reaksi dari pil hitam itu. "Untuk yang sedang terluka
dalam obat itu akan menyembuhkannya seketika. Sedang untuk yang tidak dalam
keadaan terluka obat itu bisa membuat tenaga dalamnya berlipat sepuluh kali
lipat." "Menurut ukuran kami, dari setelah bertarung melawan para pendekar tadi," kata
Ouw Lam pula. "Tenaga dalammu sekarang sebanding dengan orang tua yang tidak
meminum obat kami tadi. Sebanding dengannya sebelum dia terluka. Jadi dibanding
yang lain sekarang tenaga dalammu nomor satu."
"Itu sebabnya kalian tidak mau memberikannya padaku tadi." Kataku. Ouw Sam
tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang." Aku berbalik. Lubang pedang raksasa
itu tampak menanti seperti sangat mengharapkan kedatanganku. Aku pun melangkah
mendekatinya. "Hati-hatilah!" seru Ouw Sam. Tapi apa yang akan dikatakannya lagi sudah tidak
terdengar lagi. Semuanya menjadi sunyi dan gelap. Aku sudah berada di dalam.
05:07 - Sarang Naga Aku tidak dapat melihat apa-apa. Semuanya gelap tidak tampak sedikit cahaya pun.
Tetapi aku bisa merasakan semilir angin dingin yang masuk dan terasa terus
mengalir ke depan. Karena tidak tahu kemana maka aku mengikuti saja arah angin
itu mengalir. Entah bagaimana sebelumnya dengan Ie Tong dan yang lainnya. Apa
mereka berhasil menemukan pintu ruang gelap ini" Bagaimana kalau aku tersesat"
Bagaimana kalau aku tidak dapat menemukan mereka" Tapi aku tidak boleh berhenti.
Tidak mungkin juga aku berbalik. Saat ini tidak ada yang bisa kujadikan
petunjuk. Semuanya hitam pekat, gelap. Kalau aku berbalik apa aku bisa menemukan
pintu masuk tadi kembali"
Lama aku berjalan sampai serasa mau berhenti saja karena tidak juga menemukan
pintu keluarnya. Sampai tiba-tiba saja muncul setitik cahaya yang menyilaukan
mata di depan. Cahaya itu makin lama makin membesar seperti ingin menelanku. Aku
berteriak. "Hok Sin?" Aku mendengar suara Ie Tong. Aku membuka mata.
"Ie Tong!" Aku melihat Ie Tong, Orang Tua Tak Bernama dan seorang lagi yang
tidak kukenal sedang berdiri menghadapi puluhan orang tua yang mirip sekali
dengan Ouw Sam dan kawan-kawan. Sementara itu si Pedang Ular, kakak seperguruan
Ie Tong dan yang lain telah tergeletak tak berdaya.
"Bagus, Hok Sin! Kemarilah bantu kami!" seru Ie Tong penuh semangat. Tidak
kulihat rasa khawatirnya menghadapi puluhan orang tua aneh itu. Dari lengannya
mengalir darah yang masih juga belum kering.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku. "Lenganmu terluka."
"Tidak apa." Katanya dengan pandangan tak mau lepas dari kerumunan orang tua
itu. "Kau lihat. Mereka benar-benar bukan manusia! Wajah mereka mirip semua. Dan
tidak kulihat ada wanita di sini. Mereka semua laki-laki tua! Mereka pasti
siluman!" "Bukan. Mereka bukan siluman."
"Apa katamu?" Ie Tong memandangku.
"Mereka bukan siluman." Kataku sambil menoleh, menghadapi kerumunan orang tua
yang memang baik wajah maupun penampilannya mirip dengan Ouw Sam. "Tapi mereka
memang bukan manusia."
"Hok Sin, kau tahu siapa mereka?" tanya Ie Tong. Orang Tua Tak Bernama dan
seorang pendekar lagi yang tak kukenal menoleh, memandangku.
Aku mengangguk. "Ie Tong," kataku sambil juga memandang yang lain. "Kita harus segera keluar
dari sini. Berita soal adanya senjata pusaka di sini bohong belaka."
"Darimana kau tahu?" Tapi Ie Tong kembali memandang ke arah kerumunan orang tua
itu. Dari sinar matanya aku tahu dia tidak setuju.
"Nyawa kita akan melayang kalau terlalu lama berada di sini." Lanjutku dengan
nada yang ingin kubuat lebih meyakinkan tapi aku sendiri tidak merasa yakin.
"Keadaan di sini tidak cocok untuk kita."
"Bocah, kau diamlah!" tegur Orang Tua Tak Bernama. "Tidak apa kalau kau takut.
Kau diamlah di situ."
"Hok Sin, ini kesempatan kita." Kata Ie Tong pula. "Mereka tidak sekuat yang
kita hadapi di luar tadi. Kau pasti bisa mengalahkan mereka. Ie Tong tidak tahu
kalau kejadian di luar tadi hanya kebetulan saja. "Mereka memang lebih banyak di
sini tapi jauh lebih lemah dari yang di luar. Kau lihat!"
Ie Tong menunjuk. Di antara mereka yang berdiri menghadapi kami lebih banyak
lagi yang tergeletak tak berdaya. Meski tidak terlihat sedang menderita luka
hebat tapi dari pakaian mereka dapat kulihat bekas-bekas darah yang telah
kering. Beberapa kantong seperti milik Ouw Sam yang menyimpan obat mujarab
berhamburan di sisi mereka.
Tiba-tiba Orang Tua Tak Bernama melesat. Dari bekas tempatnya berdiri tadi
mengepul asap putih yang keluar dari bekas pijakan kakinya. Kiranya tadi dia
sedang mengembalikan kekuatan tenaga dalamnya.
Serentak puluhan orang tua aneh itu mengeroyok datuk nomor satu itu. Gerakan
mereka memang jauh dibanding Ouw Sam dan kawan-kawannya tadi. Mereka seperti
layaknya pendekar-pendekar rimba persilatan pada umumnya. Tidak ada yang
istimewa selain jumlah mereka yang banyak. Namun, hanya sekejapan saja puluhan
orang tua itu berjatuhan. Datuk nomor satu itu menurunkan tangan kejam. Entah
ilmu tenaga dalam apa yang digunakannya. Begitu tersentuh tangannya orang-orang
tua itu terpelanting, terhempas dan tak dapat bangun lagi. Meski begitu terebah
mereka langsung meminum obat ajaib itu tapi tidak seperti Ouw Sam tadi yang
langsung pulih tenaganya para orang tua itu tetap tak dapat bangkit lagi.
Lalu tiba-tiba terdengarlah suara dengungan. Bukan dengungan biasa karena aku
melihat Orang Tua Tak Bernama berteriak sambil memukul-mukul kepalanya. Dia
kelihatan sangat kesakitan sekali. Juga Ie Tong dan pendekar itu. Sementara para
pendekar yang tergeletak terlempar kemana-mana seperti daun kering yang tertiup
angin kencang. Aku sendiri yang dapat bertahan menghadapi gelombang tenaga suara yang dahsyat
luar biasa itu. Meniru Ouw Sam tadi aku membuka mulutku perlahan-lahan. Luapan
tenaga panas naik dari bawah pusarku menembus seluruh titik pembuluh darah,
melewati lambung, hati dan dada. Lalu terasa ada seperti bola panas membakar
tersembur. Terdengar suara dengungan yang sama dahsyatnya dengan yang tadi. Tapi
kali ini suara itu keluar dari mulutku.
"H-hok Sin..." Suara Ie Tong ini terdengar jelas sekali karena begitu suara
dengunganku tadi terdengar suara dengungan yang sebelumnya langsung hilang. Aku
pun langsung menutup mulutku.
Aku menghampiri Ie Tong. Kondisinya tidak parah. Sementara Orang Tua Tak Bernama
dan pendekar tadi tergeletak tak sadarkan diri.
"K-kau bisa ilmu mereka?" tanya Ie Tong pula sambil berusaha bangkit berdiri.
"Ilmu apa itu?"
"Aku juga tidak tahu." Kataku sambil membantunya bangkit berdiri tapi dia
menolak tanganku. "K-kau bukan golongan mereka, bukan?" tanyanya. Tapi meski pandangannya penuh
keraguan aku tidak merasakan ketakutan dari nada suaranya.
"Tentu saja bukan. Aku temanmu, aku manusia."
"Darimana kau belajar ilmu itu?" Aku menoleh. Suara itu terdengar jauh lebih
jernih daripada Ouw Sam dan yang lain saat mereka saling berbicara sambil
sesekali memperdengarkan suara dengungan tadi. Di depan, paling depan dari
kerumunan orang tua itu berdiri seorang wanita yang cantik sekali. Kulit
wajahnya putih bersih. Gerakannya pun sangat gemulai. Meski aku tidak merasakan
hembusan angin tapi pakaiannya tampak berkibar-kibar tertiup angin. Betul-betul
bagai seorang dewi yang baru turun dari kahyangan.
Aku pun berbalik menghadapinya. Jarak di antara kami lumayan jauh tapi aku dapat
mencium bau harum terpancar dari tubuhnya.
"Aku tahu siapa kalian." Jawabku yang sebenarnya tanpa kuinginkan terbayang di
hadapanku sosok yang sama dengan Ouw Sam dan yang lain saat mereka membuka
penyamarannya. Tapi di luar kehendakku juga aku tidak ingin membayangkan sosok
yang sama kepada wanita cantik itu. "Ouw Sam yang menyuruhku masuk. Dia juga
yang memberiku obat ajaib kalian."
"Hok Sin! Obat ajaib apa" Kau bagilah padaku!" seru Ie Tong yang telah kembali
menyambar pedangnya. "Ouw Sam" Ouw Sam siapa?" tanya wanita itu.
Tapi sebelum aku menjawabnya seorang dari orang tua yang berdiri di dekatnya
mendekat dan membisikkan sesuatu. Lalu wanita itu pun lantas mengangguk-angguk.
"Oh, dia." Gumamnya.
"Aku kemari dengan maksud baik." Kataku kemudian. "Kami akan keluar dari sini."
"Hok Sin!" teriak Ie Tong sambil melotot ke arahku.
"Ie Tong, sudahlah. Kita tidak mungkin menghadapi mereka. Kau lihat sendiri
bahkan si datuk nomor satu itu pun tak berdaya."
Ie Tong masih melotot. Dia sangat penasaran sekali. Tapi tak ada yang dapat
diperbuatnya. Sudah jelas baginya kalau aku tidak hendak melawan mereka.
"Kau kira aku akan mengijinkan kalian keluar hidup-hidup?" Wanita itu sangat
cantik. Nada suaranya pun terdengar sangat merdu. Tetapi entah kenapa bulu
kudukku merinding. "Tapi aku bermaksud menolong Ouw Sam dan yang lain yang ada di luar. Mereka
masih hidup." "Menolong mereka" Memangnya kenapa mereka?" tanya wanita itu dingin.
"B-bukankah mereka harus masuk kembali ke sini?"
Wanita itu tertawa. Sementara terdengar suara dengungan di antara para orang tua
itu. Sepertinya mereka sedang mendebatkan sesuatu.
"Teman-teman kalian yang berada di luar masih hidup." Kataku lagi untuk
mempertegas siapa tahu mereka tidak menangkap maksudku tadi. "Kami akan keluar
dari sini supaya mereka bisa masuk kembali ke sini."
"Manusia," kata wanita itu pula. "Kau bilang tadi Ouw Sam lah yang memberimu
obat ajaib itu?"

Omega Swordsman Karya Mogei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar." "Dan dia juga yang memintamu masuk kemari untuk membawa teman-temanmu itu
keluar?" "Benar. Kami akan segera keluar sekarang."
"Apa dia tidak memberitahumu siapa kami?"
"Ouw Sam sudah menceritakannya semua. Aku tahu siapa kalian?"
"Benarkah" Kau betul-betul tahu siapa kami?"
Saat itulah tiba-tiba saja wanita itu berubah. Kini di hadapan kami berdiri
puluhan makhluk seperti saat Ouw Sam membuka penyamarannya tadi. Dan seorang
lagi yang berdiri di depan mereka. Tapi bukan makhluk yang sama karena memang
tidak mirip. Yang berdiri di depan menggantikan wanita tadi mempunyai sosok yang
jauh lebih tinggi dan langsing. Kepalanya jauh lebih besar dengan sepasang bola
mata yang bersinar merah terang.
"Apa dia juga memberitahumu kalau ada di antara kami yang tidak suka dengan
manusia?" tanya makhluk wanita itu sambil memperlihatkan deretan giginya yang
runcing. "T-tapi aku bermaksud menolong teman kalian!" seruku. Bukan karena takut
menghadapi makhluk wanita itu tapi lebih karena takut mereka salah paham.
"Aku tidak butuh mereka!" seru makhluk wanita itu. "Semakin sedikit yang tinggal
di dalam sini semakin bagus!"
Makhluk wanita itu melompat dengan gerakan menerkam. Gerakannya sangat cepat.
Tapi aku bergerak lebih cepat lagi untuk meghindar. Namun, Ie Tong kurang
beruntung. Kelima jari berkuku hitam dan runcing itu menembus dadanya. Darah
mengucur dengan derasnya.
"Ie Tong!" Sebelum aku sempat berbuat apa-apa makhluk wanita itu mencabut
tangannya. Darah tersembur deras dari dada Ie Tong. Sekejap kemudian dia sudah
melompat kembali untuk menerkamku. Gerakannya sangat cepat meski aku dapat
melihatnya dengan jelas. "Kalian lemah!" seru makhluk itu. Kelima jarinya kembali terulur. Meski tubuhnya
masih di udara tapi terasa ada hawa tajam yang menusuk ke arah dadaku. Hawa itu
sangat pekat dan serasa mustahil untuk menghalaunya. Tepat di bagian dadaku yang
ditujunya kain bajuku tercabik-cabik dengan serpihannya seperti tersedot ke
arahnya. Namun, tiba-tiba saja aku merasakan ada hawa panas yang mendesak seperti ingin
meluap keluar dari bawah pusarku. Hawa tenaga dalam yang baru kali ini kurasakan
demikian dahsyatnya. Tak pernah terbayangkan sama sekali olehku sebelumnya bakal
merasakan luapan tenaga sedemikian besar. Guruku pernah bilang tenaga sakti Inti
Es tingkat ketujuh baru bisa diperoleh setelah berlatih selama 30 tahun. Baru
setelah itu untuk menembus tingkat delapan dan sembilan masing-masing hanya
perlu waktu 10 tahun. Jadi kira-kira di umurku yang keenam puluh tahun baru
tenaga sakti itu sempurna kulatih. Namun, berkat pil hitam ajaib pemberian Ouw
Lam hanya dalam waktu sekejap saja aku sudah menguasai dengan sempurna tenaga
sakti itu! Aku mengulurkan kedua tanganku dengan telapak tangan terbuka ke arahnya, tepat
menghalangi hawa pekat itu. Aku mengerahkan tenaga sakti Inti Es tingkat
sembilan, tingkat tertinggi.
Terdengar suara benturan tenaga yang memekakkan telinga. Hawa pekat musuh seakan
membeku di udara sementara tenaga saktiku menyebar, membentengi tubuhku
sekaligus menyerangnya. Makhluk wanita itu mengeluarkan suara dengungan. Dari
mulutnya tersembur cairan berwarna hijau. Tubuhnya terlempar lalu terhempas
sampai beberapa tombak jauhnya.
Namun sekejapan saja dia sudah bangkit, berjongkok. Lengan kanannya dihentakkan
di samping tubuhnya dan aku melihat lengan itu menjadi bertambah panjang. Kuku-
kukunya yang memanjang disatukan hingga tampak seperti mata tombak yang terbuat
dari baja hitam yang sangat kuat sekali. Lalu dia telah melompat lagi, menyerang
dengan ujung mata tombak kukunya itu diacungkan ke arahku.
"Hok Sin! Gunakan pedangku!" seru Ie Tong sambil melempar pedang pusaka gurunya.
"Ie Tong"!" seruku kaget melihatnya masih hidup.
Aku pun lantas melompat sambil menyambut pedang itu. Pedang itu berpendar,
memancarkan cahaya kebiruan. Nyata sekali pedang itu ditempa dari logam langka
yang tak ada duanya. Sambil berputaran aku menangkis tusukan kuku hitam musuh.
Tetapi, tenaganya sangat besar. Meski aku merasakan masih kalah setingkat di
bawahku. Namun, posisiku kurang menguntungkan karena sedang melayang di udara.
Tenaga dorongannya kumanfaatkan untuk menjauh.
Belum lagi kakiku menginjak tanah aku merasakan hawa pekat kembali tertuju ke
arahku. Aku memutar pedangku dengan menggunakan salah satu jurus dari ilmu
pedang Delapan Dewa. Lalu dengan gerak tipu Dewa Pincang Menjatuhkan Tongkat
kuhalau hawa pekat itu sambil lantas berubah ke gerak tipu Dewi Bunga Menebar
Pupuk. Gerak tipu terakhir ini hanya untuk memancing musuh menyerang kakiku.
Saat kakinya sudah menjejak tanah aku lantas menggunai gerak tipu Dewa Arak
Menegur Pemabuk. Rangkaian gerak dari gerak tipu itu menghasilkan rangkaian
sabetan dan tusukan pedang. Berkat obat ajaib Ouw Lam yang menambah tenaga
dalamku berpuluh kali lipat membuat jurus sederhana warisan guru ini menjadi
cepat luar biasa. Makhluk wanita itu melompat mundur dengan panik. Tubuhnya penuh luka sabetan dan tusukan. Kesempatan itu kugunakan untuk melompat,
mendatangi Ie Tong. "Bagaimana lukamu?" tanyaku. Jelas terbayang di mataku kuku hitam tajam bagai
baja tadi menusuk menembus dada Ie Tong. Tak ada seorang pun yang dapat tetap
hidup kalau ditusuk pedang seperti itu. Tapi kulihat luka Ie Tong perlahan-lahan
menutup. Kulit yang tertembus kuku itu seperti hidup. Kulit itu menutup kembali.
Meski bekas darahnya masih belum kering lagi tapi luka itu sudah tertutup.
"Kau...?" Tapi tak perlu kulanjutkan rasa penasaranku itu saat melihat Ie Tong
menunjukkan kantong hitam persis seperti milik Ouw Lam yang berisi obat ajaib.
"Hei, kau kira aku tolol setelah tahu keajaiban obat ini dan tidak berusaha
untuk mendapatkannya lagi?" kata Ie Tong sambil tertawa. "Kau minumlah juga..."
Saat itu terdengar deruan angin di belakangku. Juga terdengar suara dengungan
yang seperti terdengar langsung dari dalam telingaku. Aku menoleh. Angin kencang
bertiup menerbangkan tubuh makhluk wanita itu yang sedang meluncur ke arah kami.
Aku tidak mau kejadian tadi terulang. Segera aku melompat menyambut serangan itu
sebelum wanita itu berada di dekat Ie Tong. Pedang di tangan kiriku mengeluarkan
suara mendesing nyaring sekali saat aku menebas ke arah wanita itu. Tetapi
makhluk wanita itu gesit juga. Dia berhasil menghindar. Saat itu juga aku
menggunakan gerak tipu Dewa Pedang Belajar Silat. Gerak kaki yang tampak kacau
tapi mengandung rangkaian langkah tak terduga berpadu dengan ayunan pedang yang
tampak kaku tapi menyembunyikan tenaga dalam yang menghancurkan. Tiga puluh kali
makhluk wanita itu tersabet pedangku. Sebuah tendangan membuat tubuhnya
terlempar. Aku melompat, mengiringi tubuhnya yang melayang lalu terhempas hingga terseret
hingga beberapa tombak jauhnya. Pedang pusaka Ie Tong kuhujamkan tepat ke arah
lehernya. Aku tidak bermaksud membunuhnya. Aku hanya ingin menakutinya. Tetapi
ujung pedang itu tertahan di udara.
"Bagus! Kau tidak lemah seperti mereka." Katanya yang menahan pedangku dengan
kuku-kuku bajanya. "Tapi pertarungan ini belum selesai."
Aku merinding. Sesuatu membuatku takut. Hawa pekat seperti datang dari segala
penjuru mengepungku. Aku mendongak. Di kejauhan sana, di sekeliling kami,
berdiri puluhan makhluk yang sama persis dengan makhluk wanita itu. Masing-
masing sedang menghentakkan lengan kanannya hingga bertambah panjang dengan
ujung kuku-kuku hitamnya disatukan hingga seperti ujung mata tombak.
06:07 - Mana Kawan Mana Lawan
Melawan mereka jelas tak akan menang. Jumlah mereka terlalu banyak. Dan dengan
masing-masing mempunyai kemampuan seperti makhluk wanita itu dapat dipastikan
nyawa kami tak akan selamat. Perlahan, mengikuti gerak mengancam mereka yang
bergerak maju dengan perlahan, aku berjalan mundur menghampiri Ie Tong.
"Bisa kau kumpulkan mereka semua di sini?" tanyaku pada Ie Tong sambil memberi
tanda bahwa yang kumaksud dengan mereka tentu saja Orang Tua Tak Bernama dan
yang lain. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Sudah. Cepatlah! Kita tak akan menang melawan mereka." Desakku.
Untunglah posisi Orang Tua Tak Bernama yang tergeletak tak berdaya tak jauh
dengan yang lain. Posisi kami memang terkepung rapat tapi Ie Tong dapat dengan
mudah menjangkau mereka. Untuk membantu memberi waktu pada Ie Tong aku melangkah
maju. "Kalian mau kabur?" tanya makhluk wanita itu tak acuh. Kupikir tadi mereka semua
bergerak mengepung tapi ternyata mereka yang mirip dengan Ouw Sam tidak ikut
bergerak. Hanya kawanan yang mirip makhluk wanita itu saja yang maju.
Apa mereka ini yang dimaksud Ouw Sam golongannya yang memiliki kepandaian lebih
tinggi" "Tidak ada gunanya kita bertarung. Kenapa kau tidak mau melepaskan kami?"
tanyaku penasaran. Wanita itu tertawa. "Jumlah kami di sini tidak sebanyak jumlah kalian di luar sana." Katanya
kemudian. "Apa jaminannya kau tidak akan membawa teman lebih banyak lagi untuk
menyerbu kemari?" "Untuk apa?" tanyaku. "Keadaan di sini tidak cocok untuk kami. Tentu aku akan
memberitahu yang lain untuk tidak masuk kemari karena akan membahayakan jiwa
mereka." "Oh, jadi dia juga menceritakan itu padamu." Katanya lagi. Saat itu mereka
berhenti, tidak bergerak mengepung tapi tetap seperti bersiap akan bertarung.
"Hanya saja kami sudah belajar sesuatu dari percobaan kami untuk bergaul dengan
manusia." Wanita itu diam sejenak lalu katanya, "Kalian tidak bisa dipercaya."
"Aku akan menjamin mereka untuk tidak menyerbu kemari." Kataku. "Kalian
percayalah. Ini semua hanya salah paham belaka. Seseorang mencoba menarik
keuntungan dengan menyebar kabar bohong. Sepertinya dia tahu sesuatu yang kami
tidak tahu. Tentunya dia tahu kalau kami tak akan dapat pulang dengan selamat."
Seseorang yang kumaksud tentu saja Si Lidah Tak Pernah Salah Khong Guan.
"Apa dia ada di sini?" tanyanya tak acuh.
Aku menggelengkan kepala. Dan aku menjadi menyesal karena telah salah omong.
Dengan begitu dia tahu kalau tempat persembunyian mereka ini masih diketahui
orang luar. Tiba-tiba secara serentak puluhan makhluk wanita itu melompat, menerjang ke
arahku. Dapat kurasakan hawa pekat berusaha mencabik-cabik tubuhku. Tak dapat
kuelakkan lagi pakaianku robek di sana-sini seperti tersayat pedang. Untunglah,
tenaga dalamku, di luar kemauanku, telah melindungiku dari hawa pekat itu hingga
tak sampai menggores kulit tubuhku. Sekejap kemudian sesosok bayangan menghujam
di depanku. Hawa pekat tajam hampir saja menebas putus lenganku. Pecahan logam
berhamburan seperti cipratan air. Dua sosok menghujam di sampingku. Disusul
kemudian tiga sosok, lima, sepuluh, dua puluh hingga aku merasakan seakan-akan
semua makhluk wanita itu telah secara bergantian menghujam di dekatku. Serpihan
logam menghalangi pandangan. Selarik kilauan cahaya menerobos di balik hujan
serpihan logam yang mengelilingiku. Dapat kukenali kilauan itu adalah ujung kuku
hitam sekuat baja yang ditusukkan ke dadaku.
Di saat kritis itulah tiba-tiba semuanya seakan berputar. Berputar mengelilingi.
Lalu masing-masing dari makhluk wanita itu terpental ke sana kemari. Sekejap
saja tak ada seorang pun yang mengepungku. Aku memicingkan mata. Sebenarnya aku
dapat menebak apa yang telah terjadi, tapi tak kuasa aku untuk tidak melihatnya
sendiri. "Bagus, Ie Tong!" seruku.
Di depanku, hanya berjarak setombak dari tempatku, berdiri dengan gagahnya datuk
nomor satu rimba persilatan, si Orang Tua Tak Bernama. Angin berputaran di
sekeliling tubuhnya, menerbangkan pecahan-pecahan logam. Sinar matanya
berkilauan, jauh lebih tajam dari semula. Wajahnya bersemu dadu bagai seorang
bayi yang baru lahir. Waktu mendekati Ie Tong tadi, selain menyuruhnya untuk mengumpulkan para
pendekar itu aku juga menyuruhnya untuk meminumkan pil hitam pada datuk nomor
satu itu. Kantong yang berisi pil hitam yang entah bagaimana bisa jatuh di
tangan Ie Tong berisi sembilan butir pil hitam. Aku mengambil dua dan langsung
meminumnya. Tenaga dalamku pun langsung naik pesat. Ie Tong kusuruh minum dua
juga. Sementara sebutir kusuruh Ie Tong untuk meminumkan pada datuk itu untuk
menyembuhkan luka dalamnya. Begitu orang tua itu pulih kekuatannya sisa empat
butir kusuruh Ie Tong untuk memberikannya semua padanya. Kini orang tua itu
berdiri di hadapan kami dengan tenaga dalam yang tak akan mungkin diukur lagi
tingginya. "Kalian menyingkirlah!" serunya.
Sebenarnya maksudku tadi aku ingin Ie Tong dan datuk itu membantuku, tapi orang
tua itu dengan angkuhnya berdiri menghalangiku. Dia ingin menghadapi mereka
sendiri. Apa boleh buat dia memang satu-satunya harapan kami. Dengan tenaga
dalam setinggi itu tentu tak akan sulit baginya.
Aku menghampiri Ie Tong. "Kenapa kau menyuruhku memberikan semua sisa pil hitam itu padanya?" kata Ie
Tong dengan nada tak senang. "Kenapa tidak kita berikan pada si Pedang Ular dan
yang lain" Mereka tentu juga tak akan menolak untuk membantu."
"Tapi kalau seperti itu tenaga kita tetap tak akan cukup menghadapi mereka.
Ingat, minum sebutir baru hanya akan menyembuhkan luka dalam mereka." Jawabku.
"Hanya orang tua itu satu-satunya harapan kita. Sebenarnya tadi aku bermaksud
kita bertiga. Tapi, sudahlah. Begini juga lebih baik. Sekarang bersiaplah.
Begitu orang tua itu mengalahkan mereka, kita keluar dari sini."
"Kau yakin dia mau ikut?" Ie Tong menunjuk ke depan. Di sana si datuk nomor satu
itu telah bertarung hebat dengan puluhan makhluk wanita itu. Gerakan mereka
sangat cepat hingga tak jelas bagi kami. Tetapi dapat kulihat datuk itu masih
jauh lebih unggul. Sekejap saja banyak dari makhluk wanita itu yang berjatuhan.
"JANGAN!!!" Celakanya dia tidak mau berhenti sampai hanya menjatuhkan mereka
saja. Datuk nomor satu itu menurunkan tangan kejam. Satu per satu nyawa makhluk
wanita itu melayang. Napasku terasa sesak. Ingin rasanya aku melabraknya. Namun, aku sadar aku sudah
memberi sepasang sayap pada seekor harimau buas. Mungkin bukan hanya sepasang
tapi sepuluh pasang. Kehebatannya itu tak akan sanggup kukejar kecuali aku minum
sepuluh atau lebih pil hitam lagi.
"Hok Sin, kenapa rasanya sulit sekali untuk bernapas?" tanya Ie Tong tiba-tiba.
"Apa kau juga merasakannya?"
Saat itulah aku sadar. Napasku sesak bukan karena melihat keganasan si Orang Tua
Tak Bernama. Kami telah terlalu lama berada di dalam. Seperti kata Ouw Sam,
kondisi di sini tidak cocok untuk kami. Meski tenaga dalam kami telah meningkat
puluhan kali lipat dibanding sebelumnya tapi kalau tidak bisa bernapas apa
gunanya. "Hok Sin, kau lihatlah!" Ie Tong menunjuk ke arah si Pedang Ular dan yang lain
yang masih terbaring tak berdaya. Meski tidak terlalu memperhatikan tapi aku
yakin wajah mereka tidak sehijau sekarang. Mereka keracunan.
"Celaka! Jadi ini maksud Ouw Sam," seruku. "Udara di sini beracun!"
Aku harus segera bertindak. Kami harus keluar secepatnya.
"Ie Tong, kau tunggulah di sini! Jangan menjauh dari mereka!" kataku sambil
menunjuk ke arah si Pedang Ular dan yang lain.
Ie Tong mengangguk. Aku melompat mendekati medan pertarungan.
"Orang tua, kita harus segera keluar dari sini!" seruku mengatasi suara
pertarungan. "Udara di sini beracun!"
Tetapi aku sudah merasakan kepalaku pusing. Aku melirik sekejap ke arah Ie Tong.
Wajahnya tampak bersemu hijau.
Si Orang Tua Tak Bernama masih bertarung. Kini mereka bertarung satu lawan satu.
Makhluk wanita itu tinggal seorang. Aku tidak tahu apa dia yang pernah bertarung
melawanku karena wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain.
"Orang tua, sudahlah! Hentikan! Sayangi nyawamu!" seruku.
Si Orang Tua Tak Bernama telah menyarangkan sebuah pukulan yang telah menghantam
dada makhluk wanita itu. Tubuhnya langsung terlempar beberapa tombak jauhnya
sambil menyemburkan darah segar di udara. Beda dengan Ouw Sam dan yang lain,
darah makhluk wanita itu berwarna biru. Tetapi dia masih belum mati. Makhluk
wanita itu telah melompat berdiri. Dari mulutnya terdengar suara seperti
rintihan. Tapi aku tidak yakin karena dia masih dapat berdiri dengan tegar. Saat
itulah aku tersadar. Wanita itu tidak sedang merintih. Mulutnya membuka
perlahan, lalu tiba-tiba saja gelombang tenaga dahsyat terasa menghimpit.
Mungkin berkat pil hitam itu yang telah menambah tenagaku berlipat ganda. Kalau
sebelumnya mungkin aku akan terlempar dengan kondisi terluka dalam. Tetapi kini
aku dapat menahan gelombang tenaga itu. Tetapi aku merasa lemah sekali. Lututku
terasa bergetar. Jantungku juga berdegup kencang. Aku menoleh, melihat si Orang
Tua Tak Bernama. Kiranya kondisinya jauh lebih parah. Mungkin karena telah
mengerahkan tenaga dalamnya habis-habisan saat melawan puluhan makhluk wanita
tadi tenaga dalamnya terkuras hingga tak dapat menahan racun yang telah masuk ke
dalam tubuhnya. Wajahnya bersemu hijau. Ditambah terpaan gelombang tenaga tadi
hingga membuat tubuhnya terlempar. Waktu kulihat dia tengah terkapar sementara
di sekitar mulutnya terdapat genangan darah. Tapi dia masih bernapas. Dia
terluka dalam sangat hebat.


Omega Swordsman Karya Mogei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hok Sin, lupakan dia!" seru Ie Tong tiba-tiba. "Kita harus segera keluar dari
sini!" Tapi tak kuhiraukan permintaan Ie Tong. Aku melompat, menyambar tubuh tua itu.
Tiba-tiba kurasakan kembali getaran gelombang tenaga mendatangi. Aku sempat
melirik dan melihat gelombang tenaga itu berasal dari makhluk wanita itu.
Secepat itu"! Beda dengan Ouw Sam dan yang lain yang hanya bisa mengeluarkan
gelombang tenaga itu sekali dan lantas harus beristirahat dulu untuk baru bisa
mengeluarkannya lagi, makhluk wanita itu seakan-akan bisa mengeluarkannya
semaunya. "Hok Sin, ayo!"
Sebisaku aku melompat, mencoba menghindari terjangan gelombang tenaga itu.
Tetapi tak urung punggungku terhantam. Bersama-sama datuk tua itu tubuhku
terlempar lalu jatuh bergulingan. Sambil menahan sakit aku menolak tubuh datuk
tua itu hingga terlempar ke arah Ie Tong. Mengetahui maksudku Ie Tong pun lantas
menyambut tubuh datuk tua itu.
"Kita pergi!" seruku. Aku telah melompat di depan Ie Tong. Aku mengeluarkan
kotak hitam pemberian Ouw Sam. Tetapi sebelum aku menekan api hijau itu tiba-
tiba saja selarik sinar tajam melesat dan menghancurkan kotak hitam itu.
"Kau pikir kalian bisa lari?" Kuku-kuku hitam sekeras baja yang disatukan hingga
seperti mata tombak itu mengancam di depan leherku setelah menghancurkan kotak
hitam tadi. "Tak semudah itu!"
07:07 - Omega (TAMAT) Guru pernah bilang untuk menghadapi lawan yang kepandaiannya jauh di atas kita
hanya ada satu pilihan saja kalau kita tidak harus menghadapinya, lari. Tetapi,
kalau ternyata setelah mengusahakannya tetap tidak bisa maka tinggal satu jalan
lagi, mengharapkan keberuntungan kita lebih besar lagi.
Dengan ujung kuku-kuku hitam yang runcing menempel di leherku dapat kurasakan
kuku itu keras dan dingin seperti pedang. Sedikit gerakan saja dapat menggores
atau malah bahkan memutuskan leherku.
Dari dekat kini dapat kuamati wajah makhluk wanita itu. Mereka memang bukan
manusia. Kelihatan sedikit mirip pun tidak. Kulit wajahnya tampak bersisik dan
berwarna kehijauan. Sepasang mata merahnya yang tanpa bola mata menyorot tajam
seakan ingin membakarku. Dari lubang hidungnya yang kecil dan tipis hampir tidak
kelihatan seperti hidung terhembus napasnya yang terasa panas di wajahku. Dan
perlahan-lahan mulut mungilnya membuka. Saking dekatnya dapat kurasakan desakan
gelombang tenaganya. Aku tidak takut mati. Aku tidak tahu kenapa aku tidak takut mati. Mungkin karena
aku tidak mempunyai beban apa-apa. Aku tidak mempunyai orang tua yang harus
kupikirkan bagaimana nanti kalau kutinggal mati. Aku tidak mempunyai isteri. Aku
tidak mempunyai anak. Bahkan aku masih belum sempat membuat nama di rimba
persilatan. Aku masih hijau. Petualanganku belum cukup untuk membuat namaku atau
julukanku ditakuti, disegani dan dihormati kalangan. Tidak ada yang harus
kujaga. Tidak ada yang merasa kehilangan. Mungkin guru. Tetapi guru sudah
mengasingkan diri. Tidak ada urusan duniawi yang akan mengganggu pikirannya
lagi. Jadi apalagi yang kutakutkan"
Ie Tong! Aku melirik sekejap ke arah Ie Tong. Dia sedang berusaha bernapas. Wajahnya
tampak kehijauan. Mungkin karena sekarang tenaga dalamku lebih tinggi
daripadanya yang membuatku masih dapat bertahan selama ini. Meski aku sudah
merasakan pusing dan mulai agak berat untuk bernapas tapi aku masih bisa
merasakan hawa murniku berputaran di seluruh nadi jalan darahku. Setiap saat aku
dapat mengerahkannya, memusatkan ke suatu titik dan melepaskannya dengan hebat.
Dan hal itu juga yang sudah kulakukan.
Terhimpit desakan gelombang tenaga makhluk wanita itu aku melepaskan rontaan
tenaga dalam yang langsung membanjir keluar bagai air bah, menghantam gelombang
tenaga musuh. Aku hanya mendengar suara seperti suara gemuruh saat mau hujan
turun. Tubuhku terlempar entah kemana. Pikiranku kabur. Aku masih sempat
merasakan punggung dan kepalaku membentur sesuatu sangat keras. Lalu semuanya
mulai menjadi gelap. Tanah berguncang hebat. Dari permukaan tanah itu menyembur api dimana-mana. Aku
mendengar teriakan-teriakan. Di kejauhan aku melihat dua sosok bayangan kabur
bergerak ke sana kemari sangat cepat. Aku berusaha bangkit berjalan
mendekatinya. Aku mengenali salah satunya. Tentu saja itu makhluk wanita itu.
Tetapi yang seorang lagi aku seperti mengenalinya tapi aku tidak yakin. Bagiku
itu sangat tidak mungkin. Maka aku mendekati mereka. Kakiku masih terasa lemah
dan kepalaku pusing sekali. Aku dapat mencium bau amis darah yang kurasakan
seperti pernah keluar dari mulut dan hidungku. Tapi semakin dekat semakin aku
tidak mau berhenti. Aku benar-benar mengenali sosok yang satunya itu. Tiba-tiba
aku merasa gembira. Aneh, melihat pertarungan itu aku yakin sosok yang aku rasa
aku mengenalnya jelas berada di bawah angin tapi kenapa aku merasa gembira" Aku
terus mendekat. Setapak demi setapak dapat kurasakan tenaga dalamku mulai pulih
kembali. Aliran tenagaku mulai lancar dan penglihatanku mulai tajam kembali.
Kini, meski masih agak jauh dari mereka, aku dapat melihat siapa sosok itu.
"GURU"!!!" Sosok itu memang adalah guruku. Dan beliau sedang kewalahan melawan
makhluk wanita itu. Aku segera berlari mendekatinya, mencoba membantunya.
Teriakan-teriakan itu semakin ramai dan keras. Lalu tiba-tiba terjadi ledakan di
depanku. Api menyembur bagai air terjun yang menyembur ke atas.
Lalu aku mendengar dengungan. Dengungan yang sama yang pernah kudengar waktu Ouw
Sam berbicara dengan teman-temannya. Bedanya dengungan kali ini sangat
memekakkan telinga dan mengguncang hati. Kini aku dapat melihat dengan jelas
kembali. "Guru"..." Dan tidak ada guru di sana. Tidak juga terlihat makhluk wanita itu
lagi. Hanya mereka yang mirip Ouw Sam yang berlarian kesana kemari yang tiba-
tiba saja ada di antara mereka yang tahu-tahu terbakar. Dengan tubuh menyala-
nyala mereka panik, bergulingan, berusaha memadamkan api.
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi keadaan kacau sekali. Dimana-mana
tersembur api dan ledakan-ledakan kecil. Mereka, makhluk yang mirip Ouw Sam,
berlarian ke sana kemari. Mereka mengeluarkan suara dengungan yang menurutku
seperti sedang panik. Aku tidak melihat makhluk wanita itu di antara mereka.
Tapi aku yakin dengungan yang kudengar paling keras itu berasal darinya.
Tiba-tiba seorang yang mirip Ouw Sam berpaling, melihatku. Dia berhenti di
kejauhan sana sementara yang lain masih berlarian ke sana kemari. Dari arah
terdengarnya suara dengungan yang paling keras itu aku dapat menemukan makhluk
wanita itu berada di suatu ruang terbuka tak jauh di belakangnya. Sambil
mengeluarkan dengungan itu tiba-tiba makhluk wanita itu juga menoleh. Sinar mata
merahnya yang tajam menatapku. Lalu terdengar suara dengungannya yang keras
sekali lagi dan makhluk yang mirip Ouw Sam berlari ke arahku. Saat sudah dekat
ujung jarinya yang menyala terang diacungkan ke arahku.
Jari itu menempel tepat di dahiku. Kepalaku terasa seakan mau meledak saja
rasanya. Tiba-tiba saja aku merasa jiwaku seperti ditarik keluar. Lalu semuanya menjadi
gelap. Gelap gulita tak ada cahaya sedikit pun. Lalu di balik kegelapan itu
perlahan-lahan mulai muncul titik-titik terang. Titik terang seperti bintang di
angkasa. Dan bintang-bintang itu makin lama makin bertambah banyak. Sebagian
mengelompok di sana sebagian di sebelah sana dan sebagian yang lain mengelompok
di tempatnya masing-masing. Kelompok bintang-bintang itu berputar seperti arus
air yang berputaran mengelilingi bintang yang paling terang. Jiwaku melayang,
tersedot ke arah sebuah kelompok bintang yang berpusaran itu. Meski bintang-
bintang itu bersinar terang tapi aku tidak merasa silau. Bahkan saat jiwaku
tersedot ke arah pusat pusaran bintang itu, ke bintang yang paling besar dan
paling terang. Aku tak dapat menolaknya. Jiwaku terus tersedot hingga aku yakin
aku akan jatuh. Lalu semuanya menjadi jelas.
Ya, semuanya menjadi terang. Aku dapat memahami mereka. Aku bahkan dapat
memahami apa-apa yang sebelumnya tidak kuketahui. Semuanya. Ya, semuanya!
Bintang, angkasa luar, galaksi, planet Ahsas-Ruof1205, penjelajah angkasa, Bumi,
gravitasi, meteor, Omega!
Mereka menyebut diri mereka Yam-Irdne'h dari planet Ahsas-Ruof1205, planet yang
lima ribu tahun cahaya jauhnya dari Bumi, planet tempat aku dan semua manusia
tinggal. Mereka penjelajah angkasa yang bertugas meneliti bintang dan galaksi di
luar galaksi mereka. Saat mereka sampai di bumi terjadi hujan meteor yang
menewaskan hampir semua makhluk raksasa di bumi. Meteor yang juga membuat
pesawat luar angkasa mereka rusak parah hingga harus mendarat darurat di bumi.
Meteor itu menghancurkan ruang tempat sinar Omega, sumber tenaga pesawat dan
sekaligus penunjang hidup mereka. Untung saja para ahli teknologi, para makhluk
wanita itu, berhasil memperbaiki kebocorannya meski hanya berhasil menyisakan
sedikit sekali. Akibatnya mereka tidak dapat meninggalkan bumi ini dan
menggunakan sisa sinar Omega itu untuk bertahan hidup. Kondisi di luar pesawat
ternyata tidak terlalu cocok untuk mereka. Di luar, di bumi ini, terlalu banyak
oksigen bagi mereka. Mereka membutuhkan nitrogen. Keadaan ini meski tidak
terlalu fatal bagi mereka tapi tetap saja mereka tidak dapat hidup di luar
pesawat sementara sinar Omega, penunjang hidup mereka juga tidak boleh terlalu
boros digunakan. Karena itulah para ahli teknologi memrogram pesawat itu,
membuat mereka tidak bisa meninggalkan pesawat bila tidak harus mencari makan.
Bila jumlah mereka berkurang dalam jangka waktu sehari saja pesawat akan
menghitung ulang jumlah yang ada di dalam pesawat untuk menghemat sinar Omega.
Maka selama beribu-ribu tahun mereka dapat bertahan hidup. Mereka melihat
perubahan di bumi, dari jaman ke jaman, hingga saat tercapainya peradaban.
Selama itu mereka mempelajarinya semuanya. Mereka bahkan jauh lebih tahu
semuanya tentang bumi dan manusia daripada manusia sendiri.
Kiranya pertarungan kami tadi membuat pesawat jadi lebih rusak lagi. Para ahli
teknologi itu memang terkenal suka bertarung juga. Mereka mempunyai kulit yang
lebih tebal dibanding mereka yang mirip Ouw Sam. Kulit mereka yang mirip Ouw Sam
lebih mudah terbakar. Mereka tidak boleh terlalu dekat dengan api.
Tiap terjadi ketidakberesan di ruang Omega maka para ahli teknologi itulah yang
bertugas memperbaikinya. Kulit mereka yang lebih tebal membuat mereka dapat
bertahan lama di dalam tanpa kuatir terbakar. Celakanya, saat ini hanya tersisa
dia seorang karena yang lain telah binasa di tangan si Orang Tua Tak Bernama.
Meski kulit manusia tidak setebal para ahli teknologi itu tapi masih lebih tebal
dibanding mereka yang mirip Ouw Sam.
"Kau ingin aku membantu kalian masuk ke dalam ruang Omega itu?" tanyaku kepada
makhluk wanita itu. Sebagian tubuhnya lenyap di balik peralatan canggih yang
seakan terpasang khusus untuk bentuk tubuhnya. Dia tak dapat melepaskan diri
dari peralatan itu sebelum ketidakberesan di ruang Omega diperbaiki. Dia
memandangku. Meski aku tak dapat melihat di balik sepasang matanya yang bersinar
merah itu tapi dari gerak-geriknya aku tahu dia sedang ragu.
"K-kau..." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Aku langsung mengangguk dan dia
tersenyum. Dengan mulut setipis dan sekecil itu aku masih yakin kalau itu
senyuman. "Kau tahu resikonya?" tanyanya.
"Aku akan masuk sekarang." Jawabku cepat. Aku tahu keadaan sudah semakin gawat.
Kalau tidak cepat bertindak pesawat bisa meledak kapan saja. Berkat pengetahuan
yang secara ajaib dipindahkan ke kepalaku aku tahu apa yang harus kulakukan.
Di dalam terdapat puluhan panel yang harus kuatur agar sesuai dengan yang telah
diatur makhluk wanita itu pada peralatannya. Kiranya jumlah sinar Omega menurun
drastis. Hanya cukup untuk kurang dari separo jumlah mereka sekarang. Beberapa
panel telah berhasil kusesuaikan. Tinggal beberapa lagi yang lain, yang
tempatnya berada dekat dengan sumber tenaga Omega. Semakin dekat semakin terasa
panasnya. Kulitku mulai keluar asap. Masih sisa dua panel lagi. Panel tersulit
karena selain letaknya berada persis di depan tabung penyimpan sinar Omega juga
ada perhitungan yang harus kumasukkan.
"Ingat, jangan sampai salah!" seru makhluk wanita tadi. "Semuanya akan berakhir
kalau sampai terjadi kesalahan!"
Aku tahu apa yang harus kuprogramkan. Perhitungan itu tidak sulit. Ya, aku sudah
mengetahui semuanya. Kalau aku yang dulu tentu aku hanya akan terbengong-bengong
sekarang. Tetapi kondisi di dalam benar-benar di luar perhitunganku. Kulitku
mulai terbakar. Perhitungannya tidak sulit. Tinggal beberapa langkah lagi.
Tetapi seluruh tubuhku telah dilalap api. Aku hanya mengandalkan tenaga dalamku
saja untuk terus bertahan.
Rambutku telah habis terbakar. Alis mataku, kumis dan seluruh pakaianku. Aku
tahu aku tak akan keluar hidup-hidup. Aku hanya berharap mereka mau
menyelamatkan Ie Tong dan yang lain. Tinggal satu tombol yang harus kutekan.
Tombol merah itu. Aku tak tahu apa aku telah berhasil tapi semuanya terasa hampa. Entah karena aku
tidak berhasil dan membuat pesawat itu meledak atau karena aku telah habis
terbakar. Tetapi aku memang merasakan semuanya hampa. Bagaikan berada sendirian
di dalam sebuah gua yang gelap gulita. Tanpa penerangan tanpa suara sedikit pun.
Kosong. Lalu aku melihat setitik terang di depan sana yang tampak berjalan
mendekat. Sesosok wanita yang cantik jelita dengan pakaiannya yang serba putih.
"Apa kau dewi yang menjemputku ke kahyangan?" aku pernah mendengar cerita
tentang dua siluman yang selalu ditugaskan Giam Lo-Ong (Raja Neraka) untuk
menjemput mereka yang baru saja meninggal. Siluman yang satu berkepala kerbau
dan yang lain kuda. Tetapi yang menjemputku saat ini bukan salah seorang dari
mereka melainkan seorang wanita yang cantik jelita. Jadi aku tidak akan ke
neraka. Kalau seorang dewi kemana lagi kalau tidak ke kahyangan, tempat tinggal
para dewa dan dewi. Wanita itu tersenyum. Lalu tubuhnya makin memancarkan cahaya yang menyilaukan. Aku seperti melihat
cahaya itu seperti yang berada di dalam tabung tempat sinar Omega itu tersimpan.
Cahaya itu terus membesar hingga bentuk tubuh wanita itu lenyap. Tetapi cahaya
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Terus makin lama makin terang hingga
bayangan tubuhku pun ikut lenyap.
Aku melihat semuanya kembali. Aku berada di dalam tabung penyimpan sinar Omega
itu. Makhluk wanita itu telah berada di depan sana. Dia sedang mengatur sesuatu
di panel yang memiliki tombol merah itu. Waktu aku membuka mataku dia pun sedang
mendongak ke arahku. Dia tersenyum. Aku yakin meski mulutnya terlalu kecil dan
tipis. Lalu aku mendengar suara dengungan. Tetapi kini aku mengerti apa artinya.
"Kau berhasil," katanya. "Tapi..."
Aku tahu apa yang telah terjadi. Tubuh kasarku hancur dimakan api. Entah karena
apa aku berubah, menyatu dengan sinar Omega itu dan tersedot masuk ke dalam
tabung penampungnya. Penyatuan itu membuat sumber tenaga sinar Omega itu kembali
normal. Kembali pada posisinya sebelum terhantam meteor itu.
Dan aku tahu dengan menjadi tenaga Omega itu banyak yang dapat kulakukan. Aku
membuat ruang pesawat itu cukup dengan oksigen hingga Ie Tong dan yang lain
dapat sadar kembali. Aku meminta mereka yang mirip dengan Ouw Sam untuk
menyembuhkan yang terluka. Aku menghapus program yang membatasi jumlah di dalam
pesawat. Lalu aku membuka pintu pesawat, mengantar Ie Tong dan yang lain keluar.
Sekaligus membuat Ouw Sam dan yang lain yang berada di luar dapat masuk kembali.
Aku memperbaiki semua peralatan yang memerlukan sinar Omega untuk dapat berjalan
kembali. Peralatan yang telah selama beribu-ribu tahun ini tidak terpakai karena
kehabisan sumber tenaga. Lalu aku menghidupkan pesawat itu kembali.
Jutaan ribu ton tenaga melesatkan pesawat itu kembali ke luar angkasa. Dan aku
menjadi bagiannya. * * * So for every man who has ever lived, in this Universe there shines a star.
Arthur C. Clarke, 2001 A Space Odyssey
* * * T A M A T Jejak Di Balik Kabut 19 Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Iblis Sungai Telaga 20
^