Pencarian

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 1

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Koleksi Kang Zusi Toat Beng Mo Li Wanita Iblis Pencabut Nyawa
Karya : Kho Ping Hoo bagian 1 Korban Hutan Iblis. Sungai Yang-ce yang amat terkenal sebagai sungai
terbesar dan terpanjang sesudah Huang-ho di
Tiongkok, mendapat tambahan air dari banyak anak
sungai yang cukup besar. Di antara anak sungai yang
mengalir masuk ke induk sungai Yang-ce ini, yang
terbanyak terdapat di propinsi Secuan selatan, di
sebelah barat kota Cungking.
Memang tak terhitung banyaknya anak-anak sungai
yang mengalir masuk dan membonceng aliran sungai Yang-ce untuk bergerak maju ke
tujuan terakhir yakni laut luas di sebelah timur daratan Tiongkok. Akan tetapi
yang penting untuk disebutkan di sini hanyalah yang besar-besar saja, seperti Bu
Kiang, Beng Kiang dan Cialing.
Sungai Cialing inilah yang paling menarik, dan sebelum memasuki sungai induk
Yang-ce, sungai inipun telah menerima aliran sungai-sungai kecil lain. Sumber
dari sungai Cialing ini datang dari Beng-san.
Amat indah tamasya alam di sepanjang lembah sungai Cialing, sungai yang mengalir
berlenggak-lenggok laksana ular melalui gunung-gunung ini. Sungai Cialing banyak
melalui hutan-hutan dan gunung-gunung yang masih liar, tempat-tempat yang masih
bersih daripada sentuhan kaki manusia yang kotor.
Lembah sungai Cialing diperbatasan propinsi Secuan dan Shensi amat subur
tanahnya, maka tidak mengherankan apabila di sekitar lembah itu banyak terdapat
desa-desa yang padat oleh penduduk yang hidup bertani. Banyak pula yang
mengandalkan makan sehari-hari dengan pekerjaan nelayan, karena memang sudah
Koleksi Kang Zusi terkenal bahwa sungai Cialing mengandung banyak sekali ikan yang besar-besar dan
enak dimakan. Dusun Tai-kun-an terpencil dan berada di ujung utara dari dusun-dusun lain, akan
tetapi dusun ini terkenal paling ramai dan tanahnya paling subur. Banyak sekali
orang-orang dari dusun-dusun lain di sebelah selatan datang berdagang di dusun
ini. Hanya di sebelah selatan Tai-kun-an saja terdapat dusun-dusun lain. Oleh karena
di bagian utara, tidak terdapat tempat tinggal manusia lain.
Bagian utara dusun itu penuh dengan hutan-hutan belukar yang amat liar dan penuh
binatang jahat. Orang-orang dusun yang mempunyai keperluan di hutan itu, mencari
kayu bakar atau buah-buahan, ataupun memburu binatang, hanya berani masuk sejauh
satu dua li di dalam hutan itu. Inipun kalau mereka berkawan, karena seorang
diri saja memasuki hutan itu, biarpun hanya satu li jauhnya, merupakan bahaya
besar dan perbuatan yang amat bodoh.
Pada masa itu, yang menjadi kaisar di Tiongkok adalah kaisar Yang Te, putera
dari mendiang kaisar Bun Te. Kaisar Yang Te terkenal sebagai seorang kaisar
lalim yang amat kejam, akan tetapi yang pandai menyembunyikan kejahatan wataknya
itu dibalik kata-kata halus, puji sanjung kepada para pembesar kaki tangannya,
dan biarpun kaisar Yang Te telah melakukan perbuatan-perbuatan yang amat
mencekik rakyat jelata, namun ia didipuji-puji sebagai seorang kaisar yang
cerdik pandai. Hanya "orang dalam" saja yang mengetahui betapa kaisar Yang Te adalah seorang
yang selalu dimabok kesenangan, pelesir dengan wanita cantik, dan yang tidak
segan-segan untuk melakukan perbuatan terkutuk demi untuk mencapai kepuasan hawa
nafsunya. Sekali saja matanya yang berminyak itu melirik wajah seorang wanita
cantik yang mendebarkan jantungnya yang penuh nafsu berahi, maka tidak peduli
wanita itu puteri seorang bangsawan, ataupun isteri seorang pejabat tinggi,
sepuluh bagian (seratus persen) wanita itu pada keesokan harinya pasti telah
berada di dalam haremnya (tempat ia mengumpulkan wanita-wanita).
Kasihanlah wanita-wanita itu, baik ia masih gadis maupun sudah bersuami bahkan
telah menjadi ibu, karena sekali ia telah masuk ke dalam kamar yang indah sekali
itu, jangan harap ia akan dapat keluar lagi sebelum sang kaisar merasa bosan
mempermainkannya. Kalau sang kaisar sudah bosan, ia boleh pergi, persetan, dan
yang lebih hebat lagi, ia akan dioperkan kepada para perajurit pengawal pribadi
kaisar sebagai hadiah, seakan-akan seorang tuan melemparkan tulang-tulang yang
sudah Koleksi Kang Zusi digerogoti habis daging-dagingnya kepada anjing-anjing penjaga rumah dan
hartanya. Akan tetapi, lebih kasihan lagi adalah orang-orang tua, suami dan anak-anak yang
ditinggalkan oleh wanita-wanita itu. Mereka hanya dapat menangis, itupun tidak
berani keras-keras, menyesali nasib sendiri karena secara kebetulan orang-orang
yang mereka cintai itu telah menjadi pilihan "Putera Tuhan".
Memang, Yang Te ataupun kaisar-kaisar yang sebelum dia menjadi dipertuan,
dianggap sebagai manusia penjelmaan dewata agung yang menjadi pilihan Tuhan
sendiri. Oleh karena itu, benar atau salah, seorang putera Tuhan tak boleh
dipersalahkan. Seolah-olah bahwa tindakan kaisar Yang Te telah mendapat
"persetujuan sepenuhnya" daripada Thian yang Maha Kuasa.
Tidak akan ada habisnya apabila sepak terjang daripada kaisar lalim ini
dituturkan.Pendeknya, kaisar ini adalah seorang yang mata keranjang, tukang
pelesir, pandai bicara untuk menutupi kejahatannya, dan tidak ragu-ragu untuk
melakukan penindasan kepada rakyat jelata demi memuaskan nafsu hatinya. Di sini
perlu diceritakan usaha-usahanya yang mencekik leher rakyat, akan tetapi yang
karena pandainya membuat namanya menjadi terkenal sebagai seorang kaisar yang
agung dan cakap. Ia memerintahkan pembangunan kota Lok Yang, mendatangkan pekerja-pekerja paksa
yang ratusan ribu banyaknya. Orang-orang yang bernasib malang ini diambil dengan
paksa oleh para serdadu-serdadunya, dan dipaksa bekerja sampai mati.
Setiap hari, nampak kereta-kereta yang penuh dengan mayat-mayat para pekerja itu
didorong pergi oleh serdadu-serdadu di atas jalan-jalan raya di sekitar Lok
Yang. Juga kaisar Yang Te memerintahkan untuk menggali dan memperdalam saluran
air besar bahkan menyambungnya sampai beratus li panjangnya. Untuk pekerjaan
ini, menurut catatan ahli sejarah, lebih dari dua juta orang rakyat dikerahkan
dan entah berapa puluh ribu orang yang mati dalam melakukan tugas ini.
Juga jutaan manusia dipekerjakan seperti kerbau, bahkan lebih hebat dari pada
kerbau, untuk memperbaiki Tembok Besar. Kalau orang mempergunakan kerbau untuk
bekerja, sedikitnya orang itu masih ingat untuk memberi rumput kepada binatang
ini. Koleksi Kang Zusi Akan tetapi kaisar Yang Te memaksa orang-orang yang jutaan banyaknya itu untuk
bekerja tanpa mau mengeluarkan uang atau ransom untuk memberi makan mereka.
Satu-satunya hiburan bagi para pekerja adalah kata-kata muluk yang diumumkan
oleh Kaisar Yang Te, bahkan semua pekerjaan itu tidaklah sia-sia, bahwa tenaga
rakyat itu dipekerjakan untuk maksud mulia, untuk pembangunan, untuk pertahanan
Negara, dan lain-lain bujukan halus lagi.
Dikatakan dalam maklumat kaisar, bahwa para pekerja yang ikut menyumbangkan
tenaganya itu, dianggap sebagai patriot yang berjasa dan kelak apabila telah
meninggal dunia, tentu akan terbuka pintu sorga untuknya.
Selain pekerjaan-pekerjaan yang hebat ini, juga kaisar Yang Te paling doyan
perang, atau lebih tegas lagi, paling suka menyerang negara-negara tetangga.
Ketika kaisar ini menyerang Korea, ia telah memaksa pula kepada rakyat jelata
untuk membantu, membangun ribuan kapal, mengangkut perlengkapan dan lain-lain
sehingga tidak terhitunglah jumlahnya rakyat yang mati karena pekerjaan yang
maha berat ini. Untuk semua pekerjaan in, makin lama karena banyaknya rakyat yang tewas, maka
kekurangan tenagalah balatentara kaisar yang mau tahu enaknya saja itu.
Pekerjaan-pekerjaan berat harus dilakukan oleh rakyat, dan semboyan para serdadu
ini ialah bahwa mereka ini berjuang untuk rakyat, maka sudah sepatutnyalah kalau
rakyat membantu mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan "kasar" itu.
Akan tetapi, apakah bukti kebecusan serdadu-serdadu yang sudah ketularan mulut
manis dari kaisar Yang Te ini" Telah berkali-kali Korea diserang, namun selalu
balatentara Kaisar dipukul mundur.
Karena makin lama makin banyak dibutuhkan pekerja-pekerja paksa, maka
dibentuklah barisan-barisan "pengumpul tenaga rakyat" yang mempunyai cabang
dimana-mana. Tentu saja yang mengerjakan pengumpulan ini adalah serdadu-serdadu
kaisar. Dan di dalam pekerjaan ini, kembali para serdadu itu mendapat kesempatan yang
amat baik untuk memuaskan nafsu jahat ataupun mengisi penuh kantong sendiri.
Mudah saja akal mereka. Melihat perempuan cantik dan hati tertarik " Ah, mudah
saja. Koleksi Kang Zusi Kalau perempuan itu masih gadis, ayahnya lalu didatangi dan ditakut-takuti untuk
ditarik sebagai pekerja paksa, dan tentu saja kalau si ayah mau menyerahkan anak
gadisnya, ayah ini akan bebas.
Bagaimana kalau wanita itu sudah bersuami" Ah, masih ada jalan. Suaminyalah yang
diancam akan ditarik, dan bukan hal yang tidak mungkin apabila si isteri ini
rela berkurban asalkan suaminya jangan dibawa. Suami dibawa berarti perpisahan
selama hidup. Bagaimana si suami"
Ingin mengisi kantong sepadat-padatnya" Lebih mudah lagi. Datangi saja hartawan-
hartawan dan dengan ancaman "kerja paksa", hartawan-hartawan akan mengurangi
simpanan emas dan peraknya untuk dipergunakan sebagai uang sogok. Siapa yang
celaka " Rakyat jelatalah. Terutama mereka yang tidak punya apa-apa kecuali sepasang
lengan dan sepasang kaki yang kuat, karena bagaikan kerbau-kerbau hutan mereka
ini akan ditangkap, diikat hidungnya dan diseret ke tempat "pembangunan besar"
Tangis dan keluh kesah rakyat membubung tinggi dan nama para dewata disebut-
sebut, akan tetapi agaknya para dewata sudah pula terkena pengaruh kaisar itu,
karena buktinya mereka diam saja tidak menaruh hati kasihan kepada manusia-
manusia sial itu. Dan kalau orang dapat menengok kepada kamar-kamar indah dari istana kaisar. Dia
akan melihat betapa kaisar Yang Te, biang keladi dan sebab semua kesengsaraan
itu, tengah hidup mewah dan bersenang-senang, dikelilingi oleh sekian puluh
puteri-puteri cantik jelita yang menjadi penghibur-penghiburnya.
Suara musik tiada hentinya dibunyikan oleh jari-jari tangan yang lentik dan
meruncing halus, nyanyian-nyanyian merdu keluar dari mulut yang munggil dan
harum, cumbu rayu keluar dari bibir-bibir yang manis menggiurkan, dan belaian-
belaian mesra akan terasa membuat kaisar itu merem-melek bagaikan seekor babi
tidur kekenyangan. Tangan-tangan panjang dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini menjangkau sampai
jauh sekali. Bagaikan tangan-tangan dari binatang cumi-cumi, mereka ini merembes
sampai di daerah-daerah yang jauh dari kota raja. Lembah sungai Cialing tidak
terlewat pula. Koleksi Kang Zusi Pada suatu hari serombongan serdadu dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini
tiba di dusun Tai-kun-an. Mereka ini terdiri dari empat puluh orang serdadu,
dikepalai oleh seorang komandan bernama Cong Hwat yang bertubuh gemuk, pendek,
berkepala bundar dengan muka penuh tahi lalat.
Cong Hwat ini bertenaga kuat dan memiliki ilmu silat yang cukup menakutkan
orang, bersenjata sebatang golok yang besar, berat dan tajam. Tugas mereka
adalah mengumpulkan tenaga-tenaga rakyat yang harus dikirimkan ke kota Kong-goan
di sebelah selatan Tai-kun-an, di mana terdapat markas besar barisan pengumpul
tenaga rakyat ini. Seperti biasa, begitu barisan kecil ini memasuki dusun Tai-kun-an, maka dusun
yang tadinya makmur penuh dengan tawa dan senyum para pekerja, berobahlah
menjadi neraka penuh dengan tangis dan keluh kesah. Terdengar elahan napas dan
keluh kesah orang-orang lelaki, diselingi jerit pekik mengerikan karena
ketakutan dari wanita-wanita yang terganggu oleh serdadu-serdadu iblis ini.
Dan kembali empat puluh orang serdadu itu dibawah pimpinan Cong Hwat yang
terkenal amat rakus akan wanita-wanita cantik, berpesta pora di dusun itu.
Sebentar saja, di dalam waktu tiga hari, mereka telah dapat mengumpulkan seratus
lima puluh orang laki-laki tua muda, mengantongi banyak sekali emas dan perak
yang tak terhitung banyaknya, dan telah mengganggu entah berapa banyak wanita.
Hanya wanita-wanita yang kebetulan menjadi puteri atau isteri hartawan yang
mempunyai banyak uang sogok sajalah yang selamat tidak terganggu. Seperti biasa
pula, akibat dari keganasan ini disusul dengan mengambangnya mayat wanita-wanita
yang membunuh diri karena diganggu oleh orang-orang biadab itu, menggantungnya
mayat orang-orang lelaki yang putus asa dan lain-lain pemandangan yang
mengerikan pula. Di dalam dusun Tai-kun-an itu hidup sepasang suami isteri she Kwee yang
merupakan pendatang baru. Kwee Siong, suami yang masih muda itu, beserta
isterinya datang dari selatan dn baru beberapa bulan tiba di dusun itu untuk
mencoba peruntungan mereka. Kwee siong orangnya tampan dan halus dan di dusun
itu ia membuka sebuah rumah sekolah, di mana ia mengajar anak-anak dusun itu
membaca dan menulis dengan menerima sedikit uang sokongan.
Koleksi Kang Zusi Isterinya bernama Liem Sui Giok, cantik sekali dan pandai pula membuat sulaman-
sulaman yang indah. Isteri yang baru mengandung tiga bulan ini membantu suaminya
dengan membuat barang-barang sulaman untuk dijual di dusun itu.
Ketika barisan pengumpul tenaga rakyat tiba di dusun itu, Kwee Siong yang sudah
mendengar tentang keganasan dan kejahatan mereka, segera mengajak isterinya
untuk mengungsi ke dalam hutan di sebelah utara dusun itu. Akan tetapi, karena
hutan itupun amat liarnya dan kedua suami isteri itu adalah orang-orang lemah,
mereka tidak berani terlalu dalam dan hanya masuk sejauh satu li saja.
Mereka telah merasa aman karena tidak terlihat dari luar hutan dan Kwee Siong
lalu membuat sebuah gubuk dari bambu, dibantu oleh isterinya. Akan tetapi,
jangan orang mengira bahwa kalau saja ia tidak berbuat jahat, ia akan terhindar
daripada malapetaka dunia dan tidak ada orang yang membencinya.
Kalau ia berpikir demikian, maka orang ini berpandangan keliru dan ia belum
mengenal betul kepalsuan manusia, makhluk yang katanya sepandai-pandai dan
semulia-mulianya makhluk di permukaan bumi ini. Demikian pun halnya dengan Kwee
Siong dan isterinya. Ketika baru-baru mereka tiba di dusun Tai-kun-an, seorang hartawan muda she Tan
yang terkenal sebagai seorang mata keranjang dan gila wanita, telah melihat
kecantikan Liem Sui Giok yang jauh berbeda dengan kecantikan wanita-wanita dusun
itu. Liem Sui Giok adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya, sopan
santun, pandai membawa diri, terpelajar dan memang cantik jelita berkulit halus
putih seperti susu dan berambut hitam lemas, dengan sepasang mata yang tajam
menggunting kalbu setiap laki-laki.
Seperti biasa seorang hartawan yang tak tahu diri dan yang menganggap uang
sebagai kekuasaan yang tiada taranya, Tan-wangwe (hartawan Tan) ini mencoba
untuk membujuk nyonya Kwee dengan cara yang amat tak tahu malu. Seorang wanita
tua yang menjadi kaki tangannya mendatangi nyonya muda yang elok itu, dengan
mulut manis membujuk-bujuknya agar supaya suka melayani Tan-wangwe di waktu
suaminya sedang mengajar di sekolah. Akan tetapi, tentu saja Sui Giok menjadi
marah sekali dan mengusirnya, bahkan ketika suaminya datang, ia lalu
menceritakan hal ini agar suaminya suka berhati-hati terhadap seorang buaya
darat she Tan di dusun itu.
Koleksi Kang Zusi Demikanlah, Tan-wangwe yang tidak kesampaian maksudnya ini, menaruh dendam
kepada suami isteri itu. Ketika rombongan pengumpul tenaga rakyat datang, dengan
mudah Tan-wangwe dapat menggunakan uangnya untuk menyogok para petugas itu
sehingga ia terhindar daripada bahaya terbawa sebagai pekerja paksa.
Bahkan, dalam usahanya untuk "mencari muka" dan menjilat pantat, ia mendekati
Cong Hwat komandan barisan itu dan memberikan seorang di antara selirnya yang
tercantik sebagai "Hadiah". Tentu saja Cong Hwat merasa girang sekali dan
hubungan mereka menjadi erat.
Tan-wangwe mendengar tentang larinya Kwee Siong bersama isterinya ke dalam
hutan. Maka ia segera mendapatkan Cong Hwat dan berkata,
"Cong-ciangkun," ia selalu menyebut orang she Cong itu dengan sebutan ciangkun
(perwira) untuk membuat komandan itu menjadi senang, "aku tahu akan sepasang
suami isteri yang bersembunyi. Akan kuberitahukan tempat persembunyiannya itu
kepadamu. Suaminya masih muda dan kuat bahkan pandai menulis sehingga patut
sekali membantu perjuangan. Akan tetapi ....... " Sampai disini, Tan-wangwe
tersenyum-senyum penuh arti.
Muka Cong Hwat yang bulat seperti bal karet itu tersenyum dan matanya yang sipit
mengecil hingga hanya merupakan dua garis kecil karena mata itu tidak berbulu
mata sama sekali. "Akan tetapi apa, saudara Tan ......?" tanyanya.
"Isterinya ..... sudah lama aku merindukannya, kalau ciangkun berhasil
mendapatkan mereka, suaminya untuk ciangkun bawa dan isterinya harap


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggalkan padaku."
"Ha, ha, ha! Bagaimana kalau ia terlalu cantik sehingga hatiku tidak rela
meninggalkannya kepadamu?"
Tan-wangwe tersenyum sambil menggeleng kepala. "Tidak ada artinya bagimu,
ciangkun. Isterinya itu memang cantik, kalau tidak masa aku orang she Tan sampai
tertarik " Akan tetapi ia berada dalam keadaan mengandung. Bagiku, aku dapat
menanti sampai ia melahirkan dan sementara itu, akan kurawat dia baik-baik. Akan
tetapi bagimu yang banyak melakukan perjalanan, bukankah hal itu akan membuat
kau repot saja ?" Pemimpin serdadu-serdadu itu mengangguk-angguk. "Baik, baik, mendapatkan
suaminya pun sudah cukup baik, berarti penambahan tenaga untuk pembangunan
Koleksi Kang Zusi negara!" Kata-katanya ini cocok sekali dengan ucapan kaisar yang menjadi semacam
firman. Demikianlah, setelah mendapat petunjuk dari Tan-wangwe, Cong Hwat lalu membawa
lima belas orang anak buahnya memasuki hutan itu. Alangkah girangnya ketika di
dalam hutan itu baru saja ia masuk belum jauh, ia telah melihat belasan orang
kampung yang bersembunyi di situ.
Ada delapan orang laki-laki dan empat orang wanita muda yang berwajah lumayan.
Serta merta orang-orang itu ditangkap, terdengar yang laki-laki mengeluh dan
yang perempuan menjerit-jerit ketika mereka diseret keluar dari tempat
persembunyian mereka. Setelah para tawanan ini dibawa pergi, Cong Hwat membawa
sepuluh orang serdadu memasuki hutan itu.
Pada saat itu, Liem Sui Giok sedang memasak sayur dan Kwee Siong sedang mencoba
membuat sebuah bangku kayu dengan sebatang parang. Ketika keduanya melihat
seorang komandan membawa sepuluh orang serdadu yang berwajah galak, mereka
menjadi kaget sekali seolah-olah semangat mereka telah meninggalkan tubuh.
"Ha, ha, ha!" Cong Hwat tertawa mengejek sambil memandang ke arah Sui Giok yang
dalam pandangannya nampak cantik luar biasa. "Kalian mencoba menyembunyikan
diri, ya " Kalian ini benar-benar orang rendah yang tidak mengenal artinya cinta
tanah air dan negara. Negara sedang membutuhkan bantuan rakyat, akan tetapi kau
tidak membantu bahkan menyembunyikan diri. Hayo ikut kami keluar dari sini !"
Sambil berkata demikian, Cong Hwat dengan senyum menyeringai menghampiri Sui
Giok dan mengulur tangannya menjamah ke arah dada nyonya muda itu dengan tingkah
laku tengik sekali. "Hm, kau cantik sekali, sayang perutmu besar!"
Sui Giok terkejut, marah, dan malu sekali. Ia cepat melangkah mundur,
menghindarkan diri dari sentuhan tangan yang keji itu. Akan tetapi, dengan
menggerakkan tangannya, mudah saja Cong Hwat menangkap lengan tangan nyonya muda
itu. "Hm, kau mau lari dari aku" Tidak mudah, manis!"
"Lepaskan isteriku, kau bedebah!" Kwee Siong yang marah sekali melompat maju
dengan parang diangkat tinggi-tinggi. "Kau seorang pemimpin barisan mengapa
bertingkag seperti seorang bajingan rendah?"
Koleksi Kang Zusi Bukan main marahnya Cong Hwat mendengar makian ini. Belum pernah ada orang
berani memakinya seperti itu, dan biasanya ia hanya mendengar sanjung dan pujian
dari para rakyat jelata. Matanya yang sipit mengeluarkan cahaya berapi dan
bibirnya yang tipis itu digigitnya dengan giginya yang jarang dan kuning.
"Bangsat rendah! Orang macam kau ini tidak perlu membantu bekerja, patutnya
dibikin mampus di sini agar bangkaimu dimakan oleh binatang buas !" Akan tetapi,
seorang di antara anak buahnya yang berpikir bahwa kalau orang ini dibunuh, maka
akan menakutkan hati penduduk kampung di situ, lalu berkata, "Terlalu enak
baginya kalau mampus begitu saja, lebih baik ditangkap dan dikirim sekarang juga
untuk memikul batu di tembok besar!"
Ucapan ini mengingatkan Cong Hwat dan ia lalu menubruk maju sambil mengayun
kepalan tangannya yang besar dan kuat. Kwee Siong mencoba untuk menangkis dengan
parangnya akan tetapi dengan gerakan tangan yang cepat sekali, Cong Hwat dapat
memukul pergelangan tangan Kwee Siong sehingga parang yang dipegangnya itu
terlepas. Sebuah sapuan dengan kaki membuat Kwee Siong terguling.
"Sui Giok ....... cepat kau larilah ....!" Kwee Siong masih sempat menengok
kepada isterinya. Bukan main gelisah, takut, dan sedihnya hati Sui Giok melihat keadaan suaminya,
akan tetapi ketika ia hendak menubruk suaminya ia mendengar seruan ini dan
teringatlah ia akan bahaya yang lebih hebat lagi mengancamnya. Kalau ia sampai
jatuh ke tangan orang-orang ini, akan celakalah dia! Maka ia lalu lari ke dalam
hutan. "Kejar !" seru Cong Hwat lalu memimpin orang-orangnya mengejar Sui Giok. Adapun
seorang serdadu lalu melepas ikat kepala Kwee Siong dan membelenggu kedua tangan
orang muda itu erat-erat.
Perasaan takut yang hebat dapat mendatangkan hal yang aneh-aneh pada orang. Ada
sebagian orang yang kalau merasa ketakutan lalu kedua kakinya terasa lumpuh dan
tidak dapat lari sama sekali, akan tetapi ada pula sebagian yang di dalam
ketakutan hebat kedua kakinya menjadi ringan dan dapat berlari cepat sekali
seperti seorang jago lari.
Sui Giok tergolong pada orang-orang kedua ini. Di dalam ketakutan yang hebat,
tiba-tiba ia menjadi gesit sekali dan kedua kakinya dapat berlari amat cepatnya.
Ia tidak merasa sakit lagi ketika ia menyusup-nyusup ke dalam semak belukar,
duri-duri Koleksi Kang Zusi
diterjangnya sehingga pakaiannya robek-robek, kulitnya pecah-pecah mengeluarkan
darah, telapak kakinya terluka dan berdarah pula karena sepatunya yang tipis
telah rusak oleh batu-batu karang dan duri.
Dengan membuta ia lalu lari secepat mungkin memasuki hutan yang gelap dan yang
tadinya selalu menimbulkan kengerian di dalam hatinya. Andaikata di depannya
berdiri lima ekor harimau, agaknya Sui Giok akan menerjangnya pula tanpa takut
sedikit jugapun. Rasa takutnya terhadap para serdadu itu lebih hebat daripada segala rasa takut
yang mungkin dapat dirasakannya. Ia membayangkan bahaya yang jauh lebih hebat
apabila ia terjatuh ke dalam tangan para serdadu itu. Oleh karena pikiran inilah
maka Sui Giok berlari makin cepat memasuki hutan yang gelap tanpa ragu-ragu
sedikitpun. Beberapa kali Sui Giok jatuh dan satu kali hampir saja tubuhnya terguling ke
dalam jurang. Akan tetapi sambil menahan isak dan dengan napas terengah-engah,
ia bangun lagi dan berlari terus, mata terbelalak, wajah pucat bagaikan seekor
anak kelinci yang dikejar harimau.
Untung baginya bahwa tidak hanya dia yang jatuh bangun, akan tetapi para
pengejarnyapun tidak dapat melalui jalan yang amat sukar itu dengan cepat. Hutan
itu amat liar dan semak belukar yang diterjang oleh Sui Giok amat padat penuh
duri-duri tajam sehingga biarpun Cong Hwat dan para anak buahnya adalah orang-
orang yang memiliki kepandaian dan kekuatan, tetap saja tidak mudah bagi mereka
untuk bergerak cepat. Berbeda dengan Sui Giok yang nekat dan tidak merasakan tusukan duri, Cong Hwat
dan kawan-kawannya tentu saja tidak mau menjadi kurban duri-duri yang tajam, dan
sambil mengejar mereka menggunakan golok untuk membabat semak-semak berduri yang
menghalangi pengejaran mereka.
"Kepung dia !" seru Cong Hwat penasaran setelah mereka mengejar sampai tiga li
jauhnya belum juga dapat menangkap kurban mereka itu. "Kepung dari tiga
jurusan!" Mendengar perintah ini, anak buahnya lalu berpencar. Lima orang mengambil jalan
dari kanan yang tidak begitu penuh semak belukar, sedangkan empat orang
mengambil jalan dari kiri memanjat batu-batu karang yang tinggi.
Kini keadaan Sui Giok benar-benar terancam. Biarpun jalan yang ditempuhnya
selalu melalui semak-semak berduri sehingga Cong Hwat yang mengejarnya tak dapat
Koleksi Kang Zusi bergerak cepat, namun para pengejar dari kanan kiri yang mengambil jalan lain
itu dapat mengejar dan mendahuluinya. Kini para pengejar dari kanan kiri itu
mulai mencari jalan untuk memotong perjalanannya dan untuk mengurungnya.
Sui Giok sudah makin ketakutan saja dan menjadi bingung. Ia melihat di
belakangnya perwira pendek gemuk itu masih mengejarnya dengan mukanya yang
kemerah-merahan dihias oleh tahi-tahi lalat yang hitam dan besar, nampak
mengerikan sekali. Di kanan kirinya, sebelah depan, para serdadu itu telah mulai mendekatinya. Di
depannya nampak jurang yang amat dalam.
Ke mana ia dapat melarikan diri " Hanya ada dua jalan agaknya untuk dapat
melepaskan diri dari para pengejarnya, yakni terbang ke langit atau melemparkan
diri ke dalam jurang itu. Dan oleh karena ia tidak mungkin dapat terbang ke atas
maka agaknya jalan satu-satunya baginya adalah melemparkan diri ke dalam jurang
itu. Sui Giok berdiri di pinggir jurang dengan muka pucat. Air mata mengalir turun
dari kedua matanya yang biasanya bening dan tajam bagaikan bintang pagi itu,
membasahi kedua pipinya. Ia memandang ke bawah, ke dalam jurang yang agaknya
tidak bertepi. Bibirnya berbisik perlahan,
"Suamiku ....... selamat tinggal ......... biarlah aku yang mendahuluimu
meninggalkan dunia yang kotor ini ......" Ia telah siap untuk mengayun kakinya,
melompat ke dalam jurang. Matanya dimeramkan.
Tiba-tiba ia tersentak kaget oleh bunyi pekik yang panjang dan mengerikan
sekali. Pekik ini datangnya dari arah kiri. Dengan terkejut Sui Giok sadar dari pada
keadaannya yang seperti dalam mimpi itu dan ia menengok ke kiri.
Alangkah ngeri dan terkejutnya ketika ia melihat empat orang serdadu yang
menghampirinya dari kiri itu, ketika turun dari batu karang, mereka disergap
oleh belasan ekor harimau besar. Harimau-harimau itu menggereng dengan suaranya
yang menggetarkan seluruh hutan.
Percuma saja empat orang serdadu itu melakukan perlawanan. Golok-golok mereka
yang biasanya amat ganas dan telah mengalirkan banyak darah manusia lemah, kini
tidak ada artinya sama sekali menghadapi belasan ekor harimau besar itu.
Agaknya kulit harimau-harimau itu sudah kebal dan amat kuatnya sehingga bacokan
golok tidak melukai mereka, bahkan golok-golok itu terpental dari pegangan
tangan para serdadu. Kemudian harimau-harimau itu menubruk dan rebahlah empat
orang Koleksi Kang Zusi serdadu itu dengan tubuh koyak-koyak. Mereka tewas sambil mengeluarkan pekik
yang dahsyat dan mengerikan.
bagian 2 Warisan Panglima Besar Kam Kok Han
Peluh memenuhi muka Sui Giok, bercampur dengan air matanya ketika ia berdiri
terbelalak menyaksikan peristiwa yang hebat ini. Belum hilang kagetnya dan belum
kembali ketenangannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pekik yang lebih mengerikan
lagi dari arah kanannya. Ketika ia cepat menengok, wajahnya yang sudah pucat itu kini memperlihatkan
kengerian yang lebih hebat lagi sehingga Sui Giok seakan-akan telah menjadi
mayat. Mulutnya agak terbuka, bibirnya menjadi kebiruan saking hebatnya debaran
jantungnya menyaksikan pemandangan yang lebih mengerikan lagi.
Lima orang serdadu pengejarnya yang dengan girang sekali berlari-lari ke arahnya
untuk berlomba menangkap dan memeluk perempuan elok itu, tanpa mereka menyangka
sesuatu yang buruk. Mereka telah berlari cepat di atas lapangan rumput yang
penuh dengan rumput hijau berwarna indah dan segar.
Akan tetapi apakah yang terjadi" Ketika mereka menginjak rumput-rumput itu,
tiba-tiba kaki mereka terjeblos ke bawah dan ternyata bahwa rumput-rumput itu
tumbuh di atas rawa yang berlumpur. Inilah semacam rawa maut yang suka menghisap
binatang yang kurang hati-hati. Memang amat berbahaya rawa maut macam ini.
Dari luar nampaknya seperti pada rumput yang amat indah, akan tetapi tidak
tahunya di bawah rumput itu bukanlah tanah keras, melainkan tanah bercampur air,
merupakan lumpur lembut yang sekali menangkap kaki binatang atau makhluk hidup
betapapun juga kuatnya, takkan dilepaskan lagi. Para serdadu itu meronta-ronta,
akan tetapi makin kuat mereka bergerak mencoba melepaskan diri, makin kuat pula
lumpur itu menyedot dan menarik mereka ke bawah.
Ketika lumpur itu sudah sampai di leher mereka, maka memekiklah mereka dengan
pekik maut yang amat mengerikan. Tak lama kemudian, lenyaplah kepala mereka di
bawah lumpur dan yang nampak hanyalah sepuluh lengan tangan dengan jari-jari
Koleksi Kang Zusi tangan terbuka merupakan cakar setan yang perlahan-lahan akan tetapi tentu mulai
amblas pula ke bawah. Peristiwa ini terjadi amat cepatnya sehingga Cong Hwat yang berdiri memandang,
tak dapat berbuat sesuatu, hanya berdiri bagaikan patung dengan muka berubah
pucat sekali. Ia memandang ke kanan kiri dan melihat nasib anak buahnya yang
tinggal sembilan orang itu, gentarlah hatinya.
"Hutan iblis ........!" bisiknya dan tanpa menoleh kepada Sui Giok lagi,
komandan ini lalu membalikkan tubuh dan lari lintang pukang bagaikan dikejar
setan. Adapun Sui Giok yang terpaksa menjadi saksi dari pada segala kengerian ini, tak
kuat menahan lagi lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
Kemudian ia menjadi limbung dan lemas dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya
terhuyung lalu terguling ke dalam jurang.
Oleh karena Sui Giok jatuh pingsan ketika terguling, maka ia tidak tahu bahwa
pada saat itu, berkelebatlah bayangan orang yang bertubuh bongkok dan sebuah
tangan yang kuat mencengkeram pundaknya, mencegahnya dari kebinasaan di dalam
jurang. Kalau Sui Giok melihat orang yang menolongnya, mungkin ia akan menjerit dan
roboh pingsan pula, karena sesungguhnya orang yang menolongnya ini tidak
menyerupai orang lagi, lebih patut disebut seorang iblis yang amat jahat.
Sukar untuk mengatakan apakah orang ini wanita ataukah pria. Tubuhnya kurus
kering dan bongkok, punggungnya seperti batang bambu yang patah. Kulitnya penuh
keriput dan berwarna hitam, merupakan kulit tua pembungkus tulang. Jari-jari
tangannya panjang-panjang dan kalau dilihat sepintas lalu, seperti jari-jari
tangan kerangka saja, karena kulit yang tua dan tipis itu agaknya telah lengket
dengan tulang-tulangnya. Kedua kakinya telanjang dan kaki itupun panjang sekali dengan jari-jari terbuka
bagaikan kaki seekor bebek. Lehernya panjang dan kecil, tertutup oleh rambutnya
yang panjang awut-awutan, rambut yang sudah berwarna dua. Kepalanya kecil dan
mukanya benar-benar menyeramkan sekali.
Muka itu hampir tidak menyerupai muka lagi karena penuh dengan keriput yang
menghilangkan garis-garis muka seorang manusia. Mulutnya yang kecil itu hampir
tertutup oleh keriput-keriput yang dalam sehingga sukar membedakan mana mulut
mana keriput. Hidungnya pesek dan hampir tidak kelihatan, tersembunyi di antara tulang pipinya
Koleksi Kang Zusi yang menonjol saking kurusnya. Matanya juga kecil seperti mata monyet, akan
tetapi dari dalam pelupuk mata ini seakan-akan ada dua sinar kilat bercahaya,
menyambar keluar bagaikan mata harimau di dalam gelap.
Untuk sesaat, manusia yang seperti siluman ini memandangi muka Sui Giok,
kemudian tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, ia lalu memondong tubuh nyonya
muda itu dibawa lari secepat terbang menuju ke pinggir sungai Cialing. Di bagian
lembah sungai yang penuh batu karang dan penuh dengan gua-gua besar kecil,
terdapatlah sebuah gua besar sekali dan inilah agaknya yang menjadi tempat
tinggal siluman ini, karena ia memasuki gua ini membawa tubuh, Sui Giok yang
masih pingsan. Ketika Sui Giok siuman dari pingsannya dan membuka matanya, ia memandang ke
sekelilingnya dengan batu panjang yang berbentuk pembaringan, dan batu ini
ditutup dengan rumput-rumput kering yang tebal sehingga empuk dan enak ditiduri.
Dinding di sekelilingnya ternyata adalah batu-batu karang yang berwarna putih
bersih dan di sana sini terdapat batu-batu halus yang cukup besar untuk diduduki
orang. Ruang kamar di mana ia berada itu cukup lebar, kurang lebih tiga atau empat
tombak, berbentuk bulat. Ketika kedua matanya sudah biasa dengan keadaan yang
remang-remang itu karena yang menyinari dan menerangi tempat itu hanyalah cahaya
matahari yang masuk dari luar, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di ujung
ruangan itu. Tadinya ia tidak melihatnya karena bayangan yang bergerak-gerak itu mengenakan
pakaian yang hitam sama sekali. Akan tetapi kini ia melihat dengan nyata bahwa
bayangan itu adalah seorang tua sekali yang duduk di atas batu dan sedang
memandangnya. Ketika ia telah melihat jelas, Sui Giok tidak ragu-ragu lagi bahwa ia tentu
telah mati dan bayangan itu tentulah sebangsa malaikat penghukum yang dahsyat
seperti yang pernah didengar dan dilihat gambarnya ketika ia masih kecil.
Penunggu-penunggu neraka dan penyiksa-penyiksa jiwa berdosa nampaknya memang
mengerikan. Oleh karena mengira bahwa ia telah mati, Sui Giok tidak merasa takut lagi dan ia
lalu bangkit dan duduk di atas batu itu. Ia merasa betapa seluruh tubuhnya
sakit-sakit dan perih, juga kedua kakinya. Heranlah ia mengapa ia masih dapat
merasa sakit, bukankah orang yang sudah mati terhindar dari pada rasa sakit"


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia masih teringat betapa ia dikejar-kejar oleh para serdadu dan berlari menyusup
semak-semak berduri, betapa tubuhnya berdarah, dan luka-luka, akan tetapi
setelah ia mati, masihkah ia merasa semua itu" Ia memandang ke arah tubuhnya dan
melihat sehelai selimut kuning menutupi tubuhnya, ia lalu membuka selimut itu.
Koleksi Kang Zusi Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa tubuhnya sama sekali tidak mengenakan
sepotongpun pakaian. Ia memandang lebih teliti dan mendapat kenyataan bahwa
tentu kulit-kulit tubuhnya yang tadinya terluka telah dibersihkan dan dicuci
orang karena kulitnya sampai ke kaki-kakinya bersih sekali.
Nampak olehnya betapa kulit tubuhnya yang putih kuning dan halus itu, kini
banyak terdapat tanda-tanda merah, luka-luka kecil bekas tusukan duri. Cepat-
cepat Sui Giok menutupkan selimut tadi pada tubuhnya karena ia teringat akan
bayangan "malaikat"
tadi. Heran sekali, pikirnya, kalau aku sudah mati, mengapa aku masih merasa
malu karena berhadapan dengan seorang malaikat dalam keadaan telanjang" Bukankah
orang mati itu memang kembali telanjang seperti ketika dilahirkan"
Tiba-tiba bayangan "malaikat" itu bangkit berdiri dan ketika melihat tubuhnya
yang bongkok, agak ngerilah hati Sui Giok. Belum pernah ia mendengar seorang
malaikat yang bertubuh seperti itu. Orang atau malaikat itu datang
menghampirinya dan terdengarlah ia berkata dengan suara yang tinggi kecil.
"Anak baik, kau tidur dan mengasolah. Hatimu telah menderita banyak ketegangan
dan pikiranmu tergoncang. Juga tubuhmu banyak menderita kelelahan di samping
luka-luka tusukan duri pada kulitmu. Kau harus beristirahat agar kandunganmu
tidak terpengaruh oleh semua penderitaan itu."
Tersentak bangunlah Sui Giok mendengar ucapan ini. Kalau saja orang ini tidak
mengeluarkan ucapan sesuatu, tentu ia akan merasa ngeri dan takut sekali karena
kini ia dapat melihat wajahnya dengan nyata. Akan tetapi ucapan orang itu
meyakinkannya bahwa ia berhadapan dengan seorang manusia, bahwa ia sebenarnya
belum mati! Perasaan wanitanya membisikkan pemberitahuan bahwa orang yang seperti siluman
ini tentulah seorang wanita, baik didengar dari suaranya maupun dari gerak-
geriknya. Maka legalah hatinya, karena kalau yang menelanjanginya, yang mengobati seluruh
luka-lukanya itu, adalah seorang laki-laki, alangkah malu dan hebatnya
penghinaan itu. "Pehbo (uwa), di manakah aku" Dan siapakah kau ini" Bagaimana aku bisa berada di
tempat ini?" tanya Sui Giok sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Wnita tua itu menghampirinya, menutupkan selimut itu baik-baik dengan gerakan
yang amat mesra dan penuh kasih sayang, kemudian ia berkata, Jangan sebut aku
pehbo, aku seorang pelayan dan cukup kau sebut namaku saja, Bu Lam Nio. Semenjak
kecil aku dipanggil orang Lam Nio, maka kau pun harus menyebutku demikian,
nyonya." Setelah berkata demikian, nenek tua ini tertawa girang sekali dan dari
sepasang matanya yang kecil itu mengalir air mata.
Koleksi Kang Zusi Sui Giok menjadi terharu sekali, dan ia menduga bahwa wanita tua ini tentu
mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Maka dia mengulurkan tangannya,
memegang lengan tangan nenek itu dan berkata menghibur,
"Lam Nio, jangan kau terlalu berduka, mungkin kesedihanku jauh lebih besar dari
pada kedukaanmu ?" Mendengar hiburan ini, nenek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat
pembaringan batu itu dan menangis tersedu-sedu sambil memegangi lengan tangan
Sui Giok. Nyonya muda ini mendengar tangis yang demikian mengharukan. Teringat akan
keadaannya sendiri, maka iapun lalu menangis terisak-isak.
Aneh sekali, ketika mendengar tangis Sui Giok, tiba-tiba nenek itu berhenti
menangis, lalu berkata, "Ah, toanio, maafkanlah Lam Nio yang menimbulkan
kesedihan dihatimu. Maafkanlah daku ......."
Sui Giok makin terheran-heran melihat dan mendengar ucapan nenek yang amat sopan
santun ini, jauh sekali bedanya dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang demikian
mengerikan. Setalah tangisnya mereda, nenek itu lalu berkata, "Toanio, kau
berbaringlah yang enak dan dengarlah ceritaku ini." Maka dengan singkat
berceritalah nenek itu, menceritakan riwayatnya yang amat menyedihkan hati.
****** Kurang lebih enam puluh tahun yang lalu, pemberontak Ke Yung memimpin kurang
lebih sejuta orang yang terdiri dari petani-petani dan rakyat kecil, melakukan
pemberontakan untuk menggulingkan kedudukan raja yang lalim dan tidak adil.
Dengan cepat barisan pemberontak ini telah menguasai sebagian besar dari
Propinsi Hopak dan Honan, dan kemudian menuju Lok-yang untuk menghancurkan
pembesar-pembesar yang lalim.
Akan tetapi, ia telah didahului oleh lain pemberontakan yang dipimpin oleh
seorang yang bernama Ercu Yang yang datang dari barat dan Lokyang terjatuh dalam
tangan pemberontak ini. Ercu yang membasmi banyak sekali pembesar-pembesar dan
kekuasaannya besar sekali. Kemudian, melihat datangnya balatentara pemberontak
yang dipimpin oleh Ke Yung, Ercu Yang lalu menyerang barisan ini dan berhasil
mengalahkan Ke Yung. Ercu Yang dapat berhasil usahanya karena bantuan banyak orang gagah bangsa Han
sendiri, di antaranya seorang jenderal yang bernama Kao Hoan. Setelah Ercu Yang
meninggal dunia, jenderal Kao Hoan mengangkat seorang keturunan kaisar lama
menjadi kaisar. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan, dan di antara penentangnya yang
terbesar adalah seorang panglima besar yang sudah amat berjasa dalam
pemberontakan itu, Koleksi Kang Zusi
yakni panglima Kam Kok Han yang gagah perkasa. Menurut Kam Kok Han, tidak
selayaknya mengangkat seorang keturunan kaisar lama menjadi menjadi pemimpin
baru, dan lebih baik mengangkat seorang yang dipilih oleh rakyat jelata.
Pertentangan ini menghebat, akan tetapi akhirnya Kam Kok Han terpaksa mengakui
kelebihan pengaruh jenderal Kao Hoan sehingga ia kemudian melarikan diri bersama
keluarganya, dikejar-kejar oleh barisan atas perintah jenderal Kao Hoan, Kao
Hoan maklum bahwa Kam Kok Han yang menaruh dendam ini akan merupakan bahaya di
kemudian hari, maka pengejaran dilakukan terus.
Akan tetapi, Kam Kok Han bukanlah merupakan orang buruan yang lunak dan mudah
dikalahkan. Keluarga Kam itu terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat
tinggi, oleh karena keluarga ini mempunyai semacam kepandaian ilmu silat
keturunan keluarga Kam. Seluruh keluarga, baik laki-laki maupun wanita, bahkan
kanak-kanaknya telah berlatih ilmu silat ini semenjak kecil.
Bahkan panglima yang gagah perkasa ini telah melatih dan memilih pelayan-
pelayannya, baik laki-laki maupun wanita, di antara orang-orang yang ada bakat
dan melatih mereka ilmu silat pula. Tidak mengherankan apabila barisan yang
mengejar mereka itu mendapat perlawanan yang gigih dan banyak sekali anggauta
pasukan yang tewas di bawah amukan keluarga Kam ini.
Betapun juga, kekuatan barisan jenderal Kao Hoan jauh lebih besar dari pada
kekuatan keluarga Kam yang tidak seberapa banyak jumlahnya itu. Bahkan akhirnya
jenderal Kao Hoan maju sendiri sambil mengerahkan para perwira-perwiranya yang
pilihan untuk menggempur keluarga Kam yang sudah di cap sebagai pemberontak-
pemberontak ini. Kam Kok Han memimpin orang-orangnya untuk melakukan perlawanan mati-matian, akan
tetapi oleh karena mereka harus melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka
lelah, lapar, dan juga serangan datang terus menerus. Akhirnya seorang demi
seorang anggauta keluarga Kam itu dapat dibinasakan.
Sekeluarga Kam habis musnah, hanya tinggal seorang pelayan wanita, yakni Bu Lam
Nio, pelayan yang amat disayang oleh keluarga itu oleh karena semenjak kecil
telah menjadi pelayan mereka. Juga Bu Lam Nio ini amat berbakat sehingga ilmu
silatnya paling tinggi di antara para semua pelayan.
Panglima Kam Kok Han sendiri amat suka kepada pelayan yang berbakat, cantik, dan
pandai ini sehingga dengan persetujuan isteri-isterinya, pelayan ini diangkat
menjadi bini mudanya. Tentu saja makin tinggilah ilmu silat Bu lam Nio, karena
kini Kam Kok Han tidak ragu-ragu untuk menurunkan ilmu silatnya kepada bini muda
yang tercinta ini. Koleksi Kang Zusi Namun nasib Lam Nio memang buruk, karena belum juga sebulan ia menjadi "nyonya
muda", datanglah malapetaka itu sehingga kini ia harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk membantu keluarga Kam. Di dalam pertempuran yang amat
dahsyat, tubuh Lam Nio telah penuh dengan luka. Beberapa bacokan senjata musuh
telah membuat mukanya tidak keruan dan sekali pukulan ruyung telah mematahkan
tulang belakangnya. Akan tetapi, ia masih sanggup mendekati Kam Kok Han yang sudah bergelimpang di
dalam genangan darahnya sendiri, sedangkan semua keluarga masih bertahan mati-
matian. Kam Kok Han membuka matanya dan dapat memberi pesan terakhir kepada Lam
Nio untuk menyimpan sebuah kitab yang amat tua.
Setelah itu meninggallah panglima yang gagah berani ini. Lam Nio mengambil kitab
itu dari saku baju Kam Kok Han, memasukkan kitab itu ke dalam kutangnya dan
iapun roboh pingsan dalam keadaan mandi darah.
Habislah semua orang dalam keluarga Kam berikut pelayan-pelayannya. Mayat mereka
ditinggalkan begitu saja oleh jenderal Kao Hoan, ia hanya memesan kepada para
penduduk tempat itu untuk mengubur dan mengurus mayat-mayat itu.
Pada waktu itu, rakyat amat tertindas dan rata-rata mereka itu merasa benci
kepada orang-orang berpangkat. Dalam keadaan perut lapar, mana mereka mau
melakukan pekerjaan mengubur mayat-mayat ini dengan hati rela" Mereka membuat
lobang yang dangkal saja, menyeret semua mayat itu dan memasukkan mayat-mayat
itu di dalam lobang lalu menutupi dengan tanah. Sesudah itu, mereka lalu pergi.
Pada malam harinya, serombongan anjing kelaparan datang di tempat penguburan
mayat itu dan mulailah mereka menggunakan kaki depan untuk membongkar tumpukan
tanah itu. Alangkah mengerikan keadaan diwaktu itu. Anjing-anjing itu mulai
makan daging mayat-mayat itu. Dan di dalam keadaan yang mengerikan inilah Bu Lam
Nio siuman dari pingsannya.
Ia tadi dikira telah mati pula maka ikut dikubur hidup-hidup. Untung baginya
bahwa tanah itu hanya ditutupkan begitu saja sehingga ia tidak mati terkubur dan
ketika anjing-anjing itu menggerumuti mayat-mayat dan menjilat-jilat darah yang
masih basah, Lam Nio lalu merangkak pergi dari situ.
Hanya kemauannya yang amat keras dan luar biasa saja yang mendorongnya dan
memberinya kekuatan untuk menyingkir dari tempat itu dengan hati hancur lebur.
Ia melihat betapa mayat orang-orang yang dicintainya dimakan anjing, tanpa dapat
mencegah sama sekali. Tubuhnya lemas, punggungnya sakit sekali, tenaganya habis.
Untuk menyeret tubuh sendiri saja sudah setengah mati, apalagi untuk mengusir
anjing-anjing yang kelaparan itu.
Koleksi Kang Zusi "Demikianlah, toanio," Bu Lam Nio melanjutkan ceritanya dengan suara sedih, "aku
terus melarikan diri, hidup dengan sengsara dan terlunta-lunta. Hanya kehendak
Thian saja yang membuat aku masih dapat hidup terus sampai hari ini. Di mana
saja aku tiba, orang-orang menjauhkan diri, menganggap aku gila, merasa jijik
dan ngeri melihat keadaan wajah dan tubuhku.
Sampai enam puluh tahun aku masih dikurniai umur panjang sampai sekarang. Telah
puluhan tahun aku tinggal di tempat ini, jauh dari manusia, jauh dari dunia
ramai. Kau dapat membayangkan sendiri betapa sengsara penderitaanku.
Sui Giok mendengar cerita ini dan tak dapat menahan mengalir air matanya karena
terharu dan kasihan. "Ah, Lam Nio, maafkan aku. Setelah mendengar riwayatmu, maka malapetaka yang
menimpa pada diriku ternyata tidak berarti apa-apa. Aku hanya dipisahkan dari
suamiku saja, dan masih besar harapan suamiku akan tertolong nyawanya. Akan
tetapi kau ...... !"
Kemudian Sui Giok lalu menceritakan pengalamannya dan mendengar ini, Bu lam Nio
mengepal tangannya dan mukanya menjadi beringas menakutkan.
"Keparat! Setelah berpuluh-puluh tahun, ternyata yang menjadi kaisar masih saja
orang-orang lalim dan jahat. Kalau kaisarnya lalim, pembesar-pembesar dan
serdadu-serdadunya tentu juga penjahat-penjahat keji. Toanio aku telah menanti
sampai enam puluh tahun lamanya, untuk memenuhi pesanan panglima Kam Kok Han.
Dia meninggalkan kitab itu kepadaku bukan dengan percuma saja. Maksudnya tentu
agar supaya aku memilih seorang murid untuk mempelajari isi kitab itu. Aku
sendiri buta huruf dan tak dapat membaca isi kitab itu, toanio. Maka kaulah
agaknya orang yang akan mewarisi kepandaian dari Kam Kok Han junjungan dan juga
suamiku. Kitab itu adalah kitab yang bernama Kim-gan-liong-kiam-cian-si, yakni
kitab pelajaran ilmu pedang Kim-gan-liong kiam-sut."
"Akan tetapi, aku adalah seorang wanita yang lemah, bagaimana aku dapat
mempelajari ilmu silat dan mainkan pedang ?"
"Toanio, apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian untuk membasmi orang-orang
jahat itu, untuk menolong suamimu?" tanya Bu Lam Nio.
Berserilah wajah Sui Giok yang cantik. "Betul katamu, Lam Nio! Baiklah, aku akan
mempelajari ilmu silat darimu. Aku mau menerima warisan panglima besar Kam Kok
Han!" "Nah, kalau begitu, kau bersumpahlah pada kitab ini. Kau bukan menjadi muridku,
aku tetap pelayan, bahkan sekarang aku menjadi pelayanmu oleh karena itu
kuanggap sebagai ahli waris keluarga Kam. Kau adalah murid mendiang Kam Kok
Koleksi Kang Zusi Han!" Bu Lam Nio lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah kuning dan lapuk.
Dengan semangat bernyala dan hati sungguh-sungguh, Sui Giok lalu menutupi
tubuhnya dengan selimut itu, bangun duduk di atas pembaringan dalam keadaan
berlutut, memegang kitab itu di atas kepalanya lalu mengucapkan sumpahnya,
"Guru besar Kam Kok Han, teecu Liem Sui Giok, dengan disaksikan oleh Bu Lam Nio
dan kitab peninggalan sucouw (guru besar) ini, teecu bersumpah bahwa teecu akan
mempelajari isi kitab ini ......." ia berhenti sebentar karena teringat bahwa
belum tentu ia akan dapat mempelajarinya dengan baik, maka segera disambungnya,
"dan akan memberi pelajaran pula kepada keturunan teecu, dan teecu bersama anak
teecu akan mempergunakan isi kitab ini untuk membasmi kejahatan dan menolong
mereka yang tertindas seperti keadaan keluarga sucouw dan keadaan teecu sendiri.
"Bagus!" kata Bu Lam Nio sambil mengambil kembali kitab itu. "Sekarang kau harus
beristirahat dan memulihkan tenagamu kembali. Tentu saja sebelum kau melahirkan,
kau tidak boleh berlatih silat dan sementara itu, aku hanya akan memberi
petunjuk tentang teorinya dan dasar-dasarnya saja agar kelak kau dapat berlatih
lebih cepat dan lancar."
Demikianlah, dengan amat teliti dan penuh kasih sayang, Bu Lam Nio merawat Sui
Giok, memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran teori ilmu silat dari permulaan,
menerangkan cara-cara bersamadhi mengumpulkan tenaga dalam dan berlatih
pernapasan untuk memperkuat lweekang. Latihan ini dapat dimulai oleh Sui Giok,
sungguhpun hanya kadang-kadang saja karena ia tidak boleh memaksa diri dalam
keadaan mengandung itu. Enam bulan kemudian, di tempat yang sunyi dan terasing itu, di lembah sungai
Cialing yang deras airnya, terlahirlah seorang bayi perempuan. Hanya Bu Lam Nio
seorang yang menolong Sui Giok melahirkan, akan tetapi oleh karena Bu Lam Nio
dahulu semenjak kecil bekerja sebagai pelayan, maka ia amat cekatan dan
pengertiannya amat luas. Oleh Sui Giok dan dengan persetujuan Bu Lam Nio, anak perempuan itu diberi nama
Kwee Li Ling dan disebut Ling Ling. Nama ini untuk mengingatkan anak itu bahwa
ia terlahir di lembah sungai Cialing.
Setelah melahirkan dan kesehatannya pulih kembali, mulailah Sui Giok berlatih
ilmu silat. Mula-mula ia berlatih ilmu silat keluarga Kam, berlatih dari
permulaan dan karena sebelumnya ia telah mempelajari teorinya, maka ia dapat
menguasai ilmu ilmu silat itu dengan amat lancar.
Bu Lam Nio merasa gembira oleh karena melihat bahwa biarpun Sui Giok tidak
berbakat amat baik, namun untuk menguasai ilmu silat keluarga Kam ia masih
dapat. Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, ketika Bu Lam Nio memberikan buku pelajaran ilmu pedang yang
bernama Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan Sui Giok membukanya. Nyonya muda ini
merasa terkejut sekali oleh karena kitab ini bukanlah pelajaran yang amat mudah.
Gerakan-gerakan pedang yang diajarkan di situ amatlah sukarnya dan oleh karena
memang ia tidak memiliki bakat amat baik, maka sukarlah baginya untuk
mempelajarinya dengan sempurna. Bu Lam Nio yang hanya mendengar dia membaca
saja, telah dapat mengambil sedikit inti sari kitab itu dan tidak kalah oleh Sui
Giok sendiri yang dapat membaca.
Adapun Ling Ling, mulai kecil sudah digembleng oleh Bu Lam Nio dan Sui Giok dan
alangkah girang hati mereka bahwa gadis cilik ini ternyata memiliki bakat yang
luar biasa sekali. Agaknya semenjak kecil, Ling Ling sudah amat suka bermain
silat. Di dalam kehidupan barunya, Sui Giok tak pernah melupakan suaminya yang entah
bagaimana nasibnya itu, juga ia sama sekali tak pernah melupakan bayangan Cong
Hwat, perwira yang gemuk itu. Ia tidak pula melupakan Tan-wangwe dan selalu
menanti kesempatan baik untuk memberi hajaran kepada orang-orang ini.
****** Semenjak mendengar berita tentang tewasnya sembilan orang serdadu secara


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan sekali di dalam hutan itu, para penduduk di sepanjang lembah sungai
Cialing, terutama sekali penduduk dusun Tai-kun-an yang terdekat dengan hutan
itu, makin merasa takut dan seram. Tak seorangpun berani mendekati hutan itu,
dan kalau dulu masih ada orang yang berani masuk sampai satu atau dua li,
sekarang mendekati hutan itupun tidak seorangpun berani. Orang-orang menganggap
hutan itu sebagai tempat berhantu atau yang ditempati oleh siluman-siluman
ganas. Kepercayaan itu bukan tahyul semata, karena semenjak serdadu-serdadu itu tewas
di dalam hutan, maka seringkali muncul siluman yang mengganggu dusun Tai-ku-an.
Anehnya yang diganggu adalah orang-orang hartawan, dan siluman itu mencuri
pakaian, makanan, dan lain barang berharga.
Pernah ada yang melihat berkelebatnya bayangan siluman yang bertubuh bongkok dan
berwajah menakutkan, akan tetapi dalam sekejap mata saja siluman itu lenyap dari
pandangan mata. Para penduduk menganggap bahwa itu tentulah siluman penghuni
hutan yang menjadi marah karena para serdadu itu telah mengganggunya.
Anehnya yang dicuri itu, baik pakaian maupun barang-barang, adalah pakaian dan
barang-barang yang dibutuhkan oleh wanita, maka semua orang lalu mempunyai
anggapan bahwa siluman itu tentulah siluman wanita. Dan oleh karena hutan itu
terletak di lembah sungai Cialing, maka orang lalu memberi julukan Cialing Mo-li
(Siluman wanita Sungai Cialing).
Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya, semua ini adalah perbuatan Bu Lam Nio. Wanita pelayan ini tadinya
sama sekali tidak mau mengganggu orang dan bersembunyi dari orang dan masyarakat
ramai. Akan tetapi, semenjak Sui Giok tinggal di situ, setelah ia mendengar betapa
orang-orang hartawan mempergunakan uangnya untuk menyogok para serdadu bahkan
mendengar tentang kejahatan seorang hartawan she Tan terhadap Sui Giok, ia tidak
segan-segan lagi untuk mengganggu orang-orang hartawan, mencuri pakaian dan
makanan untuk keperluan Sui Giok dan puterinya. Bahkan beberapa kali ia
menyatakan hendak memberi hajaran kepada Tan-wangwe, akan tetapi Sui Giok selalu
mencegahnya, menyatakan bahwa ia sendiri yang kelak hendak membalas, setelah ia
memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
bagian 3 Toat-beng Mo-li. Demikianlah, sepuluh tahun kemudian, pada suatu hari ketika Tan-wangwe sedang
duduk makan angin di kebun belakang, bersenang-senang dengan perempuan-perempuan
peliharaannya, dijaga oleh tukang-tukang pukulnya, tiba-tiba berkelebat bayangan
yang gesit sekali dan tahu-tahu dihadapan hartawan itu berdiri seorang wanita
yang cantik jelita. Bukan main kagetnya Tan-wangwe melihat kejadian ini dan ia merasa seakan-akan
sedang mimpi. Adapun perempuan-perempuan yang berada di situ, segera berteriak-
teriak , "Setan ... ! Setan ... !"
Perempuan cantik yang bukan lain adalah Liem Sui Giok sendiri itu, tersenyum
manis akan tetapi sepasang matanya yang bening dan tajam itu memandang dengan
sinar bernyala penuh kebencian kepada Tan-wangwe.
"Memang, memang aku setan yang datang hendak mencabut nyawamu!" Suaranya merdu
dan halus. Akan tetapi Tan-wangwe merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil.
Kemudian Tan-wangwe yang pernah belajar ilmu silat dan selalu membawa-bawa
sebatang pedang pada pinggangnya, memberanikan diri dan berseru,
"Penjaga! Serbu siluman ini!" Dan ia sendiri mencabut pedangnya, pedang yang
tajam dan cukup indah karena gagangnya dihias dengan emas dan permata.
Koleksi Kang Zusi Memang para penjaga di luar kebun itu tidak melihat gerakan Sui Giok yang
melompat ke dalam pekarangan, karena Sui Giok kini telah memiliki ginkang yang
luar biasa tingginya, berkat latihan yang ia pelajari dari Bu Lam Nio. Mendengar
seruan majikan mereka, enam orang penjaga lalu melompat masuk sambil menghunus
golok. Mereka berdiri bengong dan tidak mengerti karena mereka tidak tahu
manakah siluman yang disebut oleh majikan mereka.
Adanya Sui Giok di situ tidak mengherankan mereka, oleh karena perempuan yang
masih belum tua lagi amat cantiknya ini memang patut menjadi alat penghibur
majikan mereka yang mata keranjang. Disangkanya bahwa Sui Giok adalah seorang di
antara wanita-wanita yang dibawa ke dalam tempat itu.
Akan tetapi ketika Tan-wangwe melihat enam orang penjaganya, nyalinya menjadi
besar dan sambil berseru keras ia lalu menubruk dan membacokkan pedangnya ke
leher Sui Giok. Nyonya muda ini sambil tersenyum melihat betapa gerakan ini
lambat dan lemah sekali, maka kedua tangannya lalu bergerak dengan tipu Kwan-im
siu-kiam (Dewi Kwan-im Mencabut Pedang). Tangan kirinya menyambar ke arah
pergelangan tangan kanan Tan-wangwe sedangkan tangan kanannya dengan amat
cepatnya mendahului serangan lawan mengirim totokan ke arah lambung lawan.
Tan-wangwe tidak sempat menjerit karena tahu-tahu ia merasa betapa lambungnya
sakit sekali dan tubuhnya menjadi lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, tangan kiri
Sui Giok telah berhasil merampas pedangnya. Tan-wangwe limbung dan roboh ke atas
tanah bagaikan sehelai kain lapuk.
Barulah keenam orang penjaga itu terkejut. Sementara itu, para bini muda Tan-
wangwe dengan tubuh gemetar lalu berlutut dan berseru, "Siluman wanita ......
dia ..... dia adalah Cialing Mo-li !"
Enam penjaga itu merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka pernah
mendengar tentang Cialing Mo-li ini sebagai seorang siluman yang amat mengerikan
dan buruk rupa, dan pula belum pernah siluman itu muncul di siang hari. Mana ada
siluman berani muncul di tengah hari" Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau
siluman yang mengerikan itu telah berganti rupa, karena bukankah siluman-siluman
pandai sekali pian-hoa (berganti bentuk)" Dengan serentak mereka lalu menerjang
maju dengan golok mereka.
Akan tetapi, tingkat ilmu silat Sui Giok sudah amat tinggi dan sudah terang
sekali jauh lebih tinggi dari pada para penjaga yang kasar ini. Apalagi ia
sekarang telah memegang sebatang pedang dan biarpun masih jauh daripada
sempurna, baru paling banyak dua bagian saja, akan tetapi ia telah melatih ilmu
pedang Kim-gan-liong Koleksi Kang Zusi
Kiam-sut, maka begitu ia menggerakkan pedang itu, bergulunglah sinar putih yang
menutup seluruh tubuhnya.
Melihat gerakan ini, bukan main takutnya para penjaga itu. Bagaimana orang dapat
menghilang di balik gulungan sinar pedang" Belum pernah mereka menyaksikan hal
seaneh ini, maka tentu saja mereka menyerang dengan lutut lemas dan kaki
menggigil. Dengan amat mudahnya ketika Sui Giok menggerakkan pedangnya, terdengar suara
keras dan enam batang golok terlempar jauh. Sui Giok menggerakkan tangan kirinya
dan robohlah para penjaga itu seorang demi seorang. Tiga orang roboh karena
tamparan tangan kiri Sui Giok, adapun yang tiga orang lagi roboh karena
ketakutan dan lemas kakinya.
Saking girangnya melihat hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun mempelajari
ilmu silat, dan saking puasnya dapat membalas dendamnya kepada hartawan yang
mata keranjang itu, Sui Giok lalu tertawa. Suara ketawanya ini bebas dan lepas
sehingga terdengar merdu akan tetapi nyaring sekali menyakitkan anak telinga.
Karena tanpa disadarinya, ia telah mengerahkan khikangnya ketika tertawa
sehingga terdengar keras sekali, bahkan dapat terdengar oleh orang-orang yang
berada di tempat agak jauh sehingga banyak orang di saat itu berdiri bengong dan
saling pandang dengan terheran-heran.
Sui Giok lalu menjambak rambut Tan-wangwe dan sekali ia melompat, ia telah
berada di atas genteng lalu lenyap membawa tubuh hartawan Tan itu. Gegerlah
keadaan di pekarangan Tan-wangwe.
Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit dengan tubuh gemetar dan masih berlutut,
menangis dan menyebut-nyebut nama Thian untuk mengusir siluman jahat itu.
Orang-orang datang melawat dan ketika mereka mendengar bahwa Tan-wangwe dibawa
pergi oleh siluman wanita, mereka menjadi gempar.
Sebelum melakukan serangan terhadap Tan-wangwe, Sui Giok telah mendengar dari Bu
Lam Nio bahwa yang mengkhianati Sui Giok dan suaminya dahulu memang Tan-Wangwe
adanya. Hal ini dapat didengar oleh Bu Lam Nio dalam pekerjaannya mencuri harta
benda para hartawan di malam hari. Oleh karena itu, bukan main sakit hatinya Sui
Giok terhadap Tan-wangwe.
Memang tadinya ia telah menaruh curiga, karena tanpa diberitahu oleh orang lain,
bagaimana rombongan serdadu itu bisa mencari ke dalam hutan" Kalau saja ia tidak
mendengar hal ini dari Bu Lam Nio, ia pasti tidak akan mengganggu nyawa Tan-
wangwe dan cukup memberi hajaran pedas saja. Kini sakit hatinya terlampau besar
dan Tan-wangwe dianggap menjadi biang keladi nomor satu dari penderitaannya.
Koleksi Kang Zusi Pada senja harinya, ketika empat puluh lebih penduduk laki-laki dari Tai-kun-an
yang dipimpin oleh kepala kampung menyusul ke pinggir hutan, mereka ini melihat
tubuh seorang laki-laki tergantung pada pohon dengan kaki di atas dan kepala di
bawah. Ketika mereka mendekat, ternyata bahwa laki-laki ini bukan lain adalah Tan-
wangwe, akan tetapi muka dan kepalanya telah tidak keruan macamnya, rusak dan
hancur bekas cakaran dan gigitan. Dan di bawah pohon itu nampak jejak-jejak kaki
harimau yang terbenam di dalam tanah lumpur.
Memang, Sui Giok sengaja menggantung Tan-wangwe pada kakinya di atas pohon dan
meninggalkannya begitu saja. Seekor harimau yang kelaparan melihat seorang
manusia tergantung, lalu melompat dan berusaha untuk menangkapnya.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Tan-wangwe yang ketakutan. Harimau
itu tidak dapat mencapai korbannya yang digantung terlampau tinggi, akan tetapi
kedua kaki depannya masih juga berhasil merobek muka dan kepala Tan-wangwe
sampai hancur dan nyawanya melayang.
Dengan wajah pucat, orang-orang kampung itu lalu menurunkan jenazah Tan-wangwe
dan membawanya pulang ke dusun. Orang-orang yang tua lalu berlutut ke arah hutan
itu dan berkatalah seorang yang tertua di antara mereka,
"Toat-beng Mo-li (iblis Wanita Pencabut Nyawa), mohon Mo-li sudi mengampuni kami
sekalian dan harap sudah puas dengan korban yang seorang ini. Kami akan membakar
dupa wangi setiap malam untuk menghormat Mo-li!"
Semenjak peristiwa ini, sebutan untuk "siluman" di dalam hutan itu menjadi dua,
pertama Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing) dan kedua Toat-beng Mo-li
(Iblis Wanita Pencabut Nyawa). Sebutan yang kedua ini adalah karena Sui Giok
menyatakan hendak mencabut nyawa Tan-wangwe ketika ia bertemu dengan hartawan
itu dan karena banyak orang yang mendengar ucapannya, maka lalu julukan kedua
itu timbul. Benar saja, semenjak para penduduk membakar dupa wangi setiap malam, tak pernah
ada gangguan lagi. Hal ini adalah karena Sui Giok melarang kepada Bu Lam Nio
untuk mencuri barang-barang para hartawan di dusun itu.
"Mencuri adalah perbuatan yang memalukan," kata Sui Giok kepada Lam Nio.
"Biarpun yang dicuri itu adalah barang-barang para hartawan pelit dan kejam. Aku
dan anakku tidak suka memakai barang-barang curian."
Bu Lam Nio memang seorang yang pernah tinggal dengan orang-orang bangsawan, maka
tentu saja ia tidak membantah dan bahkan di dalam hati mengakui kebenaran ucapan
ini. Pada suatu hari, secara kebetulan Sui Giok mendapatkan banyak mutiara di
antara tumpukan kulit kerang di pinggir sungai. Bukan main girangnya karena ia
Koleksi Kang Zusi tahu bahwa mutiara-mutiara ini amat mahal harganya.
Ia lalu mencoba membawa beberapa butir mutiara ke kota Kong-goan, dan betul
saja, orang berani membayar mahal untuk sebutir mutiara. Padahal yang ia
dapatkan itu tidak kurang dari seratus butir. Semenjak saat itu, Bu Lam Nio
tidak perlu mencuri lagi karena dengan persediaan mutiara sebanyak itu, mereka
dapat membeli apa saja yang mereka kehendaki.
Biarpun Ling Ling tinggal di tengah hutan yang sunyi, akan tetapi ia tidak
terasing sama sekali dari dunia ramai. Sui Giok mengerti bahwa hal ini tidak
baik bagi puterinya, maka sedikitnya sepekan sekali ia tentu mengajak Ling Ling
ke dusun atau kota yang agak jauh dari tempat itu. Tentu saja ia tidak berani
mengajak puterinya ke dusun Tai-kun-an, karena ia telah dikenal oleh penduduk di
situ sebagai Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
Akan tetapi, setelah Ling Ling berusia delapan tahun, anak ini merasa kurang
puas dengan ajakan ibunya yang hanya kadang-kadang itu. Anak ini rindu akan
kawan-kawan bermain dan ibunya serta Bu Lam Nio yang disebut "nenek Lam" mulai
percaya kepadanya dan membolehkan dia bermain di dalam hutan seorang diri.
Menurut pendapat Sui Giok dan Lam Nio, kini Ling Ling telah memiliki kepandaian
yang cukup untuk menjaga diri dari serangan binatang buas. Memang, gadis yang
amat berbakat ini baru saja berusia delapan tahun telah memiliki gerakan yang
luar biasa gesitnya, memiliki ginkang yang amat mengagumkan.
Oleh karena rasa rindunya akan kawan-kawan bermain tak dapat ditahan lagi, maka
tidak heran apabila pada suatu pagi, ketika belasan orang anak-anak dusun Tai-
kunan sedang bermain-main, tiba-tiba mereka melihat seorang anak perempuan yang
cantik dan manis berada ditengah-tengah mereka. Anak perempuan ini rambutnya
dikuncir dua dan kuncir-kuncirnya diberi pita warna merah, wajahnya segar dan
munggil, selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya cemerlang bagaikan bintang
pagi. Pakaiannyapun berbeda dengan anak-anak dusun, bersih dan dari sutera
berwarna indah. Tentu saja anak-anak itu menjadi terheran-heran. Mereka memandang kepada anak
perempuan yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka itu. Seorang anak
laki-laki di antara mereka bertanya, "Eh, kau siapakah?"
"Aku?" Ling Ling menjawab sambil bibirnya tersenyum manis dan matanya memandang
penuh seri kegembiraan. "Namaku Ling Ling !"
Dia amat senang mendengar suara anak-anak ini dan melihat wajah mereka. Inilah
yang dikehendakinya selama ini, inilah yang dirindukannya. Ia sudah merasa bosan
berada di tempat yang sunyi, hidup hanya dengan ibu dan neneknya itu.
Koleksi Kang Zusi "Nama yang bagus !" kata seorang anak perempuan memuji.
"Pitanya lebih bagus !" kata lain orang anak perempuan sambil memegang-megang
pita itu. "Kau mau ini?" tanya Ling Ling yang segera melepaskan dua pita rambutnya.
"Ambillah!" Ia memberikan sehelai pita merah kepada anak itu dan yang sehelai
lagi ia berikan kepada seorang anak perempuan lain. Karena pitanya diambil, maka
kini rambut Ling Ling menjadi terurai dan rambut itu memang amat bagus, lemas,
hitam dan panjang. "Kau anak dari manakah?" tanya lagi anak laki-laki tadi memandang kagum dan juga
heran. "Kami tidak pernah melihatmu. Di mana rumahmu?"
"Di sana!" kata Ling Ling sambil menunjuk ke arah hutan di luar dusun. Anak-anak
itu hanya mengira bahwa rumah Ling Ling di jurusan yang ditunjuk, yakni di ujung
dusun sebelah utara. Tiba-tiba terdengar anak perempuan yang tadi diberi pita oleh Ling Ling
menangis. "Pitaku ....! Jangan ambil pitaku ...! Kembalikan!"
Ling Ling cepat menengok dan ternyata bahwa pita yang tadi diberikan kepada anak
perempuan itu telah dirampas oleh seorang anak laki-laki yang usianya sudah
lebih dari sepuluh tahun. Anak perempuan yang paling banyak berusia enam tahun
itu menangis dan menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis.
"Eh, kau!" tiba-tiba Ling Ling berseru keras sekali sehingga mengejutkan semua
anak-anak itu. "Kembalikan padanya!"
Anak laki-laki yang merampas pita itupun terkejut, akan tetapi ketika ia
menengok dan memandang kepada Ling Ling, ia menghampiri sambil tertawa
menyeringai. "Ha, ha, ha! Kau seperti pemain sandiwara yang kutonton dulu itu.
Galak dan berlagak seperti permaisuri raja. Kau anak baru hendak memerintah aku"
Hm, kalau kau laki-laki tentu sudah ku jotos hidungmu!"
Bukan main marahnya Ling Ling mendengar ucapan itu dan kini sepasang matanya
yang indah dan bening itu mengeluarkan cahaya berapi sehingga tidak saja semua
anak-anak menjadi tercengang, bahkan anak laki-laki itu sendiripun melangkah
mundur dua langkah. "Kau ....... kau siapa" Matamu sungguh tidak sedap hatiku melihatnya.
Seperti ...... seperti mata setan!"
"Plak!" Tangan kanan Ling Ling dengan cepatnya menyambar dan menampar pipi anak
laki-laki itu. "Aduuuuhhh .....!!" Sungguh mengherankan semua anak-anak yang berada di situ,
karena anak lelaki itu telah terkenal sebagai "jagoan" di antara semua anak-anak
Koleksi Kang Zusi dusun Tai-kun-an, mengapa kini ditampar sekali saja lalu mengaduh-aduh dan
berjingkrak-jingkrak sambil memegangi pipinya"
Memang, anak laki-laki itu merasa sakit bukan main terkena tamparan tadi,
pipinya terasa panas dan pedas sampai menembus ke dalam mulut. Setelah mengusap-
usap pipinya dan menahan sakit sampai air matanya mengucur keluar ia menjadi
marah sekali. "Anak anjing! Kau berani memukul aku?" Setelah berkata demikian, anak laki-laki
ini lalu menyerang Ling Ling dengan pukulan ke arah kepala Ling Ling.
Ling Ling semenjak baru bisa berjalan sudah menerima latihan-latihan silat
tinggi di bawah bimbingan ibu dan neneknya, maka tentu anak lelaki itu bukan


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya. Sekali mengangkat tangan menyaut, lengan tangan anak laki-laki itu telah
ditangkapnya dan dengan gerakan amat cepatnya sehingga sukar diikuti oleh mata,
tahu-tahu lengan tangan kanan anak itu telah ditekuk ke belakang sehingga anak
laki-laki itu meringis kesakitan.
"Hayo, cepat kembalikan pita itu kepadanya!" Ling Ling membentak dan kini semua
anak melihat betapa sikap gadis cilik ini luar biasa keren dan gagahnya. Anak
laki-laki itu hendak membangkang, akan tetapi ketika Ling Ling menguntir
lengannya, ia berkaok-kaok kesakitan dan cepat mengembalikan pita yang masih
berada ditangan kirinya kepada anak perempuan itu.
"Hayo kau berlutut dan minta ampun kepadanya!" kembali Ling Ling membentak
sambil mendorong tubuh anak laki-laki itu yang terguling roboh di depan anak
perempuan kecil yang diganggunya tadi. Akan tetapi tentu saja anak laki-laki itu
tidak sudi minta ampun dan begitu ia berdiri, dengan geramnya ia hendak
menyerang Ling Ling lagi.
Ia masih merasa penasaran sekali. Masa ia harus mengaku kalah terhadap seorang
anak perempuan yang masih kecil ini" Namun kini Ling Ling menjadi marah sekali.
Sebelum anak laki-laki itu dapat mengenainya dengan pukulan, Ling Ling telah
mendahuluinya dengan sebuah tendangan yang mengenai perutnya. Baiknya Ling Ling
tidak bermaksud mencelakainya, karena kalau tendangan ini dilakukan sekuat
tenaga, mungkin sekali anak itu akan mati.
Biarpun tendangan ini perlahan saja, akan tetapi anak itu menjerit-jerit sambil
memegangi perutnya, bergulingan di atas tanah bagaikan seekor cacing terkena abu
panas. "Hayo berlutut dan minta ampun kepadanya! Lekas!" teriak pula Ling Ling.
Karena tidak dapat menahan sakitnya lagi, anak laki-laki itu lalu merangkak dan
berlutut di depan anak perempuan yang tadi diganggunya.
Koleksi Kang Zusi "Awas, jangan kau berani mengganggu anak-anak lain lagi, kalau aku melihat hal
itu atau mendengar dari orang lain, aku akan mencabut nyawamu !" kata Ling Ling
dengan sikap yang bengis sekali.
Kebetulan sekali pada saat itu ada seorang petani yang lewat di situ dan melihat
anak-anak yang berkerumun, ia tertarik hatinya. Ia merasa terheran-heran melihat
betapa anak laki-laki yang terbesar kini sambil menangis dengan muka pucat,
sedang berlutut dihadapan seorang anak perempuan terkecil sedangkan semua anak
memandang kepada seorang gadis cilik dengan mata terbelalak heran dan kagum.
Petani ini sudah mengenal semua anak-anak di dusun itu, akan tetapi gadis cilik
yang manis ini belum pernah dilihatnya. Ketika ia mendengar ucapan Ling Ling
tentang "mencabut nyawa", tiba-tiba ia terbelalak dan mukanya berobah pucat. Melihat
sekelebatan saja, petani ini maklum bahwa anak laki-laki yang besar itu tentu
telah kalah oleh anak perempuan yang aneh dan berpakaian indah itu.
"Toat-beng Mo-li ...... (Iblis Wanita Pencabut Nyawa)..... !" katanya perlahan
sambil memandang kepada Ling Ling dengan mata terbelalak.
Ketika anak-anak perempuan mendengar ucapan ini, maka menjerit-jerit dan
terutama anak laki-laki yang tadi diberi hajaran, kini memandang kepada Ling
Ling lalu berlari terbirit-birit.
Ling Ling telah mendengar dari ibunya betapa ibu dan neneknya dianggap iblis
wanita. Hal ini amat menyebalkan hati Ling Ling dan menganggap sebutan itu
sebagai hinaan. Kemarahannya timbul, akan tetapi ia tersenyum girang ketika
melihat betapa anak perempuan kecil yang dibelanya tadi tidak ikut lari
meninggalkannya. Anak perempuan itu bahkan mendekatinya dan sambil memegang
tangannya, anak itu berkata,
"Enci Ling Ling, aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang siluman!"
Ling Ling memandangnya dan tak terasa pula ia memeluk dan menciumi anak itu. Dia
belum pernah merasakan bagaimana senangnya mempunyai seorang kawan, dan kini
melihat anak ini ia merasa suka sekali.
"Kau tidak takut kepadaku?" tanyanya.
Anak itu menggelengkan kepalanya. "Mengapa mesti takut" Kau cantik dan baik,
tidak seperti anak-anak lain yang suka menggangguku."
Pada saat itu, dari sebelah selatan datang serombongan orang dan ternyata mereka
itu adalah orang-orang lelaki yang datang karena diberitahu oleh petani tadi
bahwa di situ terdapat Toat-Beng Mo-li. Semua orang berlari-lari karena mengira
bahwa Toat-beng Mo-li hendak mengganggu anak-anak mereka, akan tetapi ketika
melihat bahwa di situ hanya terdapat seorang anak perempuan yang cantik mungil,
mereka berhenti Koleksi Kang Zusi
dan memandang heran. "Itulah dia, anak perempuan yang cantik itu!" kata petani tadi sambil menuding
ke arah Ling Ling. Semua orang memandang dengan mata tidak percaya dan ayah anak perempuan yang
masih bergandengan dengan Ling Ling itu segera melangkah maju dan berkata kepada anaknya,
"A-cui, kau kesinilah !"
Anak perempuan itu memandang kepada Ling Ling dn berkata, "Dia adalah ayahku,
enci Ling Ling." Sementara itu Ling Ling sudah timbul lagi amarahnya melihat orang-orang itu
memandangnya dengan muka aneh. Ia merasa sebal sekali, maka ia menjawab kasar,
"Jangan pergi kepadanya!"
Mendengar suara Ling Ling yang nyaring, makin takutlah orang-orang itu, terutama
sekali ayah A-cui, ia segera menjatuhkan diri berlutut dan dari jauh ia memberi
hormat kepada Ling Ling sambil berkata, "Harap jangan mengganggu anakku, biarlah
aku akan bersembahyang tiap malam untuk menghormatimu!"
Ling Ling tentu saja tidak mengerti apakah arti kata-kata ini, maka ia hanya
memandang dengan masih marah. Sementara itu, ketika A-cui melihat kemarahan Ling
Ling dan melihat pandang matanya yang memancarkan cahaya berapi-api, ia mulai
menjadi takut dan berkata, "Enci Ling Ling, aku mau pergi kepada ayahku!" Dan
larilah A-cui kepada ayahnya.
Ling Ling mengulurkan tangan hendak menangkap A-cui, akan tetapi orang-orang
lelaki yang berdiri kurang lebih lima tombak darinya, ketika melihat ia
mengulurkan tangan seakan-akan hendak menangkap A-cui, segera menyerbu dengan
senjata tajam di tangan. Menurut kehendak hatinya yang marah, Ling Ling hendak melawan orang-orang ini,
akan tetapi ia pernah mendengar pesanan ibunya bahwa ia dilarang berkelahi
dengan orang-orang dusun, dan pernah pula mendengar neneknya berkata bahwa
orang-orang dusun adalah orang-orang bodoh. Sebutan mereka yang dianggap iblis
wanita oleh orang-orang kampung itu bukanlah penghinaan, melainkan sebutan yang
timbul dari kepercayaan bodoh dan tahyul.
Sungguhpun Ling Ling tak dapat mengerti jelas keterangan neneknya ini, namun
melihat orang-orang kampung itu, dan melihat A-cui, Ling Ling merasa kasihan
juga. Maka dengan hati mendongkol, kecewa, dan marah yang ditahan-tahan, ia lalu
menggerakkan tubuhnya dan sekali ia melompat tubuhnya telah berkelebat jauh dan
sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.
Koleksi Kang Zusi Melihat gerakan ini, percayalah kini semua orang dusun itu dan terdengar seruan-
seruan, "Toat-beng Mo-li ....." Beberapa orang di antara mereka bahkan sudah
menjatuhkan diri berlutut dengan mulut berkemak-kemik membaca doa.
Semenjak saat itu, semua penduduk Tai-kun-an percaya bahwa Toat-beng Mo-li
adalah iblis wanita yang amat sakti dan pandai pian-hoa, sebentar menjadi iblis
yang buruk rupa dan tua sekali sebentar berobah menjadi seorang wanita yang
cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang menjelma menjadi seorang anak
perempuan yang manis dan mungil.
Akan tetapi ketika mendengar penuturan A-cui, mereka berpendapat bahwa "iblis
wanita" itu bukanlah iblis yang jahat dan agaknya tidak mau mengganggu orang,
kecuali orang yang jahat. Sepanjang pengetahuan mereka, yang pernah diganggu
adalah Tan-wangwe dan tukang-tukang pukulnya dan semua orang sudah tahu akan
kejahatan dan kekejaman hartawan ini beserta kaki tangannya.
Orang kedua yang mengalami hajaran adalah anak laki-laki yang telah mengganggu
A-cui. Maka, kini nama Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li dipergunakan oleh
mereka untuk menakut-nakuti orang yang hendak berbuat jahat. Berkat ketahyulan
inilah maka orang-orang yang berwatak jahat di dusun itu menjadi ketakutan dan
mereka jarang berani melakukan kejahatan lagi.
Sementara itu, Ling Ling kembali ketempat tinggal orang tuanya di dalam hutan
sambil cemberut dan mendongkol sekali. Ketika ibunya melihatnya, ia ditegurnya,
"Ling Ling, kau datang dari manakah dan mengapa kau nampak marah?"
Ditanya demikian, Ling Ling lalu menangis dan menjatuhkan diri di atas pangkuan
ibunya. Sui Giok terkejut sekali dan dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus
rambut Ling Ling. Terlihat olehnya betapa rambut anaknya yang bagus itu terurai
tanpa ikatan pita merah seperti biasa.
"Eh, kenapa kau menangis dan ke mana pula perginya pita rambutmu?"
Ling Ling lalu menceritakan pengalamannya yang didengar oleh ibunya dengan
kening berkerut dan beberapa kali terdengar ia menarik napas panjang.
"Itulah sebabnya maka aku selalu melarang kau pergi ke dusun Tai-kun-an, anakku.
Penduduk di situ menganggap kita sebagai iblis wanita, akan tetapi hal ini tidak
perlu diributkan. Mereka adalah orang-orang bodoh yang patut dikasihani. Mereka
sebetulnya tidaklah jahat."
"Ibu, aku sudah bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi sepi ini. Mengapa ibu
tidak pindah saja ke tempat ramai di mana aku bisa bermain-main dengan anak-anak
lain?" Sui Giok mencium pipi anaknya. "Belum waktunya, Ling Ling. Kau belajarlah dengan
rajin dan apabila kepandaianmu sudah cukup, tentu aku takkan selamanya Koleksi
Kang Zusi menahanmu di sini, bahkan kalau kau sudah cukup pandai, kita akan bersama keluar
dari sini, pergi kekota-kota besar dan kau akan gembira dan senang. Tunggulah
sampai kau dewasa dan pandai, nanti kita akan pergi mencari ayahmu."
Mendengar disebutnya ayah, Ling Ling lalu bangkit dan duduk di depan ibunya. Ia
menyusut air matanya dan dengan sepasang matanya yang bening itu dipandangnya
muka ibunya. "Ibu, dimanakah adanya ayah sekarang" Mengapa ia meninggalkan kita?" Ia teringat
akan ayah dari A-cui yang demikian menyinta anaknya.
Sui Giok menghela napas. Memang ia belum menceritakan riwayatnya kepada Ling
Ling, hanya memberitahukan tiap kali anaknya menanyakan ayahnya, bahwa ayahnya
itu sedang pergi jauh dan bahwa kelak mereka akan menyusulnya.
"Ling Ling sudah berkali-kali kukatakan bahwa kalau kau sudah pandai dan sudah
dewasa, tentu akan kuceritakan semua hal itu. Sekarang belum waktunya, nak, kau
berjanjilah kepada ibumu untuk belajar ilmu kepandaian dengan tekun. Kau harus
lebih memperdalam ilmu membaca agar kau dapat membaca kitab Kim-gan-liong-kiam-
coan-si dan melatih ilmu pelajaran yang terdapat di dalam kitab itu."
Ling Ling adalah seorang anak yang berhati keras dan berotak cerdik, akan tetapi
terhadap ibunya ia amat penurut dan berbakti, maka mendengar ucapan ini, ia
sudah merasa puas dan tidak mau mendesak lagi. Semenjak saat itu, ia belajar
makin giat dan tekun dan mulailah ia mempelajari kitab ilmu pedang itu bersama-
sama ibunya. bagian 4 Kepongahan Pendeta Pek-sim-kauw.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Ling Ling mempunyai bakat yang luar
biasa sekali dalam hal ilmu silat. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si yang sukar
sekali dipelajari oleh ibunya itu, setelah Ling Ling pandai membaca atas ajaran
ibunya, maka anak ini dapat menangkap inti sari ilmu pedang ini dan dapat
mempelajari dan memainkannya jauh lebih cepat dan mudah daripada ibunya.
Pedang Tan-wngwe yang dulu dirampas oleh ibunya itu dipergunakan untuk berlatih
ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main girangnya hati Sui Giok dan Bu
Lam Nio. Ilmu pedang itu dapat dimainkan oleh Ling Ling sedemikian hebatnya
sehingga ketika Sui Giok dan Bu Lam Nio mencoba untuk mengeroyok gadis itu,
kedua orang tua ini tidak dapat bertahan lebih dari lima puluh jurus.
Koleksi Kang Zusi Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si selain memuat pelajaran ilmu pedang, juga di
bagian terakhir dimuat pula pelajaran yang disebut "mempersatukan pedang dengan
diri", yakni bagian pelajaran yang paling sukar dan sulit. Pelajaran ini
berdasarkan latihan lweekang yang amat tinggi dan disertai latihan siulan
(samadhi) dan latihan napas.
Apabila tenaga lweekang yang khusus telah dimiliki oleh orang yang belajar dari
kitab ini, maka barulah ia akan dapat memperoleh ilmu mempersatukan pedang
dengan dirinya. Dengan ilmu ini, maka pedang yang dipegang di tangannya dan
dimainkannya, baginya seakan-akan bukan merupakan pedang lagi, melainkan
merupakan sebagian dari tubuhnya, merupakan anggauta tubuh seperti tangan atau
kaki. Dengan penyaluran tenaga lweekang sampai ke ujung pedang, maka gerakan pedang
lebih hebat dan tepat, serta tiap serangan atau tangkisan pedang mengandung
tenaga lweekang sepenuhnya seakan-akan bukan pedang, melainkan lengan tangan
yang menyerang atau menangkis.
Sui Giok sendiri sudah bertahun-tahun mencoba untuk memahami bagian terakhir
ini, namun tetap saja ia tidak berhasil. Hal ini tidak mengherankan oleh karena
untuk dapat memiliki bagian terakhir ini, tidak saja dibutuhkan bakat yang luar
biasa, namun juga dibutuhkan otak yang cerdas, pikiran yang tenang, dan
ketekunan yang luar biasa.
Bagi Sui Giok, semua syarat ini ada walaupun tidak berapa kuat, akan tetapi
tentang ketekunan dan ketenangan, bagaimana ia bisa tenang kalau hatinya selalu
risau dan amat rindu kepada suaminya" Ia tidak tahu bagaimana nasib suaminya,
dan sebagai seorang isteri muda yang baru setahun lebih menikah dan berkumpul
dengan suaminya, tentu saja ia merasa amat rindu.
Kegelisahannya memuncak apabila ia teringat akan nasib suaminya yang tercinta
itu. Inilah yang menjadi penghalang besar baginya untuk dapat mencapai kemajuan ilmu
pedang seperti yang telah dicapai oleh Ling Ling.
Selama sembilan tahun, tiada hentinya Ling Ling belajar. Ibunya sendiri kadang-
kadang sampai berkhawatir melihat betapa gadis itu kadang-kadang berlatih ilmu
pedang sampai sehari penuh, melakuan siulan sampai semalam penuh belum juga
"sadar" kembali dan lain-lain kegiatan yang benar-benar mengagumkan.sekali.
Koleksi Kang Zusi Sembilan tahun lewat dengan cepatnya dan pada saat ini, kepandaian ilmu silat
Ling Ling sudah jauh sekali melampaui kepandaian ibu dan neneknya, bahkan
menurut pendapat Bu Lam Nio ilmu kepandaian pedang Ling Ling sudah melampaui
kepandaian Panglima Kam Kok Han.
****** Kerajaan Sui, yakni kerajaan yang dipimpin oleh kaisar Yang-te, demikian buruk
keadaannya dan demikian kejam terhadap rakyat jelata cara pemerintahannya
sehingga di sana-sini timbullah kesatuan-kesatuan orang-orang gagah yang
sikapnya menentang alat-alat pemerintah. Mereka ini, yakni orang-orang kalangan
kang-ouw dan liok-lim, melakukan bermacam-macam usaha untuk mengurangi
penderitaan rakyat. Ada yang bergerak perseorangan, merupakan hiapkek-hiapkek (pendekar-pendekar)
penolong rakyat dan dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya memusuhi pembesar-
pembesar jahat. Ada yang bergerak merupakan persatuan-persatuan dan ada pula
yang bergerak di bidang kebatinan untuk memberi hiburan dan penerangan kepada
rakyat. Perkumpulan agama Pek-sim-kauw (Agama Hati Putih) sudah amat terkenal dan
mempunyai banyak sekali anggautanya. Cabang-cabangnya dibuka sampai jauh ke
kota-kota dan dusun-dusun.
Pendeta-pendeta Pek-sim-kauw berpakaian seperti tosu (pendeta penganut Agama
To), yakni dengan jubah panjang dan lebar berwarna kuning dengan sulaman gambar
hati berwarna putih di dada. Rambutnya dipelihara panjang, digelung di atas
kepala dengan tusuk konde perak. Sepatunya berwarna hitam kaos kaki hitam pula.
Yang membuat Pek-sim-kauw amat terkenal adalah sepak terjang mereka. Para
pendeta Pek-sim-kauw terkenal amat gagah berani dan berkepandaian tinggi. Hal
ini tidak mengherankan oleh karena ketua Pek-sim-kauw yang bernama Liang Gi
Cinjin, adalah seorang tokoh persilatan dari pegunungan Kunlun-san.
Dia adalah sute dari ketua Kunlun-pai dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat
yang amat tinggi. Untuk memajukan dan menjaga nama baik Pek-simkauw, Liang Gi
Cinjin telah menciptakan semacam ilmu silat yang disebutnya ilmu silat Pek-sim-
ciang-hoat (Ilmu Pukulan Hati Putih) yang sesungguhnya masih berdasarkan Kunlun-
kun-hoat. Semua pendeta yang menjadi pengurus Pek-sim-kauw, mempelajari ilmu silat ini dan
mereka ini mempunyai kedudukan yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan
pengetahuan mereka tentang ilmu silat dan kebatinan.
Oleh karena Pek-sim-kauw menganut semacam agama yang sesungguhnya hanya Koleksi
Kang Zusi pelaksanaan dari pada ajaran-ajaran To-kauw, maka perkumpulan ini mendapat
banyak pendukung. Terutama sekali karena memang dalam kenyataannya, para pendeta
Pek-sim-kauw adalah orang-orang yang gagah perkasa dan penolong-penolong rakyat
jelata, maka perkumpulan ini makin dihormati dan disegani. Tentu saja semua ini


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terutama sekali karena kekuatan perkumpulan ini.
Semua orang kangouw maklum akan kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw dan tidak
sembarang orang jahat berani mencoba-coba menentangnya. Bahkan di mana saja Pek-
sim-kauw membuka cabangnya, tentu para penjahat di tempat itu cepat-cepat pergi
dan pindah ke tempat lain yang lebih aman bagi mereka.
Saking banyaknya pendukung, di dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah pendeta
Pek-sim-kauw telah mencapai seratus orang lebih. Untuk membedakan tingkat
mereka, maka diadakan perbedaan dalam warna tusuk konde mereka.
Pendeta-pendeta tingkat satu, yakni anak murid Liang Gi Cinjin sendiri yang
jumlahnya ada lima orang, memakai tusuk konde berwarna putih terbuat dari perak.
Pendeta-pendeta tingkat dua memakai tusuk konde berwarna kuning terbuat daripada
gading, dan pendeta-pendeta tingkat ketiga, yakni tingkat terendah bagi pendeta-
pendeta Pek-sim-kauw, memakai tusuk konde berwarna hitam terbuat dari pada kayu
hitam. Pakaian mereka semua sama, tiada perbedaan sama sekali. Untuk memperkembangkan
agama Pek-sim-kauw, para pendetanya lalu mendirikan cabangnya di kota Kong-goan
dan seperti juga dilain tempat, sebentar saja perkumpulan ini telah melakukan
banyak sekali hal-hal yang patut dipuji.
Membasmi penjahat-penjahat, mempergunakan pengaruhnya untuk mengancam para
pembesar yang suka berlaku sewenang-wenang, membujuk para hartawan dengan
pengetahuan keagamaan untuk membuat para hartawan itu suka mengulurkan tangan
menolong rakyat miskin, dan mengusahakan derma dan sumbangan untuk para
penderita kemiskinan dan kelaparan.
Tak lama kemudian, cabang di Kong-goan yang dipimpin oleh lima orang pendeta
tingkat dua ini membuka pula ranting-rantingnya, di antaranya di dusun Tai-kun-
an. Pendeta yang bertugas di dusun ini adalah seorang pendeta tingkat tiga bernama
Pek Kin Cu. Seperti semua pendeta Pek-sim-kauw, iapun menggunakan she (nama keturunan) Pek.
Pek Kin Cu sudah berusia lima puluh tahun, ilmu silatnya tinggi dan ilmu
pengetahuannya tentang agama Pek-sim-kauw sudah cukup dalam. Hanya sedikit
disayangkan bahwa Pek Kin Cu ini berhati lemah dan kurang cerdik sehingga ia
amat mudah terpengaruh oleh kata-kata manis dan mudah sekali tergerak hatinya
apabila Koleksi Kang Zusi
melihat orang bermuram durja di depannya.
Para penduduk Tai-kun-an sudah seringkali mendengar tentang kegagahan pendeta-
pendeta Pek-sim-kauw, maka kedatangan Pek Kin Cu tentu saja mereka sambut dengan
girang sekali. Yang paling girang hatinya adalah keluarga hartawan Tan yang dulu
terbunuh oleh Cialing Mo-li.
Mereka ini diam-diam menaruh hati dendam dan ingin sekali membasmi siluman itu,
akan tetapi sudah belasan tahun mereka tidak berdaya karena siapakah yang berani
melawan siluman" Sudah beberapa kali mereka mencari orang-orang gagah, akan
tetapi tidak ada orang gagah yang berani mencoba-coba mengganggu siluman di
dalam hutan yang demikian liar dan angkernya.
Baru beberapa hari setelah pendeta Pek Kin Cu membuka cabang agamanya di Tai-
kun-an, datanglah janda Tan-wangwe bersama beberapa orang keluarganya menghadap
Pek Kin Cu. Dengan menangis mereka menceritakan tentang gangguan Iblis Wanita
Sungai Cialing itu kepada pendeta ini dan minta bantuannya untuk mengusir atau
kalau mungkin membinasakan iblis itu.
Pek Kin Cu mengerutkan kening dan mengurut-urut jenggotnya yang panjang. "Apa "
Iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li " Sungguh aneh.
Benar-benarkah ada siluman yang berani membunuh manusia di siang hari pula "
Belum pernah aku mendengar keanehan seperti ini."
Akan tetapi, ketika pendeta itu mencari keterangan di seluruh dusun, tak seorang
pun yang menyangkal kebenaran cerita itu. Semua orang menyatakan bahwa memang di
dalam hutan sebelah utara itu, di Lembah Sungai Cialing, terdapat iblis wanita
yang disebut Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa) dan Cialing Mo-li
(Iblis Wanita Sungai Cialing).
Tentu saja Pek Kin Cu percaya akan adanya siluman atau iblis. Ia percaya penuh
akan kekuasaan Tao (kekuasaan tertinggi yang dipercaya oleh kaum agama Tao).
Apakah sukarnya bagi Tao yang maha kuasa untuk menciptakan mahluk seperti
siluman" Tao yang berkuasa menggerakkan bulan dan matahari, yang berkuasa menghidupkan
ikan-ikan di air, menerbangkan burung-burung di udara, menghidupkan mahluk-
mahluk laksaan macamnya dipermukaan bumi, tentu saja mungkin sekali mengadakan
mahluk-mahluk halus seperti iblis dan siluman. Tidak ada yang tidak mungkin bagi
kekuasaan Tao. Betapapun juga, siluman itu harus dibasmi, harus dilenyapkan agar jangan
mengganggu manusia lagi. Iblis wanita yang sudah membunuh Tan-wangwe, merupakan
bahaya besar bagi penduduk Tai-kun-an.
Demikianlah, dengan hati bulat dan penuh kemauan menolong penduduk Tai-kun-an,
Koleksi Kang Zusi pek Kin Cu pada suatu pagi memasuki hutan di sebelah utara dusun itu. Hutan itu
memang amat liar dan penuh semak-semak belukar. Akan tetapi, yakin akan
kepandaiannya, Pek Kin Cu tidak merasa gentar sedikitpun juga.
Pendeta ini mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serangan iblis itu
sambil berlari cepat, mempergunakan ilmu ginkangnya yang sudah tinggi. Pohon-
pohon kecil dan tumbuhan berduri yang menghalang perjalanannya, dibabatnya
dengan pedang itu. Ia berlari terus di sepanjang pantai sungai Cialing.
Matahari telah naik tinggi ketika ia tiba di dekat tempat tinggal Bu Lam Nio,
Liem Sui Giok dan Ling Ling. Ketika ia tiba di bawah sebatang pohon pek yang
besar sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar dari atas. Cepat sekali
pendeta ini melompat mundur dan memalangkan pedangnya di depan dada sambil
berdongak memandang ke atas.
Tak terasa lagi Pek Kin Cu mengucapkan doa dan mantera ketika ia menyaksikan
mahluk yang melompat turun dari atas pohon itu. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah
siluman wanita itu. Ia melihat seorang yang tua sekali, berpakaian hitam,
mukanya tidak karuan dan menyeramkan, tidak menyerupai manusia, melayang turun
dengan gerakan yang luar biasa.
Sesungguhnya, yang melompat turun itu adalah Bu Lam Nio, wanita tua yang
berwajah buruk. Ia tadi tengah memetik buah ketika mendengar tindakan kaki
pendeta itu datang dari jauh. Cepat Bu Lam Nio melompat naik ke dalam pohon Pek
yang besar itu dan mengintai.
Ketika melihat seorang pendeta dengan pedang di tangan mendatangi cepat sekali,
ia lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tidak suka ada orang lain
memasuki hutan itu dan melihat Sui Giok dan puterinya. Hatinya masih penuh
kecurigaan kalau-kalau orang ini adalah suruhan dari kaisar menangkap Sui Giok.
"Kaukah siluman yang suka mengganggu penduduk dusun?" tosu itu membentak setelah
dapat menenangkan hatinya yang tadi berdebar keras.
Disebut siluman, Bu Lam Nio tertawa bergelak. Suara ketawanya keras, nyaring dan
bergema di seluruh hutan, menyeramkan sekali. Akan tetapi ia tidak menjawab,
hanya memandang kepada pendeta itu dengan matanya yang hampir tertutup oleh
keriput mukanya. "Eh, iblis wanita !" Pek Kin Cu berseru keras untuk melawan suara ketawa yang
menggetarkan hatinya itu. "Kau tentu iblis yang disebut Toat-beng Mo-li atau
Cialing Mo-li. Jangan kau berlagak di depan Pek Kin Cu. Seorang pendeta Pek-sim-
kauw tidak boleh dibuat permainan dan tidak takut menghadapi segala macam
siluman jahat seperti kau."
Koleksi Kang Zusi Mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya tidak karuan itu, Bu Lam Nio berkata
dengan suaranya yang parau karena ia sudah tua sekali.
"Kau boleh sebut aku apa saja, akan tetapi sekarang juga kau harus pergi dari
sini. Pergi!" Wanita itu menggerak-gerakan tangannya mengusir Pek Kin Cu.
"Aku tidak takut kepadamu dan tidak akan pergi. Aku memang sengaja datang untuk
mengusir dan mengirimkan kau kembali ke neraka. Di nerakalah tempatmu, bukan di
atas bumi tempat tinggal manusia. Kau telah membunuh seorang she Tan di dusun
Tai-kun-an, dan karenanya kau harus menerima hukuman di bawah pedangku!"
Kalau Pek Kin Cu tidak menyebutkan nama Tan-wangwe, mungkin keadaannya akan
masih baik baginya, akan tetapi sekali ia menyebut nama ini, marahlah Bu Lam
Nio. Ia mengira bahwa pendeta ini tentulah seorang jagoan yang datang untuk
membalaskan dendam Tan-wangwe.
"Keparat!" teriaknya marah sekali. "Kau tadi menyebutku Iblis Wanita Pencabut
Nyawa, memang aku akan mencabut nyawamu yang jahat!" Sambil memekik seram ia
lalu menyerang tosu itu. Pek Kin Cu sudah siap sedia dan begitu melihat tubuh wanita itu bergerak, ia
segera memapak dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi, dengan gesit sekali Bu Lam
Nio mengelak ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya.
Pek Kin Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa angin pukulan itu telah
mendahului tangan iblis itu, menyambar ke arah lambungnya dengan kekuatan yang
mengherankan sekali. Ia cepat melompat ke belakang dan tahulah ia bahwa siluman
ini benar-benar lihai sekali, memiliki kegesitan dan tenaga lweekang yang
tinggi. Ia lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat
yang amat diandalkan. Perlu diketahui bahwa murid-murid Pek-sim-kauw yang belum menguasai sedikitnya
lima puluh bagian dari pada ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat dan ilmu pedang Pek-
sim-kiam-hoat, tidak boleh mengaku sebagai murid Pek-sim-kauw dan tidak boleh
pula di dalam pertempuran mempergunakan ilmu silat ini.
Pendeknya mereka ini belum diakui sebagai murid. Kalau sudah menguasai lima
puluh bagian atau setengahnya dari ilmu silat keluaran Pek-sim-kauw, barulah ia
akan diaku sebagai murid dan mendapat tingkat ketiga.
Oleh karena itu, biarpun tingkatnya hanya tingkat tiga, namun ilmu silat dan
ilmu pedang Pek Kin Cu sudah hebat sekali. Kalau hanya ahli silat kebanyakan
saja jangan harap akan dapat melawan pendeta ini.
Bu Lam Nio maklum akan kelihaian Pek Kin Cu. Ilmu silat dan ilmu pedang pendeta
itu memang amat tangguh dan hampir saja Bu Lam Nio sendiri sukar menghadapinya.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, dalam hal ginkang dan lweekang, Bu Lam Nio masih menang setingkat
dan inipun kalau wanita tua ini belum pernah mempelajari Kim-gan-liong-kiam-sut
biarpun baru sedikit, agaknya iapun takkan dapat menang.
Berkat pengetahuannya tentang Kim-gan-liong-kiam-sut yang benar-benar merupakan
raja ilmu pedang itu, ia dapat mengikuti gerakan pedang lawannya dan dengan
ginkangnya yang tinggi, ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan
maut. Memang hebat sekali pertempuran ini. Kalau pedang Pek Kin Cu boleh diumpamakan
seekor naga, maka tubuh Bu Lam Nio merupakan segulung awan hitam yang
mengelilingi naga itu. Telah lima puluh jurus lebih Pek Kin Cu menyerang, akan tetapi belum pernah
ujung pedangnya dapat menyentuh baju Bu Lam Nio yang hitam. Sebaliknya, sudah
beberapa kali pendeta ini terkena dorongan angin pukulan Bu Lam Nio sehingga
terhuyung-huyung. "Siluman wanita, kau jahat sekali!" Pek Kin Cu membentak sambil memperhebat
gerakkannya. "Tosu palsu, kaulah yang jahat!" Bu lam Nio juga bergerak makin cepat dan
mendesak lawannya dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Di dalam gebrakan selanjutnya, tiba-tiba terdengar Pek Kin Cu berteriak keras
dan tubuhnya terkena pukulan Bu Lam Nio sehingga terpental jauh dan jatuh dalam
keadaan pingsan. Pendeta ini telah terkena pukulan di bagian dadanya dan masih untung bahwa
lweekangnya cukup tinggi dan tadi melihat sambaran pukulan tangan Bu Lam Nio
yang istimewa, ia masih dapat cepat-cepat menutup jalan darah dan menahan
napasnya yang dikumpulkan di dada untuk melindungi jantung dan paru-parunya,
maka ia hanya jatuh pingsan karena kerasnya pukulan membuat kepalanya tergoncang
hebat. Bu Lam Nio tertawa nyaring sekali sehingga suara ketawanya sekali ini bergema
lebih keras lagi. Kemudian ia melompat mendekati pendeta itu, mengambil pedang
yang terlepas dari tangan Pek Kin Cu, mengangkatnya ke atas hendak dipancungkan
ke arah leher pendeta itu.
"Nenek Lam, jangan bunuh orang!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring
sekali dan belum hilang gema suara itu, bayangan orangnya telah berkelebat cepat
dan berdiri di belakang Bu Lam Nio. Ternyata ia adalah seorang gadis yang luar
biasa cantiknya, akan tetapi wajahnya nampak agung dan angkuh.
Sekali saja gadis ini mengulur tangannya, pedang di tangan Bu Lam Nio telah
dapat Koleksi Kang Zusi dirampasnya. Dapat dibayangkan betapa lihainya gadis ini yang dapat merampas
pedang dari tangan nenek itu demikian mudahnya.
Bu Lam Nio menengok dan berkata menegur, "Ling Ling ! Mengapa kau mencegahku"
Pendeta ini datang hendak mencelakakan kita, patut dibunuh!"
"Jangan, nenek Lam. Membunuh orang tanpa sebab yang kuat dan beralasan adalah
dosa yang besar. Sudah cukup merobohkan dia dan mengirim dia kembali ke luar
hutan. Ibu akan menjadi marah kalau melihat nenek membunuh orang."
"Ayaaa ....! Orang lemah!" nenek tua itu mencela, akan tetapi ia tidak berani
membantah lagi. Dengan ringan dan mudah sekali ia lalu menangkap leher pendeta
itu, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan berlari secepat terbang
keluar dari hutan. Ling Ling mengikuti nenek itu dengan gerakannya yang ringan
dan cepat, bagaikan bayangan nenek yang menyeramkan itu.
Di luar hutan terdapat banyak sekali penduduk Tai-kun-an yang menanti kembalinya
Pek Kin Cu, mereka itu semua menaruh kepercayaan penuh kepada pendeta Pek-
simkauw yang pergi hendak membasmi siluman wanita itu. Sambil menanti, mereka
duduk di atas rumput dan bercakap-cakap, membicarakan perkumpulan Pek-simkauw
yang terkenal dengan pendeta-pendetanya yang berilmu tinggi.
Sudah menjadi kebiasaan manusia bahwa dalam percakapan seperti itu, orang selalu
menambah-nambahkan dan melebih-lebihkan apa yang mereka pernah dengar dan
menceritakan keanehan-keanehan pendeta Pek-sim-kauw seakan-akan mereka pernah
menyaksikannya sendiri. Seorang di antara mereka bahkan menceritakan betapa Liang Gi Cinjin, ketua dari
Pek-sim-kauw, pernah menyelam ke dalam laut selama sepekan untuk mengadakan
perundingan dengan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut Pengatur Hujan) dan untuk
menolong daerah timur yang kekurangan air. Setelah Liang Gi Cinjin keluar dari
laut, maka segera turun hujan lebat di daerah yang kekurangan air itu.
Ada pula yang bercerita betapa pendeta-pendeta Pek-sim-kauw telah mengusir
siluman-siluman dengan ilmu gaib mereka. Masih banyak sekali dongeng-dongeng
Dendam Empu Bharada 40 Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api Kutunggu Di Pintu Neraka 2
^