Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
tentang perkumpulan agama Pek-sim-kauw sehingga hati mereka menjadi besar dan
makin percayalah mereka kepada Pek Kin Cu yang masih berada di dalam hutan untuk
mengusir Toat-beng Mo-li atai Cialing Mo-li, siluman yang telah bertahun-tahun
merupakan gangguan dan yang mereka amat takutkan itu.
"Pek Totiang tentu akan dapat menangkap Cialing Mo-li," kata seorang di antara
mereka, "dan akan membawanya ke sini."
"Asal saja Toat-beng Mo-li tidak sedang menjelma menjadi anak kecil," kata orang
kedua, "sungguh tidak enak melihat seorang anak kecil tertangkap dan hendak
Koleksi Kang Zusi dibunuh." Ramailah kini mereka bicara tentang Toat-beng Mo-li, iblis wanita pencabut nyawa
yang menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon besar tak jauh
dari tempat mereka berkumpul sehingga semua orang menjadi terkejut dan
ketakutan. Suara berkeresekan di pohon itu, lalu disusul oleh melayangnya tubuh orang yang
yang jatuh di depan mereka. Alangkah kagetnya orang-orang ini ketika melihat
bahwa yang dilemparkan ke arah mereka itu bukan lain adalah tubuh Pek Kin Cu,
pendeta yang menjadi jagoan mereka yang kini menggeletak dalam keadaan pingsan.
Ributlah orang-orang itu menolong Pek Kin Cu. Setelah kepalanya disiram air dan
siuman dari pingsannya, pendeta itu menjawab pertanyaan orang-orang dusun dengan
gelengan kepala dan suaranya amat sedih ketika ia berkata perlahan,
"Sungguh berbahaya. Iblis wanita itu sungguh lihai sekali ......"
Bukan main kecewa rasanya hati orang-orang itu dan dengan lemas mereka lalu
kembali ke Tai-kun-an. Setelah tiba di kampung, barulah Pek Kin Cu menceritakan
pengalamannya, bahwa ia tidak kuat menghadapi iblis wanita yang benar-benar kuat
sekali itu. "Akan tetapi harap kalian jangan khawatir," katanya menghibur orang-orang itu,
"perkumpulan Pek-sim-kauw takkan membiarkan kejahatan merajalela, biarpun yang
melakukan pengacauan adalah seorang iblis atau siluman, kami pasti akan
bertindak untuk menolong kalian. Memang betul bahwa aku sendiri tidak dapat
menangkap siluman itu, akan tetapi hari ini juga aku akan minta bantuan suheng-
suhengku di kota Kong-goan."
Legalah hati semua penduduk Tai-kun-an mendengar ucapan ini, karena tadinya
mereka merasa amat takut kalau-kalau iblis wanita itu akan menaruh dendam dan
marah kepada mereka karena pendeta Pek-sim-kauw itu telah berani mengganggunya
di hutan. ****** Pada keesokan harinya, nampak empat orang pendeta Pek-sim-kauw berjalan dengan
ilmu silat cepat menuju ke dalam hutan itu. Mereka ini datang dari Kong-goan dan
melihat dari tusukkonde mereka, dapat diketahui bahwa tiga orang yang memakai
tusuk konde gading adalah pendeta-pendeta tingkat dua, sedangkan yang seorang
lagi adalah Pek Kin Cu. Setelah dikalahkan oleh "siluman wanita" itu, Pek Kin Cu cepat-cepat pergi ke
kota Kong-goan dan menceritakan pengalamannya kepada suheng-suhengnya yang
menjadi pemimpin cabang Pek-sim-kauw di kota itu.
Pemimpin yang bertugas menyebar agama Pek-sim-kauw di kota Kong-goan ada lima
Koleksi Kang Zusi orang banyaknya, semua pendeta-pendeta tingkat dua, dibantu oleh banyak pendeta-
pendeta tingkat tiga yang datang berangsur-angsur dari pusat. Setelah lima orang
pemimpin ini mendengar cerita Pek Kin Cu, mereka merasa marah sekali.
"Memang siluman itu harus dibasmi," kata Pek Sui Cu yang tertua dan yang menjadi
kepala cabang di Kong-goan. "Ji-sute, Sam-sute dan Si-sute (adik kedua, ketiga,
dan keempat) harap suka membereskan soal ini. Menurut pendapatku, iblis yang
mengalahkan Pek Kin Cu bukanlah iblis tulen, melainkan seorang yang jahat atau
seorang yang tidak waras otaknya, yang telah lama menyembunyikan diri di dalam
hutan. Oleh karena itu, oleh karena dia tidak membunuh Pek Kin Cu kalau dapat
tangkaplah saja dia, jangan dibunuh."
"Akan tetapi, twa-suheng (kakak terbesar), iblis itu telah membunuh seorang
penduduk dusun Tai-kun-an yang bernama Tan-wangwe dan beberapa orang penjaganya.
Ia berbahaya sekali dan kalau tidak dibunuh, akan mendatangkan banyak malapetaka
pada rakyat kampung di sekitar hutan itu."
"Jangan, jangan sembarangan membunuh orang. Kalian berempat masa tidak mampu
menangkapnya dan membawanya ke sini" Kalau memang kalian tidak dapat menangkap,
barulah kalian boleh turun tangan," berkata Pek Sui Cu.
Demikianlah, sambil membawa senjata masing-masing, empat orang pendeta Pek-sim-
kauw itu lalu berangkat dengan cepat memasuki hutan di sebelah utara dusun Tai-
kun-an itu. Kepandaian tiga orang pendeta tingkat dua ini tentu saja lebih
tinggi dari pada kepandaian Pek Kin Cu, karena mereka ini pernah mendapat
latihan langsung dari Liang Gi Cinjin.
Berbeda dengan pendeta-pendeta tingkat tiga seperti Pek Kin Cu yang hanya
mendapat latihan dari pendeta tingkat satu dan dua. Baru melihat cara mereka
berlari saja, jelas sudah bahwa kepandaian ginkang dari Pek Kin Cu kalah jauh,
akan tetapi oleh karena dia yang menjadi penunjuk jalan, maka ketiga orang
suhengnya itu sengaja memperlambat larinya agar mereka dapat maju berbareng.
Pada saat itu, Liem Sui Giok bersama puterinya Ling Ling, sedang bercakap-cakap
di dalam gua tempat tinggal mereka. Bu Lam Nio tidak kelihatan di situ oleh
karena seperti biasa, nyonya tua itu telah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari,
mencuci pakaian, memasak nasi dan lain-lain.
Sungguh amat mengharukan betapa nenek tua ini amat bersetia kepada Sui Giok dan
Ling Ling. Dan biarpun Sui Giok sudah berkali-kali melarangnya melakukan semua
pekerjaan itu, namun tetap saja ia berkeras, karena ia masih selalu menganggap
diri sendiri sebagai seorang pelayan.
"Aku tidak akan merasa senang apabila aku tidak bekerja sebagai pelayan," bantah
Koleksi Kang Zusi nenek itu, "dengan pekerjaan-pekerjaan ini, aku dapat mengenang masa lalu yang
penuh keindahan." bagian 5 Gelimangan Darah Bu Lam Nio
Pada hari itu, Sui Giok sedang menghadapi Ling Ling yang semenjak beberapa hari
ini selalu rewel dan mendesaknya untuk memberi ijin. Gadis ini ingin sekali
keluar dari hutan itu dan pergi ke dunia ramai.
"Ibu," katanya setelah mendesak berkali-kali, "semenjak dahulu, aku sudah merasa
amat bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari kawan-kawan, jauh
dari manusia lainnya. Dulu ibu menyatakan bahwa kalau aku sudah dewasa dan sudah
memiliki kepandaian, ibu akan memperkenankan aku keluar dari hutan ini. Nah,
bukankah sekarang aku sudah dewasa dan tentang kepandaian .... apakah ibu masih
menganggap kurang ?"
Dengan air mata berlinang, Sui Giok memeluk anaknya.
"Ling Ling, tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hati ibumu selain
melihat kau hidup seperti gadis-gadis lain di dunia ramai. Akan tetapi, aku
tidak tega dan selalu akan merasa gelisah kalau kau merantau seorang diri,
anakku. Bagaimana kalau kau sampai mendapat bencana di jalan" Dunia ini penuh
dengan orang-orang jahat, Ling Ling."
"Ibu, mengapa susah-susah" kalau ibu tidak tega, marilah kita pergi berdua.
Dengan kepandaian kita, apakah yang kita takutkan" Ibu, aku ingin sekali mencari
ayah. Menurut penuturan ibu, ayah dahulu dibawah oleh para serdadu untuk bekerja
paksa, mengapa kita tidak menyusul dan mencarinya" Alangkah akan bahagianya
kalau kita dapat bertemu dengan ayah!"
Makin deras air mata mengalir dari mata Sui Giok mendengar disebutnya suaminya
ini. Kemudian ia menggeleng kepala dan berkata perlahan,
"Ling Ling, hal ini tidak mungkin. Kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan
nenekmu" Dia adalah penolong ibumu, tanpa adanya nenek Lam, ibumu pasti sudah
Koleksi Kang Zusi tewas dan kau takkan ada di muka bumi ini. Bagaimana aku bisa tinggalkan dia
seorang diri di tempat ini?"
Belum sempat Ling Ling menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi pekik
yang amat nyaring, seperti pekik seekor binatang buas yang dilukai.
"Nenenk Lam ...... !!" Ling Ling berseru keras dan wajahnya tegang. "Dia marah
sekali!" Akan tetapi Sui Giok sudah melompat berdiri dan menarik tangannya. "Hayo cepat,
nenekmu berada dalam bahaya!" Keduanya lalu melompat dan berlari cepat sekali ke
arah datangnya suara itu.
Ternyata bahwa Bu Lam Nio telah bertemu di dalam hutan dengan empat orang
pendeta Pek-sim-kauw itu. Melihat pendeta-pendeta itu, Bu Lam Nio mengenal Pek
Kin Cu yang kemaren telah dirobohkan, maka meluaplah amarahnya. "Pendeta-pendeta
busuk, kalian sudah bosan hidup !" teriaknya dan langsung ia menyerang mereka
dengan sebatang ranting pohon.
"Siluman jahat! Kau benar-benar ganas dan harus dibasmi!" teriak Pek Kin Cu
sambil memutar pedangnya. Juga tiga orang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw
lalu mencabut pedang dan mengeroyok.
Akan tetapi kebencian Bu Lam Nio telah ditumpahkan kepada Pek Kin Cu membuat
nenek ini menyerang dengan hebat sekali kepada pendeta ini. Desakkannya bukan
main dahsyatnya dan ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan ilmu pedang Kim-
gan-liong-kiam-sut yang baru sedikit dipelajarinya.
Namun ini sudah cukup. Biarpun Pek Kin cu berusaha menangkis dan ketiga orang
suhengnya menyerang hebat untuk menolongnya, tetap saja ujung ranting di tangan
Bu lam Nio dengan tepat telah menusuk jalan darah pada lehernya.
Pek Kin Cu terhuyung dan roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena jalan
darah pada lehernya telah pecah, membuat ia tak dapat bersuara dan tak dapat
bernapas lagi. Ia tewas pada saat itu juga. Demikianlah kehebatan ilmu pedang
Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main terkejut dan marahnya tiga orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua
itu. "Iblis wanita, kau benar-benar ganas dan kejam!" teriak mereka dan bergulung-
gulunglah sinar pedang ketiga pedang ketiga pendeta ini ketika mereka mengeroyok
dengan serangan-serangan maut kepada Bu Lam Nio. Bu Lam Nio sudah amat tua
Koleksi Kang Zusi dan matanya sudah agak lamur, biarpun ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang
mengherankan, akan tetapi menghadapi tiga orang lawan yang amat tangguh ini, ia
menjadi sibuk juga. Dari tangkisan pedang mereka, ia maklum bahwa ketiga orang
lawan ini bukanlah lawan yang empuk seperti Pek Kin Cu, dan jangankan dikeroyok
tiga, baru menghadapi seorang di antara mereka saja, agaknya ia takkan mudah
merobohkannya. Ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkan oleh tiga orang pendeta ini memang
lihai. Kepandaian mereka sudah mencapai tujuh puluh bagian sehingga ketika
pedang mereka berkelebat, terdengarlah bunyi mengaung seperti ribuan lebah
pulang ke sarang. Sebentar saja Bu Lam Nio terkurung rapat oleh sinar pedang mereka dan tidak
mempunyai jalan keluar lagi. Akan tetapi, Bu Lam Nio tidak menjadi gentar bahkan
lalu memutar rantingnya makin cepat sambil melakukan serangan balasan membabi
buta. Ranting kecil di tangan nenek ini jangan dipandang ringan oleh karena biarpun
hanya kecil dan terbuat daripada kayu kering saja, namun bahayanya tidak kalah
oleh sebatang pedang atau tongkat baja. Ujung ranting ini menyambar-nyambar dan
mengancam setiap jalan darah lawan dan sekali saja ujungnya dapat menotok jalan
darah, pasti lawannya akan terjungkal.
Akan tetapi yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid Liang Gi Cinjin
sendiri, maka setelah melawan mati-matian sampai tiga puluh jurus, dengan
gerakan berbareng pendeta-pendeta itu menyerang dari tiga jurusan. Bu Lam Nio
masih mencoba untuk menangkis dan mengandalkan ginkangnya mengelak namun
sebatang pedang yang menyerangnya dari kiri dengan tepat telah menusuk
lambungnya. Nenek ini mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan memperkeras lambungnya,
namun tenaga lweekang penusuknya juga kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, pedang itu telah menancap pada lambungnya sampai setengahnya lebih.
Bu Lam Nio mengeluarkan pekik dahsyat dan mengerikan sekali. Pekik yang bukan
seperti pekik manusia ini dikeluarkan karena marah dan sakit. Dan pekik inilah
yang terdengar oleh Sui Giok dan Ling Ling.
Dengan tenaga yang luar biasa sekali, biarpun ia telah terluka parah, Bu Lam Nio
masih dapat menubruk maju dan kalau saja pendeta yang menusuknya tadi tidak
cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat, pasti ia akan kena ditangkap
dan kalau terjadi demikian, jangan harap ia akan dapat hidup lagi. Ketika
tubrukannya luput, Bu Lam Nio terjerumus ke depan dan terguling, menggeletak di
dalam genangan darahnya sendiri.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu, datanglah Sui Giok dan Ling Ling.
"Nenek ... !!" Ling Ling menjerit ngeri melihat keadaan neneknya ini dan tanpa
banyak cakap ia lalu mencabut pedangnya, yakni pedang yang dulu dirampas oleh
Sui Giok dari tangan Tan-wangwe, lalu ia menyerbu kepada tiga pendeta Pek-sim-
kauw itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Pedang ditangannya itu nampak bagaikan
halilintar menyambar-nyambar dan sukar diduga bagian mana yang hendak diserang.
Ketiga orang pendeta itu tadinya berdiri tercengang ketika melihat datangnya dua
orang wanita yang cantik-cantik.
Tak mungkin mereka ini siluman, pikir mereka mulailah mereka merasa gelisah dan
menyesal telah membunuh Bu Lam Nio. Kini melihat datangnya serangan gadis muda
yang cantik sekali ini, kegelisahan mereka berubah menjadi kekagetan yang besar.
Mereka cepat menangkis dan terdengar bunyi nyaring sekali. Dua orang pendeta
masih dapat menahan, akan tetapi orang ketiga tak dapat menahan getaran
tangannya sehingga pedangnya yang dipakai menangkis telah terpental jauh.
Sui Giok melompat maju dan menerima pedang pendeta yang melayang ini, kemudian
tanpa banyak cakap lagi iapun menyerbu dengan hati marah sekali. Pendeta yang
pedangnya kena dipentalkan oleh Ling Ling tadi memiliki hati yang penakut dan
pengecut. Melihat betapa pedangnya dengan mudah terampas dan kini berada di
tangan wanita cantik itu ia tidak mempunyai nafsu untuk melawan lagi.
Apalagi ketika dilihatnya betapa dua orang kawannya dalam segebrakan saja
terkurung dan terdesak hebat. Tanpa banyak pikir lagi, ia lalu membalikkan
tubuhnya dan berlari sifat kuping (cepat sekali).
Memang, kedua orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua ini sama sekali bukan lawan
Ling Ling, karena begitu bergerak, Ling Ling sudah dapat mendesaknya sehingga
lawan ini sama sekali tak berdaya membalas, hanya menangkis dan mengelak saja.
Gerakan Ling Ling terlampau gesit dan sukar diduga, sedangkan ilmu pedangnyapun
amat luar biasa. Kalau yang menghadapi Ling Ling bukan pendeta Pek-sim-kauw yang
sudah mewarisi tujuh puluh bagian dari Pek-sim-kiam-hoat, jangan harap ia akan
dapat melayani Ling Ling lebih dari sepuluh jurus. Kini biarpun pendeta itu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun dalam jurus keempat belas,
pedang Ling Ling dengan cepat sekali menyambar lehernya.
Ketika pendeta itu menangkis, secepat kilat pedang Ling Ling dirobah gerakkannya
dan kini bukan merupakan sabetan lagi, melainkan ditusukkan ke arah dada pendeta
itu. Hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh tosu dari Pek-sim-kauw ini. Ia
berusaha mengelak sudah tidak keburu, untuk menangkis apalagi, maka terpaksa ia
Koleksi Kang Zusi lalu mengumpulkan hawa di dadanya, untuk mencoba menahan tusukan ini.
Ilmu lweekang dari tosu-tosu Pek-sim-kauw memang tinggi dan Liang Gi Cinjin
sendiri terkenal seorang ahli lweekeh yang jarang tandingannya. Pendeta yang
menghadapi Ling Ling ini sudah melatih Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi
Jalan Darah) dan sudah melatih ilmu kebal yang disebut Thiat-po-san (Baju
Mustika Besi). Akan tetapi kini dia bukan menghadapi lawan sembarangan. Mungkin juga kalau yang
menusuk dadanya itu seorang yang ilmu silatnya masih rendah, kulit dadanya akan
berhasil menahan dan tidak terluka.
Akan tetapi, Ling Ling selalu menggerakkan pedangnya menurut petunjuk dari kitab
Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan selalu disertai getaran-getaran yang disalurkan
oleh tenaga lweekangnya. Pedang itu kini sudah merupakan sebagian daripada
tangannya dan seakan-akan ujung pedang itu dapat "memilih" jalan masuk ke dalam
rongga dada. "Cepp ....!" Tosu itu berseru keras, memukulkan tangan kiri ke depan dengan
tenaga terakhir untuk membalas lawannya. Akan tetapi, Ling Ling tidak saja dapat
menahan angin pukulan ini, bahkan menambah dengan sebuah tendangan ke arah perut
lawannya yang segera terpental tubuhnya sampai dua tombak lebih dalam keadaan
mati. Ketika Ling Ling menengok keadaan ibunya, ternyata Sui Giok juga sedang mendesak
hebat pendeta lawannya, ilmu kepandaian Sui Giok tidak sehebat Ling Ling, karena
memang puterinya ini jauh lebih berbakat dan berlatih silat semenjak kecil. Bagi
Sui Giok yang berlatih silat setelah ia mempunyai anak, tentu saja gerakannya
tidak selemas Ling Ling walaupun kecerdikan dan ketekunannya membuat Sui Giok
kini memiliki kepandaian yang jarang dimiliki oleh ahli silat lain.
Dalam hal tenaga dan kegesitan, keadaan Sui Giok boleh dibilang berimbang dengan
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya, akan tetapi ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut memperlihatkan
keunggulannya. Dengan ilmu pedang ini, Sui Giok berhasil mendesak lawannya yang
kini makin menjadi gelisah itu. Ling Ling tidak mau membantu ibunya karena
maklum bahwa tak lama lagi ibunya akan berhasil merobohkan lawannya.
Benar saja, setelah bertempur tiga puluh lima jurus, akhirnya dengan gerak tipu
Kim-gan-liong-sin-yau (Naga Mata Emas Mengulur Pinggang), Sui Giok berhasil
menipu dan memancing lawannya. Tubuhnya membelakangi lawannya dengan gerakan
yang lemas dan indah dan melihat kesempatan serta lowongan ini, pendeta itu
segera menusuk dari belakang.
Ini hanya pancingan belaka untuk dapat mematahkan kekuatan pertahanan tosu itu.
Bagi setiap ahli ilmu silat tentu maklum bahwa serangan dan pertahanan adalah
dua Koleksi Kang Zusi gerakan yang berlawanan. Apabila orang menyerang maka berarti bahwa
pertahanannya tentu berkurang satu bagian kekuatannya, sebaliknya di waktu
bertahan, juga daya serangnya berkurang.
Ketika tosu itu menusukkan pedangnya ke arah dada kiri Sui Giok, tiba-tiba
nyonya ini berseru keras, membalikkan tubuh, membuka lengan kiri sehingga pedang
lawan meluncur di bawah pangkal lengan kirinya, kemudian pedang di tangan
kanannya tak dapat dicegah lagi telah memasuki dada lawannya.
Pendeta Pek-sim-kauw ini menjerit dan ketika Sui Giok mencabut pedangnya sambil
melompat kebelakang, tubuh pendeta itu terguling roboh tak bernyawa lagi.
Kedua anak dan ibu ini segera menghampiri Bu Lam Nio yang masih rebah mandi
darah. Ketika Sui Giok merobohkan pendeta lawannya, Ling Ling sudah berlutut dan
memangku kepala neneknya maka kini keduanya hanya menangis sedih.
Keadaan Bu Lam Nio sudah jelas, tak dapat diobati lagi. Kulit lambungnya telah
terbuka dan isi perutnya bahkan ada yang menonjol keluar. Darah membasahi rumput
dan pakaiannya. Wajahnya pucat dan makin mengerikan, akan tetapi Ling Ling dan
ibunya tiada hentinya menciumi muka nenek itu sambil memanggil-manggil namanya.
Bagaikan dipanggil kembali nyawa nenek itu oleh tangisan Ling Ling dan Sui Giok,
tiba-tiba mata yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali dan melihat Ling
Ling memangkunya, Bu Lam Nio tersenyum. Bibirnya berbisik-bisik akan tetapi
suara yang keluar sukar sekali ditangkap oleh telinga karena amat perlahan. Ling
Ling dan Sui Giok lalu mendekatkan telinga mereka untuk mendengar pesan terakhir
itu. "Oei-hong-kiam (Pedang Tawon Kuning) dari suamiku telah dirampas oleh
pembunuhnya ...... carilah pemegang Oei-hong-kiam dan ... bunuh dia untuk
membalas sakit hati Kam-ciangkun (Panglima Kam)......" Setelah berkata demikian,
leher Bu Lam Nio menjadi lemas dan melayanglah nyawa nenek yang malang hidupnya
ini meninggalkan raganya yang sudah rusak.
Dengan hati sedih, Sui Giok dan Ling Ling mengubur jenazah Bu Lam Nio, juga
ketiga jenazah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu mereka kubur baik-baik. Hal ini
menandakan bahwa budi pekerti Sui Giok memang halus dan baik. Nyonya ini bersama
anaknya masih merasa heran mengapa pendeta-pendeta yang jubahnya memakai gambar
hati putih ini memusuhi Bu Lam Nio.
"Mereka ini tentulah pendeta-pendeta yang jahat, sebagaimana seringkali ibu
menceritakan kepadaku!" kata Ling Ling. "Maka kelak kalau kita bertemu dengan
pendeta berpakaian seperti ini, kita harus membasmi mereka!" Memang pada waktu
itu kedudukan para tosu dan hwesio dirusak dan dicemarkan oleh orang-orang jahat
yang sengaja menjadi "orang suci" untuk menutupi perbuatan mereka yang jahat.
Koleksi Kang Zusi Dengan jubah pendeta, mereka ini lebih leluasa membodohi rakyat dan melakukan
hal-hal yang amat mengecewakan. Hal ini diketahui oleh Sui Giok maka seringkali
ia memberi nasehat kepada anaknya agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang
berjubah pendeta, karena kalau mereka itu berhati jahat, sukarlah bagi kita
untuk menyangkanya. "Ibu, setelah kini nenek tidak ada, tentu ibu tidak berkeberatan untuk mengawani
aku keluar dari tempat ini. Marilah kita pindah ke tempat ramai, ibu, dan hidup
seperti orang-orang biasa. Ling Ling membujuk dua hari kemudian setelah
peristiwa itu terjadi. "Baiklah, Ling Ling. Akan tetapi aku masih merasa tidak tega meninggalkan makam
nenekmu. Biarlah kita tinggal lagi di sini sampai sembilan hari, baru kita
tinggalkan tempat ini."
Akan tetapi tujuh hari kemudian, terjadilah peristiwa hebat yang memaksa ibu dan
anak itu pergi dari situ sebelum waktu yang mereka tetapkan. Pada hari itu,
pagi-pagi sekali, serombongan pendeta mendarat di hutan itu.
Mereka ini datang dengan perahu dan ternyata bahwa mereka adalah pendeta-pendeta
Pek-sim-kauw sebanyak tiga belas orang. Melihat tusuk konde mereka, ternyata
bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw yang berkepandaian tinggi.
Sepuluh orang bertingkat dua dan yang tiga orang adalah pendeta-pendeta Pek-sim-
kauw tingkat satu. Bagaimanakah begitu banyak pendeta Pek-sim-kauw dapat menyerbu ke sini"
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang pendeta dapat melarikan
diri dari hutan itu dan langsung berlari ke kota Kong-goan.
Kebetulan sekali pada waktu itu, Pek Sui Cu, pendeta dari cabang Pek-sim-kauw di
Kong-goan, didatangi oleh beberapa orang pendeta tingkat dua lain yang sengaja
datang hendak merundingkan tentang keadaan perkumpulan mereka, ketika mereka ini
mendengar tentang tewasnya Pek Kin Cu dan tangguhnya siluman-siluman di dalam
hutan itu, bukan main marah dan terkejut mereka,
"Celaka, twa-suheng," kata pendeta itu dengan muka pucat, "Ji-suheng dan sam-
suheng entah bagaimana nasibnya. Siluman-siluman wanita itu bukan main tangguh
dan gagahnya." Ia lalu menceritakan betapa dengan sekali tangkis saja "siluman
wanita" yang paling muda telah berhasil membuat pedangnya terampas.
Pek Sui Cu dan kawan-kawannya lalu merundingkan hal ini,
"Terang bahwa mereka itu tentulah wanita-wanita jahat yang menyembunyikan diri
dan berkepandaian tinggi. Kita harus minta bantuan dari pusat, dan sebaiknya
kita berlaku hati-hati. Sedapat mungkin kita harus minta bantuan dari suheng-
suheng kita Koleksi Kang Zusi
yang bertingkat satu. Jangan sampai kita menyerbu dan gagal lagi."
Demikianlah, setelah menanti dua hari ternyata dua orang kawan mereka tidak
kembali, lalu seorang pendeta disuruh memberi laporan ke pusat minta bantuan.
Pusat Pek-sim-kauw berada di kota besar Ceng-tu di sebelah selatan. Liang Gi
Cinjin sendiri jarang sekali berada di pusat, kesukaannya pergi merantau,
mengunjungi sahabat-sahabatnya di puncak gunung-gunung seperti Kunlun-san, Gobi-
san, dan lain-lain. Orang tua yang sakti ini memang sudah bosan untuk mengurus semua persoalan dunia
dan lebih suka ia mengunjungi ketua Kunlun-pai atau Gobi-pai untuk bermain
catur, bercakap-cakap dan bertukar pikiran tentang ilmu batin dan ilmu alam.
Apabila dia sedang pergi, maka seluruh urusan Pek-sim-kauw diserahkan kepada
murid-muridnya yang sudah bertingkat satu.
Jumlah muridnya ini hanya lima orang, masing-masing bernama Pek Im Ji, Pek Hong
Ji, Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji. Kesemuanya adalah pendeta-pendeta
yang sudah berusia lima puluh tahun lebih dan selain telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi karena telah mewarisi delapan puluh bagian lebih dari
Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat, merekapun telah mendapat pengertian
yang mendalam tentang kebatinan. Tidak mengherankan apabila sikap mereka halus
dan lemah lembut serta memiliki sifat penuh welas asih.
Ketika ke lima orang murid Liang Gi Cinjin mendengar tentang siluman yang
membunuh anak murid Pek-sim-kauw, mereka menjadi terkejut dan juga terheran-
heran. "Bagaimana bisa terjadi hal sehebat itu?" tanya Pek Im Ji, pendeta tertua atau
murid kesatu daripada Liang Gi Cinjin yang juga mewakili suhunya.
"Kesalahan apakah yang sudah diperbuat oleh orang-orang kita sehingga mendapat
marah dari orang gagah yang menyembunyikan diri di dalam hutan?" Pek Im Ji tanpa
ragu-ragu lagi mengetahui bahwa yang disebut siluman itu tentulah orang gagah
yang pandai ilmu silat. Pendeta pesuruh dari Kong-goan itu lalu menceritakan awal mulanya, "Penduduk
dusun Tai-kun-an seringkali mendapat gangguan dari siluman wanita yang disebut
Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li bahkan seorang she Tan dari dusun itu bersama
beberapa orang pengawalnya telah terbunuh mati. Ketika sute Pek Kin Cu mendengar
laporan para penduduk dusun itu, segera dia mendatangi hutan tempat tinggal
siluman tadi dan dalam pertempuran, ternyata sute Pek Kin Cu tidak dapat melawan
seorang wanita tua yang seperti siluman mukanya. Sute Pek Kin Cu terkena
pukulan, dan menjadi pingsan. Ketika siuman kembali, ia telah berada di luar
hutan. Kemudian Koleksi Kang Zusi
sute Pek Kin Cu minta bantuan ke Kong-goan. Bersama tiga orang saudara dari
Kong-goan, ia lalu mendatangi dan menyerbu hutan itu. Tidak tahunya, siluman
wanita tua itu masih mempunyai dua orang kawan, seorang wanita dan seorang gadis
yang memiliki ilmu silat luar biasa sekali. Sute Pek Kin Cu tewas dalam
pertempuran, dan ketika tiga orang saudara dari Kong-goan berhasil merobohkan
siluman tua, datanglah dua orang wanita tadi. Saudara-saudara kita itu terdesak
hebat, seorang saudara dapat melarikan diri, akan tetapi yang dua lagi agaknya
tewas pula, karena sehingga kini belum kembali. Mohon bantuan dari twa-suhu!"
Pesuruh ini memang terhitung murid dari kelima pendeta kepala itu maka ia
menyebut Pek Im Ji sebagai twa-suhu.
Pek Im Ji menghela napas panjang. "Terlalu gegabah!" celanya. Pek Kin Cu terlalu
sembrono. Ia agaknya terpengaruh oleh dongeng orang-orang dusun yang tahyul dan
mengira bahwa orang gagah itu benar-benar siluman. Celaka, kita telah menanam
permusuhan dengan mereka. Sungguhpun pihak kita telah tewas tiga orang, namun
pihak mereka juga tewas seorang. Kalau diselidiki secara adil, tak dapat kita
menyalahkan pihak mereka. Kalau pihak kita tidak mengganggu dan kalau Pek Kin Cu
tidak menyerbu ke dalam hutan, tak mungkin terjadi peristiwa ini."
"Akan tetapi, twa-suhu," pesuruh itu membela saudara-saudaranya, "siluman itu
telah membunuh orang-orang dusun Tai-kun-an, apakah kita harus diam saja?" Pek
Im Ji mengerutkan keningnya. "Hm, pertanyaan bodoh yang kau ajukan ini. Apakah
kau belum mengerti betul tentang hukum sebab dan akibat" Kalau memang orang-
orang gagah di dalam hutan itu benar-benar siluman, mengapa mereka tidak
membunuh semua penduduk" Pembunuhan terhadap orang she Tan itu hanyalah akibat
dan seperti juga semua akibat yang terjadi di dunia ini, pasti ia bersebab.
Apakah mendiang Pek Kin Cu sudah menyelidiki sebabnya" Tahukah dia mengapa orang
she Tan itu sampai terbunuh oleh orang gagah yang disebut siluman?"
Pesuruh itu tidak dapat menjawab dan tidak berani membantah pula, hanya berkata
perlahan, "Terserah kepada kebijaksanaan twa-suhu, karena teecu sekalian memang
tak berdaya." Pek Im Ji biarpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya merasa
penasaran juga. Sungguh hal yang amat memalukan nama Pek-sim-kauw. Tiga orang
pendeta tingkat dua dan seorang pendeta tingkat tiga tidak berdaya sama sekali
menghadapi orang atau siluman yang hanya merupakan tiga orang wanita saja bahkan
menurut cerita pesuruh ini, yang seorang hanya seorang gadis muda.
"Sam-sute, Si-sute, dan Ngo-sute, harap suka membereskan urusan ini. Ketemuilah
orang-orang gagah di dalam hutan dekat Tai-kun-an itu dan tanyakanlah mengapa
Koleksi Kang Zusi sampai terjadi pertumpahan darah dan pembunuhan yang tidak perlu.
Kalau memang pihak kita yang salah, mintakan maaf atas nama Pek-sim-kauw. Akan
tetapi kalau ternyata mereka itu orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam,
orang-orang jahat), jangan sembarangan membunuh, akan tetapi usahakan agar
mereka itu dapat ditangkap. Kita akan menanti keputusan suhu kalau dia sudah
pulang." Saudara ketiga, keempat dan kelima dari lima orang murid Liang Gi Cinjin itu
segera menyatakan kesanggupannya dan berangkatlah mereka ke Kong-goan. Mereka
ini adalah Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji, tiga orang dari kelima
saudara seperguruan yang juga dijuluki Pek-sim Ngo-lojin (Lima Kakek Hati
Putih). Lima orang murid Liang Gi Cinjin ini bukanlah orang-orang sembarangan dan
kelimanya memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mempunyai keistimewaan sendiri-
sendiri. Tiga orang pendeta yang menjadi murid ketiga, keempat dan kelima inipun
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Tidak saja ilmu Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat telah mereka pelajari
sampai delapan puluh bagian, akan tetapi Pek Yang Ji memiliki tenaga lweekang
yang disebut Tai-lek-kim-kong-jiu (Pukulan Halilintar). Pukulan ini bukan main
dahsyatnya dan dari jarak jauh saja ia dapat merobohkan seorang lawan.
Pek Thian Ji, murid keempat memiliki keistimewaan dalam kepandaian ginkang,
sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat daripada angin. Kalau berkelana
seorang diri, ia dijuluki Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) karena demikian cepat
gerakan tubuhnya sehingga jangankan melihat orangnya, melihat bayangannya pun
sukar sekali. Murid kelima, yakni Pek Te Ji, memiliki kepandaian ilmu menotok yang disebut Im-
yang-tiam-hoat. Cara menotoknya berbeda dengan ahli silat biasa, dan cara yang
khusus ini membuat totokannya tak dapat dilawan oleh ilmu kekebalan yang
bagaimanapun juga. Ketika ketiga orang pendeta sakti ini tiba di rumah perkumpulan Pek-sim-kauw di
Kong-goan, ternyata bahwa di situ telah berkumpul sepuluh orang pendeta tingkat
dua, yakni kawan-kawan Pek Sui Cu yang telah mendengar tentang siluman itu dan
datang untuk mencari kabar. Mereka ini tadinya bertugas di dusun-dusun dan kota-
kota yang berada di sekitar Kong-goan.
Semua pendeta segera menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang kakek dari
Ceng-tu ini, karena mereka ini boleh dibilang masih terhitung guru mereka
sendiri. Biarpun pendeta-pendeta tingkat dua itu adalah murid-murid Liang Gi Cinjin juga,
akan tetapi ilmu silat mereka sebagian besar terlatih oleh kelima Pek-sim-ngo-
lojin, Koleksi Kang Zusi sedangkan Liang Gi Cinjin hanya sewaktu-waktu menguji mereka saja untuk
mengetahui sampai di mana tingkat dan kemajuan mereka.
Ketika mendengar bahwa ketiga orang kakek ini hendak mencari siluman di hutan
sebelah utara Tai-kun-an, serentak sepuluh orang pendeta tingkat dua ini lalu
menyatakan hendak ikut dan melihat dengan kedua mata sendiri macamnya siluman-
siluman wanita yang telah membunuh saudara-saudara mereka.
Di antara Pek-sim Ngo-lojin, sesungguhnya hanya Pek Im Ji saja yang amat keras
dan berdisiplin. Kalau kiranya Pek Im Ji yang hendak mencari siluman-siluman
wanita itu, tentu dia akan melarang anak buahnya ikut, akan tetapi ketiga orang
pendeta tingkat satu ini tidak melarang mereka, maka berangkatlah tiga belas
orang pendeta itu beramai-ramai memasuki hutan di sebelah utara Tai-kun-an
dengan perahu yang di dayung sepanjang sungai Cialing.
Ketika mereka telah mendarat dan menuju ke tempat tinggal Bu Lam Nio dengan
diantar oleh seorang pendeta tingkat dua, yakni pendeta yang melarikan diri dulu
itu sebagai petunjuk jalan, tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang
perempuan menangis. Mereka cepat menghampiri tempat itu dan melihat dua orang
wanita tengah berlutut di depan sebuah makam baru sambil menangis.
Mereka ini adalah Sui Giok dan Ling Ling yang tiap hari tentu mengunjungi makam
Bu Lam Nio dan menangis sedih. Ibu dan anak ini memang amat menyinta nenek yang
telah berjasa besar terhadap mereka itu. Tanpa adanya Bu Lam Nio, takkan ada
mereka pula. bagian 6 Wejangan Liang Gi Cinjin.
Mendengar suara kaki mendatangi, Ling Ling dan ibunya lalu menengok dan
melompatlah mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah pendeta-pendeta itu
lagi. Sinar kemarahan bernyala-nyala di dalam mata ibu dan anak itu. Inilah
pendeta-pendeta yang telah merenggut nyawa Bu Lam Nio.
Sementara itu, pendeta yang pernah bertanding dengan mereka, lalu berkata kepada
Pek Yang Ji, "Sam-suhu, inilah dia dua orang siluman yang telah membunuh kawan-
kawan kita." Koleksi Kang Zusi Pek Yang Ji cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat, diturut oleh semua
kawan-kawannya. Dengan senyum seorang alim ia lalu berkata,
"Toanio (nyonya) dan siocia (nona), maafkanlah kami apabila kami datang
mengganggu. Kami adalah pendeta-pendeta dari perkumpulan Pek-sim-kauw dan pinto
(aku) sebagai pemimpin rombongan ini bernama Pek Yang Ji. Bolehkah kiranya kami
mengetahui nama toanio dan siocia yang terhormat?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang menghormat ini, Sui Giok sudah menjadi
agak sabar, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar kaku ketika ia menjawab,
"Kami ibu dan anak selama hidup tidak pernah mempunyai urusan dengan segala
macam pendeta, maka kedatangan cuwi (tuan-tuan sekalian) ini tak ada artinya
bagi kami. Kami tak perlu tahu nama dan tidak perlu memperkenalkan nama."
Pek Yang Ji masih sabar dan tersenyumlah ia mendengar jawaban ini, "Toanio,
agaknya kau masih marah kepada kami, kemarahan yang sesungguhnya tidak kami
mengerti sebabnya. Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan
Cialing Mo-li?" Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding
dengan jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak, "Kalau kami betul-betul
siluman-siluman pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah"
Jangan banyak cakap dan pergilah, kami tak ingin diganggu!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-
lain sudah menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang
telah membunuh kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang
Ji sendiri ketika melihat betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap
bermusuh dan menghina sekali, mulai berkurang senyumnya.
"Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang
hanya untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari
yang lalu. Mereka itu adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya
mereka sekarang?" Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat
gundukan tanah tiga gunduk sambil berkata,
"Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal
Koleksi Kang Zusi kami itu adalah kawan-kawan cuwi" Mereka sudah mati, kematian yang sudah
sepatutnya dan yang mereka cari sendiri."
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku
tenang, "Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah
pendeta-pendeta jahat dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-
perbuatan jahat dan musuh-musuh kami hanyalah orang-orang jahat dan suka
mengganggu orang lain!"
"Omong kosong!" Tiba-tiba Ling Ling membentak keras. "Kalau pendeta baik-baik
mengapa datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku" Siapa dapat
percaya omongan itu?"
"Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga
orang pendeta Pek-sim-kauw!" kata Pek Yang Ji memperingatkan.
"Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu" Orang-orangmu membunuh nenekku,
apakah aku harus diam saja?"
"Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya
tidak perlu nona masih marah dan merasa penasaran."
"Enak saja kau bicara!" Ling Ling membentak lagi. "Kau kira nyawa nenekku cukup
diganti oleh tiga orang pendeta palsu" Ketahuilah biar ditambah dengan tiga
belas nyawa anjing kalian, aku masih belum puas!"
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha
menyabarkannya. Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan
Ling Ling ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi
Pek Yang Ji mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura
kepada Sui Giok dan berkata,
"Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih
baik pinto bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa
ini, seorang dari pihakmu tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang
dipandang dengan sepintas lalu, seakan-akan pihak kami yang bersalah karena
telah berani masuk ke sini mengganggu kalian. Akan tetapi, kedatangan kami ini
dengan maksud menanyakan tentang gangguanmu terhadap orang-orang yang bertempat
tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudara-saudara kami yang datang di sini bukan
semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah dan kalau tidak berdasarkan
menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu, harap toanio sudi
menjelaskan mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh orang,
penduduk she Tan di dusun Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya
Koleksi Kang Zusi pula?" Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut. "Hal ini
tak perlu orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu
sudah patut menerima hukumannnya!"
"Mengapa" Apa salahnya terhadap Toanio?" Pek Yang Ji mendesak.
"Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang
lain?" "Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-simkauw
memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah
soal kejahatan besar," jawab Pek Yang Ji tenang.
"Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?" kata Sui Giok.
"Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami
ini." "Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?" Ling Ling
mendahului ibunya. "Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua
kami dan menanti keputusan beliau!"
"Siapakah ketua kalian itu?" Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya
sambil memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
"Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin."
"Kalau kami tidak mau ikut?" tantang pula Sui Giok.
"Kami akan melakukan kekerasan!" akhirnya Pek Yang Ji menegaskan.
Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masing-
masing. Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat
mundur kira-kira setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut
pedang yang dulu dirampasnya dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut
pedang yang dirampasnya dari pendeta Pek-sim-kauw itu.
"Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan
kekerasan!" seru Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
"Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!" kata
Pek Yang Ji yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu
menghadapi serbuan Ling Ling dengan pedangnya.
"Trang!" Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa
kagum dan terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki
tenaga lweekang yang amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil
mengerahkan tenaga, ternyata ia tidak mampu membuat pedang lawan terpental.
Koleksi Kang Zusi Kekejutannya makin menjadi ketika Ling Ling melanjutkan serangannya dengan amat
cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa sehingga pedang itu merupakan sinar
yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang
keempat dari Pek-sim Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran
antara Sui Giok dan Pek Thian Ji masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun
pendeta ini merasa bingung juga menghadapi permainan pedang dari nyonya itu.
Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua
puluh jurus saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya.
Tidak saja pendeta ini merasa terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga
memandang dengan mata terbelalak. Tak pernah mereka sangka sama sekali bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada nyonya yang lihai itu,
bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim Ngo-lojin yang lihai ini,
takkan dapat menang. Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa
dia, seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam
pertempuran, kini harus mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua
puluh tahun usianya" Ia telah memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal
ilmu pedang lawannya, akan tetapi sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan
Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali perbedaannya.
Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang
aneh dan sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-
gerakan yang amat sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu
telah menjadi hidup dan menjadi anggauta tubuh penyambung tangan.
"Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!" Pek Te Ji yang
semenjak tadi telah "gatal tangan", menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
"Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!" kata Pek Yang Ji.
Tosu ini merasa malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak
mengeluarkan ilmu silatnya yang paling ampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-
kim-kong-jiu. Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya,
ia lalu melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia
merendahkan tubuhnya, mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan
kirinya diayun dari kiri menuju ke depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu
yang hebat itu. Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku
waspada dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh maka
Koleksi Kang Zusi cepat gadis inipun menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-
Kim-Kong-Jiu menyambar dengan kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok
dari kiri. Dua tenaga raksasa bertemu sebelum kedua tangan itu bertemu dan
akibatnya membuat kedua orang itu terhuyung mundur karena kembalinya tenaga
pukulan sendiri. Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat
menahan pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu" Padahal, ia pernah mengalahkan banyak
sekali tokoh-tokoh persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja
gadis cilik ini dapat menahan, bahkan dapat pula membentur hawa pukulannya
sedemikian rupa. Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah
gadis itu dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring. "Hm, serangan semacam
itu, di tempat ini hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!"
Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk
menghina dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji
yang memukul tadi seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang
mendengar ucapan ini, menjadi pucat sekali.
Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu
pukulannya itu. Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang
dimiliki ini bersumber dari gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan.
Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan
mengayun lengannya dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang
dalam pukulan itu ketika diayunkan. Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa
gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali sehingga dapat melihat dasar ilmu
pukulannya. Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak
berhasil bahkan suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum
bahwa suhengnya takkan dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu
dengan pedangnya. Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat
Pek Tek Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang
tadinya memandang rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan
berbahaya. Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling
Ling. Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia
masih berhasil mendesak lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga
Koleksi Kang Zusi amat membingungkan kedua lawannya.
Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan
Pek Tek Ji memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka.
Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan
dengan puterinya, namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya
cukup lebar dan kuat sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua saudaranya, merasa
penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) dan
memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang setimpal.
Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah
tingkatnya. Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu
pedang yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur
hidupnya dan jauh lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat
yang dimainkannya. Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk
membantu, dan tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah. Mereka ini
memiliki ilmu kepandaian yang hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka,
paling banyak hanya kalah dua puluh bagian, maka mereka dapat melihat betapa
ketiga orang pendeta tingkat satu itu terdesak hebat dan terancam jiwanya.
Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini
maju membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-
sim-kauw ini sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran
ini. Yang paling mereka takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka.
Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-
ouw mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya,
harus menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya
masih merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan
sekali. Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak
maju menyerang dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek
Yang Ji sendiri tidak melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya
bahwa dapat mengalahkan dua orang siluman wanita ini.
Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta
tingkat satu itu saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-
hati, apalagi setelah sepuluh orang pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok.
Pedang para Koleksi Kang Zusi
pendeta itu berkelebat-kelebat menyambar bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui
Giok dan Ling Ling memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh. Mereka kini
terdesak dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas serangan para
pendeta itu. "Jangan bunuh mereka, tangkap !" Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan
kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai
terbunuh, hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya
untuk menanti keputusan. Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap
dua orang wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya
hanya dengan kepala terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja
kedua orang wanita gagah ini akan menyerah.
Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha
untuk memukul dengan Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar
pedang mereka terlepas. Repot juga Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama
sekali Sui Giok yang memang kalah jauh dari puterinya.
Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni
dari belakang Sui Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari
tengah dan telunjuknyamenjepit urat dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui
Giok tak dapat mengelak dan sambil mengeluh nyonya ini melepaskan pedangnya dan
roboh dengan tubuhnya lemas, sama sekali tak berdaya lagi.
Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah
dirobohkan. "Pengecut!" serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk
menepuk pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia tidak berhasil memunahkan totokan itu.
Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal
Ling Ling sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat
mustahil bahwa ia tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.
Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil
ini. Tahulah Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu
tiam-hoat, maka selain pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya.
Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji,
tahu-tahu ia telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling.
Gerakan ini luar biasa cepatnya sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak
menyangka-Koleksi Kang Zusi
nyangkanya dan tidak dapat menolong Pek Te Ji.
Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang
lihai untuk menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan
sebelum semua pendeta sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan
tangan kiri dan pedang di tangan kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.
"Mundur semua!" teriak gadis gagah perkasa ini. "Kalau tidak, kepala pendeta
palsu ini akan menggelinding di kaki kalian!"
Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti
lawannya ini tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan
ancamannya, maka ia cepat berseru,
"Kawan-kawan, mundur semua!"
Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya
itu. "Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling. "Nona, apakah kami dapat mempercayai
omonganmu" Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?"
Ling Ling memandang dengan mata melotot. "Kau kira aku ini orang macam kalian"
Sekali aku berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami
berdua akan pergi dari sini, dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari
suhumu yang bernama Liang Gi Cinjin untuk membuat perhitungan!"
Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu, "Ngo-sute, lakukanlah seperti apa
yang dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini.
Kalau dilanjutkan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak."
Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan
urutan, Sui Giok dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan
tanpa banyak cakap lagi ibu dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah
mengambil buntalan masing-masing dari dalam goa.
Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang
sengaja mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka
sampai lenyap dari situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam
ketiga pendeta Pek-sim-kauw yang telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li
atau Cialing Mo-li. "Sungguh lihai dan berbahaya!" Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entah setan mana yang telah memberi pelajaran
ilmu silat kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka
tidak kalah hebatnya dengan ilmu pedang kita."
Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika
Liang Koleksi Kang Zusi Gi Cinjin pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti
ini mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut
putih seperti benang perak.
"Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan
perasaan. Sudah berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak
dan jangan terlalu menuruti kata hati.
Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat
mempergunakan otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya
dalam sesuatu perselisihan, dan takkan sampai perselisihan itu menjadi
pertempuran. Kalian ini mudah sekali menurunkan tangan, apakah kau kira bahwa ilmu silat kita
ini yang tertinggi di dunia?"
Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang
menjadi muridnya dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun,
hanya menundukkan kepala.
"Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang
nomor satu di dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini" Di antara gunung-gunung
yang menjulang tinggi, masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan
tetapi, di atas gunung Thai-san masih ada langit, dan di atas langit yang nampak
oleh mata masih ada ruang lain yang tak terlihat oleh kita. Di antara sungai
yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan tetapi, di bawah lautan ini
masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya yang lebhi
dalam. Nah jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena
sesungguhnya kepandaian itu tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku
hati-hati, jangan sekali-kali menyerang orang apabila tidak diserang. Boleh kita
mempergunakan kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyerang orang
lain!" Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya
dan ia merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan
dengan wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
****** Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui
bagaimana dengan nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan
pasukan pengumpul tenaga rakyat dan langsung dikirim ke utara untuk dipaksa
menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni memperbaiki dan memperkuat tembok besar
di tapal batas Tiongkok Utara.
Koleksi Kang Zusi Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini.
Ia diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar,
mengangkut batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan
lain-lain pekerjaan kasar lagi.
Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang
dipegangnya hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan
tenaganya tidak besar, bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik.
Telapak tangannya yang berkulit halus dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh
urat tubuhnya terasa sakit-sakit.
Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa
serdadu-serdadu yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja "patriot" ini
melakukan kesalahan atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari
kesakitan. Darah akan mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul
dan ia tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada
isterinya, diam-diam ia mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui
sepanjang pipinya untuk bercampur dengan peluhnya yang membasahi seluruh
tubuhnya. Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah
menyerah kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di
dalam kepahitan penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah.
Kehausan jiwanya akan keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan
keindahan dalam pekerjaan itu.
Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau,
lepas daripada persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah
sanggup melakukan pekerjaan besar ini. Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan
hatinya memuji kebesaran para kaisar yang dahulu membuat bangunan ini.
Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan
manusia, sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan
jiwa manusia" Untuk kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini"
Mungkin sebagian kecil saja, untuk melindungi kaisar.
Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap
berdiri kokoh kuat. Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan
dari orang-orang penting, di antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal
sekali karena kesetiaannya kepada negara, seorang pembesar tinggi yang
mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika terjadi pemberontakan puluhan
tahun yang lalu. Koleksi Kang Zusi bagian 7 Sajak Pembawa Nikmat. Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah
suatu usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang
terlindung karena adanya tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para
hartawan atau bangsawan, akan tetapi juga keselamatan rakyat jelata terlindung.
Dengan adanya tembok besar ini maka pihak asing di daerah utara tidak mudah
menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok.
Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai
tembok besar itu. Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas
dalam pekerjaan itu, baik karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-
mandor atau hal-hal lain maka tentu saja ia tidak lupa untuk memasukkan mereka
ini ke dalam sajaknya, bahkan kawan-kawannya yang sudah gugur inilah yang
menjadi pokok utama dalam sajaknya.
Tembok besar, laksaan li panjangnya
Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!
Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya,
menjadi marah sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul,
ditendang dan dicambuki oleh serdadu itu.
Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti
betul akan arti sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak
"memberontak", sebuah istilah yang sudah populer sekali di waktu itu untuk
mencelakakan seseorang yang agak membangkang. Pada masa itu, jangankan
memperlihatkan sikap menentang pembangunan atau politik pemerintahan, baru
menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan saja, apabila
pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia akan
dicap "pemberontak" dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau
dipenggal lehernya. Banyak para "pemberontak" seperti ini menerima hukuman
mengerikan, yakni seluruh keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun,
dijatuhi hukuman mati. Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang
perwira datang melakukan pemeriksaan. Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee
Siong dihukum. Biasanya perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang
mendapat siksaan karena ia merasa pasti bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu
tentu melakukan pelanggaran.
Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul
yang lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah
Kwee Siong yang tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah
tanpa mau mengeluh sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira
ini. Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari
saku baju Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca
sajak itu berkali-kali, perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka
marah, kemudian ia bertanya,
"Mengapa kau pukul dia?"
"Karena dialah penulis sajak gila ini!" jawab serdadu itu.
Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil
bertanya lagi, "Kau pandai membaca?"
Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai,
"Tentu saja dapat, ciangkun!"
"Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!"
Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia
disuruh membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak
dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
"Hayo, bacalah !" teriak perwira tadi sambil memandang tajam.
Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa
Koleksi Kang Zusi huruf saja, yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf
yang dapat dibacanya itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang
keliru dibacanya. "Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!" Sambil berkata demikian, perwira
itu mengayun kepalan tangannya.
"Buk!" Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah
seorang ahli gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh
bergulingan dalam keadaan pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira
ini telah merampas kembali kertas bersajak itu, kemudian ia lalu memberi
perintah kepada para serdadu lainnya untuk mengangkut tubuh Kwee Siong yang
sudah setengah mati. Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas
pembaringan di dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan
yang ada di dalam markas. Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya
dengan manis ketika melihat Kwee Siong siuman.
"Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di
tempat seperti itu?"
Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia
disiksa oleh serdadu-serdadu tadi" Sampai lama ia tidak menjawab, hanya
memandang wajah perwira yang tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah
sekali. "Aku bernama Liem Siang Hong," perwira muda itu memperkenalkan diri. "Ketika
tadi melihat kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan
membawamu ke tempat ini."
Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia
memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.
"Saudara yang gagah," katanya setelah menghela napas, "dari pakaianmu aku dapat
menduga bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang
bernasib celaka, dari jurang kematian" Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal
yang selalu membuat hatiku menyesal." Ia menghela napas kembali.
Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran
mendengar ucapan ini. "Apakah maksudmu, saudara Kwee" Mengapa kau seakan-akan
sudah bosan hidup dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?"
"Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku
akan kembali ke sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati,
mungkin dengan siksaan yang lebih hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti
aku Koleksi Kang Zusi telah hutang budi kepadamu, dan dalam keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana
aku dapat membalas budi" Mati dengan hutang budi jauh lebih buruk daripada mati
dengan melepas banyak budi."
Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.
"Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat
membebaskan kau dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke
tempat itu. Orang seperti kau, yang pandai menulis sajak demikian indahnya,
tidak pantas menjadi pekerja kasar, lebih-lebih tidak patut tewas di ujung
cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung jawab.
Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan
dengan maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai
seorang yang mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja
menyaksikan peristiwa yang tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak
membalas budi, dapat saja!"
Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera
turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak
dapat dicegah lagi air mata mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata, "Ah,
sungguh tak pernah kusangka. Awan yang gelap dan tebal menutupi seluruh langit,
akan tetapi masih dapat muncul bintang terang seperti kau, ciangkun. Katakanlah,
bagaimana aku dapat membalas budimu?"
Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya
bangun, lalu menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.
"Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu
saja kau dapat membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku
mempunyai seorang putera yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak
kau dapat mendidiknya dalam ilmu sastera."
Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan
hiburan saja, agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah
yang telah mencarikan guru sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua
tahun" Akan tetapi ia menjawab juga dengan sepenuh hati,
"Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu."
Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama
mereka merasa makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli
sastra, dan orang kedua ahli silat, namun jiwa dan watak mereka tak jauh
berbeda. Mereka menjunjung tinggi keadilan, kebajikan, dan kegagahan dalam cara
masing-masing. Dengan suara mengharukan, Kwee Siong menuturkan riwayatnya. Ia telah setahun
Koleksi Kang Zusi lebih berada di tempat itu, bekerja sebagai pekerja kasar, meninggalkan
isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya.
Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal
tinjunya dan berkata, "Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan
pasukan pengumpul tenaga pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya
dan memukul pecah kepalanya."
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian ia menarik napas panjang. "Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini
telah lama kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-
orang jahat mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya
diri sendiri, bagaikan anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan
daging manusia yang gugur berserakan di dalam peperangan. Jangan khawatir,
saudaraku, aku akan mencari isterimu itu agar kau dapat bertemu kembali dengan
dia." Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang
Hong sambil mengalirkan air matanya. Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang
tadinya keras itu kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada
orang muda yang tampan ini.
Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada
malam hari itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga
Kwee Siong lalu menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te
(adik Kwee). Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun
Tai-kunan, akan tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia
mendengar berita bahwa isterinya, yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di
dalam hutan bersama dengan para serdadu, menjadi korban Toat-beng Mo-li yang
marah dari dalam hutan yang menyeramkan itu.
Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman
kembali, ia dihibur oleh Liem Siang Hong.
"Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini.
Setelah aku tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah
perasaan hatiku terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri,
dan jangan kau terlalu berduka sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang
lebih baik kau turut kepadaku saja dan tinggal bersamaku di kota Tai-goan."
Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata, "Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau
banyak berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan
menumpangkan diriku yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku
Koleksi Kang Zusi pergi merantau, entah ke mana saja, karena akhirnya aku toh akan mati juga.
Lebih cepat lebih baik, karena hanya kematian saja yang akan membawa aku kepada
isteriku......" Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras. "Apakah kau ingin menjadi seorang yang
Bong-im-pwe-gi (manusia tak kenal budi)?""
Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat
mukanya dan memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.
"Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar
budi itu dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja
kau tidak mau?" Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan
tetapi Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang
dipergunakan oleh perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di
rumahnya. Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat
mengeluarkan kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Akhirnya dapat juga Kwee Siong berkata.
"Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-
twako, dan biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan
selalu menurut segala kata-katamu."
Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik
hati ini membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Taigoan,
kota terbesar di propinsi Shansi.
Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga
yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian
isterinya yang tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-
sahabatnya yang bekerja dekat dengan kaisar.
Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan
yang membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian,
berhasillah Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah
ia menghubungi pembesar-pembesar tinggi di kota raja.
Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian
untuk kaisar, akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk
membangkitkan semangat rakyat dan untuk menggembirakan para pekerja yang
tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat banyak sekali untuk ditempel-
tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada tembok-tembok besar
yang sedang Koleksi Kang Zusi
dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan kapal dan lain-lain.
Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang
Hong masuk ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti
seorang anak kecil mendapat hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya
memandang dengan mulut celangap dan mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini"
"Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" kata perwira muda itu
dengan wajah girang sekali.
"Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?" tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Aku" Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi
pembesar negeri, adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor
cabang di kota ini, kepala kantor urusan pengumpulan tenaga pekerja
pembangunan." Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini. "Eh, Liem-
twako, harap kau jangan main-main!"
"Siapa main-main" Hayo, kau buktikanlah sendiri!" Sambil berkata demikian, Liem-
ciangkun lalu memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari
kamar, menuju ke ruang depan.
Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa
lengki (bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri
dan cepat ia bersama Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut.
Berhadapan dengan seorang pembesar pembawa lengki, sama halnya dengan berhadapan
dengan kaisar sendiri, oleh karena pesuruh itu merupakan wakil kaisar.
Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu membacakan firman kaisar
tentang pengangkatan Kwee Siong itu.
Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang
berharga sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan
semenjak saat itu, Kwee Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap
kebesaran telah berada di atas meja dalam kamarnya.
******* Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi
kepala bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan.
Semenjak dia yang memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan.
Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja.
Ia mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan
orang-orang tua dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali
mengadakan gerakan mengumpulkan sumbangan dari para hartawan dan dermawan,
Koleksi Kang Zusi dan sumbangan ini dipergunakan untuk menghibur para pekerja.
Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-
perwira pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa
dan jujur, untuk memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
tak bertanggung jawab. Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh
rakyat, dihapuskan. Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di
bawah kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong
sebentar saja jadi amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata.
Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee
Siong, namun seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee
Siong mempunyai hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah
perkasa, maka tidak ada yang berani mencoba-coba untuk main-main.
Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari
mereka tentu bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia
mendidik putera Liem Siang Hong. Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah
Kwee Siong mendidiknya dengan sungguh hati.
Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena
Kwee Siong merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih
kepada pamannya ini. Boleh dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam
gedung Kwee Siong dari pada di dalam rumah ayahnya sendiri.
Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang
Hong, karena perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang
perwira. Berbeda sekali dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan
anak itu dengan sabar dan manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut,
akan tetapi terhadap Kwee Siong, ia merasa sayang dan menghormat.
Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.
"Adikku yang baik," katanya untuk kesekian kalinya, "Kau masih muda dan sudah
mempunyai kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian"
Kau harus sayang masa mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan"
Siapakah kelak yang akan melanjutkan riwayat keluarga Kwee" Kau katakan saja dan
percayalah, aku yang akan mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin
untuk menjadi isterimu."
Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih,
"Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak
sampai hati untuk mendekati lain wanita."
Koleksi Kang Zusi "Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee" Isterimu telah
kembali ke alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin
bahwa isterimu sekarang sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak
mempunyai keturunan. Apakah kau kirah roh seorang isteri setia dan menyinta akan
merasa suka melihat suaminya hidup sengsara, kesepian, dan kelak meninggalkan
dunia tanpa ada keturunan " Pikirlah dengan otak yang sehat, adikku."
Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima
tahun kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya
itu tentu telah tewas, barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan
menikahlah ia dengan seorang gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok.
Ketika Kwee Siong menikah dengan gadis she Liok ini, maka sepuluh tahun telah
berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok dengan terpaksa itu.
Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Kwee Cun. Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan
Sui Giok, isteri pertama yang dianggapnya telah mati itu. Memang Kwee Siong
sedang bernasib baik karena iapun telah menerima kenaikan pangkat dan
dipindahkan ke kota raja.
Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya
dengan Liem Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan
putera tunggal Siang Hong, yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun
oleh ayahnya telah dikirim kepada suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san
yang untuk sementara tinggal di dalam sebuah gua di atas bukit di Pegunungan
Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya.
Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai
yang berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan
berkatalah dia kepada muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun,
"Muridku Siang Hong, kau beruntung sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang
sin-tong (anak ajaib), bakatnya luar biasa sekali."
Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian
Lun di pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa
Sian Lun telah mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat
girang. Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian
Lun berada di atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah
Kwee Siong merasa kesepian sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di
atas, ia menerima bujukan Liem Siang Hong dan menikah dengan Liok-siocia (nona
Liok). Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah,
Koleksi Kang Zusi telah lewat tanpa terasa. Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini
cerdik dan lemah lembut seperti ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak
ini karena isterinya tidak melahirkan anak lagi.
Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan
tetapi, boleh dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah
bahagia. Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan
pelajaran ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa,
Beng Kui Tosu, atas persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke
puncak Kun-lun-san untuk berguru kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To
Siansu. Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung
susiok (paman guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan
tingginya ilmu kepandaiannya. Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas
tahun dan telah menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian
tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas
gurunya. ****** Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To
Siansu, datanglah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun
usia kakek ini sudah amat tinggi, dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal
menanti maut datang menjemput nyawanya, namun ternyata ia masih amat kuat. Bukan
hanya kuat, akan tetapi bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki gunung itu bagaikan
terbang saja, biarpun kedua kakinya bergerak perlahan, namun ia maju dengan amat
cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya begitu saja.
Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw,
tosu yang tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti
biasa, kakek ini melakukan perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang
menjadi sahabat baik dalam bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam
pertandingan catur. Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka
ia merasa amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-
lun-pai itu. Beng To Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya,
biarpun ia tengah duduk dalam guanya, sebelum tamunya kelihatan, ia telah
tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan kata-kata gembira,
"Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk
datang menghadapi papan catur dengan aku?"
Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak
pinggang dan mukanya didongakkan ke atas.
Koleksi Kang Zusi "Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang
sempit seperti kau, bagaimana bisa sehat " Heran, orang seperti kau masih bisa
panjang usia!" Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek
lain yang bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut
Liang Gi Cinjin. Usia kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah
dikatakan siapa yang lebih sehat di antara keduanya, karena muka mereka masih
nampak merah dan segar sekali.
"Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang
masuk di dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang
setiap hari mengisap hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!" Beng To
Siansu menjawab sambil tertawa juga.
Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila
di depan gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur
dan mulai bermain catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga
dalam ilmu silat, kepandaian mereka setingkat.
Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu
kepandaian) akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan.
Sesungguhnya, Liang Gi Cinjin masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi
kakek ini cepat sekali memperoleh kemajuan sehingga tingkat mereka menjadi
seimbang dan perhubungan mereka yang amat erat itu melenyapkan sebutan suheng
dan sute. bagian 8 Alih Waris Pek-sim Kiam-hoat.
Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan
menggelengkan kepalanya. "Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang ini memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan
tidak mengingat akan keadaan rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya
untuk pembangunan besar-besaran, kini tentara kerajaan mulai dikerahkan untuk
menyerang daerah timur (Korea).
Koleksi Kang Zusi Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan
yang mulai timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah
bagaimana nanti jadinya dengan pemerintah ini."
"Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu," jawab Beng To Siansu,
"kalau sudah tiba masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah
kita memerintah anak murid kita untuk membantu pergerakan mulia itu."
Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka
tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan
berjalan seru sekali. Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke
barat ketika mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat
itu, berkelebatlah bayangan orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian
seorang pemuda yang cakap dan gagah berdiri di depan mereka.
Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang,
dipegang pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher
serta ekor terpegang oleh jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya
sama sekali. "Suhu, teecu telah kembali!" kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di
depan Beng To Siansu. Beng To Siansu menengok dan berkata girang, "Hm, Sian Lun, agaknya kau telah
berhasil menangkap pengacau itu."
"Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali."
"Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri
hormatlah dulu kepada susiokmu ini."
Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat
memberi hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin, "Maaf susiok, teecu tidak
tahu sehingga telah berlaku kurang hormat."
"Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!"
kata Liang Gi Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu.
Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun
telah berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak
sudah hewan piaraan para penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua
orang dusun telah tewas karena digigit dan disabet dengan ekornya.
Koleksi Kang Zusi Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap
ular itu. Sian Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil
mendapatkan ular itu melingkar di atas pohon, ia segera melompat dan menarik
ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke bawah.
Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan
mudah, tiap kali dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya
dan ia mencoba untuk membelit leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa
melepaskan kembali cekikan itu, karena ular itu benar-benar berbahaya.
Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang
kepala ular itu yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat
menangkap ular itu dan membawanya ke atas bukit.
Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin
menghela napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,
"Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus
dari padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang
cukup berharga untuk mewarisinya.
Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-
hoat lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat
dengan baik?" Kakek ini menghela napas lagi. "Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu
dengan seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan
lenyap dari muka bumi tanpa meninggalkan nama."
Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia
segera menganggukkan kepala dan berkata,
"Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi
sombong dan....." "Anak Goblok!" tiba-tiba suhunya membentak. "Hayo, kau lekas menghaturkan terima
kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu.
Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan
kehendak suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata
bahwa suhunya tidak merasa keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang
lain. Ia cepat-cepat menganggukan kepalanya di depan susioknya dan berkata,
"Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi
Koleksi Kang Zusi petunjuk kepada teecu yang bodoh."
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar
memancing ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu
mempelajari Pek-sim Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku
selama dua puluh jurus lebih. Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat
sampai lebih dari dua puluh jurus?"
Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar
dan sopan, mana ia berani menantang susioknya" Akan tetapi suhunya membentak
lagi, "Gagukah kau, Sian Lun" Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah
melatihmu bertahun-tahun" Tentu saja kau berani, bukan"
Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau
menyinggung perasaan susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang,
sebaliknya menyatakan tidak berani, ia takut suhunya akan marah. Maka ia diam
saja dan akhirnya tanpa berani memandang kepada suhu atau susioknya, ia berkata,
"Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh
jurus." Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan
ular itu dari tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular,
ia lalu melepaskan ular itu di atas tanah.
Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi
ketika hendak menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat
bergerak. Tentu saja, tanpa dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat
bergerak maju lagi. "Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!" kata Beng To
Siansu. Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil
berkata, "Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu
dibuktikan sekarang juga?"
"Siapa takut kau melanggar janji" Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh
jadi Liang Gi Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa.
Orang tua sudah pikun, takkan melanggar janji akan tetapi dapat lupa."
"Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak
diberi hidangan, bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba
muridmu ini kau tidak menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku
aku akan menganggap kau seorang tuan rumah yang pelit dan jahat sekali."
Koleksi Kang Zusi Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela
napas, "Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan
lupa, lekas potong ular itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu."
Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia
mengerti bahwa kakek tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen
bahwa pemuda itu menerima pelajaran ilmu pedangnya. Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-
san ini adalah seorang yang pantang makan daging, maka apabila kini
memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya, itu menandakan bahwa ia
sudah rela sekali. Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-
heran dan ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara
seperti anak kecil yang suka bermain-main dan bertengkar mulut.
Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya
amat keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh
makan daging). Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang
daging ular yang mengerikan ini ?"
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk banyak melamun.
"Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu
sampai dua puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit
saja orang yang sanggup menahan seranganku sampai dua puluh jurus !"
Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata, "Maaf,
teecu berlaku kurang hormat!" ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya.
Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-
kuda yang disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan
dengan kedua tangan di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua
pundak kakek itu dengan sikap menghormat.
Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan
memuji pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang
menyatakan bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita
hidup, senjata yang terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan
keadaan yang dihadapinya. Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah
dapat menyenangkan hati Liang Gi Cinjin.
Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu
saja kepada sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda
ini. Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda
ini dan ia percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk
Koleksi Kang Zusi dapat mempelajari ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat
menguasai seluruhnya, orang harus memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat
pemuda itu telah memasang kuda-kuda dan siap, ia lalu tersenyum dan berkata,
"Awas seranganku!" Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar
biasa cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan
cepat mengagetkan. Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan
tetapi dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya
dengan tiga macam pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main
cepatnya datangnya serangan ini sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan
cepat sekali. Kalau tidak memiliki ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah
menghadapi serangan yang sambung menyambung dan susul menyusul itu.
Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian
tinggi, akan tetapi yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan
lweekang dari Liang Gi Cinjin memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah
melatih diri dengan hebat dalam kepandaian ini, didorong oleh bakatnya yang luar
biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih kalah setingkat.
Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit
saja dari suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh
karena kalau saja kakek ini melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim
Ciang-hoat yang ternyata tidak berapa berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat
menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya.
Sian Lun menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa
hebatnya. Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik
menarik dan tangan kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh
dibilang bertentangan. Pemuda itu tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua
orang lawan yang berlainan caranya bersilat, merupakan dua macam Liang Gi
Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh keindahan, yang kedua bergaya kasar
dan cepat bagaikan seekor iblis mengamuk.
Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja
tidak tahu bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat
itu di bagian Im-yang-sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena
memerlukan latihan tenaga lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng.
Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal
ini dan melihat betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu
Koleksi Kang Zusi mengerutkan kening. Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu
silat ini tak perlu pemuda itu menjadi gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata
keras seperti orang bernyanyi.
"Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di
tengah-tengah, tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang,
itu barulah yang disebut Tiong-yong."
Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat
sekali dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong
berarti jejak, lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh
sesuatu, iman tetap tenang di tengah-tengah.
Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar. Memang otak
pemuda ini cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal
yang ditunjukkan kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu
rahasia penyerangan aneh ini, dan begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan
Yang, hampir ia berseru saking girangnya.
Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang
Menolak Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau
dipengaruhi oleh hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan
waspada, dengan kuda-kuda yang kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis
dengan pengerahan tenaga lweekang atau gwakang, sesuai dengan datangnya serangan
lawan. Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin
ini dapat digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,
Pertarungan Di Bukit Setan 2 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Jago Kelana 15
tentang perkumpulan agama Pek-sim-kauw sehingga hati mereka menjadi besar dan
makin percayalah mereka kepada Pek Kin Cu yang masih berada di dalam hutan untuk
mengusir Toat-beng Mo-li atai Cialing Mo-li, siluman yang telah bertahun-tahun
merupakan gangguan dan yang mereka amat takutkan itu.
"Pek Totiang tentu akan dapat menangkap Cialing Mo-li," kata seorang di antara
mereka, "dan akan membawanya ke sini."
"Asal saja Toat-beng Mo-li tidak sedang menjelma menjadi anak kecil," kata orang
kedua, "sungguh tidak enak melihat seorang anak kecil tertangkap dan hendak
Koleksi Kang Zusi dibunuh." Ramailah kini mereka bicara tentang Toat-beng Mo-li, iblis wanita pencabut nyawa
yang menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon besar tak jauh
dari tempat mereka berkumpul sehingga semua orang menjadi terkejut dan
ketakutan. Suara berkeresekan di pohon itu, lalu disusul oleh melayangnya tubuh orang yang
yang jatuh di depan mereka. Alangkah kagetnya orang-orang ini ketika melihat
bahwa yang dilemparkan ke arah mereka itu bukan lain adalah tubuh Pek Kin Cu,
pendeta yang menjadi jagoan mereka yang kini menggeletak dalam keadaan pingsan.
Ributlah orang-orang itu menolong Pek Kin Cu. Setelah kepalanya disiram air dan
siuman dari pingsannya, pendeta itu menjawab pertanyaan orang-orang dusun dengan
gelengan kepala dan suaranya amat sedih ketika ia berkata perlahan,
"Sungguh berbahaya. Iblis wanita itu sungguh lihai sekali ......"
Bukan main kecewa rasanya hati orang-orang itu dan dengan lemas mereka lalu
kembali ke Tai-kun-an. Setelah tiba di kampung, barulah Pek Kin Cu menceritakan
pengalamannya, bahwa ia tidak kuat menghadapi iblis wanita yang benar-benar kuat
sekali itu. "Akan tetapi harap kalian jangan khawatir," katanya menghibur orang-orang itu,
"perkumpulan Pek-sim-kauw takkan membiarkan kejahatan merajalela, biarpun yang
melakukan pengacauan adalah seorang iblis atau siluman, kami pasti akan
bertindak untuk menolong kalian. Memang betul bahwa aku sendiri tidak dapat
menangkap siluman itu, akan tetapi hari ini juga aku akan minta bantuan suheng-
suhengku di kota Kong-goan."
Legalah hati semua penduduk Tai-kun-an mendengar ucapan ini, karena tadinya
mereka merasa amat takut kalau-kalau iblis wanita itu akan menaruh dendam dan
marah kepada mereka karena pendeta Pek-sim-kauw itu telah berani mengganggunya
di hutan. ****** Pada keesokan harinya, nampak empat orang pendeta Pek-sim-kauw berjalan dengan
ilmu silat cepat menuju ke dalam hutan itu. Mereka ini datang dari Kong-goan dan
melihat dari tusukkonde mereka, dapat diketahui bahwa tiga orang yang memakai
tusuk konde gading adalah pendeta-pendeta tingkat dua, sedangkan yang seorang
lagi adalah Pek Kin Cu. Setelah dikalahkan oleh "siluman wanita" itu, Pek Kin Cu cepat-cepat pergi ke
kota Kong-goan dan menceritakan pengalamannya kepada suheng-suhengnya yang
menjadi pemimpin cabang Pek-sim-kauw di kota itu.
Pemimpin yang bertugas menyebar agama Pek-sim-kauw di kota Kong-goan ada lima
Koleksi Kang Zusi orang banyaknya, semua pendeta-pendeta tingkat dua, dibantu oleh banyak pendeta-
pendeta tingkat tiga yang datang berangsur-angsur dari pusat. Setelah lima orang
pemimpin ini mendengar cerita Pek Kin Cu, mereka merasa marah sekali.
"Memang siluman itu harus dibasmi," kata Pek Sui Cu yang tertua dan yang menjadi
kepala cabang di Kong-goan. "Ji-sute, Sam-sute dan Si-sute (adik kedua, ketiga,
dan keempat) harap suka membereskan soal ini. Menurut pendapatku, iblis yang
mengalahkan Pek Kin Cu bukanlah iblis tulen, melainkan seorang yang jahat atau
seorang yang tidak waras otaknya, yang telah lama menyembunyikan diri di dalam
hutan. Oleh karena itu, oleh karena dia tidak membunuh Pek Kin Cu kalau dapat
tangkaplah saja dia, jangan dibunuh."
"Akan tetapi, twa-suheng (kakak terbesar), iblis itu telah membunuh seorang
penduduk dusun Tai-kun-an yang bernama Tan-wangwe dan beberapa orang penjaganya.
Ia berbahaya sekali dan kalau tidak dibunuh, akan mendatangkan banyak malapetaka
pada rakyat kampung di sekitar hutan itu."
"Jangan, jangan sembarangan membunuh orang. Kalian berempat masa tidak mampu
menangkapnya dan membawanya ke sini" Kalau memang kalian tidak dapat menangkap,
barulah kalian boleh turun tangan," berkata Pek Sui Cu.
Demikianlah, sambil membawa senjata masing-masing, empat orang pendeta Pek-sim-
kauw itu lalu berangkat dengan cepat memasuki hutan di sebelah utara dusun Tai-
kun-an itu. Kepandaian tiga orang pendeta tingkat dua ini tentu saja lebih
tinggi dari pada kepandaian Pek Kin Cu, karena mereka ini pernah mendapat
latihan langsung dari Liang Gi Cinjin.
Berbeda dengan pendeta-pendeta tingkat tiga seperti Pek Kin Cu yang hanya
mendapat latihan dari pendeta tingkat satu dan dua. Baru melihat cara mereka
berlari saja, jelas sudah bahwa kepandaian ginkang dari Pek Kin Cu kalah jauh,
akan tetapi oleh karena dia yang menjadi penunjuk jalan, maka ketiga orang
suhengnya itu sengaja memperlambat larinya agar mereka dapat maju berbareng.
Pada saat itu, Liem Sui Giok bersama puterinya Ling Ling, sedang bercakap-cakap
di dalam gua tempat tinggal mereka. Bu Lam Nio tidak kelihatan di situ oleh
karena seperti biasa, nyonya tua itu telah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari,
mencuci pakaian, memasak nasi dan lain-lain.
Sungguh amat mengharukan betapa nenek tua ini amat bersetia kepada Sui Giok dan
Ling Ling. Dan biarpun Sui Giok sudah berkali-kali melarangnya melakukan semua
pekerjaan itu, namun tetap saja ia berkeras, karena ia masih selalu menganggap
diri sendiri sebagai seorang pelayan.
"Aku tidak akan merasa senang apabila aku tidak bekerja sebagai pelayan," bantah
Koleksi Kang Zusi nenek itu, "dengan pekerjaan-pekerjaan ini, aku dapat mengenang masa lalu yang
penuh keindahan." bagian 5 Gelimangan Darah Bu Lam Nio
Pada hari itu, Sui Giok sedang menghadapi Ling Ling yang semenjak beberapa hari
ini selalu rewel dan mendesaknya untuk memberi ijin. Gadis ini ingin sekali
keluar dari hutan itu dan pergi ke dunia ramai.
"Ibu," katanya setelah mendesak berkali-kali, "semenjak dahulu, aku sudah merasa
amat bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari kawan-kawan, jauh
dari manusia lainnya. Dulu ibu menyatakan bahwa kalau aku sudah dewasa dan sudah
memiliki kepandaian, ibu akan memperkenankan aku keluar dari hutan ini. Nah,
bukankah sekarang aku sudah dewasa dan tentang kepandaian .... apakah ibu masih
menganggap kurang ?"
Dengan air mata berlinang, Sui Giok memeluk anaknya.
"Ling Ling, tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hati ibumu selain
melihat kau hidup seperti gadis-gadis lain di dunia ramai. Akan tetapi, aku
tidak tega dan selalu akan merasa gelisah kalau kau merantau seorang diri,
anakku. Bagaimana kalau kau sampai mendapat bencana di jalan" Dunia ini penuh
dengan orang-orang jahat, Ling Ling."
"Ibu, mengapa susah-susah" kalau ibu tidak tega, marilah kita pergi berdua.
Dengan kepandaian kita, apakah yang kita takutkan" Ibu, aku ingin sekali mencari
ayah. Menurut penuturan ibu, ayah dahulu dibawah oleh para serdadu untuk bekerja
paksa, mengapa kita tidak menyusul dan mencarinya" Alangkah akan bahagianya
kalau kita dapat bertemu dengan ayah!"
Makin deras air mata mengalir dari mata Sui Giok mendengar disebutnya suaminya
ini. Kemudian ia menggeleng kepala dan berkata perlahan,
"Ling Ling, hal ini tidak mungkin. Kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan
nenekmu" Dia adalah penolong ibumu, tanpa adanya nenek Lam, ibumu pasti sudah
Koleksi Kang Zusi tewas dan kau takkan ada di muka bumi ini. Bagaimana aku bisa tinggalkan dia
seorang diri di tempat ini?"
Belum sempat Ling Ling menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi pekik
yang amat nyaring, seperti pekik seekor binatang buas yang dilukai.
"Nenenk Lam ...... !!" Ling Ling berseru keras dan wajahnya tegang. "Dia marah
sekali!" Akan tetapi Sui Giok sudah melompat berdiri dan menarik tangannya. "Hayo cepat,
nenekmu berada dalam bahaya!" Keduanya lalu melompat dan berlari cepat sekali ke
arah datangnya suara itu.
Ternyata bahwa Bu Lam Nio telah bertemu di dalam hutan dengan empat orang
pendeta Pek-sim-kauw itu. Melihat pendeta-pendeta itu, Bu Lam Nio mengenal Pek
Kin Cu yang kemaren telah dirobohkan, maka meluaplah amarahnya. "Pendeta-pendeta
busuk, kalian sudah bosan hidup !" teriaknya dan langsung ia menyerang mereka
dengan sebatang ranting pohon.
"Siluman jahat! Kau benar-benar ganas dan harus dibasmi!" teriak Pek Kin Cu
sambil memutar pedangnya. Juga tiga orang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw
lalu mencabut pedang dan mengeroyok.
Akan tetapi kebencian Bu Lam Nio telah ditumpahkan kepada Pek Kin Cu membuat
nenek ini menyerang dengan hebat sekali kepada pendeta ini. Desakkannya bukan
main dahsyatnya dan ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan ilmu pedang Kim-
gan-liong-kiam-sut yang baru sedikit dipelajarinya.
Namun ini sudah cukup. Biarpun Pek Kin cu berusaha menangkis dan ketiga orang
suhengnya menyerang hebat untuk menolongnya, tetap saja ujung ranting di tangan
Bu lam Nio dengan tepat telah menusuk jalan darah pada lehernya.
Pek Kin Cu terhuyung dan roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena jalan
darah pada lehernya telah pecah, membuat ia tak dapat bersuara dan tak dapat
bernapas lagi. Ia tewas pada saat itu juga. Demikianlah kehebatan ilmu pedang
Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main terkejut dan marahnya tiga orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua
itu. "Iblis wanita, kau benar-benar ganas dan kejam!" teriak mereka dan bergulung-
gulunglah sinar pedang ketiga pedang ketiga pendeta ini ketika mereka mengeroyok
dengan serangan-serangan maut kepada Bu Lam Nio. Bu Lam Nio sudah amat tua
Koleksi Kang Zusi dan matanya sudah agak lamur, biarpun ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang
mengherankan, akan tetapi menghadapi tiga orang lawan yang amat tangguh ini, ia
menjadi sibuk juga. Dari tangkisan pedang mereka, ia maklum bahwa ketiga orang
lawan ini bukanlah lawan yang empuk seperti Pek Kin Cu, dan jangankan dikeroyok
tiga, baru menghadapi seorang di antara mereka saja, agaknya ia takkan mudah
merobohkannya. Ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkan oleh tiga orang pendeta ini memang
lihai. Kepandaian mereka sudah mencapai tujuh puluh bagian sehingga ketika
pedang mereka berkelebat, terdengarlah bunyi mengaung seperti ribuan lebah
pulang ke sarang. Sebentar saja Bu Lam Nio terkurung rapat oleh sinar pedang mereka dan tidak
mempunyai jalan keluar lagi. Akan tetapi, Bu Lam Nio tidak menjadi gentar bahkan
lalu memutar rantingnya makin cepat sambil melakukan serangan balasan membabi
buta. Ranting kecil di tangan nenek ini jangan dipandang ringan oleh karena biarpun
hanya kecil dan terbuat daripada kayu kering saja, namun bahayanya tidak kalah
oleh sebatang pedang atau tongkat baja. Ujung ranting ini menyambar-nyambar dan
mengancam setiap jalan darah lawan dan sekali saja ujungnya dapat menotok jalan
darah, pasti lawannya akan terjungkal.
Akan tetapi yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid Liang Gi Cinjin
sendiri, maka setelah melawan mati-matian sampai tiga puluh jurus, dengan
gerakan berbareng pendeta-pendeta itu menyerang dari tiga jurusan. Bu Lam Nio
masih mencoba untuk menangkis dan mengandalkan ginkangnya mengelak namun
sebatang pedang yang menyerangnya dari kiri dengan tepat telah menusuk
lambungnya. Nenek ini mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan memperkeras lambungnya,
namun tenaga lweekang penusuknya juga kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, pedang itu telah menancap pada lambungnya sampai setengahnya lebih.
Bu Lam Nio mengeluarkan pekik dahsyat dan mengerikan sekali. Pekik yang bukan
seperti pekik manusia ini dikeluarkan karena marah dan sakit. Dan pekik inilah
yang terdengar oleh Sui Giok dan Ling Ling.
Dengan tenaga yang luar biasa sekali, biarpun ia telah terluka parah, Bu Lam Nio
masih dapat menubruk maju dan kalau saja pendeta yang menusuknya tadi tidak
cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat, pasti ia akan kena ditangkap
dan kalau terjadi demikian, jangan harap ia akan dapat hidup lagi. Ketika
tubrukannya luput, Bu Lam Nio terjerumus ke depan dan terguling, menggeletak di
dalam genangan darahnya sendiri.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu, datanglah Sui Giok dan Ling Ling.
"Nenek ... !!" Ling Ling menjerit ngeri melihat keadaan neneknya ini dan tanpa
banyak cakap ia lalu mencabut pedangnya, yakni pedang yang dulu dirampas oleh
Sui Giok dari tangan Tan-wangwe, lalu ia menyerbu kepada tiga pendeta Pek-sim-
kauw itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Pedang ditangannya itu nampak bagaikan
halilintar menyambar-nyambar dan sukar diduga bagian mana yang hendak diserang.
Ketiga orang pendeta itu tadinya berdiri tercengang ketika melihat datangnya dua
orang wanita yang cantik-cantik.
Tak mungkin mereka ini siluman, pikir mereka mulailah mereka merasa gelisah dan
menyesal telah membunuh Bu Lam Nio. Kini melihat datangnya serangan gadis muda
yang cantik sekali ini, kegelisahan mereka berubah menjadi kekagetan yang besar.
Mereka cepat menangkis dan terdengar bunyi nyaring sekali. Dua orang pendeta
masih dapat menahan, akan tetapi orang ketiga tak dapat menahan getaran
tangannya sehingga pedangnya yang dipakai menangkis telah terpental jauh.
Sui Giok melompat maju dan menerima pedang pendeta yang melayang ini, kemudian
tanpa banyak cakap lagi iapun menyerbu dengan hati marah sekali. Pendeta yang
pedangnya kena dipentalkan oleh Ling Ling tadi memiliki hati yang penakut dan
pengecut. Melihat betapa pedangnya dengan mudah terampas dan kini berada di
tangan wanita cantik itu ia tidak mempunyai nafsu untuk melawan lagi.
Apalagi ketika dilihatnya betapa dua orang kawannya dalam segebrakan saja
terkurung dan terdesak hebat. Tanpa banyak pikir lagi, ia lalu membalikkan
tubuhnya dan berlari sifat kuping (cepat sekali).
Memang, kedua orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua ini sama sekali bukan lawan
Ling Ling, karena begitu bergerak, Ling Ling sudah dapat mendesaknya sehingga
lawan ini sama sekali tak berdaya membalas, hanya menangkis dan mengelak saja.
Gerakan Ling Ling terlampau gesit dan sukar diduga, sedangkan ilmu pedangnyapun
amat luar biasa. Kalau yang menghadapi Ling Ling bukan pendeta Pek-sim-kauw yang
sudah mewarisi tujuh puluh bagian dari Pek-sim-kiam-hoat, jangan harap ia akan
dapat melayani Ling Ling lebih dari sepuluh jurus. Kini biarpun pendeta itu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun dalam jurus keempat belas,
pedang Ling Ling dengan cepat sekali menyambar lehernya.
Ketika pendeta itu menangkis, secepat kilat pedang Ling Ling dirobah gerakkannya
dan kini bukan merupakan sabetan lagi, melainkan ditusukkan ke arah dada pendeta
itu. Hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh tosu dari Pek-sim-kauw ini. Ia
berusaha mengelak sudah tidak keburu, untuk menangkis apalagi, maka terpaksa ia
Koleksi Kang Zusi lalu mengumpulkan hawa di dadanya, untuk mencoba menahan tusukan ini.
Ilmu lweekang dari tosu-tosu Pek-sim-kauw memang tinggi dan Liang Gi Cinjin
sendiri terkenal seorang ahli lweekeh yang jarang tandingannya. Pendeta yang
menghadapi Ling Ling ini sudah melatih Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi
Jalan Darah) dan sudah melatih ilmu kebal yang disebut Thiat-po-san (Baju
Mustika Besi). Akan tetapi kini dia bukan menghadapi lawan sembarangan. Mungkin juga kalau yang
menusuk dadanya itu seorang yang ilmu silatnya masih rendah, kulit dadanya akan
berhasil menahan dan tidak terluka.
Akan tetapi, Ling Ling selalu menggerakkan pedangnya menurut petunjuk dari kitab
Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan selalu disertai getaran-getaran yang disalurkan
oleh tenaga lweekangnya. Pedang itu kini sudah merupakan sebagian daripada
tangannya dan seakan-akan ujung pedang itu dapat "memilih" jalan masuk ke dalam
rongga dada. "Cepp ....!" Tosu itu berseru keras, memukulkan tangan kiri ke depan dengan
tenaga terakhir untuk membalas lawannya. Akan tetapi, Ling Ling tidak saja dapat
menahan angin pukulan ini, bahkan menambah dengan sebuah tendangan ke arah perut
lawannya yang segera terpental tubuhnya sampai dua tombak lebih dalam keadaan
mati. Ketika Ling Ling menengok keadaan ibunya, ternyata Sui Giok juga sedang mendesak
hebat pendeta lawannya, ilmu kepandaian Sui Giok tidak sehebat Ling Ling, karena
memang puterinya ini jauh lebih berbakat dan berlatih silat semenjak kecil. Bagi
Sui Giok yang berlatih silat setelah ia mempunyai anak, tentu saja gerakannya
tidak selemas Ling Ling walaupun kecerdikan dan ketekunannya membuat Sui Giok
kini memiliki kepandaian yang jarang dimiliki oleh ahli silat lain.
Dalam hal tenaga dan kegesitan, keadaan Sui Giok boleh dibilang berimbang dengan
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya, akan tetapi ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut memperlihatkan
keunggulannya. Dengan ilmu pedang ini, Sui Giok berhasil mendesak lawannya yang
kini makin menjadi gelisah itu. Ling Ling tidak mau membantu ibunya karena
maklum bahwa tak lama lagi ibunya akan berhasil merobohkan lawannya.
Benar saja, setelah bertempur tiga puluh lima jurus, akhirnya dengan gerak tipu
Kim-gan-liong-sin-yau (Naga Mata Emas Mengulur Pinggang), Sui Giok berhasil
menipu dan memancing lawannya. Tubuhnya membelakangi lawannya dengan gerakan
yang lemas dan indah dan melihat kesempatan serta lowongan ini, pendeta itu
segera menusuk dari belakang.
Ini hanya pancingan belaka untuk dapat mematahkan kekuatan pertahanan tosu itu.
Bagi setiap ahli ilmu silat tentu maklum bahwa serangan dan pertahanan adalah
dua Koleksi Kang Zusi gerakan yang berlawanan. Apabila orang menyerang maka berarti bahwa
pertahanannya tentu berkurang satu bagian kekuatannya, sebaliknya di waktu
bertahan, juga daya serangnya berkurang.
Ketika tosu itu menusukkan pedangnya ke arah dada kiri Sui Giok, tiba-tiba
nyonya ini berseru keras, membalikkan tubuh, membuka lengan kiri sehingga pedang
lawan meluncur di bawah pangkal lengan kirinya, kemudian pedang di tangan
kanannya tak dapat dicegah lagi telah memasuki dada lawannya.
Pendeta Pek-sim-kauw ini menjerit dan ketika Sui Giok mencabut pedangnya sambil
melompat kebelakang, tubuh pendeta itu terguling roboh tak bernyawa lagi.
Kedua anak dan ibu ini segera menghampiri Bu Lam Nio yang masih rebah mandi
darah. Ketika Sui Giok merobohkan pendeta lawannya, Ling Ling sudah berlutut dan
memangku kepala neneknya maka kini keduanya hanya menangis sedih.
Keadaan Bu Lam Nio sudah jelas, tak dapat diobati lagi. Kulit lambungnya telah
terbuka dan isi perutnya bahkan ada yang menonjol keluar. Darah membasahi rumput
dan pakaiannya. Wajahnya pucat dan makin mengerikan, akan tetapi Ling Ling dan
ibunya tiada hentinya menciumi muka nenek itu sambil memanggil-manggil namanya.
Bagaikan dipanggil kembali nyawa nenek itu oleh tangisan Ling Ling dan Sui Giok,
tiba-tiba mata yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali dan melihat Ling
Ling memangkunya, Bu Lam Nio tersenyum. Bibirnya berbisik-bisik akan tetapi
suara yang keluar sukar sekali ditangkap oleh telinga karena amat perlahan. Ling
Ling dan Sui Giok lalu mendekatkan telinga mereka untuk mendengar pesan terakhir
itu. "Oei-hong-kiam (Pedang Tawon Kuning) dari suamiku telah dirampas oleh
pembunuhnya ...... carilah pemegang Oei-hong-kiam dan ... bunuh dia untuk
membalas sakit hati Kam-ciangkun (Panglima Kam)......" Setelah berkata demikian,
leher Bu Lam Nio menjadi lemas dan melayanglah nyawa nenek yang malang hidupnya
ini meninggalkan raganya yang sudah rusak.
Dengan hati sedih, Sui Giok dan Ling Ling mengubur jenazah Bu Lam Nio, juga
ketiga jenazah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu mereka kubur baik-baik. Hal ini
menandakan bahwa budi pekerti Sui Giok memang halus dan baik. Nyonya ini bersama
anaknya masih merasa heran mengapa pendeta-pendeta yang jubahnya memakai gambar
hati putih ini memusuhi Bu Lam Nio.
"Mereka ini tentulah pendeta-pendeta yang jahat, sebagaimana seringkali ibu
menceritakan kepadaku!" kata Ling Ling. "Maka kelak kalau kita bertemu dengan
pendeta berpakaian seperti ini, kita harus membasmi mereka!" Memang pada waktu
itu kedudukan para tosu dan hwesio dirusak dan dicemarkan oleh orang-orang jahat
yang sengaja menjadi "orang suci" untuk menutupi perbuatan mereka yang jahat.
Koleksi Kang Zusi Dengan jubah pendeta, mereka ini lebih leluasa membodohi rakyat dan melakukan
hal-hal yang amat mengecewakan. Hal ini diketahui oleh Sui Giok maka seringkali
ia memberi nasehat kepada anaknya agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang
berjubah pendeta, karena kalau mereka itu berhati jahat, sukarlah bagi kita
untuk menyangkanya. "Ibu, setelah kini nenek tidak ada, tentu ibu tidak berkeberatan untuk mengawani
aku keluar dari tempat ini. Marilah kita pindah ke tempat ramai, ibu, dan hidup
seperti orang-orang biasa. Ling Ling membujuk dua hari kemudian setelah
peristiwa itu terjadi. "Baiklah, Ling Ling. Akan tetapi aku masih merasa tidak tega meninggalkan makam
nenekmu. Biarlah kita tinggal lagi di sini sampai sembilan hari, baru kita
tinggalkan tempat ini."
Akan tetapi tujuh hari kemudian, terjadilah peristiwa hebat yang memaksa ibu dan
anak itu pergi dari situ sebelum waktu yang mereka tetapkan. Pada hari itu,
pagi-pagi sekali, serombongan pendeta mendarat di hutan itu.
Mereka ini datang dengan perahu dan ternyata bahwa mereka adalah pendeta-pendeta
Pek-sim-kauw sebanyak tiga belas orang. Melihat tusuk konde mereka, ternyata
bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw yang berkepandaian tinggi.
Sepuluh orang bertingkat dua dan yang tiga orang adalah pendeta-pendeta Pek-sim-
kauw tingkat satu. Bagaimanakah begitu banyak pendeta Pek-sim-kauw dapat menyerbu ke sini"
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang pendeta dapat melarikan
diri dari hutan itu dan langsung berlari ke kota Kong-goan.
Kebetulan sekali pada waktu itu, Pek Sui Cu, pendeta dari cabang Pek-sim-kauw di
Kong-goan, didatangi oleh beberapa orang pendeta tingkat dua lain yang sengaja
datang hendak merundingkan tentang keadaan perkumpulan mereka, ketika mereka ini
mendengar tentang tewasnya Pek Kin Cu dan tangguhnya siluman-siluman di dalam
hutan itu, bukan main marah dan terkejut mereka,
"Celaka, twa-suheng," kata pendeta itu dengan muka pucat, "Ji-suheng dan sam-
suheng entah bagaimana nasibnya. Siluman-siluman wanita itu bukan main tangguh
dan gagahnya." Ia lalu menceritakan betapa dengan sekali tangkis saja "siluman
wanita" yang paling muda telah berhasil membuat pedangnya terampas.
Pek Sui Cu dan kawan-kawannya lalu merundingkan hal ini,
"Terang bahwa mereka itu tentulah wanita-wanita jahat yang menyembunyikan diri
dan berkepandaian tinggi. Kita harus minta bantuan dari pusat, dan sebaiknya
kita berlaku hati-hati. Sedapat mungkin kita harus minta bantuan dari suheng-
suheng kita Koleksi Kang Zusi
yang bertingkat satu. Jangan sampai kita menyerbu dan gagal lagi."
Demikianlah, setelah menanti dua hari ternyata dua orang kawan mereka tidak
kembali, lalu seorang pendeta disuruh memberi laporan ke pusat minta bantuan.
Pusat Pek-sim-kauw berada di kota besar Ceng-tu di sebelah selatan. Liang Gi
Cinjin sendiri jarang sekali berada di pusat, kesukaannya pergi merantau,
mengunjungi sahabat-sahabatnya di puncak gunung-gunung seperti Kunlun-san, Gobi-
san, dan lain-lain. Orang tua yang sakti ini memang sudah bosan untuk mengurus semua persoalan dunia
dan lebih suka ia mengunjungi ketua Kunlun-pai atau Gobi-pai untuk bermain
catur, bercakap-cakap dan bertukar pikiran tentang ilmu batin dan ilmu alam.
Apabila dia sedang pergi, maka seluruh urusan Pek-sim-kauw diserahkan kepada
murid-muridnya yang sudah bertingkat satu.
Jumlah muridnya ini hanya lima orang, masing-masing bernama Pek Im Ji, Pek Hong
Ji, Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji. Kesemuanya adalah pendeta-pendeta
yang sudah berusia lima puluh tahun lebih dan selain telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi karena telah mewarisi delapan puluh bagian lebih dari
Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat, merekapun telah mendapat pengertian
yang mendalam tentang kebatinan. Tidak mengherankan apabila sikap mereka halus
dan lemah lembut serta memiliki sifat penuh welas asih.
Ketika ke lima orang murid Liang Gi Cinjin mendengar tentang siluman yang
membunuh anak murid Pek-sim-kauw, mereka menjadi terkejut dan juga terheran-
heran. "Bagaimana bisa terjadi hal sehebat itu?" tanya Pek Im Ji, pendeta tertua atau
murid kesatu daripada Liang Gi Cinjin yang juga mewakili suhunya.
"Kesalahan apakah yang sudah diperbuat oleh orang-orang kita sehingga mendapat
marah dari orang gagah yang menyembunyikan diri di dalam hutan?" Pek Im Ji tanpa
ragu-ragu lagi mengetahui bahwa yang disebut siluman itu tentulah orang gagah
yang pandai ilmu silat. Pendeta pesuruh dari Kong-goan itu lalu menceritakan awal mulanya, "Penduduk
dusun Tai-kun-an seringkali mendapat gangguan dari siluman wanita yang disebut
Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li bahkan seorang she Tan dari dusun itu bersama
beberapa orang pengawalnya telah terbunuh mati. Ketika sute Pek Kin Cu mendengar
laporan para penduduk dusun itu, segera dia mendatangi hutan tempat tinggal
siluman tadi dan dalam pertempuran, ternyata sute Pek Kin Cu tidak dapat melawan
seorang wanita tua yang seperti siluman mukanya. Sute Pek Kin Cu terkena
pukulan, dan menjadi pingsan. Ketika siuman kembali, ia telah berada di luar
hutan. Kemudian Koleksi Kang Zusi
sute Pek Kin Cu minta bantuan ke Kong-goan. Bersama tiga orang saudara dari
Kong-goan, ia lalu mendatangi dan menyerbu hutan itu. Tidak tahunya, siluman
wanita tua itu masih mempunyai dua orang kawan, seorang wanita dan seorang gadis
yang memiliki ilmu silat luar biasa sekali. Sute Pek Kin Cu tewas dalam
pertempuran, dan ketika tiga orang saudara dari Kong-goan berhasil merobohkan
siluman tua, datanglah dua orang wanita tadi. Saudara-saudara kita itu terdesak
hebat, seorang saudara dapat melarikan diri, akan tetapi yang dua lagi agaknya
tewas pula, karena sehingga kini belum kembali. Mohon bantuan dari twa-suhu!"
Pesuruh ini memang terhitung murid dari kelima pendeta kepala itu maka ia
menyebut Pek Im Ji sebagai twa-suhu.
Pek Im Ji menghela napas panjang. "Terlalu gegabah!" celanya. Pek Kin Cu terlalu
sembrono. Ia agaknya terpengaruh oleh dongeng orang-orang dusun yang tahyul dan
mengira bahwa orang gagah itu benar-benar siluman. Celaka, kita telah menanam
permusuhan dengan mereka. Sungguhpun pihak kita telah tewas tiga orang, namun
pihak mereka juga tewas seorang. Kalau diselidiki secara adil, tak dapat kita
menyalahkan pihak mereka. Kalau pihak kita tidak mengganggu dan kalau Pek Kin Cu
tidak menyerbu ke dalam hutan, tak mungkin terjadi peristiwa ini."
"Akan tetapi, twa-suhu," pesuruh itu membela saudara-saudaranya, "siluman itu
telah membunuh orang-orang dusun Tai-kun-an, apakah kita harus diam saja?" Pek
Im Ji mengerutkan keningnya. "Hm, pertanyaan bodoh yang kau ajukan ini. Apakah
kau belum mengerti betul tentang hukum sebab dan akibat" Kalau memang orang-
orang gagah di dalam hutan itu benar-benar siluman, mengapa mereka tidak
membunuh semua penduduk" Pembunuhan terhadap orang she Tan itu hanyalah akibat
dan seperti juga semua akibat yang terjadi di dunia ini, pasti ia bersebab.
Apakah mendiang Pek Kin Cu sudah menyelidiki sebabnya" Tahukah dia mengapa orang
she Tan itu sampai terbunuh oleh orang gagah yang disebut siluman?"
Pesuruh itu tidak dapat menjawab dan tidak berani membantah pula, hanya berkata
perlahan, "Terserah kepada kebijaksanaan twa-suhu, karena teecu sekalian memang
tak berdaya." Pek Im Ji biarpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya merasa
penasaran juga. Sungguh hal yang amat memalukan nama Pek-sim-kauw. Tiga orang
pendeta tingkat dua dan seorang pendeta tingkat tiga tidak berdaya sama sekali
menghadapi orang atau siluman yang hanya merupakan tiga orang wanita saja bahkan
menurut cerita pesuruh ini, yang seorang hanya seorang gadis muda.
"Sam-sute, Si-sute, dan Ngo-sute, harap suka membereskan urusan ini. Ketemuilah
orang-orang gagah di dalam hutan dekat Tai-kun-an itu dan tanyakanlah mengapa
Koleksi Kang Zusi sampai terjadi pertumpahan darah dan pembunuhan yang tidak perlu.
Kalau memang pihak kita yang salah, mintakan maaf atas nama Pek-sim-kauw. Akan
tetapi kalau ternyata mereka itu orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam,
orang-orang jahat), jangan sembarangan membunuh, akan tetapi usahakan agar
mereka itu dapat ditangkap. Kita akan menanti keputusan suhu kalau dia sudah
pulang." Saudara ketiga, keempat dan kelima dari lima orang murid Liang Gi Cinjin itu
segera menyatakan kesanggupannya dan berangkatlah mereka ke Kong-goan. Mereka
ini adalah Pek Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji, tiga orang dari kelima
saudara seperguruan yang juga dijuluki Pek-sim Ngo-lojin (Lima Kakek Hati
Putih). Lima orang murid Liang Gi Cinjin ini bukanlah orang-orang sembarangan dan
kelimanya memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mempunyai keistimewaan sendiri-
sendiri. Tiga orang pendeta yang menjadi murid ketiga, keempat dan kelima inipun
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Tidak saja ilmu Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat telah mereka pelajari
sampai delapan puluh bagian, akan tetapi Pek Yang Ji memiliki tenaga lweekang
yang disebut Tai-lek-kim-kong-jiu (Pukulan Halilintar). Pukulan ini bukan main
dahsyatnya dan dari jarak jauh saja ia dapat merobohkan seorang lawan.
Pek Thian Ji, murid keempat memiliki keistimewaan dalam kepandaian ginkang,
sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat daripada angin. Kalau berkelana
seorang diri, ia dijuluki Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) karena demikian cepat
gerakan tubuhnya sehingga jangankan melihat orangnya, melihat bayangannya pun
sukar sekali. Murid kelima, yakni Pek Te Ji, memiliki kepandaian ilmu menotok yang disebut Im-
yang-tiam-hoat. Cara menotoknya berbeda dengan ahli silat biasa, dan cara yang
khusus ini membuat totokannya tak dapat dilawan oleh ilmu kekebalan yang
bagaimanapun juga. Ketika ketiga orang pendeta sakti ini tiba di rumah perkumpulan Pek-sim-kauw di
Kong-goan, ternyata bahwa di situ telah berkumpul sepuluh orang pendeta tingkat
dua, yakni kawan-kawan Pek Sui Cu yang telah mendengar tentang siluman itu dan
datang untuk mencari kabar. Mereka ini tadinya bertugas di dusun-dusun dan kota-
kota yang berada di sekitar Kong-goan.
Semua pendeta segera menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang kakek dari
Ceng-tu ini, karena mereka ini boleh dibilang masih terhitung guru mereka
sendiri. Biarpun pendeta-pendeta tingkat dua itu adalah murid-murid Liang Gi Cinjin juga,
akan tetapi ilmu silat mereka sebagian besar terlatih oleh kelima Pek-sim-ngo-
lojin, Koleksi Kang Zusi sedangkan Liang Gi Cinjin hanya sewaktu-waktu menguji mereka saja untuk
mengetahui sampai di mana tingkat dan kemajuan mereka.
Ketika mendengar bahwa ketiga orang kakek ini hendak mencari siluman di hutan
sebelah utara Tai-kun-an, serentak sepuluh orang pendeta tingkat dua ini lalu
menyatakan hendak ikut dan melihat dengan kedua mata sendiri macamnya siluman-
siluman wanita yang telah membunuh saudara-saudara mereka.
Di antara Pek-sim Ngo-lojin, sesungguhnya hanya Pek Im Ji saja yang amat keras
dan berdisiplin. Kalau kiranya Pek Im Ji yang hendak mencari siluman-siluman
wanita itu, tentu dia akan melarang anak buahnya ikut, akan tetapi ketiga orang
pendeta tingkat satu ini tidak melarang mereka, maka berangkatlah tiga belas
orang pendeta itu beramai-ramai memasuki hutan di sebelah utara Tai-kun-an
dengan perahu yang di dayung sepanjang sungai Cialing.
Ketika mereka telah mendarat dan menuju ke tempat tinggal Bu Lam Nio dengan
diantar oleh seorang pendeta tingkat dua, yakni pendeta yang melarikan diri dulu
itu sebagai petunjuk jalan, tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang
perempuan menangis. Mereka cepat menghampiri tempat itu dan melihat dua orang
wanita tengah berlutut di depan sebuah makam baru sambil menangis.
Mereka ini adalah Sui Giok dan Ling Ling yang tiap hari tentu mengunjungi makam
Bu Lam Nio dan menangis sedih. Ibu dan anak ini memang amat menyinta nenek yang
telah berjasa besar terhadap mereka itu. Tanpa adanya Bu Lam Nio, takkan ada
mereka pula. bagian 6 Wejangan Liang Gi Cinjin.
Mendengar suara kaki mendatangi, Ling Ling dan ibunya lalu menengok dan
melompatlah mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah pendeta-pendeta itu
lagi. Sinar kemarahan bernyala-nyala di dalam mata ibu dan anak itu. Inilah
pendeta-pendeta yang telah merenggut nyawa Bu Lam Nio.
Sementara itu, pendeta yang pernah bertanding dengan mereka, lalu berkata kepada
Pek Yang Ji, "Sam-suhu, inilah dia dua orang siluman yang telah membunuh kawan-
kawan kita." Koleksi Kang Zusi Pek Yang Ji cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat, diturut oleh semua
kawan-kawannya. Dengan senyum seorang alim ia lalu berkata,
"Toanio (nyonya) dan siocia (nona), maafkanlah kami apabila kami datang
mengganggu. Kami adalah pendeta-pendeta dari perkumpulan Pek-sim-kauw dan pinto
(aku) sebagai pemimpin rombongan ini bernama Pek Yang Ji. Bolehkah kiranya kami
mengetahui nama toanio dan siocia yang terhormat?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang menghormat ini, Sui Giok sudah menjadi
agak sabar, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar kaku ketika ia menjawab,
"Kami ibu dan anak selama hidup tidak pernah mempunyai urusan dengan segala
macam pendeta, maka kedatangan cuwi (tuan-tuan sekalian) ini tak ada artinya
bagi kami. Kami tak perlu tahu nama dan tidak perlu memperkenalkan nama."
Pek Yang Ji masih sabar dan tersenyumlah ia mendengar jawaban ini, "Toanio,
agaknya kau masih marah kepada kami, kemarahan yang sesungguhnya tidak kami
mengerti sebabnya. Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan
Cialing Mo-li?" Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding
dengan jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak, "Kalau kami betul-betul
siluman-siluman pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah"
Jangan banyak cakap dan pergilah, kami tak ingin diganggu!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-
lain sudah menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang
telah membunuh kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang
Ji sendiri ketika melihat betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap
bermusuh dan menghina sekali, mulai berkurang senyumnya.
"Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang
hanya untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari
yang lalu. Mereka itu adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya
mereka sekarang?" Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat
gundukan tanah tiga gunduk sambil berkata,
"Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal
Koleksi Kang Zusi kami itu adalah kawan-kawan cuwi" Mereka sudah mati, kematian yang sudah
sepatutnya dan yang mereka cari sendiri."
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku
tenang, "Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah
pendeta-pendeta jahat dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-
perbuatan jahat dan musuh-musuh kami hanyalah orang-orang jahat dan suka
mengganggu orang lain!"
"Omong kosong!" Tiba-tiba Ling Ling membentak keras. "Kalau pendeta baik-baik
mengapa datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku" Siapa dapat
percaya omongan itu?"
"Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga
orang pendeta Pek-sim-kauw!" kata Pek Yang Ji memperingatkan.
"Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu" Orang-orangmu membunuh nenekku,
apakah aku harus diam saja?"
"Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya
tidak perlu nona masih marah dan merasa penasaran."
"Enak saja kau bicara!" Ling Ling membentak lagi. "Kau kira nyawa nenekku cukup
diganti oleh tiga orang pendeta palsu" Ketahuilah biar ditambah dengan tiga
belas nyawa anjing kalian, aku masih belum puas!"
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha
menyabarkannya. Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan
Ling Ling ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi
Pek Yang Ji mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura
kepada Sui Giok dan berkata,
"Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih
baik pinto bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa
ini, seorang dari pihakmu tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang
dipandang dengan sepintas lalu, seakan-akan pihak kami yang bersalah karena
telah berani masuk ke sini mengganggu kalian. Akan tetapi, kedatangan kami ini
dengan maksud menanyakan tentang gangguanmu terhadap orang-orang yang bertempat
tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudara-saudara kami yang datang di sini bukan
semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah dan kalau tidak berdasarkan
menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu, harap toanio sudi
menjelaskan mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh orang,
penduduk she Tan di dusun Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya
Koleksi Kang Zusi pula?" Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut. "Hal ini
tak perlu orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu
sudah patut menerima hukumannnya!"
"Mengapa" Apa salahnya terhadap Toanio?" Pek Yang Ji mendesak.
"Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang
lain?" "Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-simkauw
memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah
soal kejahatan besar," jawab Pek Yang Ji tenang.
"Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?" kata Sui Giok.
"Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami
ini." "Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?" Ling Ling
mendahului ibunya. "Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua
kami dan menanti keputusan beliau!"
"Siapakah ketua kalian itu?" Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya
sambil memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
"Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin."
"Kalau kami tidak mau ikut?" tantang pula Sui Giok.
"Kami akan melakukan kekerasan!" akhirnya Pek Yang Ji menegaskan.
Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masing-
masing. Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat
mundur kira-kira setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut
pedang yang dulu dirampasnya dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut
pedang yang dirampasnya dari pendeta Pek-sim-kauw itu.
"Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan
kekerasan!" seru Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
"Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!" kata
Pek Yang Ji yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu
menghadapi serbuan Ling Ling dengan pedangnya.
"Trang!" Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa
kagum dan terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki
tenaga lweekang yang amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil
mengerahkan tenaga, ternyata ia tidak mampu membuat pedang lawan terpental.
Koleksi Kang Zusi Kekejutannya makin menjadi ketika Ling Ling melanjutkan serangannya dengan amat
cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa sehingga pedang itu merupakan sinar
yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang
keempat dari Pek-sim Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran
antara Sui Giok dan Pek Thian Ji masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun
pendeta ini merasa bingung juga menghadapi permainan pedang dari nyonya itu.
Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua
puluh jurus saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya.
Tidak saja pendeta ini merasa terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga
memandang dengan mata terbelalak. Tak pernah mereka sangka sama sekali bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada nyonya yang lihai itu,
bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim Ngo-lojin yang lihai ini,
takkan dapat menang. Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa
dia, seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam
pertempuran, kini harus mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua
puluh tahun usianya" Ia telah memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal
ilmu pedang lawannya, akan tetapi sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan
Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali perbedaannya.
Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang
aneh dan sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-
gerakan yang amat sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu
telah menjadi hidup dan menjadi anggauta tubuh penyambung tangan.
"Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!" Pek Te Ji yang
semenjak tadi telah "gatal tangan", menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
"Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!" kata Pek Yang Ji.
Tosu ini merasa malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak
mengeluarkan ilmu silatnya yang paling ampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-
kim-kong-jiu. Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya,
ia lalu melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia
merendahkan tubuhnya, mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan
kirinya diayun dari kiri menuju ke depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu
yang hebat itu. Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku
waspada dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh maka
Koleksi Kang Zusi cepat gadis inipun menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-
Kim-Kong-Jiu menyambar dengan kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok
dari kiri. Dua tenaga raksasa bertemu sebelum kedua tangan itu bertemu dan
akibatnya membuat kedua orang itu terhuyung mundur karena kembalinya tenaga
pukulan sendiri. Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat
menahan pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu" Padahal, ia pernah mengalahkan banyak
sekali tokoh-tokoh persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja
gadis cilik ini dapat menahan, bahkan dapat pula membentur hawa pukulannya
sedemikian rupa. Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah
gadis itu dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring. "Hm, serangan semacam
itu, di tempat ini hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!"
Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk
menghina dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji
yang memukul tadi seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang
mendengar ucapan ini, menjadi pucat sekali.
Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu
pukulannya itu. Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang
dimiliki ini bersumber dari gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan.
Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan
mengayun lengannya dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang
dalam pukulan itu ketika diayunkan. Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa
gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali sehingga dapat melihat dasar ilmu
pukulannya. Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak
berhasil bahkan suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum
bahwa suhengnya takkan dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu
dengan pedangnya. Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat
Pek Tek Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang
tadinya memandang rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan
berbahaya. Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling
Ling. Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia
masih berhasil mendesak lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga
Koleksi Kang Zusi amat membingungkan kedua lawannya.
Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan
Pek Tek Ji memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka.
Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan
dengan puterinya, namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya
cukup lebar dan kuat sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua saudaranya, merasa
penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) dan
memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang setimpal.
Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah
tingkatnya. Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu
pedang yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur
hidupnya dan jauh lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat
yang dimainkannya. Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk
membantu, dan tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah. Mereka ini
memiliki ilmu kepandaian yang hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka,
paling banyak hanya kalah dua puluh bagian, maka mereka dapat melihat betapa
ketiga orang pendeta tingkat satu itu terdesak hebat dan terancam jiwanya.
Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini
maju membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-
sim-kauw ini sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran
ini. Yang paling mereka takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka.
Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-
ouw mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya,
harus menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya
masih merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan
sekali. Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak
maju menyerang dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek
Yang Ji sendiri tidak melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya
bahwa dapat mengalahkan dua orang siluman wanita ini.
Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta
tingkat satu itu saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-
hati, apalagi setelah sepuluh orang pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok.
Pedang para Koleksi Kang Zusi
pendeta itu berkelebat-kelebat menyambar bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui
Giok dan Ling Ling memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh. Mereka kini
terdesak dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas serangan para
pendeta itu. "Jangan bunuh mereka, tangkap !" Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan
kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai
terbunuh, hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya
untuk menanti keputusan. Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap
dua orang wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya
hanya dengan kepala terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja
kedua orang wanita gagah ini akan menyerah.
Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha
untuk memukul dengan Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar
pedang mereka terlepas. Repot juga Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama
sekali Sui Giok yang memang kalah jauh dari puterinya.
Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni
dari belakang Sui Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari
tengah dan telunjuknyamenjepit urat dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui
Giok tak dapat mengelak dan sambil mengeluh nyonya ini melepaskan pedangnya dan
roboh dengan tubuhnya lemas, sama sekali tak berdaya lagi.
Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah
dirobohkan. "Pengecut!" serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk
menepuk pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia tidak berhasil memunahkan totokan itu.
Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal
Ling Ling sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat
mustahil bahwa ia tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.
Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil
ini. Tahulah Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu
tiam-hoat, maka selain pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya.
Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji,
tahu-tahu ia telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling.
Gerakan ini luar biasa cepatnya sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak
menyangka-Koleksi Kang Zusi
nyangkanya dan tidak dapat menolong Pek Te Ji.
Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang
lihai untuk menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan
sebelum semua pendeta sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan
tangan kiri dan pedang di tangan kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.
"Mundur semua!" teriak gadis gagah perkasa ini. "Kalau tidak, kepala pendeta
palsu ini akan menggelinding di kaki kalian!"
Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti
lawannya ini tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan
ancamannya, maka ia cepat berseru,
"Kawan-kawan, mundur semua!"
Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya
itu. "Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling. "Nona, apakah kami dapat mempercayai
omonganmu" Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?"
Ling Ling memandang dengan mata melotot. "Kau kira aku ini orang macam kalian"
Sekali aku berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami
berdua akan pergi dari sini, dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari
suhumu yang bernama Liang Gi Cinjin untuk membuat perhitungan!"
Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu, "Ngo-sute, lakukanlah seperti apa
yang dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini.
Kalau dilanjutkan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak."
Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan
urutan, Sui Giok dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan
tanpa banyak cakap lagi ibu dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah
mengambil buntalan masing-masing dari dalam goa.
Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang
sengaja mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka
sampai lenyap dari situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam
ketiga pendeta Pek-sim-kauw yang telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li
atau Cialing Mo-li. "Sungguh lihai dan berbahaya!" Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entah setan mana yang telah memberi pelajaran
ilmu silat kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka
tidak kalah hebatnya dengan ilmu pedang kita."
Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika
Liang Koleksi Kang Zusi Gi Cinjin pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti
ini mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut
putih seperti benang perak.
"Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan
perasaan. Sudah berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak
dan jangan terlalu menuruti kata hati.
Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat
mempergunakan otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya
dalam sesuatu perselisihan, dan takkan sampai perselisihan itu menjadi
pertempuran. Kalian ini mudah sekali menurunkan tangan, apakah kau kira bahwa ilmu silat kita
ini yang tertinggi di dunia?"
Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang
menjadi muridnya dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun,
hanya menundukkan kepala.
"Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang
nomor satu di dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini" Di antara gunung-gunung
yang menjulang tinggi, masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan
tetapi, di atas gunung Thai-san masih ada langit, dan di atas langit yang nampak
oleh mata masih ada ruang lain yang tak terlihat oleh kita. Di antara sungai
yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan tetapi, di bawah lautan ini
masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya yang lebhi
dalam. Nah jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena
sesungguhnya kepandaian itu tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku
hati-hati, jangan sekali-kali menyerang orang apabila tidak diserang. Boleh kita
mempergunakan kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyerang orang
lain!" Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya
dan ia merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan
dengan wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
****** Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui
bagaimana dengan nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan
pasukan pengumpul tenaga rakyat dan langsung dikirim ke utara untuk dipaksa
menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni memperbaiki dan memperkuat tembok besar
di tapal batas Tiongkok Utara.
Koleksi Kang Zusi Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini.
Ia diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar,
mengangkut batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan
lain-lain pekerjaan kasar lagi.
Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang
dipegangnya hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan
tenaganya tidak besar, bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik.
Telapak tangannya yang berkulit halus dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh
urat tubuhnya terasa sakit-sakit.
Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa
serdadu-serdadu yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja "patriot" ini
melakukan kesalahan atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari
kesakitan. Darah akan mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul
dan ia tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada
isterinya, diam-diam ia mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui
sepanjang pipinya untuk bercampur dengan peluhnya yang membasahi seluruh
tubuhnya. Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah
menyerah kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di
dalam kepahitan penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah.
Kehausan jiwanya akan keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan
keindahan dalam pekerjaan itu.
Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau,
lepas daripada persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah
sanggup melakukan pekerjaan besar ini. Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan
hatinya memuji kebesaran para kaisar yang dahulu membuat bangunan ini.
Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan
manusia, sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan
jiwa manusia" Untuk kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini"
Mungkin sebagian kecil saja, untuk melindungi kaisar.
Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap
berdiri kokoh kuat. Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan
dari orang-orang penting, di antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal
sekali karena kesetiaannya kepada negara, seorang pembesar tinggi yang
mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika terjadi pemberontakan puluhan
tahun yang lalu. Koleksi Kang Zusi bagian 7 Sajak Pembawa Nikmat. Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah
suatu usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang
terlindung karena adanya tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para
hartawan atau bangsawan, akan tetapi juga keselamatan rakyat jelata terlindung.
Dengan adanya tembok besar ini maka pihak asing di daerah utara tidak mudah
menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok.
Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai
tembok besar itu. Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas
dalam pekerjaan itu, baik karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-
mandor atau hal-hal lain maka tentu saja ia tidak lupa untuk memasukkan mereka
ini ke dalam sajaknya, bahkan kawan-kawannya yang sudah gugur inilah yang
menjadi pokok utama dalam sajaknya.
Tembok besar, laksaan li panjangnya
Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!
Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya,
menjadi marah sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul,
ditendang dan dicambuki oleh serdadu itu.
Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti
betul akan arti sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak
"memberontak", sebuah istilah yang sudah populer sekali di waktu itu untuk
mencelakakan seseorang yang agak membangkang. Pada masa itu, jangankan
memperlihatkan sikap menentang pembangunan atau politik pemerintahan, baru
menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan saja, apabila
pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia akan
dicap "pemberontak" dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau
dipenggal lehernya. Banyak para "pemberontak" seperti ini menerima hukuman
mengerikan, yakni seluruh keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun,
dijatuhi hukuman mati. Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang
perwira datang melakukan pemeriksaan. Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee
Siong dihukum. Biasanya perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang
mendapat siksaan karena ia merasa pasti bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu
tentu melakukan pelanggaran.
Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul
yang lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah
Kwee Siong yang tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah
tanpa mau mengeluh sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira
ini. Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari
saku baju Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca
sajak itu berkali-kali, perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka
marah, kemudian ia bertanya,
"Mengapa kau pukul dia?"
"Karena dialah penulis sajak gila ini!" jawab serdadu itu.
Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil
bertanya lagi, "Kau pandai membaca?"
Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai,
"Tentu saja dapat, ciangkun!"
"Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!"
Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia
disuruh membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak
dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
"Hayo, bacalah !" teriak perwira tadi sambil memandang tajam.
Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa
Koleksi Kang Zusi huruf saja, yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf
yang dapat dibacanya itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang
keliru dibacanya. "Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!" Sambil berkata demikian, perwira
itu mengayun kepalan tangannya.
"Buk!" Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah
seorang ahli gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh
bergulingan dalam keadaan pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira
ini telah merampas kembali kertas bersajak itu, kemudian ia lalu memberi
perintah kepada para serdadu lainnya untuk mengangkut tubuh Kwee Siong yang
sudah setengah mati. Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas
pembaringan di dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan
yang ada di dalam markas. Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya
dengan manis ketika melihat Kwee Siong siuman.
"Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di
tempat seperti itu?"
Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia
disiksa oleh serdadu-serdadu tadi" Sampai lama ia tidak menjawab, hanya
memandang wajah perwira yang tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah
sekali. "Aku bernama Liem Siang Hong," perwira muda itu memperkenalkan diri. "Ketika
tadi melihat kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan
membawamu ke tempat ini."
Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia
memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.
"Saudara yang gagah," katanya setelah menghela napas, "dari pakaianmu aku dapat
menduga bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang
bernasib celaka, dari jurang kematian" Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal
yang selalu membuat hatiku menyesal." Ia menghela napas kembali.
Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran
mendengar ucapan ini. "Apakah maksudmu, saudara Kwee" Mengapa kau seakan-akan
sudah bosan hidup dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?"
"Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku
akan kembali ke sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati,
mungkin dengan siksaan yang lebih hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti
aku Koleksi Kang Zusi telah hutang budi kepadamu, dan dalam keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana
aku dapat membalas budi" Mati dengan hutang budi jauh lebih buruk daripada mati
dengan melepas banyak budi."
Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.
"Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat
membebaskan kau dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke
tempat itu. Orang seperti kau, yang pandai menulis sajak demikian indahnya,
tidak pantas menjadi pekerja kasar, lebih-lebih tidak patut tewas di ujung
cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung jawab.
Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan
dengan maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai
seorang yang mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja
menyaksikan peristiwa yang tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak
membalas budi, dapat saja!"
Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera
turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak
dapat dicegah lagi air mata mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata, "Ah,
sungguh tak pernah kusangka. Awan yang gelap dan tebal menutupi seluruh langit,
akan tetapi masih dapat muncul bintang terang seperti kau, ciangkun. Katakanlah,
bagaimana aku dapat membalas budimu?"
Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya
bangun, lalu menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.
"Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu
saja kau dapat membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku
mempunyai seorang putera yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak
kau dapat mendidiknya dalam ilmu sastera."
Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan
hiburan saja, agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah
yang telah mencarikan guru sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua
tahun" Akan tetapi ia menjawab juga dengan sepenuh hati,
"Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu."
Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama
mereka merasa makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli
sastra, dan orang kedua ahli silat, namun jiwa dan watak mereka tak jauh
berbeda. Mereka menjunjung tinggi keadilan, kebajikan, dan kegagahan dalam cara
masing-masing. Dengan suara mengharukan, Kwee Siong menuturkan riwayatnya. Ia telah setahun
Koleksi Kang Zusi lebih berada di tempat itu, bekerja sebagai pekerja kasar, meninggalkan
isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya.
Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal
tinjunya dan berkata, "Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan
pasukan pengumpul tenaga pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya
dan memukul pecah kepalanya."
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian ia menarik napas panjang. "Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini
telah lama kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-
orang jahat mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya
diri sendiri, bagaikan anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan
daging manusia yang gugur berserakan di dalam peperangan. Jangan khawatir,
saudaraku, aku akan mencari isterimu itu agar kau dapat bertemu kembali dengan
dia." Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang
Hong sambil mengalirkan air matanya. Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang
tadinya keras itu kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada
orang muda yang tampan ini.
Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada
malam hari itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga
Kwee Siong lalu menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te
(adik Kwee). Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun
Tai-kunan, akan tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia
mendengar berita bahwa isterinya, yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di
dalam hutan bersama dengan para serdadu, menjadi korban Toat-beng Mo-li yang
marah dari dalam hutan yang menyeramkan itu.
Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman
kembali, ia dihibur oleh Liem Siang Hong.
"Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini.
Setelah aku tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah
perasaan hatiku terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri,
dan jangan kau terlalu berduka sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang
lebih baik kau turut kepadaku saja dan tinggal bersamaku di kota Tai-goan."
Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata, "Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau
banyak berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan
menumpangkan diriku yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku
Koleksi Kang Zusi pergi merantau, entah ke mana saja, karena akhirnya aku toh akan mati juga.
Lebih cepat lebih baik, karena hanya kematian saja yang akan membawa aku kepada
isteriku......" Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras. "Apakah kau ingin menjadi seorang yang
Bong-im-pwe-gi (manusia tak kenal budi)?""
Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat
mukanya dan memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.
"Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar
budi itu dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja
kau tidak mau?" Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan
tetapi Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang
dipergunakan oleh perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di
rumahnya. Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat
mengeluarkan kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Akhirnya dapat juga Kwee Siong berkata.
"Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-
twako, dan biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan
selalu menurut segala kata-katamu."
Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik
hati ini membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Taigoan,
kota terbesar di propinsi Shansi.
Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga
yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian
isterinya yang tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-
sahabatnya yang bekerja dekat dengan kaisar.
Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan
yang membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian,
berhasillah Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah
ia menghubungi pembesar-pembesar tinggi di kota raja.
Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian
untuk kaisar, akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk
membangkitkan semangat rakyat dan untuk menggembirakan para pekerja yang
tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat banyak sekali untuk ditempel-
tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada tembok-tembok besar
yang sedang Koleksi Kang Zusi
dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan kapal dan lain-lain.
Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang
Hong masuk ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti
seorang anak kecil mendapat hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya
memandang dengan mulut celangap dan mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini"
"Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" kata perwira muda itu
dengan wajah girang sekali.
"Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?" tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Aku" Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi
pembesar negeri, adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor
cabang di kota ini, kepala kantor urusan pengumpulan tenaga pekerja
pembangunan." Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini. "Eh, Liem-
twako, harap kau jangan main-main!"
"Siapa main-main" Hayo, kau buktikanlah sendiri!" Sambil berkata demikian, Liem-
ciangkun lalu memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari
kamar, menuju ke ruang depan.
Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa
lengki (bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri
dan cepat ia bersama Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut.
Berhadapan dengan seorang pembesar pembawa lengki, sama halnya dengan berhadapan
dengan kaisar sendiri, oleh karena pesuruh itu merupakan wakil kaisar.
Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu membacakan firman kaisar
tentang pengangkatan Kwee Siong itu.
Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang
berharga sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan
semenjak saat itu, Kwee Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap
kebesaran telah berada di atas meja dalam kamarnya.
******* Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi
kepala bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan.
Semenjak dia yang memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan.
Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja.
Ia mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan
orang-orang tua dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali
mengadakan gerakan mengumpulkan sumbangan dari para hartawan dan dermawan,
Koleksi Kang Zusi dan sumbangan ini dipergunakan untuk menghibur para pekerja.
Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-
perwira pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa
dan jujur, untuk memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
tak bertanggung jawab. Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh
rakyat, dihapuskan. Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di
bawah kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong
sebentar saja jadi amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata.
Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee
Siong, namun seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee
Siong mempunyai hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah
perkasa, maka tidak ada yang berani mencoba-coba untuk main-main.
Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari
mereka tentu bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia
mendidik putera Liem Siang Hong. Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah
Kwee Siong mendidiknya dengan sungguh hati.
Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena
Kwee Siong merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih
kepada pamannya ini. Boleh dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam
gedung Kwee Siong dari pada di dalam rumah ayahnya sendiri.
Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang
Hong, karena perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang
perwira. Berbeda sekali dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan
anak itu dengan sabar dan manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut,
akan tetapi terhadap Kwee Siong, ia merasa sayang dan menghormat.
Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.
"Adikku yang baik," katanya untuk kesekian kalinya, "Kau masih muda dan sudah
mempunyai kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian"
Kau harus sayang masa mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan"
Siapakah kelak yang akan melanjutkan riwayat keluarga Kwee" Kau katakan saja dan
percayalah, aku yang akan mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin
untuk menjadi isterimu."
Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih,
"Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak
sampai hati untuk mendekati lain wanita."
Koleksi Kang Zusi "Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee" Isterimu telah
kembali ke alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin
bahwa isterimu sekarang sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak
mempunyai keturunan. Apakah kau kirah roh seorang isteri setia dan menyinta akan
merasa suka melihat suaminya hidup sengsara, kesepian, dan kelak meninggalkan
dunia tanpa ada keturunan " Pikirlah dengan otak yang sehat, adikku."
Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima
tahun kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya
itu tentu telah tewas, barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan
menikahlah ia dengan seorang gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok.
Ketika Kwee Siong menikah dengan gadis she Liok ini, maka sepuluh tahun telah
berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok dengan terpaksa itu.
Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Kwee Cun. Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan
Sui Giok, isteri pertama yang dianggapnya telah mati itu. Memang Kwee Siong
sedang bernasib baik karena iapun telah menerima kenaikan pangkat dan
dipindahkan ke kota raja.
Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya
dengan Liem Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan
putera tunggal Siang Hong, yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun
oleh ayahnya telah dikirim kepada suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san
yang untuk sementara tinggal di dalam sebuah gua di atas bukit di Pegunungan
Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya.
Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai
yang berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan
berkatalah dia kepada muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun,
"Muridku Siang Hong, kau beruntung sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang
sin-tong (anak ajaib), bakatnya luar biasa sekali."
Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian
Lun di pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa
Sian Lun telah mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat
girang. Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian
Lun berada di atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah
Kwee Siong merasa kesepian sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di
atas, ia menerima bujukan Liem Siang Hong dan menikah dengan Liok-siocia (nona
Liok). Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah,
Koleksi Kang Zusi telah lewat tanpa terasa. Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini
cerdik dan lemah lembut seperti ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak
ini karena isterinya tidak melahirkan anak lagi.
Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan
tetapi, boleh dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah
bahagia. Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan
pelajaran ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa,
Beng Kui Tosu, atas persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke
puncak Kun-lun-san untuk berguru kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To
Siansu. Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung
susiok (paman guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan
tingginya ilmu kepandaiannya. Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas
tahun dan telah menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian
tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas
gurunya. ****** Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To
Siansu, datanglah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun
usia kakek ini sudah amat tinggi, dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal
menanti maut datang menjemput nyawanya, namun ternyata ia masih amat kuat. Bukan
hanya kuat, akan tetapi bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki gunung itu bagaikan
terbang saja, biarpun kedua kakinya bergerak perlahan, namun ia maju dengan amat
cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya begitu saja.
Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw,
tosu yang tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti
biasa, kakek ini melakukan perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang
menjadi sahabat baik dalam bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam
pertandingan catur. Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka
ia merasa amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-
lun-pai itu. Beng To Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya,
biarpun ia tengah duduk dalam guanya, sebelum tamunya kelihatan, ia telah
tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan kata-kata gembira,
"Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk
datang menghadapi papan catur dengan aku?"
Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak
pinggang dan mukanya didongakkan ke atas.
Koleksi Kang Zusi "Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang
sempit seperti kau, bagaimana bisa sehat " Heran, orang seperti kau masih bisa
panjang usia!" Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek
lain yang bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut
Liang Gi Cinjin. Usia kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah
dikatakan siapa yang lebih sehat di antara keduanya, karena muka mereka masih
nampak merah dan segar sekali.
"Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang
masuk di dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang
setiap hari mengisap hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!" Beng To
Siansu menjawab sambil tertawa juga.
Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila
di depan gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur
dan mulai bermain catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga
dalam ilmu silat, kepandaian mereka setingkat.
Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu
kepandaian) akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan.
Sesungguhnya, Liang Gi Cinjin masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi
kakek ini cepat sekali memperoleh kemajuan sehingga tingkat mereka menjadi
seimbang dan perhubungan mereka yang amat erat itu melenyapkan sebutan suheng
dan sute. bagian 8 Alih Waris Pek-sim Kiam-hoat.
Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan
menggelengkan kepalanya. "Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang ini memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan
tidak mengingat akan keadaan rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya
untuk pembangunan besar-besaran, kini tentara kerajaan mulai dikerahkan untuk
menyerang daerah timur (Korea).
Koleksi Kang Zusi Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan
yang mulai timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah
bagaimana nanti jadinya dengan pemerintah ini."
"Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu," jawab Beng To Siansu,
"kalau sudah tiba masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah
kita memerintah anak murid kita untuk membantu pergerakan mulia itu."
Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka
tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan
berjalan seru sekali. Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke
barat ketika mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat
itu, berkelebatlah bayangan orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian
seorang pemuda yang cakap dan gagah berdiri di depan mereka.
Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang,
dipegang pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher
serta ekor terpegang oleh jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya
sama sekali. "Suhu, teecu telah kembali!" kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di
depan Beng To Siansu. Beng To Siansu menengok dan berkata girang, "Hm, Sian Lun, agaknya kau telah
berhasil menangkap pengacau itu."
"Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali."
"Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri
hormatlah dulu kepada susiokmu ini."
Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat
memberi hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin, "Maaf susiok, teecu tidak
tahu sehingga telah berlaku kurang hormat."
"Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!"
kata Liang Gi Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu.
Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun
telah berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak
sudah hewan piaraan para penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua
orang dusun telah tewas karena digigit dan disabet dengan ekornya.
Koleksi Kang Zusi Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap
ular itu. Sian Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil
mendapatkan ular itu melingkar di atas pohon, ia segera melompat dan menarik
ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke bawah.
Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan
mudah, tiap kali dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya
dan ia mencoba untuk membelit leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa
melepaskan kembali cekikan itu, karena ular itu benar-benar berbahaya.
Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang
kepala ular itu yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat
menangkap ular itu dan membawanya ke atas bukit.
Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin
menghela napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,
"Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus
dari padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang
cukup berharga untuk mewarisinya.
Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-
hoat lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat
dengan baik?" Kakek ini menghela napas lagi. "Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu
dengan seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan
lenyap dari muka bumi tanpa meninggalkan nama."
Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia
segera menganggukkan kepala dan berkata,
"Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi
sombong dan....." "Anak Goblok!" tiba-tiba suhunya membentak. "Hayo, kau lekas menghaturkan terima
kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu.
Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan
kehendak suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata
bahwa suhunya tidak merasa keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang
lain. Ia cepat-cepat menganggukan kepalanya di depan susioknya dan berkata,
"Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi
Koleksi Kang Zusi petunjuk kepada teecu yang bodoh."
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar
memancing ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu
mempelajari Pek-sim Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku
selama dua puluh jurus lebih. Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat
sampai lebih dari dua puluh jurus?"
Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar
dan sopan, mana ia berani menantang susioknya" Akan tetapi suhunya membentak
lagi, "Gagukah kau, Sian Lun" Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah
melatihmu bertahun-tahun" Tentu saja kau berani, bukan"
Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau
menyinggung perasaan susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang,
sebaliknya menyatakan tidak berani, ia takut suhunya akan marah. Maka ia diam
saja dan akhirnya tanpa berani memandang kepada suhu atau susioknya, ia berkata,
"Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh
jurus." Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan
ular itu dari tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular,
ia lalu melepaskan ular itu di atas tanah.
Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi
ketika hendak menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat
bergerak. Tentu saja, tanpa dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat
bergerak maju lagi. "Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!" kata Beng To
Siansu. Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil
berkata, "Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu
dibuktikan sekarang juga?"
"Siapa takut kau melanggar janji" Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh
jadi Liang Gi Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa.
Orang tua sudah pikun, takkan melanggar janji akan tetapi dapat lupa."
"Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak
diberi hidangan, bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba
muridmu ini kau tidak menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku
aku akan menganggap kau seorang tuan rumah yang pelit dan jahat sekali."
Koleksi Kang Zusi Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela
napas, "Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan
lupa, lekas potong ular itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu."
Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia
mengerti bahwa kakek tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen
bahwa pemuda itu menerima pelajaran ilmu pedangnya. Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-
san ini adalah seorang yang pantang makan daging, maka apabila kini
memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya, itu menandakan bahwa ia
sudah rela sekali. Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-
heran dan ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara
seperti anak kecil yang suka bermain-main dan bertengkar mulut.
Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya
amat keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh
makan daging). Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang
daging ular yang mengerikan ini ?"
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk banyak melamun.
"Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu
sampai dua puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit
saja orang yang sanggup menahan seranganku sampai dua puluh jurus !"
Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata, "Maaf,
teecu berlaku kurang hormat!" ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya.
Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-
kuda yang disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan
dengan kedua tangan di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua
pundak kakek itu dengan sikap menghormat.
Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan
memuji pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang
menyatakan bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita
hidup, senjata yang terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan
keadaan yang dihadapinya. Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah
dapat menyenangkan hati Liang Gi Cinjin.
Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu
saja kepada sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda
ini. Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda
ini dan ia percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk
Koleksi Kang Zusi dapat mempelajari ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat
menguasai seluruhnya, orang harus memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat
pemuda itu telah memasang kuda-kuda dan siap, ia lalu tersenyum dan berkata,
"Awas seranganku!" Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar
biasa cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan
cepat mengagetkan. Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan
tetapi dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya
dengan tiga macam pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main
cepatnya datangnya serangan ini sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan
cepat sekali. Kalau tidak memiliki ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah
menghadapi serangan yang sambung menyambung dan susul menyusul itu.
Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian
tinggi, akan tetapi yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan
lweekang dari Liang Gi Cinjin memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah
melatih diri dengan hebat dalam kepandaian ini, didorong oleh bakatnya yang luar
biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih kalah setingkat.
Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit
saja dari suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh
karena kalau saja kakek ini melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim
Ciang-hoat yang ternyata tidak berapa berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat
menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya.
Sian Lun menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa
hebatnya. Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik
menarik dan tangan kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh
dibilang bertentangan. Pemuda itu tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua
orang lawan yang berlainan caranya bersilat, merupakan dua macam Liang Gi
Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh keindahan, yang kedua bergaya kasar
dan cepat bagaikan seekor iblis mengamuk.
Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja
tidak tahu bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat
itu di bagian Im-yang-sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena
memerlukan latihan tenaga lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng.
Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal
ini dan melihat betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu
Koleksi Kang Zusi mengerutkan kening. Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu
silat ini tak perlu pemuda itu menjadi gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata
keras seperti orang bernyanyi.
"Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di
tengah-tengah, tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang,
itu barulah yang disebut Tiong-yong."
Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat
sekali dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong
berarti jejak, lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh
sesuatu, iman tetap tenang di tengah-tengah.
Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar. Memang otak
pemuda ini cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal
yang ditunjukkan kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu
rahasia penyerangan aneh ini, dan begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan
Yang, hampir ia berseru saking girangnya.
Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang
Menolak Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau
dipengaruhi oleh hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan
waspada, dengan kuda-kuda yang kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis
dengan pengerahan tenaga lweekang atau gwakang, sesuai dengan datangnya serangan
lawan. Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin
ini dapat digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,
Pertarungan Di Bukit Setan 2 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Jago Kelana 15