Pencarian

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 3

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


"Setan sayur (untuk menyindir Beng To Siansu yang selalu makan sayur), kau
sungguh terlalu membela muridmu."
Setelah berkata demikian, Liang Gi Cinjin lalu merobah lagi serangannya, tidak
lagi mainkan Im-yang-sin-ciang-hoat, melainkan menggunakan ginkangnya yang luar
biasa, bergerak cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar mengelilingi Sian
Lun. Lagi-lagi Beng To Siansu berkata seperti orang bernyanyi.
"Kalau Toa-su-siang-hong-wi (kedudukan empat penjuru) dijaga baik-baik, maling
yang bagaimana pandaipun takkan dapat masuk."
Memang tadinya Sian Lun selalu mengikuti gerakan lawannya, mengerahkan
ginkangnya. Akan tetapi oleh karena Liang Gi Cinjin kedudukannya di luar dan dia
di dalam, maka dia harus berputar lebih cepat lagi dan karenanya kedudukannya
menjadi lemah dan kepalanya pening.
Mendengar ucapan suhunya ini, Sian Lun lalu teringat akan penjagaan diri yang
amat Koleksi Kang Zusi praktis, yakni ia menjaga kedudukan empat penjuru, dengan demikian, tanpa
bersusah payah memutar-mutar diri mengikuti gerakan penyerang, ia dapat menjaga
diri dengan baik sehingga ketika jurus ke dua puluh lewat, ia tetap dapat
berdiri tak terkalahkan. Liang Gi Cinjin melompat keluar dari kalangan pertandingan, lalu menuding ke
arah Beng To Siansu dan berkata sambil tertawa,
"Kakek curang! Kau telah membela muridmu!"
Beng To Siansu tersenyum, "Aku ingin sekali Sian Lun menerima warisanmu
mempelajari Pek-sim Kiam-hoat yang luar biasa, maka aku khawatir kalau-kalau kau
lupa diri dan merobohkannya. Bukankah sayang sekali?"
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. "Dasar pemakan rumput! Lupakah kau bahwa orang
yang menguji kekauatan cawan araknya takkan membanting sampai hancur cawannya
itu" Aku suka anak ini dan tanpa kau membelanya, aku tak sampai hati untuk
mengalahkannya. Ha, ha, ha, aku gembira sekali, kini aku dapat mati dengan mata
meram, ilmu pedangku yang buruk sudah ada ahli warisnya, dan kalau toh kelak
dicemarkan, yang rusak namanya bukan aku, melainkan Beng To Siansu. Ha, ha!"
Akan tetapi ketawanya lenyap seketika setelah ia melihat Sian Lun menjatuhkan
diri berlutut di depan kakinya, sambil berkata, "Suhu teecu berterima kasih atas
budimu yang besar." "Apa....... " Siapa yang menjadi suhumu" Siapa yang menerimamu menjadi muridku?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dan kini Beng To Siansu yang tertawa
besar. "Ha, ha, ha! Coba sekarang kau bilang, apakah kau masih bisa melepaskan tanggung
jawabmu" Bukankah Sian Lun telah menjadi muridmu" Ha, ha, ha!"
Dengan mata terbelalak, Liang Gi Cinjin membanting-banting kakinya. "Dasar guru
dan muridnya sama, sudah bersekongkol. Sudahlah, Sian Lun, lekas kau panggang
daging ular itu baik-baik. Jangan dibuang kepalanya, aku paling suka itu. Dan
ekornya untuk kau, mengerti ?"
Sian Lun menjadi bingung. Telah bertahun-tahun ia tidak makan daging seperti
suhunya, bagaimana sekarang ia harus makan. Akan tetapi keheranannya lenyap dan
ia bahkan merasa girang dan lega ketika Beng To Siansu berkata,
"Ketahuilah, Sian Lun. Ular ini bukanlah ular sembarangan, akan tetapi ular
pohon yang jarang terdapat. Daging ular ini mengandung daya yang luar biasa
sekali baik untuk membersihkan darah, menghangatkan perut dan menguatkan
jantung. Daging ular ini dimakan orang yang mengerti bukan karena enak, akan
tetapi dimakan sebagai semacam obat kuat.
Koleksi Kang Zusi Kepalanya amat baik untuk orang tua sehingga Liang Gi Cinjin gurumu ini makan
kepalanya mungkin dengan maksud agar usianya menjadi sepanjang mungkin.
Adapun ekornya itu adalah semacam obat kuat yang keras sekali, baik untuk orang-
orang muda!" Tahulah kini Sian Lun mengapa suhunya suka ikut makan, karena suhunya dulu
pernah berkata ketika melarang ia makan daging.
"Sesungguhnya makan daging mahluk bernyawa dengan maksud hanya untuk memuaskan
selera mulut, termasuk perbuatan yang tidak sesuai dengan alam. Lain lagi halnya
tubuh, sehingga kita memakannya bukan dengan maksud memuaskan lidah akan tetapi
dengan maksud yang lebih luas dan baik dari pada itu."
Sehabis makan Liang Gi Cinjin lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh, "Sian
Lun, karena kau telah mengangkat aku sebagai gurumu yang kedua, maka kau harus
menurut segala peraturan yang kuadakan."
"Memang demikianlah seharusnya," Beng To Siansu menyambung sambil bangkit
berdiri. "Nah, Sian Lun, sekarang aku serahkan kau kepada sahabat baikku ini
untuk dididik. Belajarlah baik-baik, dan jangan menyia-nyiakan waktu." Kakek ini
lalu masuk ke dalam goa untuk bersamadhi, meninggalkan mereka berdua di luar
goa. Liang Gi Cinjin lalu menceritakan tentang Pek-sim-kauw dan bahwa sesungguhnya ia
tidak mau menerima seorang murid yang tidak menjadi pendeta Pek-sim-kauw. Akan
tetapi oleh karena ia tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik,
maka kini ia memilih Sian Lun sebagai ahli warisnya.
"Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira
yang gagah dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak
berbakat untuk menjadi seorang pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak
terjangmu, kau harus selalu ingat kepada hati putih, yakni hatimu sendiri.
Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka
jalan hidupmu takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya
lebih rendah daripada tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara
tua. Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih
pandai dalam hal ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan
mentaati nasehat mereka." Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-
nama kelima orang muridnya, pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-kauw.
Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau
dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun
mempelajari dengan penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan
dan bakat yang amat baik, maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat Koleksi Kang
Zusi dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini membuat Liang Gi Cinjin menjadi
girang sekali. "Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang
Pek-sim Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya."
Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua
kepandaiannya kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-
jurus ilmu silat itu di luar kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal
betul-betul jalannya Pek-sim Kiam-hoat dan Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih
dan menyempurnakan gerakan-gerakannya saja.
Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu. "Aku harus
turun gunung," katanya kepada sahabat baik ini, "siapa tahu kalau-kalau terjadi
perobahan hebat di dunia ramai. Setan sayur, terima kasih atas segala
kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu memberi kesempatan kepadaku untuk
meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang patut menerimanya."
Dan kepada Sian Lun ia berkata, "Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik
sampai setahun, setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu
dengan aku dijaga oleh kelima orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau
mundur menghadapi segala rintangan untuk bertemu dengan aku."
Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian
Lun berlatih dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta
murid tunggalnya inipun membantunya memberi petunjuk-petunjuk.
****** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba
kembali di kota Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar
tentang permusuhan antara pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis
wanita yang disebut Toat-beng Mo-li. Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan
menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan kepada para muridnya untuk menjaga
tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada orang muda yang hendak bertemu
dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya tanpa banyak cakap.
"Akan tetapi jangan main keroyok," ia berpesan, "sungguh amat memalukan kalau
murid-muridku mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua
orang wanita dari hutan itu!"
Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin
sebenarnya menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan
lima orang pendeta itu untuk menguji kepandaian Sian Lun.
Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-
jaga Koleksi Kang Zusi untuk menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah
berjanji hendak datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar
mereka ini, yang pertama-tama datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling
Ling dan ibunya. bagian 9 Batu Ujian Pek-sim Ngo-lojin
Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja
kelima Pek-sim Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah
dua orang wanita cantik dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah
Liem Sui Giok dan puterinya Kwee Ling Ling atau yang sudah biasa disebut Ling
Ling saja. Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan
gardu pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua
dijaga oleh Pek Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek
Hong Ji dan yang terakhir atau yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi
Cinjin tinggal, dijaga oleh murid pertama, yakni Pek Im Ji.
Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-
pendeta tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar
dan luas itu, telah dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang
mengeroyok, hanya diharuskan memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain
agar dapat bersiap siaga.
Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan
kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang.
"Anakku," katanya, "biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta
Pek-sim-kauw, akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu
telah ditebus oleh tiga orang musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar
lunas. Tak perlu kita membunuh orang-orang lain dan kedatangan kita ini hanya untuk
memenuhi janji, satu persoalan kehormatan. Pendeta-pendeta ini memang jahat,
akan tetapi sebelum kita membuktikan kejahatan mereka, tak perlu kita membunuh
orang." Koleksi Kang Zusi Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana
terdapat sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ,
bersila sambil meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah
mengetahui akan kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran
yang amat terlatih dan tajam.
"He, orang Pek-sim-kauw!" Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan
khikangnya sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu. "Kami
telah datang, keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama,
jangan berlaku pengecut main keroyokan!"
Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri
dihadapan Ling Ling dan Sui Giok dengan gagah.
"Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?" tanyanya
dengan suara lantang. "Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi
Cinjin, ketuamu maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan
tunjukkanlah di mana adanya gurumu itu!" kata Ling Ling.
"Sukar!" kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala. "Jalan untuk menemui suhu
memang melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin
kau dapat masuk sebelum Pek Te Ji kau kalahkan."
"Bagus," teriak Ling Ling marah. "Kau mau main keroyok lagi" Tidak malukah Liang
Gi Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?"
"Jangan sembarangan membuka mulut!" kata Pek Te Ji. "Siapa yang mau
mengeroyokmu" Asal saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu.
Ketahuilah bahwa jalan masuk ke tempat suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan
kau harus dapat mengalahkan kami dulu seorang demi seorang dan menurut syarat-
syarat yang kami tentukan dalam pertandingan."
"Boleh, boleh ! Siapa takut menghadapai pendeta palsu ?" tantang Ling Ling
dengan tabah. "Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam
ciang-hoat (ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku."
Koleksi Kang Zusi "Hm, begitukah?" Ling Ling tersenyum kepada ibunya, "Ibu, ternyata pendeta-
pendeta Pek-sim-kauw tidak securang yang kita duga!" Kemudian ia berkata kepada
Pek Te Ji. "Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku
melelahkan diri turun tangan" Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu
menotokmu) yang kau pamerkan kepada ibu dahulu itu!"
Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan
pendeta ini dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa
sehingga ia dahulu tidak dapat membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya
kini pendeta ini hendak mengandalkan totokannya yang lihai.
Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan
bajunya, lalu berkata, "Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah
aku takluk kepadamu!" Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di
susul oleh tangan kirinya. Melihat betapa tangan pendeta itu menyerang dengan
jari-jari terkepal, kecuali jari telunjuk yang dibuka lurus ke depan untuk
menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali.
Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai
sekali. Juga angin serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang
kanan menotok dengan keras, yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan
demikian sebaliknya. Ia maklum akan bahayanya ilmu totokan macam ini.
Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul
totokan tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil
mengerahkan ilmu menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang
berlawanan sama sekali secara bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena
totokan pendeta ini, akan celakalah dia.
Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan
tubuhnya, mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya,
kemudian iapun membalas dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat
keturunan keluarga Kam, memang terdapat ilmu totok yang cukup lihai, semacam
Coat-meh-hoat (ilmu totokan cabang Bu-tong-pai) yang dilakukan dengan dua jari
tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.
Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat
kepandaian Liem Sui Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih
kalah jauh. Hal ini harus diakuinya ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia
sudah menjadi pening Koleksi Kang Zusi
karena tubuh gadis cantik itu seakan-akan merupakan seekor burung walet yang
gesit sekali, yang berterbangan mengelilinginya.
Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu " Tubuh lawannya sukar diikuti
dengan pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang
membutuhkan ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah
tertentu. Belum juga dua puluh jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya
menjadi kabur. "Sudah cukup?" Ling Ling mengejek. "Nah, kau rebahlah!"
Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-
hiat lawannya. Pek Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya
totokan ini, yang apabila mengenai tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi
kaku. Cepat ia mengerahkan khikangnya dan menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang,
karena totokan membuat kaku pada jalan darah tai-twi-hiat ini termasuk serangan
Yang. Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri
Ling Ling tertolak oleh tenaga khikangnya, jari tangan kanan gadis itu dengan
kecepatan yang tak terduga-duga telah menotok pundaknya dengan mengambil jalan
darah thian-hu-hiat. Inilah serangan dengan tenaga Im dan seketika itu juga
tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri lagi dan robohlah ia ke bawah
dengan lemas bagaikan sehelai kain.
Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siasat Im dan Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling
Ling. Gadis ini memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu
dapat mempergunakannya untuk merobohkan lawan.
Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan
penolakan segala macam serangan "tiam-hoat", maka ia lalu meniru lawannya itu
dan melakukan serangan yang berlawanan pada saat yang sama. Berkat kecepatan
gerakannya, maka ia dapat menipu Pek Te Ji yang kini rebah di tanah tanpa dapat
bergerak, hanya kedua matanya saja memandang dengan penuh penyesalan atas
kebodohannya sendiri. Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus,
menuju ke dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji
menantikan kedatangan mereka. Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya
saling pandang sambil tersenyum karena mereka mengenal pendeta ini yang dulu
pernah pula bertempur dengan mereka.
Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek
Thian Koleksi Kang Zusi Ji telah memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu
penjagaannya, sebanyak tiga puluh enam buah. Patok-patok itu ditancapkan di atas
tanah, agaknya secara sembarangan saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-
patok ini merupakan barisan yang berbentuk pat-kwa dan dipasang menurut
perhitungan yang masak. Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki,
tepat untuk pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-
lompat. Melihat kecilnya patok dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk
dapat bersilat di atas patok-patok ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang
tinggi. Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri
dengan satu kaki di atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua
tangannya bertolak pinggang. Ia menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan
kata-kata tidak ramah. "Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama,
akan tetapi aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis
wanita yang jahat itu. Kalian telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian
telah dapat melalui suteku. Nah, jangan banyak membuang waktu lagi, kalau ada
kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan aku!"
Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan
Ling Ling maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan
pengetahuannya tentang patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis
ini telah memiliki ginkang yang tidak kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam
hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali lipat. Tentu saja ia tidak takut
menghadapi pendeta itu di atas patok.
Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan
tetapi oleh karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu
saja pendeta itu lebih hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling
dan puterinya itu tersenyum manis.
Ling Ling lalu melompat sambil berkata, "Pendeta sombong, siapa takut menghadapi
patok-patokmu yang bobrok ini?" Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia
sengaja melompat ke atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh
yang disebut tenaga Jian-kin-cui (Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu
terinjak oleh kaki kirinya, patok bambu ini melesak ke bawah sampai rata dengan
tanah. Dari sini ia melompat ke patok keempat, membuatnya rata dengan tanah,
lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang patok sehingga akhirnya patok-
patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak enam kaki.
Koleksi Kang Zusi "Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!" Ling Ling berkata dan sebagai
lanjutan kata-kata ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua
tangannya diulur kearah pundak Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain.
Kini keduanya harus mengerahkan tenaga ginkang seluruhnya karena untuk bertempur
sambil berlompatan dari patok ke patok yang jauhnya enam kaki, bukan hal yang
amat mudah dilakukan. Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita
ini lihai sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan
betapa hebatnya tenaga lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya
diratakan tinggal separohnya, maka rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan
boleh dibilang keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan
ginkang. Akan tetapi Pek Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan
hebat pula. Pertandingan ini benar-benar seru dan indah ditonton.
Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu
dengan yang lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat
dan saling serang di tengah udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas
patok lain. Demikianlah mereka saling sambar bagaikan sepasang burung berkelahi,
mengandalkan ginkang sepenuhnya, karena sekali saja kaki meleset menginjak
patok, berarti yang terpeleset ini akan dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun
ginkang mereka hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih
lincah dan gesit, hal ini karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling
Ling mengeluarkan ilmu silat Kim-gan-liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang
dilakukan dengan pukulan, cengkeraman, dan tangkapan.
Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan
melompat pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram
pergelangan tangan Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa
lengannya sakit sekali dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk membetot
lengannya, Ling Ling sudah mendahuluinya turun dan berdiri di atas sebuah patok,
kemudian gadis ini berseru keras sambil melontarkan tubuh pendeta yang tangannya
masih dipegangnya itu keluar dari lingkungan patok.
Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang
diinjak oleh Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan
tetapi tubuh pendeta itu terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah.
Bukan main hebatnya kepandaian meringankan tubuh dari Pek Thian Ji.
Koleksi Kang Zusi Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia
memekik keras dan tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di
udara dan dengan gerakan kaki tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung,
ia dapat mengatur tubuhnya dan kini ia melayang kembali ke bawah, tepat di atas
patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya,
adalah Ling Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan
pertunjukkan ginkang yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa
ilmu ginkang dari Pek Thian Ji ini hebat sekali.
Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum
pendeta itu dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang
sambil mengeluarkan serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-
hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok paling pinggir, tentu saja sukar baginya
untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan hebat ini dan untuk menjaga
dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai seperti iblis ini,
terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia
mengaku sambil menjura. "Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!"
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai
merasa khawatir dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw
ini. Baru dua orang saja sudah sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada
tiga orang lain yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi.
Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling,
maka ahli lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang,
sukarlah baginya untuk dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia
telah bersiap menghadapi gadis itu dalam pertandingan tenaga lweekang.
Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada
jarak satu tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia
menyambut kedatangan Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
"Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu
aku tidak suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba
mendorongku roboh dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja
dan siapa yang turun dari batu, ia terhitung kalah!"
Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling
merasakan pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa
pendeta ini tentu akan mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya
dari atas Koleksi Kang Zusi
batu. Pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa
besarnya itu tidak perlu memukul dari dekat.
Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin
pukulan saja sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat
dibayangkan betapa berbahayanya menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu
tombak, dengan berdiri di atas sebuah batu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis
gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau menolak.
"Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!" kata Sui Giok kepada
puterinya, karena nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh
pukulan lawan yang lihai. Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok
sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga dalam hal ginkang, ia sudah kalah
setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini agaknya tidak berada di
sebelah bawah tingkat Ling Ling.
Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang
menghadapi lawan tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya
dihadapan lawan, ia merasa malu. Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.
"Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!"
Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali, "Jangan khawatir, aku
mempunyai akal untuk mengalahkannya!"
Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas
batu menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,
"Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?"
"Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang
yang hanya kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah,
silahkan kau mencoba untuk menurunkan aku dari batu ini!"
Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas
dan ke bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi
berkerotokan dan kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa
seluruh tenaga telah berkumpul di kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan
mata mencorong ke arah Sui Giok, lalu mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat
tenaga, memukul dengan tenaga Thai-lek-kim-kong-jiu.
Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan
tetapi nyonya ini cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan
dengan kedua lengannya ke arah lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan "Dewi
Mendorong Batang pohon", mengumpulkan tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh
lawannya. Inilah yang ia katakan sebagai akalnya untuk mengalahkan lawan.
Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja
ia Koleksi Kang Zusi terkena tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya
pukulan Sui Giok dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan
tetapi, ahli lweekeh ini mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan
menyambar, tubuhnya hanya menjadi miring saja, tidak sampai terdorong roboh.
Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah
berhasil, akan tetapi siapa kira lawannya demikian kuat sehingga dapat
mempertahankan pukulannya yang dapat merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek
Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok sehingga nyonya ini cepat melompat
ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas dengan pukulan dari atas.
Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak,
adalah pendeta itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul
roboh. Bahkan ia lalu mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar
bagi Sui Giok untuk mengelak di atas batu yang tidak berapa luas itu. Hampir
saja nyonya ini terpukul roboh dan hanya masih dapat menjaga keseimbangan
badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari samping untuk menolak dan
mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa
kali ini ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati
berdebar. Akan tetapi, Sui Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah
banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam Nio, di samping kesukaannya membaca buku-
buku ketika dulu ia masih berada dengan suaminya. Banyak buku-buku ilmu perang
dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh akal.
Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-
benar tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak
dipergunakan dan kini peluh telah memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
"Pendeta busuk, kau rebahlah!" Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong
dengan gerak tipu "Dewi Mendorong Batang Pohon" lawannya seperti tadi, akan
tetapi pukulkannya ini bukan ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke
arah batu besar yang diinjak Pek Yang Ji.
Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena
dorongannya tak dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang.
Serangan seperti ini sama sekali tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga
pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia lalu melompat turun kalau tidak mau
ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.
Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok
Koleksi Kang Zusi sambil berkata, "Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol
tertipu! Aku mengaku kalah." Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini
telah menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri
sambil memeramkan mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali,
ternyata pendeta itu telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling
Ling telah membimbing tangannya.
"Ibu, kau hebat sekali!" gadis itu memuji, "Kalau tadi aku yang maju, belum
tentu aku dapat mengalahkan pendeta yang kuat itu."
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi
Cinjin dangan wajah pucat.
"Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-
suhu!" Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia
melambaikan tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, ?"Pergilah keluar
dan biarkan orang yang menang sampai ke sini!" Kakek yang sakti ini lalu duduk
bersila dan dengan hati gembira ia mengira bahwa "orang yang datang" itu
tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang baru.
Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek
Hong Ji. Murid kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia
memiliki kepandaian melepas senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih
Teratai Putih). Begitu berhadapan dengan Ling Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
"Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata
rahasiaku!" Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang
senjata rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia
akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka
tidak mempunyai senjata rahasia" Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang
gesit, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi itu bukan berarti menang.
Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. "Totiang,
senjata rahasia hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia
curang, maka kata-katamu tadi amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang
pendeta dengan hatinya yang putih tega hati untuk melakukan serangan kepada
orang lain secara menggelap" Bukankah itu perbuatan curang yang termasuk
perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?"
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang Koleksi
Kang Zusi mengejeknya tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
"Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?"
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, "Siapa takut menghadapi senjata
rahasiamu" Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur.
Majulah dan berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu
dengan kaki dan kepalan tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata gelap seperti kau. Aku tidak sudi berlaku seperti monyet yang tidak
berani melawan manusia secara jujur, melainkan naik ke atas pohon dan melempari
manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!"
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik
ini. "Bocah bermulut jahat!" teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas
tanah. "Apa kau kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?"
Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan tangan kosong.
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia
lalu menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus
menghadapi lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata
rahasianya. bagian 10 Pesan Terakhir Kakak Angkat.
Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya
Pek-sim-ciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini
sepenuhnya, agaknya takkan mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan
tetapi seperti juga empat orang saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan
bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.
Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji
dan dua adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin
berdesir sedangkan gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia
mempunyai variasi lebih banyak dari pada adik-adiknya.
Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat
lengan. Tidak hanya sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung
lengan bajunya ikut menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Koleksi Kang Zusi Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat
menang. Hal ini diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati
berdebar. Akan tetapi, menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang
amat berat. Ilmu silat keturunan dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat
yang luar biasa kuatnya, apalagi ilmu silat Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main
hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling Ling sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-
akan gadis ini mempunyai enam buah tangan.
Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling
berhasil mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak
tipu "Harimau Sakti Menubruk Bulan", kedua tangannya dengan jari-jari terbuka
menyerang ke arah kepala Ling Ling, sedangkan dua ujung lengan bajunya yang
panjang meluncur ke arah leher gadis itu, melakukan totokan dari kanan kiri.
Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi
Ling Ling yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia
merendahkan tubuhnya sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya
dan dengan gerak cepat, kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah
ujung lengan baju itu."
"Brett!!" ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang,
ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling
Ling dan kini robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
"Hebat, hebat!" kata pendeta itu sambil menghela napas. "Kau cukup pandai untuk
menghadapi twa-suheng, nona!" Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas
kemurahan hati Ling Ling, oleh karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan
bajunya yang robek, akan tetapi bagian lain yang berbahaya dari tubuhnya.
Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
"Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!"
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir
oleh karena dapat menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih
lihai lagi. Pada saat itu mereka telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di
situ telah menanti Pek Im Ji yang berdiri dengan gagah sambil memegang pedang.
Koleksi Kang Zusi "Totiang," kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, "belum cukupkah kami
mengalahkan empat orang saudaramu" Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar
agar dapat bertemu dengan kami."
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan
memandang kagum. "Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat
mengalahkan empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh
suhu untuk menjaga di sini, maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan
harap akan dapat bertemu dengan suhu. Aku telah mendengar bahwa kalian orang-
orang yang dijuluki iblis wanita di lembah sungai Cialing, dan mengapakah kalian
masih mendesak terus kepada kami" Suhu telah menganggap habis urusan dengan
kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit" Seandainya kalian bisa
menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?"
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, "Totiang, kau keliru. Kami datang
bukan hendak berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang
tua itu masih merasa penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang
kami, terpaksa kami takkan mundur demi membela kebenaran.
Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami
hendak mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk
minta pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan,
dan kami takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau
mundurlah dan biarkan kami bertemu dengan suhumu."
"Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di
sini" Tidak bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!" pendeta itu berkeras.
"Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!" Sui Giok lalu mencabut pedangnya
dan sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.
Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi
Cinjin, "Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis
wanita itu bertempur melawan twa-suhu!"
Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya "iblis wanita", "Apa
katamu" Siapa yang datang?" "Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw."
"Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?"
"Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!"
Koleksi Kang Zusi Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat
betapa muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu
pedang yang dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang
cantik jelita. Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan
dapat menang, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. "Ibu, silakan mundur,
biar anak yang memberi rasa kepada pendeta ini!"
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat
mundur, digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya
Pek Im Ji merasa terkejut sekali.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang
dimainkan oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan
lebih aneh gerakannya. Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar
pedang di tangan Ling Ling.
Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut
sedikit terbuka. Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia
memandang dengan penuh perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-
gan-liong-kiam-hoat dengan kening berkerut. Tidak salahkah penglihatannya"
Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan "cam" (melibat) dan dilanjutkan dengan
gerakan "coan" (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali
ia berseru keras sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan
melompat mundur sedangkan pedangnya terpental ke atas udara.
"Bagus sekali!" Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini
menyambut pedang Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang
pedang itu ia menyerang Ling Ling sambil berkata, "Hayo ulangi lagi gerakan Kim-
gan-liong-jio-cu (Naga Mata Emas merebut Mustika) tadi!"
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama
gerakannya yang telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat
gerakan serangan pedang kakek ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi
Cinjin. Gerakan pedangnya demikian hebat dan kuat.
Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di
kalangan kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin
dianggap sebagai tokoh tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe,
namun kini kakek itu telah menyerangnya.
Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi,
ia berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar
Koleksi Kang Zusi biasa sekali, biarpun dengan cara yang berbeda.
Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel,
memutar dan mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar
biasa beradu dan terdengar suara nyaring sekali.
"Traaang.....! Krek!!" Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan
tetapi pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
"Ha, ha, ha!" Liang Gi Cinjin tertawa. "Tak salah lagi......! Eh, nona, apakah
kau seorang she Kam?"
"Bukan," jawab Ling Ling, "teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang
Gi Cinjin yang terhormat?"
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. "Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah
mewarisi ilmu pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah
ke dalam, aku ada pembicaraan penting sekali!"
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa
gadis itu bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil
tertawa-tawa senang seakan-akan bertemu dengan seorang kawan lama.
Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling
merasa heran, sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek
ini benar-benar aneh baginya.
Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras
dan marah, "Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat,
pusaka dari sahabat baikku Kam Kok Han itu!"
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami
dari Bu Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Liang Gi Cinjin.
"Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan
tetapi sekali-kali bukan dengan jalan mencuri." Sui Giok lalu menuturkan bahwa
dia dan puterinya menerima pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda
Panglima Kam Kok Han. Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, "Jadi demikianlah kalian
dapat mewarisi kepandaian itu" Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku
yang bernasib malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia.
Syukurlah, kau mempunyai bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli
waris sahabatku Kam Kok Han yang malang. Dan di manakah adanya bini muda
sahabatku itu" Apakah dia masih hidup?"
Koleksi Kang Zusi Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio
yang dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
"Locianpwe," kata Ling Ling, "sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak
mengetahui hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid
locianpwe, sesungguhnya adalah Bu Lam Nio itulah!"
"Apa......!" Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk
di atas bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak
muridnya, akan tetapi apa hendak dikata" Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan
salah pihak murid-muridnya.
"Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan
menyeramkan keadaannya?"
Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu
mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. "Kasihan sekali wanita itu,"
katanya, "akan tetapi sudahlah. Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena
salah mengerti. Akan tetapi, yang amat mengecewakan hatiku adalah keadaanmu,
terutama sekali puterimu yang masih muda ini. Ilmu silat keluarga Kam adalah
ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar besar yang rela
mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus disesalkan
bahwa ilmu silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali
tentang kepahlawanan. Kalian menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh orang-orang
disebut iblis-iblis wanita, bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga
Kam" Negara sedang kacau balau, rakyat sedang sengsara mengalami penindasan dari
kaisar yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela rakyat" Rakyat di mana-mana
sedang bergerak untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan menakut-nakuti
rakyat" Ah, sayang sekali, kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok Han,
tentu ia dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada
di tangan seorang bocah perempuan yang masih hijau, bodoh dan bisanya hanya
marah-marah saja." Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit
berdiri dan berkata dengan mata terbelalak,
"Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau
memaki-makiku sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah" Apa kau kira
hanya orang-orang laki seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan
bangsa" Apakah kau kira hanya kalian saja yang telah merasai kesengsaraan akibat
kelaliman kaisar" Aku sendiri, bersama ibuku ini, telah menjadi korban
"kelaliman kaisar"! Aku sendiri akan mengambil kepala kaisar! Kau dengar ini"
Aku akan Koleksi Kang Zusi
mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik kembali omonganmu tadi, kalau
tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan pada suatu hari aku
pasti akan membuat perhitungan denganmu!"
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak
berdiri dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi
kaget, malu, dan tidak enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan
tetapi, ia tersenyum puas dan dari kedua matanya menitik air mata.
"Kau" Kau hendak mengambil kepala kaisar" Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut
besar! Menarik kembali omonganku" Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu
tadi! Kalau sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-
benar pendekar, barulah aku orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi!
Ha, ha, ha!" Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang
berikut sarungnya, lalu berkata.
"Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang
sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar" Nah, terimalah pedang ini.
Aku mau bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama
Pek-hong-kiam, dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh
Kam Kok Han dan yang lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan
baru aku percaya kalau tercium olehku darah kaisar pada pedang ini!"
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa
pedang itu adalah pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas
oleh pembunuh Kam Kok Han sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu
dulu berpesan agar supaya Ling Ling mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam,
karena pedang ini adalah pedang Kam Kok Han yang dirampas oleh pembunuhnya
sehingga siapa saja yang memegang pedang Oei-hong-kiam tentu mempunyai hubungan
dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata,
"Baiklah kita sama lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan
pedang ini sebagai bukti, dan kau orang tua harus menarik kembali omonganmu yang
amat menghina!" Setelah berkata demikian, Ling Ling memegang tangan ibunya dan
membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita
ini berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri,
"Mudah-mudahan ia berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan ...... belum
tentu Koleksi Kang Zusi kalah baik oleh Sian Lun!" Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu. "alangkah baiknya, alangkah cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya
akan dapat melewati masa kacau ini dengan selamat sehingga akan tercapai
maksudku!" Ucapan ini adalah akibat dari pikiran kakek itu yang melihat betapa
baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis tadi dengan Sian Lun.
****** Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin
dan Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk
melampiaskan nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan
sengsara. Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama
pemberontakan timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin
balatentara menyerang Korea. Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis
sajak yang membongkar semua keburukan pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin
barisan pemberontak yang terdiri dari para petani di pegunungan Cingpai di
propinsi Santung. Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah
pemberontakan yang besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin
meluas sehingga mereka mulai menduduki kota-kota dan dusun-dusun.
Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di
Honan. Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-
kelompok ini seringkali kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi
mereka ini makin lama makin besar jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan
lain. Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang
dipimpin oleh Li Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin
pasukan pemberontak yang besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong
pasukan kerajaan yang hendak menyerang barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah,
mulai ada kerja sama antara barisan pemberontak sehingga tentara kerajaan dapat
dipukul di sana sini. Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi,
yang memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang
tentara Sui di Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak
yang dipimpin oleh orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni
menumbangkan pemerintah korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te
yang lalim. Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni
Koleksi Kang Zusi jenderal kerajaan Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka
dengan pemerintahan Kaisar Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan
di Taigoan dan ia memimpin ratusan ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-
an. Hal ini terjadi pada tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota
Taigoan. Liem Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa
itu, adalah seorang panglima kepercayaan Li Goan.
Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi
perhubungan mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-
mengunjungi dan dalam segala hal mereka sependapat.
Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal
Li Goan dan panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan
berpemandangan luas. Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini
memanggil Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting.
Ketika Liem Siang Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya
dan menutup semua pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap
rahasia ini, dan ia tidak merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu
berbicara. "Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari
pemerintah Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga
terhadap semua nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya
bahkan mendengarkan hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat
diperas habis-habisan, dan selagi keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan
melakukan penyerangan mati-matian ke utara!"
Liem Siang Hong menarik napas panjang. "Memang hal ini amat buruk dan patut
disesalkan, Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat
dilakukan oleh orang-orang militer seperti kita" Kita hanya menanti perintah,
dan para menteri dorna yang lemah itu bahkan berkuasa untuk memegang kendali
pemerintahan, mengatur segala urusan dengan maksud memenuhi kantong sendiri.
Sungguh menyebalkan!"
"Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak
memegang jabatan sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi
kenyataan dengan pikiran tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh
barisan tentara asing, serahkanlah kepada kita yang akan menghancurkan mereka
atau mengorbankan nyawa dalam perang. Akan tetapi, jangan menyuruh aku melakukan
penyembelian terhadap tentara pemberontak yang sesungguhnya adalah rakyat jelata
Koleksi Kang Zusi yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki para menteri dorna berikut
kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku mengendalikan nafsu
agar jangan ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak menghadap kaisar
dan memberi nasihat terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku, menarik
mundur barisan dari timur dan memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan
memihak kepada pemberontak!"
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. "Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe.
Untuk memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat
sendiri. Biarlah aku yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan
kepada kaisar." Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, "Saudaraku,
tahukah kau betapa bahayanya tugas ini?"
"Tentu saja aku tahu!" jawab panglima itu dengan gagah. "Akan tetapi, perasaan
takut merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!"
"Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang
mewakiliku menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah,
saudaraku! Bukan aku tidak berani menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja
aku terkena malapetaka dari para dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin
pasukan-pasukan untuk menyerbu dan meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu"
Kau berangkatlah, bawalah surat nasehatku kepada kaisar dan jangan khawatir, aku
telah siap dengan seluruh anak buahku. Kalau ada yang berani mengganggu selembar
rambutmu di kotaraja, aku bersumpah untuk mengganti kerugian dengan menduduki
Tiang-an dan membasmi para dorna!"
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu
pulang ke rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan
rahasia ini kepada isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa
rindu kepada puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng
To Siansu. "Isteriku!" katanya pada malam hari itu, "besok pagi aku akan pergi melakukan
tugas pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan.
Akan tetapi mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini
dan siapa tahu kalau di kota inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku
kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu dan aku belum kembali, kau mintalah
tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau berada dalam keadaan yang
membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah kepada saudara kita
Kwee Siong. Koleksi Kang Zusi Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan anakmu sebagai keluarga
sendiri!" Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika
bertanya. "Suamiku, mengapa kau berkata demikian" Seakan-akan kau berpamit untuk
pulang ke alam baka saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?"
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan
tersenyum untuk membikin tenang hati isterinya. "Soal mati hidup, siapa yang
tahu" Aku hanya bicara sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu
perkembangan keadaan yang makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau
aku mati, akan tetapi misalnya kalau perjalananku ini menjadi terputus oleh
kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita terpisah jauh. Nah, kepada Kwee Siong
dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat berlindung."
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira,
berangkatlah Liem Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah
berhasil menghadap kaisar dan menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang
isinya mengecam pedas kepada Kaisar, mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya
kaisar suka insaf dan jangan menuruti bujukan dan hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira
yang mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada
adik angkatnya ini ia memberi surat.
Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu
dan alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi
singkat. Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam
perkara ini. Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada
kaisar dan karena isi surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu
dilebihkan apabila aku mungkin takkan kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para
pembesar dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Koleksi Kang Zusi Selamat Tinggal. Kakakmu, Liem Siang Hong Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak
angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, "menasehati" kaisar merupakan
pantangan besar bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar
jujur yang menasehati kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya
satulah hukuman bagi mereka yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman
mati. Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem
Siang Hong untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang
baru berusia sembilan tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
bagian 11 Penyerangan Kotaraja Tiang-an.
Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada
kaisar, kaisar ini dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan
pada saat itu juga Liem Siang Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini,
bersama Kwee Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali
ke Tai-goan. Ketika mendengar bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi
marah sekli dan menyuruh para pengawal mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan
empat orang perwira itu telah jatuh dan tidak dapat dikejar lagi.
Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya
tak tertahan lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem
Siang Hong. "Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah
kemasukkan iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja
betapa tak lama lagi aku akan menghancur leburkan Tiang-an!"
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan
rakyat jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu
balatentara menyerbu Tiang-an.
Koleksi Kang Zusi ****** Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha
menggulingkan pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti
perjalanan Liem Sian Lun, putera tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai
seorang patriot bangsa yang gagah perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu
silat yang diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun
mendapat izin dari Beng To Siansu untuk turun gunung.
"Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin
sebagaimana telah ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik
dan melihat keadaan dunia di sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir,
kerajaan yang sekarang telah mendekati keruntuhannya dan sepanjang
pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan hebat. Ayahmu adalah
seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan ayahmu. Kemudian
sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus kau berhati-
hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangkatlah.
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-
san dan langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah
perkumpulan Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang
besar dan banyak, terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak
takut karena selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang
ingatannya semua pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah
dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak
sekali pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi
semua pendeta ini seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan
melangkah terus. Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima
orang pendeta tua yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah
jalan, lalu seorang di antara mereka bertanya garang.
"Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?"
Koleksi Kang Zusi Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang
sudah mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini
tentulah lima orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat
memberi hormat dan menjawab,
"Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang
Gi Cinjin." Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat
penasaran dan marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga
hari yang lalu. Mereka masih merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena
mereka telah mendapat marah dan teguran, akan tetapi suhu mereka masih memesan
agar supaya mereka menjaga di tempat penjagaan masing-masing dan menyerang orang
yang ingin menghadap Liang Gi Cinjin.
"Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu
kepandaiannya, akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu
sehingga kalian menanam permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin
kalian menguji kepandaiannya saja."
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima
orang pendeta itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini
setelah saling pandang dengan kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut
pedang dan berkatalah Pek Thian Ji yang galak.
"Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat
mengalahkan pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk
mengganggu suhu!" Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk
menghadapi ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid
gurunya ini nampak galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu
mencabut keluar pedang pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di
depan dada, ia berkata. "Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!"
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah
mereka dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan
main kaget dan herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang
dimainkan oleh pemuda tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-
hoat. Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain,
mungkin pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang
Koleksi Kang Zusi lihai itu. Akan tetapi Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sim-kiam-hoat yang baru mereka miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah
mewarisi sepenuhnya, maka tentu saja Sian Lun dapat melayani mereka dengan baik
sekali. Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit
dan paling lihai sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih
menyelimuti tubuh kelima pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi
terkejut dan bingung sekali.
Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun
memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan
keras sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas
dari pegangan dan terlempar jauh.
Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya
suhu mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian
hebatnya. "Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?" Pek Im Ji berseru sambil memandang
tajam. Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut
menghadap ke kiri sambil berseru,
"Suhu ......!" Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang
Gi Cinjin telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula
betapa tajam pemandangan mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari
pada mereka yang tidak mengetahui bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat
mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula dihadapan Liang Gi Cinjin.
"Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini.
Baiknya kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di
dunia ini masih banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa
pemuda ini adalah muridku sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang
jauh lebih berhasil dalam mempelajari ilmu silat daripada kalian berlima."
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
"Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!"
"Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih
dulu." Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar
merasa puas dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda
Koleksi Kang Zusi ini. Ia lalu mengajak semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi
Cinjin kepada Sian Lun, "Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah
mulai ada pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut
pendengaranku, jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau
pulanglah dan coba kau perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat.
Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah orangnya yang patut kita bantu."
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua
anggauta Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka
membantu pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang
lalim dan kejam. Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang
muridnya itu. Sian Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan
kelima orang pendeta itu lalu berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di
berbagai kota. Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan
yang besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan
menumbangkan pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.
Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan
tetapi, baru saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit
sekali dan tahu-tahu Liang Gi Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat
memberi hormat kepada gurunya ini sambil memandang heran.
"Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku
memberitahukan ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku
ini. Aku telah bertemu dengan seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali
dan ia adalah ahli waris dari seorang yang dulu amat kuhormati. Ia telah
mewarisi ilmu silat dari sahabatku, Panglima Besar Kam Kok Han dan tentang ilmu
pedangnya, mungkin hanya dia yang akan dapat menghadapi Pek-sim-kiam-hoat.
Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah timbul niat dalam hatiku
untuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah kepadamu dan
kepada orang tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar bahwa
gadis itu adalah ahli waris Panglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti
ia akan setuju juga. Nah, puaslah hatiku telah menyampaikan hal ini kepadamu,
muridku. Ketahuilah bahwa aku telah memberikan pedangku Pek-hong-kiam kepadanya,
maka mudah saja kau mengenalnya apabila kau melihat pedangnya."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat
Koleksi Kang Zusi pergi. Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali
melihat sikap suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini
mempunyai watak yang luar biasa anehnya.
Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat
mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada
di daerah mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana
menjadi panas sekali. Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia
mempercepat perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan
mendengar bahwa kini Tai-goan sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah
mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota raja.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah
keluarganya, ia melihat di depan tergantung kain putih dan di ruangan depan
nampak duduk banyak sekali tamu. Ibunya sedang bersembahyang, menyembayangi meja
tanpa ada peti matinya. Sian Lun melompat maju dan memeluk ibunya.
"Ibu....., ada apakah...." Siapa.... siapa yang ....?" Nyonya yang sedang
menangis itu menengok dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil
menangis tersedu-sedu. Di antara tangis dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan
kepada anaknya betapa Liem Siang Hong telah dihukum mati oleh kaisar.
Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata
bercucuran ia berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan
pandangan semua mata yang berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan
menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar
jahat itu." "Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan
dari mulut dari pada dilaksanakan!" terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah
tangan yang amat kuat memegang pundaknya.
Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah
mengerahkan tenaga menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan
ratus kati beratnya. Ia cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini
dan dengan gerakan pundak yang gesit ia berhasil melepaskan pundaknya lalu
bangun berdiri. Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang
panglima, seperti pakaian ayahnya dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu
Koleksi Kang Zusi sedang berhadapan dengan siapa.
"Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li)," kata ibunya.
Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan
Jenderal Li Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di
seluruh daratan Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air
matanya, karena dihadapan seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air
mata. Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti
oleh Nyonya Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka
berada di dalam, ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang
terkemuka, yakni pemimpin daripada pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li
Goan. Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang
merundingkan tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee
Siong, yang segera menyambut dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata
juga. Sian Lun amat terharu dan girang melihat pamannya yang amat dikasihinya
itu berada pula di tempat itu.
"Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan
melihat keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang
paling boleh dihandalkan tenaganya!" kata jenderal itu kepada semua orang yang
hadir. "Kita amat membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah
bahagia rasa hatiku bisa mendapat bantuannya?"
"Aku akan membantu sekuat tenaga!" kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat.
"Kalau perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!" sambungnya sambil
menghadapi jenderal yang gagah itu.
Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh
kedatangan Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan
oleh mendiang panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena
dihukum oleh kaisar. "Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an,"
katanya. "Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk
membendung barisan-barisan petani yang sedang membanjir dari segala jurusan.
Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba, tidak akan sukar bagi kita untuk
merebut dan menguasai Tiang-an.
Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan
ini lalu memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk
Koleksi Kang Zusi menyerbu Tiang-an dari dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang
menyerbu dari selatan akan dipimpin sendiri, adapun yang dari barat akan
diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk dipimpin.
Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan
sebagai hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para
tawanan. Orang she Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur,
dipercayai untuk membujuk para tawanan sehingga mereka itu mau tunduk dan
membantu perjuangan mereka.
Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah.
Juga Kwee Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta
sendiri yang menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai
hakim tertinggi. "Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee
berhak untuk menangkap dan mengadili!" kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua
orang setuju sekali dan demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan
ribu orang jumlahnya itu dikerahkan, lalu bagaikan air bah barisan ini menuju
Tiang-an. Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat
ini makin bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan
membantu perjuangan ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para
sukarelawan ini banyak terdapat pendeta-pendeta Pek-sim-kauw.
Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang
dekat dengan keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat,
mereka di antar oleh keluarga mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee
Siong, dan Kwee Cun yang masih kecil.
"Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!" kata Kwee
Cun dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,
"Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!"
Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong
yang sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar
isteri dan anaknya tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.
Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan
kerajaan di kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-
pecah untuk memadamkan pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-
pasukan yang kecil jumlahnya saja yang melakukan perlawanan terhadap barisan
yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan oleh Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan
Koleksi Kang Zusi kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian besar ditawan dan bahkan ada
yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan pemberontak.
Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah
tiba di luar tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan
yang besar juga jumlahnya dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh
seorang panglima berkuda putih yang tinggi besar. Panglima yang bertubuh seperti
seorang raksasa itu duduk di atas kudanya dan suaranya seperti geluduk ketika ia
menantang, "Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi
tentara dibawah pimpinanku?" Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan
memutar pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan
terdengar suara nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.
Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum.
Pamglima itu benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.
"Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?" tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk
di atas kuda, di sebelahnya.
"Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun
Giok. Ia dulu mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-
hatilah, Sian Lun. Ia amat gagah dan berkepandaian tinggi," jawab Kwee Siong
sambil mengerutkan kening. Memang ia sudah mendengar nama jenderal muda ini yang
benar-benar amat terkenal gagah perkasa tak terlawan.
Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia
menudingkan pedangnya dan membentak keras.
"Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi
anugerah kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri
dengan pemberontak. Mana anjing tua Li Goan" Suruh dia maju dan lekas berlutut
minta ampun untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!"
"Kwan Sun Giok!" Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju
menghadapi panglima itu. "Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin
sengsara rakyat tidak patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol
dan buta agaknya hanya mabok oleh kesenangan dan harta benda kotor yang
diberikan oleh kaisar kepadamu. Tahukah kau harta benda siapa yang menyenangkan
hidupmu" Keringat dan darah rakyatlah yang kaupergunakan untuk berfoya-foya
setiap hari bersama seluruh pembesar-pembesar jahat. Untuk menghadapi orang
macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju, cukup dengan pedangku saja!"
Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua
matanya dan memandang kepada Sian Lun.
Koleksi Kang Zusi "Siapa kau?" tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang
ditungganggi oleh Sian Lun. "Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala
serdadu pemberontak. Suruh pemimpin barisan ini maju!"
"Akulah pemimpinnya," jawab pemuda itu.
"Kau.......!?" Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak,
ia tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak.
"Ha, ha, ha, ha! Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut
menghadapi aku dan menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!"
"Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu
saja!" kata Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian
Lun tidak dapat menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak
mau memperlihatkan kelemahannya dan bahkan menantang.
"Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau
memang gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan
kita!" "Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap
kalah saja!" jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.
Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah
berdiri di atas tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-
benar tinggi besar. Akan tetapi sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan
berpesan kepada Kwee Siong agar supaya jangan menggerakkan tentara lebih dulu
sebelum selesai pertandingan ini.
"Bocah yang masih ingusan!" Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.
"Bersiaplah untuk terima binasa!" Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan
dengan pedangnya. Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selain pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga
lawannya benar-benar hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan
tusukan pedangnya ke arah perut lawannya.
Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini,
maka ia cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang
lawan. Akan tetapi Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan
tajamnya pedang lawan yang mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia
tidak mau mengadu senjata.
Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara
bertubi-tubi. Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat,
Koleksi Kang Zusi lebar dan cepat gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan
menyambar kurbannya. Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan. Tak disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini
memiliki ilmu pedang yang demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu
membentak nyaring dan mainkan ilmu-ilmu pedang yang banyak dipelajarinya.
Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari
banyak macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-
lim-pai. Sayang sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak
sebuahpun dari pada ilmu-ilmu pedang itu ia pelajari sampai sempurna.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu
singkat. Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar,
akan tetapi terutama sekali karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya
dengan pokiam (pedang mustika) lawan.
Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim
serangan-serangan dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga
mengeluarkan ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To
Siansu. Akan tetapi ternyata bahwa jenderal itupun mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-
hoat, maka dapat mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan ilmu pedang
Pek-sim-kiam-hoat yang benar-benar hebat dan belum dikenal oleh jenderal ini.
Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun,
Jenderal Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.
"Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat
ilmu pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan
siapa pula gurumu?" Sian Lun tersenyum mengejek. "Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang
Pek-sim-kiam-hoat" Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa
aku adalah murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian Lun!"
bagian 12 Hukuman Perajurit Perampok.
Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang
Gi Cinjin, maka ia cepat berkata,
Koleksi Kang Zusi "Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang
Hwat Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!"
Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu
mempunyai seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat
Cinjin. Akan tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya
menjawab keras, "Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita
berselisih. Kalau kau dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-
sama melenyapkan kaisar lalim dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku
untuk mempercayai omonganmu tadi."
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu
kepada semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi
kepada Sian Lun dengan sekuat tenaga.
Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah
kepada para perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang
hebat sekali itu terpaksa ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi
akibatnya membuat Sian Lun merasa terkejut sekali karena terdengar bunyi keras
dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus menjadi dua.
"Ha, ha, ha! Mampuslah kau!" Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara
ketawanya ini ditutup oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan
gerak tipu Raja Monyet Merebut Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-
lun-pai yang paling tinggi. Gerakannya yang amat cepat itu tidak tersangka sama
sekali oleh lawannya sehingga tahu-tahu tangan kirinya telah merampas pedang
lawan sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan yang tepat mengenai ulu hati
Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan tubuh Kwan Sun Giok yang
tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh terjengkang dalam
keadaan mati dan dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh
korban. Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu
mempergunakan pedang rampasannya tadi mengamuk bagaikan naga sakti Koleksi Kang
Zusi menyambar. Baru segebrakan saja, lima orang perwira musuh telah ronoh mandi
darah. Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya
dan melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas
sebuah tempat yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil
berseru keras. "Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat
jelata, tentu sudah maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi
kalian, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan
kekuasaan raja yang sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi
pembela rakyat! Yang menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap
berkeras kepala membela raja lalim pasti akan mampus di ujung pedangku!"
Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya
terdengar keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini
amat berpengaruh, karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan
perlawanan mereka. Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan
pemuda yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak
yang roboh, sebagian besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata
dan berlutut menyerah. Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka
yang ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi penjagaannya.
Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang
ringan, dan hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang
disebut kuat, adalah barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami
perlawanan yang amat gigih daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu
gerbang kota raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan,
yakni barisan-barisan kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia,
dan Wong. Tiga pasukan yang besar jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas
pembersihan di bagian timur dan melihat pergerakan barisan pemberontak dari
Taigoan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini
Koleksi Kang Zusi adalah panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat
maupun dalam ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini,
terutama sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar
sekali ditahan. Banyak perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan
tiga orang panglima musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan
desakan tiga orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan
tombaknya luar biasa kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh
sekali, sedangkan Wong Pak memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai
main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga
orang panglima kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru
itupun mengadakan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang
menghadapi Cia Soan Kun dan Wong Pak berseru keras dan roboh mandi darah menjadi
korban senjata lawan. Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali
bahwa Jenderal Li Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu
silatnya. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya
terlindung oleh gulungan sinar pedang dan tidak mudahlah bagi tiga orang
pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara
kerajaan roboh bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk
menggerakkan pedang dan menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan
Ling Ling. Yang lebih menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam
di tangan, ia merupakan halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun
lagi. Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat
pakaian tiga orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok
itu adalah panglima-panglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada
anaknya. "Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!"
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat
itu, dan membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
"Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!" teriak Song Kian Hi sambil
menyambut serbuan Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini
Jenderal Li Goan hanya menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran Koleksi
Kang Zusi menjadi lebih ramai lagi, akan tetapi kini keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga
panglima itu, namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak
berdaya. Belum juga dua puluh jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah
berhasil membabat putus ujung tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat
dan tak terduga, pedang Pek-hong-kiam telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga
roboh terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau
kalah dan ia mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun
juga memekik keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat
putus. "Terima kasih, jiwi lihiap!" kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena
ketiganya harus bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan.
Akan tetapi kini perlawanan pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi.
Kemudian nampak Jenderal Li Goan dengan gagahnya melompat ke tempat tinggi
sambil memegang rambut dari tiga kepala orang yang sudah putus lehernya.
"Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!" teriakannya
keras sekali karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika
balatentara kerajaan berikut para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini
tergantung pada tangan jenderal besar itu adalah kepala tiga orang panglima,
pemimpin mereka, semua orang menjadi ketakutan. Ada yang melarikan diri, ada
yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah
untuk menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana
ke mari hendak mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa
kedua orang wanita gagah itu telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan
masih sibuk menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat
mencurahkan perhatiannya kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia
memimpin tentaranya masuk ke dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga
tembok benteng dan mendobrak pintu gerbangnya.
Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian
Lun juga berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak
sorai yang ramai sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan
mudahnya barisan penjaga kaisar dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya
menyerbu istana kaisar. Akan tetapi ternyata bahwa siang-siang kaisar telah
Koleksi Kang Zusi melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji
pemuda itu atas hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat
dirampas dari tangan Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan
menerima dan memeriksa pedang itu, terkejutlah dia,
"Aah.......! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar
Kam Kok Han yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan.
Pedang ini patut sekali dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena
ia menjadi lambang kegagahan dan kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan
memeras rakyat akan kupenggal lehernya!" Sambil berkata demikian, Jenderal Li
Goan lalu menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning
yang menyilaukan mata. Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh
sekali memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian
Lun, pemuda itu lalu menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima
pula sebilah pedang pusaka, yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang
diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang Jenderal Li Goan.
Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah
diangkatnya menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi
perintah, "Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan,
Pendekar Mata Keranjang 2 Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Telur Mata Setan 3
^