Pencarian

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 5

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


"Biarlah, ambillah...... kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh
paman Kwee." "Kau perduli apa dengan segala niatku" Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri
dan mari kita lanjutkan pertempuran kita!"
Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya. "Kau serang dan bunuhlah aku kalau
kau mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa
ada alasannya. Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang
tidak melawan." Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan
menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang
muda itu duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur
mati-matian. Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa
mulai terasa dingin. Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya.
"Hendak ke manakah, nona?"
"Ke mana lagi" Tentu ke Tiang-an!" jawaban ini terdengar penuh tantangan.
"Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari."
"Apa maksudmu?"
"Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan
rawa-rawa yang amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup
rumput dan merupakan perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak
sekali terdapat binatang-binatang berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui
tempat itu di waktu malam!"
Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel.
Apalagi yang mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi
musuhnya, pemuda yang "dibencinya", tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati
nasehatnya. Ia teringat akan daerah berawa ini, karena dulu ia pernah lewat di
daerah ini. Koleksi Kang Zusi "Aku tidak takut!" katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari
hutan itu, tibalah ia di daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan
menyeramkan. Matahari telah lenyap, terganti oleh malam yang remang-remang,
dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang di sana-sini, seperti raksasa-
raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman.
Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari
jauh, nampak sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya.
Ia terkejut, akan tetapi setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai
bayangan Sian Lun. Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya
yang takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam
malam yang menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu
seperti Sian Lun sekalipun.
Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa
gemas. Ia ingin berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam
daerah yang demikian berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang
luas di depannya itu belum tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos
ke dalam rawa yang tertutup rumput, akan celakalah dia.
Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa
mengeluarkan sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan
berkeliaran di daerah menyeramkan itu.
"Gadis bandel!" tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol
sekali. Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap.
Telah berkali-kali ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini
ia merasa girang dapat membalas dendam dan membuat Sian Lun marah dan
mendongkol. Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan
liku-liku jalan di situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan
tetapi ia diam saja dan hanya menurut ke mana Ling Ling memilih jalan. Ia maklum
bahwa gadis itu telah tersasar dan salah jalan, akan tetapi ia diam saja.
Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman
tempat itu, belum juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-
tiba Ling Ling menahan kakinya dan melompat mundur. Hampir saja ia celaka,
karena ketika kakinya menyentuh rumput di depannya, ternyata bahwa di bawah
rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku hati-hati, kalau tidak tentu ia
akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya.
Koleksi Kang Zusi Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan,
akan tetapi baru beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke
kiri tidak mungkin, karena di sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk
kembali" Ah, bagaimana ia harus kembali melalui jalan tadi yang demikian jauhnya" Ia
berdiri termenung dengan bingung.
"Kita telah salah jalan," kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi
mengandung kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu.
Ling Ling cemberut. "Kau sudah tahu dari tadi?"
"Tentu saja aku tahu," jawab pemuda itu.
"Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja" Mengapa kau membiarkan kita
tersesat ke jalan buntu ini?"
"Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya" Biarlah, gadis
kepala batu seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran."
"Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku" Kau pergilah dan biarkan
aku sendiri!" Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan.
Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun
kering dan memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya
daun dan ranting itu di situ lalu ia membuat api unggun.
"Pergi!" seru Ling Ling. "Mengapa kau tidak mau pergi" Aku tidak ingin
ditemani!" "Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja
boleh bermalam di sini. Kau suruh aku pergi ke mana" Kembali ke jalan tadi,
mungkin akan tersasar ke tempat yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak
jauh dari sini terdapat daerah yang penuh dengan ular-ular kecil berbisa"
Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil yang tiba-tiba menyerang kakimu dari
dalam gelap" Sekali saja kena gigitan seekor ular itu, tubuh kita akan menjadi
kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana aku harus pergi"
Aku akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah dapat kita
keluar dari neraka ini."
Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu.
Padahal cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali
Ling Ling duduk di bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi
dan ia memandang kepada pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai
bernyala. Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam
saja dan agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih
berani memandang dan menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan
yang agak gelap ini, sinar mata gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu
menikam Koleksi Kang Zusi
pandang matanya. "Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?" tanya Sian Lun
kemudian. "Ya," jawab Ling Ling singkat.
"Jadi kau she Kam?"
"Bukan," kembali jawaban yang singkat sekali.
Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang
menarik perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan
telah mengeras dalam rendaman air pengalaman yang pahit getir.
Siapakah dia ini" Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong" Betapapun juga, ia
seorang gadis patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi.
Buktinya, gadis yang pernah bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di
dalam perjuangan bahkan menjadi pemimpin pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal
dan ditakuti musuh. "Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah shemu?"
Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia
teringat bahwa pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri
Kwee Siong. Ia tidak mau pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee
Siong, maka ia lalu menutup kembali bibinya yang sudah hampir digerakkan.
"Nona, mengapa kau diam saja" Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?"
setelah menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.
"Sudahlah, jangan banyak tanya," akhirnya Ling Ling menjawab juga, "aku lelah
dan mengantuk, hendak tidur!" Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan
hendak pergi menjauhkan diri dari tempat itu.
"Eh, nona, mengapa pergi" Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat
api unggun. Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin
berdekatan dengan aku."
Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata, "Aku tidak biasa tidur dalam
terang api. Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!"
"Mana bisa dipadamkan" Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu
kita. Dan pula, hawa malam begini dingin." Sian Lun membantah.
Ling Ling membanting-banting kakinya. "Kalau begitu, mengapa kau menawarkan
tempat itu kepadaku" Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras
kepala!" Gadis ini dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke
jalan tadi, kemudian merebahkan diri di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari
tempat Sian Lun. Koleksi Kang Zusi Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke
arahnya. Akan tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan
segera duduk bersandar ke pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah
mantelnya. Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu, .....aneh, galak,
akan tetapi amat manis dan menarik hati........
****** Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia
hampir tak dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang
mengganggunya. Ia telah menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah
rawa itu benar-benar bandel.
Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya
menjadi sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu
untuk membuat api unggun seperti Sian Lun.
Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam
tanpa memberi tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah
mendahuluinya dan datang mendekatinya.
"Enak tidur?" tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar
pertanyaan ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda
itu betapa ia menderita gangguan nyamuk" Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga
Sian Lun tidak tidur malam itu, sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan
tetapi gangguan hati sendiri yang mulai jatuh cinta kepadanya."
"Kau yang enak tidur!" jawabnya mendongkol. "Bagaimana aku dapat tidur di tempat
seperti neraka ini?"
"Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-
kataku, tentu kau tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-
jalan di sini dan percayalah, aku akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan
kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau sudah sampai di kota itu."
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda
itu ketika Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu. Mereka berjalan
kembali ke jalan yang kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian
Lun yang menjadi penunjuk jalan.
Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap
dipandang karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di
sepanjang jalan mereka tidak pernah, atau jarang sekali bicara.
Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-
Koleksi Kang Zusi kadang pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya
kepada Sian Lun. Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau
menyatakan kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang
oleh bisa gigitan nyamuk-nyamuk malam tadi.
Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang
melihat betapa gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.
"Kita beristirahat dulu dan mengisi perut."
"Aku tidak ingin makan!" bantah Ling Ling.
"Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan
lelah. Kau pun nampak lelah, mengapa berkeras kepala?"
"Kau yang keras kepala!" kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti
pemuda itu yang melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.
"Dua bubur, bebek tim dan air teh." Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang
menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk
menyediakan pesanannya. "Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!" Ling Ling membantah. "Aku
ingin daging dan arak!"
"Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona.
Kesehatanmu bisa terganggu."
Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak
makin cantik dan menarik kalau sedang marah.
"Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu" Aku mau daging dan
arak!" kata Ling Ling.
"Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?"
kata Sian Lun berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat
para tamu restoran yang duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil
tersenyum-senyum. Mereka disangka sepasang suami isteri yang sedang bertengkar.
Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.
"Aku tidak sudi makan pesananmu!" bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak
menjawab. Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa
berkata sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap
dari pada Sian Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia
tidak memperlihatkan perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan
untuk menambah bubur. Koleksi Kang Zusi Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya
menjadi segar kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan
pemuda itu. Ia tahu bahwa permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya
timbul dari hatinya yang keras, karena sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum
arak yang membuatnya pening dan merasa muak.
Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran,
berdiri seorang tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang
muda itu memandang dengan mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-
senyum memandang kepada mereka, seakan-akan sedang menyelidik.
Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang
tergantung di pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat
dialihkan dan kini menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat
gadis itu terkejut sekali, karena pandangan ini penuh dengan ancaman.
"Di mana kau peroleh pedang itu?" tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang
mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan
heran. "Mau apa kau banyak tanya?" jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras
dan nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini
telah mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema
keras. bagian 17 Kecintaan Liem-ciangkun. Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya
dan berkata, "Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya
bukan tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan" Ketahuilah bahwa Oei-
hong-kiam adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku.
Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan
pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana
kau memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?"


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi Kang Zusi "Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang," Sian Lun mendahuluinya
menjawab. Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling
mengeluarkan ucapan kasar, ia mendahuluinya.
Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap
wajah Sian Lun dengan tajam.
"Kau" Siapa kau" Darimana kau peroleh pedang itu?"
"Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas."
"Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok" Bagus, kau berani
sekali mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin" Kau mencari mampus!"
Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba
sepasang tangan tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar,
telah menyambarnya dengan kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan
ujung lengan baju ke arah jalan darahnya yang berbahaya.
Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa
kali, baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.
"Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!" Sambil berkata
demikian, kembali ia mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju.
Inilah pukulan Kim-kong-jiu yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah
pukulan yang dilakukan mengandalkan tenaga khikang yang amat tinggi.
Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali. Kalau benar
keterangan Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa
gurunya) sendiri, maka bagaimana ia berani melawannya" Ia tidak mengelak dari
sambaran pukulan Kim-kong-jiu itu.
Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak
terbuka, mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet
Menyembah Buddha. Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat
yang ia terima dari Liang Gi Cinjin dan karena telah lama pemuda ini mendapat
gemblengan ilmu lweekang dari Beng To Siansu, maka tenaga dalamnya sudah cukup
kuat sehingga ia berhasil menolak kembali pukulan Kim-kong-jiu itu.
Koleksi Kang Zusi Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu
dapat menolak pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu
menolak pukulan tadi. "He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi" Ada hubungan apakah
kau dengan suteku Liang Gi Cinjin?"
Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan
kesopanan antara hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia
lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin."
Liang Hwat Cinjin tertegun. "Apa" Kau murid dari Liang Gi" Dan kau yang membunuh
muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?"
"Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun
teecu membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak
ada hubungan antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan
teecu." "Bedebah!" tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan
semua orang yang mulai menonton pertengkaran itu. "Kau sudah berani membunuh
suhengmu sendiri, hendak kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?"
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang
tidak bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring. "Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan
pedang ini!" Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di
depan tosu itu untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa
menarik kembali tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan
mendongkol sekali. "Gadis liar, siapakah kau" Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-
kong Lo-koai (Setan Tua Sinar Mas)."
Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum
mengejek dan berkata, "Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Koleksi Kang
Zusi Pencabut Nyawa), mengapa harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah
hampir mampus. Kau bilang tadi bahwa pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu,
ternyata kau telah berkata bohong besar."
Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini.
Belum pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar
kepadanya. "Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?"
"Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang
pusaka milik Panglima Besar Kam Kok Han!"
Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut. "Hm, dari mana
kau tahu akan hal ini" Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam
pemberontakannya dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti
bahwa pedang Oei-hong-kiam menjadi pedangku?"
"Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam
sucouw (kakek guru)!" Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan
tusukan pedangnya. Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil
mengebutkan ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang,
terdengar suara gemericing nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling.
Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat
lihai dan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan
tetapi Ling Ling tentu saja tidak merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena
pada saat itu ia sedang merasa marah dan sakit hati sekali melihat orang yang
dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio.
Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk
membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan
mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.
"Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han" Bagus,
bagus, mari pinto antar kau menyusul sucouwmu si pemberontak itu!"
Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan
bajunya secara istimewa sekali. Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin
pukulan yang dahsyat, yang membuat pakaian para penonton yang berada di tempat
jauh ikut berkibar dan yang membuat Ling Ling merasa seakan-akan menghadapi
serangan angin ribut. Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak
Koleksi Kang Zusi terpengaruh oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya
terasa pedas dan hidungnya terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa
gerakan tosu yang lihai itu. Inilah ilmu silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat
lihai dari Liang Hwat Cinjin.
Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula
merobohkan panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang
dengan ilmu pukulan ini pula ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali
dan terdesak hebat. "Supek, jangan celakakan dia!" terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan
ketika supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling
nampak makin lama makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang
Pek-hong-kiam dan melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang
hebat itu. "Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini" Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik,
....baik! Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam
baka!" Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu
benar-benar hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan
kain yang tidak berapa tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang
yang tinggi dan menurut aturan dari ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu,
maka lengan baju itu merupakan senjata yang luar biasa berbahayanya.
Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-
pokiam dan Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus
bahkan tangan kedua orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka
bertemu dengan benda yang amat keras dan kuatnya.
Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang
tidak berani mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang
pertempuran itu amat indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung
sinar putih yang cepat dan kuat, sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah
menjadi segulung sinar kuning yang amat ganas.
Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-
awan putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh
ketiga orang itu tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah
seekor naga kuning dan seekor naga putih yang bermain-main di antara mega-mega
yang tertiup angin. Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang
Koleksi Kang Zusi Sian Lun. Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak
tahunya pemuda itu sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi
Cinjin. Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang
lawan mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua
lengan bajunya. Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah
membasahi jidatnya. Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan
seluruh tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan
terbakar. Hanya semangat dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat
ia masih kuat melakukan pertempuran hebat itu.
Pada saat itu terdengar seruan. "Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!" Dan
tiba-tiba seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat
bambu menyerbu dan menyerang Liang Hwat Cinjin.
"Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?" Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-
diam ia mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa
tak sanggup melawan terus. Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia
selalu dapat mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat
kepalanya pening dan sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka.
Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang
kepandaiannya tinggi juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga
orang ini. Biarpun tingkat kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada
kepandaian Ling Ling atau Sian Lun, namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam
pertempuran dan oleh karenanya bambu di tangannya itu tidak kalah lihainya dari
pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling Ling.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton, "Dia Liem-
ciangkun! Hayo keroyok tosu siluman itu!" Dan banyak orang datang dengan senjata di
tangan, siap mengeroyok Liang Hwat Cinjin.
Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak
yang mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke
Tiang-an. Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya
melompat cepat sekali dan lenyap dari pandangan mata.
Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut.
"Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu."
Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu
Koleksi Kang Zusi berkata, "Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit."
Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat
Ling Ling berdiri sambil meramkan mata.
Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya
terlepas dari tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-
cepat melompat dan memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak
buahnya sudah merubungnya dan di antaranya berkata,
"Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat."
Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling
Ling dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu
ternyata amat panas bagaikan api.
Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan
ilmu pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya,
pendeta ini lalu berkata perlahan,
"Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat
gigitan nyamuk berbisa!"
"Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu."
Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum. "Tidak apa, tak usah gelisah, ada
obatnya untuk penyakit ini." Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara
bekas anak buah Sian Lun untuk mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio
itu sendiri lalu pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli obat di toko obat.
"Penyakitnya tidak berbahaya," kata tosu itu kepada Sian Lun, "dengan rawatan
dan istirahat, kau beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh.
Siapakah nona ini dan mengapa pula kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai
yang lihai?" Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk
lalu berkata, "Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu,
Sian Lun." Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit
untuk melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang
perantau yang tiada tentu tempat tinggalnya.
Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari
kemudian setelah sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan
tetapi, ia merasa malu untuk memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak
marah-marah lagi kepada Sian Lun.
Koleksi Kang Zusi "Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?" hanya inilah
ucapannya ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri
memberi obat minum kepadanya.
"Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam
perjuangan. Kita boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita
melakukan perjalanan yang sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan
Liang Hwat Cinjin yang berbahaya. Mengapa aku tidak akan merawatmu" Tak usah
bicara tentang kebaikan, karena kalau aku yang tertimpa malapetaka, aku percaya
penuh bahwa kaupun takkan tega meninggalkan aku begitu saja."
"Belum tentu," kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini. "Aku,
......aku keras hati dan keras kepala."
Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala
kepada gadis itu. "Apa kau kira aku tidak keras kepala" Kita sama saja, nona, dan ..... haruskah
kita bersikap seperti orang yang belum saling mengenal" Tak enak sekali
mendengar kau menyebut ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang
panglima, akan tetapi di luar barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa
saja." Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk
menyembunyikan mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata
mengucur deras dari sepasang mata gadis itu.
"Nona...... Ling Ling..... kau mengapakah?" bisiknya perlahan.
Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang
sudah meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya, orang yang sesungguhnya akan
menjadi orang satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia
berlindung, akan tetapi, ayahnya telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan
menjadi anak tiri. Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang
memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya
telah meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri
tiada orang lain yang dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan
perawatan yang demikian baiknya dari seorang yang "dibencinya" !"
Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan
penuh perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini
dia menangis terisak-isak dengan hati serasa diperas-peras.
"Kau..... kau terlalu baik padaku..... Liem-ciangkun, keluarlah...... keluarlah,
tinggalkan aku sendiri....." tangis Ling Ling menjadi-jadi.
Koleksi Kang Zusi "Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona." Sian Lun mendekatinya sambil


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang mangkok berisi obat.
"Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun ......
Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis
ini. "Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio
ke sini." Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar
dan memanggil nyonya Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan
ia segera masuk ke dalam kamar gadis itu.
"Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh."
Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini. "Terima
kasih enci, kau benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu."
"Hush, mengapa bicara tentang budi" Kalau mau bicara tentang budi, kau harus
ingat kepada Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan,
lupa tidur mengkhawatirkan keadaanmu."
Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang. "Benarkah,
enci?" "Mengapa tidak benar" Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar
kamarmu, selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau
beruntung sekali mempunyai seorang calon suami seperti dia, nona."
Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi
cepat ditahannya. Apa gunanya membantah" Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah
calon isteri Sian Lun, apa salahnya"
Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun,
dengan seorang pemuda yang dibencinya" Tak mungkin seorang pemuda yang telah
menduduki pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang
kepercayaan Jenderal Li, sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia. Hatinya
makin terasa perih, Sian Lun merawatnya tentu bukan karena cinta kasih,
melainkan karena iba hati, terdorong oleh kebaikan budi pemuda itu.
Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam
itu. Kalau saja Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai
puteri Kwee Siong, akan lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah
dari pada pemuda itu. Pikiran ini membuat hatinya panas dan kemarahan serta
kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap.
Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak
diketahui pula oleh Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling
Ling Koleksi Kang Zusi meninggalkan rumah keluarga Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.
Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu
tentang larinya Ling Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari
mengejar. Akan tetapi, ia telah kalah dulu selama setengah malam, maka ia
mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang aneh, gadis yang berhati keras,
yang manis dan yang dicintainya itu.
****** Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling
telah sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam
hari itu, makin lama ia merasa makin sehat dan segar.
Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama
berbaring dan kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang
semenjak kecil digembleng dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja
tenaganya telah pulih kembali, sungguhpun ia masih merasa lemah pada kaki dan
punggungnya. Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur
pernapasannya dan melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia
menjadi berduka. Entah mengapa, ia merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika
ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu.
Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada
Sian Lun, akan tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang
diri, ia merasa rindu dan ingin sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya.
Inikah yang disebut cinta?" Ia sendiri tidak mengerti, apakah ia merasa cinta
atau benci kepada pemuda itu.
Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia
tiba di luar kota Tiang-an. Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman
hawanya, makan sedikit bubur dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an.
Akan tetapi, malam telah tiba dan kembali Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di
mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang kosong.
Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan
sekitarnya, dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan
di belakang kelenteng terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya.
Tempat yang amat indah, pikirnya dengan hati senang. Akan senanglah ia kalau
tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota Tiang-an dan tak jauh dari
hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih.
Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan
niatnya membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.
Koleksi Kang Zusi "Ling Ling......."
Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian
Lun berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.
"Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku....?" Pemuda ini nampak pucat sekali
karena memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat
berjalan cepat-cepat karena ia harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-
kalau ada orang yang melihat gadis itu.
Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an.
Siapa tahu kalau gadis itu mengambil jalan lain" Karena itulah, maka ia baru
dapat menyusul gadis itu pada pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau
gadis yang baru saja sembuh dari sakit itu akan jatuh sakit pula di tengah
jalan. "Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?" Ling Ling menjawab dengan pertanyaan
sambil menundukkan mukanya.
"Ling Ling, mengapa kau lari dariku" Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri
dari padaku" Sudah sembuh benarkah engkau" Kau nampak begitu kurus dan
lemah ....." Sian Lun melangkah maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan
gadis itu. Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang
tangannya dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin
sekali. "Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau
memaksa melakukan perjalanan dan pergi di malam hari" Aku benar-benar
gelisah....." "Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku..... aku sebatangkara, pergi
ke mana aku suka, bagaikan seekor burung di udara..... jangan kau acuhkan aku
lagi, Liem-ciangkun."
Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi.
Ia memegang kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.
"Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?"
"Apa.....?" Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun
ia telah dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio
tentang rawatan pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu
sendiri, ia menjadi terkejut juga.
"Memang, aku mencintamu, Ling Ling," kata Sian Lun dengan ketetapan seorang
perajurit, biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat
mengalir dari jidatnya di pagi hari yang dingin itu. "Aku sendiri tadinya tidak
mengira Koleksi Kang Zusi
sama sekali, kukira hanya karena kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan
tetapi malam kemarin .... pada pagi harinya ketika aku mendengar bahwa kau telah
pergi meninggalkanku ..... aku yakin bahwa aku takkan dapat hidup bahagia tanpa
kau disampingku!" bagian 18 Ayah, Lelaki Gagah dan Budiman.
Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia
menangis terisak-isak. "Ling Ling......." Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak
memeluknya, akan tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas
dari pegangan Sian Lun dan gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
"Tidak, tidak...... jangan sentuh aku....!"
"Ling Ling....." kata Sian Lun dengan suara sedih, "kau bilang bahwa kau hidup
sebatangkara ...... tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku"
Dia orang baik, Ling Ling, ibuku amat baik dan tentu kau akan suka sekali
kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu sendiri."
"Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan
aku...... aku seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai......
siluman, sebagai iblis wanita! Tahukah kau aku siapa?"
"Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita......
dan......" "Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing
Mo-li, Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak
mengenal prikemanusiaan!"
"Mereka itu bohong!" kata Sian Lun dengan sengit, "Akan kutampar mulut setiap
orang yang berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima
cintaku.....?" "Tidak, tidak mungkin......"
Apakah kau membenciku" Dan..... tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di
dalam hatimu terhadapku?" pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga
kini gadis Koleksi Kang Zusi
itu menutupi mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat
menjawab. "Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku."
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan
yang berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian
Lun merasa betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang
yang menembus hatinya. "Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku" Mengapa?"
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja.
Satu perobahan" Akan tetapi ia harus menjawab.
"Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling," ia menatap gadis itu dari kepala sampai
ke kaki, "entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu,
hidung atau mulutmu, mungkin pula kakimu ..... ah, aku tidak tahu. Mungkin pula
watakmu yang keras, atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang
marah, kau nampak makin menarik dalam pandangan mataku."
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling,
membuatnya menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara
pemuda itu, ingin ia mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama
hidupnya. Akan tetapi ia memaksa diri merenggutkan semangatnya yang sudah
terayun oleh gelombang rayuan ini.
"Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk
menjadi jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari
dan membunuh Kwee Siong pamanmu?"
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya
menjadi pucat seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu.
Sesungguhnya Sian Lun menjadi limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak.
Kata-kata ini merupakan suara halilintar di siang hari yang menggugahnya dari
mimpi indah. Bagaikan air dingin yang diguyurkan di atas kepala seorang yang
mengantuk. "Ling Ling ......... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku ...... ! Sakit hati
apakah yang membuatmu demikian kejam terhadap paman " Katakanlah, urusan apakah
yang menyakitkan hatimu, yang diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu ?"
Koleksi Kang Zusi "Kau tak perlu tahu ! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu
bahwa aku harus membunuh orang she Kwee itu !" Setelah berkata demikian, Ling
Ling memutar tubuh dan berdiri membelakangi Sian Lun.
"Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini " Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon
padamu, jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling
Ling, jangan kau mengganggu dia !" Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan
gadis itu. "Bodoh ! Lemah !" tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun
mengangkat kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang
tubuh Ling Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan
tetapi, Ling Ling telah mencabut pedangnya dan berkata menantang,
"Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan
pedang!" Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.
"Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi.
Kalau kau mau, kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika
aku melihat engkau mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku
harus mati di tanganmu." Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus
dengan amat cepatnya, mendahului gadis itu menuju Tiang-an.
Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan
menjaga keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu,
ia akan menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting
untuk dibalaskan. Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri
betapa ibunya hidup bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki
iblis wanita, sama sekali tidak diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki
pangkat tinggi dan hidup bersenang-senang dengan isteri dan puteranya yang baru.
Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis ini lalu berlari cepat menuju ke
kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan.
****** Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari
sakitnya dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu
berwajah muram dan seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya,
Koleksi Kang Zusi akan tetapi sia-sia. Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan
apabila ia teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan
kasihan. Ia dapat membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya
yang terpisah darinya di dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua.
Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai
lama, bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara
angkatnya, yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun.
Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai
bahagia, tiba-tiba saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan
puterinya. Alangkah malang nasibnya, alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia
menyesal sekali mengapa Sui Giok dan Ling Ling telah pergi.
Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun
itu. Kwee Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar
bagi ibunya untuk menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki
kecerdikan dan keluasan pandangan seperti orang dewasa.
"Ibu," katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat
jawaban memuaskan dari ibunya, "bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan
dariku, aku tahu bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak
begitu sedih. Ibu, ceritakanlah kepadaku, ibu."
"Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini," kata ibunya
sambil mengelus-elus kepala anak itu.
"Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak
mau belajar, tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku
tahupun tidak urusannya. Ibu memperlakukan aku seperti orang luar saja."
Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan
dan diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan
kening dan kontan berkata,
"Ayah tidak bersalah !"
Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.
"Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati
orang tua. Mari kita berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga
ibu dan anak itu akhirnya akan dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang
rukun dan damai." Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya,


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu, kau seorang yang berhati mulia."
Koleksi Kang Zusi Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri,
telah dapat mengetahui keadaan ayahnya.
Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.
"Engko Sian Lun datang ..... !" Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang
sekali. Sian Lun mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap
Kwee Cun seperti adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang
semenjak Kwee Cun lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut
kedatangan puteranya dengan girang.
"Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang " Kau
membuat kami merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi ?"
"Aku ..... aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu ?"
tanyanya menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.
"Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu
bersedih saja. Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya."
Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan
bibinya. "Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting."
Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar
kerja. Nyonya Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut
ayahnya ke dalam kamar kerja, nyonya Kwee segera membetot tangannya dan
mengajaknya ke belakang. "Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan,"
katanya. "Mengapa tidak boleh ibu ?"
"Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu
Sian Lun ada pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan
tentang pekerjaan dan urusan negara."
Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali
bukanlah urusan negara. "Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan
keluar dari kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya
itu datang." "Apa maksudmu, Sian Lun ?" tanya Kwee Siong terkejut.
"Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh
siokhu." Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua
ini jangan menjadi kaget dan berduka.
Koleksi Kang Zusi "Orang mau membunuhku " Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu ?" Kwee Siong
adalah seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar
tentang ada orang hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu
banyak penjahat merasa dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa
pesakitan, kali inipun ia telah mendesak Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan
hal itu. Tiada gunanya siokhu mengetahui." Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia
tidak bisa membohong dan juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan,
maka agar dapat bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa
tajamnya, ia menundukkan mukanya.
Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak
melakukan perbuatan jahat ini. Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali
pamannya, tahu akan maksud jahat dari Ling Ling.
Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat
mungkin untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan
mengorbankan nyawanya. Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan.
Dan untuk memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini
memandang rendah dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi
gadis itu dengan kekerasan sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak
dapat dilakukan olehnya. Ia menyinta dan berbakti kepada pamannya yang dianggap
sebagai ayah sendiri, akan tetapi iapun amat menyinta Ling Ling.
Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil
menahan napas. "Tentu dia yang akan datang, bukan " Dia .... gadis yang bernama Ling Ling dan
dijuluki orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li,
bukan ?" tiba-tiba Kwee Siong berkata.
Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar
pertanyaan ini. Ia cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar
mata itu menembus dadanya dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-
coba untuk menyangkal lagi.
"Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat ?" tanyanya kagum.
Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat
biasa yang hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan
namanya. Sui Giok dan Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah
Koleksi Kang Zusi meninggalkan ingatannya, dan ia maklum betapa gadis puterinya itu akan
membencinya kalau mendengar dari ibunya betapa ia adalah ayahnya yang seakan-
akan telah menyia-nyiakan kehidupan ibunya.
"Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku ?" Kwee Siong menjawab
pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan
suara menuntut dan penuh selidik.
Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus
terang bahwa ia menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap
dan mendapat celaka, akan tetapi bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu
membunuh pamannya. "Dia ..... dia .... adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang
sudah berjasa, yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak
mencegahnya melakukan perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui,
mengapakah dia begitu benci kepadamu " Mengapa dia begitu berkeras hati hendak
membunuhmu ?" Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan
kepedihan hati itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih
mendalam lagi. "Sian Lun," katanya dengan lemah, "jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang
dan aku sendiri yang akan menghadapinya!"
"Siokhu ! Dia ..... dia hendak membunuhmu!"
"Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau" Ini satu perintah
dariku, mengerti" Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku.
Aku tidak mau dibantah oleh siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh
mencampuri urusan ini, juga kau sendiri tidak!"
"Siokhu! Akan tetapi aku ..... bukankah kau kuanggap ayah sendiri" Bukankah aku
sama dengan puteramu sendiri" Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam
keselamatanmu?" Kwee Siong tersenyum sedih, "Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri
bagiku. Bahkan aku ingin sekali ..... mengambilmu sebagai mantuku!"
Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan
tetapi Kwee Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,
"Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah
Jenderal Li. Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini." Ketika
pemuda itu memandangnya dengan wajah pucat, ia menyambung cepat, "Anakku yang
baik, percayalah kau kepadaku. Aku hanya minta kau mentaati kata-kataku Koleksi
Kang Zusi sekali ini. Jangan membantah, anakku .........."
Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan "anakku"
membuatnya merasa terharu sekali. Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi
bahaya maut, akan tetapi ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia
tahu bahwa Ling Ling bukanlah seorang gadis yang boleh dibuat main-main.
Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang
timbul dari dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak
pamannya yang tegas-tegas menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia
lalu mengajak ibunya keluar dari rumah gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal
Li Goan. ****** Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung
Kwee Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud
membunuh ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung
dan di atas genteng sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.
Di manakah Sian Lun" Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan
penjagaan untuk mencegahnya" Dan di mana pula para penjaga" Apakah Sian Lun
telah memperingatkan ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain
tempat" Ah, kalau rumah itu telah dikosongkan, tentu rumah itu merupakan
perangkap baginya. Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa
niatnya ini merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas
ini, karena apakah artinya hidup baginya" Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia
bunuh, dan Sian Lun ......ah, dia tidak mau memikirkan pemuda itu dalam saat
seperti itu. Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam
dari pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi. Masuk terus
dengan tindakan kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang
belakang tertutup, maka dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu
amat terang, banyak lilin dipasang di atas meja.
Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika
ia membuka matanya, ia memandang ke depan dan ........ berdiri bengong seperti
patung. Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya
dengan mata tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya
yang cantik duduk di sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat
pucat. Seorang anak laki-laki yang tadinya menangis sambil menyembunyikan
mukanya di pangkuan ibunya, kini serentak bangun berdiri, memandang kepada Ling
Koleksi Kang Zusi Ling dengan matanya yang lebar dan bening.
"Ling Ling, kau baru datang, nak?" terdengar Kwee Siong berkata dengan suara
seakan-akan seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan
jauh. "Sudah semenjak tadi aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!"
Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat
menekan perasaan keharuan ini dan membentak marah.
"Siapa anakmu" Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah
membiarkan ibu hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor
binatang buas di dalam hutan, menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh
orang lain. Semua karena kau! Laki-laki tidak tahu kewajiban, kau masih berani
menyebut aku sebagai anakmu?"
"Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa
ibumu tidak ikut datang" Mana Sui Giok" Mana isteriku itu?"
Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali.
Dengan jari telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil
berkata keras, "Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya"
Mengapa sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya
lagi?" Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat.
Ucapan Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.
"Ling Ling!" ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil. "Apa kau
bilang " Mana ibumu ... " Mana...... ?""
"Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!" seru gadis itu
dengan ganas sambil melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
"Ya, Tuhan .....!" hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia
terjatuh kembali ke atas kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Sui Giok ..... Sui Giok .......bagaimana dia mati ....." Bagaimana" Ling Ling,
katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati .....?"
"Tutup mulutmu yang palsu!" bentak gadis itu makin marah. "Aku tidak kasihan
kepadamu, seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas
kematian ibuku, karena sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul
ibuku. Biar kau bisa bertemu dan minta ampun kepadanya!"
"Bunuhlah! Bunuhlah .... ini dadaku, siapa takut mati" Aku akan merasa girang
sekali dapat menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya .... hanya
aku Koleksi Kang Zusi merasa sayang sekali mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak
durhaka yang membunuh ayah sendiri."
Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat
ia melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan
tetapi, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju,
menghadang di depannya. "Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia
mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal
dunia. Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan
bunuh padanya, nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak
kehidupan ibumu!" Dan nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan
Ling Ling. Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah. "Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh
membunuhmu!" Ia lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua
tangannya yang kecil terkepal. "Kau ..... kau ganas dan kejam! Kau orang
durhaka, mau membunuh ayah sendiri" Kupukul kau!" Dan anak kecil itu lalu
menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya memukul.
Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh
ayahnya, untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam
ini. Ia tadi telah tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata
seorang laki-laki gagah dan budiman.
Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah
semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu
serta puteranya menjadi janda"
Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah
mundur tiga tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung
tinggi kegagahan, sikap dan keberanian anak ini membela ibunya telah membuat
Ling Ling kagum sekali. Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk
menjadi satu. Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa
ayahnya dan isteri serta puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang yang
patut dipuji. Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau
seandainya ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan
niatnya membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.
Koleksi Kang Zusi "Nona insyaflah akan kesesatanmu!" terdengar nyonya itu berkata di antara
tangisnya. "Tidak ada kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri.
Menyakiti hatinya saja sudah merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya.
Aku bersumpah, ketika ayahmu melihat kau dan ibumu masih hidup, tidak ada
pengharapan yang lebih besar dalam hati ayahmu, dalam hatiku dan dalam hati
adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau dan ibumu tinggal di sini
bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai. Sekarang .....
kalau benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah di
sini. Jadilah anakku, anak ayahmu, enci adikmu ini ..... Ling Ling, pergunakanlah
kesadaranmu ...... "
Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata,
"Kau kira akan dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa
rasanya kehilangan ibu. Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya
hati seorang anak terpisah dari ibunya."
Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun,
dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.
bagian 19 Pertemuan Yang Amat Mengharukan.


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cun-ji ........ !" nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis, "Ling
Ling ..... kasihanilah dia, kembalikan anakku ...."
Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari
mengejar. "Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan
mencelakakan Cun-ji. Dia pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat.
Percayalah kepadaku."
Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya.
****** Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung
keluarga Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan. Wajah pemuda ini
muram dan pucat penuh kekhawatiran.
Koleksi Kang Zusi Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan
memikirkan keadaan pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana
kalau gadis itu membunuh Kwee siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan
hancurlah dunianya. Ia harus mencari gadis itu dan membunuhnya, mungkin untuk
mati bersama. Apa gunanya hidup lagi baginya"
Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih
duduk di atas kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman,
sama sekali tak pernah tidur seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega,
merasa seakan-akan batu besar yang semalaman menindih isi dadanya kini
terangkat, membangkitkan sedu sedan yang mengumpul di kerongkongannya.
"Siokhu ..... " katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua
itu. "Sian Lun, kau sudah datang?" kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu
tersembunyi dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam
tadi. "Syukur siokhu selamat," katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang
tidaknya Ling Ling. "Ia datang," kata pamannya.
"Dan ia membawa Cun-ji," sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis.
Terkejutlah Sian Lun mendengar ini. "Ling Ling datang dan menculik adik Cun?"
tanyanya tak sadar menyebut nama gadis itu.
Pamannya mengangguk sunyi.
Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling
Ling terlalu sekali, pikirnya.
"Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!' katanya dan sebelum dua orang
tua itu dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum
ke mana harus mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam
hutan, di luar kota Tiang-an itu"
Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh
membasahi jidat dan lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari
kota. Di depan kelenteng itu sunyi saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun
ke sini" Ia mulai gelisah dan cepat melompat masuk ke dalam kelenteng.
Koleksi Kang Zusi Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan
patung. Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya.
Hampir ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa.
Terdengar anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan
sesuatu, kadang-kadang diseling oleh suara ketawanya yang bersih.
Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini
terdengar tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun
bagaimana anak itu menyebut Ling Ling dengan sebutan "enci Ling" yang mesra
sekali, dan terlihat olehnya betapa seringkali tangan Ling Ling mengelus-elus
kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh
pemandangan ini sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada
saat itu, kebetulan sekali Kwee Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak
itu lalu melonjak girang.
"Sian Lun-ko ..... !! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya
dan menariknya ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian
Lun dengan wajah kemerah-merahan, nampaknya malu sekali.
"Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling
Ling !" kata Kwee Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah
kedua orang muda itu berhadapan.
"Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini
adalah enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!"
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu.
Keduanya berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu
bahasa yang tidak terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua
sendiri. Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran,
karena bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya " Akan
tetapi hanya satu saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu
banyak bertanya kepada anak itu tentang dia.
"Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?"
"Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu,
Koleksi Kang Zusi dan apakah engkau sudah menikah atau belum ........"
"Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!" Ling Ling membentak dengan muka merah, akan
tetapi agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia
tahu bahwa encinya itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira.
Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang.
Bahkan Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan
kata-kata terhadap gadis itu.
"Cun-te," akhirnya ia berkata kepada anak itu, "hayo pulang dengan aku. Ayah
bundamu menanti-nanti di rumah."
"Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci
Ling!" jawab anak itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan
itu, yang segera memeluknya, tanda girang hati.
Sian Lun benar-benar merasa heran sekali. "Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak
membawa adik Cun pulang .... ?"
"Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin .....
pulang." Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata,
"Pulanglah Lun-ko. Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah
kepadamu, aku takkan berani tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci
mau pulang ....." "Hus, Kwee Cun ......" kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan
menari-nari saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum
mimpi bahwa gadis ini adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya
bahwa Ling Ling tidak marah lagi kepada pamannya.
Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu. Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini
ia berlari cepat dengan hati girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan
Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah.
Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua
titik air mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu
perlahan-lahan menjadi merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang
sementara itu menangis di dekatnya, lalu berkata perlahan, Koleksi Kang Zusi
"Apa kataku" Tepat seperti yang kuduga!" Dan isterinya hanya dapat menangis di
antara senyumnya. Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia
merasa heran ketika pamannya berkata,
"Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku."
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri,
lalu berkata, "Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?"
"Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!"
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila"
Mereka hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya"
Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya" Tak
mungkin, akan tetapi ...... ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga
menyatakan bahwa ia cocok sekali menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini
lebih cocok baginya, karena yang dimaksudkan oleh suhunya sudah jelas, tentu
Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang membawa pedang suhunya, Pek-hong-
kiam. Akan tetapi puteri pamannya" Bagaimana kalau bukan Ling Ling" Agaknya tidak
mungkin kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh
pamannya ini" "Maaf, siokhu. Akan tetapi .... aku .... aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada
seorang gadis lain ...."
Kwee Siong nampak terkejut. "Apa ...." Mana bisa jadi" Kau tidak boleh menikah
dengan gadis lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di
sini, aku bicarakan hal ini dengan dia."
"Suhu berada di sini, siokhu" Di mana dia ....?"
"Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah
Li-goanswe." Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan
bahwa Jenderal Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong
dan Sian Lun menyambut. Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang
tertawa bergelak melihat Sian Lun.
"Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat
Koleksi Kang Zusi Cinjin suhengku" Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya
yang ganas." Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa
suhengnya itu semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan
pelanggaran. "Aku sendiri tentu sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak
mempunyai semacam ilmu yang dapat mengimbangi dan melawan ilmu yang ia andalkan,
yakni Kim-kong-kiu yang lihai itu. Ia seringkali mengganggu dan mengejek tentang
Pek-sim-kauw." "Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu
teecu takkan terdesak hebat." Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa
tadinya ia tidak berani melawan supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak
sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia merasa malu menuturkan bahwa
sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka ia memberanikan diri
menghadapi supeknya. "Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman," mencela suhunya. "Padahal
kalau melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya.
Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu
silat lain, muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan
rendah. Ketahuilah bahwa tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung
lengan bajunya itu hanya berbahaya bagi tubuh bagian atas saja dan selalu
dipergunakan untuk menyerang dari pinggang ke atas. Kalau kau main dengan
gerakan rendah, akan kacaulah permainan Kim-kong-jiu."
Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya,
ia melihat pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba
terdengar suara Li-goanswe.
"Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya,
marilah kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya.
Urusan lain boleh ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan
baru saja sekarang kudengar!"
Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan ia baru
saja mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya
baru tadi Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-
li adalah puterinya sendiri.
Koleksi Kang Zusi Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee
Siong, Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat
dengan cepatnya menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling
Ling dan Kwee Cun. Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang
dituju. Tidak seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan
kelenteng itu tidak sunyi, bahkan begitu mereka tiba semua menjadi terkejut
melihat Ling Ling sedang bertempur hebat sekali melawan seorang kakek. Kwee Cun
anak nakal itu berdiri menonton sambil memaki-maki keras,
"Kakek tua bangka kurang ajar ! Jangan serang enciku!"
"Liang Hwat Cinjin!" berkata Sian Lun.
"Benar, dia adalah suhengku," berkata pula Liang Gi Cinjin. "Benar-benar tak
tahu diri, menyerang seorang gadis muda."
Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling
berkelebatan mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum
sekali. Ia sudah mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun
tidak merasa keberatan, bahkan ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu
keturunan atau ahli waris ilmu pedang dari Panglima Kam Kok Han, sudah
sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya.
Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu
yang dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya.
Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari
kalangan pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir
dan membentak, "Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah
demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?"
Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
"Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga
yang muda-muda berani menentangmu."
"Bangsat kurang ajar!" bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik
seperguruannya, akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini
telah menyerangnya. Koleksi Kang Zusi "Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!" seru kakek itu dan sebuah kebutan
hebat sekali dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-
huyung mundur. Bukan main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak
kuat menahannya dan kedudukan kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin
hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba Sian Lun membentak,
"Jangan kau mengganggu Ling Ling!" Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat
merupakan gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha
Liang Hwat Cinjin. Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia
menyerang dengan merendah dan menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek
itu. Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin, "Bagus, kaupun sudah bosan hidup?"
Sebentar saja, seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan
Sian Lun. Gerakan pedang sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga
semua orang yang menonoton pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi
kagum sekali. Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat
Cinjin sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan
maut, sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat
kakek itu menjadi kacau balau gerakannya.
Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar
di bagian atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi
kalau kini terbagi harus mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya
serangnya menjadi banyak berkurang.
Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat
merobohkannya. Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan
pedangnya. Kini ia bersilat dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-
liong Kiam-sut, bagian yang amat sukar dimainkan, akan tetapi amat berbahaya
sehingga jarang sekali dikeluarkan oleh Ling Ling dalam pertempuran.
Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar
pedang kekuningan itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari
atas dan bawah. Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan
pertempuran yang amat lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya
banyak Koleksi Kang Zusi

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkurang. Serangan yang hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian
Lun yang tak kalah berbahayanya, membuat ia tak sanggup menangkis pula.
Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung
lengan bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit
dan roboh di atas tanah. Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi
tiba-tiba Liang Gi Cinjin berseru keras,
"Nona, jangan bunuh dia!"
Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,
"Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh sucouw Kam
Kok Han!" Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya. "Dia bohong, nona. Bukan dia yang
membunuh Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah
lama meninggal dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?"
Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur
darah, tersenyum dan berkata, "Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua
orang muda, sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa
lagi?" "Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon
Kaisar, apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala" Inilah Jenderal Li
Goan yang gagah perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari
tindasan pemerintahan Sui. Apakah kau tidak tunduk?"
Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat
Cinjin adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu
mencoba untuk membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang
Hwat Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah
mereka kelak mendengar penuturan Liang Gi Cinjin.
Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal
Li Goan yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum
dan berkata, "Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku" Lupakah kau ketika kita bahu membahu
menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?"
Koleksi Kang Zusi Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini,
yang amat dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri
dan saking terharunya melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan
kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin lalu menangis.
"Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk
mencampuri urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw
kepada seorang murid, dan kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu.
Dan sekali lagi aku usulkan perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah
aku mempergunakan kesempatan ini untuk menjadi comblang melamarmu untuk menjadi
jodoh muridku. Bagaimana jawabanmu?"
Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang
semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.
"Ling Ling ......" bisiknya.
"Ayah ....!" Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee
Cun juga lari kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia.
Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena
ia telah mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri
melongo seperti patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi.
Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan
pertanyaan Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata
perlahan, "Totiang, aku menyerahkan segala hal kepada ayahku."
Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan
berkata, "Ling Ling ...... anak baik ....." dan di dalam tangisnya ia berkata
kepada ketua dari Pek-sim-kauw itu,
"Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku,
Liem Sian Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari
pertunangan mereka."
"Bagaimana, Sian Lun?" Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri
seperti patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat
menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu hanya menerima titah dan .... dan ... berterima kasih."
Koleksi Kang Zusi Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan
setengah diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di
atas rumput dikelilingi oleh Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun.
Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya
betapa ia terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang
amat mengharukan. Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping
kegembiraan, Kwee Siong juga berduka mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui
Giok yang bernasib malang.
"Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu
disedihkan?" kata Jenderal Li Goan. "Mati sebagai seorang patriot yang gagah
adalah kematian terhormat, yang patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun
andaikata namanya akan terlupakan orang, namun darah yang mengalir dari tubuhnya
telah menyuburkan tanah air, telah mencuci rakyat jelata bersih daripada
penindasan dan penghisapan kejam."
Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat
diduga bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan
Sian Lun. Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu
digoda terus-terusan oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara
banyak. ****** Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa
pengikut kaisar Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar
menyerah, maka dalam tahun 619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh,
Jenderal Li Goan naik tahta kerajaan dengan megahnya. Semenjak saat dia
menduduki tahta kaisar inilah maka di Tiongkok dimulai dinasti kerajaan Tang
yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan kuat.
Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun
Liem Sian Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam
penindasan kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih
bersetia kepada kerajaan Sui yang sudah musnah.
Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan
Jenderal Li Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara
Koleksi Kang Zusi Sian Lun dan Ling Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat
menggembirakan penduduk di ibu kota.
T A M A T Pedang Penakluk Iblis 16 Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Pedang Medali Naga 22
^