Pencarian

Bayangan Darah 2

Bayangan Darah Karya Pho Bagian 2


terjebak, maka ketika ia menghantam ke belakang, berbareng
dengan itu ia melemparkan lima buah senjata rahasia berbisa,
untuk memaksa musuhnya mundur dua tindak. Tetapi ketika
kelima senjata rahasia nya baru lepas dari tangan, Lauw Thian
Hauw telah mengibaskan lengan bajunya, kelima senjata
rahasia telah tergulung semuanya ke dalam lengan jubahnya,
maka Lauw Hung dapat dengan leluasa merubah jurusan
pedangnya. Mong Eng mendengar suara babatan pedang di
udara itu telah berubah, hatinya sangat kaget, buru-buru ia
menunduk ke depan. Pedang panjang Lauw Hung itu telah
membabat dari punggung sampai ke belakang lehernya, ujung
pedang itu telah menempel di tubuh Mong Eng hingga
membuat sebuah goresan dari pinggang Mong Eng sampai ke
belakang kepalanya! Mong Eng pun sungguh hebat, tiba-tiba ia membalikkan
tubuhnya ke depan berguling, kakinya menendang-nendang,
dan tidak peduli siapakah yang berada di hadapannya,
ditendangnya dua kali, memaksa orang di hadapannya itu
mundur. Tiba-tiba cemeti tulang putihnya itu menghantam ke
atas tanah! Ia tidak menyerang dengan cemeti tulang
putihnya, malah pada saat yang segenting itu dihantamkannya
ke atas tanah. Kelihatannya tidak berguna, padahal jurusan itu
sangat kejam karena yang tersimpan dalam tulang putih yang
berjumlah delapan belas batang itu ialah 18 macam ular kecil
yang berbisa. Cemeti itu menghantam tanah, tulangnya akan remuk, ular
berbisa yang tersembunyi dalam tulang itu akan keluar
segera. Dia berdua Ting Tok memiliki obat penawar, seratus
macam bisa tidak dapat menyakiti mereka, tapi keluar Lauw
itu takkan luput dari bencana itu. Tetapi perhitungannya itu
ternyata meleset. Ketika ia menghantamkan cemeti ke atas
tanah itu, tiba-tiba Lauw Thian Hauw berteriak sambil
mengibaskan lengan jubahnya menggulung cemeti tulang
putih ini, menariknya ke dadanya. Walaupun ilmu silat Mong
Eng cukup tinggi, tapi mana dapat melawan Lauw Thian
Hauw" Begitu ditarik oleh Lauw Thian Hauw, tubuhnya
meloncak ke depan setindak. Mong Eng boleh dikatakan lincah
juga, tubuhnya terhuyung ke depan, dengan segera ia
mengendorkan kelima jarinya melepaskan cemeti tulang
cemeti putih itu. Cemeti tulang putih itu, sangat disayangi oleh Mong Eng
sebagai nyawanya sendiri, ini diketahui oleh semua orang Bu
lim. Jago silat menyayangi senjatanya, tidak mungkin dapat
dimengerti oleh orang lain.0 Maka Lauw Thian Hauw sama
sekali tidak mengira begitu tubuh Mong Eng terhuyung ke
depan, ia rela melepaskan senjatanya. Tenaga tarikan Lauw
Thian Hauw begitu kuatnya, tiba-tiba Mong Eng melepaskan
tangannya. Tenaga Lauw Thian Hauw jatuh kosong, tubuhnya
bergoyang sedikit. Kalau diganti dengan orang lain dalam
keadaan begitu, paling tidak akan mundur setengah tindak.
Tapi tubuh Lauw Thian Hauw cuma bergoyang sedikit.
Tetapi Lauw Thian Hauw pun tidak mengira, begitu Mong
Eng melepaskan cemetinya, segera kakinya menotok ke tanah,
dan tubuhnya melambung ke udara dengan pesat.
Tangannya membalik menghantam ke atas, terdengar
suara gemuruh yang dahsyat, genteng rumah pada
berjatuhan. Atap rumah itu telah berlubang besar. Kentara
sekali bahwa Mong Eng tidak berniat bertempur terus, ia siap
kabur dari lubang di atas rumah itu.
Kelakuannya itu sangat mengagetkan Lauw Thian Hauw. Ia
telah turun tangan secara keras, sudah terang ia ingin
membuat Tung Hai Siang Kui itu terkapar di atas tanah. Kalau
kabur satu, itu sangat menyusahkan. Kembali ia mengibaskan
lengan jubahnya, kelima senjata rahasia yang digulungnya
tadi melayang ke atas seperti kilat, berikutnya tubuhnya pun
ikut melambung ke atas. Mari kita ceritakan tentang Ting Tok. Ketika ia dipukul
mundur oleh pukulan Lauw Thian Hauw, dari samping
muncullah Lauw Nen. Sepasang pedangnya melayang-layang
bagai hujan salju, diam-diam menutupi tubuhnya. Karena
jurus-jurus sepasang pedang Lauw Nen itu sangat rapat,
keadaannya lebih bahaya daripada Mong Eng. Bahkan ia tidak
ada kesempatan untuk mencabut senjatanya, terpaksa ia
menggelindingkan tubuhnya keluar. Tapi baru bergelinding,
Lauw Jok Hong telah tiba, mengangkat kaki menendangnya.
Dengan ilmu Lauw Jok Hong itu, kalau ia ingin mengenai
tubuh Ting Tok hanya mengelak dari serangan sepasang
pedang Lauw Nen saja, tubuhnya menggelinding keluar, sama
sekali ia tidak bersiaga. Pada saat itu, tendangan Lauw Jok
Hong telah tiba, dan bersarang di pinggannya, ia menjerit
kesakitan. Tubuhnya meloncak berdiri, sepasang pedang Lauw
Nen pun tiba lagi, terpaksa ia melawan dua jurus. Mong Eng
telah melambung ke udara, pada saat itulah terdengar sebuah
suara melayang dari pintu luar dengan gagahnya : "Apakah
Lauw Toa Hiap ada di rumah?" Itulah suara Naga berbuntut
sembilan Yen Ling. Mong Eng melambung ke udara. Lauw Thian Hauw
melepaskan kelima senjata rahasia, segera tubuhnya pun
melambung ke udara menguber Mong Eng. Ia ingin menarik
tubuh Mong Eng dari udara ke bawah. Tapi pada detik itu,
suara Naga berbuntut sembilan Yen Ling telah masuk ke
dalam dari luar. Hati Lauw Thian Hauw terperanjat, hampir saja ia
terbanting dari udara. Dengan ilmu Lauw Thian Hauw yang
telah mencapai ke taraf sempurna itu, tidak semestinya terjadi
begitu. Ia ingin mematikan Tung Hai Siang Kui kini, Tung Hai
Siang Kui belum mati, malah Naga berbuntut sembilan Yen
Ling telah tiba. Kesemua ini bagaimana Naga berbuntut
sembilan Yen Ling itu, tidak membuat dirinya terperanjat"
Kalau Tung Hai Siang Kui menceritakan yang sebenarnya pada
bagaimana nanti" Begitu ia jatuh, tubuh Mong Eng telah
melayang keluar dari lubang di atas atap itu. Melihat keadaan
itu, Lauw Thian Hauw lebih terperanjat lagi, hingga
keringatnya bercucuran. Ia tahu kalau lawannya telah berada
di luar lubang itu, walaupun ia dapat mengangkat tubuhnya
melambung kembali, pasti ia tidak dapat menguber Mong Eng!
Terlebih-lebih ia tidak dapat mengangkat tubuhnya setelah
ia terperanjat, tubuhnya terus turun ke bawah. Sampai di atas
tanah, pandangannya menjadi gelap. Karena setelah Mong
Eng keluar dari lubang itu, segera ia akan melihat Naga
berbuntut sembilan Yen Ling. Bukankah semuanya akan
tamat" Tetapi perubahan berikutnya di luar dugaannya, tiba-tiba
terdengar suara Mong Eng dari atas rumah itu : "Kauw Bweee
Liong, dengarlah ucapanku ini."
Berikut ucapan itu, terdengar terikan Naga berbuntut
sembilan Yen Ling, ditambah lagi dengan suara "Blum!"
Lubang di atas genting itu bertambah besar, genting-genting
berjatuhan lagi, dua sosok bayangan manusia seperti kilat
jatuh ke bawah. Daya jatuh itu walaupun cepat, tapi masih
dapat terlihat kedua orang itu, yang satu Mong Eng, yang satu
lagi ialah Naga berbuntut sembilan Yen Ling. Seumur hidup
Lauw Thian Hauw, entah telah berapa kali ia menyaksikan
pertarungan besar, suasana berubah-ubah dengan cepat
sekali. Ia melihat keadaan ini. Itu adalah suatu keuntungan
bagi dirinya! Pastilah ketika Mong Eng sampai di atas rumah, Yen Ling
pun telah masuk. Melihat musuhnya, matanya menjadi merah.
Ia tidak menunggu Mong Eng bersuara, telah memaksanya
turun dari atas rumah. Inilah kesempatan yang paling baik bagi Lauw Thian Hauw,
mana ia mau melewatkan kesempatan yang sebaik ini" Segera
ia meraung, kedua lengannya membentangkan, melangkah
maju. Ia baru bertindak selangkah, Yen Ling telah memecuti
Mong Eng dengan cemeti bajanya. Ketika Mong Eng buru-buru
mundur, kebetulan sekali ia menerima pukulan Khi kang asli
dari tangan Lauw Thian Hauw!
Tentu saja Mong Eng tidak dapat menahan keroyokan
kedua jago silat itu. Kalau ia berniat kabur, mungkin ia masih
dapat menyelamatkan dirinya, justeru karena ia mengetahui
rahasia Lauw Thian Hauw maka ia ada andalan. Kalau saja ia
mengutarakan rahasia itu pada Yen Ling, pasti Yen Ling akan
celaka! Maka ia tidak bernafsu untuk bertempur, pun tidak
ingin berlalu begitu saja.
Tak disangka betapa tingginya ilmu silat Yen dan Lauw itu.
Yang satu telah memastikan kerusuhan dalam upacara
pernikahan itu adalah hasil perbuatannya. Yang satu lagi lebih
ingin mematikannya untuk menghilangkan saksi hidup. Maka
jurus-jurus yang dikeluarkan oleh kedua orang itu, semuanya
secepat kilat. Mong Eng mundur mengelak dari pecutan
cemeti baja Yen Ling, segera ia merasakan di punggungnya
terdapat dua buah tenaga yang dahsyat sekali sedang
menekan dirinya. Buru-buru ia maju setindak, mulutnya
berteriak : "Yen Lo Kauw..."
Tetapi ia baru berteriak begitu, jurus cemeti Yen Ling itu
telah berubah. Walaupun cemeti yang terbuat dari sembilan
susun baja itu adalah sebuah senjata yang sangat berat, tetapi
di dalam tangan Yen Ling cemeti itu enteng sekali seperti
sebuah pengajung cemeti itu membuat lingkaran dan mutar
kembali, menghantam kening Mong Eng.
Mong Eng masih ingin mengelak, tapi mana keburu lagi"
Dan terdengarlah sebuah suara "plaaak". Cemeti baja itu telah
memecah kepala Mong Eng itu menjadi dua, bahkan ujung
cemeti itu masih terus sampai ke leher Mong Eng. Maka ketika
Yen Ling menarik cemetinya, tubuh Mong Eng terus terbawa
darah dan otak Mong Eng muncrat membasahi sekujur tubuh
Yen Ling, tapi tidak dihiraukan Yen Ling. Ia tertawa terbahakbahak.
Kejadian di Yen ka cung itu, sampai kini telah berlalu kirakira
satu bulan. Setelah kejadian itu, Yen Cing Kiang terpaku
karena kelima jarinya terbabat putus ketika ia merebut pedang
dari tangan Seng Bun Lan. Sedangkan pendekar besar sungai
Siang Ang Cau Hua yang kehilangan anak gadisnya itu telah
diam-diam menghampiri Yen Cing Kiang. Tiba-tiba ia
menghunus pedangnya, belum sempat Yen Cing Kiang
membalas, pedang Ang Cau Hua telah menembusi dada Yen
Cing Kiang. Tubuhnya tidak jatuh, terhuyung-huyung ke
belakang. Ujung pedang itu menancap lagi di sebuah tiang
besar, tubuh Yen Cing Kiang tetap berdiri, tapi nyawanya telah
putus! "Lo Ang!" teriak Yen Ling.
"Hutang uang bayar uang, hutang nyawa bayar nyawa,
anakmu adalah nyawa, anak perempuan akupun adalah
nyawa. Apa lagi yang mau dikatakan?"
Ang Fong mati di bawah tangan Yen Cing Kiang, semua
orang menyaksikan hal itu. Ucapan Ang Cau Hua itu membuat
Yen Ling bungkam, sedangkan Ang Cau Hua yang pucat itu
tidak mau berdiam lebih lama lagi disitu. Ia menunduk
mengambil mayat Ang Fong, melayang keluar. Yang mengikuti
Ang Cau Hua melayang keluar bukan orang lain, dialah
mempelai wanita Seng Bun Lan. Ia berlari keluar dengan
tubuh yang menggigil, perhiasan di atas kepalanya berserakan
di atas tanah. Ada beberapa orang yang turut keluar, karena
kuatir akan keselamatannya yang telah menerima puklan yang
maha hebat itu. Tetapi kepergian Seng Bun Lan itu terlalu cepat. Mereka
baru keluar, telah kehilangan jejaknya. Belakangan baru tahu,
setelah Seng Bun Lan berlari sejauh enam tujuh li, ia bertemu
dengan Ceng Im Sin Nio dari kuil Teng Nam. Seng Bun Lan
tidak berkata apa-apa, begitu melihat suhunya. Ia ulurkan
tangannya mengambil pisau 'Liong Bun' yang kenamaan dari
pinggang suhunya, membabat rambutnya hingga bersih, lalu
ikut Ceng Im Sin Nio pulang ke kuil Teng Nam. Seng Bun Lan
menerima pukulan sehebat itu, tentu saja ia menjadi agak
senewen. Kemudian hari, ilmunya menjadi sangat tinggi.
ITulah 'Hong Ni' (Ni kouw gila), yang kesohor di kalangan Bu
lim. Itu cerita lain, tidak termasuk disini lho!
Naga berbuntut sembilan Yen Ling, hanya menunggu dua
tiga tahun setelah perkawinan anaknya itu, ia akan
menimang-nimang cucunya untuk menikmati kehidupan yang
bahagia. Tetapi dalam sekejap saja, impiannya itu lenyap
semuanya. Ia mana mengira kejadian itu adalah hasil
perbuatan Lauw Hung dan Yo Pang Sa. Hanya melihat dari
keadaan Yen Cing Kiang, seperti ia telah terkena racun Tung
Hai Siang Kui, maka kebenciannya terhadap Tung Hai Siang
Kui telah meresap sampai ke tulang. Semenjak itu, ia terus
mengundang jago silat sembari bertanya dimana tempat
persembunyian Tung Hai Siang Kui. Hari ini datang
berkunjung ke rumah Lauw Thian Hauw, maksudnya juga
untuk meinta pertolongan Lauw Thian Hauw. Tapi di luar
dugaannya, bertemu dengan Mong Eng salah satu dari Tung
Hai Siang Kui, dan langsung memecahkan batok kepalanya.
Kini, walaupun terkuyur darah sekujur tubuhnya, tapi
memikirkan darah itu adalah darah musuhnya, ada barang apa
lagi dapat lebih menggembirakannya"
Ia tertawa terbahak-bahak, sambil mebanting-banting
mayat Mong Eng ke atas tanah, ketika ia membanting untuk
ketiga kalinya, mayat Mong Eng itu tidak berupa manusia lagi.
Ketika Yen Ling membanti-banting mayat Mong Eng untuk
melampiaskan dendamnya, Lauw Thian Hauw telah berlalu,
mementilkan jari tangannya, "ces!" sebuah aliran angin yang
dahsyat menyambar ke pinggang Ting Tok. Ting Tok sendiri
telah kewalahan menghadapi empat bersaudara itu, mana ia
dapat menahan pukulan Lauw Thian Hauw yang dahsyat itu
lagi" Ditambah lagi ia melihat kematian Mong Eng yang sangat
mengerikan, ia tahu ia takkan dapat luput. Ia tidak mengira
selama hayatnya ia berbuat kejam, kini ia harus mati di bawah
tangan orang yang lebih kejam lagi daripadanya! Ia melihat
sambaran telah tiba, menggoyangkan tubuhnya mengelak,
tapi sepasang pedang Lauw Nen bertaburan bagikan kembang
salju menutupi tubuhnya. Pedang panjang Lauw Hung telah
tiba lagi dari belakangnya, gerakan Ting Tok agak lambat,
"buk", punggungnya telah tertusuk sekali, hatinya lebih
bergidik lagi, teriaknya dengan nyaring : " Kwi Bwee Liong!"
Teriakannya itu untuk menarik perhatian Yen Ling, supaya
ia dapat mengutarakan yang sebenarnya pada Yen Ling.
Tetapi teriakan itu, tak ayal lagi mengundang iblis pencabut
nyawa. "Ya, aku datang!" teriak Yen Ling, tubuhnya mengikuti
suaranya melayang. Begitu ucapannya selesai, orangnyapun
telah berada di atas kepala Ting Tok,dengan kedua kakinya ia


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menendang belakang kepala Ting Tok.
Ting Tok tidak menyangka Yen Lin bahkan tidak
memberikan kesempatan baginya untuk berbiara, hatinya
terperanjat. Ia jadi kewalahan lagi. Saat ini, sama saja ia
sendiri melawan enam orang, gerakannya melamban,
sepasang pedang Lauw Nen telah membabat menusuk lengan
tangannya. Ting Tok berteriak kesakitan, kedua kaki Yen Ling
telah pula bersarang di kepalanya, tubuh Ting Tok terhuyung
ke depan, Lauw Thian Hauw menyambut dengan pukulan
tangannya, "buk" mengenai dadanya. Setelah menerima
pukulan tangan itu, tubuh Ting Tok tercelentang ke belakang,
ia belum mati, malah masih membuka mulutnya tertawa lebar.
Berbareng dengan suara tawanya itu, ketujuh lubang di
mukanya telah memuncratkan darah segar, kemudian "duk",
ia terkulai di atas tanah untuk tidak berkutik lagi. Sekejap saja,
ruang besar itu menjadi hening sekali. Yen Ling menatapi
kedua mayat yang terkapar di atas tanah, wajahnya
menunjukkan keletihan. Setelah kejadian di Yen ka cung itu,
setiap detik ia terus menerus memikirkan kapan dendamnya
itu akan terbalas. Tapi kini, kedua musuh telah terkapar di
bawah kakinya, dengan telah terbalas, tetapi apa pula
gunanya" Membunuh musuhnya, apakah anaknya dapat hidup
kembali" Apakah Seng Bun Lan dapat keluar lagi dari kuil
Teng Nam dan menjadi mempelai wanita" Tentu saja tidak!
Keriput di wajah Yen Ling itu makin lama makin banyak, ia
menunduk, tidak lagi bergerak.
Serumah orang Lauw itu tahu, Yen Ling telah membunuh
kedua Tung Hai Siang Kui. Tetapi ia tidak membunuh musuh
yang sebetulnya, mereka melihat Yen Ling tidak bersuara, hati
mereka mempunyai pikiran masing-masing. Apakah Yen Ling
telah mengetahui seluk beluknya" Lauw Hung yang paling
tidak sabar, hampir saja ia mau menyerangnya, tetapi, ia
dicegah Lauw Thian Hauw. Kata Lauw Thian Hauw dengan
nada mencoba pada Yen Ling : "Yen Cung cu, kini, kau telah
membalas dendammu, kami pun turut gembira!"
*** Bagian Tiga Yen Ling tertawa pahit sambil menengadah. "Kalau bukan
mendapatkan bantuan kamu, tentu aku tidak dapat
membereskan kedua setan itu. Tidak kusangka kedua setan
itu bisa berada disini. Inilah yang dikatakan takdir!"
Yen Ling berkata begitu, dalam hatinya tidak bermaksud
apa-apa, tapi didengar orang rumah Lauw bermakna lain.
Mereka memikirkan kalau Yen Ling bertanya kenapa Tung Hai
Siang Kui bisa sampai disini, bagaimana menjawabnya" Pada
saat itu, keringat bercucuran dari tangan masing-masing!
Tetapi Yen Ling tidak memperhatikan segalanya itu, ia tertawa
pahit lagi : "Hatikua sangat kacau, lain kali saja aku datang
lagi untuk berterima kasih. Sekarang aku minta permisi dulu."
Ia menjura, membalik badan berlalu.
Lauw Thian Hauw dapat menghela napas panjang-panjang,
buru-buru ia mengikutinya : "Yen Cung cu, selamat jalan."
"Beberapa kawan Sang Bun Pang dan Bu Tong Ceng Ik To
Tiang berada di luar. Kalau Lauw Toa Hiap ingin bertemu
dengan mereka, mari kita pergi sama-sama. Entah bagaimana
pendapat Lauw Toa Hiap?"
Ucapannya itu tidak mendapat jawaban dari Lauw Thian
Hauw. Hati Yen Ling merasa heran, ia menengadah memandang
wajah Lauw Thian Hauw. Melihat wajah Lauw Thian Hauw
dengan perasaan kaget dan terperanjat sedang menatapi
tembok dan Yen Ling buru-buru menoleh mengikuti arah
pandangan Lauw Thian Hauw. Begitu melihat, wajahnya pun
segera berubah dan ia mundur setindak.
Bayangan darah di tembok itu sangat mengerikan setiap
orang yang mengetahui So Beng Hiat In dan melihat
bayangan darah itu pasti terperanjat. Tadinya Lauw Thian
Hauw telah menyuruh orangnya untuk menutupi tembok itu,
tetapi ketika Yen Ling melewati tembok melompat ke atas
rumah memaksa Mong Eng turun ke bawah, angin keras yang
ditimbulkan oleh lompatan Yen Ling melayangkan penutup.
Dan tidak ada orang yang menutupkannya kembali. Maka
begitu Lauw Thian Hauw keluar lantas ia melihat bayangan
darah. Tetapi andaikata ia tidak sekaget itu setelah melihat
bayangan darah itu, jangan-jangan Yen Ling tidak melihatnya.
Tapi kini Yen Ling telah melihatnya. Sekejap saja mereka pada
berhenti. Otak Lauw Thian Hauw mengiang-ngiang sesaat
tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Setelah tertegun
sejenak Yen Ling baru menoleh : "Lauw Toa Hiap apa itu?"
Walaupun Lauw Thian Hauw mendengar pertanyaan itu
tapi ia tidak dapat menjawabnya. Tentu saja ia ingin
membantah itu bukan 'So Beng Hiat In' tetapi melihat wajah
Yen Ling tampaknya ia sudah tahu apa gerangannya itu.
Lauw Thian Hauw masih tetap mematung, tidak bersuara.
Ujar Yen Ling : "Lauw Toa Hiap." Ketika ia mengucapkan
perkataan "Toa Hiap" itu keluar dari mulutnya secara terpaksa
sekali, tentu saja itu disebabkan karenan 'So Beng Hiat In'
muncul di tembok rumah Lauw.
Ia berhenti sejurus, lalu sambungnya : "Apakah itu So Beng
Hiat In?" "Rupanya ya," desis Lauw Thian Hauw pada detik itu.
Dalam benaknya timbul suatu niat yang sangat mengerikan,
tetapi sekarang kecuali berbuat begitu, tidak ada cara lain lagi.
Hati Lauw Thian Hauw berdebar-debar melihat Yen Ling
ingin melanjutkan perjalannya, buru-buru ia berkata : "Yen
Cung cu tunggu dulu.Masih ada yang hendak kukatakan."
Yen Ling menoleh, wajahnya telah menunjukkan kekesalan.
Saat itu Lauw Hung bersaudara telah keluar, dan berdiri di
pekarangan. Tadinya hati Lauw Thian Hauw masih ragu, tapi
begitu melihat wajah Yen Ling, dalam hatinya berpikir ia harus
berbuat begitu! Ia tertawa kering kembali, "Yen Cung cu,
barang di tembok itu, entah permainan siapa,harap kau tidak
ambil hati." Lauw Thian Hauw tahu tidak ada orang yang akan percaya
ucapannya itu. Akal yang paling baik, ialah menuruti rencana
yang terpikir dalam hatinya. Tetapi ia tahu, kalau ia menuruti
rencna itu, akibatnya sangat berat. Maka kalau bukan sangat
terpaksa, lebih baik tidak berbuat begitu. Sepasang matanya
memandang wajah Yen Ling, menunggu reaksinya setelah
mendengar ucapannya itu. Yen Ling pun tertawa dingin " hei,hei" dua kali. Andaikata
ia tertawa bisa saja, dan tidak berkata apa-apa, atau menuruti
saja hati Lauw Thian Hauw, berkata satu dua patah mungkin
Lauw Thian Hauw masih tetap ragu-ragu dan tidak akan
bertindak menurut rencananya. Tetapi sifat Yen Ling jujur,
begitu ia melihat bayangan darah di tembok itu, timbullah
perasaan jengkel dalam hatinya. Ditambah lagi dengan ucapan
Lauw Thian Hauw itu, hatinya lebih jengkel lagi, maka setelah
ia tertawa garing dua kali, ujarnya tidak sabar : "Kalau
memang ada orang berani membuat permainan itu di rumah
Lauw Thian Hauw, nyalinya tentu besar sekali, hati kita
masing-masing tahu."
Mendengar Yen Ling berkata begitu, hati Lauw Thian Hauw
menjadi terperanjat berbareng marah, serunya : "Apa
maksudnya kamu berkata begitu?" katanya sambil melangkah
mundur, membentangkan tangan membuat suatu gerakan.
Anak-anaknya yang berdiri di belakangnya terperanjat
melihat gerakan tangan itu. Merek saling pandang lalu
mendelik, semuanya berpencar.
Wajah Lauw Thian Hauw pun menjadi murung.
Yen Ling masih belum sadar, ia tertawa dingin : "Masih
tetap perkataan itu, hati kita masing-masing tahu!"
Lauw Thian Hauw melangkah maju setindak : "Kalau
begitu, kamu mau menyebarluaskan?"
Yen Ling berkata dengan nada dingin : "Kalau mau orang
tidak tahu, kecuali tidak berbuat..." Ucapannya itu belum
selesai, tiba-tiba ia membalik tangan menyambar. Rupanya
ketika itu, dengan diam-diam Lauw Hung itu cepat sekali
menyerang. Tetapi betapa lihainya Yen Ling itu, begitu ia
mendengar ada suara senjata memecah udara, ditambah lagi
melihat wajah Lauw Thian Hauw, segera ia tahu bagaimana
persoalannya. Membalik tangan menyambar, geraknya cepat
sekali. Di punggungnya bagai ada mata, jari telunjuk dan jari
tengahnya menjepit, kedua jari itu telah dapat menjepit
punggung pedang itu dengan erat sekali. Lauw Hung
menusukkan pedang, tangannya kejang, buru-buru ia menarik
tangannya ingin menarik kembali pedang itu. Walaupun Yen
Ling hanya menggunakan kedua jarinya, tapi pedang itu
seakan tertancap di batu, untuk sesaat, pedang itu tidak dapat
dicabut! Lauw Hung kagetnya bukan kepalang, teriaknya : "Kenapa
kamu masih diam saja?"
Ia berteriak, adik-adiknya belum keburu sampai, jari Yen
Ling yang memegang pedang panjang itu bergetar sekali. Di
bawah getaran itu terdapat sebuah tenaga yang maha dahsyat
mengalir ke tangan Lauw Hung memulai tubuh pedang hingga
tubuh Lauw Hung bergetar sekali dengan hebatnya, tak
terkuasa lagi kelima jarinya terlepas. Pedang itu telah
dirampas Yen Ling. Lauw Hung berteriak nyaring, tubuhnya
mundur. Tetapi pada saat itulah Lauw Thian Hauw yang
berada di hadapan Yen Ling itu telah mengeluarkan pukulan
tangan menyerang dada Yen Ling. Yen Ling hanya merasa
sebuah aliran angin terus mendesak hingga hampir saja
menyesakkan pernapasannya. Yen Ling berteriak sekali lagi,
menghunuskan pedang panjang yang baru saja dirampasnya
tadi dengan kuat, tapi datangnya pukulan Lauw Thian Hauw
itu terlalu cepat. Pada waktu sesingkat itu, ia tidak sempat
membalikkan pedang, jarinya tetap mencekal ujung pedang,
dengan gagang pedang itulah ia membabat.
Walaupun Yen Ling membabat dalam keadaan tergesagesa,
namun gagang pedang itu tepat mengenak "Yang Kuk
Hiat" salah satu lobang darah di tangan Lauw Thian Hauw.
Babatan itu memaksa Lauw Thian Hauw menarik kembali
pukulannya. Namun kin Yen Ling menghadapi musuh dari
depan dan belakang. Ia dapat mengelakkan pukulan Lauw
Thian Hauw, tapi dari belakangnya Lauw Hung telah mengirim
dua pukulan tangan ke arah punggungnya! Kalau Yen Ling
sendiri berhadapan dengan Lauw Thian Hauw, ia pun bukan
lawannya Lauw Thian Hauw, apalagi ditambah satu Lauw
Hung" Begitu merasa punggungnya terserang angin pukulan
yang sangat dahsyat, ketika ia ingin membalas serangan itu,
jari tengah Lauw Thian Hauw tiba-tiba berdiri. "Ces!" suara
angin itu terus menyerang alisnya. Yen Ling tahu angin itu
terbentuk dari Khi kang asli yang bertenaga sangat dahsyat,
kalau terkena, akibatnya tentu bukan main. Dalam keadaan
yang terdesak itu, ia tidak lagi mempedulikan serangan yang
datang dari punggung, hanya membekukan hawa ke
punggungnya untuk menerima pukulan Lauw Hung.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ia menundukkan tubuhnya.
Khi Kang asli dari jari Lauw Thian Hauw yang menyerang
alisnya dapat dielaknya, tetapi kedua pukulan Lauw Hung itu
bersarang tepat di punggungnya.
Yen Ling telah memanda rendah tenaga Lauw Hung. Ia
mengira cukup membekukan hawa saja di punggungnya untuk
menahan pukulan tangan Lauw Hung tetapi sedari kecil Lauw
Hung telah belajar ilmu Khi kang. Walaupun tenaganya tidak
sekuat Lauw Thian Hauw, tapi itu pun bukan enteng. Ia telah
memusatkan tenaganya memukul punggung Yen Ling. Di
pinggir telingan Yen Ling berbunyi : "Hung! hung!" dua kali,
matanya berkunang-kunang, tubuhnya mental ke depan.
Sedangkan Lauw Thian Hauw berada di hadapannya dengan
mudah sekali ia dapat mencabut pedang panjang itu dari
tangan Yen Ling. Dan pada saat inilah, dari jauh datanglah
sebuah suara tangisan yang tidak didengar dengan samarsamar.
Laju tangisan itu boleh dikatakan cepat sekali, sampai di
telinga masih samar-samar. Tetapi setelah Lauw Thian Hauw
dapat merebut pedang panjang dan meragu sejenak, suara
tangisan telah menggeledek. Hati Lauw Thian Hauw
terperanjat. Ia tahu seorang jago silat dari Sang Bun Pang
telah tiba. Kedatangan jago silat Sang Bun Pang tentu saja
karena ia melihat Yen Ling pergi begitu lama dan belum juga
kembali. Maka ia menyusul. Hal itu sudah jadi sedemikian rupa
sehingga tidak ada waktu bagi Lauw Thian Hauw untuk
berpikir lagi. Dihunusnya pedang panjang itu, lalu menembus
jantung Yen Ling. Yen Ling berteriak mengerikan bulu
tengkuk, Lauw Thian Hauw mengangkat kakinya menyepak
tubuh Yen Ling, melemparkan pedang panjang itu pada Lauw
Hung, segera ia membalikkan tangannya menghantam tembok
yang menggambarkan bayangan darah itu, terdengar suara
"bruk" tembok itu telah rubuh ambruk ke tanah!
Lauw Thian Hauw menggunakan tenaga yang dahsyat
menghancurkan tembok, pada saat itu juga suara tangis pun
berhenti. Tiga orang berjubah kelabu, entah tiba melalui
reruntuhan tembok. Kemunculan mereka bertiba itu,
membawakan sebuah angin jahat, hinga membuat Lauw Jok
Hong dan Lauw Hwie yang berada di dekat mereka tidak
tahan lagi menggidikkan tubuh mereka. Setelah mereka berdiri
ke samping satu persatu, serentak mereka menjura pada
Lauw Thian Hauw dan membuka suara mereka mengilukan
gigi orang yang mendengarnya : "Sam Ya Sian Jin
mengunjungi Lauw Thian Hauw."
Mata Lauw Thian Hauw memandang ke kepala tiga orang
itu, masing-masing mengenakan sebuah topi rumput butut, di
atas topi rumput itu terdapat setangkai kembang putih kecil.
Sekali lihat saja sudah tahu bahwa mereka adalah orang yang
berkedudukan tinggi di Sang Bun Pang, ia Tong Cu sesudah
Pang Cu. Dalam hati Lauw Thian Hauw sangat kacau, tapi ia
mau tidak mau harus berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Ia
pun balas menjura : "Yen Cung cu... Ketiga Tong cu jangan
sungkan-sungkan, kedatangan kamu tepat sekali."
Ketiga orang itu tertegun, yang berdiri di tengah maju
setindak, serunya nyaring : "Apa?"
*** Lauw Thian Hauw berkata berat : "Setelah Yeng Cung cu
datang, Tung Hai Siang Kui pun menyusul. Begitu bertemu,
kedua belah pihak itu lantas berantem. Ketika kami keluar,
semuanya telah binasa bergeletakan di rumah kami, ai! Entah
bagaimana harus ku ceritakan!"
Ketiga orang itu saling pandang, kata mereka : "Dimana?"


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di ruang besar," Lauw Thian Hauw menunjuk ke dalam.
Ketiga orang itu bergoyang, timbullah sebuah angin dingin
dan tubuh mereka telah melayang. Lauw Jok Hong dan Lauw
Hwie yang berdiri di h adapan mereka itu buru-buru
menyingkir. Mereka berdua tidak tahu bagaimana buntutnya
setelah pembunuhan atas diri Yen Ling itu. Kini mendengar
ucapan ayah mereka barusan, pikir mereka, rupanya memang
jahe tua yang lebih pedas. Menuduh Tung Hai Siang Kui yang
membunuh Yen Ling itulah suatu langkah yang baik sekali!
Mereka bertiga masuk ke dalam ruang besar, karena
sepakan Lauw Thian Hauw tadi sangat manis maka mayat Yen
Ling tergeletak di pinggir mayat Tung Hai Siang Kui. Lalu
mereka bertiga berpencar memeriksa ketiga mayat itu. Orang
rumah Lauw masuk, mereka bertiga lalu berdiri.
"Yen Ling seorang jago silat, tidak disangka bisa mati di
bawah tangan Tung Hai Siang Kui!"
Lauw Thian Hauw menghela napas panjang-panjang.
"Apakah Tung Hai Siang Kui membawa anak buahnya?"
seru salah satu dari ketiga orang itu dengan dingin.
Mendengar orang itu bertanya demikian, Lauw Thian Hauw
tertegun sejenak. Dalam hatinya ia berpikir, apa maksud
pertanyaan itu" Dalam sekejap itu ia tidak dapat
memikirkannya, maka ia hanya menjawab sembarangan sja,
untuk menghindar kerusuhan selanjutnya : "Aku kira tidak
ada." "Ketika mereka berantem, apakah Lauw Toa Hiap
menyaksikannya?" Hati Lauw Thian Hauw merasa jengkel, pikirnya, orang itu
terus bertanya, apakah ia telah mencurigai dirinya"
"Ketika kami keluar, mereka masing-masing telah luka
parah," seru Lauw Thian Hauw dingin.
ORang itu tidak lagi berkata apa-apa. Ia menunduk
mengangkat mayat Yen Ling ke atas pundaknya, berjalan
menuju keluar. Yang lainnya mengikuti dari belakang. Setelah
keluar, Lauw Thian Hauw yang juga mengikuti mereka itu
berkata : "Kalian bertiga akan membawa mayat Yen Ling
kemana?" Mereka bertiga baru siap setelah berada di luar pintu, lalu
menoleh seraya berkata : "Lauw Toa Hiap, ada beberapa
perkataan yang harus kami tanyakan dengan jelas."
"Silahkan!" hati Lauw Thian Hauw bergidik.
Dari semula yang dua lainnya tidak bersuara, yang bicara
hanya seorang saja, serunya : "Luka di dada Yen Cung cu
adalah bekas pedang, sedangkan Tung Hai Siang Kui tidak
menggunakan pedang!"
Ucapan itu terlepas, otak Lauw Thian Hauw mendengung,
matanya berkunang-kunang. Ia tertegun sejenak baru berkata
: "Tidak salah. Ketika aku keluar, Ting Tok salah satu dari
Tung Hai Siang Kui itu telah kehilangan senjatanya, ia
melompat ke tembok memetik sebuah pedang dan menusuk
Yen Cung cu." Lauw Thian Hauw menjawab dengan hati berdebar-debar,
dalam hatinya menduga-duga ketiga orang Sang Bun Pang
keparat itu apakh puas dengan penjelasan yang diberinya"
Kalau mereka bercuriga, bagaiman pula" Apakah harus
dibinasakan juga ketiga orang Sang Bun Pang itu" Untuk
membinasakan mereka, dengan orang rumah Lauw sendiri
tidaklah mungkin. Lagi pula, taruhlah mereka bertiga mampus,
dan tidak mungkin untuk mengatakan bahwa Tung Hai Siang
Kui yang membunuh mereka.
"Oh rupanya begitu. Ada lagi yang hendak kami tanyakan,"
ujar orang itu sambil mengangguk.
Perkataan orang itu diikuti dengan pandangan mata yang
mengeringkan yang menyapu-nyapu di tubuh Lauw Thian
Hauw. Hingga membuat Lauw Thian Hauw merasa tidak
leluasa, ia menahan napas dan berkata : "Ada apa lagi?"
Orang itu berkata dengan perlahan : "Tung Hai Siang Kui
yang satu mati kena tusukan pedang, yang satu mati kena
gegeran Khi kang. Semua itu bukanlah kepandaian Yen Cung
cu, apa pula sebabnya itu?"
Mendengar dua pertanyaan itu, Lauw Thian Hauw
kewalahan tidak dapat dijawabnya. Sesaat kemudian barulah
ia berbicara : "Akupun tidak tahu apa sebabnya."
Orang itu tidak lagi melanjutkan pertanyaannya, hanya
katanya singkat : "Terima kasih!"
Begitu habis berkata, ketiga orang telah melayang mundur
keluar dari pintu. Lauw Thian Hauw pun tidak berdaya, ia
hanya dengan terpaku memandang kepergian mereka.
Lauw Nen menghampiri ke belakang ayahnya. "Thia,
mereka telah curiga, kepergian mereka itu akan membawa
kerusuhan!" Dengan ketenaran namanya di kalangan duni Bu lim,
mungkin orang-orang tidak akan percaya ucapan Sang Bun
Pang tapi percaya akan sikapnya, pikir Lauw Thian Hauw.
Memikirkan perkataan "Sikap" itu,ia tertawa pahit.
Namanya memang tidak salah lagi, semua orang menyebutnya
Toa Hiap, tapi perkataan "Toa Hiap" itu dapat bertahan berapa
lama lagi" Telah puluhan tahun ia memperoleh nama itu,
mana mau ia lepaskan begitu saja. Lauw Thian Hauw
menggenggam kedua tangannya sambil membalik tubuhnya.
Lauw Thian Hauw persis berhadapan dengan Lauw Nen yang
berdiri di belakangnya. Tiba-tiba ia berseru : "Kau!"
Lauw Thian Hauw hanya mengucapkan satu perkataan,
tahu Lauw Nen telah bergetar seluruhnya, dan mundur
beberapa tindak. Lauw Thian Hauw tertawa dingin : "Then Kwan ka, kemari!"
Begitu ia berteriak, Then Seng telah berdiri dihadapannya
dengan tenang menulur ke bawah.
Hati Lauw Thian Hauw agak terkejut melihat Then Seng
datang dengan cepat sekali. "Then Kwan ka, dimana kau
tadi?" tanyanya. "Saya di pekarangan belakang. Kalau tidak ada perintah
tuan saya tidak berani kemari," sahut Then Seng.
"Kejadian di depan tadi, kau tidak tahu?" sela Lauw Hung.
"Kejadian apa" Kejadian apa?" Then Seng balik bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Cepat bereskan mayat-mayat di dalam,
dan tembok itu. Kalau ada yang datang, suruh mereka tunggu
dulu di ruang besar. Kami masih tetap berada di rumah
empang!" Then Seng mengangguk. Lauw Thian Hauw terus
melangkah ke rumah empang, menghela napasnya panjangpanjang
lalu berkata sambil duduk : "Taruhlah So Beng Hiat In
tidak datang, kitapun sudah kewalahan!"
"Semua itu gara-gara Toa cie," kata Lauw Nen.
"Dan kau" Apa yang telah kau lakukan" Lauw Thian Hauw
tertawa dingin, bentaknya. Buru-buru Lauw Nen
menundukkan kepalanya. Dalam rumah itu menjadi hening kembali. "Katakan ayo!"
teriak Lauw Thian Hauw. Muka Lauw Nen menjadi pucat pasi, tidak berkata apa-apa.
"Thia, dia telah merampok barang-barang yang dikawal
bersama-sama antara ketujuh puluh empat Piau Kek dari Kang
Pei (daerah utara) di Kang Lam (daerah selatan)!" sela Lauw
Hung. Terdengarlah teriakan "Ah" yang ramai, yang berteriak
adalah Lauw Thian Hauw, Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie
bertiga setelah mereka mendengar ucapan Lauw Hung itu.
Sejurus kemudian, Lauw Thian Hauw baru berkatan dengan
perlahan : "Kalau begitu, Kang Lam Toa Hiap Kim Teng Cen
Thian Lam... Go Thian Keng menyebarkan undangan untuk
minta jago-jago silat dari aliran putih maupun aliran hitam
memperhatikan penjahat bertopeng yang telah merampok dan
membunuh anaknya, dan... memperkosa anak gadisnya itu
rupanya ialah engkau?" kata Lauw Thian Hauw sambil
memandang Lauw Nen. Pandangan itu tidak begitu tajam,
malah mengandung perasaan ssedih. Tetapi di bawah
pandangan ayahnya Lauw Nen tak henti-hentinya bergemetar,
sesaat kemudian baru ia dapat berkata : "Aku... tidak
memperkosa Go... ko nio (panggilan seorang gadis)!"
Lauw Thian Hauw berteriak, berbarengan dengan itu,
tangannya yang seperti kipas telah terbalik. Balikan tangannya
menimbulkan angin menderu-deru di dalam rumah empang.
Beberapa orang telah mundur, hanya Lauw Nen yang masih
mematung. Tangan Lauw Thian Hauw telah melayang ke atas,
telapak tangannya telah membidik kepala Lauw Nen. Saat ini,
ia tidak perlu memukulkan tangannya, cukup dengan tenaga
yang dikeluarkan Khi kang asli saja untuk mematikan Lauw
Nen, pikiran dalam hatinya pun demikian. Tetapi ketika Khi
kangnya kucar-kacir tidak dapat dipusatkan, seperti seekor
kuda binal yang terlepas dari ikatan tambangnya, Lauw Thian
Hauw sangat terperanjat sekali. Hanya sekejap, kepalanya
telah bercucuran air keringat, tubuhnya pun tak tahan lagi
bergemetaran. Lauw Hung yang berdiri di samping, setelah melihat
keadaan ayahnya, ia pun sangat terperanjat : "Thia, kenapa
kau" Kenapa kau?"
Lauw Thian Hauw tidak menyahut, saat ini, karena sangat
terperanjat, sangat kaget dan sangat takut. Khi kang berlari
kucar kacir dalam tubuhnya, setiap saat bisa salah jalan dan
dapat membuatnya kesurupan!
Dalam keadaan begini, ia harus memusatkan perhatiannya,
bahkan iapun tidak mendengar pertanyaan Lauw Hung,
apalagi untuk menjawabnya. Ia mundur setindak, tiba-tiba
duduk, keringatnya yang lebih besari tetesan air hujanitu terus
bercucuran dari kepalanya. Lama sekali baru terdengar ia
menhela napas panjang-panjang, dan membuka mata sambil
menyeka keringat. "Go Toa Hiap adalah kawan karibku, apakah kamu tidak
tahu?" katanya. "Tentu saja kami tahu, tetap Toa te melihat anak gadis
orang cakap..." kata Lauw Hung sambil memandang Lauw Nen
dengan tajam, dalam hatinya merasa bersyukur karena
perbuatan Lauw Nen itu lebih jahat daripada perbuatannya. Ia
dicelakai Yo Pang Sa, tapi Lauw Nen soal itu adalah hasil
perbuatan Lauw Nen sendiri. Kedatangan So Beng Hiat In,
80% ialah untuk mencari Lauw Nen, sama sekali tidak ada
sangkut paut dengan dirinya. Lagi pula Yen Ling dan Tung Hai
Siang Kui telah meninggal semuanya, persoalannya akan
beres begitu saja, tidak ada lagi orang yang menanyainya.
Maka ketika Lauw Thian Hauw menatap Lauw Nen, hatinya
merasa bersyukur. Tetapi Lauw Nen sama sekali tidak memperhatikan
pandangan Lauw Hung yang mengandung perasaan syukur
itu, tubuhnya bergemetar terus-terusan, otaknya pun kian
lama kian beku, tetapi ucapan Lauw Thian Hauw itu tetap
berputar-putar dalam otaknya. Go Toa Hiap adalah kawan
karibku. Kawan karib, ai, kesukaran itu justeru timbul dari
kawan karibku! Lauw Nen hanya merasakan otaknya menjadi
kosong memutih, kemudian putih itu berantakan, menjadi
berkeping-keping menari-nari dan meloncat-loncat, bagaikan
hujan salju. Ya, memang hujan salju.
Hujan salju yang lebat sekali yang jarang terlihat di Kang
Lam menutupi pondok-pondok di desa Sui Sia yang dalam
suasana gembira ria. Anak-anak sedang bermain dengan
asyiknya di bawah hujan salju. Umur yang agak kecilan
memetik batang leher yang telah membeku di emperan
rumah, dimasukkan ke dalam mulut dan diisap dengan asyik
sekali. Singa emas Lauw Thian Hauw bersama anaknya Lauw
Nen, sedang memacu kuda di bawah hujan salju. Setelah
menyeberangi sungai, hujan salju belum juga reda. Mereka
telah memacu kuda bersama selama dua hari. Pemandangan
Kang Lam di bawah hujan salju lebih menarik dan lebih
mempesonakan, seperti seorang gadis cantik yang memakai
baju putih. Hingga sangat mempesonakan hati Lauw Nen.
Tetapi setelah mereka berdua sampai di rumah Go Toa
Hiap, dan Lauw Nen telah menemui Go So Lan, ia tidak
merasa terpesona lagi, tapi bagaikan berdiam di dunia lain.
Lauw Nen ingat dengan jelas sekali pada siang hari itu, salju
agak reda. Mereka sampai di Go ka cung dan berhenti di
depan pintu yang bercat merah. Di kedua sisi pintu merah
bukan terpasang dua buah singa batu, melainkan dua buah
guci yang lebih tinggi dari manusia, berkilau-kilauan.
Dipandang dalam hujan salju, guci itu menyala dan
menyilaukan. Itulah rumah Kang LamToa Hiap Kim Teng Ceng
Thiam Lam... Go Thian Kheng.
Lauw Nen tahu mengapa ayahnya datang kemari dari
tempat yang beribu li jauhnya, karena Go Toa Hiap
mempunyai seorang anak gadis. Barang siapa pernah melihat
anak gadis Go Toa Hiap, tidak ada satu orang yang tidak
memuji kecantikannya. Lauw Thian Hauw mengharapkan
anaknya dapat berkenalan dengan anak gadis Go Thian
Kheng, itu diketahui Lauw Nen. Tetapi hati Lauw Nen agak
kurang senang. Di daerah utara, entah ada berapa banyak
gadis cantik yang menantinya, kenapa harus datang dari
begitu jauh untuk menengok anak gadis Go Toa Hiap itu"
Sesampai mereka di pintu merah, tiba-tiba pintu telah
terbuka. Berbareng dengan suara tertawa "Ha ha" yang besar,
keluar seorang yang melangkah lebar dari dalam. Buru-buru
Lauw Thian Hauw dan anaknya turun dari kuda, tetapi ketika
Lauw Nen melihat orang yang keluar itu, hatinya merasa geli.
Orangnya pendek, gemuk bulat, melihat wajahnya saja sudah
lucu. Lauw Nen melihat ayahnya begitu hangat pada orang itu
dan memanggilnya sebagai saudara, tahulah Lauw Nen bahwa
orang itu ialah Go Thian Kheng Toa Hiap.
Yang dipikirkan Lauw Nen kini, bukanlah nama Go Toa Hiap
yang kesohor yang bertubuh pendek, melainkan memikirkan
bagaimana orang sejelek itu dapat mempunyai seorang anak
gadis yang cantik?" Tetapi ketika ia berpikir begitu, tiba-tiba ia tertegun. Dalam
sekejap saja, ia telah melupakan sopan santun, telah lupa
segala-galanya. Apa yang dilihatnya hanyalah seorang gadis di
hadapan mukanya! Anak gadis itu berdiri di belakang Go Thian
Kheng, tubuhnya tidak begitu tinggi, tapi tidak juga pendek. Ia
berdiri dengan tenang, berbaju putih yang dihiasi kancing
hijau, rambutnya hitam legam, digulungnya menjadi dua buah
konde hingga membuat pipinya yang kemerah-merahan itu
lebih mempesonakan lagi. Matanya menunduk, bulu matanya
menutupi sepasang matanya, dadanya turun naik dengan
pelan-pelan, menunjukkan ia sangat tidak biasa menghadapi
orang asing.

Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini barulah Lauw Nen bersujut memberi hormat pada Go
Toa Hiap. Go Toa Hiap melambaikan tangannya ke belakang pada
anak gadisnya sambil berkata dengan sangat bangga : "Inilah
anakkku So Lan. Berilah hormat pada Lauw Toa Hiap!"
Go So Lan maju dengan langkah lembut, dirasakan Lauw
Nen bahwa Go So Lan bukan sedang berjalan, tanah salju pun
bukan tanah salju. Tanah salju ialah awan, sedangkan Go So
Lan ialah bidadari melayang-layang dari awan. Ketika mereka
berdua saling memberi hormat, pertama kali Lauw Nen
membentur pandangan mata yang amat sukar dimengerti.
Sesaat itu ia membulatkan tekadnya. Seumur hidup ini, kecuali
So Lan, ia tidak mau kawin dengan gadis lain! Go So Lan
hanya berdiri menunduk. Beberapa kali ia mengangkat
kepalanya tapi ia terpaksa menunduk kembali karena
terbentur dengan pandangan mata yang sangat hangat
laksana bara, bahkan ia belum tahu bagaimana raut muka
anak Lauw Toa Hiap ini. Tapi ia tidak peduli. Ia pun tidak tahu
maksud kedatangan anak Lauw Toa Hiap ini, ia tidak ambil
pusing dengan raut muka anak she Lauw itu karena hatinya
telah memiliki seseorang.
Hati Lauw Nen berdetak. Ia bertanya pada dirinya : Siapa
orang itu" Dari pintu sampai ke ruangan besar, Go So Lan
terus mengikuti ayahnya. Go Toa Hiap tertawa terkekeh-kekeh
: "So Lan, mana toako-mu " Mengapa tidak main-main dengan
Lauw Kong cu" Sepasang pedang Lauw Kong cu telah
mencapai kesempurnaannya, kenapa tidak minta petunjuk
darinya?" Baru perkataan Go Toa Hiap itu habis, seorang pemuda
yang beralis tebal dan penuh semangat telah berjalan keluar.
Tubuhnya agak pendek, lebih pendek daripada adiknya
setengah kepala. Ia melangkah sambil tersenyum simbul :
"Bagaimana, masa menghendaki kami baru bertemu lantas
berantam?" Semua orang di ruang besar itu pada tertawa, Go Eng Kiat
pun tertawa. Lauw Thian Hauw mengulurkan tangan menepuk-nepuk Go
Eng Kiat : "Nak, kabarnya kau memiliki palu yang lihai sekali.
Kenapa tidak dipertunjukkan pada kami, supaya kamu dapat
meluaskan pandangan kami?"
"Lauw popo (paman) jangan bergurau. Kepandaian saya
ini, mana bisa dipertontonkan di depan orang" Membuat malu
saja, bahkan aku tidak dapat mengalahkan adik saya yang
mempunyai Mei Hua (Golok kembang Mei) yang lihai," kata Go
Eng Kiat. "Toa ko," teriak So Lan, inilah ucapan Go So Lan. Begitu Go
So Lan membuka suaranya, Lauw Nen lebih membulatkan
tekadnya lagi. "Eng Kiat, kenapa kau tidak minta petunjuk dari Lauw Kong
cu beberapa jurus?" kata Go Thian Kheng.
Baginya merasa tegang, buru-buru ia berkata pada dirinya
sendiri : "Aku harus menang dari Eng Kiat, orang cantik suka
pada jagoan. Kalau ilmunya tidak meyakinkan, bagaimana
dapat pandangan Go So Lan?" Justru karena Lauw Nen telah
mempunyai tekad begitu, maka ketika ia dan Eng Kiat
memegang senjata, wajah Go Eng Kiat masih berseri-seri
dengan palunya yang bersegi delapan; lagaknya lenggang,
sedangkan Lauw Nen telah menghunuskan sepasang pedang
dengan memusatkan seluruh perhatiannya. Pedang kirinya
berdiri di dada melindungi tubuhnya, ujung pedang kanan
agak menurus ke tanah. "Lauw toa ko, silahkan!" teriak Eng Kiat.
Lauw Nen pun tidak sungkan-sungkan, ia melangkah maju
mengibaskan pedang kananya, pedang kirinya diayunkan ke
atas. Sangat sulit memainkan sepasang pedang, karena
sepasang pedang harus saling jaga menjagai satu sama lain,
dalam setiap jurus, kedua pedang itu ada yang menyerang
dan ada yang menahan, jurus-jurusnya sangat ruwet. Ilmu
pedang 24 jurus Lauw Nen itu adlah hasil gemilang Lauw
Thian Hauw, semenjak umurnya 4 tahun,ia telah mulai
berlatih, kini ia mempunyai kepandaian selama 14 tahun.
Jurus 'angin melintang hujan miring' itu sangat hebat!
Go Eng Kiat terperanjat melihat Lauw Nen telah menyerang
bagian-bagian yang sangat penting dari tubuhnya dalam jurus
pertama. Buru-buru menurunkan palunya ke bawah, terdengar
suara "cring! cring!" dua kali. Sepasang pedang Lauw Nen
telah membentur palunya. Go Eng Kiat mengira bahwa dirinya
telah menangkis sepasang pedang Lauw Nen, tentu Lauw Nen
akan menarik pedangnya dan menyerang kembali. Tetapi tak
disangka, tubuh Lauw Nen malah maju setengah tindak, tidak
menarik pedangnya. Dengan tenanga melangkah maju itu,
punggung pedangnya terus menusuk, ujung pedangnya telah
menyerang pergelangan tangan Eng Kiat. Bersamaanitu
pedang kanannya membuat lingkaran membabat leher Eng
Kiat, serangan sepasang pedang Lauw Nen dalam jurusan ini
boleh dikatakan sangat pedas!
Hati Eng Kiat berdetak, pikirnya, permainan apa ini" Kini
hanya main-main, ataukah betul-betul mengadu jiwa" Tibatiba
tubuhnya menyusut, tadinya tubuhnya memang pendek,
ditambah dengan susutan itu lagi, hingga menjadi segumpal
daging seperti bola, dengan daya susutan ia menggelinding ke
belakang. Babatan Lauw Nen menjadi kosong. Go Thian
Kheng bersorak : "Ilmu pedang yang baik sekali!"
DAn Lauw Thian Hauw mengerutkan alisnya.
Kedua jurus Lauw Nen itu memang pedang. Lauw Thian
Hauw tidak mungkin tidak dapat melihatnya tetapi ia tidak
bersuara. Go Eng Kiat bergelinding lalu berdiri, katanya : "Ilmu
pedang Lauw Toa ko memang bukan main, setiap jurus
membahayakan. Sungguh hebat sekali!"
Go Eng Kiat sengaja menekan "Setiap jurus
membahayakan", kerena ia telah muak dengan tingkah laku
Lauw Nen pada saat itu. Lauw Nen hanya ingin menunjukkan
kepandaiannya di depan Go So Lan, maka ia tidak
mempedulikan ucapan Eng Kiat. Katanya dengan suara yang
berat : "Silahkan!" Seakan ia telah berada di atas angin,
kemudian, sepasang pedangnya beradu terdengar suara
"cring!" lalu, pedangnya berpisah. Yang satu ke kanan, yang
satu ke kiri, terus menyerang bola mata Go Eng Kiat! Go Eng
Kiat memperingatkan lawannya dengan ucapannya, tapi
lawannya tidak sadar, hatinya merasa marah berbareng geli.
Karena begitu beradu, Go Eng Kiat elah tahu bahwa jurusan
pedang Lauw Nen memang hebat, tapi tenaga dalamnya
masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan dirinya, mau
menaklukinya, itu adalah suatu hal yang sangat gampang
sekali. "Cring! Cring!" sepasang pedang Lauw Nen telah
mengenai palunya. Inilah untuk kedua kalinya ada kejadian
begitu, tapi kali ini dengan tadi sangat berbeda. Ketika Lauw
Nen menyerang dengan sepasang pedangnya, ia merasakan di
atas palu Go Eng Kiat terdapat tenaga mental yang sangat
dahsyat hingga sepasang pedang Lauw Nen terpental ke atas.
Lauw Nen hanya merasakan sepasang lengannya kejang,
tubuhnya terhuyung, kini dadanya terbuka lebar. Kalau Go
Eng Kiat mau menyerang, itu adalah suatu hal y ang sangat
gampang sekali! Dalam keadaan begitu, hati Lauw Nen sangat terperanjat.
Tapi Go Eng Kiat hanya mendorong palunya sedikit ke depan,
tidak menyerang pada Lauw Nen. Melihat keadaan itu pun
Lauw Nen tahu bahwa Go Eng Kiat tidak menurunkan tangan
yang keras. Hingga membuat dirinya merasa malu bercampur
benci. Pada waktu itu ia tidak banyak pikir, ditariknya kedua
pedang itu dan membabat ke bawah. Itulah suatu jurus yang
mematikan dari ke 24 jurus ilmu pedangnya! Lauw Thian
Hauw melihat Lauw Nen tiba-tiba menggunakan jurus itu, ia
tahu kalau jurus tsb dimainkan secara matang sekali, Go Eng
Kiat mampus. Maka Lauw Thian Hauw berteriak gemuruh,
seakan halilintar menyambar di langit, hingga tangan Lauw
Nen sekonyong-konyong tergetar.
Teriakan yang menggelegar membuat suatu kesempatan
hidup bagi Eng Kiat, tiba-tiba ia menggelinding beberapa
tindak. Tetapi babatan Lauw Nen itu tetap melalui pinggang
dan bahunya hingga menggoreskan suatu luka yang
meneteskan darah segar! Walaupun Go Eng Kiat tidak terluka tetapi ketika ia
menggelinding, ia tetap dapat berdiri tegak. Wajahnya pun
menjadi marah, tapi ia masih memandang Lauw Thian Hauw,
maka tidak dilampiaskan marahnya. Hanya berkata dengan
nada dingin : "Ilmu pedang Lauw heng memang hebat, hingga
saya kagum sekali." Nada Go Eng Kiat dingin sekali, di
dalamnya mengandung nada ejekan, siapa pun dapat
merasakanna. Andaikata Lauw Nen mau minta maaf pada
waktu itu, hal itu dapat ditutupi dengan alasan salah lupa
pukul. Tapi tidak begitu halnya, justru ingin berlagak jago di
hadapan Go So Lan, dan ia telah lupa bahwa ia tadi telah
menggunakan suatu cara yang sangat keji melukai toako-nya
Go So Lan. Malah ia masih berkata dengan bangga : "Tidak
berani. Go heng cuma mengalah saja," bahkan ia
menganggap dirinya sebagai pemenang.
Mendengar ucapan Lauw Nen itu, Go Eng Kiat jadi naik
darah. Ia berteriak ingin maju lagi, tapi pada waktu itulah,
tubuh Go Thian Kheng bergoyang dan telah berdiri dari
tempat duduknya, menghadang di tengah-tengah mereka
berdua, bentaknya : Eng Kiat, kau sudah kalah, kenapa mau
diteruskan lagi?" Di pihak lain, Lauw Thian Hauw pun telah berdiri sambil
berkata : " Nen jie, kau masih tidak mau buru-buru minta
maaf, semua orang tahu kau bukan lawannya."
Lauw Nen berdiri mematung, dalam hatinya ia merasa
dongkol sekali pada ayahnya. Tentu saja ia tidak mau minta
maaf, ia hanya melirik. Tetapi yang sangat mengecewakannya
adalah entah sedari kapan Go So Lan telah meninggalkan
ruang besar, entah kemana perginya. Hati Lauw Nen seolah
merasakan kehilangan sesuatu, dongkol sekali, bahkan ia tidak
mendengar apa yang telah diucapkan oleh ayahnya! Walaupun
Go Thian Kheng masih tetap bersikap ramah, tapi Lauw Thian
Hauw merasa malu karena anaknya telah berbuat sesuatu hal
yang sangat keji, maka buru-buru ia minta permisi. Kedua
ayah anak itu memacu kuda mereka lagi di hujan salju
meninggalkan rumah To Toa Hiap, kunjungan sekali ini boleh
dikatakan sedikitpun tidak berhasil.
Setelah berjalan tujuh delapan li, Lauw Thian Hauw baru
membentakanaknya : "Binatang.Ilmu-mu tidak sepandai
orang, ngakulah kalah dengan terus terang. Sekarang sudah
sampai macam ini, siapa lagi yang akan memandang kau?"
Biarpun Lauw Nen lagi menunggang kuda, hatinya masih
tertinggal di rumah Go So Lan. Kembang salju yang
berterbangan di hadapannya, bagaikan setiap buahnya
mengandung wajah Go So Lan, sedangkan dia tidak dapat
meninggalkan rumah Go, maka hatinya merasa jengkel sekali.
Tadinya memang dia telah sangat membenci Go Eng Kiat,
ingin rasanya ia marah pada Go Eng Kiat, ditambah lagi
dengan ucapan ayahnya, hingga hatinya merasa panas. Ia
tidak perduli lagi apakah ia sedang menghadapi orang tuanya
sendiri. Teriaknya : "Hm, bocah cilik Go Eng Kiat itu, apa pul
hebatnya. Suatu hari akan ku buat mampus dia!"
Lauw Thian Hauw terkejut mendengar ucapan anaknya. Ia
menghentikan kudanya dan memandang pada Lauw Nen.
Karena ia berdiri tidak bergerak, cepat sekali topinya telah
dipenuhi dengan kembang salju. Ia memandang Lauw Nen,
seakan sedang memandang seorang asing, bukan
memandang anaknya. "Kau, apa yang kau katakan tadi?" sesaat kemudian baru
iaberkata. Saat ini Lauw Nen telah lesu begitu mendengar
ucapan ayahnya tidak mengandung nada marah, maka ia
berkata lagi : "Aku mesti membuat bocah cilik Go Eng Kiat itu
mampus!" berhenti sejenak lalu tambahnya lagi,"Lagi pula,
aku akan memperistri Go... ucapan selanjutnya belum habis,
Lauw Thian Hauw telah berteriak, mengacungkan pecut
kudanya memecut kepala Lauw Nen.
Pecutan Lauw Thian Hauw itu bukan main cepatnya.
Jangankan Lauw Nen tidak bersiaga sebelumnya, andaikata
bersiaga ia pun takkan dapat mengelak dari pecutan ayahnya.
Buru-buru ia memiringkan kepalanya, terdengar suara "plaak",
pecut itu persis mengenai bahu kanannya, hingga ia berteriak
kesakitan lalu jatuh dari kudanya tergeletak di atas salju.
Bagian yang terkena pecut menjadi pedas, seakan lengan
kanannya copot dibabat golok.
Sedangka pecutan Lauw Thian Hauw itu, tenaganya tidak
habis setelah memecut Lauw Nen, terus menghantam pantat
kuda, hingga membuat kuda itu pun kesakitan, meloncatloncat
berlari ke depan. Lauw Nen berguling-guling di atas salju, terdengar suara
bentakan ayahnya : "Binatang yang tidak berguna,
bersujudlah untuk mengakui kesalahanmu!"
Lauw Nen memegang lengan kanannya dan menggigit
giginya, tidak bersuara. "Baiklah, kapan kau mau bersujud di depan aku untuk
mengakui kesalahanmu, datanglah padaku! Kalau tidak, kau
bukan lagi anakku!" Lauw Thian Hauw mengakhiri kata-katanya dengan
memecut kudanya, dan memacu ke depan. Sampai kuda Lauw
Thian Hauw tidak terlihat lagi, baru Lauw Nen meronta-ronta
bediri dari tanah. Lengan kanannya masih terasa sakit sekali.
Ia menggigit bibirnya berjalan kaki. Setelah berjalan setengah
li, barulah terlihat sebuah pondok kecil. Ia masuk ke dalam
pondok dan duduk menghela napas. Dibuka bajunya, dilihat
bahunya membengkak dan merah, sakitnya bukan kepalang.
Ia mencomot segenggam salju, diletakkan di tempat luka,
baru ia merasa agak enakan. Berturu-turut menukar tiga kali
salju, Lauw Nen baru menutup kembali bajunya. Kebencian
pada Go Eng Kiat dan kerinduannya pda Go So Lan lama-lama
kian mendalam. Ia pun tidak ingin pulang ke rumah, tentu
saja ia lebih -lebih tidak mau mengaku salah. Ia duduk di
dalam pondok itu lama sekali, memikirkan di antara kawankawannya.
Siapa yang kira-kira dapat membantu
melampiaskan kemarahannya. Pada saat itu, ia melihat ada
dua orang datang dari kejauhan. Kedatangan kedua orang itu
sangat aneh, seakan keduanya bukan melangkah maju tapi
meluncur ke depan. Maka ketika mereka meluncur, tumpukan
salju di bawah kaki mereka bermuncratan ke sebelah-sebelah,


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

indah sekali. Kecepatan mereka tinggi sekali. Tak lama
kemudian sampailah mereka di pondok itu. Melihat keadaan
mereka, tampaknya mereka mau melewati pondok terus
melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi ketika lewat di depan
pondok, salah satu di antara orang itu menoleh ke belakang.
Begitu melihat Lauw Nen, ia terpekik dan menyenggol
temannya dengan bahu, lalu kedua-duanya berhenti.
Kecepatan mereka berdua itu tinggi sekali, Lauw Nen tidak
dapat melihat mereka dengan jelas. Hingga mereka berhenti,
Lauw Nen baru dapat melihat dengan jelas. Kedua orang itu,
yang satu sudah tua yang satu masih muda. Yang tua kira-kira
berumur 60-an, pendek tegap, berjubah hitam, wajahnya
cerah memancarakan kecerdikan. Sedangkan yang muda,
baru 30-an, tubuhnya tinggi semampai, berjubah hijau,
tangannya memegang sebuah kipas. Ketika berhenti ia
membentangkan kipas, yang tergambar di atas kipas itu
adalah seorang wanita cantik, sangat mempesonakan.
Lauw Nen memandang pada mereka. Ia tidak kenal, tetapi
orang tua itu memandang lagi pada Lauw Nen, lalu berkata
pada Lauw Nen dengan tersenyum : "Bukan Lauw kong cu ini"
Kenapa sendirian disini?"
Walaupun Lauw Nen tidak kenal pada mereka, tapi melihat
wajah mereka tersenyum dan lagi orang tua itu menyebut
dirinya "Lauw kong cu" sikapnya sangat hormat hingga
membuat Lauw Nen merasa tubuhnya melayang-layang, maka
ia berdiri sambil berkata : "Saya Lauw Nen, ji wi (kamu
berdua) adalah..." "Saya Sun Ang, lo te ini adalah Yo Bun Cing..." orang tua
berkata sambil tertawa. Ketika orang tua itu menyebutkan nama mereka, Lauw Nen
rasanya sangat kenal akan nama itu, tapi ia tidak bisa lantas
teringat. Sambung orang tua itu lagi : "Kami berdua, ada juga
sedikit nama, di kalangan Bu lim kami disebut Cung San Siang
Kiat (dewi tunggal gunung Cung)."
Bersamaan pada waktu itu, dalam hati Lauw Nen pun telah
teringat akan 'Cung San Siang Kiat', telinganya mendengar
sebutan itu lagi, hingga membuat tubuhnya terloncat,
teriaknya terlanjur : "Cung San Siang Kiat!"
"Nama kami kecil sekali, mungkin Lauw Toa kong cu tidak
kenal," kata Yo Bun Cing sambil tertawa.
Kini Lauw Nen pun telah melupakan kedudukannya sebagai
'Toa kong cu', buru-buru ia menyahut : "Tahu, aku tahu, di
dunia kang ouw siapa yan tidak tahu nama besar kamu
berdua?" Ia sambil berkata sambil memikirkan untuk kabur, tapi ia
juga merasa malu. Kalau mau kabur, yang lebih memalukan
lagi ialah belum tentu ia dapat kabur! Cung San Siang Kiat,
yang tua jago senjata rahasia, yang muda jago benda berbisa.
Di atas tubuh mereka, yang tua sangat penuh dengan senjata
rahasia. Sedangkan yang muda, entah berapa banyak
binatang yang sangat berbisa dipeliharanya, diletakkan di
dalam sebuah kantong kulit spesial, lebih hebar daripada
senjata rahasia. Setelah mereka berdua menggunakan senjata
rahasia dan benda berbisa mengalahkan Cok Len Cit Sian (7
dewa bukit Cok), nama mereka menjadi tenar. Orang-orang
Bulim kalau melihat mereka pasti merasa jeri. Itu disebabkan
karena ilmu mereka sangat berbeda dengan yang lain-lainnya,
sangat sulit menghadapinya. Setiap tahun membuat
kerusuhan, maka nama mereka kian lama kian tenar.
Mendadak Lauw Nen bertemu dengan mereka, tentu saja
hanya menjadi kecut. Pada waktu ia ingin kabur dan tidak jadi,
Cung San Siang Kiat telah memasuki pondok itu.
Lauw Nen lebih takut lagi, entah apa yang terkandung
dalam hati mereka. Dilihatnya Sun Ang yang masuk duluan,
memandangnya dengan terkekeh-kekeh. Hati Lauw Nen
dibuatnya bergidik, maka ia terpaksa menyapa dengan iseng,
karena tidak ada yang mau dikatakannya : "Saya rasa belum
pernah melihat Ji wi, engah bagaimana Ji wi bisa kenal pada
saya?" "Lauw toa kong cu muda perkasa, banyak kepandaian,
orang-orang Bu lim siapa yang tidak kenal?" kata Sun Ang.
Julukan yang tinggi itu membuat hati Lauw Nen merasa
sangat sejuk. Pikirnya : Tampaknya mereka berdua itu tidak
berniat jahat, tapi dengan kabar dari orang-orang Bu lim,
kedua-duanya terkenal karena kegalakan mereka. Harus hatihati,
ia berpikir sambil memegang gagang pedangnya dengan
sepasang tangannya. "Lauw Toa kong cu jangan kuatir, kami berdua tidak
berniat jahat. Kalau tidak, taruhlah kau ingin mencabut
pedangmu, itupun sudah terlambat," kata Yo Bun Cing sambil
tertawa. Lauw Nen merasa malu, karena tindakannya diketahui
lawan. Ia masih muda, mau muka, mau berlagak lagi, tapi
dalam pandangan orang kang ouw yang telah berpengalaman,
sekali lihat saja sudah tahu bahwa dia adalah seekor anak
kambing lemah. Ucapan Yo Bun Cing sangat memalukannya.
Sun Ang datang menghibur : "Ji te, sepasang pedang Lauw
toa kong cu itu bukan main. Andaikata dia benar-benar mau
turun tangan, jangan-jangan kita tidak dapat menahannya!"
kata Sun Ang sambil tertawa.
"Mana, mana, sahbat Sun bisa saja!" kata Lauw Nen sambil
menghela napas. Akhirnya ia dapat menutupi rasa malunya,
tapi punggungnya telah mengucurkan keringat dingin.
"Kalau Lauw toa kong cu tidak ada urusan apa-apa, mari
kita sama-sama pergi ke kota Kouw So melancong," kata Sun
Ang. "Tidak, jangan," buru-buru Lauw Nen mengoyanggoyangkan
tangannya. "Apakah Lauw toa kong cu tidak sudi berkawan dengan
kami" Mungkin takut kami minta pertolongan?" kata Sun Ang.
"Tentu saja bukan," kata Lauw Nen. Ia merasa kurang enak
mendengar ucapan Sun Ang tadi. Bersama denganitu, dlaam
hatinya berpikir, tampaknya sikap kedua orang itu sangat baik,
tidak menakutkan seperti apa yang tersiar dalam kalangan
kang ouw. Rupanya cerita-cerita itu tidak patut dipercaya.
"kalau Lauw toa kong cu bukan tidak sudi berkawan
dengan kami, tentulah setuju bukan?" kata Sun Ang.
Lauw Nen merasa tidak enak untuk menolak lagi, katanya
dengan terpaksa : "Baiklah."
Mereka bertiga keluar dari pondok, dan melangkah maju,
tak lama kemudian mereka telah melewati hutan kecil.
Terdengar suara tertawa yang mengalun dari dalam hutan,
beberapa gadis sedang saling uber menguber bersenda gurau.
"Gadis cantik-cantik, entah anak siapa?" kata Sun Ang dan
Yo Bun Cing berbarengan. Lauw Nen bersama mereka, hanya mendengar mereka
berbicara tentang hal-hal Bu lim. Ia merasa malu sekali,
karena tidak dapat ikut campur. Sampai saat ini, ia baru
merasakan boleh turut bersuara, tanpa pikir lagi ia berkata :
"Gadis-gadis itu belum apa-apa, kalau mau yang cantik, anak
gadis Go Toa Hiap baru boleh dikatakan cantik!" ucapannya itu
mengandung nada bahwa dalam soal itu ia lebih tahu daripada
mereka. "Ya, kecantikan Go kouw nio memang ternama. Lauw toa
kong cu, dengan kepandaianmu ini, hanyalah orang yang
seperti Go Kouw nio itu yang baru cocok denganmu!" kata Yo
Bun Cing sambil mengangguk.
Ucapan itu tepat sekali mengenai hati Lauw Nen, tetapi
memikirkan kejadian di rumah Go Toa Hiap, tak tertaha lagi ia
menghela napas dan geleng-geleng kepala hingga ia sulit
untuk berkata lagi!"
Sun Ang dan Yo Bun Cing berdua, melihat Lauw Nen
tertunduk tidak berbicar, mereka saling pandang dan
membuat lirikan. "Toa kong cu mengapa tidak bicara, apakah Go kouw nio
masih cocok?" kata Yo Bun Cing.
"Tentu saja bukan, ai, lebih baik jangan dikatakan," Lauw
Nen menghela napas. "Kita baru berkenalan, rupanya sangat akur, kalau Toa
kong cu ada apa-apa, coba ceritakan, jangan-jangan kami bisa
bantu sedikit?" Lauw Nen mengandalkan ketenaran nama
ayahnya, sering membuat kerusuhan, tapi kedudukannya lain.
Ia tahu Cung San Siang Kiat itu tidak boleh diganggu.
Andaikata terlalu dekat dengan mereka, tentu saja akan
mendapat kecelakaan. Tetapi kini, setiap perkataan Cung San
Siang Kiat selalu saja mengenai hatinya, hingga membuat dia
tidak dapat tidak ngobrol dengan mereka.
*** Bagian Empat Pada waktu itu ia menghela napas lagi : "Saya takut tidak
bisa lagi, saya... saya sudah melukai abang Go kouw nio."
"Ah itukan tidak ada halangannya, anak gadis harus kawin.
Kau melukai abangnya, itu lebih menunjukkan bahwa kau
adalah pemuda yang gagah perkasa. Siapa tahu kalau hatinya
diam-diam telah menyukai kau, kenapa kamu mesti bermuram
durja?" kata Cung San Siang Kiat.
Siapa pun yang dapat pujian begitu, walaupun tahu bahwa
hal itu tidaklah mungkin, tapi masih senang menerimanya.
Apalagi Lauw Nen masih berdarah muda, gengsinya terlalu
tinggi. Begitu mendengar ucapan Cung San Siang Kiat segera
hatinya berpikir : "Ya betul, mungkin dia sudah jatuh hati
padaku, maka dia malu-malu kucing berlalu dari tempat itu"
KEnapa musti bermuram durja" Hm, kalau dapat membawa
Go So Lan pulang ke rumah menengok ayah, mau tahu apa
yang akan dikatakan ayah lagi. Tentu saja ayah takkan
memaksa dia mengaku salah. Perhitungan Lauw Nen itu
begitu elok, hingga makin dipikir makin beralasan rasanya,
buru-buru ia menjura pada Cung San Siang Kiat : "Terima
kasih atas peringatan kamu berdua, hingga pandangan saya
terbuka!" Lauw Nen berkata sambil menggerakkan tubuhnya
melayang ke depan. Ketika ia melonjak, terdengar suara "ser,
ser" dua kali,dua buah bayangan lewat dari sampingnya dan
berhenti di hadapannya. Mereka itu ialah Cung San Siang Kiat.
Kata mereka :" Lauw toa koncu, sekarang kau mau kemana?"
"Tentu saja ke rumah Guci Emas Go toa hiap untuk
menengok nona Go," kata Lauw Nen.
"Kau pergi begitu saja?" tanya Sun Ang sambil tertawa.
Tadinya Lauw Nen memang belum mengerti, mendengar
pertanyaan Sun Ang, ia menjadi terpaku : "Mau apa lagi?"
"Bukankah kau tadi baru bilang, bahwa kau telah melukai
abangnya nona Go" Kalau kau telah jadi suami istri dengan
nona Go, abangnya adalah misanmu. Kau telah melukainya,
masa kau tidak mau minta maaf" Maka kau harus
menyediakan beberapa barang yang dibawa oleh kedua
pengiringmu, untuk minta maaf padanya."
"Menyuruh saya minta maaf, saya tidak mau!" Lauw Nen
mengerutkan alisnya. "Toa kong cu, kalau tidak merendahkan diri, bagaimana
kau dapat memperistri seorang cantik jelita" Seorang ksatria
harus dapat bersabar, biarpun diketahui orang kang ouw,
itupun akan menjadi cerita indah. Sekali-sekali tidak ada orang
yang akan mentertawakan kau, kalau tidak begitu, belum
sampai di pintu, kau akan diusir orang!"
"Ini... ini... saya keluar bersama ayah saya, saya tidak
membawa uang..." Lauw Nen menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal itu. "Itu tidak seberapa, kami ada. Toa kong cu boleh pakai
dulu," kata Yo Bun Cing.
"Terima kasih, kemudian hari pasti saya kembalikan. Sudah
ada uang, tapi masih kurang dua orang pengiring," kata Lauw
Nen dengan penuh rasa terima kasih.
Cung San Siang Kiat saling pandang sejenak, lalu Sun Ang
berkata acuh tak acuh : "Kalau Toa kong cu sudi, biarlah kami
berdua yang menjadi pengiringmu."
Hati Lauw Nen terperanjat mendengar ucapan Cung San
Siang Kiat itu, buru-buru ia menggoyang-goyangkan tangan :
"Ini mana boleh, ini mana boleh?"
Harus tahu bahwa kedudukan Cung San Siang Kiat di dunia
kang ouw sangat tinggi, boleh dikatakan mereka adalah orang
yang terkemuka. Walaupun Lauw Nen belum mengerti apaapa,
ia pun tahu orang semacam Cung San Siang Kiat sekalisekali
tidak boleh menjadi pengiringnya. Maka buru-buru ia
menolak. Tapi tak disangka keduanya berkata berbarengan :
"Toa kong cu, walaupun masih muda, tapi berwibawa. Orang
sangat kagum padamu. Kalau kami bisa jadi pengiringmu, itu
adalah suatu kehormatan besar bagi kami. Orang-orang Bu lim
makin bercerita Cung San Siang Kiat bisa bergaul dengan Toa
kong cu; kedudukan Cung San Siang Kiat pun akan turut
meninggi. Toa kong cu, kenapa kau tidak mau membantu
kami?" Ucapan seperti itu, orang yang berbudi pekerti takkan mau
mengucapkan perkataan. Andaikata Cung San Siang Kiat tidak
mempunyai sesuatu niat, mereka pun takkan mau
mengucapkannya. Tetapi terdengar Lauw Nen, ia sangat
terhibur, dan seakan terasa tubuhnya melayang-layang,
hatinya pun tergerak. Tapi ia masih pura-pura tidak mau,
katanya : "Ah, kurang enak rasanya."
Sun Ang dan Yo Bun Cing berdua, masing-masing
mendorong Lauw Nen sebelah, katanya : "Mari, kita ke kota
dulu membeli hadiah, kalau perlu kita beli yang mewah
sedikit." Lauw Nen terpaksa mengikuti mereka.
Di kota Kauw So, semua barang tersedia, apalagi Cung San
Siang Kiat mempunyai banyak uang; keliling sebentar, mereka
telah mendapat apa yang diperlukan. Mereka berdua membeli
pakaian pelayan, dan menekan topi yang bersegi enam itu ke
bawah menutupi sebagian muka. Mereka berdiri di samping
Lauw Nen yang berpakaian sangat mentereng, tampaknya
mereka betul-betul seperti pengiring. Setelah siap segalanya,
di senja hari mereka bertiga menuju ke rumah Go Toa hiap.
Sesampai di pintu, Lauw Nen berteriak : "Tolong beri tahu Go
toa hiap, Boan pwe (anak muda) Lauw Nen, sengaja datang
untuk minta maaf pada Go toa ko, harap kami diterima!"
Lwee kang Lauw Nen memang ada dsarnya, ia berteriak
dari pintu, suaranya terus mengalun ke dalam. Go Thian
Kheng, Go Eng Kiat dan Go So Lan sedang membicarakan
kesalahan Lauw Nen, tiba-tiba mendengar suara Lauw Nen.
Pada waktu Go Eng Kiat telah mendehem, ia berkata pada
ayahnya : "Thia sudahlah, aku rasa kita tidak sanggup
menerima penyesalannya."


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eng Kiat, sekali ini kaulah yang salah, seorang satria harus
berdada besar. Jika ia datang untuk minta maaf, kenapa kita
harus menolaknya" Mari, kita terima dia. So Lan, kau juga
ikut!" kata Go Thian Kheng.
"Aku tidak mau ikut!" Go So Lan membalik tubuhnya.
"Thia, orang macam itu, Thia masih mau menyuruh adik
menemuinya?" seru Eng Kiat.
Go Thian Kheng menghela napas, tidak lagi berkata apaapa.
Bersama Eng Kiat, ia keluar, sampai ke ruang besar ia
melihat Lauw Nen telah duduk dengan baik. Di belakangnya
ada dua pengiring berdiri, di tengah ruang besar terletak
hadiah. Go Thian Kheng berkata sambil menggoyangkan
kepalanya : "Nak Lauw pergi dan kembali lagi, apakah hanya
untuk mengantarkan hadiah?"
Lauw Nen menunggu di ruang besar lama sekali, kemudian
ia hanya melihat Go Thian Kheng keluar dengan anaknya Go
Eng Kiat, dan tidak melihat Go So Lan, hatinya merasa kurang.
Kini ia terpaksa berdiri, tapi ia langsung bertanya : "Mana Go
kouw nio?" Lauw Nen bicara sembarangan, kedua ayah anak itu telah
agak marah, tapi masih memandang Lauw Thian Hauw, maka
tidak menunjukkan kemarahannya.
"Kedatangan kamu ini, sebetulnya mau apa?" kata Go Eng
Kiat dengan nada dingin. Lauw Nen berpikir, kalau ia merusak suasana, lebih-lebih ia
tidak dapat menemui Go lagi. Lebih baik minta maaf dulu, apa
takutnya" Maka buru-buru ia bediri sambil menjura : "Aku
sengaja datanga untuk minta maaf pada Go toa ko..."
Perkataannya belum habis, tiba-tiba ia merasakan
punggungnya di desak suatu tenaga yang sangat kuat hingga
membuatnya tidak dapat berdiri dengan teguh. Tubuhnya tak
kuasa lagi membongkok ke depan dan menubruk Go Eng Kiat.
Perubahan itu, boleh dikatakan mendadak sekali, dalam
sekejap saja Lauw Nen merasakan tubuhnya hampir beradu
dengan Go Eng Kiat. Pada waktu yang sama, Go Eng Kiat
mengeluarkan serangan mendesak. Lauw Nen dalam keadaan
kewalahan, Lauw Nen pun menepukkan tangannya. Terdengar
suara "plak", tangan mereka telah beradu. Tenaga dalam Go
Eng Kiat memang jauh lebih tinggi daripada Lauw Nen, apalagi
Lauw Nen mengeluarkan pukulannya dalam keadaan tergesagesa.
Tenaganya tidak cukup, begitu tangan mereka beradu,
seluruh tubuh Lauw Nen mental melayang ke atas dan
menubruk sebuah tiang ruang yang melintang di atas.
Lauw Nen mengulurkan tangan mencekalnya. Ia baru ingin
meloncat turun, tapi keadaan di ruang besar itu telah
mengalami perubahan besar. Cung San Siang Kiat yang selalu
mematung menyaru sebagai pengiring, yang satu
mengibaskan sepasang lengan jubahnya meluncurkan
serangan belasan senjata rahasia, deruannya nyaring
bagaikan halilintar menyambar-nyambar, persis seperti sebuah
jala yang terancam dari senjata rahasia sedang menjala Go
Thian Kheng. Yang satu lagi mengibaskan lengan jubahnya
mengeluarkan berpuluh-puluh ular halus yang berbisa.
Laju ular berbisa itu cepat sekali, kesemuanya menyerang
kaki Go Thian Kheng, bersama senjata rahasia membuat suatu
jaring menutupi Go Thian Kheng. Lagi pula Cung San Siang
Kiat menyerang setelah mendorong Lauw Nen, sedikit pun
tidak ada gejala sebelumnya. Meskipun Go Thian Kheng
adalah seorang jago silat yang berpengalaman dalam kang
ouw, tapi ia pun tidak menduga Lauw Nen dapat membawa
kedua pengiring dan menyerangnya sekejam ini.
Setelah melihat serangan itu, Go Thian Kheng tahu ia akan
celaka, tapi ia tak dapat mengelak lagi. Dalam kerepotan, ia
berteriak, lengan jubahnya mengebat ke atas dan
menimbulkan suara "huuoooonnngg", sebuah angin keras
menerjang ke atas menjatuhkan sebagian dari senjata yang
menyerangnya. Sedangkan lengan jubah yang dikibaskannya,
karena tenaga dalamnnya terpusat, biarpun terbuat dari kain,
tapi kini kerasnya bagai besi, dan menyapu sisa senjata
rahasia yang masih menyerangnya.
Bersamaan itu ular di bawah telah menyerang kakinya.
Buru-buru Go Thian Kheng menotolkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya terangkat ke udara, teriaknya : "Cung San Siang
Kiat, rupanya kamu! Lengan jubah kirinya menggulung, dan
timbullah angin yang bergulung-gulung menggulung ular-ular
itu menjadi satu gulungan dan tidak dapat bergerak lagi.
Semuanya itu hanya terjadi dalam sekejap saja. Lauw Nen
mencekal tiang, tubuhnya masih tergantung di udara. Melihat
keadaan begitu, ia menjadi terpaku. Dan pada waktu itu
terpaku itulah, sebuah suara menderu. Go Eng Kiat telah lewat
dari sampingnya dan hinggap di atas tiang. Kelima jarinya
bagaikan kait mencekal belakang leher Lauw Nen dengan erat
sekali, dan mengangkat tubuh Lauw Nen ke atas tiang, lalu
diinjaknya dada Lauw Nen hingga Lauw Nen kepayahan. Lauw
Nen tahu, kali ini ia telah terjebak oleh kelicikan Cung San
Siang Kiat, tapi kini nasi telah jadi bubur, apa mau dikata lagi,
menyesalpun sudah terlambat!
Ketika Lauw Nen tertekan, keadaan di bawah pun telah
berubah; Cung San Siang Kiat menyerang dari atas dan bawah
seara mendadak sekali, kira mereka sekali tindak saja mereka
akan berhasil. Tapi mereka tidak mendua ilmu Go Thian Kheng
begitu tinggi hingga hanya menggunakan lengan jubah sudah
dapat menangkis seluruh serangan mereka, dan Go Thian
Kheng telah dapat mengenali mereka.
Dalam keadaan begitu, boleh dikatakan tidak berguna lagi
untuk tinggal disitu lebih lama lagi! Kedua orang itu memang
licik, begitu serangan mereka tidak berhasil lantas buru-buru
ingin kabur. Mereka menunduk mundur ke belakang,
terdengar duar suara "Bang! Bang!" mereka atelah mendobrak
pintu masuk dan telah berada di luar, lalu meloncat keluar dari
tembok. Go Thian Kheng ingin menguber tapi ia takut kalau ia
pergi, ular-ular itu akan bergentayangan di rumah melukai
orang. Maka ia terus menggetarkan lengannya, jari tengahnya
terus menekan-nekan, setiap tekanannya itu menimbulkan
angin keras. Begitu angin keras mengenai ular, ularnya akan
terjolor kejang,kepalanya pecah. Dalam sekecap saja, dia tas
tanah telah dipenuhi denganular yang mati kaku, baunya amis
sekali. Setelah Go Thian Kheng membinasakan seluruh ularTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ular itu, ia pergi dan tidak melihat bayangan Cung San Siang
Kiat lagi! Waktu itu, dalam rumah itu telah gempar. Go So Lan pun
berlari keluar, melihat bangkai ular memenuhi tanah, tiangtiang
rumah dipenuhi dengan senjata rahasi, semuanya
kebiru-biruan. Sekali lihat saja sudah tahu, bahwa senjata
rahasia itu telah direndam dalam cairan berbisa. Go So Lan
tidak tahu bagaimana persoalannya, ketika ia masih bingung,
Go Thian Kheng telah kembali masuk. Go Eng Kiat pun
berteriak dari atas tiang : "Thia, yang dua kabur, masih ada
satu lagi yang belum kabur, bagaimana kita akan
membereskannya?" Go So Lan menengadah, kini ia baru tahu di atas tiang
masih ada dua orang lagi!
"Bawa dia turun," kata Go Thian Kheng dengan suara
berat. Go Eng Kiat mengangkat kakinya menendang Lauw Nen,
hingga Lauw Nen terjatuh dari atas ke bawah. Di udara Lauw
Nen melempangkan tubuhnya ingin berdiri, tapi tidak
disangka, pada waktu itu juga Go Eng Kiat pun ikut turun.
Sebuah tendangan lagi bersarang di pinggangnya, "plak". Ia
terjatuh di atas tanah, Go Eng Kiat mengangkat kakinya lagi
dan menginjak punggung Lauw Nen. Lauw Nen tertelungkup,
tidak dapat meronta, dan di pinggir mulutnya persis ada dua
ekor ular mati, bau amis membuatnya mau muntah. Ia merasa
sengsara sekali. Kini boleh dikatakan Lauw Nen merasa sangat malu sekali,
ingin rasanya ia masuk ke dalam lubang seandainya di tanah
itu ada lubangnya. Go Thian Kheng duduk sambil berkata :
"Lepaskan dia, diapun tidak bisa kabur lagi."
Go Eng Kiat mengangkat kakinya, da Lauw Nen menekan
tanah lalu berdiri. Begitu berdiri, Lauw Nen mencari jalan ingin kabur. Tapi ia
segera tahu, itu adalah suatu hal yang tidak mungkin. Karena
Go Thian Kheng, Go Eng Kiat, Go So Lan bertiga sedang
mengurungnya di tengah-tengah dan mereka memandangnya
dengan pandangan yang jijik dan hina. Begitu Lauw Nen
melihat pandangan Go So Lan, hatinya telah luluh. Ia tahu,
semuanya telah tamat. Pandangan Go Thian Kheng bagaikan sebuah belati,
menyapu-nyapu tubuh Lauw Nen, katanya : "Nak Lauw,
kelakuanmu ini, apakah ayahmu tahu?"
Lauw Nen terperanjat, soal ini kalau diketahui oleh
ayahnya, bagaimana akibatnya nanti, sungguh ia tidak berani
memikirkannya. Padahal soal ini, boleh dikatakan ia telah
diperdaya. Tapi ia bertabiat keras, ia tidak mau mengutarakan
bagaimana ia tertipu. Ia mengira, jika ia mengutarakan asal
usulnya ia tertipu, walaupun dapat pembebasan dari Go Thian
Kheng, tapi ia akan merasa lebih malu lagi, karena bahkan ia
tidak dapat membedakan manayang baik mana yang buruk,
seperti seorang tolol saja diperalat Cung San Siang Kiat untuk
membalas dendam mereka. Berpikir demikian, lebih baik tidak
bersuara. Maka meskipun ia kaget tapi ia tetap tidak mau bersuara.
Go Eng Kiat mendehem. Katanya sambil tertawa dingin :
"Thia buat apa banyak bicara dengan orang macam ini,
serahkanlah pada saya. Akan saya bawa ke rumah Lauw toa
hiap, biar Lauw toa hiap yang menghukumnya.
Go Thian Kheng geleng-geleng kepala. "Jangan, aku ada
caraku sendiri. Kamu berdua pergilah!"
Ajaran rumah Go memang ketat, kalau ia sudah bicara
begitu, Go Eng Kiat tidak berani bicara lagi. Walaupun masih
ada yang hendak dikatakannya, buru-buru ia keluar dengan
adikna. Go Thian Kheng meletakkan kedua tangannya di belakang,
melangkah pelan-pelan menghampiri Lauw Nen : "Nak, kau
masih muda, belum tahu baik buruk, kelicikan kang ouw, hati
orang tidak dapat diduga. Kalau salah gaul, akibatnya tidak
dapat dibayangkan, harus hati-hati!"
Go Thian Kheng bersusah payah menasehati Lauw Nen,
bukan saja Lauw Nen tidak merasa menyesal, bahkan menjadi
ia lebih marah lagi. Pikirnya, sekarang aku berada di dalam
tanganmu, mau diapakan juga sesuka hatimu, buat apa bicara
yang tidak karuan, apakah aku akan berterima kasih
padamu?" Lauw Nen makin muak, katanya sambil tertawa dingin :
"Kau mau bunuh boleh bunuh, mau iris boleh iris. Aku mana
ada semangat untuk mendengar ocehanmu!"
Lauw Nen bicara begitu, malah membuat Go Thian Kheng
tercengang dan memandang Lauw Nen sesaat, lalu gelenggeleng
kepala. Ia tidak marah, sebaliknya ia masih tertawa :
"Nak Lauw, obat manjur pahit, nasehat orang menusuk
telinga. Kalau kau tidak suka dengar, aku tidak memaksamu.
Kau mau pergi, pergilah. Soal hari ini, aku takkan beri tahu
ayahmu. Kalau kemudian kau akan berhati-hati itu sudah
cukup!" Maksud Go Thian Kheng, kebanyakan Lauw Nen masih
kurang pengalaman, maka baru bergaul dengan orang jahat.
Setelah menerima pelajaran kali ini, tentu ia tidak akan berani
berlaku sembarangan lagi, dan buat apa pula memberitahu
ayahnya" Soal begini kalau diketahu Lauw Thian Hauw,ia akan
dipukul setengah mati. Maka Go Thian Kheng menyuruh Lauw
Nen pergi, dan memberitahunya, bahwa ia takkan beri tahu
pada ayahnya. Tapi tak disangka Go Thian Kheng mengambil
suatu tindakan yang salah besar! Andaikata menuruti ucapan
Go Eng Kiat, membawa Lauw Nen pulang ke rumahnya dan
minta Lauw Thian Hauw menghukumnya. Tentu saja Lauw
Thian Hauw takkan sampai hati untuk membunuh anaknya,
walaupun memberi hukuman besar, jiwa anaknya selamat.
Sedangkan Lauw Nen akan betul-betul mendapat suatu
pelajaran. Seperti kali ini, Lauw Nen mendengar, hatinya
merasa gembira dan timbullah rasa beruntungnya, hingga di
kemudian hari ia sering membuat kerusuhan. Go Thian Kheng
berhati luhur, ia mengampuni orang tapi jangan lupa pada
orang berhati serigala, sekali-sekali tidak boleh diampuni.
Hati Lauw Nen merasa sangat gembira tapi yang malah
mengukur perut satria dengan hati orang kecil. Ia taku Go
Thian Kheng tidak memegang janji, ia mundur sambil berseru
: "Kalau kau adalah seorang kecil yang suka memfitnah orang,
cerita saja, apakah aku takut padamu?"
Setelah mendengar ucapan itu, Go Thian Kheng tidak
berkata apa-apa lagi, hanya menghela napas panjangpanjang.
Dalam helaan napas Go Thian Kheng, Lauw Nen
telah berlalu. Ia berlari kira-kira setengah li, melihat tidak ada
orang mengubernya baru ia bernapas lega. Sesaat, biarpun ia
berada di tengah-tengah hujan salju, keringatnya masih
bercucuran. Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalannya.
Sesaat kemudian, ia tiba kembali di pondok tadi.Ia masuk ke
dalam pondok, memikirkan kejadia tadi, bagai sebuah mimpi
buruk. Ia menghela panjang, tiba-tiba dari atas kepalanya
mengalun suara tertawa "ha ha".
Lauw Nen terperanjat, buru-buru ia keluar sambil
menengadah. Ia melihat Cung San Siang Kiat, Sun Ang dan Yo
Bun Cing berdua melayang ke bawah dari atas pondok.
Bahkan keduanya menjura Lauw Nen : "Lauw toa kong cu.
Kau pun aman?" Kali ini, betul-betul Lauw Nen terpaku. Ia mengira setelah
kejadian di rumah Go toa hiap, Cung San Siang Kiat pasti telah
kabur terbirit-birit,dan tidak bermuka lagi untuk bertemu
dengannya. Tapi tak dikira, keduanya seakan tidak ada apaapa!
Lagi pula melihat keadaan mereka melayang ke bawah
dari atas, soal mereka sengaja sembunyi di atas untuk
menunggu kedatangannya. Lauw Nen tercengang, katanya
dengan marah : "Kamu masih ada muka untuk menemui aku?"
Cung San Siang Kiat dengar, mereka saling pandang
sejenak. Kata Sun Ang : "Jie te, apakah kita telah menyakiti
Lauw toa kong cu?" "Aku kira tidak, tapi entah kenapa Lauw toa kong cu bisa
menjadi marah?" kata Yo Bun Cing dengan wajah seakan ia
difitnah. Mendengar ucapan mereka yang akan cuci tangan dari


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian tadi, Lauw Nen menjadi marah, bentaknya : "Apa
yang sedang kamu ocehkan?" Ia memang mempunyai tabiat
toa ya (tuan besar), ia membentak sambil melayangkan
tanganya ke muka Sun Ang. Tak disangka tanganya belum
menyentuh Sun Ang, malah telah dicekal Sun Ang. Kelima jari
Sun Ang bagaikan kait baja mencekal urat nadinya, hingga
membuat separuh tubuhnya kejang-kejang tidak dapat
bergerak. Tapi wajah Sun Ang masih tersenyum simpul.
"Lauw toa kong cu, di tubuhku banyak sekali senjata
rahasia. Kau jangan sembarang pegang, kalau tidak hati-hati,
kena kuncinya, kau akan celaka."
"Tubuhku pun banyak binatang berbisa. Lauw toa kong cu
jangan sembarangan pegang," kata Yo Bun Cing sambil
tertawa. Kelima jari Sun Ang mengendor, dan mengirimkan sebuah
tenaga yang kuat hingga Lauw Nen terpental ke belakang
beberapa tindak. Lauw Nen terperanjat dan marah, hatinya
tahu ia tidak dapat melawan mereka tapi ia tidak mau
mengalah, berdiri mematung tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. "Lauw toa kong cu, seperti kejadian di rumah Go tadi, kau
jangan taruh dalam hati. Kami memang kurang sabar, melihat
Go kouw nio tidak mengacuhkan engkau maka kami turun
tangan ingin membinasakan Go Thian Kheng dan merebut Go
kouw nio. Tapi tak disangka keparat Go Thian Kheng itu
sangat lihai, hingga kami tidak berhasil. Lauw toa kong cu
jangan marah, rencana satu gagal, masih ada rencana kedua!"
kata Sun Ang. Mendengar ucapan Sun Ang, Lauw Nen menjadi bingung.
Ia mengerutkan alisnya : "Rupanya kamu turun tangan di
rumahnya Go tadi karena aku?" ucapan Lauw Nen ini
dimaksudkan untuk mengejek mereka. Tapi kedua orang itu
tidak segan-segan manggut : "Ya, betul. Lauw toa kong cu
karena siapa?" Untuk sesaat Lauw Nen pun tidak dapat berkata lagi.
"Tidak perduli kamu siapa, dan rencana apa pun yang
kamu miliki, aku tidak berani mencobanya lagi. Sekarang kita
berpisah saja. Silahkan!" kata Lauw Nen sambil melambaikan
tangannya. "Jie te, bukankah itu sayang sekali?" Sun Ang menghela
napas. "Ya, kalau rencana kita berhasil, Go kouw nio pasti berada
dalampelukan Lauw toa kong cu. Sayang sekarang Lauw toa
kong cu mau mengusir kita. Biarlah kita persi saja," kata Yo
Bun Cing. Mereka melambaikan tangan untuk berlalu, tapi ucapan
mereka tadi sangat menggatalkan hati Lauw Nen. Ketika
mereka berdua baru bertindak beberapa langkah, Lauw Nen
buru-buru memanggilnya : "Jie wi tolong berhenti dulu, apa
rencana kalian. Saya mau dengar."
Cung San Siang Kiat berhenti, tapi keduanya sama-sama
geleng kepala : "Lebih baik jangan dibicarakan. Kalau
rencananya berhasil, yang senang bukan kita. Kalau gagal
lagi, mungkin orang akan membenci kita."
Lauw Nen tidak berdaya, dengan terpaksa ia menjura pada
mereka : "Jie wie, taruhlah tadi siao te yang salha, coba kalian
ceritakan." "Go Thian Kheng mempunyai sebuah buku Lwee kang yang
ditulis oleh Ciang Bun Jin ketujuh dari Khong Thong Pay,
apakah Lauw toa kong cu tahu?" kata Sun Ang tertawa.
"Tentu saja tahu, karena soal itu Khong Thong Pay dan Go
toa hiap entah telah ribut beberapa kali. Orang-orang Bu lim,
siap yang tidak tahu?" kata Lauw Nen.
Cung San Siang Kiat menganggap dengan hebat : "Lauw
toa kong cu memang berpengetahuan luas!"
Sebuah perkataan lagi yang membuat Lauw Nen merasa
melayang-layang, dan melenyapkan kejengkelan dalam
hatinya. Desaknya : "Apa pula hubungannya dengan rencana
kamu?" "Benda itu dianggap antik oleh Go toa hiap; kita dapat
memilikinya. Jangankan seorang anak gadis, ada sepuluh juga
ia akan tukarkan dengan kau!" kata Sun Ang dengan suara
rendah. Hati Lauw Nen berdetak, pikirnya : "Betul, ucapan itu
memang betul!" Tapi ia berpikir lagi, "Bukankah perbuatan itu
seperti kentut saja" Kalau buku itu dianggap antik oleh Go
Thian Kheng, mana mungkin ia memilikinya" Ia merasa sangat
kecewa dan geleng-geleng kepala, diucapkan sama saja
dengan sia-sia!" "Bagaimana sia-sia" Go Thian Kheng dengan ayahmu
adalah kawan karib, bukankah ayahmu memiliki sebuah buku
Lwee kang bernama "Thian Cing 24 jurus?" Buku itu terdiri
dari dua puluh empat keping giok kan?"
DAlam hati Lauw Nen merasa malu. Bahkan ia belum
pernah melihat bagaimana coraknya 'Thian Cing 24 jurus' itu.
Tapi ke-24 keping batu Giok itu tahu. Maka ia mengangguk :
"Tidak salah. 24 keping giok!"
"Apa warnaya, bagaimana besarnya; dan apa yang tertulis
di atasnya?" kata Sun Ang.
Padahal Lauw Nen belum pernah melihatnya, tapi ia tidak
mau mengaku. Pikirnya Sun Ang pun belum pernah
melihatnya, sembarangan saja kata, Sun Ang juga takkan
tahu, maka ia sembarangan saja bicara.
"Ia memang itu, kita pergi mencari 24 keping Giok, kita
memalsukan 'Thian Cing 24 jurus' ayahmu, dengan barang
palsu itu kita tukar dengan barang Go Thian Kheng. Katakan
saja ayahmu mau melihatnya. Thian Cing 24 jurus hebat
sekali, maka Go toa hiap tidak mungkin tidak mau!"
"Itu mana mungkin, masa Go toa hiap tidak bisa
membedakan mana yang palsu mana yang asli?" Lauw Nen
menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau dibawa kami, memang ia takkan percaya," kata Yo
Bun Cing. Lauw Nen memikirkan kejadian di rumah Go tadi, ia gelenggelengkan
kepala : "Aku pun tidak bisa lagi."
"Kalau begitu, kau boleh cari toa ci mu," desak Sun Ang.
"Toa ci ku sangat berangasan, aku tidak tahu apakah ia
mau?" "Kami sudah atur semuanya. Walaupun toa ci mu sangat
berangasan, tapi kalau dia melihat mutiara, mukanya selalu
saja cerah. Ia takkan marah, bukan?" kata Sun Ang.
Memikirkan toa ci-nya yang sangat serakah itu, hati Lauw
Nen pun merasa geli. Sun Ang membentangkan tangannya,
dalam telapaknya telah ada dua butir mutiara. Begitu melihat
mutiara yang dua butir itu, mata Lauw Nen menjadi terang.
Lauw Hung suka dengan mutiara atau berlian, koleksinya
banyak sekali. Bahkan ada pula yang didapatnya dari
rampasan, ada kalanya ia pamerkan di hadapan Lauw Nen.
Maka telah banyak melihat barang semacam itu, tetapi Lauw
Nen belum pernah melihat mutiara yang sebesar dan sejernih
bulan purnama itu. DAn teriaknya lepas : "Mutiara
bagus,mungkin berharga puluhan ribu Liang (satuan uang
pada jaman itu)." "Lauw toa kong cu terlalu pandang rendah sepasang
mutiara ini. Gubernur Chin kong kong berani bayar 240 ribu
liang! Aku masih tidak mau lepaskan hingga Chin kong kong
naik pitam, dia menyebar orang membuat susah aku. Maka
aku pergi meninggalkan Kang Lam," kata Sun Ang.
Mulut Lauw Nen terus "cet cet cet" memuji tak hentihentinya.
Sun Ang mengantarkan sepasang mutiara itu ke
hadapan Lauw Nen : "Toa kong cu, kalau kau memberi
mutiara ini pada Lauw li hiap (pendekar wanita) dan minta dia
datang ke Kang Lam, pasti dia setuju."
Lauw Nen menjadi tolol mendengar perkataan itu, katanya
dengan kaku : "Sun toa ko katamu, kau berikan mutiara ini
padaku?" "Ya, kau masih ragu akan ketulusan hatiku?" kata Sun Ang.
"Bukan, tentu saja bukan. Tetapi mutiara ini telah ditawar
gubernur sebanyak 240 ribu liang, tapi kau tidak mau dijual,
malah kau diuber karenanya. Tapi... kau berikan padaku?"
kata Lauw Nen. Sun Ang menepuk bahu Lauw Nen sambil berkata : "Lauw
kong cu, kita bersahabat bukan" Demi kawan, menyeberangi
lautan api tidak jadi soal, apa lagi cuma dua butir mutiara"
Persetan dengan segala gubernur. 240 ribu liang apa pula
gunanya" Betul tidak?"
Betapa ksatrianya ucapan itu, hingga Lauw Nen tidak
hentinya mengangguk : "Betul, betul, ucapan toako betul, tapi
Sun toa ko, siao te... menerima hadiah tanpa jasa, bukankah
sangat memalukan?" "Orang sendiri berkata begitu, bukankah menjadi sangat
asing" Hal itu tidak boleh terlambat, kau cepatlah pergi cari
Lauw li hiap, kita palsukan Thian Cing 24 jurus, kau jangan
sebut-sebut kami di hadapan Lauw li hiap. Kami akan
menunggu disini, pada waktu itu akan kami berikan 24 keping
giok palsu. Suruhlah Lauw li hiap bawa ke rumah Go, setelah
kami mendapatkan benda itu, kami akan membuat rencana
lagi untukmu," sela Yo Bun cing.
Saat ini, Lauw Nen sangat berterima kasih pada mereka
berdua. Ia terua mengangguk-angguk dan berlalu.
Satu bulan kemudian, musim semi telah tiba, bunga-bunga
mulai berkembang. Lauw Hung dan Lauw Nen berdua
memacu kuda mereka dengan cepat menuju ke kota Kong So.
Ketika merke di pondok, terdengar suara orang memanggil
: "Lauw toa kong cu, harap berhenti!"
Sepanjang perjalanan Lauw Nen terus kuatir adakah Cung
San Siang Kiat telah siap dengan 'Thian Cing 24 jurus' palsu,
kini tiba-tiba mendengar suara Sun Ang, hatinya menjadi
girang. Buru-buru ia menghentikan kudanya.
Sun Ang dan Yo Bun Cing telah keluar dari pondok. Begitu
Lauw Nen berhenti, Lauw Hung pun berhetni, sesampai Cung
San Siang Kiat di hadapan mereka, terdengar bentakan Lauw
Hung : "Kamu siapa?"
Jangan pandang dia seorang wanita, teriakan itu memang
penuh dengan kewibawaan. Sun Ang dan Yo Bun Cing tertegun, terdengar Lauw Hung
membentak sekali, dan mengayunkan pecut kudanya
menghantam kepala Sun Ang.
Tubuh Sun Ang sangat lincah, ia menunduk dan "ser"
sekali, ia telah mundur bagai anak panah terlepas dari
busurnya. Tetapi, daya mundur Sun Ang cepat, Lauw Hung pun tidak
lambat. Pecutannya baru sampai setengah, Sun Ang telah
mundur. Buru-buru ia menarik kembali pecutnya dan tangan
kirinya menekan pelan kudanya, orangnya telah meninggalkan
pelanan dan melayang ke depan!
Lauw Nen melihat toa ci-nya begitu bertemu Cung San
Siang Kiat telah turun tangan tidak memperdulikan apalagi,
hatinya menjadi gusar. Teriaknya : "Toa ci berhenti!"
Lauw Nen menyusul di hadapan Sun Ang "plak plak plak"
tiga kali lecutan Lauw Hung dapat dielakkan Sun Ang dengan
lincah. Mendengar teriakan Lauw Nen, Lauw Hung membenak :
"Berhenti" Apakah kau tahu siapa mereka?"
"Aku tahu, mereka adalah kawan baikku Cung San Siang
Kiat." Tubuh Lauw Hung, tiba-tiba bagaikan angin puyuh balik
berputar, dan memutar kembali ke samping Lauw Nen.
Dibalikannya pecut dan memecut kepala Lauw Nen.
Pecutan itu mendadak sekali, buru-buru Lauw Nen
menelentangkan tubuhnya ke belakang, pecut itu telah
bersarang di pinggangnya hingga Lauw Nen kesakitan tidak
dapat duduk dengan mantap dan terjatuh ke bawah.
Lauw Hung menunduk, mencekal dada Lauw Nen, seperti
mencengkaram anak ayam. Bentaknya : "Kau berkawan
dengan orang jahat. Tunggu aku membereskan kedua
binatang itu, kita pulang melihat ayah!"
Muka Lauw Nen pucat pias, suaranya pun gemetar.
Katanya dengan terputus-putus : "Ci mereka... bukang orang
jahat... sekarang mutiara... yang sangat kau sukai itu... adalah
pemberian mereka." Lauw Hung dengar. Ia jadi tertegun. Walaupun wajahnya
masih menunjukkan kemarahan, tapi ucapannya telah menjadi
lunak : "Kenapa mereka memberi kau mutiara?"
Lauw Nen memandang Cung San Siang Kiat. Yo Bun Cing
melangkah dengan pelan sambil tersenyum : "Lauw li hiap
jangan marah. Kami berdua sudah lama kagum dengan li hiap
tapi tak ada jodoh untuk berkenalan, maka ketika kami kenal
sama Lauw kong cu, kami berikan mutiara itu sebagai
penghubung." "Aliran putih dan hitam bagaikan air dan api, sangat tidak
cocok. Siapa pengen dengan mutiara kamu?"
Mulutnya mengucapkan ;Air dan api sangat tidak cocok',
tapi ia tidak turun tangan. Dibandingkan dengan ketika ia
mengenali Cung San Siang Kiat yang terkenal dengan
kejahatan mereka tadi, terus langsung memcut, nyata sekali
bedanya! Yo Bun Cing masih tersenyum simpul : "Ucapan li hiap
memang betul, sepasang mutiara itu memang tidak berharga
dibandingkan barang berharga dalam gudang itu, bedanya
jauh sekali!" Lauw Hung dengar, antara sadar dan tidak, ia telah
mengendorkan cekalannya dari dada Lauw Nen. Ia mulai
tertarik, "Gudang barang berharga apa?" tanyanya.
Kini ia tidak lagi acuh akan 'aliran putih dan h itam sangat
tidak cocok'. Yo Bun Cing bagaikan menyesali keterlanjuran ucapannya.
Ia tidak lagi berkata apa-apa.
Ketika ini Sun Ang baru mendekat, "Jie te, kita ingin
bersahabat dengan Lauw li hiap, meskipun gudang berharga
itu adalah suatu rahasia besar tapi bilang sama Lauw li hiap
tidak jadi soal bukan?"
Ketika Lauw Hung melihat sepasang mutiara saja sudah
bukan main girangnya, kini mendengar mutiara sebesar itu
belum terhitung apa-apa. Apalagi benda pusaka dalam gudang
itu, pasti tak ternilai harganya.
Ia gemar mengoleksi benda pusaka, suka dipamerkan di
mata orang, hatinya telah menjadi serakah. Kini ia mendengar
ada kesempatan yang sebaik ini, mana ia mau
melewatkannya" Buru-buru katanya : "Ya, kitakan sudah jadi


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan." Ucapan itu terlepas dari mulutnya,ia berpikir dalam hatinya.
Agaknya berkata begitu kurang pada tempatnya, diri sendiri
dengan bajingan Cung San Siang Kiat itu, mana boleh
dikatakan sahabat" TEtapi segera ia terpikir gudang yang
menyimpan barang-barang berharga, hatinya dikeraskannya.
Pikirnya hanya sekali ini saja, setelah mereka mengucapkan
tempat gudang itu, bertarung lagipun masih keburu. Maka ia
mengulagi perkataannya sekali lagi : Kita kan sudah jadi
kawan, ceritakan juga tidak bakal jadi apa-apa bukan?"
Sun Ang dan Yo Bun Cing segera menyahut berbarengan :
"Kami mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kesudian
Lauw li hiap. Gudang itu berada di pedalaman Miauw Ciang
dimiliki oleh seorang Miauw Ciang yang sangat perkasa... Kim
Goan cu su." Setelah mendengar ucapan mereka, Lauw Hung menjadi
marah. Bentaknya : "Kentut, kamu berani mempermainkan
aku?" Orang-orang kang ouw semua tahu bahwa Kim Goan cu su
mendirikan alirannya tersendiri yang berlainan dengan aliran
putih maupun aliran hitam. Ilmunya tinggi sekali, tadinya ia
mau menguasai Tiong Goan (daerah dataran tengah), tapi
diketahui oleh orang Bu lim daerah dataran tengah duluan,
mereka menunggu di dekat Miauw Ciang. begitu Kim Goan
keluar, lantas diserbut. Dalam 16 hari Kim Goan telah
kehilangan 78 jago silat, akhirnya disadarkan oleh seorang
Hwe shio dari Siauw Lim She, dan kembali ke Miauw Ciang
tidak lagi mau bertempur.
Walaupun ia belum pernah datang ke Tiong Goan, tapi
pertarungan selama 16 hari itu telah membuat namanya
tersohor di Tiong Goan. Kini mereka mengatakan bahwa gudang itu milik Kim Goan,
ini mana mungkin dapat dirampas untuk dijadikan milik
pribadi" Diucapkan juga jadi sia-sia belaka dan tidak heran
kalau Lauw Hung jadi marah.
Tapi segera Sun Ang berkata dengan tersenyum : "Lauw li
hiap jangan marah dulu, ada yang tidak kau ketahui. Biarlah
kami ceritakan lebih jelas."
Lauw Hung dengar, rasanya keadaan itu dapat diperbaiki,
katanya buru : "Silahkan, silahkan."
"Kim Goan cu su ingin menukarkan gudangnya itu dengan
satu benda, sedangkan dia sendiri, karena janjinya dahulu, ia
tidak dapat mendatangi Tiong Goan. Dan kami berdua
kebetulan pernah ke Miauw Ciang maka tu su berpesan pada
kami supaya mencari orang yang dimaksud," kata Sun Ang.
"Dia mau tukar apa" Ah, tentu kamu berdua sudah
memasuki gudang itu, apa saja isinya?" kata Lauw Hung
mengosok-gosok tangannya girang sekali.
"Ah" teriak mereka berdua, lalu menarik napas : "Lauw li
hiap, gudang itu diisi dengan benda pusaka yang termahal di
dunia ini, setelah Kim Goan cu su menyilahkan kami
menyaksikannya, dia menyuruh kami memilih salah satu
benda, kami merasa kurang enak untuk memilih yang baik,
maka kami hanya mengambil dua butir mutiara yang tidak
begitu bagus. Setelah sampi di ibu kota ada yang berani bayar
240 ribu liang." Setelah mendengar ucapan itu, hati Lauw Hung tergerak :
"Entah apa yang di kehendaki?"
"Itulah yang sulit,yang mau ditukarnya itu adalah sebuah
buku catatan silat yang dimiliki Kang Lam toa hiap... Go Thian
Kheng. Kami pernah berunding dengan Go toa hiap, tapi
rupanya kurang cocok, lalu diusirnya keluar!"
Ucapan-ucapan Cung San Siang Kiat belum pernah
didengar oleh Lauw Nen sebelumnya, hingga membuat dirinya
terus mengedip-ngedipkan matanya. Tapi ia takut
mengganggu mereka maka ia tidak berani bertanya
sembarangan. Ia terpaksa berdiam diri.
Mendengar ucapan Yo Bun Cing, Lauw Hung pun tak
tertahan lagi mengerutkan alis matanya : "Rupanya agak sulit
juga. Demi buku silat itu, Go toa hiap pernah ribut dengan Go
Tay Pay berkali-kali. Ia sangat menyayanginya, laksana
menyayangi nyawanya sendiri. Bagaimana kita
mendapatkannya?" "Kini, Lauw li hiap ingin mendapat gudang pusaka, itu tidak
mungkin tanpa buku silat tersebut. Bahkan Lauw kong cu
ingin mencari istri pun harus mengandalkan buku silat itu."
"Apa maksudnya?" Lauw Hung melirik pada Lauw Nen.
Dan Lauw Nen tidak berani berbohong, diceritakannya
kisahnya dengan muka merah padam.
"Bagaimana urusannya, buku silat itu hanya satu; mau
ditukar dengan istri, mana pula dapat ditukar dengan gudang
pusaka padaku?" bentak Lauw Hung.
"Lauw li hiap jangan gusar, kalau kita sudah memiliki buku
silat itu, kami mempunyai rencana yang baik sekali," ujar Sun
Ang. "Baiklah, mana barang palsumu?" Lauw Hung mengangguk.
"Sun Ang mengulurkan tangannya merogoh dadanya dan
mengeluarkan 24 keping batu Giok, semuanya adalah giok
jernih, di atasnya telah terukir dengan huruf-huruf, tampaknya
memang merupakansuatu benda luar biasa.
Lauw Hung memegang kepingan-kepingan giok itu, dalam
hatinya berpikir sejenak. Ia tahu bahwa ia akan berhasil
meminjamkan buku silat Go toa hiap karena ia berpura-pura
mengemban perintah ayahnya. Apalagi ia membawa
kepingan-kepingan batu giok itu.
Tetapi, kalau Go toa hiap tahu bahw ia telah terjebak,
bagaimana pula nanatinya" Kalau bertanya pada ayah, apa
hukuman yang akan diterima dari ayahnya" Lauw Hung
berpikir demikian, hatinya jadi ragu-ragu.
Tetapi gudang pusaka Kim Goan cu su sangat menarik
pula. Biarpun ia ragu-ragu tapi perkataan 'tidak' belum
terucapkan keluar dari awal sampai akhir.
Sun Ang yang berdiri di samping telah mengetahui keraguraguan
Lauw Hung. Segera ia terkekeh-kekeh : "Dengar cerita
dari dunia kang ouw bahwa ilmu Lauw li hiap mempunyai
sikap ksatria yang dapat mengambil suatu keputusan dengan
cepat dan tegas dalam menghadapi berbagai hal. Kini kami
menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri, itu adalah
benar. Kami merasa hidup kami tidak tersia-sia dapat
berkenalan dengan Lauw li hiap."
Tadinya Lauw Hung belum dapat mengambil suatu
keputusan, kini dipuji oleh Sun Ang, ia merasa lebih sukar lagi
mengucapkan 'tidak'. Segera jawabnya : "Baiklah, kita
berangkat menemui Go toa hiap."
Dan berangkatlah mereka berempat menuju ke kota Kouw
So! Sampai di depan pintu rumah Go toa hiap, Lauw Nen dan
Cung San Siang Kiat hanya menunggu di pinggir jalan.
Sedangkan Lauw Hung terus menghadap depan pintu minta
ditemui. Setelah Lauw Hung masuk, Lauw Nen menggerutu pada
Cung San Siang Kiat : "Kamu berdua, kenapa berikan buku
silat itu pada kakakku" Ia selalu menganggap diri lebih tinggi
dari orang lain, bagaimana aku dapat melamar anak gadis Go
to hiap dengan buku silat itu?"
Yo Bun Cing mengatupkan kipas dan mengetuk bahu Lauw
Nen dengan pelan-pelan : "Kalau kau percaya pada kami, kau
tidak perlu kuatir,kami ada rencana sendiri."
Lauw Nen tidak berdaya. Ia terpaksa menunggu di pinggir
jalan dengan gusar, sungguh pun baru lewat setengah jam
tapi sekujur tubuhnya telah bermandikan keringat.
Sesaat kemudian, barulah terlihat Lauw Hung keluar dari
rumah Go toa hiap, hampir saja Lauw Nen ingin menubruknya,
tapi ditahan oleh Yo Bun Cing. Setelah Lauw Hung berada di
depan mereka, hati Lauw Nen masih bersitegang hingga tidak
dapat mengeluarkan suara, masih Lauw Hung dulu yang
membuka mulut : "Rencana kalian berdua memang tidak
salah, Go toa hiap telah memberikan buku silatnya padaku."
"Ah, sungguh menarik sekali. buku itu sangat terkenal
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 17 Pendekar Pulau Neraka 32 Raja Kera Iblis Suling Naga 18
^