Pencarian

Bidadari Dari Thian-san 2

Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Bagian 2


kekuning- kuningan dan terus bergeser naik dari peraduan ke atas langit biru yang cerah.
Di dalam ruangan dalam kedai tersebut, perlahan-lahan Cin-Cin membuka kelopak
matanya. Dengan kepala masih sedikit pusing dan mengantuk, dia berusaha bangun. Tiba-tiba
matanya menangkap tubuh bagian atasnya yang polos tak berbaju.
Dengan mata terbelalak kaget, dia menjerit lirih. Sebisa mungkin kedua tangannya
menutupi sepasang buah dadanya yang menjulang. Dilihatnya baju yang dikenakannya kemarin,
teronggok di lantai. Cepat-cepat diraihnya dan dikenakannya dengan terburu-buru. Matanya
mulai mengeluarkan api kemarahan. Dia tidak tahu apa yang terjadi, diperiksanya
seluruh bagian tubuhnya. Tidak terasa apa pun, dia menarik nafas lega.
Seingatnya, semalam sehabis minum teh yang disodorkan Yap Fei kepadanya, tahu-
tahu matanya terasa berat dan tiba-tiba terbangun dalam keadaan begini. Hatinya mulai
merasa curiga, entah di mana gerangan keberadaan Yap Fei.
Dia segera berlari keluar ruangan untuk mencari jejak Yap Fei.
Di ruangan luar kedai tersebut tampak olehnya seorang bhiksu muda baru selesai
dari samadhinya. Dilihatnya seorang gadis muda yang sangat cantik, keluar dari
ruangan dalam dengan tatapan mata yang curiga ke arahnya.
"Omitohud.., syukur nona sudah sadar kembali. Pinceng sangat khawatir dengan
keadaan nona." "Siapa adanya bhiksu, kenapa bisa berada di sini dan mengapa tahu keadaanku?"
tanya Cin-Cin ketus dan masih bercuriga.
Sambil tersenyum maklum, bhiksu Hun-lam menjawab,
"Semalam kebetulan pinceng memasuki kedai ini, tapi setelah berteriak beberapa
lama, tidak ada seorang pun sehingga hampir pinceng pergi meninggalka kedai ini. Tapi kemudian,
dari ruangan di mana nona tadi keluar, muncul soerang pemuda berbaju putih yang mengaku
sebagai tamu kedai ini serta mengusir pinceng. Akhirnya pinceng dan pemuda tersebut terlibat
bentrokan kecil, syukur akhirnya pemuda tersebut mengalah dan pergi dari sini. Pinceng lalu
memeriksa kedai ini dan mendapati nona yang rupanya di bius, pinceng tidak berani bertindak lancang,
makanya pinceng berjaga-jaga saja di kedai ini menungu nonan sadar dengan sendirinya."
Mendengar keterangan bhiksu tersebut, kecurigaan Cin-Cin perlahan-lahan
meluntur, rupanya bhiksu ini yang justeru telah menolongnya dari ancaman bahaya yang mengerikan
bagi seorang gadis. Dengan perasaan berterima kasih, Cin-Cin berkata "Maafkan aku bhiksu kalau telah
berlaku kasar, mohon dimaklumi karena aku sangat kaget begitu sadar melihat keadaanku
ini. Rupanya ini semua perbuatan si keparat Yap Fei. Untung bhiksu datang tepat pada
waktunya" "Tidak apa-apa nona, sudah menjadi kewajiban pinceng untuk menolong sesama.
Apakah pemuda berbaju putih tersebut nona kenal?"
"Ya bhiksu, dia bernama Yap Fei, teman seperjalananku. Aku berkenalan dengannya
belum lama, tidak di sangka tutur katanya yang sopan dan halus, memiliki hati sekejam iblis"
kata Cin-Cin geram. "Syukur nona tidak apa-apa, dunia ini memang penuh dengan manusia yang tersesat,
kita harus selalu waspada" Cin-Cin mengangguk setuju, dia lalu menanyakan nama dan berasal dari perguruan
mana bhiksu Hun-lam. Ketika tahu bhiksu Hun-lam berasal dari Shao-Lin dengan gembira Cin-Cin
memberitahu siapa dirinya. Keceriaannya telah kembali.
Bhiksu Hun-lam pun gembira dapat menolong Cin-Cin yang ternyata berasal dari
Thai-San-Pai, bahkan putri ketua Thai-San-Pai. Mereka berdua lalu memeriksa ruangan lain kedai
tersebut, di dalam dapur, mereka menemukan mayat pemilik kedai tersebut dan menguburkannya di
ringi doa bhiksu Hun-lam. 5. Sian-Li-Kiam (Dewi Pedang)
Sementara kita tinggalkan dulu Cin-Cin yang lolos dari jeratan Bwe-hoa-cat dan
di tolong bhiksu Hun-lam, mari kita kembali ke jago kita Li Kun Liong. Dalam cerita sebelumnya,
Li Kun Liong harus melarikan diri dari kepungan Rameshwara dan tokoh-tokoh Mo-Kauw. Dengan
hati kesal, begitu sudah berada di luar kota Li Kun Liong mengembangkan ilmu meringankan
tubuh sekuatnya. Tubuhnya berkelabat dengan cepat bagaikan anak panah, melesat dengan
kecepatan tinggi. Entah sudah berapa lama dia berlari, begitu menghentikan langkahnya, Li
Kun Liong tiba di sebuah telaga yang sunyi di kaki bukit suatu pegunungan. Entah apa nama
pegunungan ini, Li Kun Liong tidak tahu berada di mana dirinya saat ini. Telaga tersebut tidak
begitu besar dan dikelilingi hutan dengan pepohonan yang rimbun, meliputi hampir duapertiga
telaga tersebut. Airnya jernih sehingga pantulan sinar matahari senja menerangi bagian dalam
telaga tersebut. Layaknya cermin, semuanya akan memantulkan bayangan yang serupa. Tak kurang dan
tak lebih. Kesunyian telaga ini mengugah kenangannya terhadap diri siau-Erl, entah di mana
keberadaan siau-Erl kini. Rasa rindu yang mendalam mencengkram hati Li Kun Liong yang
kesepian. Hatinya telah terbagi tak utuh lagi, dimana serpihan hati telah berserakan
dibawah kakinya, ada sebagian yang terjerat kuat, sehingga begitu kuatnya, Li Kun Liong menahan
kepedihan dan rindu ini....seorang diri...! Airmata yang membawa rasa rindu yang terungkapkan,
dinginnya udara di tepi telaga ini tak dapat mengusik hati seorang pemuda yang sedang
merindu. Hari itu dihabiskan Li Kun Liong di sekeliling telaga tersebut.
Keesokan harinya, Li Kun Liong terjaga dari tidurnya. Dia turun dari atas pohon
besar dan menuju tepi telaga. Dia terjun ke dalam telaga, airnya sangat dingin tapi
menyegarkan. Semangatnya bangkit, dia berenang mengelilingi telaga tersebut. Dengan kelihaian
ilmu silatnya saat ini, dengan mudah dia dapat mengapung di atas air tanpa menggerakkan kaki
seperti seharusnya. Selama berenang Li Kun Liong menginggat kembali pertarungannya
dengan Rameshwara. Setiap gerakan lawan di ngatnya kembali dan di analisanya, bagaimana
cara menghadapi gerakan tersebut, kelemahan gerakan lawan, satu persatu diulanginya
kembali. Berkat kecerdikannya, pemahamannya akan ilmu silat Rameshwara bertambah.
Tidak sedikit manfaat yang diperolehnya dari pertarungan tersebut. Memang bagi
seorang ahli silat, kemajuan ilmu silat bukanlah ditentukan semata-mata oleh kelihaian ilmu
silat yang bersangkutan tapi tak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk melihat kesalahan
dan kelemahan gerakan lawan. Apabila mampu menganalisa hal tersebut, dalam
pertarungan kembali dengan lawan yang sama, kemungkinan untuk menang menjadi lebih besar. Li Kun
Liong memiliki kebiasaan yang sangat baik dengan selalu mengulangi, menginggat,
menganalisa setiap pertempuran yang dialaminya sehingga tanpa disadarinya pemahamannya terhadap
ilmu silat lawan memberi peluang yang besar baginya untuk mengalahkan lawan-lawannya di
kemudian hari. Selagi Li Kun Liong berenang sambil menginggat kembali semua gerakan ilmu silat
lawan, dari tengah telaga tampak mendatangi sebuah sampan kecil. Sampan tersebut melaju
perlahan ke arah tepian, mendekati tempat Li Kun Liong. Tampak di atas sampan tersebut
seorang pria, semakin mendekat semakin jelas wajahnya. Dari kejauhan terlihat pemuda di atas
sampan tersebut sedang meniup seruling bambu, nada iramanya bernafaskan cinta. Lapat-
lapat Li Kun Liong seperti pernah mendengar irama seruling ini, entah di mana dia pernah
mendengar irama ini. Sampan tersebut semakin mendekat ke arah Li Kun Liong. Pemuda yang berada di
sampan tersebut menghentikan tiupan serulingnya, begitu melihat ada seseorang yang
sedang berenang di tepian telaga. Begitu dekat, keduanya mengeluarkan teriakan kaget.
"Kun Liong" "Liok-heng" Ternyata pemuda yang berada di atas sampan tersebut adalah Liok Han Ki atau Liok
In Hong. Pada seri dendam kesumat, Li Kun Liong dan Liok In Hong pernah melakukan
perjalananan bersama, di mana Liok In Hong yang terkenal dengan julukan Sian-Li-Kiam (Dewi
Pedang) waktu itu menyamar sebagai seorang pemuda bernama Liok Han Ki. Namun akhirnya
samarannya terbongkar dan saking malunya dia lari meninggalkan Li Kun Liong. Sebenarnya
dalam perkabungan ketua Hoa-San-Pai di pegunungan Hoa-San, Liok In Hong juga datang
dengan wajah asli sehingga Li Kun Liong tidak mengenalinya. Sekarang tanpa di duga-duga
mereka kembali bertemu dan Liok In Hong kembali menyamar sebagai seorang siucai
(pelajar). Dengan girang Liok In Hong mendayung sampannya semakin mendekat ke arah Li Kun
Liong. Mulanya Li Kun Liong hendak keluar dari dalam air namun tiba-tiba ia teringat
Liok In Hong ini adalah seorang gadis yang menyamar sehingga dia batal keluar dari dalam air.
Saat ini dia tidak berpkaian sama sekali. Hal ini rupanya disadari juga oleh Liok In hong yang
sudah mendekat sehingga dengan wajah kemerahan, dia mendayung perahunya menjauh dan berkata
"Kun Liong, segera engkau berpakaian, baru berbincang-bincang."
Sambil menganggukkan kepalanya, Li Kun Liong cepat-cepat keluar dari dalam air
dan berpakaian. Tak lama kemudian, sampan Liok In Hong kembali datang dan berlabuh
di tepian. "Liok-heng, eh..nona Liok, engkau masih tetap seperti dulu, tidak berubah
sedikitpun" sapa Li Kun Liong ragu-ragu menyebut nama Liok In Hong.
Wajah Liok In Hong kembali kemerahan, dia teringat kejadian di mana sewaktu
dirinya pingsan, tanpa sengaja Li Kun Liong telah melihat tubuh bagian atasnya.
"Hmm.. sekarang justeru engkau yang sudah berubah Kun Liong, namamu semakin
terkenal saja, pasti engkau sudah lupa kepadaku, apalagi banyak gadis yang menemanimu"
kata Liok In Hong sambil mencibirkan mulutnya. Dia teringat di markas Hoa-San-Pai, waktu itu
dia melihat Li Kun Liong bersama seorang gadis yang sangat cantik yaitu Kim Bi Cu.
"Engkau bisa saja, Liok-heng, ehh..lupa nona Liok"
"Apa panggil-panggil nona segala, namaku Liok In Hong, panggil saja In Hong atau
Hong..." Liok In Hong tidak menyelesaikan perkataannya, wajahnya kembali kemerahan.
"Baiklah Hong-moi" kata Li Kun Liong sedikit menggoda.
"Oh ya, Liong-ko (wah, ikutan berubah panggilannya nih), selama ini kemana saja
engkau, sejak meninggalkan pegunungan Hoa-San, tidak terdengar lagi kabar beritamu"
"Aku kembali ke pegunungan Thai-San untuk menyembayangi abu guruku, Hong-moi"
"Oh begitu" "Hong-moi, engkau sendiri sekarang hendak menuju kemana" Bagaimana kabar Bai-
heng, apakah engkau sudah bertemu dengannya?"
Dengan wajah sedikit berubah, Liok In Hong menjawab "Waktu di markas Hoa-San-Pai
bukannya engkau sudah melihatku bersama-sama dengan Bai Mu An?"
"Oh, rupanya gadis cantik yang duduk di sebelah Bai-heng waktu itu adalah
engkau, Hong-moi. Aku jadi pangling, rupanya engkau lebih cocok berdandan sebagai seorang gadis
daripada seorang siucai" kata Li Kun Liong menggoda.
"Huh.. dasar laki-laki, tidak boleh melihat gadis lain" sunggut Liok In Hong.
"Baiklah...baiklah, terserah padamu mau berdandan sebagai apa pun, yang penting
sekarang adalah mengisi perut dulu, dari semalam aku belum makan" kata Li Kun Liong
sambil mengusap- usap perutnya. "Wah, dari sini ke kota tedekat masih cukup jauh, bagaimana kalau engkau memburu
kelinci, nanti aku yang memasaknya, kebetulan aku membawa bumbu masak" saran Liok In
Hong. "Ide yang bagus, Hong-moi, engkau tunggu di sini, aku pergi memburu kelinci
dulu, tidak akan lama" kata Li Kun Liong sambil berkelabat ke dalam hutan.
Sambil menunggu kedatangan Li Kun Liong, Liok In Hong menyiapkan segala sesuatu
dan berganti pakaian di balik semak-semak, dia ingin memberi kejutan buat Li Kun


Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong "Sepertanakan nasi kemudian, Li Kun Liong muncul membawa dua ekor kelinci hasil
buruannya. Dilihatnya Liok In Hong berganti baju dan berdandan sebagai seorang gadis muda
yang sangat cantik. Dengan mulut terbuka sedikit, Li Kun Liong terpaku mengagumi kecantikan
wajah Liok In Hong. Dengan wajah agak lonjong dan bibir yang tipis, dagu yang simetris dan
sedikit lesung pipit di pipi sebelah kirinya, kecantikan Liok In Hong sungguh sempurna. Alis
matanya tipis dengan sepasang mata yang bening membuat siapa pun yang menatapnya pasti akan
terpesona. Sungguh ciptaan yang maha sempurna.
Melihat Li Kun Liong terbengong-bengong menatapnya, hati Liok In Hong berdebar-
debar gembira namun diluaran, sambil emnutupi mulutnya, dia ketawa cekikikan dan
berkata "Kenapa bengong begitu, nanti kemasukan lalat baru tahu rasa. Mari kesinikan kelincinya"
Li Kun Liong tersadar, sambil tersenyum malu dia mengangsurkan kelinci tersebut
ke Liok In Hong. Tak lama kemudian, tercium bau harum daging panggang, membuat perut Li Kun
Liong berbunyi keruyukan tanda kelaparan. Bekal yang di bawa Liok In Hong cukup
lengkap, di samping bumbu masak, dia juga membawa sekantong beras yang direbusnya sebagai
teman makan daging kelinci. Begitu daging kelinci sudah matang, Li Kun Liong segera makan dengan lahap, tak
henti-hentinya dia memuji kelezatan masakan Liok In Hong. Sambil tersenyum bangga, Liok In Hong
melayani Li Kun Liong, disodorkannya sebagian besar daging kelinci hasil panggangannya, dia
sendiri hanya mengambil sedikit saja. Dia senang melihat masakannya sangat dinikmati Li Kun
Liong. Dengan perut kekenyangan Li Kun Liong bersandar di pohon, semilir angin pagi
yang bertiup dari tengah telaga menerpa wajahnya, menyejukkan jiwa. Daun-daunan meliuk mengangguk
diantara semilir angin. Li Kun Liong jatuh tertidur kekenyangan, teanganya masih belum
pulih seluruhnya sejak pertempuran dengan Rameshwara dan berlari sekian jam.
Sambil tersenyum melihat Li Kun Liong ketiduran, Liok In Hong membereskan sisa-
sisa makanan dan memasukkan kembali bumbu masakan ke dalam buntalan pakaian. Lalu duduk
termenung di samping Li Kun Liong sambil menatap wajah pemuda ini. Dalam keadaan tidur, wajah
Li Kun Liong terlihat semakin tampan dengan garis-garis halus di wajahnya serta alis
yang tebal menambah kejantanannya. Liok In Hong menghela nafas panjang, diam-diam dia menaruh hati kepada pemuda
ini namun dia sadar dirinya sudah dijodohkan sejak kecil dengan Bai Mu An. Hubungan
keluarganya dengan keluarga Bai Mu An sangat erat, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan
terjadi bila dia menolak perjodohan ini hanya gara-gara Li Kun Liong. Sejak kecil dia sudah
mengenal Bai Mu An, bila tidak ada Li Kun Liong, sudah pasati dia akan menerima Bai Mu An
sebagai jodohnya. Bai Mu An sendiri cukup tampan, tidak kalah bila dibandingkan dengan Li Kun Liong,
sama-sama pemuda idaman, lihai ilmu silatnya. Namun hati seorang dara muda memang susah di
tebak. Baik Liok In Hong dan Li Kun Liong tidak menyadari, sejak tadi ada sepasang mata
yang mencorong ganjil memperhatikan gerak-gerik mereka dari balik pepohonan yang
rimbun, agak jauh di sebelah kanan telaga tersebut. Sepasang mata ini berasal dari mata
seorang pemuda yaitu Bwe-hoa-cat. Dia kebetulan lewat di daerah ini dan mencium bau harum
daging yang sedang di panggang Liok In Hong. Kebetulan dirinya merasa lapar sehingga dengan
mengendus- endus bau harum tersebut dia sampai di tepi telaga tersebut dan melihat seorang
pemuda dan gadis yang sangat cantik sedang makan daging kelinci. Dia tahu mereka adalah
kaum kangouw sehingga tidak berani mengambil resiko, diam-diam ia menyelinap di balik
pepohonan. Hatinya langsung tertarik begitu melihat diri Liok In Hong. Sejak hampir
merenggut kehormatan Cin-Cin
tapi digagalkan seorang bhiksu busuk, dia tdak pernah menyentuh seorang wanita
pun sehingga selama beberapa hari ini dia belingsatan. Sungguh kebetulan, di daerah yang sepi
ini ditemuinya seorang gadis yang sangat cantik. Diam-diam dia menelan ludah melihat
kerupawanan Liok In Hong. Walupun kecantikannya masih kalah sedikit dengan Cin-Cin namun lebih dari
cukup buatnya. Hanya saja, masalahnya gadis ini sedang bersama seorang pemuda yang
ketiduran di bawah pohon. Dia tidak tahu seberapa lihai mereka berdua sehingga tidak mau
mengambil tindakan yang gegabah. Dia berencana memancing gadis ini menjauh dari tempat ini
sehingga lebih mudah baginya untuk menghadapinya.
Tiba-tiba, Liok In Hong yang sedang termenung menatap wajah Li Kun Liong
mendengar suara keresekan di sebelah kanan hutan. Pasti kelinci pikirnya, dia bangkit dan
berjalan ke arah suara tadi. Dia berencana menangkap kelinci tersebut dan membuatnya menjadi dendeng
kering buat bekal Li Kun Liong. Tetapi begitu sampai di tempat suara keresekan tadi, kelinci
tersebut telah menghilang. Merasa penasaran, Liok In Hong semakin memasuki hutan dan semakin
menjauhi telaga tersebut. Semakin masuk ke dalam hutan, kelinci yang diburunya tak
kelihatan batang hidungnya. Selagi dia ragu-ragu untuk meneruskan perburuan, di sebelah depan
terlihat sebuah gubuk kecil. Dihampirinya gubuk tersebut, kelihatannya gubuk ini tidak
berpenghuni. Baru saja Liok In hong hendak memasuki gubuk tersebut, dari belakang punggungnya terdengar
kesiuran angin. Reaksinya cukup gesit tapi tidak cukup cepat, tahu-tahu jalan darah Gi-
kok-hiat di pundak belakang tertutuk jari seseorang. Dengan rasa kaget, Liok In Hong berusaha
membebaskan diri dari tutukan tersebut namun tutukan berikutnya membuatnya tak dapat bergerak
sama sekali. Sebenarnya ilmu silat Liok In Hong cukup lihai, hanya saja dia terlalu lengah
hingga tak berjaga- jaga terhadap bokongan. Tahu-tahu dirinya dihampiri seorang pemuda berbaju putih
dengan wajah cengar-cengir dan mata yang jelatalatan, membuat dirinya bergidik ngeri.
Sesampai di depannya, pemuda tersebut mencolek pipinya yang mulus.
"Sungguh cantik, beruntung sekali aku mendapatkanmu manis. Kita akan bersenang-
senang, engkau tidak akan melupakannya" kata pemuda tersebut sambil memondong Liok In
Hong. Dengan wajah pucat, Liok In Hong merasa dirinya di pondong ke dalam gubuk
tersebut dan dibaringkan di sebuah dipan kayu.
Pemuda tersebut lalu mengambil sesuatu dari balik kantong bajunya dan berkata
sambil tersenyum "Biar sama-sama enak, mari hirup obat ini manis, aku jamin engkau akan
merasakan seperti di surga." Liok In Hong berusaha menahan nafas agar tidak mencium bubuk yang disodorkan
pemuda tersebut di hidungnya tapi tentu saja tidak selamanya dia menahan nafas, Tak
berapa lama kemudian, mau tidak mau bubuk tersebut tercium juga dan masuk ke dalam pau-
parunya dengan cepat. Liok In hong merasa sedikit nyaman begitu bubuk tersebut masuk ke
dalam tubuhnya, aliran darahnya berdenyut cepat.
Perasaannya ringan, tubuhnya mulai terasa panas. Entah sejak kapan, tutukan
pemuda tersebut telah lepas sehingga tubuhnya yang ramping bisa bergerak kembali. Dengan mata
yang sayu, Liok In Hong berseru "Ah..panas sekali" Tanpa disadarinya, tangannya melepaskan
kancing baju bagian atas sehingga bajunya tersingkap memperlihatkan sebagian baju dalam yang
dikenakannya. Semua ini disaksikan oleh Bwe-hoa-cat dengan mata bersinar-sinar,
gairahnya sedikit demi sedikit bangkit begitu melihat gerakan tubuh Liok In Hong yang
erotis, apalagi ketika pakaian Liok In Hong terbuka, memperlihatkan pundaknya yang putih bak pualam
itu. Liok In Hong sendiri terus mengeluh kepanasan dan semakin mengerakkan tubuhnya kesana
kemari sambil tangannya berusaha melepaskan pakaian yang dikenakannya. Sekarang baju
luarnya sudah terbuka semua, tampak baju dalamnya yang ketat memperlihatkan kemolekan
tubuhnya dan menampakkan lekuk buah dada seorang dara muda. Buah dadanya yang membusung
ketat dibalik baju dalam bergerak-gerak maju mundur akibat gerakan tubuhnya. Tangan
Liok In Hong mulai beralih melepaskan pakaian dalamnya tersebut. Mula-mula tali sebelah kiri
yang melilit di pundak kirinya dilepasnya hingga tersembul buah dada sebelah kiri yang putih dan
ranum dengan setitik puting kecil kecoklatan di tengahnya. Sungguh pemandangan yang
mengairahkan. Liok In Hong sendiri samar-samar menyadari apa yang dilakukannya ini tidak
sepatutnya tapi dorongan garah yang meledak-ledak di dalam dirinya, membuatnya tak kuasa berbuat
apa-apa. Tangannya mulai melepaskan tali sebelah kanan dan akhirnya terlepas dan
menampakkan sepasang buah dada yang sangat indah dan kenyal, membusung tegak di hadapan Bwe-
hoa-cat. Ujung puting kebulatan di tengah sepasang buah dada tersebut mengeras tanda
pemiliknya di landa birahi yang tinggi. Ukuran dan bentuk buah dada Liok In Hong sungguh
serasi dengan bentu tubuhnya. Sepasang buah dada yang bulat seukuran tangkupan tangan, seolah
menantang siapa saja untuk menyentuh dan meremasnya.
Bwe-hoa-cat tidak tahan lagi menyaksikan pemandangan yang menggiurkan ini,
bagian bawah tubuhnya sudah menegang sejak tadi. Dengan mata melotot seolah-olah hendak
keluar dari kelopak mata, dia melompat ke atas pembaringan dan menindih tubuh ramping Liok
In Hong. Namun belum lagi sempat berbuat apa pun, tiba-tiba pintu gubuk tersebut
gedubrakan ditendang seseorang. Sambil berjingkrak kaget seolah cacing kepananasan, Bwe-hoa-cat melihat yang
datang adalah pemuda yang tadi ketiduran di bawah pohon. Hatinya sangat gemas sekali, dua kali
dirinya terganggu ketika hendak mengagahi korbanya. Dengan mata gelap diserangnya Li Kun
Liong dengan spenuh tenaga seolah-olah hendak menghantam lawanya dalam segebrakan
saja. Tapi kali ini dia ketemu batunya, cukup sedikit mengegoskan badannya, serangan Bwe-
hoa-cat tersebut kandas. Li Kun Liong sendiri tiba di gubuk ini tepat pada waktunya, begitu mendusin,
tidak tampak bayangan Liok In Hong. Dipanggil-panggilnya namun tetap tak nampak bayangan
tubuh Liok In Hong. Dengan khawatir, Li Kun Liong memasuki hutan tersebut hingga akhirnya tiba
di gubuk ini dan menyaksikan kelakuan Bwe-hoa-cat yang hendak memperkosa Liok In Hong.
Kembali dalam pertempuran ini, puluhan jurus telah dimainkan namun semua
serangan lawan dapat dihindari dengan baik oleh Li Kun Liong yang menggunakan ilmu langkah-
langkah ajaib. Tingkat kepandaian Li Kun Liong saat ini boleh di bilang sudah susah mencari
tandingan lagi namun ilmu silat Bwe-hoa-cat juga tidak sembarangan. Terbukti bhiksu Hun-Lam pun
memerlukan ratusan jurus untuk mendesak Bwe-hoa-cat. Sungguh sayang, seorang
jago silat yang memiliki kepandaian setinggi ini, berada di jalur yang sesat. Dalam hal
ilmu meringankan tubuh, Bwe-hoa-cat boleh bangga dapat menandingi ilmu mengentengkan tubuh yang
dimiliki Li Kun Liong tapi dalam hal tenaga dalam harus diakui ia masih kalah setingkat.
Sama seperti pertarungannya dengan bhiksu Hun-lam, akhir pertarungan ini dapat dipastikan
dimenangkan Li Kun Liong. Li Kun Liong tidak memberi hati, semua serangan dilakukannya dengan
sungguh- sungguh. Hatinya sangat panas melihat perbuatan Bwe-hoa-cat terhadap Liok In
Hong. Akibatnya, Bwe-hoa-cat hanya mampu bertahan sekuatnya. Keringat dingin mulai
tampak di keningnya, gairahnya entah sudah lari kemana. Diam-diam hatinya tercekat melihat
kelihaian ilmu silat Li Kun Liong. Dia menduga-duga siapa gerangan pemuda yang lihai ini,
selama hidupnya belum pernah dia mengalami pertempuran sepayah ini.


Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatinya mulai takut dan kalut. Akibatnya gerakannya mulai terpengaruh dan
kesempatan ini tidak disia-siakan Li Kun Liong. Dengan gerakan Pay-san-to-hay (menolak gunung
menguruk lautan), di kuti tutukan It-Sin-Ci ke arah jalan darah Sie-hong-hiat di bagian dada yang
mematikan, Bwe- hoa-cat hanya merasakan dadanya sangat nyeri sekali hingga semua gerakannya
seolah-olah terhenti dan kegelapan yang pekat mulai melingkupi jiwanya. Masih dengan posisi
berdiri, penjahat jai-hoa-cat yang sangat terkenal ini binasa di tangan pendekar muda Li
Kun Liong dengan mata melotot terbuka, seolah-olah tidak rela meninggalkan dunia yang fana
ini. Sehabis membinasakan lawan, Li Kun Liong menuju ke arah Liok In Hong yang masih
mengeliat- geliat di pembaringan. Keadaannya sekarang tambah mengiurkan, seluruh tubuh Liok
In hong sudah tak ada sehelai benang pun, memperlihatkan semua bagain-bagian tubuh yang
paling rahasia dari seorang gadis. Semuanya terpampang dengan jelas di depan mata Li
Kun Liong. Dengan gerakan-gerakan yang erotis, Liok In Hong mengangkat pinggulnya ke atas
hingga nampak sebuah lembah yang dikelilingi beludru-beludru halus disekitarnya, di
tengah-tengah lembah tersebut nampak segaris belahan merah semu yang nampak basah seolah-olah
baru saja di guyur hujan. Melihat pemandangan tersebut, dengan hati berdeburan Li Kun Liong mengeraskan
hati, di tutuknya Liok in Hong untuk menghentikan gerakan-gerakan liar tersebut.
"Oh..Liong-ko, tolong peluk aku" kata Liok In Hong dengan suara mendesah parau.
"Hong-moi, sadar..sadar" kata Li Kun Liong sambil menepuk-nepuk pipi Liok In
Hong yang kemerahan. Di ambilnya pakaian Liok In Hong yang berserakan di lantai dan ditutupinya tubuh
Liok In Hong yang mulus tersebut sebisa mungkin terutama bagian-bagian terahasia tersebut.
Tidak mudah bagi Li Kun Liong melakukan hal tersebut, lebih-lebih melihat
sepasang buah dada yang putih dan segar dengan puting yang kencang tersebut membusung dengan
kerasnya. Tangannya yang memegang baju sedikit gemetaran ketika menutupi sepasang payudara
tersebut. Sebenarnya mudah sekali baginya untuk memanfaatkan situasi ini,
apalagi Liok In Hong sendiri dalam keadaan yang terbakar oleh gairahnya sendiri. Ibarat ikan asin di
depan seekor kucing, tinggal dicaplok saja.
Begitu pula ketika dia hendak menutupi lembah yang berada di antara sepasang
paha puith mulus tersebut. Pemandangan yang sangat indah dan menggoda iman ini, sungguh
mengguras habis seluruh pertahanan diri Li Kun Liong. Lebih-lebih di ringi erangan dan
lenguhan kecil dari mulut Liok In hong yang merekah bak buah delima tersebut. Li Kun Liong adalah
seorang pemuda biasa yang memiliki gairah yang tinggi. Dia juga tidak menganggap dirinya
seorang kuncu, dia bahkan memiliki kelemahan terhadap gadis cantik. Setiap perbuatan
yang dilakukannya, bukan berdasarkan pendapatorang atau menurut kepantasan yang
berlaku di masyarakat. Dia adalah tipe orang yang berbuat menurut kata hatinya, setiap
tindakannya murni berasal dari keputusan dalam dirinya bukan keputusan orang lain. Terlepas
perbuatan atau tindakan-tindakanyang diambilnya benar atau salah menurut ukuran jaman
tersebut, dia bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakannya. Namun perbuatan yang
memancing di air keruh atau mengambil kesempatan dalam kesempitan bukanlah perbuatan atau
tindakan yang akan ia ambil.
Li Kun Liong keluar dari gubuk tersebut sambil membawa mayat Bwe-hoa-cat dan
menguburnya di belakang gubuk tersebut. Lalu dia berjaga di depan pintu masuk, menanti Liok
In Hong pulih kesadarannya. Dihapusnya keringat di dahinya yang entah sejak kapan muncul. Dia
berusaha mengenyahkan semua pikiran dan berkonsentrasi untuk mengheningkan diri. Tidak
mudah melakukannya, lebih-lebih dari dalam gubuk tersebut terdengar rintihan birahi
seorang gadis perawan. Akhirnya dengan usaha yang lebih dari biasanya, Li Kun Liong mampu
menutup diri dan bersamadhi. Entah berapa lama Li Kun Liong bersamadhi, tahu-tahu pagi sudah menjelang, hawa
pagi yang sejuk dan kicau burung bersahutan menyadarkannya dari samadhi.
Buru-buru dia bangkit dan masuk ke dalam gubuk. Di dalam gubuk tersebut nampak
Liok In Hong duduk di atas kursi yang berada di tengah ruangan dengan pandangan
menerawang jauh. Tubuhnya sudah dibalut pakaian lengkap, rupanya sudah beberapa saat dia sadar.
Mula-mula Liok In Hong sedikit bingung namun setelah kesadarannya pulih seluruhnya, dia
teringat kembali kejadian semalam. Bahkan ketika Li Kun Liong membinasakan Bwe-hoa-cat dapat di
ngatnya dengan baik. Hanya saja dirinya merasa sangat malu untuk menemui Li Kun Liong.
Sudah dua kali Li Kun Liong melihat bagian tubuhnya yang paling rahasia.
"Engkau sudah sadar, Hong-moi" kata Li Kun Liong lembut.
Liok In Hong mengangguk lemah, dari balik sepasang matanya yang bening meleleh
setitik air mata, jatuh perlahan-lahan di pipinya. Li Kun Liong menyusuti air mata tersebut
dengan tangannya dan berkata "Syukur engkau tidak apa-apa, jai-hoa-cat tersebut sudah kubinasakan"
Liok In Hong menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Li Kun Liong dan menangis di
dalam dekapan dada Li Kun Liong. Airmatanya jatuh berderai membasahi dada Li Kun
Liong. Li Kun Liong membiarkan Liok In Hong menangis, diusap-usapnya rambut Liok In Hong yang
hitam dan panjang tersebut. Lapat-lapat hidungnya mencium bau harum tubuh Liok In Hong.
Hatinya berdebaran kembali, terbayang semua pemandangan yang ia saksikan semalam. Tanpa
dapat dicegahnya, gairahnya bangkit dengan cepat namun ditahan sekuatnya. Dia tidak
ingin Liok In Hong tahu, hatinya terguncang mendekap tubuh ramping seorang dara seperti Liok
In Hong ini. Li Kun Liong tidak tahu bahwa Liok In Hong tahu apa yang sedang berkecamuk dalam
pikiran Li Kun Liong. Naluri seorang wanita dan debaran jantung Li Kun Liong yang
didengarnya sudah cukup buat dirinya untuk mengetahui apa dipikirkan Li Kun Liong. Apalagi ketika
dirasakannya bagian bawah Li Kun Liong yang mulai menggeras tersebut menekan tubuhnya. Diam-
diam walaupun merasa malu, Liok In Hong gembira bahwa Li Kun Liong memiliki gairah
terhadapnya. Tadinya ia pikir Li Kun Liong hanya menganggapnya sebagai adik atau teman saja.
Pengaruh obat perangsang yang dihirupnya sebagian besar sudah menghilang namun
karena hasratnya tak tersalurkan, pengaruhnya sedikitnya masih ada. Liok In hong
menengadahkan kepalanya ke arah
Li Kun Liong, dengan pandangan yang mengundang, matanya yang sayu dengan sisa
air mata tersebut menatap Li Kun Liong. Ditatap sedemikian rupa, sebodoh-bodohnya Li Kun
Liong juga mengerti arti tatapan ini. Li Kun Liong tidak dapat bertahan lagi, semua
pertahanannya gugur, ditundukan kepalanya dan dikecupnya bibir yang merekah merona tersebut. Liok In
Hong mengeluh kecil sambil membalas kecupan Li Kun Liong dengan gairah. Li Kun Liong
mengulum dan memagut bibir mungil tersebut, rasanya bagaikan di awang-awang.
Tangan Liok In Hong melingkari leher Li Kun Liong, dibalas Li Kun Liong dengan
mendekap tubuh yang mungil tersebut dengan erat.
Entah siap yang memulai duluan, tahu-tahu keduanya sudah berbaring di
pembaringan. Liok In Hong membiarkan tangan Li Kun Liong melucuti bajunya kembali hingga pundak dan
lengannya yang putih mulus tersebut dapat dilihat dan dinikmati Li Kun Liong. Li Kun Liong
mengamat- amati kesempurnaan tubuh yang langsing bak dawai tersebut. Tatapan mata Li Kun
Liong bak mengagumi pemandangan yang indah, membuat Liok In Hong tertunduk malu, kedua
tangannya disilangkan di depan buah dadanya yang ranum. Tak dapat menahan gairahnya, Li
Kun Liong mendekap tubuh Liok In Hong sambil tangannya
------------------------------------------------
Sensor untuk menghindari di bawah 17 terpengaruh.
Versi Buku & Ebook tidak di sensor
-------------------------------------------------
"Jangan Kun Liong....ah..ahh" katanya sambil mendesah, hatinya berdebar-debar,
belum pernah dia disentuh pria semacam ini.
Li Kun Liong membisikkan kata-kata mesra di telinga Liok In Hong. Sambil
tersenyum lelah, Liok In Hong menyandarkan kepalanya di dada Li Kun Liong.
Seberkas perasaan bersalah menghinggapi keduanya.
Memang dalam situasi yang memberi peluang terjadi peristiwa barusan, jarang yang
mampu menolaknya. Bahkan ada yang berpendapat, urusan seperti ini tidak ada kaitannya
dengan masalah moral, agama, nilai-nilai luhur lainnya. Semua nilai-nilai ini tidak
mempan terhadap naluri alamiah untuk memenuhi kebutuhan mendasar ini. Segala perdebatan yang
timbul, tinggal ah perdebatan. Hanya pengalaman langsung yang dapat membuktikan pendapat
masing- masing. Bisa saja awalnya dia menolak anggapan tersebut namun ketika
menghadapinya langsung, segala penolakan yang ada di kepalanya langsung buyar entah kemana,
tergantikan naluri alamiah tersebut. 6. Hancurnya Partai Mo-Kauw
Dunia persilatan kembali berguncang dengan berita bergeraknya kembali partai Mo-
kauw. Setelah sebelumnya menyerbu Hoa-San-Pai dan Go-Bi-Pai, kali ini partai Mo-kauw
menyerbu markas besar Kay-Pang. Kalau dalam penyerbuan di Hoa-San-Pai dan Go-Bi-Pai pihak
Mo-kauw tidak mendapat perlawanan yang berarti, lain dengan penyerbuan di markas Kay-
pang. Mereka mendapat perlawanan yang gigih, anggota-anggota Kay-Pang umumnya memiliki
kemampuan silat yang merata. Ini disebabkan pengajaran ilmu silat kepada murid-murid Kay-
Pang dilakukan secara sistematis dan adanya pembedaan tingkat kesenioran seseorang. Tingkat
kesenioran ini bukan ditentukan usia namun tinggi rendahnya ilmu silat masing-masing. Tidak
jarang pengemis berkantung lima, umurnya baru dua puluh tahunan dibandingkan rata-rata pengemis
berkantung lima yang berkisar empat puluh sampai lima puluh tahunan. Setiap beberapa bulan
sekali, semua anggota Kay-Pang di uji ilmu silatnya oleh para tiang-lo. Mereka yang ilmu
silatnya meningkat, otomatis berhak mendapat kantung yang lebih tinggi sedangkan mereka yang malas,
diturunkan tingkatnya. Dengan demikian terjadi perlombaan yang sehat di antara anggota-
anggota Kay- Pang dalam memperdalam ilmu silat mereka. Itulah salah satu sebab yang membuat
murid-murid Kay-Pang terkenal akan kelihaian ilmu silatnya. Rata-rata anggota Kay-Pang boleh
di bilang bisa dianggap jago kelas satu, terutama pengemis berkantung lima ke atas.
Di samping itu juga, anggota-anggota Kay-Pang memiliki displin dan semangat
kesetiakawanan yang tinggi serta anggota yang tersebar di seluruh penjuru Tiong-goan.
Pengeroyokan terhadap ketua Kay-Pang terdahulu, Sun-Lokai oleh para tetua Mo-
kauw dan penyusupan Tong-tang-lang di Kay-Pang, tidak terlepas dari siasat melemahkan
dari dalam. Ketua partai Mo-kauw, Sin-Kun-Bu-Tek menyadari sejak awal bahwa selain Shao-Lin-
Pai, Kay- Pang meruapakan partai terkuat saat ini di dunia persilatan. Bila tidak segera
dihancurkan akan menjadi batu sandungan bagi ambisinya menguasai dunia persilatan Tiong-goan.
Dalam penyerbuan tersebut, partai Mo-Kauw mengerahkan semua kekuatannya termasuk
Tong- tang-lang, Ciang-Gu-Sik, Ceng Han Tiong serta kepala barisan putih dan merah.
Mereka dihadapi dengan gigih oleh para tiang-lo, Kam-Lokai dan muridnya Tiauw-Ki, sutitnya Kok-
Bun-Liong dan anggota-anggota Kay-Pang lainnya. Secara keseluruhan anggota-anggota Kay-Pang
lebih unggul dari barisan Mo-kauw. Namun dalam pertarungan tingkat atas antara tokoh-tokoh
mereka, partai Mo-kauw lebih unggul. Pertempuran ini memakan korban di kedua belah pihak dan berlangsung selama
belasan hari. Kaum persilatan yang mendengar berita pertempuran ini berbondong-bondong datang
membantu, begitu pula anggota-anggota Kay-Pang yang tersebar di seluruh penjuru


Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong-goan beramai-ramai datang ke markas besar Kay-Pang.
Saat berita tersebut sampai di telinga Li Kun Liong, buru-buru dia bersama Liok
In Hong menuju markas besar Kay-Pang. Sepanjang perjalanan menuju markas Kay-Pang, mereka
melihat banyak kaum persilatan yang juga datang untuk membantu memerangi pihak Mo-Kauw. Semakin
dekat ke markas Kay-Pang, mereka menjumpai beberapa mayat baik dari pihak Kay-Pang dan
pihak Mo-Kauw bergelimpangan begitu saja di jalanan. Situasinya benar-benar
mengiriskan hati. Setiba di maraks besar Kay-Pang, Li Kun Liong dan Liok In Hong melihat
pertempuran sudah semakin memuncak dan mendekati tahap akhir. Tampak Tong-tang-lang dikerubuti
Kok-Bun- Liong dan beberapa tiang-lo Kay-Pang. Walaupun dikeroyok beberapa orang
sekaligus, Tong- tang-lang mampu melayani mereka bahkan dapat membalas setiap serangan dengan
ganas. Di lain pihak ketua Kay-Pang, Kam-Lokai bersama muridnya Tiauw-Ki sedang
mengerubuti Ciang- Gu-Sik. Kedudukan mereka cukup gawat, walaupun Kam-Lokai sudah mengerahkan ilmu
pengebuk anjingnya namun kepandaian Ciang-Gu-Sik memang sungguh menakjubkan.
Tampak bahu Tiawu-Ki sudah terluka sehingga gerakannya semakin lemah. Melihat keadaan
yang genting tersebut, Li Kun Liong melompat ke arah pertempuran sambil bersuit nyaring.
Suitannya berkumandang ke seluruh penjuru, mereka melihat seorang pemuda melayang ke dalam
pertempuran antara Kam-Lokai, Tiauw Ki dan Ciang Gu Sik.
Ciang Gu Sik yang girang sebentar lagi dapat merobohkan Tiauw-Ki merasakan
telinga berdengung mendengar suitan Li Kun Liong. Belum sempat dia bereaksi, hawa
pukulan Li Kun Liong yang mengandung tenaga sakti telah melanda datang. Dengan hati tercekat,
buru-buru Ciang-Gu-Sik mundur dengan gerakan Tui-Po-lian-hoan (gerakan mundur berantai).
Dilihatnya orang yang menyerangnya adalah Li Kun Liong, diam-diam hatinya mengeluh melihat
kedatangan seorang musuh tangguh.
"Cianpwe sebaiknya segera membantu kawan-kawan Kay-Pang yang lain, biar cayhe
yang menghadapi orang ini" kata Li Kun Liong.
Kam-Lokai menganggukkan kepalanya, hatinya girang mendapat bala bantuan
setangguh Li Kun Liong. Buru-buru ia menerjang ke arah Ceng Han Tiong yang dari tadi tiada lawan
berarti. Cukup banyak anggota Kay-Pang yang menjadi korbannya. Dengan murka Kam-Lokai menyerang
Ceng Han Tiong. Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Sebagai ketua
Kay-Pang, tentu saja Kam-lokai memiliki ilmu silat yang tinggi namun lawannya kali ini adalah
murid terakhir Sin- Kun-Bu-Tek yang bakatnya bahkan melebihi toa-suhengnya, Ciang Gu Sik.
Pertempuran tersebut sangat seru dan untuk sementara belum kelihatan siapa yang lebih unggul.
Sedangkan Tiauw-Ki mundur untuk merawat luka-lukanya.
Liok In Hong sendiri segera terjun membantu anggota Kay-Pang, bantuannya ini
sangat berguna. Dengan ringan ia berkelabat ke sana kemari. Di mana bayangan muncul, di situ
pasti jatuh korban di pihak Mo-Kauw. Melihat banyak anak buahnya menjadi korban Liok In
Hong, sambil menggereng murka kepala barisan kuning Thi-kah-kim-kong (si raksasa berbadan
baja) segera menghadang di depan Liok In Hong. Mereka segera terlibat pertarungan seru. Liok
In Hong memiliki keunggulan dalam kelincahan tubuh sedangkan Thi-kah-kim-kong memiliki
ilmu weduk yang tak mempan pukulan dan senjata. Beberapa kali pukulan Liok In Hong mampir
di pundak Thi-kah-kim-kong tapi tak menghasilkan apa pun. Dengan gemas Liok In Hong
mencabut pedang pusakanya dan langsung menyerang dengan jurus-jurus ganas. Kali ini Thi-kah-kim-
kong tidak berani membiarkan pedang Liok In Hong mampir di tubuhnya. Tak ayal lagi dia
melayani dengan sungguh-sungguh. Kembali ke Li Kun Liong yang menghadapi jago nomer dua partai Mo-kauw, Ciang Gu
Sik. Dengan mata membara, Li Kun Liong menyerang terlebih dahulu. Ini saat yang tepat
baginya untuk membalas keroyokan mereka dahulu, yang membuatnya hampir binasa. Kalau
dulu Li Kun Liong tidak mempunyai celah untuk membalas keroyokan Ciang Gu Sik dan Tong-tang-
lang, maka kali ini satu lawan satu, dengan leluasa dia memainkan jurus-jurus yang
selama ini dilatihnya. Ciang Gu Sik segera keteteran menghadapi serangan Li Kun Liong.
Buru-buru dikerahkannya ilmu andalannya Thian-Te-Hoat (ilmu langit bumi). Tidak main-main,
langsung ia keluarkan sampai tingkat ke enam dari tujuh tingkat yang dikuasainya. Hasilnya
tidak mengecewakan, serangan Li Kun Liong dapat dibendungnya. Kemajuan ilmu silat Li
Kun Liong memang pesat namun dalam waktu singkat belum dapat diresapinya secara sempurna.
Namun itu pun sudah lebih dari cukup untuk menghadapi Ciang Gu Sik. Ilmu langkah-
langkah ajaibnya sangat berguna dalam pertempuran ini dan membingungkan Ciang Gu Sik. Hanya hawa
panas yang dihasilkan ilmu Thian-Te-Hoat tingkat ke enam tersebut sedikit menyukarkan
Li Kun Liong. Tenaga saktinya seolah-olah tersumbat sesuatu sehingga sulit untuk mengalir
dengan lancar di kedua tangannya. Diam-diam Li Kun Liong memuji ilmu silat Ciang Gu Sik ini.
Dalam pertempuran terdahulu, Ciang Gu Sik tidak menggunakan ilmu ini sehingga baru
kali Li Kun Liong mengalami serangan tersebut. Untuk mengurangi hawa panas pukulan Ciang Gu Sik,
Li Kun Liong mengerahkan ilmu langkah-langkah ajaib seantero tenaga. Tubuhnya
berkelabat ke sana kemari mengurung Ciang Gu Sik bagaikan burung bangau yang mengincar ular
santapannya. Taktik ini berhasil dengan baik, hawa panas tersebut berkurang hingga otomatis
tenaga saktinya kembali lancar dan membuat Ciang Gu Sik kewalahan. Menyadari hal tersebut dengan
nekad Ciang Gu Sik melancarkan serangan tingkat ke tujuh. Dia tidak memperdulikan lagi
bahaya yang bakal menimpanya jika serangan ini gagal.
"Blaar...Dukk..Dukk!" Hanya sekejap mata saja terjadinya. Entah bagaimana Ciang Gu
Sik sendiri tidak tahu, pergelangan tangannya tertangkis tangan Li Kun Liong, membuat
dirinya terhuyung mundur lima langkah dan tiba-tiba ia merasa amat sakit pada kedua tangannya dan
dadanya. Dia roboh ke tanah dengan mata melotot. Binasa. Dari sela-sela kelopak matanya
keluar darah segar, begitu pula kedua telinganya dan lubang hidungnya. Kematiannya sangat
mengenaskan. Li Kun Liong sendiri hanya merasakan dadanya sedikit sesak, segumpal darah yang
hendak keluar dari mulutnya sebisa mungkin ditahannya. Dia tahu apabila gumpalan darah
tersebut keluar, ia akan terluka dalam dan harus segera berisitrahat penuh selama
beberapa hari. Diam- diam ia bersyukur telah mempelajari ilmu tenaga dalam yang terdapat di dalam
lukisan kuno tersebut. Jika tidak, ia sendiri ragu apakah dapat menandingi ilmu Thian-Te-Hoat
tingkat ke tujuh tersebut. Li Kun Liong sendiri tidak menyadari dengan menahan gumpalan darah
tersebut, umurnya jadi berkurang beberapa tahun dari seharusnya.
Kematian Ciang Gu Sik di sambut dengan teriakan gembira para anggota Kay-Pang
yang menyaksikan pertempuran dahsyat tersebut. Semangat mereka bangkit kembali
sedangkan di pihak Mo-Kauw semangat tempur mereka justeru meluntur.
Tong-tang-lang yang masih bertempur dikeroyok Kok-Bun-Liong dan para tiang-lo
Kay-Pang merasa sangat kaget mendengar teriakan anggota Kay-Pang tersebut. Ketika melirik
ke arah Ciang Gu Sik, hatinya terguncang melihat Ciang Gu Sik binasa. Segera dia
melancarkan serangkaian serangan ke arah Kok-Bun-Liong dan para tiang-lo, lalu dengan sebat
mundur sambil mengeluarkan lengkingan tanda memerintahkan pasukan Mo-Kauw untuk mundur.
Pada saat yang bersamaan, di lemparnya beberapa bom asap berisi asap beracun khas
partai Mo- Kauw. Gerkannya tersebut di kuti Ceng-Han-Tiong dan kepala barisan merah kuning.
Tong-tang- lang sadar jika tidak segera mundur, pihaknya dapat mengalami bencana yang lebih
hebat. Diam-diam ia mengutuk habis kedatangan Li Kun Liong. Kemenangan yang sudah di
tangan terlepas lagi. Entah bagaimana memberitahukan kegagalan ini pada kauwcunya,
terlebih dengan kematian Ciang Gu Sik, murid utama Sin-Kun-Bu-Tek.
"Daar..darr...darr...!" segulungan asap berwarna biru segera memenuhi sekitarnya.
"Semua mundur, jauhi asap-asap tersebut" teriak Kam-Lokai dan para tiang-lo.
Mereka yang terlambat mundur, segera rubuh bergelimpangan di tanah.
Kesempatan ini tidak disia-siakan pasukan Mo-Kauw, mereka diam-diam menghilang
di balik kabut asap tersebut. Dalam waktu singkat, tak terlihat sesosok bayangan pasukan Mo-Kauw, yang
tertinggal hanyalah mereka yang telah binasa.
Perlahan-lahan kabut asap tersebut buyar dan menghilang ke angkasa. Tampak
pemandangan yang mengiriskan, di mana-mana bergelimpangan ratusan mayat, baik dari pihak
Kay-Pang maupun pihak Mo-Kauw. Hasil pertempuran ini sungguh di luar dugaan. Dengan
bersorak-sorai, para anggota Kay-Pang saling berteriak dan berpelukan. Walaupun wajah mereka
tampak kelelahan setelah bertempur belasan hari namun kemenangan yang tak di sangka-
sangka ini membuat mereka tak memperdulikan kelelahan tersebut.
Kam-lokai, Tiauw-Ki, Kok-Bun-Liong serta para tiang-lo yang masih hidup beramai-
ramai menghampiri Li Kun Liong "Li sicu, terimalah hormat lokai atas bantuanmu yang sungguh besar ini. Kaum
Kay-Pang sangat berterima kasih atas bantuanmu" kata Kam-Lokai sambil menjura dalam-dalam.
Li Kun Liong sendiri dengan tersipu-sipu menjura balik dan berkata
"Cayhe tidak bisa membantu banyak cianpwe, semua ini hasil jerih payah kawan-
kawan kangouw dan para anggota Kay-Pang hingga berhasil mengenyahkan pasukan lawan."
Kam-lokai dan para tiang-lo Kay-Pang memandang kagum keluhuran budi Li Kun
Liong. Walau pun berjasa besar namun tetap rendah hati. Diam-diam hati mereka tunduk terhadap
kelihaian ilmu silat dan kebesaran hati Li Kun Liong.
Kemudian para anggota Kay-Pang yang masih hidup segera merawat kawan-kawannya
yang terluka, begitu pula kaum kangouw yang terluka. Mereka juga membersihkan mayat-
mayat baik di pihak Kay-Pang maupun di pihak Mo-Kauw dengan cara membakarnya.
Li Kun Liong sendiri bersama Liok In Hong memenuhi permintaan Kam-Lokai untuk
berdiam sementara di markas Kay-Pang dan membahas langkah-langkah yang harus dilakukan
untuk mengantisipasi serangan kembali pihak Mo-kauw.
Li Kun Liong menyarankan daripada hanya sekedar menunggu serangan lawan,
alangkah baiknya jika bersama-sama dengan kaum persilatan lain, melakukan serangan balik ke pihak
Mo-kauw. Menurutnya cara tersebut lebih baik dari pada hanya sekedar menunggu, pasti
pihak Mo-Kauw tidak akan menyangka sama sekali. Ide Li Kun Liong tersebut di terima dengan
baik sekali oleh para hadirin. Kam-Lokai segera memerintahkan murid-murid Kay-Pang untuk memberi
kabar kepada kaum persilatan Kangouw untuk bersama-sama menyerang markas partai Mo-
Kauw di Tiong-goan. Hasil penyelidikan divisi intel Kay-Pang, diketahui markas Mo-kauw
berkedudukan di atas perbukitan di sebleah tenggara kota Pe-King.
Demikianlah sambil menunggu kedatangan pihak kaum persilatan, Li Kun Liong dan
Liok In Hong tinggal sementara di markas Kay-Pang. Li Kun Liong sendiri tidak dapat menolak
ketika Tiauw-Ki dan Kok-Bun-Liong meminta petunjuknya. Memang walaupun usianya masih muda, Li
Kun Liong telah diakui sebagian besar kaum persilatan sebagai salah satu dedengkot silat.
--- 000 ---- Undangan pihak Kay-Pang untuk bersama-sama menyerbu markas partai Mo-kauw di
Tiong-goan di sambut hangat kaum sungai telaga. Dalam waktu beberapa hari saja, ratusan
orang datang ke markas Kay-Pang termasuk partai-partai utama dunia persilatan ikut datang. Di
antaranya tampak ketua Shao-Lin-Pai, Siang-Jik-Hwesio dan bhiksu Hun-Lam.


Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang mengherankan kenapa bhiksu Hun-Lam bisa datang sendiri ke markas Kay-Pang.
Seperti yang diketahui, Cin-Cin lolos dari tangan jahat Bwe-hoa-cat berkat pertolongan
bhiksu Hun-Lam. Sejak itu Cin-Cin mengembari bersama bhiksu Hun-Lam. Setibanya mereka di kota
Pei-King, mereka mendengar kabar tentang penyerbuan pihak Mo-Kau di Kay-Pang serta
undangan pihak Kay-Pang untuk melakaukan serangan bersama ke markas Partai Mo-Kauw. Tadinya
Cin-Cin bersama bhiksu Hun-Lam hendak mengunjungi markas besar Kay-Pang, namun ketika
mereka sedang mengisi perut di warung makan di tengah kota, Cin-Cin bertemu seorang
murid Thai-San- Pai yang ditugaskan oleh toa-suhengnya, Tang Bun An untuk mengabari sakitnya ibu
Cin-Cin, nyonya Teng-Hui-Lan. Berita tersebut membuat diri Cin-Cin kaget, dia segera
berlalu bersama murid Thai-San-Pai. Hati Cin-Cin menyesal, dia takut ibunya kenapa-kenapa. Dia
tidak mau kehilangan lagi. Itulah sebabnya kenapa bhiksu Hun_lam muncul sendirian di
markas Kay-Pang. Dari pihak Bu-Tong-Pai hadir ketua Bu-Tong-Pai, Tiong-Pek-Tojin dan Sie Han Li.
Juga terdapat murid-murid partai Hoa-San-Pai dan Go-Bi-Pai. Partai-partai di luar partai utama
juga turut datang diantaranya Bu-Kek-Bun, Ciong-Lam-Pai, O-Mei-Pai, Ceng-Sia-Pai, keluarga
Tong, dan lain-lain. Markas besar Kay-Pang menjadi ramai dan sibuk, segenap kekuatan kaum
kangouw Tiong-goan boleh di bilang telah berdatangan semua. Pertempuran hidup mati
segera berlangsung. Berdasarkan laporan divisi intel Kay-Pang, partai Mo-Kauw belum melakukan
pergerakan apa pun, mungkin mereka sedang memulihkan tenaga dan memupuk kekuatan baru. Kekuatan
Kay- Pang sendiri bertambah kuat dengan berdatangannya para ketua cabang dari seluruh
penjuru kota di Tiong-goan dengan para anggotanya. Bertambahnya ribuan anggota Kay-Pang
tersebut benar-benar membuat semangat kaum dunia persilatan bertambah.
Tidak mau berlama-lama lagi, takut pergerakan mereka di endus pihak Mo-kauw,
para tokoh partai utama sepakat langsung menyerang markas partai Mo-kauw hati itu juga.
Iring-iringan ribuan orang membuat suasana benar-benar mendebarkan. Nasib kaum persilatan
Tiong-goan benar-benar dipertaruhkan dalam penyerangan kali ini. Sepanjang jalan, ada saja
kaum persilatan yang bergabung sehingga rombongan kaum sungai telaga semakin
bertambah. Li Kun Liong berjalan paling depan bersama para tokoh partai utama seperti Kam-Lokai,
Siang-Jik- Hwesio dan lain-lain. Rombongan kaum sungai telaga ini harus beberapa kali bermalam di tempat terbuka
sebelum mencapai perbukitan di mana pasukan Mo-kauw berada. Kedatangan rombongan ini
sudah diketahui pihak Mo-kauw, terbukti begitu tiba di kaki perbukitan, rombongan
mereka sudah di hadang ribuan pasukan Mo-Kauw.
"Serbu...!!" teriak Kam-lokai memerintahkan rombongannya.
Pertempuran besar tak terelakkan lagi, di pimpin Kam-lokai dan para tetua partai
utama serta Li Kun Liong menyerbu naik ke atas puncak perbukitan di mana markas partai Mo-kauw
berdiri. "Trang..tring..aduh...!"
Teriakan kesakitan dan denting beradunya senjata-senjata masing-masing pihak
menambah riuhnya suasana. Dalam waktu singkat keadaan menjadi kacau balau, pihak kaum persilatan bertempur
dengan semangat penuh, setiap anggota pasukan Mo-kauw yang mereka temui segera di
bantai. Pasukan Mo-kauw di pimpin kepala
barisan masing-masing bertempur dengan gigih
mempertahankan markas mereka dan berusaha mencegah rombongan kaum persilatan
Tiong- goan naik ke atas perbukitan.
Kepala barisan kuning Mo-kauw, Thi-kah-kim-kong (si raksasa berbadan baja)
memimpin pasukan berseragam kuning menyerbu dari sisi kanan perbukitan sedangakan kepala
barisan merah Mo-kauw, Hek-Houw (harimau hitam), memimpin barisannya di sisi sebelah
kiri perbukitan. Dengan demikian rombongan kaum persilatan di gencet dari dua arah.
Thi-kah-kim-kong dengan ilmu weduk (kebal) yang dimilikinya, dengan leluasa
menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Banyak kaum persilatan Tiong-goan yang
tidak mengenal kelihaiannya menjadi korban. Mereka yang melihat keganasan dan kelihaian Thi-
kak-kim-kong menjadi keder dan menghindarinya. Tapi tidak demikian dengan Kok-Bun-Liong dan
Tiauw-Ki, melihat pihaknya banyak korban berjatuhan akibat keganasan Thi-kah-kim-kong,
mereka segera maju menghadang. Keistimewaan Thi-kah-kim-kong memang terletak di kekebalan tubuhnya yang tidak
mempan senjata sehingga agak sulit bagi Kok-Bun-Liong dan Tiauw-Ki menghadapinya.
Wlaupun dikerubuti dua jago muda paling lihai dari Kay-Pang, Thi-kah-kim-kong mampu
melayani mereka bahkan dapat membalas dengan serangan yang ganas. Sambil menggereng murka, di
ayun- ayunkannya senjata gadanya ke arah Kok-Bun-Liong dan Tiaaw-Ki. Tenaga gwakang
Thi-kah- kim-kong sudah mencapai kesempurnaan sehingga tidak heran baik Kok-bun_liong dan
Tiauw-Ki tidak berani memandang enteng ayunan gada tersebut. Dengan lincah mereka
menghindar mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari Thi-kah-kim-kong.
Walaupun beberapa kali tongkat pengebuk anjing mereka berdua dapat mampir di
tubuh Thi- kah-kim-kong namun tidak berarti apa pun. Gerakan Thi-kah-kim-kong tidak
berkurang malah semakin keras dan bertenaga. Diam-diam Kok-Bun-Liong dan Tiauw-Ki mengakui
kehebatan ilmu weduk Thi-kah-kim-kong ini.
Mereka tidak mengetahui, walaupun mampu menerima gebukan tongkat pemukul anjing,
Thi- kah-kom-kong bukannya tidak apa-apa. Bagian dalamnya cukup terguncang hebat
namun tidak diperlihatkannya. Di bagian lain, Hek-houw di hadang Sie-Han-Li. Sejak kekalahan yang di deritanya
dari Tiong- Pek-Tojin dalam pertempuran di Shao-Lin-Pai beberapa bulan yang lalu, dia
semakin mendendam terhadap Bu-Tong-Pai. Begitu pula kali ini, mengetahui lawannya memainkan jurus-
jurus dari Bu- Tong-Pai, Hek-Houw dengan bernafsu membalas setiap serangan pedang Sie-Han-Li
dengan tak kalah ganasnya. Seperti kita ketahui, Sie Han Li adalah sute termuda Tiong-Pek-
Tojin. Ilmu silat Bu-Tong-Pai terutama ilmu pedang Bu-Tong-Kiam-Hoat telah dikuasainya dengan
sempurna. Kepandaiannya saat ini tidak kalah dengan suhengnya, Tiong-Pek-Tojin, hanya
karena usianya yang masih muda dan pengalaman bertempurnya belum sebanyak Tiong-Pek-Tojin, dia
kewalahan menghadapi Hek-Houw. Juga tenaga dalam yang dilatihnya masih kalah
setingkat dengan tenaga dalam Hek-Houw hasil latihan puluhan tahun. Namun berkat
kecerdikan dan ilmu meringankan tubuh yang lebih unggul, untuk sementara Sie-Han-Li mampu
mengimbangi setiap serangan lawan. Bagi Sie-Han-Li sendiri, pertempuran ini adalah pertempuran
terhebat yang dialaminya sehingga di kemudian hari dia mampu memetik manfaat yang besar dari
pertempuran ini dan menjadi ciangbujin Bu-Tong-Pai, menggantikan Tiong-Pek-Tojin.
Sementara itu, tanpa perlawanan berarti para ketua partai utama dan Li Kun Liong
sampai di puncak perbukitan. Di sini ternyata
kedatangan mereka sudah di tunggu-tunggu. Tampak kauwcu partai Mo-kauw, Sin-Kun-Bu-Tek duduk di atas kursi kebesaranya. Di
sisi kiri dan kanannya, di dampingi oleh Tong-tang-lang dan Ceng-Han-Tiong.
"Ha..ha..ha.. selamat bertemu lagi taysu, rupanya pihak kaum persilatan Tiong-
goan tidak sabar lagi untuk menaklukkan diri kepada pihak kami" kata Sin-Kun-Bu-Tek tertawa
besar. "Omitohud... kami hanya membalas kunjungan kauwcu di Shao-Lin-Pai dan Kay-Pang
saja. Kalau di tidak di balas, mungkin tidak menghormati tamu" sahut Siang-Jik-Hwesio sambil
tersenyum. Dengan mata berkilat Sin-Kun-Bu-Tek menatap ke arah Li Kun Liong yang berada di
samping Siang-Jik-Hewsio. Dia tahu pemuda inilah yang membinasakan murid utamanya, Ciang
Gu Sik. Hatinya merasa panas, kalau bisa dengan tatapan matanya, dicabik-cabiknya tubuh
Li Kun Liong. Dengan cepat senyumnya menghilang di wajahnya,
"Rupanya engkau yang telah membunuh muridku, benar-benar mencari mati" katanya
sambil menyeringai seram ke arah Li Kun Liong.
"Dalam pertempuran, terluka atau binasa adalah hal yang jamak bagi kita kaum
persilatan. Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali terhadap ilmu silat kita sendiri yang
rendah" jawab Li Kun Liong tidak mau kalah. Diam-diam dia penasaran dengan sikap Sin-Kun-Bu-Tek
yang angkuh tersebut. Walaupun tahu, kauwcu ini adalah ayah dari Kim Bi Cu tapi situasi
sekarang ini benar- benar genting bagi keselamatan dunia persilatan Tiong-goan hingga dia tidak
berani memikirkan urusan pribadi. "Hmm, beranikah engkau melawanku sekarang ini"'
"Kenapa tidak berani, sudah menjadi kewajiban seluruh insan persilatan Tiong-
goan untuk mengusir kaum sesat dari muka bumi ini"
"Benar-benar lancang, entah bagaimana dengan kemampuan ilmu silatmu, apakah
selancang mulutmu itu" kata Sin-Kun-Bu-Tek geram.
"Nanti dulu kauwcu, bagaimana dengan pertempuran kali ini, apakah menang kalah
ditentukan seperti pertempuran di Shao-Lin" tanya Kam-lokai.
"Tidak ada aturan semacam itu lagi" kata Sin-Kun-Bu-Tek sambil menyerang Kam-
lokai yang berdiri paling dekat dengannya.
Rupanya Sin-Kun-Bu-Tek telah hilang kesabarannya, dia tidak mau banyak omong
lagi. Dalam serangannya, Sin-Kun-Bu-Tek langsung mengerahkan ilmu andalannya, ilmu
Thian-Te- Hoat tingkat ke enam. Dengan terkejut karena tidak menyangka sama sekali, Kam-lokai agak sedikit
lambat reaksinya. Siang-Jik-Hwesio melihat bahaya yang mengancam Kam-Lokai segera bertindak sebat,
sambil mengebaskan tangannya yang mengandung pukulan sakti delapan bagian ke arah Sin-
Kun-Bu- Tek, dia berseru "Awaas..hati-hati..lokai"
"Daar...." kedua tenaga sakti tak berwujud itu beradu keras.
Hawa sakti Siang-Jik-Hwesio berhasil menyelamatkan Kam-lokai dari serangan
mendadak Sin- Kun-Bu-Tek. Sin-Kun-Bu-Tek sendiri dengan mata merah, langsung menghantam Siang-Jik-Hwesio
yang telah mengagalkan serangannya. Sadar dari kagetnya, Kam-lokai segera maju membantu
Siang-Jik- Hwesio, dia tahu kauwcu partai Mo-kauw ini sangat lihai, kalau tidak dibantu
Siang-Jik-Hwesio pasti kewalahan menghadapinya.
Di lain pihak, serangan Sin-Kun-Bu-Tek menjadi tanda bagi Tong-tang-lang dan
Ceng-Han-Tiong untuk memulai pertempuran. Sambil bersuit keras, Tong-tang-lang menyerbu Tiong-
Pek-Tojin sedangkan Ceng-Han-Tiong menyerang Li Kun Liong.
Suitan Tong-tang-lang merupakan sinyal bagi pasukan pilihan Mo-kauw yang berada
di dalam untuk keluar membantu. Pasukan pilihan ini hanya terdiri dari delapan orang saja
dan dilatih khusus oleh Ciang-Gu-Sik untuk menghadapi lawan yang lebih tangguh. Secara
perorangan ilmu silat mereka masih setingkat di bawah kepala barisan Mo-Kauw, namun bila beberpa
orang ini bergabung dan mengembangkan barisan pertahanan khas partai Mo-kauw yang
bersumber dari barisan pat-kwa, maka kelihaian barisan ini mampu menghadapi lawan yang
bagaimanapun lihainya. Barisan ini segera membantu Ceng-Han-Tiong dalam mengerubuti Li Kun Liong. Ilmu
silat Ceng- Han-Tiong sendiri walaupun masih kalah setingkat dari suhengnya, Ciang Gu Sik,
namun untuk ukuran seorang angkatan muda, termasuk kelas wahid, jarang yang mampu
menghadapinya, terlebih dia baru beberapa hari ini telah menguasai tingkat ke enam ilmu Thian-
Te-Hoat. Ini tidak

Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepas dari bantuan tenaga dalam suhunya sehingga dalam usia semuda ini dia
telah berhasil mencapai tingkat ke enam. Sin-Kun-Bu-Tek sendiri semenjak kematian murid
utamanya, segera mengantungkan seluruh harapannya di pundak murid terakhirnya ini, sehingga tidak
segan- segan mengorbankan beberapa tahun tenaga dalam hasil latihannya untuk
menyempurnakan ilmu silat Ceng-Han-Tiong. Sebenarnya jika dia beristirahat beberapa hari saja,
tenaga dalamnya pasti pulih kembali, sayang sekali baru satu hari beristirahat, markasnya di
serang kaum persilatan Tiong-goan. Mau tidak mau, walaupun dengan tenaga dalam yang belum pulih seratus persen, dia
menampakkan diri dan bertempur melawan Siang-Jik-Hwesio dan Kam-lokai. Itulah
sebabnya kenapa sampai dengan sekarang Siang-Jik-Hwesio dan Kam-lokai masih dapat
bertahan dari serangan-serangan Sin-Kun-Bu-Tek.
Kembali ke pertempuran antara Li Kun Liong dan Ceng Han Tiong dibantu oleh
barisan pertahanan Mo-kauw, Li Kun Liong sedikit kesulitan untuk menghancurkan barisan
ini, belum lagi serangan Ceng-Han-Tiong yang tidak boleh di anggap enteng. Diam-diam dia
mengagumi kelihaian barisan pertahanan ini dan memperhatikan pergerakan masing-masing
anggota barisan. Tak lama kemudia, otaknya yang cerdas mampu meraba arah pergerakan lawan.
Rupanya barisan ini pergerakannya berdasarkan pat-wa (segi delapan), masing-masing orang
bertugas menjaga posisinya masing-masing. Ibarat sepotong kayu bundar di bagi delapan dan
masing- masing menjaga bagian kecil tersebut. Demikian juga Dengan barisan ini, dengan
terdesentralisasinya pertahanan, kekuatan barisan ini susah untuk di tembus.
Satu-satunya cara untuk menembusnya adalah dengan menghancurkan salah satu bagian pertahanan
barisan tersebut. Demikianlah kesimpulan Li Kun Liong dan langsung dilaksanakannya, di
cecarnya salah seorang anggota barisan yang menjaga posisi depan. Dengan ilmu langkah-langkah
ajaib, tubuhnya kadang-kadang berkelabat ke belakang, tapi tiba-tiba bisa berbalik
seratus delapan puluh derajat sehingga pergerakannya susah di tebak lawan. Memang ilmu langkah
ajaib yang dimainkan Li Kun Liong ini, menyandarkan keajaibannya dari pergerakan yang
terkesan kacau balau tersebut, padahal sejak tadi lawan yang di serangnya selalu lawan yang
berada di depan kirinya. Namun karena pergerakan yang simpang siur tersebut, anggota-anggota
yang lain dan Ceng Han Tiong tidak menyadari strategi tersebut, kecuali anggota yang dicecar
Li Kun Liong. Suatu ketika, saking tidak tahan di serang sedemikian rupa, anggota barisan
tersebut tidak mampu menahan tutukan jari sakti Li Kun Liong di pundaknya. Tanpa dapat di
cegah, tulang pundaknya hancur terkena jari sakti Li Kun Liong yang mengandung delapan bagian
tenaga dalam. Sambil sempoyongan menahan sakit, anggota barisan tersebut berusaha
kembali ke posisinya, sedangkan anggota yang disebelahnya berusaha mengisi possisi lowong
tersebut. Namun dengan kesebatan yang luar biasa, Li Kun Liong mendahului lolos jaringan
kepungan barisan pertahanan tersebut.
Ibarat macan yang lolos dari kandang, Li Kun Liong dengan mudah menyerang balik
kawanan tersebut. Satu demi satu dirubuhkannya. Ceng Han Tiong sendiri tidak dapat
berbuat apa pun, selain pergerakan Li Kun Liong yang sangat lincah, dia terhalang oleh barisan
kawan-kawannya sendiri yang menjadi kacau karena kehilangan beberapa orang.
Li Kun Liong sendiri tidak menurunkan tangan jahat, dia hanya merubuhkan
lawannya tanpa mengambil jiwa mereka. Di samping tidak tega, dia merasa sayang dengan kelihaian
barisan ini. Dia tahu tidak mudah membentuk barisan sekompak ini, diperlukan ketekunan dan
latihan yang bertahun-tahun untuk menyempurnakan barisan pertahanan tersebut.
Di lain pihak, pertempuran antara Tong-tang-lang dan Tiong-Pek-Tojin berlangsung
seru. Selain mengandalkan ilmu andalannya yang beracun, Tang-lang-kun (ilmu silat belalang),
Tong-tang- lang juga menguasai ilmu pedang seperguruan dengan Li Kun Liong dan ilmu silat
aliran Kay- Pang yang berhasil dikuasainya selama menjadi salah satu tiang-lo Kay-Pang. Di
waktu muda, Tong-tang-lang pernah dikalahkan guru Tiong-Pek-Tojin, Kiang-Ti-Tojin. Namun
Tiong-Pek-Tojin sebagai salah satu ketua tujuh partai utama, sudah mewarisi seluruh ilmu silat
Bu-Tong-Pai. Dalam partai Bu-Tong-Pai sendiri, ilmu silatnya paling tinggi bahkan sudah
menyamai Kiang-Ti- Tojin. Selama puluhan jurus, masing-masing pihak berimbang, serang menyerang
berlangsung seru. Ilmu pedang Bu-Tong-Kiam-Hoat di lawan Tong-tang-lang dengan ilmu pedang
perguruannya. Walaupun belum menguasai tingkat tertinggi ilmu pedang tebang perguruannya,
Tong-tang-lang mampu melayani Bu-Tong-Kiam-Hoat yang termashyur tersebut. Di lain pihak, Tiong-
Pek-Tojin juga berhati-hati dengan ilmu Tang-lang-kun yang dimainkan Tong-tang-lang. Di
samping gerakannya aneh, hawa pukulan tersebut juga mengandung racun belalang yang
sangat berbisa. Cukup tergores sedikit saja, lawannya dalam waktu singkat dapat binasa
keracunan. Sementara itu, pertempuran antara Sin-Kun-Bu-Tek dengan Siang-Jik-Hwesio dan
Kam-Lokai sudah mencapai tahap akhir. Dikerubuti dua orang tokoh utama persilatan Tiong-
goan, Sin-Kun- Bu-Tek harus mengerahkan ilmu Thian-Te-Hoatnya sampai tingkat ke delapan untuk
menekan lawan-lawannya. Dalam pertempuran di Shao-Lin, sewaktu melawan Master The-Kok-
Liang, dia juga harus mengeluarkan tingkat ke delapan ilmu Thian-Te-Hoat dan menyebabkan
Master The- Kok-Liang binasa. Namun kali ini, dia menghadapi dua jago silat yang sekelas dengan Master The-
Kok-Liang serta tenaga dalamnya belum begitu pulih seratus persen sehingga walaupun keringat
sudah bercucuran di dahi Siang-Jik-Hwesio dan Kam-Lokai, dengan wajah prihatin mereka
bertahan sekuatnya. Melihat keadaan kedua tokoh ini yang gelagatnya terdesak hebat oleh Sin-Kun-Bu-
Tek, Li Kun Liong memperhebat serangannya terhadap Ceng-Han-Tiong yang sekarang hanya
sendirian saja. Ceng-Han-Tiong sendiri dengan nekat melawan serangan Li Kun Liong sekuatnya.
Ilmu Thian-Te- Hoat tingkat ke enam yang baru dikuasainyapun telah dikeluarkannya, namun tidak
menghasilkan apa pun. Bahkan sebaliknya, tenaga dalamnya menghantam balik akibat
mengeluarakan tenaga yang berlebihan dalam menjalankan tingkat ke enam ilmu
Thian-Te-Hoat tersebut. Dari lubang hidungnya keluar setetes darah yang makin lama makin
banyak. Bila dia tetap memaksakan diri, nasibnya akan sama dengan suhengnya. Li Kun Liong sendiri
terganggu konsentrasinya ketika melihat keadaan Siang-Jik-Hwesio dan Kam-Lokai sehingga
akhirnya dia meninggalkan lawannya dan bergerak ke arah pertempuran tersebut. Begitu Li Kun
liong meninggalkannya, Ceng-Han-Tiong segera jatuh terduduk kelelahan. Diam-diam dia
bersyukur masih dapat lolos dari tanggan Li Kun Liong. Segera dia memejamkan mata
bersamadhi untuk mengatur aliran darah yang bergolak hebat.
Begitu melayang ke arah pertempuran Sin-Kun-Bu-Tek dengan Siang-Jik-Hwesio dan
Kam-Lokai, menang kalah telah ditentukan.
Di ringi lengkingan Sin-Kun-Bu-Tek yang melancarkan tingkat ke sembilan atau
tingkat terakhir ilmu Thian-Te-Hoat, hawa panas pukulan sakti tersebut merobohkan Siang-Jik-
Hwesio dan Kam- lokai. Kedatangan Li Kun Liong sendiri tepat pada waktunya, sambil melayang, di
sambutnya pukulan tingkat ke sembilan tersebut dengan seantero tenaga dalamnya.
"Dukk...Daar!" benturan dahsyat menguncang pertempuran di sekitarnya dan membuat
mereka yang sedang bertempur segera menghentikan pertempuran. Hawa yang sangat panas
menerpa puluhan langkah jauhnya. Dengan terkesima mereka menyaksikan ke empat tokoh tersebut rubuh. Siang-Jik-
Hwesio dan Kam-Lokai, jatuh gedubrakan di tanah. Walaupun sebagian besar hawa panas tingkat
sembilan yang menerpa mereka sudah jauh berkurang di papaki Li Kun Liong namun tetap saja
beberapa bagian tenaga sakti Sin-Kun-Bu-Tek menerpa mereka berdua. Dengan wajah pucat
pasi dan nafas yang tersenggal-senggal tanda menderita luka dalam yang parah, mereka
berusaha bangkit dan bersamadhi mengatur aliran darah yang bergolak keras.
Keadaan Li Kun Liong sendiri sama saja, sebagian hawa panas tingkat sembilam
ilmu Thian-Te- Hoat yang dilancarkan Sin-Kun-Bu-Tek menghantamnya. Dengan tenaga dalam hasil
latihannya meniru posisi postur tubuh yang ada di dalam lukisan kuno, Li Kun Liong mampu
menghadapi tingkat ke sembilan ilmu Thian-Te-Hoat. Namun karena belum terlalu lama
berlatih, teanga dalam hasil latihannya tersebut belum dapat sepenuhnya menghadapi tingkat ke
sembilan ini. Syukur tenaga dalam Sin-Kun-Bu-Tek belum pulih seluruhnya dan telah terkuras
menghadapi Siang-Jik-Hwesio dan Kam-Lokai sehingga perbawa tingkat ke sembilan ilmu Thian-
Te-Hoat tersebut berkurang banyak, kalau tidak Siang-Jik-Hwesio, Kam-Lokai dan Li Kun
Liong pasti langsung binasa. Tenaga dalam Li Kun Liong tergempur hebat dan membuat seluruh
aliran darah di dalam tubuh Li Kun Liong bergejolak keras dan membuat bagian dalam tubuh Li
Kun Liong terluka hebat. Li Kun Liong memuntahkan bergumpal-gumpal darah segar, tubuhnya
terasa sangat lemas tak bertenaga. Dia berusaha duduk namun tak berhasil, tenaganya
benar-benar habis. Diam-diam hatinya seolah di tusuk pedang setajam sembilu, dia menyadari
tenaga dalamnya telah musnah seluruhnya, begitu juga dengan ilmu silatnya. Apabila kali
ini dirinya selamat, selanjutnya dia akan menjadi orang biasa., jago silat kelas kambing pun
dapat dengan mudah membunuhnya. Sin-Kun-Bu-Tek sendiri bukannya tidak apa-apa, diluaran dia masih berdiri tegak,
wajahnya tak menampilkan perubahan apa pun. Tapi tidak ada yang mengetahui, keadaanya
sebenarnya tidak kalah parah dengan lawan-lawannya. Kekuatan tenaga dalam tiga orang tokoh kosen
dunia persilatan kangouw mampu menghancurkan pertahanan tingkat ke sembilan ilmu
Thian-Te- Hoatnya. Sewaktu hawa panasnya di tangkis Li Kun Liong, serangkuman tenaga
gabungan Siang- Jik-Hwesio dan Kam-lokai menerobos hawa pertahanan dan menghantam tubuhnya
dengan telak. Seperti Li Kun Liong, tubuh bagian dalam ikut terguncang hebat dan
membuyarkan sebagian besar tenaga dalam yang dilatihnya berpuluh tahun. Kalaupun dia masih
bisa berdiri tegak, semata-mata karena keteguhan hatinya. Sebisa mungkin Sin-Kun-Bu-Tek
menahan gumpalan darah yang hendak keluar. Hal ini menyebabkan dirinya langsung
meninggal dunia sekembalinya ke Persia. Tong-tang-lang menghampiri Sin-Kun-Bu-Tek dan menopang tubuh Sin-Kun-Bu-Tek dari
samping, hanya dia yang tahu keadaan sebenarnya Sin-Kun-Bu-Tek.
"Segera perintahkan pasukan kita mundur" bisik Sin-Kun-Bu-Tek lirih.
Tong-tang-lang menganggukkan kepalanya perlahan. Dia tahu ini adalah strategi
terbaik untuk saat ini sebelum kaum persilatan kangouw menyadari kelemahan mereka.
Keadaan Tong-tang-lang sendiri cukup runyam. Pertempurannya dengan Tiong-Pek-
Tojin berlangsung seimbang dan berjalan ratusan jurus hingga membuat keduanya sangat
kelelahan. Masing-masing pihak mendapat luka di pundak akibat pukulan lawan., walaupun
tidak parah namun mengurangi kecepatan gerakan ilmu silat masing-masing. Begitu pula keadaan
Ceng-Han- Tiong, Thi-kah-kim-kong dan Hek-houw tidak lebih baik dengan keadaannya.
Demikianlah pertempuran ini berakhir dengan mundurnya pihak partai Mo-Kauw dari
Tiong-goan, kembali ke markas mereka di Persia. Hasil pertempuran ini hampir sama dengan
kejadian lima puluh tahun yang lalu. Sejarah kembali berulang. Dalam beberapa bulan ke depan,
dunia

Bidadari Dari Thian-san Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kangouw akan kehilangan Siang-Jik-Hwesio, Kam-Lokai. Jago muda yang paling
cemerlang sepanjang ratusam tahun sejarah dunia persilatan, Li Kun Liong, musnah ilmu
silatnya dan menjadi orang biasa. Pihak kaum dunia persilatan sendiri tidak menghalangi
kepergian pasukan Mo-kauw. Mereka juga berpendapat ini adalah jalan terbaik untuk menghindari
kerusakan yang lebih parah. Liok In Hong sendiri segera memburu ke arah Li Kun Liong dan membantunya bangun.
Hatinya sangat khawatir melihat keadaan Li Kun Liong yang pucat pasi. Dibersihkannya
ceceran darah di sekitar wajah dan sekujur badan Li Kun Liong. Dirinya semakin cemas ketika
melihat sinar mata Li Kun Liong yang biasanya tajam mencorong, sekarang buram seperti lentera yang
kehabisan minyak. Butir-butir air mata berjatuhan di wajahnya yang cantik rupawan.
Penderitaan Li Kun Liong dirasakannya sebagai penderitaan sendiri. Dia memahami bagaimana rasanya
kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Li Kun Liong sendiri sudah tidak fokus lagi dengan keadaan sekililingnya, sambil
menahan sakit di sekujur tubuhnya, dirinya termenung sendiri tanpa memperdulikan siapa pun. Rasa
sakit di tubuhnya tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya.
Kepunahan ilmu silat mengusik rasa putus asanya dan menorehkan luka dihatinya. Entah bagaimana
dia melanjutkan hidupnya tanpa ilmu silat.
Li Kun Liong bangkit perlahan-lahan, dia ingin meninggalkan termpat ini sejauh-
jauhnya. Untuk sementara ia ingin menyendiri, jauh dari semua orang. Liok In Hong sendiri
sedikit tertegun melihat raut wajah Li Kun Liong. Tanpa sepatah kata pun, raut wajah tersebut
sudah mengungkapkan semua. Liok In Hong tidak berani menghalangi kepergian Li Kun
Liong. Walaupun bibirnya bergerak-gerak ingin memanggil, tapi dia cukup sadar untuk
tidak mengejar Li Kun Liong. Ditatapnya kepergian pemuda itu hingga hilang di kelokan jalan, pecik
hangat segera mengembang kembali di kelopak matanya. Dilepaskannya kepergian pujaan hati
tercinta dengan ikhlas, tak ada lagi tangis, apalagi sedu sedan dari sudut matanya. Hanya
tatapan cinta kasih dan senyum keharuan. Sang pemuda melangkah dengan penuh keputusasaan, menghilang dikegelapan malam.
Malam itu, hanya sepenggal bulan bergelayut di awan. Angin berhembus lirih, burung
malam pun enggan bersenda gurau. Senyap dan kelam membalut kesunyian. Sekelam suasana di
puncak bukit ini. Liok In Hong terdiam, sepasang matanya mengiringi kepergian Li Kun Liong dengan
kehampaan yang tiba-tiba menyergapnya. Kepergian Li Kun Liong yang mendadak membuat
hatinya berasa hampa. Perlahan-lahan Liok In Hong juga pergi meninggalkan tempat ini, dia
mengambil arah yang berlawanan. Tubuhnya yang ramping segera hilang di telan kegelapan malam.
Ia masih menyimpan sedikit harapan bertemu kembali Li Kun Liong di kemudian hari.
7. Epilog Gedung markas Thian-San-Pai nampak remang-remang di sinari cahaya rembulan dan
bintang- bintang yang kelam, sekelam suasana hati sang gadis di dalam salah satu kamar
gedung tersebut. Tangisan lirih gadis itu menyibak kesunyian sang malam yang hampir
sirna, ditemani angin malam sesosok tubuh ramping milik seorang gadis muda yang cantik manis
bagaikan bidadari, berdiri di pinggir jendela, tengah memandang cahaya rembulan yang
redup. Gadis itu tak lain tak bukan adalah Cin-Cin. Tangan lembut berjemari lentik
tersebut memegang sebuah sapu tangan yang sesekali menyeka butir-butir air mata yang meleleh di
pipinya yang halus. Kesunyian malam itu menambah kerawanan hatinya. Pikirannya melayang
menerawang jauh terbang melintasi awan tanpa arah dan tujuan. Dalam lamunannya, terbayang
wajah seorang pemuda. Katanya dalam hati "Entah di manakah Liong-ko sekarang, tahukah
dia perasaanku ini?" Semenjak setahun yang lalu, setiba dirinya di rumah, didapatinya sang ibu
tersayang berbaring lemah di pembaringan. Wajahnya pucat tak berseri, sinar matanya hampa tanpa
sinar-sinar kehidupan sama sekali. Melihat kedatangan puteri kesayangan, terpercik sedikit
sinar kehangatan di balik sorot mata tuanya. Kepergian mendadak sang suami tercinta dan
minggatnya Cin-Cin telah menghantam seluruh pertahanan nyonya Cen Hui Lan yang berusaha ditahannya
selama ini. Hanya dalam waktu singkat tubuhnya menjadi kurus dan gairah hidupnya
perlahan-lahan padam. Hanya berselang beberapa hari setelah kepulangan Cin-Cin, nyonya Cen Hui
Lan meninggalkan dunia yang fana ini. Di tuntun sang suheng, sambil tersungguk-
sungguk hingga matanya merah, Cin-Cin memperabukan ibu tersayang di samping sang ayah.
Demikianlah seorang diri, di malam yang sunyi itu, mengawasi bayangan pepohonan,
menghabiskan malam. Hatinya berkecamuk, menahan kerinduaan hati pada sang
kekasih pujaan. Namun dia tahu, harapan untuk bersatu bagaikan menantikan matahari terbit dari
sebelah barat. Pernikahannya dengan Tang Bun An hanya tinggal hitungan hari saja. Sebagai putri
yang berbakti kepada kedua orang tua, sambil memendam kepedihan, Cin-Cin akhirnya
bersedia menikah dengan sang suheng, Tang Bun An, sesuai keinginan terakhir kedua orang
tuanya. Dengan berbuat demikian, Cin-Cin seolah-olah ingin menebus rasa bersalahnya
kepada kedua orang tuanya. Dia menyalahkan diri sendiri yang malang dan egois, hanya
mempedulikan diri sendiri tanpa peduli dengan kesedihan sang ibu yang ditinggal sang ayah.
--- 000 --- Seorang pemuda berwajah tampan dengan raut muka sedikit kepucatan dan sinar mata
yang buram, berdiri di atas puncak perbukitan. Puncak ini tidak begitu tinggi namun
jarang didatangi manusia. Selain terjal dan licin, letaknya cukup tersembunyi dari pandangan,
ditutupi puncak- puncak yang lebih tinggi. Tempat ini adalah tempat di mana dia merawat luka dan
mempelajari ilmu langkah-langkah ajaib. Tak disangka, dalam waktu singkat dia kembali lagi
ke tempat ini. Selama dua bulan belakangan semenjak kedatangannya di puncak itu, berkat
pengetahuan pertabibannya yang tingi, kesehatan Li Kun Liong berangsur-angsur membaik. Hanya
saja, seperti dugaannya semula, ilmu silatnya punah, begitu pula tenaga dalam yang
dilatihnya semenjak kecil. Boleh di bilang Li Kun Liong sekarang dengan Li Kun Liong
beberapa bulan yang lalu bagaikan bumi dan langit. Gairah hidupnya telah hilang seiring kepunahan
ilmu silatnya. Sambil merawat luka yang diderita, Li Kun Liong mengelilingi lembah sekitar
untuk mencari tanaman-tanaman obat. Ternyata lembah tersebut kaya dengan tanaman obat yang
beraneka ragam jenis dan khasiat. Berkat pengetahuannya selama belajar dengan sang
sucouw, si tabib sakti, Li Kun Liong dapat membedakan semua tanaman obat yang ditemukannya. Ada
beberapa macam tanaman yang tak dikenalnya namun dengan membuka kitab warisan pertabiban
warisan yang berisi penjelasan ribuan tanaman-tanaman obat yang pernah ditemui si tabib
sakti, dia dapat mengetahui nama dan khasiat tanaman tersebut.
Demikianlah hari-hari ke depan dihabiskan Li Kun Liong dengan memperdalam ilmu
pertabiban. Dia memutuskan untuk mengasingkan diri di lembah ini selamanya, jauh dari dunia
kangouw. Hanya satu hal yang masih mengayutinya, keberadaan sang kekasih hati, Siau-Erl.
Kerinduan mulai merayapi dan mengerogoti jiwanya. Maafkan aku Siau-Erl, semoga engkau
menemukan pemuda yang lebih baik, tidak seprti dirinya yang tak berdaya ini, doanya dalam
hati buat sang kekasih. ... Terima kasih untuk saat-saat indah yang kita nikmati bersama...
Terima kasih untuk setiap pertemuan yang kita lalui bersama...
Kerinduan dan cinta yang bersemayam di dada ini biarlah untukku sendiri...
Maafkan telah memungkirimu, demi kebaikanmu...
--- 000 --- Malam menggantung sepi di tiap batang-batang pohon, gelap yang menyeramkan
menjaga pintu lembah dan keheningan menyeruak masuk kedalam relung hati Li Kun Liong.
Diperhatikannya rembulan yang tersenyum penuh makna mengundang hasrat keinginan sang malam.
Rembulan perlahan mendekati Li Kun Liong lewat cahayanya yang indah membelah
kegelapan dan duduk disebelah Li Kun Liong menjadi bayang-bayang dan ikut menemaninya
menghabiskan malam. Li Kun Liong menoleh dan mendapati bayang rembulan menjelma bersanding
dengannya. Perlahan dia bangkit menyentil pegal yang hinggap dan berjalan menuju
gua tempat tinggalnya yang terbuka menantang malam.
... Cahaya rembulan depan pagar perigi
Sudahkah embun beku, menutupi bumi
Dongakkan kepala, ternyata terang bulan
Begitu menunduk, rindu kampung halaman.
TAMAT Ancaman Iblis Betina 2 Dewi Ular 97 Ada Apa Dengan Setan Kitab Pusaka 13
^