Pencarian

Bocah Sakti 1

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 1


Bocah Sakti Oleh : Wang Yu Jilid 01 -- 1 -- Itulah malam menyeramkan.........
Awan gelap menutupi bulan sisir. Kilat berkeredepan, diselingi
oleh bunyinya guntur seolah-olah malam itu bakal turun hujan
besar. Dalam suasana yang seram itu, ada terdengar percakapan ini :
"In-ji, malam ini cuaca jelek. Kita tak usah latihan ilmu silat."
"Terserah pada Liok Sinshe. Juga bukankah sinshe lagi sakit
?" "Sungguh terang otakmu, In-ji. Kau bakat menjadi seorang
pandai yang selain mengerti ilmu surat juga silat sekaligus !
Ha ha ha......." "Terima kasih. Semua ini atas didikan Liok sinshe."
Percakapan ini keluar dari sebuah rumah tua yang mencil
sendirian di atas jurang Tong-hong gay, sebelah barat gunung
Hengsan di propinsi Ouwlam.
Dalam rumah itu yang diterangi dengan dua batang lilin, cukup
terang, tampak duduk menghadapi meja seorang anak kirakira
umur 12 tahun tengah menulis. Tidak jauh dari padanya,
diatas sebuah kursi malas, ada rebah seorang laki-laki dari
usia pertengahan. Kepalanya diikat setangan dan pada kedua
belah pilingannya ada ditempel koyo.
Orang sakit itu yang dipanggil Liok Sinshe, tabib Liok, tiba-tiba
bangun dari rebahannya, jalan menghampiri si anak kecil,
duduk di bangku di depannya.
Anak kecil itu hentikan tulisannya, bangkit dari duduknya,
mendekati Liok sinshe. "Sinshe lagi sakit, sebaiknya Sinshe rebahan saja." kata si
anak dengan roman aleman.
Liok Sinshe ketawa. Ia pegang kedua tangan si bocah, lalu
ditarik dan dipeluk dengan rupa yang sangat menyayang.
"In-ji..." bisiknya di telinga si anak.
"Ya, Sinshe," jawabnya pelan.
Hening sejenak........ Lama ditunggu, belum juga Liok Sinshe menyambung katakatanya.
Lo In, si anak kecil menjadi heran. Lebih terperanjat
pula di kala ia merasakan pipinya hangat. Itulah air, ketika ia
meraba pipinya. Dengan pelan ia melepaskan diri dari peluknya Liok sinshe.
Hatinya dirasakan mencelos ketika ia mengawasi Liok Sinshe
bercucuran air mata. Tapi air mukanya tetap bersenyum halus.
Senyuman penuh kesayangan, yang biasa Lo In hadapi
sehari-hari selama ia berkumpul denganLiok Sinshe.
"Liok Sinshe, kau kenapa ?" tanyanya cepat.
"Anak In (In-ji)...." kaat Liok sinshe, tidak lampias suaranya,
"Sebenarnya, malam ini ingin aku menuturkan suatu
kisah......." Baru sampai di perkataan 'kisah', tiba-tiba saja Liok Sinshe
meniup padam api lilin hingga dalam ruangan itu menjadi
gelap gulita. Segera terdengar menyambarnya beberapa senjata rahasia,
disusul oleh suara ketawa : "Ha ha ha, Liok sinshe mau
menutur kisah si bangsat Kwee Cu Gie ! Keluar ! Mari keluar
Liok sinshe, kita bikin perhitungan hutang jiwa dua belas tahun
yang lampau. Ha ha ha, Kwee Cu Gie...... !"
Liok Sinshe dan Lo In saat itu sembunyi di bawah meja hingga
terhindar dari serentetan serangan senjata rahasia musuh
yang dilepas dari jendela. Dalam keadaan biasa, musuh tidak
mudah menyatroni rumahnya, membokong dengan senjata
rahasia. Malam itu rupanya Liok sinshe dipengaruhi oleh
cuaca buruk, membikin kupingnya yang biasanya tajam
menjadi puntul. "In-ji," bisik Liok sinshe, "Yang datang itu Siauwsan Ngo-ok.
Mereka punya piauw yang direndam racun yang dinamai 'Ngotok
piauw', sangat berbahaya. Juga mereka sangat kejam dan
telengas, maka itu, kalau sebentar aku keluar, harap kau lari
selamatkan diri !" Si bocah tidak menjawab. Hanya ia pegangi kencang
lengannya Liok sinshe seperti juga ia tidak ijinkan sinshe itu
keluar. "Liok sinshe, lekas keluar. Apa kau takut " Hmmm... malam ini
kau harus bayar jiwanya Ngo-te. Kau sembunyi........"
Tiba-tiba dari dalam rumah melesat satu tubuh keluar. Dalam
sekejapan sudah berdiri berhadapan dengan si penantang
yang tidak melanjutkan kata-katanya sampai di perkataan
"sembunyikan......", saking kaget nampak kegesitannya orang
itu. "Aku sudah ada disini, buat apa kau begini bawel ?" kata Liok
sinshe jenaka. "Bagus, kau harus bayar jiwanya Ngo-te kami !" kata si
penantang. "Kau ini aneh," sahut Liok sinshe. "Memangnya kau sudah
linglung ?" Orang itu melengak dikatakan linglung.
Liok Sinshe ketawa geli dalam hatinya, nampak orang itu
melengak heran. "Sam-ok Cui Seng," menyambung Liok Sinshe, "aku hanya
hutang satu jiwa. Kau masih ngerembengi minta ganti. Sedang
kalian huta pada mereka yang anggauta keluarganya dibunuh,
entah berapa puluh, tidak mau ambil pusing. Apa ini bukannya
linglung perhitunganmu " Ha ha ha........"
Si Jahat ketiga, Cui Seng mendelu hatinya mendengar katakata
Liok Sinshe, tajam menyindir atas kelakuan mereka yang
jahat. "Sam-to, kekas beresi saja !" teriak Toa-ok Cui Peng (si Jahat
no. 1). "Jangan kasih calon bangkai itu banyak omong !" sambung Jiok
Cui Kin (si jahat ke-2). Liok Sinshe awas matanya, ia perhatikan sekitarnya. Nyata
selain empat musuhnya yang sudah mengurung, ia dapat lihat
masih ada beberapa orang lagi yang berdiri sedikit jauh dari
mereka. Kalau tadi ia bersenyum-senyum saja menghadapi empat
lawannya, kini setelah dapat tahu musuhnya ada bawa bala
bantuan, tampak ia kerutkan keningnya.
"Pantas kalian berani datang, kalau kalian bawa bala bantuan"
kata Liok Sinshe jenaka. Ia sama sekali tidak gentar kelihatannya.
"Hm !" Toa-ok Cui Peng mendengus. "Kau takut " Aku bisa
kasih kelonggaran padamu. Nah, kau berlutut sekarang,
mengangguk sepuluh kali dihadapan kami kemudian
membunuh diri sendiri. Dengan demikian, kau dapat
selamatkan kematianmu dengan tubuh utuh.........:
"Kentut busuk !" memotong Liok Sinshe. "Dengan turutnya dua
ekor imam busuk dan sebuah kepala gundul bau dalam
keramaian malam ini, apa kalian kira aku tinggal lari " Kalian
salah hitung, Siauwsan Ngo-ok !"
Suaranya Liok Sinshe dibikin nyaring ketika menyebutkan 'dua
ekor imam busuk' dan 'sebuah kepala gundul', hingga orangorang
yang bersangkutan mendelik matanya saking menahan
amarahnya. Memang, malam itu kedatangan Siauwsan Ngo-ok (Lima
orang jahat dari gunung Siauw san) dikawal oleh Tiat Cie
Hweshio Hong Hui (si Hweshio Jari besi) dan Tui-Beng Kiam
Siong Leng Tojin (si pedang Pengejar Jiwa) bersama adik
seperguruannya, Jin Leng Tojin yang bergelar Pek-houw-kiam
atau si Pedang Macan Putih.
Ketiga orang suci ini, ada jago-jago kelas satu dalam rimba
persilatan. Cuma sayang sekali, mereka melakukan
perbuatan-perbuatan yang nyeleweng dari tujuan agama
hingga menimbulkan kemarahan diantara jago-jago pembela
keadilan. Diantaranya mereka bentrok dengan Liok Sinshe
dimana telah terjadi pertarungan hebat. Kesudahannya
mereka dapat dipecundangai. Sejak mana mereka menaruh
dendaman hati, mereka meningkatkan kepandaiannya untuk
mencari balas pada lawannya.
Kawanan orang-orang jahat dari Siauwsan habis sabar
mendengar kata-katanya Liok Sinshe. Mereka anggap orang
terlalu menganggap enteng.
Lekas juga Toa-ok Cui Peng hunus goloknya dan mulai buka
penyerangan. Tadinya Liok Sinshe hendak melayani si Empat Jahat dengan
tangan kosong, tapi melihat ada backingnya, tiga jago kelas
berat, maka ia rubah niatnya semula.
Maka begitu Toa-ok membabat goloknya mengarah leher, ia
mendak berkelit. Ia tidak balas menyerang, sebaliknya ia
lompat menerjang pada Su-ok (si Jahat ke-4) yang baru saja
akan menghunus pedangnya.
Gerakan Liok Sinshe gagal untuk merampas pedang Su-ok
Cui Tie. Sebab barusan saja ulur tangannya, tiba-tiba goloknya Cui
Seng menyelak, membacok untuk tolong saudaranya.
Su-ok Cui Tie yang mencekal pedang dengan tangan kiri
karena lengan kanannya kutung tempo hari ditabas
pedangnya Liok Sinshe menjadi sangat gusar. Musuhnya mau
merampas senjatanya. Sambil putar pedang, ia menyerang hebat membantu saudarasaudaranya
yang mengepung Liok Sinshe. Ia sangat gemas
pada musuhnya yang sudah membuat dirinya cacad. Nekad ia
untuk menuntut balas. Dengan jurusnya 'Tong-cu-ci-louw' -- 'Bocah menunjukkan
jalan', pedangnya menyambar ke arah tenggorokan orang.
Hebat serangan ini karena dilakukan dengan cepat. Tapi Liok
Sinshe ada lebih cepat pula, ia berkelit sambil memutar tubuh
untuk terus lompat tinggi menghindarkan serangan Toa-ok Cui
Peng yang menggunakan tipu 'Hui-hong-sauw-yap'--'Angin
puyuh menyapu dedaunan'. Goloknya yang tajam dua muka,
membabat kaki Liok Sinshe dari kiri ke kanan.
Sungguh mengerikan. Kalau saja Liok Sinshe tidak sangat
gesit, kakinya akan tertabas kuntung tanpa ampun lagi.
Belum kakinya Liok Sinshe menginjak tanah, sudah datang
serangan golok Sam-ok Cui Seng yang mengarah kaki lagi. Si
jahat ketiga itu pikir kali ini ia tidak bakal luput goloknya
membacok kai musuh sebab Liok Sinshe masih belum
menginjakkan kakinya ditanah. Cara bagaimana ia dapat
berkelit " Tapi perhitungan Cui Seng meleset. Tampak tubuhnya Liok
Sinshe berputar, berkelit tanpa menginjak tanah hingga ia
lolos dari bahaya. Suatu gerakan yang indah sekali yang dinamani 'Yan-cu-tengkong'
atau 'Burung walet mumbul di udara' yang membuat
empat lawannya menjadi melongo saking heran. Pikirnya,
musuh begini liehai, apa mereka nanti berhasil menuntut balas
untuk menuntut kematian saudaranya yang kelima " Hanya
sejenak mereka bersangsi, sebab mereka segera mengurung
lagi. Liok Sinshe yang perhatikan gerak gerik orang, dapat tahu
lawan-lawannya agak jeri untuk melangsungkan pertandingan.
Inilah suatu keuntungan bagi lawan yang sudah unggul. Ia
tertawa gelak-gelak, lalu berkata : "Kalian percuma
mengepung aku. Hayo undang itu si kepala gundul bau dan
dua imam busuk, bantu kalian mengerubuti aku !"
"Sungguh temberang !" terdengar suaranya Tui-beng-kiam
Siong Leng Tojin. "Undangan sudah datang, tidak baik kalau
ditempuh. Mari, mari kita maju !"
Ajakan itu disusul dengan majunya ia dalam kalangan
pertempuran, diikuti oleh Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin.
"Ha ha ha ! Kwee Cu Gie, saat mampusmu sudah diambang
pintu. Masih bersikap jumawa " Ha ha ha h...!" teriak si
Hweshio (pendeta) Jari Besi Hong Hui sambil jalan mengikuti
di belakang dua imam kawannya.
Di lain saat, tampak Liok Sinshe sudah dikepung oleh tujuh
musuhnya. "Liok Sinshe," kata Siong Leng Tojin, suaranya mengejeki,
"Kau mau tinggalkan pesan apa, sebelum berangkat mati ?"
Liok Sinshe tidak menjawab, ia hanya kerutkan keningnya.
Otaknya bekerja, pikirnya, menghadapi Siauw San Ngo-ok,
meskipun dengan tangan kosong tidak menjadi soal baginya.
Tapi sekarang ia harus menggempur tujuh musuh, tiga
diantaranya ada jago-jago keals berat. Tanpa senjata
bagaimana ia dapat melayani mereka "
Diantara empat pengepungnya tadi, Ji-ok Cui Kin kelihatan
agak jeri terhadapnya. Sedang senjata pedangnya itulah yang
paling tajam diantara senjata-senjata saudaranya. Mungkinkah
karena kakinya tinggal sebelah, sebab dahulu dikutungi
olehnya hingga ia tidak dapat leluasa bergerak "
Bagaimanapun, pikir Liok Sinshe, ia harus waspada terhadap
Ji-ok yang cara melepas piauw beracunnya paling pandai
diantara saudara-saudaranya yang lain. Matanya melirik pada
Ji-ok yang berdiri di samping kirinya Toa-ok.
"Bagaimana ?" tegur Siong Leng Tojin, sikapnya jumawa.
"Memang aku mau tinggalkan pesanan," sahut Liok Sinshe.
"Nah, lekas bicara !" girang Siong Leng Tojin.
"Sebentar, kalau tanganmu putus, harap kau jadi orang baik
selanjutnya......" Liok Sinshe berkata seraya tersenyum.
"Sret !" tiba-tiba Siong Leng Tojin menghunus pedangnya.
"Kurang ajar, kau berani main gila " Rasakan pedangku ini ?"
teriak Siong Leng Tojin, hatinya panas. Ingin sekali ia tabas
tubuhnya Liok Sinshe kutung dua.
"Eh, nanti dahulu !" kata Liok Sinshe, sambil berkelit dari
tikaman pedang Siong Leng Tojin, "Aku masih belum bicara
habis." "Manusia hina, tak usah kau banyak pernik !" teriak Siong
Leng Tojin penuh kemurkaan. Serangannya pun dilakukan
saling susul tidak memberikan ketika kepada lawannya yang
melayani ia dengan tangan kosong.
Liok Sinshe berlaku tenang, meskipun kelihatannya ia repot
menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
Dengan mengandalkan kegesitannya, Liok Sinshe melayani
Siong Leng Tojin. Dalam tempo singkat saja, pertempuran sudah berjalan tiga
puluh jurus tetapi Siong Leng Tojin masih belum bisa berbuat
apa-apa atas lawannya yang bertangan kosong. Diam-diam ia
kagumi ilmu entengi tubuh musuh yang sampai sebegitu jauh
ia belum dapat menyentuh walaupun hanya bajunya saja.
Kenapa yang lain-lain berdiri diam saja, tidak datang


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeroyok " Itu ada sebabnya. Siong Leng Tojin orangnya sangat
temberang, memandang rendah siapa juga. Ia anggap dirinya
adalah jago pedang nomor wahid di dunia.
Apalagi sekrang ilmu pedangnya sudah meningkat, sejak pada
dua belas tahun yang lalu dipecundangi Liok Sinshe. Ia
anggap sekarang Liok Sinshe sudah bukan tandingannya lagi.
Maka ketika Siauw-san Ngo-ok minta bantuannya, ia majukan
satu syarat ialah kalau ia bertempur dengan Liok Sinshe, yang
lainnya berdiri menonton saja dahulu sampai ia kasih kode
"turun tangan", barulah dilakukan pengeroyokan.
Imam sombong ini ingin menjatuhkan Liok Sinshe dengan
kepandaiannya sendiri. Kalau tadi ia mendesak lawannya, selewatnya tiga puluh jurus,
pelan-pelan ia berbalik kedesak hingga si Pedang Pengejar
Jiwa jadi kelabakan. Melihat si iman sudah kedesak, kawan-kawannya ingin lantas
turun tangan. Tapi masih juga belum dapat tanda dari Siong
Leng Tojin. Sampai kemudian terdengar suara 'prang !',
pedangnya si imam jatuh ke tanah, sedang Liok Sinshe lompat
mundur jumpalitan dengan gerakan 'Kera tua jatuh dari pohon'.
"Maaf Tui-beng-kiam !" kata Liok Sinshe seraya kedua
tangannya diangkat menyoja kepada Siong Leng Tojin yang
saat itu berdiri bagaikan patung. Tak dapat ia berkata-kata,
hanya matanya saja melotot mengawasi musuhnya.
Semua orang tercengang dengan kesudahan pertempuran itu.
Meskipun sudah terdesak, tidak semudah itu Siong Leng Tojin
dijatuhkan lawannya. Ini karena salahnya sendiri. Adatnya
yang berangasan tak dapat mengendalikan kemarahannya,
ingin cepat-cepat ia menjatuhkan lawannya.
Ia menggunakan jurusnya yang paling baharu, 'Ouw in hoan
hui' --'Awan hitam bergulung-gulung', pedangnya dibulang
baling cepat ke arah muka lawan untuk membuat mata orang
kabur penglihatannya, kemudian menusuk laksana kilat ke
arah tenggorokan. Sudah berapa banyak ia bikin terjungkal lawannya dengan
ilmu pedangnya ini. Tapi menghadapi Liok Sinshe ia mesti
bayar mahal. Liok Sinshe ada terlalu gesit, hebat ilmu entengi
tubuhnya, penglihatannya tidak jadi kabur oleh bulang baling
pedangnya. Maka ketika pedang menikam ke arah
tenggorokannya, dengan sebat Liok Sinshe berkelit sambil
lompat nyamping ke kiri, akan dari mana sebelum Tui-bengkiam
sempat menarik pulang pedangnya yang mendapat
sasaran kosong, dua jari tangan kiri Liok Sinshe dengan
totokan 'hong-bun-hiat', menotok jalan darah di bagian pundak
lawan hingga si imam gemetaran tangannya dan dengan
sendirinya, pedangnya juga jatuh ke tanah.
Dengan angkat kedua tangan, Liok Sinshe bersoja pada Siong
Leng Tojin, sebenarnya Liok Sinshe ingin mengadakan
perdamaian, pemusuhan sebaiknya disudahi saja, jangan
ditarik panjang berlarut-larut tidak habisnya. Pikirnya, jagonya
yang paling lihay sudah ia jatuhkan yang lainnya pasti akan
menurut dan hentikan nafsunya untuk menuntut balas.
Tapi sebelum ia membuka suara lebih jauh, tiba-tiba ia
rasakan ada angin menyambar dari belakang. Cepat ia buang
diri ke kanan, sambil bergulingan ia menyelamatkan diri dari
serangan piauw beracun Ji-ok Cui Kin yang datang saling
susul, dibarengi oleh teriakan Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin,
"Turun tangan ! Semua maju, habiskan jiwa keparat itu !"
Mereka ramai-ramai memburu Liok Sinshe yang bergulingan.
Dengan beberapa lompatan enteng, mereka sudah datang
dekat dan hujani tubuh lawan alot itu dengan bacokan,
tusukan dan kemplangan. Sementara itu........ Awan gelap dari setadian, kini semakin gelap dan..... turunlah
hujan besar. Orang-orang jahat itu tidak hiraukan lebatnya turun hujan,
mereka bernapsu besar untuk menghabiskan jiwa musuhnya.
Apalagi, musuhnya itu kini sudah mandi darah, lengan kirinya
sudah kena kebacok, mereka jadi beringas !
Ia kumpul tenaganya, kemudian melejit bangun. Dengan
gerakan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menerjang pada
Ji-ok Cui Kin yang berada paling dekat padanya. Cepat Ji-ok
Cui Kin menyambut dengan pedangnya. Tapi ia kalah cepat
sebab Liok Sinshe punya dua jari dari tangan tangan kiri sudah
menotok dengan totokan 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga
kanannya, sedang pedangnya pun lantas pindah tangan Liok
Sinshe. Bagaikan harimau tumbuh sayap, Liok Sinshe sudah
menyerang musuh-musuhnya tanpa ampun lagi. Ia naik pitam
melihat kekejaman dan ketelengasan kawanan jahat itu ketika
menghujani ia dengan berbagai senjata.
Pedangnya berkelebatan di antara sinar kilat dan lebatnya
hujan. Segera juga terdengar jeritan saling susul, Ji-ok Cui Kin
lehernya kesabat pedang, hampir putus, Sam-ok Cui Seng
rebah dengan kaki kanannya kutung, Pek-houw-kiam Jin Leng
Tojin terkulai, mendeprok di tanah, pundak kanannya
berlumuran darah. Hanya ketinggalan tiga musuhnya, Tiat Cie Hweshio, Toa-ok
Cui Peng dan Su-ok Cui Tie. Mereka ciut nyalinya, nampak
kawan-kawannya rubuh saling susul sedang Tui-beng-kiam
Siong Leng Tojin masih dalam keadaan tertotok, tak bisa
diharapkan bantuannya. Hampir berbareng muncul dalam
pikiran mereka, "Lari, paling selamat !"
Demikian, mereka bertempur sambil melihat kesempatan.
Dalam keadaan murka hingga kecerdasannya meningkat, Liok
Sinshe sebenarnya tidak sukar untuk menjatuhkan tiga
musuhnya. Sayang, dari lukanya di lengan kiri, muka dan
punggung banyak mengeluarkan darah membuat ia letih dan
tenaganya menurun banyak, kegesitannya pun dengan
sendirinya agak kurang. Untung musuh-musuhnya tidak perhatikan itu. Mereka hanya
memikirkan 'jalan lari' saja hingga perlawanan mereka juga
tidak sepenuh tenaga. Meskipun sudah lelah, Liok Sinshe ingin takluki tiga musuhnya
itu. Demikian, ketika goloknya Toa-ok Cui Peng membacok, ia
tidak menangkis, hanya elakan pundaknya yang diarah.
Berbareng dengan itu, pedangnya meluncur ke muka lawan
dengan gerakan 'Giok li tek hoa' -- 'Bidadari petik kembang'.
Satu jurus yang lihay sekali sebab sebelum Toa-ok Cui Peng
dapat selamatkan mukanya, hidungnya copot kena disentak
ujung pedang. Ia berkaok-kaok sambil tangan kirinya menekap
hidungnya yang gerumpung lumuran darah.
Si hweshio Jari Besi merasa tidak ungkulan layani musuhnya
yang lihai. Ia coba angkat kaki, tapi ia juga tidak luput dikasih
persen tanda mata, kupingnya yang kiri di papas pedangnya
Lok Sinshe. Su-ok Cui Tie dari pada ia turut lari, malah jadi lemas kakinya
dan jatuh duduk. Matanya meram, mulutnya kemak-kemik
seperti yang memohon Malaikat Elmaut tidak mencabut
jiwanya. Sesaat kemudian ia raba lehernya, masih utuh. Ia heran, lalu
membuka matanya. Kiranya Liok Sinshe sudah tidak ada
disitu, ia sedang menguber si Hweshio Jari Besi yang lari ke
tepi jurang. Tiat Ci Hweshio berlarian di tepi jurang dikejar dari belakang
oleh Liok Sinshe. Keduanya menggunakan lari cepat (enteng
tubuh). Hujan sementara itu masih turun dengan lebatnya.
"Kepala gundul bau, apa kau bisa naik ke la..... Ayo !"
Tiba-tiba saja Liok Sinshe berteriak, tubuhnya menyusul rubuh
dan......... tergelincir masuk ke dalam jurang yang curam.
Tiat Cie Hweshio heran, lalu hentikan larinya, balik
menghampiri tempat dimana Liok Sinshe berteriak dan jatuh
ke dalam jurang. Ia lihat jurang ada demikian dalam, diukur
dari sudut ketika ia dengan kawan-kawannya mendaki Tonghong-
gay, ia yakin Liok Sinshe pasti menemui ajalnya.
Girang bukan main hatinya si Hweshio Jari Besi.
"Hahaha !! Hahaha !" ia tertawa gelak-gelak sendirian seperti
orang gila. "Hai, kepala gundul ! Kau jangan girang dahulu.....!" tiba-tiba
suara orang menyelusup ke dalam kupingnya.
Mungkinkah itu ada setannya Liok Sinshe " Tiba-tiba
bayangan berkelebat, keluar dari balik pohon.
Tiat Cie Hweshio makin ketakutan, tubuhnya menggigil seperti
yang diserang penyakit malaria.
Hujan mulai berhenti, cuaca agak terang tapi suasana tetap
sunyi menyeramkan dalam daerah pegunungan itu.
Si kepala gundul makin menggigil, kapan pundaknya berasa
ada yang tepuk dari belakang, ketakutannya meningkat dan si
Hweshio Jari Besi bisa jatuh semaput kalau ia tidak
mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, seraya berkata :
"Hweshio pecundang, kau ketakutan ?"
"Ah, Kim Popo, kau bikin aku kaget setengah mati. Hahaha !"
tertawa si kepala gundul sambil putar tubuhnya, menghadapi
orang yang jail tadi. "Apa kalian lupa dengan pesanku ?" tanya Kim Popo.
Sejenak Tiat-ci Hweshio mengingat-ingat, "Ah, benar-benar
aku harus mati. Aku lupa benar akan pesan Kim Popo",
katanya sambil tepuk-tepuk pahanya.
"Coba kalau kalian tidak mengabaikan pesanku, siang-siang si
keparat itu sudah menjadi makanannya kawanan ular dibawah
jurang. Hihihi......." Kim Popo temberang.
Adalah ketika mendamaikan pengeroyokan atas dirinya Liok
Sinshe, Kim Popo diminta bantuannya juga. Ia bersedia
membantu, tapi tidak mau terang-terangan menggempur Liok
Sinshe, hanya dengan cara gelap ia akan menghajar musuh.
Kim Popo memang ada satu nenek jagoan. Selain ilmu
silatnya tinggi, orang takuti senjata rahasia beracunnya yang
dinamai "touw-kut-tok-ciam' atau jarum berbisa menembus
tulang' yang jarang gagal mengambil korban diwaktu ia
menggunakannya. Jarum itu disimpan dalam satu bungbung
mungil, ada alat rahasianya yang membikin jarum melesat.
Keluarnya tidak satu-satu, tapi lima batang sekaligus,
mengarah bagian tubuh si korban, atas, tengah, bawah, kiri
dan kanan, hingga korbannya sukar meloloskan diri.
Asal usulnya Kim Popo tidak seorang yang tahu, sekalipun
siauw San Ngo-ok yang menjadi anak-anak angkatnya.
Tentang cara bagaimana si Lima Jahat bisa jadi anak-anak
angkatnya Kim Popo, akan dituturkan di sebelah belakang
cerita ini. Kelupaan akan pesan Kim Popo sebenarnya si Hweshio Jari
Besi ngebohong. Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin, sewaktu mereka mendaki
jurang Tong-hong-gay mengajari kawan-kawannya jangan
meladeni pesan Kim Popo memancing Liok Sinshe ke tempat
sembunyinya si nenek yang hendak membokong.
Katanya itu tidak perlu, malah akan merendahkan derajat
mereka yang sudah ada nama dalam kalangan kang-ouw.
Dengan mereka bertujuh, sudah cukup untuk membinasakan
Liok SInshe, malah dianggap kelebihan oleh imam itu, kapan
ia ingat dirinya sendiri punya kepandaian sudah meningkat
banyak. Tidak tahunya mereka dibikin kucar kacir dan Liok
Sinshe binasa ditangannya si nenek tua yang membokong
dengan jarum jahatnya. Liok Sinshe lihai, tidak mudah ia kena dibokong orang. Kalau
saja saat itu turunnya hujan tidak mengganggu
pendengarannya yang tajam.
Tiat Ci Hweshio ajak Kim Popo untuk melihat kawankawannya.
Sesampainya di tempat pertempuran tadi, tampak
Siong Leng Tojin dan Su-ok Cui Tie tengah repot menolongi
kawan-kawannya yang luka. Si imam mukanya merah, bahkan
malu ketika menyambut kedatangannya Kim Popo.
"Maafkan, aku sudah berlaku ceroboh, melupakan pesan
Popo." Siong Leng Tojin sembari angkat tangannya memberi
hormat. "Kalau tidak, tidak sampai kejadian begini," ia menyambung,
matanya mengawasi kepada korban-korban yang pada rebah
sambil keluarkan rintihannya, menahan rasa sakit.
Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin belum lama ia dapat
membebaskan dirinya dari totokan Liok Sinshe, setelah
berkali-kali ia memeras tenaga dalamnya.
"Tidak apa, ini barangkali sudah takdir." sahut Kim Popo acuh
tak acuh. Tui-beng-kiam dalam hatinya mendongkol melihat sikap
sombong si nenek tua. Tiba-tiba Su-ok Cui Tie menghampiri Kim Popo, di depan
siapa ia tekuk lututnya berkata :
"Popo, sakit hati ini laksana dalamnya lautan, kalau Popo tidak
tolong balaskan, bagaimana kami......."
"Anak tolol !" potong Kim Popo. "Apa yang dibalas " Musuhmu
sudah mampus masuk ke jurang, sekarang barangkali
tubuhnya tengah dikerubuti oleh ular-ular penghuni disitu.
Hihihi !" Kaget Su-ok Cui Tie mendengar kabar itu sampai ia lompat
bangun dari berlututnya. "Apa ini benar ?" ia cepat menanya.
Siong Leng Tojin pun turut kaget, tidak terkecuali Toa-ok Cui
Peng dan Jin Leng Tojin yang sedang merintih-rintih.
"Kalau tidak percaya, kau tanya saja si kepala gundul !" jawab
Kim Popo, sikapnya bangga sambil menunjuk kepada si
Hweshio Jari Besi. Mereka lalu minta keterangan kepada si Hweshio, lalu ia
menuturkan ketika ia diuber-uber Liok Sinshe hampir
kecandak, tiba-tiba ia dengar musuh berteriak dan tubuhnya
roboh tergelincir ke jurang, akibat bokongan Kim Popo dengan
senjata rahasianya yang lihai.
Semua jadi kegirangan, Siong Leng Tojin sambil bersenyum
berkata, "Dengan mampusnya si keparat itu, kerugian kita
sekarang ini sudah dibayar lunas. Hahaha !"
Disamping kegirangan dan rasa puas dari kawanan penjahat
itu, ada yang menceles hatinya dan mengucurkan air mata
mendengar berita kematiannya Liok Sinshe. Siapa gerangan
orang itu " Itulah si bocah Lo In yang saat itu mencuri dengar dibelakang
sebuah batu besar, dimana ia mengumpat, menonton
pertandingan yang menegangkan hatinya, Liok Sinshe
dikeroyok orang banyak. Menggunakan kesempatan orang tidak memperhatikan


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya, karena perhatian kawanan penjahat itu tengah
dipusatkan pada Liok Sinshe, diam-diam Lo In sudah
menyelinap di balik batu besar dimana dengan aman ia
sembunyi. Dengan begitu, Lo In sudah tidak menurut nasehatnya Liok
Sinshe supaya ia lari untuk menyelamatkan dirinya.
Anak ini besar nyalinya. Ia sebenarnya ingin membantu Liok
Sinshe, melihat orang dikeroyok. Tapi mengingat
kepandaiannya masih rendah, terpaksa ia harus menahan
napsu amarahnya. Lo In sudah kegirangan melihat Liok Sinshe menjatuhkan
musuh-musuhnya satu per satu. Hampir ia melompat keluar
dari tempat persembunyiannya, kalau ia tidak ingat akan
pesanan Liok Sinshe supaya ia kabur untuk menyelamatkan
diri. Lo In tidak melihat dengan mata sendiri bagaimana Liok
SInshe dirobohkan musuhnya dan tergelincir masuk ke dalam
jurang sebab letak tempat kejadian itu ada jauh dari ia dan
juga teraling oleh pohon-pohon.
Meskipun ia menangis, ia masih sangsikan kebinasaannya
Liok Sinshe. "Ah, dia lihai. Tidak mungkin dia binasa cuma tergelincir saja
ke dalam jurang." pikir si bocah yang percaya akan
kepandaian Liok SInshe. Sama dengan pikiran Lo In, terdengar Siong Leng Tojin
menanya, "Popo, dia sangat lihai, mungkinkah dia
menemukan ajalnya "'
"Hehehe !" Kim Popo ketawa. "Dia boleh lihai tapi racun jarum
mautku, dalam tempo satu jam akan antar dia menghadap
Giam-lo-ong !" Giam-lo-ong dimaksudkan adalah raja akherat.
Kata-kata Kim Popo membuat Lo In kembali sedih. Air
matanya yang barusan sudah berhenti, kembali mengucur.
Suatu kedukaan yang belum pernah ia alami.
Liok Sinshe ada terlalu baik, ramah, sangat memperhatikan
sekali paanya. Sejak ia mengetahui dirinya tak berayah ibu, ia
pandang Liok Sinshe adalah pelindungnya, sebagai gantinya
orang tua. Sementara itu angin pegunungan meniup agak keras.
Baru sekarang Lo In sadar, bahwa pakaiannya basah kuyup.
Ia merasa kedinginan, tapi ia tidak menggubrisnya. Ia ingin
menyaksikan lebih jauh tindak tanduknya kawanan jahat itu.
Untuk memberikan pertolongan lebih jauh, korban-korbah
pedangnya Liok Sinshe diangkut masuk ke dalam rumah. Suok
Cui Tie segera pasang lilin penerangan.
Dalam pemeriksaan, Ji-ok Cui Kin sudah mati dengan leher
hampir putus. Entah dengan Sam-ok Cui Seng yang
keadaannya tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak
mengeluarkan darah dari kaki kanannya yang tertebas
buntung. Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin masih merintih,
sambungan tulang pundaknya yang kanan putus hingga
selanjutnya ia tak dapat gunakan lengan kanannya ini.
Toa-ok Cui Peng amat berduka, Siong Leng Tojin kertak gigi,
menampak pemandangan yang mengharukan itu. Sebaliknya,
Kim Popo acuh tak acuh sikapnya. Rupanya ia mendongkol
pada Siong Leng Tojin yang tak mau perhatikan pesannya
sehingga terjadi mala petaka itu.
"Hei, kemana dia ?" berkata Siong Leng Tojin tiba-tiba, agak
kaget romannya. "Siapa ?" tanya Su-ok Cui TIe.
"Si bocah ! Hayo, lekas cari !" sahut Tui-beng-kiam, seraya ia
sendiri lantas bertindak melakukan penggeledahan.
Sementara orang repot mencari Lo In, adalah Kim Popo
menggeledah orang punya laci, meja, rak, buku-buku, kopor
dan lain-lain. Kim Popo seperti lagi mencari sesuatu barang.
Siong Leng Tojin merasa heran, lalu menanya, "Popo, kau lagi
cari apa ?" "Urusanku aku urus sendiri, urusanmu kau urus sendiri. Buat
apa banyak tanya !" sahut Kim Popo, suaranya tidak enak
didengar. Siong Leng Tojin cuma bisa nyengir. Dalam hatinya ia amat
mendongkol, pikirnya, "Nenek gila. Kau terlalu menghina !
Tunggu, ada satu tempo, aku bikin kau tahu rasa kelihayannya
Tui-beng-kiam !" Ia kemudian keluar untuk hindarkan bentrokan dengan Kim
Popo, pura-pura turut kawan-kawannya mencari Lo In sebab di
dalam rumah anak itu tidak diketemukan.
Kim Popo memang memandang rendah pada siapa juga,
bukan hanya pada Siong Leng Tojin seorang. Adatnya aneh,
cepat amrah, sedang kata-katanya kasar.
Orang yang tidak mengimbangi adatnya, bicara beberapa
patah dengannya, akan lantas merasa dihinakan dan menaruh
dendam hati. Kim Popo aduk-aduk lagi apa yang sudah diperiksa waktu
Siong Leng Tojin sudah keluar. Rupanya ia penasaran barang
yang dicari belum diketemukan.
"Celaka !" katanya perlahan, alisnya berdiri, marah rupanya.
"Tidak mungkin bangsat itu bawa ke dalam jurang !" ia
meneruskan berkata-kata sendirian.
Itulah Kim Popo yang kelihatannya putus asa, tak menemui
barang yang dicari. Lalu ia jalan keluar, akan dari depan pintu dengan beberapa
kali lompatan saja ia sudah menghilang meninggalkan rumah
Liok Sinshe. Apa sebenarnya yang dicari oleh Kim Popo "
Ini, kejadian pada lima tahun yang lampau. Pada hari itu lepas
lohor, cuaca agak mendung. Liok Sinshe jalan terburu-buru,
habis mencari akar-akaran obat di sekitar Siauw-san, kuatir
nanti keburu turun hujan.
Ketika ia lewati pohon cemara yang besar, tiba-tiba ia
merandek. Ia berdiri sejenak sambil pasang kuping. Ia dengar
suara beradunya senjata, seperti ada orang yang tengah
bertempur. Setelah memperhatikan sekian lama, lalu ia menghampiri tepi
jurang, tidak jauh dari ia berdiri barusan. Ia melongok ke
bawah, tampak sebuah lembah datar dimana ada kelihatan
dua orang sedang bertempur seru.
Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, ia lompat ke
bawah mendekati tempat pertempuran untuk menyelidiki siapa
mereka yang bertempur itu. Kiranya mereka itu ada satu
nenek dan satu kakek. Si nenek menggunakan tongkat sebagai senjatanya, sedang si
kakek bersenjata sebilah pedang panjang. Kenapa mereka
jadi bertempur, itulah ia ingin tahu.
Tapi tidak menanti lama, Liok Sinshe lantas mendengar si
kakek buka suara, "Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan
?" katanya, seperti yang sudah kewalahan.
"Hm !" mendengus si nenek. "Baru ada persaudaraan kalau
kau serahkan barang itu !"
"Itu toh bukannya hakmu ?" kata lagi si kakek.
"Aku tidak perduli punya siapa, barang itu harus aku punyai !"
teriak si nenek. "Ah, kau benar-benar telengas !" si kakek mengeluh.
Kelihatannya ia mulai keteter, permainan pedangnya mulai
kalut hingga si nenek dapat kesempatan untuk merangsek
lawannya dengan serangan-serangan tongkatnya yang hebat.
Melihat gelagat jelek, si kakek mecari kesempatan untuk
angkat kaki. Pada saat si nenek menusuk dengan tongkatnya, si kakek
menyampok, kakinya menjejak tanah akan lompat mundur,
kemudian putar tubuh dan ............ lari.
"Hm ! mau lari " Lebih sukar lolos dari Kim Popo dari pada
naik ke langit !" si nenek berseru, tangannya merogoh
sakunya, kemudian dari tangan tangan itu melesat senjata
rahasianya, lima jarum beracun menyambar berbareng.
Segera teriakan ngeri terdengar, si kakek roboh ditanah,
pedangnya terlempar jauh, sementara itu Kim Popo sudah
berdiri di depannya. -- 2 -- "Kau mau lari dari tanganku " Hm !" mengejek Kim Popo.
"Tidak rela aku mati ditanganmu, perempuan jahat !" memaki
si kakek. "Kau berani maki aku " Nih, rasai........" sambil angkat
tongkatnya hendak dipukulkan pada batok kepala orang.
"Tring !" tiba-tiba terdengar suara. Tongkat besinya Kim Popo
terdorong nyamping, mengemplang tanah hingga
berhamburan. Selamatlah batok kepala si kakek dengan
kejadian ini, tadinya ia sudah meremkan matanya untuk terima
kematian. Sebaliknya Kim Popo bukan main marahnya, ia berteriak
seperti orang gila, "Manusia usilan, siapa kau, lekas unjuk diri
di depan Popo !" "Aku disini, Popo." Kim Popo dengar suara di belakangnya.
Kaget ia, cepat ia putar tubuhnya. Di depannya tampak
seorang laki-laki dengan usia kurang lebih empat puluh tahun.
Mukanya putih, cakap, di atas alis kirinya ada codet sebesar
jari kelingking. Rupanya bekas barang tajam mampir disitu.
"Kau yang barusan main-main ?" tanya Kim Popo gemas.
"Benar," sahut orang itu, sambil soja mulutnya bersenyum.
"Siapa kau ?" tanya lagi Kim Popo, sikapnya galak, tangannya
sudah siap dengan tongkat besinya untuk menghajar orang
usilan yang berdiri di depannya.
"Aku yang rendah si orang she Liok," sahutnya tenang.
Kiranya Liok Sinshe yang menolok si kakek dari bahaya pecah
kepalanya. "Binatang !" teriak Kim Popo kalap. "Terimalah hadiah ini dari
Popo !" Mulutnya berkata, tongkat besinya bekerja.
Ia menyerang lawannya tidak tanggung-tanggung. Dengan
tipu 'Tay-san-ap-teng' -- 'Gunung Agung menimpa kepala', ia
kemplang batok kepala orang dengan tongkat besinya.
Tapi bukan main terkejutnya si nenek. Serangannya gagal,
musuhnya menghilang dari depannya. Ia celigukan mencari,
panas hatinya. "Aku disini, Popo," suara halus terdengar di belakangnya.
Kaget Kim Popo. Pikirnya, setan barangkali orang ini, yang
bisa menghilang. Ia penasaran, tongkat besinya sudah banyak makan korban.
Masa sekarang ia mesti jatuh dalam segebrakan saja " Ia
harus jaga nama, jangan sampai dikalahkan.
Sebenarnya, Kim Popo sudha harus tahu diri. Ia sudah kalah
jauh. Kalau lawan memang kejam, ditepuk jalan darah di
bebokongnya, ia mesti terkulai jatuh duduk.
Dasar Kim Popo bandel, ia masih mau nekad-nekadan.
Dengan jurusnya "In-li-yu-liong' atau 'Naga melayang di awan',
sambil berputar tubuh, tongkatnya menyabat ke belakang
mengarah iga orang. Serangan ini dilakukan dengan cepat,
lincah. Tapi Liok Sinshe lebih cepat dna gesit akan lompat
tinggi, mundur satu tombak.
Melihat kembali sasarannya menghilang bagai setan, Kim
Popo gemas. Ia lompat menyerang lagi, tongkatnya menyodok
ke arah perut. Liok Sinshe berkelit sambil geser kaki
kanannya, tangan kanannya berbareng menepuk tongkat yang
nyelonong lewat. Tergetar lengannya Kim Popo. Ia rasakan nyeri. Hampirhampir
terlepas tongkat dari cekalannya, itulah tepukan Liok
Sinshe yang menggunakan tenaga dalamnya.
Cepat Kim Popo empos tenaga dalamnya, untuk
menghilangkan rasa nyeri.
"Hehe, binatang kau, boleh jgua !" kata si nenek, seraya
kerjakan lagi tongkatnya. Kali ini hendak nenamu ke arah
dada. Liok Sinshe bersenyum, ia tidak berkelit, sebaliknya
ketika ujung tongkat hampir sampai sasarannya, tiba-tiba ia
mengebut dengan lengan bajunya yang kanan, dari bawah ke
atas. Liok Sinshe hanya gunakan tenaganya tiga bagian, tapi sudah
cukup membuat tongkatnya si nenek hampir terlepas lagi dari
cekalannya. Angin kebutan lengan baju dirasakan si nenek
menumbuk dadanya sampai rasanya susah bernapas,
lengannya juga kembali dirasakan nyeri.
Lawan terlalu alot, sudah seharusnya Kim Popo terima kalah.
Namun, dasar si nenek keras kepala. Ia masih mau coba
dengan serangannya yang terakhir. Tampak ia melemparkan
tongkatnya, matanya mendelik seram, rambutnya yang kasar
hampir pada berdiri, rupanya ia sedang mengerahkan lwekang
(tenaga dalam). Kemudian, kedua tangannya yang kurus
macam cakar bebek diangkat, tampak kukunya seperti
memanjang. Benar-benar dalam sikapnya yang menyeramkan
itu, Kim Popo bisa membikin anak kecil yang melihatnya
menjerit nangis dan jatuh pingsan.
Liok Sinshe air mukanya tetap bersenyum-senyum, tapi ia
waspada akan serangan lawan yang hebat dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Si kakek yang rebah di tanah empas empis, masih sempat
membuka matanya, kaget bukan main ia melihat si nenek
kerahkan tenaganya untuk melakukan serangan maut. "Awas
!" teriaknya kepada Liok Sinshe.
Berbareng dengan perkataan "Awas !", Kim Popo sudah
menerjang sambil berseru menyeramkan, "Binatang, aku akan
adu jiwa denganmu !"
Dengan gerakan 'Beng-houw-pok-ye' -- "Harimau liar
menerkam kambing', ia lompat menerjang musuhnya. Kedua
tangannya mencengkeram kepada lawan, dadanya Liok
Sinshe pasti remuk oleh karenanya kalau serangan itu
menemui sasarannya. Si orang she Liok tidak takut. Ia bergerak sedikit, kedua
tangannya diulur untuk menyambuti. Ia gunakan tenaganya
empat bagian yang keras untuk lawan keras. Kim Popo tahu
juga bahaya. Cepat ia tarik pulang kedua tangannya untuk
mencegah bentrokan. Ia tidak mau tangannya bentrok dengan
tangan musuh yang unggul banyak tenaga dalamnya.
Serangannya berganti, tangan kanannya diputar lalu dua
jarinya, telunjuk dan tengah bagaikan kilat nyelonong hendak
mengorek sepasang mata lawannya.
Namun, Liok Sinshe sekarang tidak mau kasih si nenek
banyak tingkah lagi. Sambil elakkan kepalanya ke kanan,
tangan kirinya bekerja. Jarinya menyentil dua jari si nenek di
bagian jalan darah tiong-ciong dan siang-yang.
Segera terdengar jeritan melengking, mengalun di sekitar
lembah itu. Itulah jeritan Kim Popo yang kesakitan, jari
telunjuknya kena disentil. Ia rasakan sakit sekali menyelusup


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke ulu hati, panas rasanya.
Berbareng dengan melengking jeritannya, kakinya menjejak
tanah, lompat ke belakang, menjauhkan diri dari lawannya,
kemudian berkata, "Binatang, lain kali kita jumpa lagi."
Setelah mengucap demikian, Kim Popo putar tubuhnya.
Dengan beberapa lompatan tubuhnya sudah menghilang dari
pemandangan. Oleh karena jeri terhadap kelihaiannya Liok Sinshe, maka
ketika Kim Popo diminta bantuannya oleh Siauw-san Ngo-ok
dan kawan-kawannya untuk mengeroyok si orang she Liok, ia
tidak mau menempur orang dengan berterang, hanya bersedia
membantu dengan jarum mautnya, membokong dari tempat
sembunyi. Tidak ia sangka bahwa rencananya itu dibikin
kacau oleh si imam sombong Siong Leng Tojin.
Kenapa dalam pertempuran satu sama satu tadi dengan Liok
Sinshe si nenek tidak menggunakan jarum mautnya "
Meskipun keras kepala, Kim Popo punya perhitungan akan
untung rugi. Demikian ia lihat musuh sangat lihai, juga tidak
mencelakakan dirinya, ia sangsi untuk menggunakan senjata
mautnya. Pikirnya kalau ia berhasil, tidak jadi soal. Tapi kalau
gagal, apakah Liok Sinshe tidak jadi naik pitam " Ia sadar,
kalau mau dengan mudah Liok Sinshe dapat ambil jiwanya
bagaikan orang yang membalik tangannya. Kalau si nenek
tinggalkan perkataan 'lain kali kita jumpa pula', itulah hanya
untuk tolong mukanya dari perasaan malu.
Liok Sinshe melambaikan tangannya dengan senyum dikulum,
ketika Kim Popo ambil 'selamat berpisah', kemudian putar
tubuhnya menghampiri si kakek dalam keadaan dekat mati.
Terkejut Liok Sinshe ketika memeriksa si kakek, dua jarum
beracun sudah menembusi bagian pundak dan bebokongnya.
Pada bagian-bagain itu sudah jadi hitam, menjalar ke bagian
lagin dari tubuhnya, mungkin racun jarum sudah menembusi
tulang. Ketika Liok Sinshe celentangi si kakek, sesudah periksa
bebokongnya, kepalanya rebah dilengannya. Keadaannya
sudah payah. Matanya meram terus. Liok Sinshe terharu
melihatnya. "Kejam...." Liok Sinshe kata dalam hatinya.
Ingin ia menolongi si kakek, namun apa daya " Racun jahat
sudah menjadi satu dengan darahnya. Tapi bagaimana pun
juga, ia ingin coba dengan obat pilnya yang mustajab. Taruh
kata si korban tak dapat tertolong jiwanya, ia masih akan dapat
keterangan tentang siapa dirinya si kakek, manakala ia dapat
menyadarkannya dengan pertolongan obatnya.
Ketika tangannya hendak merogoh sakunya, tiba-tiba matanya
si kakek dibuka. Liok Sinshe kegirangan.
"Terima kasih atas pertolonganmu." berkata si kakek,
suaranya lemah. "Kau siapa, lotiang ?" tanya Liok Sinshe.
"Kau kenal dengan Kwee Cu Gie ?" kakek itu tidak menjawab
pertanyaan Liok Sinshe, ia balik menanya malah.
Liok Sinshe kerutkan keningnya.
"Dia ada satu tayhiap." kata si kakek lagi, tidak menanti
jawabannya Liok Sinshe. "Dia seharusnya memiliki barang mustika yang kubawa.
Tolong kau kasihkan ini padanya."
Tangan kanannya digerakin, maksudnya hendak merogoh
kantongnya. Tapi sia-sia ia gerakan karena tangan itu sudah
lumpuh. "Kau siapa, lotiang ?" Liok Sinshe ulangi pertanyaannya.
"Aku....aku... She Kong..... ah....." kepalanya lantas saja
terkulai. Liok Sinshe terharu menyaksikan kematiannya si kakek she
Kong, air matanya mengembang. Pikirnya, si kakek ini
menyebut nama Kwee Cu Gie, dimana ia kenal Kwee Cu Gie "
Barang apakah yang hendak dihadiahkan kepada Kwee Cu
Gie " Pelan-pelan tangannya Liok Sinshe merogoh kantongnya si
kakek. Ia keluarkan isinya. Tidak ada apa-apa selain perak
hancur dan sebuah buku kecil yang sudah kumal. Kapan ia
baca kalimat di buku itu, tertulis empat huruf yang sudah
banyak luntur. 'Tiam hiat pit koat', terkejut hatinya Liok Sinshe.
"Tiam hiat pit koat......' katanya, tidak tegas. "Dari mana si
kakek dapatkan buku yang sangat berharga itu ?" ia menanya
pada dirinya sendiri. Liok Sinshe bengong sejenak. Kembali dalam benaknya
muncul pertanyaan, "Ada hubungan apa dia dengan Kwee Cu
Gie " Begitu sangat dia menghargakan si orang she Kwee,
dengan suka rela ia menghadiahkan buku pelajaran ilmu
menotok jalan darah, suatu buku 'Tiam hiat' yang menjadi
rebutan masa itu dalam Bu-lim (dunia persilatan). Dan apa
hubungannya si nenek dan si kakek, mengingat si kakek
dalam kewalahan bertempur ada mengucapkan kata-kata,
'Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan " Siapa Kim Popo "
Ia tersadar dalam renungannya, ketika ia meraba si kakek
tubuhnya sudah mulai dingin. Cepat ia masukkan ke sakunya
buku mungil itu, uang perak ancur ia masukkan pula ke dalam
kantongnya si kakek. Setelah mana, dengan menggunakan
pedangnya almarhum ia mulai menggali lubang, ke dalam
mana di lain saat mayatnya si orang she Kong dimasukkan
dan dikubur rapi. Liok Sinshe gantung pedang si kakek di pinggangnya.
Pikirnya, pelan-pelan ia mau selidiki si kakek dan akan
mengembalikannya. Sebelum angkat kaki, ia soja depan
kuburan si kakek, mulutnya kemak kemik, entah apa yang
dikatakannya. Setelah mana, ia mendengak. Lihat cuaca memburuk dan
segera akan turun hujan kelihatannya. Ia lalu gerakan kakinya
untuk dengan ilmu entengi tubuh 'Pat pou kan siam' atau
'Delapan tindak mengejar tenggeret', ia meninggalkan tempat
itu. Liok Sinshe tidak tahu kalau gerak geriknya diintip orang.
Itulah Kim Popo yang balik lagi dengan diam-diam. Ia
penasaran untuk dapatkan barang dari tangan si kakek
diganggu orang. Lari belum jauh, ia putar tubuhnya kembali ke
tempat tadi. Cuma ia tidak berani datang dekat. Diatas, dari
jarak beberapa tombak, ia memasang mata atas gerak gerik
Liok Sinshe. Gusar bukan main si nenek di waktu melihat Liok Sinshe
memegang buku yang bentuknya mungil yang kemudian
dimasukkan ke dalam sakunya. Itulah justru barang yang ia
arah dari si kakek. Sekarang barang itu sudah berada di tangan orang lihai.
Bagaimana ia dapat mengambilnya pulang " Dari marah ia
menjadi lesu, hanya melongo mengawasi orang berlalu
dengan ilmu entengi tubuh. Untuk menyusul, menguntit, ilmu
entengi tubuhnya dibawah Liok Sinshe.
Dengan perasaan sakit hati, ia turun ke bawah untuk ambil
pulang tongkatnya kembali. Mulutnya bergerak-gerak dan
matanya melotot pada kuburannya si kakek seolah-olah ia
sedang mencaci maki si orang she Kong. Saking gemas
malah, ia sudah kemplang tiga kali kuburannya si kakek, akan
kemudian dengan uring-uringan ia berlalu dari tempat itu.
Belum berapa jauh, ia rasakan hujan mulai gerimis. Ia cepati
jalannya untuk mencari tempat meneduh. Dari kejauhan,
jalannya ke selatan. Ia melihat ada bangunan rumah berhala.
Ia lari ke sana, untuk meneduh, menyingkir dari serangan
hujan besar yang saat itu sudah mulai turun dengan lebatnya.
Ketika ia datang dekat, hatinya merasa heran melihat rumah
berhala itu dijaga oleh banyak orang yang bersenjata tajam.
Orang yang keluar masuk juga pada bawa senjata masingmasing.
Ada apa gerangan disitu. Ia jalan terus ke sana, sampai tiba-tiba ada yang menegur
dibalik satu pohon, "Hei, nenek tua, kau mau kemana ?"
Kim Popo menoleh, dilihatnya ada dua orang bermuka bengis
tengah mengawasi kepadanya. Kim Popo yang adatnya aneh,
cepat marah, menjadi tidak senang.
"Apa mentang-mentang kalian bawa golok, begini caranya
menegur seorang tua "' sahutn si nenek, tidak enak dilihat
mukanya yang kehujanan. Dua orang jaga itu, yang satu tinggi kurus, temannya gemuk
pendek berewokan. "Kita tanya benar-benar, bolehnya dia marah. Hahaha !" kata
si gemuk pada kawannya. "Hmm !" mendengus Kim Popo.
Matanya pelototi si gemuk, kakinya bergerak. Ia mau jalan
terus, tapi si kurus menghadang cepat-cepat. "Nenek tua, kau
jangan tidak tahu diri !" bentaknya, seraya goloknya
dilintangkan di depan Kim Popo, menghalangi untuk berjalan.
"Trang !" segera terdengar golok di kemplang tongkat.
"Aiyoo !" si kurus berteriak, sambil tangan kirinya memegangi
lengan kanannya yang dirasakan sakit bukan main, goloknya
jatuh nancap di tanah. Ia merintih teraduh-aduh, mukanya
pucat mengawasi Kim Popo yang tampak tertawa terkokohkokoh.
Si gemuk bengong sejenak, melihat kawannya dikerjai si
nenek. Dengan gusar ia menyerang Kim Popo dengan
goloknya. Sayang, tenaganya besar tapi tidak ada 'isi' (pandai
silat). Maka satu tangkisa keras dari tongkatnya Kim Popo
cukup bikin ia berkaok-kaok persis macam kawannya tadi.
Lengannya gemetaran, sakitnya bukan main nyelusup ke
jantung. Si nenek setelah mendupak si gemuk, sampai meloso
mencium lumpur, lalu angkat kaki pergi. Melihat itu, si kurus
masih sempat kasih tanda 'bahaya' pada kawan-kawannya
dengan suitannya. Sebentar saja dari balik beberapa pohon keluar orang-orang
jaga dengan golok terhunus, mencegat jalannya Kim Popo.
"Kurang ajar !" maki Kim Popo dalam hatinya. "Kalian kalau
tidak dikasih hajaran, memang tidak kenal kelihaian aku si
nenek." Lalu dengan ilmu entengi tubuh, ia kelit sana sini dari bacokan
orang-orang yang merintangi jalannya. Tongkatnya yang berat
enam puluh kati berkelebatan diantara hujan lebat. Teriakanteriakan
mengerikan terdengar saling susul dari orang-orang
yang menjadi korban tongkatnya yang berat itu.
Banyak korban jatuh, sedang si nenek dengan seenaknya
jalan berlenggang menghampiri kuil yang dijaga ketat. Orangorang
jeri melihat si nenek demikian lihai, maka mereka pada
minggir dan di lain saat si nenek sudah ada dalam kuil. Tapi,
sebelum ia bertindak lebih jauh, dari jurusan pintu, satu orang
tinggi besar menghadang di depannya.
"Hehe ! Masih ada juga yang minta dikemplang !" jengek Kim
Popo. "Kau boleh bertingkah di antara orang-orang kami yang tidak
berguna, tapi di depanku, hmm !" kata si orang tinggi besar,
sikapnya jumawa. Kim Popo sebal melihat tingkahnya.
"Jadi, kau mau apa ?" bentaknya keras.
Sementara menanya, matanya Kim Popo jelalatan melihat ke
sekitar ruangan. Kiranya kuil itu adalah rumah berhala tua, rupanya sudah tidak
diurus lagi karena disana sini tampak banyak rusak dan bocor.
Sejauh yang dapat ia lihat, di sebelah dalam ada duduk dua
orang menghadapi meja, satu bermuka berewokan, tengah
mengusap-usap brewoknya yang tebal, satunya lagi bermuka
bengis, berhidung panjang. Di samping dan belakang mereka
ada berdiri beberapa orang dengan senjata di tangan masingTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
masing, siap untuk digunakan.
Di depan mereka ada dua orang tengah berlutut dengan
masing-masing kedua tangannya di ikat ke belakang.
Entahlah, apa yang sudah terjadi. Tapi dari pemandangannya,
Kim Popo dapat menduga bahwa si berewokan dan si hidung
panjang tengah memeriksa dua orang yang berlutut dengan
tangan ditelikung. Si orang tinggi besar yang mencegat Kim Popo tertawa gelakgelak,
sebelum menjawab pertanyaan Kim Popo yang
menantang. "Nenek tua, kau kenali aku siapa ?" ia malah balik menanya.
"Di lihat romanmu, kau ini bukan orang baik-baik". jengek Kim
Popo ketus. "Nenek celaka !" teriak si tinggi besar. "Buka matamu dan
kenali, aku ada sam-taunia dari gunung Siauw-san !"
Dengan menyebut 'sam-taunia (pemimpin ketiga) dari
Siauwsan' si orang tinggi besar kira orang akan jadi kaget,
tubuhnya gemeteran karena itulah Sam-ok Cui Seng, si Jahat
ketiga yang tersohor paling bengis dan telengas diantara si
Lima Jahat dari Siauwsan (Siauwsan Ngo-ok).
Sam-ok Cui Seng ternyata salah hitung.
Si nenek bukan gemetaran, sebaliknya tertawa terpingkalpingkal.
Mendelu bukan main hatinya Sam-ok Cui Seng.
"Apa yang kau ketawai, nenek gendeng ?" bentaknya.
"Tepat dugaanku, kau ini orang jahat !" sahutnya kontan.
Sam-ok Cui Seng tidak tahan meluap amarahnya. Dengan
'Elang lapar menyambar kelinci', ia menubruk Kim Popo.
Tangan kanannya mencengkeram dada, sedang tangan kiri
bekerja untuk merebut tongkat si nenek.
Cepat gerakan itu dilakukan Sam-ok Cui Seng hanya sayang
ia kalah cepat. Bukan saja tongkat si nenek gagal direbut,
malah kepalanya hampir pecah digaplok tangan Kim Popo
yang keras, kalau saja ia tidak keburu mengelakkan
kepalanya. Sam-ok Cui Seng terkejut serangannya gagal, malah
kepalanya hampir digempur pecah. Ia lompat mundur,
mengawasi si nenek yang ketawa haha hihi.
Sambil menunjuk dengan tongkatnya, Kim Popo berkata,
"Badanmu memang tinggi besar, menyeramkan tapi tidak ada
'isi'. Buat main-main dengan Kim Popo, kau bukan
tandinganku. Lekas kumpulkan saudara-saudaramu untuk
mengerubuti aku !" Bukan main gusarnya Sam-ok Cui Seng ditantang demikian.
Pikirnya, mungkin barusan ia kurang cepat gerakannya
lantaran terlalu enteng memandang lawan.
Ia penasaran, cuma sangsi kalau ia lawan si nenek dengan
tangan kosong. Maka itu ia mencabut goloknya, berkata,
"Jangan temberang. Lihat golok !"
Perkataan Sam-ok Cui Seng disusul dengan satu sabatan
golok pada pinggang. Kim Popo ketawa terkekeh-kekeh sambil tubuhnya dengan
enteng lompat tinggi mengelakkan serangan, terputar
sebentaran baru turun menginjak lantai lagi. Sam-ok Cui Seng


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merangsek, goloknya menyerang bertubi-tubi. Ia mainkan ilmu
goloknya 'Ngo-houw-toan-bun-to' atau 'Lima macan menjaga
pintu'. Tidak ia memberi kesempatan untuk Kim Popo perbaiki
posisinya. Tapi pengalaman bertempur, Kim Popo jauh diatas Sam-ok
Cui Seng. Ilmu goloknya 'Lima macan menjaga pintu' yang
belum tamat, mana dapat membuat susah pada si nenek
kosen yang menggunakan ilmu entengi tubuhnya baik sekali.
Kim Popo ingin mencoba tenaga dalamnya si Jahat ketiga.
Golok lawan yang mengarah dadanya, ia kelit nyamping ke
kanan, dari mana tongkatnya digeraki menangkis golok dari
bawah ke atas dengan tipu "Lutung hitam petik buah'. "Trang !"
terdengar suara bentrokan dua senjata, goloknya Sam-ok Cui
Seng terlempar jauh ke atas kemudain turun lagi menghajar
lantai, sehingga menerbitkan suara keras.
Sam-ok Cui Seng tampak berdiri menjublak, lengannya yang
barusan mencekal golok gemetaran, sakit bukan main.
Matanya melotot mengawasi Kim Popo yang tengah terkekehkekeh
tertawa. Sekonyong-konyong si nenek merasa ada angin menyambar
dari belakang. Ia duga akan datangnya senjata rahasia. Cepat ia lompat
nyamping ke kiri. Benar saja, itulah piauw beracun yang
dilepas oleh Ji-ok Cui Kin. Kalau si nenek selamat dari piauw
beracun, adalah orangnya Siauwsan Ngo-ok yang berdiri di
depan Kim Popo menjerit dan jatuh rubuh. Ia terkena senjata
piauwnya Ji-ok Cui Kin tepat sekali, tidak ampun lagi, ia roboh
tidak berapa lama. Tubuhnya berkelojotan dan rohnya segera
terbang. Berbareng dengan dilepas senjata rahasianya, Ji-ok Cui Kin
enjot tubuhnya melesat, tancap kaki didepannya Kim Popo
yang barusan saja memutar tubuhnya untuk melihat siapa
yang melepas senjata rahasia tadi.
"Nenek tua !" bentak Ji-ok Cui Kin gusar. "Kau datang menhina
kami, apa maksudmu " Apa kau kira mudah keluar dari kuil ini
setelah kau mengacau ?"
Kim Popo awasi orang di depannya. Ternyata ia tidak lain
adalah si hidung panjang yang duduk berduaan dengan si
berewokan di sebelah dalam. Ia berdiri diatas sebelah kakinya
yang kanan karena kaki kirinya kutung sebatas dengkul.
"Kau yang melepaskan piauw barusan ?" tanya Kim Popo,
keningnya mengkerut. "Tidak salah !" sahut Ji-ok sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Bagus !" teriak Kim Popo, tongkatnya berbareng diangkat
untuk mengemplang batok kepala Ji-ok Cui Kin, tetapi Ji-ok
cepat menangkis dengan pedangnya. Dua senjata saling
bentur hingga meletikkan bunga-bunga api.
"He he, boleh juga tenagamu," kata Kim Popo ketika melihat
pedang lawannya masih tetap tercekal ditangannya.
"Sambutlah ini !" si nenek melanjutkan kata-katanya seraya
gerakkan tongkatnya menyodok ke arah punya 'gudang
makanan' (perut), menuju jalan darah "Liong-kek-hiat'.
Ji-ok Cui Kin tidak takut. Ketika ujung tongkat sampai ia
mengegos, pedangnya dipakai menekan. Kemudian
diserosotin untuk memapas tangan yang mencekal senjata
berat itu. Inilah gerakan yang dinamai 'Tok coa poan cu' atau
'Ular berbisa melilit tiang', satu jurus yang berbahaya sekali
bagi lawannya, ialah akan terpapasnya tangannya.
Melihat gelagat jelek, Kim Popo cepat tarik pulang tongkatnya,
lompat ke samping kiri musuhnya, akan dari mana tongkatnya
bekerja menotok pada jalan darah di iga. Serangan ini
dilakukan cepat sekali hingga Ji-ok Cui Kin gugup untuk
menangkisnya. Dalam bahaya dia. Tapi ada bintang penolong
yang datang tiba-tiba. Itulah Toa-ok Cui Ping, si berewok tadi
yang menolongi saudaranya menangkis tongkat Kim Popo
dengan goloknya. Sementara itu Ji-ok Cui Kin sudah lompat
menjauhkan diri. Kim Popo marah, alisnya berdiri. Ia penasaran sekali pada
orang yang sudah gagalkan serangannya yang hampir
berhasil Ia mengawasi Toa-ok dengan roman yang geregetan
sekali. Maka tidak banyak omong lagi, ia angkat tongkatnya
menyerang si berewok. "Tahan !" kata Toa-ok Cui Peng sambil berkelit dari serangan
dan lompat mundur empat tindak.
"Binatang, kau mau omong apa lagi ?" bentak Kim Popo kasar.
Toa-ok Cui Peng angkat tanganya bersoja, katanya, "Maafkan,
aku Cui Peng kurang hormat. Tapi tolong jelaskan apa sebab
kau orang tua datang mengacau disini ?"
"Aku mengacau " Hm ! Kau tanya orang-orangmu sendiri
tanpa sebab sudah datang mengeroyok padaku, memangnya
aku orang apa ?" jawab si nenek mendongkol.
Cui Peng dapat memahami duduknya kejadian. Memang
kesalahan dipihaknya, orang-orangnya suka berlaku
sewenang-wenang dan perbuatan meraka justru kali ini 'kena
batunya' menemui si nenek kosen.
Ia tidak menjawab si nenek yang balik menanya, sebaliknya ia
berkata lagi, "Aku mengagumi kepandaianmu, orang tua !
Untuk menyingkat waktu, bagaimana kalau pertempuran
dengan senjata dirubah dengan pertaruhan ?"
"Kau mau bertaruh apa ?" tanya Kim Popo, suaranya tidak
sekasar tadi. Rupanya ia measa si berewokan ini, meskipun
kelihatannya bengis kasar, tiap pertanyaannya diucapkan
dengan sopan santun. "Begini saja," sahut Cui Peng, "kita bertaruh dalam dua babak.
Kalau aku menang, kau harus meninggalkan kuil ini tanpa
syarat." "Kalau aku yang menang ?" Kim Popo memotong
pembicaraan orang yang belum habis.
"Kalau yang yang menangi, kami tiga saudara akan berlutut di
depanmu dan angkat kau orang tua menjadi ibu angkat kami.
Akur !" sahut Cui Peng ketawa.
Si nenek termenung sebentar.
"Baiklah, bagaimana caranya bertaruh ?" Kim Popo menanya.
"Babak pertama, kita masing-masing menghadapi batu besar.
Siapa yang memukul lebih patah pada batunya masingmasing,
dialah yang menang." menerangkan Toa-ok Cui Peng.
Dan babak yang kedua, kita masing-masing menghadapi dua
batang besi. Siapa yang dapat menekuk atau mematahkan,
dia yang menang." Kim Popo kembali temenung. Ia tidak sadar bahwa ia tengah
diliciki oleh Toa-ok Cui Peng. Si berewok memang ada ahli
'Gwakang' (tenaga luar) disamping ia mempelajari juga
lwekang (tenaga dalam). Ia sangat andalkan tenaganya yang
seperti raksasa. Pikirnya, si nenek yang kurus kering seperti
yang kurang makan itu, pasti dengan mudah dikalahkan
olehnya. Si berewok sangat licin. Ia tahu kepandaiannya Kim Popo ada
di atas mereka tiga saudara dan bila si nenek dikerubuti,
belum tentu mereka akan peroleh kemenangan. Pikirnya dari
pada buang tempo, malah bisa-bisa mendapat celaka, lebih
baik si nenek ia ajak bertaruhan untuk jurusan yang ia
andalkan, yang ia percaya seratus persen Kim Popo akan
tergelincir kalah hingga ia boleh angkat kaki dari kuil itu tanpa
adu senjata lagi. Setelah termenung, Kim Popo berkata lagi, "Kalau kau kalah,
tak usah ganti berbahasa pakai ibu segala, cukup kau orang
memanggil 'Popo' (nenek) saja."
"Bagus, kami menurut saja kau orang tua punya kemauan."
jawab Cui Peng merendah sambil anggukan kepala.
"Nah, kau unjukkan dimana barangnya yang hendak
digunakan sebagai sasaran bertaruh." tanya Kim Popo.
"Oh, itu ada di belakang kuil ini. Mari turut aku ke sana !" sahut
Cui Peng. Berbareng ia berjalan diikuti oleh dua saudaranya Ji-ok Cui
Kin dan Sam-ok Cui Seng, sedang Su-ok Cui Tie ada di
markas besarnya, gunung Siauw-san, tidak ikut hadir dalam
keramaian dalam kuil tua itu.
Kim Popo turut dari belakang.
Kemudian yang lain-lainnya, jagoan dibawahnya Siauw-san
Ngo-ok menyusul mengikuti. Mereka kegirangan akan
menyaksikan keramaian yang bakal dilihat.
Sesampainya dibelakang ruangan kuil, Toa-ok dengan muka
bersenyum ramah mengunjukan pada Kim Popo dimana
letaknya dua barang yang bakal dipakai sasaran itu. Tampak
di depan agak sebelah kiri, ada dua buah batu besar
sepelukan orang. Entah berapa ratus kati beratnya. Di sebelah
kanannya di satu pojokan, ada menyandar dua batang besi
dari ukuran tengah dua dim dan panjangnya kurang lebih dua
setengah meter. Setelah mengawasi sejenak, si nenek tampak kerutkan
keningnya. Matanya Toa-ok yang awas, dapat melihat perubahan ini.
Dalam hatinya amat kegirangan. Sebab dengan mengunjuk
sikap demikian, kelihatannya si nenek tidak mungkin akan
menang dalam pertaruhannya.
"Bagaimana, apakah kita boleh mulai ?" tanya si berewok.
"Boleh saja, kau boleh mulai. Tapi tunggu dahulu." kata Kim
Popo seraya berjalan menghampiri dua batu besar bakal
sasaran itu. Ia memeriksa sambil pegang-pegang. Benarbenar
batu itu kelihatannya alot. Lalu ia jalan menghampiri dua
batang besi yang merupakan toya besar. Juga disini ia
pegang-pegang barang itu dan memeriksa dengan teliti.
Mulutnya kemak kemik seperti ada yang dikatakan tapi tidak
kedengaran oleh siapa pun juga disitu.
Makin kegirangan Toa-ok melihat gerak geriknya si nenek.
"Marilah kita mulai." kata si berewok sambil maju menghampiri
satu diantara dua batu besar itu.
"Jangan sungkan, kau boleh mulai !" kata Kim Popo yang
melihat Toa-ok unjuk laga seperti yang pasti akan dapat
memukul belah batu itu. "Baiklah," sahutnya. Lalu dikerahkanlah tenaga luar.
Kecuali Kim Popo yang sikapnya acuh tak acuh, semua orang
yang ada menyaksikan disitu dan tegang hatinya, masingmasing
kuatir kepala pemimpinnya gagal dalam
pertaruhannya. Setelah mengerahkan tenaganya, tampak
Toa-ok Cui Peng mengangkat tangannya yang kanan, dibeber
macam golok lalu dengan tiba-tiba tubuhnya mendak,
tangannya membacok. Segera terdengar suara terbelahnya
batu. Batu besar itu terbelah dua.
Di susul oleh sorak ramai, gegap gempita dan seruan "Hidup
pemimpin kita !". Kemudian Toa-ok Cui Peng jalan menghampiri para penonton
dengan roman tertawa-tawa. Disambut oleh orang-orangnya
sambil tampik sorak ramai.
"Bagus." memuji Kim Popo. "Toa-taunia, hampir kau bikin aku
jeri dan terima kalah. Kalau hatiku tidak mendesak untuk cobacoba."
"Ah, kau terlalu merendah, orang tua." sahut Cui Peng ketawa.
Kim Popo pun tertawa. Lalu ia minta salah seorang pegangi
tongkatnya. Ia sendiri jalannya mendekati batu besar bagian
sasarannya. Setelah datang dekat, ia berdiri sejenak lalu berpaling ke arah
orang banyak. Kepalanya manggut-manggut lalu entah
bagaimana ia bergerak, tangannya yang kanan tiba-tiba
menggaplok batu besar itu. Terdengar suara gemuruh, batu itu
ternyata hancur berantakan.
Orang banyak jadi terkesima melihatnya. Mereka sangat
tertegun sampai lupa bersorak sorai. Suasana menjadi sunyi
sebentaran sampai kemudian Toa-ok Cui Peng yang juga
terbelalak matanya keheranan sudah bisa menghilangkan rasa
cemasnya dan dengan muka tertawa, ia menyambut Kim Popo
yang sudah balik lagi ke tempat orang banyak berkumpul.
"Orang tua, kau hebat sekali ! Kali ini kau menang. Marilah kita
mulai dengan babak yang kedua." si berewok menantang
seraya menghampiri dua lonjoran besi berat yang menyandar
di tembok. Ia ambil satu antaranya. Besi yang berat itu ditangannya
seolah-olah bambu saja entengnya. Ia putar-putar sebentar
lalu berkata pada Kim Popo, "Bolehkah aku mulai, orang tua ?"
Kim Popo manggut. "Kau boleh mulai, Toa-taunia." Ia
menyilahkan. Toa-ok Cui Peng gunakan dengkulnya sebagai penahan besi.
Tenaganya dikerahkan pada kedua tangannya dan dengkul,
lalu...... besi lonjoran itu pelan-pelan melengkung dan mulai
jadi bundar. Kembali terdengar tampik sorak riuh rendah dan ucapan
bersemangat "Hidup pemimpin kita" beberapa kali. Malah ada
yang berjingkrakan kegirangan. Ji-ok dan Sam-ok berseri-seri
mengawasi Kim Popo yang tengah mengerutkan keningnya.
Pikir mereka, kali ini Toakonya bakal menang hingga stand
menjadi seri 1-1. Setelah melengkung hampir bundar, besi itu dilemparkan oleh
Toa-ok Cui Peng dan ia kembali ke rombongannya, mukanya
tersungging senyuman puas. Ia kemudian berkata pada Kim
Popo, "Silahkan orang tua !"
Si nenek tanpa dipersilahkan kedua kalinya, ia sudah lantas
menghampiri besi berat itu. Ia pegang kemudian diputar-putar
seperti Toa-ok tadi berbuat. Setelah mana, ia pegang dengan
kedua tangannya. Ia timbang-timbang, akan sebentar lagi
orang lihat besi itu dilemparkan ke atas dengan kedua
tangannya, terputar sebentar kemudian jatuh turun dalam
keadaan melintang. Inilah ada suatu demonstrasi yang mempersonakan. Penonton
tidak tahu apa yang akan dilakukan Kim Popp atas besi yang
berat itu, yang jatuh turun dengan melintang.
Toa-ok Cui Peng dengan dua saudaranya saling mengawasi,
mata seperti saling menanya. Tidak menanti lama keputusan,
sebab tiba-tiba si nenek berseru keras. Sambil lompat
memapaki besi yang jatuh turun, lengan kanannya menghajar
keras persis di tengah-tengah lonjoran besi itu. "Peletak !"
terdengar suara barang patah. Itulah toya besar yang patah
jadi dua turun jatuh ke tanah.
Kali ini, saking heran dan gembiranya menyaksikan
kepandaiannya Kim Popo yang istimewa, penonton bersorak
riuh. Teriakan terdengar, "Hidup, hidup......."
"Hidup Popo !" Toa-ok tambahkan teriakan kawan-kawannya
yang kelihatan ragu-ragu untuk menyebutkan "Popo".
Maka, setelah diberi contoh, lalu teriakan "Hidup Popo, hidup
Popo" menggema dalam ruangan di belakang kuil tua itu yang
tidak seberapa besarnya. Kini dengan hati rela, Siauw-san Ngo-ok menyerah kalah.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Kim Popo balik ke tempat rombongan, tanpa ditegur,
Toa-ok dan dua saudaranya yang lain telah menekuk lututnya
sambil menyebut, "Popo, anak-anakmu memberi hormat dan
mengucapkan selamat panjang umur !"
"Bangunlah Toa..... eh, anak-anak. Aku paling tidak suka
banyak peradatan !" kata Kim Popo yang menyilakan anakanak
angkatnya bangun dari berlututnya.
Demikianlah ada kejadian cara bagaimana Siauw-san Ngo-ok
menjadi anak-anak angkatnya dari Kim Popo.
Toa-ok Cui Peng dan saudara-saudaranya kegirangan
mendapat ibu angkat yang demikian kosen. Segera mereka
menyuruh orang-orangnya menyiapkan satu meja makanan
untuk mereka berpesta pora menghormati Kim Popo.
Ketika rombongan kembali masuk ke ruangan dalam pula, Kim
Popo dapatkan dua orang yang ditelikung tangannya masih
ada. Ia lalu minta keterangan dari Toa-ok, siapa mereka itu.
Kiranya mereka itu ada dua orang piauwsu dari Sam Seng
Piauw Kiok di kota Tongkwan propinsi Siamsay. Satu
perusahaan pengawalan barang yang sangat terkenal, karena
pengiriman-pengiriman yang diurus oleh Sam Seng Piauw Kok
hampir belum pernah gagal atau mendapat halangan di
jalanan. Kim Popo tampak kerutkan keningnya setelah mendengar
keterangan Toa-ok Cui Peng. Kemudian mengawasi kedua
piauwsu yang berlutut sambil tundukan kepala.
"Hehe, kenapa si orang she Liong pakai dua orang tidak
berguna begini ?" kata Kim Popo, suaranya pelan tapi cukup
kedengaran oleh dua piauwsu itu.
Berbareng mereka angkat kepalanya, mengawasi pada si
nenek. "Kami sudah kena ditawan. mau dibunuh, boleh bunuh. Untuk
apa banyak rewel ?" berkata satu diantara piauwsu itu yang
mukanya persegi. Kawannya yang jenggotnya jarang, sambil tertawa sini
berkata, "Tanpa perangkap belum tentu dapat merobohkan
kami berdua !" "Kau bernama apa ?" tanya Kim Popo kepada si muka
persegi. "Aku bernama Liok Tek Kim. Belum pernah aku menukar
nama !" sahutnya. "Dan kau ?" tanya Kim Popo pada si jenggot jarang.
"Aku Tan Kim Tie." jawabnya gagah.
"Kau pernah apa dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam
Seng Piauw Kiok ?" si nenek tanya Liong Tek Kim.
"Aku adalah keponakannya." sahutnya singkat.
"Bagus." kata Kim Popo. "Sekarang bagaimana kehendak kau
orang ?" "Sudah kukatakan, mau bunuh boleh bunuh. Tak usah banyak
cingcong !" sahut si muka persegi, suaranya keras, hatinya
tidak gentar. "Hehe." Kim Popo tertawa. "Anak-anakku, merdekakan dua
orang ini." Toa-ok dan saudara-saudaranya melenggak mendengar katakata
Kim Popo. Tidak kecuali dengan dua orang tawanan yang
ditelikung tangannya. "Tapi......ah, Popo........" kata Sam-ok Cui Seng gugup.
"Merdekakan !" potong si nenek. "Aku bilang merdekakan
harus turut !" Sam-ok Cui Seng melirik pada saudara tuanya seperti minta
pendapat. Toa-ok Cui Peng mengedipkan matanya, kepalanya
manggut sedikit, suatu pertanda saudara ketiga itu bolhe
lakukan perintah si nenek.
Tanpa sangsi, Sam-ok Cui Seng perintahkan orang-orangnya
untuk memerdekakan dua orang tawanannya. Sekejapan saja
tangan mereka sudah merdeka, tapi mereka masih tetap
berlutut. "Bangun !" kata Kim Popo. "Kenapa kalian masih tetap berlutut
"' Dua piauwsu itu tidak menyahut, hanya keduanya pada
tundukkan kepala. Kim Popo heran. Ketika diselidiknya, kiranya mereka sudah
tidak dapat bangkit dari berlututnya karena dengkul masingmasing
lemas akibat hajaran (siksaan) pada kakinya dipaksa
mereka berlutut oleh Sam-ok Cui Seng.
Kim Popo kerutkan keningnya. Kemudian ia suruh orang
periksa lukanya dan diberi obat lalu diangkut ke lain ruangan
dimana mereka direbahkan dan diberi pertolongan lebih jauh.
"Apa memangnya Popo kenal dengan Liong Seng, pemimpin
dari Sam Seng Piauw Kiok ?" tanya Toa-ok Cui Peng setelah
dua piauwsu itu digotong ke lain ruangan.
Kim Popo anggukan kepalanya. "Orang she Liong itu yang
bergelar Tiat-gee (Si Kerbau Besi), selain ilmu silatnya lihai,
dia juga ada seorang yang peramah." menutur si nenek.
"Luhur budinya, suka tolong orang yang dalam kesusahan
hingga dia sangat dihormati oleh lawan dan kawan. Pun
pergaulannya ada sangat luas, banyak kawan-kawan atau
sahabat-sahabatnya yang berkepandaian tingi di kalangan
putih maupun hitam (baik dan jahat) hingga Piauw kioknya
mendapat banyak kemajuan.........'
"Dia toh tidak punya hubungan penting dengan Popo."
memotong Sam-ok Cui Seng tidak sabaran. Rupanya ia masih
menyesal dua tawanannya dimerdekakan.
Kim Popo pelototi matanya pada si jahat ketiga itu.
Toa-ok dilain pihak mengedipi saudaranya, hingga Cui Seng
tundukkan kepala. "Aku belum bicara habis, kau sudah main potong saja !" kata
Kim Popo, suaranya kaku. "Aku paling tidak suka orang
potong bicaraku !" -- 3 -- Si nenek yang adatnya cepat ngambul dan cepat marah,
hampir tidak mau melanjutkan penuturannya kalau tidak Toaok
yang membujuknya dengan sabar.
Kiranya si nenek itu hutang budi pada Tiat-gu Liong Seng yang
memberikan pertolongan di waktu ia sakit dalam sebuah hotel
di Tongkwan. Si Kerbau Besi bukan saja menolong dalam hal
keuangan dan pengobatan, malah dengan ramah tamah
mengundang ia tinggal dalam rumahnya yang besar untuk
beristirahat sampai ia sehat dan segar benar, baharu
dilepaskan ia merantau lagi.
Dilihat romannya yang jelek dan keriputan, ditaksir usianya
Kim Popo sudah dekat mencapai tujuh puluh tahun. Namun,
sebenarnya ia baharu lima puluhan.
Kenapa kelihatannya jadi begitu tua, itu ada sebabnya.
Mukanya yang bagus cantik telah berubah jelek keriputan
akibat ia masak obat beracun yang tiba-tiba meledak
menyambar ke mukanya. Mendengar ceritanya Kim Popo, Toa-ok Cui Peng manggutmanggut
kepalanya. Ia merasa bertindak keliru dengan merampas barang-barang
antarannya Sam Seng Piauw Kiok di bawah pimpinannya Tiatgu
Liong Seng yang mulia hatinya.
Di samping jeri menghadapi pembalasannya si Kerbau Besi
yang banyak kawannya yang lihai, juga Ketua dari si Lima
Jahat itu merasa segan pada ibu angkatnya. Maka barangbarang
rampasan dikembalikan pada Liok Tek Kim dan Tan
Kim Tie dengan tidak kurang suatu apa.
Dua piauwsu itu mengucapkan terima kasih terutama pada
Kim Popo sebab dengan datangnya si nenek itu telah
membuat perubahan yang mereka tidak sangka-sangka.
Ketika Liong Tek Kim menanya hal hubungannya si nenek
dengan pemimpinnya, Kim Popo hanya ketawa haha hihi saja,
akan kemudian ia berkata juga, "Tak usah banyak tanya. Kau
nanti akan dapat tahu dari si Kerbau Besi kalau kau sudah
kembali di Tongkwan."
Liong Tek Kim tidak berani banyak tanya pula. Maka ia lalu
siapkan orang-orangnya untuk berangkat lebih jauh, ke tempat
barang-barang kiriman itu dialamatkan. Ia dan kawannya
masih belum bisa jalan atau naik kuda karena kakinya masih
lumpuh. Maka terpaksa ikut naik dalam kereta piauw yang
mereka kawal. Sementara itu, hujan lebat pun sudah berhenti.
Kim Popo diundang Toa-ok Cui Peng sama-sama pulang ke
markasnya di Siauw san, tapi Kim Popo menolak dengan
alasan bahwa ia masih banyak urusan yang perlu diselesaikan
dan berjanji begitu sudah ada ketikanya, ia akan datang ke
sana menyambang anak-anak angkatnya.
Demikianlah, setelah menjamu Kim Popo sebagai kehormatan
menjadi ibu angkat Siauw-san Ngo-ok, maka mereka telah
berpisahan satu dengan lain.
Mari kita lihat Lo In, si bocah yang dicari oleh Siong Leng Tojin
dan kawan-kawannya yang dianggap ada bibit bencana kalau
tidak dibinasakan. Ketika Siong Leng Tojin ingat Lo In, si bocah itu waktu sedang
mengintip jendela. Cepat-cepat ia jauhkan diri waktu ia dengar
dirinya akan dicari di sebelah luar, menyelingkar dibaliknya
sebuah pohon besar. Pemeriksaan dilakukan sangat teliti, bukan saja diatas pohonpohon
karena di duga Lo In ngumpat di atas pohon, juga batu
besar itu, dibelakang mana Lo In pernah mengumpat telah
diselidiki dengan seksama.
"Untung aku sudah tidak sembunyi disitu." kata Lo In dalam
hati kecilnya, waktu melihat batu besar itu diperiksa keras.
Hasilnya mereka laporkan pada Siong Leng Tojin, tak dapat
mencari Lo In setelah uber-uberan dicari.
Setelah mayat Ji-ok Cui Kin ditanam, mereka lalu
meninggalkan tempat itu pada esok paginya terang tanah.
Toa-ok jalan sambil panggul tubuhnya Sam-ok Cui Seng yang
kutung kaki kanannya. Mereka tidak memusingkan kemana perginya Kim Popo sebab
mereka masing-masing sudah tahu adatnya si nenek yang
angin-anginan, setiap waktu ia pergi tak pernah
memberitahukan bahwa ia akan pergi ke mana.
Setelah keadaan aman, barulah Lo In berani memasuki
rumahnya. Tampak olehnya, keadaan dalam rumah morat marit, bekas
diaduk-aduk kawanan penjahat, hatinya bukan main sedihnya.
Lo In dijatuhkan diri di kursi malas, yang biasa Liok Sinshe
rebahan, otaknya berputar, memikirkan hidupnya yang
seterusnya tanpa orang melindungi dirinya.
Air matanya mengembeng, sakit hatinya, tangannya
dikepalkan. "Aku akan membalas dendam akan kematiannya Liok Sinshe
!" ia berkata sendirian, matanya beringas dan tangannya
dikepal-kepalkan. Lucu kelihatannya kalau anak kecil lagi lagi.
Kapan ia ingat akan nasehat Liok Sinshe bahwa ia harus
berlaku tenang jika menghadapi sesuatu urusan, biar
bagaimana besar pun, maka amarahnya menjadi reda.
Sebagai gantinya, kembali ia menangis, menangis terisakisak.
Lo In terkenang pada masa lampau, lima tahun berselang
hidup terlunta-lunta diantara anak-anak gembel di kota
Lamkoan. Pada hari itu tengah bermain-main di pekarangan
kuil Thian-ong-sie. Tiba-tiba pundaknya ada yang tepuk.
Ketika ia menoleh, tampak seorang laki-laki berparas cakap
menatap kepadanya. Di atas alis kirinya ada tanda codet
seperti bekas barang tajam. Senyumannya yang menawan,
telah menarik sekali hatinya. Itulah orang yang belakangan ia
kenal sebagai Liok Sinshe, yang telah angkat ia dari dunia
gelandangan menjadi seorang anak yang cerdas tangkas,
yang melindungi dan mencintainya sebagai ganti ayahnya.
Masih berbayang saat itu, mula-mula ia ketika ia bertemu Liok
Sinshe. "Anak, apa kau sudah makan ?" tanyanya Liok Sinshe diwaktu
itu. Lo In menggelengkan kepala.
"Apa mau makan ?" tanya Liok Sinshe.
Lo In mengangguk. "Mari ikut aku !" kata Liok Sinshe berbareng tangannya Lo In
dipegang, diajak berlalu dari situ untuk kemudian mereka
memasuki sebuah rumah makan.
Lo In menurut disuruh duduk diatas bangku yang kitari meja
makan. Setelah pesan makanan, Liok Sinshe berkata lagi
pada Lo In, "Anak, kau begini kurus."
Lo In tidak menjawab. Kepalanya nunduk, mengawasi bajunya
yang kumel dan robek disana sini.
"Ayah dan ibumu ada dimana ?" tanya Liok Sinshe memancing
si bocah bicara. Lo In geleng kepala. "Akut idak tahu ayah dan ibu dimana."
sahutnya kemudian. Sementara itu, pelayan sudah siapkan hidangan di atas meja.
Lo In awasi makanan di depannya. Ia menelan ludah, mengilar
dia rupanya. Liok Sinshe memperhatikan anak gembel itu, kurus dan pucat
mukanya. Pakaiannya compang camping, hatinya merasa
sangat kasihan. "Mari kita makan !" mengajak Liok Sinshe seraya mulai
pegang sumpitnya. Lo In tidak perlu diundang dua kali, sebab segera ia pegang
sumpit dan mulai cobai makanan yang barusan membuat ia
menelan ludah saking kepingin cicipi. Ia makan banyak, malah
dua kai ia minta tambah nasi.
Liok Sinshe ketawa menampak perbuatan Lo In yang lucu,
simpati serta gerakannya ada cekatan sekali.
"Eh, namamu siapa ?" tanya Liok Sinshe.
"Namaku In, orang bila aku she Lo" jawabnya, mulutnya penuh
nasi. Geli hatinya Liok Sinshe melihat Lo In yang gembul
makannya. "Bagus," kata Liok Sinshe. "Kau mau ikut aku ?"
"Kemana ?" Lo In balik menanya.
"Kemana saja." sahut Liok Sinshe. "Kita jalan-jalan melihatlihat
keramaian kota diberbagai tempat."
Lo In meletakkan sumpitnya, mengawasi sebentar pada orang
didepannya. "Mau, aku mau !" katanya kegirangan.
Demikian, sejak itu Lo In ikut mengembara dengan Liok
Sinshe ke berbagai tempat, kemudian menetap diatas jurang
Tong-hong-gay. Melebihi dari dugaannya sendiri, Liok Sinshe lihat kecerdikan
dan ketajaman otaknya Lo In ada luar biasa. Tiap pelajaran


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik surat maupun ilmu silat, belum pernah diulang sampai
tiga empat kali. Paling banyak dua kali sudah cukup, ini juga
kalau ruwet. Lo In ternyata ada satu anak yang jenaka, banyak menghibur
hatinya Liok Sinshe dikala dalam kesunyian merenungkan
nasibnya yang terumbang ambing.
Semakin Lo In tambah umur, Liok Sinshe tampaknya semakin
sayang pada si bocah hingga Lo In dapat mewariskan
kepandaiannya Liok Sinshe salam ilmu surat dan ilmu silat
yang lihai. Sayang ia masih anak-anak hingga belum dapat
digembleng tenaga dalamnya, kalau tidak, ia sudah selihai
Liok Sinshe, malah ada kemungkinan ia lebih gesir dan cepat
lagi. Meskipun demikian, pelan-pelan Liok Sinshe memulai dengan
gemblengannya tenaga dalam (lwekang). Dimulai ketika
umurnya Lo In meningkat sepuluh tahun. Maka ketika ada
penyerbuan dari Siauw-san Ngo-ok dengan kawan-kawannya
itu adalah dikala Lo In baru dapat gemblengan lwekang dua
tahun lamanya. Sebenarnya Lo In ingin membantu Liok Sinshe waktu
dikerubuti. Cuma saja, selain ia ragu-ragu akan
kepandaiannya sendiri, yang terutama ia takuti Liok Sinshe
tegur dan marahi padanya, tidak menurut perintah untuk lari
menyelamatkan diri. Maka juga ia tinggal mengintip nonton saja pertarungan seru
itu. Ia perhatikan betul gerak gerik Liok Sinshe
mempraktekkan kepandaian yang telah diajarkan padanya.
Inilah yang membangkitkan nyalinya jadi besar, untuk dalam
usia yang masih anak-anak kelak ia dapat menjatuhkan lawanlawan
dari penolongnya (Liok Sinshe).
Sekarang Liok Sinshe sudah tidak ada lagi dalam dunia,
kemana Lo In harus pergi " Apakah ia tinggal tetap saja di
atas jurang Tong-hong-gay untuk meyakinkan ilmu tenaga
dalamnya lebih jauh "
Pusing kepalanya Lo In memikirkan itu semua.
Tiba-tiba ia rasakan perutnya bergeruyukan minta makan.
"Kurang ajar, orang sedang kesusahan, ada-ada saja !" ia
berkata sendirian, menyesalkan perutnya yang menyelak
diantara alunan ngelamunnya.
Sambil berkata begitu, Lo In bangkit dari duduknya, masuk ke
ruang belakang untuk cari makanan. Sebentar lagi tampak ia
sudah pegang satu potong besar kue. Sambil mengganyang
ransum kering itu ia berjalan keluar.
Maksud Lo In mau duduk ngelamun di atas kursi malasnya
Liok Sinshe tapi sekonyong-konyong ia merandak jalan dan
berdiri terpaku seperti ada apa-apa yang tiba-tiba mundul
dalam ingatannya. Matahari pagi sudah mulai naik tinggi, sementara Lo In berdiri
terpaku. "Tidak, tidak. Aku tidak percaya dia mati !" ia
menggumam. Lo In tidak jadi menghampiri kursi malas. Sebaliknya, ia putar
tubuhnya dan jalan mendekati peti obat-obatan. Ia periksa di
dalamnya sudah berantakan. Rupaynya peti itu tidak menjadi
kekecualian diaduk-aduk oleh Kim Popo yang mencari buku
ilmu menotok jalan darah, Tiam-hiat Pit-koat.
Meskipun berantakan, botol-botol kecil yang terisi obat-obat pil
dan puder (bubuk) tidak sampai berceceran, semuanya masih
utuh. Lalu ia ambil botol-botol terisi obat itu, semuanya ada
enam botol, dimasukkan ke dalam kantongnya.
Sebelum Lo In bertindak, tangannya yang kanan dimasukkan
pula ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan dua botol yang
berisi pil dan puder. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, matanya
memandang tajam pada dua botol itu. Tiba-tiba ia berteriak
kegirangan, "Hidup, hidup. Dia masih hidup. Ha ha ha !"
Tampak si bocah berjingkrakan seperti orang gila.
Apakah Lo In sudah hilang ingatannya " Apa ia sudah jadi gila
mendadak " Kalau tidak, kenapa ia berjingkrakan sekonyongkonyong
" Tidak, Lo In tidak gila. Saking girangnya, setelah ia berpikir
bahwa Liok Sinshe akan ketolongan dengan dua rupa obat
ditangannya tadi, maka ia jadi berjingkrak-jingkrak. Maklumlah
anak masih kecil yang kegirangannya meluap-luap.
Di lain saat, kelihatan ia sudah berlari-larian menuju ke tepi
jurang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ia rem larinya, lalu putar
tubuh dan balik kembali. Benar-benar lucu kelakuannya si bocah Lo In. Apa maunya Lo
In balik lagi " Oh, kiranya ia balik ke rumahnya mengambil
pedangnya Liok Sinshe yang disimpan rapi di balik pintu. Itu
adalah satu pedang pendek, hanya kira-kira dua kaki
panjangnya ketika Lo In hunus dari sarungnya.
Pedang itu tidak mengkilap sinarnya, seperti kebanyakan
pedang-pedang dari jago-jago Sungai Telaga (kang-ouw),
hanya kebiru-biruan kalau terkena sinar matahari. Bentuknya
tidak menarik, hingga pantas sekali kalau ia menjadi penghuni
dalam sarung yang sudah kumel. Entah sudah berapa puluh
tahun pedang itu dipakai oleh Liok Sinshe dalam hidupnya
malang melintang dalam dunia Sungai Telaga.
Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya ketika melewatkan
sang malam dalam rumah itu dengan pintu terpentang. Coba
kalau ketika itu, pintu itu ditutup. Pasti senjata tajam Liok
Sinshe akan dibeslag, meskipun bentuknya jelek, demikian
pandangan Lo In si bocah.
"Kenapa Liok Sinshe pakai pedang beginian ?" tanya Lo In
pada dirinya sendiri, seraya membulak balik memeriksa.
Ia baru pertama kali melihat senjatanya Liok Sinshe, selama ia
ikuti penolongnya itu. Yang menarik hatinya si bocah adalah
bobotnya pedang itu enteng sekali, maka ia memasuki pula ke
dalam sarungnya, ia gantung di pinggangnya lalu jalan mundar
mandir dengan sikap perwira.
Sok aksi anak itu, tapi lucu laga lagunya dasar anak-anak.
Sayang Liok Sinshe tidak ada. Coba ada, tentu akan
terpingkal-pingkal melihat Lo In dalam gayanya sendiri
menjual aksi. Lo In dilain saat sudah berada diluar rumah, dengan di
pinggangnya menyandang pedang. Bocah itu dalam usia
meningkat dua belas tahun, tubuhnya kurus dan lebih tinggi
dari anak-anak biasa dalam usia pantarannya. Maka, kelihatan
pantas sekali pedang warisan Liok Sinshe itu tergantung di
pinggangnya yang ceking. Ia berdiri sejenak di depan rumah. Matanya memandang ke
sekitarnya, kemudian gerakin kakinya melangkah. Ternyata
kali ini ia bukannya lari ke tepi jurang, hanya ia lari
menghampiri batu besar yang semalam ia pakai sembunyikan
diri. Di depan batu mana kira-kira satu tindak jauhnya, ia
hunus pedangnya lalu jongkok untuk menggali tanah.
Sebentar lagi, ditangannya sudah terpegang satu kotak
persegi empat dari ukuran empat cun dan tinggi dua cun.
Setelah dipandang, ia mau masukkan barang itu ke dalam
sakunya tapi berbarang pada saat itu ia kaget dan lompat
mundur mendengar suara orang ketawa di balik batu.
"Hi hi hi ! Anak kecil, serahkan barang itu pada nenekmu."
demikian Lo In dengar orang berkata, segera berkelebat tubuh
dari balik batu, siapa ternyata ada si nenek jelek Kim Popo.
Lo In kenali si nenek yang mengaku membokong Liok Sinshe.
Amarahnya timbul seketika. "Nenek jahat, kau mau apa ?"
tegurnya kasar. "Begini caranya kau sambut nenekmu ?" kata Kim Popo
seraya tertawa haha-hihi.
"Mana aku ada punya nenek jahat sepertimu." ejek Lo In.
"Jangan banyak cakap, bocah ! Lekas serahkan barang
ditanganmu !" teriak si nenek. Kelihatannya marah bila
dikatakan nenek jahat. "Kau mau ini ?" Lo In tanya sambil angkat kotak tadi
ditangannya. "Mari kasih aku." Kim Popo sambil sodorkan tangannya untuk
menjambret. Lo In tarik pulang tangannya. "Hmm ! Nenek jahat, tidak
semudah itu !" katanya.
Kim Popo rada-rada heran melihat jambretannya gagal. Sebab
menurut pendapatnya, ia sudah bergerak cepat. Tapi si bocah
kelihatan lebih cepat pula menarik tangannya. Ia penasaran. Ia
lompat menubruk untuk merampas barang ditangannya Lo In,
tapi untuk kedua kalinya ia dibuat gregetan karena Lo In sudah
dapat berkelit dengan manis dari terkaman.
"Bocah ini licin seperti si tabib busuk. Aku tidak boleh
sungkan-sungkan lagi !" dmeikian pikirnya Kim Popo dalam
hati. Segera ia gunakan tipu Ki ong pek touw atau elang lapar
menyambar kelinci, dua tangannya yang berkuku runcing
menyambar berbareng mencengkeram dada Lo In. Satu jurus
yang agak ganas untuk digunakan terhadap anak kecil.
Namun si nenek tidak memikir ke situ, ia hanya ingin
menyingkat waktu, barang yang diingini itu lekas pindah dalam
tangannya. Lo In tahu bahayanya serangan itu, tapi ia tidak takut. Pikirnya
denagn ia majukan dua tangan menangkis, keras lawan keras,
rasanya serangan si nenek dapat dipatahkan. Tapi Lo In lupa
memperhitungkan bahwa tenaga dalamnya kalah jauh di
banding dengan si nenek. Maka tidak heran ia segera rasakan
kelalaiannya, ketika tangannya bentrok dengan tangan si
nenek, ia rasakan dadanya tergentar dan tubuhnya terlempar
jumpalitan sampai sepuluh tindak.
Cepat Lo In bangun tapi dadanya dirasakan masih sesak. Si
nenek, sementara itu sudah lompat maju, berdiri di depannya.
"Bocah bau, kau rasakan nenekmu punya lihai,ya ?" katanya
dengan suara menjengeki. Lo In tidak berani menjawab sebab ia tengah coba memeras
tenaga dalamnya untuk mendorong pergi rasa sesak dalam
dadanya. Begitu ia rasakan enak dadanya, tiba-tiba ia rasakan
tangannya dicekal orang. "Keluarkan hayo keluarkan barang itu !" perintah Kim Popo.
Tangannya si nenek yang mencekal tangannya dirasakan Lo
In seperti sepitan besi. Lo In mengawasi Kim Popo dengan sorot mata benci.
Melihat anak kecil itu membandel, Kim Popo tidak sabaran.
"Kau masih belum mau keluarkan ?" katanya. Tangannya
dipakai memencet lebih keras hingga butiran-butiran keringat
pada merembes keluar dari lubang-lubang tubuhnya Lo In,
saking ia menahan sakit. Bandel dan keras kepala anak itu. Ia lebih suka menahan rasa
sakit dari pada menangis keluarkan air mata. Matanya
menyala seperti berapi, tapi meluanpnya napsu membunuh ini
hanya sejenak sebab segera tampak ia kalem lagi. Pelanpelan
ia merogoh sakunya dan dikeluarkan kotak yang
barusan ia gali. "Nenek jahat, tuh kau boleh gegares !" kata Lo In kasar sambil
melemparkan kotak yang dipegangnya.
Kim Popo lepaskan cekalannya lalu memungut barang yang ia
impi-impikan itu ialah buku mungil 'Tiam-hiat Pit-koat' di dalam
kotak itu. "Hehe, akhirnya kau menyerah juga bocah !" kata si nenek
sambil coba buka kotak tadi tapi susah terbuka seperti ada
kuncinya. "Hahaha !" kedengaran Lo In tertawa tiba-tiba.
"Kau ketawai apa " Lekas serahkan anak kuncinya !" bentak si
nenek. "Hahaha !" kembali Lo In tertawa.
Kim Popo naik pitam. "Binatang cilik, kau main gila........!"
bentaknya. "Kau kira hanya kita berdua disini ?" potong Lo In, air mukanya
bersenyum. Kim Popo sudah siap menyerang Lo In tapi hatinya gentar
mendengar kata-katanya si bocah, memotong bicaranya.
"Memangnya ada siapa lagi ?" ia menanya.
"Masih ada yang belum mati dibokong olehmu. Hahaha, si
nenek jahat kena perangkap." Lo In tertawa terbahak-bahak
hingga menimbulkan rasa takut si nenek meningkat.
Pikirnya, apa benar Liok Sinshe tidak mati " Celaka ia kalau
benar-benar mereka menggunakan perangkap. Liok Sinshe
sudah pasti tak dapat mengampuni perbuatannya yang
telengas membokong orang.
Melihat Kim Popo seperti yang ketakutan, menengok sana sini
sambil memegangi kotak lebih erat, seolah-olah yang takut
dirampas orang. Lo In berkata pula, "Nenek jahat. Kau masih
tunggu apa lagi. Tidak mau lepaskan kotak ditanganmu itu ?"
"Kau mau mempermainkan aku " Kau membokong orang. Apa
Liok Sinshe tidak akan menagih ?" sahut Lo In dan ia tekankan
suaranya menjadi keras diwaktu menyebut 'Liok Sinshe'.
Justru tekanan suara 'Liok Sinshe' itu yang membikin
semangatnya Kim Popo hampir terbang seketika. Maka lantas
saja ia geraki kakinya melompat kabur. Sebelum jauh, Lo In
yang jail sudah ambil batu kecil dan disentilkannya, jitu
mengenakan sasaran diarah atas sedikit dari kibulnya hingga
dirasakan sangat sakit. Dan ini dianggap Kim Popo ada Liok
Sinshe yang melakukannya hingga ia lari lebih kencang lagi.
Lo In tertawa geli menyaksikan Kim Popo lari terbirit-birit
ketakutan. Sebenarnya tidak ada Liok Sinshe. Si nenek hanya takut
bayangannya sendiri saja lari ketakutan. Tadi, ketika dipencet
tangannya oleh Kim Popo, Lo In menyala matanya seperti
yang mengeluarkan apai, napsu dari pembunuhan. Tapi hanya
sejenak ia sudah jadi sabar lagi. Itulah ia ingat akan pesan
Liok Sinshe yang berkata kepadanya, "Anak In, jika kau
menghadapi sesuatu yang genting, harus berlaku tenang.
Sebab ketenangan yang menimbulkan jalan pemecahan !"
Kata-kata Liok Sinshe ini yang mengiang ditelinganya waktu
itu hingga dari meluap amarahnya ia menjadi kalem dengan
tiba-tiba. Dan kemudian timbul dalam otaknya yang cerdik
suatu pikiran yang baik untuk menggertak si nenek lari
tunggang langgang dengan cuma menyebut namanya Liok
Sinshe. Kejadian itu ialah begitu mudah si nenek kena digertak,
sungguh diluar dugaan Lo In. Sebab ia tidak tahu memang si
nenek jeri betul-betul pada Liok Sinshe sebagai akibat
kesudahannya pertempuran pada lima tahun berselang
dimana Kim Popo dipecundangi dengan sangat mudahnya
ketika si nenek hendak merampas buku rahasia ilmu menotok
jalan darah 'Tiam-hiat Pit-koat' dari tangannya si kakek she
Kong. Lo In kemudian menghampiri pedangnya yang menggeletak


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditanah lalu memungutnya, disorong lagi di pinggangnya yang
ceking. Kali ini ia tidak balik ke rumahnya hanya memutar
tubuh lari ke jurusan tepi jurang. Ia berlari-larian di tepi jurang
yang curam itu sampai kemudian ia berhenti disuatu tempat
yang ada bekas-bekas seperti disitulah Liok Sinshe sudah
tergelincir masuk ke dalam jurang.
Ia melongok ke bawah. Benar-benar jurang sangat curam.
Entah berapa dalamnya dan didasarnya yang merupakan
lembah, apa tidak ada banyak binatang buasnya.
Tapi Lo In adalah lanak yang besar nyalinya. Ia tidak takut. Ia
lebih perhatikan keselamatan Liok Sinshe dari pada bahaya
yang bisa mengancam pada dirinya sendiri.
Dengan berani Lo In merosot turun sambil memegangi pada
akar-akar rotan yang tumbuh merembet di sana sini. Pelanpelan
ia terus turun ke bawah. Dengan kepandaian entengi
tubuh ajarannya Liok Sinshe, ia lompat sana sini dan akhirnya
sampai juga ia pada tujuannya, di dasarnya jurang. Ia
celigukan ke sekitarnya. Ia dapatkan banyak pepohonan yang
rindang. Mendengak ke atas, tampak tebing jurang ada sangat
curam. "Bagaimana aku bisa naik ke atas nanti ?" tanyanya pada diri
sendiri, melihat tepi jurang ada demikian tinggi kelihatan dari
sebelah bawah. Tapi Lo In tidak mau ambil pusing hal kembali naik keatas.
Yang penting ia harus mencari Liok Sinshe. Tapi dimana ia
harus mencarinya " Lekas ia gerakin kakinya, mulai mencari Liok Sinshe, orang
yang sangat cintai. Pikirnya, bagaimana pun ia harus
ketemukan tubuhnya Liok Sinshe, baik dalam keadaan
selamat maupun sudah mati.
Kita balik sebentar, melihat Kim Popo yang lari tunggang
langgang ketakutan. Setelah lari jauh, ia berhenti di bawah sebuah pohon besar
yang rindang daunnya, dimana ia meneduh dengan adem,
menyingkir dari terik panasnya matahari yang waktu itu tengah
mencorong menerangi jagat.
Ia taruh tongkatnya yang berat disampingnya.
Lewat sesaat ia duduk, lantas tangan kirinya merogoh
kantongnya. Dikeluarkan kotak yang ia rampas dari tangan Lo
In. Mukanya berseri-seri, rupanya ia sangat puas dengan
pekerjaannya yang berhasil.
Entah terbuat dari apa, kotak itu kelihatannya sangat kuat tapi
bobotnya enteng sekali. Ia periksa dengan seksama, karena
kotak itu tak dapat dibuka, ia lantas dapatkan ada sebuah
lubang kecil. Pikirnya, disinilah ada lubang kuncinya. Harus ia
dapatkan anak kuncinya. Kalau tidak, cara bagaimana ia bisa
membukanya. Di samping kegirangan, ia mendongkol dan
penasaran. Ia coba membukanya dengan paksa tapi
bagaimana juga kotak tak dapat dibuka.
"Sialan !" ia mengeluh. "Dengan begini aku mesti kerja lagi
untuk dapatkan anak kuncinya." ia meneruskan kata-katanya
sambil membanting kotak itu sekerasnya.
Justru dibanting, kotak itu menjadi terbuka sendirinya. Dari
dalam lompat keluar sebuah buku yang bentuknya mungil.
Matanya Kim Popo terbelalak saking heran. Ia tertegun
sejenak. Karena ini, ia terlambat mengambil buku yang diimpi-impikan
sebab lain tangan sudah mencomotnya lebih dahulu. Itulah
tangan orang yang lompat dari atas pohon, dengan sebat
sekali sudah dahului Kim Popo mencomot buku mungil yang
mencelat keluar dari kotaknya. Kim Popo tercengang oleh
karenanya. Kapan ia mengawasi orang di depannya, kiranya ia ada satu
thauto (pendeta yang piara rambut panjang) bermuka bengis.
Dua anting-anting besar yang menghias di telinganya
berkerincingan kalau ia geleng-geleng kepalanya, ramai
kedengarannya. Si nenek menjadi sangat gusar. "Binatang, kau berani rampas
barangku ?" ia membentak sambil lompat menubruk si thauto
untuk merampas pulang buku yang dicomot si thauto tadi.
Tapi tubrukannyaKim Popo kecele sebab dengan elakan
badannya sedikit saja, Kim Popo telah menubruk angin. Gesit
sekali caranya si thauto bergerak.
Tentu saja Kim Popo yang adatnya angin-anginan, marahnya
menjadi-jadi. "Binatang, kembalikan barangku ! Kalau tidak, hmm !" bentak
Kim Popo, hatinya penasaran barusan tubrukannya gagal.
"Kau ingin dapat pulang barangmu, harus tanya dulu orangku."
sahut si thauto. Kim Popo kertak gigi, meskipun giginya sudah sisa tidak
seberapa lagi. "Mana dia orangmu ?" bentaknya sengit.
"Ini dianya..... ha ha !" sahut si thauto seraya unjuk dua
kepalannya yang besar, mirip buah kelapa kata bohongnya.
"Bagus !" kata Kim Popo mendelu, dadanya dirasakan hampir
meledak. "Siapa bilang jelek ?" menggoda si thauto. Rupanya orang
jenaka juga. Habis sabarnya Kim Popo, matanya mendelik hingga
romannya tambah jelek. "Binatang, lihat seranganku !" serunya, sambil menerjang
dengan tipu pukulan 'Hui heng tong lay' -- 'Angin taufan
menghembus dari Timur', kepalan tangan kanannya mengarah
dada disusul dengan tangan kirinya menyamber orang punya
iga kanan. Cepat serangan saling susul ini datangnya tapi si
thauto tidak gugup. Tangannya yang besar dibuka untuk
menangkap kepalang lawan, sedang iga kanannya yang
diarah dibiarkan saja menjadi sasaran totokan jarinya Kim
Popo. "Aiyoo !" teriak si nenek tiba-tiba sambil lompat mundur.
Si thauto tidak balas menyerang, hanya berdiri sambil
terbahak-bahak ketawa mengawasi Kim Popo yang teraduhaduh
seraya tangan kanannya memegangi dua jari tangan
kirinya yang barusan dipakai menotok.
Dengan tipu pukulan 'Angin taufan menghembus dari Timur',
Kim Popo ingin sekali gebrak saja menjatuhkan si thauto yang
kurang ajar. Ketika kepalannya hendak disambut dengan
tangan si thauto yang besar, ia melihat bahaya, maka ia cepat
tarik pulang. Tapi tangan kirinya ia teruskan nyelonong ke iga
musuh. Pikirnya, si thauto tidak membuat penjagaan pada bagian ini,
sudah pasti totokannya akan berhasil membikin lawannya
terkulai rubuh. Tapi kesudahannya ada lain, si nenek telah
menelan pil pahit. Dua jarinya yang dipakai menotok iga
musuh dirasakan seperti menotok tiang besi, sakitnya bukan
main sampai menyusup di ulu hati.
Melihat serangannya gagal, maka cepat ia lompat mundur
sambil berteriak "Aiyoo !", saking tak tahan menahan sakitnya.
Tapi Kim Popo, dasar si nenek bandel. Kalau hanya begitu
saja ia sudah mesti jadi pecundang, maka sebentar lagi
setelah ia memeras tenaga dalamnya buat usir rasa sakit tadi,
segera ia kembali lakukan penyerangan.
"Hahaha, nenek jelek !" goda si thauto. "Masih berani melawan
?" "Kiramu mukamu bagus ?" sahutnya menjerit saking
mendongkol. Kata-katanya Kim Popo disusul dengan serangan gesit. Ia
keluarkan ilmu entengi tubuhnya untuk melayani si thauto
yang bertubuh tinggi besar. Pikirnya, si thauto rupanya ada
punya ilmu 'tiang-pou-san' (ilmu kebal). Tubuhnya keras
laksana besi, maka ia harus mencari kelemahannya yaitu
dibagian matanya. Demikian, setelah bertempur sepuluh jurus, Kim Popo
gunakan kepalannya yang kiri pura-pura menjotos ke arah
perut, sedang sasarannya yang sebenarnya adalah sepasang
matanya lawan. dua jari tangan kanannya, telunjuk dan tengah
dengan sebat meluncur akan mengorek sepasang biji mata si
thauto. Serangannya ini yang dinamai 'Lo wan tou ko' atau
'Lutung tua mencuri buah'.
Cepat sih memang cepat gerakannya Kim Popo, cuma
sayang, kembali ia dapat kerugian. Kepalan kirinya yang purapura
menjotos kena ditangkap tangan si thauto, sedang dua
jari tangan kanannya belum sampai pada sasarannya, ia
rasakan tenaga dorongan yang keras pada kepalannya yang
kena dipegang lawan. Tenaga dorongan itu benar-benar hebat
sampai ia perpelanting dan jungkir balik ke belakang. Di lain
saat, ketika ia sudah dapat tancap pula kakinya ditanah, ia
rasakan sekujur tubuhnya gemetaran dan dadanya sesak.
Untung lwekangnya cukup tinggi hingga tidak sampai
mendapat luka di dalam. Meskipun demikian, nyalinya ciut seketika. Untuk melawan lagi
si thauto jagoan itu, pikirnya tidak mungkin. Maka setelah ia
rasakan badannya kembali normal, ia lantas saja putar
tubuhnya dan lari. Persis seperti tempo hari ia tunggang
langgang dipecundangi Liok Sinshe.
"Haha, nenek jelek, kau mau lari !" Kim Popo dengar suaranya
si thauto. Berbareng dengan ditutup kata-katanya, tampak si thauto
geleng-geleng kepalanya. Sepasang antingnya segera
melesat berbareng menyusul Kim Popo.
Si nenek hanya berkaok satu kali lantas kelihatan tubuhnya
terkulai dan mendeprok di tanah. Seluruh tubuhnya dirasakan
lemas. Kiranya, sepasang anting-anting dikedua telinganya itu adalah
senjata rahasianya si thauto. Sungguh lihai senjata rahasia itu.
Cuma dengan geleng-geleng saja, sepasang anting-anting itu
meleset laksana kilat hingga membuat Kim Popo semaput
jatuh di tanah. Tidak mudah menggunakan senjata rahasia
yang aneh itu kalau lwekang pemiliknya tidak tinggi. Sebab
barang itu baru dapat melesat dari kuping di dorong oleh
tenaga dalam yang istimewa.
Si thauto tertawa gelak-gelak melihat si nenek sudah tidak
berdaya. Ketika matanya melirik ke tanah, ia melihat kotak tempat buku
menarik perhatiannya. Maka ia lantas pungut dan diperiksa.
Kemudian rogoh sakunya, keluarkan itu buku mungil, dipaskan
dalam kotak. Tiba-tiba kotak itu menutup seketika hingga si
thauto kaget bukan main. Entah bagaimana rupanya ada alat
rahasianya yang ketekan. Maka kotak itu otomatis menutup
buku yang ditaruh di dalamnya.
Si thauto dari kaget menjadi ketawa girang melihat kemujijatan
kotak dapat menutup sendiri. Maka ia lalu masukan kotak itu
ke dalam sakunya. Pikirnya, pada suatu kesempatan ia akan
membukannya nanti. Setelah mana ia menghampiri Kim Popo,
memungut sepasang anting-antingnya yang jatuh tidak jauh
dari si nenek dan dipakainya kembali.
Thauto itu bengis romannya, menakuti tapi orangnya benarbenar
jenaka. "Nenek bagus, bagaimana sekarang ?" ia menanya dengan
senyum dikulum. Ia godai Kim Popo tidak lagi ia menyebut 'nenek jelek' tapi
diganti jadi 'nenek bagus'. Enak kedengarannya tapi tidak
enak berkumandang ditelinganya si nenek. Anggapnya ia telah
disindir, maka matanya jadi mendelik.
"Sudah aku berlaku murah barusan, tidak mengambil jiwamu,
apa kau masih kurang terima ?" berkata si thauto.
"Hmm ! Murah hati !" menggerutu Kim Popo.
"Memang," berkata lagi si thauto. "Kalau aku berlaku kejam,
barusan anting-antingku mengarah pada jalan darah kematian
di bebokongmu. Apa ini aku sudah tidak berlaku murah ?"
"Hmm !" mendengus si nenek. "AKu Kim Popo tidak rela
dijatuhkan oleh lawan dengan jalan membokong."
"Habis kau mau apa " tanya si thauto, geli hatinya nampak
orang kepala batu. "Kalau kau berani, merdekakan aku sekarang !" sahutnya
ketus. "Jadi " Kau mau bertempur lagi ?" tanya lagi si thauto.
"Tidak ! Saat ini aku terima kalah. Tapi lihat, tiga tahun lagi
akan kucari kau untuk menetapkan siapa unggul !" sahut Kim
Popo tengik laganya. Si thauto tertawa terbahak-bahak lalu tanpa menghiraukan
Kim Popo yang masih duduk mendeprok, ia tinggal pergi.
"Binatang, kau mau siksa aku dengan cara begini !" teriak Kim
Popo, matanya terbelalak keheranan melihat dengan begitu
saja meninggalkan dirinya.
"Lagi dua jam totokan pada jalan darahmu akan hilang
sendirinya. Kau nenek bandel, mesti dihukum dijemur
dipanasnya matahari dua jam. Hahaha !" demikian terdengar
kata-kata si thauto, meskipun sudah jalan jauh kedengarannya
tegas sekali kuping Kim Popo hingga ia jadi terkejut. Pikirnya,
thauto itu hebat sekali tenaga dalamnya sampai bisa mengirim
suara dari jauh. Terpaksa Kim Popo, si bandel, mesti menanti dua jam
dibawah panasnya matahari untuk mendapat
kebebasannya..... Kita kembali kepada Lo In yang tengah mencari Liok Sinshe di
lembah dari jurang Tong-hong-gay.
Dengan hati-hati ia mencari dipinggir-pinggiran lalu pelanpelan
sedikit ke tengah, tapi belum juga ia dapatkan tandatanda
yang mengunjuk dimana adanya Liok Sinshe. Kadangkadang
ia mendongak ke atas mengawasi diantara tebingtebing
dengan pengharapan matanya akan bentrok dengan
gerakan sesuatu disana. Tapi sia-sia saja pengharapannya,
malah cuaca pelan-pelan tanpa disadari sudah mulai gelap.
Bermula Lo In kebingungan, bagaimana ia dapat naik pula ke
atas, sedang hari sudah berubah menjadi malam " Tapi
belakangan hatinya menjadi senang.
Lo In tidak memikirkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Yang
penting, ia harus cari terus Liok Sinshe sampai dapat
diketemukan. Untuk mengisi perutnya yang lapar, Lo In sudah banyak petik
buah-buahan dimasukkan dalam perutnya. Ia rasakan lebih
segar dan nyaman perutnya diisi buah-buahan dari pada diisi
kue atau nasi. Untuk menghindarkan gangguan dari binatang buas maka
malam itu Lo In tidur diatasnya sebuah pohon yang banyak
cabang dahannya. Di atas dahan yang merupakan
pembaringan baru, mana Lo In dapat cepat-cepat pulas.
Pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat tempat-tempat
yang dijelajahinya dalam menemui Liok Sinshe, ia harus


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari suatu tempat yagn aman. Dimana ia bisa bersemedhi
setiap malam untuk meyakinkan tenaga dalamnya. Sebagai
satu anak yagn bernyali besar Lo In merasa penasaran Kim
Popo yang sudah memencet tangannya sampai ia
mengeluarkan keringat dingin.
(Bersambung) Jilid 02 Pikirnya, nanti suatu waktu kalau lwekangnya sudah mahir ia
akan cari si nenek buat diajak berkelahi lagi. Sebenarnya Lo In
belum tentu kalah kalau ia layani si nenek dengan
Anak Rajawali 8 Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Imam Tanpa Bayangan 1
^