Bujukan Gambar Lukisan 1
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 1
Bujukan Gambar Lukisan Karya : Wu Lin Qiao Zi (Tukang Kayu Rimba Persilatan).
Ini nama samaran dari Xiong Ren Ji (Hiong Jin Ci).
Diterjemahkan oleh : OKT Judul Baru cetak ulang : Lambang Penangkal Maut dan Misteri Lambang Penangkal
Maut BAGIAN I (Lambang Penangkal Maut) Jilid 1.a. Buron yang tidak disengaja
Bulan ketiga dalam musim semi, ialah bulan yang indab. Di
luar pinyu Thian-an-moei di kota Yan-khia, daun-daun hijau, bunga-bunga permai. Di
luar kota, sungai yang berbeku es baru saja lumer, hingga
potongan.potongan es mengikuti air hanyut. Hingga disaat itu,
negara bagian Utara itu mirip dengan suasana di Kang Lam,
negara bagian Selatan, selama musim semi bulan pertama,
Di waktu begitu maka pada suatu maghrib saatnya di Lioe
lie ciang orang mulai memasang api penerangan, selagi
kereta-kereta kuda berlalu lintas dan orang mundar-mandir, di
antaranya seorang muda yang mengenakan baju panjang
hijau tersulam dengan pundaknya tarselandang sabuk dan
sebelah tangannya menengteng sebuah kurungan dalam
mana ada seekor burung kenari kuning. Dia bertindak ke arah
gang Kim Hie Hotong. Dialah seorang pemuda tampan tak terlalu kurus, alisnya
bagus, matanya tajam, hidungnya bangir. Kalau dia bertemu
seorang kenalannya dan bersenyum maka terlihatlah giginya
yang putih dan rata. Senyumnya itupun menarik hati.
Anak muda itu memasuki pula suata gang lain sampai di
depan sebuah rumah besar dan indah. Dia lantas mengetuk
kedua kedua gelang pintu yang terbuat dari kuningan, pintu
mana terus dibuka oleh seorang bujang tua,
"Oh. jie-siauw-ya baru pulang!" hamba itu menyapa. Dia
berdiri tegak dengan tangan dikasi turun lurus,
"Ya!" si anak muda menyahuti, bersenyum. Terus dengan
langkah cepat dia jalan di pekarangan dalam gedung itu. Dia
tidak langsung masuk ke rumah besar hanya ke lorong
samping kanan dalam mana ada sebuah taman yang rumput
Ian pepohonan bunganya terawat baik, di mana pun ada
sebuah pengempang kecil dengan airnya yang benIng jernih,
yang sejumlah ikan emasnya lagi berenang memain
didalamnya. Di tepian pengempang itu tumbuh pohon anglioe
yang cabangnya meroyot turun.
Anak muda itu berjalan terus memasuki sebuah pintu
model rembulan, sampai di depan sebuah kamar, barulah ia
bertindak masuk. Itulah sebuah kamar tulis yang mungil dan
indah, ada para-para bukunya, ada gambar lukisannya, ada
pula empat helai pigura huruf-haruf tulisannya Ong Gie Cie yang kesohor.
Begitu tiba di dalam, anak muda itu meletaki burungnya
untuk menghampirkan para, untuk menarik keluar sejilid buku.
Cepat-cepat dia membalik-balik lembaran buku itu.
perhatiannya sangat tertarik.
,,Pasti ini, pasti gambar ini." dia mengoceh seorang diri.
"Hanya dia meminta harga limaratus tahil perak, Dari mana
aku bisa dapat uang sajumlah itu?"
Ia menjadi berdiri menjublak.
Dialah seorana anak terlahir di dalam satu keluarga
berpangkat akan tetapi apa lacur, ia telah tidak mendapatkan
kasih sayang ayah bundanya, apa pula ibu tirinya, ibu tiri itu
memandangnya seperti musuh hingga bukan kecintaan hanya
dampratan dan tongkat menjadi bagiannya. Baru dua tahun ini
keadaannya lumayan, disebabkan usia dewasanya. Toh dia
tetap dipandang mirip orang luar.
Sementara itu, selama tiga tahun lebih ini dia telah dapat
kesempatan belajar silat, secara diam-diam. Umpama kata
kelakuannya itu ketahuan orang tuanya, mungkin dia tambah
tak disukai. Tadi dia mampir di sebuah toko buku tua di Lioe lie ciang,
di sana dia dapat melihat sebuah lukisan karyanya Ong Mo Kit
yang diberi judul "Yoe San Goat Eng" atau "Bayangan
Rembulan di Gunung Sunyi." Ia tahu, lukisan itu ada
mengandung rahasia. Itulah lukisan yang ia ingin memilikinya
sampai ia buat impian selama dua tahun. Ia
ingin beli lukisan itu. Inilah yang membuatnya bingung.
Pemilik toko buku tua itu meminta harga seribu tahil perak,
ketika ia mengotot menawarnya, harga cuma diturunkan
sampai lima-ratus tahil, tak kurang lagi.
Lukisan itu ada rahasianya, apabila rahasia itu dapat
dipecahkan, harganya ada seumpama harganya sebuah kota,
dari itu, harga lima ratus tahil perak itu tidak mahal
bahkan murah. Hanya sulitnya untuk si anak muda, dari
mana ia dapat peroleh uang itu.
Kalau ia pergi kepada pemegang kas ayahnya, biasanya ia
dapat uang dari delapan sampai sepuluh tahil, tetapi lima
ratus tahil, itulah tak mungkin. Ia juga tidak dapat membuka
mulutnya! Alasan apa ia mempunyai"
Toh tidak ada jalan lain. Jumlah itu perlu didapatkan. Di
akhirnya dengan hati berdebaran, dia pergi juga kepada
pemegang kas, pegawai ayahnya yang mengurus keuangan
keluarganya. Pemegang kas itu memakai kacamata yang disebut
kacamata kura-kura, ketika si anak muda muncul di kamarnya,
dia lagi tunduk, tangan kanannya lagi mengetik shoei-phoa,
dia lagi menghitung. Dia mendengar tindakan kaki orang, dia
lantas mengangkat kepalanya, mulutnya tersungging
senyuman. Akan tetapi kapan ia telah melihat si anak muda,
lantas wajahnya berubah menjadi dingin.
Anak muda itu berdebar hati, kaget berbareng mendongkol.
Di hari-hari biasa, apabila ia melihat tampang demikian
macam dari si tukang uang, ia tentu sudah memutar tubuh
untuk berlalu pula dengan cepat. Kali ini tidaklah demikian,
kali ini ia mempunyai urusan sangat penting.
"Goe Loo-hoecu," ia memanggil terpaksa, "Sore ini aku
mempunyai keperluan, aku ingin pinjam uang sebanyak lima
ratus tahil perak. Aku tanggung akan membayar pulang
jumlah itu dalam tempo satu bulan."
Tukang uang itu melengak, dia menyingkirkan
kacamatanya dan menatap. Dia seperti tak mempercayai
telinganya. Tak lama dia mengawasi tajam, lalu ia mengasi
dengar suaranya yang keras.
"Tiong Hoa," katanya. "Aku kenal kau sampai begini besar,
maka kalau kau bicara. bicaralah dengan sedikit tahu aturan.
Selama beberapa tahun aku melihatnya kau menjadi tidak
keruan! Orang bilang di luaran kau bergaul dengan orangorang
penggemar main wanita dan penenggak air kata-kata,
hingga kau memakai uang seperti kau menuang air! Kau tahu,
ayahmu pernah bicara denganku tentang kau dan ayahmu itu
tawar hatinya.,..." Sepasang alisnya si anak muda bangun berdiri. Ia bicara
secara sungguh-sungguh tapi ia mendapat jawaban yang
diluar garis, jauh sekali terpisahnya dengan pokok soal.
"Loo-hoecoe," katanya sengit. "Siapa sudi mendengari
ocehan ini" Kau bilang, kau suka mengasi pinjam atau tidak?"
Pemegang kas itu juga membawa adatnya. Lantas saja dia
berludah, "Tidak! Tidak!" tolaknya keras, "Jangan kata lima tahil,
sepeser pun tidak! Jangan harap kau dapat merabanya! Orang
tak punya guna seperti kau ini...hm!.."
Hebat kata-kata itu, meluaplah darahnya si anak muda.
Tahu-tahu sebelah tangannya sudah menyamber ke dasa si
tukang uang, keras suaranya, keras juga akibatnya, tukang
uang itu terpental ke pojok tembok!
Goei Loo-hoe-coe berkoseran.
"Tiong Hoa! Lie Tiong Hoa!" dia berseru, tangannya
menuding, dia mencoba merayap: ''Kau,. .kau ...kau kejam..!"
Cuma sebegitu pemegang kas ini dapat berkata-kata, terus
dia roboh pula, terus napasnya berhenti jalan.
Anak muda itu melengak, kagetnya bukan main. Semenjak
ia belajar silat. inilah yang
Pertama kali ia menggunai tangannya.Sebenarnya ia tidak
tahu betapa besar tenaganya dan ia tidak tahu juga yang ilmu
silat dapat meminta jiwa orang secara begitu rupa. Ia belajar
silat pada seorang guru yang melarat dan berpenyakitan.
Guru itu membilangi muridnya ini bahwa dialah bukan
seorang Kang ouw yang berkenamaan, bahwa dengan belajar
silat padanya, ia jangan harap dapat menjadi seorang pandai,
ia cuma diajari dasarnya untuk menjaga diri, tak dapat dipakai
menghajar orang. Tapi ia diberitahukan ia mempunyai bakat
baik, sayang kalau ia terus belajar padanya, dari itu ia
dinasehati merantau. "Dunia Kang ouw mempunyai banyak orang lihay, mungkin
kau ketemu jodohmu!" demikian guru itu. Dengan jodoh itu
dimaksudkan ahli silat terpandai.
Kemudian, ketika si guru hendak menutup mata, dia
memberitahukan muridnya ini halnya suatu gambar rahasialukisan
Yoe San Goat Eng itu oleh Ong Mo Kit dari jaman ahala
Tong. Katanya Iukisan itu menyimpan rahasia besar, dan
bahwa ia sudah mencarinya untuk banyak tahun tetapi belum
berhasil menemuinya. Maka si murid
Dipesan untuk memperhatikan lukisan itu, katanya pula,
rahasianya lukisan dapat dipecahkan jikalau orang
memahamkan judul dan tulisan yang diberikuti di dalam
lukisan tersebut. Pesan itu diperhatikan Lie Tiong Hoa, demikian anak muda
ini. Sejak itu ia terus memperhatikan, baik di dalam toko-toko
buku, baik di rumah-rumah gadai, mau pun di rumah-rumah
orang hartawan dan bangsawan begitu ia mendapatkan
ketikanya. Akhir-akhirnya di took buku tua itu ia mendapatkan
sehelai lukisan tua jaman Tong, gambarnya sudah berwarna
kuning dan guram, tetapi ia masih melihat nyata, selang dua
jam memeriksa, ia pastikan itulah lukisan yang ia cari. Maka ia
lantas menawarnya. Tukang-tukang loak biasa bermata tajam, juga tukang loak
ini, melihat si anak muda sangat bernafsu, dia minta harga
tinggi itu, dia menancap paku, hingga Tiong Hoa habis daya,
hingga ia mesti pulang dengan hati bingung memikirkan
kemana ia mesti mencari uang. Demikian setibanya di rumah,
ia memeriksa dulu sebuah kitabnya, habis itu baru pergi
kepada Goei Loo-hoecoe. Siapa tahu, ia mendapat hidung
panjang sampai darahnya naik dan terjadilah pembunuhan
tidak disengaja itu. Syukurlah suara berisik itu tidak didengar para bujang. Ia
merasa untuknya tidak ada lain jalan daripada kabur buron.
Inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat hebat. Ia
juga tidak mempunyai sahabat yang nasihatnya dapat diminta.
Setelah dapat menahan berdebaran hatinya, ia angkat
tubuhnya tukang uang itu untuk diletaki di kolong
pembaringan. Tak dapat ia melupakan lukisannya Ong Mo Kit itu. Maka ia
menghampirkan laci uang dan menarik kotaknya. Ia menjadi
menyesal ketika ia dapat kenyataan uang kas berjumlah tak
cukup dua ratus tahil. Tapi ia mesti buron, ia membutuhkan
uang, yalah uang ayahnya. Maka ia samber uang itu, yang ia
bungkus dengan sobekan sabuk, tanpa kepergok siapa juga, ia
lolos dari pintu taman di belakang rumahnya.
Tiba di jalan besar, suasana jauh lebih ramai daripada tadi,
tapi ia tak sempat ia menikmati keramaian itu, Dengan
terburu-buru ia menuju ke Lioe lie-ciang, diamana keadaan
lebih ramai pula. Di situ ada berbaris belasan toko buku tua, ia
masuk ke sebuah yang terletak di ujung gang Soan-hoo.
Si tukang loak sudah berumur tujuh puluh tahun lebih,
ketika itu dia lagi berdiri di depan pintu, matanya mengawasi
orang-orang yang berlalu lintas, mengharap-harap
memperoleh langganan. Dengan tangan kirinya mengurut-urut
kumisnya yang mirip jenggot kambing gunung. Dia melihat
Tiong Hoa dating bergegas-gegas, ketika dia hendak menegur,
tangannya disamber terus dia ditarik ke dalam.
Setibanya di dalam, Tiong Hoa meletakkan bungkusannya
di atas meja, terus ia buka untuk memperlihatkan uang
perakannya yang bergemerlapan. la paksakan diri untuk
tertawa ketika ia kata; "Inilah jumlah yang aku dapat kumpul dengan susah
payah, aku harap kau terima ini dan kau serahkan gambar
lukisan Ong Mo Kit itu padaku!"
Sebagai pedagang kawakan, tukang loak itu heran hingga
dia menjadi curiga mungkin uang itu tidak keruan asalusulnya.
"Lie kongcu, maaf," ia berkata, "Aku tidak tahu kau begini
menghendaki lukisan itu, kalau tahu suka aku
menghadiahkannya kepada kau, saying sekali, tadi baru saja
ada lain orang yang membelinya..."
Tiong Hoa terperanjat sampai mukanya berubah pucat.
Inilah ia tidak sangka sekali. Hatinya mencelos berbareng
mendongkol. Ia putus asa barbareng gusar.
"Lie Kongcu, aku menyesal sekali," kata tukang loak itu,
yang kaget melihat wajah orang muda itu. "Aku menyesal
membuat kau putus asa, lain kali, kalau ada lagi lukisannya
Ong Mo Kit, pasti aku akan menyerahkannya kepada kau lebih
dulu...Ah, ada tetamu lagi, maaf, aku mau melayani dia."
Dan dia terus memutar tubuhnya untuk pergi ke depan.
"Tunggu dulu!" Tiong Hoa kata, berbareng denganmana ia
menyamber tangan kirinya tukang loak itu. Terus ia
mengawasi dengan mata bersinar. la tanya. "Siapa pembeli
itu?" Benar-benarkah?"
"Benar! Kenapa tidak!" sahut si pemilik took buku itu,
"Belum pernah aku mendusta pada langgananku, apa pula
kepada kongcu. Mustahil uang dating aku tampik.."
Dia berkata begitu tetapi berjengit, dia kaget. Keras cekalan
si anak muda hingga dia merasa sakit.
"Ngacoh. Kau tentu tak suka menjual sebab uangku
kurang." Mukanya tukang loak itu pucat, dia meringis.
,.Benar, kongcu." kata ia pula. "Pembeli itu berumur kurang
lebih empat puluh tahun, lagi suaranya mirip orang Tien ciu. Dia membelinya buat
seribu tahil perak. Dia mempunyai dua orang pengikut yang
menyoren golok. Mendengar panggilannya pengikut itu, dia
mestinya seorang po cu. Jikalau aku tidak salah melihat,
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dialah seorang Kangouw...."
Dia mengawasi si anak muda, hatinya kebat kebit. Dia
melihat sinar mata anak muda itu yalah sinar bingung,
menyesal, putus asa dan gusar bercampur menjadi satu.
Tiong Hoa sendiri berpikir: "lnilah tak mungkin. Guruku
membilangi aku, orang yang mengetahui lukisan rahasia itu
cuma tiga orang tua tapi mereka pun masih belum tahu
artinya rahasia itu. Hal itu guruku juga mendengarnya dari
seorang kenamaan lain. Di sini mesti terjadi hal kebetulan...."
Anak muda ini menjadi sangat berduka memikir nasibnya.
Dari kecil ia tak disukai ayah ibunya, sedang ibunya itu sudah
menutup mata lama hingga ia mesti hidup bersama ibu tirinya.
Orang tua itu sebaliknya menyayangi anak-anaknya yang lain,
pria dan wanita, terutama kakaknya. Karena itu, ia menjadi di
biarkan saja, ia cuma diberi makan dan pakaian. la sempit
dalam keuangan, tidak leluasa ia menampung gurunya yang
malarat itu. Ketika ia diajari silat, ia tidak diajari seperti
umumnya orang orang lain. Sembari rebah gurunya
memetakan dengan tangan dan kakinya, dengan sebatang
sumpit sebagai genggaman. Maka itu, sulit ia belajarnya.
Meski begitu karena ia berbakat dan cerdas ia memperoleh
banyak, ia melainkan tidak tahu bahwa pelajaran itu adalah
pelajaran silat berarti. Mengenai lukisan itu, ia dipesan mesti mencarinya, tak
perduli bagaimana sukarnya. Ia pun ditinggali surat wasiat,
surat mana tak boleh dibuka sebelum ia dapat lukisan itu.
Itulah tugas berat untuknya, yang muda dan tak
berpengalaman, yang tak punya uang juga. Tapi ia ingat itu
baik-baik dan ingin melakukannya hingga menjadi kenyataan
agar pesan gurunya dapat diwujudkan. Pula semenjak ia
belajar silat, semangatnya telah terbangun.
Sekarang, karena kecewa atas lenyapnya lukisan itu, ia
putus asa hingga hatinya menjadi panas. Ia piker tukang loak
ini manusia busuk dan serakah. Kenapa lukisan itu dijual pada
lain orang" Dengan begitu, tanpa dikehendaki, ia telah
menjadi seorang pembunuh.
"Dapatkah tukang loak ini dibebaskan?" pikirnya lebih jauh,
"Tidak!" Pembunuhan atas diri Goei Loo-hoecoe pasti akan
tersiar, sedikitnya besok. Tukang loak ini telah melihat uang
ini, dia pasti akan menduga aku, dan tentu dia bakal
membuka rahasia..." Tanpa merasa, Tiong Hoa memencet keras tangan tukang
loak itu. "Aduh. Tolong...." Tuan rumah menjerit.
Dengan tangan kiri Tiong Hoa mendekap mulut orang. Ia
sengit dan takut juga. Tukang loak itu tak berdaya, matanya mengawasi dengan
sorot ketakutan. Dia tidak dapat berontak, dia tidak bisa
berteriak. Mulutnya terdekap rapat.
Sang waktu berjalan, Tiong Hoa heran waktu kemudian ia
dapat kenyataan pemilik took buku itu diam saja, tubuhnya
menjadi lemas, mukanya pucat. Akhirnya ia menjadi kaget
sekali. Tahu-tahu orang telah putus napasnya.
"Ah..." ia mengeluh, sedang peluhnya lantas membanjiri
jidatnya. Ia kuatir bukan main. Lagi satu jiwa melayang di
tangannya melayang tidak keruan rasa.
"Lari!" itulah ingatan yang segera berkelebat di batok
kepalanya. Dengan sebat ia bungkus pula uangnya, ia memutar
tubuhnya. Hatinya sangat tegang, ia bergelisah.
"Tuan toko,." tiba-tiba ia mendengar suara memanggil dari
luar. la mendengar tindakan kaki orang. Dengan bingung ia
bertindak cepat sekali. la bersamplokan dengan seorang di
muka pintu. Mendadak ia menotok jalan darah thian kie, orang
itu, sampai dia itu mengeluarkan suara tertahan, tubuhnya
terus roboh. Ia tidak memperdulikannya, ia lari terus. Di lain
saat lenyaplah ia diantara orang banyak di jalan besar.
Malam itu malam yang indah. Langit bersih, si Putri Malam
permai. Dari gang Soan hoo, took buku tukang loak di Lioe lie-ciang
itu, Tiong Hoa menyingkir terus. Ia baru berhenti setelah tiba
di paseban To Jian Teng di Lam-hee-wa. Tadi ia kabur tanpa
memilih tujuan. Ia meluruskan napasnya yang memburu, ia menenangi
hatinya yang guncang keras. Sembari berpegangan pada
loneng, ia melihat syair di paseban itu, bunyinya : "Menyesal
aku bukan pelukis, yang dapat melukis gambar di waktu
malam, mendengari suara musim rontok"
Ah, hebat sekali....pikirnya. Aku menerbitkan onar ini cuma
disebabkan aku terkena bujukan gambar lukisan. Ini baru
permulaannya saja, bagaimana nanti akhirnya"
Tiong Hoa kenal baik paseban To Jian Teng. Bersama
beberapa sahabatnya pernah ia pelesiran di sini, minum arak
dan benyanyi-nyanyi, Sekarang ia dataag pula dalam
kesunyian, dengan hati yang berat.
Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan
pepohonan yang lebat, yang daunnya tersilirkan angin. Ia pun
menyaksikan air telaga yang jernih dimana sang rembulan
berbayang. Kalau di kejauhan terlihat sinar api maka di atas
langit bintang-bintang berkelak-kelik.
"Aku mesti pergi sekarang," katanya kemudian dalam
hatinya. "Tak dapat aku betrayal hingga pintu kota nanti
keburu ditutup. Kalau pembunuhan itu tersiar, biarnya aku
bersayap tidak bisa aku terbang.."
Maka ia menenteng bungkusannya, ia bertindak kea rah
barat. Selama berjalan, terus ia belum bisa merasa tenteram.
Tentang kematiannya si pemegang kas dan pemilik took buku
tua itu, ia tidak menyesal. Ia merasa mereka itu pantas
mendapat bagian. Ia menyesal untuk orang yang ia totok
selagi ia mau kabur itu. Orang itu tidak bersalah dosa. Maka ia
harap dia itu cuma pingsan dan jiwanya tidak terancam
bahaya maut. Tengah berlari-lari, Tiong Hoa berpapasan dengan empat
orang. Rupanya mereka itu sedang sinting terpengaruh air
kata-kata. Jalannya mereka terhuyung-huyung. Oleh karena
membelakangi rembulan, muka mereka itu tak terlihat tegas.
Dengan cepat ia lewat di samping mereka itu.
"Saudara Tiong Hoa! Saudara Tiong Hoa!" satu diantara
keempat orang itu memanggil-manggil. Lalu panggilan itu
diulangi oleh tiga yang lain.
Tiong Hoa heran. Ia sudah lewat setombak lebih tapi ia
menghentikan tindakannya. Ia sekarang mengenali suara
orang. Lekas ia menghampirkan.
"Oh, saudara Toan!" katanya. "Gembira kamu menggadangi
si Putri Malam! Tapi aku mempunyai urusan, aku mesti ke luar
kota, maka itu besok saja aku menemani kamu!" Ia member
hormat, lalu membalik tubuh, untuk melanjuti perjalanannya.
Jilid 1.2. Hitam makan hitam
"Ah, mana bisa" kata orang yang pertama memanggil itu,
Dia terus lompat untuk untuk mencekal lengan orang Dia
bermuka merah tandanya benar ia habis banyak minum.
Dengan mata kedap-kedip. dia mengawasi si orang she Lie.
Tiga yang lain lantas merubung.
Tiong Hoa tidak puas melayani keempat orang itu ia kenal
mereka sebagai anak-anak orang berpangkat, yang
biasaberpelesiran saja, karena mereka pa da memelihara guru
silat, mereka belajar juga sedikit.
Biasanya mereka tak memandang mata kepadanya, dari
itu, jadi ia pun tak sudi bergaul dengan mereka, ia tidakpuas
orang memegat ia selagi iaperlu lekas- lekas mengangkat kaki.
"Kau bergegas-gegas pergi ke luar kota, saudara Tiong
Hoa, kau tentu mempunyai urusan baik" kata orang yang
mencekal tangannya itu, Dialah Toan Kong, anak yang didapat
dari gundik dari Toan Kwee yang berpangkat pouw-koen tongnia,
komandan pasukan tentara berjalan kaki, "Kenapa kau
tidak mengajak kami ramai-ramai?"
Tiong Hoa bingung hingga ia berdiri diam saja. seorang lain
merabah-rabah bungkusan uang, dan menepuk nepuk. "Hai,
uang begini banyak." serunya, "Dari mana uang ini?"
"Dasar sial," pikir Tiong Hoa, bingungnya bertambah Kalau
besok mereka dengar kematiannya si tukang uang, pasti
mereka ini menduga aku... Kalau aku dituduh menjadi
pembunuh, bagaimana itu"
"Saudara Tiong Hoa, tidak benar sikap kau ini." Toan Kong
menegur, "Kita bersahabat kita mesti hidup bersama, senang
dan susah mesti bersama juga sekarang kau mempunyai
banyak uang, kau melupakan kita, Tempo kau tidak punya
uang, kita toh ajak kau turut pelesir juga" Bukankah aku
belumpernah tolak kau?"
Tiong Hoa mendelu itulah gangguan untuknya, ia pun sebal
untuk kelakuan mereka itu, ia nampak sabar tetapi
sebenarnya ia berhati keras dan memiliki keangkuhan juga.
"Toan Kong, jangan ngaco-belo." ia menegur, "Maaf, aku
siorang she Lie tak dapat menemani kau." ia lanias berontak
hingga sahabat itu terhuyung tiga tindak dan telapak
tangannya terasa sakit. Toan Kong terkejut ia heran kenapa Tiong Hoa bertenaga
demikian besar. ia lantas mendusin dari sintingnya, hingga ia
jadi mendongkol. "Mari." dia mengajak tiga temannya, "Dia punya banyak
uang, dia jadi banyak lagak. Mari kita hajar padanya, aku mau
lihat, tulang lunaknya dapat berubah menjadi kaku atau
tidak." Memang benar, Tiong Hoa biasa dijuluki si tulang lunak
Tapi sekarang ia menjadi mendongkol dan gusar, Maka itu,
justeru Toan Kong maju menghampirkan, ia lantas
menyambut dengan tinjunya kedada orang.
Putera tongnia itu mengerti sedikit silat, dia berkelit, tetapi
dia kurang sebat, dia kena terserempet hingga dia kesakitan.
Tentu sekali dia menjadi tambah gusar, Berbareng dia heran
sekali sedang dia tahu orang biasanya tidak mempunyai guna.
Ketiga kawannya heran juga, inilah yang pertama kali Tiong
Hoa berkelahi, tak heran dia kurang Iincah. Dia belajar silat
juga mirip orang belajar teorinya saja, sedang ilmu silat
membutuhkan latihan praktek berikut pengalaman.
Toan Kong menjadi gusar sekali. Dia memang
biasadimanjakan Lantas dia menyerang pula, beruIang-ulang
secara sengit. Dia menggunai ilmu silat "Tiang Keen" atau
Kepalan panjang dari BoeTong Pay, Dia juga berkaok-kaok.
Didesak begitu, Tiong Hoa jadi panas hatinya, maka
bukannya ia mundur, ia justeru maju, jurus jurus dari ilmu
silat sian Thian, Thay U Ciang.
Toan Keng lantas terpukul mundur. Dia heran hingga dia
menjublak. Justeru itu, lengannya kena disamber dan
ditangkap. sekarang dia menjerit bahna kesakitannya merasa
seperti dicengkeram gaetan baja, tak tahan dia, dia pingsan
dan roboh. Ketika kawan itu kaget.
"Pembunuhan Pembunuhan" mereka berteriak-teriak.
Tiong Hoa kaget, ia ingat ancaman bahaya, Tanpa
memperdulikan lagi Toan Keng, dia mengangkat langkah
seribu, Baru dia lari belasan tombak. dia merasa ada
bayangan yang melesat lewat disisinya ia tidak perhatikan itu,
ia mengira ini disebabkan matanya terganggu dan matanya
kabar, terus ia kabur keluar dari kota Yan-khia. Dengan begitu
maka tertariklah ia mesti hidup dalam perantauan.
ooQoo BAB2 KlRA jam tiga mendekati fajar, bintang-bintang mulai
guram dan rembulanpun kelam di barat di antara gumpalangumpalan
mega hitam, hingga jembatan Louw Kouw Hio
tertampak samar-samar melintang di atas sungai Yang. Tiong
Hoa Ketika itu air pasang. potongan-potongan es yang pecah
beradu nyaring satu dengan lain, Angin yang dingin meniupi
pohon-pohon yang-lioe di tepian.
Justeru itu waktu, seorang anak muda, yang romannya
pucat, lagi berdiri didepan loteng dengan mata mengawasi
jauh. Dia membungkam. "Kelihatannya banyak orang tak dapat dipercaya," dia
berpikir "Guruku sendiri, sikap dan kelakuannya aneh."
Ia berpikir begini sebab ia ingat gurunya mengaku ilmu
silatnya tak tinggi, namanya tak terkenal dalam dunia Kang
ouw atau sungai Telaga, bahwa ilmu silatnya dipelajarkan
untuk membikin kuat tubuh saja, bukan buat berkelahi tapi
buktinya sekarang ia dapat membunuh orang, ia pula heran
mudah saja ia mengalahkan Toan Keng si murid Boe Tong
Pay. Bahkan mungkinputera tongnia itu terbinasa akibat tinjunya
ini... Tiong Hoa tidak tahu, kepandaiannya Toan Keng baru kulit
saja dari ilmu silat sedang gurunya bicara secara merendah,
guru itu tidak mau memuji padanya dikuatir ia menjadi
berkepala besar, ilmu silat tak ada batasnya, kalau orang
berjumawa, dia bisa dapat susah. Guru itu ingin muridnya
insaf perlahan-lahan. Anak muda ini menarik napas panjang untuk melegakan
hatinya yang pepat, Lalu ia ngelamun perlahan "Tahun dan
bulan lewat terus, air tetap mengalir, semua tanpa batas atau
tempat berhentinya, semua berumur sama kekalnya seperti
langit dan bumi, Akan tetapi manusia, hari-hari kehidupannya
tak banyak.... Maka itu aku, jikalau aku tidak lekas menggunai
ketika ku, untuk membangun sesuatu apabila aku menantikan
saja musim semi datang dan musim dingin pergi, pasti aku
bakal menyesal seumur hidupku." Tapi, kapan ia ingat ia tak
berdaya, tanpa merara airmatanya mengalir keluar.
Tiba-tiba dari arah belakangnya ia mendengar suara yang
dalam ini. "Anak muda yang tak bersemangat. Nangis, Apakah
tangismu dapat memecahkan soal?"
Tiong Hoa terkejut, Gesit luar biasa, ia memutar tubuhnya.
ia melihat satu orang berdiri di depannya. Menampak muka
orang itu, ia terkejut puI a, itulah sebuah muka buruk sekali
dan menakuti. sepasang mata yang merah seperti mencelos
keluar, bersinar bengis. Muka buruk itu seperti ketutupan berewok ubanan, hingga
terlihat saja gigi giginya yang mirip caIing, Tubuh orang kasar
dan besar seperti tubuh itu ditutup baju panjang warna hitam
yang setinggi dengkuI. Baju itu berkibaran diantara sampokan
angin malam. orang aneh itu tertawa ketika dia melihat si
anak muda seperti jeri hatinya.
"Anak muda, jangan takut." dia kata, "Aku si orang tua
manusia, bukannya memedi, Kau mempunyai kesulitan apa"
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mari tuturkanpadaku, Mungkin aku dapat menoIong pecahkan
kesulitanmu itu, Lekas bicara, aku masih mempunyai urusan
penting yang mesti diselesaikan."
Tiong Hoa tak sudi menerima budi, ia menggeleng kepala.
"Tak dapat kau pecahkan kesulitanku itu, loojinkee." ia kata
masgul. "Aku telah membunuh orang" ia membahasa kau "loo-jinkee."
artinya orang tua yang dihormati
Nampak orang itu melengak tapi segera dia tertawa lebar,
Nyaring tertawa itu. bagaikan melayang ke udara, lalu
berkumandang. Ketika dia sudah berhenti tertawa, dia
menatap tajam dengan sinar matanya yang bengis itu.
"Aku si orang tua kira perkara hebat bagaimana" katanya
acuh tak acuh, "Membunuh orang itu apakah yang aneh"
sekarang ini aku sudah berumur enampuIuh lima tahun,
kurban jiwa ditanganku tak terhitung jumlahnya. Toh tak
pernah aku merasa tak tenteram hatiku" Dia tertawa pula,
lama. Tiong Hoa bergidik. "Mungkin dia edan-" pikirnya, "Katanya membunuh orang
itu tak aneh." Kembali orang tua itu tertawa, menyeramkan
suaranya. "Aku mengerti sekarang" dia berkata pula untuk kesekian
kaIinya. "Kau mengalirkan air mata disini sebab kau tidak
mempunyai jalan kemana kau dapat pergi, tapi ingatlah,
seorang laki-laki rumahnya ada di empat penjuru
lautan,jikalau kau tidak mencela aku, mari kau turut aku, aku
jamin seumur hidupmu kau akan hidup senang dan damai."
Anak muda itu heran, ia mendengar lagu suara orang itu
mirip lagu suara orang propinsi Hoolam, Tiba-tiba hatinya
tergerak. Mendadak ia ingat lukisan Yoe san Goat Eng - Bayangan
rembulan di gunung sunyi.
Bukankah si tukang loak bilang lukisan itu dibeli seorang
yang bicara dengan lidah Tiong- cioe dan bahwa pembeli itu
mungkin seorang poocoe, pemilik dari sebuah perkampungan"
Kenapa ia tidak mau turut orang tua inipergi ke Hoolam, guna
sekalian mencari lukisan ilu" Dengan cepat ia mengambil
keputusannya. "Cuma aku kuatir membikin kau berabe, loojinkee." ia kata.
Orang tua itu tertawa berkakak.
"Nah, mari kita berangkat" dia mengajak. Dan dia
mendahului bertindak pergi.
Tiong Hoa mengikuti. Baru balasan tombak, ia menjadi
heran, Nampaknya si orang tua jalan perlahan, buktinya
cepat, ia ketinggalan di belakang. ia bertabiat keras, taksudi ia
nanti dikatakan si lunak oleh orang tua itu, Maka ia menyedot
nafas, lantas ia jalan cepat. Ya, ia berlari lari.
"Dia mesti mengerti silat dan pandai juga," pikir Tiong Hoa
sambil mengikuti. Seumurnya belum pernah pemuda ini bercampur gaul
dengan orang Kang ouw atau Lok Lim--Rimba Persilatan,
belum dapat ia membedakan orang liehay atau tidak. tak ia
mengagumi orang tua yang suka menjadi sahabatnya ini, ia
belum mempunyai kepercayaan atas dirinya, dengan
mengagumi orang, ia seperti merendahkan dirinya sendiri.
Sekarang Tiong Hoa mulai mengerti gunanya ilmu ringan
tubuh yang diajari gurunya.
Ilmu itu diberi nama Hong Hoei ie soat artinya, BianglaIa
terbang, Mega berputar. Dengan menggunai ilmu ringan
tubuh itu, tubuhnya menjadi enteng, dia dapat lari cepat--
makin lama makin cepat, Baru setelah peroleh kenyataan ini,
ia dapat bersenyum. Si orang tua lari terus, sejak mula-mula belum pernah dia
menoleh satu kali pun. Toh ia memperlihatkan sinar heran,
inilah sebab, walaupun dia tidak pernah berpaling tetapi
telinganya dapat mendengar suara orang berlari-Iari dan dia
memperoleh kenyataan si anak muda tak ketinggalan jauh.
Maka dia menduga ilmu ringan tubuh pemuda itu tak dapat
dicela, Dia merasa, pemuda itu tinggal membutuhkan latihan
lebih jauh, agar larinya tak memberi suara lagi, yalah apa
yang kalangan persilatan heng in tioe soet-- mega berjalan, air
mengalir. Lama- lama Tiong Hoa bermandikan peluh dan bemapas
mengorok ia dapat kenyataan orang tua itu bukan mengambil
jalan besar hanya menerabas tegalan dan hutan, lantaran ia
mendapatkan pohon-pohon terlewatkan di sisinya.
"Eh, anak muda, kau sudah letih atau belum?"
Itulah pertanyaan tiba tiba dan untuk pertama kalinya dia
menoleh, sedang tindakannya juga dikendorkan, akan
akhirnya dia berhenti sendirinya. Lalu dengan sinar matanya
yang aneh, dia menatap kawannya yang mandi keringat itu,
terus dia tertawa geli, dengan ramah ia menanyai
"Dari mana kaupelajarkan ilmu larimu ini" itulah tak dapat
dicela" Tiong Hoa berhenti berlari, dengan tangan bajunya ia
menyusut peluhnya, ia merasa napasnya berjalan cepat sekali,
tapi ia lekas menjawab. "Loojin kee memuji aku, aku saja." katanya. "Aku
pelajarkan ini tiga tahun dari seorang guru yang tidak
mempunyai nama, Di banding dengan kepandaian loojinkee,
aku terpaut jauh sekali."
Orang tua itu menganggukperlahan, mukanya bersenyum.
"Kau benar", dia bilang, "Aku baru menggunai tujuh bagian
kepandaian, toh kau harus dipuji."
Tiong Hoa mengucap terima kasih. Melihat si orang tua
begitu ramah-tamah, ia menjadi suka bicara, sekarang tak lagi
ia merasa jeri atau jemu untuk roman orang yang buruk
itu,Bahkan dari pembicaraan tetamunya, ia mendapat tahu
she dan namanya orang tua itu, yalah Song Kie dan gelarnya
Koay-bin jin-him. Manusia Biruang Bermuka Aneh.
Berbareng dengan itu, si orang tua juga ketahui she dan
namanya serta riwayat hidupnya yang tak menyenangkan itu.
Tiong Hoa tidak mentertawakan julukan yang aneh itu,
yang sesuai dengan kenyataan, ia bahkan berlaku hormat,
kelakuannya itu cocok dengan tabiat si orang tua.
Biasanya, siapa mencela muka atau julukannya itu berarti
celaka untuk dirinya, ssbab ia benci-mulut jail.
Denganperkenalannya dalam tempo yang singkat ini. Tiong
Hoa masih belum tahu bahwa Koay-bin Jin-Him Song Kie
menjadi salah satu dari liong cioe, yang namanya sangat
kesohor dalam Rimba Persilatan. Baik kaum Pek too, jalan
putih, maupun golongan Hek-too, jalan Hitam, semuanya jeri
kepadanya apabila mereka berurusan dengan si Manusia
Biruang Bermuka Aneh yang sangat dihormati dan dimaIui.
Kalau Tiong Hoa ketahui ini, mungkin tak
sudi ia mengikuti dia. Orang tua itu mengeluarkan sebuah gandul air dari
sakunya, ia gelogoki ke dalam mulutnya, kemudian ia
membagi air minum ttu kepada si anak muda. Habis itu dia
mulai bicara pula. Lebih dulu ia menatap orang, agaknya dia
bersangsi, baru dia menanya:
"KauIah seorang anak sekolah, mengapa kau membunuh
orang" Apakah kurbanmu itu musuh besarmu dengan siapa
kau tak sudi hidup bersama di kolong langit ini?"
Tiong Hoa menggeleng kepalanya. "semuanya bukan."
sahutnya. "itulah kesalahan bunuh."
Song Kie menatap pula tajam.
"Kau jujur," katanya, "sebenarnya membunuh orang bukan
hal yang terlalu mengherankan, Aku juga telah membunuh
banyak orang, diantaranya ada yang tak selayaknya mati.
Hanya lah telah menjadi tabiatku, jikalau aku membunuh, tak
dapat aku membuat bocor tentang ini. perlahan-Iahan kau
bakal mengerti sendiri. Berkasihan terhadap musuh berarti
menanam bencana untuk diri sendiri"
Tiong Hoa mengangguk tanpa membilang suatu apa. ia
menerima baik jalan pikiran orang itu sedang di dalam hatinya
ia berkata: "Apakah artinya kata katamu ini" Mustahilkah
semua orang harus dibunuh" Bukankah kalau kau berlaku
telengas, orang memb atasnya kejam" permusuhan atau
balas- membalas toh tak ada batas habisnya" Aku berbuat
keliru, aku malu dan menyesal tidak sudahnya... di dalam
hatiku yang bersih menjadi ada bayangan yang memb uatnya
selalu tak tenang." Maka ia merasa anjuran Koay-bin Jin Him dapat membuat
ia rusak tanpa ada obat dapat menyembuhkannya. Tapi
segera ia berpikir pula. "Asal diriku putih- bersih, perduli apa
aku bercampuran dengannya" Asal aku tidak turut ternoda.
Aku mesti bisa membawa diriku"
Song Kie tidak memperhatikan jalan pikiran orang, dia
melihat langit, untuk mengetahui sang waktu.
"Mungkin mereka akan sudah datang..." katanya seorang
diri terus dia berpaling dan berkata: "Mari." ia menggeraki
tubuhnya untuk menjejak tanah, maka melompatlah ia kearah
kanan, bagaikan burung terbang melayang, sebentar saja ia
telah melalui beberapa tombak.
Menampak kepesatan orang Tiong Hoa kagum, ia lantas
menyusul, ia tidak dapat membada arti katanya orang itu, ia
cuma menduga itulah mesti ada maksudnya. ia berlari-lari
mengikuti dengan tetap menggunai ilmu ringan tubuh Hoei
Hong in soan. Mereka lari mendekati sebuah bukit kecil. Di atas itu Song
Kie berdiri dibawah sebuah pohon pek yang matanya menatap
jauh ke depan, Tiong Hoa menghentikan larinya sejarak lima
tombak, lalu dengan tindakan perlahan, ia menghampirinya. ia
menoleh ke sekitarnya, yang merupakan kuburan belukar,
banyak pohon yang kate. siputeri malam sudah doyong
kebarat, maka pepohonan itu memperlihatkan bayangan
bagaikan hantu-hantu yang bergerak-gerak tak mau diam,
Burung-burung malam mengasi dengar suaranya yang
menyeramkan. Berdiri di sisi si Manusia Biruang Bermuka Aneh, Tiong Hoa
menasang mata mengikuti mata orang itu. Di sana, di bawah
bukit, ada sebuah jalan umum bertanah kuning yang berlegat-
Iegot bagaikan seekor ular, sunyi senjap jalan umum itu.
"Heran," pikirnya, ia melirik dan mendapatkan roman Song
Kie berdiri terus berdiam, dia membiarkan si anak muda
berdiri di sisinya itu. Tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang terbawa angin
malam, terdengarnya jauh lalu dekat, suara itu tambah
menyeramkan. Tanpa merasa, Tiong Hoa bergidik, Song Kie
berpaling kearah dari mana suara itu datang. "Benar-benar
mereka datang?" katanya pula seorang diri.
"Siapa?" tanya Tiong Hoa tanpa merasa.
Song Kie menoleh, mengawasi tajam. ia tidak menjawab. ia
berpaling pula kearah tadi.
suara tadi itu terdengar pula, makin dekat. segera
tertampak lima orang bagaikan bayangan berlari-lari
mendatangi. cepat luar biasa, sampailah mereka itu. semua
lantas berdiri diam dan hormat di samping Song Kie.
"Apakah mereka sudah berhasil?" tanya Koay-bin Jin Him,
suaranya dalam. Salah seorang umur belum empat puluh, yang tubuhnya
jangkung kurus, menyahuti. "Mereka sudah berhasil, Karena
rapinya rencana kita pihak Pangeran tokeh menyangka itulah
perbuatan mereka itu, Lagi setengah jam, mereka juga akan
datang kemari, di antaranya ada seorang yang liehay
menyulitkan. Dia lah sam ciou-ya Cee-tan-Siauw-go si Memedi
bertangan tiga. Tongkee, apakah kita tetap dengan rencana
kita?" Song Kie cuma mengasi dengar suara dingini "Hmm"
Kelima orang itu sudah lantas mengawasi Tiong Hoa, sikapnya
tawar. "Tongkee, siapakah dia ini?" tanya si-jangkung kurus.
"Dia" oh Dialah penulisku yang baru, sekarang kamu boleh
pergi" jawaban itu dingin.
Lima orang itu menyahuti, "Ya." tampak semuanya lari
turun gunung, Tiba di jalan umum, mereka berhenti, agaknya
untuk menantikan sesuatu.
Tak senang Tiong Hoa melihat roman dan sikapnya kelima
orang itu, ia mendapat kesan orang berbau setan, sinar mata
mereka itu sangat memandang tak mata kepadanya, ia
menjadi tak tenteram hatinya.
Song Kie menoleh perlahan-lahan kepada si anak muda,
Dia kata, sabar: "Anak muda, sekarang ini kau masih
kekurangan nyali, di dalam rombongan kami, tanpa nyali
orang tak dapat bekerja. Lebih baik kau pergi turun untuk
menambah pengetahuan dan pengalamanmu."
Mendadak Tiong Hoa dipengaruhi sifat mau menang
sendiri, tak mau kalah, tanpa mengatakan sesuatu, ia pergi
turun. ia berjalan dengan cepat. Kelima orang itu melihat
datangnya anak muda ini, tetap mereka bersikap dingin.
Tiong Hoa berdiri dengan menolak pinggang, ia membawa
sikap jumawa ia sengaja mengawasi ke depan, tak mau ia
menghiraukan mereka itu. "Eh, Mau apa kau datang ke sini?" si jangkung kurus
menegur. Dia heran maka dia memecah kesunyian
Tiong Hoa tetap memandang kedepan, tak ia menoleh.
"Aku?" sahutnya. "Aku dititahkan tongkee mengawasi
kamu." Tong-kee itu panggilan pada ketua.
Si jangkung kurus menyeringai, romannya jadi bengis. Dia
mengangkat tangannya perlahan-lahan-
"Toako," mendadak berkata salah satu kawannya. "Apakah
kau merasa pasti tongkee tidak bakal mempersalahkan kau?"
"Hm," bersuara sijangkung kurus, dan ia menurunkan
tangannya itu. ia terus menggeser tubuh ke pinggiran.
Tiong Hoa telah melihat gerak-gerik orang dia lantas
bersiap sedia, Kapan orang menyerang maka ia akan
menyambut dengan pukulan "Siauw Thian chee Ci Cap-jie
Kiauw Na." yalah ilmu silat "Bintang Kecil" yang terdiri dari
tujuh puluh dua jurus yang lincah. Dengan itu ia bisa
menghajar orang hingga mati, tak tahu ia, dari mana
munculnya keberaniannya secara tiba-tiba itu orang yang
menasehati si jangkung kurus itu menghampirkan si anak
muda. "Kau bernyali besar tuan, aku kagum." katanya tawar,
"Meski kau menjadi penuIis baru
dari tongkee kami, tak nanti tongkee menitahkan kau
mengawasi kami. Kamilah Tiong tiauw
Ngo Mo. Toako kami tidak percaya karangan kau, dia
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menduga itulah jawaban bohong, dari itu dia ingin
menghukum kau. Aku lihat tuan tentu jemu dengan sikap
tawar kami maka kau sengaja mengatakan demikiansebenarnya
memang beginilah sikap tabiat kami, jadi bukan
sengaja kami memandang tak mata kepadamu."
"Maaf..." kata Tiong Hoa sambil tertawa dingin, ia tidak
takut meskipun orang adalah Tiong-tiauw Ngo Mo, Lima Hantu
dari Tiong-tiauw. Tengah si anak muda menyahuti itu, si jangkung kurus
membentak, "Ngo-tee, apakah kau tak takut mulutmu pecah"
Lihat, mereka sudah datang." orang yang dipanggil ngo tee itu
-- adik yang nomor lima, menoleh.
Tiong Hoa berpaling juga, maka ia melihat mendatanginya
empat orang, Mendadak seperti buyar keb era niannya
barusan, diam-diam ia menyingkir kearah pepohonan di
dekatnya. Kelima orang itu, yaitu Tiong-tiauw Ngo Mo. agaknya
tegang sikapnya, Mereka lantas bersiap sedia melakukan
penyerangan. Empat orang itu, yang tadi merupakan titik-titik sebagai
bayangan, lekas juga sudah datang dekat, sangat pesat
larinya mereka. Sebentar saja, tibalah sudah mereka.
Tiong Hoa memasang mata, ia tidak dapat melihat muka
orang, yang membaliki belakang, ia cuma tahu mereka itu
orang tua semua, kumisnya pun panjang. Mereka seperti tidak
menghiraukan kelima hantu, mereka jalan terus.
Tiongtiauw Ngo Mo tertawa dingin, lantas mereka
menyerang dengan berbareng.
Keempat orang tua itu agak kaget, mereka lompat mundur
satu tombak. Satu diantaranya mengawasi kelima penyerang
itu, lantas dia tertawa dingin dan kata: "Ah, aku menyangka
siapa, kiranya kalian, dengan kepandaian kamu yang umum ini
kamu berani lakukan perbuatan hitam makan hitam " Hm,
tahukah kamu siapa kami ini?"
"Kami tidak perduli kamu siapa" sahut si jangkung kurus,
yang usianya pertengahan, suaranya dingin. "Untuk kamu
cukup asal kamu meninggalkan barang yang kamu bawa itu.
Dengan begitu baru kami suka mengasi kamu lewat."
Orang tua itu menjadi gusar secara tiba-tiba, dia maju
menyerang. Dengan tangan kanannya, dengan sebuah jeriji,
dia menotok jalan darah, Gerakannya itu sangat cepat sekali.
Si jangkung kurus tabah luar biasa, Dia seperti tak
menghiraukan serangan itu, Dengan sama gesitnya dia
meluncurkan tangan kirinya, guna menotokjalan darah thianhoe
dari si orang tua, Berbareng dengan itu, dengan tangan
kanannya, dia menghajar, membacok, lengan si orang tua.
Agaknya si orang tua terkejut, cepat-cepat dia menarik
pulang tangan kanannya itu, tapi si jangkung kurus
merangsak, ia menotok kejalan darah ciang boen, ia tetap
menggunai tangan kirinya.
Tiong Hoa kagum, sangat cepat gerakannya dua orang itu.
Orang tua itu ialah sam Cioe Ya cee Tam siauw Go seperti
diterangkan si jangkung-kurus tadi kepada Song Kie. Buat
Sungai Besar bagian selatan dan Utara, dia ternama besar
untuk kegagahannya, pantas dia berani dan liehay. Dia lantas
menyerang dengan dua dupakannya saling-susul.
Toa Mo, si Hantu pertama, tertawa seram, tubuhnya
lompat terapung, dia telah menggunai tipu berlompat Peng
tee chee in," atau Awan hijau ditanah datar" Tapi dia tidak
lompat setinggi mungkin- Baru kira dua kaki, tub uhnya sudah
membungkuk, kedua tangannya meluncur. Dari atas dia meny
amber kedua pundak lawan.
Sam Cioe Ya cee menjejak tanah, ia lompat mundur
tigakaki, setelah bebas itu, ia maju pula untuk menyerang lagi
dengan beruntun-runtun. Toa Mo mendongkol karena kegesitannya itu, Dia
menangkis dia menbeIa diri terus, dia membalas menyerang.
Dia berlaku sama garangnya.
Sampai itu waktu, keempat Hantu habis sabar, Mereka
lantas maju menyerang tiga orang tua lainnya. Mereka ini
menonton saja. lantaran diserang, mereka membuat
perlawanan. Hebat pertempuran mereka itu. Tiong Hoa menonton
dengan perasaan ketarik. Untuknya, pertempuran itu
mendatangkan faedah besar, seumurnya belum pernah ia
menyakslkan semacam pertarungan itu, memperhatikan
sesuatu gerakan. Sang waktu berjalan, rembulan sudah kelam, tinggal
bintang-bintang yang muram. Cuaca menjadi guram, Tapi
pertempuran berlangsung terus.
Tiong Hoa menonton dengan merasa heran, ia tidak
melihat munculnya Song Kie. Kemana
perginya tongkee itu" Kenapa dia berdiam saja"
Sekonyong-konyong ia melihat sebuah tubuh besar melesat
datang sembari tertawa berkakak, Mendengar itu, kelima
Hantu lantas lompat mundur, sebaliknya keempat orang tua
itu nampak terhuyung mau roboh.
Segera Tiong Hoa mengenali orang itu, adalah Koay-bin jin
Him yang ia buat pikiran. Tam siauw Go lantas tertawa dingin,
"Aku tidak sangka sekali Song Loo-toa dapat bersikap
seperti tikus" katanya mengejek. "Kalau Tam siauw Go mati,
dia bakal menjadi setan yang akan menagih jiwamu."
Song Kie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia tertawa lebar.
"Tam siauw Go. ingatkah kau kejadian pada tahun dulu di
benteng air di telaga Thay ouw ketika kaum jalan Hitam
mengadakan rapat bersama?" dia tanya.
"Bukankah ketika itu di muka umum kau telah menghina
aku" Nah, sekarang kau tahu rasa, Bersama-sama kawankawanmu
ini yang ada tiga bandit dari jalan Kam Liang kau
sudah terkena pakuku, paku Thian Iong-tong. maka itu,
didalam tempo tiga jam, racunnya paku bakal menyerang ulu
hatimu, untuk sebentar terang tanah kawanan begundal
pembesar negeri boleh datang mengurus mayat kamu"
Tam siauw Go terkejut, apa pula setelah itu ia lamat
melihat ketiga kawannya roboh saling susul, terus berkoseran
di tanah, sedang ketiga kawan itu Kam Liang sam To tiga
begal dari jalan Kam Liang bukan sembarang orang. Percuma
ia kaget, iapun lantas menyusul roboh untuk tak ingat apa apa
lagi. Sekonyong-konyong Song Kie berlompat kepada keempat
orang tua itu, Dia bergerak sangat pesat seperti dia datang
barusan. Kali ini untuk mencabut empat buah pakunya, paku
Thian-Iong-teng atau serigala Langit dari dadanya keempat
korban itu, kemudian dari tubuh yang seorang, ia menarik
keluar sebuah kotak kecil warna hitam, yang mana ia buka
tutupnya secara hati-hati.
Di depan matanya lantas bersinar sinarnya permata, hingga
alis dan kumisnya nampak kehijau-hijauan warnanya.
"Hahaha..." dia tertawa lebar, "sekarang ini terpenuhilah
separuh dari keinginanku banyak tahun" Suara tertawa itu
mendengung di tanah pegunungan itu.
Tengah Koay-binJin Him girang kepuasan itu, sinar permata
itu tiba-tiba menjadi sirap.
Dia merasakan sebuah tolakan keras dan kotaknya itu
hilang dari tangannya, Dalam kagetnya ia melihat sebuah
tubuh kecil langsing mencelat pergi dengan lincah sekali,
tubuh mana meninggalkan tertawa nyaring tapi halus yang
sedap didengar telinga, kemudian bagalkan asap lenyaplah dia
di kejauhan. Bukan main terkejutnya Koay-binJin Him, Dia lompat meny
amber. Tapi dia ketinggalan sedetik. Perampas itu lolos,
saking murka, dia berseru keras, terus dia berteriak: "Kejar"
Dia pun mendahului lari kearah mana perampas itu kabur.
Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar. Mereka tak menghiraukan
lagi Tiong Hoa. Lie Tiong Hoa menonton pertempuran dengan asyik sekali,
ia sangat ketarik hati, ia kagum menyakslkan liehaynya Song
Kie, ia pun heran melihat ada orang merampas kotak
permata di tangannya Koay-bin Jim-Him. tengah ia
melengak itu, ia lantas di-tinggal pergi mereka semua.
Ia masih berdiam tempo ia merasa ada barang apa-apa
menimpa kepalanya hingga ia merasa sedikit nyeri, ia meraba.
hingga ia kena pegang sehelai daun. ia terkejut hingga ia
tercengang pula, matanya terbuka, mulutnya ternganga. inilah
seorang cerdas, ia dapat berpikir.
Di-dalam musim semi seperti itu, tak nanti ada daun rontok
tertiup angin juga tak ada daun yang jatuh langsung ke tanah,
mestinya melayang- layang dulu, Maka itu, itu mestinya daun
yang dipakai menimpuk dengan "Hoei-Hoa-tek Yap Cioe hoat,"
ialah ilmu "Menerbangkan bunga memetik cabang" Karena
ingat ini, ia terus dongak. melihat keatas.
Kembali ia menjadi heran. Di atas pohon, teraling dengan
dedaunan ia melihat seorang nona nangkring di atas cabang,
Yang terlihat tegas ialah mukanya yang cantik dengan
matanya yang jeli, Nona itu mengawasi ia sambil tersenyum,
dia mirip bung a yang baru mekar.
Ia bingung, hatinya pun berdenyut Manusia kah" setankah"
ia hendak membuka mulutnya, lalu batal, ia digoyangi tangan,
kepala nona itu digoyangkan. Terpaksa ia diam menjublak.
mendelong mengawasi. Bagaikan ular, tubuh nona itu merosot turun, tak terdengar
suaranya sama sekali, tahu-tahu dia sudah berdiri didepansi
anak muda. Dia mengenakan pakaian serba hitam yang
singsat, hingga berpetalah tubuhnya yang Iangsing.
Tiong Hoa terlahir di kotaraja, ia gemar gelandangan, ia
pernah melihat banyak nona- nona, tetapi melihat nona ini,
semua kecantikan dikotaraja itu sirna.
Cantik sekali si nona, putih bersih dua baris giginya, Paling
menggiurkan ialah sepasang sujennya, Adakah dia Tat Kie
yang menjelma pula " Nona itu menampak orang melongo, dia
tertawa perlahan, kedua matanya bermain.
"Eh, apakah kau belum tahu siluman she Song itu bukan
manusia baik-baik?" dia tanya perlahan, suaranya merdu,
"Dengan mengikuti dia, kau bakal tidak memperoleh apa-apa.
Baiklah selagi mereka tidak memperh atikan, kau tinggalkan
dia pergi. Berangkatlah sekarang juga, ke kuil malaikat tanah
di luar pintu barat kota Lay-soei, disana kau menantikan
nonamu, nanti nonamu menunjuki kau sebuah jalan
keselamatan." Senang sekali Tiong Hoa mendengar kata kata itu dan ia
mendapat perasaan tak dapat ia menolak. Maka juga tanpa
berpikir panjang lagi, ia berkata: "Baiklah, nona, aku dengar
nasihatmu ini, sekarang juga pergi," ia lantas memberi
hormat, terus ia memutar tubuhnya, bertindak pergi, ia
barujalan kira delapan tindak, telinganya mendengar Song Kie
tertawa nya ring, ia terkejut, ia menyangka Koay-bin Jin Him
mempergokinya, ia berpaling dengan cepat, ia tidak melihat
Song Kie, hanya ia menampak si nona baju hitam memberi
tanda padanya untuk berjalan terus, ia menurut, bahkan ia
lantas lari. Tiong Hoa heran sendirinya, ia tidak kenal nona itu. Kenapa
ia kesudian mendengar kata- kata nya" ia mau menduga,
dengan meninggalkan Song Kie, mesti bakal terjadi sesuatu,
Mungkin ia bakal kehilangan jiwanya.
Toh ia tidak menghiraukan itu, ia merasa si nona ada
sangat berharga untuknya, entah karena ia tertarik hatinya,
entah karena kesannya yang baik terhadapnya.
Sekarang Tiong Hoa mesti berlari-lari di tempat yang gelap.
Rembulan sudah kelam dan bintang-bintang guram sekali,
berlari dengan menggunai Hoei Hong in soan lantaran ia kuatir
Song Kie atau Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar dan
menangkapnya. Ia lari cepat sekaii, inilah yang pertama kali ia
menggunai ilmu ringan tubuhnya dengan sungguh-sungguh.
Baru sekarang ia merasa berapa pes at ia dapat berlari, ia
bermandikan keringat dan merasa letih juga.
Ketika fajar menyingsing, Tiong Hoa telah sampai di luar
kota timur dari kota kecamatan Lay-twi, ia lari mutar
melintasinya, untuktiba dipintu barat. Benarlah di luar pintu
barat itu ia melihat kuilnya malaikat tanah yang terletak diatas
sebuah tanjakan sebelah kanan ia menghela napas lega,
lantas ia lari menghampirkan kuil itu.
Itulah sebuah kuil yang sudah tua dan rusak. Ketika ia
bertindak masuk kedalamnya, ia mendapatkan banyak sarang
labah-labah dan bau busuk membikinnya mau muntah.
Ruangan dalam Kuil itu seperti juga sarang hantu.
Walaupun ia tak disayangi orang tua nya, Tiong Hoa tetap
anak keluarga berpangkat, akan tetapi sekarang ia hidup
terlunta-lunta, hatinya toh bercekat, ia jugaheran.
Kuil ini berdekatan dengan pintu kota, kenapa tidak ada
orang yang urus?" ia kata dalam hatinya. "lnilah aneh..."
Ia berhenti berpikir sebentar, lantas ia berpikir pula: "si
nona menyuruh aku menantikan dia di sini. Kenapa dia justeru
memilih kuil ini?" Tengah ia bingung itu, matanya bentrok dengan sebuah
peti mati di ujung ruangan, tadi ia tidak melihatnya lantaran
penerangan remang-remang dan ia belum memperhatikan
sepenuh nya. Tanpa merasa, ia bergidik. Peti itu
membuatnya mendapat perasaan tak enak sekali. Maka ia
memutar tubuh nya, berniat pergi keluar.
Tiba-tiba, peti mati itu mengasi dengar suara bergerejot,
lantas ia melihat tutupnya terangkat perlahan-lahan. Bukan
main kagetnya ia. sampai ia merasa kakinya lemas, sampai ia
tak dapat berg era k Dengan mata mendelong ia mengawasi
terus. Begitu lekas tutup peti itu sudah terangkat semua, di dalam
itu terlihat seorang wanita tua menggera ki tubuh untuk
berduduk. Dia berambut putih dan rambutnya itu terurai
sampai dipundaknya, Melihat kulitnya dan kurusnya, dia mirip
mayat hidup, romannya menakuti.
Nyonya itu menyingkap rambutnya.
"Apakah kau telah kembali, anak In?" begitu terdengar
suaranya perlahan. Tiong Hoa berdiam. Jilid 2 : Siapa berbuat baik mendapat kebaikan
Nyonya itu menanya pula. Tetap ia tidak memperoleh
jawaban, maka ia mengulanginya. Tempo ia nasib tak
dapatpenyahutan, ia menjadi gusar.
"Siapa berada dalampendopo ini?" dia tanya, suara bengis,
"jikalau kau tetap tidak mau menjawab, jangan kau sesalkan
aku si orang tua?"
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong Hoa bergidik pula. Tapi sekarang ia menetapi hati,
"inilah aku si orang she Lie..." ia menyahut.
Belum berhenti suara jawaban itu, mukanya si nyonya tua
nampak berubah, lalu mendadak dia menyerang dengan
tangannya. Tiong Hoa kaget, tahu-tahu ia merasa terserang hawa
dingin sekali, hingga tubuhnya
menggigil, habis mana ia merasai tubuhnya mulai kaku,
darahnya seperti membeku dan kedua matanya tak dapat
dibuka lagi, ia menjadi seperti lupa ingatan dan ingin tidur
saja. Tapi ia melawan, ia mengeraskan hati nya, karena mana
tidaklah ia sampai roboh.
Tepat itu waktu, sebuah tubuh kecil langsing berlari masuk
kedalam ruangan itu, segera terdengar suaranya yang menyatakan dia kaget
sekali: "lbu Mengapa kau menggunai pula seranganmu Pek
Koet Im Hong" Mana orang dapat bertah an?"
Matanya Tiong Hoa rapat dan berat, ia tetap ingin tidur
saja, akan tetapi pendengarannya masih terang, otaknya
masih sadar, maka itu, ia mendengar dan mengenali suara si
nona tadi. "Anak In," ia mendengar suara si nyonya lemah, "adakah
orang ini sahabatmu" ibumu telah menanya dia sampai tiga
kali, baru dia menjawab memperkenalkan diri sebagai orang
she Lie. Karena keayalannya itu, ibumu menyerang dia
sekarang tolonglah dia dulu, baru kita bicara lagi."
"Dasar ibu yang sembrono," kata si nona menyesali "Kalau
dia orangnya musuh, mustahil dia suka memberi ketika
sampai ibu membuka mulut".."
Habis mendengar penyesalan itu, Tiong Hoa lantas merasa
ada tangan yaug lunak yang menempel dipunggungnya, ia
menduga si- nona mulai menolongi padanya.
Segera juga ia merasakan hawa hangat tersalurkan
kedalam tubuhnya, Bagaikan es lumer, hawa dingin mulai
terasa kurang, makin lama ia merasa makin ringan. Ia terus
menutup matanya, selagi berdiam itu, ia berpikir, ia heran
untuk pengalamannya ini. Sebegitu jauh ia sebal dengan
penghidupannya yang malang, sampai ia mau beranggapan
orang tak dapat dipercaya. Tapi sekarang ia menemui nona
yang berhati baik ini, ia di tolongi orang yang tidak dikenal.
"Penghidupan itu aneh..." pikirnya. Tanpa merasa ia tertawa.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya si nona perIahan-
Tiong Hoa tidak lantas menyahuti. ia jengah, justeru itu ia
dengar si nyonya tua menanya puterinya: "Anak In, heran.
Aku menyerang dengan Pek Koet In Hong lima bagian luka
orang itu ringan, kenapa kau menoIongi dia dengan tenaga Cit
Yang Cin-lek masih jugabelum berhasil?"
"Ah, ibu" si nona masih menyesali " Kenapa kau menyerang
demikian hebat kepada orang yang tidak mengerti silat " Dia
sebenarnya sudah sembuh tetapi aku mau menambah
tenaganya dengan cit Yang Cin-Iek."
Tiong Hoa mendengar semua pembicaraan itu. Tidak dapat
ia berdiam terus, Maka ia membuka matanyaJusteru itu,
tangan si nona lantas ditarik pulang dan nona itu tiba tiba
berada didepannya, menatap ia dengan matanya yang jeli.
Karena mereka berada dekat sekali, ia dapat mencium bau
harum, ia menjadi likat sendirinya, pipi dan telinganya menjadi
merah, ia pun takut untuk membalas mengawasi nona itu. ia
terus memandang kearah peti mati.
Si nona bersenyum melihat kelakuanpemuda itu, ia lantas
bertindak kepeti mati itu. "lbu." ia memanggiI.
Ketika itu ruangan masih guram, si nyonya, bercokol
didalam peti mati, Nampak bagaikan hantu.
"Ibu." berkata pula si nona, "mestika itu telah berhasil aku
dapati. Maka ibu bakal melihat langit dan matahari pula
sekarang mari kita lekas berlalu dari sini, supaya orang tidak
menyangka kepadaku."
"Apa, kau berhasil?" tanya si nona. Dia girang hingga
suaranya bergetar. "Dasar orang baik dilindungi Thian."
Mendengar pembicaraan itu, baru sekarang Tiong Hoa
ketahui si nyonya buta matanya, pantas tadi dia lambat
menggeraki tangannya menyerang ia Jadi nyonya itu menanti
dulu jawaban, untuk mengetahui di bagian mana ia berdiri.
Nyonya itu mengangkat seb atang tongkat dari sisi dengan
pertolongan itu ia lantas bangun berdiri, gesit gerak-geriknya.
" Entah mustika apa itu yang dikatakan si nona?" kata
Tiong Hoa dalam hatinya, ia lantas mengerutkan aIis. Ia
sekarang melihat kakinya nyonya ini bercacad. si nona
memandang sipemuda, ia melihat air muka orang, ia tertawa.
"Aku tahu kau heran atau bercuriga, ingin kau menanyakan
sesuatu padaku" ia kata. "Benar, bukan" sekarang kami mau
lekas berlalu dari sini, jangan kau tanya apa-apa. Di mana ada
ketikanya, kau tunggulah sampai kita berada di siauw Ngo Tay
nanti kau ketahui sendiri."
Si nyonya sudah pergi ke belakang ruangan.
"Mari kita berangkat." kata si nona, "jangan kau sangka
karena kakinya bercacad ibu jadi tak leluasa bergerak. Asal ia
menggunai tongkat, mungkin kau tak dapat menyusulnya."
"Hm, Aku tak percaya." kata Tiong Hoa di dalam
hatinya.."Sungguh gila kalau kakiku tak dapat mengejar orang
yang tak ada kakinya." oleh karena si nona sudah bertindak
pergi, pemuda ini lantas menyusuI. Di bagian belakang, kuil
terlebih gelap daripada di bagian depan,
satu kali Tiong Hoa terkejut, ia mendengar suara sesuatu
yang terhajar hebat, lantas ia melihat sinar terang.
Itulah si nyonya tua, yang menyerang jendela hingga
daunnya menjeblak. habis mana dia berlompat keluar dari
liang jendela itu. Si nona mengikuti terus. Ketika Tiong Hoa sudah melompat
keluar, nyata ibu dan gadis itu sudah meninggalkan ia belasan
tombak. ia melihat juga, sekali menekan tanah, nyonya itu
dapat berlompat jauh lima atau enam tombak. ia menjadi
heran dan kagum. jadi benarlah kata pemudi itu. oleh karena
ia kuatir nanti dicela si nona, ia lantas menyusul.
Mereka berlari-Iari di daerah pegunungan yang tinggi dan
rendah, di mana pun tumbuh banyak pohon lebat, itu waktu
matahari yang menerangi bukit kuning sinarnya.
Sesudah meninggalkan jauh kuil malaikat tanah itu, Tiong
Hoa mendapat kenyataan ia terpisah belasan tombak dari si
nyonya dan nona, sekarang ia mengerti bahwa ia kalah.
Ia menjadijengah sendirinya ia pula di hinggapi keheranan,
kenapa nyonya tua itu tahu jalanan sedang matanya buta.
Selagi ia memikir itu, pemuda ini ketinggalan lebih jauh
pula. ooooo BAB 2 PERJALANAN dilanjuti terus, Di waktu matahari mulai turun,
Tiong Hoa bertiga sudah sampai di kota Tembok Besar, yaitu
kota Cie-keng-kwan, dijalanan penting Hoei-bo kauw, Di
waktu matahari turun itu, Tembok Besar memperlihatkan
keindahannya. Terlihat tembok kota panjang berliku-liku. sinar
matahari pun berwama lima rupa.
Sekeluarnya dari Hoei-bo kauw itu, orang berada di tanah
perbatasan. Dari situ gunung siauw NgoTay sudah mulai
tampak, itulah gunung yang menjadi salah satupusat agama
Buddha dan dalam keindahan alam, dia tak usah kalah dengan
NgoTay san yang besar. Di dalam Hoei-ho-kauw, dimana ada jalan besar yang
pendek berbaris beberapa rumah warung, sebaliknya orang
yang berlalu-lintas, waktu itu sedikit, inilah mungkin
disebabkan angin keras, yang membuat debu danpasir
berterbangan sampai orang sukar membuka matanya.
Lie Tiong Hoa ikut si nyonya dan gadisnya memasuki
sebuah losmen kecil yang merangkap menjadi rumah makan.
Di situ sudah berkumpul banyak tetamu lainnya, yang sedang
duduk dahar dan minum, Kapan mereka itu melihat tiga orang
ini, ruang menjadi sunyi senyap. semua mata lantas diarahkan
kepada mereka bertiga. sukar jalannya si nyonya, pula mereka
bertiga bed a sangat nyata.
Si nyonya tua dan kurus mirip tengkorak. -si nona
sebaliknya cantik sekali, sedang si pemuda tampan mirip
seorang pemuda hartawan. Maka selain mengawasi, tetamutetamu
itu kasak-kusuk. bahkan ada yang berkata-kata tak
sedap didengarnya. Si nona mengerutkan alis. Dia melihat dan mendengarnya
sebal, Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, Maka dia
memandangnya tawar. Tiong Hoa tak berpengalaman, ia heran-suasana di kota
raja. Ketiganya lantas berduduk. si nyonya duduk tegak.
romannya menyeramkan, pelayan sudah lantas membawakan
arak berikut kuwe yang masih panas. Tidak lama maka
suasana dalam ruang itu kembali menjadi biasa.
"Sekarang ini di kota Yan-khia telah terbit beberapa perkara
hebat." terdengar seorang berkata, "Semua perkara itu
menyebabkan repotnya anjing-anjing kantor"
"Coba tuturkan, toako" kata seorang Iain- "Pastilah itu
perkara-perkara yang menarik,"
Hati Tiong Hoa bercekat, ia lantas menoleh kepada orang
yang berbicara itu, yang merupakan serombongan dari tujuh
atau tetamu dengan pakaian hijau dan masing-masing
menggendoI senjata tajam.
Seorang, yang mukanya bercacad bekas bacokan golok,
yang romannya bengis, meneguk araknya, lalu dia berkata:
"Kejadian mulai kemarin dulu malam kira jam dua, Toan Kong,
puteranya Pouwkoen Tongpin Toan Kwee, ada bersama dua
tiga kawannya, Mereka sedang pelesiran.
Selagi lewat di dekat paseban To Jian Teng di Lam hee-wa.
mereka bertemu dengan Lie Tiong Hoa puteranya Lie sie-Iong,
yang romannya bingung, Toan Kong menjadi heran, dia
menegur, tak tahu bagaimana, mereka menjadi berkelahi,
Heran putera tie-tong hu, yang romannya lemah. dia telah
menghajar pingsan Toan Kong murid BoeTong pay itu. setelah
itu ketahuan Lie Tiong Hoa telah membunuh mati pemegang
kasnya serta merampas uangnya.
Kemud ian ketahuan juga, ia telah membinasakan tukang
loak di Lioe lie-ciang serta
seorang Iangganannya. Peristiwa itu lantas
menggemparkan seluruh kota..."
Mendengar itu, mukanya Tiong Hoa pucat sendirinya, si
nona dapat melihat perubahan air muka itu, lantas ia
menduga, pemuda ini tentulah Lie Tiong Hoa itu si putera sieTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Iong. ia mengawasi seraya bersenyum. Tiong Hoa mencoba
menetapkan hati, ia bersenyum juga,
si nona bersenyum dengan hatinya menduga- duga, Kalau
si pemuda orang Kang-ouw, peristiwa itu lumrah. Anehnya
yalah dia ini pemuda turunan orang berpangkat, Kenapa dia
membunuh begitu banyak orang"
"Semua peristiwa itu membikin repot kawanan kaki anjing"
orang itu melanjuti penuturannya. ia menyebut kaki anjing
kepada hamba-hamba polisi.
"Satu gelombang belum sirap. datang satu gelombang lain
inilah hal tercurinya satu cangkir mestika milik Pang eran
Tokeh: itulah cangkir Coei in Pwee yang terbuat dari kemala
Khotea yang terukir mega biru ungu. Empat centeng telah
terbinasa kerenanya, kemudian didapat keterangan, pencurian
berikut pembunuhan itu perbuatannya Kam Liang sam-to yaitu
ketiga penjahat dari Kam liang serta sam Cioe Ya-cee Tam
siauw Go si Mamedi Bertangan-tiga yang dikenal juga sebagai
Tian-tam It Kwie, setan-tunggal dari IoIam selatan-,."
"Apakah faedah atau khasiatnya cangkir kemala Kho toa
itu?" tanya seorang, "Bagaimana cangkir kemala itu dapat
menggiurkan hatinya Kam- liang sam-to dan sam Ciu Ya cee
Tam siauw Go?" "Tak tahu aku perihal khasiatnya cangkir kemala itu,
Kemudian baru aku mendengarnya
Dari pocu karena orang itu melanjuti, " Untuk cangkir
kemala itu, po-coe sudah menunggang kuda kabur ke kota
raja, cangkir kemala itu sebenarnya satu diantara ketiga
mustika yang sekarang ini tengah diarah kaum Rimba
Persilatan- terutama dua golongan Hitam dan putih sangat
mengilarnya. Ketika hamba hamba istana yang lihai serta
kawanan opas pergi menyusuI, didekat Kho pay-tiam mereka
menemukan mayat-mayatnya Kam-liang sam-to serta Tam
siauw Go yang dadanya bekas ditancapkan senjata rahasia.
Mereka semua terkenal sebagai penjahat-penjahat yang
lihai dan di-malui, sekarang mereka terbinasa tidak keruan itu,
tidakkah itu menggemparkan" Orang percaya sipembunuh
adalah orang muda yang baru muncuI dalam dunia Kangouw..."
Mendengar itu, Tiong Hoa mengerti kebinasaannya Tam
Siauw Go bertiga pastilah hasil sepak terjangnya Song Kie
serta Tong tiauw Ngo Mo tapi pada itu si nona didepannya ini
ada sangkut pautnya, terang mustika yang dimaksudkan si
nona yalah cangkir kemala tersebut, ia lantas melirik nona itu
atas mana si nona bersenyum hingga nampak sujennya yang
manis ia lihat sendirinya, lekas- lekas ia melengos.
"Toako?" kata seorang lain. "Kau cerita kurang jelas,
sebenarnya apakah ketiga macam mustika itu" Apakah
khasiatnya itu" Dan poocu, yang sudah lama tidak pernah
keluar rumah, kenapa setelah mendengar halnya cangkir
kemala itu, sudah lantas berangkat ke Yankhia" Kenapa kau
tidak mau menjelaskan itu hanya hal lainnya"
Apakah toako takut lain orang mendengarnya" Kau
ingatlah, kampung Ie Kee Po terpisah dekat dari sini, siapakah
yang berani main gila" Bukankah berani main gila itu berarti
menarik kumis harimau?"
Orang dengan muka bertapak golok itu tertawa.
"Kau tak tahu" katanya nyaring " Ketiga mustika itu penting
sekali, Pocu sendiri yang mengatakan, cangkir kemala itu
bakal menjadi bibit pertentangan hebat kaum Rimba
Persilatan, bahwa mungkin perkampungan Ie KeePo kita bakal
turut terembet karenanya. tentang po-coe kita siapa kah yang
dia buat takut" Babkan Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw-kiauw, yang
dulunya berbareng terkenalnya dengan pocu, masih jeri
terhadapnya .Ketika po-cu berangkat aku melihat wajahnya
dingin sekali, itulah bukti pentingnya urusan."
Mendengar disebutnya nama Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw,
atau Cek Kiauw-kiauw si Biang Memedi, si nyonya tua mengasi
dengar suara di hidung.
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong Hoa mendengar itu, ia pun melihat wajah si nyonya,
maka ini mesti ada hubungannya dengan Losat Kwie Bo. sikap
dingin dari si nona menguatkan dugaannya itu.
Tiong Hoa menjadi orang hijau dalam dunia Kang-ouw, tak
tahu ia perihal orang-orang Rimba Persilatan- Dari gelarannya
saja, ia mau menyangka Lo-sat Kwie Bo bukan orang Iurus.
Melihat sikapny a si nona, ia mau percaya Lo-sat Kwie Bo
adalah nyonya yang menjadi ibunya nona ini, ia menjadi
bimbang ia turut Song Kie sebab ia mau cari gambar lukisan,
sekarang ia turut nyonya dan nona ini ke siauw Ngo Tay.
Apakah perlunya" Apa cuma sebab ia tergiur kepada nona
itu" Kalau benar, apa ia tidak menyalahi pesan mendiang
gurunya" "Baiklah, aku lekas pisahkan diri dari mereka?" pikirnya
kemudian- " Kalau tidak, aku bisa menyesal seumur hidupku."
Tengah ia berpikir begitu, ia melihat si nona lagi menatap
padanya, ia merasa seperti si nona dapat menerka hatinya itu,
sendirinya ia merasa tak enak hati, keringat dinginnya lantas
keluar, sinar mata si nona seperti meminta untuk ia jangan
pergi meninggalkannya . "Ah, putusanku terlalu getas." pikirnya kemudian- "Bedanya
kejahatan dengan kebaikan nyata sekali, hanya sebelum jelas,
sukar membuktikannya, tak dapat aku lancang menduga
nyonya tua ini, Banyak orang palsu."
Selagi pemuda ini berpikir begitu, banyak tetamu justeru
mengawasi ia dan menduga- duga kenapa ia berkumpul
dengan nyonya jelek dan tua itu serta si nona. Mereka
umumnya menyangka itulah disebabkan ia tergiur terhadap
nona itu... Nona itu tidak puas melihat sikap banyak tetamu
itu, ia mendongkol. Ketika itu ada datang lagi dua tetemu, dua- duanya imam
dengan kundainya yang tinggi, masing-masing menggendol
pedang, Kelihatannya seperti ssudara, Mata mereka
menunjukkan sinar angkuh. Melihat si nyonya, mereka lantas
melengos, hanya sebentar kemudian, mereka mengawasi.
Karena itu. para hadirin kembali memandang si nyonya.
sebagai orang buta, nyonya itu tak tahu bahwa orang
mengawasi padanya. Tiong Hoa heran- "Nona, kedua imam seperti kenal ibumu.." katanya
perlahan. Nona itu, dengan kedipan matanya, mencegah orang
melanjuti kata- katanya. Salah satu imam berkata pa da kawannya: "Romannya
sudah berubah, entah dia entah bukan-.."
"Takperduli dia atau bukan, kita turun tangan saja untuk
mencoba." sahut yang kawan
itu. "Kita coba ekornya sirase, mesti ketahuan-.."
Nyonya tua itu buta tapi telinganya terang, Dari itu ia dapat
mendengar pembicaraan di antara kedua imam itu, ia nampak
menjadi keren- Imam yang berdiri dikiri mengangkat tangannya perlahanlahan
diarahkan kepada nyonya tua itu. Lantas ada angin yang
mendesak mukanya. Tiong Hoa merasakan angin ini, hawanya dingin, lunak tapi
lekas berubah menjadi keras, ia menjadi heran-
Si nona mengerutkan alis, dengan tangannya dia menolak.
Tiba-tiba si imam mundur tiga tindak. tubuhnya terhuyung.
Belum lagi dia berdiri tetap. si nona sudah bertempat ke
depannya, untuk menuding dan menegur. "Oh, hidung kerbau,
kamu tidak pantas Kenapa kamu mencari onar tanpa sebab"
Kalau bukan aku awas dan sebat. tentulah ibuku roboh di
tangan kamu." Imam itu kaget, mukanya pucat, matanya bersinar tajam,
ia mencoba si nyonya dengan tenaga lima bagian, di luar
dugaan, si nona merintangi ia. itulah kejadian didepan banyak
orang. Dia menjadi gusar. Dia kata. "Kami berdua adalah
Mauw san siang Kiam, belum pernah kami lancang turun
tangan. Kali ini pun aku cuma mencoba, guna mendapat kepastian
ibumu ini benar Lo sat kwie Bo yang dulu hari termasyhur atau
bukan." Mendengar itu, ruang menjadi sunyi.
Si imam meneruskan berkata: "Dulu hari justeru kami pergi
pesiar, Lo sat Kwie Bo sudah membasmi murid-murid Mauw
san pay, dan kuil kami pun dibakar ludes. Karena itu
kami berdua merantau mencarinya"
"Hm" mengejek si nona. "Kata-katamu ini tepat untuk
dipakai mengelabui orang-orang dogol. Roman Lo-sat Kwie Bo
apa kamu tidak kenali, toh kamu berani menyebut orang
musuh kamu, Aku tidak tahu Lo sat Kwie Bo tetapi aku tahu
ialah satu syarat hidupnya, Yalah kalau orang tidak ganggu
dia, dia tidak bakal mengganggu lain orang. Kamu tidak kenal
dia, kenapa dia pergi ke gunung kamu?"
Ditegur secara demikian, merah mukanya imam itu. Dia
menyeringai dan kata: "Kau tahu syarat hidup Lo sat kwie-bo,
kau pasti muridnya. sekarang aku hendak hajar yang muda,
mustahil yang tua tak muncul?"
Mauw san siang Kiam memang b ersaudara kembar dan
nama mereka terkenal karenw ilmu pedang mereka.
Merekalah Ceng Leng Toojin dan Ceng inToojin, Mengenai
perkara mereka dengan Los at Kwie Bo, merekalah yang
bersalah. Adik misan laki-laki Lo-sat Kwie Bo mem buka piauw kiok,
ketika dia mengantar piauw (pio), di kaki gunung Thay Hang
san dia dipegat dan di begal Hul-thian cie Ciao Pioe si Tikus
Terbang. Adik misan itu gagah dan sebelah tangannya si
berandal dikutungi ciao Pioe muridnya Ceng leng.
Dia mengadu yang tidak-tidak pada gurunya, Ceng Leng
dan Ceng in gusar, mereka lantas sateroni si piauwsie, yang
mereka bunuh serumah tangganya.
Ketika Lo-sat Kwie Bo ketahui itu, dia pun gusar, dia
mendatangi gunung Mauw san. Kedua imam kebetulan tidak
ada di gunung, tetapi Lo sat Kwie Bo gusar, dia melabrak. dia
bunuh semua muridnya kedua imam itu dan membakar juga
kuilnya. Dia belum puas, dia
merantau mencari Mauw san siang Kiam.
Apa lacur, dia bertemu musuh lain dan dia kalah hingga
kedua matanya buta serta kedua kakinya bercacad dan mati
kaku, sampai sebegitu jauh. Mauw san siang Kiam masih
belum tahu kenapa murid- muridnya dibinasakan dan
gunungnya diludaskan- Sudah lewat sepuluh tahun, Ceng Leng dan Ceng In masih
belum dapat mencari Lo-sat Kwie Bo, itu berarti
pembalasannya belum dapat diwujudkan, tetapi mereka
mendendam terus dan memikirkannya setiap harinya.
Di Hoei bo- kauw mereka dapat melihat si nyonya lantaran
mata orang buta dan kaki mati, mereka bersangsi. Yang
mereka lihat seperti lukisannya, nyonya itu memiliki tahi lalat
merah dijidatnya betulan saja. Karena ini mereka bersangsi
melihat si nyonya tua, maka mereka mau menguji.
Dalam murkanya si nona kata pula bengis "Kamu dua
potong sampah, kamu berani main gila di depan nonamu. Aku
tak takut pedang mustika kamu."
Kedua imam gusar sekali, apa pula Ceng In Too j in.
Mauw san siang Kiam kesohor untuk ilmu pedangnya Pek
Wan Kiam-hoat atau lutung putih. Nama mereka besar,
seharusnya mereka malu melayani seorang nona, tapi katakata
si nona tajam, mereka gusar tak terkendalikanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Begitulah Ceng in tertawa dingin dan kata: "Baik, baik,
Nona tak memandang kami, kau mesti murid orang lihai, kami
ingin menerima pengajaran dari kamu."
Sebelum si nona menyambut, orang yang mukanya
bertapak golok tadi -- orang dari perkampungan Ie Keo Po --
campur bicara dan berkata nyaring. "Di luar ada pekarangan
luas, baik kamu main-main di sana. Aku Hoe bin-long Lie
Koei dari Ie Koe Po suka menjadi saksi."
"Oh." terdengar suaranya Ceng Leng. "Lio Loosoe, kami
belum pernah bertemu lagi Ie Pocu selama sepuluh tahun.
semoga dia sehat dan berbahagia, harap kau tolong
sampaikan hormat kami"
Hoa-bin-long Lie Koei si serigala Belang tertawa lebar.
"Nama tootiang kesohor, pocu sering membicarakannya," ia
kata, "Baiklah, nanti aku menyampaikannya, Terima kasih.
sekarang silahkan mulai."
Si nona mendongkol dia mengawasi tajam si serigala
Belang itu. Mauw san siang Kiam menjadi bersangsi. Mereka seperti
telah menunggang harimau sehingga sukar untuk mereka
turun dengan begitu saja, terpaksa mereka berdiam terus
sembari mengawasi bengis si nona.
Si nyonya tua tetap berdiam, mendengar semua
pembicaraan itu, wajahnya tak berubah. Ia sebenarnya gusar
tapi ia menyabari diri, ia ingin lekas pulang untuk dapat
mengobati mata dan kakinya .Jadi tak sudi ia bertempur.
Ketika itu cuaca sudah gelap dan pelayan telah mulai
memasang lilin- Di antara sinar api semua orang tampak
tegang, Akhirnya Lie Tiong Hoa berbangkit, ia memberi hormat
kepada kedua imam. "Tootiang orang beribadat, buat apa too tiang melayani
wanita?" ia berkata bersenyum. " Kalau hal ini sampai tersiar,
apakah too tiang tidak bakal mendapat malu?"
Inilah ketika bagus untuk Mauw san siang Kiam
mengundurkan diri, Ceng Lin ingin
menjawab anak muda itu ketika si nona memandang si
pemuda dan berkata: " Kenapa kau campur tahu urusan ini"
Nonamu justru ingin mengajar adat kepada kedua hidung
kerbau ini, untuk aku melihatnya mereka masih berani
mendatangkan onar atau tidak."
Nona itu ketahui duduknya hal, ia ingin melampiaskan
kemendongkolan ibunya sebab ibu itu sungkan turun tangan,
ia suka mewakilinya. Tiong Hoa tidak dapat menerka hati si nona, maka itu, kena
ditegur, mukanya menjadi merah, hingga ia berdiam saja.
Melihat orang kebogehan, si nona tertawa seraya terus
berkata, "Kau tunggu di sini melihat ibuku." Kemudian ia
memandang ke dua imam, untuk berkata tawar: "Hayo ke luar
Apakah kamu ingin nonamu menyeret kamu?"
Mauw san siang Kiam mendongkol bukan main, sambil
tertawa dingin, keduanya bertindak keluar, samar-samar
terdengar suaranya Ceng In: "Budak ini tak tahu langit tinggi
dan bumi tebal." Si nona kembali mengawasi si anak muda, ia tertawa dan
memesan pula perlahan: "Aku minta kau menemani ibuku, seb
entar aku nanti haturkan terima kasihku kepadamu"
Ketika itu, mengikuti kedua imam, para hadirin sudah pa da
pergi keluar, maka di dalam ruang itutinggalsi nona bersama
ibunya serta sipemuda. Semangat Tiong Hoa seperti terbang melihat dua kali si
nona tertawa, Wajah nona itu mirip bunga hoe-yong dan
alisnya mirip daun yang lioe. Apapula ketika si nona melirik
padanya selagi dia bertindak keluar.
Tiong Hoa lagi kesengsam ketika ia mendengar si nyonya
berkata sambil menghela napas padanya: "Anak muda,
tahukan kau aku si orang si tua orang macam apa?"
"Aku telah menduga delapan sampai sembilan bagian,
hanya aku yang muda tidak berani menyebut nama loo
cianpwee," Tiong Hoa menyahut cepat.
Muka seperti tengkorak nyonya itu tertawa, ia kata:
"Anakku In Nio ini belum pernah ada priya yang menarik
hatinya, maka itu mungkin pa da kau dia melihat sesuatu, Dia
gampang sekali tersinggung, kau baiklah berhati-hati
terhadapnya." ia berdiam sebentar lantas ia kata pula: "Aku si
orang tua dapat menjaga diriku, kau pergi keluar melihat si
In.." Tiong Hoa girang mendengar kata- kata itu, ia memang
ingin keluar, Tak enak hatinya berdiam berduaan saja dengan
nyonya tua itu. "Baiklah, loocianpwee" ia kata, Lantas ia
memberi hormat danpergi. Di luar, sang malam terang sekali. sang rembulan tengah
permainya. Disisi pekarangan itu bulan tengah permainya.
Disisi pekarangan telah berkumpul penonton tak kurang dari
pada delapan puluh orang, Di tengah gelanggeng si nona lagi
berdiri sembari mengawasi kedua imam sambil tertawa, ia
baru saja menanya: "Aku minta tanya kedua tootiang ingin
main- main secara apa " satu lawan satu atau kamu meluruk
berdua" Nona mu selalu bersedia mengiringi kamu?"
Nona itu merangkap kesesatan dan kelurusan, kata katanya
itu keluar dari hati tulusnya. Tapi di telinga Mauw san siang
Kiam, suara itu tak sedap terdengarnya, Biar bagaimana,
merekalah ketua suatu partai dan selama merantau, belum
pernah ada orang yang berani menghina atau
mempermainkannya, sekarang si nona tak memandang mata
padanya, Panas hati mereka, Lebih-lebih Ceng In yang cupat
pandangannya. Dia tertawa dingin
lantas dia lompat menerjang. Dia mau menangkap tangan
si nona. Tiong Hoa dapat melihat itu, dia terkejut ia kuatir si nona
terlukakan si imam. Tapi nona itu, melihat orang bergerak. dia tertawa. Dia
kata: "mau nekad, kau hendak mengadu jiwa, baik, sebentar
nonamu akan membikin kau memperoleh kepuasan." Sembari
berkata begitu, dia berkelit dengan lincah, Bahkan tahu-tabu
dia sudah berada di belakang orang.
Dengan kedua tangannya ia lantas menotok dua jalan
darah Ceng Cok dan Ie-boen dari imam itu.
Ceng ln terkejut, ia mendengar suara angin- Tahulah ia
bahwa nona itu tidak dapat dipandang, ia geser tubuh ke
kanan, ia berbalik, dengan kedua tangannya ia menyambuti
serangan, ia mendak sedikit, untuk menggunai tipu silat
"Badak dongak memandang rembulan."
Nona itu tertawa pula, kedua tangannya ditarik pulang,
Berbareng dengan itu, tubuhnya berputar , ia berputar terus
sampai tujuh atau delapan kali, mengitari si imam.
Ceng In menjadi repot dan bingung, ia mesti turut
berputaran, karena mana, ia merasa matanya kabur. si nona
bergerak dengan sangat cepat, Kalau ia alpa, ia bisa celaka, ia
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenali si nona lagi menggunai tipu silat "Thian mo loan koe,"
yaitu Hantu langit menari," Maka terpaksa ia berlompat ke
luar. Justru orang menyingkir justru si nona menyerang, tangan
kirinya menyambar jalan darah kiok-tie ditengan kanan imam
itu. Ceng In kaget, Tak dapat ia menangkis, ia cuma bisa
berkelit, Saking terpaksa, la berlompat pula terlebihjauh.
Si nona tertawa pula, ia menyusul tangan kirinya meluncur.
Ketika ia gagah tubuhnya berlompat tinggi melewati si imam.
ketika ia menginjak tanah, cepat luar biasa ia berbalik terus
tangan kanannya menyerang, mencari jalan darah leng-kio di
dada kiri si imam. Kesebatan itu membikin bengong para penonton- Ceng
Leng pun kaget, Kecuali lompatan itu, yang harus dikagumi, ia
juga mengenal totokan tangan kiri dan kanan si nona.
Totokan tangan kiri itu bernama memedi menggerogoti
tulang. itulah ilmu silatnya kaum sesat. Dan totokan tangan
kanan, "Tapak tangan Kim-kong" ilmu silat kaum lurus,jadi dia
menggabung kepandaian kedua kaum persilatan itu Anehnya
itu dimiliki seorang wanita demikian muda, karena ini, ia jadi
mau membantui saudaranya, kalau tidak, ia kuatir saudaranya
bercelaka. Tanpa ayal lagi, sembari berseru, ia berlompat maju, terus
ia menyerang dengan pedangnya, yang ia hunus sambil
berlompat, hingga ia menyerang dari atas ke bawah.
Si nona mendapat tahu datangnya musuh yang kedua,
ketika ia di serang, ia berkelit sambil mendak. dengan begitu,
pedang lewat di sisinya, Lantas dengan cepat ia mendupak
kearah pedang. Tepat dupakannya itu, pedang terkena hingga
berbunyi nyaring. Ceng Leng terperanjat. Jejakan itu keras sekali, pedangnya
terasa berat, lengannya kaku tak bertenaga.
Si nona tak berhenti dengan jeb akannya itu, ia bangun
berdiri, terus ia menyerang.
Sekarang ia menggunai kedua tangannya, ia menyerang
kedua tangan lawan, itulah tipu silat "Naga perak membiak
sisiknya." Selagi si nona menyerang itu Ceng In, yang memperoleh
ketika, telah menghunus pedangnya juga, terus ia menyerang,
ia mau menolongi saudaranya yang terancam bahaya.
Ceng Leng sendiri kaget hingga ia merasa pamornya bakal
runtuh. syukur datang pertolongan saudaranya itu, si nona
batal menyerang terus, Nona itu mau melindungi diri dari
pedang Ceng In. Maka si imam lompat ke samping.
Nona itu tertawa, dia kata. "Nonamu menyangka Mauw San
siang Kiam liehay luar biasa, kiranya cuma sebegini" Dia bicara
sambil berdiri tegak, di bawah sinar rembulan, dia nampak
seperti seorang dewi. Kedua imam bingung bukan main. Mereka tak kenal sinona,
dengan begitu mereka jadi tak ketahui asal usul orang, Di
dalam hati mereka mengakui keliehayan orang yang masih
muda sekali tetapi dapat menggabung ilmu silat kaum sesat
rtan lurus, di lain pihak mereka sangat penasaran.
Selagi ceng Leng memikirkan daya untuk mengalahkan
lawannya, Ceng In melihat si anak muda berdiri terpisah enam
tombak, matanya mengawasi si nona saja, Pemuda itu agak
tersengsam. Menampak demikian, ia mendapat akal-muslihat
yang licik. Begitulah mendadak ia lompat ke depan si nona
untuk menikam. Ceng Leng melihat ketikanya, ia pun
membarengi menyerang, Si nona lagi mengawasi, maka ia melihat gerakan kedua
lawan itu. ia bersiap untuk melayani. Baru ia berkelit dari Ceng
In, mendadak imam itu beriompat ke samping, tangan kirinya
terus diluncurkan, guna meny amber si anak muda.
Tatkala itu tibalah pedang Ceng Leng, Si nona meluncurkan
dua jari tangannya. Untuk menyambuti pedang, untuk di sampok dengan dua
jarinya itu, ia berhasil, pedang berbunyi nyaring dan terpental
Ceng Leng kaget bukan main, ia merasa lengan dan
telapakan tangannya sakit, Tak dapat ia mencekal terus
pedangnya, Pedang itu mental ke atas genting.
Nona itu menggunai tenaga "cit Yang," itulah ilmu silat
ajarannya tocu atau pemilik, dari pulau Lee Coe To di Poethay
di teluk Titlee, Untuk pertama kalinya, pemilik pulau itu
menggunai tenaga Cit Yan itu atau Cin Yang Cie-Iek dalam
pertempuran di gunung Jang Wie san di telaga Thay ouw.
Dalam tiga jurus dia mengalahkan see-hek Mo Ceng,
pendeta hantu dari wilayah Barat, sampai tulang iga orang
remuk dan dengan muntah-muntah darah pendeta itu lari
kabur, sedang dua belas imam dari Lu Liang san terbinasa
dengan pedang mereka rusak, itulah peristiwa yang
menggemparkan, yang membikin tocu itu menjadi kesohor. si
nona belum mencapai kemahirannya, tetapi toh kedua imam
ini sudah kewalahan. Habis membikin mental pedang Ceng Leng, si nona terkejut
melihat Ceng In yang mundur dari hadapannya, mau
mencelakai si anak muda. "saudara Lie, awas" ia berteriak.
Tiong Hoa mendengar peringatan itu sesudah kasip. ia lagi
mendelong tatkala si imam berhasil meny amber lengannya
yang kanan. segera ia merasakan nyeri hebat, tapi ia tidak
menjadi gugup, bahkan ia mendongkol sekali. sambil menahan
sakit, ia membalas menyerang. Ia menggunai tinju kirinya
sekuat tenaganya. Inilah tidak disangka Ceng ln, syukur dia tidak menjadi
gugup, sambil melepaskan cekalannya, dia berkelit, lalu sambil
berkelit itu, dia menyabet dengan pedangnya ke-tangan kiri si
penyerang. Hanya baru lewat satu hari dan satu malam pengetahuan
Tiong Hoa menjadi bertambah, ia menyingkirkan tangan
kirinya dari sabetan pedang, tetapi ia tidak berkelit mundur.
Dengan tangan kanannya yang sudah bebas, ia membarengi
menyerang, menghajar lengan kanan si imam.
Si nona melengak melihat kepandaian si anak muda, itulah
bukan caranya si hijau dalam dunia kang-ouw, ia menjadi
kagum, hingga selain hatinya lega, iapun bersenyum
memperlihatkan sujennya. Ceng Leng bingung, juga Ceng In. Di luar dugaannya, si
nona gagah, si pemuda gagah juga, Karena itu, mereka
memikir untuk mundur dengan teratur. Tak lama keduanya
memakai tempo. Tiba-tiba mereka lompat mundur, selagi si
pemuda dan pemudi heran, mereka maju pula, terus mereka
merangsak, menyerang saling susul itulah ilmu pedang
mereka, "Mauw san Toan Hoen Kiam hoat" atau "Memutus
Arwah." Luar biasa si anak muda, Mendadak malam ini ia
memperoleh semangat. ia melayani dengan baik, tabah dan
gesit, Dan begitu terbuka ketikanya, ia desak Ceng In.
Lagi-lagi si imam heran dan kaget, mukanya menjadi pucat,
Bukankah ia seorang jago" dan memegang pedang juga"
Lantaran di-desak, ia repot membela diri sedetik ia bingung,
dadanya lantas tertindih si pemuda hingga ia menjerit,
terpaksa selagi terhuyung, ia memutar tubuh untuk lari ke
arah timur. Ceng Leng tahu diri, ia pun lari meninggalkan si
nona. Tiong Hoa tidak mengejar musuhnya, ia berdiri tegak,
gerakannya gagah. si nona melihatnya, dia menjadi kagum,
hatinya girang. Benar-benar luar biasa, toh waktu diserang
ibunya, pemuda itu mirip seorang tidakpunya guna, sebab ia
tak dapat menangkis, tak bisa berkelit.
Juga Tiong Hoa sendiri heran atas dirinya, tiga tahun ia
belajar silat, ternyata itu tak sia-sia belaka, jadi tak kecewa
gurunya memberi pelajaran kepadanya. Rupanya dulu ia
kurang bersemangat karena perlakuan orang tuanya yang
menekan bathinnya dan setelah merdeka, ia bebas benar
benar, sekarang iapun memperoleh kawan cantik manis, yang
erat sekali pergaulannya dengannya .
Satu hal tak diketahui si muda mudi. Hati Mauw san siang
Kiam telah menjadi rada ciut ketika mereka menduga si
nyonya adalah, Lo-sat Kwie Bo, pukulan itu berakibat buruk.
hingga melayani muda mudi itu, hati mereka hilang
ketenangannya. inilah yang mempercepat kekalahannya.
Lantas si nona menghampirkan Tiong Hoa. Dia bersenyum.
"Aku salah mata?" katanya, "Aku tidak nyana kau bisa
mengalahkan Ceng In si imam jago dari Mauw san."
Mukanya pemuda itu menjadi merah, ia likat.
"Kau memuji saja, nona." katanya jengah, "Kepandaianku
cetek tidak berarti, tak dapat aku dibandingkan dengan kau.
Lihat saja caranya kau menyentil pedang orang barusan-"
Nona itu senang sekali dengan itu pujian- ia kata dalam
hatinya, pemuda ini bisa bicara, dia pun tampan, maka
entahlah ibu menyukai atau tidak..."
Ia lantas ingat bahwa sebegitujauh belum pernah ibunya
memberi hati kepada kaum pria, bahkan semenjak buta, ibu
itu makin keras sikapnya, asal dia mendengar suara pria, dia
mau lantas menyerang. Jangan bicara begini manis." katanya, bersenyum, "siapa
tahu kau tidak bicara setulusnya hati" Mari, mari kita melihat
ibu." Dan ia bertindak lebih dulu masuk kedalam.
Kata-kata "Kita" itu membikin Tiong Hoa berpikir seperti
terkena pengaruh, ia lekas menyusul.
orang-orang le Kee Po, dipimpin Lie Keei, telah buyar entah
kemana, Para tetamu lainnya pada tak berani mengikut ke
dalam. Mereka pun bicara dengan kasak kusuk. Maka itu,
habis pertempuran sang malam menjadi sunyi.
Dari dalam rumah makan merangkap penginapan itu,
dimana hanya terlihat sinar lilin, mendadak terdengar teriakan
kaget: "lbu..." ooooo hh"
KETIKA Tiong Hoa tiba di dalam, ia kaget, ia dengar jeritan
si nona, lantas ia melihat tubuh nona itu melompat ke luar
jendela, hingga api lilin bergoyang-goyang. si nyonya tua tak
nampak. Di atas meja nampak dua tapak tangan yang
melesak dalam. Di lantai menggeletak sepotong tongkat. Di
dekat meja, dua buah kursi ringsak. Dalam sekejap itu, si anak
muda lantas menduga mestinya si nyonya tua kena diculik
orang, Mestinya culik itu gagah, sebab mereka telah
bertempur lebih dulu, Atau si nyonya lari mengejar
musuhnya... Tiong Hoa berkuatir dan menyesal, la ingat pesan si nona
tadi untuk ia menunggui ibu orang itu, Toh ia pergi keluar
walaupun ia dititahkan si nyonya, seharusnya ia tolak titah itu,
atau ia menjagai dari luar, ia menjadi tidak enak hati. Kalau ia
ketemu si nona, apa ia mesti bilang" Maka ia menjadi
bingung, ia berdiri menjubIak.
Tapi tak lama, ia sudah mengambil keputusannya, ia
melompati jendela pergi keluar, ia mengguna i ilmu lompat
melesat yang gesit, yaitu "Hoa i yap touw lim." atau "Daun
terbang ke dalam rimba."
Tatkala ia sampai di luar, suasana sunyi, Bintang banyak,
rembulan masih sedang terangnya. setelah melihat kelilingan
dan tak melihat siapa juga, ia lantas lari keluar Bao Lie Tiang
shia. Tembok Besar, untuk menuju ke gunung siauw Ngo Tay.
Gunung itu panjangnya mencapai beberapa ratus lie,
banyak pohonnya, banyak batunya, seperti umumnya gunung
sukar juga untuk dimendaki. Tapi Tiong Hoa, setibanya, lantas
lari naik, ia mencari si nona dan ibunya inilah tugas sulit dan
berat untuknya. sukar mencari orang di tempat sepi dan
belukar itu Gagal Tiong Hoa malam itu, tak dapat ia mencari wanita
tua dan muda itu, ia melanjuti di waktu pagi dan siangnya,
terus tengah hari, lohor dan sore lagi, ia tetap gagal, ia
bingung dan bertambah kuatir, ia berfikir keras. semua itu
tidak menolong, ia mencari terus tanpa hasil, sampai berharihari.
Tak pernah Tiong Hoa turun dari siauw Ngo Tay, ia
menjelajah gunung itu. Untuk menangsal perut, ia makan saja
buah-buahan, Untuk menghilangi dahaga, ia mencari sumber
air, ia tidak dapat menyalin pakaian hingga baju dan
celananya kumal dan kotor, sampai rambutnya tak terurus, ia
tak lagi si pemuda tampan saking dekilnya itu.
Sampai di hari ke lima, Tiong Hoa tetap gagal. Di gunung
itu, seorang tukang kayu pun tidak ada. sebaliknya, hampir ia
di-pagut ular. syukur tubuhnya ringan dan dapat ia berkelit
dari ancaman bahaya itu. Bahkan pengalaman itu merupakan
latihan bagus untuk kepandaiannya itu.
Setelah kewalahan, ia pergi keluar dari gunung, ia berada
di mulut lain dari gunung itu, ketika ia meraba mukanya, ia
kata: "Ah, aku mesti mandi." Maka itu ia berjalan mencari
selokan, yang berada tujuh atau delapan tombak dari dirinya,
ia mendengar suara air berkericik, ia jongkok di tepian, ia
menyaup air dengan kedua tangan nya, untuk mencuci
mukanya. Mendadak... "Jangan! Jangan. Air itu tak dapat dipakai..."
Tiong Hoa terkejut, hingga air pada molos dari sela-sela
jerijinya, ia lantas menoleh ke arah dari mana suara datang,
suara itu bergemetar, datangnya dari rumput di sampingnya.
Sesudah lima hari seperti terpisah dari dunia, Tiong Hoa
heran berbareag mendapat harapan, ia lantas bertindak
menghampirkan, Di dalam rumpun rumput itu ia melihat
seorang tua dengan baju kuning rebah tak berdaya, romannya
sangat kucal, mukanya bengis, tak berkumis, kepalanya
lanang. Matanya pun guram ketika dia melihat orang yang
meng hampirkan padanya . "Eh, bocah, aku telah menolong jiwamu" katanya sembari
tertawa dingin- "Maka itu kau
harus melakukan sesuatu untuk aku si orang tua."
Tiong Hoa heran. "Apa" ia tanya, "Kau telah menolongi jiwa ku" oh, loo-j inkee,
janganlah kau berguyon- Untuk berbuat sesuatu
untukmu, itulah pantas, nanti aku berikan bantuan, Hanya aku
ingin lihat dulu, apakah itu yang aku kerjakan-.."
Orang tua itu membuka matanya lebar-lebar.
"Kau tidak percaya aku?" bilangnya, "segera kau akan
ketahui sebenarnya itu bukan apa apa. sekarang kau tolong
dulu mengeluarkan satu peles kecil dari pinggangku, kau ambil
sebutir obatnya, kau masuki itu ke dalam mulutku si orang
tua." sekarang Tiong Hoa bisa melihat tangan dan kaki orang
itu tak dapat digeraki. "oh," katanya, "Aku kira kerjaan apa,
tak tahunya pekerjaan sangat mudah."
Ia membungkuk. merabah pinggang orang tua itu, ia
mendapatkan peles kecil yang di sebutkan itu, Dengan
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan ia meloloskannya, terus ia buka sumbatnya, Lantas
hidungnya mencium bau harum, hingga dadanya menjadi
lapang. Ketika ia menuang isinya, keluar enam butir obat pulung,
warnanya merah dadu, kuning gading dan putih susu. ia
jumput sebutir yang merah dadu itu, yang lainnya ia masuki
pula dan menutupnya dengan rapat, selama itu si orang tua
menatap tajam wajah orang.
Tiong Hoa menyirapi obat itu si orang tua
mengganyangnya sambil merapatkan matanya. Tak lama
kemudian, muka pucat orang tua itu mulai bersemu dadu.
Si anak muda heran, itulah perubahan untuk orang yang
mengerti ilmu tenaga dalam. Maka ia
mau menduga, orang tua itu seorang jago Rimba
Persilatan. Hanya kenapa kaki tangannya mati-mati. Apakah
dia habis dibokong musuh" Kalau benar, musuh itu lihai sekali,
Kalau benar begitu, kenapa dia tidak sekalian dibunuh mati"
Tengah Tiong Hoa berpikir begitu, tubuh si oraog tua
berkutik, Dia mulai menggeraki tangan dan kakinya perlahanlahan.
Agaknya dia lagi mencoba-coba, tidak lama,
sekonyong-konyong dia bangun berdiri, terus dia tertawa
berkakak. Nyaring tertawanya itu. Dan lama juga. Habis itu,
dia menatap anak muda di depannya,
"Anak muda, kau datang ke gunung ini dengan membawa
banyak uang, buat apakah itu?" dia tanya, Dia lantas melihat
bungkusan uang orang. Tiong Hoa membayar pulang peles
obat. "Sudah lima hari aku yang muda berada di atas gunung ini
mencari orang" ia menyahut tertawa, "Aku tidak berhasil
mencari, dari itu terpaksa aku turun gunung."
"Oh begitu" kata orang tua itu tertawa pula "Aku kira
gunung siauw Ngo Tay ini ada orang hutannya." ia menatap
kembali tajam. ia berkata pula, "Aku si orang tua, aku
biasanya tak suka menerima budi orang. Ketika tadi kau
berdiri di mulut gunung itu, sudah aku melihatnya, hanya aku
tidak mau memanggil kau, baru setelah kau mengambil air,
aku menegurmu, Dengan begitu aku menolongi jiwa mu.
Dengan demikian juga, kita menjadi tidak saling berhutang
budi, selokan itu telah aku campuri racun, siapa kena minum
atau pakai airnya, dia mesti binasa, taksalah lagi, jikalau kau
tidak percaya. pergi kau ikuti selokan itu, sebentar saja kau
akan dapat buktinya bahwa aku tidak rnendusta."
Tiong Hoa kaget. Toh ia bersangsi, Maka ia bertindak ke
hilir, Baru ia melalui lima atau enam tombak. la terkejut bukan
main- Di tepian itu terlihat menggeletak tiga mayat manusia,
mukanya matang biru tanda terkena racun- Darah pun keluar
dari mata. hidung mulut dan telinganya, dari liang
keringatnya. Karena kedua mata mereka masing-masing
mendelik, itulah bukti kebinasaan yang hebat. Dengan hati
berdebaran, ia kembali kepada si orang tua,
Tanpa menanti orang membuka mulut, si orang tua
menyambut dengan tertawanya.
"Apa kataku?" dia tanya, "tiga orang itu musuh besarku
selama hidupku" setiap tiga tahun sekali. kita membuat
pertemuan, kita bertempur mati-matian, Mereka bertiga selalu
berkelahi bersama dan berbareng. Sebegitu jauh belum
pernah kita kalah atau menang. Baru kali ini aku memikir
akal..." Dia mengawasi pula, agaknya dia puas sekali. Dia
melanjuti: "kita mulai bertempur, aku bicara dengan mereka
itu. Aku menyarankan untuk jangan mengadu tangan dan kaki
hanya untuk mengukur saja tenaga dalam masing-masing,
Mereka itu bangsa kepala besar dan jumawa, mereka tidak
sudi mengalah, maka itu mereka menerima baik saranku itu.
Dengan begitu kesalah mereka tertipu aku..."
"Siapa mereka itu" Mestinya mereka juga jago Rimba
Persilatan..." Orang tua itu menentang matanya, "Apa"Jago Rimba
Persilatan?" katanya mengulangi. "Mereka justeru bangsa
buruk dan terkutuk sudah lama aku memikir menyingkirkan
jiwa mereka, saban-saban aku bersangsi, tapi kali ini Thian
membantu aku, dan dengan demikian untuk kali ini hatiku
dibikin mantap. Aku mengusulkan kita sama sama minum air,
lalu kita semprotkan ke-pohon yang menjadi sasaran atau batu
ujian kemahiran tenaga- dalam kita. Siapa yang dapat
merontokkan semua daun, dialah yang menang, Siapa yang
kalah, dia bersedia untuk dihukum cara apa saja oleh pihak
yang menang. Kita berkelahi dengan satu lawan tiga, tentu sekali,
harapanku ialah harapan kalah, Mereka menerima usul itu
sambil bersenyum. terang mereka sudah merasa bakal
menang." Mendengar begitu, Tiong Hoa menoleh dan melihat empat
pohon bong berdiri berendeng, daun-daunnya sudah rontok
separuhnya, itulah pertaruhan bukan main- Dalam musim
seperti ini, daun pohon sedang kuatnya melekat pada
tangkainya. "Mereka tidak tahu bahwa aku menggunai tipu muslihat." si
orang tua melanjuti penuturannya. "Selagi aku mengambil air,
diam-diam aku melepaskan sepotong racun- siapa terkena itu
tak dapat sembuh kecuali dia makan obat pemunah ku, Itulah
ini obat merah, Habis minum air sebanyaknya, kita mulai
mengadu kepandaian, Siapa pun diantara kita tak ada yang
sanggup merontokkan semua daunnya pohon itu, Selama itu,
racun sudah, bekerja didalam perut mereka.
Mereka liehay sekali, lantas mereka merasa, terus mereka
menduga duduknya hal. Lantas mereka menutup jalan darah
mereka, bersama-sama mereka memaksa aku menyerahkan
obat pemunah. Coba kau pikir, mana dapat aku meluluskan
permintaan mereka itu" Maka mereka menyerang aku, Aku
membela diri. Ketika itu racun di perutku juga bekerja, Mereka tidak
berhasil mendapatkan obat dari aku, mereka mati keracunan,
Habis itu akupun roboh. Kau telah lihat bagaimana kau
menemukan aku..." Lie Tiong Hoa menggeleng kepala. "Masih ada yang aku
tidak mengerti," katanya, "Kamu sama sama minum racun.
kenapa mereka mati tetapi loojin-kee tidak" pula air selokan
itu mengalir pergi, seharusnya racunnya terbawa hanyut,
Mustahil racun itu tetap mengambang?"
Orang tua berbaju kuning itu tertawa lebar.
"Bocah, kenapa otakmu tidak cerdas?" dia kata, "siapa
menggunai racun mustahil tak tahu sifat racunnya sendiri"
Begitu aku merasa racun mulai bekerja, aku mengerahkan
tenaga- dalam membuat racun mengalir hanya ke tangan dan
kakiku. Tidak demikian, pasti aku pun sudah melayang jiwaku.
sebelum tangan dan kakiku mati. mereka terhajar tanganku
hingga pecahlah pembelaan diri mereka, hingga racun
meluluhkan, menyerang semua anggauta dalam tubuh
mereka." Habis berkata begitu, mendadak orang tua itu menyamber
lengannya Tiong Hoa. Si anak muda kaget tetapi tak sempat dia berkelit atau
berlompat, dia terpegang dan kena ditarik si orang tua sampai
belasan tombak jauhnya, baru dilepaskan. orang tua itu pergi
ke selokan, untuk memasuki tangannya ke dalam air, merogo
keluar sepotong benda sebesar telur angsa warna hitam
kehijau-hijauan bercahaya, Dia ulapkan itu.
"Kau tentu mengerti sekarang" katanya, tertawa, " inilah
bisa ular ribuan tahun yang telah membeku menjadi seperti
beling, Kalau ini direndam di dalam air, air racunnya setetes
saja dapat merusak usus, terus orang mengeluarkan darah
dan mati." Tiong Hoa bergidik, "Benarlah kata guruku," kata ia dalam hati, "di dalam
kalangan Rimba persilatan tidak ada yang tidak aneh, maka itu
perlu orang waspada."
Menampak si anak muda berdiam saja, orang tua itu
tertawa pula. "Anak muda, apakah kau mengerti ilmu silat?"
dia tanya. "Pelajaranku tak berarti, tak berani aku menyebutnya ilmu
silat," sahutnya, ia bersenyum likat.
"Tak perduli kau yang benar atau tidak. kata-katamu
tepat," kata si orang tua. "Memang ilmu silat dalam bagaikan
lautan, Aku tersohor dalam dunia Rimba persilatan, toh
pengartianku belum ada satu persenpun, Kau dapat
merendah, sifatmu terbaik, Aku si orang tua berhutang budi
padamu. nanti aku menyempurnakan kau."
Tiong Hoa tertawa. "Tadi toh loojinkee mengatakan kita tidak saling
berhutang." katanya. "Kenapa sekarang loojinkee bilang ada
berhutang kepadaku?"
Orang tua itu mengawasi, sinar matanya tajam.
"Kau ngaco, kau tidak tahu." katanya, "obatku tadi, apabila
yang putih, ialah salah sebuah mustika Rimba Persilatan,
Namanya itu PouwThian Wan, pel penambal langit. siapa
makan itu, tenaganya bertambah seperti latihan sepuluh
tahun. Dia akan seperti tertukar tulang-tulangnya, Dalam
seratus orang Rimba Persilatan, tak satu yang memilikinya.
Dua obat yang lain juga besar faedahnya. Tadi obatku berada
dalam tanganmu, kalau kau memikir merampasnya dan kau
tinggal aku lari, apa aku bisa bikin" Nyata hatimu lurus, itu
yang membikin aku bilang aku berhutang budi padamu."
Tiong Hoa menggeleng kepala, dia tertawa. "jikalau tadi
aku mengetahui itulah obat mujarab, mungkin aku
membawanya lari" ia kata.
Orang tua itu tertawa berkakak. untuk ke sekian kalinya ia
menatap pula, Dengan mengawasi mata orang, ia seperti mau
menembusi hati. Terus ia mengasi lihat roman sungguhsungguh.
"Kaulah orang dengan bakat silat yang baik sekali." ia kata,
"sayang aku si orang tua, tidak mempunyai kesabaran untuk
menerima murid, Pada empat puluh tahun dulu pernah aku
mengambil seorang murid, baru satu tahun setengah, aku
meninggalkannya, semenjak itu, aku dan muridku itu belum
pernah bertemu lagi, sekarang aku menjadi terlebih tak
sabaran pula, jikalau tidak. pasti kau bakal memperoleh
banyak kebaikan dari aku" la berhenti bicara, romannya tetap
sungguh-sungguh. Tiong Hoa mengawasi ia merasa Jenaka, orang seperti
bicara sendiri, ia kata dalam hatinya: "siapa kesudian menjadi
muridmu" Akupun tidak sabaran...."
Lantas ia tertawa dan kata, "Loo-jinkee, jikalau kau tidak
membutuhkan apa-apa lagi, aku mau turun gunung."
Orang tua itu lagi mengawasi ketika ia mendengar
perkataan si anak muda, ia memikirkan orang berbakat dan
bersifat baik lagi jujur. ia tidak sabaran, anak muda itu tidak
sabaran juga, Tapi keragu-raguannya lantas lenyap. ia buka
sumpel pelesnya, ia mengeluarkan sebutir obat yang putih.
"Kau makan ini." katanya, Kemudian ia merogo keluar dari
sakunya sejilid buku kecil, sembari tertawa ia berkata, "Aku
tidak sangka kau lebih tak sabaran daripada aku, oleh karena
kau tidak meminta apa-apa, aku si orang tua menjadi kurang
enak hati. obat Pouw Thian Wan itu bakal menonolong kau
selama hidupmu" ia terus menunjuk buku kecil itu dan berkata
pula: " inilah kitab ilmu silat yang aku ciptakan setelah
mengumpulkan sarinya ilmu silat pelbagai partai persilatan. Di
dalamnya aku telah melukis tiga belas gambar. Setiap jurus
besar faedahnya dan dapat menambah tenaga, ilmu silat itu
dalam, diperjalanannya mesti perlahan-lahan, mesti teliti,
lebih-lebih orang tak boleh kekurangan pengalaman. siapa
tidak mengumpulkan tindakannya, tak dapat dia jalan jauh
seribu lie, Kalau tidak ada aliran air kecil, tak nanti ada sungai
besar atau hutan, Maka kalau dapat kau meyakinkan ini sampai berhasil, kau
akan merasa kefaedahannya yang
tak terbatas." Habis berkata, dia menyerahkan kitabnya, untuk pergi lari,
hingga sejenak kemudian lenyaplah dia di dalam lebatnya
pepohonan si anak muda melengak saking herannya. ia
mengawasi terus. Katika itu sudah jauh lohor, maka dengan lewatnya sang
waktu cuaca menjadi guram. Melihat itu, Tiong Hoa lantas lari
menuju- ke Tok-lok. selagi lari, ia merasa heran ia mendapat
kenyataan larinya bertambah pesat, tubuhnya jauh terlebih
ringan. "Inilah khasiatnya Pouw-Thian-wan." pikirnya. ia menjadi
girang sekali. "Aneh pengalamanku. Aneh orang tua itu,
Kenapa dia tidak menjelaskan siapa ketiga musuhnya itu dan
apa sebab musabab permusuhan mereka?"
Dia juga tidak memberitahukan she dan namanya, sedang
aku tak sempat menanyakannya.
Tepat di saat penerangan dipasang, Tiong Hoa tiba dalam
kota kecamatan Tok-lok. Malam ramai, banyak pedagangpedagang
yang berjualan mutar saban-saban meneriaki
barang dagangannya, Banyak sekali orang yang berjalan pergi
datang, ia lantas mencari rumah
makan karena sudah lima hari ia tak pernah makan nasi.
Itulah restoran cip Poo Lauw dari mana tersiar baunya
barang masakan yang sedap.
Ketika ia bertindak masuk. ia diawasi pelayan yang heran
buat pakaiannya yang kotor dan mukanya yang dekil serta
rambutnya kusut, bau keringatnya pun mendesak.
"He, dia pengemis dari mana..." pikir pelayan itu. "Eh, kau
mau pergi kemana?" tegurnya selagi melihat orang mau naik
di-tangga loteng. Tiong Hoa mendongkol. Dia mendelik.
"Aku mau dahar" sahutnya bengis, ia naik terus, untuk
menghampirkan sebuah meja. Ada sejumlah orang lagi
bersantap. mereka tertawa.
Pelayan itu menjadi malu dan mendongkol Dia lantas
menghampirkan dengan matanya mendelik.
"Dahar itu gampang. Apakah kau punya?" dia tanya ketus.
"PIok" begitu satu suara nyaring,
Sicantik Gila Gunung Gede 2 Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Pendekar Remaja 9
Bujukan Gambar Lukisan Karya : Wu Lin Qiao Zi (Tukang Kayu Rimba Persilatan).
Ini nama samaran dari Xiong Ren Ji (Hiong Jin Ci).
Diterjemahkan oleh : OKT Judul Baru cetak ulang : Lambang Penangkal Maut dan Misteri Lambang Penangkal
Maut BAGIAN I (Lambang Penangkal Maut) Jilid 1.a. Buron yang tidak disengaja
Bulan ketiga dalam musim semi, ialah bulan yang indab. Di
luar pinyu Thian-an-moei di kota Yan-khia, daun-daun hijau, bunga-bunga permai. Di
luar kota, sungai yang berbeku es baru saja lumer, hingga
potongan.potongan es mengikuti air hanyut. Hingga disaat itu,
negara bagian Utara itu mirip dengan suasana di Kang Lam,
negara bagian Selatan, selama musim semi bulan pertama,
Di waktu begitu maka pada suatu maghrib saatnya di Lioe
lie ciang orang mulai memasang api penerangan, selagi
kereta-kereta kuda berlalu lintas dan orang mundar-mandir, di
antaranya seorang muda yang mengenakan baju panjang
hijau tersulam dengan pundaknya tarselandang sabuk dan
sebelah tangannya menengteng sebuah kurungan dalam
mana ada seekor burung kenari kuning. Dia bertindak ke arah
gang Kim Hie Hotong. Dialah seorang pemuda tampan tak terlalu kurus, alisnya
bagus, matanya tajam, hidungnya bangir. Kalau dia bertemu
seorang kenalannya dan bersenyum maka terlihatlah giginya
yang putih dan rata. Senyumnya itupun menarik hati.
Anak muda itu memasuki pula suata gang lain sampai di
depan sebuah rumah besar dan indah. Dia lantas mengetuk
kedua kedua gelang pintu yang terbuat dari kuningan, pintu
mana terus dibuka oleh seorang bujang tua,
"Oh. jie-siauw-ya baru pulang!" hamba itu menyapa. Dia
berdiri tegak dengan tangan dikasi turun lurus,
"Ya!" si anak muda menyahuti, bersenyum. Terus dengan
langkah cepat dia jalan di pekarangan dalam gedung itu. Dia
tidak langsung masuk ke rumah besar hanya ke lorong
samping kanan dalam mana ada sebuah taman yang rumput
Ian pepohonan bunganya terawat baik, di mana pun ada
sebuah pengempang kecil dengan airnya yang benIng jernih,
yang sejumlah ikan emasnya lagi berenang memain
didalamnya. Di tepian pengempang itu tumbuh pohon anglioe
yang cabangnya meroyot turun.
Anak muda itu berjalan terus memasuki sebuah pintu
model rembulan, sampai di depan sebuah kamar, barulah ia
bertindak masuk. Itulah sebuah kamar tulis yang mungil dan
indah, ada para-para bukunya, ada gambar lukisannya, ada
pula empat helai pigura huruf-haruf tulisannya Ong Gie Cie yang kesohor.
Begitu tiba di dalam, anak muda itu meletaki burungnya
untuk menghampirkan para, untuk menarik keluar sejilid buku.
Cepat-cepat dia membalik-balik lembaran buku itu.
perhatiannya sangat tertarik.
,,Pasti ini, pasti gambar ini." dia mengoceh seorang diri.
"Hanya dia meminta harga limaratus tahil perak, Dari mana
aku bisa dapat uang sajumlah itu?"
Ia menjadi berdiri menjublak.
Dialah seorana anak terlahir di dalam satu keluarga
berpangkat akan tetapi apa lacur, ia telah tidak mendapatkan
kasih sayang ayah bundanya, apa pula ibu tirinya, ibu tiri itu
memandangnya seperti musuh hingga bukan kecintaan hanya
dampratan dan tongkat menjadi bagiannya. Baru dua tahun ini
keadaannya lumayan, disebabkan usia dewasanya. Toh dia
tetap dipandang mirip orang luar.
Sementara itu, selama tiga tahun lebih ini dia telah dapat
kesempatan belajar silat, secara diam-diam. Umpama kata
kelakuannya itu ketahuan orang tuanya, mungkin dia tambah
tak disukai. Tadi dia mampir di sebuah toko buku tua di Lioe lie ciang,
di sana dia dapat melihat sebuah lukisan karyanya Ong Mo Kit
yang diberi judul "Yoe San Goat Eng" atau "Bayangan
Rembulan di Gunung Sunyi." Ia tahu, lukisan itu ada
mengandung rahasia. Itulah lukisan yang ia ingin memilikinya
sampai ia buat impian selama dua tahun. Ia
ingin beli lukisan itu. Inilah yang membuatnya bingung.
Pemilik toko buku tua itu meminta harga seribu tahil perak,
ketika ia mengotot menawarnya, harga cuma diturunkan
sampai lima-ratus tahil, tak kurang lagi.
Lukisan itu ada rahasianya, apabila rahasia itu dapat
dipecahkan, harganya ada seumpama harganya sebuah kota,
dari itu, harga lima ratus tahil perak itu tidak mahal
bahkan murah. Hanya sulitnya untuk si anak muda, dari
mana ia dapat peroleh uang itu.
Kalau ia pergi kepada pemegang kas ayahnya, biasanya ia
dapat uang dari delapan sampai sepuluh tahil, tetapi lima
ratus tahil, itulah tak mungkin. Ia juga tidak dapat membuka
mulutnya! Alasan apa ia mempunyai"
Toh tidak ada jalan lain. Jumlah itu perlu didapatkan. Di
akhirnya dengan hati berdebaran, dia pergi juga kepada
pemegang kas, pegawai ayahnya yang mengurus keuangan
keluarganya. Pemegang kas itu memakai kacamata yang disebut
kacamata kura-kura, ketika si anak muda muncul di kamarnya,
dia lagi tunduk, tangan kanannya lagi mengetik shoei-phoa,
dia lagi menghitung. Dia mendengar tindakan kaki orang, dia
lantas mengangkat kepalanya, mulutnya tersungging
senyuman. Akan tetapi kapan ia telah melihat si anak muda,
lantas wajahnya berubah menjadi dingin.
Anak muda itu berdebar hati, kaget berbareng mendongkol.
Di hari-hari biasa, apabila ia melihat tampang demikian
macam dari si tukang uang, ia tentu sudah memutar tubuh
untuk berlalu pula dengan cepat. Kali ini tidaklah demikian,
kali ini ia mempunyai urusan sangat penting.
"Goe Loo-hoecu," ia memanggil terpaksa, "Sore ini aku
mempunyai keperluan, aku ingin pinjam uang sebanyak lima
ratus tahil perak. Aku tanggung akan membayar pulang
jumlah itu dalam tempo satu bulan."
Tukang uang itu melengak, dia menyingkirkan
kacamatanya dan menatap. Dia seperti tak mempercayai
telinganya. Tak lama dia mengawasi tajam, lalu ia mengasi
dengar suaranya yang keras.
"Tiong Hoa," katanya. "Aku kenal kau sampai begini besar,
maka kalau kau bicara. bicaralah dengan sedikit tahu aturan.
Selama beberapa tahun aku melihatnya kau menjadi tidak
keruan! Orang bilang di luaran kau bergaul dengan orangorang
penggemar main wanita dan penenggak air kata-kata,
hingga kau memakai uang seperti kau menuang air! Kau tahu,
ayahmu pernah bicara denganku tentang kau dan ayahmu itu
tawar hatinya.,..." Sepasang alisnya si anak muda bangun berdiri. Ia bicara
secara sungguh-sungguh tapi ia mendapat jawaban yang
diluar garis, jauh sekali terpisahnya dengan pokok soal.
"Loo-hoecoe," katanya sengit. "Siapa sudi mendengari
ocehan ini" Kau bilang, kau suka mengasi pinjam atau tidak?"
Pemegang kas itu juga membawa adatnya. Lantas saja dia
berludah, "Tidak! Tidak!" tolaknya keras, "Jangan kata lima tahil,
sepeser pun tidak! Jangan harap kau dapat merabanya! Orang
tak punya guna seperti kau ini...hm!.."
Hebat kata-kata itu, meluaplah darahnya si anak muda.
Tahu-tahu sebelah tangannya sudah menyamber ke dasa si
tukang uang, keras suaranya, keras juga akibatnya, tukang
uang itu terpental ke pojok tembok!
Goei Loo-hoe-coe berkoseran.
"Tiong Hoa! Lie Tiong Hoa!" dia berseru, tangannya
menuding, dia mencoba merayap: ''Kau,. .kau ...kau kejam..!"
Cuma sebegitu pemegang kas ini dapat berkata-kata, terus
dia roboh pula, terus napasnya berhenti jalan.
Anak muda itu melengak, kagetnya bukan main. Semenjak
ia belajar silat. inilah yang
Pertama kali ia menggunai tangannya.Sebenarnya ia tidak
tahu betapa besar tenaganya dan ia tidak tahu juga yang ilmu
silat dapat meminta jiwa orang secara begitu rupa. Ia belajar
silat pada seorang guru yang melarat dan berpenyakitan.
Guru itu membilangi muridnya ini bahwa dialah bukan
seorang Kang ouw yang berkenamaan, bahwa dengan belajar
silat padanya, ia jangan harap dapat menjadi seorang pandai,
ia cuma diajari dasarnya untuk menjaga diri, tak dapat dipakai
menghajar orang. Tapi ia diberitahukan ia mempunyai bakat
baik, sayang kalau ia terus belajar padanya, dari itu ia
dinasehati merantau. "Dunia Kang ouw mempunyai banyak orang lihay, mungkin
kau ketemu jodohmu!" demikian guru itu. Dengan jodoh itu
dimaksudkan ahli silat terpandai.
Kemudian, ketika si guru hendak menutup mata, dia
memberitahukan muridnya ini halnya suatu gambar rahasialukisan
Yoe San Goat Eng itu oleh Ong Mo Kit dari jaman ahala
Tong. Katanya Iukisan itu menyimpan rahasia besar, dan
bahwa ia sudah mencarinya untuk banyak tahun tetapi belum
berhasil menemuinya. Maka si murid
Dipesan untuk memperhatikan lukisan itu, katanya pula,
rahasianya lukisan dapat dipecahkan jikalau orang
memahamkan judul dan tulisan yang diberikuti di dalam
lukisan tersebut. Pesan itu diperhatikan Lie Tiong Hoa, demikian anak muda
ini. Sejak itu ia terus memperhatikan, baik di dalam toko-toko
buku, baik di rumah-rumah gadai, mau pun di rumah-rumah
orang hartawan dan bangsawan begitu ia mendapatkan
ketikanya. Akhir-akhirnya di took buku tua itu ia mendapatkan
sehelai lukisan tua jaman Tong, gambarnya sudah berwarna
kuning dan guram, tetapi ia masih melihat nyata, selang dua
jam memeriksa, ia pastikan itulah lukisan yang ia cari. Maka ia
lantas menawarnya. Tukang-tukang loak biasa bermata tajam, juga tukang loak
ini, melihat si anak muda sangat bernafsu, dia minta harga
tinggi itu, dia menancap paku, hingga Tiong Hoa habis daya,
hingga ia mesti pulang dengan hati bingung memikirkan
kemana ia mesti mencari uang. Demikian setibanya di rumah,
ia memeriksa dulu sebuah kitabnya, habis itu baru pergi
kepada Goei Loo-hoecoe. Siapa tahu, ia mendapat hidung
panjang sampai darahnya naik dan terjadilah pembunuhan
tidak disengaja itu. Syukurlah suara berisik itu tidak didengar para bujang. Ia
merasa untuknya tidak ada lain jalan daripada kabur buron.
Inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat hebat. Ia
juga tidak mempunyai sahabat yang nasihatnya dapat diminta.
Setelah dapat menahan berdebaran hatinya, ia angkat
tubuhnya tukang uang itu untuk diletaki di kolong
pembaringan. Tak dapat ia melupakan lukisannya Ong Mo Kit itu. Maka ia
menghampirkan laci uang dan menarik kotaknya. Ia menjadi
menyesal ketika ia dapat kenyataan uang kas berjumlah tak
cukup dua ratus tahil. Tapi ia mesti buron, ia membutuhkan
uang, yalah uang ayahnya. Maka ia samber uang itu, yang ia
bungkus dengan sobekan sabuk, tanpa kepergok siapa juga, ia
lolos dari pintu taman di belakang rumahnya.
Tiba di jalan besar, suasana jauh lebih ramai daripada tadi,
tapi ia tak sempat ia menikmati keramaian itu, Dengan
terburu-buru ia menuju ke Lioe lie-ciang, diamana keadaan
lebih ramai pula. Di situ ada berbaris belasan toko buku tua, ia
masuk ke sebuah yang terletak di ujung gang Soan-hoo.
Si tukang loak sudah berumur tujuh puluh tahun lebih,
ketika itu dia lagi berdiri di depan pintu, matanya mengawasi
orang-orang yang berlalu lintas, mengharap-harap
memperoleh langganan. Dengan tangan kirinya mengurut-urut
kumisnya yang mirip jenggot kambing gunung. Dia melihat
Tiong Hoa dating bergegas-gegas, ketika dia hendak menegur,
tangannya disamber terus dia ditarik ke dalam.
Setibanya di dalam, Tiong Hoa meletakkan bungkusannya
di atas meja, terus ia buka untuk memperlihatkan uang
perakannya yang bergemerlapan. la paksakan diri untuk
tertawa ketika ia kata; "Inilah jumlah yang aku dapat kumpul dengan susah
payah, aku harap kau terima ini dan kau serahkan gambar
lukisan Ong Mo Kit itu padaku!"
Sebagai pedagang kawakan, tukang loak itu heran hingga
dia menjadi curiga mungkin uang itu tidak keruan asalusulnya.
"Lie kongcu, maaf," ia berkata, "Aku tidak tahu kau begini
menghendaki lukisan itu, kalau tahu suka aku
menghadiahkannya kepada kau, saying sekali, tadi baru saja
ada lain orang yang membelinya..."
Tiong Hoa terperanjat sampai mukanya berubah pucat.
Inilah ia tidak sangka sekali. Hatinya mencelos berbareng
mendongkol. Ia putus asa barbareng gusar.
"Lie Kongcu, aku menyesal sekali," kata tukang loak itu,
yang kaget melihat wajah orang muda itu. "Aku menyesal
membuat kau putus asa, lain kali, kalau ada lagi lukisannya
Ong Mo Kit, pasti aku akan menyerahkannya kepada kau lebih
dulu...Ah, ada tetamu lagi, maaf, aku mau melayani dia."
Dan dia terus memutar tubuhnya untuk pergi ke depan.
"Tunggu dulu!" Tiong Hoa kata, berbareng denganmana ia
menyamber tangan kirinya tukang loak itu. Terus ia
mengawasi dengan mata bersinar. la tanya. "Siapa pembeli
itu?" Benar-benarkah?"
"Benar! Kenapa tidak!" sahut si pemilik took buku itu,
"Belum pernah aku mendusta pada langgananku, apa pula
kepada kongcu. Mustahil uang dating aku tampik.."
Dia berkata begitu tetapi berjengit, dia kaget. Keras cekalan
si anak muda hingga dia merasa sakit.
"Ngacoh. Kau tentu tak suka menjual sebab uangku
kurang." Mukanya tukang loak itu pucat, dia meringis.
,.Benar, kongcu." kata ia pula. "Pembeli itu berumur kurang
lebih empat puluh tahun, lagi suaranya mirip orang Tien ciu. Dia membelinya buat
seribu tahil perak. Dia mempunyai dua orang pengikut yang
menyoren golok. Mendengar panggilannya pengikut itu, dia
mestinya seorang po cu. Jikalau aku tidak salah melihat,
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dialah seorang Kangouw...."
Dia mengawasi si anak muda, hatinya kebat kebit. Dia
melihat sinar mata anak muda itu yalah sinar bingung,
menyesal, putus asa dan gusar bercampur menjadi satu.
Tiong Hoa sendiri berpikir: "lnilah tak mungkin. Guruku
membilangi aku, orang yang mengetahui lukisan rahasia itu
cuma tiga orang tua tapi mereka pun masih belum tahu
artinya rahasia itu. Hal itu guruku juga mendengarnya dari
seorang kenamaan lain. Di sini mesti terjadi hal kebetulan...."
Anak muda ini menjadi sangat berduka memikir nasibnya.
Dari kecil ia tak disukai ayah ibunya, sedang ibunya itu sudah
menutup mata lama hingga ia mesti hidup bersama ibu tirinya.
Orang tua itu sebaliknya menyayangi anak-anaknya yang lain,
pria dan wanita, terutama kakaknya. Karena itu, ia menjadi di
biarkan saja, ia cuma diberi makan dan pakaian. la sempit
dalam keuangan, tidak leluasa ia menampung gurunya yang
malarat itu. Ketika ia diajari silat, ia tidak diajari seperti
umumnya orang orang lain. Sembari rebah gurunya
memetakan dengan tangan dan kakinya, dengan sebatang
sumpit sebagai genggaman. Maka itu, sulit ia belajarnya.
Meski begitu karena ia berbakat dan cerdas ia memperoleh
banyak, ia melainkan tidak tahu bahwa pelajaran itu adalah
pelajaran silat berarti. Mengenai lukisan itu, ia dipesan mesti mencarinya, tak
perduli bagaimana sukarnya. Ia pun ditinggali surat wasiat,
surat mana tak boleh dibuka sebelum ia dapat lukisan itu.
Itulah tugas berat untuknya, yang muda dan tak
berpengalaman, yang tak punya uang juga. Tapi ia ingat itu
baik-baik dan ingin melakukannya hingga menjadi kenyataan
agar pesan gurunya dapat diwujudkan. Pula semenjak ia
belajar silat, semangatnya telah terbangun.
Sekarang, karena kecewa atas lenyapnya lukisan itu, ia
putus asa hingga hatinya menjadi panas. Ia piker tukang loak
ini manusia busuk dan serakah. Kenapa lukisan itu dijual pada
lain orang" Dengan begitu, tanpa dikehendaki, ia telah
menjadi seorang pembunuh.
"Dapatkah tukang loak ini dibebaskan?" pikirnya lebih jauh,
"Tidak!" Pembunuhan atas diri Goei Loo-hoecoe pasti akan
tersiar, sedikitnya besok. Tukang loak ini telah melihat uang
ini, dia pasti akan menduga aku, dan tentu dia bakal
membuka rahasia..." Tanpa merasa, Tiong Hoa memencet keras tangan tukang
loak itu. "Aduh. Tolong...." Tuan rumah menjerit.
Dengan tangan kiri Tiong Hoa mendekap mulut orang. Ia
sengit dan takut juga. Tukang loak itu tak berdaya, matanya mengawasi dengan
sorot ketakutan. Dia tidak dapat berontak, dia tidak bisa
berteriak. Mulutnya terdekap rapat.
Sang waktu berjalan, Tiong Hoa heran waktu kemudian ia
dapat kenyataan pemilik took buku itu diam saja, tubuhnya
menjadi lemas, mukanya pucat. Akhirnya ia menjadi kaget
sekali. Tahu-tahu orang telah putus napasnya.
"Ah..." ia mengeluh, sedang peluhnya lantas membanjiri
jidatnya. Ia kuatir bukan main. Lagi satu jiwa melayang di
tangannya melayang tidak keruan rasa.
"Lari!" itulah ingatan yang segera berkelebat di batok
kepalanya. Dengan sebat ia bungkus pula uangnya, ia memutar
tubuhnya. Hatinya sangat tegang, ia bergelisah.
"Tuan toko,." tiba-tiba ia mendengar suara memanggil dari
luar. la mendengar tindakan kaki orang. Dengan bingung ia
bertindak cepat sekali. la bersamplokan dengan seorang di
muka pintu. Mendadak ia menotok jalan darah thian kie, orang
itu, sampai dia itu mengeluarkan suara tertahan, tubuhnya
terus roboh. Ia tidak memperdulikannya, ia lari terus. Di lain
saat lenyaplah ia diantara orang banyak di jalan besar.
Malam itu malam yang indah. Langit bersih, si Putri Malam
permai. Dari gang Soan hoo, took buku tukang loak di Lioe lie-ciang
itu, Tiong Hoa menyingkir terus. Ia baru berhenti setelah tiba
di paseban To Jian Teng di Lam-hee-wa. Tadi ia kabur tanpa
memilih tujuan. Ia meluruskan napasnya yang memburu, ia menenangi
hatinya yang guncang keras. Sembari berpegangan pada
loneng, ia melihat syair di paseban itu, bunyinya : "Menyesal
aku bukan pelukis, yang dapat melukis gambar di waktu
malam, mendengari suara musim rontok"
Ah, hebat sekali....pikirnya. Aku menerbitkan onar ini cuma
disebabkan aku terkena bujukan gambar lukisan. Ini baru
permulaannya saja, bagaimana nanti akhirnya"
Tiong Hoa kenal baik paseban To Jian Teng. Bersama
beberapa sahabatnya pernah ia pelesiran di sini, minum arak
dan benyanyi-nyanyi, Sekarang ia dataag pula dalam
kesunyian, dengan hati yang berat.
Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan
pepohonan yang lebat, yang daunnya tersilirkan angin. Ia pun
menyaksikan air telaga yang jernih dimana sang rembulan
berbayang. Kalau di kejauhan terlihat sinar api maka di atas
langit bintang-bintang berkelak-kelik.
"Aku mesti pergi sekarang," katanya kemudian dalam
hatinya. "Tak dapat aku betrayal hingga pintu kota nanti
keburu ditutup. Kalau pembunuhan itu tersiar, biarnya aku
bersayap tidak bisa aku terbang.."
Maka ia menenteng bungkusannya, ia bertindak kea rah
barat. Selama berjalan, terus ia belum bisa merasa tenteram.
Tentang kematiannya si pemegang kas dan pemilik took buku
tua itu, ia tidak menyesal. Ia merasa mereka itu pantas
mendapat bagian. Ia menyesal untuk orang yang ia totok
selagi ia mau kabur itu. Orang itu tidak bersalah dosa. Maka ia
harap dia itu cuma pingsan dan jiwanya tidak terancam
bahaya maut. Tengah berlari-lari, Tiong Hoa berpapasan dengan empat
orang. Rupanya mereka itu sedang sinting terpengaruh air
kata-kata. Jalannya mereka terhuyung-huyung. Oleh karena
membelakangi rembulan, muka mereka itu tak terlihat tegas.
Dengan cepat ia lewat di samping mereka itu.
"Saudara Tiong Hoa! Saudara Tiong Hoa!" satu diantara
keempat orang itu memanggil-manggil. Lalu panggilan itu
diulangi oleh tiga yang lain.
Tiong Hoa heran. Ia sudah lewat setombak lebih tapi ia
menghentikan tindakannya. Ia sekarang mengenali suara
orang. Lekas ia menghampirkan.
"Oh, saudara Toan!" katanya. "Gembira kamu menggadangi
si Putri Malam! Tapi aku mempunyai urusan, aku mesti ke luar
kota, maka itu besok saja aku menemani kamu!" Ia member
hormat, lalu membalik tubuh, untuk melanjuti perjalanannya.
Jilid 1.2. Hitam makan hitam
"Ah, mana bisa" kata orang yang pertama memanggil itu,
Dia terus lompat untuk untuk mencekal lengan orang Dia
bermuka merah tandanya benar ia habis banyak minum.
Dengan mata kedap-kedip. dia mengawasi si orang she Lie.
Tiga yang lain lantas merubung.
Tiong Hoa tidak puas melayani keempat orang itu ia kenal
mereka sebagai anak-anak orang berpangkat, yang
biasaberpelesiran saja, karena mereka pa da memelihara guru
silat, mereka belajar juga sedikit.
Biasanya mereka tak memandang mata kepadanya, dari
itu, jadi ia pun tak sudi bergaul dengan mereka, ia tidakpuas
orang memegat ia selagi iaperlu lekas- lekas mengangkat kaki.
"Kau bergegas-gegas pergi ke luar kota, saudara Tiong
Hoa, kau tentu mempunyai urusan baik" kata orang yang
mencekal tangannya itu, Dialah Toan Kong, anak yang didapat
dari gundik dari Toan Kwee yang berpangkat pouw-koen tongnia,
komandan pasukan tentara berjalan kaki, "Kenapa kau
tidak mengajak kami ramai-ramai?"
Tiong Hoa bingung hingga ia berdiri diam saja. seorang lain
merabah-rabah bungkusan uang, dan menepuk nepuk. "Hai,
uang begini banyak." serunya, "Dari mana uang ini?"
"Dasar sial," pikir Tiong Hoa, bingungnya bertambah Kalau
besok mereka dengar kematiannya si tukang uang, pasti
mereka ini menduga aku... Kalau aku dituduh menjadi
pembunuh, bagaimana itu"
"Saudara Tiong Hoa, tidak benar sikap kau ini." Toan Kong
menegur, "Kita bersahabat kita mesti hidup bersama, senang
dan susah mesti bersama juga sekarang kau mempunyai
banyak uang, kau melupakan kita, Tempo kau tidak punya
uang, kita toh ajak kau turut pelesir juga" Bukankah aku
belumpernah tolak kau?"
Tiong Hoa mendelu itulah gangguan untuknya, ia pun sebal
untuk kelakuan mereka itu, ia nampak sabar tetapi
sebenarnya ia berhati keras dan memiliki keangkuhan juga.
"Toan Kong, jangan ngaco-belo." ia menegur, "Maaf, aku
siorang she Lie tak dapat menemani kau." ia lanias berontak
hingga sahabat itu terhuyung tiga tindak dan telapak
tangannya terasa sakit. Toan Kong terkejut ia heran kenapa Tiong Hoa bertenaga
demikian besar. ia lantas mendusin dari sintingnya, hingga ia
jadi mendongkol. "Mari." dia mengajak tiga temannya, "Dia punya banyak
uang, dia jadi banyak lagak. Mari kita hajar padanya, aku mau
lihat, tulang lunaknya dapat berubah menjadi kaku atau
tidak." Memang benar, Tiong Hoa biasa dijuluki si tulang lunak
Tapi sekarang ia menjadi mendongkol dan gusar, Maka itu,
justeru Toan Kong maju menghampirkan, ia lantas
menyambut dengan tinjunya kedada orang.
Putera tongnia itu mengerti sedikit silat, dia berkelit, tetapi
dia kurang sebat, dia kena terserempet hingga dia kesakitan.
Tentu sekali dia menjadi tambah gusar, Berbareng dia heran
sekali sedang dia tahu orang biasanya tidak mempunyai guna.
Ketiga kawannya heran juga, inilah yang pertama kali Tiong
Hoa berkelahi, tak heran dia kurang Iincah. Dia belajar silat
juga mirip orang belajar teorinya saja, sedang ilmu silat
membutuhkan latihan praktek berikut pengalaman.
Toan Kong menjadi gusar sekali. Dia memang
biasadimanjakan Lantas dia menyerang pula, beruIang-ulang
secara sengit. Dia menggunai ilmu silat "Tiang Keen" atau
Kepalan panjang dari BoeTong Pay, Dia juga berkaok-kaok.
Didesak begitu, Tiong Hoa jadi panas hatinya, maka
bukannya ia mundur, ia justeru maju, jurus jurus dari ilmu
silat sian Thian, Thay U Ciang.
Toan Keng lantas terpukul mundur. Dia heran hingga dia
menjublak. Justeru itu, lengannya kena disamber dan
ditangkap. sekarang dia menjerit bahna kesakitannya merasa
seperti dicengkeram gaetan baja, tak tahan dia, dia pingsan
dan roboh. Ketika kawan itu kaget.
"Pembunuhan Pembunuhan" mereka berteriak-teriak.
Tiong Hoa kaget, ia ingat ancaman bahaya, Tanpa
memperdulikan lagi Toan Keng, dia mengangkat langkah
seribu, Baru dia lari belasan tombak. dia merasa ada
bayangan yang melesat lewat disisinya ia tidak perhatikan itu,
ia mengira ini disebabkan matanya terganggu dan matanya
kabar, terus ia kabur keluar dari kota Yan-khia. Dengan begitu
maka tertariklah ia mesti hidup dalam perantauan.
ooQoo BAB2 KlRA jam tiga mendekati fajar, bintang-bintang mulai
guram dan rembulanpun kelam di barat di antara gumpalangumpalan
mega hitam, hingga jembatan Louw Kouw Hio
tertampak samar-samar melintang di atas sungai Yang. Tiong
Hoa Ketika itu air pasang. potongan-potongan es yang pecah
beradu nyaring satu dengan lain, Angin yang dingin meniupi
pohon-pohon yang-lioe di tepian.
Justeru itu waktu, seorang anak muda, yang romannya
pucat, lagi berdiri didepan loteng dengan mata mengawasi
jauh. Dia membungkam. "Kelihatannya banyak orang tak dapat dipercaya," dia
berpikir "Guruku sendiri, sikap dan kelakuannya aneh."
Ia berpikir begini sebab ia ingat gurunya mengaku ilmu
silatnya tak tinggi, namanya tak terkenal dalam dunia Kang
ouw atau sungai Telaga, bahwa ilmu silatnya dipelajarkan
untuk membikin kuat tubuh saja, bukan buat berkelahi tapi
buktinya sekarang ia dapat membunuh orang, ia pula heran
mudah saja ia mengalahkan Toan Keng si murid Boe Tong
Pay. Bahkan mungkinputera tongnia itu terbinasa akibat tinjunya
ini... Tiong Hoa tidak tahu, kepandaiannya Toan Keng baru kulit
saja dari ilmu silat sedang gurunya bicara secara merendah,
guru itu tidak mau memuji padanya dikuatir ia menjadi
berkepala besar, ilmu silat tak ada batasnya, kalau orang
berjumawa, dia bisa dapat susah. Guru itu ingin muridnya
insaf perlahan-lahan. Anak muda ini menarik napas panjang untuk melegakan
hatinya yang pepat, Lalu ia ngelamun perlahan "Tahun dan
bulan lewat terus, air tetap mengalir, semua tanpa batas atau
tempat berhentinya, semua berumur sama kekalnya seperti
langit dan bumi, Akan tetapi manusia, hari-hari kehidupannya
tak banyak.... Maka itu aku, jikalau aku tidak lekas menggunai
ketika ku, untuk membangun sesuatu apabila aku menantikan
saja musim semi datang dan musim dingin pergi, pasti aku
bakal menyesal seumur hidupku." Tapi, kapan ia ingat ia tak
berdaya, tanpa merara airmatanya mengalir keluar.
Tiba-tiba dari arah belakangnya ia mendengar suara yang
dalam ini. "Anak muda yang tak bersemangat. Nangis, Apakah
tangismu dapat memecahkan soal?"
Tiong Hoa terkejut, Gesit luar biasa, ia memutar tubuhnya.
ia melihat satu orang berdiri di depannya. Menampak muka
orang itu, ia terkejut puI a, itulah sebuah muka buruk sekali
dan menakuti. sepasang mata yang merah seperti mencelos
keluar, bersinar bengis. Muka buruk itu seperti ketutupan berewok ubanan, hingga
terlihat saja gigi giginya yang mirip caIing, Tubuh orang kasar
dan besar seperti tubuh itu ditutup baju panjang warna hitam
yang setinggi dengkuI. Baju itu berkibaran diantara sampokan
angin malam. orang aneh itu tertawa ketika dia melihat si
anak muda seperti jeri hatinya.
"Anak muda, jangan takut." dia kata, "Aku si orang tua
manusia, bukannya memedi, Kau mempunyai kesulitan apa"
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mari tuturkanpadaku, Mungkin aku dapat menoIong pecahkan
kesulitanmu itu, Lekas bicara, aku masih mempunyai urusan
penting yang mesti diselesaikan."
Tiong Hoa tak sudi menerima budi, ia menggeleng kepala.
"Tak dapat kau pecahkan kesulitanku itu, loojinkee." ia kata
masgul. "Aku telah membunuh orang" ia membahasa kau "loo-jinkee."
artinya orang tua yang dihormati
Nampak orang itu melengak tapi segera dia tertawa lebar,
Nyaring tertawa itu. bagaikan melayang ke udara, lalu
berkumandang. Ketika dia sudah berhenti tertawa, dia
menatap tajam dengan sinar matanya yang bengis itu.
"Aku si orang tua kira perkara hebat bagaimana" katanya
acuh tak acuh, "Membunuh orang itu apakah yang aneh"
sekarang ini aku sudah berumur enampuIuh lima tahun,
kurban jiwa ditanganku tak terhitung jumlahnya. Toh tak
pernah aku merasa tak tenteram hatiku" Dia tertawa pula,
lama. Tiong Hoa bergidik. "Mungkin dia edan-" pikirnya, "Katanya membunuh orang
itu tak aneh." Kembali orang tua itu tertawa, menyeramkan
suaranya. "Aku mengerti sekarang" dia berkata pula untuk kesekian
kaIinya. "Kau mengalirkan air mata disini sebab kau tidak
mempunyai jalan kemana kau dapat pergi, tapi ingatlah,
seorang laki-laki rumahnya ada di empat penjuru
lautan,jikalau kau tidak mencela aku, mari kau turut aku, aku
jamin seumur hidupmu kau akan hidup senang dan damai."
Anak muda itu heran, ia mendengar lagu suara orang itu
mirip lagu suara orang propinsi Hoolam, Tiba-tiba hatinya
tergerak. Mendadak ia ingat lukisan Yoe san Goat Eng - Bayangan
rembulan di gunung sunyi.
Bukankah si tukang loak bilang lukisan itu dibeli seorang
yang bicara dengan lidah Tiong- cioe dan bahwa pembeli itu
mungkin seorang poocoe, pemilik dari sebuah perkampungan"
Kenapa ia tidak mau turut orang tua inipergi ke Hoolam, guna
sekalian mencari lukisan ilu" Dengan cepat ia mengambil
keputusannya. "Cuma aku kuatir membikin kau berabe, loojinkee." ia kata.
Orang tua itu tertawa berkakak.
"Nah, mari kita berangkat" dia mengajak. Dan dia
mendahului bertindak pergi.
Tiong Hoa mengikuti. Baru balasan tombak, ia menjadi
heran, Nampaknya si orang tua jalan perlahan, buktinya
cepat, ia ketinggalan di belakang. ia bertabiat keras, taksudi ia
nanti dikatakan si lunak oleh orang tua itu, Maka ia menyedot
nafas, lantas ia jalan cepat. Ya, ia berlari lari.
"Dia mesti mengerti silat dan pandai juga," pikir Tiong Hoa
sambil mengikuti. Seumurnya belum pernah pemuda ini bercampur gaul
dengan orang Kang ouw atau Lok Lim--Rimba Persilatan,
belum dapat ia membedakan orang liehay atau tidak. tak ia
mengagumi orang tua yang suka menjadi sahabatnya ini, ia
belum mempunyai kepercayaan atas dirinya, dengan
mengagumi orang, ia seperti merendahkan dirinya sendiri.
Sekarang Tiong Hoa mulai mengerti gunanya ilmu ringan
tubuh yang diajari gurunya.
Ilmu itu diberi nama Hong Hoei ie soat artinya, BianglaIa
terbang, Mega berputar. Dengan menggunai ilmu ringan
tubuh itu, tubuhnya menjadi enteng, dia dapat lari cepat--
makin lama makin cepat, Baru setelah peroleh kenyataan ini,
ia dapat bersenyum. Si orang tua lari terus, sejak mula-mula belum pernah dia
menoleh satu kali pun. Toh ia memperlihatkan sinar heran,
inilah sebab, walaupun dia tidak pernah berpaling tetapi
telinganya dapat mendengar suara orang berlari-Iari dan dia
memperoleh kenyataan si anak muda tak ketinggalan jauh.
Maka dia menduga ilmu ringan tubuh pemuda itu tak dapat
dicela, Dia merasa, pemuda itu tinggal membutuhkan latihan
lebih jauh, agar larinya tak memberi suara lagi, yalah apa
yang kalangan persilatan heng in tioe soet-- mega berjalan, air
mengalir. Lama- lama Tiong Hoa bermandikan peluh dan bemapas
mengorok ia dapat kenyataan orang tua itu bukan mengambil
jalan besar hanya menerabas tegalan dan hutan, lantaran ia
mendapatkan pohon-pohon terlewatkan di sisinya.
"Eh, anak muda, kau sudah letih atau belum?"
Itulah pertanyaan tiba tiba dan untuk pertama kalinya dia
menoleh, sedang tindakannya juga dikendorkan, akan
akhirnya dia berhenti sendirinya. Lalu dengan sinar matanya
yang aneh, dia menatap kawannya yang mandi keringat itu,
terus dia tertawa geli, dengan ramah ia menanyai
"Dari mana kaupelajarkan ilmu larimu ini" itulah tak dapat
dicela" Tiong Hoa berhenti berlari, dengan tangan bajunya ia
menyusut peluhnya, ia merasa napasnya berjalan cepat sekali,
tapi ia lekas menjawab. "Loojin kee memuji aku, aku saja." katanya. "Aku
pelajarkan ini tiga tahun dari seorang guru yang tidak
mempunyai nama, Di banding dengan kepandaian loojinkee,
aku terpaut jauh sekali."
Orang tua itu menganggukperlahan, mukanya bersenyum.
"Kau benar", dia bilang, "Aku baru menggunai tujuh bagian
kepandaian, toh kau harus dipuji."
Tiong Hoa mengucap terima kasih. Melihat si orang tua
begitu ramah-tamah, ia menjadi suka bicara, sekarang tak lagi
ia merasa jeri atau jemu untuk roman orang yang buruk
itu,Bahkan dari pembicaraan tetamunya, ia mendapat tahu
she dan namanya orang tua itu, yalah Song Kie dan gelarnya
Koay-bin jin-him. Manusia Biruang Bermuka Aneh.
Berbareng dengan itu, si orang tua juga ketahui she dan
namanya serta riwayat hidupnya yang tak menyenangkan itu.
Tiong Hoa tidak mentertawakan julukan yang aneh itu,
yang sesuai dengan kenyataan, ia bahkan berlaku hormat,
kelakuannya itu cocok dengan tabiat si orang tua.
Biasanya, siapa mencela muka atau julukannya itu berarti
celaka untuk dirinya, ssbab ia benci-mulut jail.
Denganperkenalannya dalam tempo yang singkat ini. Tiong
Hoa masih belum tahu bahwa Koay-bin Jin-Him Song Kie
menjadi salah satu dari liong cioe, yang namanya sangat
kesohor dalam Rimba Persilatan. Baik kaum Pek too, jalan
putih, maupun golongan Hek-too, jalan Hitam, semuanya jeri
kepadanya apabila mereka berurusan dengan si Manusia
Biruang Bermuka Aneh yang sangat dihormati dan dimaIui.
Kalau Tiong Hoa ketahui ini, mungkin tak
sudi ia mengikuti dia. Orang tua itu mengeluarkan sebuah gandul air dari
sakunya, ia gelogoki ke dalam mulutnya, kemudian ia
membagi air minum ttu kepada si anak muda. Habis itu dia
mulai bicara pula. Lebih dulu ia menatap orang, agaknya dia
bersangsi, baru dia menanya:
"KauIah seorang anak sekolah, mengapa kau membunuh
orang" Apakah kurbanmu itu musuh besarmu dengan siapa
kau tak sudi hidup bersama di kolong langit ini?"
Tiong Hoa menggeleng kepalanya. "semuanya bukan."
sahutnya. "itulah kesalahan bunuh."
Song Kie menatap pula tajam.
"Kau jujur," katanya, "sebenarnya membunuh orang bukan
hal yang terlalu mengherankan, Aku juga telah membunuh
banyak orang, diantaranya ada yang tak selayaknya mati.
Hanya lah telah menjadi tabiatku, jikalau aku membunuh, tak
dapat aku membuat bocor tentang ini. perlahan-Iahan kau
bakal mengerti sendiri. Berkasihan terhadap musuh berarti
menanam bencana untuk diri sendiri"
Tiong Hoa mengangguk tanpa membilang suatu apa. ia
menerima baik jalan pikiran orang itu sedang di dalam hatinya
ia berkata: "Apakah artinya kata katamu ini" Mustahilkah
semua orang harus dibunuh" Bukankah kalau kau berlaku
telengas, orang memb atasnya kejam" permusuhan atau
balas- membalas toh tak ada batas habisnya" Aku berbuat
keliru, aku malu dan menyesal tidak sudahnya... di dalam
hatiku yang bersih menjadi ada bayangan yang memb uatnya
selalu tak tenang." Maka ia merasa anjuran Koay-bin Jin Him dapat membuat
ia rusak tanpa ada obat dapat menyembuhkannya. Tapi
segera ia berpikir pula. "Asal diriku putih- bersih, perduli apa
aku bercampuran dengannya" Asal aku tidak turut ternoda.
Aku mesti bisa membawa diriku"
Song Kie tidak memperhatikan jalan pikiran orang, dia
melihat langit, untuk mengetahui sang waktu.
"Mungkin mereka akan sudah datang..." katanya seorang
diri terus dia berpaling dan berkata: "Mari." ia menggeraki
tubuhnya untuk menjejak tanah, maka melompatlah ia kearah
kanan, bagaikan burung terbang melayang, sebentar saja ia
telah melalui beberapa tombak.
Menampak kepesatan orang Tiong Hoa kagum, ia lantas
menyusul, ia tidak dapat membada arti katanya orang itu, ia
cuma menduga itulah mesti ada maksudnya. ia berlari-lari
mengikuti dengan tetap menggunai ilmu ringan tubuh Hoei
Hong in soan. Mereka lari mendekati sebuah bukit kecil. Di atas itu Song
Kie berdiri dibawah sebuah pohon pek yang matanya menatap
jauh ke depan, Tiong Hoa menghentikan larinya sejarak lima
tombak, lalu dengan tindakan perlahan, ia menghampirinya. ia
menoleh ke sekitarnya, yang merupakan kuburan belukar,
banyak pohon yang kate. siputeri malam sudah doyong
kebarat, maka pepohonan itu memperlihatkan bayangan
bagaikan hantu-hantu yang bergerak-gerak tak mau diam,
Burung-burung malam mengasi dengar suaranya yang
menyeramkan. Berdiri di sisi si Manusia Biruang Bermuka Aneh, Tiong Hoa
menasang mata mengikuti mata orang itu. Di sana, di bawah
bukit, ada sebuah jalan umum bertanah kuning yang berlegat-
Iegot bagaikan seekor ular, sunyi senjap jalan umum itu.
"Heran," pikirnya, ia melirik dan mendapatkan roman Song
Kie berdiri terus berdiam, dia membiarkan si anak muda
berdiri di sisinya itu. Tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang terbawa angin
malam, terdengarnya jauh lalu dekat, suara itu tambah
menyeramkan. Tanpa merasa, Tiong Hoa bergidik, Song Kie
berpaling kearah dari mana suara itu datang. "Benar-benar
mereka datang?" katanya pula seorang diri.
"Siapa?" tanya Tiong Hoa tanpa merasa.
Song Kie menoleh, mengawasi tajam. ia tidak menjawab. ia
berpaling pula kearah tadi.
suara tadi itu terdengar pula, makin dekat. segera
tertampak lima orang bagaikan bayangan berlari-lari
mendatangi. cepat luar biasa, sampailah mereka itu. semua
lantas berdiri diam dan hormat di samping Song Kie.
"Apakah mereka sudah berhasil?" tanya Koay-bin Jin Him,
suaranya dalam. Salah seorang umur belum empat puluh, yang tubuhnya
jangkung kurus, menyahuti. "Mereka sudah berhasil, Karena
rapinya rencana kita pihak Pangeran tokeh menyangka itulah
perbuatan mereka itu, Lagi setengah jam, mereka juga akan
datang kemari, di antaranya ada seorang yang liehay
menyulitkan. Dia lah sam ciou-ya Cee-tan-Siauw-go si Memedi
bertangan tiga. Tongkee, apakah kita tetap dengan rencana
kita?" Song Kie cuma mengasi dengar suara dingini "Hmm"
Kelima orang itu sudah lantas mengawasi Tiong Hoa, sikapnya
tawar. "Tongkee, siapakah dia ini?" tanya si-jangkung kurus.
"Dia" oh Dialah penulisku yang baru, sekarang kamu boleh
pergi" jawaban itu dingin.
Lima orang itu menyahuti, "Ya." tampak semuanya lari
turun gunung, Tiba di jalan umum, mereka berhenti, agaknya
untuk menantikan sesuatu.
Tak senang Tiong Hoa melihat roman dan sikapnya kelima
orang itu, ia mendapat kesan orang berbau setan, sinar mata
mereka itu sangat memandang tak mata kepadanya, ia
menjadi tak tenteram hatinya.
Song Kie menoleh perlahan-lahan kepada si anak muda,
Dia kata, sabar: "Anak muda, sekarang ini kau masih
kekurangan nyali, di dalam rombongan kami, tanpa nyali
orang tak dapat bekerja. Lebih baik kau pergi turun untuk
menambah pengetahuan dan pengalamanmu."
Mendadak Tiong Hoa dipengaruhi sifat mau menang
sendiri, tak mau kalah, tanpa mengatakan sesuatu, ia pergi
turun. ia berjalan dengan cepat. Kelima orang itu melihat
datangnya anak muda ini, tetap mereka bersikap dingin.
Tiong Hoa berdiri dengan menolak pinggang, ia membawa
sikap jumawa ia sengaja mengawasi ke depan, tak mau ia
menghiraukan mereka itu. "Eh, Mau apa kau datang ke sini?" si jangkung kurus
menegur. Dia heran maka dia memecah kesunyian
Tiong Hoa tetap memandang kedepan, tak ia menoleh.
"Aku?" sahutnya. "Aku dititahkan tongkee mengawasi
kamu." Tong-kee itu panggilan pada ketua.
Si jangkung kurus menyeringai, romannya jadi bengis. Dia
mengangkat tangannya perlahan-lahan-
"Toako," mendadak berkata salah satu kawannya. "Apakah
kau merasa pasti tongkee tidak bakal mempersalahkan kau?"
"Hm," bersuara sijangkung kurus, dan ia menurunkan
tangannya itu. ia terus menggeser tubuh ke pinggiran.
Tiong Hoa telah melihat gerak-gerik orang dia lantas
bersiap sedia, Kapan orang menyerang maka ia akan
menyambut dengan pukulan "Siauw Thian chee Ci Cap-jie
Kiauw Na." yalah ilmu silat "Bintang Kecil" yang terdiri dari
tujuh puluh dua jurus yang lincah. Dengan itu ia bisa
menghajar orang hingga mati, tak tahu ia, dari mana
munculnya keberaniannya secara tiba-tiba itu orang yang
menasehati si jangkung kurus itu menghampirkan si anak
muda. "Kau bernyali besar tuan, aku kagum." katanya tawar,
"Meski kau menjadi penuIis baru
dari tongkee kami, tak nanti tongkee menitahkan kau
mengawasi kami. Kamilah Tiong tiauw
Ngo Mo. Toako kami tidak percaya karangan kau, dia
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menduga itulah jawaban bohong, dari itu dia ingin
menghukum kau. Aku lihat tuan tentu jemu dengan sikap
tawar kami maka kau sengaja mengatakan demikiansebenarnya
memang beginilah sikap tabiat kami, jadi bukan
sengaja kami memandang tak mata kepadamu."
"Maaf..." kata Tiong Hoa sambil tertawa dingin, ia tidak
takut meskipun orang adalah Tiong-tiauw Ngo Mo, Lima Hantu
dari Tiong-tiauw. Tengah si anak muda menyahuti itu, si jangkung kurus
membentak, "Ngo-tee, apakah kau tak takut mulutmu pecah"
Lihat, mereka sudah datang." orang yang dipanggil ngo tee itu
-- adik yang nomor lima, menoleh.
Tiong Hoa berpaling juga, maka ia melihat mendatanginya
empat orang, Mendadak seperti buyar keb era niannya
barusan, diam-diam ia menyingkir kearah pepohonan di
dekatnya. Kelima orang itu, yaitu Tiong-tiauw Ngo Mo. agaknya
tegang sikapnya, Mereka lantas bersiap sedia melakukan
penyerangan. Empat orang itu, yang tadi merupakan titik-titik sebagai
bayangan, lekas juga sudah datang dekat, sangat pesat
larinya mereka. Sebentar saja, tibalah sudah mereka.
Tiong Hoa memasang mata, ia tidak dapat melihat muka
orang, yang membaliki belakang, ia cuma tahu mereka itu
orang tua semua, kumisnya pun panjang. Mereka seperti tidak
menghiraukan kelima hantu, mereka jalan terus.
Tiongtiauw Ngo Mo tertawa dingin, lantas mereka
menyerang dengan berbareng.
Keempat orang tua itu agak kaget, mereka lompat mundur
satu tombak. Satu diantaranya mengawasi kelima penyerang
itu, lantas dia tertawa dingin dan kata: "Ah, aku menyangka
siapa, kiranya kalian, dengan kepandaian kamu yang umum ini
kamu berani lakukan perbuatan hitam makan hitam " Hm,
tahukah kamu siapa kami ini?"
"Kami tidak perduli kamu siapa" sahut si jangkung kurus,
yang usianya pertengahan, suaranya dingin. "Untuk kamu
cukup asal kamu meninggalkan barang yang kamu bawa itu.
Dengan begitu baru kami suka mengasi kamu lewat."
Orang tua itu menjadi gusar secara tiba-tiba, dia maju
menyerang. Dengan tangan kanannya, dengan sebuah jeriji,
dia menotok jalan darah, Gerakannya itu sangat cepat sekali.
Si jangkung kurus tabah luar biasa, Dia seperti tak
menghiraukan serangan itu, Dengan sama gesitnya dia
meluncurkan tangan kirinya, guna menotokjalan darah thianhoe
dari si orang tua, Berbareng dengan itu, dengan tangan
kanannya, dia menghajar, membacok, lengan si orang tua.
Agaknya si orang tua terkejut, cepat-cepat dia menarik
pulang tangan kanannya itu, tapi si jangkung kurus
merangsak, ia menotok kejalan darah ciang boen, ia tetap
menggunai tangan kirinya.
Tiong Hoa kagum, sangat cepat gerakannya dua orang itu.
Orang tua itu ialah sam Cioe Ya cee Tam siauw Go seperti
diterangkan si jangkung-kurus tadi kepada Song Kie. Buat
Sungai Besar bagian selatan dan Utara, dia ternama besar
untuk kegagahannya, pantas dia berani dan liehay. Dia lantas
menyerang dengan dua dupakannya saling-susul.
Toa Mo, si Hantu pertama, tertawa seram, tubuhnya
lompat terapung, dia telah menggunai tipu berlompat Peng
tee chee in," atau Awan hijau ditanah datar" Tapi dia tidak
lompat setinggi mungkin- Baru kira dua kaki, tub uhnya sudah
membungkuk, kedua tangannya meluncur. Dari atas dia meny
amber kedua pundak lawan.
Sam Cioe Ya cee menjejak tanah, ia lompat mundur
tigakaki, setelah bebas itu, ia maju pula untuk menyerang lagi
dengan beruntun-runtun. Toa Mo mendongkol karena kegesitannya itu, Dia
menangkis dia menbeIa diri terus, dia membalas menyerang.
Dia berlaku sama garangnya.
Sampai itu waktu, keempat Hantu habis sabar, Mereka
lantas maju menyerang tiga orang tua lainnya. Mereka ini
menonton saja. lantaran diserang, mereka membuat
perlawanan. Hebat pertempuran mereka itu. Tiong Hoa menonton
dengan perasaan ketarik. Untuknya, pertempuran itu
mendatangkan faedah besar, seumurnya belum pernah ia
menyakslkan semacam pertarungan itu, memperhatikan
sesuatu gerakan. Sang waktu berjalan, rembulan sudah kelam, tinggal
bintang-bintang yang muram. Cuaca menjadi guram, Tapi
pertempuran berlangsung terus.
Tiong Hoa menonton dengan merasa heran, ia tidak
melihat munculnya Song Kie. Kemana
perginya tongkee itu" Kenapa dia berdiam saja"
Sekonyong-konyong ia melihat sebuah tubuh besar melesat
datang sembari tertawa berkakak, Mendengar itu, kelima
Hantu lantas lompat mundur, sebaliknya keempat orang tua
itu nampak terhuyung mau roboh.
Segera Tiong Hoa mengenali orang itu, adalah Koay-bin jin
Him yang ia buat pikiran. Tam siauw Go lantas tertawa dingin,
"Aku tidak sangka sekali Song Loo-toa dapat bersikap
seperti tikus" katanya mengejek. "Kalau Tam siauw Go mati,
dia bakal menjadi setan yang akan menagih jiwamu."
Song Kie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia tertawa lebar.
"Tam siauw Go. ingatkah kau kejadian pada tahun dulu di
benteng air di telaga Thay ouw ketika kaum jalan Hitam
mengadakan rapat bersama?" dia tanya.
"Bukankah ketika itu di muka umum kau telah menghina
aku" Nah, sekarang kau tahu rasa, Bersama-sama kawankawanmu
ini yang ada tiga bandit dari jalan Kam Liang kau
sudah terkena pakuku, paku Thian Iong-tong. maka itu,
didalam tempo tiga jam, racunnya paku bakal menyerang ulu
hatimu, untuk sebentar terang tanah kawanan begundal
pembesar negeri boleh datang mengurus mayat kamu"
Tam siauw Go terkejut, apa pula setelah itu ia lamat
melihat ketiga kawannya roboh saling susul, terus berkoseran
di tanah, sedang ketiga kawan itu Kam Liang sam To tiga
begal dari jalan Kam Liang bukan sembarang orang. Percuma
ia kaget, iapun lantas menyusul roboh untuk tak ingat apa apa
lagi. Sekonyong-konyong Song Kie berlompat kepada keempat
orang tua itu, Dia bergerak sangat pesat seperti dia datang
barusan. Kali ini untuk mencabut empat buah pakunya, paku
Thian-Iong-teng atau serigala Langit dari dadanya keempat
korban itu, kemudian dari tubuh yang seorang, ia menarik
keluar sebuah kotak kecil warna hitam, yang mana ia buka
tutupnya secara hati-hati.
Di depan matanya lantas bersinar sinarnya permata, hingga
alis dan kumisnya nampak kehijau-hijauan warnanya.
"Hahaha..." dia tertawa lebar, "sekarang ini terpenuhilah
separuh dari keinginanku banyak tahun" Suara tertawa itu
mendengung di tanah pegunungan itu.
Tengah Koay-binJin Him girang kepuasan itu, sinar permata
itu tiba-tiba menjadi sirap.
Dia merasakan sebuah tolakan keras dan kotaknya itu
hilang dari tangannya, Dalam kagetnya ia melihat sebuah
tubuh kecil langsing mencelat pergi dengan lincah sekali,
tubuh mana meninggalkan tertawa nyaring tapi halus yang
sedap didengar telinga, kemudian bagalkan asap lenyaplah dia
di kejauhan. Bukan main terkejutnya Koay-binJin Him, Dia lompat meny
amber. Tapi dia ketinggalan sedetik. Perampas itu lolos,
saking murka, dia berseru keras, terus dia berteriak: "Kejar"
Dia pun mendahului lari kearah mana perampas itu kabur.
Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar. Mereka tak menghiraukan
lagi Tiong Hoa. Lie Tiong Hoa menonton pertempuran dengan asyik sekali,
ia sangat ketarik hati, ia kagum menyakslkan liehaynya Song
Kie, ia pun heran melihat ada orang merampas kotak
permata di tangannya Koay-bin Jim-Him. tengah ia
melengak itu, ia lantas di-tinggal pergi mereka semua.
Ia masih berdiam tempo ia merasa ada barang apa-apa
menimpa kepalanya hingga ia merasa sedikit nyeri, ia meraba.
hingga ia kena pegang sehelai daun. ia terkejut hingga ia
tercengang pula, matanya terbuka, mulutnya ternganga. inilah
seorang cerdas, ia dapat berpikir.
Di-dalam musim semi seperti itu, tak nanti ada daun rontok
tertiup angin juga tak ada daun yang jatuh langsung ke tanah,
mestinya melayang- layang dulu, Maka itu, itu mestinya daun
yang dipakai menimpuk dengan "Hoei-Hoa-tek Yap Cioe hoat,"
ialah ilmu "Menerbangkan bunga memetik cabang" Karena
ingat ini, ia terus dongak. melihat keatas.
Kembali ia menjadi heran. Di atas pohon, teraling dengan
dedaunan ia melihat seorang nona nangkring di atas cabang,
Yang terlihat tegas ialah mukanya yang cantik dengan
matanya yang jeli, Nona itu mengawasi ia sambil tersenyum,
dia mirip bung a yang baru mekar.
Ia bingung, hatinya pun berdenyut Manusia kah" setankah"
ia hendak membuka mulutnya, lalu batal, ia digoyangi tangan,
kepala nona itu digoyangkan. Terpaksa ia diam menjublak.
mendelong mengawasi. Bagaikan ular, tubuh nona itu merosot turun, tak terdengar
suaranya sama sekali, tahu-tahu dia sudah berdiri didepansi
anak muda. Dia mengenakan pakaian serba hitam yang
singsat, hingga berpetalah tubuhnya yang Iangsing.
Tiong Hoa terlahir di kotaraja, ia gemar gelandangan, ia
pernah melihat banyak nona- nona, tetapi melihat nona ini,
semua kecantikan dikotaraja itu sirna.
Cantik sekali si nona, putih bersih dua baris giginya, Paling
menggiurkan ialah sepasang sujennya, Adakah dia Tat Kie
yang menjelma pula " Nona itu menampak orang melongo, dia
tertawa perlahan, kedua matanya bermain.
"Eh, apakah kau belum tahu siluman she Song itu bukan
manusia baik-baik?" dia tanya perlahan, suaranya merdu,
"Dengan mengikuti dia, kau bakal tidak memperoleh apa-apa.
Baiklah selagi mereka tidak memperh atikan, kau tinggalkan
dia pergi. Berangkatlah sekarang juga, ke kuil malaikat tanah
di luar pintu barat kota Lay-soei, disana kau menantikan
nonamu, nanti nonamu menunjuki kau sebuah jalan
keselamatan." Senang sekali Tiong Hoa mendengar kata kata itu dan ia
mendapat perasaan tak dapat ia menolak. Maka juga tanpa
berpikir panjang lagi, ia berkata: "Baiklah, nona, aku dengar
nasihatmu ini, sekarang juga pergi," ia lantas memberi
hormat, terus ia memutar tubuhnya, bertindak pergi, ia
barujalan kira delapan tindak, telinganya mendengar Song Kie
tertawa nya ring, ia terkejut, ia menyangka Koay-bin Jin Him
mempergokinya, ia berpaling dengan cepat, ia tidak melihat
Song Kie, hanya ia menampak si nona baju hitam memberi
tanda padanya untuk berjalan terus, ia menurut, bahkan ia
lantas lari. Tiong Hoa heran sendirinya, ia tidak kenal nona itu. Kenapa
ia kesudian mendengar kata- kata nya" ia mau menduga,
dengan meninggalkan Song Kie, mesti bakal terjadi sesuatu,
Mungkin ia bakal kehilangan jiwanya.
Toh ia tidak menghiraukan itu, ia merasa si nona ada
sangat berharga untuknya, entah karena ia tertarik hatinya,
entah karena kesannya yang baik terhadapnya.
Sekarang Tiong Hoa mesti berlari-lari di tempat yang gelap.
Rembulan sudah kelam dan bintang-bintang guram sekali,
berlari dengan menggunai Hoei Hong in soan lantaran ia kuatir
Song Kie atau Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar dan
menangkapnya. Ia lari cepat sekaii, inilah yang pertama kali ia
menggunai ilmu ringan tubuhnya dengan sungguh-sungguh.
Baru sekarang ia merasa berapa pes at ia dapat berlari, ia
bermandikan keringat dan merasa letih juga.
Ketika fajar menyingsing, Tiong Hoa telah sampai di luar
kota timur dari kota kecamatan Lay-twi, ia lari mutar
melintasinya, untuktiba dipintu barat. Benarlah di luar pintu
barat itu ia melihat kuilnya malaikat tanah yang terletak diatas
sebuah tanjakan sebelah kanan ia menghela napas lega,
lantas ia lari menghampirkan kuil itu.
Itulah sebuah kuil yang sudah tua dan rusak. Ketika ia
bertindak masuk kedalamnya, ia mendapatkan banyak sarang
labah-labah dan bau busuk membikinnya mau muntah.
Ruangan dalam Kuil itu seperti juga sarang hantu.
Walaupun ia tak disayangi orang tua nya, Tiong Hoa tetap
anak keluarga berpangkat, akan tetapi sekarang ia hidup
terlunta-lunta, hatinya toh bercekat, ia jugaheran.
Kuil ini berdekatan dengan pintu kota, kenapa tidak ada
orang yang urus?" ia kata dalam hatinya. "lnilah aneh..."
Ia berhenti berpikir sebentar, lantas ia berpikir pula: "si
nona menyuruh aku menantikan dia di sini. Kenapa dia justeru
memilih kuil ini?" Tengah ia bingung itu, matanya bentrok dengan sebuah
peti mati di ujung ruangan, tadi ia tidak melihatnya lantaran
penerangan remang-remang dan ia belum memperhatikan
sepenuh nya. Tanpa merasa, ia bergidik. Peti itu
membuatnya mendapat perasaan tak enak sekali. Maka ia
memutar tubuh nya, berniat pergi keluar.
Tiba-tiba, peti mati itu mengasi dengar suara bergerejot,
lantas ia melihat tutupnya terangkat perlahan-lahan. Bukan
main kagetnya ia. sampai ia merasa kakinya lemas, sampai ia
tak dapat berg era k Dengan mata mendelong ia mengawasi
terus. Begitu lekas tutup peti itu sudah terangkat semua, di dalam
itu terlihat seorang wanita tua menggera ki tubuh untuk
berduduk. Dia berambut putih dan rambutnya itu terurai
sampai dipundaknya, Melihat kulitnya dan kurusnya, dia mirip
mayat hidup, romannya menakuti.
Nyonya itu menyingkap rambutnya.
"Apakah kau telah kembali, anak In?" begitu terdengar
suaranya perlahan. Tiong Hoa berdiam. Jilid 2 : Siapa berbuat baik mendapat kebaikan
Nyonya itu menanya pula. Tetap ia tidak memperoleh
jawaban, maka ia mengulanginya. Tempo ia nasib tak
dapatpenyahutan, ia menjadi gusar.
"Siapa berada dalampendopo ini?" dia tanya, suara bengis,
"jikalau kau tetap tidak mau menjawab, jangan kau sesalkan
aku si orang tua?"
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong Hoa bergidik pula. Tapi sekarang ia menetapi hati,
"inilah aku si orang she Lie..." ia menyahut.
Belum berhenti suara jawaban itu, mukanya si nyonya tua
nampak berubah, lalu mendadak dia menyerang dengan
tangannya. Tiong Hoa kaget, tahu-tahu ia merasa terserang hawa
dingin sekali, hingga tubuhnya
menggigil, habis mana ia merasai tubuhnya mulai kaku,
darahnya seperti membeku dan kedua matanya tak dapat
dibuka lagi, ia menjadi seperti lupa ingatan dan ingin tidur
saja. Tapi ia melawan, ia mengeraskan hati nya, karena mana
tidaklah ia sampai roboh.
Tepat itu waktu, sebuah tubuh kecil langsing berlari masuk
kedalam ruangan itu, segera terdengar suaranya yang menyatakan dia kaget
sekali: "lbu Mengapa kau menggunai pula seranganmu Pek
Koet Im Hong" Mana orang dapat bertah an?"
Matanya Tiong Hoa rapat dan berat, ia tetap ingin tidur
saja, akan tetapi pendengarannya masih terang, otaknya
masih sadar, maka itu, ia mendengar dan mengenali suara si
nona tadi. "Anak In," ia mendengar suara si nyonya lemah, "adakah
orang ini sahabatmu" ibumu telah menanya dia sampai tiga
kali, baru dia menjawab memperkenalkan diri sebagai orang
she Lie. Karena keayalannya itu, ibumu menyerang dia
sekarang tolonglah dia dulu, baru kita bicara lagi."
"Dasar ibu yang sembrono," kata si nona menyesali "Kalau
dia orangnya musuh, mustahil dia suka memberi ketika
sampai ibu membuka mulut".."
Habis mendengar penyesalan itu, Tiong Hoa lantas merasa
ada tangan yaug lunak yang menempel dipunggungnya, ia
menduga si- nona mulai menolongi padanya.
Segera juga ia merasakan hawa hangat tersalurkan
kedalam tubuhnya, Bagaikan es lumer, hawa dingin mulai
terasa kurang, makin lama ia merasa makin ringan. Ia terus
menutup matanya, selagi berdiam itu, ia berpikir, ia heran
untuk pengalamannya ini. Sebegitu jauh ia sebal dengan
penghidupannya yang malang, sampai ia mau beranggapan
orang tak dapat dipercaya. Tapi sekarang ia menemui nona
yang berhati baik ini, ia di tolongi orang yang tidak dikenal.
"Penghidupan itu aneh..." pikirnya. Tanpa merasa ia tertawa.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya si nona perIahan-
Tiong Hoa tidak lantas menyahuti. ia jengah, justeru itu ia
dengar si nyonya tua menanya puterinya: "Anak In, heran.
Aku menyerang dengan Pek Koet In Hong lima bagian luka
orang itu ringan, kenapa kau menoIongi dia dengan tenaga Cit
Yang Cin-lek masih jugabelum berhasil?"
"Ah, ibu" si nona masih menyesali " Kenapa kau menyerang
demikian hebat kepada orang yang tidak mengerti silat " Dia
sebenarnya sudah sembuh tetapi aku mau menambah
tenaganya dengan cit Yang Cin-Iek."
Tiong Hoa mendengar semua pembicaraan itu. Tidak dapat
ia berdiam terus, Maka ia membuka matanyaJusteru itu,
tangan si nona lantas ditarik pulang dan nona itu tiba tiba
berada didepannya, menatap ia dengan matanya yang jeli.
Karena mereka berada dekat sekali, ia dapat mencium bau
harum, ia menjadi likat sendirinya, pipi dan telinganya menjadi
merah, ia pun takut untuk membalas mengawasi nona itu. ia
terus memandang kearah peti mati.
Si nona bersenyum melihat kelakuanpemuda itu, ia lantas
bertindak kepeti mati itu. "lbu." ia memanggiI.
Ketika itu ruangan masih guram, si nyonya, bercokol
didalam peti mati, Nampak bagaikan hantu.
"Ibu." berkata pula si nona, "mestika itu telah berhasil aku
dapati. Maka ibu bakal melihat langit dan matahari pula
sekarang mari kita lekas berlalu dari sini, supaya orang tidak
menyangka kepadaku."
"Apa, kau berhasil?" tanya si nona. Dia girang hingga
suaranya bergetar. "Dasar orang baik dilindungi Thian."
Mendengar pembicaraan itu, baru sekarang Tiong Hoa
ketahui si nyonya buta matanya, pantas tadi dia lambat
menggeraki tangannya menyerang ia Jadi nyonya itu menanti
dulu jawaban, untuk mengetahui di bagian mana ia berdiri.
Nyonya itu mengangkat seb atang tongkat dari sisi dengan
pertolongan itu ia lantas bangun berdiri, gesit gerak-geriknya.
" Entah mustika apa itu yang dikatakan si nona?" kata
Tiong Hoa dalam hatinya, ia lantas mengerutkan aIis. Ia
sekarang melihat kakinya nyonya ini bercacad. si nona
memandang sipemuda, ia melihat air muka orang, ia tertawa.
"Aku tahu kau heran atau bercuriga, ingin kau menanyakan
sesuatu padaku" ia kata. "Benar, bukan" sekarang kami mau
lekas berlalu dari sini, jangan kau tanya apa-apa. Di mana ada
ketikanya, kau tunggulah sampai kita berada di siauw Ngo Tay
nanti kau ketahui sendiri."
Si nyonya sudah pergi ke belakang ruangan.
"Mari kita berangkat." kata si nona, "jangan kau sangka
karena kakinya bercacad ibu jadi tak leluasa bergerak. Asal ia
menggunai tongkat, mungkin kau tak dapat menyusulnya."
"Hm, Aku tak percaya." kata Tiong Hoa di dalam
hatinya.."Sungguh gila kalau kakiku tak dapat mengejar orang
yang tak ada kakinya." oleh karena si nona sudah bertindak
pergi, pemuda ini lantas menyusuI. Di bagian belakang, kuil
terlebih gelap daripada di bagian depan,
satu kali Tiong Hoa terkejut, ia mendengar suara sesuatu
yang terhajar hebat, lantas ia melihat sinar terang.
Itulah si nyonya tua, yang menyerang jendela hingga
daunnya menjeblak. habis mana dia berlompat keluar dari
liang jendela itu. Si nona mengikuti terus. Ketika Tiong Hoa sudah melompat
keluar, nyata ibu dan gadis itu sudah meninggalkan ia belasan
tombak. ia melihat juga, sekali menekan tanah, nyonya itu
dapat berlompat jauh lima atau enam tombak. ia menjadi
heran dan kagum. jadi benarlah kata pemudi itu. oleh karena
ia kuatir nanti dicela si nona, ia lantas menyusul.
Mereka berlari-Iari di daerah pegunungan yang tinggi dan
rendah, di mana pun tumbuh banyak pohon lebat, itu waktu
matahari yang menerangi bukit kuning sinarnya.
Sesudah meninggalkan jauh kuil malaikat tanah itu, Tiong
Hoa mendapat kenyataan ia terpisah belasan tombak dari si
nyonya dan nona, sekarang ia mengerti bahwa ia kalah.
Ia menjadijengah sendirinya ia pula di hinggapi keheranan,
kenapa nyonya tua itu tahu jalanan sedang matanya buta.
Selagi ia memikir itu, pemuda ini ketinggalan lebih jauh
pula. ooooo BAB 2 PERJALANAN dilanjuti terus, Di waktu matahari mulai turun,
Tiong Hoa bertiga sudah sampai di kota Tembok Besar, yaitu
kota Cie-keng-kwan, dijalanan penting Hoei-bo kauw, Di
waktu matahari turun itu, Tembok Besar memperlihatkan
keindahannya. Terlihat tembok kota panjang berliku-liku. sinar
matahari pun berwama lima rupa.
Sekeluarnya dari Hoei-bo kauw itu, orang berada di tanah
perbatasan. Dari situ gunung siauw NgoTay sudah mulai
tampak, itulah gunung yang menjadi salah satupusat agama
Buddha dan dalam keindahan alam, dia tak usah kalah dengan
NgoTay san yang besar. Di dalam Hoei-ho-kauw, dimana ada jalan besar yang
pendek berbaris beberapa rumah warung, sebaliknya orang
yang berlalu-lintas, waktu itu sedikit, inilah mungkin
disebabkan angin keras, yang membuat debu danpasir
berterbangan sampai orang sukar membuka matanya.
Lie Tiong Hoa ikut si nyonya dan gadisnya memasuki
sebuah losmen kecil yang merangkap menjadi rumah makan.
Di situ sudah berkumpul banyak tetamu lainnya, yang sedang
duduk dahar dan minum, Kapan mereka itu melihat tiga orang
ini, ruang menjadi sunyi senyap. semua mata lantas diarahkan
kepada mereka bertiga. sukar jalannya si nyonya, pula mereka
bertiga bed a sangat nyata.
Si nyonya tua dan kurus mirip tengkorak. -si nona
sebaliknya cantik sekali, sedang si pemuda tampan mirip
seorang pemuda hartawan. Maka selain mengawasi, tetamutetamu
itu kasak-kusuk. bahkan ada yang berkata-kata tak
sedap didengarnya. Si nona mengerutkan alis. Dia melihat dan mendengarnya
sebal, Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, Maka dia
memandangnya tawar. Tiong Hoa tak berpengalaman, ia heran-suasana di kota
raja. Ketiganya lantas berduduk. si nyonya duduk tegak.
romannya menyeramkan, pelayan sudah lantas membawakan
arak berikut kuwe yang masih panas. Tidak lama maka
suasana dalam ruang itu kembali menjadi biasa.
"Sekarang ini di kota Yan-khia telah terbit beberapa perkara
hebat." terdengar seorang berkata, "Semua perkara itu
menyebabkan repotnya anjing-anjing kantor"
"Coba tuturkan, toako" kata seorang Iain- "Pastilah itu
perkara-perkara yang menarik,"
Hati Tiong Hoa bercekat, ia lantas menoleh kepada orang
yang berbicara itu, yang merupakan serombongan dari tujuh
atau tetamu dengan pakaian hijau dan masing-masing
menggendoI senjata tajam.
Seorang, yang mukanya bercacad bekas bacokan golok,
yang romannya bengis, meneguk araknya, lalu dia berkata:
"Kejadian mulai kemarin dulu malam kira jam dua, Toan Kong,
puteranya Pouwkoen Tongpin Toan Kwee, ada bersama dua
tiga kawannya, Mereka sedang pelesiran.
Selagi lewat di dekat paseban To Jian Teng di Lam hee-wa.
mereka bertemu dengan Lie Tiong Hoa puteranya Lie sie-Iong,
yang romannya bingung, Toan Kong menjadi heran, dia
menegur, tak tahu bagaimana, mereka menjadi berkelahi,
Heran putera tie-tong hu, yang romannya lemah. dia telah
menghajar pingsan Toan Kong murid BoeTong pay itu. setelah
itu ketahuan Lie Tiong Hoa telah membunuh mati pemegang
kasnya serta merampas uangnya.
Kemud ian ketahuan juga, ia telah membinasakan tukang
loak di Lioe lie-ciang serta
seorang Iangganannya. Peristiwa itu lantas
menggemparkan seluruh kota..."
Mendengar itu, mukanya Tiong Hoa pucat sendirinya, si
nona dapat melihat perubahan air muka itu, lantas ia
menduga, pemuda ini tentulah Lie Tiong Hoa itu si putera sieTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Iong. ia mengawasi seraya bersenyum. Tiong Hoa mencoba
menetapkan hati, ia bersenyum juga,
si nona bersenyum dengan hatinya menduga- duga, Kalau
si pemuda orang Kang-ouw, peristiwa itu lumrah. Anehnya
yalah dia ini pemuda turunan orang berpangkat, Kenapa dia
membunuh begitu banyak orang"
"Semua peristiwa itu membikin repot kawanan kaki anjing"
orang itu melanjuti penuturannya. ia menyebut kaki anjing
kepada hamba-hamba polisi.
"Satu gelombang belum sirap. datang satu gelombang lain
inilah hal tercurinya satu cangkir mestika milik Pang eran
Tokeh: itulah cangkir Coei in Pwee yang terbuat dari kemala
Khotea yang terukir mega biru ungu. Empat centeng telah
terbinasa kerenanya, kemudian didapat keterangan, pencurian
berikut pembunuhan itu perbuatannya Kam Liang sam-to yaitu
ketiga penjahat dari Kam liang serta sam Cioe Ya-cee Tam
siauw Go si Mamedi Bertangan-tiga yang dikenal juga sebagai
Tian-tam It Kwie, setan-tunggal dari IoIam selatan-,."
"Apakah faedah atau khasiatnya cangkir kemala Kho toa
itu?" tanya seorang, "Bagaimana cangkir kemala itu dapat
menggiurkan hatinya Kam- liang sam-to dan sam Ciu Ya cee
Tam siauw Go?" "Tak tahu aku perihal khasiatnya cangkir kemala itu,
Kemudian baru aku mendengarnya
Dari pocu karena orang itu melanjuti, " Untuk cangkir
kemala itu, po-coe sudah menunggang kuda kabur ke kota
raja, cangkir kemala itu sebenarnya satu diantara ketiga
mustika yang sekarang ini tengah diarah kaum Rimba
Persilatan- terutama dua golongan Hitam dan putih sangat
mengilarnya. Ketika hamba hamba istana yang lihai serta
kawanan opas pergi menyusuI, didekat Kho pay-tiam mereka
menemukan mayat-mayatnya Kam-liang sam-to serta Tam
siauw Go yang dadanya bekas ditancapkan senjata rahasia.
Mereka semua terkenal sebagai penjahat-penjahat yang
lihai dan di-malui, sekarang mereka terbinasa tidak keruan itu,
tidakkah itu menggemparkan" Orang percaya sipembunuh
adalah orang muda yang baru muncuI dalam dunia Kangouw..."
Mendengar itu, Tiong Hoa mengerti kebinasaannya Tam
Siauw Go bertiga pastilah hasil sepak terjangnya Song Kie
serta Tong tiauw Ngo Mo tapi pada itu si nona didepannya ini
ada sangkut pautnya, terang mustika yang dimaksudkan si
nona yalah cangkir kemala tersebut, ia lantas melirik nona itu
atas mana si nona bersenyum hingga nampak sujennya yang
manis ia lihat sendirinya, lekas- lekas ia melengos.
"Toako?" kata seorang lain. "Kau cerita kurang jelas,
sebenarnya apakah ketiga macam mustika itu" Apakah
khasiatnya itu" Dan poocu, yang sudah lama tidak pernah
keluar rumah, kenapa setelah mendengar halnya cangkir
kemala itu, sudah lantas berangkat ke Yankhia" Kenapa kau
tidak mau menjelaskan itu hanya hal lainnya"
Apakah toako takut lain orang mendengarnya" Kau
ingatlah, kampung Ie Kee Po terpisah dekat dari sini, siapakah
yang berani main gila" Bukankah berani main gila itu berarti
menarik kumis harimau?"
Orang dengan muka bertapak golok itu tertawa.
"Kau tak tahu" katanya nyaring " Ketiga mustika itu penting
sekali, Pocu sendiri yang mengatakan, cangkir kemala itu
bakal menjadi bibit pertentangan hebat kaum Rimba
Persilatan, bahwa mungkin perkampungan Ie KeePo kita bakal
turut terembet karenanya. tentang po-coe kita siapa kah yang
dia buat takut" Babkan Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw-kiauw, yang
dulunya berbareng terkenalnya dengan pocu, masih jeri
terhadapnya .Ketika po-cu berangkat aku melihat wajahnya
dingin sekali, itulah bukti pentingnya urusan."
Mendengar disebutnya nama Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw,
atau Cek Kiauw-kiauw si Biang Memedi, si nyonya tua mengasi
dengar suara di hidung.
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong Hoa mendengar itu, ia pun melihat wajah si nyonya,
maka ini mesti ada hubungannya dengan Losat Kwie Bo. sikap
dingin dari si nona menguatkan dugaannya itu.
Tiong Hoa menjadi orang hijau dalam dunia Kang-ouw, tak
tahu ia perihal orang-orang Rimba Persilatan- Dari gelarannya
saja, ia mau menyangka Lo-sat Kwie Bo bukan orang Iurus.
Melihat sikapny a si nona, ia mau percaya Lo-sat Kwie Bo
adalah nyonya yang menjadi ibunya nona ini, ia menjadi
bimbang ia turut Song Kie sebab ia mau cari gambar lukisan,
sekarang ia turut nyonya dan nona ini ke siauw Ngo Tay.
Apakah perlunya" Apa cuma sebab ia tergiur kepada nona
itu" Kalau benar, apa ia tidak menyalahi pesan mendiang
gurunya" "Baiklah, aku lekas pisahkan diri dari mereka?" pikirnya
kemudian- " Kalau tidak, aku bisa menyesal seumur hidupku."
Tengah ia berpikir begitu, ia melihat si nona lagi menatap
padanya, ia merasa seperti si nona dapat menerka hatinya itu,
sendirinya ia merasa tak enak hati, keringat dinginnya lantas
keluar, sinar mata si nona seperti meminta untuk ia jangan
pergi meninggalkannya . "Ah, putusanku terlalu getas." pikirnya kemudian- "Bedanya
kejahatan dengan kebaikan nyata sekali, hanya sebelum jelas,
sukar membuktikannya, tak dapat aku lancang menduga
nyonya tua ini, Banyak orang palsu."
Selagi pemuda ini berpikir begitu, banyak tetamu justeru
mengawasi ia dan menduga- duga kenapa ia berkumpul
dengan nyonya jelek dan tua itu serta si nona. Mereka
umumnya menyangka itulah disebabkan ia tergiur terhadap
nona itu... Nona itu tidak puas melihat sikap banyak tetamu
itu, ia mendongkol. Ketika itu ada datang lagi dua tetemu, dua- duanya imam
dengan kundainya yang tinggi, masing-masing menggendol
pedang, Kelihatannya seperti ssudara, Mata mereka
menunjukkan sinar angkuh. Melihat si nyonya, mereka lantas
melengos, hanya sebentar kemudian, mereka mengawasi.
Karena itu. para hadirin kembali memandang si nyonya.
sebagai orang buta, nyonya itu tak tahu bahwa orang
mengawasi padanya. Tiong Hoa heran- "Nona, kedua imam seperti kenal ibumu.." katanya
perlahan. Nona itu, dengan kedipan matanya, mencegah orang
melanjuti kata- katanya. Salah satu imam berkata pa da kawannya: "Romannya
sudah berubah, entah dia entah bukan-.."
"Takperduli dia atau bukan, kita turun tangan saja untuk
mencoba." sahut yang kawan
itu. "Kita coba ekornya sirase, mesti ketahuan-.."
Nyonya tua itu buta tapi telinganya terang, Dari itu ia dapat
mendengar pembicaraan di antara kedua imam itu, ia nampak
menjadi keren- Imam yang berdiri dikiri mengangkat tangannya perlahanlahan
diarahkan kepada nyonya tua itu. Lantas ada angin yang
mendesak mukanya. Tiong Hoa merasakan angin ini, hawanya dingin, lunak tapi
lekas berubah menjadi keras, ia menjadi heran-
Si nona mengerutkan alis, dengan tangannya dia menolak.
Tiba-tiba si imam mundur tiga tindak. tubuhnya terhuyung.
Belum lagi dia berdiri tetap. si nona sudah bertempat ke
depannya, untuk menuding dan menegur. "Oh, hidung kerbau,
kamu tidak pantas Kenapa kamu mencari onar tanpa sebab"
Kalau bukan aku awas dan sebat. tentulah ibuku roboh di
tangan kamu." Imam itu kaget, mukanya pucat, matanya bersinar tajam,
ia mencoba si nyonya dengan tenaga lima bagian, di luar
dugaan, si nona merintangi ia. itulah kejadian didepan banyak
orang. Dia menjadi gusar. Dia kata. "Kami berdua adalah
Mauw san siang Kiam, belum pernah kami lancang turun
tangan. Kali ini pun aku cuma mencoba, guna mendapat kepastian
ibumu ini benar Lo sat kwie Bo yang dulu hari termasyhur atau
bukan." Mendengar itu, ruang menjadi sunyi.
Si imam meneruskan berkata: "Dulu hari justeru kami pergi
pesiar, Lo sat Kwie Bo sudah membasmi murid-murid Mauw
san pay, dan kuil kami pun dibakar ludes. Karena itu
kami berdua merantau mencarinya"
"Hm" mengejek si nona. "Kata-katamu ini tepat untuk
dipakai mengelabui orang-orang dogol. Roman Lo-sat Kwie Bo
apa kamu tidak kenali, toh kamu berani menyebut orang
musuh kamu, Aku tidak tahu Lo sat Kwie Bo tetapi aku tahu
ialah satu syarat hidupnya, Yalah kalau orang tidak ganggu
dia, dia tidak bakal mengganggu lain orang. Kamu tidak kenal
dia, kenapa dia pergi ke gunung kamu?"
Ditegur secara demikian, merah mukanya imam itu. Dia
menyeringai dan kata: "Kau tahu syarat hidup Lo sat kwie-bo,
kau pasti muridnya. sekarang aku hendak hajar yang muda,
mustahil yang tua tak muncul?"
Mauw san siang Kiam memang b ersaudara kembar dan
nama mereka terkenal karenw ilmu pedang mereka.
Merekalah Ceng Leng Toojin dan Ceng inToojin, Mengenai
perkara mereka dengan Los at Kwie Bo, merekalah yang
bersalah. Adik misan laki-laki Lo-sat Kwie Bo mem buka piauw kiok,
ketika dia mengantar piauw (pio), di kaki gunung Thay Hang
san dia dipegat dan di begal Hul-thian cie Ciao Pioe si Tikus
Terbang. Adik misan itu gagah dan sebelah tangannya si
berandal dikutungi ciao Pioe muridnya Ceng leng.
Dia mengadu yang tidak-tidak pada gurunya, Ceng Leng
dan Ceng in gusar, mereka lantas sateroni si piauwsie, yang
mereka bunuh serumah tangganya.
Ketika Lo-sat Kwie Bo ketahui itu, dia pun gusar, dia
mendatangi gunung Mauw san. Kedua imam kebetulan tidak
ada di gunung, tetapi Lo sat Kwie Bo gusar, dia melabrak. dia
bunuh semua muridnya kedua imam itu dan membakar juga
kuilnya. Dia belum puas, dia
merantau mencari Mauw san siang Kiam.
Apa lacur, dia bertemu musuh lain dan dia kalah hingga
kedua matanya buta serta kedua kakinya bercacad dan mati
kaku, sampai sebegitu jauh. Mauw san siang Kiam masih
belum tahu kenapa murid- muridnya dibinasakan dan
gunungnya diludaskan- Sudah lewat sepuluh tahun, Ceng Leng dan Ceng In masih
belum dapat mencari Lo-sat Kwie Bo, itu berarti
pembalasannya belum dapat diwujudkan, tetapi mereka
mendendam terus dan memikirkannya setiap harinya.
Di Hoei bo- kauw mereka dapat melihat si nyonya lantaran
mata orang buta dan kaki mati, mereka bersangsi. Yang
mereka lihat seperti lukisannya, nyonya itu memiliki tahi lalat
merah dijidatnya betulan saja. Karena ini mereka bersangsi
melihat si nyonya tua, maka mereka mau menguji.
Dalam murkanya si nona kata pula bengis "Kamu dua
potong sampah, kamu berani main gila di depan nonamu. Aku
tak takut pedang mustika kamu."
Kedua imam gusar sekali, apa pula Ceng In Too j in.
Mauw san siang Kiam kesohor untuk ilmu pedangnya Pek
Wan Kiam-hoat atau lutung putih. Nama mereka besar,
seharusnya mereka malu melayani seorang nona, tapi katakata
si nona tajam, mereka gusar tak terkendalikanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Begitulah Ceng in tertawa dingin dan kata: "Baik, baik,
Nona tak memandang kami, kau mesti murid orang lihai, kami
ingin menerima pengajaran dari kamu."
Sebelum si nona menyambut, orang yang mukanya
bertapak golok tadi -- orang dari perkampungan Ie Keo Po --
campur bicara dan berkata nyaring. "Di luar ada pekarangan
luas, baik kamu main-main di sana. Aku Hoe bin-long Lie
Koei dari Ie Koe Po suka menjadi saksi."
"Oh." terdengar suaranya Ceng Leng. "Lio Loosoe, kami
belum pernah bertemu lagi Ie Pocu selama sepuluh tahun.
semoga dia sehat dan berbahagia, harap kau tolong
sampaikan hormat kami"
Hoa-bin-long Lie Koei si serigala Belang tertawa lebar.
"Nama tootiang kesohor, pocu sering membicarakannya," ia
kata, "Baiklah, nanti aku menyampaikannya, Terima kasih.
sekarang silahkan mulai."
Si nona mendongkol dia mengawasi tajam si serigala
Belang itu. Mauw san siang Kiam menjadi bersangsi. Mereka seperti
telah menunggang harimau sehingga sukar untuk mereka
turun dengan begitu saja, terpaksa mereka berdiam terus
sembari mengawasi bengis si nona.
Si nyonya tua tetap berdiam, mendengar semua
pembicaraan itu, wajahnya tak berubah. Ia sebenarnya gusar
tapi ia menyabari diri, ia ingin lekas pulang untuk dapat
mengobati mata dan kakinya .Jadi tak sudi ia bertempur.
Ketika itu cuaca sudah gelap dan pelayan telah mulai
memasang lilin- Di antara sinar api semua orang tampak
tegang, Akhirnya Lie Tiong Hoa berbangkit, ia memberi hormat
kepada kedua imam. "Tootiang orang beribadat, buat apa too tiang melayani
wanita?" ia berkata bersenyum. " Kalau hal ini sampai tersiar,
apakah too tiang tidak bakal mendapat malu?"
Inilah ketika bagus untuk Mauw san siang Kiam
mengundurkan diri, Ceng Lin ingin
menjawab anak muda itu ketika si nona memandang si
pemuda dan berkata: " Kenapa kau campur tahu urusan ini"
Nonamu justru ingin mengajar adat kepada kedua hidung
kerbau ini, untuk aku melihatnya mereka masih berani
mendatangkan onar atau tidak."
Nona itu ketahui duduknya hal, ia ingin melampiaskan
kemendongkolan ibunya sebab ibu itu sungkan turun tangan,
ia suka mewakilinya. Tiong Hoa tidak dapat menerka hati si nona, maka itu, kena
ditegur, mukanya menjadi merah, hingga ia berdiam saja.
Melihat orang kebogehan, si nona tertawa seraya terus
berkata, "Kau tunggu di sini melihat ibuku." Kemudian ia
memandang ke dua imam, untuk berkata tawar: "Hayo ke luar
Apakah kamu ingin nonamu menyeret kamu?"
Mauw san siang Kiam mendongkol bukan main, sambil
tertawa dingin, keduanya bertindak keluar, samar-samar
terdengar suaranya Ceng In: "Budak ini tak tahu langit tinggi
dan bumi tebal." Si nona kembali mengawasi si anak muda, ia tertawa dan
memesan pula perlahan: "Aku minta kau menemani ibuku, seb
entar aku nanti haturkan terima kasihku kepadamu"
Ketika itu, mengikuti kedua imam, para hadirin sudah pa da
pergi keluar, maka di dalam ruang itutinggalsi nona bersama
ibunya serta sipemuda. Semangat Tiong Hoa seperti terbang melihat dua kali si
nona tertawa, Wajah nona itu mirip bunga hoe-yong dan
alisnya mirip daun yang lioe. Apapula ketika si nona melirik
padanya selagi dia bertindak keluar.
Tiong Hoa lagi kesengsam ketika ia mendengar si nyonya
berkata sambil menghela napas padanya: "Anak muda,
tahukan kau aku si orang si tua orang macam apa?"
"Aku telah menduga delapan sampai sembilan bagian,
hanya aku yang muda tidak berani menyebut nama loo
cianpwee," Tiong Hoa menyahut cepat.
Muka seperti tengkorak nyonya itu tertawa, ia kata:
"Anakku In Nio ini belum pernah ada priya yang menarik
hatinya, maka itu mungkin pa da kau dia melihat sesuatu, Dia
gampang sekali tersinggung, kau baiklah berhati-hati
terhadapnya." ia berdiam sebentar lantas ia kata pula: "Aku si
orang tua dapat menjaga diriku, kau pergi keluar melihat si
In.." Tiong Hoa girang mendengar kata- kata itu, ia memang
ingin keluar, Tak enak hatinya berdiam berduaan saja dengan
nyonya tua itu. "Baiklah, loocianpwee" ia kata, Lantas ia
memberi hormat danpergi. Di luar, sang malam terang sekali. sang rembulan tengah
permainya. Disisi pekarangan itu bulan tengah permainya.
Disisi pekarangan telah berkumpul penonton tak kurang dari
pada delapan puluh orang, Di tengah gelanggeng si nona lagi
berdiri sembari mengawasi kedua imam sambil tertawa, ia
baru saja menanya: "Aku minta tanya kedua tootiang ingin
main- main secara apa " satu lawan satu atau kamu meluruk
berdua" Nona mu selalu bersedia mengiringi kamu?"
Nona itu merangkap kesesatan dan kelurusan, kata katanya
itu keluar dari hati tulusnya. Tapi di telinga Mauw san siang
Kiam, suara itu tak sedap terdengarnya, Biar bagaimana,
merekalah ketua suatu partai dan selama merantau, belum
pernah ada orang yang berani menghina atau
mempermainkannya, sekarang si nona tak memandang mata
padanya, Panas hati mereka, Lebih-lebih Ceng In yang cupat
pandangannya. Dia tertawa dingin
lantas dia lompat menerjang. Dia mau menangkap tangan
si nona. Tiong Hoa dapat melihat itu, dia terkejut ia kuatir si nona
terlukakan si imam. Tapi nona itu, melihat orang bergerak. dia tertawa. Dia
kata: "mau nekad, kau hendak mengadu jiwa, baik, sebentar
nonamu akan membikin kau memperoleh kepuasan." Sembari
berkata begitu, dia berkelit dengan lincah, Bahkan tahu-tabu
dia sudah berada di belakang orang.
Dengan kedua tangannya ia lantas menotok dua jalan
darah Ceng Cok dan Ie-boen dari imam itu.
Ceng ln terkejut, ia mendengar suara angin- Tahulah ia
bahwa nona itu tidak dapat dipandang, ia geser tubuh ke
kanan, ia berbalik, dengan kedua tangannya ia menyambuti
serangan, ia mendak sedikit, untuk menggunai tipu silat
"Badak dongak memandang rembulan."
Nona itu tertawa pula, kedua tangannya ditarik pulang,
Berbareng dengan itu, tubuhnya berputar , ia berputar terus
sampai tujuh atau delapan kali, mengitari si imam.
Ceng In menjadi repot dan bingung, ia mesti turut
berputaran, karena mana, ia merasa matanya kabur. si nona
bergerak dengan sangat cepat, Kalau ia alpa, ia bisa celaka, ia
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenali si nona lagi menggunai tipu silat "Thian mo loan koe,"
yaitu Hantu langit menari," Maka terpaksa ia berlompat ke
luar. Justru orang menyingkir justru si nona menyerang, tangan
kirinya menyambar jalan darah kiok-tie ditengan kanan imam
itu. Ceng In kaget, Tak dapat ia menangkis, ia cuma bisa
berkelit, Saking terpaksa, la berlompat pula terlebihjauh.
Si nona tertawa pula, ia menyusul tangan kirinya meluncur.
Ketika ia gagah tubuhnya berlompat tinggi melewati si imam.
ketika ia menginjak tanah, cepat luar biasa ia berbalik terus
tangan kanannya menyerang, mencari jalan darah leng-kio di
dada kiri si imam. Kesebatan itu membikin bengong para penonton- Ceng
Leng pun kaget, Kecuali lompatan itu, yang harus dikagumi, ia
juga mengenal totokan tangan kiri dan kanan si nona.
Totokan tangan kiri itu bernama memedi menggerogoti
tulang. itulah ilmu silatnya kaum sesat. Dan totokan tangan
kanan, "Tapak tangan Kim-kong" ilmu silat kaum lurus,jadi dia
menggabung kepandaian kedua kaum persilatan itu Anehnya
itu dimiliki seorang wanita demikian muda, karena ini, ia jadi
mau membantui saudaranya, kalau tidak, ia kuatir saudaranya
bercelaka. Tanpa ayal lagi, sembari berseru, ia berlompat maju, terus
ia menyerang dengan pedangnya, yang ia hunus sambil
berlompat, hingga ia menyerang dari atas ke bawah.
Si nona mendapat tahu datangnya musuh yang kedua,
ketika ia di serang, ia berkelit sambil mendak. dengan begitu,
pedang lewat di sisinya, Lantas dengan cepat ia mendupak
kearah pedang. Tepat dupakannya itu, pedang terkena hingga
berbunyi nyaring. Ceng Leng terperanjat. Jejakan itu keras sekali, pedangnya
terasa berat, lengannya kaku tak bertenaga.
Si nona tak berhenti dengan jeb akannya itu, ia bangun
berdiri, terus ia menyerang.
Sekarang ia menggunai kedua tangannya, ia menyerang
kedua tangan lawan, itulah tipu silat "Naga perak membiak
sisiknya." Selagi si nona menyerang itu Ceng In, yang memperoleh
ketika, telah menghunus pedangnya juga, terus ia menyerang,
ia mau menolongi saudaranya yang terancam bahaya.
Ceng Leng sendiri kaget hingga ia merasa pamornya bakal
runtuh. syukur datang pertolongan saudaranya itu, si nona
batal menyerang terus, Nona itu mau melindungi diri dari
pedang Ceng In. Maka si imam lompat ke samping.
Nona itu tertawa, dia kata. "Nonamu menyangka Mauw San
siang Kiam liehay luar biasa, kiranya cuma sebegini" Dia bicara
sambil berdiri tegak, di bawah sinar rembulan, dia nampak
seperti seorang dewi. Kedua imam bingung bukan main. Mereka tak kenal sinona,
dengan begitu mereka jadi tak ketahui asal usul orang, Di
dalam hati mereka mengakui keliehayan orang yang masih
muda sekali tetapi dapat menggabung ilmu silat kaum sesat
rtan lurus, di lain pihak mereka sangat penasaran.
Selagi ceng Leng memikirkan daya untuk mengalahkan
lawannya, Ceng In melihat si anak muda berdiri terpisah enam
tombak, matanya mengawasi si nona saja, Pemuda itu agak
tersengsam. Menampak demikian, ia mendapat akal-muslihat
yang licik. Begitulah mendadak ia lompat ke depan si nona
untuk menikam. Ceng Leng melihat ketikanya, ia pun
membarengi menyerang, Si nona lagi mengawasi, maka ia melihat gerakan kedua
lawan itu. ia bersiap untuk melayani. Baru ia berkelit dari Ceng
In, mendadak imam itu beriompat ke samping, tangan kirinya
terus diluncurkan, guna meny amber si anak muda.
Tatkala itu tibalah pedang Ceng Leng, Si nona meluncurkan
dua jari tangannya. Untuk menyambuti pedang, untuk di sampok dengan dua
jarinya itu, ia berhasil, pedang berbunyi nyaring dan terpental
Ceng Leng kaget bukan main, ia merasa lengan dan
telapakan tangannya sakit, Tak dapat ia mencekal terus
pedangnya, Pedang itu mental ke atas genting.
Nona itu menggunai tenaga "cit Yang," itulah ilmu silat
ajarannya tocu atau pemilik, dari pulau Lee Coe To di Poethay
di teluk Titlee, Untuk pertama kalinya, pemilik pulau itu
menggunai tenaga Cit Yan itu atau Cin Yang Cie-Iek dalam
pertempuran di gunung Jang Wie san di telaga Thay ouw.
Dalam tiga jurus dia mengalahkan see-hek Mo Ceng,
pendeta hantu dari wilayah Barat, sampai tulang iga orang
remuk dan dengan muntah-muntah darah pendeta itu lari
kabur, sedang dua belas imam dari Lu Liang san terbinasa
dengan pedang mereka rusak, itulah peristiwa yang
menggemparkan, yang membikin tocu itu menjadi kesohor. si
nona belum mencapai kemahirannya, tetapi toh kedua imam
ini sudah kewalahan. Habis membikin mental pedang Ceng Leng, si nona terkejut
melihat Ceng In yang mundur dari hadapannya, mau
mencelakai si anak muda. "saudara Lie, awas" ia berteriak.
Tiong Hoa mendengar peringatan itu sesudah kasip. ia lagi
mendelong tatkala si imam berhasil meny amber lengannya
yang kanan. segera ia merasakan nyeri hebat, tapi ia tidak
menjadi gugup, bahkan ia mendongkol sekali. sambil menahan
sakit, ia membalas menyerang. Ia menggunai tinju kirinya
sekuat tenaganya. Inilah tidak disangka Ceng ln, syukur dia tidak menjadi
gugup, sambil melepaskan cekalannya, dia berkelit, lalu sambil
berkelit itu, dia menyabet dengan pedangnya ke-tangan kiri si
penyerang. Hanya baru lewat satu hari dan satu malam pengetahuan
Tiong Hoa menjadi bertambah, ia menyingkirkan tangan
kirinya dari sabetan pedang, tetapi ia tidak berkelit mundur.
Dengan tangan kanannya yang sudah bebas, ia membarengi
menyerang, menghajar lengan kanan si imam.
Si nona melengak melihat kepandaian si anak muda, itulah
bukan caranya si hijau dalam dunia kang-ouw, ia menjadi
kagum, hingga selain hatinya lega, iapun bersenyum
memperlihatkan sujennya. Ceng Leng bingung, juga Ceng In. Di luar dugaannya, si
nona gagah, si pemuda gagah juga, Karena itu, mereka
memikir untuk mundur dengan teratur. Tak lama keduanya
memakai tempo. Tiba-tiba mereka lompat mundur, selagi si
pemuda dan pemudi heran, mereka maju pula, terus mereka
merangsak, menyerang saling susul itulah ilmu pedang
mereka, "Mauw san Toan Hoen Kiam hoat" atau "Memutus
Arwah." Luar biasa si anak muda, Mendadak malam ini ia
memperoleh semangat. ia melayani dengan baik, tabah dan
gesit, Dan begitu terbuka ketikanya, ia desak Ceng In.
Lagi-lagi si imam heran dan kaget, mukanya menjadi pucat,
Bukankah ia seorang jago" dan memegang pedang juga"
Lantaran di-desak, ia repot membela diri sedetik ia bingung,
dadanya lantas tertindih si pemuda hingga ia menjerit,
terpaksa selagi terhuyung, ia memutar tubuh untuk lari ke
arah timur. Ceng Leng tahu diri, ia pun lari meninggalkan si
nona. Tiong Hoa tidak mengejar musuhnya, ia berdiri tegak,
gerakannya gagah. si nona melihatnya, dia menjadi kagum,
hatinya girang. Benar-benar luar biasa, toh waktu diserang
ibunya, pemuda itu mirip seorang tidakpunya guna, sebab ia
tak dapat menangkis, tak bisa berkelit.
Juga Tiong Hoa sendiri heran atas dirinya, tiga tahun ia
belajar silat, ternyata itu tak sia-sia belaka, jadi tak kecewa
gurunya memberi pelajaran kepadanya. Rupanya dulu ia
kurang bersemangat karena perlakuan orang tuanya yang
menekan bathinnya dan setelah merdeka, ia bebas benar
benar, sekarang iapun memperoleh kawan cantik manis, yang
erat sekali pergaulannya dengannya .
Satu hal tak diketahui si muda mudi. Hati Mauw san siang
Kiam telah menjadi rada ciut ketika mereka menduga si
nyonya adalah, Lo-sat Kwie Bo, pukulan itu berakibat buruk.
hingga melayani muda mudi itu, hati mereka hilang
ketenangannya. inilah yang mempercepat kekalahannya.
Lantas si nona menghampirkan Tiong Hoa. Dia bersenyum.
"Aku salah mata?" katanya, "Aku tidak nyana kau bisa
mengalahkan Ceng In si imam jago dari Mauw san."
Mukanya pemuda itu menjadi merah, ia likat.
"Kau memuji saja, nona." katanya jengah, "Kepandaianku
cetek tidak berarti, tak dapat aku dibandingkan dengan kau.
Lihat saja caranya kau menyentil pedang orang barusan-"
Nona itu senang sekali dengan itu pujian- ia kata dalam
hatinya, pemuda ini bisa bicara, dia pun tampan, maka
entahlah ibu menyukai atau tidak..."
Ia lantas ingat bahwa sebegitujauh belum pernah ibunya
memberi hati kepada kaum pria, bahkan semenjak buta, ibu
itu makin keras sikapnya, asal dia mendengar suara pria, dia
mau lantas menyerang. Jangan bicara begini manis." katanya, bersenyum, "siapa
tahu kau tidak bicara setulusnya hati" Mari, mari kita melihat
ibu." Dan ia bertindak lebih dulu masuk kedalam.
Kata-kata "Kita" itu membikin Tiong Hoa berpikir seperti
terkena pengaruh, ia lekas menyusul.
orang-orang le Kee Po, dipimpin Lie Keei, telah buyar entah
kemana, Para tetamu lainnya pada tak berani mengikut ke
dalam. Mereka pun bicara dengan kasak kusuk. Maka itu,
habis pertempuran sang malam menjadi sunyi.
Dari dalam rumah makan merangkap penginapan itu,
dimana hanya terlihat sinar lilin, mendadak terdengar teriakan
kaget: "lbu..." ooooo hh"
KETIKA Tiong Hoa tiba di dalam, ia kaget, ia dengar jeritan
si nona, lantas ia melihat tubuh nona itu melompat ke luar
jendela, hingga api lilin bergoyang-goyang. si nyonya tua tak
nampak. Di atas meja nampak dua tapak tangan yang
melesak dalam. Di lantai menggeletak sepotong tongkat. Di
dekat meja, dua buah kursi ringsak. Dalam sekejap itu, si anak
muda lantas menduga mestinya si nyonya tua kena diculik
orang, Mestinya culik itu gagah, sebab mereka telah
bertempur lebih dulu, Atau si nyonya lari mengejar
musuhnya... Tiong Hoa berkuatir dan menyesal, la ingat pesan si nona
tadi untuk ia menunggui ibu orang itu, Toh ia pergi keluar
walaupun ia dititahkan si nyonya, seharusnya ia tolak titah itu,
atau ia menjagai dari luar, ia menjadi tidak enak hati. Kalau ia
ketemu si nona, apa ia mesti bilang" Maka ia menjadi
bingung, ia berdiri menjubIak.
Tapi tak lama, ia sudah mengambil keputusannya, ia
melompati jendela pergi keluar, ia mengguna i ilmu lompat
melesat yang gesit, yaitu "Hoa i yap touw lim." atau "Daun
terbang ke dalam rimba."
Tatkala ia sampai di luar, suasana sunyi, Bintang banyak,
rembulan masih sedang terangnya. setelah melihat kelilingan
dan tak melihat siapa juga, ia lantas lari keluar Bao Lie Tiang
shia. Tembok Besar, untuk menuju ke gunung siauw Ngo Tay.
Gunung itu panjangnya mencapai beberapa ratus lie,
banyak pohonnya, banyak batunya, seperti umumnya gunung
sukar juga untuk dimendaki. Tapi Tiong Hoa, setibanya, lantas
lari naik, ia mencari si nona dan ibunya inilah tugas sulit dan
berat untuknya. sukar mencari orang di tempat sepi dan
belukar itu Gagal Tiong Hoa malam itu, tak dapat ia mencari wanita
tua dan muda itu, ia melanjuti di waktu pagi dan siangnya,
terus tengah hari, lohor dan sore lagi, ia tetap gagal, ia
bingung dan bertambah kuatir, ia berfikir keras. semua itu
tidak menolong, ia mencari terus tanpa hasil, sampai berharihari.
Tak pernah Tiong Hoa turun dari siauw Ngo Tay, ia
menjelajah gunung itu. Untuk menangsal perut, ia makan saja
buah-buahan, Untuk menghilangi dahaga, ia mencari sumber
air, ia tidak dapat menyalin pakaian hingga baju dan
celananya kumal dan kotor, sampai rambutnya tak terurus, ia
tak lagi si pemuda tampan saking dekilnya itu.
Sampai di hari ke lima, Tiong Hoa tetap gagal. Di gunung
itu, seorang tukang kayu pun tidak ada. sebaliknya, hampir ia
di-pagut ular. syukur tubuhnya ringan dan dapat ia berkelit
dari ancaman bahaya itu. Bahkan pengalaman itu merupakan
latihan bagus untuk kepandaiannya itu.
Setelah kewalahan, ia pergi keluar dari gunung, ia berada
di mulut lain dari gunung itu, ketika ia meraba mukanya, ia
kata: "Ah, aku mesti mandi." Maka itu ia berjalan mencari
selokan, yang berada tujuh atau delapan tombak dari dirinya,
ia mendengar suara air berkericik, ia jongkok di tepian, ia
menyaup air dengan kedua tangan nya, untuk mencuci
mukanya. Mendadak... "Jangan! Jangan. Air itu tak dapat dipakai..."
Tiong Hoa terkejut, hingga air pada molos dari sela-sela
jerijinya, ia lantas menoleh ke arah dari mana suara datang,
suara itu bergemetar, datangnya dari rumput di sampingnya.
Sesudah lima hari seperti terpisah dari dunia, Tiong Hoa
heran berbareag mendapat harapan, ia lantas bertindak
menghampirkan, Di dalam rumpun rumput itu ia melihat
seorang tua dengan baju kuning rebah tak berdaya, romannya
sangat kucal, mukanya bengis, tak berkumis, kepalanya
lanang. Matanya pun guram ketika dia melihat orang yang
meng hampirkan padanya . "Eh, bocah, aku telah menolong jiwamu" katanya sembari
tertawa dingin- "Maka itu kau
harus melakukan sesuatu untuk aku si orang tua."
Tiong Hoa heran. "Apa" ia tanya, "Kau telah menolongi jiwa ku" oh, loo-j inkee,
janganlah kau berguyon- Untuk berbuat sesuatu
untukmu, itulah pantas, nanti aku berikan bantuan, Hanya aku
ingin lihat dulu, apakah itu yang aku kerjakan-.."
Orang tua itu membuka matanya lebar-lebar.
"Kau tidak percaya aku?" bilangnya, "segera kau akan
ketahui sebenarnya itu bukan apa apa. sekarang kau tolong
dulu mengeluarkan satu peles kecil dari pinggangku, kau ambil
sebutir obatnya, kau masuki itu ke dalam mulutku si orang
tua." sekarang Tiong Hoa bisa melihat tangan dan kaki orang
itu tak dapat digeraki. "oh," katanya, "Aku kira kerjaan apa,
tak tahunya pekerjaan sangat mudah."
Ia membungkuk. merabah pinggang orang tua itu, ia
mendapatkan peles kecil yang di sebutkan itu, Dengan
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan ia meloloskannya, terus ia buka sumbatnya, Lantas
hidungnya mencium bau harum, hingga dadanya menjadi
lapang. Ketika ia menuang isinya, keluar enam butir obat pulung,
warnanya merah dadu, kuning gading dan putih susu. ia
jumput sebutir yang merah dadu itu, yang lainnya ia masuki
pula dan menutupnya dengan rapat, selama itu si orang tua
menatap tajam wajah orang.
Tiong Hoa menyirapi obat itu si orang tua
mengganyangnya sambil merapatkan matanya. Tak lama
kemudian, muka pucat orang tua itu mulai bersemu dadu.
Si anak muda heran, itulah perubahan untuk orang yang
mengerti ilmu tenaga dalam. Maka ia
mau menduga, orang tua itu seorang jago Rimba
Persilatan. Hanya kenapa kaki tangannya mati-mati. Apakah
dia habis dibokong musuh" Kalau benar, musuh itu lihai sekali,
Kalau benar begitu, kenapa dia tidak sekalian dibunuh mati"
Tengah Tiong Hoa berpikir begitu, tubuh si oraog tua
berkutik, Dia mulai menggeraki tangan dan kakinya perlahanlahan.
Agaknya dia lagi mencoba-coba, tidak lama,
sekonyong-konyong dia bangun berdiri, terus dia tertawa
berkakak. Nyaring tertawanya itu. Dan lama juga. Habis itu,
dia menatap anak muda di depannya,
"Anak muda, kau datang ke gunung ini dengan membawa
banyak uang, buat apakah itu?" dia tanya, Dia lantas melihat
bungkusan uang orang. Tiong Hoa membayar pulang peles
obat. "Sudah lima hari aku yang muda berada di atas gunung ini
mencari orang" ia menyahut tertawa, "Aku tidak berhasil
mencari, dari itu terpaksa aku turun gunung."
"Oh begitu" kata orang tua itu tertawa pula "Aku kira
gunung siauw Ngo Tay ini ada orang hutannya." ia menatap
kembali tajam. ia berkata pula, "Aku si orang tua, aku
biasanya tak suka menerima budi orang. Ketika tadi kau
berdiri di mulut gunung itu, sudah aku melihatnya, hanya aku
tidak mau memanggil kau, baru setelah kau mengambil air,
aku menegurmu, Dengan begitu aku menolongi jiwa mu.
Dengan demikian juga, kita menjadi tidak saling berhutang
budi, selokan itu telah aku campuri racun, siapa kena minum
atau pakai airnya, dia mesti binasa, taksalah lagi, jikalau kau
tidak percaya. pergi kau ikuti selokan itu, sebentar saja kau
akan dapat buktinya bahwa aku tidak rnendusta."
Tiong Hoa kaget. Toh ia bersangsi, Maka ia bertindak ke
hilir, Baru ia melalui lima atau enam tombak. la terkejut bukan
main- Di tepian itu terlihat menggeletak tiga mayat manusia,
mukanya matang biru tanda terkena racun- Darah pun keluar
dari mata. hidung mulut dan telinganya, dari liang
keringatnya. Karena kedua mata mereka masing-masing
mendelik, itulah bukti kebinasaan yang hebat. Dengan hati
berdebaran, ia kembali kepada si orang tua,
Tanpa menanti orang membuka mulut, si orang tua
menyambut dengan tertawanya.
"Apa kataku?" dia tanya, "tiga orang itu musuh besarku
selama hidupku" setiap tiga tahun sekali. kita membuat
pertemuan, kita bertempur mati-matian, Mereka bertiga selalu
berkelahi bersama dan berbareng. Sebegitu jauh belum
pernah kita kalah atau menang. Baru kali ini aku memikir
akal..." Dia mengawasi pula, agaknya dia puas sekali. Dia
melanjuti: "kita mulai bertempur, aku bicara dengan mereka
itu. Aku menyarankan untuk jangan mengadu tangan dan kaki
hanya untuk mengukur saja tenaga dalam masing-masing,
Mereka itu bangsa kepala besar dan jumawa, mereka tidak
sudi mengalah, maka itu mereka menerima baik saranku itu.
Dengan begitu kesalah mereka tertipu aku..."
"Siapa mereka itu" Mestinya mereka juga jago Rimba
Persilatan..." Orang tua itu menentang matanya, "Apa"Jago Rimba
Persilatan?" katanya mengulangi. "Mereka justeru bangsa
buruk dan terkutuk sudah lama aku memikir menyingkirkan
jiwa mereka, saban-saban aku bersangsi, tapi kali ini Thian
membantu aku, dan dengan demikian untuk kali ini hatiku
dibikin mantap. Aku mengusulkan kita sama sama minum air,
lalu kita semprotkan ke-pohon yang menjadi sasaran atau batu
ujian kemahiran tenaga- dalam kita. Siapa yang dapat
merontokkan semua daun, dialah yang menang, Siapa yang
kalah, dia bersedia untuk dihukum cara apa saja oleh pihak
yang menang. Kita berkelahi dengan satu lawan tiga, tentu sekali,
harapanku ialah harapan kalah, Mereka menerima usul itu
sambil bersenyum. terang mereka sudah merasa bakal
menang." Mendengar begitu, Tiong Hoa menoleh dan melihat empat
pohon bong berdiri berendeng, daun-daunnya sudah rontok
separuhnya, itulah pertaruhan bukan main- Dalam musim
seperti ini, daun pohon sedang kuatnya melekat pada
tangkainya. "Mereka tidak tahu bahwa aku menggunai tipu muslihat." si
orang tua melanjuti penuturannya. "Selagi aku mengambil air,
diam-diam aku melepaskan sepotong racun- siapa terkena itu
tak dapat sembuh kecuali dia makan obat pemunah ku, Itulah
ini obat merah, Habis minum air sebanyaknya, kita mulai
mengadu kepandaian, Siapa pun diantara kita tak ada yang
sanggup merontokkan semua daunnya pohon itu, Selama itu,
racun sudah, bekerja didalam perut mereka.
Mereka liehay sekali, lantas mereka merasa, terus mereka
menduga duduknya hal. Lantas mereka menutup jalan darah
mereka, bersama-sama mereka memaksa aku menyerahkan
obat pemunah. Coba kau pikir, mana dapat aku meluluskan
permintaan mereka itu" Maka mereka menyerang aku, Aku
membela diri. Ketika itu racun di perutku juga bekerja, Mereka tidak
berhasil mendapatkan obat dari aku, mereka mati keracunan,
Habis itu akupun roboh. Kau telah lihat bagaimana kau
menemukan aku..." Lie Tiong Hoa menggeleng kepala. "Masih ada yang aku
tidak mengerti," katanya, "Kamu sama sama minum racun.
kenapa mereka mati tetapi loojin-kee tidak" pula air selokan
itu mengalir pergi, seharusnya racunnya terbawa hanyut,
Mustahil racun itu tetap mengambang?"
Orang tua berbaju kuning itu tertawa lebar.
"Bocah, kenapa otakmu tidak cerdas?" dia kata, "siapa
menggunai racun mustahil tak tahu sifat racunnya sendiri"
Begitu aku merasa racun mulai bekerja, aku mengerahkan
tenaga- dalam membuat racun mengalir hanya ke tangan dan
kakiku. Tidak demikian, pasti aku pun sudah melayang jiwaku.
sebelum tangan dan kakiku mati. mereka terhajar tanganku
hingga pecahlah pembelaan diri mereka, hingga racun
meluluhkan, menyerang semua anggauta dalam tubuh
mereka." Habis berkata begitu, mendadak orang tua itu menyamber
lengannya Tiong Hoa. Si anak muda kaget tetapi tak sempat dia berkelit atau
berlompat, dia terpegang dan kena ditarik si orang tua sampai
belasan tombak jauhnya, baru dilepaskan. orang tua itu pergi
ke selokan, untuk memasuki tangannya ke dalam air, merogo
keluar sepotong benda sebesar telur angsa warna hitam
kehijau-hijauan bercahaya, Dia ulapkan itu.
"Kau tentu mengerti sekarang" katanya, tertawa, " inilah
bisa ular ribuan tahun yang telah membeku menjadi seperti
beling, Kalau ini direndam di dalam air, air racunnya setetes
saja dapat merusak usus, terus orang mengeluarkan darah
dan mati." Tiong Hoa bergidik, "Benarlah kata guruku," kata ia dalam hati, "di dalam
kalangan Rimba persilatan tidak ada yang tidak aneh, maka itu
perlu orang waspada."
Menampak si anak muda berdiam saja, orang tua itu
tertawa pula. "Anak muda, apakah kau mengerti ilmu silat?"
dia tanya. "Pelajaranku tak berarti, tak berani aku menyebutnya ilmu
silat," sahutnya, ia bersenyum likat.
"Tak perduli kau yang benar atau tidak. kata-katamu
tepat," kata si orang tua. "Memang ilmu silat dalam bagaikan
lautan, Aku tersohor dalam dunia Rimba persilatan, toh
pengartianku belum ada satu persenpun, Kau dapat
merendah, sifatmu terbaik, Aku si orang tua berhutang budi
padamu. nanti aku menyempurnakan kau."
Tiong Hoa tertawa. "Tadi toh loojinkee mengatakan kita tidak saling
berhutang." katanya. "Kenapa sekarang loojinkee bilang ada
berhutang kepadaku?"
Orang tua itu mengawasi, sinar matanya tajam.
"Kau ngaco, kau tidak tahu." katanya, "obatku tadi, apabila
yang putih, ialah salah sebuah mustika Rimba Persilatan,
Namanya itu PouwThian Wan, pel penambal langit. siapa
makan itu, tenaganya bertambah seperti latihan sepuluh
tahun. Dia akan seperti tertukar tulang-tulangnya, Dalam
seratus orang Rimba Persilatan, tak satu yang memilikinya.
Dua obat yang lain juga besar faedahnya. Tadi obatku berada
dalam tanganmu, kalau kau memikir merampasnya dan kau
tinggal aku lari, apa aku bisa bikin" Nyata hatimu lurus, itu
yang membikin aku bilang aku berhutang budi padamu."
Tiong Hoa menggeleng kepala, dia tertawa. "jikalau tadi
aku mengetahui itulah obat mujarab, mungkin aku
membawanya lari" ia kata.
Orang tua itu tertawa berkakak. untuk ke sekian kalinya ia
menatap pula, Dengan mengawasi mata orang, ia seperti mau
menembusi hati. Terus ia mengasi lihat roman sungguhsungguh.
"Kaulah orang dengan bakat silat yang baik sekali." ia kata,
"sayang aku si orang tua, tidak mempunyai kesabaran untuk
menerima murid, Pada empat puluh tahun dulu pernah aku
mengambil seorang murid, baru satu tahun setengah, aku
meninggalkannya, semenjak itu, aku dan muridku itu belum
pernah bertemu lagi, sekarang aku menjadi terlebih tak
sabaran pula, jikalau tidak. pasti kau bakal memperoleh
banyak kebaikan dari aku" la berhenti bicara, romannya tetap
sungguh-sungguh. Tiong Hoa mengawasi ia merasa Jenaka, orang seperti
bicara sendiri, ia kata dalam hatinya: "siapa kesudian menjadi
muridmu" Akupun tidak sabaran...."
Lantas ia tertawa dan kata, "Loo-jinkee, jikalau kau tidak
membutuhkan apa-apa lagi, aku mau turun gunung."
Orang tua itu lagi mengawasi ketika ia mendengar
perkataan si anak muda, ia memikirkan orang berbakat dan
bersifat baik lagi jujur. ia tidak sabaran, anak muda itu tidak
sabaran juga, Tapi keragu-raguannya lantas lenyap. ia buka
sumpel pelesnya, ia mengeluarkan sebutir obat yang putih.
"Kau makan ini." katanya, Kemudian ia merogo keluar dari
sakunya sejilid buku kecil, sembari tertawa ia berkata, "Aku
tidak sangka kau lebih tak sabaran daripada aku, oleh karena
kau tidak meminta apa-apa, aku si orang tua menjadi kurang
enak hati. obat Pouw Thian Wan itu bakal menonolong kau
selama hidupmu" ia terus menunjuk buku kecil itu dan berkata
pula: " inilah kitab ilmu silat yang aku ciptakan setelah
mengumpulkan sarinya ilmu silat pelbagai partai persilatan. Di
dalamnya aku telah melukis tiga belas gambar. Setiap jurus
besar faedahnya dan dapat menambah tenaga, ilmu silat itu
dalam, diperjalanannya mesti perlahan-lahan, mesti teliti,
lebih-lebih orang tak boleh kekurangan pengalaman. siapa
tidak mengumpulkan tindakannya, tak dapat dia jalan jauh
seribu lie, Kalau tidak ada aliran air kecil, tak nanti ada sungai
besar atau hutan, Maka kalau dapat kau meyakinkan ini sampai berhasil, kau
akan merasa kefaedahannya yang
tak terbatas." Habis berkata, dia menyerahkan kitabnya, untuk pergi lari,
hingga sejenak kemudian lenyaplah dia di dalam lebatnya
pepohonan si anak muda melengak saking herannya. ia
mengawasi terus. Katika itu sudah jauh lohor, maka dengan lewatnya sang
waktu cuaca menjadi guram. Melihat itu, Tiong Hoa lantas lari
menuju- ke Tok-lok. selagi lari, ia merasa heran ia mendapat
kenyataan larinya bertambah pesat, tubuhnya jauh terlebih
ringan. "Inilah khasiatnya Pouw-Thian-wan." pikirnya. ia menjadi
girang sekali. "Aneh pengalamanku. Aneh orang tua itu,
Kenapa dia tidak menjelaskan siapa ketiga musuhnya itu dan
apa sebab musabab permusuhan mereka?"
Dia juga tidak memberitahukan she dan namanya, sedang
aku tak sempat menanyakannya.
Tepat di saat penerangan dipasang, Tiong Hoa tiba dalam
kota kecamatan Tok-lok. Malam ramai, banyak pedagangpedagang
yang berjualan mutar saban-saban meneriaki
barang dagangannya, Banyak sekali orang yang berjalan pergi
datang, ia lantas mencari rumah
makan karena sudah lima hari ia tak pernah makan nasi.
Itulah restoran cip Poo Lauw dari mana tersiar baunya
barang masakan yang sedap.
Ketika ia bertindak masuk. ia diawasi pelayan yang heran
buat pakaiannya yang kotor dan mukanya yang dekil serta
rambutnya kusut, bau keringatnya pun mendesak.
"He, dia pengemis dari mana..." pikir pelayan itu. "Eh, kau
mau pergi kemana?" tegurnya selagi melihat orang mau naik
di-tangga loteng. Tiong Hoa mendongkol. Dia mendelik.
"Aku mau dahar" sahutnya bengis, ia naik terus, untuk
menghampirkan sebuah meja. Ada sejumlah orang lagi
bersantap. mereka tertawa.
Pelayan itu menjadi malu dan mendongkol Dia lantas
menghampirkan dengan matanya mendelik.
"Dahar itu gampang. Apakah kau punya?" dia tanya ketus.
"PIok" begitu satu suara nyaring,
Sicantik Gila Gunung Gede 2 Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Pendekar Remaja 9