Pencarian

Bujukan Gambar Lukisan 15

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 15


Tiong Hoa lompat kepada salah satu mayat, untuk
memeriksa, la melihat darah keluar dari semua lubang
keringat. Begitu juga keadaan mayat-mayat lainnya. Sin Kong
Tay menghampirkan si anak muda.
"Senjata rahasia Ciam Yang ini mirip dengan senjata
rahasiaku, kata ia. "Hanya kepunyaan dia terlebih hebat pula.
Didalam apinya itu dia selalu mencampuri juga jarum dari bulu
kerbau, yang tak mudah terlihat dengan mata biasa, syukur
kita semua berada di kepala angin- Sekarang mari kita lekas
memadamkan api yang menjalar itu."
Lo Lang Tek akur, maka ia mengajak. kawan-kawannya
untuk bekerja. Tapi Tiong Hoa mendahului mereka itu, dengan
kedua tangannya ia mengibas. dari atas kebawah, maka
dengan lantas api padam semua, cuma ketinggalan kepulan
asapnya saja. Semua orang menjadi kagum sekali.
Tiong Hoa menghampirkan Coei Kiat Him-untuk Pauw
Yang, yang diletaki ditanah-
Dengan lantas orang she Pauw itu mendusin dan berlompat
bangun, dengan lantas juga ia memberi hormat pada si anak
muda seraya berkata: "Terima kasih, siauwhiap. Kalau tidak
kau pasti aku terus dipengaruhi si tua Mata Satu itu."
"Aku cuma membalas budi untuk kisikan kau." kata Tiong
Hoa bersenyum. Lo Leng Tek dan Kim Som menghampirkan si anak muda,
keduanya memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih
mereka. "Terima kasih atas bantuan siauwhiap." katanya. "Kami
tidak tahu bagaimana siauwhiap dapat mengikuti jejak kami?"
Tiong Hoa tersenyum. "Kebetulan saja aku tiba di sini." serunya. "Aku perlu
berangkat ke Ceng-shia dan aku hendak berangkat sekarang
juga." Long Tek melongo.
"Kalau begitu, silahkan, siauwhiap." katanya. "Walaupun
sebenarnya dia agak ragu-ragu. "Pengaruh siauwhiap pasti
sudah membikin ciut hati Liap Hong semua hingga aku
percaya tidak nanti mereka berani lagi datang kembali."
"Perjalananku ini penting sekali." kata Tiong Hoa yang
mengerti keragu-raguannya orang she Lo itu. "DidaIam tempo
tujuh hari aku mesti kembali ke Tiam Chong San-sekarang
ijinkanlah aku bicara sedikit."
"Silahkan. siauwhiap."
"Aku lihat perjalanan loosoe sulit sekali." kata si anak
muda. "Tapi dengan cara loo-soe, dengan setiap waktu
menukar haluan, dengan memakai siasat, mungkin bahaya
dapat dihindarkan. Bukankah gelang kemala telah di bawa
siauw-sancoe ?" Leng Tek mengangguk sambil bersenyum.
"Benar." sahutnya perlahan- "Hanya sekarang sancoe lagi
menantikan kami untuk kita berkumpul menjadi satu. Yang
sulit yaitu Liap Hong pasti bakal terus menemui kami
memegat kami." Tiong Hoa berpikir, lalu berkata: "Aku rasa, tak usah
sampai tiga hari bakal terjadi suatu perubahan besar, dan Liap
hong semua pasti bakal mengangkat kaki jauh-jauh.
Selewatnya itu waktu, gelang itu tak bakaljadi soal lagi... Kim
Som heran- "Bagaimana bisa jadi begitu, siauw hiap" dia tanya.
Tiong Hoa memberi penjelasan urusannya dengan Liong
Hoei Giok. Maka itu. Lo Loosoe, ia menambahkan. "baiklah loosoe
beramai menantikan kembaliku dari Ceng-shia untuk kita nanti
berangkat bersama-sama ke Tiam Chong San-
"Kalau begitu baiklah," kata Leng Tek. "Nah aku pujikan
siauwhiap berhasil supaya kau lekas pergi dan lekas kembali."
Tiong Hoa mengangguk. Ketika ia menoleh kepada Kiat
Him. ia mendapatkan Lee Hoen lagi bicara asik dengan orang
she Coei itu. Ia lantas memanggil si nona- "Nona Phang, mari
kita berangkat" Ia memberi hormat pada Kim Som dan Long
Tek. terus la berlompat pergi, untuk menghilang diujung jalan-
Lee Hoen dan Sin Kong Tay sudah lantas menyusul pergi.
-ooooooo- Kapan matahari mulai menyingsing, Tiong Hoa bertiga telah
sampai dikaki gunung Ngo Bie San. Lee Hoen mandi keringat
dan napasnya memburu, hingga dia kata: "Engko Hoa, tak
dapatkah kita singgah sebentar."
Si anak muda bersenyum. "Akupun memikir begitu" sahutnya. "Didepan sana ada
dusun, kita mampir di sana saja sekalian kita bersantap" Lee
Hoen menurut. Dengan lekas mereka sampai didalam dusun, lantas mereka
masuk kedalam sebuah rumah atap dimana mereka disambut
seorang nona umur delapan atau sembilan belas tahun yang
romannya elok rambutnya terjalin panjang. Sembari
bersenyum manis dia menanya ketiga tamunya mau dahar
apa. "Apa saja, asalkan lekas menyajikannya" sahut Lee Hoen.
Nona itu menyahuti, terus ia pergi kedalam.
Sin Kong Tay memandang ke arah gunung, lantas ia
memuji keindahannya. "Selama merantau, belum pernah aku
pesiar kemari," katanya Tiong Hoa heran-
"Apakah dilarang orang mendaki gunung Ngo Bie San ini?"
ia tanya. "Bukan begitu," sahut sang kawan- "inilah disebabkan
keangkuhanku sendiri. Dulu semasa muda aku benci golongan
imam yang palsu, karenanya tak suka aku mendatangi
gunungnya kaum imam itu, terus sampai sekarang."
Si anak muda tertawa. "Itulah tanda kebersihan dirimu. Sin Loo-soe" katanya. "
Didalam dunia ini ada berapa orang yang dapat memegang
derajat seperti kau?" Sin Kong Tay tertawa sambil mengurut
kumisnya. "Jangan memuji aku siauwhiap. "aku malu jadinya. "Aku
bicara menurut rasa hatiku. Memang aku menyesal tak pernah
pesiar kegunung ini yang tersohor indah."
Nona rumah muncul dengan barang makanan yang masih
panas, baunya sedap. Tiong Hoa melihat Lee Hoen bengong memandang keluar,
seperti ada yang dipikir, ia tegur nona itu: "Nona apa yang
kau pikir kan?" Nona itu menoleh, matanya bersinar hidup, mulutnya
tersungging senyumanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
"Siauwmoay lagi memikirkan encie Cek dan encie Pouw itu
entah bagaimana cantiknya" sahutnya tertawa. "Kalau aku
memikirkan mereka, ingin aku lantas terbang menemuinya"
Muka Tiong Hoa menjadi merah.
Si Nona melirik sambil bersenyum dan sin Kong Tay turut
tersenyum juga. Ketiganya lantas dahar dengan cepat, semua lapar sekali
mereka bersantap dengan lahapnya. Kemudian Sin Kong Tay
mendahului merogo sakunya membayar semua.
Disaat mereka mau berangkat, mereka dibikin heran oleh
seorang yang sedang mendatangi ke warung nasi itu dengan
tindakannya pesat sekali, sedang wajah sin Kong Tay lantas
berkerut. Tiong Hoa heran- Ia mau percaya sahabatnya kenal orang
itu, bahkan mungkin mereka musuh satu dengan lainnya.
Dengan lekas orang itu sampai dimuka warung. Diilah satu
pengemis tua dan kurus, mukanya kisutan, perok dan dekil,
rambutnya kusut dan kumisnya tak terawat, pakaiannya
banyak tambalannya, tapi matanya sangat tajam. Bajunya itu
pun meminyak. Ditangannya, dia mencekal sebatang bambu
sebesar jempol tangan dan panjangnya kira lima kaki.
Kapan pengemis ilu melihat Sin Kong Tay, dia terkejut
hingga dia menghentikan tindakannya, untuk mengawasi
secara menghina, terus dia tertawa dingin dan kata: "Kalau
bukannya musuh, orang tak hidup berkumpul. maka itu. Sin
Kong Tay, bagaimana dengan urusan kita?"
"Pengemis she Seng bukankah kau sendiri yang bilang,
dimana kita bertemu di-situ kita berurusan?" jawab Sin Kong
Tay, "Nah, buat apa kau ngoceh lagi dengan kata-katamu
yang tak ada artinya?"
"Bagus. ingatanmu kuat" kata si pengemis, matanya
mencilak. Setelah itu dia mengawasi Lee Hoen, hingga dia
melihat pedang orang. Lantas dia kata: "Sungguh prdang yang
bagus. Eh, anak perempuan cilik apakah itu Ceng Song Kiam?"
Lee Hoen tertawa dingin. "Benar atau bukan Ceng song Kiam, inilah tak sangkut
pautnya dengan kau" sahutnya singkat.
Matanya si pengemis melotot.
"Hai, anak yang galak" serunya. "Pedang Ceng Song Kiam
itu miliknya mendiang sahabatku Koen Goan Siangjin. Kenapa pedang itu ada
padamu" Tak dapatkah aku si pengemis tua menanya barang
satu kali padamu?" Tiong Hoa heran, alisnya terbangun-
Sin Kong Tay lantas menyela: "Pengemis she Seng,
menanam terlalu banyak bibit permusuhan, untukmu
bukannya urusan bagus. Baiklah kita membereskan
perhitungan kita sekarang atau lain hari" Kau sebut kan saja
tempatnya." Pengemis itu menggeraki kedua tangannya dan kakinya
menjejak tanah, maka tubuhnya mencelat kesisi jalan yang
tanahnya berumput. Disitu dia berdiri menantang: "Apakah
kau kira aku jeri padamu?"
Sin Kong Tay berseru. Ia pun lompat maju.
Pengemis itu tak berayal pula untuk menyambut dengan
tongkat bambunya. Kelihatan dia bergerak wajar tapi Tiong
Hoa ketahui itulah pukulan berbahaya. Sin Kong Tay sudah
lantas menggunai kipasnya, untuk membuat perlawanan-
Demikian mereka bertempur gesit dan seru, makin lama makin
hebat. "Engko Hoa." kata Lee Hoen mulutnya di-cibirkan "dengan
berkelahi secara demikian kapankah berhentinya mereka" Tak
dapat kita meninggaikan urusan kita. Siauwmoay mau
membantui sin Loosoe menghajar pengemis bau itu"
Nona Phang benar-benar menghunus pedangnya.
"Sabar, nona." kata Tiong Hoa seraya menarik tangan si
nona. "Masih belum jelas bagi kita, kenapa mereka
bermusuhan- Kalau Sin Loosoe yang bersalah, bukankah kita
menjadi membantu si jahat" Nanti aku pisahkan mereka,
untuk minta keterangan dulu."
Ketika itu muncul pula lima orang pengemis, semuanya
mengawasi tajam kemedan pertandingan- Tiong Hoa
mengenali satu di antaranya sipengemis tua di Hoa Kee po.
Maka ia lantas mengawasi pengemis itu.
Rupanya si pengemis juga mengenali si anak muda, kontan
dia melengak. "Tuan-tuan. tahan dulu" Hong Hoa lantas
berseru. "Tunggu sebentar, aku ingin bicara" Sin Kong Tay
mencelat memisahkan diri, terus dia pergi kesisi si anak muda.
"Siapa berani usil urusan aku sipengemis tua?" pengemis
itu membentak gusar, Ia loncat maju, untuk menyerang Sin
Kong Tay. itulah pukulan "Ular berbisa keluar dari liang," dan
sasarannya jalan darah kie boen dari lawannya.
Tak puas Tiong Hoa, maka ia meluncurkan tangannya
mengetuk tongkat orang. Pengemis itu terkejut. Tongkatnya terpental dan tubuhnya
terhuyung. Dia menjadi terlebih gusar.
"Siapa "kau?" teriaknya. "Kalau aku gusar, aku tidak kenal
orang. Nanti aku tak perdulikan kau siapa, hendak aku
menghajarnya" Tiong Hoa bersenyum.
"Kalau begitu anggaplah aku kurang ajar" kata dia. Dia
tertawa tapi suaranya menyatakan dia tak puas.
Tiba-tiba pengemis yang di kenal Tiong Hoa mengajukan
diri. "seng Tong-coe" dia memanggil rekannya.
Pengemis tua itu menoleh, matanya berapi, terang dia tak
senang dicegah. "Soen Tong-coe. jangan kau campur tahu" katanya. Dan ia
segera menyerang si anak muda, dengan sodokan yang
bercahaya. Tiong Hoa tidak ingin bentrok dengan Kiong Kee Pang.
Partai Pengemis. maka ia berkelit. Ketika ia diserang terus
saling susul, ia berkelit sambil berputaran menyingkir dari
setiap serangan itu. Dia bergerak cepat dan lincah sekali.
Akhirnya Seng Toa-coe pengemis she Seng itu menjadi heran-
"Bocah ini liehay sekali." pikirnya, "Kalau dia menang,
kemana aku menaruh mukaku?"
Dialah Pek-Kiat Wie To Seng Kiat, si Wie To Seratus
Tambalan, didalam Kiong Kee Pang dia liehay cuma
dibawahan ketuanya. Karena dia bertabiat keras baik didalam
maupun diluar partai dia tak dapat kesan baik.
Karena adatnya yang keras itu, sekarang dia tak
menghiraukan pengemis yang dia panggil Soen Tongeoe itu,
rekannya. Begitulah dia menyerang makin hebat hingga
tongkatnya itu mendatangkan suara angin yang keras.
Melihat orang tak kenal batas. Tiong Hoa mengasi dengar
suara dihidungnya lantas ia menolak dengan tangan kirinya
dari bawan ke atas. Tanpa ampun lagi tubuh Seng Kiat terangkat dan terpental
tetapi berbareng dengan itu si anak muda berlompat maju
guna menanggapi selagi tubuh pengemis itu terjatuh hingga
dia tak roboh ditanah. "Maaf Seng Loosoe " kata si anak muda bersenyum. "Aku
kesalahan tangan-.."
Pengemis itu melongo. Dia malu sekali hingga mukanya
menjadi merah. Setelah diam sekian lama baru dia berkata
meringis: Aku si pengemis tua berjumawa untuk banyak
tahun, baru hari ini aku menemui tandinganku, tapi aku kalah
tak puas." "Aku yang rendah menang karena kebetulan saja," kata
Tiong Hoa dengan hormat dan ramah, senyumannya tak
lenyap. "Mana dapat aku melayani Seng Loosoe yang gagah
luar biasa" Umpama kata Seng Loosoe hendak memberi
pengajaran padaku, silahkan loosoe menetapkan hari dan
tempatnya." Matanya pengemis itu mendelik.
"Benarkah?" dia tanya. "Baiklah lagi tiga tahun diharian
Tiong Cioe kita nanti bertemu pula dipaseban Liong Teng
dikota Kay-hong. Itu waktu, sebelum kita bertemu janganjangan


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita berpisah dulu" Menyambungi kata-kata jumawa itu sipengemis bersiul
nyaring sambil ia putar badan untuk dia mengangkat kaki,
menyingkir cepat laksana kilat.
Tiong Hoa mengawasi orang berlalu, dia menyesal sekali
menghadapi orang berkepala besar itu.
Itu waktu kelima pengemis lainnya menghampirkan si anak
muda untuk memberi hormat, kemudian yang satu yang
paling tua, kata dengan nada bersyukur: "Buat peristiwa di
Hoa Kee Po. pangcoe kami berterima kasih tak putusnya
kepada siauwhiap. Sebenarnya dia ingin menemui sendiri pada
siauwhiap. apa mau dia terhalang urusan- Partai kami dengan
keempat jago Kiong Lay Pay, yang menjanjikan untuk
mengadu kepandaian, janji mana harinya sudah mendesak.
Pihak sana itu mengundang banyak orang, maka juga Pangcoe
kami berduka, dari itu biarlah datang lain hari yang Pang Coe
bakal menjenguk siauwhiap. guna ia menghaturkan terima
kasihnya." Tiong Hoa membalas hormat.
"Itulah aku tak berani terima, katanya. "Tolong sampaikan
saja hormatku kepada Pangcoe kamu itu."
Pengemis tua itu mengangguk bersama empat kawannya ia
memberi hormat satu kali lagi, barulah mereka berlima
mengundurkan diri, buat berlalu dengan cepat. Seberla lunya
rombongan pengemis itu, Lee Hoan lari menghampirkan si
anak muda. "Engko Hoa, lihat apakah itu?" katanya.
tangannya menunjuk ketanah.
Tiong Hoa mengawasi ke arah yang ditunjuk. Sin Kong Tay
yang menghampirkan turut mengawasi juga.
Terkena sinar mata hari, terlihat suatu barang mengkilap.
Sin Kong lay lantas membungkuk. menjumput itu, yalah
sepotong cie-ang Giok-cie atau kemala warna merah tua yang
merupakan naga tanpa tanduk. Ia mengawasi sekian lama,
lalu sambil lantas ia kata:
"Inilah tentu miliknya pengemis she Seng itu, yang jatuh
diluar tahunya ketika barusan siauwhiap membikin dia
terpental tinggi. Aneh barang ini berada di-Tangan orang
Kiong Kee Pang yang berkenamaan. Peraturan Kiong Kee Pang
keras sekali, aturan itu melarang anggautanya memiliki benda
berharga" Tiong Hoa menyambuti naga kemala itu dari tangan
kawannya, ia pun memandangnya, hanya ia sambil berpikir
keras. Kemudian ia kata: "Sekarang sukar dipastikan benda ini
milik Kiong Kee Pang atau bukan, kalau bukan, pasti ini ada
arti lainnya. Mustahil-kah Seng Hoa coe berani menyimpan ini
di luar tahu partainya?"
Sin Kong Tay menggeleng kepala.
"Lencana dari Kiong Kee Pang yalah Tekpay Sinhoe, belum
pernah ku dengar halnya naga kemala begini." kata dia. "Aku
tidak lihat ada artinya yang lain dari kemala itu kecuali bahwa
harganya tinggi luar biasa."
"Sekarang ini tak dapat kita susul Seng loa-soe. untuk
menanyai keterangan atau memulangi ini kepadanya." kata
Tiong Hoa kemudian, "maka itu baiklah kita menyimpannya
dulu. Setelah beres urusan di Tiam Chong nanti, baru kita cari
pengemis itu." "Kalau begitu, marilah kita berangkat" mengajak Lee Hoensuaranya
nyaring dan gembira. Maka berangkatlah ketiga orang itu, sambil berlari cepat
sekali. Semakin jauh ia melakukan perjalanan, hati Tiong Hoa
makin pepat. Ia sekarang memikirkan Cek In Nio, entah
bagaimana dengan nona itu. Ia pun ragu-ragu apa In Nio dan
Pouw Keng dapat kecocokan satu dengan lain atau tidak.
Kalau In Nio ketahui Pouw Liok It yang menangkap dan
menahan ibunya si nona bisa jadi gusar hingga mereka kedua
belah pihak dapat menjadi musuh satu dengan lain- Kalau
mereka bentrok tidak dapat ia menangi salah satu.
Pula masih ada satu soal lain- Wanita umumnya mudah
curiga dan cemburu atau jelus. Bagaimana kalau In Nio atau
Pouw- Keng, atau dua-duanya melihat Lee Hoen" Bagaimana
kalau mereka atau salah satu diantaranya tidak puas" Ruwet
bukan" Maka berdukalah ia, ia menarik napas panjang.
Ketika anak muda ini meliriK Lee Hoen, dia mendapat
kenyataan nona itu gembira seperti biasa. Ia heran, hingga ia
tanya diri nya sendiri: Apakah dikatakan Sin Kong-Tay kepada
Lee Hoen selama mereka kasak-kusuk di Cong Seng Sle"
Bukankah tadinya si nona tak puas dan berduka" Kenapa
mendadak dia menjadi gembira?"
Lee Hoen melihat si anak muda berduka ia lari berendeng
dengan Sin Kong Tay, ia bicara atau tertawa. Sikapnya itu
menambah herannya Tiong Hoa. Kira-kira lohor tibalah
mereka dikecamatan Kwan-koan-
"Siauwhiap." Sin Kong Tay tanya, "dimana berdiamnya
kedua nona-nona Cek dan Pouw?"
"Di belakang gunung ceng Shia San- didalam gua Giok Lok
Tong," jawab Tiong Hoa.
Sin Kong Tay berpikir. lalu terdengar suaranya perlahan:
"giok Lok Tong... Giok Lok Tong..." Atau mendadak matanya
menjadi bersinar hidup, hingga dia berseru: "Ya tahulah aku si
orang tua. Gua Giok Lok-ong itu berada didepan puncak Giok
Long Tong, tersembunyi diantara hutan rotan yang lebat. Ada
sedikit sekali orang Rimba Persilatan yang kenal gua itu,
bahkan orang ceng Shia Pay sendiri pasti tak banyak yang
nendapat tahu...." Tiong Hoa heran- Dia mengawasi temannya itu. "Sin
Loosoe mengapa kau ketahui demikian jelas?" ia tanya. Sin
Kong Tay bersenyum, agaknya dia ingat sesuatu.
"Inilah rahasiaku, yang sudah sekian lama aku simpan
dalam hatiku, siauwhiap."
Katanya kemudian- "Siauwhiap pasti tidak ketahui bahwa
akulah murid yang disia-siakan ceng Shia Pay. Aku biasa
membawa suara hati sendiri, satu waktu aku menerbitkan
onar, maka aku lantas kabur dari gunungku. Ah Sejak itu
sampai sekarang ini lima puluh tahun sudah lewat."
Jago tua ini berdiam sebentar, dia seperti lagi mengingatingat
atau membayangi hari harinya yang telah lampau itu.
"Semasa muda aku mirip seekor kuda liar." kemudian dia
menyambung. "maka itu aku bisa menjelajah gunung Ceng
Shia San, sampai, pada satu hari aku tiba di Giok Lok Tong.
Demikian sekarang aku ingat gua itu. Sekarang ingin aku
menjelaskan pada siauv hiap. orang-orang Ceng shia Pay
banyak yang cupat pikirannya, andaikata siauwhiap bertemu
dengan mereka hingga terjadi bentrokan, aku minta sukalah
siauwhiap maklum dan akan bersikap sabar terhadap mereka."
Tiong Hoa tertawa. "Akutahu." sahutnya.
"Sekarang silahkan siauwhiap berdua ikuti aku si orang
tua," kata sin Kong Tay.
"Akan aku mencari jalan yang terdekat dan juga yang
menjauhkan diri dari orang-orang- Ceng Shia Pay, supaya tak
usah kita sampai bertemu dengan mereka itu...
Tiong Hoa menurut, maka ia membiarkan orang tua itu lari
disebelah depan, ia bersama Lee Hoen mengintil.
Demikian mereka lari kearah gunung Ceng Shia San, untuk
terus mulai berlari-lari di jalan yang sukar, yang penuh rumput
atau pepohonan- Mereka lantas merasakan sejuknya tempat.
Walaupun demikian, hati Tiong Hoa tidak jadi terbuka, malah
sebaliknya ia merasa makin pepat...
Tengah mereka berlari mendaki itu, dengan berlompatan
mendadak terdengar suara nyaring dari Phang Lee Hoan-
"Engko Hoa lihat"
Ketika itu mereka sudah naik cukupjauh.
Tiong Hoa mengangkat kepalanya untuk melihat kedepan,
tempat yang ditunjuk si nona. Maka disebelah depan ia, ia
melihat sebuah paseban kecil yang memakai nama ke Lok
Teng. Sedang didalamnya ada sepasang lian berbunyi: "ini lah
tempat singgah- beristirahat untuk mereka yang beruntung
dapat pesiar ketanah suci ini Mendaki gunung memang
bersengsara, tetapi tiba dipuncak. dapat melihat matahari
terbit" "Bagus" Lee Hoen memuji seraya bertepuk tangan-
"Sepasang lian ini pasti akan melenyapkan kepapata n pikiran
engko Hoa. lihat engko Hoa itu. dia mengerutkan keying dia
masgul, maka kalau sebentar dia melihat matahari fajar, tentu
hatinya akan terbuka, hingga tak tahulah, bagaimana nanti
girangnya dia" Tiong Hoa heran, la tidak sangka Lee Hoen dapat
membade hatinya itu dan dapat bersikap demikian gembira
juga, bahkan omongannya maka tanpa merasa, ia menarik
nona itu. yang sebenarnya cantik, sedang kemanjaannya
menarik hati. "Siawhiap." kata Sin Kong Tay, mari kita mengambil jalan
samping mendaki belakangnya kuil Siang ceng Kiong untuk
mengurangi ketika orang-orang ceng shia Pay melihat kita."
Tiong Hoa mengikuti begitupun Lee Hoen.
Kira setengah jam lamanya mereka mendaki, tetapi
perjalanan beberapa lie yang telah dilewati, mereka sekarang
berada diatas bukit, hingga mereka menampak segala apa
jelas disekitar mereka. Banyak pohon cemara bunga dan
lainnya. Suasana disitu suasana bersih murni, yang membikin
orang melupai dunia yang ramai dan kotor.
Bukit ini berada di-belakang puncak pertama dari Ceng
Shia. Sin Kong Tay menjelaskan- "Mari kita jalan mutar, tanpa
setengah jam. kita akan sampai dllembah depan puncak Giok
Long Teng. coba kita tidak mempunyai urusan, kita boleh
ambil jalan yang lurus akan menyaksikan keindahan ceng Shia
San ini.... Jilid 27 : Pertempuran di Giok Lok Tong
(MISTERI LAMBANG MAUT Jilid 8)
Baru sin Kong Tay berkata begitu atau dan empat penjuru
mereka muncul belasan toosoe atau imam, yang segera
mengambil mengurung mereka. Salah satu imam setengah
umur, yang berjubah abu-abu, maju mendekati sampai sekira
satu tombak. Dia beroman bengis. Mukanya merah dan ada tai-lalat
hitam ditengah dahinya, matanya bersinar bengis. Terutama
dia segera mengawasi tajam pada pedangnya Lee Hoen-
"Mau apa sam-wie mendaki gunung ini?" menegur tiga
orang itu, sedang matanya menatap Sin Kong Tay.
Lee Hoen sambil tertawa kata dengan tajam: "Semua
gunung indah dikolong langit dapat orang mendaki dengan
merdeka Kenapa kamu hendak mengekang kemerdekaan
kami?" "Nona benar juga," kata imam itu, yalah kalau nona bertiga
pelancong biasa Tapi kamu bertiga orang-orang Rimba
Persilatan Bukankah kamu hendak menyelidiki sesuatu
mengenai gunung kami ini?"
Panas hati Lee Hoen, hendak ia membentak. atau
mendadak angin bersiur keras disisinya dan telinganya
mendengar bentakan, ketika ia berpaling dengan segera, ia
mendapatkan Tiong Hoa sudah mencekuk lengannya seorang
imam muda, hingga muka dia itu menjadipucat dan
keringatnya membanjir serta tubuhnya menggigil.
ooooo BAB 1 IMAM itu melihat si nona yang dia rupanya kenali sebagai
Ceng song-Kiam, pedang pusaka partainya, maka itu, selagi
rekannya bicara, dia maju mendekati Lee Hoen, guna
dirampas. Sama sekali dia tidak menyangka, Tiong Hoa liehay
sekali, waktu si anak muda berlompat kepadanya. tangannya
lantas kena dicekal tanpa dia sempat menarik pulang atau
berlompat mundur. pula cekalan anak muda itu demikian
keras hingga tak sanggup dia bertahan
Kejadian itu membikin kaget semua belasan imam itu,
dengan paras berubah, mereka melengak mengawasi si anak
muda dan kawannya yang tercekal itu.
Tiong Hoa mengawasi semua imam, dia kata dengan
tawar: "Aku yang rendah kenal ceng Shia Jie Ay, yalah Kok
Loosoe dan Ang Loosoe, bintang-bintangnya Partai kamu, kita
menjadi sahabat-sahabat satu dengan lain, karenanya aku
kagum terhadap partai kamu, akan tetapi hari ini menyaksikan
kelakuan kamu, kamu membikin aku mendapat kesan lain-
Siapa sangka diantara kamu ada menyelip ini setan cilik, inilah
bukti bahwa suatu partai, maju atau mundurnya bergantung
juga kepada anggauta-anggautanya lurus semua atau tidak."
Mukanya si imam usia pertengahan menjadi merah. Dia
jengah sekali. Dia pun terkejut.
"Kalau begitu sie-coe yalah Lie Siauwhiap yang namanya
kesohor sekali?" kata dia. "Inilah benar-benar suatu salah
paham dari pihak kami. Pintoo bertanggung jawab atas
kekeliruan ini sudi kiranya sie-coe memaafkannya."
Mendengar itu, Tiong Hoa pun insaf ia telah bicara terlalu
keras, maka lantas ia melepaskan cekalannya, sembari
bersenyum ia kata: "Maaf, aku pun menyesal telah menuruti
hawa amarahku hingga aku sudah keterlepasan omong.
Dapatkah tootiang perkenalkan diri kepadaku yang rendah?"
"Maaf. sie-coe, pintoo yang rendah yalah Hian Yang, ciangboen-
jin yang baru dari Ceng Shia Pay," sahut imam itu.
"Ooh, kiranya Hian Yang Ciang-boen-jin" kata Tiong Hoa.
"Maaf, benar-benar aku tidak tahu. Tapi, kami mempunyai
urusan penting untuk mana kami mesti lekas kembali ke Tiam
Chong San, karena itu, ciang boen-jin persilahkanlah, lain hari
saja aku yang rendah datang pula guna menghaturkan
maafku" Ketua Ceng Shia Pay itu nampak terkejut.
"Selama yang belakangan ini gempar tersiar berita tentang
suatu pertemuan besar di Tiam Chong San benarkah itu untuk
urusan kitab ilmu silat Lay Kang Koen Pouw tanya dia. Pintoo
golongan suci tak sudi pintoo terlibat urusan itu. Entahlah
dengan kedua paman-guru kami Kok dan Ang itu, karena
sampai sekarang keduanya belum kembali. Mungkin kedua
paman-guru itu pergi kesana, Sie-coe, untuk urusan apa siecoe
beramai datang kegunung kami ini?"
Sin Kong Tay tidak sabaran, dia mendahului Tiong Hoa. Dia
pun bicara dengan tawar: "Hian Yang, kau terlalu doyan
bicara. Tahukah kau bahwa jiwanya puluhan orang
berkenamaan dari Siauw Lim Pay dan Ngo Bie Pay tengah
terancam bahaya maut" Lie Siauwhiap ini datang kemari guna
minta bantuan kedua nona tunangannya untuk mengobati


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka itu, batas tempo- nya cuma tujuh hari, sedang untuk
tiba di-sini, kami telah menghabiskan tempo tiga hari. Kami
bukan datang untuk mengganggu kau, Hian Yang, maka itu
pergilah kau mengajak mereka ini lekas pulang ke kuil, di-sini
tidak ada urusan kamu"
Hian Yang heran- "Dia bicara kasar tidak keruan, apakah dia terganggu
asabatnya?" pikirnya. Tapi ia mesti memandang Tiong Hoa,
maka ia menguasai diri. Ketika ia mengawasi, ia rasa
mengenali orang tua didepannya ini, hanya tak segera ia ingat
betul. Seorang imam maju kedepan- dia memandang bengis pada
sin Kong Tay, terus dia menjura kepada ketuanya, berkata:
"Orang ini bicara kasar, dia menghina ciangboen, dia pun
menghina nama baik Partai kami, karena itu teecoe mohon
keputusan ciang-boen" Imam ini mendongkol sekali.
Tiong Hoa mengerutkan alis. Memang Sin Kong Tay bicara
terlalu keras. la kuatir nanti terbit urusan, yang bisa
menghambat tempo mereka. Hian Yang pun nampak sulit.
Selagi orang berdiam, Sin Kong Tay tertawa dingin dan
berkata pula "Kamu dua hidung kerbau, karena kamu sudah
menjadi imam beberapa tahun, lantas kamu menganggap
dirimu luar biasa bukan" jikalau bukan karena ada urusan
penting hingga aku kuatir terbit onar, mungkin sekarang ini
tubuh kamu sudah rebah malang melintang disini dengan
mandi darah" Semua iman dari ceng Shia Pay itu kaget sekali, tanpa
merasa semuanya meraba gagang pedang mereka. Semuanya
memandang dengan bengis, sedia menyambut titahnya ketua
mereka. Hian Yang menoleh kepada orang-orang nya matanya
bersinar bengis. "Tidak perduli bagaimana tak dapat kamu berlaku tak tahu
aturan dihadapan Lie Siauw hiap" kata dia.
Sin Kong Tay tertawa berkakak.
"Hian Yang nyata kau masih mempunyai martabatnya
seorang ketua "ia memuji. Ketua ceng Shia Pay itu mengawasi
dengan roman menyatakan dia sangat gusar.
"Sie-coe," katanya, "sie-coe sebenarnya pemimpin Rimba
Persilatan dari bagian mana" Apakah sie-coe suka perkenalkan
diri sie-coe supaya taklah sampai kami berbuat salah apaapa?"
Kembali Sin Kong Tay mengasi dengar suaranya yang
dingin. "Hian Yang, tak kusangka kau pelupa begini rupa" katanya.
"Lupakah kau akan peristiwamu pada tiga puluh lima tahun
yang lampau. ketika kau mendapat kecelakaan di-dalam
jurang kematian" Siapakah yang menolongi kau ketika itu?"
Hian Yang terperanjat, ia menatap tajam orang didepannya
itu, kemudian ia maju menghampirkan, untuk segera menekuk
kedua lututnya. "Oh, soe-slok, kau membikin aku hampir mati
memikirkanmu" katanya. Semua imam heran dan kaget, tetapi
segera mereka turut berlutut juga. Sin Kong Tay menyingkir
dua tindak. tangannya diulapkan-
"Tahan," kata dia. "Aku si orang tua tak sanggup menerima
kehormatan ini, karena akulah murid murtad dari Ceng Shia
Pay. Cukup untukku asal kamu tidak menghalang-halangi
kami" Hian Yang berbangkit. romannya berduka, lekas ia kata:
"Kalau begitu, baiklah, Hian Yang menurut perintah soe-slok.
Hanya inginlah aku menanyakan sesuatu. Siau-hiap.
dimanakah adanya sekarang kedua nona tunanganmu itu?"
Mukanya Tiong Hoa bersemu merah.
"Mereka menumpang bernaung digunung totiang."
sahutnya. Hian Yang terkejut hingga ia bertindak mundur.
"Kalau begitu mengertilah pintoo sekarang." kata dia.
"Selama beberapa hari yang belakangan ini murid-murid pinto
suka melihat suatu orang yang bertubuh kecil langsing, yang
suka berkeliaran disini seperti lagi mencari sesuatu, hingga dia
mendatangkan kecurigaan, tetapi ketika dia di susul. dia lantas
menotok roboh murid kami itu. Itu pula sebabnya maka hari
ini kami.." "Jikalau kau sudah mengerti, cukup sudah, tak usah kau
banyak omong lagi" Sin Kong Tay menyela. "Segala apa aku si
tua yang menjamin, maka itu segala apa pun lain kali saja kita
bicarakan pula " Hian Yang berdiam, bersama murid-murid nya ia memberi
hormat pada tiga orang itu, terus mereka berlalu.
"Siauwhiap. nona, mari " Sin Kong Tay segera mengajak.
Dia pun mendahului berlompat pergi.
Tiong Hoa dan Lee Hoen turut lari. Di tengah jalan si nona
kala sembari tertawa: "Sin Loosoe, kau pandai sekali mencari
gara-gara " Sin Kong Tay tertawa. "Kau tidak tahu. nona, katanya. Kalau hidung kerbau dari
ceng Shia Pay banyak yang kukuh dan bercuriga, jikalau
mereka tidak diajar adat hingga mereka tidak nanti kau
diijinkan berlalu. coba aku tidak bawa lagak sebagai Si orang
tak nanti kita dapat lolos secara begini mudah."
Mereka berlari-lari terus hingga mereka tiba dipuncak Giok
Long Tong. Dan sini mereka melihat lebih nyata pula
pemandangan disekitarnya, bukit-bukit itu yang terlebih indah
dan lembah-lembah yang dalam sedang diatas langit nampak
udara terbuka yang angin meniup mereka tak hentinya.
Didepan jurang sana, sahut Sin Kong Tay. tangannya
menunjuk. Dari sini kau tak dapat melihatnya sebab gua itu
teraling oyot-oyotan "Mari ikut aku si orang tua."
Sin Kong Tay berlompat turun, untuk berlari-lari. la diikuti
kedua kawan itu. Tak mudah untuk tiba dibawah lembah dengan banyak
pepohonannya. Mereka mesti merambat diantara oyot-oyot.
Sudah setengah jam, belum juga mereka sampai. Sebenarnya
mereka sudah turun rendah beberapa ratus tombak.
"Sampai kapan kita bakal tiba di bawah?" kata Tiong Hoa,
tak sabar lagi. "Baiklah kita membuka jalan mengandal pada
Ceng Song Kiam." "Jangan." kata Sin Kong Tay. " inilah tedeng aling alam,
sayang kalau kita merusaknya. Tempat lebat ini tak lebih
daripada lima lie. sebentar kita akan tiba di bawah."
Lee Hoen tidak sabaran, dia menghunus pedangnya dan
membabat pergi pulang, hingga sebentar saja terbukalah jalan
lapang dihadapan mereka" Maka terus, dia membuka jalanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring tapi halus dari tempat
gelap dengan rumpun, disusul dengan gaman si Nona Phang,
yang telah maju jauh meninggalkan dua kawan nya, lalu
tubuhnya lenyap. Tiong Hoa terkejut, tapi hanya sebentar segera dia lompat
maju sambil berseru dengan nada suara girang: "Encie Keng
di sana inilah siauwtee Lie Tiong Hoa yang menjalankan titah
mencarimu" Dari dalam rumpun terdengar jawaban merdu seperti suara
burung kenari: "Ooh, kau" Apakah benar kau datang untuk
mencari aku satu orang?"
Didalam hati, Tiong Hoa kata: "Ah, kau terlalu kau tahu tapi
kau masih menanya" Tapi ia menjawab cepat: "Benar, encie"
Segera juga terlihat seorang berlompat keluar dari dalam
tempat yang lebat. Dia mencekal Ceng Song kiam ditangan
kanan dan menenteng tubuh Phang Lee Hoen ditangan kiri.
Dia berdiri mengawasi, matanya jernih wajahnya tersungging
senyuman- Dengan matanya ini dia awasi si anak muda. Muka
Tiong Hoa merah. la likat.
"Kau baik, encie Keng?" sapanya. "Nona itu bukan orang
luar, harap encie suka menotok sadar padanya. Marilah kita
bicara didalam gua Giok Lok Tong"
Pouw Keng. demikian nona itu, tertawa manis. Dia
menurunkan tubuh Lee Hoen untuk diletaki di tanah guna
terus ditotok sadar jalan darahnya --jalan darah Gick-jim.
Sembari berbuat begitu, dengan melirik manis dia menanya:
"Kalau ia bukan orang luar, habis siapa" Bilanglah"
Walaupun ia likat. si anak muda toh tersenyum. la tidak
menjawab, ia tahu Pouw Keng tajam lidahnya, tak mau ia
sembarang membuka mulut. Sin Kong Tay berdiri dibelakang si anak muda dia
bersenyum, didalam hatinya dia kata: "Tak perduli Lie Siauwhiap
bagaimana gagah, menghadapi nona ini dia mesti
mengalah sedikit. Benarlah, Thian menciptakan segala
sesuatu. satu pada lain mesti ada yang dapat
mengalahkannya." Pouw Keng berdiri, dia cantik tapi dia dingin, dia manis
tetapi tidak centil ceriwis. Mengawasi nona itu, Tiong Hoa
terus berdiam. Menampak demikian, Nona Pouw merah sendiri
mukanya. "Eh Kenapa kau diam saja". tegurnya.
"Habis apa aku mesti bilang padamu?" sahut Tiong Hoa
didalam hatinya. Ketika itu Lee Hoen sudah sadar, dia berbangkit berdiri,
untuk terus merapihkan rambut didahinya.
"Apakah ini encie Keng. encie Pouw Keng?"" tanyanya,
perlahan, lalu mendadak dia berbisik ditelinga Nona Pouw,
hingga Tiong Hoa dan Sin Kong Tay dibiarkan saja. "Siauhiap.
hati-hatilah kau" kata Sin Kong Tay ditelinga orang. Dia
bersenyum. Tiong Hoa menyeringai.
Segera juga terlihat Pouw Keng dan Lee Hoen berjalan
pergi, hingga mau atau tidak si anak muda dan si orang tua,
turut bertidak mengikuti mereka itu.
Mereka berjalan didalam rimba yang gelap hingga mereka
membutuhkan bantuannya cahya pedang ceng Song Kiam.
Mereka maju terus, sampai akhirnya mereka hampir tiba
didasar lembah dimana ada sebuah gua pada tembok gunung.
Mulut gua hijau dengan lumut dan lainnya rumput halus. cuma
satu orang bisa masuk dan dengan tubuh miring juga.
Sebenarnya. kalau orang tidak tahu, sulit untuk dapat melihat
gua itu. Dengan memisahkan diri, Pouw Keng dan Lee Hoen
merambat naik saling -susul cepat mereka bergerak. Tiba
dimulut gua. Nona Pouw memanggil berulang-ulang: "Encie
in.. Encie In" Tiong Hoa mendengar itu, sendirinya ia merasa lega.
Sampai didetik terakhir, ia masih kuatir In Nlo dan Pouw Keng
tidak cocok satu pada lain- Sekarang lenyaplah kekuatirannya
itu. Semua dugaannya meleset. Suaranya Pouw Keng tegas
menyatakan itu. Bersama-sama sin Kong Tay, ia lekas
menyusul naik. Ketika mulai masuk ke dalam gua, orang pun mesti jalan
dalam terowongan yang berliku-liku. Mata Tiong Hoa tajam, ia
melihat dan menduga itulah terowongan yang telah diperbaiki
tangan manusia. Tak lama mereka berjalan, didepan mereka berkelebatan
satu tubuh yang langsing, yang bergeraknya gesit. Lalu Cek In
Nio si nona cantik- manis, berdiri didepan mereka. Dan nona
itu segera mengasi dengar suaranya yang merdu: "Adik Hoa"
Hanya setelah itu, ia nampaknya pendiam.
Ada sin Kong Tay disitu, Tiong Hoa merasa tak leluasa.
Maka ia cuma bersenyum dan menyambuti: "Encie In, disini
adikmu mau memperkenaikan kau pada seorang aneh Rimba
Persilatan, inilah Tiat Sie Hoei Chee sin Kong Tay Sin Loosoe."
Nona ini bersenyum, ia mengangguk memberi hormatnya,
kemudian ia mengawasi pula adik Hoa-nya.
"Adik Hoa, ibu ingin bicara padamu," katanya.
Ia tidak cuma menyampaikan kata-kata, sekarang ia
mencekal tangan orang, unruk ditarik diajak masuk lebih jauh
kedalam. Sin Kong Tay bersenyum, ia mengangkat pundaknya, dan
mengintil. oo Didalam ada sebuah ruang yang besar yang terang dengan
cahayanya tujuh butir mutiara besar, cahayanya jernih dan
lembut maka disitu terlihat Losat kwie Bo yang matanya masih
tetap buta lagi duduk diatas sebuah pembaringan batu.
Nyonya ini asyik sekali berbicara dengan Tiong Hoa. Banyak
yang ia tanyakan perihal kaum Rimba Persilatan dan Tiong
Hoa menuturkan segala apa yang ia ketahui dengan sabar dan
jelas. Selagi nyonya itu dan calon menantunya memasang
omong, dipojokan dimnna ada pembaringan batu lainnya, Cek
In Nio, nona-Pouw Keng lagi bicara kasak kusuk dengan
Phang Lee Hoan- saban-saban mereka melirik pada si anak
muda. Lo-sat Kwie Bo tenang-tenang saja setelah mendengar
penuturan- "Begitulah dunia Kang-ouw yang banyak durinya,"
kemudian kata ia sabar. "Disana orang gemar menimbulkan
peristiwa, seperti juga orang kuatir dunia ini tidak menjadi
ramai dan tak kacau balau. setelah aku pindah kemari.
pikiranku menjadi terang dan hatiku menjadi tenang, hingga
aku menginsafi cara hidupku dulu-dulu tak wajar.
Syukur mataku terganggu, jikalau tidak. entah apalah yang
aku telah lakukan lebih jauh. Maka itu kongcoe. suka aku
memberi nasihat, begitu selesai urusan di Tiam chong Sanlebih
baik kau jangan campur pula urusan dunia Kang-ouw. Si
In nanti merawati kau baik-baik. Harapanku adalah agar aku
nanti dapat memain saja dengan cucuku, sebegitu saja, hatiku
akan puas. In Nio dapat dengar perkataan itu. "Ibu...." katanya,
mukanya merah" Kemudian ia deliki si anak muda..."
"Peeboe. akan aku turut perkataanmu ini," kata Tiong Hoa.
Ia melirik dan bersenyum.
"Hai. lucu betul" kata Lee Hoan, sambil tertawa. ..Sampai di
ini detik masih memanggil peebo...peebo... Ati-ati ya nanti kau
membikin encie In gusar.. Kau jangan harapi hari-hari yang
tenteram tenang " Tiong Hoa likat, dia mendelik kepada nona Phang itu. Lee
Hoen menyingkir kebelakang In Nio, lidahnya di ulur...
"Lie Kongcoe," berkata pula Lo-sat KwieBo. "Kau hendak
membawa cangkir kemala ke Tiam chong San guna menolongi
banyak orang gagah, itulah selayaknya, hanya hal nya dua
bulan kemudian kau mau mengantarkannya ke istana, itulah
membikin aku kurang puas..."
"Bukankah peeboe mengatakan hati peeboe sudah tawar "
kata Tiong Hoa. "oleh karena itu, benda sampitan itu buat apa
diberati pula?" "Adik Hoa tak ketahui maksud ibu," In Nlo turut bicara.


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sejak tinggal didalam gua ini, ibu mendapat pertolongan
besar dari cangkir kemala itu. Kau tahu adik Keng
membantunya dengan setiap hari-pergi mencarikan obatobatan,
hingga sekarang ini kedua kaki ibu sudah ada
perubahannya. Sekarang tinggal serupa obat lagi yang belum
didapatkan untuk menyembuhkannya. karena sulit
mencarinya, karena mana kuatir ibu tak mempunyai harapan
akan sembuh pula hingga ibu bisa melihat lagi matahari
seperti sedia kala. Selama cangkir masih ada ditangan kita,
kita dapat mencari terus obat itu, tetapi
apabila cangkir di pulangkan, habis sudah harapan ibu
untuk menjadi sembuh."
Baru sekarang Tiong Hoa mengerti. Maka berkerutlah
keningnya. "Encie In, obat apakah itu yang masih kurang?" ia tanya
kemudian- "Dapatkah encie memberitahukan itu kepadaku?"
"Tentu," sahut si nona ia bersenyum hanya-bersenyum
sedih.. "Itulah cian-lian Liong-swie, sumsum atau benak tulang
naga yang umurnya sudah seribu tahun-.."
Tiong Hoa melengak. la segera menoleh kepada Sin Kong
Tay. Kawan itu nampak berpikir.
"Cian-lian Liong-swie itu dimana didapatkannya?" tanya si
anak muda, ragu-ragu. "Sudah, kong-coe. tak usah kau capekan hati lagi," berkata
Lo-sat KwieBo menghela napas perlahan- "Tentang itu akupun
cuma mendengar secara kebetulan saja. Katanya ada seorang
she Khouw yang telah menyembunyikan diri yang mempunyai
obat itu, yang macamnya mirip naga tanpa tanduk, bendanya
bersih seperti batu kemala, warnanya merah tua serta berbau
harum halus. Kabar itu masuk hitungan kabar angin, jadi
kabar itu tak dapat diandalkan- pula tak diketahui jelas orang
she Khouw itu, dimana dia berdiamnya, apa dia sudah mati
atau masih hidup,.."
Tak menanti sampai si nyonya bicara habis, Sin Kong Tay
sudah lompat berjingkrak, kedua matanya terbuka lebar,
mengeluarkan sinar terang- girang.
"Siauw-hiap" dia berseru. Baru sekarang aku percaya
bahwa "benda" itu ada tuannya, ada pemiliknya. Benda yang
diketemukan dikaki gunung Ngo Bie San itu toh cian lian
Liong-swie?" Tiong Hoa pun tersadar, dengan sebat ia merogo sakunya
mengeluarkan cie-ang Giok cie, sembari meletaki itu
ditelapakan tangannya, ia berseru. "Pee boo, silahkan lihat.
Bukankah ini benda itu?"
Ketiga nona tertawa cekikikan bareng, hanya In Nlo segera
lompat dari pembaringannya, untuk tiba didepan si anak
muda, guna mengambil giok-cie itu, sembari mata melotot, dia
kata: "Tolol. Kalau ibu dapat melihat, buat apa kau
menyebutkannya?" Tiong Hoa melengak. ia jengah. Tapi toh akhirnya ia
tertawa Saking girang ia lupa bahwa bakal mertuanya im buta
matanya. Lo-sat KwieBo mengerti, ia bersenyum. In Nlo
menyerahkan giok-cie ditangan ibunya, untuk ibu itu pegang
dan usap-usap-ia kata: "ibu, mungkin inilah dia, coba ibuperiksa"
Nyonya itu menggeleng kepala. "Aku cuma mendengar
cerita sukar untuk menentukannya," katanya. "Toh Thian tak
mensia-siakan pengharapannya orang baik"
Sementara itu ia sudah mengusap-usap. maka ia
menambahkan: "Mungkin benarlah ini sekarang, anak In,
lekas kau bersama anak Keng membuat obatnya. Kau tahu
sendiri, Lie Kong coe perlu lekas membawa ini kembali ke
Tiam chong San" In Nio berpaling pada Tiong Hoa, matanya melotot.
"Tolol" katanya, bersenyum. Pergi kau bersama Sin Loosoe
keluar sebentar dari ruang ini, sebentar encimu akan
memanggil mu masuk" Lee Hoen juga kata sambil tertawa: "Makhluk menjemukan,
lekaslah keluar" Sin Kong Tay tertawa berkakak.
"Nona Phang, apakah aku si tua bangka juga
menjemukan?" dia tanya. "Benarlah kalau nona pengantin
sudah masuk dalam kamarnya, si telangkai dilemparkan
kepojok tembok" Mukanya Lee Hoen menjadi merah.
"Cis, mulut jahat" bentaknya. " Nona mu toh tak mencaci
kau?" Sin Kong Tay tertawa, dia menarik tangan Tiong Hoa untuk
diajak pergi keluar. Katanya: " Lekas Lekas. Janganjadi
menjemukan orang" Mereka lantas pergi, ditertawai ketiga nona itu. Sampai
dimulut gua. Sin Kong Tay berkata: " Walaupun mertuamu itu
telah mendapat obat mujarab. dia masih memerlukan bantuan
tenaga dalam guna menyalurkan sempurna semua jalan darah
dan pernapasannya. inilah disebabkan sudah lama sekali dia
menderita. Maka itu aku berniat pergi ke Siang teng Klong,
guna memasang omong dengan Hian Yang. Umpama
siauwhiap suka, mari kita pergi bersama."
Tiong Hoa menggeleng kepala, tetapi ia bersenyum.
"Aku ingin menanti disini. Silahkan loosoe pergi sendiri."
katanya. "Kalau begitu, baiklah" kata orang she Sin itu, yang terus
keluar dari gua. Berada sendirian, Tiong Hoa menjadi kesepian- la berjalan
keluar terus sampai di-antara pepohonan lebat disebelah
depan- Di-situ ia duduk menyender pada sebuah pohon besar.
Tak ada sinar terang, cuma angin bersiur halus. pula sunyi
sekali di sekitarnya. Didalam keadaan seperti itu, tak heran otaknya si pemuda
bekerja, memikirkan segala apa yang lampau, sedang didepan
matanya seperti berbayang sesuatu. Kemudian ia ingat Pouw
Lim. yang berada ditangan orang jahat. Kalau hal itu ia
beritahukan Pouw Keng. entah bagaimana kaget dan
bingungnya nona itu. Sebaliknya ia melihat Pouw Liok It itu
tak terlalu memikirkan keselamatan puteranyaitu. "Ah"
akhirnya ia menghela napas seorang diri.
Tiba-tiba ia terkejut. ia mendengar suara daun rontok.
Lantas ia menoleh, matanya mengawasi tajam, Segera ia
mendengar suara tertawa halus dibelakang pohon-"Ah, orang
tolol" begitu ia mendengar -
"Aku menyangka kau berdiam didalam gua, tak tahunya
kau menyendiri disini dan main menarik napas saja, membikin
aku pusing mencarimu."
Mengenali suara itu, semangat si anak muda terbangun
secara tiba-tiba. ia lompat berjingkrak. untuk menghampirkan.
hingga ia melihat In Nlo lagi berdiri disamping pohon dengan
wajahnya tersungging senyuman-"Encie In, apakah pcebo
sudah sembuh?" dia tanya.
In Nio mengangkat sebelah tangannya, ia membuka kelima
jerijinya yang terkepal, maka disitu terlihat cahaya terang dari
sebutir mutiara ya-beng-coe.
"Benarlah apa yang dikatakan Nona Phang " katanya,
mulutnya mencibir. "Sampai disaat ini kau tetap memanggil
peebo pada ibuku. Takkah sikapmu itu membikin hati orang
tawar ?" "Jangan salah mengerti, encie In" kata Tiong Hoa cepat.
"Peebo telah memikir demikian akan tetapi encie sendiri masih
belum membilang apa-apa. Mana berani aku berlaku lancang "
Si nona membanting kakinya.
"Benar-benar kau menggoda aku " katanya. "jikalau aku
tidak menikah dengan kau. apa aku akan menikah dengan lain
orang?" Sinar mata si nona mengutarakan ia penasaran- lalu disitu
terlihat airmata mengembeng. Tiong Hoa menjadi bingung
tetapi ia menubruk nona itu untuk dirangkul erat-erat.
"Maafkan aku. encie." katanya. "Baiklah selanjutnya akan aku
mengubah panggilan ku."
Hati pemuda ini berdebaran demikian hati si nona, yang
manda dirangkul, hingga mukanya menjadi merah sendirinya.
Si nona lantas ingat lelakon mereka selama berlayar Bok Kiap.
maka iapun balas memeluk.
"Lepas tanganku" kata si nona kemudian- la sadar. "Kau
memeluk orang sampai orang tak dapat bernapas"
Tiong Hoa mengendorkan rang kulannya perlahan-lahan-
"Kau terlalu, encie In," katanya. "Tak dapat kah kau
melenyapkan rinduku sekian lama?"
Nona itu merapihkan rambut dijidatnya, "Mana sin Loosoe?"
ia tanya. "Dia pergi ke Siang ceng Kiong menjenguk sahabatnya.
Sebentar dia kembali. Encie. mari kita lihat ibu"
"Sebentar lagi," kata In Nio "Sekarang belum bisa kau
menemui ibu. Meski telah makan obat, ibu masih perlu
dibantu tenaga dalam. Sekarang adik Keng dan Nona Phang
lagi membantui. Aku kuatir kau kesepian- maka aku datang
kemari melihat kau. kenapa kau menarik napas tak keruan-"
"Aku lagi bingung," sahut Tiong Hoa, "Aku lagi memikirkan
keselamatannya Pouw Lim". Dan ia tuturkan hal pemuda itu
terjatuh di tangan musuh.
Mengetahui itu, In Nio menghela napas-
"Adik Keng juga memikirkan saudaranya itu," katanya. Dia
melihat kau tidak menyebut-nyebut tentang adiknya itu, dia mulai jadi
curiga..." Tiong Hoa tidak menjawab. sebaliknya ia sambar mutiara
ditangan si nona untuk dibekap.
"Diam" ia berbisik sambil terus ia memasang telinganya.
"Ada orang datang..." katanya sejenak kemudian- "Dan
bukan satu orang saja. Dia bukannya Sin Loosoe. Siapakah
mereka?" In Nio memasang kuping, ia pun mendengar suara tindakan
kaki. Tiba-tiba alisnya bangun berdiri dan kedua matanya
bersinar tajam. "Sabar, encie" Tiong Hoa berbisik. "Kita lihat
tegas dulu siapa mereka itu."
Suara tindakan datang semakin dekat. Suaranya jadi
semakin nyata. Bahkan sekarang terdengar suara pohon
pohon dibabat-babati dan sinar golok atau pedang berkilauan.
itulah tanda orang lagi membuka jalan.
"Benar-benar gila" terdengar seorang berkata keras. "Kita
sudah jalan begini jauh, masih kita belum berhasil mencari
Giok Lok tong. Bangsat cilik awas. Jikalau kaupedayakan kami,
kau nanti rasai siksaan sedap."
Atas itu terdengar jawaban serak tapi yang nadanya penuh
kegusaran: "Toh tuan kecil kamu sudah berulang-kali
menegaskan kamu bahwa ke Giok Lok Tong tuan kecil kamu
belum pernah pergi. bila tuan kecil kamu cuma mendengarnya
dari cerita orang, jikalau kamu tidak berhasil mencarinya,
kamu harus sesaikan diri kamu sendiri. Sebenarnya kamu
hanya bermimpi untuk memikir memiliki cangkir kemala coe-in
pwee." Hati Tiong Hoa tergetar. "Mungkinkah Pouw Lim telah dipaksa mereka untuk
mencarijalan kemari?" ia berbisik di telinga In Nio.
Si nona belum menyahut atau lain suara seram telah
terdengar: "Pouw Lim Kau telah terjatuh kedalam tangan kita,
adakah kau masih berkepala batu?" "Hm terdengar suaranya
Pouw Lim tertahan- Dia rupanya dianiaya. Sampai disitu Tiong
Hoa tidak bersangsi pula,
"Encie In," bisiknya, pergi kau jalan mengitar kebelakang
mereka itu, aku, sendiri hendak menolongi Pouw Lim. Habis
itu kita, serbu mereka, jangan ada yang-dikasi lolos"
In Nio menurut. Tahu ia apa yang harus ia lakukan, la
berlalu dengan cepat, lenyap ditempat gelap.
Tiong Hoa menanti seketika, baru ia bertindak keluar dari
tempat berdiamnya itu. la sengaja bertindak lebar.
Lantas beberapa orang itu dapat mendengar suara
tindakan- "Siapa disana?" seorang membentak. suaranya bengis.
"Silahkan kau menyebut namamu."
Tiong Hoa tidak segera menjawab, ia hanya berjalan terus.
Maka dilain detik ia sudah melihat belasan orang dengan
roman-nya semua bengis. Diantaranya terdapat Pouw Lim,
yang telah hilang kemerdekaan-nya. la tidak takut, karena ia
tahu bagaimana harus bertindak. Bahkan ia mempercepat
tindakannya. "Akulah pemilik rimba ini" katanya sambil tertawa nyaring.
"Aku mendengar ada tetamu dari jauh datang kemari, aku
datang menyambut" Mendadak anak muda ini menolak dengan tangan kirinya.
Itulah tak disangka rombongan didepan itu, mereka
tertolak keras hingga semua terhuyung. Tentu sekali mereka
menjadi kaget, hingga diantaranya ada yang lantas
membentak. Tiong Hoa menggunai ketikanya yang baik, la lompat
kedepan Pouw Lim, ia jambak dada si anak muda, untuk
segera ia lompat kembali hingga enam tombak. sembari
berbuat begitu, ia tertawa nyaring.
Semua orang itu heran, semuanya kaget. orang berkelebat
sangat cepat. Tiong Hoo tidak cuma mundur, ia terus lompat mundur
lagi, untuk mencelat tinggi keatas pohon, untuk memernahkan
Pouw Lim tubuh siapa ia totok. kemudian dengan sama
cepatnya, ia lompat turun lagi. Tepat ia mendengar bentakan:
"Siapa bernyali besar berani main gila didepan tuan muda
kamu" Lekas kau muncul atau kau menerima kebinasaanmu"
Tiong Hoa mengenali suaranya Touw Leng. hatinya menjadi
sangat panas, Sembari tertawa dingin, ia maju seraya menolak
dengan tangan kiri dengan perlahan, sekarang ia menggunai
tangan kanan dengan tenaga ditambah berlipat ganda. Maka
hebat-lah kesudahannya Bagaikan dihajar gempa pohon-pohon pada roboh, orangorang
pada jatuh, mulut mereka mengasi dengar jeritanjeritan
yang dahsyat, yang mengerikan lalu rintihan dan
sunyilah segala apa, kecuali daun-daun berterbangan dan
bertumpuk. cabang cabang pada patah ringsak. Debu pun
mengepul karenanya. Ketika Tiong Hoa menghampirkan. ia melihat Touw Leng
bersama dua kawannya merayap bangun, dengan susah
payah mereka melarikan diri. Tentu sekali ia tidak mau
mengasi hati. ia telah membilangi In Nio bahwa musuh tak
dapat dibiarkan lolos. Maka ia mau menghajar pula, atau
mendadak mereka itu bertiga menjerit hebat dan tubuh
mereka terpental balik, jatuh terbanting keras.


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menduga ini pasti hajarannya In Nlo, yang menggunai
pukulan cit Yang Sin Kang. Tiong Hoa menghampirkan sampai
dekat selagi tubuh si pemuda berkoseran-
"Saudara Touw" Tiong Hoa menegur bersenyum. "Apakah
kau baik-baik saja" sudah sekian lama kita tidak bertemu.
Apakah kau masih ingat aku?"
Dua kali hajaran itu membikin Touw Leng bercelaka sekali.
Tulang-tulang iganya pada patah dan ada yang nancap
didagingnya, sedang mulutnya menumpahkan darah. Ia tidak
menyangka bahwa serangannya itu serangan manusia.
Ketika ia mendengar suara Tiong Hoa yang ia kerjai, sambil
meringis ia tertawa. "Tidak kusangka bahwa akhirnya aku
terjatuh didalam tanganmu," katanya lemah. Jikalau aku tahu
begini pastilah selama di Koen-beng aku sudah turun tangan
terlebih dahulu" "Memang segala apa sukar tercapai sepenuhnya menurut
keinginan kita," kata Tiong Hoa tertawa tawar. "Hanya jelas
siapa jahat dia bakal menerima pembalasannya Sekarang
Touw Leng. tutup mulutmu Mana dia Ngo sek Kim-bo?"
Orang she Touw itu menghela napas.
"Barang itu ada ditangan ayahku," sahutnya susah.
"Sebentar ayah pasti datang kemari. Kau mintalah pada
ayahku itu.." Ia muntah darah pula, matanya mencilak. terus nyawanya
terbang. Tiong Hoa memandang kesekitarnya, ia menghela napas.
Biar bagaimana, ia berduka.
Hebat akan menyaksikan belasan mayat tak keruan macam
itu. la menyesal. "Kenapa kau main tarik napas saja?" tiba tiba datang
pertanyaan dari belakang si anak muda. Pertanyaan itu merdu
dan disusul dengan tertawa empuk.
"Kau tahu apa" Ilmu silatmu telah maju luar biasa sekali
itulah tak dapat dipikir otak biasa jikalau aku tidak
menyaksikan sendiri sampai dua kali, aku pun tentu tidak
nanti percaya." Tiong Hoa menoleh, ia nampak masgul.
"Bukan kausapa encie, aku pun hampir tak percaya diriku
sendiri," kata ia. "Aku merasa aku seperti lagi berkhayal."
Pemuda ini ingat Pouw Lim, maka ia lari kepohon
berlompat keatasnya, guna mengasi turun pemuda itu. la
menepuk membikin orang sadar.
Puteranya Pouw Llok It membuka kedua matanya, untuk
mengawasi Tiong Hoa dan In Nio la lantas ingat segala apa.
"Kau telah menolong aku, saudara Lie. aku sangat
berterima kasih padamu," katanya. ia tertawa tawar. "Mana
encie Keng?" Tiong Hoa bersenyum. "Kakakmu berada didalam gua, sebentar kau dapat
menemui dia," sahutnya.
Pouw Lim melihat akibat pertempuran, ia melengak.
Sampai sekian lama ia berdiam saja. Baru kemudian ia seperti
mendusin. "Sa udara Lie, apakah telah terjadi disini?" ia tanya, ia
heran, otaknya bekerja. "Adakah itu pekerjaan manusia."
"Pouw siauwhiap. baik kau tak usah perdulikan lagi segala
apa disini," sahut Tiong Hoa sabar. "Ringkasnya Touw Leng
semua telah menerima nasibnya, hingga sekarang kau tentu
dapat melegakan hatimu."
Pouw Lim mengawasi mayat Touw Leng, dia nampak gusar
sekali. "Sayang tak dapat aku membunuh dia dengan tanganku
sendiri" katanya. "Sayang dia mati terlalu siang."
Dalam murkanya itu selayaknya saja Pouw Lim mendupak
mayat musuhnya, tetapi ia telah tidak berbuat demikian, ia
melainkan mengawasi bengis. Melihat itu Tiong Hoa-kagum.
Nyata anak muda itu dapat menguasai dirinya, pikirnya. Itulah
sifat orang gagah sejati.
Tak lama, Pouw Lim kata: "Aku telah di totok Touw Leng
sudah begitu lama hingga darahku mandek, hingga tak dapat
aku menggunai tenagaku. Saudara Lie. tolong kau totok aku
pada jalan-darah kwan-goan ditiga tempat. Kau gunai tenaga
sedikit keras, nanti totokan itu bebas."
Tiong Hoa mengangguk sambil bersenyum.
"Itulah selayaknya, tak usah sampai kau minta lagi." kata
ia. la lantas berjalan-perlahan ke belakang pemuda itu.
"Ya, aku belum mengaturkan terima kasihku pada Nona
Cek." kata Pouw Lim. "Kau telah merawat kakakku."
Jangan merendah, Pouw Siau whiap. jangan kau mengucap
terima kasih padaku," berkata In Nio "Aku justeru berterima
kasih kepada kakakmu itu yang sudah merawat ibuku."
Pouw Lim tersenyum, terus ia memejamkan mata dan
membungkam. "Pouw siauwhiap siap" kata Tiong Hoa dari belakang si
anak muda, ia terus meluncurkan tangan kanannya, akan
dengan dua jerijinya menotok punggung orang, di-jalan-darah
kian-goan seperti di tunjuki.
Tiga kali Pouw Lim tertotok. Lantas ia muntah darah yang
berwarna merah gelap. la terhuyung, lalujatuh berduduk.
guna dengan perlahan terus mengasih jalan darahnya
seluruhnya. Berbareng dengan itu, ia juga menyalurkan
pernapasannya. Cek In Nlo mengawasi, lalu ia tertawa
perlahan- "Bahaya sudah lewat, adik Hoa," kata ia pada si anak
muda. Banyak yang aku hendak tanyakan, tapi lain hari saja.
Sekarang aku melainkan mau menanya satu hal. Hajaranmu
barusan sangat hebat, walaupun Thian Yoe Sloe liehay sekali,
aku merasa dia tak nanti sanggup berbuat demikian- Adikku,
kau sebenarnya murid siapa?"
Ditanya begitu, Tiong Hoa tertawa. "Sebenarnya aku tidak
tahu pasti lagi, aku ini murid siapa," sahutnya. "Yang tepat
yalah banyak pelajaran yang aku telah gabung menjadi satu,
yang semuanya langka dan luar biasa. Linat saja
keanehannya, aku mendapatkan giok-cie"
Nona itu mengasi dengar suara di hidung, matanya
melotot, mulutnya mencibir. "Kau, kau pun dapat berbuat
nakal," katanya. "Kau licin, ya." Ketika itu Pouw Lim sudah
selesai beristirahat, ia berbangkit.
"Cek Liehiap." katanya pada In Nlo, "sekarang tolong kau
ajak aku pergi menemui kakakku."
Nona itu mengangguk. "Pouw Siauwhiap. silahkan" ia mengajak.
Nona itu lantas bertindak dan Pouw Lim mengikuti. Ketika
sudah jalan kira tujuh tindak. adik Pouw Keng menoleh. la
heran melihat Tiong Hoa berdiam saja. "Eh, Saudara Lie"
tegurnya. "Kenapa saudara tak turut?"
"Aku hendak menanti disini," sahut Tiong Hoa. "Tadi Touw
Leng bilang bahwa ayahnya bakal datang mencari Giok Lok
Tong, maka itu perlu aku menunggui dia."
"Oh, begitu" kata pemuda she Pouw itu. "Baiklah habis
menemui kakakku, aku akan segera kembali kemari guna
menemani dan membantu padamu."
Tiba tiba In Nio lompat kedepan si anak muda romannya
sungguh-sungguh. "Adik Hoa," kata ia, "ilmu silatmu barusan tak dapat kau
sembarang gunai lagi sebab apabila rahasia bocor dalam
perjalanan ke Tiam chong nanti kau pasti bakal menjadi
sasaran umum dan kawanan sesat itu juga tentulah sudah
menyiapkan segala apa hingga ada kemungkinan kau nanti
kena perangkap. Kalau terjadi sesuatu kecewa adik Keng. Aku
percaya kau sudah mengerti maka tak usahlah aku memesan
melit-melit." Tiong Hoa mengangguk. "Aku mengerti," sahutnya. "Syukur
"kata si nona. Nona itu dan Pouw Lim lantas berjalan terus. Tiong Hoa
mengawasi mereka, lalu ia menghela napas sendiri. Memang
hebat tindakannya barusan tetapi jikalau ia tidak menyapu
secara demikian, ada kemungkinan musuh yang lolos.
Belum lama anak muda ini merasa kesepian itu, satu
bayangan terlihat berkelebat ke arahnya. Ketika ia memasang
mata, ia mengenali Tiat Sloe Hoei ciee Sin Kong Tay,
kawannya. Sin Kong Tay melengak apabila ia telah menyaksikan
pemandangan dihadapannya itu.
Hanya seperti Pouw Lim ia pun menyangka itulah pasti hasil
perbuatannya anak muda she Lie ini. Dalam herannya, ia pikir:
"Anak ini mempunyai tenaga bukan tenaga manusia" Toh ia
harus mempercayainya. "Tak lama aku berdiam di Siang ceng Kiong, lantas aku
pamitan," berkata Sin- Kong Tay kemudian, "ketika kami
berada di-luar kuil mendadak kami mendengar suara bagaikan
guntur yang datangnya dari arah Giok Lok Tong. Tentu sekali
aku kaget" Bersama-sama Hian Yan, sama aku mengawasi ke arah
sini. "Kami melihat debu mengepul naik. Kami semua kaget.
Hian Yang mau mengajak murid muridnya datang kemari
tetapi aku mencegah, Demikianlah. aku kembali seorang diri.
Apakah yang barusan terjadi?"
Tiong Hoa menuturkan tentang tibanya rombongan Touw
Leng yang menguasai Pouw Lim. la tidak menyebut perihal
hajarannya yang dahsyat itu. ia hanya kata saking hebatnya
pertempuran, banyak pohon kena terhajar roboh.
Sin Kong Tay kagum. Tapi ia kaget. "Ayahnya Touw Leng
mau datang kemari?" ia tegasi.
"Dialah seorang yang liehay sekali, tak dapat dia dilawan
dengan tenaga kekuatan-"
Tiong Hoa mengawasi tajam, ia heran. "Sebenarnya dia
liehay bagaimana?" tanyanya. "Kenapa Sin Loosoe demikian
menghargai dia?" "Ayah Touw Leng itu bernama Tiang Kie." Sin Kong Tay
menerangkan, dia menjadi jago diperbatasan tetapi sangat
sedikit orang yang mengetahui, ia mengumpuli banyak murid
dan kawan yang semuanya orang-orang yang liehay, itulah
sebab sudah sekian lama ia bercita- citakan menjadi jago
Rimba PersilatanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Aku tidak tahu jelas perihal ilmu silatnya itu, aku cuma
mendengar saja, maka itu aku menduga ia mesti memiliki
sesuatu yang istimewa. Satu hal sudah pasti, apabila dia benar
datang kemari, mesti dia membawa banyak kawannya yang
liehay itu. Benar-benar, siauwhiap. aku berkuatir untuk Giok
Lok Tong. Disini kau bersendirian saja."
Tiong Hoa berpikir. la menganggap kekuatirannya kawan
ini benar. Memang, kalau Touw Tiang Kie melihat ia dan
kawan kawannya dia itu menyerbu kedalam gua, pastilah
Pouw Keng berlima ibunya bisa terancam bahaya. la lantas
mengasa otaknya. "Sin Loosoe, sekarang baik kita mengatur begini saja," kata
ia, cepat. "Silahkan loosoe menjaga dimulut gua, disebelah
dalam sambil bersembunyi. Kalau musuh datang, lantas loosoe
hajar padanya. Bunuhlah semua, jangan loosoe ragu-ragu"
Tiat-Sie Hoei-chee menganggap itulah jalan satu-satunya,
maka ia menyatakan setuju, bahkan ia lantas lari pulang ke
gua guna bersiap sedia. Lie Tiong Hoa mengawasi orang berlalu, -lalu dia berdiri
diam dengan kedua tangan digendongkan kepunggungnya.
matanya mengawasi kelangit yang berawan biru. Kemudian ia
naik keatas sebuah cabang dari mana ia bisa memandang
keempat penjuru. Belum terlalu lama atau tiba-tiba ia terkejut. Tidak tempo
lagi ia lompat turun dan lari kearah gua. Sama sekali ia tidak
menerbitkan suara apa juga. la menyembunyikan diri diantara
pohon-pohon lebat disisi kiri Giok Lok Tong.
Segera juga terlihat munculnya serombongan dari duapuluh
orang lebih, muncul di sebelah kanan gua. orang yang
berjalan di muka seorang tua yang mukanya putih dan
kumisnya panjang serta kedua matanya bersinar sangat tajam
dan bengis. "Dia pastilah Touw Tiang Kie," Tiong Hoa menerka dari
tempatnya sembunyi. "Dia beroman sama dengan Touw
Leng." Orang tua itu melihat pohon-pohon roboh dan mayat-mayat
tak keruan macam bergelimpangan, dia kaget hingga dia
tercengang. Hebat akan menyaksikan keadaan semua mayat
itu. Tapi yang bikin dia paling kaget ialah waktu dia dapat
melihat mayat Touw Leng, dengan pesat dia lompat kesisi
mayat anaknya itu. Dia mengawasi dengan mendelong,
dadanya berdebaran- Tiong Hoa mengawasi kawan-kawannya Tiang Kie itu. la
mendapatkan mereka berusia diatas empat puluh tahun ratarata,
dari pelipisnya ternyata mereka semua mesti memiliki
tenaga dalam yang mahir. Mata mereka juga tajam sekali.
Yang paling menarik perhatian ialah sepasang orang tua
bermuka merah yang sudah lantas memdampingi Tiang Kie.
Kumis dan jenggot mereka itu panjang sampai didada mereka,
bukan saja roman mereka berdua mirip satu pada lain juga
kumis-jenggot mereka sama panjangnya.
Yang membedakan mereka ialah yang dikiri berbaju biru
dan yang dikanan kuning. Di punggung mereka masingmasing
terlihat sebatang pedang dengan runce lima warna.
Dua orang tua muka merah itu serta kawan-kawannya pun
tercengang seperti Tiang Kie. karena itu mereka turut berdiam
saja. Baru kemudian Tiang Kie si orang tua muka putih itu,
mengangkat kepalanya, hingga terlihat kedua matanya basah
dengan air mata. "Kedua sahabatku, kematian anakku dan lainnya ini
mencurigai." Kata ia, perlahan, tetapi suaranya dalam. "Tak
dapat aku si orang she Touw memastikan, inilah bencana alam
atau malapetaka buatan manusia..."
Sepasang orang tua muka merah itu mengawasi satu pada
lainnya. "Turut kami inilah separuh bencana alam dan separuh
buatan manusia." Sahut satu diantaranya. Touw Tiang kie
melengak. "Bagaimana bisa begitu?" ia tanya.
"Robohnya pohon-pohon ini tentulah bukan perbuatan
manusia" kata orang tua itu, yang memberi penjelasan-
"Pastilah siauw-sancoe semua tak keburu menyingkir maka
mereka tertimpa pohon-pohon ini, lalu selagi mereka pada
terluka itu dan berdaya menolong diri, tiba-tiba mereka
diserang oleh orang-orang dari dalam gua Giok Lok Tong yang


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul untuk melihat ada kejadian apa, mendapatkan siauwsan-
coe semua, sekalian saja mereka melabrak."
Tiang Kie berpikir. Justeru itu dari dalam rombongan terdengar tertawa dingin.
ooooo BAB 2 TIANG KIE segera menoleh.
"Lo Loosoe, bagaimana pendapat losoe?" dia tanya.
Orang yang dipanggil Lo Loosoe itu tertawa dengan dingin.
"San-coe, yang dinamakan bencana alam itu yalah badai
hebat atau bumi gempa." Kata dia. "Kedua sahabat ini dapat
menduga tepat hanya keadaan atau kenyataannya masih
mengharapkan pemikiran- Tempat kejadian ini cuma berbatas
sekitar belasan tombak persegi. Mungkinkah bencana alam
bertenaga begini lunak" inilah satu, sekarang yang kedua.
Bukankah siauw-sancoe sangatjarang muncul dalam dunia
Kang ouw Mungkinkah Losat KwieBo semua mendapat tahu
siauw-sancoe berniat jelek terhadap diri mereka hingga sia usancoe
semua lantas diserang begini hebat" Dalam dunia
Kang-ouw ada aturan yang tak tertulis, ialah larangan
membinasakan secara kejam pada lawan yang sudah tak
berdaya. Maka itulah aku menjadi bersangsi."
Si muka merah berkata tawar: "Jadi Lo-Losoe percaya inilah
buatan manusia" Kalau begitu, silahkan loosoe mencoba
menghajar roboh itu sebatang pohon yang besarnya
bersamaan. Loosoe tersohor untuk tenaga tangan loosoe,
baiklah loosoe mencoba untuk kita semua membuka mata
kita." Lo loosoe itu menjadi merah mukanya, ia memang tidak
sanggup menghajar roboh pohon yang di tunjuk itu. ia
berdiam tetapi dengan hati mendongkol sebab merasa
diremehkan dimuka banyak orang.
Si baju biru pun kata dingin: "siauw-sancoe berangkat
dengan membawa puteranya cit chee cloe Pouw Liok It, maka
itu cobalah periksa semua mayat itu, diantaranya ada putera
dia itu atau tidak."
Belasan orang lantas maju membikin pemeriksaan- Mereka
tidak mendapatkan tubuh-Pouw Lim.
Touw Tiang Kie menepas airmatanya.
"Pastilah Pouw Lim telah dapat lolos dan menyingkir ke
Giok Lok Tong" kata dia sengit. "Anakku hilang jiwa, mereka
harus bertanggung jawab. Marilah kita cari, gua Giok Lok Tong
pasti berada tak jauh lagi dari sini"
Kata-kata itu mendapat persetujuan, hanya belum lagi
mereka mulai mencari, lantas mereka semua dibikin terkejut
tertawa yang nyaring, yang terdengar dengan tiba-tiba, ketika
mereka semua berpaling, melihat mereka seorang pemuda
tampan lagi mendatangi dengan tindakan tenang dan wajah
tersungging senyuman- Semua orang heran, semua
mengawasi. "Kau siapa?" Tiang Kie menegur. Habis tertawanya pemuda
itu, rimba raya menjadi sepi sekali.
"Aku yang rendah pemilik dari gua Giok Lok Tong,"
menjawab si anak muda. "Barusan aku mendengar pembicaraan tuan-tuan yang
katanya mau pergi ke Giok Lok Tong. Sebenarnya ada urusan
apakah?" Tiang Kie ragu-ragu, sebelum menjawab, ia masih
menatap. Terang ia berpikir keras. Baru lewat sesaat, ia
menanya: "Tuan. bukankah kau she Lie?"
Orang tua ini mengerutkan alis, ia ingat suatu apa. Diwaktu
menanya itu, suaranya bengis.
Pemuda itu, Tiong Hoa, menggeleng kepala.
"Aku yang rendah she Tio" jawabnya tertawa. "Mengapa
tuan sembarang mengubah she orang?"
Mukanya Tiang Kie meniadi merah. Dia jengah.
"Tapi anakku telah terbinasa tak keruan ditangan kau,"
katanya kemudian-Tiong Hoa berlagak kaget.
"Siapakah itu anak tuan?" ia tanya. "Aku tidak kenal dia"
"Itulah dia anakku" sahut Tiang Kie keras dan tangannya
menunjuk kearah mayat Touw Leng.
Tiong Hoa menoleh ke arah mayat yang ditunjuk itu, ia
mengasi lihat roman berduka, ia pun menghela napas.
"Jadi itulah putera tuan?" katanya. "Putera tuan itu
terbinasa lebih banyak ditangan manusia daripada karena
bencana alam." Tiang Kie membuka lebar matanya.
"Apakah artinya perkataan kau ini?" dia tanya membentak.
Tiong Hoa menggendongkan kedua tangannya. sikapnya
tenang. "Tuan, apakah tuan pernah mendengar kata-kata hal
bagaimana harus menebang pohon dan memotong kayu" ia
tanya sabar. Tiang Kie menjadi gusar.
"Kau ngacoh apa ini?" dia menegur, "Menebang pohon itu
mesti dengan menggunai gergaji untuk merobohkannya Tapi
lihatlah ini. Disini tak nampak bekas-bekas potongan gergaji.
Apakah kau mengira mataku si orang she Touw kelilipan
pasir?" Tiong Hoa tertawa lebar. "Jikalau tuan tidak percaya, percuma aku bicara" ujarnya.
"Bukankah anakku itu terbinasa ditangan kau?" Tiang Kie
tanya gusar sekali. Tiong Hoa menjawab dingin: "Kalau tuan
mencurigai aku percuma aku menyangkal"
Matanya Tiang Kie bersinar.
"Bukankah Lo-sat KwieBo bersembunyi didalam gua Giok
Lok Tong?" Tiang Kie tanya gusar sekali.
Tiong Hoa tetap berlaku tenang, Dia tertawa.
"Dia sudah pindah sejak setengah bulan lalu" sahutnya.
"Ada apa kau menanya kan dia?"
Tiang Kie melengak. Sesaat kemudian, ia menanya pula:
"Bukankah cangkir kemala coe-in-pwee telah dibawa pergi
olehnya?" Tiong Hoa tertawa.
"Aneh" katanya nyaring. "cangkir kemala itu miliknya Lo-sat
KwieBo. Kenapa Kau mengarahnya?"
Tiang Kie tertawa dingin: "Kau berani mendustai aku?" dia
membentak. Tangannya telah diulapkan. "Bekuk dia."
Menyusul perintah itu. dua orang berlompat maju kepada
Tiong Hoa. Mereka sangat gesit. Begitu tiba dikedua sisi si
anak muda, begitu keduanya mengulur tangan mereka
masing-masing guna menotok empat^alan-darah pemuda itu.
Hebat serangan itu. Tiong Hoa tertawa, tubuhnya berkelit,
tangan kanannya mengibas.
Penyerang sebelah kiri itu lantas menjerit kesakitan
Tangannya telah dicekal tangan Kera Terbang si anak muda,
segera dia merasakan sangat nyeri, darahnya mandek.
lengannya ngilu. Tak dapat dia bertahan untuk tidak mengasi
dengar suaranya yang menggiriskan itu.
Tiong Hoa tidak berhenti hanya dengan menangkap tangan
orang saja, Ia memutar tangannya, hingga tubuh korbannya
itu terputar juga, tepat tubuh itu menjadi sasaran kawannya
yang menyerang di kanan itu, maka sepuluh jari yang kuat
dari kawan itu nancap di iganya hingga lagi sekali dia berkaok.
mulutnya menyemprotkan darah, lalu dia roboh dengan
jiwanya putus. Kawan itu, si penyerang lompat mundur. Dia berdiri
melengak. Tiong Hoa tertawa dingin ketika ia melepaskan
tubuh korbannya^ "Macam begini masih berani membokong orang?" katanya
mengejek. "cuma mempertontonkan keburukan sendiri"
Tiang Kie semua heran. Pemuda itu liehay sekali Mereka
semua mengawasi dengan tajam.
"Jangan jumawa karena kemenanganmu yang tak berarti
ini" kata Tiang Kle kemudian suaranya tawar.
Ketika itu si orang tua muka merah berbaju biru bertindak
maju Lebar tindakannya. "San-coe," kata dia selagi bertindak itu, " bocah ini boleh
serahkan pada kami dua saudara. Silahkan san-coe bersama
semua yang lainnya mencari gua Giok Lok Tong, asal san-coe
berhati-hati buat Lo-sat KwieBo" Tiang Kie dapat menyabarkan
diri dia mengangguk. "Benar," sahutnya.
Tiong Hoa terperanjat, pemecahan tenaga orang itujusteru
yang ia kuatirkan, ia membentak: "Siapa berani lancang
memasuki Giok Lok Tong dia mesti mampus tak ampun lagi.
"Belum tentu" kata Tiang Kie jumawa. Dia mengangkat
tangannya, maka semua kawannya lantas bergerak untuk
memasuki rimba. Mendadak orang yang berjalan paling depan menjerit,
menyusul itu tubuhnya terlempar keluar. Semua orang lainnya
kaget hingga mereka pada mundur.
orang yang dilemparkan itu roboh tepat didepannya Tiang
Kie, dia rebah tak berkutik lagi.
Justeru itu salah seorang berseru^ "cit-chee cioe"
Tiang Kle mengawasi kepada orangnya yang telah menjadi
mayat, ia melihat pada baju yang robek sebuah tapak tangan,
tangan-tangan yang menggetarkan dunia Kang ouw atau
Rimba Persilatan: cit chee cioe atau tapak tangan Tujuh
Bintang cuma sebentar jago she Touw ini terkejut, dia lantas
menghadapi Tiong Hoa. "Orang sheTio kau pernah apa dengan cit chee cioe?"
demikian tegurnya. "Didalam rimba itu masih ada beberapa
banyak tikus yang menjadi kawanmu?" Tiong Hoa tertawa.
"Tuan pertanyaan kau sangat tidak pantas" dia menegur. "
Hari ini siapakah yang datang kemari mencari gara-gara"
Bukankah barusan aku telah beri peringatan kepada kau, siapa
berani memasuki Giok Lok Tong dia mesti mampus. Kau tidak
percaya Habis kau hendak sesalkan siapa?"
Tiong Hoa menegur begitu lega ia percaya didalam rimba
itu, Pouw Lim beramai telah siap sedia.
"Sudahlah, omongan saja tidak ada gunanya" berkata si
orang tua muka merah. "Hari ini kita cuma dapat maju, tak
dapat kita mundur" Ia menghadapi sianak muda, untuk
melanjuti: "Tuan, aku telah melihat ilmu silatmu, itulah luar
biasa sekali, maka itu sekarang aku dengan pedangku, ingin
main-main denganmu, untuk memutuskan siapa menang dan
siapa kalah Umpama kata apa lacur aku situa yang kalah,
akan aku lantas mengundurkan diri buat tidak mencampur lagi
segala kerumitan ini"
Tiong Hoa bersenyum mendengar kata-kata itu.
"Apakah tuan bersendirian saja?" ia menegaskan. "Kita tak
bermusuhan satu dengan lain, sebenarnya aku tidak setuju.
Tapi ingin aku mengulangi penjelasanku, siapa yang masuk ke
gua Giok Lok Tong, dia mesti mati. Maka itu aku beri nasihat
kepada tuan-tuan semua, janganlah kamu menjadi tamak
Siapa mengerti dan dapat mundur, dialah yang selamat "
Sabar si anak muda bicara tetapi suaramu berpengaruh.
Semua orang berdiam. Tiang Kie pun heran.
"Dia masih begini muda, kenapa dia begini keren ?"
pikirnya. "Dia mirip dengan seorang guru besar. Tapi aku
mesti mendapatkan cangkir kemala itu, yang ada
hubungannya dengan kitab Lay Kang Koen Pouw Aku sudah
bekerja, aku mesti menjadi jago Rimba Persilatan. Mana dapat
aku mundur hanya gertakan belaka " Baik aku menyaksikan
lebih jauh kegagahan orang ini. baru nanti aku memikir pula."
Maka ia berkata "Tuan- jangan kau omong besar, jangan
kau tidak tahu malu Kedua sahabatku ini liehay ilmu
pedangnya, jangan kata baru kau, sekalipun kedua pihak Ceng
Shia Pay dan Khong Tong Pay yang sangat kesohor sekarang
ini tak dapat melawannya. Apakah tuan benar sanggup
melayani kedua sahabatku ini "
Tiong Hoa tertawa. "Tuan, sebenarnya apakah maksud tuan datang kemari?" ia
balik tanya. "Tuan harus ketahui, aku yang sudah tidak
campur tau urusan Rimba Persilatan Kenapa tuan mendesak
aku" Kenapa tuan berjumawa tidak karuan" Apakah tuan
memangnya memikir tak mau keluar pula dari rimba ini"
Tanpa menanti orang berhenti bicara, si orang tua berbaju
kuning sudah lantas menghunuskan pedangnya, hingga
senjata itu berkilauan menyilaukan mata. Ketika diputar,
pedang itu pun mengasi dengar suara me ngaung. Itu saja
sudah membuktikan orang liehay sekali.
"Tuan jangan terlalujumawa" kata Tiang Kie pula. "Untukku
membekuk kau mudah seperti aku memutar balik telapakan
tangan ku. Maka dari itu aku beri nasehat padamu suka
berpikir pula masak-masak. Baiklah kau beritahukan kami
tempat sembunyinya Lo-sat Kwie Bo, supaya kita dapat
menyelesaikan salah paham kita ini"
Tiang Kie tidak percaya pembilangan si anak muda bahwa
Lo-sat KweBo sudah pindah. Atau kalau itu benar, nyonya itu
pasti pindah hanya ketempat yang berdekatan. Selagi
pemimpin ini bicara, kawan-kawannya mengawasi tajam
keadaan rimba dari mana barusan kawannya terlempar, atau
di lempar keluar, hingga menemui ajalnya dengan segera.
Mereka berjaga-jaga lantaran kuatir nanti dibokong.
Sementara satu diantara mereka menjadi kaget sekali.
Disini berdiri paling belakang. Tiba-tiba dia merasa
punggungnya seperti di gigit nyamuk, nyeri campur gatal.
Saking kaget, dia lantas merabah. kebelakang ke
punggungnya dibagian yang nyeri dan gatal itu.
Tiba-tiba dia menjadi tercengang. la merasakan lengannya
terikat secara tiba-tiba dan iganya dingin. Lalu mendadak
tubuhnya tertarik dan terangkat seperti yang digantung.
Semua orang kawannya orang itu terkejut, semua
melengak.Justeru itu delapan diantaranya merasa dadanya
dingin, terus mereka itu roboh tanpa bersuara lagi, semua
lantas melayang jiwanya. Kenapa orang kaget tidak terkira.
Tiang Kie menoleh, dia menyaksikan kejadian itu, selain
kaget, dia menjadi sangat gusar.
"Anak kurang ajar, jangan sesalkan aku kejam," dia
membentak Tiong Hoa, sedang matanya merah seperti
menyala. Sepasang orang tua muka merah juga lantas mereka lari ke
arah rimba. Mereka mengajak semua kawannya.
Semua orang kaget dan berkuatir, tetapi mereka tidak
menjadi ciut nyalinya. kedua orang muka merah itu menyusul kawannya yang
seperti tergantung itu, yang kena tertarik. Mereka
mendapatkan orang tergantung pada sebuah pohon, napasnya
sudah berhenti. Dengan cepat mereka menabas alat yang
menggantung itu, sedang tubuh si kawan dikasi turun.
Ketika mereka memeriksa, kawan itu sudah putus jiwa,
lengan dia itu terlibat

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selembar rotan maka lengannya itu. lengan kanan menjadi
bengkak dan matang biru. Teranglah kawan itu disambar
bandering yang istimewa itu dan kena ditarik untuk terus
digantung. Untuk memeriksa lebih jauh, saking gusarnya dua orang
tua itu lari masuk ke dalam rimba.
Tiong Hoa melihat orang memasuki rimba. Sekarang ia
tidak bingung lagi. Setelah menyaksikan dua peristiwa
barusan, ia percaya Pouw Keng semua sudah siap-siap sedia
guna meringkus semua musuh. Maka sambil bersenyum ia
mengawasi Touw Tiang Kie.
"Tuan," katanya ramah "kau hendak memberi pengajaran
kepadaku, kenapa kau menyebut-nyebut kejam?" Sebaliknya
aku, aku kuatir kau nanti tak dapat mengalahkan aku.^
Tiang Kie menatap tajam. Tangan kanannya lantas
diangkat perlahan-lahan, dikasih masuk kedalam sakunya.
Tiong Hoa melihat itu, ia ingat sesuatu apa. Lantas ia
tertawa nyaring dan kata: "Barusan tuan menyebut-nyebut
kejam, aku mengertilah sekarang Rupa-rupanya tuan hendak
maksudkan benda didalam sakumu itu yaitu asap beracun
ciang-tok Bie-khie. Jikalau benar, aku suka kasi nasehat
padamu untuk kau simpan saja asap beracunmu itu. Supaya
kau tidak memancing bencana untuk dirimu sendiri" Tiang Kie
terperanjat, hingga itu tampak pada sinar matahari. "Kenapa
kau ketahui itu?" dia tanya. "Mungkinkah kau si orang she
Lie"..." Tiong Hoa tertawa. Berbareng dengan itu mendadak
tubuhnya mencelat maju, pesatnya luar biasa. Berbareng
dengan itu juga, tangan kanannya meluncur. Itu artinya telah
bekerjalah tangan Kera Terbang-nya.
Kagetnya Touw Tiang Kie tidak terkira. Dalam gugupnya, ia
berlompat ke-samping kiri untuk mengelit diri. "Bret "
demikian terdengar. Jilid 28 : Sebelum pertemuan di Tiam Chong san
(MISTERI LAMBANG MAUT Jilid 9)
Lagi sekali jago she Touw itu kaget, hingga nyalinya terasa
ciut. Dia kurang gesit. Atau lebih benar dia kalah sebat. Dia
berhasil menyingkir jauhnya tiga kaki akan tetapi bajunya
dibetulan iganya yang kanan robek, baju itu kena tersambar si
anak muda hingga pecah. Dengan begitu maka sebuah kantung kecilnya, yang
disimpan dibetulan iga itu, kena terampas, Mukanya menjadi
merah-padam. Begitu hilang gugupnya, kembali dia menjadi
murka. Kali ini dia murka tak alang- kepalang. Dadanya seperti
bergelombang Tiong Hoa sebaliknya berlaku tenang. Habis menyambar
dan merampas barang orang itu, ia tidak berlompat pula guna
mc lanjiiti sambarannya. Sebaliknya, ia berdiri sambil
tangannya perlahan-lahan dibawa kes akunya, memasuki
barang rampasannya itu. "Tuan. suka aku membilangi secara terus terang padamu,"
kata ia. "Didalam rimba raya ada seorang gagah yang luar
biasa, sudah ilmu silatnya tinggi tak ada batasnya, juga
tabiatnya aneh sekali, sebab dia membenci kejahatan seperti
dia membenci musuhnya. Aku kuatir semua orangmu itu tak
akan ada satu jua yang dapat keluar lagi dengan selamat,
jikalau kau tidak percaya aku persilahkan kau masuk kesana
untuk memeriksa, sekarang ini kau tinggal seorang diri, kau
mirip dengan si tangan sebelah yang tak dapat bertepuk
hingga bersuara nyaring, karenanya percuma kau bertingkah
jumawa dan galak. Kau sekarang mirip telur yang melawan
batu." Habis berkata, anak muda ini meluncurkan tangannya
kearah dada orang. Touw Tiang Kie terperanjat, dengan lekas ia berkelit.
Sekarang dia dapat berlaku waspada. Begitu berkelit, begitu
dia lompat mundur, untuk lompat lebih jauh kedalam rimba,
hingga sekejap saja dia sudah menghilang.
"Ah, sayang," kata Tiong Hoa yang menyesal sudah berlaku
kurang cepat. Itu pun menyatakan bahwa Tiang Kie
sebenarnya liehay luar biasa, bahwa tadi dia menjadi kurban
kantungnya terampas disebabkan dia terlalu jumawa aku
angkuh hingga dia kurang waspada.
Tiang Kie menyingkir terutama dia menguatirkan
keselamatannya semua kawannya yang masuk kedalam rimba
tanpa ada suaranya, tanpa ada seorang jua yang keluar
kembali. Dia menguatirkan mereka itu menghadapi bahaya.
Rimba itu gelap tetapi tak terlalu merintangi dia, sebab
didalam jarak sepuluh tombak. matanya yang liehay dapat
melihat. Hanya dia menjadi heran dan kekuatirannya menjadi
bertambah. Tak ada kawannya, tak nampak bekas-bekasnya.
Dalam bingung dan berpikir keras, dia maju sampai kira
seratus tombak. Didala m rimba itu sulit untuk mengetahui
mana jurusan timur atau barat, atau selatan dan utara, jadi
tak dapat dia memeriksa arah.
Selagi dia bingung itu, tiba-tiba dia mendengar suara
merintih disebelah kirinya. Dia kaget tetapi dia tidak takut,
dengan cepat dia bertindak kearah kiri itu. Kesudahannya dia
mendelong, pikirannya kacau. Dia mendapatkan salah satu
orangnya rebah mandi darah, napasnya baru saja putus.
Gusar dan berduka tercampur menjadi satu dalam hatijago
she Touw ini. Dia pun mendongkol karena dia tak berdaya.
Disitu tak ada musuh yang bisa dihadapi untuk menuntut
balas. Baru sekarang dia insaf bahwa dia telah menjadi kurban
ketamakannya^ sehingga dia mesti kehilangan puteranya.
Tapi sudah terlanjur, tak dapat dia mundur. Maka dia
bertindak maju, guna mencari terus kawan-kawannya. Guna
memberi isyarat, dia bersiul nyaring dan lama.
Begitu Tiang Kle berlalu, begitu berkelebat seorang tua
yang bertubuh tinggi, yang mengasi dengar tertawa ejekan
sambil matanya mengawasi orang berlalu itu.
Tiong Hoa tidak menyusul orang she Touw itu, sebaliknya,
ia mengambil arah ke Giok Lok Tong. tatkala ia tiba didepan
gua, ia menjadi heran sampai ia berdiri tercengang. Didepan
gua itu bersih dari pepohonan, sebab Pepohonannya pada
rebah malang melintang dan saling tumpuk bekas dirobohkan
orang. Masih ada yang lebih mengherankan- Di bawah tumpukan
pepohonan itu terlihat mayat-mayatnya orang-orangnya Touw
Tiang Kie, semua dengan mandi darah. Sedang di depan
mulut gua berdiri diam tanpa berkutik kedua orang tua
bermuka merah-- itu dua pahlawannya Tiang Kie. Tangan
mereka itu masih mencekal pedang mereka.
"Mungkinkah mereka berdiri mati?" Tiong Hoa tanya dalam
hatinya. Untuk memeriksa, ia lari menghampirkan. bukan dari
depan, hanya dari samping. Setelah datang hampir dekat, ia
berdiri diam guna mengawasi. Sekarang ia melihat tegas dua
orang itu mementang kedua matanya masing-masing, mereka
seperti lagi meluruskan napas atau bersemedhi.
"Aneh," pikir si anak muda saking heran, inilah bukan
waktu menyalurkan pernapasan-Apakah mereka terluka hebat
di bagian dalam tubuhnya" Kenapa mereka tak takut ada yang
bokong?" Tengah ia berpikir itu Tiong Hoa mendengar suara angin
dibelakangnya. Dergan sebat dia memutar tubuh. Untuk
girangnya ia melihat Cek In Nio lagi berdiri mengawasi ia
sambil bersenyum manis. "Encie, kenapa mereka ini ?" ia
tanya perlahan- "Dua orang ini benar-benar liehay ilmu pedangnya."
menyahut si ndna. "Begitu lekas mereka bersilat, mereka
dapat merapatkan diri hingga umpama kata tak dapat disiram
dengan air. Bersama saudara Pouw Lim aku tak dapat
mendekatkan mereka. Karena itu, kita lantas membereskan
semua kawannya. Mereka gusar, mereka mengejar kami."
Si nona berhenti untuk tertawa, baru ia melanjuti: "Kami
mau pancing mereka masuk ke dalam gua. Di dalam
terowongan yang sempit, pedang mereka pasti akan menjadi
seperti pedang rongsokan yang tak ada gunanya lagi. Kami
ingin kepung mereka dari depan dan belakang. Nyata mereka
cerdik. Ketika mereka melihat saudara Pouw masuk kedalam
gua mereka lantas berhenti mengejar.
Setahu bagaimana, mungkin karena murka, mereka lantas
menyerang kalang kabutan pada semua pohon itu. Sekarang
mereka berdua berdiam saja. Mereka berbuat demikian sedari
tadi. Mungkin mereka lagi beristirahat, guna mengumpulkan
tenaga mereka." "Apakah mereka tak kuatir nanti dibokong?" Tiong Hoa
tanya. "Kau tahu tetapi kau sengaja menanya" kata si nona
bersenyum. "Mereka itu lagi berdiam tetapi berdiam sambil
bersiap sedia. Dalam ilmu pedang ada pembilangan berdiam
tegak sebagai gunung, bergerak gesit seperti kelinci. Kalau
kau lancang mendekati mereka, kau dapat binasa konyol Kau
kesohor gagah, kenapa kau tidak ketahui rahasia ilmu pedang
itu?" "Oh," kata Tiong Hoa, "mendengar kata-katamu ini, encie,
aku seperti lebih menang daripada membaca buku selama
sepuluh tahun. Kalau aku tahu hal itu. tak nanti aku tanyakan
hingga aku ditertawakan kau..."
In Nio tertawa manja, hingga ia menubruk pemuda itu.
"Mulut jail," katanya. Tiong Hoa tertawa. "Sekarang biarlah
aku usir mereka itu" ia kata.
In Nio mengangguk. lantas la menghunus pedang dari
Thian Hong cinjin untuk di serahkan- pada pemuda itu dengan
perlahan dia memesan: "Kau simpan tenaga tanganmu untuk
di Tiam chong San nanti. Sekarang ini kau robohkan mereka
dengan pedang saja "
Tiong Hoa mengawasi. "Encie, ilmu pedangku tak mahir," kata ia. "Mana bisa aku
melayani mereka dengan pedang ?"
"Kau toh dapat menggunai akal." kata si nona.
Pemuda itu menggeleng kepala, tetapi dengan menyiapkan
pedang dipundak kirinya, ia lompat maju, dengan melalui
pohon-pohon yang malang-melintang, ia mendekati kedua
orang tua muka merah itu.
Baru saja terpisah kira delapan tombak. ia lantas melihat
sinar seperti rantai perak menyambar kepadanya secara hebat
sekali. ia terkejut, segera ia berkelit kesamping. Belum lagi ia
menginjak tanah, lain sinar sudah menyambar, hingga ia
mesti-jungkir balik dengan tipu silat "Naga masuk dalam
gedung," baru ia menaruh kaki ditanah.
Sekarang terlihat kedua orang itu, yang bergerak sangat
sebat, berdiri tegak di kiri dan kanan terpisah setombak lebih,
pedang mereka dikasi turun, roman mereka angker.
Berkatalah si baju biru, perlahan tetapi tegas: "Tuan, kau
dapat lolos dari pedang kami yang bersatu padu, kau liehay"
"Kau memuji saja" kata Tiong Hoa, yang tertawa tawar,
"ingin aku bertanya, kenapa kamu menebang habis
pepohonan didepan gua kami ini" Apakah sebabnya?"
"Kami tak rela terhina, maka itu kami ingin melakukan satu
pertempuran yang memutuskan" sahut orang tua baju biru itu,
suaranya dingin-Tiong Hoa tertawa berkakak.
"Kamu mencari gara-gara tanpa sebab-musabab" katanya
nyaring. "Kamu yang mencari malu sendiri, kenapa kamu tak
rela terhina?" Jangan ngoceh -saja" bentak si baju kuning "Hunus
senjatamu, tuan" Tiong Hoa mengangkat tangannya dibawa kepundak kiri. la
berlaku ayal-ayalan- Kedua orang tua itu mengawasi tajam, roman mereka
tegang. Rupanya mereka insaf bahwa mereka lagi
menghadapi musuh tangguh, hingga tak berani mereka tak
berlaku waspada. Tetapi Tiong Hoa bahkan ayal-ayalan ketika ia mencabut
pedangnya, disaat pedang itu tinggal lagi satu dim. mendadak
ia berseru: "Lihat pedang" Dengan pedang itu ia menerjang si
baju kuning, menusukjalan darah ciang-boen.
Sijubah kuning dan si jubah biru bergerak dengan
berbareng. keduanya menangkis serangan, hingga pedang
mereka bertiga lantas beradu, menempel satu dengan lain-
Hingga setelah satu kali suara nyaring itu, rimba kembali kepada
kesunyian, melainkan matahari yang menojoh ketiga pedang
memancarkan sinar berkilauan-
Ketiganya berdiri tegak. airmuka mereka padam. Mereka
membiarkan angin meniup mereka bersiur-siur.
In Nio mengawasi, hatinya tegang. la merasa kuatir Tiong
Hoa tak dapat bertahan lama.
Ketika itu Pouw Keng dan Sin Kong Tay juga muncul di
mulut gua, mereka turut mengawasi dengan hati mereka
tegang rend irinya. Masih sang tempo lewat tanpa perubahan. Masih ketiga
orang itu bertahan masing-masing, bertahan guna menanti
ketika akan merobohkan la wannya. Akhir-akhirnya tiba
saatnya Tiong Hoa bersenyum.
Sebaliknya dengan kedua orang tua muka merah itu.
Roman mereka bertambah tegang, dijidatnya nampak otototot
yang bersemu biru tua. Tiong Hoa mengawasi tajam, ia menggeser pedangnya ke
kanan- atas mana kedua orang, tua itu turut menggeser
tubuhnya, mengikuti tarikan pedang lawannya.
Perlahan Tiong Hoa bergerak. Rupanya ia mengerahkan
tenaganya. Menyusul itu ia berseru, pedangnya ditarik.
tubuhnya mencelat naik, pada waktu ia turun pula, dapat ia
meneruskan menyerang kebawah.
Kedua orang tua ini dapat bersiap sedia. Keduanya berkelit
sambil berbareng menangkis dengan sabetan "Menyontek
mega, memecahkan rembulan." Mereka tidak menggeraki
kaki, mereka cuma memiringkan tubuh.
Luar biasa permainan pedang Tiong Hoa. la mengelit
tangkisan, setelah itu, meneruskan menikam. Kedua lawan kaget, mereka merasa mereka ialah bagian
mati. Tak sempat mereka berkelit atau menangkis pula. Tapi
aneh si anak muda, disaat ujung pedangnya menowel
bergantian baju kedua lawan, mendadak ia menariknya
pulang, tubuhnya mencelat mundur setombak lebih, sembari
berdiri diam ia mengawasi sambil bersenyum kepada
lawannya itu

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang tua itu heran, lekas-lekas mereka melihat baju
mereka. Untuk kagetnya mereka mendapatkan baju mereka
di-betulan jalan darah kie-boen telah berlubang kecil sebesar
kacang kedele. Mereka memandang satu sama lain, wajah
mereka guram. Si orang tua berbaju biru berkata: " Tuan, kau menang
dengan menggunai tipu yang bagus, meski demikian kami
kalah dengan puas- Biarlah kalau masih hidup, lain kali, kami
nanti mencoba menempurpula padamu untuk suatu kepastian
siapa tinggi siapa rendah"
Tiong Hoa bersenyum tawar.
"Apakah tuan-tuan menganggap aku yang rendah
menggunai akal?" kata dia.
Tidak. aku tak sependapat dengan tuan"
Sijubah kuning mendongkol.
"Toh kita sudah merasakan itu," katanya sengit, "Apakah
yang kau tak setujui"
Dengan roman yang menunjuki kesan baiknya, Tiong Hoa
mengawasi kedua orang tua itu. la bersikap tenang sekali.
"Aku kuatir selama hidupmu, tuan-tuan sulit untuk kamu
mengalahkan aku." katanya sabar. "Nama besar tempat
kosong, itulah sama dengan orang menyentil awan Apakah
perlunya nama saja, nama impian" Suka aku mengasi nasihat
baiklah kamu memernahkan diri didalam gunung yang hijau,
berkawan dengan sang mega, untuk hidup bersama langit dan
"Nasihatmu baik tuan kami menerimanya dengan
bersyukur." Kata si jubah biru, "hanya pembilangan kau
bahwa kami sulit mengalahkan kau, itulah rada menghina
kami." Mendadak Tiong Hoa mengasi lihat roman sungguhsungguh,
hingga ia nampak keren- "Jikalau kamu tidak percaya, nanti aku serang kamu
dengan jurus Angsa hutan terbang Melayang-layang" kata ia
keras "Asal kamu dapat memecahkannya, akan aku yang
rendah menarik pulang kata-kataku itu."
Kedua orang tua itu berpikir keras. Mereka bersangsi tapi
mereka terpengaruhkan sikap orang yang sungguh sungguh.
Kedua--sama berpikir: "Memang ilmu silat Angsa-hutan
Terbang Melayang-layang menjadi satu diantara tiga tipu silat
paling liehay dari ceng Shia Pay, akan tetapi peryakinan kita
berdua beberapa puluh tahun ditampilkan untuk melakukan
tipu sifat istimewa pelbagai partai, mustahil kita tak dapat
melawan dia" Hanya dia itu benar2 cerdik sekali, baru saja
kita kena diakali. Mungkinkah tipu silatnya ini mempunyai
keistimewaan lain ?"
"Baiklah Tuan, silahkan kau memberikan pengajaran" kata
keduanya habis berpikir itu. Mereka penasaran, ingin mereka
mencoba-coba. "Jikalau demikian, harap maafkan aku yang muda?" kata
Tiong Hoa. la lantas mengangkat pedangnya kedepan dada,
begitu cepat gerakannya hingga pedangnya itu bersinar
berkeredepan. Kedua jago tua terperanjat.
"Ah, inilah beda dengan apa yang kita ketahui tentang tipu
silat Angsa hutan Terbang Melayang-layang..." pikirnya.
Meskipun begitu, mereka lantas mengangkat juga pedang
mereka, untuk dipasang menangkis. Sementara itu si anak
muda telah meneruskan menikam.
Tiong Hoa membiarkan senjata mereka bentrok. habis itu
baru ia menarik pulang pedangnya dengan cepat.
Akibatnya untuk membikin kedua orang tua muka merah
itu menjadi kaget dan malu. Hebat beradunya senjata mereka,
telapakan tangan mereka terasa sakit sekali, tanpa dapat
dicegah, pedang mereka masing-masing terlepas dan
terpental, lengan mereka terasa kaku... Ketika kedua pedang
jatuh, tepat dibatang pohon yang besar, nancap bergoyanggoyang.
Tiong Hoa menggeraki pedangnya dicampur tenaga ie Hoa
Ciap Hok. dengan gesit ia dapat menggempur tangannya
kedua orang tua itu. la menggempur berbareng menarik
dengan tipu dua huruf Lolos dan Tarik". Dan ia berhasil.
Kedua orang tua itu berdiam, romannya lesuh. Kemudian si
baju kuning, sambil menghela napas, berkata : "Kami si orang
tua tak akan bicara pula dari hal ilmu pedang, kami suka
menuruti nasihat kau tuan, nanti kami mencari tempat yang
sunyi dimana kami akan melewati hari-hari selebihnya."
Orang tua ini bersama kawannya merangkap tangan
mereka untuk memberi hormat, terus mereka memutar rubuh
untuk berlalu tanpa menghiraukan lagi pedangnya.
Justeru itu satu siulan nyaring terdengar dibarengi lompat
turunnya sesosok tubuh, yang segera ternyata Touw Tiang Kie
adanya. Dia muncul disitu karena dia melihat tegalan yang
penuh pepohonan itu. Dia juga menjadi heran melihat kedua
orang tua berjalan terus walaupun ia sudah bersiul keras.
Mereka itu menoleh pun tidak.
"Kedua sahabat, benarkah kamu mau pergi tanpa pamitan
lagi ?" orang she Touw ini menanya saking heranTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Kedua orang tua itu terperanjat, mereka melengak. lantas
keduanya berpaling untuk satu diantaranya berkata: "Kami
roboh malu kami untuk berdiam di sini lebih lama pula Sancoe
harap kaujaga dirimu baik-baik, kami berdua memohon
diri disini saja...."
Matanya Tiang Kie bersinar bengis. Dia tertawa dingin.
"Kitalah sahabat-sahabat kekal sekali" kata dia nyaring.
"Anakku dan murid-murid ku telah pada mati semua, sekarang
aku tinggal sebatang kara, apakah kedua sahabat ku benar
tega hendak meninggalkan aku pergi?"
Selagi berkata itu, air matanya Tiang Kie mengembeng. Si
orang tua jubah merah tertawa meringis.
"Sancoe didalam dunia Kang ouw terdapat banyak sekali
orang orang dengan kepandaian yang luar biasa," kata ia
berduka, "maka itu percuma saja kita bekerja terus. Menurut
kami baiklah kita mengenal selatan kita mundur pada saatnya
yang tepat dengan begitu mungkin dapat kita melewati harihari
kita dengan aman- Sekarang ini hati kami berdua sudan
mati, tak dapat kami membantu lebih jauh kepada san coe
mencapai cita-citamu. Tentang kebaikan san-coe, nanti saja
dilain penitisan kami membalasnya."
Mendengar itu. Tiang Kie putus asa.Justru karena ini
timbulan niatnya melakukan pembunuhan- Tapi dia berpurapura
menghela napas dia berkata: -jikalau sudah tetap
keputusan kedua sahabatku tidak bisa aku memaksa. "Baiklah
mari aku mengantar saudara-saudara barang selintasan-.."
Jago ini lantas bertindak perlahan guna menghampirkan
kedua kawannya itu yang ia hendak dibinasakan secara diamdiam
itu. Tiba-tiba terdengar gertakan dari dalam rimba: "Touw
Tiang Kie, kau telah menjadi burung didalam sangkar Kenapa
kau masih menyimpan hati buruk hendak membinasakan dua
sahabatmu." Ketika itu Tiang Kie sudah mengerahkan tenaganya untuk
menghajar kepada dua orang tua muka merah itu, atau
berbareng dengan bentakan itu, seorang terlihat melompat
keluar dari dalam rimba, anginnya menyampok keras,
senjatanya bercahaya berkeredepan, maka gagallah
serangannya itu. Dua orang tua itu melihat orang itu yang bertubuh besar,
mereka melengak. tapi mereka sadar dengan cepat, maka
dengan cepat juga mereka melenyapkan diri didalam rimba
yang lebat itu. Touw Tiang Kie mengawasi tajam, akan akhir-nya dia
menjadi sangat gusar. "Orang she Kie. adakah anakku
terbinasa ditanganmu ?" dia tanya.
orang itu tertawa. Dialah Thian Yoe Sioe Kie Noen, yang
kepalanya gundul dan licin juga alis dan kumisnya, hingga
nampak saja mukanya yang merah bercahaya saking
segarnya, sedang kedua matanya berkilau tajam.
"Kau sudah menerima pembalasan, masih saja kau tak
insaf" kata Thian Yoe Sioe terus tertawa "benar apa yang kau
bilang -barusan, disini kau tinggal sebatang kara bahkan kau
tak mempunyai rumah lagi kemana kau dapat pulang"
Tiang Kie kaget, ia menjadi gusar sekali. "Ada permusuhan
apa diantara kau dan keluargaku." dia tanya. "Mengapa kau
berbuat kejam begini" Baiklah, hari ini kau yang mampus atau
aku" Thian Yoe Sioe, yang muncul tiba-tiba itu, bersenyum.
"Kau telah terlalu banyak membunuh orang, sudah
selayaknya saja kau menerima pembalasan" sahutnya . "Tapi
dapat aku si tua menjelaskan kepada kau, didalam kejadian itu
aku tidak turut ambil bagian- Aku hendak tanya kau, Sekarang
ini dimana adanya adikku?"
Tiang Kie tertawa nyaring.
"Tulang- belulangnya sudah menjadi abu, buat apa kau
menanyakannya?" dia jawab.
Thian Yoe Sioe pun tertawa nyaring, kata dia sama
naringnya: "Bagus matinya Bagus matinya"
Tepat dengan suaranya Kie Soen, dari dalam rimba lompat
keluar dua orang. Yang satu yalah seorang imam yang
bermata tajam dan beroman tampan, kumis-jenggot-nya
panjang sampai didadanya. Dia pun bertubuh jangkung. Yang
lainnya yalah seorang muda yang tampan juga, yang dadanya
lebar. sementara itu Tiong Hoa sudah lantas didampingi Cek In
Nio bersama Pouw Keng dan Sin Kong Tay bertiga. Tiong Hoa
mengenali dua orang itu yalah Im San Sioe-soe serta Souw
Siang Hoei. Ia menduga -duga, tentulah mereka itu datang
buat Ngo sek Kim-bo. Im San Sioe-soe lantas memberi hormat sambil menjura
kepada Touw Tiang Kie, untuk berkata dengan sabar: "Touw
Sancoe, sudah lama kita tidak bertemu, adakah kau baik"
sekarang pintoo ingin minta serupa barang pada Sancoe,
harap sancoe sudi menghaturkannya."
"Memangnya aku berhutang apa padamu" tanya Tiang Kie
tertawa. Matanya si imam bercahaya dengan tiba-tiba.
"Ngo sek Kim bo." katanya nyaring. Dia tak lagi sehormat
tadi. Touw Tiang Kie tidak menjawab hanya dia tertawa nyaring,
lalu tubuhnya mencelat mundur. Kedua tangannya bergerak
gerak seperti lagi terbang.
Hampir berbareng dengan itu. Thian Yoe Sioe membentak:
"Apakah kau dapatpergi?" Terus tubuhnya berlompat maju
seraya menyerang. Tubuh Tiang Kie yang telah turun ke-tengah. terhuyung
tiga tombak. belum lagi ia berdiri tetap. ia lantas diserang Im
San Sioe-soe yang menggunai kebutannya, sedang dilain
pihak. Souw Siang Hoei menyerang dengan pedang.
Diserang dari depan dan belakang, jago she Touw itu
masih sempat bertindak untuk menggeser tubuhnya, setelah
memutar tubuh, ia membalas menyerang dengan tangan
kosongnya kepada Siang Hoei. Dia sangat gesit dan tenaganya
besar sekali. Siang Hoei menjerit: " celaka" la merasakan angin
menyambar keras, hingga ia sukar bernapas, sedang
pedangnya tersampok mental.
Sebelah tangannya Tiang Kie meluncur terus kedada orang
she Souw itu, dia hampir mengenai atau dia merasa angin
bertiup dipunggungnya sedang telinganya pun mendengar ini
suara tawar: " Kematianmu sudah mendatangi, tetapi kau
masih berani mengganas"
Dia kaget tapi dia menangkis. Dia memutar tubuh seraya
meluncurkan tangan kanannya, itulah jurus Sepasang tangan
menggetarkan langit.. Tiang Kie mempertahankan diri sampai kakinya melesak
kedalam tanah tiga dim. sedang tubuh Thian Yoe Sioe mental
tinggi. Hanya celaka untuk orang she Touw itu, belum sempat
dia mencabut kakinya, lantas ujung kebutannya im San Sioesoe
sudah menegur pundaknya yang kiri, sampai dia rasa
nyeri hingga di ulu hatinya.
Dia menahan sakit, dia miringkan tubuhnya, guna mencoba
berlompat. Nyata saking liehaynya, dia bisa membikin
tubuhnya melesat beberapa tombak jauhnya.
Sekarang ini dari dalam rimba lantas terlihat keluarnya
belasan imam dengan pedang sebagai senjata mereka,
dengan lantas mereka melurukpada si orang she Touw, sambil
berseru-seru mereka menyerang.
Tiang Kie gusar sekali, mukanya menjadi merah seperti
darah. Dia berkelit, ia menyampok. Maka malanglah seorang
imam di kanannya, tangannya terhajar sampai patah, sampai
kelihatan tulangnya yang putih ia menjerit, pedangnya pun
terbang. Hal itu membesarkan hati Tiang Kie. Maka ia melakukan
perlawanan terus dengan saban-saban menyampok keras
kekiri dan kanan guna menghalau setiap imam yang
menyerang padanya, guna membuka jalan- Dengan begitu
akhirnya ia dapat maju terus buat menyingkir.
Tengah berhasil itu dan berjalan maju, mendadak Tiang Kie
merasakan sambaran di belakangnya, sebelum ia sempat
berkelit, ia merasakan juga lima jari tangan yang keras
menjambaknya. Belum lagi ia bereaksi tubuhnya sudah
terangkat dan terlempar tinggi. Ketika tubuhnya itu turun- dia
ditanggapi Kie Soen- Begitu dia sampai dibawah, ujung
tombaknya Souw Siang Hoei mengancam di dadanya.
Selagi hatinya tawar, Tiang Kie pun mendapat kenyataan,
orang yang barusan menjambak dan melemparkannya ialah si
anak muda yang mengaku menjadi pemilik gua Giok Lok
Tong. Anak muda itu mengawasi ia dengan tenang, ia kata
didalam hati: "Aku sudah keliru satu kali, keliru seterusnya. Nasibku
begini, apa aku mau kata lagi."
Thian Yoe Sioe telah mengambil keputusannya, maka ia
menotok orang she Touw itu ditubuh jalan darahnya hingga
dia roboh pingsan-Tiong Hoa lari kepada gurunya itu.
"soehoe" ia memanggil seraya terus ia berlutut. Thian Yoe
Sioe tertawa, ia memimpin bangun pada muridnya itu.
kemudian si anak muda, memberi hormat pada Im San Sioesoe
dan Souw Siang Hoei. Cek In Nio bertiga pun menghampirkan bersama
rombongan imam, yang ada imam-imam Ceng Shia Pay di
bawah pimpinan Hian Yang, yang telah datang menyusul
kepada Sin Kong Tay. Dengan begitu semua pihak lantas


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu satu dengan lain.
"Aku minta apa yang terjadi disini jangan diumumkan
dulu," kemudian kata Thian Yoe sioe. "Touw Tiang Kie masih
mempunyai kawan-kawannya yang setia yang sekarang lagi
mengatur tipu-daya keji di Tali, mereka itu lagi menantikan
kembali-nya Tiang Kie buat lantas turun tangan, untuk
membikin musna semua orang pihak lurus yang berapat di
Tiam chong San. Jikalau rahasia bocor maka mereka itu pasti
memajukan waktu bekerjanya hingga nasib Kaum Persilatan
tak dapat ditolong lagi."
Jago tua itu menoleh kepada In Nio untuk menambahkan:
"Sebenarnya aku berniat menemui ibumu, akan tetapi ini
hidung kerbau dari im San serta muridnya perlu sangat
mencari Ngo-sek Kim-bo, untuk itu keterangan Tiang Kie mesti
dikorek, karena itu terpaksa aku mesti mengajak mereka
berangkat terlebih dulu. Nanti saja di Tiam Chong San aku
menemui ibumu itu " Habis berkata, dengan memondong tubuh Touw Tiang Kie,
jago tua ini lantas berlalu bersama-sama im San Sioe-soe
serta Souw Siang Hoei. Cek In Nio cuma bisa bersenyum, sedang Tiong Hoa
mengawasi saja gurunya itu pergi.
Sin Kong Tay sendiri menghampirkan Hian Yang untuk
berbisik, atas mana ketua Ceng Shia Pay itu bersenyum dan
kata: "Kalau begitu pintoo beramai tak dapat mengganggu
lebih lama, hanya kalau sebentar siecoe semua hendak
berlalu, sukalah mampir dulu di Siang Ceng Kiong."
Tiong Hoa bersenyum. "Nanti kita mampir," katanya.
Hian Yang memberi hormat, lantas mengajak muridmuridnya
berlalu. Setelah kepergiannya kawanan imam itu, Tiong Hoa
beramai bertindak ke arah gua, ketika mereka tiba didalam, si
anak muda menjadi girang sekali. Disana Lo-sat Kwie Bo lagi
berdiri menantikan dengan kedua matanya sudah sembuh
sedang wajahnya pun tersungging senyuman.
In Nio yang girang tak kepalang, lompat menubruk ibunya,
untuk menaruh kepalanya didada si ibu.
"Ibu" ia memanggil, terus ia menangis terisak saking
meluap kegirangannya. Lo-sat Kwie Bo mengusap-usap rambut putrinya itu.
"Berterima kasih kepada Thian, mata ibumu dapat melihat
pula." kata ia perlahan-"Kau seharusnya bergirang, kenapa
kau sebaliknya menangis?"
In Nio mengangkat kepalanya, benar-benar ia tertawa.
"Inilah airmata kegirangan, anakmu tak menangis," katanya
jenaka. Kemudian Lo-sat KwieBo mengawasi Tiong Hoa dan Pouw
Lim, dua-duanya anak muda tampan, tak tahu ia yang mana
sicalon menantunya. Karena itu ia mengawasi terus. In Nio
mengawasi Tiong Hoa, matanya melotot.
Anak muda itu lagi berdiri diam, lantas dia sadar maka
bertindak maju kepada si nyonya, untuk memberi hormat
sambil memanggil: "ibu..."
Baru sekarang Lo-sat Kwie Bo ketahui yang mana satu
babah mantunya, ia girang sekali.
"Sudah, siauwhiapj angan pakai banyak aturan" katanya.
Kemudian ia menambahkan seraya mengawasi Pouw Lim:
"Inilah, tentu Pouw siauw-sancoe" Sambil disitu datang
gilirannya Sin Kong Tay menemui nyonya itu.
In Nio senang sekali mendengar panggilan Tiong Hoa pada
Pedang Kiri Pedang Kanan 17 Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Iblis Gila Pembangkit Arwah 1
^