Pencarian

Bujukan Gambar Lukisan 9

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 9


Pemuda bertopeng itu berdiam meski tak tampak tenang,
dia ligat, Hanya sejenak saja, lantas dia kata keras: Meski
benda itu bukan milik kami tapi itulah benda tak halal. Laginya
kami.... "Nona ini juga melihat benda itu benda tak halal katanya
tertawa, Kamu saling merampas maka itu tuan bukan kau
menegur dirimu, kenapa kau hendak berlaku keterlaluan
terhadap orang lain?"
Si nona bertopeng, yang sedari tadi berdiam saja, lantas
campur bicara, Ketika ia berbicara suaranya halus dan merdu
bagaikan suara burung kepodang.
"Tuan meskipun kau bicara benar tetapi tidak seharusnya
benda itu dirampas dari tangan kami," katanya.
Sangat sedap suara itu masuk ke dalam telinga. Tiong Hoa
heran ia berpikir. "Suaranya begini merdu, dia mestinya sangat cantik,"
pikirnya. si pria bertopeng lantas mengawasi kawannya.
"Dalam hal itu, memang nona itu sedikit salah," berkata
Tiong Hoa, "akan tetapi dia telah terkena pukulan cit seng
Giang jiewie rasanya itulah sudah cukup untuk menutup
kesalahannya itu, Aku yang rendah melihat jiewie bukanlah
manusia-manusia yang jahat, oleh karena itu mudah-mudahan
dimana yang dapat, sukalah jiwie memberi ampun. Baiklah
jiewie tunggu sampai nona ini sudah sembuh, nanti dia datang
berkunjung kepada jiewie untuk menghaturkan maafnya...
Dibawah sinarnya matahari, tangan itu putih dan halus
bagaikan saiju. Tanpa merasa, Tiong Hoa mengawasi tangan orang itu, Dia
bukan pemogor atau si mata keranjang, dia toh sangat tergiur
hati-nya. Maka itu dia menjadi terdiam saja. Disitu ada
berkumpul banyak orang. Tadi mereka lari serabutan sebab si pemuda menghajar
gempur tembok kota, sekarang mereka merubung pula.
Mereka juga melihat orang seperti mengadu bicara.
Si nona bukannya mendongkol atau gusar karena orang
mendelong, sebaliknya dia tertawa geli.
"Mari" ia berkata pula, "Kau ambil itu kotak di saku si nona,
kau serahkan padaku lantas kami pergi"
Tiong Hoa bagaikan sadar. ia menggleng kepala.
"Menyesal, tidak dapat aku menerima baik permintaan kau
ini, nona" katanya sabar. "Nona itu telah menerima tugas dari
pemilik asal benda itu untuk mencari dan mengembalikannya
dari itu, tak dapat kau ber buat apa-apa..."
Tiba-tiba si pemuda bertopeng menoleh kepada si nona
kawannya. "Encie..." katanya, lalu mendadak pula ia berdiam.
Nona itu menggoyang kepala, ia memandang Tiong Hoa.
"Sikapmu ini tak bagus untuk kau dan aku." katanya. "Kau
tidak ketahui kebiasaan kami, satu kali sudah mengulur
tangan, tak dapat kami menariknya pulang dengan tangan
kosong Lagipula, siapa pun membuat susah kepada kami, dia
mesti mati tak keruan sekarang ini terhadapmu, kami sudah
berlaku luar biasa sabar, dari itu-janganiah kau tidak tahu
selatan-" Hati Tiong Hoa berCekat, Tadinya ia dipanggil tuan,
sekarang kau. itulah suatu perubahan sikap. hanya tak tahu
ia, perubahan apa itu. "Kenapa kau memaksa, nona?" kata ia perlahan, tapi nada
suaranya dalam. "Mengenai urusan ini, baiklah, aku menerima
baik, hanya, jika la u jiewie suka memandang aku, sukalah
kamu bersabar, nanti dalam setengah tahun, aku pasti
akanpergi ke Hek Liong Thoa, kepada tongkee kamu, untuk
menyelesaikannya." Muda mudi bertopeng itu terkejut hingga mereka mundur
satu tindak. keduanya saling mengawasi, inilah disebabkan
disebutnya nama Hek Liong Thoa itu. Cara bagaimana kau
mengenal asal-usul kami?" si nona tanya, heran-Tlong Hoa
bersenyum, "Mengandal kepada pukulan cit seng elang saja telah aku
ketahui jiewie yalah orang-orang luar biasa dari Rimba
Persilatan-" sahutnya, "Bukankah di selatan telah termashur
namanya Pak Pouw lam Pit " jiewie pastilah orang dari Giam
ong Leng cit-seng-cioe Pouw Liok It "
"Tuan matamu tajam sekaii." berkata si anak muda
bertopeng, "Hanyalah walaupun sekarang ini kami
menghentikan usaha kami untuk tuan sulit akan tiba dengan
selamat di Hek Liong Thoa jikalau sekarang kami pulang
dengan tangan kosong maka tiga hari kemudian pasti bakal
berkeliaran banyak orang yang mencari tuan hingga kamu
bakal tak dapat tidur nyenyak."
Tiong Hoa menangkap kedua tangannya.
"Silahkan jiewie menghentikan usaha jiewie sekarang." ia
berkata tertawa, "Perihal segala sesuatu yang bakal datang
terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Aku yang rendah
percaya betul bahwa aku bakal dapat melindungi sisa hidupku
ini untuk aku dapat menemui tongkee kamu."
Si anak muda bertopeng mengawasi kawannya, ia
bungkam, maka sesaat itu sunyi suasana diantara mereka
kedua belah pihak. Baru kemudian terdengar si nona
menghela napas, terus terdengar suaranya yang bersifat
menyesal dan penasaran: "Tahukah kau yang kami tak dapat
mundur dengan tanpa bertempur lagi" Tahukah kau bahwa
kami pun tak dapat menurunkan tangan jahat karena kami
harus menaruh belas kasihan?"
Tiong Hoa tertawa. "Meski aku yang rendah berkepandaian sangat tak berarti,
tapi rasanya aku masih dapat menyambuti jiewie," ia kata.
"jikalau memangnya pertempuran tak dapat dihindarkan, buat
apa kita masih mengadu lidah?"
"Tuan, kau sangat terkebur^ tegurnya, "jikalau begitu,
jangan kau sesalkan kami telengas"
Dengan gesit dia minggir kesamping kanan si anak muda,
terus tangan kanannya diluncurkan, dipakai menotok jalan
darah ceng-ciok anak muda itu, itulah totokan sangat cepat
dan berbahaya. Tiong Hoa merasakan angin menyamber, dengan sebat ia
menggeser tubuhnya, sedang sebelah tangannya diulur, lima
jerijinya di buka. ia bukannya mau menangkis, ia hanya
hendak menang kap tangannya penyerang itu.
Keduanya bergerak sama sebatnya, tetapi si anak muda
bertopeng terperanjat ia melihat bagaimana serangannya
terelakkan secara gampang sekali, sebaliknya tangan lawa
mengancam lengannya, Terpaksa ia berlompat mundur.
Diluar dugaannya, tubuh Tiong Hoa bergerak maju,
menyusul padanya. Menampak demikian, ia tertawa dingin,
dengan tangan kirinya ia membacok tangan lawan itu Itulah
hebat, Kesudahannya itu, dua-dua bisa celaka berbareng.
Si nona bertopeng berteriak: "Adik Lim, jangan " Lantas
tubuhnya berlompat maju, guna datang sama tengah.
Melihat demikian, kedua pemuda sama-sama menarik
pulang tangannya. Tiong Hoa bersenyum.
"Nona, bukankah nona suka mendengar perkataanku ?" dia
tanya. Nona itu mengasi dengar dihidung.
"Tak demikian mudah" bentaknya perlahan.
"Jikalau begitu, maafkanlah aku yang rendah" kata si anak
muda. Atau tiba-tiba ia mendapat satu pikiran: "Kenapa aku
tidak mau membuka topengnya, untuk melihat wajahnya."
Begitu ia berpikir, begitu ia bekerja, tanpa pikir lagi
kemungkinan akibat diluar dugaan, Demikian tangannya
menyamber. Nona itu terkejut, berkelit kekanan, tapi tangan orang
dapat bertambah panjang, tak dapat dielakkan lagi, topengnya
kena terjambret terlepas. Hingga tertampaklah wajahnya yang
cantik sekali. Tiong Hoa kagum. ia melihat kecantikan yang berimbang
dengan kecantikannya Cek In Nio, masing-masing dengan
keistimewaan sendiri ia tercengang dengan hatinya berpikir:
Kenapa didalam sarang berandal ada nona begini cantik dan
agung?" Tangannya tetap memegangi topengnya si nona.
Nona itu pun melengak. mukanya merah-mata nya
mengawasi, pada mata itu tampak sinar tak puas.
"Eh, mengapa kau begini ceriwis?" ia menegur.
Mukanya Tiong Hoa merah, ia kata dalam hatinya: "Ya,
kenapa aku berbuat begini" pantas dia mengatakan aku
ceriwis.... Belum ia menjawab, nona itu sudah membanting kaki dan
berkata pada kawannya: "Adik Lim. mari kita pergi. Lalu
tangannya menarik tangan si pemuda, untuk mereka
berlompat pergi, menghilang melewati tembok kota, menuju
kebawah gunung. Tiong Hoa masih mendelong meskipun orang sudah
menghilang diantara pepohonan, sampai tiba-tiba ia
mendengar pertanyaan halus dan lemah: "Kau lagi mengawasi
apa"..." Itulah suaranya Cek In Nio, si nona yang menderita luka
parah. Pemuda ini menoleh dengan terperanjat. Ia melihat si nona
menyender disamping pintu, bajunya tertiup angin, mukanya
masih kucal, matanya mengeluarkan sinar sedih dan
menyesali. Dengan sendirinya mukanya menjadi merah.
Teranglah nona ini telah menyaksikan perbuatannya, Tapi ia
menghampirkan, ia memegang tangan orang perlahan. "Nona
apakah kau merasakan banyak baik?" ia tanya lembut.
Didalam saat kesepian atau berduka, orang memerlukan
hiburan, demikian Cek In Nlo tengah ia menderita hebat ini,
setelah berbulan-bulan ia merantau seorang diri dengan hati
pepat dan berkuatir. Maka itu perkataannya si anak muda
melapangkan hatinya, Tapi ia berduka sangat, airmatanya
lantas meleleh keluar. Tiong Hoa bingung, ia berdiam
mengawasi. Hanya sebentar si nona berduka itu, cepat ia dapat
menguasai diri ia bersenyum.
"Rupa nya buah piepa kau ini buah mustajab." ia kata,
"sekarang ini lenyap sudah rasa nyeriku aku dapat bergerak
pula seperti biasa, kecuali aku masih lemah dan napasku
seperti beku, Aku kuatir selanjut nya tak dapat aku bersilat
lagi...." Tiong Hoa tertawa. Jangan takut, nona." ia berkata, "jangan takut kau
kehilangan ilmu silatmu, serahkan aku yang menjaminnya.
Nah, mari kita ber lalu dari sini" ia mengajak. ia
mempepayang nona itu, untuk turun dari tembok kota.
Cian Sam Hoo menantikan dikepala perahu, ia nampak
bingung dan bergelisah sendirinya. Ketika akhirnya ia melihat
penumpangnya kembali, ia berdiri menjublak. Ia mendapatkan
orang jalan berendeng ber-sama seorang nona. "Saudara,
bagaimana dengan kau?" ia bersama teriak.
Tiong Hoa bersenyum, tanpa menjawab ia pegangi In Nio
menginjak papan perahu. Sam Hoo terbengong menyaksikan
si nona demikian cantik. "Ah, pemuda ini sangat beruntung" pikirnya, "Memang,
cuma dia yang begini tampan yang pantas mendapat nona
elok ini. Aku sendiri, seumur hidupku, jangan aku harap"
Lalu dia mengangkat bahunya, terus dia berseru:
"Berangkat" Maka berangkatlah perahu mereka. Tiong Hoa mengajak si
nona kedalam gubuk perahu. "Apakah kau sudah dahar?" ia
tanya. In Nio bersenyum, ia menggoyang kepala, ia nampak
sangat berduka, inilah sebab ibunya tetap belum dapat dicari
dan sekarang ia menguatirkan ilmu silatnya lenyap.
Tiong Hoa dapat menerka kedukaan si nona, Disaat ini, tak
dapat ia menjelaskan halnya Losat Kwie Bo. Warta itu terlalu
hebat untuk In Nio. cuma-cuma bakal menambahkan
kesusahan hati, ia hanya memikirkan soal memulihkan tenaga
atau ilmu silat si nona, itulah pekerjaan mudah, melainkan ada
kesulitannya. Ada pepatah yang melarang pria dan wanita bcrpegagan
tangan, inilah kesulitannya itu, Sebab ia mesti menyalurkan
tenaga dalamnya kepada si nona.
Taruh kata nona itu setuju, ia masih sukar membuka
mulutnya. Karena itu, ia jengah sendirinya, sampai kelikatan
itu terkentarakan pada wajahnya.
In Nio mengawasi ia heran mendapatkan orang agaknya
mau bicara tetapi selalu ga-gal. ia melihat muka orang
bersemu dadu, Disebelah itu, ia dikagumi ketampanan si anak
muda, Memangnya ia bersyukur yang orang telah menolongi
ia lolos dari bahaya, bahaya diserang dan bahaya penyakit
luka didalam itu. "Dia kenapa, ha" Mungkinkah dia tak dapat menguasai diri
hingga dia menjadi sesat pikirannya ?" ia bertanya-tanya ragu
ragu. Tapi lantas ia menanya sungguh-sungguh: "Kau ingin
bicara apa" Apakah yang kau pikir kan?"
Inilah yang diharap-harap Tiong Hoa. ia memang berduka
dan berkuatir, ia ingat perkataannya si muda mudi bertopeng
itu bahwa setelah tiga hari, In Nio terancam bahaya, maka
didalam tempo tiga hari itu perlu ia mempulihkan tenaga nona
ini. Toh ia masih bersangsi,
"Aku yang rendah..." katanya, perlahan "aku..."
Ia merandak. mukanya merah dan terasa panas, telinganya
pun berbunyi dan hatinya berdebaran.
In Nio heran menyaksian kelakuan orang itu.
"Sebenarnya kau lagi pikirkan apa?" ia tanya tertawa, ia
menganggap lagak orang jenaka, "Seorang laki-laki tak
mempunyai rahasia apa-apa. Aku tahu kaulah seorang laki-laki
sejati, maka apapun kau pikir kau boleh utarakan didepanku,
aku tidak bakal menjadi kecil hati atau menggusari kau."
"Sebenarnya sukar untuk aku bicara apa- pula didepan kau,
nona..." kata si anak muda, ia tetap bingung,
In Nio bertambah heran, tapi juga jadi bernapsu ingin
mengetahui "Kau bicara..,Bicaralah" katanya mendesak.
Tiong Hoa mengendalikan dirinya, ia menatap nona itu.
"Nona," ia berkata menguati hati, "aku memikir untuk
memulihkan tenaga dan ilmu silatmu, hanya untuk itu, perlu
nona membuka bajumu... sebenarnya tak suka aku
mengatakan begini akan tetapi terpaksa.."


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka nona itu menjadi merah, inilah di luar dugaannya,
Tapi ia dapat berpikir ia memang mencintai anak muda ini
disaat pertemuan mereka yang pertama, hanya sebagai orang
seorang gadis, tidak dapat ia lancang mengutarakan rasa
hatinya itu, sekarang ia menghadapi soal sulit ini, Dapatkah ia
mempercayai dirinya"
Sekian lama kedua pihak berdiam akhirnya si nona kata.
"silahkan engkau...."
Mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, hatinya
memukul. Hati Tiong Hoa pun memukul keras, itulah keputusan, ia
menatap nona itu, yang mulanya mengawasi ia, lalu kedua
matanya dimeramkan- ia sudah dapatjawaban, ia toh masih
ragu-ragu. "Dia perlu lekas ditolong" katanya, sesudah dua tiga kali
mengulur tangannya tapi selalu ditarik kembali. Akhirnya ia
bekerja pula dengan cepat...
Air sungai mengalir terus, perahu juga maju ditarik tukangtukang
tariknya, suara perahu menerabas air terdengar
berisik. Dengan begitu lewatlah sang waktu, Ketika fajar
mendatangi mukanya Tiong Hoa pias sekali, Dia telah
mengeluarkan banyak tenaga dalamnya, Waktu ia mengawasi
Cek In Nio si nona rebah dengan muka bersemu dadu, hingga
dia nampak bertambah cantik,
Untuk menolongi nona itu, Tiong Hoa mesti menguruti
tubuh orang, disetiapjalan darah yang darahnya mesti
disalurkan. selama itu ia menyaksikan buah susu orang, ia
merahan tubuh yang putih dan halus, hati nya berdebaran, ia
menekan pusar dan dada, juga punggung nona itu, Kedua
hawa Im dan yang terus diperpadukan, Terutama kedua nadi
im dan Tok mesti di bebaskan, supaya keduanya dapat
berhubungan lurus satu dengan lain.
Diakhirnya ia menotokjalan-darah tidur si nona, membuat
nya tidur nyenyak. supaya dia dapat beristirahat setelah
mana, ia menutupi tubuh orang dengan selimut, ia masih
mengawasi sekian lama, baru ia keluar dari gubuk perahu,
tindakannya perlahan, ia letih. Hawa diluar, yaitu angin dingin
membikin ia merasa segar.
Cian sam Ho berada dikepala perahu, melihat si anak
muda, ia menghampirkan, lantas ia mencekal tangan orang.
"Ooh, saudara" katanya kagum. "aku tidak sangka kau
seorang yang pandai ilmu silat. Mulai hari ini aku tidak mau
membanggai lagi akulah orang dengan sepasang mata yang
tajam. Kalau kemarin aku tidak menguntit kau dan
menyaksikan segala apa, tentulah sekarang ini aku masih
tetap menjadi si katak didalam tempurung." ia mengawasi
muka orang yang lesu lantas ia menambahkan:
"Saudara, kau letih sekali baik lah kau beristirahat Aku
memesan supaya tidak ada orang yang mengganggu kami"
sebentar aku menyuruh orang membawakan barang
makanan." "Terima kasih" kata Tiong Hoa dengan perasaan syukur, ia
lantas kembali kedalam. setelah mendapat hawa diluar
sebentar itu, ia merasa nyaman. Terus ia duduk bersila disisi
In Nio, untuk bersemadhi guna mengerahkan tenaga
dalamnya. Tak perlu banyak waktu untuk pemuda ini mendapat
pulang kesegarannya, Ketika ia melihat si nona, nona itu
masih tidur nyenyak. la tidak mau mengganggu ia
merebahkan dirinya di sisi nona itu, kedua tangannya
dijadikan bantal kepala, matanya mengawasi
lelangit gubuk perahu. Pemuda ini lantas ingat Ban In. pernah ia tidur diatas
sebuah pembaringan bersama nona itu, akan tetapi ia tidak
berani merusak tata susila, Mereka pernah bicara tentang
pernikahan atas itu ia menjanjikan ketika sesudah nanti ia
dapat mewujudkan cita-citanya. Waktu yang dinanti itu ia
duga lambatnya tiga tahun, lekas nya dua belas bulan, Ban In
lemah lembut dia berjanji akan menurut saja, Hanya urusan
dengan Ban In itu, haruskah diberitahukan In Nio " ia raguragu.
ia tahu tabiat umumnya wanita, mudah tersinggung,
mudah sirik dan cemburu, itulah bahaya saking bersangsi dan
bimbang, ia menjadi masgul.
Teringat pula kepada Yoe san Goat Eng, gambar lukisan
itu, ia pernah melepas pikirannya, Lukisan itu membikin ia
buron dan terlunta-lunta, sekarang, ingat gambar itu, hatinya
terbujuk pula, ia jadi memikirkan, dimana adanya lukisan itu
dan kemana ia mesti pergi mencarinya.
Walaupun ia telah berpikir, tak dapat Tiong Hoa lantas tidur
pulas, Telinganya mendengar suara air berbunyi tak hentinya,
suaranya begitu-begitu juga, ia meram, ia mencoba berhenti
berpikir, Kali ini bisa juga ia layap-lanyap...
Lama sang waktu lewat, akhirnya In Nio mendusin, Yang
pertama ia ingat yalah ia tidur tanpa pakaian, tubuhnya cuma
dikerebongi selimut, Ketika ia melihat kesisinya disitu Tiong
Hoa rebah dengan pakaian lengkap. ia yang tampan, yang
menggiurkan hatinya, ia mengawasi terus, sampai ia kata
dalam hatinya: "Anak muda, jangan kau menyia-nyiakan aku
ya"..." Dengan perlahan nona ini mengenakan pakaiannya didalam
selimutnya, kemudian baru ia berbangkit bangun. Untuk
girang- nya, ia merasakan tenaganya telah pulih,
kesegarannya kembali Lalu ia menjadi heran kenapa, hanya
selang beberapa bulan, kepandaiannya si pemuda maju begitu
pesat, sungguh tak dapat di mengerti.
Nona ini mengangkat selimutnya, guna menyelimuti
pemuda di sisinya itu, Apa mau ujung selimut kena
menyamber meja kecil diatas mana ada sebuah cangkir kecil,
cangkir itu jatuh dan berbunyi nyaring.
Tiong Hoa mendusin dengan terkejut, ia melihat si nona
lagi mengerebongi tubuhnya lantas ia berlompat bangun,
menyamber tangan nona itu.
"Nona, apakah sudah sembuh seluruhnya?" ia menanya,
itulah pertanyaannya yang pertama.
In Nio mengangguk. Ketika ia ingat kejadian semalam,
mukanya menjadi merah, ia melirik dengan likat, lalu ia
tersenyum. Hati Tiong Hia berdebar, ia tergiur bukan kepalang, Tanpa
merasa, ia mencium pipi dadu bagaikan kemala dari si anak
dara..... "Ai " si nona berseru seraya dia melengos, Tapi Tiong Hoa
menyekal tangan orang. Justeru itu terdengar tindakan kaki
dimuka gubuk. Keduanya lantas memisahkan diri. "siapa"
Tiong Hoa tanya. "Cian Loosoe menitahkan aku membawa barang makanan,"
sahut suara diluar. "Ooh," kata si anak muda, yang terus
membuka pintu gubuknya. Orangnya Sam Hoo mengangguk. lantas ia masuk bersama
nenampanya untuk menyajikan isinya diatas meja, itulah nasi
serta beberapa rupa sayurnya, juga sepucuk surat.
Anak muda ini heran, Maka semundurnya si pembawa
makanan, paling dulu ia s amber surat itu. Begitu ia membaca,
ia tertawa dingin, lantas ia melemparkannya ke pembaringan.
In Nio melihat si anak muda gusar, ia jemput surat itu, terus ia
baca: sejak kita berangkat dari Pek-tee shia,
lantas di sepanjang tepian sungai aku melihat orang, atau
orang-orang yang lagak lagunya mencurigai yang terus
mengikuti perahu kita. Mungkin mereka itu mengandung
sesuatu maksud, maka itu saudara, aku minta kau dan si nona
sukalah berlaku waspada. Surat itu dari sam Hoo, yang membubuhkan tanda
tangannya. Habis membaca, nona Cek mengerutkan sepasang
alisnya yang lentik, "Encie In mari kita bersantap" kata si pemuda tertawa.
"jangan kita layani itu segala kera Taruh kata mereka benar
mau main gila, itu tentunya dilakukan nanti setelah berselang
tiga hari" In Nio mengawasi pemuda itu, ia tertawa manis, terus ia
berduduk. untuk mulai bersantap. selama itu mereka tidak
berbicara melainkan si nona sering-sering bersenyum atau
tertawa perlahan. Biar bagaimana. Tiong Hoa lihat mukanya merah. ia tidak
tahu kenapa si nona tertawa. Mungkinkah ia dianggap jenaka
karena ia memanggil encie atau karena lagak lagunya sekian
lama ini" ia jadi berdiri menjublak.
Si pemudi mengawasi ia tertawa pula, "Tolol, duduklah"
katanya, akhirnya, Dengan bingung, Tiong Hoa berduduk "Aku
tertawa karena kau terlalu cerdas." kata si nona kemudian. ia
bersenyum. "Baru beberapa bulan kita berpisah,
kepandaianmu telah maju pesat sekali, beda seperti langit
dengan bumi dibanding dengan kepandaian kau semasa
pertemuan kita di Khopie-tiam dan Hoei Ho Kauw.
Cuma pengalamanmu yang masih kurang, Giam ong Leng
sudah terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lampau, dia
sampai mendapat julukan Pak Pit Pouw, dialah seorang jago
yang luar biasa, maka itu sebelum tiga hari, tidak nanti dia
menitahkan orang menguntit kita, itulah perbuatan sangat
merendahkan dirinya. Apakah kau mau percaya mereka yang
sekarang lagi menguntit kita orang-orangnya Giam ong Leng?"
Sebelum menjawab, si anak muda kata dalam hatinya:
"Kau terlalu. Tak seharusnya kau menertawai aku secara
begini..." Tapi In Nio melanjuti: "Baru beberapa bulan kau merantau,
telah menanam terlalu banyak bibit permusuhan, maka itu
siapa tahu jikalau mereka bukannya musuh-musuhmu yang
lainnya " Meski demikian, dengan adanya kau si tolol sebagai
pelindungku, maka aku, enciemu, tak usah kuatir apa-apa"
Mau atau tidak. pemuda ini tertawa.
"Encie In, jangan kau mengumpak-umpak aku" katanya
"sekarang ini kepandaianku belum ada dua atau tiga dari
sepuluh kepandaian kau " Pemudi itu tertawa, dia tidak
menjawab. "Kau daharlah " ia bilang, Kemudian ia menanya
pengalaman orang sejak perpisahan mereka di Hoei Ho Kauw.
Tiong Hoa menuturkan semua kecuali halnya Lo-sat Kwie
Bo. ia masih merahasiakannya sampai nanti - ia pikir - ia
memperoleh jalan halus untuk memberitahukannya. Nona Cek
girang bukan main. "Kau mendapatkan pelajarannya Thian Yoe sioe, pantas
kau berubah seperti seorang lain " katanya riang.
Nona ini, acuh tak acuh mengambil tiga batang tulang ikan,
lalu dengan itu ia mengayun tangan kearah pintu gubuk
perahu. "Aduh" terdengar jeritan diluar gubuk itu, disusul dengan
suara tercemplungnya barang berat kepermukaan air.
Tiong Hoa mau lompat keluar, atau si nona didepannya
tertawa manis dan kata: "Kau duduk saja. Air sangat deras,
apabila kau sampai diluar, bangkainya bangsat itu pasti sudah
hanyut lenyap." Pemuda ini kagum, ia memuji nona ini.
"Kau jangan repot memuji aku " kata si nona. "Tahukah
kau bahwa musuhmu pun telah datang?" Tiong Hoa heran-
"Mana aku mempunyai musuh?"" dia tanya. "Kau lupa pada
Mauw san siang Kiam"
"Oh, encie, kau pun tahu mereka telah datang" tanya si
pemuda heran, hingga ia mementang lebar matanya.
In Nio mengangguk, lantas dia nampak masgul, Dia
menghela napas. "Sejak lenyapnya cangkir kemala Coei In Pwee, maka orang
telah dikirim keempat penjuru mencarinya," ia berkata,
"setelah kita di Hoei Ho Kauw, karena tempat itu dekat
dengan In Kee Po, aku lantas disangka sebagai orang yang
merampas cangkir itu dari tangannya Kam- Liang Sam To.
Kedua anaknya pemilik In Kee Po bekerja dikota raja sebagai
wie-coe, merekalah yang setelah memikir dalam-dalam,
mencurigai aku. Pula, selama aku mencari ibuku, telah
mendapat banyak musuh..."
Menyebut ibunya, airmata si nona mengembeng, Tiong Hoa
melihat itu, ia terharu bukan main, Masih ia tidak berani
memberikan keterangannya, ia tidak berkata apa-apa, ia
mendengari si nona melanjuti keterangannya:
"Musuh-musuhku sangat membenci aku, mereka
bergabung dan memecat aku berulang-ulang, syukur aku
selalu dapat melayani mereka dengan baik, saban-saban aku
dapat meloloskan diri, Diantara mereka terhitung juga Mauw
San Siang Kiam, Ketika aku tiba di Gie-ciang, disana aku
mengunjungi seorang bibiku, bibi bukan langsung, Diantara
barang-barang yang dibawa Co Peng Hoei ada sepasang
burung wanyoh kemala, itulah pusaka pamanku itu, yang
dirampas oleh tiehoe dari Gieciang.
Karena urusan itu, pamanku dijebloskan dalam penjara
tanpa bersalah, Aku lantas berdaya, Aku menggunai akal
menolongi pamanku itu lolos dari penjara, Lalu aku dapat
kenyataan, wanyoh kemala itu telah dikirim tiehoe untuk
dipersembahkan kepada congtok dari Soecoan dan yang
membawanya yalah Kim KauwBeng ciangpiauw Kiok.
Dengan lantas aku pergi menyusul, Dalam perjalanan ini
aku dirintangi Maw San siang Kiam serta beberapa jago dari
istana, Karena itu aku terlambat dan kena didului itu dua
orang bertopeng" ia tertawa hingga kata-katanya terhenti
sejenak. Lalu ia mengakhiri:
"Maka tahulah kau duduknya hal."
Tiong Hoa mengangguk, terus ia bangun berdiri, ia pegang
tangan nona itu, buat di ajak keluar dari gubuk perahu.
Sam Hoo dikepala perahu saban-saban melihat kekiri dan
kanan, ke kedua tepian, Melihat mereka berdua, juragan itu
berpura-pura bukan sebagai sahabat kekal, dia cuma
mengangguk dan menyapa satu kali, lantas dia tunduk
mengawasi permukaan air. Pemuda itu tahu sam Hoo lagi memperhatikan sesuatu, ia
tak menghiraukan sikap tawar itu. Memangnya aliran air disitu
tetap berbahaya, sedang kedua tepian merupakan rimba yang
lebat, sangat merdeka umpama orang jahat bersembunyi
disitu. Tiba-tiba saja dari dalam rimba terdengar bunyi panah
bersuara, lalu jemparingnya meleset kearah sepasang mudamudi
diatas perahu itu. Tiong Hoa memperlihatkan kepandaian-nya. Dengan gesit
dan jitu ia mengulur sebelah tangannya menangkap anak
panah itu, segera ternyata senjata itu dipakai menjepit sehelai
kertas yang ada ditulisannya, yang ditulis dengan arang


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyinya: Jiewie, silahkan kamu mendarat. Disebelah kiri sini,
tak lima lie jauhnya, ada sebuah kuil. Disana kami menantikan
kamu, inilah jalan untuk tidak mencelakai mereka yang tidak
bersangkut paut" Surat itu tanpa tanda tangan, hanya di tandai dengan
lukisan gambar sepasang pedang kecil.
"Adik Hoa, mari kita menyambut undangan mereka."
berkata In Nio yang turut membaca.
"Mari kita lihat mereka hendak main gila apa"
Tiong Hoa setuju maka lantas ia masuk kedala m perahu
guna mengambil barangnya setelah keluar pula, ia taat pada
CianSam Hoo: "Sampai kita bertemu pula" Tak menanti lagi
bersama si nona ia lompat kedarat kesebelah kiri.
Sam Hoo kagum, ia menyaksikan ilmu ringan tubuh Tengpeng-
touw-soei atau Menyeberang sungai menginjak kupukupu
yang mahir, hingga tubuh mereka sangat lincah.
Tiba di darat, Tiong Hoa mengajak In Nio terus memasuki
rimba, Baru belasan tambak jauhnya mendadak mereka
melihat sesosok tubuh keluar dari tempat yang gelap.
Dialah seorang tua dengan tubuh kekar segar, kumis
jenggotnya yang putih panjang sampai d id ada dan
tangannya menCekal sebatang tombak, Dia tertawa
berkakakan sambil berkata nyaring: "Hu, bocah perempuan,
lekas kau serahkan cangkir kemala didalam sakumu itu Aku si
orang tua nanti membantui kau meloloskan diri dari kepungan
kaki tangan istana "
Tiong Hoa maju setindak. "Kau siapakah, lootiang?" ia tanya dengan suara dalam.
orang tua itu menatap si anak muda, sikapnya sangat
memandang tak mata, Dia tertawa pula, nadanya dingin.
"Nama aku si orang tua berada pada tombakku ini "
sahutnya jumawa. "Namaku si orang tua kau tidak tahu, mana
dapat kau masuk dalam dunia Kang ouw." Alisnya Tiong Hoa
berbangkit tajam, dia mengawasi orang tua terkebur itu.
Cek In Nio sebaliknya tertawa geli.
"Adik Hoa," ia berkata, "orang ini yalah Kiam-Hoen Kwancoe
Bek Leng yang berjuluk Chio sin si Malaikat Tombak yang
namanya menggetarkan seluruh see-coan Ah, kau benarbenar
mempunyai maru, tapi tak mengenal gunung Tay san "
Itulah kata-kata mengejek berbareng berguyon, Matanya
Tiong Hoa lantas bersinar. Bek Peng dapat melihat sinarmata
itu, dia terperanjat "Ah, siapa sangka bocah ini begini liehay tenaga-dalamnya
" pikirnya, "si budak perempuan saja sudah sukar dilayani,
sekarang ada bocah ini jangan-jangan usahaku akan
merupakan bayangan belaka "
Tapi dia gusar untuk kata-kata si nona. Maka dia kata
bengis: "Baru-baru ini aku biarkan kau lolos dari ujung
tombakku itu waktu aku si orang tua ada bersama kawanan
kaki tangan istana tapi aku tak bekerja sama dengan mereka
itu Kenapa sekarang kau berani menghina begini padaku?"
In Nio tidak gusar, ia tetap tertawa, "Dulu hari itu nonamu
mempunyai urusan penting, tak sempat aku melayani kau "
sahutnya. " itulah karena aku terburu-buru, bukannya sebab
aku takut padamu ilmu tombak kau yang dinamakan Tay Yan
chiet haat dapat dipakai untuk mengaguli diri di see-coan
tetapi di mata nonamu tak ada artinya sama sekali "
"Ooh, budak perempuan " Bek Peng ber-seru, "Bagaimana
berani kau mainkan lidah mu didepan aku si orang tua Kau
lihatlah" Dia menggerak tombaknya, menikam ke dada si
nona. Cek In Nio bergerak gesit, ia mengegos tubuh kekiri,
sebelah tangannya diangkat, untuk dipakai menggempur
batang tombak. yang ujungnya lewat tanpa mampir
disasarannya, setelah lukanya disembuhkan Tiong Hoa, ia
menjadi bertambah gesit dan kuat berkat khasiatnya
buahpiepa. Maka itu pukulan- nya. Cit Yang sin-ciang,
menjadi berlipat ganda hebat.
Bek Peng terperanjat, tombaknya mental hingga ia mesti
menancap kuda-kudanva untuk mempertahankan diri, Tapi ia
tidak takut, sebaliknya, ia jadi bertambah gusar, ia penasaran
sekali, Dengan lantas ia mengulangi serangannya secara gesit.
Si nona berlaku sangat sebat, Kembali ia berkelit, sambil
berkelit itu, tangan kanannya menyampokpula, sekarang ia
tidak hanya menyampok, berbareng dengan itu tangan kirinya
dikasi bekerja juga, Dengan jurus "Coan in po goat," atau,
"Menembusi mega memecah rembulan," tangan kirinya itu
menyerang jalan darah kinceng dari si jago See-coan.
Bek Peng dapat melihat serangan itu, ia sempat menangkis,
akan tetapi tempo tangan mereka beradu buat kesekian
kalinya ia di bikin kaget pula, ia merasakan gempuran keras,
sampai darahnya seperti mandek. tubuhnya mundur
terhuyung mundur beberapa tindak
"Benar dia hebat " pikirnya, Lantas ia maju, untuk
menyerang pula. Kali ini ia mendesak. dengan ilmu silat
pedang nya yang ia banggakan.
In Nio main berkelit, maka tampak tubuh nya berkelebatan
diantara ujung tombak lawannya. Selagi si jago tua
mendongkol ia saban-saban mengasi dengar tertawanya yang
nyaring, ia berkelahi seperti itu hari ia melayani Ceng In Toojin
di Hoei Ho Kauw. Bek Peng heran dan kaget, ia mengenali ilmu silat si nona,
yalah Thian Mo Loan Boet atau Hantu Langit menari kacau,
sekarang ia insaf tidak saja tombaknya tidak berdaya ia sendiri
terancam bahaya setiap detik, ia tahu, jikalau ia tidak lekas
mundur ia bakal berkepala pusing dan bermata berkunang,
kunang. Tanpa bersangsi pula ia menjejak tanah, mencelat
mundur hingga dua tombak jauhnya.
Tapi baru ia menginjak tanah, atau ia merasa ada serangan
yang menyusul. Lagi sekali ia berlompat pula. Tatkala
kemudian ia menaruh kaki pula ia melihat si anak muda berdiri
didepannya sambil bersenyum.
Dengan sikapnya yang tawar Tiong Hoa tertawa dan kata: "
Kaulah seorang kenamaan. Kenapa kau berulang-ulang
memusuhkan seorang nona" sungguh aku tuan muda mu tak
senang melihatnya Mulanya aku menyangka kau omong besar
tanpa memalukan dirimu sendiri, aku mengira kau benarbenar
lihai, sekarang berbukti kau hanya sebegini saja"
Bek Peng sangat mendongkol dan gusar Kalah dari si nona
tidak apa. ia mengenai Cit Yang sin ciang dan Thian Mo Loan
Boet, itulah ilmu silatnya tocoe, atau pemilik pulau, dari pulau
Lee Coe To dilaut Poet-hay, yang harus dimalui, ia kenal ke
dua jurus itu sebab dulu hari ia menyaksikan sendiri tocoe
tersebut menempur pendeta lihai dari see Hek. Tanah Barat,
serta dua belas imam Coan cin Kauw, sekarang ia pun belum
terkalahkan si nona. Maka ia membentak si anak muda:
"Apakah kau juga muridnya tocoe dari Lee Coe To " Aku
pernah menerima budi to-coe itu, tidak mau aku melayani kau
jangan kau terlalu jumawa "
In Nio maju kedepanjago tua itu.
"Kau tahu nonamu murid dari Lee Coe To," ia kata, " kau
juga pernah menerima budi guruku, kenapa kau menurunkan
tangan jahat hendak membikin celaka aku ?"
Bek Peng tertawa. "Aku si orang tua cuma menghendaki cangkir kemala " dia
kata nyaring, jikalau aku menghendaki jiwa kamu, pastilah
siang-siang kamu sudah mampus ditanganku."
Tiong Hoa membalas dengan tertawa dingin. "Belum tentu
" katanya. Bek Peng menjadi terpaksa, ia mengerti muda-mudi itu
liehay, kalau ia tidak mundur teratur ia bisa susah, ia lantas
menyerang pula dengan hebat.
Tiong Hoa berlaku tenang tapi gesit, Begitu tombak sampai,
ia berkelit, sedang sebelah tangannya diangkat, guna
menangkap. Kelihatannya ia menggeraki tangan secara wajar,
tak tahunya cepat bukan main.
Bek Peng kaget, ia merasakan gempuran keras ketika
tombaknya kena tercekal si anak muda, ia lantas
mengerahkan tenaganya. pedangnya itu ditolakkan kedepan
dengan tenaga sepenuhnya, ia ingin membikin tangan
pemuda itu tertusuk tembus.
Tapi ia tidak mencapai maksudnya, sebaliknya telapakan
tangan orang tertembuskan tombak. tombaknya sendiri yang
tak berkutik tak bergeming. seperti nancap ditangan nya
pemuda itu Maka seketika juga muka nya menjadi merah,
matanya mendelong mengawasi musuh. Tiong Hoa juga
mengawasi hanya sambil bersenyum.
Tatkala jago tua ini melirik In Nio, sinona bersikap sabar
seperti si pemuda, ia menjadi malu dan mendongkol
berlimpah-limpah. "Jikalau aku tidak keluarkan kepandaian ku yang terakhir,
pastilah hari ini namaku runtuh." pikirnya, Maka itu dalam
nekadnya, ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk
mempergunakan Hiat Kouw Kang, semacam ilmu beracun
yang ia dapatkan dari seorang Biauw, ia pernah menolongi
orang Biauw itu, sebagai pembalasan budi, ia diajari ilmu itu
hanya ia dipesan, kecuali jiwanya terancam tak dapat ia pakai
itu, siapa terkena ilmunya itu dalam tempo setengah jam dia
bakal mati dengan tubuhnya lumer menjadi cair, sedang
kesehatannya sendiri akan terganggu selama setengah tahun.
Seumurnya baru pernah tiga kali ia menggunakan itu, guna
memegang nama baiknya, Lantaran itu seluruh tubuhnya
pernah menjadi lemas dan lemah hingga ia merasa sangat
tersiksa, hingga selanjutnya ia jeri menggunakannya pula,
Tapi sekarang ia terdesak, Begitu ia merasa napasnya ia
mengerahkan tenaganya, mendesak, tubuhnya bagaikan
kosong, mukanya pucat sekali keringatnya mengalir deras,
matanya terbuka ketakutan
"Bek Peng, kau mempercepat kematianmu" kata anak
muda ini. "Aku telah melihatnya sejak semula bertemu
denganmu, sebelum kau memegat kami, lebih dulu ada orang
yang telah menotokmu dengan tangan yang dingin
sebenarnya kau masih dapat untuk hidup tiga bulan, tetapi
sekarang karena kau mengerahkan tenaga dalammu, jiwamu
tinggal hitung detik saja "
Bek Peng kaget seperti dihajar guntur, ia berdiri menjublak
dengan tombaknya terlepas sendiri dari tangannya.
"Tuan, apa katamu ?" ia tanya setelah ia sadar. ia kaget, ia
merasa seluruh tubuh nya menjadi tidak keruan.
"Kau telah tertotok tangan dingin " Tiong Hoa menjawab
mengulangi. "Mustahil sampai pada saat ini kau masih belum
tahu siapa sudah menotokmu ?"
Bek Peng meringis, tubuhnya bergemetar, Keringatnya
mengalir bagaikan hujan, Lantas tubuhnya itu bergoyanggoyang.
Disaat itu barulah ia ingat, maka romannya lantas
berubah menjadi bengis sekali.
"Liong Hoei Giok. Kurang ajar kau " dia berteriak sambil
menoleh kebelakang, "Akan aku adu jiwaku dengan jiwamu "
Dari belakang itu, dari dalam rimba, lantas terdengar
jawaban yang berupa suara tertawa nyaring dan lama yang
keras bagaikan menggetarkan rimba.
ooooo BAB 21 TIONG HOA terperanjat mendengar disebutnya nama Liong
Hoei Glok itu. ia tahu orang yalah pemimpin siewie atau
pahlawannya raja. Dia itu telah berumur lebih kurang enam
puluh tahun, ilmu silatnya kesohor lihai, otaknya cerdas, dia
pintar dan licin melebihi kebanyakan orang lain.
Tak tahu dia murid partai mana tapi sudah ketahuan,
tangannya dapat meremas batu hancur lebur. Dua kali ia
pernah menemui orang she Liong itu di Ta-mo-ciang, maka ia
kuatir ia nanti dikenali, ia tak usah takut tetapi itulah tak
perlu.." Habis tertawa yang mengguntur itu, maka terdengarlah
kata-kata ini: "Bek Peng, kau sangat tak tahu diri. Kemala Coei
In Pwee milik istana, cara bagaimana kau berani mengarah
itu. Adalah gara-gara kau maka berulang kali budak
perempuan itu selalu lolos dari tanganku Aku si orang she
Llong, aku memandang kau sebagai sesama orang Kang ouw,
tetapi sekarang ini, tak dapat aku memandangnya terlebih
jauh Kali ini walaupun dewa menolong kau, kau tak dapat di
selamatkan lagi" Ketika itu Bek Peng sudah roboh, tubuh nya bergulingan
ditanah, meski begitu, dia menguati hati untuk tidak menjerit
kesakitan atau merintih. Dari dalam rimba terdengnr pula suara tadi: "Lie Kongcoe,
sudah lama kita ber-pisah, apakah kau baik saja" oleh karena
urusan kau, ayahmu telah menderita sekali, ia mesti
mengganti banyak. Kau masih muda, kejahatanmu berlimpah
Kau masih muda, mengapa kau berbuat demikian rupa" Toh
kejahatan itu bukannya kejahatan tak berampun. Kau tahu.
aku si orang tua berkesan baik terhadapmu."
Tiong Hoa terperanjat ia tidak menangka bahwa ia sudah
lantas dikenali. Tapi ia tidak takut, Maka ia menyambut suara
orang dengan tertawanya. "Liong Tayhiap. kau banyak baik?"
"Aku baik," menjawab Liong Hoei Giok dari dalam rimba.
"Lie Kongcae, aku lihat nona itu ada satu pasangan setimpal
untukmu, baiklah kau bujuki dia supaya dia meletaki cangkir
dintas tanah, lalu kamu berdua pergi meninggalkannya."
Tiong Hoa menoleh kepada In Nio, ia bersenyum.
"Liong Tayjin, aku minta sukalah kau mengerti duduknya
hal," kata ia. "Nona ini merampas cangkir kemala untuk
menolong mengobati ibunya yang lagi sakit karena itu tak
dapat ia menyerahkannya sekarang, Aku tahu tayjin berhati
mula, apakah tak dapat tayjin menunggu sampai lain hari
sampai ibunya si nona sudah sembuh, baru si nona nanti pergi
sendiri ke Kota raja untuk membayar pulang ke istana?"
Liong Hoei Giok tertawa. "Lie Kongcoe, kau benar seorang muda yang tak mengerti
apa-apa" kata ia. "Aku si orang tua tengah menerima perintah, aku
ditugaskan mencari cangkir itu, mana dapat aku menanti
sampai sekian lama" Mana bisa aku mencampuri tugasku
dengan rasa prikemanusiaan" "
"Jikalau begitu," kata Tiong Hoa, suaranya dalam, "nanti
aku berdamai dulu dengan si nona, Kami berjanji akan
bertemu pula di kuil kecil, Apakah tayjin suka memberi
ketika?" "Untuk kamu berdamai, itulah dapat. "Baiklah, aku si orang
tua menantikan kamu di depan, jangan kamu memikir ingin


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat kaki, tempat ini dan sekitarnya sudah terjaga
kuat mirip jaring langit dan jala bumi. Umpama kata kamu
memikir yang tidak-tidak jangan sekali kamu me ngatakan aku
keterlaluan" Tiong Hoa melihat Bek Peng telah habis napasnya ia
terharu. ia lantas lari menghampirkan si nona.
Cek ln Nio tidak menghiraukan keadaan sulit, ia bersenyum.
Si pemuda mencekal tangan si pemudi. "Menurut aku,
baiklah kita jangan berkeras." pemuda itu berbisik, "Baiklah
kita menyingkir untuk sementara."
"Mudah saja kau bicara" si pemudi mencibir, "Aku tahu
keadaan sulit, tetapi tak dapat kita menghindarkannya. Mau
atau tidak, kita mesti turun tangan, atau sukar kita menyingkir
dari sini." si pemuda menggeleng kepala.
Jangan kau kuatir, kau serahkan urusan padaku." katanya,
ia lantas mengumpulkan tenaga tangannya, ketika ia memutar
tubuh nya, ia menyampok dengan keras, Maka hebatlah
serangannya itu, itulah ilmu Ie Hoa Ciap Pok ajarannya Ay sian
si Dewa Katai dari see Hek. wilayah Barat, yang menggabungi
dua hawa Im dan Yang. Menyusul itu banyak pohon yang roboh, hingga daunnya
beterbangan dan suaranya sangat berisik, Hingga rimba itu
seperti terhajar gempa, Diantara itu pun samar-samar
terdengar jeritan-jeritan kesakitan-
Cek In Nio melengak menyaksikan kepandaian si pemuda,
inilah ia tidak sangka sekali. Luar biasa kemajuannya Tiong
Hoa. ia mau menanyakan pemuda itu, atau mendadak orang
menCekal lengannya, untuk ditarik sambil Tiong Hoa
menyerukan. "Mari."
In Nio merasakan tubuhnya terangkat tinggi, melesat
dedepan. Liong Hoei Giok didalam rimba bersama dua jago istana
yang menjadi kawannya, bersama pula Mauw san siang Kiam,
menjadi berdiri melongoh, Mulanya mereka terkejut habis
mereka menghela napas. "Inilah kehendak alam, yang tak dapat disangkal..." berkata
ia. "Pasti kejadian ini bukan perbuatan manusia, karena tak
mungkin orang merobohkan pohon begini banyak, Mari kita
pergi periksa reruntuk pepohonan, guna mencari mayatnya
sepasang muda mudi itu. Tubuh si nona mesti digeladah, guna
mendapatkan cangkir kemala."
"Menurut penglihatan pintoo, kejadian ini mesti buatan
manusia," berkata Ceng In Too jin. " Gempa bumi tak dapat
merusak secara begini, cuma berbatas pada itu pohon-pohon
saja, Liong Tayjin, mestinya muda mudi itu sudah lari pergi...."
Liong Hoei Giok tertawa dingin.
"Kenapa pandangannya Mauw san siang Kiam secupat ini?"
kata dia. "Bukankah kita manusia bertubuh terdiri dari darah
dan daging " Kalau tootiang tidak percaya, silahkan kau coba
menyerang, berapa banyak pohon kau dapat hajar roboh. Asal
tootiang dapat meruntuhkan sepuluh pohon saja, aku si orang
she Liong nanti berguru pada mu, Bukankah diantara orangorang
ku pun tak nampak yang kembali kemari" inilah bumi
gempa" Mukanya si imam jadi merah tapi ia masih membantah
"Aku percaya pasti inilah bukan gempa" katanya. Hoei Giok
menatap tajam imam dihadapan nya itu.
"Tootiang, silahkan kau mencoba " kata ia. "kalau nanti kita
pulang kekota raja, sukalah tootiang yang menjadi saksi,
supaya aku si orang she Liong taklah dipersalahkan sudah
mendusta " Ceng In Toojin tetap penasaran, Maka ia lantas lari
menghampirkan pohon-Hoei Giok lari juga mengikuti, diturut
yang lainnya. Dengan kedua tangannya Ceng In lantas menyerang,
sebuah pohon lantas roboh.
Maka ia mengulangi menyerang sebuah pohon lainnya. ia
tetap menggunai dua tangan seperti semula. Kembali sebuah
pohon rebah. Habis itu dadanya lantas berombak, ia
menggunai tenaga lewat batas, tenaganya habis.
Ketika ia paksa menyerang buat ketiga kalinya, pohon
cuma bergoyang tak patah atau roboh, cuma daunnya rontok.
la berdiri diam, ia bertahan diri untuk menyalurkan napasnya.
"Bagaimana tootiang?" ia tanya, Keirukah aku?"
Ceng In mendelong, ia mengawasi pohon-pohon roboh itu.
ia tetap percaya tenaga orang dapat merobohkan puluhan
pohon- Toh ia tidak dapat memberi bukti.
"Sudahlah," kata Hoei Giok, "Tak dapat kita ayal-ayalan-
Mari kita periksa robohan pohon ini, mencari mayatnya mudamudi
itu guna mendapatkan cangkir kemala, ia menoleh
kepada seorang kawannya yang mengenakan seragam, ia
kata: "Cie Tay-jin. tolong kau lekas pergi kepada tiekoan dari
In-yang, supaya dia mengirim pekerja untuk membereskan
pohon-pohon itu, aku si orang tua akan menantikan kau."
Tayjin itu menurut, ia lantas berialu dengan cepat.
Hoei Giok mengangkat kepala memandang langit dimana
awan putih terbang melayang-layang, ia membungkam,
pikirannya bekerja, ia tetap heran dan curiga.
ooo Pada suatu hari di sungai Kee Leng terlihat sebuah perahu
kecil yang diperlengkapi dengan layar, kecuali si awak perahu
dengan gala panjang ditangannya, penumpangnya sepasang
muda-mudi yang mengambil tempat dibagian tengah
kendaraan air itu. Si pemuda, dengan baju panjang biru, nampak tampan
sekali, sedang si pemudi, yang berpakaian huau, cantik hingga
umpama kata, memandang dia, ikan selain dan meliwis jatuh"
Muda-mudi itu berpegang tangan, mata mereka
memandang jauh ketengah sungai dimana ada terdapat
banyak layar, dan ke-tepian, mengawasi pemandangan
gunung-gunung. Saking menarik hati, pemuda itu bersenandung.
"Ah" si nona tertawa, matanya melirik, "Kau masih muda,
adik Hoa, mengapa kau memperdengarkan nada berduka?"
Memang dengan senandung itu, pemuda itu mendukai
peruntungannya sendiri. Pemuda ini menCekal tangan orang,
ia bersenyum. "Encie In, tidakkah hidupku ini menderita?" tanya ia. "Aku
masih mesti merantau, entah sampai kapan...." Lalu ia
menambahkan senandungnya: "semoga manusia hidup kekal,
untuk tinggal bersama..."
"Cis" si nona berludah mukanya merah.
Tapi ia bersenyum. Merekalah Tiong Hoa dan In Nio, yang telah berhasil
menyingkir dari hadapan Liong Hoei Giok. setelah melintasi
Coan Kang. mereka menuju kehulu sungai Kee Leng. Mereka
sengaja membeli perahu itu perahu kecil, untuk pesiar. Mereka
berhanyut ke- hilir, Mulanya mereka naik perahu di Kie Kang,
Dibagian ini air jernih dan pemandangannya dikiri dan kanan
permai. Air deras tetapi tak bahaya, Ketika kemudian mereka
tiba ditempat tujuan, Kee Leng, mereka mendarat langsung
mereka berjalan kaki memasuki kota.
Paling dulu mereka menangsalperut, setelah itu mereka
membeli dua ekor kuda, buat dipakai balap sampai dikota
Khie-kang diperbatasan dua propinsi soe-coan dan Koei-cioe.
Waktu itu sudah magrib, Maka mereka lebih dulu mencari
rumah penginapan. Tiong Hoa memikir pergi ke Hek Liong Thoa di Koen-beng.
itu artinya ia mau menuju kepropinsi Koei Cioe, guna
menyingkir dari gangguan musuh, ia tidak menyangka, orangorangnya
Giam ong Leng tersebar luas dimana- mana.
selagi memasuki rumah penginapan mata Tiong Hoa yang
tajam melihat air muka mencurigai dari pemilik hotel, yang
matanya bersinar. Maka ia pikir: "Mungkinkah pemilik ini pun
mata-matanya Giam ong Leng?" Akan tetapi ia bernyali besar.
Bersama In Nio ia masuk terus kedalam kamar, sikapnya
biasa, ia minta jongos lekas menyajikan barang hidangan
berikut araknya. Seberlalunya si jongos, Tiong Hoa berbisik pada Nona Cek.
lantas ia lompat keluar dari jendela, ia pergi ke jendela diluar
kamar pemilik hotel, untuk memasang kuping sambil
mengintai kedalam. Dengan bantuan ludahnya, ia memecah
kertas pelapis jendela, Didalam situ kedapatan jongos tadi
bersama majikannya. "Apakah perlu arak dan barang makanan dicampuri bonghan-
yoh?" s i jongos tanya. "Bong-han-yoh." yalah obat pulas
untuk membikin orang lupa daratan.
"Tak usah." sahut simajikan. " Warta terbang dari Kee Leng
membilang sepasang tetamu kita ini menjadi lawan dari dua
tong kee kita yang muda. Nona memesan kita jangan
sembrono, kita cuma diperintah mengawasi gerak-gerik
mereka. Menentang titah berarti hukuman mati bagi kita..."
"Rupanya mereka ini bentrok dengan nona kita itu?"
"Entahlah, Yang jelas yalah nona kita mencintai si pemuda,
Buat urusan itu, nona telah bentrok sama tuan muda."
Kuasa hotel itu bicara perlahan sekali, ia menambahkan:
"Pemuda ini benar-benar tampan, pantas jikalau nona kita
yang biasanya bertabiat keras dan angkuh mencintainya,
sekalipun dia ini telah ada kawan- wanitanya."
Kata-kata itu disusul dengan elahan napas.
"Nah pergilah kau lekas sediakan barang makanan untuk
mereka" kata si kuasa akhirnya, "jangan kau sembarang
bergerak, segala apa mesti menuruti pesan nona kita. Yang
lainnya kita lihat saja belakangan." Jongos itu mengangguk,
lantas ia berlalu. Tiong Hoa heran hingga ia melengah ia ingat kejadian
dikota Pek-tek dimana diatas kota ia telah membuka topeng si
nona hingga ia melihat sebuah muka yang cantik dengan dua
baris gigi putih dan rapih.
"Kalau benar dialah si nona, itulah kekeliruanku," pikirnya.
Tiong Hoa tidak lantas pergi, ia mendengar tindakan kaki,
lalu seorang masuk ke dalam kamar kuasa hotel itu, Ketika ia
mengintai pula ia melihat seorang usia pertengahan dengan
baju hitam, kulit mukanya merah, alisnya gomplok. Dia masuk
untuk lantas berjabatan tangan dengan si kuasa.
"Tan Hio-coe, sudah hampir satu tahun kita tak bertemu,"
kata si kuasa, "Apakah sekarang hiocoe datang ke Khie-kang
ini karena pesan nona kita guna mengawasi kedua tetamu
kami?" Orang itu mengangguk. "Sebagian untuk itu," sahutnya, "Nona memesan untuk
berlaku sabar, Yang penting yalah urusan pertandingan diatas
panggung Eng Hiong Loei besok yang diadakan oleh Kin Lam
sam Pa di Hoa Kee Po, siong-kam. Tong kee kita telah turut
diundang datang." "Tentang itu aku si orang she Cie mengetahui," kata tuan
rumah. "Tahun dulu tongkoe kita pernah mengajukan
permintaan kepada Kin Lam sam, mereka menampik.
Penolakan masih tidak apa, tetapi terlalu andai kata mereka
berani mengganggu Cit seng Boen, sebenarnya selama yang
belakangan ini, perbuatan sam Pa busuk. Apakah tong kee
bersedia buat datang?"
"Tongkoe sendiri tidak. tong kee cuma mengirim tuan
muda dan nona," sahut si hio-coe she Tan itu, "Beberapa
saudara lain pun mendapat tugas rahasia, Tong kee ingin
menumpas Kin Lam sam Pa, supaya dengan begitu orang
banyak sekalian dapat diiolongi dari gangguan tiga jago yang
jahat itu." Kemudian dua orang itu bicara sambil keluar dari kamar.
Tiong Hoa lekas kembali kekamarnya. Tak lama, jongos
menyusul bersama makanan, semundurnya jongos itu, ia
berbisik pada in Nio menuturkan apa yang ia dengar barusan.
In Nio melirik. lalu la bersenyum.
"Nona itu memang cantik dan manis sekali kata" Melihat
dia, hatiku pun tenang. benarkah kau tidak tergiur."
Mukanya Tiong Hoa menjadi merah, ia likat. "Encie, kau
menggoda aku katanya."
Si nona justeru tertawa. "Ya, hati laki-laki" katanya, "Mustahil encimu tak dapat
melihat Ketika itu kau dilauwteng tembok kota, kau membuka
topeng si nona, aku melihatnya terang dan jelas Apakah
maksudmu itu, tak usahlah aku terangkan lagi"
Tiong Hoa membanting kaki. "Ah, encie kau terlalu"
katanya gelisah, gelisah tak keruan, Mukanya pun tambah merah, lagaknya
makin likat. Di depan si nona, ia membantah pun percuma.
"Adik Hoa ini benar polos," pikir sinona, "Menyukai
kecantikan, itulah sifat laki-laki sekalipun Lioe-hee Hoei,
dimatanya sebenar nya bukan tak ada si cantik manis.... Baik
aku tidak menggoda terus..."
Maka ia memutar soal, ia kata:
"Kin- lam sam Pa jahat sekali, baik kita pun pergi siongkam,
untuk membantu menindasnya, Apakah adik ku akur ?"
Tiong Hoa mengangguk. "Baik" sahutnya.
Lantas mereka bersantap. Kemudian mereka beristirahat.
Besoknya pagi, diwaktu fajar, keduanya sudah lantas
menuju ke siong-kam. Mereka masing-masing memakai
topeng, menelad si sepasang orang berkedok. hingga yang
terlihat hanya biji matanya.
Keadaan diperjalanan di soecoan selatan dan Koeicioe utara
beda daripada keadaan di Utara Tionggoan, disini sepasang
muda mudi ini mesti melintasi jalanan pegunungan yang sukar
dan banyak tikungannya. Angin pun bertiup terus menerus.
Begitu tiba dalam bilangan siong kang, lantas terlihat
orang-orang Rimba persilatan yang berlalulintas, Mereka tidak
menghiraukannya, mereka menuju langsung ke- dusun Hoa
Kee Po, bahkan terus masuk ke dalamnya. Disana ada
disediakan rumah penginapan untuk para tetamu, Mereka
mendaftarkan diri dengan nama palsu.
Hoa Kee Po dibangun didalam lembah Cay Hee Nia, disitu
terdapat banyak rumah berderet-deret, Dusun dikitari kali
kecil, airnya dalam tak lebih lima kaki tetapi deras. Didasar kali
banyak batunya rupa-rupa macam, yang tajam-tajam. hingga
sukar menaruh kaki disana. Diluar kali terdapat rimba dengan
tanjakannya yang tinggi dan curam.
Eng Hiong Lau, atau panggung loeitay " orang gagah."
peranti bertanding, diberdirikan ditengah-tengah sebuah
pekarangan lebar,jam pertandingan sebentar tengah hari,
ketika itu masih pagi, panggung itu sendiri menjadi sunyi dari
manusia. Cuma ada delapan pengemis, tua dan muda, yang


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercokol dibawah panggung, Mereka tidak berbicara, hanya
mencari kutu... Tiong Hoa berdua berjalan-jalan disekitar panggung.
Karena mereka memakai topeng, orang-orang yang
melihatnya heran, semua pada mengawasi.
In Nio berkata perlahan pada kawannya: "Delapan
pengemis itu,menjadi anggauta-anggauta dari Thian-Lam Kay
Pang dan itu yang tua dan kurus, yang duduk ditengah,
adalah pengemis paling dimulia. Tetapi dia jujur, Rupanya
mereka itu bentrok dengan Kin-Lam sam Pa." Tiong Hoa
mengangguk. "Sebenarnya orang-orang macam apa Kin-Lam sam Pa itu
maka mereka berani menentang Giam ong Leng?" tanya ia. si
nona bersenyum. "Ketiga jago itu menjadi adik-adik seperguruan ketua Kiong
lay Pay." ia memberi keterangan " Kiong Lay Pay biasa
mengenalkan murid murid yang liehay, demikian ketiga jago
ini, hingga mereka mirip dengan suatu guru besar."
"Begitu..." kata si anak muda, sambil mereka berjalan
terus. Mendadak Tiong Hoa melihat seorang lewat cepat dan dari
hidung dia itu terdengar suara dingin. si anak muda mengenali
Thian Hong Cinjin yang ia pernah lihat di Kwie In Chung.
Dengan sepasang pedangnya di punggung, imam itu lewat
didepan mereka dengan jubahnya berkibaran, ia benci imam
itu, hampir saja ia mengulur tangan menyambarnya, ia ingat
peristiwa si imam membokong Koay Bin Jin-Him Song Kie.
Thian Hong Cinjin bercuriga melihat sepasang muda-mudi
itu, maka juga sembari lewat ia perdengarkan suara
dihidungnya itu. ia melihat sekelebatan tapi melihatnya
dengan tajam, terus ia kasi dengar tertawa mengejek. Dari
situ ia menuju langsung ke dalam rumah besar.
Jilid 17 : Lukisan yang dicari.....terlewatkan
"Encie In, mari kita kuntit dia." Tiong Hoa berbisik pada si
nona. "Dialah Thian Hong cinjin yang terlihat di Kwie In
Chung, sepasang pedangnya itu pedang mustika, nanti aku
rampas untuk dihaturkan pada encie setujukah kau?" Nona
Cek suka menurut, ia tertawa manis. Keduanya lantas
memutar tubuh, akan menyusul si imam.
Thian Hong cinjin bertemu beberapa orang yang dikenal,
dia berhenti sebentar berbicara dengan mereka itu, dengan
begitu dia menjadi membuang tempo, hingga dia dapat
diawasi Tiong Hoa berdua, Kemudian terlihat dia naik keatas
sebuah lauwteng kecil. Setelah melihat didekat situ tidak ada lain orang, Tiong Hoa
mengajak In Nio menuju ke lauwteng itu. Nyata ada beberapa
orang yang berdiri menjaga, roman mereka itu keren, tangan
mereka merabah goloknya masing-masing. Tiong Hoa melirik
pada In ^io, ia mengedip mata.
Nona Cek mengerti, Maka dengan sobat keduanya lompat
maju, sebat dan lincah sekali, mereka menotok orang-orang
jaga itu, hingga semuanya pada berdiam seperti patung
patung, Tidak ada satu yang keburu membela diri atau
berteriak. Dengan sebat keduanya maju lebih jauh, untuk masuk
keruang dalam. Baru tiba di luar kamar, mereka sudah
mendengar suara orang bicara di dalamnya, Kebetulan mereka
mendengar suaranya Thian Hong cinjin: "Turut apa yang
pintoo dengar Coan In-yam Kwie lam Ciauw telah
menyerahkan kitab Lwee Kang Koen Pouw kepada Giam-ong-
Leng cit-chee-cioe Pouw Liok It."
"Entah setan tua she Pouw itu, hari ini dia datang atau
tidak?" kata satu suara yang nyaring, "surat undangan terbang
sudah dikirim akan tetapi jawabannya belum di terima,
Andaikata dia datang maka kami tiga saudara Hoa akan
menyambutnya dengan barisan sam GoanTin, aku percaya
kami akan berhasil membekuk padanya, Andaikata kami gagal,
aku minta tootiang membantui, pasti dia bakal terbekuk. Dia
mesti dipaksa menyerahkan kitab itu, supaya kita kemudian
dapat menjadi jago."
"Kakak, aku minta janganlah kau menjadi jumawa." kata
seorang yang ketiga, "sejak tiga puluh tahun dulu, si bangsat
tua she Pouw telah mendapat julukan Pak Pit Lam Pouw,
kalau sekarang dia muncul pula, pasti ilmu silatnya telah maju
jauh, karena nya tak dapat kita alpa."
Tepat itu waktu terdengar suara lonceng yang nyaring
mengalun. Tiong Hoa tahu itulah tanda pertandingan bakal dimulai,
maka dengan sebat ia ajak In Nio mengundurkan diri Mereka
lompat naik kesebuah pohon yang besar dan daun nya lebat,
untuk bersembunyi disitu sambil memasang mata.
segera juga terlihat Thian Hong cinjin berjalan keluar
bersama tiga orang, Mereka berjalan cepat sambil bicara
terus, sama sekali mereka tidak memperhatikan orang-orang
mereka, yang menjaga dengan berdiri diam saja.
Tiong Hoa menanti sampai orang sudah lewat jauh,
bersama si nona ia lompat turun dari atas pohon, untuk pergi
kelain-lain tempat lagi, Diwaktu begitu, siapa pun merdeka
akan mengitari seluruh Hoa Kee Po. Tengah mereka berjalan
itu, Tiong Hoa merasa angin bersiur dibelakang nya, ia
menduga kepada orang penyusulnya, dengan cepat ia
memutar tubuh, Maka ia melihat seorang muda, yang
romannya bengis mengawasi tajam padanya dan berkata:
"Benar- benarlah bukan sembarang orang sekarang sudah
waktunya pertandingan dimulai, kamu masih kelayapan disini,
apakah maksud kamu." Dingin suara teguran itu.
"Maksud kami yalah kepada orang diatas batang lehermu"
sahut Tiong Hoa tak kurang dinginnya.
Orang itu gusar, dengan sebat ia menghunus goloknya
dengan apa ia lantas menyerang si anak muda, Goloknya itu
tajam berkilau. Tiong Hoa menjadi semakin panas hati. Maka ia tertawa
dingin. ia menggeser kaki kirinya untuk berkelit, berbareng
dengan itu sebelah tangannya diangkat menyamber kearah
golok. sedang kaki kanannya berbareng melayang juga.
Tepat sekali gerakan tangan dan kakinya itu. si penyerang
tertangkap tangannya, untuk segera ditarik dengan kaget
hingga sambungan pun tidak lepas, sedang pahanya terjejak
sampai tubuhnya terpental. Dia roboh menjerit kesakitan
sejauh empat tombak, mulutnya memuntahkan darah,
napasnya lantas berhenti.
Hebat jeritan itu, banyak orang yang mendengarnya, maka
mereka itu lantas lari memburu. Ketika mereka menyaksikan
peristiwa yang sudah terjadi itu, mereka heran dan melongoh,
mereka saling mengawasi. Tiong Hoa tersenyum ewah, ia ajak In Nio pergi
meninggalkan kurbannya, untuk menuju kearah panggung
loeitay, Disana orang sudah berkumpul banyak, berdesakdesak.
banyak yang bicara satudengan lain, bicara dari hal
dua orang yang lagi bertempur diatas panggung.
Tak lama Tiong Hoa berdua menyaksikan.
Lantas pihak lawan roboh kebawah panggung. Yang
menang yalah piak tuan rumah, Dia lantas menunjuki
kejumawaannya, Dia berpakaian mentereng maka dia nampak
garang. Kata dia temberang: "siapa yang ilmu silatnya tidak
berarti, jangan dia naik ke panggung sini, cuma-cuma untuk
mencari malu sendiri "
Tantangan itu dijawab seorang pengemis usia pertengahan.
Dia berpakaian banyak tambalannya tetapi pakaiannya itu
bersih, Dibetulan iganya bergantung sebuah kantung besar,
yang bergoyang goyang tak hentinya.
Melihat si pendeta, In Nio berbisik pada si pemuda : "
Hampir semua orang Thian lam Kay Pang memelihara
binatang yang berbisa, maka itu si jumawa itu pasti bakal
terbinasa, Didalam kantung itu mesti ada sesuatu racunnya."
si pengemis melempangkan pinggang dia kata nyaring :
"Ccie Peng Tong, buat apa kau mengepul " Aku si pengemis,
aku kenal kau baik sekali. Kaulah si murid yang pindah
berguru kepada lain orang orang murtad menjemukan tetapi
kau toh masih berani mementang mulut lebar-lebar "
"Siapa mau adu lidah denganmu " Peng Tong membentak
ia kuatir rahasianya nanti dibeber lebih jauh, "Kau berani
kemari " Mari kita adu kepandaian kita "
"Baiklah jikalau kau mau " kata si pengemis. "Siapa takut
padamu ?" perkataan itu ditutup dengan serangannya.
Peng Tong kaget, sampai ia tak keburu berkelit, atau
menangkis, Bukan main sakit nya ketika pipinya terhajar, pipi
itu kontan menjadi bengap dan merah. Dia juga pusing
kepalanya dan berkunang-kunang matanya. "Pengemis bau
mengapa kau main bokong?" tegurnya.
"Memangnya kau tidak sedia bertempur?" si pengemis
membaliki. "Kalau cepat salah, baiklah, mari kita main
perlahan " Semua hadirin tertawa.
Cek In Nio pun berludah sambil ia meletaki kepalanya
didada si anak muda. Peng Tong gusar hingga ia lantas melayangkan tinjunya,
itulah hajaran "Memegang awan meniambret rembulan-"
cepat dan keras. si pengemis sudah bersiap sedia, ia tidak menangkis, hanya
ia menjauhkan diri dengan cara istimewa, Yaitu ia menjejak
tanah, untuk bcriompat, caranya luar biasa, yaitu ia lompat
dengan kedua kaki naik terus melewati kepala, hingga ia
menjadi kaki diatas, kepala dibawah, sudah begitu, dengan
dua tangannya, ia menyambar ia bersilat dengan tipu "Kera
putih melewati pelatokl" Dengan tangan kanan ia mengarah
lengan, dengan tangan kiri ia menyerang ke muka.
Tangan Peng Tong kena terpegang, Dia kaget dan merasa
sakit, Tangannya itu dicekal keras. Menyusul itu gaplokan
melayang, mengenai pipi kanannya hingga giginya copot dan
mengeluarkan darah disamping matanya kegelapan, Dia
bingung, dia menahan sakit, Tahulah dia sekarang bahwa dia
sudah kalah tetapi dia malu untuk lompat turun dari
panggung. Kin Lam sam Pa pun turut menjadi bingung, mereka
berduka dan mendongkol. Untuk menyuruh Peng Tong turun,
mereka malu. Peng Tong tidak berdiam saja, saking malu dan penasaran,
dia menyerang dengan senjata rahasia, Belasan golok lioeyap-
too merabu si pengemis, Goloknya itu pun dipakaikan
racun, sebenarnya jarang dia mengguna i senjata rahasia itu,
tapi sekarang dia menggunainya karena putus asa. Dia
percaya dia bakal berhasil karena mereka berdiri berhadapan
dan dia menyerang secara mendadak.
Sebenarnya si pengemis pun kaget sekali, syukur ia tidak
menjadi bingung, seketika juga ia menjatuhkan diri celentang
diujung panggung, kakinya menyangkel pinggiran, Dengan
begitu semua golok lioe-yap-too lewat diatas nya.
Peng Tiong menyangka lawannya roboh ketika dia melihat
kaki orang dipinggiran panggung dan membacok. Tengah dia
mengayun goloknya itu, mendadak tubuh sipe ngemis bangun
berdiri, Dia kaget bukan main.
"Sahabat...." katanya, ia mundur. Niatnya untuk menyerah
kalah, Apa mau tinju sipengemis sudah sampai tepat
mengenai dada-nya. Dia merasa napasnya sesak.
perkataannya terputus suaranya tertahan.
Dengan tangannya, ia menangkis tapi tangan itu lantas
terasa nyeri sekali. Tidak sangsi lagi, dia melengak. niatnya
lompat menyingkir apa mau, dadanya menjadi sesak sekali.
Dada itu tertekan Maka dia lantas muntah darah, tubuhnya
terguling diatas panggung itu, jiwanya melayang.
Kin Lam sam Pa menyaksikan itu. mereka gusar bukan
main, tetapi mereka tidak bisa mengumbar itu Peng Tong
menjadi kurban kejumawaan dan kegarangannya itu, dia
makan hasil keganasannya.
Kesudahan itu disambut dengan kesunyian.
Si pengemis merapihka n pakaiannya, ia berdiri diatas
panggung, matanya mengawasi kesekitarnya, kemudian ia
kata dengan peria han: "Kali ini aku HooBoenPeng menang
satu babak sebab ini sahabat she Cie suka mengalah padaku"
Mendengar kata-kata itu. dibawah panggung terdengar
suara tertawa, orang merasa lucu, Cie Peng Tong yang sudah
mati dikatakan mengalah. In Nio tertawa terpingkal hingga ia
bergelendot pada tubuh Tiong Hoa, kata ia: "Tidak beres
pengemis itu, dia kurang bijaksana."
Boen Peng dapat dengar celaan itu, ia malu sendirinya,
tetapi ia menyambutnya dengan tenang kemudian dengan
perlahan ia berkata pula: "Dari pihak Hoa Kee Po ada siapa
lagi yang mau naik kepanggung ini, aku sipengemis bersedia
untuk melayani?" "Hoo Boen Peng,janganterkebur" terdengar suara nyaring
dibawah panggung, "Pintoo Biauw Ceng sioe akan menemani
kau" Satu bayangan orang lantas lompat naik keatas panggung,
pesat dan tanpa bersuara ketika kakinya menginjak lantai.
"Apakah kau murid Hoa Kee Po?" ia tanya tawar.
Imam ini merah muka dan telinganya, Tapi dia tertawa
menyeringai. "Oh, anjing buta" dia membentak "Bagaimana kau sampai
tidak mengenal imam kepala dari Hian Touw Koan?" Dalam
murkanya. dia terus menghunus pedangnya yang berkilauan
cahayanya. Mengetahui orang bukan murid Hoa Kee Po, Boen Peng jadi
mendongkol, ini imam berarti si jahat membantu si jahat, ia
lantas keluarkan senjatanya, tongkat samcay Tham kongcung,
yang bersambung tiga, alat peranti menotokjalan-darah.
Ketika ia mengerahkan tenaganya, tongkatnya itu menjadi
lempang dan kaku. Biauw Ceng sioe ingin mengangkat nama- nya. diatas Eng
Hiong Tay, lantas ia menyerang, maka itu, ketika si pengemis
melayani mereka segera bertarung.
Boen Peng berkelahi dengan sin Wan Thung-Hoat, ilmu
tongkat Kera sakti salah satu ilmu silat dari Thian-lam Kay
Pang, Partai pengemis dari selatan.
Inilah tandingan yang setimpal. Mereka bertempur seru dari
jurus selanjutnya, Ceng sioe jadi memikir mana muka terang
nya andaikata dia kalah" Maka ia ingin lekas merebut
kemenangan. Dengan mendadak ia bersiul nyaring, selagi
pedangnya mengancam, dengan tangan kirinya ia menjambret
tongkat lawan yang dipakai menangkis.
Tongkat Boen Peng mempunyai gigi tajam dikedua sisinya,


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari itu ia terperanjat melihat lawan berani menyambar
tongkatnya itu. ia mengira si imam kebal, tak mempan
senjata. Karena kaget, ia menjadi sedikit ayal.Justeru itu,
pedang lawan melayang bukan main cepatnya. Tak ampun
lagi, lengan kirinya kena terbabat hingga berdarah, dagingnya
turut terpapas sedikit, ia menjadi mendongkol sekali. Tapi
selagi sakit, ia tertawa dingin-
"Biauw Ceng sioe, nanti aku ajar kau kenal dengan ular dari
Thian Lam" ia membentak, Berbareng dengan itu, sebelah
tangan nya sudah memegang kantongnya.
Ceng sioe menang angin, dia menjadi berkepala besar. Dia
tertawa lebar dan kata: "Biasalah pengemis doyan main ular
Tapi aku juga biasa melihat binatang itu yang suka muncul
disekitar kelentengku itulah tak aneh" Meski demikian, diamdium
dia waspada. "Baguslah kalau itu sudah biasa bagi-mu" kata Boen Peng.
ia membuka mulut kantongnya, atas mana berlompatlah
seekor ular panjang delapan kaki dan besarnya sejari tangan.
Turun kelantai panggung, binatang merayap itu mengangkat
kepalanya dan menggoyangkan ekornya, selagi matanya
mengawasi tajam, mulutnya menggoyang-goyang lidahnya
yang berbisa. Ciut juga hati Ceng sioe memandang ular itu yang
mempunyai kepala besar, tubuhnya hitam mengkilap. lidahnya
merah matanya merah marong, ia malu bertempur melawan
ular. Kalah celaka menang tak memperoleh nama, Tapi ia
sudah membuka mulut lebar, tak dapat ia mundur pula, ia
lantas mengawasi tajam. Mulutnya Boen Peng mengasi dengar siulan nyaring, itulah
anjuran buat si ular mulai menyerang, Binatang itu lantas
berbunyi menyahuti, lalu tubuhnya bergerak. Dia maju dengan
mulutnya dipentang, Hanya sejenak. ular menyambar, pedang
menabas. Biauw Ceng sioe membacok tapi gagal ular itu lewat,
ekornya menyambar pipinya, Dia kaget, dia merasa sakit, Dia
pun takut akan bisa ular. Menduga bahwa bisa sudah
memasuki kulit dan dagingnya, dia menjerit keras. Dilain saat,
kepala ular itu sudah berbalik, mengancam untuk memagut
padanya.... Ketika mendadak terdengar seruan dari bawah panggung,
terus sesosok tubuh besar berlompat naik, tangan kanannya
di-luncurkan, guna menangkap tubuh ular itu pada
punggungnya. Hanya sekejab, binatang berbisa itu mati kutunya, Tak
dapat dia memagut si imam, tak dapat dia juga dia memutar
kepala, guna menggigit penangkapnya itu. Bahkan ketika
orang mengerahkan tenaganya, dia lantas berdiam tak
berkutik lagi. Hoo Boen Peng lantas mengenali orang itu, yalah Hoei Eng
Cit-Ciang Hoa Wie si Garuda Terbang, anggauta ketiga dari
Kin Lam sam Pa. ia menjadi bersakit hati, dengan mendongkol
ia kata: "seekor ular saja sampai menyebabkan Hoa sam-thayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ya turun tangan sungguh beruntung ularku, dia akan mati
meram" Muka Hoa Wie menjadi merah, dia likat.
"Hoo Boen Peng, adakah kau seorang kenamaan?" ia
menegur, "Kalau gurumu si setan tua tidak muncul, aku pun
tidak mau melayani kau, akan tetapi kau menggunai ularmu
biauw Koan-coe ini tetamuku, terpaksa aku mesti turun
tangan" sembari berkata itut ia lemparkan ular kepada
pemiliknya. Boen Peng menyampuri sambil tertawa dingin. Dari
sakunya ia mengambil sebutir pil hitam, yang ia kasi makan
pada ularnya, habis mana binatang piaraan itu dimasuki pula
kedalam kantongnya. Tanpa mengucap sepatah kata, ia
lompat turun dari panggung adu jiwa itu.
Biauw Ceng siou ketakutan, ia merasai pipinya nyeri seperti
terbakar. Benar dia berhati lega melihat musuh berlalu, tapi
sekarang, ia berkuatir untuk pipinya itu Lekas sekali pipi itu
menjadi bengap dan merah.
Menampak itu, Hoa Wie bingung, ia mengerti bisa ular
sudah bekerja, Kalau bisa menyerang keulu hati, matilah si
imam. Karena itu, segera ia menotok pundak dan dada imam
itu, guna menutupjalan darah-nya, sedang dengan pisau
belatinya ia memotong pipi orang, guna mengucurkan darah
yang hitam, ia pun memencet, membikin darah keluar deras,
Baunya itu sangat menusuk hidung.
Biauw Ceng sioe gemetaran mulutnya tak dapat
mengeluarkan suara, ia mesti bersikap sebagai laki-laki, atau
ia akan mendapat malu sendirinya, Bukankah tadi ia telah
membuka mulut besar" Didalam hati, ia mengutuk si
pengemis, ia sangat mendendam penasaran.
Hoa Wie mengambil tiga butir obatnya, ia remas itu, terus
ia borehkan ditempat yang luka, baru setelah itu sambil
tertawa ia kata: "Saudara Biauw, mari kita turun. Kau perlu
beristirahat " Ceng sioe mengawasi kepada musuhnya, lalu ia turut tuan
rumah mengundurkan diri. Dipihak Hoa Kee Pe lantas ada seorang yang naik ke
panggung, untuk menantang, guna meneruskan pertandingan.
Tiong Hoa melihat kesekitarnya, ia ingin melihat, siapa
yang bakal menyambut tantangan selagi mengawasi itu,
mendadak ia menyentuh tubuh In Nio disampingnya, terus ia
kata perlahan: "Mereka itu datang "
Si nona pun lagi menantikan siapa bakal naik, ia tak
mengerti kata-kata si anak muda. "siapa ?" tanyanya sambil
mengawasi. Tiong Hoa berbisik.
"Lihat itu disebelah kiri panggung," katanya. "Bukankah itu
mereka yang berdiri di depannya seorang dengan rambut
kusut ?" Masih In Nio tak dapat menerka, akan tetapi ia memandang
kearah yang disebutkan. Benarlah dikiri punggung itu,
dibelakang si orang rambut kusut, berdiri sepasang mudamudi
yang setimpal, sipemuda tampan, si pemudi cantik mirip
bidadari. Pemudi itu memang lah pemudi yang di tembok kota Pek
tee dibuka topengnya oleh Tiong Hoa, setelah memandang
mereka itu terutama si bidadari, ia tertawa perlahan, sedikit
nona ini jelus tetapi ia memikir tak nanti pemuda itu berubah
hatinya... Tiong Hoa menghela napas.
"Manusia itu bukannya rumput atau pohon yang tak ada
rasa hatinya," sahutnya, "Aku memikirkan, encie, aku
mendelong..." ln Nio heran, hingga ia memikirkan untuk
kau...." Di pihak sana, si bidadari itu pun dengan sepasang
matanya yang celi. Mengawasi kearah sini.
ooooooo Bab 19 TERLIHAT nona cantik itu melengak. mendapatkan
sepasang muda-mudi yang memakai topeng ditempat umum
ini, toh sinar matanya sinar terang dan gembira, pula lantas
tampak senyumannya yang manis, tampak juga dua baris
giginya yang putih dan bagus.
In Nio heran, ia bingung memikirkan kata-kata si pemuda,
Ia terus menatap pemuda disisinya itu.
Tiong Hoa balik mengawasi ia bersenyum. "Masih terlalu
siang untuk aku bicara jelas," katanya, "Asal encie percaya
aku, cukup sudah" Mau atau tidak, In Nio tertawa, "siapa tak tahu hati kamu
bangsa laki-laki. Kamu, sesudah dapat tanah Liong, lantas
mengharap juga memperoleh tanah Siok, Tapi tak aku
menghiraukan itu, asal kau tidak melupakan aku"
Hati Tiong Hoa berdenyut telinganya terasa panas.
Demikian macam ia mesti menyambut hati si nona manis.
Diatas luitay, orang sudah mulai bertanding, Dibawah Kin
Lam sam Pa asik bicara satu dengan lain, Mereka itu terpisah
dekat juga dengan Tiong Hoa, walaupun mereka bicara
perlahan, anak muda ini dapat mendengarnya, Mendengar
suara orang pemuda ini ingat sesuatu.
"Lagu-suara sam Pa seperti lagu suara orang Tiong- cioe,"
ia berpikir, "Mungkinkah gambar Yoe san Goat Eng didapatkan
mereka ini?" Sebenarnya ia sudah memikirkan melepas soal gambar itu,
tetapi sekarang mendengar suara orang, timbul pula
keinginannya, Lantas ia bisiki si nona: "Encie In, mari kita
pergi kekamarnya sam Pa, untuk mencari serupa barang, Aku
minta kau membantui aku." ia tidak menanti jawaban hanya ia
menarik tangan si nona. "Kau maksudkan Yoe san Goat Eng?" Ia tanya, ia menerka
jitu. Tiong Hoa mengangguk. Maka si nona mengikutinya.
Mereka berjalan dengan perlahan-lahan untuk tidak
mencurigai orang, akan tetapi toh ada seorang yang
melihatnya. Dengan berhati-hati, Tiong Hoa mengajak In Nio masuk
kedalam rumah, Mereka mesti berhati-hati agartakada orang
yang melihatnya, Di tempat jagaan, mereka mendapatkan
orang-orang yang tadi mereka totok masih berdiam terus
seperti patung hidup, karena itu merdekalah mereka masuk ke
dalam, untuk naik keatas lauwteng. Dengan sebat mereka
bekerja untuk menggeledah, guna mencari gambar Yoe san
Goat Eng. Mereka melihat banyak kitab dan gambar lainnya
tetapi tidak gambar yang diingini itu. "Ah " kata Tiong Hoa,
putus asa. "Apakah kau percaya pasti gambar itu di miliki sam Pa ?" In
Nio tanya berbisik, Si anak muda menggeleng kepala.
"Aku melainkan menerka," sahutnya.
"kalau begitu, kau tolol " kata si nona, "Mari kita keluar "
Ketika itu mereka lagi berdiri dikamarnya Hoa Wie.
Mendadak diluarjendela terdengar suaranya seorang nona :
"jikalau kamu tidak lekas keluar, Hoa Wie bakal segera datang
kemari" Tiong Hoa melengak. itulah suara yang ia kenal.
"Eh, mengapa dia pun turut datang ke- mari?" katanya
didalam hati, ia menarik tangan In Nio, buat diajak lompat
keluar jendela, hingga dilain saat mereka sudah berada
didalam rumpun pohon bambu, Dan situ mereka lantas
melihat seorang bertubuh besar mendatangi bersama dua
orang lain, cepat tindakannya.
Mendadak orang bertubuh besar itu merandak. Dialah Hoa
Wie. sekarang dia mendapat kenyataan orang-orang jaganya
mematung cuma mata mereka yang mengasi lihat sinar
ketakutanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rupanya mereka ini menjadi kurban- kurbannya sepasang
muda mudi yang bertopeng itu." kata dia kepada kedua
kawannya. "sam-pocoe tak menerka salah." sahut dua orang
itu. "Hm" Hoa Wie bersuara, lalu ia menotok bebas orangorangnya
itu. Hanya ia menjadi kaget dan heran, orang
bukannya bebas hanya roboh sambil menjerit-jerit, terus
mereka mengeluarkan darah dari mulutnya hidung dan
lainnya, akan akhirnya mereka menghembuskan napas
mereka. Hoa Wie melengah hatinya mencelos, inilah hebat, Tengah
ia berdiam itu, ia melihat datangnya tiga orang lain, yalah
Thian Hong cinjin bersama dua pendeta kurus dan gemukyang
membekal senjata Hong-pian-san di punggungnya,
pelipisnya mereka itu muncul dan matanya tajam.
"Ada apakah?" tanya Thian Hong setelah datang dekat, ia
heran menyaksikan tuan rumah bingung dan mayat-mayat
berserakan- "Telah terjadi perkara hebat disini", sahut Hoa Wie. ia
lantas menutur ringkas, ia mengutarakan dugaannya atas diri
muda-mudi bertopeng itu, ia bicara sabar tetapi gusarnya
bukan main. "Sepasang muda-mudi bertopeng?" kata Thian Hong,
mengulangi Baru saja pintoo
melihatnya ditengah jalan, Memang gerak-gerik mereka
mencurigai tetapi tidak berani aku mengusiknya, Tidak
dinyana mereka berani main gila disini, sayang barusan
mereka dikasi lewat."
In Nio mendengar suara si imam, hatinya panas.
"Hidung kerbau ini tidak tahu malu " ia berbisik pada Tiong
Hoa. "Nanti aku hajar kedua buah telinganya " si pemuda tarik
tangan si pemudi. "sabar," bisiknya, "jangan kita muncul dulu, sebentar akan
aku bikin kau puas encie In-"
Nona itu bersenyum, ia menaruh kepalanya didada si anak
muda. Lantas terdengar suaranya sipendeta gemuk yang
tertawa tak sedap. "Mungkin sekali merekalah si sepasang anjing anak laki-laki
dan perempuan dari Pouw Liok It si bangsat tua" katanya
keras, "Kabarnya mereka itu tengah melakukan perjalanan.
Mereka bertopeng, itu lebih memastikan dugaan, sungguh
mereka jahat." Selagi berkata begitu, pendeta ini terkejut sendirinya.
Mendadak ia merasai sikutnya kaku hingga ia seperti
kehilangan tenaganya, ia mencoba mengangkat tangannya
lalu ia menjadi terlebih kaget, ia heran- Tangannya itu tak
kurang suatu apa. Cuma jalan darah nya yang kurang lurus
sedikit, Hal itu ia tidak hiraukan lagi. Hoa wie heran-
"Kau kenapa, taysoe?" tanyanya, Tak keruan-ruanpendeta
ini berhenti berbicara dan menggeraki tangannya itu, sedang
wajah nya menandakan dia kaget dan heran.
"Tidak apa-apa," sahut si pendeta gemuk menggeleng
kepala. "Aku bukan maksudkan sepasang anaknya Pouw Liok It itu
sudah datang dan mereka berada dibawah panggung, sang
putera lagi berbicara dengan saudaraku. semenjak mereka
berdua menaruh kaki di Khie kang, Lauw Hoe-congkoa n tak
pernah berpisah dengan mereka itu, ia menguntit terus
sampai disini, jadi mestinya lain orang..."
Tuan rumah ini agaknya gelisah, "Habis siapakah itu
sepasang muda-mudi yang bertopeng itu?" tanya Thian Hong
heran. "pula, apakah maunya mereka datang ke mari?"
"Inilah yang membikin aku memikir tanpa mengerti, Teng
Kwie yang mati itu jarang keluar, jadi tidak ada alasan bahwa


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia membangkitkan permusuhan pribadi, Ada kemungkinan
yalah dia baru saja menyebabkan sepasang orang bertopeng
itu gusar terhadapnya...." ia menoleh kepada kedua orang
yang mengikutinya dan menanyai.
"Apakah kamu pernah melihat ada lain-lain saudara disini
yang tertotok sepasang orang bertopeng itu?"
"Maaf, pocoe," menyahut dua orang itu, rdengan
sebenarnya kami berdua tidak dapat melihat kecuali kejadian
atas dirinya Teng Kwie."
"Makhluk tak berguna" mendadak Hoa Wie mendamprat
seraya tangannya melayang, Maka dua orangnya itu menjerit
kesakitan, tubuh mereka terhuyung mulutnya mengeluarkan
darah, lalu dengan muka pucat, mereka berdiri diam.
"Sabar, saudara Hoa," membujuk Thian Hong sambil
tertawa, "Mereka ini tak dapat dipersalahkan, Marilah kita
melihat kedalam lauw-teng, mungkin mereka itu sudah
nelusup masuk." Hoa Wie setuju maka ia mendahului masuk ke lauw-teng
nya. "Entah kita meninggalkan bekas atau tidak dalam lauwteng
itu?" berbisik Tiong Hoa pada In Nio.
si nona tertawa, ia kata: "Tak perduli ada bekas atau tidak.
sekarang ini sukar untuk kita berkeliaran seperti tadi." Tiong
Hoa berdiam, ia menggeleng kepala.
"Inilah buruk," katanya, "sekarang ini tak dapat kita tidak
memperhatikan diri, Ya, sudahlah, karena kita sudah datang
kemari sekalipun kedung naga dan sarang harimau, mesti kita
masuki juga..." Tiong Hoa menduga kawannya melihat sesuatu, ia turut
mengawasi, ia tidak melihat apa juga, ia menjadi heran.
Tiba-tiba si nona berpaling dan kata, "Aku lagi pikirkan
orang yang memberi peringatan pada kita itu, siapakah dia?"
Mukanya Tiong Hoa mendadak menjadi merah, tapi ia
menggeleng kepala, "Entahlah," sahutnya tak tegas.
In Nio menatap si pemuda, hingga dia membikin mukanya
pemuda itu merah dan hatinya tak tenang, syukurlah mereka
sama sama memakai topeng, hingga paras mereka tak nampa
cuma terlihat sinarmata mereka yang berubah-rubah.
Tapi si nona cerdas, dia mulai membade. Dia hanya tidak
cemburu. Dia ingat kata-kata si anak muda yang hanya
memikirkannya. Mau atau tidak. keduanya toh saling berpikir.
Segera datangnya saatnya mereka melihat Hoa Wie semua
menuju ke loeitay. kita keluar," Tiong Hoa mengajak "Kita harus bikin bahwa
kita putih- bersih dan tak takut apa juga."
In Nio menurut saja, maka keluarlah mereka dari tempat
sembunyi dengan perlahan dan tenang, mereka menuju ke
Eng Hiong Loei. Ditengah jalan mereka terlihat beberapa penjaga, mereka
itu heran, mereka bengong mengawasi. Tidak ada satu
penjaga yang berani menghalang-halangi.
In Nio tertawa. "Tadi tak ada penjagaan begini," katanya, "Rupanya inilah
penjagaan yang baru diadakan oleh Hoa wie." Tiong Hoa
mengangguk, ia membungkam.
selagi berjalan terus, mereka melihat seorang tua berbaju
hijau muncul dari satu pengkolan- Dia bermuka kurus dan
kumisnya sudah putih semua, Melihat muda-mudi itu, dia
menghentikan tindakannya, dia mengawasi sambil tertawa.
"Kamu bertindak ditempat begini tetapi kamu tenangtenang
saja, teranglah kamu murid orang liehay" katanya,
"Anak-anak muda, sudikah kamu perkenalkan diri kamu
kepada aku si orang tua?"
Tiong Hoa melihat roman orang tak miripnya orang sesat,
ia menyambut ber-senyum. "Haraplah lootiang tak sembarang percaya kata-kata orang"
katanya, manis, "Kami she Gouw, kami ingin melihat wajahnya
orang-orang gagah disini, maka kami datang kemari, Yang
mati itu berlaku keterlaluan kami sampai tidak dapat
mengekang diri, dari itu kami keliru turun tangan
menyebabkan kematiannya."
"kalau begitu kamu tak dapat disesalkan," kata orang tua
itu. "Hanya kamu menggunai tutup muka, adakah itu
disebabkan sesuatu?" Tiong Hoa menggeleng kepala.
"Kami terpaksa," sahutnya, "inilah titah guru kami yang
kami tidak berani tentang." orang tua itu menarik napas, lagi
dia menatap. Tiong Hoa memberi hormat.
"Kami mau melihat keramaian, maaf" kata nya. "sampai
ketemu pula" Tidak jauh dari situ, loei-tay sudah nampak. hanya aneh,
diatas itu tidak ada seorang juga, sebaliknya dibawah
panggung ada pertempuran beberapa rombongan banyak
orang yang menonton sambil menjauhkan diri. Terlihat pula
beberapa orang rebah binasa atau terluka, Tentu sekali,
mereka menjadi heran hingga mereka tercengang.
Yang bertempur itu tiga pengemis melawan tiga orang Hoa
Kee Po. Mereka bertempur seru sekali.
Tiong Hoa lihat sepasang muda mudi berdiri bersama Kim
Lam Sam Pa tengah menonton-Si nona melihat ia berdua
muncul, dia itu mengawasi sambil bersenyum, matanya
memain hidup sekali. Diam-diam ia terperanjat. Tiba-tiba saja
terdengar Hoa Wie berseru: "Berhenti dulu"
Nyaring suara itu, hingga keenam orang yang lagi
bertempur itu berhenti dengan mendadak, semua lantas
berpaling mengawasi tuan rumah. Dari pihak Kay Pang muncul
seorang pengemis tua. "Hoa Sam-pocoe, apakah artinya ini?"
dia tanya, Dia heran-Hoa Wie mengawasi tajam, tiba-tiba dia
tertawa lebar- "Soen Hoa-cioe," berkata dia, "permusuhan diantara Thian
Lam Kay Pang dan pihak kami sulit dibereskannya, maka itu,
pasti aku akan membuatnya kamu puas, Hanya janganlah
kamu tergesa-gesa. Harap kamu menanti sebentar, ingin aku
menanya itu sepasang muda-mudi yang tidak dikenal."
Pengemis tua dan kurus itu tidak berkata apa-apa. ia duduk
numrah pula ditanah. Hoa Wie lantas bertindak kearah Lie Tiong Hoa dan cek In
Nio. ia diikuti Thian Hong Toolin serta si pendeta gemuk
terokmok dan kurus kering.
Tepat disitu waktu maka terdengariah tertawa nyaring dari
puteranya Pouw Liok It. Kata dia: "Hari ini, orang-orang yang
datang ke Hoa Kee Po ini semuanya orang gagah, jikalau tidak
demikian, tuan muda dan nona itu tidaklah nanti mereka
berani datang ke mari, mereka toh seperti mengantarkan diri
kedalam mulut harimau walaupun demikian, sam Pocoe,jikalau
kau sudi mendengar suaraku, baiklah kau jangan menanam
bibit permusuhan. Kamu harus ingat, urusan sekarang saja --
urusan Kay Pang dan urusan kami masih sulit pocoe
menyelesaikannya" Mendengar itu, Hoa Wie tertawa dingin, sepasang alisnya
terbangun- Jikalau demikian." katanya keras, "Pastilah sepasang pria
dan wanita itu yalah orang orang undangan Pouw siauw-tong
kee, yang datang guna membantu pihakmu." si anak muda
tidak gusar, dia bahkan tertawa.
"Aku Pouw Lim yang muda," Katanya sabar " walau pun
ilmu silatku masih sangat cetek aku masih tidak membutuhkan
bantuan orang, Yang terang yalah hari ini, tetamu-tetamunya
Hoa Kee Po bukan sedikit jumlahnya." ia tertawa pula ia
berpaling akan menambahkan "Encie Keng coba kau minta
mereka itu memperlihatkan diri mereka, supaya pihak Hoa Kee
Po tidak menyangka kita hendak main bersembunyisembunyian
terhadapnya" Nona Keng itu, Pouw Keng, tertawa manis, ia tidak
menjawab saudaranya tetapi ia mengayun sebelah tangannya
yang putih halus untuk meluncurkan sesuatu yang setibanya
ditengah udara lantas meletus menerbitkan tiga sinar dadu,
biru dan kuning, suaranya nyaring saling susul, terus muncrat
bagaikan kembang api hingga menarik hati untuk dipandang.
Menyambuti itu dari luar Hoa Kee Po terdengar sambutan
siulan yang nyaring dan ramai.
Mendengar itu, Hoa Wie terkejut hingga mukanya menjadi
pucat, dengan mendelong ia mengawasi kedua kakaknya,
yalah Chee-bian Wie To Hoa Tay dan wie-tin Pat Hong Hoa
Koei. Wie-tin Pat Hong bernyali besar, dia tertawa, dia berkata:
"Pouw Liok It terlalu kepala besar Dia tidak datang sendiri, dia
mengirim dua bocah yang masih berbau susu. Adakah dia
mengira Hoa Kee Po dapat saji dihina" Biar aku si orang tua
minta pertimbangan semua orang gagah, diantara kita siapa
yang benar dan siapa yang salah."
Pouw Lin pun menoleh kepada Pouw Keng dia tertawa dan
berkata: "Encie Keng, belum pernah aku menemui tua bangka
yang berani jumawa, disaat kematiannya ia masih omong
besar. Tidakkah dia lucu hingga menyebabkan orang tertawa
sampai giginya copot rontok?"
Kini Pak sam Mo menjadi sangat mendongkol hingga alis
dan kumis mereka pada bangun berdiri, rupanya mereka tak
dapat menguasai diri lagi, hendak mereka turun tangan- Atau
mendadak si pengemis kurus dan tua tadi berlompat bangun
dari tempatnya mendeprok. dia lompat kedepan tiga tuan
rumah, untuk berkata dengan tawar:
"Aku si pengemis sudah mulai tak sabaran menantikan,
maka itu aku minta samwie lekas menyelesaikan urusan kita
Nyatanya sekarang selain samwie senantiasa mempersulit
kami, samwie juga mempunyai sangkutan dengan pihak cit
Chee Boen. Aku si pengemis tidak mengerti, bagaimana
samwie hendak membereskan urusan kita ini?"
Hoa Wie tertawa mencemooh.
"Orang edan she soen" katanya, "jikalau kau menghendaki
kematianmu, itulah tak sukar Memang siapa yang mau
menyuruh kamu menanti lama-lama?"
Begitu berkata, ketua ketiga Hoa Kee Po lantas lompat
kepada si pengemis untuk menyerang, Dia meluncurkan kedua
tangannya yang sepuluh jerijinya kuat bagaikan gaetan
suaranya pun sangat nyaring.
Pengemis tua dan kurus menggeser tubuh dengan gesit
sekali. Dia berkelit kekiri seraya tangan kanannya diangkat,
bergerak dalam sikap "Burung walet menggaris pasir,"
tangannya itu menabas ketangan penyerang-nya, sedang
tangan kirinya turut bergerak juga, hanya tangan kiri itu
menyamber ke-punggung jago Hoa Kee Po itu dilima jalan
darah. Hoa Wie gagah dan gesit. Dia menarik pulang kedua
tangannya, dia memutar tubuhnya, dengan begitu, bebaslah
dia dari ancaman Tapi dia tidak mau berhenti begini bebas,
begitu dia mengulangi serangannya. Dengan begitu maka
bertempurlah mereka dengan seru.
Tiong Hoa dan In Nio menonton sambil bicara kasak-kusuk,
si anak muda sering di awasi oleh Pouw Keng, akan tetapi dia
berlagak pilon- Belum lama maka terdengarlah siulan nyaring dari arah
rumah. Mendengar itu, pihak Hoa Kee Po terlihat beroman
girang. "Rupanya telah datang bala bantuan dari pihak tuan
rumah." pikir Tiong Hoa.
segera tertampak datangnya empat orang seperti
bayangan, mereka lalu lompat turun dari atas genteng,
Merekalah empat orang tua, diantara siapa terdapat si orang
tua ber baju hijau. Tiga yang lainnya masing-masing, berbaju
merah, kuning dan hitam. Segera yang berbaju kuning berkata, meskipun dia bicara
dengan perlahan- "Aku minta kedua belah pihak suka berhenti
sebentar. Aku si orang tua. ingin aku memberi pertimbangan
yang adil" suaranya itu berat dan berpengaruh. Hoa Wie
menyerang, untuk mendesak habis mana ia lompat mundur.
Si pengemis tua berhenti bertempur. Dia berkata dingin-
"Aku si pengemis tua
beruntung sekali dapat bertemu dengan ciangboenjin dari
Kiong Lay Pay sungguh tidak disangka bahwa benar Kiong Lay
Pay hendak merebut tempat kedudukan diselatan."
Si orang tua berbaju merah tak menghiraukan ejekan itu, ia
hanya memandang keluar Hoa Kee Po dimana tampak berlarilari
datangnya beberapa orang, cepat larinya mereka ketika
mereka sampai lantas mereka pada roboh.
Merekalah lima guru silat yang bertugas menjaga Hoa Kee
Po, sekarang mereka pada mandi darah, satu diantaranya
dengan suara terputus-putus dan lemah, berkata: "Diluar
rumah semua saudara pelbagai tokoh sudah terbinasakan
orang-orang cit Chee Boen-" Habis berkata begitu, dia lantas
mati seperti empat yang lainnya.
Kini Pak sam Mo kaget dan gusar, muka mereka pucat dan
merah. Dengan mata bengis mereka menatap Pouw Keng dan
Pouw Lim. si orang tua baju merah pun berubah parasnya, sepasang
alisnya yang putih mengkerut. "Pouw Liok It terlalu kejam, dia
harus menerima pembalasan " katanya.
Thian Hong cinjin menyela: "jikalau tiga saudara Hoa tidak
mencegah, mana dapat pintoo membiarkan mereka hidup
sampai sekarang ini ?"
"Mereka kuatir tootiang menyebabkan bibit permusuhan
dengan Pouw Liok It, maka dari itu mencegah tootiang," kata
si orang tua baju merah, "Baiklah tootiang tidak menjadi
berkecil hati." Thian Hong cinjin berkata pula: "Baru saja Pouw Liok It
mendapatkan kitab Lay Kang Koen Pouw, kalau dia dibiarkan -
saja kelak dibelakang hari dia bakal menjadi ancaman bencana
bagi Rimba persilatan seumumnya, maka itu baiklah sekarang
sebelum dia sempat memahamkannya, kita tumpas padanya,
agar tak usahlah kemudian kita setiap malam bermimpi dalam
kekuatiran " Mendengar suara itu, Pouw Lim tertawa berkakak.
"Thian Hong, kau bicara besar sungguh kau tidak tahu
malu " katanya mengejek "Kabarnya kau baru saja
mendapatkan sepasang pedang mustika Wan Yoh Poo kiam
buatan Bong siang Coe, dengan itu lantas kau mengaguli diri
sebagai akhli pedang nomor satu dalam Rimba Persilatan,
akan tetapi di Kang lam baru-baru ini kau dipermainkan
seorang muda yang bersenjatakan hanya sebatang cabang
yanglioe. Didalam sepuluh jurus, sepasang pedangmu kena di bikin


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepas jikalau tuan mudamu menjadi kau, tentulah dia sudah
mengeram diri didalam kuil, tidak nanti dia muncul pula
dimuka umum mencari malu sendiri"
Muka Thian Hong jadi pucat dan merah padam bergantian.
Dia berteriak: "Bocah malu yang ngoceh saja, hari ini kau tak
dapat diberi ampun" Dia lantas menghunus sepasang
pedangnya yang dia terus putar hingga sinarnya
berkeredapan. Pouw Lim pun lompat maju, tangannya mencekal sebatang
tombak pendek. ketika muncul sebuah bendera kecil sutera
merah dengan sulaman satu tengkorak putih serta tujuh buah
bintang emas Dia tertawa dingin dan kata: "Didalam batas dua
puluh jurus, tuan mudamu akan membikin pedang mu
terlepas" Ia menggoyang tombaknya, hingga benderanya berkibar
kibar. Thian Hong mendongkol, tetapi ketika ia ingat halnya ia
dipermainkan Tiong Hoa di Kwie ia Chung, hatinya ciut
sendirinya, akan tetapi ia sangat gusar ia mengertak gigi,
kedua matanyapun bersinar berapi. Di dalam hatinya ia kata:
"Jikalau aku tidak bikin kau mampus, tidak mau aku muncul
lagi dalam dunia Rimba Persilatan-" walaupun demikian- ia
tidak lantas maju. ia ingat halnya Pak Pit Lam Pouw, yaitu di
utara si orang she Pit dan di selatan si orang she Pouw. Pouw
Lim ini puteranya Pouw Liok It, dia pasti berkepandaian lihai,
maka tak mau ia berlaku sembrono.
Cuaca disaat itu yalah awan seperti menutup matahari
angin bersiur-siur, sekitarnya sunyi.
Pertempuran sudah lantas dimulai, Pouw Lim menyerang
jalan darah cengciok dari Thian Hong cinjin, Tombaknya
bergerak dalam tipu silat Naga gusar menggulung sungai,
Hebat serangannya itu. Thian Hong cinjin bersuara, "Hm" Pedang kirinya tidak
digeraki, hanya pedang kanannya. Dia hendak memapas
benderanya tombak lawan, pedangnya menabas dari samping
dengan tipu silat "Mementang sayap keluar dari rimba."
Ia sudah memikir, habis menyingkirkan bendera itu,
tombak hendak ditempel, supaya pedang kirinya
menggantikan menikam, merampas jiwa si anak muda.
Itulah pemikiran yang baik sekali, Hanya salah, belum lagi
ia memapas berhasil, tubuh Pouw Lim sudah berkelebat, tahutahu
orang lagi tertawa disebelah belakangnya
"Hidung kerbau, apakah kau masih tidak mau melemparkan
pedangmu," demikian teguran dingin lawan itu, yang dibarengi
sambaran angin keras kepada punggung.
Thian Hong kaget, Akan tetapi ia tabah dan gesit, segera ia
mencelat seraya memutar tubuhnya, Begitu ia berbalik, ia
membarengi membacok dengan sepasang pedang
mustikanya. Ia menyerang tetapi toh ia terkejut ia merasa seperti ada
yang memperlambat turunnya pedangnya itu.
"Aneh" pikimya, "Kenapa aku menemukan lawan seperti
pemuda di Kwie In Chung itu?" Karenanya, ia menambah
tenaga pada kedua tangannya.
Pouw Lim berlaku gesit dan cerdik, seagi lawan menekan,
ia berkelit kekiri, dari sini ujung tombaknya meluncur pula,
tetap mencarijalan darah ceng-ciok.
Dalam kagetnya, Thian Hong mundur, tapi terus ia maju
pula, menyerang dengan tipu silat "Naga melayang, burung
hong menari." selagi awan berkumpul dan angin bertiup itu,
pedang berkilauan, bayangannya menyamber-nyamber.
semua orang menonton dengan kagum, Hebat pertempuran
itu, semua berdiam. Tiong Hoa dan In Nio menonton sambil berdiam juga, akan
tetapi si anak muda dengan perhatian sepenuhnya, Disamping
sering melihat kearah Pouw Lim, ia saban-saban melirik
kearah keempat orang tua, Mereka itu sering mengawasi Nona
Pouw, rupanya mereka mengandung maksud tidak baik.
Pouw Keng sebaliknya tenang dan gembira. Tenang karena
ia menonton dengan tidak bergerak. Gembira sebab ia sering
bersenyum tandanya ia memuji kepada adiknya, ia seperti
tidak mengambil tahu kepada gerak-geriknya empat orang tua
itu. "Encie In," berbisik Tiong Hoa pada kawannya, "aku
merasa keempat orang tua itu bermaksud buruk terhadap
nona dan adik Pouw itu..."
"Memang mereka mengandung maksud buruk," kata si
nona, bersenyum, "Mereka masih jeri terhadap kita, dari itu
mereka ayal-ayalan menurunkan tangan-,."
Tiong Hoa mengawasi si nona, ia heran kenapa nona itu
dapat menerka demikian. Justeru itu, selagi ia melirik keempat orang tua, Tiong Hoa
melihat si orang tua bermuka hijau bertindak cepat kearah me
reka berdua, karena itu, sebentar saja dia sudah sampai.
"Saudara-saudara, kamu kakak beradik, gerak gerikmu luar
biasa sekali, apakah maksud kamu?" dia tanya.
Dia menerka tepat, pikir Tiong Hoa terhadap In Nio. ia
mesti menjawab pertanyaan itu, maka ia menyahut tawar
sebabnya kenapa gerak gerik kami aneh yalah lantaran ada
orang atau orang-orang yang jeri menemui kami, karena itu
terpaksa kami membawa sikap kami ini..."
Orang tua itu nampak merasa aneh.
"Tak apalah kalau begitu" katanya seraya ia lantas
mengundurkan diri pula seperti tadi, kembali ketempatnya.
Pertempuran sementara itu sudah melalui empat
belasjurus, sekarang teriihat Pouw Lim merubah cara
berkelahinya, Tombak hintang tujuh itu menjadi bertambah
lincah hingga Thian Hong cinjin menjadi terdesak. hingga dia
repot membela diri.Justeru karena terdesak itu. dia jadi gusar
sekali, saban-saban dia mengasi dengar kutukannya.
Pouw Liok It kesohor sebelum memasuki usia tigapuIuh
tahun, bisalah dimengerti juga yang ilmu silatnya telah diajari
kepada sepasang anaknya ini. Pouw Lim pun cerdas.
Belum-belum ia sudah ketahui pedang lawan pedang
mustika maka itu. siang-siang ia telah memikir caranya
melayani pedang itu- Yang pertama harus dijaga yalah agar
tombaknya tidak beradu dengan pedang, karena itu, licin
sekali ia mainkan tombaknya itu. guna selalu menyingkir dari
tab asan inilah yang membikin Thian Hong kewalahan
berbareng penasaran bahkan kemudian dia menjadi berkuatir
sebab semua percobaan selama belasan jurus itu tidak ada
hasilnya. Tepat selagi dua orang itu asyik bertarung seru, mendadak
keempat orang tua Kiong Lay Pay itu, berbareng bersama ke
dua pendeta gemuk dan kurus bergerak ke arah Pouw Keng,
mereka berlompat untuk menyambar si nona Nona Pouw
terkejut, dia berteriak. Berbareng dengan itu satu bayangan pun berkelebat ke
antara mereka Kesudahannya itu, keempat orang tua dan kedua pendeta
kena tertolak mundur hingga mereka berjumpalitan darah
mereka terasa mandek. hingga mereka berdiri melongo
dengan roman kaget dan nyali menggetar
Didepannya Nona Pouw sementara itu berdiri tegak
seorang dengan muka bertopeng yang memperdengarkan
tertawa dingin dan kata-kata ini: " orang yang menjadi ketua
Kiong Lay Pay toh melakukan perbuatan begini rendah,
sungguh aku yang rendah..."
Kata-kata ini belum sempat dilanjuti atau dia sudah lompat
kearah pertempuran di mana ternyata Pouw Lim tengah
didesak oleh Thian Hong cinjin yang sepasang pedangnya
merabu dengan tipusilat "Thian lo tee bong" atau. jaring langit
dan jala bumi." Segera terdengar suara pedang yang nyaring, lalu tubuh
imam itu terpental seperti terbang, sedang si anak muda lolos
dari bahaya maut. Pouw Lim sudah siap dengan serangannya yang mematikan
ketika ia melihat saudara perempuannya diserbu oleh enam
orang hingga dia menjadi sangat kaget, maka untuk dapat
menolongi saudara itu, ia membatalkan serangannya, ia mesti
memutar tubuh guna meninggalkan lawannya.
Justeru ia memutar tubuh itu, Thian Hong menggunai
ketikanya yang baik, dari terdesak dia merangsak. lalu dengan
sepasang pedangnya dia menyerang hebat. Maka tepat sekali
datangnya pertolongan si anak muda.
Tiong Hoa bergerak dan turun tangan dengan dua macam
tipu silat saling susul, Dia berlompat pesat dengan lompatan
"Kioe Yauw seng Hoei sip-sam sie?" serta pukulan sian Thian
Thay It Ciang," dengan begitu serangannya Thian Hong
terhalang dan si imam tertolak kaget hingga dia tak dapat
mempertahankan diri. Kembali orang semua orang terkejut,
mereka kagum dan heran- Thian Hong tidak terhalang seperti ke-enam orang itu,
setelah ia dapat menaruh kaki, dia sudah lantas lompat
kedepan si anak muda, hatinya panas bukan main, Dia
berkata dengan suara keren- "Tuan, sebenarnya siapakah
kau?" "Sebentar kau akan dapat tahu, tootiang, tak usah kau
terburu napsu" sahutnya.
Thian Hong heran hingga ia berpikir ia seperti pernah
dengar suara orang, yang ia rasa kenal, ia tidak usah berpikir
lama atau ia terkejut, Dibenak otaknya segera berbayang
wujudnya satu orang, saking kaget, ia mundur dua tindak.
Tiong Hoa mengawasi tajam. ia melihat sinar mata orang,
ia menduga imam itu masih belum mengenali ia. bahwa orang
tengah ragu-ragu, Karena itu, ia tertawa dingin pula terus ia
memutar tubuhnya guna bertindak kedepan keempat jago
Kiong Lay Pay. Empat orang tua itu masih berdiri diam mereka mengawasi
si anak muda, yang mcnghampirinya tindak demi tindak.
Sementara itu sang waktu berjalan, dari tengah hari
menjadi lohor. Hanya cuaca guram, seperti sudah magrib,
Angin keras tetapi mega bergumpal, Pohon-pohon me-ngasi
dengar suara berisik bagaikan alam bergusar.
Lantas kedua pendeta, si gemuk dan si kurus, berlompat
maju, guna menghalang di antara si anak muda dan keempat
orang Kiong Lay Pay. si gemuk berkata nyaring: " Kamilah
Coan-see Liang Hoed Kami ingin belajar kenal dengan kau,
tuan" Kata-kata itu disusul dengan dicekalnya hong-pian-san,
senjatanya yang istimewa untuk kaum pendeta. semacam
sekup. Tiong Hoa tidak jeri walaupun orang telah memperkenalkan
diri Coan-sce Liang Hoed berarti Dua Buddha dari soecoan
Barat, ia bahkan tertawa dingin dan kata menghina: "Tak
sesuai julukan kamu itu"
Si gemuk tidak menghiraukan, dia lantas menyerang
perbuatannya itu ditelan si kurus kawannya itu.
Tiong Hoa mendak sambil meluncurkan tangan Hoei Wan
eioe yang seperti bisa mulur, tepat ia menyambuti lengan
penyerang itu, atas mana si pendeta menjadi kaget, Tidak
keruan-ruan, lengannya kesemutan, tenaganya lenyap secara
tiba-tiba. Atau tahu-tahu senjatanya sudah berpindah ke
tangan si orang bertopeng.
"Celaka" dia berteriak saking kaget dan takut, Tapi dia
sudah terlambat Berbareng dia berteriak, berbareng dadanya
mendapat gempuran sambil menjerit, tubuhnya mental balik,
Celaka sekali tubuhnya itu justeru membentur hong pian-san
si kurus itu si kurus menjadi kaget, ia mencoba menyingkirkan
senjatanya, tetapi ia terlambat, berbareng tubuhnya terbentur,
tangannya nyeri seperti patah, dadanya tergempur, tubuhnya
mental sama-sama si gemuk.
Dengan mengasi dengar suara keras kedua nya roboh
sampai lama, tak dapat berkutik, seluruh gelanggang menjadi
gempar, hanya mereka bukan berseru girang, tetapi mereka
berseru kaget, lalu semua berdiri menjublak. semua orang
bingung dan tak mengerti. Belum pernah mereka menyaksikan
kehebatan semacam itu. Pouw Lim dan Pouw Keng melengak juga, bahkan hati
Pouw Keng menjadi kacau. Dia heran, dia bangun- Dia
menyukai si anak muda, dia pun cemburu.... Akhirnya ia cuma
bisa menghela napas. Pouw Lim seperti mengetahui hati kakak nya, Dia tertawa
dan kata perlahan- "Encie, aku mengerti kau. semuanya kau
serahkan padaku, kau jangan kuatir"
"Cis" berludah kakak perempuan itu, yang mukanya
menjadi merah. "Adik Lim, jangan ngoceh. Memangnya aku
kenapa?" si adik tertawa, dia tidak menjawab.
Nona itu malu dan mendongkol dia membanting-banting
kaki. Mata In Nio tak lolos dari tingkah nona itu.
Setelah semua itu, si orang tua berbaju merah kata pada
Tiong Hoa: "Siauwhiap. hebat tenaga dalammu, Apakah kau
salah seorang turunan dari Pak Pit"..."
Tiong Hoa segera memotong: "cianboenjin dari Kiong Lay
Pay, tak usahlah kau menerka-nerka asal usulku Dapat aku jelaskan, sebenarnya
aku tidak mau usil urusan disini, kalau toh aku turun tangan
barusan, itu disebabkan tak puas, aku melihat jalannya
perkara. Kenapa sebagai ketua kau membokong seorang nona
sebatang kara ?" orangtua itu likat, Dia memang salah, Dia
bungkam. Tiba-tiba Thian Hong cinjin maju menghampirkan, Dia
tanya: "Apakah kau bukannya orang yang aku ketemui di Kwie
In Chung, si orang she ?"
Belum orang menyebut she nya, Tiong Hoa sudah
memotong juga: "Tak salah syukur kau masih ingat " ia pun
segera menolak dengan kedua tangannya.
Thian Hong kaget, Ketika ia mengerti ancaman bahaya, ia
sudah tidak keburu berdaya, Mendadak napasnya sesak.
darahnya mandek, Matanya pun menjadi gelap ia berputus
asa, ia menduga jiwanya bakal melayang.
Tiba-tiba dadanya lapang pula, hingga ia dapat membuka
mata dan melihat dengan tegas. Untuk heran dan kagetnja, ia
mendapatkan sepasang pedangnya sudah pindah ke tangan
orang. Tiong Hoa berkata keras : "Kau telah aku totok tujuh jalandarahmu.
Lekas kau pulang ke Tay Pa san. Pasti bakal merasa
nyamannya tubuhmu terbakar sendirinya jangan kau ayalayalan,
nanti disini kau memberi pertunjukan dari
keburukanmu"

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mukanya si imam menjadi pucat, keringat nya mengetel
bagaikan air hujan, Toh ia merasa aneh, walaupun katanya ia
telah di totok tujuh jalan-darahnya, ia tidak merasakan
sesuatu yang luar biasa, Tapi ia percaya kata-kata si anak
muda, ia hanya percaya, totokan tentunya belum bekerja,
inilah sebabnya, ia menjadi takut sekali, ia menduga, kalau
totokan bekerja ia bakal merasa nyeri hari lewat hari,
tubuhnya bakal jadi panas, nanti darahnya bakal jadi kering
nanti ia meroyan....,. Dalam takutnya, ia mengawasi keempat
tertua Kiong Lay Pay. ia percaya mereka itu sanggup
menolongi ia dari totokan istimewa itu...
Keempat orang tua itu dapat menerka hati Thian Hong,
tetapi terpaksa mereka berdiam, Mereka jeri untuk si orang
bertopeng didepannya itu. Kalau perlu, mereka pikir, mereka
masih dapat melawan, hanya bagai mana nanti jadinya" Hoa
Kee Po sudah terkepung pihaknya Thian lam Kay Pang dan cit
Chee Boen dari Keluarga Pouw. Dapatkah mereka bertahan
guna Hoa Kee Po" Kalau sepasang orang bertopeng itu turun
tangan, celakalah mereka semua...
Karena itu, mereka berpura pilon untuk sinar mata
memohon bantuan dari imam itu, tak perduli si imam berada
dipihak Hoa Kee Po. Sementara itu Tiong Hoa merasa tak enak sendirinya,
Terlepasan ia menyerang Thian Hong itu. ia sudah menggunai
tipu silat Hoen Tek Jit Goat, atau Memetik Matahari dan
Rembulan dari Kioe Yauw seng sip-sam sie. itulah hebat sebab
Thian Hong tak dapat bertahan, ia ingat pesan mendiang
gurunya. Tapi mengawasi keempat orang tua, ia kata pada Thian
Hong, sambil tertawa. "Thian Hong tootiang, untuk menolong
diri sendiri orang tak berdaya, mana ada kesempatan lagi
Alap Alap Laut Kidul 9 Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak Hantu Santet Laknat 2
^