Pencarian

Bujukan Gambar Lukisan 10

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 10


untuk orang mengurusi kau?"
Mukanya keempatjago Kiong Lay Pay itu menjadi merah,
Mereka mesti menahan sabar. Terpaksa mereka berdiam
dengan hati sangat mendongkol.
Thian Hong putus asa, maka itu, habis mengawasi Tiong
Hoa. ia putar tubuhnya untuk ngeloyor pergi, hingga ia lenyap
diantara angin, pasir dan debu...
Akhir-akhirnya si orang tua menghampirkan Tiong Hoa satu
tindak. Ia mengawasi anak muda itu dengan ia
memperlihatkan senyumannya ia kata: "Siauwhiap. inilah
pertanyaan terakhir dari aku si orang tua. Aku ingin sekali
ketahui maksud siauw-hiap datang ke Hoa Kee Po ini, sukakah
kau menjelaskannya?"
Tiong Hoa menjawab sabar: "Bukankah aku yang muda
sudah membilangnya" Kebetulan aku lewat disini, ingin aku
menyaksikan wajah sekalian orang gagah."
"Jikalau begitu, aku si orang tua mau minta siauwhiap.
jangan campur disini, sudilah siauwhiap nonton saja dari
pinggiran?" Hebat untuk si baju merah, sebagai ketua satu partai
berkenamaan, ia mesti bicara demikian merendah. Tiong Hoa
mengasi lihat sikap tawar.
"Hanya satu hal aku yang muda belum jelas," ia bilang,
"Apakah ciangboenjin suka memberi keterangan padaku?"
Si orang tua melengak. Tapi tak dapat ia berdiam lama.
"silahkan siauwhiap tanya." sahutnya, "Nanti aku si orang
tua menjawab dengan sebenar-benarnya."
Tiga orang lainnya serta Kim Pak sam Mo heran bukan
main, mereka mengawasi sambil berdiam saja. Mereka juga
tidak mengerti kenapa orang tua itu menjadi demikian lemah.
Mereka tidak tahu ketua itu jeri terhadap dua orang Hok dan
in serta Thian Yoe sioe. Lie Tiong Hoa sudah lantas mengajukan pertanyaannya, ia
berlaku sabar, bicaranya pun perlahan.
"Aku yang rendah tak tahu apa maksudnya Hoa Kee Po
membangun loeitay ini?" demikian pertanyaannya itu.
Si orang tua berbaju merah belum sempat menjawab atau
dari sebelah barat daya dari atas sebuah pohon yang besar
dan lebat terdengar tertawa yang nyaring yang diikuti katakata
terang jelas ini: "Anak. sudahlah tak usah kau campur banyak urusan lagi.
Didalam kalangan Rimba Persilatan, banyak sekali teka tekinya
yang sulit untuk diterka jitu Budi dan permusuhan yalah soal
sulit, maka janganlah kau mendesak orang "
Hanya sejenak terhenti suara itu, segera terdengar pula
lanjutannya: "Hong Koen aku si orang tua suka memberi
nasihat padamu supaya urusan hari ini dihentikan sampai
disini, Kalau kamu memikir kitab Lay Kang KeenPouw, kenapa
kau tidak mau pergi ke Inlam untuk berkunjung dan
memintanya sendiri" Kenapa kau menggunai ini macam akal
muslihat ?" Kapan Tiong Hoa mendengar suara itu, dengan lantas ia
menyerahkan pedang rampasannya kepada ln Nio, tanpa
berayal sedetik jua ia lompat, untuk terus lari pesat ke arah
pohon itu. Dalam sekejap saja ia sudah sampai diatas pohon
tetapi ia kecele. Tak ada orang disitu, tak nampak bayangan juga. Cuma
pada sebuah cabang ia melihat di pantek paku sehelai kertas
tulis putih yang bertuliskan sebagai berikut : "semenjak di Yan
Kee Po terus aku mengikuti jejakmu, Begitulah di Kee Leng
aku melihat kau berada bersama gadisnya Losat Kwie Bo,
itulah satu pasangan yang setimpal, senang aku melihatnya.
Aku dengar Losat Kwie Bo terjatuh didalam tangannya Cit
Chee Cioe. untuk sementara, baiklah kau jangan beritahukan
hal itu kepada anaknya nyonya itu, kau pun harus bertindak
dengan melihat gelagat. Aku masih mempunyai urusan, dari
itu buat sementara kita berpisah disini. tunggu saja di Inlam
nanti, disana nanti kita bertemu pula."
Seperti ia duga maka tanda tangan surat itu yalah Thian
Yoe sioe, Maka itu, rupa-rupalah perasaannya anak muda ini.
Hatinya terkesiap kapan ia ingat guru itu senantiasa menguntit
ia. Coba ia nyeleweng, ia bersyukur bahwa ia selalu berjalan
lurus. Dilain pihak. la girang guru itu demikian memperhatikan
dirinya, Hanya akhirnya ia menyesal sebab tak dapat ia
bertamu dengan guru yang baik budi itu.
Dengan masgul ia turun dari atas pohon, untuk lari balik ke
panggung loeitay, ia tiba dengan mendapatkan medan
pertempuran menjadi sepi, cuma tinggal In Nio seorang, yang
lagi berdiri menjublak. Terlalu asyik ia diatas pohon, sampai tak pernah ia menoleh
kearah panggung, si nona terus mengawasi ia semenjak ia lari
pergi, sampai ia kembali itu. Mata si nona mendelong.
"Kemana mereka?" ia tanya, heran, sekarang si nona bisa
tertawa, "Thian lam Kay Pang telah menjanjikan empat jago
Kiong Lay Pay serta Kin pak sam Mo untuk nanti bertemu pula
pada tiga bulan kemudian-" sahutnya.
"Tempat pertemuan yalah di Chonggouw, katanya untuk
menyelesaikan urusan mereka, hanya entah urusan apa itu.
Turut lagu-suaranya pihak Kay Pang, rupanya urusan suatu
sakit hati yang besar sekali." Berkata sampai di-situ, si nona
menatap dengan sinar mata berarti Terus ia menambahkan "si
Nona Pouw tadi mengawasi aku, mulutnya berkemik, tapi tak
jadi dia bicara, Dia ragu-ragu sampai tiga kali berkelemik,
Pouw Lim sendiri menggoyang benderanya keudara sampai
tiga kali, entah apa maksudnya, habis itu dia memutar tubuh
berlalu bersama saudaranya itu. Tahukah kau apa yang Pouw
Keng hendak bilang?"
Tiong Hoa menggoyang kepala meskipun ia percaya, Nona
Pouw tentunya hendak menghaturkan terima kasih yang dia
telah ditolong, ia pun mentaati pesan gurunya akan tidak
memberitahukan In Nio perihal ibunya yang tertawan orang.
"Aku tidak dapat menerka," sahutnya, barangkali...barangkali."
In Nio tertawa mendengar orang cuma menyebut
"barangkali" berulang-ulang tapi ia menyebabkan si pemuda
merah mukanya. syukur pemuda itu mengenakan topeng.
"Kemana perginya keempat jago Kiong Lay serta Kin Pak
sam Mo?" ia tanya. "Mereka pergi keluar Hoa Kee Po yang
lainnya semua mengikuti mereka itu." "Aneh Aneh" "Aneh
kenapakah?" "Aneh sikapnya Kin Pak sam Mo. Mereka agaknya tenang
seperti orang yang menantikan saja kesudahannya
pertandingan." si nona mengawasi, ia tertawa.
"Sudah, mari kita pergi" katanya, "Tak dapat kita
perdulikan urusan lain orang"
Nona ini menarik tangan si anak muda buat pergi ke istal
dimana mereka menuntun keluar kuda mereka.
"Orang diatas pohon barusan itu tentulah gurumu?" tibatiba
si nona tanya. "Hitunglah separuh guruku," sahut Tiong Hoa. "siapakah
dia?" "Thian Yoe sioe,"
Si nona melengak. tapi la nampak girang.
"Turut apa yang aku tahu, Thian Yoe sioe tak menerima
murid" katanya, "Bagaima caranya maka ia menerima kau separuh-
separuh?" Nona ini sangsi.
"Jadi encie menyaksikan aku separuh murid Thian Yoe
sioe?" ia menegasi. In Nio tersenyum.
"Yah, setengah percaya, setengah tidak." Tiong Hoa tidak
mengerti. "Encie, apa artinya ini?" Nona itu tertawa.
"Kau bertemu dengan gurumu itu atau tidak," ia balik
menanya. Tiong Hoa menggoyangi kepala.
Si nona pun berdiam, tetapi ia gembira. Lalu ia seperti
memikiri sesuatu. Ketika itu diluar, dialas rumput di jalanan, ditepian kali,
terlihat tanda-tanda bekas pertempuran tanda
penyerangannya orang-orang Pouw Liok It terhadap Kea Kee
Po. Dipuncak gunung disebelah depan itu waktu terlihat berlarilarinya
tiga bayangan tiga orang. Mungkin merekalah Kin Pak
sam Mo, ketiga pemilik dari Hoa Kee Po. Tiong Hoa heran
kenapa sam Mo dan Kiong Lay soe sioe, yalah keempatjago
tua Kiong Lay Pay itu. agaknya baik dimulut, lain dihati.
Selagi Tiong Hoa berpikir demikian, In Nio dibikin heran
oleh hubungan ia dengan Thian Yoe sioe, Tiong Hoa tak
menjelaskan secara memuaskan kenapa dia disayangi Thian
Yoe sioe hingga dia diajari silat sedang Thian Yoe sioe tidak
menerima murid. Pemudi ini juga tidak mengerti hubungan diantara dia.
Tiong Hoa dengan nona Keng, Terang itu mencintai Tiong
Hoa, tetapi Tiong Hoa sendiri seperti terbenam dalam keraguraguan.
Selagi muda-mudi itu berangkat maka di dalam Hoa Kee Po
tak sepuluh tumbak terpisahnya dari lauwteng, didalam
sebuah rumah kecil, tergantung gambar lukisan "Yoe sian
Goat Eng" yang seperti membikin Tiong Hoa memikirkannya
sampai tak dapat tidur. Rumah kecil itu, rumah papan tertutup atap ada ruang atau
kamar dimana Kin Pak sam Mo biasa melatih ilmu tenagadalamnya,
Rumah itu tak menarik untuk dipandang. Tiong Hoa
menduga gambar mesti dipajang di kamar yang mewah, ia
tidak menyangka kepada rumah kecil itu.
Karena pandangannya ini, ia telah mengasi lewat, ia jadi
mensia-siakan ketikanya yang baik. Hingga ia membutuhkan
banyak waktu untuk mencari dilain tempat... Bukankah ini
peruntungan" ooooo Jilid 18 : Urusan ibunda In Nio
BAB21 DI WAKTU fajar selagi kabut tebal, Tiong Hoa bersama In
Nio berada didalam sebuah rumah penginapan kecil di luar
kota kecamatan Tongcoe, Mereka keluar dari kamar mereka,
untuk dipapak jongos yang muncul dari istal menuntun kuda
mereka, sembari tertawa manis, jongos itu memujikan-
"Jiewie, semoga jiewie banyak senang didalam peejalanan "
Muda-mudi itu bersenyum, Mereka lompat naik ke atas
kuda mereka, yang terus mereka kasijalan periahan-lahan,
Tindakan kaki kuda mereka itu memecahkan kesunyiannya
sang pagi. Mereka jalan ditanah pegunungan. Dikiri dan kanan ada
ladang-ladang gandum dan terigu, ada bunga-bunga hutan-
Mereka berjalan peria han, sebab tadi malam hampir mereka
tak tidur sama sekali, Masing-masing mereka ada pikirannya
sendiri. Mereka merendengkan kuda mereka sambil
membungkam sampai akhirnya si anak muda membuka juga
mulutnya. "Encie In, mengapa kau masih menyangsikan aku bukan
murid Thian Yoe Sioe?" demikian pertanyaannya.
In Nio melirik. "Benarkah kau tidak ketahui sebabnya?" ia balik menanya,
"Baiklah kau tunggu saja nanti, sampai telah bertemu ibuku,
kau bakal ketahui, itu waktu barulah aku percaya habis
padamu, Kenapa kau melit menanyakan ini?" Meskipun ia
menanya demikian, si nona bersenyum.
Tiong Hoa berdiam, ia berduka untuk si nona. Kalau dia
tahu ibunya berada di-tangannya Cit Chee Cioe tidak nanti dia
demikian gembira.... Perjalanan dilanjuti dengan Tiong Hoa tidak membicarakan
urusan Rimba persilatan ia mencoba membikin gembira si
Nona. Tepat tengah hari, mereka sampai di-seberangan sungai
ouw Kang, Ditepian, dimana ada pohon-pohon yaniioe,
tampak tak sedikit orang, ada pedagang, ada orang Kang
ouw, ada juga yang berbicara berombongan dua-tiga orang.
Tidak seberapa jauh dari tepian, muda-mudi itu lompat
turun dari kuda mereka. segera mereka menarik perhatian,
banyak mata diarahkan terhadapnya, sebab merekalah
pasangan yang setimpal, s embab at satu padalain.
Mereka sebaliknya tak menghiraukan orang banyak itu,
Mereka berjalan terus sampai ditepian.
Tiong Hoa heran tak mendapatkan perahu eretan-Air kali
itu deras. Mereka juga heran mendapatkan mereka menarik perhatian
banyak orang itu. Disaat Tiong Hoa hendak menyapa orang untuk berbicara,
tiba-tiba ia didului seorang usia pertengahan yang tadinya
duduk nyender pada sebuah pohon sambil matanya
dimeramkan. Dia berbangkit dia mengawasi tajam. la la sambil
bersenyum dia menanya: "Rupanya Jiewie ingin lekas-lekas
nyeberang?" Tiong Hoa mengangguk ia melihat orang bukan sembarang
orang. "Sebenarnya, kami tak ingin lekas menyeberang." ia
menjawab, "Aku hanya heran tidak ada orang menyeberang
disini, orang hanya pada menanti saja, pantasnya disini ada
perahu eretan-" "Pantas kau heran, tuan-" kata orang itu. "sebenarnya
disini ada dua perahu eretan-nya. Hanya semua perahu itu miliknya Kim Pak sam
Mo. Kemarin ini Kim Pak sam Mo ada yang ganggu, lantas hari
ini perahu-perahunya tidak muncul. sudah ada beberapa
orang yang pergi kehilir melihatnya."
"Kalau begitu kita tentu bakal menanti lama disini," kata
Tiong Hoa. "Dihilir itu di mana ada penyeberangan?" orang itu
bersenyum. "Dihilir sana air terlebih deras lagi dan juga banyak
wadasnya." Kata dia, "Tak pernah aku dengar ada yang
membilang disana ada penyeberangan- Baiklah tuan sabar
saja, sebentar juga mereka itu kembali atau kalau tidak biar
aku yang mendayakannya."
"Kau baik sekali, saudara," kata Tiong Hoa, "Dapatkah aku
mengetahui she dan nama saudara yang mulia ?"
"Bukankah kita manusia bersaudara di empat penjuru
lautan?" orang itu menjawab bersenyum, " Kenapa kita tak
dapat saling tolong " Aku Kong Peng soei dari Hong- hoa- cioe
di Hoa- kie tetapi sekarang dalam perjalanan pulang dari
soecoan Barat di mana aku mempunyai urusan pribadi, Aku
senang bertemu dengan jiewie disini, sudikah jiwie
memperkenaikan nama jiewie?"


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong Hoa tidak kenal nama Kong Peng soei tetapi karena
orang menanya ia menjawab : "saudara Kong aku yang
rendah Lie Cie Tiong dan ini kakakku Cek In Nio."
Mendengar jawaban kawannya In Nio tertawa.
Peng soei mengawasi kagum ia nampak tersengsam, akan
tetapi lekas-lekas ia mengubah sikap menjadi seperti biasa
pula, Hanya didalam hati, ia kata : "Wanita ini cantik luar
biasa, tepat pemuda ini yang menimpalinya."
In Nio memandang terus pada Peng soei, lalu ia ingat suatu
orang. "Aku mendengar kabar di Hong- hoa- cioe di Hoa-kie ada
tinggal menyendiri orang bernama Keng Kioe Houw." katanya
perlahan "Dialah yang dijuluki Tok sie sim Liong dan namanya
tersohor di Lam Kiang, apakah ia ada hubungannya dengan
kau, tuan?" "Maaf nona, ialah ayahku yang rendah." sahut Peng soei.
"Ayahku itu tinggal menyendiri tetapi ia gemar bergaul,
umpama Jiwie pergi ke Koen yang. sukalah aku menemaninya.
ingin sekali aku berlaku sebagai tuan rumah."
Tiong Hoa mau membuka mulutnya untuk menampik atau
ia batal karena ia lantas melihat belasan orang lari mendatangi
dari arah hulu sungai, Kedatangan mereka itu menarik
perhatian banyak orang lain. Beberapa diantara mereka itu,
yang bertubuh besar dan membekal senjata dipunggungnya,
langsung lari pada Peng soei. Mereka itu pada mandi keringat
yang berkata: "Siauw-chungcoe," satu memberi hormat dan dua buah
perahu sudah karam membentur wadas di tempat lima lie
dihilir itu, empat awak perahunya terbinasa bekas hajaran
tangan." Peng soei mengerutkan alis, nampak ia berduka.
"Kalau begitu pergilah kamu menebang pohon untuk
membuat getek." katanya, ikatlah biar kokoh supaya tak
sampai nanti buyar terlepas tergempur arus."
"Kelihatannya kita mesti menanti pula sekian waktu." kata
Peng soei pada dua kenalannya, "Di depan itu ada rumah
makan kalau tidak. sekarang juga kita dapat berjamu.."
"Terima kasih," kata Tiong Hoa. "sama saja kita bicara
sambil berdiri disini."
In Nio tertawa, ia menanya: "Nama ayah mu yang mulia itu
tuan, telah menggempar kan wilayah Lam-kiang dengan ilmu
silatnya yang dinamakan sin Liong ciang-sie. Justeru nama itu
tersohor sekali, kenapa sekarang ia telah mengundurkan diri?"
Kembali terlihat Peng soei mengerutkan alisnya. "Itu....
itu..." katanya- lantas ia berhenti.
Nampak ia sangat masgui, ia tidak meneruskan, hanya
pandangan matanya diarahkan kelainjurusan, kelihatan ia tak
tenang. Tiong Hoa memandang kearah pandangan orang, ia
melihat tak jauh ditepian, dibawah pohon yanglioe, ada enam
orang dengan pakaian sings at warna hitam, terang mereka
itu orang-orang Kang ouw, dan mereka lagi mengawasi kearah
nya Peng soei. Enam orang itu rupanya melihat Tiong Hoa memandang
kearah nya, lalu terdengar yang satu berkata nyaring: "Mereka
itu lagi membikin getek. mari kita lihat" Lantas empat
antaranya berlalu, tinggal dua yang masih berdiri tetap.
Melihat itu, Tiong Hoa heran-"siapa mereka itu?" ia tanya
Peng soei. orang yang ditanya itu melihat kebawah, kelihatannya ia
lagi berpikir keras, ia mau menjawab tetapi gagal.
Tiong Hoa memandang In Nio, ia mendapatkan si nona
bersenyum, terus nona itu mengedipi mata, memberi isyarat
supaya ia jangan menanya lebih jauh.
Rupanya Peng soei mendapat lihat sikapnya muda-mudi itu,
mendadak ia tertawa. "Maaf, jiewie." katanya "Tentang ayahku mengundurkan
diri, panjang untuk menutur. Dulu hari itu ayahku menjadi
orang Rimba Hijau tapi dialah yang disebut penjahat yang
mengenal prikepantasan, hingga dia tidak mau melakukan
apa-apa yang tak halal. sudah selama duapuluh tahun di
selatan, disamping pihak lurus, ada empat yang membangun
diri dalam kelompok masing-masing, yang satu dengan la ih
bermusuhan dan sering bentrok..."
"Siapa empat kelompok itu?"
"Merekalah cit-chee-cioe Pouw Liok It dari Hek Liong Thoa."
jawab Peng Soei, yang sekarang suka memberi
keterangannya, "Hoa-sie Sam Pa dari Jiauw Liong San di
Siong-kam, Tok Bak Lao Koay cian Yang dari In Boe San, dan
orang tua ku. Tiga jago Keluarga Hoa itu menjagoi di Koeicioe Utara dan
Pouw Liok It di Koen-beng. Mereka itujauh, mereka tak ada
urusannya dengan kami. Adalah In Boe San, yang letaknya
dekat dengan Hong hoo-eioe, yang seperti berdiri berhadapan.
Pada duabelas tahun yang lalu kita bentrok untuk satu
urusan, Terus berlarut-larut, ciam Yang mendatangi ayahku,
keduanya bertempur setelah seratus jurus, ayahku kena
terhajar satu kali. Karena itu ayah lantas mengundurkan diri.
Meski begitu, permusuhan belum berhenti, diam-diam mereka
itu masih mendendam, Enam orang itu yalah orang-orangnya
Tok Bak Lao Koay." "Apakah mereka memikir tak baik terhadap kau saudara
Kong?" "Inilah sulit buat aku mengatakannya. sekarang ini
memang jaman kacau untuk kaum Rimba Hijau, maka juga
banyak piauwkiok bekerja secara diam-diam, kalau melindungi
piauw, mereka bekerja secara menggelap, itulah yang disebut
piauw gelap untuk menyingkir dari mata umum." ia menunjuk
ke tepian dimana ada pohon yang teduh ia tambahkan:
"Lihatlah itu lima saudagar, Merekalah kawanan piauwsoe
yang menyamar kelihatan mereka berduka. Disana pihak In
Boe san lagi membuat getek. Kalau mereka naik getek In Boe
san, mereka seperti mengantari diri kedalam mulut harimau."
Tiong Hoa memandang ke arah yang di tunjuk itu, benar
ada lima saudagar lagi bicara kasak-kusuk roman mereka lesu.
In Nio tertawa dan kata: "saudara Kong kenapa kau tidak
mau ajak mereka naik di dalam getekmu?"
"Itulah sulitnya." Peng soei jawab. "kalau aku mengajak
mereka, lantas pihak In Boe san akan menyangka kami
hendak menelan piauw yang diarahnya itu, dan itu bisa berarti
bentrokan pula, Memangnya mereka sudah curiga."
"Walau saudara tak membantu, peristiwa toh bakal terjadi
juga," kata Tiong Hoa. "Biarkan saja, saudara jangan
menghiraukan nya. Buat apa saudara berduka "
Lagi-lagi alis Peng soei berkerut.
"Justru tak dapat aku membiarkan. Kelima piauwsoe itu
tidak kenal aku tapi pihak kami harus melindungi mereka.
Ketua mereka sudah meminta kami melindungi piauw gelap
itu, sudah sekian lama kami mengikuti secara diam-diam.
sekarang..." Tiong Hoa tertawa. "Saudara, jikalau kau membutuhkan bantuan kami,
bilanglah," kata ia. "Tak usah saudara ragu-ragu..."
Mukanya Peng soei menjadi merah, "Memang aku memikir
untuk minta bantuan jiewie," ia kata, "tapi sebab kita baru
berkenalan didetik ini, berat buat aku membuka mulut."
Tiong Hoa tertawa pula. "Saudara Keng, tolong kau undang kemari kelima piauwsoe
itu," kata ia. "Sekarang ini aku bersedia akan
bertanggungjawab segala galanya" semangat Peng soei jadi
terbangun. "Baik" katanya: Terima kasih, saudara"
Ia bertindak kearah kelima plouwsoe.
In Nio tertawa, ia memandang kawannya. "Adik Hoa,
apakah ini bukan namanya usilan?" kata ia.
Hati Tiong Hoa bercekat. "Encie In benar," pikirnya, "ia tidak mengerti kenapa
selama ini pikirannya gampang tergerak. Bukankah pohon
besar mudah mendatangkan gempuran angin" Maka ia lalu
memikir jalan untuk menyingkir dari bentrokan."
"Kalau begitu, encie, kita baik lepas tangan," katanya, "Mari
kita mencoba menyeberang dengan mengandal ilmu kita Teng
Peng Touw soei" Nona Cek kembali tertawa.
"Sekarang sudah tak dapat" katanya, " Kata- kata itu harus
dihormati siapa suruh kau lancang memberikan kata-katamu"
sekarang tak dapat kita menariknya pulang" Nona ini ingat
suatu apa, mukanya menjadi merah. Tiong Hoa heran, ia
mengawasi ia merasa si nona manis sekali.
Melihat ia ditatap, In Nio likat, "Apa kau belum pernah
melihat aku?" ia menegur, "Kenapa kau mengawasi aku?"
Anak muda ini tertawa. "Encie In, kau sangat cantik" sahutnya.
"Lihat itu mereka dengan mendatangi" katanya, Jangan kau
ngoceh saja," Tiong Hoa berpaling.
Kong Peng soei terlihat mendatangi bersama lima piauwsoe
yang menyamar sebagai saudagar-saudagar itu, Dilain pihak ia
mendapatkan kedua muridnya Tok Bak Lao Keay mengawasi
gusar kepada Peng soei dia seperti mengertak gigi. In Nio
tertawa dan kata: "Rupanya bakal datang hal yang
memusingkan kepala" "Biarlah" kata Tiong Hoa, "Biarlah kalau mereka berani
mencari gara-gara, Kalau kau sangsi, kau lihat saja"
Peng soei sudah lantas tiba, ia mengajar kenal kelima
piauwsoe, kelima orang Auw coe ong Teng pioe, Toan-Hoan-
Too cie Goan Heng, Hek-see ciang LoBeng, Hwee-kap-coe
Teng Thong, dan Kim cian-piauw Gouw siang Ta.
Lima piauwsoe itu orang Kauw ouw ulung melihat si nona
bersama sepasang pedang-nya, mereka merasa pasti nona itu
liehay. Sebaliknya, melihat Tiong Hoa, mereka heran, orang muda
dan tampan, wajahnya selalu seperti berseri-seri sedang
dandanannya mirip pelajar yang lemah- lembut. sioe-cay
semacam ini dapat bersahabat dengan puteranya tok sie sia
Liong, si Naga sakti jaman Kacau
Peng soei sedang bingung pikirannya, diwaktu ia mengajar
kenal muda-mudi itu, ia lupa menyebutkan nama mereka, ia
memperkenalkan saja sebagai Lie siauwhiap dan Cek Liehiap
Kalau tidak. mereka berlima pasti mengetahui nama pemuda
itu yang di Kimleng telah mengangkat nama.
Peng soei dapat menduga hati kelima piauwsoe itu, ia
tuannya Lie siauwhiap ini, kata tertawa: "Dengan bantuan
pasti kamu terjamin Aku telah memesan saudara Auw yang,
sekarang hatiku lega."
Belum berhenti suaranya pemuda itu, atau terdengar
tertawanya dua murid Tok Bak Lao Koay, yang pun berkata
jumawa: "omong besar belaka ikan didalam jala, mau lolos
pun Tak dapat" Yang satu pun kata: "Kalau lolos, percuma kita hidup dalam
dunia Kang ouw" Teng Thong bertabiat keras, gusar dia mendengar ocehan
orang itu, hampir dia mendamprat baiknya Cie Goan Hong
keburu mencegah. Dua orang itu tidak ngoceh terus, hanya mereka
meluncurkan sesuatu keudara, atas mana terlihat sepasang
panah- api, yang mulanya memberubus meletup, meluncur
ke-seb erang, sinarnya merahnya muda.
Di tepian ada banyak orang lainnya yang mau nyeberang,
mereka itu lantas kesak-kusuk. roman mereka bergelisah.
Dua orang itu demikian jumawa, In nio menjadi
mendongkol, tahu-tahu ia sudah lompat sampai dibelakang
mereka itu, yang terpisah belasan tombak. Peng soei dan
kelima piauwsoe terkejut, heran dan kagum.
"Kamu terlalu jumawa" kata si nona, selagi orang belum
tahu tibanya itu. "Di-depan nonamu kamu banyak lagak.
apakah kamu menyayangi mati kurang lekas?"
Suara itu dingin, kedua orang itu kaget, Mereka heran akan
melihat si nona tak di kenal.
In Nio melihat dua orang dengan roman tak mengasih.
yang dikiri usianya kira empat puluh lebih, matanya merah
rambutnya hitam panjang turun ke dada, yang lainnya
beroman bengis, usianya sudah lanjut, kedua telinganya tak
ada. Dengan roman keren dan suara bengis, dia lantas tegur
mereka itu. "Kamu dengar atau tidak?" orang yang dikiri itu
menyeringai. "Nona kami tidak mengganggu kau, kenapa kau cari
penyakitmu sendiri?" dia menegur, "Baiklah kau ketahui kami
tak dapat dibuat permainan"
Cuma didepan Tiong Hoa si nona lemah-lembut, kalau
tidak. tidaklah ia mendapat julukannya, maka juga sepasang
alisnya lantas terbangun.
"Kamu tidak dapat dibuat permainan apakah nonamu
dapat?" kata dia tertawa dingin, "Aku hendak tanya kamu
kenapa kamu menggunai panah kamu itu?" orang itu tertawa.
"Nona pertanyaanmu berlebihan" sahutnya, " Untuk kaum
Kang ouw umum saja melepaskan pelbagai isyarat panah
burung darah atau lainnya inilah urusan kami tak berhak nona
mencampur tahu. Rupanya nona belum kenal kita siapa?" ia
melembungkan dada, dengan terkebur, ia menambahkan.
"Aku yang rendah Mo Thian Lim yang kaum Kang ouw
menyebutnya Kim Pian sin Tiauw" ia menunjuk kawannya
yang tak ada telinganya, untuk berkata pula: " Inilah jago luar
biasa dari Kwiesay, Cek Cioe Kim- Liong Koh lam Peng
Bukankah kau telah mendengarnya, nona?"
"Aku belum pernah dengar" sahutnya, "sekarang nonamu
mau pinjam serupa barang dari kamu tuan-tuan entah kamu
suka meluluskan atau tidak?" Mo Thian Lim melengak tapi
lantas dia bersenyum. "Nona mau pinjam barang apa" Asal yang kami sanggup
suka meluluskan." ia ketarik kepada nona yang cantik manis
ini, maka suka ia melayani bicara. Mendadak si nona kata
bengis: "Aku mau pinjam matamu Aku perlu dengan itu"
Dua orang itu kaget hingga muka mereka berubah, Thian
Lim tertawa dingin terus ia meluncurkan sebelah tangannya
keiga kanan si nona. orang bergerak sebat, lebih sebat In Nio.
Thian Lim menyerang sasaran kosong, Lantas ia merasa
angin bersiur dibelakangnya. ia kaget, segera ia mendak.
tubuhnya terus berputar. Tepat ia berbalik tepat ke dua jeriji si
nona meluncur kearah kedua matanya, Maka ia kaget sekali.
Justeru itu Lam Peng berseru dan menyerang, atas mana si


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nona berkelit. Dengan begitu si orang she Mo ketolongan. Dia
menjadi gusar, segera dia mengeluarkan senjata nya yang
berupa cambuk lemas yang di simpan d iping gangnya. Lantas
dia berdiri berendeng dengan kawannya. In Nio gusar.
"Segala manusia tidak tahu malu " ia membentak, "Kali ini
nonamu mau mengambil matamu, tak dapat tidak, Atau aku
bukannya Cie Cioe Losat"
Mendengar julukan itu, Thian Lim dan Lam Peng terkejut,
roman mereka ketakutan, Lam Peng membuka matanya.
"Mohon tanya nona," tanyanya, " kau pernah apa dengan
Losat Kwie Bo?" Tak sudi In Nio menyebut nama ibunya. Kalau ia menyebut,
mungkin Thian Lim mundur teratur, inilah ia tidak kehendaki.
Lebih-lebih didepan Tiong Hoa, tak sudi ia menyebutnya, Maka
ia kata dingin " Nona mu tak kenal Losat Kwie Bo sekarang
kau korek matamu dan menyerahkannya sendiri, supaya
nonamu tidak usah bekerja lagi" Lampeng habis sabarnya.
"Saudara, mari maju" ia mengajak Thian Lim. ia
mendahului menyerang: tangan kanannya kepusar si nona,
tangan kirinya mencari jalan darah auw-kioe nona itu.
Thian Lim juga bekerja, ia menyerang dengan cambuknya,
dengan jurus "Naga mendekam ditengah udara, ia mengarah
pinggang si nona. Dua orang itu Iiehay, tapi In ^io melayani sambil tertawa,
Dengan gesit ia berkelip lalu ia main berkelit terus-terusan,
hingga ia bagaikan seekor kupu-kupu beterbangan diantara
kedua penyerangannya itu.
Tiong Hoa menonton sambil menggendong tangan, sedang
penonton-penonton lainnya terbengong kagum dan heran.
Dengan cara berkelahi nya itu, In Nio membikin musuhmusuhnya
penasaran dan bingung, sebab semua penyerangan
mereka itu sia-sia belaka tak ada hasilnya, sebaliknya, mata
mereka berkunang-kunang dan kepala mereka pusing.
Setelah lewat banyak jurus, mendadak terdengar si nona
berseru nyaring, lantas kedua pihak berpisah satu dari lain,
seruan itu dibarengijeritan dari kesakitan dan tubuh Mo Thian
Lim dan Keh Lim Peng roboh terguling, untuk bergulingan
seraya tanya mereka dipakai menutupi muka mereka, dari sela
jari-jari tangan mereka itu nampak darah mengucur.
Setelah memisahkan diri, Nona Cek berdiri dengan
tangannya memegang biji mata yang berlumuran darah, ia
pandang itu, terus ia lemparkan ketanah, kemudian dengan
tindakan tenang, ia menghampirkan Tiong Hoa, untuk berdiri
disisinya, ia tertawa dan bersenyum berseri-seri.
Tiong Hoa mengerutkan kening.
"Encie, kau terlalu keras," katanya.
"Kau apakah kau tak sama?" si nona membaliki.
Thian Lim dan lam Peng masih menjerit-jerit kesakitan, tak
tega mendengarnya akhir nya Tiong Hoa lompat kepada
mereka itu, untuk menotok. Dengan begitu dalam sekejab
saja, rintihan mereka berhenti tubuh mereka tak berkutik pula,
sebab jiwa mereka telah dikirim pergi kelain dunia, setelah itu,
dengan mengangkat bergantian si anak muda melemparkan
mayat mereka ke-dalam kali. Muncratlah air sungai, lalu
lenyaplah kedua tubuh. Tiong Hoa menjublak mengawasi air hanyut, ia si anak
pembesar negeri, yang tadinya bertubuh lemah, ia sekarang
menjadi seorang pembunuh. Ia seorang terpelajar tapi
sekarang satujago Rimba Persilatan, siapa sangka"
Ia bercita cita mendirikan rumah-tangga, untuk hidup
merdeka disuatu tempat sepi yang indah, untuk dikawani si
cantik- manis, buat bersyair... Maka ia teringatlah kepada Ban
In. Yan Hoe.... kepada Pouw Keng... kepada In Nio disisinya
ini. Pemuda ini baru sadar ketika ia merasai tangan halus
menahan pundaknya. ia menoleh dengan perlahan, untuk
dipakai wajah cantik yang bersenyum manis.
"Adik Hoa, kau pikirkan apa?" Muka si pemuda menjadi
merah, "Tidak" sahutnya, gugup, ia lantas melihat kelilingan,
maka ia mendapatkan semua mata diarahkan kepadanya.
Kembali mukanya bersemu merah. Habis itu, ia
menghampirkan Kong Peng soei.
"Nona Cek gagah sekali." kata Peng soei.
"Hanya perkara menjadi perkara, aku kuatir si siluman tua
mata satu tak nanti mau mengerti...."
Mendengar itu in Nio tertawa nyaring.
Tiong Hoa tidak membilang apa-apa, sebaliknya ia tanya:
"saudara Keng, mengapa getekmu masih belum selesai ?"
"Mungkin sudah selesai." Peng soei menjawab, " G etek itu
masih perlu diluncurkan dari atas gunung, buat ditolak kehuIu
sampai dipenyeberangan, pembuatannya mudah, yang sukar
pengangkutannya, Harap saudara bersabar..."
Belum lama, dari seberang terdengar panah bersuara, yang
meluncur keseb erang sini, jatuh didalam rumpun rumput.
"Murid- murid Tok Bak Lao menyusul " kata Peng soei
tertawa. Dari seberang sini tidak ada jawaban untuk kedua batang
anakpanah itu, maka juga dari seberang meluncur lagi dua
yang lainnya, yang jatuh sirap diantara pohon yangliau.
Rupanya disebabkan isyaratnya tak terbalas dari seberang
sana lantas terlihat dua orang muncul di tepian, lalu keduanya
lompat ke air, untuk berlari-lari sambil berlompatan, mereka
saban-saban melemparkan sepotong kayu, yang dijadikan alat
menaruh kaki, jauh dan tetap lompatnya dua orang itu, tak
lama tibalah mereka diseberang sini. selagi berlompat
ketepian, mereka mengasi dengar siulan nyaring.
Dua orang yang liehay itu masing-masing mengenakan
baju hitam dan putih, tubuh mereka kekar, usianya tigapuluh
lebih, matanya tajam. Mereka bermuka putih, beroman
tampan dan gagah. Nampak mereka heran waktu mereka tidak mendapatkan
Lam Peng dan Thian Lim. Dari mengawasi orang banyak. mata
mereka lantas menatap In Nio, yang kecantikannya
menggiurkan hati. "Awas kamu. kamu mencari mampusmu," kata Tiong Hoa
dalam hati, karena ia melihat roman orang kesengsam.
Dua orang itu masih mengawasi lantas ke duanya kasakkusuk.
Habis itu, mereka bertindak kearah si nona.
Panas hati Tiong Hoa, kapan ia menggerak kakinya, segera
ia memapaki mereka itu, Hingga ketika mereka datang dekat
satu pada lain, hampir keduanya bersomplokan. Kaget dua
orang itu. Mereka lantas minggir.
Tiong Hoa menghentikan majunya, ia tertawa, matanya
mengawasi dua orang itu, yang berbalik memandang dengan
tajam, Agaknya mereka heran dan dongkol. si anak muda
tertawa. "Apakah tuan-tuan mencari aku yang rendah?" tanyanya.
"siapa mencari kau?" membentak yang berbaju putih.
Tiong Hoa berlagak pilon.
"Agaknya tuan-tuan kesusu, tuan-tuan selalu mengawasi
aku" kata ia, "Aku kira tuan-tuan mempunyai sesuatu untuk
dihaturkan kepadaku, kiranya bukanKalau begitu maafkanlah
aku" Lagak pemuda ini membuat In Nio tertawa geli.
Dua orang itu berdiri likat, marah salah tak marah juga
salah. "Kamu bingung tuan-tuan, apa kamu kehilangan sesuatu?"
Tiong Hoa tanya pula, tertawa, "Meski aku hanya seorang
pelajar, kalau perlu, dapat aku membantu kamu."
Dua orang itu mendongkol muka mereka merah. Mereka
merasa bahwa mereka lagi dipermainkan.
"Kita lagi mencari orang" akhirnya kata si baju hitam
dingin. "Mencari orang?" Tiong Hoa tanya, ia melengak. lalu kata:
"Tuan-tuan. kamu bergurau Lihatlah, disana ada puluhan
orang apakah tuan-tuan tak melihatnya?"
"Kami mencari lain orang itulah sebabnya kami menanya
kau" kata si hitam. "Sungguh beruntung, tuan-tuan, kamu tidak menanya lain
orang tetapi justeru menanya aku" kata Tiong Hoa. Justeru
tepat- lah kau mencari orang"
Dua orang itu heran. "Aku mencari dua orang" kata si hitam. "Tadi mereka
berada disini, Kenapa sekarang mereka menghilang?"
"Kembali kamu bergurau, tuan-tuan. kata Tiong Hoa
tertawa, "Dimana ada lain orang disini kecuali tuan-tuan, yang
baru saja menyeberang?"
Si hitam mengerutkan alis.
"Baru mereka memberi isyarat dengan panah- api" kata
dia. " itu sebabnya kenapa kami ketahui mereka berada
disini." "Oh mereka itu," kata Tiong Hoa, roman-nya heran, "Tadi
ada beberapa orang pergi ke lembah memotong pohon buat
membikin getek. Diantara mereka ada dua yang masing
masing mukanya merah dan kumisnya hitam dan yang tak ada
kedua buah telinganya. Mereka berdua tadi menantikan ditepi
sungai, Tuan-tuan menanyakan mereka berdua?" Mau atau
tidak ia mengangguk. Tiong Hoa memperlihatkan roman
sungguh sungguh. "Si orang tua tak berkuping itu nampak gelisah sekali,"
katanya, "dia melepas panah, sampai sekian lama dia tidak
mendapatjawaban, mendadak dia menarik kawannya, untuk
diajak terjun kesungai, Dalam sekejab saja, mereka sudah
lenyap. Mereka memandang enteng jiwa mereka, sungguh
kasihan" Si hitam kaget, dia menatap bengis, "Pelajar melarat, kau
ngoceh" bentaknya. "Aku bicara tak ngaco." kata Tiong Hoa, sabar, "jikalau
tuan tidak percaya, pergilah tanya orang banyak itu" ia
menunjuk kepada semua orang yang hadir disitu.
"Toako, mari kita tanya mereka itu" kata si putih, yang
agak heran, "Kalau dia mendusta, dia tentu tak bakal dapat
lari" Si hitam menurut, maka mereka lantas pergi, untuk
menghampirkan seorang pedagang, Tiong Hoa menyusul, ia
mendatangkan herannya dua orang itu, hingga mereka
mengawasi. Si hitam bukan menanya sipedagarg, mendadak dia
menjambak dada orang. Inilah karena timbul kecurigaannya,
Akan tetapi, belum lagi ia berhasil, tiba-tiba lengannya terasa
nyeri. Diluar dugaannya, Tiong Hoa menyambar tangannya
itu, sedang mata nya menatap tawar.
"Kenapa tuan berlaku garang terhadap orang yang tidak
mengerti silat?" Tiong Hoa menegur, "Takpuas aku terhadap
kelakuan mu" Selagi ia ditegur, si hitam mengerahkan tenaganya untuk
meronta, siapa tahu, Tiong Hoa melepaskan cekalannya, maka
ia terlepas secara tiba-tiba.
Si anak muda lantas tertawa kata: "sekarang aku omong
benar-benar Keh Lam Peng dan Mo Thian Lim terbinasa
ditangan- ku, mayatnya aku lemparkan kedalam sungai untuk
dijadikan umpan ikan sekarang suka aku memberi nasehat
kepada kamu, supaya kamu membalaskan diri kamu Pergi
pulang, untuk menasehatkan Tok Pak Lao Koay, supaya dia
menyayangi dirinya, agar dia jangan mengumbar murid
muridnya mengganas jikalau tidak dia bakal mati tanpa
tempat kuburnya" Dua orang itu terkejut, lalu keduanya ter tawa nyaring.
"Pelajar rudin, kau tak tahu kami siapa" si hitam membentak.
Tiong Hoa tertawa mengejek.
"Tak lebih tak kurang segala murid atau cucu muridnya si
siluman tua mata satu siapakah yang dapat kamu gertak?"
Si hitam gusar bukan main.
"Kau berani menghina tuan-tuan muda dari In Boe san?"
kata dia bengis, "Baiklah, hutang jiwanya Lam Peng dan Thian
Lim dibebankan sekalian kepadamu"
Si putih berlompat maju ia berdiri sejarak satu tombak dari
si anak muda, matanya mengawasi tajam.
Tiang Hoa terus tertawa, sikapnya sangat tak melihat mata.
"Tuan, nyalimu tak kecil Bagaimana rasanya tadi waktu aku
cekal tanganmu?" Mukanya si hitam jadi merah, "itulah cara membokong,
bukannya kepandaiannya sejati" sahutnya, "Masih kau berani
omong besar, sungguh tak tahu malu" Didalam hati dia salah.
Tiong Hoa mengawasi muka orang, ia tertawa.
"Kau tidak puas" Baik, aku beri tempo sepuluh jurus
padamu. Asal kau mampu meloloskan diri, kau dapat hidup,"
Gusarnya si hitam sampai dipuncaknya, mendadak dia
lompat menerjang, kedua tangannya mencari tiga jalan-darah
thian-hoe, ceng-cok dan khie-ha . itulah serangan sangat
cepat dan berbahaya. Tak kalah gesit Tiong Hoa menggeser ke kiri, tangan
kanannya dengan sebatnya menyambar kejalan-darah kiokstie
penyerangnya itu, untuk ditangkap dan dipencet.
Si hitam berkelit kekanan- Dia kaget sampai dia
mengeluarkan keringat dingini Dengan tangan kirinya dia
menyampok. Dengan begitu, dia berkelit sambil menyerang.
Tiong Hoa memuji kesebatan lawan ini, Tapi ia tidak
berdiam saja ia mencoba menangkap lengan kiri orang itu.
Menyaksikan lichaynya si anak muda, Peng soei kagum.
Baru sekarang ia melihat, Didalam hati ia kata: "Lie siauwhiap
benar gagah seumurku baru aku menyaksikan ilmu silat liehay
ini Hari ini mataku ter-buka"
Si hitam kaget dan berkuatir, Baru sekarang ia insaf lawan
lihai sekali, ia tapi-nya menjadi penasaran, Tiba-tiba ia
mencelat sekali didepan dada, itulah tipu silat "Menolak
gelombang, membantu ombak" Dengan itu pun ia
mengerahkan seluruh tenaga nya, "tenaga badai yang
membuat gelombang menggembur gunung,"
Tiong Hoa bersenyum, ia mengibas dengan dua tangannya,
tubuh berdiri, tegak tak bergeming, Badai si hitam lenyap
tidak keruanparan, bahkan sebaliknya dadanya tergempur,
hingga dia terjerunuk mundur akan akhirnya roboh terlentang.
Sekonyong-konyong si baju putih berseru tubuhnya
mencelat maju, akan tetapi dia bukan menyerang lawan hanya
menubruk kawannya, untuk dirangkul hingga dia melihat
muka orang pucat pasi, tanda dari luka di dalam yang parah.
Kibasannya Tiong Hoa itu yalah kibasan "Ie Hoa Ciap Bok"
ajaran Ay sian dari see Hek. la tahu lihainya tipu silat itu,
maka ia mengibas dengan tenaga separuh, siapa tahu, lawan


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tak dapat bertahan,
Si putih lantas menotok jalan darah khie hay dan sam-yang
dari kawannya, ia menyalurkan tenaganya, pertolongan ini
tidak berhasil si hitam makin lama makin lemah akhirnya dia
kata susah: "Toako anggota tubuhku bagian dalam sudah
terluka, tak dapat aku bertahan lama, Lekas kau totok jalan
darah sim-jie, lantas kau pondong aku pulang ke gunung,
Mungkin aku dapat ditolong cit Yap Coe cie ayah.."
si putih kaget dan bingung sekali, ia menurut, maka ia
lantas menotok sim-jie- h iat kakaknya itu, setelah mana ia
memandang bengis pada Tiong Hoa seraya berkata: "Kita
tidak kenal satu sama lain, kita tidak bermusuhan tetapi kau
sudah menurunkan tangan jahat sekali inilah sakit hati
seumpama gunung, maka itu selagi gunung hijau tak berubah
lain kali kita bertemu pula"
"Kau lihat sendiri tuan, aku membalas menyerang atau
tidak?" ia tanya "Dialah yang menggunai tenaga berlebihan
hingga darahnya mandek, dia terluka didalam, Kau hendak
persalahkan siapa?" Si putih melengah Memang benar ia tidak melihat orang
menyerang, kedua tangan pemuda itu cuma mengibas
menangkis serangan kakaknya. Tapi aneh kenapa kakaknya
terjerunuk mundur hingga jatuh dan terluka demikian parah"
"Mungkinkah pemuda ini berilmu sesat?" ia berpikir.
Si putih insaf kakaknya terancam bahaya kematian, maka ia
lantas kata: "Biar bagaimana tuan, kaulah gara-garanya, tak
dapat kau membantah"
Lalu dengan memondong tubuh kakaknya, dia lari ketepian,
Disini dia menoleh kebelakang, lantas dia lelaki kakaknya,
untuk membuka ikat pinggang nya. Dengan itu ia ikat sang
kakak dipunggungnya, ia pun memunguti potongan-potongan
kayu tadi, untuk dipakai pula sebagai batu loncatan, maka
dilain saat, ia sudah tiba kembali diseberang dimana dia
berlari lari lenyap diantara pepohonan lebat.
Ketika itu matahari sudah doyong ke-barat, sinarnya yang
berwarna indah berkaca dimuka air. Burung-burung gagakpun
mulai beterbangan pulang kepohonannya. In Nio
menghampirkan Tiong Hoa. "Kenapa dia terluka demikian parah?" si nona tanya,
"Apakah kau kembali menggunai ilmumu seperti diwaktu kita
menyingkir dari hadapannya Liong Hoei Giok?"
Tiong Hoa mengangguk. "Inilah diluar sangkaku," sahutnya, "Sebenarnya aku
menggunai tenaga tiga bagian, separuh untuk menghalau
serangan, siapa tahu dia tak dapat bertahan terhadap
kibasanku itu. Aku lihat sebab kecelakaan itu yalah dia telah
terlalu mengumbar tenaganya hingga dia mirip pelita kering
minyaknya dia tak sanggup mempertahankan diri lagi." ia
menghela napas pula dan menambahkan
"Aku pikir lain kali, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak mau
aku gunai lagi ilmu silatku itu."
Ketika itu Peng Soei mendatangi berama kelima saudagar
tetiron, Mereka itu sangat kagum, semua memberi pujiannya.
Tiong Hoa cuma bersenyum terhadap mereka itu.
"Mereka itu berdua yalah kedua anak laki-laki dari Tok Bak
Lao Koay ciam Yang." Peng soei memberi tahu, "Si kakak
bernama Kiu Wan dan si adik Hok Leng, keduanya sangat
galak, pastilah semangatnya Lao Koay kena tergempur
peristiwa ini." Selagi mereka bicara, terlihat dua buah getek lagi
mendatangi saling susul, jarak ke duanya satu dengan lain
belasan tombak, Keduanya terbawa air yang deras, Yang
belakangan itu nampak seperti ikatannya longgar dan
diatasnya bergeletakan beberapa tubuh orang. "Celaka" Peng
Soei berseru apabila ia melihatnya, segera ia lari ketepian.
Dari getek yang didepan itu terdengar ter tawa girang dari
empat orang. Tiong Hoa pun melihat. ia dapat menduga apa yang terjadi,
yaitu orang orangnya Peng Soei telah jadi kurban, ia jadi
gusar maka ia pun lari kepinggir kali, untuk terus berlompatan.
Baru dua kali, ia sudah sampai digeteknya empat orang itu
Berhenti tertawanya mereka menjadi melengak, Mereka
kaget melihat orang datang seperti terbang.
Tiong Hoa bertindak cepat, tanpa bersuara. setibanya, ia
mengibaskan kedua tangannya, Maka menjeritlak empat orang
itu, terus mereka bungkam, tubuh mereka terpental, jatuh
tercebur dimuka air. Si anak muda tidak berhenti sampai di situ, ia menyambar
dadung diatas getek. untuk melemparkannya kedarat sambil ia
berseru: "sambut Lekas tambat"
Didarat orang menyambutnya, lantas menarik ramai-ramai,
Mereka mesti melawan arus tetapi mereka berhasil, dadung
itu dapat dilibat kepada pohon dan diikat keras.
Tiong Hoa sendiri bekerja lebih jauh, untuk lompat kegetek
yang dibelakang, Di sana Peng soei telah tiba dulu, ia
mendapat kan empat orangnya rebah dengan napas empasempis,
hingga ia menjadi putus asa, berduka tak kepalang, ia
pun gusar. Ketika itu karena gempuran air, getek mulai
terlepas. Tiong Hoa lantas berseru: saudara Keng, lekas menyingkir"
ia tidak cuma berseru, ia menyambar tubuh Peng soei, buat
dlangkat dan dibawa lari ketepian. Untuk itu ia berlompatan,
menginjak balok-balok yang sudah terlepas.
Sampai didarat, Peng soei melihat kearah getek dan orangorangnya,
yang tak dapat tertolong lagi itu, karena geteknya
sudah berantakan hingga tubuh mereka tersapu air. Tanpa
merasa ia menangis menggerung.
"Merekalah empat pembantu yang dihargai ayahku.
Katanya sedih, "Aku tidak sangka selagi mereka mengikut aku,
aku tidak sanggup melindunginya, mereka roboh ditangan
jahat. Mana aku mempunyai muka akan bertemu dengan
ayahku?" Kemudian dengan mengandal pada getek yang dapat
dirampas itu, bergantian orang mulai pada menyeberang.
Ketika itu sang waktu berjalan terus, sang rembulan telah
muncul. In Nio turut dalam rombongan yang pertama dan
Tiong Hoa pada rombongan terakhir.
Tiong Hoa lagi berdiri menantikan kembalinya getek ketika
ia melihat satu bayangan orang berkelebat didepannya,
Walaupun ia terkejut tangannya toh lantas menyambar.
Bayangan itu berkelebat sambil tertawa geli, Dia lolos
lewat, Tangannya si anak muda kena menyambar segulung
benda yang lunak. Ketika ia melihatnya disinar rembulan, ia
mendapatkan itu sehelai satu tangan sutera yang harum
semerbak. Ia menjadi melengak.
Lekas-lekas ia membebernya, Di ujung kiri itu ada sulaman
setangkai bunga bwee-hoe. Diujung kanannya ada sulaman
satu huruf "Keng." Ditengah-tengah ada beberapa baris hurufhuruf
yang dapat dibaca sebagai berikut:
"Syukur karena bantuan tuan aku berhasil lolos dari tangan
beracun dari Kiong Lay soe sioe. Aku berterima kasih dan aku
ingat baik-baik budi itu Tapi tuan harus waspada, Kiong Lay
soe sioe penasaran, ingin mereka mendapatkan padamu, Kami
kakak dan adik akan mencoba merintangi mereka itu. jikalau
nanti tuan sudah di Koei-yang, harap terus pergi ke Hek Liong
Thoa. Mengenai urusannya Losat Kwie Bo, aku mengharap
bantuan tuan untuk menyelesaikannya. Hormat aku: "Keng."
Tiong Hoa membengong pula, ia menjadi bingung,
Bagaimana harus memecahkannya alasan Losat Kwie Bo"
Kalau In Nio ketahui ibunya ditawan cit chee cioe Pouw Liok
It, pasti dia gusar sekali dan sangat membenci. Maukah nanti
ln Nio mendengarkan nasihat atau bujukannya" Pasti nona itu
akan mengamuk... Rembulan terang, binatang banyak. akan tetapi Tiong Hoa
merasakan matanya suram disebabkan pikirannya yang
ruwet.. cococco BAB 22 TIONG HOA menyeberang paling akhir, setibanya didarat,
bersama In Nio dia melanjuti perjalanan dengan merendengi
binatang tunggangan mereka. selagi kakinya binatang itu
bersuara nyaring, mereka lenyap diantara gelap- gulitanya
sang malam. Kong Peng swie bersama kelima piauwsoe, juga la ini la in
orang yang dapat menyeberang itu, sangat berterima kasih
kepada anak muda itu. Mereka juga kagum untuk keberanian
dan kepandaian si anak muda.
Tiong Hoa bersikap tenang meskipun hatinya kusut, ia
masih belum memperoleh pikiran yang baik. Diam-diam ia
kata didalam hatinya: Manusia berusaha, Thian berkuasa....
Biarlah aku bertindak, tindak demi tindak..."
Terpisah duapuluh lie dari sungai ouw Kang, orang
bermalam di Yang-iiong-ce. Besoknya baru terang tanah,
orang melanjutinya. Tujuan mereka yalah kota Koei-yang.
Didalam wilayah propinsi Koei- cioe, mulai dari Yang-lioecee
keutaranya, jalan rimba dan pegunungan dimana angin
sering bertiup dan kabut tebal, sebaliknya keselatannya cuma
pegunungan sangat sedikit rimbanya, jalanan sukar tetapi
pemandangan alam indah. Orang berjalan tak ayal tetapi
majunya lambat. sedang kudanya Tiong Hoa dan In Nio
seringkali terpeleset....
"Tahu begini tidak nanti aku menggunai kuda..." kata si
nona menyesal ia memandang Tiong Hoa dengan meringis.
Tiong Hoa tertawa. "Sekarang kau tahu, beginilah tenaganya sang kuda"
katanya. Mau tak mau, In Nio turut tertawa, ia melirik pemuda
itu. sebaliknya dari sepasang muda-mudi itu,
Kong Peng swie selalu terbenam dalam kekuatiran, ia kuatir
kawannya dua putera Tok Bak Lao Koay nanti pulang buat
menyampaikan berita celaka, hingga si siluman tua ini akan
datang menuntut balas, sebisanya ia berlaku tenang, dengan
berpura saja ia saban-saban memandang kesekitarnya.
Mereka itu tengah berjalan terus kapan disebelah depan
mereka, dipuncak gunung, terlihat bayangan dari empat orang
pia uw-soe Teng Thong yang paling dulu melihatnya.
"siapakah mereka?" katanya kaget.
"Perduli siapa mereka." kata Cie Goan Heng, dingin, "kalau
mereka mengandung maksud jahat terhadap Kim shia Piauw
Klok, biarlah mereka merasai golok Toan-hoen-too ini" Teng
Thong melirik. "Jangan terkebur," katanya, Dia memang tak akur dengan
kawannya itu meski mereka bekerja sama. Kenapa kemarin
selagi menyeberang disungai ouw Kang kau tidak
mengeluarkan kepandaian ilmu silat golokmu yang terdiri dari
sembilan puluh-tiga jurus itu?"
Goan Hong mendongkol ingin ia mengutarakan
kegusarannya, Tapi ketika itu, cepat luar biasa, keempat
bayangan sudah lari ke arah mereka sampai terpisahnya
tinggal tiga tombak lebih. semua mereka beroman bengis.
Mereka tak berdiam, bahkan mereka terus berlompat lewat
diatasan kepalanya Peng swie beramai
Lie Tiong Hoa menoleh kepada In Nio dan bersenyum. Dia
mengambil sikap masa bodoh: " orang tak menggangguku,
aku tak mengganggu orang."
Tapi Lo siang Tay tidak puas, Dia lantas menimpuk dengan
senjata rahasianya, yaitu kim-cian-piauw. Piauw itu meluncur
keatas, lalu beradu, terus jatuh kearah kepalanya keempat
orang itu yang tubuhnya sedang mau turun ketanah, itulah
ilmu piauw yang mahir. Peng soei hendak mencegah tetapi sudah kasip. ia menjadi
berduka, ia melihat empat orang itu liehay sekali, Mereka
mendengar suara piauw beradu, lantas mereka berdongak.
ketika semua piauw itu turun, untuk menghajar mereka,
mereka mengangkat tangannya masing-masing untuk
menanggapi.. Tiong Hoa dan In Nio sudah turun dari kuda mereka,
mereka juga menyaksikan kejadian itu, keduanya kagum.
Keempat orang itu tidak berkata apa-apa, mereka tidak
menoleh kesana atau kemari, hanya mereka mengamproki
tangan masing-masing yang mencekal kim-chie-piauw, lalu
terlihat mengepulnya asap yang bersinar hijau, lantas asap itu
sirna. Menampak demikian, Peng soei terkejut, segera ia ingat
siapa keempat orang itu, selagi ia berpikir keras dengan
kekuatiran, maka salah satu diantara orang-orang itu, yang
mukanya panjang dan kumisnya pendek yang kulit mukanya
kebiru-biruan, yang ke dua matanya bersinar sangat tajam,
mengawasi dengan keren, lalu dengan suara dingin, dia
menegur: "siapa yang melakukan pembokongan" Lekas
menggelinding" "Hm " Lo siang Tay mengasi dengar suara menghinanya,
terus ia mengajukan dirinya, untuk berkata: " itulah aku Kau
mau apa" Bukankah kamu keterlaluan sudah berlompat lewat
diatasan kepala kami " itulah pantangan "
Orang itu tidak menjawab hanya tubuhnya mencelat, kedua
tangannya terulur, menyusul mana terdengar dua kali suara
"plak plok." Sebagai kesudahan dari itu, siang Tay melengak. kedua
pipinya merah dan bengap Diluar dugaannya, ia telah kena
digaplok orang itu. Peng soei maju menghampirkan, sembari hormat, ia kata
kepada orang itu : "Maaf, bukankah tuan-tuan yalah Hoan
Ceng soe Kie yang tahun dulu itu telah menggetarkan Boe
Tong san ?" Orang itu mengasi lihat roman bengis, lalu dia tertawa
lebar. "Sudah beberapa puluh tahun kami ber empat tidak muncul
dalam dunia Kang-ouw tetapi toh masih ada orang yang
mengenali kami" katanya nyaring, Lalu dia menambah kan
dengan suara dalam: "Kami mau pulang kegunung kami untuk menyelesaikan
sesuatu, kami tidak sempat melayani kamu. Maka lagi tiga hari
saja kita nanti bertemu pula satu dengan lain "
Habis berkata dia menoleh akan mengawasi pedangnya In
Nio lalu dia mengulapkan tangannya seperti isyarat untuk
ketiga kawannya, Akhirnya dia lompat mencelat untuk berlalu.
Dia segera diturut tiga kawannya, Maka sebentar saja mereka
sudah pergi jauh. Lain piauwsoe melengak. mereka berdiam saja.


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara Kong, siapa itu Ceng soe Kie?" Tiang Hoa tanya
Peng soei. "Tentang mereka itu, aku tak tahu jelas."
Peng soei menjawab, "Menurut katanya ayahku, mereka
bukannya orang Han asli hanya keturunan peranakan suku
Yauw-Biauw. Entah darimana mereka mendapatkan ilmu silat mereka,
yang beda sekali daripada ilmu silat Tionggoan. Belum
berumur tigapuluh tahun, mereka sudah tersohor sekali di
wilayah selatan-barat. Kabarnya siapa bermusuhan dengan
mereka pasti jiwanya sukar lolos. Pada tigapuluh tahun dulu
mereka sudah mendaki gunung Boe Tong san dimana mereka
telah melukai duapuluh tujuh jago Boe Tong, lalu dengan tak
kurang suatu apa mereka turun dari gunung itu, peristiwa itu
ramai menjadi buah-tutur orang banyak.
Hanya tanpa setahu kenapa, semenjak itu mereka tak
terdengar lagi kabar beritanya, hingga tentang mereka
menjadi sirup, siapa tahu sekarang mereka muncul disini."
Peng soei menghela napas, lalu ia menambahkan :
"sekarang ini kita ada diujung pegunungan Hoan Ceng san,
gunung yang panjang ribuan lie dan banyak rimba- rayanya,
ada bagian-bagian dimana orang tak nampak matahari dan
disana ada hawanya yang jahat hingga manusia dan binatang
dapat mati karenanya. Karena itu tak ada orang yang ketahui
Hoan Ceng soe Kie tinggal dibagian mana dari gunungnya itu
gunung yang ditakuti orang, sayang tadi tak keburu aku
memberi penjelasan."
Tiong Hoa heran melihat orang demikian berduka.
"Kejadian barusan toh perkara sangat kecil," kata ia.
"Mungkinkah benar lagi tiga hari Hoan Ceng soe Kie bakal
melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan saudara Lo?"
Peng soei menghela napas pula, ia menggeleng kepala.
"Bukan melainkan saudara Lo. semua orang yang berjalan
bersamanya turut dibenci sangat," ia menjawab. "siauwhiap
dan nona Cek tak usah kuatir, tidak demikian dengan kita
semua, terutama aku yang bertugas melindungi saudara Lo
berlima." Siang Tay menjadi tidak senang.
"Buat apa takut?" katanya mendongkol. "sekarang kita
mati, nanti kita menitis pula?" Peng soei pun tak puas kepada
piauwsoe jumawa ini, yang menjadi biang onar.
"Hanya aku kuatir, sebelum kamu berhasil menyerahkan
piauw kamu, rohmu sudah pulang keneraka" katanya sengit.
"Tidak apa kalau kau saja yang mati, tetapi dengan itu kau
meruntuhkan juga namanya Kim shia Piauw Kiok Dapatkah
kau mengganti itu?" Mukanya siang Tay menjadi merah, dia bungkam. Dia malu
sekali. Ketika itu tiba-tiba orang mendengar suara dingin ini: "Tok
sie sin Kiong mempunyai anak semacam ini, sungguh harus
disayangi." Peng soei terkejut, tapi lantas ia menjadi gusar.
"Siapa berani menghina aku si orang she Kong?" dia
menengok " Kenapa kau tidak keluar menemui aku?"
Walaupun dia mengatakan demikian, Peng soei toh
mendadak untuk segera lompat ke-arah dari manajengekan
itu datang, disitu segera dia melakukan penyerangan hingga
batu gunung hancur belarakan.
Hampir berbareng dengan itu sesosok tubuh manusia
terlihat lompat mencelat,
menyingkir dari serangan dahsyat itu, terdengar suara
tertawanya, terus orangnya lenyap. Peng soei menjadi masgul
sekali. "Saudara Lie." katanya lesu, "nyatalah sekarang ini diantara
Koei-yang dan Koen Beng telah ada tak sedikit orang Kang
ouw yang mundar mandir, karena mana aku menduga
diwilayah selatan ini mungkin bakal terjadi peristiwa apa-apa
yang luar biasa. Lihatlah, orang-orang yang liehay telah pada
muncul, Aku menyesal apabila sampai terjadi sesuatu yang
hebat." "Saudara, kenapa kau mendapat anggapan ini?" tanya
Tiong Hoa. "Hotel di Yang-liong-cee itu yala h hotel yang dibangun
oleh orang bawahanku," Peng Soei mengasi keterangan
"orangku itu telah memberikan pelbagai keterangan
kepadaku." Tiong Hoa menoleh kepada In Nio, siapa berbalik
memandang pemuda itu, lalu keduanya saling mengedipi
mata, suatu tanda mereka saling mengerti. Mereka menduga
urusan akan berpusat di Hek Liong Thoa di Koen-beng, Hanya
mereka masih belum mendapat kepastian, itu ada urusan
sendiri atau urusan Tok Bak Lao-Koay ciam Yang hendak
berebut pengaruh dengan cit chee cioe Pouw Liok It.
"Tak apalah," kata si anak muda kemudian dengan maksud
menghibur, "Mari kita melanjuti perjalan kita."
Demikian mereka menuju ke Koei-yang, Ditengah jalan
mereka menemui orang-orang Kang ouw tetapi tidak
mengalami sesuatu, Diwaktu magrib mereka sampai diluar
kota hingga mereka lantas mendapat lihat tembok kota yang
tinggi dan kokoh kuat, yang seperti melingkar-lingkar. Mereka
berjalan masuk kedalam kota disaat orang mulai menyalakan
penerangan- Peng soei berjalan dimuka memimpin rombongannya
menuju ke hotel Goan Tiang, suatu penginapan nomor satu
untuk kota Koei yang. Pihak hotel menyambutnya dengan
hormat, dari mana terbukti hotel itu miliknya keluarga Kong.
Disitu ada menumpang banyak orang Kang ouw, yang
terlihat menyolok mata. Peng soei mengajak rombongannya masuk ke ruang paling
belakang dimana ada sekelompok dari lima kamar yang
terpencil semua kamar terawat baik dan bersih, sedang
didalam pekarangannya tertanamkan beberapa pohon bunga
yang menyiarkan keharumannya. Ruang ini pun sunyi dan
tenang tak seberisik ruang depan.
Selagi Peng soei menemui Tiong Hoa bicara, ia mendengar
tepukan tangan diluar kamar, ia nampak terkejut. Tapi ia
tertawa dan kata: "sia uwhiap berdua duduklah aku hendak
keluar sebentar " "Silahkan, saudara Kong," kata Tiong Hoa bersenyum.
Ketika Peng soei sudah pergi, pemuda ini berpaling pada in
Nio untuk menanya: "Encie, kau lebih berpengalaman
daripadaku. Bukankah suara tepukan tangan itu ada
maksudnya yang terlebih dalam ?" Nona Cek mengangguk.
"itulah tepukan tangan isyarat kaum Kang ouw yang biasa
dipakai jauh, bukan dipakai dekat." katanya, "Itu biasa dipakai
diwaktu malam gelap- gulita Kalau kita berpisah jauh, Maka
dipakainya disini tak tepat, Pasti ada urusan yang penting,
Lihat saja perubahan air mukanya Peng soei."
Perubahan airmuka Peng soei itujusteru yang mencurigai
Tiong Hoa, Maka ia lantas berpikir. "Adik Hoa"
Si anak muda mengangkat kepalanya, menatap nona cantik
didepannya itu. In Nio berkata: "Adik Hoa, besok kita menuju langsung ke
Koen- beng untuk memenuhi janji dengan Pouw Liok It, untuk
menyelesaikan urusan kita. kemudian baru kita mencari ibuku.
Tentang urusan Kang-ouw, baiklah kita jangan terlalu
mencampur tahu" Di terangnya api, mata nona itu bersinar bening, Tiong Hoa
melihat sinarmata yang mencinta, ia menjadi masgul. Akan
tetapi ia tidak mengentarakan rasa hatinya itu. ia lekas
menyahuti: "Encie In aku setuju dengan pendirianmu, Ya
besok kita berangkat langsung."
Selagi mereka bicara itu, kelima piauw-soe dari Kim shia
Piauw Kiok terlihat datang dengan tindakan cepat, Teng
Thong lantas memberi hormat dan kata: "Sekarang kami mau
pergi kekota selatan untuk menyerahkan piauw kami, begitu
selesai maka malam ini juga kami hendak berangkat pulang
kePa-siok. siauwhiap dan nona sudah membantu kami, kami
sangat berterima kasih, kami ukir itu didalam hati kami,
sekarang kami meminta diri Kalau nanti siauwhiap berdua
pergi ke Pa-siok, kami minta sukalah siauwhiap memerlukan
mampir di piauwkiok kami,"
Tiong Hoa dan si nona mengangguk.
"Baiklah," kata si anak muda, yang lantas mengantar orang
keluar dari kamarnya. Tidak lama datang jongos dengan barang hidangan dan
araknya. "Siauwjie, mana saudara Kong?" tanya Tiong Hoa kepada
jongos itu. Orang she Kong itu sudah keluar lama juga.
Si jongos melengak, lantas dia menjura.
"Maaf, aku tidak tahu," sahutnya tertawa.
"Kami cuma dipesan lekas menyediakan barang santapan
untuk tuan berdua nona, serta katanya silahkan tuan berdua
dahar, tak usah dia ditunggui."
"Ya, aku mengerti," kata Tiong Hoa. Terima kasih"
Muda-mudi ini lantas duduk bersantap. akan kemudian
beromong-omong dengan gembira.
Belum lama mereka mendengar suara berisik diruang luar,
seperti seorang tetamu berselisih dengan jongos. Tetamu itu
keras suaranya. Tiong Hoa mengerutkan alis, lalu tertawa.
"Encie kau duduklah." katanya pada In Nio. "Ada orang
mencari kita." Lantas ia bertindak keluar, hingga ia me lihat seorang
jongos lagi melintangi tangan dipintu pekarangan menghalang
seorang bertubuh besar bermuka kuning usia empat-puluh.
Jongos itu melihat si anak muda ke luar, dia lantas kata: "Nah,
kau lihatlah Bukankah kamar itu ada penghuninya" Kau tidak
percaya perkataanku, sekarang baru kau percaya, bukan?"
Orang itu mengasi Tiong Hoa, lantas dia kata: "Biar ada
penghuninya, aku masih mau melihatnya Dia seorang diri, dia
tak layak memakai demikian banyak kamar" Lantas dia
menotok kepundak si jongos.
Jongos itu mengerti silat tetapi ia tidak mau melayani ia
tahu banyak tetamunya kaum Kang-ouw dan ia tidak mau
mencari penyakit Maka ia lompat mundur tapi ia kalah sebat,
pundaknya kesentuh juga, hingga ia merasa nyeri dan
menjerit dengan tubuhnya terhuyung.
Tiong Hoa tidakpuas terhadap kelakuan galak dan kasar
orang itu ia maju menghalang hingga orang tak dapat
bertindak terus kekamarnya.
"Tuan mau pergi kemana?" ia menegur.
"Minggir" membentak orang itu. "jangan usil aku" Dengan
tangannya, dia pun menolak.
Tiong Hoa gusar, ia berkelit, tangan kiri nya menyambar,
untuk mencengkeram lengan orang kasar itu
orang itu kaget, dia lompat mundur. Tiong Hoa lompat
maju, niat mengejar. Tapi orang itu mundur terus, akan lompat naik ke atas
genteng dimana dia lantas lenyap. ia lompat naik juga.
Malam itu rembulan terang dan bintang banyak
seberlalunya orangkasar itu, sekitarnya Tiong Hoa menjadi
tenang. Justeru itu mendadak ia mendengar tertawa perlahan
dan merdu, hingga ia tercengang, ia lantai berpaling dan
melihat keatas genteng cari mana tertawa itu datang. Untuk
herannya ia melihat Pow Keng lagi berdiri diatas genteng,
terpisah dari ia kira dua tambak, Kedua matanya nona itu
bercahaya terang. Hati si anak muda berdebaran, inilah ia tidak sangka,
Kedua belah pipinya pun menjadi merah, ia lantas bertindak
maju. "Kau baik nona ?" ia menyapa, Nona itu bersenyum, ia
mengangguk. " orang barusan orangnya Hoan Ceng soe Kie,"
kata ia. "Dia datang kemari membikin penyelidikan sambil
mengincar sepasang pedang dipundaknya Nona Cek. Dialah
kurcaci. tak usah dia dibuat pikiran, ciat-sin datang kemari
buat menemui kau, siauwhiap untuk minta kau pergi ke Koenbeng
guna memenuhkan janji dengan ayahku."
Mendengar Pouw Keng membasakan diri " ciat-sin," muka
Tiong Hoa merah dan hatinya berdenyut itulah kata-kata
menghormat dan merendah kaum wanita terhadap pria.
"Itu juga menjadi pemikiranku," kata ia perlahan "Besok
memang aku hendak pergi ke Koen-beng. Cuma urusannya
ibu dari Nona Cek sulit..."
"Tentang itu ciat-sin dan adikku sudah mengatur sesuatu,"
kata Pouw Keng. "Adikku sudah berangkat lebih dulu ke Koen-beng, Asal
siauhiap suka membantu urusan bakal dapat diselesaikan
dengan baik," Kata-kata yang belakangan itu diucapkan
perlahan sekali. Tiong Hoa mengangguk beberapa kali.
Nona Pouw berkata pula: "Ayahku telah mendapat kitab
Lay Kang Koen Pouw hadiah Kwie lam ciauw, tapi sekarang
orang orang Kang ouw lagi mengarah kitab itu, yang mereka
ingin rampas, Begitulah di Koei yang kaum Rimba persilatan
berkumpul dan ada yang berkoncoh karenanya, hal itu
membuat ayahku berduka. "Kalau urusan kitab itu digabung dengan urusan ibunya
Nona Cek. hingga kedua gurunya Nona Cek turun tangan,
mungkin sekali terjadi kebencanaan Rimba persilatan-" Tiong
Hoa heran- "Nona Cek mempunyai dua guru?" ia tanya.
"Eh, kenapa siauwhiap tidak ketahui itu?" tanyanya, "Kedua
gurunya Nona Cek yalah yang satu Hay Gwa It In- to-coe dari
pulau Le Coe To dari laut Poet-hay dan yang lainnya Cit Yang
sin nie, bhikshuni dari biara Cie Tiok Am di pulau Ban Keng sie
dilaut Tang Hay. Dimasa mudanya, kedua guru itu tersohor sebagai hantu.
Tadinya merekalah sepasang suami istri, kemudian setahu
karena urusan apa diantara mereka terbit salah mengerti,
lantas mereka berpisahan, sang suami hidup menyendiri di
Poet hay, sang isteri mencucikan diri di Ban Keng sie."
Habis berkata itu, Noua Pouw mengeluarkan sehelai
bendera sulam tujuh bintang, cit Chee Kim-kie sembari
mengangsurkan itu kepada si anak muda, ia menambahkan
"Dalam perjalanan dari sini ke Inlam, apa bila siauwhiap
bertemu dengan orang-orang cit Chee Boen, asal mereka
dikasi lihat bendera ini, segala kerewelan yang tak diingini
bakal dapat disingkirkan. ciat-sin akan memberitahukan
siauwhiap beberapa isyarat yang merupakan gerak-gerakan
tangan-"

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong Hoa mengulur tangannya menyambut bendera sulam
itu, kemudian ia mengawasi si nona yang terus menyadari ia
pelbagai isyarat tangan, sementara itu hatinya goncang, ia
berdiri dekat sekali dengan si nona hingga hidungnya
mendapat cium bau harumnya nona itu.
Pouw Keng mengulangi pelbagai isyarat itu, habis dia
tertawa dan kata dengan manis: "Aku harap siauwhiap
mengerti maksud kedatangan ciat-sin ini, sekarang ciat-sin
mau pergi" Benar-benar si nona berlompat menghilang.
Tiong Hoa berdiri menjublak sekian lama, baru ia lompat
turun, untuk masuk kedalam kamnrnya, ia mendapatkan In
Nio lagi duduk rebah diatas pembaringan nona itu seperti lagi
memikirkan apa-apa. "Eh. kenapa kau pergi drmikian lama, adik Hoa?" tanyanya
setelah melihat si pemuda kembali.
Tiong Hoa bersenyum. "Orangnya Hoan Ceng Soe Kie datang untuk mengacau,
aku telah usir dia sampai diluar kota." sahutnya. oleh karena si
nona memanggil ia adik, pemuda ini selalu membasakan diri
aku dengan siauw-tee, artinya adik kecil.
Cek In Nio tertawa, Mendadak dia menggerak tangannya
menyerang kearah jendela.
Tiong Hoa terperanjat apa pula segera telinganya
mendengar orang berseru tertahan diluar jendela, ia mau
lompat keluar, tetapi si nona menariknya. si nona tertawa
manis dan kata: "Pasti ada orang yang membereskan mereka
itu, hingga tak usahlah kita turun tangan sendiri..."
Baru nona itu habis berkata, atau mereka mendengar
jeritan yang meng Giriskan hati, disusul dengan ini kata-kata
mendumal: "Dari mana datangnya segala tikus tak punya
mata" Kenapa orang berani mengincar kepada aku sam Cioe
Kim Kong seng Toa ya" Bukankah orang mencari mampusnya
sendiri?" Suara itu disusul pula dengan suara berisik, sebab suara itu
telah lantas menarik perhatiannya orang-orang Kang-ouw
tetamu-tetamu lainnya dari hotel Goan Tiang itu.
Diam-diam Tiong Hoa memuji In Nio yang cerdik itu,
serangan si nona. yalah semacam pukulan Udara- kosong
yang dinamakan Thian Mo Ciang Lek atau tenaga Tangan
Hantu Langit. siapa terhajar itu, dia terluka didalam, kalau dia
lari darahnya akan mandek. hingga dia mudah dikenali atau
terpergok, "Encie In, sungguh kau cerdik" katanya, "Aku
kalah." Justeru itu, dari luar jendela terdengar ini suara seram:
"Eh, wanita cilik, kau tak dapat mengabui aku si orang tua
Pukulan tangan beracun ini mana dimiliki oleh itu manusia
dogol she seng?" Tiong Hoa terkejut, ia lantas mengayun tangannya keara h
jendela sampai tubuhnya menyusul berloncat.
Diluar itu terdengar lagi suara tertawa dingin tadi, orangnya
terpisah belasan tombak, ketika Tiong Hoa menyusul dia
berlompat keatas genteng untuk berdiri diam diatas
wuwungan- Tiong Hoa menyusul terus dibelakangnya In Nio mengikuti.
Orang itu sudah lantas menyerang dergan serupa senjata
rahasia, habis itu dia lari turun kelain sebelah, sekejab saja ia
lenyap. senjata rahasia itu lambat meluncurnya.
Segera ternyata itulah segumpal kertas putih, maka ia
lantas membeber dan melihatnya, setelah lama ia
mengangsurkan itu kepada si anak muda seraya berkata:
"Adik Hoa, inilah untukmu"
Tiong Hoa melengak. apa pula setelah ia membaca
dibawah sinar rembulan Beginilah bunyinya surat itu:
siauwhiap Lie Tiong Hoa yang terhormat
Kita belum pernah bertemu muka tetapi aku
mengagumimu, hingga senantiasa aku memikirkannya. Baik
kau ketahui, aku si orang tua bersahabat akrab dengan
saudara Song Kie dan baru kira setengah bulan yang lampau
aku bertemu saudara Song itu dirumah penginapan- selagi kita
memasang omong, saudara song menyebut-nyebut tentang
siauwhiap yang gagah dan berhati mulia, hingga aku menjadi
bertambah mengaguminya. Siauwhiap yang baik, aku bersahabat baik dengan Ciam
Yang, dan aku telah menerima permintaannya untuk
mencelakai kau, aku tidak sangka kau justeru tuan penolong
dari saudara Song. Hal ini membuat aku serba salah, Tetapi, umpama
jemparing pada busur, tak dapat itu tak dilepaskan.
siauwhiap. sebentar jam empat, baiklah siauwhiap berhatihati
jangan siauwhiap minum teh atau lainnya. sekian saja
Hormat dari aku, Pek-Pou Leng-Hong Pauw Yang"
Habis sianak muda membaca, in Nio kata dingin, "Syukur
mereka tidak datang, tetapi kalau toh mereka muncul, biar
mereka belajar kenal dengan lihay Cit Yang sin ciang."
Tiong Hoa mengajak si nona kembali ke dalam kamar,
Mereka tidak banyak omong sebab hati mereka tahu satu
pada lain. Tak lama muncullah seorang jongos, munculnya secara
tergesa-gesa, Dia bukan jongos yang biasa, Dia membawa
sebuah nenampan diatas mana ada tehkoan beling yang indah
putih mirip batu kemala. Dia meletaki itu diatas meja sembari
menjura dan tertawa dia kata: "Majikan muda kami menyuruh
menghaturkan ini sepoci teh pilihan, silahkan tuan dan nona
minum, Majikanku pun menyampaikan hormat.
Tiong Hoa bangun berdiri.
"Memberabekan kau saja" katanya, tertawa, "Tolong kau
sampaikan terima kasih ku si orang she Lie" Jongos itu
menyahuti. "Baik, tuan-" katanya.
Mendadak tangan si anak muda meluncur. Tanpa menanti
orang menutup mulur, ia menyambar tangan jongas tetiron,
karena benar orangnya Ciam Yang.
Jongos itu kaget, dia berlompat mundur akan tetapi dia
kalah sebat, lengannya sudah lantas tercekal. Dia merasakan
sangat nyeri seperti dijepit capit besi. Dia tak dapat
memperdengarkan suaranya, cuma mulutnya terbuka lebar,
matanya terbuka juga, dan keringatnya mengucur deras.
In Nio tahu bagaimana harus bertindak. Dengan cepat ia
lompat keluar kamar, untuk bersembunyi dibelakang pohon
dipekarangan dalam itu. Jilid 19 : Prahara kitab Lay Kang Koen Pouw
Tiong Hoa mengawasi tajam.
"Apakah kau orangnya TokBak Lao Keay?" ia tan a, tertawa
dingin-Jongos tetiron itu mengangguk.
"Apakah malam ini TokBak Lao Koay datang kemari?" Tiong
Hoa tanya pula. Jongos itu menggeleng kepala, Mata dia mendelik saking
menahan sakit. Tiong Hoa tertawa pula, Cepat sekali ia menotok jalan
darah khie-hay dari jongos itu, yang lantas roboh tanpa
berkutik lagi. Setelah itu dengan msngibas tangannya, Tiong Hoa
memadamkan api. hingga kamarnya menjadi gelap petang,
cuma rembulan yang menyinarkan luar jendela. Kesunyian
pun lantas menguasai kamarnya itu.
Lewat jam tiga, bintang-bintang mulai jarang dan si Puteri
Malam sudah berkisar rendah kebarat, sinarnya ayu. Rumah
penginapan pula menjadi sepi. Justeru itu di-luar jendela
terlihat berkelebatnya empat bayangan orang.
satu bayangan mendekati jendela, untuk memasang
telinga, Dia tidak mendengar apa-apa, maka dia memberi
isyarat kepada tiga kawannya. Ketiga orang itu
menghampirkan, lalu berempat mereka berlompat masuk kedala
m jendela. Kamar tetap sunyi, apa yang terdengar yalah
mirip suara kutu yang halus.
selang beberapa saat diluar jendela terlihat lima bayangan
lain, yang lompat masuk dari luar tembok pekarangan. Mereka
mengawasi kekamarTiong Hoa, kelihatan mereka curiga. "
Heran kenapa mereka tak nampak?" kata yang satu,
"Mungkinkah mereka roboh?"
"Tak mungkin" kata satu yang lain, Mustahil mereka dapat
dirobohkan tanpa suara apa juga?"
Mereka bersangsi sekian lama, Lalu dua antaranya lompat
masuk dijendela. Tiga yang lain menantikan, mata mereka
diarahkan kejendela itu. sekonyong-konyong terlihat sinar berke-redep seperti kilat
menyambar, itulah sinar pedang istimewa, Menyusul itu ketiga
orang itu roboh, kepala mereka jatuh bergelantungan. Mereka
lagi memperhatikan jendela tak merasa mereka akan
datangnya maut. Dua orang yang lompat masuk kedalam kamar juga tak
muncul pula, Mereka tiba di dalam dengan kamar itu tetap
sunyi dan gelap. Diluar kamar satu bayangan kecil langsing muncul untuk
bekerja sebat, menyingkirkan ketiga mayat kepojokan,
sesudahnya dia kembali ketempat sembunyinya.
Kembali kamar dan pekarangan itu terbenam kalam
kesunyian, Cahaya rembulan makin lemah, begitu juga
sinarnya sisaska bintang, Meski begitu terlihat cukup nyata
ketika satu bayangan lompat turun dari tembok pekarangan.
Dialah seorang tua dengan kumis jeng got panjang sampai
didada dan sepasang mata bersinar tajam dan bengis, dia
heran dan curiga hingga dia bersangsi, Baru kemudian dia
menjejak tanah, untuk tubuhnya mencelat tinggi kira dua
tembak untuk menerkam kepojok tembok pekarangan itu.
Dipojok itu lantas terdengar satu seruan perlahan-
Si orang tua sudah lantas lompat balik, Baru saja dia
menaruh kaki diluar kamar, atau dari dalam kamar terlihat
satu bayangan lompat keluar, menyerang dia, menekan
punggungnya. Si orang tua kaget setelah kasip. Tanpa berdaya, dia roboh.
Sang pagi telah tiba, Matahari sudah muncul dengan
sinarnya yang hangat. Kamarnya Tiong Hoa, begitu juga
pekarangan luarnya, tenang sekali. Tiong Hoa dan In Nio
sudah siap untuk melanjuti perjalanan.
"Encie In." kata si anak muda, bersenyum, "tentu saudara
Kong sudah pulang ke Hoa kie, maka itu baik kita pergi
menyusul sekalian kita menjenguk Tok sie sin Liong Kong
Loocianpvvee, Disana kita berpamitan dengan saudara Kong.
setujukah kau?" In Nio mengangguk Maka keluarlah mereka dari hotel.
Tindakan Tiong Hoa tenang dan sabar dia bersama si nona tak
menghiraukan banyak mata mengawasi dengan perhatian,
bahkan ada yangkasak-kusuk. Kalau Tiong Hoa gemar
bersenyum, si nona berdiam saja. Diluar hotel, jongos sudah
sedia dengan kuda mereka, dari itu tak ayal lagi, mereka naik
dan berangkat dengan perlahan-lahan-
Baru setelah berada ditengah jalan, muda mudi ini
bersenyum satu dengan lain, atau bicara sambil tertawa-tawa.
Diluar kota Koei-yang sebelah barat, sawah ladang nampak
dikiri dan kanan, pohon-pohon padi bergelombang diantara
tiupan sang angin, Gunung hijau memberikan pemandangan
indah dan segar, Maka itu, bergembiralah muda-mudi ini.
Dengan begitu juga, tanpa merasa mereka sudah sampai di
Hoa-kie. Kali Hoa kie terletak di atasan sungai LamBeng Hoo. airnya
jernih, d iping Girannyatumbuh banyakpohon yanglioe, Ada
pasebannya, ada jembatannya juga. Ada pula tempat
terkenalnya, yalah Hong Hoo Cioe.
Selagi jalan dijalan Hong Hoo Cioe, muda mudi itu melihat
seorang tua dengan dandanan sasterawan, Dia kelihatan
ketarlk dia mengawasi bahkan kemudian dia menanyai.
"Jiewie, apakah kamu hendak mengunjungi Kong Kioe
Houw" Kalau benar, ikutilah ini kali Hoa Kie sampai kamu
melihat sebuah paseban perhentian. itulah Gili- Gili
seberangnya Hong Hoo Cioe. Cumalah Kong Kioe Houw tak
biasa menerima tetamu-tetamu, mungkin kamu bakal
kecele..." Habis berkata, orang tua itu ngeloyor terus. Tiong Hoa
heran- "Orang tua itu mungkin musuhnya Kong Kioe Houw." kata
in ^io kemudian, ia berpikir sebentar, lalu tertawa, "Penduduk
disekitar sini tak ada yang tak menghormati orang tua she
Kong itu sikap dia itu aneh.
Aneh pula sikap Kong Peng soei, Dia berlalu dan sampai
sekarang tak juga muncul lagi. Aku percaya sekarang Hong Ho
cioe lagi dilicuti kabut kedukaan."
Tiong Hoa melihat kelilingan. orang tua tadi sudah lenyap.
ia heran. "Sudah,jangan perdulikan dia" kata In Nio. "Mari kita maju
terus, Kalau Kong Kioe Houw menampik kita, tidak apa. kita
sudah berlaku hormat terhadapnya, Bahkan dengan begitu
kita jadi dapat langsung menuju ke Koen-beng." Tiong Hoa
akur, ia mengangguk. Maka mereka mengasi kuda mereka
jalan terus. Tidak lama, benar saja mereka melihat sebuah paseban
^egi empat, Disitu tumbuh banyak pohon yanglioe, Ditengah
kali ada sebuah pulau kecil. itulah dia pulau Hong Hoo Cioe
dimana bangunan rumah seperti ketutupa n pepohonan.
Keduanya turun dari kuda mereka, habis menambat
binatang itu, mereka bertindak kepaseban, Disitu sudah ada
tiga orang laki-laki dengan dandanan singsat, romannya
jumawa, matanya bersinar tajam. Mereka itu ketarik
kecantikan m Nio, hingga mereka mengawasi saja, sampai si
nona jadi mendongkol. "Tuan-tuan, aku mohon tanya." menyapa Tiong Hoa seraya
ia memberi hormat, "Apakah tuan-tuan menjadi
sebawahannya Kong Tay-hiap?"
Tiga orang itu duduk tak bergeming, Cuma yang mukanya
ada tapak goloknya, hingga romannya menjadi bengis
menjawab dengan dingin: "kalau benar bagaimana" Kalau
bukan, bagaimana?" Tiong Hoa tidak senang dengan sikap kasar itu, tetapi ia
tertawa, Meski orang tidak tahu aturan, kalau orang benar
orangnya Kong Hong Kioe Houw, tak enak apabila ia bentrok
dengan mereka itu, malu untuk menemui sijago tua itu, ia
berkata pula: "Kalau benar, aku minta diwartakan kepada
tayhiap bahwa aku si orang she Lie..." Belum habis kata kata
Tiong Hoa, dia sudah disela.


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu mau minta bertemu dengannya, bukan ?" katanya
kaku, matanya pun mencilak, "Percuma saja, sahabat Kong
Looya coe sudah lama tak menerima tetamu, terhadap kamu
juga dia tidak dapat membuat kecualian Kalau ia mau
menerima kunjungan dia tak akan menerima orang tak
ternama" Tiong Hoa mendongkol tapi ia masih menyabarkan diri,
Tidak demikian dengan nona Cek yang lantas maju
menghampirkan. "Encie In, jangan...." si anak muda berseru.
Sudah kasip. Kedua tangan si nona sudah bekerja, Kedua
pipinya orangkasar itu berbunyi dua kali, dia roboh dengan
kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Dua yang lain menjadi gusar, Mereka berjingkrak bangun,
terus mereka menghunus golok mereka, menyerang si nona,
In ^io bertambah gusar, ia menangkis sambil berkelit, terus ia
menotok, Maka robohlah dua orang itu, roboh bergulingan
sambil merintih. Tak berdaya Tiong Hoa mau meredakan
panas hatinya si nona. "Adik Hoa mari" In Nio lantas
mengajak. Dengan terpaksa sampai ia menghela napas, si anak muda
turut keluar dari pas eban, untuk menghampirkan kuda
mereka, Maka juga dilain saat, keduanya sudah tengah me
lanjuti perjalanan mereka.
ooo Dipermulaan lohor ditengah jalan antara An-soen dan Tinleng
ada dua penunggang keledai yang lagi mengaburkan
binatang tunggangan mereka itu. Dibelakang mereka debu
mengepul naik, Merekalah sepasang pria dan wanita muda,
keduanya memakai topeng sutera hitam hingga mereka
nampak aneh. Ketika itu dipertengahan musim panas, hawa udara terik,
panasnya tak tertahankan membuat napas orang memburu
dan keringat mengucur deras.
Tengah melarikan kudanya itu, mendadak si anak muda
berseru tertahan, terus ia menahan kudanya maka dalam
sekejap binatang itu lantas berjalan dengan perlahan. si
pemudi lantas menurut contoh.
"Tidak disangka hawa udara begini panas mengkedus,
encie In," kata si anak muda. rperjalanan kita masih ada kira
satujam, Kupikir untuk siang-siang mencari pondok."
"Terserah " sahut si nona, "Tapi kau lihat sendiri, hari ini
ada banyak orang Rimba persilatan yang pada menuju ke
Keen beng, Kau dengar suara kuda dibelakang "
Si pemuda berpaling kebelakang, ia lantas melihat debu
mengepul tebal dan tinggi, di sana terdapat beberapa
penunggang kuda yang lagi kabur mendatangi. Bersama
sinona ia lantas minggir untuk memberi lewat pada mereka
itu. Itulah enam penunggang kuda yang kuda nya tinggi dan
nampak berduka bahkan yang besar, tetapi penunggangnya
satu lagi memegangi seorang muda bermuka pucat pias yang
tubuhnya berlepotan darah.
"Encie In. kembali pertempuran-" kata si pemuda.
"Mungkin dibelakang mereka ini ada pengejarnya...."
"Beginilah sikapnya seorang jago" kata si nona bersenyum,
"Bukankah pertempuran itu umum, apa pula disini didalam
wilayah selatan yang lagi keruh dan panas suasana nya"
Kenapa kau menjadi bingung tidak keruan-" Pemuda itu
bersenyum jengah. Benar dugaan Tiong Hoa. segera terlihat datangnya barisan
pengejar, yang terdiri dari belasan penunggang kuda. selagi
lewat cepat, mereka itu memandang tajam muda mudi ini.
"Hebat" Tiong Hoa berseru tiba-tiba, "Di antara mereka itu
ada orang Koa Kee Po. Mari kita susul dan melihatnya"
Si nona menjadi heran, pemuda itu agak jeri tetapi toh
usilan. "Adik Hoa, kau usil" kata ia. "Kau tahu, akan banyak timbul
kepusingan karenanya" si pemuda tertawa.
"Aku akan jadi si penonton saja" kata-nya. "Aku akan tak
turun tangan...." In Nio kewalahan maka ia menurut untuk menggeprak lari
kudanya. Tapi mereka lantas kehilangan orang-orang didepan itu.
jalanan disitu memang tak rata tinggi rendahnya, Terpaksa
mereka berjalan terus. Ketika akhirnya mereka tiba dikota Tinleng.
hari masih siang, Berisik kaki kuda mereka ketika mereka
berjalan dijalan besar yang tertabur batu lempengan.
"Encie, lihat" tiba-tiba Tiong Hoa berkata perlahan
tangannya menunjuk. In Nio menoleh, Disebelah kiri, ditepijalan, tertambat
banyak kuda yang lagi makan rumput dalam rombongan,
itulah kuda dari dua rombongan tadi, Merasa heran orang
mengambil satu tempat persinggahan mereka pun lantas
menghampirkan- Disitu ada sebuah rumah penginapan jongosnya sudah
lantas keluar menyambut tetamu muda mud i ini. memberi
hormat terus dia memegangi les kuda.
Ruang depan penginapan itu besar dan luas, mejanya
belasan biji, delapan diantara nya sudah ada tetamunya.
Rombongan dari belasan orang tadi memborong dua buah
meja bundar yang besar. Karena mereka memakai topeng, Tiong Hoa dan In Nio
menarik perhatian para tetamu. Mereka tidak
menghiraukannya. dengan tenang mereka memilih meja.
Lantas mata Tiong Hoa menyapu kesekitarnya, segera dia
nampak tercengang. In Nio turut melihat kearah pandangannya si pemuda,
sasararan mereka yalah si orang tua yang di Hoa- kie tadi
mereka ketemukan, yang menyapa mereka mengenai Keng
Kioe Houw. Juga si orang tua tengah mengawasi mereka, matanya
bersinar dingin, senyumannya tawar.
Tiong Hoa dan si nona tidak mau mengawasi orang, si anak
muda lantas memanggil jongos meminta arak dan barang
makanan. Hanya sebentar, didalam rombongan belasan penunggang
kuda terdengar seorang berkata: "Tadi malam rumahnya
bangsat tua she Keng di Hong Hoo Cioe telah disateroni
musuh-musuhnya, Diluar dugaan bangsat she Keng itu yang
namanya menggetarkan wilayah selatan telah berhasil
meloloskan diri dan lenyap tanpa bekas-bekasnya"
"Yo Loo-jie, beginilah biasanya kau, mulutmu seperti tidak
ada perintangnya" menegur seorang yang lainnya, "Kau tahu
tempat ini tempat apa" Kita masih mempunyai urusan kita
sendiri, buat apa kita bicara dari hal yang tidak ada perlunya?"
Tiong Hoa mendengar itu, hatinya terkejut Teranglah tiga
orang yang diketemukan didalam paseban itu bukan-orangnya
Kong Kioe Houw. sebaliknya merekalah mata-mata musuhnya
Kioe Houw, Kalau benar seperti katanya si Yo Loo-jie ini,
pastilah sudah, keluarga Kong itu telah mengalami bencana.
Maka ia lantas melirik In Nio. Nona In seperti tak
menghiraukan, dia menyingkir dari lirikan kawannya itu. Tiong
Hoa seperti tak berdaya, kembali ia menoleh kepada belasan
orang itu. Belasan orang itu lantas tak berbicara pula, mereka minum
dengan mata mereka sering-sering diarahkan kepintu,
Teranglah mereka lagi meng harap- harap penunggang kuda
yang berenam itu. Diam-diam Tiong Hoa memperhatikan mereka itu. Karena
ini ia menunda memikir untuk pergi ke Hong Hoo Cioe.
Si orang tua juga minum araknya dengan tenang, Tempat
duduknya itu yala h disamping pintu dari ruang dalam.
Disaat itu, semua ruang sepi sekali, sinar matahari layung
masuk kedalam ruang itu. Cuma diluar kadang kali terdengar
ringkiknya kuda, Ketika telah tiba saatnya api dinyalakan, jongos rupanya
lupa kepada tugasnya, kesunyian membuat dia menyender
saja dimeja tukang uang. Tak lama maka dua diantara belasan orang itu berbangkit
Dengan mengangkat kepala dengan tindakan lebar, mereka
menuju ke-dalam, sikap mereka acuh tak acuh, Tepat lewat
lima kaki dari si orang tua mendadak mereka memutar tubuh
mereka. Lalu dengan mendadak juga mereka menyerang orang tua
itu, yang diarah dada dan perut nya. Mereka itu meluncurkan
masing-masing lima buah jari tangannya, Mereka bergerak
sangat cepat. Orang tua itu nampak tenang seperti biasa ia tak
terkagetkan serangan tiba-tiba itu, Dengan sebat ia
meringkaskan dada dan perutnya, Ditarik mundur sedikit,
sebaliknya dua buah tangannya diluncurkan kedepan
segera juga terdengar teriakan yang menyayatkan hati.
Tubuhnya dua penyerang itu terpental mundur, roboh
menggabruk di depan mejanya tukang uang, dimana kedua
nya lalu berkoseran dan rintihannya terdengar terus. Tangan
mereka bengkak dan merah, dari lubang-lubang keringatnya
ke luar darah hitam. Si orang tua sendiri duduk tetap dikursinya, ia minum
araknya dengan tenang, seperti telah tak terjadi sesuatu,
sebaliknya sisa belasan orang itu terpentang mata dan
mulutnya disebabkan kaget dan heranTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Kedua orang yang berkoseran itu merintih terus, hanya
rintihannya makin lama makin perlahan, mereka juga berkoser
makin lemah. Akhirnya siraplah suara mereka, berhentilah bergeraknya
tubuh mereka itu. sekarang jiwa mereka sudah melayang,
tinggal muka mereka yang nampak menakuti.
ooooo BAB 22 TIONG HOA juga TERKEJUT. "Hebat orang tua ini." pikirnya, "Dia nampak lemah, siapa
tahu dia liehay sekali, Kenapa dia berlaku begini teleng as"
Mungkinkah diantara mereka ada permusuhan besar?" Karena
ini, ia menjadi mengawasi orang tua itu.
Jongos " kemudian terdengar suara si orang tua. "Cuaca
sudah gelap. kenapa kau masih belum memasang lampu"
Apakah kau hendak membikin aku si tua memasuki arak ku
kelobang hidungmu ?"
"Ya, ya " sahutnya, terus dia pergi mengambil api.
Belasan orang yang menjadi kawannya ke dua penyerang
yang naas itu mendusin dari kagetnya, mereka lari memburu
kepada mayat dua kawannya itu, untuk disambarkan dibawa
lari, sama sekali mereka tak menoleh lagi kepada si orang tua.
Habis itu terdengar suara larinya kuda yang berisik, lalu sepi
pula. sekarang ini api telah dinyalakan, Ruang depan dan ruang
dalam menjadi terang, Kecuali dua buah meja dari belasan
orang itu, yang sudah ditinggal kosong, masih ada tetamutetamu
dari enam meja yang lainnya.
Heran semua tetamu itu, walaupun peristiwa hebat sekali,
mereka semua berdiam saja, mereka repot dengan arak
mereka sendiri, Tak usilan mereka, tak tertarik perhatian
mereka. Seberlalunya rombongan itu, dari dalam kamar terlihat
munculnya seorang usia pertengahan yang ringkas
dandanannya, Dia bermuka bersih berewoknya pendek.
matanya bersinar les uh. Dia menghampirkan si orang tua,
untuk menanya perlahan: "Apakah mereka sudah pergi ?"
Si orang tua menggeleng kepala.
"Mereka pergi buat sementara waktu saja," sahutnya,
"Begitu lekas pemimpin mereka sampai, mereka bakal
melakukan penyerbuan. Maka itu kamu berjaga-jagalah
dengan seksama. Dia mengerutkan alis lalu menambahkan: "Dua orang yang
aku si orang tua minta bantuannya ditengah jalan masih
belum tiba, entah kenapa, Pihak sana mempunyai banyak
pembantu yang lihay, seorang diri saja sulit aku memecah
diri." orang usia pertengahan itu melirik pada Tiong Hoa
berdua, "Aku bersyukur atas bantuan kau loocianpwee," katanya
pula, tetap perlahan, "Karena bantuan loocianpwee, dari
Hokkian kami sampai disini dengan tidak kurang suatu apa.
Asal kita memasuki wilayah Inlam, aku percaya Tayhiap Pouw
Liok It tidak akan duduk diam bertopang dagu saja tanpa
membantu kita, Pouw Tayhiap sahabat kekal dari loo-sancoe
pasti tayhiap telah mendengarnya, hanya sayang belum
nampak ia mengirim bantuannya..." orang tua itu tertawa
tawar. "Dia repot dengan urusannya sendiri, mana sempat dia
mencampuri urusan kita?" katanya, "Kita harus mengandal
kepada diri kita sendiri, Kita terancam bahaya, syukur la h
apabila kita dapat menghindarinya. ia menyapu keseluruh
ruang untuk berkata pula: "Mereka itu tak perlu berkumpul
disini, baiklah kita disebar kepelbagai tempat gelap, supaya
begitu lekas mereka melihat sesuatu, lantas mereka
memberikan isyarat mereka."
Mendengar suara si orang tua, semua tetamu dari enam
meja itu lantas pada bangun untuk terus berjalan keluar.
Melihat demikian baru Tiong Hoa tahu bahwa orang
kawannya si tua ini. si orang usia pertengahan sudah lantas kembali kedalam,
hingga disitu tinggallah si orang tua sendiri, Dia tunduk.
agaknya dia lagi berpikir.
Tiong Hoa kata dalam hatinya: "Benar-benar keruh suasana
disini.." ia lantas berpaling kepada kawannya, ia mendapatkan
In Nio repot dengan sumpitnya, untuk memasuki nasi kedalam
mulutnya, Maka iapun makanlah.
"Jongos." ia memanggil, setelah mereka dahar cukup, "
apakah ada kamar yang bersih?"
"Ada, ada" sahut jongos, gegap. "silahkan tuan berdua
turut aku." In Nio berbangkit lebih dulu, Tiong Hoa mengikuti.
Setibanya didalam kamar, habis jongos menyediakan teh
dan mengundurkan diri, si nona kata pada kawannya: "Adik
Hoa" "Meski ilmu silatmu lihay, pengalamanmu kurang sekali,
seharusnya kau mengenal lebih banyak selak-seluknya dunia
Kang ouw atau Rimba Persilatan, kau mesti pandai melihat
selatan guna membedakan satu dari lain, Kekeliruan akan


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti penyesalan. Tak ada faedahnya menimbulkan
permusuhan tanpa alasan, Adik, andaikata kau ketarik hati,
baiklah kau menyelidiki dulu supaya kau dapat membantu
pihak yang tepat." Tiong Hoa mengangguk seraya bersenyum, ia menginsafi
kebaikan si nona. "Aku tahu encie tak menghendaki aku mencampuri urusan
luar," katanya, "Aku juga cuma ingin melihat keramaian saja.."
"Nah, kau pergilah" katanya, jangan sembarang
memperlihatkan diri supaya kau tak mendatangkan salah
paham, Aku sendiri ingin merebahkan diri."
Si nona lantas mengibas memadamkan lilin hingga
kamarnya menjadi gelap. Tanpa ayal, Tiong Hoa pergi keluar, untuk terus naik
kegenteng, ia mendapat kenyataan seluruh hotel telah
terbenam dalam kegelapan dan kesunyian. syukur untuknya ia
telah biasa dengan tempat gelap, ia berdiri diam diatas
genteng, ia menduga-duga dimana adanya rombongan
penumpang kuda yang enam itu.
Tengah berdiam itu ia melihat dua bayangan berkelebat
sejarak sepuluh tombak. Dengan sehat ia lompat untuk
menyembunyikan diri, atau ia lantas dengar jatuhnya senjata
rahasia kegenteng dimana barusan ia berdiri, Dua kali suara
itu berbunyi. Meski ia heran, ia toh mengagumi lihaynya
sipenyerang itu. sudah matanya awas, serangannya tepat,
Kalau ia tidak keburu menyingkir, pasti ia akan jadi kurban.
Dua penyerang itu berdiri diam diwuwungan depan.
"Ah, apakah mataku kabur?" terdengar yang satu kata
perlahan. Kenapa aku tidak melihat dia?"
"Hus". sahut yang lainnya, " Hati- hatilah"
"Kalau pihak sana lihai sekali, sekarang masih siang, kita j
angan membikin kaget orang disekitar kita. Loocianpwee
mengatakan bahwa sepasang muda-mudi tadi mencurigai,
entah mereka musuh atau bukan, kita dipesan jangan
menyebabkan mereka gusar, Bayangan barusan mungkin juga
mereka itu adanya...."
"Apakah bala-bantuan Lo Loocianpwee sudah datang ?"
"Ya." jawab sang kawan-
"Tadi baru datang yang satu. Katanya dialah sin Hong sioe
soe Kim som." Tiong Hoa melengak. "Eh, mengapa dia datang ke selatan ini?" tanyanya dalam
hati. Dua orang itu tidak berdiam lama, lantas mereka melenyap
ke selatan. Tiong Hoa terus berdiam, matanya melihat kelilingan,
sekitarnya tetap gelap dan sunyi.
Baru kemudian muncul juga sinar rembulan yang sangat
guram, Ketika terdengar tanda waktu tiga kali ia melihat
bayangan-bayangan muncul dari empat penjuru wuwungan-
Hanya sejenak semua bayangan itu lenyappula.
"Nampak mereka semua gesit sekali." pikirnya, "Kalau
mereka semua musuh, mereka benar-benar liehay."
Baru berpikir begitu atau Tiong Hoa mendengar suara pintu
kamar dibawahannya terbuka, terlihat dua orang bertindak
keluar, berdiri dimuka kamar yang menjadi satu pekarangan
terbuka yalah pelataran dalam rumah, R^ta-rata mereka itu
sudah berusia limapuluh lebih, matanya tajam. Yang satu
memiliki hanya sebelah tangan kanan, ujung tangan bajunya
yang kiri berkibaran- "Syukur lukanya siauw-sancoe mendingan," kata si tangan
satu itu, "cuma didalam tempo yang pendek tak dapat ia
sembuh seluruhnya, ia mesti dijaga jangan gusar, nanti
darahnya bergolak dan mandek. Paling benar ia jangan
ketahui sebala kejadian sekarang..."
"Saudara Coei," kata orang d is isinya, "orang itu sudah
datang Apakah kau tidak mau menyambut sahabatmu?" si
tangan satu tertawa. "Siang-siang tela^ aku melihatnya" sahutnya. Lalu dia kata
nyaring: "Hanya aku kuatir sahabat baik kita tak sudi
memperlihat kan dirinya, hingga sulit untuk aku Tok Pie Lengkoan
menyambutnya." Baru berhenti suara itu, sambutan telah datang dalam rupa
tertawa dingin, datang nya dari sebuah pohon gouw-tong, dari
mana terdengar pula kata-kata ini: "coei Leng-koan, apakah
belum cukup kau mengicipi kepahitan selama beberapa hari ini
beruntun- runtun" jikalau aku si tua menjadi kau. pasti siangsiang
sudah aku menarik diri Menurut nasihatku, sekarang ini
masih ada ketika untuk kau melepas tangan-.." Si tangan satu
mengawasi kepohon gouw tong yang cabang dan daunnya
lebat itu. "Oh, kiranya disana saudara Liap Hong gelar ok coe Pong
yang pandai berakal muslihat" kata dia tertawa, "pantas
segala daya upayaku menjadi sia-sia belaka, aku seperti
membentur tembok kokoh kuat"
Dia hening sejenak lantas dia kata pula keras: "Saudara
Liap^ sebenarnya kau bermusuh apa dengan Kang san-coe"
Bukankah Kang san-coe telah menutup mata" Bukankah
dengan kematian berarti permusuhan habis sudah" Apakah
faedahnya untuk Liap Hong buat dia ingin membasmi pohon
berikut akarnya" orang diatas pohon itu tidak lantas menjawab, sebaliknya
dia lompat turun, untuk berdiri didepan si tangan satu itu yang
di panggil she coei gelar Tok Pie Leng-koan, si Hakim
bertangan Tunggal. Tiong Hoa melihat seorang bertubuh kecil dengan kepala
besar, kepalanya lanang dan tak berkumis. Dia mengawasi
tajam kepada si tangan satu dan kawannya, baru dia kata
dalam: "Sudah banyak tahun kita tidak bertemu. kiranya Coei
Leng-koan masih tetap angkuh danjumawa, kau membuatnya
aku si orang tua kagum Tapi marilah kita bicara urusan kita,
urusan sekarang ini Bukankah kau telah ketahui baik
duduknya hal " Tee In san-coe d ibenci pemerintah Ceng, dia
terbinasa dalam kepunganny a sembilan belas jago dari istana,
syukur aku si orang tua menggunai akal maka sancoe kamu
yang muda telah dapat lolos dari bahaya jikalau aku mau
membasmi pohon sampai kepada akarnya, sepuluh sancoe
juga pasti telah berangkat rohnya ke negara setan, mana
sancoe kau itu dapat hidup sampai saat ini?"
"Tapi inilah namanya budi menagih budi" kata sitangan
tunggal. "Pikiran itu harus dibikin mati "
Ok-Coe-Pong Liap Hong si "Thio Liang Jahat" tertawa
besar, suaranya itu berkumandang meny era mka n.
"Liap Hong, kau tertawakan apa ?" si tangan satu menegur,
gusar. "Aku mentertawakan kau " kata Liap Hong, yang berhenti
tertawa, Kau harus ketahui, yang sekarang ini menghadapi
kau bukan cuma aku si orang she Liap sendiri, maka itu kau
haruslah menginsafi bahaya Untukku guna menyingkirkan
ancaman malapetaka itu, cukup asal kau minta siauw-sancoe
memberi pinjam padaku gelang kemala Han-peksgiok yang
tahun dulu itu di hadiahkan kepadanya oleh cit chee cioe
Pouw Liok It" Sebelum sitangan satu menjawab, dari kejauhan terdengar
tertawa dan perkataan yang dingin ini: " Liap Hong janganlah
kau merasa terlalu pasti dengan hitungan kau jikalau
bukannya kau yang saban-saban merintangi, mana dapat si
bangsat kecil she Kang hidup sampai sekarang ini" Ketahui
oleh kau kota sengkeng kwan yalah kota Hong-touw-shia
untuk kamu satu orang juga jangan harap lolos orang she Liap
kau pun terhitung diantaranya"
Tidak menanti suara orang berhenti, Liap Hong sudah
membentak: "siluman tua jangan banyak lagak Masih belum
ketahuan akanjangan bakal terjatuh ditangan siapa "
"Menurut aku si orang she Liap justeru kaulah yang
sekarang lagi menghadapi hukuman picis, otot-otot putus
lamanya tujuh hari selama kau belum putus jiwa" Liap Hong
terus tertawa dingin. Kata-kata itu tidak memperoleh sambutan maka itu selang
sekian lama, orang she Liap ini mengawasi pula si tangan
satu, guna tertawa tawar dan berkata lagi: "sekarang ini
disekitar hotel ini telah datang tak sedikit musuh aku si orang
tua akan menggunai akal, tidak dengan tenaga kekerasan
Nah, sampai ketemu pula"
Tiong Hoa kagum untuk ilmu ringan tubuh orang she Liap
itu. Kemudian ia kata dalam hatinya: "Dalam ribuan lie mereka
mengejar si orang she Keng, tak lebih tak kurang maksudnya
untuk sebuah gelang kemala Entah, mustika apakah itu hingga
gelang itu ada harganya untuk dipakai mengadu jiwa" Coba
aku menjadi si orang tua tangan satu ini, pasti aku sudah
menasihati si orang she Keng untuk melepaskannya. Buat apa
karena kemala itu diri dibiarkan terancam bahaya dan setiap
saat selalu ber kuatir saja?"
Melihat kepergiannya Liap Hong, orang tua bertangan satu
itu berkata perlahan kepada orang tua disisinya : "saudara
soen, aku si orang she Coei mau pergi, sebentar saja aku akan
kembali, Aku minta sukalah kau berlaku waspada "
Habis berkata, ia bertindak pergi, ketika ia sudah sampai d i
pojok tembok. mendadak dia memutar tubuh nya dengan
gesit, untuk dengan hebat me lakukan penyerangan.
Hampir berbareng dengan itu, satu tubuh melesat keluar
dari pojok yang gelap itu, Tubuh itu melesat sambil tertawa
lebar, terus dia lompat keluar dari tembok pekarangan dalam
itu. Si orang tua yang dipanggil she soen itu tertawa.
"Saudara Coei, buat apa kau bekerja dengan menuruti
suara hatimu itu?" kata dia. " walaupun kau liehay, apakah
kau dapat perbuat?" Si tangan satu berpaling kepada orang she soen ini, sinar
matanya menandakan dia gusar bercampur bimbang, Baru
sesaat kemudian ia berkata perlahan : "Aku Coei Kiat Him,
sedari siang .siang telah aku melihat kau soen Loen Teng
orang macam apa, semenjak jalan aku telah menerka hatimu
karena kau suka berpeluk tangan menyaksikan saat-saat yang
berbahaya, jikalau terkaanku tak keliru, kau juga datang untuk
mendapatkan gelang kemala itu sungguh tidak disangka
dikolong langit ini boleh ada orang semacam kau yang sakit
didalam hatinya" Disenggapi demikian, orang she Soen itut tidak menjadi
jengah atau gusar, dia cuma tertawa tawar, Kata dia:
"saudara Coei, hari ini tabiatmu berubah lain sekali. Mana
dapat kakakmu beranggapan seperti kau" Kau harus ketahui,
sekarang ini siapa juga jangan mengharap yang dia akan
dapat pulang dengan masih hidup, Begitu berkata, dia
memutar tubuhnya untuk kembali kedalam. Tiba-tiba tubuh
Coei Kiat Him bergerak lalu dia menghadang didepan Loen
Teng. "Saudara Soen, kau mau pergi kemana?" dia tanya sembari
tertawa tawar. Loen Teng berhenti bertindak, ia tidak
menjawab. Tiong Hoa mengawasi. Tak tahu ia dua orang itu musuh
atau kawan satu pada lain. Aneh sikapnya si orang she Soen.
"Musuh besar belum dapat disingkirkan, kau dan aku
hendak berperang saudara." kata Loen Teng kemudian, "kalau
warta tersiar dalam dunia Kang-ouw, pasti kita bakal jadi buah
tertawaan orang. Karena kita bercita-cita lain malah aku
dicurigai, aku pikir baiklah kita berpisah siang-siang saja."
"Aku lihat lebih baik kau jangan pergi." kata Kiat Him.
Soen Loen Teng melihat orang menggeraki sedikit tangan
kanannya, matanya lantas terbuka tebar, dengan keras dia
berkata: "Biarnya pukulan udaramu kesohor lihai sebagai si
pengejar arwah dalam seratus tindak, aku si orang she soen
tidak jeri terhadapmu jikalau aku bukannya mengingat
kebaikan sancoe tua semasa hidupnya, tak nanti aku dapat
bersabar seperti ini"
"Segala kata-kata paisu" kata Kiat Him singkat.
Loen Teng gusar hingga mendadak ia meninju dada
kawannya itu. ia mengguna i tipu silat "Awan keluar dari
lembah." Kiat Him sudah bersiap sedia, maka itu begitu diserang ia
menyambuti, Mereka berdiri dekat satu dengan lain, tinju
mereka beradu keras dan bersuara nyaring. Atas itu Kiat Him
terhuyung dua kali dan Loen Teng terpental mundur tiga
tindak. Didala m cuaca guram itu, keduanya lantas saling
menyerang pula. Selagi mereka bertempur seru, mereka mendengar tertawa
dingin perlahan. Ked uanva kaget, lantas keduanya lompat
mundur, Berbareng dengan itu satu tubuh yang besar
berlompat turun diantara mereka, menolak keras sekali,
hingga keduanya mundur pula dengan terpaksa.
Begitu menginjak tanah, dia maju kepintu kamar untuk
menggempur, hingga dengan menerbitkan suara berisik, daun
pintu menjeblak. Terus dia berlompat untuk masuk kedala m.
Didala m kamar itu terlihat api berkelebat lalu padam, lalu
orang itu lompat keluar. Dengan berbareng Kiat Him dan Loen Teng maju
menyerang orang tidak dikenal itu, yang datangnya secara
mendadak dan berlalunya secara cepat sekali, orang itu
menangkis dengan mengibas kedua tangannya, tubuhnya
lolos, maka terus dia berlompat naik, terus dia melenyapkan
diri,., Menyusul kepergiannya orang itu d iempat penjuru genteng
terlihat beberapa bayangan yang pun terus menghilang.
Coei Kiat Him mengawasi kearah kemana orang
menghilang, dia tertawa dingin tak hentinya. soen Loen Teng
sebaliknya berdiam berpikir.
Tiong Hoa ditempat sembunyinya juga kaget dan heran,
Anginnya gerakan orang itu demikian keras sampai mengenai
ia yang lagi sembunyi sampai tubuhnya mesti dig era ki untuk
menyingkir hampir dia jatuh dari pa yon, yang ia pegang i
dengan keras, ia kuatir nanti kepergok dan tersangka jelek.
Ketika itu terlihat pula berkelebatnya dua bayangan orang,
yang muncul dari wuwungan depan, Dua orang itu lompat
turun ke-pelataran, Tempo Tiong Hoa sudah mengawasi, ia
mengenali si orang tua sebagai sasterawan dan sin Hong sioeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
soe Kim som. ia berdiam terus untuk memasang mata dan
telinga. si orang tua lantas berkata: "Rasanya malam ini bencana


Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lewat, Hanya tipu daya kita Tiga Liang Kecil kena
mereka pecahkan syukur mereka tidak tahu, aku si orang tua
telah menyembunyikan siauw-san coe dilubang yang
keempat...." "Saudara Lo." kata Kim som. " Kenapakah mereka itu
ketahui baik sekali tipudaya kau" Mungkinkah dipihakmu ada
orang yang membocorkan rahasia?" Mendengar itu, Coei Kiat
Him mengawasi soen Loen Teng, Dia tertawa dingin.
si orang tua dengan dandanan sasterawan seperti tak
melihat gerak-geriknya dua orang itu, dia hanya menoleh
kepada Kim som untuk memberikanjawa bannya, Kata dia:
"Sama sekali aku telah mengguna Habis semuanya
tigapuluh enam akalku Dari sini kita akan pergi ke seng- kengkwan
ke-wilayah Inlam untuk itu kita membutuhkan tempo
perjalanan delapan belas jam, jalanannya juga sukar sekali.
saudara Kim, apakah kau mempunyai dayamu" Aku sendiri,
aku sudah putus asa." sin Hong sioe-soe berpikir.
"Aku tidak mempunyai daya apa juga maka itu baik kita
bertindak dengan melihat gelagat saja," sahutnya kemudian.
"Ok-coe-Pong Liap Hong sangat banyak akalnya, dia sangat
licin, dia pun dapat membunuh orang tanpa orang mengetahui
apa-apa. sampai sebegitu jauh kau bisa menyingkir dari dia,
Saudara Lo, kau sebenarnya cerdik seumpama Coe-kat Liang,
sekarang kau minta akal dari aku. Tidakkah itu lucu ?"
sasterawan tua itu tertawa.
"Aku bertindak menurut apa yang akupikir baik." katanya,
"Aku mengguna i tombaknya menikam tamengnya sendiri
sebenarnya ada yang ditakuti Liap Hong. Dengan
membinasakan kita, dia tidak akan memperoleh kefaedahan.
Dia sebenarnya mengarah gelang kemala Han-pek-giok " Kim
som heran. "Sebuah gelang kemala toh berharga cuma seribu tahil
emas ?" katanya, " itulah benda yang umum, kenapa dia
menghargai dan mengharapinya demikian sangat " Benarbenar
aku tidak mengerti."
Orang tua itu menggeleng kepala, ia menghela napas.
"Itulah rahasia dan yang mengetahuinya dipihak kami cuma
aku si orang she Lo sendiri," kata dia. "Dipihak sana yang
mendapat tahu cuma Liap Hong bersama Kie soen berdua,
Liap Hong terhitung satu rombongan, yalah dia bekerja
sendiri, Kie soen sebaliknya memakai tenaganya belasan
rombongan Rimba Persilatan, Mereka itu telah mencari tahu
dimana adanya gelang kemala itu, atau beradanya ditangan
siapa, akan tetapi masih menjadi teka-teki."
Berbareng dengan kata-katanya itu, orang she Lo ini
bertindak bulak- balik, lalu mendadak tubuhnya mencelat
kearah dimana Tiong Hoa lagi bersembunyi, menyambar
dengan sepuluh jari tangannya yang kuat, inilah karena tadi
ketika si anak muda bergerak. dia telah mendengar dan
melihat, hanya sekian lama, dia waspada, dia menanti ketika
untuk menerkam. Tiong Hoa masih hijau tetapi pengalamannya bertambah
setiap hari, lebih-lebih setelah dia terjeblos dalam perangkap
di Yan Kee Po karena kelicikannya Pek Kie Hong. selanjutnya
dia terus waspada, juga kali ini, sekarang dia insaf akan
Siluman Bukit Menjangan 2 Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria Bertopeng Pendekar Mata Keranjang 23
^