Pencarian

Darah Pendekar 2

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


semua orang gagah itu, hubungan antara tamu dan tuan rumah menjadi semakin
akrab. Mereka lalu melakukan penjagaan dan perondaan dilakukan secara bergilir. Pek Lian
bersama Bwee Hong berada di dalam kamar nona rumah itu, bercakap-cakap dan kemudian mereka mengaso
dengan duduk bersila dan melakukan siulian. Bagi orang-orang yang telah mempelajari
ilmu silat tinggi seperti mereka, tidak tidurpun tidak menjadi persoalan dan mereka cukup duduk
bersila membiarkan tubuh mereka dan pikiran mereka beristirahat, namun kesadaran mereka
masih ada dan biarpun mereka seperti dalam keadaan tidur, namun sedikit perobahan keadaan
saja sudah cukup untuk membuat mereka sadar. Mereka tetap waspada. Kakek Bu bersama
isterinya juga beristirahat di dalam kamar mereka. Kim-suipoa duduk bersila seorang diri di
ruangan tengah, sikapnya penuh kewaspadaan. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun tadinya juga berjaga di
situ, akan tetapi mereka berdua lalu melakukan perondaan di sekitar tempat itu dengan hati-
hati dan waspada sekali. Sambil meronda, Pek-bin-houw yang merasa amat tertarik oleh
keluarga yang menjadi pewaris ilmu dari tokoh datuk yang hidup seabad yang lalu, yaitu Sin-
yok-ong itu, mengajak si pemuda untuk membicarakan soal perguruannya.
"Saya pernah mendengar bahwa seabad yang lalu, nama Sin- yok-ong merupakan nama
yang amat hebat dan terkenal di seluruh dunia sebagai tokoh yang paling lihai di
antara datuk- datuk lainnya yang pernah ada."
"Menurut keterangan ayah memang ada benarnya demikian. Akan tetapi sesungguhnya
ilmu silat empat orang datuk itu, dua dari golongan putih dan dua dari golongan
hitam, berimbang tingkatnya. Hanya karena sucouw Sin-yok-ong itu memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang hampir dikatakan sempurna, maka beliau mempunyai kelebihan dari pada yang
lain, dan agaknya itulah kemenangannya. Sayang bahwa kami sekeluarga tidak mewarisi
ginkang yang hebat itu," kata Bu Seng Kun.
"Menurut kata-kata Bhong Kim Cu si jubah coklat itu, keluargamu menerima dua
macam ilmu, taihiap." Bu Seng Kun menarik napas panjang. "Menurut penuturan ayah, di antara tiga orang
murid beliau, tidak ada yang memiliki bakat hebat seperti beliau sehingga tidak ada
yang dapat menguasai semua ilmu dari sucouw Sin-yok-ong itu. Maka agar adil, sucouw lalu
membagi bagi ilmunya, disesuaikan dengan bakat masing- masing. Kakekku, sebagai murid
pertama, menerima pusaka tentang latihan tenaga dalam. Murid ke dua menerima kitab pusaka tentang
ilmu-ilmu silat dari sucouw dan rahasia-rahasianya, sedangkan murid yang termuda menerima kitab
pusaka tentang ilmu ginkang beliau yang hebat itu."
"Sayang bahwa kepandaian yang hebat dari mendiang Sin- yok-ong harus dibagi-bagi
seperti itu. Akan tetapi keluarga taihiap selain menerima pusaka, tentang Iweekang, juga
memperoleh pusaka ilmu pengobatan."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Benar, akan tetapi justeru ilmu ini sekarang akan dijadikan rebutan dan
karenanya memecah-belah persaudaraan seperguruan," kata si pemuda) dengan suara menyesal
sekali. "Lalu di manakah murid termuda yang ahli ginkang itu kini?" Pek-bin-houw merasa
amat tertarik. "Entahlah, seiak kakekku meninggal beliau tidak pernah terdengar lagi berada di
mana. Ilmu ginkangnya, menurut ayah, amat hebat, bahkan tidak kalah hebatnya dengan ilmu
ginkang yang pernah dimiliki oleh sucouw Sin-yok-ong sendiri."
"Ah, bukan main ! Saya kira di dunia ini tidak ada lagi orang yang dapat
menyamai kesempurnaan ginkang dari Sin-yok-ong seperti yang pernah saya dengar dari guru
saya." "Paman keliru," bantah Bu Seng Kun. "Pada jaman sucouw itu, masih ada seorang
lagi dari golongan hitam yang malang- melintang di utara dan selatan. Dia ini memiliki
ginkang yang boleh dibilang setingkat dengan sucouw, biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat
keempat orang datuk itu. Tokoh ini amat terkenal, terutama di dunia kang-ouw, di kalangan
liok-lim dan bahkan ditakuti oleh pemerintah pada waktu itu. Nama julukannya adalah Bit-bo-ong (Raja
Kelelawar)." "Ah, saya pernah mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Seperti dalam dongeng
saja dan tidak saya sangka bahwa benar- benar ada orangnya. Kabarnya, tokoh ini menguasai
semua golongan hitam, baik dari para pencopet paling kecil sampai maling, perampok,
tukang tadah, penjudi dan tempat pelacuran semua dikuasainya. Katanya ilmu silatnya juga hebat
sekali. Dia dijuluki Raja Kelelawar karena keluarnya hanya di malam hari, tidak pernah
keluar di siang hari. Benarkah itu ?" "Kabarnya demikian menurut cerita ayah. Yang sungguh menyedihkan, kalau dulu
sucouw amat terpandang sebagai datuk para pendekar sedangkan Raja Kelelawar sekalipun
tidak berani main-main di depannya. Akan tetapi murid-muridnya membuat perguruan menjadi
terpecah-belah, dan sekarang malah paman kakek guru ke dua mengirim murid-muridnya untuk memaksa
ayah menyerahkan kitab pusaka yang menjadi hak milik ayah. Sungguh membikin hati
penasaran dan menyesal sekali. Mengapa bermusuhan antara saudara seperguruan sendiri sehingga
hanya menimbulkan kelemahan di antara saudara sendiri ?"
Pek-bin-houw menarik napas panjang. Dia sudah banyak pengalaman dan tidak merasa
heran. Betapapun tinggi kedudukan seorang manusia, betapapun pandainya dia,
selama sang aku masih menguasai diri, sang aku yang selalu mengejar kelebihan, sudah pasti hidup
ini menjadi arena persaingan, permusuhan dan kebencian, Dia adalah orang luar, tidak berhak
mencampuri urusan keturunan datuk sakti itu. Akan tetapi, melihat betapa sikap Bu Seng Kun
demikian polos, demikian terbuka terhadap dirinya, diapun merasa tidak enak kalau hanya diam
saja. "Bu-taihiap, sungguh patut disayangkan bahwa ilmu-ilmu dari mendiang kakek buyut
gurumu itu, Sin-yok-ong locianpwe, telah terpecah-pecah dan terbagi-bagi
sehingga tentu saja menjadi berkurang kelihaiannya. Siapa tahu kalau-kalau usaha peminjaman pusaka
itu bermaksud untuk mempersatukan kembali ilmu-ilmu yang tercecer-cecer itu " Apakah tidak
pernah taihiap mempunyai minat untuk mempelajari semua ilmu keturunan perguruan taihiap, dengan
jalan mempersatukan dan saling mempelajari dengan ilmu- ilmu yang terjatuh kepada
murid-murid yang lain ?" "Ahhh ...... !" Bu Seng Kun terbelalak dan berteriak kaget. "Benar juga kata-
katamu, paman ! Kenapa keluarga kami tidak berpikir sejauh itu " Bukankah lebih baik kalau
kami memberikan kitab itu dan sebaliknya meminjam pusaka mereka dan kami saudara-saudara
seperguruan saling mempelajarinya sehingga kami semua dapat mewarisi seluruh ilmu dengan lengkap ?"
Pek-bin-houw tersenyum. "Sebuah pikiran yang baik sekali, Bu-taihiap. Akan
tetapi, melihat sikap mereka, agaknya mereka itu tidak dapat di-golongkan pendekar-pendekar dan
mungkin saja akan bertindak curang. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau taihiap
memperbincangkannya de- ngan ayah taihiap." Mereka terus meronda dan bulan sudah naik tinggi. Keadaan amat sunyi sekali.
Sunyi yang mengerikan karena mereka masih menduga akan adanya ancaman pihak yang tidak
beritikad baik terhadap keluarga Bu. Tiba-tiba saja keadaan menjadi terang-benderang di daerah hutan itu. Kiranya
awan tipis yang tadinya lewat dan menghalangi sinar bulan, kini lenyap dan bersih terbawa
angin. Langit nampak terang dan bulan tidak terhalang apapun se-hingga dapat menjatuhkan
sinarnya ke bumi, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
se-penuhnya. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun yang mengadakan perondaan, tiba di
tepi hutan. Keadaan tetap amat sunyi dan tiba - tiba terdengar bunyi gonggong anjing dari
jauh. Bukan seperti anjing menggonggong ke arah bulan purnama, dengan suara yang menyayat
hati, seolah- olah anjing yang menggonggong bulan itu menjadi berduka dan menangis, melainkan
gonggong anjing pelacak! "Sungguh aneh, suara itu bukan suara anjing hutan," kata Bu Seng Kun, "dan
setahuku, di sini tidak ada anjing jinak peliharaan orang."
Akan tetapi, Pek-bin-houw memegang lengannya dan menarik pemuda itu menyelinap
di balik sebatang pohon besar yang gelap dalam bayangan daun-daun lebat. Hidung
pendekar tua itu bergerak mencium-cium seperti hidung anjing pelacak pula.
"Mereka datang...... " bisik kakek itu dan mukanya berobah pucat.
"Apa...... " Siapa..... ?" Seng Kun bertanya, heran sekali melihat kakek
pendekar yang gagah perkasa itu nampak seperti orang ketakutan.
"Ssttt...... tunggu dan lihatlah..." kata kakek itu.
Pemuda itu kini dapat pula mencium bau harum. Namun dia masih belum mengerti.
Dan tak lama kemudian, terdengar lagi gonggong anjing bahkan suaranya ada beberapa ekor.
Kemudian muncullah empat orang yang memikul sebuah keranjang bambu yang besar dan
panjang. Pek-bin- houw memandang kepada rombongan orang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Memang keadaan mereka itu amat memeramkan. Pakaian mereka putih-putih dan wajah
mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat seperti muka mayat, muka orang yang
jarang terkena sinar matahari rupanya. Mereka semua ada delapan orang, empat orang memikul
keranjang dan empat orang lagi menjaga di kanan kiri. Empat ekor anjing hitam, putih, coklat
dan belang berjalan bersama rombongan ini, kadang-kadang di belakang kadang- kadang
mendahului di depan. Anjing-anjing biasa saja, tidak terlalu besar, namun mereka itu nampak
liar dan ganas. Setelah tiba di luar hutan, delapan orang itu berhenti, dengan hati-hati empat
orang pemikul keranjang bambu itu menurunkan keranjang dan seorang di antara empat yang lain,
yang suaranya nyaring halus mengandung wibawa yang menyeramkan, berkata, "Kita telah
sampai di tempat yang dituju. Kalian harus berhati-hati. Suhu bilang bahwa ilmu silat
keturunan locianpwe Sin-yok-ong amat lihai. Biarlah kita berhenti di sini dulu, nanti setelah lewat
tengah malam kita mengetuk pintu." Sementara itu, Bu Seng Kun yang memandang penuh perhatian, tidak juga mengenal
siapa adanya orang-orang aneh yang berpakaian putih dan bermuka pucat itu. Melihat
bahwa agaknya kakek Pek-bin-houw mengenal mereka, maka diapun berbisik lirih bertanya.
"Ah, apa kau tidak dapat menduga, taihiap " Mereka itu jelas adalah orang-orang
dari Kuburan Besar, iblis-iblis dari Tai-bong-pai !"
Kini Seng Kun terkejut sekait dan memandang ke arah rombongan erang yang
berhenti agak jauh dari situ dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar banyak
tentang Tai- bong-pai. Nama Tai-bong-pai muncul pada jaman kakek buyut gurunya, kira-kira
seabad yang lalu. Karena agaknya Pek-bin-houw tahu banyak tentang partai ini, maka dia bertanya
lagi, "Paman, benar - benar hebatkah mereka itu ?"
"Mereka mengerikan!" kata Pek - bin - houw lirih. "Akan tetapi kenapa mereka itu
datang ke sini " Padahal, mereka hampir tidak pernah keluar dari sarang mereka, yaitu
sebuah kuburan kuno yang amat luasnya, yaitu bekas kuburan para bangsawan di jaman dahulu dan yang
letaknya jauh di daerah barat melalui Gurun Go-bi. Kuburan di bawah tanah itu berisi kamar-
kamar seperti sebuah istana dengan benteng yang kuat dan luas. Seratus tahun lebih yang lalu,
tempat ini dimanfaatkan oleh seorang datuk iblis yang membuat jalan-jalan terowongan antara
makam- makam itu dan dijadikan sarang, turun-temurun sampai sekarang."
Seng Kun mengangguk-angguk kagum. "Iblis-iblis Tai-bong- pai ini mudah diketahui
karena kemunculan mereka tentu membawa bau dupa dari tubuhnya apa bila mereka
berkeringat. Akan

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi mereka itu jarang sekali keluar sehingga keadaan mereka tidak dikenal
orang." "Paman, mari kita keluar dan kita temui mereka. Mereka tiba di daerah kami,
perlu kutanya apa maksud mereka mengunjungi kami di tengah malam begini," kata Seng Kun.
Selagi Pek-bin-houw meragu karena maklum betapa berbahayanya bertemu dengan
iblis-iblis atau kawanan Tai-bong- pai itu, tiba-tiba ada anjing menggonggong di dekat
mereka. Tentu saja KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
anjing-anjing itu dengan mudah dapat menemukan terapat persembunyian mereka dan
kini empat ekor anjing pelacak itu sudah mengurung mereka dan menggonggong dengan ribut
sekali. Melihat keadaan anjing-anjing mereka itu, seorang di antara delapan orang aneh
itu sekali menggerakkan kakinya sudah mencelat dan tiba di depan Seng Kun dan Pek-bin-houw
yang terpaksa harus keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Orang-orang jahat, keluarlah dari tempat per-sembunyian kalian untuk menerima
hukuman!" kata orang Tai-bong-pai itu yang ternyata adalah si pemimpin yang
bersuara nyaring tadi. Muka orang ini pucat sekali, pakaiannya putih-putih seperti orang dalam
keadaan berkabung, dari mori kasar dan berlengan pendek. Rambutnya digelung ke atas dan keadaannya
amat sederhana, agaknya disesuaikan dengan keadaan orang berkabung. Di tengah dahinya
terdapat sebuah benjolan sebesar kacang yang berwarna merah, membuat wajahnya nampak
lebih menyeramkan lagi. Pek-bin-houw melangkah maju dan memandang kepada orang itu, lalu berkata tenang
dan sabar, "Harap saudara jangan sembarangan memaki orang sebagai orang jahat.
Sebaliknya kalianlah yang datang di tempat orang di malam buta, sungguh amat mencurigakan."
"Nanti dulu, apakah engkau keturunan dari Raja Tabib Sakti ?" tanya orang itu.
Tentu saja Pek-bin-houw menggeleng kepalanya. Bukan, aku . . . . . ."
"Tak perduli engkau siapa, kalau bukan ketu-runan Raja Tabib Sakti, engkau harus
mati karena telah melihat kami!" Berkata demikian, orang ber-pakaian putih itu sudah
menyerang Pek- bin- houw dengan tamparan kedua tangan dari kanan kiri!
"Plak-plak-plak-plakk ! !" Empat kali Pek-bin-houw diserang dan empat kali dia
menangkis dengan pengerahan tenaga, akan tetapi ternyata orang itu kuat sekali dan sama
sekali tidak terdorong oleh tangkisan-tangkisannya, bahkan dia sendiri merasa betapa kedua
lengannya tergetar hebat ! Bukan main, pikirnya. Kembali dia telah bertemu dengan orang
yang amat lihai, yang agaknya memiliki tingkat kepandaian tidak kalah tinggi dari pa-danya. Dan
orang berpakaian putih itupun agaknya penasaran karena empat kali serangannya berturut-turut
dapat dihindarkan lawan, maka dia mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Pek-bin-houw mengelak, menangkis dan balas menyerang, namun dia segera
terdesak oleh lawan yang memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya itu. Terutama
sekali bau dupa harum itu membuatnya agak muak dan pening.
Melihat keadaan Pek-bin-houw yang terdesak itu, Bu Seng Kun menjadi tidak tega,
marah dan penasaran. "Berhenti!" teriaknya sambil meloncat ke depan. "Tamu dari
manakah yang berani kurang aturan mengacau daerah kami ?"
Si muka pucat itu menghentikan serangannya dan memandang kepada Bu Seng Kun.
"Apakah engkau keturunan Raja Tabib Sakti ?"
'Benar, aku adalah anggauta keluarga Bu !"
"Maafkan kami !" Orang itu lalu menjura dengan hormatnya kepada Bu Seng Kun.
"Karena tidak tahu, kami telah membikin ribut." Dan tujuh orang temannya semua menjura
kepada Bu Seng Kun dengan sikap hormat sekali.
Tiba - tiba terdengar seruan kaget dari Pek-bin-houw. Ujung lengan bajunya
terkena noda merah seperti terkena darah, padahal dia sama sekali tidak merasa telah terluka
dalam perkelahian tadi. Keringatnya yang keluar di lengan telah bercampur darah !
Dengan mata terbelalak dia memandang kepada bekas lawannya. "Kau...... kau menggunakan ilmu
siluman apakah ?" tanyanya gagap karena dia teringat akan ilmu-ilmu aneh dari Tai-bong-
pai yang pernah didengarnya di dunia kang-ouw.
Si muka pucat itu memandang kepada Pek-bin-houw, sikapnya sama sekali berbeda
dengan sikapnya ketika dia menghadapi pemuda she Bu itu.
Terdengar dia mendengus, lalu berkata, "Hemm, ilmu itu belum kukeluarkan semua.
Kalau tadi di-lanjutkan, sebentar kemudian engkau akan meng-geletak di sini tanpa
darah setetespun di tubuhmu lagi, semua akan keluar membasahi tempat ini."
"Ilmu ...... ilmu penghisap darah...... !" Pek-bin-houw berseru kaget dan
mukanya menjadi pucat. Dia memandang kepada lengannya dan melihat betapa di setiap pori-pori
lengan yang bajunya disingkapkannya itu nampak butiran-butiran darah keluar bersama
keringat. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Berterimakasihlah kepada Bu-kongcu karena kalau tidak ada Bu-kongcu yang
menghentikan pertempuran tadi, engkau tentu sudah menjadi mayat tanpa darah. Melihat muka
tuan rumah yang kami hormati, biarlah kuberi obat kepadamu."
"Tidak perlu!" kata Bu Seng Kun. "Paman ini adalah tamuku, maka akulah yang
wajib menolong-nya." Pemuda ini mengeluarkan sebutir pel merah dan memberikannya
kepada Pek-bin- houw. Paman, telanlah pel ini."
Pek-bin-houw menjadi girang, menerima pel itu dan menelannya. Hal ini dilihat
oleh delapan orang kawanan Tai-bong- pai itu dengan pandang mata kagum. Mereka agaknya sudah
tahu akan kelihaian tuan rumah dalam ilmu pengobatan, maka mereka merasa kagum sekali
betapa hanya dengan sebutir pel saja, maka seketika darah yang keluar dari lubang-lubang
lengan bersama keringat itu seketika berhenti!
"Siapakah kalian ?" Bu Seng Kun bertanya. "Be-narkah dugaan kami bahwa kalian
adalah para anggauta Tai-bong-pai ?"
Delapan orang itu menjura dengan hormat, dan pemimpin mereka yang tadi melawan
Pek- bin-houw menjawab, "Tidak keliru dugaan Bu-kongcu. Harap dimaafkan kalau kami
mendatangkan keributan, akan tetapi kami perlu sekali untuk menghadap keturunan Raja Tabib
Sakti yang kalau tidak salah bernama Bu Kek Siang taihiap dan tinggal di sini."
"Beliau adalah ayahku. Kalau kalian hendak bertemu dengan keluarga kami, mengapa
datang malam-malam ?"
"Maaf, kongcu, akan tetapi kami tidak pernah keluar pada siang hari!" Orang itu
berkata dan agaknya merasa heran dan penasaran. Teringatlah Seng Kun akan kebiasaan yang
luar biasa dari kawanan Tai-bong-pai, yaitu mereka hanya keluar di malam hari saja. Maka, maklum
bahwa mereka itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan kalau dia berdua dengan
Pek-bin-houw saja yang harus melayani delapan orang ini, tentu keadaannya akan berbahaya
sekali. "Kalau begitu, marilah kalian ikut bersamaku menghadap ayah."
Beramai merekapun mengikuti Bu Seng Kun menggotong lagi keranjang bambu itu.
Pek-bin- houw berjalan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam menduga-duga apa
gerangan isi keranjang bambu yang dipikul dengan amat hati-hati oleh empat orang itu. Dia,
sudah banyak mendengar akan kekejaman orang-orang aneh dari Tai-bong-pai yang terdiri dari
golongan sesat, maka diapun merasa curiga dan menduga bahwa kedatangan mereka ini tentu membawa
niat yang kurang baik. Bu Seng Kun membawa para tamu itu ke pekarangan luar rumah keluarganya. Pemuda
ini bersikap hati-hati sekali maka membawa mereka ke pekarangan, tempat terbuka dan
kedatangan mereka tentu saja dapat dilihat dengan baik oleh ayah bundanya. Dan memang
sesungguhnyalah. Kedatangan rombongan itu sudah dapat dilihat oleh Bu Kek Siang. Pendekar ini
telah melihat dan dapat menduga siapa yang datang berkunjung, maka diapun sudah menanti di ruangan
tamu yang berada di depan sebelah kanan.
"Ayah, tamu-tamu dari Tai-bong-pai datang berkunjung !" teriak puteranya dari
luar. "Persilahkan mereka memasuki ruangan tamu !" jawabnya dari dalam ruangan itu
yang sudah dite-rangi oleh cahaya beberapa batang lilin yang di-nyalakan.
Bu Seng Kun lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dia mendahului sebagai
penunjuk, jalan sedangkan di belakang rombongan itu berjalan Pek-bin-houw. Ketika mereka
semua memasuki ruangan tamu, ternyata di situ Bu Kek Siang telah menanti bersama
isterinya, puterinya, dan juga Kim-suipoa telah siap sedia dan berada di situ Ketika
delapan orang itu memasuki ruangan tamu, bau dupa menyerang hidung. Keranjang bambu diturunkan
perlahan- lahan dan delapan orang itu lalu menjura dengan hormatnya.
"Cu-wi jauh-jauh datang ke sini malam-malam, tidak tahu ada urusan apakah dengan
kami ?" Bu Kek Siang bertanya dengan sikap tenang dan dialah yang dapat menduga bahwa
isi keranjang itu tentulah seorang manusia, mungkin yang sedang menderita sakit,
karena kalau tidak begitu, apa perlunya mereka ini datang " Selama hidupnya dia belum pernah
berurusan dengan pihak Tai-bong-pai. Akan tetapi delapan orang itu tidak menjawab Tiba-tiba terdengar suara
melengking halus dan tinggi sekali, seperti suara beberapa ekor nyamuk beterbangan dalam ruangan
tamu itu, makin lama semakin kuat dan nyaring menyakitkan telinga Kemudian, tahu-tahu di
ambang pintu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
telah berdiri seorang wanita berusia kira-kira limapuluh tahun, membungkuk dan
menjura dengan sikap hormat sekali kepada pihak tuan rumah. Bau dupa kini luar biasa kerasnya,
mengalahkan bau dupa yang dibawa oleh delapan orang pertama tadi!
Wanita itupun memakai pakaian serba putih dan walaupun kainnya terbuat dari
bahan yang lebih baik dari pada delapan orang tadi, namun tetap saja potongannya sederhana
sekali. Wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun sudah mulai keriputan, sepasang
matanya yang bersinar tajam itu kini nampak diliputi kegelisahan dan kedukaan.
"Maafkan kami," katanya dengan suara halus. "Kami datang dari seberang Gurun Go-
bi, untuk minta pertolongan keturunan dari Raja Tabib Sakti yang kami hormati.
Puteri kami sedang menderita sakit hebat akibat kesalahan mempelajari ilmu perguruan kami sehingga
lumpuh kaki tangannya. Sudah setahun ia menderita dan segala usaha kami sia-sia berlaka.
Kemudian kami teringat bahwa di jaman dahulu, Raja Tabib Sakti merupakan satu-satunya orang
yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit yang ada di dunia ini. Maka kami mencari
keturunannya yang mewarisi kepandaian beliau dan mendengar bahwa Bu- taihiap adalah keturunan
itu, maka kami datang untuk minta tolong. Harap dimaafkan bahwa kami datang di tengah
malam, maklumlah karena kami tidak biasa melakukan perjalanan pada siang hari."
Setelah berkata demikian, wanita itu mengham-piri keranjang bambu lalu membuka
tutupnya dengan hati-hati sekali. Nampaklah seorang gadis yang berwajah cantik
rebah di situ. Namun gadis itu kurus sekali dan wajahnya, lehernya, kedua tangan yang tidak
tertutup itu nampak pucat kebiruan seperti membeku. Bahkan bibirnyapun nampak kebiruan
sehingga dipandang sepintas lalu saja orang tentu akan mengira bahwa yang rebah di dalam
keranjang itu tentu telah menjadi mayat Wanita itu berusaha untuk menahan perasaannya, namun
tidak urung air matanya berlinang dan menuruni pipinya yang keriputan. Agaknya karena
kedukaan maka wanita ini menjadi kurus keriputan.
"Anakku....... " bisiknya menahan isak.
Bu Kek Siang mengerling ke arah puterinya sendiri yang berdiri di dekat Bu Seng
Kun. Dia dapat membayangkan betapa akan sedih hatinya sebagai seorang tua kalau melihat
puterinya, Bu Bwee Hong mengalami penderitaan seperti gadis dalam keranjang bambu itu. Selain
itu, diapun mempunyai watak sebagai seorang ahli pengobatan tulen, selalu merasa kasihan
kepada yang sedang menderita sakit dan setiap macam penyakit merupakan musuh atau tantangan


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus ditanggulanginya dan dikalahkannya. Makin berat penyakit itu, makin besar pula
gairah di dalam batinya untuk mengalahkannya.
"Bu-taihiap, tolonglah anakku...... " Nyonya itu meratap.
"Baiklah, toanio. Biarkan aku memeriksanya." Bu Kek Siang lalu bangkit dari
tempat duduknya, menghampiri keranjang itu lalu melakukan peme-riksaan. Diperiksanya
nadi pergelangan tangan gadis itu, dibukanya pelupuk mata itu, dan setelah dia
mengetuk sana-sini dengan penuh ketelitian, pendekar itu lalu kembali ke tempat duduknya, menarik
napas panjang berkali-kali dan setiap gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata nyonya itu
dengan penuh kegelisahan. "Bagaimana, Bu-taihiap...... ?" Akhirnya dia bertanya dengan gelisah, akan
tetapi penuh harap-harap cemas. "Keadaan puterimu memang parah, toanio. Kami suka membantu, walaupun aku tidak
dapat menjamin apakah kami akan berhasil. Untuk menyembuhkan puterimu, selain
pengobatan berupa obat minum dan tusuk jarum, juga dibutuhkan sinkang yang kuat dari aliran
persilatan kami. Tenaga sinkangku sendiri terbatas, maka terpaksa aku harus minta bantuan anak
isteriku. Kalau kami semua turun tangan, kiranya baru berhasil, walaupun aku belum yakin apakah
kekuatan kami itu sudah cukup untuk menembus semua pembuluh darah dan urat-urat syaraf
dalam tubuh puterimu yang seperti sudah membeku itu. Kami dengan segala senang hati akan
berusaha menolongnya, akan tetapi .....
" "Akan tetapi, bagaimana, taihiap..... ?" sang ibu bertanya penuh kegelisahan.
"Ketahuilah, toanio, pada saat ini keluargaku sedang mengalami gangguan dan
ancaman dari ... musuh-musuh kami!"
Bu Kek Siang menarik napas panjang dan merasa berduka sekali. Alangkah akan
baiknya kalau ji-susioknya itu membantunya mengobati gadis ini, bukannya memusuhinya
untuk KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
merampas kitab pusaka seperti sekarang ini. Dengan tenaga sin-kang dari ji-
susioknya yang amat hebat, yang lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri, apa lagi kalau, dibantu pula
oleh sinkang dari sam- susioknya, dan dia sendiri turun tangan mengobati, pasti gadis ini akan
dapat disembuhkan dengan cepat. Mendengar keterangan tuan rumah yang amat diharapkan akan dapat menyelamatkan
nyawa puterinya, wanita itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek
Siang. "Bu-taihiap, kalau taihiap bersama keluarga taihiap sudi menolong puteriku maka kami yang
akan menjaga rumah ini dari gangguan siapapun juga. Kami anak murid dari Partai Kuburan
Besar, biarpun bukan orang-orang yang disukai oleh kaum persilatan, akan tetapi kami tahu
membalas budi kebaikan orang lain. Selama hidup turun- temurun, anak murid kami akan
menjunjung tinggi budi kecintaan keluarga Bu sampai turun-temurun."
Bu Kek Siang tersenyum. "Toanio salah sangka. Melawan penyakit mengobati orang
merupakan kewajiban seorang ahli pengobatan. Bukan hanya kewajiban, juga
merupakan suatu pekerjaan yang kucinta. Siapapun yang datang minta tolong kepadaku untuk diobati
tentu akan kutolong tanpa pandang bulu, tanpa minta imbalan jasa, tanpa pamrih. Sekarang,
baiklah kita mengadakan pembagian kerja. Aku bersama isteri dan kedua orang anakku akan
mencoba untuk mengobati puterimu. Tiga orang tamu kami dapat membantu kalau mereka suka......
" Bu Kek Siang memandang ke arah Pek-bin-houw, Kim-suipoa, dan Pek Lian. Sebenarnya, Bu
Kek Siang tidak mengharapkan bantuan mereka untuk mengobati gadis itu, mela-inkan
mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi lawan kalau mereka muncul. Karena, selagi
melakukan pengobatan, kalau musuh-musuh itu datang sungguh amat berbahaya sekali, dan
diapun belum tahu bagaimana nanti sikap orang-orang Tai-bong-pai.
"Jangan khawatir, locianpwe. Saya akan mem-bantu keluarga locianpwe!" kata Pek
Lian yang menghampiri Bwee Hong, gadis cantik jelita yang telah menjadi sahabat
baiknya itu. "Benar, kami berduapun siap untuk membantu," kata Kim- suipoa sedangkan Pek-bin-
houw juga mengangguk menyetujui.
Diam-diam Bu Kek Siang merasa girang, akan tetapi dia masih mencoba lagi, "Akan
tetapi, pengobatan ini akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sampai belasan hari
lamanya ! Apakah sam-wi akan dapat membantu terus ?"
Dua orang pendekar dari Puncak Awan Biru itu menjadi ragu- ragu mendengar ini,
akan tetapi mereka telah didahului oleh Pek Lian yang berkata dengan nada suara tetap
dan nyaring, "Tentu saja kami akan terus membantu sampai pengobatan itu berhasil baik!"
Wanita berpakaian putih itu cepat menghadap kepada Pek Lian dan dua orang
gurunya, lalu menjura dengan hormat. "Tak tahu bagaimana kau harus berterima kasih kepada sam-
wi, dan kami sungguh merasa malu sekali bahwa murid kami pernah menyerang penolong
kami." Tiba- tiba wanita itu menoleh ke arah anak buahnya yang tadi berkelahi dengan Pek-bin-
houw dan membentak, "A-jui, hayo maju dan serahkan nyawamu!"
Orang yang disebut A-jui itu terbelalak, tubuhnya menggigil akan tetapi dia lalu
maju berlutut di depan wanita itu. Semua orang merasa terkejut sekali, akan tetapi
ketika wanita itu mengangkat tangannya, tiba-tiba Pek-bin-houw meloncat ke depan dan berseru,
"Tahan !!" Wanita itu tidak jadi menurunkan pukulan mautnya dan menoleh kepada Pek-bin-
houw. "Apakah saudara hendak turun tangan sendiri " Lakukanlah, dia sudah menyerahkan
nyawanya untuk menebus dosa tadi."
"Tidak !" bentak Pek-bin-houw, bergidik menyaksikan kekejian ini. "Aku sama
sekali tidak ingin melihat dia dibunuh hanya karena tadi berkelahi denganku. Kami berkelahi
karena salah paham. Toanio, jangan bunuh dia!"
Bu Kek Siang juga melangkah maju. "Siancai ...... ! Aku disuruh menyelamatkan
nyawa seseorang dari ancaman maut, akan tetapi sekarang ada orang hendak dibunuh
begitu saja. Sama sekali tidak boleh hal ini dilakukan. Toanio, kalau engkau hendak membunuh
orangmu, terpaksa aku tidak akan sanggup mengobati puterimu."
Wanita itu nampak terkejut dan matanya terbe-lalak, seperti orang keheranan,
lalu iapun berkata kepada tuan rumah, "Ah, maafkan, Bu-taihiap, akan tetapi sudah menjadi
kebiasaan kami untuk menghukum anak buah kami yang bersalah. Biarpun demikian, melihat betapa
para tuan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penolong kami telah mintakan ampun, terpaksa kamipun akan mentaati. A-jui, tidak
lekas menghaturkan terima kasih kepada tuan-tuan ini yang telah mengembalikan
nyawamu ?" A-jui, laki-laki yang di tengah dahinya ada benjolan merah itu, cepat
menghaturkan terima kasih kepada Bu Kek Siang dan Pek- bin-houw sambil berlutut. Tentu saja pihak
tuan rumah dan tamu- tamunya merasa heran sekali melihat sikap luar biasa ini.
"Nah, kulanjutkan pembagian tugas," kata Bu Kek Siang. "Ho- siocia dan kedua
saudara Kim- suipoa dan Pek-bin-houw membantu kami dalam ruangan ini, juga sambil menjaga
keamanan kami yang sedang mengobati, dan toanio bersama anak buan toanio harap menjaga di
sekitar rumah, dan mencegah masuknya orang luar yang nendak meng-ganggu kami."
"Baik, sekarang juga kami melakukan tugas itu !" kata wanita itu sambil
melangkah keluar diikuti oleh delapan orang anak buahnya, setelah ia melempar pandangnya ke arah
puterinya dengan pandang mata penun harapan. Pek Lian dan dua orang gurunya lalu membantu
keluarga itu mengadakan persiapan. Sebuah meja panjang diangkat ke dalam ruangan itu,
juga sebuah perapian dengan alat-alat menggodok obat dipersiapkan di situ. Kemudian mereka
semua beristirahat karena menurut Bu Kek Siang, pengobatan baru akan dimulai besok
paginya. Malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu, tidak ada penyerbuan dari orang-orang
yang rambutnya riap-riapan itu. Hati mereka menjadi lapang dan merasa dapat
beristirahat untuk menghimpun tenaga. Baru pada keesokan harinya, setelah sarapan, keluarga Bu
mulai dengan pengobatannya atas diri gadis yang nampaknya seperti sudah mati itu. Pek Lian
dan kedua orang gurunya menyaksikan cara pengobatan yang amat aneh, yang mula-mula dilakukan
oleh Bu Kek Siang sendiri, yaitu melakukan totokan- totokan pada beberapa jalan darah
rahasia yang merupakan cara pengobatan sukar dan berbahaya sekali. Totokan-totokan pada jalan
darah rahasia itu kalau kurang tepat dilakukan, akibatnya malah akan mencelakakan
pasien, dapat membunuhnya ! Apa lagi totokan-totokan di bagian leher dan kepala. Selain sukar
dan harus tepat, juga membutuhkan pengerahan tenaga yang amat besar sehingga tampak pucat
seperti tanpa darah sama sekali. Bu Kek Siang, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw adalah pria-pria yang sudah tua, akan
tetapi Bu Seng Kun adalah seorang pemuda, sehingga kalau menurut kebiasaan umum, tidak
pantaslah bagi seorang pemuda untuk melihat tubuh seorang wanita muda yang telanjang. Akan
tetapi, Bu Seng Kun tidak danat disamakan dengan orang-orang muda biasa. Seiak kecil dia sudah
mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya dan dialah yang merupakan ahli waris terakhir dari
Raja Tabib Sakti. Sejak muda sekali Seng Kun telah membantu ayahnya mengobati bermacam-
macam orang dengan bermacam-macam penyakit sehingga baginya, tidak merupakan hal aneh untuk
melihat wanita bertelanjang bulat ketika diobati. Apa lagi pengobatan yang harus
mempergunakan totokan atau penusukan jarum di bagian-bagian yang penting, haruslah bagian itu dibuka
agar penusukan dapat dilakukan dengan tepat sekali. Maka, kini melihat keadaan nona yang
kadang-kadang harus telanjang sama sekali itu, dia dapat memandang tanpa bayangan-bayangan cabul
sama sekali, yang dilihatnya hanyalah sebatang tubuh yang menderita dan harus diobati sampai
sembuh! Meruanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat relatip
sekali. Apa dan bagaimanakah porno itu" Apakah porno itu identik dengan tubuh
telanjang " Apakah porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi anggauta rahasia pria atau wanita,
termasuk buah dada wanita" Itukah porno " Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil,
hubungan sanggama dan yang menyangkut dengan hal itu " Lalu sampai di manakah batas-batas
kepornoannya " Hal ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena memang tidak mungkin
orang menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin menggariskan antara porno dan
tidak, seperti juga menggariskan tentang kegilaan dan kewarasan seseorang.
Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam
batin masing-masing. Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi di sungai
bertelanjang bulat " Pornokah wanita itu dan pornokah yang melihatnya " Tergantung dari si
wanita dan si pemandang sen-diri. Wanita mandi telanjang di sungai itu adalah suatu kenyataan,
dan kalau si wanita mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi
karena kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh telanjangnya itu untuk
menarik perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria yang memandangnya, maka ia sama
sekali tidak porno ! Sebaliknya kalau ia mandi telanjang itu dengan kesengajaan untuk
menimbulkan gairah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pada pria yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! Di lain
fihak, kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang membayang-
bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama sekali tidak porno walaupun boleh jadi dia
akan melihat

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita mandi itu. Sebaliknya kalau di waktu dia memandang tubuh wanita telanjang
itu dia membayangkan kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan
wanita itu sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu porno! Contoh ini dapat
saja ditrapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan pembaca karangan, dan
sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang menentukan porno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu
sendirilah, baik dia itu pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan. Dan tentu saja, kalau
diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu dengan dasar
batin porno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat belum tentu porno, akan
tetapi kalau wanita in dengan pakaian lengkap bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit
gaun memperlihatkan betis saja, ia sudah porno.
Wanita berpakaian putih bersama delapan orang anak buahnya menjaga dengan tertib
dan dengan teliti, bergiliran siang malam dan mereka itu menyediakan keperluan makan
mereka sendiri, tanpa mengganggu keluarga tuan rumah. Hanya beberapa kali sehari saja
wanita itu menjenguk ke dalam kamar tamu yang menjadi kamar pengobatan itu untuk melihat
keadaan puterinya. Pengobatan itupun tidak dilakukan terus-menerus. Bermacam- macam cara pengobatan
dilakukan oleh Bu Kek Siang. Tubuh gadis itu telah digosok seluruhnya oleh arak
obat, totokan - totokan dan tusukan - tusukan jarum telah dilakukan. Semua berjalan dengan baik
dan lancar, hanya satu hal yang membuat keluarga itu kewalahan. Mereka belum berhasil
menembus pembuluh - pembuluh darah dan urat-urat syaraf yang seperti membeku itu.
Bagaimanapun juga, lewat lima hari pengobat-an, keadaan gadis itu sudah mengalami banyak sekali
perobahan. Tubuhnya yang tadinya pucat kebiruan seperti tubuh mayat itu kini sudah mulai
memerah. Pemapasannya yang tadinya seperti te-lah hampir terhenti itu kini
nampak lebih lancar dan longgar. Bahkan ada senyum membayang di bibir yang mulai agak merah
itu, cuping hidungnya sudah dapat berkembang - kempis kalau bernapas, hanya gadis itu masih
lumpuh sama sekali.Ibu gadis itu kelihatan gembira bukan main. Biarpun gadisnya masih
lumpuh, akan tetapi jelas nampak perobahan - perobahan yang menggembirakan, tanda - tanda bahwa
usaha pengobatan sekali ini akan berhasil baik. Dan keluarga Bu juga merasa lega bahwa
selama beberapa hari itu tidak ada gangguan pihak musuh sama sekali. Hal ini tentu saja
menggirangkan hati mereka dan menimbulkan dugaan bahwa agaknya pihak musuh merasa segan
mengganggu karena di situ terdapat orang - orang Tai - bong - pai!
Akhirnya, pengobatan itu mencapai puncaknya pada hari ke sepuluh. "Hari ini
bagaimanapun juga kita harus berhasil menembus jalan darah gadis itu," kata Bu Kek Siang.
"Sebetulnya, melihat
keadaannya, nona Kwa sudah berada di ambang pintu kematian. Maka, perjumpaannya
dengan kita dapat dikatakan jodoh, dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk
menyembuhkannya." "Akan tetapi, ayah," kata Seng Kun. "Kalau ayah masih hendak melaksanakan
penggabungan tenaga, bukankah hal itu amat berbahaya sekali bagi kita dan juga
bagi nona Kwa " Kalau terjadi penyerbuan."
"Jangan khawatir, bukankah sudah sepuluh hari ini tidak terjadi sesuatu " Dan
sekali ini, biar kita beritahukan bahaya itu kepada Kwa-toanio agar ia ikut pula melakukan
penjagaan terhadap diri puterinya." Selama beberapa hari tinggal di tempat terpen-cil itu, wanita berpakaian serba
putih telah memperkenalkan diri. "Sebetulnya, kami selalu mera-hasiakan nama dan keadaan
kami, akan tetapi me-lihat pertolongan cu - wi yang demikian penuh pe-ngorbanan, kami akan
meniadakan kebiasaan itu dan perkenalkanlah, saya adalah isteri dari Kwa Eng Ki, seorang di
antara tokoh Tai - bong - pai. Dan anak ini adalah puteri tunggal kami bernama Kwa Siok Eng.
Penyakit yang diderita oleh Siok Eng ini sebetulnya adalah karena kelancangannya. sendiri. Diambilnya
kitab pusaka partai kami dan diam - diam ia mempelajarinya tanpa memberi tahu kepada kami,
sedangkan tingkatnya masih terlampau rendah untuk mempelajari ilmu simpanan partai kami
itu, maka KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
beginilah jadinya. Nah, setelah saya memperkenalkan diri, maka mulai seka-rang
kita telah menjadi sahabat - sahabat karib."
Tentu saja bagi pihak tuan rumah, cerita itu sama sekali bukan pembukaan
rahasia, dan hanya memperkenalkan sedikit saja, yaitu hanya nama ibu dan anak itu sehingga
keadaan mereka masih tetap diliputi rahasia. Akan tetapi mereka tidak mau bertanya lebih
banyak, karena merekapun sebe-narnya tidak mempunyai minat untuk bersahabat dengan Tai-bong-pai
yang terkenal sebagai per-kumpulan golongan hitam yang disamakan dengan iblis - iblis
yang kejam sekali. Setelah diberi tahu bahwa hari itu pihak tuan rumah akan mengadakan
pengobatan terakhir yang besar - besaran dengan penggabungan tenaga, nyonya Kwa merasa tegang dan
iapun segera menyatakan siap sedia untuk melakukan penjagaan dengan kuat di luar
rumah. Pek Lian dan kedua orang gurunya juga melakukan penjagaan di luar. Mereka bertiga maklum
akan bahayanya keadaan mereka ketika fihak tuan rumah sekeluarga sedang melakukan
pengobatan dengan penggabungan tenaga itu. Pengobatan dengan pengerahan sinkang membuat
orang yang melakukan pengobatan itu sama sekali tidak berdaya terhadap serangan dari luar,
karena kalau dia melawan, berarti membahayakan nyawa yang diobati. Dan kini, menurut
keterangan Bu Seng Kun terhadap mereka, pemuda itu bersama ayah dan ibunya akan menggabungkan
tenaga sehingga kalau sewaktu mereka mengadakan pengobatan itu datang. musuh, mereka
bertiga takkan berdaya untuk membela diri. Dengan demikian, maka penjagaan seluruhnya
hanya berada di tangan mereka bertiga, dan orang - orang Tai - bong - pai.
Bahkan nona Bu sendiripun membantu pengobatan itu dengan tusukan - tusukan
jarum. Pagi itu mereka sudah besiap - siap. Yang ber-ada di kamar pengobatan, selain si
sakit, juga empat orang keluarga Bu lengkap. Kwa Siok Eng te-lah direbahkan di atas meja
panjang dengan mene-lungkup. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu tidak begitu pucat lagi, akan
tetapi masih belum dapat bergerak sama sekali. Ibunya, nyonya Kwa, menjaga di dekat pintu,
sepasang matanya hampir tidak pernah berkedip memandang kepada puterinya dan kadang -
kadang saja beralih kepada empat orang yang sedang mengobati puterinya itu. Hatinya
terharu. Nampak jelas olehnya betapa ke-luarga itu berusaha sungguh - sungguh. Tadi sebelum
melakukan pengobatan, Bu Kek Siang telah memberi penjelasan kepadanya sekedarnya sehingga
dia tahu bahwa mereka berempat itu, sungguh-sungguh berusaha untuk menolong puterinya,
terutama sekali kakek Bu sendiri bersama Bu Seng Kun, pemuda itu. Mereka berdua ini akan
mengerahkan sinkang sekuatnya untuk menembus jalan darah gadis itu yang belum pulih, dan
sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja nyonya itu tahu apa artinya ini. Pengerahan
sinkang untuk meno-long orang seperti itu amatlah berbahaya karena tenaganya dikerahkan terus - menerus,
kalau keliru sedikit saja tentu dapat membunuh si sakit atau membunuh diri sendiri!
Memang amat menegangkan keadaan dalam ruangan itu. Bu Seng Kun bertelanjang
dada, karena dia mempergunakan dadanya itu untuk menempel pada kedua telapak kaki Kwa
Siok Eng dan dengan penyaluran tenaga sinkang sepenuhnya dia menya-lurkan hawa murni
melalui kedua telapak kaki gadis itu. Pemuda ini memejamkan kedua matanya dan dadanya nampak
membesar, wajahnya menjadi merah dan kedua tangannya mencengkeram belakang lutut gadis
itu. Di seberangnya, ayahnya berdiri dan menempelkan tangan kirinya di ubun-ubun kepala
gadis itu. Seperti juga puteranya, Bu Kek Siang, kakek ini mengerahkan sinkangnya
disalurkan melalui ubun - ubun kepala gadis itu, kedua matanya juga dipejamkan. Isterinya, nenek yang
masih nampak cantik itu, berdiri di tepi meja, kedua tangannya ditaruh di atas pinggang
telanjang itu dan nenek inilah yang menjadi semacam peng-hubung atau penampung saluran tenaga dari atas
dan bawah itu untuk kemudian, setelah dapat bertemu dan bersatu, dipergunakan untuk
membobol semua jalan darah dalam tubuh. Dan di tepi meja seberangnya, Bu Bwee Hong sibuk
mempergunakan jarum-jarum emas untuk menusuki bagian-bagian yang penting untuk mengurangi
hambatan - hambatan penyaluran tenaga ayahnya dan kakaknya. Dan memang, dalam hal ilmu
pengobatan, gadis inilah yang telah mewarisi kepandaian ayahnya dan dibandingkan dengan
ibunya dan kakaknya, ia memang lebih pandai dalam hal tusuk jarum. Peker-jaan gadis ini,
seperti juga ibunya, tak dapat dikatakan ringan, bahkan mengharuskan adanya ketelitian yang
luar biasa. Empat orang itu sungguh mengerahkan dan mengeluarkan semua kepandaian mereka
untuk KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menolong gadis itu. Hal ini nampak jelas sehingga seorang seperti nenek Kwa yang
se-lamanya berkecimpung dalam dunia hitam itu merasa terharu.
Matahari telah naik tinggi. Setengah hari telah lewat dan suasana dalam ruangan
pengobatan itu menjadi semakin tegang. Empat orang keluarga Bu itu bermandi
peluh, namun agaknya usaha mereka itu sia - sia belaka karena seluruh tenaga ayah dan anak
itu belum juga dapat dipertemukan ! Seng Kun yang telah mengerahkan seluruh tenaganya itu hanya
bisa mendorong sampai ke pangkal paha dan dia telah menemui rintangan - rintangan di
sepanjang kedua kaki itu yang seolah - olah telah membeku. Ayahnya lebih sukar lagi, hanya
dapat mendorong sampai di bawah pundak. Bwee Hong sibuk menusuk sana - sini sehingga
tubuh belakang gadis yang diobati itu penuh dengan jarum kecil kecil, perak dan emas.
Dan nyonya Bu juga sibuk sekali, menggunakan sinkang seperti hendak menyedot hawa murni dari
atas bawah, namun belum juga terasa olehnya datangnya sinkang yang disalurkan oleh suaminya
dan puteranya itu. "Cepat, tambah lagi tenaganya ...!" Ibu ini mendorong dan mengerutkan alisnya.
"....ahhh..tidak...tidak bisa lagi ... ibu, aku tidak kuat lagi ...ahhhh !" Seng
Kun mendesah dan tiba - tiba dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Koko ...!" Bwee Hong berseru khawatir.
Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan dirinya.
"Moi - moi, cepat kaubantu ayah....!"
Bwee Hong menoleh memandang ayahnya dan semakin gelisah ia melihat betapa
ayahnya juga payah sekali keadaannya, wajahnya pucat pasi dan dari lubang hidungnya juga
mengalir darah. "Ibu ..., ayah itu ..."
Akan tetapi, ibunya hanya menggeleng kepala dengan sikap tenang karena ibu ini
percaya bahwa suaminya dan puteranya masih akan dapat menolong diri sendiri. Kalau sudah
ada darah keluar dari mulut atau hidung, berarti bahwa tenaga mereka sudah sampai di
puncaknya, dan tentu mereka akan mengendurkan tenaga karena kalau dilanjutkan berarti mencari
mati sendiri. Ibu gadis yang sakit itu sejak tadi melihat ini. Wajahnya pucat dan beberapa
kali ia memejamkan mata, mengepal tinju dan membanting - banting kakinya. Akhirnya iapun
berseru, "Sudahlah ....! Sudahlah .....!!" Ia melihat betapa usaha keluarga Bu yang mati-matian itu telah
menemui kegagalan. Keadaan yang amat menegangkan itu membuat mereka semua tidak sadar bahwa di luar
ramah telah terjadi penyerbuan! Ada beberapa orang yang luar biasa datang
menyerang dan tentu saja serbuan itu disambut oleh para penjaga yang berada di luar rumah, yaitu Ho
Pek Lian dan dua orang gurunya, dan delapan orang anggauta perkumpulan Tai - bong - pai. Akan


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi, para penyerang itu-pun lihai bukan main. Dua orang di antara mereka adalah orang -
orang yang berambut riap - riapan dengan pakaian berwarna coklat! Masih ada lagi teman -
teman mereka, yaitu empat orang berjubah biru dan delapan orang berjubah hijau ! Tentu saja
pihak penyerbu menjadi jauh lebih kuat. Seperti telah kita ketahui, seorang yang berjubah biru
saja kepandaiannya sudah sedemikian hebatnya sehingga ketika dikeroyok oleh Kim -
suipoa dan Pek - bin - houw, dua orang pendekar inipun kewalahan. Apa lagi kini terdapat dua
orang yang berjubah coklat, ditambah empat orang murid mereka dan delapan cucu murid. Sebentar saja
delapan orang anak buah Tai - bong - pai sudah terpukul roboh dan Pek Lian sendiri
bersama dua orang gurunya juga hanya mampu menangkis saja ketika dikeroyok oleh orang - orang
berjubah biru dan hijau.Dua orang yang berjubah coklat itu sudah me-nerjang pintu ruangan dan
dengan mengeluarkah suara hiruk-pikuk pintu itu pun jebol! Tentu saja Bwee Hong dan Kwa
- toanio terkejut bukan main. "Awas musuh...... !!" Kwa-toanio berseru dan Bwee Hong sudah meloncat dan
memapaki kedua orang itu dengan sambitan jarum - jarumnya, jarum perak dan emas yang
tadinya dipergunakan untuk menusuk dan mengobati Siok Eng. Akan tetapi, dengan amat
mudahnya kedua orang yang berjubah coklat itu meruntuhkan semua jarum dengan kebutan
lengan baju mereka. Dan di belakangnya masih bermunculan orang - orang berjubah hijau.
Mereka ini segera KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengeroyok Kwa - toanio yang merobohkan dua orang di antara mereka. Ketika
melihat betapa jarum - jarumnya tidak ada gunanya, Bwee Hong menerjang ke depan sambil mencabut
pedangnya, menyerang seorang di antara dua orang berjubah coklat itu. Akan
tetapi orang itu mengelak dan dari belakangnya, Bwee Hong merasakan sambaran angin pukulan
dahsyat. Dia mengelak dan membalik, dan ternyata yang menyerangnya telah tidak ada lagi dan
juga orang berjubah coklat yang pertama yang diserangnya tadi sudah tidak ada. Mereka
berdua itu telah meloncat dengan gerakan yang amat cepatnya, seorang berada di belakang ayahnya
dan seorang pula di belakang kakaknya!
Kwa-toanio sendiri sibuk dikeroyok oleh orang-orang baju biru sebanyak empat
orang. Ternyata bahwa Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah terluka dan kini hanya
dikeroyok oleh orang - orang jubah hijau, sedangkan empat orang berjubah biru sudah menyerbu ke
dalam dan mengurung Kwa-toanio, membuatnya tidak berdaya.
Dua orang berjubah coklat itu tahu bahwa di antara mereka semua, yang paling
lihai adalah Bu Kek Siang dan Bu Seng Kun, maka merekapun langsung saja meloncat ke belakang
ayah dan anak yang masih mengerahkan tenaga kepada si sakit itu. Juga nyonya Bu tak dapat
meninggalkan tempatnya, karena hal itu akan membahayakan si sakit. Pula,
peristiwanya terjadi sedemikian cepat dan tiba - tiba. Tahu - tahu kedua orang berjubah coklat itu
telah mengirim serangan kilat ke arah ayah dan anak itu. Kakek berjubah coklat yang pertama
sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambung Bu
Kek Siang, sedangkan kakek ke dua dengan kepalan tangan kanannya sudah menghantam ke arah
punggung Bu Seng Kun. Kedua pukulan ini datang dengan berbareng dan tepat benar.
"Blaaarrrr.....!!'"
Akibatnya hebat! Ayah, anak dan ibu roboh tersungkur ! Dari mulut mereka muncrat
darah segar dan seketika mereka itu roboh pingsan. Akan tetapi yang lebih aneh lagi,
pada saat pukulan itu tiba, terdengar jeritan nyaring dari mulut gadis yang menelungkup itu, dan
beberapa batang jarum yang masih menancap di tubuhnya mencelat se-dangkan bekas - bekas tusukan
jarum itu menge-luarkan darah, dan iapun terkulai dan pingsan.
Kwa - toanio marah sekali, mengira bahwa pu-terinya tentu menjadi korban dan
tewas. Dengan kemarahan meluap, tokoh Tai - bong - pai ini meng-amuk, dikeroyok oleh
empat orang berjubah biru yang agaknya kewalahan juga menghadapi amuk-an ibu yang marah ini.
Bwee Hong sudah memu-tar pedangnya, menyerang seorang berjubah coklat akan tetapi ia tidak
mampu mencegah ketika seorang berjubah coklat yang lain telah memasuki rumah
keluarganya. Sedangkan menghadapi si jubah coklat itu saja ia sudah merasa amat kewalahan
pedangnya tak mampu berbuat banyak karena lawannya itu sedemikian lihainya sehingga lengan
orang itu berani menangkis pedangnya tanpa terlu-ka sedikitpun, sebaliknya malah setiap kali
terjadi benturan keras, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena seluruh lengannya
tergetar hebat. Kwa - toanio yang marah sekali itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kini
ditariknya sehelai sabuk putih yang ia gerakkan seperti cambuk dan tangan kirinya kadang-
kadang menyambitkan hio-hio yang bernyala. Entah bagaimana hio-hio itu dapat
dinyalakan, akan tetapi senjata-senjata rahasia ini memang hebat sekali sehingga para pengeroyoknya yang
berjubah biru itu menjadi repot juga karena mereka tidak berani menyambut senjata rahasia itu.
Melihat kehebatan nenek ini, si jubah coklat yang mendesak Bwee Hong lalu meloncat dan
menyerang Kwa-toanio, sedangkan dua orang berjubah biru kini mengeroyok Bwee Hong yang
masih tetap kewalahan. Setelah si jubah coklat maju mengeroyok, repotlah Kwa-toanio dan
akhirnya sebuah tendangan kilat dari si jubah coklat mengenai pahanya dan membuatnya terhuyung.
Pada saat itu, kakek berkubah coklat yang tadi memasuki rumah keluarga Bu,
muncul sambil berkata, "Sudah kudapatkan, mari kita pergi!" Teman-temannya yang masih
bertempur segera meloncat keluar dan para anak buah mereka yang berjubah hijau juga sudah
melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka. Sebentar saja, keadaan di situ menjadi
sunyi. Melihat keadaan pihak keluarga tuan rumah, Kwa- toanio menjadi berduka sekali.
Tanpa memperdulikan lagi puterinya yang masih rebah menelungkup tak sadarkan diri,
pertama-tama yang ditolongnya adalah nyonya rumah karena ia melihat Bwee Hong berlutut dan
merangkul nyonya itu sambil berusaha untuk membuat pernapasan dengan cara meniupkan
napasnya sendiri melalui mulut ibunya dengan menutup lubang hidungnya. Bwee Hong tidak menangis,
hanya air KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
matanya saja berlinang. Gadis yang juga telah mempelajari ilmu pengobatan ini
berusaha untuk bersikap tenang sungguhpun hatinya merasa amat gelisah dan bingung. Hati siapa
tidak akan menjadi bingung melihat betapa ayahnya, ibunya, dan kakaknya seluruh keluarganya
roboh pingsan dan semuanya menderita luka yang hebat " Setelah berhasil mengembalikan
pernapasan ibunya, walaupun masih amat lemah, gadis itu cepat merebahkan kembali ibunya dan
menghampiri ayahnya. Ternyata ayahnya sudah siuman, walaupun keadaannya masih
amat payah karena ayahnya juga menderita luka yang amat berat di sebelah dalam tubuhnya.
"Coba periksa kakakmu..., hentikan jalan darah koan- goan-hiat" ayahnya berkata
dengan napas terengah. Gadis itu bangkit dan menghampiri kakaknya. Ternyata pemuda itu
masih pingsan, akan tetapi setelah memeriksanya, hati Bwee Hong tidak begitu khawatir
akan keadaan kakaknya. Biarpun kakaknya juga menerima pukulan hebat, namun agaknya tubuh muda
kakaknya itulah yang menyelamatkannya dan mampu melindungi isi dadanya.
Jilid III MEMANG serangan dua orang berjubah coklat yang mendadak itu telah mendatangkan
keanehan-keanehan. Selain ayah dan anak itu yang langsung menerima pukulan dan
menderita luka parah, juga hawa sinkang dari kedua orang penyerang yang kuat itu telah
mendorong hawa sinkang dari ayah dan anak itu sendiri, membuat kekuatan yang mengalir ke dalam
tubuh Siok Eng menjadi berlipat ganda dan tenaga sinkang itu, yang tadinya kurang kuat dan
hanya berhenti sampai pada pangkal paha dan bawah pundak, kini dengan serentak mengalir dan
menyerbu sehingga dapat bertemu dan ditampung oleh nyonya Bu melalui kedua telapak
tangannya yang berada di punggung gadis sakit itu. Seperti aliran listrik yang ditampung dan
terlalu besar, maka ibu inipun tidak kuat bertahan dan seperti menerima hantaman dahsyat dari kanan
kiri melalui kedua telapak tangannya, membuat ia roboh seketika dan menderita luka yang parah
sekali. Akan tetapi, peristiwa ini mendatangkan keuntungan yang besar kepada Siok Eng. Dengan
adanya penambahan tenaga sinkang dari luar, dari kedua orang jubah coklat itu, maka
semua pembuluh darah dan urat syaraf dapat ditembus, dan semua kebekuan telah dapat mencair.
Kalau tadinya ia tak mampu bicara, sekarang tiba-tiba saja ia sudah dapat bicara bahkan ia sudah
dapat menggerakkan semua anggauta tubuhnya. Setelah siuman dari pingsannya, gadis ini
dapat bergerak dan mengenakan pakaian sendiri. Hanya tubuhnya masih amat lemah dan ia
masih belum mampu turun dan berjalan, walaupun sudah dapat bangkit duduk kembali tanpa
bantuan orang lain. Melihat keadaan ini, Kwa-toanio yang sejak muda telah menjadi tokoh sesat dalam
dunia hitam, sekali ini meruntuhkan air mata dan menangis sesenggukan. Ia melihat
betapa keluarga itu telah berusaha sungguh- sungguh untuk menyelamatkan puterinya, dan akibatnya,
puterinya benar-benar sembuh, akan tetapi keluarga itu sendiri menjadi hancur ! Maka tentu
saja ia merasa berterima kasih sekali, bukan hanya kepada keluarga Bu, akan tetapi juga kepada
Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya yang juga mengalami luka-luka dalam pertempuran itu. Biarpun
penyerbuan itu dilakukan orang kepada keluarga Bu tanpa ada sangkut-pautnya dengan
rombongannya, namun kalau tidak ada bantuan Pek Lian dan kedua orang gurunya, tentu akibatnya
akan lebih hebat pula. Memang akibat penyerbuan itu hebat sekali. Kakek Bu Kek Siang dan isterinya
ternyata tidak dapat menahan gempuran hebat itu. Bahkan pada keesokan harinya, nyonya Bu yang
jatuh pingsan lagi tidak sadar lagi dan tewas ! Juga Bu Kek Siang sendiri napasnya
tinggal satu-satu. Dia lebih banyak menggunakan isyarat tangan dari pada bicara ketika dia minta agar
diambilkan sebuah peti hitam kecil yang disimpannya di tempat rahasia bersama kitab-kitab
pusaka. Kitab- kitab pusaka itu telah lenyap diambil oleh si jubah coklat, akan tetapi peti itu
biarpun sudah dibuka, ternyata tidak dibawa pergi. Isinya sebuah kitab catatan kakek Bu Kek
Siang sendiri. "Terimalah ini" katanya kepada puterinya.
"Dan kelak, berdua dengan kakakmu, bacalah"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hanya itulah pesan yang ditinggalkan pendekar ini. Agaknya, kematian isterinya
membuat dia se-olah- olah ingin mempercepat perjalanannya me-ninggalkan dunia yang penuh
kepalsuan ini. Tentu saja, kematian ayah bundanya ini meru-pakan pukulan yang amat hebat bagi
Seng Kun dan adiknya. Terutama sekali bagi Bwee Hong. Gadis ini berusaha untuk
bersikap gagah dan tidak menangis, akan tetapi ternyata usaha ini malah membuat ia menjadi pucat
sekali dan air matanya selalu berlinang di kedua matanya dan setiap kali ia ber-kedip, beberapa
butir air mata mengalir ke atas kedua pipinya yang pucat.
Rumah keluarga Bu itu kini menjadi rumah duka yang penuh dengan orang sakit.
Karena kakaknya masih terluka dan belum dapat turun dari pembaringan, maka Bu Bwee Hong
seoranglah yang menjadi wakil keluarga Bu, menghadapi semua itu. Ayah bundanya
tewas, kakaknya terluka berat. Untung di situ terdapat Ho Pek Lian yang menghiburnya,
menemani dan membantunya. Juga kedua orang guru dari Pek Lian yang dengan penuh rasa kasihan
membantu sekuat tenaga. Masih ada lagi nyonya Kwa yang merasa berhutang budi dan
berterima kasih sekali

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada keluarga itu. Maka nyonya ini mengerahkan sisa anak buahnya yang hanya
luka ringan, yaitu hanya enam orang, untuk membantu segala keperluan untuk mengubur jenazah
Bu Kek Siang dan isterinya. Dikubur secara sederhana saja, di belakang rumah di mana
terdapat sebuah bukit kecil. Sebelum kedua peti jenazah diangkat, diadakan upacara sembahyang dan dalam
kesempatan inilah baru Bu Bwee Hong dapat menangis terisak-isak seperti anak
kecil. Pemandangan waktu itu sungguh amat memilukan hati. Dua peti jenazah itu dijajar-
kan dengan satu meja sembahyang di depannya. Tidak ada orang lain yang hadir kecuali mereka
yang berada di situ semenjak terjadinya penyerbuan itu. Nyonya Kwa dan delapan anak buahnya,
dua di antaranya luka parah. Kwa Siok Eng yang terpaksa dituntun ibunya ketika hendak
bersembahyang. Dan juga Bu Seng Kun yang dirangkul dan dipapah oleh adiknya.
Dua orang kakak beradik itu menjatuhkan diri berlutut di depan peti dan
menangis. Seng Kun ternyata adalah seorang gagah yang cepat dapat menguasai hatinya. Dia
menyusut air matanya dan melihat betapa adiknya menangis seperti tak sadar-kan diri, dia
mencengkeram lengan adiknya itu, mengguncangnya dan berkata, "Moi-moi, mana kegagahanmu "
Apakah engkau kira ayah dan ibu akan senang hati mereka melihat engkau cengeng seperti
ini ?" Bwee Hong mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada kakaknya
sejenak, kemudian menjerit dan merangkul kakaknya, dan pingsan dalam pelukan
kakaknya ! Seng Kun merasa jantungnya seperti diremas-remas, akan tetapi dia menahan diri
dan dengan adiknya masih dalam rangkulannya, diapun menghadap dua peti jenazah itu.
"Ayah, ibu......, ampunkanlah kelemahan moi-moi, ia masih kanak-kanak ...... dan
menghadapi semua ini... ah, ayah dan ibu, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Ayah dan ibu tewas dalam tangan saudara seperguruan sendiri, apa yang harus kulakukan " Apa
yang harus kulakukan ?"" Pemuda itu mengeluh karena hatinya sungguh merasa bingung sekali.
Ayahnya selalu mendidik putera-puterinya agar menjauhi kekerasan, agar mengusir segala
perasaan dendam. Dan kini mereka tertimpa musibah yang demikian hebat, dan yang
menyebabkan adalah keluarga seperguruan sendiri! Karena hendak memperebutkan kitab peninggalan
kakek guru mereka. Ho Pek Lian yang teringat akan keadaan ayahnya sendiri, segera maju dan
mengambil Bwe Hong dari rangkulan kakaknya, untuk dipondongnya dan dibawanya ke pinggir, lalu
dirawatnya sehingga Bwee Hong siuman kembali dan kedua orang gadis ini saling berangkulan
sambil menangis Melihat keadaan kakak beradik itu, nyonya Kwa dan puterinya juga merasa
terharu sekali."Twako Bu Seng Kun, akulah yang menyebabkan kematian ayah ibumu, maka
kaubunuhlah aku untuk menghapuskan penasaran itu !" Tiba-tiba terdengar suara halus dan
kiranya Siok Eng yang mengeluarkan kata-kata itu dari tempat duduknya di sudut.
Seng Kun menoleh ke arah gadis itu yang memandang kepadanya dengan mata merah
menahan tangis. Dia tersenyum pahit lalu menarik napas panjang. "Nona Kwa, ayah
dan ibuku telah mati-matian berusaha menyelamatkanmu, setelah mereka berhasil, engkau
minta aku membunuhmu ! Apakah berarti engkau menyuruh aku berkhianat dan murtad kepada
mereka ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ohhh ...... !" Siok Eng terkejut dan menangis, dirangkul oleh ibunya. Kemudian, setelah
Kim-suipoa dan Pek-bin-houw membantu Seng Kun yang masih belum dapat berjalan
itu, mengangkatnya dan membawanya ke pinggir, nyonya Kwa membawa puterinya untuk
bersembahyang di depan sepasang peti mati itu. Mereka menangis sesenggukan
ketika mengangkat hio dan terdengar suara Kwa - toanio yang bicara dengan lantang
diseling isak tangis, "Bu - taihiap berdua semenjak puluhan tahun kami tinggal di dalam kuburan.
Kematian bukan apa-apa bagi kami. Kuburan adalah tempat tinggal kami. Mayat- mayat adalah
sahabat- sahabat kami, dan selama hidup kami berkabung. Entah sudah berapa banyak orang
yang kami bunuh. Akan tetapi, taihiap sungguh kematian yang taihiap berdua alami ini
membuat hati kami penasaran!! Kami akan membalas kebaikan ini, kami harus menuntut balas atas
kematian ji-wi dan mulai saat ini kami menganggap keluarga taihiap sebagai keluarga kami sendiri."
Dan nenek itu menangis bersama puterinya.
Pemakaman dilakukan secara sederhana sekali dan setelah pemakaman selesai, Pek
Lian dan kedua orang gurunya masih tinggal di situ selama seming-gu lagi, membantu
Bwee Hong yang masih harus mengobati kakaknya dan juga mengobati Siok Eng. Setelah lewat
seminggu, barulah Pek Lian dan kedua orang gurunya berpamit.
Bwee Hong merangkulnya. "Pek Lian, benarkah engkau hendak meninggalkan aku yang
kesepian ini ?" Gadis itu mengeluh. Setelah menjadi sahabat baik, keduanya tidak
menyebut enci adik lagi, karena memang keduanya sebaya berusia delapan belas tahun. "Apakah
engkau tidak bisa memperpanjang beberapa hari lagi?"
"Bwee Hong, aku juga sayang sekali kepadamu dan aku ingin dapat terus berdekatan
dengan seorang sahabat seperti engkau. Akan tetapi, sudah terlalu lama kami
bertiga meninggalkan kawan-kawan kami, dan engkau tentu tidak lupa akan keadaan ayahku"
Sampai di sini, suara Pek Lian menjadi gemetar mengandung duka.
"Ah, sahabatku yang baik. Aku ikut menyesal dengan keadaanmu yang tidak lebih
baik dari pada keadaanku. Kalau saja kami dapat membantu ......, sayang kakakku masih
belum sembuh" "Terima kasih, engkau baik sekali. Akan tetapi bantuan apakah yang dapat
diberikan orang kepada kami " Yang memusuhi kami bukan orang biasa melainkan pemerintah !"
Bu Seng Kun kini sudah dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan, walaupun
masih lemah dan perlu beristirahat agar bekas- bekas luka dalam tubuhnya dapat sembuh
sama sekali. Diapun memandang kepada kedua orang guru Pek Lian, dan berkata, "Bantuan sam-wi
sungguh tak ternilai besarnya bagi keluarga kami, dan entah kapan kami kakak beradik
akan sanggup untuk membalasnya. Semoga Thian Yang Maha Esa sajalah yang akan membalas sam-wi dengan
berkah yang melimpah-limpah."
"Ah, Bu-taihiap terlalu sungkan," kata Kim- suipoa. "Bantuan apa yang dapat
diberikan oleh kami orang-orang lemah ini ?"
"Selain itu, sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk saling bantu,
bukan ?" kata pula Pek- bin-houw. Mereka bertiga lalu pamit dan meninggalkan tempat itu,
diantar oleh kakak ber-adik itu sampai ke pintu depan dan mereka berdua melambaikan tangan sampai
tiga orang tamu itu lenyap di sebuah tikungan.
Dua hari kemudian, setelah dua orang anak bu-ahnya yang terluka itu sembuh, Kwa-
toanio juga minta diri. Sambil memegang lengan kedua orang muda itu, Kwa- toanio
berkata dengan mata basah dengan air mata, "Anakku sembuh adalah berkat keluarga Bu. Sampai
mati, aku dan anakku tidak akan melupakan budi kalian. Aku akan membawa Siok Eng pulang untuk
dirawat sampai sembuh, Kami belum dapat memikirkan bagaimana untuk membalas budi kalian.
Untuk sementara ini, harap kalian suka menerima bendera keramat dari kami ini untuk
disimpan. Bendera ini adalah pusaka Tai-bong-pai, pemegangnya akan dihormati seperti
kepada ketua Tai- bong-pai sendiri." Bwee Hong menerima bendera itu, bendera kecil yang terbuat dari pada anyaman
kawat baja lembut yang bersulamkan benang emas dengan lukisan sebuah kuburan dengan
huruf Tai Bong Pai. "Sayang sekali bahwa kami belum berhasil menyembuhkan sama sekali penyakit yang
diderita oleh Kwa-siocia," kata Seng Kuil dengan suara menyesal. "Padahal, sudah
hampir sembuh. Kalau ia dilanjutkan dengan pengobatan yang menggunakan sinkang dari golongan
kami, tentu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
akan dapat disembuhkan secara cepat sekali. Sayang, aku masih terluka sehingga
tidak mampu melakukannya, sedangkan adikku, hanya mempelajari tusuk jarum dan pengobatan
saja, akan tetapi sinkang-nya belum sekuat itu untuk dapat mengobati. Kalau saja ji-susiok
tidak memusuhi kami, sekali dia turun tangan tentu puterimu akan dapat disembuhkan dengan
seketika, bibi Kwa."
Setelah berkali-kali menghaturkan terima ka-sih, ibu dan anak itu lalu pergi
pada malam hari. Karena belum mampu berjalan sendiri, Siok Eng masih dipikul dalam
keranjang bambu seperti ketika ia datang. Ibu dan anak itu berangkat di malam gelap, diiringkan
oleh delapan orang anak buah yang seram-seram itu.
Setelah semua tamunya pergi, barulah kakak beradik itu merasa betapa sunyinya
rumah mereka. Barulah terasa oleh mereka benar-benar bahwa mereka telah kehilangan
ayah bunda mereka. Maka, tak tertahankan lagi, Bwee Hong menangis. Seng Kun juga termenung
dengan hati terasa kosong dan kesepian. Akan tetapi untuk menghibur adiknya, dia cepat
berkata, "Sudahlah, adikku. Dari pada membiarkan diri hanyut dalam kesedihan, apakah tidak lebih
baik kalau kita membaca buku catatan peninggalan ayah itu ?"
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hong. Selama ini, mereka berdua belum sempat
membaca buku catatan itu karena di situ terdapat banyak tamu dan Bwee Hong juga sibuk
merawat kakaknya dan Siok Eng. Kini, teringat akan pesan ayah mereka, Bwee Hong segera
memasuki kamar dan membawa keluar peti hitam itu. Mereka duduk berdampingan agar dapat
membaca isi kitab itu bersama-sama, Ternyata pada halaman pertama terdapat tulisan ayah
mereka yang ditujukan kepada mereka berdua !
Seng Kun dan Bwee Hong tersayang,
Surat dan catatan ini memang kupersiapkan untuk kalian, pada saat terakhir kita
berpisah, akan kuserahkan kepada kalian. Sekarang, kuatkanlah hati kalian untuk menghadapi
kenyataan, pahit maupun manis, kenyataan tentang diri kalian yang sesungguhnya. Nah,
bacalah catatanku ini." Ayah angkat kalian, Bu Kek Siang
"Ayah angkat......" Apa maksud ayah " Bwee Hong berseru dengan kaget sekali
membaca sebutan itu. Kakaknya lebih tenang. "Marilah kita baca catatan ini selanjutnya, adikku."
Mereka berdua dengan tidak sabar lalu membaca catatan itu. Dan keduanya terkejut
bukan main Mula-mula mereka memang tidak mengerti ketika catatan itu bercerita tentang
keadaan seorang pangeran. Pangeran itu bernama Chu Sin, seorang pangeran yang berjiwa
pemberontak karena dia tidak suka melihat kehidupan istana yang penuh dengan kepalsuan dan
korupsi. Dia menentang keluarga kaisar, keluarga ayahnya sendiri dan karena dia dimusuhi, dia
lalu meninggalkan istana dan merantau di luar istana. Akan tetapi, karena dia
dianggap sebagai pemberontak yang berbahaya dan mungkin akan menghimpun kekuatan dari rakyat
untuk menentang istana, maka dia lalu dikejar-kejar sebagai buronan. Dalam perantauan-
nya ini, Pangeran Chu Sin bertemu dengan seorang gadis kang-ouw, yaitu keponakan dari
nyonya Bu Kek Siang sendiri, seorang gadis she Sim. Mereka saling mencinta dan akhirnya
menjadi suami isteri. Pangeran Chu Sin dan isterinya tinggal mengasingkan diri di gunung sampai mereka
mempunyai dua orang anak. Akan tetapi pada suatu hari, datanglah pasukan
pemerintah yang telah mengetahui di mana adanya Pangeran Chu Sin. Rumah itu diserbu. Isteri Chu
Sin, sebagai seorang wanita kang-ouw, melakukan perlawanan gigih dan akhirnya tewas. Pangeran
Chu Sin sendiri tertawan oleh pasukan dan dibawa pergi ke kota raja.
Pada akhir catatan itu, barulah Seng Kun dan Bwee Hong dengan kaget membaca
bahwa putera sang pangeran itu bukan lain adalah mereka sendiri!
Ketika itu, demikian menurut catatan pendekar Bu Kek Siang, Seng Kun baru
berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Mereka lalu ditolong oleh pendekar Bu
Kek Siang suami isteri dan diaku sebagai anak-anak mereka sendiri, digembleng dengan ilmu silat


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ilmu pengobatan. "Koko......" "Moi-moi !" Dua orang anak itu saling berangkulan dan menangis. Kiranya mereka
bukan anak kandung pendekar Bu Kek Siang, melainkan putera-puteri seorang pangeran
yang kini entah masih hidup ataukah sudah mati. sedangkan ibu kandung mereka telah lama tewas
dalam KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pengeroyokan pasukan istana. Pendekar yang dianggap ayah itu ternyata malah
kakek paman mereka, karena bukankah ibu kandung mereka itu keponakan dari nyonya Bu "
Kenyataan yang mereka baca dalam catatan pendekar Bu Kek Siang itu menimbulkan berbagai macam
perasaan. Mereka merasa terharu dengan kenyataan bahwa suami isteri pen-dekar itu biarpun
hanya merupakan ayah dan ibu pungut saja, ternyata telah mencurahkan kasih sayang yang
amat besar kepada mereka. Dan ternyata bahwa she mereka sendiri bukanlah she Bu melainkan"
she Chu ! Akan tetapi, kenyataan itu pun mendatangkan suatu harapan tipis, yaitu untuk
dapat bertemu dengan ayah kandung mereka. Bukankah menurut catatan itu, ayah kandung mereka,
Pangeran Chu Sin, masih hidup dan hanya ditawan saja oleh para pasukan istana "
Ho Pek Lian bersama dua orang gurunya, melanjutkan perjalanan mereka yang telah
tertunda sampai setengah bulan lebih itu. Pengalaman- pengalaman mereka selama
beberapa belas hari ini benar-benar mengejutkan sekali dan membuka mata mereka bahwa di
dunia ini terdapat banyak-sekali orang pandai dan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya
masih amatlah rendah. Pengalaman- pengalaman ini terutama sekali amat mengejutkan hati Pek
Lian. Dua orang kakek itu sudah banyak pengalaman, akan tetapi baru sekarang merekapun
menghadapi orang- orang yang amat pandai, seolah-olah ada sesuatu terjadi di dunia kang-ouw ini
yang membuat orang-orang sakti bermunculan dari tempat pertapaan dan persembunyian mereka.
Kim-suipoa adalah seorang yang belum pernah menikah dan namanya adalah Tan Sun.
Semenjak muda dia suka bertualang, oleh karena itu maka dia tidak pernah menikah
setelah di masa mudanya pernah gagal bercinta. Kesukaannya, selain ilmu silat, adalah
berdagang dan kalau dia sudah memperoleh keuntungan-keuntungan karena tepatnya perhitungannya, maka
berbahagialah hatinya. Akan tetapi, dia tidak pernah dapat mengumpulkan har-
tanya. Hatinya terlalu perasa dan kedua tangannya terlalu terbuka sehingga semua keimbangan
yang didapatnya karena kelihaiannya mainkan suipoa, selalu habis disumbangkan kepada orang lain.
Sekarangpim, seluruh hartanya diberikannya kepada Liu Pang untuk memperkuat kedudukan
pendekar yang memimpin orang-orang gagah sebagai seorang bengcu itu.
Pek-bin-houw bernama Liem Tat dan dalam usia semuda itu, baru empatpuluh tahun
lebih, dia sudah menduda. Isterinya tergila-gila kepada pria lain dan melarikan diri
bersama pria itu. Pek- bin-houw Liem Tat tidak mengejar, membiarkannya saja karena dia berpikir bahwa
kalau memang isterinya itu, sebagai seorang wanita sudah tidak suka hidup bersama dia, perlu
apa dipaksa " Lebih baik begitu, lebih baik berpisah dari pada memilih seorang isteri yang
tidak mencintanya lagi. Untung bahwa selama pernikahannya itu, dia dan isterinya tidak dikurniai
anak. Penyebab utama mengapa isterinya meninggalkannya adalah karena dia suka bertualang,
sebagai seorang pendekar kang-ouw tidak memperdulikan keadaan kesejahteraan rumah tangga, bahkan
tidak jarang dia bertualang meninggalkan isterinya sampai berbulan-bulan. Ini-lah
salahnya kalau orang memperisteri wanita yang tidak sehaluan dengan sang suami. Andaikata isterinya
juga seorang kang-ouw, tentu keduanya dapat bertualang bersama-sama.
Dua orang ini yang sekarang menjadi pembatu- pembantu Liu Pang, yaitu bengcu
(pemimpin rakyat) yang amat terkenal itu, menjadi terkejut dan terheran ketika melihat
munculnya banyak orang sakti selama ini. Mereka lalu mengajak murid mereka untuk cepat- cepat
kembali ke Puncak Awan Biru untuk kembali ke sarang mereka dan melapor kepada Liu-twako.
Akan tetapi Pek Lian membantah. "Maaf, suhu. Akan tetapi aku ingin sekali
mengetahui bagaimana nasib ayahku. Menurut kabar, ayah akan ditawan di kota Wu-han di
Propinsi Hu-peh. Aku ingin sekali menyelidiki ke sana."
Kim-suipoa mengerutkan alisnya. "Sungguh berbahaya sekali bagimu, nona. Engkau
telah di kenal dan tentu sekarang mereka sudah bersiap-siap. Apa lagi setelah terjadi
serangan kita yang ternyata gagal itu, tentu pemerintah telah menganggap engkau seorang buronan
yang akan dikejar-kejar." "Dan untuk menyelidiki keadaan Ho-taijin, sebaiknya kalau diserahkan kepada
pendapat dan siasat Liu-twako yang dapat mengirim penyelidik-penyelidik rahasia, tentu
hasilnya akan lebih baik dari pada kalau kita sendiri yang menyelidiki sambil sembunyi- sembunyi," Pek-
bin-houw menyam- bung. Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Suhu sendiri tentu akan kecewa kalau melihat muridnya menjadi seorang anak yang
tidak memperdulikan keadaan ayah yang tertawan, dan takut menghadapi bahaya demi
menolong ayahnya. Suhu, aku ingin mencari keterangan tentang ayah," Gadis itu berkata
lagi dan teringat akan ayahnya yang menderita, matanya menjadi basah.
"Nona, kami sama sekali tidak berkeberatan dan memang sepantasnya kalau Ho-
taijin dibebaskan dari cengkeraman kaisar lalim. Akan tetapi apa daya kita kalau beliau
sendiri tidak mau dibebaskan " Apakah yang akan kita lakukan kalau kita pergi ke Wu-han ?"
"Aku hanya ingin mendengar bagaimana kea-daannya."
"Baiklah," akhirnya Kim-suipoa Tan Sun mengangguk.
"Bagaimanapun juga, untuk pulang ke Puncak Awan Biru, kita dapat mengambil jalan
melewati Wu-han. Mari kita pergi agar sebelum terlampau gelap kita sudah bisa
tiba di kota Ki-han di sebelah selatan Wu-han."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan pada sore hari itu tibalah mereka di kota
Ki-han, sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Selagi mereka berjalan di jalan raya
untuk mencari sebuah rumah penginapan, mereka melihat betapa di jalan raya itu banyak terdapat
perajurit- perajurit pemerintah hilir-mudik dan Suasana nampak sibuk sekali. Melihat ini,
Pek Lian lalu berjalan di belakang kedua orang gurunya untuk menyembunyikan mukanya dan mereka
mengambil jalan di tepi jalan raya itu agar jangan bertemu dengan komandan-
koman-dan pasukan. Akan tetapi, dara ini tidak mengenal betul watak para perajurit yang sedang
mengadakan suatu gerakan di sebuah tempat. Mereka ini bukan hanya merupakan kelompok orang-
orang yang sudah biasa dengan kekerasan dan juga yang selalu merasa memiliki kekuasaan atas
rakyat jelata sehingga sering sekali melakukan tindakan dan sikap sewenang-wenang, juga mereka
yang bertugas dan agak lama berjauhan dari wanita itu selalu mempergunakan kesempatan
untuk bersikap kurang ajar terhadap wanita-wanita yang dijumpainya di mana saja. Apa
lagi kalau wanita itu secantik Ho Pek Lian! Para perajurit yang berkeliaran di kota Ki-han
itu adalah pasukan yang baru saja kembali dari tugas mereka untuk menumpas gerombolan, yaitu mereka
yang tidak mentaati pemerintah, gerombolan di sepanjang Sungai Yang-ce yang terkenal itu.
Biarpun Pek Lian telah mengambil jalan di pinggir namun kemudaan dan
kecantikannya tidak lolos dari pandang mata seorang perajurit mabok yang kebetulan lewat di
dekatnya. Apa lagi karena siang-siang para wanita kota itu sudah menyembunyikan diri di dalam rumah
ketika pasukan tiba, sehingga di jalan raya itu tidak nampak wanita muda, maka
kehadiran Pek Lian amatlah menyolok. "Heh, nona manis, hendak ke mana ?" perajurit mabok itu berkata sambil
menyeringai dan tangannya terjulur ke depan untuk meraih dada! Tentu saja Pek Lian mengelak dan
menjadi marah."Manusia tak sopan!" desisnya akan tetapi ia tidak melayani perajurit itu
dan mengharap pera-jurit itu akan lewat begitu saja. Akan tetapi dugaannya keliru karena tiba-
tiba perajurit itu membalik dan menubruk pinggangnya yang ramping.
Tentu saja Pek Lian yang sedang berduka memikirkan keadaan ayahnya itu menjadi
jengkel se-kali, apa lagi karena setelah ayahnya ditawan oleh pasukan kerajaan, ia
membenci setiap orang pera-jurit kerajaan, maka tanpa ampun lagi ia menggerakkan kaki tangannya dan
perajurit itu roboh ter-jungkal di atas jalan. Ketika menerima hantaman yang amat keras itu,
perajurit mabok ini berteriak keras, akan tetapi setelah roboh terbanting, dia tidak mampu
berteriak lagi. Tentu saja peristiwa itu menimbulkan kegemparan. Para perajurit yang sedang
berkeliaran itu, cepat berlari mendatangi dan melihat betapa seorang di antara kawan mereka
dihantam roboh oleh seorang dara cantik, tentu saja mereka langsung saja maju mengeroyok! Pek
Lian cepat melawan dan tentu saja dua orang gurunya juga tidak tinggal diam dan membantu
murid mereka itu. Tentu saja banyak perajurit yang roboh malang-melintang ketika tiga orang
ini mengamuk. Akan tetapi makin banyak perajurit berdatangan. Melihat ini, karena khawatir
kalau-kalau para peiwira tinggi yang lihai datang, Kim-suipoa lalu berteriak kepada Pek-bin-houw
dan Pek Lian untuk mengikutinya melarikan diri dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
Tentu saja para perajurit mengejar sambil berteriak- teriak. Kim-suipoa terus
berlari, diikuti oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian. Mereka lari ke tepi kota dan melihat sebuah
rumah di tempat KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang sunyi dan gelap, mereka segera menghampirinya. Rumah itu gelap di luar
maupun di dalamnya, maka mereka lalu mendorong daun pintu depan. Daun pintu terbuka dan di
dalamnya gelap sekali. Kebetulan, pikir mereka. Agaknya rumah kosong. Mereka lalu
melangkah masuk dan menutupkan kembali daun pintunya. Dari jauh mereka mendengar derap kaki orang-
orang yang berlari-larian, yaitu kaki para perajurit yang mengejar dan mencari-cari mereka.
Agaknya mereka itu tidak mencurigai rumah ini, buktinya tidak ada perajurit yang menuju ke
rumah itu. Keadaan kamar yang gelap pekat itu membuat mereka tidak berani bergerak. Setelah
suara kaki di jalan raya itu tidak terdengar, lagi, terdengar Kim-suipoa berbisik,
"Mereka sudah pergi.
Tempat ini agaknya kosong, sebaiknya kalau kita bermalam di sini saja."
"Sebaiknya begitu, akan tetapi kegelapan ini..." kata Pek-bin-houw.
"Aku membawa batu pembuat api !" kata Pek Lian. "Kalau saja ada lilin di sini."
"Kamar ini tentu ada mejanya, barang kali ada lilin atau lampu" kata Kim-suipoa.
Mereka melangkah untuk meraba-raba mencari meja.
"Ihh... !" Pek Lian menahan jeritnya.
"Ehh... !" Kim - suipoa juga berseru.
"Apa yang terinjak ini?" Pek-bin-houw juga berseru. Mereka merasa menginjak
sesuatu yang lunak.Karena tidak dapat menyentuh meja, dan ingin melihat apa yang mereka injak
itu, Pek Lian lalu memukul batu apinya. Terdengar bunyi "crek! crek!" dan setiap ada api
berpijar, nampak sinar terang. Tiba - tiba Pek Lian menjerit ketika ia melihat ke depan pada saat bunga api
berpijar. Ia melihat sepasang mata melotot dari seorang pria berpakaian perwira kerajaan yang
duduk di atas kursi ! Saking kagetnya, ia menjerit dan batu api itu terlepas, jatuh. Ia
berjongkok dan dengan tangan menggigil karena merasa ngeri, ia hendak mencari bata apinya. Akan
tetapi, untuk kedua kalinya ia menjerit karena tangannya meraba - raba sesuatu yang ternyata adalah
muka orang! "Ihhh...!" "Ada apa, nona ?"
"Ada.... ada orang duduk kursi dan rebah di lantai"
Kim-suipoa meraba-raba dan diapun dapat meraba orang-orang yang malang-melintang
di atas lantai. "Ah, ada beberapa orang dan mereka agaknya telah mati. Ini batumu"
katanya dan cepat mereka mencetuskan batu api sehingga terpancar sinar. Setelah mencetuskan
beberapa kali, mereka dapat melihat tempat minyak dan lampu. Cepat mereka lalu menyalakan api


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan betapa ngeri hati mereka melihat bahwa ada sedikitnya enam orang perwira kerajaan yang
tewas malang- melintang di atas lantai, sedangkan seorang perwira yang telah mati duduk di
atas kursi dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Mengerikan sekali. Rumah itu kosong, agaknya tidak ada orang lain, atau orangnya
yang masih hidup kecuali mereka bertiga.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh perlahan. Mereka bertiga terkejut dan
memandang ke atas. Kiranya di atas tiang yang melintang nampak empat orang yang memiliki
wajah yang menyeramkan, wajah yang gagah dan juga bengis. Tiga orang di antara mereka sudah
berusia limapuluh tahun lebih, akan tetapi seorang di antaranya masih muda, kurang lebih
duapuluh tahun usianya, wajahnya halus dan tampan.
Karena mengira bahwa tentu mereka itu adalah orang- orangnya pasukan yang
mengejar mereka, maka Kim-suipoa sudah menggerakkan tangannya dan empat butir biji suipoa
terbuat dari baja meluncur ke arah empat orang itu. Senjata Kim-suipoa Tan Sun ini
adalah alat suipoa, dan senjata rahasianya juga biji suipoa, tentu saja bukan dari emas melainkan
dari baja. Akan tetapi, dengan tenangnya empat orang itu menyambut sinar yang menyambar itu
dengan tangan mereka ! Kim-suipoa terkejut karena hal ini saja sudah membuktikan betapa
lihainya mereka itu. "Aha, kiranya Kim-suipoa yang dikejar - kejar para perajurit. Ha-ha, ini namanya
jodoh !" kata pemuda itu dan dia sudah mendahului meloncat turun diikuti oleh tiga orang
temannya. Karena sikap empat orang itu tidak bermusuhan, maka Pek Lian dan dua orang
gurunya juga hanya memandang dengan sikap waspada. Orang muda itu menyingkirkan mayat yang
menghalang di depan kakinya dengan menendangnya ke pinggir dan dengan sikap
menghina. Kemudian dia menjura kepada Kim-suipoa.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Maaf kalau kami mengejutkan lo-enghiong berdua dan nona. Kalau boleh kami
bertanya, mengapa sam-wi dikejar-kejar para perajurit ?"
"Aku diganggu perajurit dan kami merobohkan beberapa orang perajurit, lalu kami
dikeroyok dan lari sampai di sini," kata Pek Lian.
Pemuda itu tersenyum. "Hemm, memang begitulah watak mereka. Sudah lama kami
mendengar nama besar Kim- suipoa lo-enghiong, dan kamipun merasa kagum sekali
kepada Liu- taihiap." "Beliau adalah guruku !" kata Pek Lian. Men-dengar ini, mereka berempat menjura.
"Ah, kiranya para pendekar dari Puncak Awan Biru. Maafkan kami. Tempat inipun
tidak aman, kami mohon diri lebih dulu !" berkata demikian, pemuda itu berkelebat
diikuti oleh tiga orang temannya dan merekapun lenyap dari situ. Hanya ada angin menyambar yang
membuat api lampu di atas meja bergoyang - goyang. Pek Lian saling pandang dengan dua orang
gurunya sambil menggeleng - geleng kepala. Kembali mereka bertemu dengan orang - orang
yang berkepandaian tinggi. "Suhu, siapakah kiranya orang-orang tadi?"
Kedua orang gurunya menggeleng kepala karena mereka memang belum mengenal orang-
orang tadi dan tidak dapat menduga siapa mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara derap kaki orang di luar rumah dan diikuti teriakan - teriakan para perajurit.
"Mari lari dari jendela !" teriak Kim - suipoa. yang sudah membuka jendela
samping dan mereka berloncatan keluar.
"Tangkap!" "Serbu...!" "Kejar...!! Akan tetapi tiga orang itu dengan cepat telah melarikan diri di dalam kegelapan
malam dan di-kejar- kejar oleh para perajurit. Dan kiranya kota Ki - han itu telah dijaga
ketat sekali oleh banyak perajurit sehingga pintu - pintu gerbang tak mung-kin dilalui orang tanpa
pemeriksaan dan pengge-ledahan yang ketat. Untuk melompati pagar tembok kota juga berbahaya
karena agaknya malam itu para perajurit benar - benar sibuk melakukan penjagaan. Untuk melalui
pintu gerbang tentu saja mereka tidak berani. Dan untuk tetap tinggal di dalam kota, tanpa ada
tempat menginap, selain berbahaya juga akan membuat, mereka tentu menjadi lelah sekali.
Akhirnya mereka dapat menemukan tembok kota yang gelap dan agak jauh dari penjagaan, maka
tanpa ragu - ragu lagi mereka lalu berlompatan dan keluar dari kota Ki-han melalui
tembok kota itu. Betapapun juga, mereka tidak berhenti dan terus berlari sampai akhirnya mereka
melihat sebuah kuil tua di kaki bukit. Ke situlah mereka menuju dan mereka segera
mengetuk pintu kayu tebal kuil itu. Beberapa kali mereka mengetuk dan akhirnya pintu depan terbuka
dan seorang hwesio dengan mata mengantuk berdiri di depan mereka.
Kim - suipoa yang memimpin rombongannya segera memberi hormat kepada hwesio itu.
"Kami mohon kemurahan hati para hwesio di sini untuk dapat menampung kami
bermalam di tempat ini melepaskan lelah."
Hwesio itu mengerutkan alisnya. "Pinceng tidak berani memberi keputusan karena
sam - wi datang di tengah malam begini, apa lagi ada seorang wanita muda sebaiknya
pinceng melapor kepada suhu, yaitu kalau suhu belum tidur. Kalau suhu sudah tidur, tentu saja
pinceng tidak berani membangunkannya dan tidak berani menerima sam-wi."
"Sudahlah, A-ceng, silahkan mereka masuk ke kamar tamu." Tiba-tiba terdengar
suara halus dari dalam. Hwesio yang dipanggil A-ceng itu tersenyum. "Ah, suhu belum tidur. Silahkan,
sam-wi, silahkan masuk ke sini ......" Dia lalu membawa lampu teng bergagang, menutupkan
kembali daun pintu dan memalangnya, kemudian mengantar tamu-tamu itu menuju ke sebuah
ruangan tamu di samping. Seorang hwesio tua sudah duduk di situ. Kim-suipoa selain
terkenal sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga terkenal sebagai seorang dermawan, maka
mengingat bahwa dia banyak dikenal oleh kuil-kuil yang sudah banyak disumbangnya, dia lalu
memperkenalkan diri setelah memberi hormat.
"Saya Kim-suipoa Tan Sun dan dua orang teman mohon maaf kalau mengganggu losuhu.
Kami bertiga kemalaman di jalan dan mohon diperkenankan mengaso sampai pagi di
kuil ini." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mendengar julukan ini, benar saja hwesio tua itu segera merangkapkan kedua
tangan di depan dadanya. "Omitohud..., kiranya Tan-sicu yang datang. Apa lagi Tan-sicu
yang telah banyak melimpahkan budi kepada kaum miskin dan tempat-tempat ibadah, biar orang lain
sekalipun kalau kemalaman tentu akan pinceng terima dengan hati dan tangan terbuka. Silahkan,
sicu." Hwesio tua itu lalu menyuruh hwesio bernama A-ceng itu untuk membawa tiga orang tamunya
ke kamar tamu, dua buah kamar, sebuah untuk siocia (nona) dan yang ke dua untuk kedua
orang sicu (orang gagah) itu. Malam itu Pek Lian dan kedua orang gurunya dapat beristirahat dengan tenang dan
daffat tidur nyenyak sehingga pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi mereka bangun,
mereka merasa segar dan tenaga mereka telah pulih kembali. Pagi-pagi sekali, mereka bertiga
sudah bangun, mereka membersihkan diri, berkemas dan bersiap-siap untuk berpamit dari ketua
kuil untuk melanjutkan perjalanan mereka, karena mereka merasa bahwa terlalu lama berada di
sekitar daerah di mana sedang diadakan pembersihan itu, tidaklah menguntungkan. Pula,
yang mereka tuju adalah Wu-han, di mana Menteri Ho kabarnya ditawan.
Akan tetapi, pada saat mereka berjalan menuju ke ruangan depan, terdengar ada
orang membuka pintu depan dan menutupkannya kembali, lalu terdengar suara ketua kuil
yang halus dan sabar. "Hei, A-hai, ke mana sajakah engkau semalam "
Omitohud.., pinceng benar-benar mengkhawatirkan dirimu. Kenapa engkau tidak
pulang " Apakah terjadi kesukaran lagi, Hai-ji (anak Hai)?"
"Maaf, suhu. Aku tidak berani pulang. Habis, banyak sekali perajurit - perajurit
di kota pada mengamuk membabi - buta. Aku jadi ketakutan dan aku tidur bersama para jembel di
dalam pasar." Jawaban suara ini seperti tidak asing dan telah dikenal oleh Pek Lian
dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka lupa lagi di mana pernah mendengar suara itu, suara
yang ketolol- tololan. Kim-suipoa lalu maju dan membuka pinta lalu melangkah keluar. Orang yang disebut
Hai-ji dan baru datang itu telah memegang sebatang sapu bergagang panjang dan sudah
siap untuk menyapu pelataran di mana banyak terdapat, daun-daun sang berguguran semalam.
Mudah diduga bahwa pemuda itu adalah murid atau juga pelayan di kuil itu karena dia
bukanlah hwesio, melainkan seorang pemuda yang bertubuh jangkung tegap, dengan rambut hitam
panjang digelung ke belakang dan pakaiannya sederhana. Mendengar pintu dibuka orang,
pemuda itu menoleh. "Eh, kau ...?"!" Suara Kim-suipoa terdengar kaget sekali ketika dia mengenal
pemuda itu. Pek Lian dan Pek-bin-houw cepat keluar dari pintu itu dan merekapun terkejut,
memandang kepada pemuda yang memegang sapu itu dengan mata terbelalak dan pandang mata
gentar. Tentu saja mereka gentar karena pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang pernah
menjadi kusir kereta tawanan yang membawa Menteri Ho, pemuda yang terluka lalu mengamuk
dengan kepandaiannya yang mentakjubkan dan mengerikan itu! Mereka bertiga memandang
dengan muka berobah dan sikap waspada. Siapakah pemuda ini " Bagaimana dulu pernah
menjadi kusir pasukan pemerintah, dan sekarang menjadi pelayan kuil "
Ketua kuil, hwesio yang usianya sudah mendekati tujuhpuluh tahun itu kini datang
menghampiri. Diapun tersenyum gembira. "Omitohud..., betapa sempitnya dunia ini.
Kiranya sam - wi (anda bertiga) telah mengenal anak ini " Sungguh kebetulan sekali! Baru
setengah bulan dia bekerja di sini. dan pinceng tidak tahu siapa dia sebenarnya. Siapakah anak ini,
sicu ?" tanyanya kepada Kim-suipoa. "Sungguh aneh!" Ho Pek Lian berseru. "Apakah losuhu belum mengenal dia " Kalau
begitu, bagaimana dia bisa berada di sini " Kami baru dua kali ini bertemu dengan dia
dan kamipun tidak tahu siapakah dia sebenarnya."
"Orang muda, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk memperkenalkan diri ?"
Pek-bin- houw berkata sambil memandang tajam kepada wajah yang tampan dan gagah sekali
itu. Sejenak pemuda tinggi besar itu memandang kepada mereka satu demi satu. Alisnya
yang tebal hitam berbentuk golok itu berkerut, sepasang mata yang bening tajam akan
tetapi nampak bingung itu menjadi semakin muram. Dia membanting kakinya dan nampak jengkel
sekali, bahkan dia lalu membuang sapunya. Wajahnya muram dan membayangkan kekesalan hatinya.
Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala di belakang telinga, bahkan lalu mencengkeram dan
menjambaki KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
rambutnya sehingga gelungnya terlepas dan rambut yang diikat di bagian belakang
itu menjadi seperti ekor kuda yang besar.
"Suhu... sungguh celaka, semua membuatku menjadi pusing saja! Setiap orang
mengatakan bahwa dia pernah mengenalku, pernah melihatku, malah banyak yang mengatakan
bahwa aku pernah memukulnya. Mereka memandang dengan takut kepadaku, katanya aku lihai dan
pandai silat. Padahal, aku belum pernah melihat mereka ! Dan aku sama sekali tidak bisa
silat, apa lagi memukul orang. Bagaimana ini " Suhu, siapakah aku ini sebenarnya " Kenapa begitu
banyak orang mengenalku sedangkan aku belum pernah bertemu dengan mereka " Ah, aku bisa
menjadi gila kalau menghadapi teka-teki ini... suhu, katakanlah siapa sebenarnya diriku
ini." Kwesio tua itu merangkap kedua tangan di depan dada, pandang matanya diangkat ke
atas seolah-olah dia berdoa. "Omitobud ...... !" Dipandangnya pemuda itu dengan sinar
mata penuh iba kasih mendalam. "Sudahlah, Hai-ji.. engkau masuk dan beristirahatlah dulu.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin engkau masih merasa kaget oleh ulah para perajurit malam tadi, maka tenangkanlah hatimu
dan mengasolah." Pemuda itu mengangguk dan melangkah pergi, baru beberapa langkah berhenti dan
mengambil sapu yang dibuangnya tadi, menyandarkannya di batang pohon, barulah
dia pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kepada Pek Lian dan dua orang gurunya. Dan
melihat sikap pemuda itu, entah bagaimana ia sendiripun tidak tahu dan tidak mengerti
mengapa, hati Pek Lian terasa amat kecewa. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya,
melirik sedikitpun tidak, seolah-olah ia tidak pernah ada di situ ! Dan anehnya, pemuda itu
nampaknya seperti ketakutan benar keti ka diingatkan akan para perajurit. Dan pemuda itu nampak
bahwa dia benar - benar sama sekali tidak mengenal mereka. Benarkah pemuda itu sakit ingatan "
Sungguh sayang sekali. Pemuda yang demikian gagahnya, tampan dan juga sebetulnya lihai bukan
main sehingga seorang tokoh besar seperti Pek - lui - kong saja dapat dibuat gentar olehnya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang, "Sunggun patut dikasihani anak itu.
Agaknya sesuatu yang amat hebat telah menimpa dirinya sehingga jiwanya terguncang hebat. Dia
benar - benar lupa sama sekali akan masa lalunya. Dia tidak tahu sia-pa dirinya dan siapa pula
orang tuanya." "Akan tetapi, losuhu. Bukankah losuhu menyebut namanya dengan Hai - ji (anak
Hai) ?" Hwesio itu kembali menghela napas. "ketika dia mengerahkan seluruh ingatannya,
dia mengatakan bahwa dia hanya ingat orang tuanya menye-butnya Hai-ji (anak Hai).
Oleh karena itu maka pinceng menyebutnya A-hai atau Hai-ji. Agaknya namanya, tak salah lagi,
tentu ada huruf Hai - nya Dia telah berkelana sampai jauh, mencari orang yang tahu akan riwayat
hidupnya, yang benar - benar mengenalnya dan tahu keadaan keluarganya., Namun, sampai sekarang
sia - sia belaka." "Sungguh aneh sekali. Apakah dia tidak ingat sama sekali peristiwa yang terjadi
pada saat ter-akhir dia dapat mengingatnya, losuhu ?" tanya Pek-bin-houw.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Keadaan dirinya sendiripun kadang - kadang aneh
dan dia kehilangan ingatan sama sekali. Dalam keadaan sadar, dia adalah seorang
pemuda yang rajin, sopan, biarpun pemurung karena selalu memikirkan dirinya, dan juga seorang
pemuda yang lemah, dalam arti kata tidak mengenal ilmu silat walaupun pada dasarnya dia
bertenaga besar dan bertulang bersih sekali. Akan tetapi apa bila dia mengalami tekanan batin atau
melihat darah, maka dia akan kumat. Dan kalau sudah begitu, dia bisa berbahaya bukan main.
Dengan tiba-tiba saja dia menjadi buas, liar dan memiliki gerakan silat yang luar biasa sekali.
Sudah setengah bulan dia bekerja di sini. Pinceng membawanya ke sini setelah dia roboh pingsan,
sesudah kumat dan mengamuk. Setelah sadar, dia menyatakan bahwa tempat ini menenangkan hatinya dan
dia minta bekerja di sini. Karena kasihan, pinceng menerimanya."
Pek Lian dan dua orang suhunya yang sudah merasakan kelihaian pemuda itu ketika
kumat, lalu menceritakan tentang pertemuan mereka yang pertama kali dengan pemuda itu
kepada ketua kuil yang mendengarkan dengan penuh rasa heran dan kagum.
"Pinceng tidak percaya bahwa dia dengan se-ngaja membantu pasukan," katanya,
tidak mengerti bahwa nona itu adalah puteri Ho - taijin yang terkenal karena mereka
tidak menceritakan hal itu. "Dia tidak berpura - pura. Dalam keadaan sadar, dia sama sekali tidak
mengerti ilmu silat. Pinceng sudah beberapa kali mencobanya. Akan tetapi kalau penyakit aneh itu
kambuh, ilmunya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
hebat bukan main. Sungguh mengherankan sekak, mengapa begitu hilang
kesadarannya, dia malah menjadi lihai sekali."
"Memang mengherankan dan patut dikasihani," kata Kim - suipoa. "Kalau dia tidak
cepat memperoleh pengobatan sampai sembuh, keadaannya seperti itu amat berbahaya dan
tentu saja dia dapat disalahgunakan oleh golongan penjahat."
Hwesio itu mengangguk - angguk. "Memang berbahaya sekali. Tiga hari yang lalu
ketika dia sedang bergembira, pinceng menyuruhnya membetulkan genteng yang pecah dan bocor.
Entah karena kurang hati - hati barangkali, dia terjatuh ke bawah. Kakinya terluka,
lecet dan mengeluarkan banyak darah. Begitu dia melihat darah, langsung saja dia kumat,
mengamuk. Kalau pinceng dan para hwesio tidak cepat melarikan diri, mungkin ada yang
terbunuh. Dia mengejar pinceng dan melawanpun percuma. Pinceng lalu pasrah dan bersila,
bersembahyang. Eh, melihat pinceng bersembahyang, dia tidak jadi memukul walaupun angin pukulan
tangannya sempat membuat pinceng tergetar hebat. Dan diapun melayang naik ke. atas genteng
di wuwungan tertinggi dan duduk menangis! Hebatnya, setelah dia sadar kembali, dia
menjadi ketakutan dan tidak dapat turun se-hingga pinceng terpaksa memasang anak tangga
untuk dia turun."Pek Lian dan dua orang gurunya merasa heran dan juga geli. Sungguh
keadaan pemuda itu amat aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi karena pemuda itu sendiri tidak dapat
menceritakan keada-an dirinya, dan mereka mempunyai urusan penting mereka lalu mohon diri
dari ketua kuil. Akan tetapi, baru saja mereka hendak melang-kah keluar, tiba - tiba terdengar
suara terompet bersahut - sahutan dari jauh, disusul suara derap kaki banyak kuda di
sepanjang jalan tak jauh dari kuil itu. Jelaslah bahwa keributan para perajurit itu menunjukkan
bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat. Para hwesio kuil itu berlari - larian keluar untuk menonton,
kecuali pemuda aneh yang malah bersembunyi di belakang kuil. dan ketua kuil yang dengan tenang
saja berada di ruangan depan. "Maaf, losuhu, kemarin kami bentrok dengan para perajurit ketika saya diganggu,
maka kami ingin tinggal dulu di sini sampai mereka itu pergi," kata Pek Lian. Ketua kuil
itu mengangguk dan mempersilahkan. "Kami akan menyelidiki keadaan di luar dan melihat apa yang terjadi," katanya,
kemudian dia memanggil beberapa orang hwesio dan memberi perintah kepada mereka untuk
pergi menyelidik. Menjelang tengah hari, ketua kuil itu menemui para tamunya dengan wajah yang
serius. Setelah duduk berhadapan, ketua kuil itu lalu menarik napas panjang berkali -
kali. "Omitohud..... ,
dunia semakin menjadi kacau kalau manusia - manusianya tidak lekas - lekas sadar
akan dirinya, baik yang paling tinggi kedudukannya maupun yang paling rendah."
"Apakah yang telah terjadi, losuhu ?" tanya Pek Lian.
"Ah, sungguh menyedihkan dan mengerikan. Para pendekar mulai memperlihatkan
kemarahannya dan banyak perwira - perwira dibunuh di mana - mana, tidak
terkecuali di kota Ki - han. Beberapa orang perwira yang sedang berkemah di dekat kota dan sedang
menghibur diri di kota, tahu-tahu dibunuh orang. Ahhh..., semua ini akibat dari pada peraturan-
peraturan tidak adil yang dilakukan oleh kaisar. Malah baru saja pemerintah melarang terhadap orang -
orang bersenjata. Pendeknya, semua senjata yang ada dalam rumah dirampas dan disita
untuk dilebur dan dihancurkan, dan tentu saja setiap, orang yang membawa senjata ditangkap,
senjatanya dirampas dan kalau dia melawan akan dipukuli bahkan ada yang dibunuh. Kacau...
kacau..., dan sam-wi sebagai pendekar-pendekar sebaiknya cepat menyembunyikan senjata kalau
sam-wi membawanya." Pek Lian meraba pedangnya dan saling berpandangan dengan kedua orang gurunya.
Kaisar telah bertindak terlampau jauh. Akan menentang para pendekar dengan terang-
terangan agaknya. Kim-suipoa mengepal tinjunya.
"Tindakan pemerintah sungguh sewenang - wenang. Semenjak ratusan tahun yang
lalu, para pendekar mempersenjatai dirinya untuk melawan kejahatan. Kalau dilarang
memegang senjata, bagaimana harus membela diri terhadap serangan segala macam binatang
buas dan orang jahat ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Omitohud...makin tua pinceng mengalami hal - hal yang amat menyedihkan.
Semenjak kaisar yang sekarang berkuasa, memang ada beberapa hal yang pinceng anggap
merupakan kebijaksanaan yang baik sekali. Penertiban ukuran dan timbangan sungguh
menguntungkan dalam dunia perdagangan. Kemudian disamakannya huruf - huruf di seluruh daratan juga
merupakan hal yang amat baik sekali bagi kesusasteraan dam kesenian. Akan tetapi, kenapa akhir
- akhir ini bermunculan perintah - perintah yang begitu jahat " Kitab - kitab suci dibakar
dan dimusnahkan! Bagaimana mungkin hal itu dilakukan tanpa menggegerkan dunia " Pinceng sendiri
beragama Buddha, akan tetapi melihat betapa kitab - kitab Nabi Khong Cu dimusnahkan, diam
- diam pinceng merasa ngeri. Jelas itu merupakan persaingan agama yang tidak adil.
Kemudian, Menteri Ho yang bijaksana itu ditangkap seluruh keluarganya! Bukan main..."
"Berita apa lagi yang diperoleh murid - murid losuhu ?" Kim - suipoa bertanya.
"Hebat, dan membuat pinceng merasa tidak enak terhadap sam - wi. Ada berita yang
mengatakan bahwa para perajurit itu mencari seorang gadis dan dua orang laki -
laki setengah tua yang kabarnya pernah membuat onar dan mereka bertiga itu dituduh telah melakukan
pembunuhan - pembunuhan terhadap para perwira kerajaan itu."
"Ah, yang dimaksudkan adalah kami!" kata Pek Lian terkejut.
"Agaknya demikianlah, nona. Maka sebaiknya kalau sam - wi bersembunyi dulu di
kuil ini dan baru pergi setelah keadaan aman dan tenteram."
Tiga orang itu menjura dan menghaturkan terima kasih. Tan Sun si Suipoa Emas dan
Liem Tat si Harimau Muka Putih mengintai dari balik pintu depan, sedangkan Pek Lian
pergi ke belakang untuk mencari pemuda aneh yang sinting itu. Didapatkannya pemuda itu asyik
membelah kayu - kayu bakar dengan pisau dapur yang tidak tajam dan juga kecil. Dari belakang
pemuda itu, Pek Lian memandang kagum. Biarpun dalam keadaan sadar pemuda itu tidak paham ilmu
silat, akan tetapi ha-rus diakuinya bahwa pemuda ini bertenaga besar. Kalau tidak, mana
mungkin membelah kayu bakar hanya mempergunakan pisau dapur kecil yang tumpul pula " Pemuda itu
bertelanjang baju, hanya memakai celana hitam panjang. Dari belakang nampak tubuhnya yang
kekar dan kokoh kuat, dengan otot - otot yang besar dan hidup. Pek Lian memandang kagum
sekali sampai melongo dan seperti orang menahan napas. Menarik sekali dan indah sekali bentuk
tubuh pemuda itu, membayangkan kejantanan dan kekuatan yang mengagumkan hatinya. Tiba - tiba
pemuda itu menengok, seolah - olah merasa bahwa ada orang memandanginya.
Dua pasang mata bertemu dan sejenak bertaut. Pek Lian segera menundukkan mukanya
Srigala Iblis 2 Gento Guyon 17 Setan Sableng Neraka Puncak Lawu 1
^