Darah Pendekar 24
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
ini dia telah menambah ilmu kepandaiannya, dia menjadi te-nang kembali dan sambil
tersenyum mengejek dia menyambar kembali jubahnya yang tadi dibuka dan dilemparkannya ke
atas tanah dekat tubuh dara itu yang menggeletak terlentang tak dapat bergerak karena
tubuhnya tertotok lemas dan dara itu hanya dapat memandang dengan mata basah air mata.
Dikenakannya kembali jubahnya. Jubah ini amat penting baginya, karena jubah ini adalah jubah pusaka
peninggalan Raja Kelelawar, jubah yang membuatnya kebal terhadap serangan senjata apapun.
Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, Ma Kim Liang
mengeluar-kan sepasang pisau belatinya, senjata istimewa pe-ninggalan Kelelawar
Hitam. "Suheng, akhirnya engkau datang juga. Akan tetapi jangan mengira aku takut
kepadamu, karena aku sudah mempela-jari semua ilmu keluarga Souw dan engkau hendak menangkapku,
berarti engkau sudah bosan hidup. Ha-ha-ha !"
"Ma Kim Liang, engkau seorang manusia tak kenal budi. Ayahku telah mengangkatmu
sebagai murid dan engkau diperlakukan baik, akan tetapi sebagai balasannya
engkau malah mencuri pusaka keluarga kami! Dan engkau malah menyamar menjadi Raja Kelelawar
yang sejak dahulu dimu-suhi oleh keluarga kami karena dia telah mence-markan nama keluarga
perguruan kami." "Souw Thian Hai, jangan sombong engkau! Siapa bilang bahwa ayahmu
memperlakukan aku dengan baik " Aku dipekerjakan seperti budak pelayan, dan hanya diberi
pelajaran ilmu-ilmu silat kelas rendah saja. Ilmu - ilmu yang menjadi simpanan hanya diajarkan
kepadamu seorang! Tidak sudah sewajarnyakah kalau aku melarikan semua pusaka untuk kupelajari
sendiri " Dan ten- tang Raja Kelelawar, memang akulah keturunan nya, akulah ahli waris satu -
satunya dari semua ilmu dan pusakanya. Lihat pakaian dan jubah ini, lihat sepasang pisau ini dan
lihatlah ilmu - ilmu yang sudah kumiliki, ha-ha-ha !"
"Ma Kim Liang, engkau menguasai pusaka Ra-ja Kelelawar tentu ada hubungannya
dengan ma-yat yang berada di dasar jurang itu!"
"Ha - ha - ha, engkau dan ayahmu yang tolol itu baru tahu sekarang " Dia itu
murid dari cucu murid Raja Kelelawar, seorang manusia berotak miring yang hendak
menyerahkan semua pusaka kepada ayahmu. Orang gila itu kubunuh dan pusakanya kurampas, kusatukan
dengan pusaka keluarga Souw dan kupelajari
" "Jahanam busuk engkau!" Souw Thian Hai lalu menyerang bekas sutenya itu. Akan
tetapi, sute-nya tertawa, meloncat dengan amat cekatan ke samping lalu menggunakan
sepasang pisau belati-nya untuk balas menyerang. Melihat gerakan be-kas sutenya, Thian Hai
terkejut. Dia maklum bahwa sutenya menguasai pula semua ilmu silat keluarganya, maka kalau
tidak mempergunakan ilmu simpanan yang tidak mungkin dipelajari su-tenya, dia akan
terancam bahaya besar. Maka, cepat dia mulai bergerak mempergunakan kaki tangannya
mainkan ilmu Thai - kek Sin - ciang. Begitu tangan kirinya bergerak, angin dahsyat menyambar dan
dari jauh pukulan itu sudah me-rupakan serangan maut yang menerjang ke arah Ma Kim Liang.
"Ah, Thai - kek Sin - ciang!" Ma Kim Liang berseru. Dia mengenal ilmu ini karena
dia sudah memiliki kitabnya, akan tetapi sampai pusing dia mencoba untuk mempelajarinya,
hasilnya nihil. Dan kini lawannya mempergunakan ilmu itu un-tuk menyerangnya. Diapun berhati -
hati sekali, cepat menggerakkan pundak sehingga jubah hitam itu melindungi tubuhnya, dan
diapun menerjang dengan sepasang belatinya. Akan tetapi, angin dahsyat itu
menggempurnya dan tahu - tahu tela-pak tangan Thian Hai menyambar ke arah leher-nya. Kim Liang menyambut
dengan pisau belati yang menggurat ke arah pergelangan tangan itu.
Tahu-tahu tangan itu meluncur ke bawah dan menampar dadanya.
"Dukk !" Dada Kim Liang kena ditampar, akan tetapi tubuhnya terdorong ke
belakang tanpa menderita luka karena dada itu terlindung oleh jubah hitam yang amat kuat.
Sebaliknya, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Thian Hai terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya bertemu dengan benda
lunak yang amat kuat! Dan bagaikan kilat menyambar, tahu - tahu dua batang pisau belati di
tangan Kim Liang yang te-lah berubah menjadi dua gulung sinar itu me-nyambar dengan serangan
mautnya! Thian Hai cepat meloncat ke belakang dan menggerakkan ta-ngan mendorong, kembali
mengerahkan tenaga Thai-kek Sin - ciang sehingga angin besar mena-han gerakan Kim Liang,
membuat serangannya gagal. Mereka serang menyerang dengan hebatnya, Thian Hai
mengandalkan ilmu yang belum dikua-sai oleh lawan, sedangkan Kim Liang yang kalah unggul ilmunya
itu mengandalkan kekebalan jubah hitam dan keampuhan sepasang belatinya. Sampai
tigapuluh jurus lebih mereka saling serang dengan serunya, namun masih sukar bagi Thian Hai
untuk mengalahkan lawan, apa lagi menangkapnya. Pemuda ini lalu merobah gerakan
tangannya dan begitu tangan kirinya menyambar, nampak uap putih yang amat panas menerjang ke
depan. "Thai-lek Pek-kong-ciang
!" kata pula Ma Kim Liang dengan gentar. Dia mencoba untuk
mengelak, akan tetapi tetap saja tubuhnya terguling ketika telapak tangan Thian
Hai sempat menye-rempetnya. Karena maklum bahwa agaknya tidak mungkin baginya dapat
menandingi bekas suheng-nya yang amat lihai itu, Kim Liang terus bergu-lingan sampai jauh,
lalu meloncat dan menghilang di dalam kegelapan malam.
"Jahanam, hendak lari ke mana engkau... ?"
Thian Hai hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara
rintihan lemah dan teringatlah dia akan gadis yang terculik tadi. Ah, mengapa dia begitu
sembrono " Kalau dia
menge-jar, mungkin saja Kim Liang mengambil jalan me-mutar untuk membawa lari
lagi gadis itu. Melaku-kan pengejaran terhadap seorang yang ginkangnya setingkat dengan dia, apa
lagi di waktu malam di tempat yang tidak dikenalnya benar, tentu akan berbahaya sekali.
Dia tidak jadi mengejar dan melihat ke sekeliling. Hebat memang perkelahian antara dia dan
sutenya tadi. Ada pohon tumbang bekas pukulan atau tendangan kaki Kim Liang, bahkan ada batu besar
yang ditinggali tanda bekas jari tangan sutenya. Dia bergidik. Sutenya itu kini lihai
sekali dan kalau dia tidak mahir dua macam ilmu simpanan keluarganya tadi, kiranya belum tentu dia
akan menang. Dengan hati - hati dia lalu menghampiri dara itu, membebaskan totokannya dari
begitu dapat bergerak dara itu lalu berlutut di depan kaki Thian Hai sambil menangis.
Thian Hai menjadi gugup dan disentuhnya pundak itu dan disuruhnya gadis itu bangkit berdiri.
"In - kong (tuan penolong) telah menyelamatkan saya dari malapetaka hebat,
sampai mati saya tidak akan melupakan budi in-kong yang amat besar itu." kata si dara dengan
suara bercampur sedu sedan. "Ah, sudahlah, nona. Penjahat itu memang pantas dihajar. Siapakah nona dan di
mana rumah-mu " Apakah di rumah dalam dusun dari mana engkau diculik tadi ?"
"In - kong sudah mengetahuinya
?" "Sejak tadi aku membayangi penjahat itu yang memang menjadi incaranku sejak
tadi." "In-kong, nama saya adalah Go Yan Kim, ayahku adalah kepala dusun itu bernama Go
Tek. Bolehkah saya mengetahui nama in - kong yang mulia ?"
"Namaku Souw Thian Hai. Mari kuantar eng-kau pulang, nona."
Keduanya lalu berjalan menuju ke dusun itu tanpa berkata-kata lagi. Akan tetapi
keduanya kadang - kadang saling lirik dan diam - diam Thian Hai merasa heran sendiri
mengapa hatinya begitu tertarik kepada wajah yang cantik jelita ini! Be-gitu bertemu dan bicara,
dia telah jatuh cinta ke-pada wanita ini!
Tentu saja ketika mereka mengetuk pintu dan disambut oleh Go Tek dan isterinya,
kedua orang tua itu terkejut bukan main melihat puteri mereka tahu-tahu mengetuk pintu
dari luar dite- mani seorang pemuda asing yang berpakaian sas-terawan! Lebih kaget lagi hati
mereka ketika mendengar penuturan puteri mereka bahwa ia diculik penjahat dan diselamatkan
oleh pemuda itu yang selanjutnya mereka kenal sebagai Souw Kong-cu.
Peristiwfa itu ternyata menjadi awal perjodohan antara Thian Hai dan Yan Kim.
Keduanya saling mencinta dan ketika orang tua Thian Hai meng-ajukan pinangan, tentu saja
diterima dengan gem-bira oleh keluarga kepala dusun itu. Tanpa ada halangan apapun,
berlangsunglah pernikahan an-tara Souw Thian Hai dan Go Yan Kim. Thian Hai mengajak isterinya
tinggal di rumah keluarganya yang terpencil, dan kadang-kadang mereka me-ngunjungi keluarga
Go Tek di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dusun itu. Sampai mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw
Lian Cu, kebiasaan mengunjungi dusun itu masih sering dilakukan. Kadang-kadang Souw Thian
Hai hanya pergi berdua dengan puteri-nya yang amat dicintanya, dan kadang-kadang juga
bersama isterinya. Akan tetapi karena keluarga Souw hidup dalam keadaan menjauhkan diri dari dunia
ramal, maka keluarga Go tidak pernah di-perkenankan mengunjungi lembah itu. Ketika di-
rayakan pesta pernikahanpun, keluarga Souw yang datang berkunjung dan pesta diadakan di rumah
keluarga Go. Souw Thian Hai hidup rukun dengan isterinya, saling mencinta dan dalam
suasana yang bahagia. Mereka semua sudah hampir melupakan Ma Kim Liang karena tidak ada kabar
ceritanya lagi tentang murid murtad itu. Juga di dunia kang-ouw tidak ada lagi terdengar
munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar.
Akan tetapi, sesungguhnya Ma Kim Liang tidak tinggal diam begitu saja. Hatinya
sakit bukan main karena kekalahannya terhadap bekas suheng-nya. Apa lagi ketika dia
mendengar bahwa gadis dusun yang membuatnya tergila-gila itu kabarnya menjadi isteri suhengnya
dan hidup berbahagia di lembah, hatinya dipenuhi oleh iri dan dendam. Dia menggembleng
dirinya dengan tekun sekali, teru-tama dia mempelajari ilmu - ilmu aneh dari Raja Kelelawar di
samping memperdalam ilmu - ilmu yang didapatnya dari keluarga Souw. Juga dia mempelajari
ilmu yang jahat tentang racun-racun karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi dua
ilmu simpanan keluarga Souw yang sukar di-kalahkan itu. Selama tiga tahun dia menyiksa diri
dengan tekun berlatih siang malam tak mengenal lelah sehingga setelah tiga tahun dia keluar
dari dalam guha persembunyiannya, tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya menjadi jauh lebih tua
dari pada usia yang sesungguhnya. Setelah merasa dirinya benar - benar memperoleh kemajuan yang
amat pesat, diapun berangkat untuk membalas dendam atas kekalahannya dan melampiaskan
iri hatinya terhadap Thian Hai!
Malam itu gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya di lembah tempat tinggal
keluarga Souw. Sungai kecil yang biasanya berair bening dan tidak begitu besar, kini
meluap dengan air bercampur lumpur, dan anak sungai yang biasanya mengelu-arkan bunyi berdendang
merdu, kini mengeluarkan bunyi gemuruh yang menyeramkan. Karena hawa menjadi dingin oleh
hujan, sore - sore keluarga Souw sudah tidur di kamar masing - masing. Iste-ri Souw Koan Bu
menemani menantunya, berca-kap - cakap dalam kamar mantunya karena malam itu, Go Yan Kim
hanya sendirian saja di kamarnya. Suaminya, Souw Thian Hai dan puterinya, Souw Lian Cu
yang baru berusia dua tahun, pergi keluar rumah sejak sebelum hujan. Mereka semua tahu
bahwa malam itu Souw Thian Hai berlatih ilmu silat di dekat air terjun, dan biasanya kalau
sedang berlatih, hujan atau panas tidak menjadi pengha-lang, bahkan menambah gemblengan dengan keras-
nya hawa udara. Dan sore tadi Thian Hai menga-jak anak perempuan yang amat dicintanya
itu, de-ngan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud untuk mulai melatih tubuh anak itu dengan perobahan hawa udara. Dia
mengajak pula Pouw Hong, pelayan setia itu untuk menjaga Lian Cu selagi dia berlatih di bawah
air terjun, berlatih sinkang. Malam yang gelap menyeramkan itu bertambah seram dengan munculnya bayangan hitam
yang mengintai di rumah terpencil itu. Dengan gerakan yang amat hati-hati dan
sama sekali tidak dapat terdengar oleh seorang sakti seperti Souw Koan Bu sekalipun karena suara
itu tertutup oleh suara air hujan, bayangan hitam itu menyelinap dan meng-intai ke dalam kamar
belakang. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang yang sudah mengenakan pakaian Raja
Kelelawar ! Dia harus berhati - hati. Berbahayalah menghadapi Souw Koan Bu dan Souw Thian
Hai begitu saja dan dia sudah meng-atur muslihat dan siasat yang baik untuk melum-puhkan mereka.
Kebetulan sekali hujan menolong-nya. Kalau tidak ada hujan lebat yang menimbul-kan suara
berisik ketika menimpa genteng, dia tentu akan ragu - ragu untuk melepaskan siasatnya, maklum
betapa lihainya keluarga itu. Ketika dia mengintai ke dalam kamar Souw Thian Hai yang amat dibencinya, dia
melihat seorang wanita muda cantik sedang bercakap - cakap dengan subo-nya. Jantungnya
berdebar dan mu-kanya terasa panas. Itulah gadis yang pernah di-gilainya dan yang kemudian
menjadi isteri Souw Thian Hai! Cepat dia mengeluarkan sesuatu dari bungkusannya, lalu membuat
api dan membakar sesuatu yang mengeluarkan asap tebal. Dilubang-inya jendela kamar dan
ditiupnya asap tebal itu memasuki kamar. Semua ini dapat dilakukannya dengan aman, karena
selain gemuruh air hujan menyembunyikan semua suara yang ditimbulkan-nya, juga dua
orang wanita di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dalam itu tidak me-miliki ilmu silat tinggi. Dan dengan girang dia melihat
betapa kedua orang wanita itu berkali-kali menutupkan tangan ke depan mulut, menguap dan akhirnya
keduanya tidur pulas di atas kursi dengan berbantal tangan di atas meja!
Sayang Souw Thian Hai tidak berada di kamar-nya, pikirnya. Dia tidak berani
bertindak sembro-no dan tubuhnya bergerak menyusup ke bangunan yang sudah amat dikenalnya
itu dan tak lama ke-mudian dia sudah mengintai ke kamar bekas guru-nya. Dan girangnya
bukan main melihat suhunya rebah miring dan agaknya sudah hampir tidur ka-rena
pernapasannya sudah panjang dan halus, nampak dari kembang kempisnya dada yang ber-selimut itu.
Bagus, pikirnya, suasananya ternyata amat menguntungkan dan memudahkan segalanya. Dia
mengeluarkan sebatang bambu sumpit dan tiga batang jarum halus berwarna merah. Dimasukkan-nya
jarum - jarum itu ke dalam sumpit dan disu-supkan sumpit itu melalui lubang jendela.
Setelah membidik dengan hati-hati, dia mengerahkan khi-kangnya dan sekali tiup, tiga batang jarum
itu meluncur seperti kilat cepatnya menuju ke arah sasarannya.
Betapapun lihainya Souw Koan Bu, dibokong seperti itu tentu saja dia tidak
berdaya. Andaikata tidak sedang turun hujan, mungkin saja dia dapat menangkap suara desir
angin tiga batang jarum itu. Akan tetapi kalaupun ada suara itu, kalah jauh oleh suara
rintik hujan di atas atap rumah, maka tahu-tahu pendekar sakti ini merasa nyeri pada pung-gungnya.
Sebagai seorang ahli silat yang sakti, dia segera meloncat sambil mengebutkan selimut-
nya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa betapa punggungnya nyeri sekali, gatal,
panas dan ada rasa kesemutan menjalar dari pung-gungnya, mengancam kelumpuhan tubuh! Dia sadar
akan adanya malapetaka dan segera dia ter-ingat akan isteri dan mantunya. Cepat dia
menu-bruk ke arah pintu yang tertutup.
"Brakkkkk !" Daun pintu kamarnya ambrol dan dengan beberapa kali lompatan saja dia
sudah memasuki kamar mantunya. Asap harum keras menyambutnya dan kakek ini
menggunakan kedua tangan memukulkan angin ke depan. Asap itu segera membuyar dan terdesak
keluar. Setelah asap membuyar, Souw Koan Bu melihat betapa isteri dan mantunya sudah
tertidur pulas di atas tempat duduk mereka. Ini tidak wajar, pikirnya dan dia menghampiri.
Tahulah dia bahwa mereka berdua itu telah keracunan asap tadi. Dia hendak menolong, membungkuk,
akan tetapi tiba - tiba rasa nyeri yang hebat menyerang punggungnya dan dia terhuyung.
"Ha - ha - ha - ha ! Souw Koan Bu, akhirnya engkau roboh juga di tanganku!"
Souw Koan Bu cepat membalikkan tubuhnya dan terkejutlah dia melihat orang
berpakaian hitam berjubah hitam itu. "Raja .... Raja Kelelawar !" katanya seperti mimpi,
akan tetapi segera dia mengenal wajah itu, wajah muridnya sendiri. Engkau " !"
Dia hendak menerjang, akan tetapi kembali begitu mengerahkan sinkang,
punggungnya terasa nyeri. Racun yang terkandung dalam tiga batang jarum itu sungguh hebat
bukan main, dan jarum-jarum itu sudah masuk ke dalam tubuhnya.
"Uhhh !" Dia mengeluh dan bekas muridnya itu tertawa bergelak, campur dengan
suara air hujan dan angin sehingga terdengar mengerikan, seperti suara iblis dalam
dongeng. "Ma Kim Liang, mengapa engkau memusuhiku ?" bentaknya karena dia merasa
penasaran sekali. Kalau murid murtad itu mencuri pusaka ka-rena tamak, hal itu masih dapat
dimengertinya. Akan tetapi sesungguhnya bekas murid ini tidak ada alasan untuk memusuhinya !
"Ha - ha - ha, engkau tidak tahu " Aku adalah keturunan Raja Kelelawar, ha - ha
- ha. Aku harus membasmi orang - orang yang pernah memusuhi nenek moyangku itu, dan aku
akan membangun kembali kerajaan dunia sesat di mana aku akan menjadi rajanya, ha - ha
- ha*!" Souw Koan Bu sudah mendengar dari puteranya tentang pusaka peninggalan Raja
Kelelawar yang dirampas oleh Kim Liang dengan membunuh cucu murid raja iblis itu. Kim
Liang sama sekali bukan keturunan raja iblis itu, juga bukan murid yang diangkat secara sah. Maka
sikapnya itu mem-buat dia merasa serem.
"Engkau telah gila!" bentaknya.
"Ha - ha - ha, dan engkau akan mampus !" Ma Kim Liang yang merasa yakin akan
kemenangan-nya menubruk maju. Dia sudah memperdalam ilmu - ilmunya sehingga kini
menghadapi bekas gurunyapun, dia belum mencabut pisaunya dan hanya menggunakan
pukulan sakti Kim - liong Sin-kun untuk menyerang bekas gurunya itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Huh, Kim-liong Sin-kun inipun berasal dari keluarga kami!" kata Souw Koan Bu
dan dengan mudahnya dia mengelak ke sana-sini karena dia hafal akan ilmu silat ini. Akan
tetapi ketika dia menangkis dan bertemu tenaga dengan bekas mu-ridnya, dia mengeluh dan terhuyung,
hampir ter-jatuh. Ternyata sebagian tubuhnya lumpuh oleh racun jarum-jarum itu.
"Ha-ha-ha!" Kim Liang tertawa lagi dan menyerang terus. Akan tetapi, ternyata
kakek yang sudah terluka parah dan keracunan itu masih he-bat bukan main. Biarpun sebagian
tubuhnya lum- puh, namun ilmu silatnya yang amat tinggi mem-buat dia masih dapat melawan
dengan hebatnya. Apa lagi ketika dia mengeluarkan dua ilmu Thai-kek Sin - ciang dan Thai - lek
Pek - kong - ciang, biarpun tenaga sinkangnya sudah berkurang namun kedua ilmu ini masih hebat dan
membuat Kim Liang yang belum dapat menguasai kedua ilmu itu menjadi sukar untuk
merobohkannya. "Keparat ! !" bentaknya marah dan kini dia mencabut sepasang belatinya ! Dan
pemuda ini lalu mengamuk. Kasihan sekali Souw Koan Bu yang sudah mulai lemah
itu. Gerakannya kurang cepat, tenaganya kurang kuat dan tubuhnya penuh dengan luka -
luka pisau yang menyambar ganas. Akan tetapi, kakek itu masih melawan terus dengan
hebatnya. Bahkan tiba - tiba dia mengeluarkan pe-kik melengking yang tinggi sekali, pekik yang
di-maksudkan untuk melumpuhkan lawan dan memanggil puteranya. Akan tetapi begitu mengerah-kan
khikang sekuatnya, napasnya hampir putus dan dia terjengkang. Kim Liang yang sudah marah
itu menubruk dan sebuah tendangan mengenai pe-rutnya.
"Bukk!" Kim Liang terjengkang akan tetapi tidak terluka karena jubahnya
melindunginya. Dia marah sekali dan dua batang pisaunya disambitkan dari jarak dekat.
"Crott! Crottt!!" Souw Koan Bu hanya sempat mengeluarkan gerengan sekali karena
dua batang pisau itu telah menembus jantung dan paru-paru-nya. Dia tewas dalam
keadaan menyedihkan sekali. Biarpun tendangan tadi tidak melukainya, akan tetapi membuat isi perutnya
terguncang dan kema-rahan Ma Kim Liang memuncak. Dia mencabut kedua pisaunya lalu mengamuk,
menusuki tubuh Souw Koan Bu sampai ludas. Darah berhamburan ke mana - mana dari tubuh
yang sudah tidak mam-pu berkutik itu. Sebentar saja, tubuh pendekar itu sudah hancur dan
hanya tinggal kepalanya saja yang utuh.
Ma Kim Liang seperti gila. Dia tertawa-tawa, lalu menghampiri nyonya Souw Koan
Bu. Dengan kejam, sambil menyeringai sadis, kedua pisaunya digerakkan dan leher
nyonya itu terpenggal! Da-rah menyembur - nyembur dan kini tubuh nyonya itupun menjadi
korban keganasan iblis ini. Yang terakhir kali, Ma Kim Liang mengham-piri tubuh Yan Kim yang masih pulas di
atas tem- pat duduknya. Sekali tendang, tubuh itu terpelan-ting dan roboh ke atas lantai
yang penuh darah, terlentang. Pisau - pisau itu bekerja dan dalam waktu sekejap saja semua pakaian
wanita cantik itu terlepas, membuatnya rebah terlentang dengan telanjang bulat dalam keadaan
masih pulas. "Ha - ha - ha, engkau tidak mau menjadi keka-sihku dan menjadi isteri Souw Thian
Hai " Haha - ha, perempuan tolol, sekarangpun aku tidak sudi kepadamu!" Dan kedua
batang pisau itupun menyambar-nyambar ganas. Kembali darah mun-crat- muncrat ketika menyayat
- nyayat dada dan perut. Wanita itu tewas tanpa sempat bergerak atau mengeluh lagi karena
masih terbius oleh ra-cun asap. Sementara itu, tanpa menduga sedikitpun akan malapetaka hebat yang menimpa
keluarganya, Souw Thian Hai sedang melatih sinkang di bawah air terjun.
Puterinya, Souw Lian Cu, sudah tidur pulas di dalam guha di belakang air terjun, dijaga dan ditunggui
oleh Pouw Hong, pelayan keluarga Souw yang setia itu. Tiba-tiba Thian Hai men-dengar suara
melengking tinggi memecah kehe-ningan malam. Dia terkejut dan mengenal suara khikang ayahnya.
Sungguh aneh sekali kalau ayah nya mengeluarkan suara melengking itu di malam buta! Pasti ada
sesuatu, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa khawatir, tidak menyangka buruk karena
dia percaya penuh kepada ayahnya yang sakti. Siapa yang akan berani mengganggu kelu-arganya "
Biarpun demikian, dia lalu memesan kepada Pouw Hong untuk menanti di situ sambil menjaga
Lian Cu karena dia hendak pulang sebentar untuk melihat apa yang terjadi.
Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah tiba di rumah
keluarganya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lampu penerangan masih bernyala dan diapun cepat menuju ke kamarnya dan
terkejutlah hatinya melihat dari luar betapa pintu kamarnya telah je-bol. Dengan jantung
berdebar dia lalu meloncat ke dalam kamar. Lilin masih bernyala di dalam kamar itu, bahkan tidak
seperti biasanya, ada lima batang lilin bernyala di atas meja sehingga kamar itu menjadi terang
sekali. "Aaiiihhhh !" Tak terasa Thian Hai menjerit ketika matanya terbelalak memandang ke
dalam kamar. Mukanya seketika menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak liar
seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pemandangan di dalam kamar itu akan dapat
meremas hati orang yang bagaimana tabah pun juga. Tubuh Souw Koan Bu hancur seperti cacahan
daging, hanya kepalanya saja yang dibiarkan utuh sehingga dapat dikenal bahwa mayat yang
dicincang itu adalah mayat pendekar sakti ini. Dan tak jauh dari situ menggeletak tubuh ibunya
yang berada di genangan darah yang masih mengucur di lantai, keluar dari lehernya yang putus!
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, matanya menatap tubuh isterinya. Telanjang bulat dan bagian depan tubuh itu
disayat-sayat! "Houkkk !" Thian Hai hampir muntah dan diapun menubruk ke depan, berlutut dan
be-ngong seperti patung. Terlalu hebat pemandangan itu, membuat dia hampir
pingsan dan kehilangan kesadaran. Terlalu hebat pukulan dan guncangan batin yang diterima
pendekar ini sehingga dia tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada suara lagi keluar dari
kerongkongannya, dan dia diam saja tak bergerak seperti telah kehilangan semangatnya. Kedukaan itu
terlampau besar, kekagetan itu ter-lampau tiba-tiba.
Dalam keadaan setengah pingsan dan kehilang-an kesadaran itu tentu saja Thian
Hai menjadi le-ngah, tidak tahu bahwa ada sesosok tubuh menye-linap masuk dengan
gerakan yang amat ringan. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang. Pemuda yang menaruh
dendam ini memang sengaja memasang banyak lilin agar kamar itu menjadi te-rang dan dia
menyelinap bersembunyi mengintai ketika Thian Hai memasuki kamar. Ketika dia me-lihat musuh
besarnya itu berlutut di dekat mayat-mayat itu dan tak bergerak seperti kehilangan se-mangat,
diapun secepat kilat menyerang dengan Ilmu Sam-ci Tiam-hwe-louw, yaitu totokan meng-gunakan
tiga jari tangan yang amat kuat, satu di antara ilmu - ilmu simpanan keluarga Souw ! De-ngan tiga
jari tangannya, Kim Liang menotok ke arah ubun-ubun kepala Thian Hai yang sedang berlutut.
Serangan ini hebat sekali dan kalau me-ngenai sasaran di ubun - ubun tentu akan menda-tangkan maut,
betapapun lihainya orang yang ter-kena serangan ini.
Thian Hai adalah satu-satunya keturunan keluarga Souw yang telah mewarisi semua
ilmu keluarga ini. Ilmu silatnya yang amat tinggi sudah mendarah daging di dalam
tubuhnya, sehingga dia seperti memperkuat atau mempertajam indera ke enam yang tidak digerakkan
lagi oleh pikiran, melainkan bergerak secara otomatis setiap kali tubuhnya diancam bahaya.
Demikian pula, pada saat itu, secara tiba - tiba indera ke enam itu bekerja dan tubuh Thian Hai
secara otomatis pun mengelak. Akan tetapi, sekali ini yang menyerangnya adalah seorang lawan
yang amat lihai sehingga elakannya itu tidak berhasil sepenuhnya. Totokan Sam- ci Tiam-hwe-louw
yang menggunakan tiga jari tangan itu, yang tadinya menyambar ke arah ubun - ubun,
ketika dielakkan masih saja mengenai pelipis Thian Hai.
"Tukk ! !" Tubuh Thian Hai terjengkang dan dari mata, mulut, telinga dan hidungnya mengalir
darah se-gar! Melihat ini, Kim Liang tertawa bergelak, me-rasa yakin akan keberhasilan
serangannya walau-pun hanya mengenai pelipis dan bukan ubun-ubun yang dijadikan sasaran.
Akan tetapi, tiba - tiba dia harus menghentikan tawanya karena Thian Hai sudah melompat dan
menerjangnya dengan dah-syat bukan main! Kim Liang hampir tidak percaya. Totokan tiga jari
tangannya tadi tepat mengenai pelipis! Orang lain tentu akan tewas seketika dan biarpun karena
kekebalan dan kelihaiannya bekas suhengnya ini tidak sampai tewas, tentu menderita luka yang
hebat. Akan tetapi bagaimana mungkin Thian Hai bahkan masih dapat menyerangnya se-demikian
dahsyat " Dia tidak memperoleh banyak waktu untuk memikirkan teka-teki ini karena bekas
suhengnya itu menyerang dengan hebat sekali. Terpaksa Kim Liang mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melawan.
Thian Hai mengamuk. Agaknya totokan itu telah mempengaruhinya, membuatnya
kehilangan kesadaran dan kerongkongannya mengeluarkan su-ara menggereng - gereng
seperti binatang buas dan sepak terjangnya amat hebat. Beberapa kali Kim Liang terkena
hantaman dan tendangannya dan kalau bukan Kim Liang, tentu telah roboh. Kim Liang merasa
gentar bukan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
main. Biarpun bekas suhengnya ini sudah terluka hebat, akan tetapi dapat
mengamuk sedemikian dahsyatnya. Ngeri dia memikirkan kalau harus melawan bekas suhengnya ini dalam
keadaan sehat. Akhirnya, dia temaksa melarikan diri membawa beberapa luka pukulan
setelah mencoba untuk melawan selama seratus jurus lebih. Bekas suhengnya itu masih terlampau
kuat baginya! Souw Thian Hai menderita hebat akibat totokan Sam - ci Tiam - hwe - louw itu.
Dia kehilangan kesadarannya, kehilangan ingatannya dan seperti berobah menjadi gila.
Biarpun lawannya sudah melarikan diri, dia tetap mengamuk seperti orang gila. Rumah itu
dihancurkan, dirobohkan lalu di-bakar ! Tentu saja jenazah ayah bundanya dan isterinya habis
terbakar pula, menjadi satu dengan puing rumah yang dibakarnya. Sambil membakar rumah, Thian
Hai berloncatan ke sana - sini sambil kadang - kadang tertawa kadang - kadang mena-
ngis. Kemudian diapun meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia berlari
terus siang malam tiada hentinya sampai akhirnya bebe-rapa hari kemudian dia roboh pingsan di
sebuah padang rumput, di mana terdapat banyak domba. Dia ditolong oleh para penggembala domba
dan setelah siuman diapun jatuh sakit hebat. Akan te-tapi, jasmaninya yang terlatih baik itu
dapat meng-atasi derita karena luka pukulan dan tubuhnya sembuh. Akan tetapi ingatannya lenyap
dan dia sudah lupa segala - galanya tentang dirinya.
Dia tidak tahu lagi siapa dirinya dan siapa atau di mana keluarganya. Sementara
itu, Pouw Hong yang menjaga Souw Lian Cu, akhirnya mengetahui akan malapetaka yang menimpa
keluarga majikan-nya. Diapun melarikan Lian Cu dan karena dia ketakutan kalau-kalau para
musuh keluarga itu akan mencarinya, dia lalu membawa Lian. Cu ke-pada adik
perempuannya yang sudah menikah de-ngan seorang she Gan yang hidup di tepi rawa itu. Dan anak perempuan
itupun lalu berganti nama menjadi Gan Cui Hiang!
Demikianlah riwayat Souw Thian Hai yang ke-mudian hanya mengingat namanya
sebagai A - hai, yaitu nama kecil yang biasa dipakai ayah bundanya untuk memanggilnya. Seng
Kun dan Bwee Hong mendengarkan cerita A - hai atau Souw Thian Hai itu dengan hati tertarik,
dan keharuan besar me-nyelinap di dalam hati Bwee Hong mendengar be-tapa buruk nasib keluarga
pria yang dicintanya itu. Diam - diam iapun berjanji dalam hatinya bahwa kalau sudah tiba
saatnya, ia akan memenuhi sisa hidup pria itu dengan cintanya agar Thian Hai mengalami
kebahagiaan. *** Demikianlah, setelah Thian Hai menuturkan riwayatnya, dia lalu pergi menjemput
puterinya di rumah kepala dusun Go Tek. Pertemuan itu amat mengharukan. Begitu bertemu
dengan Go Tek yang menggandeng tangan Cui Hiang, Thian Hai menubruk dan merangkul anak
perempuan itu, menciuminya dan berkata, "Anakku... , anakku..., engkau anakku ! Lian Cu,
engkau Lian Cu... !" Tentu saja Cui Hiang, anak perempuan yang buntung sebelah lengannya itu, menjadi
kaget, bingung dan juga ketakutan. "Paman...... paman, ada apakah ini......?" katanya
heran. Juga kepala dusun Go Tek terkejut mendengar bahwa anak perempuan yang memang
memiliki ciri - ciri khas keluarga di ubun - ubun dan pung-gungnya itu ternyata
adalah cucunya yang hilang! Setelah Cui Hiang atau Lian Cu itu mendengar cerita tentang
keluarga ayahnya, iapun menangis dalam rangkulan ayahnya dan malam itu keluarga Go Tek berada dalam
suasana penuh keharuan dan juga kegembiraan karena keluarga itu dapat ber-satu kembali.
Pada keesokan harinya, Thian Hai kembali ke kota raja. Dia menemui Seng Kun,
Bwee Hong, Pek Lian dan semua orang yang pernah dikenalnya untuk minta diri, kemudian
diapun mengajak Lian Cu pergi meninggalkan kota raja untuk melakukan pengejaran terhadap Raja
Kelelawar yang berhasil meloloskan diri, karena dia bersumpah di dalam hatinya untuk mencari
dan membunuh bekas sute-nya itu! Thian Hai dan Lian Cu melakukan perjalanan ke arah selatan. Di sepanjang
perjalanan, ayah dan anak ini saling melepas rindu hati mereka. Mereka berdua itu kini merasa
benar bahwa mereka hanya saling memiliki di dunia ini, tidak ada orang lain. Setidaknya,
demikianlah yang terasa oleh Lian Cu karena di sudut hati Thian Hai terdapat bayangan wajah Bwee
Hong! Karena dia dapat menduga bahwa bekas sute-nya, Ma Kim Liang kini telah berobah
menjadi Raja Kelelawar dan menjadi raja di antara penja-hat, dia lalu mendatangi tempat
- tempat yang terkenal menjadi sarang dunia hitam. Dia pikir ten-tu akan lebih mudah mencari
jejak Raja Kelelawar melalui lembah hitam dunia kaum sesat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pada suatu hari, ketika memasuki sebuah hutan, dari jauh saja Thian Hai sudah
dapat menangkap suara hiruk - pikuk orang - orang berkelahi. Cepat dia memberi isyarat
kepada Lian Cu untuk berha-ti-hati. Pada waktu itu, Lian Cu sudah berusia kurang lebih duabelas
tahun, dan anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang secara kilat diajarkan ayahnya
kepadanya. Bahkan selagi ayah-nya masih menjadi "A-hai" ia sudah menerima gemblengan ilmu itu. Ia
dapat menerimanya de-ngan amat mudah karena memang sejak bayi ia sudah "dioperasi"
sesuai dengan aturan keluarga Souw yang sakti. Dan orang- orang akan merasa heran melihat
betapa pria semuda Thian Hai dapat mempunyai seorang anak perempuan yang su-dah berusia
duabelas tahun. Akan tetapi, yang mengenal sejak dahulu tidak akan merasa heran karena
tahu bahwa Thian Hai kini telah berusia tigapuluh satu atau dua tahun ! Kalau dia masih
nampak muda, hal itu adalah karena racun totokan Sam - ci Tiam - hwe - louw itulah ! Selain menda-
tangkan luka parah dan membuat ingatannya hi-lang, juga racun totokan itu membuat dia seperti tidak
menjadi semakin tua ! Kini Thian Hai menyusup - nyusup di antara batang-batang pohon bersama
puterinya. Lian Cu juga bersikap waspada dan hati - hati, dan jantungnya berdebar tegang.
Inilah pengalaman pertama sejak ia melakukan perjalanan bersama ayah kandungnya.
Setelah tiba di tempat pertem-puran, mereka menyelinap dan bersembunyi sam-bil mengintai dari
balik semak belukar. Ternyata yang sedang berkelahi itu adalah dua kelompok penjahat kasar
yang sedang memperebutkan harta ! Melihat pakaian mereka dan cara mereka berkela-hi, Thian
Hai mengerti bahwa mereka itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi ke-royokan.
Karena dia ingin sekali tahu mengapa mereka berkelahi dan siapakah mereka, dia
mempergunakan kepandaiannya. Dengan gerakan cepat dia meloncat dari tempat sembunyinya,
menceng-keram leher baju seorang di antara mereka yang sudah terluka dan menyeretnya ke balik
semak-se-mak. Tidak ada yang melihat perbuatan pendekar ini karena semua orang sedang sibuk
berkelahi. Setelah dipaksa dengan ancaman, orang itupun mengaku dan dengan suara terputus -
putus dia bercerita. Ternyata duapulub orang lebih itu ada-lah bekas pasukan pengawal
dari istana, anak buah Perdana Menteri Li Su. Ketika kota raja terancam oleh barisan pemberontak,
Perdana Menteri Li Su siang-siang sudah mempersiapkan pengungsian keluarga dan harta bendanya.
Perdana Menteri Li Su adalah seorang pembesar yang korup. Harta bendanya banyak sekali
dan untuk menyelamatkan harta benda dan keluarganya, dia menyuruh sepa-sukan pengawal
mengantar keluarganya ke luar kota raja, kembali ke kampung halaman. Dia me-ngatakan agar
pasukan itu berangkat dulu dan dia akan menyusul kemudian.
Akhirnya pasukan itu berhasil mengawal ke-luarga dan harta benda itu sampai di
pantai timur, di mana direncanakan untuk menanti kedatangan perdana menteri itu. Akan
tetapi, pembesar itu tak kunjung datang, bahkan para pengawal lalu men-dengar bahwa
pembesar itu
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terbunuh oleh barisan pemberontak. Mendengar berita ini, para pengawal
menjadi gelisah. Dan karena di situ ter-dapat banyak wanita cantik dan harta benda yang banyak,
tak dapat dicegah lagi terjadilah pembe-rontak dan perebutan. Terjadilah perkelahian di
antara para pengawal itu sendiri. Pihak peme-nang lalu mencari harta karun. Akan tetapi,
mereka tidak menemukan harta karum kecuali perhi-asan - perhiasan yang dipakai oleh para
wanita dan anak - anak. Marahlah mereka. Semua perhiasan itu dirampas, para wanita yang cantik dan
muda mereka permainkan dan perkosa, selebihnya, yang tua dan kanak-kanak dibunuh.
Pembantaian be-sar - besaran ini terjadi di tepi laut dan akhirnya, mereka yang tadinya
diperkosapun dibunuh semua. Mayat - mayat mereka, berikut tandu - tandu yang tadinya dipakai
mengangkut mereka, dibuang ke lautan. "Hemm, kalian sungguh orang - orang kejam !" Thian Hai memotong cerita orang
itu. Orang itu terengah - engah karena lukanya memang berat. "Kami melarikan
perhiasan - perhiasan itu, akan tetapi sesampainya di hutan ini, kembali terjadi keretakan
dan perebutan antara pemimpin-pemimpin kami sehingga terjadi perkelahian ini ..." Orang itu
tidak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah roboh pingsan karena kehabisan darah yang
bercucuran keluar dari lukanya. Akhirnya perkelahian itupun berhenti setelah pihak yang kalah habis dibunuh.
Pihak yang me-nang tinggal belasan orang lagi, dipimpin oleh se-orang bekas perwira. Karena
kelelahan, kepala penjahat ini lalu menduduki sebuah tandu, satu-satunya tandu yang masih
ada karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang lain semua dibuang ke laut, dan memerintahkan anak buahnya untuk memikulnya
secara bergilir. Thian Hai mengajak puterinya untuk memba-yangi mereka. Siapa tahu, para penjahat
bekas pengawal istana ini akhirnya akan membawanya kepada musuh besarnya! Dan para
penjahat yang masih berpakaian seperti pasukan itupun dapat melakukan perjalanan dengjan aman
karena seperti biasa, rakyat sudah menyingkir ketakutan melihat pasukan serdadu ini.
Pada sore hari itu mereka ti-ba di tepi sungai dan tiba - tiba saja nampak be-lasan orang
berloncatan keluar dari balik semaksemak dan pohon-pohon besar. Mereka itu jelas perampok - perampok
dengan pakaian mereka yang tidak karuan dan senjata mereka yang bermacam-macam. Dan
tanpa banyak cakap lagi, belasan orang perampok yang muncul itu lalu menyerang.
Terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi bekas pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian
ber-kelahi yang lumayan sehingga kelompok perampok kewalahan menghadapi mereka. Para pengawal
ini mahir mempergunakan gendewa dan anak panah, juga pandai berkelahi dengan golok dan
perisai. Thian Hai dan putcrinya hanya mengintai, tidak mau mencampuri urusan orang - orang
yang saling berebut harta itu. Diam-diam Thian Hai melihat betapa gilanya manusia.
Memperebutkan harta benda seperti itu, sampai bunuh - bunuhan !
Akan tetapi, ketika para perampok itu mulai terdesak, tiba - tiba muncullah
seorang gendut pendek yang membawa senjata ruyung atau alu pendek. Begitu muncul, orang ini
menggunakan alunya untuk mengamuk dan para perajurit itu tidak ada yang mampu melawannya,
seorang demi seorangpun roboh! Melihat orang gendut pendek ini, Thian Hai menahan seruannya.
Dia mengenal orang itu. Sin - go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, ke-pala bajak sungai yang perkasa
itu. Dan hatinya merasa girang, harapannya muncul karena datuk sesat ini merupakan seorang di
antara para pem- bantu Raja Kelelawar! Akan tetapi, dia tidak mungkin muncul begitu saja. Kalau
melihat dia, tentu Buaya Sakti itu akan mengerahkan anak bu-ahnya untuk mengeroyok dan akan
sukarlah bagi-nya untuk mengikuti jejak musuh besarnya. Dia harus mencari dan menggunakan
akal yang cerdik, agar dia dapat mengikuti orang - orang ini ke sa-rang mereka tanpa
mereka curigai. ***Setelah Thian Hai meninggalkan kota raja, su-asana di kota raja semakin
tenang karena Liu Pang yang kini telah menjadi Kaisar Han Kao Cu mulai mengatur pemerintahan
dengan bijaksana, dibantu oleh para pendekar yang kini memperoleh kedu-dukan tinggi sesuai dengan
jasa dan kepandaian masing - masing.
Setelah suasana menjadi tenang, Chu Seng Kun berpamit kepada ayahnya yang kini
telah meme-gang jabatannya kembali sebagai ketua kuil di lingkungan istana, untuk
pergi mengunjungi kelu-arga Kwa, ketua Tai - bong - pai yang telah me-ninggalkan undangan
kepadanya itu. Bu Hong Seng-jin, ayah pemuda itu, sebetul-nya merasa berat juga melepas kedua
orang anak-nya, karena Bwee Hong tidak mau ditinggalkan kakaknya, pergi mengunjungi
keluarga yang diang-gapnya sebagai orang - orang sesat itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa
selama dalam kekacauan, kedua orang anaknya itu telah menjalin tali persahabatan dengan
banyak orang, dan sedikit banyak, keluarga Tai-bong-pai itu telah berjasa bagi pemerintah yang
baru. Selain itu, juga menurut cerita anak - anaknya, puteri ketua Tai-bong- pai sudah beberapa kali
menolong dan menyelamatkan mereka. Maka, terpaksa kakek ini membiarkan kedua orang anaknya
pergi. Setelah kakak beradik yang menjadi sahabat paling dekat itu pergi, Ho Pek Lian
merasa betapa hidupnya sunyi. Dia merasa kesepian sekali. Pertama-tama dara ini
mengalami pukulan batin ke-tika mendapat kenyataan bahwa A-hai pemuda yang mula - mula
ditemukannya itu ternyata adalah seorang pendekar bernama Souw Thian Hai yang selain sakti, juga
sudah mempunyai keluarga, punya isteri dan anak. Lebih dani pada itu, iapun dapat
merasakan dari sikap sahabatnya, Chu Bwee Hong, bahwa antara Bwee Hong dan Thian Hai terdapat
perasaan saling mencinta. Kemudian, lepasnya A-hai atau Thian Hai dari hatinya, ia
condong kembali kepada gurunya yang kini telah menjadi kaisar. Akan tetapi, dengan hati duka ia
harus dapat melihat kenyataan bahwa tidaklah mungkin ia berdekatan lagi dengan pria yang se-
lama ini amat dikaguminya dan diam-diam juga mendapatkan tempat penting di dalam lubuk hati-
nya. Liu Pang telah menjadi kaisar. Selain kaisar, juga pria ini adalah gurunya. Mana mungkin
baginya untuk mendekatinya terus "
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kedukaan ini ditambah lagi melihat para pem-besar jujur yang dahulu menjadi
sahabat- sahabat dan teman seperjuangan ayahnya, kini memperoleh kedudukan layak kembali
dan hidup bahagia de-ngan keluarga mereka. Hal ini membuat ia teringat akan keluarganya
sendui yang sudah berantakan. Dan iapun terdorong oleh hasrat yang amat kuat untuk pergi
mengunjungi makam ayahnya. Ketika ia hendak menghadap gurunya untuk bermohon diri, ia mendengar bahwa
kaisar yang baru itu sedang sibuk memimpin sendiri pasukan istimewa untuk mengadakan
pembersihan di dae-rah kota raja! Memang tindakan kaisar baru ini bijaksana sekali. Dia
tidak mau enak-enakan saja setelah menduduki singgasana, melainkan bekerja memberi contoh kepada para
pembantunya, meng-adakan pembersihan dan turun tangan sendiri agar suasana
menjadi benar- benar aman dan rakyat darat hidup tenang setelah menderita kekacauan selama
bertahun-tahun karena perang saudara itu. Terpaksa Pek Lian, lalu menyusul ke tempat pa-sukan
gurunya itu beroperasi dan di luar kota raja, akhirnya dara ini dapat bertemu dengan gurunya
atau Kaisar Han Kao Cu yang sedang beristirahat dan duduk di bawah pohon besar, berlindung dari
terik panas matahari yang membuat tubuhnya amat gerah dalam pakaian perang kebesaran yang
megah itu. Pek Lian lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
Melihat dara ini, sang kaisar tersenyum. "Ah, kiranya engkau yang mohon menghadapku dalam saat dan
di tempat seperti ini, nona Ho ?"
Pek Lian merasa terharu dan semakin kagum. Biarpun sudah menjadi kaisar,
ternyata gurunya ini masih bersikap biasa kepadanya, menyebutnya "nona Ho" dan bersikap
sederhana seperti gurunya yang biasa. Akan tetapi ia sendiri tidak mungkin berani bersikap
seperti terhadap Liu Pang ketika masih melakukan perjalanan bersamanya untuk melakukan
penyelidikan. Pria gagah perkasa di depannya ini adalah kaisar! Maka iapun berlutut memberi hormat
tanpa berani mengangkat mukanya. "Sri baginda, harap paduka sudi memaafkan hamba yang berani datang mengganggu
dan menghadap tanpa dipanggil. Hamba menghadap untuk mohon perkenan paduka untuk
pergi mengunjungi makam ayah hamba."
Di dalam suara dara itu terkandung kedukaan hatinya dan hal ini agaknya terasa
oleh kaisar. Dia memandang murid itu dengan kerut di antara ke-ningnya dan diulurkannya
tangan kanannya untuk menyentuh kepala dara perkasa itu. Sejenak di-elusnya rambut kepala itu
penuh keharuan dan kemesraan hatinya, akan tetapi perlahan-lahan ditariknya kembali tangannya.
"Nona Ho, setelah engkau mengerahkan segala-galanya, juga sudah berkorban
keluarga, demi per-juangan, mengapa engkau tidak mau menikmati hasilnya " Engkau tidak mau
menerima jabatan, dan bekas istana keluarga ayahmu telah kuberikan kepadamu. Akan tetapi
engkau tidak mau beristi-rahat di rumah, melainkan hendak pergi lagi. Ingat, sehabis perang,
keadaan di luar masih kacau dan orang-orangku belum sempat mengamankan se-luruh daerah."
"Sri baginda, hamba merasa kesepian setelah semua sahabat pergi dan
dan hamba ingin bersembahyang di depan makam ayah
" Kaisar itu menarik napas panjang dan memandang dengan terharu. "Nona, sejak
berjuang, engkau selalu berada di sampingku, seperti murid atau anak sendiri
, aku menyesal sekali bahwa sekarang, sebagai kaisar, tidak mungkin aku
, kita , ah, menjadi orang besar sama
seperti duduk di tempat paling tinggi, nam-pak dari manapun dan dijadikan sari
tauladan, disorot oleh semua rakyat. Maka, terpaksa harus berhati-hati dan tidak mungkin dapat
berbuat sekehendak hati sendiri. Baiklah, engkau berang-katlah, akan tetapi harus
berhati - hati dan seba- iknya kalau menyamar sebagai seorang pria."
Hati Pek Lian terharu mendengar ucapan gurunya itu. Ia maklum apa yang
dimaksudkan oleh kaisar, bahwa kaisar sebenarnya juga ingin selalu berdampingan dengannya,
akan tetapi sebagai kai-sar, akan menjadi celaan orang kalau berdekatan dengan seorang gadis
yang dikenal sebagai mu-ridnya. Terdapat jurang pemisah di antara mereka, jurang yang berupa
kedudukan pemimpin itu. Ba gaimanapun juga, seorang murid sama dengan anak, kalau seorang
guru menikah dengan murid-nya, sama saja dengan seorang ayah menikahi anaknya. Hal
ini masih tidak begitu mengheboh-kan kalau terjadi di antara rakyat biasa, akan te-tapi
kaisar " Tentu akan merupakan aib ! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah memberi hormat dan sejenak bertemu pandang yang menembus sampai ke
jantung, Pek Lian lalu mengundurkan diri dan berkemas. Ia menyamar sebagai seorang pria
muda yang tampan dan berangkatlah dara ini sendirian meninggalkan kota raja.
Di sepanjang perjalanan Pek Lian melihat be-kas-bekas perang dan diam-diam ia
mengeluh dan merasa bersedih atas nasib rakyat jelata. Ke-tika ia sendiri sedang
berjuang, seluruh perhatian-nya tertuju kepada perjuangan sehingga dia meli-hat semua penderitaan
rakyat akibat perang itu sebagai korban perjuangan yang suci. Pengorbanan yang diderita rakyat
itu dianggap sebagai bahan bakar perjuangan, sebagai penambah semangat dan perjuangan itupim
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan oleh para pendekar demi kemakmuran rakyat jelata, demi membebas-kan rakyat dari
tindasan si angkara murka. Akan tetapi sekarang, setelah perang selesai dan para pejuang berhasil
memperoleh kemenangan, gurunya menjadi kaisar dan para pembantu guru-nya masing-masing
memperoleh kedudukan, harta benda dan kemuliaan, baru ia melihat betapa rak-yat jelata yang
tadinya menjadi kocar-kacir hidup-nya dilanda perang, kini masih juga belum terbe-bas
dari pada kesengsaraan ! Bahkan sebaliknya, kemalangan lain menimpa rakyat jelata karena
perang telah membuat daerah - daerah pedalaman menjadi daerah tak bertuan. Pergantian
pemerintah menimbulkan perebutan kekuasaan di daerah-dae-rah, dan karena belum ada
ketentuan siapa yang akan menjadi kepala, di suatu daerah, maka daerah itu seolah - olah menjadi
medan perang perebutan kekuasaan, menjadi daerah kosong sehingga kaum penjahat merajalela
seenaknya tanpa ada pihak pemerintah yang ditakutinya. Rakyat hidup dalam kegelisahan
tanpa pelindung karena pemerintah yang baru belum sempat mengirimkan pembesar untuk daerah-
daerah itu. Ada pembesar lama yang masih mempertahankan kedudukannya dan menjadi semacam raja
kecil. Kalau tidak demikian, tentu kepala penjahat yang menggantikannya men-jadi
semacam pejabat sementara yang sewenang-wenang.
Sepanjang sejarah, di bagian manapun juga di dunia ini, perang merupakan semacam
wabah yang paling keji dan terkutuk bagi manusia. Di dalam perang, manusia bukan
saja terserang dan teran-cam jasmaninya, akan tetapi juga terancam roha-ninya. Perang
membuat manusia menjadi keras, kejam, mementingkan diri sendiri, haus akan keku-asaan.
Perang adalah perebutan kekuasaan antara orang - orang; golongan atas, perebutan yang dila-
kukan di atas tumpukan mayat rakyat jelata. Ba-gaikan dalang atau suteradara, golongan atas
ini bersembunyi di belakang layar, membiarkan rak-yat yang berkiprah di dalam perang dengan pe-
ngorbanan harta dan nyawa. Kalau kemenangan tercapai, orang - orang golongan atas itulah
yang akan membagi - bagi rejeki di antara mereka sen-diri, lupa sudah akan segala
pengorbanan yang di- lakukan rakyat demi kemenangan perjuangan mereka. Kalau kekalahan diderita,
orang - orang go- longan atas itulah yang akan bersicepat lari meng-ungsi sambil menyelamatkan
keluarga dan harta mereka. Tentu ada kecualinya, ada orang - orang yang berjiwa pemimpin dan
pahlawan sejati, akan tetapi yang begini ini hanya ada beberapa gelintir" Sebagian besar adalah
dalang - dalang curang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mempergu-nakan rakyat untuk
mencapai cita- cita pribadinya. Tidaklah mengherankan apa bila Pek Lian me-rasa berduka dan menyesal sekali
ketika ia me-nyaksikan kesengsaraan rakyat di daerah-daerah dalam perjalanannya itu. Pek
Lian adalah seorang pendekar sejati, seorang yang berjiwa patriot tan-pa ambisi pribadi. Ia
menuruni watak ayahnya, Menteri Ho yang terkenal sebagai seorang menteri yang jujur.
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** Kan. Kejahatan merajalela dan pen-duduk hidup dalam keadaan yang tidak tenang,
selalu diburu ketakutan. Ketika Pek Lian memasuki kota itu, hari sudah hampir senja dan
selagi ia berkeliling mencari sebuah rumah penginapan, ti-ba - tiba ia mendengar suara
teriakan - teriakan. Lalu nampak belasan orang berlari-larian keluar dari sebuah rumah yang dirias,
beberapa orang di antara mereka yang lari itu memikul sebuah tandu dan ada pula yang memondong
seorang pemuda yang berpakaian pengantin.
"Tolong ., toloonggg , ! Kedua pengantin., diculik
!" Teriak seorang laki - laki tua
yang berlari keluar dari rumah itu sambil melaku-kan pengejaran. Sebuah
tendangan dari seorang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang bertubuh tinggi besar membuat orang tua itu terpelanting. Para tamu juga
berlari keluar akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani melakukan
pengejaran. Melihat ini, sejenak Pek Lian berdiri bengong. Ia tidak akan merasa heran
mendengar seorang gadis atau seorang pengantin puteri diculik penja-hat. Akan tetapi
sepasang pengantin yang diculik" Sungguh luar biasa dan tentu ada apa - apanya di balik peristiwa
aneh ini. Maka, iapun cepat mempergunakan kepandaiannya untuk melakukan pe-ngejaran. Setelah
rombongan penculik itu tiba di luar kota, di tepi sebuah hutan, tiba - tiba mereka
terkejut melihat munculnya
seorang pemuda tam-pan yang berdiri bertolak pinggang menghadang jalan.
"Penculik - penculik hina ! Hayo bebaskan se-pasang pengantin itu kalau kalian
ingin selamat!" Pek Lian membentak dengan marah. Kemarahan Pek Lian bukan hanya
melihat orang - orang kasar ini melakukan kejahatan, akan tetapi juga karena tidak melihat
adanya petugas - petugas keamanan yang mencegah kejahatan itu, bahkan tidak ada pula yang
melakukan pengejaran. Pemimpin gerombolan itu adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang
memegang sebatang toya. Melihat seorang pemuda yang keli-hatan begitu muda dan
tampan berani menghadang dan menantang, dia menjadi marah, akan tetapi juga merasa geli
hatinya. Pemuda ini seperti seekor harimau kecil yang baru mulai berani berlagak,
pikirnya. Akan tetapi pemuda itu masih amat muda dan amat tampan, jauh lebih tampan dari pada
pengantin pria yang mereka culik. Kalau dia dapat menangkap pemuda ini dan menghadapkannya kepada
pemimpinnya, tentu dia akan menerima ganjaran.
"Tangkap anak ayam ini!" perintahnya dan belasan orang itu maju mengepung Pek
Lian sam-bil tertawa - tawa mengejek. Mereka semua mengi-ra akan dengan amat mudahnya
menangkap pemuda ini. "Ha-ha-ha, bocah ingusan, engkau sudah be-rani berlagak !" kata seorang di
antara mereka sambil menubruk ke depan. Akan tetapi, secepat kilat Pek Lian melompat ke kiri
dan kaki kanannya bergerak menendang, cepat dan kuat.
"Dukk ! Heppp !" Orang yang kena tendang itu terjengkang, memegangi ulu hati
yang kena tendang dan megap-megap seperti ikan di darat karena pernapasannya
menjadi sesak oleh tendangan itu. Melihat ini, teman - temannya menjadi marah dan empat orang menubruk ke depan.
Kembali mereka kecelik karena mereka hanya menubruk tempat kosong dan sebelum
mereka sempat me-nyingkir, Pek Lian telah menghujankan pukulan dan tendangan yang
membuat mereka terpelanting dan mengaduh - aduh.
Kini marahlah si kepala gerombolan, juga ma-tanya terbuka melihat kenyataan
bahwa pemuda ingusan itu sesungguhnya bukan orang sembarang-an, bukan mangsa lunak
melainkan lawan yang berbahaya ! Maka diapun menggerakkan toyanya dan membentak, "Bunuh
setan, ini !" Teman-temannya juga sudah marah dan mereka mempergunakan segala macam senjata
yang ada pada mereka untuk maju mengeroyok, dan melihat ini, Pek Lian cepat
mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik baju luarnya. Nam-pak sinar berkilat dan
berturut - turut dua orang anggauta gerombolan menjerit kesakitan. Pek Lian yang juga sudah marah
sekali itu mengamuk, pe-dangnya berkelebatan dan si kepala gerombolan yang kelihatan paling
lihai di antara mereka itupun tidak terluput dari amukannya. Pundak kiri orang itu
terserempet pedang, membuat dia terpekik dan melompat ke belakang, kemudian terus melarikan diri!
Teman - temannya merasa gentar, dan sam-bil menyeret tubuh teman - teman yang terluka,
merekapun melarikan diri meninggalkan si pemuda ingusan !
Pek Lian memang tidak berniat membunuh orang. Akan tetapi, ia ingin tahu siapa
yang men- jadi pemimpin mereka. Maka iapun cepat meng-ambil sepotong batu dan menyambitkan
batu itu ke arah seorang anggauta gerombolan yang larinya paling belakang. Batu kerikil
menyambar, mencium tengkuk dan orang itupun terguling roboh. Teman-temannya hendak menolong, akan
tetapi melihat pemuda ingusan itu sudah berloncatan datang, mereka ketakutan dan
melarikan diri, tidak perduli lagi kepada teman mereka yang roboh tadi.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hayo katakan, siapa yang menjadi pemimpin kalian dan apa maksud kalian menculik
sepasang pengantin itu ?" bentak Pek Lian sambil meno-dongkan pedangnya di dada
orang yang masih pening kepalanya terkena sambitan pada tengkuk-nya itu.
"Ampun..... ampun... saya hanya... hanya anak buah saja."
"Katakan siapa pemimpinmu dan mengapa menculik sepasang pengantin !" Pek Lian
meng- hardik dan ujung pedangnya menembus baju me-lukai kulit dada.
"Aduh... ! Ampun..... kami adalah anak buah kepala daerah kota San-cou dan.....
dan beliau yang memerintahkan kami menculik sepasang pengantin."
"Untuk apa ......?" Pek Lian bertanya heran.
"Entahlah, mana saya mengetahui" Mungkin ...... taijin dan ...... teman-temannya
suka ditemani orang- orang muda, laki ataupun wanita . . . . "
Pek Lian menarik pedangnya dan menendang dagu Orang itu. "Pergilah !" Orang itu
pergi, Pek Lian menghampiri sepasang pengantin itu. Pengantin pria telah membuka tirai
tandu dan kini dia sedang merangkul isterinya yang menangis ketakutan. Melihat adegan mesra
ini, Pek Lian me- rasa jantungnya tertusuk dan iapun lalu berkata, "Sebaiknya kalau kalian cepat -
cepat pergi dari sini dan sementara ini bersembunyi saja di tempat lain."
Pengantin pria itu lalu menarik keluar pengaintin wanita, mengajaknya
menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Lian. "Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan taihiap..." kata pengantin pria sedangkan pengantin wanita sambil menangis hanya
mengangguk- anggukkan kepala. "Sudahlah, aku hanya ingin bertanya, di manakah kota San-cou itu ?"
"Tidak jauh dari sini, taihiap. Di luar hutan ini akan ada jalan menuju ke San-
cou." "Terima kasih, aku akan pergi ke sana. Kalian pergilah sebelum gelap." kata Pek
Lian sambil membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu.
"Nanti dulu, taihiap
!" tiba-tiba terdengar suara pengantin wanita yang sejak tadi tidak
mengeluarkan kata-kata. Pek Lian berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang pengantin wanita yang kini
bersama suaminya sudah bangkit berdiri. "Ada apakah ?" tanyanya heran mengapa
pengantin wanita itu memanggilnya, suatu hal yang amat berani bagi seorang pengantin
wanita yang biasanya malu-ma-lu terhadap seorang pria asing,.
Pengantin wanita itu memang nampak malu-malu, akan tetapi suaranya bersungguh -
sungguh ketika ia berkata, "Maaf, taihiap. Pakaianmu memang sudah tepat, akan
tetapi gerak - gerikmu dan kulit mukamu yang halus, bentuk alis dan anak rambutmu tidak
menyembunyikan sifat kewanita-an. Penyamaran taihiap kurang berhasil dan mudah diketahui
orang." Mendengar ucapan itu, wajah Pek Lian menjadi merah dan iapun tertawa sambil
membuka kain penutup kepalanya. "Aih, kalau engkau dapat me-ngenaliku, cici, tidak ada
gunanya lagi aku bersu-sah payah menyamar. Akupun merasa tidak lelu-asa kalau harus merobah suara
dan sikap." Pengantin pria itu memandang bengong kepada gadis cantik jelita yang berada di
depannya. Dia sendiri sama sekali tidak pernah mengira bahwa pendekar yang lihai dan yang
telah menyelamat-kan dia dan isterinya itu ternyata adalah seorang dara yang cantik!
Setelah mereka saling berpisah, Pek Lian langsung saja pergi ke San - cou, lalu
mencari keterang-an perihal kepala daerah dan didengarnya bahwa kepala daerah itu adalah
seorang baru. Di dalam perebutan kekuasaan, kepala daerah baru ini ber-hasil menggulingkan
kepala daerah yang lama. Anehnya, tidak ada orang yang mengenal benar siapa adanya kepala
daerah ini dan,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mana asal-nya ! Menurut keterangan itu, baru satu bulan ke-pala daerah baru
ini menguasai San - cou, dan se-menjak itu, berbagai perbuatan kejam dan sewenang-wenang
terjadilah. Satu di antara kejahatan-kejahatan itu adalah bagaimana si pembesar mem-biarkan anak
buahnya menculik gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan yang kabarnya dipaksa
menjadi pelayan-pelayan di dalam gedung kepala daerah yang baru.
Begitu memperoleh keterangan jelas dan merasa yakin bahwa kepala daerah baru itu
memang jahat dan sewenang-wenang, Pek Lian lalu langsung pergi mengunjungi
gedung besar dan megah tempat tinggal kepala daerah baru itu. Tentu saja para penjaga di luar
pintu gerbang merasa heran melihat munculnya seorang gadis cantik yang menyatakan ingin
menghadap KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pembesar itu. Akan tetapi, Pek Lian melihat betapa para penjaga itu tertawa-tawa
dan dengan sikap kurang ajar mereka mempersilahkan Pek Lian menanti.
"Tunggu dulu sebentar, nona. Kami yakin bah-wa seorang cantik manis seperti
engkau tentu akan diterima, oleh taijin, walaupun hari telah mulai gelap. Ha-ha, siapa yang
tidak akan girang me-nerima kunjungan seorang tamu seperti nona ?"
Pek Lian tidak mau melayani kekurangajaran mereka. Dara ini menanti dan tidak
lama kemudian ia dipersilahkan masuk oleh penjaga yang tersenyum - senyum menyeringai
memuakkan. Em-pat orang penjaga yang memegang tombak menga-walnya. Pek Lian
diajak masuk ke sebuah ruangan luas dan dari jauh ia sudah melihat seorang berpa-kaian
pembesar duduk di atas kursi kebesarannya yang terletak tinggi di puncak anak tangga.
Bebe-rapa orang pengawal berdiri menjaganya dan di dekatnya duduk seorang perwira yang
berpakaian mewah dan bertubuh kokoh kuat. Pek Lian maklum bahwa ia telah memasuki. sarang harimau. Akan tetapi hatinya
terlampau marah kepada pembesar yang suka menculik orang-orang muda itu dan begitu melihat
pembesar itu ia lalu menudingkan telunjuknya.
"Engkaukah kepala daerah kota San - cou ?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan tegas ini, si perwira meloncat turun
menghadapinya dan para pengawal yang tadi mengiringkannya lalu menodongkan
tombaknya kepada Pek Lian. Akan tetapi dara ini bersikap tenang saja. Kini ia mengenal
beberapa orang pengawal sebagai ang-gauta penculik yang sore tadi dihajarnya. Agaknya mereka
tidak mengenalnya karena ia kini sudah berpakaian sebagai seorang perempuan.
(Bersambung jilid ke XXXII.)
? DARAH PENDEKAR " Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXXII PEMBESAR itu sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi sikapnya masih ramah
karena dia melihat bahwa gadis itu benar-benar cantik jelita seperti yang dilaporkan oleh
penjaga tadi. "Nona, memang akulah kepala daerah di sini. Siapakah engkau dan apa keperluanmu
malam-malam datang ke sini ?"
"Siapa aku tidak penting. Aku mewakili semua muda-mudi yang menderita
gangguanmu. Benarkah engkau yang menyuruh gerombolan penjahat menculiki pemuda-pemuda dan
gadis- gadis, juga yang sore tadi hendak menculik sepasang pengantin di kota Tung-
cou ?" "Eh ...... ohh..... aku... aku tidak... " Pembesar itu menjawab tergagap.
"Heii, ia ini yang tadi menyamar pria dan menggagalkan pekerjaan kita !" Tiba-
tiba seorang pengawal berteriak ketika dia mengenal Pek Lian. Mendengar ini, belasan orang
perajurit segera mengepung dara itu. Dan si perwira yang mendengar teriakan anak buahnya lalu
berseru, "Tangkap gadis ini!!"
Akan tetapi, gadis itu telah mencabut pedangnya dan mengamuk. Seperti ketika ia
dikeroyok di hutan tadi, kinipun para perajurit bukanlah tandingannya. Ilmu pedang yang
dimainkan Pek Lian sungguh hebat dan sebentar saja beberapa orang perajurit telah roboh terluka dan
ada pula yang kehilangan senjatanya. Hanya tinggal perwira berjenggot pendek itu yang masih
melawan dengan pedangnya dibantu sisa para pengawal pribadinya.
"Tahan senjata !" tiba - tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang
wanita kembar yang sikapnya genit, pesolek dan cukup cantik bi-arpun muka mereka tebal
oleh riasan. Melihat mereka, terkejutlah Pek Lian. Ia mengenal mereka karena sepasang wanita
kembar itu bukan lain adalah Jeng-bin Siang-kwi (Iblis Kembar Seribu Muka), yaitu dua orang
wanita kembar yang merupakan tokoh ke tiga dan ke empat dari Tujuh Iblis Ban-kwi- to !
"Aihh! Kiranya puteri Menteri Ho yang muncul ! Hi-hik, bagus sekali, mari kita
tangkap gadis ini dan biar taijin menikmatinya." Dua orang wanita itu sudah menubruk ke depan
untuk menangkap Pek Lian. Dara ini maklum akan kelihaian lawan, maka iapun memutar
pedangnya menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, gerakan kedua orang wanita itu
sungguh cepat dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
karena mereka berdua maju bersama, biarpun keduanya bertangan kosong, Pek Lian
menjadi terdesak dan beberapa kali hampir saja ia kena dipukul atau ditangkap. Dara ini
maklum bahwa ia tidak boleh melanjutkan amukannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan halus
ketika tangan kirinya bergerak dan ia sudah melemparkan dua batang piauw berturut-turut ke
arah dua orang lawan itu. Ketika dua orang lawannya mengelak dengan gesit, Pek Lian melompat
jauh ke belakang dan keluar dari dalam bangunan. Para penjaga tidak berani mencoba untuk
menghalanginya karena mereka sudah tahu betapa lihainya dara ini, dan kedua
orang wanita kembar itupun hanya mengejar sampai di pintu dan membiarkan gadis itu melarikan
diri dan lenyap di dalam kegelapan malam. Agaknya dua orang wanita kembar itu merasa
gentar kalau- kalau Pek Lian datang membawa teman dan merekapun sudah maklum siapa adanya dara
perkasa ini, dan bahwa dara perkasa ini mempunyai banyak sekali kawan-kawan pendekar
yang tinggi ilmunya. * * * Pek Lian juga maklum bahwa dengan adanya iblis betina kembar itu di rumah si
kepala daerah ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu sampai di mana kelihaian sepasang
iblis itu, belum lagi diingat kemungkinan hadirnya pula iblis-iblis Ban-kwi-to yang lain. Kiranya
para penghuni Ban- kwi-to, setelah kegagalan mereka bersekongkol dengan para pembesar pengkhianat,
melarikan diri bersembunyi di tempat yang tak tersangka-sangka, yaitu di rumah para
pembesar yang dapat mereka kuasai. Kini tahulah ia siapa yang berdiri di balik kejahatan penculikan-
penculikan itu. Tentu sepasang iblis betina ini yang membutuhkan pemuda-pemuda yang diculik,
sedangkan gadis-gadis yang diculik tentu diberikan kepada si pembesar, atau mungkin juga
kawan-kawan para iblis itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu, akan tetapi sudah
dicatatnya di dalam hati agar kelak kalau ia sudah kembali ke kota raja, ia dapat melapor kepada
kaisar dan pasukan yang kuat akan dikirim untuk menghancurkan penjahat-penjahat itu. Juga daerah
harus dibersihkan dari pada pembesar-pembesar yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-
penjahat berkedok kedudukan mereka.
Karena maklum bahwa besar kemungkinan ia akan dikejar oleh pihak lawan, maka Pek
Lian terus melarikan diri dengan cepat sampai lewat tengah malam ia terpaksa berhenti
karena terhalang oleh sebuah sungai yang cukup besar dan lebar. Ia mencari-cari perahu
untuk menyeberang dan karena akhirnya ia hanya dapat melihat sebuah perahu besar yang
berhenti di tepi sungai itu, iapun menghampiri perahu itu. Sunyi di perahu itu, agaknya
semua penghuninya sudah tidur. Dua orang laki-laki yang agaknya menjadi penjaga malam di ujung perahu, ketika
melihat seorang gadis longak-longok sendirian di situ, lalu menghampiri dan bertanya,
"Siapakah nona dan hendak mencari siapa ?"
Tanpa menyangka buruk, Pek Lian yang sudah lelah itu menjawab, "Saya seorang
pelancong yang kemalaman di sini dan hendak mencari perahu untuk menyeberang."
"Aihh, kebetulan sekali, nona. Kamipun hendak menyeberang. Kalau nona mau, mari
ikut kami menyeberang dengan perahu ini."
Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Pek Lian. "Terima kasih, saudara
baik sekali. Jangan khawatir, nanti akan saya bayar berapapun biaya penyeberangannya."
Dua orang itu tidak menjawab melainkan mempersilahkan Pek Lian naik perahu.
Perahu itu memang besar sekali, sebuah perahu yang akan cukup memuat puluhan orang dan
begitu naik ke perahu, Pek Lian melihat bahwa memang penghuninya banyak sekali, sebagian besar
laki-laki yang tidur malang-melintang di atas geladak perahu. Melihat betapa beberapa
orang di antara mereka itu yang belum tidur menyeringai kepadanya dan rata-rata sikap mereka
kasar, juga mereka membawa-bawa senjata, hati Pek Lian mulai terasa tidak enak. Akan tetapi
ia butuh diseberangkan, maka iapun diam saja ketika dua orang tadi mengajaknya pergi ke
sebuah ruangan besar di dalam bilik perahu.
Ruangan itu terang sekali dan nampak duduk beberapa orang mengelilingi sebuah
meja panjang. Ada pula anak buah yang berdiri di sudut dan dari tempat itu nampak
sekelompok pendayung perahu yang agaknya sudah siap untuk menggerakkan dayung mereka.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ha-ha-ha, selamat memasuki perahu kami, nona Ho Pek Lian !"
Pek Lian mengangkat muka memandang dan bukan main kaget rasa hatinya ketika
mengenal bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah datuk sesat gendut pendek
yang suaranya tinggi seperti wanita itu, ialah Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti! Dan
di dekatnya duduk pula seorang raksasa tinggi besar yang menyeramkan dan orang inipun bukan tokoh
sembarangan melainkan orang ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, ialah Tiat-siang-kwi,
raksasa yang suka makan daging manusia itu! "Celaka......" pikirnya dan ia sudah siap untuk membalikkan tubuh melarikan diri
dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, pada saat itu perahu sudah meluncur ke tengah
sungai! "Ha-ha-ha, engkau sudah masuk ke sini, seperti seekor anak kijang memasuki guha
naga dan harimau, mana mungkin engkau akan melarikan diri, nona " Silahkan duduk,
engkau menjadi tamu kami. Jangan khawatir, kami takkan mengganggumu. Siapa orangnya mau
mengganggu murid sri baginda kaisar " Bukankah begitu, saudara Tiat-siang-kwi ?" kata pula
si gendut pendek sambil tertawa-tawa girang sekali. Memang hatinya girang bukan main ketika anak
buahnya memberi tahu akan munculnya Ho Pek Lian yang dikenalnya sebagai murid dan
pembantu setia Liu- Pang yang kini telah menjadi kaisar. Kalau dara ini menjadi tawanannya,
berarti dia akan untung besar. Dia akan dapat menjadikan gadis itu sebagai sandera dan dia akan
minta uang tebusan yang besar dari kaisar baru!
Tiat-siang-kwi mengangguk-angguk. "Kau benar, Sin-go, nona ini akan membikin
kita kaya raya."Mendengar percakapan itu mengertilah Pek Lian apa yang mereka maksudkan.
Dari kata- kata itu ia dapat menangkap maksud orang-orang jahat itu. Ia diculik dan mereka
akan mengancam kaisar untuk memberi uang tebusan yang besar atas dirinya !
"Aku tidak sudi !" teriaknya dan sambil mencabut pedangnya iapun hendak lari
keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, tujuh orang pengawal yang sudah siap siaga itu kini
menghadangnya sambil menyeringai dan mereka menodongkan senjata golok dan tombak, menghadang
gadis itu keluar dari ruangan. Pek Lian maklum bahwa jalan satu-satunya hanyalah melawan. Iapun mengerti bahwa
ia menghadapi lawan yang amat kuat. Baru dua orang iblis itu saja masing-masing
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi, ia tidak sudi menyerah
begitu saja untuk menjadi sandera, maka dengan pedangnya iapun menerjang tujuh orang penghalang
itu.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjadilah pertempuran kecil di ruangan itu dan karena ilmu pedang Pek Lian juga
lihai sekali, maka para pengeroyok itu menjadi repot menghadapi sambaran sinar pedang dara
perkasa itu. Dalam belasan jurus saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya. Akan
tetapi, pada saat Pek Lian memutar pedangnya dan menangkis serangan sisa para pengeroyoknya,
terdengar gerengan keras dan ternyata Tiat-siang-kwi (Iblis Gajah Besi) telah meloncat ke
depan. "Plak ! Tranggg...... !" Tepukan pada pundak kanan Pek Lian itu sedemikian
kuatnya sehingga pedang yang dipegangnya terlempar dan jatuh ke atas lantai ruangan
perahu itu. Dan sebelum Pek Lian dapat mengelak, dua buah tangan besar berkuku panjang telah
mencengkeram lengan dan pundaknya dari belakang. Ia berusaha meronta, akan tetapi dalam
cengkeraman Tiat- siang-kwi, ia tidak mampu bergerak lagi.
"Engkau masih belum mau menyerah ?" bentak Tiat-siang-kwi.
Pek Lian bukanlah seorang wanita bodoh. Ia tidak mau mencari penyakit. Tahu
bahwa melawanpun tidak ada gunanya, hanya akan menyakiti badan, ia tidak meronta lagi.
Ia tahu bahwa selama ia dijadikan sandera dengan maksud menukarnya dengan uang tebusan,
mereka ini tidak akan mengganggunya. Selain itu, setelah kini gurunya menjadi kaisar,
bagaimanapun juga, para datuk sesat ini tentu tidak begitu tolol untuk mengganggu murid kaisar
karena hal itu akan membuat mereka menjadi buronan pemerintah selama hidup. Melihat dara itu tidak
meronta lagi, Tiat-siang-kwi lalu melepaskan cengkeramannya.
"Ha-ha-ha, nona Ho sungguh amat lihai dan gagah. Kami merasa kagum sekali.
Marilah, nona, mari duduk sebagai tamu kami dan menikmati hidangan sekedarnya!" Si Buaya
Sakti yang agaknya menjadi pimpinan di perahu itu berkata dengan suara halus.
Pek Lian tidak berlaku sungkan lagi. Ia tahu bahwa ia telah menjadi tawanan dan
mereka akan memperlakukan dengan hormat selama ia tidak melawan. Ia melihat bahwa
selain dua orang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
datuk yang kini setelah sama-sama menderita kekalahan dalam perang agaknya dapat
bersatu itu, terdapat pula beberapa orang yang dari sikapnya dapat diketahui bahwa mereka
adalah kaum sesat.Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya adalah ketika ia melihat
seorang anak perempuan berusia kurang lebih duabelas tahun, berwajah cantik manis sekali,
akan tetapi lengan kirinya buntung, duduk pula di meja itu di sebelah Si Buaya Sakti. Apakah iblis
ini mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manisnya " Bagaimanapun juga, ia segera
merasa tertarik kepada anak manis ini, dan merasa kasihan melihat sebelah lengan itu
buntung. Maka, ketika dipersilahkan duduk dan melihat ada kursi kosong di dekat anak perempuan
itu, iapun duduklah. Anak perempuan itu memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang bening,
kemudian tersenyum dan hati Pek Lian semakin tertarik. Anak ini sungguh manis
sekali dan tiba- tiba ia mengerutkan alisnya, teringat betapa jahat dan kejamnya para datuk sesat
ini. Jangan- jangan anak inipun menjadi korban mereka! Maka, ia hendak menggunakan
kepentingan dirinya sebagai sandera untuk menentang Si Buaya Sakti.
"Aku tidak akan melawan dengan kekerasan selama kalian di sini tidak melakukan
kejahatan di depan mataku. Kalau kalian melanggar, sampai matipun aku tidak akan menyerah,
dan biarlah kalian membunuhku. Guruku, sri baginda kaisar tentu akan mengirim pasukan
mengejar dan mencari dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada kalian!"
Mendengar ucapan ini, diam-diam semua penjahat menjadi gentar juga. Menghadapi
pembalasan orang seperti Liu Pang itu sungguh mengerikan. Sebelum menjadi kaisar
saja pemimpin itu sudah dibantu oleh semua pendekar gagah, apa lagi sekarang setelah
menjadi kaisar. Siapa berani melawannya "
Sin-go Mo Kai Ci menyembunyikan kegentaran hatinya di balik senyum lebar dan
suaranya meninggi ketika dia menjawab, "Nona Ho, siapa yang akan berani melakukan hal-hal
yang tidak, menyenangkan hatimu " Engkau adalah tamu kehormatan, tentu saja kami tidak akan
melanggar laranganmu." "Hemm, kalau begitu, siapakah anak ini " A pakah iapun menjadi korban penculikan
?" Si Buaya Sakti tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, nona. Anak ini adalah anak
seorang pembantu kami, dan kami semua suka kepadanya karena ia manis dan lucu, juga amat
cerdik. Biarpun sebelah lengannya buntung, ia cekatan dan pandai melayani kami."
Anak itu lalu bangkit dan dengan sebelah tangan kanannya anak itu cepat mengisi
arak dalam cawan bersih, memberikannya kepada Pek Lian dengan sikap hormat. "Enci
yang baik, aku di sini senang sekali dan semua paman ini baik kepadaku. Silahkan cici minum,
biar kuambilkan mangkok bersih dan sumpit." Dengan cekatan anak itu lalu melayani Pek Lian, dan
melihat sikap anak ini yang gembira dan tidak nampak seperti korban yang tersiksa, hatinya
merasa lega. Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh Si Buaya Sakti itu membuat si
raksasa Tiat- siang-kwi mengerutkan alisnya. Dua hari yang lalu, ketika mereka saling bertemu
dan berjanji untuk be-kerja sama di bawah pimpinan Raja Kelelawar yang menaklukkan pula tujuh
iblis Ban- kwi-to, Sin-go Mo Kai Ci sudah berjanji kepadanya untuk memberikan anak
perempuan mungil itu kepadanya! Tunggu sampai kita tidak membutuhkan lagi bantuan ayahnya, baru
kuserahkan anak itu kepadamu dan boleh kaumiliki sesuka hatimu." Akan tetapi, kini Si Buaya
Sakti berjanji kepada murid kaisar itu bahwa mereka tidak akan mengganggu anak perempuan itu. Tentu
saja dia merasa kecewa sekali dan beberapa kali dia memandang dengan mata membayangkan
kedongkolan hatinya dan beberapa kali dia mengerling ke arah anak perempuan itu
dengan sinar mata penuh gairah. Dia harus mendahuluinya, pikir raksasa ini dan untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya, diapun minum arak sebanyak dan sepuasnya.
Setelah makan minum, Pek Lian dipersilahkan dengan ramah oleh Buaya Sakti untuk
melepaskan lelah dan tidur di dalam bilik perahu. Gerombolan kaum sesat itu
melanjutkan makan minum dan Pek Lian tidak lagi memperdulikan mereka karena ia sendiri merasa
lelah dan perlu untuk mengaso dan mengumpulkan tenaga. Selama perahu ini masih berlayar, ia
tidak berdaya. Andaikata ia dapat melarikan diri, akan pergi ke manakah " Meloncat dari perahu
ke air " Ia akan mati tenggelam karena ia tidak begitu pandai renang. Pula, melawan dengan
kekerasan akan sia- sia belaka mengingat betapa di situ terdapat Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi
yang amat lihai. Ia KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
harus menanti kesempatan baik, sesudah mendarat baru ia mencari akal untuk
meloloskan dirinya. Sementara ini, ia harus banyak istirahat dan mengumpulkan tenaga.
Dengan pikiran ini, sebentar saja Pek Lian tidur pulas. Akan tetapi, belum lama
ia tertidur dalam pakaian lengkap karena ia tidak mau bersikap lengah, ia terkejut mendengar
suara jeritan nyaring. Cepat ia meloncat dan menyambar pedangnya yang sudah dikembalikan
kepadanya, lalu melompat keluar bilik. Dilihatnya bayangan raksasa Tiat-siang-kwi sedang
memegang lengan kanan anak perempuan buntung itu sambil menarik-narik dan anak itupun meronta-
ronta. "Lepaskan aku ! Lepaskan..... !" Anak itu meronta dan berteriak.
"Heh-heh, anak manis, jangan cerewet atau kucengkeram hancur kepalamu." Raksasa
itu menghardik. Akan tetapi, dengan heran sekali Pek Lian melihat betapa anak
perempuan itu membuat gerakan aneh dengan kakinya dan tahu-tahu kaki kiri yang kecil itu telah
melayang dengan kecepatan luar biasa, ujung sepatunya menotok siku lengan kakek yang
memegangi tangannya. "Tukk !" Kakek itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya karena sikunya yang
tertotok ujung sepatu itu untuk beberapa detik lamanya menjadi lumpuh !
Kesempatan ini dipergunakan oleh anak perempuan itu untuk meloncat ke belakang dan kembali Pek
Lian melihat gaya lompatan yang amat indah dan cekatan! Itu bukanlah tendangan dan lompatan
seorang anak biasa saja, pikirnya heran. Akan tetapi melihat anak itu terancam dan kini si
raksasa agaknya sudah marah dan hendak menubruk lagi, ia meloncat ke depan dan pedangnya
melakukan gerakan menyerang. "Singg..... plakk!" Kakek raksasa itu masih dapat menangkis pedang dengan
tangannya yang dilindungi kekebalan, lalu matanya yang lebar itu melotot memandang Pek Lian
dengan marah. "Kau ...... kau berani mencampuri ?" Bentaknya dan dari suara dan sikapnya, juga
bau mulutnya, mudah diketahui bahwa kakek raksasa ini dalam keadaan mabok.
"Sudah kukatakan, semua bentuk kejahatan di sini akan kutentang sampai mati !"
Pek Lian berkata dan iapun sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan sigapnya
kakek raksasa itu mengelak. Sekali ini, Pek Lian berlaku hati-hati dan ia tidak mau
pedangnya sampai terpukul oleh kakek yang bertenaga gajah ini. Ia mengandalkan kegesitannya dan
pedangnya berkelebatan mencari sasaran lemah, tidak memberi kesempatan kepada kakek itu
untuk mengadu kekuatan. Menghadapi dara yang menggunakan kegesitannya ini, Tiat-siang-
kwi yang agak mabok itu kewalahan juga dan tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang
menggiriskan, yaitu sebatang golok besar sekali yang punggungnya seperti gigi gergaji. Begitu golok
ini menyambar, terdengar angin bersiutan dan Pek Lian terpaksa berloncatan mundur karena golok
lawan itu menyambar-nyambar ganas dengan kekuatan yang tidak mungkin ditangkisnya. Kalau
ia berani menangkis, tentu pedangnya akan terpental dan mungkin terlepas dari pegangannya.
Sebentar saja Pek Lian sudah terdesak hebat oleh raksasa itu.
Tiba-tiba anak perempuan itu berteriak dengan suara melengking, "Ayaaaahhh......
! Tolonglah...... kami !!"
Pada waktu itu, para anak buah perahu sudah banyak yang berdatangan dan menonton
perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai atau mencegah si raksasa karena
di dalam perahu itu, hanyalah Si Buaya Sakti seoranglah yang berani menentang si raksasa yang
telah menjadi rekan dan sekutunya. Teriakan anak perempuan itu ternyata memperoleh sambutan. Tiba-tiba papan lantai
perahu tergetar hebat dan di situ telah berdiri seorang laki-laki muda yang
gagah perkasa, berpakaian biasa saja seperti para tukang dayung, akan tetapi kini wajahnya
penuh wibawa dan nampak menyeramkan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia
memandang kepada Tiat- siang-kwi yang berhenti sejenak melihat munculnya orang ini. Pek
Lian yang tadinya sudah terdesak hebat itu memperoleh kesempatan memperbaiki posisinya dan iapun
menengok dan memandang. "A-hai...... !!" Tiba-tiba Pek Lian berseru girang dan kaget sehingga dara ini
lupa bahwa orang yang biasanya disebut A-hai itu telah memperkenalkan diri sebagai Souw
Thian Hai, seorang pendekar yang sakti. "Ayah, bantulah enci ini !" Anak perempuan buntung itu kini mendekati ayahnya
dan kembali Pek Lian tertegun. Kiranya anak perempuan buntung inilah puteri pendekar ini!
Karena anak itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
belum pernah diperkenalkan kepadanya, maka ia tidak tahu, dan siapa mengira
bahwa anak A-hai berada di perahu penjahat ini " Tidak tahunya malah pendekar itu sendiripun
berada di sini, agaknya menyamar sebagai tukang dayung.
Sementara itu, si raksasa berdiri dengan mata terbelalak lebar. Dia kini juga
mengenal pria gagah ini dan teringatlah akan kehebatan pemuda ini ketika mengamuk. Dia sendiri
pernah dikalahkan dengan mudah! Pada saat itu, karena terganggu oleh keributan, Si
Buaya Sakti juga sudah datang ke tempat itu dan seperti juga Tiat-siang-kwi, si gendut pendek ini
terbelalak memandang kepada Thian Hai.
Melihat betapa di tempat itu terdapat banyak kawannya, si raksasa timbul kembali
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberaniannya dan sambil mengereng diapun menubruk ke depan dengan goloknya yang
besar dan berat itu. Akan tetapi, dengan tenang Thian Hai menggerakkan tangan kirinya
mendorong ke depan. Tiba-tiba saja gerakan raksasa itu tertahan oleh dinding tenaga yang
tidak nampak namun yang kuat sekali membuat dia tertegun dan gerakan serangannyapun terhenti. Pada
saat itu, tangan kanan Thian Hai membuat gerakan menampar seperti orang mengusir lalat dan
dari mulutnya terdengar bentakan, "Pergilah engkau iblis busuk!"
Sungguh aneh sekali. Tubuh tinggi besar itu terpelanting jauh, bergulingan di
atas lantai perahu dan ketika tiba di tepi perahu, si raksasa itu agaknya sudah kehilangan
nyalinya maka diapun melanjutkan tubuhnya terguling ke luar perahu.
"Byuurrr...... !" Tokoh ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to itu begitu ketakutan
sehingga dia memilih terjun ke sungai dari pada harus berha-
dapan lagi dengan pendekar yang memiliki kesak-tian luar biasa itu.
Si Buaya Sakti memandang dengan muka pu-cat. Dia maklum akan kehebatan lawan
ini, akan tetapi sebagai pimpinan di perahu itu, tentu saja dia merasa malu kalau
harus melarikan diri seperti Tiat - siang - kwi, Walaupun hatinya pudah lebih dahulu melarikan diri.
Sambil mengeluarkan ben-takan nyaring, dia menerjang dengan senjata alu-nya. Thian Hai
tidak melangkah pergi, tidak mengelak, melainkan diam saja dan ketika alu itu sudah
mendekati kepalanya yang dijadikan sasaran, tiba - tiba saja kedua tangannya bergerak,
cepat bukan main dan tahu-tahu tangan yang memegang alu itu lumpuh tertotok sikunya dan alu
itupun berpindah tangan. Lalu senjata itu menyambar punggung pemiliknya sendiri.
"Bukk ! !" Tubuh Si Buaya Sakti memang kebal, akan tetapi pukulan itu sedemikian
kuatnya sehingga walaupun tulang - tulang punggungnya tidak remuk, akan tetapi
tubuhnya terlempar sampai keluar perahu.
"Byuuurrr ! !" Untuk kedua kalinya, air muncrat tinggi ketika tubuh ke dua itu menimpa
air. Melihat ini, para penjahat anak buah Buaya Sakti menjadi panik ketakutan
dan tanpa menanti komando lagi mereka mengikuti contoh pimpinan mereka, berloncatan ke sungai
sehingga sebentar saja perahu itu telah kosong, kecuali tukang - tu-kang dayung yang
sebagian besar merupakan orang-orang paksaan atau bayaran, bukan ang-gauta - anggauta bajak
yang sudah lebih dulu berloncatan ke air.
Souw Thian Hai berdiri termangu - mangu me-mandang ke air, seperti orang merasa
menyesal. Melihat ini, Souw Lian Cu, yaitu puterinya yang buntung lengannya,
menghampiri dan merangkul pinggang ayahnya. Souw Thian Hai sadar kembali dan merangkul
puterinya, lalu menoleh dan meng-hadapi Pek Lian sambil tersenyum.
"Nona Ho Pek Lian, tidak kusangka akan ber-temu denganmu di sini," katanya.
Melihat sikap dan mendengar suara orang ini, seketika wajah Pek Lian menjadi
merah. Ini bukan A-hai yang dulu lagi, bukan pemuda ketololan yang menimbulkan rasa iba di
hatinya. Ini adalah seorang pendekar sakti yang sikapnya tenang ber-wibawa, maka iapun
menjura. "Souw - taihiap, terima kasih atas pertolongan mu.
"Ah, nona Ho, perlukah engkau menyebutku taihiap segala" Aku adalah A-hai
" "Taihiap, mana berani aku menyebutmu seperti dahulu " Kalau engkau berkeberatan
disebut tai-hiap, biarlah aku menyebutmu Souw-toako."
"Itu lebih baik, Lian-moi (adik Lian). Inilah puteriku itu yang bernama Souw
Lian Cu. Lian Cu, inilah bibi Ho Pek Lian yang sering kali ku-ceritakan padamu, ia seorang
pendekar wanita yang gagah perkasa dan berbudi."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bibi !" Lian Cu memberi hormat dan Pek Lian cepat merangkulnya. Kini hatinya merasa
terharu dan kasihan. Anak semanis ini, masih kecil sudah harus kehilangan lengan
kirinya. "Aku sungguh bingung, bagaimana aku mendapatkan engkau di sini sebagai tukang
dayung dan puterimu ini melayani mereka itu
" "Nanti kuceritakan, sekarang kita perlu menge-mudikan perahu ini." Thian Hai
lalu minta kepa-da teman - temannya atau bekas teman - temannya tukang dayung untuk
melanjutkan pekerjaan mereka, mendayung dan membantunya mengemudi-kan perahu. Setelah perahu
berjalan lancar dan tenang kembali, Thian Hai mengajak Pek Lian dan puterinya
duduk di ruangan, lalu menceritakan pengalamannya.
Seperti telah kita ketahui dari bagian depan, Thian Hai dan puterinya melakukan
perjalanan mencari jejak musuh besarnya, yaitu Ma Kim Liang yang menyamar atau berobah
menjadi Raja Kele-lawar. Dia melakukan perjalanan jauh, mendatangi tempat - tempat yang
menjadi sarang gerombolan- gerombolan jahat karena dia menduga bahwa di tempat - tempat seperti
itulah dia mempunyai ha-rapan untuk menemukan jejak Raja Kelelawar, mengingat bahwa iblis
itu telah menjadi datuk be-sar atau raja dari dunia sesat. Kemudian dia me-nyaksikan
perebutan harta karun milik keluarga bekas Menteri Li Su, dan akhirnya dia melihat Buaya Sakti
yang berhasil merampas barang-barang harta benda itu. Melihat datuk ini, dia lalu cepat
melakukan penyamaran. Dia menanggalkan baju atasnya dan pura-pura kelelahan mengaso sambil
tiduran ketika Buaya Sakti berhasil membasmi pa-sukan yang merampok harta benda keluarga
Li Su. Tukang - tukang pemikul tandu sudah pada mela-rikan diri atau ikut terbunuh,
hanya tinggal dua orang saja lagi yang dipaksa oleh anak buah Buaya Sakti untuk memikul tandu yang
berat itu. Anak buah bajak itu sudah melucuti pakaian para ang-gauta pasukan yang terbunuh
dan sambil tertawa-tawa mereka mengenakan pakaian seragam tentara itu, mematut - matut diri
seperti monyet - monyet diberi pakaian. Kemudian, beberapa orang di an-tara mereka
melihat Thian Hai yang sedang tidur terlentang di atas tanah, berbantalkan kedua ta-ngan itu.
Mereka menghampiri dan seorang di antara mereka menghardik, "Heh, malas! Orang-orang lain sibuk
mengangkut tandu, engkau enak-enak tidur! Hayo bangun !" Dan seorang di anta-ra mereka
menendang pahanya. Thian Hai pura-pura terkejut dan kesakitan menggosok-gosok pahanya. "Aduh, aduh
baru saja istirahat sudah dibangunkan
" Kemudian dia pura - pura heran melihat beberapa orang yang berpakaian tentara
itu. "Eh, apa " Mau berangkat lagi" Apa pertempuran sudah selesai?"
Beberapa orang bajak itu terbahak - bahak, mengira bahwa pemikul tandu ini salah
lihat dan menyangka mereka anak buah pasukan yang sudah terbasmi habis. "Tolol, hayo bantu
kami mengang-kut tandu itu ke perahu."
Thian Hai bangkit, menyambar bungkusan pakaiannya dan longak - longok. "Mana
anakku " Lian Cu , di mana kau ?" Seorang anak perempuan yang buntung sebelah lengannya datang berlari - lari,
baru saia keluar dari tempat sembunyinya. Anak ini bertindak se-suai dengan rencana
ayahnya yang hendak menye-lundup menjadi anak buah Si Buaya Sakti agar dia dapat mencari jejak musuh
besarnya. "Ayah, apakah kita akan berangkat lagi ?"
"Ya, mari, kita harus angkut tandu itu," kata-nya bangkit berdiri.
"Hei, anak ini tidak boleh ikut!" kata seorang di antara mereka.
"Hemm, biar lengannya buntung sebelah, ia manis juga. Mari kita hadapkan kepada
pimpinan." Mereka memegang tangan Lian Cu. Anak ini ketakutan, akan tetapi ket.ka melihat ayahnya
berkedip dan mengangguk kepadanya, iapun me-nurut saja dibawa pergi. Ketika Si
Buaya Sakti melihat Lian Cu, hatinyapun merasa suka kepada anak perempuan yang biarpun
buntung sebelah lengannya, akan tetapi berwajah manis dan bersi-kap berani dan cekatan itu.
Siapa tahu, anak pe- rempuan ini ada gunanya kelak, pikirnya.
Demikianlah, Thian Hai berhasil menyelundup menjadi tukang pikul tandu berisi
harta benda itu, kemud;an setelah tiba di perahu besar, tugasnya berobah menjadi tukang
dayung di antara belasan tukang dayung bayaran atau paksaan. Sementara itu, dengan cerdiknya Lian
Cu dapat menyenang-kan hati Si Buaya Sakti dengan pelayanannya yang cekatan, baik di
dapur maupun di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ruangan makan. Beberapa hari kemudian, Si Buaya Sakti bertemu dengan Tiat -
siang - kwi. Keduanya dahulu men-jadi lawan dalam perang, akan tetapi karena kedua pihak
sudah kalah dan karena kini Tujuh Iblis Ban - kwi - to sudah ditaklukkan pula oleh Raja
Kelelawar, si raksasa itupun
mau dipersilahkan naik ke perahu untuk bersama - sama mengunjungi tempat
persembunyian Raja Kelelawar. Dalam pertemuan itu, secara iseng ketika melihat si rak-sasa
tertarik kepada Lian Cu, Sin - go Mo Kai Ci menjanjikan kelak akan menyerahkan gadis cilik itu kepada
si raksasa! Karena itulah maka terjadi keributan di malam itu dan terpaksa Thian Hai turun
tangan untuk melindungi puterinya dan Pek Lian.
"Demikianlah, Lian - moi, terpaksa aku turun tangan dan sekarang buyarlah
harapanku untuk dapat menemukan jejak musuh besarku. Tadinya aku merasa yakin bahwa mereka
itu akan memba0 waku kepada musuhku. Lian Cu dapat mende0 ngarkan percakapan mereka di
meja makan dan ternyata kedua orang datuk sesat itu telah menjadi anak buah Raja
Kelelawar dan mereka hendak melayarkan perahu ke tempat sembunyinya." Thian Hai menutup
ceritanya sambil menarik napas pan-jang penuh rasa kecewa.
"Ah, kalau aku tidak muncul tentu rencanamu tidak akan gagal, Souw - toako." Pek
Lian berkata menyesal pula. "Sudahlah, yang lalu tidak perlu disesalkan. Sekarang aku hendak mencari sendiri
tempat itu, kurasa tidak jauh dari sini walaupun aku belum tahu di mana sesungguhnya tempat
persembunyi- an musuh besarku itu."
Selagi mereka hercakap - cakap, tiba - tiba mereka merasa badan perahu itu
terguncang dan ter-dengar teriakan - teriakan ketakutan para penda-yung perahu. Mereka bertiga
cepat keluar dari dalam ruangan itu dan betapa kaget hati mereka
melihat bahwa perahu besar itu telah dikepung oleh beberapa buah perahu kecil
yang penuh pe-numpang dan para penumpang itu membawa obor sehingga keadaan menjadi terang
seperti siang. Perahu-perahu itu adalah perahu bajak sungai dan ketika mereka bertiga
melihat wajah Si Buaya Sakti di antara para bajak itu, tahulah mereka bah-wa mereka telah berada
di tangan musuh ! Si Buaya Sakti itu menyeringai dan dengan suaranya yang kecil tinggi dia
berseru, "Kalau melawan perahu kalian akan kami bakar!"
Menghadapi ancaman ini, Thian Hai tidak berdaya, bahkan melihat sikap Pek Lian,
dia ber- bisik, "Lian-moi, di sini kita tidak boleh melawan."
Pek Lian maklum bahwa memang percuma saja melakukan perlawanan selagi mereka
berada di atas perahu. Betapapun lihainya Thian Hai, tak mungkin dia dapat
menyelamatkan Pek Lian dan Lian Cu kalau mereka masih berada di tengah su-ngai. Maka Pek Lianpun
diam saja membiarkan perahu mereka dikait dan ditarik oleh perahu - pe-rahu musuh.
Hari telah pagi ketika perahu - perahu bajak itu menarik perahu rampasan itu ke
pantai dan nam-paklah oleh Pek Lian betapa selain perahu mereka, ada pula sebuah perahu
lain terampas oleh bajak. Di atas perahu yang juga besar dan mewah itu terdapat belasan orang
yang berpakaian seperti saudagar - saudagar kaya, akan tetapi di antara mereka itu
nampak pula seorang kakek tua berpa-kaian sederhana memegang tongkat butut dan se-orang
pemuda sederhana bermuka merah yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Tentu saja Pek
Lian merasa girang di samping keheranannya mengenal dua orang itu sebagai kakek sakti Kam
Song Ki dan muridnya, bekas pemimpin lembah Kwee Tiong Li! Kiranya guru dan murid itu yang
meninggalkan kota raja, agaknya menumpang se-buah perahu saudagar dan ikut pula menjadi ta-
wanan ketika
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perahu itu dirampas oleh para bajak anak buah Si Buaya Sungai. Dalam semalam
itu, kawanan bajak telah membajak dua buah perahu. Tentu saja Kwee Tiong Li dan gurunya juga
ter-kejut, heran dan girang melihat Pek Lian dan juga Thian Hai. Akan tetapi mereka diam
saja dan pu-ra - pura tidak mengenal mereka. Dua buah pe-rahu itu ditarik terus sampai ke pantai
di mana telah menunggu sekelompok pasukan yang dipim-pin oleh seorang laki - laki berusia
limapuluh ta-hunan yang berpaka'an mewah seperti seorang bangsawan kaya. Orang ini berkepala
bundar, tu-buhnya juga bulat serba gendut dan mukanya pe-nuh senyum ramah.
Melihat orang gendut mewah ini, Pek Lian ter-kejut bukan main. Ia mengenal orang
itu walaupun si gendut itu belum sempat mengenalnya. Pria itu adalah Lam Siauw-ong
(Raja Muda Selatan), seorang di antara tiga tokoh besar lautan yang men-jadi kepala bajak.
Dahulu, pernah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lam Siauw-ong menawan Chu Bwee Hong dan dengan sembunyi-sembunyi ia berhasil
menolong Bwee Hong dan meloloskan diri dari cengkeraman kepala bajak laut ini. Siapa kira
hari ini ia yang menjadi ta-wanannya. Dan diam - diam ia merasa semakin heran bagaimana Si Buaya
Sakti dapat menjadi sekutu Lam Siauw - ong " Bukankah dahulu terdapat suatu permusuhan atau
persaingan antara go-longan mereka "
Akan tetapi, Pek Lian tidak mau banyak cakap lagi. Ia maklum bahwa sekali ini,
ia harus mela-kukan perlawanan. Sebelum ia dan Thian Hai di-tawan dan dibuat tidak
berdaya, ia harus melaku-kan perlawanan. Inilah satu - satunya kesempatan untuk melawan, setelah
perahu mendarat. Ia danat melihat kekuatan lawan yang cukup banyak. Dan melihat betaoa
anak buah bajak itu banyak yang memakai pakaian seragam bekas pakaian tentara. Akan
tetapi, iapun sudah sap siaga. Sebelum men-darat, ia telah mempersiapkan diri, mengenakan pakaian
ringkas dan menemukan pedang di dalam ruangan bilik perahu. Begitu perahu menempel di darat,
tanpa membuang waktu lagi Pek Lian me-ngeluarkan pekik melengking dan iapun meloncat
ke darat, langsung menyerbu ke arah Lam Siauw-ong yang berdiri sambil tersenyum - senyum.
Akan tetapi, si gendut ini memang lihai sekali. Diserang seperti itu, dengan mudah dia
meloncat ke bela-kang dan para pengawalnya yang sebagian ada yang mengenakan pakaian seragam pasukan
itu segera maju mengepung Pek Lian. Namun gadis ini tidak menjadi gentar. Ia meloncat ke
atas, kaki tangannya bergerak dan ia mengamuk seperti see-kor garuda, membagi - bagi
tamparan dan tendang-an di antara para pengeroyoknya. Melihat kehe-batan dara muda ini, Lam
Siauw - ong kagum se-kali. Dia belum sempat mendengar dari rekan-rekannya seperti Si Buaya
Sakti dan Tiat - siang-kwi siapa adanya gadis cantik gagah itu, karena kedua orang rekannya
itupun agaknya sedang ber-kelahi tak jauh dari situ. Melihat kehebatan Pek Lian, dia pun
berseru keras menyuruh anak buah-nya mundur dan tubuhnya yang bulat itu dengan ringan sekali telah
melayang ke depan Pek Lian. "Heh-heh, nona cantik manis. Engkau patut menjadi permaisuriku, maka marilah
kita berdamai saja. Untuk apa kita saling
" "Lam Siauw-ong manusia cabul, lihat pedang !" Pek Lian membentak sambil mencabut
pedang dan menyerang dengan dahsyat.
"Eh, oh engkau sudah mengenalku " Lebih baik lagi
!" kata raja muda bajak gendut
itu. Akan tetapi Pek Lian tidak memberinya kesem-patan untuk banyak cerewet
karena dara itu telah menyerang semakin ganas, membuat lawannya terpaksa mencabut pula sebatang
pedangnya. Begitu pedangnya bergerak, Pek Lian terkejut karena ham-pir saja
pergelangan tangannya kena digurat. Itu-lah Hun - kin - kiam (Pedang Pemutus Urat) dan raja
muda bajak ini ternyata mahir sekali bermain pedang.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat. "No-na Ho, minggirlah dan biarkan aku
menghadapi babi ini !" Orang itu adalah Kwee Tiong Li yang juga su-dah mempergunakan pedangnya. Melihat
majunya kawan ini, hati Pek Lian menjadi girang dan iapun mengamuk di antara
para anak buah bajak. Terja-di perkelahian antara Tiong Li dan Lam Siauw-ong dan ternyata
kepandaian mereka seimbang sehing-ga perkelahian itu menjadi seru dan hebat. Gerakan Tiong Li
sekarang jauh berbeda dengan da-hulu. Kini dia telah mewarisi ilmu dari kakek Kam, maka
ginkangnya luar biasa sekali, gerakan-nya cepat laksana burung walet beterbangan me-nyambar - nyambar.
Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang, tentu Pek Lian akan kewalahan kalau
saja ia tidak mendapat bantuan kakek Kain Song Ki! Ia sudah terpincang kareua
betisnya kena disambar ujung tombak lawan sehingga kulit betisnya terobek dan terluka. Namun,
dengan gigih dan gagah ia me-lawan terus, merobohkan banyak orang dengan pedangnya. Dalam
keadaan gawat itulah muncul kakek Kam Song Ki yang mengamuk dengan tong-katnya. Tentu
saja sepak terjang kakek ini amat hebat. Tongkatnya mendatangkan angin pukulan dahsyat
sehingga para pengeroyok sudah berge-limpangan walaupun belum tercium ujung tongkat.
Sementara itu, di bagian lain, Thian Hai dike-royok dua oleh Si Buaya Sakti dan
Tiat-siang- kwi. Pemuda perkasa ini sungguh hebat luar biasa. Dua orang pengeroyoknya itu
bukan sembarang orang, Sin - go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti, adalah seorang di antara
tiga Sam - ok (Tiga Jahat), merupakan raja di antara para bajak sungai dan jaranglah ada orang dapat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menandinginya. Adapun orang ke dua, dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to. Dapat
dibayangkan betapa hebat kepandaian raksasa pemakan daging manusia ini. Namun, sekali ini
menghadapi Thian Hai, keturunan langsung dari keluarga sakti Souw yang selalu menyembunyikan diri,
mereka berdua tidak mampu berbuat banyak. Golok besar pung-gung gergaji dan senjata penggada
berbentuk alu dari kedua orang datuk ini tidak ada gunanya sa-ma sekali ketika dipergunakan
untuk menyerang Thian Hai. Senjata - senjata itu seolah - olah me-rupakan benda lunak saja,
ditangkis begitu saja oleh kedua lengan Thian Hai dan setiap kali ter-jadi pertemuan antara lengan dan
senjata, si pemegang senjata tentu mengeluh dan merasa betapa telapak tangan mereka seperti
terbakar dan terku-pas. Thian Hai maklum bahwa dia telah menemukan jejak musuh besarnya. Tidak salah
lagi, di sinilah agaknya tempat persembunyian musuhnya itu, ma-ka diapun tidak ingin
membiarkan dua orang pem-bantu musuhnya ini lolos. Dua orang ini terlalu jahat dan lihai untuk
dibiarkan lolos, dan juga ke-dudukan musuhnya akan terlalu kuat kalau dua orang ini dibiarkan
terlepas dari tangannya. Maka pemuda perkasa inipun. mengerahkan tenaganya, terdengar dia
mengeluarkan suara menggeram dan ketika tubuhnya menyerang ke depan dengan kedua tangan
terbuka, kedua orang lawannya itu tidak mampu bertahan lagi. Pukulan Thai - kek Sin-ciang
yang dilontarkan dari jarak dekat itu terlalu hebat bagi dua orang iblis itu. Mereka
berusaha menahan dengan sinkang, akan tetapi akibatnya mereka terbanting ke belakang, terjengkang
dan tidak mampu bangkit kembali karena isi dada mereka yang terlanda hawa pukulan sakti
itu telah remuk - rendam, membuat mereka tewas seketika dengan semua lubang di tubuh mereka
mengucur-kan darah segar! Sejenak Thian Hai termangu menyaksikan aki-bat pukulannya, akan tetapi dia
segera mendengar teriakan puterinya. Cepat dia menoleh dan meloncat, menendang dua
orang perajurit atau ang-gauta bajak yang berhasil menangkap Lian Cu ketika anak perempuan ini
ikut pula mengamuk. Dua orang itu terlempar dan Thian Hai mengamuk, membiarkan puterinya
yang sudah lumayan ilmu silatnya itupun ikut pula mengamuk.
Sementara itu, perkelahian antara Tiong Li melawan Siauw - ong amat hebatnya.
Keduanya sudah berkeringat, akan tetapi belum juga ada yang kalah. Melihat betapa
pihaknya menderita keka-lahan, Lain Siauw - ong menjadi gentar dan begitu memperoleh kesempatan,
dia meloncat ke bela-kang dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, se-batang tongkat menotok
punggungnya dan diapun roboh terpelanting. Kiranya yang menotoknya adalah seorang kakek tua,
akan tetapi totokannya itu hanya membuat dia roboh saja dan tidak me-lukainya, juga tidak
menghentikan jalan darah. Hal ini makin menunjukkan betapa lihainya kakek itu, maka Lam Siauw
- ong menjadi semakin jerih. Akan tetapi, begitu dia bangkit berdiri, pemuda yang menjadi
lawannya itu sudah menerjangnya lagi dan kembali mereka berkelahi. Sekali ini se-mangat perlawanan
Lam Siauw - ong mengendur. Hatinya sudah gentar maka permainan pedangnya tidaklah sekuat
tadi, bahkan agak kalut sehingga pada suatu ketika Kwee Tiong Li berhasil mema-sukkan
pedangnya menusuk dan mengenai pundaknya. Lam Siauw-ong terkejut dan terhuyung, dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Tiong Li untuk menyusulkan tusukan maut yang menembus dada
lawan. Robohlah Raja Muda Selatan itu de-ngan badan berlumuran darah dan tewas tak lama
kemudian. Anak buah gerombolan bajak itu menjadi pa-nik melihat betapa tiga orang pemimpin
mereka tewas dan banyak sekali teman-teman mereka roboh, tewas atau terluka. Akan
tetapi selagi mereka panik dan hendak melarikan diri, tiba - tiba muncul pasukan yang
berpakaian hitam sebanyak belasan orang dan terdengarlah suara melengking nyaring dari tengah
daratan, di mana nampak gen-teng dan tembok sebuah bangunan besar.
"Tahan semua senjata! Para tawanan harus menyerah, kalau tidak akan kami bunuh
semua ! !" Semua orang, termasuk kakek Kam Song Ki, terkejut bukan main. Itulah suara yang
mengan-dung khikang amat kuatnya, menunjukkan bahwa orang yang mengirim suara
itu memiliki kepandai-ari yang hebat. Akan tetapi, kalau semua orang terkejut dan
gentar, sebaliknya Thian Hai merasa girang bukan main dan jantungnya berdebar te-gang. Itulah pekik
yang mengandung tenaga Pek-houw-ho-kang, yaitu auman Harimau Putih, ilmu khikang dari
keluarga Souw dan dia dapat menduga siapa yang mengeluarkan pekik seperti itu. Musuh
besar berada di depan mata ! Maka, diapun lalu memberi isyarat kepada Pek Lian, ka-kek Kam dan
Kwee Tiong Li KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
agar menghentikan amukan. Ketika pasukan berpakaian hitam itu mengumpulkan para
saudagar sebagai tawanan, merekapun termasuk di dalamnya dan dengan mandah mereka
digiring meninggalkan pantai su-ngai itu menuju ke sebuah bangunan besar yang megah.
Begitu memasuki ruangan depan di mana nam-pak beberapa orang penjaga yang
memegang golok dan perisai, pimpinan pasukan berpakaian hitam itu berkata,
"Berhenti! Nona ini harus memisahkan diri dan mari ikut bersama dia !" Pemimpin itu menudingkan
telunjuknya kepada seorang anak buahnya yang berkumis tebal tanpa jenggot. Laki-laki tinggi
besar ini tersenyum dan menghampiri Pek Lian.
"Marilah,, nona, kuantar ke tempat peristirahatan nona!"
Tentu saja Pek Lian tidak mau dipisahkan dari kawan - kawannya. Ia menggeleng
Istana Pulau Es 18 Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Warisan Iblis 2
ini dia telah menambah ilmu kepandaiannya, dia menjadi te-nang kembali dan sambil
tersenyum mengejek dia menyambar kembali jubahnya yang tadi dibuka dan dilemparkannya ke
atas tanah dekat tubuh dara itu yang menggeletak terlentang tak dapat bergerak karena
tubuhnya tertotok lemas dan dara itu hanya dapat memandang dengan mata basah air mata.
Dikenakannya kembali jubahnya. Jubah ini amat penting baginya, karena jubah ini adalah jubah pusaka
peninggalan Raja Kelelawar, jubah yang membuatnya kebal terhadap serangan senjata apapun.
Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, Ma Kim Liang
mengeluar-kan sepasang pisau belatinya, senjata istimewa pe-ninggalan Kelelawar
Hitam. "Suheng, akhirnya engkau datang juga. Akan tetapi jangan mengira aku takut
kepadamu, karena aku sudah mempela-jari semua ilmu keluarga Souw dan engkau hendak menangkapku,
berarti engkau sudah bosan hidup. Ha-ha-ha !"
"Ma Kim Liang, engkau seorang manusia tak kenal budi. Ayahku telah mengangkatmu
sebagai murid dan engkau diperlakukan baik, akan tetapi sebagai balasannya
engkau malah mencuri pusaka keluarga kami! Dan engkau malah menyamar menjadi Raja Kelelawar
yang sejak dahulu dimu-suhi oleh keluarga kami karena dia telah mence-markan nama keluarga
perguruan kami." "Souw Thian Hai, jangan sombong engkau! Siapa bilang bahwa ayahmu
memperlakukan aku dengan baik " Aku dipekerjakan seperti budak pelayan, dan hanya diberi
pelajaran ilmu-ilmu silat kelas rendah saja. Ilmu - ilmu yang menjadi simpanan hanya diajarkan
kepadamu seorang! Tidak sudah sewajarnyakah kalau aku melarikan semua pusaka untuk kupelajari
sendiri " Dan ten- tang Raja Kelelawar, memang akulah keturunan nya, akulah ahli waris satu -
satunya dari semua ilmu dan pusakanya. Lihat pakaian dan jubah ini, lihat sepasang pisau ini dan
lihatlah ilmu - ilmu yang sudah kumiliki, ha-ha-ha !"
"Ma Kim Liang, engkau menguasai pusaka Ra-ja Kelelawar tentu ada hubungannya
dengan ma-yat yang berada di dasar jurang itu!"
"Ha - ha - ha, engkau dan ayahmu yang tolol itu baru tahu sekarang " Dia itu
murid dari cucu murid Raja Kelelawar, seorang manusia berotak miring yang hendak
menyerahkan semua pusaka kepada ayahmu. Orang gila itu kubunuh dan pusakanya kurampas, kusatukan
dengan pusaka keluarga Souw dan kupelajari
" "Jahanam busuk engkau!" Souw Thian Hai lalu menyerang bekas sutenya itu. Akan
tetapi, sute-nya tertawa, meloncat dengan amat cekatan ke samping lalu menggunakan
sepasang pisau belati-nya untuk balas menyerang. Melihat gerakan be-kas sutenya, Thian Hai
terkejut. Dia maklum bahwa sutenya menguasai pula semua ilmu silat keluarganya, maka kalau
tidak mempergunakan ilmu simpanan yang tidak mungkin dipelajari su-tenya, dia akan
terancam bahaya besar. Maka, cepat dia mulai bergerak mempergunakan kaki tangannya
mainkan ilmu Thai - kek Sin - ciang. Begitu tangan kirinya bergerak, angin dahsyat menyambar dan
dari jauh pukulan itu sudah me-rupakan serangan maut yang menerjang ke arah Ma Kim Liang.
"Ah, Thai - kek Sin - ciang!" Ma Kim Liang berseru. Dia mengenal ilmu ini karena
dia sudah memiliki kitabnya, akan tetapi sampai pusing dia mencoba untuk mempelajarinya,
hasilnya nihil. Dan kini lawannya mempergunakan ilmu itu un-tuk menyerangnya. Diapun berhati -
hati sekali, cepat menggerakkan pundak sehingga jubah hitam itu melindungi tubuhnya, dan
diapun menerjang dengan sepasang belatinya. Akan tetapi, angin dahsyat itu
menggempurnya dan tahu - tahu tela-pak tangan Thian Hai menyambar ke arah leher-nya. Kim Liang menyambut
dengan pisau belati yang menggurat ke arah pergelangan tangan itu.
Tahu-tahu tangan itu meluncur ke bawah dan menampar dadanya.
"Dukk !" Dada Kim Liang kena ditampar, akan tetapi tubuhnya terdorong ke
belakang tanpa menderita luka karena dada itu terlindung oleh jubah hitam yang amat kuat.
Sebaliknya, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Thian Hai terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya bertemu dengan benda
lunak yang amat kuat! Dan bagaikan kilat menyambar, tahu - tahu dua batang pisau belati di
tangan Kim Liang yang te-lah berubah menjadi dua gulung sinar itu me-nyambar dengan serangan
mautnya! Thian Hai cepat meloncat ke belakang dan menggerakkan ta-ngan mendorong, kembali
mengerahkan tenaga Thai-kek Sin - ciang sehingga angin besar mena-han gerakan Kim Liang,
membuat serangannya gagal. Mereka serang menyerang dengan hebatnya, Thian Hai
mengandalkan ilmu yang belum dikua-sai oleh lawan, sedangkan Kim Liang yang kalah unggul ilmunya
itu mengandalkan kekebalan jubah hitam dan keampuhan sepasang belatinya. Sampai
tigapuluh jurus lebih mereka saling serang dengan serunya, namun masih sukar bagi Thian Hai
untuk mengalahkan lawan, apa lagi menangkapnya. Pemuda ini lalu merobah gerakan
tangannya dan begitu tangan kirinya menyambar, nampak uap putih yang amat panas menerjang ke
depan. "Thai-lek Pek-kong-ciang
!" kata pula Ma Kim Liang dengan gentar. Dia mencoba untuk
mengelak, akan tetapi tetap saja tubuhnya terguling ketika telapak tangan Thian
Hai sempat menye-rempetnya. Karena maklum bahwa agaknya tidak mungkin baginya dapat
menandingi bekas suheng-nya yang amat lihai itu, Kim Liang terus bergu-lingan sampai jauh,
lalu meloncat dan menghilang di dalam kegelapan malam.
"Jahanam, hendak lari ke mana engkau... ?"
Thian Hai hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara
rintihan lemah dan teringatlah dia akan gadis yang terculik tadi. Ah, mengapa dia begitu
sembrono " Kalau dia
menge-jar, mungkin saja Kim Liang mengambil jalan me-mutar untuk membawa lari
lagi gadis itu. Melaku-kan pengejaran terhadap seorang yang ginkangnya setingkat dengan dia, apa
lagi di waktu malam di tempat yang tidak dikenalnya benar, tentu akan berbahaya sekali.
Dia tidak jadi mengejar dan melihat ke sekeliling. Hebat memang perkelahian antara dia dan
sutenya tadi. Ada pohon tumbang bekas pukulan atau tendangan kaki Kim Liang, bahkan ada batu besar
yang ditinggali tanda bekas jari tangan sutenya. Dia bergidik. Sutenya itu kini lihai
sekali dan kalau dia tidak mahir dua macam ilmu simpanan keluarganya tadi, kiranya belum tentu dia
akan menang. Dengan hati - hati dia lalu menghampiri dara itu, membebaskan totokannya dari
begitu dapat bergerak dara itu lalu berlutut di depan kaki Thian Hai sambil menangis.
Thian Hai menjadi gugup dan disentuhnya pundak itu dan disuruhnya gadis itu bangkit berdiri.
"In - kong (tuan penolong) telah menyelamatkan saya dari malapetaka hebat,
sampai mati saya tidak akan melupakan budi in-kong yang amat besar itu." kata si dara dengan
suara bercampur sedu sedan. "Ah, sudahlah, nona. Penjahat itu memang pantas dihajar. Siapakah nona dan di
mana rumah-mu " Apakah di rumah dalam dusun dari mana engkau diculik tadi ?"
"In - kong sudah mengetahuinya
?" "Sejak tadi aku membayangi penjahat itu yang memang menjadi incaranku sejak
tadi." "In-kong, nama saya adalah Go Yan Kim, ayahku adalah kepala dusun itu bernama Go
Tek. Bolehkah saya mengetahui nama in - kong yang mulia ?"
"Namaku Souw Thian Hai. Mari kuantar eng-kau pulang, nona."
Keduanya lalu berjalan menuju ke dusun itu tanpa berkata-kata lagi. Akan tetapi
keduanya kadang - kadang saling lirik dan diam - diam Thian Hai merasa heran sendiri
mengapa hatinya begitu tertarik kepada wajah yang cantik jelita ini! Be-gitu bertemu dan bicara,
dia telah jatuh cinta ke-pada wanita ini!
Tentu saja ketika mereka mengetuk pintu dan disambut oleh Go Tek dan isterinya,
kedua orang tua itu terkejut bukan main melihat puteri mereka tahu-tahu mengetuk pintu
dari luar dite- mani seorang pemuda asing yang berpakaian sas-terawan! Lebih kaget lagi hati
mereka ketika mendengar penuturan puteri mereka bahwa ia diculik penjahat dan diselamatkan
oleh pemuda itu yang selanjutnya mereka kenal sebagai Souw Kong-cu.
Peristiwfa itu ternyata menjadi awal perjodohan antara Thian Hai dan Yan Kim.
Keduanya saling mencinta dan ketika orang tua Thian Hai meng-ajukan pinangan, tentu saja
diterima dengan gem-bira oleh keluarga kepala dusun itu. Tanpa ada halangan apapun,
berlangsunglah pernikahan an-tara Souw Thian Hai dan Go Yan Kim. Thian Hai mengajak isterinya
tinggal di rumah keluarganya yang terpencil, dan kadang-kadang mereka me-ngunjungi keluarga
Go Tek di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dusun itu. Sampai mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw
Lian Cu, kebiasaan mengunjungi dusun itu masih sering dilakukan. Kadang-kadang Souw Thian
Hai hanya pergi berdua dengan puteri-nya yang amat dicintanya, dan kadang-kadang juga
bersama isterinya. Akan tetapi karena keluarga Souw hidup dalam keadaan menjauhkan diri dari dunia
ramal, maka keluarga Go tidak pernah di-perkenankan mengunjungi lembah itu. Ketika di-
rayakan pesta pernikahanpun, keluarga Souw yang datang berkunjung dan pesta diadakan di rumah
keluarga Go. Souw Thian Hai hidup rukun dengan isterinya, saling mencinta dan dalam
suasana yang bahagia. Mereka semua sudah hampir melupakan Ma Kim Liang karena tidak ada kabar
ceritanya lagi tentang murid murtad itu. Juga di dunia kang-ouw tidak ada lagi terdengar
munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar.
Akan tetapi, sesungguhnya Ma Kim Liang tidak tinggal diam begitu saja. Hatinya
sakit bukan main karena kekalahannya terhadap bekas suheng-nya. Apa lagi ketika dia
mendengar bahwa gadis dusun yang membuatnya tergila-gila itu kabarnya menjadi isteri suhengnya
dan hidup berbahagia di lembah, hatinya dipenuhi oleh iri dan dendam. Dia menggembleng
dirinya dengan tekun sekali, teru-tama dia mempelajari ilmu - ilmu aneh dari Raja Kelelawar di
samping memperdalam ilmu - ilmu yang didapatnya dari keluarga Souw. Juga dia mempelajari
ilmu yang jahat tentang racun-racun karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi dua
ilmu simpanan keluarga Souw yang sukar di-kalahkan itu. Selama tiga tahun dia menyiksa diri
dengan tekun berlatih siang malam tak mengenal lelah sehingga setelah tiga tahun dia keluar
dari dalam guha persembunyiannya, tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya menjadi jauh lebih tua
dari pada usia yang sesungguhnya. Setelah merasa dirinya benar - benar memperoleh kemajuan yang
amat pesat, diapun berangkat untuk membalas dendam atas kekalahannya dan melampiaskan
iri hatinya terhadap Thian Hai!
Malam itu gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya di lembah tempat tinggal
keluarga Souw. Sungai kecil yang biasanya berair bening dan tidak begitu besar, kini
meluap dengan air bercampur lumpur, dan anak sungai yang biasanya mengelu-arkan bunyi berdendang
merdu, kini mengeluarkan bunyi gemuruh yang menyeramkan. Karena hawa menjadi dingin oleh
hujan, sore - sore keluarga Souw sudah tidur di kamar masing - masing. Iste-ri Souw Koan Bu
menemani menantunya, berca-kap - cakap dalam kamar mantunya karena malam itu, Go Yan Kim
hanya sendirian saja di kamarnya. Suaminya, Souw Thian Hai dan puterinya, Souw Lian Cu
yang baru berusia dua tahun, pergi keluar rumah sejak sebelum hujan. Mereka semua tahu
bahwa malam itu Souw Thian Hai berlatih ilmu silat di dekat air terjun, dan biasanya kalau
sedang berlatih, hujan atau panas tidak menjadi pengha-lang, bahkan menambah gemblengan dengan keras-
nya hawa udara. Dan sore tadi Thian Hai menga-jak anak perempuan yang amat dicintanya
itu, de-ngan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud untuk mulai melatih tubuh anak itu dengan perobahan hawa udara. Dia
mengajak pula Pouw Hong, pelayan setia itu untuk menjaga Lian Cu selagi dia berlatih di bawah
air terjun, berlatih sinkang. Malam yang gelap menyeramkan itu bertambah seram dengan munculnya bayangan hitam
yang mengintai di rumah terpencil itu. Dengan gerakan yang amat hati-hati dan
sama sekali tidak dapat terdengar oleh seorang sakti seperti Souw Koan Bu sekalipun karena suara
itu tertutup oleh suara air hujan, bayangan hitam itu menyelinap dan meng-intai ke dalam kamar
belakang. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang yang sudah mengenakan pakaian Raja
Kelelawar ! Dia harus berhati - hati. Berbahayalah menghadapi Souw Koan Bu dan Souw Thian
Hai begitu saja dan dia sudah meng-atur muslihat dan siasat yang baik untuk melum-puhkan mereka.
Kebetulan sekali hujan menolong-nya. Kalau tidak ada hujan lebat yang menimbul-kan suara
berisik ketika menimpa genteng, dia tentu akan ragu - ragu untuk melepaskan siasatnya, maklum
betapa lihainya keluarga itu. Ketika dia mengintai ke dalam kamar Souw Thian Hai yang amat dibencinya, dia
melihat seorang wanita muda cantik sedang bercakap - cakap dengan subo-nya. Jantungnya
berdebar dan mu-kanya terasa panas. Itulah gadis yang pernah di-gilainya dan yang kemudian
menjadi isteri Souw Thian Hai! Cepat dia mengeluarkan sesuatu dari bungkusannya, lalu membuat
api dan membakar sesuatu yang mengeluarkan asap tebal. Dilubang-inya jendela kamar dan
ditiupnya asap tebal itu memasuki kamar. Semua ini dapat dilakukannya dengan aman, karena
selain gemuruh air hujan menyembunyikan semua suara yang ditimbulkan-nya, juga dua
orang wanita di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dalam itu tidak me-miliki ilmu silat tinggi. Dan dengan girang dia melihat
betapa kedua orang wanita itu berkali-kali menutupkan tangan ke depan mulut, menguap dan akhirnya
keduanya tidur pulas di atas kursi dengan berbantal tangan di atas meja!
Sayang Souw Thian Hai tidak berada di kamar-nya, pikirnya. Dia tidak berani
bertindak sembro-no dan tubuhnya bergerak menyusup ke bangunan yang sudah amat dikenalnya
itu dan tak lama ke-mudian dia sudah mengintai ke kamar bekas guru-nya. Dan girangnya
bukan main melihat suhunya rebah miring dan agaknya sudah hampir tidur ka-rena
pernapasannya sudah panjang dan halus, nampak dari kembang kempisnya dada yang ber-selimut itu.
Bagus, pikirnya, suasananya ternyata amat menguntungkan dan memudahkan segalanya. Dia
mengeluarkan sebatang bambu sumpit dan tiga batang jarum halus berwarna merah. Dimasukkan-nya
jarum - jarum itu ke dalam sumpit dan disu-supkan sumpit itu melalui lubang jendela.
Setelah membidik dengan hati-hati, dia mengerahkan khi-kangnya dan sekali tiup, tiga batang jarum
itu meluncur seperti kilat cepatnya menuju ke arah sasarannya.
Betapapun lihainya Souw Koan Bu, dibokong seperti itu tentu saja dia tidak
berdaya. Andaikata tidak sedang turun hujan, mungkin saja dia dapat menangkap suara desir
angin tiga batang jarum itu. Akan tetapi kalaupun ada suara itu, kalah jauh oleh suara
rintik hujan di atas atap rumah, maka tahu-tahu pendekar sakti ini merasa nyeri pada pung-gungnya.
Sebagai seorang ahli silat yang sakti, dia segera meloncat sambil mengebutkan selimut-
nya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa betapa punggungnya nyeri sekali, gatal,
panas dan ada rasa kesemutan menjalar dari pung-gungnya, mengancam kelumpuhan tubuh! Dia sadar
akan adanya malapetaka dan segera dia ter-ingat akan isteri dan mantunya. Cepat dia
menu-bruk ke arah pintu yang tertutup.
"Brakkkkk !" Daun pintu kamarnya ambrol dan dengan beberapa kali lompatan saja dia
sudah memasuki kamar mantunya. Asap harum keras menyambutnya dan kakek ini
menggunakan kedua tangan memukulkan angin ke depan. Asap itu segera membuyar dan terdesak
keluar. Setelah asap membuyar, Souw Koan Bu melihat betapa isteri dan mantunya sudah
tertidur pulas di atas tempat duduk mereka. Ini tidak wajar, pikirnya dan dia menghampiri.
Tahulah dia bahwa mereka berdua itu telah keracunan asap tadi. Dia hendak menolong, membungkuk,
akan tetapi tiba - tiba rasa nyeri yang hebat menyerang punggungnya dan dia terhuyung.
"Ha - ha - ha - ha ! Souw Koan Bu, akhirnya engkau roboh juga di tanganku!"
Souw Koan Bu cepat membalikkan tubuhnya dan terkejutlah dia melihat orang
berpakaian hitam berjubah hitam itu. "Raja .... Raja Kelelawar !" katanya seperti mimpi,
akan tetapi segera dia mengenal wajah itu, wajah muridnya sendiri. Engkau " !"
Dia hendak menerjang, akan tetapi kembali begitu mengerahkan sinkang,
punggungnya terasa nyeri. Racun yang terkandung dalam tiga batang jarum itu sungguh hebat
bukan main, dan jarum-jarum itu sudah masuk ke dalam tubuhnya.
"Uhhh !" Dia mengeluh dan bekas muridnya itu tertawa bergelak, campur dengan
suara air hujan dan angin sehingga terdengar mengerikan, seperti suara iblis dalam
dongeng. "Ma Kim Liang, mengapa engkau memusuhiku ?" bentaknya karena dia merasa
penasaran sekali. Kalau murid murtad itu mencuri pusaka ka-rena tamak, hal itu masih dapat
dimengertinya. Akan tetapi sesungguhnya bekas murid ini tidak ada alasan untuk memusuhinya !
"Ha - ha - ha, engkau tidak tahu " Aku adalah keturunan Raja Kelelawar, ha - ha
- ha. Aku harus membasmi orang - orang yang pernah memusuhi nenek moyangku itu, dan aku
akan membangun kembali kerajaan dunia sesat di mana aku akan menjadi rajanya, ha - ha
- ha*!" Souw Koan Bu sudah mendengar dari puteranya tentang pusaka peninggalan Raja
Kelelawar yang dirampas oleh Kim Liang dengan membunuh cucu murid raja iblis itu. Kim
Liang sama sekali bukan keturunan raja iblis itu, juga bukan murid yang diangkat secara sah. Maka
sikapnya itu mem-buat dia merasa serem.
"Engkau telah gila!" bentaknya.
"Ha - ha - ha, dan engkau akan mampus !" Ma Kim Liang yang merasa yakin akan
kemenangan-nya menubruk maju. Dia sudah memperdalam ilmu - ilmunya sehingga kini
menghadapi bekas gurunyapun, dia belum mencabut pisaunya dan hanya menggunakan
pukulan sakti Kim - liong Sin-kun untuk menyerang bekas gurunya itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Huh, Kim-liong Sin-kun inipun berasal dari keluarga kami!" kata Souw Koan Bu
dan dengan mudahnya dia mengelak ke sana-sini karena dia hafal akan ilmu silat ini. Akan
tetapi ketika dia menangkis dan bertemu tenaga dengan bekas mu-ridnya, dia mengeluh dan terhuyung,
hampir ter-jatuh. Ternyata sebagian tubuhnya lumpuh oleh racun jarum-jarum itu.
"Ha-ha-ha!" Kim Liang tertawa lagi dan menyerang terus. Akan tetapi, ternyata
kakek yang sudah terluka parah dan keracunan itu masih he-bat bukan main. Biarpun sebagian
tubuhnya lum- puh, namun ilmu silatnya yang amat tinggi mem-buat dia masih dapat melawan
dengan hebatnya. Apa lagi ketika dia mengeluarkan dua ilmu Thai-kek Sin - ciang dan Thai - lek
Pek - kong - ciang, biarpun tenaga sinkangnya sudah berkurang namun kedua ilmu ini masih hebat dan
membuat Kim Liang yang belum dapat menguasai kedua ilmu itu menjadi sukar untuk
merobohkannya. "Keparat ! !" bentaknya marah dan kini dia mencabut sepasang belatinya ! Dan
pemuda ini lalu mengamuk. Kasihan sekali Souw Koan Bu yang sudah mulai lemah
itu. Gerakannya kurang cepat, tenaganya kurang kuat dan tubuhnya penuh dengan luka -
luka pisau yang menyambar ganas. Akan tetapi, kakek itu masih melawan terus dengan
hebatnya. Bahkan tiba - tiba dia mengeluarkan pe-kik melengking yang tinggi sekali, pekik yang
di-maksudkan untuk melumpuhkan lawan dan memanggil puteranya. Akan tetapi begitu mengerah-kan
khikang sekuatnya, napasnya hampir putus dan dia terjengkang. Kim Liang yang sudah marah
itu menubruk dan sebuah tendangan mengenai pe-rutnya.
"Bukk!" Kim Liang terjengkang akan tetapi tidak terluka karena jubahnya
melindunginya. Dia marah sekali dan dua batang pisaunya disambitkan dari jarak dekat.
"Crott! Crottt!!" Souw Koan Bu hanya sempat mengeluarkan gerengan sekali karena
dua batang pisau itu telah menembus jantung dan paru-paru-nya. Dia tewas dalam
keadaan menyedihkan sekali. Biarpun tendangan tadi tidak melukainya, akan tetapi membuat isi perutnya
terguncang dan kema-rahan Ma Kim Liang memuncak. Dia mencabut kedua pisaunya lalu mengamuk,
menusuki tubuh Souw Koan Bu sampai ludas. Darah berhamburan ke mana - mana dari tubuh
yang sudah tidak mam-pu berkutik itu. Sebentar saja, tubuh pendekar itu sudah hancur dan
hanya tinggal kepalanya saja yang utuh.
Ma Kim Liang seperti gila. Dia tertawa-tawa, lalu menghampiri nyonya Souw Koan
Bu. Dengan kejam, sambil menyeringai sadis, kedua pisaunya digerakkan dan leher
nyonya itu terpenggal! Da-rah menyembur - nyembur dan kini tubuh nyonya itupun menjadi
korban keganasan iblis ini. Yang terakhir kali, Ma Kim Liang mengham-piri tubuh Yan Kim yang masih pulas di
atas tem- pat duduknya. Sekali tendang, tubuh itu terpelan-ting dan roboh ke atas lantai
yang penuh darah, terlentang. Pisau - pisau itu bekerja dan dalam waktu sekejap saja semua pakaian
wanita cantik itu terlepas, membuatnya rebah terlentang dengan telanjang bulat dalam keadaan
masih pulas. "Ha - ha - ha, engkau tidak mau menjadi keka-sihku dan menjadi isteri Souw Thian
Hai " Haha - ha, perempuan tolol, sekarangpun aku tidak sudi kepadamu!" Dan kedua
batang pisau itupun menyambar-nyambar ganas. Kembali darah mun-crat- muncrat ketika menyayat
- nyayat dada dan perut. Wanita itu tewas tanpa sempat bergerak atau mengeluh lagi karena
masih terbius oleh ra-cun asap. Sementara itu, tanpa menduga sedikitpun akan malapetaka hebat yang menimpa
keluarganya, Souw Thian Hai sedang melatih sinkang di bawah air terjun.
Puterinya, Souw Lian Cu, sudah tidur pulas di dalam guha di belakang air terjun, dijaga dan ditunggui
oleh Pouw Hong, pelayan keluarga Souw yang setia itu. Tiba-tiba Thian Hai men-dengar suara
melengking tinggi memecah kehe-ningan malam. Dia terkejut dan mengenal suara khikang ayahnya.
Sungguh aneh sekali kalau ayah nya mengeluarkan suara melengking itu di malam buta! Pasti ada
sesuatu, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa khawatir, tidak menyangka buruk karena
dia percaya penuh kepada ayahnya yang sakti. Siapa yang akan berani mengganggu kelu-arganya "
Biarpun demikian, dia lalu memesan kepada Pouw Hong untuk menanti di situ sambil menjaga
Lian Cu karena dia hendak pulang sebentar untuk melihat apa yang terjadi.
Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah tiba di rumah
keluarganya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lampu penerangan masih bernyala dan diapun cepat menuju ke kamarnya dan
terkejutlah hatinya melihat dari luar betapa pintu kamarnya telah je-bol. Dengan jantung
berdebar dia lalu meloncat ke dalam kamar. Lilin masih bernyala di dalam kamar itu, bahkan tidak
seperti biasanya, ada lima batang lilin bernyala di atas meja sehingga kamar itu menjadi terang
sekali. "Aaiiihhhh !" Tak terasa Thian Hai menjerit ketika matanya terbelalak memandang ke
dalam kamar. Mukanya seketika menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak liar
seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pemandangan di dalam kamar itu akan dapat
meremas hati orang yang bagaimana tabah pun juga. Tubuh Souw Koan Bu hancur seperti cacahan
daging, hanya kepalanya saja yang dibiarkan utuh sehingga dapat dikenal bahwa mayat yang
dicincang itu adalah mayat pendekar sakti ini. Dan tak jauh dari situ menggeletak tubuh ibunya
yang berada di genangan darah yang masih mengucur di lantai, keluar dari lehernya yang putus!
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, matanya menatap tubuh isterinya. Telanjang bulat dan bagian depan tubuh itu
disayat-sayat! "Houkkk !" Thian Hai hampir muntah dan diapun menubruk ke depan, berlutut dan
be-ngong seperti patung. Terlalu hebat pemandangan itu, membuat dia hampir
pingsan dan kehilangan kesadaran. Terlalu hebat pukulan dan guncangan batin yang diterima
pendekar ini sehingga dia tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada suara lagi keluar dari
kerongkongannya, dan dia diam saja tak bergerak seperti telah kehilangan semangatnya. Kedukaan itu
terlampau besar, kekagetan itu ter-lampau tiba-tiba.
Dalam keadaan setengah pingsan dan kehilang-an kesadaran itu tentu saja Thian
Hai menjadi le-ngah, tidak tahu bahwa ada sesosok tubuh menye-linap masuk dengan
gerakan yang amat ringan. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang. Pemuda yang menaruh
dendam ini memang sengaja memasang banyak lilin agar kamar itu menjadi te-rang dan dia
menyelinap bersembunyi mengintai ketika Thian Hai memasuki kamar. Ketika dia me-lihat musuh
besarnya itu berlutut di dekat mayat-mayat itu dan tak bergerak seperti kehilangan se-mangat,
diapun secepat kilat menyerang dengan Ilmu Sam-ci Tiam-hwe-louw, yaitu totokan meng-gunakan
tiga jari tangan yang amat kuat, satu di antara ilmu - ilmu simpanan keluarga Souw ! De-ngan tiga
jari tangannya, Kim Liang menotok ke arah ubun-ubun kepala Thian Hai yang sedang berlutut.
Serangan ini hebat sekali dan kalau me-ngenai sasaran di ubun - ubun tentu akan menda-tangkan maut,
betapapun lihainya orang yang ter-kena serangan ini.
Thian Hai adalah satu-satunya keturunan keluarga Souw yang telah mewarisi semua
ilmu keluarga ini. Ilmu silatnya yang amat tinggi sudah mendarah daging di dalam
tubuhnya, sehingga dia seperti memperkuat atau mempertajam indera ke enam yang tidak digerakkan
lagi oleh pikiran, melainkan bergerak secara otomatis setiap kali tubuhnya diancam bahaya.
Demikian pula, pada saat itu, secara tiba - tiba indera ke enam itu bekerja dan tubuh Thian Hai
secara otomatis pun mengelak. Akan tetapi, sekali ini yang menyerangnya adalah seorang lawan
yang amat lihai sehingga elakannya itu tidak berhasil sepenuhnya. Totokan Sam- ci Tiam-hwe-louw
yang menggunakan tiga jari tangan itu, yang tadinya menyambar ke arah ubun - ubun,
ketika dielakkan masih saja mengenai pelipis Thian Hai.
"Tukk ! !" Tubuh Thian Hai terjengkang dan dari mata, mulut, telinga dan hidungnya mengalir
darah se-gar! Melihat ini, Kim Liang tertawa bergelak, me-rasa yakin akan keberhasilan
serangannya walau-pun hanya mengenai pelipis dan bukan ubun-ubun yang dijadikan sasaran.
Akan tetapi, tiba - tiba dia harus menghentikan tawanya karena Thian Hai sudah melompat dan
menerjangnya dengan dah-syat bukan main! Kim Liang hampir tidak percaya. Totokan tiga jari
tangannya tadi tepat mengenai pelipis! Orang lain tentu akan tewas seketika dan biarpun karena
kekebalan dan kelihaiannya bekas suhengnya ini tidak sampai tewas, tentu menderita luka yang
hebat. Akan tetapi bagaimana mungkin Thian Hai bahkan masih dapat menyerangnya se-demikian
dahsyat " Dia tidak memperoleh banyak waktu untuk memikirkan teka-teki ini karena bekas
suhengnya itu menyerang dengan hebat sekali. Terpaksa Kim Liang mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melawan.
Thian Hai mengamuk. Agaknya totokan itu telah mempengaruhinya, membuatnya
kehilangan kesadaran dan kerongkongannya mengeluarkan su-ara menggereng - gereng
seperti binatang buas dan sepak terjangnya amat hebat. Beberapa kali Kim Liang terkena
hantaman dan tendangannya dan kalau bukan Kim Liang, tentu telah roboh. Kim Liang merasa
gentar bukan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
main. Biarpun bekas suhengnya ini sudah terluka hebat, akan tetapi dapat
mengamuk sedemikian dahsyatnya. Ngeri dia memikirkan kalau harus melawan bekas suhengnya ini dalam
keadaan sehat. Akhirnya, dia temaksa melarikan diri membawa beberapa luka pukulan
setelah mencoba untuk melawan selama seratus jurus lebih. Bekas suhengnya itu masih terlampau
kuat baginya! Souw Thian Hai menderita hebat akibat totokan Sam - ci Tiam - hwe - louw itu.
Dia kehilangan kesadarannya, kehilangan ingatannya dan seperti berobah menjadi gila.
Biarpun lawannya sudah melarikan diri, dia tetap mengamuk seperti orang gila. Rumah itu
dihancurkan, dirobohkan lalu di-bakar ! Tentu saja jenazah ayah bundanya dan isterinya habis
terbakar pula, menjadi satu dengan puing rumah yang dibakarnya. Sambil membakar rumah, Thian
Hai berloncatan ke sana - sini sambil kadang - kadang tertawa kadang - kadang mena-
ngis. Kemudian diapun meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia berlari
terus siang malam tiada hentinya sampai akhirnya bebe-rapa hari kemudian dia roboh pingsan di
sebuah padang rumput, di mana terdapat banyak domba. Dia ditolong oleh para penggembala domba
dan setelah siuman diapun jatuh sakit hebat. Akan te-tapi, jasmaninya yang terlatih baik itu
dapat meng-atasi derita karena luka pukulan dan tubuhnya sembuh. Akan tetapi ingatannya lenyap
dan dia sudah lupa segala - galanya tentang dirinya.
Dia tidak tahu lagi siapa dirinya dan siapa atau di mana keluarganya. Sementara
itu, Pouw Hong yang menjaga Souw Lian Cu, akhirnya mengetahui akan malapetaka yang menimpa
keluarga majikan-nya. Diapun melarikan Lian Cu dan karena dia ketakutan kalau-kalau para
musuh keluarga itu akan mencarinya, dia lalu membawa Lian. Cu ke-pada adik
perempuannya yang sudah menikah de-ngan seorang she Gan yang hidup di tepi rawa itu. Dan anak perempuan
itupun lalu berganti nama menjadi Gan Cui Hiang!
Demikianlah riwayat Souw Thian Hai yang ke-mudian hanya mengingat namanya
sebagai A - hai, yaitu nama kecil yang biasa dipakai ayah bundanya untuk memanggilnya. Seng
Kun dan Bwee Hong mendengarkan cerita A - hai atau Souw Thian Hai itu dengan hati tertarik,
dan keharuan besar me-nyelinap di dalam hati Bwee Hong mendengar be-tapa buruk nasib keluarga
pria yang dicintanya itu. Diam - diam iapun berjanji dalam hatinya bahwa kalau sudah tiba
saatnya, ia akan memenuhi sisa hidup pria itu dengan cintanya agar Thian Hai mengalami
kebahagiaan. *** Demikianlah, setelah Thian Hai menuturkan riwayatnya, dia lalu pergi menjemput
puterinya di rumah kepala dusun Go Tek. Pertemuan itu amat mengharukan. Begitu bertemu
dengan Go Tek yang menggandeng tangan Cui Hiang, Thian Hai menubruk dan merangkul anak
perempuan itu, menciuminya dan berkata, "Anakku... , anakku..., engkau anakku ! Lian Cu,
engkau Lian Cu... !" Tentu saja Cui Hiang, anak perempuan yang buntung sebelah lengannya itu, menjadi
kaget, bingung dan juga ketakutan. "Paman...... paman, ada apakah ini......?" katanya
heran. Juga kepala dusun Go Tek terkejut mendengar bahwa anak perempuan yang memang
memiliki ciri - ciri khas keluarga di ubun - ubun dan pung-gungnya itu ternyata
adalah cucunya yang hilang! Setelah Cui Hiang atau Lian Cu itu mendengar cerita tentang
keluarga ayahnya, iapun menangis dalam rangkulan ayahnya dan malam itu keluarga Go Tek berada dalam
suasana penuh keharuan dan juga kegembiraan karena keluarga itu dapat ber-satu kembali.
Pada keesokan harinya, Thian Hai kembali ke kota raja. Dia menemui Seng Kun,
Bwee Hong, Pek Lian dan semua orang yang pernah dikenalnya untuk minta diri, kemudian
diapun mengajak Lian Cu pergi meninggalkan kota raja untuk melakukan pengejaran terhadap Raja
Kelelawar yang berhasil meloloskan diri, karena dia bersumpah di dalam hatinya untuk mencari
dan membunuh bekas sute-nya itu! Thian Hai dan Lian Cu melakukan perjalanan ke arah selatan. Di sepanjang
perjalanan, ayah dan anak ini saling melepas rindu hati mereka. Mereka berdua itu kini merasa
benar bahwa mereka hanya saling memiliki di dunia ini, tidak ada orang lain. Setidaknya,
demikianlah yang terasa oleh Lian Cu karena di sudut hati Thian Hai terdapat bayangan wajah Bwee
Hong! Karena dia dapat menduga bahwa bekas sute-nya, Ma Kim Liang kini telah berobah
menjadi Raja Kelelawar dan menjadi raja di antara penja-hat, dia lalu mendatangi tempat
- tempat yang terkenal menjadi sarang dunia hitam. Dia pikir ten-tu akan lebih mudah mencari
jejak Raja Kelelawar melalui lembah hitam dunia kaum sesat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pada suatu hari, ketika memasuki sebuah hutan, dari jauh saja Thian Hai sudah
dapat menangkap suara hiruk - pikuk orang - orang berkelahi. Cepat dia memberi isyarat
kepada Lian Cu untuk berha-ti-hati. Pada waktu itu, Lian Cu sudah berusia kurang lebih duabelas
tahun, dan anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang secara kilat diajarkan ayahnya
kepadanya. Bahkan selagi ayah-nya masih menjadi "A-hai" ia sudah menerima gemblengan ilmu itu. Ia
dapat menerimanya de-ngan amat mudah karena memang sejak bayi ia sudah "dioperasi"
sesuai dengan aturan keluarga Souw yang sakti. Dan orang- orang akan merasa heran melihat
betapa pria semuda Thian Hai dapat mempunyai seorang anak perempuan yang su-dah berusia
duabelas tahun. Akan tetapi, yang mengenal sejak dahulu tidak akan merasa heran karena
tahu bahwa Thian Hai kini telah berusia tigapuluh satu atau dua tahun ! Kalau dia masih
nampak muda, hal itu adalah karena racun totokan Sam - ci Tiam - hwe - louw itulah ! Selain menda-
tangkan luka parah dan membuat ingatannya hi-lang, juga racun totokan itu membuat dia seperti tidak
menjadi semakin tua ! Kini Thian Hai menyusup - nyusup di antara batang-batang pohon bersama
puterinya. Lian Cu juga bersikap waspada dan hati - hati, dan jantungnya berdebar tegang.
Inilah pengalaman pertama sejak ia melakukan perjalanan bersama ayah kandungnya.
Setelah tiba di tempat pertem-puran, mereka menyelinap dan bersembunyi sam-bil mengintai dari
balik semak belukar. Ternyata yang sedang berkelahi itu adalah dua kelompok penjahat kasar
yang sedang memperebutkan harta ! Melihat pakaian mereka dan cara mereka berkela-hi, Thian
Hai mengerti bahwa mereka itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi ke-royokan.
Karena dia ingin sekali tahu mengapa mereka berkelahi dan siapakah mereka, dia
mempergunakan kepandaiannya. Dengan gerakan cepat dia meloncat dari tempat sembunyinya,
menceng-keram leher baju seorang di antara mereka yang sudah terluka dan menyeretnya ke balik
semak-se-mak. Tidak ada yang melihat perbuatan pendekar ini karena semua orang sedang sibuk
berkelahi. Setelah dipaksa dengan ancaman, orang itupun mengaku dan dengan suara terputus -
putus dia bercerita. Ternyata duapulub orang lebih itu ada-lah bekas pasukan pengawal
dari istana, anak buah Perdana Menteri Li Su. Ketika kota raja terancam oleh barisan pemberontak,
Perdana Menteri Li Su siang-siang sudah mempersiapkan pengungsian keluarga dan harta bendanya.
Perdana Menteri Li Su adalah seorang pembesar yang korup. Harta bendanya banyak sekali
dan untuk menyelamatkan harta benda dan keluarganya, dia menyuruh sepa-sukan pengawal
mengantar keluarganya ke luar kota raja, kembali ke kampung halaman. Dia me-ngatakan agar
pasukan itu berangkat dulu dan dia akan menyusul kemudian.
Akhirnya pasukan itu berhasil mengawal ke-luarga dan harta benda itu sampai di
pantai timur, di mana direncanakan untuk menanti kedatangan perdana menteri itu. Akan
tetapi, pembesar itu tak kunjung datang, bahkan para pengawal lalu men-dengar bahwa
pembesar itu
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terbunuh oleh barisan pemberontak. Mendengar berita ini, para pengawal
menjadi gelisah. Dan karena di situ ter-dapat banyak wanita cantik dan harta benda yang banyak,
tak dapat dicegah lagi terjadilah pembe-rontak dan perebutan. Terjadilah perkelahian di
antara para pengawal itu sendiri. Pihak peme-nang lalu mencari harta karun. Akan tetapi,
mereka tidak menemukan harta karum kecuali perhi-asan - perhiasan yang dipakai oleh para
wanita dan anak - anak. Marahlah mereka. Semua perhiasan itu dirampas, para wanita yang cantik dan
muda mereka permainkan dan perkosa, selebihnya, yang tua dan kanak-kanak dibunuh.
Pembantaian be-sar - besaran ini terjadi di tepi laut dan akhirnya, mereka yang tadinya
diperkosapun dibunuh semua. Mayat - mayat mereka, berikut tandu - tandu yang tadinya dipakai
mengangkut mereka, dibuang ke lautan. "Hemm, kalian sungguh orang - orang kejam !" Thian Hai memotong cerita orang
itu. Orang itu terengah - engah karena lukanya memang berat. "Kami melarikan
perhiasan - perhiasan itu, akan tetapi sesampainya di hutan ini, kembali terjadi keretakan
dan perebutan antara pemimpin-pemimpin kami sehingga terjadi perkelahian ini ..." Orang itu
tidak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah roboh pingsan karena kehabisan darah yang
bercucuran keluar dari lukanya. Akhirnya perkelahian itupun berhenti setelah pihak yang kalah habis dibunuh.
Pihak yang me-nang tinggal belasan orang lagi, dipimpin oleh se-orang bekas perwira. Karena
kelelahan, kepala penjahat ini lalu menduduki sebuah tandu, satu-satunya tandu yang masih
ada karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang lain semua dibuang ke laut, dan memerintahkan anak buahnya untuk memikulnya
secara bergilir. Thian Hai mengajak puterinya untuk memba-yangi mereka. Siapa tahu, para penjahat
bekas pengawal istana ini akhirnya akan membawanya kepada musuh besarnya! Dan para
penjahat yang masih berpakaian seperti pasukan itupun dapat melakukan perjalanan dengjan aman
karena seperti biasa, rakyat sudah menyingkir ketakutan melihat pasukan serdadu ini.
Pada sore hari itu mereka ti-ba di tepi sungai dan tiba - tiba saja nampak be-lasan orang
berloncatan keluar dari balik semaksemak dan pohon-pohon besar. Mereka itu jelas perampok - perampok
dengan pakaian mereka yang tidak karuan dan senjata mereka yang bermacam-macam. Dan
tanpa banyak cakap lagi, belasan orang perampok yang muncul itu lalu menyerang.
Terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi bekas pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian
ber-kelahi yang lumayan sehingga kelompok perampok kewalahan menghadapi mereka. Para pengawal
ini mahir mempergunakan gendewa dan anak panah, juga pandai berkelahi dengan golok dan
perisai. Thian Hai dan putcrinya hanya mengintai, tidak mau mencampuri urusan orang - orang
yang saling berebut harta itu. Diam-diam Thian Hai melihat betapa gilanya manusia.
Memperebutkan harta benda seperti itu, sampai bunuh - bunuhan !
Akan tetapi, ketika para perampok itu mulai terdesak, tiba - tiba muncullah
seorang gendut pendek yang membawa senjata ruyung atau alu pendek. Begitu muncul, orang ini
menggunakan alunya untuk mengamuk dan para perajurit itu tidak ada yang mampu melawannya,
seorang demi seorangpun roboh! Melihat orang gendut pendek ini, Thian Hai menahan seruannya.
Dia mengenal orang itu. Sin - go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, ke-pala bajak sungai yang perkasa
itu. Dan hatinya merasa girang, harapannya muncul karena datuk sesat ini merupakan seorang di
antara para pem- bantu Raja Kelelawar! Akan tetapi, dia tidak mungkin muncul begitu saja. Kalau
melihat dia, tentu Buaya Sakti itu akan mengerahkan anak bu-ahnya untuk mengeroyok dan akan
sukarlah bagi-nya untuk mengikuti jejak musuh besarnya. Dia harus mencari dan menggunakan
akal yang cerdik, agar dia dapat mengikuti orang - orang ini ke sa-rang mereka tanpa
mereka curigai. ***Setelah Thian Hai meninggalkan kota raja, su-asana di kota raja semakin
tenang karena Liu Pang yang kini telah menjadi Kaisar Han Kao Cu mulai mengatur pemerintahan
dengan bijaksana, dibantu oleh para pendekar yang kini memperoleh kedu-dukan tinggi sesuai dengan
jasa dan kepandaian masing - masing.
Setelah suasana menjadi tenang, Chu Seng Kun berpamit kepada ayahnya yang kini
telah meme-gang jabatannya kembali sebagai ketua kuil di lingkungan istana, untuk
pergi mengunjungi kelu-arga Kwa, ketua Tai - bong - pai yang telah me-ninggalkan undangan
kepadanya itu. Bu Hong Seng-jin, ayah pemuda itu, sebetul-nya merasa berat juga melepas kedua
orang anak-nya, karena Bwee Hong tidak mau ditinggalkan kakaknya, pergi mengunjungi
keluarga yang diang-gapnya sebagai orang - orang sesat itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa
selama dalam kekacauan, kedua orang anaknya itu telah menjalin tali persahabatan dengan
banyak orang, dan sedikit banyak, keluarga Tai-bong-pai itu telah berjasa bagi pemerintah yang
baru. Selain itu, juga menurut cerita anak - anaknya, puteri ketua Tai-bong- pai sudah beberapa kali
menolong dan menyelamatkan mereka. Maka, terpaksa kakek ini membiarkan kedua orang anaknya
pergi. Setelah kakak beradik yang menjadi sahabat paling dekat itu pergi, Ho Pek Lian
merasa betapa hidupnya sunyi. Dia merasa kesepian sekali. Pertama-tama dara ini
mengalami pukulan batin ke-tika mendapat kenyataan bahwa A-hai pemuda yang mula - mula
ditemukannya itu ternyata adalah seorang pendekar bernama Souw Thian Hai yang selain sakti, juga
sudah mempunyai keluarga, punya isteri dan anak. Lebih dani pada itu, iapun dapat
merasakan dari sikap sahabatnya, Chu Bwee Hong, bahwa antara Bwee Hong dan Thian Hai terdapat
perasaan saling mencinta. Kemudian, lepasnya A-hai atau Thian Hai dari hatinya, ia
condong kembali kepada gurunya yang kini telah menjadi kaisar. Akan tetapi, dengan hati duka ia
harus dapat melihat kenyataan bahwa tidaklah mungkin ia berdekatan lagi dengan pria yang se-
lama ini amat dikaguminya dan diam-diam juga mendapatkan tempat penting di dalam lubuk hati-
nya. Liu Pang telah menjadi kaisar. Selain kaisar, juga pria ini adalah gurunya. Mana mungkin
baginya untuk mendekatinya terus "
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kedukaan ini ditambah lagi melihat para pem-besar jujur yang dahulu menjadi
sahabat- sahabat dan teman seperjuangan ayahnya, kini memperoleh kedudukan layak kembali
dan hidup bahagia de-ngan keluarga mereka. Hal ini membuat ia teringat akan keluarganya
sendui yang sudah berantakan. Dan iapun terdorong oleh hasrat yang amat kuat untuk pergi
mengunjungi makam ayahnya. Ketika ia hendak menghadap gurunya untuk bermohon diri, ia mendengar bahwa
kaisar yang baru itu sedang sibuk memimpin sendiri pasukan istimewa untuk mengadakan
pembersihan di dae-rah kota raja! Memang tindakan kaisar baru ini bijaksana sekali. Dia
tidak mau enak-enakan saja setelah menduduki singgasana, melainkan bekerja memberi contoh kepada para
pembantunya, meng-adakan pembersihan dan turun tangan sendiri agar suasana
menjadi benar- benar aman dan rakyat darat hidup tenang setelah menderita kekacauan selama
bertahun-tahun karena perang saudara itu. Terpaksa Pek Lian, lalu menyusul ke tempat pa-sukan
gurunya itu beroperasi dan di luar kota raja, akhirnya dara ini dapat bertemu dengan gurunya
atau Kaisar Han Kao Cu yang sedang beristirahat dan duduk di bawah pohon besar, berlindung dari
terik panas matahari yang membuat tubuhnya amat gerah dalam pakaian perang kebesaran yang
megah itu. Pek Lian lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
Melihat dara ini, sang kaisar tersenyum. "Ah, kiranya engkau yang mohon menghadapku dalam saat dan
di tempat seperti ini, nona Ho ?"
Pek Lian merasa terharu dan semakin kagum. Biarpun sudah menjadi kaisar,
ternyata gurunya ini masih bersikap biasa kepadanya, menyebutnya "nona Ho" dan bersikap
sederhana seperti gurunya yang biasa. Akan tetapi ia sendiri tidak mungkin berani bersikap
seperti terhadap Liu Pang ketika masih melakukan perjalanan bersamanya untuk melakukan
penyelidikan. Pria gagah perkasa di depannya ini adalah kaisar! Maka iapun berlutut memberi hormat
tanpa berani mengangkat mukanya. "Sri baginda, harap paduka sudi memaafkan hamba yang berani datang mengganggu
dan menghadap tanpa dipanggil. Hamba menghadap untuk mohon perkenan paduka untuk
pergi mengunjungi makam ayah hamba."
Di dalam suara dara itu terkandung kedukaan hatinya dan hal ini agaknya terasa
oleh kaisar. Dia memandang murid itu dengan kerut di antara ke-ningnya dan diulurkannya
tangan kanannya untuk menyentuh kepala dara perkasa itu. Sejenak di-elusnya rambut kepala itu
penuh keharuan dan kemesraan hatinya, akan tetapi perlahan-lahan ditariknya kembali tangannya.
"Nona Ho, setelah engkau mengerahkan segala-galanya, juga sudah berkorban
keluarga, demi per-juangan, mengapa engkau tidak mau menikmati hasilnya " Engkau tidak mau
menerima jabatan, dan bekas istana keluarga ayahmu telah kuberikan kepadamu. Akan tetapi
engkau tidak mau beristi-rahat di rumah, melainkan hendak pergi lagi. Ingat, sehabis perang,
keadaan di luar masih kacau dan orang-orangku belum sempat mengamankan se-luruh daerah."
"Sri baginda, hamba merasa kesepian setelah semua sahabat pergi dan
dan hamba ingin bersembahyang di depan makam ayah
" Kaisar itu menarik napas panjang dan memandang dengan terharu. "Nona, sejak
berjuang, engkau selalu berada di sampingku, seperti murid atau anak sendiri
, aku menyesal sekali bahwa sekarang, sebagai kaisar, tidak mungkin aku
, kita , ah, menjadi orang besar sama
seperti duduk di tempat paling tinggi, nam-pak dari manapun dan dijadikan sari
tauladan, disorot oleh semua rakyat. Maka, terpaksa harus berhati-hati dan tidak mungkin dapat
berbuat sekehendak hati sendiri. Baiklah, engkau berang-katlah, akan tetapi harus
berhati - hati dan seba- iknya kalau menyamar sebagai seorang pria."
Hati Pek Lian terharu mendengar ucapan gurunya itu. Ia maklum apa yang
dimaksudkan oleh kaisar, bahwa kaisar sebenarnya juga ingin selalu berdampingan dengannya,
akan tetapi sebagai kai-sar, akan menjadi celaan orang kalau berdekatan dengan seorang gadis
yang dikenal sebagai mu-ridnya. Terdapat jurang pemisah di antara mereka, jurang yang berupa
kedudukan pemimpin itu. Ba gaimanapun juga, seorang murid sama dengan anak, kalau seorang
guru menikah dengan murid-nya, sama saja dengan seorang ayah menikahi anaknya. Hal
ini masih tidak begitu mengheboh-kan kalau terjadi di antara rakyat biasa, akan te-tapi
kaisar " Tentu akan merupakan aib ! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah memberi hormat dan sejenak bertemu pandang yang menembus sampai ke
jantung, Pek Lian lalu mengundurkan diri dan berkemas. Ia menyamar sebagai seorang pria
muda yang tampan dan berangkatlah dara ini sendirian meninggalkan kota raja.
Di sepanjang perjalanan Pek Lian melihat be-kas-bekas perang dan diam-diam ia
mengeluh dan merasa bersedih atas nasib rakyat jelata. Ke-tika ia sendiri sedang
berjuang, seluruh perhatian-nya tertuju kepada perjuangan sehingga dia meli-hat semua penderitaan
rakyat akibat perang itu sebagai korban perjuangan yang suci. Pengorbanan yang diderita rakyat
itu dianggap sebagai bahan bakar perjuangan, sebagai penambah semangat dan perjuangan itupim
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan oleh para pendekar demi kemakmuran rakyat jelata, demi membebas-kan rakyat dari
tindasan si angkara murka. Akan tetapi sekarang, setelah perang selesai dan para pejuang berhasil
memperoleh kemenangan, gurunya menjadi kaisar dan para pembantu guru-nya masing-masing
memperoleh kedudukan, harta benda dan kemuliaan, baru ia melihat betapa rak-yat jelata yang
tadinya menjadi kocar-kacir hidup-nya dilanda perang, kini masih juga belum terbe-bas
dari pada kesengsaraan ! Bahkan sebaliknya, kemalangan lain menimpa rakyat jelata karena
perang telah membuat daerah - daerah pedalaman menjadi daerah tak bertuan. Pergantian
pemerintah menimbulkan perebutan kekuasaan di daerah-dae-rah, dan karena belum ada
ketentuan siapa yang akan menjadi kepala, di suatu daerah, maka daerah itu seolah - olah menjadi
medan perang perebutan kekuasaan, menjadi daerah kosong sehingga kaum penjahat merajalela
seenaknya tanpa ada pihak pemerintah yang ditakutinya. Rakyat hidup dalam kegelisahan
tanpa pelindung karena pemerintah yang baru belum sempat mengirimkan pembesar untuk daerah-
daerah itu. Ada pembesar lama yang masih mempertahankan kedudukannya dan menjadi semacam raja
kecil. Kalau tidak demikian, tentu kepala penjahat yang menggantikannya men-jadi
semacam pejabat sementara yang sewenang-wenang.
Sepanjang sejarah, di bagian manapun juga di dunia ini, perang merupakan semacam
wabah yang paling keji dan terkutuk bagi manusia. Di dalam perang, manusia bukan
saja terserang dan teran-cam jasmaninya, akan tetapi juga terancam roha-ninya. Perang
membuat manusia menjadi keras, kejam, mementingkan diri sendiri, haus akan keku-asaan.
Perang adalah perebutan kekuasaan antara orang - orang; golongan atas, perebutan yang dila-
kukan di atas tumpukan mayat rakyat jelata. Ba-gaikan dalang atau suteradara, golongan atas
ini bersembunyi di belakang layar, membiarkan rak-yat yang berkiprah di dalam perang dengan pe-
ngorbanan harta dan nyawa. Kalau kemenangan tercapai, orang - orang golongan atas itulah
yang akan membagi - bagi rejeki di antara mereka sen-diri, lupa sudah akan segala
pengorbanan yang di- lakukan rakyat demi kemenangan perjuangan mereka. Kalau kekalahan diderita,
orang - orang go- longan atas itulah yang akan bersicepat lari meng-ungsi sambil menyelamatkan
keluarga dan harta mereka. Tentu ada kecualinya, ada orang - orang yang berjiwa pemimpin dan
pahlawan sejati, akan tetapi yang begini ini hanya ada beberapa gelintir" Sebagian besar adalah
dalang - dalang curang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mempergu-nakan rakyat untuk
mencapai cita- cita pribadinya. Tidaklah mengherankan apa bila Pek Lian me-rasa berduka dan menyesal sekali
ketika ia me-nyaksikan kesengsaraan rakyat di daerah-daerah dalam perjalanannya itu. Pek
Lian adalah seorang pendekar sejati, seorang yang berjiwa patriot tan-pa ambisi pribadi. Ia
menuruni watak ayahnya, Menteri Ho yang terkenal sebagai seorang menteri yang jujur.
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** Kan. Kejahatan merajalela dan pen-duduk hidup dalam keadaan yang tidak tenang,
selalu diburu ketakutan. Ketika Pek Lian memasuki kota itu, hari sudah hampir senja dan
selagi ia berkeliling mencari sebuah rumah penginapan, ti-ba - tiba ia mendengar suara
teriakan - teriakan. Lalu nampak belasan orang berlari-larian keluar dari sebuah rumah yang dirias,
beberapa orang di antara mereka yang lari itu memikul sebuah tandu dan ada pula yang memondong
seorang pemuda yang berpakaian pengantin.
"Tolong ., toloonggg , ! Kedua pengantin., diculik
!" Teriak seorang laki - laki tua
yang berlari keluar dari rumah itu sambil melaku-kan pengejaran. Sebuah
tendangan dari seorang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang bertubuh tinggi besar membuat orang tua itu terpelanting. Para tamu juga
berlari keluar akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani melakukan
pengejaran. Melihat ini, sejenak Pek Lian berdiri bengong. Ia tidak akan merasa heran
mendengar seorang gadis atau seorang pengantin puteri diculik penja-hat. Akan tetapi
sepasang pengantin yang diculik" Sungguh luar biasa dan tentu ada apa - apanya di balik peristiwa
aneh ini. Maka, iapun cepat mempergunakan kepandaiannya untuk melakukan pe-ngejaran. Setelah
rombongan penculik itu tiba di luar kota, di tepi sebuah hutan, tiba - tiba mereka
terkejut melihat munculnya
seorang pemuda tam-pan yang berdiri bertolak pinggang menghadang jalan.
"Penculik - penculik hina ! Hayo bebaskan se-pasang pengantin itu kalau kalian
ingin selamat!" Pek Lian membentak dengan marah. Kemarahan Pek Lian bukan hanya
melihat orang - orang kasar ini melakukan kejahatan, akan tetapi juga karena tidak melihat
adanya petugas - petugas keamanan yang mencegah kejahatan itu, bahkan tidak ada pula yang
melakukan pengejaran. Pemimpin gerombolan itu adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang
memegang sebatang toya. Melihat seorang pemuda yang keli-hatan begitu muda dan
tampan berani menghadang dan menantang, dia menjadi marah, akan tetapi juga merasa geli
hatinya. Pemuda ini seperti seekor harimau kecil yang baru mulai berani berlagak,
pikirnya. Akan tetapi pemuda itu masih amat muda dan amat tampan, jauh lebih tampan dari pada
pengantin pria yang mereka culik. Kalau dia dapat menangkap pemuda ini dan menghadapkannya kepada
pemimpinnya, tentu dia akan menerima ganjaran.
"Tangkap anak ayam ini!" perintahnya dan belasan orang itu maju mengepung Pek
Lian sam-bil tertawa - tawa mengejek. Mereka semua mengi-ra akan dengan amat mudahnya
menangkap pemuda ini. "Ha-ha-ha, bocah ingusan, engkau sudah be-rani berlagak !" kata seorang di
antara mereka sambil menubruk ke depan. Akan tetapi, secepat kilat Pek Lian melompat ke kiri
dan kaki kanannya bergerak menendang, cepat dan kuat.
"Dukk ! Heppp !" Orang yang kena tendang itu terjengkang, memegangi ulu hati
yang kena tendang dan megap-megap seperti ikan di darat karena pernapasannya
menjadi sesak oleh tendangan itu. Melihat ini, teman - temannya menjadi marah dan empat orang menubruk ke depan.
Kembali mereka kecelik karena mereka hanya menubruk tempat kosong dan sebelum
mereka sempat me-nyingkir, Pek Lian telah menghujankan pukulan dan tendangan yang
membuat mereka terpelanting dan mengaduh - aduh.
Kini marahlah si kepala gerombolan, juga ma-tanya terbuka melihat kenyataan
bahwa pemuda ingusan itu sesungguhnya bukan orang sembarang-an, bukan mangsa lunak
melainkan lawan yang berbahaya ! Maka diapun menggerakkan toyanya dan membentak, "Bunuh
setan, ini !" Teman-temannya juga sudah marah dan mereka mempergunakan segala macam senjata
yang ada pada mereka untuk maju mengeroyok, dan melihat ini, Pek Lian cepat
mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik baju luarnya. Nam-pak sinar berkilat dan
berturut - turut dua orang anggauta gerombolan menjerit kesakitan. Pek Lian yang juga sudah marah
sekali itu mengamuk, pe-dangnya berkelebatan dan si kepala gerombolan yang kelihatan paling
lihai di antara mereka itupun tidak terluput dari amukannya. Pundak kiri orang itu
terserempet pedang, membuat dia terpekik dan melompat ke belakang, kemudian terus melarikan diri!
Teman - temannya merasa gentar, dan sam-bil menyeret tubuh teman - teman yang terluka,
merekapun melarikan diri meninggalkan si pemuda ingusan !
Pek Lian memang tidak berniat membunuh orang. Akan tetapi, ia ingin tahu siapa
yang men- jadi pemimpin mereka. Maka iapun cepat meng-ambil sepotong batu dan menyambitkan
batu itu ke arah seorang anggauta gerombolan yang larinya paling belakang. Batu kerikil
menyambar, mencium tengkuk dan orang itupun terguling roboh. Teman-temannya hendak menolong, akan
tetapi melihat pemuda ingusan itu sudah berloncatan datang, mereka ketakutan dan
melarikan diri, tidak perduli lagi kepada teman mereka yang roboh tadi.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hayo katakan, siapa yang menjadi pemimpin kalian dan apa maksud kalian menculik
sepasang pengantin itu ?" bentak Pek Lian sambil meno-dongkan pedangnya di dada
orang yang masih pening kepalanya terkena sambitan pada tengkuk-nya itu.
"Ampun..... ampun... saya hanya... hanya anak buah saja."
"Katakan siapa pemimpinmu dan mengapa menculik sepasang pengantin !" Pek Lian
meng- hardik dan ujung pedangnya menembus baju me-lukai kulit dada.
"Aduh... ! Ampun..... kami adalah anak buah kepala daerah kota San-cou dan.....
dan beliau yang memerintahkan kami menculik sepasang pengantin."
"Untuk apa ......?" Pek Lian bertanya heran.
"Entahlah, mana saya mengetahui" Mungkin ...... taijin dan ...... teman-temannya
suka ditemani orang- orang muda, laki ataupun wanita . . . . "
Pek Lian menarik pedangnya dan menendang dagu Orang itu. "Pergilah !" Orang itu
pergi, Pek Lian menghampiri sepasang pengantin itu. Pengantin pria telah membuka tirai
tandu dan kini dia sedang merangkul isterinya yang menangis ketakutan. Melihat adegan mesra
ini, Pek Lian me- rasa jantungnya tertusuk dan iapun lalu berkata, "Sebaiknya kalau kalian cepat -
cepat pergi dari sini dan sementara ini bersembunyi saja di tempat lain."
Pengantin pria itu lalu menarik keluar pengaintin wanita, mengajaknya
menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Lian. "Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan taihiap..." kata pengantin pria sedangkan pengantin wanita sambil menangis hanya
mengangguk- anggukkan kepala. "Sudahlah, aku hanya ingin bertanya, di manakah kota San-cou itu ?"
"Tidak jauh dari sini, taihiap. Di luar hutan ini akan ada jalan menuju ke San-
cou." "Terima kasih, aku akan pergi ke sana. Kalian pergilah sebelum gelap." kata Pek
Lian sambil membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu.
"Nanti dulu, taihiap
!" tiba-tiba terdengar suara pengantin wanita yang sejak tadi tidak
mengeluarkan kata-kata. Pek Lian berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang pengantin wanita yang kini
bersama suaminya sudah bangkit berdiri. "Ada apakah ?" tanyanya heran mengapa
pengantin wanita itu memanggilnya, suatu hal yang amat berani bagi seorang pengantin
wanita yang biasanya malu-ma-lu terhadap seorang pria asing,.
Pengantin wanita itu memang nampak malu-malu, akan tetapi suaranya bersungguh -
sungguh ketika ia berkata, "Maaf, taihiap. Pakaianmu memang sudah tepat, akan
tetapi gerak - gerikmu dan kulit mukamu yang halus, bentuk alis dan anak rambutmu tidak
menyembunyikan sifat kewanita-an. Penyamaran taihiap kurang berhasil dan mudah diketahui
orang." Mendengar ucapan itu, wajah Pek Lian menjadi merah dan iapun tertawa sambil
membuka kain penutup kepalanya. "Aih, kalau engkau dapat me-ngenaliku, cici, tidak ada
gunanya lagi aku bersu-sah payah menyamar. Akupun merasa tidak lelu-asa kalau harus merobah suara
dan sikap." Pengantin pria itu memandang bengong kepada gadis cantik jelita yang berada di
depannya. Dia sendiri sama sekali tidak pernah mengira bahwa pendekar yang lihai dan yang
telah menyelamat-kan dia dan isterinya itu ternyata adalah seorang dara yang cantik!
Setelah mereka saling berpisah, Pek Lian langsung saja pergi ke San - cou, lalu
mencari keterang-an perihal kepala daerah dan didengarnya bahwa kepala daerah itu adalah
seorang baru. Di dalam perebutan kekuasaan, kepala daerah baru ini ber-hasil menggulingkan
kepala daerah yang lama. Anehnya, tidak ada orang yang mengenal benar siapa adanya kepala
daerah ini dan,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mana asal-nya ! Menurut keterangan itu, baru satu bulan ke-pala daerah baru
ini menguasai San - cou, dan se-menjak itu, berbagai perbuatan kejam dan sewenang-wenang
terjadilah. Satu di antara kejahatan-kejahatan itu adalah bagaimana si pembesar mem-biarkan anak
buahnya menculik gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan yang kabarnya dipaksa
menjadi pelayan-pelayan di dalam gedung kepala daerah yang baru.
Begitu memperoleh keterangan jelas dan merasa yakin bahwa kepala daerah baru itu
memang jahat dan sewenang-wenang, Pek Lian lalu langsung pergi mengunjungi
gedung besar dan megah tempat tinggal kepala daerah baru itu. Tentu saja para penjaga di luar
pintu gerbang merasa heran melihat munculnya seorang gadis cantik yang menyatakan ingin
menghadap KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pembesar itu. Akan tetapi, Pek Lian melihat betapa para penjaga itu tertawa-tawa
dan dengan sikap kurang ajar mereka mempersilahkan Pek Lian menanti.
"Tunggu dulu sebentar, nona. Kami yakin bah-wa seorang cantik manis seperti
engkau tentu akan diterima, oleh taijin, walaupun hari telah mulai gelap. Ha-ha, siapa yang
tidak akan girang me-nerima kunjungan seorang tamu seperti nona ?"
Pek Lian tidak mau melayani kekurangajaran mereka. Dara ini menanti dan tidak
lama kemudian ia dipersilahkan masuk oleh penjaga yang tersenyum - senyum menyeringai
memuakkan. Em-pat orang penjaga yang memegang tombak menga-walnya. Pek Lian
diajak masuk ke sebuah ruangan luas dan dari jauh ia sudah melihat seorang berpa-kaian
pembesar duduk di atas kursi kebesarannya yang terletak tinggi di puncak anak tangga.
Bebe-rapa orang pengawal berdiri menjaganya dan di dekatnya duduk seorang perwira yang
berpakaian mewah dan bertubuh kokoh kuat. Pek Lian maklum bahwa ia telah memasuki. sarang harimau. Akan tetapi hatinya
terlampau marah kepada pembesar yang suka menculik orang-orang muda itu dan begitu melihat
pembesar itu ia lalu menudingkan telunjuknya.
"Engkaukah kepala daerah kota San - cou ?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan tegas ini, si perwira meloncat turun
menghadapinya dan para pengawal yang tadi mengiringkannya lalu menodongkan
tombaknya kepada Pek Lian. Akan tetapi dara ini bersikap tenang saja. Kini ia mengenal
beberapa orang pengawal sebagai ang-gauta penculik yang sore tadi dihajarnya. Agaknya mereka
tidak mengenalnya karena ia kini sudah berpakaian sebagai seorang perempuan.
(Bersambung jilid ke XXXII.)
? DARAH PENDEKAR " Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXXII PEMBESAR itu sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi sikapnya masih ramah
karena dia melihat bahwa gadis itu benar-benar cantik jelita seperti yang dilaporkan oleh
penjaga tadi. "Nona, memang akulah kepala daerah di sini. Siapakah engkau dan apa keperluanmu
malam-malam datang ke sini ?"
"Siapa aku tidak penting. Aku mewakili semua muda-mudi yang menderita
gangguanmu. Benarkah engkau yang menyuruh gerombolan penjahat menculiki pemuda-pemuda dan
gadis- gadis, juga yang sore tadi hendak menculik sepasang pengantin di kota Tung-
cou ?" "Eh ...... ohh..... aku... aku tidak... " Pembesar itu menjawab tergagap.
"Heii, ia ini yang tadi menyamar pria dan menggagalkan pekerjaan kita !" Tiba-
tiba seorang pengawal berteriak ketika dia mengenal Pek Lian. Mendengar ini, belasan orang
perajurit segera mengepung dara itu. Dan si perwira yang mendengar teriakan anak buahnya lalu
berseru, "Tangkap gadis ini!!"
Akan tetapi, gadis itu telah mencabut pedangnya dan mengamuk. Seperti ketika ia
dikeroyok di hutan tadi, kinipun para perajurit bukanlah tandingannya. Ilmu pedang yang
dimainkan Pek Lian sungguh hebat dan sebentar saja beberapa orang perajurit telah roboh terluka dan
ada pula yang kehilangan senjatanya. Hanya tinggal perwira berjenggot pendek itu yang masih
melawan dengan pedangnya dibantu sisa para pengawal pribadinya.
"Tahan senjata !" tiba - tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang
wanita kembar yang sikapnya genit, pesolek dan cukup cantik bi-arpun muka mereka tebal
oleh riasan. Melihat mereka, terkejutlah Pek Lian. Ia mengenal mereka karena sepasang wanita
kembar itu bukan lain adalah Jeng-bin Siang-kwi (Iblis Kembar Seribu Muka), yaitu dua orang
wanita kembar yang merupakan tokoh ke tiga dan ke empat dari Tujuh Iblis Ban-kwi- to !
"Aihh! Kiranya puteri Menteri Ho yang muncul ! Hi-hik, bagus sekali, mari kita
tangkap gadis ini dan biar taijin menikmatinya." Dua orang wanita itu sudah menubruk ke depan
untuk menangkap Pek Lian. Dara ini maklum akan kelihaian lawan, maka iapun memutar
pedangnya menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, gerakan kedua orang wanita itu
sungguh cepat dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
karena mereka berdua maju bersama, biarpun keduanya bertangan kosong, Pek Lian
menjadi terdesak dan beberapa kali hampir saja ia kena dipukul atau ditangkap. Dara ini
maklum bahwa ia tidak boleh melanjutkan amukannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan halus
ketika tangan kirinya bergerak dan ia sudah melemparkan dua batang piauw berturut-turut ke
arah dua orang lawan itu. Ketika dua orang lawannya mengelak dengan gesit, Pek Lian melompat
jauh ke belakang dan keluar dari dalam bangunan. Para penjaga tidak berani mencoba untuk
menghalanginya karena mereka sudah tahu betapa lihainya dara ini, dan kedua
orang wanita kembar itupun hanya mengejar sampai di pintu dan membiarkan gadis itu melarikan
diri dan lenyap di dalam kegelapan malam. Agaknya dua orang wanita kembar itu merasa
gentar kalau- kalau Pek Lian datang membawa teman dan merekapun sudah maklum siapa adanya dara
perkasa ini, dan bahwa dara perkasa ini mempunyai banyak sekali kawan-kawan pendekar
yang tinggi ilmunya. * * * Pek Lian juga maklum bahwa dengan adanya iblis betina kembar itu di rumah si
kepala daerah ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu sampai di mana kelihaian sepasang
iblis itu, belum lagi diingat kemungkinan hadirnya pula iblis-iblis Ban-kwi-to yang lain. Kiranya
para penghuni Ban- kwi-to, setelah kegagalan mereka bersekongkol dengan para pembesar pengkhianat,
melarikan diri bersembunyi di tempat yang tak tersangka-sangka, yaitu di rumah para
pembesar yang dapat mereka kuasai. Kini tahulah ia siapa yang berdiri di balik kejahatan penculikan-
penculikan itu. Tentu sepasang iblis betina ini yang membutuhkan pemuda-pemuda yang diculik,
sedangkan gadis-gadis yang diculik tentu diberikan kepada si pembesar, atau mungkin juga
kawan-kawan para iblis itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu, akan tetapi sudah
dicatatnya di dalam hati agar kelak kalau ia sudah kembali ke kota raja, ia dapat melapor kepada
kaisar dan pasukan yang kuat akan dikirim untuk menghancurkan penjahat-penjahat itu. Juga daerah
harus dibersihkan dari pada pembesar-pembesar yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-
penjahat berkedok kedudukan mereka.
Karena maklum bahwa besar kemungkinan ia akan dikejar oleh pihak lawan, maka Pek
Lian terus melarikan diri dengan cepat sampai lewat tengah malam ia terpaksa berhenti
karena terhalang oleh sebuah sungai yang cukup besar dan lebar. Ia mencari-cari perahu
untuk menyeberang dan karena akhirnya ia hanya dapat melihat sebuah perahu besar yang
berhenti di tepi sungai itu, iapun menghampiri perahu itu. Sunyi di perahu itu, agaknya
semua penghuninya sudah tidur. Dua orang laki-laki yang agaknya menjadi penjaga malam di ujung perahu, ketika
melihat seorang gadis longak-longok sendirian di situ, lalu menghampiri dan bertanya,
"Siapakah nona dan hendak mencari siapa ?"
Tanpa menyangka buruk, Pek Lian yang sudah lelah itu menjawab, "Saya seorang
pelancong yang kemalaman di sini dan hendak mencari perahu untuk menyeberang."
"Aihh, kebetulan sekali, nona. Kamipun hendak menyeberang. Kalau nona mau, mari
ikut kami menyeberang dengan perahu ini."
Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Pek Lian. "Terima kasih, saudara
baik sekali. Jangan khawatir, nanti akan saya bayar berapapun biaya penyeberangannya."
Dua orang itu tidak menjawab melainkan mempersilahkan Pek Lian naik perahu.
Perahu itu memang besar sekali, sebuah perahu yang akan cukup memuat puluhan orang dan
begitu naik ke perahu, Pek Lian melihat bahwa memang penghuninya banyak sekali, sebagian besar
laki-laki yang tidur malang-melintang di atas geladak perahu. Melihat betapa beberapa
orang di antara mereka itu yang belum tidur menyeringai kepadanya dan rata-rata sikap mereka
kasar, juga mereka membawa-bawa senjata, hati Pek Lian mulai terasa tidak enak. Akan tetapi
ia butuh diseberangkan, maka iapun diam saja ketika dua orang tadi mengajaknya pergi ke
sebuah ruangan besar di dalam bilik perahu.
Ruangan itu terang sekali dan nampak duduk beberapa orang mengelilingi sebuah
meja panjang. Ada pula anak buah yang berdiri di sudut dan dari tempat itu nampak
sekelompok pendayung perahu yang agaknya sudah siap untuk menggerakkan dayung mereka.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ha-ha-ha, selamat memasuki perahu kami, nona Ho Pek Lian !"
Pek Lian mengangkat muka memandang dan bukan main kaget rasa hatinya ketika
mengenal bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah datuk sesat gendut pendek
yang suaranya tinggi seperti wanita itu, ialah Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti! Dan
di dekatnya duduk pula seorang raksasa tinggi besar yang menyeramkan dan orang inipun bukan tokoh
sembarangan melainkan orang ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, ialah Tiat-siang-kwi,
raksasa yang suka makan daging manusia itu! "Celaka......" pikirnya dan ia sudah siap untuk membalikkan tubuh melarikan diri
dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, pada saat itu perahu sudah meluncur ke tengah
sungai! "Ha-ha-ha, engkau sudah masuk ke sini, seperti seekor anak kijang memasuki guha
naga dan harimau, mana mungkin engkau akan melarikan diri, nona " Silahkan duduk,
engkau menjadi tamu kami. Jangan khawatir, kami takkan mengganggumu. Siapa orangnya mau
mengganggu murid sri baginda kaisar " Bukankah begitu, saudara Tiat-siang-kwi ?" kata pula
si gendut pendek sambil tertawa-tawa girang sekali. Memang hatinya girang bukan main ketika anak
buahnya memberi tahu akan munculnya Ho Pek Lian yang dikenalnya sebagai murid dan
pembantu setia Liu- Pang yang kini telah menjadi kaisar. Kalau dara ini menjadi tawanannya,
berarti dia akan untung besar. Dia akan dapat menjadikan gadis itu sebagai sandera dan dia akan
minta uang tebusan yang besar dari kaisar baru!
Tiat-siang-kwi mengangguk-angguk. "Kau benar, Sin-go, nona ini akan membikin
kita kaya raya."Mendengar percakapan itu mengertilah Pek Lian apa yang mereka maksudkan.
Dari kata- kata itu ia dapat menangkap maksud orang-orang jahat itu. Ia diculik dan mereka
akan mengancam kaisar untuk memberi uang tebusan yang besar atas dirinya !
"Aku tidak sudi !" teriaknya dan sambil mencabut pedangnya iapun hendak lari
keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, tujuh orang pengawal yang sudah siap siaga itu kini
menghadangnya sambil menyeringai dan mereka menodongkan senjata golok dan tombak, menghadang
gadis itu keluar dari ruangan. Pek Lian maklum bahwa jalan satu-satunya hanyalah melawan. Iapun mengerti bahwa
ia menghadapi lawan yang amat kuat. Baru dua orang iblis itu saja masing-masing
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi, ia tidak sudi menyerah
begitu saja untuk menjadi sandera, maka dengan pedangnya iapun menerjang tujuh orang penghalang
itu.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjadilah pertempuran kecil di ruangan itu dan karena ilmu pedang Pek Lian juga
lihai sekali, maka para pengeroyok itu menjadi repot menghadapi sambaran sinar pedang dara
perkasa itu. Dalam belasan jurus saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya. Akan
tetapi, pada saat Pek Lian memutar pedangnya dan menangkis serangan sisa para pengeroyoknya,
terdengar gerengan keras dan ternyata Tiat-siang-kwi (Iblis Gajah Besi) telah meloncat ke
depan. "Plak ! Tranggg...... !" Tepukan pada pundak kanan Pek Lian itu sedemikian
kuatnya sehingga pedang yang dipegangnya terlempar dan jatuh ke atas lantai ruangan
perahu itu. Dan sebelum Pek Lian dapat mengelak, dua buah tangan besar berkuku panjang telah
mencengkeram lengan dan pundaknya dari belakang. Ia berusaha meronta, akan tetapi dalam
cengkeraman Tiat- siang-kwi, ia tidak mampu bergerak lagi.
"Engkau masih belum mau menyerah ?" bentak Tiat-siang-kwi.
Pek Lian bukanlah seorang wanita bodoh. Ia tidak mau mencari penyakit. Tahu
bahwa melawanpun tidak ada gunanya, hanya akan menyakiti badan, ia tidak meronta lagi.
Ia tahu bahwa selama ia dijadikan sandera dengan maksud menukarnya dengan uang tebusan,
mereka ini tidak akan mengganggunya. Selain itu, setelah kini gurunya menjadi kaisar,
bagaimanapun juga, para datuk sesat ini tentu tidak begitu tolol untuk mengganggu murid kaisar
karena hal itu akan membuat mereka menjadi buronan pemerintah selama hidup. Melihat dara itu tidak
meronta lagi, Tiat-siang-kwi lalu melepaskan cengkeramannya.
"Ha-ha-ha, nona Ho sungguh amat lihai dan gagah. Kami merasa kagum sekali.
Marilah, nona, mari duduk sebagai tamu kami dan menikmati hidangan sekedarnya!" Si Buaya
Sakti yang agaknya menjadi pimpinan di perahu itu berkata dengan suara halus.
Pek Lian tidak berlaku sungkan lagi. Ia tahu bahwa ia telah menjadi tawanan dan
mereka akan memperlakukan dengan hormat selama ia tidak melawan. Ia melihat bahwa
selain dua orang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
datuk yang kini setelah sama-sama menderita kekalahan dalam perang agaknya dapat
bersatu itu, terdapat pula beberapa orang yang dari sikapnya dapat diketahui bahwa mereka
adalah kaum sesat.Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya adalah ketika ia melihat
seorang anak perempuan berusia kurang lebih duabelas tahun, berwajah cantik manis sekali,
akan tetapi lengan kirinya buntung, duduk pula di meja itu di sebelah Si Buaya Sakti. Apakah iblis
ini mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manisnya " Bagaimanapun juga, ia segera
merasa tertarik kepada anak manis ini, dan merasa kasihan melihat sebelah lengan itu
buntung. Maka, ketika dipersilahkan duduk dan melihat ada kursi kosong di dekat anak perempuan
itu, iapun duduklah. Anak perempuan itu memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang bening,
kemudian tersenyum dan hati Pek Lian semakin tertarik. Anak ini sungguh manis
sekali dan tiba- tiba ia mengerutkan alisnya, teringat betapa jahat dan kejamnya para datuk sesat
ini. Jangan- jangan anak inipun menjadi korban mereka! Maka, ia hendak menggunakan
kepentingan dirinya sebagai sandera untuk menentang Si Buaya Sakti.
"Aku tidak akan melawan dengan kekerasan selama kalian di sini tidak melakukan
kejahatan di depan mataku. Kalau kalian melanggar, sampai matipun aku tidak akan menyerah,
dan biarlah kalian membunuhku. Guruku, sri baginda kaisar tentu akan mengirim pasukan
mengejar dan mencari dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada kalian!"
Mendengar ucapan ini, diam-diam semua penjahat menjadi gentar juga. Menghadapi
pembalasan orang seperti Liu Pang itu sungguh mengerikan. Sebelum menjadi kaisar
saja pemimpin itu sudah dibantu oleh semua pendekar gagah, apa lagi sekarang setelah
menjadi kaisar. Siapa berani melawannya "
Sin-go Mo Kai Ci menyembunyikan kegentaran hatinya di balik senyum lebar dan
suaranya meninggi ketika dia menjawab, "Nona Ho, siapa yang akan berani melakukan hal-hal
yang tidak, menyenangkan hatimu " Engkau adalah tamu kehormatan, tentu saja kami tidak akan
melanggar laranganmu." "Hemm, kalau begitu, siapakah anak ini " A pakah iapun menjadi korban penculikan
?" Si Buaya Sakti tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, nona. Anak ini adalah anak
seorang pembantu kami, dan kami semua suka kepadanya karena ia manis dan lucu, juga amat
cerdik. Biarpun sebelah lengannya buntung, ia cekatan dan pandai melayani kami."
Anak itu lalu bangkit dan dengan sebelah tangan kanannya anak itu cepat mengisi
arak dalam cawan bersih, memberikannya kepada Pek Lian dengan sikap hormat. "Enci
yang baik, aku di sini senang sekali dan semua paman ini baik kepadaku. Silahkan cici minum,
biar kuambilkan mangkok bersih dan sumpit." Dengan cekatan anak itu lalu melayani Pek Lian, dan
melihat sikap anak ini yang gembira dan tidak nampak seperti korban yang tersiksa, hatinya
merasa lega. Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh Si Buaya Sakti itu membuat si
raksasa Tiat- siang-kwi mengerutkan alisnya. Dua hari yang lalu, ketika mereka saling bertemu
dan berjanji untuk be-kerja sama di bawah pimpinan Raja Kelelawar yang menaklukkan pula tujuh
iblis Ban- kwi-to, Sin-go Mo Kai Ci sudah berjanji kepadanya untuk memberikan anak
perempuan mungil itu kepadanya! Tunggu sampai kita tidak membutuhkan lagi bantuan ayahnya, baru
kuserahkan anak itu kepadamu dan boleh kaumiliki sesuka hatimu." Akan tetapi, kini Si Buaya
Sakti berjanji kepada murid kaisar itu bahwa mereka tidak akan mengganggu anak perempuan itu. Tentu
saja dia merasa kecewa sekali dan beberapa kali dia memandang dengan mata membayangkan
kedongkolan hatinya dan beberapa kali dia mengerling ke arah anak perempuan itu
dengan sinar mata penuh gairah. Dia harus mendahuluinya, pikir raksasa ini dan untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya, diapun minum arak sebanyak dan sepuasnya.
Setelah makan minum, Pek Lian dipersilahkan dengan ramah oleh Buaya Sakti untuk
melepaskan lelah dan tidur di dalam bilik perahu. Gerombolan kaum sesat itu
melanjutkan makan minum dan Pek Lian tidak lagi memperdulikan mereka karena ia sendiri merasa
lelah dan perlu untuk mengaso dan mengumpulkan tenaga. Selama perahu ini masih berlayar, ia
tidak berdaya. Andaikata ia dapat melarikan diri, akan pergi ke manakah " Meloncat dari perahu
ke air " Ia akan mati tenggelam karena ia tidak begitu pandai renang. Pula, melawan dengan
kekerasan akan sia- sia belaka mengingat betapa di situ terdapat Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi
yang amat lihai. Ia KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
harus menanti kesempatan baik, sesudah mendarat baru ia mencari akal untuk
meloloskan dirinya. Sementara ini, ia harus banyak istirahat dan mengumpulkan tenaga.
Dengan pikiran ini, sebentar saja Pek Lian tidur pulas. Akan tetapi, belum lama
ia tertidur dalam pakaian lengkap karena ia tidak mau bersikap lengah, ia terkejut mendengar
suara jeritan nyaring. Cepat ia meloncat dan menyambar pedangnya yang sudah dikembalikan
kepadanya, lalu melompat keluar bilik. Dilihatnya bayangan raksasa Tiat-siang-kwi sedang
memegang lengan kanan anak perempuan buntung itu sambil menarik-narik dan anak itupun meronta-
ronta. "Lepaskan aku ! Lepaskan..... !" Anak itu meronta dan berteriak.
"Heh-heh, anak manis, jangan cerewet atau kucengkeram hancur kepalamu." Raksasa
itu menghardik. Akan tetapi, dengan heran sekali Pek Lian melihat betapa anak
perempuan itu membuat gerakan aneh dengan kakinya dan tahu-tahu kaki kiri yang kecil itu telah
melayang dengan kecepatan luar biasa, ujung sepatunya menotok siku lengan kakek yang
memegangi tangannya. "Tukk !" Kakek itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya karena sikunya yang
tertotok ujung sepatu itu untuk beberapa detik lamanya menjadi lumpuh !
Kesempatan ini dipergunakan oleh anak perempuan itu untuk meloncat ke belakang dan kembali Pek
Lian melihat gaya lompatan yang amat indah dan cekatan! Itu bukanlah tendangan dan lompatan
seorang anak biasa saja, pikirnya heran. Akan tetapi melihat anak itu terancam dan kini si
raksasa agaknya sudah marah dan hendak menubruk lagi, ia meloncat ke depan dan pedangnya
melakukan gerakan menyerang. "Singg..... plakk!" Kakek raksasa itu masih dapat menangkis pedang dengan
tangannya yang dilindungi kekebalan, lalu matanya yang lebar itu melotot memandang Pek Lian
dengan marah. "Kau ...... kau berani mencampuri ?" Bentaknya dan dari suara dan sikapnya, juga
bau mulutnya, mudah diketahui bahwa kakek raksasa ini dalam keadaan mabok.
"Sudah kukatakan, semua bentuk kejahatan di sini akan kutentang sampai mati !"
Pek Lian berkata dan iapun sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan sigapnya
kakek raksasa itu mengelak. Sekali ini, Pek Lian berlaku hati-hati dan ia tidak mau
pedangnya sampai terpukul oleh kakek yang bertenaga gajah ini. Ia mengandalkan kegesitannya dan
pedangnya berkelebatan mencari sasaran lemah, tidak memberi kesempatan kepada kakek itu
untuk mengadu kekuatan. Menghadapi dara yang menggunakan kegesitannya ini, Tiat-siang-
kwi yang agak mabok itu kewalahan juga dan tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang
menggiriskan, yaitu sebatang golok besar sekali yang punggungnya seperti gigi gergaji. Begitu golok
ini menyambar, terdengar angin bersiutan dan Pek Lian terpaksa berloncatan mundur karena golok
lawan itu menyambar-nyambar ganas dengan kekuatan yang tidak mungkin ditangkisnya. Kalau
ia berani menangkis, tentu pedangnya akan terpental dan mungkin terlepas dari pegangannya.
Sebentar saja Pek Lian sudah terdesak hebat oleh raksasa itu.
Tiba-tiba anak perempuan itu berteriak dengan suara melengking, "Ayaaaahhh......
! Tolonglah...... kami !!"
Pada waktu itu, para anak buah perahu sudah banyak yang berdatangan dan menonton
perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai atau mencegah si raksasa karena
di dalam perahu itu, hanyalah Si Buaya Sakti seoranglah yang berani menentang si raksasa yang
telah menjadi rekan dan sekutunya. Teriakan anak perempuan itu ternyata memperoleh sambutan. Tiba-tiba papan lantai
perahu tergetar hebat dan di situ telah berdiri seorang laki-laki muda yang
gagah perkasa, berpakaian biasa saja seperti para tukang dayung, akan tetapi kini wajahnya
penuh wibawa dan nampak menyeramkan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia
memandang kepada Tiat- siang-kwi yang berhenti sejenak melihat munculnya orang ini. Pek
Lian yang tadinya sudah terdesak hebat itu memperoleh kesempatan memperbaiki posisinya dan iapun
menengok dan memandang. "A-hai...... !!" Tiba-tiba Pek Lian berseru girang dan kaget sehingga dara ini
lupa bahwa orang yang biasanya disebut A-hai itu telah memperkenalkan diri sebagai Souw
Thian Hai, seorang pendekar yang sakti. "Ayah, bantulah enci ini !" Anak perempuan buntung itu kini mendekati ayahnya
dan kembali Pek Lian tertegun. Kiranya anak perempuan buntung inilah puteri pendekar ini!
Karena anak itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
belum pernah diperkenalkan kepadanya, maka ia tidak tahu, dan siapa mengira
bahwa anak A-hai berada di perahu penjahat ini " Tidak tahunya malah pendekar itu sendiripun
berada di sini, agaknya menyamar sebagai tukang dayung.
Sementara itu, si raksasa berdiri dengan mata terbelalak lebar. Dia kini juga
mengenal pria gagah ini dan teringatlah akan kehebatan pemuda ini ketika mengamuk. Dia sendiri
pernah dikalahkan dengan mudah! Pada saat itu, karena terganggu oleh keributan, Si
Buaya Sakti juga sudah datang ke tempat itu dan seperti juga Tiat-siang-kwi, si gendut pendek ini
terbelalak memandang kepada Thian Hai.
Melihat betapa di tempat itu terdapat banyak kawannya, si raksasa timbul kembali
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberaniannya dan sambil mengereng diapun menubruk ke depan dengan goloknya yang
besar dan berat itu. Akan tetapi, dengan tenang Thian Hai menggerakkan tangan kirinya
mendorong ke depan. Tiba-tiba saja gerakan raksasa itu tertahan oleh dinding tenaga yang
tidak nampak namun yang kuat sekali membuat dia tertegun dan gerakan serangannyapun terhenti. Pada
saat itu, tangan kanan Thian Hai membuat gerakan menampar seperti orang mengusir lalat dan
dari mulutnya terdengar bentakan, "Pergilah engkau iblis busuk!"
Sungguh aneh sekali. Tubuh tinggi besar itu terpelanting jauh, bergulingan di
atas lantai perahu dan ketika tiba di tepi perahu, si raksasa itu agaknya sudah kehilangan
nyalinya maka diapun melanjutkan tubuhnya terguling ke luar perahu.
"Byuurrr...... !" Tokoh ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to itu begitu ketakutan
sehingga dia memilih terjun ke sungai dari pada harus berha-
dapan lagi dengan pendekar yang memiliki kesak-tian luar biasa itu.
Si Buaya Sakti memandang dengan muka pu-cat. Dia maklum akan kehebatan lawan
ini, akan tetapi sebagai pimpinan di perahu itu, tentu saja dia merasa malu kalau
harus melarikan diri seperti Tiat - siang - kwi, Walaupun hatinya pudah lebih dahulu melarikan diri.
Sambil mengeluarkan ben-takan nyaring, dia menerjang dengan senjata alu-nya. Thian Hai
tidak melangkah pergi, tidak mengelak, melainkan diam saja dan ketika alu itu sudah
mendekati kepalanya yang dijadikan sasaran, tiba - tiba saja kedua tangannya bergerak,
cepat bukan main dan tahu-tahu tangan yang memegang alu itu lumpuh tertotok sikunya dan alu
itupun berpindah tangan. Lalu senjata itu menyambar punggung pemiliknya sendiri.
"Bukk ! !" Tubuh Si Buaya Sakti memang kebal, akan tetapi pukulan itu sedemikian
kuatnya sehingga walaupun tulang - tulang punggungnya tidak remuk, akan tetapi
tubuhnya terlempar sampai keluar perahu.
"Byuuurrr ! !" Untuk kedua kalinya, air muncrat tinggi ketika tubuh ke dua itu menimpa
air. Melihat ini, para penjahat anak buah Buaya Sakti menjadi panik ketakutan
dan tanpa menanti komando lagi mereka mengikuti contoh pimpinan mereka, berloncatan ke sungai
sehingga sebentar saja perahu itu telah kosong, kecuali tukang - tu-kang dayung yang
sebagian besar merupakan orang-orang paksaan atau bayaran, bukan ang-gauta - anggauta bajak
yang sudah lebih dulu berloncatan ke air.
Souw Thian Hai berdiri termangu - mangu me-mandang ke air, seperti orang merasa
menyesal. Melihat ini, Souw Lian Cu, yaitu puterinya yang buntung lengannya,
menghampiri dan merangkul pinggang ayahnya. Souw Thian Hai sadar kembali dan merangkul
puterinya, lalu menoleh dan meng-hadapi Pek Lian sambil tersenyum.
"Nona Ho Pek Lian, tidak kusangka akan ber-temu denganmu di sini," katanya.
Melihat sikap dan mendengar suara orang ini, seketika wajah Pek Lian menjadi
merah. Ini bukan A-hai yang dulu lagi, bukan pemuda ketololan yang menimbulkan rasa iba di
hatinya. Ini adalah seorang pendekar sakti yang sikapnya tenang ber-wibawa, maka iapun
menjura. "Souw - taihiap, terima kasih atas pertolongan mu.
"Ah, nona Ho, perlukah engkau menyebutku taihiap segala" Aku adalah A-hai
" "Taihiap, mana berani aku menyebutmu seperti dahulu " Kalau engkau berkeberatan
disebut tai-hiap, biarlah aku menyebutmu Souw-toako."
"Itu lebih baik, Lian-moi (adik Lian). Inilah puteriku itu yang bernama Souw
Lian Cu. Lian Cu, inilah bibi Ho Pek Lian yang sering kali ku-ceritakan padamu, ia seorang
pendekar wanita yang gagah perkasa dan berbudi."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bibi !" Lian Cu memberi hormat dan Pek Lian cepat merangkulnya. Kini hatinya merasa
terharu dan kasihan. Anak semanis ini, masih kecil sudah harus kehilangan lengan
kirinya. "Aku sungguh bingung, bagaimana aku mendapatkan engkau di sini sebagai tukang
dayung dan puterimu ini melayani mereka itu
" "Nanti kuceritakan, sekarang kita perlu menge-mudikan perahu ini." Thian Hai
lalu minta kepa-da teman - temannya atau bekas teman - temannya tukang dayung untuk
melanjutkan pekerjaan mereka, mendayung dan membantunya mengemudi-kan perahu. Setelah perahu
berjalan lancar dan tenang kembali, Thian Hai mengajak Pek Lian dan puterinya
duduk di ruangan, lalu menceritakan pengalamannya.
Seperti telah kita ketahui dari bagian depan, Thian Hai dan puterinya melakukan
perjalanan mencari jejak musuh besarnya, yaitu Ma Kim Liang yang menyamar atau berobah
menjadi Raja Kele-lawar. Dia melakukan perjalanan jauh, mendatangi tempat - tempat yang
menjadi sarang gerombolan- gerombolan jahat karena dia menduga bahwa di tempat - tempat seperti
itulah dia mempunyai ha-rapan untuk menemukan jejak Raja Kelelawar, mengingat bahwa iblis
itu telah menjadi datuk be-sar atau raja dari dunia sesat. Kemudian dia me-nyaksikan
perebutan harta karun milik keluarga bekas Menteri Li Su, dan akhirnya dia melihat Buaya Sakti
yang berhasil merampas barang-barang harta benda itu. Melihat datuk ini, dia lalu cepat
melakukan penyamaran. Dia menanggalkan baju atasnya dan pura-pura kelelahan mengaso sambil
tiduran ketika Buaya Sakti berhasil membasmi pa-sukan yang merampok harta benda keluarga
Li Su. Tukang - tukang pemikul tandu sudah pada mela-rikan diri atau ikut terbunuh,
hanya tinggal dua orang saja lagi yang dipaksa oleh anak buah Buaya Sakti untuk memikul tandu yang
berat itu. Anak buah bajak itu sudah melucuti pakaian para ang-gauta pasukan yang terbunuh
dan sambil tertawa-tawa mereka mengenakan pakaian seragam tentara itu, mematut - matut diri
seperti monyet - monyet diberi pakaian. Kemudian, beberapa orang di an-tara mereka
melihat Thian Hai yang sedang tidur terlentang di atas tanah, berbantalkan kedua ta-ngan itu.
Mereka menghampiri dan seorang di antara mereka menghardik, "Heh, malas! Orang-orang lain sibuk
mengangkut tandu, engkau enak-enak tidur! Hayo bangun !" Dan seorang di anta-ra mereka
menendang pahanya. Thian Hai pura-pura terkejut dan kesakitan menggosok-gosok pahanya. "Aduh, aduh
baru saja istirahat sudah dibangunkan
" Kemudian dia pura - pura heran melihat beberapa orang yang berpakaian tentara
itu. "Eh, apa " Mau berangkat lagi" Apa pertempuran sudah selesai?"
Beberapa orang bajak itu terbahak - bahak, mengira bahwa pemikul tandu ini salah
lihat dan menyangka mereka anak buah pasukan yang sudah terbasmi habis. "Tolol, hayo bantu
kami mengang-kut tandu itu ke perahu."
Thian Hai bangkit, menyambar bungkusan pakaiannya dan longak - longok. "Mana
anakku " Lian Cu , di mana kau ?" Seorang anak perempuan yang buntung sebelah lengannya datang berlari - lari,
baru saia keluar dari tempat sembunyinya. Anak ini bertindak se-suai dengan rencana
ayahnya yang hendak menye-lundup menjadi anak buah Si Buaya Sakti agar dia dapat mencari jejak musuh
besarnya. "Ayah, apakah kita akan berangkat lagi ?"
"Ya, mari, kita harus angkut tandu itu," kata-nya bangkit berdiri.
"Hei, anak ini tidak boleh ikut!" kata seorang di antara mereka.
"Hemm, biar lengannya buntung sebelah, ia manis juga. Mari kita hadapkan kepada
pimpinan." Mereka memegang tangan Lian Cu. Anak ini ketakutan, akan tetapi ket.ka melihat ayahnya
berkedip dan mengangguk kepadanya, iapun me-nurut saja dibawa pergi. Ketika Si
Buaya Sakti melihat Lian Cu, hatinyapun merasa suka kepada anak perempuan yang biarpun
buntung sebelah lengannya, akan tetapi berwajah manis dan bersi-kap berani dan cekatan itu.
Siapa tahu, anak pe- rempuan ini ada gunanya kelak, pikirnya.
Demikianlah, Thian Hai berhasil menyelundup menjadi tukang pikul tandu berisi
harta benda itu, kemud;an setelah tiba di perahu besar, tugasnya berobah menjadi tukang
dayung di antara belasan tukang dayung bayaran atau paksaan. Sementara itu, dengan cerdiknya Lian
Cu dapat menyenang-kan hati Si Buaya Sakti dengan pelayanannya yang cekatan, baik di
dapur maupun di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ruangan makan. Beberapa hari kemudian, Si Buaya Sakti bertemu dengan Tiat -
siang - kwi. Keduanya dahulu men-jadi lawan dalam perang, akan tetapi karena kedua pihak
sudah kalah dan karena kini Tujuh Iblis Ban - kwi - to sudah ditaklukkan pula oleh Raja
Kelelawar, si raksasa itupun
mau dipersilahkan naik ke perahu untuk bersama - sama mengunjungi tempat
persembunyian Raja Kelelawar. Dalam pertemuan itu, secara iseng ketika melihat si rak-sasa
tertarik kepada Lian Cu, Sin - go Mo Kai Ci menjanjikan kelak akan menyerahkan gadis cilik itu kepada
si raksasa! Karena itulah maka terjadi keributan di malam itu dan terpaksa Thian Hai turun
tangan untuk melindungi puterinya dan Pek Lian.
"Demikianlah, Lian - moi, terpaksa aku turun tangan dan sekarang buyarlah
harapanku untuk dapat menemukan jejak musuh besarku. Tadinya aku merasa yakin bahwa mereka
itu akan memba0 waku kepada musuhku. Lian Cu dapat mende0 ngarkan percakapan mereka di
meja makan dan ternyata kedua orang datuk sesat itu telah menjadi anak buah Raja
Kelelawar dan mereka hendak melayarkan perahu ke tempat sembunyinya." Thian Hai menutup
ceritanya sambil menarik napas pan-jang penuh rasa kecewa.
"Ah, kalau aku tidak muncul tentu rencanamu tidak akan gagal, Souw - toako." Pek
Lian berkata menyesal pula. "Sudahlah, yang lalu tidak perlu disesalkan. Sekarang aku hendak mencari sendiri
tempat itu, kurasa tidak jauh dari sini walaupun aku belum tahu di mana sesungguhnya tempat
persembunyi- an musuh besarku itu."
Selagi mereka hercakap - cakap, tiba - tiba mereka merasa badan perahu itu
terguncang dan ter-dengar teriakan - teriakan ketakutan para penda-yung perahu. Mereka bertiga
cepat keluar dari dalam ruangan itu dan betapa kaget hati mereka
melihat bahwa perahu besar itu telah dikepung oleh beberapa buah perahu kecil
yang penuh pe-numpang dan para penumpang itu membawa obor sehingga keadaan menjadi terang
seperti siang. Perahu-perahu itu adalah perahu bajak sungai dan ketika mereka bertiga
melihat wajah Si Buaya Sakti di antara para bajak itu, tahulah mereka bah-wa mereka telah berada
di tangan musuh ! Si Buaya Sakti itu menyeringai dan dengan suaranya yang kecil tinggi dia
berseru, "Kalau melawan perahu kalian akan kami bakar!"
Menghadapi ancaman ini, Thian Hai tidak berdaya, bahkan melihat sikap Pek Lian,
dia ber- bisik, "Lian-moi, di sini kita tidak boleh melawan."
Pek Lian maklum bahwa memang percuma saja melakukan perlawanan selagi mereka
berada di atas perahu. Betapapun lihainya Thian Hai, tak mungkin dia dapat
menyelamatkan Pek Lian dan Lian Cu kalau mereka masih berada di tengah su-ngai. Maka Pek Lianpun
diam saja membiarkan perahu mereka dikait dan ditarik oleh perahu - pe-rahu musuh.
Hari telah pagi ketika perahu - perahu bajak itu menarik perahu rampasan itu ke
pantai dan nam-paklah oleh Pek Lian betapa selain perahu mereka, ada pula sebuah perahu
lain terampas oleh bajak. Di atas perahu yang juga besar dan mewah itu terdapat belasan orang
yang berpakaian seperti saudagar - saudagar kaya, akan tetapi di antara mereka itu
nampak pula seorang kakek tua berpa-kaian sederhana memegang tongkat butut dan se-orang
pemuda sederhana bermuka merah yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Tentu saja Pek
Lian merasa girang di samping keheranannya mengenal dua orang itu sebagai kakek sakti Kam
Song Ki dan muridnya, bekas pemimpin lembah Kwee Tiong Li! Kiranya guru dan murid itu yang
meninggalkan kota raja, agaknya menumpang se-buah perahu saudagar dan ikut pula menjadi ta-
wanan ketika
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perahu itu dirampas oleh para bajak anak buah Si Buaya Sungai. Dalam semalam
itu, kawanan bajak telah membajak dua buah perahu. Tentu saja Kwee Tiong Li dan gurunya juga
ter-kejut, heran dan girang melihat Pek Lian dan juga Thian Hai. Akan tetapi mereka diam
saja dan pu-ra - pura tidak mengenal mereka. Dua buah pe-rahu itu ditarik terus sampai ke pantai
di mana telah menunggu sekelompok pasukan yang dipim-pin oleh seorang laki - laki berusia
limapuluh ta-hunan yang berpaka'an mewah seperti seorang bangsawan kaya. Orang ini berkepala
bundar, tu-buhnya juga bulat serba gendut dan mukanya pe-nuh senyum ramah.
Melihat orang gendut mewah ini, Pek Lian ter-kejut bukan main. Ia mengenal orang
itu walaupun si gendut itu belum sempat mengenalnya. Pria itu adalah Lam Siauw-ong
(Raja Muda Selatan), seorang di antara tiga tokoh besar lautan yang men-jadi kepala bajak.
Dahulu, pernah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lam Siauw-ong menawan Chu Bwee Hong dan dengan sembunyi-sembunyi ia berhasil
menolong Bwee Hong dan meloloskan diri dari cengkeraman kepala bajak laut ini. Siapa kira
hari ini ia yang menjadi ta-wanannya. Dan diam - diam ia merasa semakin heran bagaimana Si Buaya
Sakti dapat menjadi sekutu Lam Siauw - ong " Bukankah dahulu terdapat suatu permusuhan atau
persaingan antara go-longan mereka "
Akan tetapi, Pek Lian tidak mau banyak cakap lagi. Ia maklum bahwa sekali ini,
ia harus mela-kukan perlawanan. Sebelum ia dan Thian Hai di-tawan dan dibuat tidak
berdaya, ia harus melaku-kan perlawanan. Inilah satu - satunya kesempatan untuk melawan, setelah
perahu mendarat. Ia danat melihat kekuatan lawan yang cukup banyak. Dan melihat betaoa
anak buah bajak itu banyak yang memakai pakaian seragam bekas pakaian tentara. Akan
tetapi, iapun sudah sap siaga. Sebelum men-darat, ia telah mempersiapkan diri, mengenakan pakaian
ringkas dan menemukan pedang di dalam ruangan bilik perahu. Begitu perahu menempel di darat,
tanpa membuang waktu lagi Pek Lian me-ngeluarkan pekik melengking dan iapun meloncat
ke darat, langsung menyerbu ke arah Lam Siauw-ong yang berdiri sambil tersenyum - senyum.
Akan tetapi, si gendut ini memang lihai sekali. Diserang seperti itu, dengan mudah dia
meloncat ke bela-kang dan para pengawalnya yang sebagian ada yang mengenakan pakaian seragam pasukan
itu segera maju mengepung Pek Lian. Namun gadis ini tidak menjadi gentar. Ia meloncat ke
atas, kaki tangannya bergerak dan ia mengamuk seperti see-kor garuda, membagi - bagi
tamparan dan tendang-an di antara para pengeroyoknya. Melihat kehe-batan dara muda ini, Lam
Siauw - ong kagum se-kali. Dia belum sempat mendengar dari rekan-rekannya seperti Si Buaya
Sakti dan Tiat - siang-kwi siapa adanya gadis cantik gagah itu, karena kedua orang rekannya
itupun agaknya sedang ber-kelahi tak jauh dari situ. Melihat kehebatan Pek Lian, dia pun
berseru keras menyuruh anak buah-nya mundur dan tubuhnya yang bulat itu dengan ringan sekali telah
melayang ke depan Pek Lian. "Heh-heh, nona cantik manis. Engkau patut menjadi permaisuriku, maka marilah
kita berdamai saja. Untuk apa kita saling
" "Lam Siauw-ong manusia cabul, lihat pedang !" Pek Lian membentak sambil mencabut
pedang dan menyerang dengan dahsyat.
"Eh, oh engkau sudah mengenalku " Lebih baik lagi
!" kata raja muda bajak gendut
itu. Akan tetapi Pek Lian tidak memberinya kesem-patan untuk banyak cerewet
karena dara itu telah menyerang semakin ganas, membuat lawannya terpaksa mencabut pula sebatang
pedangnya. Begitu pedangnya bergerak, Pek Lian terkejut karena ham-pir saja
pergelangan tangannya kena digurat. Itu-lah Hun - kin - kiam (Pedang Pemutus Urat) dan raja
muda bajak ini ternyata mahir sekali bermain pedang.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat. "No-na Ho, minggirlah dan biarkan aku
menghadapi babi ini !" Orang itu adalah Kwee Tiong Li yang juga su-dah mempergunakan pedangnya. Melihat
majunya kawan ini, hati Pek Lian menjadi girang dan iapun mengamuk di antara
para anak buah bajak. Terja-di perkelahian antara Tiong Li dan Lam Siauw-ong dan ternyata
kepandaian mereka seimbang sehing-ga perkelahian itu menjadi seru dan hebat. Gerakan Tiong Li
sekarang jauh berbeda dengan da-hulu. Kini dia telah mewarisi ilmu dari kakek Kam, maka
ginkangnya luar biasa sekali, gerakan-nya cepat laksana burung walet beterbangan me-nyambar - nyambar.
Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang, tentu Pek Lian akan kewalahan kalau
saja ia tidak mendapat bantuan kakek Kain Song Ki! Ia sudah terpincang kareua
betisnya kena disambar ujung tombak lawan sehingga kulit betisnya terobek dan terluka. Namun,
dengan gigih dan gagah ia me-lawan terus, merobohkan banyak orang dengan pedangnya. Dalam
keadaan gawat itulah muncul kakek Kam Song Ki yang mengamuk dengan tong-katnya. Tentu
saja sepak terjang kakek ini amat hebat. Tongkatnya mendatangkan angin pukulan dahsyat
sehingga para pengeroyok sudah berge-limpangan walaupun belum tercium ujung tongkat.
Sementara itu, di bagian lain, Thian Hai dike-royok dua oleh Si Buaya Sakti dan
Tiat-siang- kwi. Pemuda perkasa ini sungguh hebat luar biasa. Dua orang pengeroyoknya itu
bukan sembarang orang, Sin - go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti, adalah seorang di antara
tiga Sam - ok (Tiga Jahat), merupakan raja di antara para bajak sungai dan jaranglah ada orang dapat
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menandinginya. Adapun orang ke dua, dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to. Dapat
dibayangkan betapa hebat kepandaian raksasa pemakan daging manusia ini. Namun, sekali ini
menghadapi Thian Hai, keturunan langsung dari keluarga sakti Souw yang selalu menyembunyikan diri,
mereka berdua tidak mampu berbuat banyak. Golok besar pung-gung gergaji dan senjata penggada
berbentuk alu dari kedua orang datuk ini tidak ada gunanya sa-ma sekali ketika dipergunakan
untuk menyerang Thian Hai. Senjata - senjata itu seolah - olah me-rupakan benda lunak saja,
ditangkis begitu saja oleh kedua lengan Thian Hai dan setiap kali ter-jadi pertemuan antara lengan dan
senjata, si pemegang senjata tentu mengeluh dan merasa betapa telapak tangan mereka seperti
terbakar dan terku-pas. Thian Hai maklum bahwa dia telah menemukan jejak musuh besarnya. Tidak salah
lagi, di sinilah agaknya tempat persembunyian musuhnya itu, ma-ka diapun tidak ingin
membiarkan dua orang pem-bantu musuhnya ini lolos. Dua orang ini terlalu jahat dan lihai untuk
dibiarkan lolos, dan juga ke-dudukan musuhnya akan terlalu kuat kalau dua orang ini dibiarkan
terlepas dari tangannya. Maka pemuda perkasa inipun. mengerahkan tenaganya, terdengar dia
mengeluarkan suara menggeram dan ketika tubuhnya menyerang ke depan dengan kedua tangan
terbuka, kedua orang lawannya itu tidak mampu bertahan lagi. Pukulan Thai - kek Sin-ciang
yang dilontarkan dari jarak dekat itu terlalu hebat bagi dua orang iblis itu. Mereka
berusaha menahan dengan sinkang, akan tetapi akibatnya mereka terbanting ke belakang, terjengkang
dan tidak mampu bangkit kembali karena isi dada mereka yang terlanda hawa pukulan sakti
itu telah remuk - rendam, membuat mereka tewas seketika dengan semua lubang di tubuh mereka
mengucur-kan darah segar! Sejenak Thian Hai termangu menyaksikan aki-bat pukulannya, akan tetapi dia
segera mendengar teriakan puterinya. Cepat dia menoleh dan meloncat, menendang dua
orang perajurit atau ang-gauta bajak yang berhasil menangkap Lian Cu ketika anak perempuan ini
ikut pula mengamuk. Dua orang itu terlempar dan Thian Hai mengamuk, membiarkan puterinya
yang sudah lumayan ilmu silatnya itupun ikut pula mengamuk.
Sementara itu, perkelahian antara Tiong Li melawan Siauw - ong amat hebatnya.
Keduanya sudah berkeringat, akan tetapi belum juga ada yang kalah. Melihat betapa
pihaknya menderita keka-lahan, Lain Siauw - ong menjadi gentar dan begitu memperoleh kesempatan,
dia meloncat ke bela-kang dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, se-batang tongkat menotok
punggungnya dan diapun roboh terpelanting. Kiranya yang menotoknya adalah seorang kakek tua,
akan tetapi totokannya itu hanya membuat dia roboh saja dan tidak me-lukainya, juga tidak
menghentikan jalan darah. Hal ini makin menunjukkan betapa lihainya kakek itu, maka Lam Siauw
- ong menjadi semakin jerih. Akan tetapi, begitu dia bangkit berdiri, pemuda yang menjadi
lawannya itu sudah menerjangnya lagi dan kembali mereka berkelahi. Sekali ini se-mangat perlawanan
Lam Siauw - ong mengendur. Hatinya sudah gentar maka permainan pedangnya tidaklah sekuat
tadi, bahkan agak kalut sehingga pada suatu ketika Kwee Tiong Li berhasil mema-sukkan
pedangnya menusuk dan mengenai pundaknya. Lam Siauw-ong terkejut dan terhuyung, dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Tiong Li untuk menyusulkan tusukan maut yang menembus dada
lawan. Robohlah Raja Muda Selatan itu de-ngan badan berlumuran darah dan tewas tak lama
kemudian. Anak buah gerombolan bajak itu menjadi pa-nik melihat betapa tiga orang pemimpin
mereka tewas dan banyak sekali teman-teman mereka roboh, tewas atau terluka. Akan
tetapi selagi mereka panik dan hendak melarikan diri, tiba - tiba muncul pasukan yang
berpakaian hitam sebanyak belasan orang dan terdengarlah suara melengking nyaring dari tengah
daratan, di mana nampak gen-teng dan tembok sebuah bangunan besar.
"Tahan semua senjata! Para tawanan harus menyerah, kalau tidak akan kami bunuh
semua ! !" Semua orang, termasuk kakek Kam Song Ki, terkejut bukan main. Itulah suara yang
mengan-dung khikang amat kuatnya, menunjukkan bahwa orang yang mengirim suara
itu memiliki kepandai-ari yang hebat. Akan tetapi, kalau semua orang terkejut dan
gentar, sebaliknya Thian Hai merasa girang bukan main dan jantungnya berdebar te-gang. Itulah pekik
yang mengandung tenaga Pek-houw-ho-kang, yaitu auman Harimau Putih, ilmu khikang dari
keluarga Souw dan dia dapat menduga siapa yang mengeluarkan pekik seperti itu. Musuh
besar berada di depan mata ! Maka, diapun lalu memberi isyarat kepada Pek Lian, ka-kek Kam dan
Kwee Tiong Li KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
agar menghentikan amukan. Ketika pasukan berpakaian hitam itu mengumpulkan para
saudagar sebagai tawanan, merekapun termasuk di dalamnya dan dengan mandah mereka
digiring meninggalkan pantai su-ngai itu menuju ke sebuah bangunan besar yang megah.
Begitu memasuki ruangan depan di mana nam-pak beberapa orang penjaga yang
memegang golok dan perisai, pimpinan pasukan berpakaian hitam itu berkata,
"Berhenti! Nona ini harus memisahkan diri dan mari ikut bersama dia !" Pemimpin itu menudingkan
telunjuknya kepada seorang anak buahnya yang berkumis tebal tanpa jenggot. Laki-laki tinggi
besar ini tersenyum dan menghampiri Pek Lian.
"Marilah,, nona, kuantar ke tempat peristirahatan nona!"
Tentu saja Pek Lian tidak mau dipisahkan dari kawan - kawannya. Ia menggeleng
Istana Pulau Es 18 Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Warisan Iblis 2