Pencarian

Dendam Kesumat 2

Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Bagian 2


penjagaan" kata Lie Kun Liong.
"Kabarnya Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) - Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-
hong-kiam (si pedang angin lesus) sedang cuti pulang ke kampung halaman,
sedangkan Ciong-cie-hui (pemimpin Kim-mie-wie) - Sim Ok Ciang yang berjuluk
Kim-gak-tiau (si rajawali bermata emas) malam itu sedang dipanggil Hong-siang
(Kaisar)" kata Bai Mu An. Si pencuri memilih saat yang sangat tepat dalam
melakukan aksinya. "Bagaimana dengan ilmu silat kedua pemimpin itu" tanya Lie Kun Liong.
"Termasuk kelas wahid dalam dunia kangouw. Tong-leng Sun Kai Shek merupakan
sute (adik seperguruan) dari ketua Hoa-san-pay saat ini. Ilmu pedangnya Hong-
kui-liu-in (angin lesus membuyarkan awan) sangat lihai dan entah sudah berapa
banyak korban yang mati di bawah ujung pedangnya. Ia sudah belasan tahun menjadi
pemimpin nomor satu di pasukan Gie-lim-kun. Kalau Ciong-cie-hui Sim Ok Ciang
terkenal dengan ilmu silatnya Pek-pian-yu-tui (tendangan seratus gaya) merupakan
jago kosen yang sudah malang melintang di dunia kangouw puluhan tahun sebelum
menjabat Ciong-cie-hui beberapa tahun yang lalu. Aku rasa tidak gampang bagi si
pencuri mengaduk-aduk gudang pusaka istana bila ke dua orang ini sedang
bertugas" kata Bai Mu An.
"Menurut perkiraan Bai-heng siapa gerangan pencuri itu" kata Lie Kun Liong.
"Susah diperkirakan, banyak orang kosen di kalangan Liok-lim (kalangan
penjahat / rimba hijau). Di samping itu belum tentu pencuri tersebut dari kalangan Liok-lim
bisa juga dari kalangan Bu-lim (rimba persilatan)" sahut Bai Mu An.
"Pengetahuan Bai-heng tentang dunia kangouw luas sekali, kalau aku boleh tahu
siapa saja jago kosen dari kalangan Liok-lim" tanya Lie Kun Liong.
"Ada Kwi-eng-cu (si bayangan iblis) yang terkenal dengan ilmu ginkangnya, lalu
Cap-sah-thian-mo (13 iblis besar) susah dilayani, Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda
bunga bwe) seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga) yang selalu membunuh
korban-korbannya setelah selesai diperkosa. Kemudian Jian-jiu-lo-sat (si hantu
wanita bertangan seribu) yang terkenal akan kelihaiannya ilmu mencurinya. Mereka-mereka
inilah sedang naik daun di kalangan liok-lim.
Untuk angkatan tuanya Lie-heng harus hati-hati bila bertemu dengan Bu-eng-cu (si
tanpa bayangan), Pian-mo (setan cambuk), Tok-tang-lang (si belalang berbisa) dan
Kim-mo-siankouw (dewi berambut emas) yang terkenal akan kejalangannya
terhadap pemuda-pemuda tampan" kata Bai Mu An.
"Bai-heng tahu dimana tempat tinggal Tok-tang-lang" tanya Lie Kun Liong.
Ternyata ia masih ingat dengan nama julukan susioknya Tan Kin Hong yaitu si
belalang berbisa. Ia ingin menemui susioknya itu dan menyampaikan pesan-pesan gurunya.
"Aku tidak tahu, mereka ini sudah puluhan tahun di dunia kangouw dan sudah
jarang berkecimpung di dunia persilatan. Apakah Lie-heng ada persoalan dendam
kesumat dengan Tok-tang-lang" tanya Bai Mu An ingin tahu.
"Ya benar" kata Lie Kun Liong singkat. Ia tidak ingin Bai Mu An tahu persoalan
intern perguruannya diketahui orang luar.
Hari sudah sore matahari perlahan-lahan mulai terbenam dan tahu-tahu malam telah
tiba, mereka kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Malam yang sunyi dan kelam. Bulan pucat menggantung di langit beberapa bintang
tak bosan berkedip. Cahaya bulan menolong memberikan pemandangan malam
yang tidak begitu gelap. Kadang terdengar teriakan panjang dari lorong entah di
mana menggemakan gaung malam. Tersentak sadar dalam samadhi oleh suara lirih
pejalan malam di atas genteng kamarnya, Lie Kun Liong merasa heran akan
kelihaian orang tersebut. Bila ia tidak dalam keadaan sedang melatih lweekang
pasti ia tidak akan mendengar sama sekali. Jelas seorang jago kosen sedang
berkeliaran di luar sana. Dengan hati-hati ia melompat keluar ke atas genteng
penginapan dan mengikuti bayangan orang yang masih nampak di kejauhan sebelum
menghilang di balik bangunan. Dengan mengembangkan ilmu teng-peng-touw-sui (menginjak rumput mnyebrang
sungai) ia dengan sebat mengikuti bayangan itu dengan penuh perhatian. Rupanya
bayangan itu menuju ke pintu keluar gerbang kota, dengan ilmu pek-houw-yu-ciang
(cecak merayap di tembok) bayangan itu menaiki tembok dan dengan cepat keluar
dari kota raja. Tak seorangpun prajurit di sekitar tembok itu menyadari ada
orang yang keluar dari kota raja dengan diam-diam.
Dengan ketat Lie Kun Liong mengikuti bayangan itu, syukur baginya malam sedang
gelap-gelapnya hingga ia tidak konangan oleh orang itu. Sekeluarnya dari kota
raja, bayangan itu mengembangkan ginkangnya seluas-luasnya. Dengan susah payah
Lie Kun Liong mengikuti orang itu, ia sangat kagum akan ilmu mengentengkan tubuh
bayangan itu, hanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya baru ia dapat
mengimbangi lari orang itu.
Setelah berlari selama seperminuman teh, mereka tiba di sebuah bangunan.
Ternyata bangunan itu adalah sebuah kelenteng yang sudah rusak dan tak
berpenghuni. Bayangan itu memasuki kelenteng dan menghilang ke dalam. Lie Kun
Liong ragu-ragu untuk mengikutinya, ia khawatir di dalam kelenteng sudah ada
orang yang menunggu si bayangan itu dan melihat ada orang yang mengikuti
bayangan itu. Sekonyong-konyong ia mendengar suara jeritan berkumandang dari dalam
kelenteng itu. Dengan mengambil resiko ketahuan Lie Kun Liong melayang ke atas
atap kelenteng dan mengintip ke dalam ruangan di mana bayangan tadi masuk.
Ruangan itu gelap sekali tiada sinar lilin, hanya dengan mengandalkan sinar
rembulan ang menerobos jendela yang terbuka dan mata yang tajam Lie Kun Liong
meneliti sekitar ruangan itu. Di sudut ruangan, bayangan yang ia kejar tadi
terbaring telungkup. Gelagatnya teriakan tadi berasal darinya, ada orang yang
membokong dan melukainya. Lie Kun Liong dengan sabar menanti sambil berharap orang yang
membokong bayangan itu segera menampakkan diri. Tapi tungu punya tunggu tidak
tampak sesosok bayanganpun yang keluar dari kelenteng sehingga dengan hati-hati
ia melayang turun ke dalam ruangan dan mendekati orang yang terbaring telungkup
itu. Sebatang pisau menancap di balik punggungnya menembus ke bagian dada,
darah segar mengalir di sekitar tubuhnya. Sambil membalik tubuh orang itu, Lie
Kun Liong memeriksa nadi orang tua - nadinya masih berdenyut lemah sekali, ia
belum mati. Lie Kun Liong menyalurkan tenaga dalam ke badan orang itu. Tidak
berapa lama orang itu sadar sambil meringis kesakitan. Lie Kun Liong sadar orang itu
tidak dapat diselamatkan lagi, lukanya sudah terlalu parah. Ia hanya berusaha
menyadarkan orang itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan mata sayu orang itu menatap Lie Kun Liong dan berkata "Si ..apa anda"
tanyanya dengan bersusah payah.
"Aku kebetulan lewat dan mendengar suara jeritan di dalam kelenteng" kata Lie
Kun Liong. "Paman siapa dan mengapa sampai terluka begini"
Dengan kecut orang itu meringgis kesakitan dan berkata "Aku berjuluk Maling
Sakti dan orang yang memasuki gudang pusaka istana kemarin malam. Orang yang
melukai aku adalah orang yang memberi tugas untk mencuri lukisan pemandangan.
Ini tidak pernah aku sangka sama sekali ia begitu tega berusaha membunuh aku
untuk menutup mulut".
Dengan tersenggal-senggal ia merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kalung giok
berwarna hijau dan menyodorkannya ke tangan Lie Kun Liong sambil berkata
dengan susah payah "Ca..ari Erl kecil di rumah pelesiran "Bunga Merah" di kota
raja dan berikan kalung ini untuk tukar dengan lukisan yang asli. Lukisan yang
aku bawa tadi palsu" Mengingat ia berhasil menipu orang yang telah menyuruhnya
mencuri lukisan, terbayang rasa puas di wajahnya. Sesudah mengatakan kalimat itu, orang
itu mati dengan mata terbelalak seolah-olah tidak rela meninggalkan dunia ini.
Dengan menghela nafas gegetun Lie Kun Long menyimpan kalung giok yang
kelihatan sangat mahal itu ke dalam saku bajunya, ternyata dunia kangouw ini
kejam dan penuh dengan tipu muslihat.
8. Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu)
Sekembalinya ke kota raja, Lie Kun Liong langsung mencari pelesiran Bunga Merah.
Cukup mudah baginya menemukan pelesiran itu karena termasuk pelesiran yng
terkenal di kota raja. Malam itu walaupun sudah larut malam namun di pelesiran
Bunga Merah malah semakin meriah.
Dengan ragu-ragu Lie Kun Liong berdiri di pintu masuk pelesiran itu, baru
pertama kalinya ia datang ke tempat seperti ini. Selagi belum tahu apa yang
harus dilakukannya untuk bertemu dengan seorang wanita yang bernama Erl kecil, nampak
mendatangi sebuah tandu yang digotong dua orang tukang berhenti di depan pintu
pelesiran Bunga Merah. Lalu dari dalam tandu keluar seorang wanita muda
berpakain hijau muda, wajahnya cukup cantik dan tercium aroma wangi melati dari
tubuhnya yang langsing dan berisi. Melihat Lie Kun Liong berdiri di depan pintu
masuk, ia sambil tertawa genit menyapa "Kong-cu mencari siapa ?". Kebetulan bagi
Lie Kun Liong, ia berkata "Aku datang ke sini untuk mencari orang yang bernama
Erl kecil. Apakah nona bisa membantu ?"
Sambil tertawa dan menutup bibir delima merekah dengan tangannya dia berkata
"Siau-moy inilah yang biasa dipanggil Erl kecil, ternyata kong-cu ingin
membooking siau-moy. Mari masuk ke dalam kata si Erl kecil sambil mengandeng
tangan Lie Kun Liong. Dengan gembira karena tidak menyangka orang yang ia cari
ternyata adalah wanita ini, Lie Kun Liong mengikutinya menuju kamar yang
terletak di lantai dua rumah pelesiran itu. Sepanjang jalan menuju ke kamar si
Erl kecil ini ia mendengar suara desah dan lengguhan suara wanita mengundang
birahi dari balik kamar yang
ia lewati. Dengan muka merah dan hati berdegup-degup ia terus mengikuti si Erl
kecil. Setiba di dalam kamar sambil terkikik kecil si Erl kecil berkata "Tunggu
sebentar ya kong-cu, siau-moy membersihkan tubuh dulu sebelum melayani kong-cu".
Dengan perasaan serba salah Lie Kun Liong hanya mengangguk lemah. Ia tidak
tahu apa yang harus ia perbuat.
Kamar itu sangat besar dan mewah, pasti si Erl kecil ini merupakan primadona di
rumah pelesiran ini. Dengan gerakan lemah gemulai si Erl kecil berjalan menuju lemari pakaian yang
berada di pojok ruangan, lalu dengan perlahan-lahan melepaskan pakaian yang
dikenakannya. Terlihat pundaknya yang putih mulus, leher yang jenjang dan
pakaian dalam warna merah menyala, terpampang belahan buah dada membusung ketat
di baliknya. Tanpa merasa malu si Erl kecil mulai melepaskan pakaian dalamnya yang
ketat dan segera tampak sepasang buah dada yang montok dihiasi puting susu yang
kecil kecoklatan. Tubuhnya seperti layaknya gadis seusianya putih mulus dan
segar bugar. Tiba-tiba ia melepaskan rok panjang yang dipakainya dan tampak
pahanya yang mulus dan langsing, berpura-pura tidak tahu si Erl kecil sambil tersenyum
tipis memiringkan tubuhnya yang padat berisi sedikit menghadap Liok Kun Liong
hingga terlihat jelas dihadapannya bagian inti seorang perempuan. Baru pertama kali ini
ia melihat bagian paling inti milik seorang perempuan. Ia seperti berada di
tengah hutan lebat dan jurang dalam.
Dengan tubuh tanpa sehelai benangpun, semua bagian tubuhnya sangat
menakjubkan. Setiap lekuk tubuhnya mampu membangkitkan gairah setiap laki-laki.
Si Erl kecil lalu berjalan memasuki kamar mandinya. Dari dalam kamar mandi
terdengar suara air gemericik, begitu pelan, lamban dan samar.
Muncul dari kamar mandi, tubuh Erl kecil harum, segar, terbebat kain diseputar
buah dadanya, dengan bintik-bintik air di tengkuknya.
Sambil melepaskan kain yang dipakainya ke lantai, ia berbaring di sebuah kasur
empuk dengan bersitekan pada sebelah sikunya dalam posisi menyamping,
memperlihatkan seluruh tubuhnya. Ekspresi wajahnya segar dan bibirnya merah
delima merekah dengan sorot mata mengundang yang sekan-akan menyiratkan
bahwa tak ada persoalan apa pun dengan ketelanjangannya. Ia seperti melayang di
atas kasur empuk, dengan perangai tubuh yang leluasa bergerak tanpa sehelai
benang pun. Setiap lekuk tubuhnya menciptakan ruang eksistensinya sendiri
sekaligus menjadi dirinya sendiri. Seluruh perangai ketelanjangan, ekspresi dan
sorot matanya, membayangkan sebuah sikap merayu, memancing orang (lelaki)
untuk menelan air liurnya.
Tubuh Liok Kun Liong tergetar, sambil menutup matanya ia menenangkan diri
sepenuhnya dan berkata "Nona, aku datang ke sini atas permintaan seseorang
dengan goresan di bagian bawah matanya sambil mengeluarkan seuntai kalung giok
yang ia peroleh dari si Maling sakti"
Dengan kaget si Erl kecil langsung bangkit dari kasurnya, mengambil kain
dilantai untuk menutupi tubuhnya, lalu menghampiri Lie Kun Liong.
"Di mana Maling Sakti berada ?" tanya si Erl kecil dengan suara mendesak.
"Dia telah mati di bokong oleh orang yang hendak ditemuinya di sebuah kelenteng
rusak tidak jauh dari kota raja ini" sahut Lie Kun Liong.
Dengan wajah pucat si Erl kecil mengambil kalung giok dari tangan Lie Kun Liong
dan mengamatinya sambil mengeluarkan air mata.
"Apa hubungan nona dengan Maling Sakti ini" tanya Lie Kun Liong ingin tahu.
"Dia ayahku" jawab si Erl kecil sambil menyusut air matanya.
Dengan wajah tercenggang Lie Kun Liong menatap wajah sedih si Erl kecil, ia
tidak menyangka si Maling Sakti memiliki seorang putri yang bekerja di rumah
pelesiran ini. "Engkau pasti heran kenapa Maling Sakti memiliki putri seperti aku bukan" tanya
si Erl kecil seolah-olah dapat membaca pikiran Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong diam tak menjawab, ia tidak ingin membuat si Erl kecil merasa
tersinggung. "Sebenarnya tidak banyak orang yang tahu bahwa rumah pelesiran ini merupakan
milik ayahku. Dari sinilah ayahku bisa mendapat informasi yang berharga dari
tamu-tamu yang datang dan melakukan aksinya. Tidak ada cara yang lebih ampuh
untuk mendapatkan rahasia selain dengan wanita penghibur. Umumnya para tamu yang
datang tidak curiga sama sekali kalau kami sedang mengorek-orek rahasia mereka,
terlebih apabila mereka dicekoki arak hingga mabuk" kata si Erl kecil.
"Lalu apa tujuan kalian hanya mencuri lukisan dari gudang pusaka istana" tanya
Lie Kun Liong heran. "Sebenarnya ayah mendapat order pesanan dari seorang angkatan tua kangouw
untuk mencuri lukisan itu dengan bayaran yang sangat besar, cukup untuk tidak
mencuri lagi selamanya. Kalung giok ini adalah salah satu bukti pembayaran
darinya" kata si Erl kecil.
"Apakah kalian tahu apa yang di cari orang itu dari lukisan yang kalian curi ?"
tanya Lie Kun Liong. "Tidak tahu, cuma memang ayah merasakan hal ini sangat aneh hingga untuk
berjaga-jaga ia telah mempersiapkan segala sesuatu dengan membuat tiruan lukisan
itu sedangkan yang asli aku simpan" kata si Erl kecil sambil berjalan menuju
lemari pakaian yang ada dipojok ruangan dan membukanya. Tampak bagian dalam
lemari itu sama seperti lemari biasa namun ternyata dengan menekan suatu alat tertentu
di balik lemari itu ada ruangan yang tersembunyi. Si Erl kecil masuk ke ruangan
tersembunyi itu dan tidak beberapa lama kemudian ia keluar sambil membawa
sebuah gulungan kain dan menaruhnya di atas meja bundar di tengah kamar serta
membukanya lebar-lebar. Ternyata gulungan kain itu adalah lukisan yang di curi
si Maling Sakti, melukiskan pemandangan pada musim rontok, di mana bulan terang,
angin bertiup sepoi-sepoi sehingga udara dan sungai tampak bersih sekali. Sebuah
maha karya lukis yang mengagumkan sehingga tidak heran termasuk barang pusaka
istana. Setelah mengamati lukisan itu sekian lama, lapat-lapat Lie Kun Liong merasa
pernah melihat gambar lukisan itu tapi entah di mana ia pernah melihatnya.
"Siapakah angkatan tua yang telah memberi tugas mencuri lukisan ini ?" tanya Lie
Kun Liong. "Ayah tidak sempat memberitahu karena ia terburu-buru hendak menyerahkan
lukisan ini ke orang itu. Yang pasti orang itu mempunyai kedudukan yang tinggi
di dunia persilatan sehingga ayah pun tak kuasa menolak permintaannya" kata si
Erl kecil. "Apakah orang itu tahu kediaman Maling Sakti di sini ?"tanya Lie Kun Liong.
"Tidak seorang pun yang tahu" jawab si Erl kecil yakin.
"Sebaiknya nona menyingkirkan diri dari sini, siapa tahu orang itu memiliki
mata-mata dan mendapat tahu kediaman Maling Sakti di sini. Apalagi bila ia
mendapat tahu lukisan yang diserahkan ayahmu itu palsu" saran Lie Kun Liong.
"Baiklah, Erl kecil pasti mendengarkan saran Lie-ko" jawabnya sambil tersenyum
manis mengoda. "Kalau begitu aku pergi dulu" kata Lie Kun Liong seolah-olah tidak melihat


Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyuman yang membuat hatinya berdebar-debar.
Sambil termangu Erl kecil memandang kepergian Lie Kun Liong, entah mengapa
baru kali ini ia mempercayai seorang lelaki dan menceritakan semua rahasia
mereka kepada orang luar. Hanya satu yang tidak ia berani ia beritahukan yaitu
julukannya Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu).
9. Perayaan ulang tahun ketua partai Bu-tong-pay
Keesokan paginya selagi mereka berdua sedang menikmati sarapan pagi di warung
penginapan, Lie Kun Liong mendengar namanya di panggil-panggil. Ketika ia
menengok ke arah suara panggilan itu, tampak sedang menuruni anak tangga loteng
penginapan itu Cin-Cin, Tang Bun An dan ketua partai Thay-san-pay - Master The
Kok Liang. Dengan girang Lie Kun Liong berdiri dan menyambut kedatangan mereka
sambil berkata "Cin-moy, Tang-heng rupanya kalian juga sudah turun gunung". Ia
lalu memberi hormat ke Master The-Kok-Liang.
Sambil tertawa gembira Cin-Cin berkata "Ayah mendapat undangan perayaan ulang
tahun ke 80 ketua partai Bu-tong - Kiang Ti Tojin, jadi sekalian untuk menambah
pengalaman kami ikut pergi sedangkan ibu tetap tinggal di rumah.
"Sebenarnya kami bisa langsung ke Bu-tong tapi Cin-moy merengek-rengek mau
melihat-lihat keindahan kota raja dulu" kata Tang Bun An sambil tertawa mengoda.
Sambil memonyongkan mulutnya Cin-Cin berkata "Padahal aku tahu suheng
sebenarnya kepingin juga melihat-lihat kota raja"
"Sudahlah kalian berdua ini selalu ribut-ribut, malu di dengar orang" kata
Master The-Kok-Liang. Lie Kun Liong lalu mengenalkan mereka teman seperjalanannya - Bai Mu An.
Sambil sarapan pagi bersama, Cin-Cin berkata "Liong-ko bagaimana kalau engkau
ikut bersama kami ke Bu-tong, di sana pasti ramai sekali dan banyak tokoh-tokoh
silat kenamaan yang datang untuk megucapkan selamat ulang tahun kepada Kiang
Ti Tojin" "Benar Lie-heng, sebaiknya kita pergi bersama-sama untuk menambah pengalaman"
sahut Tang Bun An sambil menoleh ke arah suhunya meminta ijin.
Master The-Kok-Liang mengangguk-anguk tanda setuju sambil mengusap
jenggotnya. "Benar A Liong, ini kesempatan yang langka, jarang terjadi kita bisa
memenuhi undangan dari parai Bu-tong., sekalian ajak hiantit Bai Mu An" kata
Master The Kok Liang. "Terima kasih cianpwe atas ajakannya tapi wanpwe masih ada urusan pribadi di
kota raja ini" jawab Bai Mu An dengan hormat.
Lie Kun liong tahu Bai Mu An masih penasaran hendak mencari Liok In Hong sampai
ketemu sehingga ia tidak telalu mendesak.
Selesai sarapan Bai Mu An pergi untuk menyelesaikan urusan pribadinya sedangkan
mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Bu-tong-pay.
Sepanjang perjalanan Lie Kun Liong menceritakan pengalamannya secara garis
besar saja selama beberapa bulan ini termasuk peristiwa semalam.
"Aneh sekali, siapa gerangan angkatan tua yang bisa memerintahkan Maling Sakti
untuk melakukan pencurian yang sangat beresiko di istana. Setahu lohu Maling
Sakti memiliki ginkang yang tiada taranya dan ilmu silat yang tinggi, termasuk
salah satu jago kosen dunia persilatan" kata Master The Kok Liang.
Sepanjang perjalanan ke Bu-tong mereka melihat banyak orang-orang persilatan
mulai dari pengemis, pendeta dan lain-lain juga menuju ke Bu-tong-san. Rupanya
kali ini pihak Bu-tong-pay merayakan ulang tahun ketua partainya besar-besaran.
Sekilas mengenai partai Bu-tong saat itu, dengan ribuan murid yang tersebar di
seluruh penjuru, tak pelak lagi Bu-tong-pay merupakan salah satu partai terkuat
di dunia persilatan saat ini.
Pimpinan tertinggi Bu-tong-pay selain ketua adalah hu-ciangbujin (wakil ketua)
partai yang saat ini dipegang sute Kiang-Ti-Tojin bernama Kiang-Siang-Tojin
serta para tianglo (sesepuh perguruan) yang merupakan sute-sute Kiang-Ti-Tojin
dan Kiang-Siang-Tojin. Sedangkan angkatan kedua partai Bu-tong merupakan murid-murid utama pimpinan
partai ini yang rata-rata sudah berumur 40-50 tahunan terkecuali murid penutup
Kiang-Ti-Tojin yang baru berusia 19 tahunan bernama Tan Sin Liong. Sedangkan
angkatan muda partai Bu-tong saat ini yang memiliki kepandaian tertinggi adalah
7 pendekar dari Bu-tong yang merupakan murid-murid angkatan kedua Bu-tong-pay.
Di bawah kedudukan wakil ketua adalah kedudukan pelaksana harian yang
mengatur semua kegiatan sehari-hari Bu-tong-pay termasuk kegiatan perayaan
ulang tahun ini, dipimpin oleh murid pertama Kiang-Ti-Tojin yang bernama Tiong-
Pek-Tojin. Tiong-Pek-Tojin ini baru berusia pertengahan 50 tahunan disebut-sebut
sebagai calon ciangbujin (ketua) Bu-tong-pay menggantikan gurunya Kiang-Ti-
Tojin. Ilmu silatnya adalah yang paling lihai di angkatan ke dua Bu-tong-pay dan
dikabarkan telah mewarisi semua ilmu gurunya sehingga sangat cocok menjadi
calon pengganti ciangbujin saat ini dan didukung sebagian besar sute-sutenya
serta kalangan muda Bu-tong-pay.
Namun dikalangan angkatan ke dua Bu-tong-pay yang sangat berambisi menjadi
calon pengganti ciangbujin adalah murid satu-satunya Kiang-Siang-Tojin yang
bernama Tiong-Cin-Tojin berusia dua tahun lebih muda dari Tiong-Pek-Tojin. Dari
segi ilmu silat ia masih kalah seurat dari suhengnya Tiong-Pek-Tojin tapi dari
segi kecerdikan Tiong-Pek-Tojin kalah jauh dari sutenya ini. Tiong-Pek-Tojin
wataknya teguh, dapat dipercaya dan jujur sedangkan Tiong-Cin-Tojin cerdik
cenderung licik, supel dan kurang mempunyai wibawa di mata murid-murid Bu-tong-
pay. Lain dengan suhengnya yang menjabat sebagai pelaksana harian, Tiong-Cin-Tojin
lebih suka berkelana dan memiliki pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan.
Kiang-Siang-Tojin tentu saja lebih menginginkan murid satu-satunya ini yan
menjadi calon ciangbujin tapi yang berhak membuat keputusan adalah ketua partai.
Menurut kabar angin selain merayakan ulang tahunnya yang ke 80, Kiang-Ti-Tojin
juga akan mengumumkan siapa yang menjadi calon penggantinya. Itulah sebabnya
mengapa perayaan ulang tahun ini dirayakan besar-besaran.
Sedangkan bagi para undangan, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
memberi selamat kepada tokoh paling terkemuka juga untuk mengenal lebih dekat
calon ciangbujin Bu-tong-pay yang baru.
Setibanya mereka di gunung Bu-tong sudah banyak undangan lain yang hadir.
Mereka di sambut oleh murid-murid penerima tamu dan begitu mengetahui yang
datang adalah caingbujin Thay-san-pay segera mereka memberitahu pelaksana
harian Tiong-Pek-Tojin yang keluar menyambut mereka. Walaupun menurut
tingkatan Master The-Kok-Liang sejajar dengan ciangbujin Bu-Tong-Pay tapi Master
The-Kok-Liang bersahabat kekal dengan Tiong-Pek-Tojin karena selain berusia
hampir sama, juga mereka terjun ke dunia kangouw dan mengangkat pada masa
yang sama. "Apa khabar The-heng, sudah puluhan tahun tidak bertemu ternyata The-heng masih
kelihatan muda dan tidak berubah banyak" kata Tiong-Pek-Tojin dengan gembira
menyambut kawan lamanya. "Baik-baik saja Can-heng, engkau juga tidak berubah malah semakin gagah" balas
Master The-Kok-Liang gembira. Ia menyebut nama Tiong-Pek-Tojin sebelum ia
menjadi Tojin (pendeta Tao).
"Bagaimana kabar dengan Chen Kouwnio" Tiong-Pek-Tojin menanyakan kabar istri
Master The-Kok-Liang. "Baik-baik saja, Hui-Lan tetap di Thay-San mengurus partai" kata Master The-Kok-
Liang. Lalu ia memperkenalkan rombongannya.
Tiong-Pek-Tojin mengajak rombongan Thay-San-Pay ini duduk di bagian tamu
kehormatan. Para undangan yang hadir hanya sedikit yang mengenal ketua Thay-
san-pay ini karena selain sudah lama tidak berkecimpung di dunia persilatan,
letak gunung Thai-san yang jauh serta murid-murid partai Thai-san-pay jarang
yang berkelana membuat partai ini sedikit kurang dikenal kalangan persilatan. Tapi
begitu mengetahui mereka berasal dari Thai-san-pay dan dipimpin langsung oleh
ketuanya yang tersohor, kebanyakan undangan menjulurkan leher mereka untuk
melihat lebih jelas rombongan Thay-san-pay. Apalagi rombongan Master The-Kok-
Liang terutama Cin-Cin yang cantik jelita sudah menarik minat kalangan muda yang hadir.
Memang Cin-cin memiliki bentuk tubuh dan paras rupa yang sempurna. Ia dihiasi
dengan kecantikan, kemanisan, keindahan, kejelitaan, kehalusan, kelemah-
lembutan, dan segala sifat-sifat keperibadian yang terpuji di samping bentuk
tubuhnya yang mempesona serta memikat hati setiap yang memandangnya.
Sedangkan Lie Kun Liong dan Tang Bun An adalah pemuda-pemuda pilihan dan
tampan sehingga menarik minat para dara muda yang hadir.
Di bagian tamu kehormatan ternyata sebagian besar sudah terisi, sepanjang jalan
sebentar-sebentar Master The-Kok-Liang berhenti menyambut sapaan kenalan-kenalan
lamanya. Ternyata selain ketua Thay-san-pay, juga hadir ketua partai Hoa-San-Pay - Master
Yu-Kang, ketua Go-Bi-Pay - Ong-Sun-Tojin, ketua Kun-Lun-Pay - Sie-Han-Cinjin,
wakil ketua partai Kay-Pang - Kam Lo-kai, serta sute ketua biara Shao-Lin -
Tiang-Lok Hwesio serta ketua partai-partai lainnya.
Boleh di bilang perayaan kali ini termasuk peristiwa langka di dunia persilatan,
di mana pimpinan utama 7 partai besar yaitu Shao-Lin, Bu-Tong-Pay, Thay-San-Pay,
Hoa-San-Pay, Go-Bi-Pay, Kun-Lun-Pay dan perkumpulan Kay-Pang hadir semua di
sini. Dengan wajah berseri-seri, murid-murid Bu-Tong melayani para tetamu dengan
hormat. Mereka tahu para tamu undangan yang datang kali ini merupakan tokoh-
tokoh utama dunia kangouw.
Bagi Lie Kun Liong ini merupakan kesempatan yang baik untuk mencari tahu
keadaan Bu-Tong-Pay karena seperti yang ia dengar dari pelayan warung makan
mengenai kematian kedua orang tuanya sangat erat kaitannya dengan Bu-Tong.
Sedangkan di pihak Bu-Tong-Pay, seluruh pimpinan dan murid-murid utama telah
dikerahkan menyambut kedatangan tamu kehormatan diantaranya nampak Tiong-
Pek-Tojin, Kiang-Siang-Tojin, Tan Sin Liong, 7 pendekar Bu-Tong, dan lain-lain.
Setelah di rasa waktunya telah tiba, ketua partai Bu-Tong Kiang-Ti-Tojin keluar.
Tampak seorang tua dengan rambut telah putih semua memasuki ruangan,
wajahnya masih tampak sehat kemerahan, sinar matanya masih bersinar terang
menandakan lweekang yang sudah sempurna - Inilah salah satu tokoh paling
terkemuka di dunia persilatan. Kiang-Ti-Tojin lalu mengucapkan terima kasih atas
kehadiran para tamu undangan dan mempersilakan para tamu untuk mencicipi
hidangan yang telah disediakan, lalu ia menghampiri dan menyapa para tamu
kehormatan satu per satu untuk mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka
datang ke Bu-Tong-Pay. Setelah melihat para hadirin sudah puas makan minum hidangan yang disediakan,
Kiang-Ti-Tojin lalu berdiri dan berkata kepada para tamu undangan "Pinto
berterima kasih atas kunjungan para sahabat sekalian. Seperti yang diketahui,
sekarang ini pinto sudah berusia 80 tahun dan selama ini kewajiban pinto sebagai
ketua diwakili sute Kiang-Siang-Tojin dan murid pinto - Tiong-Pek-Tojin dalam
mengurus keseharian partai ini. Saat ini pinto bersama sute Kiang-Siang-Tojin dan para
tianglo sepakat untuk menyerahkan tampuk pimpinan ke angkatan yang lebih muda
dan lebih bersemangat untuk memajukan partai. Sedangkan pinto bersama sute dan
para tianglo hanya akan mengawasi dan memberi pertimbangan-pertimbangan jika
diperlukan. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, pinto memutuskan untuk
menunjuk murid pertama pinto - Tiong-Pek-Tojin sebagai pejabat ciangbujin untuk
mengantikan pinto dan akan dilantik secepatnya"
Terdengar tepukan tangan yang ramai dari murid-murid Bu-Tong-Pay dan para tamu
undangan tanda penunjukan Tion-Pek-Tojin sesuai dengan harapan mereka.
Demikianlah pidato Kiang-Ti-Tojin mengakhiri perayaan ulang tahunnya dengan
meriah. Para tamu undangan merasa puas dengan pelayanan murid-murid Bu-Tong-
Pay dan menyebarkan kabar penting ini ke seluruh penjuru dunia persilatan.
Tiong-Pek-Tojin sibuk melayani ucapan selamat yang diterimanya dari para tamu
undangan khususnya dari Master The-Kok-Liang yang merasa sangat gembira
sahabat lamanya sekarang menjadi ketua partai Bu-Tong sejajar kedudukannya
dengan dirinya. Tiong-Pek-Tojin mendesak Master The-Kok-Liang untuk tinggal selama beberapa
hari di Bu-Tong dan di sambut dengan sukarela oleh Master The-Kok-Liang dan
rombongan. Lie Kun Liong, Cin-Cin dan Tang Bun An selama di Bu-Tong-Pay ditemani oleh
murid penutup Kiang-Ti-Tojin - Tan Sin Liong. Dengan cepat mereka merasa akrab
dan cocok satu sama lain. Mereka diajak Tan Sin Liong bertamasya di gunung Bu-
Tong yang sangat terkenal atas keindahannya. Mereka begitu takjub melihat
keindahan Bu-Tong-San, tinggi menjulang, biru dari kejauhan dan terkadang
tertutupi awan dipuncaknya
Kawasan gunung Bu-Tong tidak hanya menyajikan panorama alam nan sejuk, tetapi
juga memiliki air terjun yang indah. Mereka dapat menikmati keindahan alam dan
segarnya air terjun dengan beraneka macam kupu-kupu beterbangan di sana sini.
Uniknya lagi, di bagian bawah air terjun ini terdapat sebuah gua. Di dalam gua
itu terdapat stalaktit yang cukup indah. Dari dalam gua mereka bisa dapat
melihat lembar-lembar air terjun yang jatuh ke bumi bagaikan tirai.
Mereka bertiga merasa puas sekali tinggal di gunung Bu-Tong dan berteman dengan
Tan Sin Liong. Wajah Tan Sin Long cukup tampan namun terkesan pendiam alias
tidak banyak bicara. Bagi Tan Sin Liong mereka merupakan teman-teman yang baru
pertama kali ia temui, walaupun di gunung Bu-Tong ini pemuda-pemudi yang sebaya
dengan dirinya cukup banyak namun karena secara kedudukan tingkatannya lebih
tinggi, mereka menjadi agak sungkan dan bergaul pun menjadi kurang akrab.
Memang di jaman itu, masalah tingkatan masih dianggap sangat penting sehingga
walaupun umur mereka sebaya, mereka tetap harus memanggilnya susiok (paman
guru). Selama berada di Bu-Tong, Lie Kun Liong berusaha mencari tahu hubungan Bu-
Tong dengan ayahnya. Ia mencoba minta bantuan Master The-Kok-Liang dengan
menceritakan semua yang ia dengar mengenai kematian ke dua orangtuanya dari
pelayan warung makan, dimana sebelum meninggal ayahnya meninggalkan goresan
kata Bu-Tong. Dengan serius Master The-Kok-Liang mendengarkan penuturan Lie
Kun Liong. Ia lalu berkata "Ini memang perkara yang aneh, apakah ada murid Bu-
Tong-pay yang terlibat dengan kematian ke dua orangtuamu masih belum bisa
dipastikan kebenarannya. Begini saja, biar lohu mencari tahu dari Tiong-Pek-
Tojin dan sute-sutenya apakah mengenal ayahbundamu. Mungkin dari sini kita bisa
mendapatkan sedikit petunjuk".
Tapi selama beberapa hari tinggal di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat
menemukan kabar apa pun mengenai kematian kedua orangtuanya. Master The-
Kok-Liang memberitahukan hasil penyelidikannya dengan bertanya kepada Tiong-
Pek Tojin dan sute-sutenya bahwa tak seorang pun yang mengenal kedua
orangtuanya. Di malam terakhir mereka di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat tidur, ia kecewa
tidak mendapatkan petunjuk apapun. Apakah kematian kedua orangtuanya tidak
akan pernah terungkap, sebagai anak ia merasa telah mengecewakan harapan
orangtuanya. Akhirnya untuk menenangkan diri ia berjalan keluar kamar menuju taman tidak jauh
dari kamarnya. Ia duduk termenung sambil menatap kilauan bintang-bintang di
langit malam, tak ada bulan hanya ada awan yang datang menyelimuti, ia merasakan
malam begitu kelam sekelam pikirannya. Tiba-tiba kupingya yang tajam mendengar
sayup-sayup suara lirih dari balik tembok taman lalu menghilang. Di picu rasa
ingin tahu, Lie Kun Liong melompat melewati tembok taman dan mencari sumber
suara tadi. Agak jauh ke depan dari belakang tembok taman merupakan hutan yang
dipenuhi pepohonan, dengan hati-hati ia memasuki hutan itu. Suara tadi mulai ia
dengar kembali. Dari balik pepohonan ia melihat dua orang murid Bu-tong sedang
melakukan pembicaraan. Lie Kun Liong mengenal kedua orang itu sebagai sute-sute
Tiong-Pek-Tojin, entah apa gerangan yang mereka bicarakan di malam yang sudah
larut ini. Pria pertengahan yang wajahnya terlihat jelas ia kenal bernama Tiong-
Jin-Tojin sedangkan pria yang satunya lagi bernama Tiong-Kok-Tojin, keduanya
adalah suheng-suheng Tan Sin Liong.
Ia memasang telinga baik-baik, karena jarak persembunyiannya cukup jauh ia hanya
mendengar sepotong-sepotong pembicaraan mereka. Tapi yang membuat hatinya
melonjak adalah ketika ia mendengar kata "Pemuda itu.....Lie Kun Liong....anak
mereka..... Lie Hong Kiat"
Akhirnya ia mendapat petunjuk terang mengenai sebab kematian kedua
orangtuanya, mata Lie Kun Liong mulai meletupkan sinar berapi-api. Sudah jelas
ada murid Bu-Tong-Pay terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Jangan-
jangan kedua orang ini turut terlibat dalam pengeroyokan dua belas tahun yang lalu.
Lie Kun Liong menunggu ke dua orang itu pergi sebelum ia keluar dari tempat
bersembunyinya, lalu kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bertindak sembrono
sebelum mengetahui semuanya dengan jelas dan mengungkapkan siapa dalang dari
pembunuhan ke dua orangtuanya.
Keesokan paginya ia menemui Tan Sin Liong untuk memancing informasi lebih lanjut


Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenai kedua orang itu semalam.
"Tan-heng, aku lihat masa depan Tan-heng ke depan pasti gilang-gemilang dengan
terpilihnya suhengmu Tiong-Pek-Tojin sebagai ciangbujin berikutnya, bukan tidak
mungkin Tan-heng dagkat sebagai wakil ketua atau pelaksana harian" kata Lie Kun
Liong membuka pembicaraan.
Dengan menghela nafas panjang Tan Sin Liong mengeluarkan unek-uneknya dan
berkata"Lie-heng sebagai orang luar mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi di tubuh partai kami saat ini. Kelihatannya semua murid-murid Bu-Tong
saling rukun tetapi sebenarnya terdapat perselisihan-perselisihan kecil yang
kalau dibiarkan bisa membesar"
"Kalau Tan-heng percaya sama aku, persoalan apa yang terjadi di Bu-Tong-Pay saat
ini ?" "Tentu saja aku percaya sama Lie-heng yang sudah aku anggap sebagai teman
karib. Persoalan ini mengenai Tiong-Cin suheng beserta murid-murid yang
mendukungnya. Sudah bukan rahasia lagi Tiong-Cin suheng memiliki ambisi untuk
menjadi ciangbujin Bu-Tong-Pay, dengan ditunjuknya Tiong-Pek suheng sebagai
ciangbujin menggantikan suhu, membuat pihak Tiong-Cin suheng kecewa.
Sebelumnya sudah berulangkali Tiong-Cin suheng mengkritik Tiong-Pek suheng
dalam melaksanakan tugas sehari-hari partai Bu-Tong namun selama ini Tiong-Pek
suheng cukup arif tidak melayani provokasi Tiong-Cin suheng. Tapi bila terus
diprovokasi bukan tidak mungkin Tiong-Pek suheng terpancing sehingga bisa
terjadi bentrokan. Ini yang aku khawatirkan terjadi, Bu-Tog-pay bisa menjadi
lemah dari dalam." kata Tan Sin Liong.
"Kira-kira siapa saja yang berada di pihak Tiong-Cin-Tojin, apakah cukup
banyak ?" "Di angkatan kami hanya Tiong-Jin suheng dan Tiong-Kok suheng yang mendukung
Tiong-Cin suheng sedangan suheng-suheng yang lain ada yang mendukung Tiong-
Pek suheng, ada juga yang netral. Sedangkan di angkatan yang lebih muda,
tentunya murid-murid Bu-Tong mendukung masing-masing suhu mereka" jawab Tan
Sin Liong. "Apakah pihak Tiong-Cin-Tojin yang kecewa bisa mengundang orang luar untuk ikut
campur?" tanya Lie Kun Liong.
"Walaupun aku tahu Tiong-Cin suheng memiliki pergaulan yang luas di kalangan
kangouw tapi aku harap itu tidak terjadi. Ini bisa dianggap menghianati partai,
aku rasa Tiong-Cin suheng tidak akan bertindak sejauh itu" kata Tan Sin Liong
dengan mimik serius. 10. Pengeroyokan di peternakan kuda
Setelah berpamitan, siang harinya mereka meninggalkan Bu-Tong-Pay. Rombongan
Master The-Kok-Liang hendak menuju ke kota Nan-chang yang terletak di sebelah
selatan Bu-Tong-San di keresidenan Jiang-Xi untuk berkunjung kepada sanak
saudaranya sebelum kembali ke Thay-san. Lie Kun Liong yang masih ingin
menyelidiki lebih lanjut penemuannya di Bu-Tong menolak dengan halus ajakan
Master The-Kok-Liang untuk berjalan bersama. Cin-Cin yang mendengar Lie Kun
Liong akan melanjutkan perjalanannya sendiri merasa kecewa dan merasa sedih.
"Liong-ko, mengapa engkau tidak mau ikut kami ke kota Nan-chang ?" tanya Cin-Cin
penasaran. Sambil menghela nafas panjang Lie Kun Long menjawab "Cin-moy masih banyak
urusan yang harus kuselesaikan, sampai saat ini belum satupun yang selesai. Tapi
aku harap kali ini mendapatkan titik terang mengenai kematian orangtuaku. Aku
tidak boleh melewatkan petunjuk yang kudapatkan menjadi sia-sia, untuk itulah
aku tidak bisa menyertai kalian"
"Kalau begitu aku akan minta ayah untuk mengijinkanku dan suheng membantumu
melakukan penyelidikan, lagipula ini kesempatan bagi kami untuk terjun ke dunia
kangouw" "Tidak usah Cin-moy, urusan balas dendam adalah urusan pribadi, aku tidak mau
melibatkanmu dan Tang-heng dalam masalah ini"
Cin-Cin terdiam, ia tahu tidak boleh terlalu mendesak karena masalah balas
dendam memang menurut aturan kangouw harus diselesaikan oleh yang bersangkutan.
Di ujung persimpangan jalan mereka berpisah dengan Lie Kun Liong. Merasa sepi
dan sendirian setelah beberapa hari berkumpul dengan kawan-kawannya, Lie Kun
Liong beristirahat di bawah pohon rindang di tepi jalan, ditiup angin silir-
silir sambil memikirkan langkah apa yang harus ditempuh untuk mengungkapkan
misteri kematian orangtuanya. Sekarang ia tidak buta samasekali akan kematian ayah
bundanya, jelas murid Bu-Tong terlibat, hanya ia tidak tahu seberapa jauh mereka
terlibat dan apakah mereka biang keladinya ataukah hanya pion saja. Yang jelas
ia harus mencari tahu melalui Tiong-Jin-Tojin dan Tiong-Kok-Tojin yang ia dengar
pembicaraanya semalam. Selagi duduk termenung, terdengar derap kaki kuda di kejauhan mendekat
kearahnya. Lie Kun Liong tidak ingin bertemu siapa pun saat ini, ia bangkit dan
berjalan menjauhi jalanan menuju jalan setapak ke hutan sebelah dalam dari
jalanan. Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat
di atas jalan yang berdebu dan bertebangan mengiringi derap kaki kuda yang
terpacu dengan cepat. Dari jauh ia mengawasi ke dua ekor kuda itu melintas,
kuda-kuda itu ditunggangi oleh dua orang pria berusia pertengahan. Lapat-lapat
Lie Kun Liong mengenali punggung ke dua penunggang kuda itu adalah Tiong-Jin-
Tojin dan Tiong-Cin-Tojin. Kebetulan sekali ia sedang bingung langkah apa yang harus
dilakukannya, dengan cepat ia mengembangkan ilmu meringankan tubuh mengikuti
derap kaki kuda itu semakin lama terdengar menjadi semakin jauh.
Untungnya ilmu ginkangnya sudah mencapai taraf tertinggi hingga tidak mengalami
kesulitan mengikuti kuda-kuda itu.
Tiba di kota terdekat, mereka berhenti di sebuah warung makan untuk mengisi
perut dan memberi makan kuda. Lie Kun Liong tidak berani masuk ke warung dan
mengawasi mereka dari ujung jalan.
Demikianlah selama dua-tiga hari ia mengikuti mereka dengan ketat dan mulai
kepayahan. Keduanya memacu kuda mereka tanpa henti, hanya pada malam hari
saja mereka berhenti dan beristirahat di penginapan. Lie Kun Long tidak berani
meninggalkan mereka sebentarpun untuk membeli kuda, takut mereka berlalu tanpa
sepengetahuannya. Syukur di hari ketiga gelagatnya sudah sampai ke tujuan, mereka memasuki sebuah
gedung yang terletak di sebuah peternakan kuda yang luas, kira-kira masih
duabelas mil lagi ke kota Hui-Chang.
Di sisi kiri gedung sejauh mata memandang nampak lembah hijau yang sangat luas.
Dari atas laksana padang rumput berlatar belakang dua gunung hijau. Di tengah
"padang rumput" itu ratusan ekor kuda sedang makan rumput dan ilalang yang
tersedia melimpah. Sementara itu, di antara pepohonan yang rimbun dan teduh nampak seorang
pemuda tanggung mengangon dan mengawasi kuda-kuda itu. Lie Kun Liong
menghampiri dan menyapanya. Ia mengaku sebagai pelancong yang hendak
beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke kota terdekat.
"Adik kecil, peternakan kuda ini punya siapa, pasti seorang yang memiliki
kedudukan tinggi di pemerintahan" kata Lie Kun Liong.
"Siangkong salah, peternakan ini dimiliki oleh hartawan Bok-Wangwe (hartawan
Bok)" jawab peganggon kuda yang dipanggil Siau kecil.
Sambil bercakap-cakap dengan Siau kecil, Liu Kun Liong berhasil mendapat tahu
pemilik peternakan kuda ini adalah Bok-San yang terkenal kaya raya dan juga
memiliki penginapan, rumah judi dan beberapa rumah makan di kota Hui-Chang.
Bok-Wangwe tinggal di sebuah gedung megah di tengah kota Hui-Chang dengan
beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak perempuan berumur
enam belas tahun dari istri tuanya.
Sesampai di kota Hui-Chang ia langsung mencari penginapan untuk memulihkan
tenaganya yang terkuras selama tiga hari ini dan memesan makanan untuk
diantarkan di kamarnya. Begitu sadar dari siu-lan (semedi), ternyata hari sudah
malam. Tubuhnya terasa segar siap untuk melakukan penyelidikan ke peternakan
kuda tadi. Dengan cepat ia mengganti pakaiannya dengan pakaian pejalan malam -
hitam kelam dan mengantung pedang di punggungnya. Sambil berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh Liok-Tee-Hui-Teng (terbang di atas bumi) ia dengan cepat
sampai di peternakan tadi dan melayang ke atap gedung yang berada di tengah
peternakan kuda. Suasana gedung itu tenang, gelap dan sunyi-senyap, kelihatannya
semua penghuni gedung telah terlelap dalam tidurnya. Tapi di salah satu ruangan
yang terletak di bagian belakang gedung masih terlihat nyala lampu dan bayangan
tubuh orang yang sedang duduk. Dengan hai-hati ia berjalan mendekati ruangan
tersebut, dari jendela yang terbuka ia melihat dua orang buruannya tadi yaitu
Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin sedang bercakap-cakap.
Dengan mengerahkan segenap ilmu ginkang, ia berindap-indap mendekati jendela
yang terbuka dan berusaha mendengarkan percakapan mereka. Ia tahu kedua Tojin
ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, sedikit lengah dapat berakibat
persembunyiannya konangan. Ia tidak berani bernafas keras-keras, jaraknya dengan
mereka tidak lebih dari lima meter jauhnya, hanya dipisahi dinding ruangan itu.
Terdengar suara Tiong-Jin-Tojin sedang bertanya kepada Tiong-Cin-Tojin,
"Apa suheng yakin anak Lie Hong Kiat tidak akan mengetahui sebab kematian kedua
orangtuanya" "Percayalah sute, malam itu ketika kita mengeroyok Lie Hong Kiat dan istrinya
tidak ada seorang pun yang tahu, lagipula saat itu kita mengenakan pakaian hitam
dan berkedok. Jangankan orang lain, Lie Hong Kiat dan istrinya belum tentu tahu
bahwa yang mengeroyok mereka saat itu adalah sahabatnya sendiri" kata Tiong-Cin-
Tojin tertawa bangga. "Engkau memang pintar suheng bisa bersahabat dengan orang semacam Lie Hong
Kiat yang menganggapmu sebagai saudara sendiri, kalau tidak kita tidak akan
mengetahui rahasia yang dimilikinya"
"He..he itu pun hanya kebetulan saja, waktu itu dia sedang memandangi lukisan
pemandangan yang tergantung di kamarnya dengan wajah bingung. Iseng-iseng aku
menanyakan apa yang sedang ia pikirkan. Ternyata beberapa tahun yang lalu ia
pernah menolong seorang tua yang terluka parah di tengah hutan habis di begal
oleh gerombolan perampok. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, orang
tua itu menyerahkannya segulungan kain yang disembunyikannya di balik punggungnya
sehingga tidak ikut di rampas gerombolan perampok kepada Lie Hong Kiat. Si kakek
tua memberitahu Lie Hong Kiat bahwa lukisan pemandangan itu memiliki rahasia
besar. Bagi yang berhasil memecahkannya akan mendapatkan suatu ilmu
peninggalan jago silat paling kosen ratusan tahun yang lalu. Namun sayangnya
orang tua itu pun tidak tahu rahasia lukisan ini" kata Tiong-Cin-Tojin sambil
mengeluarkan segulungan kain lukisan dari saku bajunya yang longgar.
"Bagaikan geluduk mengelegar di atas kepalanya, mata Lie Kun Liong mengeluarkan
api yang dapat membakar hangus sekitarnya. Akhirnya ia dapat memecahkan misteri
kematian kedua orangtuanya. Ternyata ayahnya bersahabat kental dengan Tiong-Cin-
Tojin tapi sampai mati pun mungkin ayahnya tidak tahu siapa yang mengeroyok
mereka. Hanya dari gerakan ilmu silat yang mengeroyoknya, ayahnya tahu si
pengeroyok memiliki ilmu silat aliran Bu-Tong-pay dan meninggalkan goresan kata
Bu-Tong sebelum meninggal. Demikian dugaan Lie Kun Liong.
"Tapi sehabis membunuh Lie Hong Kiat dan istrinya, kita tidak menemukan siapa
pun di dalam rumahnya termasuk anak lelakinya yang sekarang masih hidup dan
aku rasa memiliki ilmu silat yang tinggi." kata Tiong-Jin-Tojin sambil
mengerutkan dahi. "Jangan khawatir berlebihan sute, kalaupun anak Lie Hong Kiat memiliki ilmu
silat yang tinggi dan mendapat tahu sebab kematian orangtuanya, lalu kenapa,
tidak mungkin ia bisa mengalahkan kita dan tidak mungkin juga ia mengetahuinya selama
kita berlima tidak membuka mulut kepada siapapun. Yang perlu kita khawatirkan
saat ini adalah Tiong-Pek suheng, aku rasa ia mulai curiga terhadap kita bertiga
yang sering turun gunung, apalagi sekarang ia sudah menjadi ciangbujin, kita
harus semakin waspada."
"Sudah sekian lama kita mencari tahu rahasia dari lukisan ini namun tidak
berhasil mendapatkan petunjuk secuil pun, apa orang tua yang memberikan lukisan
ini kepada Lie Hong Kiat berbohong" kata Tiong-Jin-Tojin.
Selagi mendengarkan percakapan, tiba-tiba Lie Kun Liong merasakan hembusan
pukulan yang mengarah ke punggungnya. Ada orang yang membokongnya, dengan
sebat ia melayang ke depan menghindari pukulan itu sambil mencabut pedang di
punggungnya dan melancarkan serangan balasan ke belakang tubuhnya. Tampak
seorang pria gendut berpakaian mewah berusia lima puluh tahunan dan memiliki
gerakan tubuh yang sangat gesit sedang bergerak menghindar dari serangan
pedang yang ia lancarkan. Mendengar suara ribut-ribut, Tiong-Cin-Tojin dan
Tiong-Jin-Tojin memburu keluar.
"Apa yang terjadi Bok-heng, siapa orang yang berkedok ini" tanya Tiong-Cin-Tojin
sambil mengawasi Lie Kun Liong lekat-lekat.
"Tidak tahu, aku melihat dia sedang mendengarkan pembicaraan kalian di dekat
jendela tadi" jawab pria gendut itu yang ternyata adalah tuan rumah gedung ini -
Bok Wangwe alias Bok San.
Dengan wajah kaget Tiong-Jin-Tojin berteriak "Jangan biarkan dia lolos, dia
sudah mendengarkan rahasia kita"
Mereka bertiga mengepung Lie Kun Liong dengan rapat.
"Siapa engkau, mau apa datang ke sini" tanya Bok-San mengancam.
Lie Kun Liong dengan tenang menghadapi mereka, ia tidak mau membuka
rahasianya sebelum ia tahu siapa saja ke lima orang yang telah mengroyok ayah
bundanya. Sekarang ia sudah tahu dua orang, masih tiga oran lagi belm ia ketahui
namanya. Melihat orang berkedok itu diam tidak menjawab sepatah kata pun, Tiong-Jin-Tojin
dengan tidak sabar melancarkan serangan pedang ke arah pundak diikuti ke dua
kawannya. Menghadapi kerubutan tiga orang yang memiliki ilmu silat yang tidak boleh
dianggap main-main, Lie Kun Liong mempertahankan diri sebaik-baiknya sambil
melancarkan serangan balasan yang bertubi-tubi terutama kepada kedua Tojin ini.
Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin merupakan pentolan teratas Bu-Tong-Pay
terutama Tiong-Cin-Tojin sudah mencapai tingkat tertinggi ilmu pedang dan
memiliki pengalaman tempur puluhan tahun. Lalu masih ada Bok-San teman sehaluan
yang memiliki ilmu andalannya Eng-Jiauw-Kang (ilmu pukulan Cakar Garuda) yang telah
mencapai kesempurnaan, mereka bertiga yakin dapat dengan mudah menundukkan
pria berkedok ini. Bagi Lie Kun Liong ini adalah pertempuran terhebat yang pernah ia alami. Untung
baginya sejak turun gunung ia telah beberapa kali mengalami pertempuran yang
hebat dengan jago-jago kosen dunia persilatan mulai dari perampok barang
piaukiok sampai Bai Mun An si Pedang Kilat.
Dengan ketat ia mempertahan diri dari serangan mereka, namun sayang
pengalaman bertempurnya masih kurang cukup hingga kadang-kadang ia masih
ragu-ragu dan menghilangkan banyak peluang membalas serangan mereka. Dari
segi ilmu silat apabila satu lawan satu, ia yakin dapat menandingi mereka. Tapi
dikeroyok bertiga oleh jago-jago top persilatan saat ini, ia mulai keteteran.
Suatu ketika ia di serang dari tiga jurusan yang berbeda, yang satu mengincar
pundaknya, pedang yang satu lagi mengincar batang leher, serta bagian perutnya.
Tidak sempat berpikir sejenakpun Lie Kun Liong mengerahkan segala kemampuan yang
ia miliki menghindari serangan-serangan itu. Dua serangan berhasil ia gagalkan, hanya
serangan yang dilakukan Tiong-Cin-Tojin yang mengincar pundaknya kurang
berhasil ia lewati. Ujung pedang Tiong-Cin-Tojin berhasil mengores sisi lengan
kirinyanya dan mengeluarkan darah segar. Sadar akan bahaya yang dihadapinya
bila ia meneruskan pertempuran ini, dengan mengigit bibirnya kencang-kencang Lie
Kun Liong mulai melancarkan jurus andalan "Ilmu Pedang Terbang" perguruannya.
Sekonyong-konyong sambil mundur menjauh dari kepungan, ia melemparkan
pedangnya ke atas dan melompat ke atas pohon terdekat. Dengan lweekang yang
dimiliki ia mengendalikan pedang yang terlempar ke arah Tiong-Jin-Tojin yang
tidak menyangka akan di serang sedemikian rupa. Dengan susah payah ia mencoba
menangkis pedang Lie Kun Liong dengan pedangnya namun kalah cepat sedikit,
pedang Lie Kun Liong berhasil menggores luka yang cukup dalam di bagian
pundaknya. Gerakan pedang Lie Kun Liong tidak berhenti di situ saja, sekarang
ujung pedangnya mengarah ke Bok-Wangwe secepat kilat. Sebelum Bok-Wangwe
sadar dan menghindar ujung pedang Lie Kun Liong sudah mendekat dan
mengancam dadanya, untung baginya, Tong-Cin-Tojin yang berada di dekatnya
bertindak cepat menangkis pedang Lie kun Liong dan terlontar ke atas kembali ke
tuannya. Dalam pertarungan antara ahli silat yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan, menang kalah kadang kala di tentukan dari unsur kejutan yang
dihadirkan lawan, semakin terkejut lama semakin besar peluang berhasil. Demikian
juga dengan serangan Lie Kun Liong, lawan tidak menyangka sama sekali ia sudah
menguasai ilmu pedang yang dapat menyerang lawan dari jarak jauh.
Boleh di bilang serangan barusan hanya terjadi dalam waktu sepersekian detik.


Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil memegang pedangnya kembali Lie Kun Liong melayang turun dan berlari ke
arah belakang peternakan kuda itu. Tiong-Cin-Tojin dan teman-temannya tidak mau
melepaskan Lie Kun Liong semudah itu. Mereka mengejar sekuat tenaga dan
mengintil dengan ketat Lie Kun Liong.
Saling kejar pun terjadi, ilmu meringankan tubuh mereka sama kuatnya hanya Bok-
Wangwe yang sedikit ketinggalan. Beberapa li telah berlalu namun jarak mereka
dengan Lie Kun Liong masih tetap sama beberapa depa saja.
Apabila ada orang awam yang menyaksikan kejar mengejar itu, mungkin ia akan
mengira melihat bayangan-bayangan setan yang berkelabat dengan cepatnya
melayang di atas tanah padang rumput pada tengah malam yang gelap gulita.
Luka di lengan Lie Kun Liong mulai mengeluarkan darah yang banyak dan
membuatnya sedikit pusing, sambil berlari Lie Kun Liong melihat sekelilingnya
mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri. Mereka sekarang berada di
bagian bawah pegunungan dengan pepohonan yang tampak menjulang tinggi dari
kejauhan. Dengan cepat Lie Kun Liong memasuki hutang pegunungan dan
memanfaatkan kegelapan malam menghilang dari kejaran mereka bertiga. Ia terus
berlari memasuki bagian dalam hutan dan baru berhenti setelah ia yakin telah
berhasil lolos dari kejaran mereka. Tak jauh dari situ terdapat sebuah sungai di
tengah hutan. Ia membersihkan luka-lukanya, wajahnya pucat tanda kehilangan
banyak darah, tubuhnya sangat letih. Ia merasa lemah sekali kehabisan tenaga,
memang suhunya pernah memberitahu kalau ilmu pedang terbang membutuhkan
pengerahan tenaga dalam yang besar, mereka yang belum memiliki tenaga dalam
yang sempurna tidak dapat mempelajari ilmu ini bahkan bisa berbahaya bagi
kesehatan apabila dipaksakan.
Lie Kun Liong jatuh pingsan kelelahan. Setelah melancarkan ilmu pedang terbang
yang mebutuhkan pengerahan tenaga dalam yang besar, ia masih harus berlari
berjam-jam lamanya dalam keadaan terluka hingga otomatis tenaganya semakin
terkuras habis. Diluar tahunya, sejak ia datang sudah ada sepasang mata bening menatap
kedatangannya tanpa bersuara di atas pohon besar di sebelah kiri. Sepasang mata
itu dimiliki oleh seorang dara muda yang cantik. Rupanya gadis ini adalah gadis
kangouw yang kemalaman dan memutuskan bermalam di hutan sebelum
melanjutkan perjalanan. Dia sedang beristirahat ketika melihat bayangan orang
berlari mendekat dan berhenti di depan sungai. Ia tidak dapat melihat jelas
siapa pria itu sehingga ia memutuskan untuk tidak mengunjukkan diri. Namun
ketika dilihatnya pria itu jatuh pingsan dan mukanya menghadap ke arah
persembunyiannya baru ia mengenali pemuda ini adalah Lie Kun Liong, pria yang sudah tinggal dalam
sanubarinya sejak pertemuan pertama mereka.
Ia melayang turun dari pohon menghampiri Lie Kun Liong dan membawanya ke
bawah pohon. Gerakan ilmu meringankan tubuhnya sangat lihay. Ia menyandarkan
tubuh Lie Kun Liong di pohon dan memeriksa luka-lukanya. Untung ia membawa
bekal obat-obatan secukupnya, lagipula luka Lie Kun Liong tidak terlalu parah.
Di atas luka di bagian lengan kiri Lie Kun Liong ia bubuhi bubuk obat lalu
dibebatnya dengan sepotong kain untuk mencegah darah kembali keluar. Ia tahu Lie
Kun Liong pingsannya bukan karena lukanya yang parah tapi karean kehabisan
tenaga dan terlalu banyak mengeluarkan darah, cukup beristirahat satu-dua hari akan pulih
kembali. Di kala mentari pagi mulai beranjak dari batas langit ketika tetes embun masih
bergayut erat di dedaunan, Lie Kun Liong sadar dari pingsannya dan melihat
lukanya sudah dibersihkan dan di ikat dengan sepotong kain. Rupanya selagi
dirinya jatuh pingsan ada orang yang menolongnya. Ia memandang sekelilingnya
mencari si penolong tapi tidak nampak seorang pun.
Merasa haus Lie Kun Liong bangkit dan berjalan ke arah sungai di mana ia jatuh
pingsan semalam. Sambil berjongkok di atas batu sungai yang besar ia meraup air
sungai yang dingin dan jernih dengan tangannya ke mulutnya.
Tidak jauh dari tempatnya jongkok, di balik batu besar di sebelah kanan ia
mendengar suara gemericik air. Dengan mendongakkan kepalanya ia melihat
seorang wanita muda muncul dari balik batu besar berenang menghampirinya. Ia
mengenali wajah gadis itu - Si Erl kecil, putri dari Maling Sakti. Matahari
mulai bersinar sangat terangnya, cahaya keperakan, menimpa sungai dengan tenang
dan lembutnya membuat tubuh telanjang si Erl kecil nampak jelas di bawah air sungai
yang bening. Sepasang mata Lie Kun Liong tidak lepas dari tubuh yang sangat menggiurkan itu,
terlebih-lebih terlihat jelas dalam keadaan telanjang bulat dan sedang mandi di
sungai. Ini kedua kalinya ia melihat si Erl kecil dalam keadaan polos.
Dengan tenang si Erl kecil keluar dari sungai memperlihatkan tubuh telanjangnya
yang sintal, indah dan sensual. Sepasang buah dada yang kenyal dan mungil
seperti buah ceri bergoyang-goyang mengikuti gerak tubuhnya yang putih mulus.
Masih dengan tubuh telanjangnya, Si Erl kecil mendekati Lie Kun Liong, terpana
pada tubuh dan payudara yang berdiri di depannya! Jantungnya berdenyut lebih
kencang, secara reflek matanya menatap buah dada dan pangkal paha Si Erl kecil.
Ia tidak merasa malu atau canggung telanjang di depannya, dan melihat Erl kecil
begitu wajar dengan ketelanjangannya. Tidak tampak grogi atau malu. Ia malah
seperti dengan sengaja memamerkan keindahan lekuk liku tubuhnya yang memang
indah. Bagian bawahnya di sela-sela kedua pahanya tertutup rapat, hanya
menyisakan sedikit miniatur rumput liar.
Pengaruh suasana pagi yang cerah dan tubuh yang masih sedikit lemah membuat
Lie Kun Liong menyerah pasrah. Dalam keadaaan seperti ini tidak ada seorang
lelaki pun yang sanggup bertahan terhadap godaan di depan matanya ini kecuali
seorang lelaki yang impoten! Bunga bermekaran, seresah dan tanah basah, yang menyajikan simphoni bau harum
alam. ... Air yang masih mengalir dari tubuhnya ketika si Erl kecil memeluk
dengan erat Lie Kun Liong, bau harum segar seorang gadis muda terpencar menerpa
hidungnya dan membuat gairahnya bangkit perlahan-lahan.
Si Erl kecil mendesah dan mengelinjang kedinginan dalam pelukan Lie Kun Liong.
Ia memang sudah merancang kejadian ini dengan teliti sampai ke detail-detailnya
dan ternyata berhasil dengan baik.
Lie Kun Liong mencium dan memagut bibir Erl kecil yang merah terbuka bagaikan
ombak mencium pasir dengan lembut dan membuat Erl kecil merintih kecil. Rasanya
manis bagaikan buah anggur merah.
Dengan lembut Erl kecil berbaring di atas rerumputan selembut beludru, diam-diam
dia sudah mulai bergairah dan menikmati tatapan mata Lie Kun Liong yang mesra
yang berbaring di sampingnya.
Bagian selanjutnya di sensor yach (18+), menghindari < 17 terpengaruh.
Ia merasa bagaikan berada di langit ke tujuh. Dengan tubuh lunglai Lie Kun Liong
berbaring di samping Erl kecil yang sedang tersenyum sungging lemah.
Daun pepohonan nyiur melambai, angin pagi yang segar membelai wajah mereka
yang kuyu. Dengan perlahan Erl kecil menyentuh dan membelai-belai Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong duduk diam membisu, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya,
perlahan kesadaranya mulai pulih membumi. Penyesalan yang luar biasa mulai
menyentuh hatinya terhadap apa yang telah dilakukannya, terhadap
ketakberdayaannya terhadap godaan. Ternyata ia hanyalah manusia biasa yang tak
kan selalu putih, pun tak ingin hitam lagi. Ia bukan manusia super yang memiliki
kekuatan luar biasa dan mampu menolak segala halangan di depan mata.
Erl kecil menatap wajah Lie Kun Liong dan tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia
bertanya apakah Lie Kun Liong menyesal dengan apa yang barusan mereka
lakukan. Dengan tenang ia berkata "Aku tidak mengharapkan atau menuntut apa
pun, apa yang tadi terjadi telah tejadi dan bagiku merupakan salah satu
peristiwa yang paling indah selama hidupku. Aku akui bukan wanita yang sesuai
dengan harapan kalangan umum, bagiku asal suka sama suka sudah lebih dari cukup dan
urusan kita berdua selanjutnya terserah pada masing-masing". Ternyata Si Erl
kecil yang masih semuda itu memiliki pandangan yang bebas terhadap hubungan pria
dan wanita. Apalagi pada jaman itu, seorang gadis yang bertindak sebebas ini akan di
sebut wanita jalang, bahkan di jaman modern saat ini masih banyak yang
menganggap pandangan ini secara negatif.
Dengan perasaan malu dan berterima kasih Lie Kun Liong memegang tangan Erl
kecil dengan erat tanpa sanggup berkata-kata. Mereka kemudian meninggalkan
hutan yang menjadi saksi bisu keintiman yang dilakukan sepasang manusia ini.
Setiba di kota mereka mencari rumah penginapan dan mengisi perut di rumah
makan yang terletak di bawah loteng penginapan ini. Lalu pergi ke kamar untuk
beristirahat. Si Erl kecil menceritakan pengalaman hidupnya, mulai dari masa kecil di mana ia
hanya tinggal berdua ayahnya si Maling Sakti dan di tinggal mati ibunya sejak ia
lahir. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sebelum
ayahnya memutuskan untuk menetap dan mengusahakan pelesiran Bunga Merah
sebagai kediaman tetap mereka sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia bernama Cu-
Siang-Erl namun biasa dipanggil ayahnya Erl kecil, julukannya Jian-jiu-lo-sat
(si hantu wanita bertangan seribu) ia peroleh dari kaum kangouw atas keahliannya
mencopet dan mencuri yang dipelajari dari ayahnya.
"Begitulah cara kami mempertahankan hidup sampai kejadian beberapa waktu lalu
yang meyebabkan ayah binasa" kata Erl kecil dengan nada sedih.
Dengan simpati ia mengenggam tangan Erl kecil, lalu berkata "Mengapa sekarang
engkau berkelana, apakah mereka yang menyebabkan ayahmu mati berhasil
menemukan kediamanmu ?"
"Benar sekali, mengikuti anjuranmu agar aku menyingkir dahulu dari rumah
pelesiran sementara waktu maka setelah engkau pergi, buru-buru aku menginap
sementara di rumah penginapan yang terletak persis di seberang rumah pelesiran kami tanpa
memberitahu siapapun kemana aku pergi. Beberapa hari tidak ada kejadian apa pun
sehingga aku memutuskan untuk kembali, namun di malam hari sebelum aku
kembali terjadi peristiwa yang menyebabkan rumah pelesiran kami terbakar habis.
"Apa yang terjadi" tanya Li Kun Liong ingin tahu.
"Berdasarkan penuturan kacung kami yang selamat, malam itu kebetulan tamu yang
datang tidak terlalu banyak karena habis hujan deras di sore harinya. Tiba-tiba
menerobos datang empat orang berkedok hitam tanpa ba..bi..bu.. langsung mencari
pemilik pelesiran dan mengobrak-abrik pelesiran kami seolah-olah mencari
sesuatu. Setiap kamar mereka masuki dan di obrak-abrik mulai dari meja kursi, lemari
bahkan dinding dan atap mereka bongkar, dan di kamarku mereka berhasil menemukan
ruangan tersembunyi di balik lemari tapi untungnya barang-barang berharga
termasuk lukisan sudah kubawa serta sehingga mereka tidak menemukan apa-apa.
Sesudah itu mereka langsung membakar rumah pelesiran kami hingga hangus tak
bersisa. Demikianlah sejak itu aku langsung meninggalkan kota raja dan
berkelana" kata Erl kecil "Apakah lukisan itu masih berada di tanganmu"
"Masih" kata Erl kecil sambil mengambil lukisan itu dari buntalan pakaiannya.
Sejak mendengar pembicaraan Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin di peternakan
kuda semalam, ia akhirnya ingat di mana ia pernah melihat lukisan pemandangan ini
yaitu di kamar ayah bundanya. Memang sering ia melihat ayahnya memandangi
lukisan ini tapi yang membuat ia heran, manakah di antara kedua lukisan itu yang
asli. Dengan seksama, sekali lagi ia memeriksa lukisan itu tapi tetap tidak
menemukan petunjuk apa pun.
Melihat Li Kun Liong begitu tertarik dengan lukisan itu, Erl kecil berkata
"Sebaiknya lukisan ini engkau saja yang membawanya"
"Tidak boleh begitu, lukisan ini adalah barang peninggalan ayahmu" seru Li Kun
Liong sambil menyerahkan kemabali lukisan tersebut namun dengan tegas ditolak
Erl kecil. "Aku tidak mau, lebih baik engkau saja yang membawanya, gara-gara lukisan ini
aku kehilangan ayah, rumah dan sekarang dikejar-kejar mereka. Lebih baik lukisan
ini tidak bersamaku sehingga aku tidak selalu was-was"
Akhirnya dengan perasaan apa boleh buat, Li Kun Liong menggulung lukisan itu dan
memasukkan ke dalam sakunya.
"Sebaiknya engaku kembali ke kamarmu dan beristirahat" kata Li Kun Liong.
"Memang kenapa kalau di sini saja" jawab Erl kecil tersenyum menggoda.
Dengan muka merah Li Kun Liong memelototkan matanya.
"Baiklah aku pergi" sungut Erl kecil sambil berjalan keluar kamar.
11. Hutang Darah Bayar Darah
Sore harinya Li Kun Liong mencari tahu dari pelayan penginapan rumah kediaman
Bok-Wangwe, ia masih penasaran untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang
mengeroyok mati orangtuanya. Ia curiga Bok-Wangwe merupakan salah satu
diantara lima pengeroyok itu.
Ia mengajak Erl kecil berjalan-jalan dan menuju tengah kota di mana kediaman
Bok-Wangwe berada. Gedung kediaman Bok-Wangwe dengan mudah ditemukan, merupakan bangunan
yang paling besar dan megah, terletak persis di sudut jalan yang paling ramai di
kota ini. Terlihat dua orang penjaga berdiri tegak di pintu gerbang gedung
tersebut, setiap tamu yang datang harus melalui mereka dahulu sebelum diijinkan
masuk. Sambil berjalan perlahan-lahan, dari sudut matanya ia melihat seorang berpakaian
pelayan bergegas keluar dari pintu gerbang menuju ke arah luar kota sambil
menyelipkan sepucuk surat di saku jubahnya. Tergerak hati Li Kun Liong untuk mengikutinya,
bersama Erl kecil mereka menguntit pelayan tersebut. Lalu Erl kecil
mendemonstrasikan kelihaiannya dalam mencopet, ia mendahului si pelayan dan di
tikungan jalan berikut ia muncul sambil berjalan santai menyongsong pelayan
tersebut. Saat mereka berpapasan, dengan kecepatan kilat tangan Erl kecil yang
mungil dan lentik merogoh saku si pelayan tanpa sedikitpun disadarinya. Dengan
tersenyum manis, Erl kecil menunjukkan dua pucuk surat yang berhasil ia ambil
dari si pelayan. Mereka segera kembali ke rumah penginapan dan langsung membuka serta
membaca isi surat tersebut yang ternyata hampir sama isinya. Rupanya hari ini
merupakan hari keberuntungan Li Kun Liong, di dalam surat tersebut yang masing-
masing ditujukan kepada Sim-Gan yang tinggal di kota Jing-Men yang terletak di
keresidenan Hu-bei dan Lu-Seng-Hok yang tinggal di kota Huai-Nan yang terletak
di keresidenan An-Hui. Dalam suratnya Bok-Wangwe menulis mengenai peristiwa
pengeroyokan mereka terhadap seorang pria berkedok yang mencuri dengar
pembicaraan Tiong-Jin-Tojin dan Tiong-Cin-Tojin tentang lukisan pemandangan, ia
juga menceritakan kemunculan Li Kun Liong sebagai anak Li Hong Kiat yang mereka
keroyok dua belas tahun yang lalu. Bok-Wangwe meminta mereka untuk tenang dan
waspada. Akhirnya tanpa susah payah Li Kun Liong berhasil mengetahui semua musuh-musuh
yang mengeroyok ayahnya. Bok-Wangwe pasti tidak menyangka sama sekali bahwa
surat yang ia kirim telah berhasil di rampas dan di baca Li Kun Liong.
Ia memberitahu Erl kecil rencananya untuk membalas dendam dengan cara
menghadapi mereka satu-persatu karena bila tidak agak susah baginya menghadapi
pengeroyokan mereka. Dengan satu lawan satu ia yakin mampu membalas dendam
kematian orangtuanya. Pertama-tama ia akan mendahului pelayan yang membawa
surat dari Bok-Wangwe, membunuh Sim-Gan dan Lu-Seng-Hok terlebih dahulu
mumpung mereka belum mengetahui rahasia mereka telah terbongkar. Dari situ baru
ia akan berurusan dengan Bok-Wangwe serta Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin
bertiga. Ilmu silat keduanya belum diketahuinya namun dari ke lima orang
tersebut, ia rasa yang paling lihai adalah kedua Tojin dari Bu-Tong.
Untuk mengejar waktu mereka bergegas malam itu juga berangkat ke kota Huai-Nan
terlebih dahulu untuk menghabisi Lu-Seng-Hok.
Kota Huai-Nan terbentuk pada waktu Liu-Bang berkuasa, ketika itu ia memberi
gelar Raja Huai-Nan kepada salah satu panglima yang paling ia percayai - Ying-
Bu. Mereka tiba di kota Huai-Nan beberapa hari kemudian di waktu malam hari.
Kediaman Lu-Seng-Hok terletak di pinggiran kota berbentuk perkampungan kecil
dengan beberapa rumah tinggal mengelilingi bangunan terbesar, kelihatannya
bangunan ini tempat di mana Lu Seng Hok dan keluarga bermukim.
Bagaikan elang mereka berdua melayang di atas genting gedung utama tersebut
dan mengamati keadaan sekelilingnya dengan penuh perhatian. Di sebelah kiri
terlihat sebuah loteng yang masih bersinar cahaya terang. Di dalam loteng
tersebut nampak seorang pria berusia lima puluh lima tahun seorang diri sedang
sibuk menghitung dengan sipoanya. Selagi sibuk mengerakkan jari-jarinya di atas sipoa
tersebut, tahu-tahu menerobos sesosok bayangan tubuh ke dalam ruangan. Reaksi
pria ini cukup cepat, ia melemparkan sipoa yang dipegangnya ke arah lilin
sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Terdengar suara gedubrakan meja dan
kursi, di dalam kegelapan mereka ternyata sudah saling bergebrak melancarkan


Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan yang beruntun ke masing-masing lawan. Li Kun Liong yakin pria ini adalah Lu Seng Hok,
ilmu silatnya ternyata di luar dugaanya semula, lebih tinggi seurat dari Bok-
Wangwe, setingkat dengan Tiong-Jin-Tojin. Setiap pukulan yang dilancarkan
dibarengi dengan kesiuran angin menandakan tenaga dalam yang sempurna. Dalam
gebrakan pertama tadi hampir saja ia terkena pukulan Lu Seng Hok yang sangat lihai.
Tiba-tiba ruangan ini terang benderang kembali, cahaya yang muncul berasal dari
lilin yang dipegang Erl kecil. Otomatis pertarungan terhenti, masing-masing
pihak mundur mengamati lawan masing-masing. Wajah pria pertengahan tersebut
kurus tirus, agak kekuning-kuningan dengan sedikit kumis tipis, matanya agak sipit dan
licik. "Siapa kalian, mengapa datang malam-malam begini" tanyanya dengan penuh
curiga. "Apakah engkau yang dipanggil Lu Seng Hok" tanya Li Kun Liong.
"Benar, aku adalah Lu Seng Hok, ada urusan apa dan mau apa kalian ?"
"Masih ingatkah kejadian 12 tahun yang lalu di kota Siang-Yang, di mana kalian
berlima mengeroyok secara pengecut ayah saya Li Hong Kiat, aku adalah anaknya.
Siap-siaplah untuk menerima pembalasan atas perbuatan kalian tersebut" sahut Li
Kun Liong sambil mencabut pedang dan melancarkan tusukan mengincar bagian
depan dada Lu Seng Hok. Dengan wajah terkejut Lu Seng Hok menghindarkan tusukan pedang Li Kun Liong
dengan manis sambil mundur menjauh dan meraih pedang yang tergantung di
dinding ruangan tersebut.
Terjadilah perang tanding yang seru, masing-masing mempunyai pikiran yang sama
untuk menyudahi pertempuran ini secepat mungkin hingga langsung mengeluarkan
jurus andalan mereka. Secepat kilat tebasan pedang Li Kun Liong mengarah ke kaki Lu Seng Hok diikuti
dengan gerakan menusuk ke atas. Lu Seng Hok menghindarkan diri dengan gerakan
lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) sambil mundur dengan gerakan tui-po-lian-
hoan (mundur berantai), lalu dengan tiba-tiba melancarkan tusukan bertubi-tubi
mengarah tubuh Li Kun Liong. Pertempuran mati hidup terus berlangsung dengan
cepat, puluhan jurus telah berlalu, masing-masing pihak mampu bertahan terhadap
serangan lawan sekaligus melakukan serangan mematikan.
Dengan khawatir Erl kecil memperhatikan pertempuran yang terjadi, ia berharap Li
Kun Liong berhasil membalas dendam. Kalau menurut dorongan hati, ingin sekali ia
ikut membantu Li Kun Liong menghadapi pria ini, namun Li Kun Liong sudah wanti-
wanti berpesan padanya untuk tidak ikut terlibat, ia ingin membalas dendam
kematian kedua orangtuanya dengan tangannya sendiri.
Melihat kelihaian ilmu silat Lu Seng Hok, Li Kun Liong sangat terkejut, ia baru
menyadari sepenuhnya nasehat gurunya bahwa di dunia kangouw sangat banyak
jago-jago kosen yang tersembunyi alias tidak di kenal. Cukup dengan melihat
kelihaian ilmu silat Lu Seng Hok ini, boleh di bilang merupakan jago kosen kelas
satu, tidak kalah dengan tokoh-tokoh terkenal dari tujuh partai utama.
Sambil melayani serangan pedang lawan, Li Kun Liong mencari kesempatan untuk
melancarkan ilmu pedang terbang, ketika itu ia dapatkan tidak lama kemudian. Di
saat ujung pedang lawan mengincar pundaknya, ia berlagak seolah-olah kewalahan
dan mundur teratur. Melihat peluang baik ini tentu saja tidak disia-siakan oleh
Lu Seng Hok, ia terus maju mencecar Li Kun Liong. Dengan tergesa-gesa Li Kun
Liong menangkis serangan lawan dengan pedangnya dan terlontar ke atas. Di saat
yang bersamaan, setelah berhasil melepaskan pedang lawan, Lu Seng Hok makin
memperhebat serangannya. Dengan tangan kirinya Li Kun Liong melancarkan
pukulan pek-lek-ciu (tangan geledek) menangkis serangan pedang lawan, di waktu
yang sama tangan kanannya mengendalikan pedang yang terlempar ke atas
meluncur dan menusuk tubuh Lu Seng Hok dari samping. Sebelum Lu Seng Hok
menyadari serangan dashyat tersebut, telah terlambat baginya untuk mengelakkan
serangan pamungkas dari Li Kun Liong ini. Dengan telak ujung pedang yang sangat
tajam menghujam iganya tembus sampai ke bagian perut.
Dengan mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, Lu Seng Hok mundur
sempoyongan, darah muncrat dan mengalir dengan deras dari iganya.
"Ilmu pedang terbang" teriaknya dengan mata terbelialak dan nafasnya putus saat
itu juga. Sambil menarik pedangnya dari tubuh Lu Seng Hok, Li Kun Liong berlutut dan
berdoa bagi ketenangang arwah kedua orangtuanya. Akhirnya ia berhasil membalas
sebagian hutang darah keluarganya.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini Liong-ko" kata Erl kecil terburu-buru. Ia
telah melihat sejumlah penghuni telah bangun dan keluar menuju ke loteng sumber
jeritan tadi. Li Kun Liong dan Erl kecil berlari ke arah belakang bangunan dan menghilang di
kegelapan malam. ----000----- Gedung tersebut dari kejauhan nampak seperti bayangan hitam besar oleh
kegelapan malam di tengah kota Jing-Men. Tapi dari dekat tampak megah dan
berkilauan dengan pendaran cahaya lampu gantung seperti bersolek menyambut
tamu yang datang, sangat indah. Jelas pemiliknya seorang yang kaya-raya atau
paling tidak pejabat pemerintahan yang berkedudukan tinggi.
Kali ini Li Kun Liong dan Erl kecil masuk dengan terang-terangan melalui pintu
gerbang yang terbuka sebelum penjaga gedung sadar ada yang menerobos masuk
ke dalam. Sambil mengerahkan lweekangnya Li Kun Liong berteriak "Orang yang bernama
Sim-Gan lekas keluar untuk membayar hutang-hutangmu". Suaranya bergema di
seluruh gedung dan mengagetkan penghuni gedung tersebut. Tidak lama kemudian
keluar serombongan orang sekitar enam sampai tujuh orang mendatangi. Yang
berjalan di paling tengah adalah seorang pria berusia sekitar lima puluhan,
bertubuh buncit dengan jubah keemasan berkibar mengikuti langkah kakinya.
Wajahnya bulat kemerahan dengan mata yang agak sayu seolah-olah memikul beban
kehidupan yang berat. Sedangkan di samping kanan ia didampingi seorang wanita berusia
akhir empat puluh tahunan yang masih memperlihatkan garis-garis kecantikan di
masa muda. Di sebelah kiri nampak sepasang anak muda, yang satu gadis muda belasan
tahun dengan baju hijau, wajahnya cukup manis dengan tahi lalat kecil di sekitar
dagu menambah kemanisan wajahnya. Sedangkan yang satu lagi adalah seorang
pemuda delapan belas tahunan berbaju kuning dengan wajah biasa-biasa saja,
nampak berjalan dengan cukup gagah sambil memegang sebuah kipas tangan
bergambar naga. Agak sedikit belakang pemuda tersebut, berjalan dengan langkah
lamban dan santai, seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahunan. Wajahnya
masih kelihatan segar dengan jenggot putih melambai-lambai di tiup angin, sorot
matanya sangat tajan dan mencorong. Di antara rombongan orang-orang ini, Li Kun
Liong merasa orang tua ini yang paling lihai dan patut di waspadai.
"Siapa kalian, mengapa teriak-teriak di malam hari?" kata pria berperut buncit
tersebut sambil memandang dengan tajam ke arah mereka berdua.
"Apakah engkau Sim-Gan" tanya Li Kun Liong.
"Benar, lohu adalah Sim-Gan, kepala keluarga di sini, siapakah siangkong dan ada
perlu apa ?" "Aku Li Kun Liong datang untuk menagih hutang darah berikut rentenya!"
Dengan wajah sedikit pucat Sim-Gan bertanyaa "Bisa dijelaskan hutang darah apa
yang harus lohu lunasi ?"
"Masih ingatkah engkau dengan kejadian dua belas tahun yang lalu di kota Siang-
Yang, dengan pengecut kalian mengeroyok kedua orang tuaku sampai binasa".
"Sii.ap..a..kah orang tuamu, apakah Li Hong Kiat" tanya Sim-Gan gagap.
"Apakah benar engkau anak Li Hong Kiat ?" tanya si orang tua sambil maju
mendekat ke arah Li Kun Liong.
"Benar, aku adalah anak mereka yang lolos dari perbuatan kalian yang keji"
teriak Li Kun Liong dengan hati panas membara.
Sekonyong-konyong si orang tua tersebut bergerak dengan kecepatan kilat
menyerang Li Kun Liong dengan gerakan Liong-Heng-Coan-Cian (naga menembus
tangan), untung Li Kun Liong sudah mewaaspadai orang tua ini sejak tadi hingga
dengan gerakan yang susah payah ia masih dapat menghindarkan diri dari serangan
tersebut. Belum sempat ia memperbaiki kedudukan, gelombang serangan kedua
telah datang mengincar pundaknya. Kali ini ia tidak sempat mengelakkan diri,
dengan telak jari si orang tua telah menotok Thian-Cong-Hiatnya (urat nadi di
bagian pundak) yang membuat tubuhnya kaku. Ibarat elang yang menyambar
buruannya, si orang tua dengan secepat kilat mennyambar tubuh Li Kun Liong dan melayang pergi
dengan ginkang yang tiada tara.
Hanya sekejap ia telah menghilang. Erl kecil tidak sempat bereaksi sekejap pun,
hakekatnya kejadian barusan hanya berlangsung sekian detik saja. Selama hidupnya
belum pernah ia melihat kepandaian silat selihai itu.
Apabila Erl kecil sangat terkejut, apalagi buat Li Kun Liong, walaupun sudah
berjaga-jaga namun ia masih tidak mampu menghadapi serangan si orang tua tadi
yang sangat aneh. Ia hanya merasa pundaknya sedikit kesemutan, tahu-tahu tubuhnya
sudah di kempit si orang tua dan di bawa pergi entah kemana. Ia tidak mau
berteriak, dengan pasrah ia membiarkan si orang tua memperlakukan dirinya
sesukanya sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan urat nadi yang tertotok.
Namun kali ini pun ia tercekat, urat nadi Thian-Cong-Hiatnya terasa sangat sakit
tergempur arus tenaga dalamnya. Tapi jika ia tidak mengerahkan tenaga dalam
untuk membebaskan totokan, tidak terasa sakit. Ternyata ilmu totokan si orang
tua lain dari pada yang lain, sangat lihai dan aneh. Ia semakin menyadari
nasehat suhunya bahwa diantara manusia yang lihai masih ada yang lebih lihai lagi,
diantara bukit yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. Kelihaian orang tua
ini susah diukur bahkan pada hakekatnya mendengar pun belum pernah, mungkin
lebih tinggi dari tokoh-tokoh kosen saat ini.
Setelah berlari sepertanakan nasi lamanya, mereka tiba di sebuah perbukitan
dengan pepohonan yang rimbun. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah
kelenteng kuno yang sudah tak berpenghuni, si orang tua membebaskan totokannya
hingga Li Kun Liong mampu bergerak kembali. Dengan tenang si orang tua
menghadapi sikap permusuhan Li Kun Liong, ia berkata "Tahukah engkau hubungan
lohu dengan Sim-Gan ?"
"Tidak" jawab Li Kun Liong singkat.
"Dia adalah muridku"
"Jadi cianpwe hendak membela murid sendiri ?"
Sambil menghela nafas sedih, si orang tua berkata "Sebaiknya engkau duduk
terlebih dahulu, masalahnya tidak sesederhana yang kau pikirkan"
Dengan ragu-ragu Li Kun Liong mengikuti saran si orang tua.
Sambil mengelus jengotnya yang sudah putih semua, orang tua tersebut berkata
"Lohu mau menceritakan sedikit mengenai murid-muridku. Lohu mempunyai tiga
orang murid, yang pertama telah meninggal dunia, yang kedua adalah Sim-Gan yang
ingin kau bunuh untuk balas dendam, sedangkan yang ketiga adalah seorang wanita
yang akhirnya menjadi istri muridku yang pertama.
"Sebenarnya murid pertama lohu lebih berbakat dari Sim-Gan, di samping
menguasai ilmu silat, ia juga menguasai ilmu pertabiban dari lohu bahkan dia
akhirnya lebih tertarik akan ilmu pertabiban dari pada ilmu silat, sayang ia
mati muda. Sedangkan Sim-Gan kurang tertarik dengan ilmu pertabiban, ia lebih suka
mempelajari ilmu silat saja. Dari segi watak, murid pertama lohu lebih baik dan
jujur sedangkan Sim-Gan memiliki watak agak lemah dan sedikit malas, mungkin
karena ia keturunan hartawan hingga suka mengagulkan kekayaan orang tua di masa
mudanya. Tapi pada dasarnya sifatnya tidak terlalu jelek. Hubungan mereka berdua
pun baik-baik saja, di bilang akrab juga tidak karena mereka mempunyai sifat
yang berbeda. Keretakan mulai terjadi kala masing-masing jatuh cinta pada sumoi
sendiri, sedangkan murid lohu yang terakhir ini sifatnya halus dan pendiam
hingga lebih cocok dengan murid pertama lohu. Mereka berdua di luar tahu Sim-Gan sudah saling
mengikat janji sehidup semati, jadi ketika orang tua Sim-Gan meminta ijin lohu
untuk meminang murid lohu ketiga ini, barulah lohu dan Sim-Gan tahu asmara
mereka hingga otomatis membuat Sim-Gan kecewa sekali. Ia merasa di khianati saudara
seperguruan sendiri. Sejak berkeluarga masing-masing semakin jarang bertemu, murid pertama dan
ketiga lohu pindah ke kota Siang-Yang dan membuka toko obat sambil berpraktek
sebagai tabib. Engkau sekarang mungkin sudah dapat meraba siapa murid pertama
dan ketiga lohu tersebut" kata si orang tua.
"Jaa..di Sim-Gan dan ayahku adalah saudara seperguruan" teriak Li Kun Liong
kaget. Dengan wajah bingung ia berlutut di hadapan sucouwnya (kakek guru).
Dengan terharu si orang tua yang ternyata adalah guru dari ayahnya mengelus
rambut cucu muridnya. "Sejak pinangannya di tolak, Sim-Gan lebih suka mabuk-mabukan. Kejadian
pengeroyokan kedua orang tuamu itu bermula dari mulutnya, di waktu mabuk tanpa
sengaja ia menceritakan rahasia suhengnya sendiri, apakah engkau sudah tahu
mengapa kedua orangtuamu di bunuh ?"
"Sudah sucouw, setelah bersusah payah akhirnya aku berhasil mengetahui sebab
musababnya. Yang tidak aku sangka adalah Sim-Gan dan ayah adalah saudara
seperguruan" "Memang semua ini terjadi karena kelalaian Sim-Gan, ia bergaul dengan kaum
terpandang persilatan yang munafik seperti kedua Tojin dari Bu-Tong-Pai
tersebut. Begitu mereka tahu rahasia ayahmu, mereka bersekongkol untuk merebut lukisan
tersebut. Malam itu dengan membawa Sim-Gan yang sedang mabuk, mereka
berempat mengeroyok kedua orang tuamu sedangkan Sim-Gan terlalu mabuk untuk
menyadari ulah yang telah ia lakukan. Begitu tahu menyesal pun telah terlambat,
sejak itu Sim-Gan dihinggapi rasa bersalah yang mendalam, lohu tahu ia benar-
benar menyesal atas perbuatannya. Lohu tidak mau mencampuri urusan balas
dendammu, semua terserah kebijaksanaanmu sendiri untuk memutuskan masalah
ini". Li Kun Liong mengangguk lemah, ia sendiri bingung untuk memutuskan masalah ini.
12. Si Tabib Sakti Atas pemintaan sucouwnya, Li Kun Liong setuju ikut ke tempat kediaman kakek
gurunya untuk memperdalam ilmu silat. Ia merasa kepandaiannya saat ini masih
kurang, di samping ia kini merasa masih mempunyai terdekat dari kedua orang
tuanya. Sepanjang perjalanan Li Kun Liong mendengarkan penuturan latar belakang kakek
gurunya. Kakek gurunya berjuluk Si Tabib Sakti, ilmu pertabiban yang ia kuasai di akui
oleh seluruh dunia kangouw sebagai nomer satu, tidak ada penyakit yang tidak
dapat ia sembuhkan bahkan orang yang buntung tangan atau kakinya, sepanjang
belum terlalu lama, masih bisa ia pulihkan kembali. Ia juga mengenal semua jenis racun
mematikan, bagaimana meramu dan menangkalnya. Namun jarang kalangan
kangouw mengetahui di samping lihai ilmu pengobatannya, ilmu silat yang ia
kuasai juga nomer wahid. Lagi pula ia jarang terjun ke dunia kangouw hingga seberapa lihai ilmu silatnya
tidak ada yang tahu. Sejak muda ia sering berkelana jauh kepedalaman bahkan
sampai keluar dari tembok besar untuk mencari tanaman-tanaman untuk ramuan-ramuan
obat. Semua orang yang terluka atau sakit pasti tidak akan ia tolak, hanya satu
pantangannya yaitu ia tidak pernah mau menyembuhkan pasien yang ia ketahui
berasal dari kalangan baik-baik tapi di baliknya sebenarnya musang berbulu
domba. Ia pernah mengalami peristiwa yang pahit bahkan hampir merengut nyawanya.
Waktu itu ia mengobati seorang pemuda yang terluka berat, pemuda tersebut
bernama Tan Kin Hong. Dengan telaten ia mengobati luka-luka pemuda tersebut
hingga sembuh total, bahkan karena si pemuda sangat tertarik akan
pengetahuannya akan racun dengan sukarela ia mengajari pemuda tersebut segala
sesuatu tentang racun, mulai dari cara menangkal, mengenali, meramu racun-racun
yang berasal dari hewan-hewan maupun dari tanaman-tanaman beracun. Tapi tanpa
sepengetahuannya si pemuda tersebut mengincar buku racun yang ia tulis dengan
susah payah berdasarkan pengalaman-pengalamannya selama ini. Pemuda tersebut
mencampur racun yang paling lihai yaitu tak berwarna dan tak berbau ke dalam
minumannya hingga membuatnya hampir mati. Syukur sejak muda tubuhnya sudah
sering menjadi kelinci percobaannya dalam mencari ramuan-ramuan yang mujarab
hingga memiliki kekebalan yang tidak lumrah terhadap racun. Apabila bagi orang


Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa racun yang di minum pasti akan membinasakan dalam waktu sekejap, tapi ia
masih bisa bertahan bahkan mampu membuat pemuda tersebut melarikan diri
dengan terluka parah akibat pukulannya. Sayangnya buku racun yang dimilikinya
berhasil di bawa lari pemuda tersebut. Sejak itu ia paling benci dengan orang
yang kelihatannya baik tapi sebenarnya munafik.
Mendengar penuturan sucouwnya, Li Kun Liong memberitahu bahwa pemuda yang
bernama Tan Kin Hong tersebut sebenarnya adalah susioknya yang telah tersesat.
Suhunya sendiri telah berpesan untuk membasminya apabila ia terus berbuat
kejahatan. Di waktu senggang, Li Kun Liong menerima pelajaran ilmu silat dan ilmu
pertabiban dari sucouwnya, ternyata ia memiliki bakat yang baik sekali akan ilmu
pertabiban, semua pelajaran dengan cepat dapat ia kuasai dengan baik sekali. Si
tabib sakti sangat kagum dan gembira cucu muridnya mampu mempelajari ilmu yang
diberikan dengan cepat, bahkan ia berkata sepanjang hidupnya belum pernah ia melihat bakat
sebagus yang dimiliki Li Kun Liong. Li Kun Liong minta diajari jurus serangan
yang pernah dilancarkan kakek gurunya sewaktu membekuknya di rumah kediaman Sim-
Gan, ia sangat kagum akan jurus tersebut.
Sambil tersenyum Tabib Sakti berkata "Sebenarnya ilmu silat yang engkau miliki
sekarang sudah jarang ada yang mampu menandingimu, kalau waktu itu lohu
mampu membuatmu tak berdaya bukan karena ilmu silat yang kau miliki kalah dari
ilmu lohu tapi karena engkau belum menguasai atau menyelami teori sesungguhnya
dari ilmu silat. Sebenarnya semua ilmu silat berasal dari sumber yang sama,
hanya variasi-variasi jurusnya saja yang berbeda. Engkau tidak boleh melihat
jurus serangan lawan dan berpikir dengan jurus apa menghadapinya, yang perlu engkau
perhatikan adalah mencari titik kelemahan dari serangan lawan dan mencari usaha
bagaimana menghindarinya. Jurus apa pun yang engkau termasuk jurus yang
sederhana sekali pun - apabila di pergunakan pada saat yang tepat bisa berubah
menjadi jurus yang paling lihai. Jadi engkau sebaiknya jangan terpaku pada
jurus-jurus silat yang selama ini engkau pelajari, semua jurus bisa berubah
sesuai dengan keadaan. Tidak berubah adalah berubah, dengan tidak berubah menghadapi semua
perubahan itulah teori ilmu silat tertinggi. Ini berlaku untuk semua cabang ilmu
silat baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ilmu tutuk jari, ilmu tombak, ilmu golok,
dll. Bila engkau mampu menyelami kata-kata lohu barusan berarti engkau sudah
mencapai tingkat tertinggi dari ilmu silat".
Dengan wajah termangu dan tatapan mata nanar Lie Kun Liong berusaha menyerapi
kata-kata sucouwnya tadi, pikirannya berjalan cepat bagaikan roda yang terus
berputar. Kata-kata tadi merangsek pola pikirnya selama ini, bagaikan tikar,
tumpang tindih, kadang-kadang ia terbentur teori yang selama ini ia pelajari
makin lama makin ruwet.. sederhana tapi tidak sederhana untuk dimengerti.
Bagaikan angin utara yang memporak-pandakan pengertiannya selama ini, kata-kata
tersebut mungkin berbeda dengan pemikiran orang kangouw kebanyakan namun perlahan-lahan ia mulai dapat
menangkap intisarinya, matanya mulai berpijar bagaikan nyala lilin di kegelapan.
Pikirannya melonjak bagaikan melingkar-lingkar, bagaikan topan yang dengan
dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak
mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu,
terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil
sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Menyaksikan Li Kun Liong terus berdiam diri dengan muka pucat, kadang-kadang
dengan dahi berkerut kencang, tatapan mata sebentar kosong sebentar bersinar,
tabib sakti tahu cucu muridnya sedang dalam tahap yang menentukan bagi
kemajuan ilmu silatnya. Ia tidak berani menganggu bahkan bernafas pun pelan-
pelan takut menganggu pemusatan pikiran Li Kun Liong, bisa sangat berbahaya bagi
kesehatannya. Perlahan-lahan wajah Li Kun Liong mulai bersemu merah, gelagatnya ia berhasil
menyelami perkataan sucouwnya tadi.
Menyaksikan perubahan tersebut, Tabib Sakti dengan ternganga saking kagumnya,
ia tidak menyangka dalam waktu sesingkat ini Li Kun liong mampu menyelami
perkataannya. Ia sendiri memerlukan waktu belasan tahun untuk menyelami
semuanya. Timbul rasa hormatnya bagi bakat langka yang dimiliki cucu muridnya tersebut.
"Apakah engkau sudah mengerti semuanya" tanya Tabib Sakti ingin tahu.
"Sudah, berkat petunjuk berharga dari sucouw, aku sekarang bisa melihat sisi
lain ilmu silat yang selama ini terpikirkan pun tidak pernah"
Sambil tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba tabib sakti bergerak secepat kilat
menyerang Li Kun Liong. Namun kali ini dengan tenang Li Kun Liong menghindarkan
serangan sucouwnya sambil melancarkan serangan balasan yang tak kalah
ampuhnya. Serangan bergelombang tabib sakti terus menerpa Li Kun Liong bagaikan angin
yang berhembus sangat kencang, namun tak satu pun yang berhasil merobohkan Li
Kun Liong. Ilmu silat yang dimainkannya masih tetap yang dulu namun sekarang
perbawanya berubah seratus delapan puluh derajat, jauh lebih lihai dan susah di
tebak arah serangannya. Bahkan kadang-kadang terselip jurus-jurus baru sesuai
dengan keadaan dalam pertempuran.
Li Kun Liong sekarang dengan Li Kun Liong beberapa saat yang lalu bagaikan kupu-
kupu yang baru keluar dari bungkus kepompong, dengan sayap berwarna-warni,
melayang-layang berterbangan dengan indah dan bebas, walaupun di terpa angin ia
akan hanyut bersama arah angin yang membawanya.
Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di kota Leh di negeri Tibet atau di kenal
sebagai negeri "atap dunia" karena terletak ribuan kaki di atas permukaan laut.
Kota ini terkenal dengan Istana besar bertingkat sembilan, yakni Istana Sengge
Namgyal - raja Leh, istana tersebut adalah sebuah hasil karya yang indah dan eksplisit
dari seni arsitektur Tibet, yang dipercaya telah mengilhami pembangunan istana
Dalai Lama terkenal di Lhasa, Tibet - Istana Potala.
Selama beberapa hari, mereka menginap di kota ini guna mempersiapkan bekal dan
pakaian secukupnya. Dengan menempuh jalan yang berliku liku dan tidak rata, mereka melintasi
pegunungan Nangba La (atau sekarang di kenal sebagai pegunungan Himalaya).
Dalam perjalanan, udara cukup segar, walaupun mereka telah menutupi tubuh
dengan pakaian tebal, namun udara tetap dapat menembus hingga mereka perlu
mengerahkan lweekang untuk menahan dingin. Sesekali muncul marmot-marmot
kecil kecoklatan dan lucu-lucu yang agak mirip anak kucing yang terawat baik,
melompot-lompat dari batu ke batu dan kadang-kadang saling kejar mengejar di
dekat mereka dalam jarak yang aman. Tapi jika Li Kun Liong sengaja berhenti
untuk mengendong mereka, mereka pun menghilang ke balik batu-batu besar.
Langit diatas pegunungan dan sekitarnya biru seperti tinta, bahkan suara pun
tidak ada, suasana terasa hening dan sepi.
Kadang-kadang mereka beristirahat kami melepaskan pandangan ke sekeliling dan
pemandangannya benar-benar menakjubkan. Ditengah-tengah pemandangan yang
tertutup salju tersebut, terlihat melihat ratusan umbul umbul dalam multiwarna
berkibas-kibas ditiup angin seolah-olah sedang berdoa demi kedamaian dan
ketenangan para penduduk yang dibawa oleh sepasukan tentara Tibet.
Sambil memandang ke arah selatan, ke Lembah Indus yang terkenal, yang mungkin
masih menyembunyikan rahasia dibalik perabadan sekarang ini, Li Kun Liong
melihat barisan gunung-gunung yang tertutup salju yang termasuk kedalam Barisan
Pegunungan Zanskar. Di sebelah utara terlihat Sasser Massif, yang termasuk
kedalam Pegunungan Karakoram.
Tabib sakti yang sudah terbiasa melintasi daerah-daerah pergunungan, menjadi
pemandu Li Kun Liong selama perjalanan. Pengetahuannya tentang lembah ini
cukup luas sehingga ia bisa mengenal daerah lebih dekat. Lembah Nubra (berarti
taman) yang terletak antara Khardungla dan Glatsier Siachin, memperoleh namanya
dari Sungai Nubra - anak Sungai Shyok, yang berhulu dari hamparan es mencair
Pendekar Panji Sakti 9 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Sakti 20
^