Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 3

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 3


"Malam ini tidur di sini saja." Tiba-tiba Bozgen
mengangkatnya seperti mengangkat boneka. Bulu-bulu kasar
di tangan Bozgen menggelitik. Dengan perlahan Bozgen
meletakkan tubuh Repi di tempat tidur empuk beralas sutera
putih. Berbeda dengan Vos dulu ia hampir tak menyadari
sama sekali apa yang dilakukan pada dirinya. Ia baru sadar
esoknya, dan dengan menyesal membersihkan bercak darah
yang membeku menodai pahanya. Belum habis rasa sakitnya
Vos mengulangi dan mengulangi lagi pada siang dan malam
harinya. Tangisnya tidak mendapat perhatian dari sang
Gubernur yang terhormat itu.
Kali ini ia merasakannya dengan sadar. Betapa hangat
pelukan Bozgen. Dan ia menggelinjang karena ciuman yang
berulang membuat napasnya memburu seperti kuda betina.
Belum lagi minuman keras yang membuat keduanya sama-
sama mabuk. Belum lagi tangan Bozgen yang dengan rajinnya
meraba ke hampir seluruh bagian tubuhnya. Ia makin
melambung seperti terbang di awang-awang.
0oo0 Bulan Jawa disebutkan sebagai bulan Sriwana, sedang
bulan di penanggalan Masehi disebut sebagai bulan Agustus
ketika seluruh Blambangan dicekam tanda tanya besar. Ni Ayu
Karisyati, anak Tumenggung Sutanegara, oleh Colmond
diminta beberapa hari lalu sebagai upeti. Gadis yang baru
berumur sebelas tahun. Memang orang tak akan ingkar bahwa
anak itu akan tumbuh menjadi sekuntum bunga yang luar
biasa eloknya. Semua orang menjadi terpana mendengar itu.
Kisahnya menjadi buah bibir setiap kerumunan orang.
Apakah satria, brahmana, tak terkecuali sudra. Perawan suci
upeti bagi Colmond. Dan kisah itu berawal dari kunjungan
Mayor Colmond ke Sumberwangi dan Lateng beberapa hari
lalu. Yah, beberapa hari lalu. Anak itu masih tampak ke pasar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walau ia tidak mengenakan pakaian seperti umumnya satria
Blambangan. Ia harus berkemben di dadanya. Namun ia
masih suka bermain dengan anak-anak satria Blambangan
lainnya. Yang membuat ia kelihatan lebih dewasa dari usianya
sendiri ialah karena ia suka berkinang. Membuat bibirnya yang
mungil merah seperti delima.
Colmond melihatnya waktu ia akan pergi bermain. Dan
langsung memintanya pada Sutanegara. Tentu saja, walau
keberatan, Sutanegara tak berani menolak. Karena
sebelumnya Colmond sudah berang dan menegur Sutanegara
dalam hal penyelenggaraan pajak. Sutanegara dinilai kurang
menunjukkan kesetiaannya pada VOC. Bukan cuma itu,
Colmond sendiri membakar beberapa lumbung kawula vang
tidak terisi padi. Cuma terisi ubi, gembili, serta macam-macam
tanaman lain yang tidak laku jika dijual ke pasaran Kompeni.
"Kenapa banyak orang tidak menanam padi" Apa Kompeni
disuruh makan kelapa" Tuan Tumenggung tidak periksa itu
sawah-sawah mereka?"
"Sudah, Tuan. Tapi padi mereka sudah habis untuk
bayar..." "Tidak bisa! Itu menunjukkan orang Blambangan malas!
Kikir! Tidak tahu diri! Mereka harus! - harus! - harus! -
disadarkan untuk dengan rela hati membayar pajak. Pajak!
Sekali lagi pajak!" Colmond bertolak pinggang dan berjalan
mondar-mandir di pendapa Katumenggungan Lateng itu..
"Sungguh... sungguh, sudah..."
"Bohong! Mereka tanam ubi jalar. Itu bukan makanan
Kompeni! Itu makanan babi! Atau Tuan sengaja suruh mereka
tanam demikian" Supaya Kompeni lapar" Tuan hendak
memberontak" Tuan hendak membikin gara-gara?" Serentetan
tuduhan mengalir dari mulut Colmond sambil terus menuding-
nuding dengan telunjuknya. Tangan kiri-kanannya pun tak
berhenti bergerak bergantian pada waktu ia bicara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Tuan." Kini Sutanegara jadi gemetar. Ia tahu tak
ada kekuatan yang akan dapat melawan Kompeni. Keringat
dingin keluar. Bersamaan dengan itu Ni Ayu Karisvati keluar ke
halaman. "' "Siapa itu?" Colmond bertanya sambil menunjuk Karisyati.
Sekilas Colmond melupakan Bhoe Joek Ie. Bukan cuma Bhoe
Joek Ie saja sekarang, tapi juga Lie Pang Khong yang kini
tinggal di Lo Pangpang, punya hubungan gelap dengan
Colmond. Itulah sebabnya ia harus memburu lebih banyak lagi
masukan barang agar dapat memenuhi, permintaannya dan
juga memenuhi jatah pajak yang ditetapkan oleh Gubernur
Surabaya. "Itu" Anak hamba...." Sutanegara menyesal kenapa anak
itu tak bisa menahan diri untuk diam dalam kaputren.
"Anak itu kami bawa ke Lateng. Sampai Tuan dapat
menyadarkan kawula Tuan."
"Anak itu..." Wajah Sutanegara makin pucat.
"Jangan khawatir. Ia akan tinggal selalu dekat dengan aku.
Ia akan diperlakukan baik-baik. Dan akan kembali ke Lateng
setelah Tuan memenuhi kewajiban. Panggil anak itu!"
Dan terjadilah kehendak Colmond. Inilah harga kerja sama
dengan pasukan asing. Tak peduli apakah gadis itu menangis
terus atau Sutanegara tercenung bagai tersadar dari sebuah
mimpi buruk, kehendak Colmond tidak bisa dicegah. Belum
habis ketertegunan Sutanegara, penjaga gapura datang
melaporkan kedatangan tiga orang berkuda.
"Siapa?" "Tidak tahu, Yang Mulia. Dua orang wanita cantik dan
seorang pria. Semua mengenakan busana satria Blambangan."
"Satria?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Yang seorang mengingatkan kita pada wajah Yang Mulia Wong Agung Wilis."
"Apa katamu" Seperti Wong Agung Wilis" Jika demikian suruh mereka masuk segera."
Pengawal itu berbalik. Dan beberapa bentar kemudian Sayu Wiwit bersama Mas Ayu
Prabu serta Mas Ramad Surawijaya.
Sutanegara ingat benar pemuda ini yang dipanggil orang Mas t Dalem Puger. Mereka
masih hidup" Semua orang tentu mengira bahwa pemuda ini sudah tewas bersama Mas
Berod dan Mas Toyong yang juga anak Wong Agung Wilis. Hati Sutanegara sedikit
berdebar. Tiga orang itu melangkah gagah.
Meniti trap pendapa dan dengan tanpa penghormatan berdiri di depan Sutanegara.
"Selamat sore, Yang Mulia. Dirgahayu...," salam Mas Ramad Surawijaya membuktikan
bahwa ia bukan hantu. "Selamat... Yang Mulia, eh... silakan duduk," gugup menerima pandangan tajam
ketiga orang itu. "Tidak usah gugup. Kami datang untuk merundingkan suatu hal yang amat penting.
Penting bagi kita semua. Penting bagi seluruh Tanah Semenanjung Blambangan. Kami
bukan akan minta tahta Blambangan. Nah, mari kita bicara baik-baik," Ramad
menerangkan. "Ba... baik, Yang Mulia. Tetapi... siapakah sebenarnya para Yang Mulia ini" Dan
apa perlunya datang kemari" "
"Mari kita duduk baik-baik dulu," Mas Ramad mengajak.
Dan bertiga mereka duduk di pendapa. Cukup besar. Tapi bentuknya sudah sama
sekali berubah. Tidak seperti zaman Prabu Mangkuningrat. Tak ada lagi lambang
Sonangkara (gambar kepala anjing hitam di atas dasar merah sebagai lambang
Blambangan) di pampang dalam ruangan itu. Yang ada sebuah gambar bulat terukir
tulisan bahasa Arab yang tidak dimengerti maknanya baik oleh ketiga orang tamu muda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu, maupun oleh Sutanegara sendiri. Namun di dinding
sebelah kiri ketiga tamu itu dapat membaca sebuah silsilah
yang ditulis dalam bahasa Blambangan. Silsilah Sutanegara.
Sutanegara ke atas yang disangkutkan bahwa Sutanegara
masih keturunan Tawang Alun dan masih lagi diurut ke atas.
Di atas sendiri di tulis Bhree Wijaya! Ahai, Sutanegara masih
keturunan raja-raja Majapahit"
Apa benar begitu" Kemarin ketika menemui Wangsengsari
di Lo Pangpang, mereka juga melihat silsilah serupa. Juga
menyebutkan bahwa Wangsengsari ternyata juga masih
keturunan Tawang Alun. Bahkan juga keturunan Bhree
Wijaya. Terdapat juga di rumah Suratruna, Patih Lateng yang
sering tinggal di Sumberwangi. Apa arti semua itu" Rupanya
seluruh orang yang rasa dirinya besar selalu mencoba
mencatut nama besar raja-raja Majapahit. Dengan demikian
orang itu berharap supaya semua orang menghormatinya
karena dia masih berdarah Majapahit. Orang yang ingin
mendapat kebesaran tanpa perjuangan, pada hakikatnya
penjahat! Sutanegara mengambil tempat duduk sambil menarik napas
panjang kala ketiga orang itu memperhatikan silsilahnya.
"Eh... itu silsilah... dari ayah hamba. Jadi..."
"Jadi kita masih sedarah!" Mas Ramad memotong.
"Hamba adalah putra Wong Agung Wilis! Ramad
Surawijaya!" "Oh... ampunkan hamba," Sutanegara menyembah. Dalam
hati ia sudah mengira bahwa pemuda gagah berani ini pasti
anak Wong Agung Wilis. "Berdirilah, Yang Mulia! Tak perlu itu! Pembunuhan
terhadap puluhan ribu putra-putra terbaik bumi semenanjung
ini tak bisa dibayar dengan hanya sembah dan permohonan
ampun!" Mas Ramad menajamkan mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sutanegara yang telah pupus oleh tindakan Colmond
beberapa hari lalu, kini kian kehilangan tenaganya. Walau
cuma untuk mendongak saja. Tubuhnya gemetar. Ia merasa
seperti Rahwana dalam cerita wayang purwa yang akan
terjepit oleh dua gunung batu.
"Hamba tak ikut membunuh..."
"Memang, Yang Mulia!" Kini Mas Ayu Prabu yang berbicara.
Walau begitu ia tetap tak berani memandang wajah mereka
bertiga. "Tapi tanda tangan Yang Mulia yang menyetujui kerja sama
dengan Kompeni telah mengakibatkan penjarah dan
perampasan milik sudra yang tak berdaya. Akibat yang lebih
jauh dari itu, kematian demi kematian jatuh tanpa dapat
dicegah! Tak sadarkah?"
Suara itu memang enak didengar. Tapi sungguh
mengguncangkan kalbu. Ia tahu kata-kata itu pasti berekor.
"Semua berjalan di luar kemauan hamba..."
Bertiga mereka tertawa. Hati Sutanegara kian meriup-riup.
Ingin ia mengusir mereka. Tapi tak ada keberaniannya.
Seorang seperti Mas Ramad berani masuk ke sini bukan tanpa
perhitungan. "Satria harus menggunakan nalarnya yang bening sebelum
mengambil suatu sikap," kembali
Mas Ayu Prabu berkicau. "Apalagi, Yang Mulia berdarah
Majapahit! Leluhur kita tidak pernah mengajarkan pada kita
untuk memiliki jiwa seperti siput. Lelaki Ciwa dilahirkan untuk
perang. Untuk melawan dan menantang tiap kesulitan. Bukan
menjual diri pada orang asing."
"Ampun, Yang Mulia...."
"Apalagi merelakan anak kandungnya diperkosa oleh
bangsa asing dengan semau-mau. Tak ubahnya ayam yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membiarkan telurnya sendiri diambil makhluk lain dan
dimusnahkan dari kemungkinan untuk menikmati hidup masa
mendatang! Barangkali induk ayam masih lebih baik. Ia
membela jika anaknya diganggu."
"Ampun, Yang Mulia. Hamba menjadi bingung. Lalu apa
yang harus hamba lakukan sekarang?"
"Baik." Kini Mas Ramad yang bicara kembali. "Apa yang akan Yang Mulia lakukan
jika Wong Agung Wilis datang
kembali?" "Wong Agung Wilis datang kembali" Mimpikah hamba ini
siang-siang mendengar kabar seperti ini?"
"Tidak, Yang Mulia! Wong Agung Wilis tidak pernah mati.
Beliau akan kembali memerintah di seluruh wilayah
Blambangan. Sekarang baru sebagian. Dengar, Wong Agung
Wilis tidak akan mati. Dan akan ada di mana-mana, di seluruh
wilayah Blambangan ini."
Sutanegara sungguh menjadi bingung. Tapi tak urung
menjadi takut juga. Mungkin saja Wong
Agung Wilis mempunyai seribu nyawa sehingga ia tak
mempan terkena pelor Kompeni. Atau ia hidup kembali seperti
raja kera yang berdarah putih dalam cerita wayang purwa,
yang bernama Subali"
"Ya... Al ah, Ya... Rabi". Ia mulai dapat menyebut dalam
Islam. "Baik hamba akan dengar dan menurut seluruh
perintah para Yang Mulia."
"Bukan itu yang kami harapkan. Kami menghendaki Yang
Mulia kembali mencintai tanah kelahiran Yang Mulia. Jika Yang
Mulia tunduk pada Wong Agung, belum tentu Yang Mulia
mengasihi negeri ini. Sebaliknya jika Yang Mulia mengasihi
negeri ini, maka pasti Yang Mulia bersetia kawan dengan
kami. Dan tunduk pada pemerintahan Wong Agung Wilis."
"Yah... hamba akan setia pada negeri Blambangan ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hyang Maha Dewa menyaksikan pembicaraan kita ini.
Walau Yang Mulia sekarang ini seorang Islam, kami tidak
ambil peduli." "Hamba bersumpah."
Bersamaan dengan itu pengawal gerbang kembali
menghadap dengan berita bahwa Suratruna datang
menghadap bersama seorang tamu asing. Pedagang Cina.
Sutanegara memandang ketiga tamunya. Namun Mas Ramad
memberikan persetujuan agar Suratruna bersama tamunya itu
diperbolehkan masuk. Maka mereka pun diperkenankan
masuk. Dan tamu itu segera menjadi perhatian. Berkulit
kuning, mata sipit. Rambutnya hitam pekat dan dikuncir di
belakang kepala. Cukup panjang. Sampai di punggungnya.
Wajahnya bersih tanpa kumis menggambarkan bahwa usianya
masih muda. Di balik sutera kuning yang membungkus
tubuhnya, terdapat tubuh bidang dan otot-otot terlatih. Orang
itu mampu berbahasa Blambangan dan memperkenalkan diri
dengan nama Tha Khong Ming.
Tidak telanjang kaki seperti umumnya satria Blambangan.
Ia datang dari Bali dengan membawa berita yang
mengejutkan semua orang. Dengan tanpa keraguan atau
curiga pada siapa pun ia mengatakan bahwa ia diutus oleh
Wong Agung Wilis yang berada di Mengwi untuk menemui
Sutanegara dan Suratruna. Mas Ramad dan Mas Ayu Prabu
menahan hatinya. Ah, jangan-jangan hanya pancingan
Belanda. Tapi sebenarnya hati mereka seperti gelombang Laut


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kidul yang menggelora. "Tentu para Yang Mulia tidak akan begitu saja percaya.
Tapi hamba membawa bukti. Surat beliau untuk Yang Mulia
Sutanegara." Kemudian dengan tanpa menunggu jawaban ia
mengambil segulung lontar yang ia letakkan dalam ikat
pinggang suteranya. Dengan penuh kebimbangan Sutanegara
menerimanya. Seperti mimpi saja, ia membuka dan mengolesi
lontar itu dengan bubukan kapur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa ada yang menyuruh Mas Ayu Prabu dan Mas Ramad
bergerak untuk ikut membaca. Sedang Sayu Wiwit tetap
mengawasi semua kejadian dengan saksama. Tha Khong Ming
sendiri tidak mencegah orang lain yang ikut membaca lontar
itu. Dengan suara bergetar Sutanegara membaca:
"Yang Mulia Sutanegara, Sekalipun aku tidak berada di
Blambangan, namun sebenarnyalah aku tidak pernah dapat
dipisahkan dari bumi kelahiranku. Aku masih hidup sampai
sekarang. Karena itu aku tetap merupakan sebagian dari
Blambangan sendiri. Dan selama aku masih hidup aku tidak
akan membiarkan tanah kelahiranku dirampok, dirampas,
diperkosa semau-mau oleh perompak-perompak bule itu. Aku
tahu Yang Mulia melakukan semua yang telah terjadi bukan
dengan semau Yang Mulia sendiri. Karena itu pertemukanlah
Tha Khong Ming dengan anakku Mas Sratdadi. Aku tahu dia
masih hidup sementara aku belum mendengar berita tentang
istri dan anak-anakku. Di samping itu, untuk memudahkan hubungan kita
selanjutnya, berilah Tha Khong Ming kemudahan untuk
bergerak di wilayah Lateng. Jika perlu bantulah ia agar dapat
masuk ke wilayah Wangsengsari.
Dirgahayulah, Yang Mulia. Dirgahayulah Blambangan!"
Kepala Sutanegara menjadi berdenyut-denyut.
Persoalannya kian menjadi rumit. Ini tulisan tangan Wong
Agung Wilis sendiri. Menulis dari ibukota Mengwi. Tanpa sadar
butiran keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di
kening dan dahinya. Ia pandang Suratruna. Dan orang itu
memberikan pertimbangan, "Kita tidak perlu lagi menyangsikan. Bukankah di sini ada
Yang Mulia Mas Ramad dan Mas Ayu Prabu" Mereka juga
menceritakan pada hamba bahwa Yang Mulia Wong Agung
Wilis tidak mati. Kita harus percaya. Dan kita perkenalkan saja
mereka dengan Tuan Tha Khong Ming. Hamba percaya para
Yang Mulia ini tahu ai mana Mas Sratdadi berada."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh... betul-betul seperti dongeng. Ampuni kami. Baiklah,
Tuan Ming. Secara kebetulan Tuan bertemu dengan putra
Yang Mulia Wong Agung Wilis. Mari, Yang Mulia, silakan saling
berkenalan," kata Sutanegara kemudian pada semua tamunya.
Tha Khong Ming segera berhadapan dengan Mas Ramad.
Alangkah terkejut hatinya ketika memperhatikan pandangan
mata Mas Ramad yang tajam seperti Wong Agung Wilis yang
kini tinggal di sebuah puri di Mengwi. Bahkan wajahnya pun
sama. Cuma yang seorang sudah tua dan yang seorang masih
muda. "Dirgahayu, Yang Mulia....," ia lebih dulu menghormat. Ia
mendengar dari Wong Agung betapa salah seorang putranya
yang diberi nama Ramad dan bergelar Pangeran Dalem Puger
adalah pemberani dan gagah perkasa.
"Dirgahayu...," Ramad tetap menajamkan mata. "Senang
bertemu dengan Tuan. Aku akan mengusahakan sebuah
rumah untuk Tuan di wilayah Sumberwangi. Tapi dalam
perniagaan Tuan akan bersaing dengan Bhoe Joek Ie serta Lie
Pang Khong yang mendapat bantuan penuh dari Mayor
Colmond." "Ahai, Colmond" Itu tidak soal. Kita akan mengusahakan
mengusir dia dari Blambangan. Hamba punya banyak teman
yang bisa kita mintai tolong untuk mengerjakan semacam itu
di Surabaya. Jangan khawatir."
Mas Ramad dan Ayu Prabu serta Sayu Wiwit mengerti
benar apa arti perkataan Tha Khong Ming. Tentu ia
mempunyai hubungan dengan Vos sebagai atasan Colmond.
Ahai, betapa licinnya orang ini. Tapi bagaimana mereka bisa
berkenalan dengan Ramanda" Mas Ayu Prabu lebih dulu
memecahkan teka-teki itu. Jika Wong Agung ada di Mengwi
maka ia sengaja tidak menggunakan orang Bali untuk
memasuki istana Sutanegara. Pertama, akan membuat
Sutanegara yang telah beralih agama ketakutan. Kedua, akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membangkitkan kecurigaan Kompeni. Namun demikian ia
merasa perlu menyelidiki Tha Kong Ming lebih teliti.
"Baik. Aku percaya itu. Yang Mulia...," Mas Ramad
kemudian menoleh pada Sutanegara. "Kita akan berhubungan
kemudian. Setuju?" "Hamba, Yang Mulia. Akan hamba bantu semua keperluan
Yang Mulia." "Bukan keperluan hamba. Tapi seluruh Blambangan. Ingat,
kali ini Wong Agung Wilis tidak akan memberi ampun terhadap
setiap pengkhianatan! Kepala Yang Mulia tetap menjadi
taruhan. Demi Blambangan, demi Hyang Maha Ciwa, orang-
orang kami tak segan melakukannya setiap saat."
"Tapi di mana hamba dapat menghubungi Yang Mulia jika
sesuatu yang penting akan hamba sampaikan pada Yang
Mulia." "Di jalan menuju pasar, tidak jauh dari sini, ada pandai
besi. Yang Mulia bisa bertanya pada Gimbrus bagaimana
caranya menghubungi hamba."
"Baik, Yang Mulia. Dan untuk Tuan Tha Khong Ming?"
"Biar kami yang mengatur."
"Tapi kali ini hamba harus bersua dengan Yang Mulia
Sratdadi. Ini amanat Yang Mulia Wilis."
"Tidak cukup denganku" Katakan pada Ramanda, inilah
aku, Mas Dalem Puger!"
"Baik, baik, Yang Mulia. Hamba akan kembali menghubungi
sepuluh hari lagi." "Tuan akan mendapat rumah di Sumberwangi sepuluh hari
lagi. Aku akan menunggu di rumah Yang Mulia Suratruna.
Nah, dirgahayu. Aku akan pergi dulu." Ketiga orang itu pergi
dengan tanpa memberikan penghormatan. Tha-Kong Ming
memperhatikan punggung mereka yang telanjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengagumkan keberanian mereka. Dan setelah Tha Khong
Ming pergi dengan meninggalkan hadiah sekadarnya,
Sutanegara seperti bangun dari mimpi.
"Sungguh membingungkan, Yang Mulia." "Kita sedang
menghadapi persekongkolan." Suratruna menjawab. "Kita
harus hati-hati. Hamba sendiri tidak berani menolak Tha
Khong Ming. Ingat, jika benar Wong Agung masih hidup, kita
bisa mati jika menolaknya."
"Tapi mungkinkah Wong Agung Wilis masih hidup" Sulit
memecahkan teka-teki ini."
"Yah... memang sulit untuk dipecahkan. Tapi... hamba
dengar ada seorang rsi yang sangat bijak di Songgon.
Bagaimana pendapat Yang Mulia jika kita melangkahkan kaki
ke sana. Pandita muda itu bernama Rsi Ropo. Para kawula
sangat menghormatinya. Ia mempunyai pandangan tajam.
Mampu melihat apa yang terjadi di balik Wiswayana
(khatulistiwa) sekalipun."
"Apa betul begitu?"
"Kita perlu membuktikan sendiri, Yang Mulia."
"Hamba setuju, Yang Mulia. Semoga Al ah memberi
petunjuk." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
VI. SAPAAN DARI SEBERANG Siapa akan pernah menduga bahwa rumah besar yang berdiri tepat di tengah desa
Songgon itu akan menjadi tempat dari awal titik balik pandangan Suratruna maupun
Sutanegara. Pandita muda itu bukan cuma mengagumkan. Tapi juga menarik hati setiap orang
yang datang kepadanya. Begitu juga kala ia menerima kehadiran dua orang pembesar
dari Lateng itu. "Dirgahayu, Yang Mulia. Senang sekali menerima kedatangan para Yang Mulia.
Burung-burung juga senang berkicau menyambut," Resi Ropo memulai setelah mereka
dipersilakan bersirih terlebih dahulu.
"Terima kasih, Yang Tersuci. Kami pikir, kami amat mengganggu. Namun kami sangat
perlu bersua dengan Yang Tersuci secara pribadi. Para pedagang, petani, dan
semua orang bercerita tentang kemampuan Yang Tersuci.
Kemampuan menolong banyak orang untuk memecahkan kesulitannya."
"Kemampuan" Bukankah setiap orang memiliki kemampuannya sendiri" Ahai... Yang
Mulia memang tidak lupa adat kita walau Yang Mulia berdua sudah menjadi Islam.
Tapi Yang Mulia sudah mulai pandai berpura-pura. Maksud hamba berbasa-basi."
Resi tertawa ramah. "Bukan basa-basi, Yang Tersuci, hamba memang
mendengar itu. Dan hamba datang untuk memohon
pertolongan...." "Hamba tidak keberatan untuk menolong. Itu kewajiban
hamba. Tapi terlebih dahulu hamba ingin menekankan bahwa
sebenarnyalah para Yang Mulia tidak memerlukan pertolongan
hamba jika Yang mulia dapat menghimpun kemampuan yang
tersembunyi dalam tubuh Yang Mulia sendiri. Kemampuan itu
bukannya tidak ada. Tapi belum digali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Yang Tersuci. Hamba tak mengerti apa yang
dimaksudkan. Hamba memang tidak berdaya."
"Ketidakberdayaan adalah dosa! Sebab dengan demikian
dia tidak menghargai Hyang Maha Dewa yang memberikan
kemampuan. Dan barangsiapa membiarkan dirinya hidup
dalam ketidakberdayaan maka ia mendurhakai Pencipta-nya."
"Ampun, Yang Tersuci...."
"Hyang Maha Dewa begitu murah. Yang Mulia masih
menganggap diri tidak berdaya" Yang Mulia telah menerima
Mas Dalem Puger yang mampu mengalahkan mati itu,
bukankah itu anugerah yang luar biasa" Juga Tha Khong Ming
yang membawa berita dari Yang Mulia Wong Agung Wilis.
Bukankah itu kekuatan yang luar biasa untuk memusnahkan
kerakusan Kompeni. Ya, Kompeni yang menginjak kehormatan
tanah leluhur serta pribadi Yang Mulia?"
Ternganga mulut dua satria itu mendengarnya. Ropo tahu
ia menerima tamu" Dari siapa orang ini tahu" Maka
Sutanegara memandang tajam-tajam pada Ropo. Tapi
pandangan mata pemuda yang mengenakan jubah kuning itu
kembali melindas. Ia serasa tak berani beringsut sedikit pun.
Ropo kemudian kembali tertawa.
"Yang Mulia curiga pada hamba maka memandangi seperti
itu" Ha... ha... ha... Brahmana Ciwa pantang berdusta. Tidak
layak mencurigai hamba. Dalam jiwa bersih akan lahir
tindakan yang bersih pula. Masih ingat akan ajaran karma "
Niat jahat akan melilit diri sendiri. Sebab setiap orang dicobai
oleh keinginannya sendiri."
"Ampun, Yang Tersuci...." Dua orang itu saling lirik. Bibir mereka komat-kamit
tanpa kata. "Seperti Kompeni yang memiliki niat jahat itu, maka mereka
juga akan menanggung kejahatannya. Hari-hari terakhir ini
jurang di Merawan penuh dengan bangkai putra-putra
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan. Semuanya mati seperti anjing kurap kelaparan.
Siapa yang bertanggung jawab atas semua kematian itu?"
Diam sebentar. Sepi. "Kompeni juga akan membayar mahal," lanjut Resi Ropo.
Tangannya memungut sirih. "Lihat saja sekarang, berapa
orang bule yang mulai ikut mati" Walau mereka tidak ikut
kelaparan. Tidak ikut mengangkut batu. Tidak ikut menerima
cemeti prajurit Madura atau Probolinggo atau Pasuruan ketika
lutut mereka mulai gemetar mengangkut kayu-kayu dari
hutan. Tidak dibakar terik mentari membangun perkubuan.
Tapi mereka juga mulai ikut mati. Juga pasukan gabungan,
berapa yang mati karena sakit mendadak" Adakah Yang Mulia
tak mendengar semua itu?"
"Ti... ti... tidak, Yang Tersuci."
"Itu salah satu sebab Yang Mulia menjadi tidak mampu.
Bukankah Hyang Maha Ciwa menganugerahkan telinga yang
sama" Tapi sayang, telinga Yang Mulia tidak untuk mendengar
berita. Dan hanya dipergunakan untuk mendengar gemerin-
cingnya emas dan uang."
"Ampun, Yang Tersuci."
"Menyakitkan memang. Tapi ini perlu hamba sampaikan
supaya mulai sekarang Yang Mulia mendengar. Mendengar
dan melihat! Barangsiapa tidak mendengar dan tidak melihat,
maka ia tidak mengamati kehidupan. Dan barangsiapa tidak
mengamati ia tidak pernah belajar mengerti kehidupan."
"Mungkin sudah takdir____"
"Bohong! Itu ucapan penipu! Kita disuruh puas dengan
kemelaratan kita, kesudraan kita, kekalahan kita karena sudah
takdir____ Itu kata-kata hiburan. Atau juga patokan supaya
kita tidak melangkah ke depan. Ha... ha... ha... Sejak kapan
Yang Mulia belajar seperti itu?"
Sutanegara tersipu malu. Juga Suratruna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah memang sudah takdir jika Repi, putri Tumenggung
Lo Pangpang, ditiduri oleh Vos dan diperkosa habis-habisan
tiga hari tiga malam itu?" Berhenti sejenak.
Dan kedua orang itu menelan ludahnya. Dua satria Lateng
itu makin terlonggok-longgok. Ropo juga tahu kejadian itu"
"Apakah juga takdir jika sekarang Repi jatuh ke tangan
pemuda bule yang bernama Bozgen dan mereka sekarang ini
hidup seperti suami-istri di luar perkawinan" Itu cuma akal-
akalan manusia yang mencari keenakan! Tentu ada yang
diuntungkan dan dirugikan. Aha... mungkin ini pula rupanya
yang membuat Yang Mulia tidak berbuat sesuatu kala putri
tersayang Lateng diangkut ke Pangpang?"
"Yang Tersuci juga tahu itu...," Sutanegara tak dapat
menahan hatinya lagi. Kini matanya menatap penuh harap.
"Dengar! Kenapa tidak" Itu sebagai salah satu karma dari
keberanian Yang Mulia menandatangani perjanjian damai
serta sedia bekerja pada VOC. Akibatnya" Ketidakberdayaan."
Kini Sutanegara mengangguk-angguk dan tunduk. Wajah
putrinya yang menangis dan meronta kini membayang di
pelupuk matanya. Tanpa sadar air matanya mengalir di pipi.
Suratruna juga ikut sedih.
"Tidak perlu lagi ditangisi. Ini imbalan dari ketidakpekaan
Yang Mulia memandang dan mendengar. Celaka, telinga Yang
Mulia hanya dipergunakan mendengar desah wanita muda di


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat tidur Yang Mulia, tapi tak mendengar jerit putri Yang
Mulia yang masih sebelas tahun itu diperkosa di ranjang
drubiksa buas seperti Colmond?"
"Yang Tersuci..." Tubuh Sutanegara terguncang karena
tangisnya. Orang setinggi itu, sebesar itu, menangis!
"Memang Yang Mulia datang pada hamba untuk
menanyakan apa benar Wong Agung Wilis masih hidup"
Dengar baik-baik, para Yang Mulia. Wong Agung Wilis tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah mati di hati kawula Blambangan. Sekalipun Yang Mulia
memerintah Blambangan, tapi kawula akan lebih taat pada
pemerintahan yang sebenarnya. Yaitu pemerintahan Wilis."
"Wilis kembali memerintah?"
"Ya! Mereka akan berhenti menyerahkan pajak jika sudah
ada perintah dari Wilis. Sebentar lagi akan tiba saatnya."
"Yang Tersuci, benarkah ini?" Suratruna makin kaget.
"Sudah kukatakan. Yang Mulia tidak pernah melihat
sekeliling Yang Mulia sendiri. Coba hamba ambil contoh. Yang
Mulia Sutanegara ini, pasti belum mendengar bahwa Ni Ayu
Karisyati sudah mati di atas tempat tidur Colmond...."
"Ya, Al ah... benarkah ini?"
"Tidak percaya boleh. Tapi pulanglah sekarang, maka Yang
Mulia akan menerima pemberitahuan dari Colmond. Hamba
tak tahu apa alasan yang akan diberikan Colmond. Tapi kita
semua bisa mengerti, betapa gadis cilik umur sebelas tahun
diperkosa oleh binatang buas seperti Colmond...."
"Tidak!" Sutanegara berdiri. Melangkah gontai, diikuti oleh Suratruna dan
pandangan mata Ropo. "Tidak, Anakku!"
kembali ia berdesis lirih di regol rumah besar milik Ropo. Para
cantrik memperhatikannya. Sebelum ia naik ke kudanya, ia
sempatkan melihat kembali ke pendapa. Tapi Ropo tidak ada.
Ketika ia ingin kembali dan minta kepastian akan apa yang
didengarnya seorang cantrik mendekatinya.
"Sudah cukup. Resi tidak akan menemui Yang Mulia
kembali." Ia pandangi cantrik itu. Berkulit sawo matang. Tangannya
kekar dan bergelang akar hitam di sebelah kanannya. Seperti
prajurit, pikirnya. Ia akan melangkah dengan tidak
menggubris cantrik itu. Namun sekali lagi suara mantap
cantrik itu menghentikan langkahnya. "Yang Mulia akan
menyesal jika memaksa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti kena wibawa Sutanegara tidak membantah. Ah...
tidak berani! Keluar dari desa Songgon ia bingung. Haruskah ia mampir
ke Lo Pangpang dan menghadap Mayor Colmond" Ia ragu.
Jika Resi Ropo ternyata tidak benar, maka Colmond akan
menjadi amat marah. Namun demikian mengingat semua
yang diucapkan Ropo mengenai keadaan yang telah ia alami
tidak meleset, tentunya tak usah lagi diragukan.
Memang ada dua kemungkinan. Ropo hendak mengadu dia
dengan Belanda atau benar-benar ingin menolongnya seperti
katanya tadi. Lagi Wilis. Wilis yang memerintah atas seluruh
Blambangan. Tidak mengakui pemerintahannya di Lateng dan
Wangsengsari di Lo Pangpang. Apa benar Wong Agung Wilis
dia itu" Dan jika ia melewati kampung-kampung, sawah-
sawah, akan mendengar tembang yang menyebutkan bahwa
Wong Agung Wilis tidak mati. Dan itu mulai juga dikidungkan
oleh anak-anak gembala. Bahkan juga gadis-gadis cilik yang
sedang mencari kayu di tepi hutan.
Agung Wilis... Aram mundur, awak ajur Uang kubure... ( pantang mundur
dan tiada berkubur ) Demikian antara lain bunyi syair yang sempat ia tangkap.
Ia tahu persis apa artinya itu. Jika diterjemahkan dalam
bahasa sehari-hari di Blambangan, Uang kubure berarti 'tidak
pernah mati' atau 'tidak berbekas'. Dan itu menunjukkan
betapa cintanya kawula Blambangan terhadap Wong Agung
Wilis. Terutama orang-orang di sekitar desa Songgon. Ah,
rupanya banyak perkampungan baru. Tahukah Wangsengsari
akan hal ini" Pernahkah petugas pajak Lo Pangpang datang ke
desa yang subur ini" Ah... sepertinya tak terusik oleh tangan-
tangan si bule. Suratruna membuatnya tidak jadi ke Lo Pangpang. Dan
mereka bergesa pulang. Namun demikian berdua telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersepakat untuk semakin berhati-hati terhadap siapa pun.
Semua orang kian sulit ditebak. Orang Blambangan sedang
terbagi dua. Pihak Kompeni dan Wilis. Tapi siapa Wilis
sebenarnya" Benarkah dia Wong Agung Wilis yang pernah
menjadi Patih Amangkubhumi Blambangan. Jika benar dia...
ah, tidak ada orang yang bernyawa rangkap. Dia sudah mati.
Jika tidak karena kelaparan pasti sudah tertembus pelor
Belanda. Nah, sekarang terbuktilah kebohongan Resi Ropo
dan Mas Ramad serta Tha Khong Ming. Persekongkolan
penipu. Namun hatinya kembali berdebar kala sampai di pendapa
istananya Bapa Anti sudah duduk bersama Jaksanegara.
Suratruna tetap menemaninya.
"Assalammualaikum..." sapa Bapa Anti.
"Mualaikum salam____Sudah lama?" Sutanegara kemudian
menjabat tangan kedua tamunya. Demikian pula Suratruna.
Para istri Sutanegara tidak boleh ikut menemuk- Walau
Sutanegara r tidak ada mereka hanya bisa mempersilakan
tamunya dari balik kisi-kisi bambu. Atau ada juga yang cuma
di balik tirai. Ahai, peradaban baru bagi para satria
Blambangan. "Sudah cukup lama. Sudah lelah menunggu,"
Jaksanegara tertawa. "Sampai-sampai kami ingin mencari
ke mana para Yang Mulia pergi."
"Cuma memeriksa daerah kami," Suratruna menyahut lebih
dulu. "Sebab akhir-akhir ini banyak terjadi penjarahan oleh
perampok yang nekat."
"Benar, Yang Mulia. Mungkin itu tak terjadi di Pangpang,"
Sutanegara menimpali. "Tapi kedatangan para Yang Mulia
amat mengejutkan. Adakah berita penting?"
Pertanyaan itu meluncur dengan tanpa dipikir.
Sebenarnyalah bukan pertanyaan istimewa. Namun mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghapus senyum semua orang-. Dan tiba-tiba saja
bayangan wajah Rsi Ropo muncul di angan Sutanegara.
Sebentar kemudian bayangan anaknya. Lama kemudian
barulah Bapa Anti menjawab.
"Sebenarnyalah, Yang Mulia, kami mendapat perintah dari
Tuan Mayor Colmond untuk membawa berita bagi Yang
Mulia." "Berita tentang apa?"
"Dua hari lalu, tiga orang yang biasa bertugas sebagai jagal
sapi untuk dapur Kompeni masuk kamar Ni Ayu Karisyati dan
di luar dugaan memperkosa putri Yang Mulia sampai
meninggal...." "Apa Katamu, Bapa Anti?" Sutanegara bangkit dari tempat
duduknya. "Anakku mati?"
"Dibunuh orang. Dan orang itu telah ditembak oleh Mayor.
Mayor sangat menyesal atas kejadian ini. Dan minta maaf."
"Dibunuh orang?" Sutanegara terkulai kembali lemah di
tempat duduknya. Marah, menyesal tapi tidak berani, menjadi
satu. Melahirkan ketidakberdayaan. Namun kemudian segera
ia ingat pada Rsi Ropo. "Akhir-akhir ini memang sering kita mendengar hal yang
aneh-aneh. Sebenarnyalah Belanda ingin memajukan negeri
kita. Tapi kita malas bekerja. Aneh, para pekerja selalu nekat,
mereka memilih tidak mau makan, bahkan dilecut sampai mati
daripada membangun benteng dan loji serta jalan-jalan.
Bukankah itu kebodohan?" Jaksanegara berusaha mengalihkan
kesedihan Sutanegara. "Bahkan mulai ada yang berani melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang yang mau membangun negeri dalam
arti kerja sama dengan Kompeni," lagi Jaksanegara
meneruskan kesimpulan yang diberikan Colmond padanya.
Tapi Sutanegara sudah tak mampu mendengarnya dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baik. Telinganya seperti mendengung. Suara Resi Ropo
pantul-memantul di dinding hatinya. Menimbulkan gema yang
tiada kunjung henti. Belanda yang datang baik dengan cara
perorangan maupun dalam kelompok-kelompok adalah
gelombang perompak rakus yang tidak kenal ampun.
Membantu dan kerja sama sekadar tipu muslihat untuk
menutupi keganasannya. Dalam diam Sutanegara menyimpulkan. Belanda tidak ada
yang baik. Dan untuk ketidakbaikan itu ia harus membalasnya.
Bukankah mulut Colmond sendiri yang mengatakan, anak
Tuan akan aman. Tapi masuk akalkah jika anak itu - yang
ditempatkan di kamar Colmond - bisa mati terbunuh oleh
orang lain" Maka Sutanegara hanya diam mendengar ocehan
Jaksanegara. Bungkam seribu bahasa.
"Kami ikut berdukacita. Mudah-mudahan arwah Ni Ayu
diterima di sisi Tuhan. Karena pengabdiannya buat negeri
amat besar," lagi Jaksanegara mengoceh. Dan ketika kedua
orang itu meninggalkan pendapa ia telah sampai pada
keputusan akan memusnahkan Colmond dari Blambangan.
Kalau perlu ia akan membunuhnya dengan tangannya sendiri.
"Tidak mungkin kita melakukannya sendiri, Yang Mulia,"
Suratruna menasihati. "Lalu?" "Kita akan berunding dengan Resi Ropo yang pasti
didukung oleh suatu kekuatan."
"Dari mana Yang Mulia tahu?"
"Keberanian yang ditampilkan dengan cara seperti itu
mustahil tanpa latar belakang. Dan kita juga akan
membicarakannya dengan Mas Ramad, yang pasti juga
memiliki kekuatan tersendiri. Nah, kita perlu menghimpun juga
kekuatan dengan Tha Khong Ming. Jika semua kekuatan
bergerak bersama, apa sukarnya mengusir Colmond dari sini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar juga. Kita tunggu mereka."
Namun demikian penantian selalu membuat hati siapa pun
resah. Dalam beberapa hari terakhir. Malam sukar
memejamkan mata. Siang juga tidak enak makan. Para istri
tidak berani mendekat. Kupu-kupu di taman yang sedang
hinggap di bunga-bunga tidak lagi menarik hatinya. Juga
burung-burung kecil tidak mampu menghibur, bahkan suara
yang sedikit berisik membuat telinganya sakit. Penantian
melahirkan seribu angan. Namun semuanya musnah kala
saatnya tiba. Jika Bhoe Joek Ie cuma diberi hak menyewa, Tha Khong
Ming diizinkan membeli tanah dan rumah yang cukup besar.
Kebetulan rumah tersebut adalah bekas milik Martana,
pedagang yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh
Wong Agung Wilis. Maka ketika ia masuk ke rumah itu ia
melihat halamannya cukup luas. Berpagar mirip kelenteng,
dengan gerbang yang bisa tertutup rapat. Cocok dengan
seleranya, maka berapa pun uang yang diminta oleh
Suratruna ia tidak lagi menawarnya.
Pertemuan selanjutnya berada di rumah itu. Ramad, Mas
Ayu Prabu, serta Sayu Wiwit sudah hadir juga tepat pada
waktunya. Demikian pula Suratruna maupun Sutanegara. Tha
Khong Ming sebagai tuan rumah sekarang, tampak sibuk
membungkuk-bungkuk hormat. Menyiapkan tempat duduk
sendiri. Juga menyiapkan minuman sendiri.
"Maafkan, para Yang Mulia, hamba masih belum beristri.
Jadi semua harus sendiri. Juga belum ada pelayan."
"Kami akan mengirim orang untuk bekerja pada Tuan," Ayu
Prabu mendahului semua orang. Dan Mas Ramad menyetujui.
"Terima kasih. Itu yang kami harapkan dalam waktu dekat
ini. Tentunya akan mempermudah semua usaha kita." Tha
Khong Ming mengambil tempat duduk setelah semuanya
beres. Mereka mengelilingi meja bundar yang cukup besar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan kursi-kursi ukiran peninggalan Martana. Ruangan
sebesar tujuh kali delapan depa. Belum ada hiasan atau
gambar apa pun yang tertempel di dinding.
"Hamba tidak sabar menunggu. Karena hamba mempunyai
persoalan." "Yah. Kami tahu, Yang Mulia akan mempersoalkan
kematian Ni Ayu," Mas Ramad memotong.
"Ya, Al ah... Yang Mulia juga tahu itu?" Sutanegara kaget
luar biasa. "Siapa yang tak dengar peristiwa pembunuhan itu."
"Ya, Tuhan... dosa apa yang kulakukan maka aib harus
kupikul seperti ini?" Sutanegara bicara pada diri sendiri.
"Sebelum kita melanjutkan pembicaraan, ada baiknya
hamba terlebih dahulu menyampaikan surat dari Yang Mulia
Wong Agung." "Ya...," semua bicara serentak.
Sutanegara seperti tersentak kembali mendengar nama
Wong Agung Wilis disebut. Maka ia mengikuti langkah Tha
Khong Ming dengan pandangan mata. Ia menuju ke tumpukan
kain sutera yang akan dijajakan ke seluruh negeri. Ia
mengambil segulung dan membukanya. Di dalam gulungan itu
ada gulungan sutera yang tidak lebar. Semua orang memuji
kecerdikan Tha Khong Ming. Petugas syahbandar tidak mene-
mukan apa-apa waktu menggeledahnya di dermaga. Gila!
Suratruna mengumpat dalam hati. Siapa yang sudi membuka
tiap gulungan sutera segitu banyak.
Sambil tertawa ramah Tha Khong Ming menyerahkan surat
sutera dan ditulis dengan tinta bak Cina itu pada Mas Ramad.
Kita semua perlu tahu isi surat beliau itu, Tha Khong Ming
mengutarakan pendapatnya. Dan semua menyetujui. Cukup
panjang ketika lembaran sutera itu dibuka. Mas Ramad mulai
membaca dengan teliti dan dengan suara yang tidak terlalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keras, setelah terlebih dahulu Ayu Prabu bersama Sayu Wiwit
melakukan pemeriksaan terhadap sekeliling ruangan bahkan
sekeliling rumah. Kini Tha Khong Ming mengagumi kejelian
Mas Ayu Prabu. Tentu mereka bukan orang sembarangan,
pikirnya. " Anakku, Ramad Surawijaya" demikian surat itu memulai.
" Pertempuran sudah berakhir. Tapi itu tak berarti
peperangan sudah berhenti. Aku senang kau belum gugur.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau anakku. Kakakmu Mas Toyong dan Berod sudah
mendahului kita. Yah... kamu salah seorang yang mampu
mengalahkan mati. Nah, surat ini harus kamu beri tahukan
pada ibumu di Raung serta Yistyani dan Wilis."
Sampai di sini Suratruna mengerutkan dahi. Begitu juga
Sutanegara. Dengan kata lain Agung Wilis sudah menyiapkan
keluarganya sebelum menyerbu Belanda. Betapa hebatnya
orang itu. Kemudian ia mendengar lebih teliti lanjutan surat
itu. "Kelaparan bagi seluruh laskarku, membuat aku melakukan
kenekatan yang membuat aku tertangkap pada hari kelima
belas bulan Jita (bulan mei) dan aku dibuang ke salah satu
pulau di utara Batavia. Pulau Edam. Aku tahu dari orang-orang
yang sudah lama menghuni pulau pembuangan itu. Namun
tak lama setelah itu aku dilayarkan ke Banda. Melalui
gelombang laut yang besar dan selalu dalam kawalan yang
ketat, aku mendarat di pulau yang sudah dihuni oleh banyak
terhukum. Orang-orang Mataram dan Surabaya dan banyak
orang Portugis di pulau itu. Semua bercampur menjadi satu.
Laki-Perempuan. Namun demikian aku tidak pernah
melupakan tanah kelahiranku, Bumi Semenanjung,
Blambangan. Itulah sebabnya kala aku mendapat kesempatan
untuk membuang mayat temanku di laut aku memberanikan
diri untuk pura-pura mati supaya aku dibuang ke laut. Itu
sudah merupakan kebiasan di penjara kami.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang mati akan menjadi santapan ikan-ikan besar di laut
ganas dengan ombak yang setinggi-tinggi bukit. Dua orang
teman menyertaiku dalam rakit. Juga tiga orang pengawal
bersenjata. Aku berdoa, mohon kekuatan pada Hyang Maha
Durga. Durga Mahisa Sura Mardhini! Saat aku sudah sampai
pada puncak semadiku, aku melompat dan merampas pedang
seorang pengawal. Juga dua temanku bergerak cepat. Mereka
semua menjadi makanan ikan pengganti diriku. Laut dan
gelombang menjadi musuh baru kini. Untung aku pernah
belajar Yudisa ( ilmu pergeseran bintang-bintang dan
perbintangan ) sehingga aku tak kehilangan arah.
"Tapi pelor sempat merobek dadaku. Ini juga persoalan.
Temanku memberiku semangat, agar aku tetap hidup. Yah,
aku akan tetap hidup. Setelah berhari-hari menahan lapar
karena tak punya bahan makanan, dan menahan haus, maka
salah seorang temanku mati. Berkali aku harus menghadapi
ini. Lapar. "Doa tidak pernah berhenti dari mulutku. Semadi dari
waktu ke waktu membuat aku mampu mengatasi mabuk laut
yang mematikan. Dan Hyang Durga adalah Maha Pengasih.
Satu pagi aku melihat daratan. Entah berapa hari aku
terkatung antara hidup dan mati.
"Aku tidak tahu nama tempat aku mendarat. Pantainya
penuh kelapa. Orang-orang di pantai
itu amat bersahabat. Temanku memilih tinggal daripada
meneruskan perjalanan. Nelayan di situ mengantar aku ke
Mengwi. Sekarang aku tetap hidup. Dan aku tidak akan
pernah berhenti berperang melawan Belanda. Karena aku tahu
anak-anakku adalah penyambung hidupku, dan kau tak
pernah kalah. Kapan dan di mana saja."
"Dirgahayu," Mas Ayu Prabu bersorak begitu Mas Ramad
selesai membaca. "Dirgahayu Wong Agung Wilis!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayu Wiwit menyebut dalam hati. Dan tidak mampu
menutup kekagumannya. Demikian pula lainnya. Bahkan Tha
Khong Ming sendiri. Waktu ia dikenalkan oleh Cokorda Dewa
Agung Mengwi, ia sudah kagum melihat pandangan mata
orang tua itu. Kini mendengar sendiri, bagaimana Wong
Agung Wilis memperjuangkan hidupnya. Layak disebut
sebagai orang besar di Blambangan.(Menurut catatan Belanda
Wong Agung Wilis meninggal akhir tahun 1780 di Mengwi)
"Kita tidak boleh hanya terpana mendengar kisah ini. Tapi
yang lebih penting dari semua itu adalah amanat yang
terkandung di dalamnya," Mas Ramad mengingatkan. "Wong
Agung Wilis tak pernah mati!"
"Ya. Hamba setuju dan hamba ingin membantu
sepenuhnya perjuangan para Yang Mulia" Khong Ming
menyatakan dirinya. "Hamba akan membawa surat ini pada ibunda. Tapi
sebelum itu kita akan bicara soal yang ditanggung oleh Yang
Mulia Sutanegara. Colmond harus kita punahkan," Ramad
berapi-api. "Ya, tapi mungkinkah kita melakukannya" Kita tidak bisa
menembus pejagaan ketat kediaman Colmond. Dan kalau itu
kita lakukan maka balatentara Kompeni akan berbondong-
bondong dari seluruh wilayahnya," Tha Khong Ming memberi
pendapat lagi. "Kita harus lebih dahulu mempersiapkan diri memasuki
perang besar. Tidak asal serbu," Ayu Prabu memberi pendapat
pula. "Tapi hal ini bukan berarti kita berbelit dalam persiapan,"
lanjutnya. "Artinya kita harus membangun laskar baru?" Sutanegara
kurang mengerti. Karena ia memang tidak pernah belajar
berperang. . "Laskar sudah ada. Tapi kita agaknya kurang
persenjataan. Kurang persiapan dan perhitungan secara
matang. Tapi kita akan mencoba, membuat kejadian anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang Mulia ini sebagai alat untuk menyingkirkan Colmond
yang telah membunuh banyak kawula kita melalui meja," Ayu
Prabu menguraikan pendapatnya. Dan Tha Khong Ming
mengangguk-angguk kagum. Walau Sutanegara dan
Suratruna sama sekali belum menangkap arti kata-kata Mas
Ayu. "Hamba bisa membantu. Hamba punya paman yang
mempunyai hubungan baik dengan Gubernur Vos. Karena itu
Yang Mulia harus melaporkan kejadian ini pada Gubernur Vos.
Buat surat laporan."
"Apakah itu tak melanggar...."
"Kita harus lakukan ini, Yang Mulia. Melanggar atau tidak
itu bukan urusan kita. Mereka telah lebih dulu melanggar hak
kita sebagai manusia."
"Baiklah. Kita akan coba."
Setelah minum dan makan ala kadarnya mereka bubar.
Mereka diberi tahu bahwa pemilik kedai makanan dan
minuman di ujung jalan dekat rumah Tha Khong Ming itu
adalah anak buah Mas Ayu Prabu. Sutanegara makin
menyadari bahwa orang-orang Wilis berada di mana-mana.
Dan Suratruna juga merasa bukan apa-apa dibanding anak-
anak muda itu. Dan Tha Khong Ming tidak main-main. Ia berlayar ke
Surabaya untuk membuktikan ucapannya. Bagaimanapun ia
tidak pernah lupa cerita orang-orang bahwa kakek dan
neneknya diikat oleh Kompeni di Batavia bersama ribuan
orang Cina lainnya. Mereka diseret ke pantai dengan kuda
untuk kemudian diberondong peluru. Satu-satu rebah. Untuk
kemudian terseret ke laut oleh gelombang "pasang.
Dendam itu tidak akan lepas turun-temurun. Dan
karenanya ia harus membantu Blambangan walau ia tidak
akan melepas siasat mencari keuntungan dalam
perniagaannya. Dan semua yang dilakukannya juga mendapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dukungan, bahkan biaya, dari pamannya di Surabaya, Thong
Ping Hong. Thong Ping Hong sudah tua. Badannya gemuk. Tinggi-
besar dengan rambut dikuncir seperti halnya Tha Khong Ming.
Berpakaian sutera hitam dengan gambar naga di dadanya.
Kendati sudah tua tapi masih mampu bergerak lincah.
Menunjukkan orang itu cukup terlatih. Rumahnya penuh
hiasan yang sukar ditebak maknanya. Gambar persegi lima
dan kepala harimau menggigit pedang serta cermin dan yosua
atau dupa ratus berjejer di dinding depan pintu rumahnya.
Hiasan bulat-bulat seperti bola merah-biru dan kuning
bergantungan di langit-langit rumahnya. Belum lagi lukisan-
lukisan yang memang dia bawa dari negeri leluhurnya
bertempelan di dinding. Semua punya makna sebagai penolak
bala. Dalam bahasa Cina Hokian, keduanya terlibat dalam
percakapan ramai. Sambil menghadapi makanan dan
minuman di meja, sumpit di tangan, mereka merundingkan
kepentingan Tha Khong Ming.
"Kau memperoleh izin tinggal tetap di Blambangan itu luar
biasa. Bayangkan, kita semua dengar, Bhoe Joek Ie yang
menghadap langsung pada Colmond tidak bisa mendapat-izin
tinggal tetap. Tapi kau..." Pamannya terkekeh-kekeh bangga.
Berhenti sebentar, terdengar ia mengeluarkan suara aneh dari
mulutnya. Ternyata ia sedang menghimpun dahak dari
tenggorokan dan hidungnya untuk mengumpul di mulutnya,
kemudian diludahkan ke dalam tempolong yang sudah
disediakan. "Karena kami sudah lebih dulu berkenalan dengan Wong
Agung Wilis di Mengwi. Dan ternyata nama Wong Agung
masih dihormati di seluruh Blambangan."
"Hayah... krueek... krueek," berdahak lagi, "hebat! Aku senang mendengarnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, dengan demikian hampir dapat dipastikan di
Blambangan akan terjadi peperangan...."
"Kita jual senjata pada mereka," sahut orang tua itu cepat.
Mata sipitnya berbinar. "Untung besar itu. Sambil
melampiaskan dendam kita mendapat uang. He... he... he..."
dan mengulangi berdahak. Tha Khong Ming memungut bakwan dengan sumpitnya.
Sambil mengunyah ia berkata,
"Agung Wilis akan membeli senjata pada kita dan akan
meminta pada kita untuk menyelundupkannya ke
Blambangan." "Uh, itu pekerjaan berat."
"Tapi menyenangkan. Betapa senangnya bila kita berhasil
mengelabui Kompeni. Membantu orang Blambangan adalah
salah satu panggilan. Dan setiap panggilan hidup itu indah."
"Ya. Lalu sekarang apa kerjamu ke Surabaya ini. Cuma
memberi tahu keadaanmu di Blambangan" Sumberwangi?"
"Tidak. Kami akan minta tolong pada Paman sebagai ganti
orang tua kami." "Apa yang bisa kukerjakan?" Orang itu memandang tajam-
tajam keponakannya setelah berdahak untuk kesekian kalinya.
"Bhoe Joek Ie dan Lie Pang Khong menguasai perniagaan
di seluruh bumi Blambangan karena ia punya hubungan
dengan Colmond. Dan izin tinggal kami di Blambangan akan
tergoyah jika Colmond bertindak. Nah, karena itu kita
berkepentingan menyingkirkan Mayor itu dari bumi
Blambangan. Tentu tidak dengan membunuhnya. Sebab itu
akan mengobarkan perang."
"Bisa. Bisa diatur. Aku akan menghadap Vos. Aku yang
mngatur di sini. Tapi punyakah kau alasan yang mungkin
sekali memudahkan berhasilnya rencana ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada..." Dengan bersemangat Tha Khong Ming
menceritakan kejadian yang terakhir di Blambangan.
Termasuk matinya anak Sutanegara .
"Ah... itu bagus sekali. Kau punya bukti?"
"Ada ini surat pengaduan yang ditulis oleh Tumenggung
Sutanegara. Tapi dia tidak berani menyampaikannya sendiri."
Ia menyerahkan surat pengaduan itu pada pamannya.
Pamannya terbahak-bahak melihat itu. Ia berulang-ulang
memuji Tha Khong Ming. "Sekarang kau boleh menunggu hasilnya sambil bekerja di
rumahmu. Aku akan bekerja."
Puas hati Tha Khong Ming. Ia tahu, pamannya tidak
menipu. Ia kemudian meninggalkan Surabaya untuk menuju
Mengwi. Ia harus menceritakan pada Wong Agung Wilis
bahwa ia telah berunding dengan Mas Ayu Prabu serta Mas
Ramad untuk memusnahkan Colmond.
Sementara itu Sayu Wiwit sudah menurunkan perintah
pada Repi untuk menguji kesetiaan Bozgen. Jika perlu
meminta Bozgen membunuh i Colmond. Sayu Wiwit tahu
persis Bozgen benar-benar tergila-gila pada Repi. Barangkali
saja itu yang pertama kali Bozgen. mengenal wanita.
Sebagaimana biasa sebelum menemui Repi, Bozgen permisi
lebih dahulu pada Tumenggung Wangsengsari. Karena itu pula
bagi banyak orang hubungan kedua muda-mudi itu tidak lagi
menjadi rahasia. Walaupun kedatangan Bozgen selalu malam
atau senja. Begitu pula jika ia ingin membawa Repi ke lojinya.
Pasti dilakukan dengan tanpa setahu banyak orang. Namun
sepanjang-panjang jalan masih panjang tenggorokan. Di
antara istri atau anak-anak Wangsengsari sendiri tentu ada
yang iri. Iri terhadap perhiasan yang dipakai Repi. Iri terhadap
kebebasan Repi. Apalagi sekarang Repi dibuatkan rumah
sendiri walau masih dalam lingkungan tembok
katumenggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak urung dari balik tirai mereka saling berbisik.
"Ah, enaknya punya wajah cantik. Dapat suami bule."
"Suami apa?" yang lain membantah. "Suami-suamian."
Terdengar kikik-kikik di balik tirai itu. Mereka mengintip
kedatangan Bozgen. "Salahnya kamu tidak jadi penari...."
Bozgen senja itu ingin membawa Repi ke rumahnya. Sudah
satu minggu ia tidak berjumpa. Beberapa hari ini Repi tidak
ada di rumahnya. Sedang ia sendiri tidak punya kesempatan
mencari, karena sibuk mengatur penjagaan setelah peristiwa
kematian anak Tumenggung Lateng. Dikhawatirkan ada
pembalasan dendam. Tapi sudah berjalan sebulan lebih tidak ada gejala
pembalasan dendam itu. Namun yang memusingkan Colmond
angka kematian kian meningkat. Baik mereka yang bekerja di
benteng-benteng maupun para anggota Kompeni sendiri. Dan
mulai banyak desa yang menjadi sepi karena ditinggal pergi
oleh penduduknya. Ke mana mereka itu" Tidak ada yang tahu.
Karena mereka meninggalkan tempat tidak secara
berbondong-bondong. Sawah banyak cuma ditunggui
kerumunan anjing. Ada pula sawah yang pada siang hari
masih belum dipanen, namun ketika ditengok oleh pamong
desa karena pemiliknya sudah meninggalkan rumah, ternyata
buah padinya sudah lenyap tanpa bekas seperti dimakan ulat.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua laporan ini menyebabkan Colmond memerintahkan
pengawasan siang dan malam. Bukan cuma itu. Tapi mencoba
melacak ke mana perginya orang-orang itu.
Pintu rumah Repi tertutup. Bunga-bunga di luar tertiup
angin senja. Keremangan turun perlahan menguasai bumi.
Dengan hati-hati Bozgen mengetuk pintu. Tidak ada yang
menyahut. Sekali lagi. Dan berkali lagi ia mengetuk. Pintu
masih juga tertutup. Ke mana Repi" Ayahnya bilang ada. Ia
menunggu sebentar. Tak sabar. Mondar-mandir di depan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pintu. Repi tak juga keluar. Pertanyaan yang timbul
berkembang bukan ke mana Repi pergi. Kini berubah,
mengapa Repi tidak muncul. Menghindari" Punya kekasih
baru" Seribu pertanyaan mendorong keinginannya untuk
mencoba masuk. Ternyata pintu tidak terkunci. Perlahan ia
melewati ruangan demi ruangan dan mencapai kamar tidur
Repi. Ternyata wanita itu sedang tertelungkup di atas tempat
tidurnya. Tempat tidur dengan alas sutera biru muda bikinan
Cina. Semua perabotnya pemberian Bozgen. Juga cermin
besar yang berbingkai emas itu pemberian Bozgen.
Repi tetap tidak bergerak waktu Bozgen duduk di tepi
ranjangnya. Mukanya tampak mendung. Bahkan ia juga tetap
diam kala Bozgen membelainya.
"Ada apa?" Bozgen tidak dapat menahan hatinya.
Diam. Kembali Bozgen berbisik di telinganya. Repi tetap
diam. Bahkan kini meneteskan air mata. Bozgen menjadi
bingung. Ia mencoba mengelusi punggungnya. Repi tampak
terisak. "Bicaralah, Repi. Apa sebabnya kau menangis" Sakit?"
Menggeleng. "Lalu kenapa kau ini?"
"Tuan... apakah Tuan mencintaiku?"
"Ya, Tuhan... kenapa kau tanyakan lagi" Kurangkah
pengorbananku buatmu?"
"Cinta tidak bisa diukur oleh permata dan benda. Tidak
juga cuma dengan kata-kata." Repi masih belum berbalik.
Bozgen mencoba merebahkan diri di samping Repi. Ia
hapus air mata Repi. "Kau istriku, Repi. Tidak layak bicara
seperti itu." "Kita tidak terikat oleh hukum. Hindu tidak. Islam pun tidak.
Apalagi hukum negerimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya... kalau begitu kita akan pergi ke Probolinggo. Aku
kenal seorang kiai yang bisa mengukuhkan perkawinan kita. Di
sini belum ada seorang kiai. Nah, bukankah kau Islam?"
"Ya, bapakku sekarang Islam. Aku juga harus
mengikutinya. Walau aku sama sekali tidak mengerti apa itu
Islam. Tapi kenapa kita harus kawin dengan hukum Islam"
Tidak hukum negerimu" Dengan kata lain kau hendak meniru
Vos. Kau tidak mau bertanggung jawab terhadap orang yang
saat ini kau anggap istrimu" Atau kau akan seperti
Colmond...?" "Berhentilah kau berbicara seperti itu, Manisku..."
"Siapa yang tidak takut dibunuh seperti Ni Ayu Karisyati?"
"Jangan samakan aku dengan Mayor...."
"Begitu Colmond, begitu pula Vos, apakah tidak begitu juga
dengan semua orang Belanda" Perampas dan pemerkosa!
Ternyata tidak ada Belanda yang baik." Repi menjadi berapi-
api. Ia kini bangkit. Duduk bersandar dinding. Bozgen menjadi
terkejut. "Sekarang Belanda menyebarkan berita bahwa Ni Ayu
dibunuh oleh orang lain. Dan mana orang lain itu" Mana"
Dibunuh oleh Colmond" Barangkali anak yang masih ingusan
dapat mempercayai itu. Tapi semua orang yang sudah bisa
berpikir pasti tidak akan mempercayainya. Nah... jika kau
memang suamiku, benarkah kata-kataku ini?"
Bozgen menghela napas panjang. Tidak ia kira bahwa senja
itu merupakan neraka baginya. Ia mengerti benar bahwa jika
mengiakan kata-kata Repi, berarti ia mengingkari sumpah
jabatan. Jika tidak mengiakan maka akan kehilangan cinta.
Kehilangan kenikmatan, kemesraan. Ia berada di simpang
jalan. Dan teringat salah satu hukum Taurat yang tertulis
dalam Alkitab-nya yang mengatakan, "Jangan berdusta..."
Repi menyalakan pelita ketika ia masih memandangi langit-
langit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa diam?" Repi mendesak.
Sekali lagi Bozgen menarik napas panjang. Namun ia telah memilih.
"Kau benar!" katanya sambil berpikir dari mana perempuan itu tahu.
"Apakah menurutmu itu bukan kejahatan?"
"Ya." "Dan kau diam saja. Kau ikut menyebarkan kebusukan itu?"
Repi kian mendesak. Kini Bozgen menjadi berkeringat. "Maafkan aku, Repi. Aku cuma bawahan."
"Saat ini kau boleh memilih..." Repi selesai menyulut pelita.
Dan kemudian tidak kembali lagi ke ranjang. Tapi duduk di kursi.
"Apa yang harus kupilih?"
"Aku atau Colmond."
"Maksudmu?" "Aku adalah orang Blambangan. Karena itu jika kau cinta aku, kau harus cinta
pada Blambangan. Dan kau harus menyingkirkan Colmond dari bumi Blambangan!"
"Hei... apa katamu?" Bozgen melompat bangun. Napasnya mengencang. Dengan matanya
yang biru ia pandang Repi tajam-tajam. Mata mereka beradu. Repi mengumpulkan
seribu keberanian di dadanya.
"Aku cinta kau, Repi. Tapi aku tak mungkin membunuh Mayor Colmond."
"Selama Colmond ada di bumi Blambangan ini maka aku tidak mungkin menjadi
istrimu. Kau tahu kenapa aku pergi beberapa hari yang lalu" Dan kenapa aku
sering pergi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meninggalkan rumah" Sebab aku menghindari Colmond.
Berapa kali ia memerintahkan orang tuaku untuk mengantar
aku ke rumahnya" Dan demi cintaku padamu aku harus
meninggalkan rumah."
"Jadi..." "Yah. Aku tak mau mati di tangan Colmond.Nah, buktikan
jika kau mencintai aku. Aku tak mungkin menghindar terus-
menerus. Orang tuaku bisa dibunuhnya."
Bozgen terduduk dengan lunglai. Ia bersaing dengan
komandannya sendiri. Ah... jika ia tahu Repi menghindari
Colmond karena dirinya, maka tak mustahil jika satu ketika
Colmond akan membunuhnya dengan cara lain. Apa akal"
Kubunuh" Bahaya. Ada jalan. Aku akan melaporkan kejadian
ini ke Surabaya. Bukankah ini menyangkut putra tumenggung"
Sekalipun ia pribumi, ia adalah pegawai Kompeni. Tak bisa
diperlakukan seperti itu.
"Repi..." "Ya. Kau akan meninggalkan aku?"
"Tidak!" Kini Bozgen bangkit mendekati Repi. "Aku akan menyingkirkan Colmond
dari Blambangan. Tapi aku perlu
bantuanmu." "Apa yang harus kukerjakan" Meracun Colmond?"
"Tidak! Jangan kawatir. Kita tidak akan membunuhnya. Kita
ajukan persoalan ini pada Gubernur di Surabaya. Nah, karena
itu aku butuh pengaduan dari Sutanegara. Bisa kau
mendapatkannya?" "Aku sudah punya surat itu. Karena memang aku simpan
sebagai bukti jika aku tidak percaya bahwa Ni Ayu mati di
tangan Colmond." Repi kemudian kembali menuju tempat
tidurnya. Jari-jarinya yang runcing ia pakai menyingkap
tempat tidur dan mengambil segulung sutera, dan
menyerahkannya pada Bozgen.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bozgen membuka gulungan itu. Ditulis dengan tinta bak
Cina hitam. Dan ia baca. Betul, sekalipun dalam bahasa
Blambangan tapi jelas menyebutkan isi pengaduan
Sutanegara. Ia tersenyum. Akan tetapi apakah ia akan
berhasil" Ia akan bertaruh. Ia pertaruhkan nyawanya. Ia akan
mengambil cuti dan pergi ke Surabaya untuk menghadap
Gubernur. Yah... setelah itu ia akan mengajak Repi kawin di
Probolinggo. "Aku setuju itu. Tapi sekarang tinggalkan tempat ini. Aku
tak mau kau jamah sebelum Colmond benar-benar tersingkir."
"Repi..." "Aku tidak percaya lagi pada Belanda... Kecuali jika kau
sudah membuktikan kata-katamu."
"Repi..." "Ampuni aku, Bozgen. Besok jangan ke sini lagi karena aku
akan pergi untuk menghindari siapa pun. Colmond dan kau."
Pandangan Bozgen menjadi nanar. Wanita itu menjadi
keras. Dan dengan gontai ia harus pergi. Gagal ah
keinginannya untuk bermesra dengan kekasihnya. Maka ia
mengambil keputusan segera meninggalkan Blambangan.
Cinta memang mengalahkan segala-gala.
0oo0 Bulan terbit tengah malam dengan wajah pucat,
menandakan saat itu tanggal sudah tua bagi bulan Jawa.
Bulan Badrawana atau bagi penanggalan yang dipakai oleh
Belanda tanggal muda bulan September. Bukan bulan
sumbing. Malah tampaknya seperti bibir seorang gadis yang
sedang tersenyum. Colmond mengumpat dalam hati.
Bulan itu serasa mengejeknya. Ia merasa masa jabatannya
di Blambangan terlalu singkat. Ia sangat kecewa. Karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan keluarnya dari Blambangan maka berarti ia berpisah
dengan Bhoe Joek Ie dan Lie Pang Khong yang menjadi
sumber duit baginya. Tentu ada yang tak beres. Apa salahku" Setoranku tidak
pernah kurang dari ketentuan. Tapi kau membunuh begitu
banyak pribumi Blambangan. Dan kau membiarkan orang-
orang Belanda sendiri mati satu-satu karena penyakit aneh.
Bahkan kau tidak melaporkan itu. Semua kau laporkan baik-
baik. Dan kau telah memperkosa anak tumenggung sampai
mati. Gadis di bawah umur lagi! hatinya sendiri menuduh. Dan
semua pasti ada hubungannya. Pasti ada yang melapor ke
Surabaya. Mungkin saja Bozgen yang mengambil cuti
beberapa minggu yang lalu. Tapi kini sia-sia andaikan ia
panggil Bozgen. Ia tidak berhak lagi memarahi Bozgen karena
perintah timbang-terima sudah tiba. Ia akan diganti oleh
Biesheuvel. Orang itu dengan resmi akan menduduki jabatan
"Residen" di Lo Pangpang. Bukan cuma itu. Dikirim pula
sebagai pembantu Biesheuvel, Schophoff.
Apalagi disusul surat keputusan yang menyebutkan bahwa
masih akan datang lagi Pieter Luzac bulan Desember
mendatang sebagai pembantu residen juga. Ada dua
pembantu residen. Mungkin seorang akan ditempatkan di
Jember dan seorang lagi di Sumberwangi. Semua itu dilakukan
untuk menghindari kesewenang-wenangan. Bukan cuma
kesewenang-wenangan seperti yang dikerjakan Colmond, tapi
juga menghindari penyalahgunaan kekayaan kawula
Blambangan oleh perorangan. Kekayaan yang semestinya bisa
diulur untuk pembayaran pajak jangka panjang, harus habis
karena dikuras secara tidak henti-henti oleh perorangan-
perorangan yang sedang memegang kekuasaan. Ternyata
kawula Blambangan sekarang tidak hanya harus membayar
pajak pada VOC dan mempersembahkan upeti pada para
tumenggung, tapi juga harus memperkaya perorangan-
perorangan yang memiliki sedikit kekuasaan di atas mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bulan pucat bagi sementara orang di Blambangan bisa
berarti lain. Sementara Colmond kecewa, sedih, marah
menjadi satu, orang lain tersenyum samar. Tha Khong Ming
membuktikan hasil kerjanya pada Mas Ramad dan kawan-
kawannya. Demikian pula Bozgen. Ia membuktikan diri pada
Repi bahwa sekalipun ia seorang bawahan, namun mampu
mengusir atasannya. Dan itu melicinkan jalan perkawinannya
di depan penghulu di Probolinggo. Bagaimanapun ia
menyumbangkan suatu bukti bagi kebenaran pendapat
sementara orang bahwa cinta mengalahkan segala-galanya.
Cinta membuat mata banyak orang tertutup. Tidak kurang-
kurang manusia memburu suatu yang mereka namakan
puncak cinta... di atas tempat tidur.
Tidak banyak orang tahu nasib Colmond kemudian. Tapi
bagaimanapun, ditariknya Colmond ke Surabaya memberi
napas sedikit lebih lega bagi seluruh kawula Blambangan. Resi
Ropo menyambut berita dengan sangat gembira. Dan ia
memerintahkan segera meneruskan berita itu ke Raung.
Kepucatan bulan menggambarkan bahwa walau Blambangan
boleh tersenyum namun masih harus prihatin karena masih
ada pekerjaan besar di pundak mereka. Mengusir VOC dari
bumi Blambangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
VII. TEKA-TEKI Pergeseran bintang-bintang memang tampak lamban dari
bumi. Seperti siput yang merangkak. Mungkin saja lebih
lamban. Namun jika ia telah menghabiskan perjalanannya dari
ufuk timur ke ufuk barat, berarti ia telah menambah usia
bumi. Dan semakin tua usia bumi, semakin kaya bumi akan
cerita tentang kisah anak manusia.
Yang dialami oleh Biesheuvel adalah kisah tersendiri. Dia
menerima warisan yang dilaporkan oleh Colmond bahwa
keadaan seluruh Blambangan beres. Aman dan baik. Namun
demikian ketika ia menginjakkan kaki di bumi Blambangan,
seusai timbang-terima di Surabaya, ia menjadi amat heran.
Tidak ada penyambutan baginya. Tidak oleh kawula
Blambangan, tidak juga oleh pasukan kehormatan. Para
tumenggung dan para pembantunya menyambutnya di rumah
karesidenan. Ia berunding dengan Schophoff. Namun
pembantunya itu juga tidak mendengar apa-apa tentang
Blambangan. Tidak ada pesta seperti lazimnya menyambut
residen baru di mana-mana di daerah Jawa lainnya. Kenapa
tanah semenanjung yang hijau ini begini sunyi" Kecurigaan
Biesheuvel timbul. Inikah yang dinamakan baik dan aman oleh
Colmond ketika melapor kepada Gubernur" Mungkin saja ini
bukan warisan yang baik. Karena itu keduanya bersepakat akan mengadakan
penyelidikan. Terutama ke tangsi-tangsi Kompeni terlebih
dahulu. Baru ke daerah-daerah. Karena baik Sutanegara
maupun Wangsengsari melaporkan baik dan aman, hanya
panen akhir-akhir ini tidak begitu berhasil karena dimakan
hama. Atau memang sudah menjadi kebiasaan kawula


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blambangan berhemat dan tidak mengadakan pesta" Jika
demikian halnya maka seharusnya kawula Blambangan adalah
orang-orang terkaya di dunia. Tapi kenapa banyak rumah
mereka yang nampak kumuh" Anak-anak kecil kurus-kurus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan berkemul debu, kala bermain-main di jalan" Bukankah itu
menandakan kemiskinan"
Begitu banyakkah biaya pasukan pendudukan yang harus
dipikul kawula Blambangan maka mereka menjadi miskin" Dan
apa yang dilihatnya di tangsi-tangsi" Begitu banyak pasukan
Kompeni menderita sakit. Penyakit aneh yang membawa
kematian. Ada yang demam dan muntah-muntah, terutama di
daerah Pangpang, yang kemudian berakibat kematian. Ada
juga yang demam dengan kulit berbintik-bintik merah,
akhirnya kulit mereka menjadi biru dan mati. Demikian juga di
Benteng Banyu Alit. Penyakit serupa mengurangi jumlah
penghuni benteng. Di daerah Lateng dan Jember dan Lumajang jenis
penyakitnya tidak sama seperti daerah lain. Sebagian mati
karena kencing nanah. Tapi sebagian lagi mati karena muntah
dan berak. Letnan Beglendeen menyebutkan bahwa
sebenarnya Blambangan yang dulunya daerah hijau yang
ramah telah menjelma menjadi daerah hantu setelah Colmond
melarang memberi makan pekerja-pekerja.
"Keterlaluan!" Biesheuvel geleng kepala.
"Semua itu mengakibatkan banyak orang mati kelaparan.
Ribuan orang. Mungkin saja arwah mereka menuntut balas."
Berdiri bulu roma Schophoff mendengar itu. Walau
setengah tidak percaya. Dan kala ia melakukan peninjauan ke
kampung-kampung maka yang menyambut kedatangan
Schophoff, seorang tinggi besar dengan kumis lebat itu, cuma
gerombolan anjing yang menyalak tanpa henti dan
menunjukkan taringnya yang lancip. Walau ia terbahak-bahak
atas perlakuan gerombolan anjing padanya, ia sempat terbirit-
birit juga ketika anjing-anjing itu berusaha melompati
kudanya. Dan dengan terbahak-bahak pula ia melapor pada
Biesheuvel pengalaman yang mungkin baru pertama kali itu
dialaminya. Banyak desa atau kampung yang telah menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kosong. Itu yang menyebabkan Beglendeen menyebut
Blambangan sebagai daerah, hantu.
Lebih mengherankan lagi bagi Biesheuvel banyak Kompeni
memilih tidur di tangsi atau di benteng-benteng daripada
mengawasi penarikan pajak atau melakukan perondaan.
Apalagi pada malam hari. Bahkan tidak sedikit dari mereka
yang mengajukan permohonan agar dapat ditarik dari
Blambangan dan dipindahkan ke tempat lain. Ketakutan telah
melanda di mana-mana. Maka terpaksa pasukan Madura atau
Probolinggo yang diperintahkan melakukan perondaan.
Sungguh warisan yang kurang menyenangkan bagi
Biesheuvel. Pieter Luzac tiba di Pangpang bulan Desember tahun seribu
tujuh ratus tujuh puluh sembilan Masehi.
Melihat kenyataan itu maka Biesheuvel segera
mengumpulkan semua pembantunya dan semua bekas
pembantu Colmond. Gadis pengipas juga diwariskan oleh
Colmond ketika ia meninggalkan Blambangan. Untuk orang
Belanda perawakan Biesheuvel sebenarnya tidak terlalu tinggi.
Gerakannya lebih lincah daripada Colmond. Ia memang lebih
banyak tersenyum. Dari wajahnya tidak nampak pemberang.
Mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hidung mancung
dan bermata biru. "Tuan-tuan..." ia memulai pertemuan pertamanya. "Aku
dan Schophoff serta Tuan Pieter Luzac adalah petugas baru di
tempat ini. Sedang Tuan-tuan telah lama. Kami perlu
mendapat tahu dari Tuan-tuan tentang banyak hal mengapa
Blambangan menjadi daerah yang benar-benar mengerikan."
Baik Van Beglendeen sebagai seorang perwira maupun
Sersan Kepala Bozgen yang mewakili para bintara saat itu
menuding kesewenang-wenangan Colmond yang menjadi
sebabnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang-orang Blambangan sama sekali tidak diberi napas,"
ujar Van Beglendeen. "Belum lagi pemerkosaan yang dilakukan terhadap perawan-
perawan oleh Colmond."
"Nah, di Blambangan juga banyak orang-orang Cina.
Bagaimana dengan mereka?"
"Umumnya mereka adalah rekan dagang Tuan Colmond.
Kami tidak tahu banyak tentang mereka," Sersan Bozgen yang menjawab kini.
Ketiga orang pejabat baru itu terbelalak.
Namun Schophoff yang dalam duduknya tidak pernah bisa tenang karena gerah segera
tertawa. Dan setiap kali mengawali atau mengakhiri kata-katanya Schophoff selalu
tertawa. Kakinya selalu goyang jika duduk di atas kursi. Dan jika bicara selalu
menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari seperti seorang pendeta yang sedang
berkhotbah. "Jika demikian kita akan bisa menggalang persaudaraan dengan Cina-Cina itu.
Ha... ha... ha...," katanya.
"Baik. Kami senang sekali mendengar banyak keterangan dari Tuan-tuan. Sekarang
apa pendapat Tuan-tuan supaya VOC berhasil di sini seperti di daerah-daerah lain
di Jawa?" "Kita harus hentikan kekerasan dan kita harus lebih mendekati para satria
Blambangan. Kita minta mereka memperbaiki kehidupan sehingga kawula tenang
bekerja kembali di sawah-sawah tanpa takut," Van Beglendeen memberikan saran.
"Ada banyak satria, dan bangsawan Blambangan lainnya yang bisa kita ajak
bekerja. " Beglendeen menelan ludahnya. Kemudian menoleh pada Bozgen sebentar
untuk kemudian melanjutkan.
"Seorang yang bernama Bapa Anti... Tentunya Tuan sudah dengar nama itu. Orang
yang amat dapat dipercaya di samping semua satria yang saat ini bekerja sebagai
pegawai Kompeni." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiga orang itu, kecuali Schophoff, mengangguk-angguk.
Sedang Schophoff tersenyum seperti menahan keinginan untuk tertawa. Kakinya
tetap bergoyang-goyang. Kemudian Biesheuvel menoleh pada yang lain-lain. Diam tanpa jawab. Biesheuvel
menoleh pada Bozgen. Memberi tanda agar Bozgen memberikan sarannya.
"Kita wajib kembali memberikan makan yang baik buat para pekerja. Agar benteng-
benteng segera selesai. Walau tinggal sedikit saja yang belum selesai. Namun ini
kita utamakan. Jika tidak demikian kita akan sulit mencari pembantu-pembantu
rumah tangga, maupun juru-juru masak bagi kepentingan tentara kita. Sebelum ini
tidak ada permusuhan dari mereka. Namun setelah kita gagal membina persahabatan
dengan mereka maka larilah mereka dari kita."
"Jika semua usul Tuan-tuan ternyata dapat memajukan VOC di Blambangan seperti
daerah lain di Jawa ini, maka kami terima dengan baik. Nah, setelah pertemuan
ini kita akan undang semua penguasa pribumi. Tuan Bozgen, suruh anak buahmu
mengundang mereka agar berkumpul di Lateng."
"Baik, Tuanku."
Perundingan berjalan panjang. Dan setelah melalui beberapa kali istirahat dan
makan sederhana, mereka menyelesaikan perundingan. Ditutup oleh Biesheuvel
dengan permintaan agar semua orang bekerja baik-baik demi kemajuan VOC yang
membayar mereka. Hari itu Repi memang sedang berada di loji Bozgen. Sejak perkawinan mereka di
Probolinggo, dia sering tidur di loji.
Dengan senyum ia menyambut dan membukakan pintu bagi Bozgen.
"Malam amat" Apa saja yang dibicarakan" Aku sampai resah. Takut kalau kau
berbelok ke rumah gadis lain."
Bozgen tertawa lirih, kemudian mencium pipi Repi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cemburu?" "Dulu tidak. Tapi sekarang?"
Bozgen melepas sepatunya. Kemudian ke kamar mandi
sementara Repi menyiapkan anggur dan makanan kecil di
meja kecil dekat tempat tidur mereka.
"Kapan kita punya anak?" tiba-tiba Bozgen bertanya sambil
merebahkan diri. "Sudah ingin punya anak?" Repi tertawa lirih sambil
mempermainkan bulu-bulu di dada Bozgen dengan jari-
jemarinya yang runcing bagai duri itu.
"Yah..." Bozgen menatap istrinya.
"Tuhanmu belum memberikan anak pada kita..." Repi
kembali tertawa lirih. Kini ia merebahkan kepalanya di dada
Bozgen. Ia ingin mendengar kata hati Bozgen. Anak" tanya
Repi pada hatinya sendiri. Benarkah orang ini ingin punya
anak" Aku yang belum ingin. Dan memang itulah kata hati
Repi yang sebenarnya. Maka ia sering meminum jamu nanas
muda serta ramuan lain. Bahkan jika hatinya ragu maka ia
pergi ke tukang pijit untuk memijit perutnya, agar tidak
dibuahi oleh benih Bozgen. Apa kata orang jika ia beranak
bule" "Tapi malam ini aku benar-benar gelisah. Apa sih yang
dibicarakan" Jangan-jangan residen baru ini sama rakusnya
dengan Colmond." "Tidak..." Kemudian Bozgen menceritakan semua
pembicaraan pada perundingan itu.
"Ah... kau suamiku. Belalah kawulaku yang miskin. Kasihan
mereka...." "Jangan khawatir, manis____"
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berbeda di Pangpang atau Lateng, berbeda pula di
Songgon. Mas Rempek benar-benar merasakan itu. Di sini ia
tidak mendengar tangisan bocah yang melolong-lolong karena
lapar di waktu pagi. Sepanjang jalan sawah menguning dan semua orang, laki-
perempuan, berbagi suka dan duka bersama. Tiada wajah
mendung. Cuma sebuah padepokan. Kenapa ini tidak merata
ke seluruh Blambangan" Apakah benar panen selalu gagal di
Blambangan karena penguasa mereka telah memunggungi
leluhur mereka" Sedangkan di Songgon orang patuh pada
Hyang Maha ciwa" Ia menjadi iri.
Di Pakis orang tetap menyembah ciwa. Tapi tetap saja tidak
ada keceriaan seperti di Songgon. Apa rahasianya" Ah...
mungkin karena orang Songgon tidak terjamah VOC. Tidak
membayar pajak. Tidak mempersembahkan upeti. Ah...
betapa indahnya jika kawula Blambangan bisa kembali berbagi
tawa seperti di zaman Wong Agung Wilis....
Resi Ropo menyambutnya di pendapa sebagaimana biasa.
Kali ini Rempek harus memberikan suatu keputusan pada Resi
Ropo. Ia telah mengambil keputusan untuk setuju dengan
semua saran Resi Ropo dan bersedia menjadi murid Rsi itu.
"Sungguhkah itu?" tanya Resi menyelidik.
"Ya. Hamba berjanji."
"Baik. Jika demikian Yang Mulia sekarang harus mulai
menyusun kekuatan. Memulihkan kebesaran Blambangan tidak
mungkin cuma dengan kata-kata. Tapi juga harus dengan
kekuatan senjata." "Yang Tersuci memaksudkan supaya hamba menyusun
laskar?" "Ya." "Hamba tak punya uang untuk membiayai mereka. Hamba
juga tak tahu dari mana mendapatkan senjata."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha... ha... ha..." Resi tertawa. "Bumi Blambangan
menyediakan makanan bagi tiap orang. Tapi makanan itu lebih
banyak diberikan pada si bule dan orang-orang yang tidak
meneteskan keringatnya. Yang Mulia sendiri seharusnya juga
meneteskan keringat buat tiap suap nasi yang masuk ke mulut
Yang Mulia. Namun Yang Mulia selama ini cuma minta dan
minta dari orang-orang tak berdaya."
"Yang Tersuci..."
"Yang Mulia menanyakan dari mana hamba makan" Yang
Mulia akan menerima jawaban bila Yang Mulia tinggal di
tempat ini barang lima hari."
"Jagat Dewa! Yang Tersuci juga bekerja di sawah?"
"Kenapa tidak" Brahmana yang baik bukan cuma mampu
memberikan khotbah dan nasihat. Tapi juga mampu
melakukan apa yang diucapkannya sendiri."
"Jagat Bathara!" Rempek benar-benar kaget. Dengan kata
lain juga punya laskar, karena dia juga menasihatkan pada
Rempek agar membangun laskar. Dan tidak ada laskar tanpa
senjata. Dari mana" Tentu tidak mudah untuk mendapatkan
keterangan. "Baiklah, Yang Tersuci. Hamba percaya dan hamba akan
mencoba. Tapi bagaimana caranya hamba harus mendapatkan
senjata bagi orang-orang Pakis?"
"Karena Yang Mulia sudah berjanji, maka ingat, setiap
pengkhianatan akan dibayar dengan leher. Tapi saat ini Yang
Mulia belum bisa mengambil sendiri senjata itu. Yang Mulia
akan menerima di istana Yang Mulia."
"Orang mengantar ke sana?"
"Ya." "Jagat Dewa! Itu bahaya. Dengan mudah akan diketahui
Belanda!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan takut. Penjaga Yang Mulia sendiri tidak akan tahu."
Hati Rempek berguncang keras. Bagaimana mungkin penjagaku sendiri tak akan tahu"
Punya ilmu apa Resi Ropo ini" Begitu tinggikah ilmu sihir Resi Ropo"
"Tetapi ingat, Yang Mulia. Jika itu sudah terjadi, walaupun Yang Mulia pada
kenyataannya bekerja pada Belanda, sebenarnya Yang Mulia adalah punggawa dari
Yang Mulia Wilis yang saat ini menjadi junjungan setiap orang Blambangan.
Karena itu jika Yang Mulia ingkar pada janji dan tidak setia pada Blambangan,
jangan heran akan kedatangan mertalutut dengan tiba-tiba di istana Yang Mulia
sendiri." "Baik, Yang Tersuci." Hati Rempek berdebar. Kemudian timbul pertanyaan baru dalam hatinya, mungkinkah yang membuat
kematian orang-orang Belanda di benteng-benteng saat ini juga mertalutut Wilis"
Benar-benar teka-teki. "Sekali lagi hamba seorang brahmana. Bukan hak hamba memberikan senjata itu.
Hamba akan menyerahkan pada satria lainnya yang juga ingin membangun kembali
cakrawarti (kejayaan,dalam hal ini bisa juga berarti citra) Blambangan."
"Satria..." "Ya, peperangan bukan kewajiban brahmana. Tapi satria.
Jadi Yang mulia tidak sendiri. Tunggu waktunya. Asal Yang Mulia benar-benar
setia maka Yang Mulia akan tahu mereka satu-satu."
"Baiklah, Yang Tersuci. Jadi tugas hamba adalah membangun laskar di Pakis."
"Bukan cuma di Pakis. Jika perlu di seluruh wilayah Blambangan. Sehingga jika
saatnya tiba, maka dengan mudah Yang Mulia memukul VOC di seluruh Blambangan.
Tapi kerjakanlah dengan hati-hati dan teliti. Jangan mudah percaya pada orang
yang ada di seputar Yang Mulia sendiri. Bahkan pada istri sendiri sekalipun.
Apalagi istri Yang Mulia ada tiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang. Hamba khawatir di antara mereka malah ada yang iri


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati dan bersaing untuk memperebutkan cinta Yang Mulia."
Bukan main pandita satu ini, pikir Rempek. Dia tahu sampai
sekecil-kecilnya tentang diriku. Dan "Sampai pulang ia belum
mampu memecahkan teka-teki dari mana pandita itu bisa tahu
segala" Inikah kelebihan brahmana dari seorang satria" Tapi
tentunya tidak ada pengetahuan yang turun begitu saja dari
langit. Resi Ropo pasti mendapatkannya dengan jerih-payah.
Resi bukan hanya berani dalam kata-kata, tapi ternyata
memiliki kecermatan seperti prajurit. Dari mulutnya ia pernah
mendengar nama lain disebut kala Repi datang untuk minta
pendapat pandita itu. Mas. Ayu Prabu dan Sayu Wiwit.
Sepertinya ia pernah mendengar nama Mas Ayu Prabu.
Bukankah ia putri Wong Agung Wilis" Ia mencoba mengingat
dalam perjalanannya pulang. Walau ia belum pernah melihat
orangnya, ia pernah juga mendengar nama itu. Lalu apa
hubungan pandita Songgon itu dengan Mas Ayu Prabu" Di
mana Ayu Prabu sekarang" Aku akan mencoba bertanya pada
Repi. Tapi bagaimana bisa bersua dengan Repi" Tidak
gampang bersua dengan perempuan Islam. Mereka dilarang
menerima tamu seorang lelaki. Apa akal" t
Tapi jika Rsi Ropo tahu aku menyelidikinya, bisa bahaya.
Apa bukan dia sendiri sebenarnya yang bernama Wilis"
Kenapa Blambangan kini penuh dengan teka-teki" Bingung.
Itu membuat ia sulit tidur. Istri tertuanya, Ni Ayu Manikem,
curiga. Jangan-jangan Rempek jatuh hati pada wanita baru
lagi. Sebab begitulah kebiasaan Rempek jika sedang gandrung
dan akan kawin lagi. Tapi kali ini perkiraan Manikem keliru.
Rempek gelisah akan menerima tamu yang mengantarkan
senjata padanya. Jika ketahuan" Bukankah bisa celaka seluruh
keluarga di Pakis" Sebenarnyalah bagi kawula Blambangan tidak mudah untuk
mendapatkan senjata. Walau Mas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ramad menghimpun banyak pandai besi yang dapat
menempa baja menjadi senjata, tapi mereka sukar membuat
bedil sendiri. Jika Belanda tahu maka akan memancing
kecurigaan yang membahayakan. Mas Ramad tahu bahwa
mereka sedang mempersiapkan diri. Jika persiapan belum
matang tapi peperangan sudah datang, maka itu akan sangat
tidak menguntungkan. Jalan keluarnya ialah berusaha
membeli senjata. Itu sebabnya Mas Ayu Prabu ditugaskan
untuk pekerjaan itu. Karena memang dialah Kepala Dinas
Rahasia Bayu. Dan tentu saja itu bukan pekerjaan ringan.
Itulah sebabnya Mas Ayu Prabu sering menghubungi Tha
Khong Ming baik di kedai yang memang semua pelayannya
adalah anak buah Mas Ayu Prabu, maupun di rumah Tha
Khong Ming, Mas Ayu atau Sayu Wiwit belum berani
menunjukkan pusat kegiatannya, dusun Sempu. Apalagi jika
ditanya tentang Wilis, maka ia akan selalu mengelak.
Demikian juga kala siang itu Tha Khong Ming menanyakan
Mas Sratdadi. "Sampai sekian lama hamba di Blambangan, belum pernah
bersua dengan beliau. Padahal tugas Hamba dari Yang Mulia
Wong Agung Wilis adalah menemui beliau."
"Hyang Dewa Ratu, tidak cukup dengan hamba atau Kanda
Mas Dalem Puger?" Ayu Prabu tersenyum.
Mata sipit Tha Khong Ming berkedip-kedip penuh makna.
Senyum Mas Ayu mampu merapuhkan iman lelaki mana pun.
"Bukan begitu, Yang Mulia...," katanya sambil menyodorkan
daging babi panggang di meja ke dekat Ayu Prabu yang
sengaja datang dengan tanpa pengawalan siapa pun. Tidak
dengan Sayu Wiwit. Karena gadis itu mempunyai tugas
sendiri. "Hamba takut dianggap menyalahi tugas yang dipercayakan
sekian lamanya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sejak kapan Ramanda tidak mau dengar Mas Ayu Prabu?"
kembali gadis itu memamerkan deretan mutiara di sela
bibirnya. Rapi berbaris. "Katakan pada Ramanda, Kanda
Sratdadi sedang sibuk berperang. Tak ada kesempatan
menghirup harumnya arak dan indahnya rembulan. Kakanda
mohon ampun." Muka Tha Khong Ming berseri menyusul suara tawa ramah
seraya berkata, "Jika Yang Mulia Sratdadi tidak berkenan menjumpai
hamba di Lateng, baiklah hamba ingin menghadap beliau. Di
mana beliau berada. Itu yang jadi soal."
"Maafkan aku, Tuan." Kini Ayu menatap wajah tampan di
hadapannya itu dengan tajam.
Ah... hati Tha Khong Ming jadi berdesir. Mata itu tak
ubahnya bintang kejora. "Bukannya kami tidak percaya, tapi Kanda Sratdadi
memang aneh. Jangankan orang lain. Kami sendiri sukar
menjumpainya. Beliau datang sebentar lalu menghilang lagi.
Cuma sebentar." "Ah... maaf, Yang Mulia, hamba terlalu mendesak. Inilah
beratnya memikul beban dari seorang yang hamba kagumi."
Keduanya tertawa ramah. Para pelayan tidak ada yang
berani mendekat jika tidak dipanggil. Bahkan ruangan itu sepi
dari pelayan. Jika Tha Khong Ming memerlukan, mereka
dipanggil melalui jendela kecil di dinding yang berhadapan
dengan Mas Ayu. "Hamba senang bersahabat dengan Yang Mulia. Wong
Agung juga senang mendengar berita tentang Yang Mulia."
"Terima Kasih. Tapi saat ini ada yang hamba ingin pinta
dari Ramanda. Hamba percaya beliau lebih mudah
mendapatkannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang dikehendaki...."
"Senjata dan peluru...."
"Sudah hamba duga, Yang Mulia. Sebenarnyalah hamba
sendiri sudah berpikir tentang itu. Sebagai sahabat tentunya
hamba ingin mempersembahkan sesuatu sebagai tanda
persahabatan kita ini. Bukan suap, Yang Mulia. Sungguh-
sungguh hamba ingin kita bersahabat secara tulus."
"Persahabatan tulus hanya bisa terbina jika manusianya
dipersatukan dalam satu kepentingan yang sama."
"Oh... jadi..."
"Ya, jika kepentingan kita berbeda maka persahabatan itu
akan menjadi semu." Gila! pikir Tha Khong Ming. Cerdas juga gadis ini. Tidak
menyesal Wong Agung memiliki anak seperti ini. Dan
kekaguman Tha Khong Ming kian merambat naik.
"Baik, lepas dari semua kesimpulan Yang Mulia, tapi saat ini
hamba memiliki dua ratus lima puluh pucuk senjata laras
panjang bikinan Inggris. Soalnya tinggal bagaimana
mengangkutnya." Bukan main orang ini. Punya senjata sebegitu banyak"
Bukan cuma ingin mencari kekayaan di Blambangan. Rupanya
juga ingin membangun laskar" Untuk apa" Merampok seperti
Kompeni" Inilah belang sebenarnya dari kekuatan modal.
Mula-mula ingin berdagang. Lama-lama ingin menguasai. Tapi
ia tidak peduli. Sekarang ia diperintahkan mencari senjata.
Bukankah orang-orang disekitar Tha Khong Ming adalah anak
buahnya" Namun demikian ia tahu gemerincingnya uang akan
membelokkan kesetiaan mereka.
"Senang sekali menerima hadiah itu. Lalu dengan apa kami
akan membalasnya?" Kembali Mas Ayu memamerkan lesung
pipitnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sahabat yang baik tidak membutuhkan balas bagi apa pun yang telah
dikorbankannya bagi seorang sahabat."
"Terima kasih, Tuan. Kami akan mengambilnya besok dan...?"
"Beri kesempatan hamba mengantar ke tempat Yang Mulia...."
"Tidak keberatan?"
"Dengan senang hati." Cina ini berharap mengetahui tempat tinggal Mas Ayu. Siapa
tahu jika ada waktu senggang bisa berembuk soal-soal pribadi.
"Baik, Tuan. Hamba tunggu di Pakis. Sudah tahu" Tapi lebih baik Tuan mengawasi
dari jauh saja. Nanti begitu masuk ke tanah perdikan Pakis ada rombongan
gandrung (kesenian tari-tarian di Blambangan) yang akan menjemput. Mereka akan
bertindak sebagai pemandu bagi rombongan Tuan agar bisa masuk ke tempat di mana
kami menyimpan senjata itu."
"Hamba akan perhatikan semua petunjuk ini." Mata sipit itu semakin berbinar. Dan
kala ia menyodorkan arak wangi dari Cina Mas Ayu menolaknya dengan halus.
"Maafkan, bukan menolak persahabatan Tuan. Tapi hamba sedang bertugas. Nah,
hamba akan segera pergi untuk mengatur penyambutan bagi Tuan besok. Yah, senja
hari hamba menunggu di tapal batas tanah perdikan itu."
Bukan main kaget Tha Khong Ming. Gadis ini benar-benar menjaga dirinya agar
tidak mabuk. "Tunggu sebentar, Yang Mulia. Ada bingkisan buat Yang Mulia secara pribadi.
Jangan tolak ini." Kemudian Tha Khong Ming bergerak lincah membuka pintu, dan
keluar lagi membawa dua kotak kayu yang berukir. Yang satu dipelipit emas di
sudut-sudutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah... ini untuk Yang Mulia. Satunya ini untuk Yang Mulia
Sayu Wiwit." "Apa ini?" gadis itu memperhatikan wajah Tha Khong Ming
lalu membetulkan letak cundriknya.
"Tentu saja bukan ular dan kalajengking...." Pemuda Cina
itu terbahak-bahak. Kemudian dengan amat ramah ia
mengantar Mas Ayu ke pintu gerbang. Namun demikian
hatinya berdoa, kapan aku bisa lebih leluasa berbicara
dengannya" Dari ke hari, gadis itu menghias dinding hatinya.
Dan ia mulai memperbandingkan dengan gadis-gadis
sebangsanya yang pernah ia temui. Ah... rasanya tak ada
yang sebebas dia. Mungkin cuma mereka yang pandai silat.
Atau gadis ini juga pandai silat" Memiliki keberanian yang luar
biasa. Tapi umumnya orang yang ia temui di sini begitu bebas
bicara. Senang bergaul dengan siapa saja.
Mas Ayu Prabu tidak langsung pulang ke Sempu. Tapi ia
berkuda ke Songgon. Kuda hitam berpetak putih di kepalanya
itu seperti tak pantas dikendarai oleh seorang gadis molek
seperti Ayu Prabu. Tentu orang akan bertanya apakah tidak
akan lecet tangannya yang halus itu memegang tali les
(kendali). Tapi semua pertanyaan itu sirna begitu perawan itu
melompat di atasnya. Dengan sangat berani Ayu Prabu
menempuh hutan-hutan. Sebab ia tidak ingin melewati gardu
penjagaan pasukan Madura dan Kompeni. Karena itu pula ia
harus berani menerjuni jurang-jurang dan melompati banyak
rintangan. Kini ia menembus hutan ke utara. Berbelok ke
barat. Duri rotan bukan halangan untuk mencapai Songgon
sebelum mentari tenggelam. Ia harus mendengar laporan
Sayu Wiwit. Ia harus mencari seorang gadis penari yang
wajahnya mirip Sayu Wiwit dan akan bertindak sebagai Sayu
Wiwit. Dan Sayu Wiwit harus melatih gadis itu sebaik
mungkin. Langkah yang dianggap lucu oleh Sayu Wiwit. Ini
mengundang kekhawatirannya. Jangan-jangan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dihadapinya adalah Mas Ayu yang palsu. Sayu Wiwit
tersenyum sendiri. Apa rencana Mas Ayu ini"
Siapa yang jadi penabuh" Tentu orang Sempu. Semprul
jadi pengendangnya. Ia memang terlatih untuk itu. Angklung
yang penyangganya dihias dengan kayu yang diukir gambar
Antareja ditabuh oleh Bence, angklung yang penyangganya
dihias dengan gambar Gatotkaca ditabuh oleh Da-res,
sedangkan gong ditabuh oleh Nuri. Dan ada peralatan lain
yang masih harus ditabuh oleh beberapa orang.
Ketika mentari condong ke barat, Mas Ayu Prabu benar-
benar telah sampai di Songgon. Ia tidak menuju ke
padepokan. Tapi ke sebuah rumah yang juga cukup besar di
ujung selatan desa itu. Semua yang akan bertugas besok
sudah menunggunya. Keringat dan debu menyelimuti seluruh
tubuhnya. Demikian pun kudanya.
"Dirgahayu!" katanya begitu memasuki ruangan. Dan
semua orang membalasnya dengan ucapan "Dirgahayu", yang
juga berarti doa agar panjang umur. Mas Ayu tidak mandi
terlebih dulu. "Aha... bagaimana, Sayu Wiwit?"
"Hamba telah mendapatkan. Ini dia Ni Marmi.
"Bagus. Ni Marmi sudah berlatih?" gadis itu bertanya
langsung pada Marmi. "Hamba, Yang Mulia," Marmi menyembah. Ia telah diberi
tahu siapa Mas Ayu. "Baik sekali. Untuk semua" Apa sudah tahu tugas masing-
masing" Kau, Semprul, yang akan menjadi kepala
rombongan?" "Hamba, Yang Mulia."
"Aku dan Sayu Wiwit akan mengawal kalian. Nah, kala di
batas kota kalian akan bergabung dengan pembawa senjata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu. Tha Khong Ming memimpin sendiri rombongan itu. Jika
Ming bertanya tentang aku, katakan bahwa aku di dalam puri.
Di gerbang puri kalian harus berhenti sebentar. Bunyikan
gendang. Beri tahu pada penjaga bahwa kalian sudah dibayar
oleh Mas Rempek. Rempek akan menunggu kalian. Dan jika di
depan Rempek Khong Ming menanyakan aku, katakan bahwa
aku tidak ingin menemuinya di istana Rempek. Katakan, aku
akan menunggu dia satu minggu lagi di kedai di
Sumberwangi." "Hamba, Yang Mulia."
"Perlu kauketahui bahwa Rempek belum mengenal aku.
Tha Khong Ming belum kenal Rempek dan tidak tahu bahwa
senjata itu untuk Rempek. Ingat tugas kalian adalah
mengantar senjata. Kalian adalah orang-orang sandi!"
"Hamba, Yang Mulia."
"Nah, aku akan menghadap Rsi lebih dulu. Kita perlu
mohon doa restu beliau. Agar perjalanan kalian selamat."
Kudanya sudah enggan melangkah kala Mas Ayu naik
kembali. Namun kepatuhan kuda itu memang teruji.
Sepertinya ia sudah menyatu dengan jiwa tuannya. Kendati
keremangan telah turun. Kawula Songgon tidak
menyambutnya. Namun semua orang tidak berusaha
menghadangi nya kala ia melangkah lamban. Ya kuda itu
seperti sudah kehabisan tenaga. Lamban. Seperti takut
terperosok ke dalam lumpur. Masuk regol pun tidak seorang
cantrik pun menghadangnya. Bahkan mereka menghormat. Ia
cuma membalas, mereka dengan senyuman.
Ia turun di samping pertapaan. Terus ke perigi dan mandi.
Menyegarkan tubuh. Kepalanya juga ikut segar. Salah satu


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tugas yang dibebankan padanya hampir mendekati
penyelesaian. Ia tak usah berpikir bagaimana caranya Tha
Khong Ming membawa senjata itu ke Pakis. Tentunya Tha
Khong Ming bukan orang sembarangan. Ia mampu menerobos
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barisan penjaga pelabuhan dengan mudah. Tentu ia akan
mampu membawa barang-barang itu ke Pakis.
Setelah tubuhnya segar kembali ia membawa kudanya ke
istal dan menyerahkan kudanya untuk diberi makan oleh
penjaga kandang itu. Setelahnya ia menjumpai Rsi Ropo di
ruang tengah. Tidak seorang pun melarangnya. Membuktikan
bahwa ia sudah terbiasa masuk ke sini.
"Dirgahayu, Kanda. Sembah untuk Yang Tersuci," ia
menyembah. "Dirgahayu, Adikku. Duduklah." Rsi menyodorkan sirih pada
adiknya. Memang sukar dikenali jika tidak diteliti sungguh-
sungguh. "Ah, Kanda, Tha Khong Ming mendesak terus untuk bersua
dengan Kanda." "Ha... ha... ha... Kita harus pandai-pandai menjaga diri.
Sebab kekuasaan di tangan musuh. Bukan mudah
membangunkan kawula yang terus-menerus kalah."
"Tapi sekarang ini kebencian pada VOC kian meradang."
"Itu belum berarti mereka mau kita ajak mengusir VOC,"
kembali Ropo menerangkan. "Kita tahu mereka banyak yang
menyingkir ke hutan. Dan apa yang mereka lakukan untuk
mempertahankan hidup mereka" Tidak kurang-kurang yang
menjadi perampok. Artinya mereka menjadi momok bagi
sesama kawula. Sesama sudra yang juga diinjak oleh
Kompeni." "Jadi bagaimana dengan keinginan Ayahanda?" .
"Aku percaya Ayahanda bukan orang tolol. Kekalahan
adalah guru terbaik. Jika Tha Khong Ming memang memaksa,
aku hanya akan menjumpai dia sebagai Rsi Ropo. Dan bukan
sebagai Sratdadi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanya tertawa. Dan kemudian mereka merundingkan
bagaimana caranya membuat kawula Blambangan bangkit
kembali melawan Belanda. "Semula hanya Ramanda yang dapat memimpin seluruh
kawula Blambangan," Mas Ayu berpendapat. "Hamba lihat
Kanda pun mampu untuk itu. Tapi mengingat Kanda sudah
menjadikan diri brahmana, maka tidak layak jika Kanda sendiri
yang memimpin." "Cukup Wilis di Raung. Ia mumpuni. Tapi karena keadaan
sekarang lebih sulit daripada zaman Ramanda, maka kita perlu
membuat Wilis lebih banyak."
"Bagaimana mungkin?"
"Kau mampu menciptakan Sayu Wiwit lebih dari satu.
Kenapa tidak bisa bikin Wong Agung Wilis juga lebih dari
satu?" Keduanya tertawa lagi. Setelah itu Mas Ayu menceritakan
betapa Tha Khong Ming mulai tertarik padanya. Ia mulai
menghadiahkan sesuatu untuk dia dan Sayu Wiwit. Mas Ayu
mengambil kotak pemberian Khong Ming dan membuka untuk
melihat isinya. Sudah diduga sebelumnya bahwa isinya adalah
perhiasan. Tapi kali ini membuat keduanya betul-betul
terkejut. Kalung mutiara serta gelang emas. Bukan cuma itu,
kutang rantai emas yang kala itu biasa dipakai hanya oleh
permasuri raja-raja Ciwa. Gila! Dari mana Tha Khong Ming
membeli ini" Dan tentunya Tha Khong Ming sudah sangat
berpengalaman memberikan hadiah pada wanita-wanita.
"Ini membuat kita harus semakin hati-hati padanya, Ayu."
"Hamba, Kanda."
"Seorang yang mulai bangga dengan pujian dan senang
akan segala hadiah, ia mulai meletakkan kakinya di lumpur
kehinaan." Ropo menggaruk-garuk jenggotnya yang tidak
gatal dengan telunjuknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba, Kanda."
"Ingat-ingat ini, Ayu! Bukan aku melarang kau menerima
hadiah dan sanjungan. Kau tak akan bisa menghindarinya. Itu
kodrat karena Hyang Maha Dewa menganugerahkan padamu
wajah cantik seperti itu. Dan kodrat pula setiap lelaki memuji
dan menyanjung wanita cantik. Tapi jangan lupa semua itu
dengan satu tujuan. Menyeretmu ke tempat tidur! Kau boleh
jinak tapi tidak berarti boleh menyerah!"
"Hamba, Kanda."
"Aku juga tidak melarang jika suatu ketika kau jatuh cinta
padanya. Cinta adalah kodrat yang juga sukar dikebaskan dari
kehidupan kita. Cinta adalah kebutuhan yang tidak nampak.
Namun itu tidak boleh membuat kau mengesampingkan cinta
akan negeri yang sedang membutuhkan uluran tanganmu ini."
"Hamba, Kanda," Ayu membenarkan semua perkataan
kakaknya dan ia berpikir sudah cocok kakaknya menjadi
seorang brahmana. Maka ia menyatakan pendapatnya itu.
Disambut dengan gelak terbahak. "Aku seorang rsi! Dan aku
pandita! Tapi bukan seorang begawan. Ha... ha... ha... satria
yang membrahmanakan diri harus mampu mengatasi banyak
kesukaran. Dari berpakaian pun sudah merupakan kesukaran.
Apalagi bertingkah laku." Kembali keduanya bergelak. Setelah
melaporkan apa yang akan mereka lakukan esok, Ayu
berpamitan. Ia akan menyampaikan hadiah Tha Khong Ming
pada Sayu Wiwit. Kegelapan sudah merajai alam. Namun itu tak membuat
Ayu sulit mencari pondokan di mana Sayu Wiwit menginap.
Karena rumah itu memang disediakan untuk mereka jika
sedang datang. Kebiasaan memang memudahkan segala-
galanya. Memang memerlukan kewaspadaan yang lebih dari
biasanya. Namun Ayu Prabu sudah menerima latihan cukup
sebelum mendapat tugas sebagai kepala sandi Bayu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu, Yang Mulia." Sayu Wiwit membuka pintu begitu
mendengar langkah Ayu Prabu.
"Ah, belum tidur?"
"Yang Mulia lebih letih dari hamba. Tapi Yang Mulia juga
belum istirahat." "Pengabdian tidak mengenal lelah. Ingat, kita sedang
berperang." "Suatu semboyan untuk menghilangkan kelengahan."
"Kelengahan mengundang macam-macam bahaya." Mas
Ayu mencuci kaki dan setelah itu langsung menuju tempat
tidur. Sayu Wiwit memandangnya penuh keheranan. Ayu
membawa dua kotak. Yang satu lebih besar dari lainnya.
"Sayu...," panggil Ayu waktu merebahkan diri di tempat
tidur yang terbuat dari bambu dan beralas tikar pandan itu.
"Hamba, Yang Mulia," jawab gadis itu sambil mendekat. Ia
sempatkan pula mengambil pelita untuk menambah
penerangan dalam kamar tidur. Mungkin saja Ayu Prabu ingin
membaca lontar seperti biasanya jika mereka pergi tidur. Baca
lontar sebagai pengantar tidur.
"Tha Khong Ming memberi hadiah pada kita. Kau yang ini."
Ayu Prabu menyerahkan kotak yang lebih kecil. "Aku tidak
memilih-milih, Sayu. Itulah memang bagianmu menurut Tha
Khong Ming." Ketika Sayu Wiwit membuka kotak itu ia pun terkejut.
"Jangan kaget, Sayu. Dan jangan ditolak. Itulah lelaki. Jika
sedang menginginkan sesuatu dari kita maka mereka
membuat kita melambung ke langit. Tapi di balik itu mereka
menyediakan lumpur kubangan yang busuk."
"Tapi hamba tidak memerlukan itu, Yang Mulia. Hamba
seorang sayu."( wanita yang disucikan demi kepentingan
keagamaan Ciwa) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cuma orang yang mengerti dan mau mengerti dapat
menghargai kesucian. Tapi lelaki tidak mau mengerti apa arti
namamu. Tidak akan mau tahu kekudusan. Sebab mereka
lebih banyak dikuasai nafsu untuk menyeret kita ke atas
tempat tidur." "Nah... kita kembalikan dan..."
"Tha Khong Ming tidak memerlukan penjelasan itu. Ia
cukup tahu. Karena ia cukup lama berkelana di Bali. Dan tidak
perlu malu menerima ini. Kita wanita yang sama dengan Repi.
Sama dengan Marmi. Kita memerlukan perhiasan ini untuk
memperindah tubuh kita. Jangan lupa, indah itu
menyenangkan. Buta jika tidak sependapat dengan ini."
Sayu Wiwit tertunduk. Menimang-nimang kalung dan
gelang emas yang baru ia miliki saat ini.
"Itu sebabnya aku menciptakan Sayu Wiwit baru. Kau harus
kudus sampai waktu yang ditentukan. Padahal siapa yang tak
pernah dengar itu Rempek" Aku memberimu tugas. Namun
aku harus menjagamu. Kecuali jika kau sendiri yang
menghendaki karena kau sudah membutuhkan..."
"Ah..." "Kita tak perlu ingkar. Saatnya kita memerlukan cinta. Itu
kodrat. Semua, sekali lagi semua yang di bumi ini
membutuhkan cinta. Siapa bilang binatang tak membutuhkan
cinta" Kerbau dan anjing, bahkan ayam pun sering kita lihat
terlibat dalam perkelahian karena cemburu. Cemburu pada
binatang adalah penampilan cinta yang sederhana. Sangat
sederhana bahkan." "Hyang Dewa Ratu, begitu jauh Yang Mulia meneliti
sesuatu kejadian." "Jika kita ingin menjadi bijak kita harus meneliti semua
kejadian dan gejolak alam."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayu membaringkan diri. Dengan kasih Sayu Wiwit memijit-
mijit kakinya. Ia pandangi langit-langit dan melirik mengelilingi
ruangan. Banyak jalur-jalur sarang labah-labah. Debu juga
bertempelan di mana-mana. Ah... tidak pernah dibersihkan.
Tiba-tiba saja suara hujan turun di luar rumah menghentikan
nyanyian binatang malam. Makin lama makin lebat.
"Meneliti juga salah satu cara untuk belajar," lanjut gadis itu. Tanpa
mempedulikan hujan. Sayu Wiwit mengakui sekalipun ayahnya seorang brahmana
tapi belum pernah memberikan pelajaran seperti yang
diajarkan Ayu padanya. Ia tidak tahu bahwa anak-anak Wong
Agung Wilis memang dipersiapkan. Kepergian mereka ke
Raung bukan untuk melarikan diri dari peperangan. Tapi
mempersiapkan diri. Siap secara pribadi maupun secara
keseluruhan sarana perjuangan. Apalagi setelah mereka tahu
ayah mereka yang begitu mereka hormati karena
kemampuannya itu kalah. Maka Sratdadi sebagai putra tertua
mengajak seluruh saudaranya bekerja dengan cara yang lebih
cermat dan lebih banyak menggunakan laskar sandi.
Membangun kekuatan di bawah mata pasukan pendudukan
bukanlah hal yang mudah. "Setelah peristiwa pertemuan Sayu Wiwit itu dengan
Rempek besok, maka kau harus siap. Karena namamu akan
lebih banyak dikenal. Ingat, kau akan dikenal. Ingat, banyak
orang ingin dikenal. Dan karenanya banyak yang berusaha
untuk mencari nama. Nah, dalam mencari nama inilah... sekali
lagi dalam usaha mencari nama inilah tak kurang-kurang yang
menempuh jalan keliru. Ada berapa banyak manusia di
Blambangan yang karena mencari nama menjual bangsa dan
negaranya" Juga berapa banyak orang yang memamerkan
keperempuanannya di depan umum untuk merangsang
kelelakian?" "Hyang Dewa Ratu! Kenapa manusia menjadi tidak takut
lagi pada Hyang Maha Dewa" Bukankah itu meruntuhkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suatu peradaban yang telah disusun dan dibangun oleh
leluhur kita?" "Mendapat nama erat hubungannya dengan keenakan.
Setiap orang memburu keenakan. Siapa pun yang ingin
keenakan pribadi akan terjerat oleh keinginannya sendiri.
Maka ia akan melupakan nilai-nilai luhur dari suatu budaya.
Bahkan cenderung ingin memusnahkannya. Dan setiap orang
akan dijerat oleh keinginan hatinya sendiri."
"Hyang Dewa Ratu!"
"Karena itu bersiaplah! Tugasmu akan lebih' berat. Karena
nama itu. Nama akan membuat hati berbunga-bunga. Tapi
juga merupakan tanggung jawab. Kau bisa pertahankan nama
itu dengan karya dan darma. Sebab tiap orang mendapatkan
nama itu hanya dengan karya dan dharma."
"Hamba, Yang Mulia." - "Masih ada setengah hari besok untuk memperr siapkan
Marmi. Sendiri aku akan mempersiapkannya. Sekaligus membentuk hatinya agar
menjadi setia pada kita."
"Hamba, Yang Mulia."
"Kita istirahat. Memulihkan tenaga kita."
"Hamba, Yang Mulia."
Tha Khong Ming tentu tidak bisa berpakaian seperti
layaknya orang Blambangan. Kulitnya tidak bisa
disembunyikan. Karena itu ia berpakaian seperti orang
Madura. Bersama sepuluh orang pemikul barang ia berangkat
membawa pesanan Ayu Prabu ke Pakis. Lima puluh depa di
muka ia menempatkan seorang pemandu dan seorang
pembawa kerincingan besi. Dengan maksud jika melihat
sesuatu yang membahayakan maka ia akan menabuh
kerincingan besi sambil meneriakkan, "Pijit! Pijit!" seolah dia menawarkan pijit
pada orang. Sedang dua puluh lima depa di
belakang pemandu tersebut-ada dua orang lagi yang akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berusaha menarik perhatian atau melakukan apa saja yang
menghambat musuh yang mungkin akan berpapasan,
memberi kesempatan pada para pemikul untuk bersembunyi
dalam semak. Sedangkan Tha Khong Ming berjalan dua puluh
lima depa di belakang mereka. Pemandu sudah tahu persis
mana daerah penjagaan dan mana yang bisa dilalui. Sekalipun
mereka berangkat pada dinihari sebelum ayam berkokok
namun baru sampai di tapal batas Pakis pada waktu mentari
telah condong ke barat. Tha Khong Ming menghitung berapa
jarak yang telah ditempuhnya" Barangkali ada empat puluh
lima ribu depa. Hanya karena ingin tahu secara pasti di mana
Ayu Prabu tinggal, ia harus menempuh perjalanan yang begitu
jauh dan melelahkan. Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Mungkinkah aku sudah jatuh cinta" Atau ini awal dari jatuh
cinta sehingga aku ingin tahu banyak tentang dia.
Bukan cuma jarak yang menjadi persoalan dalam


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan itu. Tapi perondaan yang sewaktu-waktu bisa saja
muncul di tengah hutan. Karena itu mereka harus sangat
waspada. Apalagi jika sedang melewati tikungan. Tapi untung
si tukang pijit sangat pintar. Acapkali mereka pura-pura
menanyakan alamat seseorang yang sudah memesan sang
tukang pijit untuk datang. Maka kesempatan menjadi cukup
bagi para pemikul untuk masuk semak-semak.
Dan para peronda sendiri tidak begitu suka terlalu lama di
hutan-hutan. Bau busuk bangkai dari orang-orang yang
kelaparan atau teraniaya pada masa Colmond masih mewarnai
hutan-hutan lebat di Blambangan. Itu yang menyebabkan
banyak peronda takut masuk hutan. Dan itu melicinkan jalan
rombongan Tha Khong Ming. Apalagi disertai gerimis yang
sering turun. Kompeni tidak ingin menjadi pilek. Mereka
berpendapat bahwa orang Blambangan tidak mungkin berani
melakukan sesuatu mengingat kematian teman-teman mereka
yang begitu banyak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini Khong Ming telah benar-benar tiba di batas kota Pakis.
Dan ia melihat Sayu Wiwit berpakaian seperti penari. Maka ia
memberi hormat dan wanita muda itu juga membalas sambil
senyum. Sesuai dengan petunjuk Ayu Prabu, Khong Ming tidak
boleh terlalu dekat dengan rombongan penari itu. Namun para
pemikul senjata dalam kotak-kotak kayu itu diminta
bergabung. Khong Ming menyusul dalam beberapa jarak
sampai di depan kediaman Mas Rempek. Dipagari tembok
setinggi dua depa. Dan ada penjagaan di gerbangnya.
Semprul menabuh gendangnya keras-keras. Seorang penjaga
segera mendekati setelah angklung juga dibunyikan.
"Apa maksud kalian menabuh di sini?"
"Maaf, Tuan. Kami sudah ada janji dengan Yang Mulia
Rempek beberapa waktu lalu. Karena itu kami hanya akan
mengingatkan." "Sudah berjanji" Beliau menyuruh kalian datang?" Penjaga
itu agak takut. Ia tahu Rempek suka sekali dengan gandrung.
"Masuk! Masuklah! Terus ke pendapa!"
"Terima kasih."
Semua orang masuk dengan memikul barang masing-
masing. Tha Kong Ming segera ikut memikul beban untuk
dapat lebih aman. Sekilas penjaga curiga. Namun tidak
sempat menahannya. Para pemikul bergesa mendahului para
penabuh. Begitu mendengar suara angklung Mas Rempek keluar dari
kamarnya. Namun betapa kagetnya setelah sampai di pendapa
melihat rombongan gandrung itu sudah ada di situ. Semua
orang menyembah. "Siapa yang mengizinkan kalian masuk?" Mukanya merah di
bawah sinar pelita. Sayu Wiwit yang sebenarnya adalah Marmi
maju sambil menyembah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampunkan kami, Yang Mulia. Kami diperintahkan
menyampaikan pesanan Yang Mulia."
Kemarahan Rempek turun seketika itu juga kala mendengar
suara Marmi. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap mendebarkan
hati. Ia tajamkan mata dan pendengarannya. Pesanan" ia
mengulang dalam hati. Ia mengingat-ingat untuk sesaat.
Namun tidak bisa memecahkannya. Maka tanyanya,
"Apa itu?" seraya berbisik. Matanya liar mengawasi
rombongan penabuh. Matanya menangkap Tha Khong Ming.
"Yang Mulia bisa melihat sendiri pesanan itu," Marmi
menjawab. Rempek mendekati sebuah peti yang ditunjuk
Marmi. "Buka!" perintah Marmi. Dan saat itulah Tha Khong Ming
berdiri dan maju. Rempek menatapnya tajam. Namun dengan
cekatan orang itu membuka peti. Jerami melapisi bagian atas.
Ming menguakkannya. Setelah itu ada kain sutera. Rempek
seperti tak sabar. Namun setelah kain sutera itu terkuak ia
melihat tumpukan senjata api berlaras panjang buatan
Inggris. "Jagat Dewa!" ia menyebut. Dan ingatannya tertuju pada
Ropo, rsi di Songgon. Tha Khong Ming menutup kembali.
"Siapa namamu?" Rempek bertanya pada Marmi.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15 Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Samurai Pengembara 10 2
^