Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 4

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 4


"Sayu Wiwit." "Sayu Wiwit?" Debar jantung Rempek mengeras. Sayu
Wiwit" Ini yang disebut-sebut Rsi Ropo dulu"
"Ya. Hamba Sayu Wiwit."
"Maafkan aku! Ahai, membawa rombongan gandrung. Sayu
Wiwit menjadi gandrungnya ?"
"Cuma dalam rangka mempersembahkan pesanan ini.
Hamba tak akan menari di sini. Karena memang hamba bukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penari. Hamba cuma menjalankan perintah. Dan setelah
selesai harus kembali untuk tidak mengundang kecurigaan."
"Siapa yang memerintahkan kalian?"
"Mas Ayu Prabu." Makin kaget Rempek mendengar itu.
Apa hubungan Ropo dengan Ayu Prabu" Tapi bukan cuma
Rempek yang kaget. Tha Khong Ming juga tak kurang-kurang
kagetnya. Mendengar itu ia tahu bahwa ini bukan rumah Ayu
Prabu. Gila! Aku diperdaya oleh wanita itu. Dan senjata ini
bukan untuk Ayu Prabu sendiri. Tapi untuk Mas Rempek. Gila!
ia mengumpat dalam hati. "Lalu?" "Hamba akan mohon diri."
"Itu akan makin mencurigakan. Marilah ke taman dan
tabuhlah angklung ini barang beberapa bentar. Siapa tahu di
antara mereka ada yang tidak setia?" Rempek menunjuk
penjaganya sendiri. "Dan marilah kita bawa kotak-kotak itu ke ruang belakang."
Semua membenarkan. Kotak-kotak diangkut ke ruang
belakang. Sambil menikmati suara angklung mereka dijamu di
taman. Tidak banyak yang bisa dinikmati di taman itu.
Mendung menggantung tebal sehingga kegelapan menyelimuti
alam. Para istri Rempek juga ikut menjamu mereka.
Tha Khong Ming mendekati Sayu Wiwit dan bertanya
tentang Ayu Prabu, maka dijawab seperti pesan bahwa Tha
Khong Ming akan berjumpa dengan gadis itu barang lima hari
lagi di kedai Sumberwangi. Ketika pulang ke Sumberwa-ngi
bersama rombongannya, Tha Khong Ming tetap
menyembunyikan kekecewaannya. Sedang Jlempek sendiri
gagal menjajagi di mana sebenarnya Ayu Prabu tinggal.
0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setiap keadaan menumbuhkan pemikiran yang tersendiri.
Lingkungan memang mempengaruhi jalan pikiran manusia,
demikian ungkapan seorang bijak. Demikianlah kenyataan
yang dialami Jaksanegara. Kebiasaan melihat dan berkumpul
dengan penguasa Kompeni membuatnya mendapat keinginan
baru. Ditambah lagi betapa sulit ia mendekati Nawangsurya.
Asmara merrrang tak memandang usia. Sekalipun usianya
sudah lebih empat puluh tahun, namun keinginan untuk
memetik bunga Pakis itu tetap ada. Jangankan membawanya
ke pembaringan, mencari kesempatan untuk berdekatan pun
sukar. Lain halnya jika ia adalah penguasa tunggal di
Blambangan. Maka harus terjadi semua yang ia maukan.
Soalnya sekarang ada Wangsengsari, Sutanegara, dan
Suratruna. Memusnahkan mereka bukan hal yang mudah.
Ah... betapa enaknya jika aku seperti Mangkuningrat" Semua
yang ada di Bumi Semenanjung ini akan jadi milikku. Yang
terbaik sekalipun. Tapi sekarang tak mungkin lagi menjadi seseorang seperti
Prabu Mangkuningkrat. Ada Belanda di Bumi Semenanjung.
Dulu Mangkuningrat dengan mudahnya memanjakan diri
sendiri. Yah, Belanda! Aku tak memiliki laskar untuk
menaklukkan Sutanegara dan Wangsengsari. Satu-satunya
jalan harus menggunakan kekuatan Belanda yang kini
menguasai Blambangan. Nah, aku harus mendekatkan diri
pada Belanda dengan mengiakan semua yang mereka
maukan. Bahkan lebih dari itu Jaksanegara sangat
memanjakan Belanda. Ia sering mengundang makan dan
minum para opsir. Ia juga memperluas tamansarinya, dan
menambah perbendaharaan taman itu dengan sejumlah
wanita muda yang cantik-cantik. Dengan kecantikan taman
dan penghuninya itu membuat beberapa pejabat seperti
Biesheuvel, Schophoff, Pieter Luzac, atau beberapa perwira
lainnya senang menerima undangan jamuan makan dari
Jaksanegara. Bapa Anti adalah salah seorang pembantunya
yang paling cakap menjadi penghubungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menurut Jaksanegara, Bapa Anti adalah orang yang mampu
mengantar banyak satria Blambangan untuk menjadi
penguasa. Seperti Mas Anom dan Mas Weka. Sekalipun
kemudian digusur oleh hadirnya Wong Agung Wilis kembali di
Blambangan beberapa tahun lalu. Tentunya Bapa Anti tidak
akan sulit mengantarnya ke jenjang tertinggi bagi seluruh
pribumi Blambangan itu. Bagaimana dengan pembantunya" Mas Rempek yang
sudah terlanjur menjadi pembantunya" Pemuda itu berdarah
Tawang Alun. Apa tidak akan menimbulkan kesulitan di masa
mendatang" Ia harus bersekutu dengan pemuda yang
tampaknya mudah mempengaruhi orang lain itu. Apalagi ia
menginginkan Nawangsurya. Tentu harus pandai-pandai
merangkul Rempek, agar dengan demikian akan lebih mudah
mendekati gadis yang mengganggu tidurnya itu. Maka suatu
senja ia sengaja mengundang Mas Rempek ke tamansari-nya.
Dan dengan tanpa curiga semenir pun Rempek
menghadirinya. Pengawalnya berjaga di luar taman.
Kedatangannya juga salah satu kepatuhannya pada atasan.
Orang ciwa telah membiasakan diri untuk patuh.
Rempek menyebut dalam hatinya ketika melihat taman
yang begitu luas. Berbagai macam anggrek terkumpul dan
bertempelan di pohon-pohon mahoni dan kenanga. Kehijauan
makin subur di musim penghujan seperti saat itu.
Burung-burung berdatangan tanpa dipelihara, namun
menjadi pelengkap yang manis bagi taman itu. Dalam taman
itu berdiri juga beberapa rumah yang tidak begitu besar dan
berdinding kayu ulin. Sekitar delapan rumah. Beratap ijuk
hitam yang nampak begitu serasi dengan hijaunya daun dan
rumput serta merahnya bunga. Di tengah taman ada satu
bangunan seperti pendapa tanpa dinding. Beratap ijuk dan
berlantai kayu ulin yang dilam-bari permadani merah. Lebih
mempesona lagi karena bangunan itu dikelilingi kolam yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berair jernih dan banyak ikan emas serta beberapa jenis ikan
peliharaan lainnya. Melewati sebuah jembatan bambu Rempek mencapai
tempat itu. Sebuah meja yang penuh hidangan telah tersedia
di samping beberapa tempat duduk kosong. Ah, betapa
tempat ini seperti milik dewa-dewi. Jaksanegara duduk sambil
tersenyum. Di sampingnya juga duduk seorang perempuan
muda cantik. Belum lagi dua orang yang bertugas sebagai
tukang kipas. Gila! gumam Rempek dalam hati. Berapa uang orang ini
untuk menghidupi begitu banyak wanita cantik" Dari mana ia
mendapat uang sehingga mampu membangun tamansari yang
hampir menyamai taman milik Ken Dedes"
"Senang sekali dapat kunjungan Yang Mulia," Jaksanegara
mendahului karena ia melihat Rempek agaknya terbengong-
bengong. "Oh... terima kasih, Yang Mulia."
"Silakan duduk. Hamba pikir akan datang bersama istri atau
saudara-saudara keluarga Pakis lainnya."
"Untuk urusan tugas tak baik mengajak keluarga"
"Haha... ha... ha... ha... tidak begitu penting sebenarnya."
Jaksanegara kembali tertawa. Mengelus kumisnya sebentar.
Membetulkan letak destarnya sebentar dan kembali bicara,
"Tapi ini menyangkut masa depan Blambangan. Yah...
masa depan negeri kita. Tentunya menarik jika kita semua ikut
bicara. Maksud hamba jika Yang Mulia sekeluarga ikut
berembuk. Bukankah keluarga Yang Mulia lebih dekat
pertaliannya dengan wangsa Tawang Alun daripada kami?"
Sedikit berdebar hati Rempek mendengarnya. Tapi
memang semestinya akan sangat menarik. Di saat seperti ini
ada orang mengajak berembuk soal Blambangan yang telah
runtuh ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentunya para Yang Mulia akan membangun kembali wangsa Tawang Alun yang porak
poranda, bukan?" "Hamba kurang tahu, Yang Mulia. Tapi kami belum pernah membicarakannya." Mata
Rempek liar melirik kiri-kanan. Dan Jaksanegara mengerti apa yang dikhawatirkan
Rempek. "Di sini aman, Yang Mulia. Jangan khawatir. Hamba menjamin."
Walau begitu Rempek masih saja membetulkan letak kerisnya. Satria harus bersiap
jika sewaktu-waktu ada sesuatu, pikirnya.
"Tidak seharusnya Blambangan terpecah seperti sekarang ini. Kita tak tahu jelas
siapa yang salah. Tapi kita yang memikul akibatnya. Seluruh kawula juga. Tapi
aniaya ini akan terobati jika kita dapat mempersatukan kembali Blambangan."
"Betul, Yang Mulia." Rempek masih saja melirik kiri-kanan.
Kadang matanya tertuju pada para wanita yang mengitari Jaksanegara. Semua
berkemban. Mereka telah tidak sama dengan kebanyakan orang Blambangan. Walau
makan dari hasil bumi Blambangan, dan minum air Blambangan. Juga Jaksanegara
telah berpakaian tidak seperti umumnya satria Blambangan. Orang begini akan
bicara masa depan Blambangan" Mungkinkah masih ada cinta untuk negeri ini dalam
kalbunya" Aku harus hati-hati. Rsi Ropo mengatakan, tak seorang pun yang telah
menikmati keenakan karena kerja sama dengan Kompeni dapat dipercaya. Orang
demikian biasanya cenderung mengulur keenakan yang dinikmatinya agar berlangsung
lebih lama tanpa mempedulikan aniaya yang dirasakan orang lain.
"Tentunya tidak ada orang lain yang memperhatikan kecuali kita. Jadi Blambangan
harus diperintah oleh satu orang raja dan seorang patih."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah itu mungkin, Yang Mulia" Tampaknya sulit jika
masih ada Belanda di sini. Karena Belanda-lah yang memecah
Blambangan menjadi dua."
"Jika Belanda angkat kaki maka Bali akan mengirimkan
laskarnya. Maka sebaiknya biarlah Belanda di sini memayungi
kita." "Jadi bagaimana rencana Yang Mulia. Hamba maksud
bagaimana cara kita agar mempersatukan Blambangan?"
"Ini yang perlu kita bicarakan. Kita harus menghindari
perang melawan Belanda. Kawula Blambangan sudah begitu
menderita. Dari waktu ke waktu didera perang. Mereka harus
diberi kesempatan untuk menikmati keindahan hidup. Dan itu
baru akan mereka alami jika mereka hidup di sebuah negeri
yang damai, yang perniagaannya maju."
"Indah sekali impian Yang Mulia itu." Rempek menarik
napas panjang. Sementara itu seorang perempuan muda
keluar dari sebuah rumah tak jauh dari tempat mereka
berunding itu dengan membawa sebuah guci kecil. Rempek
tahu bahwa itu arak. Guci keramik bikinan Cina. Demikian pun
beberapa cangkir yang ditaruh di atas meja itu. Dari Cina.
Namun Rempek kurang begitu tertarik untuk memperhatikan
wanita pembawa minuman itu. Bayangan wajah Rsi Ropo
berulang muncul di bayang-bayang senja yang mulai
menghilang. Setiap pengkhianatan harus dibayar mahal.
Jatuhnya leher Yang Mulia ke atas bumi yang memberi makan
pada Yang Mulia sendiri. Dan ia menyadari, tak mungkin dapat
berlari. Pengawalnya tak mampu melihat pengiriman senjata
masuk ke istananya. Apalagi melindunginya dari mertalutut
Wilis. Jangan-jangan di antara wanita cantik itu ada juga
orangnya Wilis. "Ya... setuju kan, Yang Mulia, jika kita mencoba
mewujudkannya?" "Hamba membantu sepenuhnya usaha itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Inilah yang hamba tunggu, Yang Mulia. Kita harus
menerangkan pada kawula Blambangan, bahwa kita harus
berbagi anugerah dengan Belanda. Hasil panen kita harus
dibagi dua. Karena mereka yang menjaga ketenteraman
negeri dari incaran Bali. Jangan lupa orang Bali selalu
mengancam dari saat ke saat," Jaksanegara meneruskan lagi.
Beberapa bentar lagi pelita mulai dipasang. Kegelapan
membuat ikan-ikan di kolam tidak tampak lagi. Burung-burung
juga berhenti berkicau. Sebagai gantinya suara jangkrik,
katak, dan beberapa jenis binatang malam lain.
"Hamba perhatikan dan pikirkan semua cita-cita Yang Mulia
ini. Kemudian hamba akan bicarakan pada Kanda Mas Talip,
Mas Nawang-surya, atau juga yang lain-lain. Bahkan mungkin
Kanda Bagus Puri." "Artinya Pakis akan membicarakannya?"
"Ya." "Mudah-mudahan semua setuju."
"Yang menjadi masalah bagi hamba adalah cara.
Bagaimana caranya, itu yang belum tahu."
"Jika perlu hamba akan bicarakan ini dengan para
tumenggung. Nah, jika mereka semua setuju, tentu semuanya
akan berlangsung amat mudah."
"Itu mungkin yang terbaik. Sebagai pembantu patih, hamba
akan patuh. Hamba akan lakukan apa yang harus hamba
lakukan untuk negeri ini."
"Kita mengikat janji, Yang Mulia. Kita bahu-membahu. Mari
kita minum bersama."
"Maaf, Yang Mulia. Hamba melihat butiran candu di meja."
Rempek menunjuk beberapa gelintir benda yang sebesar-
besar kelingking, terbungkus daun lontar dengan amat rapi. Ia
tahu itu candu yang juga biasa dipakai untuk upacara
keagamaan. Namun beberapa orang tidak menggunakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai alat upacara keagamaan. Tapi untuk mendapat
kekuatan baru. Keindahan baru.
"Hamba tidak biasa memakan milik dewa-dewa itu."
"Kenapa tidak" Kita akan mendapat kekuatan seperti para
dewa." "Apa pun kata orang, hamba tidak ingin memakannya.
Nah... Yang Mulia, hamba mohon diri. Selamat malam." Ia
bangkit kemudian berlalu. Jaksanegara kecewa melihat itu. Ia
ingin Rempek menemaninya minum sampai jauh-jauh malam.
Kalau mungkin bermalam di situ. Tapi tak lama kemudian
kekecewaannya terobati dengan datangnya Bapa Anti. "Ah...
kebetulan. Kita minum sampai puas. Hamba ingin ditemani
Mas Rempek tapi dia menolak."
Bapa Anti tertawa mendengar itu.
"Tentu. Ia tak berani makan candu, Yang Mulia. Apalagi ia


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang sering datang ke Songgon."
"Songgon" Desa tua..."
"Sekarang menjadi daerah perdikan yang makmur. Semua
kawulanya tidak terikat dengan peraturan di Blambangan."
"Ya, Al ah. Siapa pemimpin mereka?"
"Seorang rsi yang masih sangat muda. Ia memiliki
pengamatan yang amat tajam. Padahal jaraknya puluhan ribu
tombak dari sini. Tapi hampir semua kejadian penting ia tahu."
"Iblis dari mana dia itu" Pernahkah Yang Mulia ke sana?"
"Pernah..." Bapa Anti kemudian menceritakan
pengalamannya dan apa yang ia lihat di sana.
"Jadi sudah banyak orang yang ke sana" Dan apa kata
Yang Mulia tadi" Dia katakan Wong Agung Wilis masih hidup"
Dan banyak orang percaya" Mustahil! Itu cerita mustahil!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang kelihatannya mustahil. Tapi Yang Mulia
Sutanegara membenarkan bahwa sebenarnya Wong Agung
Wilis masih hidup di Bali."
"Gila! Rangkap berapa nyawanya" Hah!" Jaksanegara
benar-benar terkejut. Jika cerita itu benar maka keinginannya
untuk menjadi penguasa tunggal di Blambangan akan gagal.
Kawula tidak akan patuh pada siapa pun jika ada Wong Agung
Wilis. "Kita tidak perlu resah, Yang Mulia. Andaikata benar Wilis
masih hidup, apa ia mampu mengalahkan VOC" Pengalaman
menunjukkan bahwa ia kalah. Siapa yang tak dengar itu orang
gagah berani, Untung Surapati" Juga mati di tangan Belanda."
"Tapi belum ada ceritanya orang mati hidup lagi. Padahal
Rsi Ropo mengatakan Wilis tidak akan mati sepanjang segala
zaman." "Cuma para dewa yang tak pernah mati. Kita akan bertanya
besok pada Yang Mulia Wangsengsari. Apa beliau dengar
tentang ini." "Ya. Malam ini kita minum-minum." Jaksanegara
menyodorkan minuman. Bapa Anti pun ternyata sudah biasa
minum arak yang dicampur candu...
Sementara itu Rempek dengan para pengawalnya telah
meninggalkan Pangpang. Namun di tengah jalan Rempek
memerintahkan sebagian pengawalnya pulang untuk memberi
tahu istrinya bahwa malam ini Rempek akan ke Songgon. Ada
beberapa hal yang perlu ia tanyakan pada Rsi Ropo.
Kendatipun malam kian naik, ia tak peduli. Bulan memancar
terang, awan-awan putih berkejaran di udara tanpa mengenal
lelah. Cuma dua pengawal yang dibawanya.
Demikian pula kuda Rempek. Tanpa mengenal lelah berlari
terus dalam usaha mengalahkan jarak yang membatasi
Rempek dengan Rsi Ropo. Tidak peduli apakah ia harus
melewati jalan yang sulit. Jalan mendaki, menurun berbatu-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
batu, jalan setapak penuh onak dan ilalang, terus
diterjangnya. Akhirnya Songgon dijangkaunya. Namun begitu
ia mencapai rumah pertama di ujung desa, seseorang
menahan langkah kudanya. "Selamat malam, Yang Mulia," seorang petani bertubuh
gempal menyembahnya. "Akari menghadap Rsi-kah" Begini
malam?" "Ada sesuatu yang penting hendak kubicarakan."
'Tidakkah bisa ditunda esok pagi" Kami menyediakan
tempat jika Yang Mulia perlu istirahat."
"Jagat Dewa!" Rempek menyebut. Bukan kebiasaan sudra
menahan satria. Tidak ada sudra memiliki keberanian seperti
itu. "Apa keberatanmu, Ki Sanak?" Rempek mengernyitkan
dahinya. "Desa kami tidak pernah terusik langkah orang asing di
malam hari. Apalagi derap kuda." Orang itu tetap tenang.
Matanya menatap tajam pada ketiga orang penunggang kuda
itu. "Aku kauanggap asing" Songgon tidak terpisah dari
Blambangan?" "Bagaimana kami harus satu dengan Blambangan yang
terpecah-pecah" Bagi kami Blambangan yang tidak tunduk
pada pemerintahan Wil is .maka ia adalah asing."
"Jagat Dewa! Justru itu yang hendak aku bicarakan. Baik!
Aku akan turun dari kudaku. Biar kuda itu di sini dan aku
berjalan kaki ke padepokan."
"Sudah hamba katakan. Tidak ada langkah orang asing
pernah mengusik tempat ini malam hari. Jika Yang Mulia
memaksa, maka ini yang pertama kali terjadi. Dan Yang Mulia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan melihat kenyataan pahit. Yang Mulia tetap tidak akan
bersua Rsi. Bahkan mungkin untuk selamanya."
"Hyang Bathara!" Rempek kian terkejut atas jawaban itu.
Juga para pengawalnya. Jawaban yang mengandung
ancaman. Dengan kata lain di sini ada kekuatan yang akan
bertindak jika ia memaksa masuk. Lalu ini pertapaan macam
apa" " Ingin ia melompat turun membunuh petani itu. Namun
indria keenamnya memperingatkan supaya ia tidak gegabah.
Tidak mendengar kata hati semata. Sebab di dalam rumah di
ujung jalan itu, baik di sebelah kiri dan kanan, ada prajurit
rahasia yang menyamar menjadi petani. Dengan mata
berkilat-kilat menahan marah dalam dadanya, Rempek
menyerah. Dugaan Rempek tidak meleset. Ketika ia dibawa ke rumah
di ujung jalan itu, maka tidak ada seorang pun wanita.
Mungkin petani itu tidak beristri. Tapi yang lebih membuatnya
curiga adalah tiga orang lelaki lain yang duduk di tikar pandan.
Semua sedang berkinang. "Selamat malam, Yang Mulia," sambut mereka berbareng.
"Selamat!" Rempek kesal. Untuk kesekian kali ia harus
mengerjakan sesuatu yang tidak ia maukan. Untuk
mengurangi kekesalan hatinya ia segera berbaring. Ia tidak
mungkin kembali ke Pakis dengan kepala yang dibebani tanya.
Berbaring memandang ke langit-langit yang tidak nampak
secara jelas karena penerangan tidak terlalu banyak dalam
ruangan itu. Padahal bulan memancar, terang di luar. Namun
semuanya jadi diam. Keheningan merajai alam.
Beberapa bentar kemudian Rempek mendengar di luar
suara bisik sepasang manusia. Langkahnya belum terdengar,
namun percakapan mereka kian lama kian jelas. Suara
seorang lelaki dan seorang lagi perempuan. Rempek
menajamkan telinga. Ia lirik seorang di antara para petani
yang dalam biliknya bangkit. Dua lainnya ikut bangkit dan
mengintip di balik pintu. Keduanya membawa benda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbungkus kain kumuh. Rempek cuma memperkirakan itu
senjata laras panjang. Rempek kian berdebar. Ah, andaikata
tadi ia berani menikam petani yang menghadangnya, hampir
dapat dipastikan istrinya bakal jadi janda. Gila, tempat ini
mengandung banyak hal yang tersembunyi. Seorang yang
terdahulu dengan cepat menyelinap ke luar. Rempek tidak
bergerak. "Selamat malam, Yang Mulia," terdengar suara petani tadi.
"Selamat malam. Aku akan berangkat malam ini bersama
Sayu Wiwit." Suara lainnya pelan. Tapi malam begitu sepi.
Memudahkan telinga Rempek memantau kata-kata mereka.
"Yang Mulia memerlukan kuda" Baik, hamba akan
ambilkan. Sebab hamba khawatir keliru ambil," petani tadi
berbisik. "Keliru?" "Ya. Dengan kepunyaan Mas Rempek."
"Mas Rempek ada di sini" Akan menghadap Rsi" Bersama
kami Rsi sedang keluar. Beliau ke barat. Beliau akan naik."
"Kapan baru akan turun?"
"Jika tak terjadi sesuatu esok malam baru akan sampai di
sini. Kami tidak menduga Mas Rempek datang hari ini. Sebab
laporan mengatakan bahwa ia sedang bersama Jaksanegara
malam ini. Ah... dia terlambat. Baik! Itu urusan para cantrik
besok! Mana kuda kami."
Orang itu menjauh. Sebentar kemudian terdengar langkah
dua ekor kuda. Dan beberapa bentar kemudian berderap
menjauh... Kekesalan Rempek menjadi genap. Tapi tetap tak berani
berkutik. Dua orang yang di balik pintu itu lebih dulu berbaring
di tikar yang tak jauh dari pintu. Benda yang terbungkus kain
kumuh itu mereka letakkan di samping mereka masing-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masing. Ternyata dua rumah yang saling berhadapan di ujung
jalan ini gardu jaga orang-orang Songgon. Tampaknya
memang tak pernah ada pengawalan di sini, tapi jika ada
sesuatu maka Rempek yakin sewaktu-waktu bermunculan
pengawal-pengawal yang tidak mustahil bersenjata lengkap.
Kepala Rempek sibuk menebak-nebak. Kemana ya Rsi Ropo"
Ke atas" Tentu ini kata sandi. Rsi masih punya pimpinan yang
lebih tinggi. Bisa, ya! Bisa diterjemahkan begitu. Atau ke pusat
mereka di sebuah gunung yang letaknya lebih tinggi dari
Songgon. Buntu jalannya melacak Rsi Ropo, kini hatinya
mempertanyakan siapa yang pergi bersama Sayu Wiwit tadi.
Mengapa di sini" Ke mana pula mereka itu" Juga sukar
menduga. Ingin ia bangun membuntuti kedua orang tersebut.
Gila! Apa sebab keinginan semacam itu timbul" Apakah karena
kemanisan Sayu Wiwit yang mengguncang hati" Senyum,
mata, dan bibir tipisnya" Ah... bukan! Ia menjadi terombang-
ambing oleh teka-teki. Dan ia harus berusaha memecahkan
teka-teki itu. Aku, satria! Kenapa kalah oleh teka-teki"
Andaikata ia mampu mengikuti perjalanan dua insan yang
menguak kesunyian malam, di bawah bulan purnama serta
awan putih berkejaran seperti anak-anak kecil yang sedang
bercanda itu, maka semua teka-tekinya mungkin akan
musnah. Angin bertiup perlahan membelai keduanya. Rambut
Sayu Wiwit berkibar seperti bendera. Keduanya tidak memacu
secara cepat. Seperti orang yang sedang bersantai. Kendati
begitu debu mengepul di belakang kuda mereka bagai asap.
Membubung ke angkasa dan jatuh kembali bersama
lembabnya udara ke daun-daun, dahan-dahan, atau bebatuan.
"Aku melihat banyak kemajuan dalam dirimu, Wiwit,"
Ramad membuka percakapan.
"Berkat, Mas Ayu...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sepandai-pandai Mas Ayu, tapi jika kau sendiri bukan
merupakan tanah subur untuk ditanami maka sia-sialah
kerjanya. Ia tidak akan memetik buahnya."
Wiwit malu mendengar itu. Andai bukan malam hari
tentunya Ramad akan dapat melihat perubahan wajah Wiwit.
Memerah. Senang mendengar pujian dari seorang pemuda
seperti Ramad. "Kali ini kau mendapat tugas mengawasi Jember dan aku
daerah Puger serta daerah selatan lainnya. Jadi kita tidak
terlalu jauh jika dibanding tempat Mas Ayu di Sumberwangi."
"Rasanya hamba belum mampu."
"Kau akan mampu. Pada saatnya kau akan berhadapan
dengan Letnan Steenberger, komandan tangsi Belanda di
Jember." "Seperti mimpi saja. Seorang sayu, yang seharus tinggal di
pura, kini harus berkuda berpuluh-puluh ribu depa jauhnya.
Belum lagi tugas yang harus hamba emban. Semestinya
tangan ini dipergunakan hanya untuk menyiapkan kemenyan,
dupa, dan kembang, tapi sekarang harus memegang senjata.
Juga mulut ini, biasanya cuma untuk berdoa, tapi sekarang..."
"Keadaan memerlukan kau berubah demikian. Aku tak tahu
mana lebih baik, duduk berdoa saja, tidak melakukan sesuatu
apa pun sementara orang lain memperkosamu, menginjak
kepalamu dan bangsamu, dengan kau bertandang
mengangkat senjata!" .
Sayu Wiwit terdiam. Bunyi langkah kuda mereka makin
jelas. Mulai menapak daerah berbatu-batu.
"Ternyata kesucian tidak cukup dibela hanya dengan doa,"
lagi Ramad berkata. "Kesucian harus dijaga dengan suatu
tindakan nyata. Karena pada perkembangannya manusia kian
jauh dari keadilan yang sebenarnya. Semua berkata memihak
keadilan. Keadilan dari sudutnya sendiri-sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Yang Mulia. Keadilan di mana pun sama. Siapa
bersalah dia menerima hukuman," bantah Sayu Wiwit.
Sementara itu bulan kian bergeser ke barat.
"Adilnya begitu. Tapi kenyataan yang berlaku di bumi
Blambangan tidak demikian. Orang yang membela haknya
sendiri dihukum. Tidak dengar kau kejadian di desa Meneng
beberapa waktu lalu?"
"Apa itu?" "Sibun dipaksa menggantung diri oleh bekel. Sebab bekel
desa itu takut disiksa Kompeni karena Sibun tidak mau pergi
kerja paksa di Benteng Pangpang. Inikah keadilan yang sama
dengan keadilan kita" Dan ada berapa wanita muda harus
mati karena membela kehormatannya" Inikah keadilan"
Keadilan di mata perampok tidak sama dengan keadilan di
mata kita." "Dewa Bathara!" Wiwit kagum pada pengamatan Ramad.
Ternyata bukan cuma Ayu Prabu yang memiliki pengamatan
tajam. Tiga orang yang pernah ia temui dan semua putra
Wong Agung Wilis, semua memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki orang lain. Lalu bagaimana dengan junjungan mereka
yang disebut-sebut dengan nama Wilis itu" Jika para
pembantunya sudah seperti ini, ah... tentunya orang itu jauh
lebih dari Ramad. "Tapi hamba seorang sayu. Hamba harus jujur pada Yang
Mulia, bahwa hamba takut membunuh. Takut berperang, takut
berdosa. Takut merusak kesucian____"
"Wiwit, itu barangkali yang membuat kau tidak menjawab
aku ketika aku menyatakan cintaku." Ramad memandang
Wiwit sambil memperlambat langkah kudanya. Kiri-kanan
mereka ternyata padang rumput yang luas. Sayu Wiwit
berdebar demi memandang sekitarnya. Kuda mereka berjajar.
"Jika memang kesucian dan keluhuran nilai kehidupan bisa
dipertahankan cuma dengan doa, semestinya tidak perlu ada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cerita tentang 'perang Barata Yudha. Dan tidak usah ada
Bhagavat-gita. Perang bukan dosa!" lanjut Ramad. "Tapi
penyebab perang itu. Sebab pada umumnya perang


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersumber dari keinginan yang tidak terpenuhi dengan jalan
damai. Bukankah kita ini sebenarnya sekadar alat di tangan
Hyang Maha Dewa" Dan adakah kebahagiaan yang lebih besar
dari memenangkan pertempuran membela kebenaran?"
"Hyang Dewa Ratu! Yang Mulia membaca Bbagavatgita ?"
"Ingatkah kau dalam percakapan kedua sloka ketiga puluh
tiga mengatakan: 'atha chet tvam imam dharmyam samgramam na karishyati
tatah svadharmam kirtim cha hitva papam avapsyasi'
yang artinya: 'tetapi jika engkau tiada melakukan perang menegakkan
kebenaran ini meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu
maka dosa papalah bagimu.'
Nah, dengan kata lain jika kau menolak berperang dan
membunuh demi kebenaran maka dosa telah kau perbuat."
"Hyang Dewa Ratu!" Wiwit menarik napas panjang. Buah
dadanya naik-turun. Kekaguman Sayu Wiwit pada Ramad kian
naik pula. Sesaat ia pandang Ramad. Namun kemudian
tertunduk. Malu. Betapa tidak. Ia seorang satria memiliki
pengetahuan seperti brahmana.
"Ampuni hamba, Yang Mulia. Hamba terbuka kini. Hamba
tak takut lagi. Tapi nanti di Jember kan hamba belum punya
tempat" Juga teman?"
"Langkah kuda kita kian perlahan. Lihat bulan juga tepat di
atas kepala kita. Sudah jauh sekali kita berkuda ini. Kita akan
istirahat. Setuju kau?"
"Yang Mulia pemimpin hamba. Hamba menurut."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka berkuda sebentar lagi. Di depan mereka ada
sebuah gubuk kecil. Sayu Wiwit heran. Tampaknya Mas
Ramad sudah amat menguasai daerah itu. Keduanya turun.
Lepaskan begitu saja kuda mereka setelah mengambil seluruh
perbekalan di bawah sanggurdi.
"Daerah ini tidak dalam pengawasan Belanda."
"Hamba tak melihat rumah-rumah. Kita berada di tengah
padang rumput yang begini luas. Seperti impian."
Keduanya menaruh perbekalan dalam gubuk kecil yang
tidak terbagi dalam bilik-bilik. Ramad menceritakan bahwa
gubuk itu didirikan oleh anak buahnya yang bertugas di
Jember. Mereka selalu istirahat dalam gubuk yang dinding dan
atapnya juga terbuat dari ilalang. Tiada jendela. Sinar
rembulan masuk melalui pintu. Daun pintu itu pun terbuat dari
ilalang. Ada sebuah balai-balai bambu di dalamnya. Keduanya
duduk di balai-balai itu.
"Pertanyaan hamba belum, terjawab," Sayu Wiwit memulai
setelah mereka minum dan sedikit makan.
"Kau akan berada di pinggiran kota Jember. Sesuai
namamu, kau akan memimpin sebuah padepokan. Dan kau
akan mengajar di sana. Sepuluh murid membantumu.
Ditambah tujuh wanita yang juga akan menjadi murid dan
temanmu. Aku akan selalu menghubungimu dan "juga akan
menyampaikan perintah dari Ayu Prabu maupun dari Bayu.
Sedang pembantuku di Jember bernama Lebok Samirana."
"Hamba juga menyiapkan laskar bersama Lebok
Samirana?" "Tugas utama kita adalah. itu. Yang kedua mempersiapkan
cadangan makanan untuk masa perang nanti."
"Sungguh tak terpikirkan hamba akan memikul beban
seperti itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berbahagialah orang yang mendapat kesempatan mempersembahkan karya dan darmanya
bagi kemanusiaan." "Dan hamba tidak mimpi bahwa akan mendapat tantangan begitu besar dalam hidup
sehingga membuat hamba bergabung dengan Yang Mulia.
"Tantangan adalah salah satu keindahan dalam kehidupan.
Apakah kau menyesal?"
"Tidak! Tapi memang ada sebuah pertanyaan yang disusul dengan pertanyaan lainnya
dalam hati ini. Mengapa keluarga-keluarga mesti hancur di Blambangan" Mengapa
Hyang Durga izinkan itu terjadi" Bukankah bila keluarga-keluarga sudah hancur,
peradaban juga lebur" Dan jika demikian maka peraturan dengan mudahnya dikuasai
tirani jahat. Ah, Yang Mulia... kenyataan sekarang tiada terelakkan sebagai
akibat bersimaharajalelanya tirani jahat, maka perempuan telah menjadi jalang.
Apakah jadinya bila perempuan telah menjadi jalang" Ketiadaan susila akan
melanda semua kasta."
"Kau benar, Wiwit. Malah aku mengkhawatirkan adanya peralihan peradaban.
Peradaban leluhur sudah dianggap kenisbian dan ketertinggalan. Kemudian kita
dipaksa menyerap kebudayaan asing. Apakah orang asing akan memberikannya" Aku
kira yang mereka berikan adalah ampasnya. Apa yang terbuang di negeri mereka,
itulah yang mereka berikan."
"Mungkin itu salah satu sebab Malaka tidak pernah menang, Surabaya kalah, Untung
Surapati juga punah, dan semua yang melawan bule binasa. Persenjataan mereka
selalu baru dan lebih baik dari kita. Kita banyak yang membeli dari mereka."
"Benar. Salah satu sebab. Karena itu kemarin Ayu minta si Repi merayu Bozgen
untuk mengumpulkan senjata-senjata yang di tinggal mati oleh serdadunya, untuk
diberikan pada kita." "Sudah sejauh itu" Apakah Bozgen mau melakukannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita berdoa. Cinta itu indah, mengalahkan semua
kecintaan yang ada. Dan karena itu cinta mengalahkan
semua-mua." "Ah..." Wiwit tertawa lirih. Kemudian dia bangkit berdiri dan menuju pintu.
Perlahan. Bulan telah condong ke barat. Udara
di padang rumput itu terasa dingin. Embun mulai menitik dari
langit. Sayu Wiwit melangkah ke luar. Perlahan. Seolah takut
bumi yang dipijaknya merupakan endapan lumpur yang dapat
me-1 nyedotnya ke dasar bumi. Sayu Wiwit tertunduk.
Merenungi sesuatu. Cinta.
Cinta adalah sesuatu yang indah dan sangat diperindahkan.
Lubuk hatinya tersentuh. Ia ingat jika ia sedang dekat dengan
Mas Ramad seperti ini hatinya melambung. Apalagi jika
sedang berjalan di sampingnya dan Mas Ramad membuat
banyak lelucon. Bila berjauhan, semua yang ada dalam diri
Ramad muncul dalam impiannya. Inikah j cinta" Jika saling
bersua ingin rasanya ia berlari memeluk pemuda itu. Tapi...
sebandingkah aku dengan dia" Adiknya adalah guruku.
Sedangkan ia sendiri memiliki pengetahuan seperti para dewa.
Dan mereka berdua sepertinya menyimpan teka-teki yang
harus dipecahkan banyak orang. Aneh.
Dan jika ia bertanya pada Ayu Prabu tentang siapa Rsi
Ropo yang wajahnya mirip Mas Ramad ia akan diketawai. Kau
lagi gandrung padanya" Suatu pertanyaan yang membuatnya
tersipu. Dan tidak berani mengejar dengan pertanyaan
berikut. Tanpa sadar langkahnya kian menjauh dari r gubuk. Dan ia
juga tidak menyadari bahwa Mas Ramad mengekornya bagai
bayang-bayang. Sampai ia berhenti pada tempat yang agak
tinggi. Sekilas ia perhatikan sekitarnya. Rumput yang
diinjaknya menjadi basah. Bukan oleh hujan. Tapi embun.
"Ada apa engkau ke sini, Wiwit," sapa Ramad mengejutkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia berbalik. Tubuh pemuda itu dekat sekali. Mata mereka
beradu. Bulan tersenyum memandang mereka.
"Yang Mulia mengikuti hamba?"
"Karena kau baru pertama kali menginjakkan kaki di sini.
Aku bukan menganggapmu anak kecil, tapi di daerah asing
dengan tanpa senjata kau bisa tidak sampai pada tugas yang
dibebankan di pundakmu."
"Oh... terima kasih, Yang Mulia. Keindahan tempat ini
membuat hamba tertarik untuk..."
"Keindahan selalu menyenangkan siapa saja, * dan kapan
saja. Tak peduli malam telah larut dan N pagi siap memeluk
bumi." Sesaat keduanya diam lagi.
"Kau agak gegabah berjalan tanpa kesadaran tinggi. Kau
tidak takut binatang buas?"
"Di dekat seorang perkasa tidak perlu takut." Wiwit
tersenyum. "Kau bercanda, Wiwit?" Mas Ramad menangkap bahu Sayu
Wiwit dengan kedua lengannya. Mengguncangkannya
perlahan. Ia pandang dengan tajam. Gadis itu tetap
memamerkan bibirnya yang seperti kulit buah manggis sedang
merekah. Mendebarkan hati.
"Damai merasuki hati jika dekat dengan Yang Mulia.
Kenapa ini dianggap bergurau" Dan hamba kira semua orang
merasakan begitu. Yang Mulia... betapa teman-teman gadis
hamba di Sempu akan menjadi iri jika mehhat hamba
berduaan dengan Yang Mulia. Tapi ampuni hamba, karena
hamba tak berani menerima anugerah cinta Yang Mulia. Bagi
hamba Yang Mulia adalah bintang cemer-lang."
"Ha... ha... ha... ha... Jika demikian kau adalah rembulan."
Mas Ramad menarik bahu itu lebih dekat ke dadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia..."
"Kau mengalami banyak hal yang hampir sama dengan
aku. Mengapa kau mau dibatasi oleh pagar kasta dan..."
"Kecerdasan Yang Mulia melebihi banyak brahmana.
Bagaimana hamba akan mensejajarkan diri?"
"Sebenarnyalah cinta sejati itu tak dapat dibatasi oleh apa
pun juga. Pagar, gunung, samudra, dan jarak tidak akan dapat
memisahkan yang sedang bercinta. Kecuali jika cinta itu main-
main. Yah... permainan cinta tak mengenal pengorbanan.
Berbeda dengan cinta kudus."
"Apakah ini bukan mimpi?"
"Ini bukan hanya mimpi! Pagi yang dini ini menjadi saksi!
Sayu Wiwit, percayalah!"
"Yang Mulia..." Sayu Wiwit menjatuhkan kepalanya ke dada
Ramad. Seolah ingin mendengar suara hati Ramad. Sementara
kabut mulai menyelimuti bumi. Bahkan seperti ingin
membungkus keduanya. Ramad memeluk makin erat, pagi
kian mendekat. Bumi membisu.
"Lupakanlah semua itu. Lupakanlah kasta! Lupakanlah
segala kebisaan dan kemampuan yang memisahkan manusia.
Hapuslah semua kesan! Mari kita sama-sama melangkah,
menjelang mentari pagi yang cemerlang."
"Berbagi tangis dan tawa bersama?" Wiwit berbisik.
"Bukan tangis dan tawa. Tapi duka dan suka. Bagi satria
apalagi brahmana tidak ada tangis. Sebab ia sudah
menimbang setiap langkahnya. Juga tidak pernah ada
penyesalan." "Sudahkah Yang Mulia mempertimbangkan keputusan Yang
Mulia?" Tiraikasih Website http://kangzusi. com/
"Kau sendiri bagaimana" Apakah dengan perasaan kau menerima aku?"
"Tidak. Namun cuma satu yang hamba takutkan..."
"Aku tidak mungkin memperbandingkan wanita secantik kamu dengan wanita lainnya,"
Ramad memotong cepat.. "Ah... Yang Mulia." Wiwit mengalungkan tangannya ke leher Mas Ramad. Dan
mendekatkan muka Ramad ke mukanya sendiri. Di bawah kesepian bumi dan dibungkus
kabut tebal mereka saling berpelukan dan berciuman.
Menyatakan semua yang terpendam sekian lama sejak perjumpaan mereka yang
pertama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
VIII. PETIR DI MUSIM KEMARAU
Gema nama Wilis kian berdengung di setiap sudut Bumi
Semenanjung Blambangan. Walau cuma tinggal gema. Namun
nama itu ternyata mampu membangkitkan keberanian yang
sirna karena keganasan perang. Perang yang tidak pernah
membawa kemenangan bagi kawula Blambangan. Baik
dengan Bali maupun melawan Belanda. Dan karena gema
nama Wong Agung Wilis, kawula berani meninggalkan tanah
garapannya dan masuk hutan membuka sawah baru dengan
susah-payah. Semua dilakukan sebagai unjuk rasa
ketidaksetiaan mereka pada pemerintahan VOC. Lebih dari itu
gema nama Wong Agung Wilis mampu membuat mereka yang
masih tersisa di perkampungan masing-masing berani
menahan hasil buminya untuk tidak membayar pajak. Dan
kian hari kian banyak orang yang membicarakan bahwa Wong
Agung Wilis tidak mati. Tidak mati! Tidak mati!
Tapi di mana" Tidak ada yang tahu! Rempek sendiri tidak
tahu, sekali pun ia sangat percaya. Dan ia memang
menceritakan apa yang ia dengar dari mulut ke mulut itu pada
Jaksanegara. Sekalipun ia tidak pernah menceritakan bahwa
dari Rsi Ropo ia diberi tahu Wong Agung Wilis berkali-kali
bersurat pada anak-anaknya. Itu menarik bagi Jaksanegara.
Jika Rempek bisa tahu, tidak mustahil . jika Bapa Anti juga
tahu. Dan tentunya Wangsengsari maupun Sutanegara dan
bangsawan lainnya juga tahu.
Setelah bersepakat dengan Bapa Anti maka ia mengundang
Sutanegara dan Wangsengsari serta Suratruna. Dan ketiga
orang itu memang sangat mengagumi taman milik
Jaksanegara. Apalagi Jaksanegara telah berbaik hati
menyediakan tempat agar mereka bermalam saja di situ
karena hari telah larut malam. Bukan cuma tempat untuk
bermalam. Tapi juga teman tidur malam itu.
"Berita-berita simpang-siur tentang Wong Agung Wilis
memenuhi seluruh Blambangan. Bagaimana sikap kita sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemerintah resmi?" pertanyaan Jaksanegara mengusik semua
malam itu. "Jika tidak ada api tentu tidak ada asap," Wangsengsari
menjawab. "Maka aku juga percaya bahwa Wong Agung
masih hidup." "Hal itu tidak mustahil. Bukankah beliau memang memiliki
syakti dari para dewa" Ingat" Cuma beliau berani menghukum
mati seorang brahmana," Sutanegara mengingatkan. "Kita
memang bukan apa-apa."
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang" Di saat kita
telah mengangkat sumpah menjadi punggawa Kompeni?"
"Itu... itu yang sukar. Tapi mari kita timbang, mana lebih
menguntungkan, ikut Belanda atau Wong Agung. Selama
pemerintahan Colmond hamba sudah kehilangan seorang
anak gadis. ' Tewas dengan menyedihkan. Diperkosa sampai
lumat. Belum lagi kerugian harta benda yang dialami oleh
kawula Blambangan." "Hamba rasa tidak ada untungnya mengikuti Belanda terus-
menerus," Suratruna memberikan pendapat. "Sebaiknya kita
sehati membantu pemerintahan Wong Agung Wilis. Demi
keadaan seluruh bumi Blambangan."
"Bagaimana dengan igama yang telah kita peluk ini?"
Jaksanegara masih bertanya sambil mempersilakan mereka


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum arak wangi. "Aku kira Wong Agung tidak akan terlalu keberatan. Kita
akan memberitahukan apa saja yang telah terjadi atas kita,"
kini Wangsengsari memberikan ketegasan. "Aku sendiri telah
kehilangan banyak. Coba anakku, si Repi, sudah tidak lagi bisa
menghargai orang tuanya sendiri. Ia sekarang lebih suka
tinggal bersama Bozgen. Lebih menyakitkan lagi karena
perbedaan kekayaan antara Repi yang terus-menerus
mendapat hadiah dari orang-orang bule itu, membuat iri hati
saudara-saudaranya. Aku tidak mampu berbuat sesuatu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebab kata Repi justru akulah yang menyebabkannya begitu.
Ia telah sakit karena perbuatan Gubernur Vos."
Jaksanegara mendengar semua keluhan itu dengan
saksama. Tidak salah. Setelah Belanda datang maka
kebebasan tiada lagi. Jadi mereka sekarang ini ingin kembali
mengambil apa yang pernah menjadi hak mereka. Barangkali
inilah jalan baginya untuk menyatukan kembali Blambangan.
Tapi mungkinkah dia menjadi penguasa tunggal di
Blambangan" Jika benar-benar Wong Agung Wilis tidak mati
seperti yang didengungkan banyak orang, maka tidak mungkin
kekuasaan jatuh ke tangan orang lain. Sekarang bagaimana
sikap yang harus ia tampilkan di hadapan semua undangannya
itu. Harus mengiakan semua pendapat mereka. Itu tahap
awal. Selanjutnya akan ditentukan kemudian. Dan acara
makan dan minum berlangsung terus bagi mereka berempat.
Jika arak habis maka seorang wanita muda yang terpilih
mengantarkannya. Sate kambing juga telah tersedia sebagai
teman minuman itu. Membuat tubuh mereka menjadi kian
panas. "Kita wajib membela kemiskinan yang melanda negeri ini.
Para Yang Mulia lebih tua dari hamba sendiri, tentulah lebih
bijak dalam mengambil langkah. Hamba tinggal mengikuti,"
Jaksanegara akhirnya tidak bertanya lebih lanjut.
"Kita harus menyatukan diri! Itulah langkah awal kita. Kita
akan dukung semua usaha Wong Agung mengusir kembali
Belanda. Blambangan harus bersih dari kekuatan asing!
Ternyata mereka tidak lebih dari pada iblis!" geram
Wangsengsari. "Kita tandai persatuan kita ini dengan mengangkat cawan
bersama-sama." Jaksanegara tertawa. Semua mengangkat
cawan dan kembali mereka meneguk isinya. Cawan demi
cawan makin menghangatkan tubuh mereka. Tanpa sadar
bintang juga bergeser ke barat menunjukkan waktu mulai
larut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan mendapat bantuan senjata dan laskar dari Bali.
Menurut Wong Agung dalam pesannya terakhir, ia akan mengirimkan tiga ratus orang
dengan senjata lengkap. Seseorang yang bernama Gusti Tangkas akan dikirimkannya dari Jembrana,"
Sutanegara mulai tidak dapat menguasai diri.
Betapa terkejutnya Jaksanegara mendengar itu. Dengan kata lain mereka benar-
benar ada hubungan dengan Bali.
Apakah Wong Agung Wilis ada di Bali" Di Mengwi" Hah"
Rangkap berapa nyawa orang itu" Hatinya menjadi kian berdebar.
"Kapan itu dimulai?" ia mendesak.
"Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Akan ada berita lebih lanjut," kata Sutanegara
lagi. "Siapa yang akan menyampaikan pada Yang Mulia?"
"Itu yang kita semua tidak boleh tahu____"
Walau mulai kehilangan kendali tapi ia ingat pada Mas Ramad, yang dengan mata
berapi-api memesan agar ia tidak berkhianat. Pengkhianatan berarti kepalanya
akan jatuh ke bumi. "Yang Mulia, kita kan sudah satu...," Jaksanegara mencoba.
"Ingat cara Wong Agung menyelesaikan masalah" Jika kita tidak memegang janji kita
padanya tentu kepala kita akan terpisah dari tubuh kita ini. Ingat, Yang mulia.
Maafkan hamba." Jaksanegara memahami kekhawatiran Sutanegara. Tapi ia tersenyum. Tidak sekarang
mengetahuinya. Tapi mungkin lain kali. Atau nanti di tempat tidur. Karena itu
pula ia berbisik pada seorang gadis yang akan diberi tugas untuk melakukannya
sesaat ia mempersilakan tamunya untuk pergi beristirahat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kala semua pergi tidur, semuanya diantar oleh wanita yang ditunjuk. Mereka
mengantar sampai ke pembaringan. Walau biliknya berlainan, namun apa yang mereka
lakukan sama. Begitu memasuki bilik mereka mencuci kaki para tamu itu dengan air bunga.
Setelahnya mereka menyembah.
"Hamba dipersembahkan pada Yang Mulia malam ini."
Wangsengsari yang mendengar itu tidak tunggu lama lagi.
Sejak tadi memang kepalanya sudah berdenyut-denyut dan pikirannya ingin pulang
menjumpai istri termudanya.
Barangkali pengaruh minuman dan daging kambing yang begitu banyak ia telan.
Otot-ototnya mengeras. Dan kini seorang gadis siap mengendorkannya. Dalam hati
ia memuji kebaikan hati Jaksanegara. Segera ia menggulingkan perempuan muda itu
di pembaringan. "Sabar, Yang Mulia...." Perempuan itu melepas kembennya.
Berbeda dengan Suratruna. Ketika perempuan itu menyatakan tugasnya ia mengatakan
bahwa ia belum mengantuk. Ia perintahkan perempuan itu keluar.
"Yang Mulia, hamba akan kehilangan segala-gala jika hamba tidak menyukakan hati
Yang Mulia malam ini,"
perempuan itu menyembah lagi. Tangannya terasa dingin.
"Setan!" desis Suratruna.
"Kasihanilah hamba, Yang Mulia. Suami hamba telah mati dibunuh oleh para
pengawal...." "Apa katamu" Suami mati?"
"Jangan keras-keras, Yang Mulia. Hamba juga bisa mati jika menceritakan ini."
"Hah...," Suratruna berdesah. Kemudian dengan berani wanita itu berdiri. Dan
berbisik ke telinga Suratruna bahwa di luar bilik ada berjaga laskar bayaran
dari Madura. Jadj ia harus melakukan perintah Jaksanegara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suratruna terdiam. Sekalipun ia mengutuk dalam hati.
Wanita itu melepas kancing bajunya. Dan melepaskan
destarnya sesudah menyembah.
"Jangan!" bisiknya. "Aku tidak tidur."
"Hamba kurang cantik?" Wanita itu memandangnya.
"Kau cantik. Tapi kau seumur anakku. Bagaimana
mungkin?" Keduanya terdiam.
"Karma apa yang akan kuterima jika aku lakukan ini" Aku
belum pernah memperduakan cintaku. Nah, kita akan seperti
ini saja sampai pagi." Ia kemudian mengelus kepala wanita
itu. Dan perempuan muda itu tertunduk. Masih ada orang
berhati mulia di zaman edan seperti ini. Tapi ia tahu persis,
jika sampai ketahuan oleh Jaksanegara akan halnya seperti
itu, maka nasib buruk akan menimpanya. Pernah ia lihat
teman-temannya disiksa dengan jalan diperkosa secara
bergantian oleh para pengawal dari Madura itu. Apa yang
terjadi" Teman-temannya itu mati lemas. Maka ia harus
berusaha. Ia melepas kembennya. Buah dadanya yang mulus
terpampang jelas. Namun itu tak membuat Suratruna
bergeming. Pemandangan seperti itu tidak asing bagi orang
Blambangan. Susu adalah lambang kesuburan. Justru jika
perempuan Blambangan tidak memamerkan susunya itu
berarti hancurnya peradaban Blambangan.
Tiba-tiba ia berdiri dan melangkah dengan gontai menuju
sudut ruang. Di situ terdapat meja kecil dan di atasnya ada
dua cawan serta satu teko keramik buatan Cina. Perempuan
itu menuangkan isinya. Seperti air gula aren. Kembali
membawanya ke Suratruna. "Pengantar tidur, Yang Mulia," wanita itu menyodorkan.
"Kita sudah lelah. Hamba akan istirahat."
Suratruna menerimanya. Kali ini ia segera minum untuk
menenangkan hatinya yang gundah. Sesaat setelah
mengembalikan cawan, wanita itu membaringkan tubuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tenang. Tertelentang dengan berbantal kedua telapak
tangan. Hal itu membuat susunya menonjol ke atas. Apalagi jika ia
menarik napas panjang. Sebelah kakinya lurus, sedang
sebelahnya ditekuk pada lututnya. Membuat kainnya sedikit
tersingkap memamerkan paha yang mulus. Sedang Suratruna
duduk di sampingnya. Berkali ia lirik gadis itu. Memejamkan
mata. Lehernya jenjang berhias kalung emas. Suratruna
memalingkan pandangan ke tempat lain.
Namun beberapa bentar kemudian suatu perasaan aneh
merambati tubuhnya. Keringat mulai membasahi tiap lekuk
tubuhnya. Napasnya memburu seperti kuda. Ia berusaha
menahan gejolak hati itu. Namun makin ditahan suatu arus
kuat mendorongnya untuk menoleh ke tubuh yang tergolek di
sisinya. Tanpa sesadarnya ia menggeliat-geliat. Bangkit.
Berjalan hilir-mudik dalam bilik kecil itu.Tak sabar ia menuju
tempat minuman di meja. Ia tuangkan secawan dan
meneguknya sampai habis. Rasa segar mengganti haus.
Namun itu sebentar saja. Sesaat lagi arus kuat dalam
tubuhnya menghebat. Gila! Belum pernah aku merasakan
seperti ini. Arus itu seperti mendorongnya untuk kembali ke
pembaringan. Dengan gemetar tangannya mengelus paha
wanita muda itu. Gadis itu masih saja terpejam. Berkali ia
menelan ludahnya. Napasnya tambah seperti kuda berlari
jauh. Kesabaran Suratruna habis. Ia bangunkan gadis itu. Pura-
pura terkejut. "Ada apa, Yang mulia?"
"Kau... Kau... tadi bertugas..." Suratruna menarik gadis itu.
"Yang Mulia menolak hamba. Ampuni hamba, Yang Mulia."
"Sekarang tidak!" Dengan cepat Suratruna melepas
pakaiannya dan kain gadis itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentu saja apa yang ia alami tidak sama dengan yang
dialami Sutanegara. Orang itu benar-benar sudah mabuk
ketika memasuki biliknya. Tidak banyak yang bisa dilakukan
oleh gadis yang bertugas menemaninya. Karena begitu dalam
pelukannya, Sutanegara cepat menjadi padam dan mendusin.
Usahanya untuk membangunkan kejantanan Sutanegara tidak
banyak hasilnya. Mendengar laporan macam itu Jaksenegara tertawa
terbahak-bahak. Seperti tidak masuk akal seorang lelaki tidak
melahap gadis montok yang disediakan untuknya. Tapi ia tidak
marah. Setidaknya ia sudah mengerti bahwa Sutanegara
memegang kunci. Sutanegara yang mempunyai hubungan
langsung dengan orang-orang yang ingin menumbangkan
kekuasaan Belanda. Itu masuk akal. Karena kematian anaknya
meninggalkan segumpal dendam dalam hatinya. Sekalipun
Colmond sudah ditarik dari Blambangan.
Namun keadaan berkembang cepat. Gejala makin tidak
sehat mencurigakan semua pejabat VOC. Banyak orang
Blambangan yang meninggalkan pekerjaannya di tangsi-
tangsi, benteng-benteng, dan loji-loji. Tentu saja ini membuat
Biesheuvel memangil semua bawahannya untuk diajak
berunding. Dalam ruangan kerja yang dulu dibangun oleh
Colmond ia juga memanggil Sutanegara dan Wangsengsari di
samping Pieter Luzac dan Schophoff. Ia tidak mungkin tidak
mempertanyakan semua keganjilan ini pada mereka.
"Ini harus diselidiki kenapa demikian. Jika tidak ada
gerakan tersembunyi maka tidak mungkin mereka
melakukannya secara serempak. Di seluruh Blambangan
Bayangkan!" Biesheuvel menguraikan pendapatnya.
"Ada laporan dari beberapa mata-mata kita bahwa di
masyarakat sekarang berkembang secara luas berita tentang
Wong Agung," Schophoff menjelaskan apa yang ia dengar.
"Wong Agung" Siapa dia?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wong Agung Wilis yang telah pernah membunuh hampir
tiga ribu tentara Kompeni di Blambangan. Tuan tidak dengar"
Ketika orang tersebut pertama kali menyerbu benteng-
benteng VOC tanggal dua belas Maret tahun seribu tujuh ratus
enam puluh delapan yang lalu?" Pieter Luzac mengingatkan.
Karena memang ia mencatat kejadian itu dalam buku
hariannya di Surabaya. "Jadi dia bekas Patih Blambangan yang dilaporkan
menentang rajanya sendiri itu?" ,
"Ya." Schophoff mengangguk.
Kemudian Biesheuvel menoleh pada Wangsengsari dan
Sutanegara. Keduanya berdebar. Mendengar nama Wong
Agung disinggung saja mereka sudah berdebar. Sekalipun
mereka tak mengerti makna pembicaraan Biesheuvel yang
berbahasa Belanda. Kemudian Biesheuvel menanya dalam
Blambangan. "Benar ada berita Wong Agung Wilis masih hidup?"
Keduanya sulit menjawab. Namun Wangsengsari segera
menemukan akal. "Justru inilah yang hendak kami tanyakan pada Tuan-tuan.
Apakah benar berita yang kami dengar bahwa Wong Agung
Wilis masih hidup?" Biesheuvel tampak mengerutkan kening. Pusing ia. Bukan
hanya pertanyaan itu. Tapi sebenarnya akhir-akhir ini ia juga
dipusingkan oleh hamilnya salah satu gadis pengipasnya.
Namun untung masih ada Bapa Anti yang sanggup menolong
dan membawa gadis itu ke dukun untuk menggugurkan
kandungannya. Jika tidak ia akan mendapat aib, punya anak
dengan pribumi yang kurang peradabannya. Tentu ia akan
menjadi bahan ejekan jika ke Batavia.
"Yah... ini suatu kesulitan. Tapi aku tak percaya bahwa
Wong Agung Wilis bisa hidup kembali di Blambangan." Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangkit. Perlahan berjalan mengitari meja pertemuan. Dua
gadis pengipas mengikut ke mana pun ia bergerak seperti
sepasang bayang-bayang. "Tidak masuk akal," lanjutnya.
"Tapi kawula Blambangan mengenalnya sebagai seorang
sakti yang penuh wibawa." Wangsengsari menceritakan.
"Mereka percaya bahwa Wong Agung akan tetap hidup. Itu
berarti perintah yang keluar dari mulut kami tidak akan pernah
digubris oleh mereka/"
"Bedebah! Setan dari neraka mana ia itu" Punya wibawa
demikian besar?" "Wibawanya memang besar. Di Blambangan tidak pernah
ada orang berani mengusik brahmana. Apalagi membunuhnya.
Tapi Wong Agung berani melakukannya. Apa yang tidak
pernah dilakukan lain orang, ia mampu melakukannya,"
Sutanegara menerangkan lagi.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada juga orang Blambangan yang berpengetahuan tinggi,
pikir Biesheuvel. Ia menduga tentu Wong Agung Wilis sendiri
meniupkan berita bahwa ia tidak mati. Ia bukan tidak dengar
laporan pelarian Wong Agung Wilis dari Pulau Banda. Tapi
sengaja ia menyembunyikannya. Jangan sampai ada orang
Blambangan yang tahu bahwa Wong Agung mampu
mengelabui dan membunuh beberapa serdadu Kompeni. Ia
benar-benar menyesal kenapa tidak ada pengejaran terhadap
manusia satu itu! Itu keteledoran!
Dan sekarang nyatalah kemampuan orang itu.
Mengguncangkan! Ya, mengguncangkan seluruh sendi
kehidupan di Blambangan. Harus diakui kenyataan ini. Bibir
anak-anak gembala menembangkan kidung tentang Wong
Agung Wilis. Kelompok anak-anak muda hampir setiap saat
menyanyikan pujian bagi Wong Agung Wilis. Seperti orang-
orang Kristen menyanyikan mazmur bagi Tuhan. Semua itu
merupakan petunjuk baru bagi Biesheuvel bahwa dia akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghadapi banyak kesulitan. Namun ia bertekad akan
mematahkannya. Ia harus mampu menghancurkan pendapat
yang berkembang di masyarakat. Harus dibuka tabir bahwa
Wong Agung akan mati dan pasti mati. Maka ia berkata pada
Wangsengsari dan Sutanegara,
"Kita harus memberikan penyuluhan dan pendekatan pada
masyarakat. Tidak ada orang yang dapat hidup kembali dari
kematiannya. Jika perlu kita akan mengancam dengan
hukuman berat bagi mereka yang sengaja menyebarluaskan
berita bahwa Wong Agung Wilis masih hidup."
"Jika demikian kita harus membuktikan kubur Wong
Agung!" "Harus ada bukti kubur Wong Agung?"
"Ya. Jika tidak mereka tidak akan percaya Wong Agung bisa
mati. Bahkan apa yang sampai di telinga kami, Wong Agung
mampu mengubah dirinya menjadi beribu-ribu. Nah, di
Blambangan akan muncul banyak Wong Agung Wilis,"
Wangsengsari kembali menjelaskan.
"Ha... ha... ha... ha... Tuan, sangat lucu." Terbahak
Biesheuvel mendengar itu. Apalagi Schophoff. Terpingkal-
pingkal dalam waktu yang agak lama. Sedang Pieter Luzac
tersenyum. Wangsengsari sedikit tersinggung ditertawai
begitu rupa. "Mana ada dongengan seperti itu. Dongeng! Yang tidak
akan pernah ada, ha... ha... ha... ha... Pokoknya dengan
berbagai jalan kita harus membalut luka masyarakat
Blambangan. Luka akibat tingkah Colmond. Ini yang harus kita
hapus. Aku minta maaf pada mereka."
"Lalu apa jalan kita?" Pieter bertanya kini.
"Apa saja. Yang sifatnya pendekatan. Sehingga mereka
kembali ke tangsi-tangsi, benteng-benteng, bahkan semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang mau membayar pajak. Demi VOC kita kerjakan segala
cara." Semua diam. Ada yang menggaruk-garuk kepala.
Menggaruk-garuk jenggot. Tapi Schophoff meletakkan tangan
ke pahanya sambil terus mengguncang-guncangkannya.
"Bagi Tuan berdua, adakan penyuluhan di daerah Tuan
masing-masing. Dengan demikian mereka akan menyadari arti
pajak bagi kepentingan keamanan mereka sendiri."
"Baik, Tuan," kedua tumenggung mengiakan.
"Nah, Tuan-tuan boleh meninggalkan tempat ini."
Dan kedua orang itu pergi. Sesaat kemudian Biesheuvel
menyuruh pengawal memanggil Beglendeen dan Bozgen
sebagai orang-orang yang bertanggung jawab atas keamanan
Pangpang. "Kita harus kirimkan banyak mata-mata untuk mengawasi
gerakan baru ini. Aku tetap tidak percaya Wong Agung Wilis
tidak bisa mati. Kita harus cari orang itu sampai dapat. Kita
awasi setiap orang yang datang dari Bali. Yang mencurigakan
kita tangkap. Mungkin kita akan mendapat petunjuk di mana
Wong Agung Wilis bersarang."
"Betul, Tuan," Pieter Luzac setuju.
"Tapi..." Schophoff menyela, "kita tidak akan bisa memakai orang kulit putih.
Mereka sukar didekati orang kulit putih."
"Untuk itu kita akan belajar dari Bozgen. Bukankah dia
menyimpan perempuan pribumi dalam lojinya?"
Schophoff terbahak-bahak. Suaranya seperti menggema di
dinding rumah itu. Bersamaan dengan habisnya gema tawa
Schophoff, Beglendeen dan Bozgen memasuki ruangan.
Keduanya menghormat pada ketiga orang atasannya.
Setelannya dipersilakan duduk oleh Biesheuvel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Letnan dan Sersan, aku ingin kalian mengerti keadaan
gawat yang kita alami di Blambangan ini?" Biesheuvel
memulai. "Semua orang menyadari, Tuan. Negeri ini telah berubah
jadi seperti negeri hantu yang menakutkan. Banyak orang kulit
putih mati karena sakit. Mereka banyak yang minta
dipulangkan ke Surabaya."
"Ya. Aku tahu soal itu, Tuan. Tapi kita toh prajurit. Yang
makan gaji karena tugas yang kita emban. Karena itu kita
harus tetap melakukannya sesuai dengan sumpah kita sendiri.
Sumpah!" Biesheuvel menegaskan sambil menunjukkan
kepalannya. "Benar, Tuan. Tapi inilah kenyataan kita sekarang."
"Bahaya yang lebih besar bukan dari hantu, tapi dari Wong
Agung Wilis. Sebab ia telah menghasut orang-orang untuk
tidak masuk kerja pada kita...."
"Mereka tidak mau bekerja bukan berarti pembangkangan,"
Bozgen menjelaskan sekalipun tidak diminta. "Mereka takut
pada dewa-dewa mereka. Kata mereka dewa-dewa marah.
Tidak ada lagi orang Blambangan yang mampu memberikan
sesajian di pura-pura maupun candi- * candi. Mereka sudah
terlalu miskin. Jadi dewa-dewa membunuhi orang-orang yang
di loji atau benteng-benteng yang kata mereka adalah
penyebab kemiskinan kawula Blambangan."
"Gila!! Orang Blambangan bisa berpendapat begitu"
Dengan kata lain mereka tidak bisa diajak bersahabat lagi?"
"Ya. Karena Belanda, yah, kita ini mengkhianati
persahabatan dengan mereka," Bozgen menguraikan. Semua
orang memandangnya heran.
"Menghianati?" desis mereka hampir berbareng.
"Ya. Pada mula kami datang, mereka menyambut dengan
rasa persahabatan yang tinggi. Tapi Komandan Blanke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengotorinya dengan meminta anak gadis Mas Anom, orang
yang sangat bersahabat dengan Kompeni dan membenci Bali.
Selanjutnya, Tuan Colmond berbuat hal yang sama. Dia
menarik pajak yang berlebihan dan di akhir pemerintahannya
ia juga memperkosa..."
"Stop! Alkitab katakan kita harus menguasai bumi dengan
isinya," Biesheuvel memotong.
"Tuan menyalahgunakan kekristenan" Alkitab harus
dipelajari dengan baik dan teliti. Yesus ajarkan pada kita
supaya kita mengasihi. Karena Al ah adalah kasih. Dan dalam
Injil Yohanes pasal lima belas ayat ketiga belas dikatakan:
'Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.' Nah, apa
yang kita lakukan" Kita bersahabat dengan mereka hanya di
bibir. Tapi pelaksanaannya tidak demikian. Inilah sebabnya
kita gagal." "Kau berkhotbah, Bozgen" Bukan di sini tempatnya!"
Biesheuvel jengkel. "Tuan sendiri yang menyinggung Alkitab. Saya tidak suka
Alkitab diselewengkan. Apalagi untuk tujuan yang tidak
benar." "Kau dibayar bukan untuk berkhotbah! Tapi untuk
kepentingan VOC. Kau harus tetap setia pada VOC. Dengan
kata lain kau juga harus patuh pada atasanmu."
"Baik, Tuan." Bozgen diam. Kini ia melihat kenyataan,
enaknya orang memegang jabatan yang lebih tinggi. Selalu
saja memenangkan pendapatnya sendiri. Kalau perlu
menginjak kebenaran. Bahkan kebenaran Alkitab sekalipun.
Demi kewibawaan seorang atasan, kebenaran harus
dikalahkan. Kewibawaan lebih penting dari kebenaran. Nah,
kini ia mulai merasakan keharusan baru, mengiakan semua
yang dikatakan seorang pejabat residen.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita tidak bisa salahkan Tuan Blanke maupun Tuan
Colmond. Karena mereka jauh dari istrinya. Dan mereka
menghadapi masalah-masalah pelik.
Jadi perlu hiburan untuk menurunkan tekanan darah yang
meninggi. Kau sendiri kan begitu, Bozgen?"
"Tapi kami saling mencintai, Tuan," bantah Bozgen.
"Kau tidak akan membawa pulang gundikmu itu ke
Nederland. Apa kata orang nanti jika kau mengawini wanita
pribumi?" "Apa salahnya...?"
"Kau akan membantah lagi" Yang penting sekarang lakukan
perintahku. Pertama adakan pengawasan ketat terhadap tiap
orang Bali. Yang dicurigai harus ditangkap, diperiksa, untuk
memperoleh keterangan di mana Wilis berada!! Dengar
kalian?" "Baik, Tuan," jawab keduanya.
"Apanya yang baik?" Biesheuvel jengkel terhadap jawaban
anak buahnya yang ia rasakan sekenanya itu.
"Oh... itu perintahnya yang baik," Beglendeen agak gugup.
"Perintahnya baik! Jika tidak terlaksana dengan baik berarti
kalian yang tidak baik. Mengerti?"
"Mengerti, Tuan," kembali mereka menjawab bersama-
sama. "Perintah kedua, kirimkan mata-mata untuk menyelidiki
siapa orang yang sengaja menyebarkan atau mendesas-
desuskan nama Wong Agung Wilis di sini! Kalau ketemu
tangkap mereka dan periksa sampai mengaku siapa yang
memerintahkan mereka. Barangkali ada hubungan dengan
Wong Agung Wilis. Tahu kalian bahwa Wong Agung Wilis
telah meloloskan diri dari Banda?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum, Tuan." "Nah, karena itu kerjakan semua perintahku. Kalian adalah
prajurit Kompeni. Jelas?"
"Jelas, Tuan." Kembali mereka membuat diri seperti beo.
"Apanya yang jelas?"
"Itu... suaranya, Tuan."
"Suaranya" Perintahnya tidak?" Suara Biesheuvel meninggi.
Membuat muka Beglendeen makin tegang. Bozgen menahan
senyum. "Ya. Itu perintahnya."
"Nah, pergilah kalian."
Di bawah sorot mata agak marah dari Biesheuvel keduanya
meninggalkan ruangan. Memang rasanya tidak segarang
Colmond, bisik Beglendeen pada Bozgen. Tapi cerewetnya itu,
ah, hampir seperti nenek-nenek. Dan Bozgen tersenyum.
Sambil jalan ke loji masing-masing ia mengatakan bahwa
sebenarnya ia kerasan tinggal di sini. Tapi sayang akhir-akhir
ini ketegangan makin menjadi-jadi.
"Tentu saja kau kerasan. Kau punya gundik yang begitu
molek. Eh... simpan baik-baik. Jangan sampai Tuan Biesheuvel
lihat gundikmu. Bisa-bisa diambilnya."
"Tuan ada-ada saja...."
"Kamu tidak percaya?"
"Tapi kami sudah terikat pada perkawinan. Jadi tak
mungkin lagi melepasnya."
"Eh... kamu?" Suara Beglendeen serak. "Di mana kalian kawin" Tidak di gereja?"
"Di mana pun sama saja. Kami kawin di hadapan seorang
penghulu di Probolinggo."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Penghulu?" "Sudahlah... jangan dipersoalkan lagi. Kita menghadapi
tugas yang berat. Anak buah kita semua telah kehilangan
semangat. Kita hanya bisa mengerahkan laskar Madura dan
Probolinggo atau Sidayu."
"Mereka juga yang kita kerahkan jadi mata-mata. Atau kita
perlu berunding dengan Bapa Anti. Aha... dia orang paling
setia. Ha... ha... ha... ha..." Beglendeen gembira.
"Itu juga baik." Kemudian mereka berpisah untuk kembali
ke loji masing-masing. Namun Beglendeen tidak segera
sampai di lojinya karena ia mampir dulu di sebuah kedai yang
tampaknya agak ramai. Ternyata yang menjadi tamu di situ
umumnya pedagang. Atau serdadu dari Sidayu yang
umumnya lebih suka minum tuak. Mereka menghormat kala
Beglendeen masuk. Matanya mengawasi seluruh ruangan
sebelum ia mengambil tempat duduk. Ia tidak ingin duduk
dekat tamu-tamu Cina. Sebab umumnya mereka suka
berdahak. Lebih tidak tahan lagi jika mereka memuntahkan
dahak semau-mau. Di sudut ruangan ia mengambil tempat duduk. Udara bisa
masuk dari jendela. Ah, tidak ada pribumi duduk di sini,
pikirnya setelah melihat ke jendela. Anak-anak kecil bermain-
main di halaman kedai itu. Umur mereka barang tiga sampai
lima tahunan. Ah, telanjang bulat. Debu menyelimuti tubuh
mereka. Beglendeen menoleh pada pelayan yang
mendekatinya. Ia pesan sate kambing. Coba makan seperti
orang-orang Sedayu atau Madura makan. Teman-temannya
banyak makan roti dan keju tapi toh banyak yang mati sakit.
Kini ia memperhatikan para pedagang dan serdadu yang
makan dan mabuk-mabukan. Agak tidak sabar ia menunggu
makanan. Sekilas ia ingat temannya yang menjadi komandan
Benteng Lateng, Van Schaar. Ia harus mengirim berita tentang
apa yang diperintahkan Biesheuvel itu padanya. Ya, segera
sore ini akan ia perintahkan orang berkuda, seorang ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jember, menemui Letnan Steenberger, seorang lagi ke
Lateng. Lateng lebih dekat dengan Sumberwangi, jadi
sekaligus mengawasi nelayan dan pedagang dari Bali. Tiba-
tiba ia panggil seorang prajurit Sidayu. Orang yang sedang
asyik minum itu mendekat. Beglendeen menyampaikan
perintah untuk memanggil Ge Dank dan Badeloens.
"Segera!"' katanya. "Kutunggu di sini. Dan jangan lupa, suruh mereka datang
dengan kuda."

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Tuan." Orang itu bergegas pergi. Sebagai gantinya pelayan
membawa makanan dan minuman tiba. Ia pesan dua lagi,
karena ia ingin anak buahnya nanti juga makan bersama
sambil mendengar perintahnya. Dengan demikian mereka
tidak kesal menjalankan perintah.
Tidak ada nyanyian musik di kedai itu. Yang ada berisik
orang membicarakan apa saja. Yang pedagang bicara soal
perdagangan, yang serdadu tertawa-tawa. Di dekatnya ada
seorang yang baru masuk. Duduk memunggunginya. Ia
perhatikan pakaiannya seperti pedagang dari India. Membawa
sebuah benda panjang yang terbungkus kain. Ia tidak tahu
apa itu. Barangkali barang dagangan atau bekal. Beberapa
bentar lagi dua orang pembantunya datang. Melihat itu
banyak serdadu yang segera membayar harga minuman dan
pergi. Mereka agak segan ditunggui opsir kala minum. Tapi
anak-anak di luar masih saja berlari-lari dan bermain-main.
Setelah mempersilakan duduk dan makan bersama, ia
menyampaikan perintah Biesheuvel yang harus mereka
sampaikan ke Jember dan Lateng. Kedua orang itu harus
berangkat sekarang juga. Tidak boleh ditunda, kata
Beglendeen sambil senyum. Rasanya tersumbat tenggorokan
mereka mendengar perintah itu. Akhir-akhir ini mereka tidak
begitu berani berkuda di hutan.
"Tapi ini perintah. Jika kalian tidak mau, yah..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walau Beglendeen tak melanjutkan kata-katanya, mereka
tahu apa isi kelanjutannya. Maka tak , ada kata lain kecuali
mengiakan sambil nyengir. Setelah kenyang makan keduanya
pergi. Beglendeen puas. Ia menoleh ke jendela untuk
mengawasi kepergian mereka. Walau ia sudah mendengar
derap kudanya. Tapi kebetulan saat itu beberapa anak
berkejaran di dekat jendela. Beglendeen memperhatikan. Ia
ingat anak-anaknya yang ia tinggal di Nederland. Jika
Blambangan sudah aman ia akan bawa anak-anaknya kemari
untuk melihat negeri yang elok inj.. Melihat pura. Melihat
gandrung. Tapi semakin memperhatikan anak-anak itu
Beglendeen menjadi merinding. Beberapa di antaranya berlari
dengan lendir berwarna kuning campur putih kehijau-hijauan,
menggantung di bawah hidung mereka. Lebih menjijikkan lagi
karena beberapa dari mereka dikejar-kejar lalat ke mana pun
mereka pergi. Ternyata tangan serta kepala mereka berborok-
borok. Ah, Beglendeen memejamkan mata kala melihat
sebagian dari mereka telinganya juga keluar lendir dengan
warna yang sama dengan yang keluar dari hidung. Dan lalat
itu... Mual merasuki perut Beglendeen. Ingin ia mengusir
anak-anak itu. Kejengkelannya mencapai puncak. Tiba-tiba ia
berteriak sambil mengangkat bedilnya dengan laras tertuju
pada anak-anak itu. Semua terkejut. Juga pemilik kedai. Tapi
kala ia akan menarik pelatuk bedilnya, sebuah benda keras
menempel punggungnya. "Jatuhkan bedil itu! Mereka bukan ayam. Atau Tuan sendiri
pergi ke neraka sekarang juga." Suara itu tegas dan dingin.
Beglendeen mengurungkan niatnya. Dan tanpa tertahan
mualnya membuahkan muntahan. Tidak sempat mengumpat.
Tapi ia buang juga senjatanya. Seseorang memungutnya.
Selesailah sudah. Semua yang ditelannya keluar. Tapi ia tak berkutik dan
menjadi tontonan para pengunjung yang masih tersisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang tinggalkan semua uang Tuan di atas meja.
Jangan main-main, Tuan sedang berhadapan dengan Wilis.
Ya, Wong Agung Wilis. Dengar baik-baik. Wilis!"
"Wi..." "Jangan banyak tanya! Tidak ada waktu bercanda."
Bentakan orang itu membuat Beglendeen merogoh
kantungnya. Tangannya gemetar mengeluarkan semua
uangnya. Dan terdengar orang itu memanggil pelayan.
Diperintahkan untuk mengambil semua uang di meja.
"Sekarang jalan ke pelataran!"
Dan Beglendeen melakukan perintah itu lagi. Setelah itu ia
terpaksa menyerahkan tangannya diikat ke belakang pantat.
Sebentar kemudian orang yang mengikatnya menjauh sambil
memerintahkannya menoleh. Kini ia dapat melihat, orang itu
adalah yang duduk memunggunginya tadi. Matanya tajam,
dengan kumis di bawah hidungnya. Tidak begitu tebal. Kini
orang itu telah melompat ke atas punggung sebuah kuda
Sumba yang gagah. Ternyata benda yang terbungkus kain itu
adalah senjata laras panjang bikinan Inggris.
"Selamat tinggal, Tuan. Dan berjalanlah pulang ke tangsi!
Dan jangan suruh siapa pun membuka ikatan itu! Siapa pun!
Biarlah Biesheuvel percaya bahwa Wilis tidak mati. Ia akan
hidup selamanya di Bumi Semenanjung ini! Dengar, hai
kawula Pangpang! Siapa pun yang berani membuka ikatannya
akan terjungkal mencium bumi dengan tanpa nyawa!" Orang
itu berteriak keras. Sebentar kemudian menyentuhkan kaki ke
perut kuda. Dan kuda itu mulai melangkah untuk kemudian
kabur ditelan debu yang mengepul.
Beglendeen penasaran. Ternyata tidak seorang pun di
kedai itu yang berani menolongnya. Semua malah menonton.
Terpaksa ia berjalan ke kantor Biesheuvel seperti perintah
Wilis. Ia pikir, barangkali dia adalah orang VOC pertama yang
tunduk diperintah pribumi. Semua orang yang berpapasan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengannya heran tapi tak berani berbuat apa-apa. Beglendeen
tertunduk dengan muka merah. Pribumi tidak beradab-
sanggup mempermalukan yang lebih beradab. Beberapa jarak
kemudian beberapa ekor anjing mulai menguntitnya sambil
menyalak-nyalak. Gila. Ia berhenti dan menoleh. Ingin ia
menendang anjing-anjing itu. Tapi mereka juga berhenti
sambil tetap menyalak. Menarik perhatian kawanan anjing
lainnya. Beglendeen dikelilingi anjing-anjing yang menyalak-
nyalak. Ia ingin menutup telinga. Tapi tidak bisa. Berlari.
Mereka tetap membuntuti. Beberapa laskar Madura ingin
menolongnya. Tapi kawanan anjing itu tampak galak,
membuat mereka ikut panik. Akan menembak takut mengenai
Beglendeen yang sedang pontang-panting itu. Penjaja
gerbang Biesheuvel menemukan akal dan menembak ke udara
kala Beglendeen sampai di gerbang itu.
Dengan napas tersengal-sengal, keringat sebe-sar-besar biji
jagung, Beglendeen melaporkan apa yang baru dialaminya.
'Tidak masuk akal Agung Wilis bisa di sini!" Biesheuvel
geleng kepala. "Dan anjing-anjing itu tentu kebetulan saja!"
Pernyataan Biesheuvel i membuat Beglendeen kecewa.
Dengan kata lain ia menganggap aku ini pembohong"
Biesheuvel, memang kau harus mengalami sendiri supaya
matamu celik! Beglendeen terus mengumpat dalam hati ketika
diantar pulang ke lojinya oleh pengawal benteng.
Laporan-laporan berikut datang seperti petir di musim
kemarau. Rombongan peronda di serbu oleh babi hutan.
Akibatnya mereka terbirit-birit dan banyak senjata mereka
hilang. Laporan dari Lateng lebih mengherankan lagi. Rombongan
penarik pajak yang dikawal satu regu Kompeni tercerai-berai
karena dikejar oleh beberapa kerbau liar. Peristiwa yang
membuat penarik pajak takut berkeliling. Biesheuvel jadi
pusing. Bapa Anti juga. Maka ia sendiri memerlukan pergi ke
Lateng untuk membuktikan. Tapi waktu di Pangpang ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpapasan dengan kerbau yang sedang pulang ke
kandangnya, tidak terjadi seperti yang dilaporkan. Mungkin
saja laporan itu " sekadar kebohongan. Aneh. Akhir-akhir ini di
Blambangan jadi penuh sas-sus.
Sebenarnya itu bukan kejadian aneh. Anak buah Mas Ayu
Prabu menemukan cara untuk melatih kerbau-kerbau yang
biasanya patuh dan bersahabat itu, menjadi liar dan galak.
Suatu kali mereka datang dengan berpakaian Kompeni, dan
menggunakan wangi-wangian di tubuh mereka, kemudian
mengikat serta menyiksa kerbau-kerbau itu dengan luar biasa.
Terutama kerbau jantan. Lain kali mereka datang lagi dengan
pakaian petani. Sambil mengelus kepala kerbau-kerbau yang
teraniaya itu dengan kasih, mereka membebaskannya.
Begitulah, latihan yang dilakukan berulang kali itu
menanamkan dendam di hati para kerbau. Kemudian Mas Ayu
Prabu menurunkan perintah pada para petani agar tidak
mengikat kerbau-kerbau yang akan berangkat atau pulang
kerja di sawah. Apalagi yang sedang digembalakan.
Itulah awal kejadian yang mengejutkan semua orang. Apa
tujuan Mas Ayu Prabu dari semua akal-akalannya itu" Tak lain
untuk mengendor-kan ketatnya patroli Belanda. Dengan
begitu akan memudahkan pendaratan laskar Bali yang akan
dipimpin Gusti Tangkas. Pengiriman laskar Bali itu atas
permintaan Sutanegara. Mas Ayu Prabu telah menyampaikan
permintaan itu pada Wong Agung Wilis, yang bersedia
mengirim tiga ratus orang. Bagi Wong Agung Wilis itu
merupakan kesempatan menghantam Belanda. Kini pasukan
sudah bersiap di Jembrana. Tinggal menunggu isyarat dari
Mas Ayu Prabu. Mereka merencanakan pendaratan di Pantai
Grajagan. Namun Gusti Tangkas jadi amat heran, Mas Ayu
tidak kunjung mengirimkan utusannya.
Mereka tidak pernah tahu bahwa bersamaan dengan waktu
Ayu Prabu menyiapkan dan mengamankan daerah
pendaratan, seorang pedagang yang dulu pernah mendapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keleluasaan oleh Colmond, yaitu Lie Pang Khong, sedang
menghadap Letnan Schaar di benteng Kota Lateng. Orang itu
bertubuh gemuk, tidak terlalu tinggi, hidungnya agak pesek,
dan matanya sipit. Setelah melewati beberapa tatacara dan
penjagaan ia diizinkan masuk benteng dengan syarat harus
berjalan dengan kepala tertunduk. Tidak boleh memperhatikan
kiri dan kanan. Tidak boleh berdahak. Dia digiring melewati
lorong-lorong yang'agak gelap. Belok kiri, belok kanan, belok
kiri lagi. Dan entah berapa kali lagi ia harus berbelok-belok. Ia
tidak ingat. Tentu semua itu merupakan aniaya bagi Lie Pang
Khong. Apalagi ^ mencegah kebiasaan berdahak selama ada
di lingkungan benteng. "Duduk!" Suara Van Schaar dingin. Matanya tajam
mengawasi tamunya. "Ada apa?"
"Sebelum menghadap Tuan Biesheuvel untuk
memperpanjang izin tinggal di Lo Pangpang, saya ingin
menyampaikan berita yang mungkin amat penting untuk
segera ditangani." "Apa itu?" Schaar mengerutkan dahinya. Penuh perhatian.
"Begini, Tuan..." Cina itu menelan ludah menahan
keinginan berdahak. "Di Jembrana, kami melihat persiapan
laskar Bali akan mendarat di Blambangan."
"Apa kon (kamu (diambil dari bahasa Surabaya, karena
Schaar pernah bertugas di Surabaya) bilang" Pasukan Bali
akan menyeberang?" "Saya berani bersumpah, Tuan. Banyak jumlah mereka."
"Jika demikian kon harus lapor ke Pangpang. Dan kon akan
diantar oleh Pembantu Letnan De Kornet Tine. Nah, tunggulah
di luar." "Ya, Tuan. Terima kasih." Orang itu kemudian buru-buru
meninggalkan Van Schaar. Ingin ia segera melepaskan segala
aniaya di luar benteng. Benteng yang mengharuskannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjalan tertunduk tanpa menoleh kiri dan kanan. Jika sepuluh
hari saja ia diperakukan seperti itu mungkin saja ia akan
menjelma menjadi babi. Leher sukar ditekuk.
Sepeninggal Lie Pang Khong, Schaar memanggil pembantu
letnan, De Kornet Tine dan Ostransky. Kepada mereka ia
terangkan laporan Lie Pang Khong.
"Karena itu kamu menghadap Tuan Biesheuvel." Ia
menunjuk De Kornet. Dan orang itu menghormat lalu pergi
setelah menerima petunjuk lanjutan. Kemudian Schaar
memerintahkan Ostransky memperketat penjagaan pantai dan
meminta pengawalan laut dari armada yang ditempatkan di
Sumberwangi. Tentu saja semua itu mereka kerjakan dengan
tanpa gerakan yang berbondong-bondong. Namun demikian
penjagaan pantai yang begitu rapat membuat Mas Ayu
menjadi curiga. Dan itu sebabnya ia tidak segera mengirimkan
utusan. Kecurigaan Mas Ayu sangat beralasan. Karena setelah ia
berusaha menghubungi Sutanegara, ternyata orang itu tidak
ada di tempat. Menurut istrinya, sehari setelah Jaksanegara
bertamu ke Lateng, Sutanegara dijemput oleh Van Schaar dan
tidak kembali. "Apa ia ke benteng?" Mas Ayu memburu.
"Menurut Sutanegara sebelum pergi ia memberi tahu
bahwa ada panggilan mendadak ke Pangpang."
"Sendiri beliau ke sana?"
"Bersama Patih Suratruna."
"Hyang Bathara!" Mas Ayu berdebar. Ia mendapat firasat
buruk. Maka segera ia minta permisi. Tentu rumah ini dalam
pengawasan, pikirnya. Dan segera ia mengirimkan utusan ke
Pangpang untuk menyelamatkan Wangsengsari. Namun
terlambat. Wangsengsari juga sudah dipanggil menghadap
Biesheuvel dan belum kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hujan sudah tiada turun lagi kala itu. Orang-orang
Blambangan tiga belas hari lagi merayakan hari raya Waisaka.
Memang tidak besar-besaran hari macam begitu. Apalagi
dalam kesulitan pangan seperti itu. Jadi menurut orang
Blambangan bulan itu adalah bulan Wisaka. Sedang menurut
orang Belanda adalah pertengahan Mei.
Ya, pertengahan Mei seribu tujuh ratus tujuh puluh satu
tahun Masehi kala Wangsengsari, Sutanegara, dan Suratruna
menerima keputusan dibuang ke Seilan karena Dewan Hindia
di Batavia menganggap mereka melakukan pengkhianatan
terhadap pemerintahan agung VOC di Batavia. Ada beberapa
istri dan anak-anak mereka yang harus mengawal orang tua
mereka ke pembuangan. Apa pun pembelaan mereka, namun saksi dan bukti cukup
banyak. Ketiganya tidak pernah menyangka sebelumnya
bahwa Jaksanegara yang begitu baik dan akrab pada mereka
itu adalah antek VOC. Karena mereka tak tahu maksud
tersembunyi Jaksanegara, yaitu menjadi penguasa tunggal di
Bumi Semenanjung. Ya, keinginan hati untuk merajakan diri
sendiri telah mengorbankan kerabat, sahabat, dan adat.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saksi lain, Lie Pang Khong, juga orang yang sering
mempersembahkan berbagai macam hadiah. Bagaimana
mungkin orang sebaik itu menjadi saksi yang memberatkan"
Apalagi setelah orang ketiga yang dijadikan saksi adalah anak
Wangsengsari sendiri. Anak perempuan dari istri kedua
Wangsengsari, Mas Sanggawati. Anak itu memang sering ikut
menemani bapaknya menemui tamu. Tidak tahu bahwa anak
itu juga sering menerima tamu jika Wangsengsari tidak ada.
Karena iri terhadap Repi yang memperoleh kebebasan dan
kekayaan, maka ia berusaha memperoleh yang seperti adiknya
dengan caranya sendiri. Tanpa setahu Wangsengsari ia sering
berhubungan dengan Lie Pang Khong atau Pieter Luzac. Atau
kadang juga dengan Biesheuvel sendiri, demi emas dan uang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sanggawati akhirnya tidak mungkin mampu membebaskan diri
karena keinginan-keinginannya makin bertambah tiap hari.
Saat yang membuatnya berdiri di simpang jalan ialah kala
ia berjumpa dengan Jaksanegara. Candu menjeratnya dan
membuat ia harus mengiakan semua perintah Jaksanegara.
Dan kala Wangsengsari bersama lainnya dilayarkan maka ia
diberi hak untuk menguasai rumah bapaknya. Dengan begitu
ia makin bebas melakukan segala langkah untuk memanjakan
kejalangannya. Peristiwa itu tidak hanya membuat Mas Ayu membatalkan
isyarat yang semestinya ia kirimkan. Tapi membuat ia harus
menghitung berulangkali setiap langkah yang ia ambil.
Langkah pertama tentu saja ia mengirim berita pada Mas
Ramad Surawijaya dan Sayu Wiwit serta Rsi Ropo. Langkah
kedua harus segera memberi tahu Wong Agung Wilis di
Mengwi. Demi langkah kedua itu ia kembali memasuki gedung Tha
Khong Ming di Sumberwangi. Tidak sukar baginya memasuki
rumah tersebut karena semua penjaga memang anak buahnya
sendiri. -Tapi nampaknya Tha Khong Ming amat gugup. Tha
Khong Ming sama sekali tak menduga mendapat kunjungan
mendadak malam-malam begitu. Tapi bagaimanapun juga ia
tak mampu menyembunyikan kegembiraannya.
"Selamat malam, Yang Mulia. Datang sendiri?"
"Ya. Datang sendiri." Gadis itu senyum sambil menajamkan
matanya. Mata itu seperti mampu memantulkan cahaya
lampu-lampu di sekitarnya.
"Tidak seperti biasa. Tentu amat penting?" Tha Khong Ming
mempersilakannya duduk. Kemudian ia mengambilkan
minuman. Arak putih buatan Cina. Menuangkan dalam cawan.
"Ini untuk penghangat badan. Tentu Yang Mulia kedinginan.
Malam-malam begini berkuda." Ia menyodorkan cawan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Tuan. Aku sejak siang di kedai itu. Sengaja
datang malam-malam ke tempat ini. Memang sengaja. Karena
ada sesuatu yang penting hendak kuutarakan?" Kembali gadis
itu memamerkan lesung pipit dan sinar matanya. Hati Tha
Khong Ming meriup-riup seperti pelita dihembus angin
perlahan-lahan. "Apa itu, Yang Mulia?" Tha Khong Ming berbisik sambil
mengambil kesempatan untuk mendekatkan tempat duduknya
di sebelah kursi Ayu Prabu. Bahunya menyentuh sedikit bahu
Ayu Prabu. Berdebar. "Apa Tuan belum dengar?"
"Apa itu?" tanyanya sambil minum.
"Sutanegara ditangkap."
"Hai?" Alis Tha Khong Ming sedikit terangkat.
"Tidak perlu terkejut." Gadis itu tetap saja tersenyum.
"Lalu apa ia tidak membongkar rahasia kita?"
"Kau takut?" Kini gadis itu membalikkan badan dan kembali
menatap matanya. Dekat sekali jarak mereka. Pertanyaan
yang membuat Tha Khong Ming malu. Gadis yang ia puja ini
ternyata sangat pemberani. Ah... seperti bapaknya. Kini debar
jantungnya mengeras. Dalam keadaan hening rasanya suara
debaran itu terdengar oleh telinganya sendiri. Tapi akan
celaka jika didengar oleh Ayu Prabu. Maka cepat-cepat ia
tersenyum dan menjawab, "Tidak, Yang MuHa. Eh... mari minum, jangan segan, Yang
Mulia. Bukankah kita sahabat dekat?"
"Persahabatan belum tentu harus ditandai dengan
minuman," kata gadis itu tegas. Walau tetap saja bibir
mungilnya berhiaskan senyum. "Sebenarnyalah persahabatan
harus ditandai dengan kasih setiap waktu. Dan sahabat sejati
sanggup menjadi saudara dalam masa sulit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah... Yang Mulia tidak mempercayai hamba?" Tha Khong
Ming seperti hanyut dalam gelombang. Ia berusaha menebak
arah pembicaraan gadis itu.
"Aku memang tidak dapat memastikan apakah kau bisa
dipercaya atau tidak. Sebab kau seorang pedagang. Lelaki
pedagang." Ayu mencoba mengetuk pintu hati Tha Khong
Ming untuk " menguak kesetiaan lelaki itu. Sementara malam
kian larut. Penjaga pintu di luar berjalan mondar-mandir untuk
menghindari kantuk. Dalam hati terpecik sedikit tanya. Apa
saja yang dikerjakan wanita itu dalam gedung bersama lelaki
yang tinggal sendirian" Ingin rasanya ia meninggalkan
gerbang dengan temannya yang sedang mengantuk untuk
mencoba mengintip ke balik jendela. Tapi ia tak berani. Ayu
Prabu adalah wanita terlatih yang mempunyai telinga seperti
dewa. Itu yang menyebabkan pemuda-pemuda Raung atau
Sempu atau Songgon yang jatuh cinta padanya tidak berani
melamar. Apalagi ia adalah putra Wong Agung Wilis.
"Sekalipun begitu, hamba ingin membantu perjuangan
kawula Blambangan. Dan sedikit demi sedikit hati hamba
terpaut oleh Blambangan."
Ayu Prabu tersenyum mendengar itu. Ia tahu persis,
pemuda itu ingin mengatakan yang lain. Ia bukan terpaut dan
tertarik oleh perjuangan kawula Blambangan, tapi oleh dirinya.
Itulah naluri kewanitaan.
"Senang sekali mendengarnya, Tuan. Tapi aku ingin bukti."
"Apa yang harus hamba kerjakan supaya bisa menjadi bukti
dari cinta hamba pada Blambangan." Tha Khong Ming makin
berani. "Masuk sumur" Boleh saja asal itu perintah Yang
Mulia," senyumnya sambil menembuskan pandang. Namun
gadis itu tidak mau berpaling ke tempat lain. Ia tantang Tha
Khong Ming beradu pandang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku minta kau pergi ke Mengwi. Jika perlu malam ini kau
turun ke laut. Karena aku perlu menyampaikan berita buat
Ramanda." "Ke Mengwi?" "Sanggup?" gadis itu masih menatap sambil terus senyum.
Ah, siapa yang berani menolak permintaan gadis ini" pikir Tha
Khong Ming. Ingin ia mendekap dan melumat bibir mungil yang
mengundang kerinduan itu.
"Sanggup, Yang Mulia. Lalu apa yang harus hamba
sampaikan" Apa hanya pesan?" Tha Khong Ming tidak pikir
panjang. Ia merasa mampu menembus barisan armada
Kompeni. "Ini lontarku untuk beliau." Mas Ayu menyerahkan tusuk
kondenya. Semula Tha Khong Ming terkejut. Tapi Mas Ayu
segera bangkit dan katanya, "Kau tidak perlu tahu isinya.
Ramanda* sudah tahu bagaimana membuka tusuk konde itu."
Kini gadis itu dengan berani memegang bahu Tha Khong Ming
yang masih duduk sambil berkata lagi, "Terima kasih,
Pahlawan!" - kemudian berbalik hendak pergi. Tapi langkahnya
yang ketiga ditahan oleh suara Tha Khong Ming.
"Tunggu, Yang Mulia. Hamba akan pergi malam ini juga.
Tapi hamba mohon selama hamba tiada, rumah ini tetap
dalam pengawasan Yang Mulia." Kemudian Tha Khong Ming
menunjukkan sebuah kamar kosong. Tapi tetap terawat
bersih. "Sebab dalam waktu dekat hamba akan menerima
tamu dari Surabaya. Paman hamba. Jika rumah ini kosong
maka beliau akan marah besar," sambung Tha Khong Ming.
"Ahai, kau tahan aku" Baik. Tapi jangan terlalu lama, sebab
banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Nah, besok pagi
saja aku akan datang. Sekarang aku pergi dulu. Selamat
malam." Tha Khong Ming memandangi punggung gadis itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah... mengundang sejuta angan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
IX. SEGUMPAL MENDUNG Pemerintah VOC menganggap dengan dibuangnya dua tumenggung serta seorang
patihnya dan seluruh keluarganya
ke Seilan akan menghentikan semua pembangkangan yang
ada di Blambangan. Dan dengan begitu akan membuat orang
Blambangan takut. Memang ketakutan orang Blambangan
diperlukan oleh Kompeni. Dengan dicekam ketakutan maka
mereka tidak akan berbuat apa-apa jika mereka diperlakukan
dengan semau-mau. Selebihnya kawula Blambangan akan
mengiakan terhadap semua kemauan pemerintah. Dan itulah
yang disebut kekuasaan. Dalam banyak hal kekuasaan itu
ternyata dibangun dan hidup di atas ketakutan banyak
manusia. Bukan atas pendapat semua manusia. Dengan
sengaja pemerintah Belanda menciptakan ketakutan secara
tersembunyi, dan membiasakan orang menjadi takut dari
waktu ke waktu, sehingga kelak berkembang menjadi
semacam kesadaran untuk patuh. Patuh melakukan kewajiban
yang harus mereka berikan kepada pemerintah VOC. Dan
seperti daerah Jawa lainnya, maka Belanda ingin membuat
kawula Blambangan menjadi seperti siput. Yang harus meng-
kerut jika mendengar langkah dan detak sepatu orang-orang
Belanda. Merunduk-runduk tidak berani memandang wajah
siapa pun yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari mereka.
Belanda yang menciptakan begitu!
Bagi Mas Rempek peristiwa pembuangan itu memberikan
arti yang lain. Matanya menjadi terbuka, bahwa tidak setiap
sosok manusia di bumi Semenanjung ini boleh dipercaya. Di
hatinya terukir berbagai tanya tentang Jaksanegara. Tentang
Sanggawati. Tentang banyak orang yang menyebabkan ketiga
satria Blambangan itu dibuang ke negeri yang sama sekali
tidak pernah mereka bayangkan dalam hidup mereka. Lebih
dari semua itu, merupakan pelajaran berharga. "Bahwasanya
tindakan separuh-separuh lebih banyak mendatangkan
kerugian daripada keuntungan. Dan siapa yang ingin rugi"
Karena barangsiapa melakukan segala hal dengan separuh-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
separuh, maka ia tak akan pernah sampai pada apa yang ia
inginkan. Karena ia tidak pernah sepenuhnya benar.
Tidak demikian halnya Jaksanegara. Sebongkah
kegembiraan memenuhi hatinya. Selangkah lagi ia akan
menjadi penguasa tunggal di Blambangan. Tidak peduli hanya
akan diberi pangkat adipati atau bupati. Apalagi Pieter Luzac
dan Schophoff sebagai orang dekat Biesheuvel mengatakan
bahwa mereka telah mengajukan usul pada Gubernur supaya
Jaksanegara diangkat sebagai Adipati Blambangan. Dan untuk
berita yang baru ia terima itu tentu ia mempersembahkan
hadiah-hadiah istimewa pada keduanya walau waktu
mempersembahkannya tidak sama. Dan saling tidak
mengetahui. Tentu keduanya memberi pesan pada
Jaksanegara agar tidak seorang pun tahu jika mereka
menerima persembahan dari Jaksanegara.
Tapi banyak kali kenyataan tidak semanis impian. Karena
dengan tegas Gubernur J. Vos menolak usul yang
ditandatangani Pieter Luzac dan Schophoff dan diketahui oleh
Biesheuvel. J. Vos menyatakan curiga terhadap setiap orang
Blambangan. Sekalipun mereka sudah menjadi Islam seperti
halnya penguasa Jawa lainnya namun mereka masih takut
pada kaum brahmana. Sebagai bukti, menurut surat J. Vos
pada Biesheuvel mereka tidak bertindak terhadap sepak-
terjang Rsi Ropo di Songgon. Sehingga Songgon seolah
daerah yang berdiri sendiri, di luar kekuasaan Blambangan.
Vos menerima laporan dari beberapa telik Sidayu yang pernah
secara diam-diam menyusup ke Songgon.
Biesheuvel sangat terkejut karena surat Vos menyebutkan
daerah Songgon tidak terlalu jauh dari Pangpang sebenarnya.
Diperkirakan cuma dua jam perjalanan jika mereka
menempuhnya dengan naik kuda. Dan karena itu sebagai
ganti kedua tumenggung yang telah dijatuhi hukuman buang,
Gubernur menunjuk Patih Surabaya, yaitu Raden Kertawijaya.
Seorang yang tinggi besar menurut ukuran Jawa. Hidungnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mancung hain-pir seperti Arab. Barangkali saja memang
keturunan Arab. Karena di Kartasura sekarang banyak
saudagar keturunan Arab. Dan tidak mustahil jika , ada
diantara mereka yang dekat dengan kraton dan berhubungan
dalam banyak hal. Mula-mula mereka keluar-masuk istana
hanya untuk menawarkan barang dagangan. Atau juga
mereka merangkap menjadi pengajar bahasa Arab dan igama
Islam. Seperti hal lainnya maka hubungan yang dekat akan
membuahkan sesuatu. Sebab kodratnya memang demikian.
Maka itu sebabnya tidak mengherankan jika di Kartasura
sekarang ada orang-orang Arab atau Cina yang bergelar
seperti ? layaknya bangsawan Jawa. Semula memang
ditentang oleh beberapa bangsawan. Tapi dijawab oleh
Susuhunan, raja-raja Jawa menerima gelar Sultan juga dari
tanah suci Mekah. Kenapa mereka tidak boleh menerima gelar
jika sudah bertalian darah dengan kita. Tidak ada salahnya
anak-anak kita dikawin oleh mereka, titah Susuhunan dalam
pembelaannya. Arab adalah bangsa mulia, keturunan Nabi
besar Muhammad. Baik-baik saja itu terjadi.
Kertawijaya mengenakan ikat kepala berwarna merah soga.
Tepat di atas dahinya dihiasi bros yang bertahtakan intan,
sehingga tampak berkilau-kilau. Bajunya hitam dan bagian
depan dihias dengan benang-benang emas. Mulai ujung
bawah sampai melingkari leher. Keris yang terselip di
punggungnya membuat ia kelihatan gagah. Kulitnya tidak
terlalu hitam. Namun tidak bisa dikatakan kuning. Dan
namanya segera tersebar ke seluruh Blambangan karena ia
mengadakan pesta minum serta tayuban (semacam pesta
yang disertai tari pergaulan yang melibatkan tamu untuk
menari bersama penari wanita) Ia mendatangkan tuak dari
Gresik dan penari-penari dari daerah Surabaya. Juga penabuh
dan gamelan, semua dari Surabaya. Kaya rupanya. Tentu saja


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu mengecewakan Jaksanegara yang sudah mengimpikannya
siang dan malam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belanda tak menggubris jasa kita," katanya suatu hari
pada Mas Rempek dan Bapa Anti. Dan itu merupakan petunjuk
pasti bagi Mas Rempek tentang pengkhianatan Jaksanegara
pada Wangsengsari dan teman-temannya. Tapi seperti yang
dikatakan Rsi Ropo, ia harus menjadi dewasa dan lebih
dewasa lagi. Ia mendapat tugas dari Wilis supaya untuk
sementara, sampai waktu yang ditentukan, harus hidup di
dunia orang lain. "Kita harus bersabar, Yang Mulia. Keinginan kita
menyatukan kembali Blambangan telah tercapai. Masalahnya
sekarang ini Blambangan diperintah oleh bukan orang
Blambangan sendiri," Bapa Anti menasihati.
"Menurut Tuan Pieter Luzac, salah satu sebab tidak
dipercayanya aku memegang kekuasaan tertinggi di
Blambangan ialah karena Gubernur mendengar adanya Rsi
Ropo di Songgon. Aku. belum pernah ke sana. Belum pernah
mehhat Rsi Ropo. Apa saja kerjanya sehingga menarik
perhatian Gubernur" Katanya dialah yang menghasut kawula
untuk mempercayai bahwa Wong Agung "Wilis masih hidup,
sekarang menjadi pemimpin Blambangan."
Tiba-tiba saja muka Bapa Anti berubah. Sedikit demi sedikit
menjadi pucat. Rempek masih berusaha menahan hatinya.
Berdebar. "Apa Bapa Anti tidak pernah tahu?" akhirnya Jaksanegara
menanyakan. "Yah... hamba..." Terhenti. Sekilas menoleh pada Rempek.
"Kenapa" Tampaknya kok takut" Yang Mulia pernah
dengar?" Kini Jaksanegara menoleh pada Rempek yang pura-pura
memperhatikan ikan-ikan dalam kolam di seputar tempat
mereka berunding. Ia menarik napas panjang sebentar. Rsi
Ropo sendiri sudah memperkirakan. Akan datang pertanyaan
semacam itu padanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pernah dengar," katanya perlahan dengan suara parau.
"Seperti orang lain pernah ke sana, hamba pun."
"Pernah ke sana?"
"Apa salahnya" Yang lain juga pernah ke sana. Ia rsi yang
luar biasa. Memiliki pandangan tajam.
Matanya seperti mampu menembus wiswayana
(Khatulistiwa) Lidahnya seperti dewa."
"Ya, Al ah, kenapa Yang Mulia tidak melaporkan pada
hamba" Dia orang yang dicurigai VOC."
"Apa salahnya dicurigai" Hamba tidak tahu itu. Baru
sekarang hamba tahu adanya kecurigaan pada rsi itu. Lagi
pula sudah agak lama hamba tidak ke sana. Barangkali Bapa
Anti yang masih sering."
Seperti tertimpa batu segunung Bapa Anti mendengar
namanya disebut oleh Mas Rempek. Sebelumnya dalam hati ia
berdoa supaya Rempek tidak mengatakannya. Tapi doanya
tidak didengar Yang Maha Tinggi. Kini Jaksanegara menoleh
padanya. Bapa Anti cepat-cepat menunduk.
"Bapa Anti juga pernah ke sana?"
"I... ia... iya..."
"Kenapa tidak pernah cerita?"
"Ampun, Yang Mulia... tidak apa-apa. Maksud hamba rsi itu
tidak apa-apa...." "Tidak apa-apa bagaimana" Dia mampu membuat hamba
gagal." "Hamba rasa itu tidak beralasan."
"Apa pun kata Yang Mulia berdua, hamba akan pergi
melihat. Membuktikan apakah Rsi Ropo membahayakan atau
tidak. Jika benar hamba akan menangkapnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Menangkapnya?" tanya kedua orang itu berbareng.
Bapa Anti makin gemetar. Ia teringat rsi itu menuding
hidungnya. "Ya. Kenapa" Bapa Anti, tunjukkan jalan ke sana. Kita ajak
beberapa laskar Madura yang bertugas mengawal rumah kita."
"Am... ampun, Yang Mulia... kaki hamba sedang sakit. Tak
kuat jalan. Jika naik kuda pantat juga sakit," Bapa Anti
mencari alasan. Betapa heran Jaksanegara. Menjadi penunjuk jalan Belanda
menyerbu Wilis dia tidak takut. Tapi sekarang takut.
Memang Jaksanegara tidak tahu apa yang dialami Bapa
Anti akhir-akhir ini. Ia sering menerima kiriman sebah kotak
dari orang yang mengaku Wong Agung Wilis. Apa isi kotak itu"
Pernah isinya kepala seorang prajurit Madura. Pernah juga
sekali berisi kepala seorang sersan Belanda yang beberapa
hari sebelumnya diperkirakan tersesat di hutan waktu berburu.
Dan dengan ketakutan amat sangat secara diam-diam ia dan
anaknya mengubur kepala itu di tengah hutan. Lebih
menakutkan lagi pesan orang bertopi lebar seperti laiknya
petani Blambangan jika sedang bekerja di sawah. "Ingat, jika
kau teruskan menjual bangsamu, maka tidak ada sulitnya
membuat kepalamu seperti ini!"
"Baik, jika Bapa Anti tidak memiliki keberanian, maka aku
mohon Mas Rempek menemani hamba." Jaksanegara menoleh
pada Rempek. Dan Rempek tersenyum. Menyanggupi tapi
dengan syarat tidak membawa prajurit ke Songgon. Jika itu
dilakukan maka ia tak akan mau menjadi penunjuk jalan.
"Kenapa, Yang Mulia?"
"Daerah itu damai dan bersahabat. Tidak terlihat seorang
pun bersenjata di sana. Seperti negeri kudus. Jangan dikotori
dengan prajurit yang biasa menumpahkan darah. Hamba
keberatan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan pergi tanpa pengawal!?"
"Satu-dua orang boleh. Laskar Pakis siap mengawal kita."
Jaksanegara ragu. Namun ia menerima juga. Keinginannya untuk tahu siapa Rsi Ropo
yang membuatnya gagal menjadi penguasa tunggal di Blambangan, begitu besar.
Karenanya pada hari Radite yang telah ditentukan mereka sudah berada di Songgon.
Sebab biasanya hari Radite merupakan hari di mana banyak orang berkumpul.
Jaksanegara melihat betapa berjubelnya orang di pendapa menunggu munculnya sang
rsi. Bau keringat semua orang berbaur menyatu. Mata Jaksanegara memperhatikan ke
segala penjuru. "Lihat, Yang Mulia, semua mereka bersahabat. Berbagi makan dan minum bersama.
Berbagi tawa secara tulus,"
Rempek menerangkan. "Dan telah kita lihat tadi, tidak ada senjata di pinggang
semua orang. Pertanda di sini tak pernah ada pertumpahan darah."
Jaksanegara mengangguk. Ia memperhatikan para cantrik yang ramah terhadap semua
orang dan mengatur semua tamu agar duduk dengan tenang. Dan tiap orang patuh,
sekalipun harus berlama-lama menunggu. Tiba-tiba seorang perempuan yang masih
sangat muda dan agak hitam manis muncul di tengah bale pracabaan itu. Sayu
Wiwit, demikian nama yang diterangkan pada Jaksanegara oleh Mas Rempek.
Dan apa yang dilakukan wanita muda itu"
"Saudara-saudara!?" suara wanita itu merdu didengar Jaksanegara. "Yang Tersuci
Rsi Ropo masih bersemadi dan tidak bisa diganggu. Karena itu pertemuan kita hari
ini diganti nanti hari Sukra (hari Jumat) mendatang. Semua dipersilakan
meninggalkan tempat dan boleh datang pada hari Sukra yang akan datang." Kemudian
gadis tadi menghilang ke dalam bilik.
Dan semua orang bubar dengan tanpa kecewa. Tinggal Jaksanegara dan Rempek serta
empat orang pengawalnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita tidak bisa memaksa, Yang Mulia," Rempek
mengajaknya pulang. Namun Jaksanegara tetap diam dengan
wajah merah padam. "Hamba merasa dipermainkan."
"Bagaimana dengan ribuan orang yang pulang dengan
tanpa desah. Yang ada cuma senyum. Senyum yang tulus.
Tulus berdamai dengan keadaan yang mereka terima. Seperti
sudah hamba katakan. Di sini tidak ada desah dan sakit hati.
Yang ada damai sejahtera, maka jangan kita kotori keadaan
seperti ini. Mereka tenteram tanpa kurang makan. Kita syukuri
ini. Mengapa kita hendak mengusik yang telah menjadi baik
seperti ini?" Rempek berusaha mendinginkan hati
Jaksanegara. "Tapi mereka tidak sama dengan kita. Kita adalah satria!"
Napas Jaksanegara memburu. "Kita pembesar negeri. Kita
pejabat yang mewakili kekuasaan di Blambangan."
"Lihat, tatanan di sini tak sama dengan Blambangan. Di sini
tidak ada Belanda. Tidak ada laskar Madura, Sidayu, atau
Probolinggo! Semua orang mengerjakan sawahnya sendiri.
Untuk sendiri dan untuk anak-istri mereka. Marilah kita
pulang, Yang Mulia."
"Tidak! Menyesal tidak membawa laskar Madura itu. Jika
ada mereka mungkin tak ada perlakuan semacam ini."
Kemudian Jaksanegara bergerak maju. Melangkah ke pendapa
dan berteriak, "Rsi Ropo keluar kamu! Jaksanegara ada di sini. Belajarlah
menghormat pada penguasa!"
Rempek buru-buru mencegahnya. Tapi Jaksanegara tetap
tidak menggubrisnya. Seorang cantrik keluar menemuinya.
Tanpa menyembah pada Jaksanegara. Menyakitkan.
"Ada apa, Yang Mulia?"
"Aku tidak membutuhkan kamu! Mana Rsi Ropo?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah dijelaskan tadi."
"Aku penguasa di Blambangan! Suruh dia keluar!"
"Salah satu tugas brahmana adalah menyatu dengan
Penciptanya. Mendengar suara Penciptanya. Bukan
mendengar suara hatinya sendiri. Dan bukan suara manusia
lainnya." "Apa" Dengan kata lain suaraku tidak didengarnya?" Suara
Jaksanegara meninggi. Bersamaan dengan itu tangannya
bergerak seperti kilat menempeleng sang cantrik. Tak ayal lagi
cantrik itu terdorong selangkah mundur dengan muka merah
bekas telapak tangan Jaksanegara. Dan saat itu Marmi yang
dikenal sebagai Sayu Wiwit oleh Rempek keluar. Berpakaian
seperti biasanya pakaian para sayu. Berjubah kuning dengan
kalung emas yang tergantung sampai perut dan dihiasai
medali bunga teratai. "Sabar sedikit, Yang Mulia. Di sini tidak ada kebohongan.
Tidak perlu digunakan kekerasan seperti itu," suaranya merdu.
Semua menoleh padanya. Namun Jaksanegara maju
dengan geram melihat wanita itu juga tidak menyembahnya.
"Menyembahlah!" teriaknya.
"Tidak ada brahmana menyembah satria," ujar wanita itu.
"Apakah zaman sudah berbalik dan kehilangan kesusilaannya
sehingga brahmana harus menyembah pada satria?"
"Iblis!" Jaksanegara mendekat. Tapi wanita itu diam dan
tenang. Tapi apa yang dilakukan Jaksanegara di luar dugaan
semua orang. Ia menarik jubah Sayu Wiwit sampai robek.
Tidak puas ia lepaskan jubah itu dan melemparnya ke atas
tanah kendati berkali diperingatkan Rempek untuk berhenti.
Cantrik Janaluka dan Marmi yang mengaku sebagai sayu itu
tetap diam. Dan kini mereka tidak mau menjawab lagi sepatah
pun pertanyaan Jaksanegara. Sampai orang itu berkata,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik! Hari Sukra aku akan datang! Tapi jika Rsi Ropo tidak
ada lagi maka Songgon akan kubakar!" Ia berbalik pergi.
Debar jantung Rempek tidak bisa tenteram kala mereka
sudah keluar dari Songgon. Jaksanegara mengajak mereka
melingkar ke utara melewati Hutan Kepanasan yang sudah
ada jalannya. Tidak melewati belukar seperti waktu mereka
berangkat. Jika ada tidak sesulit jika mereka langsung ke
timur. Tapi memang jaraknya teramat jauh berbeda.
Seperti tidak mengenal lelah kuda mereka melewati jalan-
jalan setapak. Tidak ada perkampungan. Melewati semak dan
padas karang yang keras. Sebentar mereka berhenti di kali
kecil yang mengalir jernih untuk memberi minum kuda
mereka. "Hamba khawatir, Yang Mulia," kata Rempek di tengah
jalan. "Aha... mereka tidak punya apa-apa selain doa. Apa yang
kita takuti" Apalagi hamba sekarang tidak terikat oleh aturan
harus meninggikan brahmana."
"Hamba khawatir hukum karma terjadi, Yang Mulia."
"Tidak ada karma! Itu kebohongan!" Ketika senja hampir
tiba, mereka mulai memasuki Hutan Kepanasan. Semua orang
Blambangan tahu di situlah laskar Bali menderita kekalahan
pertama digempur oleh laskar Madura dan sekutunya.
Sekarang di tengah hutan itu dibangun jalan menuju ke
Lateng, melewati Lo Pangpang. Di jalan itu kuda bisa berjajar
empat sekaligus. "Jika Yang Mulia tidak lagi percaya karma, hamba tidak
paksakan pendapat hamba. Tapi ingat, kita sudah mencoreng
kedamaian di desa Songgon. Hamba khawatir berita perlakuan
Yang Mulia ini didengar oleh seluruh kawula yang saat ini
menumpuk berlaksa kekecewaan. Itu akan menjadi suatu
kepundan. Dan seperti kepundan gunung berapi jika sudah
membeludak, sukar diatasi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha... ha... ha... ha... Yang Mulia di belakang kita ada
Kompeni yang gagah perkasa. Tidak pernah kalah. Apa yang
kita takutkan?" Jaksanegara menyambung lagi dengan tertawa
berkepanjangan. Namun belum lagi senyap suara tawanya
yang bergema di hutan sunyi itu, terdengar suara derap kuda
menyusul mereka. Disusul sebuah letusan membuat mereka
semua menghentikan langkah kuda masing-masing. Tiga
orang penunggang kuda dengan senjata api berlaras panjang
di tangan mereka. Seorang di antara mereka mengenakan ikat
kepala merah soga dan rambut ikal terurai sampai ke pundak.
Kedua ujung ikat kepalanya naik ke atas. Telanjang dada,
sehingga nampak tubuh orang itu. Tidak terlalu kekar. Boleh
dikatakan agak ramping sebagai seorang lelaki. Masih muda,
sekitar dua puluh lima tahunan. Dengan gelang dan pending
emas pada tangan dan pinggangnya. Kakinya juga
mengenakan binggal emas. Pandangan matanya tajam.
Membuat Rempek terkejut. Seperti pernah mengenal wajah
itu. Tapi ia ragu menyapa karena sikap pemuda itu
mengancam mereka. Apalagi dua pengawalnya yang
membawa senjata berjenis sama dengan senjata yang pernah
ia terima dari Sayu Wiwit membuat hatinya berdebar. Bukan
cuma itu, di sanggurdi mereka masih tampak satu perangkat
anak panah dengan busurnya. Tombak lempar terselip
beberapa buah. Juga sebilah pedang.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat sore, Jaksanegara." Suara pemimpin mereka
dingin dan tanpa menyembah. "Dari mana kalian?"
"Siapa kalian?" Jaksanegara tidak menyadari keadaan.
"Aku" Wilis. Nah, sekarang kau sudah tahu, aku
perintahkan kalian semua turun dari kuda dan menyembahku!
Karena aku berhak untuk itu."
Semua orang turun dari kudanya. Mas Rempek dan para
pengawalnya. Namun Jaksanegara tidak. Pemuda itu
tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kini aku tahu, semua orang tunduk pada penguasa Blambangan kecuali kau. Mas
Rempek dan para pengawal tetaplah duduk! Jangan membuat aku curiga!" Suara itu
tetap dingin. Kemudian pemuda yang mengaku bernama Wilis itu memberi isyarat
pada seorang pengawalnya. Dan pengawal itu bergerak mendekati Jaksanegara dengan
tali di tangan. Jaksanegara terkejut dan menyepak kudanya.
Kudanya terkejut untuk kemudian berlari. Namun tali di tangan pengawal itu cepat
diayunkan dan seperti buah nangka terjatuh dari dahannya, demikian juga tubuh
Jaksanegara jatuh. Tali melingkar di tubuhnya. Wilis tertawa terbahak-bahak.
"Seret dia kemari!"
Tanpa ampun lagi, seperti batang pisang yang roboh ia diseret ke dekat kaki
Wilis. "Lepaskan bajunya, hadiah dari Belanda itu!" lagi perintah Wilis.
"Jangan! Ampuni aku..." Kini Jaksanegara gemetar.
Tapi pengawal itu tetap tak mempedulikan ratapannya.
"Ha... ha... ha... ha..." Wilis tertawa lagi. Sementara semua orang Rempek
ngelesot tanpa daya di bawah todongan bedil.
"Masih kau tak mengakui junjungan Blambangan?" Suara Wilis menekan lagi. Dan
dengan wajah pucat Jaksanegara terpaksa menyembah.
"Ampun, Yang Mulia."
"Pandang wajahku!" bentak Wilis.
Dan dengan ketakutan luar biasa Jaksanegara mendongak.
"Kumismu membuat kau nampak gagah. Tapi hatimu sebesar biji sawi," ejek pemuda
dengan sorot mata seperti mentari pagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cukur sebelah kumisnya!" perintah Wilis lagi pada pengawalnya.
"Aduh... ampun, Yang Mulia... Kenapa hamba
dipermalukan?" "Karena kau suka mempermalukan orang lain," jawab pemuda itu cepat. Dan pengawal
itu menghunus pedangnya. Tanpa daya Jaksanegara menyerahkan kumis kebanggaannya sebelah kanan. Cuma
sebelah kanan. Dengan pedang lagi.
Setelah pengawal itu selesai Wilis tertawa.
"Balikkan tubuhmu. Nah, kalian pandang ini wajah penjual negara dan bangsa!"
Wilis berseru pada semua orang.
Rempek menahan geli sampai terasa sakit perutnya. Tapi harus ia pandangi wajah
Jaksanegara jika itu tak ingin menimpa dirinya. Demikian pula para pengawal.
Mereka takut aniaya menimpa diri mereka.
"Cukup! Sekarang dengarkan. Duduk yang baik kamu, Jaksanegara! Tak usah resah.
Kudamu setia menunggu."
Memang kudanya setia menunggu. Begitu ia terjatuh kuda itu berhenti.
"Hormatilah orang lain jika ingin dihormati. Kau,
Jaksanegara, dengar?"
"Dengar, Yang Mulia."
"Tapi berapa orang yang kamu perhinakan dalam
tamanmu" Berapa wanita cantik yang kau ambil dengan paksa dari suaminya?"
Senja Jatuh Di Pajajaran 2 Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan Pendekar Latah 4
^