Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 2

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 2


ingat masa lampau. Yang dulu kan tidak pernah kembali.
Lihat!! Zaman dulu kita kan tidak pernah terima tamu dari
negara-negara sahabat sebanyak ini" Dengan Surabaya pun
yang tetangga, kita tidak bersahabat. Alasannya, mereka
tunduk pada Belanda. Dengan Madura juga tidak. Nah...
sekarang kita bersahabat dengan semua negara. Tidak akan
ada perang lagi," yang seorang berkata lirih sambil
mendekatkan tubuhnya pada yang lain.
Dan temannya menjadi diam karena suai a gamelan mulai
berkumandang. Mentari sudah condong ke barat. Sepuluh
penari muncul dan mempertontonkan kebolehannya. Para
tamu yang sudah lelah dan mengantuk pada hari menjelang
sore begitu jadi tergagap. Untuk yang pertama mereka
memperoleh kesempatan menonton kese-nian tari orang
Blambangan. Tari pembukaan dan penyambutan bagi para
tamu. Semua penari telanjang dada. Membawa bokor di
tangan kiri yang ditekuk ke atas dan telapak tangannya
sebagai landasan penyangga bokor itu; Mereka berlenggak-
lenggok mengitari arena yang disediakan untuk mereka.
Semua mata melotot melihat langkah dan gerak para penari.
Pada umumnya mereka berambut panjang. Di kat sutera putih
pada pangkalnya sehingga menyatu seperti ekor kuda. Di
samping sutera putih, pangkal rambut itu masih dihias dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kembang-kembang emas. Kuping mereka dihiasi subang emas
yang berben-tuk daun. Sedang leher mereka digantungi
berbagai untaian kalung. Susu mereka terbuka kecuali
putiknya yang ditutup hiasan seperti kembang mawar yang
juga terbuat dari emas. Pusar mereka tidak tertutup. Namun
di bawah pusar terdapat sabuk yang membuat srembong
(pengganti kain panjang bagi penari, namun cuma sebatas
lutut. Biasanya berwarna hitam dan dihiasi gambar-gambar
bulan sumbing dari sulaman benang emas. Muka dan
belakang tidak sambung. Jadi bila penarinya berjalan, bagian
bawah pahanya akan tersingkap) para penari itu terikat pada
pinggul mereka. Johanis Vos geleng kepala sambil berulang kali
mengeluarkan suara berdecak dari mulutnya di sela tarikan
napas panjang, memperhatikan sajian di hadapannya. Jika
gamelan berirama cepat maka gerakan penarinya juga cepat.
Lincah. Pinggang meliuk-liuk disertai gerakan pinggul yang
bergoyang ke kiri atau ke kanan. Yang lebih membuat banyak
orang menahan napas adalah langkah mereka yang selalu
disertai tersingkapnya paha kiri atau kanan dari celah kain
srembong. Tidak jarang mereka yang kejatuhan bunga-bunga
itu langsung menggenggamnya erat-erat. Seolah mereka
menggenggam penarinya sendiri sekalipun bunga-bunga itu
jatuh cuma secara kebetulan saja.
Johanis Vos dan Colmond memperbandingkan para penari
itu dengan penari Eropa yang umumnya mengenakan gaun
berempel-rempel dan berlapis-lapis. Di sini sebaliknya. Malah
memamerkan keindahan tubuh mereka. Mereka juga pernah
menyaksikan tari yang gerakannya mirip dengan tarian ini di
India. Mereka juga leluasa memandang pusar penari India.
Tapi mereka tidak memamerkan buah dada seperti di sini.
Juga gerak yang gemulai di saat gamelan berirama perlahan.
Apakah semua orang berpikiran seperti Colmond dan Johanis
Vos" Tentu tiap orang akan mempunyai penilaian sendiri-
sendiri dalam melihat tari-tarian itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai bukti, imam yang berjubah dan ber-serban putih
itu diam-diam meninggalkan tempat duduknya sambil
mengucapkan serentetan serapah yang tidak diketahui
maknanya. Dan tidak ada yang bertanya, karena ia memang
bicara seperti pada diri sendiri. Meskipun semua orang tidak
mengacuhkannya, ia segera menuju kamar yang disediakan
untuknya. Tari pembukaan itu selesai. Setiap orang masih melongo
seperti baru tersadar dari mimpi indah. Bapa Anti yang
ditunjuk sebagai pembawa acara memberi tahu tamu-tamu
agar sabar menunggu acara lanjutannya.
"Masih banyak pementasan tari setelah senja nanti. Namun
pertunjukan ini akan menjadi lebih menarik jika senja telah
tiba. Karena itu Tuan-tuan dipersilakan istirahat di
pesanggrahan yang telah tersedia bagi Tuan-tuan. Untuk para
Yang Mulia dari Blambangan dipersilakan pulang ke rurnah
masing-masing. Ada kesempatan bagi kita untuk
membersihkan diri dan menyegarkan tubuh. Sedang bagi kami
ada kesempatan memasang lampu-lampu."
Dengan sangat kecewa orang-orang pun bubar.
Para kawula pun meninggalkan tempat mereka satu-satu.
Pulang. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Bapa Anti
untuk mengerahkan orang memasang lampu. Berbagai macam
lampu digantung di dalam tarup. Obor-obor juga diletakkan di
seputar tarup-tarup. Tidak hanya itu. Mereka masih dibantu
bulan bundar memancar terang. Lampu alam.
Kalau para tamu kembali, mentari sudah benar-benar telah
tenggelam di punggung bukit sebelah barat. Kini tempat
duduk diatur mengitari arena tari. Colmond duduk di sebelah
timur arena. Vos juga di sebelah timur arena. Namun agak
terpisah. Ia duduk bersama Wangsengsari. Di hadapan
mereka tersedia botol-botol minuman buatan Eropa. Vos tidak
suka dengan arak orang Blambangan. Di sebelah kirinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
duduk Sutanegara dan beberapa tamu dari Madura dan
Pasuruan. Mereka suka arak Blambangan.
"Tuan Wangsengsari belum pernah minum ini minuman?"
tanya Vos dalam Jawa yang lancar. Dan Wangsengsari juga
bisa Jawa. "Juga Tuan?" Vos menoleh pada Sutanegara.
"Belum, Tuan. Melihat juga baru sekarang," jawab mereka.
"Ha... ha... ha..." Kumis Vos ikut bergerak-gerak.
Pakaiannya yang selalu rapi itu pun ikut bergetar. "Sekarang
Tuan boleh merasakan sebagai hadiah," kata Vos, kemudian
menyodorkan satu sloki. Wangsengsari menerimanya. Begitu
juga Sutanegara. Setelah Vos juga siap satu sloki lagi di
tangannya, mereka minum bersama. "Ini awal dari
persahabatan Blambangan-VOC Saling bantu-membantu.
Seperti satu saudara.... Mari kita sambut hari ini dengan
minuman ini." Namun betapa terkejutnya kedua satria Blambangan itu.
Begitu minum tenggorokan mereka segera menjadi panas.
Hidung mereka seperti mengeluarkan asap. Minuman itu
seperti membawa api ke dalam perut mereka. Membuat apa
yang ada di dalamnya mendidih dan mendesak udara dalam
perut itu keluar melalui mulut. Vos memperhatikan keduanya.
Di bawah sinar lampu ia melihat mata mereka segera berubah
jadi merah. Begitu juga muka mereka. Dalam usia lima puluh
tiga tahun Vos sangat berpengalaman merayu seorang yang
baru minum untuk melanjutkan minum bersamanya. Ia
senang melihat orang lain mabuk. Karena dia sering
mengambil keberuntungan dari kemabukan seseorang.
Kala itu satu tarian yang ditarikan oleh lima orang pria dan
lima orang wanita telah selesai disajikan. Tepuk tangan riuh
mengiringi langkah mereka masuk ke kamar depan rumah
Colmond yang disediakan untuk ruang ganti dan berhias bagi
para penari. Sebagai gantinya adalah penari tunggal. Mata Vos
melotot. Seperti lainnya, penari ini juga telanjang dada. Tapi
mata gadis itu seperti mengeluarkan sinar. Melirik kanan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melirik kiri. Semua orang merasa gadis itu melirik padanya.
Dan jika gadis itu mencabut kembali lirikannya rasa hati
mereka ikut tercabut. "Siapa dia?" tanya Vos pada Wangsengsari.
"Anak hamba," jawab Wangsengsari yang sudah mulai
mabuk. Puluhan sloki masuk ke kerongkongannya. "Ni Ayu
Repi, namanya." "Cantik sekali," Vos memuji. "Gerakannya pun paling bagus.
Anak sendiri?" Vos masih menyelidik. Satu sloki lagi
disodorkan pada kedua "satria itu. Mereka tak berani menolak
kendati kepala mereka kian pening. Namun setelah sloki itu
mereka teguk Sutanegara tak tahan lagi. Tanoa sadar ia
menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Melihat itu Vos
segera memanggil seorang pengawal untuk membawa
Sutanegara ke Benteng Pangpang. Kemudian ia berpesan agar
Bapa Anti menyediakan "teman tidur" bagi Sutanegara di
dalam kamar yang paling bagus di benteng.
"Nama gadis penari itu siapa?" tanya Vos mengulangi
supaya jelas. "Ni Ayu Repi, anak istri saya yang ketiga." Kepala
Wangsengsari pun kian berdenyut.
"Rupanya Tuan mengantuk?" tanya Vos sambil
melambaikan tangannya pada Bapa Anti. Orang itu mendekat
sambil membungkuk-bung-kuk.
"Antar Tuan Tumenggung ke benteng. Carikan kamar yang
bagus. Juga teman tidur agar besok bangun pagi segar
kembali!" "Ya, Tuanku." "Tuan bisa istirahat sekarang. Dalam benteng.-Nanti kita
berbincang lagi. Silakan, Tuan, selamat istirahat. Selamat
malam," kata Vos sambil berdiri ia menjabat tangan sang
Tumenggung. Sebenarnyalah ia ingin pulang ke rumah. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya terasa amat berat. Tanpa sadar ia sudah berada
dalam kamar Benteng Pangpang milik VOC.
Sementara itu pesta jalan terus. Malam kian merayap larut.
Satu-satu. tamu meninggalkan tempat. Melihat Nawangsurya
meninggalkan tempat, Jaksanegara yang sejak tadi berusaha
mendekatinya, menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang.
"Maafkan. Kami akan pulang berdua dengan Rahminten,"
jawab gadis itu. Agak terkejut Jaksanegara mendengar
penolakan itu. Tak seorang pun pernah berani menolak dia.
Namun ia sadar bahwa sedang berhadapan dengan darah
Tawang Alun. Maka ia harus menahan hati.
"Tidak takut dengan laskar pendudukan" Hari sudah
malam. Agak jauh jarak Pangpang dengan Pakis...."
"Kami membawa pengawal," tukas Nawangsurya cepat dan
berbalik bersama adiknya Rah-minten. Jaksanegara amat
tersinggung. Ada ketikanya aku akan membawamu ke tempat
tidurku! gumamnya dalam hati. Hampir separuh tamu sudah
mabuk. Suratruna melihat semua itu dengan hati heran. Ia
segera pamit untuk istirahat. Dan kala sampai ke
pesanggrahan, seorang wanita muda sedang menunggunya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Hamba diperintahkan oleh Bapa Anti untuk menemani
Yang Mulia." "Menemani" Aku" Apa tidak salah" Aku bukan penakut!"
Wanita itu tersenyum sambil menyembah. Kemudian maju
untuk melepas bajunya. Suratruna terkejut. Ia mundur
selangkah. "Kau tentu salah. Kau dibayar bukan untuk aku."
"Ampun, Yang Mulia.... Semua tamu sudah ada temannya.
Kami diperintahkan untuk itu...."
"Pergilah! Aku punya anak-istri!" Suratruna marah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami akan dibunuh jika menolak."
"Bukan kamu yang menolak, tapi aku! Katakan pada Bapa
Anti bahwa kau sudah selesai melayani aku."
"Yang Mulia... kasihanilah hamba...." Wanita itu meratap.
"Suami hamba dan anak hamba menjadi tanggungan. Jika
hamba menolak atau... maka mereka akan dibunuh."
"Dewa Bathara!... Eh... astaghfir... Bapa Anti " Berbuat itu"
Biar aku bunuh dia!" geram Suratruna.
"Yang Mulia...!" Perempuan muda itu tersentak. Suratruna
menghentikan langkahnya. Perempuan itu memeluk kakinya.
Air mata membasahi betisnya. "Jika hamba mati, hamba rela.
Tapi anak hamba... masih kecil, Yang Mulia. Ampuni hamba....
Di mana-mana ada telik Bapa Anti. Di depan itu pun. Maka jika
Yang Mulia tidak berkenan hamba layani, biarkan hamba ada
di kamar Yang Mulia hingga esok. Hamba tidak akan
mengganggu. Hamba berjanji, Yang Mulia. Oh..." wanita itu
terisak. Hati Suratruna menjadi remuk. Peringatan wanita itu benar.
Blambangan tak berdaya. Ia pun tak berdaya. Pembaruan
termasuk penjualan wanita Blambangan pada laskar asing!
Inikah salah satu kemajuan yang ia sendiri juga setuju"
Kerongkongan Suratruna seperti tersumbat. Ia melangkah ke
pembaringan. Ia lempar bajunya. Suratruna menelungkupkan
diri. Mukanya dibenamkan ke pembaringan. Tanah
kelahirannya diinjak-injak atas persetujuan satrianya sendiri.
Ia malu. Ia tidak mampu. Ia menangis. Wanita muda itu
menutup pintu. Kemudian bersimpuh di lantai dengan tanpa
berani berbuat sesuatu. Colmond juga sudah kembali ke kamarnya. Baginya pun
sudah disediakan teman tidur oleh Bapa Anti. Kala purnama
tepat di atas kepala, Vos bangkit berdiri. Pertunjukan memang
belum usai. Pesta akan diadakan tiga hari tiga malam. Ia
kembali melambaikan tangannya memanggil Bapa Anti. Sambil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjalan ke keretanya ia berkata, "Antar Repi ke
pesanggrahanku!" "Anak Tumenggung..."
"Ya!" Vos tidak mau dengar alasan lagi. Ia percepat
langkahnya. Bapa Anti dalam keraguan. Ia pandangi J. Vos.
Sebentar kemudian tertunduk. Namun... mau tak mau ia harus
melangkah ke kamar ganti para penari wanita. Dengan ragu ia
mengetuk pintu kamar ganti itu. Seorang membukakan pintu.
"Ingin bersua Ni Ayu Repi."
Repi segera keluar. Kemudian Bapa Anti berbisik padanya,
"Tuan Gubernur ingin bicara padamu."
'Tuan Gubernur?" tanya gadis enam belas tahun itu dalam
bisiknya. "Ya. Ingin bicara tentang ayahmu. Mari ikut aku. Eh... ambil
dulu pakaianmu. Jangan banyak tanya. Nasib ayahmu juga
nasib ibumu. Juga nasibmu."
Gadis itu bingung. Namun tidak sempat pikir panjang. Bapa
Anti mendorongnya pelan. Ni Repi segera mengemasi
pakaiannya. Di bawah pandangan mata teman-temannya yang
heran. Tidak seorang pun berani bertanya. Apalagi Bapa Anti
yang menjemput. Repi sendiri tak sempat melepasi pakaian


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tarinya karena ia masih akan muncul lagi. Gamelan dan
angklung masih ramai berkumandang. Bapa Anti
membawanya berjalan menyimpang menjauhi arena untuk
tidak mengundang tanya para tamu yang masih menikmati
tari-tarian lainnya. Melalui gerbang belakang ia menjangkau jalan raya.
Setelahnya mereka berkuda ke rumah yang dibangun untuk
residen. Belum jadi bangunan rumah itu. Seperti halnya rumah
Colmond. Tapi ' tampaknya lebih besar. Repi tidak sempat
mengawasi keadaan pendapa, atau gapura, atau bunga-
bunga. Seorang penjaga mengantar mereka ke ruangan di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mana Vos sudah menunggu. Orang itu dudukdi teras kamar
yang menghadap ke barat. Rembulan memancar membuat meja yang penuh piring
makanan terdiri dari sate kambing, gulai, dan daging babi
panggang serta beberapa macam masakan lain. Di sebelah
tempat duduk Vos tersedia sebuah kursi kosong. Repi melihat
di belakang teras itu ada sebuah kamar besar. Pintunya
terbuka dengan dua jendela yang juga lebar-lebar. Sinar
rembulan dengan leluasa menjamah tempat tidur yang beralas
sutera putih bersih. "Tinggalkan dia di sini!" perintah J. Vos pada Bapa Anti dan pengawal. "Terima
kasih!" sambungnya lagi ketika mereka
balik kanan dan menghilang.
Hati Repi berdebar keras.
Mata Vos dengan lahapnya menyelusuri seluruh tubuh
gadis remaja itu. Membuat Repi semakin bergetar. Bagi Vos
Repi adalah wanita termuda yang pernah ia panggil atau
dipersembahkan padanya selama ia bertugas di Jawa. Kala di
Jepara pun ia pernah punya seorang selir anak seorang
adipati. Namun rasanya tidak seperti Repi ini. Betapapun ia
menjadi amat tertegun melihat tubuh telanjang dada dengan
kulit yang terawat bersih. Di bawah sinar rembulan ia melihat
putik susu Repi berwarna merah jambu. Masih belum pernah
dijamah lelaki. Belum pernah menyusui.
"Duduklah," ia memecah kesunyian. "Aku ingin
mengundangmu makan malam."
"Maaf, kami sudah menerima bagian tersendiri...," gugup.
"Anak tumenggung tak patut bersama mereka," memotong
jawaban Repi dalam Jawa yang tidak sempurna.
"Sepatutnya hamba harus bersama Ayah dan..."
"Ayahmu sudah mendapat bahagiannya sendiri. Mari... atau
sebaiknya kau mandi dulu. Kau lelah, kan" Baru menari?" Vos
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak menunggu jawaban. Ia langsung berdiri dan
menghampiri serta kemudian membimbing Repi ke kamar
mandi yang letaknya tepat di sebelah kamar tidurnya. Repi
takut, tapi tak berani membantah. Tapi mandi di malam begitu
menurut kebiasaannya harus menggunakan air kembang.
Kebiasaan penari Blambangan mandi air kembang di bulan
purnama. Maka dia menjadi ragu kala di ambang pintu. Ia
ingat bahwa dalam bungkusan yang dibawanya dan tertinggal
di teras tadi ada bungkusan kembang.
"Kenapa tidak segera masuk" Atau ingin aku yang
memandikanmu?" tegur Johanis Vos.
"Oh... jangan, Tuan. Hamba akan mandi sendiri. Tapi
hamba akan ambil bungkusan di..."
"Aku akan ambilkan!" Vos melangkah cepat mengambil
bungkusan milik Repi. Setelah memberikan ia kembali
menunggu. Selamanya pekerjaan menunggu tidak menyenangkan.
Entah berapa kali ia melongokkan kepalanya menengok ke
kamar mandi dari tempat duduknya. Bahkan kini ia bangkit
berdiri, mondar-mandir dengan tangan dipersatukan di
belakang tubuhnya. Lama sekali anak itu! ia menggerutu
dalam hati. Duduk lagi. Menyabarkan diri sambil minum arak
bikinan Tiongkok. Arak penghangat tubuh.
Tentu Repi tak mampu menahan diri selamanya dalam
kamar mandi. Walau mungkin saja ia sengaja berlama-lama.
Memang ia sedang bergumul dalam pertimbangannya sendiri.
Ia tahu apa yang bakal terjadi. Ah, mengapa tidak ada yang
dapat menolong diriku" Ia sempat berdoa. Siapa tahu pemuda
idamannya, Pi'i, mendengar bahwa ia diculik dan
menyusulnya" Siapa tahu Hyang Ciwa mengirim penolong"
Tapi tidak! Semua yang ia harapkan tak kunjung tiba. Sedang
langkah-langkah sepatu Vos mendesaknya pada suatu sudut.
Maka ia memutuskan harus memberanikan diri menghadapi
kenyataan, daripada harus mati dalam kekonyolan. Seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ayahnya yang berani mengambil keputusan bekerja sama
dengan Belanda. Dan ia juga sadar bahwa sesaat lagi ia akan
jadi korban keputusan ayahnya sendiri.
Repi mengintip dari pintu yang dibukanya sedikit. Vos
masih di teras sambil memandang rembulan. Ia membuka
pintu lebih lebar dengan perlahan. Menimbulkan suara
berderit. Vos menoleh. Repi tak lagi mampu mengelak. Maka
ia melangkah keluar dengan pelan-pelan. Vos kian terpesona.
Bau harum tubuh yang telah disiram air kembang itu makin
membuatnya gila. "Mari duduk! Kau temani aku makan malam ini...."
Sekali lagi Repi memberanikan dirinya. Duduk,
Menembuskan pandang pada Vos. Mata yang seolah
memantulkan sinar rembulan. Vos makin kagum. Tidak seperti
gadis-gadis yang pernah dipersembahkan terdahulu.
Umumnya selalu menunduk. Meski agak canggung, Repi tidak
menolak makanan apa pun yang dihidangkan padanya.
Bahkan minuman keras, walau tersedak-sedak kala
menuangkan dalam bibirnya. Minuman dapat menjauhkan
Repi dari kesadarannya. Sehingga ia lupa bahwa ia sedang
berhadapan dengan kuda binal, yang sedang membimbingnya
ke tempat tidur. Walaupun demikian ia masih sempat merintih
lirih kala keperawanannya punah. Untuk kemudian ia tergolek
lemah, tanpa daya, tanpa sadar. Sedang Vos meneruskan
kebinalannya Kepuasan Vos memuncak kala sutera putih, alas
tempat tidur itu, dihiasi bercak darah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
IV. PERJUMPAAN Dilihat dari jauh Gunung Raung tampaknya sangat dekat
dengan Gunung Sukep atau Gunung Pendil. Bahkan dari
Sumberwangi atau Lateng seperti tiga raksasa biru yang
sedang diam berhadap-hadapan. Tapi jika didekati jaraknya
menjadi amat jauh. Bahkan jarak antara mereka dipisahkan
oleh lembah dan ngarai hijau yang teramat subur.
Jarak. Jarak selalu ada. Tapi semua jarak bisa diatasi.
Kecuali jarak dengan cakrawala. Dari zaman ke zaman
manusia yang merupakan makhluk sempurna dan dapat
menyempurnakan diri itu tetap saja tak mampu mengatasi
jarak antara dirinya dengan cakrawala. Tiap kali didekati,
bahkan diburu, dia selalu pergi, dan menciptakan jarak baru.
Jarak yang panjangnya sama dengan semula. Ada seorang
pelaut yang ingin menjangkau ufuk. Namun kian diburu kian
menjauh. Lain ufuk lain Bayu. Jarak ufuk tak mampu dipecahkan oleh
siapa pun. Namun jarak antara
Lateng-Bayu, Atau Lo Pangpang-Bayu akan* dapat diatasi
dengan cuma jalan kaki. Karena memang takkan lari gunung
dikejar. Dan dengan bantuan Mas Ayu Prabu, Yistyani kembali
menapakkan kakinya di lereng Raung sebelah timur di mana
didirikan Benteng Bayu. Tentu saja kehadiran Yistyani
membuat semua orang Bayu gembira. Wilis segera berlari
meninggalkan pekerjaannya di sawah demi mendengar kabar
bahwa ibunya tiba. Seperti anak kecil layaknya. Cangkul dan
sabit hampir saja ketinggalan. Beberapa saat kemudian ia
terpaksa kembali mencebur ke dalam lumpur.
Baswi dan Sardola juga segera menyiapkan diri di pendapa
Pertapaan Raung. Yistyani melihat rambut kedua orang itu
telah memutih. Bahkan alis, kumis-cambang, serta jenggot
mereka juga w telah memutih. Namun badan mereka masih
nampak gempal. Sisa-sisa keperkasaan masih membayang
tegas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu, Yang Mulia," kedua orang itu menyembah.
"Dirgahayu...," balas Yistyani yang naik pendapa bersama Mas Ayu Prabu dan Sayu
Wiwit. Tantrini, istri Wong Agung Wilis, juga menyambut kedatangan kakaknya di
pendapa itu. Ia memeluk dan mencium Yistyani.
"Hawa pegunungan menahanmu untuk tetap awet muda.
Kendati anakmu sudah banyak. Juga Tuan Baswi dan Sardola masih kokoh."
"Ah... kau juga masih ayu," Tantrini membalas. "Kami dengar kau selamat. Kami
sangat senang. Tapi kami menunggu saat yarig baik untuk memboyongmu ke Bayu. Ah,
ternyata kau sudah sehat dan mampu berjalan kemari."
"Berkat anakmu yang hebat ini bersama Sayu Wiwit yang manis itu...." Yistyani
menuding pada dua gadis pengiringnya.
Ayu Prabu dan Sayu Wiwit segera menyembah pada semua orang. Bersamaan dengan itu
Wilis tiba dan segera menyembah kaki ibunya. Dengan bahagia Yistyani membelai
rambut anaknya. Rambut yang mengingatkan Yistyani pada rambut Wong Agung Wilis.
Juga hidung dan matanya. Tidak banyak berbeda dengan pujaan hatinya kala masih
muda. Tapi Yistyani segera sadar. Masa mudanya telah berlalu dan tidak akan
kembali lagi. Karenanya ia bertekad membentuk anaknya menjadi pengganti bukan
sekadar mewarisi namanya. Tapi juga segalanya. Karena Blambangan sedang
membutuhkan Agung Wilis yang baru. Tapi apakah dia bisa memiliki wibawa seperti
Wong Agung Wilis" Itu yang menjadi pertanyaan Yistyani.
"Perang telah menyusahkan semua orang," Yistyani berkata lagi setelah semua
duduk di pendapa itu. "Aku tidak menyangka kau kehilangan ketiga anakmu di
samping suami...." Yistyani menarik napas panjang. Semua juga diam.
Menunduk seperti mengheningkan cipta. Namun beberapa bentar kemudian Yistyani
melanjutkan, "Sama sekali tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kami duga bahwa Mas Kenceling, Mas Toyong, dan Mas Berot
gugur dalam pertempuran singkat yang..."
"Sudahlah... semua juga akan mati," Tantrini memotong
penyesalan kakaknya yang berlanjut itu. "Kekalahan adalah
salah satu sisi peperangan. Jika kita tak pernah berperang
maka kita tak pernah merasakan suatu kekalahan atau
kemenangan." "Hyang Dewa Ratu! Kau telah mencapai puncak semadimu
(di sini maksudnya pemusatan pikiran pada kesadaran
terhadap Brahman (Yang Langgeng dan Maha Tahu) dengan
jalan meditasi terus-menerus dan mendalam)"
"Di kesunyian Bayu ini aku telah memperoleh banyak
kesempatan untuk memusatkan diri pada kebrahmanianku,
sehingga aku tidak lagi dipengaruhi oleh perasaan atau pikiran
yang diburu oleh kekayaan, kenikmatan, serta kekuasaan.
Jangan lupa orang yang masih memikirkan hal-hal seperti itu
tidaklah mungkin bisa memusatkan dirinya."
"Hyang Dewa Ratu!" Yistyani gembira melihat kemajuan
adiknya. Tentu ia membaca banyak lontar.
"Engkau sungguh luar biasa. Tapi lupakah kau bahwa
kekuasaan diperlukan untuk membasmi kekejian?"
"Jika semua orang memelihara yoganya, maka ia akan
bersatu dengan budi suci. Siapa yang menyatu dengan budi
suci, akan terbebas dari baik dan buruk." Tantrini tersenyum,
ramah. "Dengan apa aku melindas kesedihan karena
kehilangan suami dan anak-anakku" Hanya dengan yoga
semadi, jika aku mampu menyatu dengan Hyang Maha Dewa,
maka aku tiada lagi mengharap sesuatu. Aku terbebas dari
ikatan keduniawian dan mencapai tempat di mana duka
nestapa tiada." "Tantrini..." Sekali lagi Yistyani merangkul dan mencium
adiknya. "Kau telah menemukan dirimu sendiri____"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Yang Mulia." .
Semua orang memandang mereka. Ikut terharu. Yistyani
nampak lebih kurus. Ubannya nampak mulai menyubur.
Sedang Tantrini nampak segar walau anaknya lebih banyak.
Enam orang. Dan semua telah remaja. Baswi kemudian
mengajak mereka berkinang. Sambil menceritakan bahwa
istrinya, Sedah Lati yang adalah sahabat Yistyani, telah
meninggal beberapa waktu sebelum perang. Ayu Citra, istri
Sardola pun sudah mati karena penyakit batuk. Sesaat wajah
Yistyani mendung. Berarti tinggal seorang temannya yang
dulu -pernah sama-sama menjadi selir Kuwara Yana yang
masih hidup. Ah, dunia dengan isinya sedang binasa, kata
Yistyani dalam hati. Siapa yang lahir akan binasa.
"Anakku," Yistyani menoleh pada Wilis, "sudahkah engkau siap" Lihat, Blambangan
sedang diacak-acak oleh bangsa
lain." "Hamba siap. Demi Hyang Maha Dewa, demi Blambangan."
"Bagus! Itu adalah impianku, Anakku." "Kita telah
kehilangan banyak, Yang Mulia. Karena itu kita harus kembali
menyusun kekuatan dan siasat," Sardola menasihati. Semua
menoleh padanya. Usia telah membuat Sardola lebih bijak dari
dahulu. "Kita perlu menyusun kekuatan berlapis seperti yang
disusun oleh Yang Mulia Agung Wilis. Kita perlu mendirikan
lagi perkubuan di luar Bayu. Sebab jika kita terdesak, maka
musuh tidak langsung menusuk jantung kita. Apa sebab?"
Sardola berhenti lagi sebentar. Menarik napas sambil
memandang semua orang. "Kita boleh punah.' Tapi anak-anak
kita harus dapat selamat dan melanjutkan peperangan."
"Dewa Bathara!" Baswi menyebut. "Kau masih cerdas...."
"Bukan cuma menyusun kekuatan berlapis," Mas Ayu Prabu
ikut bicara, "tapi kita perlu memperluas arena peperangan.
Dengan demikian perhatian Belanda akan terpecah ke semua
penjuru. Kita perlu mengadakan hubungan dengan negeri-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
negeri lain yang juga sedang melawan VOC. Kita perlu belajar
dari Tumenggung Wira-negara dari Pasuruan atau
Tumenggung Jangrana yang terkenal dengan sebutan
Sawunggaling itu. Mereka melibatkan orang-orang Makasar,
Madura, Sumba, Ternate, dan Bali di samping kawula negeri
mereka sendiri. Kenapa kita akan berperang sendiri?"
"Hebat...!" Baswi memuji sambil tertawa terbahak-bahak.
"Benar-benar tidak percuma Yang Mulia menjadi putri Agung
Wilis. Tapi saat ini kita sedang terkepung. Dari darat dan dari
laut. Ke Bali tidak mungkin. Ke Surabaya" Semua sudah
kalah." "Kakang Mas Ramad Surawijaya telah berunding dengan
hamba bahwa beliau akan mengajak sisa-sisa laskar Yang
Mulia Mlayakusuma, yang gugur di Ngantang untuk bergabung


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kita." "Dewa Bathara!" semua orang menyebut. Semua terkejut.
Anak-anak Wong Agung Wilis tidak pernah lupa memikirkan
bagaimana menyusun kekuatan melawan Belanda. Mengusir
penjajah! "Ampuni kami jika tidak memberi laporan terlebih dahulu.
Tapi kami pikir sebagai telik sandi (mata-mata) kami boleh
mengambil keputusan mendadak di mana sangat diperlukan."
Sebenarnyalah Wilis, sebagai pemuka di Raung cukup
tersinggung atas ulah mereka. Namun sekarang yang bicara
adalah Ayu Prabu. Seorang gadis idaman setiap pria. Maka ia
membunuh ketersinggungannya itu. Bahkan tersenyum dan
kemudian bertanya, "Lalu apakah cukup kita berhubungan dan
menampung mereka?" "Kita akan menempatkan mereka di kota-kota lain. Misalnya
Jember, Bondowoso, atau beberapa tempat lain untuk
mengobarkan perlawanan terhadap VOC. Sedang untuk
pembiayaan kita perlu berhubungan dengan Bali atau negara
lain yang saat ini juga melawan VOC."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Suatu pendapat yang bagus," Yistyani ikut memuji.
Sementara itu Wilis semakin kagum dan tertarik pada Ayu
Prabu. "Bagaimana kita bisa menghubungi Bali?"
"Ada banyak jalan. Tapi tentu kita perlu minta kesediaan
Yang Mulia Ayu Tunjung sebagai putri Yang Mulia Ayu Candra
yang masih berdarah Mengwi."
"Aku?" Ayu Tunjung heran. "Bukankah aku telah menjadi orang Bayu?"
Semua orang tersenyum padanya. Ia jadi serba salah
dipandang semua orang. Terutama hatinya menjadi amat
berdebar jika Wilis yang memandangnya.
"Ya! Yang Mulia...," Ayu Prabu menjawab cepat.
"Baiklah!" Wilis memutuskan. "Nanti sore kita akan bertemu lagi di sini untuk
berunding. Kita perlu mengadakan
pembagian tugas sebaik-baiknya."
"Tentu saja bukan sekadar pembagian tugas," Baswi ikut
bicara. "Tapi hamba setuju diadakan alih tugas dan tanggung
jawab." "Bukan pergeseran maksud hamba...," Wilis menukas.
"Tidak ada pergeseran!" tegas Baswi. "Yang ada alih tugas.
Misalnya, hamba akan menyerahkan tanggung jawab pada
Runtep, anak hamba. Bukan berarti hamba akan lari dari
tanggung jawab. Demikian pula Sardola pada Undu, Tum-pak
pada Utun. Percayalah, kami akan terus mendampingi dan
melatih mereka." "Baik. Aku setuju. Tapi sekarang kita akan beristirahat. Aku
percaya, Bunda dan Yang Mulia Ayu Prabu masih lelah karena
perjalanan yang jauh."
Mereka segera menuju pesanggrahan masing-masing. Mas
Ayu Prabu mengajak Sayu Wiwit bermalam di pesanggrahan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ibunya. Tantrini menggandeng anaknya dengan penuh
kerinduan. Ia tidak menduga anaknya seperti ayahnya. Lebih
memikirkan negeri dari diri sendiri. Tapi bagaimanapun ia
harus merelakan karena itu tahu bahwa membela kepentingan
orang banyak adalah panggilan hidup.
Mas Ayu Prabu dan Sayu Wiwit ingin benar-benar
menggunakan waktu mereka untuk menikmati segarnya udara
pegunungan. Sehari-hari mereka harus berhadapan dengan
ketegangan. Karena mereka harus memata-matai gerakan
Belanda di Blambangan. Suatu pekerjaan yang selalu
berhadapan dengan bahaya. Di Bayu keduanya bisa mendapat
sedikit kedamaian. Namun rasanya waktu terlalu cepat berjalan. Belum lagi
mereka puas menikmati indahnya alam serta bergurau
bersama ibunda Ayu Prabu, mentari sudah hampir tenggelam
di punggung bukit. Itu berarti mereka harus siap menghadap ke pendapa
untuk mengikuti persidangan seperti yang telah ditentukan.
Barangkali Wilis sendiri belum puas melepas rindu pada ibunya
atau mendengar cerita pengalaman ibunya. Tapi apa pun
keadaannya Wilis juga harus menyiapkan diri. Semua
pemimpin Bayu harus menyiapkan diri.
Yistyani sendiri belum sempat ke mana-mana. Bahkan
menengok satu-satunya sahabatnya yang tersisa, Jenean, pun
tidak sempat. Namun sebelum berangkat ke pendapa ia
sempatkan untuk sekilas mengingat suami Jenean. Mandrawa
namanya. Dulu ia pemuda yang berwajah buruk di Raung. Tak
seorang pun gadis yang mau mendekatinya. Ah, kenapa
Jenean yang jelita itu mau menjadi istrinya" Apakah ia putus
asa" Kenapa ia tak memilih Tumpak yang pernah
mendekatinya" Berbagai tanya yang tiada berjawab. Yistyani
memang tak mampu memecahkan rahasia ini. Memang hidup
berisikan jutaan kemungkinan yang sulit ditebak. Juga
Tumpak, kenapa tak jadi mengawini Jenean" Dan kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengawini Santi, perempuan bekas mata-mata Ni Ayu Candra
yang ditangkap oleh orang-orang Wong Agung Wilis" Heran....
Kendati begitu Yistyani ingin berbincang. Melepas rindu. Rindu
kembali bergurau bersama seperti masa muda dulu.
Bersama Wilis ia mencoba menengok keadaan Raung dari
tempat yang agak tinggi. Rumah-rumah berjajar rapi walau
banyak di antaranya yang tambahan baru. Tapi bentuknya
tetap seperti dulu. Tidak ada yang berubah menjadi loji.
Memang Bayu belum terjamah loji. Ia tidak mampu
menghitung jumlah pohon yang ada di situ. Apakah kian
bertambah seperti pertambahan penduduknya" Atau makin
berkurang" Biasanya makin padat penduduk makin kuranglah
keseimbangan. Setiap ketidakseimbangan alam selalu diikuti
kemarahan alam itu. Di pendapa tidak nampak adiknya, Tantrini. Sebagian besar
pemimpin Bayu sudah hadir. Namun begitu keduanya
menapaki tangga pendapa tiba-tiba Runtep datang melapor
bahwa ada serombongan pasukan mendekati perkubuan. Tapi
tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerang. Bahkan
mereka mulai menyulut obor.
"Siapa mereka?" Wilis terkejut.
"Tidak tahu, Yang Mulia. Tapi hamba sudah menyiapkan
pasukan sebab jumlah mereka cukup banyak."
"Tahan mereka di gerbang! Aku akan menyiapkan seluruh
kawula dan pasukan induk untuk menghadapi segala
kemungkinan." "Hamba akan sambut mereka." Ayu Prabu segera bangkit
diikuti Ayu Tunjung dan Sayu Wiwit.
"Baiklah!" Wilis tidak bisa menahan.
Secepatnya mereka merapikan barisan. Memang kawula
Bayu sudah terlatih menghadapi pendadakan semacam ini.
Tidak nampak kepanikan. Secepatnya mereka menyusup ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semak dan tempat yang terlindung sambil menyiapkan semua
senjata mereka. Bahkan anak-anak kecil yang suka bermain di
halaman itu pun sudah dilatih menghadapi semua
kemungkinan. Maka perkubuan segera menjadi sepi. Kendati
biasanya mereka masih bermain-main di halaman. Lebih "dari
itu kepada mereka juga sudah diberi tahu bahwa VOC adalah
penyebab tersitanya sebagian waktu bermain mereka.
Sementara itu pasukan manca yang ternyata tidak
berpakaian Kompeni, makin mendekati perkubuan. Paling
depan seorang pria berkuda dengan membawa bendera putih.
Di belakangnya dua orang berkuda sebelah-menyebelah. Dari
kejauhan yang seorang telanjang dada. Semuanya tidak siap
tempur. Tidak ada sorakan sekalipun arak-arakan mereka
cukup panjang. Tapi regu pengintai belum melaporkan jumlah
mereka secara pasti. Sebab debu menutupi pandangan
mereka. Melihat kenyataan itu Mas Ayu Prabu jadi berdesir.
Maka ia berkata, "Kalian siap di sini! Biar aku sambut mereka!"
"Jangan! Siapa tahu mereka cuma menipu," cegah Ayu
Tunjung. "Jika mereka menipu maka akan segera ketahuan. Begitu
mereka membunuh aku maka kalian boleh bertindak." Ayu
Prabu sudah melompat ke atas kudanya. Dan Sayu Wiwit pun
tidak mau ketinggalan. "Wiwit...," Suara Ayu Prabu mencegah.
"Hamba akan tetap menyertai, Yang Mulia," gadis itu tetap
pada pendiriannya. Ketika kuda mereka telah melompati gerbang Wilis sampai
di tempat itu. Suaranya tak mampu menghalangi langkah kuda
kedua gadis itu. Ia ingin menyusul mereka. Tapi Mas Ayu
Tunjung segera menangkap tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak perlu, Yang Mulia. Karena mereka membawa
bendera putih." "Jagat Bathara! Siapa mereka?"
"Kita tunggu di sini, Yang Mulia. Jika mereka berbuat yang
tidak-tidak terhadap Mas Ayu Prabu, kita habiskan saja
semuanya!" Dengan hati berat Wilis mengiakan. Tapi Mas Ayu Prabu...
kenapa harus kamu yang maju berkorban. Kenapa tidak orang
lain" Diam-diam timbul rasa was-was. Maka ia segera
memerintahkan orang untuk membuntuti Ayu Prabu dari
dalam semak. Dan di luar perbentengan ia juga
memerintahkan gelar perang Sapit Urang secara rahasia. Dan
merayaplah orang-orang mengepung kiri-kanan jalan. Kendati
gelap dan terganggu oleh nyamuk.
Tanpa rasa gentar dan ragu Ayu Prabu mengarahkan
kudanya berhadapan dengan pasukan yang baru naik. Semua
yang melihat menjadi kagum pada ketenangannya. Bukan
cuma orang-orang Bayu yang kagum, tapi juga pemimpin
rombongan yang berkuda di belakang orang yang membawa
bendera putih itu. "Cuma dua orang. Atau kebiasaan orang
Bayu macam begitu?" tanya Panji Rana pada Mas Ramad yang
berkuda di sampingnya. "Tidak! Sekarang ini mereka tidak tahu bahwa Tuan datang
bersama hamba. Mungkin saja mereka curiga dan perlu
bersikap hati-hati."
Panji Rana tertawa. Ia memuji kewaspadaan orang Bayu.
Setelah jarak mereka dengan dua orang berkuda itu dekat
Ramad meminta agar Panji Rana memerintahkan pasukannya
berhenti. Orang yang mengenakan pakaian seperti seorang
pangeran dari Madura itu segera memerintahkan pasukannya
untuk berhenti. Suaranya mengguntur di lereng-lereng bukit.
Mas Ayu terkejut mendengar suara yang mengguruh itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun ia tak berhenti. Diam-diam menyiapkan senjatanya.
Di kuti oleh Sayu Wiwit. Semua anggota pasukan Panji Rana tegang. Mereka tak
diperbolehkan mempersiapkan senjata agar tidak
menimbulkan kecurigaan. Mas Ramad Surawijaya tahu persis,
sekalipun belum memasuki perkubuan, ratusan moncong
senjata teracung pada mereka. Karenanya ia meminta semua
orang tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun. Setelah
kedua penunggang kuda itu benar-benar dekat, Mas Ramad
menyapa, "Dirgahayu!". "Hai..." Mas Ayu terkejut. "Kandakah itu?"
"Ya, inilah daku, Adinda...." Mas Ramad gembira. Ia tidak
dapat melihat wajah Mas Ayu Prabu dengan jelas karena
keremangan cenderung menjadi gelap.
Namun semua pasukan Panji Rana, bahkan Panji Rana
sendiri pun amat kagum melihat wanita melompat turun
begitu tangkasnya dari punggung kucla. Mengingatkannya
pada leluhurnya, Roro Gusik, istri Tumenggung Wiranegara.
Wanita cantik, berani, dan cerdas. Roro Gusik, wanita hebat
yang tak pernah menonjolkan diri. Namun mampu mengilhami
semangat Untung Surapati dalam memperjuangkan hidup
maupun negaranya. Rupanya di Blambangan ini banyak juga
Roro Gusik-Roro Gusik... Mau tak mau Wilis memerintahkan penundaan sidang para
pemimpin Bayu. Mereka harus menempatkan pasukan yang
baru tiba bersama Mas Ramad. Ternyata mereka adalah
gabungan sisa laskar Pangeran Mlayakusuma, cucu
Tumenggung Wiranegara yang gugur di Ngantang, Malang,
dengan pelawan dari Mataram, sisa pasukan Pangeran Blitar
dan Pangeran Singasari yang juga gugur di Malang Selatan
waktu melawan Belanda. Selebihnya adalah pelawan dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Surabaya, Makasar, dan Madura. Sedang Panji Rana sendiri
mengaku masih keturunan Untung Surapati.
Bagaimanapun Baswi dan pemimpin lainnya gembira
dengan kedatangan mereka. Mereka adalah orang-orang yang
selalu melawan VOC di mana pun mereka berada. Jadi
mereka, adalah orang-orang yang berpengalaman perang.
Bahkan menurut pengamatannya mereka adalah orang-orang
yang hidup di atas perang. Kedengarannya aneh, manusia
hidup di atas perang. Jadi mereka selalu berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, satu negeri ke negeri lain. Pokoknya di
mana ada perlawanan terhadap VOC mereka selalu hadir
selama mereka masih hidup.
Tentu bukan hanya tempat, tapi juga makanan harus
disediakan secara mendadak untuk mereka. Dalam hal ini Mas
Ayu Tunjung adalah orang yang paling sibuk. Sebab ia
diangkat sebagai menteri cadangan negara bagi pemerintahan
Blambangan di pengasingan. Ternyata ia mewarisi kecerdasan
yang dimiliki ibunya, Ni Ayu Candra. Dan memiliki wibawa
yang tersendiri. Akibatnya pemuda yang ingin mendekatinya
agak segan. Walau mereka tentu mengidamkan untuk dapat
memetik kembang yang berkulit hitam manis, berhidung
mancung, dengan rambut ikal hitam. * Kulitnya hampir tiada
cela. Susunya mulus dan padat, pertanda ia gadis yang bakal
membawa kesuburan bagi suaminya. Bagi sementara orang
dia benar-benar penjelamaan Dewi Tari. Jari-jemarinya
runcing seperti duri pohon salak, kendati begitu terlatih
menarik picu senapan. Murah senyum, dengan mata yang
selalu bersinar. Di mana saja ia nampak bergembira. Seolah
kematian bapaknya di Pantai Seseh, atau kematian ibunya di
medan pertempuran Banyu Alit tidak memberikan kedukaan
mendalam. Itu menunjukkan betapa ia telah dapat berdamai
dengan keadaan dan ia telah mampu menyerap pengetahuan
dari Weda dengan sebaik-baiknya.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Itu sebabnya ketika memerintahkan pemuda-pemudi
menyiapkan dapur umum secara mendadak, tidak ada yang
mengeluh. Terutama para pemuda, rasanya mereka ingin
berebut pekerjaan supaya dilihat oleh Mas Ayu Tunjung bahwa
dialah yang paling giat. Semua orang ingin menarik perhatian
gadis itu. Andaikata harus mati sekalipun asal untuk
kepentingan gadis itu rasanya mereka akan berebut.
Setelah mengatur orang-orang yang harus bekerja di dapur
umum secara bergiliran sampai esok, Mas Ayu Tunjung
bergesa ke pendapa pertapaan untuk menghadiri pertemuan
terbatas para pemimpin Bayu.
"Nah, Saudara-saudara...," Wilis memulai setelah semua
pemimpin berkumpul. "Pertama hamba mengucapkan selamat
datang pada Yang Mulia Ramad yang belum pernah naik ke
Bayu sejak perang berhenti. Kami semua mengagumi usaha
Yang Mulia untuk terus menghimpun kekuatan para pelawan
Belanda. Lebih dari itu, tidaklah berlebihan jika hamba
mewakili semua pemuka Raung untuk menyampaikan terima
kasih yang setinggi-tingginya."
"Ah... jangan terlalu, Yang Mulia. Apa hebatnya cuma
menambah jumlah pasukan. Hamba belum pernah
memenangkan peperangan. Yang penting adalah apa yang
bakal kita kerjakan. Bukan menilai apa yang sekarang kita
capai." "Betul," Mas Ayu Tunjung kini bicara. Suaranya merdu
menarik semua orang. "Dalam tiap peperangan, kita selalu
dikalahkan oleh kurang mampunya kita dalam pengadaan
pangan. Kita lihat pengalaman Sultan Agung dari Mataram
yang tidak mampu mempertahankan lumbung padinya."
"Baiklah, Yang Mulia. Itu benar. Mari kita sama-sama
memikirkan usul Yang Mulia Tunjung ini." Wilis diam sesaat,
melihat yang lain-lain. Tapi semuanya diam. Menunggu
kebijakannya. "Baiklah," katanya kemudian, "hamba sudah berunding dengan Kakek
Baswi serta Yang Mulia Sratdadi dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memutuskan sejak sekarang hamba mengumumkan perang
melawan Belanda. Tapi itu bukan berarti kita harus
menggempur kedudukan Belanda sekarang. Kita akan lakukan
siasat. Bukan dengan nafsu kita berperang. Hamba ingin
mengingatkan pada Bhagavadgita percakapan * ketiga, sloka
dua puluh enam yang berbunyi:
na buddhi bhedam janayed ajnanam karma sanginam
Josyayet sarva karmani vidvan yuktah samacharan
artinya: janganlah mereka yang bijaksana membingungkan yang
bodoh dengan bekerja bernafsu
melainkan membiarkan semua bekerja sambil memberi
contoh bekerja, berbakti.
"Di sini ada dua hal yang harus kita kerjakan. Menjadi
orang bijak dengan bekerja tanpa bernafsu. Maksud hamba
kita harus mempersiapkan serapi mungkin peperangan ini.
Termasuk mempersiapkan cadangan makanan. Bukan cuma
mengadakan makanan tersebut, tapi juga menyimpannya. Itu
bukan pekerjaan mudah. Yang kedua mengajak semua orang
terlibat dalam pengusiran Belanda dari bumi kelahiran kita.
Bukan cuma itu, jika kita bisa, kita memang perlu mengimbau
Bali yang menguasai Lombok itu agar bersedia terlibat dalam
perang melawan Belanda. Lebih bagus lagi membina
persekutuan dengan Inggris yang juga merupakan saingan
VOC." "Bagus," Baswi memuji. Ternyata Wilis mempunyai
wawasan yang jauh. "Semuanya tepat," katanya lagi. "Tapi sekarang ada yang
terpenting dari semua itu: membangkitkan
kembali semangat kawula Blambangan yang hampir punah
karena kekalahan terus-menerus. Dan tugas untuk itu
sebaiknya kita percayakan pada putra-putra Wong Agung
Wilis." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah tidak ada orang lain?" Mas Sratdadi mewakili adik-adiknya.
"Akan lebih bijak jika para Yang Mulia yang melaksanakan tugas ini. Bagaimanapun
kawula Blambangan masih mencintai Agung Wilis. Apa salahnya jika kita
menggunakan pengaruh Yang Mulia Agung Wilis itu untuk mempersatukan kembali
kawula dalam melawan VOC?"
"Hamba setuju!" Wilis memberikan kata putus. Yistyani juga mendukung.
"Terima kasih, jika kami masih mendapat kepercayaan untuk menyumbangkan darma
kami pada Blambangan,"
kembali Sratdadi mewakili saudara-saudaranya. "Sekarang hamba ingin *
mengusulkan penempatan pasukan Panji Rana yang naik ke sini bersama Adinda Mas
Ramad." "Itu juga jadi pikiran hamba. Karena itu hamba ingin mendapat persetujuan Yang
Mulia Ramad andai hamba akan menempatkan mereka di Indra-wana. Suatu lembah yang
terletak di antara Gunung Sukep, Gunung Pendil, dan Gunung Merapi. Di atas
Indrawana sebelah utara ada hutan yang hampir serupa dengan Indrawana yang
bernama Derwana. Daerah itu mungkin saja bekas kota yang ditinggal penduduknya. Nah, apa :
jeleknya jika kita bangun kembali kota yang mati itu. Mungkin saja masih ada
bekas-bekas sawah dan saluran air yang bisa kita manfaatkan kembali."
"Jagat Bathara!" Baswi dan Sardola menyebut berbareng.
Anak muda itu menguasai medan. Mereka yang begitu lama tinggal di Raung tidak
tahu ada kota mati di dua tempat itu.
"Kota" Kota mati?" Baswi bertanya.
Yistyani pun tidak kurang kagumnya.
"Ya. Menurut lontar yang hamba temukan di sana, dua kota itu bekas tempat
persembunyian Yang Mulia Macan Putih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sorga. Saat itu beliau sedang terdesak dan dalam kesedihan
mendalam. Maka mengasingkan diri di Indrawana untuk kemudian
membangun pertapaan di Derwana. Tapi pengikutnya makin
banyak, dan tempat itu makin ramai. Jadilah pusat
pemerintahan dalam pengasingan. Hamba kira kita akan lebih
gampang membuka daerah itu daripada harus membuka
hutan baru. Tentu pohon-pohon di sana tidak sekuat dan
setua hutan lainnya."
"Hamba setuju. Kita akan punya dua kota yang akan dapat
kita gunakan sebagai pijakan jika menyerbu Pangpang,"
Ramad cepat-cepat memberi dukungan sebelum yang lain
bicara. Semua orang memandangnya lagi. Seorang pemuda
yang wajahnya mirip Wong Agung Wilis dan pikirannya selalu
sukar ditebak oleh siapa pun. Bahkan jika punya kemampuan
sukar dibelokkan. "Kita bukan cuma punya dua. Tapi tiga. Ada satu daerah
lagi yang sekarang sebenarnya sudah dibuka oleh Yang Mulia
Sratdadi. Pertapaan Songgon yang juga bekas pertapaan
Prabu Tawang Alun Sorga____"
"Hyang Bathara!" sebut semua orang. "Belum pernah
dilaporkan oleh Yang Mulia Sratdadi."
"Memang tidak dilaporkan pada siapa pun kecuali pada
hamba. Sebab Yang Mulia Sratdadi melakukan gerakan
rahasia. Tak semua orang boleh tahu," tegas Wilis.
"Baiklah...," Baswi tambah kagum terhadap kecermatan
Sratdadi. Ternyata anak-anak itu telah belajar banyak dari
kekalahan bapak mereka. "Lalu kapan kita mulai mengerjakan
rencana kita?" "Secepatnya. Sekaligus kita kerahkan laskar Panji Rana.
Bersama mereka akan berangkat Runtep dan Undu. Tapi mari
kita beri kesempatan laskar Panji Rana berkenalan dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita. Barang dua hari atau tiga hari lagi baru kita berangkat ke
Indrawana." "Tapi mereka orang-orang berdewa satu...," Mas Ayu
Tunjung keberatan. Demikian pula Sardola.
"Dalam menghadapi perang besar kita memerlukan
persatuan dan kesatuan. Kita harus mengesampingkan
terlebih dulu pandangan tiap pribadi. Termasuk igama. Yang
penting kita semua, harus sehati sepikir. Meminta kembali
tanah kelahiran kita dari bangsa asing. Yang penting dalam
hati x kita masing-masing ada kata: Kembalikan Blam-
banganku! Kembalikan Nusantaraku!" jawab Wilis sambil
tersenyum. "Apakah Islam, Hindu, asal melawan Belanda,
tidak akan jadi soal."
Semua terdiam. Keputusan Wilis sulit dibantah. Karena
memang tidak menyimpang dari siasat kekuasaan. Setelah
menjatuhkan perintah, ia bangkit bersama ibunya. Sedang
Mas Ramad ditemani adiknya, Mas Ayu Prabu, menghadap
ibunya. Beberapa jarak di belakang mereka berjalan Mas Ayu
Tunjung dengan ditemani oleh Mas Sratdadi. Memang sejak
naik ke Raung, ia tinggal bersama Tantrini. Bahkan gadis itu
berguru pada Tantrini. Dia benar-benar merasa begitu besar
kasih Tantrini. Tidak beda dengan anak-anaknya sendiri.
"Tidak terduga Yang Mulia mampu membangun satu kota
tanpa bantuan orang-orang Bayu. Bahkan dengan tanpa
sepengetahuan siapa pun," puji Ayu Tunjung pada Sratdadi.
Pujian yang membuat setiap pemuda melambung. Udara
gunung menyapu wajah mereka. Sejuk. Senyum tersungging
di bibir Sratdadi. "Ah... Yang Mulia lebih hebat. Mampu mengatur cadangan
makanan untuk orang beribu-ribu. Bahkan yang
mengagumkan bisa mengerahkan tenaga sukarela untuk
dapur umum dalam pen^ dad,akan semacam sekarang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wbou... apa artinya dibanding dengan seseorang yang
membangun kota" Seperti Raden Wijaya, leluhur raja
Majapahit?" "Tapi, barangkali bukan untuk menjadi raja seperti Raden
Wijaya. Memang sayang, hamba bukan Raden Wijaya...."
"Apakah pembangunan kembali Songgon semata-mata
untuk pijakan menyerbu Belanda seperti kata Yang Mulia
Ramad tadi?" Keduanya sudah mendekati rumah Tantrini. Mas Ramad
dan Ayu Prabu sudah berbelok ke halaman. Tiba-tiba Mas Ayu
Tunjung teringat pada mereka yang bekerja di dapur umum.
Ingin ia menengok mereka lebih dahulu untuk mengatur
persiapan makan pagi bagi pasukan Panji Rana. Maka sebelum
Mas Sratdadi menjawab, ia berpamitan. Tapi pemuda itu ingin
menyertainya. Entah apa yang mendorongnya" Mereka sama-sama diasuh
oleh Tantrini pada masa kecil. Tapi sekarang ada perasaan
aneh menyelimuti hatinya. Kasihnya bukan lagi seperti kakak-
adik. Tapi ia tidak dapat memungkiri bahwa hatinya mulai
tertarik pada Ayu Tunjung. Sedikitnya ia ingin berlama-lama di
dekat Mas Ayu Tunjung. Karena itu keduanya tidak berbelok,
tapi terus. Mendaki. Karena dapur yang didirikan letaknya di
atas bukit dekat mata air.
"Memang bukan semata untuk itu," pemuda itu
meneruskan. "Lalu?" Gadis itu mengerutkan kening.
"Hamba ingin tahu apakah benar para pemuka seperti
Suratruna atau Sutanegara atau yang lain-lain benar hidup
dari menjual bangsa dan negaranya. Atau mereka melakukan
hanya karena terpaksa" Dan mereka tidak bergabung dengan
kita karena tidak tahu" Hamba akan mencoba bicara dengan
mereka semua dari Songgon. Setidaknya kita akan tahu secara
persis, mana orang pribumi yang memusuhi Blambangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri. Hamba menyadari dalam satu tubuh ada tangan, yang
perkasa seperti halnya Adinda Ramad, ada kepala yang
cemerlang seperti Yang Mulia Wilis, ada pula mulut yang
lantang. Barangkali hamba lebih cocok menjadi mulut yang
pekerjaannya berseru-seru. Yah, sekadar berseru-seru."
"Yang Mulia merendahkan diri. Padahal pekerjaan itu amat
berbahaya. Hanya bisa dikerjakan oleh seorang yang bijak dan
berani luar biasa." Sratdadi tertawa. Lirih tapi ramah. Sementara itu langkah
mereka telah sampai ke dapur umum. Dan Mas Ayu Tunjung
tak mengerti makna tawa Sratdadi. Semua pemudi dan
pemuda berhenti sejenak dari pekerjaan mereka masing-
masing. Terpana oleh pasangan muda itu. Seperti dewa-dewi
turun dari kahyangan. Beberapa bentar baru tersadar setelah
Sratdadi memberikan salam "Dirgahayu!" pada mereka.
"Dirgahayu...," jawab mereka berbareng.
"Senang sekali melihat kalian bergotong-royong
mempersiapkan makan untuk saudara-saudara kita yang baru
datang itu. Dan jangan anggap mereka sebagai tamu. Tapi
anggap mereka sebagai sahabat. Sahabat seperjuangan,
sependeritaan." Sratdadi melangkah ke sebuah tungku yang
apinya hampir habis. Ia mengambil beberapa potong kayu,
dimasukkannya ke mulut tungku itu.
Penjaga tungkunya menjadi tersipu. Beberapa bentar
kemudian para pemuda sudah merubung keduanya. Kendati
Mas Sratdadi adalah menteri mukha (menteri pertahanan)
pemerintah bayangan dalam pengasingan untuk
menggantikan pemerintahan Wong Agung Wilis yang
dihancurkan oleh Belanda, namun pemuda itu terlalu sering
meninggalkan Raung. Kabarnya sering masuk ke Lateng dan
kota-kota besar lainnya. Setidaknya mereka ingin mendengar
langsung berita mengenai Blambangan seutuhnya dari mulut
Sratdadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sahabat yang baik adalah sahabat dalam suka dan duka,"
Ayu Tunjung menyambung. "Karena itu mereka kita bantu, dengan sepenuh hati."
Gadis itu tersenyum. Melirik Sratdadi.
"Dan..." kini Sratdadi bersuara, "sahabat sejati adalah orang yang rela
memberikan nyawa bagi sahabatnya."
"Kapan kita akan mengusir Belanda dari Blambangan?"
seorang pemuda nyeletuk. "Aha... Saudara bersemangat sekali. Tentu Saudara akan menjadi pahlawan yang
gagah berani!" Sratdadi memuji. "Tapi perang belum akan kita lakukan- sekarang.
Kita sedang menyusun kekuatan. Setelah tiba saatnya kita akan gempur mereka.
Bukan cuma kita yang harus berperang. Tapi setiap orang yang lahir, makan dan
minum di atas bumi Blambangan, harus memberikan pengabdiannya buat kebebasan dan
kesucian negeri tercinta ini."
"Tapi mereka telah berkhianat!" sambung lainnya.
"Kita tidak melihat sesuatu dengan mata yang jernih.
Sebenarnyalah tidak semua orang suka bekerja pada VOC.
Mereka adalah orang yang dipaksa, dicambuk, dan tidak ada jalan lain kecuali
mengiakan apa yang dimaui VOC.
Seharusnya kita menaruh kasihan pada mereka. Kita perlu mengajak mereka membela
hak mereka sendiri."


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, masih mungkin mereka bersatu dengan kita?"
"Pada hakikatnya kita satu dengan mereka. Hanya tempat yang berbeda. Tapi
kepentingan kita satu, mengusir penjajah."
"Nah, Saudara-saudara, kita sudah mendengar keterangan dari Yang Mulia Menteri
Mukha sendiri. Tentu kewajiban kita sekarang adalah berlatih, bersiap, dan
berjaga-jaga. Yang terpenting dari semua itu ialah menjaga dan membina
persatuan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua pemuda dan pemudi itu mengangguk-angguk.
Apalagi setelah mendapat penegasan dari Mas Ayu Tunjung.
"Ada kalanya kita menarik pelatuk senjata, tapi ada kalanya kita harus
memberikan air sejuk bagi mereka yang dahaga di terik mentari kemarau."
Selesai ucapan itu, Mas Ayu mengatur siapa-siapa yang boleh istirahat, dan
siapa-siapa yang harus menyiapkan makanan bagi pasukan Panji Rana besok pagi.
Untuk kemudian kembali ke rumah Tantrini. Mereka biasa melakukan doa malam
bersama di pura yang terletak di depan rumah.
"Yang Mulia tampaknya begitu akrab dengan mereka,"
Sratdadi memulai lagi dalam perjalanan pulang.
"Ah, kita sama-sama saja. Hamba juga lihat Yang Mulia pandai bergaul. Mereka
sangat senang mendengar Yang Mulia bicara. Apalagi para gadis...."
Sratdadi terdiam mendengar itu. Ingin ia masuk persoalan yang sudah umum, namun
sukar untuk memulainya. Persoalan cinta. Barangkali berperang lebih mudah dari bercinta. Mungkinkah
orang perlu punya penasihat dalam bercinta" Seperti raja yang punya menteri
pakira-kiran makabehan (menteri yang mendampingi raja merancang garis besar
haluan negara dan mengamati pelaksanaannya) Ia memang perlu penolong. Ia tidak
punya keberanian mengutarakan cintanya pada Mas Ayu Tunjung. Ia bukan Arjuna,
tokoh wayang purwa itu. Unggul di medan laga dan unggul dalam bercinta. Menyesal
kenapa ia menjadi siput di hadapan Mas Ayu. Satu-satunya orang yang bisa
menolong pasti ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang bisa ia minta untuk
melamar putri Mangkuningrat itu"
Dan ibunya tersenyum mendengar permintaan anaknya.
Mengapa anak ini tidak seperti ayahnya dulu" Salahkah aku mendidik anakku maka
ia tidak seperti ayahnya"
"Apakah Ibu tidak setuju?" Sratdadi memandang ibunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku, Ibu sangat setuju. Kau tampak serasi dengannya.
Tapi..." "Kenapa tetapi?"
"Kau ini anak singa, Anakku. Bapakmu adalah pahlawan di
mana pun dia berada. Termasuk dalam cinta. Bapakmu
mampu menggedor hati Ibu dengan berani. Ya, dengan berani
ia melamar " Tantrini membelai rambut anaknya. "Kau juga
harus berani! Berani, sekali lagi berani! Apa artinya kau punya
pendapat jika kau tak berani mengutarakannya" Pendapatmu
akan tinggal jadi khayalan tanpa makna. Demikian pula cinta.
Cinta bukan khayal tanpa makna. Cinta adalah perpaduan dua
hati yang saling membutuhkan dan saling mengasihi. Nah,
utarakanlah secara jantan. Maka hatinya akan tergedor. Tapi
jangan memaksa! Sebab memaksa adalah serendah-
rendahnya peradaban."
"Hyang Bathara!" Sratdadi menyebut. Sambil menarik
napas panjang ia berdesis, "Hamba takut ditampik____"
"Itu berarti kau takut belajar pada keadaan yang buruk
atas dirimu. Satria yang busuk adalah satria yang malu belajar
dari kegagalannya. Maka ia akan menutupi segala kegagalan
itu dengan banyak cara. Memaksa, memperkosa, jika perlu
membunuh. Kau bukan satria semacam itu. Karena kau juga
seorang brahmana. Anakku, brahmana adalah seorang bijak.
Bagaimana kau akan dapat memberikan jalan keluar pada
seseorang yang akan bunuh diri karena putus cinta jika kau
sendiri tidak pernah mengalami bagaimana rasanya ditampik
oleh seorang gadis...."
"Jagat Dewa! Ibunda, ampunkan hamba. Hamba akan
mencoba." "Lamarlah, Anakku. Setelah itu Ibu akan bicara padanya."
"Hamba, Ibunda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sratdadi tidak mampu memejamkan matanya malam itu.
Berkali ia bangkit dan melakukan yoga. Ibunya tahu, anak itu
sedang menenangkan hati. Memang Sratdadi akhirnya
mengambil kepu-tusan untuk menuruti nasihat ibunya. Tapi
tidak bisa keesokan harinya. Juga tidak bisa lusa. Karena
mereka sedang sibuk dengan teman-teman baru. Apalagi
Sratdadi harus membagi tugas pada Runtep yang akan
memimpin rombongan ke Indrawana.
Setelah rombongan itu berangkat maka Sratdadi baru
mengambil kesempatan untuk menjumpai Mas Ayu Tunjung.
Kebetulan gadis itu sedang melepas lelah seusai berlatih
menembak. Keringat membasahi dahinya, sedang mukanya
agak memerah membuat wajahnya nampak semakin manis.
"Ahai, Yang Mulia kecapekan?" Sratdadi mendekati gadis
yang sedang duduk sendirian di bawah pohon sonokembang
itu. "Yang Mulia mengejutkan...."
"Menyendiri dan melamun tentu ada sesuatu yang dipikir?"
"Biasa, terlalu letih tiga hari ini mempersiapkan anak-anak
melayani pasukan Panji Rana. Tapi bersua dengan para
pahlawan seperti itu seperti mendapat kekuatan dan
semangat baru." Sratdadi duduk di samping putri itu. Angin pegunungan
membelai keduanya. Sratdadi memandangi gadis itu seperti
tak jemu-jemunya. Tiba-tiba saja jantung Mas Ayu berdesir. Namun ia
mencoba tersenyum. "Rasanya tidak seperti biasa Yang Mulia memandang
hamba sedemikian rupa," Tunjung memberanikan diri.
Sratdadi mempertahankan diri agar tidak gugup. Berkali ia
ingat ibunya berkata, "Kau anak singa, Nak." Mungkinkah
singa beranak kucing" Tiba-tiba terbayang wajah ayahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manusia berlidah dan berwajah dewa. Mampu merontokkan
iman semua perawan termasuk ibunya yang jelita. Maka,
"Benar. Ada yang istimewa. Mudah-mudahan Yang Mulia
tak marah mendengarnya," katanya sambil memandang mata
Tunjung. "Apa itu?" Tunjung mengerutkan kening. Tapi dengan
begitu wajahnya kian menarik. Matanya jernih dengan bola
mata hitam menghias muka yang lonjong seperti telur ayam.
"Semula hamba mengira, seorang menteri mukha adalah
seorang pemberani. Paling perkasa dalam suatu negeri. Tapi
ternyata tidak. Mungkin saja hamba mampu mengatur
jalannya peperangan tapi ternyata hamba tidak berani pada
saat hendak menyatakan cinta...."
Tiba-tiba tawa Mas Ayu Tunjung meledak. Terkikik-kikik. Ia
pandang pemuda di sampingnya dengan perasaan aneh.
"Mengapa tertawa?" Sratdadi sungguh-sungguh.
"Mustahil. Sungguh mustahil. Yang Mulia mampu
membangun kembali Songgon namun tidak mampu
membangun cinta?" "Seperti hamba katakan tiga hari lalu, hamba bukan Ra..."
"Andaikata Yang Mulia Raden Wijaya apa yang akan Yang
Mulia kerjakan sehubungan dengan cinta itu?" Mas Ayu
Tunjung memancing. Begitu derasnya pertanyaan itu sehingga
tak sempat lagi Sratdadi berpikir panjang. Maka,
"Hamba akan memboyong Mas Ayu Tunjung sebagai
permaisuri kerajaan____"
"Hai!" Tunjung terkejut. "Benarkah yang kudengar ini?"
Debar jantungnya mendadak seperti berpacu. Sratdadi sendiri
seperti menyesal. Takut melukai gadis itu.
"Kita sudah seperti saudara kandung, Yang Mulia. Apakah
tak mungkin kasih Yang Mulia itu dikarenakan suatu perasaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersaudara yang amat mendalam" Pertimbangkanlah
keputusan itu, Yang Mulia. Hamba takut, akan menyesal di
belakang hari." Keduanya terdiam. Di kejauhan kuda Sratdadi meringkik.
Tidak sabar menunggu tuannya yang akan mengajaknya ke
Songgon hari ini juga. "Ya. Memang kita seperti saudara kandung. Tapi bukan
saudara kandung. Ampunkanlah hamba, Yang Mulia,
seandainya keterusterangan ini melukai hati Yang Mulia,
karena sudah ada pemuda lain yang mengisi. Tapi inilah
hamba...." Diam lagi beberapa bentar. Keheningan diisi oleh
suara angin yang menggoyang dahan dan dedaunan. Mas Ayu
Tunjung seperti berayun-ayun di puncak cemara yang sedang
dipermainkan angin. Antara bahagia dan takut menyatu dalam
kalbu. Dengan matanya yang bening ia pandang Sratdadi tajam-
tajam. Tapi dalam pandang mata | pemuda itu muncul
bayangan lain. Bayangan Wilis. Sebentar hilang. Sebentar
muncul. Ah, mengapa demikian" Ternyata saat ini ia berada di
simpang jalan. Ke mana ia harus melangkahkan pilihan" Tiba-
tiba matanya jadi basah. Ia menggelengkan kepala. Bukan
untuk menjawab pertanyaan Sratdadi. Untuk mengusir
pergumulan di hati. Tapi ia tahu tak boleh melukai hati
pemuda di sampingnya. Kehancuran hati Sratdadi berarti pula
kehancuran Songgon. Bahkan mungkin saja kehancuran Bayu,
yang melimpahkan kepercayaan atas pimpinan suatu laskar
yang akan dihadapkan pada Belanda.
"Sekali lagi, Yang Mulia, ampuni hamba. Andai benar sudah
ada yang mengisi hati Yang Mulia, maka hamba akan bawa
pengalaman ini pulang ke Songgon. Tapi hamba ingin tetap
menitipkan Ibu. Anggaplah dia sebagai ibu Yang Mulia
sendiri." "Yang Mulia... jangan tergesa mengambil kesimpulan.
Bukan maksud hamba melukai hati. Tapi bukankah kita ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satria" Dan tiap satria harus bertimbang sebelum
memutuskan. Berikanlah pada hamba waktu untuk
bertimbang. Kiranya tidak akan ada kata terlambat untuk
sebuah perkawinan. Jangan marah, Yang Mulia. Hamba tidak
pernah pergi ke mana pun kecuali
Bayu. Maka tak perlu curiga. Sebaliknya hambalah yang
harus bertimbang semasak-masaknya. Begitu banyak mata
gadis mengincar Yang Mulia." Mas Ayu Tunjung tersenyum.
"Tentunya hamba tak ingin mengulangi pengalaman Kanda
Ayu Telaga dan Mas Ayu Bali...."
"Baiklah." Sratdadi memberanikan diri menggapai telapak
tangan Mas Ayu Tunjung. Meremas jemari runcing. Dua hati
saling berdebar. "Hamba akan pergi sekarang. Hamba "sudah
minta diri pada Ibunda. Tak ada jeleknya bukan jika minta diri
pada seorang saudara dan juga seorang kekasih?"
"Ah, Yang Mulia... selamat berjuang." Mas Ayu
memejamkan mata untuk menahan getaran jiwanya, sambil
menghela napas panjang. Tapi ia menjadi amat terkejut. Tiba-
tiba saja kehangatan menyentuh pipinya. Sratdadi
memberanikan diri menciumnya. Tidak lama memang. Tapi
perasaan aneh merambati kalbunya. Pipinya merona. Sratdadi
berdiri. Melepaskannya sambil kembali mengucapkan:
selamat, tinggal, Kekasih____
Mas Ayu bagai terpatri di bumi. Ia pandangi tiap langkah
Sratdadi menuju kudanya. Seperti dalam mimpi. Kini pemuda
itu sudah dekat benar dengan kudanya. Ingin ia mengatakan
sesuatu. Tapi kerongkongannya serasa tersumbat. Cuma
bibirnya yang bergerak-gerak. Dan Mas Sratdadi seperti telah
keluar dari satu lubang maut, kini ia melompat gagah ke atas
punggung kuda dawuk. Dan mulai melangkah lamban. Mas
Ayu tetap terpatri. Sampai Sratdadi lenyap dari pandangan
ditelan debu. Ia meraba pipinya... Kehangatan masih saja
membekas. Untuk yang pertama ia merasakan. Ia lihat
tangannya. Keringat dingin Sratdadi masih belum hilang. Ah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mimpikah aku" Cepat ia melangkah ke pancuran. Ia belum
mandi waktu dicium tadi. Tapi nanti bekas ciuman ini lenyap.
Seperti Sratdadi sendiri. Tapi bagaimana dengan Wilis"
Masihkah ia mengharapkannya" Ia juga seorang pemuda yang
penuh pesona. Mampukah ia menghapus Wilis dan
menggantinya dengan Sratdadi"
Bukan cuma Mas Ayu yang sedang gundah memikirkan
Wilis. Tapi juga Yistyani ibunya. Sebagai seorang ibu yang
mengharap agar di masa mendatang anaknya menjadi
seorang pemuda pengganti Wong Agung Wilis. Ia sibuk
mondar-mandir berjalan ke setiap sudut perkubuan Bayu.
Sibuk menimbang-nimbang. Tatkala sudah kembali ke kamarnya, Yistyani tidak segera
bisa tidur. Pikirannya mencerna apa yang ia dengar pada siang
dan petang kala ia mengikuti pertemuan para pemuka Raung.
Dalam mawas diri ia sempat membanding-bandingkan antara
Wilis anaknya dengan Wong Agung Wilis. Ah... anak itu tidak
menonjol seperti halnya Wong Agung. Anaknya belum
memiliki wibawa seperti Wong Agung. Apa sebabnya"
Mungkinkah di sini juga berkumpul anak-anak Wong Agung
Wilis yang rata-rata juga memiliki kecerdasan seperti
bapaknya" Ia memberi nama anaknya dengan nama Wilis
dengan maksud agar dapat mengambil-alih citra Wong Agung
Wilis. Kini ia menyadari citra tidak ditentukan oleh sebuah
nama. Tapi karya dan darma. Ia tidak boleh cemburu pada
anak-anak adiknya. Justru mereka yang akan dapat menjadi
penggerak laskar Bayu untuk melindas kedurjanaan. Justru ia
harus menyatu dengan anak-anak adiknya. Apa jalannya"
Ah... alangkah baiknya jika ia mengikat mereka dengan darah"
Menjodohkan anaknya dengan Mas Ayu Prabu, putri satu-
satunya Wong Agung Wilis. Tapi..." Anak siapakah Wilis ini"
Wajahnya mirip sekali dengan Wong Agung Wilis. Mungkinkah
anak Andita, suaminya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia ingat Jenean yang selalu menggodanya pada masa
mereka masih muda, berapa kali kau ditiduri Pangeran maka
anakmu persis sekali" Ia membisu dan tersenyum dalam
perasaan malu. Jadi apakah ia harus menjodohkan anaknya
dengan Mas Ayu Prabu" Lalu bagaimana caranya membangun
wibawa anaknya" 0oo0 Waktu berjalan terus. Demikian pula pemerintahan di
Blambangan berjalan terus. Pesta tidak ada lagi. Yang tersisa
adalah tangis para gadis yang kehilangan keperawanannya.
Anak-anak gembala yang kehilangan kerbau, atau sapi, atau
kambing yang dipotong dan dipersembahkan untuk
kepentingan laskar pendudukan.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara berderit kereta ditarik kuda maupun sapi dan kerbau
hampir tak putus-putus sepanjang hari. Hilir-mudik
mengangkut batu untuk membangun benteng dan loji-loji.
Juga kaum lelaki bekerja menata dan menyusun batu-batu itu
untuk membangun semua benteng VOC di Lo Pangpang, Kuta
Lateng, Banyu Alit, dan di mana saja .yang dianggap perlu
oleh Belanda. Siang dan malam tanpa henti. Bukan cuma itu.
Tanpa makan! Di bawah todongan laras bedil.
Setiap desa harus menyerahkan sedikitnya sepuluh lelaki
dan lima perempuan untuk kepentingan Kompeni. Di
Pangpang semua berjalan amat mulus. Colmond memuji
Jaksanegara sebagai pegawai yang cakap dan baik. Sedang
Suratruna dan Sutanegara ia nilai terlalu lamban. Maka sering
dia memerintahkan anak buahnya untuk memberikan
peringatan. Laporan menunjukkan pengiriman tenaga
pembangunan benteng di Kuta Lateng sering tidak memenuhi
jatah yang ditentukan. Juga pengiriman makanan untuk
pasukan Kompeni dianggap kurang memenuhi. Sutanegara
adalah orang yang tidak tulus dan tidak jujur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di kediamannya yang sudah lebih indah dari dulu karena
pembangunannya sudah rampung, Colmond kini tidak lagi
dikipasi oleh dua orang lelaki yang telanjang dada. Tapi dua
gadis cantik yang selalu mengekornya bagai bayang-bayang.
Bapa Anti yang mencarikan. Anak Bekel Sukun dan anak Bekel
Panarukan. Ayah kedua anak itu tak mampu menolak. Apa
pun yang diminta Bapa Anti demi kepentingan Kompeni harus
dipenuhi. Jika tidak... tiang gantungan di depan umum
menunggu mereka. Hari itu di kediamannya Colmond tampak menerima
seorang tamu yang mengenakan pakaian sutera kuning,
bermata sipit dengan rambut panjang dikucir di belakang
kepalanya. Kumisnya panjang dengan ujungnya turun ke
bawah menutup ujung-ujung bibirnya. Jenggotnya juga
panjang dan lurus terurai sampai di pangkal lehernya.
Badannya tidak terlalu gemuk. Tangan kirinya selalu
memegang honcoe (alat untuk mengisap tembakau;
bentuknya seperti pipa, tapi pada ujungnya lebih besar,
berbentuk seperti belanga). Dan sebentar-sebentar ia
mengisap honcoe itu. Setiap kali isapan mengeluarkan suara
seperti air mendidih yang ditaruh dalam bumbung. Orang itu
tak pernah bisa berpisah dengan candu.
Bhoe Joek Ie tampak lebih banyak tersenyum dan
terbongkok-bongkok kala berbicara. Matanya yang sipit
berkali-kali mencuri pandang ke arah susu kedua gadis
pengipas di kiri-kanan Colmond. Dan setiap kali melirik, setiap
kali pula ia menelan liurnya. Bukan cuma itu aniaya yang
dialami Bhoe Joek Ie. Pada waktu masuk ia sudah mendapat
peringatan dari para pengawal, selama perundingan atau
selama ada di kediaman Colmond dilarang berdahak.
"Apa yang bisa aku kerjakan jika kita mengadakan kerja
sama, Tuan?" Colmond sampai pada persoalannya setelah
berbasa-basi pada pembukaan. Colmond sudah mulai lancar
berbahasa Blambangan. Bhoe Joek Ie pun menjawab dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan yang baik, walaupun cedal. Sukar mengucapkan
er... "Tentunya kami membutuhkan kemudahan-kemudahan.
Yah, kami sangat berharap agar Tuan Mayor dapat membantu
kami untuk mendapatkan tanah, agar kami dapat menampung
hasil bumi yang telah kami beli dari kawula Blambangan dan
akan kami jual ke luar negeri."
"Daerah mana yang Tuan pilih?" Colmond menyodorkan
minuman yang disambut dengan tawa terkekeh oleh Bhoe
Joek Ie. "Sumberwangi. Yah.,. di kota pelabuhan itu."
"Aha... sayang, kenapa tidak di Lo Pangpang saja?"
"Begini, Tuan Mayor, dari Lo Pangpang ini ke Sumberwangi
masih cukup jauh. Jika kami ingin berlayar malam hari atau
jika kapal-kapal kami tidak bisa memuat seluruh hasil bumi itu,
maka akan menyulitkan pengawasan. Karena itu tempat
penimbunan harus dekat dengan tempat kapal kami bersauh."
"Aku mengerti itu, Tuan. Tapi daerah itu ada dalam
kekuasaan Patih Lateng, Tuan Suratruna."
"Apa tidak bisa diatur?" Cina itu mengernyitkan keningnya.
Colmond terdiam. Tiba-tiba ia mengangguk-angguk. Entah
pada anggukan ke berapa dia berhenti dan menoleh pada
salah seorang gadis pengipasnya. Tersenyum. Sepertinya ia
jemu melihat tamunya dan ingin hari menjadi cepat malam.
Tapi tamu ini amat penting untuk diperhatikan. Ia
mendatangkan banyak uang yang akan membuatnya kaya
saat ia pulang kembali ke Nederland nanti.
"Bisa. Bisa." Ia bangkit berdiri. "Tapi tentu Tuan terkena peraturan yang
berlaku di seluruh bumi Blambangan
sekarang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cina itu kembali terkekeh. Dan setiap kali pula mengisap honcoe-nya. Dan mata
Colmond sempat melotot kala Cina itu tidak semaunya terbatuk-batuk. Colmond siap
mengusir jika orang itu berdahak di depannya. Bhoe Joek Ie secepatnya berusaha
menahan batuk sialannya yang mungkin bisa membatalkan rencananya.
"Maaf... maaf, Tuan. Ya, ya... kami sanggup mematuhi peraturan yang berlaku di
Blambangan." "Ha... ha... ha... sudah tahu bahwa tidak ada seorang pedagang pun boleh membeli
barang-barang itu langsung dari pribumi. Jadi Tuan hanya boleh membeli dari
kami. Mengerti?" "Ya, kami mengerti." Bhoe Joek Ie berkali-kali mengangguk terpaksa.
"Atau begini, Tuan Bhoe Joek Ie, aku akan membantu dengan barang-barang yang
sebagian adalah milikku pribadi.
Aku akan jual pada Tuan dengan harga yang lebih murah dari harga yang ditetapkan
Batavia." "Itu juga bagus. Kami senang. Tinggal sekarang kita bicara soal tempat
penimbunan itu." "Ya... begini, Tuan. Untuk sementara aku izinkan, tapi bukan membeli tanah itu.
Hanya menyewa. Hal ini untuk menjaga agar tidak mengundang perang baru. Ya....
menyewa kan tak apa asal waktunya lama. Aku akan menekan Suratruna untuk
menandatangani surat penyewaan dalam jangka panjang. Tapi yah, ha... ha... ha...
asal Tuan ngerti saja. Semua itu ada harganya."
"Baik, Tuan," Bhoe Joek Ie menyanggupi.
"Sekali lagi, Tuan, jangan menyalahi perjanjian. Tuan akan memikul tanggung
jawab Tuan sendiri."
"Kami berjanji, Tuan Mayor." Bhoe Joek Ie berdiri. Setelah itu dia mengulangi
kata-katanya di awal pertemuan tadi,
bahwa oleh-oleh yang ia bawa tadi kurang berharga. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jangan diartikan mengupah jasa Colmond. Tapi itu sekadar
oleh-oleh dari seorang sahabat baru. Hati Colmond
melambung mendengar itu. Pegawai Kompeni, termasuk
dirinya adalah orang-orang jujur. Tak pernah makan suap.
Karena itu pegawai Kompeni tidak boleh dihinakan oleh siapa
pun. Sepeninggal Bhoe Joek Ie ia segera memanggil Letnan
Beglendeen. "Letnan harus pergi ke Lateng dan Jember.
Letnan harus menurunkan perintah pada Letnan Schaar di
Lateng dan Steenberger di Jember untuk meneliti dengan
sungguh-sungguh pembayaran pajak wajib yang ditentukan
oleh Batavia. Di samping pembayaran pajak daerah untuk
kepentingan pasukan kita. Jika tidak memenuhi jatah yang
ditentukan harus digeledah di lumbung-lumbung. Mereka
tentu menyembunyikan cadangan makanan mereka. Mustahil
jika mereka tak bisa membiayai kita. Blambangan begini
subur." "Baik, Mayor."
"Pembangunan benteng supaya dipercepat. Kita berpacu.
Jangan sampai benteng belum selesai orang Blambangan
berontak lagi. Mereka tidak bisa dipercaya. Ingat, korban
orang-orang Belanda cukup banyak. Mereka bisa membunuh
dengan tanpa melakukan perang. Ah... ingat tiga ribu orang
tewas tanpa perang" Bahkan Mayor Van Coop a Groen juga
tewas setelah sampai di Surabaya."
"Baik, Mayor," kembali Beglendeen mengia-kan dengan
sikap sempurna. Tak berani ia melirik dua gadis cantik yang
berdiri dengan telanjang dada di kiri-kanan Colmond itu. Jika
ada yang membuatnya mencuri pandang maka cepat-cepat ia
melarikan matanya yang biru itu ke arah lain. Mungkin saja ia
pura-pura memperhatikan pilar-pilar atau deretan bedil yang
berderet diatur berdiri di sudut ruangan.
"Katakan juga pada Sutanegara, Juli nanti aku akan
mengadakan peninjauan langsung ke daerah-daerah. Dan aku
ingin melihat pada bulan itu benteng di Lateng sudah selesai."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, Mayor." "Pergilah!" Beglendeen menghormat lalu berbalik. Dan Colmond
memandang punggung anak buahnya itu sambil tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
V. PUTING BELIUNG Terik mentari kian menyengat bumi. Langit bersih. Awan
putih terbang berarak tidak menghalangi panas yang
membakar kulit manusia dan bumi. Pematang-pematang
sawah menjadi sepi. Sepi dari rumput yang hijau. Sepi dari
kidung anak gembala. Panen tak sebaik tahun-tahun I
sebelumnya. Musim kemarau serasa amat panjang. Aniaya
yang juga dirasakan oleh unggas dan ternak. Dan kawula
Blambangan pun manusia seperti halnya yang lain. Maka tiap
kegagalan akan membuahkan kambing hitam.
Kawula Blambangan menganggap kegagalan panen dan
kesulitan yang mereka alami akhir-akhir ini disebabkan oleh
kutukan Hyang Maha Ciwa. Karena kekudusan tanah ini
musnah. Para dewa telah marah pada Blambangan. Hyang
Maha Ciwa menghukum tiap pelanggaran terhadap
kekudusannya. Dan dari mulut ke mulut orang mulai
menuding kesalahan para bangsawan yang berpaling dari
Dewa Ciwa dan telah menjadi Islam. Terlebih lagi karena para
pemimpin Blambangan sekarang mendiamkan saja orang-
orang asing berbuat semau-mau atas tanah kelahiran mereka.
Kawula Blambangan tidak pernah menyadari dengan tiadanya
Wong Agung Wilis, sebenarnyalah Blambangan sudah menjadi
budak dari tiap orang asing yang mangkal di bumi
semenanjung itu. Ketidakmengertian memang akan
membuahkan kesalahpahaman. Dan kesalahpahaman
membuahkan kambing hitam. Masyarakat memang telah
menjadi sakit. Akibat dari semua itu, kawula Blambangan tidak perlu
meneliti bagaimana asal-usulnya, maka tiba-tiba saja di
sebuah desa tua, muncul seorang brahmana muda yang
bernama Rsi Ropo. Rambut Resi muda itu ikal, terurai sampai
ke bawah pundaknya. Kulit kuning dengan mata bersinar di
bawah alis hitam tebal. Berjubah sutera hitam buatan Cina
dengan kalung panjang dan lencana kembang teratai mekar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang terbuat dari emas sebesar telapak tangan tergantung di
depan pusarnya. Kumis kecil menghias wajahnya yang bersih
tanpa cela. Hidung mancung dan bibir mungil. Tubuhnya tidak
nampak kekar. Namun gerakannya lincah seperti kijang.
Desa tua itu bernama Songgon. Berada di tengah rimba
dan terletak di sebelah barat Lo Pangpang. Desa tua itu
dipagari dinding batu berlumut tebal. Cukup luas. Konon
menurut cerita dari mulut ke mulut desa itu dulu didirikan oleh
Sri Macan Putih leluhur raja-raja Blambangan, kala ia
menunggu waktu hendak bertapa. Kebenarannya tidak ada
yang tahu. Sang Resi dikabarkan memiliki banyak cantrik (mahasiswa,
murid), pria dan wanita. Dan yang paling menjadikan tanda
tanya bagi setiap kawula yang pernah berkunjung ke sana,
selalu mendapat makan "dengan sekenyang-kenyangnya.
Setiap hari Radite (minggu) malam Resi memberikan
pengajaran untuk umum. Ratusan bahkan ribuan orang
berjubel memenuhi bale pacrabaan (bangsal untuk mengajar
di sebuah pertapaan). Kadang meluber ke halaman. Kadang
hanya mendapat tempat di bawah pepohonan. Di antara para
pengunjung terdapat juga para satria. Juga tidak jarang orang
melihat Mas Rempek dan Nawangsurya serta Mas Ayu
Rahminten. Semua orang mengagumi rsi itu. Walau masih
muda namun dia seperti tahu setiap kejadian di bumi
Blambangan. Para cantrik tidak setiap waktu harus duduk di bale
pacrabaan. Karena pada hari-hari di mana mereka tidak
menerima pelajaran, mereka harus mencangkul di sawah.
Cukup luas sawah yang terbentang menghijau di desa maupun
di luar perbatasan desa. Adalah merupakan pertanda bahwa
makanan berlimpah di padepokan itu. Bagaimanapun juga
Rempek bertanya dalam hati, dari mana mereka mendapatkan
dana. Setiap pekan mereka memberi makan ribuan tamu.
Cukupkah sawah yang ada di Songgon ini" Itukah alasan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maka mereka membuka sawah dan perladangan baru di luar
pagar padepokan" Tapi kawula Blambangan yang kebetulan memiliki
kesempatan berkunjung ke sana menilai betapa suburnya
padepokan ini. Tentu semua ini terjadi karena anugerah
Hyang Maha Dewa yang mengasihi Rsi Ropo. Rsi muda yang
menjaga kekudusan itu. Tidak seperti wilayah Blambangan
lainnya. Di gerbang desa Songgon ini masih jelas terpampang
lambang lingga-yoni atau lambang kesuburan bagi penganut
Ciwa. Maka tak mengherankan jika setiap ajaran Resi Ropo
mendapat sambutan. Bahkan cerita tentang rsi muda itu
merambat dari satu telinga ke telinga lainnya. Mengundang
keinginan tiap orang untuk membuktikannya.
Demikianlah sehingga pada suatu hari Bapa Anti juga
tertarik untuk tahu siapa sebenarnya Resi Ropo. Maka di
pertemuan Radite, mulai sore ia sudah bersila di deretan
terdepan. Di belakangnya para cantrik sibuk mengatur orang-
orang yang berdesak takut tidak mendapat tempat. Sambil
menunggu ia sempat mengamati keadaan. Cukup luas bale
pacrabaan itu. Sebuah pendapa berlantai tanah liat. Beratap
ilalang. Di hadapan Bapa Anti juga ada rumah kayu yang
cukup besar. Mungkin di situlah tinggal Rsi Ropo. Mata Bapa
Anti juga menangkap adanya beberapa bangsawan Pakis
duduk di tengah-tengah sudra. Senja obor-obor dinyalakan
oleh beberapa cantrik. Suara seperti lebah berdengung
mewarnai penantian. Tiap orang bercakap dengan teman yang


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di sebelahnya. Setelah senja berlalu Resi Ropo keluar dengan iringan
beberapa cantrik. Kemudian dengan gerakan lincah ia duduk
di kursi yang terbuat dari balokan kayu bundar. Setelah
mengucapkan mantra ia mulai berbicara.
"Dirgahayu!" teriak orang muda yang berwajah seperti
Dewa Kamajaya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu!!" sahut semua orang. Setelah itu semua
terdiam. Seperti terkena wibawa sang Rsi.
"Hyang Maha Ciwa mengasihi kita semua. Maka sebaliknya
kita membalas kasih itu dengan darma dan karya yang baik.
Setiap ketidakbaikan, ketidaksetiaan, akan mendapat
karmanya sendiri." Tiba-tiba orang muda itu berdiri. Dan
semua orang berdebar kala matanya menatap tajam pada
setiap orang. Seolah mata itu mampu menembus kegelapan
petang. Dan menusuk hati setiap orang. Kemudian ujung
jarinya menunjuk seorang wanita muda yang bersimpuh di
tengah kerumunan pendengar. Tiap orang mengikuti arah
telunjuknya. "Kamu! Kemarilah!"
Wanita itu menoleh kiri dan kanan. Kalau-kalau ada orang
lain yang dimaksud sang Rsi. Juga teman-teman di
sampingnya melakukan hal yang sama. Tapi...
"Tidak! Kamu, kemarilah!" perintah Resi Ropo.
Dengan kaki bergetar wanita muda itu berdiri dan maju.
"Ni Repi!" Resi tersenyum setelah gadis itu di depannya.
Semua mengagumi kecantikannya. Kini tampak gugup. Sang
Resi tahu ia bernama Repi. Maka dengan gugup ia
mengangguk. "Jangan takut! Hatimu bersedih memikirkan nasibmu?"
Gadis itu kian takut. Mengangguk lagi. Semua orang kian
kagum pada Resi Ropo. Juga Bapa Anti terheran-heran.
"Hyang Maha Ciwa akan mengampunimu asal kau mau
mempersembahkan karya dan darmamu untuk Hyang Maha
Ciwa." "Ham... hamba, Yang Tersuci____"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan lagi pikir ayahmu! Tiap orang akan menerima
karmanya sendiri! Kau disakiti Gubernur Vos" Perawanmu
hilang" Itu pun karma untuk tiap langkah ayahmu! Dengar?"
"Hamba, Yang Tersuci." Repi kian gugup. Resi Ropo seperti
dewa. "Sebab apa yang tiada, tak akan pernah ada, apa yang ada
tak akan pernah berhenti ada. Kedua hal ini hanya dapat
dimengerti oleh orang yang memburu dan melihat kebenaran.
Maksud semua ini ialah jika pernah ada kejahatan tentunya
kejahatan itu tak akan pernah berhenti untuk ada. Dan
pemerkosaan atas manusia yang lemah adalah kejahatan.
Kukatakan pemerkosaan karena kamu masuk kamar Vos
bukan maumu! Ada yang membawamu ke sana. Betul!?"
Repi mengangguk lagi. Malu dan takut menjadi satu. Sekali
lagi semua tertegun. Termasuk Bapa Anti.
"Kamu mau mempersembahkan darmamu untuk Hyang
Maha Ciwa" Untuk kesucian bumi Blambangan ini?"
"Apakah hamba masih layak...?"
"Semua orang layak asal mau. Letaknya ada di kemauan."
"Hamba, Yang Tersuci."
"Besok kau akan didatangi oleh seseorang yang akan
memberimu petunjuk bagaimana caranya."
"Tapi hamba tinggal di istana yang dijaga dan dikawal."
"Hyang Maha Dewa sanggup menembus tembok
rumahmu!" tegas pemuda itu sambil tersenyum. "Kembalilah
ke tempatmu! Dan..." Kini Resi Ropo memandang Bapa Anti
tajam-tajam. Jantung Bapa Anti seperti mau copot. Apalagi
telunjuk sang Resi menuju ke dahinya. "Ham... ham... hamba,
Yang Tersuci?" tanyanya sambil menyembah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Duduklah saja! Kau Bapa Anti" Aha... jangan bohong!
Kebohongan akan membuat kau tidak mampu menemui
istrimu yang muda dari Cina itu!"
"Be... tuuul... Yang Ter..."
"Jangan gugup! Aku seorang brahmana. Aku tidak pernah
memberikan hukuman pada siapa pun. Aku tanya mengapa
kau masuk dengan penyamaran" Menyelidik?"
"Ti... ampunkan hamba, Yang Tersuci. Hamba tidak
bermaksud menyelidik."
"Apa tujuanmu" Kau tidak pernah kekurangan dan
kesusahan. Sekalipun seluruh kawula saat ini tidak bisa
merasakan hasil panen dengan semestinya, namun kau tetap
kenyang. Apa tujuanmu kemari?" Rsi Ropo mendekatinya.
Semua orang mengawasi. Bapa Anti tertunduk. Matanya layu.
Tak berani menatap pandangan sang Resi.
"Atau kau akan menyerahkan aku seperti menyerahkan Ni
Repi?" Seperti disambar petir di musim kemarau saja Bapa Anti
mendengar itu. Rempek juga tidak kurang terkejutnya.
Dengan saudara-saudaranya ia saling pandang.
"Am... ampun, Yang Tersuci. Tidak!"
"Lalu apa tujuanmu" Lihat itu para satria lainnya! Mereka
tetap mengenakan pakaiannya sebagai satria. Atau barangkali
kau sudah malu mengenakan pakaian satria Blambangan" Kau
ingin memakai pakaianmu sebagai punggawa Kompeni" Jika
demikian kau tidak sepatutnya masuk kemari. Mas Rempek
juga satria. Dia juga punggawa Kompeni. Tapi hadir di sini
dengan pakaian satria Blambangan." Resi diam sebentar.
Ah... mimpi apa aku dilecehkan pemuda ini, gumam Mas
Rempek dalam hati. Tapi bagaimanapun juga kekaguman
membersit di hatinya seperti kekagumannya pada Wong
Agung Wilis. Sedang Bapa Anti diam seribu bahasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kurangkah kau menyerahkan putra-putra terbaik
Blambangan ke pelor Kompeni?" Ropo bicara lagi. "Tidakkah
kau dengar tangis istri dan anak-anak yang ditinggal suami
dan ayah mereka yang mati bagai anjing kurap kelaparan di
benteng-benteng Kompeni" Apakah macam ini satria
Blambangan yang tidak pernah menyerah itu" Membawa
bendera putih ke Surabaya, sementara teman-temannya
bertahan di rimba raya" Inilah sebabnya Blambangan dikutuk
oleh dewa-dewa. Karena kita sudah memunggungi leluhur dan
Hyang Maha Ciwa." "Hamba cuma menjalankan perintah dari Yang Mulia Mas
Anom dan Mas Weka." "Semula memang betul. Tapi belakangan tidak. Kau telah
merasa keenakan bergandengan tangan dengan orang-orang
asing. Mana mungkin kau mau mengebaskan keenakan itu"
Siapa yang mengutamakan keenakan pribadi, mengorbankan
lainnya! Kau telah mengorbankan segala-gala, milik
Blambangan." "Ampun, Yang Tersuci."
"Dosa yang tak terampunkan adalah pembunuhan!
Pembunuhan! Apalagi pada seorang brahmana yang anaknya
akan diserahkan pada kerbau bule sebagai budak nafsu. Bapa
Anti, masih ingatkah kau?"
"Ampun, Yang Tersuci." Hati Bapa Anti kian menciut.
"Sebenarnyalah dosamu tak terampunkan. Tapi aku bukan
orangnya! Penghukuman dilakukan oleh mertalutut (algojo)
bukan oleh pandita. Jangan minta ampun padaku. Mintalah
pada Hyang Maha Ciwa dan pada seluruh leluhur yang telah
bersimbah darah dan peluh membangun Blambangan. Lebih
dari itu kau juga harus minta ampun pada seluruh kawula,
karena mereka telah kehilangan anak-anak gadis serta harta
benda, bahkan suami atau anak lelakinya. Jika itu tak
kaulakukan maka kau tak akan sanggup lagi keluar dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumahmu. Sejak sekarang kau akan dibayangi wajah tiap
orang yang pernah kauserahkan untuk dipenggal kepalanya.
Tiap wanita yang kau serahkan untuk diperkosa. Dan kau juga
akan dibayangi oleh Yang Mulia Wong Agung Wilis! Kau pikir
beliau sudah mati" Jangan mimpi! Lihat sebentar lagi ada
sepuluh, atau mungkin bisa seratus. Ingat ia telah pernah ada
dan tidak akan pernah berhenti ada. Dengarkan hai semua
yang bertelinga!" Ropo kemudian beralih memandang semua
orang. Semua tertegun. Rempek juga kaget mendengar itu. Agung
Wilis belum mati" Ia bisa menjelma menjadi seratus" Semua
orang saling pandang. Ropo tersenyum dan meneruskan kata-
katanya. "Apakah kalian tidak percaya" Wong Agung adalah orang
yang telah mendapat syakti dari para dewa. Karena itu
ingatlah selalu apa yang pernah diajarkan dan yang
diperintahkan. Dirgahayulah Blambangan! Dirgahayulah Wong
Agung Wilis!" Di antara sekalian orang Rempek-lah yang paling berdebar.
Mungkinkah Wong Agung Wilis hidup kembali" Manusia
dengan seribu nyawa" Tapi bagaimanapun aku harus
mendekati Resi Ropo secara pribadi. Dan ia masih ingat
betapa pemuda itu berwajah mirip Agung Wilis. Ya, gaya
bicaranya, ya gerakannya, ya sinar matanya. Apakah mungkin
Ropo adalah Wilis sendiri" Tapi kenapa begitu muda" Apakah
Wong Agung Wilis memiliki amerta (obat awet muda). Aku tak
mau berteka-teki, putusnya sendiri. Itu sebabnya malam itu ia
tidak pulang ke Pakis. Bersama Nawangsurya dan Rahminten
ia bermalam di Songgon. Agak sukar memang mencari
penginapan di sini. Setiap orang sepertinya sudah dilatih untuk
ramah tapi sulit mempercayai para tamu. Akibatnya ia
terpaksa minta tolong pada seorang cantrik yang bernama
Janaluka. Ia diperbolehkan menginap di rumah Janaluka
dengan satu syarat, jika malam mendengar suara apa pun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetap tidak boleh keluar untuk menengok. Sekalipun
barangkali saja itu menakutkan. Atau terdengar aneh.
Malam berlalu bisu. Meski begitu ketiga orang satria dari
Pakis itu tak mampu memejamkan mata. Sampai keesokan
harinya, yaitu hari Soma (Senin), Rempek minta izin untuk
bersua dengan Resi Ropo secara pribadi.
"Mas Rempek" Bagus, biarkan dia menemui aku!"
Ketiga orang itu tidak diterima di bale pacraba-an. Tapi di
ruang depan rumah Resi Ropo. Tidak seorang pun menemani
Resi ketika berhadapan dengan ketiga satria Pakis itu. Di
ruangan besar dan bersih, dengan amben (balai-balai yang
terbuat dari bambu) besar diletakkan di sudut ruangan. Ropo
duduk di amben, dengan tenang ia mengunyah sirih. Ketiga
tamunya juga dipersilakan duduk di amben dengan alas tikar.
"Dirgahayu, Para Yang Mulia!" pembukaan Ropo. "Silakan duduk."
"Dirgahayu, Yang Tersuci," ketiga orang itu menghormat.
Ramah juga pemuda ini, pikir Rempek. Tidak seperti waktu di
bale pracabaan. "Tidak biasa para satria mengunjungi hamba secara begini.
Tentu ada hal yang amat penting. Atau barangkali Yang Mulia
tersinggung atas perkataan hamba kemarin?" Ropo tertawa
ramah. "Ampun, Yang Tersuci, hamba sama sekali tidak
tersinggung. Kami, yah... kami tidak tersinggung. Tapi banyak
hal yang tak dapat kami pahami. Yang Tersuci mengetahui
banyak tentang semua kejadian," Rempek jadi juru bicara.
Dua kakaknya menahan hati.
"Sewajarnya brahmana mengetahui semua kejadian di
negerinya. Brahmana yang tak memperhatikan keadaan
negerinya, sebenarnyalah ia telah hidup dalam dosa. Apa
artinya pengetahuan tinggi yang cuma dikepal dalam otak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidakkah Yang Tersuci menyadari, itu membahayakan
ketenteraman negeri?" Nawangsurya yang bicara kini.
Sebelum menjawab Rsi Ropo menyodorkan kinangan.
Bergantian mereka bertiga memungut sirih dan gambir serta
kapur untuk berkinang. Sambil menarik napas panjang Ropo
menjawab.. "Membahayakan ketenteraman negeri" Bukan hamba yang
membuat ketidaktenteraman negeri ini. Tapi para satria yang
saat ini duduk di singgasana. Mereka berdalih membangun
kembali negeri ini dengan bantuan asing. Dan apa kerja
orang-orang asing itu di sini" Menjarah-rayah kekayaan
kawula yang telah miskin."
"Jagat Dewa! Ketatanegaraan adalah urusan satria.
Mengapa Yang Tersuci mencampurinya?" Rempek menjajagi
makin dalam. Kembali Rsi Ropo tertawa. Giginya berbaris rapi di sela
bibirnya. Kemudian ia meludah di tempolong atau tempat
pembuangan ludah yang memang sudah disediakan. Merah
warna ludahnya. "Hamba tak mencampuri ketatanegaraan. Yang hamba
masalahkan adalah kesejahteraan seluruh kawula
Blambangan. Bukankah ini urusan semua orang yang berpikir
tentang kesejahteraan itu?" Rempek dan kedua kakaknya
saling pandang "Berapa banyakkah kawula Blambangan yang tewas
disembelih karena tidak kuat lagi melakukan tugasnya
mengangkut batu ke Banyu Alit atau benteng-benteng lain"
Ah... siapa yang membela mereka" Tidak ada! Semua satria
Blambangan terbuai dalam dekapan penari-penari yang dapat
mereka beli dengan uang hasil penjualan negeri ini pada
bangsa asing. Banyak orang yang sekarang ini digelari putra
terbaik Blambangan oleh Gubernur Vos. Wangsengsari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerima penghargaan dan uang karena anaknya ditiduri
selama dua hari tiga malam oleh sang Gubernur."
"Hyang Dewa Ratu..." Rahminten bersama Nawangsurya
menyebut. "Putra terbaik bukanlah yang cuma mampu duduk di
singgasana. Tapi yang mampu mempersembahkan segala
karya dan darmanya!"
"Bagaimana dengan kami?"
"Yang Mulia bisa menilainya sendiri." Memerah muka
Rempek. Kumisnya serasa mampu berdiri. Ia tajamkan
matanya. Namun Ropo tidak bergeming sedikit pun. Matanya
seperti mengeluarkan sinar, membuat Rempek harus
tertunduk mencari pegangan. Ia pilin kumisnya. Kini ia
mengakui bahwa anak muda itu memiliki kewibawaan yang
melebihi dirinya.

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Jika demikian masih ada hal yang tidak hamba
mengerti. Apakah Wong Agung Wilis belum gugur" Jika
demikian beliau seorang pengecut. Yang lain terperangkap
dalam kelaparan sedang beliau tetap hidup."
Buat sesaat muka Ropo berubah. Matanya sempat
bermendung. Namun kembali mata itu mengerjap seperti ada
sinar kilat. Sambil tersenyum ia menjawab,
"Dulu ia memimpin perlawanan terhadap perompak asing.
Sekarang pun juga. Lalu di mana letak kepengecutannya"
Bahkan sekarang ia ada di mana-mana. Di setiap sudut
Blambangan. akan muncul Wong Agung Wilis. Termasuk
dalam diri Yang Mulia! Jika... sekali lagi, jika saja Yang Mulia
tidak keberatan mengulurkan tangan untuk membela kawula
yang sedang tersungkur di jalan-jalan karena kelaparan. Yang
Mulia mau membuka telinga untuk jerit mereka yang
diperkosa di loji-loji, yang dibakar lumbungnya, yang
dicambuk punggungnya...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Tersuci, hamba tidak punya laskar yang dapat
dihadapkan pada pasukan pendudukan ini," Rempek
memotong. Dadanya membara.
"Sekarang Yang Mulia tidak punya. Memang."' Ropo diam
sebentar. Ia pandang tajam-tajam Rempek. Seperti ingin
menyelam lebih dalam ke hati Rempek. "Yang penting,"
lanjutnya lagi, "ada tiga hal yang harus menjadi milik Yang
Mulia. Kemauan, keberanian, dan kesehatan. Kemampuan dan
kekuatan cuma akan mengikut pada ketiganya itu."
"Sukar untuk dimengerti____"
"Tidak ada yang sukar. Pertimbangkanlah, Yang Mulia. Jika
Yang Mulia mau, maka Wong Agung Wilis akan hidup dalam
sanubari Yang Mulia seperti halnya pada diri hamba sekarang
ini. Juga di hati banyak pemuda yang nanti akan Yang Mulia
kenal dan ketahui bila saatnya tiba. Tentu membutuhkan
waktu. Tidak sekarang."
"Jagat Dewa... Wong Agung Wilis bisa hidup dalam diriku"
Dalam diriku?" Rempek berbicara pada diri sendiri dengan
tanpa sesadarnya. Angannya melambung. Terbayang wajah
Wong Agung yang dikaguminya itu.
"Tidak mustahil," Ropo meyakinkan. Dan ia melihat Rempek
tersenyum. Dengan wajah cerah ia melihat saudara-
saudaranya. "Hamba akan bertimbang, Yang Tersuci." Rempek
kemudian minta diri. "Barangsiapa menyadari panggilan hidup ia akan melihat
suatu keindahan yang tanpa tara. Tapi siapa yang bekerja
tanpa panggilan hidup dan hanya sekadar untuk memuaskan
hati orang lain demi kepentingan diri sendiri adalah lonte!
Sundal!" Ropo menasihatinya lagi, sebelum Rempek
meninggalkan tempat. "Sekarang ini persundalan sedang
diusahakan untuk menjadi semacam budaya baru di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan. Memuaskan hati orang lain dan mengalahkan
pendapat sendiri, itulah yang sedang terjadi!"
"Hamba, Yang Tersuci."
"Ingat-ingat, Yang Mulia, Blambangan memanggil putra-
putra terbaiknya. Putra yang mampu mengebaskan
perbudakan dari pundak bangsanya. Bangsa yang sedang
diusahakan untuk menjadi budak! Budak dari sekalian
bangsa!" 0oo0 Berbeda dulu berbeda pula sekarang. Kawula Blambangan
tak pernah lagi melihat laskar Blambangan meronda di jalan-
jalan. Tidak juga berjaga di gardu-gardu. Juga di barak-barak
asrama tidak terlihat adanya laskar Blambangan. Yang ada
cuma pasukan kulit putih dan Madura serta sebagian orang
Probolinggo dan Pasuruan. Yang hampir semua juga orang
Madura. Lalu apa arti kerja sama yang ditiupkan ke segala
pelosok Tanah Semenanjung oleh Bapa Anti dan Jaksanegara
atau para satria lainnya"
Setiap hari kabar kematian orang-orang yang bekerja
sebagai tukang pembuat benteng atau pengangkut pasir dan
batu kian keras menggema di telinga para kawula. Satu
kematian disusul kematian yang lain. Setiap malam para
pekerja diperintahkan membuang mayat teman mereka sendiri
ke sungai atau jurang-jurang di hutan. Pada awalnya
rombongan serigala dan pemakan bangkai lainnya siap
membersihkan jurang-jurang itu. Dengan lahap mereka
menyantap habis bangkai-bangkai. Tapi karena kian hari kian
menumpuk, maka mereka kekenyangan. Dan tidak mampu
menghabiskan semuanya. Dan pembusukan segera terjadi.
Bangkai-bangkai yang matinya karena kelaparan itu
membusuk. Dan pembusukan mengundang lalat. Yah... lalat.
Namun begitu pengiriman tenaga kerja ke loji-loji dan
benteng-benteng tidak pernah berhenti selama pembangunan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belum selesai. Bukan cuma itu! Pendanaan juga harus dipikul
oleh kawula Blambangan. Seorang pun tidak boleh lepas dari
pembayaran pajak. Pajak untuk membiayai pembangunan dan
menghidupi Kompeni. Karena itu pula pengawasan penarikan
pajak dari rumah ke rumah makin ketat. Bahkan tidak jarang
pasukan asing itu menengok langsung ke lumbung-lumbung
milik kawula. Tak heran setiap kali ada ronda, di belakang
pasukan peronda selalu ada iringan pedati penuh dengan padi
dan palawija rampasan milik kawula.
Demikianlah sore itu Sersan Kepala Bozgen yang masih
muda pulang dari mengepalai pasukan yang mengawal
penarik pajak dari rumah ke rumah di Lo Pangpang. Walau
masih muda ia telah mendapat sebuah loji sendiri. Seperti
halnya bintara lainnya. Setelah menyerahkan hasil rampasan
pada Mayor Colmond ia berkuda menuju lojinya. Entah apa
sebab ia menyimpang, ingin melihat-lihat dan mencari udara
segar. Ia nikmati benar-benar rimbunnya pepohonan yang
tidak ia lihat di negeri ibunya. Hijaunya lumut, rumput, serta
merahnya mentari senja yang mengintip di puncak gunung
sebelah barat itu, juga tak pernah ia lihat di negerinya.
Kudanya berlari terus dengan perlahan. Membawanya ke
kejernihan air kali yang berbatu-batu. Ia berhenti. Beberapa
bentar ia terpatri memandangi batu-batu besar ditengah
maupun tepi kali itu. Ah... Tuhan Maha Besar... sebutnya
dalam hati. Angannya tiba-tiba melambung pada papanya.
Seorang pendeta yang selalu mengasihinya dengan tulus. Dari
papanya ia tahu semua yang indah ini ciptaan Tuhan. Dari
Tuhan untuk manusia. Karena Tuhan itu kasih adanya. Dan
karena itu Tuhan memerintahkan supaya manusia mengasihi
sesamanya sebagai manusia. Tiba-tiba ia tersentak. Wajah
Papa yang penuh kasih, dan muka bersih seperti bayi itu
tersenyum padanya. Ya, Bozgen. Tuhan perintahkan pada
kita: 'Kasihilah Tuhan Al ah-mu dengan segenap hati dan
jiwamu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi
dirimu sendiri.' Lalu apa yang telah kuperbuat selama ini"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah aku sudah melakukan firman Tuhan ini dengan setia"
Ah... Papa, maafkan aku. Aku seorang prajurit yang harus
patuh pada atasanku. Patuh pada atasan" Tidak kepada Tuhan" Wajah yang
putih suci itu tersenyum. Matanya biru menembus jantung.
Yah... ampunkan aku, Papa, aku dibayar oleh VOC. Aku bukan
pendeta! Yah... aku bukan pendeta. Wajah itu tersenyum lagi.
Namun segera lenyap dalam buih putih dari air yang
menghempas batu-batu. Tiba-tiba suara papanya seperti
bergema di kesunyian alam dengan ditemani desir air,
"Bozgen kau sekarang bukan lagi anak Al ah! Tapi anak setan!
Yang datang ke negeri orang untuk mencuri dan merampok!
Anak setan!" Hati Bozgen berdebar. Aku anak setan" Anak iblis" Aku
bukan lagi Kristen" Lalu bagaimana dengan Mayor Colmond
yang memerintahkan aku" Bagaimana dengan Gubernur Vos"
Bagaimana dengan Gubernur Jenderal Van Der Para" Jika
demikian mereka semua telah menjadi anak setan" Anak
setan! Napas Bozgen memburu. Keringat dingin membasahi
seluruh tubuhnya. Kembali matanya menatap air jernih. Ah...
ingin ia mencoba mandi. Tapi itu bukan kebiasaannya. Ia
menoleh kiri dan kanan, kalau-kalau ada orang. Cuma rumput
dan pepohonan yang memperhatikannya. Ke atas, langit biru
dengan awan putih yang berarak-arak. Tapi sebersih apa pun
air sungai tetap kotor. Di rumah kan ada sumur. Yah... namun
ia ingin mencoba. Pribumi mandi di sungai juga tidak apa-apa.
Ia lepaskan sepatu, baju, dan celananya. Ia titipkan pada
kudanya. Sebelum menuruni tebing dan menuju batu besar
yang memungkinkan ia akan terlindung bila kebetulan ada
orang lewat, ia menyempatkan diri memeluk leher kudanya
serta mengelus kepalanya. Dan kuda itu seperti mengerti apa
kehendak tuannya. Mengerdipkan matanya sebentar kemudian
menikmati rumput yang tumbuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bergesa Bozgen turun tebing. Agak sakit telapak kakinya
menginjak kerikil-kerikil. Namun keinginan mencapai batu
besar itu menyingkirkan rasa nyeri di telapak kaki. Tapi begitu
ia mencapai batu besar dan akan segera menceburkan diri ke
air, sebuah jerit tertahan wanita mengejutkannya. Segera ia
menutup bagian tubuhnya yang terlarang. Dan jika ia balik
maka kian malu. Ia putuskan loncat dan membenamkan diri di
air. Tapi wanita itu juga sedang berendam dalam air. Sama-
sama tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan pucat wanita
yang ternyata masih sangat muda itu memandangnya.
"Maaf... maaf...," Bozgen mendahului dalam bahasa
Blambangan. "Ti... tidak tahu ada orang mandi."
Wanita itu masih belum menjawab. Matanya agak liar
seperti mencari jalan untuk lari. Tapi rupanya agak repot
karena kainnya berada agak jauh darinya. Sama-sama malu.
Namun Bozgen segera memberanikan diri setelah beberapa
bentar mengamati wajah gadis itu ia berkata,
"Tuan Putri... Ni Repi?"
Wanita itu kian terperanjat. Maka ia mengamati wajah bule
itu. Masih muda dan tampan.
"Ampunkan, aku tidak tahu Tuan Putri sedang mandi.
Tapi... hamba dengar sudah beberapa waktu Tuan tidak
pulang?" "Eh... eh... hamba biasa tidak pulang jika sedang menari,"
Repi menjawab sekenanya. "Ahai... habis menari?" Bozgen makin berani. Atau
barangkali lupa pada ketelanjangannya. Dan tiba-tiba saja
kecantikan Repi mengalahkan perasaan malunya.
"Tapi ini sudah senja. Baru mandi" Kenapa" Dan tempat ini
jauh dari rumah Tuan Putri."
"Eh... hamba baru... pulang." Wanita itu beringsut ke
belakang. Tapi tetap dalam air.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan takut!" Bozgen mendekat. "Aku tidak sengaja. Tapi ini saat yang
kebetulan. Tuhan mempertemukan kita. Aku
sudah lama ingin bersua dan bercakap-cakap dengan Tuan
Putri." "Maaf, Tuan... tidak layak kita bercakap-cakap dalam
keadaan seperti ini."
"Baik, kita akan ke loji. Pejamkan mata Tuan Putri! Aku
akan naik," ujar Bozgen.
Lega hati Repi. Dan ia lakukan apa yang diminta Bozgen.
Tapi begitu ia memejamkan matanya, tampak Sayu Wiwit dan
Mas Ayu Prabu tersenyum padanya.
"Saatnya telah tiba! Tanah airmu menanti. Apa pun harus
kita lakukan untuk kepentingan tanah kelahiran kita. Cuma itu
cara kita untuk menebus dosa yang pernah kita lakukan. Cari
keterangan sebanyak-banyaknya dari pihak Belanda dan
kirimkan pada kami. Selanjutnya kerjakan semua yang
diperintahkan junjungan kita yang saat ini telah membentuk
pemerintah bayangan di Raung. Yahh... Benteng Bayu. Tapi
ingat! Tiap pengkhianatan akan kamu bayar mahal!"
Dan ia segera mengenakan kainnya, untuk kemudian naik
tebing menyusul Bozgen. Sementara itu Bozgen telah siap.
Dan dengan sigap ia mengangkat tubuh Repi ke atas kudanya.
Rambut basah tidak menjadi soal bagi Bozgen untuk duduk di
belakang tubuh Repi. Debar jantung mudanya mengencang.
Ah... tak heran Gubernur Vos sangat tergila-gila padanya.
Walau kegelapan telah turun ia masih mampu memperhatikan
tiap lekuk tubuh gadis itu dari belakang. Tak ada yang sempat
memperhatikan kala ia masuk kota. Semua orang takut
mendengar derap kuda. Lebih baik menutup pintu. Dan ia
tidak turun di gerbang lojinya. Terus menuju teras. Ia lebih
dulu melompat setelannya menurunkan Repi. Kuda dibiarkan
lepas di halaman. Ia membimbing tangan Repi masuk ke
ruang tamu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu Tuan Putri kedinginan," ujarnya setelah menyilakan Repi duduk. Kemudian
ia menyalakan pelita terlebih dahulu sebelum mengambil anggur hadiah dari Bhoe
Joek Ie. Repi tidak lagi canggung menerima minuman orang kulit putih yang
biasanya memabukkan. Ia sempat memperhatikan ruang tamu itu. Tidak seluas milik
J. Vos atau Colmond memang. Namun tetap saja rapi jika dibanding rumah milik
Tumenggung Wangsengsari ayahnya. Ada gambar Gubernur Jenderal Van Der Para di
atas pintu masuk kamar yang lain. Tapi ia tak tahu gambar siapa itu. Ada
beberapa keramik Cina tertempel di dinding yang dikapur putih. Mungkin luas
ruangan itu ada enam kali empat depa. Bersih lagi.
"Minuman ini untuk menghormati persahabatan kita yang pertama. Jangan ditolak
Tuan Putri." "Tak ada alasan hamba menolak," jawab Repi tanpa beban.
Dan memang ia tak perlu merasa berdosa. Bukankah bapanya sendiri telah
mengajarinya berdosa" Bapanya telah minum minuman seperti itu. Dan kala ia
ditiduri oleh Vos, bapanya sendiri tidur dengan gadis lain.
"Ahai... senang rasanya." Kemudian mereka sama-sama minum arak wangi itu. Ah...
rasanya lebih segar dari yang diberi oleh Vos dulu. Rupanya Bozgen sendiri masih
asing dengan minuman itu. Mukanya tiba-tiba memerah.
"Apa yang hendak Tuan katakan?"
Tiba-tiba saja Bozgen menangkap tangan wanita itu.
Senyum. Tangannya bergetar. Tangan Repi terasa hangat. Ia menarik tubuh wanita
itu ke pangkuannya. "Tuan..." "Ah... salahkah aku jatuh cinta pada Tuan Putri?" Ia mencium pipi wanita itu
seperti mencium boneka. Susu Ni Repi menyentuh dadanya. Menimbulkan rasa hangat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh... Tuan... Tuan hendak membicarakan sesuatu
denganku, bukan" Bukan untuk begini?" Ia ingin mengelak


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menolak. Namun wajah Sayu Wiwit dan Mas Ayu Prabu
nampak senyum padanya. Lakukan itu asal demi negerimu.
Inilah kesempatan. Yah, inilah! Tapi ingat tiap pengkhianatan
harus... Sebuah ciuman kembali mendarat. Bukan di pipinya. Tapi di
lehernya yang jenjang. Kumis dan jenggot yang baru tumbuh
kasar membuat Ni Repi mengeluh tertahan.
"Tuan.... ah... belum menjawab?"
"Yah... aku jatuh hati sejak melihat Tuan Putri yang
pertama dulu." "Tapi hamba tak bersedia diperlakukan seperti oleh Tuan
Vos dulu. Ah... Tuan, hamba sudah sakit oleh perlakuan itu.
Jangan lagi melukai hati hamba - "
"Ah... Tuan Putri... dia seorang gubernur. Jangan marah.
Aku benar-benar..." Tangannya meraih minuman sekalipun
masih memangku tubuh Repi. Tangannya yang perkasa itu
menuangkan minuman Cina lagi.
Repi bangkit. "Apa bedanya Tuan dengan bangsa Tuan lainnya" Karena
Tuan sedang memerlukan tubuhku maka Tuan bilang cinta.
Sudah itu?" Bozgen benar-benar terkejut. Tapi ia tersenyum.
"Demi Al ah-ku maka aku bersumpah. Aku akan minta izin
untuk mengawini Tuan Putri. Itu memang tidak lazim menurut
VOC. Tapi aku akan membela hakku sebagai manusia sampai
titik darah terakhir."
Melambung angan Repi. Inilah awal, pikirnya. Bozgen akan
berada di telapak kakinya. Maka setelah sekali lagi ia mencoba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan mendengar sumpah setia Bozgen, ia menerima gelas yang
kedua. Menuntut Balas 25 Misteri Rumah Berdarah Karya Tjan I D Murka Sang Iblis 2
^