Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 6

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 6


cuma sebagai ibuku. Tapi juga seorang istri yang mampu
mendampingiku memerintah Blambangan. Bagiku tidak ada
yang cocok untuk menjadi seorang para-mesywari kecuali
kau." Wilis menajamkan mata menatap Ayu Prabu. Sebaliknya
wanita ini pun menajamkan matanya. Sepertinya saling
menjajagi. Tapi keduanya sama-sama berdebar. Mas Ayu
Prabu membiarkan Wilis memberanikan diri mengelus
bahunya. Bahkan membelai rambutnya. Membuat hatinya
berbunga-bunga. "Paramesywari ?"
"Ya, paramesywari," tegas Wilis. Nyanyian surga bagi Mas
Ayu Prabu. Tapi hati Mas Ayu Tunjung seperti mendengar
dentuman meriam. Gemetar seluruh tubuhnya. Membuat ia
tidak menghiraukan gigitan semut di kakinya. Tak ada nyamuk
mengusik. Rupanya nyamuk takut pada udara yang dingin.
Ribuan kilat seperti menger-jap-ngerjap di hadapan Ayu
Tunjung. Kendati bulan dan bintang menghiasi angkasa.
Ternyata Wilis tidak pernah menaruh perhatian padanya. Tapi
ia belum beranjak. Ia ingin mendengar jawaban Mas Ayu
Prabu. Gadis itu masih membisu sambil memandang tajam
pada Wilis. Pemuka Raung yang disegani tiap orang itu kini
melamarnya. Tiba-tiba Wilis meraih kalung mutiara yang tergantung di
leher Mas Ayu Prabu. Pemuda itu menghitung-hitung, berapa
harga kalung ini" Bukan main. Dari mana gadis ini
mendapatkannya" Seorang Raung yang bekerja keras selama
sepuluh tahun sekalipun tak akan pernah bisa memilikinya.
Ayu Prabu berdebar lebih keras. Perhiasan itu memang mahal.
Pemberian seorang pemuda Cina, Tha Khong Ming. Juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gelang dan binggal yang ia kenakan itu. Bahkan subang di
telinganya. "Kau makin cantik dengan..."
"Yang Mulia, hamba tidak suka menjadi paramesywari____"
Wilis terkejut. Seperti ada seribu petir menyatu dan
menyambarnya. Tanpa sadar ia tarik tangannya. Mas Ayu
tersenyum. Mas Ayu Tunjung juga jadi heran luar biasa. Begitu berani
Mas Ayu Prabu menolak seorang junjungan. Semua gadis
tentu ingin menjadi istrinya. Bukan cuma itu tentunya semua
orang patuh dan mengiakan apa kemauan seorang junjungan.
Tapi Mas Ayu dengan berani menolaknya.
"Kau menolak aku?" Suara Wilis gemetar menahan marah.
Tapi Mas Ayu tersenyum. Dengan ramah ia menjawab,
"Itu bukan pertanyaan yang bijak, Yang Mulia. Siapa berani
menolak seorang junjungan dengan cara begini?"
Mata Wilis kian membara. Gadis ini tidak menjawab tapi
malah mengejek. Mungkin karena ia bekas anak seorang patih
amangkubhumi di Blambangan" Atau mungkin karena ia kaya"
Maka Wilis segera bangkit dan akan segera beranjak. Mas
Ayu Prabu jadi terkejut. Wilis marah. Dengan cepat ia tangkap
tangan pemuda yang sudah mulai melangkah.
"Yang Mulia..." Wilis menghentikan langkahnya. Tapi tidak
menoleh. Kaku seperti patung.
"Akan ke mana, Yang Mulia?"
Wilis tidak menjawab. "Yang Mulia seorang pimpinan. Dan seorang pimpinan
adalah orang bijak melebihi semua. Tapi kenapa kebijakan itu
musnah dari ingatan Yang Mulia" Sampai-sampai bertanya
pun seperti pertanyaan sudra yang tak pernah mengisi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya dengan ilmu pengetahuan."
Masih saja mematung. Belum mau membalikkan badan.
"Apa pengetahuan telah membeku dalam kepala Yang
Mulia?" pertanyaan yang menyakitkan sebenarnya. Gadis ini
tak pandai bermesra, pikir Wilis. Demikian pula pikir Mas Ayu
Tunjung. Tentu orang memilih aku jika ingin bermesra,
gumam Tunjung dalam hati.
"Ingat, Yang Mulia, suatu pertanyaan pada setiap
brahmana, yang harus kita jawab sendiri, apa gunanya
pengetahuan yang cuma dibungkus dalam otak kita?"
Masih belum berjawab. "Baiklah!" Mas Ayu Prabu menjadi jengkel. Ia melepas
tangan Wilis. Sebaliknya ia yang akan beranjak meninggalkan
Wilis. "Memang sukar bicara dengan seorang yang cuma
bergantung pada perasaan. Silakan terus bergantung pada
perasaan." Wilis jadi terkejut. Cepat ia mengejar dan menangkap
tangan Ayu Prabu. "Ke mana kau?"
"Apa perlunya terus bicara dengan patung." Mas Ayu
berhenti. Tapi kini ganti ia yang membelakangi Wilis. Kalau
Wilis melingkar untuk berhadapan, Mas Ayu kembali memutar
tubuhnya. "Siapa yang patung itu?"
"Siapa yang tidak pernah menggunakan pikirannya
kuanggap patung," Ayu Prabu makin berani.
"Baiklah. Jika demikian kenapa kaupegang tanganku ketika
aku akan meninggalkanmu" Padahal kau telah menolak aku?"
"Karena kau tidak tanya dulu kenapa aku menolak menjadi
paramesywari. Dengar dulu alasannya." Mas Ayu masih saja
membelakangi Wilis. "Menyakitkan. Untuk apa didengar?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baru aku tahu, kau seorang pimpinan yang tidak pernah
mau mendengar. Tapi cuma ingin didengar pendapatnya!
Tidak ada seorang bijak yang cuma mau mendengar suara
hatinya sendiri." Wilis terpukul mendengar itu. Memang benar kata-kata itu.
Ia telah kehilangan pertimbangan dari kepalanya yang bening.
"Ampuni aku...," Wilis mengalah. "Baiklah, aku dengar sekarang. Walau mungkin
saja menyakitkan. Ternyata telinga
tidak cuma digunakan untuk mendengar yang baik saja. Tapi
juga yang pahit." Suasana hening lagi. Untuk beberapa
bentar. Wilis menahan hati.
"Sudah kukatakan," Mas Ayu kini mulai bicara lagi.
Mengusik keheningan malam. Tapi ia masih belum mau
berbalik. Dan Wilis di belakangnya bagai bayang-bayang. "Aku
menolak menjadi paramesywari. Bukan menolak Yang Mulia."
Suaranya tidak lagi galak. Wilis diam memperhatikannya.'
"Seorang paramesywari selalu diperbandingkan dengan
para selir. Itu yang aku tidak mau. Tapi seorang istri tidak
boleh diperbandingkan dengan siapa pun."
"Jagat Bathara!" Wilis maju selangkah. Ia tangkap kedua
belah bahu Mas Ayu Prabu. Dengan halus ia cium bahu itu.'
"Yang Mulia...," Mas Ayu berdesis lirih.
"Percayalah, aku tak mungkin memperbandingkan cintaku,"
Wilis berbisik di telinga gadis itu. Dan Mas Ayu merebahkan
kepalanya ke dada Wilis. "Yang Mulia... cinta boleh berjalan
terus di hati kita, tapi panggilan hidup harus lebih dulu kita
penuhi. Negeri ini belum lagi bebas. Karena itu hamba telah
bersumpah di hadapan Hyang Durga, baru akan naik ke
pelaminan jika umbul-umbul Jingga sudah berkibar kembali di
Tanah Semenanjung ini. Cinta Yang Mulia hamba anggap
sebagai nyanyian surga yang indah. Tapi belum di tangan
hamba sekarang...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagat Dewa! Ayu..."
"Yang Mulia, tidakkah kita akan malu menjadi penguasa
tanpa negara" Nah, mari kita berjuang lebih dulu. Dan setelah
menang kita menikah."
0oo0 Jaksanegara sudah diberi tahu oleh Pieter Luzac, bahwa
Gubernur Robbert Van de Burg menerima saran dari
Biesheuvel untuk mencopot Kertawijaya sebagai penguasa
Blambangan. Maka ia harus mempersiapkan diri sebaik-
baiknya. Jangan sampai seperti dulu. Karena keraguan
tindakan atau ketidaktegasan terhadap Ropo, gagal ah ia
menjadi Tumenggung Blambangan. Mulai sekarang harus
sudah memilih siapa yang layak mendampinginya sebagai
patih Blambangan. "Bagaimana jika hamba mengusulkan Mas Rempek?"
"Kita harus mempertimbangkannya masak-masak. Mas
Rempek tidak mau memeluk Islam. Dan berani mencegah
penangkapan Ropo beberapa waktu lalu. Apakah mungkin ia
akan bekerja sama dengan VOC?" Schophoff meragukan.
"Ya... itu," Pieter Luzac menambahi, "Kami dengar dia adalah salah satu
keturunan Tawang Alun. Dan dia tidak
percaya Wilis sudah mati."
Jaksanegara menarik napas panjang. Memang ia melihat
sikap Rempek terlalu kaku. Ia tidak pernah makan dan minum
bersama di rumahnya. Dan sekarang ini sebagai bawahannya, ia tidak mau
meninggalkan igamanya yang lama. Sebenarnya ia tidak
keberatan jika Rempek tidak diangkat. Tapi ia ingat Mas
Nawangsurya. Kakak pemuda itu. Sekalipun usianya telah
diatas dua puluh lima, wajahnya membuat ia tidak pernah
dapat lupa. Apa akal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah tidak mungkin jika suatu ketika hamba dapat
menjinakkannya?" "Jika Yang Mulia yakin bisa, itu terserah," kata Schophoff.
"Tapi jangan lupa, bagaimanapun ia adalah keturunan macan
dan tampaknya berhati singa...."
Sekalipun Schophoff suka tertawa dan memang suka
bergurau, namun jelas itu merupakan isyarat. Isyarat untuk
berhati-hati terhadap Rempek. Pieter Luzac menyebut orang
itu sebagai anak binal. Jangan dimanja. Tapi bagaimanapun ia
harus mencoba. Pikiran itu membuat ia mencoba
melangkahkan kaki kudanya ke Pakis.
Bagaimanapun ia iri melihat Pakis. Tidak seperti
kedatangannya yang. pertama. Sawah-sawah nampak lebih
luas dari dulu. Pasarnya lebih ramai dari pasar Pangpang
sendiri. Buktinya sampai sore hari pasar di Pakis masih saja
banyak orang berbelanja. Juga masih banyak petani yang
menjual hasil buminya. Jalan-jalan nampak lebih terawat rapi.
Semua orang yang melihat Jaksanegara datang menjadi
heran. Mereka memandangnya dengan tanpa menghormat.
Serombongan petani berpapasan dengan Jaksanegara, tidak
memberikan penghormatan. Pengawal Jaksanegara menjadi
amat terkejut melihat itu. Di Lo Pangpang semua orang
berlutut menyembah jika mereka lewat. Tapi di Pakis menoleh
pun tidak. Jaksanegara memeriksa diri. Apa sebab" Atau
karena ia mengenakan baju kebesaran seperti halnya adipati
Jawa lainnya" Mungkin saja karena ia tidak telanjang dada"
Yah, sepertinya mereka menganggapnya orang asing. Bahkan
ketika sampai di depan istana Wiragunan (istana keluarga
wiraguna) para pengawal tidak memberikan penghormatan
semestinya. Ia ditahan di gerbang dan diminta turun dari
kuda. Jaksanegara keberatan.
"Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia Mas Rempek," ia
berkata dari atas kudanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah Yang Mulia" Dari mana?" kepala penjaga
bertanya. Jaksanegara sungguh-sungguh tersinggung. Orang
Blambangan bisa tidak mengenalnya. Ia pandang tajam-tajam
penjaga itu. Namun mereka tidak gentar.
"Kau bukan orang Blambangan?" Jaksanegara mulai
jengkel. "Setiap tamu asing harus mengenalkan diri lebih dulu di
samping harus mematuhi peraturan yang ada."
"Aku tanya, apakah kau bukan orang Blambangan?"
"Hamba mendapat perintah dari Mas Rempek, untuk
melindungi keluarga Tawang Alun di Pakis ini. Jika ada orang
yang mencurigakan maka gerbang akan hamba tutup. Apalagi
Yang Mulia bukan orang Blambangan...."
"Tutup mulutmu!" Jaksanegara mulai naik darah. "Ada
orang Blambangan yang tak kenal Jaksanegara" Belum dengar
kau nama itu" Inilah orangnya."
"Sekali lagi, Yang Mulia, jangan marah." Orang itu tidak
nampak terkejut ataupun menyesal. "Yang Mulia ada di Pakis
dan bukan di Pangpang."
"Gila! Setan! Pakis adalah wilayah Blambangan! Kenapa tak
menghargai satria Blambangan?"
"Kami tak melihat bahwa Yang Mulia satria Blambangan.
Karena pakaian Yang Mulia tak seperti umumnya satria
Blambangan." Jaksanegara tercenung melihat kenyataan itu. Ia telah
menjadi orang asing di negerinya sendiri. Ingin ia kembali ke
Pangpang segera. Ia menjadi malu, kepala penjaga di Pakis
tidak memberikan penghormatan padanya. Huh, lihat nanti
jika aku sudah jadi penguasa tunggal, kau harus bersimpuh!
Bersimpuh menyembah kakiku! Tapi kali ini ia perlu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjumpai Mas Rempek. Maka ia turun dari kudanya.
Setelahnya dalam iringan kepala pengawal ia naik ke pendapa.
Gambar lambang Sonangkara masih tergantung di salah satu
pilar pendapa itu. Setelah duduk di sebuah kursi kayu berukir,
Mas Talip dan Rahminten keluar.
"Dirgahayu, Yang Mulia...."
"Terima kasih." Matanya mengitari ruangan. Tapi Mas
Rempek tidak muncul. "Mana para Yang Mulia lainnya?"
"Ada di wismanya masing-masing. Kebetulan yang ada di
sini mewakili mereka. Kanda Bagus Puri sudah sering sakit,"
Mas Talip menerangkan. "Suatu anugerah bagi kami menerima kunjungan
mendadak seperti ini. Maafkan, kami tidak bisa menyambut
sebaik-baiknya. Kami tidak tahu Yang Mulia akan datang."
Rahminten juga turut bicara. Merdu suaranya. Biji mentimun
berbaris rapi di sela bibir.
"Ah, biasa kami mengadakan perjalanan seperti ini. Apalagi
beberapa hari terakhir ini Yang Mulia Mas Rempek tidak
mengunjungi kami. Hamba rasanya seperti kehilangan
saudara." "Yah. Kami tidak tahu sebabnya. Mungkin peristiwa
penangkapan Rsi Ropo itu menggores hatinya. Adik kami itu
memang tak pernah menyembunyikan hatinya. Jadi ia dengan
terus terang merasa khawatir akan keselamatan seluruh
Blambangan yang memperlakukan seorang brahmana
wenang-wenang," Rahminten menerangkan lagi.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan nyatanya rsi itu bisa lolos dari benteng...,"
menyambung Mas Talip. "Itu yang ingin kami jelaskan pada Yang Mulia Rempek.
Bukan niat kami sebenarnya mencelakai Rsi Ropo. Tapi karena
jawaban beliau membuat Tuan Biesheuvel marah. Tapi
sekarang keadaan sudah pulih kembali. Komplotan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beglendeen dan Bozgen sudah dipatahkan. Mana ada
kekuatan yang dapat mengalahkan VOC?" Jaksanegara
tertawa. Ingin sebenarnya ia mengunjungi wisma
Nawangsurya. Tapi tentu ia segan mengatakan terus-terang.
"Tapi bagaimana dengan Wong Agung Wilis" Apakah
Belanda..." Rahminten membuat Jaksanegara pucat. Matanya melirik
kiri dan kanan. Talip dan Rahminten heran.
"Sebaiknya kita bicara lainnya saja," Jaksanegara setengah berbisik. "Belanda
tidak suka kita menyebut nama itu. Jika
sampai kedengaran kita membicarakannya, kita akan
dihukum." "Rupanya Belanda takut pada Yang Mulia Wong Agung
Wilis." Rahminten tidak menghiraukan peringatan Jaksanegara.
Tapi kembali Jaksanegara memperingatkannya.
"Di sini tidak ada Belanda."
"Tapi tiap dinding bertelinga. Maka sebaiknya kita berhati-
hati jika tidak ingin seperti Yang Mulia Sutanegara."
Semua terdiam. Mengingat nasib para satria itu. Semua
menjadi iba. Sementara sore merangkak masuk senja.
Pembicaraan selalu menyita waktu. Bahkan sering orang
melupakannya. "Kami ingin mempersembahkan sesuatu pada seluruh
keluarga Pakis." Jaksanegara tanpa menunggu jawaban
bangkit dan menuju kudanya.
Dari bawah sanggurdi ia mengeluarkan sebuah bungkusan
dari kulit kambing. Kemudian di hadapan kedua orang itu ia
mengeluarkan enam bungkus dalam kain. Dan
menyerahkannya pada Mas Talip. "Sekadar uang Belanda.
Enam keluarga enam bungkus," kata Jaksanegara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerangkan. Kedua orang itu menerima dengan mata
bersinar. "Masih ada lagi...," Jaksanegara tersenyum. "Tapi yang ini hamba persembahkan
hanya untuk Yang Mulia Nawangsurya
dan Yang Mulia Rahminten." Kemudian ia mengeluarkan dua
buah kalung emas, dua pasang gelang, dua pasang binggal.
"Ah, Yang Mulia...." Hati Rahminten amat gembira. Wanita
sering tidak bisa menahan diri melihat emas. "Terima kasih...."
"Nah, sekarang hamba ingin bertemu dengan Mas
Rempek." Rahminten bangkit dan memanggil pengawal. Ia
perintahkan memanggil adiknya. Dengan kuda orang itu
segera berangkat. Malam mulai menggantikan senja. Rempek
belum juga tiba. Rahminten kembali menimang-nimang
perhiasan hadiah Jaksanegara itu. Kalau begitu Jaksanegara
tentu orang terkaya di Blambangan.
Malam benar-benar tiba kala pengawal memberi tahu
bahwa Rempek tidak ada di tempat. Jaksanegara menjadi
agak bingung. Jika pulang ke Pangpang takut peristiwa di
Hutan Kepanasan itu terulang kembali. Jika ingin bermalam di
sini dan pulang besok pagi tentunya harus dicarikan alasan yang
tepat. Dan ia menemukan alasan itu. Ia harus menunggu
Rempek. Karena ada pembicaraan penting yang hendak
disampaikan pada Rempek. Rahminten segera menyiapkan puri dalam taman
Wiragunan itu sebagai tempat bermalam bagi Jaksanegara. Ia
pasang lampu-lampu yang agak terang. Tamunya tamu agung
dan kaya. Juga ia perintahkan seorang dayang menyiapkan
makanan untuk bersantap malam. Juga pada kepala pengawal
ia perintahkan untuk menyiapkan tempat bermalam bagi
pengawal Jaksanegara. Setelah selesai semuanya ia
mempersilakan Jaksanegara memasuki tamansari Wiragunan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara kakaknya berpamitan akan membagikan hadiah itu
pada saudara-saudaranya. Memang Rahminten sudah terbiasa
mewakili keluarganya. Ia tidak seperti kakaknya,
Nawangsurya, yang agak pemalu.
"Tentu tidak seindah taman di Lo Pangpang," gadis itu
merendah. Warna-warni tumbuh-tumbuhan dan bunga dalam
taman itu. Tapi karena malam maka tidak tampak jelas. Walau
lampu dipasang tiap lima depa. Jalan yang mereka lalui
ditaburi batu-batu kecil. Keduanya berjalan sebe- g lah-
menyebelah. Bau harum bunga sedap malam menyatu dengan
bau harum rambut Rahminten.
"Di sini tentu lebih indah," Jaksanegara menjawab pelan.
"Kita berbelok ke kanan. Bersantap dulu di Puri Andrawina
(tempat untuk makan) setelah itu Yang Mulia bisa istirahat."
Kali ini Jaksanegara benar-benar tak berkutik. Lauk yang
ada cuma daging babi. Dan sayur kacang, yang rupanya
dimasak dengan amat tergesa. Jika ia menolak, maka akan
menimbulkan kesan buruk bagi gadis itu. Maka walau ia
sebenarnya sudah berusaha menjauhi daging babi, tapi di
hadapan gadis itu ia harus memakannya.
"Ada yang hendak hamba bicarakan dengan Yang Mulia
Rempek. Rahasia sebenarnya."
"Apa itu?" "Dalam waktu dekat Kertawijaya akan diberhentikan dari
jabatannya. Dan akan diganti putra Blambangan asli.
Bukankah ini merupakan petunjuk bahwa Belanda benar-benar
ingin bersahabat dengan kita?" Jaksanegara tersenyum.
"Hamba mengusulkan agar pemerintahan dikembalikan
kepada keturunan Tawang Alun. Hamba telah berunding
dengan putra Bapa Anti, Juru Kunci. Maka dari itu hamba ingin
agar di antara keluarga Yang Mulia ada yang selalu
berhubungan dengan kami dan sering bertemu dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belanda. Artinya kita harus menghilangkan kecurigaan mereka
yang menganggap kita bersekongkol dengan Bali."
"Baiklah, Yang Mulia, hamba akan menasihati dia."
"Sebenarnya Belanda sudah menyatakan keinginannya
untuk mengangkat hamba sebagai tumenggung. Hamba
mengajukan syarat agar Blambangan disatukan lagi. Tidak ada
Pangpang dan tidak ada lagi Lateng. Dan Belanda sudah
setuju." "Setuju?" Wanita itu kagum.
"Ya. Setuju. Jadi kita bisa memperoleh kembali wilayah kita
dengan tanpa perang. Kita memperolehnya dengan jalan
damai." Wanita itu makin kagum. Kaya, bijak...
"Hamba lihat bahwa Yang Mulia Rempek lebih pantas dari
hamba. Tapi Yang Mulia Rempek sukar mendekatkan diri pada
Belanda. Apakah Yang Mulia setuju dengan pendapat hamba?"
"Hamba setuju. Peperangan tidak pernah membawa
keuntungan. Negeri makin rapuh karena peperangan yang
tidak kunjung henti. Hamba kira sudah waktunya kita memberi
kesempatan bagi seluruh kawula untuk membangun negeri
dengan damai." "Rupanya kita malah bisa bekerja sama," Jaksanegara
memegang tangan Rahminten. "Yang Mulia lebih cocok dari
Yang Mulia Rempek. Apakah Yang Mulia bersedia mewakili
keluarga untuk lebih sering bersama kami mengadakan
banyak perundingan dengan Belanda?"
Gadis itu berpikir sejenak sementara kedua tangannya
masih dalam genggaman Jaksanegara. Sebenarnya ia ingin
berunding lebih dulu dengan seluruh keluarganya. Tapi ada
yang ia khawatirkan. Jika Rempek tidak setuju pendekatan itu,
maka seluruh keluarga akan kehilangan kesempatan. Dan
akan musnahlah kesempatan keturunan Tawang Alun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membangunkan kembali cakrawar-ti-nya. Apa salahnya jika
pada keadaan mendesak demikian ia mengambil keputusan
sendiri yang mungkin bisa membawa keuntungan bagi
keturunan Tawang Alun" Ah, Jaksanegara ternyata membawa
angin baru bagi kehidupan keluarga Tawang Alun. Bahkan
roda sejarah bagi seluruh Blambangan. Ini juga nyanyian
surga bagi negerinya. "Apakah masih ada kesempatan bertimbang?" Ia
memandang patih Blambangan itu.
"Bagi hamba tidak pernah ada keberatan. Tapi jika malam
ini Yang Mulia memberi suatu keputusan tentu itu sangat baik
bagi langkah hamba esok pagi." Jaksanegara melepaskan
tangan yang digenggamnya. Tapi rasanya ia menyesal
melepas tangan itu. Sekali lagi, setiap Jaksanegara
memandang wanita cantik, maka angannya pasti sudah
melayang ke pembaringan. Tapi kali ini ia harus hati-hati. Ia
berhadapan dengan darah Tawang Alun. Karena itu jika ia bisa
melakukan rencananya, maka ia akan menjadikan Rahminten
paramesywari. "Baiklah. Sementara hamba akan merundingkan kembali
dengan seluruh keluarga, hamba menerima pendapat Yang
Mulia. Mungkin cuma Mas Rempek yang keberatan. Nah, Yang
Mulia malam sudah jauh. Silakan ke tempat istirahat."
Keduanya bangkit. Rahminten mengantar sampai di pintu.
Setelah itu ia sendiri pergi ke purinya. Jaksanegara
memperhatikan lenggang putri itu dengan menelan air ludah.
Pinggulnya bergoyang... kembali menelan ludah dan
sepertinya ,ada yang mendorong, maka ia berjingkat
mengikut. Rahminten mencuci kaki di depan pintu purinya. Masuk,
kemudian melepasi semua perhiasannya. Juga cundrik yang
selalu terselip di depan perutnya. Setelah itu menimang-
nimang pemberian Jaksanegara. Tersenyum sendiri. Ia coba
untuk memasang di tubuhnya. Berputar-putar di depan cermin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebentar. Hatinya melambung selangit. Ternyata sekalipun
sudah banyak memiliki emas, wanita tak pernah berhenti dari
keinginan. Yah, keinginan adalah sesuatu yang tanpa batas.
Tidak sama dengan hal lain, atau juga benda lain yang punya
tepi. Keinginan tak pernah bertepi. Sekali manusia memanja
keinginan itu, maka ia akan terus melambung dan terus
melambung. Setelahnya ia naik ke pembaringan. Beralas permadani
buatan Mesir. Tidak segera tidur. Bayang-bayang Jaksanegara
kini mulai menggoda angannya. Menggenggam tangannya.
Perang Wong Agung Wilis telah melenyapkan kesempat-annya
untuk segera bersuami. Sebab calon suaminya tewas dalam
perang itu. Demikian pula calon suami kakaknya, seorang
perwira yang dihukum gantung oleh Wong Agung Wilis karena
dituduh bersekongkol dengan Teposono. Kehangatan
muncul kembali kala Jaksanegara menggenggam tangannya.
Tapi ia sudah setengah baya. Sudah beranak-bini. Perempuan
Blambangan tak pernah membedakan suaminya sudah beristri
atau belum. Lelaki Blambangan boleh kawin berapa saja asal
ia mampu menghidupi istrinya. Tapi... ah, ia ingat
keputusannya tadi. Demi negara aku harus bertindak.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa setiap geraknya diintip
oleh Jaksanegara dari celah dinding kayu ulin. Ingin
Jaksanegara berterus-terang dan malam ini menikmati
keperawanannya. Tapi mengingat para penjaga yang tidak
ramah di gerbang depan itu, ia kehilangan keberanian untuk
melakukannya. Sekali teriakan Rahminten terdengar di depan
akan membuat ususnya terburai di lantai Puri Pakis. Pelan-
pelan ia kembali ke puri yang disediakan baginya. Sampai
keesokan paginya ia baru keluar. Rahminten sudah selesai
mandi. Ketika ia berpamitan, ia pesan jika dalam satu minggu
Rempek tidak juga hadir maka sebaiknya salah seorang
keluarganya mewakilinya. Rahminten mengiakan. Ia berharap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahwa apa yang direncanakan Jaksanegara mengembalikan
Blambangan ke tangan wangsanya benar-benar dilaksanakan
secara jujur. Pertemuan dengan Rahminten membuat hati Jaksanegara
berbunga-bunga. Sudahlah, walau ia tidak bisa memetik
Nawangsurya, cukup adiknya saja. Ah, jika aku menjadi
tumenggung dan para-mesywarinya keturunan Tawang Alun
tentu kelak ia akan jadi raja besar seperti halnya Tawang Alun
sendiri. Setidaknya ia akan mampu mengalahkan citra Wong
Agung Wilis. Dan jika ada pertama tentu ada kedua, ketiga,
dan seterusnya. Seminggu kemudian ia datang lagi dengan
membawa hadiah yang lebih bagus. Dua minggu kemudian
Rahminten dan Mas Talip ganti datang ke Pangpang. Walau
Rempek juga sudah sering muncul. Bahkan Jaksanegara juga
memperkenalkan Mas Talip dan Rahminten pada Biesheuvel
serta Pieter Luzac dan Schophoff. Para pembesar Belanda
nampak senang pada mereka yang dinilai amat lugu.
Sebulan sudah menunggu keputusan dari Surabaya,
rasanya semua tidak sabar. Baik Biesheuvel sendiri maupun
Jaksanegara. Ia khawatir semakin lama Kertawijaya
memerintah di Blambangan, makin sulit Belanda mendekati
hati kawula Blambangan. Gejala akhir-akhir ini makin
memprihatinkan. Jumlah orang yang meninggalkan Pangpang
dan Lateng serta kota-kota besar Blambangan lainnya makin
menonjol. Tentu Biesheuvel dan pembantu-pembantunya
merundingkan hal itu. Termasuk Kertawijaya dan Jaksanegara,
Juru Kunci juga Mas Rempek, bahkan Rahminten serta dua
kakaknya Mas Ngalit dan Mas Talip ikut diajak dalam
perundingan. "Mungkin karena makin banyak pendatang, maka mereka
menjual tanah milik mereka dan pindah ke kota lain,"
Kertawijaya menyimpulkan.
"Tapi ada juga kami lihat rumah-rumah yang ditinggal
begitu saja. Berarti tidak dijual. Dan banyak tanah yang kini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditumbuhi semak belukar. Beberapa tahun lagi akan jadi hutan
kembali jika tidak digarap," Biesheuvel menjelaskan.
Beberapa waktu hening. Tidak ada yang memberikan
pendapat. "Jika demikian," Schophoff yang bersuara kini, "untuk menjaga keutuhan kota kita
harus tangkap semua orang yang


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat meninggalkan rumah dan ladangnya. Kita paksa
mereka berladang kembali!"
"Pikiran yang bagus. Tapi seberapa jauh kita bisa
mengawasi mereka?" Biesheuvel bertanya lagi.
"Kita kerahkan pasukan yang ada untuk menjaga mereka di
sawah dan di ladang. Jika mereka membangkang dan tidak
mau bekerja, kita hukum pukul dengan rotan punggung
mereka," Pieter Luzac meramaikan perundingan.
"Sebenarnya ada hal penting yang harus kita perhatikan
agar kawula Blambangan betah tinggal di rumah dan di ladang
mereka. Kita harus mendengarkan pendapat mereka. Dan kita
belajar memenuhi keinginan mereka. Walau tidak semua,"
Rempek memberikan pendapatnya.
"Apa yang mereka inginkan?"
"Dua hal yang mungkin bisa kita penuhi salah satu.
Pertama, sebagian dari mereka ingin diperintah kembali oleh
Wong Agung Wilis. Atau yang kedua, mereka minta agar Yang
Mulia Sutanegara dibebaskan kembali. Dan memerintah di
Blambangan." "Ya, Tuhan...," Biesheuvel menyebut.
"Ya, Al ah...," Jaksanegara dan Juru Kunci dan Kertawijaya juga menyebut
berbareng. Bahkan Rahminten, serta Mas Ngalit, serta Mas Talip juga
menyebut karena terkejut. Tidak ada yang menduga bahwa
Rempek berani mengutarakan hal seperti itu. Bukankah jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memenuhi tuntutan pertama maka Belanda harus angkat kaki
dari Blambangan. Sebab jika tidak, semua orang kulit putih
akan digantung oleh Wong Agung Wilis. Jika memenuhi
tuntutan kedua, berarti Belanda akan kehilangan wibawanya.
Seorang yang sudah dijatuhi hukuman karena dituduh
berkomplot dengan Mengwi diangkat kembali menjadi
penguasa. Dan bukan tidak mungkin Sutanegara menyerahkan
kembali kekuasaan pada Wong Agung Wilis.
Sesaat ruangan hening. Saling pandang satu dengan
lainnya. Tapi tiba-tiba Schophoff bangkit berdiri dan terbahak-
bahak. Katanya kemudian, "Itu pendapat Tuan sendiri apa orang-orang Blambangan?"
"Tentu bukan pendapat kami sendiri."
"Tuan setuju atas pendapat itu?"
"Tuan memeriksa hamba?" Rempek senyum. Ia belajar
tenang. Tidak seperti beberapa bulan lalu. Pemeriksaan
terhadap Rsi Ropo di hadapan matanya merupakan pelajaran
berharga. "Asal demi kebaikan Blambangan, sikap hamba
jelas,, setuju!" Kembali, semua orang seperti disambar petir.
Terutama Rahminten. Ia yang sangat berharap adiknya itu
menjadi penguasa di Blambangan. Tapi kekerasan hatinya itu.
Seperti kata Jaksanegara. Rempek tetap saja keras kepala.
Ketegangan dihancurkan lagi oleh suara tawa Schophoff.
Orang itu selalu tertawa memang.
"Tuan tidak hati-hati. Jika Tuan setuju, berarti Tuan tidak
senang kawula tetap hidup dalam kedamaian. Kita tidak perlu
mengulang mimpi yang lalu. Sia-sia. Mari kita membangun
yang baru dengan orang-orang baru pula. Tidak baik mimpi
seperti itu." "Yah... Yang Mulia. Sebaiknya kata-kata itu Yang Mulia
jauhkan saja dari kalbu Yang Mulia. Itu menyinggung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perasaan," kini Kertawijaya bicara. Ia agak tersinggung.
Dengan kata lain ia tidak disukai oleh orang Blambangan.
"Hamba akan melakukan apa, saja demi kawula Blambangan,"
tambahnya. "Yang Mulia tidak akan pernah melakukan apa-apa buat
kami di Blambangan ini. Karena Yang Mulia lebih banyak
berbuat untuk diri Yang Mulia sendiri," tegas Rempek.
"Yang Mulia tidak menghargai kerja kami?" "Kerja Yang Mulia bukan untuk
Blambangan. Tapi untuk VOC. Bagaimana
Yang Mulia dapat berbuat sesuatu bagi Blambangan, sedang
Yang Mulia tak pernah mencintai Blambangan" Bagaimana
bisa mencintai Blambangan jika kita tidak pernah sepatah pun
bercakap dengan kawula Blambangan?"
"Kita sama-sama hamba VOC."
"Sama-sama hamba VOC tapi hati hamba, darah hamba,
daging hamba, dan semua yang ada pada hamba adalah
Blambangan. Sebaliknya Yang Mulia adalah benar benar
hamba VOC yang baik."
"Yang Mulia!" Kertawijaya tersinggung. Jaksanegara juga.
Rempek menyiapkan dirinya. Tetap tersenyum. Jika aku
ditangkap, aku akan bunuh orang sebanyak-banyaknya, pikir
Rempek. Tapi bersamaan dengan itu seorang pengawal rumah
Biesheuvel menaiki tangga di depan pendapa. Memberi
hormat sebelum melaporkan bahwa ada surat dari Surabaya.
Utusan Tuan Gubernur menunggu di luar.
"Bawa kemari suratnya. Persilakan tuan utusan itu istirahat.
Persiapkan jamuan makan untuk beliau. Katakan kami masih
ada rapat. Begitu selesai kami akan ke kamar beliau."
"Siap, Tuan." Orang itu pergi lagi dengan langkah tegap.
Sekalipun ia seorang pribumi, tapi sudah dilatih melakukan
tatacara VOC. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pertikaian antara kita tidak perlu," Biesheuvel melerai
kedua bangsawan itu. "Yang kami butuhkan ialah bagaimana
memajukan Blambangan seperti daerah lainnya. Blambangan
sudah sangat ketinggalan. Padahal Blambangan adalah negeri
yang kaya." Keduanya diam. Saling pandang dengan tajam. Saling
mengancam dalam hati masing-masing.
Beberapa bentar lagi pengawal datang kembali
mempersembahkan surat dari Surabaya.
Biesheuvel segera membuka gulungan surat ini. Dan
membacanya sebentar. Setelah itu berkata,
"Ini keputusan penting. Dari Gubernur. Nah, silakan Tuan
Pieter Luzac membaca dengan suara keras," ia menyerahkan
surat itu pada yang diperintahnya. Dan Pieter Luzac segera
melaksanakan tugasnya. Dan betapa terkejut Kertawijaya
mendengar itu. Ia ditarik kembali ke Surabaya. Justru di saat
Blambangan sedang dilanda kemelut. Selebihnya ada dua
surat lagi. Yang satu pada Kertawijaya, yang isinya
memerintahkannya untuk segera kembali. Yang kedua pada
Jaksanegara supaya memangku jabatan tumenggung sampai
batas waktu yang tidak ditentukan. Kepada Jaksanegara
diperintahkan supaya dalam waktu singkat segera dapat
menenteramkan Blambangan. Kepada Kertawijaya
diperintahkan kembali ke Surabaya bersama dengan Mayor
Crooy sebagai utusan istimewa untuk menjemput Raden
Kertawijaya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XII. DERWANA DAN INDRAWANA
Sesungguhnya Indrawana bukan merupakan belantara yang sukar ditembus. Sedangkan
Derwana merupakan daerah pegunungan di lereng Gunung Merapi di atas lembah
Indrawana. Digambarkan sebagai hutan milik dewa-dewa, karena di dalam hutan itu
banyak bunga-bunga yang tumbuh.
Seolah tamansari yang dibikin manusia. Memang Hutan Indrawana dan Derwana pernah
menjadi tempat tinggal Macan Putih, leluhur raja-raja Blambangan serta
pengikutnya di masa sulit. Suatu daerah yang memang sukar dijangkau, karena
letaknya di antara dua gunung yang seolah saling berebut tinggi.
Melalui jalan setapak yang melelahkan, orang-orang Pangpang, Lateng, Wijenan,
dan beberapa kota Blambangan lainnya berbondong menuju hutan ini. Bahkan sebelum
sampai di lembah itu mereka juga sempat melewati tebing terjal yang
membahayakan. Penuh padas dan karang.
Pasukan Bayu telah lebih dulu membangun jalan untuk mereka, kendati cuma jalan
setapak. Namun demikian kuda-kuda beban yang terlatih di Raung, mampu menolong
mereka mengangkut bahan makanan yang disediakan oleh Mas Ayu Tunjung sebagai
Menteri Cadangan Negara. Semua yang awal adalah sulit. Mereka harus berhadapan dengan pohon sonokembang
raksasa yang jumlahnya cukup banyak. Namun Jagalara, memimpin mereka dengari
tidak kenal lelah. Sehingga dengan demikian pada waktu rombongan orang Pangpang
yang pertama tiba di tempat itu,
sudah ada rumah-rumah baru yang sengaja disediakan untuk
mereka. Bekas rumah tembok Macan Putih masih berdiri dengan
kokoh. Tapi semak belukar mengurungnya. Akar-akaran juga
menutup gedung itu dari pandangan. Seperti kota terhilang
yang ditemukan kembali. Juga beberapa rumah gedung yang
diperkirakan bekas tempat tinggal para satria pengikut Macan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
putih. Derwana dengan cepat berubah menjadi kota lagi.
Beberapa rumah harus dipugar kembali memang. Terutama
atapnya. Bekas perairan ditelusuri lagi. Ternyata airnya masih
mengalir dengan baik. Mereka membersihkan rumput-rumput
yang menumbuhi kiri-kanan perairan itu. Sungai-sungai kecil
yang mengalir ke bawah, terus ke lembah Indrawana. Mas
Ayu Prabu yang juga hadir bersama kakaknya, Sratdadi,
berkali-kali memberikan pesan agar hutan tidak dibakar.
Sebab hal itu akan nampak dari jauh jika malam tiba. Ratusan,
bahkan kini telah menjadi ribuan orang datang. Tiap hari
bertambah. Sawah sudah mulai dibuka dan ditanami.
Meskipun sebahagian masih membabat. Sebagian orang lagi
ditugaskan memperbaiki pagar yang mengurung Derwana dan
Indrawana. Batu tidak sukar didapat.
Ilalang juga dimanfaatkan untuk atap rumah-rumah.
Sehingga tidak perlu dibakar. Kayu di samping dipergunakan
sebagai tiang, dipersiapkan juga sebagai kayu bakar. Mas Ayu
dan Sratdadi merasa bangga. Bagaimanapun berdirinya
Derwana dan Indrawana adalah hasil karya mereka.
"Sudah waktunya kita kembali ke pekerjaan kita masing-
masing. Aku pikir Jagalara cukup mampu memimpin mereka
semua sambil menunggu Rempek bersedia meninggalkan
Pakis," Sratdadi menerangkan pada Ayu Prabu. "Sekarang kau punya tugas berat.
Memaksa Rempek meninggalkan Pakis.
Dan ia harus bergabung dengan Bayu. Mengakui Wilis sebagai
junjungannya." "Apakah hamba mampu" Bukankah Kakang lebih
berwibawa atasnya?" "Untuk sementara aku harus jadi Rsi Ropo lagi. Sampai
semua orang bangun dari tidur dan melawan VOC. Senjata
seorang Brahmana adalah kata-kata. Nah, marilah kita turun
dari sini. Lebih banyak lagi orang kota pindah ke Songgon,
Derwana, dan Indrawana, makin baik. Jika perlu mereka kita
bawa ke Bayu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah memberi petunjuk-petunjuk pada Jagalara,
keduanya meninggalkan Derwana dan Indrawana. Sebentar-
sebentar mereka menoleh. Persemaian sudah dibuat orang
dan nampak menghijau. Di ladang juga mulai tumbuh jagung,
kacang, kecipir, bayam.... Keduanya percaya, daerah-daerah
yang mereka tempati adalah daerah yang jauh lebih subur dari
kota. Apa sebab yang mendorong kawula Blambangan tertarik"
Janji damai sejahtera tidak ada perang" Jika janji itu yang
mereka buru, maka mereka tak perlu susah-susah
meninggalkan rumah dan huma mereka. Hampir setiap hari itu
sudah didapat dari pembantu-pembantu Jaksanegara. Para
narapraja dan punggawa dalam kawalan Kompeni hitam selalu
meneriaki penduduk untuk tidak meninggalkan rumah dan
humanya. Karena, itu akan menjadikan Pangpang atau kota-
kota lain hutan kembali. Kawula tidak menggubris semua
seruan itu. Bahkan yang terakhir ini ada ancanam berat, bagi
mereka yang tertangkap meninggalkan rumah dan humanya,
akan dihukum berat. Memang sementara mengendorkan arus
pelarian penduduk kota. Sementara berhasil.
Namun demikian berita ditangkapnya Rsi Ropo, dan
ternyata dengan cara yang tidak jelas rsi itu sudah muncul
kembali di desa Songgon, membuat kepercayaan kawula
Blambangan pada Setiap ucapan Rsi Ropo kian menjadi-jadi.
Bahkan boleh dikatakan orang secara buta, artinya tidak lagi
berpikir masuk akal atau tidak, mereka tetap percaya. Apa pun
yang dikatakan oleh para narapraja dan para bekel atau para
pamong desa mereka, bahwa rsi itu penipu, penghasut, dan
lain sebagainya hampir-hampir tidak berarti. Karena tiap orang
yang pernah berkunjung ke SCnggon .akan pulang dengan
membawa cerita kesuburan tanah di Songgon. Tidak pernah
mengalami kegagalan dalam panen. Tidak ada hama. Tidak
melihat pasukan asing yang setiap kali menggeledah rumah-
rumah dengan alasan yang tidak jelas. Tidak pernah melihat
perondaan di sawah dan ladang mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lebih dari itu hati mereka tidak perlu setiap hari menjadi
waswas jika istri mereka pergi ke kedai bersua dengan
pasukan asing yang memang senang jalan-jalan diwaktu
senggang, dan dicolek atau dicubit pinggulnya. Melihat itu
mereka tidak boleh mengeluh. Tidak boleh sakit. Sambil
memejam mereka mengumpat dalam hati. Cuma dalam hati.
Pasukan pendudukan yang janjinya melindungi kawula
tidak bisa menjadi tempat mengadu. . Pernah seorang
penduduk Lateng melapor dengan disertai oleh bekelnya ke
benteng karena pencurian yang makin menjadi-jadi. Ia sendiri
semalam kehilangan dua ekor kambing.
"Bagaimana kambing bisa hilang?" Letnan Schaar
membentak "Aku komandan benteng! Tidak mengurusi
kambing hilang!" Orang itu menjadi ketakutan.
"Dan kambing kan punya kaki. Kalau ia tidak mau dicuri ia
tidak akan mau jalan. Dan akan teriak-teriak membangunkan
kalian. Apa kalian tidur nyenyak semalam" Malas bangun!"
"Tidak, Tuan. Kami bangun, tapi tidak berani menangkap
pencuri itu...." "Goblok! Dengan pencuri saja takut" Kepada Kompeni
kalian melawan. Bikin penjagaan. Tangkap itu pencuri. Bawa
kemari!" "Tapi..." bekel memberi tahu.
"Tidak ada tetapi! Ini perintah Komandan Benteng. Pergi!"
Sepulang dari benteng bekel segera mengumpulkan
penduduknya. "Kita telah mendapat izin menangkap pencuri
itu. Sekarang kita pasang jebakan. Nanti malam setiap lelaki
jangan ada yang tidur. Kita akan tangkap tiap pencuri ternak
kita!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana mungkin" Kita kan tahu siapa pencurinya.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka bersenjata api. ..," salah seorang penduduk berkeberatan.
"Kita bersembunyi di balik semak atau pagar rumah kita.
Lalu kita keroyok dia di depan kandang. Setelah itu kita giring ramai-ramai ke
benteng." "Setuju-setuju!" ramai-ramai mereka berseru. Yang tidak setuju terpaksa harus
diam. Berani dan tidak selalu ada di tiap kerumunan orang. Namun demikian
rencana tetap dijalankan.
Malam masih muda kala dua orang yang dicurigai oleh penduduk desa Sampil Lateng
masuk. Dan seperti yang sudah diperkirakan keduanya langsung mendatangi sebuah
kandang. Lima ekor ayam dimasukan ke dalam sarung. Setelah itu mereka melangkah ke
kandang lainnya. Namun sial, baru beberapa langkah mereka meninggalkan kandang
itu, mereka terjerembab jatuh dengan tanpa sesadar mereka, tubuh keduanya
terangkat keatas pohon dengan kaki di bawah.
Mereka mengumpat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh orang-orang Blambangan.
Ternyata dua buah tali yang dipasang dengan begitu rupa menjerat kaki mereka,
dan mereka tertarik ke atas. Karena tali itu memang disampirkan di atas dahan.
Bedil dua pencuri itu terjatuh berikut 'ayam yang terkurung dalam sarung mereka.
Suara berkeok-keok riuh terjadi, namun ayam tetap tidak bisa lari ke luar.
Terkurung dalam sarung. "Bajingan! Kalian akan kami bunuh!" Maling itu menakut-nakuti kala beberapa
orang muncul dari tempat persembunyian mereka. Tapi penduduk tertawa riang
melihat mereka marah tanpa daya dan berputar seperti baling-baling.
Beberapa pentungan mulai mengenai tubuh mereka.
"Aduh!!! Ampun!!!" seorang di antara mereka ternyata bisa bahasa Blambangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Serahkan tanganmu untuk kami ikat!" bekel desa itu
berkata. "Baru kami hentikan pentungan ini."
Setelah berunding dengan temannya sebentar ia menyerah.
Dan setelah keduanya terikat maka mereka diturunkan. Darah
mulai mengucur dari kulit yang sobek karena pentungan.
"Nah, walau tangan kalian terikat, kalian masih bisa
memikul hasil curian kalian. Sekarang jalan!"
"Ke mana?" "Menghadap Tuan Schaar. Biar dia tahu siapa pencurinya."
"Jangan! Kami bisa dihukum. Ampuni kami. Kami tidak
akan ulangi lagi." "Tidak peduli! Ayo jalan! Atau kau mau menerima hukum
orang Blambangan" Di ris sedikit demi sedikit dan di lukamu
kami sirami dengan air asam dan garam?" ancam bekel.
Orang-orang berseru senang. Lupa siapa yang mereka
hadapi. "Aduh!!! Jangan lakukan itu! Ampuni kami!"
"Jika demikian jalan! Biar komandanmu tahu, pasukan yang
katanya menjaga ketenteraman kami sebenarnya adalah
penjahat!" Mau tidak mau kedua orang itu mengerjakan perintah
bekel. Sepanjang jalan dua orang itu diharuskan meneriakkan
kata-kata "Aku pencuri! Aku pencuri!" Dan orang-orang,
besar-kecil, beramai-ramai menggiringnya ke Benteng.
Schaar amat terkejut mendengar laporan bahwa ada
rombongan penduduk mendatangi benteng sambil membawa
pencuri. Ia segera keluar ke gerbang benteng. Dan betapa
terkejut ketika masih di tempat yang agak tinggi melihat dua
orang Kompeni asal pribumi Sidayu diikat kedua tangannya ke
depan dan senjata mereka dikalungkan di leher mereka. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
prajurit itu tetap saja berteriak-teriak, "Aku pencuri! Aku
pencuri!" Kotek ayam yang terbungkus sarung terdengar jelas.
"Diam!" Schaar berteriak keras sekali. Semua orang diam.
"Apa yang tejah terjadi?"
"Tuan dengar sendiri mereka bicara?" bekel balik bertanya.
Membuat muka Schaar menjadi makin merah di bawah sinar
obor. "Bawa sini orang itu!"
Bekel memerintahkan keduanya berjalan menghadap
Schaar. Setelah dekat Schaar memerintahkan seorang
pengawal menggiring mereka masuk benteng. Kemudian tidak
diduga oleh bekel sebelumnya, Schaar dengan muka merah
membentak mereka. "Kalian memfitnah kami! Kalian wajib menerima hukuman!"
Orang itu maju. Lebih tak terduga lagi Schaar melayangkan
tinjunya ke muka bekel dengan keras sekali. Bekel
terpelanting jatuh seperti pohon pisang ditebang. Pengikutnya
berteriak. Tapi kala akan maju menolong sebuah letusan
membuat mereka terbirit-birit seperti barisan tikus sawah yang
bertemu anjing. Kejadian itu pun telah mendorong banyak kawula Lateng
berbondong ke Songgon, Derwana, dan Indrawana. Itu
sebabnya kerinduan pada Wong Agung Wilis kian menjadi
tembang sehari-hari di mulut tiap orang di huma-huma dan di
rumah-rumah. Namun baru satu minggu Schaar berusaha menutup aib
pasukannya, satu kejadian baru mengejutkannya. Seorang
prajurit yang bertugas bersama lima orang di pos selatan kota
Lateng didatangi seorang wanita muda yang mengaku
bernama Sayu Wiwit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ceritakan kenapa dengan wanita itu. Maka kau malam-
malam membangunkan aku!"
Prajurit itu mulai bercerita. Kala mereka akan menyembelih
kambing yang mereka temukan di pinggir jalan, tiba-tiba
muncul seorang gadis pribumi yang berkulit kuning langsat.
Lesung pipit menghias pipinya kala tersenyum. Telanjang dada
seperti umumnya wanita Blambangan, namun mengenakan
kalung dan kutang emas. Berambut panjang tidak disanggul.
Keris kecil terselip pada sabuk emas yang melilit pinggangnya.
Keris itu menutup pusar. "Selamat malam, Tuan-tuan," suara gadis itu merdu.
Kepala regu yang berkumis bapang mendekati gadis yang
menyapa mereka. "Dari mana kambing itu, Tuan?" lagi gadis itu bertanya.
"Tidak usah tanya dari mana. Kita sate dan kau
menemaniku makan dan tidur" Hah, bagus malam-malam
begini ditemani gadis secantik kamu."
"Hentikan langkahmu itu!" Tiba-tiba saja tangan gadis itu
terangkat dan sebuah bedil teracung ke dada kepala regu.
Ketika anak buahnya hendak bergerak ternyata dari kiri-kanan
gardu muncul dua orang bersenjata bedil dan terarah pada
mereka. "Nah, ambil semua senjata mereka!" perintah gadis itu.
Seorang dari mereka melakukannya. Dan kembali gadis itu
berkicau. "Ikat kaki dan tangan mereka bergandengan satu dengan
lainnya!" Kembali seorang melakukannya. Kaki para penjaga
digandengkan satu dengan lainnya. Sehingga tidak
memungkinkan mereka berjalan. Dan kepada kepala regu itu
bertanya lagi. "Sekarang jawab! Dari mana kambing itu?"
"Eh... benar, Nona, kami menemukan di..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik!" Gadis itu mencabut pedang seorang pengawal. "Aku ingin tahu, tajam atau
tidak pedang Kompeni." Ia
menggoreskan pedang itu ke lengan kepala regu.
"Ampun... ampun...," kepala regu berteriak.
"Suaramu lebih keras dari hatimu!" ejek gadis itu.
Tangannya yang halus ia celupkan di suatu cairan dalam batok
yang dibawakan oleh temannya. Setelah itu memuncratkan air
itu ke lengan kepala regu. Dan dengan gemetar kepala regu
itu berteriak kesakitan. "Sakit?" "Ampun... sakitnya...."
"Nah. Katakan! Dari mana kauambil kambing itu?"
"Anu... kami tidak ambil kambing itu, Nona. Tapi..."
'Tapi apa?" suaranya kini dingin. Sedingin itu pula pedang
di tangannya menggores pelipis kepala regu. Disusul oleh
tangannya yang lain menumpahkan air asam dan garam ke
pelipis yang robek itu. "Woouuw... ampun."
"Baik, katakan."
"Kebetulan kami lewat di sebuah kandang, Kopral Gitul
menemukan tali itu, Nona. Tapi setelah tali itu diambil
kambing sial itu keluar kandang dan mengikut kami. Jadi...
kami tidak curi." Gadis itu mendengus. "Kami cuma ambil tali..."
"Berapa kali kamu ambil tali macam itu?" tetap saja dingin suaranya.
"Baru..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bibirmu perlu dipotong barangkali!" bibir mungil gadis itu mengancam. Dan kala
ia mendekat, kepala regu berteriak-teriak lagi. Tapi gadis itu tak berhenti.
"Jika kau banyak bergerak maka mulutmu akan robek!"
Kepala regu kini menyerah. Ternyata kumisnya yang bapang dikerok bahagian
tengah. Tinggal pinggir-pinggirnya saja. Kini gadis itu tersenyum. "Kau tidak
punya istri maka kau mau ajak aku tidur." Kini ia memerintahkan kedua temannya
untuk membuka topi semua anggota regu. Dan
diperintahkannya untuk digundul separuh batok kepalanya.
Dan gadis itu terkikik-kikik karena geli.
"Siapa yang bernama Gitul?"
"Aku...," seorang menjawab dengan gemetar. Gadis itu mendekat.
"Kau juga seorang pemberani. Mana tanganmu yang mengambil tali itu" Sebelah
kanan ini?" Gitul mengangguk. Jawaban yang membawa sial. Karena seirama dengan anggukannya,
gadis itu mengayunkan pedangnya. Dan terbabatlah lengannya sebelah kanan.
Jeritan melengking keluar dari mulut Gitul.
"Mulai sekarang, kesewenang-wenangan Kompeni di Blambangan akan kami balas! "
kembali mulut mungil gadis itu bersuara.
Kemudian kepada seorang temannya ia perintahkan melepaskan salah seorang. Dan
kepada yang dilepas ia berkata,
"Kembalikan kambing itu ke kandangnya! Dan minta maaf pada yang empunya. Setelah
itu pergi menghadap Schaar dan ceritakan semua yang kaualami. Sayu Wiwit telah
datang untuk menghukum!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Schaar mendengar laporan itu jadi marah luar biasa.
Dengan pasukan berkuda ia datang ke gardu penjagaan di
selatan kota. Tapi gadis itu sudah tidak ada. Yang
menyambutnya cuma rombongan anjing yang menyalak-
nyalak menjaga para pengawal. Dan begitu pasukan Schaar
datang anjing-anjing itu menyelinap ke dalam kegelapan.
Bukan cuma sekali Sayu Wiwit datang dan melakukan
tindakan yang dianggap keji oleh Schaar. Sebagai akibat,
pasukan jaga tidak lagi cuma lima. Tapi jumlahnya ditambah
menjadi dua puluh. Bila di siang hari ada peristiwa yang
merugikan kawula maka malam harinya Sayu Wiwit pasti
datang dan melakukan pembalasan.
Anehnya, pasti bisa lolos jika dikejar oleh Kompeni. Tapi
ternyata nama Sayu Wiwit juga menghantui beberapa kota
lainnya termasuk Pangpang. Dan kini setiap bibir menceritakan
nama itu. Schaar berusaha menjebak Sayu Wiwit. Kejengkelannya
sudah memuncak. Kompeni direpotkan hanya oleh seorang
wanita. 0oo0 Berita-berita tentang Wilis dan Sayu Wiwit yang kian
berkembang di hampir seluruh penjuru Blambangan membuat
Rempek bergesa ke Songgon. Nama Sayu Wiwit yang
bergema berdampingan dengan nama Wilis membuatnya iri.
Padahal ia sebagai satria belum pernah berdampingan dengan
Wilis. Sekalipun cuma nama. Berkali ia mengunjungi Songgon
tapi Rsi sering tidak ada di tempat. Mengundang tanya dalam
hatinya. Apakah karena Rsi sakit hati maka tak mau
menerimanya. Atau barangkali saja Rsi curiga karena ia yang
membawa Jaksanegara ke Songgon sehingga membuat Rsi
ditangkap beberapa waktu lalu. Kunjungan ini yang ke delapan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sejak Rsi ditangkap. Dalam hati ia berdoa agar Rsi
memaafkannya. Dan kali ini doanya dijawab oleh Hyang Maha Dewa. Rsi
menerimanya secara pribadi di ruangan dalam.
"Ampuni hamba, Yang Tersuci. Bukan maksud hamba
menyerahkan Yang tersuci pada Belanda. Tapi..."
"Tidak apa, Yang Mulia. Hamba sudah dengar bahwa Yang
Mulia berusaha memberi tahu pada hamba sehari sebelum
hamba ditangkap. Jadi hamba tahu niat Yang Mulia."
"Terima kasih, Yang Tersuci. Hamba tidak Ingin nama
hamba rusak karena peristiwa itu."
Rsi Ropo tertawa mendengar itu. Kemudian berkata lirih
seperti pada diri sendiri.
"Banyak orang ingin mempertahankan nama. Seolah
mereka sudah memiliki nama baik. Ah... memang menjaga
nama bukan pekerjaan mudah." Rsi Ropo diam. Hening.
Rempek terperanjat mendengar ucapan itu. Ia ingin
namanya tidak rusak. Ah, apakah aku sudah punya nama
maka aku berkata seperti itu" Aku belum punya nama. Kalah
dengan Sayu Wiwit. Kendatipun ia cuma seorang wanita.
"Kenapa Yang Mulia bermenung?" Rsi bertanya.
"Oh, hamba merenungkan ucapan Yang Tersuci. Ternyata
hamba belum punya nama. Jadi Jiamba tak perlu khawatir
nama hamba rusak. Karena memang tak akan ada yang
rusak." "Banyak orang memang berpikir seperti itu. Tapi apakah
artinya itu untuk hidup. Sebenarnyar lah memberikan arti bagi
hidup adalah lebih penting dari nama itu sendiri. Banyak orang
yang memiliki nama terkenal di mana-mana. Tak kurang-
kurang orang menjadi terkenal karena hidupnya sarat dengan
kegatalan. Begitu saratnya sehingga harus dielus oleh orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
banyak untuk menghapus kegatalannya. Apakah ia pria atau
wanita. Sama saja." "Hyang Bathara!"
"Makna diri tidak bisa didapat dari memamerkan
kejantanan yang merflbuat banyak wanita jatuh ke dalam
pelukan, atau sebaliknya mempertontonkan keperempuanan.
Orang seperti mereka akan mendapat nama juga. Tapi tanpa
makna diri. Pada pokoknya makna diri hanya dapat diperoleh
jika kita mempersembahkan darma dan karya kita buat
manusia dan kemanusiaan. Kepada hidup dan kehidupan."
"Hyang Bathara!" Rempek kembali menyebut. Hatinya
bergetar hebat. Ia makin menyadari bahwa dirinya adalah
manusia tanpa makna.

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini Rsi berdiri dan melambaikan tangan mengajak Rempek
berjalan-jalan. Keluar dari ruangan menghirup udara segar di
sela pohon-pohon nyiur. "Kenikmatan adalah jerat, kemesraan adalah lubang yang
dalam. Ketidakberdayaan adalah jebakan kesia-siaan yang
membawa kita pada, ketiadaan makna diri," lanjut Rsi sambil
berjalan dengan kedua tangan diletakkan di belakang pantat.
"Apakah setiap orang dapat memberi arti bagi hidupnya?"
"Siapa yang tak dapat mengisi hidupnya dengan arti hidup,
maka ia sudah mati dalam hidupnya. Ia hidup dalam
kenihilan." Rsi Ropo tersenyum dan memandang wajah
Rempek. "Mati dalam hidupnya?"
"Ya. Mati dalam hidupnya?"
"Manusia memiliki kemampuan terbatas. Maka ia hanya
akan bergerak dan menjangkau sebatas kemampuannya."
"Manusia akan menjangkau apa saja yang ia inginkan jika
ia memiliki kehendak yang kuat untuk itu. Kehendak memang
menentukan, sebab itu suatu cita. Kita harus mengimbangi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kehendak dengan keberanian. Cita dan karsa bisa terwujud
jika kehendak menyatu dengan tekad serta keberanian,
didukung kekuatan lahir-batin yang sempurna. Sebab dalam
tubuh yang sakit terdapat jiwa yang sakit pula."
"Bukankah semua ini ada batasnya?"
"Kita memang memiliki batas. Kodratnya kita harus mati.
Tapi banyak orang yang tak pernah mengenal mati dalam
hidupnya. Ada orang mati dalam hidupnya, tapi juga ada yang
hidup sekalipun ia sudah mati. Untung Surapati, akan tetap
hidup dalam matinya. Lain halnya dengan Yang Mulia
Rahminten. Mati dalam hidupnya. Karena ia memburu impian
dunia. Ia ingin membangun kembali kebesaran Tawang Alun
dengan damai" Aha... tidak ada kebesaran yang didapat
dengan damai. Apa akibatnya" Barangkali .Yang Mulia sendiri
belum tahu, bahwa beliau sekarang ada dalam pelukan
Jaksanegara dan tidak pernah lagi pulang ke Pakis?"
"Yang Tersuci..."
"Tidak perlu gusar. Beliau sudah memilih jalannya sendiri
dengan pertimbangan yang dalam pula. Yang penting
bagaimana dengan diri Yang Mulia sendiri" Memilih..."
"Hamba ingin bergabung dengan Yang Mulia Wong Agung
Wilis dan Sayu Wiwit," potong Rempek tidak sabar. "Hamba
juga ingin memberi arti bagi hidup hamba."
"Jagat pramudita... apakah sudah dipertimbangkan?"
"Sudah, Yang Mulia. Hamba tahu Wong Agung Wilis pernah
berkunjung kemari. Sedang Sayu Wiwit juga hamba jumpai di
sini dan pernah menjadi utusan Yang Tersuci mengantar
senjata pada kami. Nah, hamba percaya, Yang Tersuci juga
tidak keberatan menerima kami seperti menerima Sayu
Wiwit." Ropo diam sejenak. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tak lama kemudian, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika ingin seperti mereka, maka ada syarat mutlak yang
harus dipenuhi. Tinggalkan Pakis dan menempati daerah
baru." "Hamba bersedia."
"Baik, kita berdoa."
Kemudian keduanya menuju pura. Dan Rempek
mengucapkan sumpah di hadapan Hyang Durga. Setia pada
negeri dan rela mati. Setelah keluar maka Ropo
memerintahkan seorang cantrik menyiapkan kudanya.
Sementara Rempek sendiri menyiapkan kudanya, Ropo
menghilang di dalam biliknya. Begitu Rempek sudah
mendapatkan kudanya dan hendak menyusul Rsi Ropo,
seorang muda berpakaian seorang satria Blambangan duduk
di atas sebuah kuda. "Mari Yang Mulia, ikuti hamba!" Pemuda yang pernah
dikenalnya dengan nama Wong Agung Wilis itu memerintah.
"Ke mana?" tanya Rempek.
"Hamba akan pertemukan Yang Mulia dengan junjungan
Blambangan yang menguasai hampir dua pertiga bumi
semenanjung ini. Wilis di Benteng Bayu. Setelah itu, Yang
Mulia akan kami tempatkan di Derwana. Yang Mulia sebagai
kepala pemerintahan di Derwana dengan patih seorang yang
bernama Jagalara. Ia sudah lama menunggu di sana. Nah,
ingat, pengkhianatan berarti tumbangnya kepala Yang Mulia.
Yang Mulia telah bersumpah."
Sebelum Rempek sempat bertanya kuda Mas Sratdadi
sudah melangkah. Dan makin cepat melesat seperti anak
panah. Debu mengepul mengikuti jejak mereka.
Tidak pernah terbayang oleh Rempek bahwa ia harus
memacu kudanya begitu cepat. Ia sendiri merasa sudah paling
tangkas di Pakis. Namun kini ia melihat, pemuda yang tidak
kekar badannya, mampu mengatasinya. Hatinya berdebar kala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mas Sratdadi mengajaknya melompati jurang-jurang,
menapaki tebing-tebing dengan tanpa turun dari kuda. Kini
menaiki gunung tinggi dengan hawa yang dingin. Dan kala
sudah akan memasuki perkubuan Bayu, keheranannya makin
memuncak. Sawah menguning begitu luas dan bertingkat
tingkat dari yang paling bawah ke atas. Musim panen tiba.
Para petani berdendang riang berbagi suka dalam tembang
yang bersaut-sautan. I Wilis baru bisa menemui Mas Rempek
pada malam hari. Betapapun Rempek jadi seperti orang
linglung. Karena sudah ada pemberitahuan dari Mas Sratdadi
sebelumnya, maka Wilis sudah tahu untuk apa Rempek
dihadapkan. "Waktunya sudah tiba, Yang Mulia bilang tidak kepada
mereka," Wilis sebagai junjungan di Bayu menerangkan.
"Hamba, Yang Mulia." Dalam hati Rempek timbul tanda
tanya siapa yang bersamanya tadi. Kalau sekarang ada Wilis
yang bertahta di Bayu"
"Besok pagi Yang Mulia boleh melihat di Derwana dan
Indrawana. Yang Mulia akan berkedudukan di sana. Tapi Yang
Mulia harus kembali ke Pangpang dan Pakis untuk membawa
serta seluruh kawula Blambangan yang ingin melepaskan diri
dari injakan kaki si Bule. Mengutamakan kepentingan manusia
yang lebih banyak dan mengalahkan diri sendiri adalah
pekerjaan mulia. Dan akan memberi kebahagiaan dengan
warna tersendiri bagi hidup kita." "Hamba, Yang Mulia."
Malam hari itu Rempek hampir tak dapat tidur. Ada berapa
orang yang berwajah mirip dengan Wong Agung Wilis"
Sekarang ia bertemu dua orang yang berwajah mirip. Tapi
bukankah Rsi Ropo juga mirip Wilis" Berarti tiga orang.
Jangan-jangan nanti masih banyak lagi. Benarkah Wilis
mampu memecah diri menjadi banyak" Seperti Candra
Bhirawa" Dan yang mengagumkan lagi semua orang yang
berwajah mirip itu memilikilidah dewa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kapan ia memperoleh kesempatan memecahkan teka-teki
ini" Ah, akan datang juga waktunya. Tentunya tak selamanya
aku sebodoh ini. Aku akan belajar. Sekalipun aku lebih tua dari
mereka aku akan belajar supaya tidak menjadi bingung seperti
si pandir berhadapan dengan orang-orang bijak.
Keesokan harinya kembali ia harus mengekor bagai
bayangan. Kembali menaiki bukit menuruni tebing dan
melintasi belukar, menyusup belantara raya. Ia harus
mengakui pemuda di hadapannya itu benar-benar terlatih.
Tidak banyak kesempatan untuk bercakap karena sebentar-
sebentar mereka berbelok menghindari jurang dalam. Jadi
membutuhkan perhatian yang penuh. Tapi Sratdadi seperti
tidak pernah salah jalan.
0oo0 Harapan Biesheuvel bahwa setelah kepergian Kertawijaya
dari bumi Blambangan akan membawa perbaikan, ternyata
hanya impian kosong. Kenyataan yang terjadi adalah
sebaliknya. Pembangkangan makin terbuka. Penduduk
Pangpang tinggal separuh dari jumlah yang semula waktu
pertama kali Belanda datang. Lolosnya Rsi Ropo sudah
menjadi buah bibir. Sekalipun pihak Belanda
merahasiakannya. Disusul dengan tindakan Sayu Wiwit yang kian berani.
Belum lagi Wilis juga merajalela. Membuat orang juga makin
berani menyatakan pendapatnya. Bukan cuma manusia,
kerbau pun sudah banyak yang liar jika pasukan Kompeni
lewat. Anjing-anjing lebih tidak bersahabat lagi. Semua
menjengkelkan pasukan Kompeni.
Gejala itu dimanfaatkan oleh Rempek bersama orang-
orangnya untuk memperbesar pengaruh. Rempek juga mulai
mendekati kawula. Ia meniru cara Wilis. Dan ia katakan pada
seorang bekel di pinggir kota Pangpang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wong Agung Wilis sudah datang. Dan Wilis akan hidup
dalam kita masing-masing. Karena itu mari kita membangun
kembali Blambangan dan mengusir semua bule dari negeri
kita." "Dirgahayu Wong Agung Wilis!! Dirgahayu!" pekik
penduduk membahana. Dan bukan cuma di pinggir kota
Pangpang. Di Lateng pun Rempek menyatakan hal yang sama.
Seperti minyak disu-lut api kawula menyambut himbauan
Rempek untuk meninggalkan kota dan menggabung pada
Wong Agung Wilis di Benteng Bayu.
"Demi Blambangan, demi Hyang Maha Dewa, demi Wong
Agung, kita berangkat," kata sebagian besar pemuda.
"Dirgahayu Wong Agung Wilis, Dirgahayu Blambangan!"
Sebagai hasilnya, di Pakis tersusun laskar yang cukup kuat
dan bersenjata lengkap. Karena Mas Ayu Prabu terus
memasok senjata dan cadangan makanan.
Semua saudaranya terkejut karena Pakis secara tiba-tiba
menjadi tempat penampungan bagi pemuda dan mereka yang
akan pindah ke Derwana dan Indrawana serta Bayu.
Umbul-umbul Jingga berkibar sepanjang hari dengan tanpa
mengibarkan bendera merah-putih-biru. Semua orang Pakis
yang bekerja pada VOC di Lo Pangpang dipanggil pulang.
Semua pemuda Pakis dilatih dalam waktu amat singkat untuk
menjadi pengawal Rempek dan istri-istrinya. Teriakan
"Dirgahayu Wilis!" kian membahana setiap hari di Pakis.
Menggema di setiap sudut kota-kota Blambangan. Dan tentu
saja itu meresahkan Jaksanegara.
Jaksanegara ingin membicarakan hal itu dengan damai.
Karena itu sengaja ia ingin mengundang Rempek ke
perjamuan makan malam bersama Juru Kunci dan Biesheuvel
serta Pieter Luzac dan Schophoff. Jawaban Rempek sungguh
mengejutkan. Dia hadir dalam pengawalan yang ketat. Bahkan
istana Jaksanegara dikepung rapat oleh pagar betis laskar dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pakis. Semua pejabat benarrbenar terkejut. Namun mereka
diam-diam juga telah menyiapkan pasukan. Sehingga dengan
demikian dua kekuatan sedang berhadapan. Tapi sekalipun
begitu pihak Belanda memperkirakan laskar Rempek lebih
banyak. Karena itu jika Rempek tidak menyerang, pasukan
dilarang menembak. Dan Jaksanegara bergetar melihat
kenyataan itu. Setelah berbasa-basi dengan para tamu lainnya, dan
mempersilakan mereka makan ia mulai bertanya pada
Rempek, "Yang Mulia cukup lama tidak datang melakukan tugas di
sini!" Sambil memakan ayam panggang Rempek menjawab
dengan ringan, "Hamba tak tahu apa tugas hamba." Tertawa.
"Tak tahu" Atau sengaja Yang Mulia tak mau tahu?"
"Sebuah pertanyaan yang bagus. Terlalu bagus. Tapi
jawabnya ada dalam hati Yang Mulia sendiri." Masih tertawa.
"Apakah jawaban ini lebih dikarenakan dukungan laskar di
belakang Yang Mulia?" Jaksanegara tersinggung. "Hamba
dengar Wilis telah membangun pusat pemerintahannya di
Bayu." Rempek sedikit terkejut mendengar itu. Namun ia telah
dilatih oleh Rsi Ropo untuk menjawab maka ia tertawa lagi.
Namun tidak jadi makan. Tapi sebelum ia menjawab
Biesheuvel ikut bertanya. "Ya, apakah yang mengawal Yang
Mulia ini juga pasukan dari Bayu" Pasukan Wong Agung
Wilis?" "Dua pertanyaan yang harus hamba jawab sekaligus.
Bagus," Rempek kini memandang ke sekelilingnya. Kerisnya
siap meloncat keluar jika Rempek menghendakinya.
"Wilis tidak cuma membangun pusat pemerintahan di Bayu.
Dia memerintah di mana-mana di Blambangan ini. Setiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang Blambangan mematuhinya. Dan apakah laskar yang
mengawal hamba orang Bayu" Kurang jelas. Tapi mereka
adalah orang Pangpang. Mereka tak ingin hamba mengalami
nasib seperti Rsi Ropo."'
"Yang mulia mencurigai kami?"
"Bukan hamba. Tapi seluruh kawula. Mereka a tak percaya
lagi pada Yang Mulia."
"Ya Tuhan. Ya, Al ah...," Jaksanegara menyebut. "Termasuk Yang Mulia tidak
percaya hamba?" "Yang Mulia dan VOC telah menyatu. Karena itu jika VOC
datang kemari untuk merampok, maka Yang Mulia juga
perampok! Jika VOC datang untuk menipu, maka Yang Mulia
juga penipu." "Yang Mulia!" Jaksanegara tersentak. Biesheuvel dan para
pembantunya sangat terkejut mendengar itu. Mereka tak
menduga Rempekakan menjadi berani seperti itu. Kebencian
mereka memuncak. Dengan muka merah Biesheuvel bangkit
berdiri dan berkacak pinggang. "Yang Mulia menentang VOC!
Yang Mulia harus dihukum. Menentang pemerintah yang sah,
yang telah ada." "Ha... ha... ha... ha..." Mas Rempek melecehkan. Ia pun
berdiri sambil memilin kumisnya. "Kalian menggulingkan Wong
Agung Wilis sebagai pemerintah yang sah pada waktu itu, tapi
kalian tidak berbicara tentang hukum. Sekarang, kami akan
mengambil kembali apa yang terhilang dari kami karena kalian
ambil dengan paksa, kalian bicara tentang hukum dan
pemerintah yang sah. Bukankah ini lucu" Kalian memerintah
atas kami?" "Kami datang untuk melindungi...," Schophoff ikut bicara.
"Dengan dalih melindungi Tuan mengambil emas, perak,


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita, dan tanah kami. Apakah ini bukan penipu" Nah, Begitu
tuannya begitu pula begundalnya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia menyindir hamba?" Jaksanegara membentak.
"Bukti cukup banyak. Berapa banyak perempuan yang
tertipu dan kini mendekam di puri taman Yang Mulia" Mereka
dipaksa dan ditipu. Setelah di sini mereka tak lebih pemuas
nafsu Tuan-tuan Bule. Wajar jika seluruh kawula tidak percaya
pada Yang Mulia." "Yang Mulia harus ditangkap!" Biesheuvel memukul meja.
"Tuan tidak ramah! Aku mau bicara pada Yang Mulia
Jaksanegara. Hamba akan bekerja kembali jika kakak hamba
Rahminten dibebaskan."
"Apa yang harus dibebaskan" Yang Mulia Rahminten di sini
adalah istri kami. Kami sudah saling mencintai. Kami satu
cita." "Apa pun alasannya, hamba akan ambil kembali kakak
hamba." Biesheuvel sudah tidak sabar. Ia memberi tanda agar
pengawalnya bergerak menangkap Rempek. Namun
bersamaan dengan itu pengawal Rempek juga bergerak.
Karena Rempek juga memberi aba-aba isyarat, "Jika ingin
selamat, jangan bergerak!
Jika kalian memaksa maka rumah ini akan dihujani cetbang
atau meriam api Blambangan. Jangan mimpi kalian bisa
selamat! Pengepungan kami berlapis-lapis. Kita semua yang
ada di sini akan binasa! Biesheuvel menjadi pucat karena menahan marah. Pelaut
gagah berani, bangsa yang tidak pernah kalah, diancam oleh
Rempek orang pribumi. Tapi ia mengerti betul bahwa
ancaman Rempek bukan kosong. Ia ingat, Kapten Tack yang
gugur di Mataram, Blanke pada zaman perang melawan Wilis,
dan juga kapten Reyks gugur di medan tempur Blambangan
ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untung bersamaan dengan itu terdengar suara seorang wanita dengan nyaring
berteriak, "Tahan! Rahminten berjalan perlahan memandang Rempek.
Semua yang hadir memandangnya. Pinggulnya bergoyang dibungkus kain ketat.
Demikian juga buah dadanya di balik kemban. Rempek termangu-mangu. Kakaknya
mengenakan kemben" "Kau suruh aku pulang" Sudah terlambat, Rempek. Aku sudah menyatu dengan Yang
Mulia Jaksanegara. Kita telah memilih jalan kita sendiri. Rupanya tempat
berpijak kita sudah tidak sama lagi. Maka tinggalkan tempat ini dengan damai.
Jangan mengusik kami. Kita akan membuktikan siapa yang mencintai Blambangan.
Membangun Blambangan."
"Hyang Bathara!" Rempek heran. Badannya jadi lemas.
"Jangan bingung, Rempek. Inilah kenyataan. Di sini aku menerima yang aku
dambakan dalam hidup. Nah, selamatlah kau!"
"Mimpi apa aku ini?" Rempek hampir tak percaya.
"Bukan impian. Kau bukan mimpi. Aku tak bisa bersamamu lagi! Nah, tinggalkan aku
di tempat ini. Aku senang dengan apa yang telah aku terima di sini."
"Jagat Dewa...," Rempek berdesis lirih. Ia melangkah perlahan. Ia datang untuk
mengambil kakaknya. Namun ia melihat kenyataan pahit. Bayangan Rsi Ropo muncul
dalam angannya. Ah, orang itu benar. Semua orang mengikuti langkahnya yang
lunglai dengan pandang. 0oo0 Derwana sudah tampak menjadi kota baru. Lebih bersih dari pusat pemerintahan VOC
di Blambangan maupun Lateng atau Wijenan sebagai kota besar kedua di Blambangan.
Pagar-pagar dikapur bersih dan dihiasi dengan janur di tiap pintu gerbang
pekarangan. Pohon-pohon yang dulu liar kini terawat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rapi. Pohon buah juwet, mangga, jambu, duren, dan duku
bertebaran di pekarangan tiap rumah. Umbul-umbul Jingga
menghias sepanjang jalan dari batas tembok yang menjadi
gerbang Indrawana sampai ke Derwana. Dari lembah naik ke
bukit. Juga berbagai hiasan yang terbuat dari janur. Di
gerbang Indrawana berdiri barisan kehormatan seperti
menyambut tamu agung. Dan disamping barisan pengawal
bersenjata bedil, tombak, dan pedang serta panah, juga
berbaris para penabuh gamelan angklung yang susunannya
terdiri dari seorang pemukul slentem, seorang pemukul
gendang sebagai pemberi aba-aba atau pengatur irama
gamelan dan angklung. Seorang pemukul peking dan seorang
pemukul saron, seorang lagi pemukul gong dan gayou, dua
orang pemukul ricikan angklung. Karena ada dua angklung di
sini. Satu ricikan angklung dengan hiasan kepala Antareja
pada sampingnya, satu lagi berhiaskan ukiran kepala
Gatotkaca. Angklung ini ditabuh saat tamu memasuki gerbang.
Jalan dari Indrawana ke Derwana tidak mendatar. Karena
memang Derwana lebih tinggi dari Indrawana yang
merupakan lembah. Tengok alun-alun Derwana yang terletak
di depan rumah besar dan kuno, lebih lama usianya dari istana
Mangkuningrat yang hancur di Lateng. Lebih tua dari umur
setiap orang yang ada di Derwana atau di seluruh Blambangan
sekalipun. Bekas istana Macan Putih leluhur raja-raja
Blambangan. Dan kini di alun-alun itu tampak berkumpul
ribuan orang mengelilingi alun-alun. Di salah satu sisi
lapangan itu berdiri sebuah panggung kehormatan. Di sana
nampak Rsi Ropo duduk di ujung paling kanan. Orang sudah
tidak asing lagi terhadap Rsi yang pernah mampu lolos dari
benteng Kompeni yang dijaga kuat. Ah, pasti titisan dewa.
Sedang di sebelah pandita itu duduk Yistyani yang juga sudah
dikenal oleh seluruh kawula yang berasal dari Lateng maupun
Pangpang. Ia adalah bekas menteri cadangan negara di masa
pemerintahan Wong Agung Wilis. Memang tampak agak lebih
tua sedikit dibanding waktu jadi menteri cadangan negara. Di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelahnya duduk seorang gadis manis berambut ikal, Mas
Ayu Tunjung, sebagai menteri cadangan negara pemerintahan
Wilis di Bayu. Di sebelah kanan gadis itu duduk Wilis
berpakaian penguasa Blambangan. Dengan sebuah tongkat di
tangannya. Sebelah kanannya lagi duduk Mas Ramad Surawi-
jaya. Dan Mas Ayu Prabu di samping kanan Ramad. Terakhir
Jagalara. Setelah itu duduk Sayu Wiwit, Undu, Untu, Runtep,
dan beberapa pembesar Raung lainnya.
Di bawah panggung kehormatan ada rombongan penabuh
angklung dengan susunan sama seperti di gerbang
Indrawana. Tapi kini ditambah dengan seorang penari. Marmi
yang dikenal Rempek sebagai Sayu Wiwit bertindak sebagai
penari. Di tengah alunan suara angklung terdengar kidung
membahana diteriakkan oleh segenap pengunjung alun-alun,
untuk menyanjung Wong Agung Wilis. Semua membanggakan
bagi putra-putra Wilis. Itu petunjuk bahwa mereka akan
berhasil mengerahkan banyak kekuatan.
Semua yang disiapkan di Derwana dan Indrawana adalah
untuk pelantikan Rempek sebagai pemuka di Derwana dan
Jagalara sebagai pembantunya. Rempek memang tidak
sanggup lagi tinggal di Pakis. Ia merasa malu. Kakaknya
Rahminten telah mencoreng keluarga Tawang Alun. Baginya
tidak ada jalan lain kecuali menyatu dengan Bayu dan segera
menggempur Belanda. Dan dia saat itu sedang berkuda
dengan diiringi hampir seribu lima ratus orang bersenjata
lengkap dan sepanjang jalan mengibarkan umbul-umbul
jingga dan lambang Sonangkara.
"Dirgahayu Blambangan! Dirgahayu Wilis! Demi Hyang
Maha C^iwa, hancurkan bule!" teriakan mereka bergema
sepanjang perjalanan. Bunga ditaburkan oleh kawula
sepanjang jalan yang akan dilewati Rempek.
Kini rombongan sudah mendaki dari Indrawana ke
Derwana. Setelah dekat dengan alun-alun Rsi Ropo berdiri dan
membunyikan giring-giring. Semua orang bersorak-sorak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi setelah Rempek turun dari kudanya. Sorakan makin
gemuruh. Dalam iringan para pengawal ia berjalan ke depan
panggung kehormatan. Menyembah di depan Wilis. Mas
Ramad memberikan aba-aba supaya semua orang diam dan
mengikuti upacara dengan tenang. Dan perintahnya didengar
oleh orang-orang itu. Rempek memandangi Mas Ramad. Hatinya berdebar siapa
pula ini" Wajahnya benar-benar seperti pinang dibelah dua
jika duduk bersama Wilis. Rsi Ropo kemudian membaca
mantra. Dan setelah itu menyiramkan air bunga ke atas kepala
Rempek. Hanya sekejap rasanya. Tapi membuat kesan
tersendiri bagi seluruh yang menyaksikan. Rempek mendapat
kekuatan tambahan dari Rsi yang mampu meloloskan diri dari
benteng Belanda. "Semoga Yang Mulia Rempek, mendapat kekuatan baru,
seperti halnya Yang Mulia Wong Agung Wilis. Dirgahayu!" Rsi
Ropo berkata keras dan didengar oleh banyak orang.
Kemudian Rsi mundur dan sebagai gantinya suara gamelan
atau angklung ditabuh. Kidung pujian bagi Wong Agung Wilis
ditembangkan. Mendayu menggugah semangat. Marmi
kemudian maju menghadap Rsi. Dan Rsi menyerahkan sebuah
keris dan cincin. Marmi kemudian berjalan ke arah Rempek
untuk menyematkan cincin di jari dan menyelipkan keris ke
pinggang Rempek. Bau harum tubuh Marmi merangsang
hidung. Ketika Marmi kembali ke tempat, hati Rempek seperti
terbawa pergi. Namun ia tak sempat melamun banyak.
Sebentar kemudian Wilis berdiri. Memerintahkan Rempek maju
dan diambil sumpahnya. "Demi Hyang Maha Durga, hamba akan menyerahkan
seluruh jiwa dan raga buat tanah kelahiran, Blambangan
tercinta." Hadirin menyambut dengan tepuk tangan gemuruh.
"Dirgahayu! Dirgahayu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena Yang Mulia Rempek telah menerima jiwa dan
semangat Wong Agung Wilis maka mulai saat ini Yang Mulia
dipercaya untuk menjadi penguasa di Derwana dan
Indrawana, juga sebagai pratanda mukha Blambangan yang
bertanggung jawab pada hamba, sebagai penguasa tertinggi
di Blambangan. Karena itu sejak saat ini Yang Mulia tidak lagi
bernama Mas Rempek, tapi Jagapati. Sedang Jagalara adalah
pembantu atau wakil Yang Mulia. Sanggup melaksanakan
tugas yang dibebankan kerajaan?"
"Sanggup, Yang Mulia."
"Nah, Kita sekarang harus tahu. Sejak ini kita akan
diperangi oleh Belanda dan Jaksanegara! Tapi, Saudara-
saudara, jangan takut. Sebab takut adalah dosa. Kita akan
lawan mereka. Gempur! Sebab jiwa dan semangat Wong
Agung ada pada kita. Terutama pada pemuka kalian Mas
Jagapati!" Semua orang menyambut kata-kata itu dengan
gemuruh. "Sekarang kalian boleh bubar! Tapi jangan lupa, ke mana
pun kalian pergi harus siap dengan senjata di tangan. Jika
tidak maka kita akan dibinasakan oleh bule-bule itu! Ke sawah
pun bawa! Ingat-ingat ini, para drubiksa selalu mengintai kita!
Nah, dirgahayu. Sampai jumpa." Wilis turun. Di kuti Rsi Ropo
mendekati Jagapati. Mengajaknya menuju pendapa sebentar.
Marmi berjalan paling depan dengan iringan gamelan. Gadis
itu menyebarkan bunga dari dalam bokor yang dibawanya.
Rempek tidak pernah menduga bahwa ia akan menerima
penghormatan yang sedemikian besarnya dari pemerintahan
Wilis. Sampai di pendapa semua pembesar Raung berhenti.
Satu-satu dikenalkan oleh Wilis. Mulai dari Runtep, Undu,
Untun, Mas Ramad Surawijaya. Jagapati memandang pemuda
itu tajam-tajam. Dibalas dengan senyuman dan pandangan
yang tak kalah tajamnya. Jagapati jadi ingat, bukankah
pemuda ini yang pernah menjatuhkan Benteng Pangpang
waktu perang Wong Agung" Maka ia cepat-cepat menyembah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ini Mas Ayu Tunjung." Jagapati kagum pada gadis itu.
Tentu cerdas seperti Ni Ayu Candra, ibunya.
"Ini Mas Ayu Prabu, guru dan pelatih Sayu Wiwit. Dia juga
kepala dinas rahasia kami."
"Hyang Bathara!" Jagapati menyembah lagi. Matanya
mengundang kekaguman. Dan beberapa lagi dikenalkan.
Setelah itu Wilis. dan rombongan minta diri. "Kami akan
segera melengkapi persenjataan di tempat ini dengan meriam.
Sebab tentu tempat ini jadi sasaran pertama penyerangan
Belanda." "Hamba, Yang Mulia."
Pendapa segera sepi. Kecuali laskar yang sedang bertugas
jaga dan penabuh gamelan angklung, maka semua sudah
bubar. Pengikutnya dari Pakis yang seribu lima ratus orang itu
sudah ditempatkan di asrama yang memang disediakan untuk
mereka. "Mari Yang Mulia memeriksa keadaan taman dan persiapan
untuk memboyong paramesywari dan para selir," suara merdu
menegurnya. Ia toleh. Ternyata Marmi.
"Sayu Wiwit" Kau tinggal?"
"Untuk hari ini hamba tinggal. Ada tugas."
"Baik, aku akan lihat pasukanku sebentar. Apa mereka
sudah mendapat tempat?"
"Sudah di atur oleh Yang Mulia Jagalara."
"Jagat Bathara!" Jagapati baru tahu, bahwa orang Bayu
benar-benar siap. Ternyata Indrawana dan Derwana sudah
berdinding batu. Bukan cuma itu, cadangan makanan pun
mereka sudah siap. Dan para pembesar Raung yang
kebanyakan masih muda itu sangat menakjubkan. Ke mana
orang-orang tua mereka" Cuma Yistyani yang tua. Mungkin
semua sudah mati dalam perang Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia berjalan menuju sentong tengen atau kamar sang raja
dengan paramesywari. Dan untuk selir, kata Marmi disediakan
puri-puri di tamansari. Sekarang masih kosong. Di taman itu
ada sungai kecil yang jernih. Bisa untuk mandi para putri.
Sungai itu mengambil air dari sungai yang mengalir dari atas
ke Indrawana. Kembang-kembang belum tumbuh dengan
baik. Masih baru. "Besok, atau lusa hamba bertugas mengambil
paramesywari," Marmi menerangkan. "Hari ini hamba
menyediakan bahan makan untuk Yang Mulia. Nah, hari sudah
sore, Yang Mulia, silakan mandi."
Marmi tetap tinggal di taman itu. Jagapati kembali ke
kamar yang disediakan untuknya. Marmi juga mandi di kali
kecil itu. Mereka baru bersua lagi kala senja di taman. Marmi
sudah menyiapkan makanannya.
"Sayu Wiwit, kenapa kau pergi?" Kala Marmi akan


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan Jagapati yang sedang makan. "Temani aku!"
"Ampun, Yang Mulia..."
"Jangan menghina aku, Wiwit." Dan Marmi terpaksa duduk.
"Aku kagum mendengar namamu tersebar di mana-mana.
Kau wanita perkasa sekarang menemani aku."
Marmi berdebar. Ia tahu siapa yang berkarya besar itu.
Bukan dia. Tapi Mas Ayu Prabu. Tapi kini ia bertugas
menemani Jagapati. "Hamba cuma menjalankan tugas...."
"Hebat." "Yang Mulia lebih hebat. Karena itu hamba malam ini
bertugas menemani Yang Mulia. Ini anugerah. Cuma malam
ini saja...." "Hyang Bathara! Siapa yang memberi anugerah padaku
ini?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rsi Ropo. Yang Tersuci senang Yang Mulia berani menyatakan pendapat pada
Jaksanegara. Itu awal dari pemberian atau pembentukan makna diri. "
"Sayu..." Jagapati tercenung. Ia berdiri. Senja telah tiba.
"Dengan apa aku membalas semuanya ini?"
"Membangun sebuah makna diri bukan hal yang mudah.
Kadang harus ditebus juga dengan nyawa - " Marmi berdiri. Ia melangkah perlahan.
Menuju sebuah puri dan menyalakan lampu. Jagapati mengekornya.
"Dengan nyawa?" tanya Jagapati setelah lampu menyala.
Kegelapan mulai menggerayangi puri . itu. Tempat tidur beralas tikar pandan saja
yang tersedia. "Ya. Dengan nyawa. Yang Mulia menyesal" Takut?" kata-kata yang sudah dilatihkan
oleh Mas Ayu Prabu. Dan Marmi tersenyum. Memamerkan biji timun yang berbaris
rapi di sela bibirnya. "Tentu tidak! Tidak," jawab Jagapati cepat.
"Oh..." Marmi maju dan merentangkan tangannya.
Sebentar kemudian tubuh mereka menyatu dalam pelukan.
"Inilah hamba, Yang Mulia, yang dianugerahkan hanya semalam ini untuk Yang
Mulia." Jagapati tak membuang kesempatan. Ia tahu artinya semua itu. Ia akan segera
bertugas untuk m berperang.
Sebelum berangkat untuk mati, ia diberi anugerah...
0oo0 Mentari merah muncul di ufuk timur. Langit bersih tiada berawan. Jagapati baru
saja bangun dari semadi di pura, kala seorang laskar Bayu menghadap bersama
Jagalara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu, Kanda Jagalara," Jagapati menyapa terlebih
dulu. "Dirgahayu. Yang Mulia, sekarang juga kita mendapat
perintah menghadap ke Bayu."
"Ada apa?" | "Hamba tidak tahu, Yang Mulia," laskar Bayu itu
menyembah. "Baik. Yang Mulia Jagalara, kita berangkat sekarang."
"Apakah tidak berpamitan dahulu pada Yang Mulia
Paramesywari." "Baiklah," katanya kemudian turun dari pura. "Yang Mulia berangkat dulu.
Sebentar hamba menyusul."
Tanda tanya memenuhi kepala semua orang. Terutama
Jagapati. Dia tidak tahu bahwa semua orang termasuk
Sambirono, Ayu Prabu, dan semua pemuka Raung serta
semua pemimpin pasukan gabungan, antara lain Lebok
Samirana, bahkan Mas Ramad serta Sayu Wiwit pun, harus
datang. Istri Jagapati pun tidak pernah keberatan suaminya
dipanggil secara mendadak begitu. Ia mengantar suaminya
sampai di gerbang istana. Ia awasi suaminya sampai lenyap
dari pandangan. Dan dalam pandangannya Jagapati adalah
seorang tampan dan gagah. Maka ia memaklumi jika
suaminya beristrikan lebih dari satu. Yang penting tidak
mencampakkannya begitu saja. Sekalipun sekarang sudah
menjadi seorang pemuka sekaligus pratanda mukha
Blambangan. Tidak satu pun yang menerima panggilan lewat utusan
rahasia itu yang tidak hadir. Semua mematuhi Wilis. Namun
dalam hati Lebok Samirana yang memang belum pernah
bersua dengan Wilis, bertanya dengan sedikit melecehkan,
untuk apa dia memanggil orang-orang" Seperti maharaja saja.
Dan betapa terkejut setelah Ramad Surawi-jaya, sahabatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu, menyembah di kaki Wilis. Seorang pemuda. Ah, aku
seorang yang sudah berpengalaman tempur melawan Belanda
di mana-mana, mengapa harus menyembah pada seorang
ingusan macam itu. Tapi karena semua orang menyembah,
terpaksa ia pun ikut menyembah. Mata Wilis mengamati
mereka satu per satu dengan pandangan yang tajam, sambil
membalas penghormatan mereka.
Mata Jagalara dan Lebok Samirana berkeliling seputar
ruang pertemuan yang dijaga ketat oleh orang-orang yang
duduk-duduk di bawah pohon talok. Semua membawa bedil
laras panjang. Jagapati sendiri heran. Tentu bukan pertemuan
biasa. Karena semua diperintahkan duduk merapat maju.
Wanita berkumpul dengan wanita. Yistyani, Sayu Wiwit, Ayu
Prabu, dan Ayu Tunjung, hadir dan duduk sebelah kiri. Yang
pria sebelah kanan tangan Wilis.
"Para Yang Mulia, saya tidak akan berbicara banyak,"
pemuda itu mulai. "Terima kasih atas kehadiran para Yang
Mulia." Kembali pemuda itu mengamati semua orang satu per
satu. Kemudian matanya mengawasi para penjaga. Dan
seperti menajamkan telinganya. Semua diam. Tidak ada yang
bergerak. Jagapati maupun Jagalara dan Lebok Samirana
mulai mengakui wibawa pemuda itu.
"Kita telah mengumumkan secara resmi pemerintahan kita.
Tentu di antara hadirin ada telik
Belanda. Dan karena itu bulan depan Biesheuvel telah
memutuskan akan menggempur kedudukan kita di Derwana
serta Indrawana." Diam sebentar. Mengambil napas.
Sementara itu Jagapati terperanjat. Anak muda ini tahu secara
pasti" Bulan depan. Tinggal berapa hari lagi" Hai, baru berapa
hari aku memerintah" Apakah aku bisa menghadapi Belanda"
"Jangan khawatir! Kita tidak perlu takut. Semua akan diatur
oleh Yang Mulia Sratdadi sebagai menteri mukha. Tapi kali ini
kita menghadapi perang besar, maka hamba memegang
kendali atas semua dan segala. Dan hamba minta tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang pun bertindak dengan perasaan serta kemauan
sendiri. Kita harus sungguh-sungguh melakukan perang ini.
Perang semesta! Jadi, satukan hati dan pikiran kita. Hamba
tidak ingin melihat kita berperang untuk mencari uang. Ingat-
ingat, Yang Mulia, kita bukan tentara bayaran! Ada berapa
banyak peperangan para pelawan Belanda gagal karena
ditunggangi oleh orang-orang yang haus perang demi
kepentingan pribadi." Diam sebentar lagi. Menelan ludah. Hati
Lebok Samirana berdebar. Anak muda ini menyindir. Tapi ia
tidak bisa menutup kekagumannya. Selama ia ikut berperang,
baik di Malang, Blitar, dan Ngantang, belum pernah ada yang
mampu menyebut waktu penyerangan Belanda kepada
mereka. Barangkali cuma Untung dan Jangrana saja yang
tahu. "Jika ada yang masih punya keinginan hati yang tidak sama
dengan cita-cita kita, yaitu menegakkan kembali suatu
kerajaan yang tidak mengakui perintah VOC, seperti halnya
Aceh, Bali, dan kerajaan lain yang tidak diperintah Belanda,
dan sesudah itu kita akan bekerja sama dengan kerajaan
mana pun untuk menyatukan Nusantara dan mengusir VOC
dari Batavia - sebaiknya sejak sekarang tidak bergabung
dengan kami. Nah, setujukah dengan pendapat ini?" Mata
Wilis menindas semua orang. Dan semua menyatakan
persetujuannya. "Karena itu, sejak sekarang jangan ada yang bergerak
sendiri tanpa wewenang hamba. Kecuali jika amat terdesak!"
Sekali lagi Lebok Samirana merasa bahwa sebuah kuku macan
menancap makin dalam di hatinya. Menekan semua kebiasaan
hidupnya. Ia tidak bisa diperintah. Tapi ia terikat cita-cita
menegakkan kembali Blambangan yang kuat.
"Nanti akan segera hamba kirim utusan ke tempat Yang
Mulia masing-masing untuk mulai menyerang. Tapi sekarang
bersiaplah. Pada saat Biesheuvel bergerak menyerbu kita,
maka Yang Mulia Ramad Surawijaya harus bergerak memukul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Steenberger di Jember. Tentu akan bersama dengan Yang
Mulia Lebok Samirana."
Sekali lagi Lebok Samirana tertegun. Anak ini hebat. Bukan
main. Dia mampu mengatur perang semesta" Ya, perang
semesta yang gagal dilaksanakan oleh Sultan Agung itu" Juga
oleh Jangrana itu" Jagapati juga tidak pernah mampu
menjajagi kemampuan Wilis. Diakah yang bergerak di Lateng
dan Pangpang beberapa waktu lalu" Sedang Jagalara, mau tak
mau mengakui, ia belum pernah memikirkan seperti yang
dipikirkan Wilis. "Tapi jangan lupa, Biesheuvel telah mengirim Pieter Luzac
ke Surabaya untuk memukul kita dari belakang. Karena itu
Yang Mulia Lebok Samirana harus mematahkan jalur
Bondowoso - Panarukan. Dan memutuskan semua jalan ke
Wijenan dan Pangpang. Jika ini berhasil, tentu Belanda akan
menggempur kita dari Jember. Tapi setidaknya di Jember
nanti akan berhadapan dengan Yang Mulia Sayu Wiwit.
Sedang Yang Mulia Ramad akan jadi penjelajah di wilayah
barat dan timur. Sedang Yang Mulia Mas Sratdadi akan
menerima laporan dan perintah dalam perang ini."
"Apakah itu pasti, Yang Mulia?" Jagalara mencoba.
"Tangan Biesheuvel sudah gatal. Dan laporan telik kita
menunjukkan petunjuk ke arah itu."
Semua orang terpekur dalam kekaguman.
"Sedang Yang Mulia Mas Ayu Prabu akan bergerak di
wilayah barat, dan menerima bantuan sepenuhnya secara
langsung dari Yang Mulia Sratdadi dan tentunya hamba
sendiri." "Mengapa Yang Mulia akan turun sendiri ke peperangan?"
Baswi keberatan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang yang cuma pandai bicara bukanlah pimpinan yang
baik," jawab Wilis sambil tersenyum. "Bukankah di sini sudah ada Yang Mulia
Baswi dan Ibunda. Sedang semua yang masih muda
sebaiknya turun ke medan laga. Inilah perang semesta. Kita
hancurkan Belanda si perampok biadab itu di mana-mana."
"Jagat Bathara!" sebut semua orang.
"Mari, para Yang Mulia, kita sama pergi berdoa. Kita mohon
kekuatan dari Maha Pencipta. Hyang Maha Ciwa. Sedang Yang
Mulia Jagalara dan Lebok Samirana yang berigama Islam,
silakan berdoa dengan cara Yang Mulia sendiri. Tapi kami
semua akan masuk pura."
Masih belum sempat orang menanyakan sesuatu, Wilis
berdiri. Dan ia sudah mengenakan pakaian perang. Ah, kata
Yistyani dalam hati, wajahnya benar-benar mirip dengan
Wong Agung... Bersambung ke Gema Di Ufuk Timur 2.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 2 Karya : Putu Prana Darana
Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di
http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimur-
Buku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sinopsis : Roman sejarah Blambangan... Keperkasaan ksatria tanpa
cinta wanita terasa hambar!
"Saatnya telah tiba!" seru Wilis muda. "Kita harus
berperang demi membela kehormatan negeri kita. Demi
Blambangan kita berangkat bertempur! Ambil senjata kalian
masing-masing! Semua! Laki-perempuan!" Wilis muda, yang
dilahirkan untuk menjadi penerus, lebih siap dari Wong Agung
Wilis sendiri. Untuk merebut kembali Blambangan, ia
menyusun strategi baru, berbekal pengalaman kegagalan
Wong Agung Wilis. Segala persiapan yang sudah dibuat
seakan menjanjikan kemenangan! Tapi hidup adalah teka-teki.
Juga bagi patriot muda Blambangan ini. Dia telah berjanji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada Mas Ayu Prabu untuk menjadikannya permaisuri bila
tahta Blambangan telah diraihnya. Namun Wong Agung Wilis
dan Yistyani seolah menutup kemungkinan itu. Cuma mereka
berdua yang mengerti bencana yang bakal menimpa jika
perkawinan itu terjadi...
Gema di Ufuk Timur adalah buku kedua trilogi: Tanah
Semenanjung Gema di Ufuk Timur Banyuwangi
Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Sel Jakarta 10270 ISBN
979-403-5 no.jil.lengkap 97, 1989
GEMA DI UFUK TIMUR 2 oleh Putu Praba Darana GM 401
89.580 ? Penerbit PT Gramedia, Jl. Palmerah Selatan 22,
Jakarta 10270 Sampul dikerjakan oleh NBC. Sukma Diterbitkan
pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI,
Jakarta, Mei 1989 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XIII. TIADA LAGI BULAN BUNDAR
Angin bertiup lembut. Mengusir kabut pagi yang enggan berlalu. Sekalipun malas,
namun mentari tidak pernah ingkar dari kewajibannya. Menjanjikan lintasan demi
lintasan. Yang kemudian disebut waktu. Tiap lintasan yang dibuatnya telah
menambah usia zaman. Usia bumi, usia jagat dengan segala isinya.
Bukan cuma usia yang berubah. Keadaan pun berubah.
Tiap lintasan waktu membawa perubahan yang selalu baru.
Sebab kodrat mengharuskan semua yang ada dan yang pernah ada selalu berkembang.
Selalu. Ya, selalu. Sebab dalam lintasan waktu juga berisikan pergeseran dan
persinggungan. Membawa nilai-nilai baru dalam peradaban.
Itulah kehidupan. Tumbuh dan berkembang.
Memperanakkan dan diperanakkan. Manusia beranak manusia, hewan beranak hewan,
pohon beranak pohon, dan... zaman
beranak zaman. Demikianlah halnya, peradaban juga
mengandung peradaban yang baru. Maka bukan musykil jika
masyarakat juga beranak masyarakat. Ini berlaku di mana-
mana, di atas bumi milik manusia. Demikian juga di Bumi
Semenanjung - Blambangan....
Zaman Wong Agung Wilis sudah berlalu, kendati orang
tidak pernah melupakannya. Bagi kawula Blambangan nama
itu abadi. Terukir dengan tinta emas dalam hati mereka. Dan


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lenyapnya Wong Agung Wilis dari Bumi Blambangan membuat
kawula tak ubahnya anak-anak ayam yang bingung karena
kehilangan induknya. Dan mencari pegangan baru. Mencari
kekuatan baru. Apa pun saja itu, asal bisa memberi
perlindungan dan kekuatan, akan mereka percaya. Maka tak
mengherankan jika berita-berita tentang hadirnya Wilis di
Derwana dan melantik Mas Rempek yang kini diberi gelar
Jagapati, dianggap sebagai hadirnya Wong Agung Wilis pribadi
untuk melantik panglimanya. Apalagi pelantikan itu dipimpin
oleh Rsi Ropo. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rsi Ropo" Siapakah yang tak pernah mendengar nama itu"
Seorang brahmana muda yang mampu meloloskan diri dari
tiang gantungan. Seorang brahmana muda yang mampu
mengubah hutan Songgon yang telah begitu lama tak
berpenghuni menjadi daerah subur tanpa tandingan di Bumi
Semenanjung Blambangan. Bukan cuma itu. Ternyata Rsi
Ropo mampu membangkitkan hati orang Blambangan yang
telah luluh oleh karena kalah dan terus-menerus kalah dalam
perang. Kalah oleh Bali. Lalu oleh Belanda. Bahkan sebenarnya
dari Songgon-lah terpantul gema nama besar Wong Agung
Wilis. Kabar pengangkatan Jagapati sebagai pemuka di Derwana,
yang merambat bagai angin, meniupkan keberanian ke dalam
dada tiap orang - -di samping juga menyebarkan sejuta tanya.
Benarkah Agung Wilis yang mereka puja itu belum mati" Atau
rohnya yang turun untuk memberi kekuasaan dan kekuatan
pada Jagapati" Jika demikian Jagapati tentu akan menjadi
orang sakti seperti halnya Wong Agung Wilis sendiri. Maka tiap
orang Blambangan harus mendengar kata-katanya seperti
mendengarkan Wong Agung Wilis sendiri.
Tapi di sisi lain orang mendengar kabar tentang Wong
Agung Wilis yang sering mengusik kedudukan pasukan
Kompeni di gardu-gardu penjagaan mereka. Walau kabar itu
cuma cerita dari mulut ke mulut, namun itu cukup
menggoyahkan kepercayaan kawula terhadap keterangan
yang disebarkan pihak Jaksanegara dan Belanda bahwa Wong
Agung Wilis sudah mati. Tertembak mati. Dan bangkainya
barangkali telah menjadi makanan serigala.
Angin keberanian menjalar dari rumah ke rumah,
menyentakkan tiap orang dari impian. Impian bahwa
Jaksanegara dengan bantuan Kompeni akan membawa
Blambangan menjadi suatu negeri khayalan para dalang.
Negeri damai sejahtera, tenteram dan adil makmur. Negeri
dongeng. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang tidak pernah akan ada di muka bumi. Apalagi di Blambangan. Kawula menjadi
makin sadar bahwa bantuan asing dari mana pun datangnya tidak akan dapat
memberikan kesejahteraan. Bisa jadi makmur, keadilan belum tentu ada.
Juga belum tentu sejahtera. Sebab pada hakikatnya hubungan antar niaga itu tidak
pernah mengenal kejujuran. Apalagi keikhlasan. Tegasnya jika kaum bermodal
hendak membantu orang yang kurang bermodal tentu juga bermaksud mengembangkan
modalnya sendiri. Demikian pula dengan masuknya Kompeni di semenanjung
Blambangan ini. Tentu bukan sekadar membantu, tapi bermaksud meluaskan jajahan.
Ternyata hampir bisa dikatakan hukum bahwa si pandir dibodohi oleh yang cerdik,
si lemah dilindas oleh yang kuat.
Itu sebabnya barangkali beberapa waktu lalu Rsi Ropo mengajar di Songgon,
"Jangan menjadi dungu. Sebab kedunguan akan menenggelamkan kamu ke alam mimpi
yang tiada habis-habisnya. Dan jangan menjadi lemah, karena kelemahan membuat
dirimu teraniaya dengan tiada berkeputusan. Jangan takut, sebab ketakutan akan
membawa kamu pada kenistaan kekal."
Kata-kata Rsi Ropo itu ternyata tidak berhenti di Songgon saja. Seperti ada
kuasa gaib yang mendorongnya, kata-kata itu menjalar ke setiap telinga orang
Blambangan. Bahkan sampai juga ke telinga orang-orang yang sedang bekerja rodi.
Baik mereka yang sedang bekerja di jalan-jalan raya, atau di benteng-benteng.
Entah siapa yang meniupkan ke sana mula-mula. Tapi itu membangun semangat
seorang pemuda bernama Tunjek untuk mempertahankan hidupnya. Sambil melirik
kiri-kanan ia mulai berbicara pada teman yang bersamanya memikul batu dari kali
untuk dibawa ke benteng. Ramud nama pemuda pasangannya itu. Keduanya telah amat kurus. Berkali mereka
terhuyung dan jatuh. Sudah tiga hari mereka tidak makan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mud, masih kuatkah kamu?" bisik Tunjek di sela napas
yang terengah-engah. "Mungkin lusa aku sudah mati...."
"Sstt... jangan keras-keras. Nanti Kompeni-kompeni hitam
itu memperhatikan kita." Tunjek memperingatkan temannya
"Aku sendiri juga tinggal dua hari." Anaknjuda itu diam
sebentar. A Kembali menoleh kiri-kanan. Ia lebih leluasa
karena di belakang Ramud.
"Depan ada orang, Mud?" bisiknya lagi.
"Jauh di depan. Ada apa?" Ramud balik tanya.
"Kita sama-sama akan mati. Seperti semua orang tua
pendahulu kita. Dan semua akan dilempar ke hutan untuk
umpan ular atau seri-gala."
"Lalu mau apa" Itu sudah ketentuan Hyang Maha Dewa."
"Menurut Rsi Ropo, Hyang Maha Dewa tak pernah
menentukan bahwa kita akan mati seperti anjing kurap."
"Rsi Ropo?" "Ya. Rsi Ropo. Suaranya berdengung sampai kemari.
Semalam ia berbisik kepada beberapa orang...."
"Apa katanya?" "Sama-sama mati, janganlah mati dalam kedunguan. Mimpi
jika kita berharap belas kasihan mereka. Satu per satu kita
akan mati." "Jadi mati yang bagaimana pilihanmu?"
"Jika kau setuju, kita lari saja."
"Hei?" Ramud terkejut.
"Jangan keras-keras! Dua hari lagi kita akan mati tanpa
usaha sedikit pun untuk mempertahankan hidup kita. Jika lari,
ada dua kemungkinan. Andai mati sekalipun kita sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membela nyawa yang cuma segumpal ini. Tidak menyerah
begitu saja pada kelaparan."
Ramud diam. Terjebak dalam renungan. Jadi selama ini
mereka yang mati sebenarnya terjebak oleh kedunguan,
kelemahan, dan ketakutan mereka sendiri" Ah, sekarang aku
juga. "Kenapa diam, Ramud?"
"Aku tak tahu bagaimana caranya. Dan aku tak tahu ke
mana kita akan pergi?"
"Kita akan ke Songgon. Mohon perlindungan Rsi Ropo."
"Mungkin empat hari kita baru mencapai Songgon.
Mungkinkah kita mampu bertahan empat hari?"
"Mampu atau tidak, yang penting kita telah berusaha."
"Tapi begitu kita meletakkan batu ini dan melangkah,
peluru akan menembus dada kita."
"Tidak! Akan kita kelabui mereka. Kau masih kuat
menggendong aku?" "Barangkali masih kuat. Karena kulihat tubuhmu juga
kurus." "Baik. Jika demikian aku akan pura-pura mati. Kau harus
melapor pada komandan jaga. Nah, biasanya pasangan si mati
yang diharuskan mem-buang bangkai temannya ke tengah
hutan. Kesempatan itu kita manfaatkan."
"Kita coba. Mudah-mudahan Hyang Durga memihak kita."
Dan terjadilah apa yang mereka rencanakan. Seperti yang
sudah diduga maka komandan jaga yang biasa mendengar
laporan semacam itu enggan melihat mayat dan
memerintahkan Ramud membuang mayat temannya. "Tapi
hamba tidak kuat, Tuan. Apakah harus memikul seorang diri?"
"Tidak peduli! Angkat, atau mati bersama!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ba... ba... baik, Tuan." Ramud kemudian mengendap-
endap meninggalkan komandan jaga.
"Cepat kembali! He, jika tidak, kami bisa pecahkan
kepalamu! Mengerti?" teriak komandan jaga itu
menambahkan. Ramud menoleh lagi. Mengiakan dengan hati berdebar.
Tapi segera berlalu dan mendekati Tunjek yang terkapar di
pinggir jalan. Pekerja rodi lainnya pada menyimpang tanpa
berani menengok. Dalam hati tersembul tanya. Kapan aku
menyusulnya" Pengawal tentu tidak mau berpanas-panas
mendekati Tunjek. Sudah menjadi pemandangan umum orang
mati setiap hari. Apakah karena kelaparan atau kelelahan yang
tanpa batas. Dengan perut lapar begitu ternyata tubuh Tunjek menjadi
amat berat. Sekalipun tubuh itu sama kurus dengan dirinya.
Sambil mengumpat lirih ia berusaha juga. Dan akhirnya
berhasil memanggul Tunjek di pundaknya. Terhuyung-huyung
ia menyeret kakinya menjauh dari tempat kerja rodi itu.
"Gila! Berat juga tubuhmu!" bisik Ramud sambil terengah-
engah. Sedang Tunjek diam saja. Terkulai seperti daun pisang
yang telah tua. Tapi ia belum berani membuka mata. Napas
Ramud kian memburu. Kasihan ia. Maka ia bertanya dalam
bisiknya, "Sudahkah kita tidak terlihat oleh mereka lagi?"
"Jangan main-main. Mereka masih mengawasi kita."
"Ah... masuk ke semak-semak!"
Benar, Ramud memikul Tunjek ke balik pepohonan, sampai
hilang dari pandangan para penjaga.
"Turun kamu, ah.... Rasanya aku mau mati," Ramud
menggerutu. Kemudian Tunjek turun dari gendongan. Ramud
mengambil waktu untuk beristirahat. Demi kewaspadaan,
Tunjek harus tertelungkup di rerumputan. Keduanya diam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa bisik. Telinga mereka ditajamkan untuk mengamati
keadaan. Udara yang bertiup di sela pepohonan memberi
kekuatan baru. Dan keduanya mulai mengharap-harap bisa
bersua dengan Rsi Ropo di Songgon. Pengharapan yang
menimbulkan kekuatan. Kekuatan membuat mereka mulai
merangkak. Merangkak, menguak semak, onak-duri.
Lutut mereka mulai tersayat-sayat padas keras. Demikian
pula telapak tangan mereka. Bahkan hampir seluruh tubuh
sudah tersayat duri. Kala senja tiba mereka mulai berani
berdiri. Dan kembali mengendap-endap. Menyelinap dari balik
semak ke semak lainnya. Tubuh mereka makin lemas tanpa
perbekalan makanan. Karena itu keduanya memutuskan
memakan tunas penjalin muda. Mereka tahu tunas itu terasa
agak manis dan mengandung air. Mereka tidak bisa memasak
apa-apa karena tidak punya pemantik api. Kelaparan membuat
mereka tak peduli terhadap duri yang melindungi tunas
penjalin itu. Pokoknya dapat mengganjal perut mereka. Dan
dari ujung penjalin muda yang dipatahkan mereka mendapat
air bersih yang dapat mengobati dahaga. Sekalipun tidak
memuaskan, tapi itu lebih bijaksana daripada mereka
menemukan sumber air, sehingga mereka akan memenuhi
perut kosong mereka sepenuhnya dengan cuma air. Malam
tidak melunturkan niat mereka untuk menjauhkan diri dari
benteng. Untung rembulan menolong mereka. Sekalipun gangguan
binatang malam, termasuk nyamuk, sukar ditolak. Mereka
cuma mengumpat. Tapi tidak keras. Takut suara mereka
kedengaran oleh para pemburu, sebab mereka
memperkirakan pasukan penjaga sudah tahu pelarian Ramud.
Dan memang kala malam tiba dan Ramud yang diperintahkan
membuang mayat temannya itu belum kembali, komandan
jaga menjadi berang. Pencarian pun dilakukan. Di suruh ke hutan di mana masih
banyak mayat yang belum dimangsa binatang buas banyak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengawal yang malas. Bau bangkai yang tidak sedap akan
membuat mereka mual. Bahkan muntah-muntah. Maka
pencarian tidak diteruskan. Mereka melapor bahwa keduanya
sudah ditelan harimau, sebab harimau katanya suka makan
bagian dalam organ tubuh mangsanya. Mereka memutuskan
tidak perlu mencari lagi.
Perjalanan selanjutnya makin sulit. Menembus hutan yang
belum pernah dilewati manusia. Keduanya bertekad
menembus hutan itu, sebab Ramud tahu, jika mereka mampu
menerobos hutan itu, mereka akan sampai di kawasan
Songgon. Tapi tenaga keduanya sudah hampir tiada sama.
sekali. Yang mereka miliki cuma pengharapan. Pengharapan
membuat orang bertahan dalam aniaya. Ya, pengharapan!
Pada tengah hari langkah mereka makin berat. Keringat dingin
membasahi seluruh tubuh. Kepala kian berdenyut.
"Ah, Ramud, mataku berkunang-kunang."
Tunjek berpegangan pada sebatang pohon langkap
(sebuah pohon yang menghasilkan ijuk. Pohonnya seperti
pinang atau aren) Ramud menghentikan langkahnya. Ia sendiri serasa mau
mati. Tapi ia tahu mereka sudah melewati bagian terberat
dalam perjalanan mereka. "Tunjek" Oh, kuatkan hatimu! Tidak lama lagi kita akan
sampai di Songgon." "Oh...," Tunjek mengeluh sambil menyandarkan kepalanya
pada pohon langkap yang dipe-ganginya. Beberapa bentar
kemudian terduduk. Kepalanya semakin berat.
"Ramud, lanjutkan perjalananmu sendiri. Mungkin aku tidak
mampu lagi melanjutkan perjalanan...."
"Jaraknya sudah amat dekat. Dengar suara perempuan
berkidung. Mereka sedang bekerja di sawah. Tentu itu
Songgon." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunjek memasang telinganya. Benar. Sayup di kejauhan ia dengar suara beberapa
wanita menembangkan sebuah kidung. Bersama. Tentu mereka sedang bersuka cita.
Tembang yang tiada pernah ia dengar di Lateng maupun Lo Pangpang. Kidung pujian
untuk Wong Agung Wilis. Samar ia masih juga mendengar suara tawa. Hatinya
berbunga. Ia kumpulkan sisa tenaganya. Berdiri lagi. Ramud senang melihat itu.
Dan mereka kembali berjalan. Saling memapah. Sama-sama terhuyung. Sama-sama
terjatuh di sela pepohonan.
Saling membangkitkan semangat. Tapi bagaimanapun letih dan lemahnya mereka,
suara tembang telah menimbulkan harapan yang hampir saja pudar. Pengharapan yang
disertai ketekunan ternyata menimbulkan kekuatan.
Tenaga gaib yang ditimbulkan oleh pengharapan telah mendorong mereka mencapai
tepian hutan. Namun itu merupakan tenaga terakhir yang tersimpan dalam tubuh
keduanya. Suatu keuntungan besar mereka masih sempat berpikir sebelum jatuh ke
bumi. Keduanya bersepakat untuk sama-sama berteriak minta tolong. Suara mereka
mengagetkan beberapa wanita yang sedang bekerja di sawah.
Dan tanpa persetujuan terlebih dahulu, para wanita itu meletakkan bibit padi


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang mereka tanam di lumpur dan berlari menuju arah datangnya suara.
Tentunya para wanita yang menanam padi di sawah yang tempatnya sangat dekat
dengan hutan itu. Hampir lima belas orang.
Sebentar saja beberapa orang memeriksa keadaan kedua orang itu. Namun beberapa
bentar kemudian segera membuat tandu dari kayu yang mereka dapatkan dari hutan.
Cekatan, seperti sudah terlatih, mereka beramai-ramai mengangkat kedua lelaki
itu ke atas tandu lalu diusung ke desa Songgon.
Tentu menarik perhatian. Tapi seperti sudah diatur, sekalipun ingin tahu, orang-
orang tak bergeming. Hanya melihat sambil meneruskan pekerjaan masing-masing.
Kedua pemuda itu terus mereka bawa ke Songgon. Dan langsung dihadapkan pada Rsi
Ropo. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagat Pramudita! Anak ini kelaparan dan keletihan," ujar
Rsi Ropo. "Basuh kepala mereka dengan air dingin!"
perintahnya pada seorang cantrik. Kemudian pada para wanita
yang membawa kedua pemuda itu ia berkata,
'Terima kasih! Andaikata kalian tidak segera menolong
mereka, mungkin saja yang kita jumpai esok adalah mayat.
Kalian telah memberikan hidup pada mereka. Ingat-ingat,
sahabat sejati adalah sahabat dalam suka dan duka. Dan tidak
ada kasih yang lebih besar dari seorang yang memberikan
nyawanya buat sahabat-sahabatnya. Nah, kalian telah
memberikan kasih." Perempuan-perempuan itu menyembah kemudian
menyingkir. Di luar pagar mereka berbisik satu dengan
lainnya. Disusul derai tawa seperti murai berkicau sambung-
menyambung dengan teman-temannya.
"Rsi belum juga beristri. Padahal ganteng begitu masa tidak
laku?" "Ah, kau ini.... Naksir rupanya. Kau tak lepas-lepas melihat
matanya yang tajam itu."
"Ti... tidak! Kau sih selalu melihat bibirnya...." Sampai di sawah mereka masih
memperbincangkan sang rsi. Ada saja
yang mereka bicarakan. Yang jelas mereka sangat suka bisa
mendapat kesempatan bicara secara dekat dengan rsi, sebab
tidak gampang bagi mereka untuk memperoleh kesempatan
memandang orang itu dalam jarak dekat di siang hari. Apalagi
bagi wanita. Rsi sering pergi meninggalkan Songgon. Memang
terlalu berbahaya bagi rsi itu untuk selalu tinggal di tempat.
Setelah peristiwa penangkapannya oleh Jaksanegara beberapa
waktu lalu, semua orang menjadi lebih berhati-hati.
Setelah mereka siuman Rsi memerintahkan agar keduanya
diberi makan bubur dan minum air gula aren. Setelahnya
kedua orang itu diberi waktu istirahat untuk memulihkan
tenaga mereka. Setelah agak kuat mereka diperbolehkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan-jalan. Dan keduanya bersukacita tidak lagi bekerja rodi di
bawah deraan cambuk Kompeni-kompeni hitam.
Beberapa hari kemudian baru mereka dapat bertemu
dengan Rsi Ropo secara langsung sebe- c lum mereka
ditempatkan di sebuah rumah dan diberi tanah garapan.
Keduanya ditanya tentang asal-usul mereka dan tujuan
mereka datang ke Songgon.
"Apakah kamu hendak memata-matai Songgon?"
"Tidak, Yang Tersuci. Hamba ingin bergabung dengan
kawan-kawan di Songgon. Hamba ingin mencari kebebasan,"
Ramud menjawab. "Kebebasan dicari" Kalian salah, Anak muda. Kebebasan itu
diperjuangkan. Harus! Apalagi sekarang. Kebebasan kita telah
dirampok oleh bajak laut berkulit putih. Dulu juga begitu. Jika
orang ingin bebas harus memperjuangkan kebebasan. Itu
sudah kodrat. Lihatlah, para penguasa negeri, tidak pernah
memberi hak pada kawula untuk menyatakan pendapat. Itu
merupakan bukti bahwa kebebasan dirampok dari waktu ke
waktu. Bahkan para orang tua yang kebebasannya selalu
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Rahasia Kampung Garuda 7
^