Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 8

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 8


Perang tidak mengenal kasihan. Jala Rante menekankan
supaya jangan ada di antara mereka yang menyerah. Sebab
menjadi tawanan Kompeni akan menderita aniaya, menjadi
pembuang tinja atau pengangkut bahan-bahan bangunan di
benteng-benteng VOC. Setiap hari mereka yang di Surabaya
digiring untuk dipertontonkan pada kawula Surabaya dengan
tangan dan kaki dirantai. Setelahnya digiring ke pelabuhan
sebagai pengangkut barang. Atau sebagian lagi digiring ke
tempat di mana VOC menggali kali mir (kali buatan yang
dipakai untuk pembuangan di kota) Dengan tangan dan kaki
terbelenggu pula mereka harus menggali. Anjing-anjing
bernasib lebih dari mereka. Di Surabaya, noni-noni suka
bermain dengan anjing. Begitu cerita Jala Rante pada anak
buahnya. Karena itu hanya ada satu pilihan, menang atau
mati! Sementara itu titik-titik hitam yang tadi terlihat jauh di
lambung kanan kapal bendera juga makin dekat. Tujuh belas
kapal perang Bugis dengan bendera hitam bergambar
tengkorak. Dan begitu mereka mencapai jarak tembak,
langsung membuka serangan ke arah Kompeni. Gila! Mereka
dibuntuti. Atau rencana perjalanan mereka diketahui" Jika
demikian tentu ada mata-mata bajak laut ini dalam tubuh
Kompeni sendiri" Melihat kenyataan ini, kapal bendera Belanda
memerintahkan agar semua kapal menyebar dan menyerang
ke segala arah. Suatu keuntungan besar bagi Kompeni, karena
persenjataan mereka lebih baik dan lebih baru. Di samping itu,
kapal-kapal mereka mampu berlayar lebih lincah dan lebih
cepat. Perahu-perahu nelayan yang ditumpas makin banyak.
Tentu mengurangi jumlah penyerang kendati datang yang
baru dan lebih berbahaya. Apa pun keadaan yang terjadi saat
itu, peperangan tidak bisa dimenangkan dengan hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bermodal keberanian. Di samping persenjataan yang lebih
baru dan akurat daya tembaknya, Belanda juga memiliki
segudang pengalaman. Mereka telah mengarungi samudra-
samudra dunia dari ujung ke ujung. Mereka pernah melewati
Tanjung Pengharapan yang konon kesohor berombak setinggi-
tinggi bukit. Seberani apa pun Detya Jala Rante dan kawan-
kawannya, mereka belum pernah melihat Tanjung
Pengharapan. Belum pernah melintas Selat Gibraltar. Belum
pernah lewat Laut Merah. Sedang pelaut bule itu" Pernah
mengalahkan tempat-tempat tersebut. Bukan cuma
gelombang yang mereka taklukkan, tapi juga bajak laut Baduy
yang umumnya berasal dari
Libia dapat mereka terobos. Meriam Portugal di Goa dan
Malaka, serta meriam-meriam musuh dagang utama mereka,
Inggris pun tidak mampu berbuat banyak. Maka sekarang
walau sulit, mereka mampu menunjukkan keunggulannya.
Sudah delapan memang yang tenggelam. Sedang dari pihak
Jala Rante sudah dua kapal terkubur. Dan entah berapa lagi
jumlah perahu nelayan yang nekat itu harus punah berkeping-
keping. Tapi Rencang Warenghay bukan bajak laut sembarangan.
Ia lebih cerdik dari Jala Rante. Tidak berani menyerbu masuk,
ia menjaga jarak. Jika ternyata kemungkinan menang tidak
ada, ia siap melarikan diri. Dan orang-orang Belanda memang
melihat perbedaan ini. Setiap kapal Blambangan makin nekat
menyerbu. Bahkan yang sudah terseok pun berusaha
menabrakkan kapalnya. Mereka memilih tenggelam bersama
daripada menjadi tontonan. Alap-alap bergidik juga melihat
kenyataan itu. Tambah empat lagi kapal VOC yang tenggelam.
Apalagi kapal milik Madura atau Probolinggo dan Surabaya,
sudah lebih dari sepuluh yang tenggelam. Sungguh suatu
pertempuran laut yang tak berampun.
Jala Rante sendiri tak berniat surut. Kendati maut telah
mulai melambai. Buritan kapalnya tertembak. Beberapa bagian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mulai robek. Ia perintahkan anak buahnya maju. Jika sempat
ia perintahkan melompat ke geladak lawan untuk mengamuk.
Tapi kemungkinan untuk menerobos masuk mendekati kapal
bendera lawan tidak mungkin lagi. Kapal itu dilindungi oleh
puluhan kapal lainnya. Sebuah kapal yang berisi pasukan
gabungan tidak sempat menghindar kala dalam jarak dekat
kapal Jala Rante memuntahkan beberapa peluru meriam dan
cetbang. Air-api menyerbu berbareng. Air dari lambung kapal
yang robek, api dari geladak dan layar yang robek. Dalam
sorak membahana anak buah Jala Rante membelokkan haluan
kapal ke kiri. Satu tembakan musuh jatuh di atas geladak, tapi
masih terbahak Jala Rante. Seperti sudah gila. Mungkin saja
telah menjadi gila mereka itu. Batas ketakutan sudah habis. Di
depan maut yang menjemput pun terbahak-bahak. Itu terlihat
jelas oleh kapal-kapal yang sedang mengepungnya.
"Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Qiwa!
Terpujilah mereka yang mati demi Blambangan, bumi leluhur
kita!" teriakan Jala Rante terdengar mengguntur di sela
dentuman meriam. Empat kapal lain melakukan gerakan yang
sama. Mati di pertempuran adalah suci bagi lelaki ?iwa. Dan
tentu saja, meskipun mereka mampu menenggelamkan lima
kapal lagi, mereka seperti anjing-anjing laut yang menghadapi
kerumunan ikan-ikan hiu raksasa. Satu demi satu tak berdaya.
Tapi tidak menyerah. Dengan meneriakkan, "Jayalah
Blambangan," mereka berlompatan ke laut. Juga Jala Rante.
Dia orang terakhir yang meninggalkan kapal setelah kapalnya
berpusing seirama gelombang dan pusaran air.
"Berenanglah! Tapi jangan menyerah!" ucapnya. Belanda
tak sempat melihat itu. Yang mereka lihat adalah pelan-pelan
semua kapal berbendera merah dengan gambar kepala anjing
itu tenggelam. Sementara itu tembakan Rencang Warenghay
sudah memakan korban. Sebentar lagi mentari sudah
bersembunyi di sebelah barat. Akan berbahaya jika
pertempuran berlanjut malam hari. Rencang Warenghay
dengan anak buahnya adalah bajak laut yang mendapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
julukan Naga Laut Malam. Benar-benar mereka mampu
bergerak seperti hantu di malam hari. Karena itu kapal
bendera Kompeni memerintahkan segera mengepung
Warenghay dengan gerakan tapal kuda.
Namun Warenghay bukan bajak laut yang baru belajar.
Pengalaman bertahun-tahun membuatnya segera menyadari
jebakan yang dipasang gugus tengah Kompeni itu. Mereka
pura-pura surut, namun sayapnya maju. Sehingga mereka
mencip-takan garis lengkung. Dan makin lama akan makin
cekung. Dengan ketiadaan pengalaman, Rencang Warenghay
pasti akan terisap ke dalam cekungannya. Apalagi dua kapal
Warenghay sudah tenggelam. Tapi justru kesempatan itu
digunakan oleh Warenghay untuk mengambil ancang-ancang
pergi sambil memuntahkan banyak peluru. Dan iring-
iringannya akan mengambil arah berlawanan dengan
Kompeni. Ia tahu Kompeni tak bisa dibendung. Apa yang
dilakukan oleh rombongannya sekadar gangguan kecil. Tapi
setelah melihat kerugian di pihaknya, ia segera mengambil
keputusan merampok Pasuruan, Bangil, dan Gresik. Ia tahu,
tak banyak kapal perang Belanda yang tersisa di ketiga kota
pantai itu. Jika mungkin ia akan membakar habis ketiga kota
itu. Selamanya tidak pernah ada bajak laut yang ramah.
Pimpinan gugusan kapal Kompeni tidak memperhitungkan itu.
Tugasnya ialah mendaratkan pasukan di Teluk Meneng.
Daerah pantai yang masih dalam pengawasan pasukan
Biesheuvel. Karenanya ia tak mengejar Warenghay. Waktu
sangat berharga. Iring-iringan meneruskan perjalanan.
Membiarkan ikan-ikan di Selat Madura berpesta. Memakan
bangkai-bangkai. Komandan itu tahu persis, anak buahnya
yang tersisa kini sedang bersuka ria minum untuk menurunkan
ketegangan. Sedang anak buah Alap-alap atau pasukan dari
Surabaya, Sidayu, dan Pasuruan sedang berdoa. Laut yang
indah, tapi selalu menyodorkan petaka.
*** Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Imhoff dan Montro,
bahwa mereka akan berlabuh di bibir sebuah dusun mungil.
Kesunyian menyambut mereka. Pohon-pohon bakau, kelapa,
pisang, dan rumput-rumput serasa memandang barisan yang
telah berkurang seperempat dari jumlah kala dibariskan di
kota Surabaya dulu. Bergoyang melambai dibelai angin pantai,
seolah menyapa dalam tanya: Dari mana datang" Inikah
Blambangan" Dalam kesenyapan mereka berbaris ke Pangpang untuk
menghadap Residen Biesheuvel. Sedang kapal yang
mengantar mereka segera bertolak setelah komandan gugus
itu menyampaikan ucapan selamat pada para perwira Kompeni
dan pribumi. "Jangan pikirkan, apakah Blambangan calon kubur Tuan-
tuan. Tapi lakukan segala dengan senang hati. Kita semua
prajurit. Tidak perlu bertanya kapan dan di mana kita akan
dikubur! Banyak sudah Kompeni yang terkubur. Mudah-
mudahan Tuan-tuan tidak mengalami nasib sama dengan
mereka. Seperti kami tahu, banyak orang pulang hanya
tinggal nama saja di lautan. Tapi kami tidak kembali ke darat
dengan ketakutan," Komandan itu memberi semangat.
Dalam perjalanan yang senyap itu, pikiran merambah kian
kemari. Ucapan komandan kapal tadi memang memberi
semangat. Tapi bagi sebagian pendengar menimbulkan kesan
berbeda. Pesan agar mereka bersiaga dengan tanpa berisik
atau bersorak selama bergerak ke Pangpang mengisyaratkan
lambaian teman-teman mereka dari dalam kubur di bumi
Blambangan. Diam-diam bulu roma mereka berdiri. Tapi
Montro dan Imhoff tidak bisa mempercayai dongengan
tentang ganasnya Bumi Semenanjung yang elok seperti
mawar ini. Pepohonan begitu ramah menyapa. Burung-burung
juga riang menyanyi. Apakah ini bukan pertanda bahwa ini
negeri damai" Biesheuvel membikin laporan bohong!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang di Panarukan dan di laut ada perang. Tapi di sini
damai. Atau cuma tinggal daerah yang amat terbatas dikuasi
VOC" Yang lain masih belum takluk" Jika demikian laporan
pendahulu Biesheuvel yang bohong. Mereka tak sempat
berpikir lebih jauh. Sebab berulang mereka harus melihat
peta. Siapa tahu penunjuk jalan di depan itu juga
pembohong" Bisa-bisa menjerumuskan mereka ke dalam
jebakan. Tapi tidak setiap belokan memang betul seperti
tertera di peta. Menurut laporan jalan itu memang masih
sepenuhnya dikuasai Kompeni. Kendati begitu mereka harus
berjalan sehari setengah malam untuk mencapai Pangpang.
Betapa jauh beda kota Lo Pangpang dan Surabaya atau
Batavia. Kendati di sini VOC juga berusaha mendirikan loji-loji,
dan gedung-gedung besar. Rumah Biesheuvel berukuran
hampir sama dengan rumah seorang bangsawan di Mataram.
Setidaknya berukuran lima atau enam kali rumah penduduk
biasa di Blambangan. Sedang loji-loji milik orang-orang kulit
putih yang berjajar rapi sepanjang jalan raya utama kota itu,
berukuran lebih dari tiga kali rumah kawula. Tapi sekarang
menurut pengamatan Montro lebih banyak yang. kosong. Anak
buahnya nampak kuyu setelah menembus hutan dan rawa.
Bahkan perbentengan pun nampak lengang. Sungguh,
membuat bulu roma Montro dan Imhoff berdiri. Namun segera
terhapus kala para perwira handal diundang ke rumah Adipati
Jaksanegara. Termasuk Alap-alap ikut diundang ke istana
Jaksanegara. Dan di tempat itu mereka benar-benar
merasakan istirahat. Betapapun mereka kagum pada kekayaan
Jaksanegara. Kagum pada taman di mana mereka menginap.
Kagum terhadap para perempuan yang melayani mereka saat
selesai perundingan. Tukang pijit dengan wajah ayu dan jari-
jemari halus seperti ini tentu sukar didapatkan di mana pun.
Sementara itu, Mas Ayu Prabu mengarahkan kudanya ke
utara. Ia merasa perlu menjumpai Rsi Ropo di Songgon.
Semak-belukar tidak menjadi halangan bagi kuda yang
tangkas itu. Ayu Prabu sudah mengalahkan gunjingan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pribadinya. Ia sudah mengebaskan bayang-bayang Tha Khong
Ming dengan mengirimkan Ni Repi serta Ni Kebhi dengan
anaknya, Sekar, ke rumah mewah Cina muda itu. Ia berharap
jika Tha Khong Ming bisa sembuh biarlah ia mengawini salah
satu dari kedua wanita tadi. Apa pun adanya ia harus
bertahan dalam kesuciannya, sehingga jika saatnya tiba, maka
ia akan persembahkan mahkotanya untuk seorang suami. Dan
dengan bertahan pada kesucian itu, ia akan tetap bebas
mendarmabaktikan diri pada negara dan bangsanya. Pada
Hyang Maha ?iwa dan Blambangan yang suci.
Tapi kali ini Rsi sedang tidak ada di tempat. Memang akhir-
akhir ini Rsi jarang tinggal di Songgon. Lebih mudah ditemui di
Derwana. Rsi banyak memberi nasihat dan petunjuk pada
Rempek yang telah menyatakan keinginannya membunuh
Biesheuvel dengan tangannya sendiri. Sebab menurut pikir
Jagapati atau Mas Rempek, Blambangan akan segera menang
jika residennya mati. "Tidak, Yang Mulia," jawab Jagalara dan Rsi Ropo hampir
berbareng. Kemudian Rsi Ropo yang melanjutkan. "Biesheuvel cuma
seorang yang menerima gaji. Dia mati akan diganti lainnya.
Apa yang kita lakukan kini, hanya menunjukkan pada dunia
bahwa di bumi Nusantara ini tidak semua orang mau menjadi
budak. Yah, Belanda sekarang menggempur kita dengan
kekuatan senjatanya untuk menjadikan kita semua budak."
"Lalu apakah kita tidak bisa mengusir mereka?"
"Mereka hanya terusir jika yang di Batavia sudah terusir.
Sebab mereka adalah mata rantai yang bersambung satu
dengan lainnya. Jika semua raja Nusantara ini bersatu,
mengerahkan semua daya, uang, laskar, dan menyatukan
sikap hati, maka tidaklah sukar mengenyahkan kaum bule itu!"
"Betul!" Jagalara kagum.
"Hyang Bathara!" Jagapati menarik napas panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan resah, Yang Mulia...," Jagalara menasihati. "Niat Yang Mulia untuk
membunuh Biesheuvel tetap harus
dilakukan. Kita akan menembus pertahanan mereka. Jika perlu
kita melakukan penyamaran agar bisa masuk ke rumah
Biesheuvel. Dengan matinya Biesheuvel, pasti Kompeni akan
mendapat malu besar. Dan Belanda akan menyembunyikan


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat Biesheuvel rapat-rapat. Belum pernah terjadi seorang
mayor mati di medan lagi sebelum ini. Untung tidak
melakukannya. Juga Trunajaya yang mampu merobohkan
kekuasaan Amangkurat yang sarat dengan kejijikan itu.
Sungguh, jika kita mampu membunuh seorang residen tentu
merupakan kebanggaan tersendiri."
Jagapati tertawa. Dan Rsi tersenyum. Senang melihat tekad
Jagapati yang membara itu. Niat adalah landasan utama dari
semuanya. Tanpa niat maka tidak akan terjadi apa-apa.
Setelah itu Rsi Ropo segera turun. Ia memerlukan diri lebih
dulu lapor pada Wilis di Bayu. Wilis pun senang. Dan
kepergian Ropo ke Bayu bukan semata menemui Wilis. Tentu
ia ingin menyiram mawar yang sedang mekar dalam hatinya.
Ia ingin menjumpai Mas Ayu Tunjung. Siapa tahu gadis itu
segera memberikan kepastian. Namun kala ia sampai di Bayu,
gadis itu masih berlatih menembak. Ia harus meneruskan
perjalanan setelah lebih dahulu menghadap ibundanya,
dengan berbekal sejumput doa agar Ayu Tunjung tidak jatuh
hati pada pemuda lain. Ternyata gadis itu mampu membe- "
lah hatinya. Kian lama, kian jadi kenangan di siang hari,
impian di malam hari. "?.Itu sebabnya, Mas Ayu Prabu
menemukannya di sebuah batu besar kala mencari-carinya.
Duduk menyendiri sambil melamun. Melamun membuat
manusia masuk ke alam lain yang gaib. Penuh dengan
pengandaian. "Hyang Dewa Ratu, Kanda..."panggil Mas Ayu Prabu dari
atas kudanya. Mas Sratdadi terkejut. Namun segera menenangkan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu sesuatu yang penting telah membuatmu berkuda
kemari. Apalagi berusaha menemukan persembunyianku."
Tapi Ayu Prabu memperdengarkan suara tawa. Naluri
kewanitaannya menangkap sesuatu yang ganjil di wajah
kakaknya. "Lagi kasmaran?" ia segera menggoda. "Bahaya jika
seorang rsi sedang gandrung. Dunia ilmu pengetahuan bisa
jungkir-balik." "Ha... ha... ha..." Sratdadi menutupi. "Atau sebaliknya?"
Mukanya memerah. Tapi sekali lagi ia mencoba mengelak.
"Prabu mulai jatuh cinta pada Tha Khong Ming. Hati-hati,
lho." Mendadak wajah Ayu bermendung. Sambil turun dari kuda
Ayu mencabut senapan Tha Khong Ming dan segera menuju
tempat kakaknya duduk. "Kau menembaknya?" Sratdadi menatapkan matanya.
Ayu menggeleng lemah. Tapi kemudian ia menceritakan
semua yang terjadi. "Hamba tidak tahu, apakah ia mencintai atau hanya minta
imbalan dari kebaikan yang selama ini ia berikan. Tapi hamba
bertekad, tidak memberi untuk kedua-duanya."
"Dia cukup tampan...."
"Tapi negara membutuhkan hamba," gadis itu memotong.
"Apa salahnya kau bercinta pada manusia dan negara?"
"Cinta yang dibelah akan menimbulkan ketidakadilan.
Memang cuma diri sendiri yang tahu. Sebab tidak mungkin
sebuah hati mencintai dua hal sekaligus. Pasti yang satu akan
dikalahkan. Jika kita lebih mencintai diri, maka cinta akan
negeri akan berkurang. Karena kita takut kehilangan diri atau
takut kehilangan cinta yang satu tadi. Bukankah kita telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyetujui pendapat Yang Mulia Wilis, bahwa ketakutan
adalah dosa?" "Jagat Bathara! Ha... ha... ha... kau pandai mengajar."
"Hamba tidak mengajar. Cuma berpendapat, bahwa
ketidakadilan bisa dimulai dari diri sendiri."
"Jagat Dewa!" Sratdadi membenarkan.
"Apalagi setelah menerima laporan baru ini, hamba harus
bisa mengebaskannya dari ingatan."
"Mengebaskan dari ingatan" Apakah itu adil" Dia begitu
berjasa. Barangkali kau tidak pernah dengar, bahwa Sayu
Wiwit dan Mas Ramad dalam melancarkan perangnya saat ini
dibantu oleh ratusan orang Cina, ribuan orang Madura dart
Surabaya atau Mataram yang membelot pada rajanya."
"Kita sudah memberinya imbalan dalam arti dagang. Kita
harus tahu, untuk orang semacam
Tha Khong Ming semua diperhitungkan atas dagang. Dan
laporan terbaru yang bisa kita sadap dari rumah Jaksanegara
menyebutkan bahwa tanggal delapan bulan Asuji (bulan
September-Oktober. Penyerbuan itu menurut catatan Belanda
terjadi tanggal 22 September 1771) nanti Belanda di bawah
pimpinan Letnan Imhoff akan menyerbu Derwana. Sedang
Letnan Montro akan menyerbu perkubuan Bayu."
"Hyang Bathara! Dengan kata lain mereka sudah mencium
adanya kekuatan kita di Bayu" Ada telik mereka dalam kita!"
"Wajar, setiap seteru menempatkan masing-masing
teliknya. Apa yang patut diherankan" Dan yang patut kita
perhatikan, bahwa Madura mengirim seorang gagah berani,
Kapten Alap-alap. Siapa yang tak pernah dengar nama itu?"
. "Gagah berani atau kejam?" Sratdadi melecehkan. Namun
semua laporan adiknya, membuat ia bangkit dan berganti
pakaian. Rsi bukan begawan. Ia bisa setiap saat menjelma
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi prajurit dan muncul di medan laga. "Aku perlu
menyiapkan Bayu dan Derwana sekaligus. Siapa pun yang
berani mengusik kita, harus mendapat pelajaran, Blambangan
bukan Mataram!" geramnya.
"Hamba akan menggempur mereka dari belakang bersama
penembak-penembak jitu Bali." Ayu Prabu berpamitan.
Kuda Sratdadi pun tidak kalah gagahnya dengan kuda Ayu
Prabu yang hitam itu. Kendati warnanya coklat muda,
kepalanya juga ditumbuhi bulu putih segitiga. Tepat di antara
kedua telinga memanjang sampai ke tengah di antara kedua
matanya. Begitu pula ujung belakang keempat kakinya
dibungkus oleh bulu berwarna putih; Lebih gagah lagi karena
Sratdadi tidak memangkas rambut kuda kesayangannya.
Dibiarkan seperti rambutnya sendiri. Menapaki lereng bukit
dan melompati jurang atau rintangan cukup tangkas. Orang
lain akan ngeri melihat tandang kuda itu. Yang lebih
mengagumkan karena kuda itu seperti telah menyatu baik
rasa dan kehendak dengan tuannya.
Sementara itu Biesheuvel di Pangpang semakin penasaran.
Betapa tidak. Ia mendapat laporan dari teliknya, bahwa
kawula Blambangan sebelah b. rat telah bersepakat
mengangkat Sayu Wiwit sebagai ratu mereka. Luar biasa
pengaruh wanita itu. Apakah mungkin punya ilmu sihir,
sehingga semua lurah, dan pemimpin masyarakat di
Bondowoso, Sentong, Puger, bahkan Candi Bang mengakuinya
sebagai ratu" Dengan kata lain, " mereka tidak akan
membayar pajak lagi pada VOC. Gila! Orang itu harus
dihancurkan lebih dahulu. Tapi bukan oleh kekuatan yang
sekarang terpusat di Pangpang dan Lateng. Karena itu ia
segera memohon bantuan Surabaya untuk menggempur
Jember dan daerah-daerah yang dikuasai Ratu Sayu Wiwit.
Dan Van de Burg memerintahkan Letnan Fischer dengan
bantuan laskar Madura yang dipimpin langsung oleh
Panembahan Rasamala serta Surabaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesibukan seperti di Pangpang dan Surabaya terjadi juga di
Bayu. Baswi maupun Yistyani dan beberapa tokoh tua lainnya
segera diberi laporan akan rencana penyerbuan Montro itu.
"Belanda memang tidak pernah puas dengan hanya
menduduki kota-kota besar kita. Mereka benar-benar ingin
melalap tiap jengkal tanah kita. Tapi mereka akan tersandung
batu!" Baswi geram. Matanya sudah kabur. Tangannya sudah
gemetar karena ketuaan. Namun semangatnya tidak pernah
surut. Yistyani benar-benar kagum. Ternyata perang yang
berikut ini jauh lebih besar dari perang yang dilakukan oleh
Wong Agung Wilis sendiri. Yistyani hampir yakin, bahwa
tewasnya beberapa perwira Kompeni adalah karena kepala
Baswi yang cemerlang. Kendati tangannya sendiri tidak
berlumur darah. "Hanya telik yang jitu yang dapat membawa mereka naik
ke Bayu," Wilis menerangkan. "Namun kita tak boleh lengah.
Memang bisa ditembus benteng kita. Tapi dengan
pengorbanan besar. Artinya semua cula dan songga serta
jebakan telah mereka isi dengan bangkai mereka!"
"Bagaimana dengan Derwana atau Indrawana?"
"Mereka juga sudah siap. Hamba telah perintahkan
memasang para tawanan perang sebagai barisan terdepan. Di
belakangnya para penembak jitu yang mengawasi para
tawanan perang itu. Jika mereka tidak menembak maka kita
yang akan melenyapkan mereka dengan panah beracun.
Setelah itu para penembak jitu akan memancing mereka dan
bergerak mundur sambil terus menembak. Kami berharap
Kompeni merasa menang dan mengejar masuk. Perasaan
ingin lekas menang akan membuat mereka lupa dan masuk
dalam jebakan songga serta cula beracun."
"Jagat Dewa Pramudita!" Baswi kagum.
Yistyani bangga. Anaknya telah matang untuk memimpin
sebuah peperangan. Peperangan yang mempunyai beberapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maksud dan makna. VOC melakukannya dengan maksud
merebut pasaran bagi barang dagangannya, atau merampas
harta kekayaan dan hasil bumi penduduk, untuk menambah
barang dagangannya dengan tanpa mem- > beli. Mengambil
milik orang lain dengan paksa atau tanpa izin tentu
merupakan kejahatan. Tapi semua orang tidak mau dikatakan
sebagai penjahat, karena itu VOC juga tidak mengatakan
dirinya jahat. Sebab para paderi mereka mengajar bahwa
mereka sedang menerima berkat Al ah. Adakah berkah itu
diambil dengan tidak sah" Sebaliknya Blambangan
melakukannya demi hak yang dilanggar. Bukan sekadar
berebut kekuasaan antar para pembesar negeri. Wilis dengan
seluruh pengikutnya berperang karena mengambil kembali hak
Blambangan yang dirampas. Sama-sama mengambil, tapi
punya arti yang tidak sama.
Pagi-pagi benar kala embun belum tersapu dari dedaunan,
dari bumi Blambangan, Montro yang sejak kemarin sudah
mendaki lereng Raung itu, memerintahkan agar anak buahnya
bergerak. Karena hari itu tepat tanggal dua puluh dua
September tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu Masehi.
Saat yang ditentukan untuk melakukan penyerbuan semesta di
seluruh Blambangan. Dengan maksud supaya tidak ada saling
membantu antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan
penyerbuan memang dipusatkan ke dua tempat. Ke Bayu dan
Indrawana serta Derwana. Saat itu ia disertai Sangkil, seorang
perwira dari Surabaya, serta Vasco Keling. Juga seorang
perwira, tapi tidak jelas asal-usulnya. Hanya kulitnya hitam-
kelam serta rambutnya keriting. Dan perwira yang satu ini,
mempunyai kesukaan melahap perempuan. Siapa pun
perempuan di Jawa ini, bagi Vasco Keling tampak seperti
bidadari. Ia kagum kenapa perempuan di sini rambutnya bisa
begitu panjang. Kulitnya seperti kulit buah lang-sep"
Tapi pagi itu ia dan Montro menjadi amat terkejut. Juga
seluruh anak buahnya. Peta menunjukkan Bayu masih jauh.
Baru tengah hari nanti semestinya sampai. Kini secara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendadak mereka mendengar teriakan-teriakan kesakitan.
Beribu anak panah berdesing menghujani mereka.
"Tiarap!!!" perintah Montro, kemudian diteruskan oleh
pemimpin lainnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara
tawa berkepanjangan dari tempat yang agak jauh. Bergema di
pohon-pohon, tebing-tebing, jurang-jurang. Suara lelaki dan
perempuan. Ucapan selamat datang yang disampaikan dalam
Melayu. Ah, Melayu yang jelek dan kaku.
"Selamat datang, Tuan-tuan! Inilah Negeri Bunga Mawar
yang indah. Ha... Ha... Hi... Hi...." kemudian lenyap.
Tak ada yang menjawab. Montro juga diam. Matanya
mengamati tiap semak dan belukar. Tapi tiada tanda gerakan.
Penasaran hatinya. Berapa orang yang menjadi korban hujan
panah mendadak ini" Belum mampu menghitung. Tiap
gerakan akan menimbulkan korban baru. Keringat dingin
membasahi bajunya. Suara tawa dan panah kini sudah
berhenti. Beberapa lama suasana hening dan mencekam
merajai hutan itu. Dahan bergoyang. Burung kembali berkicau.
Montro memerintahkan semua yang luka dikumpulkan.
Tembakan melindungi pengumpulan ini. Ternyata kebanyakan
pemikul kanon dan mesiu yang tidak mampu bergerak lincah
itu yang menjadi korban. Memang ada juga beberapa ratus
prajurit gabungan mati. Mayat mereka menjadi biru. Semua
prajurit tahu, panah-panah itu beracun amat keras. Dengan
kata lain mereka yang saat ini terluka pun akan mati.
"Gila!" teriak Montro kalut. Juga yang terluka. Menangis
sekeras-kerasnya. Takut menghadapi kematian. "Tembakkk!"
teriak Montro. Dan terjadilah kehendaknya. Mereka
menembak membabi-buta. Tiap gerumbul yang dicurigai
mereka berondong berbareng. Kanon dan bedil sama-sama
menyalak. Menggelegar. Mengejutkan semua satwa penghuni
hutan. Tapi Montro tak peduli. Tindakan itu lebih ditujukan
untuk menguatkan hati yang mulai kecut. Menghilangkan rasa
takut yang menjamah tiap hati. Bahkan Montro sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menembak semau-mau. Tidak peduli apakah tembakannya
hanya mengenai batang-batang pohon dan tiada berbalas.
"Stop!!!" teriaknya setelah puas dan berkeringat. "Ha...
ha... ha... tahu rasa orang Blambangan! Jadi bangkai semua!"
Semua diam. Cuma sedikit yang ikut menyunggingkan
senyum. Sebagian masih mengeluarkan keringat dingin. Belum
pernah Montro mengalami kegilaan seperti ini. Kemudian ia
perintahkan anak buahnya bergerak. Maju pelan-pelan. Apa
yang mereka lihat" Tak ada mayat orang Blambangan. Cuma
pepohonan yang tumbang. Ada bangkai ayam alas, kera,
kijang, dan beberapa jenis binatang lainnya. Gila! Kalau cuma
membantai kunyuk macam begini apa perlunya mengobral
peluru kanon" Tapi bukan untung-rugi yang dimasalahkan.
Kepuasan yang membangkitkan keberanian yang sempat
tercuri oleh hujan panah dan suara tawa. Hantu barangkali"
Mereka maju terus dengan gerak yang lebih berhati-hati. Kini
hutan di depan mereka lebih lebat. Setiap suara mereka
curigai. Apalagi gerakan. Kendati gerak dedaunan yang cuma


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena angin, telah membuat semua berdebar. Bahkan tidak
sedikit yang menggeragap. Seperti dibayang-bayangi setan.
Termasuk Montro, berapa kali sudah ia hampir memuntahkan
peluru bedilnya hanya karena suara dahan jatuh atau ranting
patah. Langkah demi langkah menambah ketegangan. Aku bisa
gila jika terus begini, pikir beberapa orang. Siapa yang tahan
terus diperlakukan seperti r ini. Baru selesai mereka
melamunkan begitu, kehebohan terjadi di sayap sebelah kiri.
Serombongan lebah hutan menyerbu mereka. Sengatan
mengarah pada muka, membuat mereka terbirit-birit.
Berlarian tidak tentu arah. Montro memaki mereka. Tapi
beberapa bentar kemudian di sayap kanan pun terjadi
kegaduhan serupa. Pasukannya jadi sukar dikendalikan. Hanya
oleh serangan lebah hutan. Tidak sedikit yang berlarian tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
, arah, bahkan menerjang barisan di belakangnya. Tapi ribuan
tawon tetap mengejar. "Tuhan...," Montro menyebut. "Belum pernah aku
mengalami perang semacam ini...," akhirnya ia mengeluh.
Namun keluhan itu tidak berlangsung lama. Sebuah anak
panah berdesing tepat di sebelah kiri telinganya. Ia toleh.
Menancap di sebuah pohon sonokembang. Kembali ia
menggeragap. Dengan gemetar ia berseru agar setiap " orang
berlindung di balik pohon sambil bertiarap. Tapi perintah itu
terlambat. Ribuan anak panah menghujani mereka dari segala
penjuru. Kembali teriak kesakitan dan ketakutan memecah
kesunyian hutan lereng Gunung Raung itu. Sebentar kemudian
kembali suara tawa dan teriakan mengejek membahana.
"Datang mengantar nyawa. Ha... ha... ha.... Bodoh!!!"
Sungguh. Bukan bohong laporan Biesheuvel bahwa
Kompeni berguguran seperti daun kering dengan tanpa
peluru. Sekarang pun demikian. Montro sendiri mengalami.
Sangkil bahkan terkena bahu kirinya. Montro hampir
kehilangan akal. Saat pikirannya kalut ia menembak ke sebuah
gerumbul. Tapi tembakannya sekarang mengenai sasaran.
Teriak kesakitan terdengar. Maka segera ia perintahkan untuk
menembak dan menembak pada musuh yang tidak tampak
itu. Teriak kesakitan yang terus terdengar membuat mereka
menjadi bergairah memburu.
"Maju! Tembak! Serbu!! Bunuh!!!" Montro terus berteriak
garang. Kejengkelan memuncak. Semua anggota yang terluka
ditinggal dulu. Yang mati dilangkahi saja. Kesempatan untuk
memusnahkan musuh harus digunakan sebaik mungkin.
Semakin maju teriakan kesakitan dan minta ampun semakin
menjauh. Ah, mereka lari terbirit-birit! Kejar! Demikian
perintah terus mengalir seperti air dari mulut Montro. Dengan
penuh semangat mereka memburu. Untuk membalaskan sakit
hati teman-teman mereka. Gerumbul semak dan belukar
mereka tembus dan beberapa bentar setelah itu malapetaka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang lebih besar terjadi. Karena cula beracun dan songga
orang-orang Blambangan menunggu justru menanti dibalik
rimbunnya gerumbul. Sekali lagi para perwira Kompeni
terperanjat. Ternyata mereka masuk dalam jebakan. Tahu-
tahu beberapa ratus anak buahnya terkulai tanpa mampu
bergerak. Menyadari keadaan itu ia memerintahkan semua
orang berhenti. Tapi belum pulih kesadaran mereka sambil memandangi
mayat teman-teman mereka yang tertancap di songga-
songga, bahkan masih ada yang berjuang untuk mencabut diri
dari songga, Vasco Keling berteriak-teriak melihat Sangkil
tergeletak dengan muka biru. Tiba-tiba mereka mendengar
tembakan dari arah belakang mereka. Montro kian menyadari.
Kini ia benar-benar terjebak. Tembakan lawan makin gencar.
Bahkan kiai mulai terlihat orang-orang yang berpakaian Bali.
Oh, mereka dibantu laskar Bali. Dari sayap t kanan dan kiri
pun terdengar tembakan. Vasco Keling berpaling ke arah itu.
Perwira-perwira Madura di sayap kiri dan Surabaya di sayap
kanan. Dengan jelas Montro dan Vasco Keling melihat. Orang
Blambangan di depan mereka menembak sambil melompat
dari satu pohon ke balik pohon lainnya. Maka ia perintahkan
tiarap. Semua anak buahnya merayap sambil membalas
tembakan musuh. Kini tidak bisa lagi mundur. " Mas Ayu
Prabu telah datang bersama anak buah Gusti Tangkas. Cuma
tiga ratus orang jumlah mereka. Tapi merupakan laskar pilihan
dan terlatih. Mampu digerakkan dalam segala keadaan dan
segala waktu. Kini Montro dan teman-temannya menjadi biawak. Melata
dari satu semak ke belukar lain. Tapi justru itu mereka kini
dengan mudah menjadi umpan cula-cula, besi pendek lancip
dan , tajam pada ujungnya. Vasco Keling tampak terkapar
meregang nyawa. Tanpa sadar Montro menitikkan air mata.
Belum pernah ia mengalami perang yang sedemikian rupa.
Maka kini ia perintahkan agar membuka kembali tembakan
kanon. Jalan yang terbaik adalah mencari jalan keluar dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perang ini. Biar saja anak buahnya yang luka dan mati. Yang
tersisa harus diselamatkan. Kendati peta menunjukkan bahwa
mereka belum masuk wilayah Bayu. Maka dengan berdoa ia
dan seluruh anak buah yang tersisa, apakah itu laskar Madura
atau pasukan gabungan dari mana pun, bergeser ke kanan.
Rasanya dari kanan tembakan lawan kurang begitu gencar.
Maka tembakan kanon sebagian besar harus ke arah kanan.
Tapi sebagai muslihat tentu Montro juga memerintahkan agar
sebagian menembak ke segala arah.
Tidaklah mudah mengundurkan diri dalam keadaan
terkepung dan belum mengenal medan secara baik. Penunjuk
jalan yang diberikan Jaksanegara ternyata tertembak dan
sebagian terjebak hujan panah. Sebagian lagi mengangkat
tangan. Ada beberapa yang membuang senjata dan pakaian
mereka untuk kemudian berlari dengan tanpa mengenal
tujuan. Montro betul-betul melihat semangat anak buahnya
telah punah. Apalagi setelah bergeser ke kanan, makin lama
makin nampak. Mereka tak berkesempatan makan siang.
Sampai mentari condong ke barat, barulah tembakan lawan
berhenti. Dan Montro memerintahkan anak buahnya istirahat
sebentar. Keringat memenuhi muka dan tubuh mereka.
Tegang dan takut membayang di setiap wajah.
"Sungguh memalukan. Dari mana mereka belajar perang?"
Montro mondar-mandir di antara seluruh anak buahnya yang
duduk lesu. Tinggal tujuh ratus kurang. Seribu punah dalam
satu hari" Perang melawan Untung Surapati pun tidak seperti
ini, kecuali di Bangil yang kemudian mengakibatkan gugurnya
si Untung. Tapi ini lawan tersembunyi.
Tembakan dari pihak Bayu memang sudah berhenti agak
lama. Apa sebab" Tanpa disangka, kala Baswi beranjak maju,
sebuah peluru kanon jatuh tepat di depannya. Tak ayal, orang
tua itu terpental ke udara dan jatuh kembali dalam keadaan
sudah tak bernyawa. Wilis yang menerima laporan itu segera
beringsut menuju tempat kejadian. Dan mau tak mau ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tertunduk melihat tubuh Baswi yang gempal itu hancur
tersayat-sayat. Giginya berkerot. Matanya merah,
memancarkan api. Beberapa ratus laskar Bayu nampak
bergelimpangan. Laki-perempuan gugur seperti daun layu.
Darah mereka membasahi bumi. Cepat ia perintahkan
membawa mayat Baswi pulang untuk dibakar.
"Paling lama tujuh hari kita laksanakan pembakaran. Kita
dalam perang! Kita tidak bisa tunggu lama. Karena mereka
mulai mengusik Bayu!" Wilis kemudian memerintahkan semua
orang menarik diri dari pertempuran. Dan mengumumkan
masa perkabungan untuk seluruh Raung. Semua pemuka
dipanggil. Wilis merasa perlu mengajak semua orang Raung
menghormati kepergian Baswi. Sekalipun orang tua itu
tampaknya amat sederhana. Namun bukankah ia telah
melahirkan nama besar bagi seluruh Bumi Blambangan" Wong
Agung Wilis adalah muridnya. Kini dia sendiri, Wilis, adalah
muridnya. Ia merasa perlu mengadakan upacara pembakaran
yang lebih dari lainnya. Sementara itu Letnan Imhoff mengalami hal yang serupa
dengan Montro. Cuma ada sedikit perbedaan, yaitu waktu dia
memberondong lawan dengan kanon dan bedil dan tembakan
dari pihak lawan berhenti, anak buahnya maju dengan berani.
Tapi setelah kira-kira seratus depa mereka mendapati mayat-
mayat teman mereka sendiri yang dulu tertangkap oleh orang-
orang Jagapati. Jadi tawanan perang mereka haruskah ikut
bertempur" Melawan Kompeni" Masih terpana mereka
memikirkan akal apa yang harus mereka gunakan untuk
membalas Jagapati, serangan telah dibuka lagi oleh Jagapati
dan Jagalara. Itu sebabnya Imhoff memerintahkan
pasukannya mundur. Jalan mundur yang tidak mudah. Dalam pengunduran diri
itu entah berapa jumlah korban yang jatuh. Dan berapa lagi
menyerah pada laskar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jagapati. Kesulitan mendatangkan keputusasaan. Imhoff
sendiri hampir terjerembab ke dalam jebakan maut pengikut
Jagapati. Dan sebelum ia keluar dari hutan Indrawana, sebuah
anak panah meluncur dengan derasnya seperti kilat. Ia
mengelak sambil menjerit. Menyebut nama Tuhan. Tapi ia
sempat menjatuhkan diri. Dan anak panah itu cuma
menyerempet pelipisnya, membuat luka kecil.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XV. MENDULANG ANGIN Patung Lembu Andini sebagai perlambang kendaraan
Hyang Maha Durga telah disediakan di sebuah tanah landai
tepat di tengah perkubuan Bayu. Di dalam patung itu telah
tergeletak jenazah Baswi. Jenazah yang diikat oleh tiga tali
nagabanda (tali yang terbuat dari benang kapas dan dipilin
sebegitu rupa, berwarna hitam dan dipergunakan untuk
mengikat mayat) pada bagian kepala, perut dan kaki. Umbul-
umbul kuning berkibar sepanjang jalan-jalan di seluruh
Benteng Bayu, maupun di perkampungan-perkampungan baru
di luar dinding perbentengan - merupakan tanda
penghormatan bagi kepergian seorang perwira tinggi. Yah,
secara tidak resmi Baswi adalah perwira tinggi di Blambangan.
Semua orang, laki-perempuan, besar-kecil, mengenakan
gelang hitam yang terbuat dari gulungan benang hitam
sebesar ibu jari tangan lelaki dewasa, sebagai pertanda ikut
berbela sungkawa. Semua pemuka datang. Jagapati dan Jagalara dari
Indrawana, Runtep, anak Baswi. Mas Sratdadi yang kini
berpakaian brahmana dan bergelar Rsi Ropo, akan bertindak
sebagai pemimpin upacara. Mas Ramad Surawijaya datang
bersama Lebok Samirana yang tetap mengenakan pakaian
Madura, Cheng Shian Hauw, seorang yang mengenakan
pakaian sutera hitam dengan pedang panjang menempel di
punggungnya. Semua orang tahu bahwa dia seorang Cina.
Sayu Wiwit juga hadir. Kini dia berjalan bersama Mas Ayu
Prabu, Mas Ayu Tunjung, Marmi, Yistyani dan Tantrini serta
sederetan wanita lain. Undu dan Untu, anak Sardola dan
Tumpak, juga hadir. Semua kawula sudah sejak tadi mengitari
tumpukan kayu setinggi bukit yang berada di bawah tempat
jenazah yang berwujud patung Lembu Andini itu. Pertama kali
Raung mengadakan upacara ngaben (upacara pembakaran
mayat) secara besar-besaran seperti ini. Upacara untuk Resi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wuni Pati pun tidak semahal ini. Itu dikarenakan semua orang
menganggap Baswi pahlawan. Mempunyai kepribadian teguh.
Setelah semua pemuka Raung menempati panggung
kehormatan yang telah disediakan, Rsi Ropo membunyikan
giring-giring. Tanda upacara dimulai. Tangan kanannya
mengangkat sebuah I tongkat hitam bergiring-giring.
"Om namla wiraga (semoga dijauhkan dari hawa nafsu)..."
Rsi membuka doanya. Kemudian melanjutkan dengan doa yang lebih panjang.
Semua orang mengikuti doa itu dengan suara perlahan. Tentu
tamu-tamu asing tidak dapat berdoa seperti mereka, kecuali
Gusti Tangkas sebagai perwakilan dari Bali. Sampai beberapa
bentar doa berhenti. Wilis kemudian dipersilakan naik ke panggung kehormatan.
Tampak tangan dan lengannya ber-gelang hitam. Tanda
berdukacita. Semua kawula membalas lambaian tangannya.
"Dirgahayu!!" teriak mereka serentak. "Dirgahayu
Blambangan! Dirgahayu Wilis!"
Tak ada pengeras suara yang dapat menyambung
suaranya. Itu menyebabkan semua orang berdesak maju kala
ia mulai berbicara. Seperti kala mereka mendengar Wong
Agung Wilis memberikan amanatnya.
"Kita telah kehilangan orang besar! Sekalipun tidak
ternama, namun kita semua tahu, Kakek Baswi berjasa besar
dalam menyangga ambruknya peradaban di Blambangan.
Beliau gugur dalam mempertahankan negara dan peradaban
serta kebudayaan. Sebab jatuhnya Blambangan berarti
runtuhnya kebudayaan Jawa yang terakhir sesudah Majapahit.
Majapahit tidak tersisa lagi. Lihat, setelah runtuhnya
Majapahit, bangsa yang besar ini tidak lagi mampu melindungi
wilayahnya. Juga peradabannya. Makin lama kita makin
terkotak-kotak dalam kekerdilan, karena kita telah tidak
bersambung dengan kebudayaan besar lainnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akibatnya, bangsa Jawa menjadi dungu, dan... kian
melarat. Maka sekarang yang kita lihat para pemimpin Jawa
hanya pintar mengandai-andai dalam impian kosong dan
khayalan." Berhenti sebentar untuk memandang Lebok
Samirana, Jagalara, Jagapati, Cheng Shian Hauw, dan
kemudian Gusti Tangkas. Beberapa saat setelah menelan
ludahnya, pemuda itu melanjutkan, "Sayang, Tuan Rencang
Warenghay dan Harya Lindu Segara tidak hadir. Inginnya hati
ini mengucapkan penghargaan pada jasa mereka yang selalu
mengganggu kepentingan VOC di lautan. Sekalipun cuma
mengganggu, tapi telah berjasa dan patut mendapat
penghargaan. Apa pun mereka itu, sekalipun orang Mataram
menilai mereka sebagai bajak laut atau kraman, atau apa pun
istilah jelek lainnya, tapi mereka masih jauh lebih baik **
daripada bersalaman dengan bangsa bule itu untuk kemudian
menyerahkan kawula Nusantara sebagai budak. Ya, budak dari
sekalian bangsa! Dan di sini sedang berkumpul para pemimpin


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laskar yang terdiri dari bangsa-bangsa! Ada Surabaya,
Makasar, Madura, Bali, dan bahkan Cina, serta laskar Mataram
yang membelot. Nah, apakah Tuan-tuan berhimpun sekadar
hendak membalas dendam dengan berpuas-puas membu- *
nuh kaum bule" Atau hendak menegakkan kembali cakrawarti
Nusantara?" Kembali ia berhenti untuk beberapa bentar.
Mentari mulai membakar kulit. Tapi semua tercekam.
"Jika itu niat Tuan-tuan, maka selamanya tidak akan
pernah memenangkan peperangan. Tapi bila perang ini
didorong oleh keinginan luhur mempersatukan kembali
Nusantara dan membangunkannya dari tidur pulas ini, hamba
yakin kita akan sama-sama berikrar, mati atau bumi! Tapi
sebelum mencapai kemenangan besar, kita harus dapat
memenangkan diri sendiri lebih dahulu, dari segala nafsu
pribadi. Mati untuk bumi tercinta! Bukan untuk kepentingan
pribadi!" Sorak gemuruh dari kawula. Dan semua menjadi
makin kagum pada pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekali lagi, perang ini bukan untuk melampiaskan dendam,
tapi untuk menyangga suatu peradaban dan kebudayaan.
Sekali kita terjun di kancah peperangan, jangan melangkah
surut sebelum menang! Dan di depan Kakek Baswi, aku ingin
mengajak seluruh lelaki Blambangan berikrar, berperang
sampai menang! Lihat! Dia meninggalkan kita. Dia renta tapi
tetap pergi berperang. Karena lelaki Blambangan, sekali lagi,
yah, sekali lagi aku ingatkan: lelaki Blambangan lahir untuk
berperang. Berperang melawan kejahatan!" Ia tatap semua
orang dengan tajam. "Mari kita angkat tangan kita untuk
pertanda ikrar bersama, berperang terus sampai menang!"
Semua lelaki, satu per satu mengangkat tangannya. Dan
diikuti oleh perempuan. Satu demi satu. Anak-anak juga. Wilis
turun diiringi sorakan gemuruh, dan api pun mulai dinyalakan
oleh Rsi Ropo. Api berkobar membakar tubuh Baswi. Dahsyat!
Tapi ada yang lebih dahsyat dari api yang tampak itu, yaitu
api yang membakar jiwa semua orang. Api yang keluar dari
lidah Wilis: pantang melangkah surut sebelum menang
terjangkau! Upacara pembakaran selesai. Kepercayaan pada Wilis
memuncak. Bahkan Shian Hauw pun membenarkan. Memang
bukan perangnya itu sendiri ^ yang terpenting. Tapi dasar-
dasar kebenaran yang sedang dipertahankan dan
menimbulkan perang. Mengapa pikiran semacam ini tidak
dimiliki oleh raja-raja Jawa lainnya" Apakah benar mereka
sedang tenggelam dalam impian kosong" Seorang raja yang
memiliki kekuasaan cuma bumi sekepal jika dibanding Sri
Maha Ratu Suhita dari Majapahit, bergelar Amangkurat! Yang
berarti memangku dunia. Merasa diri seorang kaisar, sampai-
sampai semua orang dilarang menatap wajahnya. Dan sibuk
dengan perempuan yang beribu jumlahnya. Shian Hauw
tersenyum dalam langkahnya. Orang gunung yang tak pernah
melihat luasnya lautan dan ganasnya ombak, berkhayal punya
istri Ratu Samodra Kidul. Ampun dungunya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kembali ke pesanggrahan semua berkesempatan saling
kenal satu dengan lainnya. Saling mengunjungi. Saling
bertukar pikiran. Saling bercerita tentang pengalaman masing-
masing, tapi juga saling menjajagi dan menilai. Kesempatan
itu digunakan oleh Sayu Wiwit untuk melepas rindu pada Mas
Ayu Prabu. Seorang guru sekaligus sahabat. Keduanya
memisahkan diri. Pulang ke wisma ibunya, sementara ibunya
sedang sibuk beramah-tamah dengan Yistyani dan beberapa
tamu lagi. Kawula memandang mereka berdua seperti
memandang dua bidadari yang sedang meniti pelangi, ketika
berjalan ke wisma ibunya. Rupanya pertemuan dan acara
makan bersama , tidak begitu penting bagi mereka. Mereka
berangkulan sambil berjalan. Jurang di kanan mereka tidak
nampak karena kabut menutupinya. Serasa berjalan di atas
awan. Dan Mas Ayu Prabu yang lebih dulu menceritakan
segala pengalamannya. "Yang Mulia makin hari makin cantik, pantas Khong Ming
tak lagi dapat menahan hati," Sayu Wiwit menggoda.
Mas Ayu Prabu menjadi merah jambu.
"Kau ada-ada saja...."
"Betul. Tapi terusnya bagaimana?"
Langkah mereka makin perlahan. Seperti melewati titian
serambut dibelah tujuh. Ayu Prabu tidak segera melanjutkan
ceritanya. Tiba-tiba wajahnya kembali bermendung. Bayangan
Khong Ming yang sedang mengigau dan menggigil menahan
demam terlintas di matanya.
"Kenapa Yang Mulia?" Sayu Wiwit mengagetkan. Ia mulai
menebak bahwa di kelanjutan cerita Ayu Prabu jatuh dalam
pelukan pemuda itu dan hilanglah keperawanannya. Maka
mukanya mendadak tertutup awan.
Mas Ayu Prabu mengembuskan napas panjang. Seperti
mengempaskan kenangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak apa-apa, Wiwit. Cuma aku telah lancang tangan."
"Lancang tangan?"
"Ya. Aku telah membunuhnya."
"Hyang Dewa Ratu!" Sayu Wiwit terkejut.
"Ya. Aku telah dipinang oleh Yang Mulia Wilis. Junjungan
kita. Tidak sepantasnya aku memberikan kepadanya ampas."
Ayu Prabu kemudian menceritakan kelanjutannya. Tepat di
muka pintu ceritanya habis.
Setelah mencuci kaki mereka masuk dan duduk di atas
kursi bambu. Keduanya berhadap-hadapan sambil menikmati
sirih. "Tak ada yang perlu disesali." Ayu Prabu mengembalikan
kepercayaan dirinya. "Sekarang giliranmu bercerita. Tentu ada
pengalaman besar sehingga membuatmu diangkat menjadi
Ratu oleh orang-orang Jember dan Puger, bahkan sampai
Bondowoso." "Ah... itu terlalu dibesar-besarkan. Tapi baiklah hamba
ceritakan." Perjalanan jauh dari Bayu ke Jember ternyata merupakah
sekumpulan titik yang mencipta garis awal bagi masa bahagia
dalam hidup Sayu Wiwit. Betapa tidak" Begitu lama ia
mengagumi pemuda yang selalu mengundang tanya bagi
siapa pun dalam tiap langkahnya. Bahkan ayahnya sendiri,
Wong Agung Wilis, sempat dibuat terkejut karena ia
menjatuhkan Puger di saat ayahnya masih siap-siap menyerbu
Belanda. Pemuda yang mempunyai banyak sahabat dan
berpengetahuan luas. Ia berteman dengan bangsa apa pun
dengan tanpa membedakan agamanya. Ia sempat di Malang
untuk membantu Mlayakusuma. Di Ngantang untuk membantu
Pangeran Singasari dan Pangeran Blitar, serta pemberontak
dari Mataram. Tapi ia tidak pernah menonjolkan diri. Tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingin menerima pujian. Tapi justru mendorong orang lain
untuk maju. Bulan bundar yang mengiringi perjalanannya menyaksikan,
dua insan memadu janji. Saling mencinta. Desiran angin yang
menggoyang rumput-rumput kala masih tidur di bukit kecil itu
juga menyampaikan bisik lembut dari masing-masing hati.
Itulah awal dari segalanya.
Kelanjutan perjalanan mereka telah memasuki pinggiran
kota yang ditumbuhi hutan lebat. Suatu perkampungan baru
tampak dibangun. Di ladang mereka sudah ada ubi jalar,
lombok, pisang, dan beberapa macam buah-buahan. Gubuk-
gubuk juga sudah didirikan. Sawah mulai menghijau. Subur
tanah ini. Kebanyakan penduduk di sini orang Madura. Ada
juga orang Blambangan. Tapi rupanya sudah membaur
dengan lainnya. Rumah-rumah pun dibangun gaya Mataram.
Karena memang banyak orang Mataram yang bergabung di
daerah ini. "Kapan berdirinya perkampungan ini?" Sayu Wiwit
bertanya. "Hampir dua setengah tahun lalu. Kami sudah melewati
masa tiga kali panen padi. Karena saatsaat pertama kami
membuka daerah ini tidak bisa ditanami padi waktu kemarau.
Tergantung pada hujan."
"Jadi, kemarau makan apa?"
"Pertanyaan yang jarang dilontarkan oleh orang. Ternyata
kau patut menjadi seorang pemimpin. Mungkin sekali patut
diangkat menjadi ratu."
"Ah, Yang Mulia." Wajah Sayu Wiwit memerah. Tampak
makin manis. "Apa salahnya hamba bertanya?"
"Jangan marah, Wiwit. Tentu mereka makan seadanya.
Ubi, gembili, pisang, atau semua yang bisa dimakan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu juga jawaban yang bagus," balas Sayu Wiwit sambil
melirik. Mas Ramad tersenyum. Mereka menuju ke rumah besar
yang rupanya memang sudah disediakan untuk Mas Ramad.
Lebok Samirana menyambut mereka dengan penuh hormat.
Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu bidang dada Lebok
Samirana menurut penilaian Sayu Wiwit. Rambutnya jarang-
jarang, seperti tanaman di tanah tandus. Untung selalu
berdestar. Dua orang lagi yang berpakaian sama dengan Lebok
Samirana datang. Setelah memberi hormat, mereka meminta
kuda keduanya untuk mereka bawa dan rawat di kandang
yang telah tersedia. Tidak nampak ada senjata berlaras
panjang di sini. Sayu Wiwit amat heran. Tapi kemudian
teringat akan tugasnya. Ia cuma sebagai brahmani yang
mengajar. Bukankah brahmani tidak memerlukan senjata"
Seorang bijak tidak menyelesaikan persoalannya dengan
senjata. Bertengkar pun tidak diperlukan oleh brahmana.
Suatu pertengkaran menunjukkan betapa rendahnya budi
seseorang. Jadi apakah senjata cuma dipunyai oleh para
satria" Mengapa cuma harus satria" Menurutnya senjata boleh
dimiliki siapa saja yang ingin mempertahankan kedaulatan.
Dan rasa berdaulat yang dilanggar akan menimbulkan
pertengkaran. Sedang pada hakikatnya manusia selalu merasa
diri berdaulat! Berdaulat!
Siang itu pada Sayu Wiwit ditunjukkan di mana ia akan
beristirahat, mandi, dan lain sebagainya. Dia heran mengapa
tiba-tiba ia menjadi seorang pandita" Kenapa ini tidak
dilakukan sendiri oleh Mas Ramad Surawijaya" Tapi tidak
seorang pun menjawab. Dengan kata lain ia menerima
keharusan baru yang mengejutkan. Apakah memang demikian
hidup ini" Penuh dengan segala yang tak terduga" Sayu Wiwit
hanya berdoa dan mengucap syukur pada Hyang Maha Dewa
untuk tiap kesempatan indah yang diperolehnya. Baru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keesokan harinya Mas Ramad mendatanginya untuk kemudian
mengajaknya berkenalan dengan orang-orang di kota Jember.
Keduanya berjalan kaki menuju ke utara. Melewati rimba
yang cukup sulit. Begitu banyak belukar dan rotan. Namun
kicauan burung yang menyambut pagi serasa irama kidung
yang mengawal tiap langkah mereka. Aum sang raja hutan
terdengar sayup di kejauhan, membuat bulu roma Sayu Wiwit
berdiri, kendati sejak kecil ia akrab dengan hutan. Mentari
mulai menembuskan sinarnya ke celah dedaunan. Kupu-kupu
juga telah menarik perhatiannya, membuat Sayu Wiwit
berulang kali menghentikan langkah. Ingin ia berlari mengejar
kupu-kupu. "Perjalanan kita lebih penting dari kupu-kupu itu," Mas
Ramad tidak sabar. "Ah, Yang Mulia...." Sayu Wiwit melirik sambil tersenyum.
Senyum yang membawa bahagia. Ramad dengan seketika
membimbing tangannya untuk terus berjalan menuju kota
Jember. Hati keduanya menjadi berbunga. Dan dengan begitu
kelelahan dapat mereka kalahkan. Sebelum masuk kota kecil
itu, mereka menyempatkan diri beristirahat. Duduk di bawah
pohon sambil bersirih. Setelah beberapa bentar mereka mulai
memasuki kota. Ternyata Mas Ramad punya banyak teman di
kota ini. Setelah menjumpai beberapa kawan yang namanya
tidak sempat diingat oleh Sayu Wiwit, mereka menuju tengah
kota. Mereka sempat menyaksikan benteng milik Kompeni
yang dipimpin oleh seorang letnan bernama Steenberger.
"Megah dan kokoh benteng ini," Sayu Wiwit bergumam.
"Ya. Memang kokoh. Tapi daun pintunya, yang terletak di
bagian utara dan barat itu terbuat dari kayu yang dibelah-
belah. Suatu ketika kita akan mendobraknya," Ramad
Surawijaya menjawab dingin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lihat! Moncong meriam terpasang dan menghadap ke
seputar. Lihat, para penjaganya tampak begitu gagah dan
trampil. Mampukah kita, Yang Mulia?"
"Di samping seorang kekasih semanis engkau, aku mampu
membelah bukit sekalipun."
"Ah, Yang Mulia...." Sebuah cubitan lirih hinggap di lengan Mas Ramad. Orang
tidak memperhatikan kedua muda-mudi
berpakaian petani itu. Mereka terlalu sibuk menjual hasil bumi
di pasar atau berbelanja. Menjual dan membeli untuk menutup
kebutuhan mereka. Pasar digunakan sebagai tempat tukar-
menukar barang. Dan mereka berjalan terus menuju sebuah
toko besar. Toko milik Cheng Shian Hauw. Tanpa ragu Ramad
dan Sayu Wiwit melangkah ke dalam pekarangan rumah di
samping kedai milik Cina itu. Dalam hati Wiwit memuji, betapa
mengagumkan pemuda di sampingnya itu.
Kedai Cheng memang penuh pembeli. Tapi Cheng tidak
berada di sana. Ramad tahu Cina pedagang candu dan
berbagai macam barang itu tidak ada di kedainya, tapi di
rumah bersama beberapa gundiknya. Ulahnya tak beda
dengan raja kecil. Dengan uang, orang bisa merajakan diri
sendiri seperti halnya Cheng Shian Hauw, pikir Ramad. Tapi ia
tak peduli. Yang penting sekarang bagaimana melibatkan
orang ini dalam perang melawan VOC. Sayu Wiwit baru
pertama mengenalnya. Orangnya bermata sipit, berkumis
panjang sampai turun ke bawah mulut. Bibirnya biru, karena
selalu bergaul dengan candu. Jenggotnya memanjang, sedang
tubuhnya kekar. Otot-otot menonjol di tangannya.
Gambar harimau dan kaca kecil berbentuk segi lima
terpampang di atas pintu masuk rumahnya. Gambar tidak
pernah menakutkan bagi Sayu Wiwit. Ia terbiasa bersua
dengan monyet-monyet yang tidak puas wilayahnya dibabat
oleh manusia. Bahkan tidak jarang monyet jantan
menggodanya dengan menyeringai sambil memamerkan


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

zakarnya yang sebesar lidi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkin saja monyet-monyet itu sakit hati terhadap
manusia yang selalu rakus. Sebenarnyalah manusia tidak
mungkin hidup seperti kera. Manusia hidup dari kemenangan
demi kemenangr an. Kemenangan terhadap alam, terhadap
kesulitan, dan terhadap makhluk lainnya. Lihat di leher Cheng
Shian Hauw! Bergantung kalung hitam dengan taring babi
sebagai hiasan. Apa artinya itu" Memang sementara orang
memaksudkannya sebagai penolak bala. Tapi bukankah taring
itu lambang kerakusan" Ternyatalah ada manusia yang hidup
di atas kerakusannya. Atau itu suatu pertanda bahwa manusia senang bergantung
pada hal-hal yang gaib" Termasuk pada perlambang. Berharap
agar perlambang itu memberikan kekuatan ajaib yang
membuat mereka dapat memenangkan semua dan segala.
"Hayah.... Selamat datang Tuan Muda." Cina itu
membungkuk hormat pada Mas Ramad. "Sudah lama tidak
bersua. Kini..." Ia pandang Sayu Wiwit dengan penuh nafsu
birahi. Mata sipitnya bersinar.
"Dia seorang brahmani yang akan membicarakan masa
depan Jember dan sekitarnya. Dan kedatangannya ke sini
untuk mengetahui sikap Tuan...."
"Oh, begitu" Silakan, silakan duduk!"
Mereka langsung diajak ke ruangan tengah. Besar rumah
itu. Berhalaman luas. Hampir sepuluh lelaki berpakaian sutera
dengan pedang di punggung mengawasi tiap gerak tamu-
tamu itu. Shian Hauw melambaikan tangan agar mereka
menjauh. Juga pada para wanita, baik pribumi maupun Cina,
yang duduk bersimpuh mengelilingi meja perjamuan. Bau
dupa menguasai ruangan. Gambar-gambar naga dan kantung-
kantung merah-putih yang tak jelas isinya bergantungan di
berbagai sisi dinding. Seorang gundik pribumi bertugas
mendekatkan tempolong jika ia akan berdahak. Cukup cantik
wanita itu. Ah, benar-benar Shian Hauw telah berkembang
menjadi raja kecil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana dengan putri Tuan. Ah, Shian Ling, ya?" tanya
Mas Ramad yang membuat wajah Shian Hauw bermendung.
"Tuan mengingatkan hamba pada kesedihan...."
"Maaf, bukan maksudku begitu. Siapa tahu anak perawan
itu masih di klenteng atau..."
"Steenberger biadab! Sungguh biadab! Sudah kubayar
semua pajak dengan baik, anakku masih saja belum
dilepasnya!" "Jagat Bathara!" Mas Ramad pura-pura kecewa.
Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti apa maksud
pembicaraan mereka. Walau mereka bicara dalam
Blambangan yang cukup bagus. Ia bandingkan Mas Ramad
dengan Ayu Prabu. Keduanya adalah orang-orang yang hidup
dalam teka-teki. Kini ia dilibatkan dalam banyak teka-teki.
"Mengapa Tuan tidak mengerahkan tiga ratus laskar?"
"Ah... mengapa hamba harus bunuh diri" Kompeni kulit
putih saja berjumlah lima ratus orang. Belum lagi yang hitam."
Mas Ramad mengerutkan dahi sambil memandang Sayu
Wiwit. Tapi Sayu Wiwit cuma tersenyum. Ia tidak mengerti
makna pandangan kekasihnya. Tapi di mata Shian Hauw
senyuman Sayu Wiwit itu dipandang sebagai isyarat untuk
meneruskan perundingan. Mungkin saja karena Sayu Wiwit
melihat betapa banyaknya wanita muda yang melayani Shian
Hauw, sehingga tidak berkenan berunding sendiri. Dan
memang Mas Ramad yang meneruskan pembicaraan.
"Sebenarnya kami telah menempatkan pasukan di seputar
Jember ini. Jika tiba saat yang tepat, maka kami akan
menyerbu benteng Steenberger. Nah, kami hanya ingin tahu,
apakah Tuan akan beserta kami, atau menganggap
Steenberger sebagai anak-mantu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesaat Shian Hauw terbenam dalam keraguan. Sementara
Ramad kembali memandang Sayu Wiwit penuh arti. Dengan
harapan agar gadis itu menangkap arah lari pembicaraan
mereka. Dan memang ia mulai menangkap samar. Tapi ia
tidak tahu di mana pasukan Ramad ditempatkan. Tapi ia
mencoba untuk bicara. Barangkali Mas Ramad menghendaki
seperti itu. "Kita harus bertimbang sebelum melangkah. Seperti kami
yang sudah mempertimbangkan setiap yang akan kami
tuturkan. Karena itu kami juga tahu apa yang akan terjadi
seandainya ternyata Tuan di seberang kami."
Semua tahu bahwa kata-kata Sayu Wiwit mengandung
ancaman. Dan Mas Ramad puas mendengar kata-kata itu.
Shian Hauw mengerutkan dahi sambil memandangnya. Begitu
montok gadis ini. Manis lagi. Belum pernah ia menjumpai yang
semanis dia. Bisa saja ia meringkus keduanya. Membunuh Mas
Ramad, dan Sayu Wiwit dijadikannya istri. Kemudian ia
melaporkan hal itu pada Steenberger. Tapi, ia ragu.
Keberanian kedua orang ini tentu berdasar. Mungkin saja
keduanya memiliki ilmu silat tinggi, sehingga yakin bisa
meloloskan diri jika dikeroyok puluhan orang. Atau di balik
tembok, rumahnya sudah dikepung oleh laskar Ramad,
sehingga pada batas waktu yang ditentukan, mereka akan
menyerbu dengan mendadak. Barangkali mereka akan
bertindak seperti perampok biasa....
"Kami tidak punya waktu panjang," tegas Mas Ramad.
"Masih banyak yang akan kami lakukan."
"Ah, baik. Baik... Hamba akan beserta Pangeran eh, Tuan.
Tapi beri waktu barang sedikit untuk mengumpulkan pasukan
hamba yang tersebar dan menyamar sebagai tukang-tukang
kelontong," Shian Hauw sedikit gugup. Ramad seperti tahu
pikiran jelek yang menyelinap dalam kepalanya. Keinginannya
menyeret Sayu Wiwit ke pembaringan segera lenyap, karena
begitu mengantar mereka ke gerbang ia melihat keduanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melompat dengan tangkas ke atas punggung kuda yang tinggi
dan gagah. Padahal waktu mereka datang cuma berjalan kaki.
Dengan kata lain, Ramad memang memiliki telik di sekitar
rumahnya. Bahkan mungkin dalam rumahnya sendiri.
Keduanya terus berkuda. Entah ke mana lagi. Tapi Shian
Hauw sadar, ia tak boleh main-main. Karena Ramad tidak
pernah main-main dengan ancamannya. Ia pernah mendengar
betapa anak muda itu yang mengobarkan perang melawan
Belanda di zaman Wong Agung Wilis masih di Blambangan.
Sayu Wiwit merasa diri melambung setinggi angkasa biru.
Belum pernah ia dihormati para pemimpin pasukan seperti
saat ia jalan bersama Ramad Surawijaya, kala mengelilingi
desa-desa yang ternyata tempat persembunyian dan gudang
makanan baru laskar Mas Ramad. Tanpa ia rasakan perjalanan
kian jauh ke barat laut, melewati lembah dan hutan. Dan
sampailah mereka di sebuah telaga. Sayu Wiwit terkejut bukan
kepalang melihat panorama yang terhampar di hadapannya.
"Telaga?" bisiknya nyaris pada diri sendiri.
"Ya. Ranu Klakah," tegas Ramad. "Hamba belum pernah
mendengar nama ini."
"Sekarang kau melihatnya. Nah, di sebelah kiri kita itu
Gunung Lamongan. Kita tidak akan pernah melewatinya.
Karena siapa pun yang berani masuk ke situ, akan berhadapan
dengan ular-ular puspakajang. Kupikir memang di sana
kerajaan ular puspakajang."
"Ah, seperti dongeng. Masa ada kerajaan ular segala."
"Boleh percaya, boleh juga tidak. Tapi lihat saja di sana.
Kau akan lihat ular-ular besar dengan taji di ekornya, dan tahu
kamu yang sudah tua" Uh, kepalanya berjambul merah seperti
ayam jantan. Dan... ular-ular itu pintarnya, uh, bisa berkokok
seperti ayam jantan juga," Mas Ramad menegaskan sambil
tertawa. Dan kembali mereka memandangi dedaunan perdu di
seputar Telaga Ranu Klakah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agak jauh, di lereng bukit sebelah barat telaga itu ada
beberapa puluh rumah beratap ilalang. Kini kuda mereka
menuju ke sana. Melewati jalan setapak yang di kiri-kanannya
ditumbuhi perdu. Pohon thean, perdu berbatang ungu dan
daunnya mirip daun teh. Apakah daun ini juga direbus seperti
halnya daun teh" Tidak ada yang tahu. Di beberapa bagian
juga ditumbuhi kumis kucing, atau putri malu. Tumbuhan
yang biasanya cuma setinggi lutut paling subur dan akan
mengkerut bila tersentuh.
"Tempat siapa lagi?" Sayu Wiwit memandang kekasihnya.
"Singa Manjuruh. Seorang pelarian dari Mataram."
"Mengapa sampai di sini?"
"Biasa... ia tidak suka pikiran-pikiran kerdil kaum penguasa
Mataram sendiri. Ya, di mana-mana ada pertentangan siasat
kekuasaan. Dan sebenarnyalah siasat kekuasaan
membangkitkan perang. Yah... siasat kekuasaan."
Sayu Wiwit mengangguk. Ia sudah pernah menerima
pelajaran tentang hal itu dari Mas Ayu Prabu. Langkah kuda
mereka makin mendekati rumah-rumah beratap ilalang itu.
Dan seorang lelaki bertubuh agak kurus, tinggi, dengan dada
agak melengkung ke depan, berkumis tebal, serta
mengenakan destar berwarna coklat kumuh karena tidak
pernah dicuci, muncul dari semak dengan senapan di tangan.
"Ah, selamat datang, Yang Mulia. Apa kabar" Sudah lama
kami menunggu berita. Oh, siapa pula ini" Jelita amat?" Singa
Manjuruh tertawa. Sayu Wiwit merasa malu ditertawakan sekaligus dipuji
seperti itu. Tapi Mas Ramad membalas dengan tertawa pula.
"Ah, Kakang, mana gadis Madura-mu yang manis itu"
Kamu pikir aku ini si Pakubuwana sehingga kalian perlu
menyembunyikan perempuan kalian saat aku lewat?" Mas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ramad memberi isyarat pada Sayu Wiwit untuk turun dari
kuda. Kemudian mereka bertiga berjalan ke salah satu rumah di
tengah kerumunan rumah lainnya. Terdengar keduanya
tertawa. Kates dan ubi jalar, serta pisang mewarnai halaman
rumah mereka. Tiba di suatu semak dekat pagar rumah, Singa
Manjuruh mengambil kentongan bambu, kemudian
memukulnya bertalu-talu tanda keadaan aman.
Sayu Wiwit memuji kerapian mereka itu. Seperti halnya
yang pernah diajarkan padanya oleh Mas Ayu Prabu. Dan
begitu mereka sudah mulai duduk di lincak (embin bambu),
mulailah bermunculan kawan-kawan Singa Manjuruh.
"Sudahkah kalian siap" Dalam waktu dekat kami akan
menyerbu benteng Steenberger. Laskarku sudah berbaris di
seputar Jember. Juga laskar Lebok Samirana. Sedang Cheng
sudah aku beri tahu. Tinggal ikut atau tidak. Dia tinggal pilih,
mati di tangan Belanda atau mati di tanganku."
Singa Manjuruh tertawa. Ia kagum terhadap semangat
temannya itu. Juga keberaniannya.
"Apa kau yakin prajuritmu yang tak pernah kaubayar itu
berani melawan VOC?"
"Yakin. Karena mereka akan dipimpin langsung oleh
seorang ratu yang jelita." Tersenyum sambil menunjuk Sayu
Wiwit "Kau kini boleh berkenalan. Namanya Sayu Wiwit."
Sayu Wiwit tersipu diperlakukan begitu. Apalagi Singa
Manjuruh menghormat sambil menyebutnya, "Yang Mulia."
Untung beberapa jenak kemudian Siti Khotimah, istri Singa
Manjuruh yang berasal dari Madura itu, muncul dari pintu
belakang. Sayu Wiwit terhenyak oleh kekaguman. Andai saja
kulitnya kuning seperti Mas Ayu Prabu, maka wanita ini tentu
tercantik di bumi berkapur Madura sana. Mungil dan langsing.
Leher cukup jenjang dan berhiaskan garis-garis samar seperti
ular, matanya bundar hitam dengan bulu mata lentik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membangkitkan rasa cemburu wanita lain. Dadanya segar
kendati tertutup kutang hitam. Pusarnya dibiarkan terbuka.
Sempurna tanpa cela. Kendati kulitnya agak gelap namun
senyumnya mengguncang iman lelaki, karena bibir tipis itu
menghias mukanya yang berbentuk daun nangka. Binggal
tetap saja menghias pergelangan kaki, kendati cuma terbuat
dari perak. Sayu Wiwit langsung terlibat dalam pembicaraan
yang akrab. Tapi tetap saja ada batas yang tak nampak,
karena Siti Khotimah merasa berhadapan dengan Sri Ratu.
Beberapa hari kemudian Sayu Wiwit sudah selesai
memeriksa semua laskar Mas Ramad. Dan ia makin tidak
mengerti maksud pemuda itu memperlakukannya sebagai
seorang ratu. Mungkinkah anak muda itu kelak menginginkan
tahta Blambangan" Sehingga sejak sekarang ia telah
diperkenalkan sebagai ratu" Jika demikian maka Blambangan
akan terlibat dalam perang saudara. Bukankah sejak sekarang
sudah dipersiapkan Wilis sebagai pimpinan tertinggi di Bumi
Semenanjung ini" Tapi Sayu Wiwit tidak berani
mempertanyakan itu pada Mas Ramad.
Ia bertugas memimpin padepokan dengan can-trik-cantrik
terpilih, antara lain Lebok Samirana sendiri. Dengan cepat
namanya menjadi terkenal di seluruh lembah dan gunung-
gunung Blambangan utara dan barat. Bahkan para bekel serta
kepala-kepala dusun lebih patuh padanya daripada ke
komandan pasukan pendudukan.
"Dengan membayar upeti, kita sudah berarti setuju pada
pemerintahan kaum bule! Dan itu merupakan dosa terhadap
Maha Dewa yang kita sembah!" suatu hari Sayu Wiwit
memberikan amanatnya. Dan semua orang mengagumi
perawan suci itu. "Juga jika kalian semua bekerja buat
mereka. Semakin banyak kalian berbuat baik pada mereka,
apalagi mengusahakan kedamaian serta kesejahteraan buat
mereka, berarti memperpanjang aniaya untuk kalian sendiri.
Karena merupakan pemunggungan terhadap Hyang Maha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ciwa. Terkutuklah orang yang memunggungi penciptanya
sendiri!" Mas Ramad yang mengamati dari kejauhan puas akan
keterpesonaan mereka. Ini suatu pertanda saatnya segera tiba
Kompeni menyingkir dari Blambangan. Terbukti keesokan
harinya tidak ada lelaki atau perempuan Blambangan seorang
pun yang masuk kerja di loji-loji atau benteng. Bahkan tidak
juga di rumah Adipati. Tentu Steenberger yang menerima
laporan ini jadi curiga. Kecurigaan makin berkembang, ketika
ia melihat perniagaan di Jember dan sekitarnya hampir-hampir
tidak jalan.

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya
Kompeni bisa tahu rumahnya di dukuh Sambiroto itu. Tahu-
tahu'seregu pasukan Kompeni muncul saat ia memberikan
wejangan. Komandan regunya yang berkulit hitam, barangkali
saja dari tanah Ambon, langsung masuk ke tengah bale
pracabaan (ruang untuk mengajar). Sementara itu anak
buahnya menodongkan bedil pada semua yang sedang
bersimpuh mendengar pelajaran.
"Ahai, selamat pagi, Nona manis. Kaukah yang mengajari
mereka membangkang" Tidak kerja dan semua datang
kemari?" "Berhenti di situ!" perintah Sayu Wiwit, membuat
komandan regu itu terhenyak dan berhenti melangkah.
"Hak apakah kau melangkah seperti itu di hadapanku
dengan tanpa izin" Kau mengikuti mereka dari belakang?"
Sayu Wiwit bicara dalam Melayu yang sedikit lancar. Tidak
seperti biasanya orang Blambangan. Dan komandan itu makin
terpesona. Baik oleh suara maupun wajah orang suci tersebut.
Benar-benar melebihi sebangsanya.
"Kau tidak lihat Kompeni?"
"Ini di luar kekuasaan Kompeni!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Komandan regu itu menjadi ragu. Ini bukan daerah
kekuasaan Kompeni" Jadi ada orang yang tidak patuh pada
Jaksanegara, pribumi yang punya kekuasaan tertinggi di bumi
Blambangan saat ini" Buat beberapa jenak ia termangu. Tapi
sekali lagi suara pribumi, wanita, dan... tidak takut pada
Kompeni, membangunkannya dari impian.
"Mundur! Letakkan senjata kalian! Atau kalian pulang
tinggal nama?" Sayu Wiwit kini mengancam.
Semua tamu menjadi gentar. Pengalaman pertama mereka
melihat seorang wanita berani mengancam Kompeni.
Sementara itu Mas Ramad bersama beberapa puluh
pengawalnya melata seperti biawak mendekati mangsanya
dalam semak. Dan tentu itu tidak pernah diduga oleh regu
yang sedang menodongkan senjatanya ke arah bale
pracabaan. Apalagi mereka semua sedang bingung melihat
komandan regu mereka sendiri. Akibatnya tak ayal lagi,
sebuah lompatan dari balik semak menerkam semuanya.
Bahkan seperti mimpi, senjata mereka sudah berpindah
tangan. Kini berbalik, mereka yang tertodong. Dan komandan
regu itu menjadi semakin kecut mendengar suara tawa
Ramad. . "Ha... ha... ha... kalian harus belajar menghormati orang
suci Blambangan! Nah, Komandan, letakkan senjatamu!" Tiada
tersadari, bedil itu jatuh sendiri. Tangan Komandan bergetar.
Kini ia melangkah ke luar bale pracabaan, atas perintah
Ramad. "Tak baik bicara di ruangan suci," Ramad bicara lagi.
"Sudah cukup lama kami menunggu kehadiran Tuan-tuan.
Karena kami ingin meminta tolong Tuan menyampaikan hasrat
kami pada VOC. Kulit sama dengan kami, maka pantas Tuan
mewakili kami untuk mengatakan, 'VOC harus segera pergi
dari seluruh bumi Blambangan. Nah, kami tidak akan
menghukum Tuan yang telah menghina tempat suci kami, jika
Tuan melakukan apa yang kami kehendaki."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi..." "Tidak ada tetapi. Yang ada mau atau mati!" potong
Ramad, membuat keringat dingin anggota pasukan itu
mengucur deras. "Kalian akan mati pelan-pelan dan satu-
satu," Ramad melanjutkan ancamannya.
Semua orang di bale pracabaan mendengar jelas. Tapi tak
ada yang berani menoleh. Sedang komandan regu itu diam
dengan mulut komat-kamit. Mungkin berdoa.
"Baik!" Ramad memberikan isyarat. Dan seorang bertubuh
tinggi besar dan berotot kekar maju dengan kapak di tangan.
Sambil melangkah ia menyeret seorang anggota pasukan
Kompeni yang berdiri paling ujung. Sampai di dekat Ramad
orang itu melemparkan orang yang diseretnya ke kaki Ramad.
Seperti melempar seonggok kayu. Dan Komandan makin
ketakutan. Memandang tampang mertalutut (algojo) itu pun
sudah takut. Maka cepat ia mengambil keputusan untuk
menyelamatkan anak buahnya.
"Jangan lakukan apa-apa atas dia! Kami sanggupi perintah
Tuan," komandan itu mengiba.
"Baik! Jika demikian baliklah ke benteng Steenberger
dengan tangan terikat di belakang! Katakan pada komandan
bentengmu, pergi atau mati!"
"Ba... baik, Tuan."
Dan tangan mereka semua segera diikat di belakang
punggung mereka. Sayu Wiwit sama sekali tidak mengerti bahwa justru saat
itu waktunya bersamaan dengan Biesheuvel di Pangpang
mengerahkan pasukannya ke Derwana untuk menyerbu
Jagapati. Namun segera sesudah satu regu pasukan Kompeni
itu pergi, Mas Ramad memerintahkan pengosongan
padepokan. Semua orang harus berangkat mengepung
benteng Steenberger. Sedang para tamu diperintahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengungsi. Karena hari itu adalah awal perang di Jember.
Maka dengan bergegas mereka segera pulang untuk
menyelamatkan keluarga mereka.
"Akan ada perang?" tanya seseorang pada Sayu Wiwit.
"Ya! Perang membela saudara-saudara kita, ayah-ibu kita,
dan anak-anak perempuan serta anak-anak lelaki kita! Tidak
akan ada yang membela jika bukan kita sendiri. Tiba saatnya
berbuat sesuatu untuk diri sendiri." "Tapi..."
"Mengapa harus tetapi?" Sayu Wiwit memomong.
"Barangsiapa yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk diri
sendiri, ia sudah mati dalam hidupnya. Sebenarnyalah ia akan
hidup dalam kesia-siaan."
"Hyang Bathara!" orang itu menyebut. Namun tak urung ia
juga berangkat mengangkat senjata.
Belum lagi Steenberger sempat menurunkan perintah
beberapa jenak setelah seregu anak buahnya kembali dengan
tangan terikat di belakang, dan barang tentu tanpa senjata,
pulang dari tugas menangkap Sayu.Wiwit, Mas Ramad telah
menembakkan meriamnya. Tepat mengenai dinding sebelah
timur. "Gila! Siap! Siap! Balas tembakan mereka!"
Kepanikan mewarnai benteng dengan segera. Tapi
beberapa bentar lagi bumi serasa berguncang. Dentuman
meriam kembali menggelegar membelah langit. Sekali lagi,
dan lagi, kembali beberapa kali. Doa dan umpatan menyatu
dari mulut-mulut mereka. Perempuan-perempuan penghibur
yang baru saja datang bersama rombongan penari kemarin
malam kini berlarian panik. Semua makin menjengkelkan hati
Steenberger. Dan kemarahan kian merambati hati kala
beberapa orang berusaha membuka pintu benteng sebelah
barat untuk lolos. Ternyata tembakan juga menggempur
dinding sebelah barat. Kini sebelah utara, sebelah selatan. Uh,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benteng dalam kepungan. Steenberger memerintahkan
tembakan balasan. Sorakan anak buah Mas Ramad kian terdengar kala dinding
selatan mulai terluka. Lebih gila lagi kala tembakan musuh
tepat menerpa pintu sebelah timur. Ia tahu musuh lebih siap
dan lebih banyak. Karena itu dengan perlindungan meriam
dan kanon ia memerintahkan anak buahnya bertahan di luar
benteng. Ia tahu akhirnya benteng tidak akan mampu menjadi
pelindung. Bahkan menjadi kubur mereka. Tidak peduli
bagaimana nasib para penari dan wanita penghibur, yang
penting semua anak buahnya dan dirinya sendiri selamat.
Masih baik jika dalam keadaan gawat yang penuh hiruk-pikuk
ia sempat memikirkan anak buahnya. Tak kurang-kurang
dalam keadaan begitu orang cuma memikirkan diri sendiri. Kini
perintah lanjutan yang keluar dari mulut Steenberger adalah
menerobos kepungan, dan berlari ke utara! Utara! Surabaya!
Sebab kemungkinan untuk mempertahankan benteng itu cuma
impian. Dan Steenberger sadar. Harus meninggalkan impian
yang buruk itu. Namun sebuah peluru menembus bahu kanannya.
Membuat ia terpental. Dan kala bangun tangan kanannya
seperti pupus tiada daya. Tidak bisa diangkat. Aniaya yang
meluluhkan air matanya. Yah, ini bukan mimpi. Benarkah ada
hukum karma" Jika demikian maka mungkin saja aku pernah
menembak dan menjadikan orang cacat seumur hidupnya. Ya,
Tuhan.... Apa pun usaha Steenberger, tapi kenyataan takkan
terbantah, sejarah juga harus mencatat: Benteng Jember yang
dipimpin Letnan Steenberger jatuh ke tangan Sayu Wiwit.
"Dirgahayu, Blambangan! Dirgahayu Sayu Wiwit!" teriak
orang-orang gembira. Apalagi waktu Sayu Wiwit memasuki
benteng dalam iringan Mas Ramad, Singa Manjuruh, Lebok
Samirana, dan Cheng Shian Hauw. Ia sedikit bergidik
melangkahi bangkai demi bangkai. Bangkai manusia, kuda,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan anjing. Di kamar-kamar masih ada bangkai lagi. Para
wanita. Ada sebagian yang belum sempat mengenakan
pakaian. Mungkin kelelahan setelah semalam menghibur lelaki
kulit putih dan hitam anggota Kompeni. Perang tak mengenal
iba. Tak mengenal warna kulit. Bau anyir menusuk-nusuk.
Sayu Wiwit berlatih menahan rasa mual dalam perutnya.
"Bagaimana?" Sayu Wiwit menoleh pada Mas Ramad.
"Kita bakar benteng ini. Kita tidak boleh menempatinya."
Mereka kembali menghadapi laskar mereka yang masih
mengepung benteng dengan berbagai senjata. Kini para
pemimpin itu naik ke atas panggung di mana biasanya
Steenberger memimpin upacara atau menyaksikan anak
buahnya berlatih. Semua orang masih tenggelam dalam
sukacita. Kini Mas Ramad membuka suara, "Kita sudah menang! Tapi
perang belum berakhir! Kita akan berperang untuk saudara-
saudara kita di Panaru-kan, Candi Bang, Puger, dan seluruh
bumi Semenanjung Blambangan. Apabila perlu kita akan
bergerak ke utara. Menggempur Kompeni di mana pun
mereka berada! Untuk itu..." Diam sebentar sambil
memandang semua yang hadir. Tiap pasang mata
memperhatikannya. Seperti kena sihir. Tiap pasang kuping
dipasang sungguh-sungguh. Suasana benar-benar hening.
Kemudian melanjutkan, "Untuk itu kita membutuhkan
pemuka. Dan aku mengusulkan agar kita mengangkat Sayu
Wiwit sebagai ratu atau panglima perang!"
"Setuju! Setuju! Dirgahayu!" teriak orang-orang
mengguruh. Sayu Wiwit tidak mampu berkata apa pun. Kini ia membagi
tugas atas petunjuk Mas Ramad. Pasukan dipecah. Singa
Manjuruh ke jurusan Lateng. Dia akan membantu Ayu Prabu.
Sedang Cheng Shian Hauw akan menggempur Panaru-kan. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpasangan dengan Mas Ramad akan menggempur Candi
Bang, dan Lebok Samirana menuju ke Puger.
Benar juga perkiraan Sayu Wiwit. Pemuda itu sudah
merencanakan penyerangannya dengan baik. Segera Puger
jatuh. Panarukan dengan amat mudah dihancurkan oleh laskar
Cina yang bergerak bersama sebagian laskar Blambangan.
Tapi semua itu tak dapat ia ceritakan dengan jelas pada Mas
Ayu Prabu. Cuma pengalamannya sendiri yang bisa ia
jelaskan. Setelah melampaui hutan paya yang cukup sulit, akhirnya
pasukan sampai juga ke Candi Bang. Kekuatan Belanda di sini
amat sedikit, karena semua dipanggil ke Pangpang untuk ikut
menggempur Jagapati di Derwana. Tidak ada perlawanan
berarti kecuali gerakan mundur untuk lari. Tapi hakikatnya
mereka masuk perangkap dan semua bunuh diri. Perang tidak
pernah mengenal ampun. Karena peperangan adalah
memenangkan dan dimenangkan. Menghancurkan dan
dihancurkan. Tempik-sorak menyambut Sayu Wiwit.
"Dirgahayu Ratu! Dirgahayu Sayu! Dirgahayu Blambangan!"
Bekel Candi Bang segera mempersilakan mereka
beristirahat di rumahnya. Dan kawula tak habis-habisnya
mengelu-elukan Sayu Wiwit. Bekel dan istrinya juga
menyembah di kakinya. Keringat dingin keluar dari tiap lubang
pori tubuhnya. Tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini.
Mimpi pun tidak. Desa ini sebenarnya cukup subur. Hanya
karena mereka dibebani makanan pasukan pendudukan, maka
kemakmuran tanah itu tidak mampu mencukupi hidup mereka.
"Yang Mulia, apa arti semua ini?" tanya Sayu Wiwit kala
mereka meninggalkan rumah Bekel untuk menuju candi.
Mereka akan berdoa mengucap syukur pada Hyang Maha ?iwa
yang telah memenangkan peperangan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan menerangkan setelah kita berta-syakur
mengucap syukur. Mudah-mudahan tiap orang sekarang
merasakan kebahagiaan karena kemenangan ini."
"Ya. Apakah Bayu sudah mendengar?"
"Sudah aku perintahkan seorang caraka sandi (utusan
rahasia) untuk menyampaikan kemenangan kita ini. Bahkan
aku telah mengirimkan lontar untuk Ibu."
"Berbahagialah mereka."
"Berbahagialah tiap orang yang telah berbuat sesuatu
untuk negeri dan manusianya."
"Kendati ia harus mati?"
"Kendati harus mati. Tiap orang akan disebut mulia jika ia
mati dalam pribadi yang kokoh waktu mempertahankan
pandangan hidupnya."
"Bagaimana jika ia harus mati tersungkur di atas debu?"
"Jauh lebih mulia dari seorang raja yang mati di
pembaringan beralas sutera Cina, tapi ia menjual bangsanya
untuk menjadi kuli. Budak! Budak dari tiap bangsa. Ya, jika
kita tidak kokoh dalam membela mereka, maka tidak mustahil
kelak Blambangan akan jadi budak dari bangsa kulit putih,
kulit kuning... atau bahkan kulit sawo matang sendiri."
"Hyang Dewa Ratu!"
"Jangan kaget, Wiwit. Lihat saja sekarang! Semua bangsa
sedang merayu kita. Tapi hakikatnya mereka ingin
memenangkan diri. Nah, kita telah sampai sekarang. Kita akan
memasuki candi di mana Ken Arok pernah berjanji untuk


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meruntuhkan tirani Kediri. Juga berjanji akan membe-. baskan
Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Nah, kita juga...."
Hati Sayu Wiwit tersibak mendengar keterangan itu. Belum
pernah ia mendengar seperti ini. Barangkali anak muda ini
memang membaca lontar. Tapi bisa juga mengada-ada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita juga akan bersumpah di bawah kaki Hyang Durga
dalam Candi Bang ini."
Keduanya menghentikan langkah. Keduanya
memperhatikan puncak candi yang menjulang berbentuk
lingga itu. Sedang pada dasar candi berbentuk yoni. Lingga
dan Yoni (lambang kesuburan pria dan wanita). Rembulan
telah menciptakan bayang-bayang puncak candi di sebelah
barat. Di luar pagar pertama, di kiri-kanan gerbang, candi itu
dijaga oleh sepasang patung Dwarapala. Setinggi manusia
berdiri. Keheningan menguasai kedua orang muda itu.
"Apa yang akan kausumpahkan?" Mas Ramad tiba-tiba
memandang Sayu Wiwit tajam.
Mendadak saja wanita ini gugup.
"Setya a nagri..." Sayu Wiwit melirik sekelilingnya. Senyap.
Pandangan Mas Ramad begitu tajam. Seakan tidak terima
terhadap jawabnya. "Setia pada Hyang Durga," lanjutnya.
"Cuma itu?" "Apa lagi?" "Kita harus sama-sama bersumpah di hadapan Hyang
Durga, untuk meresmikan pernikahan kita."
"Hyang Dewa Ratu!" Sayu Wiwit menyebut. "Mengapa
terkejut" Aku sudah memberi tahu Bunda."
"Tidak ada pandita...."
"Bukan pandita yang menyaksikan pernikahan kita, namun
Hyang Maha Dewa sendiri dan hati kita masing-masing.
Keberatan" Kau tidak lagi punya orang tua dan sanak-saudara.
Juga ayahku ada di tempat yang tidak mungkin kita jangkau.
Mau?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba air mata menyembul di kedua kelopak matanya.
Ingin ia menahan agar Mas Ramad tidak melihatnya. Namun mata pemuda itu seperti
mata rajawali. Apalagi kini, walau enggan, air mata itu tetap merambat di kedua
belah pipinya yang halus. Memantulkan cahaya rembulan. Mas Ramad menarik napas.
"Tak apa, Wiwit. Kau keberatan kita menikah tanpa upacara" Aku akan meminta Ibu
untuk menyiapkan upacara di Bayu...."
"Yang Mulia..."
Tapi Mas Ramad sudah melangkah. Memasuki gerbang pertama. Sayu Wiwit mengejar.
Tapi langkah pemuda itu amat cepat. Masuk di gerbang kedua. Dan melakukan
pradaksina (bergerak mengitari candi sesuai arah jarum jam) tiga kali, lalu
masuk ke pura. Mau tak mau Sayu Wiwit mengikutinya.
Bahkan kemudian duduk di samping Mas Ramad. Dekat sekali.
Tak berjarak barangkali. Untuk memberi keyakinan pada Mas Ramad bahwa ia
mengiakan kehendak pemuda itu. Memang ia takut kehilangan tempat mencurahkan isi
hatinya. Sesaat Ramad menenangkan hatinya. Kemudian melakukan yoga. Wiwit berbuat serupa.
Selesai semua yoga dan mantra ia merapatkan telapak tangan kanannya pada telapak
kiri Mas Ramad, dan mengucap janji seperti layaknya mempelai Hindu
mengucapkannya di depan pandita. Mas Ramad terkejut.
Namun ia juga segera bersumpah, "Wiwit adalah dewi, kehidupan, dan...
permataku." Kembali Sayu Wiwit terhanyut oleh keharuan. Setelah kehilangan ibu-bapa,
kehilangan semua saudara, kini menemukan seorang yang sanggup mencintainya
dengan sepenuh hati. "Yang Mulia...," bisiknya.
"Jangan panggil aku seperti itu lagi. Aku suamimu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu?" "Suaminda." Mas Ramad tersenyum. Perlahan ia
membimbing istrinya. Keluar dari candi. Dari hadapan Hyang
Durga. "Banyak bintang mengerjap di langit, Suamiku.. Lihat!! Aku
takut Suaminda memperbandingkan permatanya dengan
bintang-bintang." Mereka berjalan berangkulan. Menyatu.
"Jangan takut! Banyak mutiara di bumi ini. Tapi harganya
terlalu mahal. Maka aku mengambil satu saja. Aku tidak ingin
memperbandingkan dengan lainnya. Lihat, aku telah berbuat
semua untukmu. Aku puas jika kau disanjung. Bukan aku!"
Wiwit baru menyadari. Semua yang dilakukan Ramad di
Jember untuknya. Demi cinta Ramad pada Sayu Wiwit. Ah, ia
cium pipi suaminya. "Sebentar kita berpisah. Kau akan kembali ke Jember dan
aku akan ke Lumajang, Puger, dan Nusa Barong. Aku akan
melihat, apakah Lindu Segara telah melumpuhkan Belanda di
sana." "Kanda..." "Tak ada yang perlu dirisaukan, Istrinda." Ramad
mengangkat tubuh istrinya. Dan meletakkannya di atas
rerumputan. Bulan dan suara b binatang-binatang malam
menyambut mereka. Kemudian ia sendiri merebahkan diri.
Tanpa sutera putih, kecuali sesobek kain putih, beratap langit,
beroborkan bintang dan bulan, disambut oleh tetabuhan satwa
malam, mereka menikmati malam pertama. Tanpa upacara
wadad suci.... *** Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa perintah lebih dulu, air mata Ayu Prabu t melata
perlahan demi mendengar kisah Sayu Wiwit itu. Dan nurani
mendorongnya bergerak merangkul Sayu Wiwit.
"Kanda...," bisik pengakuannya tulus. Setulus angin yang
membelai pepohonan di halaman rumahnya. Ia mengakui
muridnya itu kini telah menjadi kakaknya yang harus ia
hormati. Mengapa nasibmu tidak seperti kebanyakan wanita"
Sudra saja melewati upacara dan penghormatan kala naik ke
pelaminan. Ah, mengapa kau cuma berlapik kain putih yang
sudah lusuh" Aku akan menanyakan ini pada kakakku sendiri.
Mengapa itu ia lakukan" Seperti binatang yang tak lagi mampu
menahan nafsunya. Tapi tiba-tiba saja ia teringat Jagapati. Maka segera terjaga
dari keharuannya. "Jika demikian aku harus segera panggil Marmi dan
memberi tahu Kanda Sratdadi. Jika perlu Yang Mulia Wilis."
"Resi sudah tahu. Demikian pun junjungan kita. Yang Mulia
Ramad tentu sudah meminta menjaga hal ini dari Jagapati,
karena menurut beliau, Jagapati adalah satria yang belum
pernah belajar mengebaskan sama sekali matsiya, matinya,
madya, dan mutra (ikan, daging, arak, dan wanita). Maka kita
masih perlu menjaganya."
"Jagat Bathara! Tajam juga pengamatan suamimu itu." Ayu
Prabu tersenyum. Kembali ia mencium Sayu Wiwit.
"Ibunda sudah tahu?"
"Kami sudah menghadap beliau saat pertama kami tiba."
"Beliau tentu bersukacita punya menantu semanis kau."
"Akan lebih bahagia jika Yang Mulia yang menikah. Karena
akan dipersunting orang besar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah suamimu lebih besar" Seorang yang tidak
pernah ingin kedudukan tapi terus mendar-makan karyanya"
Mungkin kita perlu belajar banyak darinya."
Keduanya tertawa kecil. Saling memuji. Namun Ayu Prabu
tetap merasa perlu menjumpai Marmi. Segera keduanya
bergesa menuju pendapa. Mungkin saja mereka semua
sedang makan bersama di sana. Tapi ketidakhadiran mereka
dalam jamuan makan siang itu mencurigakan banyak orang.
Termasuk Wilis sendiri. Tidak kurang Mas Ayu Tunjung pun
amat curiga. Apalagi ia mengerti benar Mas Ayu Prabu pernah
menjalin janji dengan pemuda idamannya, Wilis.
Mas Sratdadi segera meninggalkan tempat begitu jamuan
usai. Maka belum jauh Mas Ayu Prabu meninggalkan rumah
sudah berpapasan dengan Mas Sratdadi.
"Ah, kalian! Semua orang mencari! Ke mana saja?" Sratdadi
menegur. Keduanya cekikikan seperti memandang sesuatu yang lucu.
"Kanda tak lagi berhak memarahi dia, lho!" Ayu Prabu
tersenyum sambil menunjuk Sayu Wiwit. Sayu Wiwit tetap
saja memberi hormat pada Sratdadi. Kini ketiganya jadi
tertawa. "Kau sekarang termuda!" ujar Sratdadi. Namun Ayu
Prabu menyatakan kekhawatirannya.
"Ah, Marmi sudah mengerti tugasnya. Jadi sebenarnya
sangat kebetulan jika kau tak muncul di pendapa itu. Kulihat
Jagapati sering mendekati Marmi. Tentu ia ingin menanyakan
tentang berita yang sampai ke telinganya. Yah, kemenangan
di Jember dan sekitarnya itu."
"Mudah-mudahan Marmi berperan lebih baik. Dan mudah-
mudahan Jagapati tetap dungu seperti sekarang ini." Mas Ayu
senang. Dan ketiganya balik lagi ke rumah ibunya. Justru saat
itu Mas Ramad, Tantrini, dan Mas Ayu Tunjung juga sedang
pulang. Maka rumah Tantrini kini jadi ramai. Ibu yang tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
awet muda itu kemudian mempersilakan anak-anaknya duduk
di seputar Sayu Wiwit dan Mas Ramad.
"Alangkah bahagianya jika Suaminda Wong Agung Wilis
turut di tengah kita. Tapi tak apa, keduanya sudah menikah di
Candi Bang dengan tanpa saksi siapa pun. Kita hanya akan
berdoa bersama-sama. Kita akan mabasan (peraturan
membaca bersama) beberapa mantra Lokananta (mantra
pelebur dosa) untuk kedua orang ini. Nah, dirgahayulah
kalian." Semua orang kemudian berdoa dengan suara kedengaran
bersama-sama. Setelah selesai, mereka berganti-ganti
mengucapkan selamat pada pasangan muda itu,
"Tentu tidak mudah mencari saat seperti ini." Lagi Tantrini berbicara. Sayu
Wiwit melihat wajah wanita ini sungguh persis
Yistyani. "Aku senang Mas Ramad berjodoh brahmani cantik
seperti ini, karena dia sendiri berdarah satria bercampur
brahmana. Brahmana bersenjatakan pengetahuan, satria
bersenjatakan bedil. Harus ada perpaduan antara keduanya
untuk mempertahankan negeri ini." Semua diam
mendengarkan. "Yang lebih dari itu, pekerti luhur. Sebab tanpa pekerti
luhur manusia akan menjadi binatang. Dan bedil di tangan
binatang hanya akan menghasilkan kebiadaban. Ingat-ingat
ini, Anak-anakku! Setiap pemaksaan kehendak dan pendapat
yang disertai ancaman dan kekerasan adalah gambaran
kebiadaban." Tetap saja diam. Amanat seorang ibu. Menghormati ibu
adalah yang utama bagi mereka. Kemudian masih panjang lagi
petuah yang mereka dengar. Dan mereka cuma mengiakan.
Setelah sang Ibu selesai, Sratdadi mewakili adik-adiknya,
"Kami tidak lama di sini, Ibunda. Jadi memang benar, tak
mudah mencari kesempatan seperti ini. Sebab tadi Lebok
Samirana sudah turun ke Jember bersama Cheng Shian Hauw.
Jagapati dan Jagalara pun telah ke Derwana sejak tadi. Telik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita melapor bahwa Kompeni mengirim beberapa ribu orang
dipimpin Letnan Fischer. Tentu mereka sudah tahu kedudukan
kita di Bayu. Dan mereka akan menyerbu kemari. Di belakang
pasukan Fischer menyusul pasukan yang lebih besar di bawah
Kapten Kreygerg." "Artinya, perang akan lebih besar lagi?"
"VOC tidak akan mau kehilangan muka. Tidak pernah
mereka alami sebelumnya seorang mayor harus
mengantarkan nyawa di medan tempur Jawa dan Nusantara
lainnya. Barangkali di zaman perang melawan Sawunggaling di
Surabaya saja mereka kehilangan banyak perwira dan uang.
Di sini tentu di luar dugaan mereka. Ingat, Kapten Van Reyks,
Mayor Blanke, Coop a Groen, serta masih banyak lagi nyawa
yang mereka korbankan. Itu sebabnya mereka tidak ingin
kehilangan muka. Dan di belakang Kreygerg masih ada
barisan yang lebih besar lagi dipimpin oleh Heinrich. Juga
berpangkat kapten. Belum lagi manggala-manggala perang
dari Mataram dan Surabaya dan Madura." "
"Hyang Dewa Ratu!" Tantrini menyebut. "Apa dosa kita
maka negeri kita harus dikoyak-koyak seperti ini?"
"Bukan masalah dosa. Masalahnya karena ma-nusia
cenderung memanjakan kerakusan sebagai keberadaan diri."
"Dunia tak pernah damai...."
"Dunia tidak akan pernah damai, Bunda. Selama kerakusan
masih ada. Karena itu, nanti selepas tengah malam kami akan
meninggalkan tempat ini."
"Pengantin baru juga?"
"Ya! Kami juga," Mas Ramad menjawab.
"Hyang Dewa Ratu! Perang telah meruntuhkan istiadat kita.
Meruntuhkan semua dan segala."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Setiap kehadiran budaya asing, membuat peradaban dan
kebudayaan kita memudar. Sampai akhirnya punah sama
sekali," Mas Ramad menegaskan. "Karena itu kita berperang.
Untuk mempertahankan semua-mua."
"Ya. Karena itu kami memohon restu Bunda," Ayu Prabu
menambahkan. "Kau akan berangkat bertempur?"
"Melakukan kewajiban yang dipasang di pundak. Lebih dari
itu memenuhi panggilan hidup."
"Tapi kau sudah saatnya menikah, Nak." Tantrini
memandang anaknya. Juga Mas Ayu Tunjung. Tapi Ayu Prabu cuma tersenyum.
Mas Ayu Tunjung menahan rasa sesak di dadanya. Pemuda
idamannya jatuh hati pada Ayu Prabu. Ia tahu segala-gaU
mengenai janji kedua muda-mudi itu. Melihat Ayu Prabu tak
menjawab, hatinya kian sesak. Maka ia menyahut,
"Bibi tidak usah takut. Dia sudah ada yang punya, kok. Dan
Bibi patut bahagia punya anak calon paramesywari
Blambangan." Gadis itu melempar lirikan pada Ayu Prabu. Tapi
Mas Ayu Prabu tidak menunjukkan perubahan air muka. Tetap
saja tersenyum. Tantrini yang mengerutkan kening dan memandang anak
gadisnya. "Mengapa tidak dilaksanakan sekarang?" tanya Tantrini dan
Mas Ayu Tunjung berbareng.
"Kita sedang sibuk dengan perang."
Senyum. ***

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mimpi-mimpi buruk memburu tidur Biesheuvel. Kekalahan
demi kekalahan telah menghantui pikirannya. Bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyeretnya ke suatu alam yang tak pernah ia bayangkan
sebelumnya. Nasib para pendahulunya mengisi kenangan saat
senggang. Ah, Colmond saja yang mampu pulang dengan
selamat. Kapten Van Reiyks, Mayor Blanke, dan Mayor Coop a
Groen, telah menemui ajal dengan caranya sendiri-sendiri.
Akhirnya ia menyimpulkan hal yang sama seperti
pendahulunya: Blambangan negeri hantu yang tak layak ia
tinggali. Dan tiap usaha mematahkan perlawanan pribumi tak
ubahnya mendulang badai yang bakal menghantam diri
sendiri. Ia menyesal telah menunda permohonan para bintara
yang mengakibatkan pembelot n mereka.
Bayang-bayang Van Beglendeen tiba-tiba saja muncul
menemaninya sore itu. Dia memang ingin sendiri. Wanita Cina
bekas istri Bapa Anti yang montok itu sudah beberapa lama
dihadiahkan pada Juru Kunci untuk diperistrikannya. Kendati ia
adalah anak Bapa Anti sendiri. Wajah Beglendeen yang seperti
orang mengejang dan berwarna sedikit merah muda itu
melotot tanpa kata. Cuma melotot. Dan senja celaka itu telah
membuat Biesheuvel tergagap. Keringat dingin merembes
melalui dahinya. Ia mengusap mukanya seolah mengusap
noda hitam. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala
sambil memejamkan matanya. Bayangan Beglendeen pergi.
Tapi sebentar kemudian bayang-bayang Bozgen berdiri di
hadapannya, sambil tertawa dan menudingnya. "Tuan telah
bunuh aku. Cuma karena aku ingin hidup bahagia bersama
wanita pribumi. Tapi kau sendiri" Terus-menerus hidup dalam
perzinahan. Mana lebih berdosa" Aku yang mengawini"
Begitukah kehidupan Kristen" Tangan Tuan berlumuran
darah." "Tidak!" Biesheuvel berteriak.
Seorang pelayan yang akan mengantar minuman senja
amat terkejut. Tergopoh-gopoh pelayan itu menghambur ke
luar. "Tuan... memangil hamba?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Heh" Aku tidak bicara apa-apa." Biesheuvel malu. "Eh...
panggil pengipas. Sore begini amat gerah."
Pelayan pergi. Dan Biesheuvel menggeragap. Ah, mereka
telah menjadi hantu. Tapi tidak ada Kristen takut hantu,
Hantu" Tidak, Tuan. Aku bukan hantu. Aku justru
mengingatkan, agar Tuan menyadari dan melihat tangan Tuan
sendiri. Tuhan tidak membiarkan pembunuh mendapat bagian
dalam kerajaan surga."
Hah" Bozgen muncul lagi. Napas Biesheuvel terengah-
engah seperti usai latihan lari pagi. Jantungnya berdegup
seperti baru saja mendengar gelegar meriam. Tapi nampak
jelas Bozgen di depannya. Ia memalingkan muka ke kanan.
Huh, Beglendeen berkacak pinggang. Ia segera berpaling ke
kiri. Mayor Coop a Groen sedang sekarat.
Heh____ Ia segera berdiri. Bergesa ke kamarnya.
Gadis pengipas tidak mendapatinya di teras. Dia coba
mencari Alkitab dan berdoa. Tapi di mana Alkitab" Cari. Tiada.
Ah, ia memang telah lama sekali tidak membaca Alkitab. Sadar
kini. Benar si Bozgen. Aku Kristen cuma di bibir. Mendoa pun,
aku tidak pernah. Apalagi baca Alkitab. Gila! Alkitab tertinggal
di Surabaya. Jadi apalah artinya kini Kristen tanpa Alkitab"
Kristen tanpa doa" Benar kau, Bozgen, Kristen tidak bisa
dipisahkan dari Kristus sendiri. Dan aku" Dan Tuan Guber-nur"
Gubernur Jenderal" Benar kata Rsi Ropo, tak lebih dari
segerombolan bajak laut yang berpura-pura sopan. Perampok
yang berpura-pura santun.
Dan begitu ia menutup pintu dan akan melangkah ke
pembaringan ia seolah mendengar rintih gadis. Hih" Seorang
gadis belasan tahun berkajang maut diperkosa Mayor Colmond
di pembaringan ini" Gadis itu menggeliat sambil mengeluh"
Mengapa aku dibunuh" Bukankah ini yang diceri- > takan
orang gadis Sutanegara itu" Karisyati" Ah... Biesheuvel
mengurungkan niatnya melangkah ke pembaringan. Keluar
lagi sambil menoleh kiri-kanan. Ia bersandar di tembok. Ah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku harus cari teman. Cari teman agar tidak melamun sendiri.
Masih senja begini hantu bergentayangan. Apalagi nanti
malam. Dan Biesheuvel menggeragap lagi. Ia berteriak panggil
pengawal. "Ya, Tuan." Seorang pengawal kulit putih menghadap.
"Kau keturunan Moor?"
"Ya. Tuan." "Kau pernah lihat hantu selama di Blambangan ini?"
"Tidak, Tuan." "Bagus. Kau berani melawan setan?"
"Tidak ada setan, Tuan. Itu bohong!"
"Bagus! Aku senang pada pemberani semacam kau. Nah,
sekarang ambilkan pedangku di kamar!"
"Ini bukan kebiasaan...."
"Ini perintah!"
Dengan ragu pengawal itu masuk. Ia ambil pedang
Biesheuvel yang tergantung di dinding. Setelah menyerahkan
ia menghormat. "Kau lihat apa di tempat tidur?"
Pengawal itu mengingat-ingat sebentar. Biesheuvel
memandangnya tajam. "Tidak ada, kecuali kasur, guling dan bantal."
"Cuma itu?" "Ya, Tuan." Biesheuvel mengusap wajahnya. Ia berusaha
mengembalikan kepercayaan dirinya. Kemudian ia perintahkan
beberapa pengawal mengikutinya. Ia tidak mau mengalami
aniaya seperti malam-malam akhir-akhir ini. Ia ke rumah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaksanegara. Di sana bisa minum atau tidur dengan selir-selir
Jaksanegara. Untuk apa teraniaya sepanjang malam" Para
pengawal juga senang diajak ke sana. Tentu mereka dapat
bagian. Bukankah selir-selir kian bertambah saja tiap hari di
rumah pembesar pribumi itu" Dan setiap malam ada saja yang
kesepian diam-diam minta dipuasi oleh para pengawal.
Tapi para pengawal akhir-akhir ini merasa aneh. Karena
Biesheuvel sekarang tidak setegas dulu. Bahkan sering
menggeragap ketakutan. Demikian juga dalam perjalanan itu.
Biesheuvel sering menggeragap dan mengusap wajahnya.
Mungkin Tuan kita mulai sakit, bisik seorang pada lainnya. Ah,
cuma lelah. Ketakutan Biesheuvel memang bukan cuma mimpi. Saat itu
Jagapati bersama Rsi Ropo yang telah mengenakan pakaian
Sratdadi, bersama beberapa orang laskar pilihan Bayu, turun
untuk menuntut balas atas nyawa Baswi. Begitu sampai di
Pangpang mereka mencari rumah penginapan. Sratdadi
menyamar sebagai pedagang. Sedang yang lain adalah
pemikul barang dan pengawal. Dan Jagapati harus mengakui
kecerdikan sang Rsi. Sejak siang pemuda itu telah mengintip
tiap gerak Biesheuvel. Maka kala Biesheuvel berangkat ia
segera menyiapkan kuda dan memberi tahu Jagapati.
Kemudian mereka menyelinap dari pagar ke pagar. Dari
gerumbul ke gerumbul. Penduduk yang mengetahui hal itu
segera menutup pintu rumah mereka. Takut.
Sesudah agak jauh dari perbentengan dan deretan loji,
tibalah saatnya Mas Sratdadi membuka tembakan. Meleset.
Kuda Biesheuvel jadi sasaran. Tak ayal Biesheuvel sendiri
terpelanting. Tembakan berikut menyusul dari senjata
Jagapati dan lain-lainnya. Beberapa pengawal tidak sempat
mengelak. Berjatuhan seperti buah nangka masak. Sesaat saja
peristiwa itu. Dan Biesheuvel mendengar suara tawa yang
berkepanjangan. Ia ingat betul. Suara Jagapati. Ketika ia
mencoba mendongak, sebuah peluru merobek kulit di bahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kanannya. Bayangan-bayangan hitam berkelebatan. Tak jelas.
Salah satu mendekatinya. Sebuah keris menghujam. Ia
mencoba menghindar. Tapi paha kirinya tertusuk. Sratdadi
segera memerintahkan semua pengawalnya meninggalkan
tempat itu. Dengan amat cepat, bagai bayangan setan,
mereka lenyap di kegelapan sambil meninggalkan suara tawa
berkepanjangan. Tiga pengawal masih hidup, karena memang berpura-pura
mati. Ternyata kepura-puraan mampu menyelamatkan nyawa.
Perlu juga kepura-puraan itu. Segera mereka bangun
menghampiri tuan mereka. Biesheuvel tergolek tanpa daya.
Suara rintihan keluar dari bibir Biesheuvel. Mereka menjadi
iba. Bibir itu kini tak lagi mampu membentak. Mata itu juga
tak lagi melotot dan menakutkan. Segera mereka mengangkut
Biesheuvel ke benteng dan melapor pada Schophoff.
Kala bala bantuan tiba, Pangpang dalam ketegangan.
Biesheuvel telah menemui ajalnya. Racun keris yang menusuk
paha itu tidak lagi dapat diredam oleh apa pun. Juru kunci dan
Jaksanegara tahu bahwa bukan pelor yang menyebabkan
kematian Biesheuvel, tapi warangan. Karena itu untuk
beberapa hari Biesheuvel sempat sekarat. Hendrick Schophoff
melaporkan hal itu dengan tanggal kejadian serta laporan awal
November tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu.
Bukan main terkejut Gubernur Robbert van de Burg
mendengar laporan itu. Gila! Blambangan telah memakan
banyak korban tapi belum menghasilkan apa-apa untuk
Kompeni. Bahkan Gubernur Jenderal di Batavia pun amat
terkejut. Perang melawan Untung Surapati pun tidak sampai
kehilangan seorang residen. Padahal surat-surat resmi
pengangkatan Biesheuvel sebagai residen baru saja tiba dan
belum sampai ke tangan Biesheuvel. Sayang orang itu keburu
mati. Maka ia memutuskan untuk mengganti Biesheuvel
dengan Hendrick Schophoff. Dan ia sendiri akan menyusun
rencana penyerangan ke Blambangan. Ia sama sekali tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
percaya jika Jagapati berdiri sendiri. Pasti ada mandala-
mandala perang dari negeri lain yang ikut terlibat dalam
perang ini. Jika perlu ia akan mempelajari situasi dulu. Setelah
selesai, ia akan pimpin sendiri penyerangan. Huh! Memalukan!
Dengan segera ia merundingkan rencananya dengan
pembantu-pembantu dekatnya. Dan setelah matang ia
memerintahkan para bupati untuk menambah jumlah pasukan
yang dikirimkannya. Sebelum itu ia menurunkan perintah agar
Schophoff mengambil tindakan yang lebih keras dan tegas.
Terutama dalam menyelamatkan orang-orang Eropa.
*** Niat Mas Ramad menyuruh istrinya berangkat ke utara
dibatalkan. Sayu Wiwit ingin mengikuti suaminya ke desa
Sentong dan Puger. Jika perlu mereka akan menuju ke Nusa
Barong. Mereka ingin menyampaikan hasil-hasil pertemuan di
Bayu yang terakhir. Namun berita yang disampaikan Mas
Sratdadi membuat mereka harus mengubah segala rencana.
Dugaan mereka memang tidak salah. Letnan Fischer yang
didukung pasukan pilihan dan persenjataan lengkap sudah
mulai mengepung Jember. Tidak kurang dari dua ribu anggota
baru dan seribu pasukan pilihan ditambah dua ribu pemikul
senjata-senjata berat. Semua bergerak berlapis-lapis. Sebab di
belakang mereka masih ada pasukan yang lebih besar
dipimpin Kapten Kreygerg dan disusul pasukan yang dipimpin
Heinrich. Tepat seperti yang dilaporkan Mas Sratdadi. Dari
Probolinggo mereka menuju Ranu Klakah. Penunjuk jalan dari
Probolinggo yang membawa mereka ke telaga itu.
Tanpa ampun seluruh rumah yang ada di sebelah barat dan
utara dibakar. Semua wanita dan orang tua yang tidak
mengungsi dipunahkan. Fischer menurunkan perintah
pembantaian itu karena ia tahu persis, mereka adalah pelarian
Mataram dan pengikut Singa Manjuruh. Sedang Singa
Manjuruh sebenarnya orang kepercayaan Pangeran Singasari
dan Pangeran Blitar yang terbunuh di Malang Selatan sebelum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gugurnya Mlayakusuma. Itu sebabnya mereka yakin bahwa
pembantaian itu pasti menyenangkan pemerintah Kartasura
dan pemerintahan agung VOC di
Batavia. Di samping itu Fischer ingin menanamkan rasa
takut pada pribumi. Bahwa jika mereka berani memberontak
terhadap VOC maka keturunan mereka pun akan dipunahkan.
Jangankan memberontak. Menyatakan pendapat yang tidak
sama dengan pemerintahan agung Batavia pun akan ditindak.
Keturunan kedua, ketiga, dan keempat, juga akan tetap
dicurigai. Turun-temurun bangsa yang besar ini dijadikan
siput. Takut merunduk-runduk. Dan dengan begitu untuk
selamanya mereka takut menyatakan pendapat. Cuma
menyatakan pendapat mereka harus takut. Sanak-saudara
atau teman-teman mereka akan dengan sendirinya melarang
mereka menyatakan pendapatnya. Karena takut ikut
bersimbah darah. Ternyata rasa takut akan menguntungkan
pemerintah agung Batavia di bumi Nusantara.
Begitu, mereka terus bergerak ke timur dan selatan.
Sepanjang jalan mereka menjarah-rayah harta milik kawula.
Perlawanan demi perlawanan mereka patahkan. Fischer
memang tak mau membawa pasukannya melewati jalan yang
belum terbentuk. Kekalahan Montro dan Imhoff cukup menjadi
pelajaran baginya. Orang Blambangan telah menyebar begitu
banyak jebakan. Kendati pasukannya harus bergerak amat
lamban dan menghamburkan banyak peluru kanon dan
meriam untuk membersihkan jalan-jalan. Membersihkan dari
cegatan pasukan Shian Hauw dan Singa Manjuruh serta anak
buah Lebok Samirana bersama laskar Mas Sratdadi sendiri.
Juga membersihkan dari batu-batu dan pohon-pohon yang
dirobohkan. Berhari-hari terus begitu. Tapi tidak ada lain cara,
jika tidak ingin masuk jebakan dan hancur total. Pelan tapi
pasti. Bahkan sayap kirinya telah sampai ke Panarukan. Dan
juga Candi Bang dikepung rapat-rapat. Setelah pasukan
Kapten Kreygerg sampai di sana, maka pengepungan ia
timbang-terimakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pasukannya sendiri ia tarik untuk bergerak ke Jember. Ia
ingat benteng sahabatnya, Steenberger. Orang itu tidak
diketahui nasibnya. Ah, bisa saja seorang perwira bernasib
seperti monyet. Di kala berjaya merampasi buah apa saja
yang dijumpainya. Ia tahu itu bukan miliknya. Namun ia
merasa menang dan memungut semua-mua. Tapi kala tidak
lagi bersama dewi keberuntungan mungkin saja mati di


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah rimba tanpa seorang pun menguburnya. Dan burung-
burung pemakan bangkai akan panen.
Ia ingin bertemu dengan sahabatnya dan menolong agar
bisa pulang ke Nederland dengan selamat. Tapi ke mana
orang itu kini" Ah, nanti saja jika Jember sudah dikuasai
kembali, akan dilakukannya pencarian terhadap Steenberger
dan kawan-kawannya. Sahabat yang baik adalah sahabat yang
rela mengorbankan nyawanya demi persahabatan itu sendiri.
Namun begitu mendekati Jember, berkali rombongan harus
mundur. Sebab ternyata musuh juga menggunakan meriam.
Kanon, dan bedil yang serupa dengan milik Kompeni. Tentu
barang rampasan. Sekarang mereka mendekati kota dengan
menyebar melewati sawah-sawah, untuk menghindari
kemungkinan jebakan tombak bambu dan cula-cula. Dan
perhitungan Fischer tepat. Cuma sedikit laskar Mas Ramad
yang mengawasi sawah-sawah. Sebab mereka dipancing
untuk bertempur di jalan-jalan masuk ke kota Jember. Meski
begitu bukan berarti Fisher bisa masuk r sambil melenggang.
Tak semudah membalikkan telapak tangan. Semangat tinggi
laskar Mas Ramad merupakan kesulitan tersendiri. Dengan
amat berani, lelaki-perempuan menyongsong barisan lawan.
Dan korban pun berjatuhan. Peluru laskar Mas Ramad
menyambar sebagian tentara Fischer, demikian pula
Pendekar Sakti Welas Asih 4 Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar Fitnah Berdarah Tanah Agam 2
^