Gema Di Ufuk Timur 9
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 9
sebaliknya. Setelah jarak mereka dekat benar, pedang pun
bicara. Senjata panah dan bandit cukup menyulitkan pasukan
Fischer. Mereka cuma membawa bedil kocok, pedang, atau
kelewang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Darah lelaki dan perempuan, tua dan muda, telah tertumpah. Rumah dan huma
menjelma jadi lautan api.
Fischer menyesali keadaan itu. Ia tidak pernah menduga, semangat orang-orang
Blambangan begitu tingginya. Mereka memilih mati daripada menyerah. Lelaki dan
perempuan bertumpuk menjadi bangkai. Semua yang mati tertelungkup memeluk bumi
kelahirannya. Didahului oleh teriakan yang tidak ia mengerti maknanya. Fischer
tahu apa bakal jadinya setelah ia merebut kota. Sungai-sungai telah dicemari
oleh bangkai dan tinja. Bangkai binatang dan manusia menyatu.
Singa Manjuruh, Lebok Samirana, dan Cheng Shian Hauw marah bukan kepalang ketika
mereka berpapasan dengan rombongan pengungsi. Dan mereka menyusun kembali
kekuatan dari para pengungsi yang masih bersedia untuk ikut membantu yang masih
bertahan di selatan Jember. Atau juga sebelah tenggara kota itu. Hanya yang
terlalu tua dan anak-anak saja yang dilarang ikut bertempur. Maka hasilnya
mereka dapat mengumpulkan hampir lima ratus orang. Bersenjata apa adanya.
Kedatangan ketiga pemimpin itu memang membuat kejutan. Semangat laskar
Blambangan naik kembali. Keberanian mereka makin mengagumkan. Apalagi setelah Singa Manjuruh dan Shian
Hauw bisa mencapai daerah pertahanan anak buah mereka. Laskar Cina itu seperti
gila saja. Sebab bagi mereka kehilangan Jember berarti musnahnya harta yang
telah mereka kumpulkan beberapa lama.
Fisher cukup repot menghadapi arus balik yang menyemut itu. Rasanya seperti tak
habis-habisnya. Jember menjadi banjir darah. Darah orang-orang Blambangan, Cina,
Belanda, Madura... dan banyak suku bangsa yang ikut bertempur di sana. Dan
kepala Fischer berdenyut-denyut melihat kenyataan itu. Orang yang dipenggal
kepalanya, yang terburai ususnya, yang pecah dadanya, yang remuk tulangnya, yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengejang-ngejang sekarat, yang merintih kesakitan. Perang
sungguh kegilaan. Fishcer hampir putus asa kala melihat
beberapa ratus anak buahnya cerai-berai melarikan diri. Ia
tahu persis tak ada jalan melarikan diri jika hutan dan semak-
semak itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Maka pelarian adalah
jalan kematian yang mengerikan. Apakah itu di hutan wilayah
Jember atau mana pun saja asal masih dalam wilayah
Blambangan, pasti akan sama saja.
Masih beruntung nasib Fischer karena saat itu pasukan
Kapten Heinrich tiba dan langsung terlibat dalam
pertempuran. Maka pada penengahan hari sudah mulai
tampak bahwa barisan demi barisan merupakan arus
gelombang yang tak tertahan oleh pasukan Shian Hauw.
Apalagi setelah Shian Hauw sendiri terkena tembakan di
perutnya. Para pembantunya berusaha menyelamatkan
nyawanya dengan menandu Cina itu ke luar daerah
peperangan. Tapi kematian tidak pernah dapat dibatalkan
cuma oleh usaha manusia. Para selir, gundik, dan istrinya
mengerumuni mayatnya sambil menangis. Ada yang menangis
cuma dibuat-buat. Tapi menangis adalah keharusan untuk
mengantarkan nyawa Shian Hauw pada Thian Kong. Pada
sang Pencipta. Meskipun begitu pertempuran tidak menjadi
surut. Sebab bagi laskar Cina itu pun tidak ada jalan untuk lari
dari medan tempur, meskipun sebagian mengangkat tangan
dan membawa bendera putih.
Lebok Samirana yang ada di bagian timur marah bukan
main. "Enak saja mereka itu! Jika menang mereka setia pada
kita. Tapi jika kita terdesak mereka menyeberang. Selalu saja
cari enak!" Dengan begitu ia mulai menarik pasukannya dari
medan dan berniat menerobos hutan menuju Probolinggo. Ia
merasa tidak mungkin Blambangan akan menang. Dan lebih
baik ia mengulur waktu untuk kemudian melakukan
perlawanan di negeri lain kelak. Dengan beberapa pengikut ia
menggiring kaum wanita untuk mundur. Tapi begitu memasuki
rimba raya ia sendiri menjadi terkejut. Beberapa anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buahnya terperangkap jebakan harimau yang di dalamnya
telah tersedia tombak-tombak bambu. Dan beberapa wanita
menjerit karena menjadi umpan cula serta songga. Hati Lebok
Samirana menjadi kecut. Jebakan orang Blambangan
dipersiapkan di mana-mana.
Kini ia baru menyadari kata-kata Mas Ramad beberapa
bulan lalu, jika kita berperang harus sungguh-sungguh. Tak
ada jalan di Blambangan ini untuk meninggalkan perang
dengan jalan menghindar. Bagi kita yang ada, tanah atau
mati! Kita pasti menang! Karena itu tahulah kalian! Jika
terdesak dan harus mundur, maka hanya ada satu jalan yang
dapat menyelamatkan kalian, bergabung dengan Benteng
Bayu. Ingat-ingat! Menyesal Lebok Samirana mengapa bergabung dengan
Ramad. Kejam anak muda itu! Sekarang ingin ia
membunuhnya. Anak muda itu telah menjebak pasukannya
sendiri. Dan sepatutnya di hukum. Maka ia kembali.
Mengurungkan niatnya menerobos ke utara. Ia pikir lebih baik
bunuh pemuda itu terus menyerah. Apalagi setelah Dewi
Murni, salah seorang kekasihnya, ikut mati dalam jebakan
harimau. Sementara itu Mas Ramad dan Sayu Wiwit makin
mendekati pertahanan Singa Manjuruh di medan tempur
sebelah selatan. Hati keduanya kian berdebar. Beberapa
tempat yang dulunya adalah tempat persinggahan mereka
tampak bo-sah-baseh. Kegelisahan mereka makin
menggunung ketika berpapasan dengan rombongan orang-
orang tua dan anak-anak yang menjatuhkan diri di kaki
mereka dan menerangkan bahwa Jember, Candi Bang, Puger,
serta Sentong telah jatuh ke tangan Belanda.
"Apa kata kalian" Bagaimana bisa Belanda datang begitu
cepat?" teriak Mas Ramad heran. "Drubiksa!" mengumpat sambil menarik les
kudanya. Dan kuda itu melompat bagai
terbang mengejutkan Sayu Wiwit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kanda!" "Demi Hyang Maha Dewa! Blambangan atau mati!" Mas
Ramad dalam puncak kemarahannya. Sementara Sayu Wiwit
termangu, suaminya telah hilang dari pandangan. Ditelan
debu. Sadar. Ia segera menyusul. Tapi suaminya begitu cepat.
Gerakannya seperti hantu. Bayang-bayang pun tiada....
Mas Ramad berpendapat bahwa apa yang telah direbutnya
tidak boleh kembali jatuh ke tangan VOC. Pengalaman
mengajar jika ia meninggalkan wilayah untuk diduduki VOC,
maka di sana akan didirikan benteng yang kuat. Itu akan
menyulitkan kedudukan Bayu. Ia tak ingin Bayu dikepung dari
segala penjuru. Ia merasa perlu untuk berperang habis-
habisan kali ini. Dan kala sampai di tempat pertahanan selatan
ia disambut dengan tempik sorak yang gegap-gempita.
"Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Dewa kita
rebut kembali tiap jengkal tanah kita!"
"Dirgahayu! Dirgahayu! Demi Hyang Maha Dewa! Demi
tanah yang suci! Menang atau mati!" mereka mengucapkan
sesanti. Singa Manjuruh segera mencegahnya. Tapi pemuda itu
tertawa. "Saatnya tiba, Kakang! Ini untuk kali penghabisan.
Menang atau menjadi budak!"
"Ya! Tapi ingat mereka datang seperti air bah."
"Aku ingin menjadi karang! Ya, karang! Jika kau mundur,
laporkan kejadian ini ke Bayu. Dan... titip istriku. Kau boleh
undur dari Bayu setelah melaporkan keadaan kita. Di selatan
Lateng ada satu lembah yang aman untuk kauba-bat jadi
pengungsian abadi. Biar aku akan menghalau sampai VOC
tumpas tapis!" (kelak Singa Manjuruh mendirikan sebuah desa
di daerah Banyuwangi yang diberi nama Singojuruh)
"Yang Mulia...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi pemuda itu tidak mendengarkan kelanjutan kata-kata
Singa Manjuruh. "Hati-hati, Kakang! Jangan undur lewat jalan
yang belum kaukenal benar! Kau akan tumpas di hutan
apabila salah memilih jalan. Nah, selamat berbahagia dengan
istrimu." Kembali pemuda itu berkata-kata dengan tanpa
menoleh lagi. Benar yang dilaporkan Singa Manjuruh. Barisan Kompeni
datang seperti semut yang berjalan di atas sebuah batu besar
jika di pandang dari kejauhan. Sekilas ia ingat akan
Bhagavadgita." (Bhagavadgita sloka kedua pupuh 27)
jatasya hi dhruwo mrityur dhruvan janma mritasya cha
tasmad apariharye rthe na tvam sochitum arhasi
artinya: Barangsiapa lahir menyongsong kematian adalah keharusan
Demikian pula, siapa mati pasti menghadapi kelahiran
Semua-mua tak terelakkan Dan tiada yang patut disedihkan.
Menggelegak darah Mas Ramad. Musnah segala keraguan.
Dengan diikuti oleh segenap laskar Blambangan ia
menyongsong hujan peluru dari . pihak musuh. Pasukan
berkuda di belakangnya.. Sekarang atau tidak sama sekali! Gebrakannya dengan
gelar perang garuda nglayang (barisan jika dilihat dari udara
seperti garuda terbang, bisa bergerak ke semua arah)
ternyata mampu menghentikan hujan tembakan barisan
pertama pasukan VOC. Ribuan pejalan kaki kini ikut
menyerbu. Tanpa menghiraukan dentuman meriam yang
mampu membuat mereka jadi kepingan-kepingan kecil.
Separuh kota Jember kembali jatuh ke tangan satria muda
itu. Fischer terluka lengan kirinya. Kapten Heinrich marah
bukan kepalang. Tapi ia tahu perang tak dapat dimenangkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya dengan kemarahan. Ia mencoba menjebak laskar
Blambangan masuk ke tengah kota. Sementara ia akan
mengepung dari semua penjuru. Memancing mereka masuk
memang berhasil, tapi gelar yang dipakai oleh Mas Ramad
garuda nglayang. Jadi begitu digempur mereka bergerak ke
semua arah. Dan memang beberapa kali laskar Mas Ramad mematahkan
mata rantai kepungan lawan. Ia bergerak begitu lincah.
Menembak dari atas kudanya untuk kemudian hilang dan
berpindah ke tempat lain. Teriakan-teriakannya menggelegar
di telinga tiap orang Blambangan untuk terus maju mengusir
Kompeni. Singa Manjuruh yang masih saja ikut bertempur di
bagian selatan kota seperti tidak percaya akan apa yang
dilihatnya. Apakah tak melihat bayangan setan" Dan sorak
gegap-gempita kembali mengguncang Jember kala semua
Kompeni mundur. Tapi mereka terpecah ke tiga jurusan. Ke
tenggara, atau ke jurusan Pangpang, ke utara atau ke jurusan
Probolinggo, dan ke jurusan Puger.
"Dirgahayu! Dirgahayu Blambangan!" teriak semua orang.
"Jangan lengah!" Mas Ramad memperingatkan.
Beberapa bentar kemudian Sayu Wiwit dan rombongan,
termasuk Singa Manjuruh, menguak kerumunan manusia. Dan
semua orang yang melihat kedatangannya langsung
menyambutnya. "Dirgahayu, Sri Ratu! Dirgahayu! Blambangan!"
Sayu Wiwit membalas mereka cuma dengan senyuman. Ia
ingin segera bersua suaminya. Ingin ia memeluk dan
mempersembahkan pujian bagi lelaki perkasa itu.
"Kanda!" teriaknya.
"Adinda!" Mas Ramad terkejut melihat Sayu Wiwit
menyusul. Beruntung perang usai. "Ah, Kakang Singa
Manjuruh. Kau belum pergi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum. Aku menyaksikan tandangmu." Singa Manjuruh
maju sambil menepuk-nepuk bahu temannya.
Segera mereka menuju ke alun-alun, di mana laskar
Blambangan menunggu. Dan teriakan, "Dirgahayu!" tetap saja mengguruh. Mas Ramad
naik panggung dan menyampaikan
perintah dari Sri Ratu. Kini ia memerintahkan pasukan berbagi
menjadi tiga bagian untuk mengejar musuh. Sayu Wiwit
terpaksa harus tinggal di Jember.
"Kanda..." "Masa depan adalah milik kita, Dinda. Sekarang kita sedang
merebut masa depan itu. Merebut dengan berperang," kata
Mas Ramad menghibur. Semua barisan Singa Manjuruh pun sudah berangkat.
"Tapi..." "Keberadaan kita di medan laga amat penting. Pemimpin
yang dibutuhkan bukan yang cuma pandai memerintah. Juga
bukan yang cuma tinggal di rumah sambil memanjakan
istrinya yang cantik. Tapi yang mampu merebut masa depan
dengan darah dan keringatnya sendiri. Ingat-ingat! Bukan
dengan darah dan keringat orang lain." Mas Ramad memeluk
dan mencium istrinya. Berat. Awan Jingga di langit sebelah
barat kian meredup. Keduanya berdebar. Kelelawar dan
kalong mulai bangun dari tidur. Dan melakukan kewajibannya
dengan damai. Seolah tak terpengaruh oleh lingkungan yang
porak-poranda itu. Tapi kala burung hantu memperdengarkan suaranya,
Ramad sempat berpaling ke arah suara itu. Entah mengapa
hatinya sedikit berdesir.... Tapi ia segera membunuh angan-
angan atas burung hantu yang bermata bundar dan sadis.
"Ada apa, Kanda?" Sayu Wiwit mengikuti pandangan
suaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma memperhatikan beringin itu.
Lihat! Lambang kebesaran itu tumbang oleh meriam!"
"Kanda... itu lambang pengayoman. Jadi, jika pengayoman itu tumbang, siapa lagi
yang akan mengayomi kawula?"
"Ha... ha... ha... cuma sebatang pohon yang tak bermakna.
Jangan pikir yang bukan-bukan!" Mas Ramad merangkul istrinya.
"Kanda..." Kembali suara Sayu Wiwit lirih.
Dan kembali hati Mas Ramad berdesir. Dan lagi, ia membunuh perasaan itu. Dan ia
berbalik seraya katanya, "Laskar sudah menunggu!"
"Kanda...," Sayu Wiwit seperti tidak biasanya melakukan hal itu. Namun kuda Mas
Ramad tetap saja melangkah. Makin lama makin cepat. Sayu Wiwit seperti terpatri
di atas bumi. Letusan-letusan kecil, suara hutan terbakar, disertai bau daging hangus menusuk
hidung. Perasaan ganjil menelusuri hatinya. Dan ternyata firasat itu bukan
kosong. Lebok Samirana telah berjumpa n. dengan Kapten Heinrich dan berjanji
akan membantu Belanda asal dijamin keamanannya.
Dan kala malam tiba, Lebok Samirana mulai bergerak memasuki Jember. Semua anak
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buahnya yang tersisa heran melihat perubahan sikap pimpinannya itu. Tapi mereka
tidak membantah. Kala tembakan meriam pertama dari Kompeni yang berjalan di belakang Lebok
Samirana berdentum, Mas Ramad belum terlalu jauh meninggalkan Jember. Karena itu
ia masih mendengar dengan jelas. Dan naluri memerintahkannya berhenti untuk
mengadakan pengamatan buat beberapa saat.
Dentuman pertama disusul rentetan tembakan bedil dan kanon. Kecurigaan menguak
kalbunya. Mulutnya segera menurunkan perintah kembali dengan jajar perang.
Sementara itu Sayu Wiwit amat terkejut. Dengan segera ia
tersadar. Sigap seperti belalang ia melompat ke atas kudanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan kuda itu segera menguak kegelapan malam membawa
penunggangnya pergi. Di kuti oleh ribuan laskar Blambangan,
Sayu Wiwit menyongsong pasukan musuh. VOC tidak pernah
mempunyai yudha gama, maka mereka tidak segan
melakukan penyerangan malam hari. Tak ubahnya serigala
yang sedang merampok calon mangsanya, kata Sayu Wiwit.
Jika kita lakukan perang, bukan karena membalas dendam
atau serakah. Tapi untuk mempertahankan hak dan
melakukan kewajiban, lanjutnya sambil berkuda. Dan
sekalipun laskar Blambang-I an sudah lelah, tapi mereka
enggan mati konyol. Maka mereka mengikuti perintah Sayu
Wiwit untuk mempertahankan tiap jengkal tanah kelahiran
mereka. Lebok Samirana tahu persis Blambangan telah lelah.
Mereka harus ditekan dengan tembakan gencar. Namun
malam itu ia tak berani menggunakan jajar perang tapal kuda,
karena gerakan lewat hutan yang penuh jebakan akan sangat
* merugikan. Ia sudah tahu bahwa di tiap hutan dipasang
jebakan. Bukan cuma untuk lawan. Tapi juga untuk siapa pun
yang mencoba meninggalkan perang. Kekecewaan makin
bertambah setelah Sayu Wiwit mendapat sebutan Sri Ratu dari
orang-orang Jember dan sekitarnya. Ia tidak ingin
mengakuinya sebagai Sri Ratu. Tidak! Ia merasa lebih banyak
berjasa dari Sayu Wiwit. Ternyata Sayu Wiwit dan anak buahnya mampu menahan
gerak maju Kompeni dan laskar Lebok Samirana. Bersamaan
dengan itu laskar Mas Ramad tiba kembali. Namun Mas
Ramad bersikap hati-hati. Kegelapan akan membuat mereka
saling hantam. Dan semua itu membuat hati Mas Ramad tidak
menentu. Gelisah memikirkan nasib istrinya, gelisah menebak-
nebak siasat yang digunakan lawan. Boleh jadi lawan belajar
dari kekalahan Montro, boleh jadi lawan telah menyusupkan
teliknya. Atau pengkhianatan" Bisa! Bisa jadi. Tiba-tiba saja ia
ingat pada Lebok Samirana dan Cheng Sian Hauw. Dan ia
menanyakan pada pengawal di dekatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lebok Samirana mengundurkan diri dari medan tempur
dan menerobos hutan menuju ke daerah Probolinggo."
"Lebok Samirana?"
"Hamba, Yang Mulia."
"Bagaimana dengan Shian Hauw?"
"Kemungkinan besar gugur. Sebab kala kami mundur,
mereka makin maju. Tanpa memperhatikan hujan pelor.
Bahkan sebagian dari kaum wanita mereka yang berkaki kecil
itu, maju dan bertempur habis-habisan."
"Hyang Bathara! Keberanian yang tidak menyertakan akal
ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kita tunggu fajar. Tapi
gelar yang kita pakai tentu harus lebih hati-hati." Mas Ramad
menghela napas panjang. "Apakah kita tidak terlambat Yang Mulia" Hamba pikir
sekarang kita bisa merayap masuk untuk bergabung dengan
Sri Ratu. Keselamatan Sri Ratu mengkhawatirkan."
Buat beberapa jenak Mas Ramad tercenung sebagai
kelanjutan dari perasaan yang tersentak. Keselamatan Sri
Ratu" Sayu Wiwit" Istrinya" Ya! Bukan itu lebih penting dari
semua" Keraguan merambati hatinya. Perang bukan sekadar
menyelamatkan nasib seorang istri. Tapi lebih besar dari itu.
Mempertahankan kedaulatan suatu negeri. Bukan cuma Sri
Ratu! Apalah artinya istri yang cantik jika kelak ia melihat
bangsanya, kawula Blambangan, menyusul nasib bangsa
Nusantara lainnya, menjadi budak! Berhamba! Hamba!
Menjadi manusia-manusia yang akan kehilangan kedaulatan.
Dan mereka tidak akan bebas lagi mengutarakan pendapat
atau berbuat sesuatu. Semua pendapat harus menyenangkan,
dapat melanggengkan kekuasaan Yang Dipertuan Agung
VOC. Karenanya sekalipun cuma pendapat harus disetujui dan
diketahui oleh yang berkuasa. Bukankah begitu nasib suatu
bangsa yang telah kehilangan kedaulatan" Lalu apa akal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sanggutru!" Mas Ramad akhirnya berkata pada
pengawalnya. "Hamba, Yang Mulia."
"Adakah keberanian di hatimu?"
"Inilah hamba, Yang Mulia."
"Bagus! Kau masuk dengan separuh laskar kita. Pakailah
gelar kepiting gangsir (jajar perang yang bergerak seperti
barisan kepiting dan gangsir, merayap pelan-pelan, tapi tidak
boleh mundur)" "Hamba, Yang Mulia."
"Pergilah! Tapi, ingat! Tugasmu bukan sekadar
menyelamatkan Sri Ratu. Tapi mempersiapkan serangan yang
akan kupimpin esok fajar."
Orang itu menghilang setelah lebih dulu menyembah. Dan
selanjutnya semua anak buah Mas Ramad yang tidak berkuda
melata seperti barisan biawak, mendekati mangsanya,
memasuki kota Jember. Mereka sudah sangat terlatih untuk
itu. Makin lama makin dekat. Dan beberapa gugus sudah
mencapai pertahanan Sayu Wiwit. Gembira wanita itu
mendengar laporan bahwa Mas Ramad kembali ke Jember.
Maka ia menurunkan perintah hati-hati menembak. Karena
bisa keliru. Di samping itu ia juga memerintahkan orang
melapor pada Mas Ramad, ada laskar berdestar yang
berperang buat Belanda. Mas Ramad memang menahan diri untuk tidak menjumpai
istrinya malam itu. Kendati kerinduan untuk memeluk wanita
itu mengentak sukmanya. Mata tak terpejam. Pikiran
melayang. Ah, nyamuk pun tiada sudi berdamai. Semua
gambaran manis dan pahit berebut tempat di angannya. Maka
ingatannya pun melayang pada Arok dan Umang. Kendati ia
tahu istrinya tentu jauh lebih rupawan dari Umang. Namun
Arok juga memerawani Umang di tengah hutan. Juga cuma
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berlapik sesobek kain cawat. Sayang, akhirnya Arok
memperduakan cinta. Jatuh dalam pelukan Dedes. Ah,
siapakah yang tak pernah dengar kisah itu" Bagaimana Arok
tidak akan jatuh" Dedes begitu cerdas dan gilang-gemilang.
Kulitnya begitu mulus. Sampai-sampai orang bilang bahwa
tumitnya saja bisa dipakai bercermin. Pendek kata sampai
sekarang pun belum ada wanita yang menyamai
kesempurnaan Dedes. Begitu cantik tak bercela.
Fajar menyapu lamunan Ramad. Kendati kabut belum
terusir. Sawah-sawah, dahan-dahan, jalan-jalan, semua masih
berselimut kabut. Namun tembakan tetap tak berhenti
sepanjang malam dan dinihari. Memang cuma satu-dua kali.
Tidak gencar seperti kemarin. Dan mungkin tidak membawa
korban. Tiba-tiba saja Mas Ramad menurunkan perintah untuk
menembakkan meriam ke arah utara barat daya dan barat
laut. Bumi serasa bergetar kala gelegar menguak pagi. Semua
pihak terkejut. Namun tembakan tidak cuma sekali. Pasukan
cetbang sudah diperintahkan maju oleh Ramad. Ia ingin
membakar musuhnya hidup-hidup. Geram menguasai hatinya.
Di bawah hujan tembakan, cetbang didorong maju. "Bakar
semua hutan!" perintah meluncur lagi.
Kini Kapten Heinrich terkejut. Rumput mulai terbakar. Maka
ia putuskan untuk menggempur mereka habis-habisan.
Mentari merambat naik. Kuda Mas Ramad sudah siap.
Ramad juga sudah berdoa di atas punggung kudanya. Bedil di-
tenteng di tangan kanannya. Satu ayunan tangan cukup
menggerakkan orang-orang berkuda di belakangnya. Bagai air
bah pasukan berkuda itu dengan beraninya masuk arena
pertempuran. Bangkai-bangkai, pohon-pohon yang tumbang
mereka langkahi, terus makin dekat. Sementara api yang
ditimbulkan tembakan cetbang kian membakar semua dan
segala. Kesempatan untuk mengisi peluru pada bedil yang
baru terpakai kurang. Maka pedang, keris, tombak, panah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bandil dan lain-lain senjata tangan yang bicara. Mas Ramad
bagai alap-alap yang bergerak ke segala arah. Mata
tombaknya berlumuran darah. Dia tidak ingat, berapa sudah
nyawa punah di ujung tombak itu. Sesekali ia gunakan tombak
lempar. Makin naik perjalanan mentari menyusuri cakrawala.
Keringat membasahi semua orang dan kuda. Semangat laskar
Mas Ramad seperti makin meluap. Bergilir mereka mundur
untuk menerima makanan. Begitu selesai mereka kembali ke
garis depan. Korban tidak lagi terbilang. Dan kembali Heinrich
menegur Lebok Samirana. Ia menuduh sengaja Lebok
Samirana menjebak VOC untuk dihancurkan oleh Mas Ramad.
Maka Lebok Samirana harus bertanggung jawab atas
kerusakan pasukan Kompeni ini.
Sambil menarik mundur pasukannya, sedikit demi sedikit
Heinrich mengatur siasat baru.
Sementara Lebok Samirana mencoba mendekati Ramad
yang bergerak seperti bayangan setan.
"Yang Mulia!" panggilnya dari balik pohon. Telinga Ramad
segera menangkap suara sahabatnya. Tidak ingat bahwa
sahabat itu sudah menyeberang. Beberapa bentar ia
menghentikan langkah kudanya. Mungkin saja sahabat itu
terluka. "Yang Mulia!" lagi Lebok Samirana yang dikawal oleh
beberapa penembak ulung Kompeni Madura itu memanggil.
Dan Mas Ramad benar-benar berhenti. Beberapa pengawalnya
segera memperingatkan. Maka ia menyiapkan bedil. Pelan
kuda mulai melangkah ke arah Lebok Samirana yang terkulai
di bawah pohon. Namun sebuah letusan menyambutnya.
Peluru menerjang kepala kudanya. Dan kuda itu terjungkal
setelah melonjak ke atas. Penumpangnya bergulingan di atas
rumput. Berondongan peluru dari berbagai arah. Sebelum
pengawalnya sempat melindungi, bahu dan dadanya telah
terobek peluru. "Drubiksa!" Mas Ramad mengutuk. Berusaha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangkit. Namun kepalanya berkunang-kunang. Matanya
nanar. Lebok Samirana tertawa berkepanjangan. Melihat Mas
Ramad berkali tersungkur mencium bumi. Kini ia bangkit
mendekat. Beribu sumpah-serapah dan ejekan keluar dari
bibirnya. Ramad Surawijaya, Pangeran Puger, putra Wong
Agung Wilis itu menahan hati sambil menggenggam
senjatanya. Sementara para pengawalnya terpatri tanpa kata.
Bagai kena pesona. Menyaksikan
Lebok Samarina dan beberapa orang bintara kulit putih dan
hitam maju mendekat. Ramad melirik jantung Lebok
Samarina. Seolah mendapat kekuatan baru. Pemuda itu
menggulingkan dirinya ke dekat kudanya, sambil membidik ke
arah jantung Lebok Samirana. Meleset. Namun kepala orang
itu yang tersasar. Tak ayal Lebok Samirana terpental dan tak
bangun lagi. Semua orang berteriak kaget. Maka mereka
melompat mundur sambil memberondong Mas Ramad.
Pemuda itu tak membalas. Dagingnya memang telah tersayat-sayat peluru. Tapi
darahnya belum tuntas. Pemandangan yang menyentak hati.
Para pengawalnya segera mengangkat senjata dan membidik
ke arah pengepung. Membuat semua bertumbangan. Mereka
mendekati Pangeran Puger. Namun pemuda itu bangkit sambil
tersenyum. Beberapa jenak. Terhuyung"
"Maju!!!" pemuda itu berseru dengan suara yang
penghabisan. Untuk kemudian roboh tanpa nyawa. Kepala
barisan pengawal berteriak. Balik menghampiri tubuh Ramad.
Menaikkan ke atas punggung kudanya, kemudian diikuti anak
buahnya berlari mencari Sri Ratu. Melintasi mayat dan bangkai
lainnya. Menerobos peperangan dan peluru. Mangguruh,
demikian nama kepala pengawal itu, dengan setia melindungi
jenazah pimpinannya. Seolah melindungi bayi. Sayu Wiwit
sedang sibuk menembak kala Mangguruh datang mempersembahkan laporannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebentar, dua bentar, tiga bentar, dan sampai beberapa
bentar, Sayu Wiwit memandang tajam pada Mangguruh
dengan tidak berkata-kata. Seolah tak percaya pada apa yang
ia dengar. Mangguruh merasa serba salah. Sekalipun sempat
ia mengagumi kecantikan Sri Ratu. Bagai patung pualam yang
berdiri di hadapannya. Tapi kini ia lihat wanita itu terisak.
Bagai dibangunkan dari mimpi indah saja, Sayu Wiwit berkali
mengusap wajahnya. Lesu ia naik ke atas punggung kuda
seraya melambai pada Mangguruh.
"Letakkan sang Anumerta ke sini!" katanya sambil
menunjuk pangkuannya. Dan dengan dibantu oleh seorang
anak buahnya, Mangguruh mengerjakan perintah itu. Sempat
ia melirik. Kini wajah itu beku tanpa makna. Berkali
memandang punggung sang Anumerta. Berlubang-lubang
seperti keranjang arang. Dan hampir seluruh tubuh berlubang.
Sayu Wiwit menggertakkan gigi. Kemarahan mengatasi semua
perhitungan dan ketakutan. Punah sudah pertimbangan dari
kepala bening seorang brahmani. Kini matanya berapi.
"Mangguruh, undurlah kau! Sampaikan berita ini ke Bayu!
Ke Bayu!" "Tapi... bukankah sebaiknya Yang Mulia saja" Hamba akan
bertahan dan menggempur mereka..."
"Ini perintah, Mangguruh!" "Hamba, Yang Mulia." Lelaki berewok itu kini memutar
kudanya. Di kuti oleh beberapa
pengawal lainnya. Tapi mereka tidak segera pergi. Memang
mereka hilang dari pandangan Sayu
Wiwit, tapi mereka justru menuju ke tempat
persembunyian meriam dan kanon yang masih belum
terpakai. Meriam rampasan dari benteng Steenberger. Kini
mereka bebas mengintip setiap gerak Sayu Wiwit. Dan
ternyatalah, bahwa setiap . kemarahan yang telah mengatasi
semua dan segala -mampu melahirkan gelombang amuk yang
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar biasa hebatnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayu Wiwit telah terjun ke tengah kancah laga. Tindakan
ini diikuti oleh beribu-ribu orang. Heinrich terkejut bukan
kepalang. Orang Blambangan menyerbu bagai air bah. Mati
satu datang seribu. Sungguh tidak pernah dilihatnya
pemandangan yang seperti ini sebelumnya. Mereka tidak lagi
memperhatikan pelor musuh. Juga hantaman peluru meriam
yang membuat mereka menjadi kepingan-kepingan daging
kecil-kecil. Selama Sayu Wiwit masih tegar di atas punggung
kudanya, ke mana pun ia bergerak, diikuti ribuan orang yang
mengamuk seperti pemimpinnya itu. Semua bangunan rata
oleh tanah. Semua pepohonan punah dimakan api.
Mangguruh tidak bisa lagi menahan hati. Ia perintahkan
anak buahnya juga menembakkan meriam ke arah kedudukan
VOC. Apalagi setelah dilihatnya Sayu Wiwit gontai. Mungkin
tersasar pelor. Saat wanita itu menoleh bahu kirinya.
Mengucurkan darah. Kondenya lepas. Rambutnya terurai
menutup punggungnya. Jenazah Mas Ramad masih saja di
pangkuan. Seperti lekat. Pedang Sayu Wiwit basah oleh cairan
berwarna merah. Pelornya sudah habis. Tapi semangatnya
tidak pernah habis. Dan ia maju lagi. Membunuh lagi. Dan
lagi... pelor merobek kulit pahanya. Tapi ia berusaha untuk
tidak jatuh dari punggung kuda.
Amuk membuat ia lepas dari pengawalan. Menerobos
masuk ke tengah barisan musuh. Kini dalam kepungan Kapten
Marhaelu, seorang Negro. Dan betapa kaget kapten itu
melihat wanita telanjang dada di atas kuda dengan pedang di
tangan. Ia terbahak melecehkan. Namun beberapa saat
pikirannya berubah. Bukankah lebih baik jika wanita cantik ini
ditangkap hidup-hidup dan dibawa pulang ke negeri asalnya
untuk diperistri" Tentu tidak ada bandingnya. Semua orang
akan mengaguminya. Betapa bahagianya punya istri secantik
ini. Luka-luka itu masih bisa diobati. Maka ia memberi isyarat
untuk mengepung wanita itu rapat-rapat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayu Wiwit tetap tidak gentar. Matanya menatap dingin,
pedang tetap ia genggam erat-erat. Sebentar ia pandang
suaminya tercinta. "Kita akan sama-sama mati, Suamiku,"
bisiknya. "Demi Hyang Maha Dewa, demi Blambangan yang
suci dan demi cinta kita berdua... kita akan punah." Kepungan
makin dekat, darah pun makin terkuras. Keringat dingin
menambah pedihnya luka. Sayu Wiwit mengerti benar tiap
langkah pengepungnya disertai dewa maut yang menjemput
nyawanya. Ia tunggu mereka makin dekat. Dan matanya
tertuju pada kapten negro itu.
Setelah itu ia mulai menyentuhkan tumit pada perut
kudanya. Kuda yang setia itu seakan mengerti kehendak
tuannya. Melompat maju seperti angin. Marhaelu berteriak
kaget, namun terlambat. Pedang Sayu Wiwit membabat
lehernya. Tak sempat membalas. Roboh seperti pohon pisang
ditebang. Sayu Wiwit kemudian merapatkan tubuhnya pada
mayat suaminya. Berondong- fc an peluru lewat di atas
punggungnya. Kudanya terus melesat.
Heinrich marah bukan main mendengar laporan itu. Ia
kerahkan penembak-penembak jitu. Kuda Sayu Wiwit
diberondong, namun masih saja berlari. Seperti punya
kekuatan gaib. Sayu Wiwit masih saja menyebar maut sambil
merangkul tubuh suaminya. Sebuah lagi pelor menyerempet
punggungnya. Tiada henti. Mangguruh hampir tak percaya
melihat akhir perjalanan hidup Sayu Wiwit itu. Sebuah peluru
meriam meledak tepat di depannya. Tak ampun, kuda dan
penumpangnya terpental ke udara. Kemudian jatuh kembali
menjadi serpihan-serpihan kecil. Mangguruh segera sadar,
bahwa ia harus menarik mundur sisa laskar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVI. PUDAR Musim hujan memang datang terlambat tahun ini. Meski
begitu mendung tak bisa terus-menerus menahan
kandungannya. Pertengahan bulan Kar-tika atau kira-kira awal
bulan November hujan pertama pun turunlah. Katak
menyambut hujan itu dengan rombongan kesenian mereka.
Alun gamelan mereka terdengar di setiap sudut Blambangan
sepanjang malam. Dan kegembiraan kelompok katak itu tidak
berhenti di awal musim saja. Tapi malam-malam musim
penghujan selalu mereka isi dengan alun melengkung
gamelan mereka. Tiada malam tanpa sukacita.
Semestinyalah petani di Blambangan juga begitu. Karena
hujan menjanjikan kehijauan bagi tumbuhan mereka. Lebih
dari semua itu, kesuburan bagi tiap jengkal bumi
Semenanjung Blambangan. Namun musim tanam kali ini tidak
seperti saat-saat lampau. Tiada lagi tembang di bibir para
pembajak sawah atau perempuanperempuan yang sedang
menanam padi. Tiada lagi senyum manis perawan-perawan
pengantar makan pagi dan makan siang, bagi bapak, ibu, atau
saudara-saudara mereka yang sedang bergumul dengan
lumpur itu. Pendek kata senyum dan kidung musnah dari bibir
tiap kawula Blambangan. Sebagai gantinya adalah doa bagi
arwah kedua pahlawan mereka. Sayu Wiwit dan Mas Ramad
Surawijaya atau lebih dikenal sebagai Mas Dalem Puger.
Kedukaan makin bertambah kala mendengar lumbung
persediaan makan bagi laskar Wong Agung Wilis dan Mas Ayu
Prabu diserbu oleh VOC. Grajagan, Muncar, dan beberapa
daerah pantai lainnya jatuh ke tangan Kapten Kreygerg. Tentu
ini bukan sekadar menciutkan daerah kekuasaan Wilis, tapi
juga merusak gudang perbekalan laskar Blambangan.
Cadangan makanan yang dikumpulkan oleh dan dari seluruh
kawula. Kesedihan mendalam meliputi seluruh Blambangan,
seirama dengan pergantian musim yang membuat mentari
seolah pudar karena awan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umbul-umbul hitam tampak terpancang di mana-mana di
seluruh wilayah Blambangan. Tidak ada yang tahu siapa
pemasangnya. Namun jelas itu merupakan tanda perkabungan
secara menyeluruh. Jaksanegara memerintahkan agar wilayah
yang dikuasai Kompeni dibersihkan dari umbul-umbul hitam
itu. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan
pemerintahan Jaksanegara. Sekarang dicabuti, esok umbul-
umbul itu muncul lagi. Begitu terus berulang.
Kendati saat-saat terakhir setelah kematian Biesheuvel ia
tak pernah keluar rumah kecuali menghadap Schophoff,
namun kini ia harus datang ke kediaman residen itu. Ia
merasa kejadian ini tidak bisa dibiarkan.
"Selamat pagi, Tuan Jaksanegara...." Schophoff tertawa,
seperti biasa. "Ada suatu penting maka pagi begini Tuan
datang tanpa diundang?"
Sekilas Jaksanegara memperhatikan sekitarnya. Tidak ada
perubahan. Masih seperti kala dihuni oleh Biesheuvel. Gadis
pengipasnya yang berganti. Mereka adalah persembahan
darinya. "Tentu, Tuan. Apa Tuan belum menerima laporan
tentang..." "Tentang apa?" Mata biru Schophoff menajam.
"Umbul-umbul hitam."
"Kami kurang menaruh perhatian atas semua itu." Kembali
Schophoff terbahak-bahak. Ternyata tertawa merupakan
warna hidup atau barangkali mendekati jatidirinya. Tapi dalam
tindakan ia tidak kalah kerasnya dari Biesheuvel. Ia tidak sudi
mengalami nasib seperti para pendahulunya.
"Tidak boleh tidak diperhatikan. Kemungkinan besar
pemimpin terkemuka mereka. Dan..."
"Kebiasaan Blambangan, Tuan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi Jagapati masih hidup," bantah Schophoff.
"Sebelum Jagapati bergabung dengan mereka, tentunya
mereka sudah punya pimpinan. Hanya kebetulan Jagapati
bergabung, maka kini dia yang menonjol. Karena Jagapati
berdarah Tawang Alun."
"Baik. Kita akan serbu Jagapati. Jika perlu kita bunuh ia di
depan orang-orang Blambangan. Tapi " untuk mengurangi
kekuatannya, kita akan menyebar pengumuman pada seluruh
penduduk Blambangan bahwa jika mereka tidak memerangi
Belanda, maka mereka akan dibiarkan hidup aman dan damai.
Bagi yang dulu jadi pengikut Jagapati tapi menyerah akan
diberi pengampunan. Dan mereka akan memperoleh haknya
kembali untuk menggarap tanah. Tapi dalam satu bulan ini
jika mereka tidak menyerah berikut persenjataannya, maka
VOC tidak akan memberikan pengampunan lagi."
"Bagaimana cara membuktikan bahwa mereka bersungguh-
sungguh ?" "Ha... ha... ha..." Schophoff mengangguk-anggukan kepala
di sela tawanya. "Jika mereka dengan sendirinya mencabuti
umbul-umbul hitam itu, berarti mereka tidak lagi patuh pada
Jagapati." Dan terjadilah yang direncanakan Schophoff. Para bekel
diperintahkan mengumumkan maklumat residen ini ke setiap
penjuru desanya dengan kawalan Kompeni dan punggawa
kadipaten. Namun di mana pun saja kawula tidak menjawab
barang separah jua. Juga tidak ada yang menyentuh umbul-
umbul hitam. Bahkan kala mereka lewat di dekat umbul-umbul
itu, semua menunduk dalam-dalam. Seolah lewat di depan
benda yang teramat keramat. Itu sebabnya Schophoff segera
menurunkan perintah pada Kapten Kreygerg dan komandan-
komandan benteng di seluruh Blambangan agar menyiapkan
penyerbuan begitu batas ketentuan habis. Ketentuan yang
akan berakhir tanggal tiga belas Desember seribu tujuh ratus
tujuh puluh satu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang berita kematian Mas Ramad dan Sayu Wiwit tidak
bisa disembunyikan. Sekalipun pihak Bayu berusaha
menyembunyikannya, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Tapi semakin dirahasiakan, berita itu semakin
merambat cepat seperti merambatnya angin yang membawa
hujan ke tiap penjuru Blambangan. Tidak ada yang
memerintahkan orang mengibarkan umbu-umbul. Tapi semua
orang ingin menghormati Mas Dalem Puger yang pernah
menggegerkan Blambangan karena menyerbu Benteng Banyu
Alit dan menyebabkan komandan Van Reiyks luka parah dan
akhirnya tewas. Apalagi dia adalah putra Patih Blambangan,
Wong Agung Wilis. Di Bayu tangis terdengar hampir di setiap rumah. Dupa dan
kemenyan dibakar di mana-mana. Tantrini, ibu Mas Ramad
tidak mau keluar dari pura untuk beberapa lama. Sedang Mas
Ayu Prabu menyempatkan diri untuk bergabung dengan
ibundanya. Tapi Tantrini adalah seorang brahmani yang
mumpuni. Ia telah kehilangan banyak dalam perang ini. Ia
tahu bagaimana mengunyah yang manis, dan ia tahu
bagaimana mengunyah yang pahit. Maka kini dialah yang
harus menyabarkan hati anak-anaknya. Mas Sratdadi dan Mas
Ayu Prabu. "Perang bukan untuk membalas dendam, Anakku. Bapak
kalian mengajar bahwa perang bukan pembalasan dendam.
Dan bukan untuk menyalurkan kebinatangan yang ada dalam
diri manusia, baik itu berupa keserakahan maupun keinginan
untuk memenangkan diri atas orang lain. Perang bagi kita
lebih diperuntukkan demi menegakkan jatidiri suatu bangsa
atau mempertahankannya. Karena itu tenangkanlah hati
kalian. Barangsiapa tenang dalam segala hal, ia akan
memperoleh kebijakan."
Kedua anak muda itu tertunduk. Juga Mas Ayu Tunjung.
Kekaguman merayapi hati ketiganya. Yistyani menjemput
mereka, untuk diajak bersama-sama ke pendapa. Wilis akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyampaikan amanat penting. Tidak ada yang berani
membangunkan mereka dari semadi.
Yistyani melihat kenyataan. Adiknya tegar. Kendati tak
pernah belajar menjadi satria. Rupanya Tantrini benar-benar
hidup di atas penghayatan jerhadap pengetahuannya sendiri.
Ah, sebenarnyalah, barangsiapa yang tidak menghayati dan
melaksanakan apa yang telah dipelajari dan diyakininya untuk
membentuk jatidiri, maka ia telah menjadikan diri sendiri
manusia mengibakan. Karena ia telah hidup dalam kesia-siaan.
Setelah saling berpelukan dan menyatakan belasungkawa,
ia mengajak adiknya. Ketiga anak muda itu berjalan di
belakang mereka. Lambat-lambat. Seperti rombongan siput.
Kepala menunduk. Seolah mencari jarum jatuh di dalam debu.
Para kawula juga menunduk hormat. Ikut berdu-kacita.
Di Derwana berita kematian Mas Ramad dan Sayu Wiwit
diterima oleh Jagapati saat ia makan sore di istananya.
Didampingi oleji para selir dan istrinya kala Jagalara
menghadap. "Berita penting, Yang Mulia."
"Apa itu?" "Jember jatuh kembali ke tangan VOC. Demikian juga
Puger dan Sentong serta Panarukan...."
"Jagat Dewa! Lalu?"
"Yang Mulia Pangeran Puger gugur dan juga Ratu..."
"Sayu Wiwit?" Jagapati tidak sabar.
"Juga gugur." "Drubiksa!" Tanpa sadar Jagapati berdiri. Tangannya
bergerak di luar sadar. Memukul piring yang masih penuh
makanan. Tak ayal semuanya berantakan. Dan semua istrinya
terkejut. Suatu yang tak pernah dilakukan Rempek
sebelumnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bangkit dan berjalan menuju beranda depan. Jagalara berjalan di belakangnya.
Rasanya seperti mimpi. Jagapati baru bersua dua hari lalu di Bayu. Tapi kini
kenapa ia bersama Mas Ramad di Jember" Mati bersama. Lebur tanpa bisa dirawat
lagi" Bukankah Mas Ramad berangkat tiga hari lalu" Jadi siapa yang dijumpainya
beberapa hari lalu" Ah, aku perlu menanyakan ke Bayu, apa benar Sayu Wiwit mati"
"Kau percaya berita ini, Yang Mulia?" Jagapati bertanya pada pembantunya.
"Hamba tidak tahu."
"Kita pergi ke Bayu. Mari, Yang Mulia," ajaknya.
Bergesa mereka menyiapkan kuda mereka. Beberapa pengawal mengikuti mereka. Namun
begitu mereka keluar dari lapangan, di depan istananya, Jagapati melihat
laskarnya menaikkan umbul-umbul hitam.
"Siapa yang memerintahkan mereka?",
"Tidak tahu," Jagalara menjawab sambil menggeleng.
"Undu barangkali?"
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali." Jagalara menatap pimpinannya. "Kita cari dulu dia."
Namun begitu kuda mereka berputar ke arah rumah Undu, seseorang menyapa dari
balik pagar. Jagapati menghentikan langkah kudanya.
"Undu?" "Hamba, Yang Mulia. Kita sedang berkabung. Akan ke Bayu" Tentu akan ada
pertemuan," Undu bicara sambil menyembah. Jagapati mengernyitkan dahinya.
Keremangan senja membuat perubahan wajahnya itu tidak begitu nampak.
Ia heran Undu tahu banyak. "Jadi benar Sayu Wiwit tewas?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar, Yang Mulia."
Kecurigaan dalam hati Jagapati kian bertambah. Tapi ia
berusaha menahan hatinya. Ia perlu bertanya sendiri pada Rsi
Ropo. Jika Rsi Ropo tidak dapat mempertanggungjawabkan,
maka ia akan menanyakannya pada Wilis sebagai junjungan
Bayu. Ia tidak suka dipermainkan oleh siapa pun.
Bagaimanapun ia bukan orang sembarangan yang boleh
dipermain-mainkan. "Baik. Aku akan ke Bayu. Undu, kau berjaga-jaga di sini!"
Cepat sekali kuda rombongan lenyap dari pandangan Undu.
Keremangan senja pun segera berganti malam. Meski begitu
kuda mereka tidak pernah terantuk. Deretan pohon-pohon tak
terhitung jumlahnya yang telah mereka lalui. Juga tikungan.
Namun begitu, jarak tetaplah pemisah yang harus diatasi. Dan
untuk itu manusia membutuhkan waktu. Maka keesokan
paginya barulah mereka memasuki gerbang perkubuan.
Umbul-umbul hitam yang terpasang berjarak rapi di
sepanjang jalan merupakan bukti kebenaran berita kematian
kedua pemimpin laskar Blambangan itu. Keadaan benar-benar
senyap. Sawah-ladang sepi dari petani. Semua seolah tak
mempe-dulikan kehadirannya. Namun ia tahu persis bahwa di
balik belukar sepanjang pinggir-pinggir jalan itu moncong-
moncong bedil teracung ke dadanya. Karena itu ia
menenangkan diri menuju pendapa di mana para pemimpin
Bayu sedang berkumpul. Rsi Ropo sedang memimpin doa. Beberapa saat kemudian
ia duduk di barisan paling belakang. Tidak ada yang
memperhatikan kehadirannya itu. Semua terpekur tasyakur
khikmad. Dada Jagapati kian membuncah kala mendengar
suara wanita seperti suara Sayu Wiwit yang dikenalnya
menembangkan kidung. Jika sedang berkinang, Merahlah air ludah, merahlah darah...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merahlah Blambangan, menolak penjajahan!
Dalem Puger menerjang! Perang puputan. Banyu Alit! Jember! Puger! Tetes darahnya...
Merah membakar Ah, Sayu Wiwit... Bara di dadamu, di bumimu
Dan membaralah kawula! Membara!
Tiap tetes darahmu, untuk tiap jengkal tanahmu
Hey tatsaka! (ular Biludak)
Jangan jual negeri ini! Jangan jamah Blambangan!
Kau berhak berkacak pinggang
Tapi kami bermandi darah...
Ah, kau berdiri di atas bara!
Selesai suara itu di susul suara beberapa wanita lain.
Setelah semua sudah, Wilis bangkit berdiri. Matanya bagai
mentari kembar menyinari semua yang hadir. Jagapati buru-
buru menunduk kala mata itu menyapukan pandang ke
arahnya. "Kita telah kehilangan banyak!" pemuda itu memulai.
"Banyak sekali. Karena itu jangan main-main. Aku perintahkan
pada setiap kawula Blambangan. Jika tidak ingin berperang
demi bumi kelahirannya, supaya mengungsi! Sebab sesudah
ini aku perintahkan pada semua-mua, bersiaplah melakukan
perang!! Perang puputan! Menang atau mati! Dengar?"
"Dengar...," sahut semua orang. "Beritakan semua ini pada kawula. Dan... Yang
Mulia Jagapati, segera setelah ini
kembalilah ke Derwana! Beritakan ke seluruh bumi
Blambangan! Ini perintahku! Pilih! Wilis atau Kompeni?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti mendengar petir di siang bolong. Kagum luar biasa.
Pemuda itu tahu bahwa dia hadir. Padahal ia diam-diam duduk
di bagian belakang. Maka tak ada jalan lain kecuali mengiakan. Tapi tiba-tiba ia
ingin menyampaikan sesuatu.
"Tapi, Yang Mulia..." Ia mencoba membuka suara.
"Jika Yang Mulia menganggap daku junjungan Blambangan,
maka tidak ada kata tetapi! Cuma ya atau tidak sama sekali."
"Sebentar saja."
"Perkabungan selesai sudah. Kendati umbul-umbul hitam
tidak kita turunkan. Kita tak boleh terlalu lama berduka. Sebab
itu akan membuat kita tawar hati. Dan barangsiapa tawar hati
dan terus tenggelam dalam kedukaan, ia telah kehilangan
kekuatannya. Jangan dulu persoalkan apa yang ada di hati.
Sebab paling lama lima hari lagi VOC dengan semua
begundalnya akan datang menyerbu kita. Mereka akan
pergunakan kesempatan kala kita berduka dan lemah. Apalagi
batas waktu yang mereka tentukan akan habis dua hari lagi.
Nah, simpanlah dulu apa yang di hati itu. Kita akan selesaikan
sesudah perang." "Ini masalah harga diri, Yang Mulia," Jagapati mencoba.
"Baik. Aku sudah katakan, Yang Mulia adalah kepala
pemerintahan atau pratanda mukha Blambangan saat ini. Pilih,
kehilangan semua-mua atau harga diri itu! Di pundak Yang
Mulia tersampir tanggung jawab mengusir Belanda ini.
Menyelamatkan dan mengamankan negeri serta isinya. Dan
ingat, sekarang baru satu kakak Yang Mulia jatuh dalam
kehinaan. Saatnya akan tiba, Yang Mulia Nawangsurya pun
mempersundalkan dirinya!"
"Jagat Bathara!" Jagapati terlonjak.
"Semua terletak pada Yang Mulia sendiri. Jika tidak siaga
sejak sekarang, maka semua perawan cantik kita akan jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
milik pemenang. Bukan cinta lagi yang bicara dalam suatu
perkawinan. Tapi uang dan kekuasaan."
"Jagat Dewa!" "Tidak cukup hanya dengan menyebut nama Hyang Maha
Dewa, tapi kita harus bertindak. Nah, sekarang bubarlah!
Pergilah! Laksanakan perintahku! Ingat-ingat! Wilis atau
Kompeni." Mereka bubar dengan bekal hati yang tidak sama.
Sekalipun tidak membantah lagi, Jagapati tetap dalam
kekecewaan. Walau kagum terhadap penglihatan ke depan
Wilis yang tajam itu. Benar apa yang dikatakan Wilis di pertemuan terakhir itu.
Schophoff sudah menurunkan perintah resminya untuk
menyerbu Bayu. Tanggal penyerbuan tertulis empat belas
Desember tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu. Tiga ribu
orang naik dari Lo Pangpang di bawah pimpinan Kapten
Kreygerg. Sedang dari Lateng dipimpin oleh seorang kapten
dari Madura, Tumenggung Alap-alap, bersama dengan Letnan
Schaar. Dua ribu orang berangkat dari Lateng. Juga Kapten
Heinrich masuk dari Panarukan. Karena percobaannya masuk
lewat Jember langsung mengalami kegagalan. Pasukannya
banyak yang mati tanpa perang.
Bayu harus dikepung dari segala arah. Mereka harus
dikejutkan justru saat mereka dalam suasana perkabungan.
Schophoff ingin membalaskan sakit hati Biesheuvel dan para
pendahulunya. Tentu Gubernur akan memujinya sebagai
orang paling berjasa karena mampu mengalahkan
Blambangan. Gebrakan pertama memang mengejutkan laskar
Blambangan. Lembah Perangan, lembah yang terletak antara
Gunung Sikep dan Gunung Merapi; dan Lembah Pengawinan
yang terletak di utara Songgon, jatuh ke tangan pasukan
gabungan Kompeni. Kreygerg memerintahkan anak buahnya
mendirikan perkemahan di tengah-tengah perumahan
penduduk. Sebagian lagi diperintahkan menembus ke Lembah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Derwana melewati lembah di antara Gunung Pendil dan
Gunung Merapi. Memang ada jalan yang aman menurut laporan mata-mata.
Yaitu melewati sebuah kali kecil yang bermata air di Gunung
Pendil. Mengalir di tempat berbatu padas. Bahkan kali yang di
barat laut Derwana itu diapit oleh dua bukit padas curam dan
tajam. Dan dari Lembah Perangan serta Pengawinan mereka
melancarkan tembakan meriam-meriam dan kanon.
Namun tembakan meriam itu justru membuat Jagapati dan
seluruh laskarnya bersiap di segala lini. Setiap jalan masuk
disumbat dengan merobohkan pohon-pohon. Kentongan dan
bende dipukul bertalu-talu. Tiap semak dijaga. Barisan
pemanah bertengger di pohon-pohon besar seperti barisan
kera dalam cerita Ramayana. Maka kini tergantung Kreygerg.
Apakah ia akan mengulangi nasib Montro atau ia akan
menang. Tengah hari mereka masih menghujani Derwana dan
Indrawana dengan tembakan. Dari tenggara, selatan, dan
barat laut. Tapi lewat tengah hari Jagapati sudah habis
sabarnya. Ia perintahkan membalas tembakan sambil
bergerak maju. Undu serta Jagalara bergerak ke selatan dan
tenggara, sedang Jagapati ke barat laut. Tiap tembakan
dibalas dengan tembakan. Dari balik semak anak panah beterbangan menghunjam ke
arah pasukan Kompeni yang kelihatan. Jagapati masih belum
menampakkan diri. Juga laskar Blambangan. Baru tampak
berkelebatan dari balik pohon ke pohon lainnya. Seolah
mereka bertempur melawan hantu. Tapi teriakan dan sorakan
mereka terdengar jelas membahana di lereng-lereng bukit.
Juga memantul di pohon-pohon. Inilah siasat Jagapati. Supaya
jika anak buahnya tertembak dan mengaduh musuhnya tidak
mendengar. Sebaliknya, lawan akan bingung memilih sasaran.
Ternyata siasat Jagapati berhasil. Baik di selatan, di
tenggara, maupun di barisan yang dipimpinnya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kompeni mundur. Setapak demi setapak mereka mundur ke
lembah Perangan serta lembah Pengawinan. Untung sekali,
karena begitu senja turun Jagapati menghentikan serangan
balik itu. Dengan hanya meninggalkan sedikit laskar pengintai,
Jagapati memerintahkan semua orang kembali ke Indrawana
dan Derwana. Sampai di Derwana ia memerintahkan para selir memanggil
para penabuh gamelan dan penari untuk merayakan
kemenangannya, di samping untuk menurunkan ketegangan.
Tentu saja hal itu menimbulkan rasa suka dan tidak. Yang
suka memujinya sebagai orang bijak. Sanggup memberikan
kesegaran jasmani dan batin. Tapi lebih banyak lagi yang
mendatangi Undu. Di sela-sela teriakan kemenangan para
pendukung Jagapati, Undu mendengarkan laporan beberapa
orang. "Apakah itu tidak membahayakan" Kita belum menang.
Tapi sudah berpesta tari. Coba, Tuan, bagaimana jika ini
didengar oleh junjungan kita?"
"Aku akan memperingatkannya. Tapi aku juga akan
memerintahkan seorang untuk melapor pada pimpinan,"
jawab Undu sambil menarik napas panjang.
Wilis segera menerima laporan dari anggota telik perihal
Jagapati, selain laporan dari anak buah Undu. Maka ia cepat-
cepat memanggil Sratdadi, Mas Ayu Tunjung. Mas Ayu Prabu,
serta Untun. Ia segera menguraikan kepada mereka semua
ulah Jagapati. "Ini bukan kebiasaan kita. Tentu tidak boleh kita biarkan."
Wilis kemudian meminta pendapat semuanya.
"Memang bukan kebiasaan kita. Tapi kitalah yang
menanam dia di Derwana dan kita pula yang mengangkatnya
sebagai pratanda mukha Blambangan. Jadi kita memang perlu
menyabarkan diri. Bukankah sebagai pratanda mukha ia boleh
mengambil kebijakan sendiri sepanjang itu tidak merugikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita?" Ayu Prabu mengajukan pendapatnya. "Tentu kita wajib memperingatkannya.
Tapi jangan sampai menimbulkan
anggapan bahwa dia kehilangan haknya sebagai seorang
kepala pemerintahan." Wilis mengangguk-angguk mendengar
itu. "Baiklah. Kita akan coba meluruskannya. Kebiasaannya di
Pakis masih terbawa. Dia memang suka sekali mendengarkan
gamelan. Tapi kita telah kehilangan cukup banyak harini. Dua
lembah yang kaya dan menyediakan cadangan makanan bagi
kita. Gudang-gudang beras kita di Grajagan, Muncar, bahkan
Sumberwangi telah dibakar oleh Belanda. Kini kita kehilangan
lembah Pengawinan dan lembah Perangan. Maka kita harus
mengadakan serbuan balik dan merebut kembali gudang-
gudang pangan kita."
"Betul," Sratdadi mengiakan.
"Kita perlu menyiapkan diri. Hamba akan turun sendiri. Itu
sebabnya, kita harus mencoba menghubungi Harya Lindu
Segara di Nusa Barong serta Rencang Warenghay di Selat
Madura supaya mengerahkan armadanya."
"Perlu waktu untuk menghubungi mereka," Untun
menyampaikan pendapatnya.
"Kita akan menyerbu mereka enam hari mendatang. Di
semua kedudukan! Jadi perang semesta itu tanggal lima bulan
Pusa (tanggal 20 Desember tahun 1771) ini. Maka masih ada
waktu memerintahkan telik kita menghubungi mereka. Untuk
itu kita akan menyerbu kedudukan Kapten Kreygerg yang
menduduki lembah Perangan, bersama Undu. Yang Mulia
Sratdadi bersama Yang Mulia Ayu Tunjung ke barat
Indrawana, menyerbu kedudukan De Kornet Tinne. Sedang
Jagapati di bantu Jagalara menyerbu ke jurusan tenggara
Derwana, di sana berhadapan dengan Tumenggung Alap-alap
dari Madura, yang juga seorang kapten Kompeni. Sedang
Yang Mulia..." dengan dagunya Wilis menunjuk pada Mas Ayu
Prabu, "berhadapan dengan Schaar di selatan. Tentu akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibantu oleh Untun. Kemudian perintahkan juga pada telik kita
untuk menghubungi Harya Lindu Segara dan Warenghay
secepatnya." Kemudian sebelum membubarkan diri ia sekali lagi
mengingatkan pada Mas Ayu Tunjung agar menyiapkan
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan untuk laskar di dekat tempat-tempat pertempuran.
Agar mereka dapat bertempur dalam waktu yang panjang.
"Aku bantu menyiapkannya," Sratdadi berbisik kala mereka
meninggalkan tempat itu. Ayu Tunjung cuma tersenyum. Ah,
manisnya senyuman itu di mata Sratdadi.
Kesibukan segera terlihat. Semua orang menyiapkan diri.
Mereka diberangkatkan secara diam-diam melewati jalan-jalan
rahasia di hutan-hutan. Begitu pula cadangan makanan. Di
siapkan secara diam-diam. Dilihat dari tempat tinggi maka
gerakan mereka seperti semut yang sedang berpindah sarang.
Sibuk memikul bahan makanan dan senjata melewati lorong-
lorong terjal dan jurang-jurang, gerumbul belukar, duri rotan,
serta rindangnya pohon-pohon raksasa.
Namun kesibukan mereka dikejutkan oleh suara-suara
letusan dan dentuman meriam. Padahal mereka belum
menerima perintah menyerbu. Dan bukankah harini baru
tanggal tiga Pusa" (menurut sumber Belanda, tanggal 18
Desember 1771 Jagapati mengadakan serangan balasan)
tanya Mas Ayu Tunjung pada Mas Sratdadi kala mereka
meninjau cadangan makanan di tenggara Derwana. Mas
Sratdadi tidak bisa menjawab. Maka ia memutuskan untuk
mengintip Derwana. Dan dugaannya memang benar. Jagapati
mengerahkan laskar besar.
Di ringi tambur dan gendang serta perangkat gamelan
lainnya, laskar Jagapati berangkat ke medan laga. Jagalara
dengan gagah berada di atas punggung kudanya.
"Dirgahayu Wong Agung Wilis! Dirgahayu Blambangan!"
sorak mereka kala Jagapati keluar dari gerbang Derwana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tersirap darah Sratdadi menyaksikan semua ini. Rempek
mengenakan pakaian persis ayahnya. Memilih kuda yang juga
berwarna persis kepunyaannya, yang juga sama dengan milik
ayahnya. Cepat ia mencabut bedilnya dari sanggurdi.
"Jangan!" Ayu Tunjung memperingatkan sambil
mendekatkan kudanya dan meraih bedil itu dari tangan
Sratdadi. "Ini nirneyana" (pembelotan, pembangkangan) geram
Sratdadi. "Tidak taat perintah junjungan kita."
"Yang berhak menghukum pratanda mukha adalah raja.
Bukan kita." Suara merdu itu meluluhkan hati Sratdadi.
"Biarkan peperangan harini berjalan di bawah pimpinannya.
Tapi lusa harus berjalan seperti rencana junjungan kita itu,"
lagi Mas Ayu Tunjung memberikan saran. Sratdadi
mengangguk. Tapi jauh dalam lubuk hatinya sudah
memutuskan: hukuman mati bagi tiap orang yang melakukan
nirneyana. Tentu tidak ada yang tahu keputusan ini kecuali
dirinya sendiri. Keduanya melaporkan hal itu pada Wilis. Dan Wilis
menganggap itu tidak akan didiamkan. Ia perintahkan
Sratdadi untuk memberi peringatan pada Jagapati nanti sore,
seandainya orang itu selamat pulang dari pertempuran.
Baik Belanda maupun Bayu mengakui bahwa serangan
Jagapati itu merupakan kejutan besar. Apalagi laskar Bali yang
tidak tahu keadaan itu membantu dan mengamuk dengan
amat hebat. Memang jatuh korban banyak. Dari kedua pihak.
Terutama di Hutan Kepanasan, di mana laskar
Bali bergerak. Letnan muda Ostrousky yang menghadang
mereka terpaksa melarikan diri ke Lateng untuk meminta
bantuan. Tumenggung Alap-alap marah bukan kepalang. Ia
bersumpah akan menusuk masuk ke Derwana, apa pun yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjadi. Ia ingin berhadapan dengan Jagapati seperti Karna
bertanding dengan Harjuna dalam Bharata Yudha. Tapi hari
itu perang cepat usai. Mentari pergi bersama sang kala.
Namun meninggalkan bangkai-bangkai yang sukar dihitung
banyaknya. Jagapati kembali menghibur laskarnya dengan tari dan
nyanyian serta gamelan sampai tengah malam. Ia sendiri
setelah berbincang-bincang dengan Jagalara dan istrinya,
segera masuk ke pesanggrahan. Untuk mencegah
kemungkinan yang tidak diinginkan, ia tidak tidur di istana
Derwana. Ia tidur di pesanggrahan yang letaknya agak jauh
dari istana. Malam telah larut. Gamelan sudah berhenti. Kidung juga
telah tiada. Sebagai gantinya rombongan katak melengkung
berdendang riang menyambut hujan tengah malam. Udara
dingin dengan angin musim penghujan menembus tiap pori
kulit manusia. Lebah di sarangnya pun merapatkan diri untuk
menciptakan kehangatan. Kala itu Mas Rempek berjalan
seorang diri ke pesanggrahannya. Dan saat ia melangkah ke
beranda rumah yang sunyi itu ia menjadi pucat seperti melihat
hantu. "Selamat malam, Yang Mulia," suara merdu menyapanya.
Jagapati melangkah mundur. Mulutnya ternganga.
"Jangan takut, Yang Mulia. Inilah hamba."
"Sayu Wiwit?" "Inilah hamba. Bukan drubiksa. Bukan juga hantu." Marmi
melangkah maju untuk menghilangkan keraguan Jagapati.
"Hyang Bathara! Kaukah itu?" Jagapati mengembuskan
napas panjang sambil mengusap dahinya. Beberapa saat
kemudian maju. Di bopongnya tubuh Marmi seperti
menggendong boneka. Masuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau hidup kembali?" tanya Jagapati kala merebahkannya
di pembaringan. "Hamba belum pernah mati. Dan tidak akan pernah mati."
"Lalu" Mengapa ada berita itu?" Jagapati kini membelai
rambut si gadis. Keharuman bau tubuh Marmi membuat ia
terlena. Lupa mempertanyakan bagaimana cara gadis itu
masuk, padahal pesanggrahan itu dijaga ketat. Lupa semua
dan segala. "Hamba sedang mengemban tugas lain."
"Apa itu?" "Rahasia. Kan kita sama-sama mengemban tugas?"
"Ah..." Lampu minyak kelapa ditiup angin yang berhembus
melewati sela dinding bambu. Temaram samar bayang-bayang
mereka bergoyang-goyang. "Sekarang juga bertugas?" bisik Jagapati dalam tanya.
"Hamba, Yang Mulia. Tapi agak berbeda dengan dulu. Kini
hamba mengemban dua tugas sekaligus. Pertama
menanyakan, apa sebab Yang Mulia tidak mentaati perintah"
Apakah ini nirneyana" Derwana ingin melepaskan diri dari
Blambangan?" "Hyang Bathara! Siapa yang menugaskan kamu?" Jagapati
melepas pelukannya dan bangkit. Terduduk sambil napasnya
agak terengah-engah. Matanya melotot memandang Marmi.
"Tidak perlu tanya siapa yang menugaskan hamba." Wanita
masih terlentang sambil memamerkan paha yang tersingkap
kainnya, saat Jagapati meraba paha itu tadi. Juga susunya
tegak berbungkus kulit halus mulus tanpa cela. Kepala
Jagapati berdenyut. Seperti jantungnya.
"Yang penting kita harus tahu negeri sedang membutuhkan
pengabdian kita. Jadi negeri ini menugaskan hamba malam
ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau menggurui aku, Wiwit." Jagapati bangkit. Kemarahan mewarnai dadanya. Ia
menuju pintu untuk memanggil pengawal.
"Jangan lakukan itu, Yang Mulia! Nanti akan kecewa,"
cegah Marmi. Ia memiringkan tubuhnya sambil menyangga kepalanya dengan telapak
tangan. "Kau takut menerima hukuman dari pengawalku" Kau tidak layak tidur di
pembaringanku, Wiwit. Dengan mereka...," kata Jagapati angkuh.
"Sayang sekali, Yang Mulia...." Kini Marmi pun bangkit.
"Yang mengawal rumah ini sekarang bukan laskar dari Pakis. Mereka telah sejak
tadi istirahat. Terlalu letih berperang tadi siang. Yang mengawal rumah ini
diganti oleh laskar Mas Sratdadi, menteri mukha Blambangan."
"Jagat Dewa!" "Hamba tetap dianugerahkan pada Yang Mulia malam ini.
Tapi dengan syarat, lusa Yang Mulia harus berangkat bertempur. Bertempur seperti
halnya yang diperintahkan oleh junjungan kita, Yang Mulia Wilis. Dan inilah
pesan beliau, Wilis atau Kompeni."
Lunglai seketika itu Jagapati. Kewibawaannya pudar. Wilis lebih hebat dari
dirinya. Ia kini di bawah tekanannya. Melalui cuma seorang wanita lagi. Tidak
berangkat sendiri, kendati yang diberi peringatan seorang pratanda mukha.
Berdarah Tawang Alun lagi. Tapi ia tidak berdaya kini. Pesanggrahan dalam
kepungan laskar Bayu. Jika ia menyeberang, maka nasibnya akan sama dengan
Sutanegara. Ceylon! "Baiklah!" putusnya kemudian. "Aku pilih Wilis. Aku akan bertempur lusa. Aku
buktikan kesetiaanku pada Blambangan.
Sekarang pergilah kau! Laporkan pada yang memerintahkanmu masuk ke tempatku. Aku
setia." "Yang Mulia, inilah hamba...," Marmi menyembah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pergilah, aku tahu kau bukan Sayu Wiwit. Tapi kau telik!
Telik Bayu. Telik Blambangan. Pergilah! Aku ingin
beristirahat!" Marmi menyembah sekali lagi lalu berlalu. Gontainya
menyisir pandang Jagapati. Sebentar kemudian gadis itu
ditelan kegelapan malam dan udara dingin yang disertai
gerimis kecil. Harapan Jagapati untuk menjadi seorang raja
atas dorongan Jagalara pudar. Wilis dan pengikutnya jauh
lebih pintar daripada dirinya atau Jagalara. Udara makin
dingin, gerimis tidak henti-hentinya menaburkan air
membasahi bumi. Makin riuh bersahut-sahutan katak dan
jangkrik. Juga makin riuh berbagai suara dan lamunan di
angan Jagapati. Tapi yang pasti lusa ia ingin membuktikan
bahwa ia bisa membunuh semua musuh yang mendekatinya.
Dan memang tidak kosong, begitu ayam jantan berkokok,
laskar Blambangan bergerak. Tidak pedulikan nyamuk yang
masih ganas menyerang mangsanya. Tidak peduli jalan-jalan
masih gelap dan lembek seperti bubur. Semua bergerak ke
arah yang telah ditunjukkan bagi mereka. Mereka tidak boleh
terlambat. Begitu mentari menguak bumi, maka penyerbuan
dimulai. Gusti Tangkas, panglima laskar Bali yang
diperbantukan di Blambangan itu pun telah bergerak sesuai
petunjuk Ayu Prabu. Sungguh seperti laron yang keluar dari
sarangnya. Kapten Kreygerg masih enggan melepaskan kemul saat
lembah Perangan tempatnya berkemah dikepung oleh laskar
Wilis. Akibatnya ia amat gugup kala sebuah peluru meriam
mendarat tepat di samping perkemahan para perwira. Ia
menjatuhkan diri dan merangkak mengambil pakaian dan
senjatanya. Bergulingan ia mengambil sepatunya. Dan
mengenakannya. Suasana begitu panik. Jerit teriak ketakutan
bercampur doa mewarnai pagi itu. Kreygerg keluar dari
kemahnya. Tahu-tahu sebuah peluru cetbang jatuh tepat di
tengah kemahnya. Ketika ia toleh, tempat itu sudah terbakar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mengumpat karena perintahnya ditelan suara tembakan
yang datang dari segenap penjuru. Prajurit-prajuritnya seperti
bingung berlarian ke segala arah. Beberapa saat saja Lembah
Perangan yang luas itu menjadi seperti ngarai pembantaian,
kendati akhirnya Kreygerg berhasil menenangkan anak
buahnya dan membawa mereka berlindung di balik-balik
pohon kelapa dan pohon besar lainnya. Ketika tembakan
lawan tidak lagi terdengar, ia memerintahkan membalas
tembakan itu. Namun selang beberapa waktu lagi laskar Wilis juga
kembali menembakkan meriam. Pohon tempat Kreygerg
berlindung tersambar sebuah peluru kanon. Patah. Kreygerg
lari. Namun cabang pohon itu sempat menyerempet
kepalanya. Topinya yang berbulu dan berwarna hitam tidak
tertolong lagi. Tertindih. Untung bukan kepalanya. Namun dari
sebagian kecil kulit kepalanya yang terkelupas itu
mengucurkan darah. Pedih. Dan hatinya berdesir.
Tengah hari mendung mulai mewarnai medan tempur.
Pelan-pelan Kreygerg menarik diri. Lagi sebuah anak panah
menyerempet dahinya. Tuhan! Ya, menyebut. Hujan
menolongnya. Bersama beberapa anak buahnya ia
mengundurkan diri ke Lo Pangpang.
Kreygerg mundur untuk merawat lukanya. Tapi di
perjalanan ia sudah pingsan. Dan nasib - Kreygerg sudahlah
bisa ditentukan karena panah yang menyerempet kepalanya
adalah panah Wilis yang membawa racun warangan. Nasib De
Kornet Tinne hampir tidak berbeda dengan Kreygerg kala Mas
Ayu Tunjung dan Mas Sratdadi meneriakkan perintahnya.
Memang ia melawan habis-habisan. Karena sebagai perwira
yang baru saja lulus dari Akademi Militer di Prancis, ia sangat
malu jika mengangkat tangan pada pribumi yang tidak pernah
sekolah. Namun kemampuan seseorang tidak bisa semata-mata
diukur dari tinggirendahnya sekolah. Juga nyawa manusia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak bisa diselamatkan hanya oleh karena De Kornet Tinne
lulusan sekolah Akademi Militer yang paling terkenal di seluruh
Eropa. Dengan pedang terhunus, Tinne masuk ke medan
tempur. Maka tak ayal lagi, laskar yang menyemut itu
merubungnya seperti semut merubung sekerat tebu. Ia
berteriak memaki. Tapi orang Blambangan tak mengerti
bahasanya. Dan saat itulah, tanggal dua puluh Desember
seribu tujuh ratus tujuh puluh satu, De Kornet Tinne tewas
dengan lambung terburai di tangan orang-orang sudra di bumi
Blambangan. Orang sudra yang tidak tahu membaca dan
menulis. Tapi merekalah yang berjasa menyingkirkan De
Kornet Tinne bagi Blambangan. Untuk kemudian bersatu
kembali dengan Kreygerg di dunia yang lain. Dunia kematian.
Letnan Schaar agak berbeda nasibnya. Ia sempat melarikan
diri ke dalam hutan. Bersama beberapa ratus anak buahnya.
Belukar dan pohon-pohon makin rapat. Semak yang harus
ditembus makin rimbun. Ah, berapa lama lagi ia akan sampai
di Benteng Lateng" Mereka semua sudah membuang senjata
masing-masing. Berkali mereka menoleh. Kalau-kalau dikejar.
Tiba-tiba saja mereka makin panik dan berteriak-teriak
memohon ampun. Lebah yang bergantungan di sarang
berpencaran memburu serta menyengat mereka. Gila.
Sungguh daerah laknat! kutuk mereka. Bagaimana bisa,
sampai lebah pun tak sudi berdamai. Akhirnya keputusasaan
menguasai pikiran mereka. Maka berlarilah mereka ke segala
arah. Tanpa bisa memperhatikan keadaan jalan yang mereka
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalui karena sibuk mengebas-ngebas-kan lebah.
Kini songga dan cula siap menumpas mereka. Jerit
menyayat membuat Schaar menghentikan langkahnya.
Sempat ia melihat seorang sersan berhenti dengan mata
mendelik, tangan memegang perut yang tertembus bambu
runcing. Bukan cuma seorang tapi beberapa puluh, di
antaranya masih mengerang kesakitan. Dan entah beberapa
puluh lagi yang terduduk memegangi paha mereka. Oh,
Tuhan... mengapa harus begini" keluhnya. Ia sadar kini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nyawanya di ujung tanduk. Musnah sudah segala kepongahan
dan keanggunannya. Sebagai gantinya ketakutan. Kini
melangkah pun ia takut. Dan tiba-tiba ia terduduk karena
terkejut mendengar sebuah jeritan beberapa orang bersama-
sama. Ditajamkannya pendengaran dan penglihatannya. Jauh di
sebelah kanan sana tadi jeritan pendek itu terdengar. Perlahan
ia melangkah untuk menengok. Sunyi kini. Lebah pun telah
kembali ke sarangnya. Dan apa yang dilihatnya kemudian"
Puluhan lagi anak buahnya punah dalam jebakan harimau
yang beralaskan bambu runcing. Ketakutan makin dalam.
Melangkah saja takut. Kini ia lunglai terduduk dan bersandar di bawah pohon.
Kedua kakinya ditekuk. Kepalanya dibenamkan ke lutut.
Tangan merangkul kaki. Beberapa saat berdoa. Menangis.
Berdoa lagi. Menangis lagi. Ketakutan yang tak teratasi
ternyata membuahkan kehinaan yang tidak pernah ternilaikan.
Tangis Schaar berhenti sesaat kala mendengar suara tawa
yang berkepanjangan. Suara wanita.
'Ternyata kau cuma pandai menghina wanita, Schaar. Kau
tak pernah pandai berperang. Percuma VOC membayarmu."
Mas Ayu Prabu menampakkan diri. "Kau yang membunuh Ni
Kebhi?" "Ampun... bukan!" Schaar tak lagi kuat berlari.
"Kau akan berhadapan dengan Ni Kebhi. Mari kita pergi dari
neraka ini. Mari! Berdirilah!" Mas Ayu Prabu mencabut
pedangnya. Mau tak mau Schaar harus berjalan menurut
perintah Ayu Prabu. Kini nasib Schaar sudah bisa ditentukan.
Ia dihadapkan pada orang-orang yang pernah dipukulnya,
diludahinya, diperkosanya, diinjaknya, dan dipermalukannya.
Maka karma pun berlaku atas dirinya. Setiap orang
diperbolehkan membalas sesuai dengan apa yang dilakukan
Schaar atas dirinya. Aniaya dibalas aniaya. Schaar mati pelan-
pelan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua perwira Belanda menemui nasibnya sendiri. Di bagian lain, Jagapati
kehabisan peluru kala tengah hari.
Tekadnya yang bulat untuk membuktikan pada setiap orang bahwa ia mencintai
Blambangan, mendorongnya maju ke depan. Sayap kiri pasukan Kapten Alap-alap
telah beradu senjata, satu lawan satu. Dentingan suara senjata memancing Alap-
alap meneriakkan perintah untuk menyerbu maju. Alapalap sama sekali tak takut
pada senjata lawan. Karena di balik bajunya ia mengenakan baju tamsir yang
terbuat dari kulit kerbau. Jadi ia merasa dirinya kebal. Jagapati mengawasi
jalannya pertempuran dari punggung kudanya. Ia tahu persis Alap-alap tidak
terpengaruh oleh tusukan lawan-lawannya. Ia pernah mendengar dari Jagalara bahwa
orang itu mengenakan baju tamsir. Ia amati benar-benar. Tampan orang itu
sebenarnya. Sayang kulitnya hitam.
"Baik. Aku akan hadapi dia". Ia meraba tombaknya. "Aku akan menghabisi riwayat
pahlawan Madura itu". Ia sentuhkan tumitnya ke perut kudanya. Seperti terbang
kuda itu menerjang ke tengah pertempuran. Kumis kecil di bawah hidung mancung
ternyata menimbulkan kesan tersendiri bagi Jagapati. Keris panjang di tangan
Alap-alap juga menjadi titik pandang Jagapati.
"Alap-alap?" sapa Jagapati kala kuda keduanya sudah berdekatan. Mata Alap-alap
menyala. Ia sudah memperkirakan bahwa sedang berhadapan dengan Rempek. Ia segera
menyerbu tanpa banyak kata. Gebrakan pertama membuat Jagapati sibuk mengelak.
Bahkan kala ia menusuk leher Alapalap, orang itu menunduk sambil menusuk. Gugup.
Kulit perut robek terserempet keris panjang itu. Darah mengucur. Alapalap
terbahak. Menusuk lagi. Namun kali ini Jagapati menjatuhkan diri sambil
menusukkan tombaknya. Tepat lewat bawah pusar Alap-alap mata tombak itu menyobek
lambungnya. Alap-alap terkejut dan berteriak. Semua pengawalnya heran. Orang
yang kebal itu terjungkal dengan usus terburai kala Jagapati menarik kembali
tombaknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jagapati tertawa. Namun sebuah letusan menghantam
dadanya. Orang itu bergulingan di tanah. Namun segera
bangkit kembali. Darah mengucur dari dada kanan atas yang
terluka itu. Seorang pengawal buru-buru menolongnya naik ke
atas kuda. Hujan mulai turun mengiringi mundurnya Kompeni
ke Lateng. Dengan ketakutan mereka mengangkut mayat
Kapten Alap-alap ke Lateng.
Orang kebal pun punah di Blambangan. Malah Jagapati
tidak gugur sekalipun kena tembakan.
Pieter Luzac dan Schophoff tidak mampu berkata-kata
melihat kenyataan ini. Laporan dari medan perang sungguh
memalukan. Setelah keduanya memeriksa seluruh pasukan di
barak-barak dan benteng-benteng, ternyata jumlah mereka
tidak ada sepertiga dari semula. Para perwira juga banyak
yang sakit. Perut mereka kebanyakan menjadi kembung, mual
dan muntah, pusing berat dan wajah serta mata mereka
memantulkan warna sedikit kuning. Juga para bintara dan
prajurit. Satu demi satu harus menyerahkan diri pada maut.
Tabib dan ahli kesehatan yang didatangkan dari Surabaya
tidak mampu menolong banyak. Maka ia memutuskan
membatalkan rencana serangan selanjutnya. Laporan segera
ia kirim pada Gubernur dan Gubernur Jenderal. Sebaliknya
pihak Bayu harus kembali menaikkan umbul-umbul hitam.
Jagapati tak tertolong kendati sudah diusahakan untuk
mengobatinya selama sehari dan semalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVII. RASAMALA Seperti hujan yang turun merata hampir di seluruh
Nusantara, demikian pula berita tewasnya Tumenggung Alap-
alap, yang juga seorang Kapten Kompeni yang terkenal gagah
berani, tersebar ke seluruh Nusantara. Tiap telinga di Madura,
Batavia, Mataram, dan Surabaya mendengar berita kematian
itu. Tapi tiap orang mempunyai pendapat yang berbeda. Ada
yang heran, ada yang senang karena tidak menyukai
tindakan-tindakan Alap-alap. Sebagian lagi, terutama para
pembesar Kompeni, Madura, dan Mataram, yang merasakan
jasa Alap-alap, sangat marah. Mereka kehilangan seorang
yang gagah berani dan selalu tampil sebagai penolong saat-
saat mereka terdesak oleh lawan.
Kini mayatnya terkubur di bawah bukit kapur. Gundukan
tanah liat berwarna kuning menimbuni tubuh itu. Kendati di
atasnya ditaburi kembang beraneka-ragam. Penghormatan
terakhir. Dan memang terakhir secara sungguhsungguh.
Sebab sesudah itu tiada lagi pejabat Kompeni yang berziarah
ke Bangkalan. Apa kepentingan mereka menghormat
gundukan tanah" Tentu berbeda dengan Panembahan
Rasama-la penguasa Bangkalan. Senyumnya punah. Pipinya
yang mulai dihiasi lipatan-lipatan karena bertambahnya usia,
makin membayang jelas. Janda mendiang Alap-alap meminta
agar Madura menurunkan pasukan ke Blambangan untuk
membalaskan sakit hati keluarga. Dan Panembahan Rasamala
berjanji akan memimpin langsung pasukan Madura itu.
Beratus-ratus kapal perang dan kapal pendarat berlabuh di
Panarukan dan Probolinggo. Rasamala sendiri mendarat di
Probolinggo. Ia disambut oleh Adipati Jayanegara dengan
hormat. Bahkan sang Adipati sendiri mengirim sebuah kereta
kehormatan yang ditarik enam kuda pilihan. Seluruh kawula
dikerahkan di pinggir-pinggir jalan yang akan dilewati oleh
pembesar negeri Madura itu. Sehingga kawula melihat jelas
wajah Rasamala. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kulitnya sawo matang. Kumisnya jarang-jarang.
Mengenakan anting-anting bunder di telinga sebelah
kanannya. Emas. Alis di atas matanya juga tipis. Mukanya
bekas diukir oleh jerawat yang sebesar-besar bisul. Berbaju
hitam berhiaskan renda-renda emas menutup tengah dada
sampai dada. Sabuk besar terbuat dari kulit. Pedang panjang
di pinggang, sedang keris juga terselip di ikat pinggang depan
sampai menutup perutnya. Seorang pengawal selalu mengikut ke mana pun ia pergi,
sambil memikul bedil pembesar itu. Setelah itu sekitar dua
puluh lima orang bersenjata bedil dan pedang memagari kiri-
kanan, muka-belakang. Jadi kendati kawula Probolinggo
mengelu-elukannya, ia sama sekali tidak sempat menolehnya.
Cuma sebentar ia beramah-tamah dengan Jaya-negara.
Keesokan paginya ia bersama rombongan berangkat ke Pakis.
Rasamala mendapat keterangan dari Probolinggo bahwa
Rempek atau Jagapati itu berasal dari Pakis. Karena itu ia
ingin melumat Pakis lebih dulu untuk memancing Jagapati
keluar dari Derwana. Tapi perjalanan itu sudah didengar oleh
banyak orang. Dan kampung-kampung yang akan dilewati
telah menjadi kosong. Semua orang mengungsi. Takut.
Karena memang di sepanjang jalan mereka menyebar maut,
dan membakar kampung-kampung yang telah ditinggal
bersembunyi oleh penduduknya itu. Rasamala terbahak-bahak
melihat tingkah anak buahnya. Jika ia lelah di atas punggung
kuda, maka tandu disiapkan untuk mengangkutnya.
Rawa-rawa di perbatasan Probolinggo dan Blambangan
telah mereka lampaui. Dan begitu masuk wilayah Blambangan
mereka menjadi beringas. Dendam tertumpah pada semua
dan segala. Dan ketakutan cepat merambat ke mana-mana.
Mereka mencabut dan membabat semua umbul-umbul hitam
yang mereka jumpai di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui.
Schophoff telah menerima laporan tentang tindakan Rasamala
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Senang. Sendiri tidak mampu tapi ada orang lain yang membalasnya.
Berita kehadiran Rasamala itu tidak cuma sampai kepada Schophoff tapi juga
sampai ke telinga Wilis serta para pemuka Raung lainnya. Wilis memerlukan datang
sendiri ke Derwana untuk memberikan beberapa penjelasan penting berkenaan
datangnya musuh baru di Blambangan. Jagalara tampak terluka di bahu kirinya.
Sedang Undu di atas alisnya terserempet peluru. Para selir dan istri Jagapati
juga ikut hadir. Sratdadi. Mas Ayu Tunjung, Gusti Tangkas dari Bali, serta Lindu
Segara dan Mas Ayu Prabu kini tampak berkumpul di pendapa Derwana.
"Perang belum usai. Kendati kita dalam suasana duka,"
Wilis mengawali uraiannya. Ia pandangi semua yang hadir.
Menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan. "Kita harus... ya, harus...,"
tangannya diangkat untuk memberi penekanan pada suaranya, "menyiapkan diri lebih
kuat lagi. Sekarang Panembahan Rasamala dari Bangkalan, Madura, akan menghadapi kita. Para
telik melaporkan, mereka merampok sepanjang jalan. Ah... Blambangan sekarang
benar-benar di ujung tanduk."
Semua orang tertunduk. "Kita telah kehilangan banyak. Apakah kita tidak perlu istirahat terlebih dulu"
" Jagalara membuka suara.
"Ya. Memang kita perlu istirahat. Kita tidak akan menyerang mereka. Tapi kita
perlu bersiapsiap. Sementara itu, aku akan memperbaiki jebakan dan songga di
hutan-hutan. Kita menunggu Rasamala masuk. Aku tidak percaya orang setua dia itu mampu naik
ke Benteng Bayu.' "Jika diizinkan, hamba akan mengirim pasukan dari Songgon untuk mencegat mereka.
Paling tidak mampu memberi peringatan pada mereka," ujar Sratdadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan mengirim telik terpilih kita. Penembak-penembak
jitu di tiap tikungan hutan. Sesudah menembak, mereka akan
kabur. Begitu terus akan dilakukan. Jangan orang-orang
Songgon. Mereka adalah gudang beras kita yang terakhir.
Karena itu kita perlu menjaga ketidakterlibatan Songgon
dalam perang ini." Masih cerah juga pikiran anak ini, pikir Sratdadi.
"Yang penting sekarang hamba akan bertanya, apakah para
selir dari Yang Mulia Jagapati akan pulang ke tempat asal
masing-masing atau ikut nglarung (ikut mati dibakar dan nanti
abunya dibuang ke Laut Selatan). Atau ikut bersama kami
berperang melawan para drubiksa itu?"
Tiga orang selir berbisik-bisik.
"Ikut berperang saja," bisik seorang pada lainnya.
"Siapa tahu jika menang nanti kita jadi selir beliau"
Lumayan," bisik satunya.
"Masih muda begitu apa mau" Kita bekas selir Rempek."
"Jika kalian tidak mau. aku akan tinggal bertempur,"
seorang memutuskan. Dan kemudian menyatakan
pendapatnya pada Wilis. Tentu itu disambut gembira oleh para
pemimpin. Hanya paramesywari yang harus ikut dibakar dua
hari lagi bersama jenazah Mas Rempek.
Hari kelima, semua orang Derwana dan Indrawana
berbondong menuju alun-alun. Para keluarga semuanya
mengenakan kain putih. Juga paramesywari. Ia sudah naik ke
atas menara di atas onggokan kayu yang siap membakar
tubuh suaminya. Juga dirinya sesaat lagi. Ia sempat menoleh
deretan tamu dari Pakis. Mas Nawangsurya, Mas Ayu Patih,
Mas Ngalit, dan Mas Talip. Semua nampak tersedu-sedu.
Kidung Lokananta sudah ditembangkan. Pandita istana Pakis,
Dang Hyang Asyoma yang mengenakan jubah kuning telah
membacakan mantra. Kemudian mengangkat giring-giring dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membunyikannya. Api pelan-pelan merayap naik. Tangis pilu
para selir serta beberapa inang menyertai letupan-letupan
kecil. Doa diucapkan makin keras. Ah, mereka cuma
menangis, paramesywari sempat berkata-kata untuk
mengatasi rasa takutnya. Rempek nampak bangun.
Melambaikan tangan padanya. Ia gosok matanya. Tidak!
Rempek terbujur dan dimakan api. Tapi kini bangun lagi.
"Mari, Adinda!" Ia merentangkan tangan dalam api. "Mari ke dalam pelukanku!"
Tidak mampu berpikir lebih lama lagi. Ia
melompat ke dalam pelukan api. Doa penolak hujan juga terus
berkepanjangan. Aroma daging terbakar menusuk hidung. Kala api unggun
meredup, satu per satu orang meninggalkan tempat itu. Wilis
masih saja berdiri. Memandangi murid-murid Dang.Hyang
Asyoma yang siap mengumpulkan abu kedua jenazah itu.
Walau masih dalam tangis, para selir sempat membicarakan
hubungan paramesywari dengan Undu yang akhir-akhir ini
agak akrab karena sering ditinggal tidur di tempat lain oleh
Jagapati. Tidak mereka duga bahwa paramesywari akhirnya
mau ikut membakar diri. Tentu bukan semaunya, pikir
mereka. Paramesywari tentu ingin hidup lebih bahagia dalam
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukan Undu. Wilis mengundang keluarga Pakis untuk singgah dulu di
istana Derwana. Mas Nawangsurya sempat melirik wajah Wilis.
Tampan. Istana itu juga tidak terlalu jelek, kendati di tengah
rimba raya. Dan penduduk Derwana ternyata cukup padat.
"Kita menghadapi hal yang lebih sulit sekarang," Wilis mulai memberikan
keterangan. "Panembahan Rasamala datang
dengan membawa balatentara sangat besar. Tidak kurang dari
dua puluh lima ribu orang. Sekitar tiga ribu memang sudah
ditenggelamkan oleh armada Rencang Warenghay dan Harya
Lindu Segara. Seribu lagi punah di tengah paya-paya Pantai
Panarukan. Empat ribu lagi punah di tangan pasukan
pemanah kami. Namun demikian masih tersisa tujuh belas ribu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama pemimpinnya." Diam sebentar untuk mengamati para
tamunya. Ketakutan membayang di wajah mereka.
"Apakah perang akan terus berlanjut?" Nawangsurya yang
membuka suara. Ia yang tertua kini. Kakaknya, Bagus Puri,
telah tiada. "Apakah kita akan merelakan diri menjadi budak?" Wilis
balik bertanya. Tiada yang menyahut. Beberapa bentar
ruangan besar itu jadi hening. Hujan turun dengan lebatnya.
Sementara dapat menghapus aroma bangkai yang kian
merajai Bumi Semenanjung. Di Pangpang, Lateng, dan di
mana-mana. Pemangsa bangkai benar-benar kewalahan. Lalat
makin hari makin banyak jumlahnya.
"Kita memang telah lama, berpindah dari satu perbudakan
ke perbudakan lainnya. Jatuh dari tuan yang satu ke
tangan..." Nawangsurya berkata perlahan. Hampir tak
terdengar karena suara air hujan. Ketakutan kian membayang
dalam temaram damar. "Perang saat ini adalah cetusan keinginan untuk
membentuk jatidiri yang bebas dan menghargai kesamaan hak
serta menciptakan persaudaraan yang murni. Itulah
kemanusiaan yang sesungguh-sungguhnya."
"Jagat Dewa! Hyang Dewa Ratu! Jika kemanusiaan yang
seperti itu tujuan utama kita, mengapa kita tidak mencoba
dengan cara damai?" Nawangsurya kembali mengeluarkan
pendapatnya. "Tidak pernah akan damai selama ada hati yang ingin
menang dan menguasai satu dengan lainnya. Perang tidak
berhenti dari hati manusia.
Bentuknya saja berubah-ubah. Selamanya. Sebab kita
dilahirkan oleh peperangan ibu kita melawan maut. Juga,
hidup! Harus dipertahankan melalui perang melawan
kelaparan dan semua wabah penyakit. Kapan akan ada damai
yang sesungguhnya" Jika kita harus mengangkat bendera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
putih, maka kita akan lebih dahulu berperang melawan harga
diri sendiri. Apakah kita akan mempersundalkan diri atau..."
"Hyang Dewa Ratu!" Nawangsurya menyebut sekaligus
memandang wajah saudara-saudaranya. Wajahnya yang ayu
itu kian pias memucat. Tapi saudara-saudaranya cuma
menjawab dengan tatapan mata hampa tanpa makna.
"Barangsiapa mengerjakan sesuatu yang melawan
jatidirinya sendiri demi kesukaan dan kepuasan orang lain,
atau demi menyambung hidupnya, sebenarnyalah ia telah
mempersundalkan diri. Dan jika kita hidup di dalamnya, maka
kita adalah sundal."
"Hyang Dewa Ratu!"
"Tidak ada yang melarang orang hidup dari persundalan,"
sambung Wilis. "Sebab tiap manusia wajib mengulur
hidupnya." Pertemuan itu ditutup dengan permintaan Nawangsurya
untuk menjadikan Pakis daerah damai. Dan menarik semua
laskar Bayu supaya tidak melibatkan Pakis pada perang
mendatang. Cukup pahit dengan perpecahan antara
Rahminten yang kini dikawin oleh Jaksanegara dengan
Rempek. Belum lagi karena kematian adik yang dianggapnya
cerdas dan paling berwibawa memerintah Pakis.
Sementara itu di Pangpang, Rahminten atau juga biasa
dipanggil Arinten, gelisah. Bagaimanapun juga Rempek adalah
adiknya. Tega melihat kala ia sakit, tapi tidak rela ia mati
seperti anjing kurap. Sementara itu ia bersenang-senang
dalam pelukan musuh adiknya. Apalagi kini mendengar berita
kedatangan Rasamala. Tentu Blambangan akan punah. Semua
bangunan akan rata dengan tanah. Punah harapan untuk
menegakkan kembali cakrawati keluarga Tawang Alun.
Padahal ia sudah dengan sadar menjadikan dirinya sebagai
tumbal. Tiraikasih Website http://kangzusi. com/
"Kenapa gelisah?" tanya Jaksanegara dalam bisik waktu keduanya sudah berbaring
di tempat tidur. Ia belai rambut istrinya. Seperti membelai seorang anak.
"Rempek, Kanda...."
"Ia sudah membayar ulahnya sendiri...."
"Tapi mengapa harus dibunuh?"
Jaksanegara mempererat pelukannya. Di luar udara bulan Januari yang ditandai
oleh hujan setiap hari itu, makin dingin saja. "Jangan pikirkan dia. Dia telah
membunuh banyak." Air mata Rahminten membasahi dada Jaksanegara. Dan orang itu jadi terkejut.
"Mengapa?" "Pakis akan punah. Nawangsurya dan adik-adikku akan ikut musnah. Lenyaplah
peninggalan moyang kami. Pusaka leluhur itu."
"Ya, Al ah...," Jaksanegara mengeluh.
"Kita harus mencegahnya, Suamiku. Apa arti hidup ini jika satu-satunya
kebanggaan yang masih tersisa juga ikut punah"
Di zaman Wong Agung Wilis pun kami tak pernah diusik. Tapi kenapa malah akan
dipunahkan" Bukankah itu akan memancing kebencian" Kebencian kawula yang
meledak, Kanda, akan mengatasi semua ketakutan."
Jaksanegara seperti tersentak. Cerdas juga perempuan ini.
Buat beberapa saat ia diam. Dan malam yang dingin makin menjadi dingin. Dan
untuk mencegah kedinginan itu berlanjut, ia berjanji akan menjemput Rasamala
agar tidak melanjutkan perjalanannya ke Pakis. Tapi berbelok ke timur, ke
Pangpang. Keesokan paginya rencana memang segera I disusun.
Jaksanegara membawa salah seorang selirnya. Selir itu akan menyampaikan surat
undangan pada Rasamala. Ia juga menyiapkan kereta. Kereta kehormatan hadiah dari
VOC Batavia untuk sang adipati Blambangan. Kereta yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah dimiliki oleh penguasa Blambangan sebelumnya. Ia
sudah melaporkan rencananya itu pada Schophoff. Yang
kemudian mengutus Pieterv Luzac menjemput Rasamala dan I
memberi tahu bahwa Jagapati yang juga menggunakan nama
Wong Agung Wilis kala memimpin laskarnya, sudah mati.
Semula Rasamala menolak undangan itu. Dengan tegas
Rasamala tetap akan mengerahkan pasukannya ke Pakis
untuk menghukum Rempek. 'Tapi Rempek sudah mati," jelas Pieter Luzac.
"Mereka membunuh sekitar delapan ribu laskar kami di
jalan. Bagaimana bisa dikatakan mati" Bahkan mereka sempat
menghujani kami dengan tembakan meriam. Bagaimana
mungkin itu terjadi jika pemimpinnya sudah mati?"
"Tuan tak percaya Kompeni?"
Rasamala terdiam. Beberapa saat ia berpikir. Lalu
memerintahkan anak buahnya berbelok arah ke Pangpang. Dia
sendiri segera berangkat bersama Jaksanegara dan Pieter
Luzac untuk menghadap Residen. Menyerahkan pimpinan
pada Gan-dara. Ia duduk sebelah-menyebelah dengan selir
Jaksanegara dalam kereta kehormatan. Keharuman tubuh
wanita itu mendinginkan bara dalam dadanya.
Perundingan dilanjutkan pada malam harinya, di rumah
Adipati Jaksanegara. Schophoff, Pieter Luzac, dan Juru Kunci
ikut menemani Rasamala. Rasamala tetap saja ingin ke Pakis
membuktikan apakah benar Rempek sudah mati. Tapi ia
berjanji akan menempatkan pasukannya di luar tapal batas
kota Pakis. "Hamba memohon dengan amat sangat, Kanda. Sebab
yang memimpin daerah itu cuma seorang wanita,"
Jaksanegara memohon. Melihat kebaikan Jaksanegara yang
menjamunya itu, Rasamala mengulangi janjinya. Apalagi
setelah malam hari itu dia dipersilakan bermalam di
pesanggrahan yang indah milik Jaksanegara di tengah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keputrian. Ia jadi lupa akan dendam istri Alapalap. Lupa pada
pasukan yang ia serahkan ke dalam kekuasaan Gandara. Ia
tidak tahu bahwa pasukannya itu kini sedang berhadapan
dengan Sratdadi serta Jagalara, yang dibantu Gusti Tangkas.
Laskar Blambangan sengaja membiarkan pasukan Madura
masuk ke jalan menuju Pangpang yang diapit hutan lebat.
Sebenarnya Mas Sratdadi mencegat mereka di jalan yang
menuju Pakis. Hatinya gembira. Sebab jika mereka
meneruskan perjalanan ke Pakis, mereka akan melewati jalan
panjang yang membelah bukit. Batu-batu dan senapan siap di
atas bukit. Sudah bisa dipastikan mereka akan punah. Sedikit
yang akan bisa selamat. Tapi setelah mendengar laporan
perubahan perjalanan Rasamala, ia buru-buru mengalihkan
laskarnya ke jalan menuju Pangpang. Ia sangat kecewa
karena Rasamala baru saja berlalu ketika ia sampai ke tempat
pencegatan itu. Tapi beruntung karena masih ada pasukan
yang dicegat. Setelah ekor pasukan itu masuk jebakannya, ia
menurunkan perintah untuk menembak.
Untung Gandara sudah curiga. Maka ia sengaja membagi
pasukannya menjadi dua bagian. Ia berada di belakang.
Kendati bisa membalas, pasukan pertama tetap saja harus
kehilangan banyak anggotanya. Mereka cuma membalas
sekenanya. Musuh tidak nampak. Gandara mendengar bunyi
tembakan maka memerintahkan barisan kanon untuk
menghujani kiri-kanan jalan di depan mereka. Sratdadi
terkejut waktu menerima tembakan itu. Tapi ia menyadari
bahwa mereka hanya diperkenankan menjadi pasukan intai.
Tidak boleh menyerbu dengan beradu senjata tangan. Maka ia
segera memerintahkan semua anak buahnya mundur. Namun
Jagalara yang telah terluka, tidak mampu menahan darahnya
yang mendidih melihat bangsanya dikerahkan untuk
membantu Belanda. Ia justru keluar dari persembunyiannya
dan menyerbu ke pasukan Gandara. Tapi Sratdadi tidak suka
melihat hal itu, maka segera ia menjatuhkan hukuman mati
bagi Jagalara. Beberapa penembak jitu dan ia sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membidikkan senjatanya kepada Jagalara. Dan betul, orang
itu terjengkang sebelum sampai ke tengah musuhnya.
Rasamala kembali marah kala Gandara tiba di Pangpang
dalam keadaan luka di pahanya. Sebuah peluru nyasar di paha
itu sebelum Sratdadi benar-benar meninggalkan musuhnya.
"Siapa yang percaya Rempek sudah mati?" teriaknya.
Adipati Blambangan menunduk melihat muka Rasamala yang
merah padam itu. Rahminten tersinggung melihat itu. Betapa
suaminya seperti siput di depan orang lain. Ah, suaminya
cuma pandai menaklukkan wanita. Maka diam-diam ia
mengambil keputusan untuk mengirimkan seorang utusan
guna memberi tahukan semua rencana Rasamala.
Sontak yang sudah sebal melihat tingkah Jaksanegara
segera memacu kudanya untuk menyampaikan pesan pada
Nawangsurya. Ia heran setelah sampai di Pakis. Tidak ada lagi
penjagaan yang kuat dari pasukan Bayu seperti sebelumnya.
Keadaan telah kembali seperti di zaman sebelum Mas Rempek
memimpin perang. Ia langsung menuju puri tempat tinggal
Nawangsurya. Setelah menerima keterangan dari Sontak,
Nawangsurya berterima kasih dan memerintahkan Sontak
meninggalkan Pakis secepatnya. Makin heran Sontak. Namun
ia mengambil keputusan untuk menguping kejadian
selanjutnya. Dan ia bertekad akan bergabung dengan Rsi
Ropo di Songgon. Mungkin ia akan memperoleh kedamaian.
Sepeninggal Sontak, Nawangsurya segera mengumpulkan
saudara-saudaranya. Sekali lagi ia melihat saudara-saudaranya
lesu tanpa semangat. "Apa boleh buat," kata Mas Talip. "Kita tinggal lari."
"Lari?" Nawangsurya melotot.
"Habis" Jika kita tidak lagi mampu mempertahankan hak
kita" Milik kita?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nawangsurya putus asa. Ia harus akui hampir semua
saudaranya berjiwa kerdil. Tak seperti Rempek. Kendati
menurut silsilah semestinya ia termuda. Tapi kecerdasan dan
keberanian telah membuatnya jadi pimpinan yang cepat
menonjol. "Baiklah, kalian tidak punya pendapat untuk
mempertahankan warisan leluhur kita. Jadi siapa yang berani
mempertahankan, dia akan jadi pemiliknya. Kalian rela?"
Kembali ruangan menjadi sunyi. Benar-benar sunyi.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi...."
"Baiklah aku rela, asal saja kami boleh tetap tinggal...," Mas Ngalit lebih
dahulu memberikan pendapatnya.
"Sekarang kita bukan lagi satria Blambangan sejati. Kita
telah menjadi salah seorang dari Jaksanegara, Juru Kunci,
atau mungkin juga sama dengan Bapa Anti. Nah, sekarang
perintahkan para pengawal di depan itu memasang bendera
putih di tapal batas kota. Di jalan yang akan menuju gerbang
kota Pakis ini. Setelah itu kalian masuk pura, berdoalah untuk
aku. Aku akan menghadapi Panembahan Rasamala itu sendiri.
Jangan terburu kembali ke sini jika tidak aku panggil. Lebih
baik pulang ke rumah kalian masing-masing, jika selesai
berdoa." Mereka kemudian saling berangkulan. Menangis. Tapi
Nawangsurya segera mengingatkan bahwa waktu telah habis.
Tidak boleh terlalu lama bertimbang. Tidak boleh terlalu larut
dalam kesedihan. Ia harus bersiap kini. Hujan lebat
menyambut kehadiran Rasamala di Pakis. Kendati marah,
Rasamala memang menepati janjinya. Karena Jaksanegara
menjamin dengan sungguh-sungguh, bahwa pemimpin Pakis
Cuma seorang wanita. Sepuluh orang membawa bendera putih siap di gerbang
kota Pakis. Keremangan mulai turun ketika kuda Rasamala
memasuki halaman istana Pakis, dengan dua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memayunginya di kiri dan kanannya. Pasukannya berbaris di
luar pagar kota, sedang pengawal pribadinya berbaris di luar
pagar istana. Istana yang tidak berpengawal, kecuali sepuluh
orang pembawa bendera putih tadi. Rasamala benar-benar
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
heran. Kota Pakis seperti kota mati. Tidak satu kedai pun yang
buka. Tidak nampak seorang pun petani pulang dari sawah di
senja begitu. Atau mereka telah pulang sejak tadi karena
hujan yang begitu lebat. Mata Rasamala berusaha
menembuskan pandang ke dalam pendapa yang mulai
diterangi oleh beberapa pelita. Cukup luas pendapa itu. Di
sudutnya terdapat satu rancak (satu set) gamelan dan
angklung. Setelah mempersilakannya naik pendapa, dua orang
yang memayunginya itu segera mengundurkan diri ke dalam
pelukan hujan. Dia tidak boleh naik ke pendapa karena basah
kuyup. Juga empat orang pengawalnya harus kembali ke
serambi, tidak bisa mengikutinya naik. Tapi Rasamala benar-
benar heran. Matanya mencari-cari. Tidak ada prajangkara..
(protokol istana) Ketika ia melangkah lebih ke dalam, ia mendengar suara
gemerincing, beradunya dua buah binggal di kaki Mas Ayu
Nawangsurya. Rasamala berhenti melangkah. Seperti terpatri
di lantai. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Belum
pernah ia melihat pemandangan yang seperti itu, sekalipun di
Mataram. Kerajaan besar yang tersohor itu.
Di sini ia cuma ditemui oleh seorang wanita saja. Bahkan
masih sangat muda menurut penglihatannya. Anaknya yang
sulung lebih tua dari gadis ini. Rambut gadis itu terurai sampai
di bawah pinggulnya. Bahkan mencapai lutut. Begitu tebalnya
hingga dibagi tiga bagian. Sebagian menutup bahu kiri dan
kanan, dan meluncur terus ke bawah. Tebal, hitam dan agak
ikal. Alis di atas kedua matanya hitam dengan ujung runcing,
gambar dua pertiga bagian dari bulan tanggal satu yang
kembar. Mata bulat diteduhi bulu mata lentik menghias muka
yang berbentuk bulat telur. Hidungnya begitu sempurna
dengan ujung meruncing, dilengkapi oleh kuping yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipasangi anting emas berbentuk rantai-rantai sepanjang jari
telunjuk. Kalung mutiara memperindah leher jenjang dengan
garis-garis alam yang samar. Bahu tidak tertutup apa pun.
Juga dua buah bukit kembar terpamer mendebarkan hati tua
Rasamala. Kutang yang terbuat dari rantai emas tidak
menghalangi pandang siapa pun untuk menikmati susu mulus
itu. Lebih berdebar lagi kala Rasamala melanjutkan
pengamatannya ke bawah. Pending emas tidak menutup
pinggang yang seperti pinggang tawon itu. Bahkan pusar pun
bebas untuk dinikmati oleh pandang Rasamala. Langkah
Nawangsurya menimbulkan bunyi tersendiri karena mulai dari
pinggul ke bawah terbungkus kain batik yang melilit ketat.
"Selamat datang, Yang Mulia. Dirgahayu...," suara
pembuka Nawangsurya gemetar. Tapi terdengar amat merdu
di telinga Rasamala yang tua itu, dan membangunkannya dari
impian. "Masya Al ah..." ia menyebut dalam hati. Kemudian
membalas salam itu dalam Jawa.
Nawangsurya memaksakan diri tersenyum. Bibir tipisnya
merah delima karena kinang (bersirih)
"Mengejutkan sekali kehadiran Yang Mulia di Blambangan
ini. Apalagi memasuki daerah bebas perang, Pakis," ujar
Nawangsurya setelah keduanya duduk di kursi yang tersedia.
Kursi kayu tua yang berukir, peninggalan leluhur barangkali.
"Jika Pakis bebas perang, mengapa Rempek membunuh
panglima kami" Tumenggung Alap-alap?"
"Rempek bukan penguasa di Pakis. Hamba. Ya, inilah
hamba yang menggantikan Kakanda Bagus Puri." Dada gadis
itu penuh gejolak. Takut melihat mata Rasamala yang kian
beringas. Orang itu terdiam untuk beberapa saat. Kembali
melahap tubuh gadis di depannya dengan pandang. Kemudian
menelan ludah. Memalingkan wajah ke tempat lain. Mencari-
cari pegangan untuk mempertahankan imannya. Berkah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyebut nama Tuhan. Lamunan membawanya jauh pada
anaknya yang telah dinikahi Adipati Sumenep. Lebih tua dari
Nawangsurya ini. Tapi tidak lebih cantik. Lamunannya segera
pudar setelah Nawangsurya mempersilakan masuk ke ruangan
bersantap. Ia berjalan cuma selangkah di belakang gadis itu.
Kulitnya benar-benar mulus. Ia percaya kini pada cerita
Jaksanegara, wanita ini mungkin tidak pernah terjamah
mentari. Sunyi memang. Istana besar yang kosong. Cuma tiga
perempuan agak tua yang mempersiapkan ruang makan itu.
Sate kambing, telor rebus, dan beberapa lagi macam masakan
yang tidak menarik di mata Rasamala. Dadanya kian
membuncah. Api yang lain membakar dada itu. Mengalahkan
semua api amarahnya. "Sendiri di istana sebesar ini?"
"Bersama para inang," jawab gadis itu sambil menunduk.
Tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Malam kian naik.
Bayangan Wilis yang tampan mulai menggodanya. Ah, andai
ia mau mungkin saja ia akan menjadi salah seorang istrinya.
Tidak akan bersua dengan seorang bermata buas, dan
bermuka kasar penuh bekas jerawat. Pipi berlipat menghias
muka persegi seperti sekarang ini. Hujan di luar bertambah
lebat. Rahminten yang menasihatinya untuk bersikap ramah
pada orang kasar ini. Demi mempertahankan warisan leluhur.
"Blambangan harus membayar pada Bangkalan. Kematian
seorang panglima tidak mungkin dibiarkan berlalu damai.
Karena itu kami datang untuk berperang," Rasamala mulai
menekan. "Hamba menyatakan Pakis tidak ikut perang."
"Jika demikian, Yang Mulia harus memilih, menyerah atau
berperang." Nawangsurya memandang tamunya dalam-dalam. Betapa
tidak malunya orang ini. Terhadap wanita menantang perang.
Kembali bayangan Wilis menggoda. Kini ia terjebak pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesalahan. Ia menarik napas dalam-dalam. Susunya bergerak-
gerak seirama desah napasnya.
"Boleh hamba berpikir?" Nawangsurya mencoba mengulur.
"Untuk apa?" "Bertimbang. Ini persoalan nasib dan nyawa. Bukan cuma
hamba seorang. Tapi kawula Pakis yang tidak berdosa. Perang
merusak semua dan segala. Karenanya hamba tidak suka
berperang." Nawangsurya bangkit. Mempersilakan tamunya
menuju ke ruang peristirahatan.
Kembali Rasamala mengikut bagai bayang-bayang.
Kekagumannya makin memuncak. Dan keinginannya cuma
satu. Membawa gadis itu pulang ke Bangkalan.
Lewat lorong-lorong sepi istana besar itu. Tak seorang pun
penjaga. Seorang inang membersihkan kaki Rasamala dengan
air bunga kala akan masuk ruangan tengah istana itu. Para
inang sudah diperintahkan mengungsi oleh Nawangsurya.
Tinggal beberapa saja. Khawatir diserbu pasukan Madura. Kini
berbelok ke kanan. Makin sepi. Suara hujan di luar meredam
suara langkah Nawangsurya. Tiba-tiba ia berhenti di depan
sebuah pintu. Nawangsurya membukanya.
"Di sini Yang Mulia istirahat malam ini. Akan hamba kirim
seorang inang untuk melayani kebutuhan Yang Mulia malam
ini. Sementara hamba akan bertimbang...."
Rasamala menengok ke dalam ruangan. Cukup besar.
Bersih. Tempat tidur beralas sutera putih. Sebentar menatap
Nawangsurya. Napasnya tak teratur. Imannya punah. Seperti
kilat ia menangkap kedua lengan gadis itu.
"Kita tidak perlu berperang...."
"Yang Mulia...." Nawangsurya gemetar. Tak pernah seorang
pria pun memperlakukannya seperti itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku melamarmu," tegas Rasamala sambil menarik tubuh
gadis itu mendekat. Susu kenyal menyentuh dada bagian
bawah. "Hamba..." Makin takut. Apalagi kala tiba-tiba tubuhnya
dibopong ke tempat tidur. Begitu perkasa. Tak kuasa meronta.
Pedang dan keris serta sabuk Rasamala berjatuhan ke
permadani di bawah tempat tidur itu. Dan Nawangsurya
sendiri tak tahu bagaimana pendingnya terlepas dari
pinggangnya. Ciuman mendarat bertubi-tubi di dada dan lehernya.
Nawangsurya tiada berdaya. Berayun antara bayang Wilis dan
isak tangis. Sempat ingat kata-kata pemuda itu, selangkah
saja tiap orang yang tak mampu bertahan pada jatidirinya
akan menjadi sundal. Kini, ia sendiri alami. Rasamala makin
membinatang. Tak peduli. Dan kala kutang emas itu pun
terputus, pertahanan Nawangsurya kian punah. Menyerah ke
dalam sakit tapi nikmat....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVIII. SIMALAKAMA Diboyongnya Nawangsurya ke Bangkalan oleh Rasamala
memberi kesempatan bernapas bagi orang Bayu atau orang
Blambangan. Bersama adik dan saudara-saudara lainnya,
antara lain Mas Ayu Patih, Mas Ngalit, Mas Talip, dan
beberapa inang, ia diangkut ke Madura. Ia tidak lagi
memperhitungkan apakah Rasamala seusia ayahnya atau
kakeknya. Juga tidak memperhitungkan wajah yang kasar
bekas kukul. Berkulit hitam atau kuning. Ia telah merasa diri
tanpa makna. Permohonannya untuk tinggal di Pakis jadi istri
gelap ia rela. Tapi Rasamala tidak ingin berpisah sesaat pun
dari Nawangsurya. Ia ingin menikah dengan resmi di depan
penghulu istana Bangkalan. Rasamala tahu dengan pasti
bahwa Nawangsurya benar-benar baru pertama dijamah
lelaki. Itu sebabnya ia tak ingin melepas lagi. Sebaliknya
Nawangsurya telah merasakan dirinya menjadi salah satu dari
orang yang disebut Wilis: sundal! Air matanya berderai kala
tanah kelahirannya mulai lenyap dari pandangan, cuma suatu
garis yang hijau. Lama-lama pudar dan musnah. Kala
Rasamala membimbingnya ke samping kapal yang lain, maka
di depannya nampak daratan baru. Madura! Selamat tinggal
Blambangan. Selamat tinggal semua dan segala. Biarlah
kumasuki dunia yang baru. Biarlah aku damai di kemanjaanku
dalam pelukan si tua Rasamala. Karena kau tak lagi mampu
memberi pengayoman padaku. Benar-benar ia tak peduli lagi
pada kemungkinan sakit hatinya istri-istri Rasamala yang lebih
tua. Bukan aku yang salah, tapi Rasamala yang rakus!
Rasamala cuma meninggalkan lima ribu pasukan untuk
membantu Kompeni dan Jaksanegara serta mengawasi Pakis.
Karena ia tidak lagi berminat perang. Ingin mengulur
kesenangan bersanding dengan gadis Blambangan,
Nawangsurya. Ia rasa di Madura tak ada wanita secantik dia.
Namun VOC tetap tidak berani menyerang Bayu. Schophoff
sedang menyusun kekuatan. Bukan cuma kekuatan manusia.
Tapi uang dan cadangan makanan. Dari Blambangan mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak dapat mengharapkan apa-apa. Panen musim lalu
terganggu oleh perang. Yang kini kawula masih menanam.
Mungkin saja jika panen hasilnya tidak bisa diharapkan karena
kawula tidak suka berbagi hasil dengan Kompeni. Tapi mereka
akan mempersembahkan dengan sukarela pada para
brahmana dan pandita. Atau mempersembahkan upeti ke
Derwana. Jika dipaksa untuk membayar pajak, maka mereka
sudah siap dengan banyak alasan.
Kini kawula lebih pintar lagi. Mereka tidak pernah lagi
menyimpan padi di lumbungnya. Suatu kenyataan yang
memang pahit. Tanah yang subur hijau tidak memberikan
sesuatu pada Kompeni, kecuali kematian. Kematian!
Kini kematian itu berlanjut, walau perang tidak berkecamuk
secara hebat. Cuma ada pertempuran-pertempuran kecil. Di
samping pertempuran kecil itu ada pembunuh yang kejam dan
tidak pernah pilih bulu. Apakah ia tinggal di benteng atau di
loji, atau di rumah-rumah gedek, atau gubuk. Wabah
menghantui semua dan segala.
Di Derwana, Indrawana, dan Bayu pun orang sibuk. Musim
tanam membuat semua orang sibuk dan harus berhemat. Mas
Ayu Tunjung sibuk membagikan benih padi. Juga sibuk
membagi * cadangan makanan. Sedang Mas Ayu Prabu diberi
tugas memantau kegiatan laskar Madura merangkap pemuka
di Derwana serta Indrawana. Sedang Sratdadi sibuk
menyiapkan pembentukan pasukan baru. Di samping itu dia
juga sibuk mencari tabib untuk menanggulangi wabah yang
tiada dapat ditolak. Wilis berulang masuk pura. Kendati ia juga sering tampak
di tengah-tengah kawula yang sedang menyiangi padi. Tapi
ada sesuatu yang mengganjal dalam kalbunya. Yistyani
sedang tergeletak di pembaringan karena sakit. Puluhan tabib
sudah didatangkan dari setiap penjuru Blambangan. Tapi tidak
mengurangi aniaya yang diderita ibundanya itu. Bahkan
mereka juga berusaha mendatangkan tabib Cina yang biasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggunakan jarum untuk mengobati penderita. Sudah
beberapa lama setelah Jagapati tewas, Yistyani tidak mampu
bangkit dari pembaringannya. Makin punah kecantikan masa
mudanya. Kedua pipi yang dulu dikagumi oleh tiap pria itu kini
jadi kempong, susunya jadi peot tanpa isi. Tubuh yang
montok tinggal kulit pembungkus tulang. Tantrini dan Mas Ayu
Tunjung serta Mas Ayu Prabu mengerumuni wanita itu.
Pandangannya kosong tanpa makna.
Sudah tidak muntah lagi. Tapi tidak membuatnya bangkit.
Doa tidak pernah henti keluar dari mulut semua orang Raung.
Bermacam ramuan dan jampi bercampur-aduk dalam perut
Yistyani. Ini semua mendebarkan hati Wilis. Setelah ia
mondar-mandir di pura, Dang Hyang Asyoma, yang sekarang
meninggalkan Pakis dan bergabung dengan Bayu, mencoba
memberikan pendapatnya, "Usia di tangan Hyang Maha Dewa, Yang Mulia. Kita telah
berusaha. Tapi sekalipun kita menyimpannya dalam gedong
batu dan menguncinya rapat-rapat, jika sang Yamadipati tiba,
tak seorang pun mampu menyimpan nyawa itu. Maka hamba
kira yang harus kita lakukan sekarang adalah menyiapkan hati
untuk kepergian seorang yang kita hormati, kita sayangi...."
"Jagat Dewa!" Wilis menyebut. Namun cepat sadar akan
dirinya. Setelah menarik napas panjang, maka ia segera
meninggalkan pura itu. Ya, katanya dalam hati. Ibunda akan
mati. Apakah gunanya bersedih" Bukankah semua yang hidup
akan mati" Kala ia masuk ke kamar, Yistyani melambai dengan
perlahan. Semua menoleh padanya. Rupanya Yistyani merasa
waktunya telah dekat. Ia harus segera menyampaikan rahasia
penting yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Namun kala
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya menyembah, hatinya menjadi ragu. Apakah jika
rahasia itu dikemukakan tidak akan memupuskan semangat
anaknya yang sedang menghadapi peperangan yang lebih
besar" Padahal para pembantunya sudah punah menghadapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meriam Belanda. Apalagi gugurnya Jagapati, beberapa waktu
Suramnya Bayang Bayang 40 Pendekar Rajawali Sakti 136 Singa Gurun Penghuni Rimba Gerantang 3
sebaliknya. Setelah jarak mereka dekat benar, pedang pun
bicara. Senjata panah dan bandit cukup menyulitkan pasukan
Fischer. Mereka cuma membawa bedil kocok, pedang, atau
kelewang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Darah lelaki dan perempuan, tua dan muda, telah tertumpah. Rumah dan huma
menjelma jadi lautan api.
Fischer menyesali keadaan itu. Ia tidak pernah menduga, semangat orang-orang
Blambangan begitu tingginya. Mereka memilih mati daripada menyerah. Lelaki dan
perempuan bertumpuk menjadi bangkai. Semua yang mati tertelungkup memeluk bumi
kelahirannya. Didahului oleh teriakan yang tidak ia mengerti maknanya. Fischer
tahu apa bakal jadinya setelah ia merebut kota. Sungai-sungai telah dicemari
oleh bangkai dan tinja. Bangkai binatang dan manusia menyatu.
Singa Manjuruh, Lebok Samirana, dan Cheng Shian Hauw marah bukan kepalang ketika
mereka berpapasan dengan rombongan pengungsi. Dan mereka menyusun kembali
kekuatan dari para pengungsi yang masih bersedia untuk ikut membantu yang masih
bertahan di selatan Jember. Atau juga sebelah tenggara kota itu. Hanya yang
terlalu tua dan anak-anak saja yang dilarang ikut bertempur. Maka hasilnya
mereka dapat mengumpulkan hampir lima ratus orang. Bersenjata apa adanya.
Kedatangan ketiga pemimpin itu memang membuat kejutan. Semangat laskar
Blambangan naik kembali. Keberanian mereka makin mengagumkan. Apalagi setelah Singa Manjuruh dan Shian
Hauw bisa mencapai daerah pertahanan anak buah mereka. Laskar Cina itu seperti
gila saja. Sebab bagi mereka kehilangan Jember berarti musnahnya harta yang
telah mereka kumpulkan beberapa lama.
Fisher cukup repot menghadapi arus balik yang menyemut itu. Rasanya seperti tak
habis-habisnya. Jember menjadi banjir darah. Darah orang-orang Blambangan, Cina,
Belanda, Madura... dan banyak suku bangsa yang ikut bertempur di sana. Dan
kepala Fischer berdenyut-denyut melihat kenyataan itu. Orang yang dipenggal
kepalanya, yang terburai ususnya, yang pecah dadanya, yang remuk tulangnya, yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengejang-ngejang sekarat, yang merintih kesakitan. Perang
sungguh kegilaan. Fishcer hampir putus asa kala melihat
beberapa ratus anak buahnya cerai-berai melarikan diri. Ia
tahu persis tak ada jalan melarikan diri jika hutan dan semak-
semak itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Maka pelarian adalah
jalan kematian yang mengerikan. Apakah itu di hutan wilayah
Jember atau mana pun saja asal masih dalam wilayah
Blambangan, pasti akan sama saja.
Masih beruntung nasib Fischer karena saat itu pasukan
Kapten Heinrich tiba dan langsung terlibat dalam
pertempuran. Maka pada penengahan hari sudah mulai
tampak bahwa barisan demi barisan merupakan arus
gelombang yang tak tertahan oleh pasukan Shian Hauw.
Apalagi setelah Shian Hauw sendiri terkena tembakan di
perutnya. Para pembantunya berusaha menyelamatkan
nyawanya dengan menandu Cina itu ke luar daerah
peperangan. Tapi kematian tidak pernah dapat dibatalkan
cuma oleh usaha manusia. Para selir, gundik, dan istrinya
mengerumuni mayatnya sambil menangis. Ada yang menangis
cuma dibuat-buat. Tapi menangis adalah keharusan untuk
mengantarkan nyawa Shian Hauw pada Thian Kong. Pada
sang Pencipta. Meskipun begitu pertempuran tidak menjadi
surut. Sebab bagi laskar Cina itu pun tidak ada jalan untuk lari
dari medan tempur, meskipun sebagian mengangkat tangan
dan membawa bendera putih.
Lebok Samirana yang ada di bagian timur marah bukan
main. "Enak saja mereka itu! Jika menang mereka setia pada
kita. Tapi jika kita terdesak mereka menyeberang. Selalu saja
cari enak!" Dengan begitu ia mulai menarik pasukannya dari
medan dan berniat menerobos hutan menuju Probolinggo. Ia
merasa tidak mungkin Blambangan akan menang. Dan lebih
baik ia mengulur waktu untuk kemudian melakukan
perlawanan di negeri lain kelak. Dengan beberapa pengikut ia
menggiring kaum wanita untuk mundur. Tapi begitu memasuki
rimba raya ia sendiri menjadi terkejut. Beberapa anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buahnya terperangkap jebakan harimau yang di dalamnya
telah tersedia tombak-tombak bambu. Dan beberapa wanita
menjerit karena menjadi umpan cula serta songga. Hati Lebok
Samirana menjadi kecut. Jebakan orang Blambangan
dipersiapkan di mana-mana.
Kini ia baru menyadari kata-kata Mas Ramad beberapa
bulan lalu, jika kita berperang harus sungguh-sungguh. Tak
ada jalan di Blambangan ini untuk meninggalkan perang
dengan jalan menghindar. Bagi kita yang ada, tanah atau
mati! Kita pasti menang! Karena itu tahulah kalian! Jika
terdesak dan harus mundur, maka hanya ada satu jalan yang
dapat menyelamatkan kalian, bergabung dengan Benteng
Bayu. Ingat-ingat! Menyesal Lebok Samirana mengapa bergabung dengan
Ramad. Kejam anak muda itu! Sekarang ingin ia
membunuhnya. Anak muda itu telah menjebak pasukannya
sendiri. Dan sepatutnya di hukum. Maka ia kembali.
Mengurungkan niatnya menerobos ke utara. Ia pikir lebih baik
bunuh pemuda itu terus menyerah. Apalagi setelah Dewi
Murni, salah seorang kekasihnya, ikut mati dalam jebakan
harimau. Sementara itu Mas Ramad dan Sayu Wiwit makin
mendekati pertahanan Singa Manjuruh di medan tempur
sebelah selatan. Hati keduanya kian berdebar. Beberapa
tempat yang dulunya adalah tempat persinggahan mereka
tampak bo-sah-baseh. Kegelisahan mereka makin
menggunung ketika berpapasan dengan rombongan orang-
orang tua dan anak-anak yang menjatuhkan diri di kaki
mereka dan menerangkan bahwa Jember, Candi Bang, Puger,
serta Sentong telah jatuh ke tangan Belanda.
"Apa kata kalian" Bagaimana bisa Belanda datang begitu
cepat?" teriak Mas Ramad heran. "Drubiksa!" mengumpat sambil menarik les
kudanya. Dan kuda itu melompat bagai
terbang mengejutkan Sayu Wiwit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kanda!" "Demi Hyang Maha Dewa! Blambangan atau mati!" Mas
Ramad dalam puncak kemarahannya. Sementara Sayu Wiwit
termangu, suaminya telah hilang dari pandangan. Ditelan
debu. Sadar. Ia segera menyusul. Tapi suaminya begitu cepat.
Gerakannya seperti hantu. Bayang-bayang pun tiada....
Mas Ramad berpendapat bahwa apa yang telah direbutnya
tidak boleh kembali jatuh ke tangan VOC. Pengalaman
mengajar jika ia meninggalkan wilayah untuk diduduki VOC,
maka di sana akan didirikan benteng yang kuat. Itu akan
menyulitkan kedudukan Bayu. Ia tak ingin Bayu dikepung dari
segala penjuru. Ia merasa perlu untuk berperang habis-
habisan kali ini. Dan kala sampai di tempat pertahanan selatan
ia disambut dengan tempik sorak yang gegap-gempita.
"Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Dewa kita
rebut kembali tiap jengkal tanah kita!"
"Dirgahayu! Dirgahayu! Demi Hyang Maha Dewa! Demi
tanah yang suci! Menang atau mati!" mereka mengucapkan
sesanti. Singa Manjuruh segera mencegahnya. Tapi pemuda itu
tertawa. "Saatnya tiba, Kakang! Ini untuk kali penghabisan.
Menang atau menjadi budak!"
"Ya! Tapi ingat mereka datang seperti air bah."
"Aku ingin menjadi karang! Ya, karang! Jika kau mundur,
laporkan kejadian ini ke Bayu. Dan... titip istriku. Kau boleh
undur dari Bayu setelah melaporkan keadaan kita. Di selatan
Lateng ada satu lembah yang aman untuk kauba-bat jadi
pengungsian abadi. Biar aku akan menghalau sampai VOC
tumpas tapis!" (kelak Singa Manjuruh mendirikan sebuah desa
di daerah Banyuwangi yang diberi nama Singojuruh)
"Yang Mulia...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi pemuda itu tidak mendengarkan kelanjutan kata-kata
Singa Manjuruh. "Hati-hati, Kakang! Jangan undur lewat jalan
yang belum kaukenal benar! Kau akan tumpas di hutan
apabila salah memilih jalan. Nah, selamat berbahagia dengan
istrimu." Kembali pemuda itu berkata-kata dengan tanpa
menoleh lagi. Benar yang dilaporkan Singa Manjuruh. Barisan Kompeni
datang seperti semut yang berjalan di atas sebuah batu besar
jika di pandang dari kejauhan. Sekilas ia ingat akan
Bhagavadgita." (Bhagavadgita sloka kedua pupuh 27)
jatasya hi dhruwo mrityur dhruvan janma mritasya cha
tasmad apariharye rthe na tvam sochitum arhasi
artinya: Barangsiapa lahir menyongsong kematian adalah keharusan
Demikian pula, siapa mati pasti menghadapi kelahiran
Semua-mua tak terelakkan Dan tiada yang patut disedihkan.
Menggelegak darah Mas Ramad. Musnah segala keraguan.
Dengan diikuti oleh segenap laskar Blambangan ia
menyongsong hujan peluru dari . pihak musuh. Pasukan
berkuda di belakangnya.. Sekarang atau tidak sama sekali! Gebrakannya dengan
gelar perang garuda nglayang (barisan jika dilihat dari udara
seperti garuda terbang, bisa bergerak ke semua arah)
ternyata mampu menghentikan hujan tembakan barisan
pertama pasukan VOC. Ribuan pejalan kaki kini ikut
menyerbu. Tanpa menghiraukan dentuman meriam yang
mampu membuat mereka jadi kepingan-kepingan kecil.
Separuh kota Jember kembali jatuh ke tangan satria muda
itu. Fischer terluka lengan kirinya. Kapten Heinrich marah
bukan kepalang. Tapi ia tahu perang tak dapat dimenangkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya dengan kemarahan. Ia mencoba menjebak laskar
Blambangan masuk ke tengah kota. Sementara ia akan
mengepung dari semua penjuru. Memancing mereka masuk
memang berhasil, tapi gelar yang dipakai oleh Mas Ramad
garuda nglayang. Jadi begitu digempur mereka bergerak ke
semua arah. Dan memang beberapa kali laskar Mas Ramad mematahkan
mata rantai kepungan lawan. Ia bergerak begitu lincah.
Menembak dari atas kudanya untuk kemudian hilang dan
berpindah ke tempat lain. Teriakan-teriakannya menggelegar
di telinga tiap orang Blambangan untuk terus maju mengusir
Kompeni. Singa Manjuruh yang masih saja ikut bertempur di
bagian selatan kota seperti tidak percaya akan apa yang
dilihatnya. Apakah tak melihat bayangan setan" Dan sorak
gegap-gempita kembali mengguncang Jember kala semua
Kompeni mundur. Tapi mereka terpecah ke tiga jurusan. Ke
tenggara, atau ke jurusan Pangpang, ke utara atau ke jurusan
Probolinggo, dan ke jurusan Puger.
"Dirgahayu! Dirgahayu Blambangan!" teriak semua orang.
"Jangan lengah!" Mas Ramad memperingatkan.
Beberapa bentar kemudian Sayu Wiwit dan rombongan,
termasuk Singa Manjuruh, menguak kerumunan manusia. Dan
semua orang yang melihat kedatangannya langsung
menyambutnya. "Dirgahayu, Sri Ratu! Dirgahayu! Blambangan!"
Sayu Wiwit membalas mereka cuma dengan senyuman. Ia
ingin segera bersua suaminya. Ingin ia memeluk dan
mempersembahkan pujian bagi lelaki perkasa itu.
"Kanda!" teriaknya.
"Adinda!" Mas Ramad terkejut melihat Sayu Wiwit
menyusul. Beruntung perang usai. "Ah, Kakang Singa
Manjuruh. Kau belum pergi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum. Aku menyaksikan tandangmu." Singa Manjuruh
maju sambil menepuk-nepuk bahu temannya.
Segera mereka menuju ke alun-alun, di mana laskar
Blambangan menunggu. Dan teriakan, "Dirgahayu!" tetap saja mengguruh. Mas Ramad
naik panggung dan menyampaikan
perintah dari Sri Ratu. Kini ia memerintahkan pasukan berbagi
menjadi tiga bagian untuk mengejar musuh. Sayu Wiwit
terpaksa harus tinggal di Jember.
"Kanda..." "Masa depan adalah milik kita, Dinda. Sekarang kita sedang
merebut masa depan itu. Merebut dengan berperang," kata
Mas Ramad menghibur. Semua barisan Singa Manjuruh pun sudah berangkat.
"Tapi..." "Keberadaan kita di medan laga amat penting. Pemimpin
yang dibutuhkan bukan yang cuma pandai memerintah. Juga
bukan yang cuma tinggal di rumah sambil memanjakan
istrinya yang cantik. Tapi yang mampu merebut masa depan
dengan darah dan keringatnya sendiri. Ingat-ingat! Bukan
dengan darah dan keringat orang lain." Mas Ramad memeluk
dan mencium istrinya. Berat. Awan Jingga di langit sebelah
barat kian meredup. Keduanya berdebar. Kelelawar dan
kalong mulai bangun dari tidur. Dan melakukan kewajibannya
dengan damai. Seolah tak terpengaruh oleh lingkungan yang
porak-poranda itu. Tapi kala burung hantu memperdengarkan suaranya,
Ramad sempat berpaling ke arah suara itu. Entah mengapa
hatinya sedikit berdesir.... Tapi ia segera membunuh angan-
angan atas burung hantu yang bermata bundar dan sadis.
"Ada apa, Kanda?" Sayu Wiwit mengikuti pandangan
suaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma memperhatikan beringin itu.
Lihat! Lambang kebesaran itu tumbang oleh meriam!"
"Kanda... itu lambang pengayoman. Jadi, jika pengayoman itu tumbang, siapa lagi
yang akan mengayomi kawula?"
"Ha... ha... ha... cuma sebatang pohon yang tak bermakna.
Jangan pikir yang bukan-bukan!" Mas Ramad merangkul istrinya.
"Kanda..." Kembali suara Sayu Wiwit lirih.
Dan kembali hati Mas Ramad berdesir. Dan lagi, ia membunuh perasaan itu. Dan ia
berbalik seraya katanya, "Laskar sudah menunggu!"
"Kanda...," Sayu Wiwit seperti tidak biasanya melakukan hal itu. Namun kuda Mas
Ramad tetap saja melangkah. Makin lama makin cepat. Sayu Wiwit seperti terpatri
di atas bumi. Letusan-letusan kecil, suara hutan terbakar, disertai bau daging hangus menusuk
hidung. Perasaan ganjil menelusuri hatinya. Dan ternyata firasat itu bukan
kosong. Lebok Samirana telah berjumpa n. dengan Kapten Heinrich dan berjanji
akan membantu Belanda asal dijamin keamanannya.
Dan kala malam tiba, Lebok Samirana mulai bergerak memasuki Jember. Semua anak
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buahnya yang tersisa heran melihat perubahan sikap pimpinannya itu. Tapi mereka
tidak membantah. Kala tembakan meriam pertama dari Kompeni yang berjalan di belakang Lebok
Samirana berdentum, Mas Ramad belum terlalu jauh meninggalkan Jember. Karena itu
ia masih mendengar dengan jelas. Dan naluri memerintahkannya berhenti untuk
mengadakan pengamatan buat beberapa saat.
Dentuman pertama disusul rentetan tembakan bedil dan kanon. Kecurigaan menguak
kalbunya. Mulutnya segera menurunkan perintah kembali dengan jajar perang.
Sementara itu Sayu Wiwit amat terkejut. Dengan segera ia
tersadar. Sigap seperti belalang ia melompat ke atas kudanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan kuda itu segera menguak kegelapan malam membawa
penunggangnya pergi. Di kuti oleh ribuan laskar Blambangan,
Sayu Wiwit menyongsong pasukan musuh. VOC tidak pernah
mempunyai yudha gama, maka mereka tidak segan
melakukan penyerangan malam hari. Tak ubahnya serigala
yang sedang merampok calon mangsanya, kata Sayu Wiwit.
Jika kita lakukan perang, bukan karena membalas dendam
atau serakah. Tapi untuk mempertahankan hak dan
melakukan kewajiban, lanjutnya sambil berkuda. Dan
sekalipun laskar Blambang-I an sudah lelah, tapi mereka
enggan mati konyol. Maka mereka mengikuti perintah Sayu
Wiwit untuk mempertahankan tiap jengkal tanah kelahiran
mereka. Lebok Samirana tahu persis Blambangan telah lelah.
Mereka harus ditekan dengan tembakan gencar. Namun
malam itu ia tak berani menggunakan jajar perang tapal kuda,
karena gerakan lewat hutan yang penuh jebakan akan sangat
* merugikan. Ia sudah tahu bahwa di tiap hutan dipasang
jebakan. Bukan cuma untuk lawan. Tapi juga untuk siapa pun
yang mencoba meninggalkan perang. Kekecewaan makin
bertambah setelah Sayu Wiwit mendapat sebutan Sri Ratu dari
orang-orang Jember dan sekitarnya. Ia tidak ingin
mengakuinya sebagai Sri Ratu. Tidak! Ia merasa lebih banyak
berjasa dari Sayu Wiwit. Ternyata Sayu Wiwit dan anak buahnya mampu menahan
gerak maju Kompeni dan laskar Lebok Samirana. Bersamaan
dengan itu laskar Mas Ramad tiba kembali. Namun Mas
Ramad bersikap hati-hati. Kegelapan akan membuat mereka
saling hantam. Dan semua itu membuat hati Mas Ramad tidak
menentu. Gelisah memikirkan nasib istrinya, gelisah menebak-
nebak siasat yang digunakan lawan. Boleh jadi lawan belajar
dari kekalahan Montro, boleh jadi lawan telah menyusupkan
teliknya. Atau pengkhianatan" Bisa! Bisa jadi. Tiba-tiba saja ia
ingat pada Lebok Samirana dan Cheng Sian Hauw. Dan ia
menanyakan pada pengawal di dekatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lebok Samirana mengundurkan diri dari medan tempur
dan menerobos hutan menuju ke daerah Probolinggo."
"Lebok Samirana?"
"Hamba, Yang Mulia."
"Bagaimana dengan Shian Hauw?"
"Kemungkinan besar gugur. Sebab kala kami mundur,
mereka makin maju. Tanpa memperhatikan hujan pelor.
Bahkan sebagian dari kaum wanita mereka yang berkaki kecil
itu, maju dan bertempur habis-habisan."
"Hyang Bathara! Keberanian yang tidak menyertakan akal
ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kita tunggu fajar. Tapi
gelar yang kita pakai tentu harus lebih hati-hati." Mas Ramad
menghela napas panjang. "Apakah kita tidak terlambat Yang Mulia" Hamba pikir
sekarang kita bisa merayap masuk untuk bergabung dengan
Sri Ratu. Keselamatan Sri Ratu mengkhawatirkan."
Buat beberapa jenak Mas Ramad tercenung sebagai
kelanjutan dari perasaan yang tersentak. Keselamatan Sri
Ratu" Sayu Wiwit" Istrinya" Ya! Bukan itu lebih penting dari
semua" Keraguan merambati hatinya. Perang bukan sekadar
menyelamatkan nasib seorang istri. Tapi lebih besar dari itu.
Mempertahankan kedaulatan suatu negeri. Bukan cuma Sri
Ratu! Apalah artinya istri yang cantik jika kelak ia melihat
bangsanya, kawula Blambangan, menyusul nasib bangsa
Nusantara lainnya, menjadi budak! Berhamba! Hamba!
Menjadi manusia-manusia yang akan kehilangan kedaulatan.
Dan mereka tidak akan bebas lagi mengutarakan pendapat
atau berbuat sesuatu. Semua pendapat harus menyenangkan,
dapat melanggengkan kekuasaan Yang Dipertuan Agung
VOC. Karenanya sekalipun cuma pendapat harus disetujui dan
diketahui oleh yang berkuasa. Bukankah begitu nasib suatu
bangsa yang telah kehilangan kedaulatan" Lalu apa akal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sanggutru!" Mas Ramad akhirnya berkata pada
pengawalnya. "Hamba, Yang Mulia."
"Adakah keberanian di hatimu?"
"Inilah hamba, Yang Mulia."
"Bagus! Kau masuk dengan separuh laskar kita. Pakailah
gelar kepiting gangsir (jajar perang yang bergerak seperti
barisan kepiting dan gangsir, merayap pelan-pelan, tapi tidak
boleh mundur)" "Hamba, Yang Mulia."
"Pergilah! Tapi, ingat! Tugasmu bukan sekadar
menyelamatkan Sri Ratu. Tapi mempersiapkan serangan yang
akan kupimpin esok fajar."
Orang itu menghilang setelah lebih dulu menyembah. Dan
selanjutnya semua anak buah Mas Ramad yang tidak berkuda
melata seperti barisan biawak, mendekati mangsanya,
memasuki kota Jember. Mereka sudah sangat terlatih untuk
itu. Makin lama makin dekat. Dan beberapa gugus sudah
mencapai pertahanan Sayu Wiwit. Gembira wanita itu
mendengar laporan bahwa Mas Ramad kembali ke Jember.
Maka ia menurunkan perintah hati-hati menembak. Karena
bisa keliru. Di samping itu ia juga memerintahkan orang
melapor pada Mas Ramad, ada laskar berdestar yang
berperang buat Belanda. Mas Ramad memang menahan diri untuk tidak menjumpai
istrinya malam itu. Kendati kerinduan untuk memeluk wanita
itu mengentak sukmanya. Mata tak terpejam. Pikiran
melayang. Ah, nyamuk pun tiada sudi berdamai. Semua
gambaran manis dan pahit berebut tempat di angannya. Maka
ingatannya pun melayang pada Arok dan Umang. Kendati ia
tahu istrinya tentu jauh lebih rupawan dari Umang. Namun
Arok juga memerawani Umang di tengah hutan. Juga cuma
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berlapik sesobek kain cawat. Sayang, akhirnya Arok
memperduakan cinta. Jatuh dalam pelukan Dedes. Ah,
siapakah yang tak pernah dengar kisah itu" Bagaimana Arok
tidak akan jatuh" Dedes begitu cerdas dan gilang-gemilang.
Kulitnya begitu mulus. Sampai-sampai orang bilang bahwa
tumitnya saja bisa dipakai bercermin. Pendek kata sampai
sekarang pun belum ada wanita yang menyamai
kesempurnaan Dedes. Begitu cantik tak bercela.
Fajar menyapu lamunan Ramad. Kendati kabut belum
terusir. Sawah-sawah, dahan-dahan, jalan-jalan, semua masih
berselimut kabut. Namun tembakan tetap tak berhenti
sepanjang malam dan dinihari. Memang cuma satu-dua kali.
Tidak gencar seperti kemarin. Dan mungkin tidak membawa
korban. Tiba-tiba saja Mas Ramad menurunkan perintah untuk
menembakkan meriam ke arah utara barat daya dan barat
laut. Bumi serasa bergetar kala gelegar menguak pagi. Semua
pihak terkejut. Namun tembakan tidak cuma sekali. Pasukan
cetbang sudah diperintahkan maju oleh Ramad. Ia ingin
membakar musuhnya hidup-hidup. Geram menguasai hatinya.
Di bawah hujan tembakan, cetbang didorong maju. "Bakar
semua hutan!" perintah meluncur lagi.
Kini Kapten Heinrich terkejut. Rumput mulai terbakar. Maka
ia putuskan untuk menggempur mereka habis-habisan.
Mentari merambat naik. Kuda Mas Ramad sudah siap.
Ramad juga sudah berdoa di atas punggung kudanya. Bedil di-
tenteng di tangan kanannya. Satu ayunan tangan cukup
menggerakkan orang-orang berkuda di belakangnya. Bagai air
bah pasukan berkuda itu dengan beraninya masuk arena
pertempuran. Bangkai-bangkai, pohon-pohon yang tumbang
mereka langkahi, terus makin dekat. Sementara api yang
ditimbulkan tembakan cetbang kian membakar semua dan
segala. Kesempatan untuk mengisi peluru pada bedil yang
baru terpakai kurang. Maka pedang, keris, tombak, panah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bandil dan lain-lain senjata tangan yang bicara. Mas Ramad
bagai alap-alap yang bergerak ke segala arah. Mata
tombaknya berlumuran darah. Dia tidak ingat, berapa sudah
nyawa punah di ujung tombak itu. Sesekali ia gunakan tombak
lempar. Makin naik perjalanan mentari menyusuri cakrawala.
Keringat membasahi semua orang dan kuda. Semangat laskar
Mas Ramad seperti makin meluap. Bergilir mereka mundur
untuk menerima makanan. Begitu selesai mereka kembali ke
garis depan. Korban tidak lagi terbilang. Dan kembali Heinrich
menegur Lebok Samirana. Ia menuduh sengaja Lebok
Samirana menjebak VOC untuk dihancurkan oleh Mas Ramad.
Maka Lebok Samirana harus bertanggung jawab atas
kerusakan pasukan Kompeni ini.
Sambil menarik mundur pasukannya, sedikit demi sedikit
Heinrich mengatur siasat baru.
Sementara Lebok Samirana mencoba mendekati Ramad
yang bergerak seperti bayangan setan.
"Yang Mulia!" panggilnya dari balik pohon. Telinga Ramad
segera menangkap suara sahabatnya. Tidak ingat bahwa
sahabat itu sudah menyeberang. Beberapa bentar ia
menghentikan langkah kudanya. Mungkin saja sahabat itu
terluka. "Yang Mulia!" lagi Lebok Samirana yang dikawal oleh
beberapa penembak ulung Kompeni Madura itu memanggil.
Dan Mas Ramad benar-benar berhenti. Beberapa pengawalnya
segera memperingatkan. Maka ia menyiapkan bedil. Pelan
kuda mulai melangkah ke arah Lebok Samirana yang terkulai
di bawah pohon. Namun sebuah letusan menyambutnya.
Peluru menerjang kepala kudanya. Dan kuda itu terjungkal
setelah melonjak ke atas. Penumpangnya bergulingan di atas
rumput. Berondongan peluru dari berbagai arah. Sebelum
pengawalnya sempat melindungi, bahu dan dadanya telah
terobek peluru. "Drubiksa!" Mas Ramad mengutuk. Berusaha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangkit. Namun kepalanya berkunang-kunang. Matanya
nanar. Lebok Samirana tertawa berkepanjangan. Melihat Mas
Ramad berkali tersungkur mencium bumi. Kini ia bangkit
mendekat. Beribu sumpah-serapah dan ejekan keluar dari
bibirnya. Ramad Surawijaya, Pangeran Puger, putra Wong
Agung Wilis itu menahan hati sambil menggenggam
senjatanya. Sementara para pengawalnya terpatri tanpa kata.
Bagai kena pesona. Menyaksikan
Lebok Samarina dan beberapa orang bintara kulit putih dan
hitam maju mendekat. Ramad melirik jantung Lebok
Samarina. Seolah mendapat kekuatan baru. Pemuda itu
menggulingkan dirinya ke dekat kudanya, sambil membidik ke
arah jantung Lebok Samirana. Meleset. Namun kepala orang
itu yang tersasar. Tak ayal Lebok Samirana terpental dan tak
bangun lagi. Semua orang berteriak kaget. Maka mereka
melompat mundur sambil memberondong Mas Ramad.
Pemuda itu tak membalas. Dagingnya memang telah tersayat-sayat peluru. Tapi
darahnya belum tuntas. Pemandangan yang menyentak hati.
Para pengawalnya segera mengangkat senjata dan membidik
ke arah pengepung. Membuat semua bertumbangan. Mereka
mendekati Pangeran Puger. Namun pemuda itu bangkit sambil
tersenyum. Beberapa jenak. Terhuyung"
"Maju!!!" pemuda itu berseru dengan suara yang
penghabisan. Untuk kemudian roboh tanpa nyawa. Kepala
barisan pengawal berteriak. Balik menghampiri tubuh Ramad.
Menaikkan ke atas punggung kudanya, kemudian diikuti anak
buahnya berlari mencari Sri Ratu. Melintasi mayat dan bangkai
lainnya. Menerobos peperangan dan peluru. Mangguruh,
demikian nama kepala pengawal itu, dengan setia melindungi
jenazah pimpinannya. Seolah melindungi bayi. Sayu Wiwit
sedang sibuk menembak kala Mangguruh datang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebentar, dua bentar, tiga bentar, dan sampai beberapa
bentar, Sayu Wiwit memandang tajam pada Mangguruh
dengan tidak berkata-kata. Seolah tak percaya pada apa yang
ia dengar. Mangguruh merasa serba salah. Sekalipun sempat
ia mengagumi kecantikan Sri Ratu. Bagai patung pualam yang
berdiri di hadapannya. Tapi kini ia lihat wanita itu terisak.
Bagai dibangunkan dari mimpi indah saja, Sayu Wiwit berkali
mengusap wajahnya. Lesu ia naik ke atas punggung kuda
seraya melambai pada Mangguruh.
"Letakkan sang Anumerta ke sini!" katanya sambil
menunjuk pangkuannya. Dan dengan dibantu oleh seorang
anak buahnya, Mangguruh mengerjakan perintah itu. Sempat
ia melirik. Kini wajah itu beku tanpa makna. Berkali
memandang punggung sang Anumerta. Berlubang-lubang
seperti keranjang arang. Dan hampir seluruh tubuh berlubang.
Sayu Wiwit menggertakkan gigi. Kemarahan mengatasi semua
perhitungan dan ketakutan. Punah sudah pertimbangan dari
kepala bening seorang brahmani. Kini matanya berapi.
"Mangguruh, undurlah kau! Sampaikan berita ini ke Bayu!
Ke Bayu!" "Tapi... bukankah sebaiknya Yang Mulia saja" Hamba akan
bertahan dan menggempur mereka..."
"Ini perintah, Mangguruh!" "Hamba, Yang Mulia." Lelaki berewok itu kini memutar
kudanya. Di kuti oleh beberapa
pengawal lainnya. Tapi mereka tidak segera pergi. Memang
mereka hilang dari pandangan Sayu
Wiwit, tapi mereka justru menuju ke tempat
persembunyian meriam dan kanon yang masih belum
terpakai. Meriam rampasan dari benteng Steenberger. Kini
mereka bebas mengintip setiap gerak Sayu Wiwit. Dan
ternyatalah, bahwa setiap . kemarahan yang telah mengatasi
semua dan segala -mampu melahirkan gelombang amuk yang
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar biasa hebatnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayu Wiwit telah terjun ke tengah kancah laga. Tindakan
ini diikuti oleh beribu-ribu orang. Heinrich terkejut bukan
kepalang. Orang Blambangan menyerbu bagai air bah. Mati
satu datang seribu. Sungguh tidak pernah dilihatnya
pemandangan yang seperti ini sebelumnya. Mereka tidak lagi
memperhatikan pelor musuh. Juga hantaman peluru meriam
yang membuat mereka menjadi kepingan-kepingan daging
kecil-kecil. Selama Sayu Wiwit masih tegar di atas punggung
kudanya, ke mana pun ia bergerak, diikuti ribuan orang yang
mengamuk seperti pemimpinnya itu. Semua bangunan rata
oleh tanah. Semua pepohonan punah dimakan api.
Mangguruh tidak bisa lagi menahan hati. Ia perintahkan
anak buahnya juga menembakkan meriam ke arah kedudukan
VOC. Apalagi setelah dilihatnya Sayu Wiwit gontai. Mungkin
tersasar pelor. Saat wanita itu menoleh bahu kirinya.
Mengucurkan darah. Kondenya lepas. Rambutnya terurai
menutup punggungnya. Jenazah Mas Ramad masih saja di
pangkuan. Seperti lekat. Pedang Sayu Wiwit basah oleh cairan
berwarna merah. Pelornya sudah habis. Tapi semangatnya
tidak pernah habis. Dan ia maju lagi. Membunuh lagi. Dan
lagi... pelor merobek kulit pahanya. Tapi ia berusaha untuk
tidak jatuh dari punggung kuda.
Amuk membuat ia lepas dari pengawalan. Menerobos
masuk ke tengah barisan musuh. Kini dalam kepungan Kapten
Marhaelu, seorang Negro. Dan betapa kaget kapten itu
melihat wanita telanjang dada di atas kuda dengan pedang di
tangan. Ia terbahak melecehkan. Namun beberapa saat
pikirannya berubah. Bukankah lebih baik jika wanita cantik ini
ditangkap hidup-hidup dan dibawa pulang ke negeri asalnya
untuk diperistri" Tentu tidak ada bandingnya. Semua orang
akan mengaguminya. Betapa bahagianya punya istri secantik
ini. Luka-luka itu masih bisa diobati. Maka ia memberi isyarat
untuk mengepung wanita itu rapat-rapat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayu Wiwit tetap tidak gentar. Matanya menatap dingin,
pedang tetap ia genggam erat-erat. Sebentar ia pandang
suaminya tercinta. "Kita akan sama-sama mati, Suamiku,"
bisiknya. "Demi Hyang Maha Dewa, demi Blambangan yang
suci dan demi cinta kita berdua... kita akan punah." Kepungan
makin dekat, darah pun makin terkuras. Keringat dingin
menambah pedihnya luka. Sayu Wiwit mengerti benar tiap
langkah pengepungnya disertai dewa maut yang menjemput
nyawanya. Ia tunggu mereka makin dekat. Dan matanya
tertuju pada kapten negro itu.
Setelah itu ia mulai menyentuhkan tumit pada perut
kudanya. Kuda yang setia itu seakan mengerti kehendak
tuannya. Melompat maju seperti angin. Marhaelu berteriak
kaget, namun terlambat. Pedang Sayu Wiwit membabat
lehernya. Tak sempat membalas. Roboh seperti pohon pisang
ditebang. Sayu Wiwit kemudian merapatkan tubuhnya pada
mayat suaminya. Berondong- fc an peluru lewat di atas
punggungnya. Kudanya terus melesat.
Heinrich marah bukan main mendengar laporan itu. Ia
kerahkan penembak-penembak jitu. Kuda Sayu Wiwit
diberondong, namun masih saja berlari. Seperti punya
kekuatan gaib. Sayu Wiwit masih saja menyebar maut sambil
merangkul tubuh suaminya. Sebuah lagi pelor menyerempet
punggungnya. Tiada henti. Mangguruh hampir tak percaya
melihat akhir perjalanan hidup Sayu Wiwit itu. Sebuah peluru
meriam meledak tepat di depannya. Tak ampun, kuda dan
penumpangnya terpental ke udara. Kemudian jatuh kembali
menjadi serpihan-serpihan kecil. Mangguruh segera sadar,
bahwa ia harus menarik mundur sisa laskar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVI. PUDAR Musim hujan memang datang terlambat tahun ini. Meski
begitu mendung tak bisa terus-menerus menahan
kandungannya. Pertengahan bulan Kar-tika atau kira-kira awal
bulan November hujan pertama pun turunlah. Katak
menyambut hujan itu dengan rombongan kesenian mereka.
Alun gamelan mereka terdengar di setiap sudut Blambangan
sepanjang malam. Dan kegembiraan kelompok katak itu tidak
berhenti di awal musim saja. Tapi malam-malam musim
penghujan selalu mereka isi dengan alun melengkung
gamelan mereka. Tiada malam tanpa sukacita.
Semestinyalah petani di Blambangan juga begitu. Karena
hujan menjanjikan kehijauan bagi tumbuhan mereka. Lebih
dari semua itu, kesuburan bagi tiap jengkal bumi
Semenanjung Blambangan. Namun musim tanam kali ini tidak
seperti saat-saat lampau. Tiada lagi tembang di bibir para
pembajak sawah atau perempuanperempuan yang sedang
menanam padi. Tiada lagi senyum manis perawan-perawan
pengantar makan pagi dan makan siang, bagi bapak, ibu, atau
saudara-saudara mereka yang sedang bergumul dengan
lumpur itu. Pendek kata senyum dan kidung musnah dari bibir
tiap kawula Blambangan. Sebagai gantinya adalah doa bagi
arwah kedua pahlawan mereka. Sayu Wiwit dan Mas Ramad
Surawijaya atau lebih dikenal sebagai Mas Dalem Puger.
Kedukaan makin bertambah kala mendengar lumbung
persediaan makan bagi laskar Wong Agung Wilis dan Mas Ayu
Prabu diserbu oleh VOC. Grajagan, Muncar, dan beberapa
daerah pantai lainnya jatuh ke tangan Kapten Kreygerg. Tentu
ini bukan sekadar menciutkan daerah kekuasaan Wilis, tapi
juga merusak gudang perbekalan laskar Blambangan.
Cadangan makanan yang dikumpulkan oleh dan dari seluruh
kawula. Kesedihan mendalam meliputi seluruh Blambangan,
seirama dengan pergantian musim yang membuat mentari
seolah pudar karena awan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umbul-umbul hitam tampak terpancang di mana-mana di
seluruh wilayah Blambangan. Tidak ada yang tahu siapa
pemasangnya. Namun jelas itu merupakan tanda perkabungan
secara menyeluruh. Jaksanegara memerintahkan agar wilayah
yang dikuasai Kompeni dibersihkan dari umbul-umbul hitam
itu. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan
pemerintahan Jaksanegara. Sekarang dicabuti, esok umbul-
umbul itu muncul lagi. Begitu terus berulang.
Kendati saat-saat terakhir setelah kematian Biesheuvel ia
tak pernah keluar rumah kecuali menghadap Schophoff,
namun kini ia harus datang ke kediaman residen itu. Ia
merasa kejadian ini tidak bisa dibiarkan.
"Selamat pagi, Tuan Jaksanegara...." Schophoff tertawa,
seperti biasa. "Ada suatu penting maka pagi begini Tuan
datang tanpa diundang?"
Sekilas Jaksanegara memperhatikan sekitarnya. Tidak ada
perubahan. Masih seperti kala dihuni oleh Biesheuvel. Gadis
pengipasnya yang berganti. Mereka adalah persembahan
darinya. "Tentu, Tuan. Apa Tuan belum menerima laporan
tentang..." "Tentang apa?" Mata biru Schophoff menajam.
"Umbul-umbul hitam."
"Kami kurang menaruh perhatian atas semua itu." Kembali
Schophoff terbahak-bahak. Ternyata tertawa merupakan
warna hidup atau barangkali mendekati jatidirinya. Tapi dalam
tindakan ia tidak kalah kerasnya dari Biesheuvel. Ia tidak sudi
mengalami nasib seperti para pendahulunya.
"Tidak boleh tidak diperhatikan. Kemungkinan besar
pemimpin terkemuka mereka. Dan..."
"Kebiasaan Blambangan, Tuan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi Jagapati masih hidup," bantah Schophoff.
"Sebelum Jagapati bergabung dengan mereka, tentunya
mereka sudah punya pimpinan. Hanya kebetulan Jagapati
bergabung, maka kini dia yang menonjol. Karena Jagapati
berdarah Tawang Alun."
"Baik. Kita akan serbu Jagapati. Jika perlu kita bunuh ia di
depan orang-orang Blambangan. Tapi " untuk mengurangi
kekuatannya, kita akan menyebar pengumuman pada seluruh
penduduk Blambangan bahwa jika mereka tidak memerangi
Belanda, maka mereka akan dibiarkan hidup aman dan damai.
Bagi yang dulu jadi pengikut Jagapati tapi menyerah akan
diberi pengampunan. Dan mereka akan memperoleh haknya
kembali untuk menggarap tanah. Tapi dalam satu bulan ini
jika mereka tidak menyerah berikut persenjataannya, maka
VOC tidak akan memberikan pengampunan lagi."
"Bagaimana cara membuktikan bahwa mereka bersungguh-
sungguh ?" "Ha... ha... ha..." Schophoff mengangguk-anggukan kepala
di sela tawanya. "Jika mereka dengan sendirinya mencabuti
umbul-umbul hitam itu, berarti mereka tidak lagi patuh pada
Jagapati." Dan terjadilah yang direncanakan Schophoff. Para bekel
diperintahkan mengumumkan maklumat residen ini ke setiap
penjuru desanya dengan kawalan Kompeni dan punggawa
kadipaten. Namun di mana pun saja kawula tidak menjawab
barang separah jua. Juga tidak ada yang menyentuh umbul-
umbul hitam. Bahkan kala mereka lewat di dekat umbul-umbul
itu, semua menunduk dalam-dalam. Seolah lewat di depan
benda yang teramat keramat. Itu sebabnya Schophoff segera
menurunkan perintah pada Kapten Kreygerg dan komandan-
komandan benteng di seluruh Blambangan agar menyiapkan
penyerbuan begitu batas ketentuan habis. Ketentuan yang
akan berakhir tanggal tiga belas Desember seribu tujuh ratus
tujuh puluh satu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang berita kematian Mas Ramad dan Sayu Wiwit tidak
bisa disembunyikan. Sekalipun pihak Bayu berusaha
menyembunyikannya, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Tapi semakin dirahasiakan, berita itu semakin
merambat cepat seperti merambatnya angin yang membawa
hujan ke tiap penjuru Blambangan. Tidak ada yang
memerintahkan orang mengibarkan umbu-umbul. Tapi semua
orang ingin menghormati Mas Dalem Puger yang pernah
menggegerkan Blambangan karena menyerbu Benteng Banyu
Alit dan menyebabkan komandan Van Reiyks luka parah dan
akhirnya tewas. Apalagi dia adalah putra Patih Blambangan,
Wong Agung Wilis. Di Bayu tangis terdengar hampir di setiap rumah. Dupa dan
kemenyan dibakar di mana-mana. Tantrini, ibu Mas Ramad
tidak mau keluar dari pura untuk beberapa lama. Sedang Mas
Ayu Prabu menyempatkan diri untuk bergabung dengan
ibundanya. Tapi Tantrini adalah seorang brahmani yang
mumpuni. Ia telah kehilangan banyak dalam perang ini. Ia
tahu bagaimana mengunyah yang manis, dan ia tahu
bagaimana mengunyah yang pahit. Maka kini dialah yang
harus menyabarkan hati anak-anaknya. Mas Sratdadi dan Mas
Ayu Prabu. "Perang bukan untuk membalas dendam, Anakku. Bapak
kalian mengajar bahwa perang bukan pembalasan dendam.
Dan bukan untuk menyalurkan kebinatangan yang ada dalam
diri manusia, baik itu berupa keserakahan maupun keinginan
untuk memenangkan diri atas orang lain. Perang bagi kita
lebih diperuntukkan demi menegakkan jatidiri suatu bangsa
atau mempertahankannya. Karena itu tenangkanlah hati
kalian. Barangsiapa tenang dalam segala hal, ia akan
memperoleh kebijakan."
Kedua anak muda itu tertunduk. Juga Mas Ayu Tunjung.
Kekaguman merayapi hati ketiganya. Yistyani menjemput
mereka, untuk diajak bersama-sama ke pendapa. Wilis akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyampaikan amanat penting. Tidak ada yang berani
membangunkan mereka dari semadi.
Yistyani melihat kenyataan. Adiknya tegar. Kendati tak
pernah belajar menjadi satria. Rupanya Tantrini benar-benar
hidup di atas penghayatan jerhadap pengetahuannya sendiri.
Ah, sebenarnyalah, barangsiapa yang tidak menghayati dan
melaksanakan apa yang telah dipelajari dan diyakininya untuk
membentuk jatidiri, maka ia telah menjadikan diri sendiri
manusia mengibakan. Karena ia telah hidup dalam kesia-siaan.
Setelah saling berpelukan dan menyatakan belasungkawa,
ia mengajak adiknya. Ketiga anak muda itu berjalan di
belakang mereka. Lambat-lambat. Seperti rombongan siput.
Kepala menunduk. Seolah mencari jarum jatuh di dalam debu.
Para kawula juga menunduk hormat. Ikut berdu-kacita.
Di Derwana berita kematian Mas Ramad dan Sayu Wiwit
diterima oleh Jagapati saat ia makan sore di istananya.
Didampingi oleji para selir dan istrinya kala Jagalara
menghadap. "Berita penting, Yang Mulia."
"Apa itu?" "Jember jatuh kembali ke tangan VOC. Demikian juga
Puger dan Sentong serta Panarukan...."
"Jagat Dewa! Lalu?"
"Yang Mulia Pangeran Puger gugur dan juga Ratu..."
"Sayu Wiwit?" Jagapati tidak sabar.
"Juga gugur." "Drubiksa!" Tanpa sadar Jagapati berdiri. Tangannya
bergerak di luar sadar. Memukul piring yang masih penuh
makanan. Tak ayal semuanya berantakan. Dan semua istrinya
terkejut. Suatu yang tak pernah dilakukan Rempek
sebelumnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bangkit dan berjalan menuju beranda depan. Jagalara berjalan di belakangnya.
Rasanya seperti mimpi. Jagapati baru bersua dua hari lalu di Bayu. Tapi kini
kenapa ia bersama Mas Ramad di Jember" Mati bersama. Lebur tanpa bisa dirawat
lagi" Bukankah Mas Ramad berangkat tiga hari lalu" Jadi siapa yang dijumpainya
beberapa hari lalu" Ah, aku perlu menanyakan ke Bayu, apa benar Sayu Wiwit mati"
"Kau percaya berita ini, Yang Mulia?" Jagapati bertanya pada pembantunya.
"Hamba tidak tahu."
"Kita pergi ke Bayu. Mari, Yang Mulia," ajaknya.
Bergesa mereka menyiapkan kuda mereka. Beberapa pengawal mengikuti mereka. Namun
begitu mereka keluar dari lapangan, di depan istananya, Jagapati melihat
laskarnya menaikkan umbul-umbul hitam.
"Siapa yang memerintahkan mereka?",
"Tidak tahu," Jagalara menjawab sambil menggeleng.
"Undu barangkali?"
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali." Jagalara menatap pimpinannya. "Kita cari dulu dia."
Namun begitu kuda mereka berputar ke arah rumah Undu, seseorang menyapa dari
balik pagar. Jagapati menghentikan langkah kudanya.
"Undu?" "Hamba, Yang Mulia. Kita sedang berkabung. Akan ke Bayu" Tentu akan ada
pertemuan," Undu bicara sambil menyembah. Jagapati mengernyitkan dahinya.
Keremangan senja membuat perubahan wajahnya itu tidak begitu nampak.
Ia heran Undu tahu banyak. "Jadi benar Sayu Wiwit tewas?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar, Yang Mulia."
Kecurigaan dalam hati Jagapati kian bertambah. Tapi ia
berusaha menahan hatinya. Ia perlu bertanya sendiri pada Rsi
Ropo. Jika Rsi Ropo tidak dapat mempertanggungjawabkan,
maka ia akan menanyakannya pada Wilis sebagai junjungan
Bayu. Ia tidak suka dipermainkan oleh siapa pun.
Bagaimanapun ia bukan orang sembarangan yang boleh
dipermain-mainkan. "Baik. Aku akan ke Bayu. Undu, kau berjaga-jaga di sini!"
Cepat sekali kuda rombongan lenyap dari pandangan Undu.
Keremangan senja pun segera berganti malam. Meski begitu
kuda mereka tidak pernah terantuk. Deretan pohon-pohon tak
terhitung jumlahnya yang telah mereka lalui. Juga tikungan.
Namun begitu, jarak tetaplah pemisah yang harus diatasi. Dan
untuk itu manusia membutuhkan waktu. Maka keesokan
paginya barulah mereka memasuki gerbang perkubuan.
Umbul-umbul hitam yang terpasang berjarak rapi di
sepanjang jalan merupakan bukti kebenaran berita kematian
kedua pemimpin laskar Blambangan itu. Keadaan benar-benar
senyap. Sawah-ladang sepi dari petani. Semua seolah tak
mempe-dulikan kehadirannya. Namun ia tahu persis bahwa di
balik belukar sepanjang pinggir-pinggir jalan itu moncong-
moncong bedil teracung ke dadanya. Karena itu ia
menenangkan diri menuju pendapa di mana para pemimpin
Bayu sedang berkumpul. Rsi Ropo sedang memimpin doa. Beberapa saat kemudian
ia duduk di barisan paling belakang. Tidak ada yang
memperhatikan kehadirannya itu. Semua terpekur tasyakur
khikmad. Dada Jagapati kian membuncah kala mendengar
suara wanita seperti suara Sayu Wiwit yang dikenalnya
menembangkan kidung. Jika sedang berkinang, Merahlah air ludah, merahlah darah...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merahlah Blambangan, menolak penjajahan!
Dalem Puger menerjang! Perang puputan. Banyu Alit! Jember! Puger! Tetes darahnya...
Merah membakar Ah, Sayu Wiwit... Bara di dadamu, di bumimu
Dan membaralah kawula! Membara!
Tiap tetes darahmu, untuk tiap jengkal tanahmu
Hey tatsaka! (ular Biludak)
Jangan jual negeri ini! Jangan jamah Blambangan!
Kau berhak berkacak pinggang
Tapi kami bermandi darah...
Ah, kau berdiri di atas bara!
Selesai suara itu di susul suara beberapa wanita lain.
Setelah semua sudah, Wilis bangkit berdiri. Matanya bagai
mentari kembar menyinari semua yang hadir. Jagapati buru-
buru menunduk kala mata itu menyapukan pandang ke
arahnya. "Kita telah kehilangan banyak!" pemuda itu memulai.
"Banyak sekali. Karena itu jangan main-main. Aku perintahkan
pada setiap kawula Blambangan. Jika tidak ingin berperang
demi bumi kelahirannya, supaya mengungsi! Sebab sesudah
ini aku perintahkan pada semua-mua, bersiaplah melakukan
perang!! Perang puputan! Menang atau mati! Dengar?"
"Dengar...," sahut semua orang. "Beritakan semua ini pada kawula. Dan... Yang
Mulia Jagapati, segera setelah ini
kembalilah ke Derwana! Beritakan ke seluruh bumi
Blambangan! Ini perintahku! Pilih! Wilis atau Kompeni?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti mendengar petir di siang bolong. Kagum luar biasa.
Pemuda itu tahu bahwa dia hadir. Padahal ia diam-diam duduk
di bagian belakang. Maka tak ada jalan lain kecuali mengiakan. Tapi tiba-tiba ia
ingin menyampaikan sesuatu.
"Tapi, Yang Mulia..." Ia mencoba membuka suara.
"Jika Yang Mulia menganggap daku junjungan Blambangan,
maka tidak ada kata tetapi! Cuma ya atau tidak sama sekali."
"Sebentar saja."
"Perkabungan selesai sudah. Kendati umbul-umbul hitam
tidak kita turunkan. Kita tak boleh terlalu lama berduka. Sebab
itu akan membuat kita tawar hati. Dan barangsiapa tawar hati
dan terus tenggelam dalam kedukaan, ia telah kehilangan
kekuatannya. Jangan dulu persoalkan apa yang ada di hati.
Sebab paling lama lima hari lagi VOC dengan semua
begundalnya akan datang menyerbu kita. Mereka akan
pergunakan kesempatan kala kita berduka dan lemah. Apalagi
batas waktu yang mereka tentukan akan habis dua hari lagi.
Nah, simpanlah dulu apa yang di hati itu. Kita akan selesaikan
sesudah perang." "Ini masalah harga diri, Yang Mulia," Jagapati mencoba.
"Baik. Aku sudah katakan, Yang Mulia adalah kepala
pemerintahan atau pratanda mukha Blambangan saat ini. Pilih,
kehilangan semua-mua atau harga diri itu! Di pundak Yang
Mulia tersampir tanggung jawab mengusir Belanda ini.
Menyelamatkan dan mengamankan negeri serta isinya. Dan
ingat, sekarang baru satu kakak Yang Mulia jatuh dalam
kehinaan. Saatnya akan tiba, Yang Mulia Nawangsurya pun
mempersundalkan dirinya!"
"Jagat Bathara!" Jagapati terlonjak.
"Semua terletak pada Yang Mulia sendiri. Jika tidak siaga
sejak sekarang, maka semua perawan cantik kita akan jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
milik pemenang. Bukan cinta lagi yang bicara dalam suatu
perkawinan. Tapi uang dan kekuasaan."
"Jagat Dewa!" "Tidak cukup hanya dengan menyebut nama Hyang Maha
Dewa, tapi kita harus bertindak. Nah, sekarang bubarlah!
Pergilah! Laksanakan perintahku! Ingat-ingat! Wilis atau
Kompeni." Mereka bubar dengan bekal hati yang tidak sama.
Sekalipun tidak membantah lagi, Jagapati tetap dalam
kekecewaan. Walau kagum terhadap penglihatan ke depan
Wilis yang tajam itu. Benar apa yang dikatakan Wilis di pertemuan terakhir itu.
Schophoff sudah menurunkan perintah resminya untuk
menyerbu Bayu. Tanggal penyerbuan tertulis empat belas
Desember tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh satu. Tiga ribu
orang naik dari Lo Pangpang di bawah pimpinan Kapten
Kreygerg. Sedang dari Lateng dipimpin oleh seorang kapten
dari Madura, Tumenggung Alap-alap, bersama dengan Letnan
Schaar. Dua ribu orang berangkat dari Lateng. Juga Kapten
Heinrich masuk dari Panarukan. Karena percobaannya masuk
lewat Jember langsung mengalami kegagalan. Pasukannya
banyak yang mati tanpa perang.
Bayu harus dikepung dari segala arah. Mereka harus
dikejutkan justru saat mereka dalam suasana perkabungan.
Schophoff ingin membalaskan sakit hati Biesheuvel dan para
pendahulunya. Tentu Gubernur akan memujinya sebagai
orang paling berjasa karena mampu mengalahkan
Blambangan. Gebrakan pertama memang mengejutkan laskar
Blambangan. Lembah Perangan, lembah yang terletak antara
Gunung Sikep dan Gunung Merapi; dan Lembah Pengawinan
yang terletak di utara Songgon, jatuh ke tangan pasukan
gabungan Kompeni. Kreygerg memerintahkan anak buahnya
mendirikan perkemahan di tengah-tengah perumahan
penduduk. Sebagian lagi diperintahkan menembus ke Lembah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Derwana melewati lembah di antara Gunung Pendil dan
Gunung Merapi. Memang ada jalan yang aman menurut laporan mata-mata.
Yaitu melewati sebuah kali kecil yang bermata air di Gunung
Pendil. Mengalir di tempat berbatu padas. Bahkan kali yang di
barat laut Derwana itu diapit oleh dua bukit padas curam dan
tajam. Dan dari Lembah Perangan serta Pengawinan mereka
melancarkan tembakan meriam-meriam dan kanon.
Namun tembakan meriam itu justru membuat Jagapati dan
seluruh laskarnya bersiap di segala lini. Setiap jalan masuk
disumbat dengan merobohkan pohon-pohon. Kentongan dan
bende dipukul bertalu-talu. Tiap semak dijaga. Barisan
pemanah bertengger di pohon-pohon besar seperti barisan
kera dalam cerita Ramayana. Maka kini tergantung Kreygerg.
Apakah ia akan mengulangi nasib Montro atau ia akan
menang. Tengah hari mereka masih menghujani Derwana dan
Indrawana dengan tembakan. Dari tenggara, selatan, dan
barat laut. Tapi lewat tengah hari Jagapati sudah habis
sabarnya. Ia perintahkan membalas tembakan sambil
bergerak maju. Undu serta Jagalara bergerak ke selatan dan
tenggara, sedang Jagapati ke barat laut. Tiap tembakan
dibalas dengan tembakan. Dari balik semak anak panah beterbangan menghunjam ke
arah pasukan Kompeni yang kelihatan. Jagapati masih belum
menampakkan diri. Juga laskar Blambangan. Baru tampak
berkelebatan dari balik pohon ke pohon lainnya. Seolah
mereka bertempur melawan hantu. Tapi teriakan dan sorakan
mereka terdengar jelas membahana di lereng-lereng bukit.
Juga memantul di pohon-pohon. Inilah siasat Jagapati. Supaya
jika anak buahnya tertembak dan mengaduh musuhnya tidak
mendengar. Sebaliknya, lawan akan bingung memilih sasaran.
Ternyata siasat Jagapati berhasil. Baik di selatan, di
tenggara, maupun di barisan yang dipimpinnya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kompeni mundur. Setapak demi setapak mereka mundur ke
lembah Perangan serta lembah Pengawinan. Untung sekali,
karena begitu senja turun Jagapati menghentikan serangan
balik itu. Dengan hanya meninggalkan sedikit laskar pengintai,
Jagapati memerintahkan semua orang kembali ke Indrawana
dan Derwana. Sampai di Derwana ia memerintahkan para selir memanggil
para penabuh gamelan dan penari untuk merayakan
kemenangannya, di samping untuk menurunkan ketegangan.
Tentu saja hal itu menimbulkan rasa suka dan tidak. Yang
suka memujinya sebagai orang bijak. Sanggup memberikan
kesegaran jasmani dan batin. Tapi lebih banyak lagi yang
mendatangi Undu. Di sela-sela teriakan kemenangan para
pendukung Jagapati, Undu mendengarkan laporan beberapa
orang. "Apakah itu tidak membahayakan" Kita belum menang.
Tapi sudah berpesta tari. Coba, Tuan, bagaimana jika ini
didengar oleh junjungan kita?"
"Aku akan memperingatkannya. Tapi aku juga akan
memerintahkan seorang untuk melapor pada pimpinan,"
jawab Undu sambil menarik napas panjang.
Wilis segera menerima laporan dari anggota telik perihal
Jagapati, selain laporan dari anak buah Undu. Maka ia cepat-
cepat memanggil Sratdadi, Mas Ayu Tunjung. Mas Ayu Prabu,
serta Untun. Ia segera menguraikan kepada mereka semua
ulah Jagapati. "Ini bukan kebiasaan kita. Tentu tidak boleh kita biarkan."
Wilis kemudian meminta pendapat semuanya.
"Memang bukan kebiasaan kita. Tapi kitalah yang
menanam dia di Derwana dan kita pula yang mengangkatnya
sebagai pratanda mukha Blambangan. Jadi kita memang perlu
menyabarkan diri. Bukankah sebagai pratanda mukha ia boleh
mengambil kebijakan sendiri sepanjang itu tidak merugikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita?" Ayu Prabu mengajukan pendapatnya. "Tentu kita wajib memperingatkannya.
Tapi jangan sampai menimbulkan
anggapan bahwa dia kehilangan haknya sebagai seorang
kepala pemerintahan." Wilis mengangguk-angguk mendengar
itu. "Baiklah. Kita akan coba meluruskannya. Kebiasaannya di
Pakis masih terbawa. Dia memang suka sekali mendengarkan
gamelan. Tapi kita telah kehilangan cukup banyak harini. Dua
lembah yang kaya dan menyediakan cadangan makanan bagi
kita. Gudang-gudang beras kita di Grajagan, Muncar, bahkan
Sumberwangi telah dibakar oleh Belanda. Kini kita kehilangan
lembah Pengawinan dan lembah Perangan. Maka kita harus
mengadakan serbuan balik dan merebut kembali gudang-
gudang pangan kita."
"Betul," Sratdadi mengiakan.
"Kita perlu menyiapkan diri. Hamba akan turun sendiri. Itu
sebabnya, kita harus mencoba menghubungi Harya Lindu
Segara di Nusa Barong serta Rencang Warenghay di Selat
Madura supaya mengerahkan armadanya."
"Perlu waktu untuk menghubungi mereka," Untun
menyampaikan pendapatnya.
"Kita akan menyerbu mereka enam hari mendatang. Di
semua kedudukan! Jadi perang semesta itu tanggal lima bulan
Pusa (tanggal 20 Desember tahun 1771) ini. Maka masih ada
waktu memerintahkan telik kita menghubungi mereka. Untuk
itu kita akan menyerbu kedudukan Kapten Kreygerg yang
menduduki lembah Perangan, bersama Undu. Yang Mulia
Sratdadi bersama Yang Mulia Ayu Tunjung ke barat
Indrawana, menyerbu kedudukan De Kornet Tinne. Sedang
Jagapati di bantu Jagalara menyerbu ke jurusan tenggara
Derwana, di sana berhadapan dengan Tumenggung Alap-alap
dari Madura, yang juga seorang kapten Kompeni. Sedang
Yang Mulia..." dengan dagunya Wilis menunjuk pada Mas Ayu
Prabu, "berhadapan dengan Schaar di selatan. Tentu akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibantu oleh Untun. Kemudian perintahkan juga pada telik kita
untuk menghubungi Harya Lindu Segara dan Warenghay
secepatnya." Kemudian sebelum membubarkan diri ia sekali lagi
mengingatkan pada Mas Ayu Tunjung agar menyiapkan
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan untuk laskar di dekat tempat-tempat pertempuran.
Agar mereka dapat bertempur dalam waktu yang panjang.
"Aku bantu menyiapkannya," Sratdadi berbisik kala mereka
meninggalkan tempat itu. Ayu Tunjung cuma tersenyum. Ah,
manisnya senyuman itu di mata Sratdadi.
Kesibukan segera terlihat. Semua orang menyiapkan diri.
Mereka diberangkatkan secara diam-diam melewati jalan-jalan
rahasia di hutan-hutan. Begitu pula cadangan makanan. Di
siapkan secara diam-diam. Dilihat dari tempat tinggi maka
gerakan mereka seperti semut yang sedang berpindah sarang.
Sibuk memikul bahan makanan dan senjata melewati lorong-
lorong terjal dan jurang-jurang, gerumbul belukar, duri rotan,
serta rindangnya pohon-pohon raksasa.
Namun kesibukan mereka dikejutkan oleh suara-suara
letusan dan dentuman meriam. Padahal mereka belum
menerima perintah menyerbu. Dan bukankah harini baru
tanggal tiga Pusa" (menurut sumber Belanda, tanggal 18
Desember 1771 Jagapati mengadakan serangan balasan)
tanya Mas Ayu Tunjung pada Mas Sratdadi kala mereka
meninjau cadangan makanan di tenggara Derwana. Mas
Sratdadi tidak bisa menjawab. Maka ia memutuskan untuk
mengintip Derwana. Dan dugaannya memang benar. Jagapati
mengerahkan laskar besar.
Di ringi tambur dan gendang serta perangkat gamelan
lainnya, laskar Jagapati berangkat ke medan laga. Jagalara
dengan gagah berada di atas punggung kudanya.
"Dirgahayu Wong Agung Wilis! Dirgahayu Blambangan!"
sorak mereka kala Jagapati keluar dari gerbang Derwana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tersirap darah Sratdadi menyaksikan semua ini. Rempek
mengenakan pakaian persis ayahnya. Memilih kuda yang juga
berwarna persis kepunyaannya, yang juga sama dengan milik
ayahnya. Cepat ia mencabut bedilnya dari sanggurdi.
"Jangan!" Ayu Tunjung memperingatkan sambil
mendekatkan kudanya dan meraih bedil itu dari tangan
Sratdadi. "Ini nirneyana" (pembelotan, pembangkangan) geram
Sratdadi. "Tidak taat perintah junjungan kita."
"Yang berhak menghukum pratanda mukha adalah raja.
Bukan kita." Suara merdu itu meluluhkan hati Sratdadi.
"Biarkan peperangan harini berjalan di bawah pimpinannya.
Tapi lusa harus berjalan seperti rencana junjungan kita itu,"
lagi Mas Ayu Tunjung memberikan saran. Sratdadi
mengangguk. Tapi jauh dalam lubuk hatinya sudah
memutuskan: hukuman mati bagi tiap orang yang melakukan
nirneyana. Tentu tidak ada yang tahu keputusan ini kecuali
dirinya sendiri. Keduanya melaporkan hal itu pada Wilis. Dan Wilis
menganggap itu tidak akan didiamkan. Ia perintahkan
Sratdadi untuk memberi peringatan pada Jagapati nanti sore,
seandainya orang itu selamat pulang dari pertempuran.
Baik Belanda maupun Bayu mengakui bahwa serangan
Jagapati itu merupakan kejutan besar. Apalagi laskar Bali yang
tidak tahu keadaan itu membantu dan mengamuk dengan
amat hebat. Memang jatuh korban banyak. Dari kedua pihak.
Terutama di Hutan Kepanasan, di mana laskar
Bali bergerak. Letnan muda Ostrousky yang menghadang
mereka terpaksa melarikan diri ke Lateng untuk meminta
bantuan. Tumenggung Alap-alap marah bukan kepalang. Ia
bersumpah akan menusuk masuk ke Derwana, apa pun yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjadi. Ia ingin berhadapan dengan Jagapati seperti Karna
bertanding dengan Harjuna dalam Bharata Yudha. Tapi hari
itu perang cepat usai. Mentari pergi bersama sang kala.
Namun meninggalkan bangkai-bangkai yang sukar dihitung
banyaknya. Jagapati kembali menghibur laskarnya dengan tari dan
nyanyian serta gamelan sampai tengah malam. Ia sendiri
setelah berbincang-bincang dengan Jagalara dan istrinya,
segera masuk ke pesanggrahan. Untuk mencegah
kemungkinan yang tidak diinginkan, ia tidak tidur di istana
Derwana. Ia tidur di pesanggrahan yang letaknya agak jauh
dari istana. Malam telah larut. Gamelan sudah berhenti. Kidung juga
telah tiada. Sebagai gantinya rombongan katak melengkung
berdendang riang menyambut hujan tengah malam. Udara
dingin dengan angin musim penghujan menembus tiap pori
kulit manusia. Lebah di sarangnya pun merapatkan diri untuk
menciptakan kehangatan. Kala itu Mas Rempek berjalan
seorang diri ke pesanggrahannya. Dan saat ia melangkah ke
beranda rumah yang sunyi itu ia menjadi pucat seperti melihat
hantu. "Selamat malam, Yang Mulia," suara merdu menyapanya.
Jagapati melangkah mundur. Mulutnya ternganga.
"Jangan takut, Yang Mulia. Inilah hamba."
"Sayu Wiwit?" "Inilah hamba. Bukan drubiksa. Bukan juga hantu." Marmi
melangkah maju untuk menghilangkan keraguan Jagapati.
"Hyang Bathara! Kaukah itu?" Jagapati mengembuskan
napas panjang sambil mengusap dahinya. Beberapa saat
kemudian maju. Di bopongnya tubuh Marmi seperti
menggendong boneka. Masuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau hidup kembali?" tanya Jagapati kala merebahkannya
di pembaringan. "Hamba belum pernah mati. Dan tidak akan pernah mati."
"Lalu" Mengapa ada berita itu?" Jagapati kini membelai
rambut si gadis. Keharuman bau tubuh Marmi membuat ia
terlena. Lupa mempertanyakan bagaimana cara gadis itu
masuk, padahal pesanggrahan itu dijaga ketat. Lupa semua
dan segala. "Hamba sedang mengemban tugas lain."
"Apa itu?" "Rahasia. Kan kita sama-sama mengemban tugas?"
"Ah..." Lampu minyak kelapa ditiup angin yang berhembus
melewati sela dinding bambu. Temaram samar bayang-bayang
mereka bergoyang-goyang. "Sekarang juga bertugas?" bisik Jagapati dalam tanya.
"Hamba, Yang Mulia. Tapi agak berbeda dengan dulu. Kini
hamba mengemban dua tugas sekaligus. Pertama
menanyakan, apa sebab Yang Mulia tidak mentaati perintah"
Apakah ini nirneyana" Derwana ingin melepaskan diri dari
Blambangan?" "Hyang Bathara! Siapa yang menugaskan kamu?" Jagapati
melepas pelukannya dan bangkit. Terduduk sambil napasnya
agak terengah-engah. Matanya melotot memandang Marmi.
"Tidak perlu tanya siapa yang menugaskan hamba." Wanita
masih terlentang sambil memamerkan paha yang tersingkap
kainnya, saat Jagapati meraba paha itu tadi. Juga susunya
tegak berbungkus kulit halus mulus tanpa cela. Kepala
Jagapati berdenyut. Seperti jantungnya.
"Yang penting kita harus tahu negeri sedang membutuhkan
pengabdian kita. Jadi negeri ini menugaskan hamba malam
ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau menggurui aku, Wiwit." Jagapati bangkit. Kemarahan mewarnai dadanya. Ia
menuju pintu untuk memanggil pengawal.
"Jangan lakukan itu, Yang Mulia! Nanti akan kecewa,"
cegah Marmi. Ia memiringkan tubuhnya sambil menyangga kepalanya dengan telapak
tangan. "Kau takut menerima hukuman dari pengawalku" Kau tidak layak tidur di
pembaringanku, Wiwit. Dengan mereka...," kata Jagapati angkuh.
"Sayang sekali, Yang Mulia...." Kini Marmi pun bangkit.
"Yang mengawal rumah ini sekarang bukan laskar dari Pakis. Mereka telah sejak
tadi istirahat. Terlalu letih berperang tadi siang. Yang mengawal rumah ini
diganti oleh laskar Mas Sratdadi, menteri mukha Blambangan."
"Jagat Dewa!" "Hamba tetap dianugerahkan pada Yang Mulia malam ini.
Tapi dengan syarat, lusa Yang Mulia harus berangkat bertempur. Bertempur seperti
halnya yang diperintahkan oleh junjungan kita, Yang Mulia Wilis. Dan inilah
pesan beliau, Wilis atau Kompeni."
Lunglai seketika itu Jagapati. Kewibawaannya pudar. Wilis lebih hebat dari
dirinya. Ia kini di bawah tekanannya. Melalui cuma seorang wanita lagi. Tidak
berangkat sendiri, kendati yang diberi peringatan seorang pratanda mukha.
Berdarah Tawang Alun lagi. Tapi ia tidak berdaya kini. Pesanggrahan dalam
kepungan laskar Bayu. Jika ia menyeberang, maka nasibnya akan sama dengan
Sutanegara. Ceylon! "Baiklah!" putusnya kemudian. "Aku pilih Wilis. Aku akan bertempur lusa. Aku
buktikan kesetiaanku pada Blambangan.
Sekarang pergilah kau! Laporkan pada yang memerintahkanmu masuk ke tempatku. Aku
setia." "Yang Mulia, inilah hamba...," Marmi menyembah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pergilah, aku tahu kau bukan Sayu Wiwit. Tapi kau telik!
Telik Bayu. Telik Blambangan. Pergilah! Aku ingin
beristirahat!" Marmi menyembah sekali lagi lalu berlalu. Gontainya
menyisir pandang Jagapati. Sebentar kemudian gadis itu
ditelan kegelapan malam dan udara dingin yang disertai
gerimis kecil. Harapan Jagapati untuk menjadi seorang raja
atas dorongan Jagalara pudar. Wilis dan pengikutnya jauh
lebih pintar daripada dirinya atau Jagalara. Udara makin
dingin, gerimis tidak henti-hentinya menaburkan air
membasahi bumi. Makin riuh bersahut-sahutan katak dan
jangkrik. Juga makin riuh berbagai suara dan lamunan di
angan Jagapati. Tapi yang pasti lusa ia ingin membuktikan
bahwa ia bisa membunuh semua musuh yang mendekatinya.
Dan memang tidak kosong, begitu ayam jantan berkokok,
laskar Blambangan bergerak. Tidak pedulikan nyamuk yang
masih ganas menyerang mangsanya. Tidak peduli jalan-jalan
masih gelap dan lembek seperti bubur. Semua bergerak ke
arah yang telah ditunjukkan bagi mereka. Mereka tidak boleh
terlambat. Begitu mentari menguak bumi, maka penyerbuan
dimulai. Gusti Tangkas, panglima laskar Bali yang
diperbantukan di Blambangan itu pun telah bergerak sesuai
petunjuk Ayu Prabu. Sungguh seperti laron yang keluar dari
sarangnya. Kapten Kreygerg masih enggan melepaskan kemul saat
lembah Perangan tempatnya berkemah dikepung oleh laskar
Wilis. Akibatnya ia amat gugup kala sebuah peluru meriam
mendarat tepat di samping perkemahan para perwira. Ia
menjatuhkan diri dan merangkak mengambil pakaian dan
senjatanya. Bergulingan ia mengambil sepatunya. Dan
mengenakannya. Suasana begitu panik. Jerit teriak ketakutan
bercampur doa mewarnai pagi itu. Kreygerg keluar dari
kemahnya. Tahu-tahu sebuah peluru cetbang jatuh tepat di
tengah kemahnya. Ketika ia toleh, tempat itu sudah terbakar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mengumpat karena perintahnya ditelan suara tembakan
yang datang dari segenap penjuru. Prajurit-prajuritnya seperti
bingung berlarian ke segala arah. Beberapa saat saja Lembah
Perangan yang luas itu menjadi seperti ngarai pembantaian,
kendati akhirnya Kreygerg berhasil menenangkan anak
buahnya dan membawa mereka berlindung di balik-balik
pohon kelapa dan pohon besar lainnya. Ketika tembakan
lawan tidak lagi terdengar, ia memerintahkan membalas
tembakan itu. Namun selang beberapa waktu lagi laskar Wilis juga
kembali menembakkan meriam. Pohon tempat Kreygerg
berlindung tersambar sebuah peluru kanon. Patah. Kreygerg
lari. Namun cabang pohon itu sempat menyerempet
kepalanya. Topinya yang berbulu dan berwarna hitam tidak
tertolong lagi. Tertindih. Untung bukan kepalanya. Namun dari
sebagian kecil kulit kepalanya yang terkelupas itu
mengucurkan darah. Pedih. Dan hatinya berdesir.
Tengah hari mendung mulai mewarnai medan tempur.
Pelan-pelan Kreygerg menarik diri. Lagi sebuah anak panah
menyerempet dahinya. Tuhan! Ya, menyebut. Hujan
menolongnya. Bersama beberapa anak buahnya ia
mengundurkan diri ke Lo Pangpang.
Kreygerg mundur untuk merawat lukanya. Tapi di
perjalanan ia sudah pingsan. Dan nasib - Kreygerg sudahlah
bisa ditentukan karena panah yang menyerempet kepalanya
adalah panah Wilis yang membawa racun warangan. Nasib De
Kornet Tinne hampir tidak berbeda dengan Kreygerg kala Mas
Ayu Tunjung dan Mas Sratdadi meneriakkan perintahnya.
Memang ia melawan habis-habisan. Karena sebagai perwira
yang baru saja lulus dari Akademi Militer di Prancis, ia sangat
malu jika mengangkat tangan pada pribumi yang tidak pernah
sekolah. Namun kemampuan seseorang tidak bisa semata-mata
diukur dari tinggirendahnya sekolah. Juga nyawa manusia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak bisa diselamatkan hanya oleh karena De Kornet Tinne
lulusan sekolah Akademi Militer yang paling terkenal di seluruh
Eropa. Dengan pedang terhunus, Tinne masuk ke medan
tempur. Maka tak ayal lagi, laskar yang menyemut itu
merubungnya seperti semut merubung sekerat tebu. Ia
berteriak memaki. Tapi orang Blambangan tak mengerti
bahasanya. Dan saat itulah, tanggal dua puluh Desember
seribu tujuh ratus tujuh puluh satu, De Kornet Tinne tewas
dengan lambung terburai di tangan orang-orang sudra di bumi
Blambangan. Orang sudra yang tidak tahu membaca dan
menulis. Tapi merekalah yang berjasa menyingkirkan De
Kornet Tinne bagi Blambangan. Untuk kemudian bersatu
kembali dengan Kreygerg di dunia yang lain. Dunia kematian.
Letnan Schaar agak berbeda nasibnya. Ia sempat melarikan
diri ke dalam hutan. Bersama beberapa ratus anak buahnya.
Belukar dan pohon-pohon makin rapat. Semak yang harus
ditembus makin rimbun. Ah, berapa lama lagi ia akan sampai
di Benteng Lateng" Mereka semua sudah membuang senjata
masing-masing. Berkali mereka menoleh. Kalau-kalau dikejar.
Tiba-tiba saja mereka makin panik dan berteriak-teriak
memohon ampun. Lebah yang bergantungan di sarang
berpencaran memburu serta menyengat mereka. Gila.
Sungguh daerah laknat! kutuk mereka. Bagaimana bisa,
sampai lebah pun tak sudi berdamai. Akhirnya keputusasaan
menguasai pikiran mereka. Maka berlarilah mereka ke segala
arah. Tanpa bisa memperhatikan keadaan jalan yang mereka
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalui karena sibuk mengebas-ngebas-kan lebah.
Kini songga dan cula siap menumpas mereka. Jerit
menyayat membuat Schaar menghentikan langkahnya.
Sempat ia melihat seorang sersan berhenti dengan mata
mendelik, tangan memegang perut yang tertembus bambu
runcing. Bukan cuma seorang tapi beberapa puluh, di
antaranya masih mengerang kesakitan. Dan entah beberapa
puluh lagi yang terduduk memegangi paha mereka. Oh,
Tuhan... mengapa harus begini" keluhnya. Ia sadar kini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nyawanya di ujung tanduk. Musnah sudah segala kepongahan
dan keanggunannya. Sebagai gantinya ketakutan. Kini
melangkah pun ia takut. Dan tiba-tiba ia terduduk karena
terkejut mendengar sebuah jeritan beberapa orang bersama-
sama. Ditajamkannya pendengaran dan penglihatannya. Jauh di
sebelah kanan sana tadi jeritan pendek itu terdengar. Perlahan
ia melangkah untuk menengok. Sunyi kini. Lebah pun telah
kembali ke sarangnya. Dan apa yang dilihatnya kemudian"
Puluhan lagi anak buahnya punah dalam jebakan harimau
yang beralaskan bambu runcing. Ketakutan makin dalam.
Melangkah saja takut. Kini ia lunglai terduduk dan bersandar di bawah pohon.
Kedua kakinya ditekuk. Kepalanya dibenamkan ke lutut.
Tangan merangkul kaki. Beberapa saat berdoa. Menangis.
Berdoa lagi. Menangis lagi. Ketakutan yang tak teratasi
ternyata membuahkan kehinaan yang tidak pernah ternilaikan.
Tangis Schaar berhenti sesaat kala mendengar suara tawa
yang berkepanjangan. Suara wanita.
'Ternyata kau cuma pandai menghina wanita, Schaar. Kau
tak pernah pandai berperang. Percuma VOC membayarmu."
Mas Ayu Prabu menampakkan diri. "Kau yang membunuh Ni
Kebhi?" "Ampun... bukan!" Schaar tak lagi kuat berlari.
"Kau akan berhadapan dengan Ni Kebhi. Mari kita pergi dari
neraka ini. Mari! Berdirilah!" Mas Ayu Prabu mencabut
pedangnya. Mau tak mau Schaar harus berjalan menurut
perintah Ayu Prabu. Kini nasib Schaar sudah bisa ditentukan.
Ia dihadapkan pada orang-orang yang pernah dipukulnya,
diludahinya, diperkosanya, diinjaknya, dan dipermalukannya.
Maka karma pun berlaku atas dirinya. Setiap orang
diperbolehkan membalas sesuai dengan apa yang dilakukan
Schaar atas dirinya. Aniaya dibalas aniaya. Schaar mati pelan-
pelan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua perwira Belanda menemui nasibnya sendiri. Di bagian lain, Jagapati
kehabisan peluru kala tengah hari.
Tekadnya yang bulat untuk membuktikan pada setiap orang bahwa ia mencintai
Blambangan, mendorongnya maju ke depan. Sayap kiri pasukan Kapten Alap-alap
telah beradu senjata, satu lawan satu. Dentingan suara senjata memancing Alap-
alap meneriakkan perintah untuk menyerbu maju. Alapalap sama sekali tak takut
pada senjata lawan. Karena di balik bajunya ia mengenakan baju tamsir yang
terbuat dari kulit kerbau. Jadi ia merasa dirinya kebal. Jagapati mengawasi
jalannya pertempuran dari punggung kudanya. Ia tahu persis Alap-alap tidak
terpengaruh oleh tusukan lawan-lawannya. Ia pernah mendengar dari Jagalara bahwa
orang itu mengenakan baju tamsir. Ia amati benar-benar. Tampan orang itu
sebenarnya. Sayang kulitnya hitam.
"Baik. Aku akan hadapi dia". Ia meraba tombaknya. "Aku akan menghabisi riwayat
pahlawan Madura itu". Ia sentuhkan tumitnya ke perut kudanya. Seperti terbang
kuda itu menerjang ke tengah pertempuran. Kumis kecil di bawah hidung mancung
ternyata menimbulkan kesan tersendiri bagi Jagapati. Keris panjang di tangan
Alap-alap juga menjadi titik pandang Jagapati.
"Alap-alap?" sapa Jagapati kala kuda keduanya sudah berdekatan. Mata Alap-alap
menyala. Ia sudah memperkirakan bahwa sedang berhadapan dengan Rempek. Ia segera
menyerbu tanpa banyak kata. Gebrakan pertama membuat Jagapati sibuk mengelak.
Bahkan kala ia menusuk leher Alapalap, orang itu menunduk sambil menusuk. Gugup.
Kulit perut robek terserempet keris panjang itu. Darah mengucur. Alapalap
terbahak. Menusuk lagi. Namun kali ini Jagapati menjatuhkan diri sambil
menusukkan tombaknya. Tepat lewat bawah pusar Alap-alap mata tombak itu menyobek
lambungnya. Alap-alap terkejut dan berteriak. Semua pengawalnya heran. Orang
yang kebal itu terjungkal dengan usus terburai kala Jagapati menarik kembali
tombaknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jagapati tertawa. Namun sebuah letusan menghantam
dadanya. Orang itu bergulingan di tanah. Namun segera
bangkit kembali. Darah mengucur dari dada kanan atas yang
terluka itu. Seorang pengawal buru-buru menolongnya naik ke
atas kuda. Hujan mulai turun mengiringi mundurnya Kompeni
ke Lateng. Dengan ketakutan mereka mengangkut mayat
Kapten Alap-alap ke Lateng.
Orang kebal pun punah di Blambangan. Malah Jagapati
tidak gugur sekalipun kena tembakan.
Pieter Luzac dan Schophoff tidak mampu berkata-kata
melihat kenyataan ini. Laporan dari medan perang sungguh
memalukan. Setelah keduanya memeriksa seluruh pasukan di
barak-barak dan benteng-benteng, ternyata jumlah mereka
tidak ada sepertiga dari semula. Para perwira juga banyak
yang sakit. Perut mereka kebanyakan menjadi kembung, mual
dan muntah, pusing berat dan wajah serta mata mereka
memantulkan warna sedikit kuning. Juga para bintara dan
prajurit. Satu demi satu harus menyerahkan diri pada maut.
Tabib dan ahli kesehatan yang didatangkan dari Surabaya
tidak mampu menolong banyak. Maka ia memutuskan
membatalkan rencana serangan selanjutnya. Laporan segera
ia kirim pada Gubernur dan Gubernur Jenderal. Sebaliknya
pihak Bayu harus kembali menaikkan umbul-umbul hitam.
Jagapati tak tertolong kendati sudah diusahakan untuk
mengobatinya selama sehari dan semalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVII. RASAMALA Seperti hujan yang turun merata hampir di seluruh
Nusantara, demikian pula berita tewasnya Tumenggung Alap-
alap, yang juga seorang Kapten Kompeni yang terkenal gagah
berani, tersebar ke seluruh Nusantara. Tiap telinga di Madura,
Batavia, Mataram, dan Surabaya mendengar berita kematian
itu. Tapi tiap orang mempunyai pendapat yang berbeda. Ada
yang heran, ada yang senang karena tidak menyukai
tindakan-tindakan Alap-alap. Sebagian lagi, terutama para
pembesar Kompeni, Madura, dan Mataram, yang merasakan
jasa Alap-alap, sangat marah. Mereka kehilangan seorang
yang gagah berani dan selalu tampil sebagai penolong saat-
saat mereka terdesak oleh lawan.
Kini mayatnya terkubur di bawah bukit kapur. Gundukan
tanah liat berwarna kuning menimbuni tubuh itu. Kendati di
atasnya ditaburi kembang beraneka-ragam. Penghormatan
terakhir. Dan memang terakhir secara sungguhsungguh.
Sebab sesudah itu tiada lagi pejabat Kompeni yang berziarah
ke Bangkalan. Apa kepentingan mereka menghormat
gundukan tanah" Tentu berbeda dengan Panembahan
Rasama-la penguasa Bangkalan. Senyumnya punah. Pipinya
yang mulai dihiasi lipatan-lipatan karena bertambahnya usia,
makin membayang jelas. Janda mendiang Alap-alap meminta
agar Madura menurunkan pasukan ke Blambangan untuk
membalaskan sakit hati keluarga. Dan Panembahan Rasamala
berjanji akan memimpin langsung pasukan Madura itu.
Beratus-ratus kapal perang dan kapal pendarat berlabuh di
Panarukan dan Probolinggo. Rasamala sendiri mendarat di
Probolinggo. Ia disambut oleh Adipati Jayanegara dengan
hormat. Bahkan sang Adipati sendiri mengirim sebuah kereta
kehormatan yang ditarik enam kuda pilihan. Seluruh kawula
dikerahkan di pinggir-pinggir jalan yang akan dilewati oleh
pembesar negeri Madura itu. Sehingga kawula melihat jelas
wajah Rasamala. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kulitnya sawo matang. Kumisnya jarang-jarang.
Mengenakan anting-anting bunder di telinga sebelah
kanannya. Emas. Alis di atas matanya juga tipis. Mukanya
bekas diukir oleh jerawat yang sebesar-besar bisul. Berbaju
hitam berhiaskan renda-renda emas menutup tengah dada
sampai dada. Sabuk besar terbuat dari kulit. Pedang panjang
di pinggang, sedang keris juga terselip di ikat pinggang depan
sampai menutup perutnya. Seorang pengawal selalu mengikut ke mana pun ia pergi,
sambil memikul bedil pembesar itu. Setelah itu sekitar dua
puluh lima orang bersenjata bedil dan pedang memagari kiri-
kanan, muka-belakang. Jadi kendati kawula Probolinggo
mengelu-elukannya, ia sama sekali tidak sempat menolehnya.
Cuma sebentar ia beramah-tamah dengan Jaya-negara.
Keesokan paginya ia bersama rombongan berangkat ke Pakis.
Rasamala mendapat keterangan dari Probolinggo bahwa
Rempek atau Jagapati itu berasal dari Pakis. Karena itu ia
ingin melumat Pakis lebih dulu untuk memancing Jagapati
keluar dari Derwana. Tapi perjalanan itu sudah didengar oleh
banyak orang. Dan kampung-kampung yang akan dilewati
telah menjadi kosong. Semua orang mengungsi. Takut.
Karena memang di sepanjang jalan mereka menyebar maut,
dan membakar kampung-kampung yang telah ditinggal
bersembunyi oleh penduduknya itu. Rasamala terbahak-bahak
melihat tingkah anak buahnya. Jika ia lelah di atas punggung
kuda, maka tandu disiapkan untuk mengangkutnya.
Rawa-rawa di perbatasan Probolinggo dan Blambangan
telah mereka lampaui. Dan begitu masuk wilayah Blambangan
mereka menjadi beringas. Dendam tertumpah pada semua
dan segala. Dan ketakutan cepat merambat ke mana-mana.
Mereka mencabut dan membabat semua umbul-umbul hitam
yang mereka jumpai di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui.
Schophoff telah menerima laporan tentang tindakan Rasamala
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Senang. Sendiri tidak mampu tapi ada orang lain yang membalasnya.
Berita kehadiran Rasamala itu tidak cuma sampai kepada Schophoff tapi juga
sampai ke telinga Wilis serta para pemuka Raung lainnya. Wilis memerlukan datang
sendiri ke Derwana untuk memberikan beberapa penjelasan penting berkenaan
datangnya musuh baru di Blambangan. Jagalara tampak terluka di bahu kirinya.
Sedang Undu di atas alisnya terserempet peluru. Para selir dan istri Jagapati
juga ikut hadir. Sratdadi. Mas Ayu Tunjung, Gusti Tangkas dari Bali, serta Lindu
Segara dan Mas Ayu Prabu kini tampak berkumpul di pendapa Derwana.
"Perang belum usai. Kendati kita dalam suasana duka,"
Wilis mengawali uraiannya. Ia pandangi semua yang hadir.
Menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan. "Kita harus... ya, harus...,"
tangannya diangkat untuk memberi penekanan pada suaranya, "menyiapkan diri lebih
kuat lagi. Sekarang Panembahan Rasamala dari Bangkalan, Madura, akan menghadapi kita. Para
telik melaporkan, mereka merampok sepanjang jalan. Ah... Blambangan sekarang
benar-benar di ujung tanduk."
Semua orang tertunduk. "Kita telah kehilangan banyak. Apakah kita tidak perlu istirahat terlebih dulu"
" Jagalara membuka suara.
"Ya. Memang kita perlu istirahat. Kita tidak akan menyerang mereka. Tapi kita
perlu bersiapsiap. Sementara itu, aku akan memperbaiki jebakan dan songga di
hutan-hutan. Kita menunggu Rasamala masuk. Aku tidak percaya orang setua dia itu mampu naik
ke Benteng Bayu.' "Jika diizinkan, hamba akan mengirim pasukan dari Songgon untuk mencegat mereka.
Paling tidak mampu memberi peringatan pada mereka," ujar Sratdadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan mengirim telik terpilih kita. Penembak-penembak
jitu di tiap tikungan hutan. Sesudah menembak, mereka akan
kabur. Begitu terus akan dilakukan. Jangan orang-orang
Songgon. Mereka adalah gudang beras kita yang terakhir.
Karena itu kita perlu menjaga ketidakterlibatan Songgon
dalam perang ini." Masih cerah juga pikiran anak ini, pikir Sratdadi.
"Yang penting sekarang hamba akan bertanya, apakah para
selir dari Yang Mulia Jagapati akan pulang ke tempat asal
masing-masing atau ikut nglarung (ikut mati dibakar dan nanti
abunya dibuang ke Laut Selatan). Atau ikut bersama kami
berperang melawan para drubiksa itu?"
Tiga orang selir berbisik-bisik.
"Ikut berperang saja," bisik seorang pada lainnya.
"Siapa tahu jika menang nanti kita jadi selir beliau"
Lumayan," bisik satunya.
"Masih muda begitu apa mau" Kita bekas selir Rempek."
"Jika kalian tidak mau. aku akan tinggal bertempur,"
seorang memutuskan. Dan kemudian menyatakan
pendapatnya pada Wilis. Tentu itu disambut gembira oleh para
pemimpin. Hanya paramesywari yang harus ikut dibakar dua
hari lagi bersama jenazah Mas Rempek.
Hari kelima, semua orang Derwana dan Indrawana
berbondong menuju alun-alun. Para keluarga semuanya
mengenakan kain putih. Juga paramesywari. Ia sudah naik ke
atas menara di atas onggokan kayu yang siap membakar
tubuh suaminya. Juga dirinya sesaat lagi. Ia sempat menoleh
deretan tamu dari Pakis. Mas Nawangsurya, Mas Ayu Patih,
Mas Ngalit, dan Mas Talip. Semua nampak tersedu-sedu.
Kidung Lokananta sudah ditembangkan. Pandita istana Pakis,
Dang Hyang Asyoma yang mengenakan jubah kuning telah
membacakan mantra. Kemudian mengangkat giring-giring dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membunyikannya. Api pelan-pelan merayap naik. Tangis pilu
para selir serta beberapa inang menyertai letupan-letupan
kecil. Doa diucapkan makin keras. Ah, mereka cuma
menangis, paramesywari sempat berkata-kata untuk
mengatasi rasa takutnya. Rempek nampak bangun.
Melambaikan tangan padanya. Ia gosok matanya. Tidak!
Rempek terbujur dan dimakan api. Tapi kini bangun lagi.
"Mari, Adinda!" Ia merentangkan tangan dalam api. "Mari ke dalam pelukanku!"
Tidak mampu berpikir lebih lama lagi. Ia
melompat ke dalam pelukan api. Doa penolak hujan juga terus
berkepanjangan. Aroma daging terbakar menusuk hidung. Kala api unggun
meredup, satu per satu orang meninggalkan tempat itu. Wilis
masih saja berdiri. Memandangi murid-murid Dang.Hyang
Asyoma yang siap mengumpulkan abu kedua jenazah itu.
Walau masih dalam tangis, para selir sempat membicarakan
hubungan paramesywari dengan Undu yang akhir-akhir ini
agak akrab karena sering ditinggal tidur di tempat lain oleh
Jagapati. Tidak mereka duga bahwa paramesywari akhirnya
mau ikut membakar diri. Tentu bukan semaunya, pikir
mereka. Paramesywari tentu ingin hidup lebih bahagia dalam
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukan Undu. Wilis mengundang keluarga Pakis untuk singgah dulu di
istana Derwana. Mas Nawangsurya sempat melirik wajah Wilis.
Tampan. Istana itu juga tidak terlalu jelek, kendati di tengah
rimba raya. Dan penduduk Derwana ternyata cukup padat.
"Kita menghadapi hal yang lebih sulit sekarang," Wilis mulai memberikan
keterangan. "Panembahan Rasamala datang
dengan membawa balatentara sangat besar. Tidak kurang dari
dua puluh lima ribu orang. Sekitar tiga ribu memang sudah
ditenggelamkan oleh armada Rencang Warenghay dan Harya
Lindu Segara. Seribu lagi punah di tengah paya-paya Pantai
Panarukan. Empat ribu lagi punah di tangan pasukan
pemanah kami. Namun demikian masih tersisa tujuh belas ribu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama pemimpinnya." Diam sebentar untuk mengamati para
tamunya. Ketakutan membayang di wajah mereka.
"Apakah perang akan terus berlanjut?" Nawangsurya yang
membuka suara. Ia yang tertua kini. Kakaknya, Bagus Puri,
telah tiada. "Apakah kita akan merelakan diri menjadi budak?" Wilis
balik bertanya. Tiada yang menyahut. Beberapa bentar
ruangan besar itu jadi hening. Hujan turun dengan lebatnya.
Sementara dapat menghapus aroma bangkai yang kian
merajai Bumi Semenanjung. Di Pangpang, Lateng, dan di
mana-mana. Pemangsa bangkai benar-benar kewalahan. Lalat
makin hari makin banyak jumlahnya.
"Kita memang telah lama, berpindah dari satu perbudakan
ke perbudakan lainnya. Jatuh dari tuan yang satu ke
tangan..." Nawangsurya berkata perlahan. Hampir tak
terdengar karena suara air hujan. Ketakutan kian membayang
dalam temaram damar. "Perang saat ini adalah cetusan keinginan untuk
membentuk jatidiri yang bebas dan menghargai kesamaan hak
serta menciptakan persaudaraan yang murni. Itulah
kemanusiaan yang sesungguh-sungguhnya."
"Jagat Dewa! Hyang Dewa Ratu! Jika kemanusiaan yang
seperti itu tujuan utama kita, mengapa kita tidak mencoba
dengan cara damai?" Nawangsurya kembali mengeluarkan
pendapatnya. "Tidak pernah akan damai selama ada hati yang ingin
menang dan menguasai satu dengan lainnya. Perang tidak
berhenti dari hati manusia.
Bentuknya saja berubah-ubah. Selamanya. Sebab kita
dilahirkan oleh peperangan ibu kita melawan maut. Juga,
hidup! Harus dipertahankan melalui perang melawan
kelaparan dan semua wabah penyakit. Kapan akan ada damai
yang sesungguhnya" Jika kita harus mengangkat bendera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
putih, maka kita akan lebih dahulu berperang melawan harga
diri sendiri. Apakah kita akan mempersundalkan diri atau..."
"Hyang Dewa Ratu!" Nawangsurya menyebut sekaligus
memandang wajah saudara-saudaranya. Wajahnya yang ayu
itu kian pias memucat. Tapi saudara-saudaranya cuma
menjawab dengan tatapan mata hampa tanpa makna.
"Barangsiapa mengerjakan sesuatu yang melawan
jatidirinya sendiri demi kesukaan dan kepuasan orang lain,
atau demi menyambung hidupnya, sebenarnyalah ia telah
mempersundalkan diri. Dan jika kita hidup di dalamnya, maka
kita adalah sundal."
"Hyang Dewa Ratu!"
"Tidak ada yang melarang orang hidup dari persundalan,"
sambung Wilis. "Sebab tiap manusia wajib mengulur
hidupnya." Pertemuan itu ditutup dengan permintaan Nawangsurya
untuk menjadikan Pakis daerah damai. Dan menarik semua
laskar Bayu supaya tidak melibatkan Pakis pada perang
mendatang. Cukup pahit dengan perpecahan antara
Rahminten yang kini dikawin oleh Jaksanegara dengan
Rempek. Belum lagi karena kematian adik yang dianggapnya
cerdas dan paling berwibawa memerintah Pakis.
Sementara itu di Pangpang, Rahminten atau juga biasa
dipanggil Arinten, gelisah. Bagaimanapun juga Rempek adalah
adiknya. Tega melihat kala ia sakit, tapi tidak rela ia mati
seperti anjing kurap. Sementara itu ia bersenang-senang
dalam pelukan musuh adiknya. Apalagi kini mendengar berita
kedatangan Rasamala. Tentu Blambangan akan punah. Semua
bangunan akan rata dengan tanah. Punah harapan untuk
menegakkan kembali cakrawati keluarga Tawang Alun.
Padahal ia sudah dengan sadar menjadikan dirinya sebagai
tumbal. Tiraikasih Website http://kangzusi. com/
"Kenapa gelisah?" tanya Jaksanegara dalam bisik waktu keduanya sudah berbaring
di tempat tidur. Ia belai rambut istrinya. Seperti membelai seorang anak.
"Rempek, Kanda...."
"Ia sudah membayar ulahnya sendiri...."
"Tapi mengapa harus dibunuh?"
Jaksanegara mempererat pelukannya. Di luar udara bulan Januari yang ditandai
oleh hujan setiap hari itu, makin dingin saja. "Jangan pikirkan dia. Dia telah
membunuh banyak." Air mata Rahminten membasahi dada Jaksanegara. Dan orang itu jadi terkejut.
"Mengapa?" "Pakis akan punah. Nawangsurya dan adik-adikku akan ikut musnah. Lenyaplah
peninggalan moyang kami. Pusaka leluhur itu."
"Ya, Al ah...," Jaksanegara mengeluh.
"Kita harus mencegahnya, Suamiku. Apa arti hidup ini jika satu-satunya
kebanggaan yang masih tersisa juga ikut punah"
Di zaman Wong Agung Wilis pun kami tak pernah diusik. Tapi kenapa malah akan
dipunahkan" Bukankah itu akan memancing kebencian" Kebencian kawula yang
meledak, Kanda, akan mengatasi semua ketakutan."
Jaksanegara seperti tersentak. Cerdas juga perempuan ini.
Buat beberapa saat ia diam. Dan malam yang dingin makin menjadi dingin. Dan
untuk mencegah kedinginan itu berlanjut, ia berjanji akan menjemput Rasamala
agar tidak melanjutkan perjalanannya ke Pakis. Tapi berbelok ke timur, ke
Pangpang. Keesokan paginya rencana memang segera I disusun.
Jaksanegara membawa salah seorang selirnya. Selir itu akan menyampaikan surat
undangan pada Rasamala. Ia juga menyiapkan kereta. Kereta kehormatan hadiah dari
VOC Batavia untuk sang adipati Blambangan. Kereta yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah dimiliki oleh penguasa Blambangan sebelumnya. Ia
sudah melaporkan rencananya itu pada Schophoff. Yang
kemudian mengutus Pieterv Luzac menjemput Rasamala dan I
memberi tahu bahwa Jagapati yang juga menggunakan nama
Wong Agung Wilis kala memimpin laskarnya, sudah mati.
Semula Rasamala menolak undangan itu. Dengan tegas
Rasamala tetap akan mengerahkan pasukannya ke Pakis
untuk menghukum Rempek. 'Tapi Rempek sudah mati," jelas Pieter Luzac.
"Mereka membunuh sekitar delapan ribu laskar kami di
jalan. Bagaimana bisa dikatakan mati" Bahkan mereka sempat
menghujani kami dengan tembakan meriam. Bagaimana
mungkin itu terjadi jika pemimpinnya sudah mati?"
"Tuan tak percaya Kompeni?"
Rasamala terdiam. Beberapa saat ia berpikir. Lalu
memerintahkan anak buahnya berbelok arah ke Pangpang. Dia
sendiri segera berangkat bersama Jaksanegara dan Pieter
Luzac untuk menghadap Residen. Menyerahkan pimpinan
pada Gan-dara. Ia duduk sebelah-menyebelah dengan selir
Jaksanegara dalam kereta kehormatan. Keharuman tubuh
wanita itu mendinginkan bara dalam dadanya.
Perundingan dilanjutkan pada malam harinya, di rumah
Adipati Jaksanegara. Schophoff, Pieter Luzac, dan Juru Kunci
ikut menemani Rasamala. Rasamala tetap saja ingin ke Pakis
membuktikan apakah benar Rempek sudah mati. Tapi ia
berjanji akan menempatkan pasukannya di luar tapal batas
kota Pakis. "Hamba memohon dengan amat sangat, Kanda. Sebab
yang memimpin daerah itu cuma seorang wanita,"
Jaksanegara memohon. Melihat kebaikan Jaksanegara yang
menjamunya itu, Rasamala mengulangi janjinya. Apalagi
setelah malam hari itu dia dipersilakan bermalam di
pesanggrahan yang indah milik Jaksanegara di tengah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keputrian. Ia jadi lupa akan dendam istri Alapalap. Lupa pada
pasukan yang ia serahkan ke dalam kekuasaan Gandara. Ia
tidak tahu bahwa pasukannya itu kini sedang berhadapan
dengan Sratdadi serta Jagalara, yang dibantu Gusti Tangkas.
Laskar Blambangan sengaja membiarkan pasukan Madura
masuk ke jalan menuju Pangpang yang diapit hutan lebat.
Sebenarnya Mas Sratdadi mencegat mereka di jalan yang
menuju Pakis. Hatinya gembira. Sebab jika mereka
meneruskan perjalanan ke Pakis, mereka akan melewati jalan
panjang yang membelah bukit. Batu-batu dan senapan siap di
atas bukit. Sudah bisa dipastikan mereka akan punah. Sedikit
yang akan bisa selamat. Tapi setelah mendengar laporan
perubahan perjalanan Rasamala, ia buru-buru mengalihkan
laskarnya ke jalan menuju Pangpang. Ia sangat kecewa
karena Rasamala baru saja berlalu ketika ia sampai ke tempat
pencegatan itu. Tapi beruntung karena masih ada pasukan
yang dicegat. Setelah ekor pasukan itu masuk jebakannya, ia
menurunkan perintah untuk menembak.
Untung Gandara sudah curiga. Maka ia sengaja membagi
pasukannya menjadi dua bagian. Ia berada di belakang.
Kendati bisa membalas, pasukan pertama tetap saja harus
kehilangan banyak anggotanya. Mereka cuma membalas
sekenanya. Musuh tidak nampak. Gandara mendengar bunyi
tembakan maka memerintahkan barisan kanon untuk
menghujani kiri-kanan jalan di depan mereka. Sratdadi
terkejut waktu menerima tembakan itu. Tapi ia menyadari
bahwa mereka hanya diperkenankan menjadi pasukan intai.
Tidak boleh menyerbu dengan beradu senjata tangan. Maka ia
segera memerintahkan semua anak buahnya mundur. Namun
Jagalara yang telah terluka, tidak mampu menahan darahnya
yang mendidih melihat bangsanya dikerahkan untuk
membantu Belanda. Ia justru keluar dari persembunyiannya
dan menyerbu ke pasukan Gandara. Tapi Sratdadi tidak suka
melihat hal itu, maka segera ia menjatuhkan hukuman mati
bagi Jagalara. Beberapa penembak jitu dan ia sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membidikkan senjatanya kepada Jagalara. Dan betul, orang
itu terjengkang sebelum sampai ke tengah musuhnya.
Rasamala kembali marah kala Gandara tiba di Pangpang
dalam keadaan luka di pahanya. Sebuah peluru nyasar di paha
itu sebelum Sratdadi benar-benar meninggalkan musuhnya.
"Siapa yang percaya Rempek sudah mati?" teriaknya.
Adipati Blambangan menunduk melihat muka Rasamala yang
merah padam itu. Rahminten tersinggung melihat itu. Betapa
suaminya seperti siput di depan orang lain. Ah, suaminya
cuma pandai menaklukkan wanita. Maka diam-diam ia
mengambil keputusan untuk mengirimkan seorang utusan
guna memberi tahukan semua rencana Rasamala.
Sontak yang sudah sebal melihat tingkah Jaksanegara
segera memacu kudanya untuk menyampaikan pesan pada
Nawangsurya. Ia heran setelah sampai di Pakis. Tidak ada lagi
penjagaan yang kuat dari pasukan Bayu seperti sebelumnya.
Keadaan telah kembali seperti di zaman sebelum Mas Rempek
memimpin perang. Ia langsung menuju puri tempat tinggal
Nawangsurya. Setelah menerima keterangan dari Sontak,
Nawangsurya berterima kasih dan memerintahkan Sontak
meninggalkan Pakis secepatnya. Makin heran Sontak. Namun
ia mengambil keputusan untuk menguping kejadian
selanjutnya. Dan ia bertekad akan bergabung dengan Rsi
Ropo di Songgon. Mungkin ia akan memperoleh kedamaian.
Sepeninggal Sontak, Nawangsurya segera mengumpulkan
saudara-saudaranya. Sekali lagi ia melihat saudara-saudaranya
lesu tanpa semangat. "Apa boleh buat," kata Mas Talip. "Kita tinggal lari."
"Lari?" Nawangsurya melotot.
"Habis" Jika kita tidak lagi mampu mempertahankan hak
kita" Milik kita?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nawangsurya putus asa. Ia harus akui hampir semua
saudaranya berjiwa kerdil. Tak seperti Rempek. Kendati
menurut silsilah semestinya ia termuda. Tapi kecerdasan dan
keberanian telah membuatnya jadi pimpinan yang cepat
menonjol. "Baiklah, kalian tidak punya pendapat untuk
mempertahankan warisan leluhur kita. Jadi siapa yang berani
mempertahankan, dia akan jadi pemiliknya. Kalian rela?"
Kembali ruangan menjadi sunyi. Benar-benar sunyi.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi...."
"Baiklah aku rela, asal saja kami boleh tetap tinggal...," Mas Ngalit lebih
dahulu memberikan pendapatnya.
"Sekarang kita bukan lagi satria Blambangan sejati. Kita
telah menjadi salah seorang dari Jaksanegara, Juru Kunci,
atau mungkin juga sama dengan Bapa Anti. Nah, sekarang
perintahkan para pengawal di depan itu memasang bendera
putih di tapal batas kota. Di jalan yang akan menuju gerbang
kota Pakis ini. Setelah itu kalian masuk pura, berdoalah untuk
aku. Aku akan menghadapi Panembahan Rasamala itu sendiri.
Jangan terburu kembali ke sini jika tidak aku panggil. Lebih
baik pulang ke rumah kalian masing-masing, jika selesai
berdoa." Mereka kemudian saling berangkulan. Menangis. Tapi
Nawangsurya segera mengingatkan bahwa waktu telah habis.
Tidak boleh terlalu lama bertimbang. Tidak boleh terlalu larut
dalam kesedihan. Ia harus bersiap kini. Hujan lebat
menyambut kehadiran Rasamala di Pakis. Kendati marah,
Rasamala memang menepati janjinya. Karena Jaksanegara
menjamin dengan sungguh-sungguh, bahwa pemimpin Pakis
Cuma seorang wanita. Sepuluh orang membawa bendera putih siap di gerbang
kota Pakis. Keremangan mulai turun ketika kuda Rasamala
memasuki halaman istana Pakis, dengan dua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memayunginya di kiri dan kanannya. Pasukannya berbaris di
luar pagar kota, sedang pengawal pribadinya berbaris di luar
pagar istana. Istana yang tidak berpengawal, kecuali sepuluh
orang pembawa bendera putih tadi. Rasamala benar-benar
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
heran. Kota Pakis seperti kota mati. Tidak satu kedai pun yang
buka. Tidak nampak seorang pun petani pulang dari sawah di
senja begitu. Atau mereka telah pulang sejak tadi karena
hujan yang begitu lebat. Mata Rasamala berusaha
menembuskan pandang ke dalam pendapa yang mulai
diterangi oleh beberapa pelita. Cukup luas pendapa itu. Di
sudutnya terdapat satu rancak (satu set) gamelan dan
angklung. Setelah mempersilakannya naik pendapa, dua orang
yang memayunginya itu segera mengundurkan diri ke dalam
pelukan hujan. Dia tidak boleh naik ke pendapa karena basah
kuyup. Juga empat orang pengawalnya harus kembali ke
serambi, tidak bisa mengikutinya naik. Tapi Rasamala benar-
benar heran. Matanya mencari-cari. Tidak ada prajangkara..
(protokol istana) Ketika ia melangkah lebih ke dalam, ia mendengar suara
gemerincing, beradunya dua buah binggal di kaki Mas Ayu
Nawangsurya. Rasamala berhenti melangkah. Seperti terpatri
di lantai. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Belum
pernah ia melihat pemandangan yang seperti itu, sekalipun di
Mataram. Kerajaan besar yang tersohor itu.
Di sini ia cuma ditemui oleh seorang wanita saja. Bahkan
masih sangat muda menurut penglihatannya. Anaknya yang
sulung lebih tua dari gadis ini. Rambut gadis itu terurai sampai
di bawah pinggulnya. Bahkan mencapai lutut. Begitu tebalnya
hingga dibagi tiga bagian. Sebagian menutup bahu kiri dan
kanan, dan meluncur terus ke bawah. Tebal, hitam dan agak
ikal. Alis di atas kedua matanya hitam dengan ujung runcing,
gambar dua pertiga bagian dari bulan tanggal satu yang
kembar. Mata bulat diteduhi bulu mata lentik menghias muka
yang berbentuk bulat telur. Hidungnya begitu sempurna
dengan ujung meruncing, dilengkapi oleh kuping yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipasangi anting emas berbentuk rantai-rantai sepanjang jari
telunjuk. Kalung mutiara memperindah leher jenjang dengan
garis-garis alam yang samar. Bahu tidak tertutup apa pun.
Juga dua buah bukit kembar terpamer mendebarkan hati tua
Rasamala. Kutang yang terbuat dari rantai emas tidak
menghalangi pandang siapa pun untuk menikmati susu mulus
itu. Lebih berdebar lagi kala Rasamala melanjutkan
pengamatannya ke bawah. Pending emas tidak menutup
pinggang yang seperti pinggang tawon itu. Bahkan pusar pun
bebas untuk dinikmati oleh pandang Rasamala. Langkah
Nawangsurya menimbulkan bunyi tersendiri karena mulai dari
pinggul ke bawah terbungkus kain batik yang melilit ketat.
"Selamat datang, Yang Mulia. Dirgahayu...," suara
pembuka Nawangsurya gemetar. Tapi terdengar amat merdu
di telinga Rasamala yang tua itu, dan membangunkannya dari
impian. "Masya Al ah..." ia menyebut dalam hati. Kemudian
membalas salam itu dalam Jawa.
Nawangsurya memaksakan diri tersenyum. Bibir tipisnya
merah delima karena kinang (bersirih)
"Mengejutkan sekali kehadiran Yang Mulia di Blambangan
ini. Apalagi memasuki daerah bebas perang, Pakis," ujar
Nawangsurya setelah keduanya duduk di kursi yang tersedia.
Kursi kayu tua yang berukir, peninggalan leluhur barangkali.
"Jika Pakis bebas perang, mengapa Rempek membunuh
panglima kami" Tumenggung Alap-alap?"
"Rempek bukan penguasa di Pakis. Hamba. Ya, inilah
hamba yang menggantikan Kakanda Bagus Puri." Dada gadis
itu penuh gejolak. Takut melihat mata Rasamala yang kian
beringas. Orang itu terdiam untuk beberapa saat. Kembali
melahap tubuh gadis di depannya dengan pandang. Kemudian
menelan ludah. Memalingkan wajah ke tempat lain. Mencari-
cari pegangan untuk mempertahankan imannya. Berkah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyebut nama Tuhan. Lamunan membawanya jauh pada
anaknya yang telah dinikahi Adipati Sumenep. Lebih tua dari
Nawangsurya ini. Tapi tidak lebih cantik. Lamunannya segera
pudar setelah Nawangsurya mempersilakan masuk ke ruangan
bersantap. Ia berjalan cuma selangkah di belakang gadis itu.
Kulitnya benar-benar mulus. Ia percaya kini pada cerita
Jaksanegara, wanita ini mungkin tidak pernah terjamah
mentari. Sunyi memang. Istana besar yang kosong. Cuma tiga
perempuan agak tua yang mempersiapkan ruang makan itu.
Sate kambing, telor rebus, dan beberapa lagi macam masakan
yang tidak menarik di mata Rasamala. Dadanya kian
membuncah. Api yang lain membakar dada itu. Mengalahkan
semua api amarahnya. "Sendiri di istana sebesar ini?"
"Bersama para inang," jawab gadis itu sambil menunduk.
Tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Malam kian naik.
Bayangan Wilis yang tampan mulai menggodanya. Ah, andai
ia mau mungkin saja ia akan menjadi salah seorang istrinya.
Tidak akan bersua dengan seorang bermata buas, dan
bermuka kasar penuh bekas jerawat. Pipi berlipat menghias
muka persegi seperti sekarang ini. Hujan di luar bertambah
lebat. Rahminten yang menasihatinya untuk bersikap ramah
pada orang kasar ini. Demi mempertahankan warisan leluhur.
"Blambangan harus membayar pada Bangkalan. Kematian
seorang panglima tidak mungkin dibiarkan berlalu damai.
Karena itu kami datang untuk berperang," Rasamala mulai
menekan. "Hamba menyatakan Pakis tidak ikut perang."
"Jika demikian, Yang Mulia harus memilih, menyerah atau
berperang." Nawangsurya memandang tamunya dalam-dalam. Betapa
tidak malunya orang ini. Terhadap wanita menantang perang.
Kembali bayangan Wilis menggoda. Kini ia terjebak pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesalahan. Ia menarik napas dalam-dalam. Susunya bergerak-
gerak seirama desah napasnya.
"Boleh hamba berpikir?" Nawangsurya mencoba mengulur.
"Untuk apa?" "Bertimbang. Ini persoalan nasib dan nyawa. Bukan cuma
hamba seorang. Tapi kawula Pakis yang tidak berdosa. Perang
merusak semua dan segala. Karenanya hamba tidak suka
berperang." Nawangsurya bangkit. Mempersilakan tamunya
menuju ke ruang peristirahatan.
Kembali Rasamala mengikut bagai bayang-bayang.
Kekagumannya makin memuncak. Dan keinginannya cuma
satu. Membawa gadis itu pulang ke Bangkalan.
Lewat lorong-lorong sepi istana besar itu. Tak seorang pun
penjaga. Seorang inang membersihkan kaki Rasamala dengan
air bunga kala akan masuk ruangan tengah istana itu. Para
inang sudah diperintahkan mengungsi oleh Nawangsurya.
Tinggal beberapa saja. Khawatir diserbu pasukan Madura. Kini
berbelok ke kanan. Makin sepi. Suara hujan di luar meredam
suara langkah Nawangsurya. Tiba-tiba ia berhenti di depan
sebuah pintu. Nawangsurya membukanya.
"Di sini Yang Mulia istirahat malam ini. Akan hamba kirim
seorang inang untuk melayani kebutuhan Yang Mulia malam
ini. Sementara hamba akan bertimbang...."
Rasamala menengok ke dalam ruangan. Cukup besar.
Bersih. Tempat tidur beralas sutera putih. Sebentar menatap
Nawangsurya. Napasnya tak teratur. Imannya punah. Seperti
kilat ia menangkap kedua lengan gadis itu.
"Kita tidak perlu berperang...."
"Yang Mulia...." Nawangsurya gemetar. Tak pernah seorang
pria pun memperlakukannya seperti itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku melamarmu," tegas Rasamala sambil menarik tubuh
gadis itu mendekat. Susu kenyal menyentuh dada bagian
bawah. "Hamba..." Makin takut. Apalagi kala tiba-tiba tubuhnya
dibopong ke tempat tidur. Begitu perkasa. Tak kuasa meronta.
Pedang dan keris serta sabuk Rasamala berjatuhan ke
permadani di bawah tempat tidur itu. Dan Nawangsurya
sendiri tak tahu bagaimana pendingnya terlepas dari
pinggangnya. Ciuman mendarat bertubi-tubi di dada dan lehernya.
Nawangsurya tiada berdaya. Berayun antara bayang Wilis dan
isak tangis. Sempat ingat kata-kata pemuda itu, selangkah
saja tiap orang yang tak mampu bertahan pada jatidirinya
akan menjadi sundal. Kini, ia sendiri alami. Rasamala makin
membinatang. Tak peduli. Dan kala kutang emas itu pun
terputus, pertahanan Nawangsurya kian punah. Menyerah ke
dalam sakit tapi nikmat....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
XVIII. SIMALAKAMA Diboyongnya Nawangsurya ke Bangkalan oleh Rasamala
memberi kesempatan bernapas bagi orang Bayu atau orang
Blambangan. Bersama adik dan saudara-saudara lainnya,
antara lain Mas Ayu Patih, Mas Ngalit, Mas Talip, dan
beberapa inang, ia diangkut ke Madura. Ia tidak lagi
memperhitungkan apakah Rasamala seusia ayahnya atau
kakeknya. Juga tidak memperhitungkan wajah yang kasar
bekas kukul. Berkulit hitam atau kuning. Ia telah merasa diri
tanpa makna. Permohonannya untuk tinggal di Pakis jadi istri
gelap ia rela. Tapi Rasamala tidak ingin berpisah sesaat pun
dari Nawangsurya. Ia ingin menikah dengan resmi di depan
penghulu istana Bangkalan. Rasamala tahu dengan pasti
bahwa Nawangsurya benar-benar baru pertama dijamah
lelaki. Itu sebabnya ia tak ingin melepas lagi. Sebaliknya
Nawangsurya telah merasakan dirinya menjadi salah satu dari
orang yang disebut Wilis: sundal! Air matanya berderai kala
tanah kelahirannya mulai lenyap dari pandangan, cuma suatu
garis yang hijau. Lama-lama pudar dan musnah. Kala
Rasamala membimbingnya ke samping kapal yang lain, maka
di depannya nampak daratan baru. Madura! Selamat tinggal
Blambangan. Selamat tinggal semua dan segala. Biarlah
kumasuki dunia yang baru. Biarlah aku damai di kemanjaanku
dalam pelukan si tua Rasamala. Karena kau tak lagi mampu
memberi pengayoman padaku. Benar-benar ia tak peduli lagi
pada kemungkinan sakit hatinya istri-istri Rasamala yang lebih
tua. Bukan aku yang salah, tapi Rasamala yang rakus!
Rasamala cuma meninggalkan lima ribu pasukan untuk
membantu Kompeni dan Jaksanegara serta mengawasi Pakis.
Karena ia tidak lagi berminat perang. Ingin mengulur
kesenangan bersanding dengan gadis Blambangan,
Nawangsurya. Ia rasa di Madura tak ada wanita secantik dia.
Namun VOC tetap tidak berani menyerang Bayu. Schophoff
sedang menyusun kekuatan. Bukan cuma kekuatan manusia.
Tapi uang dan cadangan makanan. Dari Blambangan mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak dapat mengharapkan apa-apa. Panen musim lalu
terganggu oleh perang. Yang kini kawula masih menanam.
Mungkin saja jika panen hasilnya tidak bisa diharapkan karena
kawula tidak suka berbagi hasil dengan Kompeni. Tapi mereka
akan mempersembahkan dengan sukarela pada para
brahmana dan pandita. Atau mempersembahkan upeti ke
Derwana. Jika dipaksa untuk membayar pajak, maka mereka
sudah siap dengan banyak alasan.
Kini kawula lebih pintar lagi. Mereka tidak pernah lagi
menyimpan padi di lumbungnya. Suatu kenyataan yang
memang pahit. Tanah yang subur hijau tidak memberikan
sesuatu pada Kompeni, kecuali kematian. Kematian!
Kini kematian itu berlanjut, walau perang tidak berkecamuk
secara hebat. Cuma ada pertempuran-pertempuran kecil. Di
samping pertempuran kecil itu ada pembunuh yang kejam dan
tidak pernah pilih bulu. Apakah ia tinggal di benteng atau di
loji, atau di rumah-rumah gedek, atau gubuk. Wabah
menghantui semua dan segala.
Di Derwana, Indrawana, dan Bayu pun orang sibuk. Musim
tanam membuat semua orang sibuk dan harus berhemat. Mas
Ayu Tunjung sibuk membagikan benih padi. Juga sibuk
membagi * cadangan makanan. Sedang Mas Ayu Prabu diberi
tugas memantau kegiatan laskar Madura merangkap pemuka
di Derwana serta Indrawana. Sedang Sratdadi sibuk
menyiapkan pembentukan pasukan baru. Di samping itu dia
juga sibuk mencari tabib untuk menanggulangi wabah yang
tiada dapat ditolak. Wilis berulang masuk pura. Kendati ia juga sering tampak
di tengah-tengah kawula yang sedang menyiangi padi. Tapi
ada sesuatu yang mengganjal dalam kalbunya. Yistyani
sedang tergeletak di pembaringan karena sakit. Puluhan tabib
sudah didatangkan dari setiap penjuru Blambangan. Tapi tidak
mengurangi aniaya yang diderita ibundanya itu. Bahkan
mereka juga berusaha mendatangkan tabib Cina yang biasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggunakan jarum untuk mengobati penderita. Sudah
beberapa lama setelah Jagapati tewas, Yistyani tidak mampu
bangkit dari pembaringannya. Makin punah kecantikan masa
mudanya. Kedua pipi yang dulu dikagumi oleh tiap pria itu kini
jadi kempong, susunya jadi peot tanpa isi. Tubuh yang
montok tinggal kulit pembungkus tulang. Tantrini dan Mas Ayu
Tunjung serta Mas Ayu Prabu mengerumuni wanita itu.
Pandangannya kosong tanpa makna.
Sudah tidak muntah lagi. Tapi tidak membuatnya bangkit.
Doa tidak pernah henti keluar dari mulut semua orang Raung.
Bermacam ramuan dan jampi bercampur-aduk dalam perut
Yistyani. Ini semua mendebarkan hati Wilis. Setelah ia
mondar-mandir di pura, Dang Hyang Asyoma, yang sekarang
meninggalkan Pakis dan bergabung dengan Bayu, mencoba
memberikan pendapatnya, "Usia di tangan Hyang Maha Dewa, Yang Mulia. Kita telah
berusaha. Tapi sekalipun kita menyimpannya dalam gedong
batu dan menguncinya rapat-rapat, jika sang Yamadipati tiba,
tak seorang pun mampu menyimpan nyawa itu. Maka hamba
kira yang harus kita lakukan sekarang adalah menyiapkan hati
untuk kepergian seorang yang kita hormati, kita sayangi...."
"Jagat Dewa!" Wilis menyebut. Namun cepat sadar akan
dirinya. Setelah menarik napas panjang, maka ia segera
meninggalkan pura itu. Ya, katanya dalam hati. Ibunda akan
mati. Apakah gunanya bersedih" Bukankah semua yang hidup
akan mati" Kala ia masuk ke kamar, Yistyani melambai dengan
perlahan. Semua menoleh padanya. Rupanya Yistyani merasa
waktunya telah dekat. Ia harus segera menyampaikan rahasia
penting yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Namun kala
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya menyembah, hatinya menjadi ragu. Apakah jika
rahasia itu dikemukakan tidak akan memupuskan semangat
anaknya yang sedang menghadapi peperangan yang lebih
besar" Padahal para pembantunya sudah punah menghadapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meriam Belanda. Apalagi gugurnya Jagapati, beberapa waktu
Suramnya Bayang Bayang 40 Pendekar Rajawali Sakti 136 Singa Gurun Penghuni Rimba Gerantang 3