Pencarian

Golok Kelembutan 13

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 13


loyal mereka pada partai. Banyak orang beranggapan mengadakan pesta itu sama
sekali tak berguna, padahal manfaat yang dihasilkan dari pesta perayaaan semacam
ini seringkah tak berwujud dan tak bisa diraba oleh orang lain."
"Tapi kalau malam ini kau tidak berusaha melakukan pengobatan, kakimu itu
mungkin tak bisa dipertahankan lagi," kata Su-tayhu dengan suara keras.
"Sekalipun begitu, bila aku tidak hadir dalam pesta perayaan malam nanti, hasil
kemenangan yang telah kita peroleh pun tak bisa bertahan lama," ujar So Bong-
seng sambil tertawa ewa, "lebih baik persoalan ini kita bicarakan lagi lain
waktu, bagaimana pun malam ini aku harus berperan dalam pesta perayaan ini."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagaimana pun sudah begitu banyak hujan
badai yang kita lalui, apa salahnya sekali lagi menyerempet bahaya."
Lalu sambil minta Su-tayhu memayangnya turun dari loteng, kembali katanya sambil
tertawa menyindir, "Batok kepala yang begini besar, siapa yang berani
memenggalnya" Akan kulihat pada akhirnya batok kepala siapa yang lebih keras dan
golok siapa lebih tajam?"
Perkataan semacam ini sama sekali tidak mirip perkataan yang diucapkan seseorang
yang telah seratus persen berhasil meraih kemenangan mutlak.
Tadi Ong Siau-sik mengajukan pertanyaan itu karena dia pun mengerti ilmu
pengobatan, dia dapat melihat So Bong-seng seharusnya sudah tidak bersikukuh
lagi dengan pendiriannya.
Sambil tertawa ewa kembali So Bong-seng berkata, "Kecuali To Lam-sin yang tak
bisa hadir karena mendapat perintah mendadak untuk melakukan pengamanan di
kotaraja, semua saudara yang ikut berjasa dalam pertarungan pagi tadi akan hadir
di sini, mana boleh aku tidak menghormati mereka dengan secawan arak?"
"Arak bisa diminum perlahan-lahan," ujar Ong Siau-sik.
"Arak harus diminum selagi panas."
"Asal darah masih tetap panas, peduli amat arak masih panas atau tidak?"
"Kalau toh semua saudara yang hadir merupakan saudara-saudaraku yang berdarah
panas, mana boleh aku tidak menunjukkan perasaanku yang hangat?"
Sementara Ong Siau-sik ingin bicara lagi, tiba-tiba Pek Jau-hui menukas, "Bila
Toako memang ingin pergi, biarkan ia menghadiri! Bagaimanapun kita mencegah,
rasanya tak ada yang bisa menghalangi niatnya lagi."
"Maksudmu ......"
"Dalam sebuah kehidupan, terkadang ada sementara perjamuan yang harus dihadiri.
Yang jelas, kita pun sebentar lagi harus menghadapi seseorang."
"Maksudmu ... nona Lui?"
"Kita telah memaksa mati ayahnya tapi kini ia turut hadir di sini, bukankah
kejadian ini akan membuat suasana jadi serba rikuh?" kata Pek Jau-hui, "dalam
perjamuan di loteng merah hari ini, siapa yang akan bertanggung jawab soal
keamanan?" "Mo Pak-sin beserta pasukan Bo-hoat-bo-thian," jawab Yo Bu-shia penuh percaya
diri, "selama mereka yang melakukan penjaaan, aku rasa Kim-hong-si-yu-lau ibarat
sebuah ruang baja yang tak mungkin bisa ditembus apa pun."
Saat itulah Mo Pak-sin telah mengutus orang untuk memberi laporan, Pui Ing-gan,
Liong-pat Tayya serta Cu Gwe-beng telah mengutus orang untuk mengantar kado
selamat. Kado yang tak ternilai harganya!
Namun mereka sendiri tidak ikut hadir, hanya kado ucapannya yang dikirim datang.
Kado ucapan selamat dari Pui Ing-gan adalah sepasang tirai dengan ukiran yang
sangat indah. Konon tirai itu adalah tirai kemala dengan ukiran naga emas yang pernah dipasang
dalam markas besar Congpiau Pacu dari tujuh puluh dua aliran sungai, Tay Thian-
ong. Kado yang dikirim Pui Ing-gan adalah sebuah tirai Te-sang-thian-ong (raja langit
di atas bumi). Maksud tujuan di balik pemberian itu sangat jelas.
Orang yang mendapat tugas untuk mengirim kado itu adalah seorang pemuda yang
amat ramping dan tampan. Sementara kado yang dikirim Cu Gwe-beng konon berupa seorang gadis yang cantik
jelita, gadis itu duduk dalam tandu dan langsung diantar masuk sampai ruang
utama. Kado pemberiannya ini sangat menggelikan.
Mungkin Cu Gwe-beng telah menganggap kegemarannya sama seperti apa yang menjadi
kegemaran So Bong-seng. Liong Pat Tayya merupakan orang paling top di sisi perdana menteri, hadiah yang
dia kirim sangat menggetarkan perasaan semua orang.
Ternyata yang dikirim adalah sepasang peti mati.
Peti mati itu sangat istimewa, bentuk, ukuran maupun bahannya sama persis
seperti peti mati milik ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong Lui Sun, hanya
bedanya, peti mati yang diledakkan Lui Sun berwarna hitam pekat, sementara peti
mati ini berwarna putih berkilat.
Peti mati dari kayu putih!
Pesan yang dititipkan Liong Pat untuk disampaikan pun cukup unik, "Sebenarnya
kau hanya mempunyai sebuah loteng, sekarang, peti mati yang seharusnya untuk Lui
Sun pun menjadi milikmu".
Perkataan itu jelas mengartikan bahwa, "Mulai saat ini, seluruh wilayah kota di
seputar istana Kaisar sudah menjadi milik So Bong-seng seorang.
Tak akan ada orang mengirim sepasang peti mati sebagai kado ucapan.
Tapi Liong Pat mampu melakukannya.
Karena So Bong-seng pernah bergurau dengannya, "Bila suatu hari aku berhasil
mengalahkan Lui Sun, tolong peti mati yang seharusnya menjadi bagiannya sekalian
dikirim ke tempatku sebagai kado".
Peti mati milik Lui Sun sudah meledak dan hancur berentakan bersama tubuhnya.
Oleh sebab itu Liong Pat menitahkan orang untuk mengirim seperangkat peti mati
baru ke situ. ooOOoo 62. Semuanya aman Perjamuan masih berlangsung.
Tamu agung yang hadir tidak terhitung banyak, tapi semuanya termasuk manusia
luar biasa. Mereka semua terdiri dari para Hohan yang bermukim di sekitar kotaraja, ada pula
yang merupakan tokoh dunia persilatan dari berbagai partai dan perguruan, di
antaranya ada yang semula mendukung perkumpulan Lak-hun-poan-tong, ada pula yang
sejak awal sudah mendukung Kim-hong-si-yu-lau, tapi malam ini mereka semua hadir
dalam ruang perjamuan yang sama, menanti dimulainya era baru.
Seratus enam puluhan orang, ada yang berilmu tangguh, ada yang canggih mengatur
strategi, ada yang pandai berdagang, ada yang ampuh mengatur organisasi gelap,
mereka semua memiliki kelebihan masing-masing, sudah terbiasa dengan gejolak
dunia persilatan, pandai menyesuaikan diri dengan arah angin.
Kemana angin berhembus, mereka pun akan berlayar mengikuti arus.
Manusia semacam ini tak mungkin bisa menciptakan pekerjaan besar, tapi bila kau
ingin menguasai seluruh keadaan, maka tak bisa tidak sangat membutuhkan manusia,
semacam ini. Kalau tadinya seluruh perdagangan gelap ada tiga bagian dikuasai perkumpulan
Lak-hun-poan-tong, maka sekarang Kim-hong-si-yu-lau telah menguasai seluruhnya.
Hanya dalam dua hari, seluruh kekuasaan di seputar wilayah kotaraja telah jatuh
ke tangan So Bong-seng, bukan saja ia berhasil menumpas kekuatan perkumpulan
Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, bahkan posisi Kim-hong-si-
yu-lau saat ini telah mencapai tingkatan paling tinggi yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Justru karena sebagian besar orang adalah manusia jenis begini, pertama, untuk
melindungi keselamatan diri, kedua, berusaha memanfaatkan kesempatan untuk
mencari peluang, maka tak heran kalau begitu Kim-hong-si-yu-lau menyelenggarakan
pesta perayaan, mereka pun berduyun-duyun datang menghadirinya.
Ketika So Bong-seng berjalan masuk ke gedung utama Hui-thian-tong dalam loteng
merah, serentak para jago bangkit berdiri untuk menghormatinya. Bisa memperoleh
penghormatan dari sekian banyak jago, bahkan disertai perasaan kagum dan takut,
boleh dibilang keadaan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi So Bong-
seng. Ketika So Bong-seng melangkah masuk ke dalam ruangan, dia dikawal Pek Jau-hui di
sebelah kiri dan Ong Siau-sik di sebelah kanan.
Sebagai komandan keamanan malam ini adalah Mo Pak-sin, begitu melihat So Bong-
seng muncul diserambi samping, ia segera berjalan mendekat sambil melapor,
"Injakan salju tanpa bekas!"
Maksud dari perkataan itu adalah semuanya aman!
So Bong-seng manggut-manggut. Padahal saat itu dia sedang merasakan gejolak hawa
darah yang amat kuat, bila hawa murni dibuyarkan, besar kemungkinan dia akan
muntah darah. Sambil mengertak gigi menahan diri, dia berusaha tampil lebih
bersemangat. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan hal itu saling berpandangan
sekejap, rasa kuatir melintas di wajah mereka berdua.
Ti Hui-keng tidak ikut hadir dalam pesta perjamuan ini.
Saat ini perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang mengalami situasi yang kacau dan
kritis, dia perlu tetap berada di markas besarnya untuk menenteramkan perasaan
anak buahnya. Terlebih bukan pekerjaaan yang gampang untuk membujuk dan mengajak sekawanan
jago yang setia kepada Lui Sun untuk berganti haluan, bila ditangani kurang
bijak, besar kemungkinan nyawa sebagai taruhan.
Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, So Bong-seng mengambil sikap menyingkir
ke samping, biar orang lain menyelesaikan sendiri urusan rumah tangganya.
Tio Thiat-leng muncul juga dalam pesta perayaan ini.
Tentu saja dia adalah Si Say-sin.. Oleh karena To Lam-sin telah dipanggil pulang
untuk mengamankan situasi keamanan di ibukota, maka dia merasa wajib untuk ikut
hadir dalam pesta kali ini.
Si Say-sin muncul dengan membawa dua orang, yang satu adalah Ciu Kak sementara
yang lain adalah Lui Kiau, mereka datang mewakili Ti Hui-keng.
Sangat jelas terlihat, dengan mengutus kedua orang jenderalnya untuk turut hadir
dalam perjamuan ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengibaratkan mereka sebagai
negara yang ditaklukkan telah mengirim jenderalnya untuk menyatakan kesetiaan
mereka pada negara penakluk.
Tindakan itu bukan saja mencerminkan posisi mereka yang lemah, pada hakikatnya
telah menyatakan sikap menyerah.
Sekalipun begitu, So Bong-seng juga mengetahui kalau yang datang hanya Ciu Kak
serta Lui Kiau. Ciu Kak dan Lui Kiau dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya menempati bangku
nomor tujuh dan empat belas.
Kecuali Lui Heng yang sudah tewas di tangan Kwik Tang-sin, Lui Tong-thian yang
menempati bangku nomor tiga serta Lui Moay yang menempati bangku keempat sama
sekali tak nampak batang hidungnya.
Atau dengan perkataan lain, Ti Hui-keng belum berhasil menguasai seluruh
keadaan. Begitu melihat kemunculan So Bong-seng, Lui Kiau segera berseru dengan suara
nyaring, "Kami mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Ti-toatongcu
menyampaikan ucapan selamat kepada Kim-hong-si-yu-lau dan So-kongcu karena
berhasil mempersatukan golongan putih serta golongan hitam dan me?mimpin dunia
persilatan." Orang yang telah menyerah, bila ingin mempertahankan kehidupan sendiri, mereka
harus secepatnya menyatakan kesetiaan sampai mati kepada penguasa baru, harus
menyatakan penyesalannya atas perbuatan mereka yang lampau.
Pihak yang telah melepaskan usahanya untuk melawan tidak boleh mempunyai harga
diri, yang bisa mereka lakukan hanya memohon belas kasihan lawan agar mau
mengampuni jiwa mereka. Terkadang sekalipun telah merendahkan diri juga belum tentu permintaan akan
terkabulkan. Ketika menyerahkan gagang golok ke tangan orang lain, apakah bisa mempertahankan
keutuhan tubuh atau tidak, keputusan berada dalam pikiran orang lain, sama
sekali bukan diri sendiri yang memutuskan.
Inilah yang disebut untuk menciptakan hidup, lebih baik mati.
Tapi ada sementara orang yang rela melanjutkan hidupnya dalam situasi seperti
ini, oleh sebab itu apa yang diucapkan Lui Kiau sebenarnya hanya merupakan
pernyataan sikap pribadi.
Begitu ia berkata, pemuda yang diutus Pui Ing-gan ikut berbicara pula, "Pui-
kongcu mengutus Cayhe untuk menyampaikan selamat kepada Kongcu, semoga masa
depan bertambah cemerlang, panjang usia dan sehat selalu."
So Bong-seng memperhatikan sekejap wajah pemuda ini, dia merasa orang itu
memancarkan daya tarik yang aneh dari pancaran sinar mukanya, belum sempat
menjawab sesuatu, terdengar kawanan jago lain telah saling berebut menyampaikan
ucapan selamatnya, untuk sesaat dia jadi repot menanggapinya.
Dalam suasana beginilah diam-diam Pek Jau-hui berbisik kepada Ong Siau-sik,
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku ikut gembira menyaksikan kesuksesan Toako."
"Kemarin dia masih merupakan naga yang bersembunyi di balik sawah, tapi hari ini
sang naga telah terbang ke angkasa. Naga memang tetap naga, dalam kenyataan dia
memang seekor naga yang hebat," Pek Jau-hui membenarkan, "dia adalah Eng-hiong,
seorang Hohan, tapi tanpa dukungan orang-orang macam kita yang rela mewakilinya
menderita luka, mungkin sampai hari inipun dia masih merupakan naga tersembunyi
yang tak berguna. Oleh sebab itu daripada menganggap orang adalah seorang
pahlawan, mending menganggap diri sendiri sebagai seorang Enghiong."
"Hidup sebagai manusia, masing-masing orang sudah memiliki bagiannya sendiri,
punya peluang yang berbeda, siapa yang mampu memaksakan kehendak?" bantah Ong
Siau-sik, "jika setiap orang ingin jadi Enghiong, lalu ada beberapa banyak
Enghiong di dunia ini" Benar, orang gagah menjual nyawa demi seorang pemimpin,
tapi bukankah banyak Hohan, pejuang, para patriot bersedia berkorban demi
pemimpinnya" Justru karena mereka bersedia mengorbankan diri, maka perjuangan
dan pengorbanan semua orang baru bisa mewujudkan sebuah karya, kesuksesan. Lagi
pula, siapa sih di antara kita yang bukan seorang Enghiong, bedanya kehidupan
setiap orang ada batasnya, ada bagiannya sendiri, tidak semua cita-cita bisa
terwujud se?bagaimana yang diinginkan."
Setelah tertawa sejenak, kembali terusnya, "Bisa jadi kau adalah seorang
Enghiong sementara aku bukan, mungkin karena aku bukan Enghiong, maka aku hanya
bisa membantu seorang Enghiong menjadi Enghiong sungguhan."
Dengan mata melotot Pek Jau-hui mengawasi rekannya beberapa saat, setelah itu
ba.ru ujarnya, "Bisa memahami kehidupan berarti kau cerdas, bisa menyelami diri sendiri berarti
kau bijaksana, bisa memilah dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, kau
benar-benar seorang manusia luar biasa. Tapi hidup sebagai manusia, mengapa
harus menyelami diri sendiri, kenapa harus melihat masa depanmu terlalu jauh"
Sekalipun nama, kedudukan dan kekayaan bagai awan di angkasa, tapi bukankah hal
itu yang dicari manusia dalam hidupnya" Apa salah jika kita menggunakan
kesempatan yang ada untuk kepentingan sendiri" Di samping itu, kenapa ada
sementara orang sejak lahir sudah kaya raya, sementara kita hanya seorang
manusia biasa" Manusia yang mesti berjuang mati-matian hanya untuk sesuap nasi" Apa salah jika
aku memanfaatkan setiap peluang untuk memperbaiki nasib sendiri?"
"Punya cita-cita tinggi memang baik, tapi janganlah memaksakan kehendak demi
meraih cita-cita itu, tak usah terburu napsu, sebab bila dipaksakan maka lebih
banyak sengsaranya ketimbang enaknya, lebih banyak gagalnya daripada berhasil."
"Aku tak peduli mau sengsara atau berhasil, manusia hidup wajib mencari
kesenangan dan kepuasan diri sendiri," tukas Pek Jau-hui kemudian sambil
menggendong tangan. "Jika demikian jalan pikiranmu, lalu apa bedanya kau dengan kaum perampok?"
"Padahal apa pula arti dari perbedaan" Perampok juga manusia, Enghiong pun
manusia. Hidup sebagai Enghiong juga hanya menjalankan kehidupan, jadi perampok
pun tetap menjalankan kehidupan, dia mau baik atau jahat, mau bijaksana atau
bertindak semena-mena, pada akhirnya semua akan berakhir dengan kematian. Kau
boleh saja mengatakan siapa menanam kebaikan akan menuai kebaikan, siapa menanam
kejahatan akan menuai kesengsaraan, mati masuk neraka.
Hehehe ... aku mau bertanya, siapa sih yang pernah melihat orang jahat yang mati
diceburkan ke dalam neraka?"
Tampaknya Ong Siau-sik dibuat terperanjat oleh sikap Pek Jau-hui yang aneh itu,
sesaat ia terbungkam, kemudian baru katanya, "Kalau toh kau tahu bahwa kehidupan
manusia bagai panggung sandiwara, lalu buat apa kau memaksakan kehendak"
Bukankah jauh lebih nyaman dan bahagia kita hidup bebas merdeka, tak ada ikatan
tak ada yang dipikirkan, menganggap empat samudra lima telaga sebagai rumah
sendiri?" "Seorang lelaki tak boleh hidup tanpa kekuasaan, jika kau berhasil meraih
kekuasaan, maka akan kau rasakan apa yang dimaksud sebagai hidup bahagia. Bila
kau kehilangan kekuasaan maka itulah tragedi bagimu, menang jadi raja kalah jadi
perampok, coba lihatlah bagaimana nasib tragis yang dialami Lui Sun sekarang,"


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Pek Jau-hui lagi, "justru karena kehidupan akan lewat bagaikan awan di
angkasa, apa salahnya jika kita berbuat menuruti suara hati sendiri" Jika
manusia sudah mati, mau bernama harum atau bernama busuk, siapa peduli"
Memangnya orang mati bisa turut merasakan?"
"Kalau memang seratus tahun hanya berlangsung sekejap, kenapa tidak kau isi
waktu yang sekejap itu dengan perbuatan baik dan mulia?"
"Justru karena kehidupan hanya berlangsung sekejap, kita harus mengisinya dengan
sebuah kesuksesan, kesuksesan yang bisa memberi kegembiraan dan kebahagiaan
terbesar dalam kehidupanmu."
"Tapi..." Belum sempat Ong Siau-sik meneruskan perkataannya, mendadak ia saksikan Tong Po-
gou, Thio Than, Un Ji, Lui Tun dan seorang pengemis tua berjalan masuk ke dalam
ruangan. Begitu menyaksikan kehadiran orang-orang itu, dengan penuh kegembiraan Ong Siau-
sik maju menyongsong, tegurnya, "Ternyata kalian pun telah datang, semua orang
sedang mengu-atirkan keselamatan kalian."
Sepasang mata Un Ji segera memerah, nyaris air matanya kembali meleleh, belum
lagi bicara, terdengar Thio Than telah bertanya sambil menghela napas panjang,
"Kalian sedang menyelenggarakan pesta kemenangan?"
Ong Siau-sik melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Terdengar Thio Than berkata lagi, "Kalian menang perang maka menyelenggarakan
pesta kemenangan, lalu mereka yang kalah harus menyelenggarakan pesta apa?"
Mendadak sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Lui Tun. Senyuman itu nampak
begitu cantik, membuat hati semua orang bergetar keras.
Tak ada orang yang paham apa arti senyuman itu, karena saat itu terdengar So
Bong-seng sedang melanjutkan perkataannya, "... dalam suasana pesta yang penuh
kegembiraan, apakah permainan semacam ini tidak merusak pemandangan?"
Sambil tersenyum ia berjalan menghampiri peti mati itu.
"Tapi peti mati ini adalah hadiah dari Pat-tayya" ujar Mo Pak-sin.
"Aku mengerti maksudnya," ujar So Bong-seng sambil meraba ukiran indah di atas
peti mati itu, "dengan kekalahan dan tewasnya Lui Sun berarti semua kekuasaan dan posisinya
sudah menjadi milikku, bila aku yang kalah maka aku pun membutuhkan sebuah peti
mati. Tampaknya peti mati yang dikirim Pat-tayya memang mengandung maksud yang
mendalam." Dia jarang tertawa, tapi kini dia menampilkan terus senyumannya yang dingin.
Sambil berjalan mendekati tirai dengan ukiran indah itu kembali ujarnya, "Tirai
yang dihadiahkan Pui-hoya pun sangat berarti, orang bilang pohon besar bisa
digunakan untuk berteduh, tirai inipun bisa dipakai untuk menahan angin. Jadi
seandainya orang-orang perkumpulan kami membikin orang kecewa, mereka bisa
menggunakan tirai ini untuk menyembunyikan diri dari perasaan malu."
Ketika berjalan menghampiri tandu yang dikirim Cu Gwe-beng, dia hanya
memandangnya sekejap tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pada saat itulah mendadak terlihat seseorang berjalan masuk dengan langkah
tergopoh-gopoh, dia tak lain adalah Yo Bu-shia.
Selama hidup jarang sekali Yo Bu-shia berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh.
Kini dia muncul dengan tergesa-gesa, tampaknya suatu kejadian yang gawat telah
berlangsung. "Lui Tong-thian dengan membawa anak buah dari lima cabang telah menyerbu masuk
ke Kimhong-si-yu-lau!"
Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu.
Perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdiri dari tiga belas cabang, tapi kini ada lima
cabang yang melunak datang, hal ini menunjukkan bahwa mereka tak berhasil
dikendalikan Ti Hui?keng.
Kecuali Lui Sun dan Ti Hui-keng, Lui Tong-thian merupa kan tokoh paling tangguh
di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Lui Tong-thian merupakan pembela setia dari Lui Sun.
Tampaknya Lui Tong-thian memang tak mau tunduk di bawah perintah Ti Hui-keng.
Paras muka So Bong-seng sama sekali tak berubah, katanya tenang, "Bagus sekali
kedatangannya, apakah dia berhasil melewati barisan yang dibentuk pasukan Bo-
hoat-bo-thian?" Yo Bu-shia segera berjalan mendekat, bisiknya, "Kedatangan mereka terlampau
cepat, aku rasa Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau sekalian gagal membendung
serbuannya Mendadak terdengar kegaduhan di luar gedung disusul suara pertarungan yang
bergema dari empat penjuru.
"Lui Tong-thian telah datang!" tiba-tiba ada orang berteriak.
Menyusul teriakan itu, seseorang berlarian masuk ke dalam ruangan, dia adalah
seorang lelaki kurus yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sebilah golok baja
tergenggam di tangannya. Dalam ruang gedung hadir seratusan orang tamu yang rata-rata merupakan para jago
dari berbagai aliran, tapi lelaki kurus itu langsung menerjang masuk ke dalam
ruangan, seolah sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap para tamu yang
hadir. Biarpun di tubuhnya terdapat tujuh delapan buah luka, darah pun masih mengalir
keluar dari lukanya, namun dari sikapnya yang masih segar dan gagah, seolah luka
itu bukan miliknya tapi milik orang lain, darah pun seakan darah milik orang
yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Sorot matanya masih tetap dingin dan tenang.
Sikapnya juga sangat tenang.
Tapi semua orang dapat menyaksikan amarah dan rasa dendamnya yang amat meluap,
dia seakan tak ambil peduli dengan keselamatan sendiri, dia seperti ingin
menggunakan darah untuk mencuci bersih dendam kesumatnya.
SO Bong-seng segera menyongsong kedatangannya sambil berkata, "Bagus, kau Dia
sama sekali tidak memperhatikan orang itu, tidak memandang ke arah LUI Tong-
thian, sorot matanya DIALAHKAN KE wajah Lui Tun, bahkan seakan terpana
menyaksikan senyuman manis yang tersungging di ujung bibir gadis itu.
Tiba-tiba suara bentakan nyaring bergema memecah keheningan, cahaya golok
berkelebat dari balik bajunya.
Dengan sekali tebasan, peti mati yang berada di hadapannya telah terbelah jadi
dua. Menyusul tebasan itu tampak cahaya darah menyembur keluar, terdengar orang yang
berada dalam peti mati itu mendengus tertahan, rubuhnya terbelah jadi dua.
Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah SU Bu-kui.
Lui Tun menjerit kaget. ooOOoo 63. Ketika golok dalam genggaman, manusia pun kalap
Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah Su Bu-kui, bukan saja semua
orang terperanjat, Lui Tun pun merasa terkesiap.
Gadis ini tidak menyangka kalau So Bong-seng begitu cepat dapat mengendalikan
serangannya, begitu cepat dapat menyadari akan kesalahannya.
Dia terlebih tak menyangka kalau orang yang berada dalam peti mati bukan
ayahnya! Sepasang mata So Bong-seng telah berubah jadi merah, tangannya yang selalu
mantap kini mulai gemetar keras, tubuhnya terlihat mulai gontai tak stabil,
namun gerak serangannya tetap cepat bagaikan sambaran kilat.
Dengan cepat dia menotok bebas jalan darah Su Bu-kui yang tertotok.
Namun tubuh bagian bawah Su Bu-kui sudah terbelah jadi dua.
Tampak ia menghembuskan napas panjang, katanya lirih, "Kejadian ini bukan
kesalahanmu, balaskan dendam sakit hatiku........"
Pada saat itulah pintu angin mendadak hancur berantakan, sesosok bayangan
manusia dengan kecepatan tinggi meluncur masuk ke dalam, suasana dalam ruangan
seketika hening. Dengan tangan kanannya orang itu mencengkeram tujuh jalan darah penting di
punggung So Bong-seng, jari tangannya menyodok, menari bagai lidah seekor ular.
Dengan satu gerakan cepat So Bong-seng membalikkan tubuhnya, cahaya golok bagai
bunga salju beterbangan. Orang itu mendengus dingin, dia menggerakkan tangannya mencengkeram golok Ang-
siu-to yang digenggam So Bong-seng, dia hanya mencengkeram tangan yang
menggenggam golok, kini yang terlihat hanya tinggal jari tengah dan ibu jarinya,
sebuah cincin zamrud berwarna hijau kecubung terlilit di jari tangannya.
Tak seorang pun di kolong langit yang sanggup mencengkeram golok So Bong-seng
dalam sekali gebrakan, terkecuali orang ini.
Barang siapa berani mencengkeram golok mestika itu dengan tangan telanjang,
kalau bukan lengannya akan kutung, paling tidak jari tangannya akan terpenggal.
Tapi orang itu hanya memiliki dua buah jari tangan.
Biarpun hanya tinggal dua buah jari tangan, namun kehebatannya justru jauh lebih
menakutkan daripada lima jari utuh, lebih sulit untuk dihadapi daripada jari
tangan sempurna. Begitu mencengkeram golok lawan, menyongsong kedatangan So Bong-seng, orang itu
membentak keras dengan suaranya yang menggelegar bagaikan guntur,
"Ling-peng-to-ci-kia-tin-liat-cay-cian! (menghadapi serbuan pasukan, membelah
barisan depan)." Tampaknya wajah So Bong-seng segera akan terhajar oleh pukulan dahsyat itu.
Bentakan yang menggelegar tadi bagaikan sebuah mantera, seperti sebatang jarum
yang menusuk ke hulu hatinya, membuat semua penyakit tersembunyi yang ada di
tubuhnya terpancing keluar So Bong-seng segera melepaskan goloknya. Bagi kawanan
jago golok, biasanya golok ada manusia hidup, golok lenyap manusia mati. Tapi
beda dengan So Bong-seng, baginya golok adalah golok, jika kehilangan nyawa, apa
gunanya sebilah golok"
Ketika golok membabat ke bawah, benar adalah benar, salah adalah salah.
Setelah golok itu membabat, yang terpisah paling hanya batok kepala.
Sayang dia telah salah membacok. Dia telah membacok mati saudara sendiri. Dia
salah tafsir, disangkanya orang yang bersembunyi di dalam peti mati adalah
musuh. Pukulan batin yang amat berat ini dirasakan jauh lebih parah ketimbang luka
parah. Kemunculan Lui Sun yang tiba-tiba sama sekali tidak membuatnya tercengang, akan
tetapi tenaga serangan yang terwujud dari jari tangan Lui Sun yang patah justru
membuat perasaan hatinya tercekat.
Dia terpaksa membuang goloknya sambil mundur dengan cepat, yang dia harapkan
sekarang hanya ada peluang untuk berganti napas.
Bila dapat berganti napas, berarti.dia dapat melanjutkan serangan balasan.
Di belakangnya berdiri seseorang, Si Say-sin. Bagaikan seorang prajurit berlapis
baja Si Say-sin siap menyongsong kedatangan Lui Sun, tapi Mo Pak-sin sudah
membalikkan tangannya secara tiba-tiba, dari ujung payungnya yang juga berwarna
hitam tiba-tiba melejit keluar sebilah senjata yang amat tajam, langsung
menghujam ke jalan darah Bing-bun-hiat di punggung Si Say-sin, di sanalah letak
satu-satunya titik kelemahan ilmu baju baja Thiat-poh-san milik Si Say-sin.
So Bong-seng adalah seorang pemimpin yang selama hidup tak pernah mencurigai
saudara sendiri. Itulah sebabnya dia bisa mendahului Lui Sun dengan menggaet Ong Siau-sik serta
Pek Jau-hui berpihak kepadanya, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Kim-
hong-si-yu-lau berhasil meraih kemenangan gemilang dalam pertarungannya
belakangan ini. Tapi sayang, sehebat apa pun seorang pimpinan, terkadang dia melakukan juga
kesalahan. Tidak terkecuali So Bong-seng.
Dia telah menempatkan anak buah kepercayaannya, Si Say-sin dalam barisan musuh,
sebaliknya pihak lawan pun melakukan hal yang sama, menyusupkan anak buah
kepercayaannya ke dalam Kim-hong-si-yu-lau.
Pertama kali terjadi sewaktu ada di Ku-sui-poh, walaupun saat itu dia berhasil
menghabisi nyawa si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, namun yang lebih penting lagi
dia belum berhasil mem?bongkar siapa musuh dalam selimut yang sesungguhnya.
Dan sekarang dia sudah tahu, ternyata pengkhianat itu adalah Mo Pak-sin.
Baru saja Mo Pak-sin berhasil membunuh lawannya, pemuda yang datang mengantar
kado tirai itupun sudah ikut turun tangan.
Tangannya digetarkan, pedang pun telah dicabut keluar. Padahal pedang yang
sebenarnya masih berada di pinggang, dalam genggamannya sama sekali tak
berpedang. Sekalipun jelas tangannya tak berpedang, namun dengan satu kali ayunan ia telah
melancarkan tujuh delapan jurus serangan pedang, memaksa Yo Bu-shia yang
berusaha maju menolong seketika terdesak mundur lagi.
Saat itu rambut Yo Bu-shia yang panjang telah terurai tak keruan, keadaannya
sangat mengenaskan, dengan penuh amarah bentaknya, "Lui Moay
Pemuda tampan itu tertawa merdu, semerdu suara keleningan kecil.
Tak selang beberapa saat kemudian, paling tidak ada separuh tamu yang berada
dalam ruangan itu telah melolos senjatanya, sisa yang lain tercekam dalam
kekalutan, mereka tak tahu harus berpihak kemana.
Sekilas pandang Yo Bu-shia mendapat tahu kalau di antara para tamu undangan yang
hadir dalam ruangan, paling tidak ada separuhnya adalah jagoan tangguh yang
dibawa Lui Moay, mereka hanya patuh pada perintah Lui Moay, bahkan yang lebih
parah lagi pasukan Bo-hoat-bo-thian yang bertanggung jawab menjaga keamanan Kim-
hong-si-yu-lau, kini sudah berganti arah dengan berkiblat ke pihak musuh.
Kini dia baru dapat melihat semuanya dengan jelas, diam-diam ia mengeluh dan
menyesal, kenapa tidak sejak tadi mengetahui situasi yang amat berbahaya itu.
Kenyataan banyak mara bahaya yang menakutkan justru baru ketahuan di saat
keadaan sudah kritis dan berbahaya, sulit bagi siapa pun untuk menduga
sebelumnya. Sambil mengirim perintah rahasia, lekas Yo Bu-shia menghimpun segenap jago
tangguh dari Kimhong-si-yu-lau untuk memberi bantuan, dia pun berusaha
melindungi keselamatan So Bong-seng dengan segenap kemampuannya.
Secara beruntun Yo Bu-shia melancarkan delapan serangan berantai, tapi semuanya
berhasil dipukul balik oleh hawa pedang lawan. Ilmu pedang tanpa pedang semacam
ini memang tiada duanya di kolong langit, hanya Bu-kiam-sin-kiam-jiu (jago
pedang sakti tanpa pedang) Lui Moay seorang yang dapat melakukannya.
Kini Lui Moay telah muncul!
Dia bahkan telah bekerja sama dengan Mo Pak-sin melancarkan serangan berantai.
Secara beruntun Yo Bu-shia terkena tiga tusukan pedang, darah mulai bercucuran,
kini baginya hanya tersisa dua harapan.
Bala bantuan dari Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dua orang jago yang baru
bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau!
Dan bantuan dari manusia yang berada di balik tandu, orang yang selama ini
selalu membantu Kim-hong-si-yu-lau secara diam-diam.
Waktu itu sebenarnya Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sedang berniat melepas rindu
dengan Un Ji dan Lui Tun, ketjka perubahan besar tiba-tiba berlangsung di depan
mata. Dengan cepat Ong Siau-sik memberikan reaksinya, tapi belum sempat bergerak, dari
belakang tubuhnya mendadak terasa desingan angin tajam, angin pukulan itu sangat
kuat bagaikan gulungan ombak di tengah samudra.
Ong Siau-sik sudah pernah merasakan tekanan semacam ini, dia tak berani ayal,
karena ia tahu tenaga pukulan itu berasal dari Ngo-lui-thian-sim (lima guntur
inti langit) yang dilancarkan Lui Tong-thian.
Begitu lima guntur dilontarkan, langit serasa terbelah, bumi bagaikan merekah.
Ong Siau-sik menggerakkan golok dan pedangnya bersamaan, ia bendung datangnya
tusukan maut dari inti guntur itu.
Dia yakin selama berani menghadapi pertarungan, tak bakal mati dalam
pertempuran, dia berharap kemampuannya sanggup membendung ancaman Lui Tong-
thian, agar Pek Jau-hui dapat segera menolong So Bong-seng.
Lagi-lagi dia menjumpai satu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan.
Ternyata Pek Jau-hui sama sekali tidak berniat turun tangan, setitik keinginan
pun tak ada. Dia hanya memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya pada semacam benda yang
berada di tengah arena, tandu!
Konon di dalam tandu itu terdapat seorang gadis cantik yang khusus dihadiahkan
Cu Gwe-beng. Mungkinkah Pek Jau-hui adalah pihak musuh yang sengaja menyusup kemari,
karenanya dia tak siap memberikan bantuannya" Atau karena dia telah menemukan
bahwa di dalam tandu itu terdapat seorang musuh yang jauh lebih tangguh sehingga
ia tetap mempertahankan posisinya agar bisa melakukan perlawanan bilamana perlu"
Sambil bertarung sengit melawan serbuan Lui Tong-thian, Ong Siau-sik berpikir
tiada hentinya. Gara-gara perhatiannya bercabang karena harus mengikuti perkembangan yang
terjadi dalam arena pertarungan, akibatnya pemuda itu tak mampu memusatkan
perhatiannya untuk bertempur, tak selang beberapa saat kemudian ia sudah dipaksa
berada di bawah angin. "Blaaam!", saat itulah mendadak tandu itu meledak hingga terbelah jadi beberapa
bagian, seorang kakek kurus berwajah bersih berkopiah tinggi melesat ke tengah
udara dan menyambar ke depan Lui Sun.
Tujuan orang itu sangat jelas, dia ingin memberi peluang kepada So Bong-seng


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar dapat berganti napas hingga mampu menghadapi serangan maut dari Lui Sun.
Kehebatan ilmu silat yang dimiliki orang ini sama sekali tidak berada di bawah
kemampuan Lui Tong-thian, jika Lui Sun ingin merobohkan orang itu dengan
mengandalkan ilmu cepat lambat sembilan huruf, mungkin dalam seratus gebrakan
kemu?dian pun belum tentu berhasil.
Tahu gelagat tidak menguntungkan, Lui Sun segera mencabut keluar goloknya.
Begitu golok berada dalam genggaman, dia pun semakin menggila.
Saat itu So Bong-seng sudah mundur hingga ke samping Ong Siau-sik, untuk
menghadapi segala kemungkinan Tong Po-gou dan Thio Than segera siap melancarkan
serangan. Mendadak dengan perasaan tertegun seru Tong Po-gou, "Aku adalah sahabat Kim-
hong-si-yu-lau, aku akan membantu Un Ji."
"Aku adalah teman Lui Tun, seharusnya aku membantu perkumpulan Lak-hun-poan-
tong," sambung Thio Than sambil tertawa getir.
Mendengar itu Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, teriaknya, "Masa
... aku mesti bertarung sendiri denganmu?"
"Ya, keadaan sudah jadi begini, apa boleh buat?"
Belum lagi kedua orang itu saling menyerang, mendadak jalan darah di punggungnya
telah ditotok orang, ternyata yang melancarkan serangan adalah pengemis tua itu.
Tiba-tiba pengemis tua itu meraup ke atas wajah sendiri, seketika muncullah
wajahnya yang seakan gusar seolah penuh dendam.
Dengan perasaan terkesiap Lui Tun segera berseru, "Ah, 'Sampai berjumpa lagi'!"
Sayang ketika dia meneriakkan nama itu, orang lain tak mendengarnya, sebab pada
saat yang bersamaan Ho-hwe-yu-ki (Sampai berjumpa lagi) telah meraung keras,
"It-gan-wi-teng (Satu kata sebagai kesepakatan)!"
Bagaikan seekor rajawali raksasa dia menerkam ke muka.
Kakek berbaju antik berkopiah tinggi itu nampak sedikit tergetar wajahnya, tapi
segera tampil perasaan kecewanya yang amat sangat.
Dia menyongsong datangnya terkaman itu bagaikan bangau sakti yang terbang di
angkasa, setelah bertarung beberapa gebrakan di tengah udara, waktu melayang
turun ke tanah, dari lubang panca inderanya mengucur keluar darah segar yang segera menodai jenggotnya yang putih.
Sementara paras muka Ho-hwe-yu-ki pucat keabu-abuan, seluruh ruas tulangnya
seakan telah hancur, membuat tulang punggungnya seolah tak sanggup menopang
berat badannya lagi. Terdengar Lui Sun berteriak gusar, "Sudah kusuruh jangan datang! Aku masih butuh
kekuatanmu untuk menunjang kehidupan perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya!"
Ho-hwe-yu-ki tertawa ewa, sambil membesut noda darah dari ujung bibirnya, dia
berkata, "Tidak apa-apa, sudah sepantasnya aku turut hadir hari ini, perkumpulan
Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, masa aku tak boleh ikut
hadir" Lagi pula sejak terkena ilmu jari sakti Wu-hok-sin-ji, kehidupanku sudah
tak mirip kehidupan manusia lagi, kalau bukan bersembunyi dalam peti mati untuk
melawan bekerjanya racun, sepanjang tahun harus bersembunyi di dalam penjara
bawah tanah yang tak bercahaya, aku sudah bersumpah akan menguntitmu terus
kemana pun kau pergi!"
It-gan-wi-teng terengah-engah, sambil berusaha mengatur napasnya ujarnya,
"Sungguh tak kusangka ... setelah terkena bubuk talasku, kau masih sanggup
menghimpun segenap kekuatanmu untuk menyerang dengan ilmu sakti Peng-coat-sin-
kang, sungguh hebat! Sungguh mengagumkan!"
"Sudah kuduga malam ini kau pasti akan ikut datang, kalau memang harus mati,
mari kita mati bersama-sama."
Mimik muka It-gan-wi-teng mulai mengejang lantaran menahan sakit, katanya, "Kita
sudah bertarung puluhan tahun lamanya, ternyata hasilnya ... hasilnya masih
seimbang." Makin lama suaranya makin melemah dan lirih.
It-gan-wi-teng tidak melanjutkan niatnya menghalangi Lui Sun, maka menggunakan
kesempatan yang sangat baik ini Lui Sun segera menghampiri So Bong-seng dan
berusaha membunuhnya. Kini racun penyakit dan luka di paha So Bong-seng sudah mulai bekerja, golok pun
sudah terlepas dari genggaman, sementara Ong Siau-sik terhadang oleh serangan
Lui Tong-thian, Yo Bu-shia pun tak berhasil lolos dari jala pedang yang dicip-
takan Lui Moay. Di saat yang amat kritis itulah terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat.
Pek Jau-hui telah turun tangan. Dia langsung menyerang Lui Sun.
Ong Siau-sik nyaris bersorak saking girangnya, tanpa terasa semangatnya makin
berkobar, serangan dari Lui Tong-thian pun seketika berhasil dipatahkan semua.
Bahkan So Bong-seng pun ikut merasakan semangatnya berkobar kembali.
Sayang serangan dahsyat Pek Jau-hui tak berhasil memunahkan ancaman bahaya yang
tertuju ke tubuh So Bong-seng, karena 'pedang' Lui Moay lagi lagi diarahkan ke
tubuhnya. Serangan pedang tanpa pedang ini tak disangkal jauh lebih ganas, lebih
berbahaya, lebih susah dihadapi daripada ancaman yang menggunakan senjata
sungguhan. Pada saat bersamaan, Lui Kiau membendung pula serangan yang datang dari Yo Bu-
shia. Kini Lui Sun melancarkan serangan makin menggila, semakin kalap.
Golok yang berada dalam genggamannya memang merupakan sebilah golok iblis, dalam
puluhan tahun terakhir ini dia jarang menggunakannya, disebabkan setiap kali
golok itu dilolos dari sarungnya, maka dia akan menyerang makin kalap, semakin
menggila, tenaga ancamannya berlipat lebih dahsyat, bahkan semua sepak terjang
serta apa yang dilakukan sukar dikendalikan lagi, bahkan oleh dirinya sendiri.
Tapi dia telah bersumpah, hari ini dia harus membunuh So Bong-seng, harus
berhasil membantainya. Semua pengorbanannya, semua rasa malu, terhina yang harus dideritanya, dia
terima dan jalani demi 'mencari hidup dari kematian, mencari kemenangan dari
balik kekalahan', dia ingin melancarkan serangan balik dalam situasi yang serba
kritis. Dia minta kepada Ti Hui-keng agar berpura-pura menyerah kepada So Bong-seng,
agar So Bong-seng menyaksikan dengan mata kepala sendiri kekalahan yang
dideritanya, agar dalam keberhasilannya meraih kemenangan dia mengendorkan
kewaspadaannya, dengan begitu ia bisa menggerakkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk menyerbu ke markas Kim-hong-si-yu-lau di saat mereka sedang
menyelenggarakan pesta kemenangan, dia ingin membasmi Kim-hong-si-yu-lau hingga
ke akar-akarnya. Terutama membunuh So Bong-seng, melenyapkannya dari muka bumi!
Itulah sebabnya mengapa muncul sinar aneh dari mata Lui Tun, tatkala ia
mendengar Ti Hui-keng telah mengkhianati ayahnya dan menurut cerita ayahnya, Lui
Sun telah tewas di dalam peti mati.
Lui Tun segera paham, Ti Hui-keng sama sekali tidak mengkhianati ayahnya, Lui
Sun pun belum mati, justru Kim-hong-si-yu-lau sedang terancam bahaya maut!
Gadis ini tahu, peti mati milik Lui Sun merupakan jalan mundurnya, juga
merupakan jalan kehidupan baginya, di bawah peti mati terdapat sebuah lorong
bawah tanah, itulah alasan utama mengapa Lui Sun mengundang So Bong-seng agar
mengubah tempat pertempuran dari air terjun Put-tong menjadi ruang utama markas
besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun tak ingin ledakannya justru
membunuh dia sendiri serta Ti Hui-keng, daya ledaknya tak boleh kelewat dahsyat.
Tentu saja rahasia ini hanya diketahui oleh Ti Hui-keng dan Lui Tun.
Lui Sun sengaja meminta kepada Ti Hui-keng agar tidak ikut datang dalam
pertarungan ini, dia tak mengijinkan Ti Hui-keng turut serta dalam pertarungan
maut itu. Dia pun tidak memberitahukan rencananya kepada Ho-hwe-yu-ki.
Dia sengaja berbuat begini karena takut bila rencana penyerangannya mengalami
kegagalan, paling tidak dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih ada Ti Hui-keng
dan Ho-hwe-yu-ki yang menopang, dengan kemampuan kedua orang itu, untuk
sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih mampu melawan rongrongan dan
penyusupan Kim-hong-si-yu-lau.
Dia memang selalu mengerti bagaimana mengatur jalan mundur bagi dirinya, dia pun
tahu bagaimana mengaturkan jalan mundur bagi orang-orang yang disayangnya.
Dia menaruh kepercayaan begitu besar terhadap Ti Hui-keng, tentu saja Ti Hui-
keng tak bakal mengkhianatinya.
Tapi saat itu Ti Hui-keng telah menyandang nama busuk sebagai seorang
pengkhianat, bagi perasaan Ti Hui-keng sendiri, gelar 'pengkhianat' benar-benar
menyiksa batinnya, baginya siksaan itu jauh melebihi siksaan sewaktu mati dalam
pertempuran, jauh lebih terhormat baginya mati dengan bersimbah darah daripada
hidup sebagai seorang pengkhianat.
Lui Sun selalu bertindak cermat dan hati-hati, dia kuatir So Bong-seng keburu
mengetahui rahasianya hingga turun tangan terlebih dulu, maka secara diam-diam
ia perintahkan Mo Pak-sin agar menangkap Su Bu-kui dan memasukkannya ke dalam
peti mati, lalu disusupkan ke dalam kado yang akan diserahkan Liong Pat dan Pui
Ing-gan ke dalam markas Kim-hong-si-yu-lau, dengan begitu dia dapat melancarkan
serangan maut di saat yang dianggapnya paling tepat.
Walaupun dia sama sekali tidak tahu kalau Ho-hwe-yu-ki secara diam-diam telah
menumpang dalam rombongan Tong Po-gou dan Thio Than ikut menyusup masuk ke dalam
markas besar Kimhong-si-yu-lau, sementara So Bong-seng demi keamanan sendiri
juga telah mengundang It-gan-wi-teng yang telah menukar gadis cantik dalam tandu
menjadi tokoh maha sakti itu.
Dalam pertempuran ini dia tak boleh kalah!
Dia tak boleh menderita kekalahan lagi!
Serangan demi serangan dilancarkan Lui Sun dengan ganasnya, semua bacokan,
babatan, tusukan merupakan jurus mematikan yang maha dahsyat.
Dia berharap bacokan demi bacokan yang dilancarkan secara bertubi-tubi pada
akhirnya berhasil membantai So Bong-seng ....
Dia harus menghabisi nyawa So Bong-seng, musuh nomor satu baginya, selama orang
itu masih hidup, perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak mungkin bisa tetap bertahan
hidup, perkum?pulannya tak akan hidup dalam suasana aman dan tenteram....
Itulah sebab dia harus membunuh So Bong-seng, walau dengan cara apa pun. Karena
inilah saat yang paling bagus untuk membunuh So Bong-seng, bila dia tidak
memanfaatkannya, kesempatan emas segera akan berlalu.
Sekali kesempatan emas berlalu, maka yang muncul adalah kesempatan emas bagi
pihak lawan untuk membunuhnya.
Tiba-tiba Lui Moay mencabut keluar pedangnya, kemudian ditusukkan ke punggung
Lui Sun dengan kecepatan luar biasa.
Jika dia bukan Lui Moay, siapa yang sanggup berdiri begitu dekat dengan Lui Sun,
bahkan berdiri di belakangnya tanpa dicurigai sama sekali"
Apalagi pedang kayu yang berada di tangan Lui Moay jauh lebih tajam daripada
pedang tajam mana pun, bahkan bisa menyerang tanpa menimbulkan desiran angin
tajam, Dengan telak pedang kayu itu menghujam di punggung Lui Sun!
Dengan wajah sedih bercampur kecut Lui Sun maju beberapa langkah ke depan, tapi
golok yang berada dalam genggamannya sama sekali tak berhenti menyerang, dia
bahkan melancarkan serangan dengan kekuatan paling dahsyat.
Kini So Bong-seng tidak lagi bergolok, dia tak sanggup menerima datangnya
ancaman yang maha dahsyat itu.
Untung Un Ji kebetulan berdiri di sampingnya, menggunakan kesempatan di saat
punggung Lui Sun termakan tusukan maut, dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat
dia rebut golok Seng-seng-to yang ada di tangan Un Ji dan menangkis babatan
golok Put-ing-to itu dengan keras lawan keras.
Tiada suara yang bergema, tiada percikan bunga api maupun dentingan keras, tahu-
tahu kedua bilah golok itu sudah patah dan hancur.
Serangan maut yang dilancarkan Lui Sun akhirnya gagal, berantakan tak keruan.
So Bong-seng mundur sambil memegangi dadanya, kening berkerut menahan sakit yang
luar biasa, kini kakinya bagaikan sudah cacad, sama sekali kehilangan rasa.
Lekas Gan Hok-hoat maju dan memayangnya.
Lui Sun berdiri bersandar pada tiang bangunan, semburan darah segar memancar
keluar dari dadanya, meleleh dan membasahi seluruh tubuhnya.
I ,ekas Lui Tun maju memayangnya sambil berseru, "Ayah
Lui Sun terengah-engah, dengan bersusah payah ia berpaling ke arah Lui Moay,
lalu serunya, "Bukankah aku selalu baik kepadamu?"
"Benar!" Lui Moay segera mengakuinya.
"Meng ... mengapa kau berbuat begini?"
"Karena kau telah merampas segala milik ayahku, merampas juga segala yang
kumiliki, aku sebenarnya adalah ahli waris perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi
sekarang harus menjadi kekasih gelapmu, seorang kekasih gelap yang merupakan
aibku, sekalipun sikapmu terhadapku jauh lebih baik pun tak akan cukup untuk
membayar semua perbuatanmu. Sejak kau ambil alih segala sesuatu yang seharusnya
menjadi milikku, aku telah bersumpah akan mencari peluang untuk menghadapimu."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjut Lui Moay, putri tunggal Lui Ceng-lui,
ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong sebelumnya, "Apalagi sudah sejak lama aku
menjadi anggota Kim-hong-si-yu-lau, akulah Kwik Tang-sin!"
"Rupanya kaulah Kwik Tang-sin!" dengan penuh penderitaan Lui Sun memegangi
dadanya yang penuh berlepotan darah, "tapi bagaimana pun kau tetap anggota
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku pun pada akhirnya bukan tewas di tangan orang
lain ... aku ... aku hanya merasa heran
"Apa yang kau herankan?" tanya Kwik Tang-sin.
"Kau jelas berasal dari marga Lui, mengapa kau tinggalkan nama marga Lui dan
berganti jadi bermarga Kwik" Kau jelas seorang anggota perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, mengapa malah ikut So Bong-seng?"
"Waktu itu aku belum dewasa. Kau belum tertarik kepadaku, saat itu kau telah
menurunkan perintah untuk membunuhku, kalau bukan Kwik Kiu-seng yang berada
dalam penjara bawah tanah menolongku, mungkin sekarang aku sudah di alam baka.
Itulah sebabnya aku bermarga Kwik,"
ujar Kwik Tang-sin menerangkan, "orang bilang tiga orang wanita yang mendampingi
Lui Sun sangat setia kepadanya, tapi kau telah memaksa Toa-hujin hingga minggat
meninggalkanmu, kemudian kau pun menyia-nyiakan aku, kini tinggal putrimu
seorang f ang masih ada di sisimu ...
kalau bukan kau melancarkan serangan lebih awal, mungkin aku sudah
memberitahukan rencanamu ini kepada So-kongcu, agar dia lebih waspada."
"Tapi pada akhirnya aku tetap kalah," tiba-tiba ujar Lui Sun kepada So Bong-
seng, So Bong-seng tertawa getir.
"Kemenanganku pun harus kuraih dengan penuh penderitaan dan siksaan."
"Sekarang aku adalah sang pecundang, aku mohon satu hal kepadamu."
"Katakan!" "Jangan bunuh putriku," pinta Lui Sun sambil membelai rambut Lui Tun.
So Bong-seng segera mengangguk.
"Kau mengabulkan permintaanku?" ulang Lui Sun.
"Ya, aku mengabulkan permintaanmu."
"Kalau begitu aku pun boleh berlega hati," kata Lui Sun sambil menghembuskan
napas panjang, "walaupun selama ini aku selalu bermusuhan denganmu, tapi aku merasa gembira dan
riang karena mempunyai seorang lawan macam kau. Aku rasa, terlepas kau yang mati
atau aku yang mati, kita sama-sama merasa tak tega kehilangan lawan bukan?"
"Betul," So Bong-seng mengangguk, "tanpa kau, tentu merupakan kehidupan yang
sepi bagiku. Ketika kau terjun ke dalam peti mati dan segera tewas, aku selalu beranggapan
bahwa kejadian itu tak nyata, oleh sebab itu aku selalu meningkatkan
kewaspadaanku, tapi toh tetap teledor, nyaris aku terjungkal di tanganmu."
"Tapi kenyataannya kau tidak terjungkal, cuma kau bakal memperoleh seorang musuh
baru yang jauh lebih tangguh."
"Maksudmu Ti Hui-keng?"
"Selain dia siapa lagi?"
"Dia sama sekali tidak mengkhianatimu?"
"Mana mungkin dia mengkhianatiku?"
"Ternyata dugaanku tak salah," kata So Bong-seng hambar, "sebenarnya aku memang
tidak siap membiarkan dia tetap hidup."
"Kau ....." "Bila dia tidak mengkhianatimu berarti akan berhadapan denganku, jika dia
mengkhianatimu, suatu hari nanti dia pun akan mengkhianatiku, karena dia tidak
seperti Lui Moay, punya alasan yang kuat untuk membalas dendam," So Bong-seng
menerangkan, "oleh sebab itu aku tak pernah akan membiarkan manusia macam begini
tetap hidup di dunia!"
Napas Lui Sun mulai memburu, dengan terengah-engah serunya kepada Lui Tun, "Tun-
ji Seruan itu penuh dengan nada kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya,
diiringi cucuran darah yang makin deras dari mulut dan lukanya, air mata tampak
meleleh keluar dari matanya.
"Ayah!" pekik Lui Tun sedih.
"Bila kau tak mampu membalaskan dendam bagi kematianku, pergilah yang jauh,
terbanglah ke ujung langit, aku tak bakal membencimu ... tak akan menyalahkan
dirimu ... bila kau ingin membalaskan dendam bagi ayah
Tiba-tiba Lui Sun menempelkan bibirnya di sisi telinga Lui Tun dan membisikkan
sesuatu, suaranya amat lirih, Lui Tun mendengarkan dengan seksama, air mata


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibiarkan meleleh, dia seolah lupa menyekanya, kepalanya mengangguk berulang
kali tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya Lui Sun menyandarkan kepalanya di atas bahu gadis itu, sama sekali tak
ada tenaga lagi. Lui Tun mencoba mendorong sambil berseru, "Ayah!" Dia mendorong lagi berulang
kali, dengan nada tak percaya teriaknya, "Ayah!"
Tapi Lui Sun sudah tak bergerak, napasnya telah berhenti, sekujur tubuhnya mulai
membeku kaku. "Ayah!" teriakan ketiga serasa tersangkut dalam tenggorokan, tak pernah
diucapkan keluar. Dengan tewasnya Lui Sun, seluruh jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang ada
dalam ruangan pun kehilangan semangat untuk bertempur, dalam keadaan begini
mereka hanya berharap bisa mundur secepatnya.
"Kabur!" teriak Lui Tong-thian lantang. Tak seorang pun yang tahu mengapa dia
begitu bersemangat untuk melindungi rekan-rekannya agar segera mundur dari situ,
entah dikarenakan dia memang ingin melindungi anak buahnya ataU karena kematian
Lui Sun, dia pun tak punya gairah untuk hidup terus.
Sebaliknya So Bong-seng merasa sangat lega setelah menyaksikan kematian Lui Sun,
entah mengapa, dia pun merasa?kan hatinya kosong dan hampa, seluruh kekuatan
tubuhnya seketika hilang, penyakit yang dideritanya kambuh kembali.
Tiba-tiba hawa di dadanya bergejolak keras, perasaan sedih kembali menyelimuti
pikirannya, dengan suara keras teriaknya, "Jangan biarkan Mo Pak-sin kabur dari
sini, lepaskan sisanya yang lain ..."
Tiba tiba pandangan matanya jadi gelap, tubuhnya seketika roboh terjungkal ke
tanah. Untung Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau berdiri dekat dengannya, satu dari kiri yang
lain dari kanan lekas memayang tubuhnya.
Lui Tong-thian masih bertahan di jalan mundur dengan mati-matian, dia hanya
membiarkan anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong mundur dari situ dan mencegah
jagoan Kim-hong-si-yu-lau melakukan pengejaran, tubuhnya kembali bertambah
dengan tujuh delapan luka bacokan, namun dia masih tetap bertahan.
Mo Pak-sin sendiri pun terluka cukup parah, dikerubut Yo Bu-shia dan para jago
tangguh dari Kimhong-si-yu-lau, dia hanya bisa mundur terus hingga ke sisi Lui
Tong-thian. "Congtongcu sudah mati!" teriaknya keras, "ayo, kita segera mundur!"
"Kau pergilah! Aku tak akan pergi!" sahut Lui Tong-thian sambil bertahan terus.
"Kita masih mempunyai Ti-toatongcu! Kita masih mempunyai peluang untuk
melangsungkan pertempuran lagi!" teriak Mo Pak-sin, keadaannya semakin
mengenaskan. "Lui-congtongcu sudah mati, buat apa aku tetap hidup?" Lui Tong-thian dengan
kekuatan seorang diri berusaha membendung serangan gabungan dari Ong Siau-sik
dan Pek Jau-hui, posisinya semakin kritis, jiwanya sudah berada di ujung tanduk,
tapi dia berteriak lagi, "Kau cepatlah kabur!"
ooOOoo 64. Lelaki yang menjahit pakaian meneruskan jahitannya (Tamat)
Belasan li dari markas besar Kim-hong-si-yu-lau terdapat sebuah tempat yang
bernama Ku-sui-poh, saat itu terlihat seorang pemuda sedang berdiri sambil
menggendong tangan, sambil mengawasi ujung langit dimana terletak markas Kim-
hong-si-yu-lau, mimik mukanya kelihatan makin lama semakin bertambah suram
bercampur masgul. Di sisinya berdiri dua orang.
Yang satu adalah Lui Kun, sementara yang lain adalah Lim Ko-ko.
Mereka tak berani mengusik ketenangannya.
Sudah cukup lama dia berdiri di situ, lama, lama sekali, rasa duka yang
menyelimuti wajahnya pun turut bertambah mengikuti bertambahnya sang waktu.
Malam sudah semakin kelam, fajar hampir menyingsing, kemurungan, rasa duka, rasa
masgul semakin kentara tercermin pada wajahnya.
Di sudut bangunan runtuh di wilayah Ku-sui-poh berdiri pula dua orang pemuda,
seorang sastrawan berbaju putih berwajah tampan, berdiri di tengah halaman
penginapan, menikmati cahaya rembulan sambil membuat syair, dia nampak amat
santai. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda berperawakan kurus, berbaju tipis,
sedang menjahit pakaian sambil tersenyum.
Tampaknya kedua pemuda itu saling mengenal satu de?ngan lainnya.
Mereka sama sekali tidak mempedulikan ketiga orang yang berada di depan puing
bangunan. "Pasang Hio!" Ti Hui-Keng menurunkan perintah.
Waktu sudah menunjukkan Yin-Si (Pukul 3 - 5 pagi), Ti Hui-Keng sadar
penantiannya tak akan membuahkan hasil, satu-satunya sisa pengharapan pun turut
musnah mengikuti tenggelamnya sang rembulan, bahkan segera akan lenyap di alam
jagad yang luas. Lim Ko-Ko dan Lui Kun telah menyiapkan meja sembahyang.
Setelah menyulut hio, Lim Ko-Ko menyerahkan kepada Lui Kun.
Dengan kening berkerut Lui Kun menyambutnya dan segera dipersembahkan kepada Ti
Hui-Keng, sikapnya amat menaruh hormat.
Setelah pasang hio dan menjura tiga kali, Ti Hui-Keng menjatuhkan diri berlutut,
ujarnya sambil memandang langit, "Congtongcu, kau melarangku turut serta
bersamamu menyerang markas Kimhong-si-yu-lau, aku sangat memahami maksud hatimu,
kini saat Choi-si sudah lewat tapi belum nampak juga bunga api yang dijanjikan.
Kau tak usah kuatir, aku telah menempatkan pasukan inti perkumpulan Lak-hun-
Poan-tong di seputar Po-Pan-bun, mereka tak akan bergeser dari seputar air
terjun Put-Tong, tak akan melancarkan serangan secara membabi buta ......"
Bicara sampai disitu ia berhenti sejenak, suaranya agak sesenggukan, terusnya
kemudian, "kau pernah berkata, bila serbuan malam ini tidak berhasil, maka kau
akan gugur dalam medan laga.
Aku sebenarnya tak lebih hanya seorang prajurit kecil di bawah pimpinan Kwan
Toaci, berkat kepercayaanmu dan dukunganmu, maka aku bisa memperoleh posisi
seperti ini ........ kali ini kau mengajak Lui-jiko menyerempet bahaya sementara
aku tak dapat mendampingimu, aku ........"
Lama sekali dia tertunduk sedih sebelum akhirnya berkata lagi, "Kau yang berada
di langit... beristirahatlah dengan tenang, aku pasti akan menahan segala hinaan dan
penderitaan untuk berusaha bangkit kembali, aku bersumpah akan membangun kembali
kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau dan
membalaskan sakit hatimu!"
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, baru saja akan menancapkan batang hio di
meja altar, tiba-tiba badannya terasa'gontai, lekas dia berpegangan pada sisi
dinding sembari mendengus tertahan, sorot matanya yang tajam bagai sembilu
dengan cepat menyapu sekejap ke wajah Lim Ko-ko serta Lui Kun.
"Kalian?" Lim Ko-ko maupun Lui Kun sama sekali tidak menghampirinya, yang satu hanya
menganggukkan kepala sementara yang lain berkata, "Itulah bubuk talas yang
dipelajari It-gan-wi-teng dari perguruan Kui-li-pat-ji-bun dan ditambah dengan
ra?muan baru hasil ciptaannya, tentu saja di sekitar sini masih tersisa asap
pemabuk." "Bagus, bagus sekalisinar pasrah dan putus asa terbesit dari balik mata Ti Hui-
keng, kepada Lim Ko-ko serunya, "Kalau kau yang melakukan semua ini, aku tak
akan merasa heran, sebab bagaimana pun kau berasal dari lain marga ..."
Dia membalikkan tubuhnya, dengan sorot mata kepedihan bercampur rasa menghina
dia mengawasi wajah Lui Kun, katanya lebih jauh, "Kau adalah keturunan keluarga
Lui, kami semua bersikap baik kepadamu, mengapa kau berbuat begitu" Perbuatan
terkutukmu benar-benar membuat aku kecewa."
Walaupun sudah tahu lawan tak mampu bergerak lagi, entah mengapa Lui Kun
merasakan hatinya bergidik, bulu kuduknya berdiri, tanpa sadar ia mundur
selangkah. "Kau bukan berasal dari keluarga Lui, tapi Congtongcu bersikap jauh lebih baik
kepadamu!" katanya. Ti Hui-keng tertawa, suara tertawanya terselip perasaan kesepian dan
kesendirian. "Perkataanmu memang benar!" katanya, "aku tidak menyangka pada akhirnya aku Ti
Hui-keng harus terjatuh di tanganmu, aku telah menyia-nyiakan harapan
Congtongcu, aku memang tak pantas menerima kebaikan darinya."
"Kau mengkhianati Congtongcu lebih dulu, menyatakan kesetiaan kepada So-kongcu,
apakah manusia macam kau tidak pantas mampus?" seru Lui Kun semakin berani.
Dia tahu Ti Hui-keng sudah kehilangan tenaga untuk melawan, sementara dia
sendiri sudah minum obat penawar terlebih dulu hingga tak kuatir terpengaruh
bubuk pemabuk itu. "Aku adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kenapa aku harus bersumpah
setia kepada So Bong-seng?" jengek Ti Hui-keng semakin sinis, "jika kau
membunuhku lantaran menganggap aku telah mengkhianati Congtongcu, maka sekarang
aku nyatakan bahwa aku masih harus membangun perkumpulan Lak-hun-poan-tong lagi,
aku akan melanjutkan pertarunganku melawan Kim-hong-si-yu-lau, jika aku masih
melanjutkan cita-cita Congtongcu, apa alasanmu ingin membunuhku" Tapi jika kau
membunuh demi So Bong-seng, berarti kau telah mengkhianati perkumpulan Lak-hun-
poan-tong, kau adalah seorang pengkhianat laknat, selama hidup kau telah banyak
menerima budi kebaikan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi di saat kritis kau
justru berbalik arah, jika masih punya muka, ayo, berdiri di depanku dan jawab
pertanyaanku!" Lui Kun gusar sekali, dia ingin menghampiri Ti Hui-keng dan menamparnya beberapa
kali, tapi ia tak berani berbuat begitu, bagaimanapun rasa takut dan sangsi
masih menyelimuti hatinya.
"Jika kau masih bicara tak keruan ... akan kubunuh kau!" dengan perasaan gusar
bercampur mendongkol dia melepas senjatanya dari pinggang.
Lim Ko-ko yang berada di sisinya mendadak berkata kepada Ti Hui-keng, "So-kongcu
sudah tahu kalau kau tak bakal bersumpah setia kepadanya, maka sebelum
diselenggarakan pesta perjamuan malam tadi, ia telah menurunkan perintah kepada
kami untuk membunuhmu."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah manusia berbakat, jika dia tak
mampu menggunakan kemampuanmu, terpaksa harus membunuhmu, dia tak ingin
menangkapmu hidup-hidup, sebab dia kuatir bila bertemu lagi denganmu, dia jadi
tak tega untuk turun tangan."
"Oleh sebab itu kalian akan menjalankan eksekusi di tempat ini," sambung Ti Hui-
keng sambil tertawa. "Kau meninggalkan anak buahmu di wilayah air terjun Put-tong dan Po-pan-bun,
sementara dirimu datang seorang diri ke daerah Ku-sui-poh, tindakan ini benar-
benar merupakan sebuah tindakan yang amat bodoh," kata Lim Ko-ko dengan suara
dalam. Ti Hui-keng mengangguk. "Ucapanmu memang benar, kusangka dengan bertindak begini maka aku bisa segera
menyusup begitu Congtongcu melepaskan kembang api ... tak kusangka justru
tindakanku ini memberi peluang kepada kalian untuk membokongku."
"Lui-goko pernah ditaklukkan Si Say-sin serta Pek Jau-hui, dia tahu perkumpulan
Lak-hun-poan-tong segera akan runtuh, oleh sebab itu dia berbalik arah dengan
bergabung ke pihak kami."
"Bagaimana dengan kau?" tanya Ti Hui-keng sambil menatapnya tajam.
"Sejak semula aku memang anggota Kim-hong-si-yu-lau," sahut Lim Ko-ko sambil
mencabut keluar sebilah pisau belati.
Ti Hui-keng menghela napas panjang, melihat keempat anggota badannya lemas tak
bertenaga, tak mungkin tenaganya pulih kembali dalam waktu singkat, keluhnya,
"Tak heran kalau secara diam-diam kau membebaskan Lui Tun dan Un Ji, bahkan
meracuni saudara-saudara yang menjaga dengan racun jahat."
"Dugaanmu tepat sekali, tapi bukan aku yang meracuni mereka!" kata Lim Ko-ko
dengan tubuh bergetar. "Sayang, segala sesuatunya sudah terlambat!" dengan tangan sebelah berpegangan
pada sisi dinding, Ti Hui-keng mengulurkan tangannya dengan susah payah, katanya
lagi, "Berikan pisau belati itu kepadaku, biar aku membunuh diriku sendiri."
Lim Ko-ko tampak agak sangsi.
"Selama berada di perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku selalu bersikap baik
kepadamu," ujar Ti Hui-keng, "inilah permintaanku terakhir sebelum aku mati,
juga merupakan satu-satunya permohonanku."
"Biar aku yang membunuhnya ...."teriak Lui Kun sambil memutar sepasang
rantainya, ia siap melancarkan serangan.
"Jangan," cegah Lim Ko-ko sambil menyodorkan pisau belatinya, "biar dia bunuh
diri!" Mendadak terdengar seseorang berkata, "Menurut kau, lebih enak bunuh diri atau
dibunuh orang?" "Kedua-duanya tidak enak," jawab suara yang lain.
"Semuanya tidak enak?"
"Aku rasa membunuh orang paling enak."
Kelopak mata Lim Ko-ko mendadak menyusut tajam, dia tahu ada orang ingin
mencampuri urusan ini. Mereka sengaja memilih tempat itu untuk membunuh Ti Hui-keng, kebaikannya adalah
anak buah Ti Hui-keng tidak mungkin datang menolong, tapi kejelekannya bila
mereka pun gagal dalam usaha pembunuhan ini, tak akan ada orang yang datang
menolong.. Lui Kun sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia bergerak sambil melancarkan
serangan. Dalam keadaan begini, tentu saja Lim Ko-ko tak akan mencegahnya untuk menyerang.
Dia pun ingin menyaksikan sampai dimana keampuhan ilmu silat yang dimiliki sang
pendatang. Terlebih lagi dia tahu dengan pasti, bicara soal kepandaian silat, dia masih
jauh ketinggalan bila dibandingkan kemampuan Lui Kun.
Sepasang bintang kejora Hwe-sui-siang-liu-seng milik Lui Kun sudah meluncur ke
depan, langsung menghajar tubuh sastrawan berbaju putih itu.
Dengan cekatan sastrawan berbaju putih itu mengegos ke samping, serangan Liu-
seng-jui itupun mengenai sasaran kosong.
"Gerakan Pek-ci-kok-liau (kuda putih melewati perbatasan) yang hebat!" puji Ti
Hui-keng sambil menghela napas.
Tampak Liu-seng-jui milik Lui Kun yang semula menyerang ke arah pemuda yang
sedang menjahit baju itu mendadak berputar arah, kali ini menyerang ke tubuh
sastrawan berbaju putih itu.
"Aku mak teriak sastrawan berbaju putih itu keras, "kelihatannya kau benar-benar
ingin membunuh orang?"
Kipas yang berada di tangannya segera direntangkan, dengan satu rentangan
kemudian melipatnya kembali ia sudah menjepit senjata Liu-seng-jui itu kuat-
kuat. Kali ini Lim Ko-ko yang berteriak keras, "Ah, Cing-honghou (cerah amat indah)!
Kipas menggapai matahari dan rembulan, langit cerah amat indah!"
Sambil berteriak, pisau belati yang berada dalam genggamannya memancarkan sinar
berkilauan. Walaupun senjata meteor api milik Lui Kun kena dicengkeram lawan, namun senjata
meteor air masih bebas, dia segera memutarnya kencang dan dilontarkan lagi ke
depan, ternyata yang diarah bukan sastrawan berbaju putih itu melainkan
menyerang lelaki yang sedang menjahit pakaian.
Di satu pihak ia berbuat demikian mencerminkan keberaniannya, di pihak lain
serangan itupun bermaksud memaksa lawan untuk berbalik menolong rekannya, jika
lelaki yang sedang menjahit pakaian itu tak mengerti ilmu silat, sastrawan
berbaju putih itu tentu akan berusaha menyelamatkan dirinya terlebih dulu, bila
ingin menolong maka senjata meteor apinya yang dijepit akan dilepaskan,
sebaliknya bila lelaki yang sedang menjahit itu mengerti ilmu silat, dia pasti
akan berusaha menolong rekannya, ketimbang didahului lawan, maka dia putuskan
untuk mendahului dengan serangan mematikan.
Apa mau dikata, hasil yang kemudian terjadi sama sekali di luar dugaannya.
Pemuda yang sedang menjahit pakaian itu sama sekali tidak menghindar maupun
berkelit, dia tetap melanjutkan pekerjaannya, menjahit pakaian.
Ketika senjata meteor air itu menyerang tiba dengan disertai tenaga yang maha
dahsyat, tiba-tiba saja tangannya melakukan gerakan patahan dengan gaya
menggunting, "Kraaak!", tahu-tahu rantai yang mengendalikan senjata meteor air
itu pa?tah jadi dua. Lui Kun membentak nyaring, dia seakan bersiap untuk mengadu nyawa, mendadak
senjata meteor apinya dilepaskan begitu saja, kemudian ia membalikkan badan dan
melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Lim Ko-ko tak berani ayal lagi, pisau belatinya langsung ditusukkan ke dada Ti
Hui-keng! Mendadak tubuh Ti Hui-keng mulai bergerak, begitu bergerak, cepatnya bukan
kepalang. Dengan tangan sebelah dia merebut pisau belati yang berada di tangan Lim Ko-ko,
tubuhnya bergerak keluar, bersamaan dia sudah menotok tujuh buah jalan darah di
punggung lawan, sementara pisau belati yang berhasil direbutnya tadi sudah


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur ke tengah udara dan menyambar ke punggung Lui Kun.
Diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, Lui Kun roboh terjungkal ke tanah.
Lelaki penjahit itu masih meneruskan pekerjaannya, menjahit pakaian.
Sedangkan sastrawan berbaju putih itu segera berseru dengan nada tertahan, "Jadi
kau ... kau tidak terpedaya oleh bubuk pemabuk itu
"Tujuan kedatanganku malam ini selain untuk menunggu komando dari Congtongcu
atau untuk berdoa bagi arwahnya yang gugur, paling tidak aku pun ingin tahu
siapa saja pengikut perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tetap setia hingga detik
terakhir," kata Ti Hui-keng dengan suara dingin, "Lui Kun pagar makan tanaman,
dia lebih rendah daripada seekor babi. Sebaliknya orang ini masih berguna untuk
tetap dibiarkan hidup."
Seraya berkata ia menuding ke arah Lim Ko-ko yang tergeletak lemas di tanah.
Sastrawan berbaju putih itu menjulurkan lidahnya tanpa terasa, katanya,
"Kelihatannya pertarungan yang terjadi di kota-raja jauh lebih seram dan lihai
ketimbang pertikaian dalam dunia persilatan."
"Tampaknya kalian berdua bukan penduduk kotaraja, boleh tahu siapa namamu," kata
Ti Hui-keng dengan hormat.
"Aku bernama Pui Heng-sau, aku datang untuk mencari saudara angkatku Tong Po-
gou," setelah tertawa terkekeh, terusnya, "Aku pun tahu kalau kau adalah Ti Hui-
keng, Ti-toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang amat tersohor
nam?anya." Lelaki penjahit pakaian itu tetap membungkam.
Ti Hui-keng segera maju ke hadapannya, sambil menjura dalam-dalam katanya,
"Boleh tahu namamu?"
Lelaki itu masih menjahit pakaiannya dengan khusuk, lama kemudian dia baru
mendongakkan kepalanya sambil tersenyum.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Ti Hui-keng, mendadak dia teringat akan
seseorang yang pernah disebut banyak orang, serunya tanpa terasa, "Anda adalah
Thian-ih-yu-hong (baju langit ada jahitan)?"
Lelaki itu tertawa, akhirnya dia buka suara juga, "Un-tayjin yang mengutus aku
datang ke kotaraja untuk mencari nona."
Diam-diam Ti Hui-keng berpikir, "Jangan-jangan arwah Congtongcu melindungi
diriku, hingga aku mendapat kesempatan memperoleh pembantu tangguh dan lebih
cepat memba?laskan dendam sakit hatinya?"
Dengan nada bersungguh-sungguh ujarnya kemudian, "Walaupun hari ini baru pertama
kali bertemu, namun berkat bantuan kalian berdua, aku Ti Hui-keng berhasil lolos
dari bahaya maut, aku percaya kalian pastilah orang gagah berjiwa patriot,
bolehkah aku mengajukan satu permintaan.
"Aneh," seru Pui Heng-sau keheranan, "saat ini kau adalah pemimpin perkumpulan
Lak-hun-poan-tong, masakah minta sesuatu kepada kami berdua yang baru datang
dari luar daerah, selain miskin, kelaparan lagi pula sial" Apa permintaanmu
itu?" "Sudah lama aku mengagumi nama besar kalian berdua, aku hanya memohon agar
kalian bersedia membantu aku membangun kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong,
aku berharap dengan dukungan kalian berdua, kami bisa lebih cepat memperoleh
kembali wilayah kekuasaan yang hilang dan cukup tangguh untuk melawan Kim-hong-
si-yu-lau. Budi bantuan yang kalian berikan hari ini, tak akan kulupakan untuk
selamanya." Pui Heng-sau segera tertawa.
"Asal saudaraku yang lain setuju, sebenarnya penawaran ini menarik juga, tapi
menolong yang lemah sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah, kau tak perlu
masukkan dalam hati."
"Tampaknya kau telah melupakan satu hal," tiba-tiba lelaki penjahit itu berkata
sambil memicingkan mata. Kemudian setelah tertawa kaku, lanjutnya, "Sejak dulu Un-tayjin memang sahabat
karib Lui-congtongu, dulu mereka pernah mati hidup bersama, justru karena ia
mendengar kedatangan nona Un kali ini ke kotaraja hendak membantu Toa-suhengnya
So Bong-seng, maka beliau mengutus aku untuk membawanya pulang."
"Ah, jadi kalian berdua bersedia?" seru Ti Hui-keng kegirangan.
Ketika mereka bertiga berjalan keluar dari puing bangunan, entah mengapa, tiba-
tiba timbul semangat juang yang berkobar dalam hati masing-masing, mereka merasa
seakan ada pekerjaan besar yang harus dikerjakan, ada pekerjaan besar yang harus
dilaksanakan. Ti Hui-keng sendiri tetap merasa masgul bercampur kuatir, dia tak tahu bagaimana
nasib Congtongcu beserta saudara-saudara lainnya yang terjebak dalam markas
besar Kim-hong-si-yu-lau.
Ketika berpaling menyaksikan sisa rembulan di kaki langit, diam-diam ia
bersumpah, suatu saat nanti dia harus menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau, membunuh
So Bong-seng, membalaskan dendam bagi kematian Lui Sun.
Mereka sama sekali tidak tahu, perasaan hati mereka bertiga yang tertaut satu
sama lain sewaktu berjalan keluar dari balik puing bangunan, sama persis seperti
perasaan Ong Siau-sik, Pek Jau-hui dan So Bong-seng pada tiga hari berselang.
Perasaan mereka amat mirip.
Bahkan mirip sekali!! T A M A T Bagaimana Ti Hui-keng akan membangkitkan kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong"
Ikutilah kisah selanjutnya di:
PEDANG AMARAH Pedang Angin Berbisik 4 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Budak Nafsu Terkutuk 1
^