Pencarian

Golok Kelembutan 3

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 3


berteduh. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu, hujan bakal turun semakin deras, buru-buru
mereka berlari di antara air hujan dan menyusup ke dalam sebuah puing bangunan
bekas kebakaran. Biarpun tempat itu dipenuhi puing yang berserakan serta semak setinggi lutut,
namun ada beberapa bagian bangunan yang belum roboh sehingga bisa digunakan
untuk berteduh. Dalam keadaan setengah basah, kedua orang itu tiba di tengah puing bangunan,
menyaksikan hujan yang turun semakin deras, mereka merasa seakan seperti
kehilangan sesuatu. "Deras amat hujan kali ini!" gumam Ong Siau-sik sambil menyeka air yang
membasahi badan. "Benar, tampaknya kita bakal berteduh cukup lama
Tak lama setelah mereka berteduh, tampak ada empat orang yang berlarian di
tengah hujan memasuki puing bangunan itu.
Berhubung waktu itu hujan memang turun sangat deras, Pek Jau-hui tidak merasa
heran ketika melihat ada empat orang yang ikut berteduh di puing bangunan itu.
Setelah memasuki bangunan yang terbengkalai itu, terlihat dua orang berjaga-jaga
di depan pintu, sementara dua orang lainnya berjalan masuk ke dalam.
Dari dua orang yang berjalan masuk itu, seorang berperawakan tinggi besar,
berwajah keren dan bermata tajam, dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi
wajah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sekejap.
Sementara seorang yang lain tiba-tiba terbatuk, batuknya sangat keras.
Dengan selembar saputangan dia mencoba menutupi mulutnya, tetapi batuknya
semakin keras hingga membuat badannya terbungkuk-bungkuk, tubuhnya jadi
melingkar macam kura kura, dari suara batuknya, bisa dirasakan betapa
menderitanya orang itu. Orang bertubuh tinggi besar itu segera menghampiri rekannya dan berniat
menggosok tubuhnya yang basah.
Tapi pemuda yang sedang terbatuk-batuk itu segera menggeleng.
Noda darah telah membasahi saputangannya yang berwarna putih, sementara sepasang
matanya nampak semakin sayu.
"Tampaknya penyakit yang ia derita cukup parah," bisik Ong Siau-sik kemudian.
"Kita pun segera akan tertular penyakitnya," sambung Pek Jau-hui.
"Penyakit apa?"
"Penyakit miskin!"
Mereka berdua segera tertawa tergelak.
Kembali Pek Jau-hui berkata, "Tak heran orang bilang, kemiskinan bisa mematikan
orang, jika kita rudin, jangan singgung soal lain, nomor satu yang bakal
terhapus dari benak kita adalah semangat."
"Benar," Ong Siau-sik mengangguk, "orang bilang kota Kay-hong adalah sarang naga
gua macan, harimau sudah banyak bertemu, tapi naga masih bersembunyi
Sementara itu suara batuk pemuda itu sudah mulai berhenti, namun dadanya masih
nampak bergelombang tak teratur, selangkah demi selangkah ia berjalan menuju ke
sisi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dengan demikian mereka bertiga berdiri
berjajar. Hujan masih turun dengan derasnya.
Deras sekali, bagaikan dicurahkan dari langit!
11. Manusia di tengah puing
Memandang air hujan yang turun dengan derasnya, tanpa terasa Pek Jau-hui
bergumam, "Hujan kali ini sungguh deras."
"Benar, hujan memang amat deras," sahut Ong Siau-sik.
Kongcu berpenyakitan yang berdiri di samping mereka tiba-tiba mendongakkan
kepala, memandang hujan di luar puing bangunan, lalu katanya pula, "Benar-benar
hujan yang amat deras!"
Mereka bertiga sama-sama membicarakan soal hujan, tanpa terasa sorot mata pun
dialihkan ke depan sana. Di luar puing bangunan hanya suara hujan yang memekakkan telinga, seorang nenek
berbaju compang-camping, berambut putih, sedang berjongkok di sudut dinding
sambil mengais barang rongsok yang bertumpuk di situ.
Seekor semut tampak sedang merangkak di atas dinding bobrok, beberapa kali
berusaha merangkak naik, namun selalu tertahan hembusan angin kencang dari luar,
lelaki tinggi besar yang kebetulan berdiri di sisinya menjadi tak sabar, dia
menggerakkan jari tangannya, siap menginjak mati semut itu.
"Te Hoa!" mendadak Kongcu penyakitan itu menegur, "sekalipun kau tak sabar
melihatnya, tidak perlu mesti membunuhnya, dia toh tidak mengganggumu, tidak
menutupi jalanmu, kenapa kau mesti berniat membunuhnya" Kenapa tidak membiarkan
dia mencari hidup di dunia ini?"
"Baik, Kongcu," sahut orang tinggi besar itu sambil meluruskan tangannya ke
bawah dengan kepala tertunduk.
Biarpun usia Kongcu ini belum terlalu tua, namun sikapnya seakan orang dewasa
sedang menegur seorang anak kecil, kembali ujarnya, "Apakah kau kuatir Hoa Bu-
ciok gagal menemukan barang antik itu?"
"Benar, aku kuatir terjadi sesuatu dengan dirinya," jawab lelaki tinggi besar
itu dengan perasaan tak tenang.
Kembali Kongcu penyakitan itu mengalihkan pandangan matanya ke arah hujan yang
masih turun dengan deras, sekali lagi bara api memancar dari balik matanya.
"Selama ini Hoa Bu-ciok pintar dan cekatan, dia tak akan membuat aku kecewa,"
katanya. Si nenek yang kurus kering dan sedang mengais rongsok di pojok ruangan itu
nampak gemetaran keras, mungkin lantaran udara sangat dingin sementara mantel
yang dikenakan tak cukup tebal, dia nampak sangat kedinginan.
"Wo Hu-cu!" tiba-tiba Kongcu itu berseru.
Salah satu di antara dua lelaki yang berdiri di teras depan, seorang lelaki
berdandan pegawai keuangan segera menyahut, "Siap!"
"Nenek itu nampak kasihan sekali, beri sedekah kepadanya!"
Wo Hu-cu menyahut dan segera mengeluarkan dua. tahil perak yang diserahkan ke
tangan nenek itu. Tampaknya selama hidup belum pernah nenek itu menerima derma sebesar itu, sesaat
ia nampak terperangah. Saat itulah terdengar lelaki yang masih ada di teras depan berseru lirih,
"Kongcu!" "Sudah datang?" sekilas perasaan girang melintas di wajah Kongcu penyakitan itu.
Lelaki itu berpaling, ternyata orang ini memiliki wajah yang aneh, separuh
bagian berwarna hitam dan separuh yang lain berwarna putih, sahutnya pada Kongcu
penyakitan, "Hoa Bu-ciok telah datang, di punggungnya menggendong seorang."
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa
terperanjat. Ternyata lelaki itu bukan 'melihat' ada orang datang, melainkan mendengar ada
orang mendekatinya dari belakang. Jika hal ini terjadi di waktu biasa, kejadian
itu tak aneh, tapi waktu itu hujan sedang turun dengan amat derasnya, suara
angin gemuruh keras sementara si pendatang bergerak dengan langkah ringan,
bahkan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun tidak mendengar apa-apa, tapi nyatanya
orang itu bisa mendengar dengan amat jelas.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Te Hoa ikut berpaling, kemudian serunya dengan
nada girang, "Ah, ternyata yang digendong Hoa Bu-ciok adalah si barang antik,
barang antik telah berhasil dia tawan!"
Mendapat laporan itu, Kongcu penyakitan itu tersenyum.
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui saling bertukar pandang sekejap, ternyata yang dia
maksud Barang antik bukan barang antik beneran, melainkan seorang manusia.
Hoa Bu-ciok dengan membopong seseorang berlarian kencang menerobos air hujan
menuju ke dalam puing bangunan, gerakan tubuhnya cepat bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya. Begitu tiba di ruang dalam, ia segera berlutut di hadapan Kongcu penyakitan itu
sambil melapor, "Hamba Hoa Bu-ciok memberi salam pada Locu!"
"Sudah berulang kali kukatakan, sembah hormat macam ini tak perlu dilaksanakan,
bila kau memang benar-benar menghormati aku, turuti permintaanku ini. Di dalam
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, semua anggota adalah sederajat, apalagi berada
di tempat musuh yang begini gawat!
Masa kau lupa pada pesanku ini?" tegur Kongcu penyakitan dengan hambar.
"Baik, Kongcu!"
Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik semakin terkesiap dibuatnya.
Ternyata Kongcu penyakitan yang terbatuk tiada hentinya dan berbadan kurus
kering macam tengkorak ini tak lain adalah ketua dari perkumpulan Kim-hong-si-
yu-lau. So Bong-seng! Terlebih mereka tak menyangka kalau di tengah puing bangunan yang begini
berantakan, di tengah hujan yang begitu deras, mereka dapat berjumpa dengan
tokoh sakti yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan.
"Bagaimana dengan tugasmu?" terdengar So Bong-seng bertanya lagi.
"Hamba telah menggelandang si barang antik datang ke?mari."
"Bagus, sadarkan dia!"
Hoa Bu-ciok segera menggerakkan tangannya menepuk bebas beberapa totokan di
punggung orang itu, kemudian menempeleng wajahnya empat lima kali, sementara Te
Hoa meng?guyurkan segayung air hujan yang dingin ke wajahnya.
Tak selang berapa lama, orang itu tersadar kembali dari pingsannya.
So Bong-seng tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi orang itu dengan
pandangan dingin. Ketika orang itu membuka matanya dan melihat So Bong-seng sedang berdiri di
hadapannya, ia nampak terkesiap, saking kagetnya sampai berseru tertahan,
"So ... So-kongcu!"
"Barang antik!" kata So Bong-seng sambil menatap tajam wajahnya, "kau memang
bernyali, sayang tidak setia kawan."
Barang antik menggelengkan kepala berulang kali, sahutnya sambil tertawa getir,
"Kongcu, selama ini Kongcu mengetahui segala sesuatu tentang hamba, di antara
enam orang kepercayaan Kongcu, nyaliku terhitung paling payah!"
"Kau paling payah?" sekilas cahaya aneh memancar dari balik mata So Bong-seng,
seakan bara api di tengah gumpalan salju, "Kau hebat, kau paling bernyali,
lihatlah, hingga sekarang pun kau tidak nampak jeri atau takut menghadapiku,
tampaknya selama ini aku telah salah menilaimu."
"Kongcu harap maklum, Kongcu harap maklum ..."
Mendengar sampai di situ, Ong Siau-sik segera berbisik kepada Pek Jau-hui,
"Tampaknya mereka sedang menyelesaikan urusan dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-
lau, ada baiknya kita menyingkir saja."
"Tapi hujan masih turun sangat deras di luar sana," kata Pek Jau-hui dingin.
Ong Siau-sik masih kelihatan agak sangsi.
Kembali Pek Jau-hui berkata, "Seluruh kota Kay-hong toh bukan daerah kekuasaan
mereka." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Apalagi tempat yang kita pijak
saat ini tidak seberapa besar."
Perkataan itu seketika menyadarkan Ong Siau-sik akan saru hal, ia berbisik pula,
"Benar, selama ini wilayah Ku-sui-poh merupakan daerah kekuasaan perkumpulan
Lak-hun-poan-tong, kedatangan So-kongcu untuk menangkap orang di tempat ini
boleh dibilang sudah merupakan satu pelanggaran daerah."
Pek Jau-hui manggut-manggut.
"Kalau sampai Locu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau datang sendiri kemari, jelas
persoalan ini bukan urusan kecil."
Terdengar So Bong-seng kembali berkata dengan suara dalam, "Sekarang, Wo Hu-cu,
Su Bu-kui, Te Hoa, Hoa Bu-ciok dan kau sudah datang, tinggal Yo Bu-shia yang
belum hadir, coba katakan, perlakuanku yang mana terhadap kau yang dianggap
kurang baik" Mengapa kau begitu tega menjual enam kantor cabang berikut keempat
ratusan anggotanya termasuk tulang belulang mereka kepada perkumpulan Lak-hun-
poan-tong?" Si Barang antik menundukkan kepala, tak sanggup men?jawab.
"Ayo, katakan!" hardik So Bong-seng lagi.
Te Hoa yang berada di sampingnya ikut berseru sambil tertawa dingin, "Kau tak
mengira bakal kami tangkap bukan! Hmmm, jangan dianggap setelah bersembunyi di
wilayah Ku-sui-poh lantas kau bisa menikmati kehidupan yang mewah dan sentosa.
Kau telah membuat beribu orang anggota Kim-hong-si-yu-lau jadi yatim piatu, biar
bersembunyi di ujung langit pun kami tetap akan menyeretmu keluar!"
"Andaikata bukan berkat jasa Hoa Bu-ciok, kami pun belum tahu kalau sejak
setengah bulan lalu perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah memindahkan kekuatannya
ke wilayah seputar Po-pan-bun," kata So Bong-seng lagi, "kedatangan kami kali
ini memang sengaja membawa serta saudara senasib se-penderitaanmu, kami hanya
ingin bertanya satu hal saja kepadamu, mengapa kau berbuat begitu?"
Perkataannya yang terakhir ini diucapkan dengan suara keras bagai guntur.
Sekujur badan si Barang antik bergetar keras, bibirnya kelihatan gemetar namun
tak sepatah kata pun yang diucapkan.
Dalam pada itu, lelaki berwajah hitam putih itu masih tetap berjaga di depan
teras rumah, Wo Hu-cu pun tetap berdiri di depan si nenek itu, tampaknya mereka
telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengawasi gerak-gerik Ong Siau-sik dan
Pekjau-hui. "Ayo, jawab!" terdengar Te Hoa kembali menghardik, "jawab, apakah kau tidak malu
terhadap Kongcu, tidak malu terhadap kami semua?"
Mendadak si Barang antik mendongakkan kepalanya, lalu balik bertanya, "Kau
benar-benar menyuruh aku menjawab?"
"Hmmm, akan kulihat perkataan apa yang bisa kau ucapkan!" Te Hoa mulai tertawa
seram, tertawa penuh kegusaran.
"Baik, akan kukatakan," setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya,
"Kesalahan kalian justru terletak pada kasus ini."
Begitu selesai dia mengucapkan perkataan itu, terjadilah perubahan yang luar
biasa di tengah arena kejadian, perubahan yang di luar dugaan siapa pun.
Sedemikian hebat terjadinya perubahan itu sehingga Pek Jau-hui serta Ong Siau-
sik yang berada di sisi arena pun ikut terkesiap dibuatnya.
Tiba-tiba tubuh si Barang antik melejit ke tengah udara.
Padahal tadi ia terkapar dalam keadaan lemas, paling tidak ada empat-lima buah
jalan darah penting di tubuhnya masih tertotok, namun loncatannya kali ini luar
biasa, tampaknya sudah dipersiapkan sejak tadi.
Sambil melejit ke udara, tangannya diayunkan berulang kali, melolos sebilah
golok baja. Tampak sekilas cahaya hijau berkelebat, tahu-tahu golok itu sudah dihujamkan ke
lambung Te Hoa. Menghujam dari bawah menuju ke atas.
Mimik muka Te Hoa nampak mengenaskan, mimik muka seorang yang menahan rasa
sakit, rasa sakit yang luar biasa hebatnya karena jantung dan paru-parunya
hancur tersayat. Pada saat bersamaan, ketika So Bong-seng siap melancarkan serangan, Hoa Bu-ciok
sudah turun tangan terlebih dulu.
Begitu kepalanya ditundukkan ke depan, dari belakang punggungnya paling tidak
muncul dua puluh lima jenis senjata rahasia yang serentak menyergap ke tubuh So
Bong-seng. Setiap ujung senjata rahasia itu terbias warna biru yang menggidikkan, jelas
semuanya telah dibubuhi dengan racun jahat bahkan dilepaskan dari sebuah alat
pelontar dengan alat pegas yang kuat, cepat, tepat, ganas, pada hakikatnya sulit
untuk dihindari, susah dihadapi.
Waktu itu konsentrasi So Bong-seng sudah terpecah karena serangan bokongan dari
si Barang antik, selain itu dia pun sedang berusaha menyelamatkan jiwa Te Hoa,
orang kepercayaan?nya dari serangan maut Hoa Bu-ciok.
Dalam keadaan begini So Bong-seng segera membentak keras, jubah panjangnya
dikebaskan berulang kali, dalam waktu sekejap dia melakukan gulungan, puntiran,
kebasan dan kebutan di sekeliling tubuhnya, dalam waktu sekejap seluruh senjata
rahasia yang menyelimuti angkasa itu sudah lenyap tak berbekas.
Namun sayang, masih ada sebatang, sebuah jarum sebesar kacang kedelai yang
menghajar kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, buru-buru Wo Hu-cu menggerakkan tubuhnya,
siap menerjang ke depan So Bong-seng untuk memberi bantuan.
Belum sempat ia bertindak, tiba-tiba si nenek yang sedang mengais barang rongsok
itu telah mengayunkan tangannya, selimut dekil yang berada dalam genggamannya
langsung menyapu wajah Wo Hu-cu.
Selapis angin berbau amis menyebar ke udara dan menyambar ke arah wajahnya.
Wo Hu-cu terkesiap, dia tahu bau amis itu merupakan ciri khas dari Bu-mia-thian-
ih (baju langit tak bernyawa) milik To-cu-popo si nenek kacang kedelai yang
berasal dari bukit Ci-lian-san, bila terkena sambaran itu, niscaya sekujur
badannya akan membusuk dan akhirnya mati, apalagi jika kepalanya sampai
terkerudung" Bu -mia-thian-ih dengan membawa deruan angin tajam langsung menyambar tiba dan
mengurung sekeliling arena, Wo Hu-cu tak berani ayal, lekas dia melejit ke
samping, berusaha menghindarkan diri.
Sekali melejit ia sudah melompat naik ke atas tiang peng-lari, kemudian melejit


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali lagi melambung di atas puing bangunan dan bergerak ke dalam, targetnya
saat itu adalah berusaha menolong So-kongcu, sementara keselamatan sendiri
merupakan urusan kedua. Sungguh cepat gerakan tubuhnya, tapi ada tiga batang senjata rahasia yang
bergerak jauh lebih cepat, jauh lebih ringan daripada gerakan tubuhnya.
Wo Hu-cu segera sadar akan datangnya bahaya, segera dia mengegos ke samping
berusaha menghindarkan diri, sayang ketiga batang jarum lembut itu bergerak
lebih cepat, belum sempat ia mengegos, ketiga batang senjata itu tanpa
menimbulkan suara sudah menembus tulang punggungnya.
Menyusul melesatnya jarum beracun, dinding bangunan hancur berantakan dan
terberai di atas permukaan tanah.
Si pembokong muncul dari balik reruntuhan dinding, ternyata dia adalah seorang
Hwesio kepala gundul, di tangan kirinya dia membawa mangkuk, tasbih tergantung
di leher, sementara tangan kanan digunakan untuk melepaskan jarum.
Rupanya semenjak tadi ia sudah bersembunyi di belakang dinding sambil menunggu
kesempatan. Entah sudah berapa lama orang ini bersembunyi di belakang dinding, tujuannya tak
lain hanya ingin melepaskan ketiga batang jarum lembut yang lebih ringan dari
angin, lebih cepat dari petir dan lebih bening daripada air hujan ini.
Kembali terjadi perubahan dalam arena pertarungan.
Tubuh Wo Hu-cu yang bergerak ke depan tiba-tiba menggeliat beberapa kali, gerakan ini tidak membuat gerak serangannya menjadi kendor ataupun melemah.
Tahu-tahu badannya sudah meluncur tiba di depan So Bong-seng dan membendung
datangnya serangan Hoa Bu-ciok.
"Blaaaamm!", diiringi suara benturan nyaring, Hoa Bu-ciok memuntahkan darah
segar, segera ia melompat mundur ke belakang.
Sambil membalikkan badan, sekali lagi Wo Hu-cu melancarkan satu bacokan, ketika
si Barang antik harus menyambut serangan itu dengan kedua tangannya, lagi-lagi
dia menjerit kesakitan, badannya mencelat sejauh beberapa tombak dan mulai
memuntahkan darah segar. Saat itulah si nenek sudah merangsek tiba, dalam keadaan begini lagi-lagi Wo Hu-
cu membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan.
"Blaaam!", sekali lagi terjadi benturan keras, si nenek harus membendung
datangnya ancaman, dengan sebuah tangkisan keras lawan keras ia terdorong mundur
sejauh tujuh delapan langkah sebelum berhasil berdiri tegak.
Sebaliknya Wo Hu-cu sudah tak mampu menahan diri lagi, ia mendengus tertahan,
tubuhnya goyah dan darah warna hitam mulai meleleh keluar dari ujung mata dan
lubang hidungnya. Melihat lawannya sudah terluka parah, si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si
Barang antik baru bisa menghembuskan napas lega, kembali mereka merangsek maju
menghampiri Wo Hu-cu. Mereka tahu saat ini adalah saat penentuan mati hidup mereka, tapi juga
merupakan kesempatan terbaik untuk mengukir jasa dan menciptakan nama besar.
Siapa pun tak ingin melepaskan kesempatan emas ini, bahkan siapa pun tak dapat
melepaskannya begitu saja.
Kini keadaan ibarat anak panah yang sudah dipentang di atas busur, mau tak mau
harus dilepaskan juga. Bila serangan ini gagal mengenai sasaran, dapat dipastikan So Bong-seng pasti
akan mencari mereka untuk membuat perhitungan!
Dalam pada itu So Bong-seng telah menyingkap jubah panjangnya sambil berjongkok,
senjata rahasia sekecil kacang hijau itu sudah menghajar kaki kirinya secara
telak, luka yang membuatnya tak leluasa untuk bergerak.
Tanpa pikir panjang lagi segera ia melolos sebilah golok, sebilah golok yang
sangat indah, seindah bisikan lirih seorang gadis cantik, sangat menggetarkan
perasaan, sangat membetot sukma.
Mata golok berwarna hijau bening dengan tubuh golok bergaris merah, bagaikan
sebuah kaca kristal yang tembus pandang membungkus tulang berwarna merah, cahaya
golok pun bening bagai selapis air berwarna merah.
Golok itu sangat pendek, lekukan golok ramping bagai pinggang seorang gadis,
ketika golok itu bergerak, lamat-lamat membawa suara dentingan lirih bagai suara
lonceng dari surga, bahkan terendus pula bau harum yang semerbak.
Golok itu merupakan sebilah golok yang membuat orang jatuh cinta pada pandangan
pertama, membuat orang sukar untuk melupakannya sepanjang masa.
So Bong-seng mengayunkan golok ke tubuh sendiri, menyayat segumpal daging di
sekeliling kaki kirinya yang terhajar senjata rahasia sebesar kacang hijau itu.
Ketika mengiris sepotong daging tubuh sendiri, dia seakan sedang memetik sebiji
buah masak dari atas ranting pohon, begitu sederhana, begitu leluasa ....
Darah dengan cepat meleleh keluar dari lukanya, membasahi celananya dan tercecer
ke atas lantai, namun ia tidak merintih, tidak mengaduh, mengernyitkan alis mata
pun tidak. Malah penyakit batuk yang dideritanya pun seakan turut hilang.
Selesai menyayat segumpal daging di atas kakinya, kembali ia tempelkan tangan
kanannya ke punggung tubuh Wo Hu-cu.
Mendadak golok aneh yang berada dalam genggamannya itu mulai memancarkan sinar
aneh, sinar berwarna merah darah.
Tangan kanannya bagaikan sedang memetik alat musik saja mengayun, menotok,
menjojoh, menepuk, mendorong, mencengkeram, melumat dan meremas ke setiap sudut
udara, sementara golok di tangan kirinya membendung datangnya serangan mematikan
dari si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik.
Bukan hanya itu saja, malah dengan satu ayunan kilat dia tebas batok kepala si
Barang antik! Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri si nenek kedelai serta Hoa Bu-ciok
menghadapi serangan balasan semacam ini, segera mereka melompat mundur.
Sekilas Hoa Bu-ciok sempat menyaksikan batok kepala si Barang antik terbang
lepas dari tubuhnya, dia malah sempat menyaksikan sepasang biji matanya yang
melotot keluar karena ketakutan.
Tak kuasa menahan rasa ngeri dan seramnya, ja segera menjerit keras, "Golok Ang-
siu-to!" Golok baju merah, Ang-siu-to!
Tangan kanan So Bong-seng masih tetap digunakan untuk menolong Wo Hu-cu
sementara golok di tangan kirinya telah berhasil membunuh seorang musuh dan
memukul mundur dua musuh lainnya, terbukti betapa hebat kemampuan yang dimiliki
orang ini. Selesai memenggal batok kepala seorang lawannya, tampak cahaya merah yang
memancar keluar dari golok itu bertambah terang dan bercahaya.
Golok apakah itu" Sebilah golok dewa" Atau sebilah golok iblis"
Bagaimana pula dengan si pemegang senjata itu" Apakah dia adalah-Dewa golok"
Atau justru Iblis golok"
Tatkala Wo Hu-cu meluncur ke depan berusaha menolong So Bong-seng tadi, si
Hwesio gundul berbaju perlente itupun sudah muncul dari tempat persembunyiannya,
dia berniat menghadang jalan pergi Wo Hu-cu, tapi Te Hoa segera menghadang jalan
perginya. Waktu itu Te Hoa sudah mencabut keluar pisau belati yang menancap di atas
dadanya dan melibatkan diri dalam pertarungan sengit melawan Hwesio itu.
Dalam keadaan seperti ini dia hanya tahu akan satu hal, beri waktu dan
kesempatan secukupnya untuk So-kongcu agar ia bisa menarik napas sambil
mempersiapkan diri! Asal So Bong-seng punya kesempatan untuk menarik napas dan mempersiapkan diri,
biar harus mati, dia akan mati dengan mata meram.
Bukan hanya Te Hoa seorang yang berpikiran begitu, Wo Hu-cu juga mempunyai
pemikiran demikian, bahkan Su Bu-kui pun mempunyai pikiran yang sama. v
Ketika So Bong-seng, Wo Hu-cu dan Te Hoa berada di dalam puing bangunan disergap
oleh si Hwesio berbaju perlente, nenek kedelai, Barang antik dan Hoa Bu-ciok, di
luar bangunan runtuh itu masih ada seorang jago yang sedang berjaga, dia adalah
si wajah Im-yang, Su Bu-kui.
Tapi musuh berhasrat membinasakan So Bong-seng, mana mungkin mereka membiarkan
Su Bu-kui tetap berdiri mengang?gur"
Hampir pada saat bersamaan, dinding bangunan kuno yang ada di Ku-sui-poh itu
roboh ke tanah. Bersama dengan robohnya seluruh dinding bangunan itu, paling tidak ada empat
ratusan anak panah bersama-sama dilepaskan ke tengah arena.
Menyaksikan datangnya ancaman itu, mustahil bagi Su Bu-kui untuk menghindarkan
diri. Dia memang tak mungkin bisa menghindar, sebab sekali dia berkelit, maka seluruh
ancaman anak panah itu akan meluncur ke arah So-kongcu!
Dalam keadaan begini, hanya ada satu jalan yang bagi Su Bu-kui, yaitu
menghadapinya dengan keras lawan keras.
Ketika dua ratusan batang anak panah meluncur datang, paling tidak ia sudah
membendung seratus delapan puluhan panah di antaranya, senjata andalannya adalah
sebilah golok besar berkepala naga, golok yang diputar sedemikian rupa hingga
menimbulkan suara menderu dan lapisan bayangan yang menyilaukan mata.
Sehebat dan setangguh apa pun ilmu goloknya, mustahil baginya untuk merontokkan
semua anak panah yang diarahkan ke dalam puing bangunan, maka ia tetap terhajar
dua batang anak panah. Baru saja serangan gelombang pertama selesai meluncur, kini giliran serangan
gelombang kedua dibidikkan para pemanah.
Su Bu-kui meraung keras, goloknya menyapu melintang, kembali sebagian dinding
bangunan tersapu roboh dan berse?rakan kemana-mana.
Hujan deras, awan mendung ditambah debu yang beterbangan karena ambruknya
dinding, membuat para pemanah kesulitan mengarah sasarannya secara tepat,
kembali Su Bu-kui memutar goloknya menyapu ke belakang, berusaha mendesak mundur
si Hwesio perlente dari posisinya.
Begitu musuh berhasil dipaksa mundur, Te Hoa pun roboh lemas dalam rangkulannya.
Paras muka rekannya itu pucat kehijau-hijauan, mengenaskan sekali keadaannya.
Dalam pada itu So Bong-seng dengan mengandalkan goloknya kembali berhasil
membantai seorang musuhnya dan membuat takut dua orang musuh yang lain,
sementara telapak tangannya masih menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Wo Hu-cu.
Tak selang lama, dari belakang punggung Wo Hu-cu mencuat keluar dua batang jarum
berwarna bening, mencelat keluar dari balik daging dan rontok ke tanah.
Saat itulah Wo Hu-cu mendengus tertahan, paras mukanya jauh lebih merah cerah,
serunya sambil tertawa getir, "Kongcu, aku sudah tak tahan lagi, aku tak sempat
menghimpun tenaga untuk menghadang jalannya racun, sebatang jarum pelumat tulang
telah menyusup ke otakku."
Waktu itu si Hwesio perlente, si nenek kedelai maupun Hoa Bu-ciok sudah mundur
dari arena, sementara keempat ratus orang pemanah itu menerobos maju ke depan
dan mengepung puing bangunan itu dengan rapat, mereka terbagi dua barisan, satu
baris berdiri dan satu baris berjongkok, mereka telah mementang busur dan siap
melepaskan anak panah. ooOOoo 12. Tak pernah mencurigai saudara sendiri
Orang bilang "Tombak gampang dihindari, panah gelap susah dihindari", padahal
panah yang datang secara terang-terangan pun tidak mudah untuk ditangkis.
Seperti misalnya terkepung rapat oleh pemanah yang sangat terlatih saat ini,
menanti mereka melepaskan keseratus anak panah yang digembolnya, kendatipun
sangat hebat dan amat tangguh juga akan berubah jadi seekor landak dan tak
sanggup melancarkan serangan balasan.
Kini barisan pemanah yang ada di deretan depan sudah mulai melepaskan panahnya.
Mendadak So Bong-seng melakukan satu tindakan. Ia sambar mayat si Barang antik,
lalu dilemparkan ke tubuh Su Bu-kui.
Tindakannya itu menyelamatkan Su Bu-kui dari ancaman kematian!
Berhasil dengan tindakannya itu, So Bong-seng kembali menggunakan mayat si
Barang antik sebagai tameng untuk melindungi diri dari ancaman.
Wo Hu-cu tidak tinggal diam, ia berteriak keras sambil me?lompat bangun,
kemudian badannya berputar kencang bagaikan gangsing.
Dia melindungi belakang tubuh So Bong-seng.
Dengan adanya perlindungan pada bagian belakang, maka cukup bagi So Bong-seng
untuk menangkis datangnya panah yang mengarah dari kiri, kanan serta depan.
Tak heran begitu selesai serangan itu dilancarkan, tubuh Wo Hu-cu ikut roboh ke
tanah, namun ia tidak membiarkan badannya terjerembab, ia tetap mencoba
berjongkok, menopang di atas panah yang menghujam tubuhnya.
Rupanya dia menjadi sasaran tembak para pemanah itu.
Dua batang anak panah kembali menghajar tubuh Su Bu-kui, sementara Te Hoa
terhajar empat batang panah.
Kini barisan kedua pemanah itu sudah bersiap, mulai melepaskan panah mereka.
Anak panah bagaikan hujan deras segera berhamburan ke seluruh penjuru ruangan.
Akhirnya, dari balik mata So Bong-seng memancar keluar sekilas cahaya yang
sangat aneh, cahaya keputus-asaan seorang Enghiong yang sudah terdesak dan
menemui jalan buntu, cahaya nekat seorang pahlawan yang siap mengadu nyawa.
Di saat yang amat kritis itulah mendadak kawanan pemanah yang berjajar rapi,
tahu-tahu sudah bergelimpangan ke sana kemari bagaikan digulung ombak samudra,
mereka yang tak roboh segera membalikkan tubuh melakukan perlawanan, sayang,
ibarat salju yang terkena air panas, tak lama kemudian hampir sebagian besar
sudah terkapar di tanah. Tampak dua orang pemuda berlompatan di tengah kerumunan orang banyak, siapa yang
terbentur seketika roboh terjengkang, tak lama kemudian sudah empat-lima puluhan
orang yang roboh terkapar.
Para pemanah sisanya jadi keder, melihat kepungan mereka sudah bobol, khususnya
ketika terbayang keampuhan golok di tangan So Bong-seng, hampir sebagian besar
di antara mereka segera membuang busurnya ke tanah, kemudian membalikkan badan
dan melarikan diri terbirit-birit.
Kelebihan dari kerja kelompok adalah di saat mereka bersatu-padu, maka
kekuatannya kukuh bagaikan batu karang, tapi jeleknya, bila masing-masing sudah
mulai memikirkan keselamatan sendiri, kelompok itu akan buyar bagaikan setumpuk
pasir tersapu angin. Asal ada satu orang saja di antara mereka yang melarikan diri, maka rekan
lainnya pasti akan mengikuti jejaknya.
Alhasil, kecuali mreka yang sudah telanjur roboh, delapan puluh persen pemanah
lainnya segera meninggalkan medan laga dan berusaha melarikan diri.
Ketika terjadi penyergapan secara tiba-tiba tadi, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui
segera menyadari kalau keadaan tak beres, secepat kilat mereka segera mengeluyur
keluar dari puing bangunan itu.
Untungnya perhatian para penyergap hanya tertuju pada So Bong-seng seorang,
sehingga mereka sama sekali tak mempedulikan tingkah laku mereka.
Menanti kawanan pemanah itu mengepung rapat seluruh puing bangunan itu, Pek Jau-
hui baru bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana" Apakah kita perlu turun
tangan?" "Perlu!" sahut Ong Siau-sik cepat, "aku rasa So-kongcu adalah seorang lelaki
saleh yang berjiwa ksatria, anak buahnya pun hebat dan bagus, bagaimana dengan
pandanganmu?" "Aku pikir, inilah saat yang tepat bagi kita untuk belajar praktek."
"Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku." "Katakan saja."
"Sebisa mungkin jangan membunuh orang."
"Baik," sahut Pek Jau-hui cepat, "aku bersedia bukan lantaran mengabulkan
permintaanmu, tapi demi kepentinganku sendiri, aku pun tak ingin terlalu
dimusuhi orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, terlebih tak ingin dimusuhi
Lu i Sun!" Walaupun dia hanya berbicara beberapa patah kata, namun belum lagi dia
menyelesaikan kata-katanya, So Bong-seng sudah terancam bahaya maut, maka tanpa
membuang waktu lagi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera turun tangan bersama.
Mereka menerjang dari belakang barisan kawanan pemanah itu, begitu turun tangan
langsung mengumbar kehebatannya dengan tujuan agar nyali musuh pecah dan keder.
Jari tangan Pek Jau-hui menyambar kian kemari bagai sambaran petir, semua
sodokannya diarahkan ke jalan darah penting di tubuh lawan.
Sementara Ong Siau-sik menggunakan tepi telapak tangannya sebagai pengganti
golok, bacokan demi bacokan dilancarkan, kekuatan yang digunakan pun tidak berat
juga tidak enteng, tujuannya hanya membuat pingsan orang-orang itu.
Begitu melihat munculnya kedua pemuda itu mengobrak-abrik barisan musuh, sekali
lagi sorot mata So Bong-seng berubah jadi angkuh, dingin bahkan menggidikkan
siapa pun yang melihatnya.
Ia menghampiri Wo Hu-cu dan membangunkannya, namun sekujur badan anak buahnya
itu sudah dipenuhi anak panah, tubuhnya bagaikan sasaran bidikan, persis seperti
seekor landak. Kemudian dia pun menengok Te Hoa, tapi sayang Te Hoa sudah tewas, orang ini mati
dengan mata melotot, seakan dia mati dengan perasaan tak rela, mati penasaran,
mati dengan penuh kemarahan yang meluap.
So Bong-seng tidak melakukan apa-apa, dia hanya berbisik, "Aku pasti akan
membalaskan dendam kematianmu!" Ucapan yang diutarakan dengan sangat tegas,
setegas paku yang terbuat dari baja.
Setetes air hujan meleleh jatuh dari atap bangunan, persis jatuh di bawah alis
mata Te Hoa, di atas kelopak matanya, tiba- tiba Te Hoa memejamkan matanya
rapat-rapat, hatinya seakan merasa tenteram setelah mendengar perkataan So Bong-
seng itu, karena itu dia mati dengan mata meram.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan So Bong-seng bangkit berdiri. Saat itulah Ong Siau-sik dan Pek
Jau-hui telah berhasil menguasai keadaan.
Su Bu-kui terhajar empat batang panah, tapi beruntung tidak bersarang di bagian
tubuh yang mematikan, dia biarkan anak panah tetap menancap di tubuhnya, sama
sekali tak berniat mencabutnya keluar.
Sisi wajahnya yang hitam kini terlihat semakin hitam, sementara sisi yang
berwarna putih nampak jauh lebih putih.
"Mengapa kau tidak mencabut anak panah itu?" So Bong-seng menegurnya.
"Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengobati luka," jawab Su Bu-kui sambil
tetap berdiri tegak. "Bagus sekali, si Barang antik mengkhianati kita, menjual nyawa lima ratus orang
saudara kita, kusuruh Hoa Bu-ciok pergi membekuknya, tapi ternyata dari enam
orang saudara sejatiku, kini hanya tersisa kau serta Yo Bu-shia," sorot mata
sebara kobaran api memancar dari balik matanya,
"kematian Wo Hu-cu dan Te Hoa disebabkan ulah si Barang antik dan Hoa Bu-ciok,
kini si Barang antik sudah mampus, Hoa Bu-ciok pun sama saja, sudah mati."
"Benar," Su Bu-kui mengangguk.
Menyaksikan berlangsungnya tanya jawab itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya
bisa saling pandang. Lama kemudian Pek Jau-hui baru berseru lantang, "He, kami telah menolongmu,
kenapa kau tidak berterima kasih kepadaku?"
"Aku tak pernah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui ucapan," jawab So
Bong-seng hambar. "Kau pun tidak mencoba bertanya siapa nama kami?" kata Ong Siau-sik pula.
"Sekarang bukan saat yang tepat untuk saling bertanya nama."
"Kapan saatnya?" tanya Ong Siau-sik keheranan.
Sambil menuding jenazah Wo Hu-cu dan Te Hoa yang tergeletak di lantai, sahut So
Bong-seng, "Tunggu sampai aku selesai membalas dendam dan balik lagi kemari dalam keadaan
hidup." "Balas dendam adalah urusan kalian," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin.
"Juga urusan kalian berdua."
"Mereka sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua."
"Aku pun tak punya hubungan apa pun dengan kalian."
"Menolong kau hanya terdorong oleh perasaan iseng, kami hanya menganggap
pertarungan ini sebagai sebuah permainan."
"Sayang permainan ini belum waktunya selesai."
"Jadi kau menyangka kami akan ikut bersamamu pergi membalas dendam?" sela Ong
Siau-sik keheranan. "Bukan menyangka, tapi kalian pasti akan ikut," sahut So Bong-seng seraya
menggeleng. Ong Siau-sik semakin tercengang dibuatnya.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya Pek Jau-hui tiba-tiba.
"Kapan?" So Bong-seng tertawa dingin, "tentu saja sekarang."
"Sekarang"!" Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik menjerit berbareng saking kagetnya.
Mereka punya mata dan sepasang mata mereka dalam keadaan sehat, tentu saja kedua
orang itu dapat melihat kalau So Bong-seng sudah terluka, anak buahnya juga
tinggal satu orang. "Tapi ... tapi ... kau hanya memiliki seorang saudara, itupun sudah terluka,"
seru Ong Siau-sik tak tahan.
"Aku terluka, dia terluka, sisanya sudah mati semua," So Bong-seng tertawa
perlahan, "kami sudah tak mungkin pulang lagi, bukankah saat ini merupakan saat
yang sangat tepat?" Dengan sorot mata yang dingin dan tajam ia memandang Ong Siau-sik dan Pek Jau-
hui sekejap, seketika itu juga kedua pemuda itu merasa seakan ada hawa dingin
yang membekukan tubuh menyusup ke hulu hati mereka.
"Penyergapan licik yang dilancarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru saja
lewat, terlepas mereka sedang merayakan kemenangan ini atau mulai melakukan
persiapan lagi, kita langsung membuntuti mereka sambil melancarkan serangan
balasan, maka mereka pasti belum sempat mengatur kembali kekuatannya, mereka
pasti tak akan menyangka dan menduga akan serbuan ini. Bila kita tunda
penyerangan sampai besok, mereka pasti sudah menghimpun kekuatan untuk
melindungi Hoa Bu-ciok, bisa jadi mereka justru akan menggunakan dia sebagai
umpan untuk memancing kita masuk perangkap, lalu menghabisi kita semua. Sayang
kami justru melancarkan serangan balasan pada saat ini juga!"
Bicara sampai di sini, sikap angkuh dan jumawanya kembali melintas di wajahnya,
dia melanjutkan, "Apalagi sebagai seorang lelaki sejati, pertarungan boleh kalah, namun harga
diri tak boleh hilang. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah menewaskan empat orang anak buahku, maka aku
pun harus membuat dia merasakan bagaimana tersiksanya bila kehilangan lengan
kanannya!" Lalu kepada anak buahnya dia bertanya, "Bu-kui, sudah siap?"
"Sudah siap!" jawab Su Bu-kui cepat, biarpun tubuhnya sudah terhajar empat
batang panah, namun ia masih berdiri tegar bagaikan seorang panglima perang.
"Menurut penilaianmu, orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan membawa Hoa
Bu-ciok pergi kemana?"
"Po-pan-bun." "Berapa bagian keyakinanmu?" "Enam bagian."
"Baik, asal ada keyakinan enam bagian, kita bisa segera melaksanakan rencana
ini." "Apakah kau akan berangkat sekarang juga?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya.
So Bong-seng tertawa, wajahnya kelihatan sedikit mengejang,
"Memangnya harus menunggu sampai hujan reda?" balik tanyanya.
"Orang-orang yang tergeletak di sini kebanyakan hanya tertotok jalan darahnya,
bila kau tidak membantai mereka semua, kemungkinan besar mereka akan melaporkan
kejadian ini kepada atasannya, kau akan meninggalkan bibit penyakit di kemudian
hari." So Bong-seng mendengus angkuh.
"Hmm, aku tak akan membunuh mereka, pertama, aku tak pernah membunuh prajurit
tanpa nama, apalagi manusia lemah yang sudah kehilangan tenaga perlawanannya,
kedua, jika sekarang juga aku berangkat, secepat apa pun mereka berjalan, tak
nanti bisa mendahului kecepatan kami.
Ketiga, aku memang berniat menyerang mereka, jadi aku tak kuatir mereka
melakukan persiapan, yang ingin kuhancurkan adalah seluruh perkumpulan Lak-hun-
poan-tong, bukan cuma seorang pemanah."
"Aduh celaka!" mendadak Ong Siau-sik berteriak.
"Apanya yang celaka?" tanya So Bong-seng agak tertegun.
"Kalau ada pertunjukkan sebagus ini, tidak bagus kalau aku tak ikut pergi!"
sembari berkata dia melepas kain pembungkus sarung pedangnya, lalu dibuang.
Sorot mata So Bong-seng yang semula dingin membekukan, kini seakan memancarkan
sinar kehangatan. "Betul!" sambung Pek Jau-hui sambil menghentakkan kakinya, "kalau benar bakal
terjadi pertunjukkan sebagus ini, mana boleh tak ada aku?"
Sambil berkata dia pun ikut membuang tumpukan lukisan yang semula dijepit di
bawah ketiaknya. Kini sinar yang mengandung senyuman mulai memancar keluar dari balik mata So
Bong-seng, tapi hanya sebentar, kemudian sorot matanya kembali murung dan
dingin. Tanpa banyak bicara dia segera melesat keluar, menerobos hujan.
Su Bu-kui tak mau ketinggalan, ia segera menyusul di belakangnya.
ooOOoo "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai dua belas orang Tongcu, sejak Ho Tong
tewas di wilayah Ouw-pak, sisanya tinggal sebelas orang. Jagoan yang tadi
melakukan penyergapan adalah Tongcu ketujuh si nenek kedelai serta Tongcu
kedelapan si Hwesio perlente.
"Kawanan pemanah yang mereka datangkan tadi adalah pasukan pemanah yang sudah
menjalani pendidikan secara ketat dan penuh disiplin, biasanya kehadiran mereka
selalu diiringi Tongcu kesepuluh Sam-cian Ciangkun, Panglima tiga panah, jadi
menurut dugaanku, dia pasti sudah muncul di sini. Sementara daerah Po-pan-bun
biasanya dijaga secara ketat oleh anggota keluarga Lui, yaitu Lui Kun."
Demikian Su Bu-kui memberi penjelasan kepada Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui
tentang keadaan musuh mereka sepanjang perjalanan.
"Kali ini Lui Sun tidak turut dalam penyerangan, aku rasa hal ini disebabkan dia
sudah termakan laporan Hoa Bu-ciok yang mengatakan kalau Si Say-sin dan Mo Pak-
sin dari empat malaikat sakti perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau berada di empang
Tiok-lu-tong, mungkin dia akan turun tangan sendiri untuk melenyapkan kedua
orang musuh bebuyutannya itu hingga tidak ikut serta dalam penyerbuan tadi."
"Kalau begitu, bukankah posisi Si Say-sin dan Mo Pak-sin jadi sangat berbahaya?"
tanya Ong Siau-sik penuh rasa ingin tahu. Dia jadi teringat luka yang diderita
Tio Thiat-leng. "Padahal berita itu sebenarnya hanya berita bohong, ke-pergian Lui Sun pasti
akan menubruk tempat kosong bahkan bila kurang hati-hati, dia malah bisa
terperangkap oleh jebakan yang kami persiapkan," Su Bu-kui menerangkan, "saudara
Yo dan Kwik Tang-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau telah mempersiapkan
segala sesuatunya secara hebat, kami tak kuatir Lui Sun mengirim penyusup ke
situ untuk mencari berita."
"Kalau toh sejak awal kalian sudah waspada terhadap Hoa Bu-ciok, kenapa kalian
tetap membiarkan dia masuk perangkap?" tanya Pek Jau-hui.
"Sewaktu menyiarkan berita bohong itu, kami sama sekali tak berniat
mempermainkan Hoa Bu-ciok, aku pun tidak tahu siapa pengkhianat yang telah
dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menyusup jadi mata-mata, waktu itu
aku bermaksud melepas berita bohong, baru setibanya di Ku-swi-po aku ceritakan
kejadian yang sebenarnya kepada semua anggota rombongan. Tak disangka Hoa Bu-
ciok ternyata adalah seorang pengkhianat yang kemaruk harta. Jika Lui Sun pulang
dengan hasil nihil, sementara rombongan mereka yang berusaha mencabut nyawa kami
pun pulang dengan kegagalan, pertunjukkan bagus pasti akan segera terjadi."
Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Padahal meskipun hari ini dia
berhasil membunuhku, dengan tindakannya memberi laporan palsu, Lui Sun pasti tak
akan melepaskan dirinya begitu saja. Hmmm, kalian tahu manusia macam apakah Lui
Sun itu"!" Air hujan telah membasahi alis matanya yang mirip alis setan, namun tak mampu
memadamkan cahaya api yang memancar keluar dari balik matanya,
"Aku tak pernah mencurigai Hoa Bu-ciok ... aku tak pernah mencurigai saudara
sendiri!" Mereka berlarian di tengah hujan deras, menentang angin, menerjang air hujan,
hawa dingin yang membekukan badan tak mampu memadamkan api yang membakar hati
semua orang. Api itu telah melekat pada keempat orang itu, bara api membuat mereka seakan
terhubung satu dengan yang lain.
Kehidupan manusia di dunia ini panjang dan penuh lika-liku, kapan harus melepas
budi kapan harus bertemu dendam, siapa pun tak bisa meramalkan. Jika suatu saat
dapat bersenang-senang kenapa tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk
melampiaskan kesenangan"
Keacuhan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik seketika tersapu sirna oleh keangkuhan So
Bong-seng, semangat tempur tiba-tiba berkobar di hati setiap orang, bergabung
dengan Su Bu-kui, mereka serentak berangkat menuju ke Po-pan-bun.
Sebenarnya tempat macam apakah Po-pan-bun (pintu papan rongsok) itu"
Sebenarnya Po-pan-bun adalah nama sebuah simpang tiga, bisa dinamakan demikian
karena jalan keluar dari ketiga buah jalan itu harus melalui sebuah papan nama
yang sudah kuno dan rongsok.
Lorong di belakang ketiga buah jalanan itu terdapat sebuah pagar papan yang
sangat tinggi, pagar papan itu mengelilingi seputar jalan hingga memisahkan
antara daerah di depan jalan dengan bagian belakang jalan.
Di belakang jalan merupakan sebidang tanah yang amat luas, seringkah orang
menggembalakan sapi dan kambingnya di situ karena sekelilingnya hanya ada rumah
bobrok kaum papa miskin tak berduit, sementara di bagian depan ketiga buah jalan
itu berdiam orang-orang kaya berduit dan punya kedudukan.
Oleh karena para orang kaya merasa sangat terganggu dengan kegiatan kaum miskin
yang menggembalakan hewan peliharaannya di situ, maka mereka mendirikan pagar
kayu mengelilingi tempat itu sebagai pemisah.
Setelah bertahun-tahun, papan pagar itu mulai lapuk dimakan waktu, itulah
sebabnya orang pun menyebut tempat itu sebagai pintu papan rongsok.
Ketiga buah jalanan itu termasuk dalam wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-
poan-tong. Waktu itu, dalam gedung bangunan besar deretan ketiga pada jalanan kedua,
berkumpul sekelompok manusia, namun dari kelompok manusia itu hanya ada lima
orang yang duduk, empat di antara mereka adalah Tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-
tong. Keempat orang itu adalah si Hwesio perlente, si nenek ke?delai, Panglima tiga
panah serta Tongcu kelima Lui Kun, orang kelima yang mendapat kehormatan untuk
ikut duduk dibangku adalah Hoa Bu-ciok.
Waktu itu Hoa Bu-ciok duduk dengan kepala terpekur, keadaannya persis seperti
burung yang baru kena panah.
Hwesio perlente dan nenek kedelai duduk dengan perasaan tak tenang, bahkan
Panglima tiga panah yang berperawakan tinggi besar pun kelihatan sedikit tegang.
Hanya seorang yang tetap duduk santai dan tenang bahkan menunjukkan sikap
percaya diri. Orang itu duduk di kursi utama, duduk persis di tengah ruangan, bangkunya paling
tinggi, menunjukkan kekuasaannya paling besar di antara semua yang hadir.
Orang itu tak lain adalah Lui Kun.
Lui Kun memang pantas percaya diri, selain berasal dari keluarga penguasa yaitu
keluarga Lui, dia pun sangat mengandalkan sepasang senjatanya, Hui-thian-siang-
liu-seng (sepasang bintang kejora terbang ke angkasa).
Orang bermarga Lui yang bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong berjumlah
tiga ratus tujuh puluhan orang, di antaranya banyak yang merupakan jago tangguh
berilmu tinggi, namun ia tetap bisa menempati posisi nomor enam dalam jajaran
kepemimpinan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, hal ini membuktikan kepandaiannya
memang luar biasa. Selain dia, anggota keluarga Lui lain yang bisa bercokol di jajaran Tongcu
adalah Tongcu kedua Lui Tong-thian, Tongcu ketiga Lui Bi dan Tongcu keempat Lui
Heng. Inilah salah satu alasan mengapa Lui Kun begitu percaya diri.
Dia tahu, bila suatu ketika terjadi sesuatu atas dirinya, semisal melakukan
kesalahan besar, Tongcu kedua, ketiga dan keempat serentak pasti akan berusaha
melindunginya dan memintakan ampun untuknya, bahkan meski Lui Sun mau
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi pun, kesalahan itu
tak nanti akan dilimpahkan ke atas pundaknya.
Dalam aksinya kali ini, dialah yang merancang dan mengatur semua siasat dan
persiapan. Tentu saja dia pun telah memperoleh persetujuan dari atasan, hanya satu hal yang
belum dia ketahui secara jelas, dalam aksi pembunuhan terhadap So Bong-seng ini,
sebenarnya ide ini muncul dari Toatongcu Ti Hui atau justru kemauan Congtongcu
Lui Sun. Tapi dia percaya, ide ini pasti bukan muncul dari benak Lui-Sun.
Orang luar banyak yang bilang, selama beberapa tahun terakhir ini, wilayah
kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong banyak yang sudah berpindah tangan ke
dalam kekuasaan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, bahkan orang bilang Lui Sun
ibarat seekor singa tua yang ompong dan sudah dicabuti taringnya, dia sudah
bertemu musuh yang lebih muda, lebih tangguh dan ganas melebihi anak panah, So
Bong-seng! Kini pengaruh keluarga Lui sudah dihajar babak belur hingga tak punya kemampuan
lagi untuk melancarkan serangan balasan!
Tentu saja Lui Kun tidak puas dengan pernyataan itu.
Dia sangat yakin dan percaya kalau kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-
poan-tong sama sekali tidak di bawah kemampuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau,
me-mang harus diakui hubungannya dengan pihak pemerintah dan kerajaan pihak
lawan jauh lebih tangguh, tapi kalau bicara soal kemampuan dalam penyusupan dan
perekrutan anggota, khususnya kerja sama dan jalinan hubungan dengan para jago
kalangan hek-to, pek-to maupun liok-lim, kemampuan mereka jauh mengungguli
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.
Atau dengan perkataan lain, dengan mengandalkan kekuatan yang dimiliki
perkumpulan Lak-hunpoan-tong sekarang, mereka mampu bertarung habis-habisan
melawan musuh. Itulah sebabnya selama ini dia selalu diliputi tanda tanya besar dan perasaan
tak habis mengerti, kenapa Lui-congtongcu selalu berusaha menghindar, selalu
bersikap mengalah terhadap tekanan yang dilakukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-
lau! Dia tidak percaya So Bong-seng si setan sakit-sakitan itu benar-benar memiliki
kemampuan yang luar biasa!


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, besar kemungkinan reputasi
dan kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan bertambah surut dan lemah.
Maka Lui Kun memutuskan untuk melancarkan serangan, dia harus memberi hajaran
dan pelajaran yang setimpal kepada perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.
Dia tak peduli siapa yang mengusulkan dan ide itu datang dari mana, yang dia
ketahui hanya segera menjalankan aksinya, siap menghajar dan menghabisi nyawa So
Bong-seng. Sayang rencana besarnya mengalami kegagalan. Hasil yang diperolehnya
hari ini membuat Lui Kun merasa sangat kecewa, bukan saja kawanan jago yang
melakukan pengepungan pada kabur menyelamatkan diri, bahkan mata-mata mereka si
Barang antik yang berhasil menyusup jauh ke dalam tubuh perkumpulan Kim-hong-si-
yu-lau harus membayar mahal dengan nyawanya, sementara penyusup yang lain, Hoa
Bu-ciok terbongkar kedoknya. Kejadian ini membuat perkumpulan Lak-hun-poan-tong
mengalami kerugian yang fatal, pukulan telak khususnya dalam hal penyusupan
mata-mata. Pihak lawan telah kehilangan dua orang panglima perang utamanya yaitu Te Hoa dan
Wo Hu-cu, tapi kini si Hwesio perlente, si nenek kedelai dan Panglima tiga panah
dirundung ketakutan akan pembalasan yang dilakukan So Bong-seng, kontan saja
membuat Lui Kun menjadi sangat berang.
"So Bong-seng itu manusia macam apa" Aku tak percaya kalau dia berkepala tiga
berlengan enam!" demikian dia mengumpat, "kalian semua memang gentong nasi yang
tak berguna, sudah balik dengan membawa kerugian, sekarang ketakutan setengah
mati macam tikus ketemu kucing, benar-benar mem?buat perkumpulan Lak-hun-poan-
tong kehilangan muka!"
Mengikuti petunjuk dari atasan, Lui Kun melakukan persiapan di sekeliling tempat
itu, kemudian memerintahkan Tongcu kesebelas Lim Ko-ko untuk berjaga di pintu
masuk Po-pan-bun, sementara dia sendiri mengumpulkan seluruh kekuatan yang
tersisa untuk melakukan perundingan.
Tentu saja dia tak perlu kuatir So Bong-seng datang menyerang, sebab pertama, ia
pernah enam kali berhasil memukul mundur serangan musuh yang berusaha menerobos
masuk melalui pintu Po-pan-bun, malah di antaranya termasuk serangan Mi Thian-
jit yang memimpin tiga ratusan orang pasukan gerak cepat, tapi semuanya berhasil
dia pukul mundur. Kedua, dia berpendapat So Bong-seng baru saja lolos dari bahaya maut, saat ini
mungkin yang dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan diri, tak mungkin dia
punya cukup nyali untuk melancarkan serbuan.
Oleh sebab itulah Lui Kun tidak terlalu serius melakukan pertahanan, dia ingin
mendengarkan pendapat Tongcu ketujuh, Tongcu kedelapan dan Tongcu kesepuluh
sebelum mengambil keputusan.
Dia lebih suka berbicara dulu dengan mereka sejelas-jelasnya sebelum akhirnya
mengambil keputusan, dia berpendapat, usulan yang dikemukakan mereka selalu jauh
lebih hebat daripada usulan oang lain, dia menganggap cara seperti ini merupakan
salah satu cara untuk memperkuat cengkeramannya terhadap mereka, salah satu cara
memperlihatkan kemampuan serta kekuasaannya.
Dia pun berpendapat, hanya orang yang sudah memiliki kemampuan hebat dan
kekuasaan tinggi saja yang mampu mem?pergunakan cara seperti ini.
Hal ini membuat dia selalu menikmati indahnya kekuasaan yang dimilikinya.
ooOOoo 13. Golok dan batok kepala
"So Bong-seng bukan manusia!"
"Dalam keadaan dia sudah terhajar senjata rahasia kacang hijau milik Hoa Bu-
ciok, kemudian aku, si Barang antik dan Hoa Bu-ciok bersama-sama menghajarnya,
di luar pun masih ada empat ratusan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tapi
begitu goloknya berada di dalam genggaman
"Sekali tebas dia mengiris sepotong daging di kakinya sendiri, tebasan kedua
mendesak aku dan Hoa Bu-ciok sehingga harus mundur, bacokan ketiga berhasil
membunuh si Barang antik. Golok iblisnya nampak menyala semakin merah setelah
menghirup darah segar!"
"Andai kata kami terlambat satu langkah saja untuk.kabur, mungkin..."
"Golok milik So Bong-seng bukan sembarang golok, golok itu bukan dilancarkan ke
arah kita, tapi mendatangkan rasa ngeri dan seram yang sukar dilawan, kengerian
dan keseraman yang diciptakan golok itu belum pernah kami saksikan dan alami
sebelumnya." "Ketika menyaksikan So Bong-seng mengayunkan goloknya ke arah si Barang antik,
gaya serangannya begitu indah menawan, begitu anggun mengagumkan, tapi hanya
sekali tebasan, kepala si Barang antik sudah terlepas dari badannya."
Golok macam apakah itu"!
Manusia macam apakah So Bong-seng"!
Kalau dia manusia, kenapa bisa memiliki golok seperti itu"!
Si nenek kedelai masih merasa ngeri setiap kali teringat keganasan dan kehebatan
golok itu, laporan yang sebenarnya hendak disampaikan kepada Lui Kun seketika
jadi tergagap dan beberapa kali tak sanggup diucapkan.
"Aku bersembunyi di belakang dinding, menutup seluruh pernapasan, menutup semua
pikiran, bahkan berusaha menahan detak jantung dan denyut nadiku, tujuannya tak
lain agar telur busuk dari marga So itu tidak menyadari akan kehadiranku, itulah
sebabnya aku baru berhasil dengan seranganku, Wo Hu-cu terhajar tiga batang
jarum pelumat tulangku, dengan kemampuan Sau-yang-jui-pit-jiu milik Wo Hu-cu,
siapa yang sanggup menguasai keadaan jika dia tidak dirobohkan terlebih dulu
"Aku pun memaksakan diri untuk bertarung melawan Te Hoa, memaksa racunnya kambuh
hingga tewas, kemudian bertarung habis-habisan membendung serbuah Su Bu-kui,
agar dia tak sanggup mendekati telur busuk So dan memberikan pertolongan
kepadanya, tapi siapa sangka, di saat kemenangan hampir kita raih, tiba-tiba
muncul dua orang bocah busuk yang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi,
coba kalau tidak ada mereka berdua, orang she So itu pasti sudah terkapar di
tanah, selamanya dia tak mampu berlagak jadi seorang Hohan lagi dalam dunia
persilatan!" Butiran air telah membasahi jidat Hwesio perlente, entah air keringat atau air
hujan, coba kalau tiada bekas sundutan hio di atas jidatnya, ditinjau dari
pakaian yang dikenakan, dandanannya yang perlente, orang pasti mengira dia bukan
seorang Hwesio melainkan seorang lelaki botak.
"Aku telah mempersiapkan empat ratus orang pemanah jitu, sebenarnya ingin
kuciptakan empat ratus lubang di tubuh So-kongcu, tapi kemunculan kedua orang
itu membuat barisan kami kacau, membuat pemanah kami kalang kabut dan tak
keruan." "Banyak kejadian di dunia ini tercipta pada situasi yang tak terduga. Banyak
sekali urusan kecil yang sepele atau pemikiran sesaat berakibat terjadinya
perubahan besar atas suatu masalah atau keadaan, bahkan bisa terjadi pergantian
dinasti atau pe?merintahan, aku rasa penyebab utama dalam kegagalan yang kita
alami kali ini adalah tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
peristiwa di luar dugaan itu."
Cambang lebat memenuhi seluruh wajah Panglima tiga panah, jenggotnya pun tumbuh
tebal tapi kacau bagai rumput liar, dia memiliki wajah kurus dengan jidat tinggi
dan sempit, alis matanya kusut dan tebal, sekilas pandang, orang akan
menyaksikan gumpalan hitam di bawah kopiah perangnya, sulit untuk melihat jelas
bagaimana tampangnya. "Habis sudah kali ini, So Bong-seng adalah orang yang akan membalas setiap sakit
hatinya!" "Kalian mengatakan dalam operasi kita kali ini pasti akan berhasil membinasakan
So Bong-seng, karena itulah aku baru berani turun tangan. Tapi dalam operasi
sepenting ini kenapa Congtongcu tidak datang" Bahkan Toatongcu pun tidak turut
muncul di sini" Sekarang So Bong-seng gagal dibunuh, dia pasti tak akan
melepaskan kita semua, paling tidak dia pasti akan datang untuk membunuhku, Ngo-
tongcu, kau harus mencari jalan keadilan bagiku!"
Sekujur badan Hoa Bu-ciok gemetar keras, sejak dilahirkan hingga setua ini,
belum pernah dia merasakan ketakutan seperti apa yang dialaminya sekarang.
Dulu setiap kali menghadapi saat yang gawat, saat penentuan mati hidup, dia
selalu tampil berani dan penuh semangat, tapi sekarang dia merasakan kegugupan
yang luar biasa, rasa tak berdaya yang luar biasa, karena secara tiba-tiba dia
telah ke?hilangan keberanian dan kegagahan yang pernah dimiliki dulu, kehilangan
kekuatan yang luar biasa itu. Kekuatan apakah itu"
Mengapa di saat dia berkhianat, di saat dia menjual junjungannya dan selesai
membantai saudara sendiri, tiba-tiba kekuatan itu hilang lenyap tak berbekas"
Kini giliran Lui Sun yang berbicara.
Sepasang mata besarnya yang berwibawa dan bersinar tajam, bagaikan sambaran
petir menyapu wajah setiap anak buahnya, Si Nenek kedelai, si Hwesio perlente,
Hoa Bu-ciok dan Panglima tiga panah, semua orang merasa hatinya bergetar keras
ketika tertimpa sorot matanya.
Dengan suara keras menggelegar bagai bunyi guntur, ujar Lui Sun, "Nenek kedelai,
perkataanmu hanya memadamkan semangat orang sendiri, padahal hasil yang kalian
capai kali ini tidak terhitung jelek, paling tidak kalian telah berhasil
membantai dua orang jenderal andalan si setan penyakitan itu dan membuat
kekuatannya terpukul, untuk memulihkan kembali kekuatannya, dia butuh banyak
waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga baru. Jelas apa yang kalian lakukan
merupakan sebuah jasa yang amat besar. Kalian semua harus tahu, orang she So itu
hanya seorang manusia, manusia yang menggunakan golok, senjata yang digunakan
pun tak lebih hanya sebilah golok, kenapa kau mesti mengagulkan kehebatannya?"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dalam penggropyokan kali ini, kalian semua
telah menyerempet bahaya dan mempertaruhkan nyawa, maka semua orang akan
mendapat imbalan, khususnya Hwesio perlente yang mempertaruhkan nyawa untuk
membantai orang she So itu, andaikata kau berhasil membunuhnya, tentu saja
jasamu luar biasa, tapi sekarang orang she So itu belum mampus, maka kau mesti
berjuang lebih hebat lagi!"
"Lu Sam-cian, tampaknya kau lebih tahu diri, atau mungkin kau ingin lari dari
tanggung jawab" Jangan lupa, panglima yang kalah perang lebih baik tak usah bicara takabur, kau
membawa empat ratus orang pemanah jitu tapi tak mampu membunuh seorang setan
penyakitan yang hampir mampus, kalau harus melakukan pemeriksaan, mungkin kau
sendiri pun tak bisa menjawab semua pertanyaan secara jelas."
"Kini operasi pun sudah telanjur dilaksanakan, seharusnya kita tak perlu takut
pembalasan dari orang she So itu! Lebih baik lagi jika si setan penyakitan itu
berani datang kemari, aku Lui-longo akan menanti kedatangannya di sini. Wahai
Hoa Bu-ciok, kau jangan macam orang kehilangan sukma, uang taruhan pun sudah kau
pasang, jangan tunjukkan sikap lemahmu itu!"
Sekali lagi Lui Sun menatap wajah setiap anak buahnya dengan sorot mata yang
tajam, kemudian baru berkata lagi, "Kali ini manusia she So itu sudah menderita
luka parah, anak buahnya pun banyak yang mampus, paling tidak dia mesti mengatur
barisan terlebih dulu sebelum melakukan pembalasan, aku rasa langkah kita kali
ini sudah tepat sekali, bukankah begitu?"
Ketika dia mengajukan pertanyaan yang diakhiri dengan pertanyaan "bukankah
begitu", tentu saja dia berharap jawaban yang diperoleh adalah "Benar" dan tentu
tak ingin mendengar kata "tidak benar".
Jika dia menginginkan orang lain menjawab dengan kata "tidak benar", tentu saja
pertanyaan yang diajukan tak akan memberi kesempatan kepada orang lain untuk
tidak menjawab "Benar".
Kadang kala dalam sebuah rapat, ada orang yang pada hakikatnya berharap orang
lain hanya membawa telinga dan tak usah disertai dengan mulut. Tentu saja
terkecuali di saat dia butuh pujian dan sanjungan dari orang lain.
Di saat dia mengucapkan kata "bukankah begitu", tiba-tiba dari balik suara hujan
yang berderai di luar sana terdengar suara pekikan melengking yang ditimbulkan
dari suara seruling besi.
Suara seruling itu tinggi menusuk pendengaran, suaranya bersahut-sahutan tiada
putusnya. Berubah hebat paras muka Lui Sun.
Tiga orang lelaki bercelana pendek berbaju longgar serentak masuk ke tengah
ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.
"Cepat katakan!" hardik Lui Sun cepat.
Dua orang yang ada di belakang segera menyingkir ke samping, sementara lelaki di
tengah melapor, "Di depan jalan telah kedatangan musuh tangguh, Tongcu kesebelas
sedang melakukan perlawanan sekuat tenaga!"
Mendengar laporan itu, paras muka Hoa Bu-ciok seketika berubah jadi pucat keabu-
abuan, sekujur badannya gemetar keras, gemetar saking takutnya.
"Kurangajar, besar amat nyalinya!" bentak Lui Sun penuh amarah, kepada Panglima
tiga panah segera perintahnya, "kau segera bawa pasukan berjaga di jalan
belakang! Saat ini mereka menyerang jalan depan, kita mesti waspada terhadap
ancaman yang datang dari jalan belakang!"
"Baik!" Panglima tiga panah segera bangkit dan beranjak pergi.
Dalam pada itu Hoa Bu-ciok semakin ketakutan, dengan badan menggigil dan bibir
gemetar, bisiknya, "Dia ... dia telah datang!"
Lui Sun menarik napas panjang, beruntun dia turunkan tujuh perintah darurat
untuk memohon bantuan, kemudian pikirnya, "Kemana perginya Congtongcu dan
Toatongcu" Mestinya Loji, Losam dan Losu harus segera menyusul kemari
Tapi pikiran lain segera melintas dalam benaknya, dalam waktu singkat dia harus
berhadapan dengan So Bong-seng, si jagoan yang amat menggetarkan sungai telaga,
dia tak tahu apakah kemampuannya sanggup menandingi kehebatan orang itu, tanpa
terasa peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Tapi sejenak kemudian ia sudah dapat mengendalikan diri, ujarnya kemudian,
"Baiklah, kalau dia memang sudah datang, mari kita sambut kedatangannya!"
"Tidak usah!" mendadak terdengar seseorang menyahut, suara itu bergema persis di
depan tubuh Lui Sun. Menyusul kemudian tampak cahaya golok beterbangan di angkasa, selapis cahaya
golok menyambar lewat persis di atas kepala Hoa Bu-ciok!
Cahaya golok itu muncul dari sisi tubuh dua orang lelaki bercelana pendek itu.
Lui Sun membentak nyaring, sepasang senjata martil bintang kejoranya yang
mempunyai bobot sembilan puluh tiga kati berada di tangan kiri dan lima puluh
sembilan kati di tangan kanan, segera meluncur ke udara dengan kecepatan luar
biasa. Senjata aneh dengan bobot yang berbeda ini merupakan senjata yang paling sulit
dipelajari, tapi bila berhasil dikendalikan, maka akan berubah menjadi sepasang
senjata yang paling susah dihadapi, bukan saja mampu menjangkau jarak jauh
bahkan memiliki daya membunuh yang luar biasa.
Menyusul meluncurnya sepasang martil bintang kejora itu menembus angkasa,
bayangan tubuhnya ikut lenyap.
Cahaya golok masih menyambar kian kemari, bagai hembusan angin tahu-tahu senjata
itu sudah mampir di atas kepala gundul si Hwesio perlente.
Menyadari datangnya ancaman, si Hwesio perlente segera membentak nyaring,
senjata mangkuk tembaga dalam genggamannya kontan disambitkan untuk membendung
datangnya ancaman. Bukan hanya itu, seratus delapan biji tasbih yang ada dalam genggamannya turut
dilontarkan ke depan, menyusul badannya menerobos melalui jendela dan berusaha
kabur. Sekarang dia hanya berharap bisa menangkis bacokan maut dari So Bong-seng,
kemudian memanfaatkan peluang yang ada untuk melarikan diri dari ancaman
kematian. Anggapannya dalam ruangan itu hadir banyak sekali jago tangguh, asal dia
berhasil lolos dari bacokan itu, niscaya ada orang lain yang akan membendung
serangan dari So Bong-seng.
Daun jendela hancur berantakan tertumbuk tubuhnya, di luar hujan masih turun
dengan derasnya. Benar saja, dia berhasil melarikan diri keluar dari ruangan.
Tapi bagaimana mungkin dia tahu kalau berhasil kabur"
Dalam waktu singkat dia menyadari akan sesuatu, ternyata tubuhnya yang berhasil
melompat keluar dari balik jendela, namun tubuh tanpa kepala.
Mengapa tubuhnya bisa tak berkepala"
Bukankah jelas tubuh itu miliknya" Pakaian yang dikena?kan pun miliknya,
tapi.... Jangan-jangan........... Hanya sampai di situ yang bisa dibayangkan si Hwesio perlente, dia tak berpikir
lebih jauh lagi. Ya, dia memang tak mampu berpikir lagi, karena dia sudah kehilangan kemampuannya
untuk berpikir. Si nenek kedelai dengan jelas telah menyaksikan bacokan golok So Bong-seng
ketika menebas kutung batok kepala Hoa Bu-ciok, caranya menebas persis sama
seperti ketika ia memotong kepala si Barang antik, indah, cepat dan sedikit
membawa romantika yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Menyusul kemudian tebasan golok yang kedua, Hwesio perlente sebagai sasarannya,
dan ia berhasil menemukan sang Hwesio itu.
Cahaya golok yang membawa warna merah berputar satu lingkaran di sekeliling
tengkuk Hwesio perlente di saat tubuhnya baru saja melompat ke depan siap
menerjang daun jendela, saat itu kebetulan kepala sang Hwesio baru saja berhasil
menjebol jendela,- maka batok kepalanya mencelat terlebih dahulu keluar dari
jendela kemudian baru disusul tubuhnya.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu golok merah tadi melayang balik ke tangan So Bong-seng.
Pada saat itulah So Bong-seng berpaling, sorot matanya yang lebih tajam dari
sembilu sedang memandang ke arahnya.
Dalam waktu singkat si nenek kedelai nyaris menangis saking panik dan takutnya,
belum sempat pecah isak tangisnya, terdengar Lui Sun sudah meraung keras,
suaranya menggelegar bagai guntur.
Lui Sun betul-betul tidak habis mengerti, tatkala ada bayangan abu-abu
berkelebat tadi, sepasang martilnya secepat petir telah mengejar ke situ, karena
dia tahu bayangan abu-abu itu adalah So Bong-seng.
So Bong-seng ternyata berani melanggar wilayahnya, padahal dia adalah orang yang
hendak dibunuhnya! Kenyataan yang sedang berlangsung saat ini ibarat sekeping ujung pisau yang
sudah terbakar membara, menghujam di atas lantai dimana ia sedang berada!
Reaksi kelewat emosi membuat seluruh tubuhnya nyaris melejit ke udara, bahkan
dipenuhi semangat tempur yang tinggi.
Saat ini semangat tempur bahkan jauh lebih membara ketimbang kekuatan hidupnya!
Dia lebih rela mati, tapi pertarungan tak boleh tak terselenggara!
Bila ia berhasil membunuh So Bong-seng, maka posisinya dalam perkumpulan Lak-
hun-poan-tong pasti akan terangkat, kedudukannya pasti lebih berbobot!
Dengan membunuh So Bong-seng, nama besarnya akan berkibar di antero jagad,
wibawanya akan menggetarkan dela?pan penjuru!
Bila seseorang ingin melakukan satu pekerjaan yang menghebohkan, tapi ia tak
berani melangkahi atasan, tak berani mendahului atasan, padahal dia tak pernah
mau takluk pada orang kenamaan lainnya, maka dalam hati kecilnya dia akan
menciptakan seorang musuh besar, musuh besar yang mendorongnya untuk melakukan
sesuatu yang melampaui kemampuannya, mengalahkannya bahkan membunuhnya, untuk
membuktikan kemampuan dan kehebatan dirinya.
Musuh besar yang diciptakan Lui Sun di hati kecilnya adalah So Bong-seng.
Apalagi ketika orang lain memandangnya setengah mengejek. Menganggapnya bagai
cahaya kunang kunang yang hendak menandingi sinar rembulan, Lui Sun akan merasa
semakin gelisah, panik bercampur gusar.
Suatu hari nanti, dia harus berhasil mengalahkan So Bong-seng.
Hanya dengan mengalahkan So Bong-seng, dia baru bisa membuktikan keberadaan
dirinya! Maka saat ini, ia sudah dibakar hingga sakit oleh semangat tempurnya, dia mulai
menyerang dan menggempur So Bong-seng secara kalap, biarpun kalap, tidak berarti
jurus serangan yang digunakan ikut kalap.
Sepasang senjata martilnya diayunkan, martil yang berat bergerak dari belakang
mengejar ke depan sementara martil yang enteng dari depan melakukan
penghadangan, satu depan yang lain belakang melakukan penggencetan, asal
terbentur salah satu saja di antaranya niscaya batok kepala musuh akan hancur.
Pada waktu itu martil ringannya jelas terlihat seakan dapat menggempur tubuh
lawan dari arah depan, siapa tahu So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan tubuh,
tahu-tahu serangan itu sudah lewat begitu saja tanpa sanggup menyentuhnya.
Sementara martil beratnya yang jelas segera akan menghajar belakang kepala
lawan, tapi entah mengapa, ketika berada pada jarak setengah inci dari sasaran,
tahu-tahu rambut belakang kepala So Bong-seng berdiri tegak bagai landak, bukan
saja serangannya gagal mengenai sasaran, bahkan terasa seakan ditangkis dengan
toya baja, senjata itu mencelat ke arah lain.
Saat itulah So Bong-seng dengan dua kali lompatan telah berhasil memenggal
kepala Hoa Bu-ciok serta si Hwesio perlente.
Golok yang semula berwarna semu merah, kini telah berubah jadi merah membara,
merah bagaikan kilatan halilintar.
Merah membara sepasang mata nenek kedelai, ia sadar nyawanya sudah di ujung
tanduk, mendadak ia lepaskan pakaian compang-camping yang dikenakannya.
Ketika pakaian compang-camping itu digetarkan keras, mendadak benda itu
menggulung jadi satu dan terbentuk sebatang tongkat panjang yang bisa digunakan
secara keras mau?pun lembek, sambil mengayunkan senjatanya itu dia menangkis
babatan golok yang menyambar ke arah batok kepalanya.
Cahaya merah segera menyelimuti angkasa, diikuti hamburan hujan bunga menyebar
keempat penjuru. Ternyata senjata gulungan kain yang berada dalam genggaman nenek kedelai telah
hancur berantakan jadi ribuan keping dan tersebar keempat penjuru, dengan
tergopoh-gopoh nenek itu melesat mundur untuk menghindar, namun desingan angin
tajam tetap membabat di atas kepalanya, tahu-tahu sebagian besar rambutnya sudah
terpapas kutung dan berhamburan kemana-mana.
Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini senjata itu balik kembali ke dalam
baju So Bong-seng. "Tidak mudah untuk menangkis serangan golokku ini," terdengar So Bong-seng
berkata dengan suara dingin, "ingat, hari ini aku memang sengaja tidak
membunuhmu, ini kulakukan karena satu alasan, karena kau tidak pernah membunuh
saudaraku dengan tanganmu."
Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih menyeramkan ia menambahkan,
"Siapa yang membunuh saudaraku, dia harus mampus!"
Selesai berkata, ia membalikkan badan dan segera berlalu.
Bukan saja ia tak memandang sebelah mata terhadap keempat ratus delapan puluh
enam anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung rapat sekeliling
tempat itu, bahkan dia pun seakan tidak melihat kalau di situ hadir seorang
jagoan yang bernama Lui Sun.
Tak heran bila Lui Sun mencak-mencak macam orang kebakaran jenggot.
Penghinaan ini dirasakan olehnya jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa
ketimbang dibunuh. Paling tidak ia merasa sangat dipermalukan saat ini.
ooOOoo 14. Orang dalam pasar Seandainya Lui Sun tidak mengeluarkan jurus serangan Hong-yu-siang-sat (angin
hujan sepasang malaikat), mungkin kerugian yang dialaminya tidak sampai
membuatnya sangat sedih dan menderita.
Namun keberhasilannya di kemudian hari pun mungkin tak akan sedemikian besar.
Dalam kehidupan manusia banyak tersedia langkah yang bisa ditempuh, banyak
keputusan yang bisa diambil, sekali kau melangkah keluar, sekali kau mengambil
keputusan, mungkin pada saat ini kau menilai langkah dan keputusanmu itu keliru,
namun di kemudian hari bisa saja kekeliruan itu justru merupakan kebenaran.
Mungkin saja hari ini kau merasa langkah dan keputusanmu itu sudah benar, tapi
setelah berkembang hari esok, bisa saja langkah dan keputusanmu itu justru
merupakan sebuah kesalahan besar.
Kesalahan kerap kali ibarat golok dengan dua sisi, membelah sebab dan akibat,
jodoh dan berpisah. Jika seseorang sudah terbiasa merasakan kesuksesan dan keberhasilan, kemungkinan
besar dia tak akan menikmati keberhasilan atau kesuksesan yang lebih besar lagi,
sebaliknya jika seseorang sudah terbiasa menderita dan tersiksa, keadaan itu tak
bisa dibilang satu kejadian yang jelek.
Kalau tak ada gunung yang tinggi, mana mungkin ada tanah yang datar"
Lalu bagaimana pula dengan hasil serangan yang dilancarkan Lui Sun kali ini"
Kemana perginya golok merah So Bong-seng" Hawa pem?bunuhan yang mengerikan itu
apakah bisa berkembang tapi tak bisa dikendalikan"
ooOOoo Sebelum sepasang senjata martil milik Lui Sun dilontarkan, senjata itu sudah
berputar kencang bagaikan gangsing, kemudian setelah dilontarkan, senjata itupun
saling membentur hingga menimbulkan suara keras, tak ada orang yang bisa
memastikan dari sudut mana serangan akan dilancarkan, juga tak ada yang tahu
dengan cara bagaimana serangan itu akan menghajar bagian tubuh yang mematikan,
bahkan termasuk Lui Sun sendiri pun tak bisa menentukan.
Dia hanya bisa memastikan satu hal, bila seseorang terhajar oleh sepasang
martilnya secara telak, jangan harap tulang belulangnya bisa utuh, dan jangan
harap nyawanya dapat diselamatkan.
Kini keadaan Lui Sun ibarat orang yang menunggang di punggung harimau, sudah
kepalang basah untuk turun lagi, dia mulai menyadari akan kemampuan sendiri.
Seandainya serangan sepasang martilnya tak mampu mencabut nyawa So Bong-seng,
paling tidak dia harus menghadiahkan sebuah tanda mata di atas tubuhnya.
Siapa sangka peristiwa lain telah terjadi, bahkan sebelumnya sama sekali tidak
menunjukkan pertanda atau gejala apa pun.
Ketika sepasang martilnya tiba di hadapan So Bong-seng, tidak terlihat musuh
melakukan sesuatu gerakan, tahu-tahu rantai baja pengikat sepasang senjatanya
telah putus jadi dua bagian.
Sebagus apa pun permainan senjata martilnya, asal rantai pengaitnya putus, maka
martil itu tak beda jauh dengan buah semangka, yang satu menggelinding keluar
ruangan, memaksa kawanan jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung
tempat itu harus memberi jalan lewat, sementara yang lain membentur dada wakil
Tongcu yang sedang bertarung sengit melawan Su Bu-kui, akibatnya tulang dada
orang itu remuk dan amblas ke dalam, darah segar segera menyembur keluar dari
mulutnya. Hingga kini, So Bong-seng masih belum juga melirik ke arah Lui Sun walau hanya
sekejap, bahkan sepatah kata pun tak sudi diucapkan kepadanya.
Ia tetap melanjutkan ayunan kakinya berjalan keluar dari situ, berjalan sambil
berseru kepada Su Bu-kui yang sedang membendung serbuan dari anggota perkumpulan
enak setengah bagian, "Kita segera pergi dari sini!"
Sepasang martil yang masih menggelinding di atas tanah pun seolah sama sekali
tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Su Bu-kui segera menarik kembali goloknya.
Ia menarik kembali senjatanya secara tiba-tiba dan dilakukan sangat cepat,
akibatnya sebilah golok, tiga bilah pedang dan lima batang tombak yang sedang
bertarung sengit nyaris menghujam semua ke atas tubuhnya.
Tindakan Su Bu-kui yang menarik golok secara mendadak membuat pertahanan
tubuhnya sama sekali terbuka, tapi tindakannya ini justru membuat kawanan jago
yang sedang bertarung melawannya serentak ikut menarik kembali senjatanya,
mereka mengira tindakan itu merupakan sebuah perangkap.
Bahkan salah satu di antara kawanan jago itu segera menancapkan tombaknya di
atas tanah guna mengerem gerakan tubuhnya yang sudah telanjur menerjang ke
depan, percikan bunga api berhamburan kemana-mana.
Sementara itu Su Bu-kui sudah menyusul di belakang So Bong-seng, berjalan keluar
dari situ. Tak seorang pun berani menghalangi mereka.
Tak seorang pun mampu menahan mereka.
Tiba di depan pagar pekarangan, So Bong-seng menggerakkan kakinya menendang,
martil sebarat sembilan puluh tiga kati itu mencelat ke udara dan meluncur balik
ke dalam halaman. Semua orang menjadi sangat panik, suasana menjadi gempar, berbondong-bondong
kawanan jago itu menyingkir ke samping menghindarkan diri, siapa pun tak ingin
tertimpa sial. "Blaaam!", diiringi suara benturan keras, martil berat itu menghajar di atas
dinding bangunan dan menghancurkan tulis?an "enam" yang tertera jelas di situ.
Dinding batu itu hancur berantakan, di antara debu dan pasir yang beterbangan di
angkasa, tahu-tahu bayangan tubuh So Bong-seng sudah lenyap dari pandangan.
Kini yang tersisa di atas dinding tembok itu tinggal tiga huruf besar yaitu
"perkumpulan ... setengah bagian", ditambah sebuah senjata martil yang
tergeletak di tanah. ooOOoo Di luar sana hujan masih turun membasahi permukaan bumi.
Kini hujan sudah mulai mereda, yang tersisa hanya hujan gerimis.
Walau begitu, awan gelap masih bergelantung di angkasa, awan basah yang membawa
air masih merapatkan barisannya.
So Bong-seng sudah keluar menuju ke jalan raya, langkahnya sangat cepat, Su Bu-
kui mengintil terus di belakangnya, setengah jengkal pun tak mau ketinggalan.
Tadi So Bong-seng menyuruh dia "segera pergi" dan bukan "pergi", maka begitu
mendapat perintah, ia segera menghentikan serangannya bahkan tanpa mempedulikan
keselamatan jiwa sendiri.
"Pergi" dan "segera pergi" memang beda artinya.
Dia sangat mengenal watak So Bong-seng, dia sudah hapal dengan kebiasaan
pemimpinnya, terutama sewaktu menurunkan perintah, ia tak pernah membawa embel-
embel kata, setiap penambahan satu kata berarti mempunyai tujuan tertentu.
Situasi sudah dikuasai, pembunuh pun sudah membayar dengan nyawanya, mengapa So-
kongcu masih ingin pergi secepatnya"
ooOOoo Setelah meninggalkan Po-pan-bun, So Bong-seng segera melihat dari sudut kiri dan
kanan jalan muncul dua orang yang jalan berdampingan.
So Bu-kui berjalan di belakang pemimpinnya.
Dua orang yang baru saja muncul itu, salah satu di antaranya masih berdiri
santai di bawah curahan hujan, sikapnya yang tenang dan santai tak beda jauh
dengan keadaannya di saat biasa, seseorang yang tak pernah menganggap air hujan
sebagai hal yang memuakkan, baginya setiap butir air hujan seakan sama
berharganya dengan sebutir mutiara.
Tentu saja mereka adalah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.
Ketika berjumpa So Bong-seng dari balik mata mereka segera terpancar perubahan
cahaya yang aneh. Sinar mata Pek Jau-hui membara seakan sedang terbakar, sementara sinar mata Ong
Siau-sik berkilauan seakan bintang di langit.
So Bong-seng sama sekali tidak mengajukan pertanyaan, bicara pun tidak.
Dia telah mengutus Ong Siau-sik untuk menyerang jalan muka dan mengirim Pek Jau-
hui untuk menyerang jalan belakang, tentu saja kedua penyerangan itu hanya
penyerangan tipu?an, tujuannya hanya untuk mengalihkan konsentrasi dan perhatian
lawan. Dia baru pertama kali bertemu dengan mereka berdua, tapi dia telah menyerahkan
'tugas sulit' ini kepada mereka.
Jika mereka gagal dalam menjalankan tugas, bila kekuatan di jalan depan dan
jalan belakang terhimpun jadi satu, maka So Bong-seng tak nanti bisa
menggetarkan sukma semua orang, dia tak mungkin bisa lolos dari kepungan lautan
manusia secara mudah. Tapi So Bong-seng sangat berlega hati, dia tahu, kedua orang itu pasti sanggup
melaksanakan tugasnya, bahkan melaksanakan tugas itu dengan baik.
Sanggup melaksanakan tugas dan bisa melaksanakan tugas beda sekali artinya, sama
seperti seseorang yang bisa menyanyi, bisa menyanyikan lagu yang merdu dan bisa
membuat nyanyian yang terdengar merdu, jelas mempunyai arti yang berbeda.
Sekarang mereka sudah muncul di situ, sama artinya mereka telah berhasil
menggiring pergi pasukan yang ada di jalan depan dan jalan belakang kemudian
baru berkumpul di situ. Begitu bertemu mereka, So Bong-seng hanya berhenti sejenak, lalu berseru, "Bagus
sekali." Setelah itu katanya pula, "Ayo, pergi!"
Bagi So Bong-seng, "Bagus sekali" sudah merupakan kata pujian yang paling
tinggi. Dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, paling hanya delapan belas orang yang
pernah mendapat pujian "bagus", di antara mereka mungkin tak ada sepertiganya
yang pernah memperoleh kata pujian "bagus sekali".
"Ayo, pergi", jelas sebuah perintah.
"Pergi?" Pek Jau-hui segera mengulang.
So Bong-seng tidak menanggapi. Dia memang tak suka mengulang kata yang sama dua
kali. "Mau pergi kemana?" kembali tanya Pek Jau-hui.
"Kembali ke Kim-hong-si-yu-lau!"
"Kita tidak saling mengenal, paling hanya berjodoh untuk bertarung bahu membahu,
kenapa kita tidak segera menyudahi pertemuan ini?" kata Pek Jau-hui seraya
menjura. Dengan sorot mata bagaikan bintang berapi, So Bong-seng menyapu sekejap
wajahnya. "Perkataan itu bukan muncul dari dasar hatimu," katanya, kemudian terusnya,
"sekarang kalian enggan ikut aku pun sudah tidak mungkin!"
"Kenapa?" kali ini Ong Siau-sik yang bertanya.
"Tampaknya penghadangan dan usaha pembunuhan yang dilakukan di Ku-swi-poh bukan
maksud Lui Sun, pimpinan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi menggunakan
kesempatan di saat aku membalas dendam ke Po-pan-bun lalu melakukan penghadangan
dan pembunuhan di saat aku pulang baru merupakan maksud tujuan Lui Sun yang
sebenarnya." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Oleh sebab itu kalian tak punya pilihan
lain, perjuangan kita belum berakhir, tak seorang pun dapat mengundurkan diri
dari rombongan." Bagi orang yang terkepung pasukan musuh, biasanya hanya tersedia dua pilihan,
menerjang keluar dari kepungan atau menyerahkan diri.
Jika ingin menerjang keluar dari kepungan berarti harus bertempur, jika ingin
menyerah berarti membiarkan orang menghukum semaunya, mau dicincang seperti


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor anjing atau disembelih seperti seekor babi, tak mungkin bisa melawan
maupun membangkang. Siapa suruh menyerah"
Bila seseorang sudah pasrah pada nasib, sudah menyerah, apa dan bagaimanapun
sikap musuh, orang hanya bisa menurut dan menerimanya tanpa membantah.
Itulah sebabnya lebih banyak orang yang rela berjuang hingga titik darah
penghabisan ketimbang menyerah.
Pek Jau-hui menghela napas panjang, katanya, "Aku lihat, semenjak menyelamatkan
dirimu, bibit bencana ini sudah sulit terlepas dari tubuh kami."
"Apakah kalian berharap setiap persoalan yang terjadi di kotaraja sama sekali
tak ada hubungannya dengan kalian?" kata So Bong-seng sambil mengerling sekejap
ke arahnya dengan pandangan dingin.
Pek Jau-hui tidak menanggapi.
Ketika mereka berempat tiba di jalan raya Tang-sam-pak, tampak jalan raya itu
masih ramai orang berjualan kendatipun hujan masih turun tiada hentinya.
Di sebuah istal terikat beberapa ekor kuda, ada dua tiga orang sedang memberi
rangsum kuda-kuda tunggangan itu. Di situ pun terdapat tiga pedagang daging,
satu pedagang daging sapi, satu pedagang daging kambing dan satu pedagang daging
babi. Selain itu terdapat juga sebuah toko asah pisau, di sampingnya warung
penggilingan kedelai, di depan toko itu ada orang menjual tahu, ada penjual
sayuran, penjual ayam, bebek, ikan, udang, ada juga pedagang kaki lima yang
menjual sau-pia, kue apem, bakpao, malah ada pedagang air gula, kue manis, air
tebu, bakso, di samping pemain wayang potehi, penjual gang-sing dan layang-
layang, penjual gula-gula, penjual kulit hewan.
Asal benda itu biasa terlihat dijual di pasar, semuanya hampir ada juga di
tempat itu. Padahal kejadian ini bukan kejadian aneh, karena jalanan itu memang merupakan
sebuah pasar. Yang aneh justru adalah orang-orang itu, tidak seharusnya mereka muncul di
tengah hari hujan begini.
Para pedagang kaki lima itu pada hakikatnya tidak meng?anggap saat itu hujan
sedang turun. Mereka semua tetap bertransaksi, tetap menjajakan barang dagangannya, seakan
mereka menganggap saat itu adalah saat yang cerah, matahari bersinar cerah,
angin berhembus sepoi. Satu-satunya yang berbeda di situ adalah tak ada orang yang berbelanja.
Pedagang mana pun di dunia ini pasti berdagang untuk para pembeli, tapi keempat
lima puluhan orang pedagang itu seakan tidak melayani pembeli umum.
Ya, mereka hanya khusus melayani satu orang 'pembeli' saja.
Pembeli itu tak lain adalah Locu atau ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau So
Bong-seng, seorang jagoan yang disebut nomor wahid dalam ilmu golok, seorang
pemimpin organisasi besar yang asal-usulnya penuh misterius, namun mengendalikan
sebagian besar jago golongan hek-to maupun pek-to dalam dunia persilatan dan
mengendalikan para pejabat negara.
Ketika mereka berbelok ke jalan Tang-sam-pak, para pedagang dan penjaja kaki
lima yang memenuhi jalanan itu sudah menantikan kedatangan 'pembeli'nya.
ooOOoo Tanpa terasa Pek Jau-hui menarik napas panjang.
Sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal, ia menarik napas dalam-dalam.
Setiap kali sedang merasa tegang, dia pasti akan menarik napas dalam-dalam.
Sejak kecil ia sudah diberitahu, bila seseorang berada dalam keadaan tegang maka
tariklah napas dalam-dalam, sebab dengan menarik napas dalam, maka emosinya akan
mendatar, jika emosi sudah datar, perasaan pun tenang, bila perasaan sudah
tenang, konsentrasi pun akan mencapai puncaknya.
Sekarang ia butuh konsentrasi, karena musuh besar sudah muncul di depan mata.
Sudah delapan tahun ia terjun dalam dunia persilatan, sudah membunuh musuh
tangguh dalam jumlah yang tak sedikit, tapi hingga kini masih jarang orang
mengenal nama "Pek Jau-hui".
Hal ini disebabkan dia masih belum ingin ternama.
Bila harus punya nama, dia ingin punya nama besar, nama yang amat tersohor, nama
kecil keuntungan kecil masih tidak dipandang sebelah mata.
Agar sementara waktu ia tidak peroleh 'nama besar yang tak berarti, dia tak
segan melenyapkan mereka yang tahu kalau dia memiliki kepandaian silat yang luar
biasa. Orang berilmu tinggi, bercita-cita setinggi langit yang mampu bersabar dan
bertahan menjadi seorang jago tak bernama selama delapan tahun, tentu saja ia
termasuk orang yang pandai menahan diri, pandai mengendalikan perasaan sendiri.
Tapi kini, setelah menyaksikan pemandangan yang terpampang di bawah curah hujan,
ternyata dia tak sanggup menahan diri.
Manusia yang terlihat berdiri di bawah curah hujan berjumlah tujuh puluh dua
orang, di antaranya ada enam belas orang yang menyembunyikan diri, apabila
orang-orang itu melancarkan serangan secara bersama, maka keadaannya akan tiga
belas kali lipat lebih menakutkan ketimbang diancam bidikan panah oleh empat
ratus orang pemanah di Ku-swi-po tadi. Tidak lebih tidak kurang, persis tiga
belas kali lipat! Setelah memperhitungkan situasi yang dihadapinya, sekalipun
Pek Jau-hui dapat menahan diri, kini keyakinannya mulai goyah, dia mulai tak
mampu mengendalikan diri.
Ketika ia mulai tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa ditariknya napas
panjang-panjang. Walaupun setelah menarik napas panjang tidak berarti perasaannya berhasil
dikendalikan, paling tidak tarikan napas yang dalam ini membuktikan kalau dia
masih hidup. Hanya manusia hidup yang bisa menikmati tarikan napas, karena bisa bernapas
bukan satu kejadian yang terlalu buruk.
Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan tangan dan kakinya mulai membeku, membeku
karena kedinginan. Dia paling tak suka reaksi seperti ini. Setiap kali perasaannya mulai tegang,
biarpun napasnya tidak kalut, biar detak jantungnya tak bertambah cepat, biar
kelopak matanya tidak melompat-lompat, tapi tangan dan kakinya selalu berubah
jadi beku, dingin kaku bagaikan direndam dalam kolam salju, membuat seluruh
badannya kaku karena kedinginan.
Bila ada orang memegang tangan atau menyentuh kakinya dalam keadaan seperti ini,
mereka pasti akan salah mengira kalau ia sedang ketakutan.
Padahal dia tidak takut, tak pernah merasa takut, dia tak lebih hanya merasa
tegang. Tegang beda dengan takut, tegang bisa meninggikan semangat tempur, tapi takut
justru menurunkan semangat juang. Ong Siau-sik memang gampang merasa tegang,
jangan kan menghadapi situasi segawat ini, bertemu Un Ji saja tangan dan kakinya
jadi dingin, ketika pertama kali bersua dengan So Bong-seng, kaki tangannya juga
dingin membeku seolah baru keluar dari rendaman salju.
Itu semua bukan berarti dia takut pada Un Ji, takut pada So Bong-seng.
Ketika bersama Un Ji, Ong Siau-sik merasa teramat gembira, ketika bergaul dengan
So Bong-seng, ia justru merasakan rangsangan yang luar biasa.
Terlepas gejolak perasaan mana yang dialaminya, semua itu tak ada sangkut-
pautnya dengan perasaan takut.
Tapi setiap kali orang lain mengetahui kaki dan tangannya jadi dingin, semua
orang salah mengira dia sedang ketakutan.
Padahal bagi Ong Siau-sik, kecuali mati, dia tak pernah takut pada apa pun.
Sekarang dia bukan sedang takut mati, tapi setelah menyaksikan barisan yang
dipersiapkan lawan berupa sebuah pasar di tengah jalan, dimana barisan itu jauh
lebih susah dihadapi ketimbang barisan Pat-tin-toh yang pernah digelar Khong
Beng dulu, bahkan menyisipkan inti kehebatan dari barisan itu membaur dengan
pelaku pasar sehingga membuat orang sukar menduga, semua ini semakin merangsang
semangat tempur Ong Siau-sik, dan akibatnya dia merasa semakin tegang.
Begitu mulai tegang, secara tak sadar kakinya mulai gemetar keras, jari
tangannya ikut bergetar. Kaki dan tangannya yang gemetar keras merupakan salah satu cara untuk
melenyapkan rasa tegang. ooOOoo Di dunia ini terdapat pelbagai jenis manusia, menggunakan cara yang berbeda satu
dengan yang lain untuk menghilangkan rasa tegang.
Ada orang akan membaca buku, membaca doa atau menulis bahkan pergi tidur ketika
rasa tegang mulai menyerang, tapi ada pula yang kebalikannya, di saat sedang
merasa tegang, ada kalanya mereka mulai mencaci maki, mulai memukul bahkan
membunuh manusia. Ada pula cara melepaskan rasa tegang yang normal seperti pergi mandi, main opera
atau mencari perempuan untuk pelampiasan. Tapi ada pula dengan cara yang aneh
seperti minta digebuki orang berhenti bekerja atau sekaligus melahap sepuluh
biji cabe pedas bahkan menangkap seseorang, mencincang daging tubuhnya dan
menyantapnya mentah-mentah.
Bagaimana dengan So Bong-seng"
Dengan cara apa dia melepaskan ketegangannya"
ooOOoo Tak ada yang tahu, karena tak pernah ada orang melihat So Bong-seng merasa
tegang. Sekalipun ketika berada di Ku-swi-po, sewaktu dikepung empat ratus orang pemanah
jitu yang sudah mementangkan busurnya, dia hanya sedikit berubah wajah, tapi
sama sekali tidak tegang.
Dia selalu beranggapan, tegang hanya akan mengacaukan urusan, sama sekali tak
dapat menyelesaikan persoalan.
Ketika persoalan mulai datang, dia hanya tahu menyelesaikannya dengan sepenuh
tenaga, dia tak ingin menciptakan masalah lain bagi diri sendiri, inilah prinsip
yang dipegang teguh So Bong-seng.
Tapi setelah dihadapkan dengan barisan sebuah 'pasar di tengah jalan, bukan saja
So Bong-seng mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling, bahkan ia mulai
gemetar. Padahal begitulah yang disebut manusia, semakin dia tak pernah sakit, sekali
waktu jatuh sakit maka sukarlah untuk disembuhkan, sebaliknya orang yang sering
kena penyakit, biasanya dia memiliki daya tahan lebih kuat ketika menghadapi
penyakit parah. Orang yang gemar minum arak jarang mabuk, tapi sekali mabuk, dia akan muntah
jauh lebih hebat ketimbang orang lain!
So Bong-seng termasuk orang yang jarang merasa tegang.
Begitu merasa tegang, dia segera akan berbicara. Berbicara merupakan rahasia
pelepasan rasa tegangnya.
Oleh sebab itu orang hanya mendengar So Bong-seng sedang berbicara, sama sekali
tidak pernah melihat So Bong-seng merasa tegang.
Padahal kebanyakan orang tidak selalu memandang dengan matanya, berkeluh kesah
dengan mulutnya. Kalau tidak, mana mungkin sikap yang garang justru bisa
membesarkan nyali" Kenapa asal perkataan itu diucapkan seorang kaya raya maka
ucapannya seakan kata emas yang wajib dituruti"
Tadi ketika berada di Po-pan-bun, Lui Sun pernah mengucapkan sepatah kata, kata
makian terhadap Lu Sam-cian, dia berkata "Panglima yang kalah perang tak usah
bicara besar". Padahal umpatan itu salah besar.
Menurut So Bong-seng, "Orang di dunia ini yang paling berhak bicara besar adalah
panglima kalah perang yang berperang lagi. Hanya panglima yang pernah kalah
perang tahu dimana letak kekalahannya, tahu dimana keunggulan lawannya.
Panglima yang sering menang tidak akan mengetahui hal ini, justru mencari
kemenangan di tengah kekalahan baru merupakan impian seorang panglima sejati".
Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, sindirnya, "Panglima yang pernah kalah
perang memang bisa bangkit lagi, tapi panglima yang mampus mana mungkin bisa
bangkit kembali?" "Apa maksud perkataanmu itu?" tanya So Bong-seng sam?bil mengerling sekejap ke
arahnya. Pek Jau-hui tertawa. "Aku sedang berpikir, dengan cara apa aku bisa menggiring para jago unggulan
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini hanya membunuh kau dan tidak membunuh
aku," katanya. "Itu sih gampang!" seru So Bong-seng cepat, "asal kau tangkap aku,
mempersembahkan kepada musuh, maka kau bisa memperoleh imbalan dan jasa,
mengubah musuh jadi sahabat."
"Hahaha ... sebuah usul yang sangat bagus!" Pek Jau-hui tertawa tergelak,
mendadak ia melejit ke muka dan langsung menerjang ke tengah arena.
Ditinjau dari caranya menerjang ke depan, paling tidak pasti ada sepuluh orang
yang bakal tewas di tangannya.
Setelah Pek Jau-hui turun tangan, tentu saja Ong Siau-sik tak ingin berpangku
tangan. Baru saja dia hendak mencabut pedangnya, mendadak terdengar Su Bu-kui
mengucapkan sepatah kata yang dipahami artinya, tapi tidak mengerti kenapa
mengucapkan perkataan itu di saat seperti ini, "Berbuat onar semau sendiri!"
ooOOoo Begitu perkataan itu diucapkan, sikap So Bong-seng seketika berubah.
Dengan satu gerakan cepat dia menarik lengan Pek Jau-hui yang sedang melesat
maju ke muka. Gerakan tubuh Pek Jau-hui saat ini amat cepat dan kuat, meski ada delapan puluh
orang lelaki kekar, belum tentu sang?gup menahan gerakan tubuhnya, tapi So Bong-
seng hanya sedikit menggerakkan badannya, tahu-tahu ia sudah ditariknya ba?lik.
Mungkinkah Pek Jau-hui memang sengaja membiarkan ta?ngannya ditarik"
Setelah menahan gerak maju Pek Jau-hui, So Bong-seng hanya mengucapkan sepatah
kata, "Kita menonton dulu, kemudian baru turun tangan."
Pada saat itulah tiba-tiba berdatangan segerombolan manusia.
Ada yang datang dari jalan raya sebelah timur, utara dan ada pula yang datang
dari jalan simpang tiga. Orang-orang itu datang dengan sikap santai, tenang,
mantap dan tenteram. Mereka terdiri dari tua, muda, laki, perempuan, tinggi, pendek, ganteng, jelek,
kuat, cantik, namun ada dua hal persamaan yang dimilikinya,
Dalam genggaman semua orang terlihat sebuah payung kertas minyak berwarna hijau
tua. Kepala orang-orang itu semuanya diikat dengan secarik kain saputangan berwarna
putih. Payung di tangan mereka bisa digunakan untuk menahan air hujan, tapi membuat
mereka tak mampu melihat angkasa. Kain putih yang membungkus kepala membuat
rambut mereka pun tak kelihatan.
Kawanan manusia itu bermunculan dari arah timur, selatan, barat, utara dan
langsung bergerak menuju ke posisi tengah, gerak langkah mereka tidak cepat
namun juga tidak lamban, tapi bergerak secara teratur dan langsung mengepung
barisan 'pasar di tengah jalan', dengan demikian bisa memperlihatkan
kehebatannya. Sebuah barisan yang sudah tertata rapi, dalam waktu singkat berubah jadi kacau
karena disumbat oleh beberapa orang itu.
Melihat kemunculan orang-orang itu, kawanan manusia yang berada dalam pasar
hanya bisa saling berpandangan tanpa tahu apa yang mesti dilakukan.
Kawanan manusia berpayung itu masih melanjutkan langkahnya, ada yang menghampiri
si pedagang ikan, ada yang mendekati istal kuda, beberapa orang mendekati
penjual daging, dua tiga orang mendekati tauke penjual bakpao. Dalam waktu
singkat hampir semua orang yang ada di dalam pasar telah saling berhadapan
dengan orang-orang berpayung itu.
Kawanan jago tangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang sejak awal bersembunyi
di dalam pasar itu paling tidak berjumlah delapan-sembilan puluhan orang,
sementara manusia berpayung itu jumlahnya hanya dua tiga puluhan orang, tapi
begitu muncul, justru kawanan manusia berpayung itulah yang telah mengepung para
jago di dalam pasar. Suasana tegang segera mencekam semua orang, khususnya para jago yang berada di
dalam pasar. Perasaan tegang mencekam pula seorang lelaki yang duduk di pasar bagian depan,
seorang lelaki kurus kering yang memiliki tulang pelipis penuh berotot hijau,
otot-otot hijau yang mengelilingi jalan darah Tay-hiang-hiat. Dia tak lain
adalah Lui Heng. ooOOoo 15. Manusia berpayung Lui Heng sangat pendendam.
Selama hidup dia memang selalu mendendam kepada orang lain.
Membenci seseorang jauh lebih membuang waktu ketimbang mencintai seseorang,
terlebih orang yang dibencinya jauh lebih banyak daripada orang yang dikenalnya,
dia pun dapat membenci orang yang belum pernah dikenalnya, ada kalanya dia malah
membenci diri sendiri. Hanya satu orang yang tak berani dia benci, hanya Lui Sun seorang.
Orang yang paling dibencinya saat ini adalah So Bong-seng.
Dia membenci orang ini karena So Bong-seng telah menerjang masuk ke Po-pan-bun,


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusat kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, membunuh orang-orang mereka
kemudian pergi begitu saja. Setiap kali terbayang peristiwa ini, Lui Heng merasa
bencinya setengah mati, kalau bisa, dia ingin menelan So Bong-seng kulit berikut
tulangnya ke dalam perut.
Ti-toatongcu pernah berkata tentang dirinya, "Jika Lui-losu sudah membenci
seseorang, sekalipun kungfunya tak mampu mengungguli lawan, mengandalkan rasa
bencinya itu, ia tetap bisa memaksa musuhnya kabur ketakutan".
Di dalam pasar sudah siap sembilan puluh dua orang jago berilmu tinggi, semua
adalah pasukan inti di bawah pimpinannya, asal Ti Hui menurunkan perintah, dalam
waktu singkat mereka dapat mencincang tubuh So Bong-seng hingga hancur.
Tapi hingga kini Ti-toatongcu belum juga menurunkan perintahnya, sementara
pasukan orang-orang berpayung sudah muncul di arena pertarungan.
Dalam keadaan begini, Lui Heng benar-benar merasa amat benci, sedemikian
bencinya hingga nyaris dia seakan ingin menelan diri sendiri.
Bagaimana dia tidak benci" Kedua puluh sembilan orang berpayung itu sudah
merangsek maju, sudah semakin mendekati posisi pertahanan mereka.
Begitu rombongan ini muncul, barisan yang dia dan anak buahnya persiapkan nyaris
terhadang dan berantakan. Sekalipun Lui Heng bencinya sampai ingin menghancurkan
kepala sendiri, kali ini dia tak berani bertindak gegabah, ia sama sekali tak
berani sembarangan bergerak.
Karena dia tahu, rombongan itu adalah 'Berbuat onar semau sendiri'!
Berbuat onar semau sendiri' merupakan satu kelompok pasukan inti di bawah
pimpinan So Bong-seng, dan kini paling tidak ada setengahnya sudah muncul di
situ. Lui Heng sadar, dalam keadaan seperti ini jika ia berani bertindak sembarangan,
bisa jadi dia tak pernah bisa membenci orang lain lagi, yang diperolehnya waktu
itu hanya penyesalan. Bahkan bisa jadi kemungkinan untuk menyesal pun ikut lenyap.
ooOOoo Seorang pemuda yang tampangnya agak ketolol-tololan, dengan membawa sebuah
payung berwarna hitam, melewati rombongan manusia berpayung hijau dan berjalan
menuju ke hadapan So Bong-seng.
Sewaktu lewat di samping tubuh Su Bu-kui, sorot matanya yang semula tampak
bloon, tiba-tiba memancarkan suatu pera?saan yang sulit dilukiskan.
"Semuanya sudah tewas?" bisiknya lirih.
"Si Barang antik dan Hoa Bu-ciok adalah pengkhianat," jawab Su Bu-kui sambil
tertawa getir. Pemuda bloon itu kelihatan sedikit bergetar, namun tetap melanjutkan langkahnya
menuju ke hadapan So Bong-seng, ujarnya sembari menjura, "Hamba datang
terlambat!" "Kau tidak terlambat, kedatanganmu tepat waktu," sahut So Bong-seng sembari
manggut-manggut. Dalam pada itu Ong Siau-sik sudah celingukan memandang sekeliling tempat itu,
setelah melihat sejenak ke timur, barat, kiri, kanan, depan, belakang dan yakin
kalau kali inipun tak akan mati, tak tahan serunya, "Wah, ternyata benar-benar
ditemukan jalan hidup di tengah jalan kematian, tak kusangka kejadian bisa
muncul pada saatnya."
So Bong-seng tertawa hambar, namun dari balik sorot matanya terpancar sikap
memandang hina lawan. Menyaksikan mimik muka pimpinannya itu, Su Bu-kui segera memberi penjelasan,
katanya, "Sewaktu menyerbu Po-pan-bun tadi, sepanjang jalan Kongcu telah meninggalkan
tanda rahasia, dia yakin orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti akan
melakukan penghadangan di saat kami pulang nanti, karena itu Mo Pak-sin diminta
segera membawa pasukan untuk menyusul kemari."
Kisah Pedang Di Sungai Es 17 Prabarini Karya Putu Praba Darana Menuntut Balas 19
^