Golok Kelembutan 2
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 2
lantai papan yang diinjaknya pun nyaris retak dan hancur berantakan.
Ong Siau-sik tetap berdiri tenang, ditatapnya wajah Tio Thiat-leng sekejap,
kemudian ujarnya, "Kau bukan Tio Thiat-leng, kau sebenarnya adalah Si Say-sin!"
Merah padam wajah Tio Thiat-leng, sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang,
agaknya setiap saat dia akan melancarkan serangan.
"Darimana kau bisa tahu?" terdengar Un Ji bertanya. Ong Siau-sik tidak menjawab
pertanyaan itu, dengan setengah mengejek kembali ujarnya kepada Tio Thiat-leng,
"Aku tidak salah menebak bukan?"
Sepasang kepalan Tio Thiat-leng digenggam semakin kencang, di tengah udara mulai
terdengar suara gemuruh nyaring. Jagoan ini memang hebat tenaga dalamnya,
sepasang Tay-yang-hiat nya yang menonjol besar kini menongol makin besar.
Ditatapnya Ong Siau-sik dengan mata melotot, kemudian teriaknya, "Darimana kau
bisa tahu?" Ong Siau-sik kembali tertawa, senyuman itu dilemparkan ke arah Pek Jau-hui.
Sikap Pek Jau-hui yang semula dingin angkuh, kini nam?pak sedikit berubah,
berubah jadi lebih hangat dan lembut, kehangatan yang sangat aneh, tapi hanya
sejenak kemudian sudah lenyap.
"Tio-tongcu!" serunya tiba-tiba.
"Ada apa?" Tio Thiat-leng segera berpaling.
"Apakah urusan di luar sana sudah diselesaikan?"
"Sudah selesai semuanya," jawab Tio Thiat-leng cepat, ia tak habis mengerti
mengapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu.
"Sampai kapan pihak pengadilan baru akan mengirim orang kemari?"
"Sebentar lagi akan tiba." "Lalu putra tunggal Sin-hu?" "Dia ada dalam almari."
Baru saja dia ingin bertanya kenapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu,
Pek Jau-hui sudah berkata lagi, "Tadi kau sudah mengajukan beberapa pertanyaan
kepadanya?" Tio Thiat-leng kembali tertegun, setelah termenung sejenak sahutnya, "Tiga!"
"Keliru besar," kata Pek Jau-hui sambil tersenyum dan menggeleng kepala berulang
kali, "termasuk pertanyaan terakhir, kau sudah mengajukan empat buah pertanyaan. Sudah
saatnya kau redam dulu hawa amarahmu. Jika kau gagal mengendalikan hawa amarahmu
itu, aku takut kau bakal tak mampu menghadapi Lote ini! Sekarang aku telah
menjadi sahabatmu, apalagi kau pun telah memberi banyak uang untukku, sebagai
sahabat, aku merasa wajib memberi nasehat ini kepadamu!"
Tak terlukiskan rasa gusar Tio Thiat-leng setelah mendengar perkataan itu, tapi
setelah berpikir sejenak dia pun mengendurkan badannya sambil menghembuskan
napas panjang, kemudian bertanya, "Jadi kau menganggap aku bukan tandingan
sahabatmu itu?" "Aku sendiri pun tidak tahu sampai dimana ketangguhan ilmu silatnya," sahut Pek
Jau-hui sambil menggendong tangan, "tapi aku tahu otaknya encer, dia pintar dan
sangat tanggap. Padahal dia tak tahu siapakah Si Say-sin, hanya berdasarkan
keteranganmu kalau kau adalah anggota perkumpulan Kimhong-si-yu-lau yang
menyusup ke dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, lalu mendengar kedatangan
Tongcu kesembilan Ho Tong ke Ouw-pak kali ini adalah untuk menghadapi Si Say-
sin, dan melihat pula kau telah membunuh Ho Tong, dia sudah berani menyimpulkan
kaulah Si Say-sin itu, apa kau tidak merasa bahwa dia sangat hebat?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan santainya dia menambahkan, "Jadi
sebetulnya kau sendiri yang telah membocorkan rahasia itu kepadanya, aku tak
ingin kau sekalian menyerahkan nyawamu kepadanya."
Tiba-tiba Ong Siau-sik merasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh
tubuhnya. Sekarang ia mulai sadar tentang mara bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya,
bila Pek Jau-hui sampai bekerja sama dengan Tio Thiat-leng, berarti jangan mimpi
dia bisa keluar dari rumah penginapan itu dalam keadaan hidup.
Terdengar Un Ji kembali berkata, "Kalau kau adalah Si Say-sin, lalu siapa pula
lelaki kurus jangkung yang telah membantai kawanan opas tengah hari tadi?"
"Darimana aku tahu?" jawab Tio Thiat-leng sembari menggeleng.
Pek Jau-hui mencoba berpaling ke arah Ong Siau-sik, tapi pemuda itu segera
menggeleng seraya menyahut, "Aku sendiri pun tidak tahu."
Pek Jau-hui mulai tertawa, ketika tertawa ia nampak licik dan banyak akal
bulusnya. "Untung saja masih ada persoalan yang tidak kita ketahui."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan, "Penghidupan semacam
inilah baru menarik dan menyenangkan............"
Ternyata hingga detik ini, dia masih tidak menganggap Un Ji sebagai salah satu
bagian dari mereka, karena dia tetap tidak memperhitungkan gadis itu.
6. Secawan arak, tiga nyawa
Un Ji amat sedih. Selama hidup, belum pernah ia berjumpa dengan seorang lelaki yang begitu tidak
menghormatinya, begitu tak memandang sebelah mata terhadapnya, tidak
menganggapnya sebagai seorang tokoh, bahkan nyaris tidak menganggapnya sebagai
manusia. Ia merasa sangat terhina, merasa amat sedih.
Melihat lelaki itu masih berdiri dengan sikap angkuh, acuh tak acuh dan jumawa,
dia amat membencinya, makin dipandang makin sakit hati.
Pada saat itulah ia mendengar Pek Jau-hui kembali berkata, "Terlepas siapa pun
orang itu, yang pasti dia adalah seorang tokoh yang tak boleh dipandang enteng!"
Tio Thiat-leng kembali berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya, "Aku lihat kau
pun termasuk manusia yang tak boleh dipandang enteng, kemari dan bergabunglah,
aku pasti akan menghargai tenagamu."
"Aku tidak ambil peduli tentang kesemuanya itu," Ong Siau-sik menggeleng, "mau
pandang enteng tidak masalah, mau menghargai kemampuanku juga silakan, tapi yang
jelas, aku tetap aku, aku tak nanti bersedia kau gunakan hanya lantaran kau
menghargaiku, aku pun tak bakal melancarkan serangan hanya dikarenakan kau
memandang enteng diriku. Bagiku, persoalan yang terjadi adalah perseteruan
antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan perkumpulan Kimhong-si-yu-lau,
siapa menang siapa kalah bukan persoalanku dan aku pun tak ingin tahu. Yang
kuingin ketahui saat ini hanya satu hal."
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah M'rius, "Apakah
dikarenakan kau ingin merusak nama dan reputasi perkumpulan Lak-hun-poan-tong
dalam dunia persilatan, maka kau sengaja memerintahkan kelompok akrobatik,
kelompok pedagang dan penjual obat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?"
"Perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah perkumpulan besar, mereka harus
menghidupi banyak anak buah, jadi apa yang mereka lakukan selama ini untuk
menunjang kehidupan anggotanya, aku rasa hampir setiap orang tahu dengan jelas
dan tak usah aku jelaskan lebih jauh.
Tapi satu hal kau mesti tahu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai nama dan
reputasi yang baik di seputar wilayah Ouw-pak, pengaruhnya sangat besar dan
banyak orang gagah.dunia persilatan yang bersedia bekerja untuk mereka. Bila aku
tidak menggunakan siasat ini, bagaimana mungkin aku bisa mengubah pandangan dan
haluan Sin-hu Tayjin yang selama ini selalu berkomplot dengan Lui Sun" Bagaimana
mungkin aku bisa meminta dia untuk membuyarkan daya pengaruh perkumpulan Lak-
hun-poan-tong dengan berganti haluan bersekongkol dengan So-kongcu" Contohnya
dua bersaudara Li, orang she Ting dan Ku Han-lim, selama ini mereka memang tak
pernah melakukan perbuatan baik, bukankah gara-gara kejadian ini mereka malah
bisa kita tumpas" Aku berharap kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong di
wilayah Ouw-pak bisa diberantas seakar-akarnya."
"Apakah orang-orang itu sangat mempercayai dirimu?" tanya Ong Siau-sik lagi
dengan kening berkerut. Dia saksikan paras muka Li Tan serta Li Ciau-hong yang tergeletak di tanah mulai
mengunjuk perasaan murka.
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Justru yang percaya penuh kepadaku adalah Lui Sun Lui-congtongcu, sementara
orang-orang itu .... Hmm! Tak lebih hanya mengantar nyawa saja."
"Aku lihat perempuan ini baik hati dan masih mempunyai rasa peri kemanusiaan,
kesalahannya belum pantas untuk dihukum mati," bocah muda itu coba membela.
Waktu itu, meskipun jalan darah Li Ciau-hong sudah tertotok, namun mulutnya
masih bisa berbicara bebas, sambil mengertak gigi penuh amarah, mendadak ia
mengumpat, "He, orang she Tio, kau memang bedebah! Aku tidak ambil peduli kau
mau bermarga Si atau bermarga Tio, tapi yang pasti kau memang seorang bangsat
sejati, bedebah yang berhati kejam, hanya manusia macam kau yang mampu melakukan
perbuatan terkutuk, biar jadi setan pun aku tak bakal melepaskan dirimu!"
"Tutup mulutmu adikku!" hardik Li Tan cepat, lalu dengan nada setengah merengek
terusnya, "Tio-tongcu, mohon kebesaran hatimu dengan mengampuni jiwa anjing kami
bersaudara! Di kemudian hari, mau dijadikan kerbau atau kuda, kami siap
menjalankan perintahmu dan tak akan membangkang."
"Hmmm, kalau ingin jadi kerbau atau kuda, lebih baik cepatlah menuju ke neraka,
di sana pun kalian berdua bisa memperoleh jabatan," sahut Tio Thiat-leng ketus.
"Tio-tongcu," kembali Li Tan merengek, "kami berjanji tak akan membocorkan
kejadian pada malam ini kepada siapa pun, jika kami sampai membocorkan kejadian
ini, biar aku orang she Li mati disambar geledek, mati secara mengenaskan."
"Hmm! Kau memang bakal mati secara mengenaskan."
"Mau mati biarlah mati, kenapa mesti minta ampun!" jerit Li Ciau-hong tidak
puas. "Adikku," kembali Li Tan berseru dengan gugup. "Kau jangan bicara sembarangan,
jika kau melakukan kesalahan lagi terhadap Tio-tongcu, aku tak akan mempedulikan
dirimu lagi." "Kakak, matikan saja pikiran semacam itu," tukas Li Ciau-hong lantang. "Malam
ini, jangan harap kita berdua bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat."
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Li Ciau-hong," katanya, "percuma kau berteriak-teriak dengan suara keras,
memangnya kau senang melihat urusan jadi semakin runyam" Sayangnya, semua
penghuni rumah penginapan ini sudah ditukar dengan orang-orangku, mereka yang
tidak berpihak kepadaku sudah bersih dibantai."
"Apa" Orang-orang cacad itupun sudah kau bunuh?" tanya Ong Siau-sik dengan wajah
berubah. "Hahahaha ... tidak sampai sesadis itu," Tio Thiat-leng tertawa tergelak,
"justru orang-orang itu yang akan mendatangkan pahala bagiku, merekalah bukti
nyata perbuatan terkutuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
Ong Siau-sik baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, tanyanya
kemudian, "Di dalam almari sana terdapat sebuah peti, apakah putra tunggal Sin-
hu Tayjin yang disembunyikan dalam peti itu?"
"Justru dialah yang dijadikan acara pembukaan oleh Si Say-sin dalam kejadian
ini, tanpa dia, Bun Sin-hu serta kawanan pejabat anjing lainnya belum tentu mau
berganti haluan, kini pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berani mengusik putra
tunggal Bun Sin-hu, sudah jelas para pejabat negara akan menjadi musuh
bebuyutannya," Pek Jau-hui menerangkan sambil tertawa.
Sementara itu Tio Thiat-leng sudah berjalan menghampiri almari itu, dengan
sekali bacok, dia jebol pintu almari, menyeret keluar sebuah peti, meremas
kuncinya hingga hancur kemudian melayangkan sebuah tendangan untuk membuka peti
itu. Seorang bocah berwajah bersih, tampan dengan hidung mancung duduk melingkar
dalam peti itu, dia seakan terlelnp dalam tidur yang sangat nyenyak sehingga
walaupun peti sudah terbuka dia masih tidur terus.
Sekilas pandangan Ong Siau-sik tahu kalau bocah ini sudah dicekoki obat pembius,
bila dilihat bagian tubuhnya yang utuh, rasanya dia belum dicelakai orang.
Sekarang ia baru menemukan jawaban, berasal darimanakah suara dengusan napas
perlahan yang didengarnya ketika bersembunyi dalam almari tadi.
"Kali ini Sin-hu Tayjin dan Congkoan pasti akan merasa sangat puas," kata Tio
Thiat-leng dengan perasaan lebih santai.
"Yang pasti So-kongcu akan semakin puas dengan sepak terjangmu," sela Pek Jau-
hui. Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Semua ini berkat bantuan dari saudara Pek, tapi masih ada satu urusan besar
yang mesti kukerjakan, bila pekerjaan itupun berhasil kulakukan, semua tugasku
baru bisa dianggap selesai."
"Omong kosong," tak tahan Un Ji menyela, "Toasuheng bukan manusia semacam ini,
mustahil dia memerintahkan kau untuk melakukan perbuatan terkutuk semacam ini!"
Tio Thiat-leng tidak menanggapi perkataan itu, ia berpaling dan memandang Li
bersaudara sekejap, kemudian katanya lagi kepada Ong Siau-sik, "Coba
pertimbangkan sekali lagi tawaranku itu, selesai membereskan kedua orang ini,
aku akan menunggu kabar baikmu."
"Tak usah dipertimbangkan lagi," tukas Ong Siau-sik.
"Oya?" "Aku telah mengambil keputusan."
"Nah, begitu baru seorang pemuda tahu diri, masa de?panmu pasti cerah," seru Tio
Thiat-leng sambil tertawa, setelah, itu dia melangkah maju menghampiri Li Ciau-
hong. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menghadang di hadapan Li Ciau-hong,
teriaknya, "Hari ini sudah kelewat banyak orang yang tewas di sini, aku tak
ingin melihat orang mati lagi, apalagi perempuan ini memang tidak seharusnya
mati." "Dia tidak pantas mati?" jengek Tio Thiat-leng dengan sorot mata berkilat,
"sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, dia
adalah seorang perempuan bedebah, apakah kau ingin menjadi pelindungnya?"
"Aku tak peduli apa katamu, seperti yang sudah kutegaskan tadi, hari ini aku tak
akan membiarkan kau membunuh orang lagi."
Sambil mundur selangkah, Tio Thiat-leng mengawasi wajah anak muda itu lekat-
lekat, akhirnya dia mengangguk tiga kali seraya berseru, "Bagus, bagus, bagus!"
Ong Siau-sik sama sekali tak ambil pusing, sambil mengerling ke arah Pek Jau-hui
sekejap, tiba-tiba ujarnya, "Saudara Pek, aku ingin tahu, kau berpihak kemana?"
Sambil menggendong tangan Pek Jau-hui mundur sejauh tujuh langkah, sahutnya,
"Malam ini adalah pertemuan kedua bagi kita, sementara aku sudah empat kali
bertemu dengan Tio-tongcu, malah transaksi jual beli kami sudah berjalan mulus,
artinya baik kau maupun dia, semua adalah sahabatku, aku tak ingin membantu
pihak mana pun." Dengan satu gerakan kilat Un Ji melompat ke sisi Ong Siau-sik, serunya cepat,
"Aku berpihak padamu ..........."
Belum selesai gadis itu berbicara, Tio Thiat-leng sudah menerjang sembari
menyodokkan sepasang kepalannya mele?paskan satu pukulan, sementara kakinya
menyapu tubuh Un Ji. . Begitu tubuh Un Ji roboh terjungkal, kepalan itu langsung menyambar ke dada dan
wajah Ong Siau-sik. Serangan itu sangat tiba-tiba dan cepatnya bukan kepalang, tak sempat bagi Ong
Siau-sik untuk menghindarkan diri.
Tio Thiat-leng segera sadar, dia bakal membunuh seorang lagi.
Bagi dirinya, bagi pandangannya, saat ini Ong Siau-sik sudah ibarat sesosok
mayat. Dia tidak kuatir ditegur So-kongcu, dia tak takut atasannya gusar karena ulahnya
itu. Sebab sekarang dia sudah membuat jasa besar, bila ditambah aksi yang akan
dilakukannya esok hari, maka jasa dan pahalanya akan luar biasa besarnya.
Dia tahu So-kongcu selalu membedakan dengan jelas mana jasa dan mana dosa,
sekalipun sekarang dia telah menyapu kaki adik seperguruannya hingga terjungkal,
dia menganggap kejadian ini lumrah, apalagi dia toh tidak membunuhnya.
Justru sekarang dia merasa sedikit sayang, sedikit kecewa.
Dia tahu, Ong Siau-sik adalah seorang anak muda yang berbakat, ia dapat melihat
hal itu. Tapi kenyataan, bakat yang begitu bagus ternyata enggan berpihak kepadanya,
daripada bakat bagus ini terjatuh ke tangan orang lain, dia putuskan lebih baik
mengirimnya lebih dulu ke dalam peti mati!
Sekarang dia sedang menunggu suara tulang belulang Ong Siau-sik retak dan
hancur. Suara tulang yang hancur bermacam-macam, suara tulang wajah yang retak beda
sekali dengan suara tulang dada yang hancur, tulang wajah agak keras sementara
tulang dada lebih lunak, bila dibandingkan suara tulang iga yang retak pasti
lebih nyaring. Namun baginya, suara tulang wajah yang retak jauh lebih merangsang, jauh lebih
menegangkan. Selama ini sudah terlalu banyak tulang dada orang yang hancur di tangan Tio
Thiat-leng, oleh karena itu dia lebih suka menghajar wajah lawan.
Misalnya saat dia menghajar Ho Tong sehingga tulang wajahnya hancur.
Ketika mendengar suara tulang wajah seorang sahabatnya yang sudah lama
dikenalnya, sudah lama berjuang bersama hancur berantakan, lalu dapat pula
menyaksikan sorot mata ragu dan tak percaya yang dipancarkan dari mata rekannya
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, bagi Tio Thiat-leng, kejadian ini amat merangsang napsu, dia merasa sangat
menikmatinya. Betul juga, dia segera mendengar suara tulang patah.
Bukan tulang wajah, bukan pula tulang iga, tapi tulang per-gelangan tangan.
Suara retak itu berasal dari tulang pergelangan tangan kiri sendiri, suara retak
yang amat nyaring. "Kraaak!" Tangan kanan Ong Siau-sik masih tetap menempel di atas gagang senjatanya.
Gagang pedang itu panjangnya tujuh inci, berujung bulat dengan sarung yang
antik, walaupun tubuh senjata tidak nampak namun gagang pedangnya kelihatan
sangat nyata, sebuah gagang pedang berbentuk melengkung bagai bulan sabit, pada
ujung lengkungan terlintas selapis cahaya berwarna hijau.
Melihat bentuk senjata itu, setengah mirip sebilah golok, setengah mirip sebilah
pedang, pedang yang tergabung dalam golok.
Selama ini Ong Siau-sik belum pernah melolos pedangnya. Dia pun tidak bermaksud
menghindarkan diri. Sekalipun tubuhnya tidak berkutik, namun telapak tangan kirinya telah bergerak
cepat, menelusuri sisi tubuhnya dia menghadiahkan sebuah babatan kilat ke atas
pergelangan tangan lawan.
"Kraaak!", diiringi bunyi nyaring, pergelangan tangan itu segera terkulai lemas.
Tidak berhenti sampai di situ, kembali Ong Siau-sik mementang kelima jari
tangannya, kali ini dia berusaha mencengkeram kepalan kanan lawan.
Dalam keadaan begini buru-buru Tio Thiat-leng menarik kembali serangannya,
dengan buas penuh amarah dia melototi musuhnya sekejap, kemudian sambil
memegangi tangan kirinya yang lunglai lemas, ia membalik badan dan segera
beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Ploook, plookk"
Suara tepuk tangan bergema di udara, ternyata Pek Jau-hui yang sedang bertepuk
tangan. "Kungfu yang hebat," puji orang itu dengan suara lembut, "aku tahu, kepandaian
silatmu memang hebat, tapi tak kusangka ternyata kau pun sanggup melukainya
tanpa harus mencabut pedang, sayang aku gagal mengetahui asal-usul perguruanmu,
he sobat, aku lihat kau memang sengaja hanya melukai sebuah tangannya bukan"
Kalau tidak, mungkin dia hanya memiliki dua kaki untuk kabur."
Un Ji tidak habis mengerti dengan perkataan itu, sebab dia memang tak sempat
melihat dengan jelas apa yang telah terjadi.
Gerak serangan itu dilakukan dalam waktu singkat, serangan yang kelewat cepat.
"Padahal apa yang kau lakukan akan sangat menguntungkan posisi Tio Thiat-leng,"
kembali Pek Jau-hui berkata, "coba bayangkan saja, jika dia pulang dalam keadaan
utuh dan segar bugar, dengan kecerdasan Lui-congtongcu, masa dia tak curiga"
Sekarang dia pulang dengan membawa luka, kejadian ini justru akan memperlancar
usahanya memperoleh jasa dan pahala."
"Manusia macam dia termasuk seorang jago yang licik dan banyak akal, sekalipun
tidak kulukai, dia tetap bisa mengatur siasat dan akal muslihat untuk memberikan
alasan yang masuk akal," kata Ong Siau-sik, "tadi aku memang sengaja memberi
pelajaran kepadanya, karena aku tak suka dengan wataknya, untuk mencapai tujuan,
dia tak segan banyak membunuh, perbuatan macam begini jelas merupakan satu
perbuatan yang biadab."
"Padahal kalau mau bicara sejujurnya, justru aku yang paling banyak membunuh
pada malam ini," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "selanjutnya, kau bakal kubuat repot terus."
"Aku masih muda, aku tak peduli."
Un Ji yang membungkam terus, kini tak sanggup menahan diri, dengan sorot matanya
yang bening dia mengawasi Pek Jau-hui sekejap, kemudian memperhatikan lagi Ong
Siau-sik, setelah itu gumamnya, "Manusia aneh, manusia aneh, satu rumah penuh
dengan manusia aneh, seluruh ruangan dipenuhi manusia aneh, sepasang manusia
aneh." "Kalau sudah tahu di sini ada manusia aneh, kenapa pula nona Un datang kemari?"
tegur Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Guruku dan orang tuaku minta aku berangkat ke kotaraja untuk membantu Suheng,
tapi lantaran sepanjang jalan aku sering mendengar orang bercerita kalau di
tempat ini sedang terjadi penculikan anak-anak, bahkan anak pembesar pun ikut
diculik, maka dengan perasaan ingin tahu aku melacak kabar berita ini, akhirnya
aku pun bersembunyi di atas wuwungan rumah sebelum akhirnya...."
"Akhirnya diseret keluar orang lain?" sela Pek Jau-hui lagi. "Hmm, siapa yang
berani menyeret aku?" teriak Un Ji gusar. "Nonamu
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ong Siau-sik berteriak keras, "Hati
hati "Nguuung... braaaak!" Un Ji hanya merasakan seseorang menyambar lewat dari atas kepalanya, dengan
perasaan kaget dia segera melepaskan tujuh delapan jurus serangan ke udara.
Tampak orang itu merentangkan tangannya lebar-lebar, langsung memeluk tubuhnya
dan merobohkannya ke lantai.
Cahaya lampu yang semula menerangi ruangan, kini padam secara tiba-tiba.
Sesaat sebelum cahaya lentera itu padam, tampak seseorang membentak nyaring dan
langsung menerjang ke atas atap rumah.
Un Ji tak tahu apa yang telah terjadi, dia hanya merasakan seseorang masih
menindih di atas tubuhnya, dengus napas lelaki yang sangat kuat.
Sebenarnya Un Ji berusaha meronta sambil bersiap mencaci maki, tiba-tiba dia
seperti paham akan sesuatu, mulutnya segera terbungkam kembali dan tubuhnya
tidak bergerak pula. Dalam pada itu, orang yang semula melompat ke atas atap rumah tadi, kini bagai
segulung asap telah melayang balik ke dalam ruangan, Un Ji dapat merasakan gerak
tubuh orang itu sangat enteng dan cepat.
Sedang orang yang semula mendekap tubuhnya, kini pun sudah melompat bangun.
Dalam keremangan cuaca, gadis itu dapat melihat orang berbaju putih yang gesit
gerak tubuhnya itu sedang menvulut lentera.
Malam ini, lentera di dalam kamar sudah padam sebanyak tiga kali.
Kali pertama terjadi di saat Un Ji melayang turun dari atap rumah dan terjebak
dalam kepungan orang banyak.
Kali kedua terjadi di saat Tio Thiat-leng dan Pek Jau-hui bersamaan menyerbu
masuk ke dalam ruangan disusul munculnya Ong Siau-sik.
Dan kali ini adalah kali ketiga lampu lentera itu padam.
Ketika cahaya api disulut kembali, di saat sinar mulai menerangi seluruh
ruangan, pemandangan macam apa pula
yang dijumpai" Un Ji dapat merasakan bahwa setiap kali cahaya lentera disulut kembali, maka
seolah selapis kabut mulai disingkap, seolah sedang membuka sebuah halaman baru,
seperti malam yang lewat dan fajar mulai menyingsing.
Pemandangan macam apa pula yang akan tampil kali ini"
ooOOoo Cawan. Ong Siau-sik sedang mengawasi sebuah cawan.
Sebenarnya cawan bukan sesuatu yang aneh, di atas lantai penuh berserakan cawan
yang utuh maupun cawan yang telah hancur lebur.
Tapi cawan yang ini sangat berbeda, cawan ini menancap di atas tiang penyangga
bangunan. Hampir seluruh permukaan cawan terbenam di tiang itu, yang tersisa di luar hanya
dasar cawan, itupun hanya sebagian kecil yang terlihat.
Sebetulnya cawan itu sangat biasa, tak ada keistimewaan apa pun karena terbuat
dari porselen putih dan merupakan cawan arak yang bisa digunakan kebanyakan
orang. Kalau dibilang benda itu mempunyai keistimewaan, maka hal ini dikarenakan di
sisi cawan terlihat ada beberapa helai rambut yang terpapas serta selembar kecil
kain putih, kain dengan bercak darah.
Sekarang Un Ji jadi paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata orang yang merobohkan tubuhnya dan melindunginya di atas lantai tak
lain adalah Pek Jau-hui, lelaki acuh tak acuh itu.
Sementara orang yang menerobos naik ke atap rumah untuk mengejar musuh adalah
Ong Siau-sik, si anak muda yang nampak sedikit bloon itu.
"Mana orangnya?" ia segera menegur sembari membenahi rambutnya yang kusut.
"Sudah pergi," sahut Ong Siau-sik sembari mengawasi cawan itu tanpa berkedip.
"Siapa sih orang itu?" tanya Pek Jau-hui pula. "Kurang jelas, aku hanya melihat
bayangan orang berkelebat kemudian lenyap, rasanya dia agak jangkung, agak
kurus, tapi tidak terlampau jelas."
Kali ini giliran Pek Jau-hui yang melengak, dia tahu ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Ong Siau-sik cukup tangguh, tapi nyatanya ia gagal mengejar orang itu,
hal ini membuktikan kepandaian silat lawan memang luar biasa.
Sementara itu Un Ji sedang mengawasi wajah Pek Jau-hui dengan matanya yang
tajam, ia lihat pemuda itu memiliki hidung mancung dengan kelopak mata agak
cembung tulang matanya tinggi menonjol, saat itu dia sedang berdiri dengan sikap
tak acuhnya. Tak tahan si nona ini jadi mencak-mencak lantaran mendongkol, tapi sekarang dia
sadar ada orang telah membokong mereka.
Rambut yang terpapas kutung jelas merupakan rambut miliknya, robekan kain putih
ternyata berasal dari ikat kepala Pek Jau-hui, sedang bercak darah berasal dari
alis mata sebelah kiri Ong Siau-sik.
Sungguh hebat kepandaian silat yang dimiliki si pembokong, ternyata ia mampu
menggunakan sebuah cawan arak, dari sudut yang tak terduga sekaligus mengancam
nyawa ketiga jago itu. "Serangan cawan yang hebat!" gumam Pek Jau-hui tanpa terasa.
Ong Siau-sik memeriksa sekejap dasar cawan yang nampak menongol keluar, lalu
katanya pula, "Orang ini sangat mahir menggunakan cawan sebagai senjata rahasia, aku jadi
ingin tahu apakah dia hebat juga menggunakan tombak?"
Begitu mendengar perkataan itu, Pek Jau-hui nampak terkesiap, serunya tanpa
sadar, "Jangan-jangan perbuatan dia?"
"Siapa?" "Seseorang!" Baru saja Ong Siau-sik dan Un Ji ingin bertanya siapakah orang itu, mendadak
terdengar Pek Jau-hui berbisik lagi, "Sstt, jangan berisik, ada orang datang."
"Benar, malah lebih dari satu," sambung Ong Siau-sik.
ooOOoo 7. Manusia dalam impian Dengan kening berkerut, Un Ji siap melolos goloknya. "Jangan mencabut senjata,"
buru-buru Pek Jau-hui mencegah, "kali ini yang datang adalah para opas dari
pengadilan." "Mau menangkap kita?" tanya si nona tertegun. Kontan Pek Jau-hui
tertawa geli. "Memangnya kau sudah melakukan pidana?" ejeknya.
"Kalau begitu mereka datang untuk menangkap kalian?" sekali lagi Un Ji tertegun.
"Aku rasa kehadiran mereka hanya merupakan sebagian dari strategi yang diatur
Tio Thiat-leng," kata Ong Siau-sik menjelaskan, "kini para opas sudah berdatangan, kita tak perlu
berdiam terlalu lama di tempat ini."
"Betul, lebih baik segera angkat kaki," Pek Jau-hui membenarkan.
Terdengar suara gonggongan anjing, derap kaki kuda dan bentakan manusia
berkumandang semakin dekat, kali ini Un Ji pun dapat menangkap suara berisik itu
dengan jelas. Pek Jau-hui segera berseru sambil tertawa, "Kalau tidak angkat kaki sekarang,
mau menunggu sampai kapan lagi?"
Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap, Ong Siau-sik segera menerobos
keluar lewat lubang di wuwungan rumah, Un Ji lewat jendela, sementara Pek Jau-
hui melesat lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia sempat menyentilkan jari
tangannya ke arah dasar cawan yang menancap di tiang kayu.
Begitu kena sentilan, cawan arak itu segera hancur, hancur jadi dua bagian.
Kedua pecahan cawan tadi segera melesat ke samping, satu menghantam tubuh Li Tan
sedang yang lain menghajar tubuh Li Ciau-hong, sungguh tepat gerak serangan itu.
Saat itu sebenarnya Ong Siau-sik sudah melayang naik ke atap rumah, begitu
mendengar desingan angin tajam, badannya segera meluncur kembali ke bawah,
langsung menuju ke arah dua bersaudara Li tergeletak, dengan kepala di bawah
kaki di atas dia menyambar ke samping, mengambil segenggam hancuran genting.
"Sreeet!", terdengar suara desingan tajam menggelegar membelah bumi, belum lagi
serangan Ong Siau-sik tiba, tahu-tahu pecahan cawan itu sudah menyambar lewat,
langsung menancap di atas kening Li Tan.
Tak ampun lagi diiringi suara dengusan tertahan Li Tan tewas seketika.
Menyaksikan kejadian ini, Ong Siau-sik tak kuasa menahan rasa gusarnya,
bentaknya penuh amarah, "Kenapa kau harus mencabut rumput hingga seakar-
akarnya?" "Perasaanmu kelewat lembek," sahut Pek Jau-hui santai.
"Masalah ini bukan perasaan lembek atau tidak, tapi apa perlunya" Kenapa kau
ngotot ingin membunuhnya?"
"Jika kita melepaskan siapa pun di antara mereka, suatu ketika bila kejadian ini
sampai tersiar, sudah pasti Lui Sun maupun So Bong-seng tak akan melepaskan
mereka, bayangkan sendiri, apa untungnya perasaan lembekmu itu?"
Ong Siau-sik tidak membantah, namun dia nampak uring-uringan.
Sementara itu Un Ji yang sudah berada di luar tiba-tiba menegur, "He, apa yang
sedang kalian lakukan di situ" Cepat keluar!"
Tampaknya Pek Jau-hui tak ingin bentrok dengan Ong Siau-sik gara-gara persoalan
ini, katanya kemudian, "Ayo, cepat kita menyusul keluar, kalau perempuan itu
berkoar-koar di luar sana, bisa jadi seluruh opas dalam kota akan menyusul
kemari." Ong Siau-sik memandang sekejap Li Ciau-hong yanj masih menggeletak di lantai,
saat itu perempuan siluman itu sedang mendongakkan kepalanya dengan susah payah,
pancaran sinar dendam yang kuat terlintas dari balik matanya.
"Ya, sudahlah," ujar Pek Jau-hui kemudian, "akan kuampuni perempuan ini, semoga
saja dia tidak menyia-nyiakan harapanmu yang telah menyelamatkan jiwanya."
Selesai berkata, ia beranjak pergi dari situ.
Sekali lagi Ong Siau-sik mengawasi Li Ciau-hong yang tergeletak di lantai,
kemudian memandang pula mayat yang bergelimpangan dalam ruangan, tak kuasa dia
menghela napas panjang. Dalam pada itu suara derap kaki kuda dan teriakan manusia sudah makin mendekat,
Ong Siau-sik segera menendang tubuh Li Ciau-hong untuk membebaskan totokan jalan
darahnya, sebelum meninggalkan tempat itu pesannya, "Semoga kau tidak melakukan
kejahatan lagi." ooOoo Di bawah cahaya rembulan tampak tiga sosok bayangan manusia melesat dengan
kecepatan tinggi. Bayangan berbaju putih adalah Ong Siau-sik, dia memang selalu berdandan
sederhana, baju panjangnya berwarna cerah bagai sinar rembulan, lembut bagai
warna rembulan. Bayangan yang berbaju sutera adalah Pek Jau-hui, dia mengenakan stelan baju
terbuat dari bahan sutera yang mahal harganya, anggun, mewah dan terhormat.
Sementara bayangan yang memakai baju merah adalah Un
Ji, baju ketat warna merahnya dengan renda berbentuk kupu-kupu emas, sulaman
bunga mawar di sisi bahu membuat gadis ini nampak cantik bak bidadari dari
kahyangan. Tak kuasa Ong Siau-sik melirik sekejap ke arah gadis itu.
Pek Jau-hui turut mengerling sekejap, namun sekulum senyuman angkuh segera
tersungging di ujung bibirnya.
Un Ji tahu, kedua orang anak muda itu sedang mencuri pandang ke arahnya.
Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya jauh lebih rendah ketimbang kedua
orang itu, namun dia yakin memiliki kemampuan yang cukup sempurna dalam
menganalisa 'adakah seseorang yang sedang mencuri pandang ke arahnya'.
Dalam persoalan ini, kaum pria memang selalu lebih bodoh ketimbang kaum wanita.
Un Ji luar biasa gembiranya, dengan senyum di kulum dia sengaja hanya memandang
jalanan di kejauhan sana, kepalanya didongakkan, alis matanya bekernyit dan
sebisa mungkin dia berusaha menjaga gerak-geriknya agar selalu tampil anggun.
Perasaan bangga menyelimuti hatinya, dia senang karena kedua orang anak muda itu
mulai menaruh perhatian kepada?nya.
Baru keluar dari rumah penginapan, mereka telah menginjak sesosok mayat yang
tergeletak di sisi pepohonan, orang itu tak lain adalah salah satu mata-mata
yang dikirim perkumpulan Lak-hunpoan-tong untuk mengawasi Tio Thiat-leng.
Menyusul teriakan kaget gadis itu, suara bentakan dan de?singan angin tajam
bergema dari seluruh penjuru ruangan, untung Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik
bertindak cepat, coba kalau bukan ditarik kedua orang pemuda itu, mungkin dia
sudah dikepung pasukan kerajaan.
"Hei, apa yang kalian takuti?" protes Un Ji tak senang hati,
"aku toh tidak membunuh, juga tidak membakar, kenapa aku mesti takut?"
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tidak menggubris, mereka tetap menyeret gadis itu
menjauh dari tempat itu.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menanti kejaran pasukan kerajaan tertinggal jauh, ketiga orang itu baru
memperlambat larinya. Saat itulah Un Ji baru membenahi rambutnya yang kusut, dia tahu, gayanya saat
ini pasti lembut dan menarik hati.
"Eh, bukankah bunga yang kau sisipkan di sanggulmu adalah bunga melati?" tiba-
tiba Pek Jau-hui bertanya.
Un Ji memegang sisi sanggulnya sambil membetulkan letak bunga melati itu, lalu
tanyanya sambil mengerling ke arah pemuda itu sekejap,
"Benar, ada apa?"
Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, serunya kemudian, "Nah, apa kubilang,
ternyata memang bunga melati."
"Bunga melati?" Ong Siau-sik seperti tak mengerti.
"Tempo hari Gwe-sian dan Loan-si juga menyisipkan bunga itu disanggulnya," kata
Pek Jau-hui sambil tertawa, "ketika aku tanya mereka, gadis-gadis itu enggan
memberitahu, sekarang aku baru mengerti, ternyata bunga itu bernama melati."
"Gwe Sian" Loan Si?" Ong Siau-sik semakin tak habis me?ngerti.
"Masa kau tidak tahu?" kembali Pek Jau-hui berseru, "semua pelacur penghuni Ing-
cun-sian maupun Hong-hiang-kek di sepanjang sungai Chin-hway hampir semuanya
menyisipkan bunga semacam itu di sanggulnya, tak kusangka
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Un Ji dengan wajah cemberut sudah kabur
duluan meninggalkan mereka berdua.
Melihat itu Pek Jau-hui mengerdipkan matanya ke arah Ong Siau-sik, kemudian
tertawa tergelak. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng.
"Sekarang kau hendak berangkat kemana?" tanya Pek Jau-hui kemudian. "Kotaraja"
"Mau apa ke sana?" "Mengadu untung."
"Kau punya sahabat atau sanak saudara di sana?" "Tidak."
"Lantas mau apa kau ke kotaraja?" tegur Pek Jau-hui sambil tertawa,
"ingin kaya mendadak" Ingin ternama?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu bahwa aku belajar ilmu untuk berbakti kepada
negara, ambisi dan cita-citaku harus diwujudkan mumpung aku masih muda, aku tak
ingin menyia-nyiakan hidupku,"
kemudian setelah berpikir sejenak, tambahnya, "Tapi seandainya cita-citaku tak
terwujud, ya sudah, apa boleh buat."
"Tahukah kau, begitu banyak manusia macam kau hidup di dunia ini" Tapi akhirnya
mereka hanya menanggung rasa kecewa, karena keinginannya sulit terwujud."
Ong Siau-sik tidak langsung menanggapi perkataan itu, dia berpikir sejenak
kemudian baru sahutnya, "Paling tidak, aku toh harus mencobanya dulu."
"Bagus sekali!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Ong Siau-sik balik bertanya.
"Aku" Kenapa dengan aku?"
"Aku lihat kungfumu hebat, kemampuanmu luar biasa, hendak kemana kau" Apa yang
akan kau lakukan?" "Sebetulnya aku sejalan dengan kau," di balik keletihan ter?lintas sikap angkuh
dan kesendirian di wajah Pek Jau-hui, "aku pun hendak ke kotaraja, mencoba
mengadu untung pula. Oleh karena aku tak ingin mencari sesuap nasi dengan
bekerja dalam lingkungan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka kuterima
order sesaat yang bisa menghasilkan duit, dengan bekal itu aku hendak ke
kotaraja, mencoba apakah aku bisa menancapkan kaki di situ."
"Kalau begitu kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama," seru Ong Siau-sik
kegirangan, "dengan begitu kita tak usah kesepian sepanjang jalan."
"Kesepian sih tak mungkin, kau tak kuatir aku segera angkat kaki menyingkir
begitu melihat kau tertimpa kesulitan?"
"Ooh, masa iya?" Ong Siau-sik menanggapi dengan serius.
"Hahaha, sayang aku bernama Pek Jau-hui, kabur di kala orang sedang murung, coba
aku bernama Pek Oh-hui, aku tentu akan kabur di saat kau sedang kelaparan," Pek
Jau-hui tertawa terbahak-bahak.
Kini Ong Siau-sik baru tahu kalau rekannya tidak bicara serius, serunya cepat,
"Mau kabur pada saat seperti apa pun aku tak bakal menyalahkan dirimu, aku hanya
berharap kau jangan membohongi aku, seperti yang kau lakukan tadi, katanya tak
akan membunuh, tapi kenyataan ...
kau "Sudahlah, yang sudah lewat tak usah disinggung lagi," potong Pek Jau-hui sambil
tertawa. "Saudara Pek," tiba-tiba Ong Siau-sik berseru setelah mengawasi wajahnya
sekejap, "ternyata sewaktu tertawa, kau tidak nampak angkuh atau jumawa, malah
kelihatannya amat ramah."
Pek Jau-hui tidak menyangka kalau Ong Siau-sik akan mengucapkan perkataan
semacam itu, setelah melengak sekejap sahutnya, "Kalau tiap saat kita mesti
senyum tak senyum, bagaimana orang mau menghormati kita?"
Tiba-tiba terasa segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu Un Ji bagaikan
sekuntum bunga mawar sudah menerjang ke depan mereka, serunya sambil tertawa,
"Aneh, masakah dua orang lelaki senang bicara berbisik, persis banci saja."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Coba tebak, nonamu mau pergi
kemana" Kalau bisa menebak secara jitu, aku akan mentraktir kalian makan gula-
gula." Kemudian seraya berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya pula, "Kau duluan."
"Aku rasa kau akan ke Mongolia," sahut pemuda itu terpaksa.
"Dan kau?" tanya Un Ji sambil berpaling pada Pek Jau-hui. Dengan wajah serius
Pek Jau-hui berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Kau akan menuju pesanggrahan
Ing-cun-sian di tepi sungai Chin-hway."
Saat itu mereka bertiga memang sudah tiba di tepi sungai, sudah barang tentu
sungai itu bukan sungai Chin-hway me?lainkan sungai Han-swe dengan arusnya yang
deras. Dengan menumpang sebuah sampan, mereka melanjutkan perjalanan, untuk tiba di
kotaraja paling tidak masih membutuhkan waktu sepuluh hari hingga setengah bulan
lamanya. Begitulah mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan bersama-sama, tengah
hari itu tibalah mereka di dermaga penyeberangan Lam-tok-tau.
Karena sepanjang perjalanan mereka berbincang dan bergurau, hubungan mereka
bertiga pun bertambah akrab, saat itulah Ong Siau-sik dan Un Ji dapat merasakan
bahwa Pek Jau-hui ternyata bukan orang jumawa yang segan bergaul, meski cara
kerjanya tegas, telengas dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan, bahkan terkadang tak kenal sanak keluarga sendiri, sesungguhnya dia
adalah seorang pemuda yang berhati mulia.
Sebaliknya Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun merasa bahwa Un Ji meski kekanak-
kanakan dan lincah, sesungguhnya dia berhati mulia, cuma rasa ingin tahunya
kelewat besar dan agak keras kepala.
Sementara Un Ji dan Pek Jau-hui menganggap Ong Siau-sik kelewat jujur, polos,
namun terkadang serius dan tak main-main.
Di samping mereka bertiga dapat memahami satu sisi dari rekannya, namun ada sisi
lain yang mereka anggap sulit untuk diraba, seakan meraba sisi punggung
rembulan, sulit untuk diketahui rahasia apa di balik semua itu. Adakah sisi baik
dari semua itu" Atau justru sisi buruk yang masih tersembunyi" Terkadang dalam
kehidupan manusia di dunia ini, ada sekelompok manusia berkumpul dan berteman
lantaran mereka memiliki kegemaran yang sama, terkadang berkumpul karena
kebutuhan yang sama atau didesak oleh keadaan, sifat asli mereka baru akan
terlihat bila sedang menghadapi suatu masalah, suatu keadaan yang berbahaya,
kerap kali sifat asli yang mereka tampilkan bisa membuat orang terkejut, membuat
orang terpana bahkan melongo.
ooOOoo Tiba di dermaga, mereka bertiga menyewa sebuah perahu dan bersiap melanjutkan
perjalanan keesokan harinya.
Ujar Pek Jau-hui, "Lebih baik kita menempuh perjalanan air saja, lebih nyaman
dan santai, toh kita tidak sedang terburu-buru, kalau ada angin, mungkin kita
akan tiba di tempat tujuan lebih cepat, kalau sedang tak ada angin, anggap saja
waktu yang lebih lama merupakan saat kita bersantai."
"Aku tak setuju," protes Un Ji.
"Kalau begitu kau boleh menempuh perjalanan darat sementara kami lewat jalan
air." Un Ji kontan melotot, sambil menghentakkan tangan ia ber?teriak, "Pek Jau-hui,
apa maksudmu?" "Apakah nona takut kurang leluasa berada di atas ranjang?" tanya Ong Siau-sik
cepat. Sebenarnya ia bermaksud mengurai ketegangan di antara Un Ji dan Pek Jau-hui,
siapa tahu saking cemasnya dia telah salah menyebut Juan (perahu) menjadi Juang
(ranjang), aneh kalau perkataan ini tidak menimbulkan.bencana.
Benar saja, Un Ji kontan mencak-mencak gusar, sambil menuding ke arah pemuda itu
teriaknya penuh amarah, "Kalian memang cuma pintar bicara kotor, jangan keburu
senang hati, suatu saat nonamu pasti akan membuat perhitungan!"
Sepanjang perjalanan dia memang sudah terbiasa digoda Pek Jau-hui, maka ketika
Ong Siau-sik ingin mengucapkan kata yang bernada menggoda, dia kira anak muda
inipun telah bersekongkol untuk mempermainkan dirinya.
Ong Siau-sik semakin tergagap, serunya lagi terbata-bata, "Nona Un, aku ...
aku ... tidak ...........
tidak bermaksud begitu, maksudku ............ aku ......... aku ingin bersamamu
naik ... naik ranjang Lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar, naik 'perahu'
disebutnya naik 'ranjang', kegugupan pemuda ini semakin membuat Un Ji naik
darah, dia mengira pemuda ini sedang melakukan pelecehan terhadapnya, tanpa
pikir panjang, telapak tangannya langsung diayunkan ke muka dan
............. "Plaaak!", dia tampar wajah Ong Siau-sik dengan keras. Bicara kepandaian silat
yang dimiliki Ong Siau-sik., sebenarnya dia mempunyai kekuatan yang lebih untuk
menghindar, tak ada alasan bagi anak muda itu untuk tak mampu menghindarkan
diri. Tapi kenyataan, Ong Siau-sik sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari
tamparan itu. Begitu pipinya terasa panas lantaran kena tamparan, untuk beberapa saat pemuda
itu hanya berdiri tertegun tanpa mengerti harus berbuat apa.
Pek Jau-hui sama sekali tidak melerai, dia hanya tertawa terbahak-bahak
menyaksikan kejadian itu.
Sementara itu Un Ji sambil bercekak pinggang mengomel lagi, "Hmm, kalian berdua
memang bukan orang baik, beraninya hanya mempermainkan aku!"
Selesai bicara ia segera melompat ke daratan dan beranjak pergi dari situ.
Ong Siau-sik ingin melompat ke daratan untuk menyusul gadis itu, tapi segera
dicegah Pek Jau-hui, ujarnya, "Kau tak usah terburu-buru, asal tidak menjumpai
sesuatu yang menarik, dia pasti akan balik sendiri kemari."
"Tapi dia ....... dia masih menaruh salah paham padaku," kata Ong Siau-sik
sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas, "kalau tidak kuberi penjelasan,
dia tentu akan menganggap aku sedang melakukan pelecehan, sengaja bicara kotor
"Mau dibantah dengan cara apa pun toh percuma, perkataan sudah telanjur
diucapkan," kata Pek Jau-hui tertawa, "apalagi dia memang cantik, masih muda dan
menawan hati, bila tak ingin naik ranjang bersamanya, kau pasti bukan seorang
lelaki." "Tapi....... tapi....... aku sama sekali tak punya pikiran begitu!"
"Kalau hanya bicara, rasanya bukan kejadian yang luar biasa, bukankah dia pun
sudah marah" Kenapa" Memangnya perkataanmu sudah merugikan dirinya" Apalagi dia
toh sudah turun tangan menamparmu, apa dianggapnya kurang puas" Tak usah kuatir,
menjelang rnalam dia pasti sudah balik lagi kemari!"
"Semoga dia memang tidak pergi meninggalkan kita," gumam Ong Siau-sik sambil
mengawasi tengah sungai dengan perasaan gundah.
Pek Jau-hui yang mengamati gerak-gerik pemuda itu segera menyadari akan sesuatu,
serunya kemudian, "Jangan kuatir, tak bakalan pergi
Mendadak ia berhenti berbicara, dengan sikunya dia menyodok pinggang rekannya
itu. Ong Siau-sik agak tertegun, belum sempat bertanya sesuatu, Pek Jau-hui kembali
berbisik dengan nada serius, "Coba kau lihat!"
Mengikuti arah yang ditunjuk Ong Siau-sik, ia lihat ada se?rombongan perempuan
yang berdandan sebagai dayang, mengiringi seorang nona bergaun hijau sedang
menaiki sebuah perahu pesiar mewah di sisi kiri sungai.
Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap, tiba-tiba saja semua orang seakan
sudah lenyap dari pandangan.
Ia dapat melihat nona berbaju hijau itu berparas amat cantik, dengan perawakan
tubuh yang ramping dan gerak-gerik yang lembah gemulai, sungguh seorang gadis
yang menawan hati. Ong Siau-sik tak berani memandang lebih lama, ia merasa hatinya mendadak amat
sakit, buru-buru pandangannya dialihkan ke tempat lain, mengawasi keindahan alam
di kejauhan sana. Dalam pada itu para kelasi yang berada di atas perahu pesiar itu sudah mulai
mendayung perahunya bergerak menuju
ke mulut sungai. "Kau dapat menyaksikan sesuatu?" bisik Pek Jau-hui kemudian.
"Ya, sungguh tak disangka ternyata di dunia ini terdapat seorang gadis yang
begitu cantik, bila dibandingkan Un-lihiap, maka nona itu ... nona itu........"
Bicara sampai di sini ia segera bungkam, ia merasa tak pantas untuk melanjutkan
kata-katanya. "Haah, tak nyana kau pun pandai menilai," goda Pek Jau-hui cepat,
"setelahbertemu wanita cantik, lalu ..."
Ia tidak melanjutkan godaannya, karena dengan wajah serius kembali bisiknya, "Aku rasa perahu
itu sedikit kurang beres"
"Mana yang tak beres?" tanya Ong Siau-sik terperanjat, di samping menguatirkan
keselamatan gadis cantik itu, dia pun sedikit kurang percaya dengan omongan Pek
Jau-hui, dianggapnya rekannya itu sengaja mengada-ada.
Pek Jau-hui tak menggubris keraguan rekannya, dengan sorot mata yang tajam dia
masih mengawasi perahu pesiar yang semakin menjauh itu.
"Orang yang sudah terbiasa mendayung perahu, biasanya galah mereka tak akan
menimbulkan percikan air, sang juru mudi biasanya sangat mengenal sifat arus dan
pandai mengendalikan posisi. Tapi kau lihat beberapa orang kelasi yang memegang
kemudi perahu tadi, pertama, mereka bermata tajam, berotot kekar dan punya kuda-
kuda yang mantap, siapa pun tahu kalau mereka sekawanan jago yang berilmu silat
tinggi. Kedua, kawanan manusia itu tak mengerti mengemudikan perahu, dayungan
mereka menimbulkan percikan air, siapa pun tahu kalau mereka masih sangat awam
dalam mengemudikan perahu. Ketiga, kulit tubuh mereka kelewat putih dan mulus,
padahal biasanya kelasi berkulit gelap karena tiap hari berjemur di bawah
teriknya matahari. Selain itu, sebelum naik ke perahu mereka saling bertukar
pandang sekejap, bahkan membawa perahu itu menuju ke tempat yang sepi, jelas
mereka mempunyai rencana busuk."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku yakin, malam nanti perahu itu akan
tertimpa bencana." Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Ong Siau-sik terbayang kembali wajah si
nona yang cantik jelita itu, tanyanya tiba-tiba,
"Bagaimana kalau kita memberi peringatan ..........."
"Jangan!" cegah Pek Jau-hui, sorot mata yang buas bagaikan sorot mata serigala
yang sedang mengintai mangsanya terlintas dari balik matanya.
8. Perempuan cantik di tengah sungai
Riak air di permukaan sungai Han-swe nampak tenang bagaikan cermin, sedemikian
tenangnya hingga memantulkan bayangan perahu, gunung, lentera dan pepohonan di
atas permukaan sungai. Yang tak nampak justru hanya bayangan manusia.
Sebagian besar penghuni perahu itu sudah terlelap tidur.
Hanya ada dua tiga buah lentera yang tergantung di atas tiang, memancarkan
cahayanya yang redup. Suasana di sepanjang tepi sungai hening dan amat sepi, hingga saat itu Un Ji
belum juga balik kembali ke atas perahu.
Di kejauhan sana terlihat ada orang sedang tidur, dengkurnya tenang penuh damai.
Di ujung jembatan ada orang sedang meniup seruling, menemani rembulan, bercermin
permukaan air. Un Ji wahai Un Ji, kemanakah kau pergi"
Ong Siau-sik mulai cemas, mulai menguatirkan keselamatan gadis itu.
"Kita jangan sembarangan bergerak," Pek Jau-hui telah berpesan begitu kepadanya
senja tadi, "aku yakin mereka yang ada dalam perahu itu mempunyai asal-usul yang luar biasa,
jelas bukan jago sembarangan, aku percaya menjelang tengah malam nanti kawanan
jago yang menyaru sebagai kelasi itu akan turun tangan. Kita baru turun tangan
setelah tahu keadaan yang sebenarnya."
Pek Jau-hui memang lebih cenderung bertahan sambil menunggu datangnya
kesempatan. Malam itu Ong Siau-sik tidak bisa tidur nyenyak, dia hanya membolak-balikkan
badan namun mata tak mau terpejam, entah karena sedang memikirkan sesuatu atau
karena sedang meningkatkan kewaspadaan.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu berlalu amat lambat...............
Beberapa saat sudah lewat, dari kejauhan terdengar suara kentongan pertama telah
tiba. Pada saat itulah dia merasa perahu yang ditumpanginya sedikit berguncang.
Ong Siau-sik tahu perahu mereka telah kedatangan seorang jago tangguh, buru-buru
dia melompat bangun dari tidurnya dan duduk.
Sesosok bayangan manusia melintas dari depan jendela perahu.
Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik membuka jendela sambil melompat keluar,
dengan sekali gerakan dia mencengkeram tengkuk orang itu sementara tangan yang
lain meng?hantam belakang kepalanya.
Orang itu berseru tertahan, baru saja akan meronta, Ong Siau-sik telah
mencengkeramnya kuat-kuat.
Anak muda itu segera merasa tangannya seakan sedang menyentuh sebuah tubuh yang
halus, lembut dan empuk, lamat-lamat terendus bau harum tubuh seorang perawan,
apalagi ketika lengannya tanpa sengaja menyentuh dada orang itu, ia menjadi
kaget setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan genggamannya.
"Lepas tangan," terdengar orang itu menghardik, "kau memang orang jahat, cepat
lepas tangan!" Ong Siau-sik amat terperanjat, lekas dia lepaskan genggamannya.
"Kenapa bisa kau?" tegurnya.
Gadis itu membalikkan badannya, rambutnya yang semula menempel di wajah pemuda
itu segera menyiarkan bau harum semerbak, tampak dengan wajah girang bercampur
mendongkol sedang memelototi dirinya.
Siapa lagi dia kalau Un Ji, gadis yang dipikirkan selama ini"
Ong Siau-sik girang setengah mati, sebaliknya Un Ji kelihatan hampir menangis
saking jengkelnya, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menghadiahkan sebuah
tempelengan. Kali ini Ong Siau-sik masih tetap tidak menghindar, untuk kedua kalinya dia
harus menerima tempelengan gadis itu.
Melihat tampang bloon yang ditunjukkan anak muda itu, tak tahan Un Ji tertawa
cekikikan. Senyum gadis itu membuat Ong Siau-sik semakin kesem-sem, dia hanya bisa
mengawasi nona itu dengari mata terbelalak dan mulut melongo.
Agaknya Un Ji mulai menyadari kalau dia sedang dipandang pemuda itu lekat-lekat,
pipinya kontan merah jengah, untung waktu itu cahaya rembulan tidak terlalu
cerah sehingga tidak kelihatan warna merah di pipinya.
Pada saat itulah mendadak dari kejauhan sana terdengar suara deburan air yang
tersentuh benda berat, menyusul kemudian berkumandang suara jeritan ngeri yang
memilukan hati. Tindakan pertama yang dilakukan Ong Siau-sik saat itu adalah mencari Pek Jau-
hui. Ternyata Pek Jau-hui tidak berada di atas perahu.
"Celaka!" pekiknya tanpa terasa.
"Ada apa?" tanya Un Ji keheranan.
Sementara itu suara pertarungan yang amat seru sudah mulai berkumandang dari
atas perahu pesiar yang mewah itu.
"Aku tak sempat memberi penjelasan, lebih baik menyeberang dulu ke sana!" seru
Ong Siau-sik cepat. Baik dia maupun Un Ji sama-sama tak pandai berenang, terpaksa dari sampan mereka
melompat naik ke daratan, lalu dari tanggul sepanjang pantai melompat naik ke
atas perahu pesiar itu. Baru saja mendekati sasaran, mendadak terlihat sesosok bayangan orang terlempar
keluar dari atas perahu dan tercebur ke dalam sungai, begitu tenggelam, orang
itu tak pernah muncul kembali.
Ong Siau-sik segera mengajak Un Ji menyelinap ke atas perahu, tapi lagi-lagi
sesosok bayangan orang terlempar keluar dan tercebur ke dalam sungai, kali ini
orang itu tampak berusaha meronta di dalam air, namun tak selang beberapa saat
kemudian dia pun berhenti bergerak.
Sewaktu Ong Siau-sik dan Un Ji menerjang masuk ke dalam ruang perahu, kembali
sesosok tubuh terlempar keluar, kali ini Ong,Siau-sik menyambutnya dengan tepat.
Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi perahu, hanya
alis matanya sudah berubah menjadi hitam keungu-unguan, darah memancar keluar
dari panca indranya, orang itu sudah tewas.
Un Ji menyelinap masuk dengan gerakan cepat, kebetulan seseorang sedang
menerobos keluar, nyaris mereka saling ber?benturan.
Lekas gadis itu melolos goloknya, tapi orang itu segera menahan gagang goloknya
sehingga tak mampu dicabut keluar.
Tangan Un Ji masih menggenggam gagang golok, tapi orang itu segera mencengkeram
tangannya sebelum ia sempat melakukan suatu tindakan.
Dengan cepat Un Ji dapat merasakan bau pria yang kuat menusuk hidungnya, bau
kelakian yang sudah tidak asing lagi baginya.
Terdengar orang itu berbisik dengan suara dalam, "Kau jangan melolos golok, kini
hawa napsu membunuhku sedang bangkit, aku kuatir tak sanggup menahan diri."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dalam tangannya yang lain terlihat
mencengkeram seseorang, dan kini dia mengayunkan tangannya, melemparkan tubuh
orang yang dibekuknya itu hingga mencelat sejauh tiga tombak.
Di bawah cahaya rembulan, terlihat jelas kalau orang itu adalah seorang lelaki
yang berdandan sebagai kelasi kapal.
Tak ampun tubuh orang itu tercebur ke dalam sungai dan segera lenyap terseret
arus sungai. Saat itulah Ong Siau-sik tiba di dalam ruang perahu, ketika melihat di sisi U n
Ji berdiri seseorang, tanpa banyak bicara dia pun siap melancarkan serangan.
Anak muda ini tak habis mengerti, padahal dia tahu kalau musuh yang sedang
dihadapinya sangat tangguh, namun rasa ingin membunuhnya tahu-tahu sudah
mencekam perasaannya, terutama setiap kali menyaksikan gadis itu terancam.
Perasaan aneh ini belum pernah dialami sebelumnya, bahkan sejak terjun ke dalam
dunia persilatan. Belum sempat serangan dilontarkan, terdengar orang itu telah berseru, "Ooh,
rupanya kau pun sudah datang, bagus sekali."
Dengan cepat Ong Siau-sik dapat mengenali suara orang itu, suara rekannya. Pek
Jau-hui! Satu ingatan melintas dalam benaknya, selain gembira karena berhasil menjumpai
rekannya, dia pun merasakan timbulnya perasaan sedih, dia tak tahu mengapa bisa
muncul perasaan itu ............. Saat itulah cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruang perahu, seseorang
berjalan keluar sambil menggenggam sebuah lentera.
Sebuah lentera dengan penutup kaca yang indah.
Tapi yang indah bukan lentera kaca itu, melainkan tangan yang memegang lentera.
Jari jemari yang tersorot cahaya lentera, halus dan lembut bagai kuncup bunga
anggrek yang belum mekar, dengan tangan sebelah memegang lentera, tangan yang
lain melindungi api agar tidak padam, berjalan perlahan menyusuri suasana yang
redup. Sebuah tangan dengan jari jemari yang sangat indah, sedemikian indah hingga
susah untuk dilupakan. Ong Siau-sik dapat melihat dengan jelas, dia adalah seorang gadis yang amat
cantik, seorang gadis dengan rambut sebahu yang terurai, seorang gadis dengan
sepasang mata yang jeli dan bening bagaikan air di musim gugur.
Pakaian bagian bahunya dalam keadaan terbuka, namun tertutup oleh mantel sutera
milik Pek Jau-hui, menutupi baju tipisnya yang berwarna hijau muda.
Namun yang membuat orang terbuai adalah sepasang matanya yang jeli bagai cahaya
intan, bening bagaikan air jernih, seakan sebuah telaga yang dalam tertutup awan
impian yang sedang mengalir.
Ong Siau-sik hanya memandangnya sekejap, namun ia merasa dirinya seakan sedang
bermimpi, bertemu dengan orang dalam impian. Namun ketika terbangun dari mimpi,
ia baru sadar bahwa dirinya bukan sedang bermimpi, di hadapannya benar-benar
terdapat seorang gadis yang begitu cantik dan menawan.
Un Ji ikut terbelalak begitu bertemu dengan gadis ini, dia pun dapat merasakan
betapa cantik dan lembutnya gadis itu, selembut namanya.
Dulu, ketika masih kecil, dia pernah bermimpi menjadi gadis yang halus dan
lembut, setelah menanjak dewasa, menjadi gadis lemah gemulai yang dicinta dan
disayang banyak orang. Tapi kenyataan, setelah tumbuh dewasa, dia lebih suka berkelana, lebih suka
bergaya seorang pendekar gagah, dia merasa dirinya saat ini jauh berbeda dengan
yang dicita-citakan dulu.
Untuk sesaat dia terbayang kembali pada lamunannya di saat kecil dulu, hanya
sejenak, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku adalah aku, dia adalah dia, kenapa
aku mesti menyesali keputusan yang telah kuambil?"
Un Ji menganggap setelah berjumpa dengan gadis ini, dia merasa dirinya ibarat
siang hari, sementara gadis itu ibarat malam hari....
Hampir pada saat bersamaan Un Ji dan Ong Siau-sik berseru, "Kau
adalah .......... Kemudian mereka pun mengalihkan pandangannya ke arah Pek Jau-hui.
Buru-buru Pek Jau-hui mengangkat bahu seraya menggeleng, "Aku sendiri pun tidak
tahu." Kemudian sambil menuding seorang kelasi bergolok yang sudah tertotok jalan
darahnya, ia menambahkan, "Coba tanyakan saja kepada orang ini, siapa tahu dia
bisa bercerita banyak."
Tampaknya saat itu Pek Jau-hui sudah mengendalikan seluruh keadaan.
Semula dia berada dalam perahu bersama Ong Siau-sik, tapi begitu mendengar ada
gerakan di perahu besar itu, dia pun seketika melakukan tindakan.
Tatkala tiba di atas perahu itu, tidak dijumpai sesuatu apa pun di situ.
Mula-mula Pek Jau-hui agak tercengang, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam
benaknya, dengan perasaan terkesiap pekiknya di dalam hati, "Aduh, celaka!"
Tidak ada gerakan dalam perahu itu bukan berarti tidak terjadi sesuatu di situ,
kawanan manusia yang sedang melaksanakan rencana busuk itu sudah menyusup ke
dalam perahu sejak tadi, bahkan mereka terhitung jago kawakan yang
berpengalaman, andai kata benar-benar berniat melakukan perbuatan jahat, niscaya
mereka akan berusaha tidak menimbulkan sedikit suara pun.
Sadar akan situasi yang gawat, tak sempat memanggil Ong Siau-sik lagi, Pek Jau-
hui segera melompat naik ke daratan lalu menyusup naik ke dalam perahu besar
itu. Baru saja menginjakkan kakinya di dalam ruang perahu, hidungnya segera mengendus
bau anyir darah yang amat tebal, perasaannya kontan tercekat.
Betul juga, ia saksikan ada beberapa orang pelayan yang terkapar bersimbah
darah, ternyata sebagian di antara mereka dibantai orang di saat masih dalam
alam mimpi. Diam-diam Pek Jau-hui menyesal karena kehadirannya sedikit terlambat, saat
itulah dia mendengar dari balik ruangan ada seorang gadis dengan suara yang
merdu sedang berkata, "Bukankah orang yang menjadi sasaran kalian adalah aku" Kenapa mesti membantai
mereka yang tak tahu urusan" Apakah kalian tidak malu kalau perbuatan itu akan
mencemari nama besar kalian?"
Terdengar seseorang dengan suara parau menjawab sambil tertawa, "Kami bukan
orang gagah, juga tak ingin berlagak macam orang gagah, meski Jit-he sudah
menurunkan perintah agar kami menghabisi nyawamu, tapi asal kau bersedia
menuruti kemauan Toaya, hehehe .......... bukan saja akan kau peroleh
kesenangan, bahkan bisa kubuat kau lolos dari kematian."
Terdengar gadis itu mendengus dingin, kemudian terdengar berpuluh kata ungkapan
jorok dan kotor dilontarkan ke arah gadis itu, di balik kata-kata cabul terselip
jeritan gugup dan panik dari kawanan gadis.
Pek Jau-hui mengintip dari balik jendela, ia lihat ada enam tujuh orang lelaki
kekar sedang mengerubuti tiga empat orang gadis muda, dengan wajah menyeringai
cabul mereka sedang mempermainkan gadis-gadis itu.
Seorang di antara gadis muda itu terlihat mengenakan jubah lebar terbuat dari
sutera tipis, sedemikian tipisnya hingga kelihatan pakaian dalamnya yang
berwarna merah, payudaranya setengah menonjol keluar, kulitnya nampak putih
mulus, penampilan si nona setengah bugil itu membuat kawanan lelaki itu
bertambah beringas, sorot mata mereka seakan tak pernah lepas dari tubuh nona
itu, mengawasinya terus tanpa berkedip.
Terdengar seorang lelaki di antaranya berkata sambil tertawa tergelak, "Sudah
sejak awal kami menguntit dan mengawasi terus gerak-gerik manusia she Tio dari
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kami pun dapat melihat kalau orang she Tio itu
menguntit terus di belakangmu, entah rencana busuk apa yang sedang dia
persiapkan, sungguh tak nyana, kejadian apa yang dia alami, mendadak dia kabur
terbirit-birit dari sini. Hahaha ........... jadinya, kamilah yang diuntungkan,
coba kalau dia tidak kabur, belum tentu malam ini kami mendapat giliran."
"Sekarang urusan menjadi gampang, karena kau bakal terjatuh ke tangan kami, tak
perlu membangkang, puaskan kami semua dan kau pun tak perlu mampus. Hmm, kalau
masih mengharap bantuan dari orang lain, hehehe .......... lebih baik padamkan
saja harapan itu, beberapa orang gentong nasi yang kau bawa sudah terkena obat
pembius kami, sekarang mereka sudah tertidur macam babi, tak perlu bersusah-
payah kami bisa mengirim mereka pulang ke langit barat."
Gadis itu segera tertawa dingin, ujarnya, "Hmmm, sungguh tak nyana Mi-thian-jit
yang nama besarnya sudah tersohor di seantero jagad, ternyata memiliki anak buah
dungu dan pandainya hanya melakukan tindakan tak terpuji."
"Wah, coba kalian lihat," seru seorang lelaki dengan suara aneh, "tajam benar
mulut bocah perempuan ini, berani amat dia mengejek dan mencemooh kita."
Seorang yang lain berseru pula dengan suaranya yang aneh, "Kami pun tahu kalau
di atas perahu ini kau membawa beberapa orang jagoan yang memiliki kungfu hebat,
kami pun tahu mereka punya sedikit nama di dunia persilatan, tapi sayangnya yang
kami adu bukan otot, tapi akal, kini kalian sudah menaiki kapal penyamun, maka
jangan salahkan bila kami kaum penyamun menikmati hasil jarahannya."
"Ci-lotoa," seorang penyamun yang lain menyela, "semakin kupandang gadis ini,
sekujur badanku terasa makin gatal, napsuku makin membara, bagaimana kalau'kau
serahkan dulu kepadaku, tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu."
"Aaah, kau ini menduduki urutan keberapa?" jengek rekannya yang lain, "sampai
tujuh keturunan pun belum tiba giliranmu untuk menikmati duluan. Ci-lotoa yang
akan menjadi pembuka untuk menikmati cewek itu, sedang yang lain tunggu giliran
sesuai dengan tingkatan."
"Mana boleh jadi," protes lelaki itu lagi, "coba kau lihat nona itu, dia begitu
lembut dan lemah, belum tiba giliranku mungkin dia sudah telanjur mampus duluan.
Tadi ketika melancarkan sergapan, aku yang bekerja duluan, apa salahnya kalau
sekarang aku pun mencicipinya paling dulu?"
Gelak tawa mengejek segera bergema gegap gempita. Kembali seseorang menjengek,
"Siapa suruh kau tidak jadi pemimpin kami?"
"Betul, siapa suruh posisimu paling buncit," sambung yang lain, "kalau masih
dapat giliran, anggap saja kau sangat beruntung karena menemukan mestika di
tengah jalan, kalau tak dapat giliran, anggap saja bukan keberuntunganmu!"
"Tidak, tidak," seseorang yang lain berseru pula, "aku lihat cewek ini makin
dipandang semakin menawan, aku lebih suka tidak menerima emas dan intan permata
ketimbang tak bisa menikmati kehangatan tubuh cewek ini."
"Begini saja," seorang lelaki mengusulkan, "daripada saling berebut, mendingan
kita undi, siapa yang mendapat nomor keberuntungan dialah yang boleh menikmati
perempuan itu lebih dulu.
Tergantung rezeki masing-masing, ini merupakan cara penyelesaian yang paling
adil." "Aku setuju. Seandainya tidak mendapat cewek itupun masih ada beberapa orang
dayang, mendingan dapat yang lain ketimbang tidur sendirian."
"Bagus, bagus sekali
"Aku tidak setuju," sela orang yang disebut Ci-lotoa itu cepat, "sekalipun tidak
menuruti urutan posisi, paling tidak harus diatur menurut urutan tua muda, aku
rasa siapa yang usianya paling tua, dia boleh mengambil undian terlebih dulu."
"Sudah, kita tak perlu ribut, mendingan kita minta nona ini yang memilih
sendiri, siapa yang terpilih maka dialah yang berhak menemaninya tidur,
bagaimana" Setuju bukan?"
"Setuju, setuju ..........."
Maka ada enam orang lelaki kekar yang maju mengerubuti gadis itu, sambil
mendekat mereka berteriak keras, "Nona, coba lihat aku tampan tidak?"
"Aku yang paling hebat, pilih aku saja nona manis!"
"Jangan pilih dia, orang itu tak punya hati nurani, pilih aku saja Biarpun
dikerubut banyak lelaki, gadis itu tidak nampak ketakutan, dengan matanya yang
jeli dia mengawasi sekejap wajah kawanan penyamun itu, kemudian ujarnya halus,
"Selama ini aku paling mengagumi orang gagah, tunjukkan dulu kemampuan kalian,
siapa yang berilmu paling tangguh, dialah seorang Enghiong."
Pek Jau-hui yang bersembunyi di luar ruangan diam-diam bersorak memuji, dia
tidak menyangka kalau gadis cantik itu masih bisa bersikap tenang, kendati sudah
terjerumus dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
"Baiklah, mau bertanding juga boleh," teriak Lo-sim cepat, "memangnya aku takut
mengadu kepandaian
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Ci-lotoa menghampiri lelaki itu dan menempelengnya sambil mengumpat,
"Kalian semua memang goblok, gentong nasi, masa kamu semua tidak sadar kalau
perempuan berhati keji ini sedang mengadu domba kita semua?"
"Kenapa?" kembali gadis itu mengejek, "mengadu domba" Aku hanya seorang wanita
lemah, sementara pengiringku kalau bukan sudah mati, sebagian sudah tak mampu
bergerak, memangnya kalian masih takut terhadapku" Karena kulihat semua gagah
dan hebat, maka aku menaruh hormat dan kagum atas keberanian kalian, ingin
kulihat sejauh mana kehebatan kungfu kalian, sejak kapan aku menyuruh kalian
saling membunuh" Tapi ... ya, sudahlah, kalau memang takut, tentu saja kalian
tak perlu bertanding, biarkan saja yang menjadi Lotoa mendapat keuntungan
terlebih dulu." Lelaki yang melontarkan usul tadi segera berseru, "Betul, siapa pun tak boleh
memperoleh keuntungan hanya karena kedudukan! Maknya sialan, siapa yang tak
berani bertanding, lebih baik menyingkir jauh-jauh, kita mesti tentukan menang
kalah dengan mengandalkan tinju masing-masing, jangan tunjukkan kelemahan kita
di hadapan seorang perempuan!"
Rekan-rekannya segera mendukung usul itu, maka suasana pun jadi gaduh, tampaknya
pertarungan segera akan dim lai.
Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu kembali berpikir, "Baguslah kalau
begitu, akan kusaksikan dulu dengan cara apa perempuan lemah ini membereskan
kawanan penyamun yang berotot namun tak berotak itu
Baru berpikir sampai di situ, mendadak dari sisi tubuhnya terdengar seorang
menghardik, "Siapa kau?"
Diam-diam Pek Jau-hui mengeluh, karena kelewat kesem-sem menyaksikan peristiwa
yang terjadi dalam ruang perahu, dia sampai lupa posisi sendiri yang sedang
mengintip, baginya kejadian semacam ini boleh dibilang baru terjadi untuk
pertama kalinya. Begitu orang itu menghardik dan belum sempat melakukan sesuatu tindakan, Pek
Jau-hui sudah menerjang ke hadapannya, sekali sambar ia cengkeram tulang
tenggorokan orang itu. "Kraaak!", sekali remas ia gencet tulang tenggorokan orang itu hingga hancur.
Dari dalam ruangan perahu bermunculan lima sosok bayangan, mereka saksikan ada
sesosok bayangan manusia terlempar ke udara dan tercebur ke tengah sungai.
Menghadapi datangnya kelima orang itu, Pek Jau-hui sama sekali tidak bersuara,
apalagi bicara, dengan gerak cepat ia menghampiri seorang di antaranya dan
langsung menyodok keningnya dengan satu tonjokan maut.
Jeritan ngeri yang menyayat hati seketika bergema memecah keheningan, suara
jeritan inilah yang didengar Ong Siau-sik dan Un Ji dari atas perahunya.
Menanti mereka berdua tiba di atas perahu besar, dari ketujuh orang penyamun
itu, ada lima orang di antaranya yang sudah tewas di tangan Pek Jau-hui dan
mayatnya dilempar ke dalam sungai, bahkan salah seorang di antaranya masih
dicengkeram pemuda itu. Sisanya yang seorang sebetulnya bertugas menjaga gadis itu dalam ruang perahu,
ketika terjadi pertarungan sengit di atas geladak, orang itu segera menjulurkan
kepalanya keluar jendela, niatnya ingin melihat keadaan di luar.
Begitu menyaksikan lelaki itu sedang menjulurkan kepala keluar jendela, si nona
cantik segera menyambar sebatang bambu kemudian dihantamkan ke atas kepala
lelaki itu. Tatkala sang penyamun menarik kembali kepalanya dengan gelagapan, mendadak gadis
cantik itu melolos sebilah golok tajam dari balik sakunya dan langsung
dihujamkan ke hulu hati penyamun itu.
Begitu berhasil menyarangkan goloknya, dengan wajah pucat-pias gadis itu mundur
beberapa langkah ke belakang.
Penyamun itu menjerit kesakitan, belum sempat mengucapkan sesuatu, nyawanya
sudah telanjur melayang meninggal?kan raganya, sungguh mengenaskan nasib orang
ini, dia harus mengakhiri nyawanya di tangan seorang gadis yang sama sekali tak
mengerti ilmu silat. Waktu itulah Pek Jau-hui sambil mencengkeram Ci-lotoa memburu masuk ke dalam,
sementara Ong Siau-sik dan Un Ji juga telah melompat naik ke atas perahu.
ooOOoo 9. Angin, rembulan, bayangan manusia
Kini suasana di atas perahu pesiar itu sudah pulih dalam ketenangan. Dari lima
orang dayang yang ikut dalam perjalanan ini, empat di antaranya berhasil lolos
dari maut, namun mereka sudah telanjur dibuat ketakutan setengah mati.
Dari delapan orang pengawal yang ikut di atas perahu itu, enam orang di
antaranya tewas karena terkena obat pembius dalam kadar yang banyak, sisanya dua
orang harus diguyur air dingin berulang kali sebelum akhirnya tersadar kembali.
Di antara mereka, hanya gadis cantik bak bidadari itu yang tetap bersikap
tenang, ia perintahkan para pembantunya untuk menolong rekannya, memasang
lentera dan membersihkan ru?angan, kemudian setelah berterima kasih kepada Pek
Jau-hui, ia masuk ke ruang dalam untuk bertukar pakaian.
Ketika muncul kembali, ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna kuning jeruk, ia
mempersilakan Pek Jau-hui bertiga mengambil tempat duduk, kemudian memerintahkan
orang untuk menyiapkan meja perjamuan.
Baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik, diam-diam amat mengagumi sikap tenang
gadis itu, mereka tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan, tidak semua
orang bisa bersikap begitu tenang dalam menghadapi kejadian seperti ini,
terkecuali ia berasal dari satu keluarga kenamaan.
Setelah menanyakan nama ketiga orang penolongnya, gadis itu baru berkata, "Malam
ini seandainya tidak ada kalian bertiga, entah bagaimana nasibku sekarang, budi
kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya."
Walaupun perkataan itu ditujukan pada ketiga orang, namun sewaktu berbicara dia
melirik terus ke arah Pek Jau-hui, membuat pemuda itu merasakan jantungnya
berdebar. Sambil tertawa Ong Siau-sik menjawab, "Sebetulnya budi ini bukan milik kami, aku
dan Un-lihiap hanya secara kebetulan tiba di sini, coba kalau tak ada saudara
Pek, mungkin "Ketujuh orang itu memang kelompok penyamun berhati keji," tiba-tiba Pek Jau-hui
menyela, "mereka sudah terbiasa merampok, memperkosa dan membunuh, selama ini berlindung
di bawah panji Mi-thian-jit dan menyebut diri sebagai Jit-sat, tujuh malaikat
bengis. Tampaknya sebelum turun tangan terha?dap perahu ini, mereka telah
menyusun rencana yang matang, boleh aku tahu apa sebabnya mereka mengincar
kalian?" Gadis cantik itu tersenyum.
"Biarpun mereka menyebut diri sebagai tujuh malaikat bengis, kenyataannya di
tangan Inkong (tuan penolong) mereka tak lebih hanya sebangsa tikus."
Pek Jau-hui ikut tertawa.
"Sewaktu bersembunyi di luar jendela tadi, aku sempat mencuri dengar pembicaraan
mereka," katanya, "aku rasa keha?diran mereka ada hubungannya dengan kelompok Mi-thian-
jit serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Setahuku kelompok Mi-thian-jit (pembius
tujuh langit) adalah organisasi misterius yang didirikan di kota Kay-hong,
kantor cabang dan pengaruh mereka sudah menyebar ke antero propinsi, memiliki
kekuatan yang tak boleh dianggap enteng, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong
adalah perkumpulan nomor satu di kolong langit. Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana mungkin dua organisasi besar itu bisa berhubungan dengan tujuh ma-
laikat bengis?" "Aku tidak seberapa tahu tentang masalah dunia persi?latan, kenapa tidak kau
tanyakan sendiri kepada Ci Thian-jiu?" kata nona itu sambil tertawa.
"Siapa itu Ci Thian-jiu?" tanya Ong Siau-sik.
"Ci Thian-jiu adalah pemimpin kawanan penyamun ini," Pek Jau-hui menerangkan,
"walaupun aku tahu mereka disebut tujuh malaikat bengis, namun nama mereka tak
ada yang kukenal." "Aku juga tidak tahu," sambung Ong Siau-sik dengan mata berbinar.
Un Ji tidak paham apa maksud pembicaraan kedua orang lelaki itu, segera serunya,
"Aku pernah mendengar tentang hal ini."
"Oya?" "Betul, Ci Thian-jiu adalah salah satu di antara tujuh malaikat bengis." "Selain
itu?" "Dia ... dia seorang lelaki," agak gugup Un Ji menerangkan. "Terus?"
"Dia adalah seorang telur busuk yang sudah banyak melakukan kejahatan."
"Kejahatan apa saja yang telah dia lakukan?"
Gadis cantik itu tersenyum, setelah mengerling pada Pek Jau-hui sekejap, ia
memandang ke arah Un Ji dan katanya, "Se?orang gadis suci dari perguruan lurus,
mana bisa mengingat semua perbuatan bejat yang pernah dilakukan manusia macam Ci
Thian-jiu" Hanya kaum jalanan yang memperhatikan perbuatan busuknya. Un-lihiap,
ketidak-tahuanmu dalam hal ini malah menunjukkan bahwa kau memang selalu
berjalan lurus." "Nah, itulah dia," tanpa pikir panjang Un Ji berseru, kemudian katanya lagi pada
gadis cantik itu sambil tertawa, "Ciri, pengetahuanmu sungguh luas, boleh tahu
siapa namamu?" "Aku bermarga Thian, bernama Tun."
"Oooh, rupanya cici Thian Tun!"
Memandang rambutnya yang hitam berkilauan di bawah cahaya lentera, kembali Un Ji
berseru, "Cici, rambutmu sangat indah!"
"Senyuman adik pun segar bagai sekuntum bunga."
"Menurut kau, bunga apa yang paling cocok untukku?" suara tawa Un Ji semakin
melengking. "Aku rasa mirip sekali dengan bunga anggrek."
"Apakah kau menganggap suara ter kelewat keras?" kem?bali Un Ji cekikikan.
"Ah, tidak," Thian Tun menggeleng, "aku rasa semua bunga indah sewaktu mekar,
bentuknya pasti mirip dirimu."
Un Ji makin kegirangan, kembali serunya, "Betul, betul sekali, dulu di halaman
rumahku juga tumbuh banyak jenis bunga, ada
"He, bunga anggrek bulan, sudah selesai belum kau ribut?" mendadak Pek Jau-hui
menyela. Dengan perasaan mendongkol Un Ji mengerling sekejap ke arah pemuda itu, ia
merasa kegembiraannya sangat terganggu dengan teguran itu.
Tapi Pek Jau-hui sama sekali tidak menggubrisnya, kepada Thian Tun katanya,
"Nona Thian, apa boleh kupinjam sebentar tempatmu ini untuk menginterogasi orang
itu, jika kau merasa tak tega, biar aku gelandang dia ke perahuku."
"Tidak apa apa."
Pek Jau-hui pun membanting tubuh Ci Thian-jiu ke atas tanah, belum sempat ia
berbicara, Un Ji dengan mata melotot sudah berseru duluan, "Jadi dia adalah
ketua dari tujuh malaikat bengis, Ci Thian-jiu?"
"Hmmrn, dia memang Ci Thian-jiu yang sudah banyak melakukan kejahatan, tapi
sayang, saat ini sudah menjadi Ci Thian-jiu yang mampus," sahut Pek Jau-hui
dengan wajah membesi, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "Sejahat dan sebuas
apa pun, jika sudah mampus maka tak nanti ia mampu mencelakai orang lain lagi."
"Jadi kau tidak akan membunuhnya?" tanya Ong Siau-sik.
"Tidak." "Kau totok jalan darahnya?"
"Itulah sebabnya dia tak mampu membunuh diri."
Ong Siau-sik berjongkok sambil memeriksa kelopak mata si orang mati, kemudian
memeriksa juga mulutnya, setelah diamati sesaat, ujarnya, "Dia mati karena
keracunan." "Mungkin sudah ia selipkan obat racun di antara sela-sela giginya," sambung Pek
Jau-hui. "Bisa jadi Ci Thian-jiu tak ingin rahasianya terbongkar," kata Thian Tun pula,
"maka begitu tertangkap oleh Pek-tayhiap, ia terpaksa menelan racun untuk
menghabisi nyawa sendiri."
"Ya, rasanya jalan ini memang merupakan jalan terakhir baginya" sahut Pek Jau-
hui sambil mengangkat bahu.
Dengan tewasnya Ci Thian-jiu, berarti sumber berita pun terputus di tengah
jalan, dalam keadaan begini Pek Jau-hui hanya bisa termenung sambil membayangkan
kembali semua kejadian itu.
Tio Thiat-leng pernah bilang, masih ada satu pekerjaan besar lainnya yang mesti
diselesaikan, mungkinkah pekerjaan besar yang dimaksud adalah peristiwa ini" Apa
hubungannya dengan Thian Tun, si gadis cantik ini" Tio Thiat-leng sudah kabur
dengan membawa luka, kenapa Mi-thian-jit kembali mengirim anak buahnya untuk
mencegat Thian Tun" Apa yang dia mau dan apa tujuannya"
Dari pembicaraan yang kemudian berlangsung, diketahui bahwa Thian Tun
sesungguhnya adalah putri seorang pejabat tinggi di kotaraja, waktu itu mereka
dalam perjalanan pulang setelah pergi menengok famili.
Baik Ong Siau-sik maupun Un Ji tahu, saat itu sedang ber?angsung perebutan
pengaruh antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau melawan perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, untuk mem?perluas pengaruh dan daerah kekuasaan, kedua belah pihak sama-
sama tak segan bersekongkol dengan para pejabat tinggi.
Tampaknya peristiwa yang menimpa Thian Tun kali ini, kejadian itu tak terlepas
dari perebutan pengaruh yang sedang berlangsung, malah kekuatan nomor tiga,
perkumpulan Mi-thian-jit pun ada minat turut serta dalam pertikaian ini.
Jelas kota Kay-hong akan semakin bertambah semarak!
Mereka berempat berbincang-bincang hingga kentongan kedua, karena merasa cocok
satu dengan lainnya, kebetulan Thian Tun yang sudah kehilangan banyak pengikut
pun hendak balik ke kotaraja, maka mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan
bersama-sama. Tampaknya Thian Tun amat menyukai Un Ji, segera katanya sambil tertawa, "Bagus
sekali, dengan dilindungi adikku, Cici tak usah kuatir keselamatan lagi
sepanjang perjalanan."
Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui,
lalu katanya lagi, "Aku hanya merasa kurang enak karena harus merepotkan kalian berdua."
"Tak usah sungkan," tukas Ong Siau-sik tersenyum, "kami malah merasa gembira
karena punya teman dalam perjalanan."
Sampai di sini dia pun berpaling ke arah Pek Jau-hui, ternyata rekannya sudah
berdiri di ujung geladak sambil memandang rembulan.
Rembulan bersinar terang menyinari permukaan sungai.
Riak ombak saling keja- bagaikan gulungan perak.
Ketika menjelang fajar, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berpamitan untuk kembali ke
perahu sendiri dan beristirahat, se?mentara Un Ji tetap tinggal di perahu itu
dan terpulas dengan nyenyak.
Di tengah keheningan yang mulai mencekam seluruh jagat itulah Thian Tun dengan
gerak-gerik yang amat lambat dan berhati-hati turun dari pembaringan, berjalan
menuju ke depan cermin dan memperhatikan sekejap raut wajah sendiri yang cantik
bak siluman rase. Tiada senyuman yang menghiasi raut muka cantiknya, ia nampak serius bahkan
sedikit tegang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan sebuah jepitan rambut
berwarna hitam dari gulungan rambut Ci Thian-jiu.
Kemudian dengan jari tangannya yang lentik pelan-pelan dia lepaskan penjepit
rambut itu. Satu sisi dari penjepit rambut itu terbuat dari baja, ujungnya kelihatan runcing
dan tajam. Ketika tertimpa cahaya lentera, ujung jarum itu membias?kan cahaya biru yang
menyilaukan mata, cahaya semu biru dikelilingi tujuh warna lain yang agak samar.
Dari balik sanggulnya, kembali ia melepaskan sebuah tusuk konde, ujung tusuk
konde dibukanya dengan hati-hati, lalu jarum berwarna biru yang barusan dijepit
keluar dari balik kepala Ci Thian-jiu itu dimasukkan ke balik tusuk konde itu.
Sesudah tusuk konde itu diselipkan kembali di balik sanggulnya, ia baru mengulum
senyum di ujung bibirnya.
Dia yakin perbuatannya itu, kecuali seluruh rambut di kepala Ci Thian-jiu
dicukur hingga gundul, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan seksama, kalau
tidak, tak mungkin orang bisa menemukan lubang lembut di kepala itu.
Selesai dengan pekerjaannya, pelan-pelan ia berjalan keluar dari ruang perahu.
Fajar belum lagi menyingsing, suasana di sekeliling sungai itu amat hening dan
sepi, hanya cahaya rembulan yang menyaksikan seluruh perbuatannya.
Seluruh perbuatannya, seluruh tingkah lakunya.
Termasuk juga pakaiannya, wajahnya, hatinya.
ooOOoo Mereka berada di satu perahu, melakukan perjalanan bersama-sama, makan, minum,
tertawa dan bergurau bersama, berkumpul jadi satu membicarakan persoalan dunia
persilatan, berkumpul membahas situasi dunia persilatan.
Sikap Pek Jau-hui sudah tidak seangkuh dulu, seperti apa yang pernah dia
katakan, "Bila seseorang kelewat banyak tertawa, dia sudah tak mampu angkuh dan
jumawa", mungkin saja hal ini disebabkan selama beberapa hari terakhir dia
kelewat banyak tertawa. Thian Tun pun bersikap sangat lembut dan halus, terkadang ia bersikap seperti
pendekar wanita, ia pandai minum, Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik tak ada yang
mampu mengungguli dirinya, dia pun pandai bermain dadu, begitu asyik bermain,
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemahirannya setara dengan tauke pemilik sarang judi.
Tapi sebagian waktu dia hanya duduk di samping, mengawasi semua orang dengan
sepasang matanya yang bening, atau tersenyum dengan tertawanya yang manis.
Ada kalanya dia pun menertawakan Un Ji, kepolosan dan kenakalan gadis itu
membuatnya merasa geli bercampur senang.
Bagaimana dengan Ong Siau-sik" Dia hanya mengikuti semua itu dengan mulut
bungkam. Dia memang bergabung dengan perasaan tulus, berhubungan dengan perasaan penuh
persahabatan, tapi dia pun merasa bahwa perjalanan yang mereka tempuh bersama-
sama ini telah meninggalkan kenangan yang mendalam.
Malam itu, di tengah pancaran sinar rembulan yang terang dan alunan ombak yang
tenang, sambil tertawa Un Ji bertanya, "Setibanya di ibukota, kalian mau apa?"
Tak ada yang menjawab. "Kau duluan!" ucap Un Ji kemudian sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik.
"Aku akan mengadu nasib," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Kalau aku ingin berjuang agar bisa membangun satu usaha," sambung Pek Jau-hui
sambil mendongakkan kepala memandang rembulan.
"Apakah sebagai seorang lelaki, dia harus memiliki nama dan jabatan?" tanya
Thian Tun tiba-tiba, nadanya agak sendu.
"Sebagai seorang lelaki, bila tak mampu berjasa, tak mampu membangun usaha dan
tak mampu punya nama, apakah artinya hidup di dunia ini?" sahut Pek Jau-hui.
Perlahan Thian Tun mendongakkan kepala sambil memandang kejauhan, katanya lagi,
"Bukankah lebih enak hidup gembira, hidup aman sentosa?"
"Itu sih pemikiran orang yang tak punya ambisi, aku bukan jenis manusia begini.
Ketenangan merupakan penderitaan, hidup sebagai nelayan, petani, tukang kayu,
sastrawan merupakan pekerjaan yang membosankan!"
"Aku pun hanya ingin mencoba," kata Ong Siau-sik pula, "belum tentu perjalananku
kali ini akan menghasilkan nama atau kedudukan, aku tak peduli, tapi aku tak
boleh tidak harus mencoba, melepaskan kesempatan merupakan orang bodoh,
perbuatan yang akan disesrli di kemudian hari.
Dan bagaimana dengan kau" Mau apa kau datang ke kotaraja?"
"Aku?" Thian Tun tersenyum lirih, "aku bukan pergi ke kotaraja, aku dalam
perjalanan pulang ke rumahku."
Kemudian setelah mengerdipkan matanya yang jeli, dia menambahkan, "Pulang ke
rumah merupakan keinginanku yang paling utama, bagaimana dengan kau, adikku?"
Un Ji berpikir sejenak, mendadak ia jengah sendiri, pipinya berubah jadi merah
dadu. "Kenapa" Mencari jodoh?" goda Thian Tun sambil tertawa.
"Ah, kau, justru kau yang ingin kawin sampai-sampai rada sinting."
"Masa selama hidup kau tak akan kawin?"
"Aku ingin menjumpai Suhengku terlebih dulu."
Terbayang Un Ji memiliki seorang Suheng yang amat tersohor di antero jagad, So
Bong-seng, Ong Siau-sik seketika merasa tengkuknya agak gatal, begitu juga
dengan Pek Jau-hui. Maka ujarnya kemudian, "Nona Thian, hari ini pemandangan
alam sangat indah, suasana pun nyaman, bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu
dengan alat khim?" "Darimana kau tahu kalau aku bisa memetik khim?" tanya Thian Tun seraya
berpaling. "Dengan jari jemarimu yang begitu indah, aneh jika tak pandai memainkan khim"
"Siapa yang bilang" Kesepuluh jari tanganku ini justru paling pandai membunuh
orang!" seraya berkata pelan-pelan ia bangkit berdiri dan mengambil sebuah khim
yang kelihatan agak hangus karena bekas terbakar dari atas sebuah rak.
"Khim yang bagus!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa.
Thian Tun tersenyum manis, jari jemarinya segera menari di atas senar dan
melantunkan sebuah lagu yang merdu merayu.
"Ilmu jari yang hebat!'' puji Pek Jau-hui cepat.
Ong Siau-sik ikut bangkit kegembiraannya, segera ia mencabut keluar serulingnya
dan mengimbangi permainan khim itu, melantunkan irama lagu yang indah.
Pek Jau-hui pun tak kuasa menahan diri, ia bangkit berdiri dan mulai menari.
Begitulah, di tengah sungai, di bawah cahaya rembulan, di tengah hembusan angin,
di dalam perahu, seruling, khim dan tarian menghiasi sekeliling tempat itu.
"Sayang, aku tak pandai menari maupun memainkan alat musik," keluh Un Ji penuh
rasa sesal, "apa pun aku tak mampu, Cici, kau memang hebat!"
"Kau toh bisa menyanyi," hibur Thian Tun. "Suaraku jelek, aku tak bisa
menyanyi," sahut Un Ji dengan wajah memerah, "tatkala masih di rumah dulu, aku
pernah menyanyi, baru kulantunkan dua bait, ayam dan burung tetangga pada jatuh
sakit selama dua hari. Untung aku tidak ikut menyanyi saat ini, kalau tidak,
mungkin pemain khim, pemain seruling dan penarinya sudah menceburkan diri ke
dalam sungai lantaran pada mabuk."
Ucapan itu kontan disambut gelak tertawa semua orang. Angin, rembulan, irama
lagu dan tarian yang berlangsung malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan,
meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang.
Keesokan harinya, ketika Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik balik lagi ke perahu besar
itu, mereka jumpai Thian Tun beserta para dayang dan barang bawaannya telah
lenyap, yang tersisa hanyalah Un Ji yang masih terlelap tidur. Thian Tun telah
pergi entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, sepucuk surat dengan bekas noda air mata.
ooOOoo 10. Manusia dan ikan Bila empat orang yang sudah biasa berkumpul, lalu pada suatu hari tiba-tiba
rombongan itu kehilangan satu orang, bagaimanakah perasaannya waktu itu"
Jangan kan manusia, sebuah cincin pun terkadang bisa mendatangkan perasaan yang
tak enak, mungkin di saat pertama kali mengenakannya, kau akan merasa tak
leluasa, tapi bila sudah terbiasa mengenakannya, bila suatu ketika harus dilepas
kembali, pasti akan merasa sangat kehilangan.
Terlebih kalau dia bukan sebuah cincin.
Terlebih jika dia adalah seorang gadis cantik.
Seorang gadis yang masih polos, lembut, halus, terkadang pipinya bisa berubah
merah jengah, terkadang nampak sedikit gelisah.
Hari itu dia telah pergi, pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun.
Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan ketiga orang yang ditinggalkannya"
Tak tahan Un Ji mulai mengomel, "Thian Tun itu Cici macam apa" Kenapa pergi
tanpa pamit" Kenapa ia berbuat begitu" Kenapa ia bersikap begitu?"
Ong Siau-sik sendiri pun ikut merasa sedih, ujarnya, "Mungkin dia pergi karena
ada urusan penting, mungkin ia mempunyai kesulitan yang tak ingin diketahui
orang, padahal kita sudah satu rombongan, sekalipun ada urusan penting, kan bisa
kita kerjakan bersama, kalau ada kesulitan, kita bisa pecahkan bersama, hanya
saja..." Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, tambahnya, "Terkadang untuk
menyelesaikan satu masalah, pergi beramai malah tidak leluasa, kalau toh ada
kesulitan, mana mungkin bisa dibicarakan secara terbuka?"
Ia tahu Pek Jau-hui selama ini hanya diam saja, bahkan dengan wajah gelap sedang
duduk di tepi sungai sambil memancing.
Ong Siau-sik pun meminjam alat pancing pada seorang tukang perahu, kemudian
duduk di samping Pek Jau-hui.
Tinggal Un Ji seorang yang tak tertarik untuk berbuat begitu, menggunakan
kesempatan itu dia naik ke darat dan pergi ke kota terdekat untuk melihat
keramaian. Sampai lama sekali, pancingan Pek Jau-hui belum juga disentuh ikan, begitu pula
dengan pancingan Ong Siau-sik. Pek Jau-hui tetap membungkam.
Ong Siau-sik ikut membungkam, dia memang sedang menemaninya memancing.
Banyak orang mulai berlalu lalang di sepanjang pantai, suasana tambah lama
tambah ramai, tapi kedua orang pemuda itu tetap duduk tenang di tepi pantai,
duduk sambil memegangi alat pancing.
Menjelang tengah hari, Un Ji balik dengan penuh kegembiraannya, sambil membawa
barang bawaannya ia naik ke perahu, ia mulai ribut untuk meneruskan kembali
perjalanannya. "Apakah tidak ditunggu sebentar lagi?" tanya Ong Siau-sik.
"Tidak usah ditunggu," sahut Pek Jau-hui tanpa berpaling. Mereka bertiga
bersantap di dalam perahu, hidangan yang disajikan adalah ikan leihi masak cuka.
"Ikan ini hasil pancingan siapa?" tanya Un Ji sambil membersihkan mulutnya.
Kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dengan sumpitnya dia menambahkan, "Kau?"
Ong Siau-sik menggeleng. "Kalau begitu tentu kau!" seru si nona sambil menuding ke arah Pek Jau-hui, tapi
yang ditunjuk sama sekali tidak menggubris.
Tiba-tiba Un Ji meletakkan kembali sumpitnya seraya berseru, "Kalau bukan hasil
pancingan kalian berdua, sudah pasti ikan itu meloncat sendiri ke atas daratan
dan mengubah diri jadi sepiring hidangan!"
Melihat gadis itu sewot, Ong Siau-sik mengerling sekejap ke arah Pek Jau-hui,
kemudian katanya, "Bukan aku, bukan juga dia, tukang perahu yang membelinya di pasar."
"Tapi bukankah kalian sudah memancing setengah hari lamanya, masa tanpa hasil
seekor pun?" tanya Un Ji tidak habis mengerti.
Pek Jau-hui tidak langsung menanggapi, dia menghirup dulu secawan arak, lalu
berpaling ke arah Ong Siau-sik sembari bertanya, "Jadi kau pun tak berhasil
mendapatkan seekor ikan pun?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" pemuda itu balik bertanya.
"Kailku tanpa umpan, mana mungkin ada ikan mau mendekat?"
"Aku pun bukan bertujuan memancing ikan." "Kalau bukan memancing ikan, memangnya
ingin dipancing sang ikan?" Ong Siau-sik segera tertawa.
"Aku hanya menonton ikan. Biarkan saja sang ikan bere?nang bebas di dalam air,
kenapa kita mesti memancingnya" Kita toh tidak harus memakannya, bayangkan
sendiri, andai kata yang sedang berenang di air adalah manusia sementara sang
pemancing adalah ikan, apa jadinya?"
"Tapi kenyataan sekarang kita adalah manusia dan mereka adalah ikan. Orang yang
hidup di dunia ini memang sudah terbagi sejak lahir, ada yang miskin, ada yang
kaya, ada yang bodoh, ada yang pintar, ada pula yang beruntung dan ada yang
tidak, semua ini alami, begitu juga seandainya ikan adalah manusia dan manusia
adalah ikan, ikan pun akan memasang umpan untuk memancing manusia. Kini kau dan
aku bukan ikan, maka sang ikanlah yang menjadi mangsa kita. Memang begitulah
alam kehidupan." Ong Siau-sik mengalihkan sorot matanya ke tepi pantai, sambil mengawasi orang-
orang yang sedang berlaluTalang, ia menggeleng kepala dan berkata sambil
tertawa, "Siapa bilang kita bukan ikan" Bukankah kita semua adalah ikan
peliharaan Thian" Tinggal kapan Thian akan menangkap salah satu di antara kita.
Siapa sih di antara kita yang bisa lolos dari tangkapan Yang di Atas?"
Pek Jau-hui mendengus dingin.
"Hmmm, sekarang aku sudah menebar kail, berarti aku harus mendapatkan sang ikan,
andai kata akhirnya aku terseret masuk ke air oleh tarikan ikan, atau sebaliknya
malah dipancing oleh sang ikan, hal itu bukan dikarenakan tanganku kurang kuat
atau umpanku kurang banyak, sebaliknya karena aku memang sebetulnya berhati
tulus, tak ingin memancingnya, tapi dia malah kabur."
Belum selesai dia berkata, Un Ji sudah menyumpit seekor kepala ikan yang besar
dan disodorkan ke dalam mangkuknya.
"Aku jadi heran," seru gadis itu sambil tertawa, "tak ada hujan tak ada angin,
kenapa kalian mengumpamakan diri sebagai ikan atau manusia, memangnya kalian
berdua sudah terkena tenung atau sudah dibuat kesemsem siluman ikan waktu
memancing tadi" Ayo, cicipi dulu kepala ikan itu baru kemudian bicara lagi!"
Dengan murung Pek Jau-hui mengawasi mangkuk sendiri, tampak olehnya kepala ikan
yang tergeletak dalam mangkuknya seolah sedang mengawasi dia dengan matanya yang
putih keabu-abuan. Kotaraja semakin dekat, mereka bertiga pun naik ke daratan dan berencana
melanjutkan perjalanan darat.
Dengan uang sebanyak 270 tahil perak mereka membeli tiga ekor kuda jempolan,
tentu saja Pek Jau-hui yang mengeluarkan duitnya.
Ong Siau-sik segera menuntun kuda-kuda itu, sementara Un Ji mengajukan protes
kepada Pek Jau-hui, "Udara begini panas, kenapa tidak menyewa tandu saja, kalau
mesti menempuh perjalanan di udara terbuka, kulit tubuh kita bakal hitam
terbakar "Kalau merasa kulit sendiri kelewat halus, sewalah sendiri tandumu," sahut Pek
Jau-hui mendongkol, "dunia persilatan memang tidak cocok untuk Toasiocia macam
kau!" "Jadi kalian berdua tega menyaksikan seorang gadis muda diterpa angin, dibakar
sinar matahari, diguyur air hujan dan didera pasir serta debu?"
"Ah, apa urusannya dengan diriku," sahut Pek Jau-hui setengah mengejek, "apalagi
terhadap manusia macam kau, lelaki tidak perempuan pun bukan. Selagi ada
keuntungan buru-buru jadi perempuan, kalau sudah tidak menguntungkan berlagak
macam lelaki. Setelah dua kali kena batunya, Un Ji jadi mendongkol, teriaknya,
"Ada apa sih dengan kau" Selama beberapa hari belakangan selalu saja sewot tanpa
sebab, siapa yang telah menyalahi kau" Terus terang saja, aku tidak terbiasa
dengan watak macam kau itu."
Pek Jau-hui tertawa dingin.
"Aku pun tidak terbiasa melayani Toasiocia macam dirimu, terserahlah, apa maumu,
lakukan sendiri, kami segera akan melanjutkan perjalanan."
"Aku tahu, kau hanya bersedia melayani Thian-toasiocia, hmmm! Sayangnya, orang
justru kabur tanpa meninggalkan pesan, kenapa" Kau jengkel" Sedih" Kalau sudah
tak tahan, kenapa tidak menceburkan diri ke dalam sungai saja" Buat apa kau
berlagak sok di hadapanku?"
Tampaknya perkataan itu mengena telak luka di hati Pek Jau-hui, sesaat dia
tertegun, tapi kemudian serunya dengan suara keras, "Aku mau melayani siapa,
peduli amat dengan kau" Asal aku senang, kau tak usah turut campur. Ong Siau-sik
mungkin saja menahanmu, tapi aku tidak, kau boleh saja pergi sendiri ke ujung
langit, apa urusannya dengan aku!"
Un Ji merasa amat sakit hati, ucapan itu menusuk perasaannya hingga merasuk ke
tulang sumsum, dengan wajah merah padam menahan amarah, serunya, "Bagus, bagus
sekali manusia she Pek, kau boleh senang sekarang! Baik, nonamu akan berangkat
sendirian, kita bertemu lagi di kota Kay-hong!"
"Silakan saja kalau mau pergi, aku tak akan mengantar lagi. Ah, kebetulan si
batu kecil sudah balik, bagaimana" Suruh dia pergi bersamamu?"
Dengan air mata mengembeng di mata, Un Ji segera melompat naik ke atas kudanya
kemudian dilarikan kencang meninggalkan tempat itu.
Ong Siau-sik yang tidak tahu urusan hanya bisa berdiri tertegun sambil mengawasi
bayangan hitam yang makin menjauh.
Lewat beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata kepada rekannya, "Batu
kecil, aku yang membuat gara-gara, membuatnya pergi dengan marah
"Apakah dia ... dia akan balik kemari?" gumam Ong Siau-sik seperti orang yang
kehilangan sukma, "apakah dia pergi sendiri ke kotaraja?"
"Aku ... aku pun tidak tahu."
Ong Siau-sik mengira Un Ji bakal balik lagi secara diam-diam, seperti apa yang
dia lakukan ketika berada di Han-swe tempo hari.
Ternyata tidak. Un Ji tidak kembali lagi.
Mereka tidak segera melanjutkan perjalanan, dua hari lamanya mereka menanti di
situ namun tiada hasil. Dalam keadaan begini terpaksa Pek Jau-hui mengajak Ong Siau-sik melanjutkan
perjalanannya menuju ibukota.
Di kotaraja tersedia pelbagai macam atraksi, ada tempat perjudian yang bisa
membuat kaya mendadak, ada wanita cantik yang bisa membuat hati terhanyut,
tersedia berbagai hiburan yang diimpikan setiap orang, terdapat pula hal yang
sama sekali tidak terduga.
Kota besar merupakan sumber segala kehidupan, di situ tersedia ranjang hangat
yang bisa membuat kau dapat nama dan kedudukan, tapi juga merupakan jurang
paling dalam dari segala dosa dan kenistaan. Di situ seorang Enghiong bisa
termashur, bisa mendapat posisi terhormat, tapi di situ juga orang gagah akan
terlupakan, akan memperoleh segala kenistaan dan penghinaan.
Sejak dulu hingga kini, banyak sekali Enghiong Hohan, pelajar dan sastrawan yang
berdatangan ke sana, ingin mendapat nama dan kedudukan dalam waktu singkat,
ingin meniti karier dan mencapai puncak ketenaran, tapi akhirnya lebih banyak
yang gagal daripada yang berhasil.
Mungkin karena itulah keberhasilan selalu merupakan satu kejadian yang amat
berharga. Mungkin dikarenakan hal ini maka segenap orang pintar yang berkumpul di kotaraja
selalu berusaha menunggu peluang secara seksama, kecuali mereka yang memiliki
kemampuan luar biasa, saat dan kesempatan merupakan kunci yang menentukan.
Hampir semua Enghiong Hohan berhasil dengan kariernya karena pandai menangkap
kesempatan, bila kau paksakan diri menentang kebiasaan ini, seringkah bukan saja
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usahamu akan gagal total, mungkin nyawa akan jadi taruhannya.
Siapa yang bisa menduga angin yang tertiup ke arah sini, besok akan bertiup ke
arah mana" Siapa pula yang tahu jalanan yang nampak buntu pada hari ini, mungkin besok akan
berubah jadi sebuah jalanan yang lebar"
Jalan kematian belum tentu merupakan jalan mati, siapa tahu besok akan berubah
jadi sebuah jalan kehidupan"
Ya, siapa yang bisa meramalkan keberhasilan atau kegagalan yang akan menimpa
seseorang" Pek Jau-hui tidak tahu. Ong Siau-sik pun tidak tahu.
Itulah sebabnya walaupun sudah setengah tahun mereka tiba di ibukota, namun apa
yang dicita-citakan belum juga terwujud.
Banyak kejadian di dunia ini butuh banyak waktu untuk meraba, butuh banyak
pengalaman untuk melacak dan butuh banyak pelajaran, menang kalah tidak mudah
untuk diraih, kendatipun kau adalah seorang cerdik.
Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik termasuk orang-orang cerdas, orang berbakat.
Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tangguh, namun setibanya di tempat yang
sangat asing ini, mereka toh tak mungkin mencari nama dengan membunuh orang
lain, jika hal ini yang dilakukan, bukan saja mereka akan berurusan dengan
pengadilan dan para opas, bahkan akan diburu oleh jago-jago tangguh kerajaan.
Mereka pun tahu bahwa di kota besar itu terdapat perkum?pulan Lak-hun-poan-tong
dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang berebut pengaruh, namun mereka
menganggap kekuatan itu merupakan sebuah dunia lain, dunia yang sama sekali tak
ada hubungannya dengan mereka berdua.
Sekalipun apa yang dicita-citakan belum terwujud, namun kedua orang pemuda ini
justru hidup dengan riang gembira, mereka sudah menjadi sahabat karib.
Apa yang disebut karib"
Seorang sahabat karib akan memikul penderitaan bersama, mencicipi kegembiraan
bersama, di saat kau kedinginan, dia datang membawa penghangat, di saat kau
kepanasan, dia datang membawa salju.
Sahabat karib tidak mengharapkan sesuatu dan tidak butuh sesuatu, namun mau
berkorban demi yang lain.
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bersama-sama datang ke kota Kay-hong, sama-sama
dimaki orang, hapal setiap sudut kota, kehilangan semangat dan sama-sama mabuk
di jalan.... Selama ini, mereka pun bersama-sama menimba banyak pengalaman, kenal dengan
banyak manusia. Sampai akhirnya, uang persediaan yang dibawa Pek Jau-hui mulai menipis dan
nyaris habis .... Dalam keadaan begini, Pek Jau-hui terpaksa membuka dasaran di tepi jalan dengan
menjual tulisan dan lukisan, dia memang pandai menulis, lukisannya pun cukup
indah, hanya sayang tak ternama.
Lukisan hasil karya orang yang tidak ternama, biasanya murah harganya.
Untuk hidup terus, orang butuh uang. Bagi Pek Jau-hui, lebih halal menjual
lukisan dan tulisan ketimbang melakukan perdagangan tanpa modal.
Sebelum balik ke rumah penginapan Toa-kong, ia menyempatkan diri mampir di Hwe-
cun-tong untuk menjenguk Ong Siau-sik.
Rekannya ini bekerja di Hwe-cun-tong sebagai tukang obat, Hwe-cun-tong adalah
toko obat kenamaan di kota itu, lantaran dia pandai mengobati luka dana patah
tulang, pemilik toko obat itu sangat menghargai kemampuannya.
Bagi Ong Siau-sik sendiri, dia menganggap pekerjaan ini sebagai sebuah karya
seni, lebih mendingan ketimbang dia mesti 'jual pedang'.
Ketika Pek Jau-hui dengan membawa beberapa gulung lukisan tiba di toko obat Hwe-
cun-tong, kebetulan Ong Siau-sik sedang beristirahat, maka seperti biasanya,
mereka berdua pergi ke warung makan It-tek-kie untuk memesan beberapa piring
sayur dan sepoci arak. Saat seperti ini biasanya merupakan saat yang paling menggembirakan bagi mereka
berdua sejak tiba di kotaraja.
Belum lama mereka berdua bersantap, hujan mulai turun.
Mula-mula hanya setetes, dua tetes, tiga tetes, akhirnya hujan makin deras dan
rapat, seluruh angkasa diselimuti awan gelap, burung mulai beterbangan mencari
tempat persembunyian, orang yang berlalu-lalang pun berlarian mencari tempat
Sayembara Maut 2 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Suling Naga 7
lantai papan yang diinjaknya pun nyaris retak dan hancur berantakan.
Ong Siau-sik tetap berdiri tenang, ditatapnya wajah Tio Thiat-leng sekejap,
kemudian ujarnya, "Kau bukan Tio Thiat-leng, kau sebenarnya adalah Si Say-sin!"
Merah padam wajah Tio Thiat-leng, sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang,
agaknya setiap saat dia akan melancarkan serangan.
"Darimana kau bisa tahu?" terdengar Un Ji bertanya. Ong Siau-sik tidak menjawab
pertanyaan itu, dengan setengah mengejek kembali ujarnya kepada Tio Thiat-leng,
"Aku tidak salah menebak bukan?"
Sepasang kepalan Tio Thiat-leng digenggam semakin kencang, di tengah udara mulai
terdengar suara gemuruh nyaring. Jagoan ini memang hebat tenaga dalamnya,
sepasang Tay-yang-hiat nya yang menonjol besar kini menongol makin besar.
Ditatapnya Ong Siau-sik dengan mata melotot, kemudian teriaknya, "Darimana kau
bisa tahu?" Ong Siau-sik kembali tertawa, senyuman itu dilemparkan ke arah Pek Jau-hui.
Sikap Pek Jau-hui yang semula dingin angkuh, kini nam?pak sedikit berubah,
berubah jadi lebih hangat dan lembut, kehangatan yang sangat aneh, tapi hanya
sejenak kemudian sudah lenyap.
"Tio-tongcu!" serunya tiba-tiba.
"Ada apa?" Tio Thiat-leng segera berpaling.
"Apakah urusan di luar sana sudah diselesaikan?"
"Sudah selesai semuanya," jawab Tio Thiat-leng cepat, ia tak habis mengerti
mengapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu.
"Sampai kapan pihak pengadilan baru akan mengirim orang kemari?"
"Sebentar lagi akan tiba." "Lalu putra tunggal Sin-hu?" "Dia ada dalam almari."
Baru saja dia ingin bertanya kenapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu,
Pek Jau-hui sudah berkata lagi, "Tadi kau sudah mengajukan beberapa pertanyaan
kepadanya?" Tio Thiat-leng kembali tertegun, setelah termenung sejenak sahutnya, "Tiga!"
"Keliru besar," kata Pek Jau-hui sambil tersenyum dan menggeleng kepala berulang
kali, "termasuk pertanyaan terakhir, kau sudah mengajukan empat buah pertanyaan. Sudah
saatnya kau redam dulu hawa amarahmu. Jika kau gagal mengendalikan hawa amarahmu
itu, aku takut kau bakal tak mampu menghadapi Lote ini! Sekarang aku telah
menjadi sahabatmu, apalagi kau pun telah memberi banyak uang untukku, sebagai
sahabat, aku merasa wajib memberi nasehat ini kepadamu!"
Tak terlukiskan rasa gusar Tio Thiat-leng setelah mendengar perkataan itu, tapi
setelah berpikir sejenak dia pun mengendurkan badannya sambil menghembuskan
napas panjang, kemudian bertanya, "Jadi kau menganggap aku bukan tandingan
sahabatmu itu?" "Aku sendiri pun tidak tahu sampai dimana ketangguhan ilmu silatnya," sahut Pek
Jau-hui sambil menggendong tangan, "tapi aku tahu otaknya encer, dia pintar dan
sangat tanggap. Padahal dia tak tahu siapakah Si Say-sin, hanya berdasarkan
keteranganmu kalau kau adalah anggota perkumpulan Kimhong-si-yu-lau yang
menyusup ke dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, lalu mendengar kedatangan
Tongcu kesembilan Ho Tong ke Ouw-pak kali ini adalah untuk menghadapi Si Say-
sin, dan melihat pula kau telah membunuh Ho Tong, dia sudah berani menyimpulkan
kaulah Si Say-sin itu, apa kau tidak merasa bahwa dia sangat hebat?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan santainya dia menambahkan, "Jadi
sebetulnya kau sendiri yang telah membocorkan rahasia itu kepadanya, aku tak
ingin kau sekalian menyerahkan nyawamu kepadanya."
Tiba-tiba Ong Siau-sik merasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh
tubuhnya. Sekarang ia mulai sadar tentang mara bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya,
bila Pek Jau-hui sampai bekerja sama dengan Tio Thiat-leng, berarti jangan mimpi
dia bisa keluar dari rumah penginapan itu dalam keadaan hidup.
Terdengar Un Ji kembali berkata, "Kalau kau adalah Si Say-sin, lalu siapa pula
lelaki kurus jangkung yang telah membantai kawanan opas tengah hari tadi?"
"Darimana aku tahu?" jawab Tio Thiat-leng sembari menggeleng.
Pek Jau-hui mencoba berpaling ke arah Ong Siau-sik, tapi pemuda itu segera
menggeleng seraya menyahut, "Aku sendiri pun tidak tahu."
Pek Jau-hui mulai tertawa, ketika tertawa ia nampak licik dan banyak akal
bulusnya. "Untung saja masih ada persoalan yang tidak kita ketahui."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan, "Penghidupan semacam
inilah baru menarik dan menyenangkan............"
Ternyata hingga detik ini, dia masih tidak menganggap Un Ji sebagai salah satu
bagian dari mereka, karena dia tetap tidak memperhitungkan gadis itu.
6. Secawan arak, tiga nyawa
Un Ji amat sedih. Selama hidup, belum pernah ia berjumpa dengan seorang lelaki yang begitu tidak
menghormatinya, begitu tak memandang sebelah mata terhadapnya, tidak
menganggapnya sebagai seorang tokoh, bahkan nyaris tidak menganggapnya sebagai
manusia. Ia merasa sangat terhina, merasa amat sedih.
Melihat lelaki itu masih berdiri dengan sikap angkuh, acuh tak acuh dan jumawa,
dia amat membencinya, makin dipandang makin sakit hati.
Pada saat itulah ia mendengar Pek Jau-hui kembali berkata, "Terlepas siapa pun
orang itu, yang pasti dia adalah seorang tokoh yang tak boleh dipandang enteng!"
Tio Thiat-leng kembali berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya, "Aku lihat kau
pun termasuk manusia yang tak boleh dipandang enteng, kemari dan bergabunglah,
aku pasti akan menghargai tenagamu."
"Aku tidak ambil peduli tentang kesemuanya itu," Ong Siau-sik menggeleng, "mau
pandang enteng tidak masalah, mau menghargai kemampuanku juga silakan, tapi yang
jelas, aku tetap aku, aku tak nanti bersedia kau gunakan hanya lantaran kau
menghargaiku, aku pun tak bakal melancarkan serangan hanya dikarenakan kau
memandang enteng diriku. Bagiku, persoalan yang terjadi adalah perseteruan
antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan perkumpulan Kimhong-si-yu-lau,
siapa menang siapa kalah bukan persoalanku dan aku pun tak ingin tahu. Yang
kuingin ketahui saat ini hanya satu hal."
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah M'rius, "Apakah
dikarenakan kau ingin merusak nama dan reputasi perkumpulan Lak-hun-poan-tong
dalam dunia persilatan, maka kau sengaja memerintahkan kelompok akrobatik,
kelompok pedagang dan penjual obat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?"
"Perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah perkumpulan besar, mereka harus
menghidupi banyak anak buah, jadi apa yang mereka lakukan selama ini untuk
menunjang kehidupan anggotanya, aku rasa hampir setiap orang tahu dengan jelas
dan tak usah aku jelaskan lebih jauh.
Tapi satu hal kau mesti tahu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai nama dan
reputasi yang baik di seputar wilayah Ouw-pak, pengaruhnya sangat besar dan
banyak orang gagah.dunia persilatan yang bersedia bekerja untuk mereka. Bila aku
tidak menggunakan siasat ini, bagaimana mungkin aku bisa mengubah pandangan dan
haluan Sin-hu Tayjin yang selama ini selalu berkomplot dengan Lui Sun" Bagaimana
mungkin aku bisa meminta dia untuk membuyarkan daya pengaruh perkumpulan Lak-
hun-poan-tong dengan berganti haluan bersekongkol dengan So-kongcu" Contohnya
dua bersaudara Li, orang she Ting dan Ku Han-lim, selama ini mereka memang tak
pernah melakukan perbuatan baik, bukankah gara-gara kejadian ini mereka malah
bisa kita tumpas" Aku berharap kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong di
wilayah Ouw-pak bisa diberantas seakar-akarnya."
"Apakah orang-orang itu sangat mempercayai dirimu?" tanya Ong Siau-sik lagi
dengan kening berkerut. Dia saksikan paras muka Li Tan serta Li Ciau-hong yang tergeletak di tanah mulai
mengunjuk perasaan murka.
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Justru yang percaya penuh kepadaku adalah Lui Sun Lui-congtongcu, sementara
orang-orang itu .... Hmm! Tak lebih hanya mengantar nyawa saja."
"Aku lihat perempuan ini baik hati dan masih mempunyai rasa peri kemanusiaan,
kesalahannya belum pantas untuk dihukum mati," bocah muda itu coba membela.
Waktu itu, meskipun jalan darah Li Ciau-hong sudah tertotok, namun mulutnya
masih bisa berbicara bebas, sambil mengertak gigi penuh amarah, mendadak ia
mengumpat, "He, orang she Tio, kau memang bedebah! Aku tidak ambil peduli kau
mau bermarga Si atau bermarga Tio, tapi yang pasti kau memang seorang bangsat
sejati, bedebah yang berhati kejam, hanya manusia macam kau yang mampu melakukan
perbuatan terkutuk, biar jadi setan pun aku tak bakal melepaskan dirimu!"
"Tutup mulutmu adikku!" hardik Li Tan cepat, lalu dengan nada setengah merengek
terusnya, "Tio-tongcu, mohon kebesaran hatimu dengan mengampuni jiwa anjing kami
bersaudara! Di kemudian hari, mau dijadikan kerbau atau kuda, kami siap
menjalankan perintahmu dan tak akan membangkang."
"Hmmm, kalau ingin jadi kerbau atau kuda, lebih baik cepatlah menuju ke neraka,
di sana pun kalian berdua bisa memperoleh jabatan," sahut Tio Thiat-leng ketus.
"Tio-tongcu," kembali Li Tan merengek, "kami berjanji tak akan membocorkan
kejadian pada malam ini kepada siapa pun, jika kami sampai membocorkan kejadian
ini, biar aku orang she Li mati disambar geledek, mati secara mengenaskan."
"Hmm! Kau memang bakal mati secara mengenaskan."
"Mau mati biarlah mati, kenapa mesti minta ampun!" jerit Li Ciau-hong tidak
puas. "Adikku," kembali Li Tan berseru dengan gugup. "Kau jangan bicara sembarangan,
jika kau melakukan kesalahan lagi terhadap Tio-tongcu, aku tak akan mempedulikan
dirimu lagi." "Kakak, matikan saja pikiran semacam itu," tukas Li Ciau-hong lantang. "Malam
ini, jangan harap kita berdua bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat."
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Li Ciau-hong," katanya, "percuma kau berteriak-teriak dengan suara keras,
memangnya kau senang melihat urusan jadi semakin runyam" Sayangnya, semua
penghuni rumah penginapan ini sudah ditukar dengan orang-orangku, mereka yang
tidak berpihak kepadaku sudah bersih dibantai."
"Apa" Orang-orang cacad itupun sudah kau bunuh?" tanya Ong Siau-sik dengan wajah
berubah. "Hahahaha ... tidak sampai sesadis itu," Tio Thiat-leng tertawa tergelak,
"justru orang-orang itu yang akan mendatangkan pahala bagiku, merekalah bukti
nyata perbuatan terkutuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
Ong Siau-sik baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, tanyanya
kemudian, "Di dalam almari sana terdapat sebuah peti, apakah putra tunggal Sin-
hu Tayjin yang disembunyikan dalam peti itu?"
"Justru dialah yang dijadikan acara pembukaan oleh Si Say-sin dalam kejadian
ini, tanpa dia, Bun Sin-hu serta kawanan pejabat anjing lainnya belum tentu mau
berganti haluan, kini pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berani mengusik putra
tunggal Bun Sin-hu, sudah jelas para pejabat negara akan menjadi musuh
bebuyutannya," Pek Jau-hui menerangkan sambil tertawa.
Sementara itu Tio Thiat-leng sudah berjalan menghampiri almari itu, dengan
sekali bacok, dia jebol pintu almari, menyeret keluar sebuah peti, meremas
kuncinya hingga hancur kemudian melayangkan sebuah tendangan untuk membuka peti
itu. Seorang bocah berwajah bersih, tampan dengan hidung mancung duduk melingkar
dalam peti itu, dia seakan terlelnp dalam tidur yang sangat nyenyak sehingga
walaupun peti sudah terbuka dia masih tidur terus.
Sekilas pandangan Ong Siau-sik tahu kalau bocah ini sudah dicekoki obat pembius,
bila dilihat bagian tubuhnya yang utuh, rasanya dia belum dicelakai orang.
Sekarang ia baru menemukan jawaban, berasal darimanakah suara dengusan napas
perlahan yang didengarnya ketika bersembunyi dalam almari tadi.
"Kali ini Sin-hu Tayjin dan Congkoan pasti akan merasa sangat puas," kata Tio
Thiat-leng dengan perasaan lebih santai.
"Yang pasti So-kongcu akan semakin puas dengan sepak terjangmu," sela Pek Jau-
hui. Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Semua ini berkat bantuan dari saudara Pek, tapi masih ada satu urusan besar
yang mesti kukerjakan, bila pekerjaan itupun berhasil kulakukan, semua tugasku
baru bisa dianggap selesai."
"Omong kosong," tak tahan Un Ji menyela, "Toasuheng bukan manusia semacam ini,
mustahil dia memerintahkan kau untuk melakukan perbuatan terkutuk semacam ini!"
Tio Thiat-leng tidak menanggapi perkataan itu, ia berpaling dan memandang Li
bersaudara sekejap, kemudian katanya lagi kepada Ong Siau-sik, "Coba
pertimbangkan sekali lagi tawaranku itu, selesai membereskan kedua orang ini,
aku akan menunggu kabar baikmu."
"Tak usah dipertimbangkan lagi," tukas Ong Siau-sik.
"Oya?" "Aku telah mengambil keputusan."
"Nah, begitu baru seorang pemuda tahu diri, masa de?panmu pasti cerah," seru Tio
Thiat-leng sambil tertawa, setelah, itu dia melangkah maju menghampiri Li Ciau-
hong. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menghadang di hadapan Li Ciau-hong,
teriaknya, "Hari ini sudah kelewat banyak orang yang tewas di sini, aku tak
ingin melihat orang mati lagi, apalagi perempuan ini memang tidak seharusnya
mati." "Dia tidak pantas mati?" jengek Tio Thiat-leng dengan sorot mata berkilat,
"sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, dia
adalah seorang perempuan bedebah, apakah kau ingin menjadi pelindungnya?"
"Aku tak peduli apa katamu, seperti yang sudah kutegaskan tadi, hari ini aku tak
akan membiarkan kau membunuh orang lagi."
Sambil mundur selangkah, Tio Thiat-leng mengawasi wajah anak muda itu lekat-
lekat, akhirnya dia mengangguk tiga kali seraya berseru, "Bagus, bagus, bagus!"
Ong Siau-sik sama sekali tak ambil pusing, sambil mengerling ke arah Pek Jau-hui
sekejap, tiba-tiba ujarnya, "Saudara Pek, aku ingin tahu, kau berpihak kemana?"
Sambil menggendong tangan Pek Jau-hui mundur sejauh tujuh langkah, sahutnya,
"Malam ini adalah pertemuan kedua bagi kita, sementara aku sudah empat kali
bertemu dengan Tio-tongcu, malah transaksi jual beli kami sudah berjalan mulus,
artinya baik kau maupun dia, semua adalah sahabatku, aku tak ingin membantu
pihak mana pun." Dengan satu gerakan kilat Un Ji melompat ke sisi Ong Siau-sik, serunya cepat,
"Aku berpihak padamu ..........."
Belum selesai gadis itu berbicara, Tio Thiat-leng sudah menerjang sembari
menyodokkan sepasang kepalannya mele?paskan satu pukulan, sementara kakinya
menyapu tubuh Un Ji. . Begitu tubuh Un Ji roboh terjungkal, kepalan itu langsung menyambar ke dada dan
wajah Ong Siau-sik. Serangan itu sangat tiba-tiba dan cepatnya bukan kepalang, tak sempat bagi Ong
Siau-sik untuk menghindarkan diri.
Tio Thiat-leng segera sadar, dia bakal membunuh seorang lagi.
Bagi dirinya, bagi pandangannya, saat ini Ong Siau-sik sudah ibarat sesosok
mayat. Dia tidak kuatir ditegur So-kongcu, dia tak takut atasannya gusar karena ulahnya
itu. Sebab sekarang dia sudah membuat jasa besar, bila ditambah aksi yang akan
dilakukannya esok hari, maka jasa dan pahalanya akan luar biasa besarnya.
Dia tahu So-kongcu selalu membedakan dengan jelas mana jasa dan mana dosa,
sekalipun sekarang dia telah menyapu kaki adik seperguruannya hingga terjungkal,
dia menganggap kejadian ini lumrah, apalagi dia toh tidak membunuhnya.
Justru sekarang dia merasa sedikit sayang, sedikit kecewa.
Dia tahu, Ong Siau-sik adalah seorang anak muda yang berbakat, ia dapat melihat
hal itu. Tapi kenyataan, bakat yang begitu bagus ternyata enggan berpihak kepadanya,
daripada bakat bagus ini terjatuh ke tangan orang lain, dia putuskan lebih baik
mengirimnya lebih dulu ke dalam peti mati!
Sekarang dia sedang menunggu suara tulang belulang Ong Siau-sik retak dan
hancur. Suara tulang yang hancur bermacam-macam, suara tulang wajah yang retak beda
sekali dengan suara tulang dada yang hancur, tulang wajah agak keras sementara
tulang dada lebih lunak, bila dibandingkan suara tulang iga yang retak pasti
lebih nyaring. Namun baginya, suara tulang wajah yang retak jauh lebih merangsang, jauh lebih
menegangkan. Selama ini sudah terlalu banyak tulang dada orang yang hancur di tangan Tio
Thiat-leng, oleh karena itu dia lebih suka menghajar wajah lawan.
Misalnya saat dia menghajar Ho Tong sehingga tulang wajahnya hancur.
Ketika mendengar suara tulang wajah seorang sahabatnya yang sudah lama
dikenalnya, sudah lama berjuang bersama hancur berantakan, lalu dapat pula
menyaksikan sorot mata ragu dan tak percaya yang dipancarkan dari mata rekannya
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, bagi Tio Thiat-leng, kejadian ini amat merangsang napsu, dia merasa sangat
menikmatinya. Betul juga, dia segera mendengar suara tulang patah.
Bukan tulang wajah, bukan pula tulang iga, tapi tulang per-gelangan tangan.
Suara retak itu berasal dari tulang pergelangan tangan kiri sendiri, suara retak
yang amat nyaring. "Kraaak!" Tangan kanan Ong Siau-sik masih tetap menempel di atas gagang senjatanya.
Gagang pedang itu panjangnya tujuh inci, berujung bulat dengan sarung yang
antik, walaupun tubuh senjata tidak nampak namun gagang pedangnya kelihatan
sangat nyata, sebuah gagang pedang berbentuk melengkung bagai bulan sabit, pada
ujung lengkungan terlintas selapis cahaya berwarna hijau.
Melihat bentuk senjata itu, setengah mirip sebilah golok, setengah mirip sebilah
pedang, pedang yang tergabung dalam golok.
Selama ini Ong Siau-sik belum pernah melolos pedangnya. Dia pun tidak bermaksud
menghindarkan diri. Sekalipun tubuhnya tidak berkutik, namun telapak tangan kirinya telah bergerak
cepat, menelusuri sisi tubuhnya dia menghadiahkan sebuah babatan kilat ke atas
pergelangan tangan lawan.
"Kraaak!", diiringi bunyi nyaring, pergelangan tangan itu segera terkulai lemas.
Tidak berhenti sampai di situ, kembali Ong Siau-sik mementang kelima jari
tangannya, kali ini dia berusaha mencengkeram kepalan kanan lawan.
Dalam keadaan begini buru-buru Tio Thiat-leng menarik kembali serangannya,
dengan buas penuh amarah dia melototi musuhnya sekejap, kemudian sambil
memegangi tangan kirinya yang lunglai lemas, ia membalik badan dan segera
beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Ploook, plookk"
Suara tepuk tangan bergema di udara, ternyata Pek Jau-hui yang sedang bertepuk
tangan. "Kungfu yang hebat," puji orang itu dengan suara lembut, "aku tahu, kepandaian
silatmu memang hebat, tapi tak kusangka ternyata kau pun sanggup melukainya
tanpa harus mencabut pedang, sayang aku gagal mengetahui asal-usul perguruanmu,
he sobat, aku lihat kau memang sengaja hanya melukai sebuah tangannya bukan"
Kalau tidak, mungkin dia hanya memiliki dua kaki untuk kabur."
Un Ji tidak habis mengerti dengan perkataan itu, sebab dia memang tak sempat
melihat dengan jelas apa yang telah terjadi.
Gerak serangan itu dilakukan dalam waktu singkat, serangan yang kelewat cepat.
"Padahal apa yang kau lakukan akan sangat menguntungkan posisi Tio Thiat-leng,"
kembali Pek Jau-hui berkata, "coba bayangkan saja, jika dia pulang dalam keadaan
utuh dan segar bugar, dengan kecerdasan Lui-congtongcu, masa dia tak curiga"
Sekarang dia pulang dengan membawa luka, kejadian ini justru akan memperlancar
usahanya memperoleh jasa dan pahala."
"Manusia macam dia termasuk seorang jago yang licik dan banyak akal, sekalipun
tidak kulukai, dia tetap bisa mengatur siasat dan akal muslihat untuk memberikan
alasan yang masuk akal," kata Ong Siau-sik, "tadi aku memang sengaja memberi
pelajaran kepadanya, karena aku tak suka dengan wataknya, untuk mencapai tujuan,
dia tak segan banyak membunuh, perbuatan macam begini jelas merupakan satu
perbuatan yang biadab."
"Padahal kalau mau bicara sejujurnya, justru aku yang paling banyak membunuh
pada malam ini," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "selanjutnya, kau bakal kubuat repot terus."
"Aku masih muda, aku tak peduli."
Un Ji yang membungkam terus, kini tak sanggup menahan diri, dengan sorot matanya
yang bening dia mengawasi Pek Jau-hui sekejap, kemudian memperhatikan lagi Ong
Siau-sik, setelah itu gumamnya, "Manusia aneh, manusia aneh, satu rumah penuh
dengan manusia aneh, seluruh ruangan dipenuhi manusia aneh, sepasang manusia
aneh." "Kalau sudah tahu di sini ada manusia aneh, kenapa pula nona Un datang kemari?"
tegur Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Guruku dan orang tuaku minta aku berangkat ke kotaraja untuk membantu Suheng,
tapi lantaran sepanjang jalan aku sering mendengar orang bercerita kalau di
tempat ini sedang terjadi penculikan anak-anak, bahkan anak pembesar pun ikut
diculik, maka dengan perasaan ingin tahu aku melacak kabar berita ini, akhirnya
aku pun bersembunyi di atas wuwungan rumah sebelum akhirnya...."
"Akhirnya diseret keluar orang lain?" sela Pek Jau-hui lagi. "Hmm, siapa yang
berani menyeret aku?" teriak Un Ji gusar. "Nonamu
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ong Siau-sik berteriak keras, "Hati
hati "Nguuung... braaaak!" Un Ji hanya merasakan seseorang menyambar lewat dari atas kepalanya, dengan
perasaan kaget dia segera melepaskan tujuh delapan jurus serangan ke udara.
Tampak orang itu merentangkan tangannya lebar-lebar, langsung memeluk tubuhnya
dan merobohkannya ke lantai.
Cahaya lampu yang semula menerangi ruangan, kini padam secara tiba-tiba.
Sesaat sebelum cahaya lentera itu padam, tampak seseorang membentak nyaring dan
langsung menerjang ke atas atap rumah.
Un Ji tak tahu apa yang telah terjadi, dia hanya merasakan seseorang masih
menindih di atas tubuhnya, dengus napas lelaki yang sangat kuat.
Sebenarnya Un Ji berusaha meronta sambil bersiap mencaci maki, tiba-tiba dia
seperti paham akan sesuatu, mulutnya segera terbungkam kembali dan tubuhnya
tidak bergerak pula. Dalam pada itu, orang yang semula melompat ke atas atap rumah tadi, kini bagai
segulung asap telah melayang balik ke dalam ruangan, Un Ji dapat merasakan gerak
tubuh orang itu sangat enteng dan cepat.
Sedang orang yang semula mendekap tubuhnya, kini pun sudah melompat bangun.
Dalam keremangan cuaca, gadis itu dapat melihat orang berbaju putih yang gesit
gerak tubuhnya itu sedang menvulut lentera.
Malam ini, lentera di dalam kamar sudah padam sebanyak tiga kali.
Kali pertama terjadi di saat Un Ji melayang turun dari atap rumah dan terjebak
dalam kepungan orang banyak.
Kali kedua terjadi di saat Tio Thiat-leng dan Pek Jau-hui bersamaan menyerbu
masuk ke dalam ruangan disusul munculnya Ong Siau-sik.
Dan kali ini adalah kali ketiga lampu lentera itu padam.
Ketika cahaya api disulut kembali, di saat sinar mulai menerangi seluruh
ruangan, pemandangan macam apa pula
yang dijumpai" Un Ji dapat merasakan bahwa setiap kali cahaya lentera disulut kembali, maka
seolah selapis kabut mulai disingkap, seolah sedang membuka sebuah halaman baru,
seperti malam yang lewat dan fajar mulai menyingsing.
Pemandangan macam apa pula yang akan tampil kali ini"
ooOOoo Cawan. Ong Siau-sik sedang mengawasi sebuah cawan.
Sebenarnya cawan bukan sesuatu yang aneh, di atas lantai penuh berserakan cawan
yang utuh maupun cawan yang telah hancur lebur.
Tapi cawan yang ini sangat berbeda, cawan ini menancap di atas tiang penyangga
bangunan. Hampir seluruh permukaan cawan terbenam di tiang itu, yang tersisa di luar hanya
dasar cawan, itupun hanya sebagian kecil yang terlihat.
Sebetulnya cawan itu sangat biasa, tak ada keistimewaan apa pun karena terbuat
dari porselen putih dan merupakan cawan arak yang bisa digunakan kebanyakan
orang. Kalau dibilang benda itu mempunyai keistimewaan, maka hal ini dikarenakan di
sisi cawan terlihat ada beberapa helai rambut yang terpapas serta selembar kecil
kain putih, kain dengan bercak darah.
Sekarang Un Ji jadi paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata orang yang merobohkan tubuhnya dan melindunginya di atas lantai tak
lain adalah Pek Jau-hui, lelaki acuh tak acuh itu.
Sementara orang yang menerobos naik ke atap rumah untuk mengejar musuh adalah
Ong Siau-sik, si anak muda yang nampak sedikit bloon itu.
"Mana orangnya?" ia segera menegur sembari membenahi rambutnya yang kusut.
"Sudah pergi," sahut Ong Siau-sik sembari mengawasi cawan itu tanpa berkedip.
"Siapa sih orang itu?" tanya Pek Jau-hui pula. "Kurang jelas, aku hanya melihat
bayangan orang berkelebat kemudian lenyap, rasanya dia agak jangkung, agak
kurus, tapi tidak terlampau jelas."
Kali ini giliran Pek Jau-hui yang melengak, dia tahu ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Ong Siau-sik cukup tangguh, tapi nyatanya ia gagal mengejar orang itu,
hal ini membuktikan kepandaian silat lawan memang luar biasa.
Sementara itu Un Ji sedang mengawasi wajah Pek Jau-hui dengan matanya yang
tajam, ia lihat pemuda itu memiliki hidung mancung dengan kelopak mata agak
cembung tulang matanya tinggi menonjol, saat itu dia sedang berdiri dengan sikap
tak acuhnya. Tak tahan si nona ini jadi mencak-mencak lantaran mendongkol, tapi sekarang dia
sadar ada orang telah membokong mereka.
Rambut yang terpapas kutung jelas merupakan rambut miliknya, robekan kain putih
ternyata berasal dari ikat kepala Pek Jau-hui, sedang bercak darah berasal dari
alis mata sebelah kiri Ong Siau-sik.
Sungguh hebat kepandaian silat yang dimiliki si pembokong, ternyata ia mampu
menggunakan sebuah cawan arak, dari sudut yang tak terduga sekaligus mengancam
nyawa ketiga jago itu. "Serangan cawan yang hebat!" gumam Pek Jau-hui tanpa terasa.
Ong Siau-sik memeriksa sekejap dasar cawan yang nampak menongol keluar, lalu
katanya pula, "Orang ini sangat mahir menggunakan cawan sebagai senjata rahasia, aku jadi
ingin tahu apakah dia hebat juga menggunakan tombak?"
Begitu mendengar perkataan itu, Pek Jau-hui nampak terkesiap, serunya tanpa
sadar, "Jangan-jangan perbuatan dia?"
"Siapa?" "Seseorang!" Baru saja Ong Siau-sik dan Un Ji ingin bertanya siapakah orang itu, mendadak
terdengar Pek Jau-hui berbisik lagi, "Sstt, jangan berisik, ada orang datang."
"Benar, malah lebih dari satu," sambung Ong Siau-sik.
ooOOoo 7. Manusia dalam impian Dengan kening berkerut, Un Ji siap melolos goloknya. "Jangan mencabut senjata,"
buru-buru Pek Jau-hui mencegah, "kali ini yang datang adalah para opas dari
pengadilan." "Mau menangkap kita?" tanya si nona tertegun. Kontan Pek Jau-hui
tertawa geli. "Memangnya kau sudah melakukan pidana?" ejeknya.
"Kalau begitu mereka datang untuk menangkap kalian?" sekali lagi Un Ji tertegun.
"Aku rasa kehadiran mereka hanya merupakan sebagian dari strategi yang diatur
Tio Thiat-leng," kata Ong Siau-sik menjelaskan, "kini para opas sudah berdatangan, kita tak perlu
berdiam terlalu lama di tempat ini."
"Betul, lebih baik segera angkat kaki," Pek Jau-hui membenarkan.
Terdengar suara gonggongan anjing, derap kaki kuda dan bentakan manusia
berkumandang semakin dekat, kali ini Un Ji pun dapat menangkap suara berisik itu
dengan jelas. Pek Jau-hui segera berseru sambil tertawa, "Kalau tidak angkat kaki sekarang,
mau menunggu sampai kapan lagi?"
Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap, Ong Siau-sik segera menerobos
keluar lewat lubang di wuwungan rumah, Un Ji lewat jendela, sementara Pek Jau-
hui melesat lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia sempat menyentilkan jari
tangannya ke arah dasar cawan yang menancap di tiang kayu.
Begitu kena sentilan, cawan arak itu segera hancur, hancur jadi dua bagian.
Kedua pecahan cawan tadi segera melesat ke samping, satu menghantam tubuh Li Tan
sedang yang lain menghajar tubuh Li Ciau-hong, sungguh tepat gerak serangan itu.
Saat itu sebenarnya Ong Siau-sik sudah melayang naik ke atap rumah, begitu
mendengar desingan angin tajam, badannya segera meluncur kembali ke bawah,
langsung menuju ke arah dua bersaudara Li tergeletak, dengan kepala di bawah
kaki di atas dia menyambar ke samping, mengambil segenggam hancuran genting.
"Sreeet!", terdengar suara desingan tajam menggelegar membelah bumi, belum lagi
serangan Ong Siau-sik tiba, tahu-tahu pecahan cawan itu sudah menyambar lewat,
langsung menancap di atas kening Li Tan.
Tak ampun lagi diiringi suara dengusan tertahan Li Tan tewas seketika.
Menyaksikan kejadian ini, Ong Siau-sik tak kuasa menahan rasa gusarnya,
bentaknya penuh amarah, "Kenapa kau harus mencabut rumput hingga seakar-
akarnya?" "Perasaanmu kelewat lembek," sahut Pek Jau-hui santai.
"Masalah ini bukan perasaan lembek atau tidak, tapi apa perlunya" Kenapa kau
ngotot ingin membunuhnya?"
"Jika kita melepaskan siapa pun di antara mereka, suatu ketika bila kejadian ini
sampai tersiar, sudah pasti Lui Sun maupun So Bong-seng tak akan melepaskan
mereka, bayangkan sendiri, apa untungnya perasaan lembekmu itu?"
Ong Siau-sik tidak membantah, namun dia nampak uring-uringan.
Sementara itu Un Ji yang sudah berada di luar tiba-tiba menegur, "He, apa yang
sedang kalian lakukan di situ" Cepat keluar!"
Tampaknya Pek Jau-hui tak ingin bentrok dengan Ong Siau-sik gara-gara persoalan
ini, katanya kemudian, "Ayo, cepat kita menyusul keluar, kalau perempuan itu
berkoar-koar di luar sana, bisa jadi seluruh opas dalam kota akan menyusul
kemari." Ong Siau-sik memandang sekejap Li Ciau-hong yanj masih menggeletak di lantai,
saat itu perempuan siluman itu sedang mendongakkan kepalanya dengan susah payah,
pancaran sinar dendam yang kuat terlintas dari balik matanya.
"Ya, sudahlah," ujar Pek Jau-hui kemudian, "akan kuampuni perempuan ini, semoga
saja dia tidak menyia-nyiakan harapanmu yang telah menyelamatkan jiwanya."
Selesai berkata, ia beranjak pergi dari situ.
Sekali lagi Ong Siau-sik mengawasi Li Ciau-hong yang tergeletak di lantai,
kemudian memandang pula mayat yang bergelimpangan dalam ruangan, tak kuasa dia
menghela napas panjang. Dalam pada itu suara derap kaki kuda dan teriakan manusia sudah makin mendekat,
Ong Siau-sik segera menendang tubuh Li Ciau-hong untuk membebaskan totokan jalan
darahnya, sebelum meninggalkan tempat itu pesannya, "Semoga kau tidak melakukan
kejahatan lagi." ooOoo Di bawah cahaya rembulan tampak tiga sosok bayangan manusia melesat dengan
kecepatan tinggi. Bayangan berbaju putih adalah Ong Siau-sik, dia memang selalu berdandan
sederhana, baju panjangnya berwarna cerah bagai sinar rembulan, lembut bagai
warna rembulan. Bayangan yang berbaju sutera adalah Pek Jau-hui, dia mengenakan stelan baju
terbuat dari bahan sutera yang mahal harganya, anggun, mewah dan terhormat.
Sementara bayangan yang memakai baju merah adalah Un
Ji, baju ketat warna merahnya dengan renda berbentuk kupu-kupu emas, sulaman
bunga mawar di sisi bahu membuat gadis ini nampak cantik bak bidadari dari
kahyangan. Tak kuasa Ong Siau-sik melirik sekejap ke arah gadis itu.
Pek Jau-hui turut mengerling sekejap, namun sekulum senyuman angkuh segera
tersungging di ujung bibirnya.
Un Ji tahu, kedua orang anak muda itu sedang mencuri pandang ke arahnya.
Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya jauh lebih rendah ketimbang kedua
orang itu, namun dia yakin memiliki kemampuan yang cukup sempurna dalam
menganalisa 'adakah seseorang yang sedang mencuri pandang ke arahnya'.
Dalam persoalan ini, kaum pria memang selalu lebih bodoh ketimbang kaum wanita.
Un Ji luar biasa gembiranya, dengan senyum di kulum dia sengaja hanya memandang
jalanan di kejauhan sana, kepalanya didongakkan, alis matanya bekernyit dan
sebisa mungkin dia berusaha menjaga gerak-geriknya agar selalu tampil anggun.
Perasaan bangga menyelimuti hatinya, dia senang karena kedua orang anak muda itu
mulai menaruh perhatian kepada?nya.
Baru keluar dari rumah penginapan, mereka telah menginjak sesosok mayat yang
tergeletak di sisi pepohonan, orang itu tak lain adalah salah satu mata-mata
yang dikirim perkumpulan Lak-hunpoan-tong untuk mengawasi Tio Thiat-leng.
Menyusul teriakan kaget gadis itu, suara bentakan dan de?singan angin tajam
bergema dari seluruh penjuru ruangan, untung Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik
bertindak cepat, coba kalau bukan ditarik kedua orang pemuda itu, mungkin dia
sudah dikepung pasukan kerajaan.
"Hei, apa yang kalian takuti?" protes Un Ji tak senang hati,
"aku toh tidak membunuh, juga tidak membakar, kenapa aku mesti takut?"
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tidak menggubris, mereka tetap menyeret gadis itu
menjauh dari tempat itu.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menanti kejaran pasukan kerajaan tertinggal jauh, ketiga orang itu baru
memperlambat larinya. Saat itulah Un Ji baru membenahi rambutnya yang kusut, dia tahu, gayanya saat
ini pasti lembut dan menarik hati.
"Eh, bukankah bunga yang kau sisipkan di sanggulmu adalah bunga melati?" tiba-
tiba Pek Jau-hui bertanya.
Un Ji memegang sisi sanggulnya sambil membetulkan letak bunga melati itu, lalu
tanyanya sambil mengerling ke arah pemuda itu sekejap,
"Benar, ada apa?"
Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, serunya kemudian, "Nah, apa kubilang,
ternyata memang bunga melati."
"Bunga melati?" Ong Siau-sik seperti tak mengerti.
"Tempo hari Gwe-sian dan Loan-si juga menyisipkan bunga itu disanggulnya," kata
Pek Jau-hui sambil tertawa, "ketika aku tanya mereka, gadis-gadis itu enggan
memberitahu, sekarang aku baru mengerti, ternyata bunga itu bernama melati."
"Gwe Sian" Loan Si?" Ong Siau-sik semakin tak habis me?ngerti.
"Masa kau tidak tahu?" kembali Pek Jau-hui berseru, "semua pelacur penghuni Ing-
cun-sian maupun Hong-hiang-kek di sepanjang sungai Chin-hway hampir semuanya
menyisipkan bunga semacam itu di sanggulnya, tak kusangka
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Un Ji dengan wajah cemberut sudah kabur
duluan meninggalkan mereka berdua.
Melihat itu Pek Jau-hui mengerdipkan matanya ke arah Ong Siau-sik, kemudian
tertawa tergelak. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng.
"Sekarang kau hendak berangkat kemana?" tanya Pek Jau-hui kemudian. "Kotaraja"
"Mau apa ke sana?" "Mengadu untung."
"Kau punya sahabat atau sanak saudara di sana?" "Tidak."
"Lantas mau apa kau ke kotaraja?" tegur Pek Jau-hui sambil tertawa,
"ingin kaya mendadak" Ingin ternama?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu bahwa aku belajar ilmu untuk berbakti kepada
negara, ambisi dan cita-citaku harus diwujudkan mumpung aku masih muda, aku tak
ingin menyia-nyiakan hidupku,"
kemudian setelah berpikir sejenak, tambahnya, "Tapi seandainya cita-citaku tak
terwujud, ya sudah, apa boleh buat."
"Tahukah kau, begitu banyak manusia macam kau hidup di dunia ini" Tapi akhirnya
mereka hanya menanggung rasa kecewa, karena keinginannya sulit terwujud."
Ong Siau-sik tidak langsung menanggapi perkataan itu, dia berpikir sejenak
kemudian baru sahutnya, "Paling tidak, aku toh harus mencobanya dulu."
"Bagus sekali!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Ong Siau-sik balik bertanya.
"Aku" Kenapa dengan aku?"
"Aku lihat kungfumu hebat, kemampuanmu luar biasa, hendak kemana kau" Apa yang
akan kau lakukan?" "Sebetulnya aku sejalan dengan kau," di balik keletihan ter?lintas sikap angkuh
dan kesendirian di wajah Pek Jau-hui, "aku pun hendak ke kotaraja, mencoba
mengadu untung pula. Oleh karena aku tak ingin mencari sesuap nasi dengan
bekerja dalam lingkungan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka kuterima
order sesaat yang bisa menghasilkan duit, dengan bekal itu aku hendak ke
kotaraja, mencoba apakah aku bisa menancapkan kaki di situ."
"Kalau begitu kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama," seru Ong Siau-sik
kegirangan, "dengan begitu kita tak usah kesepian sepanjang jalan."
"Kesepian sih tak mungkin, kau tak kuatir aku segera angkat kaki menyingkir
begitu melihat kau tertimpa kesulitan?"
"Ooh, masa iya?" Ong Siau-sik menanggapi dengan serius.
"Hahaha, sayang aku bernama Pek Jau-hui, kabur di kala orang sedang murung, coba
aku bernama Pek Oh-hui, aku tentu akan kabur di saat kau sedang kelaparan," Pek
Jau-hui tertawa terbahak-bahak.
Kini Ong Siau-sik baru tahu kalau rekannya tidak bicara serius, serunya cepat,
"Mau kabur pada saat seperti apa pun aku tak bakal menyalahkan dirimu, aku hanya
berharap kau jangan membohongi aku, seperti yang kau lakukan tadi, katanya tak
akan membunuh, tapi kenyataan ...
kau "Sudahlah, yang sudah lewat tak usah disinggung lagi," potong Pek Jau-hui sambil
tertawa. "Saudara Pek," tiba-tiba Ong Siau-sik berseru setelah mengawasi wajahnya
sekejap, "ternyata sewaktu tertawa, kau tidak nampak angkuh atau jumawa, malah
kelihatannya amat ramah."
Pek Jau-hui tidak menyangka kalau Ong Siau-sik akan mengucapkan perkataan
semacam itu, setelah melengak sekejap sahutnya, "Kalau tiap saat kita mesti
senyum tak senyum, bagaimana orang mau menghormati kita?"
Tiba-tiba terasa segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu Un Ji bagaikan
sekuntum bunga mawar sudah menerjang ke depan mereka, serunya sambil tertawa,
"Aneh, masakah dua orang lelaki senang bicara berbisik, persis banci saja."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Coba tebak, nonamu mau pergi
kemana" Kalau bisa menebak secara jitu, aku akan mentraktir kalian makan gula-
gula." Kemudian seraya berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya pula, "Kau duluan."
"Aku rasa kau akan ke Mongolia," sahut pemuda itu terpaksa.
"Dan kau?" tanya Un Ji sambil berpaling pada Pek Jau-hui. Dengan wajah serius
Pek Jau-hui berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Kau akan menuju pesanggrahan
Ing-cun-sian di tepi sungai Chin-hway."
Saat itu mereka bertiga memang sudah tiba di tepi sungai, sudah barang tentu
sungai itu bukan sungai Chin-hway me?lainkan sungai Han-swe dengan arusnya yang
deras. Dengan menumpang sebuah sampan, mereka melanjutkan perjalanan, untuk tiba di
kotaraja paling tidak masih membutuhkan waktu sepuluh hari hingga setengah bulan
lamanya. Begitulah mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan bersama-sama, tengah
hari itu tibalah mereka di dermaga penyeberangan Lam-tok-tau.
Karena sepanjang perjalanan mereka berbincang dan bergurau, hubungan mereka
bertiga pun bertambah akrab, saat itulah Ong Siau-sik dan Un Ji dapat merasakan
bahwa Pek Jau-hui ternyata bukan orang jumawa yang segan bergaul, meski cara
kerjanya tegas, telengas dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan, bahkan terkadang tak kenal sanak keluarga sendiri, sesungguhnya dia
adalah seorang pemuda yang berhati mulia.
Sebaliknya Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun merasa bahwa Un Ji meski kekanak-
kanakan dan lincah, sesungguhnya dia berhati mulia, cuma rasa ingin tahunya
kelewat besar dan agak keras kepala.
Sementara Un Ji dan Pek Jau-hui menganggap Ong Siau-sik kelewat jujur, polos,
namun terkadang serius dan tak main-main.
Di samping mereka bertiga dapat memahami satu sisi dari rekannya, namun ada sisi
lain yang mereka anggap sulit untuk diraba, seakan meraba sisi punggung
rembulan, sulit untuk diketahui rahasia apa di balik semua itu. Adakah sisi baik
dari semua itu" Atau justru sisi buruk yang masih tersembunyi" Terkadang dalam
kehidupan manusia di dunia ini, ada sekelompok manusia berkumpul dan berteman
lantaran mereka memiliki kegemaran yang sama, terkadang berkumpul karena
kebutuhan yang sama atau didesak oleh keadaan, sifat asli mereka baru akan
terlihat bila sedang menghadapi suatu masalah, suatu keadaan yang berbahaya,
kerap kali sifat asli yang mereka tampilkan bisa membuat orang terkejut, membuat
orang terpana bahkan melongo.
ooOOoo Tiba di dermaga, mereka bertiga menyewa sebuah perahu dan bersiap melanjutkan
perjalanan keesokan harinya.
Ujar Pek Jau-hui, "Lebih baik kita menempuh perjalanan air saja, lebih nyaman
dan santai, toh kita tidak sedang terburu-buru, kalau ada angin, mungkin kita
akan tiba di tempat tujuan lebih cepat, kalau sedang tak ada angin, anggap saja
waktu yang lebih lama merupakan saat kita bersantai."
"Aku tak setuju," protes Un Ji.
"Kalau begitu kau boleh menempuh perjalanan darat sementara kami lewat jalan
air." Un Ji kontan melotot, sambil menghentakkan tangan ia ber?teriak, "Pek Jau-hui,
apa maksudmu?" "Apakah nona takut kurang leluasa berada di atas ranjang?" tanya Ong Siau-sik
cepat. Sebenarnya ia bermaksud mengurai ketegangan di antara Un Ji dan Pek Jau-hui,
siapa tahu saking cemasnya dia telah salah menyebut Juan (perahu) menjadi Juang
(ranjang), aneh kalau perkataan ini tidak menimbulkan.bencana.
Benar saja, Un Ji kontan mencak-mencak gusar, sambil menuding ke arah pemuda itu
teriaknya penuh amarah, "Kalian memang cuma pintar bicara kotor, jangan keburu
senang hati, suatu saat nonamu pasti akan membuat perhitungan!"
Sepanjang perjalanan dia memang sudah terbiasa digoda Pek Jau-hui, maka ketika
Ong Siau-sik ingin mengucapkan kata yang bernada menggoda, dia kira anak muda
inipun telah bersekongkol untuk mempermainkan dirinya.
Ong Siau-sik semakin tergagap, serunya lagi terbata-bata, "Nona Un, aku ...
aku ... tidak ...........
tidak bermaksud begitu, maksudku ............ aku ......... aku ingin bersamamu
naik ... naik ranjang Lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar, naik 'perahu'
disebutnya naik 'ranjang', kegugupan pemuda ini semakin membuat Un Ji naik
darah, dia mengira pemuda ini sedang melakukan pelecehan terhadapnya, tanpa
pikir panjang, telapak tangannya langsung diayunkan ke muka dan
............. "Plaaak!", dia tampar wajah Ong Siau-sik dengan keras. Bicara kepandaian silat
yang dimiliki Ong Siau-sik., sebenarnya dia mempunyai kekuatan yang lebih untuk
menghindar, tak ada alasan bagi anak muda itu untuk tak mampu menghindarkan
diri. Tapi kenyataan, Ong Siau-sik sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari
tamparan itu. Begitu pipinya terasa panas lantaran kena tamparan, untuk beberapa saat pemuda
itu hanya berdiri tertegun tanpa mengerti harus berbuat apa.
Pek Jau-hui sama sekali tidak melerai, dia hanya tertawa terbahak-bahak
menyaksikan kejadian itu.
Sementara itu Un Ji sambil bercekak pinggang mengomel lagi, "Hmm, kalian berdua
memang bukan orang baik, beraninya hanya mempermainkan aku!"
Selesai bicara ia segera melompat ke daratan dan beranjak pergi dari situ.
Ong Siau-sik ingin melompat ke daratan untuk menyusul gadis itu, tapi segera
dicegah Pek Jau-hui, ujarnya, "Kau tak usah terburu-buru, asal tidak menjumpai
sesuatu yang menarik, dia pasti akan balik sendiri kemari."
"Tapi dia ....... dia masih menaruh salah paham padaku," kata Ong Siau-sik
sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas, "kalau tidak kuberi penjelasan,
dia tentu akan menganggap aku sedang melakukan pelecehan, sengaja bicara kotor
"Mau dibantah dengan cara apa pun toh percuma, perkataan sudah telanjur
diucapkan," kata Pek Jau-hui tertawa, "apalagi dia memang cantik, masih muda dan
menawan hati, bila tak ingin naik ranjang bersamanya, kau pasti bukan seorang
lelaki." "Tapi....... tapi....... aku sama sekali tak punya pikiran begitu!"
"Kalau hanya bicara, rasanya bukan kejadian yang luar biasa, bukankah dia pun
sudah marah" Kenapa" Memangnya perkataanmu sudah merugikan dirinya" Apalagi dia
toh sudah turun tangan menamparmu, apa dianggapnya kurang puas" Tak usah kuatir,
menjelang rnalam dia pasti sudah balik lagi kemari!"
"Semoga dia memang tidak pergi meninggalkan kita," gumam Ong Siau-sik sambil
mengawasi tengah sungai dengan perasaan gundah.
Pek Jau-hui yang mengamati gerak-gerik pemuda itu segera menyadari akan sesuatu,
serunya kemudian, "Jangan kuatir, tak bakalan pergi
Mendadak ia berhenti berbicara, dengan sikunya dia menyodok pinggang rekannya
itu. Ong Siau-sik agak tertegun, belum sempat bertanya sesuatu, Pek Jau-hui kembali
berbisik dengan nada serius, "Coba kau lihat!"
Mengikuti arah yang ditunjuk Ong Siau-sik, ia lihat ada se?rombongan perempuan
yang berdandan sebagai dayang, mengiringi seorang nona bergaun hijau sedang
menaiki sebuah perahu pesiar mewah di sisi kiri sungai.
Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap, tiba-tiba saja semua orang seakan
sudah lenyap dari pandangan.
Ia dapat melihat nona berbaju hijau itu berparas amat cantik, dengan perawakan
tubuh yang ramping dan gerak-gerik yang lembah gemulai, sungguh seorang gadis
yang menawan hati. Ong Siau-sik tak berani memandang lebih lama, ia merasa hatinya mendadak amat
sakit, buru-buru pandangannya dialihkan ke tempat lain, mengawasi keindahan alam
di kejauhan sana. Dalam pada itu para kelasi yang berada di atas perahu pesiar itu sudah mulai
mendayung perahunya bergerak menuju
ke mulut sungai. "Kau dapat menyaksikan sesuatu?" bisik Pek Jau-hui kemudian.
"Ya, sungguh tak disangka ternyata di dunia ini terdapat seorang gadis yang
begitu cantik, bila dibandingkan Un-lihiap, maka nona itu ... nona itu........"
Bicara sampai di sini ia segera bungkam, ia merasa tak pantas untuk melanjutkan
kata-katanya. "Haah, tak nyana kau pun pandai menilai," goda Pek Jau-hui cepat,
"setelahbertemu wanita cantik, lalu ..."
Ia tidak melanjutkan godaannya, karena dengan wajah serius kembali bisiknya, "Aku rasa perahu
itu sedikit kurang beres"
"Mana yang tak beres?" tanya Ong Siau-sik terperanjat, di samping menguatirkan
keselamatan gadis cantik itu, dia pun sedikit kurang percaya dengan omongan Pek
Jau-hui, dianggapnya rekannya itu sengaja mengada-ada.
Pek Jau-hui tak menggubris keraguan rekannya, dengan sorot mata yang tajam dia
masih mengawasi perahu pesiar yang semakin menjauh itu.
"Orang yang sudah terbiasa mendayung perahu, biasanya galah mereka tak akan
menimbulkan percikan air, sang juru mudi biasanya sangat mengenal sifat arus dan
pandai mengendalikan posisi. Tapi kau lihat beberapa orang kelasi yang memegang
kemudi perahu tadi, pertama, mereka bermata tajam, berotot kekar dan punya kuda-
kuda yang mantap, siapa pun tahu kalau mereka sekawanan jago yang berilmu silat
tinggi. Kedua, kawanan manusia itu tak mengerti mengemudikan perahu, dayungan
mereka menimbulkan percikan air, siapa pun tahu kalau mereka masih sangat awam
dalam mengemudikan perahu. Ketiga, kulit tubuh mereka kelewat putih dan mulus,
padahal biasanya kelasi berkulit gelap karena tiap hari berjemur di bawah
teriknya matahari. Selain itu, sebelum naik ke perahu mereka saling bertukar
pandang sekejap, bahkan membawa perahu itu menuju ke tempat yang sepi, jelas
mereka mempunyai rencana busuk."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku yakin, malam nanti perahu itu akan
tertimpa bencana." Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Ong Siau-sik terbayang kembali wajah si
nona yang cantik jelita itu, tanyanya tiba-tiba,
"Bagaimana kalau kita memberi peringatan ..........."
"Jangan!" cegah Pek Jau-hui, sorot mata yang buas bagaikan sorot mata serigala
yang sedang mengintai mangsanya terlintas dari balik matanya.
8. Perempuan cantik di tengah sungai
Riak air di permukaan sungai Han-swe nampak tenang bagaikan cermin, sedemikian
tenangnya hingga memantulkan bayangan perahu, gunung, lentera dan pepohonan di
atas permukaan sungai. Yang tak nampak justru hanya bayangan manusia.
Sebagian besar penghuni perahu itu sudah terlelap tidur.
Hanya ada dua tiga buah lentera yang tergantung di atas tiang, memancarkan
cahayanya yang redup. Suasana di sepanjang tepi sungai hening dan amat sepi, hingga saat itu Un Ji
belum juga balik kembali ke atas perahu.
Di kejauhan sana terlihat ada orang sedang tidur, dengkurnya tenang penuh damai.
Di ujung jembatan ada orang sedang meniup seruling, menemani rembulan, bercermin
permukaan air. Un Ji wahai Un Ji, kemanakah kau pergi"
Ong Siau-sik mulai cemas, mulai menguatirkan keselamatan gadis itu.
"Kita jangan sembarangan bergerak," Pek Jau-hui telah berpesan begitu kepadanya
senja tadi, "aku yakin mereka yang ada dalam perahu itu mempunyai asal-usul yang luar biasa,
jelas bukan jago sembarangan, aku percaya menjelang tengah malam nanti kawanan
jago yang menyaru sebagai kelasi itu akan turun tangan. Kita baru turun tangan
setelah tahu keadaan yang sebenarnya."
Pek Jau-hui memang lebih cenderung bertahan sambil menunggu datangnya
kesempatan. Malam itu Ong Siau-sik tidak bisa tidur nyenyak, dia hanya membolak-balikkan
badan namun mata tak mau terpejam, entah karena sedang memikirkan sesuatu atau
karena sedang meningkatkan kewaspadaan.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu berlalu amat lambat...............
Beberapa saat sudah lewat, dari kejauhan terdengar suara kentongan pertama telah
tiba. Pada saat itulah dia merasa perahu yang ditumpanginya sedikit berguncang.
Ong Siau-sik tahu perahu mereka telah kedatangan seorang jago tangguh, buru-buru
dia melompat bangun dari tidurnya dan duduk.
Sesosok bayangan manusia melintas dari depan jendela perahu.
Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik membuka jendela sambil melompat keluar,
dengan sekali gerakan dia mencengkeram tengkuk orang itu sementara tangan yang
lain meng?hantam belakang kepalanya.
Orang itu berseru tertahan, baru saja akan meronta, Ong Siau-sik telah
mencengkeramnya kuat-kuat.
Anak muda itu segera merasa tangannya seakan sedang menyentuh sebuah tubuh yang
halus, lembut dan empuk, lamat-lamat terendus bau harum tubuh seorang perawan,
apalagi ketika lengannya tanpa sengaja menyentuh dada orang itu, ia menjadi
kaget setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan genggamannya.
"Lepas tangan," terdengar orang itu menghardik, "kau memang orang jahat, cepat
lepas tangan!" Ong Siau-sik amat terperanjat, lekas dia lepaskan genggamannya.
"Kenapa bisa kau?" tegurnya.
Gadis itu membalikkan badannya, rambutnya yang semula menempel di wajah pemuda
itu segera menyiarkan bau harum semerbak, tampak dengan wajah girang bercampur
mendongkol sedang memelototi dirinya.
Siapa lagi dia kalau Un Ji, gadis yang dipikirkan selama ini"
Ong Siau-sik girang setengah mati, sebaliknya Un Ji kelihatan hampir menangis
saking jengkelnya, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menghadiahkan sebuah
tempelengan. Kali ini Ong Siau-sik masih tetap tidak menghindar, untuk kedua kalinya dia
harus menerima tempelengan gadis itu.
Melihat tampang bloon yang ditunjukkan anak muda itu, tak tahan Un Ji tertawa
cekikikan. Senyum gadis itu membuat Ong Siau-sik semakin kesem-sem, dia hanya bisa
mengawasi nona itu dengari mata terbelalak dan mulut melongo.
Agaknya Un Ji mulai menyadari kalau dia sedang dipandang pemuda itu lekat-lekat,
pipinya kontan merah jengah, untung waktu itu cahaya rembulan tidak terlalu
cerah sehingga tidak kelihatan warna merah di pipinya.
Pada saat itulah mendadak dari kejauhan sana terdengar suara deburan air yang
tersentuh benda berat, menyusul kemudian berkumandang suara jeritan ngeri yang
memilukan hati. Tindakan pertama yang dilakukan Ong Siau-sik saat itu adalah mencari Pek Jau-
hui. Ternyata Pek Jau-hui tidak berada di atas perahu.
"Celaka!" pekiknya tanpa terasa.
"Ada apa?" tanya Un Ji keheranan.
Sementara itu suara pertarungan yang amat seru sudah mulai berkumandang dari
atas perahu pesiar yang mewah itu.
"Aku tak sempat memberi penjelasan, lebih baik menyeberang dulu ke sana!" seru
Ong Siau-sik cepat. Baik dia maupun Un Ji sama-sama tak pandai berenang, terpaksa dari sampan mereka
melompat naik ke daratan, lalu dari tanggul sepanjang pantai melompat naik ke
atas perahu pesiar itu. Baru saja mendekati sasaran, mendadak terlihat sesosok bayangan orang terlempar
keluar dari atas perahu dan tercebur ke dalam sungai, begitu tenggelam, orang
itu tak pernah muncul kembali.
Ong Siau-sik segera mengajak Un Ji menyelinap ke atas perahu, tapi lagi-lagi
sesosok bayangan orang terlempar keluar dan tercebur ke dalam sungai, kali ini
orang itu tampak berusaha meronta di dalam air, namun tak selang beberapa saat
kemudian dia pun berhenti bergerak.
Sewaktu Ong Siau-sik dan Un Ji menerjang masuk ke dalam ruang perahu, kembali
sesosok tubuh terlempar keluar, kali ini Ong,Siau-sik menyambutnya dengan tepat.
Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi perahu, hanya
alis matanya sudah berubah menjadi hitam keungu-unguan, darah memancar keluar
dari panca indranya, orang itu sudah tewas.
Un Ji menyelinap masuk dengan gerakan cepat, kebetulan seseorang sedang
menerobos keluar, nyaris mereka saling ber?benturan.
Lekas gadis itu melolos goloknya, tapi orang itu segera menahan gagang goloknya
sehingga tak mampu dicabut keluar.
Tangan Un Ji masih menggenggam gagang golok, tapi orang itu segera mencengkeram
tangannya sebelum ia sempat melakukan suatu tindakan.
Dengan cepat Un Ji dapat merasakan bau pria yang kuat menusuk hidungnya, bau
kelakian yang sudah tidak asing lagi baginya.
Terdengar orang itu berbisik dengan suara dalam, "Kau jangan melolos golok, kini
hawa napsu membunuhku sedang bangkit, aku kuatir tak sanggup menahan diri."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dalam tangannya yang lain terlihat
mencengkeram seseorang, dan kini dia mengayunkan tangannya, melemparkan tubuh
orang yang dibekuknya itu hingga mencelat sejauh tiga tombak.
Di bawah cahaya rembulan, terlihat jelas kalau orang itu adalah seorang lelaki
yang berdandan sebagai kelasi kapal.
Tak ampun tubuh orang itu tercebur ke dalam sungai dan segera lenyap terseret
arus sungai. Saat itulah Ong Siau-sik tiba di dalam ruang perahu, ketika melihat di sisi U n
Ji berdiri seseorang, tanpa banyak bicara dia pun siap melancarkan serangan.
Anak muda ini tak habis mengerti, padahal dia tahu kalau musuh yang sedang
dihadapinya sangat tangguh, namun rasa ingin membunuhnya tahu-tahu sudah
mencekam perasaannya, terutama setiap kali menyaksikan gadis itu terancam.
Perasaan aneh ini belum pernah dialami sebelumnya, bahkan sejak terjun ke dalam
dunia persilatan. Belum sempat serangan dilontarkan, terdengar orang itu telah berseru, "Ooh,
rupanya kau pun sudah datang, bagus sekali."
Dengan cepat Ong Siau-sik dapat mengenali suara orang itu, suara rekannya. Pek
Jau-hui! Satu ingatan melintas dalam benaknya, selain gembira karena berhasil menjumpai
rekannya, dia pun merasakan timbulnya perasaan sedih, dia tak tahu mengapa bisa
muncul perasaan itu ............. Saat itulah cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruang perahu, seseorang
berjalan keluar sambil menggenggam sebuah lentera.
Sebuah lentera dengan penutup kaca yang indah.
Tapi yang indah bukan lentera kaca itu, melainkan tangan yang memegang lentera.
Jari jemari yang tersorot cahaya lentera, halus dan lembut bagai kuncup bunga
anggrek yang belum mekar, dengan tangan sebelah memegang lentera, tangan yang
lain melindungi api agar tidak padam, berjalan perlahan menyusuri suasana yang
redup. Sebuah tangan dengan jari jemari yang sangat indah, sedemikian indah hingga
susah untuk dilupakan. Ong Siau-sik dapat melihat dengan jelas, dia adalah seorang gadis yang amat
cantik, seorang gadis dengan rambut sebahu yang terurai, seorang gadis dengan
sepasang mata yang jeli dan bening bagaikan air di musim gugur.
Pakaian bagian bahunya dalam keadaan terbuka, namun tertutup oleh mantel sutera
milik Pek Jau-hui, menutupi baju tipisnya yang berwarna hijau muda.
Namun yang membuat orang terbuai adalah sepasang matanya yang jeli bagai cahaya
intan, bening bagaikan air jernih, seakan sebuah telaga yang dalam tertutup awan
impian yang sedang mengalir.
Ong Siau-sik hanya memandangnya sekejap, namun ia merasa dirinya seakan sedang
bermimpi, bertemu dengan orang dalam impian. Namun ketika terbangun dari mimpi,
ia baru sadar bahwa dirinya bukan sedang bermimpi, di hadapannya benar-benar
terdapat seorang gadis yang begitu cantik dan menawan.
Un Ji ikut terbelalak begitu bertemu dengan gadis ini, dia pun dapat merasakan
betapa cantik dan lembutnya gadis itu, selembut namanya.
Dulu, ketika masih kecil, dia pernah bermimpi menjadi gadis yang halus dan
lembut, setelah menanjak dewasa, menjadi gadis lemah gemulai yang dicinta dan
disayang banyak orang. Tapi kenyataan, setelah tumbuh dewasa, dia lebih suka berkelana, lebih suka
bergaya seorang pendekar gagah, dia merasa dirinya saat ini jauh berbeda dengan
yang dicita-citakan dulu.
Untuk sesaat dia terbayang kembali pada lamunannya di saat kecil dulu, hanya
sejenak, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku adalah aku, dia adalah dia, kenapa
aku mesti menyesali keputusan yang telah kuambil?"
Un Ji menganggap setelah berjumpa dengan gadis ini, dia merasa dirinya ibarat
siang hari, sementara gadis itu ibarat malam hari....
Hampir pada saat bersamaan Un Ji dan Ong Siau-sik berseru, "Kau
adalah .......... Kemudian mereka pun mengalihkan pandangannya ke arah Pek Jau-hui.
Buru-buru Pek Jau-hui mengangkat bahu seraya menggeleng, "Aku sendiri pun tidak
tahu." Kemudian sambil menuding seorang kelasi bergolok yang sudah tertotok jalan
darahnya, ia menambahkan, "Coba tanyakan saja kepada orang ini, siapa tahu dia
bisa bercerita banyak."
Tampaknya saat itu Pek Jau-hui sudah mengendalikan seluruh keadaan.
Semula dia berada dalam perahu bersama Ong Siau-sik, tapi begitu mendengar ada
gerakan di perahu besar itu, dia pun seketika melakukan tindakan.
Tatkala tiba di atas perahu itu, tidak dijumpai sesuatu apa pun di situ.
Mula-mula Pek Jau-hui agak tercengang, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam
benaknya, dengan perasaan terkesiap pekiknya di dalam hati, "Aduh, celaka!"
Tidak ada gerakan dalam perahu itu bukan berarti tidak terjadi sesuatu di situ,
kawanan manusia yang sedang melaksanakan rencana busuk itu sudah menyusup ke
dalam perahu sejak tadi, bahkan mereka terhitung jago kawakan yang
berpengalaman, andai kata benar-benar berniat melakukan perbuatan jahat, niscaya
mereka akan berusaha tidak menimbulkan sedikit suara pun.
Sadar akan situasi yang gawat, tak sempat memanggil Ong Siau-sik lagi, Pek Jau-
hui segera melompat naik ke daratan lalu menyusup naik ke dalam perahu besar
itu. Baru saja menginjakkan kakinya di dalam ruang perahu, hidungnya segera mengendus
bau anyir darah yang amat tebal, perasaannya kontan tercekat.
Betul juga, ia saksikan ada beberapa orang pelayan yang terkapar bersimbah
darah, ternyata sebagian di antara mereka dibantai orang di saat masih dalam
alam mimpi. Diam-diam Pek Jau-hui menyesal karena kehadirannya sedikit terlambat, saat
itulah dia mendengar dari balik ruangan ada seorang gadis dengan suara yang
merdu sedang berkata, "Bukankah orang yang menjadi sasaran kalian adalah aku" Kenapa mesti membantai
mereka yang tak tahu urusan" Apakah kalian tidak malu kalau perbuatan itu akan
mencemari nama besar kalian?"
Terdengar seseorang dengan suara parau menjawab sambil tertawa, "Kami bukan
orang gagah, juga tak ingin berlagak macam orang gagah, meski Jit-he sudah
menurunkan perintah agar kami menghabisi nyawamu, tapi asal kau bersedia
menuruti kemauan Toaya, hehehe .......... bukan saja akan kau peroleh
kesenangan, bahkan bisa kubuat kau lolos dari kematian."
Terdengar gadis itu mendengus dingin, kemudian terdengar berpuluh kata ungkapan
jorok dan kotor dilontarkan ke arah gadis itu, di balik kata-kata cabul terselip
jeritan gugup dan panik dari kawanan gadis.
Pek Jau-hui mengintip dari balik jendela, ia lihat ada enam tujuh orang lelaki
kekar sedang mengerubuti tiga empat orang gadis muda, dengan wajah menyeringai
cabul mereka sedang mempermainkan gadis-gadis itu.
Seorang di antara gadis muda itu terlihat mengenakan jubah lebar terbuat dari
sutera tipis, sedemikian tipisnya hingga kelihatan pakaian dalamnya yang
berwarna merah, payudaranya setengah menonjol keluar, kulitnya nampak putih
mulus, penampilan si nona setengah bugil itu membuat kawanan lelaki itu
bertambah beringas, sorot mata mereka seakan tak pernah lepas dari tubuh nona
itu, mengawasinya terus tanpa berkedip.
Terdengar seorang lelaki di antaranya berkata sambil tertawa tergelak, "Sudah
sejak awal kami menguntit dan mengawasi terus gerak-gerik manusia she Tio dari
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kami pun dapat melihat kalau orang she Tio itu
menguntit terus di belakangmu, entah rencana busuk apa yang sedang dia
persiapkan, sungguh tak nyana, kejadian apa yang dia alami, mendadak dia kabur
terbirit-birit dari sini. Hahaha ........... jadinya, kamilah yang diuntungkan,
coba kalau dia tidak kabur, belum tentu malam ini kami mendapat giliran."
"Sekarang urusan menjadi gampang, karena kau bakal terjatuh ke tangan kami, tak
perlu membangkang, puaskan kami semua dan kau pun tak perlu mampus. Hmm, kalau
masih mengharap bantuan dari orang lain, hehehe .......... lebih baik padamkan
saja harapan itu, beberapa orang gentong nasi yang kau bawa sudah terkena obat
pembius kami, sekarang mereka sudah tertidur macam babi, tak perlu bersusah-
payah kami bisa mengirim mereka pulang ke langit barat."
Gadis itu segera tertawa dingin, ujarnya, "Hmmm, sungguh tak nyana Mi-thian-jit
yang nama besarnya sudah tersohor di seantero jagad, ternyata memiliki anak buah
dungu dan pandainya hanya melakukan tindakan tak terpuji."
"Wah, coba kalian lihat," seru seorang lelaki dengan suara aneh, "tajam benar
mulut bocah perempuan ini, berani amat dia mengejek dan mencemooh kita."
Seorang yang lain berseru pula dengan suaranya yang aneh, "Kami pun tahu kalau
di atas perahu ini kau membawa beberapa orang jagoan yang memiliki kungfu hebat,
kami pun tahu mereka punya sedikit nama di dunia persilatan, tapi sayangnya yang
kami adu bukan otot, tapi akal, kini kalian sudah menaiki kapal penyamun, maka
jangan salahkan bila kami kaum penyamun menikmati hasil jarahannya."
"Ci-lotoa," seorang penyamun yang lain menyela, "semakin kupandang gadis ini,
sekujur badanku terasa makin gatal, napsuku makin membara, bagaimana kalau'kau
serahkan dulu kepadaku, tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu."
"Aaah, kau ini menduduki urutan keberapa?" jengek rekannya yang lain, "sampai
tujuh keturunan pun belum tiba giliranmu untuk menikmati duluan. Ci-lotoa yang
akan menjadi pembuka untuk menikmati cewek itu, sedang yang lain tunggu giliran
sesuai dengan tingkatan."
"Mana boleh jadi," protes lelaki itu lagi, "coba kau lihat nona itu, dia begitu
lembut dan lemah, belum tiba giliranku mungkin dia sudah telanjur mampus duluan.
Tadi ketika melancarkan sergapan, aku yang bekerja duluan, apa salahnya kalau
sekarang aku pun mencicipinya paling dulu?"
Gelak tawa mengejek segera bergema gegap gempita. Kembali seseorang menjengek,
"Siapa suruh kau tidak jadi pemimpin kami?"
"Betul, siapa suruh posisimu paling buncit," sambung yang lain, "kalau masih
dapat giliran, anggap saja kau sangat beruntung karena menemukan mestika di
tengah jalan, kalau tak dapat giliran, anggap saja bukan keberuntunganmu!"
"Tidak, tidak," seseorang yang lain berseru pula, "aku lihat cewek ini makin
dipandang semakin menawan, aku lebih suka tidak menerima emas dan intan permata
ketimbang tak bisa menikmati kehangatan tubuh cewek ini."
"Begini saja," seorang lelaki mengusulkan, "daripada saling berebut, mendingan
kita undi, siapa yang mendapat nomor keberuntungan dialah yang boleh menikmati
perempuan itu lebih dulu.
Tergantung rezeki masing-masing, ini merupakan cara penyelesaian yang paling
adil." "Aku setuju. Seandainya tidak mendapat cewek itupun masih ada beberapa orang
dayang, mendingan dapat yang lain ketimbang tidur sendirian."
"Bagus, bagus sekali
"Aku tidak setuju," sela orang yang disebut Ci-lotoa itu cepat, "sekalipun tidak
menuruti urutan posisi, paling tidak harus diatur menurut urutan tua muda, aku
rasa siapa yang usianya paling tua, dia boleh mengambil undian terlebih dulu."
"Sudah, kita tak perlu ribut, mendingan kita minta nona ini yang memilih
sendiri, siapa yang terpilih maka dialah yang berhak menemaninya tidur,
bagaimana" Setuju bukan?"
"Setuju, setuju ..........."
Maka ada enam orang lelaki kekar yang maju mengerubuti gadis itu, sambil
mendekat mereka berteriak keras, "Nona, coba lihat aku tampan tidak?"
"Aku yang paling hebat, pilih aku saja nona manis!"
"Jangan pilih dia, orang itu tak punya hati nurani, pilih aku saja Biarpun
dikerubut banyak lelaki, gadis itu tidak nampak ketakutan, dengan matanya yang
jeli dia mengawasi sekejap wajah kawanan penyamun itu, kemudian ujarnya halus,
"Selama ini aku paling mengagumi orang gagah, tunjukkan dulu kemampuan kalian,
siapa yang berilmu paling tangguh, dialah seorang Enghiong."
Pek Jau-hui yang bersembunyi di luar ruangan diam-diam bersorak memuji, dia
tidak menyangka kalau gadis cantik itu masih bisa bersikap tenang, kendati sudah
terjerumus dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
"Baiklah, mau bertanding juga boleh," teriak Lo-sim cepat, "memangnya aku takut
mengadu kepandaian
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Ci-lotoa menghampiri lelaki itu dan menempelengnya sambil mengumpat,
"Kalian semua memang goblok, gentong nasi, masa kamu semua tidak sadar kalau
perempuan berhati keji ini sedang mengadu domba kita semua?"
"Kenapa?" kembali gadis itu mengejek, "mengadu domba" Aku hanya seorang wanita
lemah, sementara pengiringku kalau bukan sudah mati, sebagian sudah tak mampu
bergerak, memangnya kalian masih takut terhadapku" Karena kulihat semua gagah
dan hebat, maka aku menaruh hormat dan kagum atas keberanian kalian, ingin
kulihat sejauh mana kehebatan kungfu kalian, sejak kapan aku menyuruh kalian
saling membunuh" Tapi ... ya, sudahlah, kalau memang takut, tentu saja kalian
tak perlu bertanding, biarkan saja yang menjadi Lotoa mendapat keuntungan
terlebih dulu." Lelaki yang melontarkan usul tadi segera berseru, "Betul, siapa pun tak boleh
memperoleh keuntungan hanya karena kedudukan! Maknya sialan, siapa yang tak
berani bertanding, lebih baik menyingkir jauh-jauh, kita mesti tentukan menang
kalah dengan mengandalkan tinju masing-masing, jangan tunjukkan kelemahan kita
di hadapan seorang perempuan!"
Rekan-rekannya segera mendukung usul itu, maka suasana pun jadi gaduh, tampaknya
pertarungan segera akan dim lai.
Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu kembali berpikir, "Baguslah kalau
begitu, akan kusaksikan dulu dengan cara apa perempuan lemah ini membereskan
kawanan penyamun yang berotot namun tak berotak itu
Baru berpikir sampai di situ, mendadak dari sisi tubuhnya terdengar seorang
menghardik, "Siapa kau?"
Diam-diam Pek Jau-hui mengeluh, karena kelewat kesem-sem menyaksikan peristiwa
yang terjadi dalam ruang perahu, dia sampai lupa posisi sendiri yang sedang
mengintip, baginya kejadian semacam ini boleh dibilang baru terjadi untuk
pertama kalinya. Begitu orang itu menghardik dan belum sempat melakukan sesuatu tindakan, Pek
Jau-hui sudah menerjang ke hadapannya, sekali sambar ia cengkeram tulang
tenggorokan orang itu. "Kraaak!", sekali remas ia gencet tulang tenggorokan orang itu hingga hancur.
Dari dalam ruangan perahu bermunculan lima sosok bayangan, mereka saksikan ada
sesosok bayangan manusia terlempar ke udara dan tercebur ke tengah sungai.
Menghadapi datangnya kelima orang itu, Pek Jau-hui sama sekali tidak bersuara,
apalagi bicara, dengan gerak cepat ia menghampiri seorang di antaranya dan
langsung menyodok keningnya dengan satu tonjokan maut.
Jeritan ngeri yang menyayat hati seketika bergema memecah keheningan, suara
jeritan inilah yang didengar Ong Siau-sik dan Un Ji dari atas perahunya.
Menanti mereka berdua tiba di atas perahu besar, dari ketujuh orang penyamun
itu, ada lima orang di antaranya yang sudah tewas di tangan Pek Jau-hui dan
mayatnya dilempar ke dalam sungai, bahkan salah seorang di antaranya masih
dicengkeram pemuda itu. Sisanya yang seorang sebetulnya bertugas menjaga gadis itu dalam ruang perahu,
ketika terjadi pertarungan sengit di atas geladak, orang itu segera menjulurkan
kepalanya keluar jendela, niatnya ingin melihat keadaan di luar.
Begitu menyaksikan lelaki itu sedang menjulurkan kepala keluar jendela, si nona
cantik segera menyambar sebatang bambu kemudian dihantamkan ke atas kepala
lelaki itu. Tatkala sang penyamun menarik kembali kepalanya dengan gelagapan, mendadak gadis
cantik itu melolos sebilah golok tajam dari balik sakunya dan langsung
dihujamkan ke hulu hati penyamun itu.
Begitu berhasil menyarangkan goloknya, dengan wajah pucat-pias gadis itu mundur
beberapa langkah ke belakang.
Penyamun itu menjerit kesakitan, belum sempat mengucapkan sesuatu, nyawanya
sudah telanjur melayang meninggal?kan raganya, sungguh mengenaskan nasib orang
ini, dia harus mengakhiri nyawanya di tangan seorang gadis yang sama sekali tak
mengerti ilmu silat. Waktu itulah Pek Jau-hui sambil mencengkeram Ci-lotoa memburu masuk ke dalam,
sementara Ong Siau-sik dan Un Ji juga telah melompat naik ke atas perahu.
ooOOoo 9. Angin, rembulan, bayangan manusia
Kini suasana di atas perahu pesiar itu sudah pulih dalam ketenangan. Dari lima
orang dayang yang ikut dalam perjalanan ini, empat di antaranya berhasil lolos
dari maut, namun mereka sudah telanjur dibuat ketakutan setengah mati.
Dari delapan orang pengawal yang ikut di atas perahu itu, enam orang di
antaranya tewas karena terkena obat pembius dalam kadar yang banyak, sisanya dua
orang harus diguyur air dingin berulang kali sebelum akhirnya tersadar kembali.
Di antara mereka, hanya gadis cantik bak bidadari itu yang tetap bersikap
tenang, ia perintahkan para pembantunya untuk menolong rekannya, memasang
lentera dan membersihkan ru?angan, kemudian setelah berterima kasih kepada Pek
Jau-hui, ia masuk ke ruang dalam untuk bertukar pakaian.
Ketika muncul kembali, ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna kuning jeruk, ia
mempersilakan Pek Jau-hui bertiga mengambil tempat duduk, kemudian memerintahkan
orang untuk menyiapkan meja perjamuan.
Baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik, diam-diam amat mengagumi sikap tenang
gadis itu, mereka tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan, tidak semua
orang bisa bersikap begitu tenang dalam menghadapi kejadian seperti ini,
terkecuali ia berasal dari satu keluarga kenamaan.
Setelah menanyakan nama ketiga orang penolongnya, gadis itu baru berkata, "Malam
ini seandainya tidak ada kalian bertiga, entah bagaimana nasibku sekarang, budi
kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya."
Walaupun perkataan itu ditujukan pada ketiga orang, namun sewaktu berbicara dia
melirik terus ke arah Pek Jau-hui, membuat pemuda itu merasakan jantungnya
berdebar. Sambil tertawa Ong Siau-sik menjawab, "Sebetulnya budi ini bukan milik kami, aku
dan Un-lihiap hanya secara kebetulan tiba di sini, coba kalau tak ada saudara
Pek, mungkin "Ketujuh orang itu memang kelompok penyamun berhati keji," tiba-tiba Pek Jau-hui
menyela, "mereka sudah terbiasa merampok, memperkosa dan membunuh, selama ini berlindung
di bawah panji Mi-thian-jit dan menyebut diri sebagai Jit-sat, tujuh malaikat
bengis. Tampaknya sebelum turun tangan terha?dap perahu ini, mereka telah
menyusun rencana yang matang, boleh aku tahu apa sebabnya mereka mengincar
kalian?" Gadis cantik itu tersenyum.
"Biarpun mereka menyebut diri sebagai tujuh malaikat bengis, kenyataannya di
tangan Inkong (tuan penolong) mereka tak lebih hanya sebangsa tikus."
Pek Jau-hui ikut tertawa.
"Sewaktu bersembunyi di luar jendela tadi, aku sempat mencuri dengar pembicaraan
mereka," katanya, "aku rasa keha?diran mereka ada hubungannya dengan kelompok Mi-thian-
jit serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Setahuku kelompok Mi-thian-jit (pembius
tujuh langit) adalah organisasi misterius yang didirikan di kota Kay-hong,
kantor cabang dan pengaruh mereka sudah menyebar ke antero propinsi, memiliki
kekuatan yang tak boleh dianggap enteng, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong
adalah perkumpulan nomor satu di kolong langit. Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana mungkin dua organisasi besar itu bisa berhubungan dengan tujuh ma-
laikat bengis?" "Aku tidak seberapa tahu tentang masalah dunia persi?latan, kenapa tidak kau
tanyakan sendiri kepada Ci Thian-jiu?" kata nona itu sambil tertawa.
"Siapa itu Ci Thian-jiu?" tanya Ong Siau-sik.
"Ci Thian-jiu adalah pemimpin kawanan penyamun ini," Pek Jau-hui menerangkan,
"walaupun aku tahu mereka disebut tujuh malaikat bengis, namun nama mereka tak
ada yang kukenal." "Aku juga tidak tahu," sambung Ong Siau-sik dengan mata berbinar.
Un Ji tidak paham apa maksud pembicaraan kedua orang lelaki itu, segera serunya,
"Aku pernah mendengar tentang hal ini."
"Oya?" "Betul, Ci Thian-jiu adalah salah satu di antara tujuh malaikat bengis." "Selain
itu?" "Dia ... dia seorang lelaki," agak gugup Un Ji menerangkan. "Terus?"
"Dia adalah seorang telur busuk yang sudah banyak melakukan kejahatan."
"Kejahatan apa saja yang telah dia lakukan?"
Gadis cantik itu tersenyum, setelah mengerling pada Pek Jau-hui sekejap, ia
memandang ke arah Un Ji dan katanya, "Se?orang gadis suci dari perguruan lurus,
mana bisa mengingat semua perbuatan bejat yang pernah dilakukan manusia macam Ci
Thian-jiu" Hanya kaum jalanan yang memperhatikan perbuatan busuknya. Un-lihiap,
ketidak-tahuanmu dalam hal ini malah menunjukkan bahwa kau memang selalu
berjalan lurus." "Nah, itulah dia," tanpa pikir panjang Un Ji berseru, kemudian katanya lagi pada
gadis cantik itu sambil tertawa, "Ciri, pengetahuanmu sungguh luas, boleh tahu
siapa namamu?" "Aku bermarga Thian, bernama Tun."
"Oooh, rupanya cici Thian Tun!"
Memandang rambutnya yang hitam berkilauan di bawah cahaya lentera, kembali Un Ji
berseru, "Cici, rambutmu sangat indah!"
"Senyuman adik pun segar bagai sekuntum bunga."
"Menurut kau, bunga apa yang paling cocok untukku?" suara tawa Un Ji semakin
melengking. "Aku rasa mirip sekali dengan bunga anggrek."
"Apakah kau menganggap suara ter kelewat keras?" kem?bali Un Ji cekikikan.
"Ah, tidak," Thian Tun menggeleng, "aku rasa semua bunga indah sewaktu mekar,
bentuknya pasti mirip dirimu."
Un Ji makin kegirangan, kembali serunya, "Betul, betul sekali, dulu di halaman
rumahku juga tumbuh banyak jenis bunga, ada
"He, bunga anggrek bulan, sudah selesai belum kau ribut?" mendadak Pek Jau-hui
menyela. Dengan perasaan mendongkol Un Ji mengerling sekejap ke arah pemuda itu, ia
merasa kegembiraannya sangat terganggu dengan teguran itu.
Tapi Pek Jau-hui sama sekali tidak menggubrisnya, kepada Thian Tun katanya,
"Nona Thian, apa boleh kupinjam sebentar tempatmu ini untuk menginterogasi orang
itu, jika kau merasa tak tega, biar aku gelandang dia ke perahuku."
"Tidak apa apa."
Pek Jau-hui pun membanting tubuh Ci Thian-jiu ke atas tanah, belum sempat ia
berbicara, Un Ji dengan mata melotot sudah berseru duluan, "Jadi dia adalah
ketua dari tujuh malaikat bengis, Ci Thian-jiu?"
"Hmmrn, dia memang Ci Thian-jiu yang sudah banyak melakukan kejahatan, tapi
sayang, saat ini sudah menjadi Ci Thian-jiu yang mampus," sahut Pek Jau-hui
dengan wajah membesi, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "Sejahat dan sebuas
apa pun, jika sudah mampus maka tak nanti ia mampu mencelakai orang lain lagi."
"Jadi kau tidak akan membunuhnya?" tanya Ong Siau-sik.
"Tidak." "Kau totok jalan darahnya?"
"Itulah sebabnya dia tak mampu membunuh diri."
Ong Siau-sik berjongkok sambil memeriksa kelopak mata si orang mati, kemudian
memeriksa juga mulutnya, setelah diamati sesaat, ujarnya, "Dia mati karena
keracunan." "Mungkin sudah ia selipkan obat racun di antara sela-sela giginya," sambung Pek
Jau-hui. "Bisa jadi Ci Thian-jiu tak ingin rahasianya terbongkar," kata Thian Tun pula,
"maka begitu tertangkap oleh Pek-tayhiap, ia terpaksa menelan racun untuk
menghabisi nyawa sendiri."
"Ya, rasanya jalan ini memang merupakan jalan terakhir baginya" sahut Pek Jau-
hui sambil mengangkat bahu.
Dengan tewasnya Ci Thian-jiu, berarti sumber berita pun terputus di tengah
jalan, dalam keadaan begini Pek Jau-hui hanya bisa termenung sambil membayangkan
kembali semua kejadian itu.
Tio Thiat-leng pernah bilang, masih ada satu pekerjaan besar lainnya yang mesti
diselesaikan, mungkinkah pekerjaan besar yang dimaksud adalah peristiwa ini" Apa
hubungannya dengan Thian Tun, si gadis cantik ini" Tio Thiat-leng sudah kabur
dengan membawa luka, kenapa Mi-thian-jit kembali mengirim anak buahnya untuk
mencegat Thian Tun" Apa yang dia mau dan apa tujuannya"
Dari pembicaraan yang kemudian berlangsung, diketahui bahwa Thian Tun
sesungguhnya adalah putri seorang pejabat tinggi di kotaraja, waktu itu mereka
dalam perjalanan pulang setelah pergi menengok famili.
Baik Ong Siau-sik maupun Un Ji tahu, saat itu sedang ber?angsung perebutan
pengaruh antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau melawan perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, untuk mem?perluas pengaruh dan daerah kekuasaan, kedua belah pihak sama-
sama tak segan bersekongkol dengan para pejabat tinggi.
Tampaknya peristiwa yang menimpa Thian Tun kali ini, kejadian itu tak terlepas
dari perebutan pengaruh yang sedang berlangsung, malah kekuatan nomor tiga,
perkumpulan Mi-thian-jit pun ada minat turut serta dalam pertikaian ini.
Jelas kota Kay-hong akan semakin bertambah semarak!
Mereka berempat berbincang-bincang hingga kentongan kedua, karena merasa cocok
satu dengan lainnya, kebetulan Thian Tun yang sudah kehilangan banyak pengikut
pun hendak balik ke kotaraja, maka mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan
bersama-sama. Tampaknya Thian Tun amat menyukai Un Ji, segera katanya sambil tertawa, "Bagus
sekali, dengan dilindungi adikku, Cici tak usah kuatir keselamatan lagi
sepanjang perjalanan."
Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui,
lalu katanya lagi, "Aku hanya merasa kurang enak karena harus merepotkan kalian berdua."
"Tak usah sungkan," tukas Ong Siau-sik tersenyum, "kami malah merasa gembira
karena punya teman dalam perjalanan."
Sampai di sini dia pun berpaling ke arah Pek Jau-hui, ternyata rekannya sudah
berdiri di ujung geladak sambil memandang rembulan.
Rembulan bersinar terang menyinari permukaan sungai.
Riak ombak saling keja- bagaikan gulungan perak.
Ketika menjelang fajar, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berpamitan untuk kembali ke
perahu sendiri dan beristirahat, se?mentara Un Ji tetap tinggal di perahu itu
dan terpulas dengan nyenyak.
Di tengah keheningan yang mulai mencekam seluruh jagat itulah Thian Tun dengan
gerak-gerik yang amat lambat dan berhati-hati turun dari pembaringan, berjalan
menuju ke depan cermin dan memperhatikan sekejap raut wajah sendiri yang cantik
bak siluman rase. Tiada senyuman yang menghiasi raut muka cantiknya, ia nampak serius bahkan
sedikit tegang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan sebuah jepitan rambut
berwarna hitam dari gulungan rambut Ci Thian-jiu.
Kemudian dengan jari tangannya yang lentik pelan-pelan dia lepaskan penjepit
rambut itu. Satu sisi dari penjepit rambut itu terbuat dari baja, ujungnya kelihatan runcing
dan tajam. Ketika tertimpa cahaya lentera, ujung jarum itu membias?kan cahaya biru yang
menyilaukan mata, cahaya semu biru dikelilingi tujuh warna lain yang agak samar.
Dari balik sanggulnya, kembali ia melepaskan sebuah tusuk konde, ujung tusuk
konde dibukanya dengan hati-hati, lalu jarum berwarna biru yang barusan dijepit
keluar dari balik kepala Ci Thian-jiu itu dimasukkan ke balik tusuk konde itu.
Sesudah tusuk konde itu diselipkan kembali di balik sanggulnya, ia baru mengulum
senyum di ujung bibirnya.
Dia yakin perbuatannya itu, kecuali seluruh rambut di kepala Ci Thian-jiu
dicukur hingga gundul, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan seksama, kalau
tidak, tak mungkin orang bisa menemukan lubang lembut di kepala itu.
Selesai dengan pekerjaannya, pelan-pelan ia berjalan keluar dari ruang perahu.
Fajar belum lagi menyingsing, suasana di sekeliling sungai itu amat hening dan
sepi, hanya cahaya rembulan yang menyaksikan seluruh perbuatannya.
Seluruh perbuatannya, seluruh tingkah lakunya.
Termasuk juga pakaiannya, wajahnya, hatinya.
ooOOoo Mereka berada di satu perahu, melakukan perjalanan bersama-sama, makan, minum,
tertawa dan bergurau bersama, berkumpul jadi satu membicarakan persoalan dunia
persilatan, berkumpul membahas situasi dunia persilatan.
Sikap Pek Jau-hui sudah tidak seangkuh dulu, seperti apa yang pernah dia
katakan, "Bila seseorang kelewat banyak tertawa, dia sudah tak mampu angkuh dan
jumawa", mungkin saja hal ini disebabkan selama beberapa hari terakhir dia
kelewat banyak tertawa. Thian Tun pun bersikap sangat lembut dan halus, terkadang ia bersikap seperti
pendekar wanita, ia pandai minum, Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik tak ada yang
mampu mengungguli dirinya, dia pun pandai bermain dadu, begitu asyik bermain,
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemahirannya setara dengan tauke pemilik sarang judi.
Tapi sebagian waktu dia hanya duduk di samping, mengawasi semua orang dengan
sepasang matanya yang bening, atau tersenyum dengan tertawanya yang manis.
Ada kalanya dia pun menertawakan Un Ji, kepolosan dan kenakalan gadis itu
membuatnya merasa geli bercampur senang.
Bagaimana dengan Ong Siau-sik" Dia hanya mengikuti semua itu dengan mulut
bungkam. Dia memang bergabung dengan perasaan tulus, berhubungan dengan perasaan penuh
persahabatan, tapi dia pun merasa bahwa perjalanan yang mereka tempuh bersama-
sama ini telah meninggalkan kenangan yang mendalam.
Malam itu, di tengah pancaran sinar rembulan yang terang dan alunan ombak yang
tenang, sambil tertawa Un Ji bertanya, "Setibanya di ibukota, kalian mau apa?"
Tak ada yang menjawab. "Kau duluan!" ucap Un Ji kemudian sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik.
"Aku akan mengadu nasib," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Kalau aku ingin berjuang agar bisa membangun satu usaha," sambung Pek Jau-hui
sambil mendongakkan kepala memandang rembulan.
"Apakah sebagai seorang lelaki, dia harus memiliki nama dan jabatan?" tanya
Thian Tun tiba-tiba, nadanya agak sendu.
"Sebagai seorang lelaki, bila tak mampu berjasa, tak mampu membangun usaha dan
tak mampu punya nama, apakah artinya hidup di dunia ini?" sahut Pek Jau-hui.
Perlahan Thian Tun mendongakkan kepala sambil memandang kejauhan, katanya lagi,
"Bukankah lebih enak hidup gembira, hidup aman sentosa?"
"Itu sih pemikiran orang yang tak punya ambisi, aku bukan jenis manusia begini.
Ketenangan merupakan penderitaan, hidup sebagai nelayan, petani, tukang kayu,
sastrawan merupakan pekerjaan yang membosankan!"
"Aku pun hanya ingin mencoba," kata Ong Siau-sik pula, "belum tentu perjalananku
kali ini akan menghasilkan nama atau kedudukan, aku tak peduli, tapi aku tak
boleh tidak harus mencoba, melepaskan kesempatan merupakan orang bodoh,
perbuatan yang akan disesrli di kemudian hari.
Dan bagaimana dengan kau" Mau apa kau datang ke kotaraja?"
"Aku?" Thian Tun tersenyum lirih, "aku bukan pergi ke kotaraja, aku dalam
perjalanan pulang ke rumahku."
Kemudian setelah mengerdipkan matanya yang jeli, dia menambahkan, "Pulang ke
rumah merupakan keinginanku yang paling utama, bagaimana dengan kau, adikku?"
Un Ji berpikir sejenak, mendadak ia jengah sendiri, pipinya berubah jadi merah
dadu. "Kenapa" Mencari jodoh?" goda Thian Tun sambil tertawa.
"Ah, kau, justru kau yang ingin kawin sampai-sampai rada sinting."
"Masa selama hidup kau tak akan kawin?"
"Aku ingin menjumpai Suhengku terlebih dulu."
Terbayang Un Ji memiliki seorang Suheng yang amat tersohor di antero jagad, So
Bong-seng, Ong Siau-sik seketika merasa tengkuknya agak gatal, begitu juga
dengan Pek Jau-hui. Maka ujarnya kemudian, "Nona Thian, hari ini pemandangan
alam sangat indah, suasana pun nyaman, bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu
dengan alat khim?" "Darimana kau tahu kalau aku bisa memetik khim?" tanya Thian Tun seraya
berpaling. "Dengan jari jemarimu yang begitu indah, aneh jika tak pandai memainkan khim"
"Siapa yang bilang" Kesepuluh jari tanganku ini justru paling pandai membunuh
orang!" seraya berkata pelan-pelan ia bangkit berdiri dan mengambil sebuah khim
yang kelihatan agak hangus karena bekas terbakar dari atas sebuah rak.
"Khim yang bagus!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa.
Thian Tun tersenyum manis, jari jemarinya segera menari di atas senar dan
melantunkan sebuah lagu yang merdu merayu.
"Ilmu jari yang hebat!'' puji Pek Jau-hui cepat.
Ong Siau-sik ikut bangkit kegembiraannya, segera ia mencabut keluar serulingnya
dan mengimbangi permainan khim itu, melantunkan irama lagu yang indah.
Pek Jau-hui pun tak kuasa menahan diri, ia bangkit berdiri dan mulai menari.
Begitulah, di tengah sungai, di bawah cahaya rembulan, di tengah hembusan angin,
di dalam perahu, seruling, khim dan tarian menghiasi sekeliling tempat itu.
"Sayang, aku tak pandai menari maupun memainkan alat musik," keluh Un Ji penuh
rasa sesal, "apa pun aku tak mampu, Cici, kau memang hebat!"
"Kau toh bisa menyanyi," hibur Thian Tun. "Suaraku jelek, aku tak bisa
menyanyi," sahut Un Ji dengan wajah memerah, "tatkala masih di rumah dulu, aku
pernah menyanyi, baru kulantunkan dua bait, ayam dan burung tetangga pada jatuh
sakit selama dua hari. Untung aku tidak ikut menyanyi saat ini, kalau tidak,
mungkin pemain khim, pemain seruling dan penarinya sudah menceburkan diri ke
dalam sungai lantaran pada mabuk."
Ucapan itu kontan disambut gelak tertawa semua orang. Angin, rembulan, irama
lagu dan tarian yang berlangsung malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan,
meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang.
Keesokan harinya, ketika Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik balik lagi ke perahu besar
itu, mereka jumpai Thian Tun beserta para dayang dan barang bawaannya telah
lenyap, yang tersisa hanyalah Un Ji yang masih terlelap tidur. Thian Tun telah
pergi entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, sepucuk surat dengan bekas noda air mata.
ooOOoo 10. Manusia dan ikan Bila empat orang yang sudah biasa berkumpul, lalu pada suatu hari tiba-tiba
rombongan itu kehilangan satu orang, bagaimanakah perasaannya waktu itu"
Jangan kan manusia, sebuah cincin pun terkadang bisa mendatangkan perasaan yang
tak enak, mungkin di saat pertama kali mengenakannya, kau akan merasa tak
leluasa, tapi bila sudah terbiasa mengenakannya, bila suatu ketika harus dilepas
kembali, pasti akan merasa sangat kehilangan.
Terlebih kalau dia bukan sebuah cincin.
Terlebih jika dia adalah seorang gadis cantik.
Seorang gadis yang masih polos, lembut, halus, terkadang pipinya bisa berubah
merah jengah, terkadang nampak sedikit gelisah.
Hari itu dia telah pergi, pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun.
Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan ketiga orang yang ditinggalkannya"
Tak tahan Un Ji mulai mengomel, "Thian Tun itu Cici macam apa" Kenapa pergi
tanpa pamit" Kenapa ia berbuat begitu" Kenapa ia bersikap begitu?"
Ong Siau-sik sendiri pun ikut merasa sedih, ujarnya, "Mungkin dia pergi karena
ada urusan penting, mungkin ia mempunyai kesulitan yang tak ingin diketahui
orang, padahal kita sudah satu rombongan, sekalipun ada urusan penting, kan bisa
kita kerjakan bersama, kalau ada kesulitan, kita bisa pecahkan bersama, hanya
saja..." Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, tambahnya, "Terkadang untuk
menyelesaikan satu masalah, pergi beramai malah tidak leluasa, kalau toh ada
kesulitan, mana mungkin bisa dibicarakan secara terbuka?"
Ia tahu Pek Jau-hui selama ini hanya diam saja, bahkan dengan wajah gelap sedang
duduk di tepi sungai sambil memancing.
Ong Siau-sik pun meminjam alat pancing pada seorang tukang perahu, kemudian
duduk di samping Pek Jau-hui.
Tinggal Un Ji seorang yang tak tertarik untuk berbuat begitu, menggunakan
kesempatan itu dia naik ke darat dan pergi ke kota terdekat untuk melihat
keramaian. Sampai lama sekali, pancingan Pek Jau-hui belum juga disentuh ikan, begitu pula
dengan pancingan Ong Siau-sik. Pek Jau-hui tetap membungkam.
Ong Siau-sik ikut membungkam, dia memang sedang menemaninya memancing.
Banyak orang mulai berlalu lalang di sepanjang pantai, suasana tambah lama
tambah ramai, tapi kedua orang pemuda itu tetap duduk tenang di tepi pantai,
duduk sambil memegangi alat pancing.
Menjelang tengah hari, Un Ji balik dengan penuh kegembiraannya, sambil membawa
barang bawaannya ia naik ke perahu, ia mulai ribut untuk meneruskan kembali
perjalanannya. "Apakah tidak ditunggu sebentar lagi?" tanya Ong Siau-sik.
"Tidak usah ditunggu," sahut Pek Jau-hui tanpa berpaling. Mereka bertiga
bersantap di dalam perahu, hidangan yang disajikan adalah ikan leihi masak cuka.
"Ikan ini hasil pancingan siapa?" tanya Un Ji sambil membersihkan mulutnya.
Kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dengan sumpitnya dia menambahkan, "Kau?"
Ong Siau-sik menggeleng. "Kalau begitu tentu kau!" seru si nona sambil menuding ke arah Pek Jau-hui, tapi
yang ditunjuk sama sekali tidak menggubris.
Tiba-tiba Un Ji meletakkan kembali sumpitnya seraya berseru, "Kalau bukan hasil
pancingan kalian berdua, sudah pasti ikan itu meloncat sendiri ke atas daratan
dan mengubah diri jadi sepiring hidangan!"
Melihat gadis itu sewot, Ong Siau-sik mengerling sekejap ke arah Pek Jau-hui,
kemudian katanya, "Bukan aku, bukan juga dia, tukang perahu yang membelinya di pasar."
"Tapi bukankah kalian sudah memancing setengah hari lamanya, masa tanpa hasil
seekor pun?" tanya Un Ji tidak habis mengerti.
Pek Jau-hui tidak langsung menanggapi, dia menghirup dulu secawan arak, lalu
berpaling ke arah Ong Siau-sik sembari bertanya, "Jadi kau pun tak berhasil
mendapatkan seekor ikan pun?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" pemuda itu balik bertanya.
"Kailku tanpa umpan, mana mungkin ada ikan mau mendekat?"
"Aku pun bukan bertujuan memancing ikan." "Kalau bukan memancing ikan, memangnya
ingin dipancing sang ikan?" Ong Siau-sik segera tertawa.
"Aku hanya menonton ikan. Biarkan saja sang ikan bere?nang bebas di dalam air,
kenapa kita mesti memancingnya" Kita toh tidak harus memakannya, bayangkan
sendiri, andai kata yang sedang berenang di air adalah manusia sementara sang
pemancing adalah ikan, apa jadinya?"
"Tapi kenyataan sekarang kita adalah manusia dan mereka adalah ikan. Orang yang
hidup di dunia ini memang sudah terbagi sejak lahir, ada yang miskin, ada yang
kaya, ada yang bodoh, ada yang pintar, ada pula yang beruntung dan ada yang
tidak, semua ini alami, begitu juga seandainya ikan adalah manusia dan manusia
adalah ikan, ikan pun akan memasang umpan untuk memancing manusia. Kini kau dan
aku bukan ikan, maka sang ikanlah yang menjadi mangsa kita. Memang begitulah
alam kehidupan." Ong Siau-sik mengalihkan sorot matanya ke tepi pantai, sambil mengawasi orang-
orang yang sedang berlaluTalang, ia menggeleng kepala dan berkata sambil
tertawa, "Siapa bilang kita bukan ikan" Bukankah kita semua adalah ikan
peliharaan Thian" Tinggal kapan Thian akan menangkap salah satu di antara kita.
Siapa sih di antara kita yang bisa lolos dari tangkapan Yang di Atas?"
Pek Jau-hui mendengus dingin.
"Hmmm, sekarang aku sudah menebar kail, berarti aku harus mendapatkan sang ikan,
andai kata akhirnya aku terseret masuk ke air oleh tarikan ikan, atau sebaliknya
malah dipancing oleh sang ikan, hal itu bukan dikarenakan tanganku kurang kuat
atau umpanku kurang banyak, sebaliknya karena aku memang sebetulnya berhati
tulus, tak ingin memancingnya, tapi dia malah kabur."
Belum selesai dia berkata, Un Ji sudah menyumpit seekor kepala ikan yang besar
dan disodorkan ke dalam mangkuknya.
"Aku jadi heran," seru gadis itu sambil tertawa, "tak ada hujan tak ada angin,
kenapa kalian mengumpamakan diri sebagai ikan atau manusia, memangnya kalian
berdua sudah terkena tenung atau sudah dibuat kesemsem siluman ikan waktu
memancing tadi" Ayo, cicipi dulu kepala ikan itu baru kemudian bicara lagi!"
Dengan murung Pek Jau-hui mengawasi mangkuk sendiri, tampak olehnya kepala ikan
yang tergeletak dalam mangkuknya seolah sedang mengawasi dia dengan matanya yang
putih keabu-abuan. Kotaraja semakin dekat, mereka bertiga pun naik ke daratan dan berencana
melanjutkan perjalanan darat.
Dengan uang sebanyak 270 tahil perak mereka membeli tiga ekor kuda jempolan,
tentu saja Pek Jau-hui yang mengeluarkan duitnya.
Ong Siau-sik segera menuntun kuda-kuda itu, sementara Un Ji mengajukan protes
kepada Pek Jau-hui, "Udara begini panas, kenapa tidak menyewa tandu saja, kalau
mesti menempuh perjalanan di udara terbuka, kulit tubuh kita bakal hitam
terbakar "Kalau merasa kulit sendiri kelewat halus, sewalah sendiri tandumu," sahut Pek
Jau-hui mendongkol, "dunia persilatan memang tidak cocok untuk Toasiocia macam
kau!" "Jadi kalian berdua tega menyaksikan seorang gadis muda diterpa angin, dibakar
sinar matahari, diguyur air hujan dan didera pasir serta debu?"
"Ah, apa urusannya dengan diriku," sahut Pek Jau-hui setengah mengejek, "apalagi
terhadap manusia macam kau, lelaki tidak perempuan pun bukan. Selagi ada
keuntungan buru-buru jadi perempuan, kalau sudah tidak menguntungkan berlagak
macam lelaki. Setelah dua kali kena batunya, Un Ji jadi mendongkol, teriaknya,
"Ada apa sih dengan kau" Selama beberapa hari belakangan selalu saja sewot tanpa
sebab, siapa yang telah menyalahi kau" Terus terang saja, aku tidak terbiasa
dengan watak macam kau itu."
Pek Jau-hui tertawa dingin.
"Aku pun tidak terbiasa melayani Toasiocia macam dirimu, terserahlah, apa maumu,
lakukan sendiri, kami segera akan melanjutkan perjalanan."
"Aku tahu, kau hanya bersedia melayani Thian-toasiocia, hmmm! Sayangnya, orang
justru kabur tanpa meninggalkan pesan, kenapa" Kau jengkel" Sedih" Kalau sudah
tak tahan, kenapa tidak menceburkan diri ke dalam sungai saja" Buat apa kau
berlagak sok di hadapanku?"
Tampaknya perkataan itu mengena telak luka di hati Pek Jau-hui, sesaat dia
tertegun, tapi kemudian serunya dengan suara keras, "Aku mau melayani siapa,
peduli amat dengan kau" Asal aku senang, kau tak usah turut campur. Ong Siau-sik
mungkin saja menahanmu, tapi aku tidak, kau boleh saja pergi sendiri ke ujung
langit, apa urusannya dengan aku!"
Un Ji merasa amat sakit hati, ucapan itu menusuk perasaannya hingga merasuk ke
tulang sumsum, dengan wajah merah padam menahan amarah, serunya, "Bagus, bagus
sekali manusia she Pek, kau boleh senang sekarang! Baik, nonamu akan berangkat
sendirian, kita bertemu lagi di kota Kay-hong!"
"Silakan saja kalau mau pergi, aku tak akan mengantar lagi. Ah, kebetulan si
batu kecil sudah balik, bagaimana" Suruh dia pergi bersamamu?"
Dengan air mata mengembeng di mata, Un Ji segera melompat naik ke atas kudanya
kemudian dilarikan kencang meninggalkan tempat itu.
Ong Siau-sik yang tidak tahu urusan hanya bisa berdiri tertegun sambil mengawasi
bayangan hitam yang makin menjauh.
Lewat beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata kepada rekannya, "Batu
kecil, aku yang membuat gara-gara, membuatnya pergi dengan marah
"Apakah dia ... dia akan balik kemari?" gumam Ong Siau-sik seperti orang yang
kehilangan sukma, "apakah dia pergi sendiri ke kotaraja?"
"Aku ... aku pun tidak tahu."
Ong Siau-sik mengira Un Ji bakal balik lagi secara diam-diam, seperti apa yang
dia lakukan ketika berada di Han-swe tempo hari.
Ternyata tidak. Un Ji tidak kembali lagi.
Mereka tidak segera melanjutkan perjalanan, dua hari lamanya mereka menanti di
situ namun tiada hasil. Dalam keadaan begini terpaksa Pek Jau-hui mengajak Ong Siau-sik melanjutkan
perjalanannya menuju ibukota.
Di kotaraja tersedia pelbagai macam atraksi, ada tempat perjudian yang bisa
membuat kaya mendadak, ada wanita cantik yang bisa membuat hati terhanyut,
tersedia berbagai hiburan yang diimpikan setiap orang, terdapat pula hal yang
sama sekali tidak terduga.
Kota besar merupakan sumber segala kehidupan, di situ tersedia ranjang hangat
yang bisa membuat kau dapat nama dan kedudukan, tapi juga merupakan jurang
paling dalam dari segala dosa dan kenistaan. Di situ seorang Enghiong bisa
termashur, bisa mendapat posisi terhormat, tapi di situ juga orang gagah akan
terlupakan, akan memperoleh segala kenistaan dan penghinaan.
Sejak dulu hingga kini, banyak sekali Enghiong Hohan, pelajar dan sastrawan yang
berdatangan ke sana, ingin mendapat nama dan kedudukan dalam waktu singkat,
ingin meniti karier dan mencapai puncak ketenaran, tapi akhirnya lebih banyak
yang gagal daripada yang berhasil.
Mungkin karena itulah keberhasilan selalu merupakan satu kejadian yang amat
berharga. Mungkin dikarenakan hal ini maka segenap orang pintar yang berkumpul di kotaraja
selalu berusaha menunggu peluang secara seksama, kecuali mereka yang memiliki
kemampuan luar biasa, saat dan kesempatan merupakan kunci yang menentukan.
Hampir semua Enghiong Hohan berhasil dengan kariernya karena pandai menangkap
kesempatan, bila kau paksakan diri menentang kebiasaan ini, seringkah bukan saja
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usahamu akan gagal total, mungkin nyawa akan jadi taruhannya.
Siapa yang bisa menduga angin yang tertiup ke arah sini, besok akan bertiup ke
arah mana" Siapa pula yang tahu jalanan yang nampak buntu pada hari ini, mungkin besok akan
berubah jadi sebuah jalanan yang lebar"
Jalan kematian belum tentu merupakan jalan mati, siapa tahu besok akan berubah
jadi sebuah jalan kehidupan"
Ya, siapa yang bisa meramalkan keberhasilan atau kegagalan yang akan menimpa
seseorang" Pek Jau-hui tidak tahu. Ong Siau-sik pun tidak tahu.
Itulah sebabnya walaupun sudah setengah tahun mereka tiba di ibukota, namun apa
yang dicita-citakan belum juga terwujud.
Banyak kejadian di dunia ini butuh banyak waktu untuk meraba, butuh banyak
pengalaman untuk melacak dan butuh banyak pelajaran, menang kalah tidak mudah
untuk diraih, kendatipun kau adalah seorang cerdik.
Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik termasuk orang-orang cerdas, orang berbakat.
Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tangguh, namun setibanya di tempat yang
sangat asing ini, mereka toh tak mungkin mencari nama dengan membunuh orang
lain, jika hal ini yang dilakukan, bukan saja mereka akan berurusan dengan
pengadilan dan para opas, bahkan akan diburu oleh jago-jago tangguh kerajaan.
Mereka pun tahu bahwa di kota besar itu terdapat perkum?pulan Lak-hun-poan-tong
dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang berebut pengaruh, namun mereka
menganggap kekuatan itu merupakan sebuah dunia lain, dunia yang sama sekali tak
ada hubungannya dengan mereka berdua.
Sekalipun apa yang dicita-citakan belum terwujud, namun kedua orang pemuda ini
justru hidup dengan riang gembira, mereka sudah menjadi sahabat karib.
Apa yang disebut karib"
Seorang sahabat karib akan memikul penderitaan bersama, mencicipi kegembiraan
bersama, di saat kau kedinginan, dia datang membawa penghangat, di saat kau
kepanasan, dia datang membawa salju.
Sahabat karib tidak mengharapkan sesuatu dan tidak butuh sesuatu, namun mau
berkorban demi yang lain.
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bersama-sama datang ke kota Kay-hong, sama-sama
dimaki orang, hapal setiap sudut kota, kehilangan semangat dan sama-sama mabuk
di jalan.... Selama ini, mereka pun bersama-sama menimba banyak pengalaman, kenal dengan
banyak manusia. Sampai akhirnya, uang persediaan yang dibawa Pek Jau-hui mulai menipis dan
nyaris habis .... Dalam keadaan begini, Pek Jau-hui terpaksa membuka dasaran di tepi jalan dengan
menjual tulisan dan lukisan, dia memang pandai menulis, lukisannya pun cukup
indah, hanya sayang tak ternama.
Lukisan hasil karya orang yang tidak ternama, biasanya murah harganya.
Untuk hidup terus, orang butuh uang. Bagi Pek Jau-hui, lebih halal menjual
lukisan dan tulisan ketimbang melakukan perdagangan tanpa modal.
Sebelum balik ke rumah penginapan Toa-kong, ia menyempatkan diri mampir di Hwe-
cun-tong untuk menjenguk Ong Siau-sik.
Rekannya ini bekerja di Hwe-cun-tong sebagai tukang obat, Hwe-cun-tong adalah
toko obat kenamaan di kota itu, lantaran dia pandai mengobati luka dana patah
tulang, pemilik toko obat itu sangat menghargai kemampuannya.
Bagi Ong Siau-sik sendiri, dia menganggap pekerjaan ini sebagai sebuah karya
seni, lebih mendingan ketimbang dia mesti 'jual pedang'.
Ketika Pek Jau-hui dengan membawa beberapa gulung lukisan tiba di toko obat Hwe-
cun-tong, kebetulan Ong Siau-sik sedang beristirahat, maka seperti biasanya,
mereka berdua pergi ke warung makan It-tek-kie untuk memesan beberapa piring
sayur dan sepoci arak. Saat seperti ini biasanya merupakan saat yang paling menggembirakan bagi mereka
berdua sejak tiba di kotaraja.
Belum lama mereka berdua bersantap, hujan mulai turun.
Mula-mula hanya setetes, dua tetes, tiga tetes, akhirnya hujan makin deras dan
rapat, seluruh angkasa diselimuti awan gelap, burung mulai beterbangan mencari
tempat persembunyian, orang yang berlalu-lalang pun berlarian mencari tempat
Sayembara Maut 2 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Suling Naga 7