Pencarian

Golok Kelembutan 4

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 4


"Ooh, rupanya Mo Pak-sin," kata Pek Jau-hui.
"Kenapa aku tidak melihat kalian meninggalkan tanda rahasia?" tanya Ong Siau-sik
keheranan. "Kalau kalian pun bisa melihatnya, mana bisa disebut tanda rahasia?"
"Benar juga perkataanmu itu," kata Pek Jau-hui sambil menghela napas, "jika So-
kongcu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau setiap kali membunuh orang dilakukan
dengan cara tidak mudah, di dunia persilatan tentu tak akan ada sebutan si golok
nomor wahid di kolong langit."
"Ooh, jadi kalian hendak memancing pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong
mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk bertarung habis habisan di
sini?" kata Ong Siau-sik agak tertegun.
Mendadak terdengar So Bong-seng bertanya, "Dari pihak mereka siapa yang telah
datang" Lui Sun" Atau Ti Hui-keng?"
"Ti Hui-keng!" jawab Mo Pak-sin, si pemuda bloon itu segera.
"Kalau begitu persoalan hari ini akan diakhiri dengan perundingan, bukan
pertarungan habis-habisan."
Sementara itu Pek Jau-hui sudah memberi tanda kepada Ong Siau-sik sambil
berkata, "Tampaknya cerita ini telah memberi pelajaran yang sangat berharga buat
kita berdua, bahwa semua yang kita alami dalam sepuluh hari belakangan, tak satu
pun yang merupakan kejadian untung-untungan."
"Ya, benar, kelihatannya kisah ini sudah mengatur peranan kau dan aku," sambung
Ong Siau-sik sambil tertawa.
"Dan aku rasa, kisah ini baru saja akan dimulai," ujar Pek Jau-hui lagi sambil
memandang ke tempat jauh dan menghela napas panjang.
Mengikuti arah pandangan Ong Siau-sik, dia segera dapat melihat munculnya satu
rombongan manusia, kawanan manusia yang baru muncul itu memegang payung berwarna
kuning. Tiba-tiba Mo Pak-sin membuka mata lebar-lebar, biji matanya yang memancarkan
sinar tajam seolah baru menerobos keluar dari balik lapisan kulit mata yang
berlapis-lapis banyaknya, memancar keluar bagai pancaran sinar matahari.
Terdengar ia berseru, "Lui Moay telah datang!"
ooOOoo Tentu saja Lui Moay adalah seorang wanita.
Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, kini Lui Moay sudah menjadi
salah sstu wanita paling misterius, paling cantik dan berkuasa di antara tiga
wanita lainnya, dengan tiga kemampuan yang dimilikinya, nyaris seluruh pria di
dunia ini gampang jatuh hati kepadanya, paling tidak akan menaruh rasa ingin
tahu terhadap perempuan ini.
Menurut berita burung, ada orang bilang sesungguhnya Lui Moay adalah putri
tunggal Lui Ceng-lui, pendiri yang sesungguhnya dari perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, tapi kemudian kekuasaan tertinggi perkumpulan itu berhasil direbut oleh
Lui Sun, salah satu jagoan kosen dari aliran sesat dalam keluarga Lui, mengingat
Lui Ceng-lui punya jasa dalam pendirian perkumpulan itu, maka ia mengangkat Lui
Moay menjadi Tongcu kedua.
Tapi ada juga yang bilang Lui Moay jatuh hati kepada Lui Sun, maka dia tak segan
menyerahkan posisi ketua umum perkumpulan itu kepadanya.
Tapi ada juga yang bilang, lantaran Lui Moay sadar kalau kepintaran maupun
kepandaian silatnya jauh di bawah Lui Sun, demi kejayaan dan kemajuan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka dia serahkan posisi puncak itu kepadanya.
Ada lagi cerita, sebetulnya Lui Moay berasal dari aliran sesat dalam keluarga
Lui, sejak awal dia memang kekasih gelap Lui Sun. Semenjak bini resminya yaitu
Bong-huan-thian-lo, si impian jagad Kwan Siau-te meninggalkan Lui sun, dia
selalu berhubungan gelap dengan perempuan ini, malah ada yang menaruh curiga,
bisa jadi Kwan Siau-te sudah tewas di tangan Lui Moay, itulah sebabnya perempuan
itu lenyap semenjak tujuh belas tahun lalu.
Tentu saja Pek Jau-hui juga tahu kalau di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong
terdapat seorang jago wanita yang bernama Lui Moay, dia malah pernah mencari
tahu segala hal yang berhubungan dengan perempuan itu dari mulut Tio Thiat-leng.
Waktu itu Tio thiat-leng hanya berkata sambil tertawa getir, "Dalam perkumpulan
Lak-hun-poan-tong terdapat tiga orang yang selamanya tak akan pernah dipahami
orang lain, pertama adalah Lui Sun, tak ada yang tahu jelas manusia macam apakah
dia, karena dia tak pernah membiarkan orang lain memahami tentang dirinya. Orang
kedua adalah Ti Hui-keng, hanya dia yang memahami orang lain, tak ada orang lain
bisa memahami tentang dirinya. Orang ketiga adalah Lui Moay, dia gampang sekali
membuat orang lain memahami dirinya, tapi dengan cepat kau akan menemukan bahwa
pemahaman tiap orang terhadap dirinya berbeda satu dengan yang lain, tergantung
ke arah mana dia menginginkan kau memahaminya', jika dia ingin kau memahami
dirinya dalam bidang A, maka yang bisa kau pahami hanya bidang A saja."
Karena Pek Jau-hui sudah banyak mendengar tentang Lui Moay, dia pun ingin sekali
dapat berjumpa dengan Lui Moay.
Pek Jau-hui adalah seorang lelaki yang tinggi hati, namun seangkuh apa pun
kadang kala timbul juga perasaan ingin tahunya terhadap perempuan kenamaan,
apalagi kalau dia amat cantik.
Paling tidak ia ingin melihatnya sekejap, melihat sebentar saja sudah merasa
amat puas. Ong Siau-sik juga pernah mendengar dalam dunia persilatan terdapat seorang
wanita yang bernama Lui Moay.
Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Moay me?megang tampuk kekuasaan
pasukan yang misterius, dia merupakan panglima kesayangan Lui Sun.
Orang bilang dalam dunia persilatan dewasa ini terdapat tiga orang wanita cantik
yang penuh misteri, pertama adalah istri Lui Sun, kedua adalah putri Lui Sun dan
ketiga adalah anak buah andalan Lui Sun.
Manusia yang bernama Lui Sun ini memang orang hokki, bukan saja memiliki jagoan
yang amat banyak, rata-rata anak buahnya yang lelaki berwajah tampan, yang
perempuan ber?paras cantik.
Tiba-tiba satu ingatan aneh melintas dalam benaknya, mungkinkah suatu hari
nanti, dia pun mempunyai anak buah semacam itu"
Bila seseorang ingin memiliki ilmu silat yang hebat, maka dia perlu tekad yang
besar, kesabaran, keberanian serta bakat, asal syarat itu terpenuhi maka tak
sulit untuk mendapatkannya.
Namun apabila seseorang ingin memperoleh kekuasaan yang besar, maka dia perlu
ambisi yang besar, cara bertindak yang keji serta kemampuan untuk mengendalikan
orang lain. Ong Siau-sik sadar, dia mampu melaksanakan tugas besar yang belum tentu bisa
dilaksanakan orang lain, tapi tidak memiliki ambisi yang terlalu besar untuk
merebut posisi tinggi. Bila dia harus mengorbankan segalanya, mengubah wataknya hanya ditukar dengan
kekuasaan, baginya lebih baik tidak usah.
Terlepas dari semua itu, sebagai seorang anak muda, dia pun mempunyai harapan,
dia ingin melihat bagaimana bentuk wajah Lui Moay yang dibilang merupakan
panglima andalan Lui Sun.
Oleh sebab itu dia segera berpaling, menoleh ke arah datangnya perempuan itu.
Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, tak menemukan perempuan yang bernama Lui
Moay. Satu rombongan gadis berusia tujuh-delapan belas tahun dengan mengenakan baju
berwarna kuning, berpinggang ramping, bermata bening, membawa payung berwarna
kuning perlahan-lahan berjalan ke tengah arena.
Rombongan gadis itu rata-rata berwajah cantik rupawan, membuat orang tak tahu
siapakah Lui Moay yang sesungguhnya.
Begitu rombongan gadis itu muncul, kecuali Lui Heng, semua jago yang berkumpul
di dalam pasar serentak bergeser ke arah jalan Tang-sam-pak, seakan sedang
memberi jalan lewat buat rombongan itu.
Paras muka Mo Pak-sin kembali menampilkan perubahan mimik yang aneh.
Kedua puluh sembilan orang berpayung hijau tua itu serentak mulai bergerak,
mengikuti perubahan barisan mereka, ikut bergeser, gerakannya lamban tapi
mantap, sama sekali tak terlihat ada celah yang ditimbulkan, tapi jelas mereka
sedang mengatur sebuah barisan khusus untuk menyongsong kedatangan rombongan
gadis-gadis cantik itu. Sebuah barisan tangguh untuk membendung kedatangan gadis-gadis lemah lembut itu.
ooOOoo "Yang mana bernama Lui Moay?" tak tahan Ong Siau-sik bertanya kepada Pek Jau-
hui. "Masa kau tidak melihat kemunculan kawanan gadis itu?" jawab Pek Jau-hui.
"Tapi di situ hadir belasan orang gadis, mana yang sebe?narnya bernama Lui
Moay?" "Menurut kau, gadis-gadis itu cantik tidak?"
"Cantik sekali," jawab Ong Siau-sik jujur.
"Nah, asal ada gadis cantik yang bisa ditonton, peduli amat mana yang bernama
Lui Moay." "Benar juga katamu," Ong Siau-sik manggut-manggut setelah berpikir sebentar.
Dia mengerti arti perkataan Pek Jau-hui itu, gunakan kesempatan untuk menikmati
apa yang bisa dinikmati. Tampaknya situasi bertambah gawat dan berbahaya, dalam keadaan seperti ini,
orang memang dituntut berpikir positip saja, jangan berpikir negatip.
ooOOoo Sorot mata So Bong-seng yang dingin menyeramkan sedang mengawasi rombongan gadis
berpayung kuning itu, kemudian memperhatikan pula rombongan 'Berbuat onar semau
sendiri' yang dipimpin Mo Pak-sin, setelah itu dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari
sakunya, mengambil beberapa butir pil lalu ditelannya.
Air hujan membasahi wajahnya, seakan hendak mengurai lelehan air mata
penderitaannya. Setiap kali dia sedang minum obat, baik dia Mo Pak-sin maupun Su Bu-kui, tak
seorang pun berani mengusik, apalagi merecoki dirinya.
Lewat beberapa saat kemudian So Bong-seng baru mengurut dadanya dengan sebelah
tangan, lalu dengan sorot mata yang tajam dia menyapu sekali lagi sekeliling
arena. "Ti Hui-keng ada dimana?" tanyanya.
"Dia ada di loteng Sam-hap-lau," jawab Mo Pak-sin.
So Bong-seng berpaling dan mengawasi bangunan loteng nomor tiga di sisi jalan
raya, bangunan itu adalah sebuah rumah makan karena di depan pintu terdapat
sebuah tiang dengan panji bertuliskan "arak".
Kembali S6 Bong-seng berkata kepada Mo Pak-sin, "Kau tetap di sini!" Sedang
kepada Su Bu-kui, ajaknya, "Kau ikut aku naik ke sana."
"Baik!" Su Bu-kui maupun Mo Pak-sin serentak menyahut.
"Bagaimana dengan kami?" tanya Ong Siau-sik.
So Bong-seng tidak menjawab, mendadak ia terbatuk-batuk, batuk dengan sangat
hebatnya. Dari sakunya dia mengeluarkan saputangan berwarna putih, kemudian digunakan
untuk menutupi mulutnya. Sewaktu batuk, sepasang bahunya berguncang keras, seperti sebuah kotak angin
yang sudah rusak sedang berusaha memompa udara, napasnya begitu berat dan sesak,
seakan setiap saat kemungkinan besar bisa terputus.
Lama kemudian ia baru menggeser saputangannya.
Sekilas pandang Ong Siau-sik dapat melihat noda darah yang membekas di atas
saputangan berwarna putih itu.
So Bong-seng memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian baru
membuka matanya kembali, kepa?da Ong Siau-sik tanyanya, "Kau tahu siapa yang
berada di atas loteng itu?"
Ong Siau-sik menatapnya tanpa berkedip. Sewaktu menyaksikan ia terbatuk dengan
hebatnya tadi, dalam hati kecilnya ia segera mengambil keputusan, apa yang bisa
dia lakukan akan segera dilakukannya.
"Aku tahu," jawabnya cepat, "di situ ada Ti Hui-keng."
"Kau tahu siapakah Ti Hui-keng?" "Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong."
So Bong-seng kembali menuding bangunan loteng itu dengan jari tangannya yang tak
bertenaga, katanya lebih jauh, "Tahukah kau, sekali kamu naik ke situ, maka
siapa pun tak bisa menjamin adakah peluang lain bagimu untuk turun lagi dalam
keadaan selamat?" "Ketika memasuki pintu Po-pan-bun bersamamu tadi, aku pun tak tahu apakah ada
jalan ketiga yang bisa kulewati untuk keluar dari situ," sahut Ong Siau-sik
hambar. So Bong-seng menatapnya sekejap, hanya sekejap! Kemudian tanpa berpaling ke arah
Pek Jau-hui, tanyanya, "Bagaimana dengan kau?"
Pek Jau-hui tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah balik bertanya, "Apakah
ilmu silat yang dimiliki Ti Hui-keng memang sangat hebat?"
"Jika kau naik ke atas, segera akan kau peroleh jawab?annya," sahut So Bong-seng
dengan wajah senyum tak senyum, "bila tak ingin naik ke situ, buat apa mesti
banyak bertanya?" Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian, "Baik, aku ikut naik."
Maka mereka berempat pun mengayunkan langkah menuju ke bangunan loteng itu.
ooOOoo Di bawah bangunan loteng itu hanya ada meja dan bangku yang ditumpuk, tak nampak
manusia. "Kau berjaga di sini," perintah So Bong-seng kepada Su Bu-kui.
Tanpa banyak bicara Su Bu-kui melintangkan goloknya di depan dada sambil berdiri
tegap di muka pintu, sekarang biarpun ada ribuan ekor kuda dan pasukan yang
menyerbu masuk, dia tak akan membiarkan mereka bergerak maju setengah langkah
pun. Dengan langkah santai So Bong-seng menaiki anak tangga menuju ke tingkat dua.
Dalam keadaan begini, mau tak mau Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera mengikut
di belakangnya naik ke atas loteng.
Kedua orang pemuda itu jalan bersanding, bahu menempel bahu, ketika berjalan
dengan cara begini, muncul perasaan aneh di hati mereka, seakan dengan jalan
seperti itu, bukan saja mereka tak takut menghadapi hujan badai dan angin puyuh,
ancaman bahaya sebesar apa pun seolah pasti dapat mereka atasi.
Di atas loteng ternyata memiliki dunia ruang loteng, apa yang terdapat di atas
loteng" Padahal setiap orang, dalam kehidupannya selalu mendapat kesempatan untuk naik
ke loteng, tapi tak ada yang tahu apa yang sedang menanti mereka di atas loteng.
Mereka yang belum pernah naik ke atas loteng, berupaya dengan segala kemampuan
untuk menaikinya, tujuannya adalah ingin menaikkan pamor sendiri, sebaliknya
bagi mereka yang sudah ada di atas loteng, orang-orang itupun berkeinginan untuk
naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi, bahkan berusaha dengan segala tipu daya
agar dirinya tak sampai jatuh menggelinding ke bawah loteng.
Loteng makin dinaiki semakin terjal, loteng makin tinggi semakin dingin.
Angin di atas loteng amat kencang, padahal loteng yang tinggi tak punya
sandaran, namun justru banyak orang suka naik ke loteng yang tinggi, semakin
tinggi semakin senang. Padahal di tempat ketinggian justru lebih banyak ancaman mara bahaya!
ooOOoo So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hampir pada saat yang bersamaan tiba
di atas loteng. Oleh karena itu hampir pada saat yang bersamaan pula mereka melihat seseorang.
Ti Hui-keng!, Toatongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Di dalam perkumpulan ini, dia hanya di bawah kekuasaan satu orang, tapi di atas
puluhan ribu orang. Bahkan sebagian besar orang menganggap bahwa orang yang paling disanjung dan
paling dihormati dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah dia, bukan Lui Sun.
ooOOoo Tapi Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui sama sekali tidak menyangka kalau orang yang
muncul di hadapan mereka adalah manusia semacam ini.
ooOOoo akhir dari Bab I BAB II: PERSAUDARAAN 16. Batuk dan menundukkan kepala.
Mengharapkan persahabatan hingga di hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-
keng. ooOOoo Bila kau tidak mempunyai sahabat, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng adalah
sahabatmu yang paling setia.
Bila tak ada orang yang bisa memahami dirimu, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng
akan menjadi seorang teman yang bisa memahami perasaanmu.
Bila kau bertemu kesulitan, carilah Ti Hui-keng, sebab dia dapat menyelesaikan
seluruh kesulitan yang sedang kau hadapi.
Bila kau ingin mengambil jalan pendek, carilah Ti Hui-keng, dia pasti dapat
membangkitkan kembali semangat hidupmu, dan waktu itu sekalipun sang Kaisar
bersedia memberi hadiah sepuluh juta tahil emas murni untuk kematianmu pun tak
nanti kau sudi melukai ujung jari sendiri.
Semuanya ini merupakan kabar yang tersiar dalam kota.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang Ti Hui-keng hanya ada satu, dan itupun tidak gampang untuk menjumpainya.
Di kolong langit hanya ada satu orang yang setiap saat dapat bertemu dengannya,
dia bukan putri Ti Hui-keng karena Ti Hui-keng tak punya anak perempuan, juga
bukan bini Ti Hui-keng karena dia belum beristri. Sepanjang hidupnya Ti Hui-keng
hanya punya teman, tak punya keluarga, dia hidup sebatang kara.
Hanya Lui Sun seorang yang setiap saat dapat bertemu dengannya.
Siapa yang bisa bersahabat dengan Ti Hui-keng, dia pasti bisa menghasilkan
sebuah karya yang menggemparkan, tapi sayang sahabat karib Ti Hui-keng hanya Lui
Sun seorang. Malah ada orang bilang, Ti Hui-keng bisa memahami kolong langit sementara Lui
Sun dapat memanfaatkan Ti Hui-keng, itulah sebabnya dia bisa 'memperoleh seluruh
jagad'. Tapi ada juga yang berkata, sebuah gunung tak akan menerima dua ekor macan,
sekarang Lui Sun memang tak akan bentrok dengan Ti Hui-keng, tapi bila dunia
sudah aman, jagad sudah mereka kuasai, pasti akan terjadi bentrokan di antara
kedua ekor macan itu. Kalau peristiwa ini sampai terjadi, sudah pasti akan menjadi satu kehilangan
bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, merupakan sebuah aib yang harus dihindari.
Tentu saja So Bong-seng pernah juga mendengar berita itu.
Tentang berita yang terakhir, konon dia sendiri yang menciptakan, ia sengaja
menyiarkan berita ini ke dunia persilatan, kemudian menunggu reaksi yang akan
diperlihatkan kedua orang gembong utama perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Cara yang paling jitu untuk melenyapkan musuh adalah membiarkan mereka saling
melenyapkan. Agar musuh bisa saling membunuh, pertama-tama dia harus membangkitkan dulu rasa
curiga di masing-masing pihak.
Kalau sudah timbul perasaan saling curiga, maka mereka pun tak bisa bekerja
sama, asal tak bisa bekerja sama, berarti ada peluang baginya untuk menyusup.
Maka So Bong-seng pun menciptakan isu itu, isu memang selalu mendatangkan
manfaat. Sehebat apa pun kemampuanmu, setinggi apa pun ilmu silatmu, sulit bagi mereka
untuk menghindari isu, mereka mudah dipengaruhi berita yang tersiar di luar,
sebab isu itu sendiri bisa menciptakan semacam daya tekanan, seperti bola salju,
semakin menggelinding akan semakin bertambah besar.
Biarpun kau termasuk orang yang tak mau percaya dengan isu, namun apa yang bisa
kau perbuat tak lebih hanya semacam menghindar, atau dengan perkataan lain isu
tetap meninggalkan daya pengaruh, karena itu dia tak berani menghadapi kenyataan
itu. Hanya orang yang bisa menghadapi isu, berani menghadapi isu dan menyelesaikan
berita isu terhitung seorang pemberani.
Setelah menyebarkan isu itu, So Bong-seng tinggal menunggu reaksi dari
perkumpulan Lak-hunpoan-tong, jika mu?suh merupakan sebuah gudang mesiu, dia tak
perlu memindahkan isi gudang itu, tapi cukup menyulut sumbunya dengan api.
Dia percaya apa yang telah dilakukan ibarat menuang sebaskom air ke dalam
sekarung gandum, tak selang lama gandum dalam karung akan menjamur lalu
membusuk. Jika kau menginginkan sepasang suami istri cekcok, gampang sekali, cukup
menyiarkan kejelekan masing-masing pihak di luar, sebarkan isu itu dan tak lama
kemudian percekcokan segera akan berlangsung.
Terkadang So Bong-seng juga percaya, asalkan persahabatan antara Lui Sun dan Ti
Hui-keng mulai retak, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong
selanjutnya pasti akan mulai goyah.
Oleh sebab itu dia 'menuangkan sebaskom air, kemudian dengan sabar menanti
hasilnya. Lalu apa yang berhasil dia dapatkan" Tidak mendapat apa-apa!
Lui Sun tetap Lui Sun, sama sekali tidak menderita Sun (rugi), Ti Hui-keng tetap
Ti Hui-keng, dia tidak jadi Keng (kaget) karena perubahan itu, yang satu tetap
menjadi Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, yang lain tetap menjadi Toa-
tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tak ada yang lebih unggul tak ada yang
lebih asor, keduanya tetap seimbang.
Sebaskom air' itu ibarat dibuang ke tengah laut, sama sekali tidak bereaksi.
Sejak itu pandangan So Bong-seng terhadap Ti Hui-keng semakin mengherankan,
semakin ingin tahu. Seorang Loji memang harus mengalah kepada sang Lotoa, sebab kekuasaan Lotoa jauh
lebih besar dari Loji, kalau Loji tak bisa menahan diri, maka ia tak bisa
menjadi Loji, dia boleh jadi Lotoa, tapi sebagai Loji sudah menjadi kewajibannya
untuk mengalah kepada sang Lotoa..
Tapi dengan cara apa sang Loji dapat membuat Lotoa tak perlu curiga kepadanya,
tak perlu waspada kepadanya"
Di sinilah letak kehebatan Ti Hui-keng, selain itu juga me?rupakan kelebihan
yang tak boleh diabaikan dari seorang Lui Sun.
So Bong-seng merasa sangat heran, tapi ia tidak lepas tangan begitu saja.
Dia tahu, di antara Ti Hui-keng dan Lui Sun pasti terdapat satu alasan yang
membuat kedua belah pihak sama-sama menaruh kepercayaan, alasan itu besar
kemungkinan adalah sebuah rahasia, asal dia berhasil menemukan rahasia itu,
mungkin tak sulit untuk mengetahui hubungan mesra di antara mereka.
So Bong-seng ingin sekali menemukan rahasia itu.
Demi rahasia itu, dia tak segan menitahkan penyusupnya yang sudah berada dalam
perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk mencari tahu hubungan antara Lui Sun dan Ti
Hui-keng sebagai tugas paling utama.
Kini dia sudah mulai memperoleh titik terang.
Ia telah berjumpa dengan Lui Sun.
Lui Sun adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia merupakan orang
lapangan, orang yang berada di garis depan, tak sulit bagi So Bong-seng untuk
bersua dengan Lui Sun. Tapi hingga kini So Bong-seng belum pernah bertemu dengan Ti Hui-keng.
Ti Hui-keng bukan seorang jagoan yang gemar menampakkan diri, dan sekarang dia
berada di atas loteng, dia sedang menuju ke situ untuk bertemu dengannya.
Kini ia telah berjumpa dengan Ti Hui-keng. Tapi apa yang dilihat membuatnya amat
terkejut. Ti Hui-keng sebenarnya terhitung seorang pemuda ganteng, kesepian dan sedikit
agak lugu, sedemikian tampannya sampai Pek Jau-hui yang melihat pun timbul
perasaan iri dalam hatinya.
Saat itu Ti Hui-keng sedang menundukkan kepala, mengawasi jubah panjang sendiri,
mungkin juga sedang memperhatikan ujung sepatu sendiri, sikap dan tingkah
lakunya persis seperti seorang nona pemalu, tak berani mendongakkan kepala untuk
memandang ke arah orang lain'.
Seorang nona tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang orang lain, karena
dia memang seorang gadis.
Maklum, seorang gadis biasanya memang pemalu.
Tentu saja Ti Hui-keng bukan seorang gadis, dia malah seorang Toatongcu dari
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi mengapa sewaktu berbicara dengan orang lain,
ia tak pernah mendongakkan kepala"
Apakah dia tidak merasa tindakannya itu kurang sopan"
Tapi tak pernah ada orang menegurnya, tak pernah menyalahkan sikapnya, bahkan
tak tega untuk memarahinya.
Sebab begitu melihat So Bong-seng bertiga naik ke atas loteng, Ti Hui-keng
segera berkata dengan nada minta maaf, "Tolong, jangan salahkan kalau aku kurang
hormat, tulang kepalaku ada kendala hingga tak bisa didongakkan, sungguh aku
minta maaf!" So Bong-seng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak tahu apakah Ti Hui-keng
sedang bicara jujur atau tidak, namun perasaan mereka bertiga segera terkesiap
dibuatnya. ooOOoo Seorang lelaki yang begitu tampan ternyata tulang tengkuknya patah, ini
menyebabkan dia tak pernah bisa mendongakkan kepala, tak pernah bisa menikmati
pemandangan alam di kejauhan sana.
Sekilas perasaan sedih melintas dalam hati ketiga orang itu.
Mereka merasa sedih dan ikut berduka atas ketidak beruntungan pemuda ini.
Apakah dikarenakan alasan ini, maka Ti Hui-keng diangkat menjadi orang kedua"
Tengkuk Ti Hui-keng terkulai lemas ke bawah, siapa pun dapat melihat dengan
jelas kalau tulang tengkuknya memang patah, justru yang membuat orang
terperangah adalah dia tidak mati lantaran hal itu, bahkan masih bisa hidup
sehat hingga sekarang. Nada suaranya amat lirih dan lembut, seakan ada seakan tak ada, kadang terputus
kadang tersambung kembali, ini disebabkan ia tak sanggup menyelesaikan sepotong
kalimat sekaligus. Bisa hidup hingga hari ini dalam kondisi semacam ini pula, dapat dibayangkan
betapa tersiksa dan menderitanya dia selama ini.
Tak punya tengkuk, napas pun sangat pendek hingga sukar berbicara, apa mungkin
manusia dengan kondisi tubuh semacam ini memiliki kepandaian silat yang luar
biasa" Jelas kehidupan semacam ini merupakan sebuah kehidupan yang amat menyiksa!
Tapi Ti Hui-keng tetap tersenyum, dia seolah merasa amat puas dengan kondisi
tubuhnya itu, senyuman yang tersungging di ujung bibirnya yang pucat menimbulkan
suatu perasaan yang sangat aneh.
Ti Hui-keng selalu menundukkan kepala, maka dengan sangat mudah ia dapat melihat
rombongan So Bong-seng naik ke atas loteng tapi setelah rombongan tamunya itu
berada di atas, ia jadi tidak leluasa lagi, karena dia harus bicara dengan
kepala tetap tertunduk. Menyaksikan semua ini, rasa iri yang muncul dalam hati Pek Jau-hui seketika
hilang lenyap. Ternyata di dunia ini memang tiada kejadian yang sempurna, oleh sebab itu tak
mungkin pula terdapat manusia yang sempurna.
Oleh karena Ti Hui-keng duduk dengan kepala tertunduk, tubuhnya jadi nampak
lebih pendek dari siapa pun, Ong Siau-sik yang melihat hal ini ingin sekali
menjatuhkan diri berlutut, agar bisa berbicara saling bertatap muka dengan orang
ini. Mungkin hanya dengan berbuat begitu mereka bisa duduk sejajar, bisa berbicara
sambil bertatap muka. Bagaimana dengan So Bong-seng" Apa pula jalan pikirannya"
ooOOoo So Bong-seng berjalan menuiu ke depan jendela.
Sejauh mata memandang, pemandangan di luar jendela ibarat seutas ikat pinggang
kemala, bayangan pagoda di atas permukaan telaga, bayangan pohon yang bergoyang
terhembus angin, wuwungan rumah yang berjejer ..........
Sambil menggendong tangan, So Bong-seng membuang pandangannya keluar jendela,
dia tidak memandang ke tempat jauh tapi memperhatikan suasana di tengah jalan
raya. Hujan masih membasahi bumi, awan kelabu masih menyelimuti angkasa.
Tapi di tengah jalan raya hanya ada dua macam warna
Kuning dan hijau!! Payung kuning dan payung hijau telah terbentang menjadi sebuah lukisan, masing-
masing bergerombol pada kelompoknya, tapi mereka tidak berdiam diri, terkadang
mereka bergerak cepat, terkadang saling serobot posisi, dipandang dari kejauhan,
pemandangan itu sangat indah karena ibarat bunga kuning dan hijau yang sedang
menari di tengah guyuran air hujan.
Tentu saja orang-orang itu berada di bawah payung.
So Bong-seng yang memandang dari atas loteng hanya menyaksikan lautan payung,
tidak nampak bayangan manusia.
Payung berwarna hijau adalah barisan 'Berbuat onar semau sendiri' pimpinan Mo
Pak-sin. Sementara payung kuning adalah pasukan Lui Moay.
Pada saat So Bong-seng membalikkan tubuh, lagi-lagi dia terbatuk hebat, begitu
mulai berbatuk, setiap otot tubuhnya seakan mengejang keras, setiap sarafnya
seolah ikut bergetar keras, membuat setiap jengkal badannya seakan ikut
tersiksa. Kembali ia mengeluarkan saputangan putih dan ditutupkan ke sisi mulutnya.
Apakah saputangan putihnya kembali ternoda darah"
Kali ini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tak sempat melihat, sebab begitu selesai
batuk, So Bong-seng segera memasukkan kembali saputangannya ke dalam saku.
Kalau ditinjau dari keadaan kedua tokoh silat ini, penderitaan Ti Hui-keng jauh
lebih tersiksa" Ataukah siksaan So Bong-seng jauh lebih menderita"
Beginikah pengorbanan yang harus dibayar untuk mem?peroleh kekuasaan dan nama
besar" Berhargakah bila dibayar dengan pengorbanan sebesar ini"
Untuk sesaat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui termenung, perasaan aneh itu seketika
muncul di hati mereka berdua.
ooOOoo Tiba-tiba So Bong-seng buka suara, caranya berbicara sama sekali tak sungkan.
Dia hanya melongok sekejap keluar jendela, sekali pandang ia sudah mengambil
kesimpulan, Situasi sudah terkendali!
Untuk sementara waktu, pasukan payung hijau pimpinan Mo Pak-sin dapat membendung
serbuan pasukan payung kuning pimpinan Lui Moay, bahkan menurut kode rahasia
yang dipancarkan melalui gerakan payung, ia mendapat tahu kalau sesaat lagi Yo
Bu-shia, salah seorang jenderal andalannya segera akan tiba di situ.
Dia tahu, Yo Bu-shia tak nanti datang seorang diri.
Boleh dibilang ia bersama pasukan intinya yang ada di bawah loteng sudah seia
sekata. Asal situasi sudah terkendali, berarti sekarang mulai merundingkan syarat
perjanjian. Itulah salah satu sebab mengapa So Bong-seng harus mengetahui
terlebih dulu keadaan di luar sana.
Syarat perundingan apa pun yang akan diajukan selalu ter?bentuk atas dasar
kekuatan yang dimiliki, jika seseorang tak memiliki kekuatan, maka dia tak akan
bisa mengajak orang lain berunding dan mengajukan syarat, yang bisa dilakukan
hanya minta bantuan orang, memohon kemurahan hatinya, bimbingan dan
perlindungannya. So Bong-seng sangat memahami teori ini.
Ia harus dapat menganalisa kekuatan sendiri dalam situasi yang kalut, setelah
yakin situasi menguntungkan pihaknya, perundingan baru bisa dimulai.
Dia selalu berpendapat, berunding adalah jenis lain dari sebuah serangan. Sebuah
serangan yang tidak perlu menggunakan pasukan maupun senjata.
ooOOoo "Ada apa dengan kepalamu?" pertanyaan yang diajukan So Bong-seng langsung ke
tujuan. Dia berpendapat kalau bisa menghindari segala liku-liku, kenapa tidak
dilakukan, yang penting tujuannya tercapai, maksud dipahami dan apa yang ingin
disampaikan dimengerti orang lain.
Langsung pada tujuan memang sistim yang paling aman dan bisa diandalkan, satu
sistim yang sangat menghemat waktu.
Tentu saja bila orang tak punya kekuatan untuk menggunakannya, belum tentu
sistim ini akan bermanfaat.
Tapi So Bong-seng, biarpun sedang berhadapan dengan sang Kaisar pun dia berhak
bicara begitu, tidak usah mesti munduk-munduk di depan orang.
Mungkin di sinilah letak daya tarik sebuah kekuasaan.
Begitu So Bong-seng buka suara, dia langsung mengorek titik kelemahan orang.
Ketika seseorang tertusuk bagian tubuhnya yang sakit, kau baru dapat melihat
sampai dimana kemampuannya untuk mengatasi persoalan, sebab bila seseorang
tersentuh titik kelemahannya, ia baru akan menampilkan sisi kuatnya.
"Tulang tengkukku patah!"
Ternyata jawaban Ti Hui-keng pun langsung, bahkan sangat halus dan sopan.
"Jika memang tulang tengkukmu patah, kenapa tak diobati?"
"Tulang tengkukku sudah patah lama sekali, bila dapat diobati, sejak awal sudah
diobati." "Su-tayhu dari balai pengobatan negara adalah salah satu tabib andalan
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, datang saja ke loteng kami, akan kuundang dia
untuk mengobati penyakitmu."
"Tabib kenamaan tidak menjamin dia adalah seorang tabib yang hebat, kau anggap
hidangan yang dimasak oleh koki kerajaan pasti merupakan hidangan yang paling
lezat?" jawaban Ti Hui-keng sangat cepat bahkan tajam nadanya, "jika dia benar-
benar seorang tabib hebat, sekarang kau tak usah terbatuk-batuk lagi."
"Aku sendiri yang memilih batuk. Di antara kematian dan batuk, aku lebih memilih
batuk, bukankah batuk lebih baik ketimbang mampus?"
"Selalu menundukkan kepala pun merupakan nasibku, ada kalanya seorang harus
menundukkan kepalanya, sering menundukkan kepala ada juga faedahnya, paling
tidak, tak usah kuatir menumbuk tiang rumah, bila aku harus memilih antara
me?nundukkan kepala dan batuk, aku tetap akan memilih menundukkan kepala."
"Aku mengerti maksudmu."
"Aku memang sudah bicara sangat jelas."
"Bila seseorang dapat memilah secara jelas apa yang dilakukan, dia patut diajak


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersahabat." "Terima kasih."
"Sayang kita bukan sahabat."
"Kita memang bukan sahabat."
So Bong-seng kembali terbatuk-batuk, sementara Ti Hui-keng masih menundukkan
kepalanya. Hanya dalam satu gebrakan, perundingan telah diakhiri dengan satu keputusan.
Ti Hui-keng telah menyatakan posisinya, dia menampik undangan yang disampaikan
So Bong-seng dan mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong tetap menyatakan
permusuhannya dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.
Oleh sebab itu mereka adalah musuh, bukan sahabat.
Tapi bukankah sahabat yang paling memahami diri kita justru merupakan musuh yang
paling berbahaya" ooOOoo Mereka segera memulai perundingan babak kedua.
"Belakangan pihak kerajaan berupaya menggalang kekuatan, biasanya cara yang
digunakan untuk menggalang kekuatan adalah mencari musuh dari luar, provokasi
dari musuh luar biasanya paling gampang membangkitkan perasaan nasionalis
warganya, jika patriotisme dan nasionalisme sudah tumbuh, maka bangsa pasti
bersatu dan negara bertambah kuat."
Dalam hal ini, So Bong-seng pun berpendapat begitu. Bila menginginkan Lui Sun
gontok-gontokan dengan Ti Hui-keng, mungkin harus menunggu sampai perkumpulan
Kim-hong-si-yu-lau roboh lebih dulu, dunia mulai aman, mereka berdua baru mulai
saling bermusuhan. Menghadapi serangan musuh yang muncul di depan mata, malah sebaliknya membuat
mereka semakin bersatu. Sayang So Bong-seng tak dapat menunggu sampai saat itu.
"Aku pernah mendengar soal itu," jawab Ti Hui-keng santun.
"Jika kau ingin menggerakkan pasukan, maka negara harus dibuat aman dan tenteram
terlebih dulu." "Tentu saja."
"Kalau keadaan di luar tidak aman kan tidak jadi masalah, yang penting keadaan
di dalam harus tenang. Di tempat kejauhan tidak tenteram juga tak masalah, tapi
di depan kaisar mesti aman dan tenteram."
"Padahal kaki kaisar berada di kotaraja."
"Benar, itulah sebabnya situasi di kotaraja mesti aman tenteram dan sentosa,
untuk itu pertama-tama kita mesti mengurangi para pembuat keputusan."
"Semakin sedikit pembuat keputusan, kekuatan semakin terpusat, dapat memusatkan
kekuatan berarti menguasai, ini sangat menguntungkan jika membawa pasukan untuk
melakukan penyerangan ke tempat jauh."
"Oleh sebab itu para pembesar tinggi kerajaan berharap di dalam kotaraja hanya
tersisa sebuah perkumpulan saja."
"Perkumpulan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit) termasuk kekuatan
yang datang dari luar, jadi tak masuk hitungan, berarti antara perkumpulan Kim-
hong-si-yu-lau dan Lak-hun-poan-tong harus menyingkir salah satunya."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah kita melebur jadi satu?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa?" "Karena kau tak bakal setuju." "Kenapa aku tak bakal setuju?"
"Sebab kau selalu ingin jadi Lotoa, bila harus melebur jadi satu, apa mungkin
kau mau turun pangkat" Apa mau kau diperintah oleh satu persekutuan?"
"Jadi menurut kau lebih baik membuat persekutuan?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa?" "Sebab Lui-congtongcu juga ingin menjadi Lotoa, bila bergabung dalam
persekutuan, maka dia mesti menerima juga peleburan."
"Oleh sebab itu kita selalu beda pendapat?"
"Dan di kaki kaisar hanya boleh tersisa perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kim-
hong-si-yu-lau." "Ternyata kau memang orang pandai."
"Biarpun aku jarang mendapat kesempatan untuk mendongakkan kepala," sekilas
senyuman pedih melintas di wajah Ti Hui-keng, "namun aku selalu pandai mengatur
pekerjaan." "Orang yang pandai mengatur pekerjaan memang selalu merupakan orang yang kurang
beruntung," tampak sekilas kehangatan melintas di mata So Bong-seng,
"karena dia tak boleh bloon, tak boleh pikun, bahkan tak boleh menuruti suara
hati sendiri, biasanya tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat."
"Ya, jika tugas kelewat banyak, otomatis kehidupan pun jadi kurang bergairah."
"Tahukah kau, tugas berat apa yang harus kau pikul kali ini?"
"Kau ingin aku memikul tugas apa?"
"Sangat sederhana," sahut So Bong-seng cepat, "suruh Lu Sun menyerah!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, kembali terbatuk-batuk.
ooOOoo 17. Pengalaman aneh Perundingan babak kedua telah berakhir. Ti Hui-keng sama sekali tidak kaget.
Dia mengangkat kelopak matanya, terpancar sinar mata yang bening. Dengan tenang
ditatapnya wajah So Bong-seng, menunggu So Bong-seng selesai batuk.
Oleh karena tengkuknya terkulai ke bawah maka kelopak matanya mesti diangkat ke
atas agar bisa melihat So Bong-seng. Biji matanya pun bergeser ke arah atas, hal
ini membuat matanya nampak putih kebiru-biruan, tajam, mantap dan sangat
menawan. Dia seakan sudah menduga kalau So Bong-seng bakal mengucapkan perkataan semacam
itu. Yang merasa terkejut justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.
Mereka tidak menyangka begitu buka suara So Bong-seng langsung minta perkumpulan
Lak-hunpoan-tong, perkumpulan nomor wahid di kolong langit untuk menyerah
kepadanya. ooOOoo Kini So Bong-seng sudah selesai batuk.
Jarang ada orang yang bisa bersabar menanti sampai dia selesai batuk.
Penyakit batuknya mungkin tidak terlampau parah, tapi begitu mulai batuk, setiap
bagian tubuhnya seolah mulai berubah bentuk, suaranya begitu parau seakan pita
suaranya segera akan retak dan pecah, lambungnya mengejang keras seakan dijepit
orang dengan tanggam baja, seluruh tubuhnya melengkung bagai busur, jantungnya
seolah ditusuk hingga berdarah, bola matanya penuh dengan jaringan darah, otot
wajahnya menonjol keluar, jalan darah Tay-yang-hiat naik turun tak menentu, otot
tubuhnya mengejang, jari tangan pun ikut kejang, begitu hebat batuknya sampai
sepasang kakinya tak sanggup berdiri tegak, suaranya menyayat seolah paru
parunya mulai retak dan hancur, hancur berkeping dan ikut menyembur keluar
bersama suara batuknya. Akhirnya selesai juga ia berbatuk.
Begitu batuknya berhenti, dengan hati-hati dia melipat kembali saputangan
putihnya dan dimasukkan ke dalam saku, caranya memasukkan saputangan persis
seperti seorang yang sedang menyimpan selembar cek yang bernilai seratus juta
tahil perak. "Apakah kau punya pendapat atau usul lain?" tanyanya kemudian.
ooOOoo Begitu pertanyaan itu diutarakan, berarti perundingan babak ketiga dimulai.
Banyak perundingan yang diselenggarakan di dunia ini memang tak bisa
diselesaikan dalam waktu singkat apalagi terburu-buru.
Siapa terburu-buru berarti dia tak bisa mengendalikan diri, berarti pula dia tak
punya kesempatan untuk meraih kemenangan.
Siapa tak dapat mengendalikan diri, dia selalu akan menderita rugi.
Makna yang sebenarnya dari sebuah perundingan adalah bertujuan agar tidak
menderita rugi atau sedikit menderita kerugian, atau juga membiarkan orang lain
yang rugi, oleh sebab itu semakin berunding harus semakin pandai mengendalikan
diri. "Kenapa bukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang menyerah kepada perkumpulan
Lak-hunpoan-tong?" Ti Hui-keng balik bertanya.
Pertanyaan itu diajukan dengan perasaan tenang dan datar, sama sekali tak
diselipi gejolak emosi, dia seakan sedang merundingkan satu persoalan yang sama
sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
"Sebab situasi saat ini sudah amat jelas, Phang-ciangkun yang semula menunjang
kalian, sekarang telah berbalik menunjang kami, Yan Yu-si yang semula menjadi
bukit sandaran kalian, sekarang malah mengajukan laporan yang merugikan kalian
di depan Kaisar, Lui Sun tiga kali mengajukan permohonan untuk bertemu perdana
menteri tapi selalu ditolak, masa kau belum bisa menganalisa situasi semacam
ini?" tanpa sungkan So Bong-seng langsung menyerang.
"Semua yang kau ungkap memang kenyataan," Ti Hui-keng mengakui dengan cepat.
"Oleh sebab itu kalian sudah mulai menunjukkan gejala kekalahan, bila tidak
segera menyerah, yang kalian tuai hanya kekalahan dan kematian, mencari penyakit
buat diri sendiri." "Walaupun fakta yang kau kemukakan benar," ujar Ti Hui-keng hambar, "akan tetapi
kami masih mempunyai tujuh puluh ribu anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang
tinggal di kotaraja, mereka rela mati dalam pertempuran dan tak sudi menjadi
seorang lelaki yang menyerah kalah
"Kau keliru besar," tukas So Bong-seng cepat.
"Pertama, kalian tidak memiliki tujuh puluh ribu anggota, hingga kemarin sore,
anggota kalian hanya tersisa lima puluh enam ribu lima ratus delapan puluh dua
orang, tapi kemarin tengah malam, delapan ribu empat ratus enam puluh tiga orang
yang berada di wilayah Keng-hoa-to telah bergabung ke pihakku, maka hari ini
sisa anggota kalian tinggal empat puluh delapan ribu seratus sembilan belas
orang, itu belum dipotong lagi dengan kematian si Hwesio perlente barusan."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, So Dong-seng berkata lebih jauh,
"Kedua, dari sisa anggotamu yang empat puluh delapan ribu seratus delapan belas
orang itu, paling tidak ada setengahnya bukan manusia yang setia, sisanya yang
setengah lagi, di antaranya ada empat puluh persen yang tidak tahan menerima
godaan dan rayuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau kami, sisanya yang enam puluh
persen ada tiga puluh persen di antaranya tak sudi mati demi perkumpulan Lak-
hun-poan-tong, jadi kekuatan yang benar-benar dapat kalian gunakan bukan
berjumlah tujuh puluh ribu orang melainkan hanya tujuh ribu orang, jadi kau tak
perlu ragu lagi." So Bong-seng membuka daun jendela yang menghadap ke arah timur, sambil menuding
keluar katanya lagi, "Ketiga, coba kau lihat sendiri!"
Di kejauhan sana, dipandang dari tempat yang tinggi, di antara lamat-lamatnya
cuaca mendung dan langit berwarna keabu-abuan, tampak satu pasukan manusia
berbaju hijau yang menggembol golok besar di punggungnya, berdiri berjajar di
tengah terpaan hujan gerimis.
Di belakang pasukan bergolok itu, berjajar pula sepasukan berkuda yang dipimpin
seorang lelaki berbaju perang warna putih, membawa tombak panjang yang sangat
menyolok. Biarpun anggota pasukan itu banyak sekali jumlahnya, namun suasana amat hening
dan sepi, mereka berdiri angker di bawah derasnya air hujan.
Pasukan itu sama sekali tidak bergerak, hanya panji kebesarannya yang berkibar
ketika terhembus angin, di atas panji itu tersulam sebuah huruf yang sangat
besar, "To" atau golok.
Perlahan-lahan Ti Hui-keng bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela lalu
dengan susah payah melongok sekejap ke tempat jauh, setelah itu dia baru
berkata, "Ooh, rupanya To Lam-sin telah membawa pasukan angin puyuhnya datang
kemari." "Oleh karena kalian sudah terkepung, maka pasukan Lui Moay tak berani bergerak
maju secara sembarangan," kata So Bong-seng menerangkan.
"Sayang kalian pun tidak sungguh-sungguh berani melancarkan serangan, sebab jika
sampai geger, penggunaan pasukan kerajaan untuk kepentingan organisasi bisa
menjadi masalah yang amat serius, sudah pasti perdana menteri dan raja muda akan
tak senang," kata Ti Hui-keng cepat.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Kecuali kalau pihak kami yang
menyerang duluan, To Lam-sin dengan alasan menumpas pemberontakan bisa saja
melancarkan pembersihan."
"Perkataanmu tepat sekali," kata So Bong-seng manggut-manggut, "oleh sebab itu
kalian pun tak akan melancarkan se?rangan, tapi kau mesti tahu, dua puluh persen
kekuatan pasukan yang ditempatkan di kotaraja berada dalam genggaman kami, ini
fakta, inipun kekuatan nyata, padahal kalian tidak memilikinya."
"Betul, kami memang tidak punya," kali ini Ti Hui-keng mengangguk.
"Makanya lebih baik kalian menyerah saja."
"Sekalipun kami bersedia menyerah, belum tentu Cong-tongcu akan menyetujuinya."
"Orang yang sudah terbiasa jadi orang nomor satu memang tak ingin jadi orang
nomor dua, tapi bagaimana dengan kau?" tatapan So Bong-seng tajam bagai sembilu.
"Aku pun sudah terbiasa menjadi orang nomor dua," jawaban Ti Hui-keng masih
tetap santai, "jadi, mau pindah kemana pun tetap aku jadi orang nomor dua, apa gunanya"
Apalagi kalau sampai dijadikan orang nomor tiga atau orang nomor empat, waah ...
bedanya bisa jauh sekali."
"Belum tentu, bisa saja kau malah jadi orang nomor satu?" tukas So Bong-seng
cepat, kemudian setelah mengatur nada sua?ranya, ia melanjutkan, "Orang nomor
satu perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan orang nomor satu perkumpulan Kim-hong-si-
yu-lau boleh saja tetap ada, asalkan si penanggung jawab perkumpulan Lak-hun-
poan-tong mau bertanggung jawab juga terhadap perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau."
Ti Hui-keng mencibirkan bibir sebagai ganti senyuman, "Sayang selama ini aku
terbiasa memberi pertanggungan jawab kepada Lui Sun."
"Lui Sun sudah tua, sudah tak becus, kau tak usah bertanggung jawab lagi
kepadanya, sudah waktunya bagimu untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri."
Ti Hui-keng seakan agak tertegun, sesaat dia tak berkata-kata.
So Bong-seng berkata lebih jauh, "Setelah tujuh-delapan tahun menjadi orang
nomor dua, sekarang menjadi orang nomor satu, rasanya hal ini menarik juga."
Ti Hui-keng menghela napas panjang, tapi suaranya sangat lirih, sedemikian lirih
hingga nyaris tak terdengar oleh orang lain.
"Apakah kau masih punya pendapat lain?" kembali So Bong-seng bertanya.
Ti Hui-keng mendongakkan kepala dan memandang lawan lekat-lekat, sesaat kemudian
ia baru menjawab, "Aku sudah tak punya pendapat apa-apa lagi. Tapi Congtongcu
pasti mempunyai pendapatnya sendiri."
"Kau ingin menanyakan pendapatnya?" So Bong-seng tiba-tiba menarik kelopak
matanya hingga pandangan matanya nampak dingin menggidikkan.
Ti Hui-keng manggut-manggut.
"Kau sendiri tak sanggup mengambil keputusan?" desak So Bong-seng lagi dengan
sorot mata setajam sembilu.
Ti Hui-keng mengawasi sepasang tangannya. Sepasang tangan yang putih dan bersih,
jari tangannya panjang tapi ramping, ruas jarinya kelihatan sangat bertenaga.
"Aku selalu memberikan pertanggungan jawab kepadanya, sedang dia bertanggung
jawab atas keseluruhan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bagaimanapun aku harus
menanyakan pendapatnya, setelah itu baru mulai mempertimbangkan pendapatku
sendiri." So Bong-seng mulai bersikap tenang.
Ong Siau-sik yang selama ini hanya membungkam, mendadak mulai merasa kuatir. Dia
menguatirkan Ti Hui-keng.
Asal So Bong-seng melolos goloknya, mungkin dalam waktu singkat Ti Hui-keng
sudah roboh bersimbah darah.
Menyaksikan Ti Hui-keng dengan tubuhnya yang begitu lemah, ditambah lagi
mengidap cacad yang begitu mengenaskan, dia tak tega menyaksikan orang itu mati.
Untung So Bong-seng tidak turun tangan, dia hanya berkata dengan nada dingin,
"Tengah hari tiga hari kemudian, di tempat yang sama, suruh Lui Sun datang
kemari, aku ingin berbicara hingga jelas dengannya. Jika ia tidak datang, segala
akibat tanggung jawab dia sendiri."
Begitu selesai bicara ia segera beranjak pergi, pergi tanpa melirik lagi ke arah
Ti Hui-keng. Perundingan tiga babak pun kini berakhir.
ooOOoo So Bong-seng membalikkan badan dan berlalu, turun dari loteng.
Karena ia pergi secara tiba-tiba, mau tak mau Ong Siau-sik mengikut di
belakangnya turun dari loteng itu, Pek Jau-hui sebetulnya ingin membangkang,
tapi situasi dan kondisi tidak mengizinkan dia mengumbar watak sendiri, maka dia
pun ikut turun dari situ.
So Bong-seng memang selalu memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain
mengikuti kehendaknya. Kendatipun dia sendiri sudah didera penyakit yang membuatnya nyaris kehilangan
segenap tenaga dan kekuatan yang dimilikinya.
Kekuatan dalam kehidupan!
ooOOoo So Bong-seng sudah turun dari loteng, namun Ti Hui-keng sama sekali tak
bergerak. Beberapa saat kemudian, ia menjumpai gerombolan payung hijau yang semula


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi tengah jalan raya, kini sudah bubar dan lenyap dari pandangan.
Tak selang berapa saat kemudian, pasukan berkuda yang berada di kejauhan pun
dengan tanpa menimbulkan suara telah bergeser dan meninggalkan tempat itu.
Ti Hui-keng masih duduk dengan santai, persis seperti seorang siucay yang sedang
menikmati pemandangan alam di tengah hujan sambil membuat pantun dan syair.
Menyusul kemudian ia mendengar suara tiupan seruling yang berkumandang dari
kejauhan, dua kali tiupan panjang tiga kali tiupan pendek, seakan ada orang yang
sedang memanggil. "Sungguh aneh," kala itulah Ti Hui-keng baru berbisik.
Meskipun mengucapkan dua patah kata yang singkat, tapi jelas dia bukan sedang
bergumam. Dia seakan sedang berbicara dengan seseorang.
Tapi ... dalam ruangan loteng itu hanya ada dia seorang, dengan siapa dia
berbicara" Baru selesai dia bicara, mendadak terdengar seseorang menanggapi,
"Apanya yang aneh?"
Seseorang terlihat 'berjalan' turun dari atap rumah.
Ia tidak menggunakan gerakan tubuh apa pun, hanya membuka jendela
dekat atap rumah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Di antara atap bangunan
dengan lantai ruangan tingkat dua, sama sekali tak tersedia anak tangga, namun
dia telah berjalan turun ke bawah dengan santainya, seolah sedang berjalan di
tanah datar saja. Orang ini mengenakan jubah lebar berwarna abu-abu, tangan kirinya dimasukkan ke
dalam saku, sewaktu turun ke dalam ruangan, tiba-tiba Ti Hui-keng merasa kalau
saat itu turun hujan, benar-benar langit gelap dan hujan turun, suasana hujan
yang akan amat menggidikkan.
Sampai kapan hujan akan turun"
Ketika musim hujan lewat, salju pun akan mulai turun.
Bila salju sudah turun, harus menunggu sampai berapa lama lagi matahari baru
menampakkan diri" Pikiran semacam itu hanya berkecamuk di dalam benaknya, di luar ia segera
menyapa, "Congtongcu sudah menunggu lama di atap rumah?" Kakek itu tertawa.
"Loji, kau pasti sangat lelah," katanya, "cucilah dulu matamu, kemudian cucilah
tanganmu." Begitu perkataan itu diucapkan, dua orang gadis cantik dengan membawa sebuah
baskom perak berisikan air bersih dan sebuah handuk berwarna putih telah muncul
dalam ruangan, kemudian dengan sangat hati-hati meletakkannya di atas meja,
persis di samping Ti Hui-keng.
Menyaksikan hal ini Ti Hui-keng tertawa.
Ia benar-benar mencuci matanya dengan air, lalu mencelupkan handuk putih itu ke
dalam air dan membilas wajahnya perlahan, setelah itu dia celupkan juga sepasang
tangannya ke dalam air. Selang beberapa saat baru ia mencuci tangan itu dengan sangat teliti, mencucinya
dengan serius, sangat hati-hati dan tak ada bagian tangannya yang tidak
dibersihkan. Kakek itu hanya mengawasi dari kejauhan, jenggotnya kelihatan agak berguncang,
entah karena terhembus angin atau alasan lain, tapi yang jelas bukan cuma
jenggotnya yang bergoyang, jubah yang dikenakan pun ikut bergelombang.
Dengan sabar dan hati-hati Ti Hui-keng mencuci matanya, mencuci tangannya, lalu
satu demi satu dilap dengan handuk hingga kering, dia tidak membiarkan setetes
air pun masih membasahi jari tangannya.
Si kakek pun dengan sabar menunggu, menanti hingga dia menyelesaikan semua
pekerjaannya. Usianya sudah cukup tua, dia tahu, semua keberhasilan harus melalui kesabaran
dan keuletan. Ketika masih muda dulu, dia lebih membara ketimbang orang lain, itulah sebabnya
ia berhasil memperoleh dunia, tapi dunia bisa diperoleh dengan semangat yang
berkobar, namun begitu harus mempertahankan dunianya, kobaran api yang kelewat
panas justru bakal membikin runyam masalah.
Sebab yang diutamakan adalah kesabaran.
Oleh karena itu dia bisa bersabar jauh melebihi kemampuan siapa pun.
Setiap kali dia membutuhkan orang, dia dapat begitu sabar. Apalagi ingin
memanfaatkan orang berbakat, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dia sadar banyak persoalan tak akan selesai bila terburu-buru, bahkan ada
persoalan tertentu yang semakin susah dicapai bila kelewat bernapsu, maka dia
belajar menjadi seorang pemburu, menjadi seorang nelayan, menebarkan jaring dan
perangkap, kemudian menyingkir agak menjauh dan menunggu dengan sabar.
Sabar memang mempunyai banyak keuntungan, paling tidak bisa membuat orang lebih
jelas melihat situasi, bisa mengatur langkah dengan lebih tepat, memperkuat
diri, mengubah posisi lemah menjadi kuat. Jika seorang tak punya kesabaran, dia
tak akan berhasil menciptakan karya besar, paling yang bisa dilakukan hanya
usaha kecil. Tentu saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong bukan sebuah usaha kecil.
Maka ia harus sabar, khususnya sabar menghadapi Ti Hui-keng.
Karena Ti Hui-keng adalah orang paling berbakat di antara orang berbakat
lainnya. Ti Hui-keng memiliki dua kelebihan, kelebihan yang dimilikinya terhitung nomor
satu di kotaraja, tak nanti ada orang lain sanggup mengunggulinya.
Sepasang tangan Ti Hui-keng.
Sepasang mata Ti Hui-keng.
Maka dari itu dia harus merawat sepasang tangannya ekstra hati-hati, melindungi
sepasang matanya ekstra ketat. Lui Sun sangat memahami akan hal ini.
Hari ini dia mengatur rencana secara cermat, menyusun strategi dengan sempurna,
tujuannya tak lain adalah untuk mengatur suatu pertemuan antara Ti Hui-keng
dengan So Bong-seng, jelas pertemuan ini bertujuan melakukan perundingan,
bagaimana hasil perundingan itu tidak terlalu penting baginya, justru kesimpulan
yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih penting dari segalanya.
Inilah yang disebut kekuatan dari suatu pengamatan, jika pandai memanfaatkannya,
maka pengamatan dari seseorang justru jauh lebih berharga daripada harta
kekayaan. Setelah So Bong-seng berlalu, Ti Hui-keng hanya mengu?capkan sepatah kata,
"Aneh!" Kenapa aneh" Apanya yang aneh" Lui Sun tak perlu terburu-buru, sebab dia tahu Ti Hui-keng pasti akan
menjelaskan. Siapa pun orangnya, bila dia memiliki bobot seperti Ti Hui-keng, memiliki
kemampuan yang hebat dalam menganalisa sesuatu dan mengambil suatu kesimpulan,
dia berhak untuk jual mahal, berbicara bila dia merasa senang.
Akhirnya Ti Hui-keng bicara juga, ujarnya, "Aneh, kenapa So Bong-seng begitu
terburu-buru?" "Maksudmu dia terburu-buru ingin bertanding melawanku?" tanya Lui Sun hati hati.
Ti Hui-keng menundukkan kepala, mengalihkan sorot matanya mengawasi sepasang
tangannya yang putih mulus,
"Sebenarnya dia tak perlu terburu-buru, karena situasi makin lama semakin
menguntungkan bagi dirinya."
Lui Sun tidak menjawab, dia menunggu Ti Hui-keng bicara lebih jauh.
Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan melanjutkan kata-katanya.
Sekalipun Ti Hui-keng bukan sedang memberi laporan kepada atasannya tentang
hasil pantauan dan analisanya, dia tetap akan mengatakannya, sebab pandangan
seseorang yang kelewat istimewa, pendapat yang kelewat sempurna, selalu berharap
ada orang bisa menikmatinya, ada orang memujinya.
Tak disangkal Lui Sun adalah seorang pendengar, penikmat dan pemuja yang amat
pandai. Benar saja, Ti Hui-keng berkata lebih jauh, "Jika seseorang sudah terburu-buru
ingin menyelesaikan segala sesuatunya, berarti dia sudah berada dalam kondisi
tak bisa menunggu lagi, jelas hal ini merupakan kesulitannya, kesulitan
seseorang besar kemungkinan merupakan titik kelemahannya."
Bicara sampai di situ ia segera membungkam.
"Apakah dengan mencari titik kelemahan itu berarti kita bisa menemukan cara
untuk menyelamatkan diri dari kekalahan?" Lui Sun segera menimpali.
"Benar!" "Tapi kesulitan apa yang sedang ia hadapi?"
"Kita tidak tahu, kita hanya bisa menebak ..." sekilas perasaan bimbang muncul
di wajah Ti Hui-keng. "Kondisi kesehatannya?" tanya Lui Sun.
Inilah tujuan utamanya mempersilakan Ti Hui-keng berjumpa dengan So Bong-seng,
hanya Ti Hui-keng seorang yang bisa melihat apakah So Bong-seng benar-benar
berpenyakit, bagaimana penyakitnya dan apa penyakitnya.
So Bong-seng merupakan seorang jago yang tak mudah dikalahkan, dia nyaris tak
punya kelemahan, musuh-musuhnya pun tak berhasil menemukan titik kelemahannya.
Tapi setiap orang tentu punya kelemahan, biasanya jago tangguh pandai
menyembunyikan kelemahan, bahkan pandai mengubah titik kelemahannya menjadi
titik yang paling kuat. Sehebat apa pun kepandaian silat yang dimiliki seseorang, dia tak akan lolos
dari kematian, begitu juga dengan kondisi kesehatan seseorang, seprima apa pun
kondisi tubuhnya, suatu ketika pasti akan sakit juga.
Tapi penyakit apa yang diderita So Bong-seng" Bila orang lain tak sanggup
merobohkan dia, mungkin setan penyakit dapat merobohkan dirinya"
Berita semacam inilah yang paling ingin diketahui Lui Sun.
"Dia benar-benar sakit," ungkap Ti Hui-keng tegas, dia tahu analisa yang baru
saja dilontarkan itu sudah lebih dari cukup untuk menggemparkan seluruh
kotaraja, menggetarkan separuh dunia persilatan, "Seluruh tubuhnya tak ada yang
tidak sakit, paling tidak ia menderita tiga empat macam penyakit, hingga kini
penyakitnya boleh dibilang termasuk penyakit parah yang tak ada obatnya, di
samping itu dia pun menderita lima-enam macam penyakit yang hingga kini belum
diketahui nama?nya. Sampai sekarang dia masih belum mati karena dia mempunyai
tiga kemungkinan." Setelah termenung sejenak, terusnya, "Kemungkinan pertama, tenaga dalamnya
kelewat tinggi, sanggup mengendalikan penyakitnya hingga tidak menjalar. Namun,
sehebat apa pun tenaga dalamnya, mustahil dia bisa mengendalikan penyakitnya
dalam jangka waktu yang panjang, mustahil bisa membuat penyakitnya tidak
memburuk." Sinar matanya dialihkan ke atap bangunan dan menerawang sampai lama sekali.
Lui Sun menanti dengan tenang, menanti dia melanjutkan perkataannya, wajahnya
tak ada rasa gusar, tak ada perasaan mendongkol, yang ada hanya keseriusan,
keseriusan untuk mendengar.
Mimik seperti inilah yang paling ditakuti Ti Hui-keng, sebab dari balik mimik
muka seperti ini, sulit baginya untuk menebak apa yang sebenarnya sedang
dipikirkan orang itu. "Kemungkinan kedua, bisa jadi tujuh delapan macam penyakit yang dideritanya
saling mengendalikan, saling berbenturan hingga untuk sementara tak akan
kambuh." "Apa pula kemungkinan yang ketiga?" tanya Lui Sun cepat.
"Pengalaman aneh."
ooOOoo 18. Wajah penuh senyum Pengalaman aneh. Masalah yang tak bisa dijelaskan dengan berbagai alasan masih bisa dijelaskan
dengan satu kata, yaitu pengalaman aneh!
"Menurut aturan, bila ditinjau dari kondisi penyakit yang dideritanya, dia
semestinya sudah mati sejak tiga-empat tahun lalu, tapi kenyataannya hingga hari
ini dia masih tetap hidup bahkan masih mengemban tugas paling berat dalam
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, benar-benar kejadian seperti ini merupakan
kejadian aneh." Lui Sun termenung tanpa berkata.
Manusia macam dia, dengan kedudukannya, tentu saja tahu kalau perkataan itu tak
perlu banyak diucapkan, tapi setiap perkataan yang diucapkan harus berbobot.
Biasanya dia malah lebih banvak mendengarkan perkataan orang lain, hanya dalam
situasi banyak mendengar, analisa dan kesimpulannya baru lebih akurat,
perkataannya baru lebih berbobot.
Maka dengan sangat berhati-hati ia bertanya, "Jadi maksudmu, semestinya kan So-
kongcu bisa menunggu, tak perlu terburu-buru karena situasi telah berkembang ke
arah menguntungkan pihaknya, dia tak perlu terburu-buru menyelesaikan pertikaian
antara perkumpulan kita ... tapi dia tak bisa menahan diri, jadi menurut
dugaanmu, kemungkinan besar ..."
Ia merasa kurang leluasa untuk melanjutkan perkataannya, maka ucapan itu
terhenti di tengah jalan, karena kata berikut seharusnya Ti Hui-keng yang lebih
berhak untuk bicara. "Dia tidak menunggu berarti ada alasan tertentu yang membuatnya tak mungkin
menunggu, atau situasinya berbeda dengan dugaan kita semula," Ti Hui-keng segera
melanjutkan perkataannya, dia selalu mengerti kapan tugas dan tanggung jawabnya
harus dilaksanakan. Dalam sebuah organisasi, setiap orang pasti mempunyai peranan sendiri, ada orang
harus bicara secara langsung, ada orang kalau bicara mesti menyisakan sedikit,
ada orang berperan jadi 'orang baik', ada pula yang harus berperan sebagai
'orang jahat', berbicara di saat tidak seharusnya bicara dan tidak bicara di
saat harus berbicara, sama halnya dengan seseorang yang tidak tahu posisi
sendiri, cepat atau lambat orang semacam ini pasti akan didepak keluar dari
organisasi. Posisi Ti Hui-keng selama ini mantap bagaikan bukit Thay-san, dia tahu tindak-
tanduk serta sepak terjang yang ia lakukan sangat berkaitan erat dengan
kekuasaan. "Perkataanmu memang benar," sahut Lui Sun, "baik soal waktu maupun masalah
situasi, semuanya menguntungkan posisinya."
"Tapi sekarang telah terjadi pergeseran, situasi memang masih menguntungkan
pihaknya, tapi soal waktu kemungkinan besar justru menguntungkan pihak kita,"
kata Ti Hui-keng. "Maksudmu kondisi kesehatannya semakin parah?" pertanyaan Lui Sun ini diajukan
dengan sangat berhati-hati.
Ti Hui-keng tidak langsung menjawab, dengan sorot matanya yang tajam dia
memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru sahutnya,
"Benar!" Lui Sun merasa sangat puas, memang jawaban ini yang sedang dinantikan.
Jawaban itu bukan saja menyangkut mati hidup dia pribadi, bahkan menyangkut mati
hidup beberapa puluh ribu orang, menyangkut berjaya atau runtuhnya sebuah kota.
Karena jawaban itu keluar dari mulut Ti Hui-keng.
ooOOoo Ada kalanya ucapan Ti Hui-keng jauh lebih ampuh daripada firman kaisar. Sebab
meski firman kaisar penuh dengan kekuasaan, namun kaisarnya adalah kaisar lalim,
sementara Ti Hui-keng adalah seorang jenius.
Sekalipun sasaran analisa itu adalah Lui Sun atau bahkan dia sendiri, ia akan
memberikan pandangan secara jujur, adil dan bijaksana.
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, Ti Hui-keng mulai menyeka butiran
keringat yang membasahi jidatnya.
Jawaban itu sama beratnya seperti pertempuran sengit melawan seseorang.
Padahal untuk memutuskan sebuah kesimpulan atas seseorang atau suatu masalah,
dibutuhkan kemampuan seluruh pengalaman yang dimiliki serta ketajaman
menganalisa yang akurat, sama halnya dengan seseorang yang mengerahkan se?genap
tenaga dalam dan jurus silat yang diketahuinya untuk bertarung melawan
seseorang. Lui Sun melayang turun dari atap rumah, waktu itu hujan masih turun di luar
sana, anehnya pakaian yang ia kenakan sama sekali tidak basah.
Tiba-tiba terdengar Ti Hui-keng bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Congtongcu
tentang janji pertemuan tiga hari lagi?"
Dia jarang sekali bertanya.
Terhadap Lui Sun dia tahu, seharusnya dia banyak menjawab, bukan banyak
bertanya. Tentu saja terkecuali dia butuh tahu tentang persoalan itu.
Padahal dalam pandangan Lui Sun, seringkah pertanyaan yang diajukan Ti Hui-keng
sama bobotnya dengan jawaban yang dia berikan.
"Kalau memang waktu menguntungkan kita, kenapa kita tidak berusaha mengulur
waktu?" jawabnya. Ti Hui-keng menghela napas panjang.
Tampaknya Lui Sun menyadari akan hal itu, segera ujarnya, "Kau merasa kuatir?"
Ti Hui-keng membenarkan. "Apa yang kau kuatirkan?"
"Kalau toh dia bermaksud menyelesaikan persoalan ini secepatnya, tak nanti akan
memberi kesempatan kepada kita untuk mengulur waktu, lagi pula ..."


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagi pula kenapa?"
Tiba-tiba Ti Hui-keng berganti nada pembicaraan, katanya, "Congtongcu, apakah
kau memperhatikan juga kedua orang anak muda itu?"
Lui Sun tak bisa menahan diri lagi, dia menghela napas panjang.
"Ai, dalam situasi seperti ini ternyata muncul dua orang macam mereka, kejadian
ini benar-benar di luar dugaan."
"Apakah Congtongcu tahu siapakah kedua orang itu?"
"Aku sedang menunggu keterangan darimu."
"Aku hanya tahu mereka baru setengah tahun tiba di kotaraja, yang satu bermarga
Pek, yang lain bermarga Ong, kepandaiannya cukup bisa diandalkan, aku sangka
mereka hanya bisa bertahan selama dua tiga bulan, asal tetap tak bisa
menonjolkan diri, secara otomatis akan meninggalkan kotaraja, di luar dugaan
Perkumpulan Lak-hun-poan-tong tahu tentang kedua orang ini, namun mereka tidak
memandang sebelah mata terhadap kemampuan mereka, maka Ti Hui-keng hanya menitahkan orang untuk mengawasi dan tidak mengusik kedua orang pemuda
yang asal-usulnya tak jelas tapi memiliki kungfu hebat itu, sebab dia tahu,
kecuali benar-benar menghadapi musuh tangguh, alangkah baiknya bila dapat
menghindari perkelahian. Ada sementara orang, asal kau tidak menggubrisnya maka beberapa saat kemudian
dia akan lenyap dengan sendirinya, bahkan tak perlu mengganggu atau menggunakan
kekerasan, cara seperti ini bukan saja merupakan cara yang cerdik, bahkan tak
usah membuang tenaga. "Sungguh tak disangka, begitu mereka menampilkan diri, ternyata sudah bergabung
dengan So-kongcu dan bersama-sama menjebol Ku-swi-po dan menyerbu Po-pan-bun,"
kata Lui Sun. Setiap kali menyinggung soal So Bong-seng, dia selalu menyebut So-kongcu, peduli
di sana ada atau tidak orang luar, dia selalu bersikap sungkan, menaruh hormat
dan hati-hati. Kenapa begitu" Apakah dia sedang mempersiapkan sebuah jalan mundur untuk berjaga-jaga terhadap
segala sesuatu" Apakah dia tak ingin hubungannya dengan So Bong-seng menjadi
retak hingga tak mungkin bisa diobati"
Tentu saja tak ada orang yang berani mengajukan pertanyaan ini, tapi setiap
orang tahu, berada di depan orang atau tidak, So Bong-seng selalu menyebut Lui
Sun langsung dengan namanya, sikapnya dengan Lui Sun yang selalu menghormatinya
sebagai So-kongcu sama sekali bertolak belakang.
"Tampaknya kita benar-benar telah melupakan kedua orang yang tak terkenal itu,"
kata Ti Hui-keng. "Orang ternama mana pun selalu dimulai dari seorang yang tidak terkenal."
"Tapi sejak hari ini, kedua orang tak ternama itu akan menggetarkan kotaraja."
Perlahan-lahan Lui Sun menarik keluar tangan kirinya dari dalam saku bajunya.
Tangan itu sangat kurus bahkan kering kerontang.
Yang lebih mengerikan lagi adalah jari tangan yang tersisa hanya jari tengah dan
ibu jari. Sebuah cincin zamrud hijau dikenakan pada ibu jarinya itu. Tampaknya jari
telunjuk, jari manis dan kelingkingnya telah dipapas kutung seseorang dengan
menggunakan senjata tajam, bahkan masih meninggalkan bekas luka yang sangat
kentara kendatipun kejadiannya sudah berlangsung lama.
Dapat diduga betapa sengit dan ngerinya pertempuran itu. Banyak jago tangguh
dalam dunia persilatan yang mulai menancapkan kaki setelah melalui berbagai
pertempuran sengit, tidak terkecuali Lui Sun.
Ti Hui-keng tahu bila Lui Sun sudah mengeluarkan tangan itu, berarti dia sudah
menurunkan perintah membunuh, jika Lui Sun menggerakkan tangan kanannya yang
utuh, berarti dia akan berkenalan dan bersahabat dengan orang itu, tapi sekarang
dia telah mengeluarkan tangan kirinya yang penuh bekas luka, berarti dia sudah
siap membasmi lawan. Oleh karena itu segera ujarnya, "Walaupun kedua orang itu berjalan bersama So
Bong-seng, bukan berarti mereka adalah anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau."
"Maksudmu?" Lui Sun menghentikan tangannya di tengah jalan.
"Mereka bisa menjadi pembantu andal bagi So Bong-seng, tapi juga bisa menjadi
ancaman serius baginya."
Dia tidak seperti Lui Sun, menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu, tapi dia pun
tidak meniru Lui Kun dengan memaki So Bong-seng sebagai setan penyakitan.
Sebenarnya apakah dia segan menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu karena
posisi Lui Sun sedang bermusuhan dengannya, sehingga dia merasa kurang leluasa
untuk menyebutnya begitu"
Kadang kala Lui Sun pun pernah memikirkan persoalan ini, namun tak pernah
memperoleh jawaban. Selama ini memang hanya Ti Hui-keng yang memahami orang lain, jarang ada orang
lain bisa memahami dirinya..
Perlahan-lahan Lui Sun memasukkan kembali tangan kirinya ke dalam saku, senyuman
mulai muncul di balik sorot matanya,
"Kalau mereka bisa menjadi musuh kita, sama saja mereka pun bisa menjadi sahabat
kita," katanya. "Antara musuh dan teman, sebenarnya hanya dibatasi sebuah benang yang tipis,
mereka bertemu lebih dulu dengan So Bong-seng, maka bergaul dengannya, kita pun
dapat pergi mencari mereka."
Mendadak Lui Sun mengalihkan pokok pembicaraan, ta?nyanya, "Tadi mengapa kau
tidak menyinggung soal perkawinan?"
"So Bong-seng diserang duluan di Ku-swi-po kemudian baru melancarkan serangan
balasan ke Po-pan-bun, kedatangannya sangat garang dan buas, hanya dalam waktu
singkat dia telah mendatangkan pasukan 'Berbuat keonaran semau sendiri' pimpinan
Mo Pak-sin dan pasukan angin puyuh pimpinan To Lam-sin untuk mengepung
sekeliling tempat itu, posisinya waktu itu sangat kuat karena sudah memegang
tujuh puluh persen kemungkinan menang," kata Ti Hui-keng, "jika dalam situasi
semacam itu kita tawarkan soal perkawinan, mungkin dia malah memandang enteng
kita. Tujuannya kemari kan untuk berunding."
"Bagus sekali," Lui Sun tertawa, "mau jadi jingke (besan) atau musuh besar, biar
dia sendiri yang memutuskan."
Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Ti Hui-keng.
"Bila kedatangan So Bong-seng tidak segarang hari ini, urusan perkawinan mungkin
sudah beres sejak tadi."
Perkataan itu tampaknya amat cocok dengan selera semua orang, Lui Sun segera
tertawa terbahak-bahak. Ti Hui-keng ikut tertawa, kecuali satu orang yang baru
saja menaiki anak tangga, sekilas perasaan murung yang sangat tebal melintas
dari balik sorot matanya.
Di mulut tangga muncul seseorang, dia adalah Lui Heng.
"Cu-tayjin dari kantor kejaksaan kotaraja mohon bertemu Congtongcu," lapor Lui
Heng. Lui Sun segera mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng.
Ti Hui-keng sendiri;tetap duduk santai, matanya tetap bening dan wajahnya tanpa
perubahan. Melihat itu Lui Sun segera berseru, "Persilakan masuk."
Lui Heng menyahut dan segera berlalu. Sambil tertawa Ti Hui-keng berkata, "Cepat
betul pihak kejaksaan memperoleh laporan."
"Cu Gwe-beng memang selalu muncul tepat pada waktunya," kata Lui Sun tertawa,
"di saat harus datang, ia segera datang, di saat harus pergi dia segera pergi."
"Tak heran kalau belakangan pangkatnya cepat sekali naiknya."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Cu Gwe-beng sudah muncul di mulut
tangga. Cu Gwe-beng adalah seorang lelaki gemuk, ramah dan berwajah penuh senyuman,
bukan saja tidak nampak cekatan atau cerdas, malah sedikit kelihatan bebal dan
kedodoran. Tentu saja dia bukan datang seorang diri.
Dengan posisinya sebagai kepala kantor kejaksaan, bukan satu kejadian aneh bila
kemana pun dia pergi, selalu dikawal tiga empat ratusan oang pengawal, tapi kali
ini dia hanya mengajak tiga orang.
Seorang lelaki setengah umur berkulit hitam, sekilas pan?dang tangannya seakan
sedang menggenggam senjata tajam.
Padahal orang itu datang dengan tangan kosong.
Tak pernah ada yang berani membawa senjata atau menggembol senjata rahasia
sewaktu datang bertemu Lui Sun.
Tapi sepasang tangan milik orang itu tidak mirip sepasang lengan, tapi lebih
mirip sepasang senjata tajam.
Sepasang senjata tajam yang dalam waktu singkat dapat mencabik-cabik tubuh
manusia hingga hancur. Yang seorang lagi adalah seorang kakek yang alis mata serta jenggotnya sudah
putih, tak berbeda dengan orang tua biasa, hanya saja sewaktu berjalan dan naik
anak tangga, jenggot maupun air matanya seolah kawat baja, sama sekali tidak
bergerak barang sedikitpun.
Yang seorang lagi adalah seorang anak muda yang sedikit agak kemalu-maluan, dia
nyaris menempel terus di samping lengan Cu Gwe-beng.
Kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia seakan senang sekali berdiri di bawah
bayang-bayang orang lain.
Bagi orang yang tak tahu, mereka pasti akan mengira orang itu adalah seorang
bocah idiot atau seorang kacung.
Begitu bersua dengan Lui Sun dan Ti Hui-keng, Cu Gwe-beng segera menjura dan
berseru dengan penuh kegembiraan, "Lui-congtongcu, Ti-lotoa, kelihatannya kalian
bertambah makmur saja belakangan ini!"
Nada suaranya mirip dengan lagak seorang saudagar, sama sekali tak terkesan
kejam dan angkernya seorang kepala kejaksaan.
"Cu-tayjin, selamat bersua," sahut Lui Sun sambil tertawa, "berkat anugerahmu,
meski suasana dalam kota makin lama makin bertambah kalut, namun untuk hidup
pas-pasan sih masih cukup."
"Hahaha, kalau aku, mana punya anugerah, justru karena Sri Baginda Sinbeng, maka
kami semua ikut kecipratan hok-kinya, tapi yang pasti damai melahirkan
kehormatan, aman menimbulkan rejeki, bukankah begitu Congtongcu?"
"Ah, akhirnya dia singgung juga masalah ini," pikir Lui Sun dalam hati, buru-
buru sahutnya, "Lohu hanya tahu Tayjin bukan cuma sukses di bidang kejaksaan,
dalam perdagangan pun makin lama semakin bertambah kaya. Ucapan Cu-tayjin ibarat
emas dan kemala, sungguh bikin kagum orang yang mendengarnya."
Cu Gwe-beng mengerdipkan mata, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, padahal kalau menyinggung soal dagang, selama ini aku hanya mendompleng
perlindungan Congtongcu, sehingga tak perlu kelewat menyerempet bahaya."
"Cu-tayjin terlalu memuji, antara sahabat memang seharusnya saling membantu,"
Lui Sun tertawa hambar. "Ah, benar," sela Ti Hui-keng tiba-tiba, "darimana Cu-tayjin tahu kalau kami
berada di loteng Sam-hap-lau" Atau mungkin Tayjin pun sedang mencari kesenangan,
hingga khusus kemari untuk menikmati pemandangan alam?"
Paras muka Cu Gwe-beng segera berubah jadi serius, dengan merendahkan suaranya
ia berkata, "Terus terang, pertemuan dan perundingan yang diadakan Congtongcu serta
Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan Locu perkumpulan Kim-hong-
si-yu-lau sudah tersebar di seantero ko?ta, bukan saja semua orang sedang
membicarakan kejadian ini, bahkan atasan kami pun sudah mengalihkan perhatian
kemari, malah sang Baginda ... hehehe ... beliau pun sudah mendengar kabar ini!"
Lui Sun tersenyum. "Padahal kejadian ini hanya urusan kecil, sungguh memalukan kalau sampai Koan-ya
sekalian turut menaruh perhatian."
Cu Gwe-beng melangkah maju, kemudian katanya lagi sambil tertawa, "Kalian berdua
pasti tahu bukan, kalau aku bertugas di bagian kejaksaan, banyak urusan dan
kejadian mau tak mau harus dibuatkan laporan, ah, betul, dalam pertemuan di Sam-
hap-lau tadi, siapa yang keluar sebagai pemenang?"
Lui Sun dan Ti Hui-keng saling bertukar pandang sekejap kemudian tertawa, mereka
bisa menduga, siapa menang siapa kalah di antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong
dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah menjadi urusan yang paling diperhatikan
seluruh penduduk kota, meski Cu Gwe-beng datang dengan alasan dinas, padahal dia
pun hanya ingin mencari tahu kabar berita terakhir tentang peristiwa itu.
Bicara sejujurnya, Cu Gwe-beng sebenarnya termasuk salah seorang yang selama ini
menunjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, alasannya, jika perkumpulan Lak-hun-
poan-tong tidak menunjang Cu Gwe-beng, maka baginya tidak segampang sekarang
dalam memecahkan setiap kasus besar yang terjadi, dan lagi meski dia punya
kekuasaan, bukan berarti dia gampang dapat duit.
Bila seseorang sudah memperoleh kekuasaan, otomatis dia akan senang duit, bila
duit dan kekuasaan sudah didapat, maka dia mulai memburu nama, jika nama pun
sudah diperoleh, maka dia akan mulai mencari benda mestika yang memungkinkan dia
panjang umur, pokoknya napsu manusia untuk memperoleh sesuatu yang lebih, tak
pernah akan puas. Lui Sun dan Ti Hui-keng sama sekali tidak menjawab, akan tetapi wajahnya penuh
senyuman, mereka merasa sangat bangga.
Cu Gwe-beng mulai panik, paling tidak ada dua tiga orang atasannya yang ingin
mengetahui situasi di situ, tentu saja ia tak boleh pulang dengan tangan hampa.
Maka kembali desaknya, "Sobat berdua, kita kan sahabat lama, tolong tanya siapa di antara kalian yang
berhasil menempati posisi di atas angin" Siapa menang dan siapa kalah?"
"Masa kau tidak melihat kalau w ajah kami penuh senyuman?" tanya Ti Hui-keng
sambil tertawa. "Kenapa kau tidak menanyakan langsung kepada So-kongcu?" sambung Lui Sun.
Dalam hati Cu Gwe-beng tahu, sejak awal sudah ada orang lain yang pergi mencari
So Bong-seng, tentu saja dia tak ingin ketinggalan dari rekannya itu, paling
tidak dia pun harus mendapat berita.
Biarpun sampai sekarang ia belum tahu keadaan yang sebenarnya, paling tidak ia
sudah memperoleh sedikit masukan.
Walaupun ia belum jelas bagaimana hasil perundingan antara So Bong-seng dan Lui
Sun, tapi setelah perundingan itu, dia masih menyaksikan wajah Lui Sun dan Ti
Hui-keng penuh senyuman. Jika seseorang masih bisa menampilkan wajah penuh senyuman, paling tidak hasil
yang diperoleh tidak kelewat jelek.
Memandang senyuman yang menghias wajah Lui Sun, pada hakikatnya dia mirip seekor
musang yang baru saja berhasil menemukan sarang anak ayam.
Maka sekembalinya dari loteng Sam-hap-lau, Cu Gwe-beng pun segera memberi
laporan kepada atasannya.
"Kelihatannya perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah berhasil menempati posisi di
atas angin." "Kenapa?" tanya atasannya.
"Karena wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh dengan senyuman, senyuman yang amat
cerah." Sekalipun atasannya merasa agak sangsi, namun dia terpaksa harus menerima
kesimpulan itu. ooOOoo 19. Saudara Baru saja So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui turun dari loteng Sam-hap-
lau, segera ada orang memanggilnya, "So-kongcu!"
Menyusul kemudian orang itu bertanya, "Bagaimana hasil pertarunganmu melawan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
Si penanya masih berada di dalam kereta kuda.
Kereta kuda itu sangat mewah dan megah, saisnya ada tiga orang, semuanya
mengenakan baju halus yang mahal harganya, sekilas pandang mereka mirip pejabat
tinggi dari kerajaan, mirip juga pengurus kelenteng besar.
Tapi sekarang, mereka hanya menjadi sais, sais orang lain.
Di luar kereta berdiri delapan orang pengawal bergolok, kedelapan orang itu
berdiri mematung bagaikan patung baja. Sekilas Pek Jau-hui segera tahu bahwa
paling tidak ada dua orang di antaranya merupakan jago golok kenamaan, tiga
orang yang lain merupakan Ciangbunjin partai besar, satu di antaranya malah
merupakan ahli waris Ngo-hou-toan-hun-to (lima harimau golok pemutus sukma)
Phang Thian-pa yang bernama Phang Jian, selain itu hadir juga Ciangbunjin
angkatan ketujuh Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Tiau Lian-thian serta ahli
waris Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) Beng Khong-khong.
Ilmu golok lima harimau pemutus sukma tak pernah diwariskan kepada orang lain,
selain sadis, enam puluh empat jurus serangannya khusus diciptakan untuk
menyerang pertahanan bawah musuh, oleh karena itu anak murid keluarga Phang yang
sudah dihajar sampai terjatuh ke tanah pun, kemampuannya tak boleh dipandang
enteng. Ngo-hou-phang-bun atau perguruan keluarga Phang ini sama seperti keluarga Tong
di wilayah Siok-tiong, Bi-lek-tong dari wilayah Kanglam, perkumpulan gagang
golok, perguruan kaisar hijau dan perkampungan ikan terbang, merupakan sebuah
perguruan dengan segala peraturan yang sangat ketat.
Ada orang berkata, bila sudah menjadi ketua dari beberapa perguruan itu maka
posisinya jauh lebih stabil ketimbang menjadi seorang kaisar.
Ciangbunjin keluarga Phang yang bernama Phang Jian sudah termashur di kolong


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langit dengan ilmu golok andalannya sejak berusia dua puluh lima tahun, tapi
sejak berusia tiga puluh lima tahun ia meninggalkan perguruan keluarga Phang
untuk menjadi pengawal orang.
Golok pengejut sukma Tiau Lian-thian terhitung juga keturunan orang kaya, ilmu
goloknya merupakan aliran yang luar biasa, sudah banyak jagoan tangguh yang
lahir dalam perguruan ini.
Tiau Lian-thian sendiri pun termasuk seorang jago berbakat alam, dia sanggup
mengubah ilmu golok pengejut sukma menjadi ilmu golok pengejut impian,
kehebatannya luar biasa, tapi sekarang dia hanya seorang pelindung kereta mewah.
Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) didirikan oleh keluarga Beng, ketika
diwariskan ke tangan Beng Khong-khong, nama besar dan pamornya sudah amat
tersohor di kolong langit, sepak terjangnya selama ini mengutamakan kejujuran
dan kebenaran. Tapi kini Beng-kongcu yang amat termashur itu hanya menjadi salah satu pelindung
orang dalam kereta. Lalu siapakah orang yang berada di dalam kereta"
Selama ini Pek Jau-hui selalu santai, acuh tak acuh dan tak pernah serius, tapi
sekarang dia celingukan ke sana kemari.
Setelah orang di dalam kereta mengucapkan perkataan tadi, dua orang berbaju
putih segera maju ke depan dan dengan sangat hati-hati mulai menyingkap tirai
yang menutupi kereta mewah itu.
Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Ong Siau-sik tidak seluas Pek Jau-hui,
namun setelah menyaksikan tangan kedua orang yang sedang menyingkap tirai kereta
itu, diam-diam ia terkesiap.
Ternyata bentuk tangan kedua orang itu sangat aneh, telapak tangan yang sebelah
tebal lagi kasar, ibu jari tangannya pendek, kasar lagi gemuk sementara keempat
jari lainnya nyaris menyusut dan layu di dalam telapak tangan, bentuk telapak
tangannya persis seperti sebuah palu besi.
Sebaliknya telapak tangan yang lain lembek seakan tak bertulang, kelima jari
tangannya panjang dan ramping mirip ranting pohon yang-liu, ujung jarinya
ramping dan runcing mirip sebatang lidi, tapi sayang tidak kelihatan ada kuku
yang menempel di situ. Sekilas pandang saja Ong Siau-sik segera tahu kalau telapak tangan yang kasar
dan kaku bagai palu besi itu paling tidak sudah terlatih tenaga pukulan Bu-ci-
ciang (telapak tanpa jari) hampir enam puluh tahun lamanya, sementara telapak
tangan yang lembek bagai kapas itu paling tidak sudah melatih ilmu lembek Soh-
sim-ci (ilmu jari hati suci) selama tiga puluh tahun dan tenaga yin-kang Lok-
hong-jiau (cakar perontok angin) selama tiga puluh tahun.
Ilmu cakar perontok angin adalah ilmu andalan Kiu-yu Sin-kun, sedang ilmu jari
hati suci merupakan ilmu jari aliran sesat, kedua macam ilmu itu sesungguhnya
mustahil bisa dilatih bersama, selama ini hanya satu orang saja yang berhasil
menguasai kedua ilmu itu sekaligus, orang itu adalah Lam-hoajiu si tangan bunga
anggrek Thio Liat-sim. Jika orang ini adalah Thio Liat-sim, berarti orang yang satunya adalah si
telapak tanpa jari Thio Thiat-su.
Bila kedua orang itu bergabung menjadi satu, mereka berjuluk Thiat-su-kay-hoa
atau pohon besi mulai berbunga.
Biasanya pohon besi mulai berbunga merupakan gejala yang sangat menguntungkan.
Tapi bagi Thio Liat-sim dan Thio Thiat-su, bukan begitu arti yang dimaksud.
Arti dari 'berbunga' adalah bunga kaca yang mulai mekar atau tegasnya berarti
retak, jadi dimana telapak tangan mereka lewat maka baik tulang atau daging
tubuh lawan, semuanya tetap akan
'berbunga', bahkan pasti akan 'berbunga'.
Jangankan orang biasa, sepasang tangan milik Liu Tiong-mo, seorang guru besar
Thiat-sah-ciang pun pernah dibikin 'berbunga' oleh serangan mereka.
'Berbunga' masih mengandung sebuah arti lagi.
Pekerjaan yang tak mungkin diselesaikan orang lain, asal jatuh ke tangan mereka,
maka semuanya tetap akan lancar dan berhasil, seperti juga 'pohon besi yang
berbunga', rejeki seolah jatuh dari langit, apa pun yang diinginkan selalu
terkabulkan. Ilmu jari dan ilmu telapak semacam ini biasanya butuh latihan puluhan tahun
lamanya untuk bisa mencapai tingkatan tertentu, bahkan mereka harus melakukan
pengorbanan yang sangat menakutkan, tapi kalau dilihat usia kedua bersaudara
Thio ini, sekalipun usia mereka digabungkan menjadi satu juga belum mencapai
enam puluhan tahun, semestinya ilmu Bu-ci-ciang yang mereka miliki belum
mencapai tingkat kesempurnaan.
Itulah sebabnya jarang ada orang yang mau berlatih ilmu telapak tanpa jari ini,
sebab walau sudah menguasainya, belum tentu bisa mencapai puncak kesempurnaan di
usia senja mereka. Dalam pada itu ilmu jari hati suci Soh-sim-ci dan ilmu cakar perontok angin
merupakan dua ilmu yang bertolak belakang, satu dari aliran lurus sedang yang
lain berasal dari aliran sesat, kedua macam ilmu itu mustahil bisa dilatih
bersamaan waktu. Tapi hal itu terkecuali bagi si pohon besi berbunga ini.
Dan kenyataannya sekarang, biarpun mereka memiliki kepandaian yang luar biasa,
tugasnya sekarang hanya membukakan tirai di atas kereta orang.
Lalu siapakah orang di dalam kereta itu"
Ong Siau-sik adalah pemuda yang besar rasa ingin tahunya, kini bukan saja dia
ingin tahu, pada hakikatnya sudah terangsang untuk mencari tahu persoalan ini.
Begitu tirai kereta tersingkap, ketiga orang sais, ke delapan pengawal dan kedua
orang pembuka tirai itu serentak menunjukkan sikap yang sangat menaruh hormat.
Tampak seseorang menongolkan dulu kepalanya dari balik kereta, kemudian baru
perlahan-lahan turun dari keretanya.
Jelas orang yang ada di dalam kereta itu mempunyai kedudukan yang tinggi dan
terhormat, namun terhadap So Bong-seng ternyata dia tak berani ayal.
Orang itu berwajah sangat tampan, meskipun pakaian yang dikenakan sangat
bersahaja, namun sikap maupun penampilannya tetap anggun dan penuh wibawa.
So Bong-seng segera menghentikan langkahnya, senyuman yang sangat jarang mampir
di wajahnya tiba-tiba menghiasi ujung bibirnya, sembari menjura sapanya, "Siau
Hou-ya!" Dengan cermat Siau Hou-ya memeriksa raut mukanya, kemudian baru berkata,
"Aku lihat kalian belum turun tangan."
"Betul, kami hanya bersilat lidah," sahut So Bong-seng tertawa, "kecuali memang
dibutuhkan, kalau tidak, bisa tidak bertempur lebih baik janganlah bertarung."
"Ah, setelah mendengar penjelasanmu itu, aku pun bisa berlega hati."
"Tentu saja kami pun tidak berharap kejadian ini menyusahkan Siau Hou-ya." Siau
Hou-ya tertawa getir. "Nama besar Kongcu dan Lui-tongcu sudah menggetarkan seluruh jagad, ditambah
masing-masing pihak memiliki kekuatan hingga ratusan ribu jiwa, seandainya
sampai terjadi pertempuran terbuka, mungkin aku pun susah untuk bertanggung
jawab." "Kami pasti tak akan menyusahkan Siau Hou-ya."
"Bagus," Siau Hou-ya tertawa lebar, "setelah mendengar perkataanmu ini, aku pun
bisa berlega hati sekarang."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, "Bagaimana hasil
perundingan tadi?" "Sangat bagus."
"Sangat bagus?" sela Siau Hou-ya ragu. "Memang sangat bagus."
Siau Hou-ya termenung sesaat dengan wajah penuh tanda tanya, mendadak sambil
tertawa tergelak katanya, "Hahaha, kelihatannya isi pembicaraan itu merupakan
rahasia perkumpulan Kimhong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
"Ketika masalah ini sudah boleh dibuka untuk umum, Siau Hou-ya pasti akan
menjadi orang pertama yang mengetahuinya."
"Bagus, bagus sekali," sambil mengelus jenggotnya Siau Hou-ya manggut-manggut
dan tertawa, perlahan pandangan matanya dialihkan ke wajah Pek Jau-hui dan Ong
Siau-sik, kemudian tanyanya lagi, "Apakah mereka berdua adalah jenderal utama
dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" "Bukan, mereka bukan anak buahku."
"Oya?" Siau Hou-ya mengangkat alis matanya, "jadi mereka adalah sahabatmu?"
"Juga bukan," sahut So Bong-seng sambil tertawa, kemu?dian sepatah demi sepatah
lanjutnya, "Mereka adalah saudaraku!"
Begitu perkataan itu diucapkan, yang terperanjat justru Pek Jau-hui dan Ong
Siau-sik, kedua orang pemuda ini benar-benar kaget bercampur terperangah.
Bukan anak buahnya, bukan sahabatnya, tapi saudaranya"!
"Saudara", sebutan ini bagi banyak orang gagah dalam dunia persilatan merupakan
daya tarik yang luar biasa besarnya, merupakan rayuan yang luar biasa, banyak
orang mau berkorban dan melelehkan darah demi sebutan itu.
Saudara! Persaudaraan! "Saudara", banyak orang telah menyia-nyiakan sebutan ini, banyak orang berjuang
mati hidup demi sebutan itu, banyak orang punya banyak saudara tapi belum pernah
memiliki sau?dara sejati, banyak orang meski tak bersaudara namun memiliki
saudara yang tak terhingga di kolong langit, banyak orang saling menyebut
saudara namun perbuatannya justru tidak mencerminkan persaudaraan, banyak orang
tak punya saudara tapi empat arah delapan penjuru justru dipenuhi persaudaraan.
Saudara! Bagaimana kita harus 'susah sama dijinjing senang sama dinikmati' sehingga
pantas disebut saudara"
Apakah dengan berjabat tangan, bahu membahu, darah panas menggerakkan darah
panas, perasaan saling bertautan dengan perasaan, keadaan semacam ini baru
disebut saudara" Tampaknya Siau Hou-ya ikut melengak dibuatnya, tapi cepat dia berseru, "Kionghi!
Kionghi! Walaupun selama ini So-kongcu malang melintang dalam dunia persilatan, namun
selalu hidup sebatang kara, dan kini menjelang hari perkawinanmu, ternyata kau
pun mendapat dua saudara sejati! Aku orang she Pui betul-betul ikut merasa
gembira dan senang."
"Perkataan Siau Hou-ya kelewat serius, siapa yang tidak kenal Sin-jiang-hiat-
kiam Siau Hou-ya (Tombak sakti pedang darah) yang nama besarnya tersohor di
seantero kotaraja" Kami sebagai rakyat kecil mana berani mendapat sanjungan
seperti ini!" "Sudahlah, kita tak usah berkata sungkan lagi," tukas Siau Hou-ya sambil
tertawa, "setelah menyaksikan keadaan Kongcu, aku pun bisa segera pulang untuk
memberi laporan kepada perdana menteri."
"Merepotkan Siau Hou-ya."
"So-kongcu, semoga tak lama kemudian kau sudah mendirikan lagi beberapa buah
kantor cabang, dengan begitu keamanan di kotaraja tentu akan bertambah stabil."
Selesai berkata ia segera masuk kembali ke dalam ruang keretanya, kereta pun
bergerak meninggalkan tempat itu, masih seperti tadi, tiga orang bertindak
sebagai sais kuda, dua orang berjaga di depan tirai dan delapan orang mengawal
dari kiri, kanan, depan dan belakang.
Tak lama kemudian kereta pun lenyap di ujung jalan.
Kecuali kereta kuda yang ditumpangi Siau Hou-ya, sejak So Bong-seng memasuki
wilayah 'pasar', tak pernah ada seorang pun yang bisa memasuki daerah itu.
Tentu saja terkecuali Cu Gwe-beng.
Dia pun termasuk manusia istimewa.
Sama seperti Siau Hou-ya, dia bertugas mencari tahu hasil perundingan antara
ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Lalu berita apa yang berhasil mereka peroleh"
ooOOoo "Menurut kau, Siau Hou-ya akan memberikan jawaban macam apa kepada perdana
menteri," ujar So Bong-seng kepada Mo Pak-sin yang berada di sampingnya, "semua
orang ingin tahu kuat lemah, menang kalah antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau
dan perkumpulan Lak-huri-poan-tong, siapa mempunyai keyakinan enam puluh persen
maka dialah yang akan berhasil merebut peluang utama, sayang jawaban itu susah
untuk dijawab, jangan lagi mereka, bahkan aku dan Lui Sun sendiri pun tidak
tahu. Kami hanya tahu banyak orang menaruh perhatian kepada kita, padahal
kenyataan mereka ingin sekali kami cepat mampus atau mampus salah satu di
antaranya!" Dengan susah payah Mo Pak-sin mengangkat kelopak matanya yang bengkak besar
seakan ditonjok orang, kemudian sahutnya, "Selama ini Kpngcu tertawa terus,
barang siapa yang selalu tersenyum sehabis perundingan dilakukan, biasanya orang
akan mengira dialah pemenangnya, padahal bagaimana keadaan selama perundingan,
siapa pun tak bisa menebaknya."
Dia memang bebal dalam cara berbicara, sehingga perkataannya itu terasa amat
telanjang tanpa tedeng aling-aling.
"Terkadang tertawa memang jauh lebih berguna ketimbang kepalan!" So Bong-seng
manggut-manggut, "aku rasa sewaktu Cu-tayjin yang diutus bagian kejaksaan dan
bagian sekretariat negara mengunjungi Lui Sun, dia pun pasti sedang tertawa."
"Bolehkah aku mengajukan tiga pertanyaan kepadamu?" tiba-tiba Pek Jau-hui
menyela. "Katakan." Mereka berbicang sambil berjalan, sepanjang jalan Mo Pak-sin selalu melindungi
mereka dengan pasukan dan barisannya.
"Pertama, orang yang muncul tadi apa benar orang paling top dari kantor perdana
menteri yang berjuluk Sin Thong-hou, si Bangsawan serba bisa Pui Ing-gan?"
"Di kolong langit dewasa ini, kecuali Pui Siau Hou-ya yang sanggup mengajak
delapan raja golok sebagai pelindungnya, si pohon besi berbunga sebagai
penyingkap tirainya dan kusir paling top dari negeri Cidan, Mongol dan Li-tin
sebagai saisnya dalam satu kali perondaan, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?"
Pek Jau-hui segera manggut-manggut, kembali tanyanya, "Tadi sebetulnya gampang
saja bagimu untuk turun tangan membunuh Ti Hui-keng sehingga pihak lawan akan
kehilangan salah satu tenaga andalannya, mengapa tidak kau lakukan itu?"
"Pertanyaanmu ini tidak jujur," dengan sorot mata yang dingin So Bong-seng
menatap pemuda itu, "padahal kau sudah tahu jawabannya, buat apa mesti
ditanyakan kepadaku."
"Jadi kau sudah tahu kalau di atas atap rumah telah bersembunyi seorang jago
tangguh, maka kau tidak membunuhnya?" kata Pek Jau-hui sambil menarik napas
panjang. "Mungkin saja aku memang tak berniat untuk membunuh Ti Hui-keng aku rasa kau
sudah mengajukan tiga pertanyaan."
"Semua pertanyaan sudah kau mentahkan kembali, hingga kini belum satu pun yang
kau jawab." "Bertanya adalah urusanmu, sedang mau menjawab atau tidak adalah urusanku,"
tukas So Bong-seng cepat.
"Kalau aku hanya ada satu pertanyaan," tiba-tiba Ong Siau-sik menimbrung.
Mendengar perkataan itu So Bong-seng segera memperlambat langkahnya sambil
berpaling ke arah pemuda itu.
Dengan suara lantang Ong Siau-sik segera bertanya, "Tadi kau ... kau berkata
pada Siau Hou-ya bahwa kita ... kita adalah saudara?"
"Memangnya kau tuli?" So Bong-seng tertawa lebar, "masa inipun kau anggap
sebagai pertanyaan?"
Ong Siau-sik tertegun, katanya agak ragu, "Tapi kita baru kenal belum setengah
hari lamanya." "Tapi kita pernah mati hidup bersama."
"Memangnya kau tahu siapa karai?" tanya Pek Jau-hui.
"Aku tak peduli siapa kalian!"
"Kalau siapa kami saja tidak kau ketahui, bagaimana mungkin bisa mengangkat
saudara dengan kami?"
"Siapa yang membuat peraturan semacam itu?" seru So Bong-seng sambil melotot
besar, "siapa bilang kalau ingin mengangkat saudara kita mesti menyelidiki dulu
asal-usul keluarga, nenek moyang, perguruan dan asal daerahnya?"
"Kau Pek Jau-hui melengak.
"Kenapa kau ingin mengangkat saudara dengan kami?" ujar Ong Siau-sik pula.
So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
"Angkat saudara ya angkat saudara, buat apa mesti tanya alasannya" Memangnya
kita harus seia sekata, ada rejeki dinikmati bersama ada bencana dihadapi
berbareng dan peduli apa segala tetek bengek omongan yang memuakkan itu?"
"Sebetulnya kau punya berapa saudara angkat sih?" tanya Pek Jau-hui.
"Dua orang." "Siapa mereka?"
"Kau dan kau!" tuding So Bong-seng ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.
Seketika itu juga Ong Siau-sik merasakan hawa darah yang amat panas menerjang
naik ke atas kepalanya. Sementara Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, mendadak katanya dingin,
"Aku tahu." Kemudian sambil menatap wajah So Bong-seng, katanya lagi, "Apakah kau ingin
mengundang kami masuk menjadi anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?"
So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.
Setelah tertawa, dia pun mulai terbatuk-batuk, sambil terbatuk sambil
tertawa....

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasanya ketika orang mengira dia sudah tahu, sesungguhnya ia sama sekali tidak
tahu, ungkapan ini memang tepat," kata So Bong-seng, "kalian anggap dirimu
adalah manusia macam apa" Buat apa aku mesti menggunakan cara begini untuk
memaksa kalian masuk perkumpulan"
Kalian anggap kemampuanmu sudah cukup untuk memangku jabatan besar" Kenapa tidak
terpikir mungkin aku yang sedang memberi peluang kepada kalian" Manusia berbakat
di dunia ini sangat banyak, kenapa aku justru harus menggaet kalian berdua?"
Bicara sampai di situ, dengan nada dingin tambahnya, "Jika kalian merasa tak
senang, sekarang juga boleh pergi, biarpun mulai detik ini hingga selamanya kita
tak pernah bersua kembali, kalian masih tetap adalah saudaraku."
Setelah terbatuk beberapa saat, katanya lagi, "Sekalipun kalian tidak menganggap
aku adalah saudaramu, tidak masalah, aku tak peduli."
Ong Siau-sik tak kuasa menahan diri lagi, mendadak ia berlutut sambil menyembah,
serunya, "Toako!" ooOOoo 20. Bukan hanya nomor satu
"Kau jadi Lotoa?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya sambil menghela napas panjang.
"Manusia macam aku kalau tidak jadi Lotoa, siapa yang jadi Lotoa?" So Bong-seng
balik bertanya sambi! mendelik.
Sambil menggendong tangan memandang langit Pek Jau-hui termenung beberapa saat
lamanya, sampai lama kemudian ia baru menghembuskan napas panjang dan berkata,
"Ada scpatah kata akan kusampaikan dulu."
"Katakan." Mendadak Pek Jau-hui maju ke depan, menggerakkan sepasang tangannya, dan
memegang bahu So Bong-seng.
Tangan Su Bu-kui yang menggenggam golok pembabat seketika nampak mengejang keras
hingga otot-otot hijaunya kelihatan nyata.
Sorot mata Mo Pak-sin yang tersembunyi di balik kelopak matanya yang bengkak pun
tiba-tiba memancarkan cahaya setajam sembilu.
Bila sepasang tangan itu dibiarkan memegang bahu So Bong-seng, maka paling tidak
ada tujuh delapan macam cara untuk menguasainya dan tujuh delapan belas jalan
darah ke-matian akan terancam.
Apalagi tangan yang menggenggam itu milik Pek Jau-hui.
So Bong-seng sama sekali tak bergerak, mengedipkan mata pun tidak.
Dengan cepat sepasang tangan Pek Jau-hui sudah menempel di atas sepasang bahu So
Bong-seng. Tanpa perintah dari So Bong-seng, siapa pun tak berani turun tangan secara
sembarangan. Begitu tangannya memegang bahu So Bong-seng, dengan suara lantang Pek Jau-hui
berseru, "Toako!" So Bong-seng tertawa. Ia memandang Ong Siau-sik sekejap, kemudian memandang pula Pek Jau-hui sekejap,
sinar mata penuh senyuman terpancar dari balik matanya.
Begitu ia tertawa, semua kebekuan pun sirna, seakan bukit salju yang tiba-tiba
mencair dan airnya mengalir masuk ke dalam sungai.
"Tahukah kalian apa bedanya senyumanku sekarang dengan senyumanku tadi?" ia
bertanya. "Tadi palsu, senyuman palsu!" seru Ong Siau-sik tertawa geli.
"Dan sekarang asli, tertawa asli!" sambung Pek Jau-hui pula sambil tertawa,
suara tawanya ibarat hembusan angin musim semi yang menggoyangkan permukaan air.
"Hahaha, tepat sekali jawaban kalian!" So Bong-seng tertawa tergelak.
Ketiga orang itu segera tertawa keras, tertawa penuh kegembiraan.
Mo Pak-sin segera maju ke depan, serunya cepat, "Kionghi Locu, hari ini kita
benar-benar telah menaikkan bendera kemenangan, bukan saja dalam perundingan
berhasil meraih di atas angin, bahkan bisa berkenalan dengan dua saudara yang
baik!" "Kau jangan merasa iri dulu," kata So Bong-seng sambil tertawa, "persaudaraan
kami tidak terjadi dengan gampang, tugas pertama yang harus mereka kerjakan
selain ganas juga luar biasa susahnya. Sementara kau adalah anak buah andalanku,
kau bersama si To tua, A Si, Siau-kwik semuanya merupakan malaikat penunggu
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, tanpa kehadiran kalian, mungkin sejak awal
perkumpulan kita sudah ambruk, sudah runtuh dan bubar!"
Sekilas perubahan terpancar dari wajah Mo Pak-sin, perasaan terharu yang amat
sangat. Gejolak emosi itu meski menyelimuti hatinya, namun dia berupaya untuk
menahannya. Tapi dia tak sanggup menahan diri.
Gejolak emosi yang didorong perasaan terharu itu datang semakin menggelora,
bagaikan hantaman ombak besar di atas batu karang menimbulkan gelombang besar
dalam hatinya. Tiba-tiba So Bong-seng bertanya, "Mana To Lam-sin" Apakah pasukan angin puyuhnya
sudah ditarik mundur?"
Sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Mo Pak-sin
baru menjawab, suaranya tenang, "Sudah ditarik mundur, katanya dia akan menarik
pasukannya kembali ke markas, mungkin malam nanti baru akan datang ke loteng
untuk memberi laporan."
So Bong-seng manggut-manggut, kepada Su Bu-kui tanyanya, "Kau tahu, kau adalah
apaku?" "Aku adalah pasukan berani mati dari Kongcu," jawab Su Bu-kui tanpa berpikir
lagi, "jika Kongcu menginginkan aku mati, aku segera akan pergi mati!"
"Kau keliru besar," tukas So Bong-seng serius, "bila seseorang benar-benar
sangat baik terhadap orang lain, dia pasti tak akan berharap dia mati demi
dirinya, kau harus ingat terus perkataanku ini."
"Tapi aku rela mati demi Kongcu, mati tanpa penyesalan."
"Hal itu hanya menunjukkan kesetiaanmu terhadapku, tapi aku lebih suka kau hidup
demi aku." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah orang kepercayaanku, bukan
pasukan berani matiku."
Sekilas cahaya mata yang tak terlukiskan dengan kata memancar keluar dari balik
mata Su Bu-kui. Terharu" Gejolak emosi yang meluap" Rasa terima kasih yang berlebihan" Mungkin
satu di antaranya, mungkin juga meliputi keseluruhannya.
So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sayang Wo Hu-cu, Hoa Bu-
ciok, si Barang antik dan Te Hoa sudah pergi jauh ... coba kalau mereka masih
ada dan menyaksikan aku berhasil mengangkat saudara dengan dua adik yang setia
ka?wan, mereka pasti akan ikut gembira."
Cahaya air mata terbias di balik mata Su Bu-kui. Dia tahu, So-kongcu selalu
meluangkan banyak waktu hanya untuk mengenang dan memikirkan orang
kepercayaannya, sayang mereka semua tak mungkin bisa berkumpul jadi satu.
Bedanya, dalam kenangannya kali ini Hoa Bu-ciok dan si Barang antik telah mati
karena pengkhianatannya, Wo Hu-cu dan Te Hoa tewas karena dibokong musuh, yang
tersisa sekarang tinggal Yo Bu-shia dan dirinya, tapi terlepas apakah dia telah
berkhianat atau tetap setia, So Bong-seng tetap sama saja akan mengenangnya.
Tak kuasa lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang. Mengapa dia menghela napas"
Apakah dia pun mempunyai pengalaman yang tak diketahui orang, pengalaman sedih
yang selalu terpendam di dasar hatinya"
Seorang jago berilmu tinggi yang sudah berusia mendekati tiga puluh tahun tapi
masih belum ada orang yang mengetahui kehadirannya, sebetulnya pengalaman luar
biasa apa yang pernah dialaminya"
Sekilas perasaan simpati bercampur rasa ingin tahu melintas secara tiba-tiba
dari balik mata Ong Siau-sik, tentu saja ia tak berani memperlihatkan perasaan
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 5 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Penjarah Perawan 2
^