Pencarian

Golok Maut 10

Golok Maut Karya Batara Bagian 10


memancarkan kekaguman yang sangat karena Golok Maut
tampak tertegun memandang pedang di tangannya itu,
pedang yang menyilaukan mata dan cahayanya seperti
matahari, hawanya panas dan kuat dan tokoh bercaping itu tampak tertegun. Namun
ketika laki-laki ini sadar dan menoleh karena terdengar jerit dari ketua Hek-
yan-pang itu maka wanita baju merah itu berseru,
"Golok Maut, senjatamu dirampas. Ah, golokmu itu mengeluarkan darah!"
Golok Maut terkejut. Beng Tan yang memegang
goloknya rupanya mencoba sesuatu, mengerahkan sinkang karena melawan hawa dingin
yang keluar dari badan golok.
Senjata di tangannya itu tiba-tiba seakan es yang hendak membekukan
telapak tangannya. Tapi begitu dia mengerahkan sinkang untuk bertahan tiba-tiba sinkangnya yang berhawa panas
bertemu hawa dingin itu dan golok itu mengeluarkan cairan merah yang menetes-
netes, persis darah! "Berikan padaku!" Golok Maut tiba-tiba berkelebat. "Kau jangan menghina
pusakaku. orang she Ju. Terima
pedangmu dan kemballkan itu padaku... wut!" bayangan hitam melesat, lewat dan
tahu-tahu sudah menyambar Beng Tan. Dan karena pemuda ini tak bermaksud
mengangkangi golok karena golok dirampas sekedar mengimbangi lawan yang merampas
pedangnya maka secepat kilat pemuda ini mengelak dan melempar golok ke arah
lawan, yang saat itu menyerang sekaligus melempar pedang kepadanya, dengan
ujung pedang menyambar tenggorokan, jadi sebuah
serangan juga! "Sing-plak!" Dua-duanya berjungkir balik. Untuk kesekian kali Beng Tan maupun lawannya sama-
sama bergerak cepat. Beng
Tan menangkap pedangnya dengan cara berjungkir balik di atas badan pedang,
meluncur searah tapi tangannya sudah menangkap atau menyambar gagang pedang,
dari depan. Dan karena saat itu Golok Maut juga menerima senjatanya yang menyambar mata maka
hampir berbareng dua pemuda itu sama-sama menangkap atau memperoleh
senjatanya dengan cara yang cepat luar biasa.
"Crep-crep!" Dua-duanya sudah menguasai senjata masing-masing.
Aneh dan luar biasa golok berdarah yang tadi menetes-netes mengeluarkan
cairan merah itu sudah berhenti mengeluarkan cairan, yang mirip darah. Dan ketika Beng Tan di sana terbelalak
dan sudah menerima pedangnya
kembali maka anak muda ini tertegun memandang Golok
Maut yang tampak begitu cocok dan pas menerima golok berhawa dingin itu.
"Golok Maut, kau menyeramkan. Senjata penuh darah itu seolah cocok untuk-mu!"
"Hm, tak usah bercuap. Sekarang kita masing-masing sudah sama-sama mengeluarkan
senjata, orang she Ju. Hayo kita lanjutkan pertandingan kita dan siapa yang roboh dialah yang kalah!"
"Aku sekarang tak ingin bertempur. Golokmu yang
mengerikan itu mengingatkan aku akan seseorang!"
"Hm, cerewet. Suka atau tidak kita belum menyelesaikan pertandingan ini, orang
she Ju. Ayo kita teruskan dan jaga
golokku.... singg!" golok tiba-tiba berkeredep, tokoh bercaping itu sudah
meloncat dan tahu-tahu berkelebat cepat. Gerakannya luar biasa dan Beng Tan
terkejut. Lawan tahu-tahu sudah berada di depan hidungnya dan golok yang berhawa
dingin menyeramkan itu sudah berkelebat bagai mahluk haus darah. Mukanya terasa
dingin ketika golok itu menyambar, juga amis. Namun karena Beng Tan bukanlah
pemuda biasa dan pertandingan berimbang tadi menunjukkan keduanya memiliki kecepatan dan kekuatan
yang sama maka pemuda ini cepat mengelak dan Pek-jit-
kiam atau Pedang Matahari membentur Golok Maut.
"Crangg!" Bunga api memancar menyilaukan mata. Dua senjata itu
bertemu dengan amat kerasnya dan pemiliknya sama-sama terkejut, Hawa panas dan
dingin saling sambar, bertemu dan terdengarlah ledakan yang mengguncang jantung,
Dan ketika pedang menggelegar sementara golok juga meledak menerbitkan lelatu
api maka dua-duanya saling hisap dan menyedot kekuatan lawan!
"Aihh...!" "Golok siluman!"
Beng Tan maupun lawannya berteriak kaget. Mereka
merasa senjata masing-masing saling sedot dan hisap, dua kekuatan sembrani
tarik-menarik mengejutkan keduanya.
Dan ketika mereka tersentak dan baru kali itu Golok Maut bertemu lawan setanding
karena pedang di tangan Beng
Tan tak putus atau luka maka Golok Maut maupun
lawannya sama-sama terkesiap dan mencelos, coba menarik senjata masing-masing
namun gagal. Baik Pedang Matahari maupun Golok Penghisap Darah (Golok Maut)
saling tempel dengan amat kuatnya, pemiliknya mencoba menarik namun gagal. Dan ketika
keduanya berkutat dan terbelalak
mengeluarkan keringat dingin maka berkelebatlah beberapa bayangan disusul tawa
bergelak. "Ha-ha, bagus, Beng Tan. Tempel pemuda itu dan kami membunuhnya dari belakang!"
"Benar, dan jangan khawatir, anak muda. Kami
membantumu!" dan bayangan Mo-ko serta Mindra ataupun Sudra yang muncul
mengejutkan dua orang itu tiba-tiba sudab bergerak di belakang Golok Maut,
melepas pukulan dan nenggala atau cambuk baja bercuit ganas. Mo-ko kakak beradik
juga tertawa menyeramkan dengan tongkat masing-masing, semuanya bergerak cepat
dan menghantam pemuda itu. Dan karena serangan ini terjadi ketika Golok Maut sedang berkutat
dengan Beng Tan maka nenggala
maupun pukulan-pukulan lain jatuh dengan ganas di tubuh tokoh bercaping ini.
"Plak-des-crat!"
Golok Maut terhuyung. Nenggala dan senjata-senjata
lain mengenai tubuhnya, sudah mengerahkan sinkang
namun tetap saja bahu dan belakang lehernya luka.
Serangan yang dilakukan orang-orang macam Mindra
maupun Mo-ko bukanlah serangan main-main. Mereka itu
adalah tokoh-tokoh kelas atas yang memiliki sinkang dan pukulan hebat, Maka
begitu pukulan atau senjata mereka mengenai tubuh Si Golok Maut padahal waktu
itu Golok Maut sedang bertahan dari serangan Beng Tan maka tak
ayal laki-laki ini terhuyung dan mengeluh. Bahu dan
belakang kepalanya luka dan saat itu Mo-ko maupun
teman-temannya menyerang lagi, tertawa bergelak. Hasil yang telah mereka
dapatkan sungguh membesarkan hati,
itulah tanda saat yang bagus untuk membunuh lawan yang ditakuti semua orang ini.
Maka begitu mereka menerjang dan kali ini cambuk baja di tangan Sudra meledak
nyaring maka Golok Maut terjungkal ketika dengan amat
dahsyatnya senjata itu menghancurkan baju pundaknya.
"Tar!" Ledakan ini bagai petir di siang bolong. Golok Maut tak dapat menangkis karena
saat itu dia mempertahankan
senjatanya. Ada dua sikap yang harus diambil tokoh ini untuk menerima semuanya
itu. Yakni pertama membiarkan serangan-serangan Mo-ko ataupun Mindra mengenai
tubuhnya tapi golok di tangannya tetap tak dilepas dan masih berkutat dengan
Beng Tan atau dia melepaskan
goloknya itu dan menyambut serangan-serangan Sudra atau Mo-ko. Hal kedua jelas
memberikan kerugian materi bagi tokoh ini, karena senjatanya sama saja
diserahkan kepada musuh, dalam hal ini adalah Beng Tan. Dan karena senjata itu
rupanya melebihi nyawa sendiri dan untuk itu dia siap mati maka Golok Maut rela
menjadikan tubuhnya bulan-bulan hajaran Mindra, mengerahkan sinkang dan sebisa-
bisanya dia bertahan. Tusukan nenggala yang melukai
bahunya sungguh menyengat, ditambah lagi dengan
pukulan atau hantaman tongkat Mo-ko, yang dua kali
menghajar pangkal lengannya dan belakang leher. Dan
ketika pukulan-pukulan lain bertubi-tubi datang menyusul dan tokoh ini
terhuyung-huyung sambil tetap memegangi goloknya yang saling tempel dengan
Pedang Matahari maka Beng Tan tak tahan dan berteriak,
"Mo-ko, keparat kau. Mindra, jahanam kau! Lepaskan lawanku ini, jangan serang
dan kalian minggirlah!"
"Ha-ha!" Mo-ko, si adik, tertawa menyeramkan. "Golok Maut berhutang kelima jari
tanganku, anak muda. Sekarang aku ingin membalas dan tak mungkin kau suruh
mundur!" "Tapi dia sedang berhadapan dengan aku. Kau licik!"
"Ha-ha, kalau begitu lepaskan dia, anak muda. Serahkan pada kami dan biar kami
yang menyelesaikannya!"
Beng Tan memaki. Kalau dia dapat melepaskan
lawannya tentu sudah sejak tadi dia melakukan hal itu. Dia dan Golok Maut
sebenarnya sama-sama mempertahankan
diri, mempertahankan senjata masing-masing yang saling sedot dan hisap. Dua
senjata yang berlainan itu
mengeluarkan hawa yang berbeda-beda. Golok Maut dingin menyeramkan
sedangkan Pedang Matahari panas membakar. Dua kekuatan ini saling menarik dan coba
menghancurkan, mau menguasai yang lain namun ternyata gagal. Hawa dingin dan
panas itu seimbang, dua-duanya tak ada yang kalah atau menang. Dan ketika dia
memaki Mo-ko karena saat itu iblis hitam itu menyerang keji maka Golok Maut
terjengkang dan terpelanting roboh.
"Dess!" Beng Tan terbelalak. Golok Maut mengeluh dan tetap
mencekal erat-erat goloknya, yang mulai bersinar merah dan perlahan-lahan
mengeluarkan bau anyir. Sikap tak
kenal menyerah yang membuat Beng Tan kagum dan mau
tak mau merasa simpatik. Sikap jantan seorang gagah sejati!
Dan ketika Mo-ko terkekeh lagi dan menyerang dengan
ganas maka di sana Mindra maupun Sudra juga
menggerakkan senjata mereka, nenggala atau cambuk dan tongkat dan bertubi-
tubilah senjata-senjata itu mendarat di tubuh Si Golok Maut. Darah mulai meleleh
di muka dan lengan Golok Maut, sudah mengerahkan sinkang namun
tak kuat juga. Maklumlah, dia sedang berkutat bersama Beng Tan dan orang-orang
ini menumpanginya. Mo-ko maupun lain-Iainnya itu licik dan curang sekali. Mereka tahu bahwa sesuatu
sedang terjadi di antara Beng Tan dan lawannya, tahu bahwa entah karena sebab
apa dua senjata ampuh itu saling temper, masing-masing tak dapat dilepas kecuali
salah satu mengalah. Dan karena Beng Tan maupun Golok Maut sama-sama
mempertahankan senjata mereka
karena itulah pusaka mereka yang harus dipertahankan
dengan gigih maka Mo-ko dan kawan-kawannya mempergunakan kesempatan dengan licik, menyerang dan
melepas pukulan-pukulan mereka dan Sudra maupun Mindra mulai melepas pukulan-pukulan Hwi-seng-ciangnya (Pukulan Bintang Api),
menyambar dan meledak mengenai tubuh Si Golok Maut hingga tentu saja tokoh
bercaping itu terhuyung-huyung, lima kali jatuh ke tanah namun
hebatnya golok itu tetap dipertahankan mati-matian.
Agaknya Golok Maut siap mati kalau goloknya tidak
dilepas Beng Tan, hal yang membuat Beng Tan ragu dan
gundah. Mulai berpikir apakah sebaiknya yang harus dia lakukan. Dan ketika Golok
Maut semakin terhuyung-huyung dan bersimbah darah, hal yang membuat Beng Tan
pucat dan marah sekali kepada Mo-ko dan teman-temannya maka berkelebatlah
bayangan merah yang membentak serta menyerang orang-orang itu.
"Mo-ko, kalian jahanam keparat. Kalian tak
tahu malu.... crat-dess!" dan ketua Hek-yan-pang yang sudah bergerak dan tak tahan
melihat itu tiba-tiba sudah
berkelebatan dan menolong Golok Maut. Tentu saja tak
tahan karena orang-orang itu curang sekali. Mereka tak menghadapi Golok Maut
dengan jantan karena tinggal
menumpangi keadaan. Sungguh licik dan curang. Maka
begitu wanita baju merah ini berkelebatan dengan
pedangnya dan Mo-ko maupun kawan-kawannya diserang
maka empat orang itu kaget dan sejenak dapat dihalau, marah dan memaki wanita
itu dan Mindra maupun Sudra
membentak. Mereka pernah berhadapan dengan ketua Hek-
yan-pang ini dan dua kakek India itu melepas Hwi-seng-ciangnya kepada wanita
itu. Dan ketika Mo-ko maupun
yang lain juga marah dan membentak wanita itu maka tiba-tiba hujan senjata atau
pukulan menyambar wanita ini.
"Des-des-plak!"
Ketua Hek-yan-pang itu terpelanting. Dihadapi empat
orang sekaligus yang marah kepadanya tiba-tiba saja wanita itu terdesak, memang
tentu saja bukan lawan orang-orang ini kalau dikeroyok. Maka ketika dia mengeluh
tapi Golok Maut di sana dapat bernapas lega sejenak maka Mindra
menggeram-geram sementara tiga temannya yang lain
memaki-maki, melepas pukulan dan senjata dan sebentar saja wanita itu sibuk
menangkis sana-sini, mundur dan terhuyung-huyung dan kesibukan luar biasa
melanda ketua Hek-yan-pang ini. Kalau Mindra dan teman-temannya
marah maka hanya Golok Maut saja yang dapat
menghadapi, hal yang sayangnya tak dapat dilakukan saat itu karena Golok Maut
sedang berhadapan dengan Beng
Tan, pemuda tangguh yang baru kali itu dijumpai tokoh bercaping ini. Lawan
seimbang yang sama hebat dan kuat, juga sama-sama memiliki senjata pusaka yang
kini sedang tarik-menarik. Dan ketika wanita itu mengeluh dan cambuk di tangan
Sudra meledak dari atas ke bawah maka bahu
wanita itu terkoyak ketika senjata menyambar mengenai tubuhnya.
"Aduh!" Mo-ko dan lain-lain tertawa mengejek. Wanita baju merah itu bergulingan
melempar tubuh, menjauh. Namun karena Sudra mengejar dan cambuk kembali
menjeletar maka cambuk baja itu mengenai lagi tubuh ketua Hek-yan-pang ini.
"Tar!" Wanita itu menjerit. Kali ini hantamam cambuk penuh
tenaga dan amat kuatnya, Sudra menambah sinkangnya


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga daging pundak wanita itu melepuh. Dan ketika
ketua Hek-yan-pang itu mengeluh dan bergulingan
meloncat bangun maka yang lain-lain sudah maju
menubruk lagi dan menyerang, mengeroyok dan mendesak
wanita itu dan wanita ini pun keteter. Kemarahan empat lawannya tak dapat
dicegah lagi, sementara ini mereka melupakan Golok Maut dan membiarkan laki-laki
bercaping itu saling tempel dengan Beng Tan. Dan ketika wanita itu menerima lagi
ledakan-ledakan cambuk atau
tusukan nenggala serta pukulan tongkat maka bajunya
robek-robek dan Mo-ko kakak beradik mulai tersenyum
aneh, mendengus-dengus. "Mindra, jangan bunuh wanita ini Berikan ia pada kami!"
"Hm, kalian mau apa?"
"Kami mau mempermainkannya, Mindra. Bersenang-
senang dan bercinta dengannya!"
"Heh-heh, benar!" Pek-mo-ko mengangguk-angguk.
"Berikan ia pada kami, Mindra. Kami jadi bergairah melihat wanita cantik
begini!" "Dan kalian boleh menikmatinya kalau masih mampu!"
Hek-mo-ko tertawa bergelak. "Dan jangan ragu mempermainkan perempuan macam begini, Mindra. Dia
musuh kita karena dia membantu Golok Maut!"
Mindra terbelalak. Dirangsang dan dibujuk begitu
ternyata kakek ini tertawa, rupanya setuju dan tiba-tiba timbul hasrat
kelelakiannya. Wanita baju merah itu
memang hebat dan pasti cantik, meskipun tertutup kedok.
Dan karena berkali-kali wanita ini menunjukkan simpatinya pada Golok Maut
padahal tokoh bercaping itu adalah
musuh mereka maka Mindra terbahak dan mengangguk,
berseru pada temannya, "Baiklah, aku suka, Mo-ko. Tapi tanya dulu dengan Sudra. Apakah dia mau dan rela
menangkap hidup-hidup wanita ini!" "Aku tak suka perempuan!" Sudra mendengus. "Kau boleh main-main, Mindra. Tapi
hati-hati dan ingat kejadian dulu!"
"Ha-ha, aku ingat!" dan percakapan yang segera berhenti karena sudah diganti
dengan bentakan-bentakan atau
serangan sengit akhirnya membuat wanita baju merah itu memaki, merah padam
mukanya karena kata-kata kotor
mulai berdatangan menghambur. Hek-mo-ko dan suhengnya jelas-jelas ingin menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk apa-apa
melainkan sekedar digagahi,
dipermainkan. Dan karena semuanya itu membuat telinga wanita ini merah dan di
sana Beng Tan juga marah dan
malu mendengar itu maka Golok Maut yang menempel
senjatanya terbelalak dengan mata bagaikan api, berkutat namun lemah tenaganya
karena pukulan-pukulan atau
serangan Mindra dan teman-temannya tadi melukai
tubuhnya. Ada beberapa bagian yang malah melukai bagian dalam dadanya, seperti
pukulan Hwi-seng-ciang dan Pek-see-kang (Pukulan Pasir Putih) atau Hek-see-kang
(Pasir Hitam) yang dilepas Mo-ko kakak beradik. Semua pukulan dan serangan-
serangan itu sebenarnya membuat Golok
Maut menderita. Hanya berkat kekerasan dan kemauannya yang kuat saja semuanya itu dapat ditahan, ditekan-tekan dan dilawan
agar dia tetap tegar, meskipun sebenarnya sudah "keropos", kehilangan banyak
tenaga. Maka ketika Beng Tan terbelalak dan kekagumannya
semakin memuncak terhadap lawannya itu tiba-tiba sebuah keputusan telah diambil
pemuda ini, yakni dia akan
mengalah dan melepas pedangnya.
"Golok Maut, kau harus pergi. Baiklah, kau hebat. Aku mengakui
kegigihanmu dan ambillah golok serta pedangku.... wut!" Beng Tan menyerahkan pedangnya, membuang semua tenaganya dan
tentu saja hisapan Golok Maut menang, menarik dan Pek-jit-kiampun tersedot dan terlepas dari tangan
pemuda itu. Dan ketika pedang terbetot dan tertarik dengan mudah maka Golok Maut
berseru tertahan sementara Beng Tan harus melempar tubuh
bergulingan untuk menghindar gaya tolak dari tarik-
menarik itu. "Bress!" Golok Maut pun terjengkang. Tokoh bercaping itu tak
menyangka bahwa Beng Tan mengalah, di saat-saat krltis melepaskan pedangnya dan
memberikan pedangnya itu padanya. Jadi lawan berbaik hati dan tentu saja dia
tertegun. Dan karena semuanya itu di luar dugaan dan
tarik-menarik sedang terjadi dengan hebatnya maka laki-laki
bercaping itu terlempar ke belakang dan terguling-
guling oleh daya tariknya sendiri.
"Ah!" Seruan itu cukup. Mo-ko di sana terkejut dan
membelalakkan mata, melihat Beng Tan terlepas pedangnya dan "kalah", tentu saja tak tahu apa yang terjadi dan iblis hitam
putih ini melotot. Mereka terperanjat dan sudah melihat Golok Maut bergulingan
meloncat bangun. Dan ketika laki-laki itu sejenak memandang Beng Tan dan pedang yang menempel di
ujung golok disambar dan digerakkan tiba-tiba tokoh itu berkelebat dan mengembalikan pedang lawan tapi tubuh sudah bergerak ke arah Mo-ko dan kawan-
kawannya itu. "Mo-ko, kalian semua bedebah keparat!"
Kagetlah semua orang. Melihat Golok Maut berkelebat
ke arah mereka sementara Beng Tan yang diandalkan
tampak terhuyung-huyung maka Mo-ko dan kawan-
kawannya kaget bukan main, melihat sinar putih berkelebat dan bayangan hitam
menyambar ke arah mereka. Saat itu
mereka sudah mendesak dan tinggal merobohkan ketua
Hek-yan-pang ini. Wanita baju merah itu sudah terdesak hebar dan tinggal menanti
waktu, keadaannya berbahaya dan Mo-ko serta Mindra tertawa-tawa, mempermainkan
wanita itu dan merobek bajunya di sana-sini, agaknya
bermaksud menelanjangi wanita itu sebelum digagahi, satu sifat keji dan tak tahu
malu. Tapi begitu Golok Maut
menyambar dan senjata yang mengerikan itu berkelebat ke arah mereka tiba-tiba
Mo-ko berteriak dan melempar tubuh ke belakang.
"Awas...!" Teriakan itu mengguncang perasaan. Mindra dan Sudra
otomatis menarik serangan mereka pada ketua Hek-yan-
pang itu, membalik dan secepat kilat menangkis. Tak ada waktu mundur bagi
mereka, tak ada waktu mengelak. Tapi begitu sinar putih menyambar senjata mereka
dan terus mendesing maka putuslah cambuk baja atau nenggala di
tangan dua orang itu. "Crat-dess!" Dua kakek India itu melempar tubuh ke belakang.
Mereka lupa dalam keadaan kaget itu bahwa senjata
mereka jelas bukanlah tandingan golok ampuh di tangan lawan, putus separoh lebih
dan dua kakek itu berteriak kesakitan. Golok masih menyambar dan menggurat
pundak mereka, berdarah dan Mo-ko kakak beradik sudah lebih
dulu menyingkir, dengan jalan melempar tubuh dan
menjauh di sana. Dan ketika empat orang itu bergulingan meloncat bangun
sementara Golok Maut menangkap dan
menggigil memeluk ketua Hek-yan-pang yang kehabisan
tenaga maka Beng Tan di sana berseru agar semua orang mundur, sudah menangkap
dan menerima kembali pedangnya yang tadi dikembalikan lawan.
"Mo-ko, mundur kalau tak ingin mampus. Atau kalian menjadi korban keganasan
Golok Maut!" "Kau tak maju lagi?" iblis hitam ini terbelalak. "Hanya kau yang mampu
menandingi Golok Maut, anak muda.
Kami mengharap bantuanmu karena kau memiliki pula
pedang yang ampuh!" "Tidak, aku sudah kalah," Beng Tan berpura-pura. "Dan aku muak melihat kelicikan
kalian. Nah, kalian mau pergi atau tidak terserah, aku tak mau lagi di sini dan
kalian hadapi sendiri Si Golok Maut itu!" dan begitu Beng Tan menutup bicaranya
dan membalik tiba-tiba pemuda ini
sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, agak terhuyung dan sengaja dibuat
terhuyung-huyung agar Mo-ko dan
kawan-kawannya melihat dia benar-benar kehabisan
tenaga, seolah benar begitu. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain terbelalak melihat
itu, perginya Beng Tan maka mereka mendadak memutar tubuh dan lari mengikuti
pemuda ini, gentar kalau maju seorang diri, tanpa pemuda itu!
"Hei, kalian mau ke mana?" Hek-yan-pangcu berteriak, marah dan coba mengejar.
"Kalian pengecut dan benar-benar licik, Mo-ko. Hayo jangan lari dan hadapi aku!"
namun ketika wanita baju merah itu terguling karena dia sudah kehabisan tenaga
maka Golok Maut menyambarnya
dan kembali memeluk, berkata agar wanita itu membiarkan lawan-lawannya dan
larilah Hek-mo-ko dan tiga temannya itu, gentar karena Beng Tan tak mau
melindungi mereka, tentu saja tak mau karena pemuda itu muak dan marah.
Golok Maut tertegun di sana dan berdiri agak menggigil, mencengkeram atau
memeluk erat-erat tubuh wanita baju merah itu. Tapi ketika semua lawan
menghilang dan tak ada lagi di depan tiba-tiba Golok Maut roboh dan pingsan.
"Bluk!" Ketua Hek-yan-pang itu ganti terkejut. Tadi dia merasa betapa hangat dan lembut
pelukan Si Golok Maut itu,
diam-diam berdebar dan entah kenapa dia tak mau
melepaskan diri. Dua kali dipeluk dua kali pula dia pura-pura lemah. Memang
kehabisan tenaga tapi sebenarnya
kalau untuk berdiri sendiri dia bisa, sanggup. Tapi begitu Golok Maut roboh dan
terguling melepas pelukannya tiba-tiba wanita ini terkejut dan berseru tertahan,
membungkuk dan cepat menyambar tubuh itu. Teringat akan luka-lukanya dan
sadarlah ketua Hek-yan-pang ini bahwa Golok Maut terluka. Tusukan dan pukulan-
pukulan Mo-ko dan kawan-kawannya tadi membuat Golok Maut penuh darah,
luka-luka di tubuhnya cukup banyak tapi luka dalam
agaknya yang paling berat. Maka begitu sadar dan
mengeluh perlahan tiba-tiba wanita baju merah ini
berkelebat meninggalkan hutan. Dan begitu dia menguatkan hati dan mengumpulkan segenap sisa-sisa
tenaganya tiba-tiba wanita itu telah "terbang" dan mencari satu tempat aman
untuk menolong Golok Maut ini. Dan
karena semua orang sudah meninggalkan tempat itu
sementara ketua Hek-yan-pang ini juga menghilang ke kiri maka segala hiruk-pikuk
yang tadi terjadi sudah tak
terdengar lagi. ooooo0de0wi0oooooo "Ooh...!" begitu keluhan itu terdengar.
"Di mana kini aku, Tuhan" Siapa yang menolongku ini?"
"Diamlah," sepasang lengan lembut membelai dan mengusap-usap
tubuh yang merintih itu. "Aku menolongmu, Golok Maut. Kita di tempat aman dan
terima kasih atas pertolonganmu!"
Golok Maut tertegun. Semula dia tak membuka mata
karena seluruh tubuh dan kepalanya terasa berat. Rasa pening yang hebat membuat
kepalanya seakan berputar.
Tapi begitu suara itu terdengar dan tentu saja dia mengenai suara ini, suara
yang lembut dan bercampur isak maka
Golok Maut membuka mata. "Kau..?" serunya tertegun. "Kau yang menolongku?"
"Ya, tenanglah," wanita baju merah itu menangis. "Aku menolongmu, Golok Maut,
Tubuhmu panas sekali dan dua
hari ini kau pingsan!"
"Dua hari?" "Benar, dan kau tentu lapar, Makanlah, aku sudah membuat bubur ayam untukmu!"
Golok Maut bangkit duduk. Lupa pada sakitnya tiba-tiba pemuda ini melebarkan
matanya. Semangkok bubur panas
ada di depannya, di meja kecil dan wanita itu sudah
mengambilnya. Kedok yang biasa menutupi muka tak ada
lagi. Wajah jelita itu tampak jelas dan tidak tersembunyi, rambutnya yang
panjang di punggung tampak tergerai
bergelombang, cantik dan indah sekali. Dan ketika Golok Maut tertegun dan
terpesona oleh semuanya ini,
pemandangan yang mentakjubkan maka wajah jelita itu
tiba-tiba memerah dan menunduk, tersipu.
"Golok Maut, kau makanlah. Bubur ini menantimu!"
"Ooh...!" Golok Maut terguling, tiba-tiba roboh lagi.
"Aku... aku tak dapat melakukannya, pangcu. Aku tak dapat duduk dan makan
sendiri!" "Aku akan menyuapimu. Kau tidurlah dan tenanglah di situ!" dan ketika jari-jari
yang lembut itu bergerak dan sudah mulai menyendok bubur maka Golok Maut
tertegun melihat wajah yang jelita ini berurai air mata.
"Pangcu..." Golok Maut menggigil. "Aku.... aku musuhmu. Seharusnya kau
membunuhku dan tidak melakukan semuanya ini!"
"Siapa musuhku" Kau menolongku, Golok Maut. Kau


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melindungiku dari pemuda she Ju itu. Dan kau
menolongku pula dari gangguan Mo-ko dan Mindra! Hm,
kalau tak ada kau barangkali aku sudah mati bunuh diri.
Keparat mereka-mereka itu!"
"Tapi.... tapi....."
"Nanti kita bicara lagi, Golok Maut. Kau makanlah dulu dan mari kusuapi!"
Golok Maut tertegun. Caping di kepalanya yang sudah
ditaruh di meja tak dapat menyembunyikan mukanya yang merah padam. Golok Maut
kini tampak sebagai pemuda
yang tampan dan gagah, sayang saat itu pucat karena luka-lukanya yang berat.
Tapi ketika muka yang pucat itu
menjadi merah karena wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu menyuapinya
maka Golok Maut tersedak dan tiba-tiba menangis, mencengkeram lengan yang halus
itu dan menahannya sejenak untuk berhenti.
"Pangcu, kau... kau.... kenapa kau lakukan semuanya ini" Bukankah...
bukankah .." "Hm, aku tak dapat membunuhmu, Golok Maut. Kau
laki-laki yang istimewa dan penuh misteri bagiku. Aku...
aku tak dapat melakukan itu, apalagi dua tiga kali kau telah menyelamatkan
diriku!" "Tapi... tapi aku kau benci! Bukankah berkali-kali kau hendak membunuhku?"
"Sudahlah, kau mau makan atau tidak?" wajah yang jelita itu tiba-tiba mengeras,
rupanya gugup atau bingung.
Bingung tapi juga malu. Dan ketika Golok Maut
menggeleng dan berkata bahwa dia ingin mengetahui
jawabannya terlebih dahulu maka wanita itu marah dan
dua pasang mata beradu dengan tajam. Yang satu tajam
dan marah sementara yang lain tajam namun lembut.
Golok Maut gemetar dan akhirnya ketua Hek-yan-pang itu menangis, memejamkan
mata. Dan ketika Golok Maut
terus mendesak dan mencengkeram lengannya tiba-tiba
wanita itu berkata, "Aku... aku sudah terikat sumpahku. Kau telah
merenggut saputanganku. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain mendampingimu,
Golok Maut. Atau kau membunuhku dan biarlah aku mati di tanganmu!"
"Urusan dulu itu?"
"Kau tak penlu jawabannya. Kau sudah tahu!"
"Tapi... tapi kau juga membuka capingku, pangcu.
Sebenarnya pantang bagi orang lain mengetahui wajahku!"
"Sama saja. Akupun juga begitu. Hanya suami atau calon suami yang boleh melihat
wajahku, atau aku membunuh orang itu atau orang itu yang membunuhku!"
"Oh, maaf, pangcu. Dulu itu aku tak sengaja. Aku... aku, ah... aku telah
berdosa!" dan Golok Maut yang berguncang menutupi mukanya tiba-tiba melupakan
buburnya dan wanita baju merah itu tertegun, mengerutkan kening dan terdengarlah tangis
tertahan-tahan yang ditekan Golok Maut. Tokoh ini rupanya terpukul oleh sesuatu
dan tampak terhimpit. Tapi ketika wanita baju merah itu menekan
pundaknya dan siap memberikan bubur tiba-tiba Golok
Maut meloncat bangun, roboh terguling.
"Pangcu, agaknya sukar bagiku memenuhi sumpahmu
itu. Aku... aku juga terlanjur telah mengucapkan sumpah.
Kita tak mungkin menjadi suami isteri!"
Muka yang cantik itu tiba-tiba pucat. Ketua Hek-yan-
pang ini tampak tergetar dan menggigil, bubur di tangannya tiba-tiba hampir
tumpah. Tapi ketika dia mengeraskan hati dan menggigit bibir maka dia berkata,
tampak menindas semua pukulan batinnya, "Golok Maut, kali ini aku tak ingin
bicara itu. Aku ingin menolongmu sebagai orang yang pernah kau tolong. Nah, kau
makan dulu ini dan setelah sembuh kita bicara lagi!"
Golok Maut tertegun. Dia sudah ditolong dan diangkat
ke tempatnya semula, dibaringkan dan disandarkan
setengah duduk. Dan ketika jari-jari yang lembut itu tampak gemetar dan
menyendoki bubur maka sesuap demi sesuap
pemuda ini sudah diisi perutnya.
"Urusan itu tak ingin kubicarakan sekarang. Sebaiknya kutolong dulu dirimu dan
setelah itu kita bicara!"
Golok Maut mengangguk. Akhirnya dia menarik napas
dan sependapat, memang rasanya tak enak membicarakan
itu di saat seperti itu. Ketua Hek-yan-pang ini berusaha menolongnya atas dasar
hutang budi, jadi agaknya hendak memisahkan itu dengan urusan dulu. Dan ketika
dia mengangguk dan menerima suapan demi suapan maka
mata mereka sering bentrok dan diakui atau tidak keduanya sama-sama tergetar,
sering melengos namun tak dapat
disangkal bahwa keduanya sama-sama mengagumi wajah
lawan. Golok Maut kagum akan wajah jelita dn ayu dari ketua Hek-yan-pang itu
sementara wanita baju merah itu juga kagum dan tertarik kepada wajah yang gagah
namun dingin ini, wajah yang penuh penderitaan dan agaknya
Golok Maut menerima goresan-goresan batin yang dalam.
Semuanya itu tampak di wajah yang tidak bercaping lagi ini dan sering ketua Hek-
yan-pang itu menekan debaran
jantungnya, akhirnya selesai menyuapi dan berterima
kasihlah Golok Maut dengan suara lirih. Ketua Hek-yan-
pang itu membalik dan berkelebat keluar, tak menggubris ucapan terima kasih
Golok Maut tapi tak lama kemudian dia datang lagi dengan semangkuk obat. Rupanya
di belakang tadi dia telah menyiapkan semuanya itu untuk Golok Maut, merebus obat
dan meminumkan ini pada Golok Maut, juga tanpa banyak cakap. Dan ketika Golok Maut tertegun tapi lagi-
lagi menerima semuanya itu,
dengan ucapan terima kasih maka tiga hari berturut-turut gadis atau wanita baju
merah ini merawat Golok Maut
sampai sembuh, telaten dan penuh perhatian dan Golok
Maut benar-benar merasa berhutang budi. Tubuhnya yang terserang demam sudah
sembuh total, luka-luka dalamnya juga sudah tak ada lagi berkat rebusan obat
ketua Hek-yan-pang ini. Dan ketika hari keempat tokoh itu merasa sehat dan dapat
melompat bangun maka dia sudah berkelebat
ketika bayangan merah itu tampak berjongkok di dapur, merebus air.
"Pangcu, terima kasih. Aku telah sembuh!"
Wanita itu membalik, bangkit berdiri.
"Kau mau pergi?"
Golok Maut tertegun. Suara wanita ini terdengar
hambar, dingin namun tidak menunjukkan kemarahan.
Sikapnya biasa-biasa saja namun sepasang mata itu
membayang, jelas wanita ini mau menangis namun
menahannya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan teringat keinginannya tiba-tiba
dia memegang sepasang lengan yang lembut itu, yang tiba-tiba gemetar.
"Pangcu, aku pergi atau tidak sebenarnya tergantung kau. Aku teringat bahwa kita
harus bicara. Nah, aku sudah sembuh dan ingin bicara!"
"Aku tak ingin bicara lagi," wanita itu tiba-tiba menangis.
"Kau boleh pergi dan tinggalkan aku, Golok Maut. Aku tak akan mengingatmu tapi
aku juga akan pergi jauh!"
"Kau mau ke mana" Kenapa tidak membicarakan apa
yang ingin kau bicarakan?"
Tangis yang tertahan itu tiba-tiba meledak. Golok Maut terkejut ketika tiba-tiba
wanita itu mengeluh, mengeluarkan semacam erangan dan tiba-tiba menarik lepas
tangannya. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan
matanya. tiba-tiba wanita itu meloncat keluar.
"Golok Maut, tak usah kau bertanya. Toh kau tak
memperdulikan diriku!"
"Hai...!" pemuda ini bergerak. "Tunggu, pangcu. Aku ingin bicara!" dan ketika
Golok Maut berkelebat dan berjungkir balik di depan lawannya tiba-tiba pemuda
ini telah menyambar dan memegang lengan orang, yang
menggigil semakin keras. "Kau mau apa?" bentakan itu terdengar garang.
"Lepaskan aku, Golok Maut. Dan kau pergilah!"
"Tidak!" Golok Maut menggigil, menggenggam lengan itu. "Aku pergi kalau kau
menghendakinya, pangcu. Karena terus terang saja aku.... aku tak dapat berjauhan
denganmu!" "Apa maksudmu?" mata yang indah itu tiba-tiba terbelalak, terkejut, tampak
terguncang. "Kau... kau mau...."
"Benar!" Golok Maut tiba-tiba mengeraskan hati. "Aku mencintaimu, pangcu. Bahwa
tak dapat kusangkal bahwa aku tak dapat berjauhan denganmu. Tapi... tapi...."
Golok Maut tertegun. Ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba mengguguk, menubruk dan
sudah mendekap tubuhnya dengan kencang. Wanita cantik ini tiba-tiba mengeluarkan erangan panjang pendek.
Dia tampak terkejut tapi girang bukan main oleh pengakuan Golok Maut. Bahwa
laki-laki itu mencintainya dan timbullah harapan bahwa Golok
Maut mau menerimanya, sebagaimana sumpah yang telah
diucapkan setiap anggauta Hek-yan-pang bahwa laki-laki yang membuka kedok di
wajah mereka haruslah mengawini, atau mereka akan membunuh dan terus
mengejar laki-laki yang tak bertanggung jawab itu. Satu syarat atau sumpah yang
aneh dari setiap murid-murid Hek-yan-pang, dari yang rendah sampai kepada ketuanya, hal yang telah dilakukan
sejak turun-temurun dari beberapa generasi sebelumnya. Dan karena tak dapat
disangkal bahwa wanita baju merah ini jatuh hati kepada lawannya yang lihai dan gagah maka
pengakuan cinta Golok Maut
sungguh merupakan siraman bunga bahagia yang bukan
main menggirangkannya, tersedu-sedu dan timbullah
harapan besar di hatinya akan terwujudnya sumpah itu.
Tapi ketika Golok Maut mendorong dan menjauhkan
dirinya mendadak bagai geledek di siang bolong Golok
Maut berkata dengan tersendat-sendat,
"Pangcu, nanti dulu. Aku... aku belum bicara habis. Aku tak dapat menjadi
suamimu meskipun aku amat
mencintaimu!" Wajah yang cantik itu memerah. Ucapan Golok Maut
yang dirasa aneh dan ganjil sungguh mengejutkan, wanita itu tersentak dan
direnggutlah tubuhnya dari seluruh jari-jari lawan. Dan ketika Golok Maut tampak
tertegun sukar bicara dan wanita ini melangkah mundur tiba-tiba sebuah bentakan terdengar
menggetarkan jiwa, "Golok Maut, apa maksudmu" Kau mau main-main dan menghina aku" Kau mau kurang
ajar?" "Maaf," Golok Maut tiba-tiba mencabut senjatanya.
"Sumpah demi golokku ini aku
tak main-main atau menghinamu, pangcu. Apa yang kubicarakan adalah benar dan aku tidak kurang ajar!
Aku terikat sumpah, dan justeru karena sumpahku ini maka aku dibuat bingung!"
"Sumpah apa?" "Bahwa aku tak akan menikah! Aku tak mau membangun keluarga sejak orang yang kucinta mengkhianatiku. Atau aku akan terkena kutuk dan mati
tertikam golokku ini!"
"Golok Maut...!"
"Nanti dulu, jangan berteriak, pangcu. Aku belum selesai bicara. Aku sungguh-
sungguh!" dan ketika wanita baju merah itu tergetar dan berteriak tertahan maka
Golok Maut mendesis dan mencekal lengan ini lagi, mencengkeramnya lembut dan
terdengarlah kata-kata Golok Maut bahwa dia terikat sumpah untuk tidak membangun
keluarga. Golok Maut tertikam oleh sebuah peristiwa lama, tentang
pengkhianatan seorang kekasih dan betapa gadis atau
kekasih itu mempermainkannya. Dan ketika dengan
menggigil dan gemetar Golok Maut menyelesaikan
ceritanya bahwa tak mungkin dia menikah maka laki-laki ini mengakhiri,
"Lihat, aku bingung mendengar sumpahmu, pangcu. Tak dapat kusangkal bahwa aku
tertarik dan mencintaimu.
Sejak aku membuka saputanganmu dulu sebenarnya hati ini tergetar. Kau mirip
kekasihku, kau menimbulkan kenangan lama.Tapi karena aku telah bersumpah dan
berat rasanya melanggar sumpah ini maka sekarang ketahuilah bahwa tak mungkin
aku mengawinimu, meskipun mencintaimu!"
"Ooh...!" wanita baju merah itu terhuyung. "Kau kejam, Golok Maut. Kau
menghancurkan harapanku!"
"Maaf, semuanya tak kusengaja, pangcu. Tapi aku siap mati di tanganmu. Kau
bunuhlah aku, dan aku, menyerahkan jiwaku sepenuh hati!"
"Tidak... tidak! Kau... oh!" dan wanita itu yang tiba-tiba membalik dan lari
kencang sekonyong-konyong histeris
dengan lengkingan berkali-kali, berteriak dan menangis tak keruan dan Golok Maut
terkejut ketika wanita itu melewati begitu saja sebuah jurang yang lebar. Jurang
ini dilompati begitu saja tanpa ginkang (ilmu meringankan tubuh). Dan ketika
tubuh itu melompat dan tentu saja terjatuh maka Golok Maut berteriak keras
berkelebat secepat hantu.
"Pangcu....!" Golok Maut menyambar dengan luar biasa cepatnya.
Tubuh itu telah berkelebat dan terbang seperti burung, berjungkir balik dan
melesat dan persis sekali pemuda atau laki-laki ini menyambar tubuh yang jatuh
itu, membawanya naik dan menjejakkan kakinya beberapa kali sebelum tiba di
seberang. Dan ketika Golok Maut bergulingan di sana tapi selamat membawa wanita
baju merah itu maka ketua Hek-yan-pang ini menangis dan tersedu-sedu.
"Golok Maut, biarkan aku mati.... biarkan aku mati!"
"Tidak!" Golok Maut pucat. "Akulah yang seharusnya mati, pangcu. Kau bunuhlah
aku dan tusuk dengan golokku ini!" Golok Maut mencabut senjatanya, memberikan
senjatanya itu pada wanita baju merah ini dan ketua Hek-yan-pang
itu terkejut. Hawa golok yang dingin menyeramkan membuat dia tergetar. Dan ketika wanita itu mundur dan tentu saja
pucat maka Golok Maut sudah
menjatuhkan dirinya berlutut, menyerahkan golok.
"Pangcu, terimalah golok ini, Bunuhlah aku!"
"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau yang seharusnya membunuhku, Golok
Maut. Atau biarkan aku mati di jurang itu!"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, aku yang salah, pangcu. Aku yang berdosa.
Biarlah kau bunuh aku atau aku bunuh diri di depanmu!"
Golok Maut meloncat bangun, siap menggerakkan golok
dan tentu saja wanita itu menjerit. Gerakan Golok Maut yang hendak menggorok
lehernya sendiri cepat ditubruk dan ditampar, Golok Maut bahkan ditendang hingga
mencelat pula. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan
terguling-guling maka wanita ini mengguguk membuang
golok yang sudah dirampasnya ke jurang!
"Golok Maut, aku tak ingin kau bunuh diri. Kau gila!
Kau... kau, ah!" dan wanita ini yang tersedu-sedu dan menolong Golok Maut bangun
berdiri lalu membuat Golok Maut tertegun memandang goloknya yang dilempar jauh
di bawah sana, entah di mana tapi jelas di bawah jurang. Dia mau marah tapi tak
jadi. Ketua Hek-yan-pang ini telah memeluk tubuhnya erat-erat dan minta agar
biarlah dia yang dibunuh, Golok Maut tergetar. Dan ketika tubuh yang berguncang-
guncang itu meledak dalam tangis yang
tersedak-sedak maka sebuah getaran magnit tiba-tiba
membuat Golok Maut memeluk tubuh yang hangat ini,
lunak dan lembut dan tiba-tiba dia pun mencucurkan air mata. Kisah mereka yang
demikian menyedihkan membuat
pertahanan pemuda ini hancur. Maka begitu dia berbisik agar wanita atau ketua
Walet Hitam ini menghentikan
tangisnya tiba-tiba Golok Maut telah mengangkat wajah itu dan menciumi muka yang
cantik itu, menghisap air
matanya. "Pangcu, biarlah kulanggar sumpahku. Biarlah aku menjadi suamimu. Ah, aku
mencintaimu, pangcu. Aku siap
mati untukmu!" dan ketika wajah yang tengadah itu dihisap air matanya hingga
tersentak tiba-tiba bibir Golok Maut telah melekat di bibir wanita ini.
"Pangcu, aku mencintaimu...!"
"Ooh!" Dua seruan itu hampir berbareng keluarnya. Golok Maut telah mencium dan ketua
Hek-yan-pang inipun telah
menyambut. Masing-masing bagai dibetot besi sembrani
dan masing-masing ingin menyatukan jiwa. Dua mulut itu telah berpagut, bibir
wanita cantik ini telah lekat dengan bibir Si Golok Maut. Dan ketika mereka
saling hisap dan tak puas-puasnya mengeluarkan gejolak atau isi hati
akhirnya wanita baju merah itu terguling dan roboh dalam pelukan Golok Maut.
"Golok Maut, aku siap menjadi isterimu!"
Dua anak muda itu berdekapan. Entah bagaimana
mereka sendiri tak tahu apa yang terjadi, tahu-tahu telah bergulingan dan
melepas semua rasa rindu dan berahi.
Ketua Hek-yan-pang ini menyerahkan segala-galanya
kepada Golok Maut. Dan ketika dua jam kemudian semua
gejolak itu lenyap dan wanita baju merah ini tersipu
mengambil semua pakaiannya yang tercecer maka Golok
Maut tertegun dan tampak merah dan pucat berganti-ganti melihat apa yang telah
dia lakukan, hubungan intim
layaknya suami isteri! "Pangcu, apa... apa yang kita lakukan ini?"
"Biarlah," wajah yang cantik itu bersemu merah. "Aku memang isterimu, Golok
Maut. Sekarang atau kelak sama saja bagiku!"
"Tapi kita melanggar kesucian! Ah, bagaimana ini, pangcu" Bagaimana aku sampai
menodaimu" Keparat, terkutuk! Aku jahanam tak tahu diri. Aku merenggut
kesucian seorang gadis! Aduh, maafkan aku, pangcu.
Ampunkan aku...!" dan Golok Maut yang tersedu menutupi mukanya tiba-tiba
menangis dan menjambak-jambak
rambut sendiri, menampari mukanya berkali-kali dan tiba-tiba pemuda itu
beringas. Dan ketika kekasihnya di sana tertegun dan mengerutkan kening
memandang semua kelakuannya itu mendadak Golok Maut menggerakkan
tangan menghantam ubun-ubunnya sendiri.
"Hauw-ko!" Pekik atau jeritan itu mendirikan bulu roma. Ketua Hek-yan-pang ini telah
berkelebat dan menangkis hantaman itu, menjerit dan terlempar tapi Golok Maut
selamat. Laki-laki itu terkejut dan pukulannya tertahan, ditangkis ketua Hek-
yan-pang itu dan kekasihnya di sana mengeluh panjang.
Dan ketika Golok Maut sadar dan bagai disentak dari
mimpi yang buruk maka dia berkelebat dan menolong
kekasihnya itu, menggigil.
"Pangcu, kau... kau tak apa-apa?"
"Oh!" wanita itu tersedu-sedu. "Kenapa kau mau melakukan itu, Hauw-ko" Kenapa
kau gila dan tidak waras"
Kalau kau ingin meninggalkan dunia habisi dulu aku,
Hauw-ko. Kita pergi bersama dan jangan sendiri-sendiri!"
"Kau... kau mengetahui namaku?"
"Kau sendiri yang bilang. Kau berbisik memberitahukan nama kecilmu. Nah,
bunuhlah aku, Hauw-ko. Dan mari
kita sama-sama ke akherat!"
Golok Maut tertegun. Wanita baju merah ini sudah
tersedu-sedu memukuli dadanya. Dia sadar dan menarik
napas berat. Dan karena tentu saja Golok Maut tak
menghendaki kekasihnya bunuh diri maka pemuda ini
mengangkat dan tiba-tiba menggendong kekasihnya itu.
"Moi-moi (dinda), maafkan aku. Aku khilaf. Ah, kau benar. Aku
masih mempunyai tugas yang harus kuselesaikan. Dan aku tak ingin mengajakmu ke akherat.
Duh, maafkan aku, moi-moi. Aku hanya mau mati kalau
kau yang menghendakinya! Sudahlah, aku salah. Aku
minta maaf dan sekarang beritahukan siapa namamu!"
Air mata yang bercucuran itu tiba-tiba berhenti. Aneh dan luar biasa tiba-tiba
wanita ini tersenyum. Dan ketika Golok Maut tertegun dan terpesona oleh senyum
yang luar biasa manisnya itu mendadak wanita ini terkekeh, geli.
"Hauw-ko, kau lucu! Kenapa baru sekarang kau
menanyakan namaku" Tidakkah kau lihat lukisan di
bahuku ini?" "Hm, aku melihat, tapi tak tahu apa artinya itu. Maukah kau memberitahukannya,
moi-moi" "Tentu, tapi itulah namaku. Kau seharusnya tahu."
"Kalau begitu...."
"Benar, coba lihat lukisan ini, Hauw-ko. Sebut dan katakan namanya!"
"Itu lukisan burung Hong!"
"Nah, kalau begitu?"
"Jadi... jadi kau bernama Hong?"
"Hi-hik, kau sudah menyebutnya, Hauw ko, tak usah ku jawab karena benar!",
Golok Maut tertegun. Kekasihnya sudah tertawa dan
menyembunyikan muka di dadanya, malu-malu tapi jelas
kegembiraan besar melanda kekasihnya ini. Dan ketika dia
tersenyum dan merasa bahagia maka Golok Maut
menunduk dan.... mencium bibir yang merah segar itu.
"Hong-moi, kau nakal. Kiranya suka berputar-putar!"
"Ih, kau yang nakal, Hauw-ko. Seharusnya kau tahu dan wanita memang tak mungkin
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Sudahlah, kau... oh!" dan Golok Maut yang
tertawa menutup mulut kekasihnya dengan satu ciuman lembut
tiba-tiba membuat ketua Hek-yan-pang itu menggelinjang, terputus
omongannya namun menyambut dan memejamkan mata. Erangan nikmat terdengar dari mulut
yang bertaut itu dan Golok Maut lupa diri. Dan ketika dia merebahkan kekasihnya
dan wanita baju merah ini minta lagi maka untuk kedua kali Golok Maut bobol!
"Aku isterimu, lakukan apa saja yang kau suka!"
"Tapi... tapi..."
"Tak ada tapi, Hauw-ko. Aku rela melakukan semuanya ini dan kita sudah
terlanjur!" Maka, melihat kekasih menyerah dan mata yang
terpejam itu bergetar bulu-bulunya Golok Maut pun tak tahan lagi, lupa pada
sumpahnya dan kenikmatan bercinta memang dapat memabokkan siapa saja yang sedang
birahi. Hal ini adalah wajar dan bergulinganlah mereka memadu cinta. Dan karena semuanya
sudah terjadi dan mengulang perbuatan semula tak akan merugikan kedua pihak maka
jadilah mereka tenggelam dalam nikmatnya cinta, masing-masing tak menolak untuk
melakukan itu dan Golok Maut lupa diri. Tokoh yang ditakuti ini telah jatuh
cinta kepada ketua Hek-yan-pang. Sebaliknya ketua Walet Hitam itupun juga sudah
jatuh cinta kepada pemuda ini. Dan ketika
keduanya bermabok-mabok dan berpuas diri maka dua jam lagi sepasang merpati yang
lagi dilanda cinta ini melepaskan diri. "Cukup, sekarang kita benar-benar terikat, moi-moi. Aku telah memilikimu dan
kaupun telah memilikiku!"
"Ooh...!" ketua Hek-yan-pang itu merasa bahagia. "Aku senang, Hauw-ko. Aku cinta
padamu!" "Sudahlah, pasang bajumu, moi-moi. Hari ini kita telah bersatu!"
"Dan aku akan ikut ke manapun kau pergi, Hauw-ko. Ke akherat pun aku mau!"
"Hm!" Golok Maut memeluk kekasihnya ini. "Aku tak ingin ke akherat, moi-moi. Aku
ingin ke sorga, bersamamu!" "Ya, sorga atau akherat sama saja bagiku, Hauw-ko. Asal bersamamu aku pun suka
ke mana saja!" Golok Maut terharu. Mencium dan mendekap kekasihnya ini dia membiarkan sejenak perasaan yang
menghangat. Jari-jarinya penuh getaran ketika mengusap atau membelai rambut yang
hitam panjang itu. Tapi ketika teringat bahwa tugas masih banyak tiba-tiba
pemuda ini melepaskan pelukannya dan mendorong.
"Moi-moi, tugasku masih banyak. Aku masih harus
mencari dan membunuh musuh-musuhku!"
"Coa-ongya?" "Ya, dan adiknya itu, Ci-ongya!"
"Hm, dapatkah kau menceritakan kenapa
kau membenci orang-orang she Ci dan Coa ini, Hauw-ko"
Bolehkah aku tahu?" "Peristiwa menyedihkan, moi-moi, sebuah kenangan gelap!"
"Tapi aku ingin tahu, aku isterimu!" dan ketika Golok Maut tertegun dan
mengerutkan kening maka wanita cantik itu bangkit berdiri. "Hauw-ko, jelek-jelek
aku adalah pendampingmu. Aku ingin membantumu dalam suka
ataupun duka. Kalau kau tak keberatan coba ceritakan
padaku kenapa kau demikian benci kepada orang-orang she Ci dan Coa itu!"
"Mereka ular dan tikus-tikus jahanam. Mereka menipu dan mempermainkan aku!"
"Sudah kuduga. Tapi ceritakanlah, Hauw-ko. Aku ingin menyangga beban yang kau
pikul!" "Hm, perlukah?" Golok Maut ragu. "Aku bukan tak mau, moi-moi. Tapi menceritakan
ini sama halnya mengorek luka lama!"
"Tapi aku bukan orang lain, aku ingin menyatu dan membantumu!"
"Tapi aku ingin segera pergi..."
"Ah, kita tak perlu tergesa-gesa, Hauw ko. Aku masih ingin berlama-lama di sini.
Aku rindu, aku ingin berduaan menikmati masa-masa indah kita!" dan ketika wanita
itu menangis dan Golok Maut tertegun maka si cantik ini
mengeluh, "Hauw ko, kau masih tertutup. Kau agaknya tak mempercayai aku,
meragukannya. Apakah yang telah
kiiberikan padamu tidak cukup" Apakah perlu bukti lain lagi untuk menunjukkan
kesungguhanku?" "Hm!" Golok Maut menyambar kekasihnya. "Bukan begitu, moi-moi. Tapi, ah ....
sudahlah, kau boleh dengar ceritaku ini dan jangan menangis lagi. Aku percaya
padamu, hanya aku tak ingin kau sedih!" dan mengusap serta membelai muka
kekasihnya Golok Maut terpaksa
berbaring lagi, menerima tubuh itu yang direbahkan di atas
perutnya. Dan ketika sambil membelai atau mencium
Golok Maut mulai bercerita tentang masa lalunya maka
wanita atau ketua Hek-yan-pang itu mendengarkan dengan mata bersinar-sinar,
beberapa kali mengeluarkan keluhan-keluhan kecil atau gigitan tanda marah. Kisah
yang menyedihkan memang didengar. Dan karena cerita itu
dilakukan sambil tiduran namun tidak mengurangi
keseriusan cerita ini maka tampaklah cahaya aneh pada sepasang mata indah itu,
menyorot dan berapi-api dan
Golok Maut terpaksa berhenti kalau kekasihnya memberikan simpati dengan ciuman atau kecupan bibir.
Dan ketika isak atau tanda haru juga diberikan wanita baju merah ini setiap kali
Golok Maut menceritakan tentang bagian-bagian yang menyedihkan maka tak terasa
matahari kian condong ke barat, akhirnya tenggelam dan sehari itu wanita baju
merah ini mendengarkan cerita kekasihnya.
Tinju yang berulang-ulang terkepal menunjukkan perasaan hati wanita ini, sikap
yang membuat Golok Maut terharu dan mencium. Dan ketika tanpa terasa hari itu
mereka habiskan untuk bercerita dan bercerita maka malamnya
ketua Hek-yan-pang ini menangis di pelukan Golok Maut.
"Jahanam keparat Coa-ongya itu. Binatang benar dua pangeran itu. Ah, aku
prihatin melihat nasibmu, Hauw-ko.
Aku ikut berduka. Tapi agaknya tak perlu kau membunuh-bunuhi semua orang-orang
she Coa atau Ci!" "Hm, yang kubunuh bukan manusia, Hong-moi, melainkan binatang!"
"Maksudmu?" "Orang ber-she Coa dan Ci tak boleh ada di dunia ini.
Mereka keturunan tikus dan ular!"
"Aku tak mengerti," gadis atau wanita baju merah itu mengerutkan kening. "Coa-
ongya dan adiknya itu jelas
manusia, Hauw-ko. Mereka bukan keturunan binatang.
Watak mereka memang binatang, tapi mereka sendiri
adalah manusia dan mahluk seperti kita ini!"
"Hm, nama mereka sudah menunjukkan itu, moi-moi.
Coa adalah ular dan Ci adalah tikus. Dan mereka adalah binatang-binatang yang
mengganggu manusia!"
"Ah, nama tak dapat disangkut-pautkan dengan itu, Hauw-ko. Pemilik nama belum
tentu semuanya jelek. Lagi pula nama-nama yang gagah belum tentu segagah namanya
pula! Lihat, berapa ribu orang bershe Liong (Naga) atau Sian (Dewa) umpamanya"
Berapa ribu atau ratus ribu
lainnya lagi yang masih memiliki nama-nama atau she yang bagus" Menghukum semua
orang ber-she Coa atau Ci
karena kebetulan Coa-ongya atau Ci-ongya

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusahkanmu tidaklah adil, Hauw-ko. Untuk ini terus terang aku tak setuju
meskipun aku simpatik mendengar kisahmu. Coa-ongya dan Ci-ongya itu memang
jahat, tapi belum tentu yang lain-lain yang memiliki she itu jahat dan kejam
pula! Maaf, dalam hal ini aku menilaimu dangkal, Hauw-ko. Kau terlalu dilanda
dendam dan benci!" Golok Maut terkejut. "Kau menentang?"
"Bukan menentang, Hauw-ko, tapi sekedar menyatakan pendapatku saja. Kau salah
besar kalau menyamaratakan orang-orang she Coa atau Ci karena disangkutkan
dengan dua pangeran itu!"
"Hm!" mata yang semula lembut mendadak beringas.
"Kau jangan menyalahkan aku, Hong-moi. Kalau kau menyalahkan slkapku berarti kau
duduk di seberang! Apakah Ini yang kau maksud?"
Ketua Hek-yan-pang itu tersentak. Golok Maut bangkit
berdiri dan kasar mendorong tubuhnya, kemesraan yang
semula ada tiba-tiba berobah menjadi kaku, keras dan tidak
bersahabat. Dan ketika wanita itu terkejut dan Golok Maut berdiri maka pemuda
ini mendesis, "Kau agaknya membela orang-orang she Ci dan Coa. Aku tak dapat
ditekuk lagi, Wi Hong. Kalau kau bersikeras menyalahkan aku sebaiknya
kita tak usah berdekatan lagi. Kau bunuh aku atau biarkan aku pergi!"
"Hauw-ko!" Wi Hong, atau ketua Hek-yan-pang itu terpekik. "Apa kau bilang ini"
Kau gila?" "Hm, aku memang gila, Wi Hong. Gila dendam. Aku
haus atau gila akan darah orang-orang she Ci atau Coa.
Kalau kau menyebutku dangkal dan salah aku khawatir kita kelak berhadapan
sebagai musuh. Nah, kau pilih saja. Tetap bersamaku dan jangan sekali-kali
menyalahkan aku atau kau tetap dengan pendirianmu dan membela orang-orang
she Ci dan Coa itu!"
"Ooh...!" wanita ini terhuyung. "Kenapa begitu, Hauw-ko" Kau memang licik dan.
dangkal. Kau cupat. Kalau kau mau menangnya sendiri tentu saja aku tak terima.
Aku tidak memusuhimu melainkan semata memberikan pendapat. Kalau ini sudah kau ultimatum dan tidak mau disalahkan baiklah, kau
boleh pergi dan kita berpisah!"
"Wi Hong!" "Tidak, kau sendiri yang bicara seperti itu, Golok Maut.
Nah, kita berpisah dan kuharap tidak usah bertemu lagi!"
Golok Maut terkejut. Wi Hong, kekasihnya itu tiba-tiba marah besar. Wi Hong yang
tadi halus mendadak berobah dingin dan ketus, entah kenapa tiba-tiba menjadi
begitu marah karena Golok Maut menyama-ratakan orang-orang
she Ci dan Coa. Dan karena ini rupanya tak dapat dicegah karena masing-masing
mempunyai pendirian yang berbeda maka wanita yang tadi baru saja berasyik-masyuk
itu berkelebat pergi, meninggalkan Golok Maut dan memutar
tubuhnya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan menjublak tiba-tiba pemuda ini
mengeluh dan memanggil lagi
kekasihnya itu, "Wi Hong, tunggu dulu. Kembali!"
Namun wanita baju merah itu terlanjur naik darah.
Teriakan Golok Maut tak digubris. Sepasang kekasih yang baru saja bermesraan ini
tiba-tiba pecah, begitu mudah dan cepat. Dan ketika dua tiga kali teriakan itu
tak digubris dan Golok Maut rupanya tersinggung tiba-tiba pemuda ini
berkelebat dan pergi berlawanan arah, menyambut keras dengan keras.
"Baiklah, kita berpisah, Wi Hong. Sungguh tak kunyana kalau hubungan kita hanya
sehari!" Golok Maut naik darah, tak mau mengalah dan tiba-tiba diapun pergi
meninggalkan tempat itu. Tapi ketika teringat bahwa
senjatanya, golok yang ampuh itu masih belum diambil dan terlempar di bawah
jurang sana maka pemuda ini kembali dan memutar tubuhnya, marah dan gerara
karena itulah gara-gara kekasihnya. Wi Hong telah membuang senjatanya ke bawah. Dan ketika
dengan cepat dia turun dan merayap ke bawah maka Golok Maut mencari senjatanya
yang terlupa, tadi terlampau asyik
memadu cinta dan kekecewaannya semakin menghimpit saja. Wi Hong itu
adalah perempuan, kenapa tidak tunduk kepada lelaki dan selalu membantah" Dan
teringat bahwa mereka baru saja berasyik-masyuk
dan tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya dia amat mencinta wanita itu maka Golok
Maut melepas kecewanya dengan merayap atau berlompatan di batu-batu pinggir jurang, menghantam atau meremas hancur batu-
batu menonjol yang menghalang
pandangannya. Tapi ketika dia tiba di bawah dan tidak menemukan apa yang dia
cari tiba-tiba Golok Maut
tertegun, kaget dan mencari lagi namun, gagal. Akhirnya
pemuda ini membuat obor menerangi bagian-bagian yang
gelap, mung kin senjatanya di situ tapi ternyata tak ada juga. Dan ketika Golok
Maut terkejut dan membelalakkan mata tiba-tiba terdengar suara menggelegar
disusul runtuhnya batu-batu besar dari atas jurang.
"Bocah, kau telah melanggar sumpahmu. Kau mempermainkan aku. Ha-ha,, awas, bocah. Aku akan
menuntut tanggung jawab dan perbuatanmu... blarr!"
Golok Maut menarik badannya. Dari atas jurang atau
langit yang gelap muncul ledakan petir. Sesosok sinar biru menyambarnya dengan
cepat, untung dia menarik
tubuhnya dan sinar atau cahaya itu meledak di belakang kepalanya. Dan ketika
suara itu lenyap dan di bawah
kakinya terdapat sinar lemah dari sesosok senjata berhawa dingin maka aneh dan
ajaib Golok Maut telah menemukan kembali pusakanya itu.
"Sinar apakah itu" Suara apa?" Golok Maut berdebar, memungut senjatanya dan
diam-diam tak enak. Golok yang tiba-tiba ada di bawah kakinya tahu-tahu
menggeletak begitu saja, padahal tadi dia yakin tak ada apa-apa di bawah kakinya itu. Tapi
karena Golok Maut telah ditemukan dan pemuda atau tokoh ini memasukkan
senjatanya ke dalam sarung maka terdengar suara "cring" ketika senjata itu masuk dan agak
mengganjal. "Ah, kenapa ini?" Golok Maut terkejut, mengerutkan kening dan coba memasukkan
senjatanya itu sedalam mungkin. Tapi ketika berkali-kali dia gagal dan senjata itu tetap saja keluar
seinci, seolah-olah di dalam terganjal sesuatu maka pemuda ini melolos
senjatanya dan memeriksa sarung." Tapi aneh, tak ada yang mengganjal.
Golok Maut memasukkan lagi senjatanya tapi tetap saja sebagian gagang keluar,
tak mau rapat atau pas dengan sarung golok. Dan ketika hal itu dicoba berulang-
ulang namun peristiwa aneh ini tetap terjadi, golok tak mau lagi sepenuhnya memasuki
sarungnya maka Golok Maut pucat.
"Suhu, tolonglah teecu!" pemuda itu tertegun, meratap dan tiba-tiba mengeluh menjatuhkan dirinya
menghadap langit. Keadaan golok yang dirasa aneh dan
tidak sewajarnya tiba-tiba membuat pemuda ini gemetar.
Sinar berkelebat lagi di langit yang hitam dan terdengarlah suara tanpa rupa
bahwa golok akan masuk ke sarungnya
lagi setelah menghirup darah pemuda itu, kalau waktunya sudah tiba. Dan ketika
Golok Maut tersentak dan sadar akan apa artinya itu tiba-tiba pemuda ini
mengeluh dan roboh terguling.
"Aduh, ampunkan aku, ibu. Aku memang telah
melanggar sumpah. Ah, keparat wanita itu. Dia iblis
penggoda! Jahanam, biar kucari dia dan kubunuh!" dan Golok Maut yang getir dan
marah oleh kejadian yang dialami bersama Wi Hong tiba-tiba mata gelap dan
menyalahkan wanita itu, memaki-maki dan memanjat naik dengan cepat. Dinding
jurang yang tinggi didakinya tak kurang dari sepuluh menit saja. Dan ketika dia
keluar dan meloncat naik maka Golok Maut berteriak dan terbang ke arah larinya
Wi Hong. "Wi Hong, kau merusak sumpahku. Kau wanita
terkutuk!" Namun yang dicari telah lama pergi. Wi Hong atau
ketua Hek-yan-pang itu juga marah-marah kepada Si Golok Maut ini. Perbedaan
paham di antara mereka bertolak
belakang. Dan ketika malam itu Golok Maut tak dapat
menemukan kekasihnya sementara ancaman atau ledakan
di langit yang hitam itu terus menghantui perasaannya maka tokoh atau pemuda ini
memutar tubuhnya ke timur.
Dan begitu dia terbang dan berkelebat mengerahkan semua ilmu lari cepatnya maka
Golok Maut telah menuju ke
tempat perkumpulan Walet Hitam itu, sebuah pulau di
tengah telaga. Gegerlah Hek-yan-pang. Sehari semalam melakukan
perjalanan cepat Golok Maut telah tiba di markas kaum wanita ini. Kebetulan
malam hari juga, jadi agak sepi namun tentu saja penjagaan tetap ketat. Sejak
perkumpulan itu ditinggalkan ketuanya, Hek-yan-pangcu Wi Hong itu maka segala
urusan di sini dipegang wakilnya,
sumoi atau orang kedua setelah sang ketua. Dan ketika malam itu, Golok Maut tiba dan
muncul begitu saja di dalam
gedung maka pemuda ini menggeram-geram mencari
kekasihnya. "Suruh Wi Hong keluar. Aku ada perlu."
-ooo0dw0ooo- Jilid : XVII ANAK MURID Hek-yan-pang kaget sekali. Golok Maut
tahu-tahu telah berada di dalam gedung, entah kapan
datangnya dan murid-murid yang menjaga di tepi telaga rupanya tak tahu, terbukti
Golok Maut ini telah berada di situ dan menggeram-geram mencari ketua mereka.
Dan ketika beberapa anak murid berseru tertahan dan menegur laki-laki bercaping itu,
yang dulu pernah datang dan
mengobrak-abrik sarang mereka maka Golok Maut
mengibaskan lengan dan robohlah dua murid wanita yang ada di depan.
"Aku mencari pangcu kalian. Hayo suruh dia keluar dan mana si Wi Hong itu ....
bres-bress!" Dua murid wanita itu terpekik. Mereka terlempar
bergulingan dan yang lain-lain. terkejut, melihat Golok Maut sudah melangkah
lebar memasuki gedung. Mukanya
yang merah dan sikapnya yang beringas membuat anak
murid Hek-yan-pang gentar, mereka sudah mengetahui
kelihaian laki-laki ini dan dulu tanpa dapat dicegah lagi Golok Maut dapat pergi
dan lolos begitu saja. Kini datang seperti siluman dan rupanya marah-marah
kepada pangcu mereka, mencari dan menggeram-geram bagai harimau
dibunuh anaknya. Namun ketika dua murid wanita itu
melompat bangun dan lima yang lain terkejut dan sadar maka anak-anak murid ini
segera memberi tahu dan memukul tanda bahaya, juga suitan-suitan panjang.
"Golok Maut datang. Awas, kita kedatangan musuh!"
Gemparlah perkumpulan Walet Hitam itu. Mereka tiba-
tiba berhamburan dari segala penjuru dan bayangan-
bayangan langsing berkelebatan dari mana-mana. Semua
anak murid Hek-yan-pang keluar, dari tengah telaga juga tiba-tiba meluncur
beberapa perahu begitu terdengar tanda bahaya dari dalam. Dan ketika Golok Maut
terus masuk dan menanyakan ketua Hek-yan-pang itu maka Kim Nio
dan Kiok Bhi, dua murid wanita yang dulu juga pernah
bertanding dengan tokoh bercaping ini sudah muncul dan membentak marah.
"Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"
Golok Maut sudah diserang. Datang dan majunya Kim
Nio dan Kiok Bhi ini membesarkan hati murid-murid yang lain. Maklumlah, Kim Nio
atau Kiok Bhi adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi. Jadi
begitu dua wanita ini menyerang dan pedang di tangan mereka
sudah mendesing dan menusuk Si Golok Maut maka yang
lain-lain maju membantu dan menyerang Golok Maut pula.
"Sing-singg-plakk!"
Golok Maut mendengus. Dibentak dan diserang dua
murid kepala itu laki-laki ini tak mengelak. Dia
mengayunkan tangannya dan terpentallah pedang di tangan Kiok Bhi dan Kim Nio
itu. Dan ketika yang lain-lain juga ditampar dan terpelanting ke kiri kanan maka
Golok Maut maju menggeram-geram menanyakan ke tua Hek-yan-pang
itu. "Aku tak berkepentingan dengan kalian. Aku mencari Wi Hong. Suruh dia keluar
atau tempat kalian akan kuobrak-abrik!" "Keparat!" Kim Nio membentak. "Nama ketua kami pantang disebut begitu saja,
Golok Maut. Dia tak ada di sini tapi kami akan membela namanya sampai mati....
singg!" pedang menusuk lagi, menyambar dan menuju punggung
laki-laki itu namun tanpa menoleh Si Golok Maut ini telah menangkis,
menggerakkan lengannya ke belakang dan
mencelatlah pedang di tangan murid kepala Hek-yan-pang itu. Dan ketika Kim Nio
terpekik dan bergulingan menyambar pedangnya maka yang lain-lain tertegun dan
pucat melihat kelihaian Si Golok Maut.
"Hei, kejar dia. Jangan boleh masuk!" Kiok Bhi, yang sadar dan terpekik kaget
tiba-tiba membentak temannya.
Dia sendiri sudah menyerang dan maju tak kenal takut, menggerakkan pedangnya
pula. Dan ketika yang lain sadar dan kaget melihat Golok Maut sudah memasuki
kamar-kamar mereka, membuka dan menutup pintunya
mencari-cari Wi Hong maka anak-anak murid Hek-yan-
pang ini marah dan malu karena kamar-kamar mereka
dibuka satu persatu oleh Golok Maut, satu-satunya lelaki yang baru kali itu
melakukan hal ini di tempat mereka, sarang mereka sendiri! Maka begitu semuanya
berteriak dan malu serta marah maka semuanya menerjang dan memaki


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Golok Maut itu. "Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"
"Dan kau masuk tanpa ijin. Aih, kubunuh kau, Golok Maut. Heii, jangan buka
kamarku!" Teriakan dan bentakan terdengar ramai. Semua wanita
itu rata-rata merasa malu dan marah melihat kamar-kamar mereka dibuka-tutup oleh
Golok Maut, yang tidak perduli dan terus mencari-cari Wi Hong, sang ketua. Dan
ketika semuanya menyerang dan puluhan anak murid akhirnya
menerjang maju maka Golok Maut dikeroyok dan sejenak
dia harus berhenti. "Hm, kalian harus dihajar. Kalian menyembunyikan Wi Hong!" tokoh bercaping. ini
membalik, marah kepada anak-anak murid Hek-yan-pang itu dan tusukan atau bacokan
pedang disambut kedua tangannya. Tanpa takut atau
khawatir semua pedang atau senjata tajam itu disambut, dengan tangan telanjang.
Dan ketika semua pedang patah-patah dan pemiliknya berseru kaget terlempar ke
sana kemari maka yang lain terbelalak dan ngeri serta gentar menyaksikan kehebatan Si
Golok Maut ini, yang masih
menyembunyikan senjatanya di balik punggung.
"Kalian semua mundur. Suruh Wi Hong keluar atau
kalian semua kuhajar!"
Kim Nio dan kawan-kawannya mengeluh. Mereka
terbanting dan pedang rata-rata tak dapat dipergunakan lagi. Kalau tidak patah
ya bengkok, tak kuat ketika bertemu dengan sepasang lengan Golok Maut yang penuh
tenaga sakti, jauh lebih kuat dan keras daripada senjata mereka sendiri. Dan ketika
anak-anak murid dibuat mundur dan Golok Maut kembali menuju ke kamar-kamar yang
ada di situ akhirnya laki-laki bercaping ini tiba di sebuah kamar yang pintunya bercat
hitam. "Jangan ke situ, hu-pangcu sedang bersamadhi!" Kiok Bhi, yang pucat dan kaget
melihat Golok Maut telah tiba di
depan pintu kamar ini membentak. Wanita itu menyambitkan belasan jarum-jarum merah yang menyambar ke punggung Golok Maut, Kim Nio juga
melakukan hal yang sama karena pedang mereka patah-
patah tak dapat dipergunakan lagi. Namun ketika Golok Maut mendengus dan
menggerakkan tangannya ke
belakang tiba-tiba semua jarum runtuh ke bawah.
"Plak-plak!" Golok Maut sudah membalik lagi. Laki-laki ini bersinar matanya ketika mendengar
bahwa hu-pangcu (sang wakil
ketua) ada di situ, jadi dapat dimintai pertanggungjawaban dan Wi Hong harus
keluar. Dan ketika dia menggerakkan tangannya membuka pintu tiba-tiba dari dalam
terdengar bentakan dan suitan senjata tajam.
"Golok Maut, kau jahanam keparat!"
Golok Maut terkejut. Suara bercuit dari dalam kamar
tiba-tiba disusul dengan menyambarnya sebatang pedang yang menerobos pintu,
langsung terbang dan menuju
perutnya. Cepatnya bukan main dan Golok Maut tak
mungkin menghindar. Namun karena laki-laki ini adalah seorang tokoh
berkepandaian tinggi dan pedang yang
menyambar dari dalam sudah menusuk dan menuju
perutnya maka laki-laki ini menangkis dan pedang langsung berderak patah.
"Pletak!" Pedang hancur di lantai. Daun pintu berlubang dan
sesosok bayangan berkelebat, hampir menyamai kecepatan pedang itu sendiri. Dan
ketika sebuah pukulan menyambar laki-laki ini dan Golok Maut mendengus maka
laki-laki itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan bayangan itu
terpental. "Duk!" Seorang wanita bersaputangan hitam berjungkir balik.
Dari mulutnya terdengar keluhan perlahan namun wanita ini sudah melayang turun.
Dan ketika dia berdiri tegak dan Golok Maut memandangnya maka wanita itu berapi-
api mencabut senjatanya, sebuah pedang pendek.
"Golok Maut, kau datang tanpa aturan. Sebutkan apa maumu dan kenapa kau
mengganggu Hek-yan-pang!"
"Aku mencari Wi Hong...."
"Keparat, tak sopan kau menyebut nama ketua kami, Golok Maut. Pangcu (ketua) tak
ada di sini!" wanita itu, sang hu-pangcu adanya membentak, memotong dan marah
karena Golok Maut menyebut nama kecil ketuanya begitu saja, hal yang tadi juga
sudah membuat marah anak-anak murid yang lain. Dan ketika Golok Maut tersenyum
mengejek dan tidak perduli ini maka dia berkata lagi,
"Aku mencari Wi Hong, boleh disebut kurang ajar atau tidak, terserah. Suruh dia
keluar dan temui aku!"
"Dia tak ada, kau boleh percaya atau tidak! Eh, kau ada perlu apa mencari ketua
kami, Golok Maut" Sikapmu
seolah orang yang mau menagih hutang, padahal kaulah
yang harus dicari dan ditangkap. Sebutkan
keperluanmu dan kenapa kau marah-marah di sini!"
"Aku mau membunuhnya, dia membuat aku terkena
kutuk!" "Apa, kau mau membunuhnya" Keparat, kamilah yang harus membunuhmu, Golok Maut.
Kau benar-benar kurang ajar dan tidak tahu diri!" dan wanita bersapu-tangan hitam ini yang tidak tahan
dan sudah meledak kemarahannya
tiba-tiba bergerak dan sudah menggerakkan pedangnya,
menusuk dan menikam dan tujuh buah serangan sudah
dilancarkannya bertubi-tubi. Golok Maut mengegos dan
mendengus, tujuh kali pula dia menghindari serangan itu, yang luput mengenai
angin kosong dan tentu saja membuat sang wakil ketua Hek-yan-pang ini marah
bukan main. Maka begitu dia membentak dan melengking tinggi tiba-tiba wanita itu menjejakkan
kakinya dan terbang mengelilingi Golok Maut, melancarkan serangan-serangan baru
dan Golok Maut pun berkelit dan tertawa mengejek, akhirnya mendapat serangan lebih
ganas lagi dan terpaksa laki-laki itu menangkis. Dan ketika satu tamparan keras
membuat pedang terpental miring maka hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam itu
berteriak pada Kim Nio dan lain-lain agar menerjang Golok Maut, membantunya.
"Kim Nio, bunuh laki-laki ini. Maju kalian semua!"
Kim Nio dan murid-murid yang lain sudah mengangguk
cepat. Datangnya hu-pangcu membuat mereka bernapas
lega sejenak, dapat mengambil senjata baru dan bergeraklah wanita itu menerjang
Golok Maut. Dan ketika yang lain juga maju dan membentak marah maka Golok Maut
sudah dikeroyok dan mendapat hujan serangan dari mana-mana, tusukan atau bacokan
pedang dan terdengarlah suara crang-cring ketika Golok Maut menangkis atau
menyentil pedang anak-anak murid Hek-yan-pang, yang terpekik dan
terhuyung mundur karena untuk kesekian kalinya lagi
mereka melihat kehebatan Si Golok Maut ini. Namun
karena hu-pangcu sudah melengking-lengking dan hadirnya sang wakil ketua itu
membangkitkan semangat semua anak murid maka Golok Maut diserang dan dikeroyok
lagi, mendapat hujan serangan bertubi-tubi dan tak kurang dari dua ratus anak murid
Hek-yan-pang maju. Semuanya
marah dan membentak Si Golok Maut itu. Dan ketika
jarum-jarum merah atau hitam juga berluncuran menyambar tubuh laki-laki ini maka Golok Maut dibuat
sibuk dan harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebatan ke sana
ke mari. "Mundur kalian semua, mundur! Aku hanya mencari Wi Hong, tak berkepentingan
dengan kalian!" "Keparat, mencari ketua kami sama dengan memusuhi kami, Golok Maut. Kau makanlah
pedangku dan enyahlah atau, mampus di sini!" Swi Cu, sang wakil ketua semakin meluap kemarahannya,
membentak dan menyerang lawannya itu dan tusukan atau bacokan pedangnya luput semua. Sejak tadi tak ada
satu pun serangannya yang
mampu merobohkan Si Golok Maut itu. Lawan mengelak
atau menangkis pedangnya, yang selalu terpental dan dua kali bahkan hampir
mencelakai diri sendiri. Maka begitu Golok Maut berkata yang dicari hanya Wi
Hong dan mereka dianggap tak berkepentingan maka kata-kata yang bisa dianggap menghina
dan memerahkan telinga ini
menjadikan wanita bersaputangan hitam itu naik darah, menyerang dan terus
menyerang namun sekarang Golok
Maut menyambar-nyambar bagai garuda naik turun di
antara semua hujan senjata yang hampir tiada hentinya, menangkis dan mengibas
dan tak ada anak murid Hek-yan-pang yang kuat bertahan kalau Golok Maut
mendorong. Maka ketika pertempuran menjadi seru dan Golok Maut
berkali-kali berkata agar mereka semua mundur, yang tentu saja tak dihiraukan
atau digubris akhirnya laki-laki ini menjadi marah dan mengancam.
"Kalian semua mundur, atau aku terpaksa menghajar dan kalian semua roboh!"
"Robohkanlah kami, bunuhlah! Kami tak takut mati, Golok Maut. Robohkanlah kami
dan boleh kau bunuh kami semuanya!" sang wakil ketua menjadi kalap, berkali-kali
terpental pedangnya dan ancaman Golok Maut itu tak
membuatnya takut. Ancaman itu bahkan membuatnya
marah dan semua anak murid Hek-yan-pang juga
mengangguk. Rata-rata dari mereka berseru bahwa Golok Maut boleh membunuhnya,
sikap yang membuat Golok Maut merah mukanya dan marah. Dan ketika semua yang
terpelanting selalu bangkit terhuyung dan menyerang lagi, karena Golok Maut
memang tidak menjatuhkan tangan
keras maka lama-lama Golok Maut menjadi geram.
"Baiklah, kalian sendiri yang mencari penyakit. Jangan salahkan aku kalau kali
ini aku bersikap keras!" dan Golok Maut yang membentak dan tiba-tiba
berkelebatan cepat sekonyong-konyong mencabut senjatanya, Golok Maut
yang ampuh itu. Dan begitu laki-laki ini mencabut goloknya dan sinar putih
panjang mendesing dan menyambar ke
segala penjuru tiba-tiba anak murid Hek-yan-pang berteriak kesakitan ketika
jari-jari atau pergelangan tangan mereka berdarah, pecah tersambar sinar
menyilaukan itu dan Swi Cu atau sumoi dari Wi Hong ini menjerit ketika pedang
pendeknya putus, patah menjadi tiga dan jari tangannya sendiri juga tergurat
berdarah. Dan ketika gadis atau wakil ketua Hek-yan-pang itu menjerit dan
memekik kesakitan maka Golok Maut sudah menendangi mereka satu per satu dan
roboh serta terkaparlah mereka semua oleh gerakan laki-laki bercaping ini yang
tak dapat dilawan lagi. "Des-des-dess!"
Swi Cu atau gadis bersaputangan hitam itu mengeluh.
Dia sendiri sudah tertotok dan terlempar, khusus gadis ini Golok Maut telah
melumpuhkannya dengan totokan lihai.
Dan ketika semua mengaduh atau merintih maka Golok
Maut sudah berhenti dan laki-laki ini tegak dengan mata mencorong.
"Nah, kalian tahu rasa. Siapa berani main-main lagi?"
"Keparat!" Swi Cu, wakil ketua Hek-yan-pang itu menangis. "Kami akan menyerangmu
kalau kami dapat bergerak, Golok Maut. Kami siap mampus untuk
melawanmu!" "Hm!" Golok Maut memandang gadis ini, bersinar-sinar.
"Kau tak tahu diri, Swi Cu. Kalau aku bertangan kejam tentu kau sudah kubunuh!"
"Bunuhlah, aku tak takut mati!" gadis itu malah berteriak. "Bunuhlah aku dan
lihat seberapa gagah dirimu, Golok Maut. Hayo kaubunuh aku tak usah banyak
bicara lagi!" "Hm, aku tidak berkepentingan denganmu. Aku hanya berkepentingan dengan Wi
Hong!" "Keparat, kau tak usah banyak cakap, Golok Maut.
Mencari suciku sama halnya mencari diriku. Hayo, cabut golokmu dan kau bunuh
aku!" Golok Maut mendengus. Melihat dan mendengar gadis
ini berteriak-teriak tiba-tiba dia menggerakkan jarinya, menotok lagi urat gagu
di bawah rahang gadis itu. Dan ketika hu-pangcu dari Hek-yan-pang ini melotot
dan mengeluarkan suara aneh maka dia tak dapat berteriak-
teriak lagi kecuali hanya mendelik!
"Nah, sekarang aku tak dapat dihalangi. Kalian semua di sini dan biar aku
melanjutkan pencarianku!" Golok Maut memutar tubuhnya, mendengus dan tidak
memperdulikan siapa pun lagi dan terbelalaklah anak-anak murid Hek-yan-pang melihat laki-laki
itu berkelebat ke belakang. Dan ketika satu per satu semua kamar-kamar atau
ruangan yang ada di belakang dibuka dan dikuak pintunya maka murid-murid Hek-
yan-pang ini pucat sementara Swi Cu atau
sumoi dari Wi Hong itu ah-uh-ah-uh dengan mata
terbelaisk lebar-lebar, melihat Golok Maut akhirnya tiba di
ujung paling belakang dan membuka pintu atau ruangan
terakhir itu, yang ditutup dengan sepasang pintu besi dengan sebuah jendela
kecil yang sebenarnya hanya
berfungsi sebagai tempat mengeluar-masukkan makanan,
karena kamar atau ruangan itu bukan lain adalah tempat di mana Ci Fang atau
putera pangeran Ci ditahan. Dan begitu pintu ini dibuka dan Golok Maut
menariknya kuat maka meloncatlah seorang pemuda yang langsung berteriak
menubruk Golok Maut. "Hei, kau Golok Maut terkutuk!"
Golok Maut terkejut. Sudah menduga bahwa di dalam
sini pasti ada orangnya tiba-tiba Golok Maut mengegos.
Teriakan atau serangan pemuda itu tentu saja dikelitnya mudah, Dan ketika pemuda
itu, yang bukan lain Ci Fang adanya menubruk dan menyerang lagi maka satu
tendangan dari Golok Maut membuat pemuda itu mengaduh dan
terbanting tak dapat bergerak lagi, menggeliat mendekap perutnya. "Bluk!"
Ci Fang memaki-maki. Sebagaimana diketahui putera
Ci-ongya ini adalah pemuda yang pemberani. Nyalinya
besar dan semangatnya pun tinggi. Dia sudah mendengar ribut-ribut itu dan
terkejut bahwa yang datang adalah Si Golok Maut, tokoh yang dulu mencarinya tapi
entah kenapa tiba-tiba meninggalkannya, pergi dari Hek-yan-pang setelah bertanding
dengan ketua Walet Hitam itu. Maka ketika kini Golok Maut datang lagi dan
berkali-kali suaranya menyebut nama Wi Hong, sang ketua yang tak
ada di situ maka Ci Fang kebat-kebit tapi berhasil menindas rasa takutnya,
mendengarkan semua pertempuran itu di
mana akhirnya semua anak murid Hek-yan-pang rupanya


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah, terbukti tak ada suara lagi kecuali keluhan dan erangan, rintih kesakitan
dari murid-murid Hek-yan-pang yang roboh di tangan Si Golok Maut ini.
Dan ketika suara pertempuran berhenti dan Golok Maut
akhirnya membuka sisa-sisa kamar yang ada di mana
akhirnya kamar atau ruang tahanannya dibuka tiba-tiba Ci Fang berteriak dan
sudah menyerang Golok Maut itu, yang celakanya memang bukan tandingannya dan
dengan satu tendangan telak tiba-tiba pemuda ini terlempar, mengaduh mendekap perutnya yang
mulas. Dan ketika Ci Fang
merintih namun mulut memaki-maki maka Golok Maut
berkelebat dan sinar matanya yang mencorong tiba-tiba menjadi beringas setelah
mengenal siapa kiranya pemuda ini, putera Ci-ongya yang kebetulan paling
dibencinya! "Hm, kau?" suara atau dengusan itu cukup mendirikan bulu roma. "Bagus sekali,
orang she Ci. Kalau begitu kebetulan aku menemukanmu di sini. Berdirilah!" Ci
Fang ditarik, leher bajunya disentak dan pemuda itu mengaduh-aduh tak keruan.
Jari Golok Maut yang sekeras baja
menjepit lehernya, tidak hanya keras tetapi juga panas, seperti api! Dan ketika
pemuda itu berteriak-teriak tapi Golok Maut tentu saja tidak melepaskan
jepitannya, bahkan semakin mengeraskan jari maka Ci Fang menjerit ketika kulit
lehernya melepuh. "Aduh, lepaskan aku, Golok Maut. Jahanam keparat kau!"
"Hm, aku tak akan melepaskanmu. Bahkan aku akan
membunuhmu!" suara Golok Maut terdengar dingin
menyeramkan. "Kau bocah yang amat kubenci, orang she Ci. Kau dan bapakmu akan
menerima hukuman seberat-beratnya dariku!"
"Aduh, keparat kau... keparat!"
Golok Maut tersenyum buas. Dia menekan kulit leher
pemuda itu hingga tiba-tiba leher tawanannya ini terbakar.
Ci Fang berteriak-teriak tak kuat ketika rasa panas dan sakit
menjadi satu, rasanya melebihi dibakar karena bercampur seperti ditusuk-tusuk.
Apa yang dilakukan Golok Maut
sungguh tak tertahankan. Tapi ketika Golok Maut tertawa dan menyeringai keji
tiba-tiba pemuda ini memberontak dan menendang.
"Des-dess!" Ci Fang malah menjerit. Perut Golok Maut yang
ditendang tiba-tiba rasanya sekeras batu, dia seakan
menendang bongkahan batu dan kaki pemuda itu
berkeratak, keseleo! Dan ketika Ci Fang malah mengerang tak keruan sementara
Golok Maut semakin beringas dan
buas tiba-tiba laki-laki bercaping itu menotok pemuda ini dan melemparnya ke
tengah-tengah murid-murid Hek-yan-pang yang terbelalak menonton semuanya itu,
pucat. "Kau akan segera kubunuh. Tapi karena kau berani menendangku dua kali maka
kakimu harus kukutungi. Heh, diam di situ dulu, bocah she Ci. Kucari sesuatu
yang nikmat untukmu!"
Golok Maut membanting pemuda ini, berkelebat dan menghilang sejenak tapi sudah muncul lagi.
Dan ketika di tangannya terdapat sebongkah daun kering di mana dari dalam daun
ini tiba-tiba muncul ratusan atau ribuan semut api maka Ci Fang terbelalak dan
pucat bukan main, akhirnya bagaima-napun juga dia takut!
"Kau... kau mau apa?"
"Ha-ha, melampiaskan dendamku!" Golok Maut tertawa bengelak, baru kali ini
terdengar tawanya yang begitu gembira.
"Aku akan menyuruh semut-semut ini mengeroyok tubuhmu, bocah. Dan ketika kau menjerit-jerit maka kuoleskan minyak
ini agar semut-semut itu menggigiti tubuhmu semakin beringas!"
"Minyak katak!" Ci Fang terkejut, berteriak tertahan.
"Kau... kau keji, Golok Maut. Kau tak berperikemanusiaan!
Kau .... oh, kaubunuhlah aku. Jangan siksa aku seperti itu!"
dan Ci Fang yang rupanya mengenal dan melotot melihat cairan di tangan Golok
Maut tiba-tiba membuat anak-anak murid Hek-yan-pang meremang dan berdiri bulu
kuduknya, ngeri dan gentar melihat mata Golok Maut yang bersinar-sinar penuh
dendam, mata yang seperti iblis karena merah dan terbakar, sungguh semakin
mengerikan dengan botol di tangan kirinya itu, minyak katak yang akan membuat
semut-semut api beringas dan jahat menggigiti tubuh Ci Fang karena minyak katak
adalah musuh yang paling dibenci semut api, karena katak suka memangsa mereka
dan semut api meng anggap katak adalah musuh
bebuyutannya! Maka begitu Golok Maut memperlihatkan
minyak kataknya ini dan sorot bengis serta kejam
memancar dari matanya yang merah maka Ci Fang
berkaok-kaok dan gentar serta takut. Tapi, siapa yang akan menolongnya" Golok
Maut sudah begitu benci kepadanya, seperti juga semut-semut api itu yang begitu
benci kepada minyak katak. Dan ketika semut-semut itu dilempar ke
tubuh Ci Fang dan pemuda itu berteriak serta menjerit keras maka siksaan pertama
sudah dimulai dan anak-anak murid Hek-yan-pang terbelalak dan ngeri mukanya.
"Tidak... jangan, aduh?"
Ci Fang sudah bergulingan dengan muka pias. Pemuda
ini dapat menggulingkan tubuhnya namun sama sekali tak dapat menggerakkan kaki
tangannya. Dia tertotok dan oleh Golok Maut rupanya sengaja dibuat begitu, bisa
menggulingkan tubuh namun tak dapat menggerakkan kaki tangan. Dan begitu pemuda
ini bergulingan namun hal itu justeru membuat semut-semut marah karena tubuh
mereka tergilas maka semut-semut api sudah menyerbu dan
semakin ganas menggigiti tubuh pemuda ini. Ci Fang
berteriak-teriak dan sebentar saja kaki atau tangannya
merah-merah, punggung dan lipatan ketiaknya bengkak
digigiti semut-semut ini di mana Ci Fang mengaduh-aduh sambil memaki lawannya.
Namun ketika semut menyerang
semakin ganas dan Golok Maut tertawa mengoles minyak
katak ke tubuh pemuda itu maka putera Ci-ongya ini
menjerit dan histeris, menggulingkan tubuhnya ke sana-sini dan siksaan pemuda
itu luar biasa sekali. Sekujur tubuhnya merah
bengkak-bengkak namun yang paling tak tertahankan adalah rasa sakit serta gatal yang hampir tak dapat dikuasai. Ci
Fang seakan orang gila yang bergulingan menjerit-jerit, semut-semut api masih
tetap banyak karena Golok Maut mengambil lagi yang baru, kalau yang lama
terinjak mati atau tergilas tubuh pemuda itu. Dan ketika pemuda ini hampir tak
kuat lagi dan Golok Maut terbahak-bahak melihat penderitaan korbannya maka Golok
Maut berkelebat dan sinar putih panjang menyambar baju Ci
Fang. "Bocah, rasakan lagi yang lebih hebat. Kubuka
bajumu.... bret!" Ci Fang meraung, bajunya robek terkuak dan berturut-turut lagi
Golok Maut menggerakkan senjatanya. Tiga kali laki-laki itu menyontek dan hampir telanjanglah Ci Fang
dibabat pakaiannya, tentu saja
berteriak dan menjerit karena tubuh yang tidak terlindung pakaian lagi merupakan
sasaran empuk dari gigitan sernut-semut ganas itu. Namun ketika pemuda itu
hampir pingsan dan Golok Maut berseru untuk memenggal kepala
lawannya, yang sudah merintih dan tak kuat lagi tiba-tiba sinar golok yang
melengkung bertemu dengan secercah
cahaya putih yang berkelebat datang.
"Golok Maut, tahan kekejamanmu.... crangg!" sesosok bayangan berkelebat, muncul
menangkis sambaran golok di tangan Si Golok Maut dan berdirilah di situ seorang
pemuda berbaju putih. Golok Maut dan anak-anak murid
Hek-yan-pang terkejut melihat datangnya pemuda ini, yang membentak dan menahan
serangan golok, di mana golok
terpental sementara pedang di tangan pemuda itu, yang bersinar putih dan
keperakan tampak bergetar di tangan, tidak rusak apalagi putus, tanda bahwa
pedang di tangan pemuda itu adalah senjata ampuh yang setanding dengan Golok
Maut, Golok Penghisap Darah! Dan ketika Golok
Maut tertegun sementara pemuda baju putih itu menggigil dan menghadapi lawannya
dengan marah maka Ci Fang di
sana sudah roboh pingsan dan pemuda atau bayangan yang baru datang ini berseru,
gemetar, "Golok Maut, kau kejam. Watakmu telengas sekali.
Hentikan semuanya itu dan jangan bunuh pemuda ini!"
"Hm, kau kiranya?" Golok Maut tertegun, mundur selangkah. "Aku berhutang
kebaikan padamu, orang she Ju.
Tapi jangan sewenang-wenang mencampuri urusanku ini.
Pergilah, dan kuharap kita tidak mengganggu yang lain!"
"Tidak! Kau, ah..." pemuda ini, yang bukan lain Beng Tan adanya menggoyang
tangan, menggigil. "Kau terlalu kejam, Golok Maut. Kau terlalu keji dan tidak
berperasaan! Kau menyiksa dulu sebelum membunuh! Ah, aku tak dapat membiarkan ini dan
terpaksa menghadapimu!" lalu, melihat Golok Maut tergetar dan mengerutkan
keningnya, tanda terkejut, Beng Tan sudah maju selangkah menudingkan
pedangnya, yang bukan lain adalah Pek-jit-kiam, Pedang Matahari. "Golok Maut,
maaf tak dapat kubiarkan sepak terjangmu ini. Aku penasaran, aku muak. Kuharap
kau mau pergi dan biarkan pemuda ini bersamaku!"
"Hm, kau mau memaksa" Mengandalkan budimu dulu?"
"Tidak, aku tak merasa menanam budi, Golok Maut.
Tak usah kau bicara tentang itu. Aku hanya bicara tentang kekejamanmu, sekarang
ini. Kalau kau menghargai aku dan
mau memberikan pemuda itu kepadaku maka aku
berterima kasih sekali!"
"Hm, dia musuhku. Putera Ci-ongya!"
"Aku tahu. Tapi kuminta kau tidak membunuhnya, Golok Maut. Ci-ongya adalah satu di
antara orang-orang yang harus kulindungi!"
"Hm, kau apanya?"
"Bukan apa-apa, tapi tak dapat kubiarkan sepak
terjangmu yang ganas ini!"
"Hm, aku masih teringat budi kebaikanmu, orang she Ju.
Maaf kalau kukatakan bahwa salah-salah aku bisa
melupakan kebaikanmu itu kalau kau menentang Bocah ini milikku,
kuminta dengan hormat sukalah kau meninggalkan tempat ini dan aku kelak akan menemuimu
untuk minta maaf!" "Tak bisa. Aku datang untuk mencegah keganasanmu, Golok Maut. Justeru aku yang
minta agar kau pergilah baik-baik dan berikan pemuda itu kepadaku. Aku yang lain kali akan mencarimu dan
minta maaf!" "Hm, kau nekat?"
"Kalau kau bersikeras, Golok Maut. Kukira tak ada yang mampu menghalangi niatku
kalau kau hendak membunuh
pemuda itu!" "Kalau begitu rupanya kita harus bertanding
lagi. Baikleh, maaf, orang she Ju. Aku melupakan kebaikanmu karena kau yang nekat. Awas!" dan Golok Maut
yang berkelebat melepas pukulan tiba-tiba membentak dan menyerang lawannya itu, satu pukulan
miring yang cepat luar biasa, bersinar keemasan dan lawan tentu saja tak mau
dipukul. Karena begitu Golok Maut
selesai bicara dan pukulan itu meluncur tiba-tiba Beng Tan menggerakkan
tangannya dan satu pukulan putih menyambut pukulan emas itu.
"Dess!" Anak murid Hek-yan-pang terpental. Mereka terpekik
ketika dua pukulan itu bertemu, demikian kerasnya hingga Ci Fang yang pingsan
pun terlempar, berdebuk dan jatuh terbanting di tanah. Dan ketika Swi Cu juga
mengeluh karena dalam keadaan tertotok gadis baju hitam ini
terpental oleh getaran tanah yang keras maka Golok Maut sudah menggeram dan
menyimpan senjatanya, maju
berkelebatan dengan pukulan-pukulan emas dan Kim-kong-ciang atau Pukulan Sinar
Emas itu menyambar-nyambar ke tubuh lawan. Beng Tan mengimbangi dengan pukulan-
pukulan sinar putihnya, yang bukan lain Pek-lui-kang
adanya dan sinar putih atau emas ini saling beradu,
berdentum dan keduanya pun terlempar. Dan ketika Beng Tan juga menyimpan
pedangnya dan berjungkir balik
melayani lawan, yang sudah
menggeram dan ganas menyambar-nyambar maka dua pemuda itu sudah
salingserang-menyerang dengan tak kalah hebatnya, pukul-memukul dan ledakan-
ledakan atau dentuman-dentuman
bagai gunung berguguran membuat anak-anak murid Hek-
yang-pang ngeri. Mereka itu terpekik. dan beberapa di antaranya beringsut
mundur, yang tertotok dan tak dapat bergerak tentu saja tak dapat menyingkir.
Dan ketika dua pukulan itu kembali beradu dan sinar putih atau kuning menjadi
satu maka gelegaran dahsyat mengguncang tempat itu disusul muncratnya bunga api
dari dua tenaga panas yang sama-sama bertemu.
"Blarr!" Semua orang mengeluh. Mereka terlempar dan terpental
tinggi. Semua anak-anak murid Hek-yan-pang terpekik
karena suara beradunya pukulan amatlah dahsyat.
Telinga mereka serasa pecah! Dan ketika mereka
mengaduh atau merintih terbanting di tanah maka di Sana Golok Maut dan Beng Tan
sudah berkelebatan kembali
dengan pukulan-pukulan mereka, sambar-menyambar dan
Swi Cu tertegun melihat jalannya pertandingan yang
semakin hebat, seru dan mendebarkan karena masing-
masing sudah mulai menambah kekuatannya, juga
kecepatan hingga akhirnya dua orang yang bertanding itu lenyap. Baik Golok Maut
maupun Beng Tan hanya merupakan bayangan putih dan hitam sesuai baju yang


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pakai, berkelebatan dengan luar biasa cepatnya sementara pukulan-pukulan
emas atau Kim-kong-ciang yang dilancarkan Golok Maut semakin menderu, dahsyat
menghantam namun pukulan putih di tangan lawannya
juga bertambah berkilauan, meledak-ledak dan menahan
atau mengimbangi pukulan di tangan Si Golok Maut itu.
Dan ketika geraman-geraman atau benturan suara pukulan sudah
tak kuat ditahan anak-anak murid yang bergelimpangan di situ maka wanita-wanita perkumpulan Walet Hitam ini pingsan
dan lebih dari separoh sudah tak tahu jalannya pertandingan itu. Tak melihat
betapa dua orang itu semakin dahsyat bertempur dan rasa penasaran yang hebat
semakin menghuni dada mereka. Beng Tan
sendiri mulai tak dapat menahan emosinya karena berkali-kali Golok Maut tak
dapat dibujuk, marah dan terus
menyerangnya hingga iapun menjadi naik darah dan gusar.
Dan ketika pertandingan menjadi semakin memuncak dan
pukulan-pukulan mereka juga bertambah cepat dan kuat
maka satu benturan lagi akhirnya membuat Swi Cu yang
paling tinggi kepandaiannya di antara semua anak-anak murid Walet Hitam menjerit
ketika dentuman atau benturan Kim-kong-ciang dan Pek-lui-ciang serasa meruntuhkan langit. "Dess!" Amatlah dahsyat suara benturan ini. Golok Maut
terlempar sementara Beng Tan juga terguling-guling,
muntah darah dan keduanya mengeluh. Baik Golok Maut
maupun pemuda baju putih itu sama-sama terluka,
keduanya sesak napas dan mendekap dada di sana. Tapi
ketika mereka meloncat bangun dan terhuyung di sana,
melotot, maka Golok Maut tertawa aneh mengusap darah
yang membasahi mulutnya. "Orang she Ju, kau hebat. Cabutlah pedangmu dan mari kita tentukan pertarungan
ini dengan senjata!"
"Tidak," Beng Tan gemetar, menggigil. "Dua senjata kita bakal lengket dan tak
mau dipisah lagi, Golok Maut. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, aku
tetap bertangan kosong!" "Kau ingin mampus" Kau tak ingin membunuhku?"
"Aku tak bermaksud membunuhmu, Golok Maut. Aku
hanya menghalangi dan mencegah perbuatanmu membunuh putera Ci-ongya!"
"Tapi dia musuhku, kau tahu!"
"Tidak, musuhmu adalah dendam, Golok Maut. Kau
terbakar dan mabok dalam nafsumu yang gila. Kau tidak waras!"
"Kau memakiku?"
"Kau memang gila, gila dan terganggu jiwamu. Ayolah, cabut golokmu dan kau bunuh aku kalau ingin!" Beng Tan menantang, marah berseru pada lawannya
dan Golok Maut menggeram. Mereka sebenarnya dapat bertanding dengan
senjata, sudah berulang-ulang Golok Maut meminta namun Beng Tan menolak. Dan
karena Golok Maut tak mau
mempergunakan senjatanya kalau lawan juga tak mau
mencabut pedangnya maka selama itu pula Golok Maut
menahan diri dan tak mau mencabut goloknya. Tapi begitu lawan menantang dan
makian itu serasa menusuk jiwa,
karena dia dikatakan gila dan tidak waras tiba-tiba Golok Maut membentak dan tak
dapat menahan diri. "Orang she Ju, kau bermulut pedas. Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku
benar-benar ingin membunuhmu
...... srat!" sinar putih menyilaukan mata, tanda dicabutnya sebuah senjata
ampuh dan Golok Maut sudah membentak
meloncat ke arah lawannya itu. Dia sudah tak
memperdulikan sikap lawannya yang dianggap memanaskan telinga, mengharap lawan mencabut senjata
kalau golok menyambar. Tapi ketika sinar golok berkelebat dan cahaya putih
panjang itu tak disambut Pek-jit-kiam melainkan sepasang tangan Beng Tan yang
bergerak memapak sinar golok di tangan Si Golok Maut maka tokoh ini terkejut dan
berteriak keras. "Sing-bret!" Beng Tan terpelanting mengeluh. Pemuda ini benar-
benar menepati kata-katanya, tak mau mencabut senjata dan membiarkan saja golok
di tangan Si Golok Maut menyambar, menuju kepalanya tapi pada detik-detik yang amat
mengguncangkan itu Golok Maut tersentak, menggerakkan senjatanya ke atas dan bukan leher lawannya yang terbabat melainkan
segumpal rambut hitam yang
putus disambar golok di tangan Si Golok Maut ini. Dan ketika Beng Tan mengeluh
di sana tapi bergulingan meloncat bangun maka Golok Maut menggigil menahan
senjatanya. "Beng Tan, kau pengecut. Jahanam! Kau hampir
membiarkan aku menjadi pembunuh yang tidak adil!"
"Biarlah, sesukamu," Beng Tan terhuyung menjawab, rambutnya terpapas seikal
lebih. "Kau boleh bunuh aku kalau bisa,
Golok Maut. Aku pribadi tak ingin membunuhmu tapi kau boleh lampiaskan dendammu
kepadaku!" "Keparat, kau.... kau... ah!" dan Golok Maut yang membentak menyimpan goloknya
tiba-tiba menerjang dan melepas Kim kong-ciang, ditangkis dan segera keduanya bertanding lagi. Beng Tan
tertawa aneh namun diam-diam memuji bahwa di balik keganasan dan kekejamannya
terhadap musuh-musuh yang dibenci ternyata Si Golok
Maut ini masih memiliki sifat ksatria, gagah dan tak mau membunuhnya ketika tadi
golok sudah siap menyambar
lehernya. Dan karena Beng Tan semakin yakin bahwa
lawan yang dihadapi ini sedang sakit dan terganggu jiwanya maka dia mengelak dan
menyambut Kim-kong-ciang dengan Pek-lui-ciangnya, tahu bahwa dia dapat menghadapi lawannya itu tapi tak mungkin dapat
mengalahkan. Kepandaian mereka ternyata berimbang dan tentu saja hal ini juga
diketahui Golok Maut, yang gemas dan geram kepada lawannya itu. Dan ketika Beng
Tan kembali menyambut pukulan-pukulannya sementara tenaga kian terkuras dan masing-
masing gemetaran menggigil
maka pertandingan dilanjutkan lagi dan Golok Maut mau tak mau harus menyimpan
senjatanya, golok yang ampuh
itu karena lawan tak mau mencabut Pedang Mataharinya, senjata yang juga luar
biasa tajam dan keampuhannya jelas tak kalah dengan Golok Maut, atau Golok
Penghisap Darah itu. Dan karena Beng Tan berhasil memaksa
lawannya untuk sama-sama tidak mencabut senjata, karena Beng Tan ngeri akan
akibat dari dua senjata mereka yang
sama-sama hebat maka pertandingan berjalan lagi dengan sengit namun sudah agak
lambat, berkurang kecepatan
maupun tenaganya tapi bukan berarti bahwa semangat yang bertempur mengendor. Dua
pemuda itu sama-sama tak mau kalah dan mereka mencoba bertahan sekuat-kuatnya, kalau bisa merobohkan yang
lain untuk mencapai kemenangan. Tapi karena Kim-kong-ciang maupun Pek-lui-ciang sama-sama tangguh
dan sinkang atau tenaga sakti mereka juga berimbang maka pertempuran menjadi
lama dan Golok Maut maupun Beng Tan mulai mengeluh karena
mereka mulai kehabisan tenaga, seperti pelita yang mulai kehabisan minyak!
"Beng Tan, kau pengecut. Kau licik. Kau takut melihat darah! Ah, cabut pedangmu
itu dan mari kita lihat siapa yang terbunuh dan keluar sebagai pemenang!"
"Hm, aku tak haus darah. Kalau kau memaksaku untuk mencabut Pek-jit-kiam maka
kau tak akan berhasil, Golok Maut. Tapi kalau kau ingin memperoleh kemenangan
silahkan cabut golokmu itu, bunuh aku!"
"Aku tak mau membunuh lawan yang tak bersenjata.
Aku ingin membunuhmu kalau kau juga mencabut
pedangmu!" "Aku tak ingin diperintah. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, tapi aku
tak akan mencabut pedangku!"
dan ketika Golok Maut marah-marah namun tak berani
mencabut goloknya, hal yang menunjukkan kegagahan
tokoh yang ganas ini maka keduanya sudah mulai jatuh
bangun terkena pukulan-pukulan sendiri, bahkan Golok
Maut terpeleset sekali ketika tendangan
lemah luput mengenai lawan, terhuyung oleh dorongan tenaga sendiri dan jatuh. Namun ketika
dia bangun lagi dan Beng Tan di sana juga gemetar terbawa pukulannya yang
meleset maka keduanya bertanding dengan muka pucat namun semangat
tetap tinggi! "Golok Maut, kau hebat. Sayang bahwa kepandaianmu yang sedemikian tinggi kau
pergunakan untuk membunuh-bunuhi orang!" Beng Tan kagum, berseru memuji tapi
lawan mendengus. "Tak usah banyak bicara," lawannya ini menjawab. "Kau juga hebat tapi sayang
memusuhiku, Beng Tan. Kalau kau antek Ci-ongya tentu kau kubunuh!"
"Aku bukan antek siapapun, aku pembela kebenaran!"
"Huh!" dan Golok Maut yang menyerang lagi dengan marah lalu melepas pukulan Kim-
kong-ciang dalam jurus Pukulan Emas Menghantam Guntur. satu pukulan dahsyat
di mana kali ini Golok Maut mengerahkan segenap
tenaganya. Tokoh bercaping ini marah karena mereka
belum ada yang roboh, dia ingin membuat penentuan dan dilepaskannya jurus yang
dahsyat itu. Dan ketika kedua lengannya rnendorong dan Beng Tan melihat gerakan
lambat namun bertenaga menyambar dirinya maka pemuda
ini mengelak namun pukulan itu mengejar.
"Dess!" Beng Tan terkejut. Kim-kong-to-lui atau Sinar Emas
Menghantam Guntur tahu-tahu tak dapat dikelit lagi, kedua lengan Golok Maut
sudah mengurungnya dengan hawa
pukulan dahsyat itu, Beng Tan tak dapat keluar. Dan
karena pukulan ini harus disambut dan apa boleh buat Beng Tan harus menggerakkan
kedua lengannya pula maka dua
pasang lengan beradu dan Beng Tan tersentak ketika Golok Maut mengerahkan tenaga
menghisap dan menyedot. "Aih!" pemuda ini pucat. "Kau mau mengadu jiwa, Golok Maut. Lepaskan!"
Namun Golok Maut tertawa dingin. Pukulan lambatnya
yang sudah menyambar dan mengurung Beng Tan dari
segala penjuru memang tak mungkin dikelit pemuda itu
kecuali ditangkis. Lawan sudah dipaksa untuk menerima pukulannya
ini dan Beng Tan terkesiap. Dan ketika ia
harus menangkis tapi pada saat itu pula gerakan mendorong sudah diganti dengan
tenaga menghisap atau menyedot
maka kedua lengan Beng Tan melekat dan menempel pada
sepasang lengan lawannya ini.
"Crep!" Beng Tan terbelalak. Tenaga menghisap berobah lagi
menjadi tenaga mendorong, panas membakar dan Golok
Maut tiba-tiba berdiri dengan satu kaki. Itulah Kim-kee-kang atau Tenaga Ayam
Emas yang digabung dengan Kim-
kong-ciang (Pukulan Sinar Emas). Dan ketika dari sepasang lengan Golok Maut
keluar sepasang hawa panas yang agak berbeda namun kedua-duanya amat berbahaya
karena lengan sedikit lawan bisa hancur atau hangus terbakar maka Beng Tan berteriak
tinggi membentak lawannya itu, secepat kilat mengerahkan tenaga yang sama untuk
menolak atau mendorong, akibatnya terdengar suara menggelegar dan
dua pemuda itu bergoyang. Dengan bentakan atau
teriakannya tadi Beng Tan bermaksud melepaskan
diri. Tapi ketika kesepuluh jarinya dicengkeram atau diremas lawan dan Golok Maut tak
mau melepaskan lawan maka
Beng Tan kaget bukan main karena Golok Maut benar-
benar hendak mengadu jiwa, ingin satu di antara mereka benar-benar roboh!
"Golok Maut, kau... kau ganas! Kau berdarah
pembunuh!" "Hm, pertandingan ini harus diselesaikan. Aku tak ingin kau menghalangiku lagi,
Beng Tan. Kau atau aku yang
roboh!" "Tapi aku tak ingin membunuhmu, aku hanya bersifat mencegah!"
"Dan aku tak suka itu. Kau atau aku yang roboh. Jangan banyak bicara!" dan Golok
Maut yang sudah mengerahkan tenaga untuk mendorong dan menghancurkan lawan tiba-
tiba membuat Beng Tan mengeluh karena Golok Maut
benar-benar tak mau melepaskan dirinya. Kesepuluh jari mereka yang saling
cengkeram dan remas akhirnya apa
boleh buat dibalas pemuda baju putih ini. Beng Tan tak mau mati konyol dan
pemuda itu terbelalak memandang
lawan. Kekerasan hati dan keganasan
Golok Maut sungguh mendirikan bulu roma. Watak dan sifat ini
membuat Beng Tan ngeri, sekaligus juga marah! Maka
begitu lawan menyudutkannya sedemikian rupa dan
mereka kini tak dapat bergerak karena sudah cengkeram-mencengkeram dengan tubuh
tak bergeming maka keduanya sudah saling dorong-mendorong dengan tenaga
yang kian hebat. Sebentar Beng Tan terdorong ke belakang tapi sebentar kemudian
Golok Maut yang terangkat
kepalanya. Dua pemuda itu dorong-mendorong dan Beng
Tan tiba-tiba tertegun. Saling cengkeram dan remas dalam jarak yang sedemikian
dekat akhirnya membuat pemuda ini melihat jelas wajah lawannya, wajah yang


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampan namun dingin. Wajah yang gagah namun seolah beku, seperti es yang tidak
tergerak oleh badai atau angin ribut. Dan karena caping itu kian terangkat naik
ketika Golok Maut yang terdorong mundur maka Beng Tan jadi bengong dan lupa
ketika wajah yang tampan gagah itu agak menyeringai.
"Golok Maut, kau tampan. Sayang dingin!"
Wajah Golok Maut memerah. Dalam adu sinkang jarak
dekat begini mernang mau tak mau wajahnya di balik
caping kelihatan jelas. Golok Maut menggeram namun dia tidak menjawab. Beng Tan
yang bicara tiba-tiba didorong,
terkejut karena sedikit bicara itu telah mengurangi
tenaganya, menerima sebuah dorongan dahsyat Golok
Maut yang sudah terdorong setengah tindak tiba-tiba dapat memperbaiki diri,
balas rnendorong dan Beng Tan hampir mencelat! Dan ketika pemuda ini berseru
keras dan sadar bahwa bahaya mengancam dirinya maka pemuda itu
membentak dan cepat mengempos semangatnya lagi,
bertahan namun sedikit kelengahan tadi telah dipergunakan lawan sebaik-baiknya.
Golok Maut memasuki kesempatan
itu dan tidak memberi ampun, mendesak dan menambah
tenaganya lagi hingga Beng Tan kewalahan. Dan ketika
pemuda itu pucat dan menggigit bibirnya kuat-kuat maka Beng Tan terbatuk dua
kali dan muntah darah. "Huak!" Golok Maut ganti tertegun. Darah lawan menyemprot
mengenai bajunya, langsung memerah dan wajah Beng Tan yang kesakitan membuat
Golok Maut yang dingin ini
sedikit lumer. Kebaikan Beng Tan yang pernah mengalah kepadanya ketika
pertempuran dulu tiba-tiba mengganggu hatinya, tergetar dan sedikit kerut di
wajah yang tampan dingin itu mengendor. Golok Maut tertegun dan otomatis
tenaganya berkurang sejenak, hal yang dirasa Beng Tan.
Dan karena pemuda ini merasakan itu dan tentu saja ganti tak mau menyia-nyiakan
kesempatan mendadak Beng Tan
rnendorong dan membentak menyerang lawan, secepat
kilat. "Augh!" Golok Maut terkejut, Lengannya sekejap yang sudah dimasuki Beng Tan
membuat tokoh bercaping ini
mengeluh. Dalam adu sinkang seperti itu tak boleh pikiran diganggu oleh perasaan
yang bermacam-macam. Golok
Maut telah melakukan kesalahan yang sama seperti yang tadi dilakukan Beng Tan.
Maka begitu Beng Tan membalas
dan mengerahkan segenap tenaganya maka Golok Maut
terdorong dan ganti melontakkan darah segar.
"Huak!" Beng Tan mengeraskan hati. Pemuda ini memejamkan
mata melihat wajah lawan yang kesakitan. Bajunya
tersembur lontakan darah namun Beng Tan tak perduli. Dia melihat Golok Maut
benar-benar hendak membunuhnya
dan tentu saja dia marah. Dan karena dia sudah terluka sementara Golok Maut juga
menyemburkan darah seperti
dia sendiri, berarti masing-masing sama terluka dan
kemenangan harus diperoleh dalam saat yang begitu
menentukan maka Beng Tan tak mau mengalah lagi dan
cepat memejamkan mata sambil mengerahkan segenap
tenaganya. "Golok Maut, maaf. Aku agaknya terpaksa mengakhiri hidupmu!"
"Tak apa," Golok Maut gemetar, menjawab menggigil.
"Lebih baik mati begini daripada tak dapat memenuhi sumpah, Beng Tan. Kau
bunuhlah aku tapi aku juga akan berusaha membunuhmu!"
"Hmm!" dan Beng Tan yang tak mau bicara lagi mengempos sisa-sisa tenaganya lalu
berhasil mendesak dan membuat Golok Maut terhuyung, mundur lagi selangkah
namun hebat laki-laki bercaping itu. Golok Maut tetap bertahan dan sampai di
sini Beng Tan tak berhasil
mendesak lagi, lawan mati-matian mengerahkan segenap
tenaganya pula dan tiba-tiba sepasang kaki Golok Maut melesak, Beng Tan juga
tertanam namun Golok Maut lebih dalam, tanda bahwa Golok Maut berada di posisi
tertekan dan terdesak, bertahan tapi Beng Tan menambah tenaganya lagi. Dan
ketika Golok Maut menggigil dan Beng Tan juga gemetaran keras tiba-tiba dua
pemuda itu sama-sama terpukul oleh dorongan tenaga lawan, muntah darah dan Beng Tan pucat mukanya.
Golok Maut semakin bergoyang
tapi lutut Beng Tan juga menggigil. Sebentar lagi mereka akan roboh dengan Golok
Maut terkena resiko lebih besar, kematian bisa membayangi tokoh bercaping itu
tapi Beng Tan bisa cacad seumur hidup, karena dadanya sudah mulai terbakar dan
amat panas dari dalam. Tapi ketika kaki
keduanya melesak semakin dalam dan Golok Maut hampir
tak kuat tiba-tiba terdengar seruan perlahan dan sesosok bayangan berkelebat.
"Thian Yang Maha Agung, apa yang kalian lakukan, anak-anak" Aih, berhenti, Beng
Tan. Berhenti, Golok Maut.
Lepaskan tangan kalian dan jangan bertanding lagi.... plak-plak!" Golok Maut dan
Beng Tan terpental, tangan mereka tiba-tiba terlepas dan seorang kakek berwajah
Pendekar Cacad 5 Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti Bagus Sajiwo 4
^