Golok Maut 9
Golok Maut Karya Batara Bagian 9
pusing. "Tutup mata kalian, jangan dilihat!" Pek-lui-kong, yang terkejut melihat
perobahan ini tiba-tiba berseru pada muridnya. Keng Han dan Su Tong melaksanakan
itu namun terlambat, tiba-tiba pusing dan roboh sendiri,
gedebak-gedebuk. Dan ketika dua pemuda itu mengeluh
terguling dan Lam-ciat di balik ilmu hitamnya terkekeh
aneh maka Bhi Li dan kakaknya tiba-tiba melengking dan menyambar pedang di atas
tanah. "Locianpwe, kalau Su Tong dan Keng Han tak dapat membantumu biarlah kami maju
menggantikan. Kakek ini jahat, mari kita basmi dan bunuh dia... sing-singg!" dan Bhi Li yang melengking
marah membentak lawannya tiba- tiba menusuk dan membacok, menggerakkan pedangnya
namun sama seperti Su Tong iapun menembus bayangan
kosong. Lam-ciat seolah roh halus dan memekiklah gadis itu. Dan ketika
kakaknya juga melakukan hal yang sama namun mendapat kenyataan yang sama pula maka Lam-ciat mengibas dua gadis itu dengan pukulan
jarak jauhnya. "Ha-ha, kaupun tak dapat mengalahkan aku, anak-anak.
Robohlah dan menyingkir... bres-bress!" dua enci adik itu mengeluh, terlempar
dan tak dapat menahan diri namun
bergulingan meloncat bangun, menyerang lagi dengan
nekar dan Pek-lui-kong si kakek gagah kagum. Dua enci adik itu membantunya namun
lagi-lagi mereka terlempar.
Dan ketika kejadian itu berulang enam tujuh kali dan hanya karena dia selalu
melindungi kalau Lam-ciat hendak
menotok roboh gadis itu maka pendekar ini berseru agar mereka mundur, membawa
pergi Su Tong dan Keng Han.
"Kakek ini hebat, biar aku saja yang menghadapinya.
Kalian pergilah, bawa muridku dan kalian selamatkan diri!"
"Tidak," Bhi Li melengking. "Kau datang juga hendak menolong kami, locianpwe.
Kalau kami mampus biarlah itu terjadi. Kami tak mau mundur atau kau saja yang
pergi dan bawa murid-muridmu itu!"
"Hm, mana mungkin?" kakek ini terbelalak, semakin kagum. "Aku saja kewalahan
menghadapinya, nona. Kalian pergilah dan biar aku yang melindungi dari
belakang!" Tidak!" kali ini Bhi Pui berseru. "Kau yang pergi atau kita semua menghadapi
iblis ini, locianpwe. Kami tak
takut,mampus dan biar kami membalas sakit hati kami!"
"Hm, baiklah," Pek-lui-kong merasa tak berdaya. "Kalian gadis-gadis yang keras
hati, nona. Kalau begitu keinginan kalian baiklah kita hadapi kakek iblis ini
dan hati-hatilah!" lalu melindungi diri dari setiap pukulan sinkang dan coba membalas dengan
pukulan-pukulan Petirnya kakek ini
kembali menghadapi Lam-ciat, sayang tak berhasil baik karena Lam-ciat berlindung
di balik ilmu hitamnya. Dan ketika Bhi Li kembali terlempar oleh sebuah tamparan
maka Bhi Pui ganti menyusul dan terlepas pedangnya.
"Plak-plak!" Dua gadis itu merintih. Pukulan Lam-ciat kali ini tak dapat dicegah si kakek
gagah, karena saat itu Pek-lui-kong juga menangkis sebuah angin pukulan yang
menyambar dari belakang. Dan ketika dua enci adik itu merintih dan terlepas pedangnya maka
Lam-ciat tertawa bergelak dan tiba-tiba memecah bayangannya menjadi sepuluh
orang. "Wut-siut!" Pek-lui-kong terkejut. Saat itu dia baru terhuyung
menangkis sebuah pukulan, tiba-tiba melihat sepuluh
bayangan sekaligus mengelilinginya, tak ayal berobah
mukanya dan dari mana-mana menyambar pukulan
bertubi-tubi. Dan karena dia tak dapat memilih bayangan mana yang kira-kira Lam-
ciat adanya maka kakek ini
berseru keras mencabut ikat rambutnya, menangkis.
"Des-dess!" Si kakek terkecoh. Sepuluh bayangan yang ditangkis
ternyata palsu adanya, semuanya bukan Lam-ciat yang asli.
Dan ketika dia terhuyung karena terbawa oleh pukulannya
sendiri maka saat itulah Lam-ciat yang asli berkelebat muncul di... atas
kepalanya. "Ha-ha, mampus kau, Lui-kong. Sekarang kau tak
berdaya... bumm!" Kakek itu menjerit, kepalanya dihantam dari atas dan
terlemparlah kakek gagah itu. Lui-kong tokoh utara ini terguling-guling, secara
curang dan licik Hantu Selatan itu menyerangnya. Dan ketika dia mengeluh dan
kepala serasa pecah dihantam pukulan Lam-ciat maka saat itulah Lam-ciat
menggerakkan tangan kirinya dan puluhan jarum-jarum kuning menyambar tokoh utara
ini, dikelit tapi tiga batang jarum tetap mengenainya, pedas dan gatal. Dan
ketika kakek itu menyadari bahwa jarum yang amat berbahaya
dan beracun menusuki tubuhnya maka di saat itulah lawan berkelebat menghilang
dan tahu-tahu sudah mencengkeram kepalanya untuk dicengkeram hancur.
"Ha-ha, roboh kau, Lui-kong. Sekarang kau mampus!"
Kakek ini terkejut. Saat itu dia mau menangkis namun
kedua lengan tak dapat digerakkan. Jarum yang menancap di tubuhnya kiranya
dengan cepat sudah menyebar
racunnya, seluruh tubuh menjadi kaku dan kakek ini kaget bukan main. Lui-kong
memaki lawan dengan muka pucat.
Dan ketika serangan tak dapat dihindarkan lagi dan Lam-ciat tertawa bergelak
dengan cengkeraman mautnya, dua jari telunjuk dan tengah siap mencoblos mata
lawan yang tentu akan seketika hancur, tiba-tiba berkelebat sinar putih
menyilaukan mata diiring bentakan yang mendirikan bulu roma,
"Lam-ciat, tahan seranganmu... crat!" dan kelingking Lam-ciat yang putus dibabat
sinar menyilaukan ini tiba-tiba sudah menarik serangannya dan secepat kilat
membanting tubuh bergulingan.
"Haiyaaa...!" Lam-ciat kaget bukan main. Saat itu dia tinggal
merobohkan lawan, Pek-lui-kong sudah tak dapat menggerakkan tangannya karena seluruh tubuh mendadak
kaku, akibat racun dari jarum yang menyebar cepat. Dan ketika kakek itu roboh
namun Lam-ciat buntung kelingking kirinya, yang terus bergulingan dan meloncat
bangun maka berdirilah di situ seorang laki-laki gagah yang mengenakan caping
lebar. "Golok Maut..!"
Semua tertegun. Lam-ciat terbelalak namun Bhi Li dan
kakaknya girang bukan main. Mereka itulah yang tadi
berteriak dan menyebut nama ini, nama Golok Maut yang akhir-akhir ini
mengguncang dunia kang-ouw. Dan ketika Golok Maut, laki-laki yang tegak dengan
tubuh tak bergeming itu mengangguk pada Bhi Li dan Bhi Pui, dua enci adik maka di sana
Lam-ciat tergetar dan Lui-kong tokoh utara itu mengeluh.
"Kau telan ini, cepat!"
Dua pil hijau melayang ke mulut kakek ini. Entah
bagaimana tahu-tahu Pek-lui-kong telah menerima pil itu, yang cepat menyambar ke
mulutnya. Dan ketika pil itu
lenyap dan Golok Maut telah menghadapi Lam-ciat maka
kakek Hantu Selatan ini menggereng, sadar dari kagetnya.
"Heh, kau Golok Maut, anak muda?"
"Tak perlu banyak cakap. Kau pergi atau kuhajar, kakek sinting. Enyahlah dan
jangan ganggu lima orang ini!"
"Ha-ha!" dan Lam-ciat yang tiba-tiba menubruk dan menghantamkan tangannya tahu-
tahu berkelebat dan sudah menyerang si Golok Maut, tidak banyak cakap karena
lawan menyuruhnya pergi. Tapi begitu pukulan melayang
dan Golok Maut menggerakkan tangannya mendadak
secepat kilat sinar yang menyilaukan mata itu berkelebat panjang.
"Cras!" Hantu Selatan menjerit. Sama seperti tadi tahu-tahu jari manisnya hilang,
terbabat atau disambut sinar menyilaukan itu. Bukan main kagetnya. Dan ketika
kakek ini merintih dan melempar tubuh bergulingan lagi maka ia terbelalak
memandang si Golok Maut, yang telah menyimpan
senjatanya kembali, di belakang punggung.
"Nah, kau tahu rasa, Lam-ciat. Atau kau akan
kehilangan semua jarimu dan putus sia-sia!"
"Keparat!" kakek ini memekik. "Kubunuh kau, Golok Maut. Kukeremus kepalamu!" dan
Lam-ciat yang menerjang lagi sambil membalut lukanya lalu menghantam dan memaki-maki si Golok
Maut, dielak dan dikelit dan sinar putih panjang itu mau keluar lagi, mengancam.
Dan ketika Golok Maut benar-benar mengeluarkan senjatanya dan kakek itu
melengking tiba-tiba lenyaplah dia di balik ilmu hitamnya, Hoan-eng-sut.
"Siut-klap!" Terdengar ledakan. Kakek ini melengking-lengking
namun Golok Maut tiba-tiba mendengus, berkelebat dan
lenyap pula berkejaran dengan bayangan si kakek gila, heran dan mengejutkan dan
tampaklah oleh Bhi Li betapa dua bayangan sambar-menyambar seperti siluman.
Dengan ginkangnya yang luar biasa Golok Maut mengimbangi
Hoan-eng-sut, sebuah demonstrasi mentakjubkan yang
hampir tak dapat dipercaya. Tapi ketika ke manapun
bayangan kakek itu pergi selalu Golok Maut berada di
belakangnya maka menjerit dan berteriaklah kakek siluman ini.
"Keparat, kau jangan mengintil di belakangku, Golok Maut. Pergilah... pergi!"
Ternyata kakek itu ketakutan. Setelah Golok Maut
"terbang" bersama goloknya dan kemanapun Hoan-eng-sut melesat ke situ pula dia
membayangi maka Lam-ciat gentar dan pucat memaki-maki, menyerang tapi selalu
disambut sinar golok, tentu saja menarik serangannya dan jadilah kakek itu
terbirit-birit berputaran. Tingkahnya seperti anak kecil yang bermain petak-
umpet, berusaha lari dan bersembunyi tapi lawan mengintil di belakang, mau
menyerang tapi golok itu menyambut. Dan karena dua kali jarinya sudah putus
dibabat sinar golok dan senjata di tangan Golok Maut itu benar-benar maut maka
kakek Ini memutar tubuh dan akhirnya melarikan diri, berteriak-teriak.
"Golok Maut, tobat. Jangan kejar aku. Tobat".!"
Golok Maut tak menghiraukan. Dia tetap mengejar dan
si kakek akhirnya melepas jarum-jarum keemasan, yakni jarum-jarum beracun yang
tadi melukai si Raja Petir. Tapi ketika Golok Maut menggerakkan senjatanya dan
bunyi trang-tring menyampok runtuh sinar-sinar keemasan itu akhirnya tujuh sinar emas
membalik menyambar kakek itu sendiri.
"Cret-cret!" Lam-ciat meraung. Tujuh jarum beracunnya sendiri
membalik menancap di tubuh, menjerit dan kakek itu
terjungkal. Dan ketika Golok Maut berkelebat dan sinar putih bergerak tiba-tiba
sebagian bahu kakek itu sompal.
"Aduh!" Golok Maut berhenti. Lam-ciat sudah bergulingan
meraung tak keruan, menjerit dan menangis dan lucu
rasanya melihat ini. Lam-ciat, si Hantu Selatan yang tadi bersikap sombong dan
gila-gila mendadak mengenal takut, menjauh dan akhirnya meloncat bangun di sana,
melarikan diri dan lenyap di balik pohon-pohon besar. Dan ketika Bhi Li dan
lain-lain tertegun melihat Golok Maut menoleh, tersenyum sejenak tiba-tiba laki-
laki bercaping itu berkelebat dan... lenyap pula.
"Bhi Li, tak usah pergi sendirian. Kalian bersamalah Su Tong ataupun Keng Han!"
"Heii..!" Bhi Li terkejut, sadar. "Tunggu, Golok Maut.
Tunggu dulu...!" Namun Golok Maut menghilang. Bhi Pui juga berteriak
dan mengejar, tak dijawab dan dua enci adik itu masih tetap mencari-cari. Namun
ketika mereka gagal dan Golok Maut benar-benar telah menghilang entah ke mana
maka dua bayangan berkelebat dan muncullah Keng Han serta Su
Tong di situ. "Bhi Li, Bhi Pui, tak usah mencari lagi. Golok Maut memang aneh, tak mungkin
kita temukan!" "Benar," bayangan lain berkelebat, Pek-lui-kong adanya.
"Aku juga sudah mencari-cari, nona. Dia tak ada dan aku menyesal belum
menyampaikan terima kasihku!"
Bhi Li dan kakaknya tertegun. Keng Han dan Su Tong
rupanya sudah ditolong guru mereka ini, bersinar-sinar memandang mereka. Tapi
begitu mereka ingat apa yang
telah terjadi di antara mereka dengan Su Tong dan Keng Han mendadak enci adik
ini meloncat pergi dan terisak.
"Heii..!" dua pemuda itu terkejut. "Tunggu, Bhi Li. Kami mau bicara!"
"Benar," Keng Han juga berseru. "Tunggu, Bhi Pui. Aku mau bicara..!" dan dua
pemuda itu yang sudah tergerak dan
mengejar ke depan lalu memberi tahu guru mereka bahwa sebaiknya guru mereka
tinggal di situ dulu, mereka ada persoalan pribadi dan Pek-lui-kong mengangguk.
Tadi orang tua ini telah mendengar cerita muridnya tentang perbuatan Lam-ciat, kakek
iblis terkutuk yang membuat dua pasangan itu menjadi malu dan terhina. Maka
begitu muridnya mengejar dan dua enci adik itu sudah disusul cepat kakek ini menarik
napas dan menunggu di situ.
"Tunggu... tunggu, Bhi Li. Aku mau bicara...!"
Tapi Bhi Li tak mau mendengarkan ini. Su Tong
meneriakinya di belakang dan tiba-tiba Keng Han juga
berseru pada Bhi Pui, sang kakak. Dan ketika dua gadis itu mengerahkan ilmu lari
cepatnya namun Keng Han dan
temannya juga menambah kecepatan mereka hingga jarak selalu sama tiba-tiba Bhi Pui bertanya pada adiknya,
"Bhi Li, mau apa mereka itu kira-kira" Mau kurang ajarkah?"
"Entahlah, tapi rasanya tidak, enci. Kukira... kukira mereka mau bicara tentang
apa yang sudah terjadi di antara kita!"
"Hm, kalau begitu kita tunggu, berhenti saja!"
"Tidak, jangan enci. Di hutan itu saja kita bersembunyi.
Kau dan aku berpisah, biar mereka mencari!"
"Apa?" "Benar, masa kita harus menemui mereka bersamaan"
Ah, malu, enci. Biar Su Tong mencariku dan Keng Han
mencarimu. Kalau mereka kurang ajar kita bunuh. Tapi
kalau mereka mau bertanggung jawab, hmm.. kita... kita terima!"
Bhi Pui merah mukanya. Akhirnya dia mengangguk dan
setuju, sudah tiba di hutan yang dimaksud Bhi Li dan di sini tiba-tiba mereka
berpisah. Keng Han dan Su Tong tak jauh di belakang, terus berteriak-teriak
namun mereka seolah tak perduli. Inilah wanita. Butuh tapi pura-pura acuh! Dan
ketika mereka sudah memasuki hutan itu dan berpisah, Bhi Li ke kiri sementara
Bhi Pui ke kanan maka Su Tong dan Keng Han tertegun.
"Hei!" Su Tong berteriak. "Kenapa kalian ini, Bhi Li"
Kami mau bicara, bukan mau apa-apa!" dan terbelalak melihat Bhi Li ke kiri tiba-
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba pemuda ini berkata pada temannya bahwa dia akan mengejar gadis baju biru
itu. "Baiklah, aku ke kanan, Su Tong. Kau kejar kekasihmu itu sedang aku mengejar
kakaknya!" Keng Han pun
membelok, berpisah dengan temannya dan dua pemuda itu sudah mengejar kekasih
masing-masing. Mereka tak
mengerti sikap enci adik itu tapi sudah menyusul. Dan ketika Su Tong berkelebat
mengejar Bhi Li maka di dalam hutan tiba-tiba pemuda itu berhasil menyambar baju
pundak kekasihnya. "Bhi Li, tunggu... bret!" dan baju Bhi Li yang sobek tertarik Su Tong tiba-tiba
membuat pemuda itu terkejut, berseru minta maaf namun Bhi Li terlanjur marah.
Gadis ini gusar karena Su Tong merobek pakaiannya. Maka
begitu dia membalik dan berhenti memutar tubuh tiba-tiba tangannya bergerak dan
Su Tong sudah ditampar. "Keparat kau... plak-plak!" dan Su Tong yang terlempar serta terbanting roboh
tiba-tiba mengeluh dan bergulingan meloncat
bangun, berseru agar Bhi Li menahan
kemarahannya dan kini gadis itu tegak di depan Su Tong.
Pemuda ini bangkit terhuyung dengan pipi bengap,
tembem! Dan ketika Bhi Li membentak dan berkacak
pinggang menanya apa keperluan pemuda itu maka Su
Tong menggigil, terbata-bata.
"Aku... aku mau bicara tentang itu. Tentang...."
"Tentang apa!" Bhi Li memotong, galak menjawab dan pura-pura tidak tahu, padahal
di dalam hati tentu saja berdebaran dan mukapun merah padam. Dan ketika Su
Tong berkata bahwa dia mau bertanggung jawab tentang
peristiwa di malam bulan purnama, persis yang disangka Bhi Li tiba-tiba gadis
ini pun tak dapat menahan rona mukanya yang semburat merah, apalagi ketika Su
Tong menjatuhkan diri berlutut, gemetar.
"Aku... aku mencintaimu, Bhi Li. Aku tak mau kau pergi dari sampingku. Aku telah
melaporkan kejadian ini kepada suhu, dan aku mau bertanggung jawab!"
Bhi Li terisak. "Kau... kau mau, bukan" Kau tak menolak?"
"Ooh!" gadis itu tiba-tiba meloncat meninggalkan Su Tong. "Aku... aku telah
menyerahkan segala-galanya kepadamu, Su Tong. Tak perlu kujawab karena kau tentu
mengerti sendiri!" "He!" Su Tong berteriak, meloncat bangun. "Kalau begitu kau menerimanya?"
Gadis ini tak menjawab. Su Tong akhirnya mengejar dan menangkap gadis itu lagi,
mencengkeram dan tersedu-sedulah
Bhi Li berhadapan dengan pemuda
ini, menunduk, tak mau mengangkat mukanya. Dan ketika
gadis itu mengguguk dan Su Tong menjadi bingung, tak
tahu apakah gadis ini setuju atau tidak tiba-tiba Su Tong memeluk gadis itu,
yang ternyata diam saja. "Bhi Li, aku... aku bingung. Kalau kau tak mau
menjawab biarlah beri tandanya dengan cara yang lain. Aku mencintaimu, aku ingin
menciummu. Kalau kau marah
tamparlah aku!" dan Su Tong yang benar-benar mencium dan melumat bibir Bhi Li
ternyata tak ditampar dan Bhi Li menyambut, tidak marah dan tentu saja pemuda
ini semakin berani, girang. Dan ketika dia mencium bertubi-tubi hingga keduanya
seakan kehabisan napas maka Bhi Li mendorong pundaknya dan berseru, menggigil,
"Cukup... cukup, Su Tong. Kau sudah tahu jawabannya!" "Ooh!" Su Tong tertawa bergelak, gembira sekali. "Aku bahagia, Bhi Li. Kalau
begitu kau menerima cintaku!" dan pemuda ini yang menyambar serta mau mencium
kekasihnya lagi mendadak ditahan dan dielak.
"Nanti dulu, kau harus berjanji!"
"Hm, janji apa" Bagaimana?"
"Kau harus memperlakukan aku baik-baik, Su Tong.
Harus... harus melamarku sebagaimana gadis dilamar
pemuda secara baik-baik!"
"Ah, tentu. Suhu yang akan melamarmu, Bhi Li. Aku akan minta padanya agar kau
menjadi isteriku!" "Kita sudah menjadi suami isteri.." gadis ini terisak.
"Aku... aku, ah, jahanam keparat Lam-ciat itu, Su Tong.
Kalau saja tak ada dia tentu perbuatan itu tak akan kita lakukan!"
"Sudahlah," Su Tong menghibur. "Semuanya sudah terjadi,
Bhi Li. Kita tak dapat menolak atau menghindarinya. Aku juga menyesal, tapi nasi sudah
menjadi bubur." "Dan kau akan bertanggung jawab, bukan?"
"Tentu, aku mencintaimu, Bhi Li. Aku akan bertanggung jawab!" dan Su Tong yang
meraih serta memeluk lagi lalu mencium dan kali ini Bhi Li membiarkan, bahkan
menyambut dan Bhi Li terisak. Dan ketika pemuda itu
berbisik bahwa dia mencintainya akhirnya keduanya
terbang ke sorga namun mendadak Bhi Li teringat encinya.
"Kita lihat enci Bhi Pui!"
"Hm," Su Tong puas, berseri-seri. "Mereka pasti melakukan seperti apa yang kita
lakukan, Bhi Li. Keng Han mencintai kakakmu dan ingin mempertanggung-jawabkan
perbuatannya pula!" "Kau yakin?" "Tentu, mari kita lihat!"
Dan Su Tong yang bahagia menyambar kekasihnya lalu
berkelebat dan mengajak Bhi Li ke tempat di mana tadi Keng Han mengejar Bhi Pui,
mencari dan tak lama kemudian mereka menemukan dua orang itu, benar saja,
asyik bercumbu dan berpelukan, saling cium dan Su Tong berhenti, menarik
kekasihnya dan tersenyum mengajak
bersembunyi. Dan ketika Bhi Li menurut tapi muka tentu saja merah padam maka di
sana Keng Han terdengar berkata, melepaskan pelukannya,
"Lihat, demi Tuhan aku mencintaimu, Bhi Pui. Ingin bertanggung jawab dan
mengambilmu sebagai isteri. Kita telah diikat oleh Lam-ciat. Tapi tanpa itupun
aku tetap mencintaimu dan ingin mengambilmu sebagai isteri,
kekasih tercinta!" "Tapi kau harus melamarku," Bhi Pui terdengar menjawab, terisak. "Aku tak ingin
menjadi isterimu begini saja, Keng Han, Kau harus melamarku dan memintaku
secara baik-baik!" "Tentu, aku telah membicarakannya dengan suhu, Bhi Pui. Dan aku yakin suhu mau
melamar dirimu untukku. Aku akan memperlakukan dirimu secara baik-baik dan
bukan hanya karena disebabkan perbuatan kakek iblis itu!"
lalu, ketika Bhi Pui tampak lega dan bersinar-sinar maka Keng Han mengajak untuk
mencari temannya, Su Tong.
"Urusan kita selesai. Sekarang kita mencari Su Tong yang mengejar adikmu Itu!"
"Ha-ha, tak perlu dicari!" Su Tong keluar dari persembunyiannya, berkelebat
muncul "Aku di sini, Keng Han, bersama Bhi Li!" dan ketika Keng Han tertegun dan
muka Bhi Pui merah, teringat bahwa dia baru saja
berciuman dengan Keng Han maka Bhi Li muncul dan
tersenyum-senyum berkelebat menyambar encinya itu.
"Enci, maaf kami agak lama di situ. Su Tong yang mengajakku bersembunyi dan tak
mau mengganggu kalian, Maaf, betapapun aku lega!"
"Kau di sana?" "Ya." "Mengintai.. mengintai kami?"
"Hi-hik, maaf, enci. Aku tak sengaja!"
"Ih, kurang ajar kau!" dan Bhi Li yang mengelak dicubit encinya tiba-tiba
bersembunyi di punggung Su Tong.
"Aduh, tolong, Su Tong. Enciku marah!"
Su Tong tertawa. Setelah Bhi Li menggoda encinya dan
suara menjadi gembira tiba-tiba pemuda ini menarik Bhi Li, menyembunyikan sang
kekasih dan Bhi Pui tentu saja tertegun, berhadapan dengan Su Tong. tak mungkin
mengejar adiknva lagi dan tertawalah Keng Han di sana.
Dan ketika Bhi Pui mundur dan adiknya terkekeh-kekeh
maka gadis ini minta agar Keng Han membalas pada Su
Tong. "Eh-eh, apa yang harus kulakukan?"
"Dorong dia, Keng Han. Ambil adikku yang nakal itu!"
"Ha-ha, dorong sendiri. Su Tong memang kekasihnya!"
dan ketika suasana menjadi bertambah hangat dan Bhi Pui gemas-gemas mendongkol
maka Bhi Li meloncat dan terbang meninggaikan hutan.
"Hi-hik, kejar aku saja, enci. Ayo jangan minta tolong Keng Han!"
Bhi Pui mendapat kesempatan. Setelah adiknya keluar
dan dia tentu saja mengejar maka dua pemuda di
belakangnya itu tertawa-tawa. Keng Han dan Su Tong
gembira sekali karena kini mereka masing-masing sudah mendapatkan pujaannya
secara baik-baik. Bhi Pui mengejar Bhi Li dan merekapun saling pandang,
mengangguk dan ganti mengejar dua gadis itu. Dan ketika semuanya tertawa-tawa
namun dua enci adik itu tentu saja tiada maksud untuk meninggaikan dua pemuda
ini akhirnya Bhi Li tertangkap dan dicubit kakaknya,
mengaduh dan minta tolong Su Tong dan akhirnya
bersembunyi lagi di punggung kekasihnya. Bhi Pui puas sementara Keng Han sudah
mencekal lengannya. Dan ketika dua pasangan itu tampak gembira dan bahagia sekali maka Su Tong teringat
gurunya dan mengajak semua
kembali. "Suhu sudah menanti, mari kita ke Sana."
"Benar," Keng Han juga teringat. "Kita bicarakan ini lebih lanjut, Su Tong. Dan
kita minta nasihat suhu!"
Begitulah, empat orang muda ini menghadap Pek-lui-
kong, yang memang sudah menunggu. Dan ketika kakek
gagah itu berseri-seri karena keempatnya tampak bahagia dan gembira maka Su Tong
menjatuhkan diri berlutut
memberikan laporannya. "Teecu berhasil membawa Bhi Li, mohon suhu
memberikan restunya."
"Benar, dan teecu juga, suhu," Keng Han menyambung.
"Teecu telah berhasil membawa kekasih teecu dan inilah Bhi Pui!"
"Hm-hm, bagus. Aku gembira, anak-anak. Dan aku turut bahagia. Pernikahan
kalian dapat ditentukan dan sebelumnya tentunya kita harus baik-baik melamar kekasih kalian masing-masing.
Siapakah orang tua kalian?"
"Kami... kami hanya mempunyai seorang paman,
locianpwe. Ayah ibu telah tiada dan kami sebatangkara."
Bhi Pui menjawab. "Hm, tak apa. Kepada pamanmu itulah aku akan
melamar kalian untuk murid-muridku. Siapa paman kalian itu" Kalian dari mana?"
"Kami keluarga besar Pek-kiok-pang..."
"He?" "Benar, kami keponakan ketua Pek-kiok-pang
yang dibunuh Golok Maut, locianpwe. Tapi Golok Maut pula
yang berkali-kali menolong kami!"
"Ah, Golok Maut!" Pek-lui-kong tertegun, bersinar-sinar.
"Dan dia pula yang baru menyelamatkan kita semua, Bhi Li. Dan aku juga berhutang
jiwa padanya!" "Benar, kami juga pernah ditolongnya, suhu. Dan kami juga berhutang budi!" Su
Tong berseru. "Apa?" "Benar," Keng Han mendahului. "Kami dua kali ditolongnya dari Mao-siao Moli,
suhu. Tanpa Golok Maut tentu kami sudah menjadi korban!"
"Iblis betina cabul itu?"
"Ya." "Ah, berbahaya!" dan Pek-lui-kong yang tepekur dengan mata redup tiba-tiba muram
mukanya, bangkit berdiri,
"Baiklah, Golok Maut memang tokoh yang aneh, Su Tong.
Orang mencapnya jahat tapi nyatanya berkali-kali pula dia menolong orang lain.
Sudahlah, kita pergi dan selesaikan urusan ini."
"Pulang?" "Hm, apakah kalian mau tinggal di sini saja" Tidak ingin mengikat perkawinan dan
segera saja menjadi suami isteri?"
"Ah, tentu, suhu. Tapi kami agaknya masih ingin
berkecimpung di dunia kang-ouw lagi, menambah
pengalaman!" "Benar, kami juga bemiat begitu, locianpwe. Terutama ingin mengikuti cerita si
Golok Maut ini dan melihat apa yang terjadi, yang dia lakukan!"
"Hm, tapi kalian harus menikah dulu, baru setelah itu sesuka hati kalian!"
"Baiklah, terserah, suhu," dan Keng Han yang menjawab mewakili teman-temannya
tentu saja girang dan mengedip pada yang lain, memang harus menjadi suami isteri
dulu setelah perbuatan terkutuk Lam-ciat. Harus memberi muka pada kekasih
masing-masing dan jadilah mereka setuju.
Dan karena itu tentu saja juga melegakan dan menggembirakan Bhi Li enci adik maka Pek-lui-kong
akhirnya mengajak pergi. Dan begitu kakek itu berkelebat dan empat muda-mudi ini
mengikut di belakang maka arah tujuan mereka adalah Pek-kiok-pang!
ooooo0de0wi0oooooo "Apa" Terbunuh" Cam-busu dibunuh Golok Maut itu?"
"Benar, dan tugasnya barangkali gagal, ongya. Kepala Cam-busu menggelinding di
luar Hek-yan-pang ketika secara kebetulan kami menyusul!"
"Keparat, jahanam bedebah!" dan Ci-ongya yang marah-marah dan membentak-bentak
laki-laki di depannya lalu menendang dan melempar mangkok piring, begitu marah
dan gusar hingga pengawal yang menjaga di pintu pucat, menggigil dan cepat
menggeser kakinya ketika sang
pangeran melotot, hampir membuang piring ke arahnya
namun untunglah saat itu berkelebat sesosok bayangan
memasuki ruangan. Dan ketika bentakan dan kemarahan
pangeran ini menggegerkan seisi gedung karena meja kursi dibanting dan ikut
dilendang pula maka bayangan ini,
seorang kakek tinggi besar berkulit hitam berseru menahan kemarahan,
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ongya, berhentilah. Maaf hamba datang diutus kakak paduka!"
"Hm, kau?" Ci-ongya berhenti, bersinar-sinar. "Ada apa kau datang, Yalucang"
Menambah kekecewaanku dan
kemarahanku saja?" "Maaf, hamba datang diutus kakak paduka, ongya.
Paduka diminta datang dan ditunggu di gedung Ui-tien!"
"Hm, baik!" dan sang pangeran yang menahan
kemarahan dan masuk ke dalam lalu berganti sepatu dan
sudah mengikuti kakek ini, yang bukan lain Yalucang
adanya si kakek Tibet, pembantu atau orang kepercayaan Coa-ongya, pangeran Coa.
Dan ketika dua orang itu datang dan ternyata di meja besar sudah duduk menunggu
seorang laki-laki berusia empat puluhan maka pangeran ini duduk dan langsung
menanya geram, "Ada apa, kanda" Kau memanggilku?"
"Benar, ada sesuatu yang ingin kurundingkan, Ci-te (adik Ci). Dan ini agaknya
keuntungan bagi kita!"
"Hm, selama ini kesialan. Aku tak percaya segala keuntungan, kanda. Selama Golok
Maut belum dibunuh maka ancaman bahaya tetap di depan mata kita!"
"Sabarlah, jangan marah-marah. Aku telah mendengar tentang terbunuhnya bu-su
tolol itu tapi belum tentu
puteramu ikut celaka. Ada berita menggembirakan, tentang pembantu sri baginda
yang lihai!" Ci-ongya mengerutkan kening. Dia tak tahu tapi tampak terkejut dan heran
mendengar ini. Maka ketika kakaknya bersinar-sinar dan dia membetulkan letak
duduknya maka pangeran yang sedang menahan marah ini bertanya,
"Kanda, apa hubungannya pembantu sri baginda dengan kita" Apa kaitannya dengan
semua ini?" "Ah, banyak. Yang jelas kita bisa berharap orang ini membunuh Golok Maut, Ci-te.
Karena dikabarkan dia amat lihai dan memiliki Jit-seng-kiam (Pedang Matahari)!"
"Jit-seng-kiam" Pedang keramat itu?"
"Benar, dan orang ini lihai bukan main, Ci-te. Minimal dia setangguh Si Golok
Maut!" "Aku tak percaya. Golok Maut itu luar biasa sekali.
Kalau ada orang bicara begitu tentu dia hanya membual!"
"Hm, kau tak percaya" Kalau begitu lihatlah inl, dengar kata-katanya!" dan Coa-
ongya yang bertepuk tangan dan menoleh ke belakang tiba-tiba telah memanggil dua
orang kakek luar biasa, berkelebat dan tahu-tahu muncul di situ.
Dan ketika Ci-ongya terbelalak dan tertegun, tak mengenal, maka kakaknya sudah
memberi tanda dan dua orang itu
membungkuk hormat di depan pangeran ini.
"Ha-ha, kenalkah kau kepadanya. Cite, Inilah dua kakek lihai dari Thian-tok.
Mereka adalah dua bersaudara Sudra dan Mindra!"
"Eh, yang terkenal berjuluk Nehikha itu?"
"Ha-ha, benar. Kamilah orangnya, ongya. Selamat
bertemu dan kami baru saja diundang di sini!"
Mindra, kakek yang mendahului itu tertawa bergelak. Ci-ongya terkejut karena dia
sudah mendengar nama dua kakek lihai ini, yang diusir dari India dan ternyata malang-melintang di
Tionggoan, kini muncul di rumah kakaknya dan tersenyumlah dia karena orang-orang
lihai telah bermunculan di istana, jadi kekuatan mereka bertambah dan bertanyalah pangeran
itu kapan mereka datang. Dan ketika sambil tertawa Mindra berkata bahwa dia baru
saja datang, setelah bertemu Golok Maut maka Ci-ongya
tertegun dan tiba-tiba mengerutkan keningnya, lagi-lagi tak senang.
"Kami baru tiba, dan kami membawa berita penting!"
"Hm, tentang pembantu kaisar itu" Jadi kalian kiranya?"
"Tidak, bukan!" Sudra menggeleng, mendahului temannya. "Kami membawa berita bahwa Tiat-kak,
pembantu kalian itu telah dibunuh Golok Maut, ongya.
Dan saksi utamanya adalah kami berdua!"
"Apa?" Ci-ongya terkejut. "Tiat-kak si Kaki Besi itu?"
"Benar, dan dia tewas, ongya. Inilah kepalanya!"
Sudra mengeluarkan sebuah buntalan, membuka itu dan
menggelindinglah kepala si gundul itu, Tiat-kak si Kaki Besi. Dan ketika Ci-
ongya terkejut dan undur selangkah, mukanya berobah dan kaget bukan main maka
Sudra, yang rupanya mengambil dan sempat membawa pulang kepala si gundul itu
berkata lagi, gentar namun marah,
"Kami telah bertempur dengan Golok Maut, dan terus terang kami tak mampu
mengalahkannya. Tapi ada sesuatu yang kami bawa pula, ongya, berita tentang
seorang anak muda lain yang juga lihai dan sehebat Golok Maut!"
"Hm-hm!" Ci-ongya menjadi acuh, berkilat-kilat matanya. "Aku sangsi akan segala yang bersifat bual, Sudra.
Golok Maut memang hebat dan rasanya tak ada seorang
pun yang mampu menandinginya!"
"Sabar dulu," sang kakak mengulapkan lengannya.
"Berita yang kau dengar belum habis, Ci-te. Sebaiknya kau dengar dulu dan lihat
apa yang terjadi!" "Apa yang terjadi" Dua kakek ini sudah mengakui
kekalahannya dengan Golok Maut, kanda. Dan orang-
orang kita juga tak ada yang mampu mencegah sepak
terjang Si Golok Maut itu. Aku sebenarnya tak usah dengar karena isinya hanya
kekecewaan melulu!" "Hm, kau emosi. Kau terbawa oleh kematian Cam-
busu!" "Bah, kematian si tolol itu untuk apa kuhiraukan, kanda"
Tapi ketidaktentuan nasib puteraku membuat aku begini!"
"Hm, sudahlah, sabar. Puteramu tak apa-apa. Dia
selamat di Hek-yan-pang."
"Bagaimana kanda tahu?"
"Mereka ini yang bicara, Ci-te. Mereka telah bertemu pula dengan ketua Hek-yan-
pang itu!" "Benarkah?" "Kami tidak tahu pasti, ongya. Tapi ketua Hek-yan-pang itu mengamuk dan marah-
marah kepada Si Golok Maut!"
Sudra menjawab. "Ah, ini belum menjamin! Bagaimana bisa dibilang tak apa-apa, kanda" Kalau ketua
Hek-yan-pang itu keluar dan marah-marah malah mungkin saja puteraku tak ada di
sana!" "Kami yang akan membuktikannya!" Mindra tiba-tiba berseru. "Kami dapat ke Hek-
yan-pang kalau perlu, ongya.
Dan kami sudah tahu kepandaian ketua Hek-yan-pang itu!"
"Hm, sebaiknya kalian ceritakan secara urut dulu.
Duduklah dan biar cerita kalian didengar adikku," Coa-ongya tiba-tiba mengangkat
lengannya, menyusuh dua orang itu duduk dan Yalucang juga diminta mengambil
kursinya. Kini lima orang itu duduk mengelilingi meja besar dan berkerutlah
kening Ci-ongya memandang dua kakek
itu. Dan ketika semuanya duduk dan dua kakek lihai ini menjadi pusat perhatian
maka Mindra mendahului temannya bercerita, "Mula-mula kami bertemu dengan seorang pemuda lihai, dia bersenjatakan Jit-seng-
kiam..." "Hm, lalu?" "Lalu kami bertemu Golok Maut itu, ongya. Dan kami mencacat perbandingan bahwa
dua anak muda ini sama lihai!" "Hm, kau sudah pernah menyaksikan wajah si Golok Maut itu?"
"Secara jelas belum, ongya. Tapi kami tahu bahwa ia masih muda, cukup muda!"
"Berapa kira-kira usianya?"
"Tak lebih dari tiga puluh lima tahun!"
"Hm, ceritakan selanjutnya!" Ci-ongya melirik kakaknya, melihat kakaknya
mengangguk dan diam-diam mereka
saling memberi isyarat. Hal itu semakin menguatkan
dugaan mereka akan seseorang. Dan ketika Mindra
menarik napas dan bersinar-sinar mengenang kejadian itu maka dia melanjutkan,
"Anak muda bersenjata Jit-seng-kiam ini luar biasa, kami kalah karena dia
memegang pedang pusaka!"
"Hm, siapa dia?"
"Beng Tan, ongya. Katanya she Ju!"
"Beng Tan?" "Benar." "Ah, belum kudengar nama ini. Baiklah, lanjutkan!"
"Kami penasaran, coba merampas pedang tetapi gagal.
Dan ketika kami harus pergi karena pemuda itu benar-benar lihai maka kami
bertemu Golok Maut!"
"Nanti dulu. Kapan kau bertemu Golok Maut itu,
Mindra" Berapa lama dan di mana?"
"Kami menemuinya di hutan pinus, jauh dari sini. Dan waktunya kurang lebih empat
hari yang lalu!" "Hm, dan bocah she Ju itu?"
"Kurang lebih enam hari yang lalu!"
"Baiklah, teruskan lagi."
"Maaf, ada apa ongya memotong ceritaku?"
"Tak apa. Aku hanya mengukur waktu dengan
keberangkatan puteraku ke Hek-yan-pang, Mindra. Selebihnya aku tak memotong lagi!"
"Baiklah, kami lalu bertempur. Sebenarnya bukan
pertama ini kami bertanding dengan Si Golok Maut, ini yang kedua. Dan karena
kebetulan ada si gundul itu di sana di mana akhirnya Golok Maut kami keroyok
tiga maka kami mengakui keunggulan lawan karena Golok Maut
terlampau ampuh dengan senjatanya itu..."
"Kami sebenarnya berlima!" Sudra tiba-tiba menyambung. "Mao-siao Mo-li dan Hi-ngok Bhok-kongcu ada bersama kami, ongya.
Tapi karena mereka menghina
ketua Hek-yan-pang itu maka wanita itu marah dan
menyerang dua orang ini!"
"Hm, bagaimana akhirnya?"
"Si Hidung Belang itu dihajar, temannya juga kalang-kabut!"
"Hm, Hek-yan-pangcu itu cukup lihai?"
"Benar, wanita itu cukup lihai. pangeran. Dan dia berhasil mengalahkan Siluman
Kucing dan temannya itu!"
"Baiklah, lalu bagaimana dengan Golok Maut itu?"
"Dia menghadapi keroyokan kami bertiga, tapi akhirnya serangan-serangannya lebih
tertuju kepada pembantu paduka itu, Tiat-kak si gundul!"
"Hm, dan Golok Maut tiba-tiba beringas dan benci sekali setelah mengetahui bahwa
si gundul itu pembantu paduka, ongya. Kebencian dan sinar matanya membuat
orang bergidik. Dia mengampuni kami tapi tidak pembantu
paduka itu!" Sudra terbelalak, memberikan informasinya
dan Coa-ongya maupun Ci-ongya tertegun. Mereka berdesir tapi Ci-ongya tertawa
mengejek. Dan ketika dua pangeran itu saling pandang dan kembali mengangguk maka
Sudra diminta melanjutkan ceritanya.
"Sekarang katakan bagaimana akhirnya, kenapa kalian datang ke sini dan siapa
pula Ju Beng Tan itu!"
"Dia pembantu sri baginda," Coa-ongya kali ini mendahului, tiba-tiba menjawab.
"Aku baru saja mendengar berita bahwa kanda kaisar memiliki seorang pengawal
tangguh, Ci-te. Konon katanya lebih lihai dan hebat
daripada pengawal-pengawal kita!"
"Benar, itulah pemuda itu!" Mindra berseru, penuh takjub dan kagum. "Pemuda ini
hebat sekali, ongya. Kalau dikatakan
pembantu-pembantu paduka tak dapat menandinginya memang benar. Kami berdua sendiri saja
kalah!" "Hm, belum tentu!" Yalucang si kakek tinggi besar mendengus, tiba-tiba merah
mukanya. "Kami semua
memang belum dapat merobohkan Si Golok Maut, Mindra.
Tapi kalau kau merendahkan kami di sini aku juga tidak percaya akan
kepandaianmu. Siapa tahu kau justeru lebih rendah dibanding kami!"
"Ha-ha, kau menantang?" Mindra tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau Coa-ongya
memperbolehkan tentu kami berdua ingin main-main denganmu, Yalucang. Kami sudah
mendengar namamu tapi juga belum melihat kepandaianmu!" "Akupun juga begitu. Kalau kau menghina aku dan
teman-temanku maka sebaiknya kita mengadu kepandaian
dan lihat siapa yang besar mulut!"
"Ha-ha, boleh!" namun Coa-ongya yang membentak menyuruh mereka duduk kembali
lalu berseru agar pertikaian itu dihentikan dulu.
"Mindra, di tempat ini tak boleh kalian bertempur. Kalau ingin berkelahi boleh,
tapi di belakang, jangan di sini.
Sebaiknya kalian terangkan dulu apa maksud kedatangan kalian, dengan membawa
pula kepala si Kaki Besi itu!"
"Kami ingin mencari orang-orang pandai, ingin
mengalahkan Si Golok Maut. Kalau di sini ada orang-orang lihai yang dapat
bekerja sama dengan kami tentu kami ingin bergabung dan melaksanakan keinginan
kami untuk merobohkan Si Golok Maut!"
"Hm, di sini orang-orang lihai banyak, tapi maksudmu kurang jelas kuterima.
Apakah kau ingin menjadi pembantu-pembantu kami?"
"Ha-ha, tidak, ongya, Kami ingin hidup bebas dan tidak terikat. Kami datang
hanya untuk maksud mencari teman, mengalahkan Si Golok Maut itu!"
"Tapi kalian dapat bekerja untuk kami. Kami dapat memberimu kedudukan dan uang!"
"Benar, si Kaki Besi sudah tewas, Mindra. Kalian menggantikan dirinya dan
bersama Mo-ko atau Yalucang
kalian tinggal di sini!"
"Hm, cukupkah berharga?" Sudra berkata mengejek.
"Istana tak memiliki orang-orang tangguh, ongya. Kecuali pemuda bernama Beng Tan
itu. Tapi diapun musuh kami!
Kami penasaran, ingin merobohkan Si Golok Maut tapi
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga pemuda she Ju itu!"
"Hm, kalian sombong. Kalau di istana tak ada orang-orang tangguh tentu kalian
tak kemari. Eh, bilang saja kau ingin menjajal para pengawalku, Mindra. Bahwa
kalian ingin membujuk Yalucang atau Mo-ko untuk menghadapi
Golok Maut!" Coa-ongya berseru, tiba-tiba dapat menangkap maksud
pembicaraan kakek India itu dan Sudra tertawa bergelak.
Kakek ini berdiri dan memandang temannya. Dan ketika
temannya juga tertawa dan bangkit memandang ke, kiri
maka Mindra berseru, "Ongya, baiklah kami berterus terang. Tapi jangan suruh Mo-ko kakak beradik
membokong kami... siut!" dan tangan kanan kakek ini yang bergerak ke belakang
tiba-tiba sudah menangkis runtuh sebatang anak panah kecil, langsung
mematahkannya dan muncullah di situ dua kakek iblis yang berkelebat dengan
bentakan marah. Dan ketika mereka
sudah berdiri di depan dua kakek tinggi kurus itu dan Hek-mo-ko yang berangasan
membentak lebih dulu maka iblis muka hitam ini melengking,
"Mindra, tak usah sombong. Kalau kau ingin membujuk kami untuk meninggaikan
tempat ini maka adalah tidak
mungkin. Kau bisa bersahabat dengan kami tapi harus
mengabdi Coa-ongya, atau kau pergi dan pulang tinggal nama!"
"Ha-ha, ini Hek-mo-ko?" Mindra tertawa,
berseri-seri. "Bagus sekali, Mo-ko, dan ucapanmu benar. Kami perlu tenaga-tenaga yang dapat
diandalkan untuk menghadapi Si Golok Maut itu!"
"Kau tak dapat menyuruh kami pergi, kecuali atas perintah Coa-ongya!"
"Ha-ha, Coa-ongya dapat kami tundukkan. Mo-ko. Tapi cobalah kita main-main dulu
untuk melihat kepandaian masing-masing!" "Jangan di sini, tahan!" Coa-ongya yang tiba-tiba maju dan membemrji perlahan
sudah menghadapi kakek-kakek
yang aneh ini. "Kalian tak boleh bertempur di sini, Mindra, tapi di belakang!
Hm, tahu aku. Kiranya kalian hendak membujuk dan membawa pergi para pembantuku
untuk membantu kalian. Heh, mereka orang-orang kepercayaanku, Mindra. Kalau kau membujuknya percuma. Lebih baik kita bertaruh dan siapa kalah harus mengikuti keinginan si
pemenang!" "Heh-heh, maksud paduka?"
"Boleh kalian bawa Mo-ko dan Yalucang kalau kau
menang, Mindra. Tapi kalau kau yang kalah maka kalian berdua harus bekerja di
sini, tunduk kepadaku!"
"Bagus, boleh!" dan Mindra yang tertawa penuh kepercayaan diri tiba-tiba
berkelebat dan mendahului ke belakang, di sana temannya juga bergerak dan
menanti di belakang. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain juga berkelebat dan menyusul
di belakang maka dua kakek India itu sudah berhadapan dengan lawan-lawannya,
aneh. "Heh, siapa maju lebih dulu?"
"Aku!" Hek-mo-ko yang berangasan melompat lebih
dulu, mencabut tongkatnya. "Kau sombong dan pongah, Mindra. Marl kita main-main
dan lihat slapa yang roboh!"
"Tidak!" Coa-ongya berseru. "Mereka berdua datang bersama, Mo-ko. Dan mereka
menantang kalian semua. Lebih baik kalian bertiga maju berbareng dan robohkan dua kakek yang pongah
Ini!" "Eh!" Mindra terkejut. "Kalian mau maju keroyokan?"
"Bukan kami yang menghendakinya, Mindra, melainkan kau. Kau yang merendahkan dan
menghina orang-orangku. Kalau kau berani biarlah pertandingan ini cepat selesai dan
hadapi mereka bertiga. Atau, kalau kau takut tentu saja boleh bertanding satu
lawan satu tapi segera kutahu bahwa kalian orang-orang yang penakut!"
"Ha-ha, boleh, Coa-ongya. Kalau begitu kami terima dan kami tidak takut!
Majulah, aku dan Sudra slap menghadapi mereka bertiga!"
Coa-ongya girang. Dia telah berhasll memojokkan
dan mendahului pembicaraan, dua kakek ini telah
disinggung kegagahannya dan tentu saja mereka menerima, atau bakal dicap
penakut! Dan karena dia ragu apakah
pertandingan seorang lawan seorang cukup dapat dihadapi oleh tiga pembantunya,
karena dia telah mendengar
kelihaian dua kakek India ini maka dengan cerdik langsung saja dia mengajak
pertandingan serentak, dua lawan tiga dan inilah siasatnya untuk memperoleh
kemenangan. Dua kakek lihai itu harus dapat dijadlkan pembantunya sebagai
pengganti Tiat-kak yang tewas, yang kepalanya telah
disingkirkan dan tadi dibawa dua kakek lihai ini. Maka begitu Mindra berhasil
dlsudutkan dan mau tidak mau
harus menerima pertandingan itu, karena mereka telah
menghina dan merendahkan tiga pembantunya maka dua
orang itu bersiap-siap ketika Yalucang dan Pek-mo-ko serta Hek-mo-ko diberi
isyarat. "Kalian hadapi mereka ini, dan robohkan!"
Mo-ko kakak beradik mengangguk. Yalucang juga sudah
melompat maju dan kakek tinggi besar ini menggeram.
Sebenarnya dalam setiap pembicaraan tadi kakek ini sudah menaruh ketidaksenangan
kepada dua kakek Thian-tok ini, mereka dianggapnya sombong meskipun tak malu-
malu mengakui kekalahannya dengan Golok Maut. Mungkin tak
usah malu karena Golok Maut memang hebat, juga karena semua orang di istana tak
ada yang dapat mengalahkan
Golok Maut itu, jadi tak usah malu. Namun karena sikap
Mindra maupun Sudra dianggap merendahkan mereka
bertiga dan rupanya kakek-kakek India ini enak saja mau menyuruh dia dan Mo-ko
mengikutinya untuk membantu
mencari Golok Maut, sebagai pelampiasan nafsu tak mau kalah dan rasa penasaran
dua kakek itu maka Yalucang
tentu saja teirsinggung, kini menggeram dan bersama Mo-ko kakak beradik dia
sudah berhadapan dengan dua orang lawannya itu. Dan begitu Mindra maupun Sudra
tertawa mencabut senjata mereka, cambuk dan nenggala maka di
sana Coa-ongy3 berseru agar mereka tidak membunuh dua kakek India itu, yang
membuat Sudra merah mukanya tapi kawannya justeru tertawa bergelak.
"Ha-ha, akupun tak akan membunuh lawan-lawanku ini, ongya, melainkan menundukkan
dan menyuruh mereka ikut kami untuk mencari Golok Maut!"
"Hm, kau bodoh. Golok Maut adalah musuh kita semua, Mindra. Kalau kau mau
bergabung dengan kami justeru
kalian memperoleh keuntungan yang banyak. Sudahlah,
kalian bertanding dan kujamin para pembantuku tak akan membunuh kalian!"
"Ha-ha, kentut busuk!" dan Mindra yang membentak menggerakkan nenggalanya tiba-
tiba harus berkelit dan menangkis ketika tiba-tiba Hek-mo-ko menyerangnya lebih
dulu, bergerak dan sudah membentak dirinya dan tongkat iblis hitam ini
menyambar. Dan ketika Mintra mengelak dan menangkis dengan nenggalanya maka
berpijarlah bunga api disusul suara yang nyaring.
"Trangg!" Dua orang itu terpental. Mindra terkejut karena tenaga Mo-ko ternyata kuat
sekali, mampu menggetarkan dan
mementalkan senjatanya, meskipun senjata di tangan iblis hitam itu juga
terpental. Dan ketika Mo-ko membentak
kembali dan sudah menggerakkan tangan kanannya, karena tongkat dipegang tangan
kiri yang masih lengkap jarinya, karena dulu kelima jari tangan kanan iblis ini
habis dibabat Golok Maut, maka dengan tongkat di tangan kiri dan
pukulan-pukulan di tangan kanan Hek-mo-ko sudah
menyerang dan menghujani lawannya dengan serangan-
serangan cepat, ganas dan bertubi-tubi dan akhirnya Mindra berseru keras,
menggerakkan tubuhnya dan mulailah dua orang itu bertanding, tongkat kembali
bertemu nenggala dan sama-sama terpental, hal yang membuat Mindra
semakin kaget karena Mo-ko benar-benar tangguh. Tapi
ketika dia tertawa bergelak dan menyambut serta membalas serangan-serangan lawan
maka di sana Pek-mo-ko juga
sudah menyerang temannya dan Yalucang membantu
dengan semburan apinya. "Dar-dar!" Lima orang itu segera bertanding. Mindra akhirnya
terkejut ketika tongkat di tangan Pek-mo-ko juga tak kalah dahsyat dengan
tongkat di tangan Hek-mo-ko. Namun
ketika dia meledakkan cambuknya dan serangan demi
serangan ditangkis dan dibalas dengan tak kalah cepat akhirnya Sudra harus
berkelebatan dan memuji kehebatan lawannya.
"Kau serang siapa saja, Yalu. Jangan terpancang kakek ini!" Pek-mo-ko berseru,
memberi siasatnya dan kakek tinggi besar itu mengangguk. Kakek ini akhirnya
mengerti dan berpindah-pindahlah dia menyerang yang dekat,
sebentar Sudra dan sebentar kemudian Mindra. Jadi kakek tinggi besar ini bebas
menyerang siapa saja, tentu saja serangannya tak dapat diduga dan Mindra maupun
temannya terkejut. Semburan api dan tenaga Hwee-kang
yang dilepas kakek Tibet itu cukup menggetarkan. Kilatan api atau
hawa panas mulai melingkupi jalannya
pertandingan. Sudra maupun Mindra harus mengerahkan
sinkang untuk menahan hawa panas ini. Dan ketika
pertandingan semakin seru karena Yalu si tokoh Tibet bisa menyerang bebas tanpa
dapat diketahui siapa yajg akan diserangnya kemudian maka dua kakek India itu
akhirnya terdesak. "Ha-ha, kalian lihat, Mindra. Tiga orang pembantuku bukanlah
manusla-manusia bodoh yang rendah kepandaiannya. Kalian terdesak, menyerah saja daripada dihajar kena pukulan!"
-ooo0dw0ooo- Jilid : XV "HM..!" kakek India itu menggeram. "Kami terdesak tapi belum kalah, pangeran.
Kalau Kami sudah roboh barulah Kami menyerah!"
"Ha-ha, kalau begitu kalian akan roboh!" dan Coa-ongya yang berseru pada tiga
pembantunya agar menekan dan
mendesak dua kakek India itu lalu tercawa dan tersenyum mengamati jalannya
pertandingan, sedikit tetapi pasti memang orang-orangnya dapat menekan dua kakek
India itu. Sudra dan Mindra harus bekerja keras kalau tak ingin roboh. Nenggala maupun
cambuk di tangan mereka bergerak menangkis atau menyerang lawan. Tapi karena
Yalu kakek tinggi besar itu mengacau atau mengganggu
konsentrasi dua kakek India ini di mana Sudra maupun
Mindra sering kali menerima pukulan kakek tinggi besar itu maka keduanya menjadi
marah dan memaki tokoh Tibet
itu. "Yalu, kau pengecut dan licik. Curang!"
"Hm, kalian sendiri yang minta," kakek ini mendengus.
"Aku hanya memenuhi tantangan kalian, Sudra. Kalau kalian tidak kuat bilang
saja!" "Keparat, kami masih kuat. Dan kami akan menghajarmu!" dan cambuk di tangan Sudra yang meledak menangkis senjata di
tangan Pek-mo-ko tiba-tiba menjeletar dan menukik menyambar kakek tinggi besar
itu, ditangkis dan dua-duanya terhuyung. Nyata kakek tinggi besar dari Tibet ini
juga hebat, bukan hanya pandai membokong saja.
Dan ketika Pek-mo-ko kembali menyerang dan Sudra
menangkis maka di sana Mindra berseru agar mengeluarkan pukulan ampuh mereka, Hwi-seng-ciang
(Pukulan Bintang Api). "Keluarkan Hwi-seng-ciang. Kita robohkan manusia-manusia busuk ini!"
"Benar, dan tundukkan secepatnya mereka ini, Mindra.
Hayo kita balas dan robohkan mereka!" Sudra menyambut, kini menggerakkan tangan
kirinya pula dan tiba-tiba
menyambarlah kilatan cahaya ke arah Pek-mo-ko. Iblis
putih itu sedang melepas serangan dengan sapuan
tongkatnya, menyambar ke bawah. Tapi ketika Sudra
menggerakkan tangan kirinya dan Hwi-seng-ciang atau
Pukulan Bintang Api menyambar dirinya tiba-tiba iblis ini menaikkan tongkat
menangkis. "Blar!" Tongkat itu terpental. Ujungnya pecah dan Pek-mo-ko
berteriak keras, berjungkir balik namun lawan mengejar. Di saat yang sama Mindra
juga melepas Pukulan Bintang Api, menyambar Hek-mo-ko, Dan karena pukulan ini
memang hebat dan Hek-mo-ko juga menangkis maka dua iblis itu terlempar ketika menerima
Hwi-seng-ciang. "Aih, keparat jahanam!" Hek-mo-ko mengumpat, diserang lagi namun Yalu si kakek
tinggi besar berkelebat menghantam, menolongnya. Dan karena kakek ini memang
selalu mengganggu dan gangguannya itu merepotkan
Mindra maupun Sudra akhirnya Mindra membalik memaki
kakek ini. "Dess!" Yalu bergoyang sedikit. Kakek itu mengerahkan Hwee-
kangnya dan Tenaga Api menyambut Pukulan Bintang Api, sama-sama panas dan
ternyata masing-masing tak ada yang unggul. Sifat dari pukulan keduanya yang
sama-sama berintikan panas membuat Yalu tahan, tidak terdorong
kecuali hanya bergoyang-goyang, sama seperti Mindra di sana. Dan ketika kakek
itu terkejut sementara Yalu tertawa aneh, merasa gembira maka di sana Pek-mo-ko
berjungkir balik dihantam Hwi-seng-ciang lagi.
"Dess!" Iblis muka putih ini memaki-maki. Yalu akhirnya
diminta membantunya dan kakek tinggi besar itupun sudah bergerak, menahan
pukulan Sudra. Dan ketika Sudra juga terbelalak karena Yalu hanya bergoyang
menerima
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulannya maka di sana Coa-ongya terbahak-bahak.
"Ha-ha, lihat, Sudra. Hwi-seng-ciang-mu pun tak
berdaya. Sebaiknya kalian menyerah dan sudahi pertandingan ini!" "Tidak, kami hanya menyerah kalau kami dapat
dirobohkan, pangeran. Atau kami akan bekerja keras dan merobohkan mereka!"
"Hm, kalian keras kepala. Kalau begitu baiklah, kalian pasti roboh!" dan Coa-
ongya yang gemas melihat kebandelan dua kakek India itu lalu menyuruh tiga
pembantunya bekerja lebih keras. Pek-mo-ko dan Hek-mo-kp disuruh mengeluarkan
semua kepandaiannya, akhirnya mengangguk dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-see-
kang atau Hek-see-kang (Pukulan Pa-sir Hitam Putih). Dan
ketika pukulan-pukulan ini menyambut Hwi-seng-ciang
yang dimiliki dua kakek India itu dan si kakek tinggi besar Yalucang juga
bergerak menyemburkan Lidah Apinya
maka desakan dua kakek India itu kembali gagal karena mereka
kelebihan lawan seorang yang paling menjengkelkan, yakni kakek tinggi besar dari Tibet itu.
"Keparat, sebenarnya kita menang kalau tidak dikeroyok tiga, Sudra. Lawan-lawan
kita licik dan curang sekali!"
"Benar, dan kakek bau ini mengganggu sekali, Mindra.
Kalau tak ada dia di sini tentu kita dapat merobohkan Pek-mo-ko maupun Hek-mo-
ko!" "Ha-ha, sekarang mulai banyak bicara!" Hek-mo-ko berseru. "Kau tadi sedia
menerima kami bertiga, Sudra.
Dan itu sudah merupakan perjanjian. Kalau kini kalian kewalahan karena kami
dibantu Yalucang biarlah kalian menyatakan kalah saja dan lain kali jangan
bersikap sombong lagi!" "Hm, tak apa," Mindra merah mukanya. "Kami memang ingin merobohkan kalian, Mo-
ko. Kalau tak dapat itulah memang kebodohan kami!"
"Dan Golok Maut tak pilih-pilih musuh. Kalau kalian keberatan biarlah satu di
antara kami mundur!"
"Tidak, tak usah, Mo-ko. Kami sudah berjanji dan akan menepati janji kami!"
"Bagus, kalau begitu coba kalian robohkan kami atau kami yang akan merobohkan
kalian, ha-ha!" dan Mo-ko kakak beradik yang tertawa bergelak dan menyerang lagi
lalu menggerakkan senjatanya dan tangan kiri mereka,
pukulan-pukulan Pek-see-kang dan Hwi-seng-ciang yang
dilancarkan dua kakek India itu tertahan. Mereka
mengumpat caci karena Yalucang tetap mengganggu,
bahkan kini memperhebat semburan-semburan apinya dan
Sudra harus mengebutkan bajunya ketika terbakar. Bukan main. Dan ketika nenggala
ataupun cambuk bingung menghadapi tiga lawan tangguh yang ganti-berganti
mendesak mereka maka dua kakek India ini memaki tak
habis-habisnya. Sebenarnya, kalau saja Yalucang si kakek tinggi besar tidak mengganggu tentu
Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko
dapat dirobohkan. Ternyata ilmu kepandaian Mindra
maupun Sudra seusap di atas dua iblis ini, terbukti dalam adu tenaga mereka
selalu menang, karena Hek-mo-ko
maupun Pek-mo-ko selalu tergetar dan terdorong mundur.
Namun karena Yalucangpo ada di situ dan kakek tinggi
besar ini memiliki Hwee-kang atau Tenaga Api yang hebat, yang sejenis dengan
Hwi-seng-ciang karena Pukulan
Bintang Api dua kakek India itu sama-sama bersumber
tenaga panas, atau Yang-kang, maka pertandingan akhirnya menjadi berat sebelah
ketika tokoh Tibet itu mengganggu, menyerang merepotkan mereka yang harus
menghadapi Pek-mo-ko atau Hek-mo-ko, dua iblis yang sebenarnya
cukup hebat. Maka begitu Mindra maupun Sudra diganggu kakek tinggi besar ini dan
kebetulan Hwee-kang memiliki tenaga panas seperti Hwi-seng-ciang maka Mindra dan
temannya mengutuk kakek tinggi besar itu berulang-ulang.
"Sudahlah," Hek-mo-ko tertawa. "Kalian memang tak dapat mengalahkan kami,
Mindra. Dua lawan tiga sudah
jelas tak mungkin menang."
"Dan kalian sendiri yang bersikap pongah," Pek-mo-ko juga mengejek. "Kalian
mengagulkan diri terlalu berlebihan,
Mindra. Kalau sudah menyadari kami lebih kuat sebaiknya kalian menyerah!"
"Atau kalian malah terbunuh!" Yalucangpo tertawa sambil menggeram. "Kami dapat
membunuh kalian, Mindra. Memang betul kata Mo-ko agar sebaiknya kalian menyerah!"
"Menyerah hidungmu!" kakek India ini membentak.
"Kalian robohkan kami, Yalu. Jangan banyak bicara dan lihat apakah benar kalian
dapat merobohkan kami berdua!"
"Hm," keras kepala. Kalau begitu kami akan membunuh!" dan kakek tinggi besar Itu yang bergerak di belakang Mindra tiba-tiba
membentak dan menyemburkan
apinya, menjilat menyambar kepala lawan karena saat itu Mindra menangkis
serangan Hek-mo-ko. Nenggala di
tangan kakek India itu mementalkan tongkat dan Hwi-seng-ciang berkelebat,
ditangkis Hek-see-kang. Dan di saat Hek-mo-ko terhuyung dan Mindra tergetar maka
saat itulah lidah api kakek Tibet ini menyembur.
"Klap!" Rambut Mindra terbakar. Kakek ini tak dapat mengelak
karena baru saja bertemu Hek-see-kang. Mo-ko memang
terpu-kul mundur namun di saat itu Yalu menyerang, tentu saja mengejutkan kakek
India ini. Dan ketika kakek itu terbakar rambutnya dan berteriak membanting
tubuh bergulingan maka kakek tinggi besar ini mengejar dan
melepas Hwee-kangnya lagi.
"Dess!" Mindra memaki-maki. Dibokong dan menerima serangan curang dua kali cukup membuat kakek ini marah.
Hek-mo-ko terbahak-bahak dan menyerang lagi, membantu, tak ayal membuat kakek
ini kelabakan dan mengelak
menggulingkan tubuh, sayang sekali Yalu si kakek Tibet juga mengejar. Akibatnya
dari kiri kanan Mindra mendapat serangan tongkat dan pukulan. Dan karena dua
lawannya memang hebat kalau bergabung dan kakek ini mengeluh
mengumpat caci maka sebu-ah pukulan akhirnya mengenai lagi tubuhnya, tepat di
pundak kanan. "Dess!" Kakek India itu melontakkan darah. Akhirnya dia batuk-batuk dan terluka, isi
dadanya terguncang. Dan ketika Hek-mo-ko berkelebat lagi dengan serangan
tongkatnya dan Yalucang juga menghantam dengan pukulan Hwee-kang
maka nenggala mencelat ketika dipakai menangkis.
"Plak-dess!" Mindra terlempar. Kakek ini mengeluh dan bergulingan
menjauh, sayang terbatuk lagi dan lemah. Dua pukulan
berbareng yang diterimanya tak kuat ditahan dan
senjatanya pun terlepas. Maka ketika Mo-ko terbahak
mengayun tongkatnya dan kakek Tibet itu juga mencengkeram ubun-ubunnya tiba-tiba Coa-ongya berteriak agar tidak membunuh
kakek itu. "Jangan bunuh... des-dess!" Mindra terguling, melontakkan darah segar lagi dan mencelatlah kakek itu membentur pohon, tak
bergerak dan terkapar di sana. Dan ketika Sudra terkejut dan cambuknya meledak
menyambut tongkat tiba-tiba Pek-mo-ko berseru pada kakek Yalu agar cepat
merobohkan lawannya ini pula, yang sudah digubat cambuknya dengan batang
tongkat. Tentu saja membuat
Sudra terkejut karena kakek Tibet itu membalik, tertawa aneh. Dan ketika benar
saja kakek tinggi besar itu melepas Hwee-kangnya dan Sudra tak dapat mengelak
kecuali dipaksa menangkis, padahal Mo-ko menggerakkan tangan
kirinya pula menghantam dengan Pek-see-kang maka teman
Mindra ini digencet dari dua arah oleh dua pukulan yang sama-sama hebat.
"Dess!" Sudra mengeluh. Sama seperti temannya tadi diapun tak kuat, coba bertahan namun
gagal, tergencet dua pukulan itu dan terlempar. Dan ketika Sudra bergulingan
melompat bangun namun Hek-mo-ko kini mengejar dan bersama
suhengnya serta Yalucang mengeroyok bertiga maka kakek India itu tak kuaf lagi
dan untuk kedua kalinya terlempar, terbanting dan terguling-guling dan di saat
itulah tiga orang lawannya
tertawa menyeramkan. Hek-mo-ko dan suhengnya lagi-lagi menggerakkan tongkat menghantam
kepala lawannya, Yalu si kakek tinggi besar membentak dengan semburan Hwee-
kangnya. Dan karena semuanya ini membuat kakek India i+u
terdesak hebat sementara hatinya sudah terguncang oleh robohnya Mindra maka
Sudra mengeluh ketika cambuknya
lepas, menerima hantaman tiga pukulan lawan dan
terlemparlah kakek itu, muntah darah. Namun ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya
hendak membunuh kakek itu
sementara Yalucang juga menggeram hendak menghabisi
nyawa lawannya maka Coa-ongya lagi-lagi berteriak agar dua orang kakek itu tidak
dibunuh. "Jangan dibunuh, biarkan hidup!"
Seruan ini menyelamatkan Sudra. Sebenarnya tiga
lawannya tak ingin memberi ampun lagi, kesombongan dan kecongkakan Sudra membuat
mereka marah. Namun karena pangeran sudah berteriak pada mereka dan apa
boleh buat mereka harus mematuhi perintah ini maka Sudra akhirnya terjengkang
dan roboh mendekap dadanya.
"Huak!" Selesailah pertandingan itu. Sudra dan Mindra akhirnya kalah, menyerah dan dua
kakek India itu cepat duduk
bersila. Kalau dalam keadaan seperti itu Hek-mo-ko
maupun Pek-mo-ko melancarkan satu serangan lagi pastilah mereka roboh binasa.
Untung Coa-ongya melarang dan tiga pembantunya tak ada yang berani membantah.
Dan ketika seperempat jam kemudian dua kakek itu bergerak dan
bangkit berdiri, terhuyung, maka Coa-ongya dan adiknya menyambut tertawa.
"Bagaimana, Mindra" Kalian sekarang menyerah?"
"Hm, kami menyerah," Mindra menjawab. "Tiga pembantumu cukup hebat, pangeran.
Kami berdua kalah!" "Dan kalian mau menepati janji" Mau menjadi
pembantu-pembantuku?"
"Hm, kami sudah kalah taruhan. Kami menepati janji!"
"Bagus! Ha-ha, terima kasih, Mindra. Kalian mengagumkan dan betapapun gagah dan ksatria. Kalian
sejajar dengan Mo-ko maupun Yalucang. Kalian berdua
menjadi pembantuku setingkat mereka. Hayo, kita rayakan kejadian ini dan mari
masuk ke dalam. Kita buat pesta kecil!"
Dua kakek itu mengangguk. Coa-ongya yang tidak
marah dan justeru mengundang mereka membuat dua
kakek itu tenang, mereka mengikuti dan berjalanlah dua pecundang ini di belakang
sang pangeran. Dan ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya bergerak mengikuti dan
kakek tinggi besar Yalucang juga menyeringai dan tersenyum
aneh maka Coa-ongya sudah menjamu dua kakek India itu bersama adiknya,
bergembira dan betapapun memuji
kelihaian Sudra maupun Mindra ini. Kalau mereka tidak dikeroyok barangkali Mo-ko
maupun Yalu kalah, pujian
yang disambut kecut saja oleh dua kakek itu. Dan ketika
mereka mengakui kekalahan dan harus ikut pangeran ini, membantunya maka resmilah
dua kakek India itu sebagai pembantu-pembantu pangeran Coa, hal yang tidak
diduga dan tentu saja sebenarnya juga tak dikehendaki Mindra maupun temannya.
Dan Coa-ongya yang rupanya tahu atau dapat membaca isi hati kakek-kakek itu
menutup pesta dengan kata-kata begini, "Kalian tak usah kecewa. Masalah Golok Maut sekarang adalah masalah kita
bersama. Kalau sewaktu-waktu kalian ingin mencari musuh kalian itu maka Mo-ko
maupun Yalu dapat membantu kalian. Namun kalian tak boleh pergi
tanpa sepengetahuanku!"
"Baik, kami mengerti, pangeran. Dan kami akan
tunduk." "Kalau begitu sekarang kalian boleh berlstirahat. Kamar kalian di belakang."
sang pangeran memanggil seorang pengawal, menyuruh pergawal itu menunjukkan
kamar dua kakek ini dan tentu saja Mindra maupun Sudra kikuk.
Mereka baru pertama ini bekerja di bawah kekuasaan
seseorang, Coa-ongya ternyata melayani mereka dengan
cukup baik. Maka ketika mereka disuruh berlstirahat
sementara Mo-ko dar dua temannya diam-diam tersenyum
ewah, senyum yang sukar ditangkap artinya maka hari itu Mindra maupun Sudra
tinggal di istana pangeran ini, mula-mula canggung namun akhirnya biasa juga.
Tak lama kemudian sudah ikut berjaga dan melaksanakan tugasnya melindungi istana. Itu
adalah pekerjaan mereka. Dan ketika dua kakek itu sudah resmi menjadi pembantu
Coa-ongya menggantikan Tiat-kak si Kaki Besi maka Coa-ongya
tersenyum di balik kamarnya dan mengangguk-angguk,
puas. ooooo0de0wi0ooooo Beng Tan melepas lelahnya. Setelah dikejar-kejar dan
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasil meninggalkan lawan-lawannya di belakang, yang mengumpat dan mengutuknya
habis-habisan pemuda ini melempar pantatnya dl bawah sebuah pohon, duduk
menyeka kenngat dan diam-diam tertawa kecut, Dua kakek India yang tak mau sudah
dan akhirnya dihajarnya itu
membuat pemuda ini tersenyum, geli. Tapi baru dia duduk melepas lelah, setelah
sedikit mendongkol oleh kejadian-kejadian yang dialami mendadak terdengar
bentakan dan suara makian di sebelah kiri.
"Manusia busuk, berhenti. Serahkan su-moiku (adik seperguruan perempuan)!"
Beng Tan terkejut. Sebuah bayangan berkelebat di
depannya disusul sebuah bayangan lain, cepat memasuki hutan dan Beng Tan
tertegun. Seorang gadis meronta-ronta dan menangis dipanggul bayangan pertama,
seorang kakek penuh cambang
dan gimbal-gimbal, penampilannya
menyeramkan dan kakek itu terbahak-bahak. Dan ketika
bayangan kedua, seorang pemuda mengejar dan memaki-
makinya di belakang maka kakek itu lenyap meninggalkan tawanya yang serak parau,
berkelebat seperti iblis.
"Ha-ha, tak usah mengejar-ngejar aku, anak setan.
Sumoimu ini tak kuapa-apakan justeru hendak kubuat
senang. Kau pergilah, atau nanti aku membunuhmu!"
"Keparat, kau iblis terkutuk, Lam-ciat. Lepaskan sumoiku atau kau kubunuh ....
singg!" sebatang pedang terlontar dengan amat cepatnya, menyambar di belakang
kakek itu namun si kakek keburu menghilang. Pedang
menyambar dan berhenti di sebatang pohon, menancap di situ. Dan ketika si pemuda
memasuki hutan namun tertegun tak menemukan lawannya, yang ternyata Lam-ciat adanya maka pemuda itu
pucat dan memaki-maki. "Lam-ciat, kau jahanam terkutuk. Keluarlah, atau aku akan terus mengejar-
ngejarmu!" "Ha-ha!" suara si kakek terdengar en-tah di mana. "Kau keras kepala, anak muda.
Kalau begitu lihatlah ini dan rasakan sedikit hajaranku... singg!" pedang yang
menancap di pohon mendadak tercabut, meluncur dan sudah
menyambar pemuda itu. Dan ketika pemuda ini berteriak keras dan tentu saja
menangkis senjatanya sendiri maka dia terpelanting dan terlempar bergulingan.
"Plak!" Beng Tan terkejut. Sambaran pedang yang membuat si
pemuda terpelanting dan bergulingan kaget jelas menunjukkan kelihaian si kakek, yang dipanggil Lam-ciat.
Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun
sementara si kakek ni panya benar-benar ingin memberikan hajarannya pada pemuda
ini tiba-tiba berkelebat sesosok asap hitam yang mengejar pemuda ini, menyambar
dan memukul mukanya dan pemuda itu terpekik. Dia
menangkis tapi terlempar lagi, dikejar dan asap itu sudah bertubi-tubi menyerang
dirinya, muka dan dada dan
sibuklah pemuda itu mengelak sambil memaki-maki.
Namun ketika dia terlempar lagi dan asap Itu berobah
bentuk sebagai bola raksasa maka pemuda ini ditumbuk dan sudah dihantam, disusul
ketawa terbahak-bahak dari balik asap atau bola raksasa ini.
"Ha-ha, kau tak tahu diri, bocah. Kau minta dihajar.
Baiklah, sekarang aku menghajarmu dan enyahlah kalau
tak ingin mampus.... des-dess!" pemuda itu mencelat, terlempar dan mengeluh dan
Beng Tan terbelalak. Dengan matanya yang tajam dan kekuatan batinnya yang tinggi
pemuda ini dapat melihat bahwa sebenarnya kakek
bernama Lam-ciat itu bersembunyi di balik asap hitam atau bola raksasa ini,
melancarkan pukulan-pukulannya dan si pemuda tak sanggup menahan, kalah kuat dan
kalah lihai. Maka ketika pemuda itu bergulingan mengeluh dihajar
jatuh bangun namun terus memaki-maki dan berusaha
melakukan perlawanan sebisanya, padahal jelas bukan
tandingan kakek itu maka Beng Tan hampir meloncat
keluar kalau saja saat itu tidak berkelebat bayangan merah yang mendahuluinya.
"Kakek slluman, kau mampuslah!"
Seberkas cahaya putih menyambar tajam. Lam-ciat yang
dibungkus asap hitam-nya dan sesunggunya memang
berlindung di balik hoat-sut atau sihir setannya tiba-tiba berteriak keras.
Sinar panjang itu menyambarnya dan asap hitam terdengar meledak ketika diserang
cahaya putih ini, yang kiranya sebatang pedang di tangan seorang wanita baju
merah vang menutupi mukanya dengan sehelai
saputangan merah. Tubuhnya menggairahkan dan dapat
diduga bahwa wanita ini tentu cantik, karena suaranya nyaring dan merdu.
Bentakannya itu mengejutkan tapi lebih mengejutkan lagi gerakan pedangnya itu,
yang merupakan sinar berkelebat yang bukan main cepatnya. Dan ketika Lam-ciat
berteriak kaget dan harus berjungkir balik
menjauhkan diri, ilmu hitamnya otomatis buyar maka gadis di pondongannya yang
mengeluh dan roboh tertotok itu
tiba-tiba terlepas. "Ha-ha, dapat emas menemukan permata. Heh, kau
siapa, nona" Ada apa menyerangku dan membuat kaget
begini" Siapa kau?"
"Hm, keparat busuk. Tak usah banyak bicara, Lam-ciat.
Berikan gadis itu dan kau enyahlah, atau pedangku akan menembus jantungmu dan
kau roboh!" "Ha-ha, galak namun gagah! Bagus, kau hebat, nona.
Juga sombong tapi menarik sekali. Aku rela memberikan gadis ini namun kau
sebagai gantinya!" "Apa?" mata yang bersinar-sinar di balik topeng itu bercahaya. "Kau minta aku
ikut padamu" Hm, kau ternyata kakek iblis yang tidak tahu malu, Lam-ciat. Namamu
sudah kudengar dan hari ini aku sudah membuktikannya. Baiklah, aku ikut padamu
namun terima dulu pedangku ini .... sing!"
dan cahaya putih yang kembali menyambar dengan amat
cepatnya menusuk dada kanan kakek itu disambut seruan keras Lam-ciat yang
menggerakkan tangan menangkis,
memukul miring pedang dengan tangan kirinya tapi bagian yang tajam menyambut,
menyambar dan menabas tangan
kakek itu. Bukan main ganasnya, juga cepat dan luar biasa karena masih terus
menyambar dada. Gerakan pedang itu tak memberi ampun dan Lam-ciat tentu saja
kaget sekali. Dan ketika lengan bajunya robek dan pedang tak mungkin ditangkis kecuali dielak
maka kakek ini sudah membanting tubuh bergulingan berteriak parau.
"Haili..... bret!"
Lam-ciat terkejut bukan main. Dia meloncat bangun
namun si wanita baju merah sudah mengejarnya, berkelebat dan membentak nyaring
dan kelabakanlah kakek itu
mengelak sana-sini, menangkis namun mata pedang yang
tajam selalu menyambut tangannya. Melihat desing yang demlkiat cepat dan tajam
tak berani kakek itu mengadu lengannya,
meskipun dia mengandalkan sinkang, kekebalannya. Dan ketika kakek itu harus berloncatan dan sebentar kemudian
berkelebatan pula mengimbangi lawan maka wanita baju merah itu menyerang
bertubi-tubi sementara si kakek berteriak dan berseru berulang-ulang, dua kali ujung bajunya
robek pula. "Haiii.... celaka, ganas!"
Wanita itu tak perduli. Lam-ciat terus dikejar dan
terdesak, tentu saja marah dan lama-lama gusar. Dan ketika sebuah babatan
panjang menggurat lengannya dan ternyata sinkang kakek itu tak mampu melindungi
kekebalannya maka kakek ini berteriak dan lenyaplah di balik Hoan-eng-sut-nya (Sihir Menukar
Bayangan). "Wut!" Lawan tertegun. Wanita baju merah itu kehilangan
lawannya dan tertegun sejenak, tak tahu di mana Lam-ciat berada namun tiba-tiba
si pemuda yang sejak tadi menonton dan dibantu wanita baju merah ini berteriak.
Dia melihat Lam-ciat muncul di belakang si wanita dan melepas
pukulan, tanpa suara. Namun si wanita yang mendengar
kesiur di belakang tubuhnya dan tajam dengan pendengarannya yang tinggi ternyata secepat kilat membalik dan menangkis. "Bret!"
Ujung baju Lam-ciat terpotong sejengkal. Si kakek iblis berteriak kecewa dan
menghilang lagi, entah ke mana.
Namun ketika si pemuda kembali berseru keras karena
melihat kakek itu muncul di sebelah kiri tiba-tiba wanita baju merah itu pun
membalik dan menangkis lagi.
"Bret-bret!" Lam-ciat mengumpat caci. Akhirnya kakek ini marah-
marah dan berkelebatan lagi, menghilang ke kiri kanan dan melepas
pukulan-pukulannya. Bayangannya menjadi demikian banyak dan dari segala penjuru berkesiur pukulan-pukulan ganas, ada
yang kosong tapi tentu pula ada yang isi. Wanita itu bingung dan di sinilah dia
kelabakan. Dan ketika satu saat dia menangkis namun mengenai bayangan yang
kosong maka satu tamparan sungguh-sungguh dari
Lam-ciat mengenai pundak kirinya.
"Dess!" Wanita itu mengeluh. Dia terbanting dan bergulingan
meloncat bangun, Lam-ciat terbahak dan menyerang lagi.
Dan ketika iblis itu mempergunakan Hoan-eng-sutnya dan wanita ini bingung karena
di balik Hoan-eng-sut kakek itu melepas pukulan-pukulan kosong dan isi maka
jatuh bangunlah wanita ini mempertahankan diri, akhirnya
memutar pedang secepat kitiran namun kakek itu berhenti menyerang, tertawa-tawa
di sana, terkejutlah wanita itu.
Dia bisa kehabisan tenaga kalau si kakek tak menyerang, tentu saja menghentikan
gerakannya lagi namun si kakek tiba-tiba menyerang, begitu berulang-ulang. Dan
ketika hal ini melelahkan wanita itu karena setiap dia memutar
pedangnya tiba-tiba Lam-ciat berhenti tapi begitu dia berhenti tiba-tiba kakek
itu kembali menyerang maka
akhirnya wanita ini terdesak dan memaki-maki, bingung menghadapi Hoan-eng-sut
yang memang hebat. "Ha-ha, tahu rasa kau sekarang, anak manis. Menyerahlah atau kau kurobohkan dan kutelanjangi!"
"Keparat! Kau tak tahu malu mempergunakan ilmu
hitammu, Lam-ciat. Kau licik dan curang!"
"Ha-ha, ini Hoan-eng-sut, ilmu ciptaanku yang paling luar biasa. Kau tak dapat
mengalahkan aku karena kepandaianku masih lebih tinggi!"
"Keluarlah kau!" wanita itu membentak. "Mari
bertempur secara berhadapan, kakek buruk. Kaurobohkan aku asal secara jantan!"
"Ha-ha, aku di depanmu. Kaulah yang tak tahu... des!"
dan Lam-ciat yang benar-benar muncul sambil melepas
pukulannya tiba-tiba membuat wanita baju merah itu
terhuyung, tak sempat menangkis atau mengelak karena
lawan muncul begitu saja, juga secara tak terduga. Dan ketika wanita itu
mengeluh dan terdesak memaki-maki
lawannya maka si pemuda yang tadi berdiri menonton tiba-tiba bergerak dan
membantu wanita ini, yang sebenarnya bukan lain adalah Hek-yan-pang-cu, ketua
Hek-yan-pang. "Nona, jangan khawatir. Kita keroyok dia berdua!"
Wanita baju merah ini mengerutkan kening. "Siapa minta bantuanmu?" bentakan ini
mengejutkan. "Pergilah kau, manusia tolol. Kau lebih-lebih lagi bukan tandingan
kakek iblis ini!" "Tapi kau membantuku!" pemuda ini tertegun. "Dan bukankah kau terdesak?"
"Hm, pergi kataku, pemuda keparat. Aku sama sekali tidak membantumu melainkan
semata membantu gadis itu.
Kami sama-sama kaum wanita, aku tak senang melihat
perbuatan iblis ini dan kau enyahlah, bawa sumoimu itu!"
Pemuda ini mendelong. Dia jadi tak menyangka jawaban
itu dan mukanya seketika merah. Dia dimaki dan betapa pedas makian itu. Kalau
saja wanita ini datang bukan untuk menolongnya, atau menolong sumoinya itu
karena hal ini sama saja baginya mungkin dia sudah membentak dan
memaki wanita itu, menerjangnya. Panas dan marah karena dia terhina. Tapi karena
dia sudah ditolong dan diakui atau tidak dia telah dibebaskan dari Lam-ciat maka
pemuda ini menggigit bibir dan tiba-tiba teringat sumoinya itu, yang masih
menggeletak dan di bawah totokan si kakek iblis.
Maka begitu dia teringat dan menghentikan serangannya kepada Lam-ciat, mendengar
kakek itu tertawa tiba-tiba pemuda ini melompat keluar dan sudah menolong
sumoinya itu, membebaskan totokannya.
"Sumoi, seseorang telah menolongmu. Nah, terserah kau mau pergi atau kita serang
si kakek jahanam itu!"
Gadis ini meloncat bangun, langsung mencabut pedang.
"Aku tak mau pergi, suheng. Justeru akan membantu tuan penolongku dan kita
serang kakek jahanam itu!"
"Nah," si pemuda berseru. "Sumoiku tak mau pergi, nona. Justeru kami akan
membalas sakit hati pada kakek iblis ini dan jangan kau marah kepadaku kalau aku
menyerang Lam-ciat!" pemuda itu menerjang lagi, berkata bahwa dia bukan membantu
wanita itu melainkan membantu sumoinya, yang sudah
menyerang dan menerjang Lam-ciat, ada betulnya juga kata-kata ini dan ketua Hek-yan-pang itu
tertegun, tak dapat mengusir. Dan ketika suheng dan sumoi itu sudah mengeroyok
Lam-ciat tapi si iblis menghilang dan muncul lagi dengan ilmunya yang luar biasa
maka Hoan-eng-sut benar-benar merepotkan tiga orang ini karena kakek itu muncul
dan menghilang bagai siluman saja.
"Ha-ha, kalian tak dapat mengalahkan aku. Hoan-eng-sut terlampau tangguh buat
kalian!" "Hm, kau memang licik!" wanita baju merah itu membentak. "Ilmu andalanmu hanya
Hoan-eng-sut yang berbau ilmu hitam itu, Lam-ciat. Tanpa ini ternyata kau bukan
apa-apa!" "Ha-ha, tak-usah marah. Sekarang aku akan membunuh pemuda ini sementara kalian
berdua ikut aku... hargh!"
Lam-ciat mengeluarkan seruan panjang, parau dan
menyeramkan dan si gadis teman si pemuda tiba-tiba
berteriak ketika kakek iblis itu menghilang, berobah bentuk menjadi segumpal
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asal dan kini asap itu menyambar
temannya. Si pemuda terkejut dan tentu saja menggerakkan pedangnya. Tapi ketika
senjatanya terpental dan patah bertemu asap hitam ini maka pemuda itu berteriak
kaget ketika terangkat tinggi dan terbanting.
"Heiii.... bress!"
Pemuda itu menjerit. Lam-ciat di balik asap hitamnya
tertawa bergelak, maju menyambar dan pemuda itupun
sudah diterkam, bergulingan mengelak namun sia-sia. Dan ketika Lam-ciat
menggeram dan pemuda itu mengeluh
maka lengan pemuda ini berkeratak ketika dicengkeram, patah dan Lam-ciat
meneruskan gerakannya ke leher.
Tengkuk pemuda ini mau dipatahkan juga namun saat itu dua pedang di tangan
wanita baju merah dan sumoi
pemuda itu berkelebat, menyambar dan membentak si
kakek. Dan karena gerakan pedang di tangan Hek-yan-
pangcu jauh lebih berbahaya dibanding pedang di tangan sumoi pemuda itu maka
Lam-ciat mengelak dan tangan
kirinya bergerak menampar dua senjata itu.
"Plak-plakk!" Sumoi pemuda itu terpelanting. Pedangnya mencelat dan patah pula menjadi tiga,
Lam-ciat mengerahkan tenaganya hingga gadis ini tak kuat, terbanting dan
terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu menjerit dan Lam-ciat menangkis
pedang si wanita baju merah, menampar dari samping
maka ketua Hek-yang-pang itupun mengeluh dan terhuyung, terbelalak memandang kakek ini yang sudah
tertawa bergelak menggerakkan tangan kanannya, siap
mencengkeram hancur leher pemuda tawanannya itu. Tapi ketika kakek ini siap
membunuh lawan dan melaksanakan ancamannya tiba-tiba Beng Tan yang tak tahan
melihat semuanya itu sudah berkelebat keluar membentak si kakek, menendang sebuah
kerikil hitam. "Lam-ciat, kau kakek iblis tak berperasaan. Lepaskan pemuda itu... tak!"
Hantu Selatan ini terpekik. Batu yang ditendang Beng
Tan tepat sekali mengenai punggung tangannya, yang saat
itu bergerak dan hendak mencengkeram hancur tengkuk
lawannya. Maka begitu dia memekik dan melepaskan
tawanannya, tergetar mundur maka melayanglah Beng Tan menghantam kakek ini.
"Dess!" Lam-ciat terpelanting. Tak menduga diserang demikian cepat dan luar
biasa kakek ini menjerit. Asap hitamnya buyar karena saat itu kakek ini muncul
lagi, tak takut memperlihatkan diri karena dia sudah merasa
kemenangan bakal diraihnya. Tak tahunya datang pemuda baru ini di mana sambitan
atau pukulan Beng Tan dirasa pedih dan panas. Batu hitam yang ditendang Beng Tan
tadi hampir saja membuat putus urat di punggung tangan kakek ini, kalau Lam-ciat
tak mengerahkan sinkang dan
melindungi tangannya. Maka ketika dia mencelat dan
terbanting oleh pukulan Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tegak di
hadapannya sementara pemuda yang
menjadi suheng dari gadis di sebelah ketua Hek-yan-pang sudah dirampas dan
disambar pemuda baju putih ini.
"Sobat, sebaiknya kau mundur. Kakek ini bukan lawan siapa pun dari kalian.
Mundur dan biarkan aku yang
menghadapinya!" Pemuda itu dan sumoinya tertegun. Di sana Hek-yan-
pangcu juga terkejut dan tertegun, kedatangan Beng Tan yang demikian luar biasa
dan mampu membuat Lam-ciat
mengaduh dan terlempar bergulingan jelas menunjukkan
pemuda itu bukan orang sembarangan. Tapi mendengar
pemuda itu menyuruh mereka semua mundur dan akan
menghadapi kakek iblis itu sendirian tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini marah dan
membentak, "Kau si mulut besar bicara apa" Kau menyuruh kami semua mundur?"
"Hm, maaf," Beng Tan menenangkan debaran jantungnya beradu pandang dengan mata yang seperti
bintang itu. "Aku terpaksa berkata seperti itu, nona. Tapi bukan berarti
bermulut besar. Kau dan teman-temanmu tak mungkin menghadapi Hoan-eng-sut."
"Keparat, dan kau bisa?"
"Akan kucoba, nona. Karena aku dapat melihat jelas ke mana saja kakek itu
menghilang. Tenaga batin kalian
kurang tinggi!" "Keparat!" namun belum ketua Hek-yan-pang ini bergerak memaki Beng Tan tiba-tiba
Lam-ciat di sana sudah meledakkan kedua telapak tangannya, menghilang dan
secepat kilat dia menyerang Beng Tan. Semua kata-kata dan sikap pemuda itu
membuat kakek ini marah besar. Maka
begitu si pemuda bicara dengan ketua Hek-yan-pang itu dan dengan marah serta
gusar kakek ini merasa diganggu
mendadak dia sudah mempergunakan Hoan-eng-sutnya itu
dan lenyap menyerang Beng Tan.
"Awas...!" Yang berteriak ini adalah pemuda di sebelah Beng Tan.
Pemuda itu melihat Lam-ciat menghilang dan entah ke
mana, tahu kakek itu akan melakukan serangan tapi tak tahu di mana dia bakal
menyerang. Inilah hebatnya Hoan-eng-sut. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan
Beng Tan tersenyum ternyata dengan tenang namun cepat pemuda ini membalik ke
kiri. "Dukk!" Terdengar jeritan Lam-ciat. Hantu Selatan itu rupanya merasa kesakitan,
terpental dan tampaklah tubuhnya
mencelat ke atas. Kiranya dia tadi menyerang dari atas namun Beng Tan tahu,
menangkis terlemparlah kakek itu di
udara. Hoan-eng-sut dipatahkan dan kakek itu kelihatan ujudnya. Namun ketika
kakek ini membentak lagi dan
berteriak penasaran maka dia sudah menghilang dan
menyerang Beng Tan lagi, dari kiri dan kanan dan Beng Tan cepat mendorong mundur
pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terbelalak karena Beng Tan dengan mudah
mengelak atau menangkis, tahu di mana Lam-ciat berada karena setiap mengelak
atau menangkis pasti selalu tepat, dak-duk-dak-duk dan Lam-ciat menjerit
berulang-ulang Dan ketika kakek itu mencoba lagi dan tangannya meledak
mengeluarkan segumpal asap hitam maka Beng Tan tiba-
tiba membentak kakek itu mengeluarkan Pek-lui-ciangnya, Pukulan Kilat.
"Lam-ciat, kau enyah atau roboh!"
Terdengar raungan kakek ini. Asap hitam meledak ketika bertemu Pukulan Kilat,
ambyar dan kakek itu terguling-guling. Tapi ketika Lam-ciat mencoba lagi dan
rupanya kakek itu masih penasaran dan marah besar tiba-tiba Beng Tan
tak sabar mencabut Pek-jit-kiamnya (Pedang Matahari). "Crat!" Kakek itu mengaduh. Setelah Beng Tan mengeluarkan
Pek-jit-kiamnya dan hanya sekali saja pedang itu keluar dan masuk ke dalam
sarungnya ternyata kakek ini sudah
terluka. Dadanya tergores panjang dan tentu saja gentarlah kakek
itu menghadapi Beng Tan. Dia terbelalak memandang lukanya namun lalu meraung tinggi, meloncat dan terhuyung melarikan
diri. Dan ketika kakek itu
memaki-maki sementara pemuda yang ditolong Beng Tan
tampak kagum dan mendelong, seperti juga temannya dan ketua Walet Hitam maka
Beng Tan tertawa dan berseru
pada lawannya yang sudah melarikan diri itu,
"Nah, lain kali jangan coba-coba nekat lagi, kakek buruk.
Atau kepalamu terpenggal dan lehermu putus!"
Pemuda di sebelah Beng Tan dan sumoinya takjub.
Mereka itu melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja Beng Tan telah
berhasil mengusir Lam-ciat, padahal dikeroyok tiga kakek itu masih saja lebih
unggul. Maka begitu si kakek iblis melarikan diri dan Beng Tan tertawa
mengiringi lawannya maka pemuda ini menjura dan sudah berseru di depan Beng Tan,
"Aih, luar biasa sekali, in-kong (tuan penolong). Ilmumu hebat dan
mentakjubkan sekali. Aku Liong Ma menghaturkan terima kasih bahwa kau telah menyelamatkan jiwaku!"
"Benar, dan aku juga, in-kong. Aku Liong Hwi
mengucapkan banyak terima kasih!"
"Eh-eh!" Beng Tan terkejut. "Yang menolong pertama kali adalah Ang-siocia (nona
baju merah) ini, sobat-sobat.
Aku hanya datang belakangan dan kebetulan saja mengusir kakek itu!"
"Benar, akupun akan berterima kasih padanya." dan Liong Hwi yang membungkuk dan
merangkapkan tangan di depan ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu mengucap terima kasih.
"Cici, kau pun hebat. Aku Liong Hwi
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Budi baikmu terus terang tak dapat
kubalas, semoga Tuhan yang membalas kebaikanmu!"
"Hm!" wanita ini tiba-tiba berkelebat pergi. "Yang menolong kalian adalah pemuda
itu, Liong Hwi. Tanpa diapun barangkali aku mampus. Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih dan biar
aku pergi!" Liong Hwi tertegun. Dia terbelalak mengerutkan kening dan temannya pun berseru
tertahan. Mereka bermaksud
mencegah namun orang sudah lenyap di luar hutan. Dan
ketika mereka melenggong dan tak dapat bicara mendadak Beng Tan yang ada di
sebelah kanan mereka pun lenyap
berkelebat. "Ha-ha, betul, Liong Hwi. Terima kasih tak perlu diucapkan karena akupun tak
bermaksud meminta terima kasih. Sudahlah, kalian kembali dan hati-hati jangan sampai ketemu lagi dengan
kakek iblis itu!" "In-kong...!" Namun Beng Tan lenyap. Pemuda ini, seperti juga ketua Hek-yan-pang yang belum
dikenalnya itu hanya ingin
menolong dua muda-mudi ini dari keganasan Lam-ciat.
Hantu Selatan itu berhasil diusir dan tentu saja Beng Tan lega. Dalam
menyaksikan jalannya pertandingan tadi Beng Tan melihat bahwa sebenarnya wanita
baju merah itu lihai, cukup lihai namun sayang menghadapi ilmu hitam macam
Hoan eng-sut jadi terdesak, kewalahan karena tak memiliki tenaga batin yang
tinggi, meskipun mungkin saja
sinkangnya hebat. Dan karena menghadapi ilmu-ilmu
hitam macam Hoan-eng-sut itu orang harus memiliki
tenaga batin yang tinggi karena dengan tenaga batin begini akan mampu melihat ke
mana lawan menghilang, seperti
apa yang dilakukan kakek iblis itu maka semua ilmu silat atau sejenisnya tak
dapat dipakai menghadapi Hoan-eng-sut kecuali harus dihadapi dengan ilmu atau
tenaga batin pula. Dan itu dipunyai Beng Tan, yang telah membuktikannya
tadi. Dan karena pemuda ini juga memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi, seperti
Pek-lui-ciang yang telah membuat gentar lawannya maka Lam-ciat semakin ketakutan
melihat Beng Tan memiliki pula Pek-jit-kiam, Pedang Matahari
yang demikian tajam hingga dari jauh saja dadanya tergores
luka. Liong Hwi dan Liong Ma tak tahu bagaimana caranya pedang itu bekerja,
kecuali wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu, yang tentu saja diam-diam
terkejut dan membandingkannya dengan Golok Maut, senjata yang
dipunyai Giam-to atau Si Golok Maut. Dan ketika dia
terkejut dan hanya wanita inilah yang melihat betapa angin pedang sudah mampu
melukai dada si Hantu Selatan dan
betapa tanpa menyentuh mata pedang itu sudah berhasil membuat Lam-ciat ketakutan
diam-diam wanita ini kagum dan terkesiap.
Namun Hek-yan-pangcu ini sudah berkelebat pergi.
Sebenarnya kemarahan memang tersimpan di dada wanita
itu, bukan apa-apa, melainkan semata oleh rasa malunya bahwa dia tak dapat
mengalahkan si Hantu Selatan
sementara Beng Tan bisa. Itu saja. Maka ketika ini semua masih ditambahi secara
tak sengaja oleh Liong Hwi dan Liong Ma yang lebih dulu mengucap terima kasih
kepada Beng Tan bukan kepada dirinya maka wanita ini semakin mendongkol dan
marah. Dan kita tahu, akhirnya wanita itu pergi, disusul Beng Tan dan tentu saja
pemuda ini tahu kemarahan orang. Beng Tan yang berkelebat meninggalkan Liong Hwi
dan Liong Ma sebenarnya ingin mengetahui
lebih lanjut siapa sebenarnya wanita bersaputangan merah itu, yang matanya
bersinar-sinar bagai bintang kejora namun apinya bagai besi terbakar. Panas dan
tajam menusuk! Teringat bola mata itu Beng Tan tergetar, hatinya berdebar dan ada
semacam perasaan aneh menyelinap di
jiwanya, entah apa. Dan ketika siang itu Beng Tan
berkelebat pergi dan diam-diam merasa sayang kenapa
wanita baju merah yang menarik hatinya itu pergi
mendahului mendadak saja dia tercekat ketika sambil
melamun, jauh meninggalkan hutan pertama dia dicegat
wanita ini, tanpa disangka-sangka!
"Pemuda sombong, berhenti sebentar. Kebetulan aku ingin bicara!"
"Lho?" Beng Tan tertegun. "Kau di sini, nona" Belum pergi" Ah, kebetulan, aku
juga ingin mencarimu!" dan Beng Tan yang tidak berprasangka buruk dan sudah
meloncat dan berseri-seri memandang wanita ini lalu menjura,
menyambung, "Nona, maaf kalau tadi aku menerima
ucapan dua suheng dan sumoi itu. Mereka lupa, dan terus terang aku kikuk!"
"Hm, tak usah pura-pura!" bentakan itu mengejutkan.
"Kikuk atau tidak yang jelas kau telah menghina aku, manusia sombong. Dan kini
aku menuntut agar kau minta maaf dan berlutut di depan kakiku!"
"Apa?" Beng Tan terkejut. "Aku menghina dirimu"
Berlutut dan minta maaf" Eh-eh, minta maaf mau saja,
nona. Tapi berlutut nanti dulu. Hanya terhadap kaisar saja orang boleh berlutut,
selebihnya lihat-lihat dulu!"
"Hm, sudah kuduga. Kau memang sombong dan banyak tingkah! Baiklah, cabut
pedangmu, manusia sombong. Dan aku menantangmu bertanding... srat!" Beng Tan
tertegun, melihat wanita itu sudah mencabut pedangnya dan mata
yang bersinar-sinar di balik kedok itu mengeluarkan apinya yang membuat pemuda
ini surut mundur, tergetar dan tentu saja kaget. Dan ketika ujung pedang sudah
digetarkan tiga kali namun Beng Tan tak mencabut pedangnya, sesuai
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah, mendadak saja lawan telah melekatkan ujung
pedangnya di batang tenggorokannya.
"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau
mampus!" "Nanti dulu!" Beng Tan terkesiap, mendorong ujung pedang itu. "Perlahan dulu,
nona. Tiada hujan tiada angin
kau memusuhiku. Eh! Apa salahku" Apa yang telah
kuperbuat?" "Hm, tak usah banyak tanya, pemuda sombong. Kau
telah memamerkan ilmu pedangmu yang hebat itu dan terus terang aku gatal ingin
mencoba. Tanpa bersalahpun aku tetap ingin menghadang, menjajal kepandaianmu!"
"Lho-lho... kenapa begini" Bukankah aku justeru
menolongmu dari Lam-ciat" Eh!" Beng Tan semakin
terbelalak. "jangan memusuhi orang tanpa sebab, nona.
Aku tak suka dan terus terang tak ingin bermusuhan
denganmu. Justeru aku ingin tahu siapakah kau dan
bolehkah kita berkenalan!"
"Hm, berkenalan hidungmu!" hidung yang mancung itu tiba-tiba mendengus. "Kiranya
kau pemuda ceriwis, bocah sombong. Kalau begitu untuk alasan ini saja sudah
cukup aku memusuhi mu. Cabut pedangmu atau kau mampus....
singg!" dan pedang yang bergerak luar biasa cepatnya tanpa memberi tahu lagi
tiba-tiba sudah menusuk ke dada Beng Tan, mendesing dan untuk kesekian kalinya
Beng Tan melihat bahwa wanita ini sebenarnya memang bukan
wanita sembarangan. Pedang bergerak dan sudah menusuk dirinya dengan cepat,
seperti kilat menyambar. Dan karena Beng Tan tentu saja tak mau ditusuk dan
dadanya berlubang sia-sia maka pemuda ini mengelak namun
pedang dengan ganas dan cepat mengejar larinya.
"Plak!" Beng Tan berseru keras. Pedang sudah ditangkis namun
terpental membalik, bagai per atau pegas saja sudah
meluncur lagi dari atas ke bawah menusuk ubun-ubunnya.
Gagal menyambar dada kini menyambar kepala. Bukan
main! Dan ketika Beng Tan menjadi marah dan berkelit
menghindar maka lawan berseru dan mengejarnya lagi,
membentak agar dia mencabut pedangnya atau mampus,
bentakan yang disertai pandangan berkilat dan penuh nafsu membunuh, hal yang
membuat pemuda ini bergidik. Dan
ketika Beng Tan dipaksa berlompatan dan akhirnya
berkelebatan mengimbangi lawan maka pedang sudah
berseliweran dan naik turun menyambar-nyambar dirinya.
"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau
mampus!" Beng Tan terbelalak. Lawan mempercepat gerakannya
dan terpaksa dia pun mempercepat gerakannya. Ilmu
meringankan tubuh dikeluarkan pemuda ini dan beterbanganlah pemuda itu menghindari serangan-serangan lawan. Tapi ketika lawan
juga melengking tinggi dan
mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya
pula maka Beng Tan tak dapat mengelak dan harus
menangkis atau membalas. "Plak-plak!" Lawan berseru marah. Pedang ditampar miring dan Beng
Tan mendapat kenyataan bahwa tenaga lawan cukup hebat, untung dia masih lebih
hebat dan tertolaklah pedang ke kiri atau kanan. Dan ketika lawan menyerang lagi
dan kian sengit menggerakkan pedangnya maka Beng Tan mengeluarkan Pukulan Kilat nya dan apa boleh buat harus membalas atau memukul
pedang. "Nona, kau hebat. Tapi aku tak mau terbunuh!" dan Beng Tan yang membentak
menggerakkan tangannya akhirnya berkelebatan menampar atau menangkis, membalas dengan pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya dan
lawan terpekik. Ketua Hek-yan-pang atau wanita baju
merah ini terkejut, setiap tamparan atau pukulan Beng Tan menyengat lengannya,
melalui badan pedang. Dan ketika wanita itu terhuyung dan sering mengeluh,
karena tergetar dan merasa kesetrom maka Beng Tan di sana berseru agar lawan berhenti menyerang.
"Jangan menyerang lagi. Simpan pedangmu, nona. Dan kita bersahabat!"
"Hm, aku tak mau bersahabat!" wanita itu membentak.
"Kaubunuh aku atau aku yang membunuhmu, manusia
sombong. Atau kau cabut pedangmu dan perlihatkan ilmu pedangmu itu!"
"Aku tak suka berkelahi...."
"Aku yang menantangmu! Ah, kau terlalu banyak
mulut!" dan wanita itu yang memotong serta menyerang lagi tiba-tiba memekik dan
berkelebat menusuk perut Beng Tan, dikelit tapi pedang meliuk dari kanan ke
kiri, cepat dan luar biasa hingga Beng Tan terkejut. Dan ketika pemuda itu
berseru keras dan marah melihat kebandelan lawan maka dia bermaksud untuk
melepaskan pedang wanita ini dari tangan pemiliknya.
"Plakk!" Tamparan atau tangkisan Beng Tan ini keras. Wanita itu menjerit dan pedangnya
benar-benar terlepas, mencelat dari tangan kanannya. Tapi ketika wanita itu
berjungkir balik dan menggerakkan tangan kirinya ternyata pedang telah dipegang
dan menyerang lagi dengan ganas.
"Hebat, kau luar biasa, nona. Ilmu pedangmu
sebenarnya hebat!" "Tak usah memuji!" wanita itu marah. "Kau berlutut dan minta ampun atau aku
terus menyerangmu mati-matian,
manusia sombong. Atau kaubunuh aku dan aku siap
bertempur sampai titik darah penghabisan!"
"Ah, kau keras kepala...!" dan Beng Tan yang bingung menangkis lagi lalu
menambah tenaganya hingga lawannya terpekik, pedang mencelat namun lagi-lagi
disambar oleh tangan yang lain. Hal ini terjadi empat lima kali hingga Beng Tan
kagum, sebenarnya melihat bahwa lawannya itu mendesis kesakitan, telapaknya
mulai lecet, pecah-pecah.
Dan ketika pemuda ini bingung harus menyudahi
pertempuran dengan cara bagaimana mendadak terdengar
geram dan bentakan seseorang,
"Pangcu, kau diganggu siluman sombong ini" Mundurlah, biar aku yang menghadapi... siut-dess!" dan Beng Tan yang mencelat
oleh sebuah tendangan tiba-tiba berseru kaget oleh datangnya serangan yang luar
biasa cepat ini, melihat seorang pemuda atau laki-laki bercaping
muncul di situ, membantu wanita baju merah ini yang
sudah terdesak oleh tangkisan-tangkisan Beng Tan. Hanya berkat kekerasan dan
kemarahan hatinya saja wanita ini kuat bertahan, padahal telapak tangannya sudah
lecet-lecet berdarah. Dan ketika bayangan atau laki-laki bercaping itu muncul
dan berkelebat dengan sebuah tendangan melayang maka Beng Tan terguling-guling
dan terlempar dengan kaget. "Golok Maut....!"
Yang mengeluarkan seruan itu adalah ketua Hek-yan-
pang atau wanita baju merah ini. Beng Tan di sana sudah bergulingan meloncat
bangun dan terkejut mendengar
seruan itu. Dan ketika Golok Maut, laki-laki gagah
bercaping ini berdiri tegak di hadapan Beng Tan maka Beng Tan melongo melihat
wanita baju merah itu terisak dan menangis melaporkan kejadiannya, seperti
seorang pacar melaporkan kekurangajaran pemuda lain kepada kekasihnya, "Golok Maut, bunuh pemuda ini. Dia... dia menggangguku....!" "Hm!" Golok Maut, laki-laki itu mengangguk. "Aku sudah menduganya demikian,
pangcu. Tapi tak usah kau
khawatir. Mundurlah, aku yang menghadapinya, laki-laki dengan laki-laki!" dan
sementara Beng Tan bengong dan kaget melihat semuanya itu maka Golok Maut sudah
melangkah mendekatinya dengan mata berapi-api, sedikit tengadah namun wajah di
balik caping bambu itu masih
tersembunyi baik, "Orang kurang ajar, apa yang kau lakukan terhadap ketua Hek-yan-pang ini" Tak
malu kau bahwa sebagai seorang laki-laki kau mengganggu seorang wanita" Hm, kau harus diberi adat,
manusia busuk. Aku akan menghajarmu atau kau cepat berlutut minta ampun!"
Beng Tan tertegun. "Kau Golok Maut?"
"Perlukah aku memperkenalkan diri?" suara ini dingin, menyeramkan. "Kau
sudah menyebutnya, manusia sombong. Dan sekarang mintalah ampun atau kau
menerima hukuman!" "Nanti dulu!" Beng Tan mundur, mencelat ke belakang, melihat lawan hendak
menyerang. "Aku tak melakukan apa-apa, Golok Maut. Dan justeru baru sekarang aku
tahu bahwa yang kuhadapi itu adalah seorang pangcu (ketua).
Tunggu, siapa dia dan tanyakan dulu gangguan apakah
yang kulakukan kepada temanmu itu!"
Golok Maut tertegun. "Pangcu," katanya menoleh.
"Benarkah pemuda ini tak melakukan apa-apa kepadamu"
Bagaimana perkelahian ini terjadi?"
"Kenapa kau banyak bicara" Serang dan bunuh saja pemuda itu, Golok Maut. Kalau
dia tak menggangguku tak mungkin aku menyerangnya. Dia sombong, menghina
diriku. Nah, jangan bertanya dan serang dia!"
"Nanti dulu!" Beng Tan mundur lagi.
Semakin terkejut. "Jangan menyerang kalau tidak
mengetahui duduk persoalannya, Golok Maut. Aku Ju
Beng Tan tak takut kepadamu tapi jarrgan menyerang
membabi buta. Aku kebetulan mencarimu, tak mungkin
akan menyingkir dan justeru gembira. Kau sebutkanlah
siapa wanita ini dan kenapa beberapa waktu yang lalu kau mengobrak-abrik
istana!" "Hm, kau siapa" Kenapa bertanya tentang ini" Dia adalah
Hek-yan-pangcu, orang she
Ju. Dan aku membantunya karena dia sahabatku!"
"Eh, dia ketua Walet Hitam" Dan aku.... aku..."
"Benar, kau telah memusuhinya. Dan karena dia
sahabatku maka berarti kau musuhku pula. Bersiaplah, aku ingin menghajarmu!"
"Nanti dulu...!" namun Si Golok Maut yang mendengus dan membentak ke depan tiba-
tiba bergerak dan telah melakukan tamparannya, berkelebat dan sudah menyerang dengan cepat. Beng Tan
berdetak dan tergetar. Orang yang dicari-cari tiba-tiba ada di depan hidungnya,
muncul begitu saja! Maka begitu lawan menyerang dan rupanya tidak mau banyak
cakap lagi tiba-tiba Beng Tan pun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukk!" Dua orang itu mencelat. Baik Golok Maut maupun Beng
Tan sama-sama terpental, masing-masing berseru kaget dan berjungkir balik. Beng
Tan merasa betapa sinkang yang amat kuatnya menghantam dirinya, ditahan namun
dia terpental juga. Dan ketika pemuda ini mengeluarkan
teriakan kaget sementara Golok Maut juga tersentak dan berseru tertahan maka
tokoh bercaping itu berjungkir balik dan terbelalak memandang Beng Tan, tidak
banyak cakap dan tiba-tiba menerjang lagi, tangan kiri mendorong dan serangkum
angin kuat menghantam lawannya ini. Tapi
ketika Beng Tan penasaran dan ingin menjajal lagi maka untuk kedua kalinya
pemuda itu pun menangkis.
"Duk-dukk!" Dua orang ini lagi-lagi terpental. Beng Tan dan lawannya kembali sama-sama
berseru keras, mereka terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan bahwa
tenaga mereka sama kuat, satu sama lain berimbang dan tentu saja mereka terbelalak. Kekaguman
tak dapat disembunyikan lagi
namun Golok Maut melengking lagi, berkelebatan dan
sudah menyerang lawannya dengan gencar. Dan ketika
Beng Tan mengimbangi cepat dan berkelebatan menangkis atau mengelak maka
keduanya sudah bertempur dan
bertanding seru, mula-mula masih kelihatan namun
akhirnya lenyap, masing-masing sudah berobah menjadi
bayangan putih dan hitam. Golok Maut mengenakan baju
hitam dan kontras sekali bayangan keduanya itu. Dan
ketika suara "dak-duk" terdengar berulang-ulang dan masing-masing terpental tapi
selalu serang-menyerang lagi maka ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah itu
terbelalak. Sebenarnya, kedatangan Golok Maui menggembirakan
hatinya. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa girang, berseru dan tadi
melaporkan kejadian itu dengan sikap seorang kekasih kepada pacarnya. Aneh
sekali, wanita ini berseri-seri dan tentu saja hanya Golok Maut atau mereka
berdua yang tahu semuanya itu, kegembiraan atau
kebahagiaan kedua belah pihak begitu masing-masing
bertemu. Ketua Hek-yan-pang ini bersinar-sinar dan
bercahaya mukanya, menonton jalannya pertandingan dan berulang-ulang dia
mengeluarkan seruan kaget pula, ketika Golok Maut atau lawannya terpental. Dan
ketika di sana Beng Tan menjadi gemas dan marah karena Golok Maut
membela wanita baju merah itu tanpa menanya duduk
persoalannya dengan baik, padahal jelas wanita itulah yang mencari setori dan
menyerangnya dulu maka Beng Tan
melayani dan mengimbangi lawannya ini, terkejut dan
kagum karena Golok Maut ternyata hebat. Masing-masing belum mengeluarkan
senjatanya karena masing-masing
ingin mengadu kepalan dulu, pertandingan tangan kosong di mana pukulan sinkang
atau getaran Iweekang (tenaga dalam) silih berganti dikeluarkan. Masing-masing
mendapat kenyataan bahwa baik Iweekang ataupun sinkang (tenaga sakti) boleh
dikata berimbang, tak ada yang unggul atau asor (kalah). Dan ketika pertandingan
berjalan semakin seru karena masing-masing kian mempercepat gerakan untuk
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendahului yang lain maka Golok Maut mengeluarkan
satu bentakan keras di mana tangan kirinya tiba-tiba
menyambar dalam satu gerak memutar. "Dess!"
Beng Tan tak menduga. Pemuda ini terkena dan
terpelanting, tidak apa-apa namun mendesis kesakitan.
Pundaknya yang kena pukulan cukup pedas dan linu, kalau dia tidak mengerahkan
sinkangnya barangkali tulang
pundaknya bisa patah. Gerakan memutar tadi sungguh
mengecohnya. Namun ketika Golok Maut menyerang dan
melakukan gerakan serupa, kini dengan tangan kanannya tiba-tiba Beng Tan meliuk
dan berkelebat di bawah ketiak lawan.
"Dess!" Kali ini Golok Maut yang terbanting. Dengan dengan
gerak tipu Kilat Melingkari Matahari pemuda ini ganti mengecoh lawan, menyelinap
dan keluarlah pukulan Pek-
lui-ciangnya. Namun ketika Golok Maut bangkit terhuyung dan tidak apa-apa maka
Beng Tan kagum dan berseru
memuji lawan, "Hebat, kau luar biasa, Golok Maut. Mengagumkan!"
"Hm, kaupun juga hebat. Tak perlu memuji, orang she Ju. Kita masih berimbang dan
belum ada yang kalah atau menang!"
"Tapi aku akan menundukkanmu. Kau cukup ganas dan telengas di luar!"
"Hm!" dan Golok Maut yang tidak menjawab karena sudah menghadapi serangan-
serangan lawan lalu dibalas dan menerima pukulan-pukulan Pek-lui-ciang, Pukulan
Kilat, melihat sinar berkeredep dan menyambar dari kedua tangan
lawannya, mengelak dan menangkis dan terdengarlah ledakan ketika pukulan-pukulan mereka
bertemu. Dan ketika semuanya itu kembali ditonton dan membuat kagum ketua Hek-
yan-pang maka wanita baju
merah ini memuji berulang-ulang.
"Hebat, tapi jangan mundur, Golok Maut. Maju dan hadapi kembali lawanmu itu.
Robohkan dia!" Ini adalah spirit bagi Golok Maut. Beng Tan mengejek
namun tidak gentar, untuk sementara mereka masih
berimbang. Tapi ketika Golok Maut mendesak dan
menambah tenaganya, hingga Pek-lui-ciang yang biasanya hebat itu tertolak dan
membuat Beng Tan terhuyung maka satu ancaman lawan membuat Beng Tan mengerutkan
keningnya. "Orang she Ju, kau hebat. Tapi aku harus merobohkanmu. Menyerahlah atau aku terpaksa mencabut
senjata!" "Hm, aku tak takut!" Beng Tan berdebar, mendengar lawan akan mencabut goloknya
yang ampuh itu. "Kau boleh cabut senjatamu, Golok Maut. Dan lihat apakah
benar kau dapat merobohkan aku!"
"Aku akan mencabutnya, tapi cabut pula pedang di balik punggungmu itu!"
"Hm, kau tahu?"
"Kita sama-sama bermata, orang she Ju. Jangan berlagak dan pura-pura pilon.
Cabutlah pedangmu, dan aku akan
mencabut golokku!" Beng Tan berbinar matanya. Kalau Golok Maut berkata
seperti itu maka harus diakuinya bahwa lawan sebenarnya gagah, tak ingin
mendahului dan menyerang lawan yang
bertangan kosong. Golok Maut tak mau mempergunakan
senjata kalau dia tidak bersenjata. Perasaan simpatik tiba-tiba timbul dan Beng
Tan tersenyum memandang lawannya itu. Dan ketika lawan menambah tenaganya
menangkis pukulannya maka Beng Tan berseru keras menambah
tenaganya pula. "Golok Maut, kau bukan manusia licik. Baiklah, siapa pun boleh mempergunakan
senjatanya lebih dulu kalau dia menghendaki.... dess!" Beng Tan mengerahkan
sinkangnya, terpental namun di sana Golok Maut juga terlempar. Kali ini keduanya
terbanting dan bergulingan di tanah,
mengeluh. Namun ketika mereka melompat bangun dan
terhuyung memandang lawan maka Golok Maut menggeram, "Baiklah, kalau begitu kita lihat!" dan satu bentakan kuat yang menggetarkan
tempat itu tiba-tiba disusul dengan lenyapnya Si Golok Maut itu. Beng Tan
melihat lawan menjejakkan kakinya, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menyambarnya dari
atas. Gerakan meluncur dan terbang
seperti burung telah ditunjukkan lawannya ini, Beng Tan terkesiap. Dan ketika
dia mengelak namun serangkum
angin dingin menyambar belakang punggungnya tiba-tiba saja sebuah totokan dan
cengkeraman cepat menyambar
dirinya. "Bret-plak!" Beng Tan kaget bukan main. Ternyata setelah dekat
pemuda ini tahu bahwa Golok Maut hendak merampas
pedangnya, yang disembunyikan di punggung. Dan karena gerakan ini disembunyikan
di balik totokan lihai di mana jari tangan lawanya itu berkesiur di atas kepala
maka se cepat kilat Beng Tan membanting tubuh bergulingan dan melepas totokan
pula, ke mata lawan. "Crit-dess!" Gebrakan ini ganti mengejutkan Golok Maut. Beng Tan
menusuk matanya dengan gerakan mengadu jiwa, saat itu tangannya sudah bergerak
merampas pedang lawan di belakang punggung, menarik dan pedang tertarik dari
sarungnya. Tapi begitu lawan menusuk matanya dan tentu saja Golok Maut melempar
kepala ke kiri tiba-tiba tanpa diduga totokan itu lewat di belakang punggungnya
dan...... golok yang tersimpan di belakang dirampas dan tertarik keluar dari sarungnya.
"Srat!" -ooo0dw0ooo- Jilid : XVI DUA-DUANYA berjungkir balik ke belakang. Golok
Maut mengeluarkan teriakan tertahan sementara lawan juga berseru lirih. Dua-
duanya sudah merampas senjata lawan.
Golok Maut dengan pedang bersinar putih yang
berkeredepan menyilaukan mata sedangkan Beng Tan
dengan Golok Maut yang terasa dingin menyeramkan.
Masing-masing tertegun dan terbelalak sejenak mengamati pedang atau golok di
tangan masing-masing, keduanya
Dewa Tangan Api 3 Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Suling Emas 12
pusing. "Tutup mata kalian, jangan dilihat!" Pek-lui-kong, yang terkejut melihat
perobahan ini tiba-tiba berseru pada muridnya. Keng Han dan Su Tong melaksanakan
itu namun terlambat, tiba-tiba pusing dan roboh sendiri,
gedebak-gedebuk. Dan ketika dua pemuda itu mengeluh
terguling dan Lam-ciat di balik ilmu hitamnya terkekeh
aneh maka Bhi Li dan kakaknya tiba-tiba melengking dan menyambar pedang di atas
tanah. "Locianpwe, kalau Su Tong dan Keng Han tak dapat membantumu biarlah kami maju
menggantikan. Kakek ini jahat, mari kita basmi dan bunuh dia... sing-singg!" dan Bhi Li yang melengking
marah membentak lawannya tiba- tiba menusuk dan membacok, menggerakkan pedangnya
namun sama seperti Su Tong iapun menembus bayangan
kosong. Lam-ciat seolah roh halus dan memekiklah gadis itu. Dan ketika
kakaknya juga melakukan hal yang sama namun mendapat kenyataan yang sama pula maka Lam-ciat mengibas dua gadis itu dengan pukulan
jarak jauhnya. "Ha-ha, kaupun tak dapat mengalahkan aku, anak-anak.
Robohlah dan menyingkir... bres-bress!" dua enci adik itu mengeluh, terlempar
dan tak dapat menahan diri namun
bergulingan meloncat bangun, menyerang lagi dengan
nekar dan Pek-lui-kong si kakek gagah kagum. Dua enci adik itu membantunya namun
lagi-lagi mereka terlempar.
Dan ketika kejadian itu berulang enam tujuh kali dan hanya karena dia selalu
melindungi kalau Lam-ciat hendak
menotok roboh gadis itu maka pendekar ini berseru agar mereka mundur, membawa
pergi Su Tong dan Keng Han.
"Kakek ini hebat, biar aku saja yang menghadapinya.
Kalian pergilah, bawa muridku dan kalian selamatkan diri!"
"Tidak," Bhi Li melengking. "Kau datang juga hendak menolong kami, locianpwe.
Kalau kami mampus biarlah itu terjadi. Kami tak mau mundur atau kau saja yang
pergi dan bawa murid-muridmu itu!"
"Hm, mana mungkin?" kakek ini terbelalak, semakin kagum. "Aku saja kewalahan
menghadapinya, nona. Kalian pergilah dan biar aku yang melindungi dari
belakang!" Tidak!" kali ini Bhi Pui berseru. "Kau yang pergi atau kita semua menghadapi
iblis ini, locianpwe. Kami tak
takut,mampus dan biar kami membalas sakit hati kami!"
"Hm, baiklah," Pek-lui-kong merasa tak berdaya. "Kalian gadis-gadis yang keras
hati, nona. Kalau begitu keinginan kalian baiklah kita hadapi kakek iblis ini
dan hati-hatilah!" lalu melindungi diri dari setiap pukulan sinkang dan coba membalas dengan
pukulan-pukulan Petirnya kakek ini
kembali menghadapi Lam-ciat, sayang tak berhasil baik karena Lam-ciat berlindung
di balik ilmu hitamnya. Dan ketika Bhi Li kembali terlempar oleh sebuah tamparan
maka Bhi Pui ganti menyusul dan terlepas pedangnya.
"Plak-plak!" Dua gadis itu merintih. Pukulan Lam-ciat kali ini tak dapat dicegah si kakek
gagah, karena saat itu Pek-lui-kong juga menangkis sebuah angin pukulan yang
menyambar dari belakang. Dan ketika dua enci adik itu merintih dan terlepas pedangnya maka
Lam-ciat tertawa bergelak dan tiba-tiba memecah bayangannya menjadi sepuluh
orang. "Wut-siut!" Pek-lui-kong terkejut. Saat itu dia baru terhuyung
menangkis sebuah pukulan, tiba-tiba melihat sepuluh
bayangan sekaligus mengelilinginya, tak ayal berobah
mukanya dan dari mana-mana menyambar pukulan
bertubi-tubi. Dan karena dia tak dapat memilih bayangan mana yang kira-kira Lam-
ciat adanya maka kakek ini
berseru keras mencabut ikat rambutnya, menangkis.
"Des-dess!" Si kakek terkecoh. Sepuluh bayangan yang ditangkis
ternyata palsu adanya, semuanya bukan Lam-ciat yang asli.
Dan ketika dia terhuyung karena terbawa oleh pukulannya
sendiri maka saat itulah Lam-ciat yang asli berkelebat muncul di... atas
kepalanya. "Ha-ha, mampus kau, Lui-kong. Sekarang kau tak
berdaya... bumm!" Kakek itu menjerit, kepalanya dihantam dari atas dan
terlemparlah kakek gagah itu. Lui-kong tokoh utara ini terguling-guling, secara
curang dan licik Hantu Selatan itu menyerangnya. Dan ketika dia mengeluh dan
kepala serasa pecah dihantam pukulan Lam-ciat maka saat itulah Lam-ciat
menggerakkan tangan kirinya dan puluhan jarum-jarum kuning menyambar tokoh utara
ini, dikelit tapi tiga batang jarum tetap mengenainya, pedas dan gatal. Dan
ketika kakek itu menyadari bahwa jarum yang amat berbahaya
dan beracun menusuki tubuhnya maka di saat itulah lawan berkelebat menghilang
dan tahu-tahu sudah mencengkeram kepalanya untuk dicengkeram hancur.
"Ha-ha, roboh kau, Lui-kong. Sekarang kau mampus!"
Kakek ini terkejut. Saat itu dia mau menangkis namun
kedua lengan tak dapat digerakkan. Jarum yang menancap di tubuhnya kiranya
dengan cepat sudah menyebar
racunnya, seluruh tubuh menjadi kaku dan kakek ini kaget bukan main. Lui-kong
memaki lawan dengan muka pucat.
Dan ketika serangan tak dapat dihindarkan lagi dan Lam-ciat tertawa bergelak
dengan cengkeraman mautnya, dua jari telunjuk dan tengah siap mencoblos mata
lawan yang tentu akan seketika hancur, tiba-tiba berkelebat sinar putih
menyilaukan mata diiring bentakan yang mendirikan bulu roma,
"Lam-ciat, tahan seranganmu... crat!" dan kelingking Lam-ciat yang putus dibabat
sinar menyilaukan ini tiba-tiba sudah menarik serangannya dan secepat kilat
membanting tubuh bergulingan.
"Haiyaaa...!" Lam-ciat kaget bukan main. Saat itu dia tinggal
merobohkan lawan, Pek-lui-kong sudah tak dapat menggerakkan tangannya karena seluruh tubuh mendadak
kaku, akibat racun dari jarum yang menyebar cepat. Dan ketika kakek itu roboh
namun Lam-ciat buntung kelingking kirinya, yang terus bergulingan dan meloncat
bangun maka berdirilah di situ seorang laki-laki gagah yang mengenakan caping
lebar. "Golok Maut..!"
Semua tertegun. Lam-ciat terbelalak namun Bhi Li dan
kakaknya girang bukan main. Mereka itulah yang tadi
berteriak dan menyebut nama ini, nama Golok Maut yang akhir-akhir ini
mengguncang dunia kang-ouw. Dan ketika Golok Maut, laki-laki yang tegak dengan
tubuh tak bergeming itu mengangguk pada Bhi Li dan Bhi Pui, dua enci adik maka di sana
Lam-ciat tergetar dan Lui-kong tokoh utara itu mengeluh.
"Kau telan ini, cepat!"
Dua pil hijau melayang ke mulut kakek ini. Entah
bagaimana tahu-tahu Pek-lui-kong telah menerima pil itu, yang cepat menyambar ke
mulutnya. Dan ketika pil itu
lenyap dan Golok Maut telah menghadapi Lam-ciat maka
kakek Hantu Selatan ini menggereng, sadar dari kagetnya.
"Heh, kau Golok Maut, anak muda?"
"Tak perlu banyak cakap. Kau pergi atau kuhajar, kakek sinting. Enyahlah dan
jangan ganggu lima orang ini!"
"Ha-ha!" dan Lam-ciat yang tiba-tiba menubruk dan menghantamkan tangannya tahu-
tahu berkelebat dan sudah menyerang si Golok Maut, tidak banyak cakap karena
lawan menyuruhnya pergi. Tapi begitu pukulan melayang
dan Golok Maut menggerakkan tangannya mendadak
secepat kilat sinar yang menyilaukan mata itu berkelebat panjang.
"Cras!" Hantu Selatan menjerit. Sama seperti tadi tahu-tahu jari manisnya hilang,
terbabat atau disambut sinar menyilaukan itu. Bukan main kagetnya. Dan ketika
kakek ini merintih dan melempar tubuh bergulingan lagi maka ia terbelalak
memandang si Golok Maut, yang telah menyimpan
senjatanya kembali, di belakang punggung.
"Nah, kau tahu rasa, Lam-ciat. Atau kau akan
kehilangan semua jarimu dan putus sia-sia!"
"Keparat!" kakek ini memekik. "Kubunuh kau, Golok Maut. Kukeremus kepalamu!" dan
Lam-ciat yang menerjang lagi sambil membalut lukanya lalu menghantam dan memaki-maki si Golok
Maut, dielak dan dikelit dan sinar putih panjang itu mau keluar lagi, mengancam.
Dan ketika Golok Maut benar-benar mengeluarkan senjatanya dan kakek itu
melengking tiba-tiba lenyaplah dia di balik ilmu hitamnya, Hoan-eng-sut.
"Siut-klap!" Terdengar ledakan. Kakek ini melengking-lengking
namun Golok Maut tiba-tiba mendengus, berkelebat dan
lenyap pula berkejaran dengan bayangan si kakek gila, heran dan mengejutkan dan
tampaklah oleh Bhi Li betapa dua bayangan sambar-menyambar seperti siluman.
Dengan ginkangnya yang luar biasa Golok Maut mengimbangi
Hoan-eng-sut, sebuah demonstrasi mentakjubkan yang
hampir tak dapat dipercaya. Tapi ketika ke manapun
bayangan kakek itu pergi selalu Golok Maut berada di
belakangnya maka menjerit dan berteriaklah kakek siluman ini.
"Keparat, kau jangan mengintil di belakangku, Golok Maut. Pergilah... pergi!"
Ternyata kakek itu ketakutan. Setelah Golok Maut
"terbang" bersama goloknya dan kemanapun Hoan-eng-sut melesat ke situ pula dia
membayangi maka Lam-ciat gentar dan pucat memaki-maki, menyerang tapi selalu
disambut sinar golok, tentu saja menarik serangannya dan jadilah kakek itu
terbirit-birit berputaran. Tingkahnya seperti anak kecil yang bermain petak-
umpet, berusaha lari dan bersembunyi tapi lawan mengintil di belakang, mau
menyerang tapi golok itu menyambut. Dan karena dua kali jarinya sudah putus
dibabat sinar golok dan senjata di tangan Golok Maut itu benar-benar maut maka
kakek Ini memutar tubuh dan akhirnya melarikan diri, berteriak-teriak.
"Golok Maut, tobat. Jangan kejar aku. Tobat".!"
Golok Maut tak menghiraukan. Dia tetap mengejar dan
si kakek akhirnya melepas jarum-jarum keemasan, yakni jarum-jarum beracun yang
tadi melukai si Raja Petir. Tapi ketika Golok Maut menggerakkan senjatanya dan
bunyi trang-tring menyampok runtuh sinar-sinar keemasan itu akhirnya tujuh sinar emas
membalik menyambar kakek itu sendiri.
"Cret-cret!" Lam-ciat meraung. Tujuh jarum beracunnya sendiri
membalik menancap di tubuh, menjerit dan kakek itu
terjungkal. Dan ketika Golok Maut berkelebat dan sinar putih bergerak tiba-tiba
sebagian bahu kakek itu sompal.
"Aduh!" Golok Maut berhenti. Lam-ciat sudah bergulingan
meraung tak keruan, menjerit dan menangis dan lucu
rasanya melihat ini. Lam-ciat, si Hantu Selatan yang tadi bersikap sombong dan
gila-gila mendadak mengenal takut, menjauh dan akhirnya meloncat bangun di sana,
melarikan diri dan lenyap di balik pohon-pohon besar. Dan ketika Bhi Li dan
lain-lain tertegun melihat Golok Maut menoleh, tersenyum sejenak tiba-tiba laki-
laki bercaping itu berkelebat dan... lenyap pula.
"Bhi Li, tak usah pergi sendirian. Kalian bersamalah Su Tong ataupun Keng Han!"
"Heii..!" Bhi Li terkejut, sadar. "Tunggu, Golok Maut.
Tunggu dulu...!" Namun Golok Maut menghilang. Bhi Pui juga berteriak
dan mengejar, tak dijawab dan dua enci adik itu masih tetap mencari-cari. Namun
ketika mereka gagal dan Golok Maut benar-benar telah menghilang entah ke mana
maka dua bayangan berkelebat dan muncullah Keng Han serta Su
Tong di situ. "Bhi Li, Bhi Pui, tak usah mencari lagi. Golok Maut memang aneh, tak mungkin
kita temukan!" "Benar," bayangan lain berkelebat, Pek-lui-kong adanya.
"Aku juga sudah mencari-cari, nona. Dia tak ada dan aku menyesal belum
menyampaikan terima kasihku!"
Bhi Li dan kakaknya tertegun. Keng Han dan Su Tong
rupanya sudah ditolong guru mereka ini, bersinar-sinar memandang mereka. Tapi
begitu mereka ingat apa yang
telah terjadi di antara mereka dengan Su Tong dan Keng Han mendadak enci adik
ini meloncat pergi dan terisak.
"Heii..!" dua pemuda itu terkejut. "Tunggu, Bhi Li. Kami mau bicara!"
"Benar," Keng Han juga berseru. "Tunggu, Bhi Pui. Aku mau bicara..!" dan dua
pemuda itu yang sudah tergerak dan
mengejar ke depan lalu memberi tahu guru mereka bahwa sebaiknya guru mereka
tinggal di situ dulu, mereka ada persoalan pribadi dan Pek-lui-kong mengangguk.
Tadi orang tua ini telah mendengar cerita muridnya tentang perbuatan Lam-ciat, kakek
iblis terkutuk yang membuat dua pasangan itu menjadi malu dan terhina. Maka
begitu muridnya mengejar dan dua enci adik itu sudah disusul cepat kakek ini menarik
napas dan menunggu di situ.
"Tunggu... tunggu, Bhi Li. Aku mau bicara...!"
Tapi Bhi Li tak mau mendengarkan ini. Su Tong
meneriakinya di belakang dan tiba-tiba Keng Han juga
berseru pada Bhi Pui, sang kakak. Dan ketika dua gadis itu mengerahkan ilmu lari
cepatnya namun Keng Han dan
temannya juga menambah kecepatan mereka hingga jarak selalu sama tiba-tiba Bhi Pui bertanya pada adiknya,
"Bhi Li, mau apa mereka itu kira-kira" Mau kurang ajarkah?"
"Entahlah, tapi rasanya tidak, enci. Kukira... kukira mereka mau bicara tentang
apa yang sudah terjadi di antara kita!"
"Hm, kalau begitu kita tunggu, berhenti saja!"
"Tidak, jangan enci. Di hutan itu saja kita bersembunyi.
Kau dan aku berpisah, biar mereka mencari!"
"Apa?" "Benar, masa kita harus menemui mereka bersamaan"
Ah, malu, enci. Biar Su Tong mencariku dan Keng Han
mencarimu. Kalau mereka kurang ajar kita bunuh. Tapi
kalau mereka mau bertanggung jawab, hmm.. kita... kita terima!"
Bhi Pui merah mukanya. Akhirnya dia mengangguk dan
setuju, sudah tiba di hutan yang dimaksud Bhi Li dan di sini tiba-tiba mereka
berpisah. Keng Han dan Su Tong tak jauh di belakang, terus berteriak-teriak
namun mereka seolah tak perduli. Inilah wanita. Butuh tapi pura-pura acuh! Dan
ketika mereka sudah memasuki hutan itu dan berpisah, Bhi Li ke kiri sementara
Bhi Pui ke kanan maka Su Tong dan Keng Han tertegun.
"Hei!" Su Tong berteriak. "Kenapa kalian ini, Bhi Li"
Kami mau bicara, bukan mau apa-apa!" dan terbelalak melihat Bhi Li ke kiri tiba-
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba pemuda ini berkata pada temannya bahwa dia akan mengejar gadis baju biru
itu. "Baiklah, aku ke kanan, Su Tong. Kau kejar kekasihmu itu sedang aku mengejar
kakaknya!" Keng Han pun
membelok, berpisah dengan temannya dan dua pemuda itu sudah mengejar kekasih
masing-masing. Mereka tak
mengerti sikap enci adik itu tapi sudah menyusul. Dan ketika Su Tong berkelebat
mengejar Bhi Li maka di dalam hutan tiba-tiba pemuda itu berhasil menyambar baju
pundak kekasihnya. "Bhi Li, tunggu... bret!" dan baju Bhi Li yang sobek tertarik Su Tong tiba-tiba
membuat pemuda itu terkejut, berseru minta maaf namun Bhi Li terlanjur marah.
Gadis ini gusar karena Su Tong merobek pakaiannya. Maka
begitu dia membalik dan berhenti memutar tubuh tiba-tiba tangannya bergerak dan
Su Tong sudah ditampar. "Keparat kau... plak-plak!" dan Su Tong yang terlempar serta terbanting roboh
tiba-tiba mengeluh dan bergulingan meloncat
bangun, berseru agar Bhi Li menahan
kemarahannya dan kini gadis itu tegak di depan Su Tong.
Pemuda ini bangkit terhuyung dengan pipi bengap,
tembem! Dan ketika Bhi Li membentak dan berkacak
pinggang menanya apa keperluan pemuda itu maka Su
Tong menggigil, terbata-bata.
"Aku... aku mau bicara tentang itu. Tentang...."
"Tentang apa!" Bhi Li memotong, galak menjawab dan pura-pura tidak tahu, padahal
di dalam hati tentu saja berdebaran dan mukapun merah padam. Dan ketika Su
Tong berkata bahwa dia mau bertanggung jawab tentang
peristiwa di malam bulan purnama, persis yang disangka Bhi Li tiba-tiba gadis
ini pun tak dapat menahan rona mukanya yang semburat merah, apalagi ketika Su
Tong menjatuhkan diri berlutut, gemetar.
"Aku... aku mencintaimu, Bhi Li. Aku tak mau kau pergi dari sampingku. Aku telah
melaporkan kejadian ini kepada suhu, dan aku mau bertanggung jawab!"
Bhi Li terisak. "Kau... kau mau, bukan" Kau tak menolak?"
"Ooh!" gadis itu tiba-tiba meloncat meninggalkan Su Tong. "Aku... aku telah
menyerahkan segala-galanya kepadamu, Su Tong. Tak perlu kujawab karena kau tentu
mengerti sendiri!" "He!" Su Tong berteriak, meloncat bangun. "Kalau begitu kau menerimanya?"
Gadis ini tak menjawab. Su Tong akhirnya mengejar dan menangkap gadis itu lagi,
mencengkeram dan tersedu-sedulah
Bhi Li berhadapan dengan pemuda
ini, menunduk, tak mau mengangkat mukanya. Dan ketika
gadis itu mengguguk dan Su Tong menjadi bingung, tak
tahu apakah gadis ini setuju atau tidak tiba-tiba Su Tong memeluk gadis itu,
yang ternyata diam saja. "Bhi Li, aku... aku bingung. Kalau kau tak mau
menjawab biarlah beri tandanya dengan cara yang lain. Aku mencintaimu, aku ingin
menciummu. Kalau kau marah
tamparlah aku!" dan Su Tong yang benar-benar mencium dan melumat bibir Bhi Li
ternyata tak ditampar dan Bhi Li menyambut, tidak marah dan tentu saja pemuda
ini semakin berani, girang. Dan ketika dia mencium bertubi-tubi hingga keduanya
seakan kehabisan napas maka Bhi Li mendorong pundaknya dan berseru, menggigil,
"Cukup... cukup, Su Tong. Kau sudah tahu jawabannya!" "Ooh!" Su Tong tertawa bergelak, gembira sekali. "Aku bahagia, Bhi Li. Kalau
begitu kau menerima cintaku!" dan pemuda ini yang menyambar serta mau mencium
kekasihnya lagi mendadak ditahan dan dielak.
"Nanti dulu, kau harus berjanji!"
"Hm, janji apa" Bagaimana?"
"Kau harus memperlakukan aku baik-baik, Su Tong.
Harus... harus melamarku sebagaimana gadis dilamar
pemuda secara baik-baik!"
"Ah, tentu. Suhu yang akan melamarmu, Bhi Li. Aku akan minta padanya agar kau
menjadi isteriku!" "Kita sudah menjadi suami isteri.." gadis ini terisak.
"Aku... aku, ah, jahanam keparat Lam-ciat itu, Su Tong.
Kalau saja tak ada dia tentu perbuatan itu tak akan kita lakukan!"
"Sudahlah," Su Tong menghibur. "Semuanya sudah terjadi,
Bhi Li. Kita tak dapat menolak atau menghindarinya. Aku juga menyesal, tapi nasi sudah
menjadi bubur." "Dan kau akan bertanggung jawab, bukan?"
"Tentu, aku mencintaimu, Bhi Li. Aku akan bertanggung jawab!" dan Su Tong yang
meraih serta memeluk lagi lalu mencium dan kali ini Bhi Li membiarkan, bahkan
menyambut dan Bhi Li terisak. Dan ketika pemuda itu
berbisik bahwa dia mencintainya akhirnya keduanya
terbang ke sorga namun mendadak Bhi Li teringat encinya.
"Kita lihat enci Bhi Pui!"
"Hm," Su Tong puas, berseri-seri. "Mereka pasti melakukan seperti apa yang kita
lakukan, Bhi Li. Keng Han mencintai kakakmu dan ingin mempertanggung-jawabkan
perbuatannya pula!" "Kau yakin?" "Tentu, mari kita lihat!"
Dan Su Tong yang bahagia menyambar kekasihnya lalu
berkelebat dan mengajak Bhi Li ke tempat di mana tadi Keng Han mengejar Bhi Pui,
mencari dan tak lama kemudian mereka menemukan dua orang itu, benar saja,
asyik bercumbu dan berpelukan, saling cium dan Su Tong berhenti, menarik
kekasihnya dan tersenyum mengajak
bersembunyi. Dan ketika Bhi Li menurut tapi muka tentu saja merah padam maka di
sana Keng Han terdengar berkata, melepaskan pelukannya,
"Lihat, demi Tuhan aku mencintaimu, Bhi Pui. Ingin bertanggung jawab dan
mengambilmu sebagai isteri. Kita telah diikat oleh Lam-ciat. Tapi tanpa itupun
aku tetap mencintaimu dan ingin mengambilmu sebagai isteri,
kekasih tercinta!" "Tapi kau harus melamarku," Bhi Pui terdengar menjawab, terisak. "Aku tak ingin
menjadi isterimu begini saja, Keng Han, Kau harus melamarku dan memintaku
secara baik-baik!" "Tentu, aku telah membicarakannya dengan suhu, Bhi Pui. Dan aku yakin suhu mau
melamar dirimu untukku. Aku akan memperlakukan dirimu secara baik-baik dan
bukan hanya karena disebabkan perbuatan kakek iblis itu!"
lalu, ketika Bhi Pui tampak lega dan bersinar-sinar maka Keng Han mengajak untuk
mencari temannya, Su Tong.
"Urusan kita selesai. Sekarang kita mencari Su Tong yang mengejar adikmu Itu!"
"Ha-ha, tak perlu dicari!" Su Tong keluar dari persembunyiannya, berkelebat
muncul "Aku di sini, Keng Han, bersama Bhi Li!" dan ketika Keng Han tertegun dan
muka Bhi Pui merah, teringat bahwa dia baru saja
berciuman dengan Keng Han maka Bhi Li muncul dan
tersenyum-senyum berkelebat menyambar encinya itu.
"Enci, maaf kami agak lama di situ. Su Tong yang mengajakku bersembunyi dan tak
mau mengganggu kalian, Maaf, betapapun aku lega!"
"Kau di sana?" "Ya." "Mengintai.. mengintai kami?"
"Hi-hik, maaf, enci. Aku tak sengaja!"
"Ih, kurang ajar kau!" dan Bhi Li yang mengelak dicubit encinya tiba-tiba
bersembunyi di punggung Su Tong.
"Aduh, tolong, Su Tong. Enciku marah!"
Su Tong tertawa. Setelah Bhi Li menggoda encinya dan
suara menjadi gembira tiba-tiba pemuda ini menarik Bhi Li, menyembunyikan sang
kekasih dan Bhi Pui tentu saja tertegun, berhadapan dengan Su Tong. tak mungkin
mengejar adiknva lagi dan tertawalah Keng Han di sana.
Dan ketika Bhi Pui mundur dan adiknya terkekeh-kekeh
maka gadis ini minta agar Keng Han membalas pada Su
Tong. "Eh-eh, apa yang harus kulakukan?"
"Dorong dia, Keng Han. Ambil adikku yang nakal itu!"
"Ha-ha, dorong sendiri. Su Tong memang kekasihnya!"
dan ketika suasana menjadi bertambah hangat dan Bhi Pui gemas-gemas mendongkol
maka Bhi Li meloncat dan terbang meninggaikan hutan.
"Hi-hik, kejar aku saja, enci. Ayo jangan minta tolong Keng Han!"
Bhi Pui mendapat kesempatan. Setelah adiknya keluar
dan dia tentu saja mengejar maka dua pemuda di
belakangnya itu tertawa-tawa. Keng Han dan Su Tong
gembira sekali karena kini mereka masing-masing sudah mendapatkan pujaannya
secara baik-baik. Bhi Pui mengejar Bhi Li dan merekapun saling pandang,
mengangguk dan ganti mengejar dua gadis itu. Dan ketika semuanya tertawa-tawa
namun dua enci adik itu tentu saja tiada maksud untuk meninggaikan dua pemuda
ini akhirnya Bhi Li tertangkap dan dicubit kakaknya,
mengaduh dan minta tolong Su Tong dan akhirnya
bersembunyi lagi di punggung kekasihnya. Bhi Pui puas sementara Keng Han sudah
mencekal lengannya. Dan ketika dua pasangan itu tampak gembira dan bahagia sekali maka Su Tong teringat
gurunya dan mengajak semua
kembali. "Suhu sudah menanti, mari kita ke Sana."
"Benar," Keng Han juga teringat. "Kita bicarakan ini lebih lanjut, Su Tong. Dan
kita minta nasihat suhu!"
Begitulah, empat orang muda ini menghadap Pek-lui-
kong, yang memang sudah menunggu. Dan ketika kakek
gagah itu berseri-seri karena keempatnya tampak bahagia dan gembira maka Su Tong
menjatuhkan diri berlutut
memberikan laporannya. "Teecu berhasil membawa Bhi Li, mohon suhu
memberikan restunya."
"Benar, dan teecu juga, suhu," Keng Han menyambung.
"Teecu telah berhasil membawa kekasih teecu dan inilah Bhi Pui!"
"Hm-hm, bagus. Aku gembira, anak-anak. Dan aku turut bahagia. Pernikahan
kalian dapat ditentukan dan sebelumnya tentunya kita harus baik-baik melamar kekasih kalian masing-masing.
Siapakah orang tua kalian?"
"Kami... kami hanya mempunyai seorang paman,
locianpwe. Ayah ibu telah tiada dan kami sebatangkara."
Bhi Pui menjawab. "Hm, tak apa. Kepada pamanmu itulah aku akan
melamar kalian untuk murid-muridku. Siapa paman kalian itu" Kalian dari mana?"
"Kami keluarga besar Pek-kiok-pang..."
"He?" "Benar, kami keponakan ketua Pek-kiok-pang
yang dibunuh Golok Maut, locianpwe. Tapi Golok Maut pula
yang berkali-kali menolong kami!"
"Ah, Golok Maut!" Pek-lui-kong tertegun, bersinar-sinar.
"Dan dia pula yang baru menyelamatkan kita semua, Bhi Li. Dan aku juga berhutang
jiwa padanya!" "Benar, kami juga pernah ditolongnya, suhu. Dan kami juga berhutang budi!" Su
Tong berseru. "Apa?" "Benar," Keng Han mendahului. "Kami dua kali ditolongnya dari Mao-siao Moli,
suhu. Tanpa Golok Maut tentu kami sudah menjadi korban!"
"Iblis betina cabul itu?"
"Ya." "Ah, berbahaya!" dan Pek-lui-kong yang tepekur dengan mata redup tiba-tiba muram
mukanya, bangkit berdiri,
"Baiklah, Golok Maut memang tokoh yang aneh, Su Tong.
Orang mencapnya jahat tapi nyatanya berkali-kali pula dia menolong orang lain.
Sudahlah, kita pergi dan selesaikan urusan ini."
"Pulang?" "Hm, apakah kalian mau tinggal di sini saja" Tidak ingin mengikat perkawinan dan
segera saja menjadi suami isteri?"
"Ah, tentu, suhu. Tapi kami agaknya masih ingin
berkecimpung di dunia kang-ouw lagi, menambah
pengalaman!" "Benar, kami juga bemiat begitu, locianpwe. Terutama ingin mengikuti cerita si
Golok Maut ini dan melihat apa yang terjadi, yang dia lakukan!"
"Hm, tapi kalian harus menikah dulu, baru setelah itu sesuka hati kalian!"
"Baiklah, terserah, suhu," dan Keng Han yang menjawab mewakili teman-temannya
tentu saja girang dan mengedip pada yang lain, memang harus menjadi suami isteri
dulu setelah perbuatan terkutuk Lam-ciat. Harus memberi muka pada kekasih
masing-masing dan jadilah mereka setuju.
Dan karena itu tentu saja juga melegakan dan menggembirakan Bhi Li enci adik maka Pek-lui-kong
akhirnya mengajak pergi. Dan begitu kakek itu berkelebat dan empat muda-mudi ini
mengikut di belakang maka arah tujuan mereka adalah Pek-kiok-pang!
ooooo0de0wi0oooooo "Apa" Terbunuh" Cam-busu dibunuh Golok Maut itu?"
"Benar, dan tugasnya barangkali gagal, ongya. Kepala Cam-busu menggelinding di
luar Hek-yan-pang ketika secara kebetulan kami menyusul!"
"Keparat, jahanam bedebah!" dan Ci-ongya yang marah-marah dan membentak-bentak
laki-laki di depannya lalu menendang dan melempar mangkok piring, begitu marah
dan gusar hingga pengawal yang menjaga di pintu pucat, menggigil dan cepat
menggeser kakinya ketika sang
pangeran melotot, hampir membuang piring ke arahnya
namun untunglah saat itu berkelebat sesosok bayangan
memasuki ruangan. Dan ketika bentakan dan kemarahan
pangeran ini menggegerkan seisi gedung karena meja kursi dibanting dan ikut
dilendang pula maka bayangan ini,
seorang kakek tinggi besar berkulit hitam berseru menahan kemarahan,
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ongya, berhentilah. Maaf hamba datang diutus kakak paduka!"
"Hm, kau?" Ci-ongya berhenti, bersinar-sinar. "Ada apa kau datang, Yalucang"
Menambah kekecewaanku dan
kemarahanku saja?" "Maaf, hamba datang diutus kakak paduka, ongya.
Paduka diminta datang dan ditunggu di gedung Ui-tien!"
"Hm, baik!" dan sang pangeran yang menahan
kemarahan dan masuk ke dalam lalu berganti sepatu dan
sudah mengikuti kakek ini, yang bukan lain Yalucang
adanya si kakek Tibet, pembantu atau orang kepercayaan Coa-ongya, pangeran Coa.
Dan ketika dua orang itu datang dan ternyata di meja besar sudah duduk menunggu
seorang laki-laki berusia empat puluhan maka pangeran ini duduk dan langsung
menanya geram, "Ada apa, kanda" Kau memanggilku?"
"Benar, ada sesuatu yang ingin kurundingkan, Ci-te (adik Ci). Dan ini agaknya
keuntungan bagi kita!"
"Hm, selama ini kesialan. Aku tak percaya segala keuntungan, kanda. Selama Golok
Maut belum dibunuh maka ancaman bahaya tetap di depan mata kita!"
"Sabarlah, jangan marah-marah. Aku telah mendengar tentang terbunuhnya bu-su
tolol itu tapi belum tentu
puteramu ikut celaka. Ada berita menggembirakan, tentang pembantu sri baginda
yang lihai!" Ci-ongya mengerutkan kening. Dia tak tahu tapi tampak terkejut dan heran
mendengar ini. Maka ketika kakaknya bersinar-sinar dan dia membetulkan letak
duduknya maka pangeran yang sedang menahan marah ini bertanya,
"Kanda, apa hubungannya pembantu sri baginda dengan kita" Apa kaitannya dengan
semua ini?" "Ah, banyak. Yang jelas kita bisa berharap orang ini membunuh Golok Maut, Ci-te.
Karena dikabarkan dia amat lihai dan memiliki Jit-seng-kiam (Pedang Matahari)!"
"Jit-seng-kiam" Pedang keramat itu?"
"Benar, dan orang ini lihai bukan main, Ci-te. Minimal dia setangguh Si Golok
Maut!" "Aku tak percaya. Golok Maut itu luar biasa sekali.
Kalau ada orang bicara begitu tentu dia hanya membual!"
"Hm, kau tak percaya" Kalau begitu lihatlah inl, dengar kata-katanya!" dan Coa-
ongya yang bertepuk tangan dan menoleh ke belakang tiba-tiba telah memanggil dua
orang kakek luar biasa, berkelebat dan tahu-tahu muncul di situ.
Dan ketika Ci-ongya terbelalak dan tertegun, tak mengenal, maka kakaknya sudah
memberi tanda dan dua orang itu
membungkuk hormat di depan pangeran ini.
"Ha-ha, kenalkah kau kepadanya. Cite, Inilah dua kakek lihai dari Thian-tok.
Mereka adalah dua bersaudara Sudra dan Mindra!"
"Eh, yang terkenal berjuluk Nehikha itu?"
"Ha-ha, benar. Kamilah orangnya, ongya. Selamat
bertemu dan kami baru saja diundang di sini!"
Mindra, kakek yang mendahului itu tertawa bergelak. Ci-ongya terkejut karena dia
sudah mendengar nama dua kakek lihai ini, yang diusir dari India dan ternyata malang-melintang di
Tionggoan, kini muncul di rumah kakaknya dan tersenyumlah dia karena orang-orang
lihai telah bermunculan di istana, jadi kekuatan mereka bertambah dan bertanyalah pangeran
itu kapan mereka datang. Dan ketika sambil tertawa Mindra berkata bahwa dia baru
saja datang, setelah bertemu Golok Maut maka Ci-ongya
tertegun dan tiba-tiba mengerutkan keningnya, lagi-lagi tak senang.
"Kami baru tiba, dan kami membawa berita penting!"
"Hm, tentang pembantu kaisar itu" Jadi kalian kiranya?"
"Tidak, bukan!" Sudra menggeleng, mendahului temannya. "Kami membawa berita bahwa Tiat-kak,
pembantu kalian itu telah dibunuh Golok Maut, ongya.
Dan saksi utamanya adalah kami berdua!"
"Apa?" Ci-ongya terkejut. "Tiat-kak si Kaki Besi itu?"
"Benar, dan dia tewas, ongya. Inilah kepalanya!"
Sudra mengeluarkan sebuah buntalan, membuka itu dan
menggelindinglah kepala si gundul itu, Tiat-kak si Kaki Besi. Dan ketika Ci-
ongya terkejut dan undur selangkah, mukanya berobah dan kaget bukan main maka
Sudra, yang rupanya mengambil dan sempat membawa pulang kepala si gundul itu
berkata lagi, gentar namun marah,
"Kami telah bertempur dengan Golok Maut, dan terus terang kami tak mampu
mengalahkannya. Tapi ada sesuatu yang kami bawa pula, ongya, berita tentang
seorang anak muda lain yang juga lihai dan sehebat Golok Maut!"
"Hm-hm!" Ci-ongya menjadi acuh, berkilat-kilat matanya. "Aku sangsi akan segala yang bersifat bual, Sudra.
Golok Maut memang hebat dan rasanya tak ada seorang
pun yang mampu menandinginya!"
"Sabar dulu," sang kakak mengulapkan lengannya.
"Berita yang kau dengar belum habis, Ci-te. Sebaiknya kau dengar dulu dan lihat
apa yang terjadi!" "Apa yang terjadi" Dua kakek ini sudah mengakui
kekalahannya dengan Golok Maut, kanda. Dan orang-
orang kita juga tak ada yang mampu mencegah sepak
terjang Si Golok Maut itu. Aku sebenarnya tak usah dengar karena isinya hanya
kekecewaan melulu!" "Hm, kau emosi. Kau terbawa oleh kematian Cam-
busu!" "Bah, kematian si tolol itu untuk apa kuhiraukan, kanda"
Tapi ketidaktentuan nasib puteraku membuat aku begini!"
"Hm, sudahlah, sabar. Puteramu tak apa-apa. Dia
selamat di Hek-yan-pang."
"Bagaimana kanda tahu?"
"Mereka ini yang bicara, Ci-te. Mereka telah bertemu pula dengan ketua Hek-yan-
pang itu!" "Benarkah?" "Kami tidak tahu pasti, ongya. Tapi ketua Hek-yan-pang itu mengamuk dan marah-
marah kepada Si Golok Maut!"
Sudra menjawab. "Ah, ini belum menjamin! Bagaimana bisa dibilang tak apa-apa, kanda" Kalau ketua
Hek-yan-pang itu keluar dan marah-marah malah mungkin saja puteraku tak ada di
sana!" "Kami yang akan membuktikannya!" Mindra tiba-tiba berseru. "Kami dapat ke Hek-
yan-pang kalau perlu, ongya.
Dan kami sudah tahu kepandaian ketua Hek-yan-pang itu!"
"Hm, sebaiknya kalian ceritakan secara urut dulu.
Duduklah dan biar cerita kalian didengar adikku," Coa-ongya tiba-tiba mengangkat
lengannya, menyusuh dua orang itu duduk dan Yalucang juga diminta mengambil
kursinya. Kini lima orang itu duduk mengelilingi meja besar dan berkerutlah
kening Ci-ongya memandang dua kakek
itu. Dan ketika semuanya duduk dan dua kakek lihai ini menjadi pusat perhatian
maka Mindra mendahului temannya bercerita, "Mula-mula kami bertemu dengan seorang pemuda lihai, dia bersenjatakan Jit-seng-
kiam..." "Hm, lalu?" "Lalu kami bertemu Golok Maut itu, ongya. Dan kami mencacat perbandingan bahwa
dua anak muda ini sama lihai!" "Hm, kau sudah pernah menyaksikan wajah si Golok Maut itu?"
"Secara jelas belum, ongya. Tapi kami tahu bahwa ia masih muda, cukup muda!"
"Berapa kira-kira usianya?"
"Tak lebih dari tiga puluh lima tahun!"
"Hm, ceritakan selanjutnya!" Ci-ongya melirik kakaknya, melihat kakaknya
mengangguk dan diam-diam mereka
saling memberi isyarat. Hal itu semakin menguatkan
dugaan mereka akan seseorang. Dan ketika Mindra
menarik napas dan bersinar-sinar mengenang kejadian itu maka dia melanjutkan,
"Anak muda bersenjata Jit-seng-kiam ini luar biasa, kami kalah karena dia
memegang pedang pusaka!"
"Hm, siapa dia?"
"Beng Tan, ongya. Katanya she Ju!"
"Beng Tan?" "Benar." "Ah, belum kudengar nama ini. Baiklah, lanjutkan!"
"Kami penasaran, coba merampas pedang tetapi gagal.
Dan ketika kami harus pergi karena pemuda itu benar-benar lihai maka kami
bertemu Golok Maut!"
"Nanti dulu. Kapan kau bertemu Golok Maut itu,
Mindra" Berapa lama dan di mana?"
"Kami menemuinya di hutan pinus, jauh dari sini. Dan waktunya kurang lebih empat
hari yang lalu!" "Hm, dan bocah she Ju itu?"
"Kurang lebih enam hari yang lalu!"
"Baiklah, teruskan lagi."
"Maaf, ada apa ongya memotong ceritaku?"
"Tak apa. Aku hanya mengukur waktu dengan
keberangkatan puteraku ke Hek-yan-pang, Mindra. Selebihnya aku tak memotong lagi!"
"Baiklah, kami lalu bertempur. Sebenarnya bukan
pertama ini kami bertanding dengan Si Golok Maut, ini yang kedua. Dan karena
kebetulan ada si gundul itu di sana di mana akhirnya Golok Maut kami keroyok
tiga maka kami mengakui keunggulan lawan karena Golok Maut
terlampau ampuh dengan senjatanya itu..."
"Kami sebenarnya berlima!" Sudra tiba-tiba menyambung. "Mao-siao Mo-li dan Hi-ngok Bhok-kongcu ada bersama kami, ongya.
Tapi karena mereka menghina
ketua Hek-yan-pang itu maka wanita itu marah dan
menyerang dua orang ini!"
"Hm, bagaimana akhirnya?"
"Si Hidung Belang itu dihajar, temannya juga kalang-kabut!"
"Hm, Hek-yan-pangcu itu cukup lihai?"
"Benar, wanita itu cukup lihai. pangeran. Dan dia berhasil mengalahkan Siluman
Kucing dan temannya itu!"
"Baiklah, lalu bagaimana dengan Golok Maut itu?"
"Dia menghadapi keroyokan kami bertiga, tapi akhirnya serangan-serangannya lebih
tertuju kepada pembantu paduka itu, Tiat-kak si gundul!"
"Hm, dan Golok Maut tiba-tiba beringas dan benci sekali setelah mengetahui bahwa
si gundul itu pembantu paduka, ongya. Kebencian dan sinar matanya membuat
orang bergidik. Dia mengampuni kami tapi tidak pembantu
paduka itu!" Sudra terbelalak, memberikan informasinya
dan Coa-ongya maupun Ci-ongya tertegun. Mereka berdesir tapi Ci-ongya tertawa
mengejek. Dan ketika dua pangeran itu saling pandang dan kembali mengangguk maka
Sudra diminta melanjutkan ceritanya.
"Sekarang katakan bagaimana akhirnya, kenapa kalian datang ke sini dan siapa
pula Ju Beng Tan itu!"
"Dia pembantu sri baginda," Coa-ongya kali ini mendahului, tiba-tiba menjawab.
"Aku baru saja mendengar berita bahwa kanda kaisar memiliki seorang pengawal
tangguh, Ci-te. Konon katanya lebih lihai dan hebat
daripada pengawal-pengawal kita!"
"Benar, itulah pemuda itu!" Mindra berseru, penuh takjub dan kagum. "Pemuda ini
hebat sekali, ongya. Kalau dikatakan
pembantu-pembantu paduka tak dapat menandinginya memang benar. Kami berdua sendiri saja
kalah!" "Hm, belum tentu!" Yalucang si kakek tinggi besar mendengus, tiba-tiba merah
mukanya. "Kami semua
memang belum dapat merobohkan Si Golok Maut, Mindra.
Tapi kalau kau merendahkan kami di sini aku juga tidak percaya akan
kepandaianmu. Siapa tahu kau justeru lebih rendah dibanding kami!"
"Ha-ha, kau menantang?" Mindra tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau Coa-ongya
memperbolehkan tentu kami berdua ingin main-main denganmu, Yalucang. Kami sudah
mendengar namamu tapi juga belum melihat kepandaianmu!" "Akupun juga begitu. Kalau kau menghina aku dan
teman-temanku maka sebaiknya kita mengadu kepandaian
dan lihat siapa yang besar mulut!"
"Ha-ha, boleh!" namun Coa-ongya yang membentak menyuruh mereka duduk kembali
lalu berseru agar pertikaian itu dihentikan dulu.
"Mindra, di tempat ini tak boleh kalian bertempur. Kalau ingin berkelahi boleh,
tapi di belakang, jangan di sini.
Sebaiknya kalian terangkan dulu apa maksud kedatangan kalian, dengan membawa
pula kepala si Kaki Besi itu!"
"Kami ingin mencari orang-orang pandai, ingin
mengalahkan Si Golok Maut. Kalau di sini ada orang-orang lihai yang dapat
bekerja sama dengan kami tentu kami ingin bergabung dan melaksanakan keinginan
kami untuk merobohkan Si Golok Maut!"
"Hm, di sini orang-orang lihai banyak, tapi maksudmu kurang jelas kuterima.
Apakah kau ingin menjadi pembantu-pembantu kami?"
"Ha-ha, tidak, ongya, Kami ingin hidup bebas dan tidak terikat. Kami datang
hanya untuk maksud mencari teman, mengalahkan Si Golok Maut itu!"
"Tapi kalian dapat bekerja untuk kami. Kami dapat memberimu kedudukan dan uang!"
"Benar, si Kaki Besi sudah tewas, Mindra. Kalian menggantikan dirinya dan
bersama Mo-ko atau Yalucang
kalian tinggal di sini!"
"Hm, cukupkah berharga?" Sudra berkata mengejek.
"Istana tak memiliki orang-orang tangguh, ongya. Kecuali pemuda bernama Beng Tan
itu. Tapi diapun musuh kami!
Kami penasaran, ingin merobohkan Si Golok Maut tapi
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga pemuda she Ju itu!"
"Hm, kalian sombong. Kalau di istana tak ada orang-orang tangguh tentu kalian
tak kemari. Eh, bilang saja kau ingin menjajal para pengawalku, Mindra. Bahwa
kalian ingin membujuk Yalucang atau Mo-ko untuk menghadapi
Golok Maut!" Coa-ongya berseru, tiba-tiba dapat menangkap maksud
pembicaraan kakek India itu dan Sudra tertawa bergelak.
Kakek ini berdiri dan memandang temannya. Dan ketika
temannya juga tertawa dan bangkit memandang ke, kiri
maka Mindra berseru, "Ongya, baiklah kami berterus terang. Tapi jangan suruh Mo-ko kakak beradik
membokong kami... siut!" dan tangan kanan kakek ini yang bergerak ke belakang
tiba-tiba sudah menangkis runtuh sebatang anak panah kecil, langsung
mematahkannya dan muncullah di situ dua kakek iblis yang berkelebat dengan
bentakan marah. Dan ketika mereka
sudah berdiri di depan dua kakek tinggi kurus itu dan Hek-mo-ko yang berangasan
membentak lebih dulu maka iblis muka hitam ini melengking,
"Mindra, tak usah sombong. Kalau kau ingin membujuk kami untuk meninggaikan
tempat ini maka adalah tidak
mungkin. Kau bisa bersahabat dengan kami tapi harus
mengabdi Coa-ongya, atau kau pergi dan pulang tinggal nama!"
"Ha-ha, ini Hek-mo-ko?" Mindra tertawa,
berseri-seri. "Bagus sekali, Mo-ko, dan ucapanmu benar. Kami perlu tenaga-tenaga yang dapat
diandalkan untuk menghadapi Si Golok Maut itu!"
"Kau tak dapat menyuruh kami pergi, kecuali atas perintah Coa-ongya!"
"Ha-ha, Coa-ongya dapat kami tundukkan. Mo-ko. Tapi cobalah kita main-main dulu
untuk melihat kepandaian masing-masing!" "Jangan di sini, tahan!" Coa-ongya yang tiba-tiba maju dan membemrji perlahan
sudah menghadapi kakek-kakek
yang aneh ini. "Kalian tak boleh bertempur di sini, Mindra, tapi di belakang!
Hm, tahu aku. Kiranya kalian hendak membujuk dan membawa pergi para pembantuku
untuk membantu kalian. Heh, mereka orang-orang kepercayaanku, Mindra. Kalau kau membujuknya percuma. Lebih baik kita bertaruh dan siapa kalah harus mengikuti keinginan si
pemenang!" "Heh-heh, maksud paduka?"
"Boleh kalian bawa Mo-ko dan Yalucang kalau kau
menang, Mindra. Tapi kalau kau yang kalah maka kalian berdua harus bekerja di
sini, tunduk kepadaku!"
"Bagus, boleh!" dan Mindra yang tertawa penuh kepercayaan diri tiba-tiba
berkelebat dan mendahului ke belakang, di sana temannya juga bergerak dan
menanti di belakang. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain juga berkelebat dan menyusul
di belakang maka dua kakek India itu sudah berhadapan dengan lawan-lawannya,
aneh. "Heh, siapa maju lebih dulu?"
"Aku!" Hek-mo-ko yang berangasan melompat lebih
dulu, mencabut tongkatnya. "Kau sombong dan pongah, Mindra. Marl kita main-main
dan lihat slapa yang roboh!"
"Tidak!" Coa-ongya berseru. "Mereka berdua datang bersama, Mo-ko. Dan mereka
menantang kalian semua. Lebih baik kalian bertiga maju berbareng dan robohkan dua kakek yang pongah
Ini!" "Eh!" Mindra terkejut. "Kalian mau maju keroyokan?"
"Bukan kami yang menghendakinya, Mindra, melainkan kau. Kau yang merendahkan dan
menghina orang-orangku. Kalau kau berani biarlah pertandingan ini cepat selesai dan
hadapi mereka bertiga. Atau, kalau kau takut tentu saja boleh bertanding satu
lawan satu tapi segera kutahu bahwa kalian orang-orang yang penakut!"
"Ha-ha, boleh, Coa-ongya. Kalau begitu kami terima dan kami tidak takut!
Majulah, aku dan Sudra slap menghadapi mereka bertiga!"
Coa-ongya girang. Dia telah berhasll memojokkan
dan mendahului pembicaraan, dua kakek ini telah
disinggung kegagahannya dan tentu saja mereka menerima, atau bakal dicap
penakut! Dan karena dia ragu apakah
pertandingan seorang lawan seorang cukup dapat dihadapi oleh tiga pembantunya,
karena dia telah mendengar
kelihaian dua kakek India ini maka dengan cerdik langsung saja dia mengajak
pertandingan serentak, dua lawan tiga dan inilah siasatnya untuk memperoleh
kemenangan. Dua kakek lihai itu harus dapat dijadlkan pembantunya sebagai
pengganti Tiat-kak yang tewas, yang kepalanya telah
disingkirkan dan tadi dibawa dua kakek lihai ini. Maka begitu Mindra berhasil
dlsudutkan dan mau tidak mau
harus menerima pertandingan itu, karena mereka telah
menghina dan merendahkan tiga pembantunya maka dua
orang itu bersiap-siap ketika Yalucang dan Pek-mo-ko serta Hek-mo-ko diberi
isyarat. "Kalian hadapi mereka ini, dan robohkan!"
Mo-ko kakak beradik mengangguk. Yalucang juga sudah
melompat maju dan kakek tinggi besar ini menggeram.
Sebenarnya dalam setiap pembicaraan tadi kakek ini sudah menaruh ketidaksenangan
kepada dua kakek Thian-tok ini, mereka dianggapnya sombong meskipun tak malu-
malu mengakui kekalahannya dengan Golok Maut. Mungkin tak
usah malu karena Golok Maut memang hebat, juga karena semua orang di istana tak
ada yang dapat mengalahkan
Golok Maut itu, jadi tak usah malu. Namun karena sikap
Mindra maupun Sudra dianggap merendahkan mereka
bertiga dan rupanya kakek-kakek India ini enak saja mau menyuruh dia dan Mo-ko
mengikutinya untuk membantu
mencari Golok Maut, sebagai pelampiasan nafsu tak mau kalah dan rasa penasaran
dua kakek itu maka Yalucang
tentu saja teirsinggung, kini menggeram dan bersama Mo-ko kakak beradik dia
sudah berhadapan dengan dua orang lawannya itu. Dan begitu Mindra maupun Sudra
tertawa mencabut senjata mereka, cambuk dan nenggala maka di
sana Coa-ongy3 berseru agar mereka tidak membunuh dua kakek India itu, yang
membuat Sudra merah mukanya tapi kawannya justeru tertawa bergelak.
"Ha-ha, akupun tak akan membunuh lawan-lawanku ini, ongya, melainkan menundukkan
dan menyuruh mereka ikut kami untuk mencari Golok Maut!"
"Hm, kau bodoh. Golok Maut adalah musuh kita semua, Mindra. Kalau kau mau
bergabung dengan kami justeru
kalian memperoleh keuntungan yang banyak. Sudahlah,
kalian bertanding dan kujamin para pembantuku tak akan membunuh kalian!"
"Ha-ha, kentut busuk!" dan Mindra yang membentak menggerakkan nenggalanya tiba-
tiba harus berkelit dan menangkis ketika tiba-tiba Hek-mo-ko menyerangnya lebih
dulu, bergerak dan sudah membentak dirinya dan tongkat iblis hitam ini
menyambar. Dan ketika Mintra mengelak dan menangkis dengan nenggalanya maka
berpijarlah bunga api disusul suara yang nyaring.
"Trangg!" Dua orang itu terpental. Mindra terkejut karena tenaga Mo-ko ternyata kuat
sekali, mampu menggetarkan dan
mementalkan senjatanya, meskipun senjata di tangan iblis hitam itu juga
terpental. Dan ketika Mo-ko membentak
kembali dan sudah menggerakkan tangan kanannya, karena tongkat dipegang tangan
kiri yang masih lengkap jarinya, karena dulu kelima jari tangan kanan iblis ini
habis dibabat Golok Maut, maka dengan tongkat di tangan kiri dan
pukulan-pukulan di tangan kanan Hek-mo-ko sudah
menyerang dan menghujani lawannya dengan serangan-
serangan cepat, ganas dan bertubi-tubi dan akhirnya Mindra berseru keras,
menggerakkan tubuhnya dan mulailah dua orang itu bertanding, tongkat kembali
bertemu nenggala dan sama-sama terpental, hal yang membuat Mindra
semakin kaget karena Mo-ko benar-benar tangguh. Tapi
ketika dia tertawa bergelak dan menyambut serta membalas serangan-serangan lawan
maka di sana Pek-mo-ko juga
sudah menyerang temannya dan Yalucang membantu
dengan semburan apinya. "Dar-dar!" Lima orang itu segera bertanding. Mindra akhirnya
terkejut ketika tongkat di tangan Pek-mo-ko juga tak kalah dahsyat dengan
tongkat di tangan Hek-mo-ko. Namun
ketika dia meledakkan cambuknya dan serangan demi
serangan ditangkis dan dibalas dengan tak kalah cepat akhirnya Sudra harus
berkelebatan dan memuji kehebatan lawannya.
"Kau serang siapa saja, Yalu. Jangan terpancang kakek ini!" Pek-mo-ko berseru,
memberi siasatnya dan kakek tinggi besar itu mengangguk. Kakek ini akhirnya
mengerti dan berpindah-pindahlah dia menyerang yang dekat,
sebentar Sudra dan sebentar kemudian Mindra. Jadi kakek tinggi besar ini bebas
menyerang siapa saja, tentu saja serangannya tak dapat diduga dan Mindra maupun
temannya terkejut. Semburan api dan tenaga Hwee-kang
yang dilepas kakek Tibet itu cukup menggetarkan. Kilatan api atau
hawa panas mulai melingkupi jalannya
pertandingan. Sudra maupun Mindra harus mengerahkan
sinkang untuk menahan hawa panas ini. Dan ketika
pertandingan semakin seru karena Yalu si tokoh Tibet bisa menyerang bebas tanpa
dapat diketahui siapa yajg akan diserangnya kemudian maka dua kakek India itu
akhirnya terdesak. "Ha-ha, kalian lihat, Mindra. Tiga orang pembantuku bukanlah
manusla-manusia bodoh yang rendah kepandaiannya. Kalian terdesak, menyerah saja daripada dihajar kena pukulan!"
-ooo0dw0ooo- Jilid : XV "HM..!" kakek India itu menggeram. "Kami terdesak tapi belum kalah, pangeran.
Kalau Kami sudah roboh barulah Kami menyerah!"
"Ha-ha, kalau begitu kalian akan roboh!" dan Coa-ongya yang berseru pada tiga
pembantunya agar menekan dan
mendesak dua kakek India itu lalu tercawa dan tersenyum mengamati jalannya
pertandingan, sedikit tetapi pasti memang orang-orangnya dapat menekan dua kakek
India itu. Sudra dan Mindra harus bekerja keras kalau tak ingin roboh. Nenggala maupun
cambuk di tangan mereka bergerak menangkis atau menyerang lawan. Tapi karena
Yalu kakek tinggi besar itu mengacau atau mengganggu
konsentrasi dua kakek India ini di mana Sudra maupun
Mindra sering kali menerima pukulan kakek tinggi besar itu maka keduanya menjadi
marah dan memaki tokoh Tibet
itu. "Yalu, kau pengecut dan licik. Curang!"
"Hm, kalian sendiri yang minta," kakek ini mendengus.
"Aku hanya memenuhi tantangan kalian, Sudra. Kalau kalian tidak kuat bilang
saja!" "Keparat, kami masih kuat. Dan kami akan menghajarmu!" dan cambuk di tangan Sudra yang meledak menangkis senjata di
tangan Pek-mo-ko tiba-tiba menjeletar dan menukik menyambar kakek tinggi besar
itu, ditangkis dan dua-duanya terhuyung. Nyata kakek tinggi besar dari Tibet ini
juga hebat, bukan hanya pandai membokong saja.
Dan ketika Pek-mo-ko kembali menyerang dan Sudra
menangkis maka di sana Mindra berseru agar mengeluarkan pukulan ampuh mereka, Hwi-seng-ciang
(Pukulan Bintang Api). "Keluarkan Hwi-seng-ciang. Kita robohkan manusia-manusia busuk ini!"
"Benar, dan tundukkan secepatnya mereka ini, Mindra.
Hayo kita balas dan robohkan mereka!" Sudra menyambut, kini menggerakkan tangan
kirinya pula dan tiba-tiba
menyambarlah kilatan cahaya ke arah Pek-mo-ko. Iblis
putih itu sedang melepas serangan dengan sapuan
tongkatnya, menyambar ke bawah. Tapi ketika Sudra
menggerakkan tangan kirinya dan Hwi-seng-ciang atau
Pukulan Bintang Api menyambar dirinya tiba-tiba iblis ini menaikkan tongkat
menangkis. "Blar!" Tongkat itu terpental. Ujungnya pecah dan Pek-mo-ko
berteriak keras, berjungkir balik namun lawan mengejar. Di saat yang sama Mindra
juga melepas Pukulan Bintang Api, menyambar Hek-mo-ko, Dan karena pukulan ini
memang hebat dan Hek-mo-ko juga menangkis maka dua iblis itu terlempar ketika menerima
Hwi-seng-ciang. "Aih, keparat jahanam!" Hek-mo-ko mengumpat, diserang lagi namun Yalu si kakek
tinggi besar berkelebat menghantam, menolongnya. Dan karena kakek ini memang
selalu mengganggu dan gangguannya itu merepotkan
Mindra maupun Sudra akhirnya Mindra membalik memaki
kakek ini. "Dess!" Yalu bergoyang sedikit. Kakek itu mengerahkan Hwee-
kangnya dan Tenaga Api menyambut Pukulan Bintang Api, sama-sama panas dan
ternyata masing-masing tak ada yang unggul. Sifat dari pukulan keduanya yang
sama-sama berintikan panas membuat Yalu tahan, tidak terdorong
kecuali hanya bergoyang-goyang, sama seperti Mindra di sana. Dan ketika kakek
itu terkejut sementara Yalu tertawa aneh, merasa gembira maka di sana Pek-mo-ko
berjungkir balik dihantam Hwi-seng-ciang lagi.
"Dess!" Iblis muka putih ini memaki-maki. Yalu akhirnya
diminta membantunya dan kakek tinggi besar itupun sudah bergerak, menahan
pukulan Sudra. Dan ketika Sudra juga terbelalak karena Yalu hanya bergoyang
menerima
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulannya maka di sana Coa-ongya terbahak-bahak.
"Ha-ha, lihat, Sudra. Hwi-seng-ciang-mu pun tak
berdaya. Sebaiknya kalian menyerah dan sudahi pertandingan ini!" "Tidak, kami hanya menyerah kalau kami dapat
dirobohkan, pangeran. Atau kami akan bekerja keras dan merobohkan mereka!"
"Hm, kalian keras kepala. Kalau begitu baiklah, kalian pasti roboh!" dan Coa-
ongya yang gemas melihat kebandelan dua kakek India itu lalu menyuruh tiga
pembantunya bekerja lebih keras. Pek-mo-ko dan Hek-mo-kp disuruh mengeluarkan
semua kepandaiannya, akhirnya mengangguk dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-see-
kang atau Hek-see-kang (Pukulan Pa-sir Hitam Putih). Dan
ketika pukulan-pukulan ini menyambut Hwi-seng-ciang
yang dimiliki dua kakek India itu dan si kakek tinggi besar Yalucang juga
bergerak menyemburkan Lidah Apinya
maka desakan dua kakek India itu kembali gagal karena mereka
kelebihan lawan seorang yang paling menjengkelkan, yakni kakek tinggi besar dari Tibet itu.
"Keparat, sebenarnya kita menang kalau tidak dikeroyok tiga, Sudra. Lawan-lawan
kita licik dan curang sekali!"
"Benar, dan kakek bau ini mengganggu sekali, Mindra.
Kalau tak ada dia di sini tentu kita dapat merobohkan Pek-mo-ko maupun Hek-mo-
ko!" "Ha-ha, sekarang mulai banyak bicara!" Hek-mo-ko berseru. "Kau tadi sedia
menerima kami bertiga, Sudra.
Dan itu sudah merupakan perjanjian. Kalau kini kalian kewalahan karena kami
dibantu Yalucang biarlah kalian menyatakan kalah saja dan lain kali jangan
bersikap sombong lagi!" "Hm, tak apa," Mindra merah mukanya. "Kami memang ingin merobohkan kalian, Mo-
ko. Kalau tak dapat itulah memang kebodohan kami!"
"Dan Golok Maut tak pilih-pilih musuh. Kalau kalian keberatan biarlah satu di
antara kami mundur!"
"Tidak, tak usah, Mo-ko. Kami sudah berjanji dan akan menepati janji kami!"
"Bagus, kalau begitu coba kalian robohkan kami atau kami yang akan merobohkan
kalian, ha-ha!" dan Mo-ko kakak beradik yang tertawa bergelak dan menyerang lagi
lalu menggerakkan senjatanya dan tangan kiri mereka,
pukulan-pukulan Pek-see-kang dan Hwi-seng-ciang yang
dilancarkan dua kakek India itu tertahan. Mereka
mengumpat caci karena Yalucang tetap mengganggu,
bahkan kini memperhebat semburan-semburan apinya dan
Sudra harus mengebutkan bajunya ketika terbakar. Bukan main. Dan ketika nenggala
ataupun cambuk bingung menghadapi tiga lawan tangguh yang ganti-berganti
mendesak mereka maka dua kakek India ini memaki tak
habis-habisnya. Sebenarnya, kalau saja Yalucang si kakek tinggi besar tidak mengganggu tentu
Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko
dapat dirobohkan. Ternyata ilmu kepandaian Mindra
maupun Sudra seusap di atas dua iblis ini, terbukti dalam adu tenaga mereka
selalu menang, karena Hek-mo-ko
maupun Pek-mo-ko selalu tergetar dan terdorong mundur.
Namun karena Yalucangpo ada di situ dan kakek tinggi
besar ini memiliki Hwee-kang atau Tenaga Api yang hebat, yang sejenis dengan
Hwi-seng-ciang karena Pukulan
Bintang Api dua kakek India itu sama-sama bersumber
tenaga panas, atau Yang-kang, maka pertandingan akhirnya menjadi berat sebelah
ketika tokoh Tibet itu mengganggu, menyerang merepotkan mereka yang harus
menghadapi Pek-mo-ko atau Hek-mo-ko, dua iblis yang sebenarnya
cukup hebat. Maka begitu Mindra maupun Sudra diganggu kakek tinggi besar ini dan
kebetulan Hwee-kang memiliki tenaga panas seperti Hwi-seng-ciang maka Mindra dan
temannya mengutuk kakek tinggi besar itu berulang-ulang.
"Sudahlah," Hek-mo-ko tertawa. "Kalian memang tak dapat mengalahkan kami,
Mindra. Dua lawan tiga sudah
jelas tak mungkin menang."
"Dan kalian sendiri yang bersikap pongah," Pek-mo-ko juga mengejek. "Kalian
mengagulkan diri terlalu berlebihan,
Mindra. Kalau sudah menyadari kami lebih kuat sebaiknya kalian menyerah!"
"Atau kalian malah terbunuh!" Yalucangpo tertawa sambil menggeram. "Kami dapat
membunuh kalian, Mindra. Memang betul kata Mo-ko agar sebaiknya kalian menyerah!"
"Menyerah hidungmu!" kakek India ini membentak.
"Kalian robohkan kami, Yalu. Jangan banyak bicara dan lihat apakah benar kalian
dapat merobohkan kami berdua!"
"Hm," keras kepala. Kalau begitu kami akan membunuh!" dan kakek tinggi besar Itu yang bergerak di belakang Mindra tiba-tiba
membentak dan menyemburkan
apinya, menjilat menyambar kepala lawan karena saat itu Mindra menangkis
serangan Hek-mo-ko. Nenggala di
tangan kakek India itu mementalkan tongkat dan Hwi-seng-ciang berkelebat,
ditangkis Hek-see-kang. Dan di saat Hek-mo-ko terhuyung dan Mindra tergetar maka
saat itulah lidah api kakek Tibet ini menyembur.
"Klap!" Rambut Mindra terbakar. Kakek ini tak dapat mengelak
karena baru saja bertemu Hek-see-kang. Mo-ko memang
terpu-kul mundur namun di saat itu Yalu menyerang, tentu saja mengejutkan kakek
India ini. Dan ketika kakek itu terbakar rambutnya dan berteriak membanting
tubuh bergulingan maka kakek tinggi besar ini mengejar dan
melepas Hwee-kangnya lagi.
"Dess!" Mindra memaki-maki. Dibokong dan menerima serangan curang dua kali cukup membuat kakek ini marah.
Hek-mo-ko terbahak-bahak dan menyerang lagi, membantu, tak ayal membuat kakek
ini kelabakan dan mengelak
menggulingkan tubuh, sayang sekali Yalu si kakek Tibet juga mengejar. Akibatnya
dari kiri kanan Mindra mendapat serangan tongkat dan pukulan. Dan karena dua
lawannya memang hebat kalau bergabung dan kakek ini mengeluh
mengumpat caci maka sebu-ah pukulan akhirnya mengenai lagi tubuhnya, tepat di
pundak kanan. "Dess!" Kakek India itu melontakkan darah. Akhirnya dia batuk-batuk dan terluka, isi
dadanya terguncang. Dan ketika Hek-mo-ko berkelebat lagi dengan serangan
tongkatnya dan Yalucang juga menghantam dengan pukulan Hwee-kang
maka nenggala mencelat ketika dipakai menangkis.
"Plak-dess!" Mindra terlempar. Kakek ini mengeluh dan bergulingan
menjauh, sayang terbatuk lagi dan lemah. Dua pukulan
berbareng yang diterimanya tak kuat ditahan dan
senjatanya pun terlepas. Maka ketika Mo-ko terbahak
mengayun tongkatnya dan kakek Tibet itu juga mencengkeram ubun-ubunnya tiba-tiba Coa-ongya berteriak agar tidak membunuh
kakek itu. "Jangan bunuh... des-dess!" Mindra terguling, melontakkan darah segar lagi dan mencelatlah kakek itu membentur pohon, tak
bergerak dan terkapar di sana. Dan ketika Sudra terkejut dan cambuknya meledak
menyambut tongkat tiba-tiba Pek-mo-ko berseru pada kakek Yalu agar cepat
merobohkan lawannya ini pula, yang sudah digubat cambuknya dengan batang
tongkat. Tentu saja membuat
Sudra terkejut karena kakek Tibet itu membalik, tertawa aneh. Dan ketika benar
saja kakek tinggi besar itu melepas Hwee-kangnya dan Sudra tak dapat mengelak
kecuali dipaksa menangkis, padahal Mo-ko menggerakkan tangan
kirinya pula menghantam dengan Pek-see-kang maka teman
Mindra ini digencet dari dua arah oleh dua pukulan yang sama-sama hebat.
"Dess!" Sudra mengeluh. Sama seperti temannya tadi diapun tak kuat, coba bertahan namun
gagal, tergencet dua pukulan itu dan terlempar. Dan ketika Sudra bergulingan
melompat bangun namun Hek-mo-ko kini mengejar dan bersama
suhengnya serta Yalucang mengeroyok bertiga maka kakek India itu tak kuaf lagi
dan untuk kedua kalinya terlempar, terbanting dan terguling-guling dan di saat
itulah tiga orang lawannya
tertawa menyeramkan. Hek-mo-ko dan suhengnya lagi-lagi menggerakkan tongkat menghantam
kepala lawannya, Yalu si kakek tinggi besar membentak dengan semburan Hwee-
kangnya. Dan karena semuanya ini membuat kakek India i+u
terdesak hebat sementara hatinya sudah terguncang oleh robohnya Mindra maka
Sudra mengeluh ketika cambuknya
lepas, menerima hantaman tiga pukulan lawan dan
terlemparlah kakek itu, muntah darah. Namun ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya
hendak membunuh kakek itu
sementara Yalucang juga menggeram hendak menghabisi
nyawa lawannya maka Coa-ongya lagi-lagi berteriak agar dua orang kakek itu tidak
dibunuh. "Jangan dibunuh, biarkan hidup!"
Seruan ini menyelamatkan Sudra. Sebenarnya tiga
lawannya tak ingin memberi ampun lagi, kesombongan dan kecongkakan Sudra membuat
mereka marah. Namun karena pangeran sudah berteriak pada mereka dan apa
boleh buat mereka harus mematuhi perintah ini maka Sudra akhirnya terjengkang
dan roboh mendekap dadanya.
"Huak!" Selesailah pertandingan itu. Sudra dan Mindra akhirnya kalah, menyerah dan dua
kakek India itu cepat duduk
bersila. Kalau dalam keadaan seperti itu Hek-mo-ko
maupun Pek-mo-ko melancarkan satu serangan lagi pastilah mereka roboh binasa.
Untung Coa-ongya melarang dan tiga pembantunya tak ada yang berani membantah.
Dan ketika seperempat jam kemudian dua kakek itu bergerak dan
bangkit berdiri, terhuyung, maka Coa-ongya dan adiknya menyambut tertawa.
"Bagaimana, Mindra" Kalian sekarang menyerah?"
"Hm, kami menyerah," Mindra menjawab. "Tiga pembantumu cukup hebat, pangeran.
Kami berdua kalah!" "Dan kalian mau menepati janji" Mau menjadi
pembantu-pembantuku?"
"Hm, kami sudah kalah taruhan. Kami menepati janji!"
"Bagus! Ha-ha, terima kasih, Mindra. Kalian mengagumkan dan betapapun gagah dan ksatria. Kalian
sejajar dengan Mo-ko maupun Yalucang. Kalian berdua
menjadi pembantuku setingkat mereka. Hayo, kita rayakan kejadian ini dan mari
masuk ke dalam. Kita buat pesta kecil!"
Dua kakek itu mengangguk. Coa-ongya yang tidak
marah dan justeru mengundang mereka membuat dua
kakek itu tenang, mereka mengikuti dan berjalanlah dua pecundang ini di belakang
sang pangeran. Dan ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya bergerak mengikuti dan
kakek tinggi besar Yalucang juga menyeringai dan tersenyum
aneh maka Coa-ongya sudah menjamu dua kakek India itu bersama adiknya,
bergembira dan betapapun memuji
kelihaian Sudra maupun Mindra ini. Kalau mereka tidak dikeroyok barangkali Mo-ko
maupun Yalu kalah, pujian
yang disambut kecut saja oleh dua kakek itu. Dan ketika
mereka mengakui kekalahan dan harus ikut pangeran ini, membantunya maka resmilah
dua kakek India itu sebagai pembantu-pembantu pangeran Coa, hal yang tidak
diduga dan tentu saja sebenarnya juga tak dikehendaki Mindra maupun temannya.
Dan Coa-ongya yang rupanya tahu atau dapat membaca isi hati kakek-kakek itu
menutup pesta dengan kata-kata begini, "Kalian tak usah kecewa. Masalah Golok Maut sekarang adalah masalah kita
bersama. Kalau sewaktu-waktu kalian ingin mencari musuh kalian itu maka Mo-ko
maupun Yalu dapat membantu kalian. Namun kalian tak boleh pergi
tanpa sepengetahuanku!"
"Baik, kami mengerti, pangeran. Dan kami akan
tunduk." "Kalau begitu sekarang kalian boleh berlstirahat. Kamar kalian di belakang."
sang pangeran memanggil seorang pengawal, menyuruh pergawal itu menunjukkan
kamar dua kakek ini dan tentu saja Mindra maupun Sudra kikuk.
Mereka baru pertama ini bekerja di bawah kekuasaan
seseorang, Coa-ongya ternyata melayani mereka dengan
cukup baik. Maka ketika mereka disuruh berlstirahat
sementara Mo-ko dar dua temannya diam-diam tersenyum
ewah, senyum yang sukar ditangkap artinya maka hari itu Mindra maupun Sudra
tinggal di istana pangeran ini, mula-mula canggung namun akhirnya biasa juga.
Tak lama kemudian sudah ikut berjaga dan melaksanakan tugasnya melindungi istana. Itu
adalah pekerjaan mereka. Dan ketika dua kakek itu sudah resmi menjadi pembantu
Coa-ongya menggantikan Tiat-kak si Kaki Besi maka Coa-ongya
tersenyum di balik kamarnya dan mengangguk-angguk,
puas. ooooo0de0wi0ooooo Beng Tan melepas lelahnya. Setelah dikejar-kejar dan
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasil meninggalkan lawan-lawannya di belakang, yang mengumpat dan mengutuknya
habis-habisan pemuda ini melempar pantatnya dl bawah sebuah pohon, duduk
menyeka kenngat dan diam-diam tertawa kecut, Dua kakek India yang tak mau sudah
dan akhirnya dihajarnya itu
membuat pemuda ini tersenyum, geli. Tapi baru dia duduk melepas lelah, setelah
sedikit mendongkol oleh kejadian-kejadian yang dialami mendadak terdengar
bentakan dan suara makian di sebelah kiri.
"Manusia busuk, berhenti. Serahkan su-moiku (adik seperguruan perempuan)!"
Beng Tan terkejut. Sebuah bayangan berkelebat di
depannya disusul sebuah bayangan lain, cepat memasuki hutan dan Beng Tan
tertegun. Seorang gadis meronta-ronta dan menangis dipanggul bayangan pertama,
seorang kakek penuh cambang
dan gimbal-gimbal, penampilannya
menyeramkan dan kakek itu terbahak-bahak. Dan ketika
bayangan kedua, seorang pemuda mengejar dan memaki-
makinya di belakang maka kakek itu lenyap meninggalkan tawanya yang serak parau,
berkelebat seperti iblis.
"Ha-ha, tak usah mengejar-ngejar aku, anak setan.
Sumoimu ini tak kuapa-apakan justeru hendak kubuat
senang. Kau pergilah, atau nanti aku membunuhmu!"
"Keparat, kau iblis terkutuk, Lam-ciat. Lepaskan sumoiku atau kau kubunuh ....
singg!" sebatang pedang terlontar dengan amat cepatnya, menyambar di belakang
kakek itu namun si kakek keburu menghilang. Pedang
menyambar dan berhenti di sebatang pohon, menancap di situ. Dan ketika si pemuda
memasuki hutan namun tertegun tak menemukan lawannya, yang ternyata Lam-ciat adanya maka pemuda itu
pucat dan memaki-maki. "Lam-ciat, kau jahanam terkutuk. Keluarlah, atau aku akan terus mengejar-
ngejarmu!" "Ha-ha!" suara si kakek terdengar en-tah di mana. "Kau keras kepala, anak muda.
Kalau begitu lihatlah ini dan rasakan sedikit hajaranku... singg!" pedang yang
menancap di pohon mendadak tercabut, meluncur dan sudah
menyambar pemuda itu. Dan ketika pemuda ini berteriak keras dan tentu saja
menangkis senjatanya sendiri maka dia terpelanting dan terlempar bergulingan.
"Plak!" Beng Tan terkejut. Sambaran pedang yang membuat si
pemuda terpelanting dan bergulingan kaget jelas menunjukkan kelihaian si kakek, yang dipanggil Lam-ciat.
Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun
sementara si kakek ni panya benar-benar ingin memberikan hajarannya pada pemuda
ini tiba-tiba berkelebat sesosok asap hitam yang mengejar pemuda ini, menyambar
dan memukul mukanya dan pemuda itu terpekik. Dia
menangkis tapi terlempar lagi, dikejar dan asap itu sudah bertubi-tubi menyerang
dirinya, muka dan dada dan
sibuklah pemuda itu mengelak sambil memaki-maki.
Namun ketika dia terlempar lagi dan asap Itu berobah
bentuk sebagai bola raksasa maka pemuda ini ditumbuk dan sudah dihantam, disusul
ketawa terbahak-bahak dari balik asap atau bola raksasa ini.
"Ha-ha, kau tak tahu diri, bocah. Kau minta dihajar.
Baiklah, sekarang aku menghajarmu dan enyahlah kalau
tak ingin mampus.... des-dess!" pemuda itu mencelat, terlempar dan mengeluh dan
Beng Tan terbelalak. Dengan matanya yang tajam dan kekuatan batinnya yang tinggi
pemuda ini dapat melihat bahwa sebenarnya kakek
bernama Lam-ciat itu bersembunyi di balik asap hitam atau bola raksasa ini,
melancarkan pukulan-pukulannya dan si pemuda tak sanggup menahan, kalah kuat dan
kalah lihai. Maka ketika pemuda itu bergulingan mengeluh dihajar
jatuh bangun namun terus memaki-maki dan berusaha
melakukan perlawanan sebisanya, padahal jelas bukan
tandingan kakek itu maka Beng Tan hampir meloncat
keluar kalau saja saat itu tidak berkelebat bayangan merah yang mendahuluinya.
"Kakek slluman, kau mampuslah!"
Seberkas cahaya putih menyambar tajam. Lam-ciat yang
dibungkus asap hitam-nya dan sesunggunya memang
berlindung di balik hoat-sut atau sihir setannya tiba-tiba berteriak keras.
Sinar panjang itu menyambarnya dan asap hitam terdengar meledak ketika diserang
cahaya putih ini, yang kiranya sebatang pedang di tangan seorang wanita baju
merah vang menutupi mukanya dengan sehelai
saputangan merah. Tubuhnya menggairahkan dan dapat
diduga bahwa wanita ini tentu cantik, karena suaranya nyaring dan merdu.
Bentakannya itu mengejutkan tapi lebih mengejutkan lagi gerakan pedangnya itu,
yang merupakan sinar berkelebat yang bukan main cepatnya. Dan ketika Lam-ciat
berteriak kaget dan harus berjungkir balik
menjauhkan diri, ilmu hitamnya otomatis buyar maka gadis di pondongannya yang
mengeluh dan roboh tertotok itu
tiba-tiba terlepas. "Ha-ha, dapat emas menemukan permata. Heh, kau
siapa, nona" Ada apa menyerangku dan membuat kaget
begini" Siapa kau?"
"Hm, keparat busuk. Tak usah banyak bicara, Lam-ciat.
Berikan gadis itu dan kau enyahlah, atau pedangku akan menembus jantungmu dan
kau roboh!" "Ha-ha, galak namun gagah! Bagus, kau hebat, nona.
Juga sombong tapi menarik sekali. Aku rela memberikan gadis ini namun kau
sebagai gantinya!" "Apa?" mata yang bersinar-sinar di balik topeng itu bercahaya. "Kau minta aku
ikut padamu" Hm, kau ternyata kakek iblis yang tidak tahu malu, Lam-ciat. Namamu
sudah kudengar dan hari ini aku sudah membuktikannya. Baiklah, aku ikut padamu
namun terima dulu pedangku ini .... sing!"
dan cahaya putih yang kembali menyambar dengan amat
cepatnya menusuk dada kanan kakek itu disambut seruan keras Lam-ciat yang
menggerakkan tangan menangkis,
memukul miring pedang dengan tangan kirinya tapi bagian yang tajam menyambut,
menyambar dan menabas tangan
kakek itu. Bukan main ganasnya, juga cepat dan luar biasa karena masih terus
menyambar dada. Gerakan pedang itu tak memberi ampun dan Lam-ciat tentu saja
kaget sekali. Dan ketika lengan bajunya robek dan pedang tak mungkin ditangkis kecuali dielak
maka kakek ini sudah membanting tubuh bergulingan berteriak parau.
"Haili..... bret!"
Lam-ciat terkejut bukan main. Dia meloncat bangun
namun si wanita baju merah sudah mengejarnya, berkelebat dan membentak nyaring
dan kelabakanlah kakek itu
mengelak sana-sini, menangkis namun mata pedang yang
tajam selalu menyambut tangannya. Melihat desing yang demlkiat cepat dan tajam
tak berani kakek itu mengadu lengannya,
meskipun dia mengandalkan sinkang, kekebalannya. Dan ketika kakek itu harus berloncatan dan sebentar kemudian
berkelebatan pula mengimbangi lawan maka wanita baju merah itu menyerang
bertubi-tubi sementara si kakek berteriak dan berseru berulang-ulang, dua kali ujung bajunya
robek pula. "Haiii.... celaka, ganas!"
Wanita itu tak perduli. Lam-ciat terus dikejar dan
terdesak, tentu saja marah dan lama-lama gusar. Dan ketika sebuah babatan
panjang menggurat lengannya dan ternyata sinkang kakek itu tak mampu melindungi
kekebalannya maka kakek ini berteriak dan lenyaplah di balik Hoan-eng-sut-nya (Sihir Menukar
Bayangan). "Wut!" Lawan tertegun. Wanita baju merah itu kehilangan
lawannya dan tertegun sejenak, tak tahu di mana Lam-ciat berada namun tiba-tiba
si pemuda yang sejak tadi menonton dan dibantu wanita baju merah ini berteriak.
Dia melihat Lam-ciat muncul di belakang si wanita dan melepas
pukulan, tanpa suara. Namun si wanita yang mendengar
kesiur di belakang tubuhnya dan tajam dengan pendengarannya yang tinggi ternyata secepat kilat membalik dan menangkis. "Bret!"
Ujung baju Lam-ciat terpotong sejengkal. Si kakek iblis berteriak kecewa dan
menghilang lagi, entah ke mana.
Namun ketika si pemuda kembali berseru keras karena
melihat kakek itu muncul di sebelah kiri tiba-tiba wanita baju merah itu pun
membalik dan menangkis lagi.
"Bret-bret!" Lam-ciat mengumpat caci. Akhirnya kakek ini marah-
marah dan berkelebatan lagi, menghilang ke kiri kanan dan melepas
pukulan-pukulannya. Bayangannya menjadi demikian banyak dan dari segala penjuru berkesiur pukulan-pukulan ganas, ada
yang kosong tapi tentu pula ada yang isi. Wanita itu bingung dan di sinilah dia
kelabakan. Dan ketika satu saat dia menangkis namun mengenai bayangan yang
kosong maka satu tamparan sungguh-sungguh dari
Lam-ciat mengenai pundak kirinya.
"Dess!" Wanita itu mengeluh. Dia terbanting dan bergulingan
meloncat bangun, Lam-ciat terbahak dan menyerang lagi.
Dan ketika iblis itu mempergunakan Hoan-eng-sutnya dan wanita ini bingung karena
di balik Hoan-eng-sut kakek itu melepas pukulan-pukulan kosong dan isi maka
jatuh bangunlah wanita ini mempertahankan diri, akhirnya
memutar pedang secepat kitiran namun kakek itu berhenti menyerang, tertawa-tawa
di sana, terkejutlah wanita itu.
Dia bisa kehabisan tenaga kalau si kakek tak menyerang, tentu saja menghentikan
gerakannya lagi namun si kakek tiba-tiba menyerang, begitu berulang-ulang. Dan
ketika hal ini melelahkan wanita itu karena setiap dia memutar
pedangnya tiba-tiba Lam-ciat berhenti tapi begitu dia berhenti tiba-tiba kakek
itu kembali menyerang maka
akhirnya wanita ini terdesak dan memaki-maki, bingung menghadapi Hoan-eng-sut
yang memang hebat. "Ha-ha, tahu rasa kau sekarang, anak manis. Menyerahlah atau kau kurobohkan dan kutelanjangi!"
"Keparat! Kau tak tahu malu mempergunakan ilmu
hitammu, Lam-ciat. Kau licik dan curang!"
"Ha-ha, ini Hoan-eng-sut, ilmu ciptaanku yang paling luar biasa. Kau tak dapat
mengalahkan aku karena kepandaianku masih lebih tinggi!"
"Keluarlah kau!" wanita itu membentak. "Mari
bertempur secara berhadapan, kakek buruk. Kaurobohkan aku asal secara jantan!"
"Ha-ha, aku di depanmu. Kaulah yang tak tahu... des!"
dan Lam-ciat yang benar-benar muncul sambil melepas
pukulannya tiba-tiba membuat wanita baju merah itu
terhuyung, tak sempat menangkis atau mengelak karena
lawan muncul begitu saja, juga secara tak terduga. Dan ketika wanita itu
mengeluh dan terdesak memaki-maki
lawannya maka si pemuda yang tadi berdiri menonton tiba-tiba bergerak dan
membantu wanita ini, yang sebenarnya bukan lain adalah Hek-yan-pang-cu, ketua
Hek-yan-pang. "Nona, jangan khawatir. Kita keroyok dia berdua!"
Wanita baju merah ini mengerutkan kening. "Siapa minta bantuanmu?" bentakan ini
mengejutkan. "Pergilah kau, manusia tolol. Kau lebih-lebih lagi bukan tandingan
kakek iblis ini!" "Tapi kau membantuku!" pemuda ini tertegun. "Dan bukankah kau terdesak?"
"Hm, pergi kataku, pemuda keparat. Aku sama sekali tidak membantumu melainkan
semata membantu gadis itu.
Kami sama-sama kaum wanita, aku tak senang melihat
perbuatan iblis ini dan kau enyahlah, bawa sumoimu itu!"
Pemuda ini mendelong. Dia jadi tak menyangka jawaban
itu dan mukanya seketika merah. Dia dimaki dan betapa pedas makian itu. Kalau
saja wanita ini datang bukan untuk menolongnya, atau menolong sumoinya itu
karena hal ini sama saja baginya mungkin dia sudah membentak dan
memaki wanita itu, menerjangnya. Panas dan marah karena dia terhina. Tapi karena
dia sudah ditolong dan diakui atau tidak dia telah dibebaskan dari Lam-ciat maka
pemuda ini menggigit bibir dan tiba-tiba teringat sumoinya itu, yang masih
menggeletak dan di bawah totokan si kakek iblis.
Maka begitu dia teringat dan menghentikan serangannya kepada Lam-ciat, mendengar
kakek itu tertawa tiba-tiba pemuda ini melompat keluar dan sudah menolong
sumoinya itu, membebaskan totokannya.
"Sumoi, seseorang telah menolongmu. Nah, terserah kau mau pergi atau kita serang
si kakek jahanam itu!"
Gadis ini meloncat bangun, langsung mencabut pedang.
"Aku tak mau pergi, suheng. Justeru akan membantu tuan penolongku dan kita
serang kakek jahanam itu!"
"Nah," si pemuda berseru. "Sumoiku tak mau pergi, nona. Justeru kami akan
membalas sakit hati pada kakek iblis ini dan jangan kau marah kepadaku kalau aku
menyerang Lam-ciat!" pemuda itu menerjang lagi, berkata bahwa dia bukan membantu
wanita itu melainkan membantu sumoinya, yang sudah
menyerang dan menerjang Lam-ciat, ada betulnya juga kata-kata ini dan ketua Hek-yan-pang itu
tertegun, tak dapat mengusir. Dan ketika suheng dan sumoi itu sudah mengeroyok
Lam-ciat tapi si iblis menghilang dan muncul lagi dengan ilmunya yang luar biasa
maka Hoan-eng-sut benar-benar merepotkan tiga orang ini karena kakek itu muncul
dan menghilang bagai siluman saja.
"Ha-ha, kalian tak dapat mengalahkan aku. Hoan-eng-sut terlampau tangguh buat
kalian!" "Hm, kau memang licik!" wanita baju merah itu membentak. "Ilmu andalanmu hanya
Hoan-eng-sut yang berbau ilmu hitam itu, Lam-ciat. Tanpa ini ternyata kau bukan
apa-apa!" "Ha-ha, tak-usah marah. Sekarang aku akan membunuh pemuda ini sementara kalian
berdua ikut aku... hargh!"
Lam-ciat mengeluarkan seruan panjang, parau dan
menyeramkan dan si gadis teman si pemuda tiba-tiba
berteriak ketika kakek iblis itu menghilang, berobah bentuk menjadi segumpal
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asal dan kini asap itu menyambar
temannya. Si pemuda terkejut dan tentu saja menggerakkan pedangnya. Tapi ketika
senjatanya terpental dan patah bertemu asap hitam ini maka pemuda itu berteriak
kaget ketika terangkat tinggi dan terbanting.
"Heiii.... bress!"
Pemuda itu menjerit. Lam-ciat di balik asap hitamnya
tertawa bergelak, maju menyambar dan pemuda itupun
sudah diterkam, bergulingan mengelak namun sia-sia. Dan ketika Lam-ciat
menggeram dan pemuda itu mengeluh
maka lengan pemuda ini berkeratak ketika dicengkeram, patah dan Lam-ciat
meneruskan gerakannya ke leher.
Tengkuk pemuda ini mau dipatahkan juga namun saat itu dua pedang di tangan
wanita baju merah dan sumoi
pemuda itu berkelebat, menyambar dan membentak si
kakek. Dan karena gerakan pedang di tangan Hek-yan-
pangcu jauh lebih berbahaya dibanding pedang di tangan sumoi pemuda itu maka
Lam-ciat mengelak dan tangan
kirinya bergerak menampar dua senjata itu.
"Plak-plakk!" Sumoi pemuda itu terpelanting. Pedangnya mencelat dan patah pula menjadi tiga,
Lam-ciat mengerahkan tenaganya hingga gadis ini tak kuat, terbanting dan
terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu menjerit dan Lam-ciat menangkis
pedang si wanita baju merah, menampar dari samping
maka ketua Hek-yang-pang itupun mengeluh dan terhuyung, terbelalak memandang kakek ini yang sudah
tertawa bergelak menggerakkan tangan kanannya, siap
mencengkeram hancur leher pemuda tawanannya itu. Tapi ketika kakek ini siap
membunuh lawan dan melaksanakan ancamannya tiba-tiba Beng Tan yang tak tahan
melihat semuanya itu sudah berkelebat keluar membentak si kakek, menendang sebuah
kerikil hitam. "Lam-ciat, kau kakek iblis tak berperasaan. Lepaskan pemuda itu... tak!"
Hantu Selatan ini terpekik. Batu yang ditendang Beng
Tan tepat sekali mengenai punggung tangannya, yang saat
itu bergerak dan hendak mencengkeram hancur tengkuk
lawannya. Maka begitu dia memekik dan melepaskan
tawanannya, tergetar mundur maka melayanglah Beng Tan menghantam kakek ini.
"Dess!" Lam-ciat terpelanting. Tak menduga diserang demikian cepat dan luar
biasa kakek ini menjerit. Asap hitamnya buyar karena saat itu kakek ini muncul
lagi, tak takut memperlihatkan diri karena dia sudah merasa
kemenangan bakal diraihnya. Tak tahunya datang pemuda baru ini di mana sambitan
atau pukulan Beng Tan dirasa pedih dan panas. Batu hitam yang ditendang Beng Tan
tadi hampir saja membuat putus urat di punggung tangan kakek ini, kalau Lam-ciat
tak mengerahkan sinkang dan
melindungi tangannya. Maka ketika dia mencelat dan
terbanting oleh pukulan Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tegak di
hadapannya sementara pemuda yang
menjadi suheng dari gadis di sebelah ketua Hek-yan-pang sudah dirampas dan
disambar pemuda baju putih ini.
"Sobat, sebaiknya kau mundur. Kakek ini bukan lawan siapa pun dari kalian.
Mundur dan biarkan aku yang
menghadapinya!" Pemuda itu dan sumoinya tertegun. Di sana Hek-yan-
pangcu juga terkejut dan tertegun, kedatangan Beng Tan yang demikian luar biasa
dan mampu membuat Lam-ciat
mengaduh dan terlempar bergulingan jelas menunjukkan
pemuda itu bukan orang sembarangan. Tapi mendengar
pemuda itu menyuruh mereka semua mundur dan akan
menghadapi kakek iblis itu sendirian tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini marah dan
membentak, "Kau si mulut besar bicara apa" Kau menyuruh kami semua mundur?"
"Hm, maaf," Beng Tan menenangkan debaran jantungnya beradu pandang dengan mata yang seperti
bintang itu. "Aku terpaksa berkata seperti itu, nona. Tapi bukan berarti
bermulut besar. Kau dan teman-temanmu tak mungkin menghadapi Hoan-eng-sut."
"Keparat, dan kau bisa?"
"Akan kucoba, nona. Karena aku dapat melihat jelas ke mana saja kakek itu
menghilang. Tenaga batin kalian
kurang tinggi!" "Keparat!" namun belum ketua Hek-yan-pang ini bergerak memaki Beng Tan tiba-tiba
Lam-ciat di sana sudah meledakkan kedua telapak tangannya, menghilang dan
secepat kilat dia menyerang Beng Tan. Semua kata-kata dan sikap pemuda itu
membuat kakek ini marah besar. Maka
begitu si pemuda bicara dengan ketua Hek-yan-pang itu dan dengan marah serta
gusar kakek ini merasa diganggu
mendadak dia sudah mempergunakan Hoan-eng-sutnya itu
dan lenyap menyerang Beng Tan.
"Awas...!" Yang berteriak ini adalah pemuda di sebelah Beng Tan.
Pemuda itu melihat Lam-ciat menghilang dan entah ke
mana, tahu kakek itu akan melakukan serangan tapi tak tahu di mana dia bakal
menyerang. Inilah hebatnya Hoan-eng-sut. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan
Beng Tan tersenyum ternyata dengan tenang namun cepat pemuda ini membalik ke
kiri. "Dukk!" Terdengar jeritan Lam-ciat. Hantu Selatan itu rupanya merasa kesakitan,
terpental dan tampaklah tubuhnya
mencelat ke atas. Kiranya dia tadi menyerang dari atas namun Beng Tan tahu,
menangkis terlemparlah kakek itu di
udara. Hoan-eng-sut dipatahkan dan kakek itu kelihatan ujudnya. Namun ketika
kakek ini membentak lagi dan
berteriak penasaran maka dia sudah menghilang dan
menyerang Beng Tan lagi, dari kiri dan kanan dan Beng Tan cepat mendorong mundur
pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terbelalak karena Beng Tan dengan mudah
mengelak atau menangkis, tahu di mana Lam-ciat berada karena setiap mengelak
atau menangkis pasti selalu tepat, dak-duk-dak-duk dan Lam-ciat menjerit
berulang-ulang Dan ketika kakek itu mencoba lagi dan tangannya meledak
mengeluarkan segumpal asap hitam maka Beng Tan tiba-
tiba membentak kakek itu mengeluarkan Pek-lui-ciangnya, Pukulan Kilat.
"Lam-ciat, kau enyah atau roboh!"
Terdengar raungan kakek ini. Asap hitam meledak ketika bertemu Pukulan Kilat,
ambyar dan kakek itu terguling-guling. Tapi ketika Lam-ciat mencoba lagi dan
rupanya kakek itu masih penasaran dan marah besar tiba-tiba Beng Tan
tak sabar mencabut Pek-jit-kiamnya (Pedang Matahari). "Crat!" Kakek itu mengaduh. Setelah Beng Tan mengeluarkan
Pek-jit-kiamnya dan hanya sekali saja pedang itu keluar dan masuk ke dalam
sarungnya ternyata kakek ini sudah
terluka. Dadanya tergores panjang dan tentu saja gentarlah kakek
itu menghadapi Beng Tan. Dia terbelalak memandang lukanya namun lalu meraung tinggi, meloncat dan terhuyung melarikan
diri. Dan ketika kakek itu
memaki-maki sementara pemuda yang ditolong Beng Tan
tampak kagum dan mendelong, seperti juga temannya dan ketua Walet Hitam maka
Beng Tan tertawa dan berseru
pada lawannya yang sudah melarikan diri itu,
"Nah, lain kali jangan coba-coba nekat lagi, kakek buruk.
Atau kepalamu terpenggal dan lehermu putus!"
Pemuda di sebelah Beng Tan dan sumoinya takjub.
Mereka itu melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja Beng Tan telah
berhasil mengusir Lam-ciat, padahal dikeroyok tiga kakek itu masih saja lebih
unggul. Maka begitu si kakek iblis melarikan diri dan Beng Tan tertawa
mengiringi lawannya maka pemuda ini menjura dan sudah berseru di depan Beng Tan,
"Aih, luar biasa sekali, in-kong (tuan penolong). Ilmumu hebat dan
mentakjubkan sekali. Aku Liong Ma menghaturkan terima kasih bahwa kau telah menyelamatkan jiwaku!"
"Benar, dan aku juga, in-kong. Aku Liong Hwi
mengucapkan banyak terima kasih!"
"Eh-eh!" Beng Tan terkejut. "Yang menolong pertama kali adalah Ang-siocia (nona
baju merah) ini, sobat-sobat.
Aku hanya datang belakangan dan kebetulan saja mengusir kakek itu!"
"Benar, akupun akan berterima kasih padanya." dan Liong Hwi yang membungkuk dan
merangkapkan tangan di depan ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu mengucap terima kasih.
"Cici, kau pun hebat. Aku Liong Hwi
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Budi baikmu terus terang tak dapat
kubalas, semoga Tuhan yang membalas kebaikanmu!"
"Hm!" wanita ini tiba-tiba berkelebat pergi. "Yang menolong kalian adalah pemuda
itu, Liong Hwi. Tanpa diapun barangkali aku mampus. Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih dan biar
aku pergi!" Liong Hwi tertegun. Dia terbelalak mengerutkan kening dan temannya pun berseru
tertahan. Mereka bermaksud
mencegah namun orang sudah lenyap di luar hutan. Dan
ketika mereka melenggong dan tak dapat bicara mendadak Beng Tan yang ada di
sebelah kanan mereka pun lenyap
berkelebat. "Ha-ha, betul, Liong Hwi. Terima kasih tak perlu diucapkan karena akupun tak
bermaksud meminta terima kasih. Sudahlah, kalian kembali dan hati-hati jangan sampai ketemu lagi dengan
kakek iblis itu!" "In-kong...!" Namun Beng Tan lenyap. Pemuda ini, seperti juga ketua Hek-yan-pang yang belum
dikenalnya itu hanya ingin
menolong dua muda-mudi ini dari keganasan Lam-ciat.
Hantu Selatan itu berhasil diusir dan tentu saja Beng Tan lega. Dalam
menyaksikan jalannya pertandingan tadi Beng Tan melihat bahwa sebenarnya wanita
baju merah itu lihai, cukup lihai namun sayang menghadapi ilmu hitam macam
Hoan eng-sut jadi terdesak, kewalahan karena tak memiliki tenaga batin yang
tinggi, meskipun mungkin saja
sinkangnya hebat. Dan karena menghadapi ilmu-ilmu
hitam macam Hoan-eng-sut itu orang harus memiliki
tenaga batin yang tinggi karena dengan tenaga batin begini akan mampu melihat ke
mana lawan menghilang, seperti
apa yang dilakukan kakek iblis itu maka semua ilmu silat atau sejenisnya tak
dapat dipakai menghadapi Hoan-eng-sut kecuali harus dihadapi dengan ilmu atau
tenaga batin pula. Dan itu dipunyai Beng Tan, yang telah membuktikannya
tadi. Dan karena pemuda ini juga memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi, seperti
Pek-lui-ciang yang telah membuat gentar lawannya maka Lam-ciat semakin ketakutan
melihat Beng Tan memiliki pula Pek-jit-kiam, Pedang Matahari
yang demikian tajam hingga dari jauh saja dadanya tergores
luka. Liong Hwi dan Liong Ma tak tahu bagaimana caranya pedang itu bekerja,
kecuali wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu, yang tentu saja diam-diam
terkejut dan membandingkannya dengan Golok Maut, senjata yang
dipunyai Giam-to atau Si Golok Maut. Dan ketika dia
terkejut dan hanya wanita inilah yang melihat betapa angin pedang sudah mampu
melukai dada si Hantu Selatan dan
betapa tanpa menyentuh mata pedang itu sudah berhasil membuat Lam-ciat ketakutan
diam-diam wanita ini kagum dan terkesiap.
Namun Hek-yan-pangcu ini sudah berkelebat pergi.
Sebenarnya kemarahan memang tersimpan di dada wanita
itu, bukan apa-apa, melainkan semata oleh rasa malunya bahwa dia tak dapat
mengalahkan si Hantu Selatan
sementara Beng Tan bisa. Itu saja. Maka ketika ini semua masih ditambahi secara
tak sengaja oleh Liong Hwi dan Liong Ma yang lebih dulu mengucap terima kasih
kepada Beng Tan bukan kepada dirinya maka wanita ini semakin mendongkol dan
marah. Dan kita tahu, akhirnya wanita itu pergi, disusul Beng Tan dan tentu saja
pemuda ini tahu kemarahan orang. Beng Tan yang berkelebat meninggalkan Liong Hwi
dan Liong Ma sebenarnya ingin mengetahui
lebih lanjut siapa sebenarnya wanita bersaputangan merah itu, yang matanya
bersinar-sinar bagai bintang kejora namun apinya bagai besi terbakar. Panas dan
tajam menusuk! Teringat bola mata itu Beng Tan tergetar, hatinya berdebar dan ada
semacam perasaan aneh menyelinap di
jiwanya, entah apa. Dan ketika siang itu Beng Tan
berkelebat pergi dan diam-diam merasa sayang kenapa
wanita baju merah yang menarik hatinya itu pergi
mendahului mendadak saja dia tercekat ketika sambil
melamun, jauh meninggalkan hutan pertama dia dicegat
wanita ini, tanpa disangka-sangka!
"Pemuda sombong, berhenti sebentar. Kebetulan aku ingin bicara!"
"Lho?" Beng Tan tertegun. "Kau di sini, nona" Belum pergi" Ah, kebetulan, aku
juga ingin mencarimu!" dan Beng Tan yang tidak berprasangka buruk dan sudah
meloncat dan berseri-seri memandang wanita ini lalu menjura,
menyambung, "Nona, maaf kalau tadi aku menerima
ucapan dua suheng dan sumoi itu. Mereka lupa, dan terus terang aku kikuk!"
"Hm, tak usah pura-pura!" bentakan itu mengejutkan.
"Kikuk atau tidak yang jelas kau telah menghina aku, manusia sombong. Dan kini
aku menuntut agar kau minta maaf dan berlutut di depan kakiku!"
"Apa?" Beng Tan terkejut. "Aku menghina dirimu"
Berlutut dan minta maaf" Eh-eh, minta maaf mau saja,
nona. Tapi berlutut nanti dulu. Hanya terhadap kaisar saja orang boleh berlutut,
selebihnya lihat-lihat dulu!"
"Hm, sudah kuduga. Kau memang sombong dan banyak tingkah! Baiklah, cabut
pedangmu, manusia sombong. Dan aku menantangmu bertanding... srat!" Beng Tan
tertegun, melihat wanita itu sudah mencabut pedangnya dan mata
yang bersinar-sinar di balik kedok itu mengeluarkan apinya yang membuat pemuda
ini surut mundur, tergetar dan tentu saja kaget. Dan ketika ujung pedang sudah
digetarkan tiga kali namun Beng Tan tak mencabut pedangnya, sesuai
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah, mendadak saja lawan telah melekatkan ujung
pedangnya di batang tenggorokannya.
"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau
mampus!" "Nanti dulu!" Beng Tan terkesiap, mendorong ujung pedang itu. "Perlahan dulu,
nona. Tiada hujan tiada angin
kau memusuhiku. Eh! Apa salahku" Apa yang telah
kuperbuat?" "Hm, tak usah banyak tanya, pemuda sombong. Kau
telah memamerkan ilmu pedangmu yang hebat itu dan terus terang aku gatal ingin
mencoba. Tanpa bersalahpun aku tetap ingin menghadang, menjajal kepandaianmu!"
"Lho-lho... kenapa begini" Bukankah aku justeru
menolongmu dari Lam-ciat" Eh!" Beng Tan semakin
terbelalak. "jangan memusuhi orang tanpa sebab, nona.
Aku tak suka dan terus terang tak ingin bermusuhan
denganmu. Justeru aku ingin tahu siapakah kau dan
bolehkah kita berkenalan!"
"Hm, berkenalan hidungmu!" hidung yang mancung itu tiba-tiba mendengus. "Kiranya
kau pemuda ceriwis, bocah sombong. Kalau begitu untuk alasan ini saja sudah
cukup aku memusuhi mu. Cabut pedangmu atau kau mampus....
singg!" dan pedang yang bergerak luar biasa cepatnya tanpa memberi tahu lagi
tiba-tiba sudah menusuk ke dada Beng Tan, mendesing dan untuk kesekian kalinya
Beng Tan melihat bahwa wanita ini sebenarnya memang bukan
wanita sembarangan. Pedang bergerak dan sudah menusuk dirinya dengan cepat,
seperti kilat menyambar. Dan karena Beng Tan tentu saja tak mau ditusuk dan
dadanya berlubang sia-sia maka pemuda ini mengelak namun
pedang dengan ganas dan cepat mengejar larinya.
"Plak!" Beng Tan berseru keras. Pedang sudah ditangkis namun
terpental membalik, bagai per atau pegas saja sudah
meluncur lagi dari atas ke bawah menusuk ubun-ubunnya.
Gagal menyambar dada kini menyambar kepala. Bukan
main! Dan ketika Beng Tan menjadi marah dan berkelit
menghindar maka lawan berseru dan mengejarnya lagi,
membentak agar dia mencabut pedangnya atau mampus,
bentakan yang disertai pandangan berkilat dan penuh nafsu membunuh, hal yang
membuat pemuda ini bergidik. Dan
ketika Beng Tan dipaksa berlompatan dan akhirnya
berkelebatan mengimbangi lawan maka pedang sudah
berseliweran dan naik turun menyambar-nyambar dirinya.
"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau
mampus!" Beng Tan terbelalak. Lawan mempercepat gerakannya
dan terpaksa dia pun mempercepat gerakannya. Ilmu
meringankan tubuh dikeluarkan pemuda ini dan beterbanganlah pemuda itu menghindari serangan-serangan lawan. Tapi ketika lawan
juga melengking tinggi dan
mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya
pula maka Beng Tan tak dapat mengelak dan harus
menangkis atau membalas. "Plak-plak!" Lawan berseru marah. Pedang ditampar miring dan Beng
Tan mendapat kenyataan bahwa tenaga lawan cukup hebat, untung dia masih lebih
hebat dan tertolaklah pedang ke kiri atau kanan. Dan ketika lawan menyerang lagi
dan kian sengit menggerakkan pedangnya maka Beng Tan mengeluarkan Pukulan Kilat nya dan apa boleh buat harus membalas atau memukul
pedang. "Nona, kau hebat. Tapi aku tak mau terbunuh!" dan Beng Tan yang membentak
menggerakkan tangannya akhirnya berkelebatan menampar atau menangkis, membalas dengan pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya dan
lawan terpekik. Ketua Hek-yan-pang atau wanita baju
merah ini terkejut, setiap tamparan atau pukulan Beng Tan menyengat lengannya,
melalui badan pedang. Dan ketika wanita itu terhuyung dan sering mengeluh,
karena tergetar dan merasa kesetrom maka Beng Tan di sana berseru agar lawan berhenti menyerang.
"Jangan menyerang lagi. Simpan pedangmu, nona. Dan kita bersahabat!"
"Hm, aku tak mau bersahabat!" wanita itu membentak.
"Kaubunuh aku atau aku yang membunuhmu, manusia
sombong. Atau kau cabut pedangmu dan perlihatkan ilmu pedangmu itu!"
"Aku tak suka berkelahi...."
"Aku yang menantangmu! Ah, kau terlalu banyak
mulut!" dan wanita itu yang memotong serta menyerang lagi tiba-tiba memekik dan
berkelebat menusuk perut Beng Tan, dikelit tapi pedang meliuk dari kanan ke
kiri, cepat dan luar biasa hingga Beng Tan terkejut. Dan ketika pemuda itu
berseru keras dan marah melihat kebandelan lawan maka dia bermaksud untuk
melepaskan pedang wanita ini dari tangan pemiliknya.
"Plakk!" Tamparan atau tangkisan Beng Tan ini keras. Wanita itu menjerit dan pedangnya
benar-benar terlepas, mencelat dari tangan kanannya. Tapi ketika wanita itu
berjungkir balik dan menggerakkan tangan kirinya ternyata pedang telah dipegang
dan menyerang lagi dengan ganas.
"Hebat, kau luar biasa, nona. Ilmu pedangmu
sebenarnya hebat!" "Tak usah memuji!" wanita itu marah. "Kau berlutut dan minta ampun atau aku
terus menyerangmu mati-matian,
manusia sombong. Atau kaubunuh aku dan aku siap
bertempur sampai titik darah penghabisan!"
"Ah, kau keras kepala...!" dan Beng Tan yang bingung menangkis lagi lalu
menambah tenaganya hingga lawannya terpekik, pedang mencelat namun lagi-lagi
disambar oleh tangan yang lain. Hal ini terjadi empat lima kali hingga Beng Tan
kagum, sebenarnya melihat bahwa lawannya itu mendesis kesakitan, telapaknya
mulai lecet, pecah-pecah.
Dan ketika pemuda ini bingung harus menyudahi
pertempuran dengan cara bagaimana mendadak terdengar
geram dan bentakan seseorang,
"Pangcu, kau diganggu siluman sombong ini" Mundurlah, biar aku yang menghadapi... siut-dess!" dan Beng Tan yang mencelat
oleh sebuah tendangan tiba-tiba berseru kaget oleh datangnya serangan yang luar
biasa cepat ini, melihat seorang pemuda atau laki-laki bercaping
muncul di situ, membantu wanita baju merah ini yang
sudah terdesak oleh tangkisan-tangkisan Beng Tan. Hanya berkat kekerasan dan
kemarahan hatinya saja wanita ini kuat bertahan, padahal telapak tangannya sudah
lecet-lecet berdarah. Dan ketika bayangan atau laki-laki bercaping itu muncul
dan berkelebat dengan sebuah tendangan melayang maka Beng Tan terguling-guling
dan terlempar dengan kaget. "Golok Maut....!"
Yang mengeluarkan seruan itu adalah ketua Hek-yan-
pang atau wanita baju merah ini. Beng Tan di sana sudah bergulingan meloncat
bangun dan terkejut mendengar
seruan itu. Dan ketika Golok Maut, laki-laki gagah
bercaping ini berdiri tegak di hadapan Beng Tan maka Beng Tan melongo melihat
wanita baju merah itu terisak dan menangis melaporkan kejadiannya, seperti
seorang pacar melaporkan kekurangajaran pemuda lain kepada kekasihnya, "Golok Maut, bunuh pemuda ini. Dia... dia menggangguku....!" "Hm!" Golok Maut, laki-laki itu mengangguk. "Aku sudah menduganya demikian,
pangcu. Tapi tak usah kau
khawatir. Mundurlah, aku yang menghadapinya, laki-laki dengan laki-laki!" dan
sementara Beng Tan bengong dan kaget melihat semuanya itu maka Golok Maut sudah
melangkah mendekatinya dengan mata berapi-api, sedikit tengadah namun wajah di
balik caping bambu itu masih
tersembunyi baik, "Orang kurang ajar, apa yang kau lakukan terhadap ketua Hek-yan-pang ini" Tak
malu kau bahwa sebagai seorang laki-laki kau mengganggu seorang wanita" Hm, kau harus diberi adat,
manusia busuk. Aku akan menghajarmu atau kau cepat berlutut minta ampun!"
Beng Tan tertegun. "Kau Golok Maut?"
"Perlukah aku memperkenalkan diri?" suara ini dingin, menyeramkan. "Kau
sudah menyebutnya, manusia sombong. Dan sekarang mintalah ampun atau kau
menerima hukuman!" "Nanti dulu!" Beng Tan mundur, mencelat ke belakang, melihat lawan hendak
menyerang. "Aku tak melakukan apa-apa, Golok Maut. Dan justeru baru sekarang aku
tahu bahwa yang kuhadapi itu adalah seorang pangcu (ketua).
Tunggu, siapa dia dan tanyakan dulu gangguan apakah
yang kulakukan kepada temanmu itu!"
Golok Maut tertegun. "Pangcu," katanya menoleh.
"Benarkah pemuda ini tak melakukan apa-apa kepadamu"
Bagaimana perkelahian ini terjadi?"
"Kenapa kau banyak bicara" Serang dan bunuh saja pemuda itu, Golok Maut. Kalau
dia tak menggangguku tak mungkin aku menyerangnya. Dia sombong, menghina
diriku. Nah, jangan bertanya dan serang dia!"
"Nanti dulu!" Beng Tan mundur lagi.
Semakin terkejut. "Jangan menyerang kalau tidak
mengetahui duduk persoalannya, Golok Maut. Aku Ju
Beng Tan tak takut kepadamu tapi jarrgan menyerang
membabi buta. Aku kebetulan mencarimu, tak mungkin
akan menyingkir dan justeru gembira. Kau sebutkanlah
siapa wanita ini dan kenapa beberapa waktu yang lalu kau mengobrak-abrik
istana!" "Hm, kau siapa" Kenapa bertanya tentang ini" Dia adalah
Hek-yan-pangcu, orang she
Ju. Dan aku membantunya karena dia sahabatku!"
"Eh, dia ketua Walet Hitam" Dan aku.... aku..."
"Benar, kau telah memusuhinya. Dan karena dia
sahabatku maka berarti kau musuhku pula. Bersiaplah, aku ingin menghajarmu!"
"Nanti dulu...!" namun Si Golok Maut yang mendengus dan membentak ke depan tiba-
tiba bergerak dan telah melakukan tamparannya, berkelebat dan sudah menyerang dengan cepat. Beng Tan
berdetak dan tergetar. Orang yang dicari-cari tiba-tiba ada di depan hidungnya,
muncul begitu saja! Maka begitu lawan menyerang dan rupanya tidak mau banyak
cakap lagi tiba-tiba Beng Tan pun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukk!" Dua orang itu mencelat. Baik Golok Maut maupun Beng
Tan sama-sama terpental, masing-masing berseru kaget dan berjungkir balik. Beng
Tan merasa betapa sinkang yang amat kuatnya menghantam dirinya, ditahan namun
dia terpental juga. Dan ketika pemuda ini mengeluarkan
teriakan kaget sementara Golok Maut juga tersentak dan berseru tertahan maka
tokoh bercaping itu berjungkir balik dan terbelalak memandang Beng Tan, tidak
banyak cakap dan tiba-tiba menerjang lagi, tangan kiri mendorong dan serangkum
angin kuat menghantam lawannya ini. Tapi
ketika Beng Tan penasaran dan ingin menjajal lagi maka untuk kedua kalinya
pemuda itu pun menangkis.
"Duk-dukk!" Dua orang ini lagi-lagi terpental. Beng Tan dan lawannya kembali sama-sama
berseru keras, mereka terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan bahwa
tenaga mereka sama kuat, satu sama lain berimbang dan tentu saja mereka terbelalak. Kekaguman
tak dapat disembunyikan lagi
namun Golok Maut melengking lagi, berkelebatan dan
sudah menyerang lawannya dengan gencar. Dan ketika
Beng Tan mengimbangi cepat dan berkelebatan menangkis atau mengelak maka
keduanya sudah bertempur dan
bertanding seru, mula-mula masih kelihatan namun
akhirnya lenyap, masing-masing sudah berobah menjadi
bayangan putih dan hitam. Golok Maut mengenakan baju
hitam dan kontras sekali bayangan keduanya itu. Dan
ketika suara "dak-duk" terdengar berulang-ulang dan masing-masing terpental tapi
selalu serang-menyerang lagi maka ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah itu
terbelalak. Sebenarnya, kedatangan Golok Maui menggembirakan
hatinya. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa girang, berseru dan tadi
melaporkan kejadian itu dengan sikap seorang kekasih kepada pacarnya. Aneh
sekali, wanita ini berseri-seri dan tentu saja hanya Golok Maut atau mereka
berdua yang tahu semuanya itu, kegembiraan atau
kebahagiaan kedua belah pihak begitu masing-masing
bertemu. Ketua Hek-yan-pang ini bersinar-sinar dan
bercahaya mukanya, menonton jalannya pertandingan dan berulang-ulang dia
mengeluarkan seruan kaget pula, ketika Golok Maut atau lawannya terpental. Dan
ketika di sana Beng Tan menjadi gemas dan marah karena Golok Maut
membela wanita baju merah itu tanpa menanya duduk
persoalannya dengan baik, padahal jelas wanita itulah yang mencari setori dan
menyerangnya dulu maka Beng Tan
melayani dan mengimbangi lawannya ini, terkejut dan
kagum karena Golok Maut ternyata hebat. Masing-masing belum mengeluarkan
senjatanya karena masing-masing
ingin mengadu kepalan dulu, pertandingan tangan kosong di mana pukulan sinkang
atau getaran Iweekang (tenaga dalam) silih berganti dikeluarkan. Masing-masing
mendapat kenyataan bahwa baik Iweekang ataupun sinkang (tenaga sakti) boleh
dikata berimbang, tak ada yang unggul atau asor (kalah). Dan ketika pertandingan
berjalan semakin seru karena masing-masing kian mempercepat gerakan untuk
Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendahului yang lain maka Golok Maut mengeluarkan
satu bentakan keras di mana tangan kirinya tiba-tiba
menyambar dalam satu gerak memutar. "Dess!"
Beng Tan tak menduga. Pemuda ini terkena dan
terpelanting, tidak apa-apa namun mendesis kesakitan.
Pundaknya yang kena pukulan cukup pedas dan linu, kalau dia tidak mengerahkan
sinkangnya barangkali tulang
pundaknya bisa patah. Gerakan memutar tadi sungguh
mengecohnya. Namun ketika Golok Maut menyerang dan
melakukan gerakan serupa, kini dengan tangan kanannya tiba-tiba Beng Tan meliuk
dan berkelebat di bawah ketiak lawan.
"Dess!" Kali ini Golok Maut yang terbanting. Dengan dengan
gerak tipu Kilat Melingkari Matahari pemuda ini ganti mengecoh lawan, menyelinap
dan keluarlah pukulan Pek-
lui-ciangnya. Namun ketika Golok Maut bangkit terhuyung dan tidak apa-apa maka
Beng Tan kagum dan berseru
memuji lawan, "Hebat, kau luar biasa, Golok Maut. Mengagumkan!"
"Hm, kaupun juga hebat. Tak perlu memuji, orang she Ju. Kita masih berimbang dan
belum ada yang kalah atau menang!"
"Tapi aku akan menundukkanmu. Kau cukup ganas dan telengas di luar!"
"Hm!" dan Golok Maut yang tidak menjawab karena sudah menghadapi serangan-
serangan lawan lalu dibalas dan menerima pukulan-pukulan Pek-lui-ciang, Pukulan
Kilat, melihat sinar berkeredep dan menyambar dari kedua tangan
lawannya, mengelak dan menangkis dan terdengarlah ledakan ketika pukulan-pukulan mereka
bertemu. Dan ketika semuanya itu kembali ditonton dan membuat kagum ketua Hek-
yan-pang maka wanita baju
merah ini memuji berulang-ulang.
"Hebat, tapi jangan mundur, Golok Maut. Maju dan hadapi kembali lawanmu itu.
Robohkan dia!" Ini adalah spirit bagi Golok Maut. Beng Tan mengejek
namun tidak gentar, untuk sementara mereka masih
berimbang. Tapi ketika Golok Maut mendesak dan
menambah tenaganya, hingga Pek-lui-ciang yang biasanya hebat itu tertolak dan
membuat Beng Tan terhuyung maka satu ancaman lawan membuat Beng Tan mengerutkan
keningnya. "Orang she Ju, kau hebat. Tapi aku harus merobohkanmu. Menyerahlah atau aku terpaksa mencabut
senjata!" "Hm, aku tak takut!" Beng Tan berdebar, mendengar lawan akan mencabut goloknya
yang ampuh itu. "Kau boleh cabut senjatamu, Golok Maut. Dan lihat apakah
benar kau dapat merobohkan aku!"
"Aku akan mencabutnya, tapi cabut pula pedang di balik punggungmu itu!"
"Hm, kau tahu?"
"Kita sama-sama bermata, orang she Ju. Jangan berlagak dan pura-pura pilon.
Cabutlah pedangmu, dan aku akan
mencabut golokku!" Beng Tan berbinar matanya. Kalau Golok Maut berkata
seperti itu maka harus diakuinya bahwa lawan sebenarnya gagah, tak ingin
mendahului dan menyerang lawan yang
bertangan kosong. Golok Maut tak mau mempergunakan
senjata kalau dia tidak bersenjata. Perasaan simpatik tiba-tiba timbul dan Beng
Tan tersenyum memandang lawannya itu. Dan ketika lawan menambah tenaganya
menangkis pukulannya maka Beng Tan berseru keras menambah
tenaganya pula. "Golok Maut, kau bukan manusia licik. Baiklah, siapa pun boleh mempergunakan
senjatanya lebih dulu kalau dia menghendaki.... dess!" Beng Tan mengerahkan
sinkangnya, terpental namun di sana Golok Maut juga terlempar. Kali ini keduanya
terbanting dan bergulingan di tanah,
mengeluh. Namun ketika mereka melompat bangun dan
terhuyung memandang lawan maka Golok Maut menggeram, "Baiklah, kalau begitu kita lihat!" dan satu bentakan kuat yang menggetarkan
tempat itu tiba-tiba disusul dengan lenyapnya Si Golok Maut itu. Beng Tan
melihat lawan menjejakkan kakinya, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menyambarnya dari
atas. Gerakan meluncur dan terbang
seperti burung telah ditunjukkan lawannya ini, Beng Tan terkesiap. Dan ketika
dia mengelak namun serangkum
angin dingin menyambar belakang punggungnya tiba-tiba saja sebuah totokan dan
cengkeraman cepat menyambar
dirinya. "Bret-plak!" Beng Tan kaget bukan main. Ternyata setelah dekat
pemuda ini tahu bahwa Golok Maut hendak merampas
pedangnya, yang disembunyikan di punggung. Dan karena gerakan ini disembunyikan
di balik totokan lihai di mana jari tangan lawanya itu berkesiur di atas kepala
maka se cepat kilat Beng Tan membanting tubuh bergulingan dan melepas totokan
pula, ke mata lawan. "Crit-dess!" Gebrakan ini ganti mengejutkan Golok Maut. Beng Tan
menusuk matanya dengan gerakan mengadu jiwa, saat itu tangannya sudah bergerak
merampas pedang lawan di belakang punggung, menarik dan pedang tertarik dari
sarungnya. Tapi begitu lawan menusuk matanya dan tentu saja Golok Maut melempar
kepala ke kiri tiba-tiba tanpa diduga totokan itu lewat di belakang punggungnya
dan...... golok yang tersimpan di belakang dirampas dan tertarik keluar dari sarungnya.
"Srat!" -ooo0dw0ooo- Jilid : XVI DUA-DUANYA berjungkir balik ke belakang. Golok
Maut mengeluarkan teriakan tertahan sementara lawan juga berseru lirih. Dua-
duanya sudah merampas senjata lawan.
Golok Maut dengan pedang bersinar putih yang
berkeredepan menyilaukan mata sedangkan Beng Tan
dengan Golok Maut yang terasa dingin menyeramkan.
Masing-masing tertegun dan terbelalak sejenak mengamati pedang atau golok di
tangan masing-masing, keduanya
Dewa Tangan Api 3 Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Suling Emas 12