Pencarian

Golok Maut 13

Golok Maut Karya Batara Bagian 13


detik dan hal itu cukup membuat dia berada di posisi yang buruk maka gadis ini
terdesak ketika lawan juga menambah tenaganya, jari-jari lawan mengusap semakin
kurang ajar dan memanaskan hati!
"Ha-ha, kau menyerah, Cu-moi. Dan kita berbaik. Aih, aku jatuh cinta padamu dan
langsung ingin menikah!"
Bhok-kongcu tahu kedudukan lawan, mengeluarkan kata-
kata kurang ajar dan tertawa terbahak-bahak.
Dia menirukan panggilan Wi Hong tadi kepada gadis ini, menyebutnya dengan mesra
tapi ceriwis, hal yang membuat Swi Cu jadi merah padam dan buyar pemusatan
perhatiannya. Dan ketika gadis itu membentak namun
kalah dulu tiba-tiba dia terjengkang ketika lawan
mendorong. "Bress!" Swi Cu terguling-guling. Gadis ini mengeluh dan pedang di
tanganpun terlepas. Bhok-kongcu secara cepat mendahuluinya tadi, menambah Ang-tok-kang dan pukulan Awan Merahnya terdesak,
kalah dan tertindih. Dan ketika gadis itu terjengkang dan merasa dadanya sesak
maka Bhok-kongcu menyambar dan berkelebat menotok buah
dadanya! "Ha-ha, sekarang kita bersenang-senang, Cu-moi. Aih, alangkah nikmat
mendapatkan dua kakak beradik sekaligus!" Namun, ketika pemuda hidung belang itu bergerak dan
siap merobohkan lawan, karena Swi Cu tak mungkin
menangkis lagi karena sedang terguling-guling dan sesak dadanya tiba-tiba
berkelebat bayangan putih. Bayangan ini bergerak jauh lebih cepat daripada
pemuda she Bhok itu, berkelebat dan tahu-tahu sudah mencengkeram bahu si Hi-ngok
ini. Dan ketika Bhok-kongcu terkejut dan terpekik kesakitan tiba-tiba dia
terbanting dan sebuah bentakan terdengar di situ, dingin menyeramkan,
"Orang she Bhok, jangan mengganggu wanita. Pergilah!"
Bhok-kongcu terlempar. Dia tadi serasa diserang setan dan hanya Golok Maut
sajalah yang mampu berbuat itu,
karena dulu dia pernah mengalami hal serupa. Dan ketika dia menjerit dan sudah
menyangka si Golok Maut, lawan yang paling ditakuti tiba-tiba orang she Bhok ini
tertegun karena disitu berdiri seorang pemuda lain yang bukan
Golok Maut, seorang pemuda berbaju putih.
"Beng Tan...!" Yang berteriak itu adalah Swi Cu. Wakil ketua Hek-yan-pang ini girang bukan main
ketika melihat siapa yang
datang, bukan lain memang Beng Tan adanya. Dan ketika pemuda itu mengangguk dan
Bhok-kongcu juga mengenal
maka si Hi-ngok si Hidung Belang ini pucat mukanya.
"Ah, kau?" Bhok-kongcu tiba-tiba gemetar. Pemuda lihai yang
dikenalnya sehebat Golok Maut itu tiba-tiba membuat dia pias, tak ayal
membalikkan tubuh dan tiba-tiba meloncat pergi, terbang meninggalkan lawan. Dan
ketika Beng Tan, pemuda itu tak mengejarnya melainkan menolong Swi Cu
maka gadis baju hitam ini menangis dan menubruk pemuda baju putih itu.
"Ah, kau... kau, in-kong. Terima kasih!"
"Hush, apa-apaan ini" Bangunlah, Swi Cu. Dan jangan bercanda "
Swi Cu, sumoi dari Wi Hong itu girang bukan main. Dia mengguguk tapi segera
menciumi Beng Tan. Mereka adalah kekasih dan seperti diketahui di muka
sebenarnya dua orang ini pergi bersama-sama, meninggalkan Hek-yap-pang. Tapi karena di tengah jalan Beng Tan ke kota raja
sebentar untuk suatu keperluan maka mereka berpisah sejenak dan Swi Cu kebetulan
melihat pertandingan sucinya dengan Hi-ngok si Hidung Belang itu, menolong sucinya tapi
Bhok-kongcu ternyata lihai. Hampir saja dia celaka. Dan ketika Beng Tan muncul
lagi disitu dan tentu saja dia gembira maka Swi Cu ter'upa Danggilannya karena
teringat peristiwa ketika Beng Tan dulu menolongnya dari tangan si Golok Maut, wajah berseri-seri dan kini dipeluk
pemuda itu, mendapat ciuman sekali di pipi.
"Hm, apa yang terjadi, Cu-moi. Bhok-kongcu itu
mengganggumu" Dan eh , itu sucimu." Beng Tan tiba-tiba baru melihat Wi Hong
disitu, pingsan di atas tanah karena tadi hampir hanyut oleh keberduaannya
dengan Swi Cu. Mereka sekarang bertemu lagi dan Beng Tan tentu saja
terkejut, melihat Wi Hong yang pingsan. Dan ketika dia melepas kekasihnya untuk
berkelebat ke arah Wi Hong
maka Swi Cu juga sadar dan berkelebat menyusul
disampingnya. "Benar, aku bertemu orang she Bhok itu justeru karena melihat suciku disini,
koko. Tadi dia bertanding tapi aneh sekali suciku tiba-tiba roboh, seolah
kesakitan!" "Hm, mari kita sadarkan dulu. Lain-lain akan terjawab sendiri," dan ketika Beng
Tan menotok serta menolong Wi Hong maka wanita atau gadis baju merah itu sadar.
"Ooh. !" Wi Hong membuka mata. "Dimana kau, Cu-moi' Dan dimana keparat Bhok-
kongcu itu?" "Aku disini," Swi Cu memegang sucinya dengan khawatir. "Kau tak apa-apa, suci,
Kau masih pusing-pusing?"
"Benar, aku... ah." Wi Hong terkejut, membuka matanya dan melihat Beng Tan
disitu, terbelalak. "Siapa.... siapa ini"
Dia menolongku?" wanita itu tiba-tiba bangkit, terhuyung dan merah padam.
"Keparat, tak boleh ada laki-laki menyentuh tubuhku, Cu-moi. Kau tahu itu!" dan
Wi Hong yang bergerak serta menghantam Beng Tan tiba-tiba
diterima dan dibiarkan Beng Tan, yang tentu saja
mengejutkan Swi Cu, kekasihnya.
"Suci.... dess!" pukulan sudah mengena, mendarat namun Beng Tan tentu saja tidak
apa-apa. Pemuda ini telah mengerahkan sinkangnya dan Wi Hong
malah terbanting, kaget berteriak tertahan. Dan ketika sumoinya berkelebat dan
menolong sang enci maka Wi
Hong tertegun melihat adik atau sumoinya itu tersedu-sedu.
"Jangan... jangan serang dia. Dia.... dia calon suamiku, kekasihku!"
"Apa?" Wi Hong tersentak, kaget membelalakkan mata.
"Kau... kau sudah berhubungan dengan lelaki" Kau.... plak-plak!" dan Wi Hong
yang tiba-tiba menampar dan membuat Swi Cu terpelanting tiba-tiba menjadi marah
dan kecewa teringat penderitaannya sendiri. Menganggap laki-laki adalah pendusta belaka dan
mereka tu "penyakit" bagi wanita.
Wi Hong terguncang dan entah kenapa menjadi marah
dan panas mendengar kata-kata sumoinya. Semacam
perasaan cemburu dan iri mengganggu dirinya saat itu.
Maka begitu sumoinya menerangkan dan dia marah serta
menampar sumoinya itu maka Wi Hong bangkit dan
berapi-api menghadapi Beng Tan, yang membuatnya
terkejut oleh kelihaiannya tadi tapi sama sekali tidak membuat ketua Hek-yan-
pang ini takut, apalagi gentar!
"Jahanam, siapa namamu" Kau telah merayu dan
memikat sumoiku" Kau mau menipunya dan berbuat
seperti yang lain-lain" Ah, kubunuh kau. Laki-laki tak dapat dipercaya... wut!"
dan Wi Hong yang membentak lagi menerjang maju tiba-tiba melepas pukulan namun
kali ini dikelit oleh Beng Tan, dibentak dan diserang lagi namun Swi Cu
menjerit-jerit disana. Gadis baju hitam ini meloncat bangun dan mencegah
encinya menyerang Beng Tan. Tapi ketika Wi Hong
membalik dan menghantam dirinya tiba-tiba Swi Cu
mengeluh dan terbanting roboh.
"Pergi kau..., dess!"
Beng Tan mengerutkan kening. Segera pemuda ini
menjadi terkejut melihat ketidak wajaran sikap ketua Hek-yan-pang itu.
Wi Hong mendesis-desis padanya dan mata gadis atau
wanita itu memancarkan api. Dendam dan kebencian tak
dapat disembunyikan disitu, Beng Tan melihatnya jelas.
Dan ketika dia berkelit sana-sini sementara Swi Cu
berteriak-teriak agar sucinya tak menyerang tiba-tiba Wi Hong membentak dan
melepas Ang-in-kang "Roboh kau!" Beng Tan menangkap. Tiba-tiba dengan cepat dia
menerima pukulan itu, menampar dan menangkis. Dan
ketika Wi Hong menjerit dan terlempar roboh, tergulingguling tiba-tiba ketua
Hek-yan-pang itu muntah-muntah.
"Keparat, kau bersekongkol dengan pemuda jahanam ini, Swi Cu. Kau tak dapat
kubela. Ah, kalian terkutuk.
Kubunuh kalian nanti... huak!" dan Wi Hong yang
menghentikan kata-katanya terguling roboh tiba-tiba
muntah-muntah dan penyakit lamanya kumat, mengeluh
dan mengglgit bibir dan tiba-tiba gadis itu menangis. Dan ketika Beng Tan
tertegun melihat gadis atau ketua Hek-yan-pang itu mendekap-dekap perutnya maka
Swi Cu mengguguk menubruk encinya.
"Tidak.... tidak, enci. Aku boleh kau bunuh tapi dia jangan. Kau salah paham,
kau sedang dilanda dendam. Ah, tenanglah, enci. Tenanglah.... plak!" namun
sebuah pukulan yang membuat Swi Cu terlempar dan terbanting
bergulingan akhirnya membuat Beng Tan tak tahan lagi, marah dan memaki Wi Hong
serta cepat menolong kekasihnya. Swi Cu mengguguk dan menangis tak keruan.
Dan ketika disana encinya juga menangis namun mendekap perut serta muntah-muntah
maka Beng Tan menjadi curiga dan cepat berbisik di telinga Swi Cu,
"Dia agaknya mengalami kelainan. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi di dalam
tubuhnya. Coba dekati dan totok dia, Cu-moi. Atau aku akan merobohkannya dan
memeriksa!" "Kau... kau bilang apa?" Swi Cu tak mendengar, menangis tersedu-sedu.
"Kau dekati dia, totok dan robohkan!"
"Tapi..,. tapi..." gadis ini mengguguk. "Suciku marah-marah,
Tan-ko. Sebelum aku dekat tentu dia menyerangku!" "Kalau begitu...." Beng Tan tiba-tiba terkejut, mendengar desing sebuah pedang
yang ditimpukkan kebelakang
punggungnya. "Aku yang akan melakukannya, Cu-moi.
Dan maaf terpaksa dia kurobohkan .... plak!" dan pedang yang ditangkis pemuda
ini tanpa menoleh tiba-tiba runtuh terpukul dan Beng Tan berkelebat ke arah Wi
Hong, tadi disambit dan dia melihat ketua Hek-yan-pang itu berapi-api padanya.
Wi Hong mendesis dan rupanya mendengar kata-
katanya tadi, marah dan menyerang dari belakang. Tapi ketika pedang terpukul ke
tanah dan Wi Hong kecewa tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat dan menotoknya
roboh. "Maaf, kau mengalami gangguan, pang-cu. Robohlah dan jangan menyerang!"
Wi Hong tak dapat mengelak. Diserang Bhok-kongcu
saja dia tak dapat menghindar, apalagi pemuda yang jauh lebih lihai ini. Maka
begitu dia mengeluh dan roboh
tertotok maka Beng Tan telah menyambar tubuhnya
memeriksa denyut nadi. "Kau... jahanam!" Wi Hong gemetar. "Terkutuk kau, pemuda setan. Keparat kau!"
"Tenanglah," Beng Tan tak perduli, sudah menghitung detak jantung. "Kau
terguncang oleh sesuatu yang sangat, pangcu. Agaknya oleh Golok Maut. Hm, nadimu
cepat sekali. Dan.... he!"
Beng Tan tertegun, pucat dan berobah mukanya dan
tiba-tiba saat itu lagi-lagi Wi Hong muntah. Tanpa dapat dicegah baju pemuda ini
kena semprot, Beng Tan agaknya
tak berniat untuk mengelak pula. Dan ketika pemuda itu terkejut dan mundur
melepaskan tangan lawannya maka
Swi Cu terisak berkelebat menghampiri.
"Apa yang kau rasa, Tan-ko" Berbahaya?"
"Tidak, dia... dia..." Beng Tan gugup, muka tiba-tiba merah dan Swi Cu
membelalakkan mata. Gadis ini heran
kenapa Beng Tan tidak meneruskan kata-katanya. Dan
ketika disana Wi Hong mendesis dan memaki pemuda itu
maka Swi Cu berlutut dan memeluk encinya, menangis.
"Suci, dia... dia Beng Tan. Dialah yang menyelamatkan aku dan seluruh murid kita
dari amukan Golok Maut. Beng Tan mencintaiku, dan akupun mencintainya. Maaf, aku
tak sempat memberitahumu karena kau pergi, suci. Tapi
sekarang kuberi tahu dan harap kau tidak marah."
"Kaupun jahanam!" Wi Hong membentak, mengejutkan sumoinya. "Perkumpulan kita tak
boleh didekati lelaki, Swi Cu. Tapi kau melanggar, keparat!"
"Ah," Swi Cu tersentak, mundur membelalakkan mata.
"Kaupun melanggar, suci. Kaupun mencintai Golok Maut dan mencari-carinya! Kau...
kau..." "Diam!" sang suci marah. "Golok Maut adalah musuhku, Swi Cu. Dia musuh kita
semua. Aku.... aku benci padanya!" dan Wi Hong yang menangis dan mengguguk tak
dapat menahan diri akhirnya dipeluk dan membiarkan mukanya terbenam di dada sang
sumoi, tak tahu saat itu Beng Tan merah terbelalak memandangnya, mau bicara
tapi ragu, seolah ada sesuatu yang mengganggu, berat
dikatakan. Tapi ketika dia batuk-batuk dan Swi Cu teringat, menoleh, tiba-tiba
gadis itu berkelebat menyambar
lengannya. "Tan-ko, apa yang terjadi" Ada apa dengan suciku" Kau tampak bingung, mau bicara
tapi tak jadi!" "Benar, aku... hm... hm!" Beng Tan merah dan gugup.
"Ada sesuatu yang hampir tak kupercaya, Swi Cu. Sucimu itu... sucimu itu..."
"Kenapa" Ada apa dengan dia?"
"Aku... aku takut mengatakan. Jangan-jangan kau
marah!" "Ah, gila. Kita sudah bukan orang lain, Tan-ko. Katakan dan tak mungkin aku
marah!" "Dia.... dia..." Beng Tan masih ragu. "Ah, sebaiknya bawa dia ke bidan, Cu-moi.
Periksakan saja disana."
"Apa?" Swi Cu terkejut, bagai disengat listrik. "Bidan"
Maksudmu. ..?" "Benar, dia hamil, Cu-moi. Sucimu itu hamil tapi barangkali bisa juga aku salah
periksa!" "Astaga!" Swi Cu mencelat, kaget bagai disambar petir.
"Kau. . .kau jangan main-main, Tan-ko. Ini masalah besar dan bisa berupa
penghinaan!" "Maaf, kalau begitu biar kau tanya sucimu itu, Cu-moi.


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku pergi dulu dan kalian bicaralah!" Beng Tan berkelebat, akhirnya meninggalkan
Swi Cu dan tertegunlah Swi Cu
disitu. Gadis ini merah padam dan kalau bukan Beng Tan yang
bicara tentu dia sudah mengamuk dan menerjang.
Bayangkan, sucinya, yang masih gadis dan selama ini
diketahuinya sebagai perawan ting-ting tiba-tiba saja dikatakan hamil! Swi Cu
pucat dan dia berdiri sampai
mendelik. Tapi ketika Beng Tan menyuruhnya bicara dan
itu memang betul akhirnya gadis ini membalik dan
menyambar encinya itu, yang masih menangis.
"Suci..." gadis ini gemetar. "Bolehkah kutahu apa yang terjadi diantara dirimu
dengan si Golok Maut itu" Kenapa dia marah-marah dan mengamuk di markas" Apa
yang terjadi?" "Dia... dia..." Wi Hong mengguguk, sakit hatinya. "Dia menghina aku, Cu-moi.
Dia... dia manusia jahanam!".
"Dia mengganggumu" Dia memperkosamu?"
"Apa?" Wi Hong tersentak, berjengit kaget.
"Maaf," Swi Cu merah padam, menahan diri. "Kau dinyatakan hamil, suci. Beng Tan
memeriksa denyut nadimu dan kau katanya hamil!"
Wi Hong menjerit. Gadis baju merah ini tiba-tiba roboh dan mengeluh panjang
pendek, suaranya tak jelas tapi tiba-tiba dia mengguguk, tersedu-sedu. Dan
ketika Swi Cu terkejut dan tentu saja terkesiap maka gadis ini melihat sucinya memukul-mukul
kepala sendiri. "Oh, jahanam keparat. Kau bunuhlah aku, Swi Cu. Kau bunuhlah aku dan cari pemuda
terkutuk itu. Golok Maut menghinaku. Dia... dia...!" dan Wi Hong yang melengking
menjerit tinggi tiba-tiba roboh pingsan.
"Celaka!" Swi Cu jadi bingung. "Kenapa begini jadinya, suci" He, tolong aku,
Tan-ko. Suci pingsan lagi!"
Beng Tan muncul. Pemuda ini berkelebat bagai siluman
dan tahu-tahu sudah ada disitu lagi.
Beng Tan sebenarnya tak enak mencampuri urusan ini
dan bicara tentang itu. Tapi karena Wi Hong dilihatnya pingsan dan Swi Cu tak
berhasil menolong encinya maka
pemuda ini berlutut dan menotok serta mengeluarkan
sebutir pil hijau. "Kau serahkan ini padanya, sebentar lagi tentu siuman."
Beng Tan berkelebat mundur lagi. Pemuda ini
menghilang karena sungguh tak enak bicara seperti itu.
Ketua Hek-yan-pang hamil, padahal jelas dia masih
perawan dan suci seperti Swi Cu sendiri, begitu juga seperti halnya murid-murid
wanita Hek-yan-pang yang lain. Dan ketika Wi Hong sadar dan benar saja gadis
atau wanita baju merah itu siuman dan tertegun melihat sumoinya menangis maka
Swi Cu menyerahkan obat pemberian Beng Tan
kepada sucinya. "Kau minum ini, dan ceritakan apa yang terjadi!"
"Tidak!" Wi Hong tiba-tiba melompat bangun. "Aku akan mencari Golok Maut, Swi
Cu. Dan sementara ini kau pimpin tampuk pimpman partai!"
"Kau mau kemana?" sang sumoi terbelalak, pucat.
"Golok Maut pun sedang kami cari, suci. Daripada sendiri-sendiri lebih baik
bersama. Aku..." "Tidak!" Wi Hong membentak, muka beringas. "Aku ingin mencarinya dan mengadu
jiwa, Swi Cu. Aku... aku...
dia menghina aku!" dan Wi Hong yang menangis berkelebat pergi tiba-tiba
terhuyung dan jatuh terjerembab, kiranya belum kuat dan kemarahannya itu
membutuhkan energi berlebih. Gadis ini tersungkur dan Swi Cu pun menjerit. Dan
ketika gadis itu memeluk sucinya dan menangis tak keruan maka Beng Tan, yang
bersembunyi dan mengintai dari jauh menyusupkan suaranya lewat telinga
kekasihnya itu, "Cu-moi, berikan obat itu kepada sucimu. Obat itu berguna untuk memulihkan
tenaga. Bujuklah, dan biarkan ia pergi!"
Swi Cu tersedu-sedu. Teringat obat yang ditampar
sucinya cepat dia mengambil lagi, membujuk dan berkata pada sucinya bahwa obat
itu untuk pemulih tenaga, seperti yang dikata Beng Tan. Dan ketika Wi Hong
terbelalak dan tertegun, menoleh kiri kanan maka dia bertanya di mana Beng Tan,
pemuda baju putih itu. "Dia... dia pergi. Tak mau mencampuri urusan kita."
"Hm!" Wi Hong menyambar, menelan obat pemberian itu. "Baiklah, Cu-moi. Terima
kasih. Tapi aku tak mau bersama siapa pun karena aku ingin sendiri.... wut!" dan
Wi Hong yang melompat dan tidak terhuyung lagi ternyata
sudah pulih tenaganya dan diteriaki sang sumoi, yang
menjerit dan menyusul sucinya tapi Wi Hong membalik.
Dengan bengis dan ganas wanita ini tiba-tiba menyambitkan tujuh jarum merah ke arah sumoinya itu,
yang tentu saja terkejut dan berhenti menangkis, mendapat seruan agar tidak
mengejar dan patuh pada perintah ketua.
Dan ketika Swi Cu tertegun dan menangis tersedu-sedu
maka Wi Hong lenyap dan lemaslah gadis ini mengguguk
di tanah. "Suci, kau... kau gila. Kau tak waras. Ah, kau
menempuh bahaya!" "Biarlah!" Wi Hong menjawab dari jauh.
"Dendam sakit hati ini tak dapat kubiarkan berlarut-larut, Swi Cu. Dia atau aku
yang mati!" Swi Cu mengguguk. Kalau sang suci yang sekaligus juga sebagai sang ketua sudah
memerintahkan begitu maka dia tak dapat berbuat apa-apa. Sucinya tadi sungguh-
sungguh bermaksud membunuh dia dengan sambitan jarum-jarum
merahnya itu. Kalau tak cepat dia mengelak atau
menangkis runtuh tentu dia sudah terkapar. Ah, sucinya sekarang bengis! Namun
ketika gadis ini mengguguk dan tersedu di tanah tiba-tiba bayangan Beng Tan
muncul, berkelebat. "Cu-moi, sucimu betul. Dia tak mungkin mau ditemani siapapun. Bersiaplah, kita
juga berangkat dan mencari Golok Maut!"
"Tapi... tapi..." Swi Cu mengguguk. "Suciku menempuh bahaya sendirian, koko. Dan
dia tak mengaku apakah Golok Maut memperkosanya!"
"Kita dapat tanyakan itu, kita selidiki Si Golok Maut.
Sudahlah, kau bangun berdiri dan kita pergi!" Beng Tan menarik tangan
kekasihnya, kening berkerut kerut dan tiba-tiba kebencian membakar dadanya.
Dia menganggap Golok Maut mengganggu ketua Hek
yan-pang itu, suci kekasihnya Dan karena kebencian Wi Hong juga kelihatan besar
dan tentu Golok Maut memperkosa gadis baju merah itu maka Beng Tan
berkerotok giginya ketika membangunkan Swi Cu.
"Kita pergi, dan kita tangkap Si Golok Maut itu."
"Bisakah?" Swi Cu tersedu. "Kau dan dia sama lihai, koko. Kalian berimbang. Aku
khawatir...." "Tidak, untuk sebuah tugas mulia tak perlu kita ragu, Cu-moi. Membekuk dan
menangkap Si Golok Maut itu sudah
berubah sifatnya bagiku. Bukan lagi sekedar menasihati seorang sesat melainkan
harus membekuk dan kalau perlu membunuhnya agar dia tak memperkosa wanita-wanita
lain lagi." Swi Cu mengangguk. Memang dia pun menganggap begitu. Golok Maut
dianggap memperkosa sucinya dan hal itu sungguh
membakar hati. Mentang-mentang lihai lalu main perkosa segala. Ah, Golok Maut
ternyata tak hanya membunuh-bunuhi musuhnya saja tapi sudah bertindak terlalu
jauh dengan menghina dan memperkosa wanita. Sucinya sudah
menjadi korban. Dan ketika Swi Cu bangkit berdiri dan mengigit bibir maka dia
siap melanjutkan perjalanan namun anehnya kekasihnya tiba-tiba membalik.
"Kita ke kota raja sebentar, melapor atasanku."
"Apa?" Swi Cu tertegun. "Ke kota raja?"
"Ya, sementara ini aku harus pulang, Cu-moi, melapor pada atasanku karena sudah
waktunya. Aku sudah ditunggu-tunggu." "Tapi suciku, Dan Golok Maut?"
"Dapat disusul, Cu-moi. Sudahlah kau percaya padaku atau kita berpisah sementara
waktu!" "Tidak. Aku tak mau kau tinggal lagi, koko. Kalau kau mau ke kota raja aku pun
ikut!" "Hm, baik kalau begitu. Kau tak membantah lagi?"
Swi Cu terisak. Tiba-tiba. dia memeluk dan menyusupkan kepalanya ke dada kekasihnya itu.
Setelah bertemu dan bertempur dengan si Hidung Belang Bhok-kongcu tadi tiba-tiba
Swi Cu ngeri untuk sendirian.
Ah, di dunia ini penuh dengan orang-orang jahat dan
curang, juga keji dan kejam seperti Bhok-kongcu itu, yang hampir merobohkannya
dengan kecurangan tak tahu malu.
Dan teringat betapa orang she Bhok itu memandangnya
dengan mata berminyak dan nafsu yang kotor jelas
terpancar dimata pemuda itu, tiba-tiba Swi Cu menjadi ngeri meskipun bukan
berarti gentar. "Aku... aku tak membantah lagi. Kau benar, dunia ini penuh dengan laki-laki
busuk!" "Hm, karena itu turut nasihatku, moi-moi. Jangan bawa adat sendiri seperti
biasanya. Ayolah, kita ke kota raja sebentar dan setelah itu mencari Si Golok
Maut!"* Swi Cu mengangguk. Memang dalam perjalanan yang
lalu terjadi sedikit perselisihan diantara mereka. Beng Tan waktu itu hendak
menemui seseorang tapi ia tak mau ikut, bersitegang sedikit dan akhirnya
berpisah. Mereka menentukan akan bertemu di kota Ih-peh tapi ternyata Beng Tan belum datang,
dianggap tak menepati janji dan Swi Cu marah, meneruskan perjalanan sendirian
dan akhirnya bertemu Bhok-kongcu itu, yang kebetulan juga hendak
mengganggu sucinya. Dan ketika orang she Bhok itu
hampir mencelakainya namun Beng Tan keburu datang,
menolong dan menyelamatkannya maka Swi Cu tak berani
bertengkar lagi ketika kekasihnya hendak mengajak ke kota raja.
"Aku menurut, dan kau jangan tinggalkan aku."
"Ah, bukan aku yang meninggalkanmu, Cu-moi. Tapi kadang-kadang kau tak mau
mengerti urusan orang lain dan membawa adat sendiri."
"Sudahlah, maafkan aku, koko. Aku sekarang menurut dan patuh padamu!"
Beng Tan tersenyum. Tentu saja dia tak akan marah
kalau kekasih sudah menyerah begini. Swi Cu sekarang
dapat mengerti tugasnya dan mau memahami. Maka begitu Swi Cu terisak dan
menyembunyikan muka di dadanya
tiba-tiba Beng Tan mengangkat dan menahan dagu itu. Lalu
ketika kekasihnya terbelalak dan bertanya mau apa
mendadak pemuda ini menundukkan mukanya mencium
bibir yang lembut memikat itu.
"Aku mau menciummu. Ha-ha, jangan marah dan
terimalah!" "Iih!" Swi Cu terkejut, tersentak namun tak mengelak.
"Kau nakal, koko. Kau... ah, sudahlah. Aku masih teringat akan nasib suciku!"
Dan Beng Tan yang menarik napas melepas bibirnya lalu mengangguk dan tak dapat
bersenang-senang dulu, diganggu urusan ini dan diapun mengangguk. Memang,
teringat keadaan Wi Hong tiba-tiba dia menjadi tak enak.
Mereka bersenang-senang sementara orang lain menderita.
Maka ketika dia mengangguk dan mengajak kekasihnya
pergi akhirnya Beng Tan berkelebat dan terbang ke kota raja, menggandeng lengan
kekasihnya. Namun apa yang terjadi" Kota raja berkabung!
Beng Tan, yang pagi itu juga tiba disana ternyata melihat bendera berkibar
setengah tiang. Semua wajah di ibu kota muram dan sedih. Wajah semua orang
menunjukkan rasa takut yang hebat tapi juga marah. Dan ketika Beng Tan menyelidiki dan bertanya
sana-sini ternyata Ci-ongya, adik kaisar, terbunuh. Tewas di tangan Si Golok
Maut! "Kau terlalu!" begitu atasan pemuda ini menegur dan langsung marah-marah. "Sudah
kubilang agar tidak lama-lama meninggalkan istana, Beng Tan. Tapi kau melanggar
dan tidak datang-datang. Semalam Golok Maut mengamuk, membunuh-bunuhi tigaratus
siwi dan busu pengawal istana dan adikku Ci-ongya tewas! Apa yang hendak kau
katakan dan jawab disini" Dan siapa gadis ini?"
Swi Cu, yang menggigil dan berlutut didepan orang yang marah-marah ini hampir
tak berani mengangkat mukanya.
Ternyata atasan kekasihnya itu adalah kaisar sendiri, sri baginda yang menyambut
kedatangan mereka dengan muka
merah padam. Dan ketika Beng Tan juga berlutut dan
menggigil di depan kaisar maka pemuda ini terguncang dan terkejut, sejenak tak
dapat berkata-kata. "Maaf, hamba,... hamba salah, sri baginda. Hamba menemui banyak persoalan
ditengah jalan dan telah bertempur pula dengan Si Golok Maut itu, bahkan
mengadu jiwa!" "Tapi dia kemari. Semua orang tak ada yang sanggup menandinginya dan tiga ratus
pengawal tewas, terakhir adikku. Heh, apa yang hendak kau katakan lagi, Beng
Tan" Dan siapa gadis disampingmu ini" Kau rupanya bersenang-senang, mabok dan
melupakan tugas! Ah, sialan wanita ini dan gara-gara keteledoranmu maka adikku
binasa!" Beng Tan pucat. Kalau kaisar sudah marah-marah
seperti itu tak ada siapa pun yang berani mengeluarkan suara. Swi Cu sampai
gemetar namun kekasihnya memegang lengannya erat-erat. Beng Tan berbisik tak boleh dia tersinggung atau
marah disitu. Kaisar adalah kuasa dan dia adalah segala-galanya. Dan ketika
geraman maupun kutukan juga mengenai Swi Cu yang tak tahu apa-apa
akhirnya sri baginda menggebrak meja.
"Nah, katakan laporanmu dan siapa siluman betina ini!"
Swi Cu menggigit bibir kuat-kuat. Kalau Beng Tan tidak mencengkeram lengannya
sedemikian kuat dan dia mampu
melepaskan diri tentu dia sudah berteriak dan memaki
kaisar itu. Betapapun dia tak terima. Enak saja disebut siluman
betina, seolah dia iblis! Namun karena Beng Tan
mencengkeramnya dan pemuda itu berbisik agar dia
menelan segala kata-kata kaisar maka Beng Tan berlutut melipat tubuhnya.
"Maaf, dia Swi Cu, sri baginda. Wakil ketua Hek-yan-pang, calon isteri hamba!"
Sri baginda terkejut. "Calon isterimu" Hu-pangcu dari Hek-yan-pang?"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, dan maaf, sri baginda. Kekasih hamba ini tak tahu apa-apa dan justeru ia
pun telah diserang dan hampir dibunuh Si Golok Maut!"
"Hm, ceritakan pengalamanmu.... ceritakan pengalamanmu....!" Dan sri baginda yang tampak menahan diri dan
kelepasan omong lalu sedikit lunak dan minta agar Beng Tan menceritakan
perjalanannya, mendengar dan Beng Tan segera bercerita apa yang terjadi. Semua
yang dialami bersama Swi Cu diceritakan, kecuali tentu saja pertemuannya dengan Wi Hong, cerita yang rupanya tak
perlu didengar orang lain apalagi Wi Hong dalam keadaan hamil, cerita yang hanya
akan memancing pertanyaan
orang lain belaka dan justeru dapat memalukan diri sendiri.
Dan ketika semua itu sudah diceritakan dan sri baginda mengangguk-angguk maka
Beng Tan ganti bertanya, "Maaf, sekarang bagaimana dengan paduka sendiri.
Kapan Si Golok Maut itu datang dan bagaimana sampai
membunuh Ci-ongya?" "Hm, kau tanya Kun-taijin (menteri Kun), Beng Tan.
Sekarang aku ingin beristirahat dan biarlah kalian berdua bicara," kaisar
memutar tubuh tampak mengerotkan gigi dan menteri Kun memberi isyarat mata
padanya. Sri baginda telah menyuruh menterinya itu bercerita, jadi tak mau bercerita
sendiri dan Beng Tan tentu saja tak dapat memaksa. Dalam keadaan biasa tentu sri
baginda tak akan bersikap seperti itu kepadanya. Namun karena istana lagi
berkabung dan kematian Ci-ongya memang menggegerkan
semua orang maka Beng Tan mengangguk pada menteri itu dan duduklah keduanya di
ruang sebelah, diikuti Swi Cu.
=* d*w *= Semalam, para pengawal dan istana tak merasakan
datangnya badai yang tiba-tiba mengamuk itu. Semua
pengawal dan isi istana biasa-biasa saja, bahkan rakyat masih bergembira diluar
sana, bertandang dan masuk keluar toko untuk membeli keperluan barang-barang
seperti biasa, untuk esok harinya. Namun ketika malam tiba-tiba
mendung dan bulan serta bintang mulai menyembunyikan
diri mendadak suasana riang-ria diluar agak berobah.
Orang yang hilir-mudik kembali kerumah masing-
masing. Angin malam bertiup dingin dan hujan akan
datang. Dan ketika benar saja pada kentongan kesepuluh hujan mengguyur ibu kota
maka penduduk mulai membuka
selimut untuk menutupi tubuh sendiri.
"Ah, dingin. Hujan sialan. Lebih baik kita berjaga di dalam gardu dan main
kartu!" pengawal di istana
menggerutu. Mereka agak terganggu dengan datangnya hujan itu dan
bagi yang bertugas jaga memang agak menjengkelkan.
Mereka kedinginan diluar dan terpaksa memakai mantol, melindungi diri. Dan
ketika tujuh orang bermain kartu di dalam sementara dua lagi berjaga di sudut
kiri dan kanan maka sebuah kereta tiba-tiba berderap memasuki halaman istana.
"He, siapa itu" Aneh sekali, malam-malam hujan begini datang bertandang!" dua
pengawal mengerutkan kening, diam menyambut dan kereta itu akhirnya berhenti di
pintu gerbang. Saisnya turun dan pengawal melihat bahwa itu adalah
kereta milik Lie-taijin, menteri Lie. Dan ketika sais bicara sejenak dengan
penjaga dan berkata bahwa Lie-taijin ingin bertemu Ci-ongya maka penjaga tak
curiga namun minta agar Lie-taijin memperlihatkan diri.
"Maaf, aneh bahwa taijin malam-malam datang begini, hujan lagi. Bisakah beliau
memberikan surat pengantar atau memperlihatkan diri?"
"Taijin sakit, tak enak badan. Menggigil di dalam dan ingin secepatnya bertemu
ongya. Kalau surat pengantar ada, inilah." sais memberikan surat menteri itu,
lengkap dengan stempelnya dan penjaga semakin tak curiga lagi.
Namun karena dia harus melapor ke dalam dan Ci-ongya
harus diberi tahu maka dia menyuruh kereta dimasukkan ke dalam, di samping
gedung. "Ongya kebetulan sedang dilayani selirnya. Baiklah kau tunggu disamping gedung
itu dan silahkan taijin masuk!"
Sais mengangguk. Caping lebarnya yang dipakai di atas kepala tak mencurigakan
siapapun karena waktu itu hujan, jadi dipakai untuk melindungi kepala dan kereta
pun berderap masuk. Dan ketika penjaga melapor pada
komandannya dan serempak tujuh orang yang bermain
kartu itu menghentikan permainannya maka komandan
melompat tergopoh menyuruh anak buahnya menyimpan
kartu-kartu itu, berikut uang yang berceceran di lantai. Judi!
"Ah, sialan kau. Kenapa baru bilang sekarang" Cepat simpan semua uang yang
berceceran, jangan diketahui Lie-taijin!"
Kiranya di istana pun ada judi. Para pengawal
membuang waktunya bukan hanya sekedar bermain kartu
tapi juga iseng dengan mempertaruhkan uang, padahal
kaisar baru saja mengeluarkan undang-un-dang agar
pengawal tidak berjudi, karena dapat mengganggu tugas.
Dan ketika semua berlompatan dan uang yang bercecer-tan cepat disembunyikan di
balik tikar maka komandan sudah tergopoh-gopoh menyambut tamu.
"Taijin, selamat malam. Biarlah kami laporkan pada ongya dan silahkan paduka
menunggu di dalam!" "Taijin sakit, tak dapat menggerakkan tubuhnya. Biarlah dia di dalam sampai ong-
ya datang," si sais berkata, tenang-tenang saja dan komandan jaga tertegun.
Kenapa begitu" Bukankah kalau sakit harus dibawa ke
tabib" Namun ketika sais berkata bahwa justeru Lie-taijin ingin menghubungi
tabib Kwee melalui Ci-ongya maka
komandan hilang kecurigaannya dan mengangguk-angguk.
"Taijin tak berani mengganggu Kwee-yok-ong yang
merupakan tabib pribadi sri baginda. Datang dan ingin diantar Ci-ongya agar
cepat sembuh." "Oh, begitukah" Baik, kami akan segera memanggil ongya," dan komandan yang
bergegas sendiri menghadap majikannya lalu menyuruh anak buahnya memberi
minuman hangat pada tamu.
Kwee-yok-ong (raja obat Kwee) adalah tabib pribadi
kaisar, memang tak sembarangan menemuinya kalau tidak diantar orang-orang yang
dekat dengan kaisar. Dan karena Ci-ongya adalah adik tiri kaisar dan tentu saja
dapat diantar melalui pangeran itu maka Ci-ongya tertegun ketika
mendengar laporan datangnya menteri ini, malam-malam
begitu, hujan lagi. "Sakit apa" Kenapa tak disuruh menemui aku?"
"Maaf, hamba tak tahu sakitnya, ong-ya, tak bertanya.
Tapi katanya tak dapat bergerak dan menunggu di dalam kereta."
"Aneh, tadi pagi masih sehat. Bagaimana itu?"
"Hamba tak tahu, penyakit memang dapat mengganggu siapa saja, sewaktu-waktu."
"Ya, seperti kau ini. Yang datang dan mengganggu aku yang sedang bersenang-
senang dengan selirku... plak!" Ci-ongya menampar komandan jaga itu, jengkel dan
gemas karena dia merasa diganggu. Kalau bukan Lie-taijin yang datang tentu sudah
diusirnya tamu itu. Tapi karena Lie taijin adalah sahabatnya dan jelek-jelek
adalah pembantu sri baginda kaisar yang cukup pandai maka dia bergegas keluar
dan menyuruh selirnya menunggu disitu.
"Bawa dia masuk, biar aku melihatnya!"
"Maaf, kereta ada di samping gedung, ong-ya, bukan diluar. Paduka sudah ditunggu
disebelah kiri gedung!"
Ci-ongya mengumpat. Dia tadi bergegas keluar tapi
ternyata bukan disana. Kereta sudah berteduh disamping gedung dan benar saja dia
melihat kereta itu, milik Lie-taijin. Dan ketika dia menuruni tangga dan berseru
memanggil Lie-taijin maka sais yang berdiri membungkuk tiba-tiba maju mendekat.
"Mana majikanmu" Sakit apa" Suruh keluar, biar aku melihatnya!"
Sang sais menggumam aneh. Dia tidak memanggil
majikannya melainkan malah menyambar lengan pangeran
ini. Dan ketika komandan terkejut karena sikap itu dinilai
kurang ajar maka Ci-ongya sendiri terkejut melihat
keberanian sekaligus kekurang ajaran sais ini.
"Lie-taijin ada di dalam, mari kau lihat!"
Ci-ongya tersentak. Dia terlalu tergesa dengan menghampiri kereta, tidak melihat baik-baik sais itu. Tapi ketika si sais ber-
engkau dan ber-aku begitu enak kepadanya dan tahu-tahu lengannya disambar maka
pangeran ini kaget bukan main melihat wajah di balik caping lebar itu.
"Golok Maut...!"
Teriakan atau jeritan pangeran ini mengejutkan
pengawal. Sang komandan yang sama sekali tidak
menyangka atau menduga tiba-tiba bagai disengat lebah.
Komandan ini terkesiap dan kaget bukan main. Dan ketika Ci-ongya terlihat
meronta dan memekik melepaskan diri tiba-tiba Golok Maut, sais yang menyamar itu
tertawa dingin. "Benar, aku, ong-ya. Dan sekarang kau mampuslah."
Jerit melengking memecah kesunyian malam. Ci-ongya
mencelos dan menarik lepas dirinya, membalik dan lari memasuki gedung. Tapi baru
tiga langkah kakinya bergerak menaiki tangga tiba-tiba sinar putih berkelebat
dan komandan terbeliak melihat golok yang menyambar cepat sudah menabas putus leher
pangeran itu, dalam waktu
hanya sepersekian detik. "Crass!" Kepala Ci-ongya menggelinding. Darah menyemprot
bagai pancuran dan tubuh itupun roboh.
Ci-ongya hanya sekali memekik dan setelah itupun
nyawanya terbang ke neraka. Kejadian berlangsung
demikian cepat dan tidak terduga. Dan ketika pengawal
berteriak dan sang komandan terjaga tiba-tiba mereka
malah melarikan diri dan lintang-pukang.
"Golok Maut.... Golok Maut....!"
"Ci-ongya terbunuh, Golok Maut datang....!"
Keadaan menjadi gempar. Sekilas gebrak yang berlangsung bagai mimpi itu tiba-tiba membuat pengawal ketakutan. Mereka gentar
dan pucat setelah melihat bahwa itu adalah Golok Maut, bukan sais Lie-taijin.
Dan ketika Golok Maut membalik dan tertawa dingin maka dia
berkelebat namun pengawal sudah memukul tanda bahaya.
"Golok Maut datang, Ci-ongya terbunuh!"
Istana menjadi geger. Pekik dan jerit mereka yang ngeri melihat sepak terjang Si
Golok Maut sudah tak dapat
dikendalikan lagi. Golok Maut mengerutkan kening melihat pengawal
memukul tanda bahaya. Namun ketika dia menggerakkan
tangan dan sebuah jarum hitam menancap di dahi pengawal itu maka pengawal yang
memukul tanda bahaya ini roboh, tersungkur.
"Keparat, kalian mencari penyakit!"
Sang komandan pucat dan putih mukanya. Dialah yang
bertanggung jawab menerima kedatangan Si Golok Maut.
Kereta Lie-taijin yang sama sekali tidak mengundang
kecurigaan ternyata justeru dipakai Si Golok Maut itu.
Golok Maut dengan mudah dan tenang memasuki
gedung Ci-ongya, memang tidak menimbulkan kecurigaan
dan caping lebar yang biasa dipakainya itu juga kebetulan dilupakan pengawal.
Malam itu hujan, jadi pas sekali kalau seseorang
melindungi kepala dengan caping. Dan ketika semuanya
sudah terlambat dan Ci-ongya terbunuh, begitu cepat dan tidak terduga maka
pengawal berteriak-teriak sementara komandan jaga bingung memikirkan hukuman
yang akan diterimanya. "Panggil Siang-mo-ko. Beritahukan lo-cianpwe Yalucang dan lain-lain!"
Namun Golok Maut berkelebat. Golok Maut mengenal
komandan ini sebagai komandan jaga yang menerimanya,
bergerak dan tahu-tahu sudah menangkap laki-laki itu. Dan ketika komandan ini
berteriak dan meronta serta ketakutan maka Golok Maut bertanya dimana Coa-ongya,
"Aku sudah mencari digedungnya, tapi tidak ketemu.
Beritahukan atau kau mampus!"
"Tidak... tidak...!" sang komandan ber-kaok. "Aku tak tahu, Golok Maut. Aku
bukan pengawalnya!" "Tapi kau pengawal istana, pasti tahu. Bertahukan atau kau kubunuh!"
"Oh, tidak. Aku tak tahu!" namun ketika pengawal ini menjerit dan berteriak
mengaduh maka Golok Maut menjepit batang lehernya dan menginjak dadanya.
"Kalau begitu kaupun mampus.. ngek!" komandan itu menggeliat lemah, tidak
bersuara lagi karena dari
tenggoroKannya keluar cairan kental berwarna merah.
Golok Maut telah menghancurkan batang tenggorokannya
tadi dengan jepitan di leher, patah dan terkulailah
komandan jaga itu. Dan ketika anak buahnya kalang-kabut dan tentu saja
berteriak-teriak maka bayangan-bayangan hitam berkelebatan memasuki halaman, bayangan dari para si-wi atau busu, yang berjaga
disebelah. "Apa yang terjadi. Dimana Golok Maut!"
"Itu, disana. Dia... dia telah membunuh Ci-ongja!"
Para siwi dan busu berkelebatan ke arah yang ditunjuk.
Mereka melihat bayangan tinggi tegap dengan caping lebar, ciri khas yang
dipunyai si Golok Maut. Tapi ketika mereka bergerak dan membentak kesini
ternyata Golok Maut Sudan menghilang dan naik ke atas genteng.
"Kejar, dia ke gedung Coa-ongya...!"
Memang betul. Golok Maut ke barat dan gedung Coa-
ongya yang dituju. Tadi dia sudah kesana tapi tak ketemu, membuat ribut-ribut
ditempat Ci-ongya dulu dan kini
semua pengawal berhamburan. Dan ketika mereka melihat Ci-ongya putus kepalanya
mandi darah maka semua merinding melihat darah yang membanjir dari luka itu
bergelimang membasahi tanah. tangga, bercampur air
hujan. "Dia membunuh Ci-ongya, kejar. Tangkap iblis berdarah dingin itu!"
Golok Maut tak menghiraukan. Sinar putih dan
goloknya sudah tak nampak lagi, lenyap dibelakang
punggung. Tadi dia sudah membunuh lawan yang dibencinya dan
seorang penjaga melihat tokoh bercaping ini menghirup darah di badan golok,
menjilat dan memasukkannya lagi dibelakang punggung setelah berkemak-kemik, Dan


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika penjaga atau pengawal itu tertegun membelalakkan mata maka seluruh
penjuru istana sudah dipenuhi ratusan si-wi atau busu yang mendengar tanda
bahaya. "Golok Maut datang, dia membunuh Ci-ongya!"
Suasana gempar. Istana yang semula tenang tiba-tiba
dibuat hiruk-pikuk oleh kegaduhan ini. Mereka sungguh tak menduga bahwa Golok
Maut berani datang lagi, bahkan
telah membunuh Ci-ongya. Dan ketika semua mengkirik
melihat jenasah Ci-ongya yang tidak berkepala lagi maka wuwungan menjadi penuh
orang ketika bayangan Golok
maut dituding-tuding. "Dia di atap, di atas. Kejar...!"
Namun hanya orang-orang tertentu yang berani
mengejar. Mereka adalah pemimpin-pemimpin para siwi
dan busu itu, tiga-puluh jumlahnya. Dan ketika bayangan Golok Maut tampak
meluncur ke gedung Coa-ongya maka
mereka membentak, sebagian melepas panah dan tombak.
"Golok Maut, berhenti. Menyerahlah!"
"Benar. dan serahkan dirimu baik-baik, Golok Maut.
Atau kau mampus sia-sia.... wut-singg."
Panah dan tombak menyambar belakang punggung,
cepat dan luar biasa namun Golok Maut mendengus. Dan
ketika dia menampar dan semua senjata itu ditangkis tanpa menoleh maka tombak
atau panah runtuh ke tanah dan
patah-patah. -ooo0dw0ooo- Jilid : XXII "PLAK-PLAK-PLAK!"
Semua perwira terbelalak. Mereka memang mengetahui
kelihaian Si Golok Maut ini, tokoh yang mendirikan bulu roma. Namun karena
mereka berjumlah banyak dan
patahnya tombak atau panah itu justeru membuat mereka marah maka mereka
menerjang dan membentak maju.
"Kepung dia. Tangkap!"
Tigapuluh perwira menyerang berbareng. Mereka sudah
menyiapkan senjata dan masing-masing mengeluarkan
bentakan penambah semangat. Menghadapi tokoh seperti Si Golok Maut itu harus
mengerahkan keberanian kalau tak ingin jatuh lebih dulu. Tapi ketika pedang dan
golok berhamburan menyerang tokoh bercaping ini tiba-tiba
Golok Maut lenyap dan entah bagaimana tiba-tiba mereka mendapat tendangan dan
tamparan. "Yang bukan she Coa atau Ci tak usah main-main disini.
Pergilah... des-des-cringg!" senjata sesama teman bertemu sendiri, nyaring
memekakkan telinga dan pemiliknya sudah mencelat beterbangan. Mereka jatuh ke
bawah dan menggelinding dari atas genteng yang tinggi. Dan ketika semua memekik dan
berdebuk di bawah maka Golok Maut
tiba-tiba sudah tampak di sebelah timur.
"Hei, kejar. Dia disana!"
Namun Golok Maut mengeluarkan tawa dari hidung.
Para siwi dan busu yang tiba-tiba melepas panah berdesing-desing tiba-tiba
dikebut runtuh. Semua anak panah itu runtuh dan Golok Maut menghilang di puncak
gedung. Dan ketika semua kelabakan dan berteriak-teriak mengejar maka para perwira yang
sudah melompat bangun mengerahkan anak buahnya masing-masing untuk mengepung rapat tempat itu.
"Pagar betis! Semua harap memagar betis...!"
Hal itupun sudah dilakukan. Ratusan siwi dan busu yang sudah berkumpul dan cepat
mengelilingi seluruh gedung sudah tak dapat disibak lagi. Perwira mereka
berteriak-teriak dan melayang kembali ke atas gedung. Dan ketika mereka
melakukan pencarian sambil berkelompok dan
memaki tak keruan maka lima bayangan berkelebat dari
lima penjuru. "Dimana jahanam itu" Mana Si Golok Maut?"
"Ah," para perwira girang. "Golok Maut tadi disana, locianpwe. Di gedung sebelah
timur!" "Benar, tapi sudah menghilang di puncak wuwungan itu!" dan ketika yang lain
saling bersahutan dan memberi tahu maka lima bayangan ini, yang bukan lain
Mindra dan empat temannya tiba-tiba berkelebat dan memencar.
"Kalian mengepung puncak wuwungan itu. Kita
kesana... wut-wut!" Mindra dan Sudra sudah lenyap mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, tiga yang lain bergerak dan
menganggukkan kepala dan berturut-turut seperti iblis saja kakek-kakek ini
menghilang bagai iblis. Namun ketika
mereka tiba disana dan tak melihat bayangan Golok Maut maka semuanya tertegun
dan Pek-mo-ko menggeram dan
celingukan. "Tak ada. Pasti ke bawah!"
Yalucang, kakek tinggi besar mengangguk. Kakek ini
mengeluarkan geraman mirip singa dan tiba-tiba berkelebat ke bawah, meluncur ke
dalam gedung. Dan ketika Sudra
juga mengangguk dan meluncur turun maka Hek-mo-ko
yang gentar berada sendirian memandang kakaknya.
"Kita cari dia?"
"Ya, dan balas sakit hati ini, sute. Ayo turun dan cari dia!"
Pek-mo-ko menepuk pundak adiknya. Dia tahu rasa jerih yang menghuni jiwa adiknya
ini. Hek-mo-ko telah kehilangan lima jari kanan ketika dulu dipapas Golok
Maut, golok mengerikan itu. Dan ketika mereka berkelebat dan menghilang ke bawah
maka Yalucang tiba-tiba melihat bayangan tokoh bercaping itu, berkelebat
memasuki lorong di bawah air hujan yang kini tiba-tiba seolah dicurahkan dari
langit. "Golok Maut, berhenti kau. Jahanam!"
Kakek tinggi besar lni mencabut roda-gergajinya. Dia
sudah melempar itu dan senjata mengerikan ini berdesing menyambar punggung Si
Golok Maut. Tapi ketika Golok
Maut menoleh dan menangkis, tersenyum mengejek tiba-
tiba roda-gergaji itu terpental dan menyambar tuannya kembali.
"Plak!" Golok Maut melesat menghilang lagi. Yalucang si kakek tinggi besar harus
mengerahkan tenaga ketika roda-gergajinya itu menyambar cepat, menuju dadanya
dan terdengarlah suara keras ketika senjata itu mengenai atau menghantam dada kakek
tinggi besar ini. Tapi karena tokoh Tibet itu sudah mengerahkan sinkang dan
roda-gergajinya berdetak maka kakek itu terhuyung tapi sudah mengejar lagi.
"Dia disini...!" kakek itu agak berobah. "Hei, dia disini, Mo-ko. Tangkap dan
kepung dia!" Namun Golok Maut sudah menghilang lagi. Bagai
siluman atau iblis saja tokoh bercaping itu berkelebat entah kemana. Bayangan
Mo-ko dan Sudra yang berturut-turut
datang sia-sia saja, mereka tak menemukan dan kakek
tinggi besar itu melotot. Panggilannya tadi berkesan gentar dan buru-buru minta
tolong, hal yang menggelikan namun siapapun tahu kelihaian Si Golok Maut itu,
tak ada yang tertawa. Dan ketika Mindra mendengus dan tak melihat
bayangan lawan maka kakek itu mengajak saudaranya
berpencar. "Kau kesana, aku kesini!"
Sudra mengangguk. Dia sudah mencabut cambuknya
dan dengan marah menjeletarkan senjatanya itu, meledak dan hancurlah genteng di
atas yang berderak roboh. Dan ketika yang lain bergerak dan Mo-ko selalu berdua
maka dilorong sebelah kanan terdengar jeritan ngeri.
"Aduh..!" Semuanya dahulu-mendahului. Jeritan panjang disusul
berdebuknya tubuh yang roboh ke tanah membuat lima
kakek itu mendelik. Mereka melihat enam pengawal
terbabat tewas, leher mereka digorok dan putus tanpa
kepala. Mengerikan! Dan ketika lima kakek itu terbelalak dan marah maka Sudah
meledakkan cambuknya berseru
nyaring, "Golok Maut, jangan sembunyi-sembunyi. Hayo hadapi kami dan jangan bersikap
pengecut!" Namun jeritan dan pekik ngeri terdengar disebelah kiri.
Seolah menyambut jawaban kakek itu tiba-tiba belasan
tubuh berdebuk seperti pisang.
Mereka berkelebat dan melihat belasan pengawal roboh
tanpa kepala, lagi-lagi digorok putus! Dan ketika Sudra maupun lainnya
membelalakkan mata dengan ngeri dan
marah maka di empat penjuru sudah terdengar jeritan-
jeritan lain. Golok Maut berpincah-pindah dengan cepat dan mencari
Coa-ongya, mulai mengamuk dan membunuh-bunuhi
pengawal dengan kejam. Dia menangkap dan menanya
pengawal tapi selalu dijawab tak tahu, kemarahannya
bangkit dan dibinasakanlah pengawal-pengawal itu, tanpa
ampun. Dan ketika istana menjadi geger dan bayangan
Golok Maut benar-benar merupakan hantu pencabut nyawa maka tubuh-tubuh
bergelimpangan di bawan hujan yang
semakin deras. "Kepung dia, tangkap!"
"Kejar!" Namun semua ini seolah terompet penyambung lidah
beleka. yang berteriak dan berseru itu rata-rata tak ada yang berani mendekat.
Bayangan Golok Maut yang mulai
berkelebatan disekitar gedung istana menyambar-nyambar bagai siluman haus darah.
Sudra dan teman-temannva mengejar namun Si Golok Maut berpindah-pindah, cepat
dan luar biasa hingga kakek itu memaki-maki. Mereka
dibuat malu dan penasaran karena sampai sedemikian jauh mereka belum berhasil
menangkap Si Golok Maut itu.
Jangankan menangkap, berhadapan dan bertanding saja
belum Golok Maut seolah menghindar atau mungkin
mempermainkan mereka! Dan ketika tubuh pengawal
bergelimpangan dan darah membanjir di istana maka
Yalucang mengeluarkan bentakan dahsyat ketika satu saat bayangan Golok Maut
dilihatnya melayang turun dari
wuwungan yang tinggi. "Blarr!" Kakek itu menyemburkan apinya. ilmu Hwee-kang
(Tenaga Api) dilepas dan dikeluarkan kakek ini, mulutnya meniup dan bentakannya
tadi sudah menyertai api yang
berkobar. Tapi ketika Golok Maut menangkis dari tangan kirinya bergerak tiba-
tiba kakek ini terpental dan jatuh di sudut.
"Keparat, jahanam keparat!" Yalucang kakek si tinggi besar merah padam. "Kau
hebat Golok Maut. Tapi jangan
lari dan hadapi aku lagi. Hayo. . .! dan si kakek yang bangun menerjang lagi,
tiba-tiba melihat lawannya
berkelebat menjauhkan diri, memang tidak mau melayani Kakek ini. Karena begitu
dilayani maka Sudra dan lain-lain pasti datang membantu. Dia bakal dikeroyok dan
itu berbahaya. Golok Maut memang sengaja berpindah-pindah dan
mencari Coa-ongya sambil membunuh siapa saja yang
menghadang di depan. Tapi karena Yalucang adalah kakek lihai dan tentu saja
tidak segampang itu membunuh kakek ini seperti halnya membunuh para pengawal
atau busu maka Golok Maut meninggalkan lawan dan kakek ini
mencak-mencak, tak tahu kemana Golok Maut pergi
namun tempat itu sudah dikepung ribuan orang.
Pasukan istana sudah bergerak dan jenderal serta
panglima ikut membantu. Kegegeran yang terjadi di istana sungguh mengejutkan
siapa saja dan hujan yang deras itu seakan menambah suasana jadi semakin
menyeramkan saja. Dan ketika duaribu orang sudah memagari tempat itu dan istana benar-benar
terkepung maka Golok Maut
akhirnya mulai tersudut. Tokoh ini, seperti yang diketahui dari sepak terjangnya yang sudah-sudah adalah
tokoh yang keras hati dan tak gampang menyerah. Golok Maut memang laki-laki
gagah yang amat luar biasa. Maka ketika ruang geraknya mulai dipersempit dan para
perwira serta jenderal mulai bergerak secara rapat akhirnya sikap lari seperti
kucing yang selalu berpindah-pindah itu tak dapat diterapkan Si Golok Maut ini.
Disitu ada orang-orang lihai seperti Mindra dan kawan-kawannya, Pek-mo-ko dan
Hek-mo-ko yang bukan tergolong orang-orang biasa itu. Maka ketika teriakan dan kepungan semakin rapat
akhirnya pertemuan dengan lima pelindung Coa-ongya ini tak dapat dihindarkan
lagi. Golok Maut mula-mula bertemu Mindra. Kakek lihai
dari India yang sudah memegang nenggalanya ini
menggeram marah. Mindra merasa dipermainkan lawan
karena sama seperti Yalucang tadi dia-pun ditinggal pergi setelah bertemu
sebentar, terhuyung dan memaki ketika pukulannya ditangkis. Maka ketika mereka
bertemu lagi dan Golok Maut tak dapat menghindar maka satu bentakan dan tusukan
nenggala mendahului kemarahan kakek itu.
"Mampus kau!" Golok Maut mengelak. Sekarang dia mengerutkan
kening karena di mana-mana terdapat musuh.
Dua ribu orang sudah mengepung dan baru kali itu
istana dibuat guncang. Untuk menghadapi seorang saja
mereka telah mengerahkan dua ribu orang, bukan main.
Hal yang sebenarnya membuat malu! Maka ketika Golok
Maut mulai berhadapan dengan kakek India itu dan para pengawal serta perwira
bersorak maju maka Golok Maut
berkilat matanya sedikit gugup.
"Duk!" nenggala kembali menyambar, ditangkis dan kakek itu terhuyung. Dan ketika
Mindra bergerak dan menyerang lagi tiba-tiba Mo-ko kakak beradik muncul
berkelebat. "Bagus, bantu aku, Mo-ko. Tangkap dan bunuh jahanam ini!"
Mo-ko mengangguk. Mereka, seperti yang lain-lain tadi juga dipermainkan Si Golok
Maut ini. Tadi mereka juga bertemu tapi segera ditinggal pergi, setelah dibuat
terhuyung dan terjengkang. Hek-mo-ko malah terpelanting terguling-guling ketika
Golok Maut menggerakkan senjatanya, Golok Penghisap Darah itu.
Dan ketika mereka mengejar namun tentu saja berhati-
hati, maklum bahwa lawan bukanlah lawan sembarangan
maka mereka melihat Mindra yang sudah berhadapan
dengan Si Golok Maut itu, berkelebat dan datang
menyerang dan duaribu pasukan bersorak. Banjir darah
sudah terjadi namun mereka bangkit semangatnya, karena disitu banyak teman. Dan
ketika Golok Maut harus berkelebatan karena Mo-ko kakak beradik juga sudah
menyerangnya dengan tongkat di tangan maka pemuda ini menggerakkan goloknya yang
menyilaukan mata itu. "Crak-dess!"

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mo-ko sang adik berteriak. Ujung tongkatnya terbabat
dan putus sejengkal, kaget melempar tubuh dan kakaknya berseru agar tidak
menyambut golok di tangan lawan, hal yang sebenarnya sudah dilakukan iblis hitam
itu namun Golok Maut mengejar dan menggerakkan goloknya dengan
amat lihai. Dan ketika apa boleh buat tongkat harus
bertemu golok maka seperti yang sudah diduga senjata di tangan iblis bermuka
hitam ini putus, sementara tuannya sendiri melempar tubuh bergulingan.
"Jangan sambut goloknya, hindari jauh-jauh...!"
Mo-ko mendesis. Dia bangkit lagi dan was-was
memandang lawan. Golok Maut tertawa mengejek dan
sudah berkelebatan diantara mereka, cepat memutar
goloknya dan mereka bertiga tak ada yang berani mendekat.
Ngeri! Mindra sendiri terpaksa menarik nenggalanya kalau
golok maut menyambar, tak berani dan akibatnya desakan atau tekanan mereka
berkurang. Dan ketika mereka hanya menjaga diri dan Golok Maut mulai melihat
para pengawal yang berdatangan maka tokoh ini berkelebat dan
membentak berjungkir balik, mundur kebelakang. Namun
celaka, perwira dan panglima yang ada disitu memberi aba-aba. Mereka melepas
panah dan ribuan panah berbahaya
menjepret ke satu arah. Golok Maut terancam dan dipaksa menangkis runtuh.
Dan ketika dia berhenti sejenak dan tentu saja memberi kesempatan pada orang-
orang seperti Mo-ko dan Mindra
untuk menyerang dari belakang maka nenggala bergerak
sementara tongkat juga menghantam, semuanya lewat
belakang. "Duk-dess!" Golok Maut terhuyung. Nenggala mengenai punggungnya tapi terpental, begitu juga tongkat Mo-ko kakak beradik. Mereka
bertemu kekebalan yang dipasang tokoh bercaping ini, yang melindungi dirinya
dengan sinkang. Dan ketika mereka terbelalak tapi perwira dan panglima berteriak
menyerang lagi maka Sudra berkelebat muncul disusul kakek tinggi besar Yalucang.
"Kepung dia! Jaga rapat-rapat...!"
Golok Maut tak dapat melarikan diri. Sekarang dua ribu pasang kaki sudah memagar
betis, kemanapun dia lari
kesitu pula senjata menyambar, tentu saja bukan dari dekat melainkan dari jauh,
panah dan tombak yang dilepas sambil bersorak-sorai. Dan ketika Golok Maut
terkepung dan apa boleh buat menghadapi semua lawannya maka lima kakek
di depan membentak dan menerjang maju, mengeroyok.
"Golok Maut, serahkan dirimu. Atau kau mati kami cincang!"
"Benar, dan mintalah ampun, Golok Maut. Cepat
sebelum kami semua kehabisan sabar!"
Golok Maut tak menjawab. Hujan senjata dari lima
orang lawannya itu masih ditambah dengan hujan anak
panah dan tombak dari mana-mana. Dari delapan lenjuru para pengawal dan perwira
berterak-teriak. Hujan tak
mereka hiraukan lagi dan terkepunglah Si Golok Maut itu.
Tapi ketika laki-laki ini memutar senjatanya dan golok berkeredepan menyilaukan
mata maka Mindra berteriak
agar tidak menyambut cahaya putih yang menggiriskan itu.
"Awas...!" Namun terlambat. Cambuk baja di tangan temannya
terbabat putus, kakek Ya-lucang juga mencelat roda-
gergajinya bertemu sinar golok itu, yang sudah berkelebat dan menyambar luar
biasa cepat. Dan ketika mereka
melempar tubuh bergulingan sementara Golok Maut
membentak dan melengking tinggi tiba-tiba barisan
pengawal yang ada di depan diterjang roboh.
"Minggir!" Pengawal berteriak ketakutan. Mereka melepas panah-
panah berbahaya namun semua disapu runtuh, rontok oleh kilauan golok yang
membungkus Si Golok Maut itu. Dan
ketika mereka berteriak dan coba mengelak namun gagal maka sebelas diantaranya
roboh tanpa kepala. "Crat-crat-crat!"
Mengerikan sekali. Dua ribu pengawal tersentak melihat kejadian itu. Sebelas
kepala menggelinding dan pisah dari tubuhnya, begitu cepat dan luar biasa. Dan
ketika mereka terkejut sementara disana Mindra dan kawan-kawannya
masih bergulingan melempar tubuh maka Golok Maut
bergerak dan berjungkir balik menerjang berikutnya.
"Ah!" "Awas...!" Semua tiba-tiba menyibak. Golok Maut berjungkir balik turun dikerumunan orang-
orang ini, yang semua tiba-tiba membalik dan berhamburan melompat mundur. Dan
ketika tempat itu kosong dan Golok Maut mendengus maka tokoh ini sudah berloncatan dan
mengerahkan ginkangnya untuk terbang dari satu kepala ke kepala yang lain.
"Hei, jangan buka kepungan. Tutup rapat-rapat!"
Mindra, yang terkejut melihat semua pengawal tiba-tiba mundur mendadak membentak
marah. Kakek ini paling dulu melompat bangun dan menggeram menggerakkan
nenggalanya lagi. Dan ketika dia berkelebat dan empat temannya yang lain juga
bergerak dan marah membentak Si Golok
Maut maka kakek ini melepas pukulan berbahayanya, Hwi-seng-ciang.
"Dess!" Golok Maut bergoyang. Hwi-seng-ciang membokongnya
dibelakang dan saat itu pukulan-pukulan lain juga datang menyambar-nyambar.
Mo-ko kakak beradik melepas Pek-see-kang mereka,
disusul gerengan kakek tinggi besar Yalucang yang melepas Hwee-kang (Pukulan
Api). Dan ketika semuanya hampir
bersamaan mendarat di tubuh tokoh bercaping ini dan
Golok Maut tak sempat menangkis karena maju ke depan
maka semua pukulan itu menghantam keras dan amat
hebatnya. "Des-dess!" Golok Maut terhuyung. Dia membalik dan secepat kilat
tangan kirinya tiba-tiba membalas. Satu sinar kuning
menyambar lima orang itu dan Mindra terkejut, mengelak dan berteriak pada teman-
temannya agar cepat menghindar.
Itulah Kim-kong-ciang atau Pukulan Sinar Emas, hebatnya
bukan main karena dari jarak setombak saja pakaian dan baju mereka sudah
berkibar. Pengawal menjerit berpelantingan karena tahu-tahu
tubuh mereka terangkat, terdorong dan terlempat oleh angin pukulan itu, padahal
baru angin pukulannya saja,
keserempet! Dan ketika mereka terbanting bergulingan dan mengaduh menjerit-jerit
maka disana Yalucang terlempar sementara Mo-ko terpental karena kalah cepat
berkelit. "Bres-bress!" Dua orang itu mengeluh. Golok Maut membalas dan
sekali balasannya cukup membuat mereka gentar. Tapi
ketika tokoh itu hendak melepas pukulannya lagi dan
menerjang lawan tiba-tiba empatpuluh perwira menjepretkan anak panah mereka berbareng.
"Jret!" Gendewa yang dipentang mengeluarkan suara bergetar.
Empatpuluh anak panah menyambar dari delapan perjuru
dan bercuitanlah panah-panah yang besar itu. Mereka
adalah perwira-perwira pilihan yang mahir memainkan
senjata jarak jauh itu. Tapi ketika semua mengenai tubuh Si Golok Maut dan
runtuh ke tanah, bertemu kekebalan
mengagumkan maka Golok Maut menggeram dan tiba-tiba
berkelebat ke arah mereka.
"Kalian manusia-manusia jahanam!"
Empatpuluh perwira itu terkejut. Mereka berteriak dan melepas anak-anak panah
lagi, kini bukan sebatang
melainkan dua batang. Jadi delapanpuluh batang panah
menyambar Si Golok Maut itu. Tapi ketika Golok Maut
memutar senjatanya dan sinar putih yang menyilaukan itu melindungi dirinya tiba-
tiba delapanpuluh anak panah
rontok sementara cahaya atau sinar putih itu masih
menyambar ke depan, cepat dan ganas, luar biasa.
"Augh... crat-crat-crat!"
Duapuluh tiga kepala tiba-tiba putus. Golok Maut
membabatnya dalam sekali ayunan panjang, begitu cepat dan tak dapat diikuti mata
dan tahu-tahu duapuluh tiga kepala menggelinding. Semuanya sudah pisah dari
tubuh! Dan ketika tujuhbelas yang lain terbelalak pucat dan nyawa seakan terbang dari
tubuh maka mereka melempar tubuh
menyelamatkan diri. "Duk-duk-bress!"
Tujuhbelas perwira ini saling tumbuk. Mereka menjerit dan berteriak sendiri tapi
untunglah saat itu Mindra dan empat temannya datang lagi menolong. Lima kakek
ini ngeri tapi juga marah melihat sepak terjang Si Golok Maut.
Pemuda bercaping ini sungguh ganas dan kejam, benar-
benar bertangan besi! Dan ketika mereka maju lagi dan panglima-panglima
yang ada dibelakang membentak pasukannya agar melepas panah-panah atau tom-hoi,
maka Golok Maut sudah dikeroyok, "Jangan biarkan dia lolos. Pagar betis! Semua
mengepung rapat-rapat!"
Keadaan benar-benar menggemparkan. Keganasan dan
kekejaman Golok Maut ini yang tak kenal ampun sungguh mendirikan bulu roma. Kini
laki-laki itu berkelebatan tapi ditahan lima tokoh lihai itu.
Mindra berusaha keras untuk mencegah Golok Maut
melarikan diri, karena laki-laki Itu tampak bermaksud meninggalkan pertempuran
dan melarikan diri, hal yang memang akan dilakukan Si Golok Maut itu. Dan ketika
Mindra berseru pada empat temannya agar mengurung
Golok Maut rapat-rapat maka Golok Maut tak dapat keluar karena mereka ganti-
berganti menyerangnya. Ditangkis
yang satu menyerang yang lain, dihadapi yang lain maju lagi yang lainnya lagi,
begitu terus-menerus, tak ada yang berani berhadapan langsung karena mereka
menghindari keras pertemuan senjata itu. Kutungnya cambuk dan
terbabatnya tongkat sudah lebih dari cukup untuk memberi tahu mereka perihal
kehebatan golok di tangan Si Golok Maut
itu. Dan karena serangan mereka bersifat mengganggu dan Golok Maut tentu saja marah maka
pukulan-pukulan Hwee-kang maupun Pek-see-kang atau
Hwi-seng-ciang menyambar dari kelima orang itu.
"Keparat, kalian pengecut, Mindra. Tak tahu malu.
Curang!" "Hm, tak ada yang curang. Kau telengas dan kejam, Golok Maut. Kau berdarah
dingin!" "Kalian yang membuat aku begini. Kalian, ah... kubunuh kalian, siut-plak-dess!"
dan Golok Maut yang membalik menerima pukulan dari belakang tiba-tiba berseru
keras membabat panah-panah yang berhamburan, menggerakkan
tangan kirinya dan lepaslah pukulan Kim-kong-ciang
menyambut pukulan Hwi-seng-ciang.
Sudra menghantamnya dari belakang dan kakek itu
terpental, berteriak kaget. Dan ketika yang lain maju menubruk namun Golok Maut
memutar goloknya maka tak
dapat dihindari lagi kali ini kelima senjata lawan bertemu sinar goloknya itu.
"Awas... cring-crak-plak!" dan cambuk serta tongkat yang terbabat kutung tiba-
tiba disusul lengkingan panjang lima kakek itu.
Golok Maut melakukan gerak luar biasa yang disebut Le-hi-ta-teng (Ikan Le
Meloncat), merundukkan tubuhnya dan dari bawah ia menyapu semua senjata lawannya
itu. Tangan kiri baru saja bergerak melepas Kim-kong-ciang dan sisa angin pukulan itu
masih tetap menyambar, hebat bukan main. Dan ketika kelima kakek itu terkejut
dan mereka cepat melempar tubuh bergulingan maka hujan panah yang kembali
menyambar diterima dan disambut kelebatan golok yang meruntuhkan atau
merontokkan senjata jarak jauh itu.
Lalu begitu lawan terbelalak dan terperangah melihat
kehebatan Si Golok Maut ini tiba-tiba Golok Maut
berjungkir balik dan terbang menyambar ke pasukan
sebelah kiri yang bersenjata tombak.
"Minggir..!" Gegerlah pasukan tombak. Mereka tiba-tiba menyibak
dan semuanya berteriak mundur, memutar tubuh. Tapi
ketika Golok Maut melayang turun dan senjatanya
melindungi tubuh dengan rapat sekonyong-konyong
terdengar bentakan atau seruan,
"Lepaskan jaring!"
Dan benda-benda lebar hitam tiba-tiba menakup kepala
Si Golok Maut dari segala penjuru.
Si Golok Maut terkejut karena waktu itu dia baru saja berjungkir balik, turun ke
tanah ketempat pasukan tombak ini. Maka begitu puluhan jaring tiba-tiba melayang
ke bawah dan menakup kepalanya tiba-tiba Golok Maut
dibuat tersentak dan tentu saja senjata ditangannya itu bergerak membabat.
"Bret-bret!" Tujuh jaring robek. Golok Maut dapat keluar tapi jaring-jaring yang lain kembali
berhamburan, susul-menyusul dan
tentu saja laki-laki bercaping itu terkejut. Dan ketika dia marah dan membentak
menggerakkan goloknya lagi tiba-tiba Mindra dan keempat kawannya itu telah
berkelebat dan tertawa dengan jaring menyambar pula, di tangan kiri!
"Ha-ha, betul, Golok Maut. Sekarang kami dapat
meringkusmu!" Si Golok Maut kaget. Di atas kepalanya menyambar tak
kurang dari tigapuluh jaring, robek yang satu muncul lagi yang lain. Semuanya
bertubi-tubi dan dilepaskan dari jarak jauh.
Dan ketika dia dibuat sibuk dengan membabat jaring-
jaring ini sementara Mindra dan kawan-kawan mendadak
juga memegang jaring dan menyerang dirinya dengan cara yang licik maka Golok
Maut tersentak ketika jaring yang dilepas kakek India itu menakup kepalanya.
"Rrt!" Golok Maut terjebak. Mindra tertawa bergelak dan
Golok Maut tak dapat melepaskan diri.


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu empat temannya juga melempar jaring dan kaki serta tangan tokoh
bercaping itu terjirat. Kejadian
berlangsung demikian cepat dan semuanya itu dapat terjadi karena disamping
kelima kakek ini masih menyambar
puluhan jaring-jaring lain, jadi waktu itu Golok Maut dibuat sibuk dengan
jaring-jaring diluar kelima kakek ini.
Maka begitu kepalanya tertutup dan lemparan jaring kakek India itu jelas berbeda
dengan lemparan jaring para
pengawal yang bertenaga biasa maka Golok Maut terjebak dan tiba-tiba tak dapat
menggerakkan tubuhnya! "Ha-ha, lepaskan golokmu. Atau kau mati!"
Pengawal dan panglima bersorak. Mereka melihat Golok
Maut terjebak seperti seekor harimau yang tak berdaya lagi.
Laki-laki itu terjirat dan seluruh tubuhnya terikat. Mereka tiba-tiba
berhamburan dan maju dengan senjata di tangan, menusuk dan membacok karena saat
itu, Mindra dan lain-lain sedang berkutat mempertahankan jaring, bersitegang dan
menarik agar Golok Maut itu tak dapat melepaskan
diri. Tapi ketika senjata golok atau tombak mengenai tubuh
laki-laki ini ternyata semuanya patah-patah dan Golok Maut masih dapat
menendang! "Plak-des-augh!"
Tombak dan golok patah-patah tak keruan. Mindra
berteriak agar para pengawal itu mundur, karena hal itu tak dikehendakinya. Dia
ingin menangkap hidup-hidup tokoh bercaping ini untuk diserahkan kepada Coa-
ongya, karena tentu Coa-ongya lebih menghendaki Si Golok Maut itu
ditangkap hidup-hidup daripada sudah menjadi mayat.
Namun karena para perwira dan pengawal sudah terlanjut bersorak-sorai dan mereka
itu membacok atau menusuk
Golok Maut tapi gagal maka mereka yang terkena
tendangan tiba-tiba menjerit dan celaka sekali berjatuhan menimpa Mindra dan
empat kawannya. "Keparat.... bres-bress."
Kakek itu mengumpat-umpat. Baik dia maupun yang
lain otomatis terganggu kejadian ini, tegangan mengendor dan jaring pun
melonggar. Dan karena itu cukup bagi Si Golok Maut untuk membebaskan diri maka
sekali membentak tiba-tiba tokoh ini sudah meronta dan bebas, benar-benar dapat keluar
lagi. Dan begitu Golok Maut
menggeram dan berkelebatan kesana-sini maka puluhan
pengeroyok yang tadi membacok atau menusuk tubuhnya
menjadi korban! "Crat-crat!" Jerit ngeri dan teriakan panjang ini menggema di empat penjuru. Golok Maut telah
bersikap beringas dan kemarahannya tadi tak dapat ditahan lagi. Dia hampir
celaka oleh jaring kelima kakek iblis itu namun untung para pengawal yang bodoh-
bodoh ini menolongnya. Mereka
tanpa sadar mengganggu kelima kakek itu dan ini berarti kebebasan baginya. Maka
begitu keluar dan golok bergerak naik turun maka empatpuluh tubuh sudah
bergelimpangan tak bernyawa.
"Minggir... minggir. Kalian bodoh!" kakek India berteriak-teriak, marah dan
mengumpat-caci dan Pek-mo-ko maupun yang lain-lain juga membentak dan memaki-
maki kebodohan para pengawal tadi. Mereka melepaskan buruan dan kini Golok Maut
mengamuk, memaksa mereka mundur dan Mindra sendiri maupun empat temannya
terpaksa bergulingan menjauhkan diri. Maklumlah, kemarahan Golok Maut tak dapat dibendung lagi dan laki-laki itu berusaha
mendekati mereka, dengan golok yang berlumuran darah tapi cepat kering lagi
karena dihisap oleh kekuatan aneh di tubuh golok itu, kekuatan iblis, daya gaib!
Dan karena Golok Maut benar-benar marah dan pasukan
cerai-berai tiba-tiba Golok Maut melepas tiga benda bulat ke
arah Mindra dan kawan-kawan yang sedang bergulingan. "Dar-dar!" Granat tangan meledak. Kiranya Golok Maut menggunakan senjata penyelamatnya itu, senjata terakhir.
Dia melepas lagi beberapa granat tangan ke arah pengawal yang tentu saja tiba-
tiba berhamburan dan menjerit-jerit.
Mereka yang terkena segera terlempar roboh, luka parah.
Mindra terkejut dan bergulingan semakin menjauhkan diri saja. Keempat temannya
juga begitu dan asap tebal tiba-tiba menghalangi pandangan. Dan ketika beberapa
granat lagi meledak dan duaribu orang itu cerai-berai maka Golok
Maut lenyap dan entah menghilang kemana.
"Kejar! Tangkap Si Golok Maut itu. Jangan sampai lari!"
Namun siapa yang mengejar" Dilempari granat itu saja
mereka sudah panik, belum lagi oleh keganasan Si Golok Maut yang amat
nggegirisi. Maka begitu semuanya
berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri dan Mindra hanya berteriak mengumpat
caci maka ketika asap tebal menghilang Si Golok Maut itu juga tak tampak
bayangannya lagi. Tigaratus orang tewas dengan tubuh malang-melintang.
Seratus diantaranya putus tanpa kepala, darah membanjir dan menyatu dengan air
hujan yang membasahi tanah. Dan ketika yang lain tertegun dan ngeri maka
bayangan Coa-ongya muncul di balkon gedungnya.
"Bodoh! Gentong-gentong kosong semua! Heh, mana itu Si Golok Maut, Lui-ciangkun"
Mana binatang jahanam keparat itu" Dan kau..!" pangeran ini menuding Pek-mo-ko dan lain-lainnya itu.
"Bagaimana Si Golok Maut sampai lolos, Mo-ko" Kenapa kalian membiarkannya lari
dan tidak mengejar" Keparat, kalian hanya pandai memakan uang.
Tak becus menangkap satu orang saja dan layaknya anakanak kecil yang goblok dan
tolol!" Dan ketika semua orang tertegun dan tentu saja tak
berani bercuit, Coa-ongya marah-marah dan menuding-
nuding mereka semua maka hujan di malam yang
mengerikan itu reda. Coa-ongya marah bukan main di atas balkon dan mencaci-maki
mereka semua. Mindra dan saudaranya juga disemprot! Namun ketika yang lain ini juga diam saja dan tak
bergeming maka muncullah Kun-taijin yang membujuk dan memberi hormat di depan
pangeran ini. "Mereka tak bersalah. Golok Maut memang terlalu lihai.
Biarlah paduka masuk kembali dan biarkan aku bercakap-cakap dengan mereka."
"Tidak. Aku justeru ingin mencaci-maki mereka ini, taijin. Para pembantuku itu
juga gentong-gentong kosong yang tak bisa apa-apa. Ah, mereka itu anjing penjaga
yang bisanya makan melulu!"
"Sst, tak perlu mengumbar marah disini, pangeran.
Semuanya sedang sedih dan paduka masuk saja ke dalam.
Mo-ko dan kawan-kawannya itu juga terpukul. Sebaiknya paduka tak usah
menyakitkan hati mereka dan aku
khawatir kalau mereka pergi karena tersinggung!"
Coa-ongya terbelalak. Akhirnya dia terkejut juga ketika Kun-taijin bicara
seperti itu. Memang repot kalau Mo-ko dan kawan-kawannya
sampai pergi meninggalkan dirinya, tentu tanpa pelindung lagi dan itupun berarti
tak baik. Maka ketika dia dibujuk lagi dan dengan halus menteri Kun bicara
menasihati akhirnya pangeran ini sadar dan insyaf, kembali
menghilang dan dialah tadi yang memberi perintah agar Golok Maut diserang dengan
jaring. Pengalamannya masa lalu membuat pangeran ini ingin
mengulang keberhasilannya. Tapi bahwa Golok Maut dapat lolos juga dan tokoh
bercaping itu memjliki granat untuk menyelamatkan dirinya maka banjir darah
malam itu menjadi buah bibir semua orang. Istana benar-benar
terguncang dan ini untuk kedua kalinya Si Golok Maut itu beraksi, bukan main
beraninya. Bahkan berhasil membunuh Ci-ongya, satu dari dua orang yang dibenci!
Dan ketika malam itu mayat-mayat yang tewas diurus dan Kun-taijin turun tangan
meredakan Coa-ongya maka keesokannya
istana dan seluruh rakyat mengibarkan bendera tanda
berkabung. -0deOwi0- "Begitulah," Kun-taijin mengakhiri ceritanya, menarik napas dalam. "Sri baginda
dan Coa-ongya marah-marah, Beng Tan. Sri baginda marah karena Golok Maut
dianggap menghina istana sedang Coa-ongya karena adiknya
dibunuh. Kami tak dapat berbuat apa-apa karena Golok
Maut benar-benar luar biasa. Dikeroyok duaribu orang dia dapat melarikan diri
juga. Mengejutkan!" Beng Tan termangu-mangu. Mendengar semua cerita ini
memang dia dapat memaklumi. Golok Maut amat lihai dan hanya dialah yang dapat
menghadapi. Itu-pun kalau dia tak memiliki Pek-jit-kiam, Pedang Matahari, tak
mungkin dia dapat menandingi lawannya itu. Dan ketika Kun-taijin
selesai bercerita dan Swi Cu yang ada disampingnya juga termangu dan ngeri maka
Kun-taijin bertanya pada pemuda itu apa yang selanjutnya hendak dilakukan.
"Bagaimana menurut pendapat taijin, apa yang harus kulakukan," Beng Tan balas
bertanya, Memang tidak tahu apa yang harus dilakukan karena
khawatir kalau ia meninggalkan istana jangan-jangan sri baginda marah lagi.
Gara-gara keterlambatannya datang di istana terjadilah semuanya itu. Ah, kalau
saja dia ada disitu! Beng Tan bergidik melihat sepak terjang Si Golok Maut ini.
"Hm, apa yang harus kuberikan?" Kun-taijin menarik napas dalam, kembali menekuri
keadaan di depan. "Aku tak dapat memerintahkan apa-apa, Beng Tan. Hanya kaisar
yang berhak memerintahmu. Kau pengawal pribadinya, aku
hanya sekedar mewakili sri baginda menceritakan peristiwa ini kepadamu!"
"Benar, tapi setidak-tidaknya kau dapat memberikan pandangan, taijin. Apa yang
kira-kira harus kuperbuat'"
"Sebaiknya kau menghadap sri baginda saja. Tanya apa sarannya."
"Tapi sri baginda baru marah-marah. Aku tak enak!"
"Bukan sekarang, Beng Tan, melainkan besok. Biar kuantar dan besok sri baginda
tentu sudah lebih dingin."
"Hm," Beng Tan mengangguk. "Benar, taijin. Tapi agaknya satu yang diperintahkan
baginda, aku harus menangkap atau membunuh Si Golok Maut itu!"
"Kukira memang begitu, dan kaulah satu-satunya
pemilik Pedang Malayan. Golok Penghisap Darah di
tangan Si Golok Maut itu tak ada tandingannya. Kau harus bergerak!"
Beng Tan mengangguk. Kun taijin akhirnya bicara sana-
sini lagi memberi petunjuk sebelum dia disuruh istirahat.
Dan ketika malam itu Beng Tan ada di kamarnya dan Swi Cu mendapat kamar di
sebelah maka malam itu dua muda-mudi ini bercakap-cakap.
"Golok Maut memang terlalu. Keberingasannya sudah melewati batas. Hm, orang
sedunia perlu menghukum pemuda ini dan mencincangnya sebelum mampus!"
"Sabar," Beng Tan berkedip memandang lampu-lampu teng yang mulai dipasang para
pengawal. "Sepak terjang Si Golok Maut tentu didasari sesuatu, Cu-moi. Dan aku
melihat api dendam yang besar sekali di hatinya.
Permusuhannya berawal dengan Coa-ongya dan Ci-ongya
itu. Dan sekarang satu di antara dua musuhnya itu telah dibunuh!"
"Dan kau membelanya?"
"Eh, siapa membela?"
"Kau menyuruh aku sabar, koko. Padahal iblis macam itu tak perlu disabari. Dia
harus dibunuh dan habis perkara.
Apalagi dia juga memperkosa suciku!" Swi Cu tiba-tiba menangis, marah kepada
kekasihnya dan buru-buru Beng
Tan memeluk. Dia berkata bahwa bukan begitu maksudnya, sepak terjang Si Golok Maut tak patut dibela tapi Beng Tan bermaksud
membicarakan sebab-sebab paling dalam kenapa tokoh yang ganas itu dapat
sedemikian kejam. Membunuh-bunuhi orang-orang she Coa dan Ci
hanya karena permusuhannya dengan dua orang pangeran
di istana itu. Dan ketika Swi Cu menjawab bahwa
semuanya itu tak perlu diketahui karena Golok Maut pada dasarnya adalah iblis
maka Beng Tan menarik napas
panjang tak mau berdebat.
"Baiklah... baiklah. Dia memang iblis. Tapi sebelum aku diperintahkan membunuh
Si Golok Maut ini aku ingin
mengetahui kenapa dia bisa sampai begitu." lalu menunduk dan mencium kekasihnya.
Pemuda ini mengajak bicara yang lain, percuma bicara
tentang itu karena Swi Cu sudah terlampau dendam
terhadap si tokoh bercaping itu. Dugaan mereka bahwa
Golok Maut memperkosa Wi Hong membuat gadis ini tak
mau mendengar Golok Maut dibela sekecil apapun, apalagi oleh Beng Tan, pemuda
yang menjadi kekasihnya sekaligus calon suaminya. Ah, tak boleh Beng Tan mencari
kebaikan-kebaikan Si Golok Maut, betapa pun kecilnya. Dan ketika mereka bicara
yang lain dan malam itu pemuda ini
menunggu fajar maka keesokannya dia sudah ditunggu
menteri Kun. "Dapat tidur, Beng Tan" Nyenyak tidurnya?"
"Ah," Beng Tan tersenyum, melirik Swi Cu. "Kami semalam dapat tidur enak,
taijin. Meskipun tentu saja penuh dengan mimpi-mimpi buruk. Kami masih terkejut
oleh kejadian di istana!"
"Hm, aku juga. Dapat terlelap sejenak tapi setelah itu ingat kau. Sudahlah, kita
menghadap sri baginda dan
kutemani kau untuk menerima titahnya."
Beng Tan mengangguk. Dia menyuruh Swi Cu tinggal di
situ tapi gadis ini tak mau, menolak dan ingin ikut bersama.
Beng Tan memperingatkan bahwa kemarin kaisar memaki-
maki gadis itu. Tapi ketika Swi Cu berkata bahwa dia tak menaruh di hati semua
ucapan kaisar karena keadaan
sedang dirundung malang maka Beng Tan mengangguk dan
membiarkan kekasihnya ikut.
"Baiklah, tapi jangan marah kalau sri baginda masih mengeluarkan kata-kata
pedas!" "Aku tak apa-apa, asal selalu di sampingmu!"
Dan ketika Kun-taijin tersenyum karena ucapan itu
penuh arti maka ketiganya berangkat dan sudah menemui sri baginda, yang pagi itu
ternyata sudah duduk di kursi singgasananya, sedikit cerah meskipun sorot
matanya masih menampakkan sisa-sisa kecewa dan marah.
"Maaf, kemarin aku tak dapat menahan diri, Beng Tan.
Dan, ah... betapa cantiknya kekasihmu ini!"
Beng Tan berlutut. Dia tersenyum dan cepat memberi


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormat bersama Kun-taijin. Swi Cu merah mukanya namun gembira di hati, kaisar
bersikap ramah dan sikapnya
sungguh berbeda dengan kemarin. Dan ketika semua
memberi hormat dan kaisar menerima, menyuruh mereka
berdiri maka Beng Tan bertiga dipersilahkan duduk.
"Aku sudah mendengar maksud kedatanganmu, Kun-
taijin memberitahuku semalam. Nah, katakan bagaimara
pandanganmu setelah mendengar semuanya ini."
"Hamba ingin meminta pendapat paduka, tak berani mendahului."
"Hm, aku pribadi ingin menyuruhmu menangkap dan
membunuh Si Golok Maut itu, Beng Tan. Bawa kepalanya
kemari dan tenangkan suasana!"
"Benar, hamba akan melaksanakan titah paduka, sri baginda. Tapi mohon keterangan
kenapa Golok Maut itu mempunyai permusuhan demikian mendalam terhadap
Coa-ongya maupun Ci-ongya?"
"Hm, ini..." kaisar mengerutkan kening, tiba-tiba tertegun. "Aku tak ingin
menceritakannya, Beng Tan. Dan barangkali tak perlu bagimu. Yang jelas Golok
Maut telah menghina dan mengacau di istana, untuk ini saja dia sudah dapat
dianggap pemberontak dan musuh berat!"
"Apakah hamba tak boleh mengetahui asal mulanya?"
"Itu urusan pribadi adikku. Kalau kau mau bertanya silahkan saja kepada yang
bersangkutan. Dan, eh... bukankah tak perlu semuanya ini, Beng Tan" Kau
kutugaskan untuk menangkap atau membunuh Si Golok
Maut itu, bukan menyelidiki. asal mula permusuhan ini!"
"Benar, tapi maaf, sri baginda. Sebagai orang kang-ouw yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kegagahan dan keadilan mestinya hamba ingin tahu kenapa Golok Maut
itu dapat bersikap demikian kejam. Siapa yang bersalah dan
bagaimana sebenarnya duduknya perkara."
"Hm-hm!" kaisar menggeleng-geleng kepala. "Urusan ini tak ingin kubicarakan,
Beng Tan. Karena Golok Maut
harus ditangkap atau dibunuh. Dia telah mengacau istana, membunuh dan menghina
aku!" "Benar..." Beng Tan mau bicara lagi, mendesak tapi Kun-taijin tiba-tiba
menyenggol lengannya, batuk-batuK dan memberi isyarat agar dia tidak banyak
bertanya. Deheman halus dari menteri itu menyadarkan Beng Tan bahwa tak
sepatutnya dia mendesak kaisar. Dia sudah menerima
perintah dan dia tinggal melaksanakan. Dan ketika Beng Tan sadar dari menahan
kata-katanya maka menteri itu
mendahului berkata, "Maaf, kami mengerti, sri baginda. Tapi Beng Tan barangkali hendak bertanya
apakah dia harus meninggalkan istana lagi atau tidak. Maklumlah, Beng Tan
khawatir paduka marah-marah kalau Golok Maut datang sementara
dia pergi! Bukankah begitu, Beng Tan?"
Pemuda ini mengangguk. Dengan cepat dia tanggap
akan pertanyaan Kun-taijin itu. Bahwa dia harus mengikuti perintah kaisar dan
memang inilah yang hendak
ditanyakan, apakah dia harus mencari Golok Maut dan
membawanya ke istana ataukah menunggu Golok Maut itu
datang lagi di istana dan dia menghadapi. Dan karena
pertanyaan itu tepat dan Beng Tan tentu saja mengangguk maka pemuda ini
membenarkan dan sadar. "Benar, begitu maksud hamba, sri baginda. Bagaimanakah caranya hamba melaksanakan tugas ini."
"Kau harus pergi lagi, dan secepatnya kembali!"
"Tapi kalau dia datang?"
"Tidak, Golok Maut baru saja mengacau, Beng Tan. Tak mungkin dia datang dalam
waktu sedekat ini. Dan aku
hendak memerintahmu langsung ke Lembah Iblis, tempat
Si Golok Maut itu tinggal!"
"Lembah Iblis?" Beng Tan terkejut.
"Ya, Lembah Iblis, Beng Tan. Aku mendapat keterangan bahwa Golok Maut bertempat
tinggal disana. Dia pasti
kembali ke sarangnya setelah gagal melakukan balas
dendamnya disini, karena adikku Coa-ongya masih hidup!"
Beng Tan tertegun. "Dan kau bawa limaribu pasukan kesana!"
Beng Tan semakin terkejut. "Apa?" pemuda ini membelalakkan mata. "Bersama
pasukan, sri baginda"
Hamba harus menangkap Si Golok Maut itu bersama
demikian banyak orang?"
"Aku tak mau gagal, dan aku juga tidak menyangsikan kepandaianmu. Tapi karena
Lembah Iblis merupakan tempat yang tersembunyi dan aku tak ingin iblis itu pergi meninggalkanmu maka
limaribu orang yang akan mengiringimu itu bertugas hanya mengepung lembah!"
"Tapi hamba tak suka!" Beng Tan memprotes, tiba-tiba bangkit berdiri. "Hamba
sendiri sanggup membawa Si Golok Maut itu, sri baginda. Dan hamba bersumpah akan
membawanya kehadapan paduka!"
"Tapi kau gagal ketika bertemu," kaisar bersinar-sinar, memandang tajam. "Aku
tak ingin hal itu terulang, Beng Tan. Dan terus terang saja kali ini aku tak mau
gagal! Lui-ciangkun dan Kwan-goan-swe (jenderal Kwan) akan
menyertaimu. Dan mereka itulah yang membawa pasukan!"
Beng Tan tertegun. Tiba-tiba dia merasa terpukul karena seolah kaisar kurang
percaya kepadanya. Dia diberi
bantuan limaribu orang untuk menangkap si Golok Maut,
hal yang tidak main-main lagi dan tentu saja membuat
pemuda itu marah. Tapi ketika kaisar berkata lagi bahwa kaisar tidak meragukan
kepandaiannya melainkan semata mengepung Lembah iblis agar Golok Maut tak dapat
melarikan diri maka perlahan-lahan muka Beng Tan pulih kembali.
"Aku tidak menyangsikan kepandaianmu, dan aku
bukannya tidak percaya. Tapi ingat, Golok Maut cerdik dan licik memiliki granat-
granat tangan, Beng Tan. Dengan itu dia dapat lari dan meloloskan dirinya. Dan
aku tidak menghendaki ini. Aku ingin kau membereskannya dan
tidak bekerja dua tiga kali!"
"Hm, tapi sekian banyak orang..." Beng Tan termangu-mangu. "Memalukan hamba, sri
baginda. Membuat hamba tak ada muka untuk menghadapi Si Golok Maut itu.
Sebaiknya begini saja. Untuk menjaga lembah hamba
hanya minta bantuan beberapa orang saja, tiga atau empat orang cukup. Orang-
orang berkepandaian tinggi seperti Pek-mo-ko dan lain-lainnya itu yang membantu
Coa-ongya!" "Hm, begitukah?" kaisar memandang ragu, cepat diberi isyarat rahasia oleh Kun-
taijin, yang mengedip-ngedip dan menunjuk berulang-ulang ke arah Beng Tan.
"Baiklah, Beng Tan. Kuikuti permintaan-mu tapi bagaimana tanggung
jawabmu bila sekali ini gagal!"
"Hamba akan menyerahkan kepala hamba!" Beng Tan tiba-tiba berseru gemas. "Hamba
yakin tak akan gagal, sri baginda. Asal benar-benar bertemu dengan Si Golok Maut
itu di Lembah Iblis!"
"Bagus, janjimu kuterima. Kalau begitu pergilah ke tempat adikku dan mintalah
bantuan kelima pelindungnya itu agar menemanimu!"
Swi Cu terkesiap. Kekasihnya telah mempertaruhkan
kepala kalau kali ini tugas gagal, padahal Golok Maut itu lihai dan dulu mereka
berimbang. Bahkan Beng Tan sendiri mengakui bahwa sebenarnya sukar merobohkan Si
Golok Maut itu karena masing-masing sama dan setingkat. Golok Maut memiliki Golok
Penghisap Darah itu sementara Beng Tan dengan pedang Pek-jit-kiamnya. Baik
senjata mau-pun kepandaian sebenarnya berimbang. Dulu mereka sama-sama roboh
ketika bertanding di pulau. Tapi karena Beng Tan sudah menyerahkan janjinya dan
agaknya pemuda itu juga gemas dan marah karena sepak terjang Golok Maut
benar-benar dinilai keterlaluan maka pagi itu Beng Tan menemui Coa-ongya,
bersama Swi Cu Dan ketika dia pergi berdua karena Kun-taijin ditahan kaisar maka
terdengar kisik-kisik diantara sri baginda dengan menteri itu. *
"Kenapa kau memberiku isyarat?"
"Maaf, agar supaya Beng Tan tidak tersinggung, sri baginda. Sebab menolak begitu
saja tentu tidak baik. Betapa pun dia adalah pemuda hebat yang satu-satunya
dapat menandingi Golok Maut!"
"Hm, aku sebenarnya penasaran. Baiklah, kuharap dia sudah bertemu adikku dan
rencana tidak akan gagal."
Beng Tan sudah menghadap Coa-ongya. Dia tentu saja
tidak mendengar pembicaraan ini yang mungkin akan
menimbulkan kecurigaannya. Maklumlah, kaisar tak
bersuara keras-keras dan Kun-taijin juga tampak berhati-hati. Dan ketika dia
tiba di gedung pangeran itu dan Coa-ongya sudah menyambut maka bayangan lima
kakek pelindung tampak berkelebatan disekitar sang pangeran.
"Aha, kau, Beng Tan" Sudah datang?"
Beng Tan memberi hormat. Coa-ongya yang berdiri
menyambut dan bergegas bangkit dari kursinya membuat
Beng Tan agak tersipu. Sebenarnya dia sudah mengenal
pangeran ini kecuali yang bersangkutan. Coa-ongya belum pernah bertemu muka tapi
agaknya sudah dapat menduga
siapa dia, tentu dari para pembantunya. Dan ketika dia memberi
hormat dan Coa-ongya bersinar-sinar memandangnya gembira mendadak pangeran itu tertegun
melihat Swi Cu, sepasang matanya mengeluarkan cahaya
aneh. "Siapa dia?" "Maaf," Beng Tan menjura. "Kekasih hamba, ong-ya.
Swi Cu." "Hm, cantik sekali!" sang pangeran memuji tak canggung-canggung, tiba-tiba
tertawa dan menarik lengan Beng Tan. "Mari... mari duduk, Beng Tan. Aku sudah
mendapat kabar tentang kedatanganmu dari sri baginda
kaisar!" Swi Cu berdetak. Beng Tan sudah ditarik pangeran itu
dan duduk menghadapi meja besar, diperkenalkan kepada kelima kakek-kakek itu
tapi Beng Tan tersenyum. Tentu saja dia mengenal dan bahkan pernah bergebrak!
Dan ketika Sudra maupun saudaranya melengos dan merah
bertemu pemuda ini maka Swi Cu agak berdebar melihat
kilatan mata Coa-ongya yang agak lain dan membuatnya
tidak enak. "Siapa kekasihmu ini" Dari mana?"
Beng Tan tersenyum. Dengan wajar dia menjawab
bahwa Swi Cu adalah wakil ketua Hek-yan-pang, berkata bahwa gadis itu dikenalnya
di Hek-yan-pang pula, ketika diserbu dan mendapat amukan Golok Maut. Dan ketika
Coa-ongya terkejut tapi merah mukanya mendengar nama
Golok Maut disebut-sebut maka perhatiannya terseret dan mengepal tinju dengan
mata berapi. "Ah, kiranya Hu-pangcu dari Perkumpulan Walet
Hitam. Maaf, aku tak tahu, nona. Kukira siapa! Hm, dan Golok Maut menyerang Hek-
yan-pang pula. Sungguh kurang ajar! Apakah ketuamu bershe Coa atau Ci?"
"Tidak," Swi Cu menjawab. "Suciku bukan she Coa atau Ci, ong-ya. Tapi kedatangan
Golok Maut semata atas keponakanmu Ci Fang itu!"
"Oh, dia" Ya-ya..." pangeran ini mengangguk-angguk.
"Sekarang Ci Fang entah kemana, nona. Dan ayahnya terbunuh oleh Si Golok Maut
itu. Jahanam, aku ingin menuntut balas!" Beng Tan bermuka murung. Bicara tentang itu tiba-tiba saja dia sudah dibawa
kemasalah dendam. Pangeran
tampak begitu benci namun tak dapat disembunyikan pula ketakutan atau
kekhawatirannya yang hebat. Maklumlah, Golok Maut benar-benar luar biasa dan dua
kali menyatroni istana dua kali itu pula Golok Maut dapat meloloskan diri.
Jadi tokoh ini memang amat lihai dan kepandaiannya
tinggi. Beng Tan sendiri mengakui itu karena sudah pernah
bertanding dan mengadu jiwa, nyaris sampyuh kalau saja kakek dewa Bu-beng Sian-
su tidak datang menolong. Dan ketika pembicaraan sudah berkisar ke Golok Maut
ini dan Coa-ongya sesekali masih menyambar Swi Cu dengan sinar mata aneh maka
pangeran menutup bahwa sri baginda
kaisar katanya mengutus Beng Tan untuk menangkap dan
membunuh laki-laki bercaping itu.
"Semalam sri baginda telah memanggil aku, dan
menerangkan maksud atau keinginannya. Nah, katakan
bagaimana keinginanmu atau keputusan kaisar setelah kau menghadap padanya!"
"Hamba diminta ke Lembah Iblis..."
"Cocok! Kalau begitu limaribu pasukan juga akan
menyertaimu!" "Tidak, untuk ini hamba menolak, ong-ya. Memalukan rasanya untuk membekuk
seorang saja harus dikerahkan
sedemikian banyak orang," Beng Tan menggeleng, ganti memotong omongan orang.
"Hamba mengajukan usul lain dan kini sri baginda menyerahkannya kepada paduka!"
"Hm, usul apa" Tentang apa?"
"Bantuan ke Lembah Iblis itu. Sri baginda khawatir kalau Golok Maut lolos, minta
agar hamba sekali kerja tak
mengulang dua tiga kali."
"Ya-ya, itu juga dikatakannya kepadaku!" Coa-ongya mengangguk-angguk. "Aku rasa
memang benar, Beng Tan. Bukan tidak mempercayai kepandaianmu melainkan
semata mengepung dan menjaga supaya Golok Maut tidak
melarikan diri'" "Hm, cara ini hamba tak suka," Beng Tan menggeleng lagi. "Kalau bantuan
dimaksudkan agar Golok Maut tidak melarikan diri maka jumiah demikian besar
tidak cocok bagi hamba, ong-ya. Terus terang hamba menolak. Dan sri baginda
menyetujui rencana hamba yang lain!"
"Hm!" Coa-ongya bersinar-sinar, kagum dan mendecak karena tidak sembarang orang
dapat dengan begitu saja "memerintah" kaisar. Beng Tan telah mempengaruhi kaisar dan menolak bantuan
pasukan, perbuatan yang tak
mungkin dilakukan orang lain kalau pemuda itu betul-betul tidak memiliki
kepandaian tinggi. Dan ketika Coa-ongya mengangguk-angguk dan bertanya bagaimana
maksud Beng Tan, maka pemuda ini memandang dua kakek India itu
bersama tiga temannya yang lain.
"Hamba ingin meminjam pengawal-pengawal pribadi
paduka. Dengan lain kata, limaribu pasukan itu hamba
ganti saja dengan lima orang pembantu paduka!"
Sang pangeran tertegun. "Mereka-mereka ini?"
"Ya, mereka-mereka ini, ong-ya. Mindra dan teman-temannya. Hamba telah
berkenalan dengan mereka dan
tentu mereka setuju, asal paduka setuju pula!"
"Hm-hm!" pangeran berseri-seri, menoleh kebelakang.
"Bagaimana kalian, Mindra" Setuju?"
"Kami menyerahkannya kepada paduka," Mindra menjawab gugup. "Kalau paduka setuju
tentu saja kami setuju, pangeran. Tapi bagaimana istana kalau ditinggal kami


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua!" "Hm, sri baginda menjamin Golok Maut tak akan datang dalam waktu dekat. Dia
dipastikan kembali ke Lembah
Iblis!" Beng Tan menjawab, mendahului. "Karena itu masalah istana tak usah
khawatir, Mindra, Lui-ciangkun atau Kwan-goanswe akan mengambil alih tugas kita
disini!" "Benar," Coa-ongya mengangguk. "Kami mendapat kabar bahwa Golok Maut bertempat
tinggal di Lembah Iblis, Beng Tan. Dan sri baginda juga telah memberitahukan pandangannya itu. Kalau kau minta
mereka ini menemani dan sri baginda tak menolak tentu saja aku juga memenuhi
permintaanmu!" "Kalau begitu terima kasih," Beng Tan bersoja. "Tapi keikutsertaan mereka hanya
menjaga disekitar lembah, ongya. Jangan sekali-sekali membantu hamba mengeroyok
Si Golok Maut!" "Ha-ha!" sang pangeran tertawa bergelak. "Kau jujur, Beng Tan. Tapi sekilas
berkesan sombong! Hm, kalau saja aku tak mendengar tentang kelihaianmu dan kau
bukan pengawal bayangan sri baginda kaisar tentu aku akan
menganggapmu bermulut besar! Eh, omong-omong aku
ingin kau menunjukkan sedikit kepandaianmu, Beng Tan.
Bolehkah" Kalau kau mampu menghadapi Golok Maut
seorang diri tentu kau mampu pula menghadapi kelima
pembantuku ini. Nah, coba perlihatkan kepandaianmu dan biar mataku ini terbuka!"
Coa-ongya tertawa bergelak, pembicaraan inti sudah
selesai dan kini tiba gilirannya untuk menyaksikan
kepandaian pemuda itu. Sebelumnya Sudra dan Mindra
telah memuji kepandaian pemuda ini, dan kaisar pun
mempergunakan pemuda itu sebagai pengawal bayangannya, satu jabatan tinggi karena mempertaruhkan kepercayaan yang besar.
Dan ketika Beng Tan tersenyum dan dua kakek India itu tersipu merah maka Beng
Tan tentu saja memenuhi permintaan pangeran ini.
Langsung saja dia memandang lima kakek itu, Pek-mo-
ko dan Hek-mo-ko melotot namun Beng Tan tidak perduli.
Dan ketika dia melangkah maju dan mengangguk di depan kelima kakek itu maka Beng
Tan sudah berhadapan dengan Mindra dan kawan-kawannya ini.
"Ong-ya ingin aku menundukkan kalian. Lagi pula
belum pernah kalian berlima maju mengeroyok secara
berbareng. Nah, majulah, Mindra. Dan mari kita main-
main sebentar!" Mindra dan kawan-kawannya berkelebat. Ditantang dan
digapai pemuda itu tentu saja mereka tak dapat menolak, mundur adalah merupakan
perbuatan pengecut dan memalukan. Dan ketika semuanya bergerak dan Coa-ongya ingin melihat kepandaian
pemuda ini maka Beng Tan bersiap-siap memasang kuda-kuda.
"Tak perlu sungkan lagi. Kita bergebrak siapa yang robek bajunya dia kalah!"
Mindra mendesis. Kakek ini tentu saja maklum akan
kepandaian Beng Tan namun marah karena pemuda itu
dianggap merendahkan dirinya di depan Coa-ongya. Beng Tan tak mencabut senjata
dan tentu saja dia lebih berani, karena pemuda itu akan lebih hebat kalau
mengeluarkan Pek-jit-kiamnya,
Pedang Matahari, pedang yang mengerikan karena tajamnya sama dengan Golok Penghisap Darah, golok maut di tangan Si Golok Maut itu.
Dan ketika si pemuda sudah bersiap dan keempat
kawannnya pun juga sudah menggeram membentak
pemuda itu tiba-tiba kakek ini sudah maju menubruk
dengan pukulan Hwi-seng-ciangnya.
"Bocah, boleh robohkan kami berlima kalau kau
mampu!" "Ha-ha, tentu. Kalau tidak begitu tentu kalian tak akan tunduk, Mindra. Dan
lihat sebelum limapuluh jurus kalian semua akan kurobohkan, tanpa senjata!"
Beng Tan bergerak, membiarkan pukulan Hwi-seng-
ciang lewat dan tiba-tiba Hwee-kang atau Pukulan Api
menyembur dari mulut kakek Yalucang. Kakek itu marah
dan menganggap Beng Tan juga sombong, membentak dan
bergeraklah Pukulan Api dari mulutnya, meniup sekaligus menghantam dengan kedua
lengannya pula sementara Hek-mo-ko dan Pek-mo-ko melepas Pek-see-kang dan Hek-
see- kang mereka, hebat dan tentu saja tidak main-main. Tapi ketika Beng Tan
berkelebat dan Hwi-seng-ciang yang
dilancarkan Mindra melewati samping tubuhnya maka
semua pukulan-pukulan itu diterimanya, disambut dengan Pek-lui-ciang yang tiba-
tiba meledak dari kedua lengannya, Pukulan Kilat.
"Dar!" Kelima lawannya terpekik. Mo-ko dan lain-lain terpental dan lima orang kakek itu
kaget bukan main, merasa pukulan mereka tertolak dan Hwee-kang atau Pukulan Api malah membalik menyambar
kakek Yalucang sendiri, menyembur dan mengenai mukanya. Tapi ketika kakek itu bergulingan dan meniup
padam maka api yang berkobar
lenyap dan Beng Tan pun tertawa.
"Ha-ha, gebrak pemanasan, Yalucang. Selanjutnya
kalian harus lebih berhati-hati!"
Beng Tan berkelebat mendahului lawan, tertawa dan
tiba-tiba beterbangan mengelilingi kelima orang itu bagai capung menyambar-
nyambar. Lima kakek itu membentak
dan tentu saja tak mau kalah.
Dan ketika mereka mengerahkan ginkangnya pula dan
ilmu meringankan tubuh ini dipakai untuk menghadapi
Beng Tan yang sudah beterbangan kian cepat maka enam
orang itu tiba-tiba tak nampak ujudnya lagi karena sudah berobah menjadi bayang-
bayang yang luar biasa cepat, jauh lebih cenat daripada kelima kakek itu
sendiri. "Hebat!" Coa-ongya memuji, terkejut tapi tertawa girang,
"Hebat sekali, Beng Tan. Ah, kau benar-Denar luar biasa dan agaknya setanding
dengan Golok Maut!" "Ha-ha," Beng Tan tertawa. "Hamba sudah hapal kepandaian lima orang lawan hamba
ini ong-ya. Tapi kalau mereka mau mencabut senjata tentu kekalahan mereka
lebih cepat." "Masa" Begitukah" Eh cabut senjata kalian, Mindra. Dan lihat berapa jurus anak
muda itu mengalahkan kalian. Aku ingin melihat Pek-jit-kiamnya pula."
"Ha-ha, hamba akan mengalahkan mereka dalam
duapuluh lima jurus, setengah dari yang dijanjikan!"
"Ah, begitukah" Hei, cabut senjata kalian, Mindra. Dan perlihatkan apakah pemuda
ini bermulut sombong atau
tidak!" "Baik!" dan Mindra serta kawan-kawan yang tiba-tiba mencabut senjata dan
menggerakkannya diruangan besar
itu lalu melengking dan marah kepada Beng Tan, hampir bersamaan semuanya
bergerak berbareng dan tongkat atau roda-gergaji bersiut hebat, menderu dan
nenggala serta cambuk juga mengeluarkan sinar bercahaya ketika
menjeletar dan menusuk kuat. Dan ketika kelima kakek itu berseru mengeroyok Beng
Tan maka Beng Tan tiba-tiba
berjungkir balik dan melayang tinggi nyaris menyentuh belandar ruangan.
"Siut-trak-dess!"
Semua senjata menghantam lantai. Beng Tan telah
menyelamatkan dirinya. dengan berjungkir balik itu,
tertawa dan tiba-tiba mencabut Pek-jit-kiamnya ketika melayang turun. Dan karena
lima orang itu sudah menggerakkan senjata masing-masing dan belum sempat
menarik diri ketika Beng Tan menggerakkan Pek-jit-
kiamnya maka Pedang Matahari itu menusuk ganas ketika ganti menyambar mereka.
"Awas!" Mindra dan kawan-kawan terkejut. Mereka terpaksa
melempar kepala kebelakang ketika Pek-jit-kiam menyambar, masih juga tersontek dan robeklah kelima baju kakek-kakek itu. Dan
ketika mereka berseru tertahan dan Coa-ongya berteriak kagum maka Beng Tan sudah
berdiri lagi di tanah menerima bentakan dan serangan lawan, yang sudah maju dan
marah kepada pemuda itu! "Ha-ha, hebat, Beng Tan. Aih, ini agaknya ilmu silat pedangmu itu. Wah, luar
biasa. Hebat dan mengagumkan!"
dan ketika Coa-ongya bertepuk tangan dan memuji
berulang-ulang maka hitungan demi hitungan sudah mulai dilakukan Beng Tan.
Pedang Matahari sudah bergerak naik turun menahan
dan menyambar senjata kelima lawannya itu, kian lama
kian cepat saja hingga pedang bersinar putih itu sudah tak dapat diikuti mata
lagi. Dan ketika pertandingan sudah berjalan cepat limabelas jurus banyaknya dan
kakek Yalucang membentak menggerakkan roda-gergajinya maka
untuk pertama kali Pek-jit-kiam membentur senjata lawan.
"Crak!" Roda-gergaji putus. Kakek tinggi besar itu berteriak kaget karena demikian
mudahnya pedang di tangan si pemuda
membacok senjatanya, seolah membacok agar-agar! Dan
ketika kakek itu bergulingan melempar tubuh dan tongkat Mo-ko kakak beradik juga
menyambar pemuda ini maka
Beng Tan juga menyambut dan membabat dari samping.
"Crak-crak!" Semuanya putus! Mo-ko menjerit dart bergulingan
seperti kakek tinggi besar itu pula ketika pedang masih menyambar, menukik dan
menuju dada mereka. Tapi ketika mereka masih terlambat juga dan pedang menggores ke bawah maka leher Mo-
ko kakak beradik tergurat
panjang. "Bret!" Dua iblis itu pucat. Coa-ongya bersorak kagum dan tak habis-habisnya memuji.
Beng Tan. Sekarang dia benar-benar melihat kepandaian pemuda ini yang sangat
luar biasa. Dan ketika gebrakan itu sudah berjalan duapuluh tiga
jurus dan tinggal dua jurus lagi untuk merobohkan dua kakek terakhir maka Mindra
dan Sudra sudah mengeluh melihat Pek-jit-kiam mengurung diri mereka, tak dapat keluar!
-oo0dw0oo- Jilid-XXIII "CRAK-CRAK!" Habislah harapan dua kakek ini. Mereka terpaksa
menangkis karena pedang menuju tenggorokan, tak dapat dikelit atau dielak karena
gerakan pedang sedemikian
cepatnya, menyambar dan tahu- tahu su-dah serambut saja di kulit leher. Dan ke-
tika mereka menangkis dan nenggala mau-pun cambuk tentu saja bukan tandingan
Pek-jit-kiam yang luar biasa maka dua senjata di tangan kakek lihai itu putus.
"Ha-ha!" pangeran Coa bersorak. "Kalian kalah, Mindra.
Sekarang Beng Tan benar-benar membuktikan omongannya
dan tepat duapuluh lima jurus kalian menyerah!"
Memang benar. Lima orang kakek itu terpaksa mengakui
kekalahannya dan mereka menunduk lesu. Beng Tan telah mengalahkan mereka dan
kalau pemuda itu bersikap kejam tentu mereka bakal terlu-ka, tidak hanya
tergurat kulit atau pecah berdarah seperti Mo-ko kakak beradik. Dan ketika
seraua raundur dan Coa-ongya melompat menepuk-nepuk
Eieng Tan maka hari itu Beng Tan benar-benar mendapat perhatian istimewa
pangeran ini. nKau hebat, ilmu pedangmu luar biasa. Ah, ingin kulihat kalau kau sudah
bertanding dengan Si Golok Maut itu! Hm, siapa gurumu, Beng Tan" Bolehkah aku
tahu?" "Maaf," Beng Tan tersenyum. "Guruku tak mau disebut guru, ong-ya. Aku hanya
belajar sedikit-sedikit darinya.
Aku tak mempunyai guru dalam arti mewarisi semua
kepandaiannya." "Ah, dan itu saja sudah membuatnmu sedemikian lihai"
Wah, kalau begitu orang yang mengajarimu itu hebat luar biasa, Beng Tan.
Pantasnya dewa dan bukan manusia!"
"Memang, dia kuanggap dewa. Tapi, ah.... sudahlah.
Guruku itu tak suka memperkenalkan diri dan sekarang apa yang harus kulakukan,
ong-ya. Kapan aku berangkat dan kapan pula kelima orang ini ikut denganku!"
"Ah, ha-ha! Jangan tergesa-gesa. Malam ini biar kau beristirahat semalam dan
besok baru berangkat!"
"Tapi sri baginda..."
"Tak usah takut. Aku yang menjamin! Betapapun kelima orangku ini harus bersiap-
siap kalau ingin mengikutimu.
Sudahlah, kita bersenang-senang dulu, Beng Tan. Dan
sungguh beruntung kau mendapatkan Pek-jit-kiam itu. Hm, aku iri!" Coa-ongya tak
segan-segan memandang belakang punggung Beng Tan, benar-benar iri akan pedang
hebat yang dibawa pemuda itu. Beng Tan tersenyum saja dan
dijamulah pemuda itu oleh hidangan-hidangan lezat yang disuguhkan tuan rumah.
Dan ketika malam itu dia diminta menginap di gedung pangeran ini dan Beng Tan
ragu untuk menolak maka sang pangeran sudah memandang Swi Cu,
yang sejak tadi diam dan hanya mengikuti pembicaraan
kekasihnya. "Dan kau," pangeran ini tersenyum berkata. "Kau boleh tinggal di kamar belakang,
nona. Ada sebuah kamar khusus untuk wanita disana. Beng Tan biar disamping
gedung, dan kau disana."
Swi Cu tertegun. Sebenarnya dia tak ingin jauh-jauh dari Beng Tan. Semalam dia
selalu berdekatan dengan pemuda itu, kamar bersebelahan, dapat bercakap-cakap
dan mudah bertemu muka kalau ingin bicara. Maka begitu Coa-ongya berkata dan
tentu saja dia tak sanggup menolak, karena malu baginya kalau minta kamar yang
dekat dengan Beng Tan maka disana Beng Tan juga agak sedikit gugup
mendengar penawaran itu. Namun, mau apalagi" Maka
ketika malam itu mereka beristirahat dan Swi Cu diam-
diam mengumpat pangeran ini karena memisah mereka
dengan kamar yang berjauhan maka sebelum tidur gadis ini melepas
kemendongkolannya. "Sialan Coa-ongya itu. Kenapa dia memberiku kamar yang jauh" Uh, sudah tahu aku
kekasihmu masih saja dia mengatur kamar yang terlalu jauh. Kalau aku tak malu
tentu sudah kuminta kamar yang lain, yang dekat
denganmu!"- "Sudahlah," Beng Tan tersenyum, menarik napas dalam.
"Aku juga tak enak menawar yang lain, Cu-moi. Tapi tak apa ah, toh kita tetap


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disatu gedung yang sama."
"Benar, tapi aku dibelakang, koko. Jauh darimu. Kalau ada apa-apa tentu kau tak
segera tahu!" "Ah, ada apa bagaimana" Kita di tempat aman, Cu-moi.
Tak akan ada apa-apa, Sudahlah, kau tidur dan kita
beristirahat, besok aku harus berangkat!"
Swi Cu mengomel. Beng Tan telah menutup pintu
kamarnya karena tadi pemuda itu mengantar, pergi dan
sekarang sudah kembali ke kamarnya sendiri. Dan ketika malam
itu Swi Cu membanting kesal di atas pembaringannya yang empuk maka malam berjalan
merayap dan gadis inipun akhirnya tertidur.
-0de0wi0- "Hei, augh.... uph!"
Swi Cu kaget bukan main. Malam itu dia terlelap pulas ketika tiba-tiba lampu
kamarnya padam. Gadis ini terkejut dan gerakan refleksnya sebagai gadis kang-ouw
timbul, bangkit dan tiba-tiba dia membuka mata ketika lampu
kamarnya itu padam. Kesiur angin di jendela yang tiba-tiba terbuka lebar membuat
gadis ini tersentak, bangun dan mau melompat turun tapi bayangan itu, yang
tampak hitam dan tidak jelas tiba-tiba sudah menyambar, menubruk dan
mendekap tubuhnya di atas pembaringan. Dan ketika Swi Cu kaget dan tentu saja
tersentak maka bayangan itu sudah menciuminya dan tubuhnya digerayangi dari
bawah sampai ke atas. "Kurang ajar. Aeh, lepaskan... uph!" Swi Cu meronta-ronta, membentak dan
menjerit tapi suara yang keluar
hanya ap-up saja. Dia tak dapat berteriak keras-keras karena tubuh dan mulutnya
ditutup. Kumis yang kasar dan mata yang berkilat bagai binatang yang sedang
berahi menutup tubuhnya erat-erat, mencium dan mulutnya hampir tertutup oleh
mulut lawan. Dan ketika Swi Cu kaget dan tentu saja meronta-ronta, marah dan
Pendekar Pedang Akhirat 2 Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Keris Pusaka Nogopasung 3
^