Pencarian

Golok Maut 12

Golok Maut Karya Batara Bagian 12


dan dibawa berkelebat meninggalkan gedung, pergi ke lain tempat dan di tempat
baru itu pun mereka menemui
penguasa-penguasa setempat. Celaka sekali pembesar-
pembesar yang didatangi dua muda-mudi ini, karena
Siluman Kucing selalu mencari gadis-gadis cantik atau pemuda-pemuda tampan untuk
berganti-ganti pasangan dengan Ci Fang. Dan karena pemuda ini semakin bejat dan bobrok akhlaknya
berkumpul dengan Siluman Kucing
akhirnya kekejian mulai diperlihatkan wanita ini. Yakni setiap kali selesai
mulailah dia menggigit bagian leher korbannya, menghisap dan menyedot darah
korban untuk menyempurnakan ilmu Hek-tok-hiat (Darah Racun Hitam)
yang sedang dilatih. Dan ketika semua korbannya roboh dan tewas dan Ci Fang
akhirnya tahu maka pemuda ini
terbelalak dan terkejut bukan main.
"Kau.... apa yang kaulakukan itu, Eng Hwa" Kau
menyedot dan menghisap darah manusia hidup?"
"Hi-hik, aku sedang menyempurnakan ilmu yang kulatih, Ci Fang. Dengan darah
segar begini maka aku akan
semakin lihai." "Ilmu apa yang kau latih?"
"Hek-tok-hiat! Lihat, darah semburanku masih berwarna merah... crot!" dan ketika
wanita itu menyemburkan darah hidup dan pohon di depannya hancur berlubang maka
Ci Fang terkejut dan mundur dengan muka pucat.
"Kau..., ah, itu ilmu iblis! Eng Hwa, bagaimana kau dapat melatih ilmu macam
itu" Dari mana kau mendapatkannya?" "Hi-hik, kudapatkan dari guruku sendiri, Ci Fang. Tapi belum sempurna dan kini
ingin kusempurnakan. Kenapa"
Kau takut?" "Tidak," pemuda ini merasa gentar. "Aku tidak takut, Eng Hwa, melainkan ngeri.
Hek-tok-hiatmu itu luar biasa sekali hingga sekali semprot pohon pun hancur!"
"Hi-hik, belum seberapa, Ci Fang. Kalau darah yang kusemprotkan sudah berwarna
hitam maka selain hancur pohon itu juga keracunan. Mulai dari akar sampai pucuk daunnya yang paling muda
akan menjadi hitam hangus!"
"Begitu hebat?"
"Ya, begitu hebat. Namun aku belum mencapai tingkat itu!" dan ketika wanita ini
terkekeh dan menendang mayat Song-kongcu, putera Song-taijin maka wanita itu
bergerak dan tiba-tiba mencengkeram bahu Ci Fang.
"Kau," katanya bersinar-sinar. "Kau tak takut kepadaku, Ci Fang" Kau tak takut
kubunuh?" "Ha-ha!" Ci Fang tiba-tiba tertawa bergelak. "Kalau aku takut padamu maka sudah
dulu-dulu aku menyingkir, Eng Hwa. Kau keliru. Aku tidak takut padamu atau siapa
pun. Bahkan Golok Maut pun tidak pernah kutakuti!" dan ketika pemuda itu balas
mencengkeram dan menepis lengan orang maka Siluman Kucing Li Eng Hwa ini merasa
kagum. "Hi-hik," wanita itu melepaskan tangannya. "Keberanianmu inilah yang tidak dipunyai sembarang pemuda, Ci Fang. Kalau saja
kau penakut atau kurang pemberani tentu sudah dulu-dulu kau menjadi korban ilmu Hek-tok-hiat!
Tapi tidak. Kau pemberani, kau mengagumkan. Dan karena itu kau membuat aku suka, hi-
hik!" dan ketika Ci Fang mundur dan tersenyum
mengangguk-angguk maka pemuda ini berkata,
"Dan kalau kau bukan wanita yang lihai bermain cinta barangkali aku juga tak
akan begini tergila-gila padamu, Eng Hwa. Kau hebat luar dalam. Kau wanita yang
baru pertama kali ini kutemukan. Ah, aku tak takut kau bunuh untuk
menyempurnakan ilmumu itu, karena kau menyimpan sesuatu maksud yang belum kau katakan!"
"Apa?" "Ha-ha, sebulan galang-gulung denganmu akhirnya aku menangkap sesuatu yang kau
sembunyikan, Eng Hwa. Aku
tahu bahwa kau memerlukan diriku untuk sesuatu yang
bersifat rahasia. Kau tak mungkin membunuhku!"
Wanita ini terbelalak. "Kau... dari mana dapat
menyimpulkan itu" Kau yakin?"
"Ha-ha, aku bukan anak kecil, Eng Hwa. Aku tahu, tapi aku pura-pura tak tahu!
Nah, katakan saja apa yang kau perlukan itu dan jangan khawatir aku pasti
menolongmu. Kau kekasihku!" dan ketika Ci Fang memeluk dan
mencium wanita itu, tertawa, maka Siluman Kucing ini
tertegun tapi akhirnya terkekeh, mengangguk dan balas mencium pemuda itu, bahkan
menggigit. Dan ketika Ci Fang berteriak dan memaki temannya maka Eng Hwa
berkata, kagum, "Ci Fang, kau benar-benar seperti ayahmu, cerdik dan pintar. Eh, haruskah aku
berterus terang saja" Apakah kau tidak marah?"
"Hm, ini menandakan seriusnya rahasia itu. Eh, kenapa aku harus marah, Eng Hwa"
Kalau kau terus terang dan
jujur padaku maka tentu saja tak perlu aku marah. Katakan saja dan coba apakah
aku dapat menolongmu!"
"Kau dapat menolongku, dan kaulah satu-satunya orang yang dapat menolongku!"
"Hm, jangan buru-buru, Eng Hwa. Aku belum tahu itu tapi nadamu semakin serius
saja!" "Benar, aku sekarang tak perlu berahasia lagi, Ci Fang.
Kartu ini harus kubuka!" dan ketika pemuda itu terkejut dan mengerutkan
keningnya maka Siluman Kucing itu bicara
sungguh-sungguh, berdebar namun berhati-hati.
"Ini berhubungan dengan pamanmu, pangeran she Coa itu. Rahasia yang selama ini
terpendam dan hanya diketahui Si Golok Maut!"
"Pamanku" Golok Maut?"
"Benar, pamanmu dan Golok Maut erat hubungannya, Ci Fang. Dan kuduga ayahmu
sebenarnya tahu!" "Soal apa?" "Kau mau menyimpan rahasia?"
"Ah, aku dan kau bukan orang lain lagi, Eng Hwa. Kau dan aku satu. Katakan saja
apa itu dan aku menjamin tak mungkin bocor!"
"Baiklah. Begini, Ci Fang. Pamanmu itu, Coa-ongya, memiliki simpanan ilmu silat
yang dipunyai pula oleh Si Golok Maut. Secara diam-diam dan amat hati-hati
pamanmu itu melatih Giam-to-hoat (Silat Golok Maut).
Tapi karena dia belum seluruhnya mahir dan mungkin
setengah atau lebih ilmu yang dikuasainya itu maka dia tak pernah
mengeluarkannya karena dirasa masih tanggung!"
"Pamanku" Bisa ilmu silat" Ha-ha, kau lucu, Eng Hwa.
Kau ngawur! Pamanku itu tak bisa apa-apa, dia lemah dan
seperti aku. Kalau umpamanya dia pandai silat maka tak perlu kiranya segala
macam pengawal dan pelindung
istananya itu!" "Tidak, kau salah, Ci Fang. Dan inilah yang tak
diketahui orang luar. Lihat, betapa lihainya pamanmu
menyembunyikan rahasianya itu. Sebab, kalau orang tahu dan dia sudah memiliki
ilmu setingkat dengan yang dimiliki Si Golok Maut itu maka pamanmu adalah orang
berbahaya dan agaknya paling lihai di dunia!"
"Tapi ada Beng Tan di situ, pemuda ini juga lihai!"
"Ya-ya, maksudku selain pemuda itu dan Golok Maut sendiri pamanmu adalah orang
yang amat berbahaya, Ci Fang. Sayang dia belum dapat menyempurnakan ilmunya
itu karena Golok Maut keburu hilang!"
"Eh, bagaimana ini" Dari mana kau tahu semuanya itu?"
"Hm, aku tahu tak usah kau tanya, Ci Fang. Pokoknya Golok Maut itu pernah ditipu
pamanmu dan diambil ilmunya. Tapi karena Golok Maut keburu lenyap sebelum dibunuh maka pamanmu gagal
setengah jalan dan kini Golok Maut datang untuk membalas perbuatan pamanmu
itu, sekalian merampas ilmunya dengan membunuh
pamanmu itu!" "Hm, kau agaknya tahu banyak," Ci Fang tiba-tiba memandang tajam. "Kau tahu
segala hal tentang Golok Maut dan pamanku, Eng Hwa. Kalau begitu coba ceritakan
kenapa Si Golok Maut itu ingin membunuh-bunuhi orang-orang she Coa dan Ci!"
"Karena dia dendam pada paman dan ayahmu itu."
"Untuk soal apa?"
"Penipuan dan penyiksaan yang dilakukan pamanmu.
Dan karena ayahmu ikut-ikut maka ayahmu kena getahnya juga dan menanggung
resiko!" "Tapi ayah tak pernah bicara apa-apa!"
"Itu karena hal ini sudah lewat belasan tahun, Ci Fang.
Tapi begitu Golok Maut muncul dan datang menyatroni
ayah atau pamanmu maka dua orang tuamu ini menjadi
sibuk. Mereka teringat peristiwa belasan tahun yang silam!"
"Ah, aku jadi ingin tahu!"
"Tak perlu di sini. Kau dapat menanyakan hal itu pada ayahmu, Ci Fang. Aku hanya
memberitahumu sekelumit agar kau sadar." "Dan maksudmu tadi, bagaimana aku dapat menolongmu?" "Aku ingin mencuri ilmu yang didapat pamanmu itu!"
"Heh?" "Benar. Aku ingin kau mendekatkan diriku dengan ayah atau pamanmu itu, Ci Fang.
Perkenalkan aku pada mereka dan diam-diam akan kuselidiki hal itu!"
Ci Fang terkejut. "Kau gila!" serunya. "Kau memperalat aku, Eng Hwa. Kalau ayah
atau pamanku tahu maka mereka bisa membunuhku!"
"Tidak, aku tetap melindunglmu, Ci Fang. Dan ada keuntungannya kalau hal ini
berhasil kita lakukan!"
"Apa keuntungannya?"
"Kau mempelajari silat Giam-to-hoat itu. Bersama-sama aku kita berdua akan
menjadi sama-sama lihai, menguasai dunia!"
"Ha-ha!" Ci Fang tertawa bergelak. "Kau berambisi sekali, Eng Hwa. Padahal kau
bilang bahwa Golok Maut dapat kau kalahkan! Eh, mana yang benar" Kau yang
bohong atau ambisimu itu yang kelewat besar?"
Wanita ini terkejut. "Ci Fang," katanya cepat. "Kau tahu bahwa Beng Tan itu
adalah musuh yang setingkat
denganku. Dia sedikit unggul dibanding Golok Maut dan aku maupun dia dapat
mengalahkan Si Golok Maut itu.
Tapi karena kami berimbang dan hanya dengan memiliki
Giam-to-hoat itu aku akan lebih unggul dibanding pemuda itu maka aku ingin
menundukkan si sombong itu dan
menjadi yang terlihai!"
"Eh, jadi kau tak mau kalah?"
"Benar," wanita ini tertawa cerdik. "Kalau aku memiliki Giam-to-hoat maka sama
halnya si Beng Tan itu kukeroyok dua, Ci Fang. Artinya seolah dia menghadapi aku
dan Si Golok Maut. Ilmuku Hek-tok-hiat masih belum sempurna, kau tahu sendiri.
Maka kalau aku dapat mempelajari Giam-to-hoat dan dengan ilmu-ilmu silatku yang
lain aku dapat menggabungkannya maka si Beng Tan itu akan dapat
kukalahkan!" Ci Fang tertegun. Dia tak tahu cerdiknya Siluman
Kucing ini, tahu bahwa dalam soal ilmu silat Ci Fang
termasuk nol besar. Wanita itu dengan lihai dan cepat segera menutupi
kelemahannya dengan menambah dan
mengurangi sana-sini, karena diam-diam dia terkejut bahwa tadi Ci Fang telah
menodongnya dengan pertanyaan tajam.
Yakni kenapa dia yang sudah mengaku dapat mengalahkan Golok Maut masih juga
ingin memiiiki Giam-to-hoat,
belang yang hampir saja terbuka kalau Siluman Kucing ini tidak cerdik bicara.
Maka begitu dia berkata panjang lebar dan Ci Fang pada dasarnya kurang mengenal
baik lika-liku silat maka gampang saja dia dibodohi tapi diam-diam
pemuda ini kurang puas, mulai tumbuh kecurigaannya.
"Baiklah," Ci Fang akhirnya tersenyum juga. "Kalau kau ingin mengalahkan pemuda
baju putih itu untuk menjadi yang terlihai dapat saja aku membawamu ke pamanku,
Eng Hwa. Tapi hati-hati dan jangan sembrono. Pamanku itu
cerdik, dia amat awas dan tajam firasatnya. Sekali kau teledor dan kurang hati-
hati maka maksudmu ini bisa
gagal!" "Aku tahu," siluman itu tertawa. "Aku dapat berhati-hati, Ci Fang. Tak perlu kau
khawatir." "Dan di sana ada beberapa pembantu paman yang lihai.
Barangkali kau sudah dengar tentang Pek-mo-ko dan Hek-mo-ko."
"Hi-hik, aku tahu, Ci Fang. Mereka dapat kuatasi. Tapi berjanjilah kau akan
menolongku sepenuhnya!"
"Eh, kau tak percaya?"
"Bukan begitu. Hanya kuminta kau diam saja melihat kelakuanku nanti, Ci Fang.
Jangan cemburu atau marah
misalnya jika aku mengambil hati pamanmu!"
"Hm," pemuda ini berkerut kening. "Kau mau bercinta-cintaan dengan pamanku itu"
Kau suka pada orang-orang tua?"
"Hi-hik, belum apa-apa sudah cemburu!" Siluman Kucing itu terkekeh. "Memangnya
kenapa kalau aku berbuat begitu, Ci Fang" Bukankah kita sudah saling
menyaksikan kalau yang lain berganti pasangan?"
"Benar, tapi ini lain, Eng Hwa. Dia itu pamanku, keluargaku. Terus terang aku
tak rela kalau kau melayani pamanku!"
"Hi-hik, aku tak akan melayani pamanmu. Aku hanya menggoda dan jinak-jinak
merpati saja. Percayalah, aku dapat menjaga diri kalau kau tak suka, Ci Fang.
Kita berdua nanti menjadi lihai kalau silat Golok Maut yang diambil pamanmu itu dapat
kupelajari!" "Dan kau jangan melanggar laranganku ini," Ci Fang berpesan sungguh-sungguh.
"Kau tak boleh melayani pamanku, Eng Hwa. Atau aku bakal membongkar
maksudmu dan kita berdua sama-sama celaka!"
"Ih, tak usah begitu!" dart ketika Siluman Kucing ini mencium Ci Fang yang
merajuk maka segera pemuda itu
lega dan balas menyambut kekasihnya, akhirnya tertawa dan bergulinglah keduanya
di rumput yang hangat. Ci Fang sudah dapat mengendalikan dirinya lagi dan
keduanya tak perduli pada sesosok tubuh yang membujur kaku, tubuh
dari Song-kongcu yang dihisap darahnya oleh Siluman
Kucing ini! Dan ketika keduanya bergulingan tertawa-tawa dan sebentar saja tak


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada sisa pakaian yang melekat di tubuh maka keduanya sudah terbang ke sorga
menghamba nafsu berahi! ooooo0de0wi0ooooo "Eh, siapa ini, Ci Fang" Kau pulang?" begitu pertanyaan pertama kali yang
dilancarkan Ci-ongya kepada puteranya ketika melihat pemuda itu membawa
kekasihnya, datang dengan wajah berseri-seri dan sang ayah tertegun. Siluman Kucing Li Eng Hwa yang
datang bersama puteranya tampak juga berseri-seri, wajah yang cantik itu memerah dan langkah kaki yang
ringan serta gerak-gerik yang cekatan dari seorang ahli silat segera ditangkap
pangeran ini. Ci-ongya memandang puteranya dan Ci Fang pun tertawa.
Dan ketika Siluman Kucing sudah memberi hormat namun
kerling mata menyambar tajam maka Ci-ongya berdebar
menekan perasaannya yang agak terguncang, maklumlah,
kerling yang diberikan gadis di samping puteranya itu bukanlah kerling sembarang
kerling, sebuah kerling maut yang cukup matang dan jelas dipunyai oleh seorang
wanita yang matang pula, yang segera dapat ditangkap pangeran itu karena Ci-
ongya adalah seorang laki-laki yang penuh pengalaman pula!
"Maaf, ini kekasihku, ayah. Eng Hwa, Li Eng Hwa.
Calon isteriku!" "Hm, dari Hek-yan-pang?"
"Ah, bukan!" Ci Fang tertawa lebar. "Eng Hwa adalah gadis kang-ouw yang
kutemukan secara kebetulan, ayah.
Kami bertemu di tengah jalan justeru di saat aku harus meninggalkan Hek-yan-
pang!" "Hm, coba ceritakan itu. Mari duduk!" dan Ci-ongya yang tak henti-hentinya
mengamati atau melirik Eng Hwa segera merasa yakin bahwa gadis yang dibawa
puteranya ini bukan seorang gadis biasa, sikap dan senyumnya itu
semakin menjadi dan ada kesan genit yang mulai menonjol.
Sebagai seorang laki-laki yang hampir tiap hari berganti-ganti wanita tentu saja
pangeran ini tertarik. Ci-ongya menangkap sesuatu yang menantang dari wanita
itu, karena Siluman Kucing diam-diam memberikan semacam isyarat
padanya, senyum yang menawan atau anggukan yang
penuh arti. Dan ketika semuanya duduk dan Ci Fang mulai bercerita maka pemuda
itu menjelaskan, "Aku terpaksa kabur. Hek-yan-pang bukan perkumpulan yang
enak kutinggaii. Mereka wanita-wanita yang sombong, ayah. Dan aku sebenarnya sudah lama ingin
pergi. Dan ketika kesempatan itu datang karena kebetulan
Goiok Maut mencari ketuanya maka aku dapat meloloskan diri dan kabur."
"Golok Maut" Datang lagi di sana?"
"Hm, ayah sudah mendengar kedatangan Si Golok Maut yang pertama itu?"
"Ya-ya, aku sudah tahu, Ci Fang. Dan Cam-busu yang tewas dibunuh Golok Maut juga
sudah kulihat kepalanya di sini. Aku sudah tahu semua itu!"
"Kalau begitu tak perlu kuceritakan lagi," pemuda ini mengerutkan kening. "Kau
ternyata diam-diam saja membiarkan aku, yah. Kau agaknya ingin aku terbunuh!"
"Ah!" sang ayah terkejut. "Jangan bicara seperti itu, Ci Fang. Tak ada seorang
ayah yang ingin membiarkan
puteranya terbunuh, kecuali ayah itu gila! Aku tak
mendengar beritamu lagi setelah kau masuk di perkumpulan itu. Aku sudah siap mengirimkan orang untuk mencari beritamu setelah
kau tiba-tiba muncul di sini, mendahului!"
"Hm, ayah masih ingat aku" Sungguh-sungguh?"
"Ci Fang," sang ayah marah. "Aku masih seorang ayah yang normal dan waras.
Kepergianmu pun ke Hek-yan-pang adalah dalam rangka menyelamatkan dirimu dari
tangan Si Golok Maut itu. Kenapa kau bicara begini dan membuat aku malu" Apa
kesan calon isterimu ini kalau hal itu disangkanya benar?"
"Maaf," Siluman Kucing tiba-tiba tersenyum mendahului, memberikan jawabannya yang merdu. "Sejak mula aku sudah tak
mempercayai kata-kata Ci Fang ini, ongya. Dan untuk itu sengaja aku membawanya
pulang. Anak muda memang suka menurutkan kata hatinya sendiri.
Harap ongya maafkan dia karena sesungguhnya aku sendiri tak mempercayai kata-
katanya!" "Nah!" sang pangeran berseri. "Dengar Ci Fang, calon isterimu sendiri demikian
bijak dan penuh pandangan.
Bagaimana kau bisa kalah dan tidak berpikir panjang dulu"
Aku selalu memperhatikanmu, anak baik. Tapi kau yang
kadang-kadang kurang ajar dan tak tahu diri!"
Ci Fang tersenyum. Kata-kata ayahnya yang terakhir
tentu saja ditangkspnya jelas karena mengandung maksud yang lain. Sang ayah
menunjukan kata-katanya itu pada masalah Lan Hong, selir yang cantik itu. Tapi
karena dia sekarang tak tertarik lagi pada Lan Hong karena
penggantinya sudah ada dan jauh lebih hebat daripada selir ayahnya maka pemuda
ini berkata, "Ayah, kekurang-ajaranku yang dulu-dulu tak usah dibicarakan lagi. Eng Hwa sudah
di sisiku, aku tak mungkin kurang ajar lagi karena dia dapat mendidik dan
menyenangkan aku!" Sang ayah mengangguk, cepat mengerti. "Dan sekarang,"
tanyanya. "Apa keperluanmu pulang" Minta segera
dinikahkan?" "Ha-ha!" sang anak tertawa bergelak. "Aku dan Eng Hwa sepakat tak buru-buru
menikah dulu, ayah. Kami menahan diri sampai Si Golok Maut dibunuh. Eng Hwa
hendak melindungiku di sini dan menunggu musuh besar kita itu!"
Ci-ongya terkejut. "Dia dapat mengalahkan Golok
Maut?" "Kau lihat saja, ayah," Ci Fang tertawa sombong.
"Kekasihku ini dapat membunuh Golok Maut dengan
mudah. Tapi kedatangannya di sini terus terang jangan diberitahukan orang lain
dulu. Eng Hwa sudah dikenal Si
Golok Maut. Kalau Golok Maut tahu ia ada di sini tentu laki-laki itu tak mau
datang karena yang ditakuti adalah calon isteriku ini!"
"Hm, kalau begitu hebat!" Ci-ongya bersinar-sinar.
"Dapatkah aku tahu kelihaian kekasihmu ini, Ci Fang"
Bolehkah aku tahu kepandaian calon mantuku sendiri?"
"Tentu saja!" Ci Fang mengangguk tertawa. "Tapi jangan dia diadu dengan para
pengawal atau pembantu paman,
ayah. Eng Hwa tak mau dikenal selama Golok Maut belum dibunuhnya!"
"Kalau begitu bagaimana?" Ci-ongya mengerutkan kening,
terkejut. "Bagaimana aku bisa mengenal kehebatannya kalau tidak disuruh bertanding dengan orang-orang lihai di sini?"
"Ayah tak perlu ragu," sang putera menjamin. "Aku dapat memberikan bukti yang
lain, ayah. Suruh saja sepuluh orang pengawal masuk di sini!"
"Untuk diadu dengan kekasihmu ini?"
"Bukan, melainkan dengan aku. Lihat berapa jurus mereka roboh karena aku
sekarang bukan Ci Fang beberapa bulan yang lalu!"
"Kau?" "Ya, lihat saja, ayah. Aku bertaruh bahwa sepuluh jurus saja para pengawal di
luar gedung itu akan dapat
kurobohkan. Akan kutunjukkan padamu bahwa dua tiga
bulan ini aku sudah beiajar silat dan sanggup merobohkan sepuluh pengawal
sekaligus, tanpa senjata."
Ci-ongya terbelalak. Tiba-tiba dia terkejut karena tentu saja tak percaya.
Puteranya itu adalah pemuda lemah yang beberapa bulan lalu harus diantar atau
diiringi pengawal kalau hendak bepergian. Selama ini tak pernah belajar silat karena memang tak
suka, meskipun pemberani dan
bersemangat besar. Maka begitu puteranya hendak
membuktikan namun dia masih ragu, kurang percaya, tiba-tiba puteranya itu
berkelebat dan sudah menghilang di sana.
"Ha-ha, tak ada bukti tak ada percaya, ayah. Baiklah kau tunggu di sini dan aku
panggil mereka itu!"
Ci-ongya tertegun. Puteranya sudah lenyap di sana
sementara calon mantunya ini tersenyum-senyum, mengambil sumpit dan tiba-tiba menjentikkannya ke atas.
Dan ketika seekor lalat roboh dan mati di situ, dengan badan tertembus sumpit
maka si cantik ini berkata,
"Ongya, sebagai bukti pertama lihat saja lalat yang kubunuh ini. Apakah cecak di
atas itu juga harus kubunuh"
Atau sepasang nyamuk yang sedang bercumbu itu" Hi-hik, maaf, ongya. Kau lihat
ini dan apakah kepandaianku tidak cukup... trik-trik!" sumpit bergerak, langsung
menyambar berputaran dan tahu-tahu seekor cecak dan sepasang
nyamuk runtuh di atas meja, tepat di depan Ci-ongya itu.
Dan ketika sang pangeran terbelalak dan, tentu saja
terkejut, kagum, maka pangeran ini memuji dan saat itu masuklah Ci Fang
berkelebat datang. "Ha-ha, ini mereka, ayah. Lihat berapa orang yang kupanggil!"
Sang ayah menoleh. Ci-ongya baru saja memuji calon
mantunya itu ketika puteranya datang, melihat sepuluh pengawal berlompatan masuk
dan mereka itu memberi hormat dengan berlutut kepadanya. Dan ketika puteranya tertawa-tawa dan menyuruh
sepuluh pengawal bangkit berdiri maka pemuda itu berkata,
"Kalian keroyok aku, cabut senjata dan jangan sungkan-sungkan!"
"Tapi..." "Tak ada tapi. Ayah ingin melihat kepandaianku
sekarang, Liok-busu. Kau berdirilah dan cabut senjatamu serta sembilan temanmu
yang lain ini!" Pengawal itu terbelalak. Dia adalah komandan Liok
yang dipanggil Ci Fang, berikut sembilan anak buahnya di mana katanya dia
disuruh mengeroyok pemuda itu, padahal sepengetahuannya pemuda itu tak pandai
silat. Tapi ketika Ci Fang berkelebat di depannya dan sudah menunjukkan
tanda-tanda yang luar biasa, gerak-gerik sigap seperti layaknya seorang yang
pandai ilmu silat maka Liok-busu ini terbelalak dan tertegun.
"Ayolah," pemuda itu berseru. "Kau mau tunggu apa lagi" Minta kutendang baru
bangkit melawan?" Liok-busu akhirnya sadar. "Baiklah," katanya agak terbata. "Kau sendiri yang
minta, kongcu. Tapi minta perkenan ayahmu agar kami tak disalahkan!"
"Ha-ha, justeru aku yang minta semuanya ini, Liok-busu.
Aku ingin menunjukkan kepada ayah bahwa kalian semua
akan kurobohkan sepuluh jurus. Ayolah, cabut senjata dan kita mulai!"
Ci Fang bergerak, menampar mereka satu per satu dan
terpelantinglah orang-orang itu ketika pemuda ini bergerak.
Dan ketika tamparan itu terasa panas dan orang-orang ini terkejut karena Ci-
kongcu yang biasa dikenal lemah dan tidak berkepandaian itu mendadak sekarang
sudah berobah seperti harimau muda yang penuh tenaga maka mereka pun bangkit dan
sudah mencabut senjata masing-masing, ada tombak ada golok.
"Kalian mulai," Ci Fang berseru. "Lihat berapa jurus kalian roboh, tikus-tikus
pandir. Hayo serang aku dan jangan ragu!"
Liok-busu membentak mendahului. Dia sudah mendapat
kedipan dari Ci-ongya agar menguji puteranya itu, berseru keras dan sudah
mendahului menyerang. Lalu karena
komandan ini sudah bergerak memberi aba-aba dan anak
buahnya tentu saja berani maka sembilan yang lain bergerak maju dan sudah
membantu pimpinannya. "Ha-ha, bagus. Lihat ini... siut-plak-plak!" dan ketika Ci Fang mengelak dan
mulai menangkis atau menampar,
mengeluarkan kepandaiannya yang didapat dari Eng Hwa
tiba-tiba pemuda itu sudah berkelebatan di antara pengawal, membagi-bagi
tendangan dan pukulan dan pengawal pun
terkejut. Mereka memekik ketika pemuda itu tiba-tiba
lenyap, menghitung jurus demi jurus hingga Liok-busu pun terkesiap. Dan ketika
pada hitungan jurus ke lima pengawal pun roboh berpelantingan maka lima pengawal
sudah terbanting tak berkutik oleh pukulan atau tendangan
pemuda ini. "Ha-ha, lihat, ayah. Kalau sepuluh jurus mereka semua roboh maka berarti setiap
jurus untuk satu orang!"
Ci-ongya ternganga. Ci Fang puteranya ternyata benar-
benar membuat kejutan. Anaknya itu berseliweran naik
turun menyambar-nyambar. Tubuhnya tak dapat disentuh
dan tujuh orang sekarang roboh, semua mengaduh atau
menjerit karena tulang sendi mereka terlepas. Ci Fang melakukan pukulan atau
tendangan yang agak keras. Dan ketika orang kedelapan atau kesembilan roboh
sambil berteriak dan Liok-busu pucat mukanya melihat berkelebatnya Ci Fang tiba-tiba pemuda itu berseru,
"Dan kau, hati-hati senjatamu, Liok-busu. Awas
kupatahkan senjatamu itu dan siaplah menggelinding kalau tak ingin mampus....
pletak-aduh!" Liok-busu berteriak, bear-benar terlempar dan patah senjatanya
ketika Ci Fang menyambar, menekuk senjata busu itu hingga tak dapat
ditahan lagi dan sebuah tendangan membuat busu ini
menjerit, roboh dan terguling-guling di sana. Dan ketika busu itu mengeluh dan
coba melompat bangun namun
roboh lagi, lututnya terkillr maka Ci Fang tertawa
melempar sisa tombak yang patah sambil berseru,
"Nah, sepuluh jurus tepat, ayah. Lihat kelihaian puteramu sekarang setelah
belajar dari Eng Hwa!" .
"Aih, hebat. Mengagumkan!" sang ayah tiba-tiba bangkit berdiri, takjub dan
bertepuk tangan. "Kau sekarang benar-benar hebat dan luar biasa, Ci Fang. Aku
percaya padamu dan tak perlu bukti lagi .... ha-ha!" sang ayah menubruk
puteranya, girang dan bangga karena Ci Fang yang dulu lemah dan tidak bisa apa-
apa ternyata sekarang dapat
merobohkan sepuluh pengawal demikian mudah. Meskipun
pengawal itu bukanlah orang-orang kelas satu namun bukti ini sudah cukup membuat
pangerah Ci girang. Dan ketika Liok-busu dan kawan-kawannya disuruh keluar dan
mereka rata-rata merintih karena tangan atau kaki mereka tertekuk uratnya maka
Ci Fang membungkuk dan menekuk paah
sebuah golok lagi yang tertinggal pemiliknya.
"Dan ini bukti kekuatanku sekarang, ayah. Aku memiliki tenaga dalam yang dapat
melipat segala macam senjata


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam seperti lempung... krak-pletak!" golok dilempar keluar, semakin membuat
sang ayah kagum dan Eng Hwa
di Sana bersinar-sinar. Apa yang telah ditunjukkan Ci Fang cukup sebagai bukti
bagi Ci-ongya. Dan Ketika pangeran itu mengangguk-angguk dan girang luar biasa
maka pangeran ini berseru, "Aku sekarang percaya, Ci Fang. Dan aku tak
menguatirkan dirimu lagi di hadapan Golok Maut. Aih, kau sekarang lihai dan
calon mantuku pun lebih lihai lagi. Ha-ha, pamanmu tentu senang!"
"Sst, jangan memberi tahu paman," Ci Fang tiba-tiba berbisik. "Rahasiakan
semuanya ini dari siapapun, ayah.
Aku dan Eng Hwa tak ingin dikenal lebih dulu. Biarkan aku seperti biasa dan
jangan bicara macam-macam!"
"Tapi Liok-busu tadi..."
"Sudah kuberi tahu untuk diam dan tutup mulut. Siapa berani membocorkan dia akan
kubunuh!" "Eh, kau sekarang dapat bersikap ganas?" sang ayah terkejut. "Kau berani
membunuh orang?" "Ha-ha, bukan hanya membunuh, ayah. Mencincang
pun kalau mereka macam-macam aku dapat melakukannya. Sudahlah, kau pun dapat kubunuh kalau
tidak menuruti kata-kataku ini. Aku dan Eng Hwa tak ingin dikenal orang. Kami
ingin menyembunyikan diri di sini menunggu Golok Maut. Kau jangan bertingkah
atau aku tak akan menghormatimu sebagai orang tua!"
"Ci Fang...!" sang ayah melotot. "Kau .... kau mengancam
ayahmu" Kau... kau berani mau membunuhku?" "Ha-ha, membunuh manusia sama halnya membunuh
semut bagiku, ayah. Kalau kau tak turut nasihatku ini dan macam-macam tentu aku
tak segan-segan menghabisi
nyawamu. Sudahlah, kau diam saja dan siapkan makan
minum yang enak bagi kami berdua!"
-ooo0dw0ooo- Jilid : XX CI-ONGYA rerkejut. Dia tiba-tiba melihat puteranya
yang jauh berobah ini, kejam lagi ganas. Tapi karena
puteranya sudah menunjukkan kepandaian yang tinggi dan tak baik untuk ribut-
ribut di situ maka pangeran ini
melangkah lebar menyuruh pelayan atau pembantu wanita mengeluarkan makan minum.
Ci Fang telah meminta untuk dilayani yang enak-enak, segala makanan dan minuman
dikeluarkan di situ. Dan ketika dua orang itu makan minum dan sang ayah menonton
dari jauh maka hari-hari berikut dilalui puteranya ini dengan kekasihnya yang
cantik. Ci-ongya heran. Sebenarnya dia marah oleh sikap
puteranya yang kini kurang ajar, tak menghargai orang tua.
Tapi karena gadis di sebelah puteranya itu amat lihai dan jelas menguasai
puteranya, terlihat dari gerak-gerik dan sikap puteranya maka pangeran ini
menahan diri untuk marah-marah. Dia ingin memberi tahu kakaknya tapi ditahan.
Ancaman atau kata-kata puteranya bahwa Eng Hwa tak
ingin dikenal di situ membuat pangeran ini bingung. Ada apa dengan itu" Kenapa
puteranya akan membunuhnya
kalau dia melapor" Ah, sebagai orang tua dia menaruh
curiga. Pasti ada apa-apa yang tak beres. Dan ketika
pangeran ini maju mundur untuk menemui kakaknya
mendadak suatu malam puteranya itu datang ke kamarnya.
"Aku ingin bicara sebentar, mengetahui sedikit
keterangan." "Hm, apa yang ingin kau ketahui?" sang ayah terbelalak, memandang tajam. "Kau
akhir-akhir ini aneh, Ci Fang.
Sepak terjang dan tindak-tandukmu luar biasa!"
"Ha-ha, ayah boleh bicara apa saja, tapi aku ingin mengetahui tentang sesuatu
hal. Dapatkah ayah bersikap jujur?"
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Tentang Golok Maut, rahasia ayah dengannya!"
"Ci Fang...!" sang ayah terpekik, berseru tertahan. "Kau ada apa bertanya-tanya
tentang ini" Bukankah kau sudah tahu bahwa Golok Maut adalah manusia keparat
yang ingin membunuh ayahmu?"
"Justeru itulah," sang anak tersenyum, menarik sebuah kursi dan duduk. "Aku
mendengar bahwa ada sebab-sebab tersembunyi yang membuat Golok Maut benci
padamu, ayah. Begitu pula terhadap paman Coa. Kudengar kau dan paman pernah bersekongkol untuk mempermainkan
Golok Maut dan encinya, belasan tahun yang lalu!"
"Dari mana kau tahu?" sang ayah kaget, tersentak meloncat bangun. "Kau...
kau.... dari mana kau tahu ini, Fang-ji" Siapa yang memberitahumu?"
"Ha-ha, siapa yang memberitahuku tak usah kau tahu, ayah. Tapi kelanjutan cerita
ini ingin kuketahui!"
Ci-ongya gemetar, menggigil. "Ci Fang ... kau... kau sekarang aneh. Luar biasa
dan mengejutkan. Hm, tentu ini semua berkat pergaulanmu dengan kekasihmu itu.
Siapa sebenarnya dia, Ci Fang" Tidak bolehkah ayahmu sendiri tahu?"
"Hm, ayah tahu juga tak ada gunanya. Dia gadis hebat, calon menantumu sendiri.
Kalau kau masih bertanya lagi maka aneh rasanya bagaimana aku harus menjawab!"
"Bukan... bukan begitu. Maksudku siapakah dia itu dan apakah kawan atau lawan!"
"Ah, ayah aneh. Kalau lawan bukankah aku tak bakal membawanya ke sini" Dan ilmu
silat yang kudapat justeru dari dia, ayah. Eng Hwa adalah kawan bukan lawan!"
"Tapi aku curiga, dia bukan gadis baik-baik....ngek!" Ci-ongya menghentikan
kata-katanya, dicekik sang anak dan Ci Fang marah mendengar kata-kata ayahnya
tadi. Dan ketika sang ayah terkejut dan melotot tak dapat bernapas maka pemuda ini
mendorong dan melempar ayahnya ke
kursi panjang. "Ayah harap menahan mulut, atau aku akan membunuhmu!" "Beb... beb... bedebah!" sang ayah berteriak mengepal tinju. "Kau... kau anak
durhaka, Ci Fang. Kau bocah keparat!"
"Hm, kau masih ingin memaki-makiku lagi" Kau ingin membuktikan ancamanku?"
Ci-ongya menggigil. Dia pucat melihat Ci Fang tiba-tiba mencabut pisau, tajam
dan mengkilat dan kini pisau itu dilekatkannya di leher. Sekali usap tentu
lehernya terkuak. Ah, ngeri pangeran ini! Dan ketika dia tergagap-gagap mengeluarkan keringat
dingin dan mendorong pisau itu, yang seakan sudah membeset kulit lehernya maka
laki-laki tua ini gemetar,
"Ci Fang, jangan... jangan lakukan itu. Durhaka!
Seorang anak tak boleh membunuh ayahnya sendiri! Ah,
simpan pisau itu. Fang Fang. Jangan takut-takuti ayahmu dengan senjata tajam!"
"Hm, aku memang tak akan membunuhmu. Tapi
kuminta kau bicara jujur!"
"Bab... baik! Ap... apa yang ingin kau tanyakan" Tentang Golok Maut itu?"
"Benar, permusuhanmu dengannya, ayah. Dan kenapa dia mengejar-ngejar kau!"
"Ini... ini gara-gara pamanmu. Dia yang bersalah!"
"Hm, bagaimana itu" Kau dapat menjelaskan?"
"Aku... aku dapat menjelaskan. Fang Fang. Tapi
ceritakan dulu untuk apa kau ingin mengetahiui semuanya ini!"
"Aku ingin bukti, sedang mencari data!"
"Untuk siapa?" "Untuk diriku sendiri."
"Ah, aku tak percaya. Fang Fang. Kau pasti disuruh kekasihmu itu!"
"Srat!" pisau itu tiba-tiba muncul kembali. "Aku tak ingin kau mencurigai Eng
Hwa berlebih-lebihan, ayah. Kalau kau tak turut kata-kataku maka sekali lagi kau
kubunuh!" Ci-ongya pucat. Puteranya ini tiba-tiba seperti iblis, tak kenal ampun dan
kejam, bahkan terhadap orang tua sendiri!
Dan ketika dia mengangguk dan gemetar bercerita, seperti apa yang sudah didengar
pemuda itu dari kekasihnya maka Fang Fang tertawa mengangguk-angguk.
"Cocok, kalau begitu cocok. Terima kasih!" dan Fang Fang yang ngeloyor pergi
menutup pintu kamar ayahnya
akhirnya membuat pangeran ini tertegun, melotot namun menahan diri dan
keesokannya dia terhenyak. Eng Hwa,
gadis yang amat lihai itu mendadak mengetuk pintu
kamarnya pula, masuk dan tiba-tiba duduk tanpa permisi.
Dan ketika pangeran ini tersentak dan kaget maka gadis atau wanita itu
menyilangkan kakinya, hal yang membuat Ci-ongya tersirap karena sepasang paha
yang gempal terpampang sekilas, gempal dan putih, mulus!
"Ongya, maafkan aku. Semalam agaknya Ci Fang ke
sini. Benarkah?" "Kau... kau..." sang pangeran terkejut, masih tersentak oleh paha yang mulus
putih itu. "Kau ada apa datang ke sini" Mau apa?"
"Hm," gadis itu menarik napas, bersinar-sinar. "Aku hanya ingin tanya tentang
maksud kedatangan Ci Fang,
ongya. Apakah benar bertanya tentang permusuhanmu
dengan Si Golok Maut."
"Benar, dan kau..." pangeran ini menelan ludah, berdebur karena lagi-lagi Eng
Hwa menyilangkan kakinya, tanpa malu-malu, mengangkang begitu saja! "Kau ada apa
bertanya tentang ini, nona" Apa hubungannya dengan
kita?" "Hi-hik, hubungannya banyak, ongya. Antara lain demi menjaga keselamatan-mu. Dua
tiga minggu ini Golok Maut akan datang, dan aku akan menangkapnya lewat
kakakmu!" "Maksudmu?" "Hm, aku sudah tahu sebab-sebab permusuhan Golok Maut dengan dirirnu dan
kakakmu, ongya. Bahwa kalian
berdua pernah menipu dan menyakiti Si Golok Maut itu.
Kakakmu ingin menguasai Golok Penghisap Darah dan
ilmunya, menangkap dan menawan Si Golok Maut. Tapi
karena pemuda itu dapat lolos dan melarikan diri maka sekarang kalian berdua
diancam pembalasannya yang
mengerikan!" "Kau tahu?" sang pangeran kaget.
"Tenang, aku tahu semuanya, ongya. Dan tak perlu terkejut karena perbuatan
kalian sudah bukan rahasia lagi bagiku. Aku akan menolong kalian, tapi kalian
juga harus menolongku!"
Ci-ongya tertegun. Pangeran ini pucat memandang
lawan, terbelalak dan heran serta kaget. Tapi ketika gadis itu kembali
menyilangkan kaki dan untuk ini pangeran itu berdesir maka Eng Hwa alias Siluman
Kucing Mao-siao Mo-li tertawa berkata, "Aku bukan musuh, aku kawan. Asal ongya percaya
kepadaku dan mau menolong diriku pula maka aku dapat
menolong kalian berdua untuk menangkap dan membunuh
Si Golok Maut itu!" "Apa yang dapat kulakukan?" Ci-ongya mulai kacau, tak keruan oleh kilatan-
kilatan paha mulus itu. "Kau mau apa, nona" Kau minta aku menolongmu bagaimana?"
"Aku ingin kau mengambilkan catatan-catatan kakakmu tentang ilmu silat Ciam-to-
hoat (Silat Golok Maut)!"
"Apa?" sang pangeran terlonjak. "Giam-to-hoat" Kau...
kau ngaco?" "Hm, tak perlu berpura-pura. Kakakmu mempelajari rahasia ilmu itu namun gagal,
ongya. Aku tahu bahwa kakakmu ingin menjadi orang yang terhebat di luar dan di dalam istana. Tapi
sayang dia belum berhasil!"
"Eng Hwa....'" Siluman Kucing tertawa. Sekarang dia bangkit berdiri
dan tiba-tiba menghampiri pintu, siap keluar. Lenggangnya diayun naik turun dan
bergerak-geraklah sepasang pinggul yang bulat membusung itu. Pinggul atau pantat
Siluman Kucing ini memang hebat, kalau diayun-ayun maka jakun lelaki pun bisa
naik turun, seolah terbawa oleh gerak yang merangsang itu, gerak menggairahkan.
Dan ketika wanita ini berkata bahwa dia akan keluar kalau sang pangeran tak
sanggup membantu tiba-tiba Ci-ongya melompat dan
memegang lengannya. "Tunggu, nanti dulu...!" Ci-ongya ber-seru, sudah terpikat dan terpengaruh oleh
pinggul yang menari-nari itu, nafsunya naik ke kepala. "Aku... aku dapat
menolong, nona. Tapi... tapi apa balasanmu kalau aku memberikan apa yang kau
minta!" "Hi-hik, apa yang ongya inginkan" Ongya mau apa?"
Sang pangeran tak tahan. Sebagai laki-laki berpengalaman tentu saja dia tahu bahwa ada maksud-
maksud tersembunyi di hati gadis ini. Ada semacam
keinginan panas yang membuat dia terbakar. Cadis atau wanita ini berkali-kali
menyilangkan kaki, tanpa malu-malu. Sebuah tanda bagi dia bahwa wanita ini
sebenarnya gampangan. Dia diajak secara halus untuk berdua,
dirangsang dan tentu saja birahinya timbul. Dan karena dia bukanlah laki-laki
bodoh dan ajakan atau keinginan gadis itu segera ditangkap maka begitu Eng Hwa
mau keluar dan menutup pintu kamar mendadak pangeran ini sudah
menyambar dan menangkap lengan orang.
"Kau tak boleh pergi, jangan buru-buru pergi. Di sinilah dulu dan kita bercakap-
cakap!" "Hi-hik, ongya mau menolongku?"
"Ah, asal kau memberikan apa yang kusenangi pasti aku dapat menolongmu, Eng Hwa.
Dan terus terang saja bahwa kau sengaja menggodaku! Ya atau tidak?" Ci-ongya
meremas jari-jari yang lembut itu, tiba-tiba dikecup
keningnya dan tersentaklah pangeran ini oleh kejut dan girang. Dia sudah menduga
tapi tak secepat itu disangkanya. Dan ketika Eng Hwa terkekeh dan roboh ke pelukannya, mencium dan
mengecup bibirnya maka pangeran ini serasa terbang ke sorga.
"Hi-hik, aku tahu keinginanmu, ongya. Bahwa kau ingin menikmati tubuhku dan
berdua. Aku mau, tapi kau harus membawa dulu kitab catatan itu!"
"Aku... aku...!" Ci-ongya terbakar, memeluk dan menciumi tubuh menggairahkan
itu, meremas-remas. "Aku sanggup menolong, Eng Hwa. Aku janji! Tapi jangan
setelah kitab catatan itu kuberikan. Aku ingin sekarang...
sekarang!" "Hi-hik, kalau sekarang tak boleh semuanya, ongya.
Kalau kitab belum kau berikan maka kau hanja boleh
menciumku saja. Yang lain, nanti dulu!" Eng Hwa tertawa genit, membiarkan lawan


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menciuminya sesuka hati tapi
tiba-tiba dia mendorong ketika Ci-ongya hendak melepas bajunya. Calon ayah
mertuanya ini sudah memburu dan
merah padam, terbakar oleh nafsu tapi secara cerdik dia memotong di tengah
jalan, sikap yang menjadikan pria
penasaran karena rasa nikmatnya diputus, sebelum
mencapai puncak! Dan ketika pangeran itu mendengus dan gemetaran mau menubruknya
lagi maka Siluman Kucing ini berseru, tawanya penuh daya pikat,
"Cukup... cukup, ongya. Aku telah memberikan
porsekot! Untuk selanjutnya kau boleh meminta yang lebih tapi berikan kitab
catatan itu!" Ci-ongya gemetar. "Eng Hwa," kata-nya menggigil.
"Untuk apa sebenarnya kitab catatan itu" Kau mau mempelajari Giam-to-hoat?"
"Benar," Eng Hwa mengangguk. "Tapi bukan semuanya, ongya. Karena maksud hatiku
adalah ingin menemukan kelemahan-kelemahan Si Golok Maut itu. Kalau aku tahu ilmunya dan menemukan
kelemahan-kelemahan Giam-to-hoat tentu Si Golok Maut semakin mudah kurobohkan!"
"Tapi kau senjatanya dapat mengalahkan si jahanam itu!"
"Benar, tapi juga tidak mudah, ongya. Lain kalau aku dapat mempelajari Giam-to-
hoatnya. Sudahlah, kauberikan dulu kitab catatan itu dan selanjutnya kita
bersenang-senang!" Ci-ongya terbakar. Sikap dan kata-kata si cantik ini
sungguh membuat dia kehilangan akal setiatnya. Ci-ongya tahu bahwa Eng Hwa
bukanlah wanita baik-baik, karena
sejak mula dia sudah melihat sinar mata dan gerak-gerik orang yang genit, cabul.
Tapi ditinggal begitu saja dalam keadaan nafsu sudah "mendidih" tiba-tiba saja
pangeran ini tak tahan. "Eng Hwa, nanti dulu. Jangan kau pergi!"
"Kau mau apa?" "Aku dapat memberikan kitab catatan itu, sekarang. Kau tunggulah di sini dan
jangan keluar dulu!"
"Ah, betulkah?" Eng Hwa berseri, girang dan gembira.
"Kau tidak bohong, ong ya" Kau sungguh-sungguh?"
"Ah, aku tak pernah bohong, Eng Hwa. Tapi lepaskan dulu pakaianmu sebelum
kuambil buku catatan itu!"
"Kau jangan main-main...."
"Aku tidak' main-main. Aku ingin menikmati sejenak tubuhmu yang indah, sebelum
kuambil buku catatan itu!"
Eng Hwa terkekeh. Dia mengangguk dan kembali
melepaskan pintu kamar, tak jadi keluar. Dan ketika dengan gerak menggairahkan
ia mulai melepas pakaiannya satu per satu, hal yang sudah membuat Ci-ongya tak
tahan maka pangeran itu mendengus dan menangkap tubuh ini,
meremas-remasnya, memeluk.
"Ah, indah. Luar biasa, sungguh indah .,..!" sang pangeran memeluk dan menciumi
bagian-bagian tubuh. Eng Hwa. Dia sendiri tanpa terasa sudah melepas
pakaiannya, napas memburu. Tapi ketika Eng Hwa
mendorong dan terkekeh, membuat pangeran ini terjengkang di tempat tidur maka wanita cantik itu sudah menyambar pakaiannya
kembali dan berkata, "Cukup! Sudah sesuai perjanjian, ongya. Sekarang kau buktikan kata-katamu dan
kutunggu!" Ci-ongya benar-benar terbakar. Dia sudah terbius dan
tenggelam dalam nafsunya. Tubuh Eng Hwa yang montok
menggairahkan sungguh tak tertahankan, dia hampir saja gila. Tapi ketika wanita
itu mendorongnya dan mata yang bersinar itu tak mungkin dibantah maka pangeran
ini mengeluh kecewa dan melompat bangun, sekali lagi
meremas dan menciumi bagian tubuh Eng Hwa namun
wanita itu menamparnya tertawa. Ci-ongya terhuyung dan melompat keluar. Dan
ketika dia berkata bahwa dia akan mengambil kitab catatan itu dan Eng Hwa
disuruh menunggu, sesuai perjanjian maka Eng Hwa mengangguk
dan berseri-seri. "Cepat, aku juga tak tahan!"
Ci-ongya mengangguk. Tubuh mulus bagai pualam yang
baru saja dipamerkan di depannya sungguh membuat
pangeran ini jungkir balik. Dia melihat bentuk tubuh yang luar biasa yang
dimiliki Eng Hwa, persis angan-angannya, kalau
dia sedang merenung dan menjilat bibir membayangkan tubuh wanita ini. Dan ketika tak lama
kemudian pangeran itu muncul kembali dan sebuah kitab terdapat di tangannya maka
Eng Hwa menyambut dan sang pangeran berseru,
"Eng Hwa, inilah kitab yang kaucari-cari, Ayo, lepaslah pakaianmu dan layani
aku!" Eng Hwa ditubruk. Wanita ini sendiri sudah cepat
menerima buku catatan itu, bergairah membuka dan
mengamati, tak perduli pada gerayangan tangan si
pangeran, membiarkan saja jari-jari pangeran itu menggerayangi sana-sini, bahkan
akhirnya melepas kancing-kancing bajunya. Dan ketika pangeran itu
mendengus-dengus dan sudah mengangkat tubuhnya di atas pembaringan maka kecupan
panas membuat Siluman Kucing ini menggelinjang geli.
"Ih, tahan, ongya. Aku masih ingin membaca buku ini!"
"Tidak, nanti dapat kau baca, Eng Hwa. Sekarang tepati dulu janjimu dan kita
bersenang-senang!" "Ih, hi-hik.... aku, ah!" dan Siluman Kucing Li Eng Hwa yang tidak tahan oleh
jari-jari Ci-ongya sudah menggeliat dan terpaksa menerima serbuan pangeran itu,
melempar kitab catatannya dan bergulinganlah keduanya di tempat tidur. Calon menantu
sudah berbuat sama tak senonoh
dengan calon mertua. Dua-duanya memang bukan orang
baik-baik. Dan ketika Siluman Kucing itu melenguh dan erangan atau rintihan-
rintihan nikmat terdengar di situ dan keduanya sudah melepas nafsu berahi maka
Ci-ongya benar-benar puas mendapatkan si cantik ini. Eng Hwa
montok dan menggairahkan, permainannya di tempat tidur sungguh luar biasa hingga
membuat laki-laki mabok. Dan ketika malam itu keduanya bersenang-senang dan
malam-malam berikut sudah menjadi milik mereka berdua maka
suatu hari Coa-ongya tiba-tiba datang dan marah-marah, mendobrak pintu kamar
adiknya ini! "Ci-te, mana kitab catatan Giam-to-hoat" Kau mengambilnya" Keparat, kau .... ah!" dan sang pangeran
yang tertegun dan menghentikan bentakannya tiba-tiba
melihat Eng Hwa di situ, polos dalam keadaan bugil dan adiknya tampak tertawa-
tawa di tempat tidur. Tubuh yang indah sedang diremas-remas adiknya ini, tubuh
yang mulus putih, menggairahkan! Dan ketika Coa-ongya terkejut dan tentu saja
tersirap, baru kali itu melihat Eng Hwa maka adiknya buru-buru melompat bangun,
terkejut menyambar celana.
"Kanda, ini... ah, ini Eng Hwa. Kekasih baruku. Ada apa kau datang-datang marah
kepadaku" Apa yang hilang?"
"Keparat!" pangeran ini marah kembali, masih terganggu oleh keindahan tubuh
Siluman Kucing. "Kau mencuri catatanku, Ci-te. Giam-to-hoat kitab catatanku
hilang!" "Hilang?" Ci-ongya pura-pura terkejut, kebodoh- bodohan. "Hilang bagaimana, kanda" Maksudmu kau
menuduhku mencuri?" "Tentu, hanya kau yang tahu, Ci-te. Kau, ah., berikan buku itu kepadaku!" dan
sang pangeran yang marah dan menubruk maju tiba-tiba telah mencekik adiknya ini,
mengguncang-guncang dan Ci-ongya berteriak pada Eng
Hwa. Pada saat itu yang diharap hanyalah Eng Hwa, tak ada yang lain. Dan ketika
Eng Hwa berkelebat dan mengenakan pakaian seadanya, buah dadanya tersembul
separoh maka gadis atau wanita ini berseru,
"Ongya, tahan. Tak baik bermusuh-musuhan dengan
saudara Lepaskan, dan ceritakan apa yang terjadi!" Eng Hwa mencengkeram pundak
pangeran ini, lemas namun
kuat dan tiba-tiba baju yang dikenakan seadanya itu
melorot. Buah dadanya yang tertutup separoh mendadak
tampak semua, Eng Hwa menjerit dan berseru lirih. Dan ketika Coa-ongya
terbelalak dan terkejut oleh pemandangan itu, pemandangan yang membangkitkan
nafsunya maka pangeran ini tiba-tiba lupa akan kemarahannya kepada
saudaranya. "Kau siapa?" pangeran ini gemetar. "Bagaimana dapat ada di sini tanpa
kuketahui?" "Maaf, dia... dia pengawalku, kanda. Sekaligus kekasih dan baru saja bekerja di
sini beberapa minggu!"
Coa-ongya memandang adiknya, berkerut kening,
kembali terganggu antara marah dan nafsunya yang bangkit itu, buah dada Eng Hwa
yang tampak! "Kau tidak
melaporkan ini padaku, Ci-te" Kau melanggar larangan?"
"Maaf, Eng Hwa memang tak ingin diketahui dulu,
kanda. Dia minta dirahasiakan agar tak diketahui Golok Maut!"
"Golok Maut?" sang kakak terkejut. "Dia dapat berbuat apa terhadap Golok Maut?"
"Hi-hik, jangan memandang rendah, pangeran. Golok Maut bukan apa-apa bagiku
karena berkali-kali dia kurobohkan!" Eng Hwa menyambar, tentu saja membual dan Ci-ongya mengangguk.
Akhirnya dia berkata bahwa
gadis itu benar, puteranya sebagai saksi. Dan ketika Ci-ongya memberi keterangan
bahwa Ci Fang yang dulu lemah sekarang sudah dapat merobohkan sepuluh pengawal dengan mudah maka Coa-
ongya terkejut dan memandang
si cantik ini. "Kau benar" Berani kuuji?"
"Ah, jangan sekarang, kanda. Eng Hwa tak ingin dikenal pembantu-pembantumu.
Kalau semua orang tahu tentu Si
Golok Maut tak berani ke sini! Dan Eng Hwa juga tahu
semua perbuatan kita, jangan mengacau rencananya agar Golok Maut itu dapat
dibunuh dan dilenyapkan!"
Coa-ongya semakin terkejut. "Semua perbuatan kita?"
suaranya ragu menyelidik. "Apa maksudmu, Ci-te" Dan siapa sebenarnya wanita
ini?" "Hi-hik, aku Eng Hwa, ongya. Li Eng Hwa. Kau tak perlu curiga kepadaku karena
aku bukan musuh!" "Benar, dia kawan. Dan dia sebenarnya kekasih Ci Fang!"
Coa-ongya tertegun. Akhirnya adiknya itu bicara agak
panjang lebar tentang siapa sebenarnya Eng Hwa ini,
bahwa dia adalah musuh Golok Maut dan Ci Fang
dlselamatkan gadis ini, ketika berada di perkumpulan Hek-yan-pang, sebuah cerita
yang sudah dibumbui dan dijungkir balik sedemikian rupa. Dan ketika Coa-ongya
mengangguk-angguk dan bersinar-sinar, kagum memandang gadis itu
maka pangeran ini tersenyum dan berkata,
"Kalau begitu bagus, aku percaya padamu. Hm, kalau bukan kau yang bicara tentu
aku akan curiga, Ci-te. Ah, sudahlah. Betapapun kalian berdua sebenarnya tak
usah sembunyi-sembunyi dariku. Sekarang aku ingin bertanya tentang catatan itu,
di mana dan kenapa kau ambil!"
"Aku tidak mengambil!" sang adik tiba-tiba pucat, melirik Eng Hwa. "Aku justeru
tidak mengerti bagaimana kau tiba-tiba menuduhku, kanda. Aku tak tahu-menahu dan
sama sekali tak pernah mengambil buku catatanmu itu!"
"Tapi kau satu-satunya orang yang mengetahui di mana aku menyembunyikan catatan
Itu. Tidak, jangan main-main. Cite. Kalau kitab catatan itu jatuh di tangan
orang lain maka hal itu bisa membahayakan kita!"
"Tapi aku tak tahu, sungguh tak tahu ....!" dan ketika Coa-ongya melihat betapa
adiknya menggeleng dan menyangkal berulang-ulang tiba-tiba dia menarik napas dan
akhirnya mengajak adiknya ini keluar. "Kalau begitu mari ke gedungku sejenak.
Aku ingin bicara di sana."
Ci-ongya gelisah. Sebenarnya tak baik bagi dia untuk
berduaan saja dengan kakaknya itu. Kakaknya adalah
seorang yang amat tajam matanya dan dapat melihat gerak-geriknya. Tapi ketika
Eng Hwa berkelebat pergi dan tertawa meninggalkan dua orang itu maka Ci-ongya
agak lega karena dia masih berada di gedung sendiri.
"Aku agaknya mengganggu. Biarlah aku keluar dan ji-wi (anda berdua) dapat bicara
di sini saja!" Coa-ongya memandang adiknya. Akhirnya dia mengangguk dan Ci-ongya pun setuju. Memang dia agak
tak senang kalau ada orang ketiga di situ. Eng Hwa
mengganggu namun kehadiran gadis itu menggerakkan hati pangeran ini. Sama
seperti adiknya Coa-ongya pun
bukanlah pria yang gampang melewatkan seorang wanita
cantik. Wajah dan tubuh Eng Hwa sudah membangkitkan
selera pangeran ini. Namun karena ada pembicaraan yang lebih penting dan urusan
itu ditahan dahulu maka kakak beradik ini akhirnya bercakap-cakap dan mereka tak
tahu bahwa diam-diam Eng Hwa mengintai, di luar kamar.
"Aku tak percaya," begitu Coa-ongya menegur adiknya.
"Kitab catatanku hilang begitu saja, Ci-te. Kalau bukan kau yang mengambil maka
tak mungkin!" "Aku tak mengambil, aku tak tahu apa-apa. Sumpah!"
"Hm, sumpah yang keluar dari mulutmu tak dapat
dipercaya, Ci-te. Aku tahu siapa kau dan kaupun tahu siapa aku!"
"Tapi aku tak mengambil...."
"Bohong! Catatan itu tak mungkin lenyap ditelan setan!
Aku tetap tak percaya, Ci-te. Dan aku curiga jangan-jangan antara dirimu dan si
Eng Hwa itu....." "Ah-ah, nanti dulu!" sang adik menggoyang lengan.
"Jangan terlampau jauh curiga, kanda. Eng Hwa baru beberapa minggu di sini dan


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ada hubungannya dengan itu. Aku menjamin!"
"Tapi kitab itu tak ada, dan anehnya hilang tidak semua!"
"Maksudmu?" Ci-ongya pura-pura bodoh, mengerutkan kening.
"Dua kitab yang kupunyai hanya sebuah yang hilang, Ci-te. Dan yang satunya masih
di tempat. Aku jadi heran dan hanya kaulah yang tahu!"
"Tapi bagiku tak ada gunanya. Aku tak pernah belajar silat! Kalaupun kuambil
mestinya dulu-dulu, kanda. Tak perlu sekarang di saat aku sudah mulai tua
begini!! Aku mempunyai dugaan lain, jangan-jangan para pembantumu
itu yang mengambil!"
"Tak mungkin," sang kakak menggeleng. "Mereka tak ada yang tahu di mana kitab
catatan itu, Ci-te. Yang tahu hanya kau dan aku!"
"Tapi aku tak mengambil! Lagi pula, kalau aku yang mengambil, lalu untuk apa,
kanda" Kitab ilmu silat itu tak ada perlunya bagiku. Kau tahu sendiri aku orang
lemah!" Sang kakak tertegun. Memang dia heran juga bahwa
kitab hanya hilang sebagian, tidak semua. Karena kitab catatannya ada dua buah.
Tentu saja dia tak tahu bahwa adiknya mengambil dan diberikan pada Eng Hwa. Ci-
ongya licik dan cerdik. Dia tak memberikan itu semua pada Eng Hwa agar gadis itu
dapat ditahannya terus, jadi dapat
menjadi kekasihnya selama dia suka, sampai bosan. Dan ketika percakapan itu
didengar Eng Hwa dan tentu saja wanita ini bersinar-sinar maka di luar siluman
Kucing itu juga menjadi marah.
Sebenarnya Eng Hwa tahu. Dia melihat bahwa kitab
catatan yang diberikan Ci-ongya ternyata bersambung, jadi masih ada kitab yang
lain dan tentu saja gadis itu
penasaran, mendongkol. Diam-diam memuji namun
sekaligus mengumpat kecerdikan Ci-ongya inl. Itulah
sebabnya dia mau terus di situ dan melayani ayah
kekasihnya ini. Jadi diam-diam dua belah pihak sama-saraa tahu kecerdikan lawan,
masing-masing beradu pintar. Dan ketika hari itu Coa-ongya membongkar kejadian
ini dan dugaan Eng Hwa kuat maka gadis itu terus mendengarkan.
"Jadi bagaimana?" sang kakak menyambung, masih kelihatan marah. "Aku tak mau kau
tipu, Ci-te. Kalau kau bohong dan kelak aku tahu tentu aku akan membunuhmu!"
"Ah, boleh!" sang adik berkata gagah. "Tapi ingat bahwa tanpa bertengkar pun
kita sudah menghadapi lawan berat, kanda. Golok Maut mengintai dan katanya akan
datang lagi!" "Aku tak takut, aku siap menghadapinya!"
"Tapi kanda kaisar pasti marah!"
"Hm, ini dapat kuatur," dan ketika sang kakak mengepal tinju dan berkata bahwa
dia akan menyelidiki hllangnya kitab catatan itu, Ciam-to-hoat yang dulu
ditulisnya berbulan-bulan maka pangeran ini akhirnya meninggalkan adiknya setelah berkata
memperingatkan, "Aku belum mengenal jelas siapa sesungguhnya Eng Hwa itu. Tapi
kalau kau tak keberatan sukalah kau berikan padaku untuk kuselidiki secara diam-
diam." "Ha-ha, kenapa bicara memutar" Kalau kau ingin
menikmatinya maka sekarangpun boleh kaubawa, kanda.
Eng Hwa gadis cantik yang pandai melayani lelaki!"
"Hm, kau tak keberatan?"
"Ah, kenapa keberatan?" sang adik sudah lega, urusan kitab catatan sudah
selesai. "Aku dapat memanggilnya ke mari kalau kau suka, kanda. Biarlah kusuruh
sini dan mengantarmu pulang!"
Eng Hwa berkelebat datang. Ci-ongya telah bertepuk
tangan memanggilnya dan tentu saja dia masuk, sebelum dipanggil sudah lebih dulu
mendengar pembicaraan itu.
Dan ketika Coa-ongya bersinar-sinar memandangnya
kagum dan Ci-ongya tertawa menggapai maka ayah
kekasihnya tapi juga kekasihnya itu berkata,
"Kakakku ingin bercakap-cakap denganmu. Kau pergilah bersamanya dan perlakukan
dia sama seperti diriku!"
Eng Hwa pura-pura merah. "Maksud ongya aku
menemaninya di tempat tidur?"
"Ha-ha, benar, Eng Hwa. Kita tak perlu malu-malu karena dia maupun aku sama
saja. Kakakku ingin bersenang-senang. Barangkali kau dapat membantunya
masalah kitab catatan itu!"
"Hm, ini urusan kita berdua. Kenapa merepotkan orang lain?" sang kakak menegur,
melirik adiknya. "Itu rahasia kita, Ci-te. Tak usah melibatkan orang ketiga!"
"Ah, maksudku menyelidiki para pembantumu itu" Ci-ongya meralat, buru-buru
menerangkan. "Eng Hwa boleh dipercaya masalah ini, kanda. Dan tak perlu takut!"
Coa-ongya tersenyum. Dia mengejek adiknya itu tapi tak memperlihatkannya
pada Eng Hwa. Urusan kitab sesungguhnya tak ada orang lain tahu kecuali mereka
berdua. Tapi karena Eng Hwa keburu mendengar karena itu kesalahannya sendiri
buru-buru membuka pintu kamar
adiknya maka pangeran ini mengangguk dan berkata
melempar senyum, "Sudahlah, aku tahu. Kalau kau boleh membiarkan aku membawa
gadis ini maka sungguh merupakan satu kegembiraan besar bagiku. Mari, temani aku, Eng Hwa. Kau ke
gedungku!" Eng Hwa tertawa. Dia sudah ditarik dan hendak dibawa
pangeran she Coa ini. Ah, dirinya seperti barang mainan saja, dibawa dan sudah
berganti-ganti lelaki. Tapi ketika Eng Hwa melepaskan diri dan berkata biarlah
pangeran itu lebih dulu dan dia menyusul maka gadis atau wanita ini berkelebat,
"Ongya silahkan duluan. Nanti aku tak enak terhadap Ci Fang!"
Coa-ongya tertegun. Adiknya tiba-tiba juga sadar dan
mengangguk, memang mereka harus berhati-hati kalau Ci Fang tahu. Eng Hwa dan
dirinya telah sepakat bahwa
hubungan mereka tak boleh diketahui. Ci Fang bisa marah dan menciptakan bahaya.
Itu tak boleh terjadi. Maka ketika tertawa dan mengangguk pada kakaknya pangeran
Ci ini berseru, "Benar, memang tak boleh diketahui Ci Fang, kanda.
Sebaiknya diam-diam dan kau pergi lebih dulu!"
Coa-ongya mengangguk. Di sana adiknya sudah
memberi isyarat dan tersenyumlah dia. Membayangkan
Eng Hwa yang cantik dan menggairahkan tiba-tiba saja
nafsunya memang timbul, apalagi adiknya berkata bahwa Eng Hwa pandai melayani
laki-laki, jadi tentu memuaskan.
Dan ketika hari itu Eng Hwa sudah pindah ke pelukan Coa-ongya, tertawa dan
terkekeh di sana maka hari-hari berikut
wanita ini sudah menjadi milik beberapa laki-laki. Pertama tentu saja Ci Fang.
Eng Hwa tak berani melupakan pemuda ini agar keadaan tak menjadi gawat. Kedua
lalu ayah kekasihnya itu, Ci-ongya. Dan ketika yang terakhir adalah Coa-ongya dan Eng Hwa
mulai sibuk membagi-bagi waktunya, hal yang mulai merepotkan maka suatu hari Ci Fang mulai curiga.
"Aneh, kenapa kau sering bepergian! Ke mana saja kau ini' Dan mana Golok Maut
yang kaukatakan akan datang
itu?" "Ih, sabar. Aku bepergian tidak jauh meninggalkan istana, Ci Fang. Aku meronda
dan jalan-jalan di sekitar sini saja Dan tentang Golok Maut, hmm... sebentar
lagi dia pasti datang. Aku telah mengatur rencana!"
Ci Fang tak puas. "Kau sekarang banyak menolak
keinginanku, Eng Hwa. Tidak seperti dulu. Apakah kau
tidak cinta lagi kepadaku?"
"Ih, omongan apa ini, Ci Fang" Siapa bilang aku tidak mencintaimu lagi" Aku
masih tetap cinta padamu, dan lihat ini .... cup!" Eng Hwa memberikan ciumannya,
mendarat mesra dan tertawalah wanita itu membelai Ci Fang.
Sebenarnya dia lelah karena baru saja melayani Ci-ongya.
Ayah kekasihnya itu harus dibujuk dan didekati agar
menyerahkan kitab catatan satunya. Dia sudah mencoba
kepada Coa-ongya secara hati-hati namun belum berhasil, hal yang diam-diam
membuat wanita ini gemas. Maka
ketika hari itu Ci Fang cemberut padanya dan menegur
serta merengut maka Eng Hwa sadar bahwa sudah empat
hari dia meninggalkan Ci Fang, sibuk dengan Coa-ongya dan Ci-ongya, yang lagi
panas-panasnya mencumbu dan
menginglnkan dirinya! "Aku tak mana-mana, Ci Fang. Aku hanya di sekitar sini saja. Eh, apakah kau
cemburu?" "Hm, cemburu sih tidak, tapi pelajaran ilmu silat tak pernah kau tambah lagi!"
"Ah, hi-hik, aku lupa!" dan Eng Hwa yang teringat dan tertawa mendengar itu lalu
mengajak Ci Fang ke belakang, memberi tambahan ilmu-ilmu silat karena memang
selama ini dia lupa. Biasanya Ci Fang ingin bercumbu dan
bermesraan melulu, seperti paman dan ayahnya itu. Tapi karena pemuda ini sudah
terlampau sering dan rupanya Ci Fang juga mendapatkan seorang dua orang selir di
istana itu maka mereka tiba-tiba agak jauh satu sama lain dan Eng Hwa selalu
memberi alasan ini-ltu kalau sibuk melayani kekasih-kekasih barunya.
Hebat wanita ini. Ci Fang tentu saja tak tahu semuanya itu. Sama sekali dia tak
curiga bahwa ayah dan pamannya ada main dengan kekasihnya ini, karena dia
percaya Eng Hwa tak akan melanggar larangannya. Yakni, Eng Hwa
boleh bergaul dengan siapa saja asal tidak bergaul atau bercinta dengan ayah dan
pamannya itu, hal yang tak
disuka pemuda ini, sesuatu yang aneh. Dan ketika hari itu Eng Hwa tertawa dan
membelai Ci Fang, di sela-sela
pelajaran silatnya maka wanita ini berpikir bagaimana dia dapat pergi dari situ,
karena kebosanan sudah mulai timbul, diam-diam sudah mulai mempelajari kitab
catatan Giam-to-hoat dan dia ingin menyendiri, setelah mendapatkan kitab catatan
secara lengkap. Dan ketika hari itu Ci Fang terpaksa dilayani dan dia kelelahan,
karena semalam melayani tiga lelaki sekaligus maka Eng Hwa berkata bahwa besok
dia tak mau diganggu. "Aku akan bersamadhi di kamarku, ingin sendiri. Kalau ada keperluan datanglah
pada hari berikutnya."
"Kau tak keluar?"
"Tidak, aku lelah, Ci Fang. Aku ingin beristirahat."
"Kalau begitu kupuaskan dulu diriku. Biarlah hari ini kita habiskan waktu dengan
bersenang-senang!" Eng Hwa tersenyum. Ci Fang seperti biasa lalu memeluk dan menciuminya, ganas.
Empat hari tak bertemu membuat pemuda ini seakan kelaparan. Dan ketika esoknya
dia tak mau diganggu dan Eng Hwa minta agar pemuda itu keluar maka diam-diam
wanita ini menemui Ci-ongya, ayah
kekasihnya yang juga sekaligus kekasihnya pula!
"Aku tak mau kau tipu. Cukup sebulan ini kau berjanji.
Nah, berikan kitab catatan satunya, ongya. Atau aku
melapor pada kakakmu bahwa kaulah orangnya yang
mencuri itu!" Ci-ongya terkejut. Datang-datang Eng Hwa berkata
marah. Memang akhirnya ia mengaku bahwa kitab yang
diberikan baru sebuah, yang lain tak berani diambil karena itu saja sudah cukup
membangkitkan kecurigaan kakaknya, Coa-ongya. Dan ketika pagi itu si cantik ini
datang dan marah kepadanya maka Ci-ongya terbelalak dan bangkit
dari kursinya. "Eng Hwa, kenapa kau bicara begini" Bukankah sudah kuberi tahu bahwa kau harus
bersabar" Kitab catatan itu telah dipindah, Eng Hwa. Dan terus terang aku tak
tahu!" "Tapi kau menyatakan janjimu, berusaha sebulan!"
"Benar, tapi jangan marah-marah, dewiku. Aku telah berusaha namun sampai hari
ini masih belum berhasil.
Sudahlah, ke marilah dan jangan marah-marah!"
Eng Hwa berkelebat. Tiba-tiba dia memaki dan
menampar pangeran ini, yang seketika terjengkang dan
menjerit roboh! Dan ketika Ci-ongya merintih dan kaget bukan main, karena baru
kali ini Eng Hwa menyerangnya maka gadis atau wanita itu berkata, "Aku tak
percaya mulutmu lagi, ongya. Kau pembohong dan penipu. Aku
akan menghadap kakakmu, minta tukar!"
"Apa... apa maksudmu?"
"Aku akan menukarkan yang sudah kubaca ini dengan yang lain. Dan berkata bahwa
kau yang memberikan!"
"Tidak... tidak...! Jangan, Eng Hwa. Kalau begitu beri aku waktu seminggu lagi
untuk kuusahakan!" "Aku tak sabar, kau selalu bohong!" dan Eng Hwa yang gemas meloncat pergi lalu
menghadap Coa-ongya dan menemukan kekasihnya yang satu ini, yang tentu saja
terkejut dan berobah mukanya begitu melihat kitab catatan di tangan Eng Hwa,
kitab yang dikenal! "Ongya, aku menemukan ini. Barangkali ini yang
kaucari-cari. Benarkah?"
"Beb... benar. Dari mana kaudapatkan itu, Eng Hwa"
Dari mana kaudapatkan" Ah, berikan padaku. Itu
punyaku!" namun Eng Hwa yang tertawa dan terkekeh mengelak berseru, "Ongya,
kitab ini kebetulan saja jatuh ke tanganku, dan sudah kubaca. Bagaimana kalau
kita sekarang saling tukar-menukar" Aku tertarik isinya, sukalah kau keluarkan yang
satu dan yang ini kuserahkan padamu!"
Coa-ongya terkejut. Eng Hwa tiba-tiba saja bersikap aneh dan berani, belum
pernah wanita itu coba menguasainya.
Tapi begitu. sadar dan mampu mengendalikan hatinya tiba-tiba pangeran ini
tersenyum dan menekan debaran
jantungnya. "Eng Hwa, kau adalah kekasihku. Kita sudah bersenang-senang dan sering
bermesraan berdua. Kenapa kau ingin
tukar-menukar" Masalah ini tak pernah kau bicarakan, kini mendadak saja kau
memegang kitab itu. Ah, tanpa tukar-menukar pun kalau kau ingin membaca tentu
aku sedia memberikannya, Eng Hwa. Tapi sifatnya pinjam!"
"Hm, aku memang ingin pinjam. Bukan bermaksud
mengangkangi. Kau tak marah padaku, ongya?"
"Ah, marah" Ha-ha, terhadap wanita secantik dirimu aku tak mungkin marah, Eng
Hwa. Kau minta kepalaku pun
pasti kuberi. Mari, kuambilkan kitab yang satu itu tapi berikan itu padaku!"
Eng Hwa ragu, bersinar-sinar. "Aku ingin berhati-hati dan sebaiknya kita saling
memberikan saja. Kau ambil yang satu itu dan serahkan padaku dan aku memberikan
serta menyerahkan ini padamu."
"Ha-ha, kau takut" Tak ada alasan, Eng Hwa. Aku tak bisa silat dan kau tahu itu,
tak perlu khawatlr!"
"Benar, tapi... hm!" Eng Hwa tertawa. "Aku perlu berhati-hati, ongya. Sudahlah
ambilkan saja kitab itu dan ini nanti kuserahkan padamu!"
"Baiklah, kau tunggu sebentar!" dan Coa-ongya yang tersenyum mengangguk pergi
lalu ke dalam dan tak lama kemudian sudah mengambil sebuah kitab, bentuk dan
sampulnya persis seperti yang dibawa Eng Hwa dan
Siluman Kucing itu berseri-seri. Ah, itu yang diincar! Dan ketika sang pangeran
sudah mendekat dan tertawa meminta kitabnya maka wanita ini mau menyambar namun
sang pangeran mengelak. "Ha-ha, nanti dulu, Eng Hwa. Berikan itu padaku!"
"Tidak, berikan itu dulu, ongya. Nanti kuserahkan!"
"Tapi kita harus adil, kau tak boleh menipu. Hayo, kita sama melempar dan mari
sama-sama menerima!" dan
ketika Siluman Kucing tertawa dan mengangguk maka
keduanya sudah melempar dan memberikan kitab masing-
masing, disambut dan diterima dan keduanya sama
memeriksa. Tapi begitu Eng Hwa melihat bahwa
sambungan kitab kedua ini tidak sama dengan kitab
pertama, mengherankan dan membuat dia terkejut maka
Coa-ongya di sana tertawa bergelak memeriksa kitab yang diberikan Siluman Kucing


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Ha-ha, tidak sama. Aih, mana yang salah mana yang benar aku jadi tidak tahu,
Eng Hwa. Tapi sekarang aku tahu bahwa maksud kedatanganmu ke mari sebenarnya
adalah untuk kitab ini!" dan ketika Siluman Kucing itu terbelalak dan mengerutkan
kening, tak mengerti maksud si pangeran tiba-tiba pangeran itu bertepuk tangan
dan berkelebatlah di situ dua bayangan laki-laki. "Mindra, tangkap dan bekuk
siluman betina ini. Kalian benar, dia kiranya adalah Mao-siao Mo-li Siluman
Kucing!" Eng Hwa kaget sekali. Di ruangan itu tahu-tahu
berkesiur dua bayangan biru dan kuning dan muncullah
Mindra dan Sudra, dua kakek India yang amat lihai dan yang dulu pernah bertemu
dengannya, bahkan yang pernah mengebut dia hingga roboh! Bukan main kagetnya
wanita ini. Dan ketika dua kakek itu tertawa dan menyeringai padanya, penuh
ejekan maka Sudra, kakek kedua itu sudah berkata,
"Siluman Kucing, selamat bertemu. Kiranya kau ada maksud merampas kitab!"
"Keparat!" Eng Hwa tiba-tiba berteriak nyaring, berkelebat ke arah pangeran Coa.
"Kalian tak dapat menangkapku, Sudra. Karena aku akan menangkap
pangeran Coa!" tapi ketika sang pangeran terbahak dan berkelit di belakang
sebuah kursi tiba-tiba terdengar dentuman dan tembok rahasia muncul menghadang,
menutup dengan cepat dan Siluman Kucing ini hampir saja tergencet. Tak pelak dia
berjungkir balik menendang
tembok rahasia itu dan lenyaplah sang pangeran di balik dinding tak tampak. Dan
ketika suara sang pangeran ikut menghilang dan tinggallah suara tawa dua orang
kakek itu maka Li Eng Hwa Siluman Kucing ini pucat.
"Coa-ongya, kau manusia keparat. Penipu!"
"Ha-ha, tak tahulah. Entah kau atau aku yang menipu, Eng Hwa. Tapi sekarang kau
hadapi dulu dua pembantuku itu!" suara sang pangeran tiba-tiba terdengar lagi,
entah dari mana namun gaung suaranya cukup jelas. Eng Hwa tak
sempat mencari karena dua kakek di depannya itu sudah bergerak, Mindra dengan
tawanya yang parau sementara
Sudra dengan bentakan pendeknya. Kedua-duanya menubruk dan siap menangkapnya. Dan karena lawan tak
mungkin dihadapi karena dia bukanlah tandingannya maka Siluman Kucing ini tiba-
tiba meledakkan granatnya dan memaki dua kakek itu.
"Kalian tua-bangka-tua bangka busuk. Mampuslah!"
Mindra dan Sudra terkejut. Mereka berseru keras
mengebutkan lengan, granat diterima dan digulung lengan baju. Namun ketika
mereka menangkap dan menggulung
granat, yang tak jadi meledak maka Siluman Kucing itu melepas lainnya lagi
menghantam tembok. "Dar-dar!" Ruangan menjadi gelap. Memang inilah yang dikehendaki Eng Hwa karena wanita itu sudah terbang
menyelinap di bawah ketiak lawan, lolos dan melarikan diri dan tentu saja dua
kakek India itu marah. Mereka belum apa-apa sudah dikecoh dan siluman betina itu
pun kabur. Dan ketika dua kakek itu menjadi marah dan memukup
asap tebal agar buyar maka keduanya berkelebat melihat bayangan Siluman Kucing,
yang sudah meloncat diluar.
"Berhenti, atau kau mampus!" Sudra melepas cambuk baja, meledak, dan menjeletar
namun Eng Hwa melepas lagi dua granatnya. Cerdik wanita ini, bukan Mindra atau Sudra yang dihantam
melainkan tanah di depan mereka,
yang seketika meledak dan kembali mengeluarkan asap
tebal. Dan ketika dua kakek itu memaki-maki sementara Eng Hwa sudah lolos lagi
dengan cepat maka di sana
wanita ini mengumpat ketika belasan pengawal tiba-tiba menghadang.
"Pergi kalian, minggir!"
Pengawal berpelantingan. Mereka itu adalah orang-orang yang segera datang begitu
mendengar keributan. Granat yang meledak serta bentakan dua kakek India di dalam
mengisyaratkan mereka akan adanya bahaya, sang
komandan sudah membentak dan menyuruh mereka
bergerak. Dan ketika bayangan Eng Hwa sudah mereka
lihat dan wanita itu belum mereka lihat maka tentu saja mereka menganggap musuh
dan langsung diserang, sayangnya tak mampu dan mereka justeru dipukul balik, tunggang-langgang dan
menjerit sambil berteriak-teriak.
Memang mereka bukan tandingan wanita ini dan Eng Hwa
sudah berkelebat dan melarikan diri lagi, tak mau tertahan karena dia maklum
akan bahaya di belakang, dua kakek
India yang lihai itu. Dan ketika benar saja Sudra maupun Mindra sudah membentak
dan mengejar di belakang maka
wanita ini memaki dan melepas lagi granat-granat tangan.
"Dar-dar!" Siluman Kucing coba meloloskan diri. Wanita ini
mengumpat dan bersicepat menggerakkan kakinya, untung
hapal jalan-jalan di situ namun dia tak mau lewat bawah, melayang dan sudah
berlarian di atas genteng. Tapi ketika terdengar dengus seseorang dan entah dari
mana mendadak muncul seorang kakek tinggi besar, yang bukan lain
Yalucang si kakek Tibet maka Eng Hwa terkejut setengah mati oleh kehadiran kakek
ini, yang muncul dan tahu-tahu sudah ada di depannya seperti iblis.
"Siluman betina, Coa-ongya menyuruhku menangkap
dan membekukmu, bukan membunuh. Menyerahlah dan
kembalikan kitab di tanganmu itu!"
"Jahanam!" Siluman Kucing ini melengklng. "Kaupun sama dengan Mindra mau pun
Sudra, kakek busuk. Menyerah hidungmu dan kau mampuslah... dar-dar!" Eng Hwa kembali mengayun granat
tangannya, meledak di depan si kakek dan Yalucang mengelak. Kakek ini
mendengus namun mulutnya tiba-tiba dibuka, mendesis
dan menyemburlah segumpal api menyibak asap tebal yang dihasilkan granat. Dan
ketika Eng Hwa terkejut dan kakek itu menggeram maka Yalucang sudah menubruk dan
berkelebat marah. "Menyerahlah!" Eng Hwa putus asa. "Kau tak dibunuh, Mao-siao Mo-li. Melainkan ditangkap dan sekedar menerima
hukuman ringan. Atau pangeran
akan gusar dan salah-salah kau bakal dlbunuh...wut-plak!"
Siluman Kucing terlempar, gugup menerima semburan api kakek itu dan melempar
tubuh bergulingan. Apa boleh buat dia harus ke bawah dan di sana ternyata
menunggu dua kakek India itu, Sudra dan Mindra yang tertawa
menggerakkan lengannya, Sudra bahkan meledakkan
rambut dan tubuh Eng Hwa disengat ujung cambuk, yang
bukan main sakitnya. Dan ketika dia menjerit dan jatuh ke
tanah, langsung menggulingkan diri dan melempar-lempar lagi granat tangannya
tiba-tiba semua granat tangannya itu sudah dililit cambuk, yang amat lihai
menangkap dan menerima! "Ha-ha, tak guna lagi, bocah. Hayo menyerah dan
menghadap Coa-ongya!"
Eng Hwa pucat. Kalau tiga orang ini sudah siap di
bawah dan di sana masih banyak terlihat pengawal yang berlari-lari maka harapan
lolos sungguh tipis sekali. Dia tak bermaksud melakukan perlawanan kecuali
meloloskan diri, itu maksudnya, karena Mindra maupun Sudra bukanlah
lawan-lawan yang dapat dihadapi, apalagi masih ada kakek tinggi besar yang
menyeramkan itu, Yalucang. Dan ketika dia memaki namun juga mengeluh bergulingan
meloncat bangun maka di Sana tiga orang itu mengejarnya dan Sudra tertawa-tawa.
"Ha-ha, hayo lepaskan lagi granat-granat tanganmu, siluman betina. Biar kurampas
dan kubuang semua!" Eng Hwa gelisah. Kalau begini terus-terusan tentu dia celaka, tiga orang itu
sudah mengurung namun dia
mencabut payungnya, menusuk kaki si kakek tinggi besar.
Dan ketika Yalucang mengangkat kakinya dan menggeram
serta menyemburkan apinya lagi mendadak Ci Fang
muncul dan membentak tiga orang itu.
"He, kalian. Berhenti! Apa yang kalian lakukan ini dan kenapa kekasihku
diserang!" Tiga orang itu terkejut. Ci Fang adalah pemuda
pemberani dan mereka mengenalnya, maklumlah, Ci Fang
adalah keponakan Coa-ongya, majikan mereka. Dan ketika bentakan itu memberi
kesempatan pada wanita ini untuk melompat bangun maka Ci Fang sudah berkelebat
dan menghadang tiga orang kakek itu.
"Ci Fang, mereka manusia-manusia kurang ajar. Pukul mereka!"
Ci Fang bergerak. Dia menyerang dan memukul tiga
kakek itu, yang tentu saja menangkis dan Ci Fang pun
tergetar, terhuyung hampir roboh. Namun ketika pemuda itu marah-marah dan memaki
mereka maka Eng Hwa berkelebat dan melarikan diri.
"Tahan mereka, jangan biarkan mengganggu aku!"
"He!" Ci Fang berseru. "Kau sendiri mau ke mana, Eng Hwa" Kenapa keluar" Hei,
tunggu aku. Jangan lari!" dan Ci Fang yang bergerak dan mengejar kekasihnya lalu
mendengar seruan Mindra, "Siauw-ya (tuan muda), dia merampas kitab pamanmu.
Suruh dia menyerahkan kitab itu dan baru kita
membiarkannya pergi!"
"Apa" Dia merampas kitab?"
"Ya, lihat di tangannya itu, siauw-ya. Siluman betina ini mau melarikan diri
setelah mengambil kitab!"
Ci Fang tertegun. Dia melihat kekasihnya memang
membawa kitab namun Eng Hwa sudah cepat menyembunyikan kitab itu di balik bajunya. Gerakan
menyentuh buah dada ini mendebarkan hati para pengawal yang tentu saja melotot.
Eng Hwa tak malu-malu melakukan itu dengan membuka bajunya, ketika melewati pengawal. Dan ketika Ci
Fang tertegun namun membentak dan segera mengejar lagi maka tiga kakek di
belakang berani mengikuti dan berseru,
"Berhenti, atau kami akan merobohkanmu!"
"Benar," Ci Fang juga berseru. "Berhenti, Eng Hwa.
Atau aku akan menyangkamu buruk dan kau ditangkap!"
"Aku tak mau ditangkap, kitab ini punyaku!"
"Apakah Giam-to-hoat?"
Eng Hwa tak menjawab. "Hei, kalau betul justeru jangan takut, Eng Hwa. Aku akan menolongmu dan kita
berdua sama-sama pergi, seperti janji semula!"
Tiga kakek di belakang melengak. Mereka jadi heran dan mengerutkan kening ketika
mendengar itu. Kalau betul
begitu maka justeru putera Ci-ongya ini harus dihajar, karena jelas mau
bersekongkol dengan musuh. Tapi
sebelum mereka melakukan itu dan Eng Hwa di sana
melempar dan membanting pengawal maka sebuah
panggilan membuat wanita ini terkejut, menoleh.
"Sst, tak perlu meroboh-robohkan pengawal, Eng Hwa.
Ke marilah, kutolong..!"
Eng Hwa melihat seseorang di situ. Sebuah kepala
melongok dari balik dinding dan itulah Ci-ongya, ayah kekasihnya, atau juga
kekasihnya, pangeran yang baru saja dihajar. Dan ketika Eng Hwa ragu dan
tertegun melihat Ci-ongya menggapai maka adik Coa-ongya itu berseru,
"Hei, di luar ada Pek-mo-ko dan Hek-mo-ko. Jalan larimu tertutup. Marilah dan
ikut aku, lewat jalan rahasia!"
Eng Hwa berjungkir balik. Akhirnya dia tertarik melihat tawaran ini dan girang
menyambut, melayang dan sudah
turun di dekat pangeran itu. Dan ketika ia langsung
menangkap dan mencengkeram leher baju maka dia
membentak, "Kau jangan menipu, atau aku akan
membunuhmu!" "Ah," pangeran ini kesakitan. "Kau terlalu, Eng Hwa.
Sudah melaporkan pencurianku masih juga kau tidak
percaya kepadaku. Lepaskan, atau aku tak dapat bergerak!"
"Kau mau bawa aku ke mana?"
"Keluar tentu saja. Bukankah kau ingin menghindari tiga orang itu?"
"Benar." "Nah, mari, Eng Hwa. Di lorong bawah tanah kita bisa selamat. Tapi beri
imbalannya agar kau dapat keluar!" Eng Hwa terkejut, ganti disambar tangannya
dan dicium. Dalam saat seperti itu ternyata ayah kekasihnya ini masih bernafsu,
dirinya sudah dipeluk dan dadanyapun diremas. Terlalu si tua bangka ini! Tapi
karena dia ingin selamat dan
tersenyum membiarkan itu maka Ci-ongya menekan sebuah tombol dan mereka tahu-
tahu terjeblos ke dalam sebuah sumur rahasia.
"Hati-hati, pegang aku erat-erat!"
Eng Hwa merasa luncuran yang cepat. Entah berapa
lama dia tak tahu tapi mereka tiba-tiba sudah berada di sebuah, ruangan bawah
tanah, terang dan tidak gelap. Dan ketika pangeran itu tertawa dan dia melepas
pelukannya maka Ci-ongya terkekeh dan berseru,
"Heh, di bawah sini kita aman, Eng Hwa. Hayo beri imbalannya sebelum kau benar-
benar kuantar keluar!"
"Kau mau apa?" "Eh, bukankah mau mengantarmu keluar" Eit, jangan kira aku menipumu, Eng Hwa.
Justeru kaulah yang menipu dan tidak dapat kupercaya! Hayo, lepas bajumu dan
kita bersenang-senang sejenak!"
Eng Hwa gemas-gemas geli. Dia tak bergairah dan saat
itu keinginannya hanya keluar, secepatnya meninggalkan tempat itu. Tapi ketika
Ci-ongya mengingatkan bahwa
tanpa dia tak mungkin dirinya keluar dengan selamat maka wanita ini tertegun.
"Kaulayani aku dulu, baru semuanya akan beres.
Bukankah kitab yang diberikan kakakku adalah palsu?"
Si cantik terkejut. "Lihat, aku tahu, Eng Hwa. Dan aku juga membawa
aslinya. Kalau kau mau melayani aku dan baik-baik
bersamaku maka semuanya akan kau peroleh. Buang kitab itu, itu palsu!"
Eng Hwa tertegun. Ci-ongya sudah mengeluarkan kitab
yang lain dan terdapatlah kitab seperti yang persis di tangannya, tersentak dia.
Dan ketika dia menyambar dan merampas kitab itu maka Ci-ongya terkejut dan
berseru, "Eng Hwa, jangan macam-macam. Kalau kau merampas dan membawa lari kitab itu maka
aku akan memanggil tiga orang kakek di luar itu. Atau kakakku akan datang dan
kau terkurung hidup-hidup di tempat ini!"
Eng Hwa melotot. Memang dia menjadi jerih setelah
melihat bahwa di tempat itu kiranya banyak tempat-tempat rahasia yang tidak
diketahui umum. Tadi Coa-ongya
menghilang di balik dinding dan sekarang Ci-ongya ini amblas di perut bumi,


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumur rahasia. Dan karena mengakui bahwa kakak beradik dua orang pangeran ini
adalah orang-orang cerdik yang dapat membuat orang lain celaka kalau tidak
berhati-hati maka Eng Hwa tertawa, memancing.
"Ongya, jangan menggertak aku. Seandainya aku
membunuhmu di sini dan keluar mencari jalan sendiri tentu dapat. Kenapa kau
menakut-nakuti?" "Ha-ha, kau mau coba-coba itu" Cobalah, dan lihat apakah kau dapat keluar tanpa
petunjuk jalan, Eng Hwa. Di sekitar tempat ini tak ada lubang kecuali dinding
melulu!" Eng Hwa tak percaya. Dia melompat dan menghilang
sejenak, membuktikan omongan itu. Dan ketika benar saja bahwa di sekeliling
mereka hanya dinding melulu dan
tampaknya tak ada jalan keluar maka gadis atau wanita ini tertawa, diam-diam
menyembunyikan marahnya. "Ongya, kau benar. Tapi akupun tak sungguh-sungguh.
Ah, keparat kau! Tempat ini memang dinding melulu dan mengherankan bagaimana kau
mengajakku keluar dari sini.
Apakah kau tak bohong dan dapat membuktikan
omonganmu itu" Awas, jangan kau main-main, ongya.
Atau aku akan membunuhmu dan kita berdua mampus di
sini!" "Ha-ha, kaukira aku main-main" Ah, kau terlalu, Eng Hwa. Heran benar bahwa kau
masih juga tak percaya padaku! Sudahlah, aku tak mungkin membohongimu dan
kalau aku bohong tentu kau dapat membunuhku di sini.
Sekarang, apakah kau menepati janjimu untuk melayaniku bersenang-senang" Kalau
mau tentu aku akan membawamu
keluar, tapi kalau tidak tentu saja kau akan tetap tinggal di sini!"
"Dan membunuhmu!"
"Ah, tak mungkin. Kau tak berani membunuhku kalau tak ingin keselamatan dirimu
terancam. Sudahlah, kau mau melayaniku atau tidak?"
"Hm!" Eng Hwa tertawa, mendongkol juga. "Kau cerdik, ongya. Kalau tidak
mengenalmu barangkali tak semua
orang tahu kelicikanmu ini. Baiklah, aku mau bersenang-senang tapi kubaca dulu
kitab catatanmu ini. Kalau cocok, boleh kita teruskan. Tapi kalau tidak, hmm...
aku tak mau bercakap-cakap lagi denganmu dan kau kupaksa untuk
menunjukkan jalan keluar di sini!"
"Ha-ha, kaukira aku bohong" Baiklah, boleh kau baca kitabku itu, Eng Hwa. Dan
buang saja kitab yang kau dapat dari kakakku!"
Eng Hwa mengangguk. Memang dia penasaran dan
heran serta marah melihat dan mendengar semua Itu. Coa-ongya telah menipunya dan
baru sekarang dia tahu. Maka membalik dan membuka-buka halaman kitab itu dia
lalu mencocokkan dan mengecek isinya, memang betul dan
akhirnya dia tertawa. Dan ketika lawan bertanya
bagaimana pendapatnya maka dia mengangguk dan
berkata, "Memang cocok, sungguh tidak salah. Baiklah, aku melayanimu, ongya.
Tapi katakan dulu bagaimana kau
tahu bahwa kitab yang itu palsu!"
"Ah, gampang, Eng Hwa. Aku tahu watak kakakku yang tak dapat dipercaya. Mana
mungkin dia mau memberimu
kitab yang sungguhan" Itu palsu, dan pasti dengan kitab yang pertama
sambungannya tidak cocok!"
"Benar, memang tidak cocok, Dan kitab ini, hmm... dari mana kaudapatkan" Apakah
kau mencurinya pula?"
"Ha-ha, aku mengambilnya untukmu, Eng Hwa. Dan
semua ini sebenarnya atas jasamu juga. Kalau kau tak
mengacau dan membuat ribut di situ tentu aku tak dapat mengambilnya. Tapi karena
kau telah mengacau dan ribut-ribut di luar maka kakakku lengah dan kitabnya
kuambil!" "Tapi dia juga mempunyai kitab lain!"
"Benar, semata untuk menipu kalau seseorang menekannya, Eng Hwa. Berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk kalau hal itu datang!"
"Hm-hm!" Eng Hwa kagum, mengangguk-angguk. "Kau dan kakakmu sungguh orang-orang
luar biasa, ongya. Ah, kalian memang setan dan siluman jahanam!"
"Ha-ha, kau memaki kami" Eh, saat ini kita bersahabat, Eng Hwa, bukan musuh.
Hayo layani aku dan kita bersenang-senang!" Eng Hwa terfwa. Ci-ongya sudah menubruknya dan
menciumi mukanya, dibiarkan dan akhirnya pakaiannya
pun dilepas. Dan ketika dia roboh dan menyambut ciuman-ciuman lawannya itu maka
mereka berdua sudah bergulingan dan melepas hawa nafsu. Bagi Siluman Kucing ini tak jadi soal karena
akhirnya diapun terangsang ciuman-ciuman ganas itu, terkekeh dan balas mencium
lawan dan lekatlah mereka seperti lintah. Dan ketika setengah jam kemudian Ci-
ongya sudah mendapat kepuasannya dan
wanita ini menepati janji maka Eng Hwa mengenakan
pakaiannya kembali dan melompat bangun.
"Cukup, sudah puas. Lain kali kita lanjutkan dan bawa aku keluar!"
"Heh-heh, kau tak ingin lagi?"
"Tidak, ini cukup, ongya. Aku tak mau berlama-lama lagi dan bawa aku keluar dari
sini!" "Baiklah, mari," dan Ci-ongya yang tertawa bangkit berdiri akhirnya menyambar
pakaiannya pula dan sekali dua masih menciumi Siluman Kucing itu. Eng Hwa
mengelak dan mendorongnya. Dan ketika dia berkata
bahwa semua permainan itu cukup maka Ci-ongya
menghela napas dan membawanya keluar. Mula-mula dia
menginjak sesuatu di lantai, menekan sebuah tombol dan terbukalah dinding sumur
itu. Dan ketika lorong atau
jalanan berliku mulai mereka lalui naik turun maka Eng Hwa mengumpat di dalam
hati karena jalanan di situ benar-
benar sukar diinga" Jangankan diingat, menghadapi
tembok-tembok buntu yang sering menghadang mereka saja sudah cukup memberatkan
pikiran, tak gampang baginya
untuk menghapal di mana kira-kira kunci atau tombol
rahasianya. Namun ketika lima belas menit kemudian
mereka sudah menghadapi sinar matahari dan di luar sana menganga sebuah guha
lebar maka Ci-ongya tertawa dan
mengusap pinggulnya. "Nah, Itu, Eng Hwa. Kau bebas!"
Eng Hwa membalik. Dia tertawa dan siap melepas
sebuah tamparan, sebenarnya sejak tadi menahan-nahan
marah dan ingin menghantam mampus laki-)aki yang telah menidurinya ini. Tapi
begitu melihat lawan memegang
sebuah kelenengan dan berkata bahwa dengan kelenengan itu Ci-ongya dapat
memanggil pengawal atau Sudra dan
kawan-kawannya dalam sekejap maka Siluman Kucing ini
tak jadi menggerakkan tangannya.
"Kau mau apa" Membunuhku" Ha-ha, jangan begitu,
Eng Hwa. Kehangatan tubuh kita berdua masih sama-sama menempel. Pergilah, dan
kutanggung kau selamat. Atau
kelenengan ini akan bergoyang dan sekejap saja kakakku dan para pembantunya
datang!" "Keparat, siapa mau membunuhmu" Kau cukup tengik, Ci-ongya. Tapi aku berterima
kasih bahwa kitab-kitab catatan kakakmu telah kudapatkan. Hi-hik, inilah
maksudku sebenarnya, mendekati puteramu dan mempergunakan dirinya untuk menemukan Giam-to-hoat!"
"Hm, begitukah?" sebuah suara tiba-tiba menguak. "Kau kejam, Eng Hwa. Kalau
begitu kau tak berperasaan. Dan kau kiranya Siluman Kucing, penipu!"
Eng Hwa membalik. Dia melihat Ci Fang tiba-tiba
muncul di situ, di luar sana. Dan ketika dia terkejut tapi
tertawa berkelebat ke depan tiba-tiba dilihatnya bayangan dua kakek India dan si
tinggi besar itu, kakek Yalucang.
"Maaf, kau kiranya di sini, Ci Fang. Tapi apa boleh buat, aku harus mengaku.
Baiklah, sampai ketemu lagi dan
banyak terima kasih atas semua kesetiaanmu selama ini!"
Eng Hwa melesat di luar guha, terbang dan cepat
mengerahkan ginkangnya karena saat itu bayangan tiga
kakek lihai semakin dekat. Dia tak berani berlama-lama lagi setelah mereka
muncul. Dan ketika wanita itu lenyap dan Ci Fang mendengus dengan marah maka
Coa-ongya datang dan tertawa-tawa memuji adiknya.
"Ha-ha, kitab itu telah kembali lagi, Ci-te. Siluman Kucing itu kau pedayai
lagi?" Ci-ongya tertawa. "Dia lumayan, sayang memperdayai puteraku. Hm, ini kitabmu,
kanda. Dan maaf hampir saja aku teledor!"
"Ah, kau tak melakukan kesalahan. Untung saja kita waspada. Terima kasih, ha-
ha...!" dan Coa-ongya yang menerima kitab dan menepuk-nepuk pundak adiknya lalu
melihat tiga bayangan kakek-kakek itu. "Sudra, tak perlu dikejar. Biarkan ia
pergi. Ha-ha, Siluman Kucing akan mempelajari Giam-to-hoat palsu!"
-ooo0dw0ooo- Jilid : XXI SUDRA, kakek bersenjata cambuk tertawa. Dia
menjeletarkan cambuknya dengan nyaring ketika tiba disitu, berkelebat dan
saudaranya, Mindra, menyeringai. Dan
ketika Coa-ongya berkata mereka tak usah mengejar wanita itu maka kakek ini
berseru, "Ha-ha, baik, pangeran. Tapi agaknya kami ingin
memberinya sedikit hajaran!"
"Tak usah, kalian pergi saja dan jaga gedung seperti biasa. Kami telah
mengetahui maksudnya dan untung
semua selamat," lalu menghadapi Ci Fang yang melotot disitu pangeran ini
berkata, "Ci Fang, lain kali harap hati-hati. Jangan sembrono membawa wanita
cantik. Tahukah kau bahwa dirimu diperalat" Hm, kalau aku tak waspada tentu keadaan menjadi
runyam, Ci Fang. Sebaiknya kau tak gampang percaya dan selidiki dulu siapa
sahabatmu itu!" Ci Fang mengepal tinju. Kalau dia tidak tahu apa
kiranya maksud kekasihnya itu barangkali dia akan
membela Siluman Kucing mati-matian. Tapi Siluman
Kucing ternyata memperalatnya, ingin memiliki Giam-to-hoat catatan pamannya. Dia
dipergunakan dan jadilah dia kerbau yang dungu. Ah, Eng Hwa benar-benar keparat.
Maka begitu pamannya bicara seperti itu dan dia ditegur tiba-tiba pemuda ini
membalik dan melompat pergi, entah kemana tapi sang ayah maupun sang paman tidak
memanggil. Coa-ongya hanya tersenyum saja melihat sikap keponakannya itu.
Dan ketika semua kembali dan catatan Giam-to-hoat
selamat di tangan Coa-ongya maka keributan itu selesai dan disana Siluman Kucing
Li Eng Hwa mempelajari kitab
palsu! = *d*w* = "Aduh, keparat kau, Golok Maut. Jahanam kau!
Terkutuk! Ah, kubunuh kau kalau nanti kita bertemu...!"
Seorang wanita berjalan terhuyung-huyung sambil
menangis di tepi jalanan berbatu itu, mengutuk dan
mencaci-maki Golok Maut sementara tangannya yang lain memegangi atau mendekap
perut. Sejak pagi dia menangis dan bercucuran air mata, jatuh terguling dua kali
dipematang ketika muntah-muntah.
Dan ketika dia bangkit terhuyung lagi dan berjalan
dengan air mata bercucuran tiba-tiba wanita ini yang
bertubuh ramping namun mengenakan kedok tiba-tiba
dikejutkan oleh berkelebatnya sesosok bayangan seorang pemuda.
"Ha-ha, kau disini, Hek-yan-pangcu" Mengutuk dan memaki-maki si Golok Maut"
Bagus, aku juga benci padanya dan kita berdua dapat menjadi sahabat!" Hi-ngok, Si Hidung Belang Bhok-
kongcu muncul, datang dan tertawa dan pemuda hidung belang ini berseri-seri
memandang ketua Hek-yan-pang itu, yang tampak letih dan pucat. Dan ketika Hek-yan-pang-cu
terkejut dan tertegun, berhenti, maka pemuda itu sudah menyambar lengannya
dengan sikap ceriwis, kurang ajar.
"Tak perlu berduka, ada aku disini. Mari, kita bersenang-senang, pangcu. Dan
Bhok-kongcu akan mengajakmu
melayang ke surga..."
"Plak!" Wi Hong, ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba meronta, membentak dan melepas
satu tamparan tapi Bhok-kongcu menangkis. Pemuda itu tentu saja waspada dan cepat mengelak,
melepas tangan lawan. Dan ketika dia tertawa dan. mundur selangkah, mata
berkejap bersinar-sinar maka
dia mengagumi wajah di balik kedok itu, yang pasti cantik.
"Kita tak perlu bermusuhan. Musuh kita sama, Golok Maut. Kenapa marah-marah,
pangcu" Golok Maut memang jahanam, dia manusia keparat. Aku dapat
mendampingimu dan mencarinya bersama, sama-sama kita
bunuh!" "Diam kau!" Wi Hong, yang marah dan terkejut melihat siapa lawannya ini tiba-
tiba menggigil. "Kau tak berhak bicara seperti itu, orang she Bhok. Lekas kau
pergi dari sini atau aku segera membunuhmu!"
"Ha-ha, dengan tubuh lemah dan muka pucat begini" Eh, tak usah bersombong,
pangcu, Aku tahu kau tak seperti biasanya dan hari ini kau lelah lahir batin.
Tamparanmu tadi menunjukkannya, dan aku tak dapat kau tipu, ha-ha!"
Wi Hong mundur. Tiba-tiba dia menjadi marah namun
juga cemas. Memang, tak dapat disangkal bahwa sesuatu sedang terjadi padanya.
Beberapa hari ini dia muntah-muntah dan sakit, entah sakit apa dia tak mengerti.
Sudah diberinya obat tapi tak sembuh juga. Kepalanya sering pening dan badan pun
rasanya loyo. Makan tak enak tidur tak tenteram. Ada gangguan asing yang seumur
hidup baru kali itu dialaminya. Dia muntah-muntah dan empat hari ini hampir tak
terisi nasi, maklumlah, selera makan tak ada dan dia sama sekali tak tahu gejala
apa itu. Maka ketika Bhok-kongcu itu berkata bahwa dia tak seperti biasanya dan
tenaganya memang lemah ketika menampar tadi maka
ketua Hek-yan-pang yang lagi kacau hubungan asmaranya ini melotot.
Seperti diketahui, terjadi pertengkaran antara wanita cantik ini dengan Golok
Maut, setelah mereka melakukan hubungan suami isteri. Mereka berdua ternyata
sama-sama jatuh cinta tapi Golok Maut akhirnya marah-marah.
Pemuda itu mengutuk kekasihnya karena perbuatan yang
mereka lakukan merupakan pelanggaran berat bagi sumpah Golok Penghisap Darah.
Seharusnya mereka tak boleh
melakukan itu sebelum musuh-musuh Golok Maut
dibunuh, orang-orang she Coa dan Ci khususnya Coa-
ongya dan Ci-ongya. Maka ketika sumpah itu turun dan
dari angkasa Golok Maut mendengar suara tanpa rupa


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka permulaan itu menjadi awal permusuhan mereka.
Golok Maut meninggalkan wanita ini, berpisah. Asyik-
masyuk mereka yang baru mereguk nikmatnya madu
asmara tiba-tiba hancur dengan kemarahan Golok Maut itu, yang sadar setelah
semuanya terjadi. Dan ketika hal itu menyakitkan hati wanita ini dan Wi Hong
tentu saja tertusuk dan marah bukan main maka berakhirnya kisah-
kasih mereka menghancurkan wanita ini.
Wi Hong, seperti diketahui, amatlah mencinta Golok
Maut. Golok Maut pun akhirnya ternyata mencinta gadis baju merah itu dimana
semuanya itu timbul setelah Golok Maut membuka kedok di muka gadis baju merah
ini. Sudah menjadi peraturan di partai Hek-yan-pang bahwa
laki-laki yang membuka kedok ketua atau wakil ketua
haruslah mengawini ketua atau wakil ketua itu, seperti juga para murid lainnya
karena Hek-yan-pang dihuni oleh para wanita belaka. Mereka rata-rata cantik dan
baru Golok Maut itulah yang membuka kedok ketua, setelah mereka
bertempur dan bertanding hebat, gara-gara mempertahankan Ci Fang. Dan karena Golok Maut
berkepandaian tinggi dan tak ada satu murid wanita pun yang mampu menandingi si
Golok Maut itu maka Golok
Maut akhirnya membuka kedok Wi Hong secara tak
disengaja. Dan ternyata itu berkelanjutan.
Golok Maut diminta mempertanggung-jawabkan perbuatannya atau harus membunuh wanita itu, hal yang tak dapat dilakukan Si
Golok Maut karena sebenarnya dia terguncang oleh kecantikan luar biasa wanita
atau gadis baju merah ini.
Dan ketika dia dikejar-kejar dan cinta memang akhirnya bersemi dihati Si Golok
Maut maka dia menerima namun
celaka nafsu menghanyutkan keduanya. Golok Maut mula-
mula bingung ketika dia dipaksa mengawini gadis baju
merah itu. Dia teringat akan sumpah Golok Penghisap
Darah bahwa tak boleh dia menikah kalau semua musuh-
musuhnya belum dihabisi, inilah yang menyebabkan dia
melarikan diri dari markas Hek-yan-pang itu ketika dimintai tanggung jawab.
Bukan masalah takut atau apa melainkan semata teringat akan sumpah dari Golok
Maut itu, yang dibawanya. Tapi ketika dia menyerah dan Wi Hong diterimanya,
mabok dan ternina-bobok oleh asmara yang demikian nikmat tiba-tiba dia lupa akan
sumpah itu dan melanggarnya. Wi Hong
dianggap penggoda tak tahu malu dan gadis atau wanita baju merah ini tentu saja
marah. Wi Hong tak tahu akan sumpah yang mengikat kekasihnya dan tentu saja dia
terkejut sekali. Golok Maut tiba-tiba marah kepadanya dan mengutuk dia habis-
habisan, padahal dia tak tahu apa-apa dan rela menyerahkan segalanya pada orang
yang dicintanya itu. Maka begitu pertengkaran diantara mereka terjadi dan Golok Maut
akhirnya pergi meninggalkannya maka Wi Hong berbulan-bulan menangis dan
terhuyung sepanjang jalan, kaget dan marah akan sikap kekasihnya itu dan tentu saja
perasaannya hancur. Golok Maut dinilai tak bertanggung jawab dan semua kata-
katanya dianggapnya sebagai dalih untuk melepaskan tanggung jawab. Wi Hong malah salah sangka dengan
menganggap Golok Maut mengada-ada. Habis manis sepah dibuang! Maka ketika
hari itu dia bertemu dengan Bhok-kongcu dan si Hidung Belang ini tertawa
mengganggunya mendadak Wi Hong
menjadi beringas dan merah padam.
"Orang she Bhok," katanya sekali lagi. "Jangan mencari penyakit dan pergilah.
Aku tak main-main dan kali ini benar-benar
akan membunuhmu kalau kau menggangguku!" "Ha-ha!" pemuda itu tertawa bergelak. "Aku justeru tak mau pergi kalau kau
mengusirku, nona. Tapi kalau kau
mau kutemani dan kita bersama-sama mencari si Golok
Maut itu maka barulah aku pergi kalau nanti sudah bosan!"
"Sing!" sebatang pedang tiba-tiba berkelebat menyambar, cepat dan ganas.
"Kau benar-benar minta mati, orang she Bhok. Kalau begitu baiklah, terima ini
dan kuantar kau ke neraka!" dan Wi Hong yang sudah mencabut pedangnya
berkelebatan kesana-sini tiba-tiba menggerakkan pedangnya itu bagai harimau haus darah, tak
kenal ampun dan menusuk atau
menikam dan Bhok-kongcu itu tentu saja mengelak.
Si Hidung Belang ini terkejut tapi tertawa menyeringai, berkelebatan dan
mengimbangi kecepatan pedang yang
menyambar-nyambar dari segala penjuru. Tapi karena dia yakin bahwa tenaga
pemiliknya taklah sehebat seperti biasa maka ketika pedang menusuk tenggorokan
dengan berani dia menangkis. "Tring!" Benar saja, pedang terpental. Wi Hong terkejut karena tenaganya tak seperti
biasa dan tangkisan kuku jari lawan mampu
mementalkan pedangnya. Dan ketika dia membentak dan menyerang lagi dengan ganas maka Bhok-
kongcu itu menangkis dan mengelak sana-sini.
"Tring-tring!" Wi Hong pucat. Entah bagai mana tiba-tiba dia merasa
lemah dan perut yang mulas tiba-tiba kambuh kembali. Wi
Hong ingin muntah namun saat itu ditahannya, bergerak dan membentak lawan dan
ditikamnya si Hidung Belang itu dengan penuh kemarahan. Tapi ketika isi perut
bergolak dan lawan lagi-lagi menangkis tiba-tiba dia muntah dan lawan terkejut
karena muntahan itu menyemprot mengenai bajunya.
"Uah...!" Si Hidung Belang terbelalak. Dia melihat ketua Hek-yan-pang itu limbung dan
tiba-tiba roboh, menangis dan
memegangi perutnya yang entah kenapa. Heran dia. Tapi karena saat itu justeru
merupakan saat yang bagus dan Bhok-kongcu terbahak tiba-tiba pemuda ini
berkelebat menotok lawan. "Ha-ha, sekarang habis kesombonganmu, pangcu.
Robohlah dan menyerahlah... ..!"
Tapi ketika dia bergerak dan lawan terkejut memandangnya, tak mampu mengelak tiba-tiba bayangan
hitam berkelebat dan membentak pemuda she Bhok itu dari belakang.
"Hi-ngok, jangan macam-macam. Kaulah yang mampus... singg!" Bhok-kongcu terkejut. Dari belakang menyambar
sebatang pedang lain dan punggungnya menerima tusukan ganas. Dari tusukan ini
dia tahu bahwa lawan yang
berbahaya sedang menyerang, terkesiap pemuda itu. Dan ketika dia membalik dan
apa boleh buat harus menangkis serangan itu sambil mencabut ikat pinggangnya
tiba-tiba si Hidung Belang ini telah membentak dan membalikkan
tubuh. "Plak-plak!" Bhok-kongcu terpental. Bayangan hitam terhuyung
sejenak dan pemuda itu berjungkir balik, kaget melihat seorang gadis lain
berkedok hitam telah berdiri disitu, mata berapi-api. Dan ketika pemuda itu
tertegun dan berjungkir balik melayang turun maka Wi Hong, yang roboh dan
lemas ditanah tiba-tiba berseru girang,
"Cu-moi (adik Cu)...!"
Gadis itu, yang dipanggil dan menoleh tiba-tiba
mengangguk. Dia memang Swi Cu adanya, wakil ketua
sekaligus adik seperguruan Wi Hong, yang mencari dan
menemukan sucinya (kakak seperguruan) disitu. Maka
begitu Wi Hong memanggilnya dan panggilan itu begitu
lemah tiba-tiba Swi Cu berkelebat dan menolong ketuanya ini.
"Suci, kau kenapa" Kau luka?"
"Tidak," Wi Hong menangis. "Tapi... tapi... entahlah, aku tak tahu, Cu-moi.
Akhir-akhir ini aku pusing-pusing dan muntah-muntah. Golok Maut mempermainkan
aku, dan kini buaya ini juga mau menggangguku!"
"Tenanglah," Swi Cu mengerotokkan buku-buku jarinya.
"Aku akan menghajar Si Hidung Belang ini, suci. Aku mencari-carimu dan kebetulan
kita bertemu disini. Golok Maut mencari dirimu di markas, marah-marah dan
mengamuk. Aku hampir saja dibunuhnya!"
"Apa?" "Benar, dia marah-marah, suci. Entah kenapa. Markas kita diobrak-abrik dan dia
memaki-makimu." "Ooh...!" dan Wi Hong yang menangis mengepalkan tinju tiba-tiba berteriak,
"Golok Maut, kau sungguh laki-laki keparat.
Sudah mempermainkan aku masih juga mengganggu markasku. Ah, kubunuh kau. Terkutuk
kau...!" Namun Wi Hong yang tersedak dan batuk serta muntah-
muntah tiba-tiba mengejutkan Swi Cu karena ketua atau sucinya ini terguling
roboh, lemas oleh penyakit aneh dan mengeluh menyatakan pusing-pusing.
Pada saat itu Bhok-kongcu tertegun disana, mendengar
percakapan dua enci adik itu. Tapi ketika Wi Hong
terguling dan pemuda hidung belang ini bersinar-sinar memandang Swi Cu, gadis
yang baru datang tiba-tiba dia menyeringai dan menubruk gadis itu dari belakang,
melepas pukulan diam-diam, dalam satu kilatan mata yang keji.
"Wut!" Swi Cu lupa. Gadis ini tak menyadari bahaya karena saat itu perhatiannya
tercurah pada sang suci, Wi Hong,
menolong dan membantu sucinya itu duduk. Tapi karena
saat itu Wi Hong kebetulan melihat serangan ini dan tentu saja gadis baju merah
itu terkejut tiba-tiba Wi Hong
berteriak, "Awas!" Swi Cu sadar, Angin pukulan Bhok-kongcu akhirnya
terdengar juga, dalam detik yang terlambat. Maka kaget dan mengeluh tertahan
tiba-tiba Swi Cu mengelak dan marah oleh serangan curang ini.
"Dess!" Dia terkena juga. Swi Cu mencelat terguling-guling
karena angin pukulan Bhok kongcu menyerempet pundaknya, pedas dan pedih dan Swi Cu gusar. Bhok-
kongcu tertawa tapi menyeringai kecewa, melotot pada Wi Hong yang memberi tahu
adiknya. Maka ketika Swi Cu
bergulingan mengeluh di sana dan gadis baju hitam itu
memakinya maka si Hidung Belang yang gagal pukulannya ini tiba-tiba menubruk dan
meneruskan serangannya pada Wi Hong.
"Kutangkap kau...!"
Wi Hong terkesiap. Dia dalam keadaan lemah dan
tenaga serasa habis. Entah kenapa dia merasa tubuhnya begitu lunglai dan tentu
saja tubrukan atau serangan itu tak dapat ditangkis. Jangankan ditangkis, dielak
saja dia tak sanggup dan Wi Hong mengeluh pucat. Dan ketika
tubrukan itu datang dan gadis ini berusaha miringkan
tubuhnya maka sebuah tamparan mengenai lehernya.
"Plak!" Wi Hong menjerit pingsan. Pukulan atau tamparan
Bhok-kongcu tadi cukup keras baginya, tak tahan dia.
Namun ketika Bhok-kongcu terbahak dan mau menyambar
tubuh itu tiba-tiba Swi Cu membentak dan gadis itu
melontar pedangnya yang mendesing dibelakang punggung lawannya.
"Jangan sentuh suciku!"
Bhok-kongcu terkejut, Terpaksa apa boleh buat dia
membatalkan niatnya, membalik dan menangkis timpukan
pedang yang luar biasa cepat itu. Dan ketika pedang
tersampok runtuh namun dia terhuyung mundur maka Swi
Cu sudah berkelebat dan menyambar pedangnya dari atas tanah.
"Kau jahanam keparat!"
Bhok-kongcu menyeringai. Untuk detik berikutnya dia
sudah diserang gadis baju hitam ini, ganas dan cepat dan tentu saja dia mengelak
sana-sini. Tapi ketika pedang menyambar kian cepat dan sinar yang bergulung-
gulung naik turun mengelilingi dirinya tiba-tiba bahunya terbabat robek.
"Bret!" Bhok-kongcu sadar. Tiba-tiba dia terkejut bahwa yang
dihadapi kali ini adalah gadis yang penuh tenaganya, tidak seperti Hek-yan-
pangcu yang pada mulanya memang tak
enak badan, sedang menderita sakit. Maka ketika Swi Cu berteriak lagi dan
melengking-lengking melakukan tusukan atau bacokan cepat akhirnya pemuda she
Bhok ini tak bisa mengelak saja, mau tak mau harus mencabut senjatanya, ikat-
pinggangnya itu. "Plak-cringg!" Swi Cu menjadi gusar. Lawan mencabut senjatanya dan
pedangnya tertolak terpental, membalik dan menyerang lagi namun ikat-pinggang di
tangan lawan kini menjeletar-njeletar menyambut pedangnya itu. Dan ketika gadis
ini berteriak dan pedang serta ikat-pinggang berkelebatan menjadi satu tiba-tiba
Swi Cu melakukan bentakan tinggi dan tangan kirinya bergerak menyambar.
"Dess!" Ang-in-kang, Pukulan Awan Merah tiba-tiba menghantam lawannya itu. Bhok-
kongcu terkejut dan terdorong beberapa tindak, tadi tak menduga dan dia
terkena pukulan itu. Tapi karena pemuda ini memang kuat dan Ang-in-kang hanya
membuatnya tergetar dan terdorong saja tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak
menggerakkan tangan kirinya pula.
"Ha-ha, pukulan Awan Merah, nona" Bagus, kita sama-sama memiliki pukulan
bersinar merah. Lihat, akupun juga punya .... plak-dess!" dan tangan kiri Bhok-
kongcu yang bergerak dan menyambut pukulan di tangan kiri lawan tiba-tiba
meledak dan mengeluarkan suara keras, mengejutkan
Swi Cu karena sinar merah di tangan lawannya itu


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan bau amis. Kagetlah gadis ini, juga marah. Dan ketika Ang-in-kang disambut dan selalu
bertemu dengan tangkisan-tangkisan lawan yang juga serupa namun amis dan lebih
berbahaya sadarlah Swi Cu bahwa lawan mempergunakan pukulan
beracun. "Ang-tok-kang (Pukulan Racun Merah)!"
"Ha-ha, cocok!" Bhok-kongcu berseru terbahak. "Memang benar, nona. Dan kini Ang-tok-kang bertemu Ang-in-kang. Aih, seharusnya kita tak usah bertempur
melainkan bersahabat. Ha-ha...!" dan Bhok kongcu yang terbahak dan tertawa
bergelak tiba-tiba melingkarkan ikat-pinggangnya dan menggubat pedang Swi Cu,
menarik dan membetot dan Swi Cu terkejut.
Saat itu dia menyerang tapi lawan menangkis,
menggerakkan ikat-pinggangnya itu dan melingkar dari
atas. Dan ketika pedang tergubat ujungnya dan tarik-
menarik diantara mereka tentu saja terjadi maka Bhok-
kongcu tiba-tiba melepas Ang-tok-kangnya dengan tangan kiri itu.
"Dess!" Swi Cu terpaksa menyambut, apa boleh buat harus
menggerakkan tangan kirinya pula dan kini kedua tangan mereka menempel.
Bhok-kongcu tertawa bergelak dan jari-jari tangan lawan yang lembut diusapnya,
diremas dan Swi Cu tentu saja
mendelik. Gadis itu tak dapat melepaskan tangannya
karena baru saja menangkis, bertemu dan lawan secara
kurang ajar ternyata kini meremasnya, terbahak tapi tentu saja Ang-tok-kang
terus mengalir dari lengan pemuda itu,
ditahan dan disambut Ang-in-kang namun Swi Cu
terguncang lebih dulu, yakni ketika lawan mengusap dan meremas jari-jarinya itu,
dengan sikap kurang ajar. Dan karena hal ini memecah perhatiannya karena
kemarahan luar biasa membuat gadis itu serasa meledak maka tiba-tiba dia terdorong ketika
Ang-tok-kang maju menerjang.
"Hek!" Swi Cu mendelik. Saat itu dia sadar dan cepat
mengerahkan tenaganya kembali, bertahan. Namun karena tadi sudah kalah satu
Lembah Patah Hati 5 Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Pukulan Si Kuda Binal 4
^