Pencarian

Golok Maut 5

Golok Maut Karya Batara Bagian 5


Namun ketika jala mulai dilepas dan semua orang berteriak-teriak maka Sin Hauw
bingung sementara kepalanya semakin berat berputar-putar.
"Terkutuk kalian. Pengecut!"
Semua orang marah. Mereka tak menghiraukan makian
Sin Hauw karena sudah menyebar jala. Semua takut
menghadapi ketajaman golok. Sin Hauw sebenarnya sudah gemetar dan diharap roboh,
pemuda ini memang hampir tak kuat karena perutnya mendidih. Isi perutnya itu seakan terbakar dan hanya
berkat pengerahan sinkangnya sajalah dia dapat menahan semuanya itu. Dan ketika
jala menyambar dari segala penjuru dan mau tak mau Sin Hauw harus menggerakkan
goloknya maka semua jala dibabat dan dua di antaranya putus. "Crat-tas!"
Kak-busu dan Lutung Putih memaki. Merekalah yang
putus jalanya namun sudah mengambil lagi, yang baru,
melempar dan mengincar bagian bawah Sin Hauw. Dan
karena dari mana-mana berhamburan jala-jala lebar dan Sin Hauw sibuk akhirnya
sebuah di antaranya mengenai
kakinya. Kebetulan sekali dari nenek Im-kan Sian-li yang
memandang penuh kebencian kepada pemuda ini. Sin
Hauw terjirat dan ditarik roboh. Dan ketika pemuda itu terguling dan nenek itu
berteriak agar merampas goloknya maka Kak-busu dan Pek-wan sudah melakukan itu,
tanpa diperintah dua kali. "Bret-dess!" Sin Hauw masih melakukan kejutan. Dihantam dan
dipukul terguling-guling oleh serangan Im-kan Siang-ii dia masih juga dapat
menggerakkan goloknya, Pek-wan
terkesiap karena golok menyambar dirinya, membabat
pundak dan hampir saja dia terbabat, baju pundaknya sobek dan Lutung Putih itu
melempar tubuh bergulingan, Kak-busu mendapat tendangan Sin Hauw namun Im-kan
Sian-li sudah melepas jarum-jarum kecil, tiga menancap di tubuh Sin Hauw namun
runtuh, kiranya Sin Hauw masih kebal
dan kuat sinkangnya, mampu menahan sambitan jarum dan pemuda itu tak apa-apa.
Tapi ketika pengawal mengeroyok dan maju lagi maka Sin Hauw terhuyung-huyung dan
akhirnya satu tendangan Im-kan Sian-li melempar
tubuhnya, terguling-guling dan Kwi-goanswe maju menggerakkan jala. Dan ketika jala mengenai pinggang Sin Hauw dan pemuda itu
terlilit maka jenderal ini menarik dan Sin Hauw roboh.
"Brukk!" Semua orang bernafsu sekali. Sin Hauw seolah ikan
gemuk yang siap disantap, ditubruk dan beberapa jala
menyambar lagi, Sin Hauw mengeluh karena kepalanya
terputar-putar, tak kuat dia. Maka ketika jala berhamburan menjerat tubuhnya dan
Sin Hauw kali ini tak mampu
mengelak maka pemuda itu tertangkap dan goloknya
ditendang nenek Im-kan Sian-li.
"Des-plak!" lepaslah golok itu, terlempar dari tangan Sin Hauw dan nenek Im-kan
Sian-li berseru girang. Nenek itu berjungkir balik merampas golok. Tapi ketika
dari kiri dan kanan berkelebat bayangan Lutung Putih dan Kak-busu
serta Kwi-goanswe ternyata empat orang itu berebut golok.
"Serahkan padaku!"
"Tidak, ini milikku..!" dan Im-kan Sian-li yang membentak menerima pukulan
Lutung Putih tiba-tiba menendang dan marah memaki temannya itu, menyambar
golok namun gagal. Kak-busu menendang dan golok pun
mencelat lagi, tinggi ke udara. Dan ketika Kak-busu
berjungkir balik namun Kwi-goanswe berkelebat disampingnya maka golok itu telah didahului dan
berpindah tangan. "Hei..!" Lutung Putih berteriak. "Serahkan kepadaku, goanswe. Nanti Im-kan Sian-
li merampasnya darimu!"
Benar saja. Nenek itu, yang marah digagalkan Pek-wan
melengking tinggi. Sin Hauw yang roboh tiba-tiba mereka lupakan karena tercurah
pada golok. Senjata luar biasa itu telah menarik perhatian mereka dan melupakan
segalanya, Kwi-goanswe ditampar dan jenderal itu terkejut, golok terlepas dan
mencelat lagi dari tangannya. Dan ketika golok terlempar dan mencelat ke udara
maka Lutung Putih berseru keras mendahului Im-kan Sian-li.
"Plak-dess!" Nenek itu ternyata tak mau mengalah. Lutung Putih
yang mengacau dihantam dari samping, golok mencelat lagi dan Lutung Putih
terpental di udara. Dan ketika Im-kan Sian-li tertawa dan menyambar golok maka
golok sudah berada di tangannya tapi celaka sekali Kak-busu
menyerangnya. "Lepaskan, nenek siluman. Berikan itu padaku!"
Nenek ini terkejut. Saat itu mereka jadi berebut sendiri, kawan menjadi lawan
dan Coa-ongya terbelalak. Golok
masih terus berpindah tangan dan terlempar di udara,
masing-masing menghendaki senjata itu dan tak ada yang mau mengalah. Mereka
melupakan Sin Hauw dan pengawal pun tertegun. Apa yang terjadi memang di luar dugaan dan semua
mendelong. Tapi ketika nenek itu
menangkis pukulan Kak-busu dan Pek-wan serta Kwi-
goanswe berkelebat bersamaan maka golok terlepas dari tangan nenek itu dan Coa-
ongya maju membentak, "Berhenti.. tringg!"
Golok jatuh ke lantai. Sekarang semua orang berhenti
karena terkejut mendengar bentakan pangeran. Coa-ongya marah sekali karena para
pembantunya bertengkar. Dan
ketika tak ada satupun yang berani memungut golok karena pangeran sudah maju
dengan muka merah maka pangeran
itu mengambil golok ini. "Semua tak boleh berkelahi. Hentikan perselisihan ini!"
Aneh, semua melotot memandang golok yang dipungut
pangeran itu. Pek-wan dan Im-kan Sian-li saling pandang, mereka rupanya tak rela
golok itu diambil Co-ongya. Maka begitu mengangguk dan melompat maju tiba-tiba
keduanya berseru, "Pangeran, berikan golok itu kepada hamba!"
"Tidak, hamba yang lebih berhak, pangeran. Hamba yang merobohkan pemuda itu!"
im-kan Sian-li protes, merasa dialah yang merobohkan Sin Hauw namun Ki-goanswe
melompat maju. Dan ketika dua orang itu melotot sementara pangeran sendiri marah
memandang keduanya maka Kwi-goanswe berseru bahwa dialah yang lebih
pantas. "Tidak. mereka tak berhak, pangeran. Akulah yang menggubat pinggangnya hingga
bocah itu roboh. Kalau tak kulilit pinggangnya tadi tentu mereka ini tak dapat
merobohkan pemuda itu!"
Coa-ongya mendelik. Setelah Kwi-goa-swe sendiri turut berebut dan berani bicara
maka pangeran itu menghadapi ketiganya. Dan ketika semua terkejut karena mata
pangeran berapi-api maka pangeran itu membentak dengan sikap
gusar, "Kalian ini siapakah berani bicara seperti itu"
Tidakkah kalian tahu bahwa kalian adalah pembantu-
pembantuku" Atau kalian mau memberontak?"
Semua orang kuncup. Setelah pangeran membentak dan
berkata seperti itu tiba-tiba saja semua orang tak berani bercuit, Coa-ongya
marah-marah dan mereka melihat
pengawal bergerak maju, rupanya mereka mau melindungi pangeran dan tentu saja
memusuhi mereka, hal yg tidak menguntungkan. Dan ketika Kwi-goanswe ditatap
tajam dan menunduk serta membungkuk maka Lutung Putih dan
Im-kan Sian-li juga melipat punggung.
"Maaf, pangeran. Kami lupa."
"Nah, begitu. Lihat pemuda itu, Sian-li. Kenapa harus ribut dan bermusuhan
sendiri" Bukankah Sin Hauw masih harus dibereskan" Tangkap pemuda itu, dan
jebloskan ke penjara bawah tanah!"
Kwi-goanswe terkejut. "Tidak dibunuh, pangeran" Masih dibiarkan hidup dan di-
penjarakan?" "Ya, aku tertarik pada pemuda ini, goanswe. Aku ingin memberikan
kesempatan padanya untuk mengabdi padaku!" Semua terkejut. Kata-kata pangeran yang di luar dugaan sungguh tak mereka
sangka, Sin Hauw malah hendak
diangkat sebagai pembantu, dari lawan menjadi kawan!
Dan ketika semua tertegun namun tak ada yang berani
membantah maka Sin Hauw ditangkap dan dimasukkan
ruang bawah tanah, malam itu juga membuat para
pembantu Coa-ongya tak senang. Im-kan Sian-li paling
marah karena saudaranyalah yang paling menderita, kedua lengannya buntung. Namun
karena titah telah diucapkan dan mereka hanya sebagai pembantu saja maka nenek
itu menahan marah dan sakit hatinya, tentu saja tak puas
sementara yang lain-lain teringat golok. Bagi Pek-wan atau Kak-busu tentu saja
golok lebih penting. Mereka tak perduli penderitaan
Im-kan Sian-li yang satunya. Mereka mengincar golok karena itulah senjata langka yang amat mujijat, senjata keramat
yang harus didapatkan, kalau perlu dicuri! Dan ketika Sin Hauw ditawan dan golok
peninggalan gurunya di rampas maka malam itu pemuda
ini tak sadarkan diri karena pengaruh arak, pusing dan berputar karena
sesungguhnya dia diberi arak pelumpuh semangat. Sebenarnya kalau bukan Sin Hauw
tentu sudah roboh sejak tadi. Sin Hauw memiliki sinkang yang kuat dan karena itu
Coa-ongya kagum, apalagi setelah Sin Hauw
mengeluarkan goloknya, Golok Maut yang luar biasa
tajam. Dan ketika malam itu Sin Hauw masih tak sadarkan diri sementara goloknya
dirampas Coa-ongya maka pemuda itu menjadi tawanan dan dijaga Kak-busu.
ooooo0de0wi0ooooo "Bagaimana, kau mau menjadi pembantuku, Sin Hauw"
Kau mau bekerja untuk istana dan negara?"
Sin Hauw menggigit bibir. Keesokan harinya dia sadar
dan Coa-ongya sudah ada di depannya, dia ditanya namun
belum menjawab. Dan ketika sang pangeran mengulang
lagi dan Sin Hauw mengerutkan kening maka pemuda itu
menjawab, membalas pertanyaan dengan pertanyaan pula,
"Kenapa aku tak dibunuh" Mana senjataku?"
"Ah," sang pangeran tertawa. "Aku tak berniat membunuhmu, Sin Hauw. Justeru
ingin mengambilmu sebagai pembantu." "Tapi golokku kau rampas. Dan kau curang!"
"Nanti dulu! Curang bagaimana, Sin Hauw" Bukankah baik-baik aku menawanmu sini"
Lihat, kau segar-bugar. Kau mendapat makan minum cukup dan kami tak
melukaimu!" "Hm, tapi sikapmu melukai perasaanku, pangeran. Kau melindungi dan membela Kwi-
goanswe!" "Tentu saja. Dia pembantuku, Sin Hauw. Siapapun
harus kuljndungi kalau ia pembantuku! Sekarang jawab
pertanyaanku maukah kau bekerja di sini dan menjadi
pembantuku!" "Di sini ada Kwi-goanswe!" Sin Hauw tak senang. "Kau tak dapat mencampur dua
seteru, pangeran. Dia harus
kubunuh karena berhutang dua jiwa!"
"Hm, persoalanmu sudah kuketahui," sang pangeran mengangguk-angguk. "Urusan itu
sebuah kesalah-pahaman, Sin Hauw. Kau tak dapat menuntut Kwi-goanswe karena
sesungguhnya ia tak bersalah!"
"Bagus, membunuh jiwa orang tak bersalah, pangeran"
Melenyapkan nyawa orang kau anggap benar?"
"Aku tahu," sang pangeran tersenyum. "Masalah ibumu telah kudengar, Sin Hau. Dan
sesungguhnya masalah itu telah diselesaikan. Ibumu bukan dibunuh Kwi-goanswe
melainkan secara tak sengaja terbunuh oleh pengawalnya.
Aku telah mendengar itu, dan Kwi-goanswe juga telah
membunuh pengawalnya!"
"Bukan hanya ibuku!" Sin Hauw mengetrukkan gigi.
"Enciku juga dibawanya, pangeran. Dan mungkin telah dibunuhnya!"
"Ha-ha, Hwa Kin?" sang pangeran tertawa bergelak.
"Lagi-lagi kau salah, Sin Hauw. Encimu masih hidup dan tidak diapa-apakan!"
Sin Hauw terkejut. "Kau tidak percaya?"
Pemuda ini bersinar-sinar. "Kau barangkali benar, pangeran. Tapi juga barangkali
menipuku. Aku jadi ragu atas pernyataanmu ini!"
"Ha-ha, kalau begitu boleh kubuktikan. Tapi bagaimana kalau betul" Bagaimana
kalau aku tidak bohong" Maukah kau menjadi pembantuku dan bekerja di sini?"
Sin Hauw ragu. "Lihat, aku telah bersikap jujur, Sin Hauw. Tinggal kau dapat mengimbangi atau
tidak. Aku jamin bahwa encimu
masih hidup dan selamat hingga saat ini!"
Sin Hauw tergetar. Kalau sang pangeran sudah berkata
seperti itu dan dia dapat membuktikan bahwa encinya
masih hidup tentu saja dia girang. Berarti dendamnya
berkurang dan dia sedikit terhibur. Tapi bagaimana dengan ibunya" Haruskah dia
diam saja karena betapapun ibunya telah terbunuh" Dan di situ ada Kwi-goanswe.
Dia akan berkumpul dengan orang yang tidak disenangi ini dan Kwi-goanswe adalah
orang yang telah menyebabkan ayahnya
terbunuh. Jadi soal itu akan merepotkannya karena
betapapun dia harus menuntut baias, meminta tanggung
jawab, Dan ketika Sin Hauw tertegun dan juga ragu atas penawaran ini maka
pangeran yang tampaknya dapat
membaca pikirannya itu berkata, lagi-lagi membujuk,
"Apa yang kau pikirkan aku tahu, Sin Hauw. Sungguh sayang bahwa kau masih
membawa-bawa persoalan ayahmu. Kwi-goanswe tak membunuh ayahmu itu, justeru
dia diculik dan akhirnya dibawa teman-temannya sendiri!"
"Teman-temannya siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan pengikut Chu Wen yang bodoh itu" Memang ayahmu dibawa ke
kota raja, Sin Hauw. Tapi di tengah jalan diculik dan dibawa lari teman-temannya
sendiri!" "Hm," Sin Hauw tertegun. "Suhu
tak pernah menceritakan ini, pangeran. Dan aku tak percaya!"
"Percaya atau tidak kau nanti dapat bertanya pada encimu. Kalau aku bohong tentu
ketahuan!" Sin Hauw lagi-lagi tergetar. Coa-ongya ini bicara begitu sungguh-sungguh hingga
nampak meyakinkan. Encinya


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali disebut-sebut dan Sin Hauw tiba-tiba rindu. Ia tergerak dan tentu saja
ingin melihat encinya itu, inilah satu-satunya saudara yang merupakan
keluarganya. Setelah suhu dan subonya tewas bisa dibilang ia adalah
sebatangkara. Hidupnya sang enci membuat semangat Sin Hauw terbangun. Dan ketika
sang pangeran bertanya dan kembali meyakinkan tentang ceritanya tadi maka Sin
Hauw mengangguk dan akhirnya mengalahkan perasaannya
sendiri. "Baiklah, aku menerima, pangeran. Tapi golokku harus dikembalikan!"
"Ha-ha, tentu, Sin Hauw. Tapi kau harus bersumpah atas nama ayah ibumu bahwa kau
akan setia kepadaku!"
"Begitu berat?" Sin Hauw terkejut. "Sumpah biasa kukira cukup, pangeran. Tak
usah membawa-bawa nama ayah
ibuku!" "Tidak, aku tak mau pertukaran ini berat sebelah, Sin Hauw. Kau harus menyatakan
setiamu dan berjanji dapat bekerja sama dengan semua pembantuku, termasuk Kwi-
goanswe. Atau aku tak mau mempertemukan encimu
denganmu!" Sin Hauw kalah. Disebut-sebutnya nama encinya
akhirnya membuat dia luluh. Itu memang pelumpuhnya
dan Sin Hauw berjanji, menyatakan sumpahnya dan mau
bekerja di samping pangeran ini, menjadi pembantunya.
Dan ketika dengan berat Sin Hauw menyebut nama ayah
ibunya untuk pelengkap sumpah maka Coa-ongya tertawa
bergelak dan memeluk pemuda itu, girang bukan main,
"Bagus, sudah kukira, Sin Hauw. Kau pasti berpikiran panjang dan tidak
menentangku! Ha-ha, mari kukembalikan golokmu dan kau lihatlah encimu!" Coa-
ongya bertepuk tangan, memanggil Kak-busu dan muncullah laki-laki tinggi kurus
itu. Dialah yang menjaga dan sesungguhnya
pangeran memang tidak sendirian, diam-diam dikawal dan Kak-busu cepat diminta
mengambil golok, senjata maut
yang dimiliki Sin Hauw itu, yang kemarin dirampasnya.
Dan ketika Sin Hauw menerima golok dan tidak curiga
maka sang pangeran membawa pemuda itu keluar dari
ruang bawah tanah, menuju ke gedungnya dan Pek-wan
serta yang lain-lain muncul, begitu pula Im-kan Sian-li yang masih sehat, yang
lain terbaring sakit dan Sin Hauw
berdebar. Kwi-goanswe muncul terakhir dan seorang
pemuda lain tiba-tiba mengiring pula di belakang jenderal tinggi besar itu. Kwi
Bun, pemuda yang kini gagah dan
tampan tapi yang tersenyum mengejek memandang Sin
Hauw. Pemuda itu sinis memandang dan Sin Hauw
berdetak, ternyata Kwi Bun ada di situ dan tentu saja dia tak melupakan musuhnya
sejak kecil ini, apalagi dulu Kwi Bun adalah bekas "majikannya", majikan kecil
yg sombong dan angkuh! Dan ketika Sin Hau melewati orang-orang itu dan mereka
semua membungkuk memberi hormat maka
pangeran tertawa berkata pada mereka,
"Sin Hauw sekarang kawan. Dia pembantuku!"
Ada rasa tak enak di hati Sin Hauw. Semalam dia datang sebagai musuh, kini tiba-
tiba sudah berbalik arah, menjadi pembantu Coa-ongya dan orang-orang yang
semalam dimusuhinya mendadak sontak menjadi kawan. Janggal
sekali rasanya! Tapi karena pangeran mengimbanginya
dengan masalah encinya dan mati hidup encinya itu
memang segala-galanya bagi Si Hauw maka pemuda itu
menindas semua perasaannya dan menegakkan kepala
melewati orang-orang itu, tak perduli pada sinar mata mereka yang aneh dan Sin
Hau terus dibawa ke dalam. Dan ketika yang lain diajak memasuki gedung dan untuk
pertama kalinya Sin Hauw disambut secara benar maka
pangeran hendak menjamu pemuda ini sambil menyuruh
Hwa Kin ke-luar. "Encimu sebentar datang. Aku ingin merayakan
perjumpaanmu yang membahagiakan ini!"
Sin Hauw bersinar-sinar, Dia jadi teringat janji Coa-
ongya yang katanya juga akan memanggil Kwi-goanswe,
yang ternyata bohong dan justeru melolohinya dengan arak perampas tenaga. Sin
Hauw was-was dan tentu saja tak
nyaman. Tapi ketika pangeran tertawa dan berkata padanya bahwa tak usah dia
khawatir maka pangeran sudah
menyuruhnya duduk. "Mari, tak usah ragu. Sambutanku benar-benar tulus dan tak usah kau khawatir!"
Sin Hauw semburat merah. Pangeran sudah menyuruhnya duduk sementara dia sendiri sudah memilih sebuah kursi, duduk
mengajak Sin Hauw dan untuk kedua kali Sin Hauw berhadapan dengan pangeran ini.
Semalam sebagai musuh kini sebagai sahabat, canggung juga Sin Hauw. Tapi ketika
pangeran menuangkan arak dan Sin
Hauw tak buru-buru menerima maka pemuda itu berkata
biarlah dia menunggu dulu encinya.
"Ha-ha, boleh, Sin Hauw. Kalau begitu yang lainpun biar menunggu encimu!"
Sang pangeran bertepuk tangan. Pelayan yang datang
menghidangkan makanan disuruh meletakkan dulu di meja, mereka semua jadi menanti
dan menunggu Hwa Kin, Coa-ongya telah memerintahkan seorang dayangnya untuk
memanggil gadis itu. Dan ketika tak lama kemudian
terdengar suara langkah kaki dari dalam maka muncullah seorang gadis yang
berhenti di pintu tengah.
"Sin Hauw..!" Sin Hauw tergetar. Seorang gadis cantik memanggil
namanya dengan suara tertahan, menggigil dan pucat. Sin Hauw menjublak karena
itulah encinya, agak berobah
namun masih cantik, tubuhnya semakin matang dan Sin
Hauw terguncang. Gadis cantik itu memanggilnya sekali lagi dan tiba-tiba
menjerit, menghambur dan menubruk
dirinya. Dan ketika Sin Hauw bangkit berdiri dan menggigil menerima tubrukan ini
maka Hwa Kin, encinya itu sudah mengguguk dan tersedu-sedu menerkamnya.
"Oh, tak kusangka kau masih hidup, Sin Hauw. Tak kusangka kita dapat bertemu di
sini. Aduh, Coa-ongya tak menipu-ku..!" dan Sin Hauw yang sudah menggigil dan
balas memeluk akhirnya tersedak dan menangis tak dapat menahan haru, melihat
encinya sehat walafiat tak kurang suatu apa, segar-bugar dan tentu saja dia
girang. Dan ketika Hwa Kin mengguncang-guncang tubuhnya dan mencengkeram serta menangis maka Sin Hauw ikut
mencucurkan air mata dalam haru dan girangnya.
"Enci, ini bukan mimpi" Kau juga masih hidup?"
"Benar, ini bukan mimpi, Sin Hauw. Aku masih hidup!
Ah, kau semakin gagah dan tampan. Kau kudengar
memiliki kepandaian tinggi dan lihai!"
"Ah, ini berkat guruku, enci. Mendiang Sin-Iiong Hap Bu Kok dan isterinya
mendidikku sampai begini."
"Mendiang" Jadi mereka.."
"Benar, mereka tiada, enci. Tapi kepandaiannya telah kuwarisi!"
"Ah!" dan Hwa Kin yang girang memeluk pemuda itu lalu menangis tapi tertawa,
girang dan terharu dan Sin Hauw berlinang-linang. Encinya sekarang tampak montok
dan cantik sekali, wajahnya segar berseri-seri dan seolah tak ada himpitan
batin, heran dia. Namun karena encinya
masih hidup dan tentu saja dia ingin banyak bicara maka Sin Hauw mendengar tepuk
tangan pangeran. "Ha-ha, cukup, Sin Hauw. Sekarang mari duduk!"
Sin Hauw teringat. Dia terkejut ketika sadar bahwa
semua orang memandangnya. Tadi dia terlampau girang
dan terharu bertemu encinya ini. Mereka kakak beradik ternyata masih hidup
semua, ini kebahagiaan yang memang harus dirayakan. Maka ketika pangeran
bertepuk tangan dan menyuruhnya duduk Sin Hauw sudah disambar dan
didahului encinya. "Sin Hauw, benar kata pangeran. Mari ucapkan dulu terima kasih padanya.
Ketahuilah, tanpa Coa-ongya tak mungkin encimu ini masih hidup!"
Sin Hauw tersipu-sipu, diajak encinya mendekati meja
dan encinya itu sudah menjura di depan pangeran. Dan
ketika dia diajak mengucap terima kasih dan encinya itu menangis meluapkan
perasaannya maka pangeran bangkit
berdiri menyambut encinya itu, memeluk pundaknya,
lembut dan mesra. "Sudahlah, semua ini berkat Tuhan, Kin-moi. Duduk dan ajaklah Sin Hauw
bergembira!" Sin Hauw tertegun. Encinya dipeluk dan tampak
menyambut mesra sikap pangeran itu, mereka layaknya
sudah akrab benar dan satu sama lain melempar pandang bahagia. Sin Hauw
mengerutkan kening. Tapi ketika
encinya duduk dan dia juga diminta duduk maka pangeran menjamunya dan hari itu
dia benar-benar seperti raja, mendapat kehormatan sejati. Pangeran menyuruh
semua orang makan minum dan ditenggaklah arak berulang-ulang, Sin Hauw tak ragu lagi
karena encinya juga turut minum.
Aneh! Dan ketika semua orang bergembira dan saling
menemukan cawan untuk memberi hormat padanya maka
Hwa Kin, encinya, juga tampak dihormat dan mendapat
perhatian istimewa. Kwi-goanswe dan lain-lain menghormat encinya itu seperti mereka menghormat
pangeran, Sin Hauw tertegun dan bertanya-tanya dalam
hati. Dan ketika empat jam kemudian semuanya selesai dan pertemuan
dibubarkan maka Coa-ongya memberi kesempatan padanya untuk bercakap-cakap dengan encinya itu, berdua.
"Kalian puaskanlah kerinduan masing-masing. Bawa Sin Hauw ke kamarnya dan ajak
adikmu bercakap-cakap!"
Sin Hauw girang bukan main. Ini memang yang
ditunggu dan dia sudah tak sabar, ingin berdua dan
bercakap-cakap dengan encinya itu. Maka begitu Coa-
ongya memberi kesempatan dan encinya bangkit berdiri
encinya itu sudah tertawa menyambarnya.
"Lihat, pangeran demikian bijaksana, Sin Hauw.
Sungguh sepatutnya kita menghormat dan berterima kasih!"
Sin Hauw mengangguk. Memang pandangannya kini
sudah berobah, pangeran dianggapnya baik dan tentu saja dia bersikap
mengimbangi. Semua sikap permusuhannya
lenyap dan Sin Hauw sudah mengangguk. Dan ketika sang enci. menarik dan
membawanya ke dalam ternyata dia
sudah mendapat sebuah kamar yang bagus dan indah.
"Ini kamarku?" "Benar, dan kau selamanya tinggal di sini, Sin Hauw, mendampingi encimu dan
jangan pergi lagi!" Sin Hauw berdebar. Masuk ke kamar berdua dengan
encinya ini tiba-tiba menimbulkan rasa panas di wajah.
Entahlah, setelah enam tahun tak berjumpa dan kini
mereka tiba-tiba sudah sama besar mendadak membuat Sin Hauw jengah. Kalau ini
bukan encinya tak mau dia masuk bersama. Mereka bagai pasangan pengantin baru
saja! Tapi ketika encinya sudah mendorong masuk dan dia diminta
duduk di kursi yang empuk maka encinya itu menutup
pintu kamar dan berkata, "Nah, sekarang kita aman. Lebih enak bicara dan kau ceritakanlah bagaimana
keadaanmu selama ini!"
"Ah, nanti dulu!" Sin Hauw sedikit tertegun. "Kenapa pintunya kau kunci, enci"
Masa kita harus dalam keadaan tertutup begini?"
"Eh, memangnya kenapa" Pangeran sendiri telah
menyuruh kita, Sin Hauw. Dan kitapun enci adik. Pintu kututup agar tak ada yang
mendengar pembicaraan kita!"
"Tapi tak perlu dikunci."
"Hm, ada apa sih kau ini" Kenapa rewel masalah pintu"
Kita bukan orang lain, Sin Hauw. Kita enci adik dan bukan mau macam-macam. Kau
buanglah pikiranmu yang tidak-tidak dan jangan khawatir dugaan orang!"
Sin Hauw semburat merah. Memang encinya ini benar,
mereka kakak adik. Mau apa pusing omongan orang" Dia
dan encinya justeru diperintah pangeran untuk berdua
melepas kerinduan, mereka sudah lama tak bertemu dan
tentu saja masing-masing ingin bicara, tentu banyak
pembicaraan mereka nanti. Maka begitu encinya duduk dan bersinar-sinar
memandangnya Sin Hauw sudah tak banyak bicara lagi tentang pintu yang terkunci.
"Baiklah, kau benar, enci. Hanya rasanya kikuk juga.
Kau sekarang bertambah cantik dan dewasa!"
"Hush, kau mau merayu encimu?"
Sin Hauw tertawa. "Tidak, tapi kenyataan membuktikan begitu, enci. Dan kau, hm..
tampaknya tak mengenal susah!" "Maksudmu?" "Kau tampak bahagia di sini, kau sehat dan segar-segar saja!"
"Ah, tentu, Sin Hauw. Coa-ongya yang menolongku.
Dia.. dia kakak iparmu!"
"Apa?" "Benar, Sin Hauw. Coa-ongya, pangeran.. dia itu.. dia itu suamiku. Encimu
sekarang menjadi isterinya!"
Sin Hauw terkejut. Hampir berjengit dia melonjak dari kursinya, terbelalak
memandang sang enci. Tapi ketika encinya terisak dan mengangguk bersinar-sinar
encinya itu berkata perlahan,
"Sin Hauw, banyak cerita yang harus kau dengar.
Barangkali harus aku dulu yg mulai. Kau dengarlah,"
encinya memulai, mengangkat muka dan akhirnya tidak
menunduk lagi. Encinya menceritakan betapa dia diambil pangeran, dicinta dan
akhirnya menjadi isterinya. Dan ketika semuanya itu dimulai dari peristiwa di
Cin-ling dulu maka Sin Hauw mendengarkan dengan sikap tertegun.
"Aku tak diapa-apakan. Kwi-goanswe baik-baik saja kepadaku. Aku ditawan lalu
diserahkan Coa-ongya. Kebetulan pangeran tertarik padaku dan jatuh cinta,
diminta baik-baik dan akupun menjadi isterinya. Dan
karena pangeran berjanji untuk mempertemukan aku
denganmu maka aku menunggu-nunggu kau dari Cin-ling,
Sin Hauw. Sayang dikabarkan orang bahwa kau tak di sana lagi!"
Sin Hauw menjublak. Encinya menangis dan terisak,
sederhana dan singkat cerita itu namun sudah cukup jelas.
Encinya menunggu-nunggu dia dari Cin-ling, dikabarkan pangeran menyuruh orang
mencari dirinya, tak ketemu dan encinya itu menangis sepanjang hari. Maklumlah,
Sin Hauw akhirnya dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya,
dididik dan digembleng di sana, meninggalkan Cin-ling setelah Hwa-liong Lo-kai
tewas. Dan ketika encinya berkata bahwa tiada bosan-bosannya pangeran menyuruh
orang mencari dirinya maka encinya itu menutup.
"Aku sekarang gembira. Janji pangeran ternyata dapat ditepati. Aih, tak boleh
kau sekarang meninggalkan encimu, Sin Hauw. Kau harus di sini dan selalu


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemanimu encimu!" "Hm!" Sin Hauw mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah menikah, enci" Dan Coa-ongya
adalah suamimu?" "Benar, dia baik, Sin Hauw. Dan tanpa dia barangkali tidak begini nasib encimu!"
"Hm, aku terus terang terkejut. Lalu bagaimana dengan Kwi-goanswe, enci"
Bukankah dia musuh kita?"
"Ini kekeliruan kita, Sin Hauw. Kwi-goanswe tak boleh kita musuhi karena
sesungguhnya dia tak bersalah."
"Tapi ibu terbunuh olehnya'"
"Bukan, bukan olehnya, Sin Hauw, melainkan oleh
pengawalnya. Dan pangawal itu sudah dibunuhnya.
Hutang ini impas, ibu terbunuh secara tak sengaja!"
Sin Hauw mengerutkan kening. "Dan ayah?" Sin Hauw masih tak puas. "Ayah terbunuh
olehnya, enci. Dan hutang ini belum impas."
"Ah, lagi-lagi kau salah, Ayah tak dibunuh olehnya, Sin Hauw. Ayah diculik dan
dibawa lari teman-temannya
sendiri!" Sin Hauw teringat omongan Coa-ongya. Pangeran itu
juga berkata seperti itu dan kini encinya mengulang, dia mengerutkan kening dan
bertanya hati-hati. Dan ketika encinya menarik napas dan duduk membetulkan letak
kakinya maka encinya itu berkata,
"Aku mengetahui ini setelah di sini. Ayah diculik dan dibawa lari teman-
temannya, ketika dibawa Kwi-goanswe.
Dan karena Kwi-goanswe masih kerabat sendiri dan
membiarkan ayah dibawa teman-temannya maka ayah tak
dibunuh siapa-pun. Kabarnya ayah tewas karena sakit,
dalam perjalanan. Yakni ketika bersama teman-temannya itu. Tapi karena Kwi-
goanswe yang menangkap ayah dan
dialah yang pertama kali membawa ayah maka orang
menyangka Kwi-goanswe inilah yang mencelakakan ayah.
Padahal sebenarnya Kwi-goanswe tak tahu apa-apa lagi
setelah ayah diculik dan dibawa teman-temannya sendiri!"
"Hm, kalau bukan kau yang bercerita tak mau aku
percaya, enci. Baiklah kuterima hal ini sebagai kenyataan yang lain. Aku percaya
padamu, dan bagaimana saranmu
setelah aku ada di sini!"
"Kau membantu Coa-ongya! Bukankah kau sudah
berjanji padanya?" "Benar, tapi aku kikuk berkumpul dengan Kwi-goanswe dan lain-lainnya itu, enci.
Kemarin aku bertempur dengan mereka habis-habisan tapi kini tiba-tiba
bersahabat!" "Hm, tak perlu begitu. Kau lihat muka encimu, Sin Hauw. Kau pandanglah aku dan
buang perasaanmu yang salah itu. Mereka juga tak akan berani mengganggumu
karena aku adalah isteri Coa-ongya. Jelek-jelek kau adalah adik ipar pangeran,
kau akan bergelar pangeran pula kalau diusulkan pada sri baginda!"
"Pangeran" Aku menjadi pangeran?"
"Ya, aku dapat membawa ini pada suamiku, Sin Hauw.
Coa-ongya pasti menurut dan di bawah perintahku!"
Sin Hauw tertegun. Membayangkan dirinya sebagai
pangeran tiba-tiba dia merasa melembung, kepala rasanya membalon tapi tiba-tiba
Sin Hauw tertawa. Dan ketika
encinya bertanya kenapa dia tertawa maka Sin Hauw
menjawab geli, "Aku merasa lucu dengan omonganmu ini. Mana bisa seorang biasa diangkat sebagai
pangeran" Ah, terlalu tinggi.
enci, terlalu muluk. Aku tak mau menjadi pangeran!"
"Kenapa?" "Tak enak, aku ingin menjadi orang biasa saja dan bebas ke sana ke mari. Ah, tak
enak itu. Lagi pula aku tak
berpendidikan istana!"
"Ah, itu dapat belajar, Sin Hauw. Aku dapat
memberitahumu!" "Tidak, aku tak suka, enci. Kita bukan dari keluarga biru.
Aku ingin seperti ini dan biar tetap seperti ini!"
"Baiklah, terserah kau, Sin Hauw. Yang penting kau tetap di sini menemani
encimu. Aku tak mau kau pergi dan meninggalkan aku!"
"Hm, aku tak akan meninggalkanmu, Tapi sehari dua aku mesti pergi juga, enci,
melaksanakan tugas suhu yang harus kuselesaikan!"
"Benar, sekarang ceritakan kisahmu itu. Bagaimana dengan gurumu dan kemana kau
selama ini!" "Aku di Lembah Iblis.."
"Lembah Iblis?"
"Ya, Lembah Iblis, enci. Tempat tinggal kedua orang guruku. Aku di sana selama
enam tahun!" "Pantas saja, pangeran tak dapat menemukanmu!"
"Aku tak diperbolehkan keluar, enci. Suhu dan subo melarangku."
"Aneh, ceritakan kisahmu, Sin Hauw. Biar aku
mendengar!" Sin Hauw menarik napas dalam. Setelah encinya selesai bercerita dan ganti dia
diminta bercerita maka Sin Hauw menarik napas panjang. Kisahnya sedih, juga
panjang. Maka duduk dengan baik dan mulai bercerita dia lalu
menceritakan apa yang dialaminya, sejak penyerbuan di Cin-ling dulu dan betapa
Hwa-liong Lo-kai akhirnya tewas.
Kakek atau gurunya pertama itu tak dapat ditolong lagi, lukanya parah dan racun
Ular Merah cukup jahat. Semuanya itu membuat si kakek tewas dan akhirnya dia
dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya yang baru, Sin-liong Hap Bu Kok suami isteri
itu. Dan ketika di sana dia
dilarang turun lembah sebelum mewarisi semua kepandaian gurunya maka Sin Hauw
menarik napas mengenang ini.
"Aku tak boleh ke mana-mana. Itulah sebabnya baru hari ini aku datang, enci.
Itupun karena suhu dan subo tewas.
Mereka berkelahi, masing-masing tak mau mengalah dan
akhirnya mati bareng!" -
"Ih!" sang enci tampak ngeri. "Persoalan apa yang membuat mereka seperti itu,
Sin Hauw" Apakah kedua
gurumu gila?" "Tidak, mereka memperebutkan ini, enci. Golok Maut!
Aku juga menyesal kenapa mereka harus seperti itu!"
"Golok Maut" Senjata yang kau bawa itu?"
"Benar, dan ini milik guruku, enci. Aku akan
mempertahankannya dengan jiwaku!"
"Dan kau telah menabas buntung seorang dari nenek Imkan Sian-li! Benar-kah, Sin
Hauw?" "Benar, enci," Sin Hauw tak enak. "Tapi mereka itu yang menggangguku lebih dulu.
Kalau tidak begitu tentu tak akan terjadi itu!"
"Ih, aku jadi mengkirik! Senjatamu berbau darah, Sin Hauw. Sebaiknya disimpan
dan tidak dipergunakan saja!"
"Aku juga bermaksud begitu. Tapi kalau keadaan
memaksa tentu tak mungkin kulakukan itu, enci. Dan aku berharap mudah-mudahan
golok ini tidak mereguk darah!"
Pembicaraan mulai menyimpang. Kini Sin Hauw
ditanya masalah golok itu, ketajaman dan keampuhannya, lalu ilmu-ilmu silat yang
dia miliki. Dan ketika pembicaraan beralih pada masalah pribadi apakah Sin Hauw
sudah punya pacar atau belum maka pemuda ini tersipu merah
dengan muka jengah. "Pacar" Ah, kau ini ada-ada saja, enci. Aku hidup penuh penderitaan dan tidak
ingat masalah itu. Aku tidak
memikirkan itu!" "Tapi kau sudah cukup dewasa. Hampir dua puluh
tahun!" "Hm. baru delapan belas, enci. Masih ingusan dan hjjaul"
"Hi-hik, jangan begitu, Sin Hauw. Delapan belas pun sudah cukup. Kau sudah
dewasa dan dapat beristeri. Aku punya pandangan di sini, Miao In!"
Sin Hauw terkejut. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba encinya itu bangkit
berdiri, keluar dan sudah membuka pintu kamar. Dan ketika dia bertepuk tangan
dan seorang dayang muncul diminta memanggil seorang gadis maka tak lama kemudian
muncul seorang dara tujuh belasan tahun yang cantik berbaju hijau, dibawa masuk
encinya itu. "Ini, perkenalkan, Sin Hauw. Miao In yang kuberitahukan itu!" Sin Hauw merah padam. Tanpa ba-bi-bu lagi encinya itu tiba-tiba sudah membawa
masuk seorang gadis, cantik dan tentu saja Sin Hauw gugup. Selamanya dia belum
pernah bergaul dengan wanita, kecuali enci dan subonya itu. Maka
begitu seorang gadis asing sudah diperkenalkan padanya dan gadis itu malu-malu
membungkuk di depannya Sin
Hauw pun tersipu dan jengah dengan muka merah padam.
"Aih-aih, tak usah malu-maiu. Miao In adalah puteri Ci-ongya, Sin Hauw. Masih
kerabat dengan Coa-ongya. Ayo
kenalan, jangan malu-malu!"
Sin Hauw seperti kepiting direbus. Encinya itu sudah
mengajaknya berkenalan, Miao In tersenyum malu-malu
dan menggigit bibir. Pipi yang kemerahan itu tampak
semakin memerah dan membentuk apel yang masak. Dan
ketika Sin Hauw menyambut dan mau tak mau
memperkenalkan diri maka gadis itu berkata penuh kagum padanya,
"Aku sudah mendengar tentang dirimu. Enci Kin
sungguh beruntung, mempunyai adik yang begini hebat dan lihai. Aku kagum, Sin
Hauw. Mudah-mudahan kau suka
bersahabat denganku dan sedikit-sedikit mengajariku silat!"
"Ah, aku tak bisa apa-apa, Miao In. Kau terlalu
membesar-besarkan diriku. Aku
masih bodoh dan sesungguhnya kepandaianku terbatas!"
Percakapan dimulai. Sekarang Sin Hauw ditemani
seorang gadis cantik di samping encinya. Untunglah, kalau tak ada encinya di
situ tentu Sin Hauw tak dapat berkutik, mula-mula gugup tapi Miao In ternyata
luwes, pandai bertutur kata dan Si Hauw tertarik. Dan ketika secara perlahan tetapi pasti dua
muda-mudi itu sambar-menyambar mengerlingkan mata tiba-tiba saja Sin Hauw
merasa jatuh cinta! Hari itu encinya ngobrol tak habis-habisnya, mereka
terlibat pembicaraan menarik dan sama sekaii tidak
menyinggung-nyinggung masalah kemarin, pertandingan
pemuda itu dengan Im-kan Sian-li dan lain-lain, hal yang
membuat Sin Hauw merasa lega dan tenang. Encinya
menguasai percakapan dan Miao In serta Sin Hauw hanya saling menumpang. Miao In
sering melirik Sin Hauw dan kekaguman tak dapat disembunyikan di mata gadis itu,
Sin Hauw tergetar dan tentu saja merasa. Dan ketika sehari itu mereka asyik
ngalor-ngidul dengan pembicaraan yg selalu ada akhirnya Hwa Kin minta diri
karena harus menemui atau menemani suaminya, Coa-ongya.
"Suamiku tentu menunggu. Cukuplah, Sin Hauw. Besok kita bicara lagi dan Miao In
dapat menemanimu!" "Ah., biar aku besok ke mari bersamamu, enci Kin. Sin Hauw tentu ingin ber-
istirahat dan mengaso!"
Sin Hauw mengangguk. Memang dia lelah, ingin
beristirahat setelah seharian ngobrol dengan encinya. Hari itu dia merasa
gembira dan bahagia. Teman barunya Miao In cukup menyenangkan juga, ada semacam
perasaan nikmat kalau berdua dengan gadis itu, berbicara dan
bercakap-cakap. Dan ketika mereka pergi dan malam itu Sin Hauw mengaso di
kamarnya maka pemuda ini menerawang girang ke langit-langit ruangan.
"Ah, encinya ternyata bahagia," pikirnya dengan mata berseri-seri. "Dan Coa-
ongya pun ternyata seorang laki-laki yang baik. Kalau semua itu betul dan
kematian ayah ibunya tak dapat disalahkan kepada siapa-siapa tentu saja dia akan
menerima dan melupakan hal itu.
Sin Hauw mulai gembira. Kenyataan bahwa encinya
masih hidup dan segar-bugar membuat pemuda ini cepat
melupakan yang lain-lain. Kwi-goanswe dan teman-
temannya mulai dapat diterima di hati, begitu juga Im-kan Sian-li, dua nenek
lihai itu, yang tidak mengganggunya.
Dan ketika sebulan kemudian Sin Hauw sudah menjadi
pembantu Coa-ongya dan tiap hari hampir selalu ditemani
encinya atau Miao In maka bulan kedua gadis baju hijau itu sudah erat dengan Sin
Hauw sementara encinya satu dua kali saja muncul menemaninya.
"Kau baik-baiklah dengan Miao In. Gadis itu jatuh cinta padamu!"
Sin Hauw tersentak. "Kau tak percaya?" encinya tertawa. "Lihat pandang matanya, Sin Hauw. Amati
gerak-geriknya dan sikapnya.
Gadis itu sudah menyatakan perasaan hatinya kepadaku!"
Sin Hauw tersirap. Kalau encinya sudah bicara seperti itu tentu saja dia
terkesiap, encinya sudah meninggalkannya dan terkekeh ditahan. Tawa encinya itu
penuh arti dan Sin Hauw tertegun. Dan ketika kebetulan Miao In muncul tak lama
kemudian untuk minta pelajaran silat maka Sin Hauw merah padam teringat kata-
kata encinya tadi. "Lihat pandang matanya, lihat gerak-geriknya," begitu kata-kata itu terngiang.
"Gadis itu jatuh cinta padamu, Sin Hauw. Dan aku setuju kau menikah dengannya!"
Sin Hauw berdegup kencang. Setelah encinya pergi dan
Miao In tiba-tiba muncul mendadak jantungnya berdebar kencang. Dia gugup
memandang gadis itu dan hari itu
Miao In tampak cantik bukan main. Gadis ini mengenakan celana hitam dengan baju
kembang-kembang, di-lilit sebuah ikat-pinggang merah dalam pakaian ketat. Ah,
Sin Hauw terbelalak dan kagum. Dan ketika gadis itu mendekat dan benar saja
pandang mata Miao In penuh getaran dan mesra memandangnya maka gadis itu
berkata, merdu dan menggetarkan perasaan Sin Hauw,
"Aku ingin melanjutkan jurus kemarin, Sin Hauw. Aku ingin kau mengulangnya lagi
dan memberitahukan padaku!" Ternyata Sin Hauw sudah memberikan sebagian
kepandaiannya kepada gadis itu. Hwa Kin menyuruhnya
dan Sin Hauw tidak menolak, memberikan Kim-kong-cian
dan beberapa dasar-dasar ilmu silat. Miau In menerimanya cerdas dan cepat
menangkap pelajarannya, Sin Hauw diam-diam kagum dan memuji. Namun ketika pagi
itu gadis ini agak mengerutkan kening karena pelajaran kemarin agak sukar maka
Sin Hauw tersenyum dan sudah dapat
menguasai perasaan hatinya.
"Ah, jurus Pukulan Emas Memecah Awan, Miao In"
Mudah, mari kuulang dan kau lihat gerak tanganku!" Sin Hauw menyambar gadis ini,
sudah berani memegang lengannya karena untuk melatih silat tentu saja harus pegang-pegang segala.
Perasaan ini menimbulkan nikmat tersendiri dan Sin Hauw senang melakukan itu,
apalagi Miao In sendiri sering tersenyum dan tidak menolak, halus dan lembutnya
tangan seorang gadis membuat Sin Hauw
kadang-kadang "ketagihan". Tentu saja senang memegang-megang dan hubungan mereka
kian akrab saja. Dan Ketika pagi itu Sin Hauw mengulang jurus kemarin dan tak
bosan-bosannya memberi petunjuk akhirnya Miao In girang,
mengerti.

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, begitu kiranya, Sin Hauw" jari tangan harus ditekuk sebuah" Ah, pantas, Sin
Hauw. Aku kemarin gagal karena tidak memperhatikan letak ibu jari!"
"Nah, coba kau ulang. Tunjukkan padaku dan
berlatihlah!" Miao In sudah melakukan itu. Pagi itu dia mengikuti
petunjuk Sin Hauw, melatih dan mengulang-ulang jurus
Pukulan Emas Memecah Awan, akhirnya menguasai dan
giranglah gadis itu. Dan ketika jurus-jurus berikut dilatih lagi dan sedikit
demi sedikit Sin Hauw memberikan Kim-
kong-ciangnya maka seminggu kemudian Sin Hauw
berduaan lagi dengan gadis itu.
"Kita berlatih di hutan, jangan di sini!"
Sin Hauw terkejut. "Kenapa?"
"Ah, perlu suasana baru, Sin Hauw. Aku ingin di tempat yang lebih luas dan
lega!" Sin Hauw tertawa. Hari itu lagi-lagi Miao In
mengenakan pakaian ketat, celananya hitam namun
bajunya merah. Akhir-akhir ini Sin Hauw lebih sering
memperhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu, sering memperhatikan bentuk
tubuhnya yang kian menonjol saja.
Secara tak disadari Sin Hauw mulai diganggu berahinya, darah mudanya sering
berdenyar dan hari itupun dia agak terbelalak melihat pakaian yang dikenakan
gadis ini. Entahlah, pandang matanya selalu lekat pada tubuh gadis itu dan Sin Hauw kagum
pada sepasang buah yang menonjol. Itulah daya tarik wanita dan Sin Hauwpun silau.
Dan ketika hari itu Miao In mengajaknya ke hutan dan kali ini gadis itu yang
menyambar lengannya maka Sin Hauw
berdebar merasakan jari-jari yang lembut dan hangat.
"Eh, tanganmu berkeringat, Sin Hauw. Aneh sekali belum apa-apa sudah basah!"
Sin Hauw terkejut. "Aku agak gugup, Miao In. Entahlah hari ini aku merasa
kikuk!" "Kepada siapa?"
"Kepada dirimu."
"Eh!" gadis itu berhenti. "Kepadaku" Hi-hik, lucu, Sin Hauw. Kau main-main!" dan
gadis itu yang sudah menyambar Sin Hauw lagi dan diajak berlari ke hutan
akhirnya membuat Sin Hauw merah padam, memang
sesungguhnya kikuk dan ada perasaan jengah di hati.
Mereka sudah biasa pegang-pegangan tangan tapi hari ini dia merasa lain.
Keketatan pakaian dan kecantikan Miao In hari ini lebih menonjol, Sin Hauw
tergetar dan sesungguhnya itulah yang membuat dia tak keruan, gugup dan mau melengos tapi
seialu saja matanya ingin melirik ke samping, menembus apa yang ada di balik
pakaian ketat itu, aneh. Sebuah keinginan yang akhir-akhir ini
mengganggu Sin Hauw. Dan ketika mereka tiba di hutan
dan di situ baru Miao In melepaskan tangannya maka gadis ini minta agar Sin Hauw
melayaninya bertanding. "Sekarang Kim-kong-ciang sudah kupelajari semua.
Tolong kauberi petunjuk dan kita berlatih lengkap!"
Sin Hauw mengangguk. Memang Kim-kong-ciang sudah
diberikannya semua, gadis itu melahapnya dalam beberapa bulan saja dan Sin Hauw
kagum. Hebat gadis ini, dia
bersinar-sinar dan tentu saja merasa kagum. Dan ketika Miao In minta ditemani
agar mereka berlatih secara
lengkap maka Sin Hauw mengangguk dan untuk sesaat
dapat melupakan debaran hatinya, bersiap dan Miao In
tertawa di depannya. Gadis itu juga bersiap dan memberi aba-aba. Dan ketika
gadis itu bergerak dan mulai
menyerang maka Sin Hauw melayani dan mengelak,
dikejar lalu bertubi-tubi mendapat serangan susulan,
menangkis dan segeralah mereka terlibat dalam latihan yang serius. Baru kali ini
gadis itu meminta Sin Hauw melayaninya dalam latihan lengkap, maklumlah, baru
kali itu juga dia selesai mendapat Kim-kong-ciang. Namun
ketika Sin Hauw dapat mematahkan semua serangannya
dan Kim-kong-ciang seolah tak berdaya menghadapi
pemuda itu tiba-tiba Miao In menangis dan membanting
kakinya. "Sin Hauw, aku masih bodoh. Aku tak dapat
mengalahkanmu!" "Eh," Sin Hauw terkejut. "Jangan kau bicara begitu, Miao In. Kepandaianmu sudah
cukup dan Kim-kong-ciang hampir sempurna kau ingat!"
"Tapi aku tak dapat merobohkanmu! Aku masih bodoh!"
"Tidak, bukan begitu, Miao In, melainkan ilmumu
kukenal dan tentu saja dapat kuhadapi dengan baik. Kau yang terlalu berambisi!"
Gadis itu berhenti. Tiba-tiba Miao In melempar tubuh
dan duduk menangis. Semua serangannya yang tadi dengan mudah dielak atau
ditangkis Sin Hauw dianggapnya
kebodohannya. Gadis ini tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. Dan ketika Sin Hauw
terkejut dan malah bengong
maka gadis itu menjambak-jambak rambutnya sendiri.
"Ah, aku tolol, Sin Hauw. Tak nyana semua pelajaran darimu tak dapat kupakai
sama sekali. Aku terlalu bodoh, tak ada kemajuan sama sekali!"
"Tidak," Sin Hauw membungkuk. "Kau salah, Miao In.
Justeru latihan yang sudah kau tunjukkan ini mengagumkan hatiku. Kemajuanmu pesat, bayangkan
hanya dalam dua bulan saja kau sudah menguasai Kim-
kong-ciang dan dapat dipakai bertempur!"
"Tapi aku tak dapat mengalahkanmu, Sin Hauw. Aku tak dapat merobohkanmu!"
"Tentu," Sin Hauw tertawa. "Aku memiliki ilmu-ilmu yang lain, Miao In. Bukan
hanya Kim-kong-ciang saja. Lagi pula aku enam tahun belajar sedang kau hanya dua
bulan! Mana bisa ditandingkan" Tidak, kau memang belum dapat mengalahkan aku, Miao In.
Masih terlalu lama bagimu
mengalahkan aku. Barangkali kau harus belajar bertahun-tahun!"
"Jadi bukan karena aku bodoh?"
"Ah, kau tidak bodoh, Miao In. Bahkan sesungguhnya mengagumkan hatiku. Kalau
bukan kau tentu tak mungkin melatih Kim-kong-ciang hanya dua bulan selesai!"
"Sungguh?" "Eh, kau kira aku bohong?"
"Ah, kalau begitu terima kasih, Sin Hauw. Aku sekarang tak kecewa dan biar
kauajarkan lagi ilmu-ilmumu yang
lain!" gadis itu tiba-tiba menubruk, tertawa dan sudah girang memeluk Sin Hauw.
Pemuda ini terkejut karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah dirangkul, dipeluk
lengan yang hangat itu dan tanpa sengaja "buah" yang dikagumi Sin Hauw melekat
di dadanya, nempel dan terasalah sesuatu yang hangat-hangat mendesirkan
mengguncang sukma pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan merah
padam menerima itu tiba-tiba Miao In melepaskan diri
seolah kaget. "In, maaf, Sin Hauw. Aku tak sengaja!"
"Tak apa," Sin Hauw menggigil. "Aku merasa gembira, Miao In. Kalau kau tidak
menangis dan dapat gembira lagi tentu akupun turut senang!"
"Kau tak marah ku.. kupeluk tadi?"
"Hm," Sin Hauw semburat. "Kita sahabat baik, Miao In.
Aku tak marah kau melakukan itu!"
"Dan kau.. kau tadi menyatakan kagum. Eh, benarkah aku tak bebal, Sin Hauw" Atau
kau hanya sekedar menghiburku agar aku tak kecewa?"
"Hm, tidak. Kau memang mengagumkan, Miao In. Dan terus terang jarang ada yang
dapat menyelesaikan Kim-kong-ciang hanya dalam dua bulan!"
"Sungguh?" "Sungguh!" "Dan kau, eh., bagaimana pandanganmu kepadaku, Sin Hauw" Termasuk gadis apakah
aku ini?" "Hm, kau gadis cantik, Miao In. Dan aku mengagumi kecantikanmu!" Sin Hauw
kelepasan bicara, sudah mabok oleh bekas pelukan tadi dan Miao In terkejut.
Gadis itu terbelalak tapi tiba-tiba menunduk, mukanya merah dan tiba-tiba dia
betanya apakah Sin Hauw suka padanya.
Dalam saat begitu suasana romantis tak dapat dicegah, Miao In secara tak sengaja
mendekatkan lengannya, merayap dan sudah disambar Sin Hauw. Dan karena Sin
Hauw teringat kata-kata encinya bahwa gadis ini jatuh hati kepadanya maka dia
merasa berani dan tak dapat disangkal bahwa iapun sebenarnya jatuh cinta
terhadap gadis cantik itu!
"Maaf, aku.. aku bukan hanya merasa suka kepadamu, Miao In. Melainkan..
melainkan juga mencintamu!
Bolehkah aku mendapat jawab bagaimana perasaan hatimu kepadaku" Apakah.. apakah
cintaku kau terima?"
Muka yang menunduk itu tiba-tiba terangkat. Sin Hauw
melihat mata yang bukan main indahnya saat itu, bening dan berkedip padanya dan
tiba-tiba bibir yang merekah itu tersenyum. Dan ketika Miao In mendesah dan
malu-malu menyembunyikan mukanya maka gadis itu berbisik,
gemetar, "Sin Hauw, bagaimanakah kiramu" Mengapa aku harus tak menerimanya?"
"Ooh, jadi.. jadi kau.."
"Benar, kau terlalu lama menyatakannya, Sin Hauw.
Aku tak sabar dan hampir mati dilanda rindu!"
"Miao In!" dan Sin Hauw yang girang bukan main mendengar ini tiba-tiba melihat
gadis itu sudah merobohkan tubuh ke dadanya, malu-malu tapi bahagia dan entah
kekuatan dari mana tiba-tiba Sin Hauw memeluk gadis itu, erat sekali, mengeluh
dan tiba-tiba Miao In terguling. Dan ketika mereka sama-sama roboh dan Sin Hauw
girang bukan main tiba-tiba muka gadis itu sudah berdekatan
dengan mukanya, bibir yang merekah itu masih tersenyum dan dari mulut Miao In
keluar semacam erangan lirih. Sin Hauw tak tahan dan tiba-tiba menunduk, Dan
karena wajah mereka berdekatan dan tak dapat dicegah iagi hidung
bertemu hidung tiba-tiba mulut keduanya melekat dan Sin Hauw sudah mencium gadis
pujaannya itu. "Miao In, aku cinta padamu!"
Sin Hauw terbang ke langit ketujuh. Dara pujaannya
menyambut dan mereka berciuman, lama dan masing-
masing seolah tak mau melepaskan lagi. Sin Hauw gemetar dan menggigil namun
bahagia bukan main. Baru kali itu dia dimabok asmara dan disambut, gadis
pujaannya tak menolak dan tentu saja Sin Hauw memuaskan diri. Namun ketika mereka terengah dan
Miao In mendorong tubuhnya maka gadis itu berkata, hampir kehabisan napas dicium
Sin Hauw, "Ih, sudah, Sin Hauw. Jangan terus-terusan, nanti dilihat orang!"
Sin Hauw tertawa. "Kau, ah., salahmu kau cantik sekali, Miao In. Aku mabok dan
bahagia sekali dibuatnya!"
"Hm, kau sendiri yang mabok" Tidak, aku juga, Sin Hauw. Akupun mabok dan
bahagia. Tapi sekarang kau
harus melatihku ilmu silat yang baru, ayo ajari aku!"
Sin Hauw tertawa. Setelah mereka berciuman tadi tiba-
tiba tiada jarak diantara mereka berdua. Sin Hauw merasa begitu dekatnya hingga
tak canggung-canggung dia
menyambar lagi, memeluk dan mencium. Dan ketika
kekasihnya mengelak dan genit-genit manja Sin Hauw
melompat bangun. "Ha-ha, pelajaran apalagi yang kau inginkan, In-moi (adik In)" Bukankah Kim-
kong-ciang saja masih harus
dilatih berulang-ulang untuk mencapai kematangan?"
"Tidak, aku sekarang ingin minta pelajaran senjata, Sin Hauw. Aku ingin berlatih
Giam-to-hoat (Silat Golok
Maut)!" "Apa" Ilmu silat golok?" Sin Hauw terkejut.
"Ya, kenapakah" Tidak bolehkah?"
"Hm," Sin Hauw tertegun. "Ini, hm.." pemuda itu bingung. "Silat ini belum
waktunya kau pelajari, In-moi.
Dan lagi melanggar pesan guruku!"
"Kau tak percaya?" wajah cantik itu tiba-tiba menangis.
"Baiklah, kalau begitu tak usah aku mempelajarinya, Sin Hau Biar aku tetap bodoh
dan kalah olehmu!" dan si nona yang marah memutar tubuh tiba-tiba ngambek dan
meninggalkan Sin Hauw, tak mau bicara lagi dan tentu saja Sin Hauw bingung. Itu
tak boleh terjadi, dia lagi hangat-hangatnya menikmati cinta! Maka begitu
mengejar dan berkelebat menyambar lengan kekasihnya Sin Hauw sudah menarik omongannya,
berkata baiklah kekasihnya itu
mempelajari ilmu silat golok tapi kekasihnya diminta
bersabar. Ilmu silat tinggi tak bisa dipelajari dalam waktu
singkat dan giranglah gadis cantik itu. Dan ketika hari itu juga Sin Hauw
diminta menurunkan ilmu goloknya dan
sedikit tetapi pasti rahasia Giam-to-hoat diberikan pada gadis ini maka Sin Hauw
tak menyadari sebuah bahaya
baru, setengah tahun kemudian Miao In sudah hapal
hampir semua teorinya, tinggal sedikit lagi dan barangkali dua tiga bulan gadis
itu akan mendapatkan semuanya. Sin Hauw memang memberikan semua rahasia ilmu
goloknya pada gadis itu. Maklumlah, pemuda ini lagi dilanda cinta.
Cinta memang selamanya membius, memabokkan dan
mudah membuat orang lupa diri. Namun ketika semuanya
itu dijalani tanpa terasa dan malam itu Sin Hauw
beristirahat setelah seharian lelah melatih kekasihnya mendadak terdengar ribut-
ribut di luar. "Golok Maut dicuri! Golok Maut dicuri..!"
Sin Hauw terkejut. Golok Maut, yang diteriakkan orang-orang di luar itu
dipandangnya. Golok itu ada di samping pembaringannya dan tetap di situ, tak
bergerak dan sehari itu tetap bersamanya. Maka ketika teriakan atau bentakan di
luar itu membuatnya heran sekaligus terkejut tiba-tiba terdengar bentakan Kak-
busu dan Lutung Putih, "Im-kan Sian-li, jangan berkhianat. ! Serahkan golok itu pada pangeran!"
Sin Hauw melompat bangun. Di luar sudah terjadi ribut-ribut dan tawa yang aneh.
Im-kan Sian-li, yang dikenal ketawanya
tiba-tiba menendang seorang pengawal, membentak Lutung Putih dan terdengar jerit tertahan. Dan ketika Lutung Putih
rupanya terbanting atau melempar
tubuh bergulingan maka derap pengawal berdatangan dari segala penjuru, disusul
teriakan dan suara-suara memaki.
"Cegat nenek ini, jangan sampai lolos!"
"Benar, jangan sampai lolos. Dia mencuri Golok Maut!"
Sin Hauw jadi bingung. Kalau orang di luar sudah
berteriak-teriak tentang Golok Maut padahal golok itu jelas ada di sampingnya
maka Sin Hauw tak tahan untuk tidak meloncat, keluar dan berkelebat membuka
jendelanya. Dan begitu Sin Hauw melihat apa yang terjadi di luar dan dua nenek
lihai itu dikepung dan dikeroyok dari segala penjuru maka
Sin Hauw mendengar kekeh mereka

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyeramkan, lalu melihat Kwi-goanswe dan lain-lain
menyerang nenek itu. Nenek yang buntung mengebutkan
ujung bajunya dan terlemparlah belasan pengawal yang
berani mendekat, nenek yang lain membawa sebatang golok dan Sin Hauw terkejut
melihat itu. Golok yang berkeredep menyilaukan tampak menyambar-nyambar dari
tangan nenek yang ini, sedikit memantulkan warna merah dan Sin Hauw tentu saja bengong.
Dan ketika dia menjublak sementara pertempuran sudah ramai disusul jerit atau pekik kesakitan maka golok
di tangan nenek di sebelah kiri
membabat dan menangkis senjata di tangan Kwi-goanswe
ataupun Kak-busu, yang memegang sebatang tombak
bercagak. "Cring-crang!"
Sin Hauw terbelalak. Bagai membabat agar-agar dua
senjata di tangan dua orang itu terbabat putus, Sin Hauw terkejut karena
teringat keampuhan Golok Mautnya, persis dan sama. Dan ketika pengawal datang
menyerang namun mereka dihalau golok di tangan nenek itu maka Im-kan
Sian-li mengancam, "Minggir kalian, atau kubunuh!"
Kwi-goanswe membentak. Lutung Putih melepas
senjata-senjata gelap namun nenek itu menangkis,
semuanya runtuh dan patah-patah, sebelum mengenai
nenek itu. Dan ketika sinar merah berkelebat dan nenek itu menyambar Pek-wan
maka Lutung Putih terbabat
pundaknya dan mengaduh. "Crat!" Segumpal daging terlempar di udara.
Kakek ini berteriak dan nenek itu terkekeh. Sin Hauw
ngeri. Dia melihat kehebatan yang sama pada golok di
tangan nenek itu. Tapi ketika dia mau bergerak dan
memasuki pertempuran tiba-tiba Coa-ongya muncul disusul bentakannya yang
nyaring, "Berhenti!" -oooOdwOooo- Jilid : VIII SEMUA orang terkejut. Coa-ongya tiba-tiba muncul di
situ dengan muka merah padam, mendelik dan tampak
betapa pangeran ini marah besar. Im-kan Siang-li, dua nenek lihai itu tampak
terkejut, muka mereka berobah
namun tiba-tiba mereka menyeringai. Dan ketika pangeran melangkah maju dan
mendekati mereka maka pangeran
membentak, "Im-kan Siang-li, apa yang kalian lakukan ini" Sadarkah kalian dengan apa yang
kalian perbuat?" "Heh-heh!" nenek yang memegang golok, yang tampak tidak gentar dan tidak takut,
tertawa. "Kami tahu apa yang kami lakukan, pangeran. Dan tentu saja kami sadar
akan semua perbuatan kami!"
"Keparat, kalian mencuri Golok Maut" Kalian berani melakukan itu?"
"Heh-heh, Golok Maut bukan milikmu, pangeran. Maaf kami pinjam karena kami juga
ingin memilikinya." "Tapi golok itu aku yang mendapatkan, kalian tak berhak dan cepat kembalikan?"
"Ah, kau mendapatkan juga atas bantuan kami,
pangeran. Jadi adil kalau kami juga meminjamnya
sebentar!" "Keparat, kau membangkang?"
"Tidak, kau yang pelit, pangeran. Seharusnya kami mendapat pinjaman sebentar dan
kau biarkan kami pergi. Atau, heh-heh.. Sin Hauw ada di situ, pangeran. Dan kita bisa ramai!"
Sang pangeran tertegun. Memang Sin Hauw ada di situ
dan tadi tak jadi melompat maju, pangeran muncul dan dia menahan diri. Dan
ketika pangeran menoleh dan semua
orang memandangnya maka Sin Hauw menjadi pusat
perhatian dan pangeran tampak terkejut.
"Eh!" serunya. "Kebetulan, Sin Hauw. Kau bantu kami tangkap dua nenek ini!"
Sin Hauw tertegun. Menghadapi keadaan yang
membingungkan begini tiba-tiba dia tak dapat berpikir baik.
Dia memandang goloknya dan golok di tangan nenek itu, berkali-kali, ragu dan
bingung bagaimana tiba-tiba ada dua Golok Maut di situ, satu punyanya sedang
yang satu lagi dipegang nenek
Im-kan Siang-li. Dan belum dia
menemukan kebingungannya tiba-tiba pangeran telah
mendekatinya dan melompat berkata,
"Sin Hauw, golokmu dicuri nenek itu. Mereka
menukarnya. Golok di tanganmu palsu!"
Sin Hauw terbelalak. "Benar, golok di tanganmu bukan yang asli, Sin Hauw.
Im-kan Siang-li menukarnya dan golok di tangannya itulah yang asli!"
Sin Hauw terkejut. "Benarkah, pangeran?"
"Kau tanya semua orang, Sin Hauw. Dan buktikan
golokmu asli atau bukan!"
"Srat!" Sin Hauw mencabut goloknya, menggigil. "Kau jangan main-main, pangeran.
Atau aku akan melakukan seperti dulu!" "Bodoh! Buktikan senjata itu, Sin Hauw, serang dua nenek siluman itu!"
Sin Hauw membentak. Tiba-tiba tanpa banyak cakap dia
sudah berkelebat ke depan, Coa-ongya didorong dan
hampir saja pangeran itu terjengkang. Dan ketika sinar golok berkilat
menyilaukan mata dan Sin Hauw sudah
bergerak ke arah nenek itu maka pemuda ini sudah
menyerang dan melakukan bacokan miring.
"Singg..!" golok mendesing meremangkan bulu tengkuk.
Pemuda itu sudah bergerak dan langsung menggunakan
senjatanya, nenek yang diserang terkekeh dan tampak tidak gentar. Karena begitu
Sin Hauw menyerang dan menggerakkan senjatanya tiba-tiba nenek ini pun menggerakkan golok dan menangkis.
"Trang!" Golok Sin Hauw patah. Pemuda itu berteriak saking
kagetnya. Dalam segebrakan saja goloknya putus, terpotong di-babat golok si
nenek. Dan ketika Sin Hauw terpekik dan berseru kaget maka golok si nenek terus
menyambar dan Sin Hauw membanting tubuh bergulingan.
"Crass!" Golok itu menghajar batu. Tanah bekas injakan Sin
Hauw hangus dan terbakar, Sin Hauw terkejut karena itulah benar golok yang asli.
Dan ketika dia bergulingan
melompat bangun dan sang nenek terkekeh maka pemuda
ini pucat mendengar kata-kata sang pangeran,
"Nah, lihat. Sin Hauw. Dustakah kata-kataku?"
"Keparat!" Sin Hauw gemetar. "Bagaimana kau mencurinya, nenek siluman" Dan kapan
kau melakukan ini?" "Tak usah tanya! Nenek itu akan berbohong, Sin Hauw.
Lebih baik serang lagi dan biar kau dibantu yang lain-lain di sini!" sang
pangeran berseru, memotong pertanyaan Sin Hauw dan nenek itu tak diberi
kesempatan menjawab. Pek-wan dan lain-lain disuruh maju, membantu Sin Hauw. Dan
ketika semua menerjang dan kembali membentak nenek itu maka Sin Hauw memungut
goloknya dan termangu sejenak, tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi dan nenek Im-kan Siang-li
terkekeh. Mereka sudah diserang dan
dikeroyok lagi. Tapi ketika nenek itu memutar goloknya dan semua patah-patah
bertemu golok di tangan nenek ini maka Pek-wan dan lain-lain pucat berseru pada
Sin Hauw, minta tolong. "Sin Hauw, bantu kami. Jangan mendelong!"
Sin Hauw sadar. Sang pangeran telah mendekatinya dan
melompat memberikan sebuah golok baru, golok itu besar dan kuat, mengkilap dan
terbuat dari baja yg baik. Dan ketika pangeran menyuruh dia maju dan minta agar
tidak mengadu goloknya Sin Hauw sudah mengangguk dan
berkelebat ke depan, membentak dan berkilauanlah cahaya golok yang naik turun,
menukik dan menerkam dan dua
nenek itu terkejut. Sin Hauw menyerang siapa saja di antara mereka berdua, tak
perduli dan goloknya selalu ditarik bila
mau berpapasan, menyerang lagi dengan jurus-jurus maut dan berkeredepanlah sinar
menyilaukan mata ini ketika Sin Hauw sudah mainkan ilmu goloknya. Dan ketika
pemuda itu beterbangan dan dari satu tempat ke tempat lain ia selalu melakukan jurus-
jurus berbahaya maka dua nenek itu sibuk sementara yang buntung berteriak pada
saudaranya agar melindungi dirinya.
"Keparat, kau jahanam berotak kerbau Sin Hauw. Kau tak tahu bahwa Coa-ongya
menipumu dan mengibulimu habis-habisan. Pangeranlah yang mengganti golokmu, kau harus menuntut padanya
dan tidak menyerang kami!"
"Benar," nenek yang lain menyambung "Kami mengambil golok ini dari pangeran. Sin Hauw. Kau
dipedayainya dan ditipu habis-habisan!"
"Jangan dengarkan omongannya!" Coa-ongya membentak. "Nenek itu bawel mulutnya, Sin Hauw. Lebih baik kau serang dan rampas
kembali golokmu!" "Sing-plak!" Sin Hauw tak menghiraukan, terus menyerang dua nenek itu dan mereka
memaki-maki. Pek-wan dan lain-lain diminta Coa-ongya agar menyerang lebih hebat,
dua nenek itu marah tapi sekarang Coa-ongya
memberi tahu agar nenek yang buntung didesak lebih dulu, Sin Hauw mengangguk dan
dapat mengikuti ini, mengerti bahwa nenek yang itu memang lebih lemah. Nenek ini
hanya mempergunakan kedua kakinya untuk mengelak dan
menendang, saudaranya di sana
memegang golok sementara dia bertangan kosong, eh., mana.ada nenek
buntung memegang senjata" Maka begitu Sin Hauw mulai
menekankan serangannya pada nenek ini sementara nenek yang lain disibukkan
serangan pengawal maka nenek
buntung kelabakan diserang Sin Hauw, sebentar saja
terdesak! "Sin Hauw, tahan seranganmu. Atau saudaraku akan membunuhmu!"
"Sing-crat!" jawaban Sin Hauw berupa sambaran golok, tepat mengenai pundak si
nenek dan nenek buntung itu
menjerit. Dia melempar tubuh bergulingan ketika Sin Hauw mengejar, dua pengawal
membantu namun nenek itu menendang, membuat dua pengawal ini mencelat. Tapi
ketika dia melompat bangun dan Sin Hauw sudah ada di
dekatnya maka golok pemuda itu bergerak dan kaki nenek ini terbabat miring.
"Crat-aduh!" Nenek itupun meraung. Untuk kedua kali ia kesambar
golok, untung tidak putus namun betisnya robek berdarah, luka memanjang karena
serangan Sin Hauw tadi menyambar miring. Coa-ongya bertepuk tangan dan
memuji pemuda itu, Sin Hauw menyerang lagi lebih hebat dan nenek itu melengking.
Dan ketika dia berteriak dan Kak-busu membantu Sin Hauw maka nenek ini memaki
kalang-kabut karena dirinya betul-betul kewalahan.
"Aduh, bantu aku, toa-ci. Ke mari dan bunuh dua orang ini!"
Sang toa-ci (kakak) terkejut. Saat itu dirinya dihadang puluhan pengawal, roboh
satu maju sepuluh. Roboh sepuluh maju dua puluh. Dan karena Pek-wan selalu
mendapat aba-aba dari Coa-ongya agar mencegah dan
menghalangi dia membantu adiknya di sana maka nenek ini menggeram dan memekik
marah. "Pek-wan, mundur. Atau kau kubunuh!"
"Hm, serahkan golok dulu, nenek siluman. Baru setelah itu aku mundur!"
"Keparat, kau bicara serius?"
"Tentu, kau kira main-main" Ha-ha, serahkan golok, nenek bau. Dan baru setelah
itu aku mundur!" "Kalau begitu terimalah!" nenek ini tiba-tiba melempar golok. "Kau boleh
menikmatinya sejenak, kakek busuk.
Tapi bantu adikku dari desakan Sin Hauw.. singg!" golok benar-benar menyambar
Pek-wan, diberikan dan Lutung
Putih tentu saja terbelalak, girang tapi cepat menerima golok itu. Dan ketika
dia tertawa bergelak dan Golok Maut berpindah di tangannya maka dia meloncat ke
kiri dan., kabur meninggalkan arena.
"Heii..!" Coa-ongya terkejut. "Berikan padaku, Pek-wan.
Kembali..!" Namun si Lutung Putih terbahak di sana. Dia tak
kembali dan pangeran berteriak-teriak. Sin Hauw dipanggil dan semua orang
terkejut. Dan karena kejadian itu memang di luar dugaan dan Sin Hauw menahan
desakannya maka pangeran berseru, "Sin Hauw, kejar kakek Lutung itu. Golokmu
diambilnya!" Sin Hauw tertegun. Memang ini kejadian mengejutkan,
para pengawal ribut dan merekapun geger. Apa yang
dilakukan Pek-wan adalah tiruan dari apa yang tadi
dilakukan Im-kan Siang-li. Kini si Lutung yang mengambil golok itu dan
melarikannya. Dan karena yang amat
berkepentingan adalah Sin Hauw karena pemuda itulah
pemilik utamanya maka Sin Hauw meninggalkan nenek
buntung dan meloncat berjungkir balik mengejar si Lutung.
"Pek-wan, kembalikan golok itu!"
Pengawal benar-benar ribut. Sin Hauw berjungkir balik di atas kepala mereka dan
sudah menghadang perjalanan lawan, Pek-wan tak dapat berlari karena pemuda itu
sudah ada di depannya. Dan karena Sin Hauw marah dan
membentak kakek itu maka golok di tangan langsung
berkelebat dan menyambar kepala kakek itu, membuat
lawan terkejut tapi Pek-wan menggerakkan goloknya.
Gerak otomatis dari seorang ahli silat langsung di-kerjakan kakek ini. Dan
persis golok Sin Hauw menyambar datang Golok Maut di tangannya itupun menyambut.
"Crangg!" Golok Sin Hauw putus. Tadi dalam kemarahan dan
kegeramannya Sin Hauw lupa pada pesan Coa-ongya.
Goloknya memang tak boleh diadu dengan Golok Maut
karena pasti kalah. Golok di tangannya itu adalah golok biasa meskipun terbuat
dari baja yang baik, tak mungkin ditandingkan dengan Golok Maut. Maka begitu
putus dan Sin Hauw sadar akan kekeliruannya maka Pek-wan tertawa bergelak
mengejek padanya, "Minggir, Sin Hauw. Atau kau terbunuh oleh golokmu sendiri.. singg!"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Hauw mengelak, melempar tubuh bergulingan ketika
Pek-wan mengejar, golok ampuhnya bekerja dan tentu saja Sin Hauw menghindar. Dan
ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun namun Pek-wan terbahak di sana
ternyata kakek itu melarikan diri dan sudah pergi lagi.
"Ha-ha, tak usah mengejar. Sin Hauw. Tuntut saja Coa-ongya karena benar dia
telah menipumu!" Sin Hauw tertegun. Untuk kedua kali la mendengar
omongan ganjil, tadi Im-kan Siang-li sekarang kakek ini, padahal beberapa saat
yang lalu Pek-wan adalah pembantu Coa-ongya, jadi musuh dari dua nenek lihai
yang kini melotot. Sang toa-ci sudah menolong adiknya dan Kak-
busu serta pengawal mencelat ditendang, Sin Hauw tak ada di situ jadi nenek
buntung dapat bernapas lega. Dan ketika
nenek itu melotot sementara Sin Hauw termangu dengan
muka bingung tiba-tiba Im-kan Siang-li membentak dan
mengejar si kakek Lutung, berkelebat di samping Sin Hauw.
"Jangan bodoh, kau memang dipedayai Coa-ongya, Sin Hauw. Apa yang kau alami
selama ini adalah tipuan. Tapi sekarang lebih baik golokmu diambil, mari kubantu
dan bunuh si kakek Lutung itu!"
Sin Hauw menggeram. Setelah diombang-ambing
sejenak oleh kata2 dua orang itu akhirnya omongan si
nenek di-anggap benar. Pek-wan harus dikejar dan goloknya dirampas kembali. Itu
adalah peninggalan gurunya dan tak boleh Golok Maut dipegang orang lain. Maka
begitu nenek itu mengejar dan Sin Hauw menyusul maka pemuda ini
berkelebat dan sudah membentak si Lutung.
"Pek-wan, kembalikan golokku!"
Pek-wan terkejut. Sin Hauw dan nenek Im-kan Siang-li
hampir berbareng menyambar punggungnya, nenek itu
melepas jarum sementara Sin Hauw menyambar tombak
seorang pengawal, tombak panjang yang ujungnya tahu-
tahu sudah dekat dengan punggungnya. Dan karena kakek ini harus menangkis dan
apa boleh buat berhenti berlari maka kakek itu membentak dan memukul pula jarum-
jarum si nenek Im-kan Siang-li.
"Cring-trak-tas!"
Ujung tombak dan jarum-jarum runtuh. Sin Hauw
melotot namun menyerang kembali, nenek di sebelahnya
sudah menerjang dan berseru keras. Dan ketika Pek-wan harus melayani dan
dikeroyok dari muka dan belakang
maka saat itu Coa-ongya membentak memerintahkan
orang-orangnya maju, menyerang si Lutung.
"Bunuh kakek itu. Rampas goloknya!"
Berhamburanlah orang-orang mengeroyok kakek ini.
Kak-busu dan lain-lain menerjang bersama, otomatis
membantu Sin Hauw dan nenek Im-kan Siang-li. Lucu,
tadi menyerang Im-kan Siang-li tapi sekarang
malah membantu, inilah ulah atasan, pangeran Coa itu. Dan
ketika Kak-busu dan lain-lain menerjang sementara Sin Hauw sendiri sudah
membuang tombak untuk merampas
yang baru maka pemuda ini membentak lawannya dan
si Lutung Putih terkejut, cepat memutar golok tapi celaka sekali dia bukan
seorang ahli golok, menangkis tapi Sin Hauw tak mau mengadu senjatanya lagi.
Kini pemuda itu menusuk dan mainkan tombaknya dengan keahlian seorang
profesional, ternyata Sin Hauw pandai mainkan senjata selain golok. Dan karena
dari kiri kanan menyambar
senjata-senjata lain sementara nenek Im-kan Siang-li juga melepas jarum-jarum berbahayanya maka Pek-wan
sibuk dan akhirnya satu tusukan Sin Hauw mengenai
pundaknya. Celakanya justeru menusuk bagian yang sudah terluka, yakni pundak
yang tadi terbabat Im-kan Sian-li, ketika nenek itu masih memegang Golok Maut.
Maka begitu kena yang luka dan kakek ini menjerit maka sebatang jarum akhirnya
menancap di lehernya, disusul kemudian oleh tikaman pedang di tangan Kwi-
goanswe. Pek-wan yang tak mahir bersenjatakan golok akhirnya menjadi
korban sendiri, Dan ketika kakek itu bergulingan sementara Sin Hauw mengejar dan
melakukan serangan-serangan
berbahaya akhirnya kakek ini mengaduh dan berteriak-
teriak. "Keparat, bantu aku, Im-kan Siang-li. Cegah dan serang mereka ini!"
"Hi-hik, kau yang merampas dan berbuat curang, Pek-wan. Sekarang tak mungkin
kubantu karena pangeran marah kepadamu!" "Tapi golok ini bisa kita miliki berdua, nenek busuk. Kau bantu aku atau golok
ini kubuang!" Nenek itu terkejut. Pek-wan ternyata
meskipun bersenjatakan sebuah golok yang ampuh namun sayang
sekali kakek itu kurang mampu mempergunakannya.
Hanya didorong ketamakannya memiliki senjata yang hebat kakek ini coba-coba
merampas, tak tahunya gagal dan Sin Hauw serta Kak-busu dan lain-lain
mengeroyok, masih mending nenek Im-kan Siang-li tadi karena mereka berdua, lain dengan si Lutung
ini yang hanya seorang diri. Maka ketika terjangan dan desakan bertubi-tubi
menyerang kakek itu sementara yang paling hebat adalah tombak di tangan Sin Hauw
maka Lutung Putih mengeluh dan terguling-guling, mempergunakan goloknya namun
senjata di tangan Sin Hauw mampu menyelinap. Dua kali tombak di tangan
pemuda itu menusuk dan menghunjam, satu di antaranya di atas perut, berbahaya
sekali keadaan kakek itu. Dan ketika Im-kan Siang-li tertegun sementara Sin Hauw
memperhebat dan melakukan tekanannya akhirnya satu tusukan tombak kembali
merobek paha kakek itu, menjerit dan Pek-wan
marah sekali. Coa-ongya bertepuk tangan dan menyuruh
bunuh kakek itu, pucat kakek ini. Dan ketika serangan pengawal
dan Kak-busu serta Kwi-goanswe juga menyibukkannya dari mana-mana maka kakek ini
melengking dan tiba-tiba golok, yang memang diincar dan menjadi sumber
pertikaian dilempar, tinggi sekali dan semua orang terkejut. Dalam
keputusasaannya kakek ini tiba-tiba membuang golok, melemparnya. Dan karena
golok itu memang golok keramat dan semua orang menginginkannya tiba-tiba Kak-busu membentak dan
berjungkir balik menyambar senjata itu, yang melayang tinggi di atas pohon.
"Hei, jangan diambil. Serahkan itu pada pangeran!"
Kwi-goanswe, yang mengira Kak-busu akan berbuat
seperti Pek-wan berteriak marah. Jenderal tinggi besar ini langsung mengejar dan
berjungkir balik puia, menusuk Kak-busu. Dan karena laki-laki itu hampir
menyentuh golok tapi diserang dari belakang maka apa boleh buat dia menangkis
dan membentak Kwi-goanswe, gagal menangkap golok.
"Plak!" Dua orang itu sama-sama terpelanting. Baik Kak-busu
maupun Kwi-goanswe sama-sama memaki. Kak-busu
menyatakan tak ada niat untuk merampas golok, Kwi-
goanswe disemprot dan merahlah muka jenderal itu. Dan ketika mereka berjungkir
balik melayang turun sementara golok terus melayang jatuh maka Im-kan Siang-li
tiba-tiba melepas ikat-pinggangnya dan terkekeh merampas golok
itu, dengan cara menggubatnya. "Siut-rrtt..!"
Golok tahu-tahu terbelit. Dengan cara begini nenek itu telah merampasnya,
tertawa dan meloncat tinggi. Dan
ketika ia berjungkir balik dan melewati atas pohon maka nenek itu sudah
berkelebat dan melayang jauh, melarikan diri.
"Heh-heh, terima kasih, Pek-wan. Memang ini punyaku!" Namun, baru nenek itu berjungkir balik dan melewati
pohon tiba-tiba bayangan Pek-wan dan Sin Hauw
menyusul, membentak dan Sin Hauw bergerak tanpa suara.
Pemuda ini marah sekali dan tiba-tiba melontar tombaknya.
Dari belakang Sin Hauw mempergunakan tenaga lemas,
tombak meluncur dan suaranya tidak terdengar nenek itu.
Dan karena Pek-wan juga menyerang dan bentakan kakek
itu kebetulan sekali menutup suara tombak maka
tepat sekali tombak menancap di punggung nenek ini.
"Crep!" Jerit mengerikan terdengar di situ. Si nenek lihai, yang tidak menyangka dan
ditembus golok tiba-tiba terbanting.
Tombak menancap persis di saat dia menginjak tanah, jadi kontan roboh ketika
punggungnya ditancapi golok. Dan
karena nenek itu tersungkur dan otomatis golok terlepas dari tangannya maka si
Lutung Putih terbahak menendang nenek itu, merampas goloknya.
"Ha-ha, Golok Maut milikku, nenek siluman. Dan
sekarang kau tak mungkin hidup lagi... dess!" nenek itu mencelat, jauh ditendang
kakek ini tapi tiba-tiba Sin Hauw membentaknya. Bersamaan dengan itu Kak-busu
dan Kwi-goanswe sudah meloncat bangun, menerjang kakek ini. Dan ketika Sin Hauw
juga melepas Kim-kong-ciang untuk
menghantam Pek-wan tiba-tiba dari belakang mencuat
sebuah tendangan dari nenek buntung, saudaia dari nenek yang roboh.
"Plak-des-blukk!"
Suara-suara itu disusul jerit dan bantingan tubuh. Sin Hauw, yang tidak menduga
tendangan dari belakang tiba-tiba terlempar, mengeluh dan terbanting kaget. Dia
memang lupa bahwa Im-kan Siang-li ada dua orang, yang pertama sudah roboh
sementara yang kedua adalah nenek buntung itu, yang dulu dibuntunginya. Maka
begitu melihat saudaranya tersungkur dan tentu saja si nenek buntung marah maka
nenek itu sudah berkelebat dan menendang Sin Hauw, mengeluh dan terlempar
sementara Kak-busu dan Kwi-goanswe di sana juga menubruk Pek-wan. Kakek
Lutung Putih ini diterkam dan tak sempat mengelak,
terguling dan mereka bertiga sama-sama roboh. Golok
Maut terlepas lagi dan tiga orang itu berebut. Dan karena Kak-busu yang terdekat
dan kebetulan golok tinggal meraih maka laki-laki ini menyambar dan golok pun
sudah di tangannya. "Wut!" golok tiba-tiba bergerak. Entah kenapa mendadak laki-laki ini menyerang
Kwi-goanswe, yang berteriak dan minta agar golok itu diserahkan padanya. Dan
karena jarak mereka dekat dan Kwi-goanswe tak menduga maka bahu
jenderal tinggi besar itu kesambar. "Crat!"
Jerit kembali terdengar. Bahu jenderal itu sompal, darah memuncrat namun Pek-wan
tiba-tiba bergerak. Kakek ini mencuri kesempatan dalam waktu yang amat sempit.
Kak-busu baru saja membacok Kwi-goanswe dan cepat dia
bergulingan, menyambar dari bawah dan menendang
lawannya. Kak-busu kalah cepat karena baru saja dia
menyerang Kwi-goanswe. Maka begitu tertendang dan
mencelat terlempar golokpun terlepas dan kebetulan jatuh di tengah-tengah
pengawal. "Hei, awas...!"
"Tangkap!" Semua melotot. Saat itu Sin Hauw yg diserang nenek
buntung tiba-tiba tak diperdulikan semua orang, mata
tertuju pada golok yang jatuh di tengah-tengah ini, anehnya semua orang tiba-
tiba berebut dan satu sama lain ingin memiliki. Rupanya, keampuhan golok telah
membuat ngilar orang-orang ini. Pengawal pun ikut-ikutan mau
berebut, saling berteriak dan mendorong yang lain. Dan ketika golok jatuh di
tengah-tengah dan semua berebut tiba-tiba Kak-busu berkelebat dan menyambar
golok itu, mendahului yang lain-lain, menendang.
"Minggir.. plak-des-dess!"
Golok tahu-tahu telah berada di tangan Kak-busu ini.
Pandang mata dan sikap yang aneh tampak di mata busu
itu, pangeran girang dan berseru agar busu itu menyerahkan golok padanya. Tapi
ketika laki-laki ini tertawa aneh dan
meloncat pergi tiba-tiba dia melarikan diri, membawa
Golok Maut itu. "Hei..!" Coa-ongya terkejut. "Serahkan golok padaku, Kak-busu. Kembalikan!"
Namun laki-laki itu tertawa. Dia berkelebat dan mau
menghilang, Kwi-goanswe membentak dan tentu saja
marah, tiba-tiba melayang ke depan laki-laki itu, yang ternyata mau melarikan
diri dan membawa golok. Dan
ketika jenderal ini menggerakkan pedangnya dan langsung membacok maka Kak-busu
mendengus dan tentu saja menangkis, tak melihat bayangan kakek Lutung yang tiba-tiba bergerak di
belakangnya. "Cring-dess!" Jerit tertahan terdengar di situ. Kak-busu tahu-tahu
cerlempar, goloknya memapas buntung pedang di tangan
Kwi-goanswe tapi laki-laki ini terkena hantaman Pek-wan, mencelat dan terlempar,
goloknya terlepas dan sudah
disambar kakek Lutung itu. Dan ketika golok berpindah tangan dan Kak-busu
bergulingan terkejut maka Pek-wan ganti merampas golok itu dan melarikan diri.
"Ha-ha, ini milikku, Kak-busu. Pergi dan biarkan aku sendiri!"
Kak-busu terbelalak. Dia sudah tidak memegang golok
Maut lagi dan Kwi-goanswe di sana tertegun. Semua orang juga tertegun karena
untuk kedua kalinya Lutung Putih mendapatkan golok, yang kecelik jadi melongo
tapi Coa-ongya gusar bukan kepalang. Sekarang Kak-busu maupun
Pek-wan sama-sama tak dapat dipercaya, dua pembantunya itu sama-sama berkhianat
dan mereka ingin mengangkangi golok, pangeran ini mendelik dan marah bukan main.
Tapi ketika Pek-wan meloncat pergi dan tertawa-tawa tiba-tiba
menyambar tujuh golok terbang di mana dua di antaranya tidak bersuara, menyambar
punggung kakek ini. "Sing-crep-crep!" !
Jerit ngeri terdengar di situ. Pek-wan yang tidak
mendengar sambaran dua golok di punggungnya tiba-tiba roboh tertembus, mendengar
yang lain dan menangkis namun yang dua ini lolos dari pendengarannya. Kakek itu membalik dan meruntuhkan
lima golok di depan, tak tahu dua golok yang terakhir menuju punggungnya, yang
kini otomatis menyambar dada karena kakek itu membalik.
Jadi, kontan dua golok terbang ini mengenai dadanya,
amblas dan tembus sampai ke punggung. Dan ketika kakek itu mendeiik dan roboh
dengan golok terlepas maka Sin Hauw sudah berkelebat dan tahu-tahu merampas
goloknya. "Des-dess!" Kakek itu mencelat. Sin Hauw telah menendangnya dan
pemuda itu mendapatkan kembali Golok Mautnya, tegak
berdiri dengan mata bersinar-sinar. Dan ketika yang lain tertegun
dan Pek-wan menggelepar dan

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya menuding-nuding tiba-tiba kakek itu roboh dan tidak
bergerak-gerak lagi, tewas.
"Sin Hauw, ah., untung kau sudah mendapatkan
golokmu!" Coa-ongya, yang girang melihat pemuda itu menewaskan si Lutung tiba-
tiba berseru memeluk. Pangeran ini tampak gembira dan berseri-seri memandang pemuda itu, yang
menggigil dan berkerut memandang
Golok Maut, heran bagaimana senjata yang ada di
tangannya itu tiba-tiba berganti, mendapat yang palsu dan yang asli ini dicuri
orang, begitu yang dilihatnya. Tapi ketika pangeran memeluknya dan memuji serta
tampak girang nenek buntung berteriak sementara Kak-busu tiba-tiba melarikan diri!
"Sin Hauw, kau jahanam keparat..!"
Sin Hauw mengerutkan kening. Tadi dia meninggalkan
nenek ini melepas hui-to (golok terbang), menyerang Pek-wan yang mau melarikan
diri dengan membawa Golok
Maut, hal yang tentu saja tak akan dibiarkannya. Maka begitu si nenek menyerang
sementara Kak-busu melarikan diri tiba-tiba Sin Hauw mendengus dan menendang
nenek itu. "Im-kan Siang-li, kau pergilah..!"
Nenek itu mencelat. Sin Hauw tak tega mempergunakan
goloknya karena nenek itu pasti buntung lagi, kakinya menerima kaki si nenek dan
nenek itu terlempar. Dan ketika nenek itu menangis dan memaki-makinya mendadak Kwi-goanswe dan lain-lain
disuruh pangeran menangkap
Kak-busu. "Hei, tangkap dia. Bunuh!"
Sin Hauw terkejut. Kak-busu tiba-tiba berteriak minta tolong padanya, diserang
dan laki-laki itu kalang-kabut.
Kak-busu kehilangan senjatanya akibat Golok Maut itu, ketika terjadi perebutan
dan kegaduhan. Dan ketika Kwi-goanswe dan para pengawal menerjangnya hampir
berbareng maka laki-laki ini menjerit ketika pedang dan tombak ada yang
mengenainya, luka dan laki-laki itu
terjungkal. Kwi-goanswe membentaknya dan mengejar,
saat itulah laki-laki ini berteriak meminta tolong Sin Hauw.
Dan ketika dia bergulingan menyelamatkan diri namun
bacokan Kwi-goanswe masih menyambar bahunya maka
laki-laki ini mengaduh dan sekali lagi memanggil Sin
Hauw. "Sin Hauw, tolong. Selamatkan aku. Kau ditipu Coa-ongya!"
Sin Hauw terbelalak. Untuk kesekian kalinya dia diberi tahu bahwa dia ditipu
Coa-ongya, dan semua yang
mengatakan itu adalah bekas pembantu-pembantu pangeran ini. Jadi, tak mungkin
mereka bohong dan agaknya ada
sesuatu yang tak beres di sini, entah apa. Sin Hauw
mengerutkan kening dan tentu saja tak senang, memandang pangeran
tapi Coa-ongya buru-buru membentak, mengatakan itu tak benar dan pangeran malah minta agar Kak-busu dibunuh. Sin
Hauw disuruh menyerang dan
membantu Kwi-goanswe. Dan ketika Sin Hauw masih
ragu-ragu dan Kak-busu kembali berteriak menyelamatkan diri dari serangan Kwi-
goanswe dan lain-lain bekas
pembantu Coa-ongya itu berseru lagi, menuding nenek
buntung, "Kau tanyalah dia. Nenek itu pasti akan disuruhnya tangkap
pula, Sin Hauw. Kami berdua mengetahui
kebusukan dan kecurangan pangeran. Golok Maut
pangeranlah yang menukarnya!"
"Bohong!" pangeran Coa membentak marah. "Mereka itulah yang melakukannya. Sin
Hauw. Nanti dapat kujelaskan kalau Kak-busu sudah kau bunuh. Cepat bantu Kwi-goanswe,
jangan biarkan dia mempengaruhi pikiranmu!" Sin Hauw bingung. Saat itu tiba-tiba dia dibuat bimbang, Kwi-goanswe sudah
menyerang lagi namun Kak-busu
mengelak, laki-laki ini berteriak-teriak lagi tentang pangeran, bahwa Sin Hauw
ditipu dan dikelabuhi mentah-mentah. Sin Hauw boleh bertanya pada nenek buntung
kalau tidak percaya, mulai menyebut-nyebut bahwa enci Sin Hauw itupun palsu,
encinya yang asli sudah terbunuh dan Sin Hauw tertipu. Dan ketika Sin Hauw
terkejut dan tentu saja terkesiap maka Kak-busu menjerit ketika tombak dan
pedang di tangan Kwi-goanswe hampir saja memutuskan
lehernya. "Aduh! Cepat, Sin Hauw. Atau kau akan terlambat dan Coa-ongya membunuhmu di
belakang hari, tanpa kau sadari!" Sin Hauw jadi penasaran. Dia gemas oleh semua kata-
kata ini, nenek buntung tiba-tiba berkelebat dan menangis membawa encinya, yang
sudah tewas, Dan ketika pangeran tertegun dan menyuruh kejar nenek itu tiba-tiba
Kak-busu berteriak lagi, "Nah, lihat. Sin Hauw. Kalau tak ada apa-apa tak mungkin Coa-ongya menyuruh
kejar nenek itu. Dia pasti membunuhnya, pangeran ingin membungkam kami!"
"Wut!" Sin Hauw berkelebat, menolong Kak-busu.
"Jangan bunuh orang ini, Kwi-goanswe, Biarkan dia roboh dan kita tangkap saja!"
Kwi-goanswe dan lain-lain terlempar. Sin Hauw
mendorong dan hanya menyentuh perlahan, tapi karena
pemuda itu mengerahkan sinkangnya dan tentu saja Kwi-
goanswe tak kuat maka jenderal tinggi besar itu terpelanting sementara pengawal
juga berteriak dan terguling-guling.
Mereka terlempar menjauhi Kak-busu, Sin Hauw sudah
merobohkan dan menangkap laki-laki ini, Dan ketika Kak-busu mengeluh dan minta
agar Sin Hauw membawanya pergi maka Coa-ongya meloncat dan berkata marah,
"Tidak, Kak-busu telah melakukan kesalahan besar. Sin Hauw, Dia harus dibunuh
dan berikan padaku!" sang pangeran merampas pedang, menyambarnya dari Kwi-
goanswe dan langsung menusukkannya ke dada Kak-busu.
Sekali kena tentu busu itu tewas, dadanya bakal berlubang, Tapi Sin Hauw yang
tentu saja tak membiarkan itu dan
menangkis perlahan tiba-tiba membuat sang pangeran
menjerit dan pedang pun terlepas dari tangannya.
"Aduh, keparat kau, Sin Hauw. Terkutuk kau!" sang pangeran terguling-guling,
marah tapi Sin Hauw cepat
menyambar tubuhnya. menolong dan tentu saja Sin Hauw
minta maaf. Dan ketika pangeran melotot dan Sin Hauw
menepuk-nepuk membersihkan bajunya maka Coa-ongya
agak gusar meskipun sedikit terhibur.
"Maaf, pangeran. Aku tak sengaja. Kak-busu tak boleh dibunuh!"
"Tapi dia mempengaruhimu, dia menghasut!"
"Hm, itu dapat diselidiki, pangeran.Kalau bohong tentu paduka dapat
menghukumnya!" "Ah, terlalu lama, Sin Hauw. Dia dapat melantur
macam-macam dan kau akan terpengaruh. Aku ingin
membunuhnya dan berikan dia padaku!"
"Tidak, paduka harus menahan diri, pangeran. Atau aku akan mempercayai
omongannya!" Coa-ongya tertegun. Sin Hauw memandangnya tajam
dan tentu saja pangeran ini berdetak. Dia harus berhati-hati kalau tak ingin Sin
Hauw curiga. Maka melepas
pegangannya dan tersenyum pahit pangeran ini berkata,
"Baiklah, Sin Hauw. Kau rupanya termakan juga
omongan pemfitnah ini. Nah, mau kau apakan dia dan mau dikemanakan!"
"Bagaimana menurut pendapat paduka?"
"Sebaiknya Sin Hauw mengejar dulu nenek buntung itu, pangeran. Im-kan Sian-li
telah membuat keributan dan
mengacau!" Pangeran mengerutkan kening. Kwi-goanswe tiba-tiba
melompat dan berdiri di samping Sin Hauw, memberi
kedipan, ditangkap pangeran dan tentu saja Sin Hauw tak tahu. Dan ketika
pangeran mengangguk dan teringat itu tiba-tiba pangeran berkata, "Benar, nenek
keparat itu harus kau bekuk pula. Sin Hauw. Ini perintahku dan jangan kau
membantah!" "Ah, tidak!" Kak-busu berteriak. "Jangan biarkan aku di tempat orang-orang ini.
Sin Hauw. Jangan tinggalkan aku dan biar kau bawa!"
"Hm, kau cerewet!" Kwi-goanswe tiba-tiba menotoknya.
"Hwa Kin dapat menjagamu, Kak-busu. Kalau Sin Hauw mengejar si nenek pengkhianat
kau dapat diberikan pada encinya!"
"Benar," pangeran berseri-seri. "Kak-busu dapat kau titipkan sebentar pada
encimu. Sin Hauw. Kau dapat
merasa aman kalau curiga terhadap kami!"
Sin Hauw tertegun. Saat itu Kak-busu tak dapat bicara lagi, busu ini ah-uh-ah-uh
namun tak dapat mengeluarkan suara. Sebenarnya takut dan pucat bukan main busu
ini. Sin Hauw tak tahu betapa dengan licik Kwi-goanswe sengaja "membungkam"
mulut busu itu, menotok urat gagunya, membuat si busu tak dapat bicara dan teniu
saja segala laporannya bakal tak didengar Sin Hauw. Dan ketika pangeran bicara
seperti itu dan buru-buru bertepuk tangan dua kali maka muncullah Hwa Kin yang
keluar dengan tubuh menggigil, pucat dan gemetar.
"Pangeran, aku.. aku dipanggil?"
"Benar, ke marilah, Kin-moi, Bawa dan jaga tikus busuk ini. Adikmu menangkapnya,
mau rnengejar nenek buntung tapi mungkin Tin Hauw curiga kepada kami. Nah,
bawalah dia dah seret ke kamarmu!"
"Aku tak kuat!"
"Pengawal dapat membantumu, atau mungkin Sin
Hauw!" dan Coa-ongya yang memandang serta meminta pendapat Sin Hauw akhirnya
membuat pemuda itu bergerak dan sudah menyambar Kak-busu ini, meloncat dan membawa Kak-busu ini ke
kamar encinya. Hwa Kin pucat
pasi namun Coa-ongya menggamit, cepat mengikuti Sin
Hauw dan Kwi-goanswepun melompat, membayangi
pemuda itu. Dan ketika Sin Hauw sudah melempar Kak-
busu dan minta agar encinya menjaga baik-baik maka
pemuda itu berkelebat dan lenyap mengejar nenek buntung.
"Pangeran, sebaiknya yang lain tak usah mengikuti. Biar nenek itu kutangkap
sendiri!" "Tapi..." "Tidak!" pemuda itu berseru dari jauh. "Aku tak perlu bantuan, pangeran. Seorang
diri aku dapat menangkap dan biarkan yang lain di sini!"
Terpaksa, karena Sin Hauw bernada keras dan lagi-lagi pangeran tak mau dicurigai
maka pangeran menarik napas dan menyuruh yang lain berjaga, sisanya membersihkan
bekas-bekas pertempuran dan terbanglah Sin hauw
mengejar nenek itu. Dan ketika Sin Hauw lenyap sementara dari jauh ia meminta
encinya menjaga baik-baik busu itu maka Kak-busu ditinggal dan Sin Hauw merasa
tenang sejenak. Tapi benarkah" Inilah kelicikan Coa-ongya yang bakal terbongkar!
ooooo0d0w0ooooo "Hei, berhenti! Tunggu sebentar, nenek siluman.
Berhenti dan tunggu dulu!" Sin Hauw akhirnya menemukan nenek itu, tersaruk-saruk
melarikan diri dan nenek ini
membawa mayat encinya. Im-kan Sian-li yang seorang
sudah tewas dan Sin Hauw berjungkir balik di depan nenek buntung ini, turun dan
menghadang perjalanan orang. Dan ketika nenek itu berhenti dan otomatis tak
dapat meneruskan larinya maka Sin Hauw dipandangnya dengan
mata penuh kebencian, bersinar-sinar.
"Kau mau apa. Sin Hauw" Membunuhku?"
"Hm, tidak," Sin Hauw merasa kasihan juga. "Golok Maut telah berada di tanganku,
nenek buruk. Dan aku tak ingin membunuhmu."
"Tapi kau menghadang lariku!"
"Maaf, kau harus kembali, nenek buruk. Pangeran minta kau ke sana dan
mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
"Keparat, kau mau menangkap aku Sin Hauw" Kau
membela orang yang menipumu habis-habisan?"
"Hm, aku tak mengerti ini, nenek siluman. Tapi coba kau terangkan padaku
bagaimana semuanya ini."
"Aku tak mau bicara! Kau kerbau dungu yang bodoh!"
"Kalau begitu kau kutangkap, kuseret dan akan
kuhadapkan Coa-ongya!"
"Keparat, kau jahanam. Sin Hauw. Kau bocah tengik yang tidak berjantung!" dan si
nenek yang menerjang dan meletakan mayat encinya tiba-tiba menubruk dan memutar
kakinya, menendang dan melakukan serangan miring
namun Sin Hauw dapat menghalau, Dengan mudah dia
mengibas kaki nenek itu, diserang lagi tapi Sin Hauw kali ini mundur selangkah,
membiarkan kaki si nenek lewat dan tiba-tiba ia menangkap. Dan ketika Sin Hauw
memencet dan kaki itu tertangkap maka si nenek menjerit dan
meronta-ronta dengan kaki yang lain.
"Aduh, lepaskan. Sin Hauw. Lepaskan..!"
"Aku akan melepaskan, tapi kau harus mengaku!"
"Mengaku apalagi" Kau yang bodoh tak dapat melihat mana orang baik atau jahat,
Sin Hauw. Kau kerbau tolol yang tidak punya otak.. aduh!" si nenek menjerit, Sin
Hauw memencet jalan darah di punggung kaki dan rasa nyeri
menyengat kakinya. Dari bawah sampai ubun-ubun nenek
ini diserang rasa sakit yang hebat, dia meronta namun Sin Hauw mencengkeram jari
kakinya. Dan karena nenek ini
buntung tak mempunyai kedua lengan maka dia kerepotan tersengkal-sengkal, mau
jatuh tapi Sin Hauw menahan.
Ditahan tapi Sin Hauw mendorongnya maju mundur,
akibatnya nenek ini mau jatuh juga, pucat dan marahlah nenek itu. Dan ketika Sin
Hauw memencet jalan darahnya dan dia dipaksa mengaku maka nenek ini berkaok-
kaok. "Aduh, lepaskan. Aku mengaku!"
"Hm," Sin Hauw melepaskan. "Sekarang ceritakan padaku bagaimana semuanya ini,
nenek buruk. Dan bagaimana kau serta yang lain-lain mengatakan aku ditipu Coa-ongya!"
"Tentu saja! Pangeran yang menukar golokmu, Sin
Hauw. Kau yang bodoh tak mengetahui itu. Hal itu
dilakukannya ketika kau pingsan, beberapa bulan yang lalu!
Bukankah kau tak merasa karena cerdiknya pangeran ini"
Nah, kau memang ditipunya. Sin Hauw. Golok Maut yang
asli ditukar pangeran dengan golok yang mirip, palsu tapi mirip!"
Sin Hauw tertegun. "Kau tak bohong?"
"Hm, bohong tak ada gunanya, Sin Hauw. Itulah
keteranganku dan kau boleh tanya Kak-busu atau Kwi-
goanswe!" "Apalagi yang kau ketahui?"
Nenek itu melotot. "Apa imbalannya untuk semua ini.
Sin Hauw" Bukankah aku akan tetap kau serahkan Coa-
ongya?" "Tidak," Sin Hauw menggeleng. "Kau boleh bebas kalau memberitahukan semua yang
kau ketahui, nenek buruk.
Tapi tentu saja semua itu harus benar!"
"Aku tak bohong, tentu saja benar!"
"Baiklah, lanjutkan ceritamu. Apa yang kau ketahui!"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berjanji membebaskan aku" Benar-benar membebaskan aku?" "Sumpah demi guruku, nenek buruk. Tapi kau jangan bohong!"
"Aku tak akan bohong, aku akan berkata sebenarnya, seperti apa yang aku ketahui!
Nah, apa yang ingin kau ketahui, Sin Hauw, tanyakan dan boleh kau buktikan
nanti!" "Aku ingin mengetahui apa saja, yang menyangkut
diriku. Golok Maut sudah kau terangkan dan barangkali coba kau jawab tentang
enciku," Sin Hauw tiba-tiba teringat. "Benarkah enciku tewas dan siapa wanita
yang ada di gedung Coa-ongya itu!"
"Dia memang bukan encimu!" nenek itu ketus
menjawab. "Dia wanita lain yang mirip encimu. Sin Hauw.
Coa-ongya memang keji karena tidak tanggung-tanggung
menipumu" Sin Hauw tergetar. "Bagaimana mungkin" Dia enciku, nenek buruk. Dan segala
gerak-gerik serta wajahnya adalah enciku!"
"Inilah kelihaian Coa-ongya. Gadis itu memang mirip encimu, Sin Hauw. Tapi
sebenarnya dia selir Coa-ongya!
Gadis itu temuan Kwi-goanswe. Coa-ongya dan Kwi-
goanswe memang bekerja sama. Encimu sebenarnya telah
terbunuh enam tahun yang lalu!"
"Bagaimana aku dapat mempercayai itu?" Sin Hauw semakin
menggigil. "Dan bagaimana aku membuktikannya?" "Bodoh! Kau dapat menanyainya tentang sesuatu yang pernah terjadi di antara
kalian, Sin Hauw. Masa kecil kalian atau apa saja yang teringat olehmu, sesuatu
yang penting!" Sin Hauw pucat. Setelah nenek ini bicara tentang itu dan dia bertanya apakah
nenek itu berani dibuktikan ternyata nenek ini terkekeh, mengangguk dan bersedia
dibuktikan. Sin Hauw boleh menanya encinya, itu dan si nenek akan menunggu. Dan ketika Sin
Hauw marah dan merah padam
maka si nenek balik bertanya,
"Di mana Kak-busu" Telah kau bunuh?"
"Tidak, dia kutangkap. Di gedung Coa-ongya!"
"Hi-hik, kau membiarkan umpan begitu empuk di hidung Coa-ongya, Sin Hauw" Kau
membiarkan Kak-busu mampus secara konyol?"
"Apa maksudmu?"
"Sebuah kebodohan lagi kau buat, Sin Heuw. Kak-busu akan dibunuh karena dia juga
mengetahui rahasia ini!"
"Tapi dia kuserahkan enciku!"
"Dia bukan encimu. Dia Tang Kiok!"
Sin Hauw tertegun. "Nah, ini kesempatan baik untuk menguji babak
pertama. Sin Hauw. Kau boleh buktikan bahwa Kak-busu
pasti sudah dibunuh! Orang yang kau anggap encimu itu tak mungkin dapat menjaga
Kak-busu. Diapun kaki tangan
Coa-ongya!" "Aku akan membuktikan!" Sin Hauw sudah tak tahan.
"Kau ikut aku dulu, nenek siluman. Kalau cocok baru kau kulepaskan!" Sin Hauw
menyambar nenek ini, menotok tengkuknya dan nenek itu roboh. Im-kan Siang-li
tentu saja menjerit dan berteriak-teriak, Sin Hauw dimakinya sebagai pemuda yang
tak menepati janji. Tapi ketika Sin Hauw
berkata bahwa nenek itu hanya dibawa sebentar untuk
melihat keadaan di gedung Coa-ongya maka nenek
itu pucat dan memaki-maki, tak percaya.
"Kentut busuk. Kau bohong, Sin Hauw. Kau penipu.
Kau ternyata sama dengan Coa-ongya!"
"Tidak, aku pasti membebaskanmu, nenek buruk. Tapi coba kubuktikan dulu apakah
benar Kak-busu dibunuh!"
"Tentu dibunuh, aku berani taruhan! Tapi bawa pula mayat saudaraku!"
"Hm, kau dapat membawanya nanti, nenek siluman.
Sekarang tak perlu banyak cakap dan kau diam saja!" Sin Hauw menggerakkan
jarinya, menotok urat gagu nenek itu dan kini si nenek tak dapat berkaok-kaok.
Nenek itu mendelik dan gusar bukan kepalang. Sin Hauw sudah
membawanya terbang dan kembali ke gedung Coa-ongya.
Dan ketika tak lama kemudian Sin Hauw sudah melempar
nenek itu di tempat tersembunyi dan langsung berkelebat masuk sendirian maka
Coa-ongya ternyata menyambut
bersama Kwi-goanswe, juga seratus pengawal yang tiba-tiba sudah disiapkan di
situ, seolah perang! "Bagaimana, Sin Hauw" Mana nenek itu?" Coa-ongya tampak tegang, melihat Sin Hauw
merah mukanya namun pemuda itu dapat mengendalikan diri. Tiba-tiba Sin Hauw menjadi cerdik untuk
tidak melakukan sesuatu secara
gegabah. Jejak yang mulai terang bisa menjadi gelap lagi kalau dia terburu-buru.
Maka begitu melihat pangeran
datang menyambut dan seratus pengawal siap dengan
senjata bergetar maka Sin Hauw pura-pura menahan marah dan memaki nenek itu,
"Maaf, aku gagal, pangeran. Nenek itu melarikan diri entah ke mana. Aku terpaksa
pulang untuk minta bantuan.
Nenek itu licin, dia rupanya masuk hutan!"
"Hm, kau tak bohong?"
Sin Hauw terkejut. "Kukira kau sudah menemukan nenek itu, Sin Hauw.
Tapi kau terhasut! Kau menyembunyikan sesuatu!"
Sin Hauw berdetak. Kalau tak ingat bahwa rupanya dia
dijebak dan pertanyaan itu mengandung tipuan barangkali ia akan terkecoh.
Untung, Sin Hauw ingat itu dan kini sikapnya terhadap Coa-ongya penuh kehati-
hatian. Sin Hauw justeru mengerutkan kening dan menampakkan
ketidak-senangannya mendengar kata-kata ini, sebuah
tuduhan langsung! Maka ketika pangeran memandangnya
tajam dan dia balas memandang tak kalah tajam maka Sin Hauw membalik dengan
sebuah pertanyaan getas, "Pangeran, bagaimana paduka menuduh demikian"
Beginikah cara paduka menyambut seorang yang telah
mati-matian membantu paduka" Di mana penghargaan
paduka terhadap seorang yang telah mati-matian bekerja keras?""Maaf," pangeran tiba-tiba tertawa. "Aku rupanya terlampau bercuriga. Sin Hauw.
Terus terang saja aku khawatir kau telah menemukan nenek itu dan mendengarkan omongannya yang tidak-tidak. Ah pembantuku telah berkhianat semua, terkutuk mereka itu!"
dan Coa-ongya yang mempersilahkan Sin Hauw masuk lalu bertepuk tangan dan
mengajak Sin Hauw ke ruang dalam, ke meja makan. "Mari.. mari. Sin Hauw.
Betapapun aku ingin membuang semua kejadian ini dengan suasana baru.
Aku ingin berterima kasih bahwa kau telah membunuh
Pek-wan dan satu di antara dua nenek keparat itu!"
Sin Hauw tertegun. "Paduka mau apa"
"Membuang rasa sebal. Sin Hauw. Mengajak semua
orang termasuk pengawal bersenang-senang! Mereka telah ikut mengamankan tempat
ini, wajib diberi sekedar tanda terima kasih dengan makan minum bersama!"
"Ah, tapi.. tapi aku ingin bertemu enciku, juga Kak-busu!"
"Ha-ha, dapat dilakukan setelah makan minum. Sin Hauw. Ayolah tak lari gunung
dikejar. Biar encimu kupanggil dulu!" dan sang pangeran yang bertepuk dan minta agar Hwa Kin
dipanggil lalu melihat wanita itu
muncul tak lama kemudian, berlari menubruk Sin Hauw
dan bertanya bagaimana dengan nenek yang dikejar. Sin Hauw agak tertegun dan
ragu dipeluk wanita ini, teringat kata-kata Kak-busu maupun si nenek buntung
bahwa wanita ini bukanlah encinya. Dia wanita lain yang entah bagaimana betul-betul
mirip dengan encinya. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan semua gerak-geriknya itu
diamati pangeran maka Coa-ongya batuk-batuk dan berdehem.
"Kenapa, Sin Hauw" Kau teringat kata-kata Kak-busu?"
Sin Hauw terkesiap. Coa-ongya ini tajam benar
pandangannya, tepat menebak dengan sekali melihat. Tapi Sin Hauw yang tentu saja
cepat menekan kekagetannya
dengan pura-pura balas memeluk encinya membuang rasa
gugup. "Hm, apa maksudmu, pangeran" Kata-kata yang mana?"
Sin Hauw pura-pura bodoh, mengerutkan kening dan Coa-
ongya tertawa. Untuk kedua kalinya dia jadi ragu melihat jawaban pemuda ini. Sin
Hauw sekarang sudah cerdik dan dapat melayaninya tak kalah pintar! Dan ketika
pemuda itu balik bertanya dan tentu saja pangeran ini tak mau
menjawab maka dia berkata menepuk keduanya,
"Ha-ha, sudahlah, Kin-moi. Ayo kita duduk dan nikmati hidangan!"
Hwa Kin mengangguk. Wanita ini terisak menanya Sin
Hauw bagaimana hasil pengejarannya, Sin Hauw menjawab gagal dan dengan muram pura-pura memaki
nenek buntung itu. Dan ketika dia duduk dan balas
bertanya bagaimana keadaan Kak-busu maka encinya itu
menarik napas panjang. "Kak-busu tetap di kamarku, dia tetap meringkuk.
Apakah ingin kau lihat, Sin Hauw?"
"Ah," pangeran buru-buru menutup. "Hidangan belum disentuh, Kin-moi. Masa mau
pergi" Ayo kita nikmati dulu, baru setelah itu ke tempat Kak-busu!" Coa-ongya
mengambil mangkok piringnya, bertepuk tangan dan
menyuruh semua orang mengikuti. Saat itu memang seratus pengawal telah duduk di
kursi panjang, berderet dan teratur dan mereka rupanya benar-benar siap
menghadapi hidangan. Sin Hauw tak melihat sesuatu yang mencurigakan kecuali persiapan seratus pengawal itu,
mereka seolah siap tempur dan mau maju perang. Dan
ketika pangeran mengajak bercakap-cakap sambil makan
minum maka Sin Hauw mengambil dan membaui semua
makanan, tentu saja dengan diam-diam dan dia tak
merasakan bius atau racun. Jadi, makanan itu bersih dan tidak ada apa-apanya.
Namun ketika perjamuan berjalan setengah selesai dan pangeran siap membawa Sin
Hauw ke tempat Kak-busu tiba-tiba bergegas seorang pengawal yang terbungkuk-
bungkuk melapor, menggigil,
"Maaf, pangeran. Kak-busu... Kak-busu bunuh diri membenturkan kepalanya ke
tembok!" "Apa?" dua seruan itu berbareng meluncur dari mulut Coa-ongya dan Sin Hauw.
"Kak-busu bunuh diri?"
"Beb.. benar, pangeran. Hamba mohon ampun!"
"Keparat! Kau... kau bedebah!" Coa-ongya tiba-tiba marah, bangkit dan menendang
pengawal itu dan pengawal itu
mengaduh. Kwi-goanswe tiba-tiba bangkit dan membentak. Dan ketika pengawal itu bangun berdiri
namun jenderal ini menggeram marah tiba-tiba sinar putih berkeredep dan pedang
jenderal itu menabas kepala
pengawal ini. "Bodoh, kau tak becus dan pantas dibunuh. Jahanam!"
dan pedang yang menyambar si pengawal dan tepat
mengenai lehernya tiba-tiba sudah disusul muncratnya
darah segar dan menggelindingnya sebuah kepala, tak
sempat lagi pengawal itu berteriak karena dia sudah tewas saat itu juga. Semua
orang menjadi geger dan Sin Hauw terkejut bukan main, perbuatan Kwi-goanswe ini
benar-benar tak diduga. Dan ketika pangeran juga berseru keras dan kaget menegur
jenderal itu maka Kwi-goanswe
menyimpan pedangnya dan sudah membungkuk.
"Maaf, pangeran. Hamba... hamba terlanjur naik pitam.
Laporan pengawal ini sungguh mengejutkan dan membuat
hamba marah!" "Ah, tapi kau harus minta persetujuanku dulu, goanswe.
Bukan langsung membabat dan membunuh begini!"
"Hamba bersalah," sang jenderal menunduk. "Tapi kalau tidak begini mungkin Sin
Hauw mencurigai kita, pangeran.
Barangkali dia akan menduga bahwa kitalah yang
menyuruh bunuh Kak-busu itu. Sekarang Sin Hauw boleh
melihat kesungguhan kita. Hamba membunuh pengawal
dan mudah-mudahan ini menghilangkan kecurigaan Sin
Hauw!" Sin Hauw dan pangeran tertegun. Memang tak dapat
disangkal bahwa tadi sebenarnya Sin Hauw bercuriga. Kak-busu jangan-jangan
memang sengaja dibunuh dan kini
pengawal itu pura-pura datang, atas suruhan pangeran atau siapa saja. Kini jadi
lenyap kecurigaannya setelah Kwi-goanswe bicara seperti itu. Sin Hauw merah
mukanya dan tentu saja sedikit tertampar. Dan ketika dia terkejut sementara
pangeran tertegun maka Coa-ongya menarik
napas mengangguk-angguk. "Ah, maaf. Benar juga, Kwi-goanswe. Sin Hauw
memang bisa bercuriga terhadap kita. Kalau begitu mari cepat kita ke sana!"
pangeran tak menunggu waktu lagi, bergegas meloncat ke dalam dan Sin Hauwpun
mengikuti. Lenyap dugaan Sin Hauw akan sangkaan yang tidak-tidak, sudah mati "dibuntu" Kwi-
goanswe. Dan ketika mereka tiba di sana dan pintu kamar itu terbuka maka Sin
Hauw dan Coa-ongya terhenyak memandang ke dalam.
Kak-busu, yang tadi dititipkan dan berada di kamar Hwa Kin ternyata sudah
menggeletak mandi darah. Kepalanya pecah dan tak mungkin busu itu hidup lagi.
Sin Hauw termangu sementara orang-orang lain pun berdatangan.
Dan ketika tempat itu penuh orang dan Hwa Kin juga
menyusul kaget maka wanita ini tertegun dan menjublak.
"Bagaimana bisa terjadi ini" Kenapa tidak dijaga baik-baik" Oh, aku menyesal.
Sin Hauw, Aku minta maaf!" Hwa Kin menubruk Sin Hauw, mengguguk dan menangis di


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ tapi Sin Hauw sudah dapat menguasai perasaan hatinya.
Kejadian itu dianggapnya benar dan sang encipun dihibur, tak perlu menangis dan
akhirnya mayat kakek itu disuruh ambil. Lantai yg penuh darah segera dibersihkan
dan Coa-ongya berkali-kali menghela napas. Penyesalan juga tampak di wajah
pangeran ini dan Sin Hauw tak menaruh curiga.
Dan ketika perjamuan berobah menjadi getir dan mayat
pengawal yang dibunuh Kwi-goanswe juga disingkirkan
maka tak lama kemudian Sin Hauw sudah berkelebat dan
pamit sebentar, menemui nenek buntung.
"Kau benar, tapi juga salah!" Sin Hauw mendesis, membebaskan
totokan lawan dan nenek itu memaki.
Sekarang si nenek dapat bicara meskipun tubuhnya masih dilumpuhkan. Sin Hauw
memang tidak membebaskan dirinya sepenuhnya. Dan ketika nenek itu bertanya apa yang dimaksud Sin Hauw
maka Sin Hauw menceritakan
tentang kematian Kak-busu.
"Dia telah mati, benar telah mati. Tapi bukan dibunuh melainkan bunuh diri!"
"Hah, kau percaya" Bodoh! Sekali lagi kau bodoh, Sin Hauw, dapat saja dikibuli
dan diperdayai lawan. Sudahkah kau lihat cermat tanda-tanda kematian itu" Apanya
yang pecah" Tengkuk atau dahinya" Kalau dia membenturkan
tembok maka dahinya yang pecah. Sin Hauw. Tapi kalau
dia dipukul dari belakang maka belakang kepalanya yang remuk! Sudahkah kau
teliti hal ini sampai secermat-cermatnya?"
Sin Hauw tertegun. Dia jadi bengong oleh uraian si
nenek, tadi kematian Kak-busu memang tak diperiksanya secermat itu. Dia sudah
melihat busu itu terkapar dan mandi darah, tak dilihatnya yang pecah tengkuk
ataukah dahi! Dan ketika ia tertegun dan tak menjawab maka nenek itu terkekeh,
mengejek, "Sin Hauw, kau benar-benar goblok, goblok melebihi kerbau! Sekarang hanya ada
Pahlawan Dan Kaisar 5 Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 6
^