Pencarian

Golok Maut 6

Golok Maut Karya Batara Bagian 6


satu jalan untuk menyelidiki ini, membuktikan apakah betul Kak-busu bunuh diri
atau dibunuh. Aku pribadi tetap berpendapat bahwa busu itu dibunuh, bukan bunuh
diri. Dan kalau kau ingin
membuktikannya maka bekuk dan kompres saja orang yang kau anggap encimu itu!"
Sin Hauw terbelalak. "Kau masih ragu juga, bukan?"
"Hm," Sin Hauw jadi merah padam. "Aku jadi penasaran oleh semuanya ini, nenek
buruk. Kalau kau benar maka aku benar-benar goblok
melebihi kerbau! Memang tak
kusangkal bahwa aku tak memeriksa kematian busu itu.
Aku tak tahu apakah dahinya yang pecah atau tengkuknya.
Baiklah, sekali lagi aku akan mengikuti petunjukmu, nenek siluman. Kali ini tak
mau aku dibodohi lagi dan kau
tunggulah di sini!" "Keparat, kau belum membebaskan aku juga.
Sin Hauw" Kau masih menahan aku di sini?"
"Sampai keteranganmu benar, nenek buruk. Dan
kujamin kau tak akan apa-apa di sini!"
Nenek itu memaki-maki. Sin Hauw akhirnya menotok
pula agar tidak dapat berkaok-kaok, kembali nenek itu mendelik dan Sin Hauw
melemparnya ke sudut. Dan ketika
Sin Hauw berkelebat dan kembali ke gedung maka malam
itu dia berhadapan dengan encinya.
"Aku ingin memperoleh keterangan, penjelasan yang serius!"
Hwa Kin, encinya, terkejut. Sin Hauw tiba-tiba
memasuki kamarnya dan tidak mengetuk pintu, baru kali ini pemuda itu
melakukannya dan tentu saja wanita ini terperanjat. Tapi ketika dia dapat
menahan perasaannya dan duduk menemani pemuda itu maka Sin Hauw mulai
bertanya tentang masa silam mereka.
"Kau ingat uwak Lun?"
Gadis atau wanita ini terbelalak. "Sin Hauw," katanya.
"Apa maksud pertanyaanmu ini" Uwak Lun siapa?"
"Hm, penjaja makanan kecil itu, enci. Masa kau tidak ingat" Ibu dulu sering
menitipkan makanan padanya!"
"Oh, dia?" wanita itu mengangguk, agak berubah. "Ya, aku ingat, Sin Hauw. Ada
apakah?" "Aku ingin kau mengingatnya baik-baik, enci. Coba sebutkan siapa anak uwak Lun
yang mati kena penyakit!"
"Ini... ini..." Hwa Kin atau wanita itu tiba-tiba pucat.
"Aku tak ingat. Sin Hauw. Kejadian itu sudah lama berselang dan aku tak ingat!"
"Tapi kau yang dulu membelikan obat di tempat Cun-sinshe (tabib Cun)! Kau tentu
ingat, enci. Atau, hmm... kau berpura-pura saja!" .
"Sin Hauw!" wanita itu membentak, tiba-tiba marah.
"Kau mau apa dengan semua pertanyaanmu ini" Kau mau menyakiti encimu?"
"Tidak, duduklah, enci, jangan berdiri begitu!" Sin Hauw memandang tajam,
menarik encinya duduk dan jelas wanita
ini gemetar. Pandang mata Sin Hauw mulai menembus
seperti pedang dan wanita itu tampak gelisah. Dan ketika Sin Hauw menyuruh dia
duduk dan kecemasan mulai tak
dapat disembunyikan wanita ini maka Sin Hauw bertanya lagi,
"Kau tentu ingat Wong-lopek {paman Wong) pula.
Katakan berapa anaknya dan siapa namanya yang tertua!"
"Sin Hauw, aku tak mau menjawab! Kau kurang ajar dan agaknya mencurigai encimu!
Keparat, kuberitahukan Coa-ongya, Sin Hauw. Kulaporkan perbuatanmu ini yang
menyakiti hatiku!" "Tunggu!" Sin Hauw membentak, menyambar encinya itu. "Pertanyaan ini biasa-biasa
saja, enci. Tak usah kau marah kalau kau dapat menjawab. Atau kau bukan enciku
dan kau manusia gadungan!"
Hwa Kin terpekik. Sin Hauw sudah menyambarnya dan
membentak dengan kata-kata mengejutkan. Bagai geledek di siang bolong saja dia
mendengar tuduhan itu. Dan ketika Sin Hauw mencengkeramnya dan dia mau menjerit
tiba-tiba Sip Hauw sudah menotoknya dan wanita ini-pun
roboh. "Aihh.,!" Sin Hauw sudah menutup teriakan itu dengan ketukan
di rahang. Wanita ini mengeluh dan tidak dapat bersuara.
Suara yang keluar hanya ah-uh tak jelas dan rintihan
ketakutan. Jelas wanita itu ngeri melihat Sin Hauw,
memandang wajahnya yang merah padam dan tampak
beringas. Sin Hauw telah melancarkan dua kali pertanyaan yang tak dapat dijawab
tegas, padahal anak Wong-lopek hanya seorang dan itupun perempuan, sahabat
encinya dan percayalah Sin Hauw bahwa wanita ini bukan encinya,
meskipun mirip dan amat persis sekali. Dan ketika Sin
Hauw teringat sesuatu dan merobek lengan baju wanita itu maka tembong atau tanda
hitam yang dipiiliki encinya
ternyata tak ada. Berarti wanita ini benar-benar enci palsu.
"Keparat, kalau begitu benar, siluman betina. Kau adalah Tang Kiok!" Sin Hauw
langsung saja teringat nama yang diucapkan nenek buntung, langsung menyebut nama
itu dan wanita ini terpekik. Pekiknya tertahan di kerongkongan namun itu cukup bagi
Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw
yakin bahwa wanita ini ternyata bukan encinya maka
kemarahan Sin Hauw menggelegak dan pemuda itu
mencekik leher orang. "Tang Kiok, berapa lama lagi kau mau menyembunyikan rahasia" Kau minta mati atau
apa?" "Oh-ugh..!" wanita itu menggeleng-geleng. "Lep...
lepaskan aku. Sin Hauw. Bebaskan aku!"
"Mudah membebaskanmu, tapi akui dahulu bahwa kau bukan enciku!"
"Ak... aku memang benar... bukan.. bukan encimu..!"
"Kau yang dulu dibawa Kwi-goanswe?"
"Beb.. benar... tapi, ah... tapi bebaskan aku dulu, Sin Hauw. Jangan dicekik!"
Sin Hauw mengendorkan cengkeraman. "Baiklah,
katakan siapa yang membuat semuanya ini, siluman betina.
Dan di mana enciku Hwa Kin!"
"Encimu... encimu tewas..!"
"Bagaimana terjadinya" Siapa yang melakukan?"
"Aduh, aku tak tahu, Sin Hauw. Tapi.. tapi mungkin Ci-ongya (pangeran Ci)..!"
Wanita itu menjerit. Sin Hauw membantingnya dan
melepas cekikan, menendang dan wanita itu menangis. Dan ketika Sin Hauw
berkelebat dan sudah berdiri di
sampingnya maka wanita ini meratap,
"Sin Hauw, jangan salahkan aku. Aku ... aku hanya diperintah Coa-ongya. Aku tak
tahu apa-apa dan harap kau tidak menghukum aku!"
"Tentu, aku tak akan menghukummu, siluman betina.
Tapi sebutkan apakah kau Tang Kiok atau bukan!"
"Aku... aku benar wanita itu. Kau sudah tahu, kenapa bertanya?"
"Hm, aku hanya ingin membuktikan omongan nenek
buntung, wanita sial. Dialah yang memberi tahu aku dan sekarang benar. Aku
tertipu. Kau, ah!" dan Sin Hauw yang menyambar serta menggencet jalan darah di
punggung tiba-tiba membuat wanita itu roboh dan mengeluh, seperti
disengat api dan mau menjerit namun lagi-lagi Sin Hauw menotok urat gagunya
Kemarahan Sin Hauw hampir tak
dapat ditahan namun untunglah dia teringat bahwa wanita ini hanya orang yang
melakukan perintah Coa-ongya. Sin Hauw hampir meremas hancur tengkuk wanita itu.
Dan ketika dia mengompres dan memaksa wanita itu mengaku
apa yang sebenarnya dilakukan Coa-ongya maka Sin Hauw mendapat banyak
keterangan, satu di antaranya adalah
benar Pangeran Coa itulah yang menukar Golok Maut.
Pangeran itu hendak memperdayai Sin Hauw melalui
banyak orang, satu di antaranya adalah Miao In, gadis yang dicinta Sin Hauw,
yang ternyata adalah murid dari Imkan Siang-li, sebenarnya pacar atau kekasih
Kwi Bun, putera Kwi-goanswe, yang mendapat banyak kesenangan
dari Coa-ongya berupa janji kedudukan dan macam- macam. Jadi Sin Hauw diperalat dan pemuda ini
gemeratak. Dan ketika Tang Kiok berkata bahwa Sin Hauw
sebenarnya hendak "dihisap" ilmunya melalui Miao In untuk kepentingan Coa-ongya
maka Sin Hauw menggeram dan marah bukan main, saat itu mendengar suara-suara di luar dan tiba-tiba tujuh
pisau terbang dilepas kearahnya, menyambar punggung. Tentu saja dielak dan
terdengar jerit ngeri di belakangnya. Dan ketika Sin Hauw sadar bahwa Tang Kiok
menjadi korban maka benar saja wanita itu
roboh mandi darah, "Aduh, tolong, Sin Hauw, Mati aku!"
Sin Hauw tertegun, Dia cepat menyambar wanita ini
namun Tang Kiok mengeluh, menggeliat dan tiba-tiba
menghembuskan napasnya yang terakhir, tewas dan
terkulai sekejap mata. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan terbelalak melihat tujuh
pisau menancap di tubuh si cantik itu maka di luar terdengar bentakan dan seribu
pasukan muncul dipimpin Kwi-goanswe!
-ooo0dw0ooo- Jilid : IX "SIN HAUW, menyerahlah. Kau kami tangkap!"
Sin Hauw menggereng. Dia meloncat keluar kamar dan
tubuh Tang Kiok dipondongnya, mandi darah namun Sin
Hauw tak perduli. Bajunya basah oleh wanita itu namun Sin Hauw membiarkannya.
Matanya tajam menatap ke depan dan tampak berapi-api, membakar siapa saja dan
semua orangpun tertegun. Matanya itu rasanya sanggup
menghanguskan setiap orang dengan sekali pandang saja, menelan dan melahap siapa
saja yang berani beradu pandang dengannya. Dan ketika Sin Hauw tegak dengan
wanita berlumuran darah di bahunya maka pemuda itu
balas membentak, suaranya menyambar bagai geiedek di
siang bolong. "Kwi-goanswe, jahanam keparat kau! Majulah, tak usah banyak cakap. Kau telah
menipu dan mempermainkan aku!" "Keparat, kau yang jahanam. Sin Hauw. Kau
pemberontak dan tak tahu diri, menyerahlah, atau kami semua akan menyerangmu!"
"Kenapa banyak cakap" Majulah, Kwi-goanswe, dan
mari kuantar kau ke neraka jahanam!" dan Sin Hauw yang tidak kuat lagi menahan
marah tiba-tiba membentak dan sudah berkelebat ke depan, menyambar pengawal yang
ada di muka dan pengawal-pengawal itu terkejut. Sin Hauw
mencabut Golok Mautnya dan sinar kemerahan menyambar mereka, dari atas ke bawah. Dan ketika mereka menangkis namun tombak
atau pedang putus dibabat tiba-tiba saja sinar merah itu terus menyambar mereka
dan meluncur lurus ke leher Kwi-goanswe.
"Tahan dia, awas... cring-crangg!"
Pedang dan tombak mencelat entah ke mana. Sebelas
pengawal tiba-tiba roboh menjerit ketika golok di tangan Sin Hauw berkelebat
menyambar, tak kenal ampun dan
terpekiklah tujuh prang pertama ketika leher mereka
tergurat panjang, mandi darah dan tentu saja orang-orang itu terjungkal. Dan
ketika yang lain juga terpelanting dan terlempar ke kiri kanan maka Kwi-goanswe
terkejut melihat sinar kemerahan itu menuju lehernya, cepat dan tak kenal ampun
dan tentu saja jenderal ini membanting tubuh
bergulingan, tak sempat mengelak karena gerakan Sin
Hauw luar biasa cepatnya. Satu-satunya jalan hanya
melempar tubuh bergulingan itu. Dan ketika hal itu sudah dilakukan namun masih
juga pundak kirinya robek
tersambar maka jenderal ini berteriak menyuruh pasukan panah melepas panahnya.
"Bunuh dia! Panah...!"
Puluhan panah tiba-tiba menyambar. Jepretan yang
hampir berbareng disusul sinar-sinar hitam yang menuju Sin Hauw bergerak bukan
main cepatnya. Sin Hauw memutar
golok dan semua panah itupun runtuh, tak kurang dari
tujuh puluh jumlah-nya. Tapi ketika pasukan kembali
mementang gendewanya dan puluhan panah menjepret
menuju Sin Hauw maka Sin Hauw berkelebatan
mengerahkan ginkang, menangkis dan meruntuhkan panah-
panah itu namun pasukan tombak mendapat aba-aba.
Seratus orang sudah menggerakkan tombaknya pula dan
menyambarlah dari mana-mana senjata panjang itu. Sin
Hauw sibuk dan marah, akhirnya melengking-lengking dan bergeraklah pemuda itu
bagai bayang-bayang yang luar
biasa cepatnya. Betapapun dia tak boleh lengah karena lawan hendak membunuhnya.
Sin Hauw marah karena dua
ratus lawan menyerangnya dari jauh. Dan ketika dia
berkelebatan menangkis sambaran panah atau tombak tiba-tiba delapan ratus yang
lain mulai bergerak dan menyerang.
"Ha-ha, mampus kau, Sin Hauw. Mati kau sekarang!"
Sin Hauw membentak panjang. Akhirnya dia demikian
sibuk menyelamatkan dirinya, lupa pada mayat Tang Kiok dan tubuh wanita itu
menjadi korban. Beberapa panah atau tombak yang luput menyambar Sin Hauw
mengenai tubuh wanita ini, tubuh yang sebenarnya sudah menjadi mayat.
Dan ketika suara "crap-crep" membuat Sin Hauw naik darah karena tubuh wanita itu
sudah penuh oleh tombak atau panah maka Sin Hauw tiba-tiba meloncat berjungkir
balik tinggi sekali, begitu tinggi hingga pasukan panah atau tombak tertegun.
Sin Hauw sudah berjungkir balik begitu jauh dan tingginya hingga tahu-tahu ia
sudah hinggap di wuwungan paling tinggi, turun dan lenyap di sini. Dan ketika ia keluar lagi
namun sudah tidak membawa mayat Tang Kiok maka Sin Hauw terjun dan sudah
menyerang pasukan di wuwungan yang lain, berkelebat dan berjungkir balik melayang ke sini
dan kagetlah semua orang ketika Golok Maut tiba-tiba berkelebatan meminum darah.
Sin Hauw tidak bertindak setengah-setengah lagi dan dibalaslah semua kekejaman
lawan. Apa yang ada di depan diterjang dan dirobohkannya. Dan ketika darah
memuncrat dari mana-mana dan kepala atau lengan putus disambar Golok Maut maka orang menjadi
ngeri dan pucat melihat tandang pemuda itu.
"Awas, menjauh.. menyingkir..!"
Sin Hauw tak perduli. Dia terus membentak dan mencari Kwi-goanswe,
memaki-maki. Jenderal itu tiba-tiba menghilang dan tentu saja Sin Hauw marah. Seribu
pasukan hanya mendengar aba-aba jenderal itu dari tempat tersembunyi, beberapa
bawahannya membantu dengan
teriakan-teriakan nyaring. Pasukan panah dan tombak tiba-tiba tak dapat
menyerang lagi karena Sin Hauw berpindah-pindah. Pemuda ini selalu bergerak di
tengah hingga membuat pasukan tombak atau panah ragu, mereka tak
berani meluncurkan tombak atau panah lagi karena takut mengenai teman sendiri.
Maklumlah. Sin Hauw dengan


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerdik sengaja bergerak di tengah agar pasukan tombak atau panah tak berani
melepaskan senjatanya, pemuda ini
membabat dan merobohkan siapa saja yang ada di depan.
Dan karena orang-orang seperti Kak-busu atau Pek-wan tak ada di situ karena
mereka tewas terbunuh maka hanya Kwi-goanswe dan pasukannya ini yang dihadapi
Sin Hauw, memang tidak memiliki kepandaian tinggi namun serangan begitu banyak orang tetap
membahayakan juga. Sin Hauw melindungi dirinya dengan baik sementara golok di
tangannya terus menyambar-nyambar mencari sasarannya.
Dan ketika seratus orang akhirnya tergelimpang mandi
darah dengan begitu cepatnya maka Sin Hauw ditakuti dan membuat gentar semua
orang. "Jangan didekati, serang dari jauh!"
Itulah suara Kwi-goanswe. Entah bersembunyi di mana
jenderal tinggi besar itu namun aba-abanya cukup terdengar jelas. Kwi-goanswe
memang sengaja mengorbenkan
pasukannya, yang menjadi makanan empuk bagi Sin Hauw
dan akhirnya seratus orang kembali roboh, bermandi darah.
Sepak terjang Sin Hauw memang menggiriskan dan
pemuda itu terus mengamuk. Namun ketika pasukan mulai menjauh dan Sin Hauw harus
beterbangan dari satu tempat ke tempat lain maka pemuda ini membentak memaki-
maki Kwi-goanswe. "Orang she Kwi, keluarlah. Ayo jangan bersikap
pengecut!" Sin Hauw akhirnya serak suaranya.
Memaki dan membentak-bentak jenderal itu sementara
lawan tetap bersembunyi memang menghabiskan tenaga
juga. Sin Hauw mulai berkeringat namun belum lelah,
seperlima dari lawan sudah dibantai dan pemuda itu terus bergerak menyambar-
nyambar. Namun ketika lawan mulai
menjauh dan terdengar suitan panjang tiba-tiba beterbangan benda-benda hitam di
atas kepala Sin Hauw. "Rrtt-crat-crat!"
Sin Hauw terkejut. Kiranya puluhan jala menyambar
mau menjerat, Kwi-goanswe berteriak dari sana agar semua orang mempergunakan
senjata perangkap itu, Sin Hauw
terkejut dan marah. Dan ketika benar saja tak lama
kemudian dari segala penjuru meluncur ratusan jala yang
ditembakkan dari jauh maka Sin Hauw membentak dan
memutar goloknya di atas kepala, cepat melebihi kitiran.
"Rrtt-crat-crat!"
Sebagian besar memang terbabat. Hampir semua jala itu putus bertemu Golok Maut,
senjata yang luar biasa dan ampuh. Namun karena putus sepuluh menyambar seratus
maka Sin Hauw kewalahan dan beberapa di antaranya ada yang mulai menjirat, jatuh
di bawah kaki atau di atas pundaknya. Ratusan jala tiba-tiba saja sudah
bertumpuk di dekat kakinya, bukan main! Dan ketika Sin Hauw
mengeluh dan satu di antaranya menjerat kaki tiba-tiba pemuda ini terjatuh dan
terguling. "Panah dia, hujani senjata!"
Ratusan panah dan tombak sekarang menyambar. Sin
Hauw rupanya benar-benar mau dibunuh dan pemuda itu
tak diberi ampun. Sementara dia terguling tiba-tiba ratusan panah dan tombak
menyambar, seperti tadi. Tak dapat
dielak dan mengenai Sin Hauw. Namun karena Sin Hauw
telah mengerahkan sinkangnya dan semua panah atau
tombak patah bertemu tubuhnya maka orang pun terbelalak dan semakin gentar,
melihat bahwa Sin Hauw kebal!
"Keparat, lepaskan lagi panah dan jala. Serang sampai dia kehabisan tenaga!"
Sin Hauw menggeram. Kwi-goanswe itu keparat benar,
kerjanya hanya memerintah dan pasukannya terus
menghujani dirinya dengan panah dan jala. Sin Hauw
kerepotan karena bagaimanapun juga dia diserang dari
jauh. Sekarang semua pasukan tak ada yang berani maju mendekat setelah Sin Hauw
merobohkan lagi seratus teman mereka, jadi tiga ratus orang sudah roboh mandi
darah menjadi korban Golok Maut. Dan ketika pemuda itu
dihujani ratusan panah dan jala secara berbareng maka Sin
Hauw kembali terguling, jatuh keserimpet jala sementara tubuhnya kebal menerima
hujan panah atau senjata-senjata lain yang tajam, hal yang membuat kagum musuh-
musuhnya tapi mereka tak berhenti menyerang. Kwi-
goanswe terus menyuruh mereka merepotkan pemuda itu.
Sin Hauw memang sibuk. Dan ketika akhirnya dia terguling dan memang keserimpet
jala maka pemuda itu mengeluh
ketika hampir saja sebuah panah mengenai matanya.
"Crep!" panah itu menancap di rambut, di atas telinganya, disusul lagi panah-
panah yang lain di mana tiba-tiba
Kwi-goanswe memerintahkan agar pasukannya menyerang mata pemuda itu, tempat yang tentu saja tak dapat dilindungi
kekebalan. Dan ketika Sin Hauw
menggeram dan hampir saja sebuah panah lagi-lagi
menusuk mata kirinya maka pemuda itu berkelebat ke atas genteng.
"Kwi-goanswe, kau jahanam keparat!"
Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi.. Sin Hauw
tiba-tiba berteriak kaget ketika genteng yang diinjak amblong, menjejakkan kaki
dan berjungkir balik lagi ke genteng yang lain, maksudnya mau menyembunyikan
diri dari hujan serangan jala dan panah, yang kini semakin berbahaya karena diarahkan
pada sepasang matanya, padahal pandangannya bisa tertutup oleh puluhan jala yang menimpa atas
kepalanya. Tapi begitu kakinya juga
menginjak genteng yang amblong dan entah mengapa tiba-tiba semua wuwungan rapuh
maka terdengarlah tawa bergelak sang jenderal yang kini muncul di sebelah timur.
"Ha-ha, kau tak dapat melarikan diri. Sin Hauw. Kau sudah terjebak!"
Sin Hauw terbelalak. Genteng atau wuwungan terakhir
yang diinjaknya tiba-tiba mengeluarkan suara keras,
berkeratak dan robohlah wuwungan itu. Genteng di atas kepalanya berguguran semua
dan Sin Hauw kaget sekali.
Hal itu tak diduga. Dan ketika tembok di sekelilingnya juga runtuh dan panah
serta tombak bersuitan menyambarnya
maka Sin Hauw terpelanting ke bawah dan jatuh terbanting.
"Buummm..!" Suara itu menggetarkan tempat sekitar. Sin Hauw tahu-
tahu teruruk dan kejatuhan semua bahan-bahan ini, genteng dan tembok yang
berguguran. Tentu saja terkubur hidup-hidup. Dan ketika pemuda itu terpekik dan
menjadi kaget maka kakinya yang ada di bawah tahu-tahu seakan dibetot dan,
meluncurlah pemuda ini ke sebuah lubang mirip
sumur yang dalam. "Bress!" Sin Hauw tak ingat apa-apa lagi. Dia tahu-tahu terbentur oleh sesuatu yang keras
dan pemuda itu pingsan. Dan
ketika tubuhnya terbanting dan jatuh di tempat yang dalam maka pemuda itu
kehilangan kesadarannya dan tak tahu
apa yang terjadi. ooooo0de0wi0ooooo "Hm, ini pemuda itu, kanda" Dia adik mendiang Hwa Kin?"
Begitu Sin Hauw mendengar sebuah percakapan ketika
kesadarannya mulai pulih. Pemuda ini masih merasa
seakan melayang-layang di tempat yang tinggi, kepalanya pening dan bumi rasanya
seperti berputar. Tapi ketika seember air dingin disiramkan ke mukanya dan
pemuda itu membuka mata maka dilihatnya Coa-ong-ya berdiri di situ dengan
seorang laki-laki lain, juga Kwi-goanswe, dan Kwi Bun!
"Heh, kau bangunlah. Sin Hauw. Lihat bahwa kau sudah tertangkap!"
Sin Hauw terkejut. Memang benar dia sudah tertangkap
dan keempat kaki tangannya diikat rantai yang besar. Golok Maut, senjatanya itu,
ternyata sudah di tangan Coa-ongya.
Pangeran itu mengamang-amangkan goloknya dan membolak-balik, sikapnya seperti main-main tapi pandang matanya penuh ancaman.
Dan ketika pangeran itu tertawa aneh dan menyuruh dia bangun maka Sin Hauw
bangkit. dengan susah payah namun merasa seluruh tenaganya
seakan dilolosi. "Kau telah menelan liur Katak Merah, Sin Hauw. Kau tak punya daya kalau tidak
kami beri obat penawar!"
"Pengecut!" Sin Hauw membentak, marah sekali. "Apa yang
kau kehendaki, Coa-ongya" Kenapa tidak membunuhku?" "Hm, kau masih kuperlukan, Sin Hauw. Belum semua kepandaianmu kurekam!"
"Apa maksudmu" Dan siapa temanmu itu?"
"Oh, kenalkan. Sin Hauw. Dia adikku pangeran Ci!"
Sin Hauw terbelalak. Ci-ongya, adik Coa-ongya itu tiba-tiba maju, mengangkat
dagunya dan Sin Hauw melihat
tawa yang aneh pada pandang mata pangeran ini. Dan
ketika Ci-ongya mengangguk-angguk dan tertawa maka
laki-laki itu berkata, "Mirip.., mirip sekali. Dia dan mendiang encinya sama!
Hm, pemuda ini keras kepala, kanda pangeran. Sebaiknya diberi obat pelupa
ingatan dan menyerahkan semua
kepandaiannya kepada kita!"
"Nah!" Coa-ongya menjengek. "Dengar kata-kata adikku.
Sin Hauw. Kami dapat memberimu obat pelupa ingatan
agar tunduk seperti kerbau!"
Sin Hauw pucat. Mendengar kata-kata dua orang itu
tiba-tiba dia semakin marah, coba menarik tangan dan
kakinya namun gagal. Tenaganya lemah sekali sementara rantai itu kuat bukan
main, dia mengerahkan sinkang
namun juga gagal. Dan ketika Sin Hauw mendelik dan
merah padam maka Coa-ongya kini maju menjepit
dagunya. "Sin Hauw, jangan coba-coba melawan. Kau tak punya daya, jangan macam-macam!"
"keparat, kau curang, pangeran. Kau licik dan tidak berperikemanusiaan!"
"Ha-ha, sesukamulah. Kau boleh memaki. Sin Hauw.
Tapi sekarang katakan dulu maukah secara baik-baik kau menyerahkan Im-kan-to-
hoat (Silat Golok Dari Akherat) atau tidak."
"Aku tak sudi!" Sin Hauw membentak. "Kau bunuhlah aku, pangeran. Aku tak takut
mati!" "Ha-ha, seperti encinya!" Ci-ongya tiba-tiba tertawa.
"Persis encinya, kanda pangeran, gagah dan tak takut mati!
Tapi kita harus menundukkannya, kali ini tak boleh gagal!"
dan Ci-ongya bertepuk tangan memanggil pengawal tiba-
tiba menyuruh pengawal mengambil sesuatu. "Ambilkan Arak Hitam!"
Sin Hauw menggigil. Rupanya dua kakak beradik ini
sama-sama keji, mereka suka mencekoki lawan dengan arak beracun, atau entah arak
apalagi yang kini diminta
pangeran itu. Dan ketika pengawal mengangguk dan keluar lagi maka Ci-ongya
memandang Kwi Bun dan ayahnya.
"Kwi-kongcu, kau tak ingin membalas dendam?"
"Hm!" Kwi Bun, pemuda yang sejak tadi diam dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba
seolah mendapat kesempatan bagus., "Tentu saja aku ingin membalas dendam, ongya.
Tapi paduka katanya membutuhkan pemuda ini!"
"Ha-ha, itu betul. Tapi kau dapat main-main sebentar kalau kau ingin, Kwi-
kongcu, asal jangan bunuh dulu!"
"Baik!" dan Kwi Bun yang melompat dengan muka gembira tiba-tiba memandang
ayahnya. "Ayah, apakah yang pantas kita lakukan pada pemuda ini" Bolehkah
kukerat dagingnya sedikit demi sedikit?"
"Hm, terserah kau, Bun-ji. Asal jangan dibunuh seperti kata pangeran!"
"Tidak, tentu tidak!" dan Kwi Bun yg gembira mencabut pisau tiba-tiba sudah
membungkuk dan menempelkan pisau dileher Sin Hauw. "Sin Hauw, kau ingat betapa
kau pernah kurang ajar kepadaku" Hukuman apa yang kauinginkan
setelah kau bersikap kurang ajar memusuhi ayahku pula"
Kau ingin dihukum picis?"
"Cuh!" Sin Hauw tiba-tiba meludah, tepat sekali mengenai muka pemuda itu. "Kau
bunuhlah aku, Kwi Bun. Aku tak takut!" dan Kwi Bun yang terkejut serta marah tiba-tiba membentak dan
melayangkan tangannya yang lain,
menampar Sin Hauw dan terpelantinglah pemuda itu. Dan ketika Sin Hauw
dicengkeram bangun dan balas diludahi maka pemuda itu menggigil mengancam Sin
Hauw. "Sin Hauw, pangeran telah memberi perkenan kepadaku.
Kau akan kuhukum picis!" pisau bergerak, menyayat lengan Sin Hauw namun ternyata
tak mempan. Sin Hauw tak dapat mengerahkan sinkangnya namun tenaga sakti di
tubuh pemuda itu bekerja secara otomatis, menolak dan Sin
Hauw ternyata tetap kebal. Dan ketika Kwi Bun
membentak lagi dan kini menyayat punggung ternyata tetap saja pisau pemuda itu
mental! "Tak-tak!" Kwi Bun jadi malu. Dua kali dia menyayat namun dua
kali itu pula gagal, pisaunya seolah tumpul dan Sin Hauw tertawa mengejek.
Putera Kwi-goanswe itu melotot dan
menampar mulut Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw
tersentak dan bibirnya pecah berdarah tiba-tiba Kwi Bun sudah melekatkan ujung
pisaunya di mata Sin Hauw.
"Heh, jangan tertawa. Tubuhmu boleh kebal tapi tak mungkin bola matamu kebal,
Sin Hauw. Aku ingin mencobanya dan kau tertawalah!" pisau bergerak, menusuk mata pemuda itu namun
Sin Hauw berkelit. Terhadap
ancaman pemuda ini membuat muka Sin Hauw berobah
juga dan Kwi Bun tertawa mengejek. Sekarang dia yang
ganti mengejek lawannya itu, pisau kembali bergerak dan akhirnya mengenai juga
pipi kiri Sin Hauw, pemuda itu sudah pucat dan marah. Dia bisa buta! Tapi ketika
pisau kembali bergerak dan siap menusuk mata Sin Hauw untuk kesekian kalinya
lagi tiba-tiba pengawal mengetuk pintu dan masuk, membawa apa yang diminta
pangeran Ci. "Maaf, ini, ongya. Arak Hitam yang paduka minta!"
Ci-ongya menerima. Kwi Bun akhirnya menghentikan
juga tusukan pisaunya dan sejenak Sin Hauw lega.
Betapapun ia masih selamat. Tapi ketika Kwi Bun hendak mengulangi perbuatannya
dan membutakan mata Sin Hauw tiba-tiba Ci-ongya berseru agar pemuda itu
mencekoki Sin Hauw dengan Arak Hitam.
"Simpan pisaumu, kongcu. Cekokkan ini padanya dan lihat apa yang nanti terjadi!"
Kwi Bun sedikit kecewa. Rupanya pemuda itu ingin
benar menyiksa Sin Hauw, memberikan arak dianggapnya
mengenakkan Sin Hauw menghalangi kegembiraannya.Tapi ketika ayah berseru agar dia cepat melaksanakan perintah itu
maka Kwi Bun menerima dan
menyambut.

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, maaf, ongya. Rupanya aku masih kurang
beruntung!" "Ma-ha, jangan kecewa. Arak itu jauh akan lebih
menyenangkanmu, Kwi-kongcu. Sin Hauw bisa tunduk
kepada siapa saja. Mulailah!"
Sin Hauw berdebar. Mengingat pengalamannya ketika
minum arak bersama Coa-ongya pemuda ini jadi mendapat firasat buruk dengan
segala macam arak, apalagi kalau dari orang-orang ini, yang keji dan rupanya tak
tahu malu. Dan ketika arak sudah didekatkan Kwi Bun dan Sin Hauw siap disuruh
minum tiba-tiba Sin Hauw membentak dan
meludahi pemuda itu, kali ini tiba-tiba tenaganya sedikit pulih dan langsung air
ludahnya menjadi sekeras batu!
"Kwi Bun, kau pergilah ke neraka. Minumlah arak itu sendiri.. cuh!" ludah Sin
Hauw mengenai pipi pemuda ini, langsung tembus dan tentu saja Kwi Bun kaget
bukan main, berteriak-teriak dan ludah itu seperti pelor baja yang diletupkan
dari sebuah senapan. Kwi Bun terbanting dan botol arak pun pecah. Dan ketika
pemuda itu bergulingan dan semua kaget maka pemuda ini menjerit-jerit dan
mengaduh. "Aduh, keparat. Sin Hauw. Kau jahanam keparat!" Kwi Bun bergulingan, mencabut
pisaunya lagi dan tiba-tiba pemuda itu melemparkannya ke dada Sin Hauw. Kwi Bun
lupa bahwa pemuda ini tak boleh dibunuh, pisaunya itu menyambar cepat dan sang
ayahpun terkejut. Tapi ketika
pisau mengenai dada Sin Hauw dan mental bertemu
kekebalan pemuda itu maka Kwi-goanswe lega sementara
Coa-ongya dan Ci-ongya berseru marah,
"Kwi-kongcu, kau tak boleh membunuh pemuda ini.
Tahan!" Kiranya Kwi Bun mencabut pedangnya. Dalam
kemarahan dan kesakitannya tadi tiba-tiba pemuda ini
hendak menyerang Sin Hauw, yang diincar adalah mata
karena pedang itu sudah bergetar ke arah mata. Sin Hauw bakal tak dapat
melindungi jiwanya lagi kalau pedang itu mengenai matanya, tembus ke otak dan
tentu saja dua pangeran itu segera membentak. Kelemahan Sin Hauw
diketahui dan Ci-ongya serta Coa-ongya melompat ke
depan, menegur pemuda itu. Dan ketika Kwi Bun kecewa
dan memasukkan pedangnya lagi maka sang ayah
berkelebat dan marah memandang Sin Hauw.
"Pangeran, pemuda ini berbahaya sekali. Sebaiknya dia cepat dibunuh!"
"Tidak, kami akan menundukkannya dengan obat pelupa ingatan, goanswe. Obat itu
sudah kami campur di Arak
Hitam tapi sayang puteramu menumpahkannya!"
"Bukan dia yang menumpahkan, pangeran, melainkan Sin Hauw!"
"Sama saja. Puteramu tak dapat berhati-hati, goanswe.
Tapi kami akan mengambil lagi. Sebaiknya kau yang
meminumkan dan kusuruh pengawal datang!"
Kwi-goanswe pucat. Disuruh meminumkan arak pada
Sin Hauw tiba-tiba jenderal ini berobah mukanya. Sin
Hauw itu masih hebat, air ludahnya seperti pelor! Ngeri jenderal ini! Tapi
ketika pengawal dipanggil datang dan
membawa arak lagi maka jenderal ini bingung memandang pangeran itu.
"Minumkan, biar kau membalas sakit hati puteramu, goanswe. Berikan arak itu dan
paksa pemuda ini minum!"
Jenderal itu ragu, memandang Sin Hauw dan pangeran
berganti-ganti. "Kenapa" Kau takut?"
"Hm, bukan begitu, pangeran. Tapi pemuda ini masih berbahaya!"
"Dia tidak dapat menyerang!"
"Tapi ludahnya seperti pelor, pangeran. Aku jadi ragu!"
"Ah, kau pengecut, Kwi-goanswe. Tak pantas kau
menjadi pembantuku!"
Jenderal ini pucat. Melihat pandang mata penuh
ancaman dari Coa-ongya tiba-tiba jenderal itu mengeraskan hati, melompat ke
belakang dan dari belakang ia menubruk Sin Hauw. Sin Hauw mau membalik namun
kalah cepat, jenderal itu tahu-tahu telah mencekik lehernya.Dan ketika Sin Hauw mengeluh dan
mau meronta tapi tak berdaya
maka dengan kuat dan kasar jenderal ini menjepit
rahangnya, memaksa dia membuka mulut dan Sin Hauw
kesakitan. Dia tak berdaya dan mulutpun terbuka. Dan
begitu Kwi-goanswe mencekokkan arak dan memaksa dia
minum maka arak memasuki mulut pemuda ini namun Sin
Hauw menahan. "Glek-glek!" Sin Hauw membuat lawannya terbelalak. Kwi-goanswe
melihat arak itu hanya berhenti saja di mulut Sin Hauw, tidak memasuki perutnya
dan tentu saja jenderal ini
penasaran. Tapi begitu dia membentak dan memencet
rahang tahu-tahu Sin Hauw menyemburkan arak yang ada
di dalam mulutnya itu, mengerahkan tenaga sakti.
"Crot!" Jerit ngeri terdengar meraung-raung. Kwi-goanswe
berteriak dan menjerit-jerit ketika arak itu tepat mengenai mukanya, hidungnya
hancur sementara mata jenderal itu buta sebelah! Terkejutlah semua orang. Dan
ketika Kwi-goanswe bergulingan di sana dan puteranya terbelalak maka Kwi Bun
tiba-tiba mencabut pisaunya dan menerjang Sin Hauw.
"Bedebah! Kau melukai ayahku. Sin Hauw. Jahanam
keparat!" Coa-ongya dan Ci-ongya terkejut. Dua orang pangeran
itu belum bermaksud membunuh Sin Hauw, kalau hal itu
dilakukan tentu sejak tadi mereka sudah melaksanakannya.
Maka begitu Kwi Bun tak dapat menguasai diri sementara Kwi-goanswe di sana
berteriak-teriak dan bergulingan maka dua pangeran ini membentak dan Sin Hauw
sendiri melempar kepalanya ke belakang, melihat pisau menyambar mata dan Kwi Bun hendak menusuk bagian
yang tak dapat dilindungi kekebalan ini. Pemuda itu marah melihat kebutaan yang
menimpa ayahnya. Dan begitu pisau menyambar namun Sin Hauw keburu melempar
kepala ke belakang maka pisau itu mengenai tembok, mental.
"Takk!" Kwi Bun membalik. Keadaan tiba-tiba tak dapat dikuasai lagi, Kwi-goanswe di sana
membentak dan sudah mencabut pedangnya, jenderal tinggi besar itu tampak
menyeramkan karena sebagian besar mukanya penuh darah, matanya yang buta hancur
sebuah dan jenderal itu menyerang. Tapi ketika dia menubruk dan pengawal sudah
dipanggil tiba-tiba Coa-ongya memerintahkan agar Kwi-goanswe dicegah, jenderal
itu harus ditangkap dan di-bawa keluar. Dia harus diobati dan Sin Hauw tak boleh
dibunuh. Dan ketika Kwi Bun juga ditubruk dan pengawal berhamburan datang maka
Sin Hauw selamat namun baju pemuda ini robek-robek, tadi tak dapat mengelak semua
serangan dan pisau atau pedang di tangan ayah dan anak mengenainya juga. Untung
sinkangnya masih bekerja dan kekebalannya menjaga. Dan ketika dua orang itu
ditangkap sementara Coa-ongya sendiri membentak penuh wibawa maka Sin Hauw
akhirnya dipukul dengan sepotong besi, pingsan.
"Kau jahanam keparat, rebahlah di situ., ngek!" pemuda ini tersungkur, roboh dan
pingsan lagi dan dua orang
pangeran itu pucat. Mereka masih melihat kehebatan Sin Hauw ini, kekuatannya
yang luar biasa dan juga kekebalannya yang mengagumkan. Dalam keadaan seperti
itupun pemuda ini mampu melukai Kwi-goanswe dan
anaknya. Bukan main! Hal yang benar-benar mengejutkan.
Dan ketika dua orang itu meninggalkan Sin Hauw dan Kwi-goanswe dirawat tapi
tetap matanya buta sebelah maka
hari-hari berikut merupakan neraka bagi Sin Hauw.
Akhirnya Arak Hitam dicekokkan juga ketika dia pingsan.
Sin Hauw masih mendapat hajaran dan siksa yang lain,
pukulan dan tendangan, tapi pemuda itu tak terluka. Obat pelupa ingatan mulai
bekerja dan seminggu kemudian Sin Hauw sudah seperti orang linglung, tubuhnya
kurus karena selama seminggu itu pula makan minumnya tak diurus.
Dan ketika pemuda itu benar-benar lupa ingatan pada
minggu kedua maka Coa-ongya dan Ci-ongya mempermainkannya. "Ha-ha, ke sinilah. Sin Hauw. Jalan merangkak!"
Sin Hauw merangkak, lambat-lambat, tidak lagi diikat.
"Cepat, seperti anjing!"
Sin Hauw merangkak seperti anjing.
"Ha-ha, sekarang berdirilah. Sin Hauw Mainkan silat golokmu yang paling hebat
itu!" Sin Hauw mengerutkan kening, pandang matanya
kosong. "Eh, kau tak mendengar perintahku?" sebuah cambuk mengeletar. "Cepat, mainkan
silat golokmu itu, Sin Hauw.
Dan tunjukkan pada kami semua tipu-tipunya!"
Sin Hauw mendelong saja. Cambuk akhirnya menjeletar
dan tergulinglah pemuda itu, bajunya pecah namun
kulitnya tidak apa-apa. Hebat pemuda ini. Dan ketika Coa-ongya terbelalak
sementara adiknya juga tertegun maka Ci-ongya mendecak menyatakan kagum.
"Sin Hauw ini benar-benar luar biasa. Sinkangnya masih melindungi tubuhnya
meskipun hilang ingatan!"
"Ya, dan aku ingin memiliki sinkang seperti itu, adik pangeran. Kudengar Im-kan-
to-hoat yang dimiliki pemuda ini mengandung gerak-gerak tenaga sakti. Setiap
tarikan napas atau hembusan napasnya dikendalikan sinkang
otomatis, ilmu itu hebat!"
"Tapi dia belum menjelaskan!"
"Dapat kita paksa, adik pangeran. Biarlah kusuruh lagi dan kuperiksa dia!"
pangeran ini membentak Sin Hauw, mengeletarkan cambuknya dan Sin Hauw pun
bangun. Coa-ongya memerintah agar dia mainkan silat goloknya itu, Im-kan-to-hoat. Tapi
ketika Sin Hauw mendelong saja dan seperti orang bodoh maka Coa-ongya marah dan
mencambuk pemuda itu lagi.
"Sin Hauw, ayo mainkan silat golokmu itu. Cepat, atau kau kusiram air panas!"
Sin Hauw menggigil. "Aku... aku tak dapat, pangeran.
Aku lupa..." "Apa" Kau bohong" Keparat, jangan menipu aku. Sin Hauw. Ayo mainkan itu atau kau
roboh... tar!" cambuk meledak kembali, mengenai muka Sin Hauw dan pipi
pemuda itu tergurat. Sin Hauw terpelanting namun
diperintahkan bangun lagi. Dan ketika pemuda itu
terhuyung dan Coa-ongya mendelik maka pemuda ini
menggeleng kuyu, menyatakan lupa.
"Aku... aku tak bisa... aku tak ingat semua yang pernah kupunyai..."
Jawaban itu disambut geraman. Coa-ongya marah dan
tiba-tiba menyiramkan air panas. Sin Hauw berjengit dan mengaduh, berkelojotan
di tanah. Dan ketika dia diperintah lagi namun jawabannya selalu itu-itu saja
maka pangeran ini marah dan mengambil api, menyulutkan itu pada Sin Hauw dan Sin
Hauw kesakitan. Luka bakar memang tidak
dialami pemuda ini, namun karena api merupakan barang panas dan rasa panas itu
menyakiti tubuhnya maka pemuda ini merintih dan melingkar-lingkar.
"Ampun... ampun, pangeran. Aku betul-betul tak tahu..!"
Ci-ongya mengerutkan alls. Melihat perbuatan kakaknya dan sikap Sin Hauw yang
tampaknya tidak dibuat-buat
akhirnya membuat pangeran ini tertegun. Dia khawatir
bahwa jangan-jangan obat pelupa ingatan yang telah
dicekokkan kepada Sin Hauw juga sekaligus menghilangkan ingatan pemuda itu pada semua ilmunya.
Dan ketika dia meloncat dan menyatakan ini pada
kakaknya maka Coa-ongya terkejut dan mengerutkan
kening. "Begitukah?" "Mungkin saja. Ini baru dugaan, kanda pangeran. Dan sebaiknya kita uji!" Ci-
ongya melangkah maju, mengangkat bangun Sin Hauw dan dengan mata tajam bersinar-
sinar pangeran muda itu mengamati pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw dilihatnya
berpandangan kosong maka pangeran itu mendesis,
"Sin Hauw, kau ingat dan mengenai nama Hwa Kin?"
Sin Hauw mengerutkan kening, berpikir keras.
"Kau tidak ingat?"
"Tidak, pangeran. Aku tidak ingat..."
"Dia encimu!" "Aku tidak ingat..."
"Hm, kau ingat siapa gurumu?"
"Tidak, pangeran. Aku juga tidak ingat..."
"Gurumu adalah Sin-liong Hap Bu Kok! Kau ingat nama ini?"
"Tidak," Sin Hauw menggeleng sedih. "Aku tidak ingat apa-apa..."
"Hm, encimu bernama Hwa Kin, Sin Hauw. Dan dia
tewas membunuh diri, ku-perkosa!"
Mata itu tiba-tiba terbelalak. Sin Hauw tampak terkejut dan memandang Ci-ongya,
sejenak ada kilat seperti api namun redup lagi. Dan ketika Ci-ongya memberi tahu
dengan berani bahwa enci pemuda itu digagahinya tapi lalu mati membunuh diri
maka pangeran ini tertawa mengejek.
"Sin Hauw, encimu itu hebat. Manis benar dia. Kau tidak benci kepadaku dan
marah?" "Hm, aku tak ingat siapa wanita itu, pangeran. Kalau aku ingat tentu aku benci
dan marah kepadamu!"
"Dan kau tak ingat apapun tentang ilmu silat yang kau punyai?"
"Tidak, aku tak ingat apa-apa..."
"Nah," Ci-ongya membalik. "Sin Hauw ternyata kehilangan ingatannya tentang
ilmunya pula, kanda. Jadi percuma mengharap pemuda ini!"
"Jadi bagaimana?"
"Sebaiknya dibuang saja, pemuda ini tak berguna!"
Sang kakak kecewa. "Dia benar-benar tak dapat
digunakan?" "Lihat sendiri, dia kehilangan semua ingatannya, kanda.
Bahkan tentang encinya yang juga kuperkosa pemuda ini tak menyerangku. Obat itu
rupanya terlampau banyak kita minumkan!"
"Hm!" Coa-ongya membanting kaki. "Kalau begitu percuma kita menahannya, adik
pangeran. Tapi coba kita panggil Miao In!"
"Hamba di sini!" sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat.
"Ada apa, ongya" Paduka memerlukan hamba?"
"Ha-ha, cepat benar!" sng pangeran tertawa bergelak.
"Kau datang di saat kami memerlukanmu, Miao In. Bagus dan lihatlah Sin Hauw!"
Coa-ongya bertepuk tangan, menyambar dan tiba-tiba memeluk gadis itu dengan
gembira. Adiknya juga tertawa

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bersinar-sinar memandang Miao In, gadis yang tiba-tiba muncul di situ dengan caranya yang
mengejutkan. Dan ketika Miao In
tersenyum dan membiarkan Coa-ongya meraba dan
meremas dadanya maka Sin Hauw terbelalak tapi diam tak
memberikan reaksi, padahal gadis ini adalah kekasihnya, setidak-tidaknya adalah
bekas kekasih! "Sin Hauw, kau kenal siapa ini?"
"Tidak." "Dia Miao In, kekasihmu!"
"Hi-hik, hamba tak memiliki kekasih macam orang gila ini, ongya. Kekasih hamba
adalah paduka berdua!" gadis itu tertawa, melingkarkan lengannya di pinggang
Coa-ongya dan Ci-ongyapun diberinya kerling tajam. Pangeran Ci itu datang dan
tertawa meraih lengannya. Dan ketika tanpa malu-malu lagi Ci-ongya meremas dan
meraba tubuh gadis itu maka sebuah ciuman didaratkan pada mulut si gadis.
"Miao In, kau sungguh kekasih yang hebat!"
"Hi-hik, hati-hati, pangeran. Nanti Kwi Bun datang!"
"Ah, Kwi-kongcu itu orang tolol. Dia pemuda ingusan yang tak tahu permainan
kami!" "Hi-hik!" Miao In menggeliat, geli oleh jari-jari nakal dua orang pangeran itu.
Baik Ci-ongya maupun Coa-ongya
akhirnya meremas seluruh tubuhnya, dari dada sampai ke perut. Dan ketika Sin
Hauw juga tak memberikan reaksi atas semuanya itu maka Coa-ongya melepas si
gadis berkata jemu, "Miao In, pemuda ini sudah tak dapat kita pergunakan.
Kau buanglah dia ke mana kau suka!"
"Maksud paduka?"
"Dia kehilangan seluruh ingatannya, Miao In, termasuk ilmu silatnya itu. Kami
tak dapat memaksanya karena
pemuda ini sudah linglung!"
"Begitukah?" "Ya, dan kau ringkas saja ilmu-ilmu yang sudah kau dapat dari pemuda ini, Miao
In. Berikan kepada kami kitab catatan itu."
"Belum selesai," gadis ini berkata, "masih kurang sedikit, pangeran. Dua tiga
minggu lagi hamba serahkan paduka
semuanya!" "Ah, begitu" Baiklah, bawa pemuda ini, Miao In. Tapi serahkan dulu apa saja yang
sudah kau catat!" Coa-ongya merogoh, langsung mengambil sesuatu dari balik baju
dalam gadis itu dan pangeran ini tertawa mendapatkan
sebuah kitab, tak perduli pada wajah si gadis yang berobah.
Dan ketika buku kecil itu berada di tangannya dan
ditimang-timang maka Coa-ongya melirik adiknya, memberi isyarat dan Ci-ongya tersenyum. Tiba-tiba dia menepuk pundak gadis. itu
dan menyuruh Miao In pergi, membawa Sin Hauw. Berkata biarlah nanti gadis itu ke
kamar mereka, setelah tugasnya selesai. Dan sementara Miao In tertegun tapi tak
dapat berbuat apa-apa maka Ci-ongya sudah disambar kakaknya.
"Bawa pemuda itu, setelah itu ke kamarku!"
Miao In akhirnya mengangguk. Senyum kecut menghias
bibirnya sejenak dan tiba-tiba gadis ini berkelebat,
menyambar Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan
berseru tertahan maka pemuda itu sudah dibawa berjungkir balik melompati tembok
yang tinggi. "Sin Hauw, kau benar-benar pemuda tak berguna!"
Sin Hauw terpekik. Dibawa berjungkir balik dan
melayang di tempat begitu tinggi tiba-tiba pemuda ini menjerit, ketakutan,
sungguh jauh bedanya dengan Sin
Hauw beberapa minggu yang lalu. Dan ketika Miao In
membawanya "terbang" dan berkali-kali pemuda itu
mengeluarkan seruan kaget maka Miao In berhenti di
hutan, mendengar rintih dan erangan seorang nenek.
"Aduh, keparat kau. Sin Hauw. Kau membiarkan aku si tua bangka kelaparan dan
tersiksa!" Miao In terkejut. Dia berhenti dan menoleh. Sin Hauw
dilepas dan pemuda itu roboh ke tanah. Dan ketika seorang nenek muncul dari
balik semak-semak dan merangkak
susah payah maka Miao In terbelalak melihat siapa kiranya.
"Subo..!" "Miao In..!" Gadis ini bergerak. Tahu-tahu dia telah menolong nenek itu, yang bukan lain Im-
kan Siang-li yang buntung
lengannya. Nenek ini susah payah merangkak di tengah
hutan, memaki dan menyebut-nyebut nama Sin Hauw. Dan
ketika nenek itu bertemu Miao In dan gadis itu bergerak menubruknya maka Miao In
tersedu-sedu memeluk subonya (ibu guru). "Ah, celaka. Aku ditipu Coa-ongya, subo. Aku
dipedayai! Kau di mana saja selama ini" Kau masih hidup?"
"Keparat, siapa yang kau bawa itu, Miao In" Bukankah dia Sin Hauw?" sang nenek
tak menjawab, melotot memandang Sin Hauw dan Sin Hauw bengong saja
memandang dua orang ini. Baik Im-kan Sian-li maupun
Miao In hanya merupakan bayang-bayang samar dalam
ingatannya, Sin Hauw seolah kenal tapi juga seolah tidak.
Obat perampas ingatan yang diberikan dua orang pangeran itu memang melebihi
takaran. Sin Hauw telah mendapat
perlakuan yang kejam. Dan ketika nenek itu tidak
menjawab melainkan mendelik dan memandang Sin Hauw
tiba-tiba kakinya bergerak dan Sin Hauw sudah ditendangnya, padahal tadi nenek ini seolah kelihatan lumpuh dan tidak
bertenaga. "Sin Hauw, kau bedebah terkutuk. Jahanam.. des-dess!"
Sin Hauw mencelat, ditendang penuh kemarahan oleh
nenek ini dan pemuda itu mengaduh. Sin Hauw tak berdaya apa-apa dan tiba-tiba
nenek itu menyerang lagi, menendang dan menghajar pemuda ini di mana2. Sin Hauw
akhirnya terguling-guling dan mengeluh, pemuda itu tak membalas dan si nenek heran,
tertegun. Tapi ketika dia mau
menghajar lagi dan Miao In berkelebat maka gadis itu
berseru, "Subo, tahan. Sin Hauw sekarang bukan Sin Hauw
beberapa waktu yang lalu!"
"Apa maksudmu?" sang nenek terbelalak. "Kau bilang apa?"
"Pemuda ini sudah dicekoki arak perampas ingatan, subo. Sin Hauw sudah tak dapat
mainkan ilmu silatnya dan menjadi orang biasa!"
"Heh?" "Benar, subo. Dan itu adalah perbuatan Coa-ongya.
Pemuda ini tak akan melawan biarpun dibunuh. Kau tak
usah kalap karena dengan mudah kau akan dapat
membunuh pemuda ini!"
Nenek itu tertegun. Tiba-tiba dia terbelalak dan bengong, Sin Hauw dilihatnya
bangkit terhuyung dan meringis
kesakitan. Beberapa tendangannya yang keras dan kuat
membuat pemuda itu jungkir balik. Sin Hauw cukup
tersiksa. Tapi ketika pemuda itu berdiri dengan pandangan kosong dan nenek ini
akhirnya percaya maka Miao In
bercerita, bahwa dua minggu ini Sin Hauw ditangkap dan disiksa Coa-ongya, juga
Ci-ongya yang akhirnya mencekoki
pemuda itu dengan Arak Hitam, arak yang sudah
dicampuri obat perampas ingatan dan nenek itu mengangguk-angguk. Mengertilah dia kenapa selama ini
Sin Hauw tak muncul, dia dibiarkan di luar gedung Coa-ongya ketika pemuda itu
masuk, ditotok dan berhari-hari dibiarkan menderita. Seperti kita ketahui nenek
ini memang belum dibebaskan Sin Hauw yang ingin membuktikan
omongannya kepada Coa-ongya, akhirnya mengompres
Tang Kiok dan terjadilah semuanya itu, terbunuhnya
wanita itu tapi Sin Hauw juga tertangkap, terjeblos dalam lubang jebak-an di
mana Coa-ongya yang memasang
semuanya itu, untuk menghadapi kepandaian Sin Hauw
yang luar biasa. Dan ketika nenek itu mengerti dan
mengangguk-angguk maka nenek ini terkekeh dan tiba-tiba memandang Sin Hauw.
"Heh-heh, begitukah kiranya" Dan kau sendiri, kenapa tidak menolong subomu, Miao
In" Ke mana saja kau
selama ini?" "Aku bersama Kwi-kongcu, subo, merencanakan untuk membunuh Coa-ongya!"
"Begitukah" Kau tidak bohong?"
"Tidak, tapi rasanya tak berhasil, subo. Kitab kecil yang berisi catatan Im-kan-
to-hoat yang belum lengkap kupelajari dari Sin Hauw tiba-tiba diambil Coa-ongya.
Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu padahal sudah
kujanjikan seminggu dua minggu lagi!"
"Heh" Buku kecil itu diambil Coa-ongya?"
"Benar, subo. Dan sekarang aku disuruh membunuh atau membuang Sin Hauw...."
"Celaka, goblok sekali! Kau tak tahu tipu muslihat pangeran itu! Eh, mana Golok
Maut, Miao In" Juga di
tangan Coa-ongya?" "Benar, subo. Aku belum berhasil mencurinya..."
"Awas!" teriakan itu dikeluarkan si nenek, menendang muridnya dan tiba-tiba
mereka berdua melempar tubuh
bergulingan. Dan ketika Miao In berseru kaget sementara subonya memaki maka
terdengar suara "crep" dan sebatang panah persis sekali menancap di pohon di
belakang gadis itu, di mana kalau Miao In tak disambar subonya tentu gadis itu
menjadi korban. Miao In tak tahu karena sedang bercerita, subonya yang mendengar
dan secepat kilat nenek yang masih lihai itu menendang muridnya. Dan ketika
mereka berdua meloncat bangun dan Miao In terbelalak
maka. di situ berdiri seratus pengawal dipimpin seorang laki-laki tinggi kurus
yang kumisnya pendek. "Yin-goanswe (Jenderal Yin)..!" Miao In terkejut, kaget memandang laki-laki itu
dan Yin-goanswe, sahabat atau rekan Kwi-goanswe yang biasanya bertugas di kota
raja tiba-tiba mengangguk, mengeluarkan suara dingin.
"Ya, aku, nona. Dan benar dugaan Coa-ongya bahwa kau akan membunuhnya!"
Miao In tertegun. Setelah jenderal Yin bicara dan seratus orang pasukannya tegak
mengelilinginya maka tahulah dia bahwa dirinya dalam bahaya. Rupanya Coa-ongya
sudah mencium rencananya itu dan pantas saja merampas buku
kecil yng berisi catatan Im-kan-to-hoat, ilmu silat golok yang amat hebat yang
baru sebagian diberikan Sin Hauw kepadanya, ditulis dan dicatat dalam buku kecil
itu. Maka begitu Yin-taijin muncul dan mendengar semua kata-katanya segera
maklumlah gadis ini bahwa tak mungkin
lagi baginya untuk kembali ke tempat pangeran itu.
"Yin-goanswe, kau jahanam keparat! Kenapa menyerang secara curang?"
"Hm, Coa-ongya menyuruhku membunuhmu, Miao In.
Sekarang menyerahlah atau kami akan bersikap keras
kepadamu!" "Bedebah!" nenek buntung tiba-tiba membentak. "Kau tak perlu takut, Miao In. Ada
aku di sini dan kita hadapi tikus-tikus busuk ini!"
"Hm, kau masih hidup, Im-kan Siang-li" Dan kau
kiranya diam-diam juga mengatur muridmu?"
"Keparat, kau jahanam busuk, Yin-goa-swe. Tak usah banyak cakap dan mari kubasmi
kau.. wut!" nenek ini meloncat, gerakannya begitu sigap dan orang lagi-lagi akan
tertegun. Tadi nenek itu tampak begitu lemah dan
merangkak, tiba-tiba saja menjadi segesit elang dan kini menyambar Yin-goanswe
itu. Kakinya berputar dua kali
dan tahu-tahu selangkangan Yin-goanswe sudah diserangnya. Tapi ketika jenderal itu mundur dan
membentak marah tiba-tiba dia mencabut golok-tombak
dan membabat kaki nenek ini.
"Bret-plak!" Golok-tombak luput, sudah ditendang namun sebagian
ujung celana nenek itu robek. Tadi jenderal ini bergerak cekatan dan mundur
menjauh. Dan ketika si nenek
melengking tinggi dan berkelebat lagi maka jenderal ini memerintahkan anak
buahnya maju membantu. "Bunuh nenek ini, tangkap gadis itu!"
Pasukan tiba-tiba bergerak. Miao In sudah berkelebat
hendak membantu subonya, tak tEihunya didahului
bentakan dan serangan tombak dari kiri kanan. Pembantu Yin-goanswe telah
bergerak dan membentak gadis itu. Dan
ketika Miao In melengking dan marah mencabut goloknya, meniru-niru Sin
Hauw, tiba-tiba gadis ini sudah berkelebatan dan mainkan Im-kan-to-hoat, yang tidak
lengkap. "Subo, bunuh Yin-goanswe itu. Jangan beri ampun!"
"Ya, dan kau basmi semua tikus-tikus itu, Miao In. Dan cepat kita lari setelah
ini!" Namun pasukan sudah bergerak dari mana-mana. Yin-
goanswe cepat dibantu sepuluh pembantunya sementara
sembilan puluh yang lain mengeroyok Miao In. Gadis itu memutar golok namun
akhirnya kewalahan juga. Im-kanto-hoat yang dipelajari belum lengkap semuanya
dan gadis ini bingung kalau melanjutkan, tak tahu dan tentu saja permainan
goloknya kacau. Dan ketika di sana subonya
ternyata juga kewalahan menghadapi lawannya karena
tangannya yang buntung tak dapat digunakan maka hanya kaki nenek ini yang
membagi-bagi tendangan, celaka sekali lawan tiba-tiba mengeluarkan jala,
melempar dan berusaha menjerat kaki nenek itu. Nenek ini memaki-maki dan tentu
saja dia harus berloncatan, satu karena menghindari jeratan itu sedang yang lain
karena dia harus mengelak dari
sambaran senjata sebelas lawannya. Yin-goanswe mainkan golok-tombaknya dengan
berganti-ganti, sebentar bagian golok lalu sebentar kemudian bagian tombak.
Ternyata jenderal ini lihai mainkan senjata khasnya itu. Dan ketika si nenek melengking-
lengking dan tentu saja marah bukan
main maka dua kali tendangannya berhasil merobohkan
dua orang perwira tapi sebuah lontaran lasso atau jala kecil itu menjirat
kakinya. "Rrt-des-dess!"
Nenek ini berteriak. Dua pembantu Yin-goanswe roboh
namun dia sendiri terpelanting. Untunglah, nenek ini cukup
lihai karena tiba-tiba sambil menggulingkan tubuh seperti trenggiling tiba-tiba
nenek ini menumbukkan badannya.
Yin-goanswe yang terdekat dijadikannya kaget karena
nenek itu mengait kaki, melompat tinggi dan nenek itupun lolos dari serangan


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain-lain. Dan ketika nenek itu sudah meloncat bangun sementara Yin-goanswe
sendiri melayang turun maka Yin-goanswe membentak dan
menyerang kembali bersama sepuluh pembantunya, memaki dan jala atau lasso kini ditambah, sang nenek sibuk dan berloncatan serta
menendang ke sana-sini, akhirnya berteriak ketika dua buah jala lagi-lagi
menggubat kaki. Dan ketika dia terguling dan Yin-goanswe serta sepuluh
pembantunya membentak mengayun senjata maka nenek
itu menjerit ketika golok-tombak di tangan Yin-goanswe membabat bahunya,
bergulingan menyelamatkan diri
namun sepuluh yang lain berkelebatan dari mana-mana,
nenek itu sibuk dan tentu saja pucat. Dan karena kakinya masih tergubat dan
susah baginya melepaskan diri maka nenek yang kewalahan ini berteriak ketika
empat buah golok mengenai dirinya lagi, mengeluh dan darah mulai membasahi tubuh nenek itu.
Im-kan Siang-li pucat karena sebenarnya dia tak sanggup menghadapi keroyokan
ini, dia sudah lelah dan tenaganya cepat habis. Beberapa hari ini menderita di
bawah totokan Sin Hauw yang celaka sekali tak pernah datang membebaskannya
karena Sin Hauw tertangkap membuat nenek itu menderita. Apalagi kedua tangannya yang buntung
belum dapat menyesuaikan diri
membuat keseimbangan. Akibatnya nenek ini jatuh lagi
ketika jala yang menjerat kakinya ditarik, terseret dan terpelanting dan sebuah
bentakan Yin-goanswe akhirnya disusul bacokan ke kaki. Nenek itu menjerit ketika
tiba-tiba kakinya putus, darah memuncrat dan berteriaklah nenek itu memanggil
muridnya. Dan ketika Miao In di sana
terbelalak dan terkejut melihat keadaan subonya maka
nenek ini terhenti teriakannya ketika senjata yang lain dari pembantu Yin-
goanswe itu juga menusuk tubuhnya.
"Aduh, tolong, Miao In., crep!" nenek itu menggeliat, akhirnya berhenti memekik
karena tombak di tangan jenderal Yin menancap di dadanya. Dalam keadaan tangan dan kaki buntung memang
tak mungkin lagi bagi nenek itu untuk melawan, Jenderal Yin adalah jenderal yang
kepandaiannya cukup tinggi, betapapun lihainya dia tentu tak mungkin menghadapi
keroyokan sebelas orang lawan
yang rata-rata memiliki kepandaian cukup. Maka begitu golok
seorang pembantu jenderal itu membacok pinggangnya dan Yin-goanswe menyusulinya dengan
tusukan di dada maka nenek itupun terkapar dan roboh
mandi darah, tewas. "Yin-goanswe, keparat
jahanam kau!" Miao In membentak, marah menggerakkan goloknya dan lima orang di depan roboh menerit.
Dari sembilan puluh orang lawan gadis ini sudah melukai tak kurang dari dua
puluh, berkelebatan dan menyambar-nyambar namun lawan
terlampau banyak. Satu dikeroyok sembilan puluh adalah terlalu berat, apalagi
gadis ini belum memiliki Im-kan-to-hoat sepenuhnya. Banyak jurus-jurus lanjutan
yang tiba-tiba saja macet di tengah jalan, tak dapat diteruskan karena gadis itu
memang tak tahu. Maka begitu subonya roboh dan gadis ini membentak memaki Yin-
goanswe tiba-tiba ia mencoba menerobos kepungan namun gagal, pengawal
atau pasukan Yin-goanswe itu mengepung ketat karena
roboh satu maju sepuluh, roboh sepuluh mereka maju dua puluh. Tentu saja gadis
ini repot. Dan ketika ia menjadi marah dan memekik membuka jalan darah tiba-tiba
goloknya kembali mendapat korban tujuh orang di depan.
"Minggir kalian, bedebah... des-plak-cret!" tujuh orang itu menjerit, roboh
berteriak dan Miao In berjungkir balik,
maunya keluar tapi tiba-tiba Yin-goanswe sudah berkelebat ke situ. Setelah
merobohkan nenek buntung maka jenderal ini bersama sepuluh pembantunya sudah
cepat ke sini, tentu saja jenderal itu tak mau anak buahnya dibantai. Dia sudah
bergerak dan balas membentak gadis itu. Dan ketika Miao In melayang turun namun
sudah disambut sang jenderal
maka gadis itu melengking dan menggerakkan goloknya.
"Cring-crangg!"
Miao In terpental. Ternyata Yin-goanswe memiliki
tenaga yang besar dan dia terpekik, kalah beradu tenaga dan sang jenderal sudah
menyerang lagi. Dan ketika sepuluh pembantunya juga bergerak dan membantu
jenderal itu maka yang lain diminta mengepung dan agar menonton.
"Biarkan gadis ini kami hadapi, kalian mundur..!"
Semua akhirnya mundur. Miao In dikeroyok sebelas
orang saja dan sebenarnya lebih ringan, dalam arti jumlah.
Namun karena yang mengeroyok kali ini adalah sang
jenderal sendiri dan sepuluh pembantunya itu adalah
perwira-perwira yang tentu saja kepandaiannya masih di atas perajurit biasa maka
bukannya ringan melainkan
justeru semakin berat bagi gadis ini, yang terdesak dan tiba-tiba mundur dan
terus mundur. Miao In berteriak agar Sin Hauw membantunya, lupa bahwa pemuda itu
kehilangan ingatannya dn pasukan tak ada yang menyerang. Mereka
hanya mendapat perintah untuk menangkap atau membunuh guru dan murid itu, Miao In dan subonya.
Maka ketika Sin Hauw diam saja dan sejak tadi pemuda ini mendelong memandang
pertempuran maka teriakan Miao
In sia-sia dan gadis itu tiba-tiba menangis.
"Sin Hauw, bantu aku. Cepat, bantu aku..!"
Namun mana Sin Hauw bisa" Menjaga diri sendiri saja
tak mampu, apalagi orang lain. Pemuda itu telah
kehilangan ingatannya akan semua, ilmu silat dan masa lalunya. Tak ada pandangan
hidup pada mata pemuda itu, sinar mata Sin Hauw kosong dan tak sedikitpun ada
perasaan mengerti. Pemuda ini seperti orang bingung,
gerak-geriknya seperti orang linglung karena pemuda itu memang tak mengerti apa-
apa. Dia juga tak bisa silat
karena ingatannya akan ilmu silat hilang. Coa-ongya telah membuatnya begitu rupa
hingga pemuda ini seperti area saja, hidup tapi jiwanya kosong. Maka ketika di
sana Miao In memekik dan menjerit oleh sebuah tusukan Yin-goanswe tiba-tiba
gadis ini mendapat serangan lima senjata yang terpaksa ditangkis dengan muka
pucat. "Cring-crang-crangg..!"
Golok di tangan gadis ini mencelat.
Miao In sudah gemetar karena habis tenaganya, terkuras oleh keroyokan tadi dan
gadis ini mengeluh. Dia terpelanting dan Yin-goanswe serta perwira-perwiranya mengejar, Miao In
menggulingkan tubuh namun akhirnya
menabrak pohon, berhenti dan tentu saja gadis itu pucat.
Yin-goanswe dan sepuluh pembantunya tertawa mengejek
dan berkelebat, sebelas senjata tertuju kepadanya dan Miao In melotot. Dia akan
ditembus senjata bermacam-macam
itu, bakal disate. Tapi ketika Yin-goanswe dan sepuluh pembantunya
membentak mau membunuh tiba-tiba terdengar bentakan dan Coa-ongya serta Ci-ongya muncul.
"Yin-goanswe, tahan..!"
Jenderal itu terkejut. Golok-tombak di tangannya
tertahan, begitu pula sepuluh perwiranya. Mereka mengenal suara Coa-ongya dan
tentu saja semuanya berhenti, semua senjata tertodong beberapa inci saja di muka
gadis itu, Miao In hampir memejamkan mata menyerah pada maut. Tapi
begitu Yin-goanswe menahan senjatanya dan sepuluh orang
pembantunya juga begitu maka berdeguplah gadis ini
melihat kedatangan Coa-ongya.
"Ha-ha, bagaimana, Miao In" Kau mau membela diri?"
lalu sementara gadis itu masih tertegun tak mampu
menjawab pangeran ini berkata, "Mundurlah, goanswe.
Biarkan ia berdiri!"
Jenderal Yin mundur. Dia tetap menjaga bersama
sepuluh perwiranya itu, semeter di depan korbannya. Dan ketika Miao In bangkit
dan terhuyung pucat maka Coa-ongya mencabut Golok Maut dan membolang-balingnya
di tangan. "Ha-ha, kematian apa yang kau inginkan, Miao In"
Minta dikutungi seperti gurumu atau bagaimana?"
"Tidak.. tidak..!" gadis ini gemetar. "Ampun, ongya.
Aku.. aku tak bersalah..!"
"Ha-ha, tidak bersalah setelah merencanakan untuk membunuhku" Hm, kau seperti
subomu, Miao In, suka berkhianat dan jalan di belakang!" pangeran tertawa, maju mendekat dan Golok
Maut diputar-putar. Pandang penuh
ancaman tampak di mata pangeran ini, Coa-ongya menatap keji dan sorot matanya
itu membuat Miao In gentar,
gelisah. Dan ketika pangeran dekat benar dan golok
ditempelkan di pangkal lengannya maka pangeran bertanya, senyumnya keji, "Miao
In, kau ingin aku mengutungi lenganmu yang kiri dulu atau kanan" Atau kau minta
kakimu dibuntungi dulu?"
"Tidak.. tidak!" gadis ini menangis. "Kau bunuhlah aku, ongya. Kau bunuhlah
aku!" "Hm, terlalu enak. Sebelumnya ingin kutanya dulu siapa yang merencanakan
pembunuhan itu, Miao In. Kau
ataukah Kwi-kongcu!"
"Kwi Bun!" Miao In cepat menjawab. "Dia itu yang mengajak aku, ongya. Sungguh
mati aku hanya ikut-ikutan, tak bersalah!"
"Bagaimana kalau kuadu?"
Miao In terbelalak. "Ha-ha, kau terkejut, bukan?" sang pangeran menyeringai. "Lihatlah, Miao In, siapa itu..!" dan pangeran yang menuding serta
bertepuk ke belakang tiba-tiba
membuat Miao In tersirap, Kwi Bun terhuyung dan muncul di situ, mukanya babak-
belur dan jelas dihajar, mengeluh dan gemetar memandang Miao In. Dan ketika
pemuda itu didorong dan nyaris jatuh maka Coa-ongya berkata dingin,
"Heh, jawab, Kwi-kongcu. Siapa sebenarnya di antara kalian yang merencanakan
untuk membunuh aku!"
"Di... dia...!" Kwi Bun menggigil. "Ampun, ongya. Aku hanya terbujuk!"
"Hm, bagaimana, Miao In" Siapa jawabanmu?"
"Dia itu! Bohong!" gadis itu melengking, "Kwi Bun yang membujuk, ongya, Aku
hanya ikut-ikutan dan dia yang
merencanakan!" "Eh, bagaimana, Kwi-kongcu" Siapa yang benar dan siapa yang bohong" Atau kau
minta dikerat lagi?"
"Tidak... tidak..!" pemuda ini ketakutan. "Miao In yang merencanakan, ongya. Dan
aku yang dibujuk!" "Bohong! Kau..."
"Diam!" Coa-ongya membentak gadis itu. "Satu per satu kalau bicara, Miao In.
Biar Kwi-kongcu yang menjelaskan bagaimana kau membujuknya!" lalu memandang
pemuda itu bengis bertanya pangeran ini membentak, "Katakan
alasanmu, Kwi Bun. Sebutkan kenapa kau yang terbujuk
dan gadis itu yang merencanakan!"
"Dia hendak membalas kematian subonya. Miao In
membenci paduka karena gara-gara padukalah subonya
pertama terbunuh!" "Nah, dengar?" pangeran mengejek, membalik menghadapi gadis itu. "Alasan ini dapat kuterima, Miao In.
Sedang kau, alasan apa yang hendak kaukatakan" Kwi Bun putera Kwi-goanswe,
pembantuku. Tak mungkin mau
makar kalau bukan atas bujukanmu!"
Gadis ini pucat. "Dia... dia bohong, pangeran. Justeru Kwi Bunlah yang membujuk
aku. Dia membalik omongan!" "Apa alasanmu?"
Gadis ini menangis. "Dia.. dia..." katanya terbata-bata.
"Kwi Bun cemburu kepadamu, ongya. Dia tak rela aku menjadi kekasihmu secara
diam-diam!" "Apa?" "Benar. Kwi Bun marah melihat kau mencintaiku pula, pangeran. Pemuda ini sakit
hati dan lalu merencanakan pembunuhan itu. Dia... dia..."
"Bohong!" Kwi Bun tiba-tiba melompat, membentak gusar. "Kau memfitnah, Miao In.
Kau menjebloskan aku. Ah, kau gadis siluman!" dan Kwi Bun yang menyerang dan menubruk gadis ini tiba-
tiba melengking dan langsung
menghantam, maunya membanting gadis itu namun Miao
In ternyata dapat berkelit. Gadis ini menjengek dan Kwi Bun menubruk angin
kosong. Dan ketika pemuda itu
membalik dan mau menyerang lagi tiba-tiba Miao In
mendahului dan menendangnya.
"Kwi Bun, kau yang melempar omongan fitnah. Kau
jahanam busuk... dess!" dan Kwi Bun yang mengeluh terlempar tinggi tiba-tiba
terbanting dan berdebuk di sana, jatuh menggeliat namun pemuda ini bangun lagi,
terhuyung dan memaki lawannya, bekas kekasih yang juga menjadi
teman tidur Coa-ongya dan adiknya. Dan ketika Miao In menyambut dan dua orang
itu segera berkelahi maka Kwi Bun jatuh bangun dihajar Miao In, ternyata masih
lihai gadis itu. Maklum, Miao In adalah murid Im-kan Siang-li dan kepandaian dua
nenek itu jelas lebih tinggi dibanding Kwi-goanswe, yang melatih ilmu silat pada
puteranya sendiri. Dan ketika Kwi Bun terguling-guling dan jatuh oleh tamparan Miao In
maka Miao In berkelebat mau
membunuh pemuda ini, dengan satu totokan jari ke dahi.
"Stop! Tahan itu, Yin-goanswe. Tak boleh gadis itu membunuh Kwi-kongcu!"
Yin-goanswe sudah bergerak. Dia memiliki tenaga yang
besar, golok-tombaknya menusuk dan tahu-tahu gadis itu mengeluh. Punggung
bajunya robek dan otomatis totokannya kepada Kwi Bun tertahan. Yin-goanswe akan
meneruskan gerakan tombaknya bila dia terus menyerang Kwi Bun. Dan ketika pemuda
itu terhuyung bangun berdiri sementara Coa-ongya bergerak ke depan maka pangeran
ini memberi tanda dan adiknya melompat maju.
"Kwi Bun, alasan gadis ini dapat kuterima secara akal.
Agaknya itu benar, kau yang memulai dulu!"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak... tidak...! Gadis itu bohong, pangeran. Sumpah demi langit bumi paduka
ditipunya!" "Tapi hal itu dapat kuterima Kau cemburu!"
"Ah, meskipun siluman ini paduka serahkan pada
pengawal aku tak cemburu, pangeran. Iblis betina busuk yang macam begini tak
perlu kucemburui!" "Keparat, kau yang menipu pangeran, Kwi Bun. Kau yang ingin menyelamatkan diri!"
"Hm, begini saja. Kalian berdua kuanggap sama-sama bersalah, jadi patut menerima
hukuman. Siapa yang minta hukuman paling berat kuanggap dia itu yang kurang
dosanya. Hukuman apa yang ingin masing-masing kalian
minta?" Dua orang itu tertegun. Tapi Kwi Bun yang maju dengan muka pucat berkata
gemetar, "Aku berani memotong jariku, ongya. Siap menerima hukuman dari paduka!"
"Hm, dan kau?" sang pangeran memandang Miao In.
"Hukuman apa yang kaukehendaki, Miao In" Juga
memotong jari?" Gadis ini pucat. Namun berkata mengedikkan kepala
gadis ini menjawab, "Aku juga bersedia dipotong jari!"
"Hm, bagaimana, Kwi Bun" Kau berani tambah?"
"Aku... aku berani dikutungi lenganku, ongya. Aku siap dihukum!"
"Ha-ha, bagaimana, Miao In" Kauberani mengimbangi?" Gadis ini terkejut. Kwi Bun yang berani dipotong
lengannya jelas lebih tinggi keberaniannya dibanding
dirinya, kalau ia tidak cepat-cepat mengimbangi. Maka mengangguk dan berkata
melengking gadis ini menjawab,
"Aku juga berani!"
"Ha-ha, kalau begitu mari dibuktikan!" sang pangeran tertawa bergelak. "Pinjam
golokmu, Cing-ciangkun, dan berikan masing-masing sebuah pada dua orang ini!"
Cing-ciangkun, pembantu Yin-goanswe tiba-tiba melolos goloknya. Kebetulan dia
punya dua buah dan cepat golok
itu dilempar kepada Miao In dan Kwi Bun. Dan ketika dua orang itu pucat menerima
dan masing-masing diminta
memberi bukti maka Miao In maupun Kwi Bun sama-sama
menggigil. Maklumlah, mereka diminta mengutungi lengan sendiri. Baik Miao In
maupun Kwi Bun tiba-tiba merasa ngeri setelah diberi golok, mereka pucat
membayangkan lengan yang sebentar lagi putus dari tempatnya. Namun ketika semua
orang menunggu dan Kwi Bun maupun Miao
In sama-sama ragu mendadak terdengar bentakan dan sinar putih berkeredep dari
satu di antara dua orang itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid : X "COA-ONGYA, lihat bukti dariku... crakk!" sepotong lengan terlempar di udara,
mengerikan dengan semprotan darahnya yang menyembur ke mana-mana. Semua orang
menoleh dan terbelalak melihat apa yang terjadi. Dan
ketika pemilik lengan itu terhuyung dan roboh ke tanah maka gemparlah semua
orang melihat siapa yang melakukan itu. "Kwi Bun!" sesosok bayangan berkelebat, muncul meneriakkan kata-katanya ini.
Seorang laki-laki tinggi besar muncul, itulah Kwi-goanswe alias ayah Kwi Bun.
Dan ketika semua orang terkejut dan terpana oleh kejadian itu maka Kwi Bun sudah
ditubruk ayahnya dan jenderal itu
menangis dan membentak. "Kwi Bun, apa yang kau lakukan ini" Kau gila" Kau tidak waras?"
"Ooh..!" Kwi Bun mengeluh, merintih. "Aku.. aku ingin membuktikan pada Coa-ongya
bahwa aku tak bersalah, ayah. Gadis siluman itu memfitnahku dan membuat aku
celaka. Tolonglah, bunuh dia dan balas sakit hatiku...!"
"Siapa yang kau maksud" Miao In?"
"Benar... dia... dia, ayah... Dia membuatku begini dan kau bunuhlah dia..."
"Wut!" sang jenderal sudah membalik, menyambar senjatanya. "Keparat jahanam kau,
Miao In. Kau mencelakakan puteraku dan bayar kutungan sebelah lengan ini!" sang jenderal
menerjang, Miao In ternyata tak berani mengutungi lengannya dan sejak tadi ngeri
memandang lengan Kwi Bun yang buntung di atas tanah. Lengan itu penuh darah dan
menggeliat-geliat, mengerikan sekali. Tapi ketika Kwi-goanswe menyerang dan
jelas kemarahan besar melanda jenderal itu maka gadis ini cepat mengelak.
"Singg..!" pedang menyambar di sisi tubuhnya, luput
dan Kwi-goanswe sudah menyerang lagi, membentak
marah. Dan ketika gadis itu berlompatan namun di Sana Coa-ongya tersenyum dan
mengangguk-angguk maka pangeran ini tiba-tiba memerintahkan agar menangkap
gadis itu. "Keroyok dia, tangkap!"
Yin-goanswe mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi
tiba-tiba jenderal ini melompat ke tengah, sepuluh anak buahnya juga bergerak
dan segera mengeluarkan bentakan.
Dan ketika Kwi-goanswe dibantu dan tentu saja Miao In terkejut maka gadis ini
berteriak ketika pedang di tangan Kwi-goanswe akhirnya mengenai pundaknya,
menggurat panjang dan tombak-golok di tangan Yin-goanswe akhirnya juga menusuk
pinggangnya. Dan ketika dari mana-mana
senjata yang lain juga menyambar dan berkelebatan maka gadis ini akhirnya roboh
ketika tikaman buas dari Kwi-goanswe membabat tengkuknya.
"Jangan bunuh, tangkap saja!"
Kwi-goanswe kiranya masih turut perintah. Pedang yang sedianya menyerang leher
tiba-tiba diturunkan sedikit, mengenai punggung dan robohlah gadis itu.
Miao In menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi.
Tendangan dari Yin-goanswe juga membuatnya merintih
karena tulang pahanya patah. Dan ketika gadis itu
menangis dan meratap minta ampun maka Coa-ongya tiba-
tiba tertawa bergelak menghampirinya dengan goiok di
tangan. "Ha-ha, kau minta hukuman apa sekarang, Miao In"
Minta dibunun atau disiksa?"
"Tidak... tidak...!" gadis itu tersedu-sedu. "Ampunkan aku, pangeran. Aku.. aku
bertobat dan berjanji akan
melayanimu baik-baik..!"
"Ha-ha, setelah terbongkar semuanya ini" Hm, tidak, Aku sekarang tahu siapa
benar siapa salah, Miao In. Kau patut di-hukum siksa!"
"Paduka mau apa?"
"Kau minta apa?"
"Ampunkan aku, ongya. Atau kau bunuhlah aku!"
"Ha-ha, gampang. Aku ingin mengutungi kedua
lenganmu, Miao In. Ingin kulihat bagaimana seorang gadis bakal cacad seumur
hidup!" "Tidak... tidak..!" Miao In berteriak. "Kau bunuhlah aku, pangeran. Kau bunuhlah
aku dan kuterima kematianku!"
"Hm, begitu enak?" Coa-ongya tertawa dingin. "Sebaiknya kutanyakan adikku, Miao In. Hukuman apa yang sepantasnya kau terima
lebih dulu!" "Berikan dia pada pengawal!" Ci-ongya tiba-tiba berseru.
"Hadiahkan gadis ini kepada mereka, kanda. Hitung-hitung sebagai jasa mereka
membantu kita!" "Ha-ha, begitukah?" Coa-ongya tertawa bergelak, memandang
seratus pengawalnya. "Bagaimanakah, pengawal, kalian mau menikmati gadis ini" Siapa yang mau harap menudingkan
jarinya, dan gadis ini dapat diundi!"
Para pengawal tiba-tiba berteriak gembira. Mereka saling mengangkat jarinya dan
dahulu-mendahului. Miao In pucat dan tentu saja mengeluh. Dan ketika semuanya
rata-rata menginginkan dirinya dan Coa-ongya tertawa maka
seorang yang paling buruk dipanggil.
"Kau ke sini," katanya. "Dan telanjangi gadis ini di depan teman-temanmu!"
Laki-laki itu girang. Dia adalah pengawal bermuka jelek, giginya keropos dan
liurnya belum apa-apa sudah menetes-netes. Miao In ngeri melihat laki-laki ini,
mau menolak tapi tak berdaya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan sudah
merenggut bajunya maka suara "brat-bret" diiring pekik dan jerit Miao In, tak
lama kemudian sudah telanjang dan gadis itu berdiri di depan seratus pengawal.
Miao In benar-benar mengalami hinaan hebat yang tidak terobati lagi, Dan
ketika Coa-ongya sudah mengadakan undian dan kebetulan laki-laki itu menjadi
orang nomor satu maka di depan mata demikian banyak orang gadis cantik ini
digarap. Coa-ongya memerintahkan agar yang mau tak usah membawa gadis itu ke
semak-semak, terlalu lama dan biar yang lain menonton.
Dan karena semuanya kebetulan laki-laki kejam dan
berwatak kotor maka Miao In menjadi permainan namun
baru sepuluh orang menggarapnya tiba-tiba gadis ini
pingsan. Tak kuat menahan pedih dan malu gadis itu tiba-tiba tak sadarkan diri,
Coa-ongya akhirnya jengkel dan menyuruh yang lain beramai-ramai menggagahi gadis
itu, dalam keadaan pingsan. Dan ketika gadis itu menjadi tak keruan dan kekejaman
Coa-ongya sungguh di luar batas
akhirnya gadis ini dibuntungi kedua lengannya setelah pingsan dan siuman
berkali-kali. Lalu tak puas oleh
semuanya itu pangeran ini masih membuntungi lagi sebuah kaki gadis inL Dan
ketika Miao In tak sadarkan diri dan tentu saja tersiksa akhirnya gadis ini
tewas dan mayatnya ditendang begitu saja.
"Hei, pemuda ini masih di sini!" Coa-ongya terkejut, melihat Sin Hauw masih di
situ dengan muka berubah-ubah, Semenjak tadi pemuda ini menonton saja apa yang
terjadi, jiwanya terguncang namun Sin Hauw tak berbuat apa-apa. Pemuda itu
seakan dibawa ke sebuah mimpi
buruk. Perkosaan dan kekejian yang dilihat di depan
matanya itu hebat sekali, sayang dia kehilangan ingatan.
Dan ketika Coa-ongya tertegun dan berseru perlahan tiba-tiba
pangeran ini tertawa dan melangkah lebar menghampiri pemuda itu. "Ha-ha, kaupun menjadi pemuda yang sudah tidak
berguna, Sin Hauw. Sebaiknya kau mampus dan menyusul
gadis itu!" Sin Hauw tetap saja terbelalak. Pemuda ini seakan
patung yang tidak bernyawa, diam saja ketika pangeran itu mengangkat goloknya.
Golok Maut telah bergetar dan
dibolak-balik oleh pangeran ini, golok itu pula yang telah membuntungi kedua
lengan dan kaki Miao In, yang tersiksa secara mengerikan. Tapi ketika pangeran
itu tertawa dan menggerakkan goloknya ke leher Sin Hauw tiba-tiba
berkesiur angin halus dan sebuah suara lembut bergetar menahan bacokan itu,
"Thian Yang Maha Agung! Kau terlalu, Coa-ongya.
Sungguh keji dan ganas watakmu. Tahan, bocah ini tak
boleh di-bunuh..!" golok itu tiba-tiba terlepas, sesosok
bayangan bertiup dan entah bagaimana tiba-tiba pangeran ini terpelanting. Coa-
ongya kaget ketika sesosok asap, begitu kelihatannya, muncul seperti hantu,
berseru dan tahu-tahu diapun terlempar. Golok Maut yang ada di
tangannya terlepas, sudah berpindah tangan, tahu-tahu di tangan bayangan itu,
yang ternyata seorang kakek yang wajahnya tertutup halimun. Dan ketika Coa-ongya
terguling-guling dan tentu saja kaget dan marah maka
seratus pengawalnya membentak dan cepat melindungi
pangeran itu, rata-rata kedodoran dengan celana terbuka separoh.
"Ah," kakek ini, yang tak diketahui siapa tiba-tiba mendesah. "Kau keji,
pangeran. Kau kejam. Hukum karma akan membalasmu kelak. Sayang, hawa nafsu
menjadi bertumpuk dan kau akan mengalami yang lebih mengerikan dari ini."
"Kau siapa?" pangeran itu membentak. "Kenapa campur tangan dan kurang ajar di
sini" Serahkan golok itu
kepadaku, kakek lancang. Dan enyahlah sebelum para
pembantuku membunuhmu!"
"Hm!" sepasang sorot cahaya tiba-tiba muncul, mengejutkan pangeran ini. "Kau mencari penyakit, Coa-ongya. Kau menciptakan
permusuhan. Ketamakan dan
kekejamanmu bakal menggegerkan dunia!"
"Serahkan golok itu!" sang pangeran tiba-tiba berteriak.
"Tangkap dia, Yin-goanswe, Tangkap dan bunuh!" Coa-ongya tiba-tiba gemetar,
entah kenapa tiba-tiba roboh dan mendeprok di tanah. Dia tak tahan melihat sorot
cahaya itu, yang tadi memandangnya dan menegur tajam. Sorot itu tak bicara apa-
apa namun pangeran ini seolah dihunjam sebuah pisau yang dingin, langsung menuju
ke relung hatinya dan dia gentar. Dan ketika dia roboh dan tentu saja kaget tapi juga
gentar maka Yin-goanswe diperintahkannya
untuk menyerang kakek itu, menutupi mukanya dan
pangeran ini tak tahan oleh sorot yang demikian
menakutkan. Bertemu sorot itu seakan bertemu hantu
bermata api, pangeran ini terpekik dan ketakutan, menjerit-jerit. Entah kenapa
tiba-tiba menjadi histeris dan Ci-ongya, adik-nya, terkejut. Kedatangan kakek
aneh ini juga membawa pengaruh menyeramkan baginya. Dia juga
tergetar dan surut mundur oleh sorot cahaya itu, yang keluar dari balik halimun
di atas kepala si kakek, padahal kakek itu tak memandangnya, memandang kakaknya
namun getaran pengaruh gaib sudah membuatnya terdorong. Dan ketika Yin-goanswe di sana membentak dan menyerang kakek itu
tiba-tiba secara aneh dan ajaib sekali jenderal itu terjungkal.
"Yin-goanswe, kaupun akan menerima hasil perbuatanmu. Pergilah!"
Yin-goanswe berteriak. Sorot itu tiba-tiba beralih,
menerjangnya. Dan ketika dia seakan diterjang aliran listrik dan kaget serta
menjerit maka sepuluh pembantunya yang lain juga terpekik dan terlempar roboh,
disusul oleh teriakan-teriakan para pengawal yang entah bagaimana tiba-tiba seakan "disapu"
aliran listrik ini, sebuah getaran tenaga gaib dalam ujud sorot cahaya itu.
Kakek itu sendiri tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang bersorot luar
biasa itu yang menyambut setiap serangan. Sorot ini tiba-tiba terasa panas oleh
setiap orang dan mereka seolah bertemu api, membakar dan senjata yang dipegang
tiba-tiba sudah menyala. Tentu saja semua orang ketakutan, gentar!
Dan ketika Yin-goanswe juga terkejut karena tombak-
goloknya meleleh dan cair seperti minyak panas maka
Jenderal itu menjerit dan berteriak melarikan diri!


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siluman...! Kakek ini siluman..!"
"He, tunggu..!" Coa-ongya terkejut. "Jangan tinggalkan aku, goanswe. Tunggu!!"
Sang jenderal teringat. Tanpa banyak cakap lagi dia
sudah menyambar pangeran itu, Ci-ongya ganti berteriak-teriak dan ngeri.
Pangeran inipun melihat apa yang hampir tak masuk akal itu, melelehnya senjata
Yin-goanswe dan juga terbakarnya senjata pengawal. Seratus orang itu tiba-tiba
saling berteriak ketika senjata di tangan sudah berobah, merah menyala dan tentu
saja mereka kepanasan! Dan
ketika semua senjata dibuang dan mereka lintang-pukang maka Kwi-goanswe sendiri
sudah tak ada di situ karena sudah membawa pergi puteranya, merawat Kwi Bun dan
kejadian itu benar-benar menggegerkan. Coa-ongya tak
ingat lagi akan Golok Mautnya, tak perduli pada senjata itu karena kesaktian si
kakek sungguh di luar dugaan. Hanya dengan sorot matanya saja mereka semua sudah
dibuat jatuh bangun, senjata yang dipandang tiba-tiba terbakar!
Dan ketika semua melarikan diri dan baru kali itu kejadian demikian luar biasa
dialami pangeran ini maka untuk
sebulan pangeran itu terkena "shock", kejutan. Rasa ngeri yang sangat dan juga
takut. Sorot yang tak dapat
dilupakannya seumur hidup itu terasa membawa bekas
yang terlalu dalam. Sorot itu tajam dan menusuk, dingin dan seolah membawa
ancaman menakutkan. Coa-ongya
sering berteriak-teriak sendiri, sebulan tak berani keluar dan adiknya serta
Yin-goanswe maupun yang Iain-lain juga
begitu. Mereka itu masih ngeri oleh kesaktian si "Kakek Siluman", begitu julukan
yang mereka berikan pada kakek yang luar biasa sakti itu. Dan ketika semuanya
panas dingin dan hari demi hari dilalui dengan perasaan tercekam, takut kalau
kakek itu datang lagi, ternyata tak ada apa-apa setelah ini.
Kakek itu tak datang lagi menemui mereka. Perlahan
tetapi pasti merekapun mulai tenang. Namun karena
kejadian itu demikian mengerikan dan semuanya dicekam rasa takut yang hebat maka
beberapa di antaranya jatuh sakit, tak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dan
banyak di antara mereka yang mengigau menyebut-
nyebut nama kakek ini. Mereka sering merintih dan minta ampun, beberapa di
antaranya mencakar dan mencolok
muka sendiri. Bayangan kakek siluman itu seakan Malaikat Maut yang bertindak
sebagai jaksa, menuntut tanggung
jawab mereka dalam setiap perbuatan yang sudah
dilakukan. Dan ketika separoh lebih akhirnya meninggal dan yang lain terguncang
oleh peristiwa itu maka Kwi-goanswe dan anaknya tiba-tiba menghilang, pergi
entah ke mana dan Coa-ongya tertegun. Dia sudah mulai tenang dan dapat berpikir
lebih baik, kini Yin-goanswe menjadi pembantunya paling dekat, saling pandang
namun Yin-goanswe menggeleng, tanda tak tahu. Dan karena Kwi-
goanswe bukan orang yang perlu ditakuti dan hari-hari dilewati lebih tenang maka
Coa-ongya akhirnya tak acuh dan juga tidak perduli.
Peristiwa itu lama-lama hilang. Coa-ongya mulai lupa
pada persoalan itu dan kehidupan berjalan seperti biasa.
Dan ketika sepuluh atau sebelas tahun kemudian pangeran ini benar-benar lupa dan
menganggap Sin Hauw meninggal atau paling tidak sudah menjadi manusia tak
berguna karena hilang ingatannya maka sungguh mengagetkan
kalau tiba-tiba Golok Maut muncul, nama yang menggegerkan dunia kang-ouw dan tempat pangeran itu
telah disatroni. Coa-ongya pucat dan tertegun, tiba-tiba ingatan melayang pada
peristiwa belasan tahun yang lalu, terkejut dan tentu saja panik. Namun ketika
Golok Maut akhirnya pergi dan istana dibuat kalang-kabut maka
pangeran ini bertanya-tanya siapakah sebenarnya laki-laki
bercaping itu. Sin Hauwkah" Atau bukan" Dan karena ini juga masih merupakan
teka-teki mengingat Sin Hauw sudah dibuat hilang ingatannya dan bahkan
kepandaiannya sendiripun pemuda itu telah lupa maka pangeran ini
berdebar dan teringat bayangan si "kakek siluman".
ooooo0de0wi0ooooo "Anak muda, kau bikin apa?"
Pemuda di atas makam itu terkejut. Dia sejak tadi
tepekur di sini, berjam-jam duduk bersila dengan
pandangan kosong. Matanya menunduk, menghela napas
dan berulang-ulang mengerot gigi. Teguran yang tiba-tiba didengarnya tanpa
diketahui kapan datangnya tiba-tiba membuat pemuda atau laki-laki ini terkejut.
Dia menoleh dan seorang kakek tahu-tahu berdiri di sebelah kirinya, laki-laki
atau pemuda ini melompat kaget. Dan ketika mereka berdiri berhadapan dan kakek
itu tersenyum maka dia mengangguk-angguk dan mendesah,
"Aih, kau kiranya si Golok Maut! Hm, apa yang kau lakukan, anak muda" Kenapa
tepekur di tempat ini"
Bukankah itu makam Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya?"
"Kau siapa?" "Ah, kau belum menjawab pertanyaanku. Sebutkan dulu apakah kau si Golok Maut
yang menggegerkan dunia itu!"
"Hm, aku enggan memperkenalkan diri, orang tua. Tapi kalau kau sudah mengenalku
maka tak perlu aku bicara
lagi." "Ha-ha, pongah tapi berwibawa. Eh, terus terang aku belum mengenalmu, anak muda.
Tapi capingmu itu memberi isyarat bahwa kau si Golok Maut. Benarkah" Tak perlu takut, aku bukan
musuh!" Pemuda bercaping lebar ini mendengus. Dia mengangkat
wajahnya sedikit dan tampaklah kilatan matanya yang
bercahaya, masih tidak memperlihatkan semua mukanya
namun sudah cukup membuat si kakek tergetar. Pandang
mata itu berkilat seperti mata seekor naga, menyambarkan sesorot cahaya yang
membuat orang terkejut. Tanpa
dibekali tenaga batin yang tinggi tentu dia sudah surut mundur, pandangan itu
membuat orang merasa ngeri,
belum apa-apa sudah merasa gentar! Tapi ketika kakek ini tertawa dan mengangguk
mengerahkan kekuatan batinnya
maka dia dapat menahan dan berani mengadu mata, hal
yang membuat lawan terkejut dan tertegun.
"Hm, kau benar," akhirnya suara itu keluar, lambat-lambat dan lirih. "Aku adalah
si Golok Maut. Kau ada keperluan apa di sini?"
"Eh, seharusnya yang bertanya begitu adalah aku, Golok Maut. Aku justeru heran
dan ingin bertanya kenapa kau berada di sini, di tempat makam sahabatku!"
"Kau siapa?" si Golok Maut tampak terkejut, mengerutkan kening. "Seingatku Sin-liong Hap Bu Kok tak mempunyai sahabat!"
"Ha-ha, kau salah. Aku Fen-ho Lojin (Orang Tua Dari Fen-ho), Golok Maut. Sahabat
baik si Naga Sakti pada dua puluh enam tahun yang lalu!"
"Fen-ho Lo-jin?"
"Ya, kau pernah mendengar namaku" Atau kau belum lahir?"
"Hm, saat itu aku sudah ada di muka bumi, orang tua.
Dan namamu terus terang kuingat sekarang. Suhuku pernah bercerita tentangmu,
tapi kau dinyatakan telah mati!"
"Ha-ha, gurumu" Jadi kau murid si Naga Sakti Hap Bu Kok" Eh, jangan mengaku-aku,
anak muda. Seingatku belum pernah sahabatku itu mempunyai murid, baik dia
maupun isterinya!" "Dan aku juga tak percaya bahwa kau adalah Fen-ho Lojin. Sahabat guruku itu
telah tewas!" "Ha-ha, kalau begitu kita sama-sama tak percaya, anak muda. Aku juga tak percaya
bahwa kau adalah murid sahabatku. Sahabatku itu tak pernah punya murid. Cobalah ini, mari main-main
sebentar.. wut!" dan si kakek yang tiba-tiba berkelebat dan menghilang ke depan
tahu-tahu melakukan tamparan di mana angin pukulannya bersiut
panas, kelima jarinya sudah dekat di hidung si Golok Maut dan Golok Maut
terkejut. Gerak yang begitu luar biasa cepat dari si kakek membuat dia
membentak, mengelak namun tangan yang lain dari si kakek tahu-tahu bergerak juga, menghantam dari
kanan. Dan ketika apa boleh buat dia
terpaksa menangkis dan menggerakkan kedua lengannya ke kiri kanan maka dua tenaga dahsyat
menggetarkan tempat itu. "Duk-plak!" Si kakek dan Golok Maut sama-sama terdorong. Kakek
itu berteriak keras dan penasaran, rupanya terkejut dan marah.
Tapi ketika ia membentak lagi dan terbelalak memandang lawannya tiba-tiba kakek itu sudah berkelebatan dan kaki tangannya bergerak menyambar-
nyambar, cepat dan kuat bagai elang atau rajawali dan si Golok Maut harus
mengelak ke sana-sini. Si kakek
menambah kecepatannya dan akhirnya menghilang, yang
tampak hanya bayangan tubuhnya yang berseliweran naik turun, Golok Maut terkejut
dan apa boleh buat kembali ia menangkis. Dan ketika si kakek rupanya menambah
tenaga dan Golok Maut juga mengerahkan sinkangnya maka dua
orang itu terpental ketika mereka sama-sama berseru kaget,
"Duk-plak!" dua orang itu terpelanting. Si Golok Maut terguling-guling ke kiri
sementara kakek itu terbanting bergulingan ke kanan, Dua-duanya terkejut berseru
keras. Namun ketika si kakek meloncat bangun dan tertawa
bergelak tiba-tiba kakek itu berseru gembira,
"Bagus, coba keluarkan semua kepandaianmu, Golok Maut, Coba kulihat ilmu-ilmu
dari mendiang gurumu!"
Golok Maut terkejut. Sebenarnya dia enggan berkelahi, melihat mereka tak
mempunyai permusuhan. Kakek ini
datang dan menyatakan sebagai sahabat gurunya pula, jadi bukan lawan melainkan
kawan. Tapi karena si kakek sudah mendesak dan tiba-tiba tubuh yang ringan itu
berkelebatan menyambar-nyambar tiba-tiba si kakek sudah mengeluarkan semua
kepandaiannya dan tamparan atau pukulan berhawa panas menyambar dari mana-mana,
kian lama kian panas dan tiba-tiba bajunya hangus terbakar! Dan ketika Golok Maut harus mengerahkan
sinkang dan berseru keras maka diapun melayani dan tiba-tiba tubuhnyapun lenyap
mengikuti gerakan si kakek lihai.
"Bagus, mari kita main-main sebentar, Fen-ho Lojin.
Dan tunjukkan bahwa kau pantas menjadi sahabat
mendiang guruku!" "Ha-ha, tentu, anak muda. Dan aku juga ingin
mengetahui apakah ilmu-ilmu dari Sin-liong Hap Bu Kok benar-benar kau punyai!"
Dua orang itu sudah bertanding cepat. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi
keduanya mengerahkan semua ilmunya, pukulan sinar emas mulai meluncur dari
tangan Si Golok Maut dan kakek itu berseru tertahan. Rupanya dia juga mengenai
ilmu pukulan ini, Kim-kong-ciang. Dan ketika Golok Maut membentak dan mendorong
serta menarik kedua lengannya dengan cepat melakukan pukulan-pukulan berbahaya maka kakek itu
terkejut dan terbeliak. "Sin-eng-kun (Silat Garuda Sakti)! Aih, ini Sin-eng-hian-jiauw (Garuda Sakti
Mengulur Cakar)..!" Golok Maut kagum. Memang dia mainkan Sin-eng-kun
dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya melakukan pukulan-pukulan Kim-
kong-ciang (Pukulan Sinar Emas).
Dan ketika si kakek dapat mengenai jurus-jurusnya dan menyebut satu di antara
silat Garuda Saktinya maka
kepercayaan mulai tertanam di hati Si Golok Maut namun dia terus menghadapi
lawannya itu, tak berhenti dan
masing-masing rupanya sama penasaran. Mereka mempercepat gerakan dan juga tenaga, pukulan mulai
menderu-deru dan baik Golok Maut maupun lawan mulai
sering terhuyung. Dan ketika pertandingan berjalan
semakin cepat dan kakek itu mulai berkeringat maka kakek ini berseru kagum
memuji berulang-ulang, "Hebat, benar-benar hebat kau, anak muda. Tak salah lagi ini adalah ilmu-ilmu
gurumu, juga Hwa-liong Lo-kai (Pengemis Naga Kembang). Eh, apa hubunganmu dengan
Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut" Bukankah ia juga tak
mempunyai murid?" "Hm," Golok Maut memuji juga lawannya. "Kau juga hebat, orang tua. Dan aku mulai
percaya bahwa kau adalah sahabat mendiang guruku. Hwa-liong Lo-kai juga guruku,
beliau guru pertama yang banyak menghutangkan jasa."
"Ha-ha, tapi golok mautmu belum kau keluarkan. Eh, keluarkan senjatamu itu, anak
muda. Hayo kulihat dan biar semakin yakin hatiku!"
Golok Maut ragu-ragu. Mengeluarkan goloknya berarti
pembunuhan. Goloknya itu amat haus darah dan akhir-
akhir ini sering tak mau dimasukkan sarungnya kalau
belum menghisap darah, sekecil apapun. Maka menggeleng dan tersenyum pahit dia
menolak. "Tidak, aku tak mau mengeluarkan senjataku, orang tua. Kau bilang ini
hanya main-main dan tak usah berkelahi lagi. Berhentilah!"
"Ha-ha, berhenti sebelum salah seorang roboh" Tidak, aku penasaran, anak muda.
Lebih baik kaucabut golokmu itu atau kau roboh.. siutt!" si kakek tiba-tiba
mencabut gelang hitam, gelang berganda di mana senjata ini tiba-tiba menyambar
ke muka Si Golok Maut. Golok Maut terkejut
dan tentu saja mengelak. Namun ketika tangan kiri kakek itu juga mencabut gelang
yang lain dan sepasang gelang mengejar dan sudah memburunya maka Golok Maut
terkejut dan menangkis. "Plak-plak!" Sesuatu yang luar biasa terjadi. Gelang yang ditangkis bukannya terpental
melainkan malah melejit, cepat menuju bawah leher Golok Maut dan laki-laki
bercaping ini terkejut. Dia menangkis tapi gelang semakin gila mengejar, melejit dan sudah
menyambar matanya. Dan karena
sepasang gelang itu bersiut aneh dan tiba-tiba mendengung bagai manapun dia menangkis maka sebuah
di antaranya mengenai pundaknya dan sebuah lagi yang
lain menghantam tengkuknya.
"Des-dess!" Golok Maut terkesiap. Sekarang lawan terbahak-bahak


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan dia tiba-tiba didesak, gelang selalu melejit setiap
ditangkis, hebat sekali. Dan ketika dia jadi bingung karena menangkis berarti
salah maka kakek itu terbahak mengejek padanya,
"Nah, keluarkan golokmu, Golok Maut. Jangan sungkan atau kepalamu kupecah-kan...
dess!" kepala Golok Maut benar-benar terkena serangan, mencelat dan terlempar
bergulingan dan pemuda itu mengeluh. Gelang serasa
berobah menjadi palu yang berat menghantam kepalanya, tulang berbunyi keras dan
kalau bukan dia barangkali
kepala sudah benar-benar pecah! Dan ketika Golok Maut bergulingan dan kakek itu
mengejar maka Golok Maut menggeram dan apa boleh buat berseru keras,
"Baik, hati-hati, kakek lihai. Aku terpaksa mengeluarkan senjataku
dan hati-hatilah..!" kakek itu tertawa, tak
menghiraukan seruan lawan dan dia terus mendesak.
Setelah mencabut gelang bergandanya tiba-tiba Fen-ho
Lojin ini menjadi semakin lihai. Dia berkelebatan dan mengejar Golok Maut yang
sedang bergulingan. Lawannya itu tak diberi kesempatan untuk bangun, gelang
terus berkelebat dan menyerang lawannya, menghajar sekali lagi tubuh lawannya itu
namun Golok Maut mengerahkan
sinkang, menahan. Dan ketika kakek itu terbahak dan
gelang di tangannya sudah berobah menjadi benda
berbahaya yang bertubi-tubi menuju tubuh lawannya maka saat itulah tampak sinar
berkeredep dan sekilat cahaya keluar dari balik punggung Si Golok Maut.
"Cring-plak-dess!"
Kakek itu berteriak tertahan. Gelang di tangan kanannya tiba-tiba putus,
terbabat oleh sinar yang menyilaukan mata itu. Dan ketika dia terpekik dan
berseru kaget maka Golok Maut sudah melompat bangun dan menendangnya,
ditangkis dengan sepasang gelang yang lain namun lawan menampar. Sinar
menyilaukan itu bergerak lagi dari atas
ke bawah. Dan ketika dia berkelit namun cahaya itu masih terus mengejarnya maka
kakek ini menimpukkan gelang di tangan kirinya namun senjata itu tiba-tiba putus
juga. "Cranggg...!" Kakek ini membanting tubuh bergulingan. Dia sudah
berusaha menjauhi sinar yang mengejutkan itu, kaget
melihat senjatanya putus namun sinar itu
masih mendahuluinya juga. Dan ketika ia bergulingan namun
pundak terasa perih maka kakek ini tertegun melihat
pundaknya sudah tergurat, meloncat bangun.
"Siluman, ilmu kepandaianmu benar-benar iblis, Golok Maut. Dan senjatamu itu
luar biasa..!" kakek ini tertegun, melihat Golok Maut sudah berdiri di depannya
namun sinar atau cahaya menyilaukan itu sudah tak ada lagi. Di balik punggung Si Golok
Maut tampak gagang sebatang
golok tersembul sedikit, lawan telah mengembalikan senjata itu setelah
"menghirup" sedikit darah di pundaknya. Dan ketika kakek itu gemetar dan pucat
memandang lawan maka Golok Maut menjura. "Fen-ho Lojin, kau juga hebat. Kau ternyata benar sahabat guruku. Bukankah yang
kau mainkan itu adalah Sin-goat-goan-kun (Silat Gelang Bulan Sakti)" Aku sudah mendengar tentang ini,
dan aku menyatakan kagum!"
Kakek itu menggigil. "Setan, ilmu golok macam apa yang kaumainkan tadi, anak
muda" Bukankah seingatku
Sin-liong Hap Bu Kok tak memiliki ilmu golok?"
"Hm, mendiang suhuku telah menciptakan ilmu
goloknya, Lojin, ilmu terbaru namun sayang tak dapat
dipakai lama. Aku mewarisinya dan itulah ilmunya terakhir tadi."
"Hebat, dan kau telah mengalahkan aku!"
"Hm, kelebihan golokku yang membuat aku memperoleh kemenangan, Lojin. Tapi tanpa
golok ini barangkali kau yang menang."
"Tidak, silat golokmu juga hebat, anak muda. Terus terang aku mengaku kalah!"
"Terima kasih, kau telah memberikan pujian untukku."
dan Si Golok Maut yang menjura dan kembali
membungkuk di depan kakek itu tiba-tiba dikejutkan seruan nyaring dan
berkelebatnya seorang gadis.
"Suhu, siapa ini" Kau habis bertempur?"
"Ha-ha, kau Siang In" Baru datang" Hei, ketahuilah, inilah Si Golok Maut yang
baru saja mengalahkan gurumu!" Si Golok Maut tertegun. Seorang gadis berwajah cantik tahu-tahu muncul di situ,
wajahnya seperti bulan dan
rambutnya dikepang dua, manis menjuntai di kiri kanan kepalanya. Dan ketika
gadis itu juga tertegun karena Golok Maut tak menampakkan seluruh mukanya maka
dua orang itu terkesima dengan perasaan berguncang, heran dan aneh tiba-tiba jantung Si
Golok Maut berdetak! "Suhu, ini Si Golok Maut" Dia mengalahkan dirimu?"
"Benar, dan sepasang gelangku putus semua, Siang In.
Golok Maut betul-betul hebat dan dia amat lihai!"
"Keparat, kalau begitu dia harus dihajar. Biar aku yang membalaskan sakit hatimu
dn kuminta tukar senjatamu
yang dirusak!" dan gadis ini yang tiba-tiba menerjang dan berseru nyaring tiba-
tiba sudah membentak dan menyerang Si Golok Maut, tidak banyak cakap lagi dan
tubuh yang berkelebat seperti walet menyambar itu tahu-tahu sudah melakukan
tamparan. Gerakannya sama cepat dengan sang suhu, Golok Maut mengelak namun
bayangan gadis itu mengejar. Dan ketika dia mengelak namun tetap dibayangi maka apa boleh buat
Golok Maut menangkis dan gadis itu menjerit.
"Aduh..!" Ternyata gadis ini terpental. Dalam tangkisan tadi dia merasa tangannya sakit,
gadis ini membentak lagi namun tidak mundur. Tangkisan Golok Maut dianggapnya
hinaan dan gadis itu marah. Dan ketika dia melengking-lengking dan menyambar-
nyambar bagai walet kesetanan maka
Golok Maut terdesak dan entah mengapa tiba-tiba tidak berani menangkis lagi,
takut mendengar jeritan si gadis!
"Hei, tahan, Siang In. Jangan menyerang!" si kakek, Fen-ho Lojin berteriak.
Kakek ini mencegah namun sang murid tak
mau dengar. Siang In berkelebatan dan marah
menyambar-nyambar, teriakan sang suhu bahkan membuatnya beringas seolah harimau diganggu anaknya.
Dan ketika Golok Maut terus berlompatan mengelak dan
tentu saja kian lama juga kian cepat karena mengimbangi gadis itu maka Siang In
melengking-lengking karena tak sebuah pun dari serangannnya mengenai sasaran.
"Keparat, jangan mengelak saja, Golok Maut. Ayo balas dan kauserang aku!"
"Hm," Golok Maut bingung. "Aku tak bermusuhan denganmu, nona. Sebaiknya tahan
dan hentikan serangan-seranganmu."
"Pengecut! Kau tak berani membalas" Baik, aku akan menyerangmu, Golok Maut,
terus sampai kau atau aku
roboh!" dan Siang In yang tak memperdulikan gurunya lagi dan terus berkelebatan
menyambar-nyambar akhirnya
mencabut gelang dan mainkan senjata itu seperti suhunya, tak mau sudah dan sang
suhu berseru marah. Gadis itu tak mau berhenti dan terus menyerang Si Golok
Maut, yang kini mulai terkena satu dua sambaran gelang karena gadis itu seakan harimau yang
tumbuh sayapnya, Dengan gelang-berganda di tangan sungguh gadis ini seperti Fen-
ho Lojin sendiri, kian lihai dan kian hebat. Tapi ketika gadis itu mulai
mendesak lawannya dan Golok Maut bingung
menerima satu serangan lagi tiba-tiba Fen-ho Lojin
berkelebat dan membentak muridnya itu.
"Siang In, berhenti.. plak!" kebutan ujung baju Fen-ho Lojin mementalkan gelang,
mengejutkan sang murid dan
Siang In berteriak keras terpelanting ke belakang. Gurunya marah dan
menangkisnya dengan keras. Dan ketika gadis itu berjungkir balik dan terkejut
memandang gurunya maka kakek itu memaki, "Siang In, Golok Maut bukan musuh.
Dia justeru kawan bukannya lawan!"
"Tapi gelangmu dirusaknya! Bagaimana bukan musuh kalau kurang ajar begini"
Tidak, kau minggirlah, suhu. Biar aku merobohkannya atau dia yang merobohkan
aku!" Siang In mau menyerang lagi, mengira gurunya main-main
karena tak mungkin lawan yang sudah merusak senjata
dianggap kawan. Tapi ketika dia mau bergerak namun sang suhu sudah menangkap
lengannya maka kakek ini berseru,
"Tidak, kau yang salah, Siang In. Tadi kami main-main dan hanya menguji
kepandaian. Kau tahanlah dan jangan seperti siluman kehilangan anak!" lalu
melihat muridnya melotot karena dianggap seperti siluman kehilangan anak kakek
ini tertawa melanjutkan, "Dengar, Golok Maut ternyata murid sahabat gurumu,
Siang In, mendiang Sin-liong Hap Bu Kok yang sudah almarhum. Eh, kau harus
minta maaf karena kekasaranmu tadi!"
Gadis ini tertegun. "Suhu tidak main-main?"
"Eh, siapa main-main" Aku serius, bocah. Hayo minta maaf dan simpan senjatamu!"
Gadis itu tersipu. Tiba-tiba mukanya menjadi merah dan malu, lawan yang di-
sangka musuh kiranya bukan musuh, bahkan murid sahabat gurunya, yang sudah
almarhum. Tapi ketika dia menyimpan senjatanya dan mau meminta
maaf tiba-tiba Golok Maut mendahului, mencegah,
"Tidak, tak perlu, nona. Aku tak marah, justeru aku kagum padamu karena
pembelaanmu terhadap gurumu ini.
Kita hanya sedikit berselisih faham, tak apa dan tak usah minta maaf!"
Siang In bengong. Si Golok Maut membungkuk dan
tersenyum padanya, wajah di balik caping itu tiba-tiba kelihatan sedikit jelas
dan gadis ini berdetak. Sekilas terlihat wajah yang tampan dan gagah, wajah yang
gagah namun dingin, mencoba tersenyum tapi tetap saja wajah yang
dingin itu tak dapat disembunyikan. Gadis ini melihat wajah yang dingin seperti
es, yang sekilas telah dicoba cairkan dalam wujud senyum itu. Tapi ketika wajah
itu terangkat kembali dan sudah tertutupi caping lebar maka Siang In terkejut
dan sadar, gugup. "Eh, maaf. Suhu telah menyuruhku, Golok Maut, tak mungkin aku mengabaikannya.
Terimalah maaf atas seranganku tadi!" "Ha-ha, tak perlu ditolak!" sang kakek berseru, gembira.
"Ini sudah menjadi adatku, Golok Maut. Murid tak boleh membantah gurunya dan kau
terimalah maafnya!" Golok Maut tersipu. "Baiklah," suara itu agak bergetar.
"Tak apa, Fen-ho Lojin. Dan maaf pula atas seranganku tadi."
"Ha-ha, tak apa. Sekarang kita dapat berkenalan lebih baik dan kau kenalkanlah
muridku ini. Namanya Siang In!"
Golok Maut mengangguk. Sekali lagi senyum itu terlihat dan Siang In bengong.
Senyum yang gagah namun dingin
itu rupanya tak dapat dihapus, sudah menjadi ciri khas Si Golok Maut ini. Dan
ketika gurunya tertawa dan melepas tangannya maka gadis ini berdebar ketika dua
mata mereka kembali beradu.
"Golok Maut, aku ingin sembahyang di makam
sahabatku. Yang manakah kuburan Si Naga Sakti?"
"Ini," Golok Maut menunjuk. "Dan itu isterinya, Lojin.
Suboku Cheng-giok Sian-li."
"Baiklah, biar aku sembahyang dulu!" dan si kakek yang mengeluarkan hio (du-pa)
dan tiba-tiba menyalakannya
dengan sekali tiupan mulut mendadak sudah melangkah
lebar ke makam sebelah kiri, mengerling sekejap ke kanan dan segeralah kakek itu
berkemak-kemik membaca doa, hio diangkat berkali-kali di atas kepalanya, sebagai
tanda hormat. Dan ketika semuanya selesai dan dia bertanya
apakah makam di sebelahnya itu milik Chen-giok Sian-li maka kakek inipun sudah
berpindah dan sembahyang di
makam itu, berkemak-kemik dan tak lama kemudian iapun sudah selesai. Tak ada
setengah jam kakek itu menekuri makam kedua suami isteri itu. Dan ketika dia
menarik napas dan menyuruh muridnya juga sembahyang maka
Siang In semburat merah mengikuti perintah gurunya. Tak lama kemudian semuanya
selesai dan Golok Maut memandang sejak tadi. Pandang matanya banyak
mengawasi murid Fen-ho Lojin itu, yang dipandang
agaknya merasa dan Siang In mengerling, Dan ketika lirik matanya bertemu dengan
pandangan Si Golok Maut maka
laki-laki itu melempar pandang ke samping dan batuk-
batuk. "Nah, selesai," si kakek tak mengetahui lirikan yang muda-muda. "Terima kasih,
Golok Maut. Tapi coba ceritakan padaku bagaimana mereka berdua ini bisa tewas.
Siapa yang membunuh dan kapan terjadinya itu!"
"Hm," Si Golok Maut muram. "Suhu dan subo tewas sudah lama, Lojin. Dua puluh
tahun yang lampau. Tak ada yang membunuh, mereka tewas karena... karena
bertempur sendiri." "Heh?" "Benar.." muka yang tertutup caping itu menunduk.
"Mereka bertempur satu sama lain, Lojin. Dan mereka akhirnya sama-sama tewas."
"Celaka. Apa yang menyebabkan begitu?"
"Hm, aku tak ingin mengenang itu, Lojin. Maaf aku tak mau menjawab!"
Si kakek tertegun. Fen-ho Lojin rupanya marah, melotot dan mau mendesak. Tapi
ketika dia ingat bahwa masalah itu mungkin menusuk perasaan Si Golok Maut ini
maka kakek itu menahan diri dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu coba
ceritakan padaku tentang Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut. Dan apakah dia juga sudah
tewas pula!" "Benar, guruku inipun sudah tewas, bahkan dia lebih dulu. Tapi makamnya ada di
atas sana." "Hm, siapa yang membunuh?"
"Dia meninggal karena sakit," Golok Maut berbohong.
"Dan tak perlu kiranya aku bercerita panjang lebar."
Kakek ini melotot. Golok Maut sudah mendahuluinya
dengan kata-kata seperti itu, rupanya tahu bahwa dia akan banyak bertanya dan
sebelumnya distop dulu, kakek ini gemas namun juga tak dapat berbuat apa-apa
kembali. Dan ketika dia bersinar-sinar memandang lawan bicaranya itu
dan mau bertanya siapakah nama pemuda ini ternyata
muridnya mendahului, "Maaf, siapakah namamu, Golok Maut" Bukankah kau punya nama?"
"Hm, aku tak tahu namaku, nona. Nama itu sudah
terkubur bersama kedua guruku. Nama tak mempunyai arti, orang telah memanggilku
Si Golok Maut!" "Begitu sombong?" Siang In marah. "Kau terlalu, Golok Maut. Namapun tak sudi kau
perkenalkan kepada sahabat gurumu. Apakah mereka memesannya demikian?"
"Barangkali, aku lupa," jawaban ini acuh, sama sekali tak perduli dan tiba-tiba
sikap dingin itu kembali timbul. Siang In melotot dan mau marah lagi, tapi
ketika gurunya batuk-batuk dan memegang lengan muridnya itu ternyata Fen-ho
Lojin mendahului, "Sudahlah, cukup kiranya, Siang In. Golok Maut dikenal pendiam dan adalah sebuah
kehormatan kalau kali ini dia bicara banyak. Mari kita pergi, urusan kita sudah
selesai!" Golok Maut memandang kakek ini. Setelah Fen-ho Lojin
mau mengajak muridnya pergi dan Siang In mengangguk


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba Golok Maut tampak tertegun, mengangkat
mukanya dan guru serta murid itu dipandangnya sejenak.
Dan ketika kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan
berpamit pergi tiba-tiba Golok Maut mengangkat tangannya. "Nanti dulu. Bolehkah aku tahu ke mana kau selama ini, Lojin" Kenapa tak pernah
muncul hingga guruku menganggapmu tiada lagi?"
"Ha-ha, perlukah kau tahu" Aku pergi keluar Tionggoan, Golok Maut. Dan terus
terang aku mendongkol karena pernah dikalahkan dua gurumu!"
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Han Bu Kong 6
^