Empat Besar 1
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie Bagian 1
Agatha Christie Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
EMPAT BESAR THE BIG FOUR by Agatha Christie Copyright @ Agatha Christie 1927
All rights reserved EMPAT BESAR Alih bahasa: Ny. Suwarni A.S.
Desain sampul: Dwi Koendoro
GM 402 86015 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26
Jakarta 10270 Diterbitkankan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Anggota IKAPI Jakarta, Februari 1986 Cetakan kelima: Mei 1994 Cetakan keenam: September 1997
Cetakan ketujuh: September 2002
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
CHRISTIE - Agatha Empat Besar /Agatha Christie, alih bahasa, Ny. Suwarni A.S.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1986
272 hlm. 18 cm Judul asli: The Big Four ISBN - 979 686 - 015 - 5 1. Fiksi Inggris I. Judul II. H. A.S., Ny. Suwami
Dicetak oleh Percetakan Duta Prima, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
SAMPUL BELAKANG Di dalam gudang bawah tanah di East End itu, aku yakin inilah saat-saatku.
Kusiapkan diriku menghadapi shock derasnya arus air yang hitam itu.
Aku terkejut ketika mendengar tawa bernada rendah. "Anda seorang pemberani,"
kata-kata lelaki di sofa itu. "Kami orang Timur menghargai keberanian. Anda
telah berani menghadapi kematian Anda sendiri. Dapatkah pula Anda menghadapi
kematian orang lain?"
Dasiku bersimbah peluh. "Pena sudah siap", kata laki-laki itu dengan tersenyum, "Anda tinggal menulis.
Kalau tidak-" "Kalau tidak?" tanyaku tegang.
"Kalau tidak, maka wanita yang Anda cintai akan mati - mati perlahan-lahan.
Dalam waktu senggang, majikan kami suka menghibur dirinya dengan membuat alat-
alat dan menciptakan cara-cara penyiksaan..."
"Li Chang Yen adalah otak yang menegang kendali. Oleh
karenanya dia kunamakan si Nomor Satu.
Nomor Dua ditandal dengan huruf 'S' dengan dua garis di tengah-tengahnya -
lambang dolar; disertai dua- garis dan sebuah bintang.
Nomor Tiga seorang wanita berkebangsaan Prancis.
Nomor Empat..." Suara itu terputus. Orang itu kelihatan ketakutan sekali, dia seperti kesakitan
dan kejang. Empat penjahat ulung ingin menguasai dunia. Tetapi seseorang berdiri menghalangi
mereka - dialah Hercule Poirot yang tak ada duanya!
Bab 1 TAMU TAK DIUNDANG ADA orang yang selalu bisa menlkmati perjalanan menyeberangi Selat Kanal; mereka
bisa duduk tenang di kursi geladak, dan begitu tiba, menunggu sampai kapal
betul-betul sudah tertambat, baru mengumpulkan barang-barang bawaannya tanpa
terburu-buru lalu naik ke darat. Aku sendiri tak pernah bisa demikian. Begitu
menjejakkan kaki di kapal, aku terus merasa tak ada waktu lagi untuk mengerjakan
apa pun dengan santai. Kopor-kopor kupindah-pindahkan saja dan bila ke ruang
bawah untuk makan, makanan kulahap saja dengan perasaan kuatir kalau-kalau kapal
tiba-tiba sudah sampai, padahal aku masih ada di bawah. Semuanya itu mungkin
cuma peninggalan masa perang dulu, waktu prajurit akan mengambil cuti pendek.
Biasanya waktu itu penting sekali mencaru tempat di dekat tangga pendaratan,
supaya bisa segera naik ke darat agar tidak kehilangan barang semenit pun dari
masa cuti yang hanya empat atau lima hari.
Di pagi hari bulan Juli itu, aku berdiri di pagar kapal, memperhatikan batu
karang putih Dover yang kian mendekat. Heran aku melihat para penumpang yang
dengan tenang duduk-duduk. Tak satu kali pun ada yang mengangkat mata untuk
menikmati pemandangan pertama dari negeri kelahirannya. Tapi mereka mungkin
memang berbeda dari keadaanku sendiri. Kebanyakan pasti hanya menyeberang ke
Paris untuk berakhir pekan, sedang aku sendiri sudah tinggal di sebuah tanah
peternakan di Argentina selama
satu setengah tahun terakhir ini. Aku jadi kaya di sana, dan berdua dengan
istriku telah dapat menikmati hidup bebas dan nyaman di Amerika Selatan ini.
Meski demikian tercekat juga leherku ketika kulihat pantai yang begitu kukenal
itu makin lama makin mendekat.
Baru dua hari yang lalu aku mendarat di Prancis. Kuselesaikan beberapa urusan
perusahaan di sana, dan kini aku sedang dalam perjalanan ke London. Aku akan
berada di sana beberapa bulan -
cukup lama untuk mengunjungi teman-teman lama, khususnya seorang sahabat
istimewa. Seorang pria kecil bermata hijau dengan kepala seperti telur - Hercule
Poirot! Aku berniat membuat kejutan.
Dalam suratku yang terakhir dari Argentina, sama sekali tak kuceritakan niatku
untuk bepergian - memang hal itu diputuskan dengan terburu-buru karena ada
kesulitan dalam perusahaan. Aku senang membayangkan betapa akan senang dan
tercengangnya dia melihat diriku.
Aku yakin dia tidak akan jauh dari markasnya. Dia sudah tak lagi bepergian dari
satu ujung tanah Inggris ke ujung lain, untuk menyelesaikan suatu perkara. Dia
sudah terkenal di mana-mana, dan tak mau lagi waktunya disita oleh suatu
perkara. Kini dia semakin mengarah pada apa yang disebut 'detektif konsultan'
sama spesialisnya dengan dokter di Hariey Street. Sejak dulu dia selalu menolak
metode yang umum dipakai: manusia berlagak bagal anjing pemburu, memakai
berbagai samaran yang hebat untuk mencari jejak penjahat dan berhenti pada
setiap jejak untuk mengukurnya.
"Tidak, kawanku Hastings," katanya dulu, "biar si Giraud dan teman-temannya saja
yang berbuat begitu. Hercule Poirot punya caranya sendiri. Teratur, bermetode,
ditambah dengan 'sel-sel kecil yang kelabu'. Sambil duduk nyaman di rumah kita
sendiri pun, kita bisa melihat hal-hal yang mungkin tak terlihat oleh orang-
orang lain, dan kita tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat seperti Japp yang
jempolan itu." Memang kecil sekali kemungkinannya kita akan menemukan Hercule Poirot jauh dari
kediamannya. Begitu tiba di London, kuletakkan barang-barangku di sebuah hotel,
dan aku langsung pergi ke alamat lama itu. Betapa jelas kenangan yang dibangkitkan tempat itu! Hampir
tak sempat aku berbasa-basi dengan bekas induk semangku. Buru-buru kulangkahi
dua anak tangga sekaligus, lalu mengetuk pintu kamar Poirot.
"Masuk saja, " terdengar suara yang begitu kukenal itu dari dalam.
Aku masuk. Poirot berdiri menghatapi aku. Dia sedang menjinjing sebuah kopor
kecil, yang dijatuhkan begitu saja waktu melihat aku.
"Mon ami, Hastings!" serunya. "Mon ami, Hastings. " Kemudian dia berlari ke
arahku, merangkulku dalam dekapan erat. Percakapan kami tak menentu dan simpang
siur. Banyak kata-kata seru diucapkan, pertanyaan-pertanyaan penuh rasa ingin
tahu, jawaban-jawaban yang tak sempurna, pesan-pesan dari istriku, penjelasan-
penjelasan tentang perjalananku, semuanya itu bercampur aduk.
"Mungkin ada orang lain yang menempati kamarku dulu, ya?"
tanyaku akhirnya, setelah kami agak tenang. "Aku sebenarnya ingin bersamamu lagi
di sini." Wajah Poirot mendadak berubah.
"Mon Dieu! -Menyedihkan sekali keadaannya. Coba kau lihat sekelilingmu,
Sahabatku." Aku baru menyadari keadaan sekelilingku. Ada sebuah peti besar yang pasti sudah
tua sekali umurnya, tersandar pada dinding. Di dekatnya ada beberapa buah kopor,
yang diatur dengan rapi menurut ukurannya, mulai dari yang besar sampai yang
kecil. Suatu pemandangan yang sudah jelas maksudnya.
"Kau akan pergi?"
"Ya." "Ke mana?" "Amerika Selatan."
"Apa?" "Ya, benar-benar lelucon yang tak lucu, kan" Aku memang akan berangkat ke Rio.
Padahal setiap hari aku berkata sendiri, takkan kutuliskan apa-apa dalam suratku
- biar terperanjat sahabatku Hastings bila melihatku nanti!"
"Tapi kapan kau akan berangkat?"
Poirot melihat ke arlojinya.
"Satu jam lagi."
"Kalau tak salah, kau selalu bilang tidak ada satu hal pun yang bisa membujukmu
untuk bepergian jauh dengan kapal."
Poirot memejamkan matanya lalu menggigil.
"Jangan bicara tentang itu, Sahabatku. Dokterku sudah.
meyakinkan aku, orang tidak akan mati karena berlayar, lagi pula hanya satu kali
ini saja; kau tentu mengerti bahwa aku tidak - tidak akan pernah kembali lagi. "
Aku didorongnya ke sebuah kursi.
"Mari kuceritakan bagaimana ini sampai terjadi. Kau tahu siapa orang terkaya di
dunia ini" Yang bahkan lebih kaya daripada Rockefeller" Abe Ryland."
"Raja sabun Amerika itu?"
"Tepat. Salah seorang sekretarisnya menghubungi aku. Di sebuah perusahaan besar
di Rio telah terjadi banyak ketidakberesan. Dia memintaku untuk menyelidiki
persoalannya di tempat. Kutolak.
Kujelaskan bahwa bila ia mau menjelaskan duduk perkaranya padaku, akan kuberikan
pandanganku yang ampuh itu. Tapi katanya dia tak dapat berbuat demikian. Dia
baru akan menjelaskan persoalannya setelah aku tiba di sana. Dalam keadaan biasa
hal semacam itu pasti sudah mengakhiri pembicaraan. Kurang ajar sekali, mau
mendikte Hercule Poirot. Tapi jumlah uang yang ditawarkan bukan main besarnya, dan baru kali inilah
selama hidupku, aku terbujuk oleh uang semata. Ini suatu kesempatan suatu
keberuntungan! Lalu ada lagi daya tarik yang
kedua - yaitu kau, Sahabatku. Selama setahun setengah ini aku merasa seperti
orang tua yang sangat kesepian. Maka kupikir, kenapa tidak" Aku sudah mulai
bosan pada pekerjaanku yang terus-menerus menyelesaikan perkara-perkara sepele.
Aku sudah berhasil mencapai kemasyhuran. Blariah kuterima saja uang itu, lalu
aku menetap di dekat sahabat lamaku. "
Aku terkesan oleh pertimbangan Poirot itu.
"Jadi aku menerimanya," lanjutnya, "dan dalam waktu satu jam lagi aku harus
berangkat naik kereta api dan kemudian naik kapal.
Ironis sekali, kan" Tapi kuakui, Hastings, bahwa seandainya uang yang ditawarkan
tidak sebanyak itu, aku mungkin ragu, karena akhir-akhir ini aku baru saja
memulai penyelidikanku sendiri. Tahukah kau apa yang dimaksud dengan 'Empat
Besar'?" "Kurasa istilah itu berasal dari Konperensi Versailles, kemudian ada lagi
istilah Empat Besar yang terkenal dalam dunia perfilman, dan istilah itu dipakai
pula oleh orang-orang yang kurang penting."
"Begitukah?" kata Poirot sambil merenung. "Tapi aku menemukan istilah itu dalam
hubungan yang tak sesuai dengan penjelasanmu yang mana pun juga. Agaknya nama
itu ada hubungannya dengan suatu komplotan penjahat internasional atau
semacamnya; hanya -"
"Hanya apa?" tanyaku waktu kulihat keraguannya.
"Hanya kukira yang ini berukuran besar. Itu hanya pikiranku saja, tak lebih dari
itu. Ah, harus kuselesaikan berbenahku dulu. Waktu sudah mendesak.
"Jangan pergi," desakku. Batalkan saja pelayaranmu, dan berangkatlah nanti
bersamaku." Poirot menegakkan sikapnya dan memandangku dengan
pandangan menegur. "Ah, kau tak mengerti! Aku telah menyatakan kesediaanku.
Bukankah kau tahu - Hercule Poirot tak pernah menarik kembali kata-katanya.
Hanya soal hidup dan mati saja yang bisa menahanku."
"Dan agaknya itu tak bakal terjadi," kataku murung, "kecuali kalau pada saat
terakhir pintu terbuka dan tamu yang tak diundang masuk."
Kukutip pepatah lama itu sambil tertawa kecil, lalu sesaat kemudian, kami
terkejut sekali karena terdengar bunyi dari kamar di dalam.
"Apa itu?" teriakku.
"Mafoi!" bentak Poirot. "Kedengarannya benar-benar seperti ada
'tamu tak diundang' seperti yang kaukatakan tadi itu di kamar tidurku."
"Tapi bagaimana orang bisa masuk ke sana" Padahal tak ada pintu lain kecuali
yang ke kamar ini. "
"Ingatanmu baik sekali, Hastings. Sekarang coba cari
penjelasannya." "Jendela! Jadi pencurikah" Pasti susah payah sekali dia memanjat
- rasanya bahkan tak mungkin."
Aku bangkit lalu berjalan ke arah pintu. Tapi aku berhenti karena ada bunyi
orang mengutik-utik gagang pintu itu dari sisi sebelah sana.
Pintu terbuka perlahan-lahan. Seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seluruh
tubuhnya, dari kepala sampai ujung kaki, penuh debu dan lumpur. Wajahnya kurus
dan pucat. Dia menatap kami sesaat, lalu terhuyung dan jatuh. Poirot cepat
menghampiri, lalu menengadah dan berkata padaku,
"Ambil brandy - cepat."
Cepat-cepat kutuang brandy ke dalam gelas dan kuberikan. Poirot berhasil
menenangkannya sedikit, berdua kami angkat dia, lalu kami bawa ke sofa. Beberapa
menit kemudian, dia membuka matanya dan memandang ke sekeliling dengan pandangan
hampa. "Anda mau apa?" tanya Poirot.
Orang itu membuka mulutnya lalu berbicara dengan nada otomatis yang aneh.
"Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14."
"Benar - benar, ini saya sendiri."
Orang itu seperti tak mengerti. Dia hanya mengulang lagi dengan nada yang sama,
"Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14."
Poirot mencoba menanyakan beberapa hal. Orang itu kadang-kadang tak menjawab
sama sekali; kadang-kadang dia mengulangi saja kata-kata yang sama. Poirot
mengisyaratkan apar aku menelepon.
"Panggil Dr. Ridgeway."
Untunglah dokter itu ada di tempat; dan karena rumahnya hanya di tikungan jalan,
beberapa menit kemudian dia sudah datang.
"Ada apa ini." Poirot memberinya penjelasan singkat, dan dokter mulai memeriksa tamu kami yang
aneh itu, yang kelihatannya tidak menyadari kehadiran kami.
"Hm!" kata Dr. Ridgeway setelah dia selesai.
"Penyakit aneh."
"Apakah demam otak?" tanyaku.
Dokter itu mendengus mengejek.
"Demam otak! Demam otak! Tak ada itu. Itu kan hanya karang-karangan
para penulis saja. Tidak, laki-laki ini telah mengalami semacam shock yang
hebat. Dia datang kemari hanya dengan kemauan yang keras saja - untuk menemukan
Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14 - dan dia hanya mengulang-ulangi kata-
kata itu seperti mesin saja, tanpa tahu apa artinya."
"Apakah dia menderita penyakit gagu mendadak?" tanyaku tagi penuh ingin tahu.
Pertanyaanku itu tidak membuat dokter itu mendengus sehebat tadi. Dia tidak
menjawab, melainkan memberi laki-taki itu kertas dan pensil.
"Coba kita lihat apa yang dilakukannya sekarang, katanya.
Beberapa lamanya orang itu tidak melakukan apa-apa. Tetapi tiba-tiba dia-menuils
dengan gugup. Dan tiba-tiba pula dia berhenti dan menjatuhkan kertas dan pensil
itu. Dokter memungutnya, lalu menggeleng.
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak ada apa-apa. Hanya angka empat yang dituliskannya berkali-kali, setiap kali
semakin besar. Saya rasa dia ingin menulis Farraway Street nomor 14. Menarik
benar kasus ini - sangat menarik. Dapatkah Anda menahannya di sini sampai nanti
siang" Sekarang saya harus ke rumah sakit, tapi saya akan kembali nanti siang
dan mengurus dia. Kasus pasien ini terlalu menarik untuk dibiarkan berlalu
begitu saja." Kujelaskan tentang rencana keberangkatan Poirot, dan rencanaku sendiri untuk
menyertainya sampai ke Southampton.
"Tak apa-apa. Tinggalkan saja dia di sini. Dia tidak akan bertingkah apa-apa.
Cuma keletihan yang luar biasa. Mungkin dia akan tidur selama delapan jam terus-
menerus. Saya akan berbicara dengan induk semang Anda, Nyonya si Wajah Lucu yang
hebat itu, dan memintanya untuk mengawasi orang itu."
Dan Dr. Ridgeway pun keluar tergesa-gesa seperti biasanya. Poirot sendiri
menyelesaikan pengepakan barang-barangnya, sambil memandangi jam terus.
"Waktu ini berjalan terus, bukan main cepatnya. Ayolah, Hastings, ini tugas yang
kutinggalkan buat kau. Masalah ini sensional. Laki-laki dari, antah berantah
itu. Siapa dia" Apa dia" Ah, sapristi, tapi aku mau mengorbankan hidupku dua
tahun, asal kapal itu mau berangkat besok dan tidak hari ini. Ada yang sangat
aneh di sini - sangat menarik. Tapi kita harus punya waktu untuk itu - ya,
waktu. Mungkin berhari-hari - atau bahkan berbulan-bulan barulah dia akan dapat mengatakan pada
kita, apa yang ingin dikatakannya."
"Aku akan berusaha, Poirot," aku meyakinkannya. "Akan kucoba jadi pengganti yang
efisien.- "Ya." Aku mendapat kesan jawabannya itu mengandung keraguan.
Kertas tadi kupungut. "Seandainya aku sedang mengarang cerita," kataku dengan ringan, "akan kujalin
peristiwa ini dengan gagasan anehmu yang terakhir tadi, dan akan kunamakan
Misteri Empat Besar. " Sementara berbicara kuketuk-ketuk angka-angka yang
ditulls dengan pensil itu.
Dan aku pun terkejut, karena orang yang sakit tadi itu, tiba-tiba sadar, lalu
duduk di sofa itu, dan berkata dengan terang dan jelas.
"Li Chang Yen."
Dia kelihatan seperti orang yang baru terbangun dari tidur. Poirot
mengisyaratkan padaku supaya tidak berbicara. Laki-laki itu meneruskan lagi. Dia
berbicara dengan suara yang tinggi dan jelas, dan mendengar ucapannya, aku
merasa bahwa dia seolah-olah sedang menghafalkan sesuatu dari suatu laporan atau
ceramah tertulis. "Li Chang Yen boleh dianggap sebagai otak dari Empat Besar.
Dialah yang mengendalikan dan mendorong. Oleh karenanya, saya menyebutnya Nomor
Satu. Nomor Dua jarang disebut namanya. Dia hanya dinyatakan dengan huruf 'S'
yang diberi dua buah garis di tengahnya - lambang dolar; juga dengan dua buah
garis dan sebuah bintang. Jadi boleh disimpulkan bahwa dia berkebangsaan
Amerika, dan bahwa dia mencerminkan kekuatan kekayaan. Tak dapat diragukan bahwa
Nomor Tiga adalah seorang wanita, dan dia berkebangsaan Prancis. Mungkin dia
sejenis wanita penakluk yang cantik dan berbahaya, tetapi tak ada satu hal pun
yang pasti. Nomor Empat -"
Suaranya melemah lalu tiba-tiba berhenti. Poirot membungkuk mendekatinya.
"Ya, " katanya dengan penuh ingin tahu, "Nomor Empat?"
Poirot menatap wajah laki-laki itu. Orang itu kelihatan ketakutan sekali; dia
seperti kesakitan dan kejang-kejang.
"Si Pemusnah," kata orang itu terengah. Dan dengan gerakan mengejang yang
terakhir, dia jatuh tertelentang, dan pingsan.
"Mon Dieu!" bisik Poirot. "Kalau begitu aku benar. Aku benar."
"Kaupikir -?" Dia menyela kata-kataku. "Mari kita angkat dia ke tempat tidur dalam kamarku. Aku tak bisa menunggu
barang semenit pun lagi, kalau aku tak mau ketinggalan kereta api. Bukan berarti
aku tak ingin ketinggalan. Ah, ingin benar aku ditinggalkan kereta api itu,
tanpa dibebani perasaan bersalah!
Tapi Aku sudah berjanji. Mari, Hastings!"
Setelah menitipkan tamu misterius itu pada Nyonya Pearson, kami berangkat, dan
kami hampir saja terlambat. Poirot kadang-kadang membisu dan kadang-kadang
banyak bicara. Kadang-kadang dia duduk merenung saja ke luar jendela, seperti
orang yang sedang bermimpi, seolah-olah tak didengarnya apa-apa yang kukatakan
padanya. Kemudian, tiba-tiba banyak bicaranya, dan mencurahkan bermacam amanat
dan perintah padaku, dan memesankan benar agar aku terus-menerus mengirim
berita-berita dalam bentuk rahasia.
Setelah kami melewati Woking, lama kami tak bercakap-caka .
Kereta api tentu saja tak berhenti di mana-mana sebelum tiba di Southampton;
tetapi justru di tempat itu kereta kebetulan berhenti karena ada tanda berhenti.
"Ah! Terkutuk benar!" seru Poirot tiba-tiba. "Benar-benar goblok aku ini.
Akhirnya kini aku mengerti. Ini pasti berkat bantuan orangorang suci, kereta api
berhenti. Lompat, Hastings, cepat lompat, kataku. "
Sebentar saja dia sudah membuka pintu gerbong, lalu melompat ke luar ke tepi.
"Lemparkan kopor-kopor dan melompatlah."
Aku mematuhi perintahnya. Tepat pada waktunya. Baru saja aku mendarat di
sebelahnya, kereta api pun bergerak lagi.
"Nah, sekarang, Poirot," kataku dengan kesal, "sekarang mungkin kau mau cerita
apa ini semua." "Soalnya, Sahabatku, aku baru saja paham."
"Sekarang baru jelas bagiku."
"Memang seharusnya begitu," kata Poirot, "tapi aku kuatir - aku kuatir sekali
hal ini belum jelas bagimu. Kalau kau bisa membawa dua dari kopor-kopor ini,
kurasa aku bisa membawa yang lain.
Bab 2 LAKI-LAKI DARI RUMAH SAKIT JIWA
UNTUNGLAH kereta apinya berhenti di dekat sebuah stasiun.
Setelah berjalan sebentar, kami tiba di sebuah bengkel mobil. Kami pun menyewa
mobil, dan setengah jam kemudian kami sudah ngebut kembali ke London. Setelah
itulah Poirot baru mau memenuhi rasa ingin tahuku.
"Kau tak mengerti" Aku pun semula tidak. Tapi sekarang aku mengerti. Hastings,
ada orang yang telah mencoba menyingkirkan aku."
"Apa?" "Benar. Dengan cara yang licik sekali. Baik tempat maupun caranya dipilih
berdasarkan pengetahuan yang luas dan dengan lihai sekali. Mereka takut padaku."
"Siapa?" "Keempat orang genius, yang telah bergabung dan bekerja sama melawan hukum.
Seorang berkebangsaan Cina, seorang Amerika, seorang wanita Prancis, dan -
seorang lagi. Berdoalah pada Tuhan agar kita kembali pada waktunya, Hastings."
"Kaupikir tamu kita itu terancam bahaya?"
"Aku yakin. Nyonya Pearson menyambut kedatangan kami. Tanpa
memperdulikan kekalutan wanita itu karena terkejut melihat Poirot kembali, kami
tanyai dia. Keterangannya membesarkan hati. Tak ada orang datang, dan tamu kami
juga tidak memberikan tanda apa-apa.
Dengan mendesah lega, kami naik ke ruang atas.
Poirot melewati ruang luar dan terus masuk ke ruang dalam. Lalu dia memanggil
aku, suaranya kacau. "Hastings, dia sudah mati."
Aku berlari menghampiri. Laki-laki itu tetap terbaring seperti pada saat kami
tinggalkan tadi, tapi sudah mati, bahkan sudah mati beberapa lama. Aku berlari
lagi ke luar untuk mencari dokter. Aku tahu Dr. Ridgeway pasti belum kembali.
Dalam waktu singkat saja aku menemukan seorang dokter lain, dan kubawa pulang.
"Dia memang sudah meninggal, kasihan orang ini. Gelandangan yang sudah menjadi
sahabat Anda rupanya?"
"Begitulah," sahut Poirot, mengelak. "Apa penyebab kematiannya, Dokter?"
"Sulit dikatakan. Mungkin semacam serangan mendadak. Ada tanda-tanda dia
kehilangan kesadaran. Apakah tak ada penerangan gas di sini?"
"Tidak ada, hanya lampu listrik - tak ada yang lain.
"Dan kedua buah jendela pun terbuka. Saya rasa sudah kira-kira dua jam dia
meninggal. Anda pasti akan memberi tahu yang berwajib, kan?"
Lalu dia berangkat. Poirot menelepon beberapa orang. Akhirnya, heran juga aku,
dia menelepon teman lama kami, Inspektur Japp, dan bertanya apakah dia mungkin
bisa datang. Baru saja semua kegiatan itu selesai, Nyonya Pearson muncul.
Matanya membulat, katanya,
"Ada orang dari Hanwell - dari Rumah Sdkit Jiwa. Ada-ada saja.
Apa saya persilakan dia masuk kemari?"
Kami menyatakan setuju, dan seorang pria besar dan tegap yang berpakaian
seragam, dipersilakan masuk.
"Selamat pagi, Tuan-tuan!" katanya ceria. "Saya mendengar salah seorang
peliharaan saya ada dli sini. Semalam dia melarikan diri."
"Dia memang tadinya di sini, " kata Poirot dengan tenang.
"Dia kan tidak lari lagi?" tanya petugas itu dengan cemas.
"Dia sudah meninggal."
Pria itu lebih kelihatan lega daripada sebaliknya.
"Begitukah" Yah, saya yakin lebih baik begitu bagi semua pihak."
"Apakah dia - berbahaya?"
"Ada kecenderungan untuk membunuh, maksud Anda" Ah, tidak.
Dia tak mengganggu. Dia punya rasa takut dikejar-kejar yang parah.
Otaknya penuh dengan Perkumpulan-perkumpulan rahasia dari Cina, yang telah
membuatnya membungkam. Orang-orang semacam itu, sama saja semuanya."
Aku menggigil. "Sudah berapa lama dia dikurung?" tanya Poirot. "Kira-kira sudah dua tahun."
"Saya Mengerti," kata Poirot dengan tenang.
"Apakah tak ada seorang pun juga yang beranggapan bahwa dia mungkin - waras?"
Petugas itu tertawa. "Kalau dia waras, untuk apa dia di Rumah Sakit jiwa" Anda tahu, mereka semua
ngakunya waras." Poirot tidak berkata apa-apa lagi. Diajaknya petugas itu masuk untuk melihat
mayat itu. Orang itu langsung dapat mengenalinya.
"Memang benar dia - cocok," kata petugas itu dengan geram.
"Benar-benar orang aneh kan dia. Nah, Tuan-tuan, sebaiknya saya pergi saja
sekarang untuk menyiapkan segalanya. Kami tidak akan menyusahkan Anda lama-lama
dengan mayat ini. Bila ada
pemeriksaan polisi nanti, saya yakin Anda akan harus muncul.
Selamat pagi, Tuan-tuan."
Setelah membungkuk dengan kaku, dia keluar.
Beberapa menit kemudian, Japp datang. Inspektur dari Seotland Yard itu gagah dan
bergaya seperti biasa. "Nah, Monsieur Poirot. Apa yang dapat saya bantu" Saya sangka hari ini Anda
sudah sampai di suatu pantai yang berbatu karang, atau di tempat lain.
"Japp yang baik, saya ingin tahu apakah Anda sudah pernah melihat orang ini."
Japp diajaknya masuk ke kamar tidurnya.
Inspektur itu menatap ke wajah orang yang terbaring di tempat tidur itu, dengan
air muka penuh tanda tanya.
"Coba saya ingat-ingat - rasanya saya kenal orang ini - dan biasanya saya boleh
bangga pada ingatan saya. Oh, Tuhan, ini kan Mayerling!"
"Dan - siapa pula - Mayerling itu?"
"Seseorang dari Dinas Rahasia - tapi bukan orang kami. Dia pergi ke Rusia lima
tahun yang lalu. Sejak itu tak pernah didengar lagi kabar beritanya. Selama ini
kami sangka orang-orang Bolsyewik di Rusia sudah membunuhnya."
"Semuanya cocok sekali, " kata Poirot setelah Japp pergi lagi,
"kecuali kenyataan bahwa dia telah meninggal secara wajar."
Poirot tetap berdiri menatap tubuh yang tak bergerak lagi itu dengan wajah
berkerut membayangkan rasa tak puasnya. Karena tiupan angin, tirai-tirai jendela
melambai ke luar, dan Poirot tiba-tiba mengangkat wajahnya.
"Apa kaubuka jendela-jendela setelah kaubaringkan dia di tempat tidur tadi,
Hastings?" "Tidak," sahutku. "Sepanjang ingatanku, semuanya tertutup. "
Poirot tiba-tiba mendongak.
"Tertutup - dan sekarang semuanya terbuka. Apa artinya itu.
"Ada seseorang yang masuk lewat jendela itu", kataku.
"Mungkin," Poirot membenarkan, tapi bicaranya linglung dan tanpa keyakinan.
Beberapa menit kemudian, dia berkata,
"Bukan itu yang sedang kupikirkan, Hastings. Seandainya hanya sebuah jendela
yang terbuka, aku tidak akan terlalu penasaran.
Karena keduanya terbuka maka kurasa aneh."
Dia bergegas pergi ke kamar yang sebuah lagi.
"Jendela ruang tamu terbuka juga. Padahal itu pun tertutup waktu kita
tinggalkan. Ah!" Dia membungkukkan tubuhnya ke laki-laki yang sudah meninggal itu, lalu memeriksa
sudut-sudut mulutnya dengan seksama.
Kemudian tiba-tiba-dia mengangkat mukanya.
"Mulutnya tadi disumbat, Hastings. Disumbat lalu diracuni.
"Astaga!" seruku, terkejut sekali. "Kurasa kita akan tahu semuanya, setelah
perneriksaan mayat nanti."
"Kita tidak akan menemukan apa-apa. Dia terbunuh karena telah menghirup racun
asam biru yang kuat. Racun itu ditekankan di hidungnya. Kemudian pembunuhnya
pergi lagi, setelah lebih dulu membuka semua jendela. Asam hidrosianat itu
sangat mudah menguap, tapi terkenal dengan baunya yang pahit seperti bau buah almond. Karena
tak ada bekas bau yang bisa menimbulkan dugaan orang, dan karena tak ada
kecurigaan adanya permainan kotor, maka para dokter pasti akan menyatakan bahwa
kematiannya adalah wajar. Jadi orang ini dulu bertugas pada Dinas Rahasia,
Hastings. Dan lima tahun yang lalu dia menghilang ke Rusia."
"Selama dua tahun yang terakhir ini, dia berada di Rumah Sakit jiwa di sini,"
kataku. "Tapi apa yang terjadi dalam tiga tahun sebelumnya?"
Poirot menggeleng, lalu tiba-tiba mencengkeram lenganku.
"Jam, Hastings, lihat jam itu."
Aku mengikuti arah pandangannya ke atas perapian. Jam itu berhenti pada pukul
empat. "Mon ami, pasti ada yang telah mengutik-utik jam itu. Jam itu sebenarnya masih
bisa berjalan tiga hari lagi. Itu kan jam yang harus diputar setiap delapan hari
sekali, mengerti kau?"
"Tapi, untuk apa mereka berbuat demikian" Apa maksudnya supaya orang menyangka
bahwa kejahatan itu seolah-olah terjadi jam empat?"
"Tidak, bukan begitu. Atur pikiranmu, mon ami. Gunakan sel-sel kecil kelabumu.
Andai kata kau Mayerling. Kau mungkin mendengar sesuatu - lalu kau tahu bahwa
ajalmu sudah tiba. Kau hanya punya waktu untuk meninggalkan tanda. jam empat,
Hastings. Nomor Empat, si Pemusnah. Ah! Alangkah cerdiknya!"
Dia berlari ke kamar yang sebelah lagi, lalu mengangkat gagang telepon. Dia
minta dihubungkan dengan Hanwell.
"Apakah di situ Rumah Sakit jiwa" Saya dengar hari ini ada yang melarikan diri,
apa benar" Apa" Tunggu sebentar. Dapatkah Anda ulangi" Ah! Tepat sekali."
Diletakkannya kembali gagang telepon, lalu dia berpaling padaku.
"Kaudengar pembicaraanku tadi" Sama sekali tidak ada orang yang melarikan diri."
"Tapi orang yang kemari tadi - petugas itu?" kataku.
"Aku pun ingin tahu - aku ingin sekali tahu."
"Maksudmu?" "Nomor Empat - si Pemusnah."
Aku memandangi Poirot tanpa bisa berkata apa-apa. Beberapa saat kemudian,
setelah mampu berbicara lagi, aku berkata,
"Kita akan mengenali orang itu lagi, di suatu tempat, itu pasti.
Orang itu punya kepribadian yang mudah dikenali."
"Begitukah, mon ami" Kurasa tidak. Orangnya tegap dan kelihatan dungu, wajahnya
merah, berkumis tebal, dan suaranya serak.
Sekarang pasti sifat-sifat itu tak ada lagi padanya, selanjutnya, matanya sulit
dilukiskan, telinganya sukar diuraikan, dan dia memakal gigi palsu yang
sempurna. Mengenali seseorang bukanlah hal yang semudah kaubayangkan. Lain kali
-" "Apakah kaupikir masih akan ada lain kali?" aku menyela.
Wajah Poirot menjadi amat bersungguh-sungguh.
"Ini akan merupakan pertarungan antara mati dan hidup, mon ami. Kau dan aku di
satu pihak, Empat Besar di pihak lain. Mereka telah menang dalam tipu muslihat
yang pertama ini; tapi mereka telah gagal menyingkirkan aku, dan dalam masa yang
akan datang mereka masih harus membuat perhitungan dengan Hercule Poirot!"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 3 KAMI MENDENGAR LAGI TENTANG LI CHANG YEN
SEHARI dua hari setelah kunjungan Petugas Rumah Sakit Jiwa gadungan itu,
kusangka dia akan kembali lagi, dan aku tak mau
meninggalkan flat barang sebentar pun juga. Sejauh penglibatanku, tak ada jalan
baginya untuk curiga bahwa kami telah membongkar penyamarannya. Kupikir, dia
mungkin kembali, dan mencoba mengambil mayat itu, tapi Poirot menyalahkan jalan
pikiranku itu. "Mon ami, " katanya, "kalau kau mau, boleh saja kau menunggu sam pai kucing
bertanduk, tapi, aku tidak akan mau membuang-buang waktu begitu."
"Kalau begitu, Poirot," bantahku, "untuk apa dia begitu berani menantang bahaya
untuk datang kembali" Bila dia berniat untuk datang lagi mengambil mayat itu,
aku masih mengerti tujuan kedatangannya itu. Sekurang-kurangnya dia harus
menghapuskan barang bukti yang akan memberatkan dirinya; tapi dalam keadaannya
sekarang, dia kelihatannya tidak mendapat keuntungan apa-apa."
Poirot mengangkat bahunya dengan caranya yang khas. "Tapi kau tidak meninjaunya
dari sudut Pandangan Nomor Empat, Hastings, katanya. "Kau berbicara tentang
barang bukti, lalu apa barang bukti kita yang memberatkan dia" Benar, memang ada
mayat itu, tapi kita bahkan tak punya bukti bahwa laki-laki itu mati terbunuh -
racun asam biru itu bila dihirup, tidak meninggalkan bekas apa-apa. Lagi pula,
kita tak bisa menemukan seorang pun yang melihat seseorang memasuki flat ini
sepeninggal kita, dan kita sama sekali tak tahu apa-apa tentang kegiatan-
kegiatan teman kita almarhum Mayerling ini.
"Tidak, Hastings, Nomor Empat tidak meninggalkan bekas apa-apa, dan dia tahu
itu. Kunjungannya itu boleh kita sebutkan suatu usaha pengintaian. Mungkin dia
ingin meyakinkan diri bahwa Mayerling sudah meninggal. Tapi kurasa, lebih besar
kemungkinannya, bahwa dia datang untuk menemui Hercule Poirot, dan sekadar
bercakap-cakap dengan lawannya, satu-satunya orang yang harus ditakutinya."
Dalam jalan pikiran Poirot it.u, kelihatan benar sifatnya yang suka memuji diri,
tapi aku menahan diri tidak membantah.
"Lalu bagaimana dengan pemeriksaan polisi nanti?" tanyaku.
"Kurasa kau akan harus menjelaskan beberapa hal di sana. Apakah kau akan
memberikan keterangan yang jelas tentang Nomor Empat?"
"Apa gunanya" Apa kita akan bisa mempengaruhi dewan
pemeriksa mayat yang terdiri dari orang-orang Inggris itu" Apakah gambaran kita
tentang Nomor Empat itu akan ada faedahnya" Tidak, akan kita biarkan saja mereka
menyebutnya 'kematian yang tak disengaia', dan mungkin, meskipun aku tidak
begitu yakin, pembunuh kita yang pintar itu akan menepuk dada, bahwa dia telah
berhasil mengecoh Hercule Poirot dalam ronde pertama ini."
Sebagaimana biasanya, Poirot memang benar. Kami tak lagi melihat laki-laki dari
Rumah Sakit Jiwa itu. Pemeriksaan polisinya pun tidak pula mendapat perhatian
masyarakat. Aku ikut memberikan kesaksian, sedang Poirot hadir saja tak mau.
Dengan adanya rencana keberangkatan ke Amerika Selatan, Poirot telah membatalkan
semua urusannya sebelum aku datang. Oleh karena itu, pada saat ini tak ada
perkara yang harus diselesaikannya.
Namun, meskipun dia banyak menghabiskan waktunya di flat, jarang sekali aku bisa
bertemu dengan dia. Dia duduk saja membenamkan dirinya di kursinya, dan tak
memberikan kesempatan untuk bercakap-cakap.
Lalu pada suatu pagi, kira-kira seminggu setelah pembunuhan itu, ia bertanya
apakah aku mau ikut pergi mengunjungi seseorang. Aku senang, karena kurasa dia
keliru kalau mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan seorang diri saja, dan
aku ingin membicarakan perkara itu dengan dia. Tetapi ternyata masih saja ia
sulit diajak bicara. Bahkan waktu kutanya ke mana kami akan pergi pun, dia tak
mau menjawab. Poirot memang suka bersikap misterius. Dia tak akan memberikan keterangan
sebelum saat terakhir tiba. Sekarang ini, setelah kami naik bis, kemudian dua
kali naik kereta api, dan tiba di suatu daerah pinggiran sebelah selatan kota
London yang paling menyedihkan keadaannya, barulah dia mau menjelaskan
persoalannya. "Kita ini, Hastings, akan menemui satu-satunya orang di Inggris yang paling tahu
tentang kehidupan Cina bawah tanah.
"Begitukah" Siapa dia?"
"Orang itu tak pernah kaudengar namanya. John Ingles.
Sebenarnya dia pensiunan pegawai negeri. Kecerdasannya lumayan, rumahnya penuh
dengan barang-barang berharga dari Cina. Teman-teman dan handai taulannya sering
dibuat bosan oleh keterangan-keterangannya tentang barang-barang itu. Meskipun
demikian, aku benar-benar yakin John Ingles inilah satu-satunya orang yang bisa
memberikan keterangan yang kucari."
Beberapa saat kemudian, kami menaiki tangga 'The Laurels', nama rumah kediaman
Tuan Ingles itu. Biasanya rumah di pinggiran kota disebut menurut ciri khasnya
atau tanaman, apa yang banyak tumbuh di situ. Namun di rumah itu tak kelihatan
tanaman laurel. Seorang pelayan Cina berwajah hampa membukakan kami pintu, lalu kami diantarnya
menghadap majikannya. Tuan Ingles bertubuh segi empat, air mukanya agak kuning,
matanya cekung dan membayangkan wataknya. Dia bangkit menyambut kedatangan kami,
setelah menyisihkan sepucuk surat yang sedang dipegangnya.
Setelah berbasa-basi, dia menyinggung tentang surat itu.
"Silakan duduk. Halsey mengatakan bahwa Anda memerlukan informasi, dan bahwa
saya mungkin bisa membantu Anda."
"Memang benar, Monsieur. Saya ingin bertanya apakah Anda tahu tentang seseorang
yang namanya Li Chang Yen?"
"Aneh - aneh sekali. Bagaimana Anda sampai tahu tentang orang itu?"
"Jadi Anda kenal rupanya?"
"Saya pernah bertemu dia satu kali. Dan saya tahu sedikit tentang dia - meskipun
tidak sebanyak yang saya ingini. Namun saya heran ada orang lain di Inggris ini,
yang juga pernah mendengar tentang dia. Dia orang besar dalam bidangnya - dia
orang dari golongan Mandarin - tapi itu bukan inti persoalannya. Orang punya cukup alasan untuk
menduga bahwa dialah orang di balik segalanya."
"Di balik apa?"
"Di balik segala-galanya. Keresahan di seluruh dunia, masalah perburuhan yang
melanda semua bangsa, dan revolusi yang pecah di beberapa negara. Ada orang-
orang, dan mereka bukan sekadar menakuti-nakuti, yang tahu benar apa yang mereka
bicarakan. Mereka ini berkata bahwa ada kekuatan di balik tabir, yang tujuannya tak kurang
dari menghancurkan peradaban. Perlu Anda ketahui, di Rusia ada tanda-tanda bahwa
Lenin dan Trotsky itu cuma sekadar boneka. Setiap tindak tanduknya didikte oleh
otak orang lain. Saya tak punya bukti untuk memastikannya pada Anda, tapi saya
yakin otak itu pastilah Li Chang Yen."
"Ah, mana bisa," bantahku, "apakah itu tidak terlalu dicari-carl"
Bagaimana mungkin seorang Cina bisa berkuasa di Rusia?"
Poirot memandangku dengan kesal sambil mengerutkan dahinya.
"Bagimu, Hastings," katanya, "semuanya memang terlalu dicari-cari, bila itu
bukan hasil khayalanmu sendiri. Aku sendiri sependapat dengan Tuan Ingles. Saya
mohon Anda mau melanjutkan keterangan Anda, Monsieur."
"Apa sebenarnya tujuan akhirnya, saya tak yakin," Tuan Ingles melanjutkan. "Tapi
penyakit yang dideritanya memang penyakit yang telah menyerang otak orang-orang
besar, mulai dari Akbar, Alexander, Sampai Napoleon - yaitu nafsu pada kekuasaan
dan keunggulan pribadi. Sampai zaman modern ini, Angkatan Bersenjata selalu
dianggap penting untuk mencapai kemenangan. Tapi di abad penuh keresahan ini,
orang seperti Li Chang Yen itu bisa menggunakan alat-alat lain. Saya punya bukti
bahwa dia ditunjang oleh keuangan yang amat besar, untuk suap-menyuap dan untuk
propaganda. Dan ada pula tanda-tanda bahwa dia memegang kendali dalam kekuatan
ilmu pengetahuan. Kekuasaannya lebih besar daripada yang dapat dibayangkan siapa
pun juga di muka bumi ini."
Poirot mengikuti kata-kata Tuan Ingles itu dengan perhatian yang besar sekali.
"Dan di Cina?"- tanyanya. "Apakah dia bergerak di sana juga?"
Lawan bicaranya mengangguk membenarkan.
"Juga di sana," katanya, "meskipun saya tak bisa memberikan bukti yang bisa
berlaku di pengadilan, saya bicara berdasarkan pengetahuan saya sendiri akan hal
itu. Saya kenal secara pribadi, setiap orang yang berperan di Cina sekarang ini,
dan saya bisa berkata: orang-orang yang paling tampak menonjol di mata
masyarakat, adalah orang-orang yang sebenarnya tidak
berkepribadian. Mereka itu hanya seperti boneka gantung, menari menurut tarikan
tangan seseorang yang berkuasa, dan tangan itu adalah tangan Li Chang Yen.
Dialah otak yang mengendalikan negara-negara Timur masa kini. Kita memang tak
bisa memahami negara-negara Timur - tidak akan pernah, tapi Li Chang Yen-lah
semangat penggeraknya. Bukan karena dia tampil di muka umum -
sama sekali tidak; dia tak pernah meninggalkan istananya di Peking.
Tapi dia yang memegang kendali penggerak ya, memegang kendali penggerak - dan
kejadian-kejadiannya timbul di tempat-tempat yang jauh."
"Dan tak ada seorang pun yang melawan?" tanya Poirot.
Tuan Ingles mencondongkan tubuhnya ke depan di kursinya.
"Empat orang telah mencoba dalam empat tahun terakhir ini,"
katanya lambat-lambat, "orang-orang yang punya kepribadian, kejujuran, dan otak
yang cemerlang. Dan mereka masing-masing sebenarnya bisa menggagalkan rencana-
rencana orang Cina itu. Dia berhenti. "Lalu?" tanyaku.
"Yah, mereka semuanya tewas. Seorang di antaranya menulis suatu artikel, dan
menyebutkan nama LI Chang Yen dalam hubungan dengan kekacauan-kekacauan di
Peking, dan hanya dalam jangka waktu dua hari, dia ditikam orang di jalan.
Pembunuhnya tak pernah tertangkap. Tuduhan-tuduhan dari kedua orang yang lain, sama juga.
Dalam pidatonya, atau dalam artikel tulisannya, atau dalam pembicaraannya,
mereka masing-masing mengaitkan nama Li Chang Yen dengan kekacauan atau
revolusi, dan dafam waktu satu minggu setelah perbuatan mereka yang ceroboh itu,
mereka meninggal berturut-turut. Seorang di antaranya diracuni, yang seorang
lagi meninggal karena kolera, kasus tersendiri - bukan bagian dari suatu wabah,
sedang seorang lagi kedapatan meninggal di tempat tidurnya.
Penyebab kematian yang terakhir ini tak pernah terungkapkan, tetapi seorang
dokter yang memeriksa mayatnya mengatakan pada saya, bahwa mayat itu hangus dan
keriput, seolah-olah telah disengat aliran listrik berkekuatan besar sekali."
"Lalu Li Chang Yen?" tanya Poirot. "Pasti tak ada petunjuk-petunjuk yang menuju
ke arah dirinya, tapi apakah tak ada tanda-tanda?"
Tuan Ingles mengangkat bahunya.
"Ah, tanda-tanda - itu pasti ada. Dan pada suatu kali saya menemukan seseorang
yang mau berbicara, orang muda ahli kimia Cina yang pernah menjadi anak asuh Li
Chang Yen. Pada suatu hari, ahli kimia itu datang pada saya, dan saya bisa
melihat bahwa dia sudah hampir mengalami kelumpuhan jiwa hebat.
Diisyaratkannya pada saya mengenal percobaan-percobaan yang harus dilakukannya
di istana Li Chang Yen, di bawah petunjuk-petunjuk penguasa itu - percobaan-
percobaan yang dikenakan pada kuli-kuli yang tidak mempertimbangkan
perikemanusiaan dan penderitaan. Jiwa anak muda itu benar-benar guncang, dan dia
dalam ketakutan yang amat sangat. Saya baringkan dia di tempat tidur yang
terdapat di kamar teratas rumah saya, dengan maksud menanyainya esok harinya -
dan tentu saja, itu bodoh betul."
"Bagaimana mereka sampai bisa menemukannya?" tanya Poirot ingin tahu.
"Saya tidak akan pernah tahu. Malam itu saya terbangun, dan mendapatkan rumah
saya terbakar. Saya masih beruntung, masih bisa menyelamatkan diri. Hasil
penyelidikan menun)ukkan, bahwa di
lantai teratas itu telah terjadi kebakaran yang teramat hebat. Mayat ahli kimia
muda ini ditemukan dalam keadaan hangus sampai menjadi arang."
Dari kesungguhan caranya berbicara itu, aku bisa melihat bahwa Tuan Ingles
adalah orang yang asyik dalam bercerita. Agaknya dia pun menyadari bahwa dia
telah terlalu terbawa dalam kisahnya sendiri, karenanya dia tertawa malu.
"Yah, tentulah," katanya. "saya tak punya bukti, dan Anda, seperti juga orang-
orang lain akan berkata bahwa otak saya sudah miring."
"Ah, sebaliknya," kata Poirot dengan tenang, "kami percaya sepenuhnya pada
cerita Anda. Kami sendiri pun amat tertarik pada Li Chang Yen itu."
"Aneh sekali Anda tahu tentang dia. Tak pernah saya bayangkan bahwa ada seorang
pun di Inggris ini yang pernah mendengar nama itu. Saya ingin tahu, bagaimana
Anda sampai mendengar dia - bila itu tidak terlalu bersifat pribadi."
"Sama sekali tidak, Monsieur. Ada orang melarikan diri ke tempat tinggal saya.
Dia amat menderita karena shock, tapi dia berhasil bercerita cukup banyak kepada
kami, hingga menimbulkan rasa ingin tahu kami tentang Li Chang Yen itu. Dia
melukiskan tentang empat orang - Empat Besar - suatu organisasi yang selama ini
belum pernah diimpikan orang. Nomor Satu adalah Li Chang Yen, Nomor Dua seorang
Amerika yang tak dikenal, Nomor Tiga, sorang wanita Prancis yang tak dikenal,
Nomor Empat boleh disebut pelaksana dari organisasi itu si Pemusnah. Orang yang
memberikan keterangan pada kami itu meninggal. Monsieur, apakah Anda mengenal
nama Empat Besar itu?" '
"Tidak dalam hubungan Li Chang Yen. Tidak, saya rasa tak ada hubungannya. Tapi
saya sudah pernah mendengar atau membacanya akhir-akhir ini - dan dalam hubungan
yang tak biasa pula. Nah, saya ingat."
Dia bangkit menghampiri sebuah lemani pernis kecil - perabot yang cantik sekali
sampai aku pun kagum. Dia kembali dengan membawa sepucuk surat.
"Ini dia. Sepucuk surat singkat dari seorang pelaut tua. Saya dulu bertemu dia
di Shanghal. Dia manusia tak beres yang sudah berubah
- saya rasa dia sekarang sudah tak sadar lagi karena banyaknya minum. Waktu itu
surat ini saya anggap sebagai igauannya gara-gara mabuk alkohol."
Surat itu dibacakannya nyaring:
"Dengan hormat - Anda mungkin tak ingat saya, tapi Anda pernah membantu saya di
Shanghai. Tolonglah saya sekali lagi. Saya memerlukan uang untuk keluar dari
negeri ini. Saya memang cukup aman di persembunyian saya sekarang, itulah yang
saya harapkan, tetapi saya takut suatu hari kelak, mereka akan bisa juga
menemukan saya. Maksud saya Empat Besar. Ini persoalan hidup dan mati. Saya
punya banyak uang, tetapi saya tak berani mengambilnya, karena takut ketahuan
mereka. Tolong kirimi saya beberapa ratus dalam bentuk uang kertas. Saya pasti
akan membayarnya kembali - saya berani bersumpah.
Hormat saya, Jonathan Whalley Surat ini beralamat di Granite Bungalow, Hoppaton, Dartmoor.
Tadinya saya pikir itu cara yang kasar untuk mendapatkan uang beberapa ratus
dari saya, padahal saya sendiri amat
membutuhkannya. Mungkin itu ada gunanya bagi Anda-" Surat itu diserahkannya pada
Poirot. "Terima kasih banyak, Monsieur. Saya akan berangkat ke Hoppaton saat ini juga."
"Waduh, ini menarik sekali. Bagaimana kalau saya ikut" Anda keberatan?"
"Saya akan senang sekali kalau Anda ikut, tapi kita harus berangkat segera.
Soalnya, hampir tengah malam nanti kita baru akan sampai di Dartmoor."
John Ingles membuat kami menunggu tak lebih dari beberapa menit. Tak lama kami
pun sudah berada di kereta api yang berangkat dari Paddington menuju ke daerah
barat. Hoppaton adalah sebuah desa kecil yang terkurung dalam sebuah cekungan,
tepat di tepi padang. Desa itu jauhnya tiga belas kiliometer dari
Moretonhamstead dengan mobil. Kami tiba kira-kira pukul delapan malam; tapi
karena waktu itu bulan Juli, matahari masih terang.
Mobil kami memasuki jalan sempit desa itu, lalu berhenti untuk menanyakan jalan
pada seorang desa tua. "Granite Bungalowy," kata orang tua itu dengan merenung,
"benar-benar Granite Bungalow yang Anda cari" Ya?"
Kami membenarkan bahwa memang tempat itulah yang kami
tanyakan. Orang tua itu menunjuk ke sebuah pondok kecil berwarna abu-abu di ujung jalan.
"Itu bungalownya. Apa Anda ingin ketemu Bapak Inspektur?"
"Inspektur apa?" tanya Poirot tajam. "Apa maksud Bapak?" '
"Jadi Anda belum dengar pembunuhan itu"
"Mengejutkan sekali rupanya. Kata orang, banyak sekali darahnya.
"Mon Dieu!" gumam Poirot, "Aku harus segera bertemu dengan inspektur itu."
Lima menit kemudian kami bertemu dengan inspektur Meadows.
Mula-mula inspektur itu bersikap kaku, tetapi begitu mendengar nama ajaib
Inspektur Japp dari Seotland Yard, dia ramah-tamah.
"Benar, Tuan, terbunuh pagi ini. Kejadian yang sangat
mengejutkan. Orang menelepon saya di Moreton, dan saya segera datang.
Kelihatannya misterius sekali. Orang tua itu - kata orang sudah berumur tujuh
puluh tahun, gemar minum-minum - dia
kedapatan terbaring di lantai ruang tamunya. Di kepalanya ada memar, sedang
lehernya tersembelih dari telinga ke telinga. Tentu saja darah berceceran di
mana-mana. Wanita yang menjadi tukang masaknya, Betsy Andreas,
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan pada kami bahwa majikannya memiliki beberapa buah barang kecil dari
batu giok Cina. Majikannya pernah bercerita bahwa barang-barang itu sangat
mahal, dan barang-barang itu lenyap.
Dengan demikian tentunya jadi kelihatan seperti pembunuhan dan perampokan; tapi
banyak sekali masalah kalau pemecahannya itu.
Orang tua itu ditemani dua orang di rumah itu; Besty Andreas yang wanita
Hoppaton asli, dan seorang pelayan laki-laki yang kasar, Robert Grant. Grant
sedang pergi ke tempat pemeliharaan sapi untuk membeli susu. Hal itu
dilakukannya setiap hari, sedang Betsy sedang keluar untuk ngobrol dengan
tetangga. Hanya dua puluh menit dia meninggalkan rumah itu - antara jam sepuluh
dan setengah sebelas - dan kejahatan itu pasti dilakukan dalam jangka waktu itulah. Grant yang mula-
mula kembali ke rumah. Dia masuk lewat pintu belakang yang terbuka. Di daerah
ini tak ada orang yang mengunci pintu tengah hari bolong. Lalu dia memasukkan
susu itu ke dalam lemari makanan, lalu masuk ke dalam karnarnya send,iri untuk
membaca surat kabar dan merokok. Dia tak tahu sesuatu yang luar biasa telah
terjadi - begitulah katanya. Lalu Betsy masuk, dia masuk ke ruang tamu dan
melihat apa yang telah terjadi. Dia berteriak sekuat-kuatnya. Itu dapat
dimengerti. Ada orang yang masuk sementara kedua orang itu keluar, dan membunuh
orang tua malang itu. Tapi saya segera mendapatkan kesan, dia pasti pembunuh
berdarah dingin. Setelah melakukan perbuatan itu, dia harus segera keluar lagi
ke jalan desa, atau merangkak melalui pekarangan-pekarangan belakang orang lain.
Seperti Anda lihat, Granite Bungalow dikelilingi rumah-rumah lain. Jadi
bagaimana sampai bisa tak seorang pun melihatnya?"
Inspektur itu berhenti berbicara dengan rasa puas.
"Oh, saya paham apa yang Anda maksud," kata Poirot
selanjutnya. "Yah, Tuan, ini tak beres, saya katakan pada diri saya sendiri - ada yang tak
beres. Dan saya pun mulai melihat ke sekeliling saya.
Kemudian barang-barang batu giok itu. Apa gelandangan biasa bisa menduga bahwa
barang-barang itu berharga" Bagaimanapun juga, orang gila yang mau melakukan
perbuatan semacam itu di tengah hari bolong. Bagaimana kalau orang tua itu
berteriak minta tolong?"
"Saya rasa, Inspektur," sela Tuan Ingles, "memar di kepalanya itu akibat pukulan
sebelum dia meninggal."
"Memang benar, Tuan. Mula-mula pembunuh itu memukulnya sampai pingsan, lalu
menyembelih lehernya. Itu sudah jelas. Tapi bagaimana caranya dia datang dan
pergi" Orang-orang di tempat sekecil ini mudah saja mengenali orang-orang asing.
Saya segera menyimpulkan - tak ada seorang pun yang datang. Saya sudah melihat-
lihat berkeliling. Semalam sebelumnya, hujan turun, dan jelas kelihatan bekas-
bekas telapak kaki yang masuk dan keluar dari dapur. Dalam ruang tamu hanya ada
bekas telapak kaki dua orang saja (bekas telapak kaki Betsy Andrew cuma sampai
di pintu) - dan bekas telapak kaki Tuan Whalley sendiri (dia memakai sandal
kamar), lalu ada bekas telapak kaki seorang lagi. Orang lain itu langsung
menginjak genangan darah itu. Saya telusuri jejak kaki berdarah itu -
maafkan kalau kata-kata saya terlalu kasar, Tuan."
"Tidak apa-apa," kata Ingles dengan tersenyum kecil. "Kami bisa mengertl."
"Saya ikuti sampai ke dapur - tidak lebih jauh. Itu pokok nomor satu. Pada
jenang pintu kamar Robert Grant ada olesan tipis - olesan darah. Itu pokok nomor
dua. Pokok yang nomor tiga, waktu saya mendapatkan sepatu bot Grant - yang sudah
ditanggalkannya - dan mengukurnya pada bekas-bekas telapak tadi. Itulah yang
memberikan kepastian. Ini rupanya merupakan perbuatan orang dalam. Saya ambil
Grant lalu saya tahan dia; dan apa yang saya temukan tersembunyl dalam saku
mantelnya" Barang-barang kecil dari batu giok itu, dan surat pembebasan dari
penjara. Robert Grant itu tak lain dari Abraham Biggs, yang pernah dipenjarakan
karena kejahatan besar dan merampok rumah orang lima tahun yang lalu."
Inspektur itu berhenti lagi, dengan sikap penuh kemenangan.
"Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu, Tuan-tuan?"
"Saya rasa," kata Poirot, "perkaranya kelihatannya sudah-jelas -
bahkan demiklan jelasnya, hingga mengherankan. Si Biggs, atau Grant itu, pasti
orang yang bodoh sekali dan tidak berpendidikan, bukan?"
"Oh, ya, memang begitu - dia laki-laki biasa yang kasar. Dia tak mengerti apa
artinya bekas jejak kaki. "
"Jelas dia tak pernah membaca cerita-cerita detektif! Nah, Inspektur, selamat
untuk Anda. Kami boleh melihat tempat kejadiannya, bukan?"
"Saya sendiri yang akan mengantar Anda ke sana sekarang juga.
Saya ingin Anda melihat bekas-bekas telapak kaki itu."
"Saya juga ingin melihatnya. Ya, benar-benar menarik , benar-benar cerdik."
Kami pun berangkat. Tuan Ingles dan Inspektur berjalan di depan.
Aku menarik Poirot ke belakang sedikit, supaya bisa berbicara dengan dia tanpa
didengar inspektur itu. "Bagaimana sebenarnya pendapatmu, Poirot" Apakah sebenarnya tidak semudah yang
terlihat?" "Justru itulah soalnya, mon ami. Whalley mengatakan dengan jelas dalam suratnya,
bahwa Empat Besar sedang mengejar-ngejarnya, dan kita sama-sama tahu bahwa Empat
Besar itu bukan orang-orang bodoh. Namun kelihatannya semuanya menunjukkan,
bahwa si Grant itulah yang telah melakukan keiahatan itu. Mengapa dia berbuat
begitu" Apakah untuk mendapatkan barang-barang kecil dari batu giok itu" Atau
apakah dia kaki-tangan Empat Besar" Kuakui bahwa menurut aku, yang terakhir itu
lebih mungkin. Berapa besar nilai batu giok itu, seseorang dari golongan seperti
dia tidak akan mungkin menyadarinya - pokoknya, tidak sampai perlu membunuh
orang untuk mendapatkannya. (Seharusnya itu dipikirkan juga oleh inspektur itu.)
Grant bisa saja mencuri barang-barang dari batu giok
itu, lalu membawanya lari, tanpa perlu membunuh dengan begitu kelam. Ah, aku
kuatir inspektur kita dari Devonshire itu tidak mempergunakan sel-sel kecil
kelabunya. Dia hanya mengukur bekas-bekas telapak kaki, dia tidak merenunginya,
dan tidak menyusun pikiran-pikirannya dengan teratur dan bermetode.
Bab 4 PENTINGNYA DAGING PAHA KAMBING INSPEKTUR mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka
Granite Bungalow. Hari itu cerah dan kering, jadi kaki kami pasti tidak
meninggalkan bekas; namun demikian, kami mengesetkan sepatu kami bersih-bersih
di keset, sebelum kami masuk. Seorang wanita muncul dari keremangan rumah itu,
dan berbicara dengan Inspektur, lalu inspektur itu berbelok ke arah lain. Sambil
menoleh pada kami dia berkata,
"Silakan melihat-lihat berkeliling, Tuan Poirot. Lihatlah apa yang perlu
dilihat. Kira-kira sepuluh menit lagi saya kembali. Ngomong-ngomong, ini sepatu
bot si Grant. Saya bawa serta, supya dapat Anda bandingkan."
Kami masuk ke ruang tamu. Bunyi jejak kaki Inspektur menghilang di luar. Ingles
segera tertarik pada beberapa barang berharga dari Cina, di atas sebuah meja di
sudut, lalu segera menghampiri untuk memeriksanya. Kelihatannya dia sama sekali
tidak menaruh perhatian pada tindak tanduk Poirot. Sebaliknya, aku sendiri
memperhatikan sahabatku itu dengan penuh perhatian. Lantai rumah itu dialasi
karpet hijau tua, yang mudah sekali memperlihatkan bekas-bekas-telapak kaki. Ada
sebuah pintu di ujung sana, menuju ke dapur kecil.
Di dapur ada pintu ke gudang makanan (pintu belakangnya ada di sana), dan sebuah
lagi pintu ke kamar tidur yang tadinya ditempati Robert Grant. Setelah meneliti
seluruh rumah, Poirot bergumam sendiri memberikan komentarnya.
"Di sinilah mayatnya terletak; bekas yang hitam besar ini dan bercak di
sekelilingnya itu tandanya. Ada bekas-bekas sandal kamar dan sepatu bot 'nomor
sembilan', tapi semuanya membingungkan sekali. Lalu ada pula bekas telapak kaki
dua orang yang menuju ke dan dari dapur; siapa pun pembunuhnya, dia pasti masuk
melalui jalan itu. Sepatu bot ada padamu, Hastings" Coba berikan padaku."
Dibandingkannya dengan cermat, sepatu bot itu dengan bekas-bekas telapak itu.
"Benar, keduanya memang bekas telapak kaki orang yang sama, yaitu Robert Grant.
Dia masuk dari situ, membunuh orang tua itu, lalu kembali ke dapur. Dia
menginjak darah itu, kaulihatkah bekas-bekas yang ditinggalkannya waktu dia
keluar" Di dalam dapur tak ada apa-apa yang bisa dilihat - seisi desa sudah
berjalan di tempat itu. Dia masuk ke kamarnya sendiri - tidak, sebelum itu dia
kembali lagi ke tempat kejadian - apakah untuk mengambil benda-benda kecil dari
batu giok itu" Atau ada sesuatu yang bisa jadi barang bukti yang memberatkan
ketinggalan di situ?"
"Mungkin dia membunuh orang tua itu setelah dia masuk untuk kedua kalinya?"
kataku. "Tentu saja tidak, kau tidak memperhatikan. Pada salah satu bekas kaki yang
berbekas darah, ada yang terinjak oleh bekas yang menuju ke arah sebaliknya. Aku
ingin tahu untuk apa dia kembali -
benda-benda kecil dari batu giok itukah yang teringat kemudian"
Semuanya tak masuk akal dan tolol."
"Yah, dia telah membuat dirinya tertangkap bulat- bulat."
"Hastings, bukankah sudah kukatakan padamu bahwa semua ini tak masuk akal"
Semuanya itu menyalahi sel-sel kecil kelabuku. Mari kita masuk ke kamar tidur
Grant - oh ya, ini dia darah yang teroles di jenang pintu dan suatu bekas
telapak kaki - yang berbekas darah.
Bekas telapak kaki Robert Grant - bekas telapak kaki dia pula yang terdapat di
dekat mayat - Robert Grant-lah satu-satunya orang yang berada di sekitar rumah
ini. Ya, pasti demikian."
"Bagaimana dengan wanita tua itu?" kataku tiba-tiba. "Dia ada di dalam rumah
seorang diri, setelah Grant pergi membeli susu.
Mungkin saja dia yang membunuhnya, lalu pergi ke luar. Kakinya tidak akan
meninggalkan bekas, kalau dia belum keluar rumah.
"Bagus sekali, Hastings. Aku tadi ingin tahu, apakah kau tidak akan mendapatkan
hipotesa itu. Hal itu sudah terpikir olehku tadi, tapi aku menolaknya. Betsy
Andrews itu orang sini, dia dikenal oleh orang-orang di sini. Tak mungkin dia
punya hubungan dengan Empat Besar, dan di samping Itu, Pak Tua Whalley bertubuh
besar. Jadi jelas ini kerja laki-laki bukan kerja seorang wanita."
"Apa tak mungkin Empat Besar mempunyai alat seram yang tersembunyi di atap -
alat yang bisa turun secara otomatis, menyembelih leher orang tua itu, dan
kemudian ditarik ke atas kembali?"
"Seperti tangga Jacob" Aku tahu, Hastings, daya khayalmu memang hebat sekali -
tapi kumohon supaya kau mau membatasinya sampai batas-batas tertentu."
Aku mengalah kemalu-maluan. Poirot berjalan berkekiling terus, memasuki, kamar-
kamar dan menjenguk lemari-lemari, dengan wajah yang benar-benar membayangkan
rasa kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan terkejut, suaranya mirip benar
dengan suara anjing Pomerania. Aku bergegas mendatanginya. Dia sedang berdiri di
depan lemari makan dengan sikap dramatis. Dia mengayun-ayunkan sepotong daging
paha kambing dengan tangannya!
"Poirot yang baik!" teriakku. "Ada apa" Apakah kau gila tiba-tiba?"
"Coba kauperhatikan daging kambing im. Perhatikan dengan teliti!"
Kuperhatikan daging itu seteliti mungkin, tapi tak bisa melihat suatu pun yang
luar biasa. Dalam penglihatanku, benda itu tak lebih dari paha kambing yang
biasa sekali. Hal itu kukatakan padanya.
Poirot melihat padaku dengan pandangan hambar.
"Tapi tidakkah kaulihat ini dan ini - dan ini."
Setiap kali mengucapkan kata , "ini", dipukulnya persendian yang tak bersalah
itu, sehingga kepingan-kepingan es kecil-kecil berjatuhan.
Poirot baru saja mengatakan aku suka berkhayal, tapi sekarang aku merasa bahwa
dia jauh lebih gila-gilaan berkhayal daripada aku.
Apakah dia benar-benar berpikir bahwa kepingan-kepingan es kecil itu merupakan
kristal-kristal racun maut" Hanya kesimpulan itulah yang dapat kauambil dari
sikapnya yang kacau luar biasa.
"Itu daging beku, " aku menjelaskan dengan halus. "Kau tentu tahu bahwa itu
daging impor dari Selandia baru. "
Dia menatapku beberapa saat, lalu pecah ketawa anehnya.
"Sungguh luar biasa sahabatku Hastings ini! Dia tahu segala - tapi tak tahu apa-
apa! Disebut orang apa, keadaan yang begitu itu -
'sumber informasi hidup'. Ya, itulah kau, Sahabatku Hastings. "
Daging paha kambing itu dilemparkannya kembali ke piringnya.
Lalu ditinggalkannya lemari makan itu. Kemudian dia melihat ke luar jendela.
"Ini dia sahabat kita, Inspektur, datang. Baiklah. Aku sudah melihat semua yang
ingin kulihat. "Dia mengetuk-ngetuk daun meja dengan linglung, seakan-akan
sedang tenggelam dalam suatu kalkulasi, lalu tiba-tiba bertanya, "Hari apa hari
ini, mon ami?" "Hari Senin," kataku dengan agak terkejut. "Apa - "
"Oh! Hari Senin, ya" Hari yang tak baik dalam seminggu. Keliru sekali orang
kalau membunuh pada hari Senin."
Sambil berjalan kembali ke ruang tamu, dia mengetuk-ngetuk kaca dinding yang
kami lewati, dan melihat sekilas ke termometer.
"Letaknya baik, dan sekarang suhu dua puluh satu derajat Celdus.
Suatu hari musim panas yang biasa di Inggris.
Ingles masih saja asylk mengamat-amati beberapa macam barang keramik Cina.
"Anda tak banyak menaruh perhatian pada pemeriksaan perkara ini, bukan,
Monsieur?" kata Poirot.
Yang ditanya tersenyum kecil.
"Anda kan tahu bahwa itu bukan pekerjaan saya. Saya seorang ahli dalam hal-hal
tertentu, tapi bukan tentang ini. Jadi saya berdiri di belakang saja dan
menyingkir. Di Timur, saya sudah belajar untuk bersabar."
Inspektur masuk tergesa-gesa, sambil meminta maaf karena pergi begitu lama. Dia
berkeras untuk mengajak kami mengelilingi rumah dan sekitarnya lagi, dan setelah
itu barulah akhirnya kami pergi.
"Saya menjunjung tinggi kebaikan hati Anda, Inspektur," kata Poirot ketika kami
berjalan melewati jalan desa itu lagi. "Masih ada satu lagi permintaan yang
ingin saya ajukan pada Anda."
"Ingin melihat mayatnya, Tuan?"
"Wah, tidak! Saya sama sekali tidak menaruh perhatian pada mayat itu. Saya ingin
menemui Robert Grant. "
"Kalau begitu, Tuan harus ikut saya kembali ke Moreton, untuk menjumpainya."
"Baiklah, saya akan ikut. Tapi saya harus bertemu dia dan berbicara berduaan."
Inspektur mengelus bibir atasnya.
"Wah, saya tak tahu apa itu bisa, Tuan."
"Yakiniah, bila Anda bisa menghubungi Seotland Yard, pasti Anda akan diberi hak
penuh untuk memberi izin. "
"Memang saya sudah sering mendengar tentang Tuan dan saya tahu bahwa Tuan sudah
beberapa kali membantu kami. Tapi permintaan itu melanggar peraturan. "
"Tapi ini perlu sekali," kata Poirot dengan tenang. "Hal ini perlu sekali,
karena - Grant bukanlah pembunuhnya.
"Apa" Jadi siapa pembunuhnya?"
"Menurut saya, pembunuhnya adalah seseorang yang agak muda.
Dia datang ke Granite Bungalow naik kereta kuda beroda dua, yang ditinggalkannya
di luar. Dia masuk, melakukan pembunuhan itu, keluar lagi dan pergi lagi. Dia
tidak bertopi, dan pakaiannya kena darah sedikit. "
"Tapi - kalau begitu, seluruh desa tentu sudah melihatnya!"
"Dalam keadaan tertentu, tidak."
"Kalau gelap, mungkin tidak, tapi kejahatan itu dilakukan pada siang bolong."
Poirot hanya tersenyum. "Mengenal kereta berkuda itu, Tuan - bagaimana Anda bisa memelaskan tentang itu"
Banyak kendaraan beroda yang lewat di luar. Tak ada satu pun di antaranya yang
istimewa kelihatannya."
"Dengan mata fisik mungkin memang tidak, tapi dengan mata pikiran, itu bisa
dilihat." Inspektur itu terang-terangan menyentuh dahinya sambil menyeringai padaku. Aku
benar-benar kebingungan, tetapi aku menaruh kepercayaan pada Poirot. Percakapan
diakhiri, kami kembali ke Moreton bersama Inspektur. Poirot dan aku diantarkan
ke tempat Grant, tetapi seorang agen polisi harus hadir selama pertemuan tanya-
jawab itu. Poirot langsung ke persoalan.
"Grant, saya tahu kau tak bersalah dalam kejahatan ini. Ceritakan pada saya
dengan kata-katamu sendiri, apa sebenarnya yang telah terjadi."
Orang tahanan itu seorang laki-laki yang tingginya sedang, air mukanya tidak.
menyenangkan. jelas tampak pada dirinya bahwa dia memang biasa keluar-masuk
penjara. "Demi Tuhan aku tak melakukannya," katanya dengan suara melolong. "Ada orang
yang telah menaruh barang-barang kecil dari kaca itu di antara barang-barangku.
Ini benar-benar fitnah. Seperti yang sudah kukatakan, aku langsung masuk kamar
begitu kembali. Aku tak tahu apa-apa, sampai Betsy menjerit. Demi Tuhan, tolong, aku tidak
melakukannya. " Poirot bangkit. "Bila kau tak mau menceritakan yang sebenarnya, biarlah kau di sini saja.
"Tapi, Tuan-"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau memang masuk ke ruang tamu - kau memang sudah tahu majikanmu sudah
meninggal; dan kau sebenarnya ingin cepat-cepat melarikan diri, waktu Betsy
kemudian melihat apa yang telah terjadi."
Laki-laki itu menatap Poirot dengan ternganga.
"Ayolah, bukankah begitu keadaannya" Dengan sebenar-benarnya
- -demi kehormatan diriku hanya dengan berkata jujurlah kau bisa bebas."
"Baik, kuambil risiko ltu," kata laki-laki itu tiba-tiba. "Memang, seperti yang
Anda katakan. Aku masuk dan langsung pergi menghadap Tuan dan saya dapati dia
mati terbaring di lantai tergenang darah. Aku langsung lari cepat-cepat. Aku
takut orang akan mengungkit-ungkit masa laluku di penjara, dan mereka pasti akan
mengatakan bahwa aku pembunuhnya. Hanya satu pikiranku, yaitu segera melarikan
diri - sebelum orang menemukannya
"Lalu barang-barang dari batu giok itu?"
Orang ltu tampak ragu. "Soalnya -" "Kau mengambilnya secara naluriah, bukan" Kau pernah
mendengar majikanmu berkata bahwa barang-barang itu sangat berharga dan kau
merasa, sebaiknya kauangkat saja semuanya sekalian. Aku mengertl itu. Sekarang
jawablah pertanyaanku ini.
Apakah kauambil barang-barang itu setelah kau masuk ke kamar itu untuk kedua
kalinya?" "Aku tak pernah masuk untuk kedua kalinya. Satu kali sudah cukup.
"Kau yakin?" "Benar-benar yakin."
"Baik. Nah, kapan kau keluar dari penjara?"
"Dua bulan yang lalu.- "
"Bagaimana kau mendapatkan pekerjaan ini?"
"Mealui salah seorang anggota Organisasi Pembantu Para Narapidana. Orang itu
menemuiku begitu aku keluar."
"Bagaimana orangnya?"
"Bukan imam, tapi mirip imam. Topinya lembut hitam, dan cara bicaranya dibuat-
buat. Gigi depannya patah sebuah. Dia memakai kaca mata. Namanya Saunders.
Katanya, dia berharap aku bertobat, dan bahwa dia akan memberiku pekerjaan yang
baik. Aku mendatangi Pak Tua Whalley dengan surat keterangan dari dia."
Poirot sekali lagi bangkit.
"Terima kasih. Saya sudah tahu semuanya sekarang. Bersabarlah."
Dia berhenti sebentar di ambang pintu, lalu menambahkan,
"Saunders memberimu sepasang sepatu bot, kan?"
Grant kelihatan terkejut sekali.
"Ya, benar. Tapi bagalmana Tuan tahu?"
"Urusanku memang untuk mengetahui bermacam-macam hal,"
kata Poirot dengan bersungguh-sungguh.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Inspektur, kami bertiga pergi ke Rumah
Makan White Hart, dan bercakap-cakap tentang hal-hal yang tak penting.
"Sudah adakah titik terang?" tanya Ingles dengan tersenyum.
"Ya, perkaranya sudah jelas sekali sekarang; tapi saya akan mengalarni banyak
kesulitan dalam membuktikannya. Whalley dibunuh atas perintah Empat Besar -
bukan oleh Grant. Seorang laki-laki dengan cerdik sekali memberikan pekerjaan
itu pada Grant dan dengan sengaia merencanakan supaya Grant yang menjadi kambing hitam - suatu hal
yang mudah saja, mengingat bahwa Grant bekas narapidana. Diberinya Grant
sepasang sepatu bot. Sepasang sepatu bot lain yang persis sama disimpan untuk
dia sendiri. Semuanya begitu sederhana. Waktu Grant ke luar rumah, dan Betsy
mengobrol di desa (suatu hal yang mungkin dilakukannya setiap hari), dia datang
dengan mengenakan sepatu bot yang serupa benar dengan yang diberikannya pada
Grant itu. Dia masuk ke dapur, lalu terus ke dalam ruang tamu, menghantam kepala
orang tua itu, kemudian menyembelih lehernya. Lalu dia kembali ke dapur,
menanggalkan sepatu botnya, mengenakan sepatu bot lainnya. Dengan menjinjing
sepatu bot yang pertama, keluar lagi ke tempat kereta kudanya, lalu berangkat
lagi." Ingles melihat pada Poirot terus.
"Masih ada kekurangannya. Mengapa tak ada seorang pun
melihatnya?" "Oh itu! Saya yakin, di situlah letak kecerdikan Nomor Empat itu.
Semua orang melihatnya - namun tak seorang pun merasa
melihatnya. Soalnya, dia datang naik kereta kuda tukang daging!"
Aku berseru terkejut. "Daging paha kambing itu?"
"Tepat, Hastings, daging paha kambing itu, Semua orang beram bersumpah bahwa tak
seorang pun datang ke Granite Bungalow pagi itu. Tapi saya menemukan daging paha
kambing di lemari makan, yang masih dalam keadaan beku. Hari itu hari Senin,
jadi daging itu pasti diantarkan hari itu; karena seandainya diantarkan pada
hari Sabtu, daging itu pasti sudah tak beku lagi sampai hari Minggu, dalam cuaca
sepanas ini. Jadi sebenarnya ada seseorang yang datang ke bungalow itu, yaitu
orang yang tidak akan menarik perhatian orang lain, meskipun, pada tubuhnya di
sana sini ada bekas darah."
"Benar-benar cerdik!" seru Ingles memuji.
"Ya, Nomor Empat itu memang pandai sekali."
"Sama pandainya dengan Hercule Poirot?" gumamku.
Sahabatku menoleh padaku dengan pandangan menegur.
"Ada beberapa gurauan yang sebaiknya tidak kauucapkan, Hastings," katanya ketus.
"Bukankah aku telah menyelamatkan seseorang dari hukuman. Itu sudah cukup untuk
sehari ini." Bab 5 LENYAPNYA SEORANG ILMUWAN SECARA pribadi, aku merasa bahwa meskipun dewan juri telah membebaskan Robert
Grant alias Biggs dari tuduhan membunuh Jonathan Whalley, Inspektur Meadows
masih tetap tak yakin benar, bahwa laki-laki itu tak bersalah. Perkara yang
telah disusunnya untuk menghukum Grant - hukuman penjara yang sudah bisa
dijalaninya, batu-batu giok yang telah dicurinya, sepatu botnya yang pas benar
dengan bekas telapak kaki itu - menurut pikirannya yang praktis terlalu lengkap
untuk dibatalkan begitu mudahnya. Tetapi Poirot, yang harus memberikan
kesaksian, meskipun berlawanan dengan kehendaknya, telah mampu meyakinkan juri.
Dua orang saksi yang dihadapkan, menyatakan bahwa mereka melihat sebuah kereta
tukang daging datang ke bungalow itu, pada pagi hari Senin itu.
Padahal tukang daging setempat memberikan kesaksian bahwa keretanya hanya datang
ke sana pada hari Rabu dan Jumat.
Ditemukan pula seorang wanita, yang ketika ditanya, menyatakan bahwa dia ingat
telah melihat pengantar daging itu meninggalkan bungalow. Tetapi dia tak dapat
melengkapi kesaksiannya itu dengan gambaran yang bermanfaat mengenai laki-laki
itu. Satu-satunya kesan yang diperoleh wanita itu tentang pengantar daging itu ialah,
bahwa wajahnya tercukur bersih, tingginya sedang, dan benar-benar kelihatan
seperti seorang pengantar daging biasa.
Mendengar gambaran itu, Poirot hanya mengangkat bahunya dengan sikap
berfalsafah. "Seperti sudah kukatakan, Hastings," katanya padaku, setelah sidang pengadilan
itu, "orang itu benar-benar seorang seniman. Dia menyamar, bukan dengan jenggot
palsu dan kaca mata biru.
Memang dia mengubah ciri-ciri tubuhnya, tetapi itu cuma bagian terkecil. Untuk
sementara dia bisa menjadi laki-laki yang bagaimanapun juga. Dia menghayati
peran yang dimainkannya."
Aku tentulah terpaksa mengakul bahwa laki-laki dari Rumah Sakit jiwa Hanwell
yang mengunjungi kami dulu itu, benar-benar cocok dengan gambaranku, bagaimana
seharusnya seorang petugas Rumah Sakit Jiwa itu. Sesaat pun aku tidak akan
bermimpi merasa curiga akan keasliannya.
Semuanya itu melemahkan semangat, dan pengalaman kami di Dartmoor, sama sekali
tak membantu kami. Hal itu kukatakan pada Poirot, tetapi dia tak mau mengakui
bahwa kami tidak mendapatkan kemajuan apa-apa.
"Kita maju, kok, " katanya, "kita maju. Setiap kali kita berhubungan dengan
laki-laki itu, bertambahlah pengetahuan kita, tentang pikirannya dan cara
kerjanya, sedang dia tak tahu apa-apa tentang kita dan rencana-rencana kita."
"Nah, dalam hal itu, dia dan aku ada persamaannya, Poirot,"
bantahku. "Kelihatannya kau sama sekali tidak membuat rencana apa-apa, kau
kelihatannya hanya duduk-duduk saja, dan menunggu sampai dia berbuat sesuatu."
Poirot tersenyum. "Mon ami, kau belum berubah rupanya. Kau tetap Hastings yang sama, orang yang
selalu sibuk bertindak. Nah," sambungnya, waktu terdengar suara ketukan di
pintu, "barangkali inilah kesempatan bagimu; mungkin teman kita itu yang masuk
ini. " Dan dia menertawakan kekecewaanku, waktu Inspektur Japp-lah yang ternyata
masuk bersama seorang laki-laki lain.
"Selamat malam, Tuan-tuan," kata inspektur itu.
"Izinkan saya memperkenaikan Kapten Kent dari Dinas Rahasia Amerika Serikat."
Kapten Kent seorang pria Amerika yang jangkung dan langsing.
Wajahnya kaku sekali, seolah-olah terukir dari kayu.
"Saya senang berkenalan dengan Anda, Tuan-tuan," gumamnya, sambil menyalami kami
dengan guncangan tangan yang kuat.
Poirot melempar sebatang kayu lagi ke dalam perapian, dan menambah beberapa
kursi malas lagi. Aku mengeluarkan gelas-gelas dan wiski bersama soda. Kapten
itu meneguk minuman itu dalam-dalam, lalu menyatakan pujiannya.
"Pembuatan undang-undang di negara Anda ini masih sehat,"
katanya. "Nah sekarang kita bicarakan urusan kita," kata Japp. "Tuan Poirot ini pernah
mengajukan permintaan pada saya. Dia merasa tertarik pada suatu organisasi yang
bernama Empat Besar, dan minta supaya saya memberitahukan padanya, kapan saja
saya mendengar nama itu dalam hubungan kedinasan saya. Saya tidak menaruh perhatian pada soal itu, tapi saya selalu ingat apa yang
dikatakannya, dan ketika kapten ini datang pada saya dengan kisah yang agak
aneh, saya segera berkata, 'Mari kita temul Poirot.'"
Poirot memandang pada Kapten Kent yang duduk di seberangnya, dan orang Amerika
itu pun mulai berkisah, "Mungkin Anda pernah membaca dan ingat, bahwa beberapa buah kapal terpedo dan
penjelajah telah ditenggelamkan dengan cara ditabrakkan pada batu-batu karang di
pantai Amerika Serikat. Hal itu terjadi tepat setelah gempa bumi di Jepang, dan
penjelasan yang diberikan adalah bahwa bencana itu akibat dari gelombang pasang.
Lalu, belum lama ini, telah dilakukan penangkapan besar-besaran atas diri
penjahat-penjahat dan pembunuh-pembunuh tertentu.
Bersama mereka telah terjaring pula beberapa surat yang mengungkapkan hal-hal
yang benar-benar baru mengenal hal itu.
Ternyata surat-surat itu banyak menyatakan tentang suatu organisasi yang bernama
'Empat Besar', dan memberikan gambaran yang tak
lengkap mengenal suatu instalasi radioaktif yang kuat sekali - suatu pemusatan
radioaktif yang jauh lebih kuat daripada apa yang telah diciptakan selama ini.
Instalasi itu mampu memusatkan pancaran energi dengan intensitas besar ke suatu
lokasi tertentu. Pernyataan adanya penemuan itu agaknya sangat tak masuk akal,
tapi laporan itu tetap saya serahkan pada markas besar sebagaimana adanya.
Salah seorang profesor kami yang lihai, kini sibuk dengan penyelidikan-
penyelidikan itu. Kini rupanya salah-seorang ilmuwan Anda di Inggris ini, telah
membacakan kertas-kertas kerja mengenal soal itu di hadapan British Association.
Rekan-rekannya sama sekali tidak memberi perhatian yang cukup besar pada soal
itu. Mereka menganggapnya terlalu dicari-cari dan terlalu khayal, tetapi ilmuwan
itu tetap pada pendiriannya. Ia menyatakan sudah hampir mencapai sukses dalam
eksperimen-eksperimennya.
"Eh bien?" tanya Poirot dengan penuh perhatian.
"Saya dianjurkan untuk datang ke Inggris ini, supaya bisa mengadakan wawancara
dengan ilmuwan itu. Pria ltu masih muda, namanya Halliday. Dia orang terkemuka
dalam bidang ini. Saya ditugaskan untuk mencari penjelasan dari dia, apakah hal
yang dikemukakan itu memang mungkin?"
"Dan apakah ternyata memang mungkin?" tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Saya belum tahu itu. Saya belum bertemu dengan Tuan Halliday -
dan kelihatannya saya tidak akan bertemu dengan dia.
"Soalnya,"sela Japp dengansingkat, "Halliday itu sudah lenyap.
"Kapan?" "Dua bulan yang lalu."
"Sudah dilaporkan?"
"Tentu sudah. Istrinya datang pada kami dalam keadaan kacau sekali. Kami telah
berbuat sebatas kemampuan kami, tapi sejak semula saya sudah tahu bahwa itu
semuanya sia-sia." "Mengapa sia-sia?"
"Selalu demikian keadaannya - bila seorang laki-laki menghilang waktu pergi ke
sana, " kata Japp sambil mengedlpkan matanya.
"Ke mana?" "Paris. "Jadi Halliday hilang di Paris?"
"Ya. Dia pergi ke sana untuk suatu pekerjaan ilmiah - begitulah katanya. Tentu
dia harus berkata demikian. Tapi Anda tentu tahu apa artinya bila seorang pria
menghilang di sana. Kalau bukan menjadi korban perbuatan bandit, yang berarti
tidak akan bisa tertolong lagi -
ya mungkin juga dia menghilang dengan sukarela - dan kemungkinan ini lebih umum
daripada kemungkinan yang pertama. Yah, kota Paris yang gemerlap itu, Anda tentu
maklum. Mungkin bosan dengan kehidupan rumah tangganya. Halliday baru bertengkar
dengan istrinya sebelum berangkat. Semuanya itu lebih menjelaskan duduk
perkaranya." "Saya jadi ingin tahu," kata Poirot merenung.
Orang Amerika itu melihat padanya dengan pandangan ingin tahu pula.
"Ngomong-ngomong, Tuan," katanya dengan nada diseret,
"bagaimana tentang Empat Besar?"
"Empat Besar itu," kata Poirot, "suatu organisasi internasional, yang
pemimpinnya seorang Cina. Dia dikenal sebagai Nomor Satu.
Nomor Dua seorang Amerika. Nomor Tiga, seorang wanita Prancis.
Nomor Empat, 'si Pemusnah', adalah seorang Inggris.
"Seorang wanita Prancis, ya?" kata pria Amerika itu, lalu bersiul.
"Dan Halliday menghilang di Prancis. Mungkin ada apa-apanya dalam hal ini. Siapa
nama wanita itu?" "Saya tak tahu. Saya belum tahu apa-apa tentang dia.
"Tapi bukankah ini suatu persoalan yang besar sekali?" desak lawan bicaranya.
Poirot mengangguk, sambil mengatur gelas-gelas dalam deret-deretan yang rapi di
baki. Kegandrungannya akan kerapian tetap sebesar biasanya. "Apa maksudnya
menenggelamkan kapal-kapal itu"
Apa Empat Besar itu siasat Jerman?"
"Empat besar ltu berdiri sendiri dan bekerja untuk diri mereka sendiri, Kapten.
Tujuan mereka adalah kekuasaan dunia."
Orang Amerika itu pecah tertawanya, tetapi berhenti tiba-tiba melihat betapa
seriusnya waJah Poirot. "Anda tertawa," kata Poirot, sambil mengguncang-guncangkan telunjuknya ke arah
pria itu. "Tapi Anda tidak berpikir. Anda tidak berpikir. Anda tidak
memanfaatkan sel-sel kecil Anda yang kelabu.
Siapakah orang-orang ini, yang telah memusnahkan sebagian Angkatan Laut Anda
itu, hanya sekadar sebagai percobaan saja"
Karena memang hanya itulah yang terjadi, Monsieur, suatu percobaan tenaga baru
dari daya tarik magnetis yang mereka kuasai."
"Lanjutkan, Bung," kata Japp dengan senang.
"Saya sudah sering membaca tentang penjahat-penjahat super, tapi saya belum
pernah berhubungan dengan mereka. Nah, Anda sudah mendengar kisah Kapten Kent.
Ada lagikah yang masih bisa saya bantu?"
"Ada, kawan. Beri saya alamat Nyonya Halliday - dan kalau tak keberatan tuliskan
sekalian beberapa patah kata perkenalan kepadanya."
Maka berangkatlah kami esok harinya ke Chetwynd Lodge, di dekat Desa Chobham di
Surrey. Nyonya Halliday langsung menyambut kami. Dia bertubuh tinggi, berambut
pirang, penggugup dan tindak tanduknya terburu-buru. Bersama dia anak
perempuannya, gadis kecil berumur lima tahun yang cantik.
Poirot menjelaskan tujuan kedatangan kami.
"Oh! Tuan Poirot, saya senang sekali, saya amat berterima kasih.
Tentu saya sudah banyak mendengar tentang Anda. Anda pasti tidak
seperti orang-orang Seotland Yard itu. Mereka tak mau
mendengarkan dan tak mau mencoba mengerti. Dan polisi Prancis pun sama saja
buruknya - saya rasa bahkan lebih buruk. Mereka semua yakin bahwa suami saya
telah pergi dengan wanita lain. Tapi dia bukan laki-laki seperti itu! Yang
dipikirkannya dalam hidup ini cuma pekerjaannya semata-mata. Separuh dari
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertengkaran-pertengkaran kami menyangkut soal itulah. Dia lebih menaruh
perhatian pada pekerjaannya daripada pada saya."
"Laki-laki Inggris ini, mereka itu memang begitu," kata Poirot menenangkan.
"Kalau bukan karena pekerjaannya, tentulah permainan kartunya atau olahraga.
Mereka menganggap semuanya itu bukan main pentingnya. Nah, sekarang, Nyonya,
coba Anda ceritakan semuanya dengan sebenar-benarnya, secara terperinci, dan
dengan teratur sekali, bagaimana peristiwa hilangnya suami Anda itu."
"Suami saya berangkat ke Paris pada hari Kamis, tanggal dua puluh Juli. Di sana
dia harus bertemu dan berkunjung ke beberapa orang yang ada hubungannya dengan
pekerjaannya, seorang di antaranya, Madame Olivier. "
Poirot mengangguk mendengar nama wanita ahli kimia Prancis yang terkenal itu
disebut. Wanita itu bahkan mampu membayangi kecemerlangan Madame Curie dalam
hasil karyanya. Dia sudah pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Prancis,
dan dialah salah seorang tokoh yang paling terkemuka di dunia masa kini.
"Dia tiba di sana malam hari, dan langsung pergi ke Hotel Castiglione di rue de
Castiglione. Pagi berikutnya, dia ada janji dengan Profesor Bourgoneau, dan
janji itu dipenuhinya. Sikapnya biasa-biasa saja dan menyenangkan. Kedua orang
pria itu bercakap-cakap dengan asylk, dan mereka sepakat suami saya akan
menyaksikan beberapa eksperimen di laboratorium profesor itu keesokan harinya.
Dia makan siang seorang diri di Cafe Royal, berjalan-jalan di Bols, dan kemudian
mengunjungi Madame Olivier, di rumahnya di Passy. Di sana pun sikapnya biasa-
biasa saja. Dia pulang kira-kira jam enam petang. Tak diketahui di mana dia
makan malam, mungkin seorang diri di suatu restoran. Dia kembali ke hotel kira-kira
jam sebelas malam, dan langsung naik ke kamarnya di lantai atas, setelah
bertanya kalau-kalau ada surat untuknya. Esok paginya dia keluar dari hotel, dan
sejak itu tak pernah kelihatan lagi."
"Jam berapa dia meninggalkan hotel" Apakah pada waktu yang wajar untuk memenuhi
janji pertemuannya di laboratorium Profesor Bourgoneau?"
"Kami tidak tahu. Tak ada yang melihatnya meninggalkan hotel.
Tapi tak ada sarapan yang dihidangkan untuknya, jadi dia berangkat pagi-pagi
sekali." "Atau sebenarnya bisa juga dia keluar lagi malam sebelumnya, sesudah dia
kembali?" "Saya rasa tidak. Tempat tidurnya bekas ditiduri, dan petugas portir malam tentu
akan ingat kalau ada orang yang keluar lagi selarut itu."
"Pengamatan yang cermat, Nyonya. Jadi boleh kita simpulkan bahwa dia pergi
sangat awal esok paginya - dan dari satu segi, itu memang meyakinkan. Tak
mungkin dia menjadi korban serangan dinamit pada hari seawal itu. Lalu mengenaui
barang-barangnya, apakah semuanya ditinggalkannya?"
Nyonya Halliday kelihatan agak enggan menjawab, tetapi akhirnya dia berkata,
"Tidak - agaknya dia telah membawa kopor kecil. "
"Hm," kata Poirot sambil merenung, "saya ingin tahu, di mana dia malam itu.
Kalau kita tahu itu, kita akan bisa tahu banyak. Siapa yang ditemuinya" - Di
situlah letak misteri itu. Nyonya, saya pribadi, tidak menerima begitu saja
pendapat pollsi. Bagi mereka itu pasti selalu saja 'skandal mengenai wanita'.
Namun sudah jelas bahwa malam itu telah terjadi sesuatu yang membuat suami Anda
mengubah rencana. Kata Anda dia menanyakan surat-surat sekembalinya ke hotel.
Adakah dia menerimanya?"
"Hanya satu, dan itu pasti surat yang saya tulis padanya pada hari
keberangkatannya dari Inggris ini."
Selama semenit, Poirot tenggelam dalam pikirannya, kemudian dia cepat-cepat
bangkit. "Yah, Nyonya, penyelesalan misteri ini terletak di Paris, dan untuk
menemukannya, saya sendiri akan berangkat ke Paris secepat mungkin."
"Itu semuanya sudah lama terjadi, Monsieur."
"Memang benar. Namun demikian, di sanalah kita harus
mencarinya." Dia berbalik akan meninggalkan ruangan itu, tetapi berhenti sebentar sambil
memegang gagang pintu. "Ngomong-ngomong, Nyonya, pernah Anda mendengar suami
Nyonya menyebut nama Empat Besar?"
"Empat Besar?" wanita itu mengulangi sambil merenung. "Rasanya tidak."
Bab 6 WANITA DI TANGGA HANYA Itulah keterangan yang dapat diperoleh dari Nyonya Halliday. Kami bergegas
kembali ke London, dan esok harinya kami sudah dalam perjalanan menuju daratan
Eropa. Dengan senyum yang agak murung, Poirot berkata,
"Empat Besar ini membuat aku sibuk sekali, mon ami. Aku harus berlari-lari kian
kemari, menjelajahi tempat-tempat, seperti teman lama kita 'si anjing pemburu
dalam bentuk manusia'."
"Barangkali kau akan bertemu dengan dia juga di Paris nanti,"
kataku, karena aku tahu bahwa yang dimaksudnya adalah seseorang yang bernama
Giraud, salah seorang detektif yang paling terpercaya
di Surete - markas Dinas Rahasia Prancis -. Poirot sudah pernah bertemu dengan
orang itu pada suatu peristiwa sebelumnya.
Poirot nyengir, "Aku sungguh-sungguh berharap semoga tidak.
Orang itu tak suka padaku."
"Apakah ini tidak akan merupakan pekerjaan yang sangat sulit?"
tanyaku. "Untuk menyelidiki apa yang dilakukan oleh seorang Inggris tak dikenal
dua bulan yang lalu?"
"Memang sulit sekali, mon ami. Tapi kau kan tahu betul, kesulitan itulah yang
menyenangkan hati Hercule Poirot."
"Kaupikir Empat Besar yang telah mencullknya?"
Poirot mengangguk. Penyelidikan kami berjalan sama sekali tak lancar, dan pengetahuan kami sedikit
sekali bertambah dari apa yang telah diceritakan Nyonya Halliday kepada kami.
Poirot lama bertanya-jawab dengan Profesor Bourgoneau. Dalam tanya-jawab itu
antara lain dia bertanya apakah Halliday ada menyebut-nyebut tentang rencananya
sendiri malam itu. Tetapi kami tidak mendapatkan penjelasan apa-apa.
Sumber informasi kami berikutnya adalah Madame Olivier yang termasyhur itu. Aku
merasa berdebar waktu menaiki tangga vilanya di Passy. Aku selalu merasa betapa
luar biasanya, bahwa seorang wanita bisa melangkah begitu jauh dalam dunia ilmu
pengetahuan. Aku selalu menyangka bahwa untuk pekerjaan macam itu diperlukan otak seorang
pria. Pintu dibuka oleh seorang anak laki-laki yang berumur sekitar tujuh belas tahun.
Remaja Itu samar-samar mengingatkan aku pada pembantu altar di gereja, karena
gerak-gerlknya penuh upacara.
Poirot telah bersusah payah membuat Janji dulu sebelum pertemuan itu, karena dia
tahu Madarne Olivier tak pernah mau menerima siapa pun juga tanpa janji, karena
dia tenggelam dalam pekerjaan risetnya sepanjang hari.
Kami dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruang tamu kecil, dan sebentar kemudian,
nyonya rumah itu mendatangi kami di situ.
Madame Olivier ternyata seorang wanita yang tinggi sekali. Dia kelihatan lebih
tinggi lagi karena memakai jas laboratorium berwarna putih, dan memakai tutup
kepala seperti yang lazim dipakai biarawati, dan rambutnya jadi terbungkus.
Wajahnya panjang dan pucat, sedang matanya yang berwarna gelap dan indah
memancarkan cahaya membara. Dia lebih menyerupai seorang pendeta wanita zaman
dahulu, daripada seorang wanita Prancis modern. Sebelah pipinya cacat karena ada
bekas luka, dan aku ingat bahwa suaminya yang juga kawan kerjanya, telah tewas
dalam suatu ledakan di laboratoriurn tiga tahun yang lalu, dan bahwa dia sendiri
mengalami cedera bakar yang hebat. Sejak saat itu dia menutup diri dari dunia
luar, dan membenarnkan diri sepenuhnya dalam riset sains. Dia menerima kami
dengan sopan santun yang dingin.
"Saya sudah banyak diwawancarai polisi. Saya rasa saya tak bisa membantu Anda
lebih banyak, karena saya pun tak bisa membantu mereka. "
"Madame, mungkin saja pertanyaan-pertanyaan saya tak sama dengan mereka.
Pertama-tama, apa yang telah Anda bicarakan berdua dengan Tuan Halliday?"
Dia kelihatan agak terkejut.
"Tentu saja mengenal pekerjaannya! Ya, pekerjaannya - dan juga pekerjaan saya."
"Apakah disebutkannya pada Anda mengenai teori-teori yang dicantumkannya baru-
baru ini dalam kertas kerjanya yang telah dibacakannya di hadapan British
Association?" "Tentu saja. Terutama mengenal hal itulah kami berbicara."
"Buah pikirannya agak berbau khayalan, bukan?" tanya Poirot seolah-olah tak
acuh. "Ada orang-orang yang berpendapat begitu. Saya tak setuju."
"Apakah Anda menganggapnya bisa dipraktekkan?"
"Benar-benar bisa dipraktekkan. Riset saya pun boleh dikatakan serupa, meskipun
tidak disudahi dengan akhir yang sama. Saya sedang menyelidiki sinar-sinar gamma
yang dipancarkan oleh unsur-unsur yang biasa dikenal dengan nama radium C, suatu
produk dari pancaran radium. Dalam pekerjaan saya itu saya telah menemukan
beberapa hal yang sangat menarik mengenai magnet. Saya memang mempunyai teori
mengenal sifat sebenarnya dari kekuatan yang kita sebut magnetisme itu. Tapi
sekarang belum waktunya untuk menyampalkan hasil penemuan-penemuan saya itu pada
dunia. Eksperimen-eksperimen dan pandangan-pandangan Tuan Halliday sangat menarik bagi
saya." Poirot mengangguk. Kemudian dia mengajukan suatu pertanyaan yang membuatku
terkejut. "Madame, di mana Anda bercakap-cakap tentang hal-hal itu. Di sinikah?"
"Tidak, Monsieur. Di dalam laboratorium."
"Bolehkah saya melihat laboratorium Anda itu?"
"Tentu. Dia mendahulul kami berjalan menuju pintu tempat dia masuk tadi. Dari pintu itu
kami masuk ke sebuah lorong kecil. Kami melewati dua buah pintu lagi, dan
tibalah kami di sebuah laboratorium besar.
DI situ kelihatan berderet-deret gelas-gelas bermulut lebar, alat-alat pelebur
logam, dan beratus-ratus peralatan, yang babkan namanya pun aku tak tahu. Di
situ ada dua orang, keduanya sibuk dengan suatu eksperimen. Madame Olivier
memperkenaikan mereka. "Nona Daude, salah seorang asisten saya." Seorang gadis yang jangkung dan
berwajah serius, mengangguk pada kami. "Tuan Henry seorang teman lama dan
terpercaya." Pria muda yang pendek dan berambut hitam itu mengangguk dengan
singkat. Poirot melihat berkeliling. Ada dua buah pintu kecuali pintu yang kami masuki
tadi. Sebuah di antaranya, wanita itu menjelaskan, menuju ke kebun, dan yang
sebuah lagi menuju ke sebuah kamar kecil lain yang juga dipakai untuk riset.
Poirot mencatat semuanya itu, lalu menyatakan bahwa dia sudah siap untuk kembali ke ruang tamu lagi.
"Madame, apakah Anda hanya berduaan saja dengan Tuan
Halliday selama percakapan itu?"
"Ya, Monsieur. Kedua orang asisten itu berada di kamar sebelah yang lebih kecil
itu." "Apakah percakapan Anda itu bisa didengar
oleh mereka atau oleh orang lain?"
Wanita itu berpikir sebentar lalu menggeleng.
"Saya rasa tidak. Saya yakin tak bisa. Semua pintu tertutup."
"Mungkinkah ada seseorang yang tersembunyi dalam kamar itu?"
"Memang ada sebuah lemari besar di sudut itu tapi itu pikiran yang tak masuk
akal." "T'dak sepenuhnya, Madame. Satu hal lagi: apakah Halliday menyebutkan rencana-
rencananya untuk malam hari itu?" ,
"Dia sama sekali tidak mengatakannya, Monsieur. "
"Terima kasih, Madame, dan saya minta maaf karena telah mengganggu Anda. Tak
usahlah Anda bersusah payah - kami bisa keluar sendiri,"
Kami keluar lagi ke gang rumah. Baru saja kami melangkah keluar, seorang wanita
memasuki pintu depan. Wanita itu cepat-cepat berlari menaiki tangga, dan aku
mendapatkan kesan bahwa dia mengenakan pakaian berkabung yang biasa dipakai
seorang janda Prancis. "Aneh sekali wanita itu," kata Poirot, dalam perjalanan pulang.
"Siapa" Madame OlIvier itu" Memang dia-"
"Bukan, bukan Madame Olivier. Mengenai dia sudah jelas! Tak banyak orang
sepintar dia di dunia ini. Tidak, yang kumaksud adalah wanita yang seorang lagi
itu - wanita yang di tangga itu."
"Aku tak melihat wajahnya," kataku terbelalak.
"Dan aku pun tidak melihat kemungkinan kau bisa melihatnya. Dia sama sekali
tidak melihat pada kita."
"Itulah sebabnya dia kukatakan wanita aneh,"kata Poirot dengan tenang. "Seorang
wanita yang memasuki rumahnya - kusimpulkan bahwa itu adalah rumahnya, karena
dia masuk dengan menggunakan kunci sendiri - dan berlari langsung menaiki
tangga, tanpa melihat dua orang tamu asing di gang dalam rumahnya, dan bahkan
tak ingin melihat siapa mereka itu, wanita yang begitu adalah aneh - bahkan
sangat tak wajar. Terkutuk! Apa itu?"
Aku ditarlknya mundur - tepat sekali pada waktunya. Sebuah pohon roboh ke tepian
jalan hampir saja menimpa kami. Poirot memandangi pohon itu, wajahnya pucat dan
tampak risau. "Nyaris sekali! Tapi tolol sekali aku - karena aku tidak curiga - ya, hampir-
hampir tak ada rasa curigaku. Ah, kalau saja mataku kurang cepat, tidak secepat
mata kucing, Hercule Poirot sekarang tentu sudah mati tertimpa pohon - dan dunia
pun akan kacau sekali. Dan kau juga, mon ami - meskipun kematianmu tidak akan
merupakan kekacauan nasional."
"Terima kasih," kataku dingin. "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Akan kita lakukan?" seru Poirot. "Kita akan berpikir. Ya, di sini dan sekarang
juga, kita akan menggunakan sel-sel kecil kelabu kita.
Tuan Halliday itu, apakah dia benar-benar ada di Paris" Ya, menurut Profesor
Bourgoneau, yang mengenalnya, melihatnya, dan berbicara dengannya. "
"Apa maksudmu sebenarnya?" seruku.
"Waktu itu adalah pagi hari Jumat. Orang melihatnya untuk terakhir kalinya pada
jam sebelas malam Sabtu - tapi apakah benar orang melihat dia?"
"Portir malam itu "Portir malam itu belum pernah melihat Halliday. Ada seorang laki-laki yang
masuk, dia agak serupa dengan Halliday - untuk hal
semacam itu kita bisa mempercayakannya pada Nomor Empat -
orang itu menanyakari apakah ada surat-surat, dia naik ke lantai atas, dia
mengepak sebuah kopor kecil, dan menyelinap keluar esok paginya. Tak seorang pun
melihat Halliday sepanang malam itu -
tidak karena dia sudah berada di tangan musuh. Apakah memang Halliday yang
diterima Madame Olivier" Ya, karena meskipun wanita itu belum pernah melihat
orangnya, seorang penyamar tentu tidak akan bisa menipu Madame Olivier dalam
pembicaraan mengenal soal yang begitu khusus. Halliday datang kemari, mengadakan
pembicaraan, lalu dia pulang. Apa yang terjadi sesudah itu?"
Dengan mencengkeram lenganku, Poirot setengah menyeretku kembali ke vila.
"Nah, mon ami, bayangkan bahwa hari ini adalah hari sesudah lenyapnya Halliday,
dan bahwa kita sedang menelusuri jejak telapak kaki. Kau suka jejak kaki, kan"
Lihat ini - ini dia, bekas telapak kaki seorang pria, telapak kaki Tuan
Halliday... Dia membelok ke sebelah kiri, sebagaimana yang sedang kita lakukan
sekarang, dia berjalan dengan bersemangat - nah! Ada jejak-jejak kaki lain yang
menyusul di belakang cepat-cepat sekali - jejak kaki kecil-kecil, jejak kaki
seorang wanita. Lihat, wanita itu sudah dapat menyusulnya - seorang wanita muda
yang langsing dan mengenakan cadar seorang janda.
'Maaf, Monsieur, Madame Olivier menyuruh saya untuk meminta Anda kembali.'
Halliday berhenti, dia berbalik. Nah, ke mana wanita muda itu akan membawanya"
Wanita muda itu tak mau dilihat orang berjalan dengan Halliday. Apakah suatu
kebetulan kalau dia menyusul Halliday, tepat di mana ada sebuah gang kecil yang
memisahkan dua buah kebun. Wanita itu mengajaknya ke arah gang itu. Lewat sini
lebih dekat, Monsieur. Di sebelah kanan adalah kebun vila Madame Olivier, sedang
yang di sebelah kiri adalah kebun vila di sebelahnya - dan, sekarang perhatikan,
dari kebun itulah pohon tumbang - begitu nyaris menimpa kita tadi. Pintu kedua
buah kebun itu membuka ke lorong jalan masuk ke rumah. Di situlah serbuan
dilakukan. Orang-orang bermunculan ke luar, dan membawanya masuk ke dalam vila asing itu."
"Astaga, Poirot," seruku, "apakah kaupikir kau melihat semuanya itu?"
"Aku melihatnya dengan mata akalku, mon ami. Begitulah, dan hanya dengan cara
itulah hal itu terjadi. Mari kita kembali ke rumah itu."
"Apakah kau ingin menemui Madame Olivier lagi?"
Poirot tersenyum aneh. "Tidak, Hastings, aku ingin melihat wajah wanita yang di tangga itu."
"Menurut kau, siapakah dia" Apakah dia seorang sanak saudara Madame Olivier?"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih mungkin, sekretarisnya - dan seorang sekretaris yang belum begitu lama
bekerja di sini." Yang membukakan kami pintu adalah remaja yang seperti
pembantu altar yang lembut tadi juga.
"Bisakah Anda memberi tahu saya," kata Poirot, "siapa nama wanita, janda, yang
baru saja masuk tadi itu?"
"Madame Veroneau" Sekretaris Madame Olivier?"
"Ya, wanita itu. Dapatkah kau berbaik hati memintanya untuk berbicara dengan
kami sebentar?" Remaka itu menghilang. Dia segera kembali lagi.
"Maaf. Madame Veroneau rupanya sudah keluar lagi. "
"Saya rasa tidak," kata Poirot dengan tenang.
"Tolong beri tahu dia, nama saya Hercule Poirot, dan katakan, padanya bahwa saya
perlu sekali bertemu dengan dia, karena saya akan pergi menemui Kepala Polisi."
Anak itu masuk lagi untuk menyampalkan pesan kami. Kali ini wanita itu turun.
Dia berjalan memasuki ruang tamu. Kami mengikutinya. Dia berbalik lalu
mengangkat cadarnya. Aku terkejut,
karena aku mengenali musuh lama kami, Countess Rossakoff, seorang countess
Rusia, yang telah mengatur suatu perampokan barang-barang perhiasan yang sangat
berhasil di London. "Segera setelah melihat Anda di gang rumah tadi, saya sudah menguatirkan hal
yang terburuk," katanya dengan murung.
"Countess Rossakoff yang baik-"
Wanita itu menggeleng. "Sekarang saya Inez Veroneau," gumamnya. "Seorang Spanyol, menikah dengan
Pembalasan Ratu Laut Utara 2 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Candi Murca 3
Agatha Christie Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
EMPAT BESAR THE BIG FOUR by Agatha Christie Copyright @ Agatha Christie 1927
All rights reserved EMPAT BESAR Alih bahasa: Ny. Suwarni A.S.
Desain sampul: Dwi Koendoro
GM 402 86015 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26
Jakarta 10270 Diterbitkankan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Anggota IKAPI Jakarta, Februari 1986 Cetakan kelima: Mei 1994 Cetakan keenam: September 1997
Cetakan ketujuh: September 2002
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
CHRISTIE - Agatha Empat Besar /Agatha Christie, alih bahasa, Ny. Suwarni A.S.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1986
272 hlm. 18 cm Judul asli: The Big Four ISBN - 979 686 - 015 - 5 1. Fiksi Inggris I. Judul II. H. A.S., Ny. Suwami
Dicetak oleh Percetakan Duta Prima, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
SAMPUL BELAKANG Di dalam gudang bawah tanah di East End itu, aku yakin inilah saat-saatku.
Kusiapkan diriku menghadapi shock derasnya arus air yang hitam itu.
Aku terkejut ketika mendengar tawa bernada rendah. "Anda seorang pemberani,"
kata-kata lelaki di sofa itu. "Kami orang Timur menghargai keberanian. Anda
telah berani menghadapi kematian Anda sendiri. Dapatkah pula Anda menghadapi
kematian orang lain?"
Dasiku bersimbah peluh. "Pena sudah siap", kata laki-laki itu dengan tersenyum, "Anda tinggal menulis.
Kalau tidak-" "Kalau tidak?" tanyaku tegang.
"Kalau tidak, maka wanita yang Anda cintai akan mati - mati perlahan-lahan.
Dalam waktu senggang, majikan kami suka menghibur dirinya dengan membuat alat-
alat dan menciptakan cara-cara penyiksaan..."
"Li Chang Yen adalah otak yang menegang kendali. Oleh
karenanya dia kunamakan si Nomor Satu.
Nomor Dua ditandal dengan huruf 'S' dengan dua garis di tengah-tengahnya -
lambang dolar; disertai dua- garis dan sebuah bintang.
Nomor Tiga seorang wanita berkebangsaan Prancis.
Nomor Empat..." Suara itu terputus. Orang itu kelihatan ketakutan sekali, dia seperti kesakitan
dan kejang. Empat penjahat ulung ingin menguasai dunia. Tetapi seseorang berdiri menghalangi
mereka - dialah Hercule Poirot yang tak ada duanya!
Bab 1 TAMU TAK DIUNDANG ADA orang yang selalu bisa menlkmati perjalanan menyeberangi Selat Kanal; mereka
bisa duduk tenang di kursi geladak, dan begitu tiba, menunggu sampai kapal
betul-betul sudah tertambat, baru mengumpulkan barang-barang bawaannya tanpa
terburu-buru lalu naik ke darat. Aku sendiri tak pernah bisa demikian. Begitu
menjejakkan kaki di kapal, aku terus merasa tak ada waktu lagi untuk mengerjakan
apa pun dengan santai. Kopor-kopor kupindah-pindahkan saja dan bila ke ruang
bawah untuk makan, makanan kulahap saja dengan perasaan kuatir kalau-kalau kapal
tiba-tiba sudah sampai, padahal aku masih ada di bawah. Semuanya itu mungkin
cuma peninggalan masa perang dulu, waktu prajurit akan mengambil cuti pendek.
Biasanya waktu itu penting sekali mencaru tempat di dekat tangga pendaratan,
supaya bisa segera naik ke darat agar tidak kehilangan barang semenit pun dari
masa cuti yang hanya empat atau lima hari.
Di pagi hari bulan Juli itu, aku berdiri di pagar kapal, memperhatikan batu
karang putih Dover yang kian mendekat. Heran aku melihat para penumpang yang
dengan tenang duduk-duduk. Tak satu kali pun ada yang mengangkat mata untuk
menikmati pemandangan pertama dari negeri kelahirannya. Tapi mereka mungkin
memang berbeda dari keadaanku sendiri. Kebanyakan pasti hanya menyeberang ke
Paris untuk berakhir pekan, sedang aku sendiri sudah tinggal di sebuah tanah
peternakan di Argentina selama
satu setengah tahun terakhir ini. Aku jadi kaya di sana, dan berdua dengan
istriku telah dapat menikmati hidup bebas dan nyaman di Amerika Selatan ini.
Meski demikian tercekat juga leherku ketika kulihat pantai yang begitu kukenal
itu makin lama makin mendekat.
Baru dua hari yang lalu aku mendarat di Prancis. Kuselesaikan beberapa urusan
perusahaan di sana, dan kini aku sedang dalam perjalanan ke London. Aku akan
berada di sana beberapa bulan -
cukup lama untuk mengunjungi teman-teman lama, khususnya seorang sahabat
istimewa. Seorang pria kecil bermata hijau dengan kepala seperti telur - Hercule
Poirot! Aku berniat membuat kejutan.
Dalam suratku yang terakhir dari Argentina, sama sekali tak kuceritakan niatku
untuk bepergian - memang hal itu diputuskan dengan terburu-buru karena ada
kesulitan dalam perusahaan. Aku senang membayangkan betapa akan senang dan
tercengangnya dia melihat diriku.
Aku yakin dia tidak akan jauh dari markasnya. Dia sudah tak lagi bepergian dari
satu ujung tanah Inggris ke ujung lain, untuk menyelesaikan suatu perkara. Dia
sudah terkenal di mana-mana, dan tak mau lagi waktunya disita oleh suatu
perkara. Kini dia semakin mengarah pada apa yang disebut 'detektif konsultan'
sama spesialisnya dengan dokter di Hariey Street. Sejak dulu dia selalu menolak
metode yang umum dipakai: manusia berlagak bagal anjing pemburu, memakai
berbagai samaran yang hebat untuk mencari jejak penjahat dan berhenti pada
setiap jejak untuk mengukurnya.
"Tidak, kawanku Hastings," katanya dulu, "biar si Giraud dan teman-temannya saja
yang berbuat begitu. Hercule Poirot punya caranya sendiri. Teratur, bermetode,
ditambah dengan 'sel-sel kecil yang kelabu'. Sambil duduk nyaman di rumah kita
sendiri pun, kita bisa melihat hal-hal yang mungkin tak terlihat oleh orang-
orang lain, dan kita tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat seperti Japp yang
jempolan itu." Memang kecil sekali kemungkinannya kita akan menemukan Hercule Poirot jauh dari
kediamannya. Begitu tiba di London, kuletakkan barang-barangku di sebuah hotel,
dan aku langsung pergi ke alamat lama itu. Betapa jelas kenangan yang dibangkitkan tempat itu! Hampir
tak sempat aku berbasa-basi dengan bekas induk semangku. Buru-buru kulangkahi
dua anak tangga sekaligus, lalu mengetuk pintu kamar Poirot.
"Masuk saja, " terdengar suara yang begitu kukenal itu dari dalam.
Aku masuk. Poirot berdiri menghatapi aku. Dia sedang menjinjing sebuah kopor
kecil, yang dijatuhkan begitu saja waktu melihat aku.
"Mon ami, Hastings!" serunya. "Mon ami, Hastings. " Kemudian dia berlari ke
arahku, merangkulku dalam dekapan erat. Percakapan kami tak menentu dan simpang
siur. Banyak kata-kata seru diucapkan, pertanyaan-pertanyaan penuh rasa ingin
tahu, jawaban-jawaban yang tak sempurna, pesan-pesan dari istriku, penjelasan-
penjelasan tentang perjalananku, semuanya itu bercampur aduk.
"Mungkin ada orang lain yang menempati kamarku dulu, ya?"
tanyaku akhirnya, setelah kami agak tenang. "Aku sebenarnya ingin bersamamu lagi
di sini." Wajah Poirot mendadak berubah.
"Mon Dieu! -Menyedihkan sekali keadaannya. Coba kau lihat sekelilingmu,
Sahabatku." Aku baru menyadari keadaan sekelilingku. Ada sebuah peti besar yang pasti sudah
tua sekali umurnya, tersandar pada dinding. Di dekatnya ada beberapa buah kopor,
yang diatur dengan rapi menurut ukurannya, mulai dari yang besar sampai yang
kecil. Suatu pemandangan yang sudah jelas maksudnya.
"Kau akan pergi?"
"Ya." "Ke mana?" "Amerika Selatan."
"Apa?" "Ya, benar-benar lelucon yang tak lucu, kan" Aku memang akan berangkat ke Rio.
Padahal setiap hari aku berkata sendiri, takkan kutuliskan apa-apa dalam suratku
- biar terperanjat sahabatku Hastings bila melihatku nanti!"
"Tapi kapan kau akan berangkat?"
Poirot melihat ke arlojinya.
"Satu jam lagi."
"Kalau tak salah, kau selalu bilang tidak ada satu hal pun yang bisa membujukmu
untuk bepergian jauh dengan kapal."
Poirot memejamkan matanya lalu menggigil.
"Jangan bicara tentang itu, Sahabatku. Dokterku sudah.
meyakinkan aku, orang tidak akan mati karena berlayar, lagi pula hanya satu kali
ini saja; kau tentu mengerti bahwa aku tidak - tidak akan pernah kembali lagi. "
Aku didorongnya ke sebuah kursi.
"Mari kuceritakan bagaimana ini sampai terjadi. Kau tahu siapa orang terkaya di
dunia ini" Yang bahkan lebih kaya daripada Rockefeller" Abe Ryland."
"Raja sabun Amerika itu?"
"Tepat. Salah seorang sekretarisnya menghubungi aku. Di sebuah perusahaan besar
di Rio telah terjadi banyak ketidakberesan. Dia memintaku untuk menyelidiki
persoalannya di tempat. Kutolak.
Kujelaskan bahwa bila ia mau menjelaskan duduk perkaranya padaku, akan kuberikan
pandanganku yang ampuh itu. Tapi katanya dia tak dapat berbuat demikian. Dia
baru akan menjelaskan persoalannya setelah aku tiba di sana. Dalam keadaan biasa
hal semacam itu pasti sudah mengakhiri pembicaraan. Kurang ajar sekali, mau
mendikte Hercule Poirot. Tapi jumlah uang yang ditawarkan bukan main besarnya, dan baru kali inilah
selama hidupku, aku terbujuk oleh uang semata. Ini suatu kesempatan suatu
keberuntungan! Lalu ada lagi daya tarik yang
kedua - yaitu kau, Sahabatku. Selama setahun setengah ini aku merasa seperti
orang tua yang sangat kesepian. Maka kupikir, kenapa tidak" Aku sudah mulai
bosan pada pekerjaanku yang terus-menerus menyelesaikan perkara-perkara sepele.
Aku sudah berhasil mencapai kemasyhuran. Blariah kuterima saja uang itu, lalu
aku menetap di dekat sahabat lamaku. "
Aku terkesan oleh pertimbangan Poirot itu.
"Jadi aku menerimanya," lanjutnya, "dan dalam waktu satu jam lagi aku harus
berangkat naik kereta api dan kemudian naik kapal.
Ironis sekali, kan" Tapi kuakui, Hastings, bahwa seandainya uang yang ditawarkan
tidak sebanyak itu, aku mungkin ragu, karena akhir-akhir ini aku baru saja
memulai penyelidikanku sendiri. Tahukah kau apa yang dimaksud dengan 'Empat
Besar'?" "Kurasa istilah itu berasal dari Konperensi Versailles, kemudian ada lagi
istilah Empat Besar yang terkenal dalam dunia perfilman, dan istilah itu dipakai
pula oleh orang-orang yang kurang penting."
"Begitukah?" kata Poirot sambil merenung. "Tapi aku menemukan istilah itu dalam
hubungan yang tak sesuai dengan penjelasanmu yang mana pun juga. Agaknya nama
itu ada hubungannya dengan suatu komplotan penjahat internasional atau
semacamnya; hanya -"
"Hanya apa?" tanyaku waktu kulihat keraguannya.
"Hanya kukira yang ini berukuran besar. Itu hanya pikiranku saja, tak lebih dari
itu. Ah, harus kuselesaikan berbenahku dulu. Waktu sudah mendesak.
"Jangan pergi," desakku. Batalkan saja pelayaranmu, dan berangkatlah nanti
bersamaku." Poirot menegakkan sikapnya dan memandangku dengan
pandangan menegur. "Ah, kau tak mengerti! Aku telah menyatakan kesediaanku.
Bukankah kau tahu - Hercule Poirot tak pernah menarik kembali kata-katanya.
Hanya soal hidup dan mati saja yang bisa menahanku."
"Dan agaknya itu tak bakal terjadi," kataku murung, "kecuali kalau pada saat
terakhir pintu terbuka dan tamu yang tak diundang masuk."
Kukutip pepatah lama itu sambil tertawa kecil, lalu sesaat kemudian, kami
terkejut sekali karena terdengar bunyi dari kamar di dalam.
"Apa itu?" teriakku.
"Mafoi!" bentak Poirot. "Kedengarannya benar-benar seperti ada
'tamu tak diundang' seperti yang kaukatakan tadi itu di kamar tidurku."
"Tapi bagaimana orang bisa masuk ke sana" Padahal tak ada pintu lain kecuali
yang ke kamar ini. "
"Ingatanmu baik sekali, Hastings. Sekarang coba cari
penjelasannya." "Jendela! Jadi pencurikah" Pasti susah payah sekali dia memanjat
- rasanya bahkan tak mungkin."
Aku bangkit lalu berjalan ke arah pintu. Tapi aku berhenti karena ada bunyi
orang mengutik-utik gagang pintu itu dari sisi sebelah sana.
Pintu terbuka perlahan-lahan. Seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seluruh
tubuhnya, dari kepala sampai ujung kaki, penuh debu dan lumpur. Wajahnya kurus
dan pucat. Dia menatap kami sesaat, lalu terhuyung dan jatuh. Poirot cepat
menghampiri, lalu menengadah dan berkata padaku,
"Ambil brandy - cepat."
Cepat-cepat kutuang brandy ke dalam gelas dan kuberikan. Poirot berhasil
menenangkannya sedikit, berdua kami angkat dia, lalu kami bawa ke sofa. Beberapa
menit kemudian, dia membuka matanya dan memandang ke sekeliling dengan pandangan
hampa. "Anda mau apa?" tanya Poirot.
Orang itu membuka mulutnya lalu berbicara dengan nada otomatis yang aneh.
"Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14."
"Benar - benar, ini saya sendiri."
Orang itu seperti tak mengerti. Dia hanya mengulang lagi dengan nada yang sama,
"Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14."
Poirot mencoba menanyakan beberapa hal. Orang itu kadang-kadang tak menjawab
sama sekali; kadang-kadang dia mengulangi saja kata-kata yang sama. Poirot
mengisyaratkan apar aku menelepon.
"Panggil Dr. Ridgeway."
Untunglah dokter itu ada di tempat; dan karena rumahnya hanya di tikungan jalan,
beberapa menit kemudian dia sudah datang.
"Ada apa ini." Poirot memberinya penjelasan singkat, dan dokter mulai memeriksa tamu kami yang
aneh itu, yang kelihatannya tidak menyadari kehadiran kami.
"Hm!" kata Dr. Ridgeway setelah dia selesai.
"Penyakit aneh."
"Apakah demam otak?" tanyaku.
Dokter itu mendengus mengejek.
"Demam otak! Demam otak! Tak ada itu. Itu kan hanya karang-karangan
para penulis saja. Tidak, laki-laki ini telah mengalami semacam shock yang
hebat. Dia datang kemari hanya dengan kemauan yang keras saja - untuk menemukan
Hercule Poirot, Farraway Street nomor 14 - dan dia hanya mengulang-ulangi kata-
kata itu seperti mesin saja, tanpa tahu apa artinya."
"Apakah dia menderita penyakit gagu mendadak?" tanyaku tagi penuh ingin tahu.
Pertanyaanku itu tidak membuat dokter itu mendengus sehebat tadi. Dia tidak
menjawab, melainkan memberi laki-taki itu kertas dan pensil.
"Coba kita lihat apa yang dilakukannya sekarang, katanya.
Beberapa lamanya orang itu tidak melakukan apa-apa. Tetapi tiba-tiba dia-menuils
dengan gugup. Dan tiba-tiba pula dia berhenti dan menjatuhkan kertas dan pensil
itu. Dokter memungutnya, lalu menggeleng.
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak ada apa-apa. Hanya angka empat yang dituliskannya berkali-kali, setiap kali
semakin besar. Saya rasa dia ingin menulis Farraway Street nomor 14. Menarik
benar kasus ini - sangat menarik. Dapatkah Anda menahannya di sini sampai nanti
siang" Sekarang saya harus ke rumah sakit, tapi saya akan kembali nanti siang
dan mengurus dia. Kasus pasien ini terlalu menarik untuk dibiarkan berlalu
begitu saja." Kujelaskan tentang rencana keberangkatan Poirot, dan rencanaku sendiri untuk
menyertainya sampai ke Southampton.
"Tak apa-apa. Tinggalkan saja dia di sini. Dia tidak akan bertingkah apa-apa.
Cuma keletihan yang luar biasa. Mungkin dia akan tidur selama delapan jam terus-
menerus. Saya akan berbicara dengan induk semang Anda, Nyonya si Wajah Lucu yang
hebat itu, dan memintanya untuk mengawasi orang itu."
Dan Dr. Ridgeway pun keluar tergesa-gesa seperti biasanya. Poirot sendiri
menyelesaikan pengepakan barang-barangnya, sambil memandangi jam terus.
"Waktu ini berjalan terus, bukan main cepatnya. Ayolah, Hastings, ini tugas yang
kutinggalkan buat kau. Masalah ini sensional. Laki-laki dari, antah berantah
itu. Siapa dia" Apa dia" Ah, sapristi, tapi aku mau mengorbankan hidupku dua
tahun, asal kapal itu mau berangkat besok dan tidak hari ini. Ada yang sangat
aneh di sini - sangat menarik. Tapi kita harus punya waktu untuk itu - ya,
waktu. Mungkin berhari-hari - atau bahkan berbulan-bulan barulah dia akan dapat mengatakan pada
kita, apa yang ingin dikatakannya."
"Aku akan berusaha, Poirot," aku meyakinkannya. "Akan kucoba jadi pengganti yang
efisien.- "Ya." Aku mendapat kesan jawabannya itu mengandung keraguan.
Kertas tadi kupungut. "Seandainya aku sedang mengarang cerita," kataku dengan ringan, "akan kujalin
peristiwa ini dengan gagasan anehmu yang terakhir tadi, dan akan kunamakan
Misteri Empat Besar. " Sementara berbicara kuketuk-ketuk angka-angka yang
ditulls dengan pensil itu.
Dan aku pun terkejut, karena orang yang sakit tadi itu, tiba-tiba sadar, lalu
duduk di sofa itu, dan berkata dengan terang dan jelas.
"Li Chang Yen."
Dia kelihatan seperti orang yang baru terbangun dari tidur. Poirot
mengisyaratkan padaku supaya tidak berbicara. Laki-laki itu meneruskan lagi. Dia
berbicara dengan suara yang tinggi dan jelas, dan mendengar ucapannya, aku
merasa bahwa dia seolah-olah sedang menghafalkan sesuatu dari suatu laporan atau
ceramah tertulis. "Li Chang Yen boleh dianggap sebagai otak dari Empat Besar.
Dialah yang mengendalikan dan mendorong. Oleh karenanya, saya menyebutnya Nomor
Satu. Nomor Dua jarang disebut namanya. Dia hanya dinyatakan dengan huruf 'S'
yang diberi dua buah garis di tengahnya - lambang dolar; juga dengan dua buah
garis dan sebuah bintang. Jadi boleh disimpulkan bahwa dia berkebangsaan
Amerika, dan bahwa dia mencerminkan kekuatan kekayaan. Tak dapat diragukan bahwa
Nomor Tiga adalah seorang wanita, dan dia berkebangsaan Prancis. Mungkin dia
sejenis wanita penakluk yang cantik dan berbahaya, tetapi tak ada satu hal pun
yang pasti. Nomor Empat -"
Suaranya melemah lalu tiba-tiba berhenti. Poirot membungkuk mendekatinya.
"Ya, " katanya dengan penuh ingin tahu, "Nomor Empat?"
Poirot menatap wajah laki-laki itu. Orang itu kelihatan ketakutan sekali; dia
seperti kesakitan dan kejang-kejang.
"Si Pemusnah," kata orang itu terengah. Dan dengan gerakan mengejang yang
terakhir, dia jatuh tertelentang, dan pingsan.
"Mon Dieu!" bisik Poirot. "Kalau begitu aku benar. Aku benar."
"Kaupikir -?" Dia menyela kata-kataku. "Mari kita angkat dia ke tempat tidur dalam kamarku. Aku tak bisa menunggu
barang semenit pun lagi, kalau aku tak mau ketinggalan kereta api. Bukan berarti
aku tak ingin ketinggalan. Ah, ingin benar aku ditinggalkan kereta api itu,
tanpa dibebani perasaan bersalah!
Tapi Aku sudah berjanji. Mari, Hastings!"
Setelah menitipkan tamu misterius itu pada Nyonya Pearson, kami berangkat, dan
kami hampir saja terlambat. Poirot kadang-kadang membisu dan kadang-kadang
banyak bicara. Kadang-kadang dia duduk merenung saja ke luar jendela, seperti
orang yang sedang bermimpi, seolah-olah tak didengarnya apa-apa yang kukatakan
padanya. Kemudian, tiba-tiba banyak bicaranya, dan mencurahkan bermacam amanat
dan perintah padaku, dan memesankan benar agar aku terus-menerus mengirim
berita-berita dalam bentuk rahasia.
Setelah kami melewati Woking, lama kami tak bercakap-caka .
Kereta api tentu saja tak berhenti di mana-mana sebelum tiba di Southampton;
tetapi justru di tempat itu kereta kebetulan berhenti karena ada tanda berhenti.
"Ah! Terkutuk benar!" seru Poirot tiba-tiba. "Benar-benar goblok aku ini.
Akhirnya kini aku mengerti. Ini pasti berkat bantuan orangorang suci, kereta api
berhenti. Lompat, Hastings, cepat lompat, kataku. "
Sebentar saja dia sudah membuka pintu gerbong, lalu melompat ke luar ke tepi.
"Lemparkan kopor-kopor dan melompatlah."
Aku mematuhi perintahnya. Tepat pada waktunya. Baru saja aku mendarat di
sebelahnya, kereta api pun bergerak lagi.
"Nah, sekarang, Poirot," kataku dengan kesal, "sekarang mungkin kau mau cerita
apa ini semua." "Soalnya, Sahabatku, aku baru saja paham."
"Sekarang baru jelas bagiku."
"Memang seharusnya begitu," kata Poirot, "tapi aku kuatir - aku kuatir sekali
hal ini belum jelas bagimu. Kalau kau bisa membawa dua dari kopor-kopor ini,
kurasa aku bisa membawa yang lain.
Bab 2 LAKI-LAKI DARI RUMAH SAKIT JIWA
UNTUNGLAH kereta apinya berhenti di dekat sebuah stasiun.
Setelah berjalan sebentar, kami tiba di sebuah bengkel mobil. Kami pun menyewa
mobil, dan setengah jam kemudian kami sudah ngebut kembali ke London. Setelah
itulah Poirot baru mau memenuhi rasa ingin tahuku.
"Kau tak mengerti" Aku pun semula tidak. Tapi sekarang aku mengerti. Hastings,
ada orang yang telah mencoba menyingkirkan aku."
"Apa?" "Benar. Dengan cara yang licik sekali. Baik tempat maupun caranya dipilih
berdasarkan pengetahuan yang luas dan dengan lihai sekali. Mereka takut padaku."
"Siapa?" "Keempat orang genius, yang telah bergabung dan bekerja sama melawan hukum.
Seorang berkebangsaan Cina, seorang Amerika, seorang wanita Prancis, dan -
seorang lagi. Berdoalah pada Tuhan agar kita kembali pada waktunya, Hastings."
"Kaupikir tamu kita itu terancam bahaya?"
"Aku yakin. Nyonya Pearson menyambut kedatangan kami. Tanpa
memperdulikan kekalutan wanita itu karena terkejut melihat Poirot kembali, kami
tanyai dia. Keterangannya membesarkan hati. Tak ada orang datang, dan tamu kami
juga tidak memberikan tanda apa-apa.
Dengan mendesah lega, kami naik ke ruang atas.
Poirot melewati ruang luar dan terus masuk ke ruang dalam. Lalu dia memanggil
aku, suaranya kacau. "Hastings, dia sudah mati."
Aku berlari menghampiri. Laki-laki itu tetap terbaring seperti pada saat kami
tinggalkan tadi, tapi sudah mati, bahkan sudah mati beberapa lama. Aku berlari
lagi ke luar untuk mencari dokter. Aku tahu Dr. Ridgeway pasti belum kembali.
Dalam waktu singkat saja aku menemukan seorang dokter lain, dan kubawa pulang.
"Dia memang sudah meninggal, kasihan orang ini. Gelandangan yang sudah menjadi
sahabat Anda rupanya?"
"Begitulah," sahut Poirot, mengelak. "Apa penyebab kematiannya, Dokter?"
"Sulit dikatakan. Mungkin semacam serangan mendadak. Ada tanda-tanda dia
kehilangan kesadaran. Apakah tak ada penerangan gas di sini?"
"Tidak ada, hanya lampu listrik - tak ada yang lain.
"Dan kedua buah jendela pun terbuka. Saya rasa sudah kira-kira dua jam dia
meninggal. Anda pasti akan memberi tahu yang berwajib, kan?"
Lalu dia berangkat. Poirot menelepon beberapa orang. Akhirnya, heran juga aku,
dia menelepon teman lama kami, Inspektur Japp, dan bertanya apakah dia mungkin
bisa datang. Baru saja semua kegiatan itu selesai, Nyonya Pearson muncul.
Matanya membulat, katanya,
"Ada orang dari Hanwell - dari Rumah Sdkit Jiwa. Ada-ada saja.
Apa saya persilakan dia masuk kemari?"
Kami menyatakan setuju, dan seorang pria besar dan tegap yang berpakaian
seragam, dipersilakan masuk.
"Selamat pagi, Tuan-tuan!" katanya ceria. "Saya mendengar salah seorang
peliharaan saya ada dli sini. Semalam dia melarikan diri."
"Dia memang tadinya di sini, " kata Poirot dengan tenang.
"Dia kan tidak lari lagi?" tanya petugas itu dengan cemas.
"Dia sudah meninggal."
Pria itu lebih kelihatan lega daripada sebaliknya.
"Begitukah" Yah, saya yakin lebih baik begitu bagi semua pihak."
"Apakah dia - berbahaya?"
"Ada kecenderungan untuk membunuh, maksud Anda" Ah, tidak.
Dia tak mengganggu. Dia punya rasa takut dikejar-kejar yang parah.
Otaknya penuh dengan Perkumpulan-perkumpulan rahasia dari Cina, yang telah
membuatnya membungkam. Orang-orang semacam itu, sama saja semuanya."
Aku menggigil. "Sudah berapa lama dia dikurung?" tanya Poirot. "Kira-kira sudah dua tahun."
"Saya Mengerti," kata Poirot dengan tenang.
"Apakah tak ada seorang pun juga yang beranggapan bahwa dia mungkin - waras?"
Petugas itu tertawa. "Kalau dia waras, untuk apa dia di Rumah Sakit jiwa" Anda tahu, mereka semua
ngakunya waras." Poirot tidak berkata apa-apa lagi. Diajaknya petugas itu masuk untuk melihat
mayat itu. Orang itu langsung dapat mengenalinya.
"Memang benar dia - cocok," kata petugas itu dengan geram.
"Benar-benar orang aneh kan dia. Nah, Tuan-tuan, sebaiknya saya pergi saja
sekarang untuk menyiapkan segalanya. Kami tidak akan menyusahkan Anda lama-lama
dengan mayat ini. Bila ada
pemeriksaan polisi nanti, saya yakin Anda akan harus muncul.
Selamat pagi, Tuan-tuan."
Setelah membungkuk dengan kaku, dia keluar.
Beberapa menit kemudian, Japp datang. Inspektur dari Seotland Yard itu gagah dan
bergaya seperti biasa. "Nah, Monsieur Poirot. Apa yang dapat saya bantu" Saya sangka hari ini Anda
sudah sampai di suatu pantai yang berbatu karang, atau di tempat lain.
"Japp yang baik, saya ingin tahu apakah Anda sudah pernah melihat orang ini."
Japp diajaknya masuk ke kamar tidurnya.
Inspektur itu menatap ke wajah orang yang terbaring di tempat tidur itu, dengan
air muka penuh tanda tanya.
"Coba saya ingat-ingat - rasanya saya kenal orang ini - dan biasanya saya boleh
bangga pada ingatan saya. Oh, Tuhan, ini kan Mayerling!"
"Dan - siapa pula - Mayerling itu?"
"Seseorang dari Dinas Rahasia - tapi bukan orang kami. Dia pergi ke Rusia lima
tahun yang lalu. Sejak itu tak pernah didengar lagi kabar beritanya. Selama ini
kami sangka orang-orang Bolsyewik di Rusia sudah membunuhnya."
"Semuanya cocok sekali, " kata Poirot setelah Japp pergi lagi,
"kecuali kenyataan bahwa dia telah meninggal secara wajar."
Poirot tetap berdiri menatap tubuh yang tak bergerak lagi itu dengan wajah
berkerut membayangkan rasa tak puasnya. Karena tiupan angin, tirai-tirai jendela
melambai ke luar, dan Poirot tiba-tiba mengangkat wajahnya.
"Apa kaubuka jendela-jendela setelah kaubaringkan dia di tempat tidur tadi,
Hastings?" "Tidak," sahutku. "Sepanjang ingatanku, semuanya tertutup. "
Poirot tiba-tiba mendongak.
"Tertutup - dan sekarang semuanya terbuka. Apa artinya itu.
"Ada seseorang yang masuk lewat jendela itu", kataku.
"Mungkin," Poirot membenarkan, tapi bicaranya linglung dan tanpa keyakinan.
Beberapa menit kemudian, dia berkata,
"Bukan itu yang sedang kupikirkan, Hastings. Seandainya hanya sebuah jendela
yang terbuka, aku tidak akan terlalu penasaran.
Karena keduanya terbuka maka kurasa aneh."
Dia bergegas pergi ke kamar yang sebuah lagi.
"Jendela ruang tamu terbuka juga. Padahal itu pun tertutup waktu kita
tinggalkan. Ah!" Dia membungkukkan tubuhnya ke laki-laki yang sudah meninggal itu, lalu memeriksa
sudut-sudut mulutnya dengan seksama.
Kemudian tiba-tiba-dia mengangkat mukanya.
"Mulutnya tadi disumbat, Hastings. Disumbat lalu diracuni.
"Astaga!" seruku, terkejut sekali. "Kurasa kita akan tahu semuanya, setelah
perneriksaan mayat nanti."
"Kita tidak akan menemukan apa-apa. Dia terbunuh karena telah menghirup racun
asam biru yang kuat. Racun itu ditekankan di hidungnya. Kemudian pembunuhnya
pergi lagi, setelah lebih dulu membuka semua jendela. Asam hidrosianat itu
sangat mudah menguap, tapi terkenal dengan baunya yang pahit seperti bau buah almond. Karena
tak ada bekas bau yang bisa menimbulkan dugaan orang, dan karena tak ada
kecurigaan adanya permainan kotor, maka para dokter pasti akan menyatakan bahwa
kematiannya adalah wajar. Jadi orang ini dulu bertugas pada Dinas Rahasia,
Hastings. Dan lima tahun yang lalu dia menghilang ke Rusia."
"Selama dua tahun yang terakhir ini, dia berada di Rumah Sakit jiwa di sini,"
kataku. "Tapi apa yang terjadi dalam tiga tahun sebelumnya?"
Poirot menggeleng, lalu tiba-tiba mencengkeram lenganku.
"Jam, Hastings, lihat jam itu."
Aku mengikuti arah pandangannya ke atas perapian. Jam itu berhenti pada pukul
empat. "Mon ami, pasti ada yang telah mengutik-utik jam itu. Jam itu sebenarnya masih
bisa berjalan tiga hari lagi. Itu kan jam yang harus diputar setiap delapan hari
sekali, mengerti kau?"
"Tapi, untuk apa mereka berbuat demikian" Apa maksudnya supaya orang menyangka
bahwa kejahatan itu seolah-olah terjadi jam empat?"
"Tidak, bukan begitu. Atur pikiranmu, mon ami. Gunakan sel-sel kecil kelabumu.
Andai kata kau Mayerling. Kau mungkin mendengar sesuatu - lalu kau tahu bahwa
ajalmu sudah tiba. Kau hanya punya waktu untuk meninggalkan tanda. jam empat,
Hastings. Nomor Empat, si Pemusnah. Ah! Alangkah cerdiknya!"
Dia berlari ke kamar yang sebelah lagi, lalu mengangkat gagang telepon. Dia
minta dihubungkan dengan Hanwell.
"Apakah di situ Rumah Sakit jiwa" Saya dengar hari ini ada yang melarikan diri,
apa benar" Apa" Tunggu sebentar. Dapatkah Anda ulangi" Ah! Tepat sekali."
Diletakkannya kembali gagang telepon, lalu dia berpaling padaku.
"Kaudengar pembicaraanku tadi" Sama sekali tidak ada orang yang melarikan diri."
"Tapi orang yang kemari tadi - petugas itu?" kataku.
"Aku pun ingin tahu - aku ingin sekali tahu."
"Maksudmu?" "Nomor Empat - si Pemusnah."
Aku memandangi Poirot tanpa bisa berkata apa-apa. Beberapa saat kemudian,
setelah mampu berbicara lagi, aku berkata,
"Kita akan mengenali orang itu lagi, di suatu tempat, itu pasti.
Orang itu punya kepribadian yang mudah dikenali."
"Begitukah, mon ami" Kurasa tidak. Orangnya tegap dan kelihatan dungu, wajahnya
merah, berkumis tebal, dan suaranya serak.
Sekarang pasti sifat-sifat itu tak ada lagi padanya, selanjutnya, matanya sulit
dilukiskan, telinganya sukar diuraikan, dan dia memakal gigi palsu yang
sempurna. Mengenali seseorang bukanlah hal yang semudah kaubayangkan. Lain kali
-" "Apakah kaupikir masih akan ada lain kali?" aku menyela.
Wajah Poirot menjadi amat bersungguh-sungguh.
"Ini akan merupakan pertarungan antara mati dan hidup, mon ami. Kau dan aku di
satu pihak, Empat Besar di pihak lain. Mereka telah menang dalam tipu muslihat
yang pertama ini; tapi mereka telah gagal menyingkirkan aku, dan dalam masa yang
akan datang mereka masih harus membuat perhitungan dengan Hercule Poirot!"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 3 KAMI MENDENGAR LAGI TENTANG LI CHANG YEN
SEHARI dua hari setelah kunjungan Petugas Rumah Sakit Jiwa gadungan itu,
kusangka dia akan kembali lagi, dan aku tak mau
meninggalkan flat barang sebentar pun juga. Sejauh penglibatanku, tak ada jalan
baginya untuk curiga bahwa kami telah membongkar penyamarannya. Kupikir, dia
mungkin kembali, dan mencoba mengambil mayat itu, tapi Poirot menyalahkan jalan
pikiranku itu. "Mon ami, " katanya, "kalau kau mau, boleh saja kau menunggu sam pai kucing
bertanduk, tapi, aku tidak akan mau membuang-buang waktu begitu."
"Kalau begitu, Poirot," bantahku, "untuk apa dia begitu berani menantang bahaya
untuk datang kembali" Bila dia berniat untuk datang lagi mengambil mayat itu,
aku masih mengerti tujuan kedatangannya itu. Sekurang-kurangnya dia harus
menghapuskan barang bukti yang akan memberatkan dirinya; tapi dalam keadaannya
sekarang, dia kelihatannya tidak mendapat keuntungan apa-apa."
Poirot mengangkat bahunya dengan caranya yang khas. "Tapi kau tidak meninjaunya
dari sudut Pandangan Nomor Empat, Hastings, katanya. "Kau berbicara tentang
barang bukti, lalu apa barang bukti kita yang memberatkan dia" Benar, memang ada
mayat itu, tapi kita bahkan tak punya bukti bahwa laki-laki itu mati terbunuh -
racun asam biru itu bila dihirup, tidak meninggalkan bekas apa-apa. Lagi pula,
kita tak bisa menemukan seorang pun yang melihat seseorang memasuki flat ini
sepeninggal kita, dan kita sama sekali tak tahu apa-apa tentang kegiatan-
kegiatan teman kita almarhum Mayerling ini.
"Tidak, Hastings, Nomor Empat tidak meninggalkan bekas apa-apa, dan dia tahu
itu. Kunjungannya itu boleh kita sebutkan suatu usaha pengintaian. Mungkin dia
ingin meyakinkan diri bahwa Mayerling sudah meninggal. Tapi kurasa, lebih besar
kemungkinannya, bahwa dia datang untuk menemui Hercule Poirot, dan sekadar
bercakap-cakap dengan lawannya, satu-satunya orang yang harus ditakutinya."
Dalam jalan pikiran Poirot it.u, kelihatan benar sifatnya yang suka memuji diri,
tapi aku menahan diri tidak membantah.
"Lalu bagaimana dengan pemeriksaan polisi nanti?" tanyaku.
"Kurasa kau akan harus menjelaskan beberapa hal di sana. Apakah kau akan
memberikan keterangan yang jelas tentang Nomor Empat?"
"Apa gunanya" Apa kita akan bisa mempengaruhi dewan
pemeriksa mayat yang terdiri dari orang-orang Inggris itu" Apakah gambaran kita
tentang Nomor Empat itu akan ada faedahnya" Tidak, akan kita biarkan saja mereka
menyebutnya 'kematian yang tak disengaia', dan mungkin, meskipun aku tidak
begitu yakin, pembunuh kita yang pintar itu akan menepuk dada, bahwa dia telah
berhasil mengecoh Hercule Poirot dalam ronde pertama ini."
Sebagaimana biasanya, Poirot memang benar. Kami tak lagi melihat laki-laki dari
Rumah Sakit Jiwa itu. Pemeriksaan polisinya pun tidak pula mendapat perhatian
masyarakat. Aku ikut memberikan kesaksian, sedang Poirot hadir saja tak mau.
Dengan adanya rencana keberangkatan ke Amerika Selatan, Poirot telah membatalkan
semua urusannya sebelum aku datang. Oleh karena itu, pada saat ini tak ada
perkara yang harus diselesaikannya.
Namun, meskipun dia banyak menghabiskan waktunya di flat, jarang sekali aku bisa
bertemu dengan dia. Dia duduk saja membenamkan dirinya di kursinya, dan tak
memberikan kesempatan untuk bercakap-cakap.
Lalu pada suatu pagi, kira-kira seminggu setelah pembunuhan itu, ia bertanya
apakah aku mau ikut pergi mengunjungi seseorang. Aku senang, karena kurasa dia
keliru kalau mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan seorang diri saja, dan
aku ingin membicarakan perkara itu dengan dia. Tetapi ternyata masih saja ia
sulit diajak bicara. Bahkan waktu kutanya ke mana kami akan pergi pun, dia tak
mau menjawab. Poirot memang suka bersikap misterius. Dia tak akan memberikan keterangan
sebelum saat terakhir tiba. Sekarang ini, setelah kami naik bis, kemudian dua
kali naik kereta api, dan tiba di suatu daerah pinggiran sebelah selatan kota
London yang paling menyedihkan keadaannya, barulah dia mau menjelaskan
persoalannya. "Kita ini, Hastings, akan menemui satu-satunya orang di Inggris yang paling tahu
tentang kehidupan Cina bawah tanah.
"Begitukah" Siapa dia?"
"Orang itu tak pernah kaudengar namanya. John Ingles.
Sebenarnya dia pensiunan pegawai negeri. Kecerdasannya lumayan, rumahnya penuh
dengan barang-barang berharga dari Cina. Teman-teman dan handai taulannya sering
dibuat bosan oleh keterangan-keterangannya tentang barang-barang itu. Meskipun
demikian, aku benar-benar yakin John Ingles inilah satu-satunya orang yang bisa
memberikan keterangan yang kucari."
Beberapa saat kemudian, kami menaiki tangga 'The Laurels', nama rumah kediaman
Tuan Ingles itu. Biasanya rumah di pinggiran kota disebut menurut ciri khasnya
atau tanaman, apa yang banyak tumbuh di situ. Namun di rumah itu tak kelihatan
tanaman laurel. Seorang pelayan Cina berwajah hampa membukakan kami pintu, lalu kami diantarnya
menghadap majikannya. Tuan Ingles bertubuh segi empat, air mukanya agak kuning,
matanya cekung dan membayangkan wataknya. Dia bangkit menyambut kedatangan kami,
setelah menyisihkan sepucuk surat yang sedang dipegangnya.
Setelah berbasa-basi, dia menyinggung tentang surat itu.
"Silakan duduk. Halsey mengatakan bahwa Anda memerlukan informasi, dan bahwa
saya mungkin bisa membantu Anda."
"Memang benar, Monsieur. Saya ingin bertanya apakah Anda tahu tentang seseorang
yang namanya Li Chang Yen?"
"Aneh - aneh sekali. Bagaimana Anda sampai tahu tentang orang itu?"
"Jadi Anda kenal rupanya?"
"Saya pernah bertemu dia satu kali. Dan saya tahu sedikit tentang dia - meskipun
tidak sebanyak yang saya ingini. Namun saya heran ada orang lain di Inggris ini,
yang juga pernah mendengar tentang dia. Dia orang besar dalam bidangnya - dia
orang dari golongan Mandarin - tapi itu bukan inti persoalannya. Orang punya cukup alasan untuk
menduga bahwa dialah orang di balik segalanya."
"Di balik apa?"
"Di balik segala-galanya. Keresahan di seluruh dunia, masalah perburuhan yang
melanda semua bangsa, dan revolusi yang pecah di beberapa negara. Ada orang-
orang, dan mereka bukan sekadar menakuti-nakuti, yang tahu benar apa yang mereka
bicarakan. Mereka ini berkata bahwa ada kekuatan di balik tabir, yang tujuannya tak kurang
dari menghancurkan peradaban. Perlu Anda ketahui, di Rusia ada tanda-tanda bahwa
Lenin dan Trotsky itu cuma sekadar boneka. Setiap tindak tanduknya didikte oleh
otak orang lain. Saya tak punya bukti untuk memastikannya pada Anda, tapi saya
yakin otak itu pastilah Li Chang Yen."
"Ah, mana bisa," bantahku, "apakah itu tidak terlalu dicari-carl"
Bagaimana mungkin seorang Cina bisa berkuasa di Rusia?"
Poirot memandangku dengan kesal sambil mengerutkan dahinya.
"Bagimu, Hastings," katanya, "semuanya memang terlalu dicari-cari, bila itu
bukan hasil khayalanmu sendiri. Aku sendiri sependapat dengan Tuan Ingles. Saya
mohon Anda mau melanjutkan keterangan Anda, Monsieur."
"Apa sebenarnya tujuan akhirnya, saya tak yakin," Tuan Ingles melanjutkan. "Tapi
penyakit yang dideritanya memang penyakit yang telah menyerang otak orang-orang
besar, mulai dari Akbar, Alexander, Sampai Napoleon - yaitu nafsu pada kekuasaan
dan keunggulan pribadi. Sampai zaman modern ini, Angkatan Bersenjata selalu
dianggap penting untuk mencapai kemenangan. Tapi di abad penuh keresahan ini,
orang seperti Li Chang Yen itu bisa menggunakan alat-alat lain. Saya punya bukti
bahwa dia ditunjang oleh keuangan yang amat besar, untuk suap-menyuap dan untuk
propaganda. Dan ada pula tanda-tanda bahwa dia memegang kendali dalam kekuatan
ilmu pengetahuan. Kekuasaannya lebih besar daripada yang dapat dibayangkan siapa
pun juga di muka bumi ini."
Poirot mengikuti kata-kata Tuan Ingles itu dengan perhatian yang besar sekali.
"Dan di Cina?"- tanyanya. "Apakah dia bergerak di sana juga?"
Lawan bicaranya mengangguk membenarkan.
"Juga di sana," katanya, "meskipun saya tak bisa memberikan bukti yang bisa
berlaku di pengadilan, saya bicara berdasarkan pengetahuan saya sendiri akan hal
itu. Saya kenal secara pribadi, setiap orang yang berperan di Cina sekarang ini,
dan saya bisa berkata: orang-orang yang paling tampak menonjol di mata
masyarakat, adalah orang-orang yang sebenarnya tidak
berkepribadian. Mereka itu hanya seperti boneka gantung, menari menurut tarikan
tangan seseorang yang berkuasa, dan tangan itu adalah tangan Li Chang Yen.
Dialah otak yang mengendalikan negara-negara Timur masa kini. Kita memang tak
bisa memahami negara-negara Timur - tidak akan pernah, tapi Li Chang Yen-lah
semangat penggeraknya. Bukan karena dia tampil di muka umum -
sama sekali tidak; dia tak pernah meninggalkan istananya di Peking.
Tapi dia yang memegang kendali penggerak ya, memegang kendali penggerak - dan
kejadian-kejadiannya timbul di tempat-tempat yang jauh."
"Dan tak ada seorang pun yang melawan?" tanya Poirot.
Tuan Ingles mencondongkan tubuhnya ke depan di kursinya.
"Empat orang telah mencoba dalam empat tahun terakhir ini,"
katanya lambat-lambat, "orang-orang yang punya kepribadian, kejujuran, dan otak
yang cemerlang. Dan mereka masing-masing sebenarnya bisa menggagalkan rencana-
rencana orang Cina itu. Dia berhenti. "Lalu?" tanyaku.
"Yah, mereka semuanya tewas. Seorang di antaranya menulis suatu artikel, dan
menyebutkan nama LI Chang Yen dalam hubungan dengan kekacauan-kekacauan di
Peking, dan hanya dalam jangka waktu dua hari, dia ditikam orang di jalan.
Pembunuhnya tak pernah tertangkap. Tuduhan-tuduhan dari kedua orang yang lain, sama juga.
Dalam pidatonya, atau dalam artikel tulisannya, atau dalam pembicaraannya,
mereka masing-masing mengaitkan nama Li Chang Yen dengan kekacauan atau
revolusi, dan dafam waktu satu minggu setelah perbuatan mereka yang ceroboh itu,
mereka meninggal berturut-turut. Seorang di antaranya diracuni, yang seorang
lagi meninggal karena kolera, kasus tersendiri - bukan bagian dari suatu wabah,
sedang seorang lagi kedapatan meninggal di tempat tidurnya.
Penyebab kematian yang terakhir ini tak pernah terungkapkan, tetapi seorang
dokter yang memeriksa mayatnya mengatakan pada saya, bahwa mayat itu hangus dan
keriput, seolah-olah telah disengat aliran listrik berkekuatan besar sekali."
"Lalu Li Chang Yen?" tanya Poirot. "Pasti tak ada petunjuk-petunjuk yang menuju
ke arah dirinya, tapi apakah tak ada tanda-tanda?"
Tuan Ingles mengangkat bahunya.
"Ah, tanda-tanda - itu pasti ada. Dan pada suatu kali saya menemukan seseorang
yang mau berbicara, orang muda ahli kimia Cina yang pernah menjadi anak asuh Li
Chang Yen. Pada suatu hari, ahli kimia itu datang pada saya, dan saya bisa
melihat bahwa dia sudah hampir mengalami kelumpuhan jiwa hebat.
Diisyaratkannya pada saya mengenal percobaan-percobaan yang harus dilakukannya
di istana Li Chang Yen, di bawah petunjuk-petunjuk penguasa itu - percobaan-
percobaan yang dikenakan pada kuli-kuli yang tidak mempertimbangkan
perikemanusiaan dan penderitaan. Jiwa anak muda itu benar-benar guncang, dan dia
dalam ketakutan yang amat sangat. Saya baringkan dia di tempat tidur yang
terdapat di kamar teratas rumah saya, dengan maksud menanyainya esok harinya -
dan tentu saja, itu bodoh betul."
"Bagaimana mereka sampai bisa menemukannya?" tanya Poirot ingin tahu.
"Saya tidak akan pernah tahu. Malam itu saya terbangun, dan mendapatkan rumah
saya terbakar. Saya masih beruntung, masih bisa menyelamatkan diri. Hasil
penyelidikan menun)ukkan, bahwa di
lantai teratas itu telah terjadi kebakaran yang teramat hebat. Mayat ahli kimia
muda ini ditemukan dalam keadaan hangus sampai menjadi arang."
Dari kesungguhan caranya berbicara itu, aku bisa melihat bahwa Tuan Ingles
adalah orang yang asyik dalam bercerita. Agaknya dia pun menyadari bahwa dia
telah terlalu terbawa dalam kisahnya sendiri, karenanya dia tertawa malu.
"Yah, tentulah," katanya. "saya tak punya bukti, dan Anda, seperti juga orang-
orang lain akan berkata bahwa otak saya sudah miring."
"Ah, sebaliknya," kata Poirot dengan tenang, "kami percaya sepenuhnya pada
cerita Anda. Kami sendiri pun amat tertarik pada Li Chang Yen itu."
"Aneh sekali Anda tahu tentang dia. Tak pernah saya bayangkan bahwa ada seorang
pun di Inggris ini yang pernah mendengar nama itu. Saya ingin tahu, bagaimana
Anda sampai mendengar dia - bila itu tidak terlalu bersifat pribadi."
"Sama sekali tidak, Monsieur. Ada orang melarikan diri ke tempat tinggal saya.
Dia amat menderita karena shock, tapi dia berhasil bercerita cukup banyak kepada
kami, hingga menimbulkan rasa ingin tahu kami tentang Li Chang Yen itu. Dia
melukiskan tentang empat orang - Empat Besar - suatu organisasi yang selama ini
belum pernah diimpikan orang. Nomor Satu adalah Li Chang Yen, Nomor Dua seorang
Amerika yang tak dikenal, Nomor Tiga, sorang wanita Prancis yang tak dikenal,
Nomor Empat boleh disebut pelaksana dari organisasi itu si Pemusnah. Orang yang
memberikan keterangan pada kami itu meninggal. Monsieur, apakah Anda mengenal
nama Empat Besar itu?" '
"Tidak dalam hubungan Li Chang Yen. Tidak, saya rasa tak ada hubungannya. Tapi
saya sudah pernah mendengar atau membacanya akhir-akhir ini - dan dalam hubungan
yang tak biasa pula. Nah, saya ingat."
Dia bangkit menghampiri sebuah lemani pernis kecil - perabot yang cantik sekali
sampai aku pun kagum. Dia kembali dengan membawa sepucuk surat.
"Ini dia. Sepucuk surat singkat dari seorang pelaut tua. Saya dulu bertemu dia
di Shanghal. Dia manusia tak beres yang sudah berubah
- saya rasa dia sekarang sudah tak sadar lagi karena banyaknya minum. Waktu itu
surat ini saya anggap sebagai igauannya gara-gara mabuk alkohol."
Surat itu dibacakannya nyaring:
"Dengan hormat - Anda mungkin tak ingat saya, tapi Anda pernah membantu saya di
Shanghai. Tolonglah saya sekali lagi. Saya memerlukan uang untuk keluar dari
negeri ini. Saya memang cukup aman di persembunyian saya sekarang, itulah yang
saya harapkan, tetapi saya takut suatu hari kelak, mereka akan bisa juga
menemukan saya. Maksud saya Empat Besar. Ini persoalan hidup dan mati. Saya
punya banyak uang, tetapi saya tak berani mengambilnya, karena takut ketahuan
mereka. Tolong kirimi saya beberapa ratus dalam bentuk uang kertas. Saya pasti
akan membayarnya kembali - saya berani bersumpah.
Hormat saya, Jonathan Whalley Surat ini beralamat di Granite Bungalow, Hoppaton, Dartmoor.
Tadinya saya pikir itu cara yang kasar untuk mendapatkan uang beberapa ratus
dari saya, padahal saya sendiri amat
membutuhkannya. Mungkin itu ada gunanya bagi Anda-" Surat itu diserahkannya pada
Poirot. "Terima kasih banyak, Monsieur. Saya akan berangkat ke Hoppaton saat ini juga."
"Waduh, ini menarik sekali. Bagaimana kalau saya ikut" Anda keberatan?"
"Saya akan senang sekali kalau Anda ikut, tapi kita harus berangkat segera.
Soalnya, hampir tengah malam nanti kita baru akan sampai di Dartmoor."
John Ingles membuat kami menunggu tak lebih dari beberapa menit. Tak lama kami
pun sudah berada di kereta api yang berangkat dari Paddington menuju ke daerah
barat. Hoppaton adalah sebuah desa kecil yang terkurung dalam sebuah cekungan,
tepat di tepi padang. Desa itu jauhnya tiga belas kiliometer dari
Moretonhamstead dengan mobil. Kami tiba kira-kira pukul delapan malam; tapi
karena waktu itu bulan Juli, matahari masih terang.
Mobil kami memasuki jalan sempit desa itu, lalu berhenti untuk menanyakan jalan
pada seorang desa tua. "Granite Bungalowy," kata orang tua itu dengan merenung,
"benar-benar Granite Bungalow yang Anda cari" Ya?"
Kami membenarkan bahwa memang tempat itulah yang kami
tanyakan. Orang tua itu menunjuk ke sebuah pondok kecil berwarna abu-abu di ujung jalan.
"Itu bungalownya. Apa Anda ingin ketemu Bapak Inspektur?"
"Inspektur apa?" tanya Poirot tajam. "Apa maksud Bapak?" '
"Jadi Anda belum dengar pembunuhan itu"
"Mengejutkan sekali rupanya. Kata orang, banyak sekali darahnya.
"Mon Dieu!" gumam Poirot, "Aku harus segera bertemu dengan inspektur itu."
Lima menit kemudian kami bertemu dengan inspektur Meadows.
Mula-mula inspektur itu bersikap kaku, tetapi begitu mendengar nama ajaib
Inspektur Japp dari Seotland Yard, dia ramah-tamah.
"Benar, Tuan, terbunuh pagi ini. Kejadian yang sangat
mengejutkan. Orang menelepon saya di Moreton, dan saya segera datang.
Kelihatannya misterius sekali. Orang tua itu - kata orang sudah berumur tujuh
puluh tahun, gemar minum-minum - dia
kedapatan terbaring di lantai ruang tamunya. Di kepalanya ada memar, sedang
lehernya tersembelih dari telinga ke telinga. Tentu saja darah berceceran di
mana-mana. Wanita yang menjadi tukang masaknya, Betsy Andreas,
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan pada kami bahwa majikannya memiliki beberapa buah barang kecil dari
batu giok Cina. Majikannya pernah bercerita bahwa barang-barang itu sangat
mahal, dan barang-barang itu lenyap.
Dengan demikian tentunya jadi kelihatan seperti pembunuhan dan perampokan; tapi
banyak sekali masalah kalau pemecahannya itu.
Orang tua itu ditemani dua orang di rumah itu; Besty Andreas yang wanita
Hoppaton asli, dan seorang pelayan laki-laki yang kasar, Robert Grant. Grant
sedang pergi ke tempat pemeliharaan sapi untuk membeli susu. Hal itu
dilakukannya setiap hari, sedang Betsy sedang keluar untuk ngobrol dengan
tetangga. Hanya dua puluh menit dia meninggalkan rumah itu - antara jam sepuluh
dan setengah sebelas - dan kejahatan itu pasti dilakukan dalam jangka waktu itulah. Grant yang mula-
mula kembali ke rumah. Dia masuk lewat pintu belakang yang terbuka. Di daerah
ini tak ada orang yang mengunci pintu tengah hari bolong. Lalu dia memasukkan
susu itu ke dalam lemari makanan, lalu masuk ke dalam karnarnya send,iri untuk
membaca surat kabar dan merokok. Dia tak tahu sesuatu yang luar biasa telah
terjadi - begitulah katanya. Lalu Betsy masuk, dia masuk ke ruang tamu dan
melihat apa yang telah terjadi. Dia berteriak sekuat-kuatnya. Itu dapat
dimengerti. Ada orang yang masuk sementara kedua orang itu keluar, dan membunuh
orang tua malang itu. Tapi saya segera mendapatkan kesan, dia pasti pembunuh
berdarah dingin. Setelah melakukan perbuatan itu, dia harus segera keluar lagi
ke jalan desa, atau merangkak melalui pekarangan-pekarangan belakang orang lain.
Seperti Anda lihat, Granite Bungalow dikelilingi rumah-rumah lain. Jadi
bagaimana sampai bisa tak seorang pun melihatnya?"
Inspektur itu berhenti berbicara dengan rasa puas.
"Oh, saya paham apa yang Anda maksud," kata Poirot
selanjutnya. "Yah, Tuan, ini tak beres, saya katakan pada diri saya sendiri - ada yang tak
beres. Dan saya pun mulai melihat ke sekeliling saya.
Kemudian barang-barang batu giok itu. Apa gelandangan biasa bisa menduga bahwa
barang-barang itu berharga" Bagaimanapun juga, orang gila yang mau melakukan
perbuatan semacam itu di tengah hari bolong. Bagaimana kalau orang tua itu
berteriak minta tolong?"
"Saya rasa, Inspektur," sela Tuan Ingles, "memar di kepalanya itu akibat pukulan
sebelum dia meninggal."
"Memang benar, Tuan. Mula-mula pembunuh itu memukulnya sampai pingsan, lalu
menyembelih lehernya. Itu sudah jelas. Tapi bagaimana caranya dia datang dan
pergi" Orang-orang di tempat sekecil ini mudah saja mengenali orang-orang asing.
Saya segera menyimpulkan - tak ada seorang pun yang datang. Saya sudah melihat-
lihat berkeliling. Semalam sebelumnya, hujan turun, dan jelas kelihatan bekas-
bekas telapak kaki yang masuk dan keluar dari dapur. Dalam ruang tamu hanya ada
bekas telapak kaki dua orang saja (bekas telapak kaki Betsy Andrew cuma sampai
di pintu) - dan bekas telapak kaki Tuan Whalley sendiri (dia memakai sandal
kamar), lalu ada bekas telapak kaki seorang lagi. Orang lain itu langsung
menginjak genangan darah itu. Saya telusuri jejak kaki berdarah itu -
maafkan kalau kata-kata saya terlalu kasar, Tuan."
"Tidak apa-apa," kata Ingles dengan tersenyum kecil. "Kami bisa mengertl."
"Saya ikuti sampai ke dapur - tidak lebih jauh. Itu pokok nomor satu. Pada
jenang pintu kamar Robert Grant ada olesan tipis - olesan darah. Itu pokok nomor
dua. Pokok yang nomor tiga, waktu saya mendapatkan sepatu bot Grant - yang sudah
ditanggalkannya - dan mengukurnya pada bekas-bekas telapak tadi. Itulah yang
memberikan kepastian. Ini rupanya merupakan perbuatan orang dalam. Saya ambil
Grant lalu saya tahan dia; dan apa yang saya temukan tersembunyl dalam saku
mantelnya" Barang-barang kecil dari batu giok itu, dan surat pembebasan dari
penjara. Robert Grant itu tak lain dari Abraham Biggs, yang pernah dipenjarakan
karena kejahatan besar dan merampok rumah orang lima tahun yang lalu."
Inspektur itu berhenti lagi, dengan sikap penuh kemenangan.
"Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu, Tuan-tuan?"
"Saya rasa," kata Poirot, "perkaranya kelihatannya sudah-jelas -
bahkan demiklan jelasnya, hingga mengherankan. Si Biggs, atau Grant itu, pasti
orang yang bodoh sekali dan tidak berpendidikan, bukan?"
"Oh, ya, memang begitu - dia laki-laki biasa yang kasar. Dia tak mengerti apa
artinya bekas jejak kaki. "
"Jelas dia tak pernah membaca cerita-cerita detektif! Nah, Inspektur, selamat
untuk Anda. Kami boleh melihat tempat kejadiannya, bukan?"
"Saya sendiri yang akan mengantar Anda ke sana sekarang juga.
Saya ingin Anda melihat bekas-bekas telapak kaki itu."
"Saya juga ingin melihatnya. Ya, benar-benar menarik , benar-benar cerdik."
Kami pun berangkat. Tuan Ingles dan Inspektur berjalan di depan.
Aku menarik Poirot ke belakang sedikit, supaya bisa berbicara dengan dia tanpa
didengar inspektur itu. "Bagaimana sebenarnya pendapatmu, Poirot" Apakah sebenarnya tidak semudah yang
terlihat?" "Justru itulah soalnya, mon ami. Whalley mengatakan dengan jelas dalam suratnya,
bahwa Empat Besar sedang mengejar-ngejarnya, dan kita sama-sama tahu bahwa Empat
Besar itu bukan orang-orang bodoh. Namun kelihatannya semuanya menunjukkan,
bahwa si Grant itulah yang telah melakukan keiahatan itu. Mengapa dia berbuat
begitu" Apakah untuk mendapatkan barang-barang kecil dari batu giok itu" Atau
apakah dia kaki-tangan Empat Besar" Kuakui bahwa menurut aku, yang terakhir itu
lebih mungkin. Berapa besar nilai batu giok itu, seseorang dari golongan seperti
dia tidak akan mungkin menyadarinya - pokoknya, tidak sampai perlu membunuh
orang untuk mendapatkannya. (Seharusnya itu dipikirkan juga oleh inspektur itu.)
Grant bisa saja mencuri barang-barang dari batu giok
itu, lalu membawanya lari, tanpa perlu membunuh dengan begitu kelam. Ah, aku
kuatir inspektur kita dari Devonshire itu tidak mempergunakan sel-sel kecil
kelabunya. Dia hanya mengukur bekas-bekas telapak kaki, dia tidak merenunginya,
dan tidak menyusun pikiran-pikirannya dengan teratur dan bermetode.
Bab 4 PENTINGNYA DAGING PAHA KAMBING INSPEKTUR mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka
Granite Bungalow. Hari itu cerah dan kering, jadi kaki kami pasti tidak
meninggalkan bekas; namun demikian, kami mengesetkan sepatu kami bersih-bersih
di keset, sebelum kami masuk. Seorang wanita muncul dari keremangan rumah itu,
dan berbicara dengan Inspektur, lalu inspektur itu berbelok ke arah lain. Sambil
menoleh pada kami dia berkata,
"Silakan melihat-lihat berkeliling, Tuan Poirot. Lihatlah apa yang perlu
dilihat. Kira-kira sepuluh menit lagi saya kembali. Ngomong-ngomong, ini sepatu
bot si Grant. Saya bawa serta, supya dapat Anda bandingkan."
Kami masuk ke ruang tamu. Bunyi jejak kaki Inspektur menghilang di luar. Ingles
segera tertarik pada beberapa barang berharga dari Cina, di atas sebuah meja di
sudut, lalu segera menghampiri untuk memeriksanya. Kelihatannya dia sama sekali
tidak menaruh perhatian pada tindak tanduk Poirot. Sebaliknya, aku sendiri
memperhatikan sahabatku itu dengan penuh perhatian. Lantai rumah itu dialasi
karpet hijau tua, yang mudah sekali memperlihatkan bekas-bekas-telapak kaki. Ada
sebuah pintu di ujung sana, menuju ke dapur kecil.
Di dapur ada pintu ke gudang makanan (pintu belakangnya ada di sana), dan sebuah
lagi pintu ke kamar tidur yang tadinya ditempati Robert Grant. Setelah meneliti
seluruh rumah, Poirot bergumam sendiri memberikan komentarnya.
"Di sinilah mayatnya terletak; bekas yang hitam besar ini dan bercak di
sekelilingnya itu tandanya. Ada bekas-bekas sandal kamar dan sepatu bot 'nomor
sembilan', tapi semuanya membingungkan sekali. Lalu ada pula bekas telapak kaki
dua orang yang menuju ke dan dari dapur; siapa pun pembunuhnya, dia pasti masuk
melalui jalan itu. Sepatu bot ada padamu, Hastings" Coba berikan padaku."
Dibandingkannya dengan cermat, sepatu bot itu dengan bekas-bekas telapak itu.
"Benar, keduanya memang bekas telapak kaki orang yang sama, yaitu Robert Grant.
Dia masuk dari situ, membunuh orang tua itu, lalu kembali ke dapur. Dia
menginjak darah itu, kaulihatkah bekas-bekas yang ditinggalkannya waktu dia
keluar" Di dalam dapur tak ada apa-apa yang bisa dilihat - seisi desa sudah
berjalan di tempat itu. Dia masuk ke kamarnya sendiri - tidak, sebelum itu dia
kembali lagi ke tempat kejadian - apakah untuk mengambil benda-benda kecil dari
batu giok itu" Atau ada sesuatu yang bisa jadi barang bukti yang memberatkan
ketinggalan di situ?"
"Mungkin dia membunuh orang tua itu setelah dia masuk untuk kedua kalinya?"
kataku. "Tentu saja tidak, kau tidak memperhatikan. Pada salah satu bekas kaki yang
berbekas darah, ada yang terinjak oleh bekas yang menuju ke arah sebaliknya. Aku
ingin tahu untuk apa dia kembali -
benda-benda kecil dari batu giok itukah yang teringat kemudian"
Semuanya tak masuk akal dan tolol."
"Yah, dia telah membuat dirinya tertangkap bulat- bulat."
"Hastings, bukankah sudah kukatakan padamu bahwa semua ini tak masuk akal"
Semuanya itu menyalahi sel-sel kecil kelabuku. Mari kita masuk ke kamar tidur
Grant - oh ya, ini dia darah yang teroles di jenang pintu dan suatu bekas
telapak kaki - yang berbekas darah.
Bekas telapak kaki Robert Grant - bekas telapak kaki dia pula yang terdapat di
dekat mayat - Robert Grant-lah satu-satunya orang yang berada di sekitar rumah
ini. Ya, pasti demikian."
"Bagaimana dengan wanita tua itu?" kataku tiba-tiba. "Dia ada di dalam rumah
seorang diri, setelah Grant pergi membeli susu.
Mungkin saja dia yang membunuhnya, lalu pergi ke luar. Kakinya tidak akan
meninggalkan bekas, kalau dia belum keluar rumah.
"Bagus sekali, Hastings. Aku tadi ingin tahu, apakah kau tidak akan mendapatkan
hipotesa itu. Hal itu sudah terpikir olehku tadi, tapi aku menolaknya. Betsy
Andrews itu orang sini, dia dikenal oleh orang-orang di sini. Tak mungkin dia
punya hubungan dengan Empat Besar, dan di samping Itu, Pak Tua Whalley bertubuh
besar. Jadi jelas ini kerja laki-laki bukan kerja seorang wanita."
"Apa tak mungkin Empat Besar mempunyai alat seram yang tersembunyi di atap -
alat yang bisa turun secara otomatis, menyembelih leher orang tua itu, dan
kemudian ditarik ke atas kembali?"
"Seperti tangga Jacob" Aku tahu, Hastings, daya khayalmu memang hebat sekali -
tapi kumohon supaya kau mau membatasinya sampai batas-batas tertentu."
Aku mengalah kemalu-maluan. Poirot berjalan berkekiling terus, memasuki, kamar-
kamar dan menjenguk lemari-lemari, dengan wajah yang benar-benar membayangkan
rasa kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan terkejut, suaranya mirip benar
dengan suara anjing Pomerania. Aku bergegas mendatanginya. Dia sedang berdiri di
depan lemari makan dengan sikap dramatis. Dia mengayun-ayunkan sepotong daging
paha kambing dengan tangannya!
"Poirot yang baik!" teriakku. "Ada apa" Apakah kau gila tiba-tiba?"
"Coba kauperhatikan daging kambing im. Perhatikan dengan teliti!"
Kuperhatikan daging itu seteliti mungkin, tapi tak bisa melihat suatu pun yang
luar biasa. Dalam penglihatanku, benda itu tak lebih dari paha kambing yang
biasa sekali. Hal itu kukatakan padanya.
Poirot melihat padaku dengan pandangan hambar.
"Tapi tidakkah kaulihat ini dan ini - dan ini."
Setiap kali mengucapkan kata , "ini", dipukulnya persendian yang tak bersalah
itu, sehingga kepingan-kepingan es kecil-kecil berjatuhan.
Poirot baru saja mengatakan aku suka berkhayal, tapi sekarang aku merasa bahwa
dia jauh lebih gila-gilaan berkhayal daripada aku.
Apakah dia benar-benar berpikir bahwa kepingan-kepingan es kecil itu merupakan
kristal-kristal racun maut" Hanya kesimpulan itulah yang dapat kauambil dari
sikapnya yang kacau luar biasa.
"Itu daging beku, " aku menjelaskan dengan halus. "Kau tentu tahu bahwa itu
daging impor dari Selandia baru. "
Dia menatapku beberapa saat, lalu pecah ketawa anehnya.
"Sungguh luar biasa sahabatku Hastings ini! Dia tahu segala - tapi tak tahu apa-
apa! Disebut orang apa, keadaan yang begitu itu -
'sumber informasi hidup'. Ya, itulah kau, Sahabatku Hastings. "
Daging paha kambing itu dilemparkannya kembali ke piringnya.
Lalu ditinggalkannya lemari makan itu. Kemudian dia melihat ke luar jendela.
"Ini dia sahabat kita, Inspektur, datang. Baiklah. Aku sudah melihat semua yang
ingin kulihat. "Dia mengetuk-ngetuk daun meja dengan linglung, seakan-akan
sedang tenggelam dalam suatu kalkulasi, lalu tiba-tiba bertanya, "Hari apa hari
ini, mon ami?" "Hari Senin," kataku dengan agak terkejut. "Apa - "
"Oh! Hari Senin, ya" Hari yang tak baik dalam seminggu. Keliru sekali orang
kalau membunuh pada hari Senin."
Sambil berjalan kembali ke ruang tamu, dia mengetuk-ngetuk kaca dinding yang
kami lewati, dan melihat sekilas ke termometer.
"Letaknya baik, dan sekarang suhu dua puluh satu derajat Celdus.
Suatu hari musim panas yang biasa di Inggris.
Ingles masih saja asylk mengamat-amati beberapa macam barang keramik Cina.
"Anda tak banyak menaruh perhatian pada pemeriksaan perkara ini, bukan,
Monsieur?" kata Poirot.
Yang ditanya tersenyum kecil.
"Anda kan tahu bahwa itu bukan pekerjaan saya. Saya seorang ahli dalam hal-hal
tertentu, tapi bukan tentang ini. Jadi saya berdiri di belakang saja dan
menyingkir. Di Timur, saya sudah belajar untuk bersabar."
Inspektur masuk tergesa-gesa, sambil meminta maaf karena pergi begitu lama. Dia
berkeras untuk mengajak kami mengelilingi rumah dan sekitarnya lagi, dan setelah
itu barulah akhirnya kami pergi.
"Saya menjunjung tinggi kebaikan hati Anda, Inspektur," kata Poirot ketika kami
berjalan melewati jalan desa itu lagi. "Masih ada satu lagi permintaan yang
ingin saya ajukan pada Anda."
"Ingin melihat mayatnya, Tuan?"
"Wah, tidak! Saya sama sekali tidak menaruh perhatian pada mayat itu. Saya ingin
menemui Robert Grant. "
"Kalau begitu, Tuan harus ikut saya kembali ke Moreton, untuk menjumpainya."
"Baiklah, saya akan ikut. Tapi saya harus bertemu dia dan berbicara berduaan."
Inspektur mengelus bibir atasnya.
"Wah, saya tak tahu apa itu bisa, Tuan."
"Yakiniah, bila Anda bisa menghubungi Seotland Yard, pasti Anda akan diberi hak
penuh untuk memberi izin. "
"Memang saya sudah sering mendengar tentang Tuan dan saya tahu bahwa Tuan sudah
beberapa kali membantu kami. Tapi permintaan itu melanggar peraturan. "
"Tapi ini perlu sekali," kata Poirot dengan tenang. "Hal ini perlu sekali,
karena - Grant bukanlah pembunuhnya.
"Apa" Jadi siapa pembunuhnya?"
"Menurut saya, pembunuhnya adalah seseorang yang agak muda.
Dia datang ke Granite Bungalow naik kereta kuda beroda dua, yang ditinggalkannya
di luar. Dia masuk, melakukan pembunuhan itu, keluar lagi dan pergi lagi. Dia
tidak bertopi, dan pakaiannya kena darah sedikit. "
"Tapi - kalau begitu, seluruh desa tentu sudah melihatnya!"
"Dalam keadaan tertentu, tidak."
"Kalau gelap, mungkin tidak, tapi kejahatan itu dilakukan pada siang bolong."
Poirot hanya tersenyum. "Mengenal kereta berkuda itu, Tuan - bagaimana Anda bisa memelaskan tentang itu"
Banyak kendaraan beroda yang lewat di luar. Tak ada satu pun di antaranya yang
istimewa kelihatannya."
"Dengan mata fisik mungkin memang tidak, tapi dengan mata pikiran, itu bisa
dilihat." Inspektur itu terang-terangan menyentuh dahinya sambil menyeringai padaku. Aku
benar-benar kebingungan, tetapi aku menaruh kepercayaan pada Poirot. Percakapan
diakhiri, kami kembali ke Moreton bersama Inspektur. Poirot dan aku diantarkan
ke tempat Grant, tetapi seorang agen polisi harus hadir selama pertemuan tanya-
jawab itu. Poirot langsung ke persoalan.
"Grant, saya tahu kau tak bersalah dalam kejahatan ini. Ceritakan pada saya
dengan kata-katamu sendiri, apa sebenarnya yang telah terjadi."
Orang tahanan itu seorang laki-laki yang tingginya sedang, air mukanya tidak.
menyenangkan. jelas tampak pada dirinya bahwa dia memang biasa keluar-masuk
penjara. "Demi Tuhan aku tak melakukannya," katanya dengan suara melolong. "Ada orang
yang telah menaruh barang-barang kecil dari kaca itu di antara barang-barangku.
Ini benar-benar fitnah. Seperti yang sudah kukatakan, aku langsung masuk kamar
begitu kembali. Aku tak tahu apa-apa, sampai Betsy menjerit. Demi Tuhan, tolong, aku tidak
melakukannya. " Poirot bangkit. "Bila kau tak mau menceritakan yang sebenarnya, biarlah kau di sini saja.
"Tapi, Tuan-"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau memang masuk ke ruang tamu - kau memang sudah tahu majikanmu sudah
meninggal; dan kau sebenarnya ingin cepat-cepat melarikan diri, waktu Betsy
kemudian melihat apa yang telah terjadi."
Laki-laki itu menatap Poirot dengan ternganga.
"Ayolah, bukankah begitu keadaannya" Dengan sebenar-benarnya
- -demi kehormatan diriku hanya dengan berkata jujurlah kau bisa bebas."
"Baik, kuambil risiko ltu," kata laki-laki itu tiba-tiba. "Memang, seperti yang
Anda katakan. Aku masuk dan langsung pergi menghadap Tuan dan saya dapati dia
mati terbaring di lantai tergenang darah. Aku langsung lari cepat-cepat. Aku
takut orang akan mengungkit-ungkit masa laluku di penjara, dan mereka pasti akan
mengatakan bahwa aku pembunuhnya. Hanya satu pikiranku, yaitu segera melarikan
diri - sebelum orang menemukannya
"Lalu barang-barang dari batu giok itu?"
Orang ltu tampak ragu. "Soalnya -" "Kau mengambilnya secara naluriah, bukan" Kau pernah
mendengar majikanmu berkata bahwa barang-barang itu sangat berharga dan kau
merasa, sebaiknya kauangkat saja semuanya sekalian. Aku mengertl itu. Sekarang
jawablah pertanyaanku ini.
Apakah kauambil barang-barang itu setelah kau masuk ke kamar itu untuk kedua
kalinya?" "Aku tak pernah masuk untuk kedua kalinya. Satu kali sudah cukup.
"Kau yakin?" "Benar-benar yakin."
"Baik. Nah, kapan kau keluar dari penjara?"
"Dua bulan yang lalu.- "
"Bagaimana kau mendapatkan pekerjaan ini?"
"Mealui salah seorang anggota Organisasi Pembantu Para Narapidana. Orang itu
menemuiku begitu aku keluar."
"Bagaimana orangnya?"
"Bukan imam, tapi mirip imam. Topinya lembut hitam, dan cara bicaranya dibuat-
buat. Gigi depannya patah sebuah. Dia memakai kaca mata. Namanya Saunders.
Katanya, dia berharap aku bertobat, dan bahwa dia akan memberiku pekerjaan yang
baik. Aku mendatangi Pak Tua Whalley dengan surat keterangan dari dia."
Poirot sekali lagi bangkit.
"Terima kasih. Saya sudah tahu semuanya sekarang. Bersabarlah."
Dia berhenti sebentar di ambang pintu, lalu menambahkan,
"Saunders memberimu sepasang sepatu bot, kan?"
Grant kelihatan terkejut sekali.
"Ya, benar. Tapi bagalmana Tuan tahu?"
"Urusanku memang untuk mengetahui bermacam-macam hal,"
kata Poirot dengan bersungguh-sungguh.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Inspektur, kami bertiga pergi ke Rumah
Makan White Hart, dan bercakap-cakap tentang hal-hal yang tak penting.
"Sudah adakah titik terang?" tanya Ingles dengan tersenyum.
"Ya, perkaranya sudah jelas sekali sekarang; tapi saya akan mengalarni banyak
kesulitan dalam membuktikannya. Whalley dibunuh atas perintah Empat Besar -
bukan oleh Grant. Seorang laki-laki dengan cerdik sekali memberikan pekerjaan
itu pada Grant dan dengan sengaia merencanakan supaya Grant yang menjadi kambing hitam - suatu hal
yang mudah saja, mengingat bahwa Grant bekas narapidana. Diberinya Grant
sepasang sepatu bot. Sepasang sepatu bot lain yang persis sama disimpan untuk
dia sendiri. Semuanya begitu sederhana. Waktu Grant ke luar rumah, dan Betsy
mengobrol di desa (suatu hal yang mungkin dilakukannya setiap hari), dia datang
dengan mengenakan sepatu bot yang serupa benar dengan yang diberikannya pada
Grant itu. Dia masuk ke dapur, lalu terus ke dalam ruang tamu, menghantam kepala
orang tua itu, kemudian menyembelih lehernya. Lalu dia kembali ke dapur,
menanggalkan sepatu botnya, mengenakan sepatu bot lainnya. Dengan menjinjing
sepatu bot yang pertama, keluar lagi ke tempat kereta kudanya, lalu berangkat
lagi." Ingles melihat pada Poirot terus.
"Masih ada kekurangannya. Mengapa tak ada seorang pun
melihatnya?" "Oh itu! Saya yakin, di situlah letak kecerdikan Nomor Empat itu.
Semua orang melihatnya - namun tak seorang pun merasa
melihatnya. Soalnya, dia datang naik kereta kuda tukang daging!"
Aku berseru terkejut. "Daging paha kambing itu?"
"Tepat, Hastings, daging paha kambing itu, Semua orang beram bersumpah bahwa tak
seorang pun datang ke Granite Bungalow pagi itu. Tapi saya menemukan daging paha
kambing di lemari makan, yang masih dalam keadaan beku. Hari itu hari Senin,
jadi daging itu pasti diantarkan hari itu; karena seandainya diantarkan pada
hari Sabtu, daging itu pasti sudah tak beku lagi sampai hari Minggu, dalam cuaca
sepanas ini. Jadi sebenarnya ada seseorang yang datang ke bungalow itu, yaitu
orang yang tidak akan menarik perhatian orang lain, meskipun, pada tubuhnya di
sana sini ada bekas darah."
"Benar-benar cerdik!" seru Ingles memuji.
"Ya, Nomor Empat itu memang pandai sekali."
"Sama pandainya dengan Hercule Poirot?" gumamku.
Sahabatku menoleh padaku dengan pandangan menegur.
"Ada beberapa gurauan yang sebaiknya tidak kauucapkan, Hastings," katanya ketus.
"Bukankah aku telah menyelamatkan seseorang dari hukuman. Itu sudah cukup untuk
sehari ini." Bab 5 LENYAPNYA SEORANG ILMUWAN SECARA pribadi, aku merasa bahwa meskipun dewan juri telah membebaskan Robert
Grant alias Biggs dari tuduhan membunuh Jonathan Whalley, Inspektur Meadows
masih tetap tak yakin benar, bahwa laki-laki itu tak bersalah. Perkara yang
telah disusunnya untuk menghukum Grant - hukuman penjara yang sudah bisa
dijalaninya, batu-batu giok yang telah dicurinya, sepatu botnya yang pas benar
dengan bekas telapak kaki itu - menurut pikirannya yang praktis terlalu lengkap
untuk dibatalkan begitu mudahnya. Tetapi Poirot, yang harus memberikan
kesaksian, meskipun berlawanan dengan kehendaknya, telah mampu meyakinkan juri.
Dua orang saksi yang dihadapkan, menyatakan bahwa mereka melihat sebuah kereta
tukang daging datang ke bungalow itu, pada pagi hari Senin itu.
Padahal tukang daging setempat memberikan kesaksian bahwa keretanya hanya datang
ke sana pada hari Rabu dan Jumat.
Ditemukan pula seorang wanita, yang ketika ditanya, menyatakan bahwa dia ingat
telah melihat pengantar daging itu meninggalkan bungalow. Tetapi dia tak dapat
melengkapi kesaksiannya itu dengan gambaran yang bermanfaat mengenai laki-laki
itu. Satu-satunya kesan yang diperoleh wanita itu tentang pengantar daging itu ialah,
bahwa wajahnya tercukur bersih, tingginya sedang, dan benar-benar kelihatan
seperti seorang pengantar daging biasa.
Mendengar gambaran itu, Poirot hanya mengangkat bahunya dengan sikap
berfalsafah. "Seperti sudah kukatakan, Hastings," katanya padaku, setelah sidang pengadilan
itu, "orang itu benar-benar seorang seniman. Dia menyamar, bukan dengan jenggot
palsu dan kaca mata biru.
Memang dia mengubah ciri-ciri tubuhnya, tetapi itu cuma bagian terkecil. Untuk
sementara dia bisa menjadi laki-laki yang bagaimanapun juga. Dia menghayati
peran yang dimainkannya."
Aku tentulah terpaksa mengakul bahwa laki-laki dari Rumah Sakit jiwa Hanwell
yang mengunjungi kami dulu itu, benar-benar cocok dengan gambaranku, bagaimana
seharusnya seorang petugas Rumah Sakit Jiwa itu. Sesaat pun aku tidak akan
bermimpi merasa curiga akan keasliannya.
Semuanya itu melemahkan semangat, dan pengalaman kami di Dartmoor, sama sekali
tak membantu kami. Hal itu kukatakan pada Poirot, tetapi dia tak mau mengakui
bahwa kami tidak mendapatkan kemajuan apa-apa.
"Kita maju, kok, " katanya, "kita maju. Setiap kali kita berhubungan dengan
laki-laki itu, bertambahlah pengetahuan kita, tentang pikirannya dan cara
kerjanya, sedang dia tak tahu apa-apa tentang kita dan rencana-rencana kita."
"Nah, dalam hal itu, dia dan aku ada persamaannya, Poirot,"
bantahku. "Kelihatannya kau sama sekali tidak membuat rencana apa-apa, kau
kelihatannya hanya duduk-duduk saja, dan menunggu sampai dia berbuat sesuatu."
Poirot tersenyum. "Mon ami, kau belum berubah rupanya. Kau tetap Hastings yang sama, orang yang
selalu sibuk bertindak. Nah," sambungnya, waktu terdengar suara ketukan di
pintu, "barangkali inilah kesempatan bagimu; mungkin teman kita itu yang masuk
ini. " Dan dia menertawakan kekecewaanku, waktu Inspektur Japp-lah yang ternyata
masuk bersama seorang laki-laki lain.
"Selamat malam, Tuan-tuan," kata inspektur itu.
"Izinkan saya memperkenaikan Kapten Kent dari Dinas Rahasia Amerika Serikat."
Kapten Kent seorang pria Amerika yang jangkung dan langsing.
Wajahnya kaku sekali, seolah-olah terukir dari kayu.
"Saya senang berkenalan dengan Anda, Tuan-tuan," gumamnya, sambil menyalami kami
dengan guncangan tangan yang kuat.
Poirot melempar sebatang kayu lagi ke dalam perapian, dan menambah beberapa
kursi malas lagi. Aku mengeluarkan gelas-gelas dan wiski bersama soda. Kapten
itu meneguk minuman itu dalam-dalam, lalu menyatakan pujiannya.
"Pembuatan undang-undang di negara Anda ini masih sehat,"
katanya. "Nah sekarang kita bicarakan urusan kita," kata Japp. "Tuan Poirot ini pernah
mengajukan permintaan pada saya. Dia merasa tertarik pada suatu organisasi yang
bernama Empat Besar, dan minta supaya saya memberitahukan padanya, kapan saja
saya mendengar nama itu dalam hubungan kedinasan saya. Saya tidak menaruh perhatian pada soal itu, tapi saya selalu ingat apa yang
dikatakannya, dan ketika kapten ini datang pada saya dengan kisah yang agak
aneh, saya segera berkata, 'Mari kita temul Poirot.'"
Poirot memandang pada Kapten Kent yang duduk di seberangnya, dan orang Amerika
itu pun mulai berkisah, "Mungkin Anda pernah membaca dan ingat, bahwa beberapa buah kapal terpedo dan
penjelajah telah ditenggelamkan dengan cara ditabrakkan pada batu-batu karang di
pantai Amerika Serikat. Hal itu terjadi tepat setelah gempa bumi di Jepang, dan
penjelasan yang diberikan adalah bahwa bencana itu akibat dari gelombang pasang.
Lalu, belum lama ini, telah dilakukan penangkapan besar-besaran atas diri
penjahat-penjahat dan pembunuh-pembunuh tertentu.
Bersama mereka telah terjaring pula beberapa surat yang mengungkapkan hal-hal
yang benar-benar baru mengenal hal itu.
Ternyata surat-surat itu banyak menyatakan tentang suatu organisasi yang bernama
'Empat Besar', dan memberikan gambaran yang tak
lengkap mengenal suatu instalasi radioaktif yang kuat sekali - suatu pemusatan
radioaktif yang jauh lebih kuat daripada apa yang telah diciptakan selama ini.
Instalasi itu mampu memusatkan pancaran energi dengan intensitas besar ke suatu
lokasi tertentu. Pernyataan adanya penemuan itu agaknya sangat tak masuk akal,
tapi laporan itu tetap saya serahkan pada markas besar sebagaimana adanya.
Salah seorang profesor kami yang lihai, kini sibuk dengan penyelidikan-
penyelidikan itu. Kini rupanya salah-seorang ilmuwan Anda di Inggris ini, telah
membacakan kertas-kertas kerja mengenal soal itu di hadapan British Association.
Rekan-rekannya sama sekali tidak memberi perhatian yang cukup besar pada soal
itu. Mereka menganggapnya terlalu dicari-cari dan terlalu khayal, tetapi ilmuwan
itu tetap pada pendiriannya. Ia menyatakan sudah hampir mencapai sukses dalam
eksperimen-eksperimennya.
"Eh bien?" tanya Poirot dengan penuh perhatian.
"Saya dianjurkan untuk datang ke Inggris ini, supaya bisa mengadakan wawancara
dengan ilmuwan itu. Pria ltu masih muda, namanya Halliday. Dia orang terkemuka
dalam bidang ini. Saya ditugaskan untuk mencari penjelasan dari dia, apakah hal
yang dikemukakan itu memang mungkin?"
"Dan apakah ternyata memang mungkin?" tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Saya belum tahu itu. Saya belum bertemu dengan Tuan Halliday -
dan kelihatannya saya tidak akan bertemu dengan dia.
"Soalnya,"sela Japp dengansingkat, "Halliday itu sudah lenyap.
"Kapan?" "Dua bulan yang lalu."
"Sudah dilaporkan?"
"Tentu sudah. Istrinya datang pada kami dalam keadaan kacau sekali. Kami telah
berbuat sebatas kemampuan kami, tapi sejak semula saya sudah tahu bahwa itu
semuanya sia-sia." "Mengapa sia-sia?"
"Selalu demikian keadaannya - bila seorang laki-laki menghilang waktu pergi ke
sana, " kata Japp sambil mengedlpkan matanya.
"Ke mana?" "Paris. "Jadi Halliday hilang di Paris?"
"Ya. Dia pergi ke sana untuk suatu pekerjaan ilmiah - begitulah katanya. Tentu
dia harus berkata demikian. Tapi Anda tentu tahu apa artinya bila seorang pria
menghilang di sana. Kalau bukan menjadi korban perbuatan bandit, yang berarti
tidak akan bisa tertolong lagi -
ya mungkin juga dia menghilang dengan sukarela - dan kemungkinan ini lebih umum
daripada kemungkinan yang pertama. Yah, kota Paris yang gemerlap itu, Anda tentu
maklum. Mungkin bosan dengan kehidupan rumah tangganya. Halliday baru bertengkar
dengan istrinya sebelum berangkat. Semuanya itu lebih menjelaskan duduk
perkaranya." "Saya jadi ingin tahu," kata Poirot merenung.
Orang Amerika itu melihat padanya dengan pandangan ingin tahu pula.
"Ngomong-ngomong, Tuan," katanya dengan nada diseret,
"bagaimana tentang Empat Besar?"
"Empat Besar itu," kata Poirot, "suatu organisasi internasional, yang
pemimpinnya seorang Cina. Dia dikenal sebagai Nomor Satu.
Nomor Dua seorang Amerika. Nomor Tiga, seorang wanita Prancis.
Nomor Empat, 'si Pemusnah', adalah seorang Inggris.
"Seorang wanita Prancis, ya?" kata pria Amerika itu, lalu bersiul.
"Dan Halliday menghilang di Prancis. Mungkin ada apa-apanya dalam hal ini. Siapa
nama wanita itu?" "Saya tak tahu. Saya belum tahu apa-apa tentang dia.
"Tapi bukankah ini suatu persoalan yang besar sekali?" desak lawan bicaranya.
Poirot mengangguk, sambil mengatur gelas-gelas dalam deret-deretan yang rapi di
baki. Kegandrungannya akan kerapian tetap sebesar biasanya. "Apa maksudnya
menenggelamkan kapal-kapal itu"
Apa Empat Besar itu siasat Jerman?"
"Empat besar ltu berdiri sendiri dan bekerja untuk diri mereka sendiri, Kapten.
Tujuan mereka adalah kekuasaan dunia."
Orang Amerika itu pecah tertawanya, tetapi berhenti tiba-tiba melihat betapa
seriusnya waJah Poirot. "Anda tertawa," kata Poirot, sambil mengguncang-guncangkan telunjuknya ke arah
pria itu. "Tapi Anda tidak berpikir. Anda tidak berpikir. Anda tidak
memanfaatkan sel-sel kecil Anda yang kelabu.
Siapakah orang-orang ini, yang telah memusnahkan sebagian Angkatan Laut Anda
itu, hanya sekadar sebagai percobaan saja"
Karena memang hanya itulah yang terjadi, Monsieur, suatu percobaan tenaga baru
dari daya tarik magnetis yang mereka kuasai."
"Lanjutkan, Bung," kata Japp dengan senang.
"Saya sudah sering membaca tentang penjahat-penjahat super, tapi saya belum
pernah berhubungan dengan mereka. Nah, Anda sudah mendengar kisah Kapten Kent.
Ada lagikah yang masih bisa saya bantu?"
"Ada, kawan. Beri saya alamat Nyonya Halliday - dan kalau tak keberatan tuliskan
sekalian beberapa patah kata perkenalan kepadanya."
Maka berangkatlah kami esok harinya ke Chetwynd Lodge, di dekat Desa Chobham di
Surrey. Nyonya Halliday langsung menyambut kami. Dia bertubuh tinggi, berambut
pirang, penggugup dan tindak tanduknya terburu-buru. Bersama dia anak
perempuannya, gadis kecil berumur lima tahun yang cantik.
Poirot menjelaskan tujuan kedatangan kami.
"Oh! Tuan Poirot, saya senang sekali, saya amat berterima kasih.
Tentu saya sudah banyak mendengar tentang Anda. Anda pasti tidak
seperti orang-orang Seotland Yard itu. Mereka tak mau
mendengarkan dan tak mau mencoba mengerti. Dan polisi Prancis pun sama saja
buruknya - saya rasa bahkan lebih buruk. Mereka semua yakin bahwa suami saya
telah pergi dengan wanita lain. Tapi dia bukan laki-laki seperti itu! Yang
dipikirkannya dalam hidup ini cuma pekerjaannya semata-mata. Separuh dari
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertengkaran-pertengkaran kami menyangkut soal itulah. Dia lebih menaruh
perhatian pada pekerjaannya daripada pada saya."
"Laki-laki Inggris ini, mereka itu memang begitu," kata Poirot menenangkan.
"Kalau bukan karena pekerjaannya, tentulah permainan kartunya atau olahraga.
Mereka menganggap semuanya itu bukan main pentingnya. Nah, sekarang, Nyonya,
coba Anda ceritakan semuanya dengan sebenar-benarnya, secara terperinci, dan
dengan teratur sekali, bagaimana peristiwa hilangnya suami Anda itu."
"Suami saya berangkat ke Paris pada hari Kamis, tanggal dua puluh Juli. Di sana
dia harus bertemu dan berkunjung ke beberapa orang yang ada hubungannya dengan
pekerjaannya, seorang di antaranya, Madame Olivier. "
Poirot mengangguk mendengar nama wanita ahli kimia Prancis yang terkenal itu
disebut. Wanita itu bahkan mampu membayangi kecemerlangan Madame Curie dalam
hasil karyanya. Dia sudah pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Prancis,
dan dialah salah seorang tokoh yang paling terkemuka di dunia masa kini.
"Dia tiba di sana malam hari, dan langsung pergi ke Hotel Castiglione di rue de
Castiglione. Pagi berikutnya, dia ada janji dengan Profesor Bourgoneau, dan
janji itu dipenuhinya. Sikapnya biasa-biasa saja dan menyenangkan. Kedua orang
pria itu bercakap-cakap dengan asylk, dan mereka sepakat suami saya akan
menyaksikan beberapa eksperimen di laboratorium profesor itu keesokan harinya.
Dia makan siang seorang diri di Cafe Royal, berjalan-jalan di Bols, dan kemudian
mengunjungi Madame Olivier, di rumahnya di Passy. Di sana pun sikapnya biasa-
biasa saja. Dia pulang kira-kira jam enam petang. Tak diketahui di mana dia
makan malam, mungkin seorang diri di suatu restoran. Dia kembali ke hotel kira-kira
jam sebelas malam, dan langsung naik ke kamarnya di lantai atas, setelah
bertanya kalau-kalau ada surat untuknya. Esok paginya dia keluar dari hotel, dan
sejak itu tak pernah kelihatan lagi."
"Jam berapa dia meninggalkan hotel" Apakah pada waktu yang wajar untuk memenuhi
janji pertemuannya di laboratorium Profesor Bourgoneau?"
"Kami tidak tahu. Tak ada yang melihatnya meninggalkan hotel.
Tapi tak ada sarapan yang dihidangkan untuknya, jadi dia berangkat pagi-pagi
sekali." "Atau sebenarnya bisa juga dia keluar lagi malam sebelumnya, sesudah dia
kembali?" "Saya rasa tidak. Tempat tidurnya bekas ditiduri, dan petugas portir malam tentu
akan ingat kalau ada orang yang keluar lagi selarut itu."
"Pengamatan yang cermat, Nyonya. Jadi boleh kita simpulkan bahwa dia pergi
sangat awal esok paginya - dan dari satu segi, itu memang meyakinkan. Tak
mungkin dia menjadi korban serangan dinamit pada hari seawal itu. Lalu mengenaui
barang-barangnya, apakah semuanya ditinggalkannya?"
Nyonya Halliday kelihatan agak enggan menjawab, tetapi akhirnya dia berkata,
"Tidak - agaknya dia telah membawa kopor kecil. "
"Hm," kata Poirot sambil merenung, "saya ingin tahu, di mana dia malam itu.
Kalau kita tahu itu, kita akan bisa tahu banyak. Siapa yang ditemuinya" - Di
situlah letak misteri itu. Nyonya, saya pribadi, tidak menerima begitu saja
pendapat pollsi. Bagi mereka itu pasti selalu saja 'skandal mengenai wanita'.
Namun sudah jelas bahwa malam itu telah terjadi sesuatu yang membuat suami Anda
mengubah rencana. Kata Anda dia menanyakan surat-surat sekembalinya ke hotel.
Adakah dia menerimanya?"
"Hanya satu, dan itu pasti surat yang saya tulis padanya pada hari
keberangkatannya dari Inggris ini."
Selama semenit, Poirot tenggelam dalam pikirannya, kemudian dia cepat-cepat
bangkit. "Yah, Nyonya, penyelesalan misteri ini terletak di Paris, dan untuk
menemukannya, saya sendiri akan berangkat ke Paris secepat mungkin."
"Itu semuanya sudah lama terjadi, Monsieur."
"Memang benar. Namun demikian, di sanalah kita harus
mencarinya." Dia berbalik akan meninggalkan ruangan itu, tetapi berhenti sebentar sambil
memegang gagang pintu. "Ngomong-ngomong, Nyonya, pernah Anda mendengar suami
Nyonya menyebut nama Empat Besar?"
"Empat Besar?" wanita itu mengulangi sambil merenung. "Rasanya tidak."
Bab 6 WANITA DI TANGGA HANYA Itulah keterangan yang dapat diperoleh dari Nyonya Halliday. Kami bergegas
kembali ke London, dan esok harinya kami sudah dalam perjalanan menuju daratan
Eropa. Dengan senyum yang agak murung, Poirot berkata,
"Empat Besar ini membuat aku sibuk sekali, mon ami. Aku harus berlari-lari kian
kemari, menjelajahi tempat-tempat, seperti teman lama kita 'si anjing pemburu
dalam bentuk manusia'."
"Barangkali kau akan bertemu dengan dia juga di Paris nanti,"
kataku, karena aku tahu bahwa yang dimaksudnya adalah seseorang yang bernama
Giraud, salah seorang detektif yang paling terpercaya
di Surete - markas Dinas Rahasia Prancis -. Poirot sudah pernah bertemu dengan
orang itu pada suatu peristiwa sebelumnya.
Poirot nyengir, "Aku sungguh-sungguh berharap semoga tidak.
Orang itu tak suka padaku."
"Apakah ini tidak akan merupakan pekerjaan yang sangat sulit?"
tanyaku. "Untuk menyelidiki apa yang dilakukan oleh seorang Inggris tak dikenal
dua bulan yang lalu?"
"Memang sulit sekali, mon ami. Tapi kau kan tahu betul, kesulitan itulah yang
menyenangkan hati Hercule Poirot."
"Kaupikir Empat Besar yang telah mencullknya?"
Poirot mengangguk. Penyelidikan kami berjalan sama sekali tak lancar, dan pengetahuan kami sedikit
sekali bertambah dari apa yang telah diceritakan Nyonya Halliday kepada kami.
Poirot lama bertanya-jawab dengan Profesor Bourgoneau. Dalam tanya-jawab itu
antara lain dia bertanya apakah Halliday ada menyebut-nyebut tentang rencananya
sendiri malam itu. Tetapi kami tidak mendapatkan penjelasan apa-apa.
Sumber informasi kami berikutnya adalah Madame Olivier yang termasyhur itu. Aku
merasa berdebar waktu menaiki tangga vilanya di Passy. Aku selalu merasa betapa
luar biasanya, bahwa seorang wanita bisa melangkah begitu jauh dalam dunia ilmu
pengetahuan. Aku selalu menyangka bahwa untuk pekerjaan macam itu diperlukan otak seorang
pria. Pintu dibuka oleh seorang anak laki-laki yang berumur sekitar tujuh belas tahun.
Remaja Itu samar-samar mengingatkan aku pada pembantu altar di gereja, karena
gerak-gerlknya penuh upacara.
Poirot telah bersusah payah membuat Janji dulu sebelum pertemuan itu, karena dia
tahu Madarne Olivier tak pernah mau menerima siapa pun juga tanpa janji, karena
dia tenggelam dalam pekerjaan risetnya sepanjang hari.
Kami dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruang tamu kecil, dan sebentar kemudian,
nyonya rumah itu mendatangi kami di situ.
Madame Olivier ternyata seorang wanita yang tinggi sekali. Dia kelihatan lebih
tinggi lagi karena memakai jas laboratorium berwarna putih, dan memakai tutup
kepala seperti yang lazim dipakai biarawati, dan rambutnya jadi terbungkus.
Wajahnya panjang dan pucat, sedang matanya yang berwarna gelap dan indah
memancarkan cahaya membara. Dia lebih menyerupai seorang pendeta wanita zaman
dahulu, daripada seorang wanita Prancis modern. Sebelah pipinya cacat karena ada
bekas luka, dan aku ingat bahwa suaminya yang juga kawan kerjanya, telah tewas
dalam suatu ledakan di laboratoriurn tiga tahun yang lalu, dan bahwa dia sendiri
mengalami cedera bakar yang hebat. Sejak saat itu dia menutup diri dari dunia
luar, dan membenarnkan diri sepenuhnya dalam riset sains. Dia menerima kami
dengan sopan santun yang dingin.
"Saya sudah banyak diwawancarai polisi. Saya rasa saya tak bisa membantu Anda
lebih banyak, karena saya pun tak bisa membantu mereka. "
"Madame, mungkin saja pertanyaan-pertanyaan saya tak sama dengan mereka.
Pertama-tama, apa yang telah Anda bicarakan berdua dengan Tuan Halliday?"
Dia kelihatan agak terkejut.
"Tentu saja mengenal pekerjaannya! Ya, pekerjaannya - dan juga pekerjaan saya."
"Apakah disebutkannya pada Anda mengenai teori-teori yang dicantumkannya baru-
baru ini dalam kertas kerjanya yang telah dibacakannya di hadapan British
Association?" "Tentu saja. Terutama mengenal hal itulah kami berbicara."
"Buah pikirannya agak berbau khayalan, bukan?" tanya Poirot seolah-olah tak
acuh. "Ada orang-orang yang berpendapat begitu. Saya tak setuju."
"Apakah Anda menganggapnya bisa dipraktekkan?"
"Benar-benar bisa dipraktekkan. Riset saya pun boleh dikatakan serupa, meskipun
tidak disudahi dengan akhir yang sama. Saya sedang menyelidiki sinar-sinar gamma
yang dipancarkan oleh unsur-unsur yang biasa dikenal dengan nama radium C, suatu
produk dari pancaran radium. Dalam pekerjaan saya itu saya telah menemukan
beberapa hal yang sangat menarik mengenai magnet. Saya memang mempunyai teori
mengenal sifat sebenarnya dari kekuatan yang kita sebut magnetisme itu. Tapi
sekarang belum waktunya untuk menyampalkan hasil penemuan-penemuan saya itu pada
dunia. Eksperimen-eksperimen dan pandangan-pandangan Tuan Halliday sangat menarik bagi
saya." Poirot mengangguk. Kemudian dia mengajukan suatu pertanyaan yang membuatku
terkejut. "Madame, di mana Anda bercakap-cakap tentang hal-hal itu. Di sinikah?"
"Tidak, Monsieur. Di dalam laboratorium."
"Bolehkah saya melihat laboratorium Anda itu?"
"Tentu. Dia mendahulul kami berjalan menuju pintu tempat dia masuk tadi. Dari pintu itu
kami masuk ke sebuah lorong kecil. Kami melewati dua buah pintu lagi, dan
tibalah kami di sebuah laboratorium besar.
DI situ kelihatan berderet-deret gelas-gelas bermulut lebar, alat-alat pelebur
logam, dan beratus-ratus peralatan, yang babkan namanya pun aku tak tahu. Di
situ ada dua orang, keduanya sibuk dengan suatu eksperimen. Madame Olivier
memperkenaikan mereka. "Nona Daude, salah seorang asisten saya." Seorang gadis yang jangkung dan
berwajah serius, mengangguk pada kami. "Tuan Henry seorang teman lama dan
terpercaya." Pria muda yang pendek dan berambut hitam itu mengangguk dengan
singkat. Poirot melihat berkeliling. Ada dua buah pintu kecuali pintu yang kami masuki
tadi. Sebuah di antaranya, wanita itu menjelaskan, menuju ke kebun, dan yang
sebuah lagi menuju ke sebuah kamar kecil lain yang juga dipakai untuk riset.
Poirot mencatat semuanya itu, lalu menyatakan bahwa dia sudah siap untuk kembali ke ruang tamu lagi.
"Madame, apakah Anda hanya berduaan saja dengan Tuan
Halliday selama percakapan itu?"
"Ya, Monsieur. Kedua orang asisten itu berada di kamar sebelah yang lebih kecil
itu." "Apakah percakapan Anda itu bisa didengar
oleh mereka atau oleh orang lain?"
Wanita itu berpikir sebentar lalu menggeleng.
"Saya rasa tidak. Saya yakin tak bisa. Semua pintu tertutup."
"Mungkinkah ada seseorang yang tersembunyi dalam kamar itu?"
"Memang ada sebuah lemari besar di sudut itu tapi itu pikiran yang tak masuk
akal." "T'dak sepenuhnya, Madame. Satu hal lagi: apakah Halliday menyebutkan rencana-
rencananya untuk malam hari itu?" ,
"Dia sama sekali tidak mengatakannya, Monsieur. "
"Terima kasih, Madame, dan saya minta maaf karena telah mengganggu Anda. Tak
usahlah Anda bersusah payah - kami bisa keluar sendiri,"
Kami keluar lagi ke gang rumah. Baru saja kami melangkah keluar, seorang wanita
memasuki pintu depan. Wanita itu cepat-cepat berlari menaiki tangga, dan aku
mendapatkan kesan bahwa dia mengenakan pakaian berkabung yang biasa dipakai
seorang janda Prancis. "Aneh sekali wanita itu," kata Poirot, dalam perjalanan pulang.
"Siapa" Madame OlIvier itu" Memang dia-"
"Bukan, bukan Madame Olivier. Mengenai dia sudah jelas! Tak banyak orang
sepintar dia di dunia ini. Tidak, yang kumaksud adalah wanita yang seorang lagi
itu - wanita yang di tangga itu."
"Aku tak melihat wajahnya," kataku terbelalak.
"Dan aku pun tidak melihat kemungkinan kau bisa melihatnya. Dia sama sekali
tidak melihat pada kita."
"Itulah sebabnya dia kukatakan wanita aneh,"kata Poirot dengan tenang. "Seorang
wanita yang memasuki rumahnya - kusimpulkan bahwa itu adalah rumahnya, karena
dia masuk dengan menggunakan kunci sendiri - dan berlari langsung menaiki
tangga, tanpa melihat dua orang tamu asing di gang dalam rumahnya, dan bahkan
tak ingin melihat siapa mereka itu, wanita yang begitu adalah aneh - bahkan
sangat tak wajar. Terkutuk! Apa itu?"
Aku ditarlknya mundur - tepat sekali pada waktunya. Sebuah pohon roboh ke tepian
jalan hampir saja menimpa kami. Poirot memandangi pohon itu, wajahnya pucat dan
tampak risau. "Nyaris sekali! Tapi tolol sekali aku - karena aku tidak curiga - ya, hampir-
hampir tak ada rasa curigaku. Ah, kalau saja mataku kurang cepat, tidak secepat
mata kucing, Hercule Poirot sekarang tentu sudah mati tertimpa pohon - dan dunia
pun akan kacau sekali. Dan kau juga, mon ami - meskipun kematianmu tidak akan
merupakan kekacauan nasional."
"Terima kasih," kataku dingin. "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Akan kita lakukan?" seru Poirot. "Kita akan berpikir. Ya, di sini dan sekarang
juga, kita akan menggunakan sel-sel kecil kelabu kita.
Tuan Halliday itu, apakah dia benar-benar ada di Paris" Ya, menurut Profesor
Bourgoneau, yang mengenalnya, melihatnya, dan berbicara dengannya. "
"Apa maksudmu sebenarnya?" seruku.
"Waktu itu adalah pagi hari Jumat. Orang melihatnya untuk terakhir kalinya pada
jam sebelas malam Sabtu - tapi apakah benar orang melihat dia?"
"Portir malam itu "Portir malam itu belum pernah melihat Halliday. Ada seorang laki-laki yang
masuk, dia agak serupa dengan Halliday - untuk hal
semacam itu kita bisa mempercayakannya pada Nomor Empat -
orang itu menanyakari apakah ada surat-surat, dia naik ke lantai atas, dia
mengepak sebuah kopor kecil, dan menyelinap keluar esok paginya. Tak seorang pun
melihat Halliday sepanang malam itu -
tidak karena dia sudah berada di tangan musuh. Apakah memang Halliday yang
diterima Madame Olivier" Ya, karena meskipun wanita itu belum pernah melihat
orangnya, seorang penyamar tentu tidak akan bisa menipu Madame Olivier dalam
pembicaraan mengenal soal yang begitu khusus. Halliday datang kemari, mengadakan
pembicaraan, lalu dia pulang. Apa yang terjadi sesudah itu?"
Dengan mencengkeram lenganku, Poirot setengah menyeretku kembali ke vila.
"Nah, mon ami, bayangkan bahwa hari ini adalah hari sesudah lenyapnya Halliday,
dan bahwa kita sedang menelusuri jejak telapak kaki. Kau suka jejak kaki, kan"
Lihat ini - ini dia, bekas telapak kaki seorang pria, telapak kaki Tuan
Halliday... Dia membelok ke sebelah kiri, sebagaimana yang sedang kita lakukan
sekarang, dia berjalan dengan bersemangat - nah! Ada jejak-jejak kaki lain yang
menyusul di belakang cepat-cepat sekali - jejak kaki kecil-kecil, jejak kaki
seorang wanita. Lihat, wanita itu sudah dapat menyusulnya - seorang wanita muda
yang langsing dan mengenakan cadar seorang janda.
'Maaf, Monsieur, Madame Olivier menyuruh saya untuk meminta Anda kembali.'
Halliday berhenti, dia berbalik. Nah, ke mana wanita muda itu akan membawanya"
Wanita muda itu tak mau dilihat orang berjalan dengan Halliday. Apakah suatu
kebetulan kalau dia menyusul Halliday, tepat di mana ada sebuah gang kecil yang
memisahkan dua buah kebun. Wanita itu mengajaknya ke arah gang itu. Lewat sini
lebih dekat, Monsieur. Di sebelah kanan adalah kebun vila Madame Olivier, sedang
yang di sebelah kiri adalah kebun vila di sebelahnya - dan, sekarang perhatikan,
dari kebun itulah pohon tumbang - begitu nyaris menimpa kita tadi. Pintu kedua
buah kebun itu membuka ke lorong jalan masuk ke rumah. Di situlah serbuan
dilakukan. Orang-orang bermunculan ke luar, dan membawanya masuk ke dalam vila asing itu."
"Astaga, Poirot," seruku, "apakah kaupikir kau melihat semuanya itu?"
"Aku melihatnya dengan mata akalku, mon ami. Begitulah, dan hanya dengan cara
itulah hal itu terjadi. Mari kita kembali ke rumah itu."
"Apakah kau ingin menemui Madame Olivier lagi?"
Poirot tersenyum aneh. "Tidak, Hastings, aku ingin melihat wajah wanita yang di tangga itu."
"Menurut kau, siapakah dia" Apakah dia seorang sanak saudara Madame Olivier?"
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih mungkin, sekretarisnya - dan seorang sekretaris yang belum begitu lama
bekerja di sini." Yang membukakan kami pintu adalah remaja yang seperti
pembantu altar yang lembut tadi juga.
"Bisakah Anda memberi tahu saya," kata Poirot, "siapa nama wanita, janda, yang
baru saja masuk tadi itu?"
"Madame Veroneau" Sekretaris Madame Olivier?"
"Ya, wanita itu. Dapatkah kau berbaik hati memintanya untuk berbicara dengan
kami sebentar?" Remaka itu menghilang. Dia segera kembali lagi.
"Maaf. Madame Veroneau rupanya sudah keluar lagi. "
"Saya rasa tidak," kata Poirot dengan tenang.
"Tolong beri tahu dia, nama saya Hercule Poirot, dan katakan, padanya bahwa saya
perlu sekali bertemu dengan dia, karena saya akan pergi menemui Kepala Polisi."
Anak itu masuk lagi untuk menyampalkan pesan kami. Kali ini wanita itu turun.
Dia berjalan memasuki ruang tamu. Kami mengikutinya. Dia berbalik lalu
mengangkat cadarnya. Aku terkejut,
karena aku mengenali musuh lama kami, Countess Rossakoff, seorang countess
Rusia, yang telah mengatur suatu perampokan barang-barang perhiasan yang sangat
berhasil di London. "Segera setelah melihat Anda di gang rumah tadi, saya sudah menguatirkan hal
yang terburuk," katanya dengan murung.
"Countess Rossakoff yang baik-"
Wanita itu menggeleng. "Sekarang saya Inez Veroneau," gumamnya. "Seorang Spanyol, menikah dengan
Pembalasan Ratu Laut Utara 2 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Candi Murca 3