Pencarian

Kasus Kasus Perdana Poirot 5

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie Bagian 5


Sobat. Anda menghadapi kematian. Anda sudah kehilangan gadis yang Anda cintai.
Tapi ada satu yang tidak hilang dari diri Anda: Anda bukan pembunuh. Sekarang
katakanlah, Anda bahagia atau menyesal saya datang?"
Hening sejenak. Kemudian Harrison berdiri tegak. Ada pancaran keluhuran di
wajahnya - wajah seseorang yang telah menaklukkan keberadaan dirinya yang keji.
Diangsurkannya tangannya melintasi meja.
"Syukurlah Anda datang tadi," serunya. "Untung Anda datang tadi."
XVI WANITA BERKERUDUNG KUPERHATIKAN beberapa lama ini Poirot merasa tidak puas dan gelisah. Kami tidak
mendapat kasus baru yang menarik. Tak ada perkara yang bisa dipakai sahabatku
yang bertubuh kecil ini untuk melatih pemikirannya yang tajam maupun
kemampuannya yang luar biasa dalam menarik kesimpulan. Pagi tadi diempaskannya
koran sambil berseru dengan kesal, "Aaahh!" - seruan favoritnya yang kedengaran
persis seperti kucing bersin.
"Mereka takut padaku, Hastings! Penjahat-penjahat Inggrismu ini takut padaku!
Bagaikan tikus, bilamana ada kucing, mereka tidak lagi mencuri keju!"
"Kukira sebagian besar di antara mereka bahkan tidak tahu engkau ada di sini,"
sahutku sambil tertawa. Sahabatku memandangku dengan sikap mencela. Ia selalu membayangkan seluruh dunia
tengah memikirkan dan membicarakan Hercule Poirot. Memang, ia terkenal di
London, akan tetapi aku tidak bisa membayangkan bahwa kehadirannya menimbulkan
rasa ngeri bagi dunia kriminalitas.
"Bagaimana dengan perampokan permata di Bond Street yang dilakukan di siang hari
bolong baru-baru ini?" tanyaku.
"Coup yang rapi," sahut Poirot gembira, "biarpun tidak termasuk bidangku. Pas de
finesse, seulement de l'audace! Seorang laki-laki memecah kaca jendela sebuah
toko permata dengan tongkat yang berat, lalu meraup beberapa permata. Orang-
orang menangkapnya; polisi datang dan dia tertangkap basah bersama permata yang
dibawanya. Di kantor polisi baru diketahui bahwa permata yang dibawanya cuma
permata tiruan. Yang asli sudah ia serahkan kepada kawannya - salah seorang di
antara orang-orang yang menangkapnya tadi. Dia akan masuk penjara - memang. Tapi,
begitu keluar dari penjara ada harta yang menunggunya. Memang tidak jelek, tapi
aku bisa melakukan yang lebih baik. Hastings, kadang-kadang aku menyesal karena
bermoral tinggi. Menentang hukum bisa membawa perubahan suasana yang
menyenangkan!" "Jangan murung, Poirot! Engkau memiliki keunikan tersendiri dalam bidangmu."
"Tapi apa yang kutangani sekarang, yang sesuai dengan bidangku?"
Kuambil surat kabar. "Ini dia. Seorang pria Inggris mati secara misterius di Belanda."
"Koran-koran selalu berkata begitu - kemudian ternyata korban makan ikan kaleng
dan kematiannya sama sekali tidak mencurigakan."
"Yah... kalau engkau memang ingin mengomel."
"Tiens!" seru Poirot yang sekarang sudah berjalan mendekati jendela. "Di jalan
ada yang seperti disebut dalam novel-novel 'perempuan berkerudung rapat-rapat'.
Ia akan menaiki tangga; membunyikan bel - dan berkonsultasi dengan kita. Mungkin
ini menarik. Orang yang masih muda dan cantik seperti dia pasti tidak akan
menutupi wajahnya, kecuali ada urusan besar."
Menit berikutnya tamu kami diantar masuk. Seperti sudah dikatakan Poirot, ia
berkerudung rapat. Kami tidak bisa melihat wajahnya sampai ia menaikkan
kerudungnya yang terbuat dari renda Spanyol berwarna hitam. Kulihat intuisi
Poirot tidak meleset. Perempuan itu cantik sekali. Rambutnya pirang dan matanya
biru. Dari pakaiannya yang mahal tapi sederhana, aku langsung menyimpulkan bahwa
ia berasal dari kalangan atas.
"Monsieur Poirot," kata perempuan itu dengan suara yang lembut lagi merdu, "saya
dalam kesulitan besar. Saya ragu-ragu apakah Anda dapat menolong saya. Namun,
saya sudah mendengar tentang prestasi-prestasi Anda yang luar biasa, sehingga
saya datang kemari sebagai harapan terakhir untuk meminta Anda melakukan sesuatu
yang mustahil." "Yang mustahil selalu membuat saya senang," kata Poirot. "Lanjutkanlah,
Mademoiselle." Tamu kami yang cantik ini ragu-ragu.
"Tetapi Anda harus jujur," Poirot menambahkan. "Anda tidak boleh menyembunyikan
sesuatu sedikit pun."
"Saya percaya kepada Anda," gadis itu berkata dengan mendadak. "Anda pernah
mendengar tentang Lady Millicent Castle Vaughan?"
Aku mengangkat kepala dengan penuh minat. Pertunangan Lady Millicent dengan Duke
of Southshire muda diumumkan beberapa hari yang lalu. Aku tahu gadis itu adalah
putri kelima bangsawan Irlandia yang miskin; sedangkan Duke of Southshire
merupakan salah satu calon suami terbaik di Inggris.
"Sayalah Lady Millicent," gadis itu melanjutkan. "Mungkin Anda sudah membaca
tentang pertunangan saya. Saat ini seharusnya saya menjadi salah seorang wanita
yang paling berbahagia, tapi M. Poirot, saya dalam kesulitan yang mengerikan!
Ada seorang laki-laki yang menakutkan - namanya Lavington; dan dia - saya tidak tahu
bagaimana harus mengatakan ini kepada Anda. Ada surat yang saya tulis sewaktu
saya baru berumur enam belas tahun dan dia - dia - "
"Surat yang Anda tulis kepada Lavington ini?"
"Oh, tidak - bukan untuk dia! Kepada seorang serdadu muda - waktu itu saya sangat
menyukainya - dia terbunuh dalam perang."
"Saya mengerti," kata Poirot penuh pengertian.
"Isi surat itu tolol sekali, tidak bijaksana. Sungguh, M. Poirot, tidak lebih
dari itu. Tapi ada beberapa ungkapan dalam surat itu yang dapat menimbulkan
penafsiran yang salah."
"Saya mengerti," kata Poirot, "dan surat itu ada pada Lavington?"
"Benar. Dia mengancam akan mengirim surat itu kepada Duke kalau saya tidak
memberinya sejumlah besar uang. Jumlah uang yang sungguh-sungguh tidak mungkin
saya miliki." "Babi busuk!" seruku tiba-tiba. "Maaf, Lady Millicent."
"Tidakkah lebih bijaksana Anda mengakui semua ini kepada calon suami Anda?"
"Saya tidak berani, M. Poirot. Karakter Duke agak aneh; cemburuan dan penuh
kecurigaan, serta cenderung mempercayai hal-hal yang sangat negatif. Dengan
berbuat demikian berarti saya memutuskan pertunangan kami."
"Tenang, tenanglah," Poirot menghibur dengan wajah muram dan penuh perasaan.
"Lalu apa yang Anda ingin saya lakukan, milady?"
"Mungkin saya dapat meminta Lavington untuk menemui Anda. Akan saya katakan
kepadanya bahwa Anda saya beri kuasa untuk membicarakan masalah ini. Mungkin
Anda bisa menurunkan jumlah uang yang dituntutnya."
"Berapa yang ia minta?"
"Dua puluh ribu pound - jumlah yang di luar kemampuan saya. Bahkan saya tidak
yakin apakah saya bisa mengumpulkan seribu pound."
"Mungkin Anda dapat meminjam uang dengan jaminan pernikahan Anda yang semakin
dekat - tapi saya bimbang apakah Anda dapat memperoleh bahkan separuh jumlah itu.
Selain itu, menurut saya konyol sekali kalau Anda harus menyerahkan uang itu!
Tidak! Kecerdikan Hercule Poirot akan mengalahkan musuh-musuh Anda!
Pertemukanlah saya dengan Lavington ini. Mungkinkah ia membawa serta surat itu?"
Gadis itu menggeleng. "Saya kira tidak. Ia sangat berhati-hati."
"Anda yakin ia benar-benar menyimpan surat itu?"
"Dia menunjukkannya kepada saya ketika saya ke rumahnya."
"Anda ke rumahnya" Tindakan ini sangat ceroboh, milady."
"Betulkah" Saya sangat putus asa. Saya berharap desakan permohonan saya mungkin
menggerakkan hatinya."
"Oh, l? l?! Orang-orang seperti Lavington tidak akan tersentuh oleh sebuah
permohonan. Ia akan menganggap permohonan Anda itu sebagai bukti bahwa Anda
sangat menginginkan dokumen itu. Di mana tinggalnya, laki-laki yang baik ini?"
"Di Buona Vista, Wimbledon. Saya ke sana setelah hari gelap - " Poirot mengerang.
"Saya katakan pada akhirnya saya akan melapor kepada polisi, tapi ia hanya
tertawa dengan mencemooh dan menakutkan. 'Silakan, Lady Millicent sayang,
lakukanlah begitu kalau Anda menginginkannya,' begitu katanya."
"Masalah ini tidak cocok untuk polisi," Poirot menggumam.
"'Saya kira Anda akan bersikap lebih bijaksana,' begitu kata Lavington lebih
lanjut. 'Lihat, ini surat Anda - dalam kotak mainan Cina yang kecil ini!'
Diacungkannya surat itu sehingga saya dapat melihatnya. Saya menyerobot surat
itu, tapi ia terlalu cepat bagi saya. Dengan senyuman yang menyeramkan ia
melipat surat itu lalu memasukkannya kembali ke dalam kotak kayu kecil itu.
'Surat ini aman di sini, dan kotak ini akan saya taruh di tempat yang tidak
mungkin Anda temukan.' Pandangan saya beralih ke lemari besi kecil di dinding
dan Lavington tertawa sambil menggeleng. 'Saya punya tempat persembunyian yang
lebih aman,' katanya. Dia memuakkan! M. Poirot, dapatkah Anda menolong saya?"
"Percayalah kepada Papa Poirot. Saya akan menemukan caranya."
Jaminan Poirot ini nampaknya manjur, pikirku, ketika dengan gagahnya Poirot
mengantarkan kliennya yang cantik menuruni tangga. Tapi menurutku kami
menghadapi masalah yang sulit dipecahkan. Kukatakan pendapatku ini kepada Poirot
ketika ia masuk kembali. Dengan sedih Poirot mengiyakan.
"Betul. Penyelesaian masalah ini tidak akan datang begitu saja. Lavington berada
dalam posisi yang menguntungkan. Saat ini aku belum tahu bagaimana dapat
mengecoh dia." Siang itu Lavington mengunjungi kami. Lady Millicent tidak mengada-ada ketika
menggambarkan laki-laki itu sebagai orang yang memuakkan. Ujung kakiku benar-
benar terasa gatal. Begitu tajamnya rasa tidak senang ini sehingga aku ingin
menyepaknya ke luar. Lavington suka menggertak, sikapnya angkuh, dan
menertawakan serta mencemooh saran-saran Poirot. Secara keseluruhan dia
menunjukkan dirinya sebagai orang yang di atas angin dalam situasi ini. Aku
merasa Poirot hampir-hampir tidak memperlihatkan penampilan terbaiknya. Ia
kelihatan berkecil hati dan merasa kalah.
"Nah, Tuan-tuan," kata Lavington seraya mengambil topinya, "rasanya pembicaraan
kita tidak mencapai kemajuan. Begini saja: akan saya turunkan permintaan saya
karena wanita muda itu sangat mempesona." Dengan menjijikkan Lavington
mengerling. "Katakanlah, delapan belas ribu pound. Saya mau ke Paris hari ini -
ada urusan kecil yang harus saya tangani di sana. Hari Selasa saya kembali.
Kalau uang itu belum diserahkan sampai Selasa malam, surat tersebut akan sampai
kepada Duke. Jangan katakan bahwa Lady Millicent tidak bisa mengumpulkan uang
sejumlah itu. Beberapa kawan laki-lakinya akan senang sekali membantu wanita secantik dia dengan meminjamkan uang - kalau saja ia menempuh cara
yang benar." Mukaku memerah dan aku maju selangkah, tapi Lavington sudah meninggalkan ruangan
begitu ia selesai mengucapkan kalimatnya.
"Astaga!" seruku. "Kita harus bertindak. Kelihatannya engkau pasrah saja
menerima semua ini, Poirot."
"Hatimu baik sekali, Sobat - tapi sel-sel abu-abumu menyedihkan. Aku sama sekali
tidak ingin membuat Lavington terkesan dengan kecakapan-kecakapanku. Semakin ia
menganggap aku takut, semakin baik."
"Mengapa?" "Aku ingin tahu," kata Poirot sambil menerawang, "mengapa aku mengatakan
keinginanku untuk berbuat melawan hukum tadi sebelum Lady Millicent tiba!"
"Engkau akan membongkar rumahnya sementara ia ke Paris?" aku ternganga.
"Hastings, kadang-kadang proses mentalmu luar biasa cepatnya."
"Kalau surat itu dibawanya?"
Poirot menggeleng. "Sangat tidak mungkin. Jelas dia punya tempat persembunyian di rumahnya yang
menurutnya kokoh sekali."
"Kapan kita - eh - melakukannya?"
"Besok malam. Kita berangkat kira-kira pukul 23.00."
*** Aku siap berangkat pada waktu yang ditetapkan. Kukenakan setelan warna gelap dan
topi berwarna gelap yang lembut. Poirot menyambutku dengan berseri-seri.
"Engkau berpakaian sesuai peranmu," ia mengamati. "Ayolah, kita lewat jalan
bawah tanah ke Wimbledon."
"Apakah kita tidak perlu membawa alat-alat untuk membongkar pintu?"
"Hastings sayang, Hercule Poirot tidak menempuh cara sekasar itu."
Aku menutup mulut, merasa terhina, tapi rasa ingin tahuku berkobar-kobar.
Persis tengah malam kami memasuki halaman Buona Vista yang kecil di pinggir
kota. Rumah itu gelap dan senyap. Poirot langsung menghampiri jendela di bagian
belakang rumah, menaikkan bingkainya tanpa bersuara, lalu memintaku masuk.
"Bagaimana engkau tahu jendela ini tidak dikunci?" bisikku heran.
"Karena aku menggergaji kaitannya pagi tadi."
"Apa?"" "Sungguh. Gampang sekali, kok. Aku menelepon, memberikan kartu nama palsu, dan
kartu resmi Inspektur Japp. Kukatakan aku dikirim, atas saran Scotland Yard,
untuk menangani beberapa kunci anti-maling yang ingin diperbaiki Lavington
selama ia pergi. Pengurus rumah tangga menyambut kedatanganku dengan senang
hati. Kelihatannya sudah dua kali orang mencoba membongkar rumah tersebut belum
lama ini - jelas ide kita juga telah dicoba oleh klien-klien Lavington yang lain -
tanpa ada barang berharga yang diambil. Aku memeriksa semua jendela, melakukan
persiapan kecilku, dan melarang semua pelayan menyentuh jendela sampai besok
karena semua jendela dihubungkan secara elektris, lalu minta diri dengan sopan."
"Poirot, engkau benar-benar luar biasa."
"Sobat, ini sangat sederhana. Sekarang mulai bekerja! Para pelayan tidur di
bagian atas rumah ini, jadi sedikit sekali kemungkinan kita mengganggu mereka."
"Kukira lemari besi itu dibuat di dalam tembok."
"Lemari besi" Omong kosong! Tidak ada lemari besi. Lavington cerdas. Engkau akan
melihat ia sudah membuat tempat persembunyian yang jauh lebih cerdik daripada
lemari besi. Lemari besi adalah barang pertama yang dicari semua orang."
Setelah itu kami mulai melakukan pencarian secara sistematis di semua tempat.
Tapi sesudah beberapa jam menggeledah rumah, usaha kami sia-sia. Kulihat wajah
Poirot mulai menunjukkan kemarahan.
"Ah, sapristi, apakah Hercule Poirot harus menyerah kalah" Tidak, tak akan
pernah! Marilah kita tenang dulu. Kita merenung. Berpikir. Kita - enfin! - gunakan
sel-sel abu-abu kita."
Poirot berdiam untuk beberapa saat, menekuk alisnya sebagai tanda tengah
memusatkan perhatiannya, kemudian cahaya hijau yang sangat kukenal muncul di
matanya. "Aku tolol sekali. Dapur!"
"Dapur?" seruku. "Tidak mungkin! Pelayan-pelayan!"
"Persis. Persis yang akan dikatakan sembilan puluh sembilan dari seratus orang!
Dan persis untuk alasan itulah dapur merupakan pilihan ideal. Tempat itu penuh
dengan barang-barang keperluan rumah. En avant, ke dapur!"
Aku mengikuti Poirot dengan sikap skeptis. Kuawasi ia ketika ia masuk ke tempat
penyimpanan gandum, mengetuk-ngetuk panci, dan memasukkan kepalanya ke dalam
oven gas. Akhirnya aku berbalik ke kamar kerja karena lelah mengawasi Poirot.
Aku yakin di tempat ini - dan hanya di tempat inilah kami akan menemukan cache
itu. Aku terus mencari dengan cermat. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 04.15.
Mengingat hari akan segera terang, aku kembali ke dapur.
Betapa takjubnya aku melihat Poirot tengah berdiri persis di tempat penyimpanan
batu bara, dengan pakaiannya yang tadinya rapi kini awut-awutan. Poirot
menyeringai. "Memang, Sobat, sama sekali berlawanan dengan naluriku untuk merusak
penampilanku, tapi bagaimana lagi?"
"Lavington tidak mungkin menguburnya di bawah batu bara."
"Kalau saja matamu berfungsi, engkau akan melihat bukan batu bara yang sedang
kuperiksa." Kulihat pada rak di belakang tempat itu ditumpuk beberapa balok kayu. Dengan
tangkas Poirot menurunkan balok itu satu per satu. Mendadak Poirot berseru
dengan lembut. "Pisaumu, Hastings."
Kuberikan benda itu kepadanya. Ia memasukkan pisau ke dalam balok dan tiba-tiba
balok itu terbelah dua. Balok itu telah digergaji dengan rapi dan ada sebuah
rongga menganga di tengah-tengah. Dari rongga ini Poirot mengeluarkan kotak kayu
kecil buatan Cina. "Berhasil!" seruku tak tertahankan.
"Pelan-pelan, Hastings! Jangan berisik. Ayo, kita pergi sebelum hari terang."
Sambil menyelipkan kotak kecil itu ke dalam sakunya Poirot melompat keluar dari
gudang batu bara dengan ringannya, mengibaskan bajunya sedapat mungkin, lalu
meninggalkan rumah melalui jalan yang kami tempuh untuk masuk. Kami berjalan
cepat ke arah London. "Tempat yang luar biasa," komentarku. "Siapa saja mungkin memakai balok itu."
"Dalam bulan Juli, Hastings" Dan kotak ini terletak di tumpukan paling bawah.
Tempat persembunyian yang amat cermat. Nah, ini dia taksi! Sekarang pulang,
mencuci badan, dan tidur nyenyak."
***

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah kejadian yang menegangkan malam itu, aku tidur lelap. Persis sebelum
pukul 13.00, sewaktu aku masuk ke ruang duduk, aku terkejut melihat Poirot
bersandar di kursi. Kotak dari Cina itu terbuka di sebelahnya dan dengan
tenangnya ia membaca surat yang diambilnya dari kotak itu.
Poirot tersenyum mesra kepadaku lalu menepuk surat yang dipegangnya.
"Dia betul, Lady Millicent, maksudku. Tidak akan pernah Duke memaafkan surat
ini. Isinya beberapa ungkapan kasih sayang yang paling mesra yang pernah
kubaca." "Oh, Poirot," kataku dengan muak. "Kukira tidak seharusnya engkau membaca surat
itu. Hal semacam ini tidak biasa dilakukan orang."
"Sudah dilakukan oleh Hercule Poirot," sahutnya tenang sekali.
"Dan hal lain lagi," aku melanjutkan, "memakai kartu resmi Inspektur Japp
kemarin sungguh bukan main-main."
"Tapi aku memang tidak main-main, Hastings. Aku sedang menyelidiki satu kasus."
Aku mengangkat bahu. Percuma berdebat soal sudut pandang pribadi.
"Langkah-langkah di tangga," kata Poirot. "Itu pasti Lady Millicent."
Klien kami yang cantik masuk dengan wajah cemas yang berubah gembira melihat
kotak dan surat yang dipegang Poirot tinggi-tinggi.
"Oh, M. Poirot! Bukan main hebatnya Anda! Bagaimana Anda mendapatkannya?"
"Dengan cara-cara kurang pantas, milady. Tapi Lavington tidak akan menuntut. Ini
surat Anda, kan?" Lady Millicent menatap sekilas.
"Benar. Oh, bagaimana saya harus mengucapkan terima kasih" Anda mengagumkan dan
luar biasa. Di mana surat ini disembunyikan?"
Poirot mengisahkan petualangannya.
"Bukan main cerdiknya Anda!" Lady Millicent mengambil kotak itu dari meja. "Akan
saya simpan kotak ini sebagai kenang-kenangan."
"Milady, saya sudah berharap Anda akan mengizinkan saya untuk menyimpannya, juga
sebagai kenang-kenangan."
"Saya akan mengirim kenang-kenangan yang lebih baik daripada ini kepada Anda -
pada hari pernikahan saya. Saya orang yang tahu berterima kasih, M. Poirot."
"Bagi saya rasa bahagia dalam melayani Anda lebih berarti daripada selembar cek -
jadi Anda memperbolehkan saya menyimpan kotak ini?"
"Oh, jangan, M. Poirot. Saya perlu memiliki benda ini," seru Lady Millicent
sambil tertawa. Perempuan itu mengulurkan tangannya, tetapi Poirot lebih cepat. Kedua tangannya
diletakkan di atas kotak itu.
"Saya kira tidak," suara Poirot berubah.
"Apa maksud Anda?" nada bicara Lady Millicent terdengar meninggi.
"Biarkanlah saya menunjukkan isinya lebih lanjut. Anda lihat lubang yang asli
sudah dikurangi separuhnya. Di dalam lubang atas terdapat surat yang menarik
perhatian itu, di bawah - "
Poirot melakukan gerakan yang cepat, lalu mengulurkan tangannya. Di telapak
tangannya bergemerlapan empat batu permata besar dan dua buah mutiara berwarna
putih susu. "Permata yang dicuri di Bond Street dulu - saya cenderung berpendapat begitu. Japp
akan memberitahu kita."
Aku terheran-heran ketika Japp sendiri keluar dari kamar tidur Poirot.
"Kawan lama Anda, saya yakin," dengan sopan Poirot berkata kepada Lady
Millicent. "Tertangkap basah. Demi Tuhan!" Lady Millicent berkata dengan sikap yang berubah
seratus delapan puluh derajat. "Kamu, setan tua yang dingin!" Pandangannya
mengandung rasa hormat dan kagum.
"Well, Gertie sayangku," Japp membuka suara, "kali ini permainan sudah berakhir.
Bayangkan, bertemu Anda lagi dalam waktu sesingkat ini! Kawan Anda sudah
tertangkap juga. Laki-laki yang dulu datang kemari dan mengaku sebagai
Lavington. Sedangkan Lavington sendiri, alias Croker, alias Reed, saya ingin
tahu anggota komplotan yang mana menikamnya di Belanda. Anda mengira ia membawa
barang itu, ya kan" Ternyata tidak. Dengan cerdik ditipunya Anda -
disembunyikannya hasil curian itu di rumahnya sendiri. Anda menyuruh dua laki-
laki mencari benda itu. Lalu Anda meminta bantuan Poirot. Dan untungnya, ia
menemukan barang-barang itu."
"Anda memang suka bicara, ya kan?" ujar Lady Millicent palsu. "Tenang saja
sekarang. Saya akan pergi tanpa banyak bicara. Kalian tidak bisa bilang bahwa
saya bukanlah lady yang sempurna. Selamat tinggal semua!"
"Sepatunya tidak cocok," Poirot berbicara sambil menerawang sementara aku masih
terheran-heran untuk membuka suara. "Aku sudah mempelajari kebiasaan orang
Inggris. Seorang wanita bangsawan yang sejati benar-benar memperhatikan
sepatunya. Pakaiannya bisa saja lusuh, tapi sepatunya pasti bagus. Nah, Lady
Millicent yang ini mengenakan pakaian yang mahal-mahal lagi rapi, sedangkan
sepatunya sepatu murahan. Rasanya tidak mungkin engkau atau aku pernah melihat
Lady Millicent yang sejati; dia jarang sekali berada di London. Gadis tadi mirip
Lady Millicent. Seperti yang sudah kukatakan, sepatu itulah yang mula-mula
membangkitkan rasa curigaku, lalu ceritanya - dan kerudungnya - agak berlebihan,
kan" Kotak buatan Cina dengan surat palsu yang mencurigakan itu pasti sudah
diketahui semua anggota komplotan, tapi bongkahan kayu itu adalah gagasan
Lavington sendiri. Hastings, kuharap engkau tidak melukai perasaanku lagi
seperti kemarin dengan mengatakan bahwa aku tak dikenal oleh kalangan penjahat.
Ma foi, bahkan mereka menyewaku pada waktu mereka sendiri gagal!"
XVII PEMBUNUHAN DI TENGAH LAUT
"KOLONEL CLAPPERTON!" kata Jenderal Forbes.
Jenderal itu berbicara dengan suara antara mendengus dan bersin.
Ellie Henderson mencondongkan badannya ke depan. Sehelai rambut kelabunya
menyapu wajahnya. Bola matanya yang gelap dan bergerak-gerak bersinar penuh
kegembiraan yang menyiratkan niat tidak terpuji.
"Laki-laki yang amat perkasa," katanya dengan keinginan jahat. Kemudian
dirapikannya rambutnya ke belakang sambil menanti reaksi atas ucapannya.
"Perkasa!" Jenderal Forbes meledak. Ditarik-tariknya kumis militernya dan
wajahnya menjadi merah padam.
"Dia termasuk anggota pasukan pengawal, ya kan?" gumam Nona Henderson untuk
menuntaskan rencana yang ada di benaknya.
"Pengawal" Pasukan pengawal" Omong kosong. Dia manggung di gedung kesenian! Ini
kenyataan! Dia lalu jadi tentara dan dikirim ke Prancis untuk menghitung plum
dan apel. Orang-orang Hun menjatuhkan bom nyasar dan dia pulang dengan tangan
terluka. Lalu, kalau tidak salah, dia masuk rumah sakit milik Lady Carrington."
"Jadi, begitulah mereka bertemu."
"Ini kenyataan! Sang pemuda memainkan peran pahlawan yang terluka. Lady
Carrington gampang ditipu dan sangat kaya. Carrington tua dulunya bertugas di
gudang mesiu. Lady Carrington baru enam bulan menjanda. Pemuda ini langsung
menjeratnya. Dengan akal licik Lady Carrington berhasil mendapatkan pekerjaan
untuk kekasihnya di markas Angkatan Bersenjata. Kolonel Clapperton! Bah!" dengus
Jenderal Forbes. "Sebelum perang dia manggung di gedung kesenian," kata Nona Henderson seraya
merenung; berusaha mencocokkan sosok Kolonel berambut kelabu yang terhormat itu
dengan pemain komedi berhidung merah yang menyanyikan lagu-lagu gembira yang
merangsang. "Sungguh!" kata Jenderal Forbes meyakinkan. "Saya mendengarnya dari
Bassingtonfrench tua. Sedangkan dia mendengar kisah ini dari Badger Cotterill
tua yang diberitahu Snooks Parker."
Nona Henderson mengangguk riang. "Oh begitu!" katanya.
Sebentuk senyuman singkat terlukis di wajah laki-laki bertubuh kecil yang duduk
tidak jauh dari keduanya. Nona Henderson menangkap senyuman itu. Dia memang suka
memperhatikan. Senyuman itu menunjukkan penghargaan atas ironi yang mendasari
komentar terakhir Nona Henderson - ironi yang sama sekali tidak dicurigai oleh
sang Jenderal. Jenderal Forbes sendiri tidak melihat senyuman itu. Ia melirik arlojinya, lalu
berdiri dan berkata, "Olahraga. Harus tetap fit di kapal." Kemudian ia keluar
menuju dek. Nona Henderson melirik laki-laki yang tersenyum tadi. Lirikan yang terlatih
baik, menandakan ia siap berbincang-bincang dengan teman seperjalanan.
"Dia energik - ya kan?" laki-laki bertubuh kecil itu membuka suara.
"Dia sanggup mengelilingi dek empat puluh delapan kali," Nona Henderson
menjelaskan. "Gosip kuno! Dan orang bilang kaum wanitalah yang menyukai
skandal." "Betapa kurang ajarnya!"
"Orang Prancis selalu sopan," Nona Henderson berkata lagi - ada nada bertanya
dalam kalimatnya. Pria berbadan kecil itu cepat menanggapi. "Belgia, Mademoiselle."
"Oh, orang Belgia."
"Hercule Poirot. Siap membantu Anda."
Nama itu mengingatkannya pada sesuatu. Rasanya dia sudah pernah mendengar nama
Hercule Poirot. "Anda menikmati perjalanan ini, M. Poirot?"
"Terus terang tidak. Bodoh sekali saya mau saja dibujuk untuk ikut serta. Saya
benci la mer. Suasananya tidak pernah tenang - tidak sekejap pun."
"Well, Anda tahu sekarang ini betul-betul tenang."
Poirot mengakui kenyataan ini dengan ogah-ogahan. "A ce moment, memang. Itulah
sebabnya saya bersemangat kembali. Saya sekali lagi menaruh perhatian pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekeliling saya - sikap Anda yang sangat
terampil terhadap Jenderal Forbes, misalnya."
"Maksud Anda - " Nona Henderson tidak menyelesaikan kalimatnya.
Hercule Poirot membungkukkan badannya. "Cara-cara Anda menggali skandal itu.
Sungguh mengagumkan!"
Tanpa malu-malu Nona Henderson tertawa. "Pembicaraan mengenai pengawal tadi"
Saya tahu pokok pembicaraan ini akan membuat laki-laki itu nyerocos dan
terengah-engah." Perempuan itu mencondongkan badannya ke depan dan berbisik,
"Saya akui, saya suka skandal - semakin aneh, semakin menyenangkan!"
Poirot memandang perempuan itu dengan sungguh-sungguh - sosok tubuhnya yang
ramping serta terawat baik, bola matanya yang gelap dan tajam, rambutnya yang
kelabu; seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang tidak menyembunyikan
usianya. Tiba-tiba Ellie berkata, "Saya ingat! Bukankah Anda detektif terkenal itu?"
Poirot membungkukkan badan. "Anda terlalu ramah, Mademoiselle." Akan tetapi
tidak disangkalnya pernyataan lawan bicaranya.
"Asyik sekali," Nona Henderson berkata lagi. "Anda 'sudah berhasil mengikuti
jejaknya' seperti yang ditulis dalam buku-buku" Adakah penjahat yang diam-diam
menyelip di antara kita" Atau saya bersikap kurang bijaksana?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Saya terpaksa mengecewakan harapan-harapan Anda.
Seperti yang lain-lain, saya berada di sini untuk bersenang-senang."
Poirot mengatakan kalimat di atas dengan suara yang sangat sedih sehingga Nona
Henderson tertawa. "Oh, besok Anda bisa turun di Alexandria. Anda pernah ke Mesir?"
"Tidak, Mademoiselle."
Dengan agak tergesa-gesa Nona Henderson berdiri.
"Saya mau ikut olahraga dengan Jenderal," katanya memberitahu Poirot.
Poirot berdiri dengan sopan.
Wanita itu mengangguk kecil kepada Poirot lalu berjalan menuju geladak.
Samar-samar mata Poirot menunjukkan kebingungan. Kemudian, senyuman kecil
menghiasi bibirnya. Ia berdiri, melongokkan kepalanya ke luar pintu dan melirik
ke bawah, ke arah geladak. Nona Henderson tengah bersandar di pagar, berbincang-
bincang dengan seorang laki-laki bertubuh tinggi dan perkasa.
Senyum di bibir Poirot melebar. Ia kembali ke dalam ruangan merokok dengan sikap
yang terlalu hati-hati bagaikan kura-kura yang sedang memasukkan diri ke dalam
rumahnya. Untuk sejenak ruangan merokok itu menjadi miliknya sendiri, walaupun
ia tahu tidak akan berlangsung lama.
Memang tidak. Nyonya Clapperton masuk melalui pintu bar dengan sikap percaya
diri. Perempuan yang selalu bisa membayar tinggi untuk apa saja yang dia
inginkan. Rambutnya yang berombak rapi dibungkus jala rambut dan tubuhnya yang
terjaga serta terawat terbungkus pakaian olahraga yang apik.
"John - ?" katanya membuka suara. "Oh! Selamat pagi, M. Poirot - Anda melihat John?"
"Dia ada di geladak sebelah kanan. Saya - ?"
Nyonya Clapperton menghentikan ucapannya dengan gerak isyarat. "Saya akan duduk
di sini sebentar." Dengan anggunnya ia duduk di hadapan Poirot. Dan kejauhan
perempuan ini tampak seperti berumur dua puluh delapan tahun. Dari dekat ia
tampak berusia lima puluh lima tahun - lebih tua dari usianya yang empat puluh
sembilan tahun - biarpun rias wajahnya sempurna dan alisnya dicabuti dengan rapi.
Bola matanya biru pucat dengan pupil yang amat kecil.
"Saya menyesal tidak bertemu Anda sewaktu makan tadi malam," katanya. "Laut
sedikit berombak memang - "
"Tepat," potong Poirot dengan penuh perasaan.
"Untunglah saya pelaut yang hebat," ujar Nyonya Clapperton. "Saya katakan untung
karena jantung saya lemah. Bagi saya mabuk laut bisa berarti kematian."
"Jantung Anda lemah, Madame?"
"Ya. Saya harus hati-hati sekali. Saya tidak boleh terlalu lelah. Semua dokter
spesialis berkata begitu!" Nyonya Clapperton sudah mulai membicarakan topik yang
- baginya - menarik. Tentang kesehatannya. "John tidak jemu-jemunya berusaha
mencegah saya bekerja terlalu banyak. Saya hidup dengan penuh semangat. Anda
tahu maksud saya, M Poirot?"
"Ya. Ya." "Dia selalu berkata, 'Berusahalah lebih santai, Adeline.' Tapi saya tidak bisa.
Hidup harus diberi makna - menurut saya. Sewaktu perang saya bekerja mati-matian.
Rumah sakit saya - Anda pernah mendengarnya" Tentu saja saya punya perawat-
perawat, staf, dan semua itu - tapi sayalah yang sebetulnya menjalankan semuanya."
Ia menghela napas. "Vitalitas Anda luar biasa, Nyonya," komentar Poirot dengan nada hampir tanpa
perasaan, seperti orang yang menanggapi cue.
Nyonya Clapperton tertawa terkikik-kikik.
"Setiap orang mengatakan betapa mudanya penampilan saya! Tidak masuk akal. Saya
tidak pernah berusaha untuk berpura-pura sehari lebih muda daripada empat puluh
tiga tahun," lanjutnya dengan keterusterangan yang tidak jujur, "tapi banyak
yang tidak percaya. 'Engkau penuh gairah hidup, Adeline,' begitu kata mereka.
Tapi M. Poirot, apa jadinya bila orang tidak penuh gairah hidup?"
"Mati," sahut Poirot.
Nyonya Clapperton mengerutkan dahi. Jawaban itu tidak disukainya. Laki-laki ini
mencoba melucu, ia menyimpulkan. Ia berdiri dan berkata dengan dingin, "Saya
harus menemui John."
Pada waktu melewati pintu, tas tangannya terjatuh. Isinya berhamburan ke mana-
mana. Dengan gallant Poirot buru-buru membantu. Beberapa menit kemudian sejumlah
lipstick, kotak rias, kotak sigaret, dan korek api, serta barang-barang lainnya
terkumpul. Nyonya Clapperton menyampaikan rasa terima kasihnya dengan sopan,
lalu turun ke geladak dan memanggil, "John - "
Kolonel Clapperton masih terlibat percakapan yang mengasyikkan dengan Nona
Henderson. Ia berpaling dan cepat-cepat menemui istrinya, membungkukkan badannya
dengan sikap melindungi. Kursi geladak yang diduduki istrinya - apakah tempatnya
benar begitu" Tidakkah lebih baik - " Tingkah lakunya sopan - penuh perhatian dan
lembut. Jelas, sang istri amat dicintai dan dimanja oleh suami tercinta.
Nona Ellie Henderson melempar pandangan ke kaki langit - seolah-olah ada sesuatu
dalam sikap suami-istri itu yang agak memuakkannya.
Poirot menyaksikan peristiwa ini sambil berdiri di pintu ruang merokok.
Sebuah suara parau di belakangnya berkata dengan gemetar, "Akan saya kapak
perempuan itu seandainya saya suaminya." Seorang laki-laki tua, yang di kalangan
orang-orang yang lebih muda di kapal dikenal dengan panggilan ejekan 'Kakek
petani teh', memasuki ruangan. "Nak," serunya, "ambilkan saya wiski."
Poirot berhenti untuk memungut secarik kertas robek yang tercecer dari tas
Nyonya Clapperton. Ternyata merupakan sobekan resep, berisi digitalin.
Dimasukkannya kertas itu ke sakunya, dengan maksud mengembalikannya kepada
Nyonya Clapperton nanti. "Memang," lanjut laki-laki tua itu, "perempuan beracun. Saya ingat seorang
wanita seperti dia di Poona. Waktu itu tahun '87."
"Ada yang mengapaknya?" Poirot bertanya.
Laki-laki tua itu menggeleng sedih.
"Perempuan seperti itu membunuh suaminya secara perlahan-lahan. Clapperton
sebenarnya harus mempertahankan haknya. Ia terlalu menuruti kemauan istrinya."
"Wanita itu yang memegang kendali keuangan," ujar Poirot serius.
"Ha... ha... ha!" laki-laki tua itu terbahak-bahak. "Anda mengungkapkan masalah
ini dalam kata-kata yang paling singkat. Memegang kendali keuangan. Ha... ha...
ha...!" Dua orang gadis masuk ke ruang merokok. Yang satu berwajah bulat dan berbintik-
bintik. Rambutnya yang gelap terjulur keluar tidak karuan karena embusan angin.
Yang lain wajahnya berbintik-bintik dan rambut ikalnya berwarna coklat


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemerahan. "Penyelamatan - penyelamatan!" seru Kitty Mooney. "Saya dan Pam akan menyelamatkan
Kolonel Clapperton."
"Dari cengkeraman istrinya," Pamela Cregan menyambung sambil terengah-engah.
"Kami berpendapat dia itu binatang peliharaan..."
"Dan perempuan itu mengerikan - ia tidak akan membiarkan suaminya berbuat apa-
apa," seru kedua gadis itu.
"Kalau sedang tidak bersama istrinya biasanya ia direbut oleh perempuan
Henderson itu..." "Yang betul-betul menyenangkan, tapi tua sekali..."
Keduanya berlari ke luar, terengah-engah di antara gelak tawa mereka.
"Penyelamatan - Penyelamatan..."
*** Bahwa usaha menyelamatkan Kolonel Clapperton bukan kelakar belaka melainkan
rencana yang pasti, terbukti sore itu ketika Pam Cregan yang berumur delapan
belas tahun itu menghampiri Poirot dan berbisik, "Lihatlah kami, M. Poirot.
Kolonel Clapperton akan kami tarik di depan hidung istrinya dan kami ajak jalan-
jalan di geladak kapal di bawah cahaya bulan."
Tepat pada waktu itu terdengar Kolonel Clapperton berkata, "Rolls-Royce memang
mahal, tapi mobil itu praktis bisa dipakai seumur hidup. Sekarang mobilku - "
"Mobilku, John," suara Nyonya Clapperton terdengar nyaring dan tajam.
Clapperton tidak menunjukkan rasa jengkel atas ketidaksopanan istrinya. Bisa
jadi ia sudah terbiasa dengan sikap begitu atau ada alasan lain -
"Atau ada alasan lain?" Poirot berpikir dan mulai menebak-nebak.
"Tentu saja, Sayangku, mobilmu," Clapperton membungkukkan badan ke arah istrinya
dan menyelesaikan kalimatnya dengan ketenangan yang sempurna.
"Voil? ce qu'on appelle le pukka sahib," pikir Poirot. "Tapi, Jenderal Forbes
mengatakan Clapperton sama sekali bukan gentleman. Aku jadi bertanya-tanya
sekarang." Seseorang mengusulkan bermain bridge. Nyonya Clapperton, Jenderal Forbes, dan
sepasang insan bermata tajam duduk untuk bermain. Nona Henderson sudah minta
diri dan keluar menuju geladak.
"Bagaimana dengan suami Anda?" tanya Jenderal Forbes ragu-ragu.
"John tidak mau bermain bridge," Nyonya Clapperton menyahut. "Menyebalkan
sekali." Keempat pemain bridge itu mulai mengocok kartu.
Pam dan Kitty maju menghampiri Kolonel Clapperton. Masing-masing menggamit satu
lengan. "Anda ikut kami," kata Pam, "Ke geladak. Di sana kita bisa melihat bulan
purnama." "Jangan tolol, John," Nyonya Clapperton menegur. "Engkau akan menggigil
kedinginan." "Tidak bila bersama kami," sahut Kitty. "Kami hangat!"
Kolonel itu berlalu bersama mereka sambil tertawa.
Poirot melihat bahwa Nyonya Clapperton mengatakan 'Tidak ada tawaran' sewaktu
pertama kali mendapat kesempatan menawar.
Poirot keluar, ke tempat berjalan-jalan di geladak. Nona Henderson berdiri di
dekat pagar besi, memandang sekelilingnya dengan penuh harap. Pada waktu
mendekat untuk menjajarinya, Poirot melihat ekspresi kekecewaan di wajah
perempuan itu. Mereka mengobrol sebentar. Ketika akhirnya Poirot berdiam diri, Nona Henderson
bertanya, "Apa yang Anda pikirkan?"
"Saya mempertanyakan pengetahuan bahasa Inggris saya. Nyonya Clapperton
mengatakan, 'John tidak mau bermain bridge.' Bukankah 'tidak bisa bermain'
adalah istilah yang biasa dipakai?"
"Dia merasa terhina karena suaminya tidak bisa main, kukira," ujar Nona
Henderson kering. "Laki-laki tolol, mau menikah dengan perempuan seperti itu."
Dalam kegelapan Poirot tersenyum. "Anda tidak berpikir mungkin saja perkawinan
itu bahagia?" tanyanya malu-malu.
"Dengan perempuan seperti itu?"
Poirot mengangkat bahu. "Banyak perempuan menjengkelkan mempunyai suami yang
setia. Ini salah satu teka-teki alam. Anda pasti mengakui bahwa tak satu pun
yang dikatakan atau diperbuat istrinya kelihatannya menyakitkan hatinya." Nona
Henderson sedang memikirkan jawabnya ketika sayup-sayup terdengar suara Nyonya
Clapperton dari jendela ruang merokok.
"Tidak - saya tidak mau bermain satu kali lagi. Sesak sekali rasanya. Saya mau
naik dan menghirup udara di geladak."
"Selamat malam," kata Nona Henderson. "Saya mau tidur." Tergesa-gesa ia
menghilang. Poirot masuk ke ruang duduk - yang hanya dipakai oleh Kolonel dan kedua gadis
tadi. Sang Kolonel sedang memamerkan tipuan dengan kartu-kartu kepada kedua
kawannya. Melihat keterampilan Kolonel itu mengocok dan memegang kartu-kartu,
Poirot teringat akan cerita Jenderal Forbes tentang karier Kolonel di panggung
gedung kesenian. "Saya lihat Anda menyukai kartu meskipun Anda tidak bermain bridge," Poirot
membuka suara. "Saya punya alasan untuk tidak bermain bridge," sahut Clapperton sambil
memamerkan senyumnya yang menawan. "Akan saya tunjukkan kepada Anda. Kita akan
bermain satu ronde."
Cepat sekali dibaginya kartu-kartu itu. "Ambillah kartu-kartu Anda. Bagaimana?"
Ia menertawakan kebingungan yang terpancar di wajah Kitty. Diletakkannya
kartunya. Yang lain berbuat demikian pula. Kitty memegang seluruh klaver. M.
Poirot kartu bergambar hati, Pam wajik, dan Kolonel Clapperton sendiri sekop.
"Anda lihat?" katanya. "Seorang laki-laki yang bisa membagi kartu mana saja
kepada pasangan dan musuh-musuhnya sebaiknya tidak ikut main. Kalau terus-
menerus menang, hal-hal yang tidak menyenangkan mungkin bisa terjadi."
"Oh!" seru Kitty terengah-engah. "Bagaimana Anda bisa melakukan ini" Segala
sesuatunya kelihatannya biasa-biasa saja."
"Kecepatan tangan menipu mata," kata Poirot dengan penuh arti - dan ia menangkap
perubahan ekspresi wajah Kolonel itu yang tiba-tiba.
Seakan-akan Kolonel menyadari untuk sejenak ia telah lepas kontrol.
Poirot tersenyum. Selama ini tukang sulap itu tampil dengan topeng pukka sahib.
*** Fajar keesokan harinya kapal sampai di Alexandria.
Sewaktu Poirot selesai sarapan, dilihatnya kedua gadis itu siap turun ke pantai.
Mereka berbicara kepada Kolonel Clapperton.
"Kita harus berangkat sekarang," Kitty mendesak. "Orang-orang yang memeriksa
paspor akan segera meninggalkan kapal. Anda turun bersama kami, kan" Anda tidak
akan membiarkan kami ke pantai berdua saja" Mungkin saja ada kejadian buruk yang
menimpa kami." "Tentu saja saya tidak sependapat kalau kalian pergi sendiri," ujar Clapperton
seraya tersenyum. "Tapi istri saya belum tentu mau ikut."
"Sayang sekali," kata Pam. "Tapi bukankah bisa istirahat panjang yang
menyenangkan?" Kolonel Clapperton nampak agak bimbang - jelas keinginannya untuk pergi berjalan-
jalan sangat kuat. Ia melihat Poirot.
"Halo, M. Poirot - Anda mau turun ke pantai?"
"Tidak," jawab Poirot.
"Saya - saya - akan berbicara kepada Adeline," Kolonel itu memutuskan.
"Kami ikut," kata Pam. Dengan cepat Pam mengedipkan mata kepada Poirot. "Mungkin
kami bisa membujuknya untuk ikut juga," tambahnya serius.
Kelihatannya Kolonel Clapperton menyambut baik usulan ini. Ia kelihatan benar-
benar lega. "Ayolah kalau begitu. Kalian berdua ikut," katanya ringan. Bertiga mereka
berjalan sepanjang gang geladak.
Dengan penuh rasa ingin tahu Poirot, yang kabinnya persis berseberangan dengan
kabin Kolonel, mengikuti mereka.
Agak tegang Kolonel Clapperton mengetuk pintu kabinnya.
"Adeline, Sayangku, engkau sudah bangun?"
Suara mengantuk Nyonya Clapperton menyahut dari dalam. "Oh, sialan - ada apa sih?"
"Ini John. Engkau mau ke pantai?"
"Jelas tidak," suara itu tajam dan tegas. "Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku
mau tinggal di tempat tidur hari ini."
Pam cepat menyela. "Oh, Nyonya Clapperton, saya kecewa sekali. Kami ingin sekali
Anda ikut ke pantai bersama kami. Anda yakin tidak mau ikut?"
"Saya betul-betul yakin," suara Nyonya Clapperton bahkan kedengaran lebih tajam.
Kolonel Clapperton memutar pegangan pintu, tapi sia-sia.
"Ada apa, John" Pintu terkunci. Aku tidak ingin diganggu pelayan."
"Maaf, Sayang, maaf. Aku cuma ingin mengambil Baedeker-ku."
"Engkau tidak bisa membawanya," hardik Nyonya Clapperton. "Aku tidak akan turun
dari tempat tidur. Pergilah, John, dan biarkan aku sedikit tenang."
"Tentu, tentu, Sayangku." Kolonel itu mundur. Pam dan Kitty mendekati dan
mengelilinginya. "Ayo, kita langsung berangkat. Untunglah Anda sudah pakai topi. Astaga - paspor
Anda tidak di dalam kabin, kan?"
"Ada di saku saya - " sahut Kolonel.
Kitty memegang erat tangan sang Kolonel. "Syukurlah! Ayo kita berangkat."
Sambil bersandar di pagar Poirot mengawasi ketiga orang itu berangkat. Ia
mendengar helaan napas yang lembut di sampingnya dan menoleh. Dilihatnya Nona
Henderson. Mata wanita itu terpaku pada tiga sosok tubuh yang bergerak menjauh.
"Jadi mereka pergi ke pantai," ujarnya datar.
"Memang. Anda mau ke pantai?"
Dilihatnya Nona Henderson mengenakan topi penahan matahari, sepatu, dan
menyandang tas yang apik. Penampilannya mengesankan ia akan ke pantai. Setelah
hening sejenak yang ditanya menggeleng.
"Tidak," katanya, "saya akan tinggal di kapal saja. Banyak surat yang harus saya
tulis." Ia membalik dan meninggalkan Poirot.
Dengan terengah-engah sesudah berlari empat puluh delapan kali mengelilingi
geladak Jenderal Forbes menggantikan tempat Nona Henderson. "Aha!" serunya
ketika pandangannya menangkap sosok-sosok tubuh Kolonel dan kedua gadis itu
menjauh. "Jadi, dia pergi main-main! Di mana istrinya?"
Poirot menjelaskan bahwa Nyonya Clapperton ingin beristirahat seharian di tempat
tidur. "Jangan percaya!" pahlawan tua itu mengedipkan satu mata. "Perempuan itu pasti
akan bangun dan mencari gara-gara - dan kalau laki-laki malang itu diketahui pergi
tanpa pamit, akan terjadi pertengkaran sengit."
Namun ramalan Jenderal Forbes tidak menjadi kenyataan. Nyonya Clapperton tidak
menampakkan diri pada waktu makan siang. Dan pada saat Kolonel beserta kedua
gadis itu kembali ke kapal pukul 16.00, Nyonya Clapperton tetap tidak muncul.
Poirot tengah berada di kabinnya dan didengarnya sang suami mengetuk pintu kabin
seberang dengan agak takut-takut. Dia mendengar suara ketukan diulang-ulang,
pintu kabin coba dibuka, dan akhirnya didengarnya Kolonel memanggil pramugara
kapal. "Saya tidak mendapat jawaban. Anda punya kunci?"
Poirot segera bangkit dari tempat tidurnya dan keluar, ke gang geladak.
*** Cepat sekali berita ini menyebar ke seluruh kapal. Dengan perasaan tidak percaya
namun ngeri orang-orang mendengar bahwa Nyonya Clapperton dijumpai mati di
tempat tidurnya - sebilah belati penduduk pribumi menembus jantungnya. Serangkaian
manik-manik berwarna kuning gading ditemukan di lantai kabinnya.
Desas-desus beredar tanpa akhir. Semua penjual manik-manik yang diperbolehkan
naik ke kapal hari itu dikumpulkan dan ditanyai! Sejumlah besar uang hilang dari
laci kabin! Dan uang itu sudah ditemukan kembali! Eh uang itu belum ditemukan!
Permata yang mahal sekali dicuri! Tidak ada permata yang diambil pembunuh!
Seorang pramugara ditahan dan mengaku sebagai pelakunya!
"Mana yang benar dari semua ini?" tuntut Nona Henderson sambil menghentikan
langkah Poirot. Wajahnya pucat serta kusut.
"Nona yang baik, bagaimana saya tahu?"
"Pasti Anda tahu," kata Nona Henderson lagi.
Saat itu sudah larut malam. Kebanyakan orang sudah masuk ke kabin masing-masing.
Nona Henderson membawa Poirot menuju sepasang kursi geladak di bagian kapal yang
beratap. "Nah, katakanlah kepada saya," desaknya.
Poirot meneliti wanita itu dengan serius. "Kasus ini menarik," katanya.
"Benarkah beberapa permata yang amat berharga dicuri?"
Poirot menggeleng. "Tidak ada permata yang diambil. Hanya sejumlah kecil uang
tunai yang disimpan di laci hilang."
"Saya tidak akan pernah merasa aman berada di kapal lagi," ujar Nona Henderson
dengan gemetar. "Ada petunjuk orang kulit hitam yang kejam dan kasar mana yang
melakukan pembunuhan itu?"
"Tidak ada," Poirot menjelaskan. "Secara keseluruhan peristiwa ini agak - aneh."
"Apa maksud Anda?" Ellie bertanya tajam.
Poirot membentangkan kedua tangannya. "Eh, bien, perhatikanlah fakta-faktanya.
Pada waktu ditemukan Nyonya Clapperton sudah meninggal paling sedikit lima jam.
Sejumlah uang lenyap. Seuntai manik-manik tergeletak di lantai dekat tempat
tidurnya. Pintu terkunci dan kuncinya hilang. Jendela - jendela, bukan lubang
angin di sisi kapal - yang menghadap geladak terbuka."
"Lalu?" tanya wanita itu tidak sabar.
"Tidakkah Anda berpikir bahwa pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan seperti
itu mencurigakan sekali" Ingat, para penjual kartu pos, manik-manik, dan penukar
uang yang diperbolehkan naik ke kapal dikenal baik oleh polisi."
"Meskipun demikian biasanya pramugara mengunci kabin," kata Ellie lebih lanjut.
"Memang, untuk mencegah adanya pencurian kecil-kecilan. Tapi, ini pembunuhan."
"Sebenarnya apa yang Anda pikirkan, M. Poirot?" Suara Ellie kedengaran agak
terengah-engah. "Saya memikirkan pintu yang terkunci itu."
Nona Henderson mempertimbangkan jawaban Poirot. "Saya tidak melihat ada sesuatu
dalam pintu yang terkunci itu. Pembunuh meninggalkan kabin melalui pintu,
menguncinya, dan membawa kunci itu supaya kejahatannya tidak terlalu cepat
diketahui. Dia pandai sekali karena perbuatannya baru terbongkar pukul 16.00."
"Bukan, bukan itu, Mademoiselle. Anda tidak memahami masalah yang ingin saya
kemukakan. Saya tidak memikirkan bagaimana ia keluar, tetapi bagaimana ia
masuk." "Lewat jendela tentunya."
"Bisa jadi. Tapi, kecil sekali kemungkinan cara ini ditempuh - lagi pula orang-
orang kan naik-turun geladak sepanjang hari. Ingat?"
"Kalau begitu, lewat pintu," kata Nona Henderson tidak sabar.
"Anda lupa, Mademoiselle. Nyonya Clapperton sudah mengunci pintu kabinnya dari
dalam. Ia mengunci pintu sebelum Kolonel Clapperton meninggalkan kapal pagi
tadi. Malahan Kolonel tadi mencoba membuka pintu - sehingga kita tahu bahwa pintu
sudah terkunci." "Mustahil. Mungkin saja pintu itu macet - atau Kolonel tidak memutar pegangan
pintu dengan benar."
"Tapi hal itu tidak cuma berdasarkan kata-katanya. Kami sungguh-sungguh
mendengar Nyonya Clapperton sendiri berkata begitu."
"Kami?" "Nona Mooney, Nona Cregan, Kolonel Clapperton, dan saya sendiri."
Ellie Henderson mengetuk-ngetukkan kakinya yang bersepatu rapi. Sejenak ia
berdiam diri. Kemudian dengan nada agak marah ia berkata, "Lalu - apa sebenarnya
kesimpulan Anda" Saya kira - andaikata Nyonya Clapperton bisa mengunci pintu, ia
dapat membukanya juga."
"Tepat. Persis." Poirot memalingkan wajahnya yang berseri-seri kepada lawan
bicaranya. "Dan Anda tahu ke arah mana pemikiran ini membawa kita" Nyonya
Clapperton membuka pintu dan membiarkan si pembunuh masuk. Nah, apakah ia akan
bersikap begini kepada penjual manik-manik?"
Ellie menyanggah pendapat Poirot. "Mungkin saja ia tidak tahu siapa itu. Mungkin
pembunuh mengetuk pintu - ia lalu berdiri dan membuka pintu - orang itu lalu memaksa
masuk dan membunuhnya."
Poirot menggeleng. "Justru sebaliknya. Ia berbaring dengan tenangnya ketika
ditikam." Nona Henderson menatap Poirot dalam-dalam. "Bagaimana pendapat Anda?" tanya
Ellie tiba-tiba. Poirot tersenyum. "Kelihatannya ia mengenal orang yang diperbolehkannya
masuk...." "Maksud Anda?" Nona Henderson memotong. Suaranya kedengaran agak kasar.
"Pembunuhnya adalah penumpang kapal ini?"
Poirot mengangguk. "Kelihatannya begitu."
"Dan untaian manik-manik di lantai itu hanya tipuan untuk menyesatkan?"
"Persis." "Juga uang yang dicuri itu?"


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat." Hening sebentar. Kemudian Nona Henderson berkata lambat-lambat, "Menurut saya
Nyonya Clapperton memang sangat tidak menyenangkan dan saya tidak yakin ada
orang di kapal ini yang menyukainya - tapi, tak seorang pun mempunyai alasan untuk
membunuhnya." "Kecuali suaminya, mungkin," celetuk Poirot.
"Anda tidak sungguh-sungguh berpendapat - " Ellie tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Setiap orang di kapal ini berpendapat Kolonel Clapperton tidak bersalah bila
'mengapak perempuan itu'. Saya kira inilah ungkapan yang dipakai."
Ellie Henderson memandangnya - menunggu.
"Akan tetapi saya harus mengatakan," Poirot melanjutkan, "bahwa saya sendiri
tidak melihat tanda-tanda kejengkelan dalam diri Kolonel yang baik itu. Lagi
pula - ini yang lebih penting - ia mempunyai alibi. Sepanjang hari ia pergi bersama
kedua gadis itu dan baru kembali ke kapal pukul 16.00. Pada waktu itu Nyonya
Clapperton sudah beberapa jam meninggal."
Hening lagi sebentar. Ellie Henderson berkata lembut, "Tapi, Anda masih
berpendapat - salah seorang penumpang?"
Poirot mengiyakan. Mendadak Ellie tertawa - tawa menantang yang serampangan. "Teori Anda mungkin
sulit dibuktikan, M. Poirot. Banyak sekali penumpang di kapal ini."
Poirot membungkukkan badan kepadanya. "Saya meminjam istilah yang digunakan
dalam cerita-cerita detektif Anda, 'Saya punya cara sendiri, Watson.'"
*** Hari berikutnya, pada waktu makan malam, semua orang di kapal menemukan ketikan
selebaran di piring masing-masing, yang isinya mengundang mereka untuk hadir di
ruang duduk utama pada pukul 20.30. Ketika semua sudah berkumpul, kapten kapal
maju ke panggung yang biasanya digunakan untuk pentas kelompok orkestra dan
menyambut mereka. "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, Anda sekalian mengetahui tragedi yang terjadi
kemarin. Saya percaya kalian bersedia bekerja sama untuk menyeret pelaku
kejahatan kejam itu ke pengadilan." Ia berhenti dan berdehem. "Di kapal ini kita
bersama M. Hercule Poirot yang mungkin Anda kenal sebagai orang yang
berpengalaman luas dalam - eh - perkara-perkara seperti ini. Saya harap Anda
mendengarkan dengan cermat apa yang ia katakan."
Tepat pada saat itulah Kolonel Clapperton, yang tidak menampakkan diri pada
waktu makan malam, muncul dan duduk di sebelah Jenderal Forbes. Ia nampak
seperti orang bingung karena sedih - sama sekali tidak kelihatan sebagai laki-laki
yang lega karena terbebas dari istrinya. Entah karena ia aktor yang cemerlang
atau karena ia benar-benar menyukai istrinya yang tidak menyenangkan itu.
"Silakan, M. Hercule Poirot," kata kapten itu, lalu turun. Poirot menggantikan
tempatnya. Penampilannya yang penuh percaya diri nampak menggelikan ketika ia
memandang para pendengarnya.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," katanya membuka suara. "Anda baik sekali bersedia
mendengarkan saya. Yang terhormat Kapten telah mengatakan bahwa saya mempunyai
pengalaman dalam perkara-perkara seperti ini. Memang, saya mempunyai sedikit
gagasan mengenai bagaimana mengungkap perkara ini." Ia memberi isyarat dan
seorang pramugara maju untuk memberikan sebuah benda tak berbentuk yang besar
sekali dan terbungkus kain seprai.
"Apa yang akan saya lakukan ini mungkin agak mengejutkan Anda," kata Poirot
memperingatkan "Anda boleh menganggap saya eksentrik, mungkin tidak waras.
Walaupun demikian, saya yakinkan Anda bahwa di balik ketidakwarasan saya ini ada
- seperti yang Anda orang-orang Inggris katakan - metode."
Sejenak kedua matanya bertemu dengan pandangan Nona Henderson. Poirot mulai
membuka bungkusan benda raksasa itu.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, di sini saya mempunyai saksi utama tentang siapa
yang membunuh Nyonya Clapperton." Dengan cekatan disingkirkannya kain penutup
terakhir sehingga benda yang disembunyikannya itu nampak - boneka kayu mendekati
ukuran manusia, mengenakan setelan beludru dan kerah renda.
"Nah, Arthur," ujar Poirot, suaranya berubah secara tidak kentara - tidak lagi
asing - sebaliknya nada suaranya persis orang Inggris yang sedikit beraksen
Cockney. "Dapatkah Anda memberitahu saya - saya ulangi - dapatkah Anda memberitahu
saya - apa saja tentang kematian Nyonya Clapperton?"
Leher boneka itu bergoyang-goyang sedikit. Rahang bawahnya yang terbuat dari
kayu bergerak-gerak dan suara wanita yang tajam lagi tinggi mengatakan,
"Ada apa, John" Pintu terkunci. Aku tidak ingin diganggu pelayan..."
Terdengar teriakan - kursi terbalik - seorang laki-laki berdiri terhuyung-huyung,
tangannya memegang tenggorokannya - berusaha berbicara - berusaha... Kemudian,
mendadak ia jatuh ke lantai. Kepalanya terempas.
Laki-laki itu adalah Kolonel Clapperton.
*** Poirot dan dokter kapal bangkit setelah berjongkok di dekat tubuh tak berdaya
itu. "Sudah tiada. Serangan jantung," kata dokter singkat.
Poirot mengangguk. "Terkejut karena akalnya terbongkar," tambahnya.
Poirot menoleh kepada Jenderal Forbes. "Jenderal, Andalah yang memberikan
petunjuk berharga dengan menyebut panggung gedung kesenian. Saya bingung -
berpikir - dan gagasan itu muncul. Andaikan sebelum perang Clapperton adalah
seorang ventriloquist... Jika demikian, mungkin sekali tiga orang mendengar
Nyonya Clapperton berbicara dari dalam kabinnya pada waktu ia sebenarnya sudah
meninggal..." Ellie Henderson berada di sampingnya. Kedua matanya gelap dan penuh kesedihan.
"Tidak tahukah Anda bahwa jantungnya lemah?" tanyanya.
"Saya memang menduga demikian... Nyonya Clapperton bercerita bahwa jantungnya
sendiri lemah, tapi dia mengesankan saya sebagai tipe perempuan yang senang
dianggap sakit. Kemudian saya memungut sobekan resep yang isinya digitalin dosis
tinggi. Digitalin adalah obat jantung, tapi pasti bukan untuk Nyonya Clapperton
karena obat ini membuat pupil mata membesar. Gejala ini tidak saya jumpai pada
mata Nyonya Clapperton - namun, ketika saya memandang mata Kolonel, saya langsung
melihat tanda-tanda itu."
Ellie menggumam. "Jadi Anda sudah mengira - perkara ini akan berakhir - seperti
ini?" "Jalan terbaik. Apakah Anda tidak berpendapat demikian, Mademoiselle?" tanya
Poirot lembut. Dilihatnya air mata mengembang di kedua mata perempuan itu. "Anda tahu," kata
Nona Ellie Henderson, "Anda tahu sejak semula... bahwa saya menaruh perhatian...
Tetapi dia tidak melakukan itu demi saya.... Kedua gadis itulah - yang masih muda -
membuatnya menyadari perbudakannya. Ia ingin bebas sebelum terlalu terlambat....
Ya, saya percaya itulah persoalannya... Kapan Anda mengira - dialah pembunuhnya?"
"Kontrol dirinya melampaui batas," sahut Poirot sederhana. "Walaupun sikap
istrinya begitu menyakitkan, kelihatannya ia tidak pernah tersinggung. Berarti
ia begitu terbiasa dengan perlakuan seperti itu sehingga tidak lagi sakit hati,
atau - eh bien - saya percaya ada alasan lain... dan saya benar....
"Lalu, nampaknya ia ngotot untuk memperlihatkan kemampuannya bermain sulap - malam
hari sebelum kejahatan itu terjadi ia pura-pura membuka rahasia dirinya. Padahal
orang-orang seperti Clapperton tidak pernah membuka rahasia pribadinya. Pasti
ada alasan. Selama orang-orang berpikir ia tukang sulap, mereka tidak akan
berpikir bahwa sebenarnya ia seorang ventriloquist."
"Dan suara yang kita dengar tadi - suara Nyonya Clapperton?"
"Salah seorang pramugari mempunyai suara mirip suara Nyonya Clapperton. Saya
membujuknya untuk bersembunyi di belakang panggung dan mengajarkan kata-kata
yang harus diucapkannya."
"Itu tipu muslihat - tipuan yang kejam," Ellie berteriak.
"Saya tidak menyetujui pembunuhan," Poirot menyahut.
XVIII APA SAJA ISI KEBUNMU"
HERCULE POIROT menumpuk surat-surat di hadapannya dengan rapi. Ia mengambil
surat paling atas, membaca alamat surat sejenak, lalu dengan rapinya membuka
bagian belakang amplop dengan pisau kertas kecil yang disimpannya di meja
sarapan untuk keperluan-keperluan mendesak seperti ini, serta mengeluarkan
isinya. Di dalamnya masih ada amplop lagi yang dilem rapat-rapat dengan lilin.
Pada amplop itu tertulis 'Pribadi dan Rahasia'.
Kedua alis Poirot naik sedikit. Ia bergumam, "Patience! Nouns allons arriver!"
lalu sekali lagi dipergunakannya pisau kertas yang kecil itu. Kali ini sampul
itu menyembulkan selembar surat - dalam tulisan tangan yang morat-marit. Beberapa
kata digarisbawahi dengan tebal.
Poirot membaca surat itu setelah membuka lipatannya. Lagi-lagi surat itu diawali
dengan kata 'Pribadi dan Rahasia'. Di sisi kanan kertas tertulis alamat -
Rosebank, Charman's Green, Bucks - serta tanggal surat - 21 Maret.
M. Poirot yang terhormat,
Seorang sahabat lama yang amat berarti bagi saya menyarankan saya untuk
menghubungi Anda. Sahabat saya ini mengetahui kekhawatiran serta kesulitan yang
mencekam saya akhir-akhir ini. Bukan karena ia. mengetahui permasalahan yang
sebenarnya - yang saya simpan sendiri seluruhnya - persoalan ini benar-benar pribadi
sifatnya. Sahabat saya meyakinkan saya bahwa Anda sama dengan kebijaksanaan itu
sendiri - lagi pula saya tidak perlu khawatir akan berurusan dengan polisi - yang,
andaikan kecurigaan saya ini terbukti benar, sangat tidak saya inginkan. Tentu
saja saya mungkin sama sekali keliru. Akhir-akhir ini saya merasa kalut sekali -
menderita insomnia dan akibat beberapa penyakit yang saya idap musim dingin yang
lalu - sehingga tidak bisa menyelidiki berbagai permasalahan saya sendiri. Saya
tidak mempunyai alat maupun kemampuan. Di pihak lain, saya harus menekankan lagi
bahwa masalah ini merupakan persoalan keluarga yang peka sekali, dan karena
berbagai alasan mungkin saja saya menginginkan agar seluruh masalah ini
dibekukan. Andaikan saya yakin akan fakta-fakta yang ada dan sanggup menangani
persoalan ini sendiri, saya lebih suka berbuat demikian. Saya harap saya sudah
menjelaskan maksud saya. Kalau Anda bersedia menyelidiki perkara ini, silakan
menghubungi saya di alamat di atas.
Hormat saya, Amelia Barrowby Poirot membaca surat itu sekali lagi. Lagi-lagi alisnya dinaikkan sedikit.
Kemudian dikesampingkannya surat itu dan diambilnya surat berikutnya.
Tepat pukul 10.00 ia masuk ke ruangan tempat Nona Lemon, sekretaris pribadinya,
duduk menunggu instruksi-instruksi yang harus dikerjakannya hari itu. Nona Lemon
berumur empat puluh delapan tahun dan penampilannya tidak menawan. Kesan umum
tentang dirinya adalah kurus, tulang-tulangnya menonjol, serta tampil seadanya.
Sebagaimana Poirot, dia suka segala sesuatu serba teratur. Meskipun kemampuan
berpikirnya lumayan, ia tidak pernah berpikir kecuali bila diminta.
Poirot memberikan surat-surat yang masuk pagi itu kepada Nona Lemon.
"Mademoiselle, tolong buatkan surat penolakan yang baik untuk semua surat ini."
Nona Lemon melirik surat-surat itu, dan dengan cepatnya membubuhkan tulisan
Mesir Kuno pada masing-masing sampul. Tanda-tanda ini hanya dapat dibacanya
sendiri karena ditulis dalam kode-kode pribadinya: 'Sabun lembut'; 'tamparan';
'dengkur anak kucing'; 'kaku'; dan sebagainya. Setelah selesai ia mengangguk
lalu mengangkat kepalanya untuk mendengarkan perintah selanjutnya.
Poirot mengulurkan surat Amelia Barrowby. Nona Lemon mengeluarkan isi surat dari
sampul rangkapnya, membacanya dengan teliti, lalu mendongakkan kepalanya dengan
wajah bertanya-tanya. "Ya, M. Poirot?" Pensilnya bergoyang-goyang - siap menulis - di atas kertas
stenonya. "Apa pendapatmu mengenai surat ini, Nona Lemon?"
Sambil agak mengerutkan keningnya Nona Lemon meletakkan pensilnya, lalu membaca
surat itu sekali lagi. Bagi Nona Lemon isi surat itu tidak berarti apa-apa, kecuali kalau dia diminta
untuk menyusun surat balasan yang baik. Jarang sekali majikannya menuntut
kemampuan pribadinya, selain kemampuan kerjanya. Permintaan seperti ini agak
menjengkelkannya - karena dia mirip mesin saja, sama sekali tidak tertarik pada
permasalahan orang. Sebenarnya, ambisinya dalam hidup ini adalah menciptakan
sistem pengarsipan yang sempurna sehingga semua sistem yang ada tidak akan
dipakai lagi. Dia selalu memimpikan sistem itu pada malam hari. Meskipun
demikian, Poirot tahu bahwa Nona Lemon sungguh-sungguh cakap dalam menangani
persoalan-persoalan manusiawi yang murni.
"Bagaimana?" Poirot mendesak.
"Dasar nenek-nenek," komentar Nona Lemon. "Jadi setengah mati ketakutan."
"Ah! Menurutmu, dia begitu ketakutan?"
Nona Lemon tidak menjawab. Ia memandang surat bersampul rangkap itu sebentar.
"Sangat rahasia," katanya. "Dan tidak memberi informasi apa-apa."
"Memang," Poirot mengiyakan.
Sekali lagi tangan Nona Lemon menggantung penuh harap di atas kertas steno. Kali
ini Poirot menanggapi. "Katakan kepadanya saya akan menemuinya kapan saja ia menghendaki, kecuali kalau
ia lebih suka berkonsultasi dengan saya di sini. Jangan kautik surat ini - tulis
tangan saja." "Baik, M. Poirot."
Poirot mengeluarkan surat-surat lagi. "Ini tagihan-tagihan."
Tangan Nona Lemon yang efisien cepat-cepat mengelompokkan tagihan-tagihan itu.
"Akan saya bayar semuanya kecuali dua tagihan ini."
"Mengapa yang dua itu" Tidak ada yang salah dengan keduanya."
"Kedua perusahaan itu baru saja berhubungan dengan Anda. Rasanya kurang enak
kalau membayar terlalu cepat pada waktu Anda baru saja membuka rekening - kesannya
seakan-akan Anda ingin mendapat nama baik di kemudian hari."
"Ah!" Poirot mendesah. "Saya akui pengetahuanmu tentang pengusaha-pengusaha
Inggris lebih hebat dari saya."
"Hampir semuanya saya ketahui tentang mereka," sahut Nona Lemon dengan muram.
*** Surat untuk Amelia Barrowby ditulis dan dikirim sebagaimana mestinya, namun
tidak ada surat balasan. Mungkin, pikir Poirot, perempuan tua itu sudah berhasil
membongkar misteri itu sendiri. Walaupun demikian, Poirot agak heran mengapa dia
tidak menulis surat balasan, sekadar sopan-santun, untuk menjelaskan bahwa
jasanya tidak diperlukan lagi.
Lima hari kemudian setelah menerima tugas-tugas di pagi hari, Nona Lemon berkata
kepada Poirot, "Nona Barrowby yang kita beri surat itu - tidak aneh kalau tidak
ada jawaban darinya. Ia sudah meninggal."
Hercule Poirot berkata pelan sekali, "Ah - meninggal." Suaranya terdengar bukan
seperti jawaban maupun pertanyaan.
Sesudah membuka tas tangannya, Nona Lemon mengulurkan guntingan surat kabar.
"Saya melihatnya di kereta api, lalu menyobeknya."
Baru terpikir oleh Poirot meskipun Nona Lemon menggunakan kata 'menyobek',
berita itu digunting dengan rapinya, ketika ia membaca pengumuman yang digunting
dari kolom 'Kelahiran, Kematian, dan Pernikahan' di koran Morning Post. 'Tanggal
26 Maret - mendadak - di Rosebank, Charman's Green, Amelia Jane Barrowby, dalam usia
tujuh puluh tiga tahun. Mohon tidak mengirim bunga.'
Poirot membaca pengumuman itu lagi. Ia berbisik, "Mendadak." Lalu, ia berkata
cepat-cepat, "Tolong tulislah surat ini, Nona Lemon."
Pensil di tangan Nona Lemon bergerak-gerak. Nona Lemon, yang pikirannya dipenuhi
dengan sistem pengarsipan yang rumit, menulis steno dengan kilat tapi benar.
Nona Barrowby yang terhormat,
Saya belum menerima surat balasan Anda. Namun karena saya akan berada di kawasan
Charman Jumat ini, akan saya temui Anda pada hari itu untuk membicarakan lebih
lanjut masalah yang Anda sebut-sebut dalam surat.
Hormat saya, dsb. "Ketiklah surat ini. Kalau langsung diposkan, surat ini akan sampai di Charman
malam nanti." Keesokan harinya sepucuk surat dalam sampul berpinggiran hitam tiba lewat
pengiriman pos yang kedua.
M. Poirot yang terhormat,
Menjawab surat Anda, perlu saya beritahukan bahwa bibi saya, Nona Barrowby,
telah meninggal dunia pada tanggal 26. Dengan demikian permasalahan yang Anda
bicarakan dalam surat tidak berarti lagi.
Hormat saya, Mary Delafontaine Poirot tersenyum kepada dirinya sendiri. "Tidak berarti lagi.... Ah, inilah yang
akan kita lihat. En avant - ke Charman's Green."
Rosebank adalah sebuah rumah yang sesuai dengan namanya, yang lebih indah
daripada kebanyakan rumah yang setingkat dengannya.
Hercule Poirot berhenti sejenak tatkala ia melintasi jalan setapak menuju pintu
depan untuk memandang dengan rasa senang kebun yang teratur rapi di kedua
sisinya. Pohon-pohon mawar yang menjanjikan panen bunga yang melimpah pada
waktunya, bakung, tulip yang mulai mengembang, hyasinta - sebagian hamparan pohon
terakhir dibatasi dengan kulit tiram.
Poirot bergumam kepada dirinya sendiri. "Bagaimana bunyi sajak Inggris yang
dinyanyikan anak-anak itu?"


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibi Mary, selamat pagi, Apa saja isi kebunmu"
Kulit kerang dan ilalang,
Dan sederet gadis ayu. "Bukan sederet gadis ayu, mungkin," pikir Poirot, "tapi di sini paling tidak ada
seorang gadis ayu." Pintu depan dibuka, dan seorang pelayan bertubuh kecil yang rapi, yang memakai
topi dan celemek, agak ragu-ragu memandang laki-laki asing berkumis lebat yang
tengah berbicara sendirian keras-keras di kebun depan. Seperti yang dilihat
Poirot, pelayan itu adalah gadis berbadan kecil yang teramat rupawan, dengan
mata biru yang bulat dan pipi merah jambu.
Dengan sopan Poirot mengangkat topinya lalu menyapa si pelayan, "Maaf, apakah
Amelia Barrowby tinggal di sini?"
Pelayan itu terperanjat. Bola matanya bahkan semakin bulat. "Oh, sir, tidak
tahukah Anda" Ia sudah meninggal. Mendadak sekali. Selasa malam yang lalu."
Gadis itu ragu-ragu antara tidak mempercayai seorang asing dan merasa senang
untuk membicarakan penyakit dan kematian, seperti yang biasa dilakukan orang-
orang dari kalangannya. "Anda mengagetkan saya," Poirot berbohong. "Saya ada janji dengan Nona Barrowby
hari ini. Mungkin saya bisa bertemu dengan wanita lainnya yang tinggal di sini?"
Pelayan itu kelihatan ragu-ragu. "Nyonya" Well, Anda mungkin dapat bertemu
Nyonya, tapi saya tidak tahu apakah Nyonya bersedia menemui tamu."
"Ia akan menemui saya," ujar Poirot seraya menyerahkan kartu namanya.
Nada bicara Poirot yang tegas cukup berpengaruh. Pelayan berpipi merah jambu itu
mengalah lalu mengantarkan Poirot masuk ke ruang duduk di sebelah kanan ruang
besar. Kemudian, dengan kartu nama di tangannya, ia berlalu untuk memanggil
majikannya. Hercule Poirot mengamati sekelilingnya. Ruangan itu betul-betul kamar tamu yang
konvensional - dindingnya berlapis kertas warna putih gandum dengan dekorasi
melintang di bagian atasnya, dilengkapi draperi dari kain, bantalan dan tirai
berwarna merah mawar, sejumlah hiasan kecil serta ornamen dari keramik
berkualitas tinggi. Tidak ada yang menonjol dalam kamar tamu itu, yang
menunjukkan kepribadian tersendiri.
Tiba-tiba Poirot, yang sangat peka, merasakan sepasang mata tengah mengawasinya.
Dia memutar tubuh. Seorang gadis berdiri di pintu yang bentuknya seperti jendela
besar - berbadan kecil, pucat, berambut hitam pekat, dan matanya penuh kecurigaan.
Gadis itu melangkah masuk. Ketika Poirot membungkuk sedikit ia tergesa-gesa
melontarkan pertanyaan, "Untuk apa Anda datang kemari?"
Poirot tidak menjawab, cuma menaikkan alisnya.
"Anda bukan pengacara, kan?" Bahasa Inggrisnya bagus, tapi jelas dia bukan orang
Inggris. "Mengapa saya harus jadi pengacara, Mademoiselle?"
Yang ditanya menatap cemberut. "Saya kira Anda pengacara. Saya kira Anda kemari,
mungkin, untuk menasihatinya bahwa ia tidak mengerti apa yang dilakukannya. Hal-
hal seperti ini sudah saya dengar - bukan karena dipengaruhi; begitulah mereka
mengatakannya. Benar" Akan tetapi itu keliru. Ia menginginkan saya mewarisi
uangnya dan saya akan mendapatkannya. Kalau perlu saya akan menyewa pengacara
saya sendiri. Uang itu kepunyaan saya. Itu yang ditulisnya dalam surat
wasiatnya, maka begitulah jadinya nanti." Gadis ini tampak jelek sekali, dagunya
maju ke depan dan matanya bercahaya.
Pintu terbuka. Seorang perempuan yang tinggi masuk lalu menegur, "Katrina."
Gadis itu mundur. Wajahnya memerah, menggumamkan sesuatu, lalu keluar melalui
jendela besar itu. Poirot memutar tubuhnya agar berhadapan dengan perempuan yang baru saja masuk
itu, yang dengan sangat berpengaruh mengendalikan situasi dengan hanya
mengucapkan satu patah kata saja. Ada nada memerintah dalam suaranya,
merendahkan, dan samar-samar ironi yang sopan. Segera Poirot sadar ia tengah
berhadapan dengan pemilik rumah, Mary Delafontaine.
"M. Poirot" Saya sudah menulis surat kepada Anda. Pasti Anda sudah menerimanya."
"Astaga! Saya keluar kota baru-baru ini."
"Oh, saya maklum. Kalau begitu saya harus memperkenalkan diri. Saya Mary
Delafontaine. Ini suami saya; sedangkan Nona Barrowby adalah bibi saya."
Delafontaine masuk dengan amat diam-diam, sehingga kehadirannya tidak disadari
Poirot. Orangnya tinggi, beruban, sikapnya penuh keraguan. Ketegangannya
tercermin dari sikap tangannya yang meraba-raba dagunya. Acap kali ia melihat ke
arah istrinya. Jelas ia mengharapkan sang istri memimpin pembicaraan.
"Saya minta maaf karena datang di tengah-tengah kesedihan Anda," kata Poirot.
"Saya tahu ini bukan kesalahan Anda," Nyonya Delafontaine menyahut. "Bibi
meninggal Selasa petang yang lalu. Kematiannya tidak terduga."
"Mendadak sekali," Delafontaine menimpali. "Pukulan yang menyakitkan bagi kami."
Kedua matanya mengawasi jendela besar, tempat gadis tadi menghilang.
"Maafkan saya," kata Poirot lagi. "Kalau begitu, saya minta diri." Poirot
melangkah menuju pintu. "Tunggu sebentar," Delafontaine menahan langkahnya. "Anda - eh - ada janji dengan
Bibi Amelia, benar begitu?"
"Persis." "Mungkin Anda bersedia menjelaskan persoalannya kepada kami," istrinya
menyambung. "Kalau ada yang dapat kami bantu - "
"Persoalannya bersifat pribadi," Poirot menjelaskan. "Saya detektif," katanya
menambahkan. Delafontaine menjatuhkan patung keramik kecil yang dibawanya. Istrinya kelihatan
bingung. "Detektif" Dan Anda ada janji dengan Bibi" Betapa anehnya!" Perempuan itu
menatap Poirot lekat-lekat. "Tidak dapatkah Anda menceritakan sedikit lebih
banyak kepada kami, M. Poirot" Kedengarannya - kedengarannya fantastis."
Poirot diam sejenak. Dengan hati-hati ia memilih kata-kata.
"Madame, sulit bagi saya untuk mengetahui apa yang harus saya lakukan."
"Begini," ujar Delafontaine. "Bibi tidak menyebut-nyebut orang-orang Rusia, ya
kan?" "Orang-orang Rusia?"
"Ya, Anda tahu - orang-orang Bolshevik, Pengawal Merah, yang begini-begitu."
"Jangan mengada-ada, Henry," tegur istrinya.
Delafontaine menjadi kecut. "Maaf - maaf - saya cuma menduga-duga."
Mary Delafontaine memandang Poirot dengan pandangan bersahabat. Bola matanya
sangat biru - warna bunga forget-me-not. "Kalau Anda dapat menjelaskan apa saja
kepada kami, M Poirot, saya sangat berterima kasih. Anda harus yakin bahwa saya
punya - alasan untuk bertanya."
Delafontaine nampak terkejut. "Hati-hati - engkau kan tahu mungkin tidak ada apa-
apa." Lagi-lagi istrinya menghentikannya dengan satu kerlingan. "Bagaimana, M.
Poirot?" Dengan pelan dan muram Poirot menggeleng. Menolak dengan rasa sesal yang kentara
sekali, tapi toh dia menggeleng. "Saat ini, Madame, saya khawatir saya terpaksa
tidak bisa berkata apa-apa."
Poirot membungkukkan badan, mengambil topinya, dan menuju pintu. Mary
Delafontaine mengikutinya. Di pintu Poirot berhenti dan memandang nyonya rumah.
"Saya kira Anda menyukai kebun Anda, Madame?"
"Saya" Memang. Saya luangkan banyak waktu untuk berkebun."
"Je vous fait mes compliments - terimalah pujian saya."
Sekali lagi Poirot membungkukkan badan, lalu melangkah ke pintu pagar. Sewaktu
melewati pintu dan membelok ke kanan, Poirot melirik ke belakang. Dilihatnya dua
orang - seorang berwajah pucat mengawasinya dari jendela lantai pertama dan
seorang laki-laki yang tegap lagi jantan mondar-mandir di sisi seberang jalan.
Poirot mengangguk kepada dirinya sendiri. "Jelas sudah," gumamnya. "Ada tikus
dalam lubang ini! Apa yang harus diperbuat kucing sekarang?"
Keputusan yang diambilnya membawanya ke kantor polisi terdekat. Di sini ia
menelepon beberapa kali. Nampaknya berhasil. Diayunkannya langkahnya ke markas
polisi Charman's Green dan minta bertemu dengan Inspektur Sims.
Inspektur Sims bertubuh besar dan tegap serta sikapnya serius. "M. Poirot?"
sapanya. "Saya sependapat. Baru saja saya ditelepon oleh kepala pengawal yang
berbicara tentang Anda. Katanya Anda singgah di sini. Silakan masuk."
Pintu ditutup. Inspektur mempersilakan Poirot duduk sebelum ia sendiri duduk
lalu menghunjamkan tatapan menyelidik kepada tamunya.
"Anda gesit sekali, M. Poirot. Datang ke sini untuk membicarakan kasus Rosebank
ini sebelum kami menyadari bahwa ini sebuah kasus. Apa yang menyebabkan Anda
melibatkan diri?" Poirot mengeluarkan surat yang diterimanya dari Nona Barrowby lalu
mengangsurkannya kepada Inspektur, yang membacanya dengan penuh minat.
"Menarik," komentar Inspektur. "Masalahnya adalah isi surat ini bisa mengandung
banyak arti. Sayang, ia tidak bisa menggambarkan persoalannya secara lebih
jelas, sehingga dapat membantu kita sekarang ini."
"Atau, mungkin tidak diperlukan pertolongan lagi."
"Maksud Anda?" "Mungkin ia masih hidup."
"Anda berpikir sejauh itu" Hhmm... mungkin saja Anda benar."
"Inspektur, saya mohon Anda mengisahkan apa yang terjadi. Saya tidak tahu apa-
apa." "Dengan senang hati. Perempuan tua itu sakit sesudah makan malam Selasa yang
lalu. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sawan - kejang-kejang - dan macam-macam
lagi. Dokter dipanggil. Pada waktu dokter tiba, perempuan tua itu meninggal.
Diduga almarhumah meninggal karena serangan sawan. Nah, dokter kurang yakin akan
penyebab kematian melihat keadaan pasiennya. Dengan ragu-ragu dokter memberi
penjelasan, bahkan memakai ungkapan halus, dan menegaskan bahwa dia tidak dapat
memberikan surat keterangan kematian. Sejauh keluarga itu terlibat, di sinilah
letak persoalannya. Mereka menunggu hasil pemeriksaan mayat. Dokter langsung
memberi kami informasi - bersama dokter bedah kepolisian dia melakukan otopsi - dan
hasilnya tidak diragukan lagi. Perempuan tua itu mati akibat strychnin dalam
dosis tinggi." "Aha!" "Ini kenyataannya. Perbuatan keji. Persoalannya adalah siapa yang meracuninya.
Pasti racun itu ditelannya hanya sesaat sebelum kematiannya. Mula-mula kami
berpendapat racun itu dimasukkan ke dalam makanan malamnya - tapi, terus terang
saja, gagasan ini rasanya tidak masuk akal. Mereka makan sup artichoke yang
dihidangkan dalam mangkuk besar, pie ikan, dan kue tar apel.
"Nona Barrowby, Delafontaine, dan istrinya bersama-sama makan hidangan itu. Nona
Barrowby punya semacam suster penjaga - seorang gadis berdarah campuran Rusia - tapi
ia tidak makan bersama-sama keluarga itu. Dia mendapat sisa makanan dari ruang
makan. Ada juga seorang pelayan. Namun, malam itu ia pergi ke luar. Dibiarkannya
sup di atas kompor dan pie ikan di oven, sedangkan kue tarnya sudah dingin.
Ketiga anggota keluarga itu makan hidangan yang sama - lepas dari ini saya kira
Anda tidak akan pernah mendengar strychnin melewati tenggorokan dengan cara itu.
Strychnin pahit seperti empedu. Dokter mengatakan racun ini dapat dirasakan
dalam larutan satu berbanding seribu. Kira-kira begitulah."
"Kopi?" "Kopi lebih mungkin, tapi almarhumah tidak minum kopi."
"Saya mengerti maksud Anda. Memang, rasanya persoalan ini tidak terpecahkan. Apa
yang diminum Nona Barrowby pada waktu makan malam itu?"
"Air putih." "Lebih tidak mungkin."
"Agak memusingkan, ya kan?"
"Dia punya uang" Maksud saya perempuan tua itu."
"Saya kira dia kaya sekali. Memang kami belum mendapatkan rincian yang pasti.
Pasangan Delafontaine itu sedang kekurangan uang. Ini yang bisa kami simpulkan.
Nona Barrowby membantu biaya pemeliharaan rumah."
Poirot tersenyum tipis. Lalu ia berkata, "Jadi Anda mencurigai suami-istri
Delafontaine. Yang mana?"
"Saya tidak mengatakan saya mencurigai salah seorang di antara mereka dengan
pasti. Tapi kenyataan yang ada mendukung; mereka cuma kerabat dekat dan kematian
Nona Barrowby memberi mereka sejumlah uang. Saya sungguh-sungguh meragukan
mereka. Kita tahu bagaimana manusia itu!"
"Kadang-kadang seperti binatang - betul sekali. Tidak ada lagi yang dimakan atau
diminum Nona Barrowby?"
"Well, sebenarnya - "
"Ah, voil?! Saya rasa Anda merahasiakan sesuatu, seperti yang Anda katakan - sup,
pie ikan, kue tar apel - b?tise! Nah, kita sampai pada pokok masalah."
"Saya tidak tahu tentang itu. Sebenarnya Nona Barrowby menelan obat sebelum
makan malam. Bukan tablet, tapi dalam bentuk kapsul. Bubuk obat dibungkus kertas
beras, Anda tahu kan"! Seratus persen aman untuk pencernaan."
"Menarik. Tidak ada yang lebih gampang daripada mengisi kapsul itu dengan
strychnin. Obat ini meluncur masuk kerongkongan bersama segelas air. Dan tidak
terasa apa-apa." "Betul. Persoalannya, suster itulah yang memberikan obat kepada almarhumah."
"Gadis Rusia itu?"
"Benar. Katrina Rieger. Bagi Nona Barrowby gadis itu penolongnya, perawat yang
menemaninya. Disuruh-suruh juga, saya kira. Ambilkan ini, ambilkan itu, gosokkan
punggungku, tuangkan obatku, cepat ke toko obat - pekerjaan-pekerjaan semacam itu.
Anda tahu bagaimana perempuan tua seperti dia - mereka bermaksud baik, tapi mereka
membutuhkan semacam budak!"
Poirot tersenyum. "Perhatikanlah," Inspektur Sims melanjutkan kalimatnya. "Kenyataan tidak sesuai
dengan kondisi yang ada. Mengapa gadis itu harus meracuninya" Nona Barrowby
sudah meninggal. Kini gadis itu menganggur dan tidak gampang mendapatkan
pekerjaan sekarang ini - apalagi dia tidak berpendidikan atau mempunyai keahlian
lainnya." "Walaupun begitu," kata Poirot mengemukakan pendapatnya, "kalau kotak kapsul itu
diletakkan sembarangan, setiap orang dalam rumah itu dapat mempergunakan
kesempatan." "Kami sedang menyelidiki hal ini, M. Poirot. Saya tidak berkeberatan untuk
memberitahu Anda bahwa kami sedang mencari informasi - secara diam-diam. Kapan
resep itu terakhir dibuat, di mana resep itu biasanya disimpan; kesabaran serta
berbagai persiapan yang berat - inilah yang harus kami lakukan pada akhirnya. Ada
juga pengacara Nona Barrowby yang membuat surat wasiat almarhumah. Besok akan
saya wawancarai dia. Lalu manajer banknya. Masih banyak yang harus dikerjakan."
Poirot berdiri. "Inspektur Sims, tolong beritahu saya bagaimana kelanjutan
perkara ini. Saya akan sangat berterima kasih. Ini nomor telepon saya."
"Pasti, M. Poirot. Pemikiran dua orang lebih baik daripada seorang. Lagi pula
Anda harus terlibat dalam kasus ini - Anda kan sudah menerima surat Nona
Barrowby." "Anda baik sekali, Inspektur." Dengan sopan Poirot menjabat tangan Inspektur
Sims, kemudian minta diri.
*** Keesokan siangnya ada telepon untuk Poirot. "M. Poirot" Di sini Inspektur Sims.
Perkara yang kita tangani mulai menunjukkan titik-titik terang."
"Benarkah" Saya minta jelaskanlah."
"Nah, inilah pokok pertama - dan yang menentukan. Nona B. mewariskan hanya
sebagian kecil kekayaannya kepada keponakan perempuannya; lainnya kepada K;
dengan mempertimbangkan perhatian serta kebaikan K. yang sangat besar - begitu
disebutkan dalam surat wasiatnya. Kenyataan ini mengubah arah permasalahan."
Sebentuk wajah tergambar dengan cepatnya dalam benak Poirot. Wajah yang merengut
dan suara yang penuh semangat mengatakan, "Uang itu kepunyaan saya. Itu yang
ditulisnya dalam surat wasiatnya, maka begitulah jadinya nanti." Warisan itu
bukan kejutan bagi Katrina. Ia sudah tahu sebelumnya.
"Pokok kedua," Inspektur Sims melanjutkan. "Tak seorang pun selain K. yang
mengurus obat itu." "Anda yakin?" "Gadis itu sendiri tidak mengingkari. Bagaimana pendapat Anda?"
"Luar biasa menarik."
"Kita hanya perlu satu hal lagi - bukti-bukti bagaimana dia memperoleh strychnin.
Ini tidak sulit." "Sejauh ini Anda belum berhasil mendapatkannya?"
"Saya baru saja mulai. Pemeriksaan mayat baru dilakukan pagi tadi."
"Apa yang terjadi pada pemeriksaan mayat itu?"
"Diundur seminggu."
"Dan gadis itu - K.?"
"Saya menahannya karena curiga Tidak ingin mengambil risiko apa pun. Mungkin
saja ia punya kawan-kawan di desa yang berusaha untuk membebaskannya dari kasus
ini." "Tidak," sahut Poirot. "Saya rasa dia tidak punya teman."
"Sungguh" Apa sebabnya Anda berkata begitu, Poirot?"
"Itu cuma pemikiran saya saja. Tidak ada 'pokok' lain, meminjam istilah Anda?"


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada yang benar-benar sesuai. Belum lama ini Nona B. kelihatannya bermain-
main dengan pembagian warisannya - dengan mengurangi sejumlah uang. Persoalan ini
boleh dibilang agak menggelikan, tapi saya tidak melihat tindakannya ini
mempengaruhi permasalahan utama - tidak untuk sekarang, ini yang saya maksudkan."
"Mungkin Anda benar. Well, terima kasih banyak. Anda baik sekali mau menelepon."
"Tidak perlu berterima kasih. Saya selalu menepati kata-kata saya. Saya tahu
Anda tertarik dengan kasus ini. Siapa tahu Anda dapat membantu saya
memecahkannya." "Saya senang sekali kalau demikian. Mungkin ini dapat membantu Anda, misalnya,
seandainya saya menghubungi teman Katrina."
"Seingat saya Anda mengatakan dia tidak punya teman," kata Inspektur Sims
terperanjat. "Saya keliru," sahut Poirot. "Dia punya seorang teman."
Sebelum Inspektur sempat bertanya lebih lanjut, Poirot sudah meletakkan gagang
telepon. Dengan wajah serius Poirot masuk ke ruangan tempat Nona Lemon duduk menghadapi
mesin tiknya. Sekretaris itu mengangkat tangannya dari huruf-huruf mesin tik
karena majikannya mendekat. Dipandangnya Poirot dengan wajah bertanya-tanya.
"Saya perlu bantuanmu," Poirot menjelaskan, "untuk membayangkan suatu kisah."
Nona Lemon menjatuhkan kedua tangan ke pangkuannya dengan pasrah. Dia senang
mengetik, membayar rekening-rekening, mengarsipkan kartu-kartu, dan membuat
janji-janji. Tapi, membayangkan dirinya dalam situasi menduga-duga sangatlah
membosankan. Bagaimanapun juga, ia menerima permintaan ini sebagai bagian yang
tidak dapat ditawar lagi dari tugasnya.
"Misalnya engkau adalah gadis Rusia," Poirot memulai.
"Ya." Suara Nona Lemon kedengaran sangat Inggris.
"Engkau sendirian. Tidak punya kawan di negeri ini. Engkau punya alasan untuk
tidak ingin kembali ke Rusia. Engkau bekerja sebagai perawat, menemani, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk seorang perempuan
tua. Tapi, engkau lembut dan tidak pernah mengeluh."
"Ya," sahut Nona Lemon dengan patuhnya, walaupun sama sekali tidak bisa
membayangkan dirinya bersikap lembut kepada perempuan tua mana pun di muka bumi
ini. "Perempuan tua itu menyukaimu. Ia memutuskan untuk mewariskan kekayaannya
kepadamu dan memberitahukan hal ini kepadamu." Poirot berhenti sejenak.
Nona Lemon berkata "Ya" lagi.
"Kemudian perempuan tua itu tahu sesuatu; mungkin masalah uang - mungkin ia
mendapatkan engkau tidak jujur kepadanya. Atau bisa saja lebih buruk - obat yang
rasanya berbeda, makanan yang membuat sakit perut. Singkatnya ia mulai
mencurigaimu lalu menulis surat kepada detektif yang sangat terkenal - bukan,
detektif yang paling terkenal - saya! Saya harus segera mengunjunginya. Kemudian,
seperti yang engkau katakan, orang yang menjengkelkan itu akan ketakutan. Yang
penting adalah bertindak cepat. Maka - sebelum detektif besar itu tiba - perempuan
tua itu mati. Dan uangnya menjadi milikmu... Apakah kisah ini masuk akal
menurutmu?" "Sangat masuk akal," sahut Nona Lemon. "Mungkin sekali, sangat masuk akal untuk
seorang Rusia. Secara pribadi saya tidak akan pernah menerima pekerjaan sebagai
perawat. Saya lebih suka tugas-tugas saya dijabarkan dengan jelas dan tidak
pernah bermimpi untuk membunuh seseorang."
Poirot menghela napas. "Saya sungguh-sungguh merindukan temanku Hastings. Daya
imajinasinya tinggi. Orangnya romantis sekali! Memang, ia selalu keliru kalau
menduga sesuatu - tapi kekeliruan itu sendiri merupakan petunjuk."
Nona Lemon diam. Dia sudah pernah mendengar tentang Kapten Hastings, tapi tidak
tertarik. Dipandangnya kertas berketik di hadapannya dengan keinginan
melanjutkan pekerjaannya.
"Jadi, menurutmu kisah itu masuk akal?" Poirot merenung.
"Apakah tidak demikian bagi Anda?"
"Saya kira memang ya." Poirot menghela napas.
Telepon berdering. Nona Lemon keluar untuk mengangkatnya. Dia kembali lagi.
"Inspektur Sims lagi." Poirot bergegas keluar. "Halo... halo... apa yang Anda
katakan?" Sims mengulang kalimatnya. "Kami menemukan sebungkus strychnin di kamar gadis
itu - diselipkan di bawah kasur. Sersan baru saja datang untuk mengabarkan hasil
penyelidikan ini. Kasus ini hampir beres, saya rasa."
"Ya," sahut Poirot. "Saya sependapat perkara ini hampir selesai." Suaranya
berubah. Ada nada kepastian yang mendadak muncul.
Sesudah meletakkan pesawat telepon, Poirot duduk menghadapi meja tulisnya sambil
menyusun benda-benda di atas meja secara mekanis. Dia bergumam kepada dirinya
sendiri, "Ada yang tidak beres. Aku merasakannya - bukan, bukan merasakan. Pasti
sesuatu yang pernah kulihat. En avant, sel-sel otakku. Renungkanlah - ingat-
ingatlah! Apakah semuanya logis dan sesuai" Gadis itu - kekhawatirannya akan uang
itu; Nyonya Delafontaine; suaminya - sarannya tentang orang-orang Rusia - tolol,
tapi dia memang tolol; ruangan itu; kebun - ah! Benar, kebun itu."
Poirot berdiri tegak-tegak. Cahaya hijau bersinar-sinar di matanya. Ia masuk ke
ruangan tembusan kamar kerjanya.
"Nona Lemon, maukah engkau meninggalkan pekerjaanmu dan melakukan penyelidikan
untuk saya?" "Penyelidikan, M. Poirot" Saya rasa, saya kurang mampu - "
Detektif itu menyela kata-katanya. "Engkau pernah mengatakan engkau tahu segala
sesuatu tentang pengusaha-pengusaha."
"Oh, itu pasti," sahut Nona Lemon mantap.
"Nah, persoalannya sederhana saja. Engkau harus ke Charman's Green dan menemui
seorang penjual ikan."
"Penjual ikan?" tanya Miss Lemon terkejut.
"Persis. Pedagang ikan langganan Rosebank. Kalau sudah ketemu, tanyakanlah
beberapa hal." Poirot menyerahkan selembar kertas. Nona Lemon membaca tulisan di kertas itu
dengan acuh, mengangguk, lalu menutup mesin tiknya.
Sesampainya di tempat tujuan Poirot disambut oleh Inspektur Sims yang terheran-
heran. "Cepat sekali, M. Poirot. Baru sejam yang lalu kita berbicara di
telepon." "Saya punya permintaan. Bolehkah saya menemui Katrina - siapa nama lengkapnya?"
"Katrina Rieger. Rasanya tidak ada alasan untuk menolak."
Katrina kelihatan jauh lebih pucat dan cemberut.
Dengan lemah-lembut Poirot berbicara kepadanya, "Mademoiselle, saya ingin Anda
percaya bahwa saya adalah kawan Anda. Saya ingin Anda menceritakan kejadian yang
sesungguhnya." Kedua mata Katrina menantang. "Saya sudah mengatakan yang sebenarnya. Kepada
semua orang saya katakan yang sebenarnya! Kalau perempuan tua itu diracun orang,
bukan saya yang melakukannya. Tuduhan ini keliru. Kalian ingin menghalangi saya
mendapatkan uang itu." Suaranya parau. "Dia seperti tikus kecil yang sengsara,"
pikir Poirot. "Ceritakan kepada saya tentang kapsul itu, Mademoiselle," lanjut Poirot. "Tidak
adakah orang lain yang mengurusinya?"
"Sudah saya katakan begitu, ya kan" Kapsul itu dibuat di apotek siang harinya.
Saya yang mengambil dan membawanya pulang dalam tas - persis sebelum makan malam.
Saya buka kotaknya dan saya berikan satu kapsul bersama segelas air kepada Nona
Barrowby." "Tidak seorang pun menyentuhnya kecuali Anda?"
"Tidak!" Tikus kecil - yang sembrono!
"Dan Nona Barrowby makan hanya menu seperti yang diberitahukan kepada kami Sup,
pie ikan, dan kue tar apel?"
"Ya." 'Ya' yang putus asa - mata yang gelap membara, yang tidak melihat harapan
setitik pun. Poirot menekan lembut bahu gadis itu. "Berbesar hatilah, Mademoiselle. Mungkin
masih ada kebebasan - sungguh, dan uang warisan - hidup yang menyenangkan."
Katrina menatap Poirot penuh curiga.
Pada waktu Poirot keluar Inspektur Sims berkata, "Saya tidak mengerti apa yang
Anda katakan lewat telepon - tentang gadis itu punya teman."
"Dia punya seorang teman. Saya!" sahut Poirot kemudian meninggalkan markas
polisi sebelum Inspektur Sims sanggup mencerna jawabannya.
*** Di ruang teh Green Cat Nona Lemon tidak membiarkan majikannya menunggu. Dia
langsung masuk ke pokok permasalahan.
"Nama pedagang ikan itu Rudge. Tinggal di High Street, dan Anda benar. Persisnya
satu setengah lusin. Saya mencatat apa yang dikatakannya." Diserahkannya catatan
itu kepada Poirot. "Arrr." Suara yang dalam lagi puas, seperti suara kucing yang dibelai-belai
tuannya. *** Hercule Poirot kembali ke Rosebank Ketika ia berdiri di kebun depan, matahari
berada di belakangnya, Mary Delafontaine menyongsongnya.
"M. Poirot?" suaranya memperlihatkan rasa terkejutnya "Anda kembali?"
"Memang, saya kembali." Detektif itu diam sejenak, lalu berkata, "Pertama kali
saya kemari, Madame, saya teringat akan sajak anak-anak:
Bibi Mary, selamat pagi, Apa saja isi kebunmu"
Kulit kerang dan ilalang,
Dan sederet gadis ayu. Hanya saja bukan kulit kerang, ya kan, Madame, tapi kulit tiram." Jari Poirot
menunjuk ke kulit tiram yang berjajar.
Poirot mendengar nyonya rumah menarik napas, kemudian terpaku tak bergerak. Bola
matanya bertanya-tanya. Poirot mengangguk. "Mais, oui, saya tahu! Pelayan menyiapkan makan malam - dia
akan bersumpah begitu dan Katrina juga - bahwa hanya menu-menu inilah yang
dihidangkan. Hanya Anda dan suami yang tahu bahwa Anda membeli satu setengah
lusin tiram - sedikit hidangan istimewa untuk la bonne tante. Gampang sekali
memasukkan strychnin ke dalam tiram. Tiram-tiram itu ditelan - comme ?a! Tapi,
masih ada kulitnya yang tidak boleh dibuang ke keranjang sampah. Pelayan akan
tahu. Karena itu Anda membuat pagar kulit tiram untuk tanaman bunga. Sayang
sekali, jumlahnya tidak cukup - pagar itu belum selesai. Akibatnya tidak baik -
merusak garis kebun yang apik. Kulit tiram yang tidak banyak itu menarik
perhatian orang asing - pemandangan yang tidak menyenangkan untuk mata saya
pertama kali saya kemari."
Mary Delafontaine membuka suara, "Saya rasa Anda menduga sejauh ini dari surat
itu. Saya tahu dia menulis surat - tapi tidak tahu seberapa jauh yang ia
beberkan." Sambil mengelak Poirot menjawab, "Paling tidak saya tahu bahwa perkara yang
dimaksudkannya adalah masalah keluarga. Kalau masalah ini menyangkut Katrina,
tidak ada alasan untuk merahasiakannya. Saya tahu bahwa Anda atau suami Anda
menguruskan surat-surat berharga Nona Barrowby demi keuntungan Anda sendiri dan
ia menyadari - " Mary Delafontaine mengangguk. "Kami sudah bertahun-tahun melakukannya - sedikit-
sedikit. Saya tidak pernah menyadari dia cukup cerdas untuk mengetahui
kecurangan itu. Kemudian saya tahu bahwa ia menghubungi seorang detektif; dan
saya tahu juga bahwa dia mewariskan kekayaannya kepada Katrina - perempuan kecil
yang menyebalkan itu!"
"Jadi strychnin itu diletakkan di kamar tidur Katrina" Saya mengerti. Anda
menyelamatkan diri Anda serta suami dari sesuatu yang mungkin saya bongkar. Dan
Anda membebani gadis yang tidak bersalah itu dengan tuduhan melakukan
pembunuhan. Apakah Anda tidak kasihan, Madame?"
Mary Delafontaine mengangkat bahu - bola matanya yang sebiru bunga forget-me-not
itu menatap Poirot. Poirot ingat kesempurnaan sandiwara wanita di hadapannya ini
pertama kali ia datang serta kecerobohan suaminya. Seorang wanita yang cukup
cerdas, tapi bengis. "Kasihan?" kata Mary Delafontaine. "Kepada tikus kecil yang bersekongkol itu?"
Kemarahannya meledak. Pelan-pelan Poirot berkata, "Madame, saya kira hanya ada dua hal yang Anda
pedulikan dalam hidup Anda. Yang pertama adalah suami Anda."
Poirot melihat bibir Mary Delafontaine bergetar.
"Dan yang kedua - kebun Anda."
Poirot memandang sekelilingnya. Kerlingan matanya bagaikan minta maaf kepada
bunga-bunga akan apa yang telah dan yang akan diperbuatnya.
Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Pendekar Guntur 2 Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian Wanita Iblis 24
^