Pencarian

Kasus Kasus Perdana Poirot 4

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie Bagian 4


sudah selusin kali, belum termasuk setiap kali selalu saja ketinggalan."
"Aku tidak mengerti mengapa selama ini apa yang ada dalam tas tidak hilang
semua?" Jimmy menyeletuk.
"Persoalannya adalah - bagaimana agar kita dapat masuk ke dalam?" Mildred membuka
suara. Mildred adalah gadis yang bijaksana, yang selalu langsung menuju pokok
permasalahan walaupun ia tidak secantik Pat yang impulsif dan ribut.
Keempatnya kehilangan akal menghadapi pintu flat yang tertutup.
"Apakah portir tidak bisa membantu?" Jimmy mengusulkan. "Tidakkah ia punya kunci
induk atau semacamnya?"
Pat menggeleng. Hanya ada dua kunci. Satu di dalam flat, tergantung di dapur.
Sedangkan satunya ada - atau seharusnya ada - di dalam tas yang sialan itu.
"Kalau saja flat ini di lantai dasar," Pat meratap. "Kita bisa menjebol jendela
atau apa. Donovan, maukah engkau masuk ke dalam flat melalui pipa saluran air
atau tembok seperti kucing?"
Dengan tegas tapi sopan Donovan menolak.
"Flat di lantai empat memang agak menyulitkan," kata Jimmy.
"Bagaimana dengan tangga penyelamat kebakaran?" Donovan mengusulkan.
"Tidak ada." "Seharusnya ada," sergah Jimmy. "Gedung berlantai lima harus mempunyai tangga
penyelamat kalau terjadi kebakaran."
"Harusnya begitu," Pat menanggapi. "Tapi, apa yang mestinya ada tidak menolong
kita saat ini. Bagaimana aku bisa masuk ke flat-ku?"
"Tidak adakah sejenis, apa itu?" kata Donovan. "Yang dipakai para penjual sayur
untuk menaikkan belanjaan ke dalam?"
"Lift servis," sahut Pat. "Ada, tapi cuma sejenis keranjang berkabel Tunggu - aku
tahu. Bagaimana dengan lift untuk menaikkan batu bara?"
"Nah," seru Donovan, "ini baru ide!"
Mildred mengemukakan saran yang mengecilkan hati. "Tapi pintu dapur Pat pasti
dipalang dari dalam, ya kan?"
Pemikiran ini langsung ditolak.
"Mana Mungkin?" kata Donovan.
"Tidak, kalau pintu dapur Pat," tambah Jimmy. "Pat tidak pernah mengunci maupun
memalang apa-apa." "Ya, kukira aku tidak memalang pintu dapur," Pat membuka suara. "Pagi tadi aku
mengeluarkan keranjang sampah dan aku yakin aku tidak memalangnya sesudah itu
dan rasanya aku tidak lewat tempat itu lagi."
"Well," kata Donovan, "kenyataan ini berguna sekali bagi kita malam ini.
Meskipun begitu, Pat, kukatakan kepadamu bahwa kebiasaan menyepelekan seperti
ini membuatmu menjadi sasaran pencuri - bukan cuma kucing - setiap malam."
Peringatan ini tidak dihiraukan.
"Ayolah," serunya. Dan ia mulai menuruni tangga empat tingkat itu dengan
cepatnya. Yang lain mengikuti. Pat memimpin mereka melewati ceruk dinding yang
gelap, yang penuh sesak dengan kereta bayi, melalui pintu lain lagi, dan masuk
ke ruang lift di sebelah kanan. Ada keranjang sampah di situ. Dengan hati-hati
Donovan mengangkat keranjang sampah itu lalu melangkah ke dalam lift.
Dikernyitkannya hidungnya.
"Agak menjijikkan," katanya. "Tapi, tak apalah. Apakah aku pergi sendirian, atau
ada yang menemaniku?"
"Aku ikut," sahut Jimmy.
Ia melangkah ke sisi Donovan.
"Moga-moga lift ini kuat menahanku," katanya ragu-ragu.
"Pasti engkau tidak lebih berat daripada satu ton batu bara," ujar Pat.
"Sebentar lagi kita akan segera tahu," kata Donovan riang seraya menarik tali
lift. Diiringi bunyi kerekan berciut-ciut keduanya menghilang dari pandangan.
"Lift ini mengeluarkan bunyi yang aneh," Jimmy berkata sewaktu mereka naik
melintasi kegelapan. "Apa pikir orang-orang di flat lainnya?"
"Hantu atau pencuri, kuharap," jawab Donovan. "Menarik tali lift ini pekerjaan
yang berat. Tugas portir Friars Mansions itu ternyata lebih berat daripada yang
kuduga. Jimmy apakah engkau menghitung sekarang sudah sampai lantai berapa?"
"Astaga! Tidak. Aku lupa."
"Untunglah aku menghitungnya. Lantai ketiga yang kita lewati sekarang.
Berikutnya tujuan kita."
"Sekarang," gerutu Jimmy, "jangan-jangan Pat memalang pintunya."
Kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan. Dengan satu sentuhan pintu kayu itu
terbuka. Keduanya melangkah ke dalam dapur Pat yang gelap-gulita.
"Seharusnya kita bawa senter tadi," kata Donovan. "Aku kan tahu sifat Pat. Semua
barangnya berceceran di lantai dan kita akan menabrak barang-barang sebelum aku
mencapai tombol lampu. Jangan bergerak ke mana-mana sampai lampu kunyalakan,
Jimmy." Dengan hati-hati ia berjalan sambil meraba-raba. "Sialan!", gerutunya dengan
keras ketika sudut meja dapur menyenggol tulang rusuknya. Ia mencapai tombol
lampu. Sebentar kemudian terdengar lagi umpatan "Sialan!" dari kegelapan.
"Ada apa?" tanya Jimmy.
"Lampunya tidak menyala. Mungkin bola lampunya mati. Tunggu sebentar. Akan
kuhidupkan lampu ruang duduk."
Ruang duduk adalah ruangan yang pintunya persis di sisi seberang. Jimmy
mendengar Donovan keluar dari pintu sambil menyumpah-nyumpah. Jimmy sendiri
dengan hati-hati berjalan miring melintasi dapur.
"Ada apa?" "Aku tidak tahu. Pada malam hari ruangan-ruangan menjadi seperti disihir, aku
yakin ini. Rasanya semuanya porak-poranda. Kursi dan meja ada di tempat yang
tidak semestinya. Oh, persetan! Ini lagi!"
Akan tetapi, pada saat itu secara kebetulan Jimmy menyentuh tombol listrik dan
menekannya ke bawah. Menit berikutnya kedua pemuda itu saling berpandangan dalam
keheningan yang menakutkan.
Ruangan itu bukanlah kamar duduk Pat Mereka telah salah masuk.
Pertama-tama, ruangan itu jauh lebih sesak daripada ruang duduk Pat. Tak heran
jika tadi Donovan berulang kali menabrak kursi dan meja. Di tengah ruangan
terletak meja bundar yang besar, tertutup kain wol tebal. Ada tanaman aspidistra
di jendela. Kedua laki-laki itu yakin bahwa ruangan itu adalah milik seseorang
yang eksentrik. Dalam kebisuan yang menyeramkan keduanya melihat ke meja yang di
atasnya tergeletak setumpuk surat.
"Nyonya Ernestine Grant," Donovan menarik napas, mengambil surat-surat itu dan
membaca namanya. "Ya ampun! Kaupikir dia mendengar kita?"
"Ajaib kalau ia tidak mendengarmu," sahut Jimmy. "Bagaimana dengan sumpah
serapahmu dan caramu menabrak perabotan" Demi Tuhan! Ayo kita cepat-cepat keluar
dari tempat ini." Buru-buru mereka mematikan lampu dan berjingkat-jingkat menyusuri langkah mereka
tadi. Jimmy menarik napas lega ketika mereka telah mencapai lift itu tanpa
insiden lebih lanjut. "Aku sungguh-sungguh suka wanita yang tidurnya nyenyak," katanya lega. "Nyonya
Ernestine Grant punya kelebihan-kelebihan tersendiri."
"Sekarang aku tahu," celetuk Donovan, "mengapa kita salah, dalam menghitung
lantai maksudku. Tadi kita naik dari ruangan bawah tanah."
*** Donovan menghela tali dan lift melaju naik. "Kali ini kita tidak keliru lagi."
"Dengan sepenuh hati aku harap demikian," Jimmy menimpali. Kembali kegelapan
menyergap sekeliling mereka. "Saraf-sarafku tidak tahan lagi mengalami kejutan
seperti tadi." Tidak ada lagi ketegangan. Begitu lampu dinyalakan mereka langsung melihat dapur
Pat. Kemudian mereka membuka pintu depan serta mempersilakan kedua gadis yang
menunggu di luar itu masuk.
"Kalian lama sekali," Pat menggerutu. "Aku dan Mildred menunggu sampai lama
sekali." "Kami baru saja bertualang," kata Donovan. "Bisa-bisa kami diseret ke kantor
polisi sebagai penjahat berbahaya."
Pat telah berlalu, masuk ke ruang duduk, menyalakan lampu, dan menjatuhkan
selendangnya ke sofa. Dengan penuh minat dan semangat ia mendengarkan laporan
petualangan Donovan. "Syukur engkau tidak tertangkap basah," komentar Pat. "Orang tua itu buruk
perangainya. Pagi tadi aku mendapat pesan darinya. Dia ingin bertemu denganku
kapan-kapan. Ada yang ingin ia keluhkan - pianoku, kukira. Orang yang tidak suka
mendengar suara piano seharusnya tidak tinggal di flat. Donovan, tanganmu
terluka. Kena darah semua. Basuhlah di bawah kran."
Donovan melihat tangannya dengan terperanjat. Segera ia keluar dari ruangan itu
dan memanggil Jimmy. "Halo," sahut Jimmy. "Bagaimana" Engkau tidak luka parah, kan?"
"Aku tidak luka sama sekali."
Ada yang aneh dalam suara Donovan sehingga Jimmy menatapnya dengan terkejut.
Donovan mengulurkan tangannya yang sudah bersih dibasuh. Jimmy melihat tidak ada
luka ataupun goresan sedikit pun.
"Aneh sekali," kata Jimmy seraya mengerutkan dahi. "Darahnya banyak sekali. Dan
mana darah itu?" Tiba-tiba ia menyadari apa yang baru saja dilihat kawannya yang
lebih cerdas ini. "Masya Allah!" serunya. "Pasti darah ini berasal dari flat
tadi." Dia berhenti sambil memikirkan kemungkinan yang tersirat dalam kata-
katanya. "Engkau yakin ini - eh - darah?" tanyanya. "Bukan cat?"
Donovan menggeleng. "Darah. Betul," jawabnya gemetar.
Mereka saling memandang. Pemikiran yang sama jelas memenuhi otak mereka masing-
masing. Jimmy-lah yang lebih dulu bersuara.
"Kukira," suaranya aneh. "Menurutmu apakah kita harus - well - turun lagi - dan - hhmmm -
melihat-lihat" Melihat betulkah tidak ada apa-apa di sana, engkau mengerti?"
"Bagaimana gadis-gadis itu?"
"Jangan kita katakan apa-apa kepada mereka. Pat akan segera sibuk membuat telur
dadar untuk kita. Dan waktu mereka bertanya-tanya di mana kita, kita sudah
kembali." "Oh, well, ayolah," Donovan menanggapi. "Kita harus turun. Aku yakin tidak ada
apa-apa di sana." Tapi, nada suaranya kurang meyakinkan. Keduanya masuk ke dalam lift dan turun ke
lantai di bawahnya. Tanpa banyak kesulitan mereka melintasi dapur dan sekali
lagi menghidupkan lampu kamar duduk.
"Pasti di dalam sini," kata Donovan, "tempat - tempat aku terkena darah. Di dapur
aku tidak menyentuh apa-apa."
Ia memandang sekelilingnya. Jimmy melakukan hal yang sama. Dan mereka berdua
mengerutkan dahi. Semua kelihatan rapi dan biasa, jauh dari kesan apa pun yang
menyangkut kekejaman dan darah.
Tiba-tiba Jimmy menangkap lengan kawannya dengan keras.
"Lihat!" Pandangan Donovan mengikuti jari yang menunjuk itu lalu berteriaklah ia. Dari
bawah tirai menyembul sebuah kaki - kaki seorang wanita mengenakan sepatu kulit.
Jimmy menghampiri tirai dan menariknya cepat-cepat. Di ceruk jendela meringkuk
tubuh seorang perempuan; di sampingnya terdapat genangan pekat berwarna gelap.
Ia sudah meninggal, ini pasti. Jimmy berusaha mengangkat jenazah itu ketika
Donovan menghentikannya. "Sebaiknya jangan. Ia tidak boleh disentuh sampai polisi datang."
"Polisi. Oh, tentu saja. Donovan, mengerikan sekali urusan ini. Siapa perempuan
ini menurutmu" Nyonya Ernestine Grant?"
"Kelihatannya. Seandainya ada orang lain dalam flat ini, kok mereka tetap saja
tenang." "Apa yang akan kita perbuat?" Jimmy bertanya. "Berlari ke luar dan memanggil
polisi atau menelepon saja dari flat Pat?"
"Kukira lebih baik menelepon. Ayo, kita bisa keluar dari pintu depan. Kita lebih
baik tidak naik-turun lift berbau busuk itu."
Jimmy setuju. Persis pada waktu mereka melewati pintu, ia ragu-ragu. "Sebentar.
Menurutmu, tidakkah salah satu dari kita harus tetap di sini - untuk mengawasi -
sampai polisi datang?"
"Betul, engkau benar. Kalau begitu engkau tinggal, aku akan segera ke atas dan
menelepon polisi." Donovan berlari cepat menaiki tangga dan membunyikan bel. Pat membuka pintu, Pat
yang begitu cantik dengan wajah memerah dan memakai celemek masak. Kedua matanya
melebar karena terkejut. "Engkau" Bagaimana - Donovan, apa ini" Ada persoalan?"
Donovan menggenggam tangan Pat. "Tidak apa-apa, Pat - hanya saja kami menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan di flat bawah. Seorang perempuan - mati."
"Oh!" mulut Pat menganga sedikit. "Mengerikan sekali. Apakah ia mendapat
serangan penyakit yang mendadak atau sebab lain?"
"Tidak, kelihatannya - well - kelihatannya ia lebih mungkin mati karena dibunuh."
"Oh, Donovan!" "Aku tahu. Biadab sekali!"
Kedua tangan Pat masih ada dalam genggaman Donovan. Pat membiarkannya - bahkan
kini dia bersandar pada laki-laki itu. Pat sayang - betapa Donovan mencintai gadis
ini. Apakah gadis ini mempedulikan dirinya" Kadang-kadang Donovan berpikir Pat
menaruh perhatian kepadanya. Kadang-kadang ia khawatir Jimmy Faulkener - ingatan
akan Jimmy yang tengah menunggu di bawah membuatnya melakukan gerakan dengan
rasa bersalah. "Pat sayang, kita harus menelepon polisi."
"Monsieur benar," celetuk sebuah suara di belakangnya. "Sementara itu, sementara
kita menunggu polisi datang, mungkin saya bisa membantu sedikit."
Pat dan Donovan sedang berdiri di pintu flat. Keduanya melirik ke seberang.
Sesosok tubuh berdiri di tangga, sedikit di atas mereka. Bayangan itu turun,
mendekati mereka. Mereka menatap seorang pria bertubuh kecil dengan kumis yang luar biasa lebat,
kepala bulat telur. Ia memakai pakaian tidur yang berkilat-kilat, sandal
bersulam. Dengan gagah dibungkukkannya badannya kepada Patricia.
"Mademoiselle," sapanya, "saya - mungkin Anda tahu - penghuni flat di atas. Saya
senang berada di tempat yang tinggi - di angkasa - menikmati pemandangan kota
London. Saya menyewa flat itu dengan nama O'Connor. Tapi, saya bukan orang
Irlandia. Saya punya nama lain. Itulah sebabnya saya menawarkan diri untuk
membantu Anda. Maaf." Dengan satu lambaian ia mengeluarkan sebuah kartu serta
memberikannya kepada Pat. Gadis itu membacanya.
"M. Hercule Poirot. Oh!" Pat menarik napas dengan kagum. "M. Poirot! Detektif
hebat itu" Dan Anda sungguh-sungguh bersedia menolong?"
"Itu keinginan saya, Mademoiselle. Saya hampir saja menawarkan bantuan saya
sebelum ini." Pat kelihatan bingung. "Saya mendengar kalian bingung bagaimana caranya masuk ke flat Anda. Dalam hal
membuka kunci, saya sangat ahli. Sebenarnya, saya bisa membuka pintu Anda itu,
tapi saya ragu-ragu untuk mengajukan diri. Anda pasti akan mencurigai saya."
Pat tertawa. "Nah, Monsieur," kata Poirot kepada Donovan. "Masuklah, saya mohon, dan
teleponlah polisi. Saya akan turun ke flat di bawah."
Pat menuruni anak tangga bersama Poirot. Mereka menjumpai Jimmy tengah berjaga-
jaga, kemudian Pat menjelaskan kehadiran Poirot. Kini giliran Jimmy menceritakan
petualangannya bersama Donovan kepada Poirot. Detektif itu mendengarkan dengan
penuh perhatian. "Pintu tidak dipalang, begitu kata Anda" Anda masuk ke dapur, tapi lampunya
mati." Sambil berbicara Poirot melangkah ke dapur. Jari-jarinya menekan tombol lampu.
"Tiens! Voil? ce qui est curieux!" serunya bersamaan dengan nyala lampu. "Lampu
ini berfungsi sekarang. Saya heran - " Ia meminta mereka diam dan mendengarkan
baik-baik. Samar-samar sebuah suara memecah kesunyian - tidak salah lagi dengkur
seseorang. "Ah!" ujar Poirot. "La chambre de domestique."
Berjingkat-jingkat Poirot melintasi dapur menuju kamar sepen yang kecil, yang
sebelah luarnya menuju pintu. Dibukanya pintu itu dan dinyalakannya lampu. Ruang
itu semacam kandang anjing yang didisain oleh pembangun flat untuk ditempati
manusia. Seluruh lantai tertutup tempat tidur. Di atasnya seorang gadis berpipi
merah jambu telentang dengan mulut terbuka lebar, mendengkur dengan tenangnya.
Poirot mematikan lampu dan mundur.
"Ia masih tidur," jelasnya. "Biarkan ia tidur sampai polisi datang."
Poirot kembali ke ruang duduk. Donovan sudah ada di sana.
"Polisi akan segera kemari," katanya tanpa bernapas. "Kita tidak boleh menyentuh
apa-apa." Detektif itu mengangguk. "Kita tidak menyentuh, hanya melihat. Itu saja."
Ia masuk ke dalam ruangan. Mildred sudah turun bersama Donovan. Keempat muda-
mudi itu berdiri di pintu dan mengawasi Poirot dengan penuh minat.
"Sir," kata Donovan, "saya tidak mengerti. Saya tidak pernah mendekat jendela -
bagaimana tangan saya bisa kena darah?"
"Anak muda, jawabnya ada di depan Anda. Apa warna taplak meja itu. Merah, ya


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan" Pasti Anda meletakkan tangan Anda di atas meja."
"Benar. Apakah itu - ?" Donovan berhenti.
Poirot mengangguk. Ia tengah membungkuk di atas meja. Ditunjuknya bidang yang
gelap di atas warna merah.
"Di sinilah kejahatan itu dilakukan," katanya serius. "Kemudian jenazah
dipindah." Poirot berdiri tegak, perlahan-lahan mengamati sekeliling ruangan tanpa
memindahkan dan memegang apa-apa. Walaupun begitu, keempat orang ini merasa
seakan-akan setiap benda di tempat yang agak pengap dan panas itu membuka
rahasia kepada kedua mata Poirot yang tajam itu.
Hercule Poirot mengangguk, seakan-akan puas. Sambil menghela napas dia berkata,
"Saya tahu." "Anda tahu apa?" tanya Donovan ingin tahu.
"Saya yakin Anda juga merasakannya. Ruangan ini kelewat penuh dengan perabotan."
Dengan menyesal Donovan tersenyum. "Saya memang menyerobot masuk tadi," ia
mengakui. "Memang rasanya serba lain dari ruangan Pat dan saya tidak
menyadarinya." "Tidak semua," potong Poirot.
Donovan melihatnya dengan pandangan minta penjelasan.
"Maksud saya," kata Poirot dalam nada minta maaf, "benda-benda tertentu selalu
terletak di tempat yang sama dalam satu blok flat. Pintu, jendela, perapian -
terletak di tempat yang sama dalam ruangan yang saling bertumpuan."
"Wah, kok membicarakan hal-hal yang demikian?" tanya Mildred. Dipandangnya
Poirot dengan sedikit tidak setuju.
"Orang harus berbicara dengan teliti. Itulah sedikit - bagaimana menurut kalian -
keisengan saya." Terdengar langkah-langkah kaki di tangga dan tiga laki-laki masuk. Mereka adalah
inspektur polisi, constable, dan ahli bedah divisi. Inspektur polisi itu
mengenali dan menyapa Poirot dengan penuh hormat. Lalu ia menoleh kepada yang
lain-lain. "Saya menginginkan pernyataan dari setiap orang," dia mulai membuka suara,
"tapi, pertama-tama - "
Poirot menyela. "Sedikit saran. Kita kembali ke flat di atas dulu karena
Mademoiselle telah menyiapkan telur dadar untuk kita. Saya suka sekali telur
dadar. Lalu M. l'Inspecteur, sesudah selesai menyelidiki di sini, Anda dapat
menyusul kami dan mengajukan pertanyaan sesuka Anda."
Kegiatan dilaksanakan sesuai saran Poirot. Detektif itu naik bersama keempat
pemuda-pemudi tadi. "M. Poirot," kata Pat, "Anda baik sekali. Anda akan mendapat telur dadar yang
enak. Saya ahli membuat telur dadar."
"Bagus, Mademoiselle. Dulu saya pernah mencintai seorang gadis Inggris yang
cantik, mirip sekali dengan Anda - tetapi, sialan! - dia tidak bisa memasak. Jadi,
mungkin, lebih baik begini."
Samar-samar ada kesedihan dalam suaranya dan Jimmy Faulkener memandangnya dengan
rasa ingin tahu. Bagaimanapun juga, begitu berada di flat, Poirot berusaha sekuat tenaga untuk
menghibur dan menyenangkan mereka. Tragedi di flat bawah nyaris terlupakan.
Telur dadar telah disantap dengan nikmat ketika langkah-langkah Inspektur Rice
terdengar. Ia masuk ditemani dokter bedah, sedangkan constable tadi
ditinggalkannya di bawah.
"Well, Monsieur Poirot," katanya, "kelihatannya kasus ini jelas sekali - tidak
banyak berhubungan dengan Anda, meskipun mungkin kita sulit menangkap pelakunya.
Saya ingin mendengar bagaimana jenazah itu ditemukan."
Bergantian Donovan dan Jimmy mengisahkan kejadian tadi. Inspektur menoleh kepada
Pat dengan sikap menyalahkan.
"Tidak seharusnya Anda meninggalkan pintu dapur Anda dalam keadaan tidak
terkunci." "Tidak akan lagi," kata Pat gemetar. "Mungkin saja ada orang masuk dan membunuh
saya seperti perempuan malang di bawah itu."
"Ah, tapi pembunuh itu masuk dengan cara lain," kata Inspektur.
"Anda akan menceritakan hasil penyelidikan Anda kepada kami?" tanya Poirot.
"Saya tidak tahu apakah perlu - tapi mengingat Anda, M. Poirot - "
"Betul," timpal Poirot. "Dan orang-orang muda ini - mereka akan tutup mulut."
"Bagaimanapun juga, surat kabar akan segera mendapat berita," Inspektur
menjelaskan. "Tidak ada rahasia dalam kasus ini. Perempuan yang meninggal itu
adalah Nyonya Grant. Tadi saya minta portir ke atas untuk mengidentifikasi.
Berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Dia tengah duduk di meja dan ditembak
dengan pistol otomatis kaliber kecil, mungkin oleh seseorang yang duduk di
hadapannya. Wanita itu jatuh ke depan. Inilah sebabnya ada noda darah di atas
meja." "Tidak adakah yang mendengar suara tembakan itu?" tanya Mildred.
"Pistol yang digunakan dilengkapi dengan alat peredam suara. Anda tidak akan
mendengar apa-apa. Omong-omong, apakah Anda mendengar lengkingan pelayan
perempuan itu waktu ia diberitahu bahwa majikannya meninggal" Tidak. Well, ini
menunjukkan bahwa orang di luar tidak akan mendengar suara di dalam flat itu."
"Apakah pelayan itu punya sesuatu yang dapat diceritakan?"
"Malam ini malam ia bebas keluar. Ia membawa kunci sendiri. Dia masuk flat kira-
kira pukul 22.00. Tenang sekali. Pikirnya, majikannya sudah tidur."
"Kalau begitu, ia tidak melongok ke ruang duduk?"
"Ya. Ditaruhnya surat-surat di ruangan itu, yang datang lewat pos malam, tapi
tidak dilihatnya keanehan - seperti juga Faulkener dan Bailey. Anda tahu, pembunuh
sudah menyembunyikan jenazah dengan rapi di belakang tirai."
"Bukankah ini membangkitkan rasa ingin tahu?"
Suara Poirot lembut sekali namun ada sesuatu di dalamnya yang membuat Inspektur
cepat-cepat mendongak. "Pembunuh tidak ingin kejahatannya diketahui sampai ia punya cukup waktu untuk
meloloskan diri." "Mungkin, mungkin - teruskanlah cerita Anda."
"Si pelayan keluar pukul 17.00. Dokter menentukan waktu kematian - secara kasar -
sekitar empat atau lima jam yang lalu. Benar kan, Dokter?"
Dokter yang sedikit bicara itu cukup menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Sekarang pukul 23.45. Saya kira waktu kematian yang sebenarnya bisa lebih
dipastikan." Inspektur mengeluarkan selembar kertas yang kusut.
"Kami menemukan kertas ini di saku baju korban. Anda tidak perlu takut
memegangnya. Tidak ada sidik jari di sini."
Poirot meratakan kertas kusut itu. Di atasnya tertulis beberapa kata dalam
huruf-huruf balok yang kecil dan rapi.
SAYA AKAN MENGUNJUNGIMU PETANG INI PUKUL 19.30
J.F. "Dokumen yang mencurigakan kok ditinggal begitu saja," komentar Poirot sewaktu
ia mengembalikan kertas itu kepada Inspektur.
"Well, pembunuh tidak tahu korban menyimpannya di sakunya," kata Inspektur.
"Mungkin ia mengira perempuan itu telah merobek suratnya. Meskipun demikian,
kami punya bukti bahwa pembunuh adalah seorang yang berhati-hati. Pistol yang
dipakai untuk menembak ditemukan di bawah jenazah - lagi-lagi tanpa ada sidik
jari. Sidik jari dihapus secara hati-hati dengan saputangan sutera."
"Bagaimana Anda tahu bahwa yang dipakai itu saputangan sutera?" Poirot bertanya.
"Kami menemukan saputangan itu," jawab Inspektur penuh kemenangan. "Waktu
menarik tirai, mungkin ia tidak sengaja menjatuhkannya."
Inspektur mengulurkan saputangan sutera putih yang besar - saputangan yang halus
kualitasnya. Jari Inspektur tidak diperlukan untuk menarik perhatian Poirot pada
inisial di tengah-tengah saputangan. Dicap rapi dan jelas terbaca. Poirot
membaca nama itu keras-keras.
"John Fraser." "Ini dia," kata Inspektur. "John Fraser - JF dalam surat. Kita tahu nama orang
yang kita cari. Dan saya berani bertaruh kalau kita telah mendapatkan informasi
tentang almarhumah serta hubungan-hubungannya terungkap, jejak si pembunuh akan
kita dapatkan." "Saya ragu-ragu," Poirot menanggapi. "Tidak, mon cher. Bagaimanapun juga, saya
tidak berpendapat pembunuh, John Fraser itu, akan mudah diketemukan. Orangnya
aneh - amat berhati-hati, karena ia menandai saputangannya dan menyeka pistol yang
dipakainya untuk melakukan kejahatan - tapi kok bisa ceroboh dengan menjatuhkan
saputangannya serta tidak mencari surat yang mungkin memberatkannya."
"Bingung. Seperti itulah dia," ujar Inspektur.
"Mungkin," kata Poirot lagi. "Ya, mungkin. Dia tidak terlihat memasuki bangunan
ini?" "Banyak orang masuk dan keluar waktu itu. Bangunan ini luas. Saya kira tidak
seorang pun dari kalian - " Inspektur menyapa keempat muda-mudi itu bersamaan -
"melihat seseorang yang keluar dari flat itu?"
Pat menggeleng. "Kami keluar agak sore - sekitar pukul 19.00."
"Saya mengerti," kata Inspektur seraya berdiri. Poirot menemaninya menuju pintu.
"Satu permintaan kecil, bolehkah saya memeriksa flat di bawah?"
"Tentu saja, M. Poirot. Saya tahu bagaimana pendapat mereka di markas besar
tentang Anda. Saya tinggalkan sebuah kunci untuk Anda. Saya dapat dua tadi. Flat
itu kosong. Pelayan korban mengungsi ke rumah saudaranya. Terlalu takut untuk
tinggal sendirian di sana."
"Terima kasih," ujar Poirot lalu masuk kembali ke flat dengan wajah serius.
"Anda tidak puas, M. Poirot?" Jimmy bertanya.
"Saya memang tidak puas," sahut yang ditanya.
Donovan memandangnya dengan mata ingin tahu. "Itukah - Well - yang membuat Anda
merasa was-was?" Poirot tidak menjawab. Ia tetap berdiam diri selama semenit atau dua menit,
mengerutkan dahi seakan-akan tengah berpikir keras. Kemudian, tiba-tiba ia
menggerakkan bahunya tanda tidak sabar.
"Selamat malam, Mademoiselle. Anda pasti lelah. Banyak pekerjaan memasak yang
harus Anda lakukan, eh?"
Pat tertawa. "Cuma telur dadar. Saya tidak memasak untuk makan malam. Donovan
dan Jimmy datang menjemput kami. Kami keluar, ke sebuah tempat di Soho."
"Lalu, Anda pergi ke teater?"
"Ya. The Brown Eyes of Caroline."
"Ah!" seru Poirot. "Seharusnya sepasang mata biru - mata biru Mademoiselle."
Poirot melakukan gerakan dengan penuh perasaan. Kemudian sekali lagi mengucapkan
selamat malam kepada Pat. Juga kepada Mildred yang bermalam atas permintaan Pat -
seperti diakui terus terang oleh Pat, ia ngeri bila ditinggal sendirian malam
itu. Kedua pemuda itu menemani Poirot. Ketika pintu flat ditutup dan keduanya
bersiap-siap untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Poirot di tangga, Poirot
menahan mereka. "Anak-anak muda, kalian mendengar saya tadi mengatakan masih kurang puas" Nah,
itu benar - saya tidak puas. Sekarang saya akan menyelidiki sendiri. Kalian mau
menemani saya - ya?"
Persetujuan yang penuh semangat menyambut usul Poirot. Poirot memimpin mereka
menuju flat di bawah dan memasukkan kunci yang diberikan Inspektur kepadanya.
Begitu masuk flat, ia tidak menuju ruang duduk seperti yang diharapkan kedua
pemuda ini. Sebaliknya, Poirot langsung menuju dapur. Dalam ceruk kecil yang
berfungsi sebagai dapur tambahan, ada tempat penyimpanan perkakas. Poirot
membuka tutupnya. Sambil meringkuk ia mulai menggali dalamnya dengan cepat dan
kuat. Baik Jimmy maupun Donovan menatapnya takjub.
Mendadak Poirot berteriak penuh kemenangan. Dipegangnya tinggi-tinggi sebuah
botol bersumbat. "Voil?!" serunya. "Saya menemukan apa yang saya cari." Dengan lembut dibauinya
botol itu. "Sialan, saya enrhum? - kepala saya pusing."
Donovan mengambil botol itu dari tangan Poirot lalu menciumnya, tapi ia tidak
membaui apa-apa. Diambilnya sumbat botol dan didekatkannya botol itu ke hidung
sebelum teriakan Poirot menghentikannya.
Segera saja Donovan rubuh seperti balok.
Dengan melompat maju Poirot agak menahan jatuhnya tubuh Donovan.
"Tolol!" teriak Poirot. "Membuka sumbat secara membabi buta seperti itu.
Tidakkah ia melihat betapa dengan hati-hati saya mencium botol ini" Monsieur -
Faulkener - ya, kan" Maukah Anda mengambilkan sedikit brendi" Saya lihat ada botol
di ruang duduk." Bergegas Jimmy ke kamar duduk. Tapi, waktu ia kembali Donovan sedang duduk tegak
dan menyatakan ia sudah tidak apa-apa. Terpaksa Donovan mendengarkan ceramah
singkat Poirot tentang perlunya berhati-hati dalam membaui sesuatu yang mungkin
bahan beracun. "Saya kira, saya akan pulang saja," kata Donovan yang gemetar sekali sampai ke
kaki-kakinya. "Dalam arti kalau saya tidak diperlukan lagi. Rasanya saya masih
agak lemah." "Tentu, tentu," sahut Poirot. "Sebaiknya begitu. M. Faulkener, tunggu saya di
sini sebentar. Saya segera kembali."
Poirot menemani Donovan menuju pintu dan menghilang. Mereka tetap di luar,
berbicara selama beberapa menit. Ketika Poirot masuk lagi, didapatkannya Jimmy
berdiri di kamar duduk, menatap sekelilingnya dengan pandangan kebingungan.
"M. Poirot," katanya, "apa selanjutnya?"
"Tidak ada selanjutnya. Kasus ini selesai."
"Apa?"" "Saya tahu semua - sekarang."
Jimmy menatapnya. "Botol kecil yang Anda temukan?"
"Tepat. Botol kecil itu."
Jimmy menggeleng. "Saya sama sekali tidak mengerti. Karena alasan tertentu
nampaknya Anda tidak puas dengan bukti-bukti tentang John Fraser, siapa pun dia
sebenarnya." "Siapa pun dia sebenarnya," ulang Poirot pelan. "Andaikan dia benar-benar ada
orangnya - well, saya malah terkejut."
"Saya tidak mengerti."
"Ia cuma sebuah nama - ini saja - nama yang dengan cermat dituliskan di saputangan."
"Lalu surat itu?"
"Anda lihat bahwa surat itu berhuruf cetak" Nah, mengapa" Begini. Tulisan tangan
mudah dikenali dan surat yang diketik jauh lebih mudah ditelusuri daripada yang
Anda duga - tapi seandainya John Fraser yang sebenarnyalah yang menulis surat itu,
kedua hal ini tidak akan menjadi perhatiannya! Surat itu sengaja ditulis dan
dimasukkan ke saku korban supaya kita temukan. Tidak ada orang bernama John
Fraser." Jimmy memandang Poirot dengan kebingungan.
"Oleh karena itu," sambung Poirot, "saya kembali ke pokok yang pertama kali
menarik perhatian saya. Anda tadi mendengar saya mengatakan bahwa benda-benda
tertentu di sebuah ruangan selalu terletak di tempat yang sama, dalam kondisi
tertentu. Saya ajukan tiga contoh. Dan saya sebutkan yang keempat - tombol lampu,
Sobat." Jimmy masih menatap Poirot dengan kebingungan. Poirot melanjutkan penjelasannya.
"Kawan Anda, Donovan, tidak lewat jendela - dengan meletakkan tangannya di atas
meja inilah tangannya lalu kena darah! Tapi, saya cepat-cepat bertanya kepada
diri sendiri - untuk apa ia meletakkan tangannya di meja" Apa yang diperbuatnya
dengan meraba-raba ruangan ini dalam kegelapan" Ingat, Sobat, tombol lampu
selalu terdapat di tempat yang sama - di dekat pintu. Mengapa waktu masuk ke sini
ia tidak cepat-cepat mencari lampu dan menyalakannya" Ini yang biasa dilakukan
orang. Menurut dia, ia berusaha menyalakan lampu dapur, tapi tidak bisa.
Walaupun begitu, ketika saya coba, tombol bekerja sempurna. Jadi ia tidak
menginginkan lampu menyala. Kalau saja lampu menyala, Anda akan segera tahu
bahwa Anda tidak berada di flat Patricia. Tidak ada alasan untuk masuk ke sini."
"Apa maksud Anda, M. Poirot" Saya tidak paham. Apa maksud Anda?"
"Yang saya maksudkan - ini."
Poirot menunjukkan anak kunci Yale.
"Kunci flat ini?"
"Bukan, Kawan. Kunci flat atas. Kunci Mademoiselle Patricia yang diambil Donovan
dari tasnya sore tadi."
"Mengapa - untuk apa?"
"Parbleu! Supaya ia bisa melakukan apa yang diinginkannya - masuk ke flat ini
dengan cara yang tidak mencurigakan sama sekali. Sebelumnya ia memastikan bahwa
pintu lift tidak dipalang."
"Di mana Anda menemukan kunci itu?"
Senyum Poirot melebar. "Baru saja saya temukan - di tempat saya mencarinya - dalam
saku M. Donovan. Botol kecil yang pura-pura saya temukan itu cuma tipu muslihat.
M. Donovan terkecoh. Ia berbuat seperti yang saya tahu akan dilakukannya - membuka
sumbat botol dan mencium isinya. Botol tadi berisi etil klorida, obat bius yang
sangat kuat. Tindakannya itu memberikan saya waktu yang saya perlukan saat ia
tidak sadarkan diri. Saya ambil dari sakunya dua benda yang saya yakin ada di
sana. Kunci ini salah satu. Lainnya - "
Poirot berhenti sejenak.

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya pertanyakan alasan yang dikemukakan Inspektur tentang penyembunyian
jenazah di balik tirai. Untuk mendapat waktu meloloskan diri" Tidak. Ada alasan
yang lebih dari itu. Karena itu saya berpikir tentang satu hal, yaitu pos. Pos
malam yang diantar pukul 21.30 atau sekitar itu. Katakanlah si pembunuh tidak
menemukan sesuatu yang ia cari, tapi sesuatu itu mungkin disampaikan melalui pos
berikutnya. Dengan demikian, jelas ia harus kembali. Tapi kejahatannya tidak
boleh diketahui oleh pelayan korban atau polisi akan menyegel flat ini, maka
disembunyikannya jenazah di belakang tirai. Si pelayan tidak menaruh curiga apa-
apa, lalu meletakkan surat di meja, seperti biasanya."
"Surat?" "Ya, surat." Poirot mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Inilah barang kedua yang
saya ambil dari saku M. Donovan waktu ia tak sadarkan diri." Poirot
memperlihatkan alamat surat. Amplop berketik yang ditujukan kepada Nyonya
Ernestine Grant. "Tapi, saya ingin bertanya satu hal lebih dulu kepada Anda, M.
Faulkener - sebelum kita melihat isi surat ini. Anda mencintai Mademoiselle
Patricia atau tidak?"
"Saya amat memperhatikan Pat - tapi saya tidak pernah berpikir saya punya
kesempatan." "Anda mengira ia memperhatikan M. Donovan" Mungkin ia mulai memperhatikan laki-
laki itu - namun ini baru permulaan, Sobat. Inilah saatnya Anda membuat ia
melupakan Donovan - Anda perlu mendampinginya dalam kesulitan."
"Kesulitan?" Jimmy bertanya tajam.
"Betul. Kami akan berusaha semampu kami untuk menjaga agar namanya tidak
tersangkut dalam perkara ini. Akan tetapi, mustahil ia tidak tersangkut sama
sekali. Anda tahu, dialah motif pembunuhan ini."
Poirot membuka surat yang dipegangnya. Sehelai lampiran jatuh. Surat itu singkat
sekali; berasal dari kantor pengacara.
Dear Madam, Dokumen yang Anda lampirkan sudah lengkap dan pernikahan yang telah dilaksanakan
di negara lain tidak dapat dibatalkan dengan cara apa pun.
Dengan hormat, dst.... Poirot menunjukkan lampiran surat itu. Akta pernikahan Donovan Bailey dan
Ernestine Grant, tertanggal delapan tahun yang lalu.
"Astaga!" seru Jimmy. "Pat mengatakan ia mendapat surat dari wanita itu yang
minta bertemu dengannya. Tapi Pat tidak pernah membayangkan bahwa urusannya
sepenting ini." Poirot mengangguk. "M. Donovan tahu. Dia mengunjungi istrinya sore tadi, sebelum
pergi ke flat di atas - bagaimanapun juga ironis sekali, membawa perempuan malang
ini tinggal satu gedung dengan saingannya - dia membunuhnya dengan darah dingin,
lalu melanjutkan hiburan petangnya. Pasti istrinya sudah memberitahukan bahwa
akta pernikahan mereka telah dikirim ke kantor pengacara dan ia tengah
menantikan jawaban mereka. Tidak diragukan lagi laki-laki ini mencoba meyakinkan
istrinya bahwa ada kesalahan dalam perkawinan mereka."
"Rasanya Donovan bersemangat juga sepanjang petang tadi. M. Poirot, Anda kan
tidak membiarkannya bebas begitu saja?" tanya Jimmy ngeri.
"Tidak ada kata meloloskan diri baginya," jawab Poirot muram. "Anda tidak usah
khawatir." "Pat-lah yang paling saya pikirkan," kata Jimmy. "Anda tidak mengira - dia betul-
betul menaruh perhatian."
"Sobat, ini tugas Anda," ujar Poirot lembut. "Untuk membuatnya berpaling kepada
Anda serta melupakan Donovan. Saya kira tidak terlalu sulit bagi Anda."
XIII KEJAHATAN GANDA AKU mampir ke kamar Poirot dan kudapati ia sedang ada banyak pekerjaan. Betapa
ia sudah menjadi favorit umum sehingga setiap wanita kaya yang lupa di mana
menaruh gelangnya atau kehilangan anak kucing bergegas meminta jasa Hercule
Poirot yang hebat. Sahabatku yang berbadan kecil ini mempunyai perpaduan yang
aneh antara sikap hemat Flemish dan semangat yang artistik. Diterimanya banyak
kasus yang tidak terlalu diminatinya semata-mata karena sikap hematnya lebih
berbicara. Ia juga menangani perkara-perkara yang mendatangkan hanya sedikit imbalan atau
malah tidak sama sekali asal saja masalah itu menarik baginya. Akibatnya,
seperti telah kukatakan, ia terlalu banyak bekerja. Dia sendiri mengakui ini,
jadi tidak terlalu sulit membujuknya untuk menemaniku berlibur selama sepekan ke
Ebermouth, tempat peristirahatan Pantai Selatan yang terkenal.
Kami sudah melewatkan empat hari yang amat menyenangkan ketika Poirot
menghampiriku dengan sepucuk surat di tangannya.
"Sobat, engkau ingat kawanku Joseph Aarons, agen teater itu?"
Setelah berpikir sebentar, aku mengiyakan. Kawan Poirot banyak sekali dan
beraneka ragam; dari tukang sapu sampai bangsawan.
"Nah, Hastings, Joseph Aarons ada di Charlock Bay. Ia sedang dalam kesulitan
karena ada kasus kecil yang mengkhawatirkannya. Dia memintaku menemuinya di
sana. Kukira aku harus memenuhi permintaannya. Ia teman yang setia, baik dan
banyak membantuku dulu."
"Baiklah, kalau engkau berpendapat begitu," kataku. "Aku yakin Charlock Bay
indah dan kebetulan aku belum pernah ke sana."
"Kalau begitu, kita gabungkan bisnis dan rekreasi," Poirot menanggapi. "Tolong
cari tahu jadwal kereta, ya?"
"Mungkin harus sekali atau dua kali ganti kereta," sahutku sambil menyeringai.
"Engkau tahu sendiri bagaimana kondisi kereta api lintas alam. Dari Pantai South
Devon ke Pantai North Devon kadang-kadang memakan waktu sepanjang hari."
Tetapi, akhirnya aku mendapat informasi bahwa perjalanan itu dapat ditempuh
hanya dengan sekali ganti kereta di Exeter dan kondisi keretanya memuaskan.
Waktu aku bergegas kembali untuk menyampaikan informasi ini kepada Poirot,
secara kebetulan aku lewat kantor Speedy Cars dan membaca pengumuman ini:
Besok. Darmawisata sehari penuh ke Charlock Bay. Berangkat pukul 08.30, melewati
beberapa tempat terindah di Devon.
Aku minta keterangan lalu kembali ke hotel dengan antusias. Sayang, Poirot tidak
bisa merasakan apa yang kurasakan.
"Sobat, mengapa engkau tergila-gila untuk naik bus turis" Kereta api, bukankah
pilihan ini sudah tepat" Bannya tidak bisa meletus; dan tidak akan terjadi
kecelakaan. Penumpang tidak terganggu dengan terpaan angin karena jendela-
jendela bisa ditutup."
Dengan lembut kuisyaratkan bahwa justru udara segarlah yang paling kusukai kalau
naik bus. "Kalau hujan" Cuaca di Inggris tidak bisa diramalkan."
"Kan ada kapnya. Lagi pula, kalau hujan deras, darmawisata dibatalkan."
"Ah!" seru Poirot. "Kalau begitu kita harapkan hujan saja."
"Kalau itu maumu dan..."
"Tidak, tidak, Sobat. Aku tahu engkau sudah menetapkan hati untuk mengambil
perjalanan ini. Untung aku membawa mantelku dan dua selendang." Ia menghela
napas. "Apakah kita punya cukup waktu di Charlock Bay nanti?"
"Aku rasa kita harus bermalam di sana. Darmawisata ini mengambil jalan putar di
Dartmoor. Kita makan siang di Monkhampton dan sampai di Charlock Bay sekitar
pukul 16.00. Rombongan berangkat lagi pukul 17.00, sampai di sini pukul 22.00."
"Begitu!" kata Poirot. "Dan orang-orang yang ikut menganggapnya acara untuk
bersenang-senang! Mestinya kita dapat potongan harga karena tidak ikut dalam
perjalanan kembali?"
"Rasanya hampir tidak mungkin."
"Engkau harus mendesak mereka."
"Ayolah, Poirot. Jangan pelit begini. Engkau tahu, engkau sekarang kan kaya."
"Sobat, ini bukan soal kepelitan. Ini soal perasaan bisnis. Kalau toh aku
milyuner, aku tetap hanya membayar secara adil dan benar."
Demikianlah, seperti yang kuduga, Poirot gagal mendapat potongan harga tiket.
Petugas tiket di kantor kereta bermotor itu orangnya kalem, tidak bersemangat
tapi tegas. Menurut dia kami sebaiknya ikut dalam perjalanan kembali juga.
Bahkan, ia menyiratkan bahwa kami harus membayar lebih untuk mendapatkan hak
istimewa turun di Charlock Bay.
Karena kalah Poirot melunasi jumlah uang yang diminta lalu meninggalkan kantor
itu. "Orang-orang Inggris. Mereka tidak mengerti nilai uang!" gerutunya. "Engkau
lihat pemuda itu, Hastings" Yang membayar harga tiket penuh tapi mengatakan mau
turun di Monkhampton?"
"Rasanya tidak. Sebenarnya...."
"Engkau lebih mengamati gadis cantik yang memesan kursi nomor 5, di sebelah
kita. Ah! Betul, Sobat, aku melihatmu. Itulah sebabnya waktu aku akan mengambil
tempat duduk nomor 13 dan 14 - yang terletak di tengah dan paling terlindung -
engkau segera mengatakan nomor 3 dan 4 lebih baik."
"Sungguh, Poirot," kataku dengan wajah memerah.
"Rambut kemerahan - selalu rambut kemerahan!"
"Bagaimanapun juga, dia kan lebih enak dipandang daripada pemuda aneh itu."
"Tergantung sudut pandangnya. Bagiku, pemuda itu menarik."
Tekanan nada dalam perkataan Poirot membuatku cepat-cepat berpaling kepadanya.
"Apa maksudmu?"
"Oh, tidak apa-apa. Ia menarik perhatianku hanya karena ia berusaha memelihara
kumis tapi hasilnya mengecewakan." Poirot membelai-belai lembut kumisnya sendiri
yang luar biasa bagusnya. "Ini seni," bisiknya. "Memelihara kumis! Aku menaruh
simpati kepada semua orang yang berusaha memelihara kumis."
Sulit untuk mengetahui apakah Poirot bersungguh-sungguh atau apakah ia cuma
menghibur diri sendiri dengan menjadikan orang lain sebagai sasaran. Lebih baik
aku diam saja. Pagi berikutnya begitu cerah dan terang. Hari yang betul-betul ceria! Tapi,
Poirot tidak mau mengambil risiko Ia memakai rompi wol, jas hujan, mantel tebal,
dan dua selendang. Belum lagi setelannya yang amat tebal. Ditelannya juga dua
tablet 'anti-influenza' sebelum mulai mengepak perbekalan lainnya.
Kami membawa dua kopor kecil. Gadis cantik yang kami lihat kemarin membawa
sebuah kopor kecil. Demikian juga pemuda yang kukira menjadi objek perhatian
Poirot. Selain ini, tidak ada bagasi lain. Keempat kopor disimpan oleh pengemudi
dan kami semua duduk. Poirot - dengan sedikit dengki, kukira - memberikan tempat duduk yang sebelah
pinggir kepadaku karena 'aku tergila-gila pada udara segar' dan dia sendiri
duduk di sebelah tetangga kami yang cantik itu. Tapi, tak lama kemudian ia minta
berganti tempat duduk. Pemuda yang duduk di kursi nomor 6 orangnya ribut dan
suka berkelakar. Dengan suara rendah Poirot menanyai gadis cantik ini kalau-
kalau mau bertukar tempat duduk dengannya. Gadis itu setuju. Setelah pindah
tempat duduk, ia membuka percakapan dengan kami. Segera saja kami bertiga
terlibat dalam percakapan yang menyenangkan.
Jelas ia masih muda sekali, tidak lebih dari sembilan belas tahun, dan jujur
seperti bocah. Ia menceritakan tujuan perjalanannya kepada kami. Kelihatannya ia
pergi untuk urusan bisnis bibinya yang mempunyai toko barang antik yang amat
menarik di Ebermouth. Ketika ayahnya meninggal, bibi itu ditinggalkan dalam keadaan sangat kekurangan.
Lalu, dengan modal yang terbatas dan sebuah rumah yang penuh dengan barang-
barang indah peninggalan ayahnya, bibinya memulai bisnis barang antik. Wanita
itu sukses besar sehingga menjadi terkenal di dunia perdagangan. Gadis ini, Mary
Durrant, tinggal bersama bibinya untuk belajar bisnis yang sangat diminatinya
lebih dari kemungkinan-kemungkinan lainnya - misalnya menjadi guru atau pengasuh.
Poirot mengangguk, menunjukkan minat dan persetujuannya.
"Mademoiselle akan sukses, saya yakin ini," katanya gagah. "Tapi, saya beri
sedikit nasihat. Jangan terlalu mempercayai orang lain, Mademoiselle. Di mana
saja di dunia ini ada penjahat dan petualang. Bahkan, mungkin di bus ini. Orang
harus selalu waspada dan berhati-hati!"
Mary Durrant menatap Poirot dengan mulut ternganga; dan Poirot mengangguk
bijaksana. "Apa yang saya katakan ini benar. Siapa tahu" Bahkan, saya yang berbicara kepada
Anda ini mungkin saja penjahat ulung."
Mata Poirot bersinar lebih daripada biasanya melihat keterkejutan gadis ini.
Di Monkhampton kami berhenti untuk makan siang. Sesudah berbicara sebentar
kepada pelayan restoran, kami berhasil mendapatkan meja kecil di dekat jendela.
Di luar, di halaman yang besar, sekitar dua puluh bus turis dari segenap penjuru
Inggris, diparkir. Restoran hotel penuh sesak dan ributnya luar biasa.
"Orang-orang ini semangat berliburnya tinggi sekali," kataku sambil meringis.
Mary Durrant mengiyakan. "Di musim panas seperti sekarang ini, Ebermouth betul-
betul tidak karuan. Kata Bibi, dulu lain sekali. Sekarang orang hampir tidak
bisa bergerak di trotoar karena penuh sesak oleh orang banyak."
"Tapi, itu menguntungkan untuk bisnis, Mademoiselle."
"Tidak untuk kami khususnya. Kami hanya menjual barang-barang yang langka dan
berharga. Kami tidak menyediakan cenderamata murahan. Langganan Bibi tersebar di
seluruh Inggris. Kalau mereka menginginkan kursi, meja, atau keramik dari zaman
tertentu, mereka menulis surat kepada Bibi. Dan cepat atau lambat Bibi akan
mengusahakan benda-benda itu untuk mereka. Dalam kasus ini pun demikian."
Kami kelihatan tertarik, sehingga ia melanjutkan penjelasannya. Ada seorang pria
Amerika, J. Baker Wood. Dia adalah kolektor miniatur yang berselera tinggi.
Baru-baru ini satu set miniatur muncul di pasaran dan Nona Elizabeth Penn - bibi
Mary Durrant - membelinya. Bibi Mary menulis surat kepada Tuan Wood, menggambarkan
miniatur itu dan menyebutkan harganya. Segera tiba jawaban yang menjelaskan
bahwa Wood bersedia membeli miniatur itu jika barangnya seperti yang digambarkan
dan minta agar seseorang dikirim bersama barang itu ke tempat tinggalnya di
Charlock Bay. Jadinya Nona Durrant diutus selaku wakil perusahaan.
"Miniatur-miniatur itu indah sekali, tentu saja," ujar Mary. "Tapi, saya tidak
bisa membayangkan ada orang mau membayar begitu mahalnya untuk barang itu. Lima
ratus pound! Bayangkan saja! Buatan Cosway. Apakah benar Cosway yang saya
maksudkan" Dalam hal-hal begini, saya sangat bingung."
Poirot tersenyum. "Anda belum berpengalaman, Mademoiselle?"
"Saya tidak mendapat latihan," sahut Mary sedih. "Kami tidak dididik untuk
mengetahui barang-barang kuno. Saya harus banyak belajar."
Ia menghela napas. Tiba-tiba, kulihat matanya melebar karena terkejut. Ia duduk
menghadap jendela dan kini pandangannya diarahkan ke luar jendela. Dengan
tergesa-gesa ia bangkit dari duduknya dan berlari ke luar Beberapa menit
kemudian ia kembali dengan terengah-engah dan minta maaf.
"Maaf, saya berlari seperti itu. Saya kira saya melihat seorang laki-laki
mengambil kopor saya. Saya kejar dia dan kopor yang diambilnya ternyata
kepunyaannya. Hampir persis dengan kopor saya. Rasanya seperti orang tolol
karena telah menuduhnya mencuri kopor."
Ia tertawa. Tetapi, Poirot tidak tertawa. "Bagaimana gambaran laki-laki itu, Mademoiselle?"
"Setelannya coklat. Orangnya kurus, tinggi, dan lemah. Kumisnya sama sekali
tidak teratur." "Aha!" seru Poirot. "Kawan kita kemarin, Hastings. Anda mengenalnya,
Mademoiselle" Atau pernah melihatnya?"
"Tidak. Mengapa?"
"Tidak apa-apa. Agak mencurigakan - cuma itu."
Poirot berdiam diri dan tidak ambil bagian lagi dalam pembicaraan kami sampai
sesuatu yang dikatakan Mary Durrant menarik perhatiannya.
"Eh, Mademoiselle, apa yang Anda katakan tadi?"
"Dalam perjalanan pulang saya harus berhati-hati terhadap 'penjahat', seperti
Anda katakan tadi. Saya yakin Tuan Wood akan membayar kontan. Kalau saya membawa
uang lima ratus pound, penjahat pasti memperhatikan saya."
Mary Durrant tertawa. Lagi-lagi Poirot tidak menanggapi. Sebaliknya, Poirot
menanyakan hotel tempat gadis itu bermalam di Charlock Bay.
"Hotel Anchor. Kecil dan tidak mahal, tapi baik sekali."
"Jadi!" seru Poirot. "Hotel Anchor! Persis tempat Hastings memutuskan kami akan
menginap. Aneh sekali!"
Poirot mengedipkan mata kepadaku.
"Anda lama menginap di Charlock Bay?" tanya Mary.
"Cuma semalam. Saya ada urusan di sana. Saya yakin Anda tidak bisa menebak
profesi saya, Mademoiselle."
Kulihat Mary mempertimbangkan beberapa kemungkinan, tapi tidak mengungkapkannya
mungkin karena ingin berhati-hati. Akhirnya ia mengatakan Poirot adalah tukang
sulap. Mendengar ini Poirot sangat geli.
"Ah! Ide menarik! Anda kira saya mengeluarkan kelinci dari topi" Tidak,
Mademoiselle. Justru kebalikannya. Tukang sulap membuat benda-benda hilang. Saya
mengembalikan benda-benda yang lenyap." Secara dramatis dicondongkannya badannya
ke depan agar kata-katanya terdengar sepenuhnya. "Ini rahasia, Mademoiselle.
Tapi saya beritahu Anda. Saya detektif!"
Poirot bersandar kembali, puas akan efek yang ditimbulkannya. Mary Durrant
menatapnya terpesona. Akan tetapi pembicaraan terhenti karena klakson-klakson di
luar, yang menandakan para raja jalanan itu siap melanjutkan perjalanan mereka.
Waktu aku dan Poirot keluar, aku mengomentari daya tarik kawan makan siang kami
tadi. Poirot mengiyakan.

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang, dia menarik. Tapi, agak tolol juga."
"Tolol?" "Jangan marah. Seorang gadis mungkin saja cantik dan berambut kemerahan, tapi
tolol. Alangkah tololnya kalau ia mempercayai dua orang asing seperti yang
dilakukannya." "Well, dia bisa melihat bahwa kita orang baik-baik."
"Itu pandir. Siapa saja yang tahu pekerjaannya - biasanya akan bersikap baik-baik.
Gadis itu mau berhati-hati kalau nanti ia membawa uang tunai lima ratus pound.
Padahal dia sekarang ini membawa uang lima ratus pound."
"Dalam bentuk miniatur."
"Persis. Dalam wujud miniatur. Keduanya tidak berbeda jauh, Sobat."
"Tapi tidak ada yang tahu kecuali kita."
"Bagaimana dengan pelayan restoran serta orang-orang di meja sebelah. Dan tidak
diragukan lagi beberapa orang di Ebermouth! Mademoiselle Durrant memang menarik.
Tapi, kalau aku jadi Nona Elizabeth Penn, pertama-tama akan kuinstruksikan
asisten baruku itu untuk menggunakan akal sehat." Poirot berhenti sejenak lalu
berbicara dengan suara yang berlainan, "Engkau tahu, Sobat, memindahkan kopor
dari satu bus ke bus yang lain selama jam makan siang adalah pekerjaan yang
gampang sekali." "Oh, pasti ada yang melihat, Poirot."
"Apa yang mereka lihat" Seseorang memindahkan bagasinya. Bisa dilakukannya
secara blak-blakan. Lagi pula, bukan urusan siapa pun untuk ikut campur."
"Maksudmu - Poirot, engkau mengisyaratkan - tapi pemuda bersetelan coklat itu -
bukankah itu kopornya sendiri?"
Poirot mengerutkan dahi. "Kelihatannya begitu. Tapi, perbuatannya itu
mencurigakan, Hastings. Mengapa ia tidak memindahkan kopornya sebelum jam makan
siang, sewaktu bus baru saja berhenti" Dia kan tidak makan siang di sini, engkau
tahu itu?" "Andaikata Nona Durrant tidak duduk menghadap jendela, ia tidak akan melihat
perbuatan pemuda itu," kataku lambat-lambat.
"Karena yang diambil kopornya sendiri, ya tidak ada persoalan," Poirot
menanggapi. "Maka, ayo kita hilangkan persoalan ini dari pikiran kita, Sobat."
Meskipun demikian, sesudah kami duduk kembali di bus dan melanjutkan perjalanan,
Poirot mengambil kesempatan untuk memberi ceramah mengenai bahayanya perbuatan
yang tidak bijaksana kepada Mary Durrant. Gadis itu mendengarkan dengan patuh,
tapi nampaknya menganggap nasihat Poirot ini sebagai gurauan belaka.
Kami tiba di Charlock Bay pukul 16.00 dan cukup beruntung karena dapat
memperoleh kamar di Hotel Anchor - penginapan kuno yang menarik yang terletak di
jalan kecil. Poirot baru saja selesai mengepak beberapa barang dan tengah mengolesi kumisnya
dengan kosmetik, sebagai persiapan untuk menemui Joseph Aarons, ketika terdengar
ketukan yang keras di pintu. Aku berseru, "Silakan masuk." Di luar dugaanku,
Mary Durrant muncul. Wajahnya pucat-pasi, air mata mengembang di kedua matanya.
"Maafkan saya - tapi - tapi - sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi. Tadi Anda
mengatakan Anda detektif?" Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Poirot.
"Apa yang terjadi, Mademoiselle?"
"Saya membuka kopor. Miniatur itu seharusnya ada di dalam kotak pengiriman dari
kulit buaya - terkunci, tentu saja. Sekarang, lihatlah!"
Diangsurkannya kotak kecil berlapis kulit buaya itu. Tutup kotak menggantung
lepas. Poirot mengambilnya dari tangan Mary Durrant. Jelas kotak itu dibuka
dengan paksa; pasti dengan kekuatan besar. Bekasnya jelas sekali. Poirot
memeriksa barang itu lalu mengangguk.
"Miniatur itu?" tanyanya, meski kami tahu persis jawabnya.
"Hilang. Dicuri. Oh, apa yang harus saya lakukan?"
"Jangan khawatir," hiburku. "Kawanku ini Hercule Poirot. Anda pasti pernah
mendengar tentang dia. Dia akan mengembalikan miniatur itu kepada Anda, kalau
mungkin." "Monsieur Poirot - Monsieur Poirot yang hebat."
Poirot senang sekali atas pujian gadis itu. "Ya, Anakku," katanya. "Inilah aku.
Dan serahkan saja kasusmu kepadaku. Saya akan menyelesaikannya sebaik mungkin.
Tapi saya khawatir, benar-benar khawatir, semuanya sudah terlambat. Apakah kopor
Anda dibuka dengan paksa pula?"
Gadis itu menggeleng. "Izinkan saya melihatnya."
Bersama kami pergi ke kamarnya. Poirot memeriksa kopor itu dengan cermat. Jelas
sekali, kopor itu dibuka dengan kunci palsu.
"Cukup sederhana. Semua kopor jenis ini mempunyai pola kunci yang sama. Kita
harus menghubungi polisi dan juga menelepon Baker Wood secepatnya. Saya sendiri
akan melakukannya." Aku pergi bersama Poirot sambil menanyakan apa yang ia maksudkan sewaktu
mengatakan mungkin sudah terlambat. "Mon cher, tadi aku bilang, aku kebalikan
tukang sulap - aku menjadikan barang-barang yang hilang muncul lagi - tapi andaikata
ada yang mendahuluiku" Engkau belum mengerti. Tapi, sebentar lagi engkau akan
mengerti." Poirot menghilang ke dalam bilik telepon. Lima menit berikutnya ia keluar dengan
wajah muram. "Seperti yang kukhawatirkan. Seorang perempuan telah menemui Tuan
Wood setengah jam yang lalu dengan membawa miniatur-miniatur itu. Dia
memperkenalkan diri sebagai utusan Nona Elizabeth Penn. Wood sangat menyukai
miniatur-miniatur itu dan segera membayar lunas harganya."
"Setengah jam yang lalu - sebelum kita sampai di sini!"
Senyum tipis Poirot mengandung teka-teki. "Bus memang cepat, tapi motor dari,
katakanlah, Monkhampton dapat tiba di sini paling tidak satu jam sebelumnya."
"Lalu, apa yang akan kita perbuat?"
"Hastings yang baik - selalu bersikap praktis. Kita lapor polisi, kita lakukan apa
saja yang bisa kita perbuat untuk Nona Durrant - dan - ya, mari kita mewawancarai J.
Baker Wood." Rencana ini kami laksanakan. Sementara itu, Mary Durrant yang malang bingung
sekali. Ia khawatir bibinya akan menyalahkannya.
"Tentu saja bibinya akan marah," kata Poirot sewaktu kami berangkat ke Hotel
Seaside, tempat Wood menginap. "Dan sudah sepantasnya. Meninggalkan barang
senilai lima ratus pound dalam kopor selama makan siang! Walaupun begitu, Sobat,
ada satu atau dua hal yang mencurigakan dalam perkara ini. Kotak pengiriman itu,
misalnya, mengapa harus dibongkar?"
"Tentu untuk mengeluarkan miniatur itu."
"Tapi, bukankah itu tindakan tolol" Katakanlah si pencuri menukar bagasi sewaktu
jam makan siang, dengan pura-pura mengambil kopornya sendiri. Bukankah jauh
lebih mudah membuka kopor, memindahkan kotak itu ke dalam kopornya sendiri, lalu
pergi daripada membuang-buang waktu untuk membongkar kotak itu?"
"Ia perlu memastikan bahwa miniatur itu ada di dalamnya."
Kelihatannya Poirot kurang yakin. Namun, karena kami sudah diantar ke kamar
Wood, tidak ada lagi waktu untuk berdiskusi.
Segera saja aku tidak menyukai Baker Wood.
Laki-laki itu bertubuh besar dan kasar, dandanannya berlebihan sekali. Ia
mengenakan cincin berlian bermata satu. Bicaranya keras dan gaduh.
Tentu saja, ia tidak menaruh curiga akan adanya ketidakberesan. Mengapa ia harus
curiga" Perempuan itu mengatakan ia membawa miniatur itu. Sesuai pula dengan
contoh yang digambarkan! Apakah ia mempunyai nomor uang tersebut" Tidak.
Bagaimanapun juga siapakah - eh - Poirot yang menanyakan semua pertanyaan ini
kepadanya" "Saya tidak akan menanyakan apa-apa lagi, Monsieur, kecuali satu pertanyaan ini
saja. Gambaran perempuan yang menemui Anda. Apakah ia masih muda dan cantik?"
"Tidak, Sir, orangnya tidak cantik. Sama sekali tidak cantik. Badannya tinggi,
setengah umur, rambut beruban, wajahnya berjerawat, dan dihiasi kumis yang mulai
tumbuh. Peri" Tentu saja bukan."
"Poirot!" seruku sewaktu kami meninggalkan tempat itu. "Kumis. Engkau
mendengarnya?" "Telingaku berfungsi, Hastings."
"Tapi, alangkah tidak menyenangkannya laki-laki itu!"
"Memang, sikapnya tidak menyenangkan."
"Well, kita harus menangkap pencuri itu. Kita bisa mengidentifikasi dia."
"Engkau orang sederhana yang naif, Hastings. Apakah engkau tidak tahu akan
adanya alibi?" "Kaukira ia mempunyai alibi?"
Jawaban Poirot tidak terduga. "Kuharap begitu."
"Masalahnya engkau suka mempersulit sesuatu," kataku.
"Betul sekali, Kawan. Aku tidak suka - bagaimana engkau menyebutnya - berpangku
tangan saja!" Ramalan Poirot tepat sekali. Kawan seperjalanan kami yang memakai setelan coklat
itu ternyata Norton Kane. Ia langsung menuju Hotel George di Monkhampton dan
mendekam di hotel sepanjang siang. Satu-satunya kesaksian yang memberatkannya
adalah kesaksian Nona Durrant yang menyatakan melihat laki-laki itu mengeluarkan
bagasinya dari kereta selagi kami makan siang.
"Perbuatan itu sendiri tidak mencurigakan," ujar Poirot sambil berpikir.
Setelah itu Poirot berdiam diri dan tidak mau membicarakan masalah ini lebih
lanjut. Ketika kupaksa, ia mengatakan ia tengah memikirkan tentang kumis secara
umum dan sebaiknya aku pun berbuat begitu.
Bagaimanapun juga ternyata ia sudah meminta Joseph Aarons - yang melewatkan petang
hari bersamanya - untuk memberikan setiap rincian mengenai Baker Wood. Kedua laki-
laki itu menginap di hotel yang sama, sehingga ada kesempatan untuk mengumpulkan
serpihan-serpihan keterangan. Apa pun yang diketahuinya, Poirot menyimpannya
sendiri. Sesudah berbagai wawancara dengan polisi, Mary Durrant kembali ke Ebermouth
dengan kereta pagi. Kami makan siang bersama Joseph Aarons. Setelah itu, Poirot
memberitahukan bahwa ia sudah berhasil menyelesaikan persoalan agen teater itu
dengan memuaskan dan kami bisa kembali ke Ebermouth secepat yang kami inginkan.
"Tapi, kali ini kita naik kereta, Sobat."
"Engkau takut kecopetan atau menemui gadis lain yang dalam kesulitan?"
"Kedua hal ini, Hastings, mungkin saja kutemui di kereta. Tidak. Aku tergesa-
gesa kembali ke Ebermouth untuk melanjutkan menyelidiki kasus kita ini."
"Kasus kita?" "Ya. Mademoiselle Durrant memintaku menolong dia. Meskipun persoalannya sekarang
ada di tangan polisi, tidak berarti aku bebas untuk cuci tangan. Aku kemari
untuk membantu seorang kawan lama, tapi jangan sampai orang mengatakan bahwa
Hercule Poirot meninggalkan seorang asing yang membutuhkan pertolongan!" Ia
mengakhiri bicaranya dengan sombong.
"Kukira engkau sudah tertarik sebelum persoalan terjadi," kataku tajam. "Di
kantor Speedy Cars, waktu pertama kali engkau melihat pemuda itu, walaupun aku
tidak tahu apa yang menarik perhatianmu."
"Engkau tidak tahu, Hastings" Seharusnya engkau tahu. Well, itu adalah
rahasiaku." Sebelum berangkat, kami berbicara sebentar dengan inspektur polisi yang
menangani perkara ini. Ia telah menginterogasi Norton Kane dan memberi tahu
Poirot secara pribadi bahwa sikap pemuda itu meninggalkan kesan yang tidak baik.
Pemuda itu menggertak, mengingkari, dan kata-katanya saling bertentangan.
"Akan tetapi, bagaimana tipu muslihat itu dilakukan, saya tidak tahu," inspektur
itu mengakui. "Ia bisa menyerahkan barang itu kepada kaki tangannya yang segera
masuk ke bus lain. Tapi, ini hanya teori. Kita harus menemukan bus itu dan kaki
tangannya, lalu memojokkannya dengan mengajukan bukti-bukti."
Poirot mengangguk dengan bijaksana.
"Engkau berpendapat dengan cara itukah pencurian dilakukan?" kutanya Poirot
sewaktu kami duduk di kereta.
"Tidak, Sobat. Bukan begitu modus operandinya. Jauh lebih cerdik daripada itu."
"Engkau mau memberitahuku?"
"Tidak sekarang. Engkau paham - ini kelemahanku - aku senang menyimpan rahasia-
rahasia kecil sampai saat terakhir."
"Apakah saat akhir itu akan segera tiba?"
"Sebentar lagi - "
Kami tiba di Ebermouth pukul 18.00 lebih sedikit. Poirot langsung menuju toko
yang bernama "Elizabeth Penn". Toko sudah tutup, tapi Poirot membunyikan bel.
Segera Mary sendiri yang membukakan pintu dan memperlihatkan rasa terkejut serta
gembira melihat kami. "Silakan masuk dan menemui Bibi," katanya.
Mary membawa kami ke salah satu kamar belakang. Seorang perempuan setengah baya
maju untuk menemui kami. Rambutnya putih dan ia sendiri nampak seperti miniatur
dengan kulitnya yang merah jambu pucat, serta kedua matanya yang biru. Bahunya
agak membengkok. Saat itu ia mengenakan mantel tak berlengan dari renda tua yang
tak ternilai harganya. "Inikah Monsieur Poirot yang hebat itu?" tanyanya dengan suara rendah yang
mempesona. "Mary sudah menceritakan semuanya. Saya hampir-hampir tidak mempercayainya. Dan
Anda benar-benar akan menolong kami dalam kesulitan kami ini. Ada saran untuk
kami?" Poirot memandangnya sebentar, lalu membungkukkan badan.
"Mademoiselle Penn - efeknya mempesona, tapi seharusnya Anda betul-betul
memelihara kumis." Nona Penn mengembuskan napas dan menjauh.
"Anda absen dari bisnis kemarin, ya kan?"
"Saya di sini sepanjang pagi. Kemudian kepala saya sakit sekali dan langsung
pulang." "Tidak ke rumah, Mademoiselle. Karena sakit kepala, Anda berusaha mencari
perubahan udara. Saya yakin udara Charlock Bay sangat menyegarkan."
Poirot menggamit lenganku dan menarikku ke pintu. Di sana ia berhenti, lalu
berkata dengan lantang sambil menoleh.
"Jadi, saya mengetahui semuanya. Sandiwara ini harus dihentikan."
Ada ancaman dalam suara Poirot. Nona Penn, wajahnya pucat karena ketakutan, lalu
mengangguk tanpa berkata apa-apa. Poirot menoleh kepada Mary Durrant.
"Mademoiselle," katanya lembut. "Anda masih muda dan menarik sekali. Tapi ikut
serta dalam kasus seperti ini akan membawa masa muda dan pesona Anda tersembunyi
di balik dinding penjara - dan saya katakan, sayang sekali."
Kemudian Poirot melangkah ke luar. Aku mengikutinya dengan bingung.
"Sejak pertama, Sobat, aku tertarik. Waktu pemuda itu memesan hanya sampai
Monkhampton, kulihat perhatian gadis itu tiba-tiba terpaku kepadanya. Nah,
mengapa" Pemuda itu bukan tipe laki-laki yang membuat seorang wanita melihatnya
hanya karena penampilannya. Waktu kita mulai naik bus, aku merasa akan terjadi
sesuatu. Siapa yang melihat pemuda itu menukar bagasi" Mademoiselle dan cuma
Mademoiselle. Ingat, ia memilih tempat duduk yang menghadap jendela - pilihan yang
paling tidak disukai wanita.
"Lalu ia datang kepada kita dengan cerita tentang perampokan itu - kotak
pengiriman dibongkar. Tidak logis, seperti yang kukatakan kepadamu waktu itu.
"Lalu apa akibat semua ini" Baker Wood sudah melunasi harga barang yang dicuri
itu. Miniatur-miniatur itu akan dikembalikan kepada Nona Penn, yang akan menjual
barang-barang itu kembali serta mendapatkan seribu pound, bukan cuma lima ratus
pound. Dengan hati-hati aku mencari informasi dan mendapat keterangan bahwa
bisnis Nona Penn sedang memburuk penuh risiko. Aku berkata kepada diriku sendiri
- bibi dan keponakannya itu sama-sama terlibat."
"Kalau begitu, engkau tidak pernah mencurigai Norton Kane?"
"Sobat! Dengan kumis itu" Seorang penjahat pasti bercukur bersih atau mempunyai
kumis yang terpelihara. Alangkah baiknya kesempatan bagi Nona Penn yang cerdas -
wanita setengah umur yang mulai memudar dengan warna kulit merah jambu pucat,
seperti yang kita lihat. Akan tetapi, seandainya ia berdiri tegak, memakai
sepatu bot yang besar, mengubah wajahnya dengan sedikit jerawat dan - sebagai
sentuhan akhir menambahkan kumis pada bibir atasnya. Lalu jadi apa" Seorang
perempuan maskulin, menurut Wood, dan - 'seorang laki-laki yang menyamar', menurut
kita." "Dia benar-benar ke Charlock Bay kemarin?"
"Pasti. Kereta api, seperti yang kaukatakan kepadaku, berangkat dari sini pukul
11.00 dan tiba di Charlock Bay pukul 14.00. Kereta yang kembali, bahkan lebih
cepat - seperti yang kita naiki. Dari Charlock pukul 16.05 dan sampai di sini
pukul 18.15. Tentu saja miniatur-miniatur itu sama sekali tidak pernah ditaruh
di kotak pengiriman. Kotak itu sudah dibongkar sebelum dipak. Mademoiselle Mary
cuma harus mendapatkan dua orang yang gampang ditipu, yang bersimpati pada
pesonanya yang bagaikan seorang ratu kecantikan yang sedang dalam kesulitan.
Akan tetapi, salah seorang yang gampang ditipu itu tidaklah mudah dikelabui - dia
Hercule Poirot!" Aku sangat tidak menyukai kesimpulan Poirot. Buru-buru aku berkata, "Kalau
begitu, waktu engkau mengatakan akan menolong orang asing, engkau sengaja
menipuku. Itulah persisnya yang engkau perbuat."
"Tidak pernah aku menipumu, Hastings. Hanya saja, aku memperbolehkan engkau
menipu dirimu sendiri. Yang kumaksud adalah Baker Wood - orang asing di negeri
ini." Wajahnya menjadi gelap. "Ah! Waktu aku berpikir tentang kerugian itu,


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biaya darmawisata yang tak adil itu, ongkos perjalanan sekali jalan ke Charlock
yang sama dengan ongkos pulang-pergi, darahku mendidih untuk melindungi
pendatang itu! Memang, Baker Wood itu bukan orang yang menyenangkan. Tidak
simpatik, seperti katamu. Tapi, ia seorang pendatang! Dan kami, para pendatang,
Hastings, harus bersatu. Aku sepenuhnya memihak para pendatang!"
XIV MISTERI DI MARKET BASING "BAGAIMANAPUN juga, tidak ada tempat seperti di desa, kan?" Inspektur Japp
berkata seraya menarik napas berat melalui hidung dan mengembuskannya melalui
mulut dengan sangat sopan.
Aku dan Poirot setuju. Gagasan inspektur Scotland Yard ini jugalah yang membuat
kami bertiga berakhir pekan ke kota kecil yang bernama Market Basing. Sewaktu
sedang tidak bertugas, Japp adalah ahli tumbuh-tumbuhan yang rajin, yang sanggup
berbicara tentang bunga-bunga kecil dengan nama Latin yang luar biasa panjangnya
(dan agak aneh kedengarannya) dengan antusiasme yang, bahkan, lebih besar
daripada antusiasme yang ia tunjukkan pada kasus-kasus yang harus ditanganinya.
"Tak seorang pun mengenal kita, dan kita tidak mengenal siapa pun di sini," Japp
menjelaskan. "Ini idenya."
Tapi, ide ini terbukti tidak seluruhnya benar. Pasalnya, constable setempat
kebetulan dikirim dari desa yang jauhnya lima belas mil, tempat terjadinya kasus
peracunan arsenikum yang membawanya berhubungan dengan inspektur Scotland Yard
ini. Constable tadi mengenali orang penting itu, dan Japp sangat bangga. Minggu
pagi kami sarapan di salon tamu penginapan itu. Matahari bersinar terang. Sulur
bunga kamperfuli menjulur melalui jendela. Kami bertiga penuh semangat. Bacon
dan telurnya luar biasa lezatnya. Kopinya tidak terlalu enak, namun boleh juga
dan dihidangkan panas-panas.
"Inilah hidup," ujar Japp. "Kalau pensiun nanti, saya akan membeli rumah di luar
kota. Jauh dari kejahatan. Seperti ini!"
"Le crime, il est partout, kejahatan ada di mana-mana," Poirot menanggapi seraya
mengambil roti persegi yang dipotong rapi dan mengerutkan dahi ke arah burung
pipit yang secara tidak sopan bertengger di jendela.
Dengan ringan aku mengutip syair:
Kelinci itu sungguh sedap dipandang
Tapi kehidupan pribadinya memalukan
Aku benar-benar tidak dapat mengatakan kepadamu
Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan si kelinci
"Ya, ampun," kata Japp sambil menggeliat ke belakang. "Saya yakin, saya bisa
makan telur lagi, dan mungkin satu atau dua potong bacon. Bagaimana dengan Anda,
Kapten?" "Sama dengan Anda," jawabku sungguh-sungguh. "Engkau, Poirot?"
Poirot menggeleng. "Perut tidak seharusnya diisi terlalu banyak sampai-sampai otak tidak
berfungsi," Poirot menegur.
"Saya mengambil risiko dengan mengisi perut sedikit lagi," sambung Japp tertawa.
"Perut saya besar. Omong-omong, Anda sendiri tambah gemuk, Poirot. Nona, dua
telur dan bacon." Pada saat itu sesosok tubuh yang menarik perhatian berdiri di pintu. Dialah
Constable Pollard. "Maafkan saya karena mengganggu Inspektur, Tuan-tuan. Saya mengharapkan nasihat
Inspektur." "Saya kan sedang berlibur," buru-buru Japp menjelaskan. "Tidak ada pekerjaan
untuk saya. Apa kasusnya?"
"Laki-laki di kamar atas Leigh House - menembak dirinya sendiri - menembus kepala."
"Well, mereka biasa melakukannya," komentar Japp jemu. "Masalah hutang atau
perempuan saya kira. Maaf, saya tidak dapat membantumu, Pollard."
"Masalahnya," kata constable itu lagi, "ia jelas tidak bunuh diri. Paling tidak,
begitu kata Giles." Japp meletakkan cangkir kopinya.
"Tidak mungkin bunuh diri" Apa maksudmu?"
"Itu kata Dokter Giles," Pollard mengulangi. "Katanya itu sangat mustahil.
Dokter Giles bingung setengah mati. Pintu dikunci dari dalam dan jendela-jendela
dipalang, tapi Dokter Giles bersikeras laki-laki itu tidak mungkin menembak
dirinya sendiri." Keterangan ini membawa efek. Bacon dan telur tambahan dikesampingkan. Beberapa
menit kemudian kami berjalan secepat mungkin ke arah Leigh House. Dengan penuh
semangat Japp menanyai constable itu.
Almarhum bernama Walter Protheroe; laki-laki setengah baya dan hidup seperti
pertapa. Delapan tahun yang lampau ia datang ke Market Basing dan menyewa Leigh
House, rumah besar yang bobrok serta hampir ambruk. Ia menempati sudut rumah.
Segala keperluannya disediakan oleh seorang perempuan pengurus rumah tangga yang
dibawanya dari tempat asalnya. Nama wanita itu Nona Clegg, seorang wanita yang
sangat baik dan dihormati di desa itu. Baru-baru ini Protheroe mendapat tamu
yang menginap di rumahnya, Tuan dan Nyonya Parker dari London. Pagi tadi Nona
Clegg menelepon polisi dan dokter karena tuannya tidak menjawab panggilannya
serta pintu kamar dalam keadaan terkunci. Constable Pollard dan Dokter Giles
tiba berbarengan. Mereka berdua berhasil mendobrak pintu kayu ek kamar tidur
almarhum. Protheroe terbaring di lantai, ditembak menembus kepala. Sedangkan sebuah pistol
tergenggam di tangan kanannya. Sepintas, jelas kasus bunuh diri.
Tapi, sesudah memeriksa tubuh korban, Dokter Giles betul-betul bingung. Akhirnya
ia menarik constable itu ke samping untuk menjelaskan kebingungannya. Pollard
segera berpikir tentang Japp. Ia meninggalkan dokter itu untuk menjaga jenazah
dan bergegas menuju ke penginapan.
Bersamaan dengan selesainya cerita Pollard, kami tiba di Leigh House. Sebuah
rumah besar yang terpencil, dikelilingi kebun yang tidak terpelihara serta penuh
rumput liar. Pintu depan terbuka. Kami segera melewatinya untuk masuk ke ruangan
besar, lalu menuju ruang duduk yang kecil. Dari tempat ini mulai terdengar
suara. Ada empat orang di dalamnya: seorang laki-laki yang berpakaian agak
mencolok, wajahnya tidak menyenangkan dan penuh tipu daya - orang yang langsung
tidak kusukai; seorang perempuan yang tipenya hampir sama dengan laki-laki tadi,
walaupun sebetulnya cukup cantik; seorang perempuan lain berpakaian hitam rapi,
berdiri terpisah dari yang lain dan kukira dialah pengurus rumah tangga
almarhum; serta seorang laki-laki bertubuh tinggi, dalam pakaian olahraga dari
bahan wol, wajahnya cerdas lagi cakap, dan jelas-jelas menguasai situasi.
"Dokter Giles," Pollard memperkenalkan, "inilah Inspektur Detektif Japp dari
Scotland Yard beserta dua kawannya."
Dokter Giles mengucapkan salam kepada kami, kemudian memperkenalkan kami kepada
Tuan dan Nyonya Parker. Sesudah itu kami mengikutinya naik. Pollard mematuhi
isyarat Japp untuk tetap tinggal di bawah, mengawasi rumah itu. Dokter membawa
kami ke lantai atas dan melewati gang. Di ujung gang sebuah pintu terbuka, lepas
dari engsel-engselnya. Daun pintu jatuh ke sebelah dalam kamar.
Kami masuk. Jenazah masih terbaring di lantai. Protheroe berumur setengah baya,
berjenggot, beruban di kedua pelipisnya. Japp berlutut di dekat tubuh korban.
"Mengapa Anda tidak membiarkannya tetap seperti pada waktu Anda menemukannya?"
Japp menggerutu. Dokter Giles mengangkat bahu.
"Kami mengira ini kasus bunuh diri."
"Hhmmm!" gumam Japp. "Peluru masuk di belakang telinga kiri."
"Persis!" Dokter mengiyakan. "Jadi tidak mungkin ia menembakkan pistol itu
sendiri. Ia harus memutar tangan kanannya mengelilingi kepala dulu. Padahal ini
tidak mungkin." "Anda menemukan pistol ini tergenggam di tangan kanannya" Di mana sekarang
pistol itu?" Dokter Giles mengangguk ke arah meja.
"Tapi pistol itu tidak tergenggam di dalam tangannya," jelas Dokter. "Pistol
memang ada di tangan, namun jari-jari korban tidak menggenggamnya."
"Diletakkan di situ sesudahnya," kata Japp. "Cukup jelas." Japp memeriksa
senjata api itu. "Satu peluru saja yang ditembakkan. Kita akan memeriksa senjata
ini untuk mencari sidik jari, tapi saya ragu-ragu apakah kita akan menemukannya,
kecuali sidik jari Anda, Dokter Giles. Berapa lama ia sudah meninggal?"
"Tadi malam. Saya tidak dapat memastikan jamnya, seperti yang dilakukan oleh
dokter-dokter yang hebat dalam cerita detektif. Secara kasar ia sudah meninggal
sekitar dua belas jam."
Sejauh ini Poirot belum berbuat apa-apa. Ia tetap berdiri di sampingku,
mengawasi Japp yang tengah bekerja sambil mendengarkan pertanyaan-pertanyaan
inspektur itu. Hanya saja berulang kali Poirot membaui udara dengan gerakan yang
sangat lembut dan nampak bingung. Aku ikut-ikutan membaui udara kamar itu, tapi
tidak mencium apa-apa yang menarik perhatianku. Udara benar-benar segar dan sama
sekali tidak berbau. Meskipun demikian, berkali-kali Poirot membaui dengan sikap
ragu-ragu, seolah-olah hidungnya yang lebih tajam mencium sesuatu yang tidak
tercium olehku. Karena Japp telah meninggalkan korban, Poirot berlutut di dekat almarhum. Luka
tembakan sama sekali tidak menarik perhatiannya. Mula-mula aku berpikir Poirot
tengah memeriksa jari-jari tangan yang memegang pistol itu, tapi segera kulihat
ternyata saputangan yang ada di lengan mantel almarhum itulah yang menarik
perhatian Poirot. Protheroe memakai setelan rumah berwarna abu-abu gelap.
Akhirnya Poirot berdiri, namun kedua matanya masih terpancang pada saputangan
itu, seakan-akan ia bingung.
Japp meminta Poirot membantu mengangkat pintu. Aku mempergunakan kesempatan ini
untuk berlutut, mengambil saputangan itu dari mantel almarhum, dan memeriksanya
dengan cermat. Saputangan yang sederhana dari kain katun putih yang halus
sekali. Tidak ada tanda maupun noda pada saputangan itu. Aku mengembalikan benda
itu ke tempatnya, menggelengkan kepala, lalu mengakui bahwa aku bingung.
Yang lain telah berhasil mengangkat pintu. Aku sadar mereka mencari kunci, namun
sia-sia. "Ini memberi penjelasan," kata Japp. "Jendela ditutup dan dipalang. Pembunuh
keluar melalui pintu, mengunci pintu, dan membawa kunci itu. Pikirnya orang akan
mengira bahwa Protheroe mengunci diri di kamar dan menembak dirinya sendiri,
sedangkan kunci yang hilang ini tidak akan diperhatikan. Anda setuju, M.
Poirot?" "Saya memang setuju. Tapi, lebih sederhana dan lebih baik kalau pembunuh
menyelipkan kunci kembali ke kamar, ke bawah pintu. Dengan demikian seakan-akan
kunci itu jatuh dari tempatnya."
"Ah, Anda kan tidak mengharapkan setiap orang mempunyai pemikiran cemerlang
seperti yang Anda miliki. Seandainya Anda jadi penjahat, pasti luar biasa. Ada
komentar, M. Poirot?"
Bagiku, Poirot seperti kehilangan akal. Ia melihat sekeliling ruangan dan
berkata dengan ringan serta dalam nada minta maaf, "Ia banyak merokok, monsieur
ini." Benar. Tempat pembakaran penuh puntung rokok. Begitu pula asbak yang terletak di
atas meja kecil, di dekat kursi besar yang mempunyai pegangan tangan.
"Dia pasti mengisap kira-kira dua puluh batang semalam," tukas Japp. Sambil
membungkuk Japp memeriksa isi tempat pembakaran dengan cermat, kemudian
mengalihkan perhatian ke asbak. "Rokok-rokok ini sama," lapornya, "dan diisap
oleh laki-laki yang sama. Tidak ada apa-apanya, Poirot."
"Saya tidak mengatakan ada apa-apa," gumam sahabatku.
"Ha!" seru Japp. "Apa ini?" Dia menyambar sebuah benda berkilat yang tergeletak
di lantai, di dekat almarhum. "Kancing manset yang pecah. Saya heran, kepunyaan
siapa ini. Dokter Giles, sudikah Anda turun dan memanggil pengurus rumah tangga
itu kemari?" "Bagaimana dengan suami-istri Parker" Parker ingin sekali meninggalkan rumah
ini. Katanya ia punya urusan yang mendesak di London."
"Kasus ini akan terus ditangani tanpa dia. Melihat situasi, nampaknya akan ada
urusan mendesak yang harus ia bereskan di sini! Panggillah pengurus rumah tangga
itu dan jangan biarkan salah seorang Parker itu mengecoh Anda maupun Pollard.
Apakah ada penghuni rumah yang masuk ke kamar ini pagi tadi?"
Dokter Giles berpikir. "Tidak. Sementara saya dan Pollard masuk mereka berdiri di luar, di koridor."
"Yakin begitu?"
"Seratus persen."
Dokter Giles keluar untuk memenuhi permintaan Japp.
"Baik sekali dokter itu," kata Japp gembira. "Dokter-dokter yang senang
berolahraga biasanya hebat. Well, saya jadi bertanya-tanya sendiri siapa yang
menembak laki-laki ini. Sepertinya salah seorang di antara ketiga penghuni rumah
ini. Saya hampir tidak mencurigai pengurus rumah tangga itu. Kalau ingin
menembak almarhum, ia punya waktu delapan tahun untuk melakukannya. Saya
bertanya-tanya sendiri, siapa gerangan sebenarnya pasangan Parker ini" Mereka
nampaknya bukan pasangan yang baik."
Pada detik itu Nona Clegg muncul. Ia seorang wanita yang kurus kering, berambut
berubannya terpisah rapi di tengah, sangat pendiam serta serius, dan
berpembawaan kalem. Meskipun demikian, ada kesan efisiensi dalam dirinya yang
menimbulkan rasa hormat. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan Japp dengan
menjelaskan bahwa ia telah empat belas tahun tinggal bersama almarhum. Korban
adalah majikan yang murah hati dan baik budi. Tuan dan Nyonya Parker belum
pernah dilihatnya sampai tiga hari yang lalu, ketika tanpa disangka-sangka
keduanya datang untuk menginap. Menurut dia, pasangan itu sendiri yang
mengajukan permintaan untuk menginap. Jelas terlihat tuannya tidak menyukai
kehadiran mereka. Kancing manset yang diperlihatkan Japp kepadanya pasti bukan
milik Protheroe - ia yakin akan hal ini. Ketika ditanya mengenai pistol, ia
mengatakan bahwa tuannya memang mempunyai senjata jenis itu, yang disimpan dalam
tempat terkunci. Beberapa tahun yang lampau Nona Clegg melihat senjata seperti
itu, namun ia tidak dapat memastikan apakah pistol ini yang ia lihat dulu.
Semalam ia tidak mendengar suara tembakan. Akan tetapi, hal ini tidaklah
mengherankan karena rumah itu besar dan tidak teratur. Selain itu, kamarnya
maupun kamar yang dipakai pasangan Parker terletak di ujung lainnya. Ia tidak
tahu pukul berapa Protheroe pergi tidur - almarhum masih terjaga ketika ia masuk
ke kamar pukul 21.30. Langsung pergi tidur bukanlah kebiasaan tuannya setelah
masuk kamar. Biasanya tuannya duduk-duduk, membaca, dan merokok sampai tengah
malam. Almarhum memang perokok berat.
Giliran Poirot mengajukan pertanyaan.
"Biasanya majikan Anda tidur dengan jendela terbuka atau tertutup?"
Nona Clegg berpikir. "Biasanya terbuka. Yang pasti jendela atas selalu terbuka."
"Tapi sekarang jendela itu tertutup. Dapatkah Anda menjelaskan mengapa?"
"Tidak, kecuali mungkin Tuan merasakan embusan udara lalu menutup jendela."
Japp mengajukan beberapa pertanyaan lagi, kemudian menyuruh perempuan itu pergi.
Berikutnya Japp mewawancarai suami-istri Parker secara terpisah. Nyonya Parker
cenderung histeris dan berurai air mata. Sedangkan jawaban Tuan Parker penuh
gertak sambal serta caci-maki. Ia mengingkari bahwa kancing manset itu miliknya,
namun karena sebelumnya istrinya mengenali kancing manset itu sebagai kepunyaan
suaminya, penyangkalannya sia-sia. Selain itu, Parker menyangkal telah memasuki
kamar Protheroe. Japp berpendapat ia punya cukup bukti untuk mengajukan surat
perintah penahanan. Dengan menyuruh Pollard menjaga, buru-buru Japp kembali ke desa dan menelepon
markas besar. Aku dan Poirot kembali ke penginapan.
"Tidak biasanya engkau diam saja," kataku. "Apakah kasus ini tidak menarik
perhatianmu?" "Sebaliknya. Menarik sekali bagiku. Tapi, membingungkan."
"Motifnya tidak jelas," kataku sungguh-sungguh. "Tapi aku yakin si Parker itu
jahat. Kasus yang memberatkan dia jelas sekali, cuma motifnya yang belum
terbongkar." "Tidak adakah hal penting yang menarik perhatianmu, yang mungkin dilupakan
Japp?" Aku memandangnya, mencari informasi.
"Apa yang kaupikirkan, Poirot?"
"Ada apa di atas lengan almarhum?"
"Oh, saputangan itu!"
"Persis. Saputangan itu."
"Pelaut selalu membawa saputangan di lengannya," kataku serius.
"Pemikiran yang bagus sekali, Hastings, biarpun bukan itu yang ada di benakku."
"Ada yang lain lagi?"
"Ya. Berkali-kali aku menghirup udara untuk membaui asap rokok."
"Aku sama sekali tidak mencium bau itu," seruku dengan nada bertanya-tanya.
"Aku juga tidak, Sobat."
Kupandang Poirot tajam-tajam. Sulit sekali untuk mengetahui apakah Poirot sedang
memperdayaku. Tapi kali ini ia kelihatan serius sekali dan mengerutkan dahi
kepada dirinya sendiri. *** Pemeriksaan jenazah diadakan dua hari kemudian. Sementara itu, bukti lain
terungkap. Seorang gelandangan mengaku telah memanjat dinding untuk masuk ke


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebun Leigh House, tempat ia sering kali tidur di gudang yang dibiarkan tidak
terkunci. Gelandangan itu mengaku mendengar dua orang laki-laki bertengkar
sengit dalam kamar di lantai pertama, pada tengah malam. Yang satu meminta
sejumlah uang; yang lain menolak dengan berang. Dengan bersembunyi di semak-
semak, gelandangan itu bisa melihat kedua laki-laki yang bertengkar ketika
keduanya berjalan mondar-mandir melewati jendela yang terang. Yang seorang dia
tahu pasti adalah Protheroe, si pemilik rumah, sedang satunya tegas-tegas ia
identifikasikan sebagai Parker.
Jelaslah sekarang bahwa suami-istri Parker datang ke Leigh House untuk memeras
Protheroe. Kemudian, dengan terungkapnya bahwa nama almarhum yang sebenarnya
adalah Wendover dan almarhum pernah menjadi letnan Angkatan Laut serta terlibat
dalam kasus peledakan kapal pesiar kelas satu, Merrythought, pada tahun 1910,
perkara ini nampaknya akan segera menjadi gamblang. Diperkirakan Parker, yang
mengetahui peran yang telah dimainkan oleh Wendover, menelusuri jejak Wendover
untuk mendapatkan uang pengunci mulut - yang ditolak oleh almarhum. Di puncak
pertengkaran Wendover mengeluarkan revolvernya, Parker merenggut senjata api itu
lalu menembaknya. Kemudian Parker berusaha memberi kesan bahwa almarhum bunuh
diri. Parker diajukan ke pengadilan tanpa menggunakan hak pembelaan dirinya. Kami
hadir dalam rapat-rapat pengadilan polisi itu. Pada waktu meninggalkan tempat
itu Poirot mengangguk. "Pasti begitu," bisiknya kepada diri sendiri. "Ya, pasti begitu. Aku tidak akan
menunda-nunda lagi."
Poirot pergi ke kantor pos dan menulis pesan yang disampaikan oleh utusan
khusus. Aku tidak tahu kepada siapa pesan itu ditujukan. Setelah itu kami
kembali ke penginapan, tempat kami tinggal selama akhir pekan yang pantas
dikenang ini. Poirot gelisah, berjalan kian-kemari ke arah jendela.
"Aku menunggu tamu," jelasnya. "Tidak mungkin - pasti tidak mungkin aku keliru.
Tidak. Ini dia orangnya."
Aku heran sekali. Menit berikutnya Nona Clegg melangkah masuk. Ia tidak setenang
biasanya serta terengah-engah, seolah-olah ia baru saja berlari. Kulihat
ketakutan di matanya manakala ia memandang Poirot.
"Silakan duduk, Mademoiselle," kata Poirot ramah. "Tebakan saya tepat, iya kan?"
Sebagai jawaban tangis perempuan itu meledak.
"Mengapa Anda melakukannya?" tanya Poirot lembut. "Mengapa?"
"Saya sangat mencintainya," sahut Nona Clegg. "Sayalah pengasuhnya semenjak ia
masih kanak-kanak. Oh, kasihanilah saya!"
"Akan saya lakukan semampu saya. Tapi Anda tahu saya tidak bisa membiarkan orang
yang tidak bersalah digantung - biarpun dia laki-laki tidak bermoral yang tidak
menyenangkan." Nona Clegg berdiri lalu berbicara dengan suara rendah, "Mungkin pada akhirnya
saya juga tidak bisa. Lakukanlah apa yang harus Anda lakukan."
Kemudian ia bergegas keluar ruangan.
"Ia yang menembak?" tanyaku penuh kebingungan.
Poirot tersenyum menggeleng.
"Almarhum menembak dirinya sendiri. Engkau ingat ia membawa saputangan di lengan
bajunya sebelah kanan" Kenyataan ini menunjukkan padaku bahwa almarhum kidal.
Karena khawatir akan terbongkar, setelah pertengkaran sengitnya dengan Parker,
almarhum menembak diri sendiri. Pagi harinya, seperti biasa Nona Clegg datang
untuk membangunkannya dan mendapatkan tuannya terbujur tak bernyawa. Seperti
yang baru saja dikatakan wanita itu kepada kita, ia mengenal almarhum dari anak-
anak hingga dewasa, sehingga ia sangat marah kepada pasangan Parker ini, yang
telah menyebabkan kematian secara memalukan ini. Pasangan ini dianggapnya
pembunuh, lalu mendadak ia melihat kesempatan untuk membuat pasangan Parker
menderita karena perbuatan yang mereka lakukan. Hanya Nona Clegg yang tahu bahwa
almarhum kidal. Dipindahkannya pistol ke tangan kanan, jendela ditutup dan
dipalangnya, lalu dijatuhkannya pecahan kancing manset yang dipungutnya di salah
satu kamar lantai bawah. Setelah itu Nona Clegg keluar, mengunci pintu serta
memindahkan anak kunci."
"Poirot," seruku dalam ledakan antusiasme, "engkau hebat! Petunjuknya hanya
berasal dari saputangan itu."
"Dan asap rokok. Seandainya jendela ditutup dan semua rokok diisap, seharusnya
kamar itu sesak dengan bau pengap tembakau. Tapi, udara kamar betul-betul segar.
Karena itu aku langsung menyimpulkan jendela kamar pasti dibuka semalaman dan
baru ditutup pagi harinya. Kesimpulan ini memberiku arah pemikiran yang amat
menarik. Tidak mungkin pembunuh yang menutup daun jendela. Jendela yang terbuka
menguntungkannya. Ia bisa berpura-pura melarikan diri dari situ, kalau teori
bunuh diri tidak diterima. Tentu saja kesaksian gelandangan itu - begitu aku
mendengarnya - meneguhkan kecurigaanku. Ia tidak akan pernah mencuri dengar
pertengkaran dua laki-laki itu kalau jendela tidak terbuka."
"Bagus sekali," pujiku sungguh-sungguh. "Sekarang, bagaimana kalau kita minum
teh?" "Engkau berbicara seperti pria Inggris sejati," kata Poirot seraya menghela
napas. "Kukira di sini aku tidak mungkin mendapatkan segelas sirop."
XV SARANG LEBAH DARI dalam rumah keluarlah John Harrison, lalu berdiri sejenak di teras dan
memandang ke luar, ke seluruh kebun. Badannya besar, sedangkan wajahnya kurus
dan pucat-pasi. Biasanya roman mukanya sedikit muram. Tapi, saat ini - wajah yang
keriput itu melembut dalam senyuman sehingga nampak sesuatu yang amat menarik
dalam dirinya. John Harrison mencintai kebunnya yang nampak sangat indah pada senja-senja musim
panas bulan Agustus yang tenang. Bunga mawar yang cantik merambat; sedang bau
kacang polong yang sedap semerbak memenuhi udara.
Suara keriat-keriut yang sangat dikenalnya membuatnya langsung memalingkan
kepalanya. Siapa yang telah melewati pintu kebun" Menit berikutnya, ekspresi
penuh keheranan nampak di wajahnya karena sosok perlente yang muncul di jalan
setapak itu adalah orang yang sangat tidak ia harapkan untuk ditemuinya.
"Menyenangkan sekali," seru Harrison, "Monsieur Poirot!"
Sosok itu memang Hercule Poirot, yang kemasyhurannya sebagai detektif telah
menyebar ke segenap penjuru dunia.
"Benar," sahut Poirot. "Anda pernah mengatakan kepada saya 'Kalau kebetulan
berada di daerah sini, datanglah menemuiku.' Saya menanggapi perkataan Anda
dengan serius. Sekarang saya ada di sini."
"Dan saya sangat berterima kasih," Harrison menanggapi dengan sungguh-sungguh.
"Silakan duduk dan mari minum."
Dengan ramah tuan rumah menunjuk ke sebuah meja yang penuh dengan botol minuman
di beranda. "Terima kasih," kata Poirot seraya menenggelamkan tubuhnya ke kursi rotan
bundar. "Anda punya sirop" Tidak, saya kira. Sedikit air soda saja kalau begitu -
tanpa wiski." Ketika tuan rumah meletakkan gelas di sisinya Poirot berkata lagi
dengan penuh perasaan, "Sialan, kumis saya jadi lemas. Hawa panas inilah
penyebabnya!" "Untuk apa Anda datang di tempat yang tenang ini?" Harrison bertanya sambil
menjatuhkan tubuhnya ke kursi lainnya. "Mau senang-senang?"
"Bukan, Sobat. Bisnis."
"Bisnis" Di tempat terpencil seperti ini?"
Dengan roman sedih Poirot mengiyakan. "Benar, Kawan. Semua kejahatan tidak
dilakukan di tempat yang penuh orang, kan?"
Harrison tertawa. "Saya kira ucapan saya tadi agak tolol. Kejahatan apa yang
sedang Anda selidiki di sini" Ataukah seharusnya hal ini tidak boleh saya
tanyakan?" "Anda boleh bertanya," sahut sang detektif. "Sungguh, saya lebih suka Anda
bertanya." Harrison menatap Poirot dengan pandangan bertanya-tanya. Ia merasakan sesuatu
yang agak aneh dalam sikap tamunya. "Anda sedang menyelidiki suatu kejahatan,
begitu kata Anda?" ia melanjutkan dengan sedikit ragu-ragu. "Kejahatan yang
serius?" "Sangat serius."
"Maksud Anda?" "Pembunuhan." Begitu muramnya wajah Hercule Poirot ketika mengucapkan kata ini sehingga
Harrison kaget sekali. Detektif itu memandang tuan rumah lurus-lurus. Lagi-lagi
ada sesuatu yang sangat aneh dalam pandangan sekilas detektif itu. Harrison
tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Akhirnya, ia bersuara, "Tapi saya tidak
mendengar adanya pembunuhan."
"Memang tidak," sahut Poirot. "Anda belum mendengarnya."
"Siapa yang dibunuh?"
"Sampai saat ini, tak seorang pun."
"Apa?"" "Itulah sebabnya saya katakan bahwa Anda belum mendengarnya. Saya sedang
menyelidiki kejahatan yang belum terjadi."
"Ah, omong kosong."
"Sama sekali tidak. Kalau orang dapat menyelidiki suatu pembunuhan sebelum
peristiwa itu terjadi, pasti lebih baik daripada sesudah terjadi. Bahkan orang
itu mungkin - gagasan kecil saja - bisa mencegahnya."
Harrison menatap Poirot. "Anda cuma main-main, Monsieur Poirot."
"Tidak, saya sungguh-sungguh."
"Anda betul-betul yakin akan ada pembunuhan" Oh, ini tidak masuk akal."
Hercule Poirot menanggapi kalimat pertama tanpa menaruh perhatian pada perkataan
lanjutannya. "Kecuali kita berhasil mencegahnya. Betul, Sobat, itulah yang saya maksudkan."
"Kita?"" "Saya katakan kita. Saya perlu kerja sama Anda."
"Jadi, ini alasan Anda datang kemari?"
Poirot menatap tuan rumah dan, lagi-lagi, sesuatu yang tidak dapat dirumuskan
membuat Harrison gelisah.
"Monsieur Harrison, saya kemari karena - well - saya menyukai Anda."
Kemudian Poirot melanjutkan kata-katanya dengan suara yang amat berbeda. "Saya
tahu, Monsieur Harrison, Anda punya sarang lebah. Seharusnya Anda musnahkan
sarang lebah itu." Perubahan pokok pembicaraan ini menjadikan Harrison mengerutkan dahi
kebingungan. Diikutinya arah pandangan Poirot lalu berkata dengan suara penuh
kebingungan, "Sebenarnya saya memang akan memusnahkannya. Atau, lebih tepat
Langton yang akan menghancurkannya. Anda masih ingat Claude Langton" Dia hadir
juga dalam jamuan makan malam ketika dulu kita bertemu. Malam ini dia akan
datang untuk mengambil sarang itu. Ia menyukai pekerjaan ini."
"Oh," Poirot bersuara, "bagaimana ia akan mengambil sarang itu?"
"Dengan bensin dan alat semprot kebun. Dia akan membawa alat semprotnya sendiri.
Ukurannya lebih pas daripada kepunyaan saya."
"Ada cara lain, kan?" kata Poirot. "Dengan kalium sianida."
Kelihatannya Harrison sedikit terperanjat. "Ya, tapi bahan itu agak berbahaya.
Ada risikonya menggunakan kalium sianida di sekitar sini."
Poirot mengangguk sedih. "Memang, zat itu termasuk racun yang mematikan." Ia
berhenti sejenak, lalu mengulangi kata-katanya dengan nada sendu, "Racun yang
mematikan." "Berguna kalau Anda ingin membunuh ibu mertua Anda, eh?" kata Harrison sambil
tertawa. Tapi Hercule Poirot tetap saja bersedih. "Anda sungguh-sungguh yakin, Monsieur
Harrison, bahwa Claude Langton akan menghancurkan sarang lebah Anda dengan
bensin?" "Ya, mengapa?" "Saya bertanya-tanya sendiri. Siang tadi saya mampir ke toko bahan kimia di
Barchester. Untuk salah satu pembelian, saya harus menandatangani buku daftar
zat beracun yang dibeli. Saya membaca daftar terakhir pada buku itu. Di situ
tertulis zat kalium sianida, yang ditandatangani oleh Claude Langton."
Harrison terbelalak. "Aneh," komentarnya. "Belum lama ini Langton mengatakan
kepada saya ia tidak akan memakai zat itu, bahkan ia berpendapat seharusnya
kalium sianida tidak boleh dijual untuk maksud itu."
Poirot memandang ke luar, ke seluruh kebun. Suaranya amat tenang ketika
menanyakan pertanyaan ini, "Anda menyukai Langton?"
Yang ditanya terkejut. Dia nampaknya tidak siap akan pertanyaan semacam ini.
"Saya - saya - well, maksud saya - , tentu saja saya menyukai dia. Mengapa tidak?"
"Saya cuma bertanya-tanya," sahut Poirot tenang, "apakah Anda menyukainya."
Karena tuan rumah tidak menjawab, Poirot melanjutkan perkataannya, "Saya juga
bertanya-tanya apakah ia menyukai Anda?"
"Apa maksud Anda, Monsieur Poirot" Ada sesuatu dalam pikiran Anda yang tidak
saya mengerti." "Saya akan berterus-terang. Anda bertunangan, Monsieur Harrison. Saya kenal
Molly Deane. Gadis yang sangat mempesona dan ayu. Sebelum bertunangan dengan
Anda, dia bertunangan dengan Claude Langton. Dicampakkannya Langton demi Anda."
Harrison mengangguk. "Saya tidak akan menanyakan alasannya. Mungkin bisa dibenarkan. Tapi saya
beritahu Anda bahwa rasanya Langton belum dapat melupakan atau memaafkan hal
itu." "Anda keliru, Monsieur Poirot. Saya berani bersumpah Anda keliru. Selama ini
Langton adalah seorang yang sangat sportif. Dia menerima apa yang terjadi
sebagai laki-laki sejati. Sampai saat ini - secara mengherankan - dia baik sekali
kepada saya, terlihat dari sikapnya yang ramah."
"Apakah Anda tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang luar biasa" Anda
memakai kata 'secara mengherankan', tapi Anda sendiri tidak kelihatan heran."
"Apa maksud Anda, Monsieur Poirot?"
"Yang saya maksudkan," jawab Poirot - nada suaranya berubah, "orang mungkin
menyembunyikan kebenciannya hingga waktu yang tepat tiba."
"Kebencian?" Harrison menggeleng seraya tertawa.
"Orang-orang Inggris tolol sekali," ujar Poirot. "Mereka mengira bisa menipu
orang lain, tapi orang lain tidak dapat menipu mereka. Mereka tidak akan pernah
melihat segi jahat dalam diri orang yang sportif - pemuda yang baik. Karena mereka
pemberani tapi tolol, kadang-kadang mereka mati padahal sebenarnya mereka tidak
perlu mati." "Anda memperingatkan saya," kata Harrison dengan suara rendah. "Sekarang saya
mengerti - apa yang sejak tadi membingungkan saya. Anda memperingatkan saya
terhadap Claude Langton. Anda datang untuk memperingatkan saya."
Poirot mengangguk. Mendadak Harrison berdiri. "Tapi, Anda gila, Monsieur Poirot.
Ini Inggris. Di sini tidak ada hal-hal seperti itu. Pelamar yang kecewa karena
lamarannya tidak diterima tidak berusaha menikam punggung dan meracun orang. Dan
Anda keliru mengenai Langton. Lalat pun tidak akan dilukainya."
"Nyawa lalat bukan urusan saya," Poirot berkata dengan tenangnya. "Walaupun Anda
mengatakan Monsieur Langton tidak akan membunuh seekor lalat, Anda lupa bahwa
sekarang ini ia sedang bersiap-siap untuk membunuh ribuan ekor tawon."
Harrison tidak segera menjawab. Giliran detektif berbadan kecil itu berdiri.
Didekatinya tuan rumah dan diletakkannya satu tangan di bahu kawannya itu.
Begitu resahnya ia sehingga hampir-hampir diguncangnya tubuh Harrison yang besar
sambil berbisik di telinganya, "Sadarlah, Kawan. Sadarlah. Lihatlah ke mana saya
menunjuk. Di sana, di tepi sungai dekat akar pohon itu. Anda lihat lebah-lebah
itu pulang ke sarangnya karena hari sudah sore" Beberapa jam lagi mereka akan
dihancurkan dan mereka tidak mengetahuinya. Tak ada yang memperingatkan mereka.
Kelihatannya mereka tidak punya seorang Hercule Poirot. Saya beritahu, Monsieur
Harrison. Saya berada di sini untuk urusan bisnis. Dan pembunuhan adalah bisnis
saya. Kejahatan ini adalah urusan saya, sebelum terjadi maupun sesudahnya. Pukul
berapa Monsieur Langton akan mengambil sarang lebah itu?"
"Langton tidak akan pernah..."
"Pukul berapa?"
"Pukul 21.00. Sekali lagi saya katakan. Anda sama sekali keliru. Langton tidak
akan pernah..." "Orang-orang Inggris ini!" seru Poirot penuh emosi. Diambilnya topi serta
tongkatnya, lalu ia turun ke jalan setapak, berhenti sebentar untuk mengatakan,
"Saya tidak mau berdebat dengan Anda. Itu akan membuat saya marah. Tapi Anda
tahu, saya akan kembali pukul 21.00 nanti."
Harrison membuka mulut untuk berbicara, tapi Poirot tidak memberinya kesempatan.
"Saya tahu apa yang akan Anda katakan, 'Langton tidak akan pernah', dan
seterusnya. Ah. Langton tidak akan pernah! Biarpun begitu, saya akan kembali
pukul 21.00. Mengasyikkan sekali - katakanlah begitu - saya akan asyik menonton
pengambilan sarang lebah itu. Olahraga khas Inggris yang lain!"
Poirot tidak menunggu jawaban, tetapi bergegas melewati jalan setapak dan keluar
melalui pintu yang berkeriat-keriut. Begitu sampai di jalan, langkahnya
melambat, semangatnya merosot, dan wajahnya menjadi muram serta penuh masalah.
Dikeluarkannya arlojinya dari saku. Jarum arloji menunjukkan pukul 20.10. "Masih
lebih dari tiga perempat jam," gumamnya. "Apakah seharusnya aku tadi tetap


Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu di sana?" Langkah kakinya melambat lagi. Hampir-hampir ia kembali. Samar-samar bermacam
firasat menyerang dirinya. Dengan tegas dihilangkannya pikiran itu dan terus
berjalan ke arah desa. Akan tetapi wajahnya masih dipenuhi masalah. Sesekali ia
menggeleng seperti belum sungguh-sungguh puas.
Pukul 21.00 masih kurang beberapa menit. Sekali lagi Poirot mendekati pintu
kebun. Malam terang dan tenang, hampir tidak ada angin sepoi-sepoi yang
menggerakkan dedaunan. Rasanya, ada suasana yang agak menyeramkan dalam
keheningan itu, seperti suasana tenang sebelum badai datang.
Langkah Poirot bertambah cepat dengan begitu ringannya. Mendadak ia gelisah - dan
ragu-ragu tanpa tahu sebabnya.
Pada saat itu pintu kebun terbuka. Claude Langton bergegas menuju jalan. Melihat
Poirot ia terkejut. "Oh - eh - selamat malam."
"Selamat malam, Monsieur Langton. Anda datang lebih awal."
Langton menatap Poirot. "Saya tidak mengerti apa maksud Anda."
"Anda sudah mengambil sarang lebah itu?"
"Sebenarnya tidak."
"Oh," kata Poirot perlahan, "jadi Anda tidak mengambil sarang lebah. Kalau
begitu apa yang Anda lakukan?"
"Cuma duduk-duduk dan mengobrol sebentar dengan si tua Harrison. Saya harus
buru-buru, Monsieur Poirot. Saya sama sekali tidak tahu Anda ada di sini."
"Saya ada urusan di sini."
"Oh! Well, Anda akan menemukan Harrison di teras. Maaf, saya harus pergi."
Langton bergegas pergi. Poirot mengawasinya. Pemuda yang tegang, tampan, dengan
bibir yang tipis! "Jadi aku akan menemui Harrison di teras," Poirot bergumam. "Aku jadi bertanya-
tanya sendiri." Poirot masuk melalui pintu kebun dan berjalan melewati jalan
setapak. Harrison duduk di kursi di dekat meja. Ia duduk dengan tenang, bahkan
tidak menoleh ketika Poirot menghampirinya.
"Ah, Sobat," sapa Poirot, "Anda baik-baik saja?"
Hening untuk beberapa saat. Lalu Harrison berkata dengan suara yang aneh dan
linglung, "Apa yang Anda katakan tadi?"
"Anda baik-baik saja?"
"Baik-baik saja" Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Anda tidak merasa sakit" Bagus."
"Merasa sakit" Kenapa?"
"Sodium karbonat."
Serta-merta Harrison berdiri. "Sodium karbonat" Apa maksud Anda?"
Poirot melakukan gerakan isyarat minta maaf. "Saya betul-betul menyesali
perbuatan itu. Saya masukkan sejumlah sodium karbonat ke saku Anda."
"Anda memasukkan sejumlah sodium karbonat ke saku saya" Untuk apa?"
Harrison menatap Poirot. Yang dipandang berbicara dengan tenang, tanpa menunjuk
pada seseorang, bagaikan dosen yang sedang berbicara kepada anak kecil.
"Anda tahu salah satu keuntungan, atau kerugian, menjadi detektif adalah bahwa
profesi ini membuat Anda berhubungan dengan kalangan penjahat. Dan mereka ini
bisa mengajarkan beberapa hal yang amat menarik dan menimbulkan rasa ingin tahu
Anda. Pernah ada pencopet - saya tertarik kepadanya karena waktu itu ia ternyata
tidak melakukan apa yang dituduhkan orang kepadanya - maka saya bebaskan ia. Untuk
menyatakan terima kasihnya, ia membayar saya dengan satu-satunya cara yang dapat
ia pikirkan - yaitu menunjukkan seluk-beluk pekerjaannya.
"Oleh karena itu saya bisa mencopet kalau saya menghendaki tanpa korban
mencurigai perbuatan itu. Saya letakkan satu tangan di bahunya, saya pura-pura
resah, dan ia tidak merasakan apa-apa. Sementara itu, saya telah berhasil
memindahkan benda yang ada di dalam sakunya ke saku saya dan meninggalkan sodium
karbonat di dalam sakunya.
"Anda tahu," Poirot melanjutkan sambil menerawang, "kalau orang perlu racun
secepatnya untuk dimasukkan ke dalam gelas secara diam-diam - dia pasti menyimpan
racun itu di saku kanan mantelnya. Tidak ada tempat lain. Saya yakin pasti di
sana." Poirot memasukkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan sejumlah kristal
kasar berwarna putih. "Sangat berbahaya," bisiknya, "membawanya sembarangan
begitu." Dengan tenang tanpa terburu-buru Poirot mengeluarkan botol bermulut lebar dari
sakunya yang lain. Ia memasukkan kristal-kristal itu, mendekati meja, dan
mengisi penuh botol itu dengan air. Sesudah menyumbat botol dengan cermat, ia
mengocok hingga semua kristal larut. Harrison mengawasi Poirot, seolah-olah
terpesona. Setelah puas dengan larutannya, Poirot berjalan menuju sarang lebah. Dibukanya
sumbat botol, dimiringkannya kepalanya, lalu dituangnya larutan itu dalam sarang
lebah. Kemudian ia mundur satu-dua langkah untuk mengawasi.
Beberapa ekor lebah yang pulang dengan riang bergetar sedikit lalu terbaring tak
bergerak. Lebah-lebah lain yang merangkak keluar dari lubang juga menemui
ajalnya. Poirot mengawasi sebentar, mengangguk, dan kembali ke beranda.
"Kematian yang cepat," katanya. "Kematian yang begitu cepat."
Harrison menemukan kembali suaranya. "Berapa banyak yang Anda tahu?"
Poirot memandang lurus ke depan. "Seperti yang saya katakan kepada Anda, saya
membaca nama Claude Langton di buku. Yang tidak saya ceritakan adalah bahwa
sesudah itu saya kebetulan bertemu dengan dia. Ia bercerita baru saja membeli
kalium sianida atas permintaan Anda - untuk mengambil sarang lebah. Ceritanya itu
menarik perhatian saya karena agak janggal. Masalahnya, saya ingat pada jamuan
makan malam itu Anda berkata tentang kegunaan bensin yang luar biasa dan mencela
pembelian sianida sebagai bahan yang berbahaya dan tidak perlu."
"Teruskan." "Saya tahu hal lain lagi. Saya melihat Claude Langton bersama Molly Deane. Saat
itu keduanya pasti merasa tidak seorang pun melihat mereka. Entah pertengkaran
apa yang semula memisahkan mereka dan membawa gadis itu ke pelukan Anda. Tapi
saya menyadari kesalahpahaman antara keduanya sudah berlalu dan Nona Deane
kembali kepada kekasihnya."
"Lanjutkan." "Saya juga tahu, Kawan. Belum lama ini saya berada di Harley Street dan saya
lihat Anda keluar dari rumah seorang dokter. Saya tahu dokter itu dan untuk
penyakit apa orang berkonsultasi dengannya. Lagi pula saya membaca ekspresi di
wajah Anda. Seumur hidup hanya sekali atau dua kali saya melihat ekspresi wajah
seperti itu. Tapi, tidak salah lagi. Itulah wajah seseorang yang dijatuhi
hukuman mati. Saya benar, kan?"
"Benar sekali. Dokter memberi tahu bahwa waktu saya hanya tinggal dua bulan."
"Anda tidak melihat saya, Sobat, karena ada hal-hal lain yang Anda pikirkan.
Saya melihat sesuatu yang lain di wajah Anda, sesuatu - seperti yang saya katakan
siang tadi - berusaha disembunyikan orang. Kebencian. Anda tidak merasa perlu
menyembunyikannya karena Anda merasa tidak ada yang memperhatikan."
"Teruskan," kata Harrison.
"Tidak banyak lagi yang harus saya katakan. Saya datang ke daerah ini, secara
kebetulan membaca nama Claude Langton di buku daftar zat beracun yang dibeli,
bertemu dengannya, lalu kemari untuk menemui Anda. Saya memasang perangkap untuk
Anda. Anda menyangkal telah menyuruh Langton membeli sianida. Atau, lebih tepat
Anda menunjukkan rasa terkejut karena ia berbuat begitu. Mula-mula Anda kaget
melihat saya. Namun, Anda kemudian melihat betapa menguntungkannya situasi itu
dan sengaja memperkuat kecurigaan saya. Dari Langton saya tahu ia akan datang
pukul 20.30. Anda mengatakan pukul 21.00 karena berpikir kalau saya datang,
semuanya sudah terjadi. Dengan demikian saya tahu semuanya."
"Mengapa Anda datang?" Harrison menjerit. "Kalau saja Anda tidak datang tadi!"
Poirot berdiri. "Sudah saya katakan pembunuhan adalah urusan saya."
"Pembunuhan" Maksud Anda bunuh diri?"
"Tidak!" suara Poirot meledak dengan tajam dan jelas. "Pembunuhan. Kematian Anda
akan berlangsung secara cepat dan gampang, tapi kematian yang Anda rencanakan
untuk Langton adalah kematian yang paling menyedihkan yang mungkin dialami
seseorang. Ia yang membeli racun, lalu datang menemui Anda di sini, dan dia cuma
berdua dengan Anda. Lalu Anda mati mendadak. Dalam gelas Anda ditemukan sianida.
Lalu Claude Langton digantung. Inilah rencana Anda."
Lagi-lagi Harrison mengerang.
"Mengapa Anda datang" Mengapa Anda datang?"
"Sudah saya katakan. Tapi ada alasan lain. Saya menyukai Anda. Dengarkanlah,
Manusia Harimau 2 Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Muslihat Para Iblis 3
^