Pencarian

Kasus Terakhir Miss Marple 1

Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie Bagian 1


Agatha Christie Kasus-kasus Terakhir Miss Marple
Pertama-tama, cerita tentang seorang pria tak dikenal yang muncul di gereja
dengan luka tembak di tubuhnya... lalu teka-teki harta karun peninggalan seorang
lelaki tua yang eksentrik... kelakuan aneh seorang penunggu rumah setelah suatu
kecelakaan berkuda yang mencurigakan... jenazah seorang wanita dan kaitannya
dengan tali pengukur... gadis yang dituduh melakukan pencurian... kasus boneka yang
aneh dan menakutkan., misteri cermin yang memantulkan bayangan seorang wanita
yang ditikam oleh suaminya... dan cerita tentang pengalaman Miss Marple.
Delapan kasus mencekam yang memiliki satu kesamaan semuanya dipecahkan dengan ?brilian oleh Miss Marple
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24 26, Lt.6 Jakarta 10270
?ISBN 979-605-829-4 Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujnh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara pating lama S (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
AGATHA CHRISTIE KASUS-KASUS TERAKHIR MISS MARPLE
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1997
MISS MARPLES FINAL CASES by Agatha Christie Copyright " 1979 by Agalha Christie
All rights reserved. KASUS-KASUS TERAKHIR MISS MARPLE
Alih bahasa: Ny. Suwami A.S
GM 402 97.829 Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta November 1997
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
CHRISTIE, Agalha Kasus-kasus Terakhir Miss Marple/Agatha Christie; alih bahasa, Ny. Suwami
A.S Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997 192 him. ; 18 cm.?Judul Asli : Miss Marple's Final Cases ISBN 979 - 605 - 829 - 4
1. Judul n. A.S., Ny. Suwami
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di lnar tanggung jawab percetakan
ISI 1. Perlindungan 2. Lelucon yang Aneh 38 3. Pembunuhan dengan Pita Pengukur 57
4. Kasus si Penjaga Rumah 79
5. Kasus Pelayan yang Sempurna 101
6. Miss Marple Bercerita 123
7. Boneka sang Penjahit 138
8. Teka-teki Piinlulan Cermin 168
Perlindungan Wantta itu membelok di rumah kediaman Pendeta, dengan membawa sepemeluk penuh
bunga krisan. Ia istri sang pendeta. Pada sepatunya yang kokoh melekat tanah
kebun, di hidungnya juga terdapat tanah sedikit, tapi hal itu sama sekali tak
disadarinya. Dengan agak susah payah ia membuka pintu pagar rumah yang berkarat dan sudah
setengah tergantung pada engselnya. Angin berembus meniup topi lakennya yang
sudah tua, hingga topi itu makin miring di kepalanya. "Masa bodoh!" kata Bunch.
Orangtuanya dengan optimis menamainya Diana, tapi pada usia muda nama Mrs.
Harmon telah berubah menjadi Bunch, dan sejak itu nama tersebut melekat padanya.
Sambil membawa bunga-bunga krisan itu, ia melewati pekarangan dan langsung ke
pintu gereja. Udara bulan November terasa lembut dan lem-bap. Awan bertumpuk-tumpuk di langit,
diselingi warna biru di sana-sini. Di dalam gereja gelap
dan dingin. Alat pemanas dinyalakan hanya bila ada misa.
"Brrrr!" kata Bunch Kedinginan. "Sebaiknya cepat-cepat kuselesaikan tugasku ini.
Aku tak ingin mati kedinginan."
Dengan gesit diambilnya apa-apa yang diperlukannya: jambangan-jambangan, air,
dan paku-paku bunga. "Sayang tidak ada bunga lili," pikir Bunch. "Aku sudah
bosan dengan bunga krisan yang kurus kering ini." Jemarinya yang kaku mengatur
bunga di wadahnya. Hasil penataannya tidak, istimewa dan tidak berseni, karena Bunch Harmon sendiri
pun-tidak istimewa dan tidak berseni. Namun rangkaian bunga itu sederhana dan
menyenangkan. Sambil membawa jambangan-jambangan itu dengan hati-hati, Bunch
melangkah ke arah meja persembahan. Pada saat itu matahari muncul dari balik
awan. Cahayanya menembus jendela sebelah timur yang terbuat dari kaca berwarna yang
agak kasar, yang sebagian besar berwarna biru dan merah pemberian seorang ?jemaat yang kaya. Keindahan yang mendadak itu terasa agak mengejutkan. "Seperti
permata," pikir Bunch. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia memandang lurus ke
depan. Di tangga ke arah mimbar, sesosok tubuh gelap meringkuk.
Setelah meletakkan bunga-bunga dengan hati-hati, Bunch mendatangi sosok itu dan
membungkuk. Seorang laki-laki terbaring di situ, dengan tubuh meringkuk. Bunch
membungkuk, lalu lambat-lambat dan perlahan-lahan membalikkan tubuh itu.
Dirabanya nadi laki-laki itu nadi itu demikian lemah dan perlahan, hingga sudah
?jelaslah keadaan orang itu, apalagi melihat wajahnya yang' pucat pasi. Laki-laki
ini pasti sudah sekarat, pikir Bunch.
Laki-laki itu berumur sekitar empat puluh lima tahun, berpakaian kumal warna
gelap. Bunch meletakkan tangan yang sudah tak berdaya itu dan memandangi tangan
satunya. Tangan itu terkepal di dada. Setelah melihat dengan lebih cermat,
tampak olehnya bahwa jemarinya menggenggam sesuatu seperti kain lebar atau
saputangan yang ditekankan kuat-kuat di dada. Di sekitar tangan yang terkepal
itu terdapat cairan cokelat yang sudah mengering, yang menurut dugaan Bunch
adalah darah kering. Bunch berjongkok dan mengerutkan alisnya.
Selama itu mata laki-laki itu tertutup, tapi lalu tiba-tiba terbuka dan menatap
wajah Bunch. Mata itu tidak kelihatan hampa atau menerawang, melainkan hidup dan
tampak cerdas. Bibirnya, bergerak. Bunch membungkuk untuk menangkap apa yang
dikatakannya. Ternyata orang itu hanya mengucapkan satu kata.
"Sanctuary Perlindungan."
?Bunch serasa melihat seulas senyum lemah ketika laki-laki itu mengucapkan kata
tersebut. Tak mungkin salah, karena tak lama kemudian ia berkata lagi,
"Perlindungan...."
Lalu, sambil mendesah panjang dan lemah, matanya terkatup lagi. Sekali lagi
Bunch meraba nadi - 9 nya. Masih terasa, tapi kini makin lemah dan makin tidak teratur. Bunch bangkit
dengan tegas. "Jangan bergerak," katanya, "atau mencoba bergerak Aku akan mencari bantuan."
Mata laki-laki itu terbuka lagi, tapi kini agaknya ia memusatkan perhatian pada
cahaya warna-warni dari jendela di sisi timur. Ia menggumamkan sesuatu yang
tidak tertangkap oleh Bunch. Bunch terkejut karena mengira yang diucapkan laki-
laki itu mungkin nama suaminya.
"Julian?" tanyanya. "Anda kemari akan menemui Julian?" Tak ada jawaban. Laki-
laki itu terbaring dengan mata tertutup, napasnya lambat dan tersengal-sengal.
Bunch berbalik, lalu cepat-cepat meninggalkan gereja. Ia melihat ke arlojinya,
lalu mengangguk dengan rasa puas. Dr. Griffiths pasti masih ada di tempat
prakteknya. Tempat itu hanya berjarak beberapa menit dari gereja, la masuk tanpa
mengetuk atau menekan bel terlebih dahulu, melewati ruang tunggu, dan langsung
ke ruang pemeriksaan dokter.
"Kau harus segera datang," kata Bunch. "Ada laki-laki yang sekarat di gereja."
Beberapa menit setelah memeriksa dengan berlutut, Dr. Griffiths bangkit.
"Bisakah kita memindahkannya ke rumah Pendeta" Di sana aku bisa menanganinya
dengan lebih baik, meskipun sudah tak ada gunanya lagi."
"Tentu," kata Bunch. "Aku akan pergi untuk mempersiapkan segala sesuatu.
Sebaiknya kupanggil 10 Harper dan Jones untuk membantumu mengangkatnya, ya?"
"Terima kasih. Aku bisa menelepon dari rumah pendeta Untuk minta didatangkan
ambulans, tapi kurasa... saat ambulans datang..." la tidak menyelesaikan kata-
katanya. "Perdarahan di dalam, ya?" tanya Bunch.
Dr. Griffiths mengangguk. "Entah bagaimana dia sampai bisa kemari?" katanya.
"Kurasa sudah semalaman dia di sini," kata Bunch. "Harper biasanya membuka pintu
gereja di pagi hari, tapi biasanya dia sendiri tidak masuk."
Lima menit kemudian, Dr. Griffiths meletakkan alat penerima telepon dan kembali
ke ruang duduk. Orang yang terluka itu terbaring di atas selimut yang diatur
cepat-cepat di sofa. Bunch memindahkan baskom berisi air dan berbenah setelah
dokter itu selesai memeriksa.
"Nah, sudah selesai," kata Griffiths. "Aku sudah minta didatangkan ambulans dan
sudah memberi-tahu polisi." Dengan dahi berkerut ia memandangi pasien yang
terbaring dengan mata tertutup itu. Tangan kirinya bergerak-gerak tak menentu di
sisinya. "Dia ditembak," kata Griffiths. "Ditembak dari jarak yang cukup dekat.
Saputangannya digulungnya dan disumbatkannya pada lukanya untuk menghentikan
perdarahan." "Mutigkinkah dia berjalan jauh setelah ditembak?" tanya Bunch.
"Oh ya, itu mungkin saja. Pernah seseorang
11 yang luka parah bisa bangkit dan berjalan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa,
lalu tiba-tiba jatuh lima atau sepuluh menit kemudian. Jadi, mungkin saja dia
tidak ditembak di dalam gereja. Tidak. Mungkin dia ditembak di tempat yang agak
jauh. Tentu ada kemungkinan dia menembak dirinya sendiri, lalu menjatuhkan
pistolnya, dan berjalan terhuyung-huyung ke arah gereja. Entah mengapa dia
menuju gereja dan tidak menuju rumah pendeta."
"Oh, aku tahu," kata Bunch. "Dia berkata, 'Perlindungan.Dokter memandangi Bunch.
"Perlindungan?"
"Ini Julian," kata Bunch sambil memalingkan kepala ketika mendengar langkah-
langkah kaki suaminya di lorong rumah. "Julian! Mari sini."
Pendeta Julian Harmon memasuki ruangan itu. Sikapnya yang terpelajar selalu
membuatnya kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya. "Astaga!"
kata Julian Harmon, sambil memandangi peralatan kedokteran dan sosok yang tak
bergerak di sofa. Bunch menjelaskan dengan gayanya yang ringkas. "Dia berada di dalam gereja,
sekarat. Dia ditembak. Kenalkah kau padanya, Julian" Kalau tidak salah, dia
menyebut namamu." Pendeta mendekati sofa dan memandangi laki-laki yang sekarat itu. "Kasihan,"
katanya, lalu menggeleng. 'Tidak, aku tidak kenal padanya. Aku yakin aku tak
pernah melihatnya." Pada saat itu, laki-laki yang sekarat itu membuka matanya lagi. Mata itu terarah
pada Dokter, pada 12 Julian Harmon, dan kemudian pada istrinya. Mata itu terus menatap ke wajah Bunch
Griffiths mendekat. "Coba ceritakan pada kami," desaknya.
Tapi dengan mata tetap menatap Bunch, laki-laki itu berkata dengan suara lemah,
"Tolonglah tolonglah." Lalu dengan getaran kecil ia meninggal....?Sersan Hayes menjilat pensilnya, lalu membalik halaman buku catatannya.
"Jadi, hanya itu yang bisa Anda ceritakan, Mrs. Harmon?"
"Hanya itu," kata Bunch. "Ini barang-barang dari saku mantelnya."
Di meja, di dekat siku Sersan Hayes, terletak sebuah dompet, sebuah arloji tua
yang sudah pecah kacanya dan bertuliskan huruf-huruf W.S., dan sobekan karcis ke
London. Hanya itu. "Anda sudah tahu siapa dia?" tanya Bunch.
"Ada orang-orang bernama Mr. dan Mrs. Eccles yang menelepon ke kantor polisi.
Agaknya dia saudara laki-laki Mrs. Eccles. Namanya Sandbourne. Sudah beberapa
lama kurang sehat dan menderita gangguan saraf. Akhir-akhir ini keadaannya
memburuk. Kemarin dulu dia keluar dan tidak kembali. Dia membawa pistol."
"Lalu dia kemari dan menembak dirinya sendiri dengan pistol itu?" tanya Bunch.
"Mengapa?" "Yah, katanya dia dalam keadaan tertekan...."
"Bukan itu maksudku," sela Bunch. "Maksudku, mengapa di sini?"
13 Karena Sersan Hayes tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu, maka ia memberikan
jawaban lain. "Dia datang kemari naik bus jam lima lewat sepuluh."
"Benar," kata Bunch. "Tapi mengapa?"
"Aku tidak tahu, Mrs. Harmon," kata Sersan Hayes. "Tak ada penjelasannya. Kalau
pikiran orang sudah terganggu..."
"Dia mungkin melakukannya di mana saja," kata Bunch, menyelesaikan kalimat si
sersan. "Tapi aku tetap beranggapan bahwa dia tak perlu naik bus ke desa kecil
seperti ini. Dia tidak kenal siapa-siapa di sini, bukan?"
"Sejauh ini, itu tak bisa dipastikan," kata Sersan Hayes. Ia berdeham, laiu
bangkit. "Mungkin Mr. dan Mrs. Eccles akan datang menemui Anda, Ma'am. Itu pun
kalau Anda tidak keberatan."
"Tentu saja aku tidak keberatan," kata Bunch. "Itu biasa. Aku hanya berharap
alangkah baiknya kalau aku bisa menjelaskannya pada mereka."
"Aku harus pergi," kata Sersan Hayes.
Sambil mengantar si sersan ke pintu depan, Bunch berkata, "Untunglah itu bukan
pembunuhan." Sebuah mobil sedang menuju pintu gerbang kediaman pendeta. Sersan Hayes yang
melihat mobil itu berkata, "Kelihatannya itu Mr..dan Mrs. Eccles yang datang
untuk berbicara dengan Anda, Ma'am."
Bunch membesarkan hatinya sendiri untuk menanggung tugas yang rasanya sulit ini.
"Bagaimanapun," pikirnya, "aku masih bisa meminta Julian membantuku. Kehadiran
seorang pendeta akan sa -
14 ngat menghibur bagi orang-orang yang sedang berduka cita."
Bunch tak pernah membayangkan, seperti apa Mr. dan Mrs. Eccles itu, tapi ketika
menyambut mereka, ia terkejut. Mr. Eccles bertubuh besar dan tegap, agaknya
bersifat ceria dan Jenaka. Mrs. Eccles tampak agak mencolok. Mulutnya kecil,
lancip, dan tampak jahat. Suaranya kecil melengking.
"Anda tentu bisa membayangkan bahwa ini mengejutkan sekali, Mrs. Harmon,"
katanya. "Oh, saya mengerti," kata Bunch. "Pasti begitu. Silakan duduk. Bolehkah saya
menawarkan... yah, mungkin terlalu awal untuk minum teh...."
Mr. Eccles mengangkat tangan; jemarinya pendek-pendek. "Tidak, jangan suguhkan
apa-apa pada kami," katanya. "Anda baik sekali. Kami hanya ingin tahu... yah... apa
yang dikatakan oleh William."
"Dia sudah lama di luar negeri," kata Mrs. Eccles, "dan saya rasa dia sudah
mengalami beberapa kejadian mengerikan. Sejak kembali, dia banyak diam dan
tampak tertekan. Katanya dunia ini sudah tak pantas lagi didiami dan tak ada
yang bisa diharapkan. Kasihan Bill, dia selalu murung."
Beberapa lamanya Bunch memandangi mereka tanpa berkata apa-apa.
"Dia mencuri pistol suami saya," lanjut Mrs. Eccles. "Tanpa kami ketahui. Lalu
agaknya dia kemari naik bus. Saya rasa dia merasa senang melakukannya. Dia tak
ingin melakukannya di rumah kami."
15 "Kasihan, kasihan," kata Mr. Eccles sambil mendesah. "Kita tak bisa
menyalahkannya." Keadaan sepi sebentar, lalu Mr. Eccles bertanya, "Apakah dia meninggalkan pesan"
Kata-kata terakhir umpamanya?"
Matanya yang cerah dan seperti mata babi memandangi Bunch dengan cermat. Mrs.
Eccles pun membungkuk, seperti ingin sekali mendengar jawabannya.
'Tidak," kata Bunch dengan tenang. "Dia masuk ke gereja waktu dia sudah sekarat,
untuk mencari perlindungan."
Dengan nada heran Mrs. Eccles berkata, "Perlindungan" Saya kurang..."
Mr. Eccles menyela, "Astaga, Sayang," katanya tak sabaran. "Itulah maksud ibu
pendeta. Kau kan tahu bahwa bunuh diri itu suatu dosa. Kurasa dia ingin minta
ampun." "Dia mencoba mengatakan sesuatu sebelum meninggal," kata Bunch. "Dia mulai


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan berkata 'Tolonglah,' tapi hanya itu yang bisa diucapkannya."
Mrs. Eccles menyeka matanya dengan saputangan dan terisak. "Aduh," katanya.
"Membingungkan sekali, ya?"
"Sudahlah, Pam," kata suaminya. "Jangan diambil hati. Memang sudah demikian
keadaannya. Kasihan Willie. Tapi sekarang dia sudah tenang. Yah, terima kasih,
Mrs. Harmon. Saya harap kami tidak mengganggu Anda. Istri pendeta selalu sibuk,
kami tahu itu." 16 Mereka bersalaman dengan Bunch. Lalu tiba-tiba Eccles berbalik dan berkata, "Oh
ya, ada satu hal lagi. Saya rasa mantelnya ada pada Anda di sini, ya?"
"Mantelnya?" Bunch mengerutkan dahi.?"Kami menginginkan semua barangnya," kata Mrs. Eccles, "sebagai kenang-
kenangan." "Ada arloji dan dompet dan karcis kereta api dalam sakunya," kata Bunch. "Sudah
saya serahkan pada Sersan Hayes."
"Kalau begitu, baiklah," kata Mr. Eccles. "Saya rasa dia akan menyerahkannya
pada kami. Surat-surat pribadinya pasti ada di dalam dompet itu."
"Ada uang kertas bernilai satu pound dalam dompetnya," kata Bunch. "Tak ada yang
lain." "Tak ada surat-surat, atau semacamnya?"
Bunch menggeleng. "Yah, terima kasih sekali lagi, Mrs. Harmon. Mantel yang dipakainya... mungkin ada
pada sersan itu juga, ya?" Bunch mengerutkan alisnya untuk mengingat-ingat.
"Tidak," katanya. "Saya rasa tidak... coba saya ingat-ingat. Saya dan Dokter
menanggalkannya, untuk memeriksa lukanya." Ia melihat ke sekeliling ruangan itu.
"Mungkin saya bawa naik ke lantai atas bersama handuk-handuk dan baskom."
"Kalau Anda tidak keberatan, Mrs. Harmon... kami menginginkan mantelnya, barang
terakhir yang dipakainya. Istri saya menginginkannya sebagai kenang-kenangan."
'Tentu," kata Bunch. "Apakah Anda tak ingin
17 itu dicuci dulu" Karena mantel itu... yah... bernoda."
"Oh, tidak, tak apa-apa."
Bunch mengerutkan alisnya lagi. "Di mana, ya... tunggu sebentar." la naik ke
lantai atas dan beberapa menit kemudian kembali lagi.
"Maafkan saya," katanya terengah, "pasti petugas pembersih rumah kami telah
menyisihkannya bersama pakaian lain yang harus dibawa ke binatu. Lama sekali
saya baru bisa menemukannya. Ini dia. Biar saya bungkus dengan kertas
pembungkus," Tanpa memedulikan protes mereka, dibungkusnya mantel itu, kemudian setelah
mengucapkan selamat berpisah sekali lagi, suami-istri Eccles pun berangkat.
Perlahan-lahan Bunch menyeberangi ruang depan dan masuk ke ruang kerja. Pendeta
Julian Harmon mengangkat wajahnya dan ia tampak senang. Ia sedang mengarang
khotbah, dan merasa cemas kalau-kalau ia terseret oleh minatnya mengenai
hubungan politik di antara Yudea dan Persia, dalam pemerintahan Cyrus.
"Ada apa, Sayang?" tanyanya penuh harap.
"Julian," kata Bunch. "Apa arti sanctuary sebenarnya?"
Dengan rasa syukur Julian Harmon menyingkirkan kertas khotbahnya.
"Begini," katanya. "Dalam kuil-kuil Romawi dan Yunani, sanctuary berarti cella,
tempat diletakkannya patung seorang dewa. Altar, yang dalam bahasa Latinnya ara,
juga berarti perlindungan." Ia me-18
lanjutkan dengan sikap orang pandai, "Pada tahun 399 Masehi, hak perlindungan
pada gereja-gereja Kristen akhirnya diakui dengan pasti. Di Inggris, hak tentang
perlindungan untuk pertama kalinya disebutkan dalam undang-undang yang
dikeluarkan oleh Ethelbert pada tahun 600 Masehi...."
Masih beberapa lama lagi ia melanjutkan penjelasannya, namun sebagaimana sering
terjadi, kata-katanya yang penuh pengetahuan itu tidak tertangkap oleh istrinya.
"Sayangku," kata istrinya. "Kau sungguh baik."
Sambil membungkuk diciumnya ujung hidung suaminya. Julian merasa seperti seekor
anjing yang mendapatkan ucapan selamat karena telah melakukan suatu atraksi yang
pandai. "Tadi suami-istri Eccles kemari," kata Bunch.
Sang pendeta mengerutkan dahinya. "Ecless" Rasanya aku tak ingat..."
"Kau tidak mengenal mereka. Mereka adalah adik perempuan laki-laki yang di dalam
gereja itu, dengan suaminya."
"Sayangku, seharusnya kau memanggilku."
"Tak ada perlunya," kata Bunch. "Mereka tidak memerlukan kata-kata hiburan. Aku
baru ingat..." Dikerutkannya dahinya. "Kalau besok kusiapkan makanan di oven,
bisakah kau makan sendiri, Julian" Aku harus pergi ke London, karena ada obral."
"Obor apa?" tanya suaminya tak mengerti. "Maksudmu ada festival obor atau apa?"
Bunch tertawa. "Bukan, Sayang. Di toko Burrows
19 and Portman ada obral khusus untuk barang-barang seperti alas tempat tidur, alas
meja, handuk, lap-lap gelas, dan lain-lain. Entah apa yang terjadi dengan lap-
lap gelas kita, cepat sekali usangnya. Kecuali itu," tambahnya sambil merenung,
"rasanya aku ingin mengunjungi Bibi Jane."
Miss Jane Marple, wanita tua yang manis itu, sedang menikmati suasana London
selama dua minggu. Ia menginap di apartemen keponakannya yang merangkap studio.
"Baik hati sekali si Raymond itu," gumamnya. "Dia dan Joan pergi ke Amerika
selama dua minggu, dan mereka berkeras agar aku mau datang kemari untuk
bersenang-senang. Dan sekarang, Bunch tersayang, ceritakan apa yang sedang
kaususahkan." Bunch adalah anak baptis kesayangan Miss Marple, dan wanita tua itu memandangi
Bunch dengan penuh kasih sayang sementara Bunch mendorong topi lakennya yang
terbaik lebih jauh ke belakang. Lalu ia memulai ktsahnya.
Kisah Bunch singkat dan jelas. Miss Marple mengangguk waktu Bunch selesai
bercerita. "Oh, begitu," katanya. "Ya, aku mengerti."
"Itulah sebabnya aku merasa harus menemui Anda," kata Bunch. "Soalnya, aku tidak
pintar." "Tapi kau pintar, sayangku."
'Tidak. Tidak sepintar Julian."
"Tentu saja Julian punya kecerdasan yang mantap," kata Miss Marple.
20 "Itulah," kata Bunch. "Julian memiliki kecerdasan, tapi sebaliknya, aku memiliki
akal sehat." "Kau memiliki akal yang sehat sekali, Bunch, dan kau cerdas sekali."
"Tapi aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku tak bisa bertanya pada
Julian, soalnya Julian banyak sekali pekerjaan gereja..."
Pernyataan itu agaknya dipahami benar oleh Miss Marple, yang berkata, "Aku
mengerti apa maksudmu, Sayang. Bagi kita wanita, keadaannya berbeda." Katanya
lagi, "Sudah kauceritakan apa yang terjadi, Bunch, tapi aku ingin tahu dulu apa
pendapatmu." "Semuanya salah," kata Bunch. "Laki-laki yang sedang sekarat di gereja itu tahu
semua tentang Perlindungan. Dia mengucapkannya dengan cara yang sama benar
dengan cara Julian. Maksudku, dia seorang laki-laki berpendidikan dan banyak
membaca. Dan seandainya dia menembak dirinya' sendiri, dia tidak akan menyeret
dirinya ke sebuah gereja sesudahnya dan mengatakan, 'Perlindungan'.
'Perlindungan' berarti dia dikejar, dan bila dia masuk ke gereja, dia akan
selamat. Orang-orang yang mengejarnya tak bisa lagi menyentuhnya. Balikan
undang-undang pun tak bisa menuntutnya."
Ia menatap Miss Marple dengan pandangan bertanya, dan wanita tua itu mengangguk.
Kata Bunch lagi, "Orang-orang itu, maksudku suami-istri Eccles, lain sekali.
Mereka bodoh dan kasar. Dan ada satu hal lagi. Arloji itu arloji laki-laki yang?meninggal itu. Di bagian belakangnya terdapat inisial W.S.,
21 sedangkan di dalamnya aku membukanya tertulis dengan huruf-huruf kecil sekali:
? ?Untuk Walter, dari ayahnya, dan tanggalnya. Tapi suami-istri Eccless itu selalu
menyebutnya William atau Bill."
Agaknya Miss Marple akan berbicara, tapi Bunch cepat-cepat melanjutkan. "Aku
tahu. Orang tidak selalu dipanggil sesuai dengan nama baptisnya. Maksudku, aku
mengerti kalau seseorang dibaptis dengan nama William tapi dipanggil Porgy atau
Carrots atau apa saja. Tapi adiknya sendiri tak mungkin menyebutnya William atau
Bill kalau namanya Walter."
"Maksudmu wanita itu bukan adiknya?"
"Aku yakin benar bahwa dia bukan adiknya. Mereka mengerikan sekali kedua orang ?itu. Mereka datang ke kediaman pendeta untuk mengambil barang-barangnya dan
mencari tahu kalau-kalau dia mengatakan sesuatu sebelum meninggal. Waktu
kukatakan bahwa dia tidak mengatakan apa-apa, aku melihat rasa lega di wajah
mereka. Jadi, kupikir," kata Bunch menyudahi, "Eccles-lah yang menembaknya."
"Pembunuhan?" "Ya," kata Bunch. "Pembunuhan. Itulah sebabnya aku mendatangi Anda, sayangku."
Kata-kata Bunch mungkin tidak mengandung arti bagi pendengar yang tidak tahu,
tapi dalam keadaan-keadaan tertentu, Miss Marple terkenal pintar dalam menangani
pembunuhan. "Dia berkata, 'Tolonglah,* padaku sebelum meninggal," kata Bunch. "Dia ingin aku
melakukan 22 sesuatu untuknya. Yang menjengkelkan adalah, aku tidak tahu apa-apa."
Miss Marple berpikir sebentar, lalu menanyakan hal yang juga sudah terpikir oleh
Bunch. "Tapi mengapa dia harus berada di situ?" tanyanya.
"Maksud Bibi," kata Bunch, "kalau orang memerlukan perlindungan, bisa saja dia
masuk ke gereja mana pun" Dia tak perlu naik bus yang hanya berangkat empat kali
sehari dan datang ke tempat sesepi tempat kita?"
"Dia pasti datang ke situ dengan suatu tujuan," pikir Miss Marple. "Dia pasti
datang akan menemui seseorang. Chipping Cleghorn bukan desa besar, Bunch. Masa
kau tidak tahu siapa yang ingin ditemuinya itu?"
Bunch mengingat-ingat para penghuni desanya, lalu menggeleng dengan ragu.
"Bagaimanapun," katanya, "bisa siapa saja."
"Tidakkah dia menyebutkan suatu nama?"
"Dia mengatakan Julian, kalau tak salah. Mungkin juga Julia. Tapi, sepanjang
pengetahuanku, tak ada orang bernama Julia di Chipping Cleghorn."
Bunch memicingkan matanya, mengingat kembali peristiwa tersebut. Laki-laki yang
terbaring di tangga mimbar, cahaya matahari yang masuk lewat jendela dengan
sinarnya yang bagaikan permata merah dan biru.
"Mungkinkah dia akan mengatakan, 'Jewels' permata?" kata Miss Marple.
?"Sekarang aku akan mengatakan yang terpenting," kata Bunch. "Alasan sebenarnya
aku datang 23 kemari. Soalnya, suami-istri Eccles itu ribut sekali untuk mendapatkan mantel
almarhum. Kami menanggalkannya waktu Dokter akan memeriksanya. Mantel itu sudah
tua dan usang rasanya tak ada alasan mengapa mereka menginginkannya. Mereka
?berpura-pura mengatakan bahwa itu merupakan benda kenang-kenangan, tapi itu
tentu omong kosong. "Pokoknya, aku naik saja ke lantai atas untuk mencarinya. Waktu sedang menaiki
tangga, aku ingat bahwa almarhum telah melakukan gerak seperti mengambil dengan
tangannya, seolah-olah dia sedang mencari-cari sesuatu-di mantelnya. Jadi, waktu
menemukan mantel itu, kuperhatikan benda itu baik-baik, dan kulihat bahwa salah
satu lapisannya dijahit dengan benang yang warnanya lain. Maka kubuka jahitan
itu dan aku menemukan secarik kertas di dalamnya. Kukeluarkan, lalu ku-jahit
lagi baik-baik dengan benang yang sewarna. Kulakukan dengan cermat sekali, dan
kurasa suami-istri Eccles tidak tahu apa yang telah kulakukan. Kurasa tidak,
tapi aku tidak yakin. Kubawa turun mantel itu dan kuberikan alasan mengapa aku
lama menemukannya." "Lalu kertas itu?" tanya Miss Marple.
Bunch membuka tasnya. "Aku tidak memperlihatkannya pada Julian," katanya,
"karena dia pasti akan berkata bahwa seharusnya aku memberikannya pada suami-
istri Eccles. Tapi kupikir lebih baik kuberikan pada Bibi."
"Karcis bukti penitipan mantel," kata Miss
24 Marple sambil memandanginya. "Di Stasiun Paddington."
"Di sakunya memang ada tiket untuk kembali ke Paddington," kata Bunch.
Kedua wanita itu beradu pandang.
"Kita harus bertindak," kata Miss Marple dengan bersemangat. "Tapi kurasa kita
harus berhati-hati. Apakah kausadari, Bunch, apa kau diikuti orang atau tidak,
dalam perjalananmu ke London tadi?"
"Diikuti!" seru Bunch. "Masa Bibi mengira..."
"Kupikir mungkin saja," kata Miss Marple. "Bila segala sesuatu mungkin, kita
harus waspada." Ia bangkit dengan bersemangat. "Kau datang kemari dengan
berpura-pura akan berbelanja di tempat obral. Oleh karenanya, kupikir yang
terbaik adalah pergi ke tempat obral itu. Tapi sebelum berangkat, kita harus
mengadakan beberapa persiapan dulu. Kurasa," lanjut Miss Marple, "aku memerlukan
setelan tuaku dari bahan wol bercorak bintik-bintik dan berkerah bulu berang-
berang itu." Kira-kira sejam kemudian, kedua wanita yang tampak lelah itu sudah mengepit
bungkusan-bungkusan bahan kain keperluan rumah tangga yang usang. Kini mereka
duduk di sebuah rumah minum kecil yang bernama Apple Bough, untuk memulihkan
tenaga sambil makan bistik dan puding ginjal, yang disusul dengan kue apel dan
kue tar. "Handuknya benar-benar dari kualitas sebelum perang," desah Miss Marple yang
sudah agak kehabisan napas. "Dan ada huruf J-nya pula. Untunglah istri Raymond
bernama Joan. Akan kusisih -
25 kan barang-barang ini sampai aku benar-benar membutuhkannya, dan kelak akan
kuwariskan padanya bila aku meninggal lebih cepat daripada yang kuharapkan."
"Aku benar-benar memerlukan serbet-serbet gelas ini," kata Bunch. "Untung murah
sekali, meskipun tidak semurah serbet-serbet yang dirampas wanita berambut
cokelat itu dari tanganku."
Pada saat itu seorang wanita muda yang cantik, dengan pemerah pipi dan lipstik
tebal, masuk ke Apple Bough. Setelah melihat berkeliling beberapa lama, ia
bergegas ke meja mereka. Diletakkannya sebuah amplop di dekat siku Miss Marple.
"Nah, ini, Miss," katanya dengan bersemangat.
"Terima kasih, Gladys," kata Miss Marple. "Terima kasih banyak. Kau baik
sekali." "Saya selalu senang membantu," kata Gladys. "Ernie selalu berkata pada saya,
'Semuanya yang baik telah kaupelajari dari Miss Marple, mantan majikanmu itu,'
dan saya benar-benar senang kalau bisa menolong Anda, Miss."
"Baik benar gadis itu," kata Miss Marple setelah Gladys berlalu. "Selalu siap
sedia dan baik hati."
Ia melihat ke dalam amplop, lalu memberikannya pada Bunch. "Berhati-hatilah,
Sayang," katanya. "Omong-omong, masih adakah inspektur muda yang baik di
Melchester itu" Aku ingat dia."
"Entah ya," kata Bunch. "Kurasa masih ada."
"Yah, kalau sudah tak ada lagi," kata Miss Marple sambil merenung, "aku bisa
menelepon Kepala Polisi. Kurasa dia masih ingat padaku."
26 "Pasti dia masih ingat," kata Bunch. "Semua orang ingat pada Bibi. Sebab Bibi
lain dari yang lain, sih." Ia bangkit.
Setibanya di Paddington, Bunch pergi ke kantor penitipan barang-harang. Beberapa
saat kemudian, sebuah koper yang sudah tua dan kumal disorongkan ke arahnya.
Sambil menjinjing koper itu, ia berjalan ke arah peron.
Dalam perjalanan pulang tidak terjadi apa-apa. Waktu kereta api tiba di Chipping
Cleghorn, Bunch bangkit dan mengambil koper tua itu. Baru saja ia turun dari
gerbongnya, seorang laki-laki yang berlari di sepanjang peron tiba-tiba
merenggutkan koper tersebut dari tangannya dan membawanya lari.
"Berhenti!" teriak Bunch. "Hentikan dia, hentikan dia. Dia mengambil koperku."
Petugas tiket di stasiun desa itu adalah orang yang lamban. Ia baru saja
mengatakan, "Hei, Anda tak bisa berbuat begitu...," tapi suatu pukulan keras di
dadanya membuatnya terdorong ke samping, dan laki-laki yang membawa koper itu
melesat keluar dari stasiun. Ia berlari menuju sebuah mobil yang siap menunggu.
Dilemparkannya koper itu ke dalam mobil dan ia bersiap-siap akan masuk pula.
Tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah tangan mencengkeram pundaknya, dan suara
Agen Polisi Abel berkata, "Apa-apaan ini?"
-Dengan terengah-engah Bunch tiba dari stasiun. "Dia merebut koperku. Aku baru
saja membawanya keluar dari kereta api."
27 "Omong kosong," kata laki-laki itu. "Aku tidak tahu apa maksud wanita ini. Ini
koperku. Aku baru saja membawanya dari kereta api."
Dipandanginya Bunch dengan pandangan bodoh tanpa ekspresi. Tak ada orang yang
mengira bahwa pada jam-jam istirahatnya, Agen Polisi Abel dan Mrs. Harmon sudah
biasa berbincang-bincang tentang baiknya rabuk dan makanan dari tulang bagi
tanaman mawar. "Madam, Anda berkata bahwa ini adalah koper Anda?" kata Agen Polisi Abel.
"Ya," sahut Bunch. "Pasti."
"Dan Anda, Sir?"


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini koperku." Laki-laki itu. jangkung, kulitnya gelap dan pakaiannya rapi, suaranya bernada
lamban dan sikapnya angkuh. Sebuah suara wanita berkata dari dalam mobil, "Tentu
itu kopermu, Edwin. Entah apa maksud wanita itu."
"Kita harus menyelesaikan perkara ini," kata Agen Polisi Abel. "Kalau koper ini
memang milik Anda, Madam, apa isinya?"
"Pakaian," kata Bunch. "Mantel panjang dari bahan bercorak bintik-bintik dan
berkerah bulu berang-berang, dua helai baju kaus, dan sepasang sepatu."
"Nah, itu cukup jelas," kata Agen Polisi Abel. Ia berpaling pada laki-laki itu.
"Aku petugas bagian pakaian di teater," kata laki-laki itu dengan sikap sok
penting. "Koper ini berisi barang-barang keperluan teater yang kubawa kemari
untuk suatu pertunjukan amatir."
28 "Baiklah," kata Agen Polisi Abel. "Sebaiknya kita melihat isinya. Untuk itu kita
harus ke kantor polisi, atau kalau kalian terburu-buru, kita bisa membawanya
kembali ke stasiun dan membukanya di situ."
"Aku setuju saja," kata laki-laki itu. Namaku Moss, Edwin Moss."
Agen Polisi kembali ke stasiun sambil membawa koper itu. "Aku harus membawa ini
ke kantor penyimpanan barang-barang, George," katanya pada petugas pemeriksa
tiket Agen Polisi Abel meletakkan koper itu di meja di kantor penyimpanan, lalu
membuka tutup koper. Koper itu tidak terkunci. Bunch dan Edwin Moss berdiri
mengapitnya, dan saling memandang penuh dendam.
"Ah!" kata Agen Polisi Abel setelah mengangkat tutup koper itu.
Di dalamnya terdapat sehelai mantel panjang dari bahan wol yang agak kumal dan
berkerah bulu berang-berang. Ada pula dua helai baju kaus dan sepasang sepatu
kets. "Tepat sekali seperti yang Anda katakan, Madam," kata Agen Polisi Abel sambil
berpaling pada Bunch. Mr. Edwin Moss tampak salah tingkah. Rasa sesal dan kecewanya luar biasa.
"Aku benar-benar minta maaf," katanya. "Aku minta maaf yang sebesar-besarnya.
Percayalah, Madam, kalau kukatakan betapa besarnya rasa sesalku. Tak bisa
dimaafkan sungguh tak bisa?29
dimaafkan kelakuanku." Ia melihat arlojinya. "Sekarang aku harus buru-buru
?Mungkin koperku terbawa oleh kereta api." Sambil mengangkat topinya sekali lagi
pada Bunch, ia berkata dengan halus, "Harap, harap maafkan aku," lalu melesat
keluar dari kantor penitipan barang-barang.
"Apakah akan Anda biarkan dia pergi' begitu s saja?" tanya Bunch dengan berbisik
pada Agen Polisi Abel. Agen itu mengedipkan matanya.
"Dia tidak akan bisa pergi jauh, Madam. Maksudku, dia tidak akan bisa pergi jauh
tanpa diawasi. Anda mengerti kan maksudku?"
"Oh," kata Bunch lega.
"Wanita tua itu sudah menelepon," kata Agen Polisi Abel, "wanita tua yang juga
berada di sini beberapa tahun yang lalu. Dia kelihatannya orang yang cerdas, ya"
Memang sudah banyak desas-desus sepanjang hari ini. Jangan heran kalau Pak
Inspektur atau Sersan mendatangi Anda besok pagi."
Yang datang adalah Inspektur. Inspektur Craddock yang diingat oleh Miss Marple.
Ia menyalami Bunch sambil tersenyum seperti teman lama.
"Ada kejahatan lagi di Chipping Cleghorn," katanya dengan ceria, "Kita tidak
kekurangan sensasi di sini, bukan, Mrs. Harmon"'
"Aku lebih suka tidak ada sensasi," kata Bunch. "Apakah Anda datang untuk
menanyaiku, atau Anda ingin menceritakan sesuatu?"
"Pertama-tama, aku akan menceritakan beberapa hal dulu," kata Inspektur. "Mr.
dan Mrs. Eccles sudah beberapa lama memasang telinga. Beralasan-lah kalau kita
percaya bahwa mereka punya hubungan dengan beberapa perampokan di daerah ini.
Satu hal lain, meskipun Mrs. Eccles memang punya saudara laki-laki bernama
Sandboume yang baru-baru ini kembali dari luar negeri, tapi laki-laki yang Anda
temukan sekarat di gereja kemarin sama sekali bukan Sandboume."
"Aku sudah menduga," kata Bunch. "Namanya Walter, bukan Wdliam seperti yang
mereka katakan." Inspektur mengangguk. "Namanya Walter St. John, dan empat puluh delapan jam yang
lalu dia melarikan diri dari Penjara Charrington."
"Pasti," kata Bunch, berbisik sendiri. "Dia dikejar oleh polisi dan dia mencari
perlindungan." Lalu dia bertanya, "Kejahatan apa yang telah dilakukannya?"
"Ceritanya panjang dan agak rumit. Beberapa tahun yang lalu, ada seorang penari
yang mengadakan pertunjukan di kafe-kafe. Kurasa Anda tak pernah mendengar
tentang dia. Dia adalah penari khusus tarian-tarian Arab, yang disebut Aladin di
Gua Permata. Dia memakai sedikit batu permata dan berpakaian minim. "Kurasa dia
bukan penari andal, tapi dia... yah... menarik. Pokoknya, seorang bangsawan Asia
jatuh cinta setengah mati padanya. Di antara barang-barang yang diberikannya
pada penari itu adalah seuntai kalung zamrud yang luar biasa indahnya."
31 30 "Perhiasan-perhiasan seorang Raja Timur yang terkenal?" gumam Bunch dengan
bersemangat. Inspektur Craddock berdeham. "Yah, dalam versi yang lebih modem, Mrs. Harmon.
Hubungan cinta itu tidak berlangsung lama, terputus waktu perhatian pangeran
kaya itu beralih pada seorang bintang film yang tuntutan-tuntutannya tidak
begitu sederhana. "Zobeida, begitulah nama panggung penari itu, menjaga kalung itu baik-baik, tapi
barang itu kemudian dicuri. Barang itu hilang di ruang pakaiannya di teater.
Beberapa lama polisi curiga bahwa penari itu sendirilah yang mendalangi
pencurian itu. Hal-hal semacam itu biasa dilakukan untuk meraih popularitas,
atau mungkin dengan alasan-alasan lain yang tidak jujur.
"Kalung itu tak pernah ditemukan kembali, tapi selama diadakan pemeriksaan,
perhatian polisi tertarik pada laki-laki bernama Walter St. John itu. Dia
seorang laki-laki baik-baik dan berpendidikan, tapi dia jatuh ke dunia hitam.
Dia bekerja sebagai ahli permata pada sebuah perusahaan yang tidak jelas, yang
dicurigai sebagai penadah batu-batu permata hasil rampokan.
'Terdapat bukti bahwa kalung itu telah jatuh ke tangannya. Namun dia akhirnya
diadili dan kemudian dijatuhi hukuman penjara sehubungan dengan barang-barang
perhiasan lain. Sebenarnya masa hukumannya sudah tidak begitu lama lagi, jadi
pelariannya merupakan suatu kejutan."
'Tapi mengapa dia datang kemari?" tanya Bunch.
32 "Kami ingin sekali mengetahui hal itu, Mrs. Harmon. Setelah diadili, agaknya dia
pergi dulu ke London. Dia tidak mengunjungi seorang pun di antara teman-teman
lamanya, tapi dia mengunjungi seorang wanita tua bernama Mrs. Jacobs yang pernah
menjadi juru pakaian teater. Wanita itu tak mau bicara sepatah pun mengenai
kunjungan itu, tapi menurut penghuni-penghuni lain di rumah tersebut, laki-laki
itu pergi sambil membawa sebuah koper."
"Oh, begitu," kata Bunch. "Koper itu ditinggalkannya di ruang penitipan mantel
di Paddington, lalu dia kemari."
"Sementara itu," kata Inspektur Craddock, "Eccles dan laki-laki yang menamakan
dirinya Edwin Moss itu mencari jejaknya. Mereka menginginkan koper itu. Mereka
melihat St. John naik bus. Mereka pasti sudah mendahuluinya naik mobil, dan
menunggunya turun dari bus."
"Lalu dia dibunuh?" kata Bunch.
"Ya," kata Craddock. "Dia ditembak. Dengan pistol Eccles, tapi kurasa Moss-lah
yang menembak. Nah, Mrs. Harmon, yang ingin kami ketahui adalah di mana koper
yang sebenarnya disimpan oleh Walter St. John di Stasiun Paddington itu?"
Bunch nyengir. "Kurasa sekarang sudah ada pada Bibi Jane," katanya, "maksudku
Miss Marple. Itulah rencananya. Seorang mantan pelayannya disuruhnya menitipkan
sebuah koper berisi barang-barangnya di ruang penitipan di Paddington, lalu kami
tukarkan karcis penitipan kami. Aku mengam-33
bil kopernya dan membawanya naik kereta api. Agaknya sudah diduganya bahwa akan
ada percobaan untuk merampasnya dariku."
Kini giliran Inspektur Craddock yang nyengir. "Begitulah yang dikatakannya
padaku waktu dia menelepon. Aku akan pergi ke London untuk menemuinya. Anda mau
ikut, Mrs. Harmon?" "Yaah," kata Bunch sambil berpikir. "Yaah, sebenarnya kebetulan sekali. Semalam
gigiku sakit, jadi aku memang harus ikut untuk menemui dokter gigi, bukan?"
'Tentu," kata Inspektur Craddock...
Miss Marple menatap Inspektur Craddock, lalu beralih memandang wajah Bunch
Harmon yang penuh harapan. Koper itu terletak di meja. "Aku tentu tidak
membukanya," kata wanita tua itu. "Tak mungkin aku mau melakukannya sebelum
seorang pejabat resmi datang. Apalagi," tambahnya dengan senyum nakal, "koper
itu terkunci." "Inginkah Anda menebak apa isinya, Miss Marple?" tanya Inspektur.
"Kurasa Anda tahu bahwa isinya adalah pakaian teater Zobeida. Apakah Anda perlu
pahat, Inspektur?" Pahat itu langsung menjalankan tugasnya. Kedua wanita itu agak terengah waktu
tutup koper terbuka. Sinar matahari yang masuk lewat jendela menyinari isinya
yang merupakan harta karun yang tak ter-hingga jumlahnya, perhiasan bertatahkan
permata berwarna merah, biru, hijau, dan Jingga.
"Gua Aladin," kata Miss Marple. "Batu-batu
34 perhiasan kemilau yang dipakai gadis itu untuk menari."
"Ah," kata Inspektur Craddock. "Menurut Anda, seberapakah nilai semua ini sampai
seorang laki-laki dibunuh untuk mendapatkannya?"
"Kurasa gadis itu tajam otaknya," kata Miss Marple merenung. "Dia sudah
meninggal, kan, Inspektur?" "Ya, tiga tahun yang lalu." "Kalung zamrud yang
berharga itu ada padanya," kata Miss Marple. "Permata-permata itu disuruhnya
lepaskan dari ikatannya dan dipasang di sana-sini pada pakaian teaternya, supaya
semua orang mengira permata-permata itu hanya batu-batu berwarna biasa. Lalu
disuruhnya membuat tiruan kalung itu. Kalung itulah yang dicuri. Tak heran kalau
kalung itu tak pernah sampai ke pasaran. Pencurinya langsung tahu bahwa batu-
batunya palsu." "Ini ada amplop," kata Bunch sambil menyisihkan beberapa buah batu yang kemilau.
Inspektur Craddock mengambilnya, lalu mengeluarkan dua helai kertas yang
kelihatannya merupakan surat-surat resmi, la pun membacanya, "Surat Nikah antara
Walter Edmund St. John dan Mary Moss. Itulah nama asli Zobeida."
"Jadi, rupanya mereka menikah," kata Miss Marple. "Aku mengerti."
"Apa yang satu lagi?" tanya Bunch.
"Surat keterangan kelahiran seorang anak perempuan, bernama Jewel."
"Jewel?" seru Bunch. "Ya, jelas. Jewel! Jill!
35 Aku mengerti sekarang, mengapa dia datang ke Chipping Cleghorn. Itulah yang
ingin dikatakannya padaku. Jewel. Anda tentu tahu keluarga Mundy di Laburnum
Cottage. Mereka merawat seorang anak perempuan untuk*seseorang. Mereka
menganggapnya sebagai cucu mereka sendiri. Ya, aku ingat sekarang, namanya
memang Jewel, tapi mereka memanggilnya Jill.
"Kira-kira seminggu yang lalu Mrs. Mundy mengalami stroke, sedangkan suaminya?sakit keras. Mereka sama-sama ingin masuk ke panti jompo. Aku sedang berusaha
keras untuk mendapatkan penampungan yang baik bagi Jill. Aku tak ingin dia
dimasukkan ke sebuah panti.
"Kurasa ayahnya yang di penjara mendengar juga tentang hal itu. Dia berhasil
melarikan diri dan mengambil koper ini dari wanita tua pengurus pakaian teater.
Setahunya, pada wanita itulah istrinya dulu menitipkannya. Kurasa bila permata-
permata itu benar-benar milik ibu anak itu, barang-barang itu bisa digunakan
untuk anak itu sekarang."
"Kurasa begitu, Mrs. Harmon. Kalau saja barang-barang itu ada di sini."
"Oh, pasti ada," kata Miss Marple dengan ceria....
"Syukurlah kau sudah kembali, Sayang," Pendeta Julian Harmon menyambut istrinya
dengan penuh cinta dan mendesah lega. "Mrs. Burt memang bekerja keras kalau kau
pergi, tapi dia menyuguhkan masakan ikan yang aneh waktu makan siang. Aku tak
ingin menyinggung perasaannya, jadi ku-36
berikan pada si Tiglath Pileser kita, tapi diapun tak mau memakannya, jadi
terpaksa kubuang lewat jendela."
"Si Tiglath Pileser ini," kata Bunch sambil membelai kucing yang sedang
menggelayut pada lututnya, "pemilih sekali tentang ikan yang dimakannya. Aku
selalu berkata, dia punya perut yang sombong!" '
"Bagaimana dengan gigimu, Sayang" Sudah diobati?"
"Sudah," kata Bunch. "Sudah tidak sakit lagi, dan aku juga mengunjungi Bibi
Jane." "Kasihan orang tua itu," kata Julian. "Mudah-mudahan dia tidak sakit."
"Sama sekali tidak," kata Bunch sambil nyengir.
Keesokan paginya Bunch membawa bunga krisan lagi ke gereja. Sekali lagi matahari
bersinar lewat jendela di sisi timur, dan Bunch berdiri dalam cahaya yang
bagaikan permata di tangga menuju mimbar. Sambil berbisik perlahan ia berkata,
"Gadis kecilmu akan baik-baik saja. Aku yang akan berusaha. Aku berjanji."
Lalu dirapikannya gereja, kemudian ia duduk di salah satu bangku dan berlutut
beberapa saat untuk berdoa, lalu kembali ke kediaman pendeta untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangganya yang sudah dua hari terbengkalai.
37 Lelucon yang Aneh "Dan ini," kata Jane Helier, menyudahi perkenalannya, "adalah Miss Marple!"
Sebagai seorang aktris, ia bisa menyatakan maksudnya dengan ekspresif. Jelas
bahwa itu merupakan klimaksnya, penutupan penuh kemenangan! Nadanya mengandung
rasa hormat yang mendalam, bercampur rasa bangga.
Anehnya, orang yang diperkenalkan dengan begitu bangga tak lebih dari seorang
perawan tua yang lembut dan kelihatan cerewet. Di mata kedua orang muda, kepada
siapa Jane memperkenalkannya, tampak rasa tak percaya dan kecewa. Mereka
kelihatannya orang-orang yang baik; yang wanita bernama Charmian Stroud,
langsing dan berambut hitam, sedangkan yang laki-laki, Edward Rossiter, berambut
pirang dan bertubuh besar; seorang raksasa yang ramah.
Dengan agak terengah Charmian berkata, "Oh! Kami senang sekali bertemu Anda."
Namun matanya membayangkan keraguan. Ia melihat pada Jane
38 Helier dengan pandangan cepat yang mengandung tanda tanya.
"Sayangku," kata Jane, menjawab pandangan itu, "dia benar-benar luar biasa.
Serahkan saja padanya. Sudah kukatakan aku akan mendatangkannya kemari, dan aku
sudah melakukannya." Pada Miss Marple ditambahkannya, "Andalah yang akan
menyelesaikannya untuk mereka. Saya yakin itu akan mudah bagi Anda."
Dengan matanya yang biru jernih Miss Marple melihat pada Mr. Rossiter. "Tolong
katakan," katanya, "ada apa sebenarnya?"
"Jane adalah sahabat kami," sela Charmian tak sabar. "Saya dan Edward dalam
kesulitan. Kata Jane, kalau kami mau menghadiri pestanya, dia akan
memperkenalkan kami pada seseorang yang... yang akan... yang bisa..."
Edward membantu. "Kata Jane, Anda selalu bisa menyelesaikan masalah-masalah.
Miss Marple!" Mata wanita tua itu berbinar, tapi ia membantah dengan rendah hati. "Ah, tidak,
tidak! Sama sekali tidak. Hanya karena tinggal di desa, orang seperti saya jadi
tahu banyak tentang sifat manusia. Tapi Anda sebenarnya telah membangkitkan rasa
ingin tahu saya. Coba ceritakan masalah Anda."
"Saya kuatir ini hanya omong kosong saja soal harta terpendam," kata Edward.?"Begitukah" Tapi kedengarannya mendebarkan sekali!"
"Saya tahu. Seperti Treasure Island. Tapi masalah kami tak ada sentuhan
romantikanya. Tak 39 ada titik di peta yang ditandai dengan tengkorak dan tulang-tulang bersilang,
tak ada petunjuk-petunjuk seperti 'empat langkah ke kiri, ke arah barat laut'.
Petunjuknya singkat sekali; hanya dikatakan di mana kami harus menggali."
"Sudahkah Anda mencoba?"
"Sudah kira-kira dua ekar persegi kami gali. Tempat itu akan dijadikan taman
pasar. Kami sedang membicarakan apakah akan kami tanami sayuran atau kentang."
Dengan agak tegas Charmian berkata, "Benar-benarkah kami boleh menceritakan
semuanya pada Anda?"
"Tentu, anak manis."
"Kalau begitu, mari kita cari tempat yang tenang. Mari, Edward." Gadis itu
berjalan mendahului mereka keluar dari ruangan yang penuh orang dan asap rokok
itu. Mereka menaiki tangga, masuk ke sebuah ruang duduk di lantai dua.
Setelah mereka duduk, Charmian memulai dengan tegas, "Begini ceritanya! Kisahnya
berawal dari Paman Mathew, paman atau tepatnya, kakek setingkat paman bagi kami?berdua. Dia sudah tua sekali. Hanya saya dan Edward-Iah kerabatnya. Dia sayang
sekali pada kami dan selalu berkata bahwa bila dia meninggal, dia akan
mewariskan uangnya pada kami berdua. Nah, dia meninggal pada bulan Maret yang
lalu, dan semua yang ditinggalkannya diwariskannya, supaya dibagi dua antara
saya dan Edward. Kedengarannya tidak berperasaan sekali ucapan saya itu. Bukan
maksud 40 saya kami senang dia meninggal kami sebenarnya sayang sekali padanya. Tapi dia


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?sudah lama sakit. "Persoalannya, 'segala-galanya' yang ditinggalkannya itu boleh dikatakan tak ada
apa-apa sama * sekali. Dan terus terang itu merupakan pukulan bagi kami berdua,
bukankah begitu, Edward?"
Edward yang ramah itu membenarkan. "Soalnya," kata pria muda itu, "kami agak
mengharapkannya. Maksud saya, kalau kita tahu bahwa kita akan mendapatkan
sedikit uang, kita tidak akan... yah... mengencangkan ikat pinggang dan berusaha
mencari uang sendiri. Saya ini tentara dan tak punya apa-apa di luar gaji saya,
dan Charmian pun tak punya harta. Dia bekerja sebagai manajer panggung di sebuah
teater kecil memang menarik, dan dia menyukai pekerjaannya, tapi tidak
?menghasilkan uang. Kami sudah berencana akan menikah, dan kami tidak merisaukan
soal keuangannya, karena kami tahu bahwa pada suatu hari kelak hidup kami akan
senang." "Dan sekarang, tidak demikian halnya!" kata Charmian. "Apalagi, Ansteys rumah
?yang sama-sama kami sayangi mungkin harus dijual. Saya dan Edward merasa tidak
?rela! Tapi kalau kami tak bisa menemukan uang Paman Mathew, kami harus
menjualnya." "Tapi, Charmian," kata Edward, "kita belum sampai pada titik terpenting."
"Kalau begitu, kau saja yang mengatakannya."
Edward berpaling pada Miss Marple. "Begini
41 persoalannya. Dengan bertambah tuanya Paman Mathew, dia makin lama makin
pencuriga. Dia tidak mempercayai siapa pun."
"Itu bijaksana," kata Miss Marple. "Karakter manusia sudah sangat menurun."
"Yah, mungkin Anda benar. Pokoknya, begitulah pendapat Paman Mathew. Ada seorang
temannya yang kehilangan uangnya di bank, dan seorang teman lainnya jatuh miskin
gara-gara pengacaranya melarikan diri, dan dia sendiri kehilangan uang dalam
suatu perusahaan yang menipu. Akhirnya dia berpendapat bahwa satu-satunya -cara
yang aman dan masuk akal adalah bahwa uang kita harus dibelikan emas dan perak,
lalu dikubur di suatu tempat."
"Oh," kata Miss Marple. "Saya mulai mengerti."
'Teman-temannya memang menyalahkannya. Kata mereka, dengan cara itu dia tidak
akan mendapatkan bunga dari uangnya, tapi dia bersiteguh bahwa itu tak apa-apa.
Semua uang kita harus, katanya 'harus disimpan dalam kotak di bawah tempat
tidur, atau dikuburkan dalam tanah.' Begitulah kata-katanya."
Charmian berkata lagi, "Dan waktu dia meninggal, dia boleh dikatakan tidak
meninggalkan apa-apa dalam bentuk asuransi, meskipun dia kaya raya. Jadi, kami
pikir, apa yang dikatakannya itu benar-benar dilakukannya."
Edward menjelaskan, "Kami dapati bahwa dia kadang-kadang menjual surat-surat
berharga dan menarik uang dalam jumlah besar, dan tak seorang
42 pun tahu diapakannya uang itu. Tapi agaknya dia teuf) bertahan pada prinsipnya,
dan dia memang membeli emas, lalu menguburkannya."
"Apakah dia tidak mengatakan apa-apa sebelum meninggal" Tidak meninggalkan
kertas berharga umpamanya" Atau surat?"
"Itulah yang membuat kami heran. Tak ada. Dia tak sadar beberapa hari, tapi dia
sadar sebentar sebelum meninggal. Dia memandangi kami berdua, lalu tertawa kecil
dengan suara lemah dan samar. Katanya, 'Kalian akan baik-baik saja, pasangan
burung daraku yang cantik.' Lalu dia menyentuh matanya- mata kanannya dan ? ?mengedipkannya pada kami. Lalu dia meninggal. Kasihan Paman Mathew."
"Dia mengedipkan matanya," kata Miss Marple sambil merenung.
"Apakah ada artinya bagi Anda?" tanya Edward dengan penuh harapan. "Saya jadi
ingat akan salah satu cerita Arsene Lupin, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di
mata kaca seseorang. Tapi Paman Mathew tak punya mata kaca."
Miss Marple menggeleng. 'Tidak... saat ini tak ada yang terpikir oleh saya."
Charmian kecewa dan berkata, "Kata Jane, Anda akan segera bisa mengatakan di
mana kami harus menggali!"
Miss Marple tersenyum. "Saya sama sekali bukan tukang sulap. Saya tidak mengenal
paman Anda, atau pria seperti apa dia itu. dan saya tidak tahu rumah maupun
tanah itu." 43 "Bagaimana kalau seandainya Anda mengetahuinya?"
"Yah, tentu akan jadi mudah sekali, bukan?" kata Miss Marple.
"Mudah!" kata Charmian. "Silakan Anda datang ke Ansteys dan lihat bagaimana
mudahnya!" Mungkin ia tidak bersungguh-sungguh mengundang, tapi Miss Marple menjawab dengan
bersemangat, "Wah, Anda baik sekali. Saya selalu ingin mendapatkan kesempatan
untuk mencari harta terpendam. Apalagi," tambahnya sambil melihat pada mereka
dengan berseri-seri dan tersenyum, "ada hubungannya dengan cinta!"
"Anda lihat sendiri!" kata Charmian sambil menggerakkan lengannya dengan
dramatis. Mereka baru saja selesai mengelilingi rumah Ansteys yang besar itu. Mereka juga
mengitari kebun dapur yang telah digali. Mereka telah memasuki hutan-hutan
kecil, tempat setiap pohon yang kelihatan penting telah digali di sekelilingnya,
dan mereka memandangi dengan sedih permukaan yang berlubang-lubang di pekarangan
yang semula rata. Mereka sampai naik ke gudang di loteng, tempat peti-peti tua
telah dikosongkan isinya. Mereka pun turun ke gudang bawah tanah, tempat semua
batu tanggul dicabut dari lubangnya. Mereka mengukur dan mengetuk-ngetuk tembok-
tembok, dan kepada Miss Marple diperlihatkan setiap potong perabot antik yang
mungkin berisi laci rahasia.
Di atas sebuah meja di ruang duduk ada se -
44 tumpuk surat yang ditinggalkan almarhum Mathew Stroud. Tak ada selembar pun yang
dimusnahkan, sementara Charmian dan Edward mengulangi kembali membaca surat-
surat tagihan, undangan-undangan, dan korespondensi bisnis, dengan harapan dari
situ bisa didapatkan petunjuk yang mungkin selama ini tak terlihat.
"Kira-kira masih adakah tempat yang belum kita periksa?" tanya Charmian penuh
harap. Miss Marple menggeleng. "Agaknya Anda sudah teliti sekali, Sayang. Kalau saya
boleh berkata, bahkan agak terlalu teliti. Saya selalu berpikir bahwa orang
harus punya rencana. Seperti teman saya, Mrs. Eldritch, umpamanya. Dia punya
seorang pelayan kecil yang manis sekali. Dia selalu menggosok barang-barang
kuningan dengan rajin, demikian rajinnya hingga lantai kamar mandi pun
digosoknya pula. Waktu pada suatu hari Mrs. Eldritch melangkah keluar dari bak
kamar mandi, dia terpeleset pada keset kakinya. Jatuhnya parah, sampai kakinya
patah. Tambahan lagi, pintu kamar mandi terkunci, dan tukang kebun harus
menggunakan tangga panjat untuk masuk lewat jendelanya. Kasihan Mrs. Eldritch.
Dia sangat tertekan, karena dia pemalu sekali."
Edward tampak gelisah. Cepat-cepat Miss Marple berkata, "Maafkan saya. Saya menyadari bahwa saya mudah
sekali mengalihkan pokok pembicaraan. Tapi sesuatu memang selalu mengingatkan
kita pada soal yang lain. Dan kadang-kadang itu ada gunanya. Saya
hanya ingin mengatakan bahwa mungkin kalau kita berusaha mempertajam otak kita
dan memikirkan kalau-kalau ada tempat..."
Dengan marah Edward berkata, "Anda saja yang memikirkannya, Miss Marple. Otak
saya dan otak Charmian sekarang sudah hampa!"
"Kasihan sekali. Ini tentu sangat meletihkan. Kalau kalian tidak keberatan, saya
ingin melihat-lihat semuanya itu." Ia menunjuk kertas-kertas di meja. "Maksud
saya, kalau tak ada yang bersifat terlalu pribadi saya tak ingin terlalu ?mencampuri."
"Oh, tak apa-apa. Tapi saya rasa Anda tidak akan menemukan apa-apa."
Miss Marple duduk di dekat meja, dan secara metodis mempelajari dokumen-dokumen
itu. Ia membaginya secara otomatis menjadi tumpukan-tumpukan kecil yang rapi.
Setelah selesai, ia duduk menatap ke depan beberapa lama.
Dengan agak kesal, Edward bertanya, "Bagaimana, Miss Marple?"
Miss Marple sadar dan agak terkejut. "Maaf. Sangat membantu."
"Anda telah menemukan sesuatu yang bisa memberikan petunjuk?"
"Oh, bukan, bukan begitu, saya rasa saya sekarang tahu pria macam apa Paman
Mathew kalian itu. Mirip paman saya sendiri, Paman Henry. Dia suka sekali akan
lelucon. Agaknya dia seorang pria lajang entah apa sebabnya mungkin dia pernah? ?dikecewakan di masa muda" Punya sifat teratur sampai batas tertentu, tapi tak
suka terikat ?46 memang sedikit sekali pria lajang yang suka terikat!"
Di balik punggung Miss Marple, Charmian membuat isyarat pada Edward, yang
berarti, Dia pikun. Miss Marple dengan senang berbicara terus tentang almarhum Paman Henry-nya. "Dia
suka sekali bermain dengan kata-kata. Padahal bagi beberapa orang, permainan
kata-kata itu menjengkelkan sekali. Dia juga orang yang sangat pencuriga. Selalu
yakin bahwa para pelayannya merampoknya. Kadang-kadang itu memang benar, tapi
tidak selalu. Kasihan orang itu, dia terobsesi oleh hal itu. Akhirnya dia curiga
bahwa mereka meracuni makanannya, bahkan akhirnya dia tak mau makan apa-apa
kecuali telur rebus! Katanya tak seorang pun bisa meracuni isi telur rebus.
Kasihan Paman Henry, padahal dia dulu periang dia suka sekali minum kopi
?setelah makan malam. Dia selalu berkata, 'Kopi ini sangat Moorish,' yang berarti
bahwa dia minta lagi."
Edward merasa kalau harus mendengarkan tentang Paman Henry lagi, ia bisa gila.
"Dia juga suka pada anak-anak muda," lanjut Miss Marple, "tapi cenderung senang
mempermainkan mereka. Kalian mengerti, kan, maksud saya" Umpamanya, dia menaruh
sekantong permen di tempat yang tak mungkin bisa dijangkau anak-anak."
Tanpa memikirkan basa-basi lagi, Charmian berkata, "Saya rasa itu jahat!"
"Oh, tidak, Sayang, dia kan hanya seorang pria
47 lajang tua yang tidak terbiasa pada anak-anak. Dan dia sama sekali tidak bodoh.
Dia suka menyimpan banyak uang di rumah, dan disuruhnya orang membuat kotak
penyimpanan Ribut sekali dia menjaga kotak itu, dan alangkah teliti dia
menjaganya. Karena seringnya dia berbicara tentang hal itu, pada suatu malam
masuklah perampok-perampok dan melubangi kotak itu dengan alat kimia."
"Rasakan dia," kata Edward.
"Tapi tak ada apa-apa dalam kotak itu," kata Miss Marple. "Sebenarnya dia
menyimpan uangnya di suatu tempat lain di balik beberapa buah buku khotbah
?dalam perpustakaan. Katanya orang tak pernah mengambil buku macam itu dari
raknya!" Dengan bersemangat Edward berkata, "Nah, itu baru suatu petunjuk. Bagaimana
kalau kita periksa di perpustakaan?"
Tapi Charmian menggeleng dengan mencemooh. "Kaupikir aku tidak memikirkan hal
itu" Semua buku di situ sudah kuperiksa hari Selasa yang lalu, waktu kau pergi
ke Portsmouth. Semuanya kukeluarkan, kuguncang-guncang. Tak ada apa-apa."
Edward mendesah, lalu bangkit dan berusaha dengan sopan supaya tamu mereka yang
mengecewakan itu pergi. "Anda baik sekali mau datang dan mencoba membantu kami.
Maafkan, semuanya sia-sia saja. Saya rasa kami sudah menyia-nyiakan banyak waktu
Anda. Biar saya antar Anda ke stasiun, supaya Anda bisa naik kereta api jam
setengah empat." 48 "Oh," kata Miss Marple, "bukankah kita masih harus menemukan uangnya" Jangan
menyerah, Mr. Rossiter. Bila kita tak berhasil pada usaha pertama, kita coba
terus dan terus." "Maksud Anda... Anda akan terus mencoba?"
"Terus terang," kata Miss Marple, "saya bahkan belum mulai. 'Tangkap dulu
kelincinya,' kata Mrs. Beaton dalam buku masakannya buku yang bagus sekali, ?tapi sangat mahal. Kebanyakan resepnya dimulai dengan, 'Siapkan satu takaran
krim dan selusin telur.' Eh, sampai di mana saya" Oh ya, nah, boleh dikatakan
kita sudah menangkap kelincinya yang dimaksud dengan kelincinya tentulah Paman
?Mathew kalian, dan sekarang kita tinggal menentukan di mana dia mungkin
menyembunyikan uang itu. Pasti sederhana sekali."
"Sederhana?" tanya Charmian.
"Oh ya, Sayang. Saya yakin dia menyimpannya di tempat yang sudah jelas sekali.
Dalam sebuah laci rahasia."
"Tak mungkin orang menyimpan batang-batang emas dalam laci rahasia."
"Tentu, tentu tidak. Tapi tak ada alasan untuk tak merasa yakin bahwa warisan
itu dalam bentuk emas."
"Dia selalu berkata..."
"Begitu pula kata Paman Henry saya tentang kotak penyimpanannya! Jadi, saya
curiga sekali bahwa itu hanya tipuan. Berlian kalau itu bisa dengan mudah
?disimpan dalam laci rahasia."
"Tapi kami sudah mencari dalam semua laci
49 rahasia. Sampai-sampai kami datangkan seorang pembuat lemari untuk memeriksa
semua perabotan." "Benarkah begitu" Cerdik sekali Anda. Menurut saya, di dalam meja kerja paman
Andalah yang paling mungkin. Apakah meja tulis antik tinggi yang menempel pada
tembok itu?" "Ya. Dan akan saya perlihatkan pada Anda." Charmian berjalan ke meja itu.
Ditanggalkannya papan lapis penutup meja itu. Di dalamnya ada lubang-lubang dan
laci-laci kecil. Dibukanya sebuah pintu kecil yang ada di tengah-tengah, dan
ditekannya tombol pegas dalam laci sebelah kiri. Dasar dari alas di tengah
berbunyi, lalu bergerak ke arah depan. Charmian mengeluarkannya, hingga di
bawahnya tampak sebuah ruang yang dangkal. Ruang itu kosong.
"Wah, kebetulan sekali!" seru Miss Marple. "Paman Henry juga memiliki meja kerja
yang sama benar dengan ini, hanya dari jenis kayu yang berbeda."
"Pokoknya," kata Charmian, "seperti Anda lihat, tak ada apa-apa di situ."
"Saya rasa pembuat lemari yang Anda datangkan itu adalah orang muda," kata Miss
Marple. "Dia tidak tahu banyak. Zaman dulu orang lebih berseni bila membuat
tempat-tempat persembunyian. Ada yang disebut rahasia dalam rahasia."
Dicabutnya sebuah jepit rambut dari kondenya yang rapi beruban. Diluruskannya
jepit rambut itu, lalu ditusukkannya ujungnya ke dalam sebuah lubang kecil di
salah satu sisi lubang rahasia. Dengan
50 agak sulit ditariknya keluar sebuah laci. Di dalamnya terdapat seikat surat yang
sudah kuning dan sehelai kertas terlipat.
Edward dan Charmian langsung menyambar temuan itu serentak. Dengan jemari
gemetaran Edward membuka lipatan kertas itu. Dilepaskannya kertas itu dengan
suatu pekik jijik. "Sialan, hanya resep masakan. Daging goreng!"
Charmian sedang membuka pita yang mengikat surat-surat. Ditariknya sebuah, lalu
dibacanya. "Surat-surat cinta!"
Miss Marple menunjukkan reaksi bersemangat. "Ah, menarik sekali! Mungkin itu
merupakan alasan mengapa paman kalian tak pernah menikah."
Charmian membacanya: "Mathew-ku tersayang. Harus kuakui bahwa suratmu yang terakhir sudah lama
kuterima. Soalnya aku sibuk menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan padaku.
Sering aku berpikir bahwa aku beruntung telah melihat banyak bagian dunia. Tapi,
waktu aku berangkat ke Amerika, tak kuduga bahwa aku hams berlayar ke kepulauan
yang jauh ini!" Charmian terhenti. "Dari mana ini, ya" Oh! Dari Hawaii!" Ia
membaca lagi: "Penduduk asli di sini masih sangat rendah budayanya. Mereka tidak mengenakan
pakaian dan masih biadab sekali. Sebagian besar waktu mereka habiskan untuk
berenang dan menari-nari, menghiasi diri dengan untaian bunga. Mr. Gray telah
meng-51 adakan beberapa perubahan, tapi itu sulit sekali; dia dan Mrs. Gray jadi
kehilangan semangat. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghibur dan memberikan
dorongan, tapi aku pun sering merasa sedih. Kau tentu tahu alasannya, Mathew
sayang. Sayang, perpisahan merupakan cobaan berat bagi hati yang sedang
mencintai. Janji-janjimu mengenai cintamu dan protes-protesmu yang kauulangi
sangat menghiburku. Kaulah yang memiliki hatiku yang penuh kesetiaan dan cinta
kasih, sekarang dan selamanya. Sekian saja dari kekasihmu yang setia. Betty ?Martin.
"NB: Sebagaimana biasa, suratku ini kualamat-kan kepada teman kita berdua,
Matilda Graves, supaya tidak ketahuan orang. Semoga Tuhan memaafkan perbuatan
kita yang sembunyi-sembunyi ini."
Edward bersiul. "Seorang misionaris wanita! Begitu rupanya percintaan Paman
Mathew. Mengapa mereka tidak menikah, ya?"
"Agaknya wanita itu sudah pergi berkeliling dunia," kata Charmian sambil
melihat-lihat surat-surat itu. "Yang ini dari Mauritius dan ada beberapa tempat
?lain. Mungkin dia meninggal gara-gara sakit kuning atau apa."
Sebuah suara tawa halus mengejutkan kedua orang muda itu. Kelihatannya Miss
Marple senang sekali. "Wah," katanya. "Bayangkan saja."
Ia sedang membaca resep untuk daging goreng. Ketika melihat pandangan bertanya
kedua orang 52 itu, ia membacakan, "Daging goreng dengan bayam. Ambil daging asap yan.s baik,
lumuri dengan cengkeh, dan kemudian dengan gula merah. Goreng dengan api kecil.
Hidangkan dengan dikelilingi bayam yang sudah dilumatkan." Bagaimana pendapat
kalian tentang resep itu?"
"Saya rasa sama sekali tak enak," kata Edward.


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak, sebenarnya enak sekali tapi bagaimana pendapat kalian tentang ?semuanya?"
Tiba-tiba wajah Edward berseri. "Apakah menurut Anda itu sebuah kode suatu
?tulisan yang mengandung rahasia atau semacamnya?" Dicengkeramnya kertas resep
itu. "Lihatlah, Charmian, mungkin saja. Tak ada alasan untuk menyimpan resep
masakan dalam laci rahasia."
"Tepat," kata Miss Marple. "Jelas sekali."
"Saya tahu itu apa," kata Charmian. "Tinta yang tidak kelihatan! Mari kita
panaskan. Nyalakan perapian listrik."
Edward melakukannya, tapi tak ada tanda-tanda tulisan yang muncul setelah usaha
itu. Miss Marple berdeham "Menurut saya, Anda menyulitkan keadaan itu sendiri. Resep
itu boleh dikatakan hanya suatu petunjuk. Saya rasa surat-suratnyalah yang
penting." "Surat-surat?" "Terutama," kata Miss Marple, "tanda tangannya."
Tapi Edward boleh dikatakan tidak mendengarnya. Ia memanggil dengan kacau,
"Charmian! Kemarilah! Dia benar. Lihat ini! Amplop-amplopnya
53 memang sudah tua, itu benar, tapi surat-suratnya belum lama ditulis."
"lepat," kata Miss Marple.
"Amplop-amplop itu sengaja dibuat supaya kelihatan. Saya rasa Paman Mat sengaja
melakukannya." "Tepat," kata Miss Marple.
"Semuanya ini hanya tipuan. Tak pernah ada misionaris wanita itu. Itu pasti
sebuah kode." "Anak-anakku tersayang, sebenarnya tak perlu mempersulit semuanya. Paman kalian
itu sebenarnya orang yang sederhana. Dia hanya ingin bergurau, itu saja."
Barulah kini mereka memberikan perhatian sepenuhnya pada Miss Marple.
"Apa maksud Anda sebenarnya, Miss Marple?" tanya Charmian.
"Maksud saya, Sayang, pada saat ini Anda sedang memegang harta itu."
Charmian menatap ke tangannya.
"Tanda tangan itulah yang membuka rahasia. Resep itu hanya suatu petunjuk. Tanpa
cengkeh dan gula merah dan yang lain-lain, apalah itu sebenarnya" Lalu daging
yang diasapi dan bayam! Daging yang diasapi dan bayam! berarti omong kosong!
Jadi, jelaslah bahwa surat-surat itulah yang penting. Lalu pertimbangkanlah apa
yang dilakukan pamanmu menjelang dia meninggal. Dia mengedipkan matanya, katamu.
Nah, itulah dia... itulah petunjuknya."
"Apakah kami yang gila atau Anda?" kata Charmian.
54 "Aduh, Sayang, kau pasti pernah mendengar ungkapan tentang sesuatu yang bukan
merupakan gambaran sebenarnya, ataukah itu sudah tidak dikenal lagi sekarang"
All my eye and Betty Martin"
Edward menahan napas, matanya tertuju pada surat di tangannya. "Betty Martin?"
"Tentu, Mr. Rossiter. Seperti yang Anda katakan sendiri tadi, tak ada orang yang
bernama begitu. Surat-surat itu ditulis oleh paman kalian sendiri, dan saya
yakin dia gembira sekali menuliskannya! Seperti Anda katakan, tulisan pada
amplop jauh lebih tua. Sebenarnya amplop itu bukan amplop ,untuk surat-surat
tersebut, karena stempel pos pada amplop yang sedang Anda pegang itu bertanggal
tahun seribu delapan ratus lima puluh satu."
Ia berhenti sebentar, lalu dengan nada menekankan ia berkata lagi, "Delapan
belas lima puluh satu. Itu menjelaskan segala-galanya, bukan?"
"Bagi saya belum," kata Edward.
"Yah, tentulah," kata Miss Marple. "Bagi saya pun pasti tidak akan jelas, kalau
tidak karena cucu keponakan saya Lionel. Anak kecil yang baik itu adalah seorang
kolektor prangko yang bersemangat. Dia tahu segalanya tentang prangko. Dialah
yang mengatakan pada, saya tentang adanya prangko-prangko yang langka dan mahal,
dan bahwa suatu temuan baru yang istimewa telah ditawarkan di lelang. Saya ingat
dia menyebutkan satu prangko seharga dua sen dari tahun delapan, belas lima
-puluh satu yang berwarna biru. Kalau tak salah, itu bernilai dua puluh lima
ribu dolar. Bayangkan! 55 Saya rasa prangko-prangko yang lain pun langka dan mahal. Paman kalian pasti
telah membelinya dari pengedar dan selalu 'menjaga jejaknya' dengan cermat, kata
orang dalam kisah-kisah detektif."
Edward terpekik, la duduk, lalu menutupi wajahnya dengan tangan.
"Ada apa?" tanya Charmian.
"Tak apa-apa. Aku hanya menyadari dengan menyesal, bahwa sekiranya tak ada Miss
Marple, surat-surat ini pasti telah kita bakar."
"Ah," kata Miss Marple, "itu kan hanya karena pria-pria tua yang suka sekali
berlelucon itu tidak menyadarinya. Saya ingat Paman Henry. Dia mengirimi
keponakan kesayangannya uang sebanyak lima pound sebagai hadiah Natal. Uang itu
dimasukkannya ke dalam kartu Natal, direkatnya kartu itu, lalu di atasnya
dituliskannya, Cinta dan doaku. Sayang hanya ini yang bisa kukirimkan tahun ini.
"Gadis malang itu kesal karena mengira betapa kikirnya kakeknya itu, lalu dia
langsung melemparkan kartu itu ke api; akibatnya orang tua itu harus
mengiriminya uang lagi."
Perasaan Edward terhadap Paman Henry telah mengalami perubahan besar.
"Miss Marple," katanya, "saya akan mengambil sebotol sampanye. Kita semua akan
minum demi kesehatan Paman Henry Anda itu."
56 Pembunuhan dengan Pita Pengukur
Miss POLiTT mencengkeram alat pengetuk pintu, lalu mengetuk pintu rumah kecil
itu dengan sopan. Tak lama kemudian ia mengetuk lagi. Bungkusan yang dikepitnya
di bawah lengan kirinya tergeser sedikit waktu ia melakukan itu, dan ia
memperbaiki letaknya. Di dalam bungkusan itu terdapat gaun hijau musim dingin
yang baru, milik Mrs. Spenlow. Dan tangan kiri Miss Politt terjuntai sebuah tas
sutra hitam berisi sebuah pita pengukur, bantalan kecil tempat jarum pentul, dan
sebuah gunting besar yang banyak gunanya.
Miss Politt bertubuh kurus tinggi, hidungnya tajam, bibirnya lancip, dan
rambutnya sedikit, berwarna kelabu. Ia ragu ketika hendak menggunakan alat
pengetuk pintu itu untuk ketiga kalinya. Waktu ia melihat ke jalan, tampak
sebuah sosok yang mendekat dengan terburu-buru. Miss Hartnell yang ceria dan
sudah berusia lima puluh lima tahun berseru dengan suaranya yang nyaring dan
lantang, "Selamat sore, Miss Politt!" ?"Selamat sore, Miss Hartnell," jawab tukang
57 jahit itu. Nada suaranya sangat halus dan lembut. Sudah sejak muda ia menjadi
pelayan seorang wanita terkemuka. "Maafkan saya," lanjutnya, "tapi apakah Anda
tahu, Mrs. Spenlow ada di rumah atau tidak?"
"Saya sama sekali tidak tahu," kata Miss Hartnell.
"Aneh sekali. Saya harus mencobakan baju baru Mrs. Spenlow petang ini. Katanya
jam setengah empat."
Miss Hartnell melihat ke arlojinya. "Sekarang sudah lewat sedikit."
"Ya. Saya sudah mengetuk tiga kali, tapi tak ada jawaban. Jadi, saya pikir,
mungkin Mrs. Spenlow keluar dan lupa. Biasanya dia tak pernah lupa janji, dan
dia ingin mengenakan baju ini lusa."
Miss Hartnell memasuki pintu pagar, lalu berjalan mendatangi Miss Politt di luar
pintu rumah yang bernama Laburnum Cottage itu.
"Mengapa Gladys tidak membukakan pintu, ya?" katanya, "Oh, tentu tidak, ini hari
Kamis hari libur Gladys. Saya rasa Mrs. Spenlow tertidur. Saya rasa Anda kurang
?keras menggunakan alat pengetuk ini."
Dipegangnya alat pengetuk itu, lalu diketukkan-nya kuat-kuat sampai memekakkan
telinga, tok-tok-tok-tok. Lalu digedornya pula daun pintu itu. Ditambahkannya
lagi dengan suaranya yang nyaring, "Hei, siapa yang di dalam!"
Tak ada jawaban. Miss Politt bergumam, "Oh, saya rasa Mrs. Spenlow lupa, lalu pergi. Biarlah saya
datang lain kali saja/' Ia mulai bergerak ke arah jalan.
"Omong kosong," kata Miss Hartnell tegas. "Tak mungkin dia keluar. Kalau dia
keluar, pasti saya bertemu dengannya tadi. Biar saya jenguk lewat jendela-
jendela, k au-k au ada orang."
Ia tertawa dengan tawanya yang khas, untuk menunjukkan bahwa kata-katanya itu
hanya lelucon. Namun ia melongok juga ke dalam lewat kaca jendela terdekat,
meski ia tahu bahwa ruang depan itu jarang digunakan. Mr. dan Mrs. Spenlow lebih
suka duduk di ruang duduk belakang. Meskipun ia melakukannya asal-asalan saja,
namun perbuatannya memberikan hasil. Memang benar Miss Hartnell tidak melihat
benda yang bernyawa. Yang dilihatnya lewat jendela itu adalah Mrs. Spenlow yang
terbaring di alas perapian meninggal.
?"Ya," kata Miss Hartnell, yang mengisahkan kejadian itu kemudian, "saya tentu
berusaha untuk tenang. Makhluk bernama Politt itu sama sekali tidak tahu harus
berbuat apa. 'Kita harus tetap berpikiran sehat,' kata saya padanya. 'Kau tetap
di sini, dan saya akan mendatangi Agen Polisi Palk.' Katanya dia tak mau
ditinggalkan, tapi saya sama sekali tak peduli. Kita harus tegas dengan orang
semacam itu. Saya memang selalu senang kalau bersibuk-sibuk. Jadi, saya sudah
akan berangkat, tapi pada saat itu Mr. Spenlow muncul dari sudut rumah."
Miss Hartnell berhenti agak lama, hingga pen -
59 58 dengarnya bertanya dengan menahan napas, "Bagaimana dia kelihatannyaV
Lalu Miss Hartnell melanjutkan, "Terus terang, saya langsung mencurigai sesuatu!
Dia tampak terlalu tenang. Dia sama sekali tidak kelihatan heran. Dan Anda boleh
berkata apa pun, tapi tidaklah wajar seorang laki-laki yang mendengar bahwa
istrinya sudah meninggal sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa."
Semua orang membenarkan pernyataan itu.
Polisi juga membenarkan. Demikian curiganya mereka akan keterlibatan Mr.
Spenlow, hingga mereka tidak membuang-buang waktu dalam mencari kepastian,
bagaimana kedudukan pria itu dengan meninggalnya istrinya. Waktu mereka temukan
bahwa Mrs. Spenlow-lah pihak yang memiliki uang, dan bahwa uangnya akan menjadi
milik suaminya berdasarkan surat wasiat yang dibuat segera setelah mereka
menikah, polisi makin curiga.
Miss Marple, seorang perawan tua berwajah manis dan menurut kata beberapa orang?berlidah tajam, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Pendeta diwawancarai
?secepatnya, yaitu setengah jam setelah ditemukannya kejahatan itu. Ia dihubungi
oleh Agen Polisi Palk, yang dengan sikap orang penting membalik-balik buku
catatan. "Kalau Anda tidak keberatan, Ma'am, ada beberapa pertanyaan yang ingin
saya tanyakan pada Anda."
Miss Marple berkata, "Sehubungan dengan pembunuhan Mrs. Spenlow?"
60 Palk terperanjat. "Bolehkah saya bertanya, dari mana Anda tahu?"
"Dari ikan," sahut Miss Marple.
Jawaban itu sama sekali tidak jelas bagi Agen Polisi Palk. Namun ia bisa menebak
dengan benar bahwa anak pengantar ikanlah yang membawa berita itu, waktu
mengantarkan pesanan Miss Marple.
Dengan halus Miss Marple melanjutkan, "Dia terbaring di lantai ruang duduk,
tercekik mungkin dengan tali yang kecil sekali. Tapi tali itu telah diambil."
?Wajah Palk jadi cemberut. "Bagaimana si Fred itu sampai tahu semuanya...."
Cepat-cepat Miss Marple menyela. "Ada jarum pentul di pakaian seragam Anda."
Agen Polisi Palk menunduk, dan terperanjat. Katanya, "Kata pepatah, 'Kalau
melihat jarum pentul, pungutlah. Maka sepanjang hari itu kau akan beruntung.'"
"Saya harap itu akan menjadi kenyataan. Nah, apa yang ingin Anda tanyakan?"
Agen Polisi Palk menelan air ludahnya, memandang dengan sikap orang penting,
lalu membaca buku catatannya. "Ada pernyataan dari Mr. Spenlow, suami
almarhumah. Mr. Spenlow mengatakan bahwa seingatnya, pada jam setengah tiga, dia
menerima telepon dari Miss Marple, yang bertanya apakah dia bisa datang jam tiga
lewat seperempat, karena Miss Marple ingin membicarakan sesuatu. Nah, Ma'am,
apakah itu benar?" 61 "Sama sekali tidak," kata Miss Marple.
"Anda tidak menelepon Mr. Spenlow pada jam setengah tiga?"
"Tidak jam setengah tiga, tidak pula pada waktu lain."
"Oh," kata Agen Polisi Palk, lalu menarik napas dengan rasa puas sekali.
"Apa lagi yang dikatakan Mr. Spenlow?"
"Mr. Spenlow menyatakan bahwa dia datang kemari sebagaimana yang Anda minta. Dia
meninggalkan rumahnya pada jam tiga lewat sepuluh. Dikatakannya pula bahwa waktu
dia tiba di sini, pelayan Anda mengatakan Miss Marple tidak ada di rumah."
"Bagian itu memang benar," kata Miss Marple. "Dia memang datang kemari, tapi
saya sedang rapat di Yayasan Wanita."
"Oh," kata Agen Polisi Palk lagi.
Miss Marple berseru, "Katakan terus terang, Pak Polisi, apakah Anda mencurigai
Mr. Spenlow?" "Saya tak dapat mengatakannya pada saat ini. Tapi saya rasa ada seseorang, yang
tidak saya sebutkan namanya, sedang mencoba bersandiwara."
"Mr. Spenlow?" tanya Miss Marple sambil merenung.
Ia menyukai Mr. Spenlow. Tubuhnya kecil dan kurus, kata-katanya kaku dan selalu
teratur, dan ia memancarkan kesan sangat terhormat. Rasanya aneh kalau ia mau
tinggal di desa. Jelas ia biasa hidup di kota-kota sepanjang hidupnya. Ia pernah
menceritakan alasannya kepada Miss Marple. Katanya,
62 "Sejak kecil, saya selalu ingin tinggal di desa pada suatu hari kelak, dan
memiliki kebun sendiri. Saya memang banyak berhubungan dengan bunga-bunga, soalnya istri
saya memiliki sebuah toko bunga. Di situlah saya pertama kali bertemu
dengannya." Suatu pernyataan yang datar, namun berkesan romantis. Membuat orang membayangkan
Mrs. Spenlow yang lebih muda dan lebih cantik, yang terlihat dengan berlatar
belakang bunga-bunga Tapi Mr. Spenlow sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang bunga. Ia tidak mengerti
soal benih-benih, bibit, penanamannya, juga tidak tentang bunga-bunga tahunan
maupun bunga-bunga yang selalu bersemi. Ia hanya punya suatu bayangan tentang
sebuah kebun kecil di rumah mungil yang banyak ditumbuhi bunga yang harum dan
beraneka warna. Ia belajar dengan bersungguh-sungguh, dan selalu mencatat
jawaban-jawaban dari Miss Marple atas pertanyaan-pertahyaannya, dalam sebuah
buku kecil. Ia adalah orang yang tenang. Mungkin tingkah lakunyalah yang membuat polisi
menaruh perhatian padanya, waktu istrinya ditemukan terbunuh. Dengan sabar dan
tekun mereka banyak mempelajari tentang almarhumah Mrs. Spenlow, dan dalam waktu
singkat, seluruh St. Mary Mead tahu juga.
Almarhumah Mrs. Spenlow mengawali hidupnya sebagai pelayan menengah di sebuah
rumah besar. Kedudukan itu ditinggalkannya untuk menikah dengan tukang kebun
majikannya dan bersamanya memulai sebuah toko bunga di London. Toko itu
63 berkembang dengan baik. Tapi sebaliknya dengan tukang kebun itu. Tak lama
kemudian ia jatuh sakit dan meninggal.
Jandanya tetap menjalankan toko itu dan bahkan membesarkannya. Hidupnya
bertambah makmur. - Lalu dijualnya usahanya itu dengan harga mahal dan ia menikah lagi dengan Mr.?Spenlow, seorang pemilik toko perhiasan setengah baya yang telah mewarisi usaha
kecilnya yang kurang maju. Tak lama setelah itu, mereka menjual usaha itu dan
datang ke St. Mary Mead. Mrs. Spenlow adalah seorang wanita kaya. Keuntungan dari usaha toko bunganya
diinvestasikan-nya. "Dengan tuntunan roh-roh," katanya pada semua orang. Tanpa
diduga, tuntunan roh-roh itu memberinya petunjuk-petunjuk yang bijak.
Semua investasinya berkembang, bahkan ada di antaranya yang luar biasa. Tapi ia
kemudian terjun dengan sepenuh hati ke dalam agama yang para penganutnya adalah
orang-orang India, yang meredanya didasarkan pada berbagai macam cara pernapasan
yang dalam. Tapi ketika tiba di St. Mary Mead, ia sudah menganut paham Gereja
Inggris ortodoks. Ia sering pergi ke kediaman Pendeta dan mengikuti misa-misa
gereja dengan - khusyuk. Ia menjadi pelindung toko-toko desa, menaruh minat pada kejadian-
kejadian di desa, dan menjadi anggota pemain bridge desa. Kehidupan sehari-
harinya padat dan begitu biasa.
Dan tiba-tiba... ia dibunuh.
*** a 64 Kolonel Melchett, Kepala Polisi, telah memanggil Inspektur Slack.
Slack adalah seorang pria yang tegas. Ia tak pernah ragu bila telah memutuskan
sesuatu. Kini pun ia yakin. "Suaminya pelakunya, Sir," katanya.
"Begitukah pikiranmu?"
"Saya yakin sekali. Lihat saja dia. Jelas-jelas memperlihatkan sikap bersalah.
Tak sekali pun dia menunjukkan tanda-tanda kesedihan atau perasaan lain. Dia
kembali ke rumah setelah tahu bahwa istrinya sudah meninggal."
"Bukankah seharusnya dia berpura-pura mencoba menjadi suami yang kehilangan?"
"Dia tidak, Sir. Dia terlalu senang sendiri. Memang ada laki-laki yang tak bisa
berpura-pura. Terlalu, kaku."


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah ada wanita lain dalam hidupnya?" tanya Kolonel Melchett.
"Kami tidak berhasil mendapatkan jejak perempuan itu. Dia memang pandai
menyembunyikan. Dia tentu menyembunyikan jejaknya. Menurut saya, dia hanya
merasa bosan pada istrinya. Istrinya itulah yang memiliki uang, dan saya rasa
wanita itu merupakan teman hidup yang sulit, suka sekali mengikuti aliran-aliran
keagamaan tertentu. Maka diputuskannya dengan darah dingin untuk menyingkirkan
istrinya itu dan hidup sendiri dengan nyaman."
"Ya, kurasa memang begitulah duduk perkaranya."
"Hal itu sudah lama direncanakannya dengan
65 cermat. Lalu dia berbohong dengan mengatakan bahwa dia menerima telepon."
"Apakah telepon itu tak bisa ditelusuri?" sela Melchett.
"Tidak, Sir. Itu berarti dia berbohong, atau penelepon itu menelepon dari
telepon umum. Padahal di sini hanya ada dua telepon umum, yaitu di stasiun dan
di kantor pos. Jelas bukan dari kantor pos. Mrs. Blade petugas kantor ?pos pasti melihat setiap orang yang datang. Mungkin dari stasiun. Kereta api
?tiba jam dua lewat dua puluh tujuh menit, dan orang berdesak-desakan. Tapi yang
penting adalah, laki-laki itu mengatakan bahwa Miss Marple yang menelepon, dan
itu jelas tidak benar. Telepon itu tidak berasal dari rumahnya, dan Miss Marple
sendiri sedang berada di Yayasan."
"Apakah kau tidak melupakan kemungkinan bahwa suami itu sengaja disingkirkan
oleh seseorang yang ingin membunuh'Mrs. Spenlow?"
"Anda pasti membayangkan anak muda bernama Ted Gerard itu, bukan" Saya sudah
menanganinya Kendala kita dalam hal itu adalah kurangnya motif. Anak muda itu
tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa."
"Tapi dia orang yang tidak baik. Sudah sering melakukan penipuan."
"Saya tidak mengatakan bahwa dia bukan orang jahat. Tapi dia pergi menghadap
pimpinannya dan mengakui penipuan itu. Dan para majikannya jadi tak mengerti."
"Salah seorang anggota Oxford Grouper," kata Melchett.
"Benar, Sir. Dia sadar, lalu hidup di jalan yang benar dan mengaku telah
menggelapkan uang. Ingat, Sir, saya tidak mengatakan bahwa itu tidak mungkin
akal liciknya. Mungkin dia merasa sudah dicurigai dan memutuskan untuk berpura-
pura insaf." "Kau tidak mudah percaya, Slack," kata Kolonel Melchett. "Omong-omong, sudahkah
kau berbicara dengan Miss Marple?"
"Apa hubungannya dengan dia, Sir?"
"Ah, tak ada apa-apa. Tapi dia itu banyak mendengar. Sebaiknya kautemui dia dan
mengobrol dengannya. Dia wanita tua yang berotak tajam."
Slack mengalihkan bahan pembicaraan. "Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada
Anda, Sir. Mengenai pekerjaan almarhum di awal kariernya yaitu di rumah Sir ?Robert Abercrombie. Bukankah di situ pernah terjadi perampokan
perhiasan permata-permata zamrud yang bernilai mahal sekali" Perampoknya tak
? ?pernah tertangkap. Saya membalik-balik perkara itu lagi. Itu pasti terjadi waktu
Mrs. Spenlow masih bekerja di situ, meskipun pada saat itu dia pasti masih
sangat muda. Mungkinkah dia terlibat di situ, Sir" Waktu itu Spenlow adalah
seorang pedagang perhiasan kecil yang tidak berarti, yang cocok benar dijadikan
perisai." Melchett menggeleng. "Kurasa tak ada hubungannya ke situ. Waktu itu perempuan
itu bahkan belum kenal pada Spenlow. Aku ingat perkara itu.
67 66 Di kalangan kepolisian beredar pendapat bahwa putra orang rumah itu sendirilah
yang terlibat. Jim Abercrombie anak muda yang suka menghambur-hamburkan uang.
?Utangnya bertumpuk, dan tak lama setelah perampokan itu, semua utang itu
diselesaikan oleh seorang wanita kaya, kata orang, tapi entahlah. Pak tua
?Abercrombie agak berbelit-belit dalam perkara itu. Dia bahkan mencoba menyuap
polisi supaya menghentikannya."
"Itu hanya pikiran saya saja, Sir," kata Slack.
Miss Marple menyambut Inspektur Slack dengan senang, terutama waktu ia mendengar
bahwa inspektur itu disuruh ke situ oleh Kolonel Melchett.
"Wah, baik sekali Kolonel Melchett itu. Tidak saya sangka bahwa dia masih ingat
pada saya." "Dia memang masih ingat pada Anda. Katanya, apa yang tidak Anda ketahui tentang
kejadian di St. Mary Mead, memang tak perlu diketahui."
"Baik sekali dia tapi saya benar-benar tidak tahu apa-apa. Maksud saya tentang
pembunuhan itu." "Tapi Anda tahu apa kata orang tentang itu."
"Oh, tentu, tapi bukankah tak ada gunanya mengulangi obrolan orang?"
Dalam usahanya untuk bersikap baik, Slack berkata, 'Tapi ini bukan percakapan
resmi. Boleh dikatakan sekadar berbagi rahasia."
"Maksud Anda, Anda benar-benar ingin tahu apa kata orang" Apakah ada benarnya
atau tidak?" "Begitulah." 68 "Yah, tentulah banyak sekali yang dikatakan orang, dan banyak yang berspekulasi.
Bahkan ada dua kelompok yang nyata. Pertama-tama, ada orang-orang yang
berpikiran bahwa suaminya yang melakukannya. Seorang suami atau seorang istri
memang wajar menjadi orang yang dicurigai, bukan?"
"Mungkin," kata inspektur itu dengan hati-hati.
"Soalnya merekalah orang-orang yang terdekat. Lalu sering pula soal uang. Saya
dengar Mrs. Spenlow-lah yang memiliki uang, dan oleh karenanya Mr. Spenlow akan
beruntung dengan kematian istrinya itu. Di dalam dunia yang jahat ini,
kesimpulan-kesimpulan yang tak mengenal belas kasihan sering dibenarkan."
"Laki-laki itu memang akan mendapatkan warisan dalam jumlah besar."
"Memang benar. Maka agaknya akan sangat masuk akal, bukan, bila dia mencekik
istrinya itu, meninggalkan rumah lewat pintu belakang, lalu menyeberangi ladang-
ladang dan datang ke rumah saya menanyakan saya, dan berpura-pura bahwa dia
telah menerima telepon dari saya. Lalu dia pulang kembali dan menemukan istrinya
terbunuh sepeninggalnya tentu dengan berharap agar kejahatan itu dituduhkan ?pada seorang gelandangan atau perampok."
Inspektur mengangguk. "Bagaimana dengan urusan keuangannya, dan siapa tahu
hubungan mereka memang kurang baik akhir-akhir ini?"
Tapi Miss Marple menyelanya. "Tapi itu tidak benar."
"Anda tahu yang sebenarnya?"
"Semua orang pasti tahu kalau mereka bertengkar! Pelayan mereka, Gladys
Brent dia pasti menyiarkannya ke seluruh desa."
?Dengan lemah Inspektur berkata, "Mungkin dia tidak tahu." Sebagai jawaban, ia
melihat senyum Miss Marple yang menyiratkan rasa iba.
Kemudian Miss Marple melanjutkan, "Lalu ada kelompok yang satu lagi. Mengenai
Ted Gerard. Seorang pemuda tampan. Saya rasa Anda tahu bahwa ketampanan biasanya
memberikan pengaruh yang kurang baik. Pendeta pembantu kami sebelum yang
terdahulu umpamanya menimbulkan keadaan yang ajaib! Semua gadis berdatangan ke
?gereja, baik ke misa malam maupun misa pagi. Banyak wanita yang sudah lebih tua
menjadi aktif sekali dalam kegiatan paroki, dan bukan main banyaknya sandal dan
selendang rajutan yang dibuatkan untuknya! Sangat tak enak bagi anak muda yang
malang itu. "Tapi... akh, apa yang akan saya katakan sebenarnya tadi" Oh ya, anak muda itu,
Ted Gerard. Pasti banyak gunjingan mengenai dia. Dia sering mengunjungi Mrs.
Spenlow. Meskipun Mrs. Spenlow mengatakan sendiri pada saya bahwa pemuda itu
adalah anggota dari apa yang disebut Oxford Group. Suatu gerakan keagamaan. Saya
rasa mereka sangat tulus dan bersungguh-sungguh mengenai hal itu, dan Mrs.
Spenlow sangat terpengaruh oleh itu semua."
Miss Marple menarik napas, lalu melanjutkan,
70 "Dan saya yakin tak ada alasan untuk menduga bahwa ada sesuatu yang lebih jauh
dari itu, tapi Anda kan tahu orang-orang. Banyak sekali orang yang yakin bahwa
Mrs. Spenlow tergila-gila pada anak muda itu, dan bahwa dia meminjaminya banyak
uang. Dan benar sekali bahwa dia terlihat di stasiun hari itu. Dalam kereta
api kereta yang berangkat jam dua lewat dua puluh tujuh menit. Tapi tentu mudah
?sekali, bukan, kalau orang menyelinap keluar dari kereta api lewat sisi kereta
yang lain, mengambil jalan pintas, lalu melompati pagar, dan sama sekali tidak
keluar lewat jalan masuk stasiun. Maka dia tidak terlihat pergi ke rumah itu,
dan orang-orang berpendapat bahwa pakaian Mrs. Spenlow memang agak aneh."
"Aneh?" "Dia memakai kimono. Bukan gaun." Wajah Miss Marple memerah. "Hal semacam itu
mungkin memberikan kesan tertentu bagi orang."
"Apakah bagi Anda juga memberikan kesan lain?"
"Oh, tidak, saya tidak berpikiran begitu. Saya rasa itu wajar-wajar saja."
"Anda menganggapnya wajar?"
"Dalam hal ini, ya." Pandangan Miss Marple dingin dan merenung.
Kata Inspektur Slack, "Mungkin itu bisa merupakan motif lagi bagi suaminya.
Yaitu rasa cemburu."
"Oh, tidak, Mr. Spenlow tak pernah cemburu. Dia orang yang tak pernah melihat
apa-apa. Bila istrinya pergi dengan meninggalkan surat pem -
71 beritahuan di bantalan jarum pentul, barulah dia akan tahu."
Inspektur Slack heran melihat betapa tajamnya pandangan Miss Marple pada
dirinya. Ia jadi mendapatkan kesan bahwa semua percakapan Miss Marple memang
bertujuan untuk menyatakan sesuatu yang tak dipahaminya. Kini wanita tua itu
berkata dengan nada menekankan, "Apakah Anda tidak menemukan petunjuk apa-apa di
tempat kejadian?" "Sekarang ini orang tidak meninggalkan sidik jari atau abu rokok, Miss Marple."
"Tapi saya rasa merupakan suatu kejahatan gaya lama," kata Miss Marple.
"Apa maksud Anda?" tanya Inspektur Slack dengan tajam.
Perlahan-lahan Miss Marple menjawab, "Saya rasa Agen Polisi Palk bisa membantu
Anda. Dialah orang pertama yang berada di tempat yang dikatakan orang 'tempat
kejadian kejahatan'."
Mr. Spenlow sedang duduk di kursi malas. Ia kelihatan bingung. Dengan suara
halus namun pasti, ia berkata, "Mungkin apa yang terjadi itu cuma bayanganku
saja. Pendengaranku sudah kurang baik. Tapi kurasa aku mendengar dengan jelas
seorang anak laki-laki berseru di belakangku, 'Siapa yang pembunuh"' Kata-kata
itu memberikan kesan bahwa dia berpendapat bahwa... bahwa akulah yang membunuh
istriku tersayang." Sambil menggunting dengan halus tangkai bunga
mawar yang sudah kering, Miss Marple berkata, "Itu pasti kesan yang ingin
disampaikannya." "Tapi mengapa anak kecil itu sampai berpikiran begitu?"
Miss Marple berdeham. "Pasti karena mendengarkan pendapat orang-orang tua."
"Maksud Anda... benarkah maksud Anda bahwa orang-orang lain juga berpendapat
begitu?" "Lebih dari separuh penduduk St. Mary Mead."
"Tapi... mengapa sampai timbul pendapat seperti itu" Saya mencintai istri saya
dengan tulus. Sayang dia tak bisa sesenang yang saya harapkan, hidup di desa,
tapi tak mungkin orang bisa menyukai segala sesuatu sepenuhnya. Yakinlah bahwa
saya sangat kehilangan dia."
"Mungkin. Tapi maafkan saya kalau berkata bahwa Anda tidak kelihatan begitu."
Mr. Spenlow meluruskan tubuhnya yang kurus. "Ibu yang baik, bertahun-tahun yang
lalu saya pernah membaca tentang seorang filsuf Cina yang, ketika istri yang
sangat dicintainya dilarikan, dia tetap memukul gong di jalan yang saya rasa ?merupakan kebiasaan orang Cina untuk mengisi waktu seperti biasa saja. Orang-
?orang di kota terkesan oleh ketabahannya."
"Tapi," kata Miss Marple, "penduduk St. Mary Mead bereaksi agak berbeda. Mereka
tidak tertarik pada falsafah Cina."
"Tapi Anda sendiri mengerti, bukan?" Miss Marple mengangguk. "Pamanku Henry,"
jelasnya, "adalah seorang pria yang sangat pandai
73 72 mengendalikan diri. Dia punya pendirian bahwa 'Jangan pernah perlihatkan
perasaanmu'. Dia juga sangat menyukai bunga."
"Saya jadi terpikir," kata Mr. Spenlow dengan agak bersemangat, "mungkin
sebaiknya saya suruh orang membuat pergola di sisi barat rumah. Nanti ditanami
bunga mawar merah jambu atau bunga wisteria. Dan ada pula bunga berbentuk
bintang yang berwarna putih, yang namanya saya lupa."
Dengan suara yang biasa digunakannya bila berbicara dengan cucu keponakannya,
Miss Marple berkata, "Inir saya punya katalog bergambar. Mungkin Anda ingin
melihat-lihatnya. Saya harus pergi ke desa."
Ditinggalkannya Mr. Spenlow duduk dengan senang di kebun itu bersama katalognya.
Lalu ia kembali ke rumahnya dan naik ke kamarnya. Cepat-cepat dibungkusnya
sehelai baju dengan kertas berwarna cokelat, lalu ia keluar lagi dari rumah dan
pergi ke kantor pos. Miss Politt, penjahit itu, tinggal di kamar di atas kantor
pos. Tapi Miss Marple tidak segera menaiki tangga ke kamarnya. Waktu itu jam setengah
tiga, dan bus Much Benham yang terlambat satu menit, berhenti di pintu kantor
pos. Itu merupakan salah satu kejadian rutin di St. Mary Mead. Wanita penjaga
kantor pos itu bergegas keluar membawa bungkusan-bungkusan. Bungkusan-bungkusan
itu berhubungan dengan bagian toko dari kantor pos itu, karena kantor pos itu
juga menjual permen, buku-buku murah, dan mainan anak-anak.
74 Beberapa menit lamanya Miss Marple berada seorang diri di dalam kantor pos.
Setelah wanita penjaga kantor pos itu kembali, barulah Miss Marple naik ke
lantai atas dan menjelaskan pada Miss Politt bahwa ia ingin baju krep tuanya
yang berwarna abu-abu diubah menjadi model yang lebih baru, kalau bisa. Miss
Politt berjanji akan mengusahakannya.
Kepala Polisi agak terkejut waktu dinyatakan bahwa Miss Marple ingin menemuinya.
Ia masuk dengan meminta maaf berulang kali. "Maafkan saya maaf sebesar-besarnya?saya mengganggu Anda. Saya tahu Anda sibuk sekali. Tapi saya tahu Anda baik
hati, Kolonel Melchett, dan "saya rasa lebih baik saya menemui Anda daripada
Inspektur Slack. Pertama-tama saya tak ingin Agen Polisi Palk mengalami
kesulitan. Maksud saya, menurut saya sebenarnya dia tak boleh menyentuh apa-
apa." Kolonel Melchett agak kebingungan. "Palk?" katanya. "Itu kan Agen Polisi di St.
Mary Mead" Apa yang telah dilakukannya?"
"Dia telah memungut sebuah jarum pentul. Jarum itu ada di pakaian seragamnya.
Dan pada saat itu terpikir oleh saya bahwa dia mungkin memungutnya di rumah Mrs.
Spenlow." "Benar, benar. Tapi, apalah artinya sebuah jarum pentul" Dan nyatanya dia memang
memungutnya di dekat jenazah Mrs. Spenlow. Kemarin dia datang dan mengatakan hal
itu pada Slack. Saya dengar
75 Anda yang mengatakan padanya tentang jarum itu. Anda katakan bahwa dia sebaiknya
tidak menyentuh apa-apa, tapi saya katakan, apalah artinya sebuah jarum" Itu
hanya sebuah jarum pentul biasa. Suatu benda yang mungkin dipakai oleh setiap
wanita." "Oh, tidak, Kolonel, Anda keliru. Di mata seorang pria, mungkin itu hanya sebuah
jarum biasa, tapi tidak. Itu sebuah jarum khusus, sebuah jarum yang halus
sekali, yang bisa dibeli sekotak-sekotak, yang biasa dipakai oleh penjahit."
Melchett memandanginya dengan mata memancarkan pengertian. Miss Marple
mengangguk-angguk dengan bersemangat.
"Ya, tentu. Rasanya sudah jelas. Dia mengenakan kimono karena dia akan mencoba
gaun barunya. Dia masuk ke ruang depannya, dan Miss Politt mengatakan sesuatu
tentang ukuran, lalu mengalungkan pita pengukurnya ke leher wanita itu, kemudian
dia tinggal menyilangkan dan menariknya mudah sekali, begitulah yang sering ?saya dengar. Lalu dia keluar, menutup pintu, dan berdiri di situ sambil
mengetuk-ngetuk, seolah-olah dia baru saja tiba. Tapi jarum pentul itu
menunjukkan bahwa dia sudah berada di dalam rumah sebelumnya."
"Dan Miss Politt-lah yang menelepon Mr. Spenlow."
"Ya. Dari kantor pos, jam setengah tiga, tepat pada saat bus datang dan kantor
pos kosong." "Tapi, Miss Marple yang baik," kata Kolonel
76 Melchett, "mengapa" Mengapa" Orang tidak membunuh tanpa suatu motif."
"Ah, saya rasa Anda pun tahu, Kolonel Melchett. Saya dengar, suatu kejahatan
mungkin terjadi sehubungan dengan kejahatan masa lalu. Saya jadi ingat akan dua
orang saudara sepupu saya, Antony dan Gordon. Apa saja yang dilakukan Antony
selalu berhasil dengan baik, sedangkan dengan Gordon sebaliknya. Kuda-kuda
balapnya tiba-tiba lumpuh, saham-saham jatuh, dan usaha perumahannya bangkrut.
Saya rasa kedua wanita itu juga mengalami hal yang sama."
"Hal apa?" "Perampokan di masa lalu itu. Saya dengar barang-barangnya adalah permata-
permata zamrud yang mahal sekali. Mereka berdua adalah pelayan dan pelayan
menengah wanita kaya itu. Ada satu hal yang tak dijelaskan yaitu setelah
?pelayan menengah itu menikah dengan tukang kebun, bagaimana mereda sampai punya
cukup uang untuk mendirikan sebuah toko bunga"
"Jawabannya adalah, uang itu adalah bagian pelayan menengah" itu dari perampokan
tersebut. Semua yang dilakukannya selalu menguntungkan. Uangnya beranak pinak.
Tapi yang seorang lagi, pelayan wanita kaya itu, pasti tidak beruntung. Dia
akhirnya hanya menjadi penjahit desa. Lalu mereka bertemu lagi. Saya rasa semula


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya baik-baik saja, sampai Mr. Ted Gerard muncul.
"Agaknya Mrs. Spenlow sudah menyadari dosanya. Anak muda itu pasti telah
mendesaknya untuk 77 berani menghadapi kenyataan dan mengakui kesalahannya, dan saya yakin wanita itu
sudah akan melakukannya. Tapi Miss Politt berpandangan lain. Yang disadarinya
adalah bahwa dia mungkin akan dimasukkan ke penjara gara-gara perampokan yang
telah dilakukannya bertahun-tahun yang lalu itu. Maka dia putuskan untuk
mencegahnya. Saya rasa Anda tahu bahwa dia adalah wanita yang jahat. Saya rasa
bila Mr. Spenlow yang bodoh itu sampai digantung pun dia tidak akan peduli."
Kolonel Melchett berkata perlahan-lahan, "Kami... eh... bisa menerima teori Anda,
kecuali satu hal. Yaitu bahwa Miss Politt adalah pelayan wanita di Abercrombie
itu...." Miss Marple cepat-cepat meyakinkannya- "Itu mudah sekali. Dia jenis yang akan
segera mengaku bila dihadapkan pada kenyataan. Lalu pita pengukurnya ada pada
saya. Saya... eh... mengambilnya diam-diam waktu saya harus mencoba baju saya. Bila
dia merasa kehilangan barang itu, dan mengira bahwa itu ada pada polisi... yah dia
itu wanita bodoh, dan dia akan mengira bahwa itu bisa membuktikan bahwa dia akan
kalah dalam perkara ini. "Yakinlah, Anda tidak akan mengalami kesulitan," katanya sambil tersenyum
membesarkan hati. Nada suara Miss Marple sama benar dengan nada suara bibi sang
kolonel yang dulu meyakinkannya bahwa ia pasti bisa lulus ujian masuk ke Sekolah
Pendidikan Polisi Sandhurst.
Dan ia memang lulus. 78 Kasus si Penjaga Rumah "Nah," kata Dokter Haydock pada pasiennya. "Bagaimana keadaannya hari ini?"
Miss Marple tersenyum lemah dari pembaringannya.
"Saya rasa saya sudah lebih baik," sahutnya, "tapi saya merasa tertekan sekali.
Mau tak mau saya berpikir, betapa akan jauh lebih baik kalau saya mati. Soalnya
saya sudah tua. Tak ada yang memerlukan dan memedulikan saya."
Dengan cara bicaranya yang tegas, sebagaimana biasa, Dokter Haydock menyela,
"Ya, itu memang reaksi yang biasa setelah penyakit flu ini. Anda butuh sesuatu
yang bisa mengalihkan pikiran Anda. Obat mental." Miss Marple mendesah dan
menggeleng. "Apalagi," lanjut Dokter Haydock, "saya kebetulan membawa obat itu!"
Diletakkannya sebuah amplop panjang ke tempat tidur.
"Itu cocok benar untuk Anda. Teka-teki yang merupakan kegemaran Anda."
79 "Teka-teki?" Miss Marple kelihatan tertarik.
"Saya mencoba menulis cerita," kata si dokter dengan wajah memerah. "Saya sudah
mencoba menjadikannya cerita yang biasa, dengan kata-kata yang umum. Tapi fakta-
fakta di dalamnya sungguh-sungguh nyata."
"Tapi apa maksudnya dengan teka-teki?" tanya Miss Marple.
Dokter Haydock tertawa kecil. "Karena penafsirannya tergantung pada Anda. Saya
ingin melihat, apakah Anda benar-benar sepandai seperti kesan yang selalu Anda
berikan." Dengan sindiran keras itu, ia pergi.
Miss Marple mengambil naskah itu, lalu mulai membaca.
"Lalu mana mempelai wanitanya?" tartya Miss Harmon ramah.
Seluruh desa sudah ribut ingin melihat mempelai wanita yang kaya dan cantik,
yang telah dibawa Harry Laxton dari luar negeri. Semuanya ikut merasa senang
untuk Harry, pemuda bandel yang selalu membuat ulah itu, karena ia sudah begitu
beruntung. Semua memang selalu merasa kasihan pada Harry. Bahkan para pemilik
jendela rumah yang telah menjadi korban ketapel Harry yang tidak pandang bulu
itu langsung luluh begitu mendengar pernyataan maaf Harry yang tulus. Pemuda itu
sering memecahkan jendela-jendela, mencuri buah-buahan, memburu kelinci,
terlilit utang, dan terlibat cinta dengan putri penjual tembakau se-80
tempat. Hubungan itu diputuskan dan ia diusir ke Afrika. Beberapa wanita lajang
yang sudah berumur bergumam dengan sayang, "Yah, namanya juga anak muda! Lambat
laun dia pasti akan lebih tenang!"
Dan kini si anak hilang benar-benar sudah kembali bukan dalam keadaan susah, ?melainkan dengan membawa kemenangan. Harry Laxton telah "menjadi orang baik-
baik", seperti kata orang. Ia telah bekerja keras, dan akhirnya bertemu dan
berhasil melamar seorang gadis Indo Prancis yang memiliki kekayaan cukup besar.
Sebenarnya Harry bisa saja tinggal di London, atau membeli sebidang tanah di
daerah perburuan yang banyak dikunjungi orang, tapi ia lebih suka kembali ke
desa yang merupakan kampung halamannya. Dan di situ, dengan cara yang romantis
sekali, dibelinya tanah telantar tempat berdirinya rumah masa kecilnya.
Kingsdean House sudah tujuh puluh tahun tidak dihuni. Rumah itu perlahan-lahan
rusak dan telantar. Seorang penjaga rumah yang sudah tua dan istrinya tinggal di
sebuah sudutnya yang masih bisa ditinggali. Rumah itu besar dan luas sekali,
kebunnya ditumbuhi bermacam-macam rerumputan liar dan dikelilingi pepohonan,
hingga seperti sarang penyihir.
Rumah besarnya menyenangkan dan anggun, dan lama disewakan kepada Mayor Laxton,
ayah Harry. Waktu masih kecil, Harry suka berkelana di tanah Kingsdean, dan ia
mengenal setiap sudut hutan
81 lebat di situ. Ia selalu merasa terpesona oleh rumah besar itu
Mayor Laxton telah meninggal beberapa tahun yang lalu, hingga orang mungkin
mengira bahwa sudah tak ada ikatan lagi yang bisa membawa Harry kembali ke rumah
itu. Namun ke rumah masa kecilnya itulah Harry membawa mempelai wanitanya. Rumah
tua Kingsdean dirombak. Serombongan besar tukang dan kontraktor memenuhi tempat
itu, dan dalam waktu yang luar biasa singkat begitu besarnya pengaruh
?uang berdirilah rumah baru yang putih berkilau di antara pepohonan.
?Kemudian datang serombongan tukang kebun, dan menyusul pula serangkaian truk
pembawa perabotan rumah tangga.
Sekarang rumah itu siap ditempati. Pelayan-pelayan berdatangan. Dan akhirnya
sebuah limou-. sine yang mewah menurunkan Harry dan Mrs. Harry di depan pintu.
Seluruh isi desa berduyun-duyun berdatangan. Mrs. Price, yang memiliki rumah
terbesar dan menganggap dirinya pemimpin masyarakat di tempat itu, mengedarkan
kartu-kartu undangan untuk pesta "menyambut mempelai wanita".
Itu merupakan peristiwa besar. Beberapa wanita mengenakan gaun baru untuk pesta
itu. Semuanya ribut, penuh ingin tahu, ingin sekali melihat makhluk yang ajaib
itu. Kata mereka segalanya seperti dongeng saja!
"Lalu mana mempelai wanitanya?" tanya Miss
82 Harmon, seorang perawan tua yang sudah dimakan cuaca dan penuh semangat, sambil
menyelinap mencari jalan untuk melewati pintu ruang tamu utama yang penuh sesak.
Miss Brent, juga seorang perawan tua, tapi bertubuh kecil dan berwajah masam,
memberikan informasi. "Wah, cantik sekali. Tata kramanya pun halus sekali. Dan dia masih sangat muda.
Sungguh kita jadi merasa iri melihat orang memiliki segalanya seperti itu. Wajah
cantik, uang, dan pendidikan semuanya luar biasa, tak ada yang murahan pada
? dirinya, dan si Harry tampak sangat sayang padanya!"
"Ah," kata Miss Harmon, "masih baru!"
Hidung Miss Brent yang kecil bergerak penuh perhatian, "Apa kaukira..."
"Kita semua tahu siapa si Harry itu," kata Miss Harmon.
"Kita tahu bagaimana dia dulu! Tapi kurasa sekarang..."
"Ah," kata Miss Harmon, "laki-laki selalu sama. Sekali tukang menipu, tetap saja
begitu. Aku tahu orang-orang yang begitu."
"Wah, kasihan sekali gadis itu," Miss Brent tampak jauh lebih senang. "Ya,
kurasa dia akan mengalami kesulitan dengan suaminya itu. Harus >ada orang yang
memperingatkannya. Apakah dia sudah mendengar tentang masa lalu suaminya itu,
ya?" "Rasanya sungguh tidak adil kalau dia sama sekali tidak tahu," kata Miss Brent.
"Rasanya tak 83 enak. Apalagi di desa ini hanya ada satu toko obat."
Putri bekas pemilik toko tembakau dulu sudah menikah dengan Mr. Edge, pemilik
toko obat itu. "Akan lebih baik kalau Mrs. Laxton berhubungan dengan Boots di Much Benham
saja," kata Miss Brent.
"Aku yakin Harry sendiri akan menganjurkan hal itu padanya," Miss Harmon
menimpali. Lagi-lagi mereka saling pandang dengan penuh arti.
"Tapi aku tetap yakin bahwa istrinya hanis tahu," kata Miss Harmon.
"Setan!" kata Clarice Vane dengan geram pada pamannya, Dokter Haydock. "Memang
ada orang yang benar-benar setan!"
Sang dokter menatapnya dengan pandangan bertanya.
Gadis itu bertubuh tinggi, cukup cantik, berhati tulus, dan mudah menyatakan isi
hatinya. Mata cokelatnya yang besar kini berapi-api karena geram waktu ia
berkata, "Semua kucing-kucing itu... mengoceh macam-macam, menyindir macam-macam."
"Tentang Harry Laxton?"
"Ya, tentang hubungan cintanya dengan putri pemilik toko tembakau dulu."
"Oh, itu!" Sang dokter angkat bahu. "Banyak anak muda yang punya hubungan
semacam itu." "Tentu. Dan itu sudah berlalu. Jadi, mengapa
84 diulang-ulangi, dibahas lagi bertahun-tahun kemudian" Seperti hantu kuburan yang
melahap mayat saja."
"Mungkin begitulah di matamu. Tapi sadarilah, sedikit sekali bahan percakapan
mereka di sini, makanya mereka cenderung mengingat kejadian-kejadian skandal
masa lalu. Tapi aku jadi ingin tahu, mengapa kau begitu kesal?"
Clarice Vane menggigit bibirnya, wajahnya agak memerah. Dengan suara agak
tertahan ia berkata, "Mereka... mereka kelihatan begitu berbahagia. Maksudku
suami-istri Laxton itu. Mereka masih muda dan saling mencintai, dan segalanya
begitu indah bagi mereka. Aku tak suka membayangkan semua itu dirusak oleh
bisik-bisik dan sindiran-sindiran, kata-kata yang menyakiti hati dan
kebinatangan itu." "Oh, begitu." Clarice berkata lagi, "Tadi Harry berbincang-bincang denganku. Dia begitu
bahagia, penuh semangat, penuh hasrat, dan... ya, penuh haru karena telah bisa
mencapai keinginannya, yaitu membangun kembali Kingsdean. Dia gembira seperti
anak-anak. Sedangkan istrinya... yah, kurasa sepanjang hidupnya dia tak pernah
mengalami kesusahan. Dia selalu memiliki segala-galanya. Paman kan sudah
melihatnya. Bagaimana pendapat Paman tentang dia?"
Sang dokter tidak segera menjawab. Bagi orang-orang Iain, Louise Laxton memang
menimbulkan rasa iri. Ia adalah kesayangan Dewi Fortuna yang
85 manja. Tapi bagi sang dokter, ia hanya merupakan ulangan dari sebuah lagu lama
yang populer, Gadis kecil kaya yang malang....
Louise bertubuh kecil dan rapuh, rambutnya keriting pirang, ditata agak kaku di
sekitar wajahnya, matanya biru besar dan sayu.
Louise sudah agak kuyu. Arus panjang ucapan selamat telah meletihkannya. la
berharap bisa pergi secepatnya. Mungkin sebentar lagi Harry akan mengatakannya.
Ia mengerling pada Harry. Suaminya kelihatan begitu jangkung, dadanya bidang,
dan ia kelihatan begitu senang dan gembira dalam pesta yang membosankan ini.
Gadis kecil kaya yang malang....
"Hhhmp!" Louise mendesah lega.
H&rry menoleh dan menatap istrinya dengan senang. Mereka sedang dalam perjalanan
pulang dari pesta itu. "Membosankan sekali pestanya, ya, Sayang!" kata istrinya.
Harry tertawa- "Ya, membosankan sekali. Tak apalah, sayangku. Itu memang harus
kita hadapi. Semua kucing tua itu mengenalku waktu aku masih kecil dan tinggal
di sini. Mereka pasti akan kecewa sekali bila tak bisa melihatmu dari dekat."
Louise nyengir. "Apakah kita harus sering bertemu dengan mereka?" tanyanya.
"Apa" Oh, tidak. Mereka akan datang berkunjung, lalu kau harus membalas
kunjungan itu. Setelah itu, tak perlu lagi. Kau bisa memilih
86 teman-temanmu sendiri, atau apa saja yang kausukai."
Sebentar kemudian Louise berkata, "Tak adakah seorang pun yang menyenangkan di
sekitar sini?" "Oh, ada. Ada Perkumpulan Desa. Tapi mungkin kau juga akan menganggap mereka
agak membosankan, karena kebanyakan hanya berminat pada bunga, anjing, dan kuda.
Kau juga bisa menunggang kuda. Kau pasti akan senang. Di Eglinton ada seekor
kuda. Akan kubawa kau melihatnya. Hewan yang cantik sekali, sudah terlatih
dengan baik, tidak jahat, tapi agak liar."
Mobil mengurangi kecepatan karena akan membelok ke pintu pagar Kingsdean. Harry
menekan rem kuat-kuat dan mengumpat ketika sesosok tubuh besar melompat ke
tengah jalan, dan Harry hampir saja tak bisa menghindarinya. Sosok itu berdiri
di situ sambil mengacung-acungkan tinju dan berteriak pada mereka.
Louise mencengkeram lengan suaminya. "Siapa itu... wanita mengerikan itu?"
Harry mengerutkan alisnya sampai bertemu. "Itu si tua Murgatroyd. Dia dan
suaminyalah yang menjaga rumah tua dulu. Hampir tiga puluh tahun mereka tinggal
di situ." "Mengapa dia mengacung-acungkan tinjunya padamu?"
Wajah Harry menjadi merah. "Dia... yah, dia tak suka rumah itu dirobohkan. Sebab
dia jadi tersingkir. Suaminya meninggal dua tahun yang
87 lalu. Kata orang, dia jadi kurang waras setelah suaminya itu meninggal."
"Apakah dia... dia tidak kelaparan, kan?"
Pikiran Louise terbatas dan agak menyedihkan. Orang-orang kaya memang kadang tak
bisa melihat kenyataan. Harry jadi marah sekali. "Ya Tuhan, Louise, pikiran apa itu! Aku tentu saja
memberinya uang pensiun... dan dalam jumlah besar! Bahkan aku mencarikan dia rumah
baru." "Lalu mengapa dia keberatan?" tanya Louise kebingungan.
Harry mengerutkan alisnya lagi. "Mana aku tahu" Karena gila tentu! Dia mencintai
rumah itu." "Padahal kan sudah bobrok sekali, ya?"
"Memang. Sudah hancur. Atapnya sudah bocor dan bangunan itu sudah tidak aman.
Namun kurasa rumah itu sangat berarti baginya. Lama sekali dia tinggal di situ.
Ah, entahlah. Sudah benar-benar gila dia rupanya."
Dengan rasa cemas Louise berkata, "Dia... kurasa dia mengutuk kita. Oh, Harry,
semoga dia tidak melakukannya."
Louise merasa rumah barunya ternoda dan diracuni oleh sosok mengerikan perempuan
tua jahat yang gila itu. Bila ia bepergian dengan mobil, berkuda, atau berjalan-
jalan dengan anjing-anjing, sosok itu selalu ada. Duduk meringkuk dengan topi
kumuh menutupi rambut kusutnya yang beruban, sambil menggumamkan kutukannya.
88 Louise jadi percaya bahwa Harry memang benar perempuan tua itu gila Namun hal ?itu tidak mempermudah keadaan. Mrs. Murgatroyd tak pernah mendatangi rumah
mereka, tidak mengucapkan ancaman-ancaman yang jelas, dan tidak melakukan
kekerasan. Sosoknya yang meringkuk itu tetap tinggal di luar pintu pagar. Tidak
ada gunanya mengadukan wanita itu ke polisi, dan Harry memang tak mau mengambil
langkah itu. Katanya itu malah akan mengundang simpati orang banyak terhadap si
tua jahat itu. Ia menghadapinya dengan lebih santai daripada Louise.
"Jangan kuatir, Sayang. Dia akan bosan sendiri dengan kutukan-kutukannya itu.
Mungkin dia hanya mencoba kita saja."
"Tidak, Harry. Dia... dia benci pada kita! Aku bisa merasakannya. Dia mendoakan
yang jahat bagi kita."
"Dia bukan nenek sihir, Sayang, meskipun kelihatannya memang seperti itu! Jangan
ketakutan terus." Louise diam. Setelah kesibukan mengatur hidup barunya sudah selesai, anehnya ia
merasa kesepian dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah terbiasa dengan
kehidupan di London dan Riviera. Ia tidak tahu dan tidak mengerti tentang
kehidupan desa di Inggris. Ia tidak pandai berkebun, kecuali menata bunga. Ia
tidak begitu suka pada anjing. Ia merasa bosan dengan tetangga-tetangganya. Yang
paling disukainya adalah menunggang kuda, kadang-kadang dengan Harry, kadang-
kadang seorang diri, 89 bila Harry sibuk dengan urusannya. Ia berkuda melalui hutan-hutan dan jalan
setapak, menikmati lari kuda cantik yang dibelikan Harry untuknya. Tapi bahkan
Prince Hall, kuda berwarna cokelat yang sangat penurut itu, cenderung jadi
ketakutan dan mendengus bila ditunggangi nyonyanya melewati sosok perempuan tua
jahat yang meringkuk itu.
Pada suatu hari, Louise memberanikan diri. Ia sedang berjalan-jalan di luar. Ia
melewati Mrs. Murgatroyd dengan berpura-pura tidak melihatnya, tapi tiba-tiba ia
berbalik dan berjalan mendatanginya. Dengan agak terengah ia berkata, "Ada apa"
Apa sebenarnya" Apa yang kauinginkan?"
Perempuan itu melihat padanya sambil menger-japkan mata. Wajahnya cerdik dan


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap, seperti wajah gipsi, matanya dipicingkan dengan curiga, rambutnya yang
penuh uban-tampak kusut. Louise jadi ingin tahu, apakah ia biasa minum minuman
keras. Ia berbicara dengan suara melengking yang mengandung ancaman. "Kau bertanya apa
yang kuinginkan" Apa, coba! Sesuatu yang telah dirampas dariku. Siapa yang telah
mengusirku dari Kingsdean House" Aku sudah tinggal di situ sejak gadis sampai
tua, hampir empat puluh tahun lamanya. Sungguh jahat mengusirku keluar dari
situ, dan nasib buruk dan siallah yang akan menimpamu dan suamimu!"
"Bukankah kau sudah diberi rumah kecil yang bagus dan...," kata Louise.
90 Kata-katanya terputus karena lengan perempuan tua itu melayang ke atas. Ia
berteriak, "Apa gunanya itu untukku" Yang kuinginkan adalah tempatku sendiri,
perapianku sendiri, di mana aku selalu duduk selama bertahun-tahun. Dan mengenai
kau dan suamimu, dengarlah kata-kataku, tidak akan ada kebahagiaan untuk kalian
di rumah baru kalian yang bagus itu. Kesedihan mendalam akan menimpa kalian!
Kesedihan dan kematian karena ku-tukanku. Semoga wajahmu yang cantik itu
membusuk." Louise berbalik, lalu lari dengan terhuyung-huyung. Aku harus pergi dari sini!
pikirnya. Kami harus menjual rumah ini! Kami harus pergi.
Pada saat itu, penyelesaian seperti itu terasa mudah. Tapi ia terkejut karena
Harry tak mau mengerti. "Pergi dari sini?" seru Harry. "Menjual rumah ini" Hanya
karena ancaman-ancaman seorang perempuan tua yang gila" Sudah gila kau!"
"Tidak. Tapi dia... dia menakutkan. Aku yakin akan terjadi sesuatu."
Dengan tegas Harry berkata, "Serahkan Mrs. Murgatroyd padaku. Biar aku yang
menyelesaikannya!" Suatu persahabatan telah terjalin antara Clarice Vane dan Mrs. Laxton muda itu.
Kedua wanita itu kira-kira sebaya, meskipun watak dan selera keduanya berbeda.
Berada di dekat Clarice, Louise merasa percaya diri. Louise menceritakan tentang
Mrs. Murgatroyd dan ancaman-ancamannya. Tapi
91 menurut Clarice hal itu menjengkelkan, bukan menakutkan.
"Keadaan seperti itu perbuatan orang bodoh," katanya. "Dan pasti
menjengkelkanmu." "Tahukah kau, Clarice, aku... kadang-kadang aku ketakutan sekali. Jantungku
berdebar-debar terus."
"Omong kosong, jangan biarkan dirimu kalah oleh perbuatan bodoh semacam itu
Dalam waktu singkat, dia akan bosan sendiri."
Louise diam saja beberapa lama. "Ada apa?" tanya Clarice.
Louise^diam sebentar, kemudian menjawab cepat-cepat, "Aku benci tempat ini! Aku
tak suka berada di sini. Hutan-hutan itu, rumah ini, dan kesunyian yang
mengerikan di malam hari, juga suara aneh burung hantu. Juga orang-orangnya,
pokoknya segala-galanya."
"Orang-orangnya" Orang-orang mana?"
"Orang-orang di desa. Perawan-perawan tua yang suka mengintip dan bergunjing."
Dengan tajam Clarice berkata, "Apa kata mereka?"
"Aku tak tahu. Tak ada yang khusus. Tapi pikiran mereka busuk. Bila kita
berbicara dengan mereka, kita merasa bahwa kita tak bisa mempercayai siapa pun
lagi sama sekali tak ada yang bisa dipercayai."?"Ah, lupakan mereka," kata Clarice tajam. "Mereka tak punya kegiatan lain
kecuali bergunjing. Dan kebanyakan bahan pembicaraan itu mereka karang sendiri."
" 92 "Kalau saja kami tidak datang kemari," kata Louise. "Tapi Harry memuja tempat
ini," katanya dengan suara halus.
Louise memuja Harry, pikir Clarice. Tiba-tiba ia berkata, "Aku harus pergi."
"Biar kusuruh sopir mengantarmu pulang. Datang lagi secepatnya, ya?"
Clarice mengangguk. Louise merasa terhibur dengan kunjungan teman barunya itu.
Harry senang melihatnya lebih ceria, dan sejak itu disuruhnya istrinya untuk
meminta agar Clarice sering datang.
Lalu pada suatu hari ia berkata, "Ada kabar baik untukmu, Sayang."
Makam Ke Tiga 2 Pendekar Mabuk 05 Murka Sang Nyai Makam Bunga Mawar 6
^