Pencarian

Ledakan Dendam 1

Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie Bagian 1


Agatha Christie Ledakan Dendai
Pembunuhan empat ribu tahun yang lalu."
Setelah suaminya meninggal, Renisenb mencari kedamaian dengan kembali ke rumah
ayahnya,di tebing Sungai Nil. Tapi di balik rumah tangga ayahnya yang makmur itu
mengintai keserakahan nafsu dan kebencian.Dan dengan kedatangan Nofret selir
yang angkuh itu, nafsu jahat di dalam keluarga itu meledak menjadi pembunuhan....
Benar-benar baru... rasa kagum saya yang memang sudah besar terhadapnya, makin
meningkat. Observen Suatu masalah yang mencekam.. mengejutkan bahkan bagi pembaca yang berpengamatan
paling tajam sekalipun SCOSTMAN Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl Palmerah Selatan 24-26 Lt 6
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang. I
.Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan seng a dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak sualu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum sualu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayal (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama S (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Agatha Christie LEDAKAN DENDAM Penerbit PT Gramedia Pustaka Ulama, Jakarta, 1992
DEATH COMES AS THE END by Agatha Christie
Copyright " 1945 Agatha Christie Mallowan
LEDAKAN DENDAM Alihhahasa: Ny. Suwarru AS.
GM 402 92.643 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit FT Gramedia Pustaka Utama
II. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Desember 1992
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (kdt)
CHRISTIE, Agaiha Ledakan Dendam / Agatha Christie ; alihbahasa, Ny. Suwarni A.S. Jakarta : ?Gramedia Pustaka Utama, 1992.
344 him. ; 18 cm. ISBN 979-511-643-6 I. Judul. D. Suwarni A.S.
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
KEPADA PROFESOR S.R.K. GLANVILLE
Stephen yang baik, Engkaulah yang pertama-tama menganjurkan agar aku menulis sebuah cerita detektif
dengan latar belakang Mesir Kuno. Tanpa bantuan serta do ronganmu, buku ini
takkan pernah ditulis. Ingin kunyatakan bahwa aku senang sekali de-T ngan buku-buku bacaan yang telah
kaupinjamkan padaku, dan aku ingin pula menyampaikan rasa terima kasihku sekali
lagi, atas kesabaranmu menjawab pertanyaan pertanyaanku, serta waktu dan bantuan
yang telah kaubonkan padaku.
Sudah pernah kuceritakan padamu, betapa senang dan berminatnya aku dalam menulis
buku ini.Sahabat yang menyayangimu
dan berterima kasih padamu,
Agatha Christie Catatan dari Penulis Peristiwa dalam buku ini terjadi di tebing barat Sungai Nil di Thebes, Mesir,
kira-kira dua ribu tahun sebelum Masehi. Baik tempat maupun waktu dalam cerita
ini hanya kebetulan saja. Hal semacam itu bisa saja terjadi di tempat dan waktu
yang lain. Tetapi kebetulan tokoh-tokoh maupun plotnya bersumber pada dua atau
tiga surat Mesir dari Dinasti XI, yang ditemukan kira-kira dua pu
T luh tahun yang lalu oleh the Egyptian Expedition of the Metropolitan Museum of
Art, New York, di sebuah pemakaman batu karang di seberang Luxor. Penemuan itu
telah diterjemahkan oleh Profesor Battiscombe Gunn (yang waktu itu belum menjadi
profesor) di Buletin Museum.
Mungkin menarik bagi pembaca untuk mengetahui bahwa persembahan Misa Ka yang ?merupakan acara harian penting dalam kebudayaan Mesir Kuno pada dasarnya sama
?dengan acara doa pada zaman pertengahan. Imam Ka diberi kekayaan. Sebagai
imbalannya, ia harus memelihara makam si pemberi kekayaan itu, dan menyampaikan
persembahan-persembahan di makamnya pada hari-hari raya tertentu sepanjang
tahun, demi ketenangan jiwa orang yang sudah meninggal tersebut
Almanak Pertanian Mesir Kuno terdiri atas tiga musim yang masing-masing empat
bulan lamanya, dan setiap bulan ada tiga puluh hari. Almanak itulah yang
merupakan latar belakang kehidupan petani kecil. Dengan tambahan lima hari pada
akhir tahun, almanak itu dipakai sebagai kalender resmi, di mana setiap tahun
ada 365 hari. Di Mesir, tahun-tahun itu semula dimulai dengan tibanya saat
pasang naik dari Sungai Nil, yaitu dalam minggu ketiga bulan Juli menurut
perhitungan kita. Tapi karena tak ada tahun Kabisat, maka perhitungan tahun itu
terlambat selama berabad-abad. Dengan demikian, waktu cerita ini berlangsung,
maka hari Tahun Baru yang resmi jatuh kira-kira enam bulan lebih awa daripada
permulaan tahun pertanian, yaitu dalam bulan Januari, dan bukan m dalam bulan
Juli. Agar pembaca tak perlu terus-menerus memperhitungkan selisih enam bulan
tersebut, maka tanggal-tanggal yang di sini dipakai sebagai judul setiap bab,
dinyatakan dengan perhitungan tahun pertanian pada zaman itu, yaitu berdasarkan
masa pasang naik air sungai pada akhir bulan Juli sampai akhir bulan November,
?musim dingin pada akhir bulan November sampai akhir bulan Maret, dan musim
?panas pada akhir bulan Maret sampai akhir bulan Juli
?BAB I Bulan Kedua Masa Pasang Naik hari ke-20
?Renisenb berdiri memandangi Sungai Nil.
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara nyaring kakak-kakaknya, Yahmose dan Sobek,
yang sedang memperdebatkan apakah tanggul-tanggul di tempat-tempat tertentu
perlu diperkuat atau tidak. Sebagaimana biasa, suara Sobek tinggi dan penuh
percaya diri. Ia memiliki kebiasaan memaksakan pendapat-pendapatnya dengan penuh
keyakinan. Suara Yahmose rendah dan bernada menggerutu, menyatakan keraguan dan
rasa khawatirnya. Yahmose memang selalu khawatir tentang sesuatu. Ia adalah
putra sulung, dan selama ayah mereka berada di daerah utara, urusan pengelolaan
tanah-tanah pertanian boleh dikatakan berada dalam tangannya. Yahmose adalah
orang yang lamban, amat berhati-hati, dan cenderung suka mencari kesulitan-
kesulitan yang sebenarnya tak ada. Tubuhnya besar dan geraknya lamban. Ia sama
sekali tidak seperti Sobek yang selalu ceria dan penuh percaya diri.
Seingat Renisenb, sejak masa kanak-kanak ia sering mendengar kedua kakaknya itu
berdebat dengan nada dan gaya yang begitu-begitu juga. Keadaan itu tiba-tiba memberinya
rasa aman.... Ia sudah berada di rumahnya lagi. Ya, ia sudah kembali....
Tapi bila ia melihat lagi ke seberang, ke sungai yang pucat berkilat, timbul
kembali perasaan memberontak dan sakit hatinya. Khay, suaminya yang masih muda,
telah meninggal.... Khay yang senantiasa tersenyum dan berbahu kekar. Khay kini
telah berada bersama Osiris dalam Kerajaan Kematian, sedangkan ia, Renisenb,
istri yang sangat dicintainya, ditinggalkannya dalam keadaan sedih. Delapan
tahun mereka hidup bersama. Ia menikah dengan Khay dalam usia yang masih sangat
muda, dan kini ia kembali ke rumah ayahnya sebagai janda_bersarna anaknya, Teti.
Pada saat ini, ia merasa seolah-olah tak pernah pergi....
Ia menyukai pikiran itu....
Ia akan bisa melupakan masa delapan tahun itu masa yang begitu penuh ?kebahagiaan, yang kemudian hancur dan terkoyak oleh kepedihan dan kehilangan.
Ya, ia ingin melupakannya, mengenyahkannya dari pikirannya. Ia ingin kembali
menjadi Renisenb, putri Imhotep, pendeta Ka. Wanita muda yang ceria tanpa beban.
Kecintaan terhadap suami dan kekasih ini merupakan sesuatu yang kejam, yang
telah menipunya karena manisnya. Ia terbayang akan pundak Khay yang kekar dan
kecoklatan, serta mulutnya yang selalu tertawa. Tapi
10 kini Khay telah dibalsam, terbungkus dalam pembalut, dan dilindungi oleh jimat-
jimat dalam perjalanannya di dunia lain. Kini tak ada lagi Khay di dunia ini.
Khay yang berlayar di Sungai Nil, menangkap ikan sambil tertawa-tawa dan
menengadah ke matahari, sementara ia, Renisenb, bersandar di sampan dengan Teti
di pangkuannya, membalas tawanya itu____ "Aku tak mau lagi mengenang masa itu," pikir Renisenb. "Itu sudah berlalu! Kini
aku berada di rumahku. Segalanya seperti sediakala. Kelak aku pun akan kembali
seperti biasa. Segalanya akan seperti dulu lagi. Teti pun sudah lupa. Ia bermain
dengan anak-anak yang lain, dan tertawa-tawa."
Renisenb mendadak berbalik, lalu berjalan menuju rumah kembali. Dalam
perjalanan, ia berpapasan dengan beberapa ekor keledai pembawa beban yang sedang
dihalau ke arah tebing sungai. Ia melewati lumbung-lumbung gandum dan gudang-
gudang di luar rumah, lalu melewati sebuah pintu pagar, masuk ke halaman rumah.
Menyenangkan sekali keadaan di halaman itu. Di situ ada danau buatan, yang
dikelilingi bunga oleander dan bunga jasmine yang sedang mekar, dan dilindungi
oleh pohon-pohon kurma. Teti dan anak-anak yang lain sedang bermain-main di situ
sekarang, suara mereka terdengar jernih dan melengking. Mereka berlari-lari
keluar-masuk pondok peristirahatan yang terdapat di salah satu sisi danau.
Tampak oleh Renisenb bahwa Teti sedang bermain dengan seekor singa dari kayu,
yang mulutnya bisa terbuka dan tertutup bila ditarik dengan seutas tali. Ia
sendiri, waktu masih kecil, sangat menyukai mainan itu. Sekali lagi ia berpikir
dengan rasa syukur, "Aku sudah kembali...." Tak ada satu pun yang berubah di sini,
semuanya masih seperti sediakala. Di sini kehidupan aman, tenteram, dan tak
berubah. Kini Teti-lah anak di sini, sedangkan ia sendiri menjadi salah seorang
ibu, dalam lingkungan tembok rumah ini namun kerangka dan inti dari segala-
?galanya tidak berubah. Sebuah bola yang sedang dimainkan oleh salah seorang anak, menggelinding ke
kakinya. Renisenb memungutnya dan melemparkannya kembali sambil tertawa.
Renisenb berjalan terus ke arah beranda yang pilarrpilarnya berwarna-warni
cerah. Ia langsung masuk ke dalam rumah, ke balai tengah yang besar dan dihiasi
bunga teratai dan bunga poppy beraneka warna. Kemudian ia berjalan terus ke
bagian belakang rumah, yang merupakan bagian tempat tinggal para wanita.
Telinganya menangkap suara-suara nyaring, dan ia berhenti lagi. Dengan senang ia
menikmati gema suara lama yang sudah dikenalnya itu. Suara-suara Satipy dan Kait
yang selalu bertengkar! Nada bicara Satipy masih tetap sama. Tinggi, mengandung
perintah, dan ketus! Satipy adalah istri kakaknya, Yahmose. Ia seorang wanita
bertubuh tinggi, penuh semangat, dan bersuara nyaring. Ia cukup cantik, tapi
sikapnya cenderung seperti orang yang suka memerintah. Ia gemar
12 mengatur, dan suka membentak-bentak para pelayan, menganggap segalanya salah,
menyuruh orang melakukan hal-hal yang tak masuk akal, hanya karena nafsunya
untuk menindas dan menonjolkan pribadinya. Semua orang takut akan lidahnya yang
tajam, dan mereka selalu cepat-cepat mematuhi perintah-perintahnya. Yahmose
sendiri sangat mengagumi istrinya yang tegas dan bersemangat itu. Dibiarkannya
dirinya dikuasai istrinya sedemikian rupa, sehingga Renisenb sering marah
melihatnya. Sekali-sekali, di sela-sela kalimat-kalimat Satipy yang diucapkan dengan suara
melengking itu, terdengar suara Kait yang tenang tetapi tegas. Kait bertubuh
gemuk, dan wajahnya biasa-biasa saja. Ia adalah istri Sobek yang tampan dan
ceria. Ia sangat menyayangi anak-anaknya, dan jarang sekali berfikir atau
berbicara tentang hal-hal lain, kecuali yang berhubungan dengan anak-anak itu.
Dalam perdebatan harian dengan kakak iparnya, ia mempertahankan dirinya dengan
cara sederhana, dengan ketenangan dan ketegaran yang tak tergoyahkan, yaitu
dengan mengulang-ulang semua pernyataan yang telah dikemukakannya sejak awal.
Tak pernah ia memperlihatkan sikap panas atau marah, dan ia tak pernah mau
mempertimbangkan pendapat siapa pun juga, kecuali pendapatnya sendiri. Sobek
sangat dekat dengannya. Dengan bebas ia menceritakan semua urusannya kepada
istrinya, karena ia tahu benar bahwa Istrinya itu akan bersikap mendengarkan dan
mengucapkan kata-kata yang menenangkan, baik dalam membenarkan maupun menyalahkan. Ia juga yakin bahwa
istrinya, takkan mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, karena pikirannya
pasti sedang dipenuhi oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan anak-anaknya.
"Menurutku, ini menjengkelkan sekali!" teriak Satipy. "Bila Yahmose memiliki
semangat seekor tikus saja, dia tentu takkan tinggal diam! Siapa yang
bertanggung jawab di sini, bila Imhotep sedang tidak berada di tempat" Yahmose!
Sebagai istri Yahmose, akulah yang seharusnya mendapat kesempatan pertama
memilih tikar-tikar tenunan dan bantal-bantal hiasan. Budak hitam yang badannya
sebesar kuda nil itu seharusnya..."
Kait menyela dengan suaranya yang berat dan dalam,
"Jangan, jangan, Sayang. Jangan makan rambut bonekamu. Lihat, ini ada yang lebih
enak gula-gula aduh, enak sekali...."? ?'Dan kau sendiri, Kait, kau tak tahu tata krama. Kau bahkan tidak mendengarkan
omonganku. Kau tidak menjawab. Kelakuanmu itu tak pantas."
"Bantal biru itu memang bantalku.... Wah, lihat si Ankh kecil dia sudah mencoba
?berjalan...." "Kau sama bodohnya dengan anak-anakmu, Kait, dan itu penting artinya! Tapi kau
takkan dapat menghindar begitu saja dari persoalan ini. Asal kau tahu saja, aku
akan tetap menuntut hakku."
Renisenb terkejut mendengar suara langkah ha
14 lus di belakangnya. Ia lalu berbalik dengan mendadak, dan ketika melihat
perempuan yang bernama Henet berdiri di belakangnya, timbul lagi rasa tak
senangnya yang memang sudah lama terpendam.
Wajah Henet yang tirus berubah menjadi senyuman agak getir, seperti biasanya.
"Anda akan merasa semuanya tak banyak berubah, Renisenb," katanya. "Saya sendiri
tak mengerti bagaimana kami semua kuat menahankan kata-kata Satipy! Kait tentu
saja boleh melawannya. Tapi beberapa di antara kita tidak begitu beruntung!
Mudah-mudahan saya tahu tempat saya saya sangat berterima kasih pada ayah Anda?yang telah memberi saya tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Ah, ayah Anda
memang seorang pria t* yang baik. Saya selalu berusaha berbuat sebisa saya^Saya selalu
bekerja membantu di sana, melakukan sesuatu di sini dan saya tidak
? ?mengharapkan ucapan terima kasih. Seandainya ibu Anda masih hidup, keadaannya
pasti lain. Beliau bisa menghargai saya. Kami berdua seperti bersaudara saja!
Dia seorang wanita yang cantik. Yah, saya telah menjalankan tugas saya, dan
memenuhi janji saya kepadanya. 'Jaga anak-anakku,
Henet,* katanya waktu dia akan meninggal. Dan saya tetap setia pada janji
?saya. Saya telah mem-perbudak diri saya bagi kalian semua, dan tak pernah
mengharapkan ucapan terima kasih. Ya, tak pernah memintanya dan tak pernah pula
mendapatkannya! *Ah, dia hanya si Henet tua,' kata orang,
15 'dia tak masuk hitungan.' Tak ada orang yang memikirkan saya. Untuk apa" Saya
hanya berusaha membantu, itu saja."
Ia membungkuk, berjalan menyelinap seperti seekor belut, melewati Renisenb, lalu
masuk ke kamar dalam. "Maaf, Satipy, tapi mengenai bantal-bantal itu, saya kebetulan mendengar Sobek
berkata..." Renisenb pergi meninggalkan tempat itu. Rasa bencinya pada Henet makin meningkat
Aneh, mengapa mereka semua benci pada Henet! Mungkin itu disebabkan oleh
suaranya yang meratap, keluh kesahnya yang tak berkesudahan, dan kesenangan
jahatnya yang kadang-kadang timbul, yaitu mengobarkan api pertengkaran di antara
orang-orang. "Oh, ya," pikir Renisenb, "mengapa tidak?" Menurutnya, memang begitulah cara
Henet menyenangkan dirinya. Hidup ini pasti membosankan sekali baginya, dan
memang benar bahwa ia bekerja keras sekali, dan memang tak ada orang, yang
merasa berterima kasih padanya. Orang memang tak bisa merasa berterima kasih
pada Henet, sebab ia selalu mencoba menarik perhatian orang terhadap kebaikan-
kebaikannya sendiri, hingga semua reaksi yang baik yang kita rasakan, jadi
membeku. Henet sudah ditakdirkan menjadi orang yang selalu harus mengabdi pada orang-
orang lain, tapi tak disayangi oleh siapa pun juga. Penampilannya tidak menarik,
dan bodoh pula. Tapi ia selalu tahu
16

Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa suara, telinganya yang tajam, dan matanya yang cepat menangkap dan selalu
mengintai, membuat orang yakin bahwa tak ada satu hal pun yang dapat lama-lama
dirahasiakan darinya. Kadang-kadang apa yang diketahuinya itu disimpannya
sendiri lain kali ia berkeliling dari satu orang ke orang lain, sambil
?berbisik-bisik. Lalu dengan se-f nangnya ia bersembunyi untuk melihat hasil gun-
jingannya itu. Pernah semua orang di rumah itu memohon pada Imhotep supaya menyuruh perempuan
itu pergi, tapi Imhotep tak pernah mau mendengar usul seperti itu. Mungkin
dialah satu-satunya orang yang sayang pada Henet, dan Henet pun mengabdikan
dirinya pada majikannya itu dengan sepenuhnya, hingga sejuruh kclu^rga_jnnak
melihat- *r* nya.?Renisenb berdiri sesaat dengan bingung, mendengarkan keributan kakak-kakak
iparnya yang makin menjadi-jadi, gara-gara campur tangan Llenet yang mengobarkan
api perdebatan itu lagi. Lalu lambat-lambat ia berjalan ke arah ruang kecil di
mana Esa, neneknya, duduk seorang diri, ditunggui oleh dua gadis budak kecil
berkulit hitam. Orang tua itu sedang sibuk memeriksa pakaian 9 pakaian dari
linen yang mereka perlihatkan padanya, dan ia memarahi mereka dengan caranya
yang khas dan ramah. Ya, semuanya masih sama. Renisenb berdiri mendengarkan, tanpa terlihat oleh Esa*
yang sudah tua. Esa tidak banyak berubah, hanya lebih keriput
17 saja. Suaranya masih tetap sama, dan kata-kata yang diucapkannya pun masih sama.
Boleh dikatakan, kata demi kata, sebagaimana yang diingat Renisenb sebelum ia
meninggalkan rumah itu delapan tahun yang lalu....
Renisenb menyelinap lagi ke luar. Baik wani tua itu, maupun kedua gadis budak
cilik itu, tidak melihatnya. Beberapa saat lamanya Renisenb berhenti di dekat
pintu dapur yang terbuka. Aroma bebek panggang, suara percakapan dan tawa yang
amat ramai, serta suara orang yang memarahi, semuanya membaur jadi satu.
Sementara itu, seonggok sayuran sudah siap untuk dikerjakan.
Renisenb berdiri tak bergerak, matanya setengah terpejam. Dari tempatnya
berdiri, ia bisa mendengar segala sesuatu yang terjadi. Aneka suara ramai dari
dapur, suara Esa yang bernada tinggi dan melengking, nada bicara Satipy yang
ketus, dan samar-samar sekali suara Kait yang rendah tapi tegas. Juga suara-
suara para wanita lainnya yang bercampur aduk yang mengobrol, tertawa,
?mengeluh, marah-marah, memekik....
Renisenb, yang terkurung dalam suasana ribut tanpa henti itu, tiba-tiba merasa
tercekik. Wanita-wanita yang ribut dan ramai! Rumah yang penuh dengan wanita.
Tak pernah tenang, tak pernah damai. Selalu bercakap-cakap, berteriak, dan
berbicara saja, tapi tak pernah berbuat sesuatu]
Sedangkan Khay... Khay yang diam dan waspada di sampannya, yang pikirannya
terpusat pada ikan yang akan ditombaknya....
18 ? Tak ada lidah-lidah yang terus berbicara, tak ada kegaduhan tanpa henti seperti
ini____ Cepat-cepat Renisenb keluar lagi dari rumah, ke udara terbuka yang panas, cerah,
dan tenang. Dilihatnya Sobek kembali dari ladang, dan di kejauhan, Yahmose
sedang mendaki ke arah makam.
Renisenb berbalik, lalu mengambil jalan naik ke tebing-tebing batu karang di
mana makam itu berada. Itu makam Meriptah yang Agung, dan ayah Renisenb adalah
pendeta yang bertanggung jawab atas pemeliharaannya. Semua kekayaan dan tanah
yang mereka miliki adalah bagian dari imbalan atas pemeliharaan makam itu.
Bila ayahnya sedang tidak berada .di tempat, kewajiban sebagai pendeta Ka itu
jatuh pada kakaknya, Yahmose.
Renisenb berjalan perlahan-lahan, mendaki jalan setapak yang curam. Ketika tiba
di atas, didapatinya Yahmose sedang berbincang-bincang dengan Hori, orang yang
menangani segala urusan ayahnya. Mereka berada di sebuah kamar kecil dalam batu
karang, di sebelah kamar persembahan makam itu.
Di atas lutut Hori terbentang selembar papirus, dan ia sedang menekuninya,
berdua dengan Yahmose. * Keduanya tersenyum pada Renisenb ketika ia masuk. Renisenb lalu duduk di dekat
mereka di tempat yang teduh. Sejak kecil, Renisenb sayang sekali pada Yahmose.
Yahmose lembut dan penuh kasih terhadapnya, juga pemurah dan baik hati.
19 Hori pun selalu baik pada si kecil Renisenb, dan kadang-kadang suka memperbaiki
mainannya. Waktu Renisenb pergi, Hori masih seorang pemuda pendiam yang serius,
dengan jari-jari halus dan cekatan. Walaupun kini ia tampak lebih tua, menurut
Renisenb ia boleh dikatakan tidak berubah. Seingat Renisenb, senyum tenang yang
diberikannya masih tetap sama dengan yang dulu.
Yahmose dan Hori sedang bergumam bersama-sama,
"Tujuh puluh tiga ikat jelai, ditambah dengan hasil si Ipy____"
"Jadi jumlahnya dua ratus tiga puluh ikat gandum dan seratus tiga puluh ikat
jelai." "Ya, tapi ada pula harga kayu, dan hasil panennya sudah dibayar dengan minyak di
Perhaa " Pembicaraan mereka terus berlanjut Renisenb duduk saja dengan senang dan
terkantuk-kantuk, mendengarkan gumaman kedua pria itu. Kemudian Yahmose bangkit,
lalu pergi setelah mengembalikan papirus itu pada Hori.
Renisenb tetap duduk diam-diam, menemaninya.
Lalu ia menunjuk ke sebuah gulungan papirus lain, dan bertanya, "Apakah itu dari
ayahku?" Hori mengangguk. "Apa kata Ayah?" tanyanya ingin tahu. Dibukanya gulungan itu, lalu ditatapnya
huruf-huruf khas yang tak ada artinya bagi matanya yang tak terlatih.
Sambil tersenyum, Hori membungkuk di belakangnya, lalu dibacakannya huruf-huruf
itu sam - 20 bil menelusurinya dengan jarinya. Surat itu ditulis oleh seorang penulis surat
khusus di Heracleopolis. Pilihan kata-katanya indah.
Imhotep, pelayan masyarakat dan pelayan Ka, berkata, "Semoga keadaan kalian sama
dengan keadaan orang-orang yang hidup sejuta kali. Semoga Dewa Herishaf, dewa
dari Heracleopolis, dan semua dewa yang ada, menolong kalian. Semoga Dewa Ptah
menyenangkan hati kalian seperti orang-orang yang lama hidupnya. Putra berbicara
kepada ibunya, pelayan Ka berbicara kepada ibunya, Esa. Bagaimana keadaan Ibu"
Selamat dan sehatkah". Pada seisi rumah, bagaimana kabar kalian" P."/.".'.
putraku Yahmose, bagaimana keadaanmu" Selamat dan sehat" Kelolalah tanahku
sebaik-baiknya. Bekerjalah sekeras mungkin, galilah tanah dengan bersungguh-
sungguh. Bila kau rajin, aku akan bersyukur pada dewa karenamu...."
Renisenb tertawa. "Kasihan Yahmose! Aku yakin dia bekerja cukup keras," katanya. Mendengar
peringatan-peringatan dari ayahnya itu, ia jadi terbayang jelas akan
Imhotep sikapnya yang suka menyombong dan agak cerewet, serta peringatan-?peringatan dan instruksi-instruksinya yang tak berkesudahan.
Hori membaca lagi, "Jagalah putraku, Ipy, baik-baik Kudengar dia merasa tak puas. Jaga pula supaya
Satipy memperlakukan Henet dengan baik Ingat Uul^Ja-
^TAMAN B AC A AM i " i A "\
ngan lengah memberikan laporan tentang rami dan minyak. Jagalah panen gandumku.
Jagalah semua kekayaanku baik-baik, karena aku akan meminta
pertanggungjawabanmu. Kau dan Sobek akan susah kalau tanahku sampai kebanjiran.
" "Ayahku masih tetap seperti dulu," kata Renisenb dengan riang. "Selalu
beranggapan bahwa tak ada yang bisa dikerjakan dengan baik bila dia tidak berada
di sini." Gulungan papirus itu dibiarkannya jatuh, lalu ditambahkannya dengan halus,
"Semuanya masih seperti dulu...."
Hori tid .v menjawab. Diambilnya selembar papirus, lalu ia mulai menulis. Renisenb memandanginya
dengan malas beberapa saat lamanya. Ia merasa terlalu nyaman, dan segan
berbicara. Tapi kemudian ia berkata sambil merenung,
"Pasti menarik ya, kalau kita tahu cara menulis pada papirus" Mengapa tidak
semua orang mempelajarinya?"
"Karena tak perlu."
"Mungkin tidak, tapi pasti menyenangkan."
"Begitukah pendapatmu, Renisenb" Apa bedanya bagimu?"
Renisenb berpikir beberapa saat, lalu berkata lambat-lambat,
"Kalau kau bertanya begitu, aku benar-benar tak tahu, Hori."
Hori berkata, "Saat ini, dalam suatu masyarakat
22 yang luas hanya dibutuhkan beberapa orang juru tulis. Tapi kurasa akan tiba
saatnya di mana juru tulis akan banyak tersebar di seluruh Mesir."
"Itu bagus," kata Renisenb.
"Aku tak begitu yakin," kata Hori.
"Mengapa kau tak yakin?"
"Karena mudah sekali menuliskan sepuluh ikat "f rami, atau seratus ekor ternak,
atau sepuluh ladang gandum. Orang tak perlu bekerja keras untuk itu, dan apa-apa
yang tertulis itu akan kelihatan seperti sungguh-sungguh, Lalu si penulis akan
membenci orang-orang yang membajak ladang-ladang, yang memungut hasil rami, dan
mengurus hewan ternak, padahal semua ladang dan hewan pe^baraan itu benar-benar
ada, bukan sekadar angka-angka yang dituliskan dengan tinta pada papirus. Bila
semua ^ catatan dan papirus itu dimusnahkan, dan semua juru tulis sudah
tersebar, orang-orang yang menanam dan menuai akan tetap ada, dan Mesir akan
tetap hidup." Renisenb memandanginya dengan penuh minat Kemudian katanya lambat-lambat, "Ya,
aku mengerti maksudmu. Hanya segala sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan
dimakanlah yang benar-benar , ada.... Tak ada artinya menuliskan bahwa kita
memiliki dua ratus empat puluh ikat jelai, kalau kita tidak benar-benar memiliki
jelai itu. Sebab orang bisa saja menuliskan laporan bohong."
Hori tersenyum melihat wajah Renisenb yang serius. Tiba-tiba Renisenb berkata
lagi, 23 "Kau pernah memperbaiki mainan singaku yang dari kayu. Ingat, kan?"
"Ya, aku ingat, Renisenb."
"Sekarang Teti yang memainkannya.... Singanya masih singa yang lama itu."
Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Waktu Khay pergi ke Osiris, aku sedih sekali. Tapi sekarang aku sudah pulang.
Aku akan berbahagia lagi, dan melupakan kesedihanku, karena di sini segala-
galanya masih seperti dulu. Tak ada satu pun yang berubah."
"Begitukah menurutmu?"
Renisenb memandang Hori dengan tajam.
"Apa maksudmu, Hori?"
"Maksudku, perubahan selalu ada. Dalam delapan tahun tentu ada."
"Tak ada satu pun yang berubah di sini," kata Renisenb dengan penuh keyakinan.
'Kalau begitu, mungkin harus ada perubahan."
Dengan tajam Renisenb berkata,
"Tidak, tidak, aku ingin segala-galanya tetap seperti dulu!"
"Tapi kau sendiri tak sama dengan Renisenb yang pergi bersama Khay dulu."
"Aku tetap Renisenb yang sama! Atau kalau tidak, aku akan segera menjadi seperti
dulu lagi." Hori menggeleng. "Kita tak bisa surut ke belakang, Renisenb. Sama halnya dengan alat pengukurku
ini. Kuambil setengah, lalu kutambahkan seperempat, kutambahkan lagi
sepersepuluh, lalu seperdua puluh empat
24 lagi, dan akhirnya kaulihat, jumlah seluruhnya akan berbeda."
"Tapi aku hanya seorang Renisenb."
"Tapi Renisenb itu telah mengalami perkembangan, sehingga dia pun telah menjadi
Renisenb yang lain!"
"Tidak, tidak, kau tetap Hori yang dulu juga." "Mungkin kau berpikir begitu,
tapi kenyataannya tidak."
"Ya, ya, dan Yahmose juga masih tetap sama, selalu cemas dan khawatir, dan
selalu dibentak-bentak Satipy. Satipy dan Kait juga masih saja bertengkar
seperti biasa, mengenai tikar ata^u merjan. Kemudian, bila aku kembali, mereka
sudah tertawa-tawa lagi seperti dua orang sahabat karib. Sedangkan Henet masih
Isaja menyelinap ke sana kemari untuk memasang telinga, lalu meratap tentang
pengabdiannya. Dan nenekku tetap saja ribut dengan pelayan kecilnya tentang
bahan-bahan sandang! Semuanya sama saja! Kemudian ayahku pulang, dan terjadilah
keributan besar, dan dia akan berkata, 'Mengapa tidak kalian lakukan itu"' atau
'Seharusnya kalian lakukan itu.' Lalu Yahmose akan kelihatan sedih, dan Sobek
"kan tertawa saja dan bersikap kurang ajar mendengar kata-kata itu. Dan ayahku
akan memanjakan Ipy yang berumur enam belas tahun, seperti waktu anak itu masih
berumur delapan tahun. Pendeknya, sama sekali tak ada yang berubah!" Ia berhenti
bicara, kehabisan napas. Hori mendesah, lalu berkata dengan lembut,
25 "Kau tak mengerti, Renisenb. Ada kejahatan yang datangnya dari luar, yang
menyerang dengan terang-terangan sehingga dilihat oleh seluruh dunia. Tapi ada
pula kebusukan macam lain, yang berkembang dari dalam dan tidak kelihatan tanda-
tandanya dari luar. Kebusukan itu tumbuh perlahan-lahan, dari hari ke hari,
hingga akhirnya seluruh buah itu menjadi busuk, termakan oleh penyakit itu."
Renisenb menatapnya. Hori berbicara seperti orang linglung, seolah-olah ia tidak
sedang berbicara pada Renisenb, melainkan sedang merenung sendiri.
"Apa maksudmu, Hori?" pekik Renisenb dengan tajam. "Kau membuatku takut"
"Aku sendiri pun merasa takut"
"Tapi apa maksudmu" Kejahatan apa yang kaubicarakan itu?"
Hori lalu menoleh pada Renisenb, dan tiba-tiba tersenyum. ?"Lupakan saja kata-kataku tadi, Renisenb. Aku sedang memikirkan penyakit-
penyakit yang menyerang tanaman."
Renisenb mendesah dengan lega.
"Sekarang aku senang. Kupikir... entahlah, aku tak tahu apa yang kupikirkan."
26 BAB II Bulan Ketiga Masa Pasang Naik hari ke<"
?Satipy sedang bercakap-cakap dengan Yahmose. Suaranya tinggi melengking, dan
nadanya jarang beruban. "Kau harus menuntut hakmu. Dengarkan kata-kataku ini* Kau tidak akan pernah
dihargai orang, bila kau tidak menuntut hakmu. Ayahmu selalu mengatakan ini
harus begini, atau itu harus begitu, lalu mengapa kau tidak melakukan hal-hal
yang lain" Dan kau hanya mendengarkan saja dengan sabar, dan menyahut ya, ya,
dan ya saja, lalu kau meminta maaf atas hal-hal yang katanya seharusnya
dilakukan, padahal dewa-dewa pun tahu bahwa hal-hal itu sering tak mungkin
dikerjakan! Ayahmu memperlakukanmu seperti anak kecil anak kecil yang tak ?bertanggung jawab! Kau seperti anak seumur Ipy saja."
Yahmose berkata dengan tenang,
"Ayahku sama sekali tidak memperlakukan aku seperti dia memperlakukan Ipy."
"Memang tidak." Satipy menanggapi pokok pembicaraan yang baru itu dengan
semangat jahat yang baru lagi.
27 "Dia terlalu sayang pada anak manja itu! Dari hari ke hari, Ipy makin susah
diatur. Dia mondar-mandk^aja dengan angkuhnya kian kemari, sama sekali tak
pernah bekerja, seolah-olah apa pun yang harus dikerjakannya terlalu berat
baginya! Memalukan sekali! Semua itu karena dia tahu bahwa ayahnya takkan
memarahinya dan akan selalu memihak padanya. Mestinya kau dan Sobek mengambil
tindakan keras dalam hal itu."
Yahmose mengangkat bahu. "Apa gunanya"* "Kau membuatku gila, Yahmose. Memang itulah ciri khasmu! Kau tak punya semangat.
Kau sama lemahnya dengan seorang wanita! Apa saja yang dikatakan ayahmu,
langsung saja kausetujui!" "Aku sayang sekali pada ayahku." "Ya, dan dia
menyalahgunakannya! Dengan lemahnya kauterima saja semua kesalahan, dan kau
minta maaf untuk hal-hal yang bukan kesalahanmu' Kau harus berbicara dan
menjawab, melawannya seperti yang dilakukan oleh Sobek. Sobek tak takut pada
siapa pun juga!" "Ya, tapi ingatlah, Satipy, bahwa akulah yang diberi kepercayaan oleh ayahku,
bukan Sobek. Ayahku tidak memberikan kepercayaan pada Sobek. Segalanya
diserahkan pada pertimbanganku, bukan pada pertimbangan Sobek."
"Justru karena itulah kau seharusnya dimasukkan sebagai rekanan dalam semua
kekayaan ini! Kau mewakili ayahmu bila dia tidak berada di "tempat. Kau
bertindak sebagai pendeta Ka bila dia
28 tak ada. Segala-galanya diserahkan ke dalam tanganmu, tapi hakmu tidak diakui.
Seharusnya ada pengaturan hak yang benar. Kau sekaranfr sudah hampir setengah


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baya, jadi tak pantas kalau kau diperlakukan sebagai anak kecil."
Dengan ragu-ragu Yahmose berkata,
"Ayahku memang suka mengatur segala-galanya * sendiri."
"Tepat. Dia senang kalau semua orang di rumah ini bergantung padanya... dan pada
keinginan-keinginannya yang sering timbul mendadak. Itu tak baik, dan kebiasaan
itu akan lebih memburuk. Kali ini, bila dia pulang, kau harus berani
menghadapinya. Kau harus mengatakan bahwa kau menuntut suatu pengaturan
tertulis, bahwa kau harus diberi I kedudukan yang pasti."
"Diajakkan mau mendengarkan."
"Kalau begitu, kau harus memaksanya mendengarkan. Oh, kalau saja aku seorang
pria! Kalau saja aku jadi kau, aku pasti tahu apa yang harus kulakukan! Kadang-
kadang aku merasa menikah dengan seekor cacing*" Wajah Yahmose memerah.
? "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan. Mung " kin aku bisa... ya, barangkali aku
bisa berbicara dengan ayahku, memintanya..." .
"Jangan meminta. Kau harus menuntut. Bagaimanapun juga, kau sudah memegang tali
kendalinya sekarang. Tak seorang pun yang bisa diberinya kekuasaan di sini,
kecuali kau. Sobek ter - 29 lalu liar, ayahmu tidak mempercayainya, sedari/ kan Ipwnasih terlalu muda."
"Te^i -selalu masih ada Hori." "Hori bukan anggota keluarga. Ayahmu memang
bergantung pada penilaian Hori, tapi dia tidak akan menyerahkan kekuasaannya,
kecuali pada anak-anaknya sendiri. Tapi aku mengerti, kau terlalu lemah dan
penurut Urat-uratmu tidak dialiri oleh darah, melainkan oleh susu! Kau tidak
mempertimbangkan diriku atau anak-anak kita. Kelak, bila ayahmu meninggal,
barulah kita mendapatkan kedudukan yang sepantasnya." Dengan berat Yahmose
berkata, "Kau benci sekali padaku, ya, Satipy?" "Kau membuatku marah."
"Dengarkan! Aku akan berbicara pada ayahku a dia datang. Itu janjiku." Satipy
bergumam dengan suara halus, "Ya, tapi bagaimana kau akan berbicara" Sebagai
seorang pria, atau sebagai seekor tikus?"
II Kait sedang bermain-main dengan anak bungsunya, si kecil Ankh. Bayi itu baru
mulai berjalan, dan Kait memberikan semangat kepadanya sambil tertawa. Ia
berlutut di depan anak itu, dan menunggu dengan lengan "rentang, hingga anak itu
melangkah tanpa perhitungan, dan berjalan dengan oleng ke dalam pelukan ibunya.
Kait memamerkan kemajuan itu pada Sobek,
30 tapi tiba-tiba disadarinya bahwa suaminya itu tidak menaruh minat. Ia hanya
duduk saja dengan dahi berkerut dalam.
"Ah, Sobek, kau tidak menaruh perhatian. Menengok pun tidak. Anakku sayang,
katakan pada ayahmu bahwa dia nakal, karena tak mau melihatmu."
Dengan jengkel Sobek berkata,
"Banyak hal lain yang harus kupikirkan... dan yang menyusahkan hatiku." - Kait
berjongkok sambil melicinkan rambutnya ke belakang, dari alisnya yang tebal dan
hitam, yang tadi dicengkeram oleh Ankh. ?"Kenapa" Apakah ada yang tidak beres?"
Kait berbicara tanpa minat penuh. Pertanyaan itu keluar secara otomatis saja
Sobek berkata dengan marah,
"Kesulitannya adalah aku ini tak dipercayai. Ayahku sudah tua. Pikiran-
pikirannya kuno dan tak masuk akal. Dia selalu bersikeras untuk mengatur semua
kegiatan di sini. Dia tak mau mempercayakan apa pun juga pada pertimbanganku."
Kait menggeleng, lalu bergumam perlahan,
"Ya, ya, menyedihkan sekali."
"Kalau saja Yahmose memiliki semangat lebih besar, dan mau mendukungku, mungkin
masih ada harapan untuk membukakan mata ayahku. Tapi Yahmose lemah sekali. "emua
instruksi ayahk/ dilaksanakannya saja dengan patuh."
Kait menggemenncingkan beberapa butir merjan ke arah anaknya, lalu bergumam,
"Ya, itu benar-" TAMAN BA^4| "
j ?" JAVA " - v,
T YOGYAKARTA "Mengenai soal kayu itu, akan kukatakan pada ayahku bila dia datang kelak, bahwa
aku menggunakan pertimbanganku sendiri. Jauh lebih baik menerima bayaran dalam
bentuk rami daripada minyak."
"Pasti kau benar."
"Tapi ayahku sangat keras kepala, dan selalu ingin melaksanakan kehendaknya
sendiri. Dia akan memekik dan berteriak, 'Sudah kukatakan supaya kau mengadakan
transaksi dalam bentuk minyak. Segalanya tak beres bila aku tak berada di
tempat. Kau bodoh dan tak tahu apa-apa!' Memang pikirnya aku ini umur berapa"
Dia tidak menyadari bahwa sekarang aku sedang berada di puncak kemampuanku,
sedangkan dia sudah melewati masa Mu. Instruksi-instruksinya' *^n penolakannya
untuk mengizinkan dijalankannya jual be i secara lazim menyebabkan perdagangan
kita tidak berjalan dengan baik. Kita harus berani menanggung beberapa risiko,
kalau ingin mendapatkan kekayaan. Aku punya pandangan, juga keberanian. Ayahku
tidak memiliki kedua-duanya."
Sambil terus memandangi anaknya, Kait bergumam dengan halus,
"Kau pemberani dan pintar sekali, Sobek."
"Tapi aku akan mengatakan yang sebenarnya, kalau kali ini dia ber^i menyalahkan
aku dan meneriakkan kesa ahan kes lah nku' Kalau aku tidak diberi kebebasan, aku
akan angkat kaki dari sini. Sungguh, aku akan pergi!"
32 Kait yang sedang mengulurkan tangan ke arah anaknya, menoleh dengan tajam.
Geraknya terhenti. "Pergi" Ke mana kau akan pergi?"
"Ke suatu tempat! Rasanya tak tahan aku selalu dibentak-bentak dan disalahkan
oleh orang tua cerewet yang merasa dirinya penting, dan yang sama sekali tidak
memberikan kesempatan padaku untuk memperlihatkan kemampuanku."
"Tidak," kata Kait dengan tajam. "Kataku tidak, Sobek."
Sobek menatap istrinya, terkejut mendengar nada bicaranya yang menuntut supaya
kehadirannya diakui. Ia sudah begitu terbiasa menganggap istrinya sebagai
pendengar yang menenangkan, sehingga ia sering lupa "kan kehadiran istrinya
sebagai seorang wanita, sebrang manusia yang hidup dan dapat berpikir.
"Apa maksudmu, Kait?"
"Maksudku, aku tak mau membiarkanmu bertindak bodoh. Semua kekayaan ini milik
ayahmu. Tanah-tanah, perkebunan, ternak, hutan kayu, ladang-ladang
jelai semuanya! Bila ayahmu meninggal, kekayaan itu akan menjadi milik kita ? ?milikmu, milik Yahmose, dan milik anak-anak kita. Kalau kau bertengkar dengan
ayahmu, lalu pergi, maka bagianmu akan diberikannya pada Yahmose dan j|py.
Sekarang pun dia sudah terlalu m"nc.uyaj_ Ipv. Ipy tahu Ml, dan sengaja
memanfaatkannya. Jangan sampai kau dipermainkan oleh Ipy. Memang itulah yang
diinginkannya, yaitu su-33
paya kau bertengkar dengan ayahmu, Imhotep, lalu pergi Kita harus memikirkan
anak-anak kita." Sobek terus menatapnya, lalu tertawa kecil. Ia merasa heran.
"Wanita memang penuh dengan kejutan," katanya. "Aku tak tahu, Kait, bahwa kau
juga bisa bersikap keras."
Dengan serius Kait berkata lagi,
"Jangan bertengkar dengan ayahmu. Jangan melawan bicaranya. Sabarlah dan
bertindak bijaklah."
"Mungkin kau benar, tapi hal ini mungkin masih akan berlangsung selama bertahun-
tahun. Yang harus dilakukan ayahku adalah memasukkan kami sebagai rekanannya."
Kait menggeleng. "Dia takkan mau berbuat begitu. Dia' sangat senang mengatakan bahwa kita semua
makan rotinya, bahwa kita semua bergantung padanya, bahwa tanpa dia, kita semua
tak punya tempat tinggal."
Sobek memandanginya dengan rasa ingin tahu.
"Kau tak terlalu suka pada ayahku, ya, Kait?"
Tapi Kait sudah membungkuk lagi, menyibukkan diri dengan bayinya yang sedang
belajar berjalan. "Mari, sayangku... lihat ini bonekamu. Marilah! Ayo, kemari, kemari...." ^^kw .
Sobek menunduk, ~enatap kep.la Kait yang berambut hitam. Lalu ia pun keluar,
masih dengan perasaan heran.
34 III Esa menyuruh datang cucunya, Ipy.
Anak laki-laki itu seorang remaja yang tampan, tapi wajahnya membayangkan rasa
tak puas. Ia berdiri di hadapan neneknya, sementara wanita tua itu memarahinya
dengan suara tinggi dan melengking, sambil menatapnya dengan tajam, dengan
matanya yang sudah kabur dan tak begitu jelas lagi daya lihatnya.
"Aku mendapat laporan buruk. Katanya kau tak mau melakukan ini, tak mau
mengerjakan itu. Begitu" Kau ingin menjaga sapi-sapi jantan, tapi kau tak suka
pergi dengan Yahmose atau menjaga perkebunan. Begitu, ya" Apa yang akan terjadi
bila seorang anak seperti kau berani mengatakan apa yang mau dan tak mau
dilakukannya?" Dengan cemberut Ipy berkata,
"Saya bukan anak kecil. Saya sudah dewasa. Mengapa saya harus diperlakukan
seperti anak kecil" Disuruh mengerjakan ini atau itu, tak berhak mengeluarkan
pendapat sendiri, dan tak diberi uang saku tersendiri. Selalu saja diperintah
oleh Yahmose. Yahmose pikir siapa dirinya itu?"
"Dia kakakmu, dan dia yang berkuasa di sini, selama anakku Imhotep tak berada di
tempat" "Yahmose itu bodoh, lamban dan bodoh. Saya jauh lebih pandai daripada dia. Sobek
juga bodoh, meskipun dia suka menyombong dan berkata bah wa dia pintar! Ayah
saya sudah menulis surat, mengatakan bahwa saya boleh melakukan pekerjaan apa
saja sesuka saya..."
35 "Dan kau ternyata tidak melakukan apa-apa," potong Esa.
"Dan bahwa saya harus diberi makanan dan minuman lebih banyak, dan bahwa bila
didengarnya saya merasa tak puas, dan tidak diperlakukan dengan baik, dia akan
marah sekali." Sambil berbicara, Ipy tersenyum, hingga bibirnya terangkat ke atas dan tampak
licik. "Kau memang anak manja,' kata Esa dengan nada keras. "Akan kukatakan itu pada
Imhotep." "Jangan, jangan, Nek. Jangan lakukan itu."
Senyumnya berubah, membayangkan bujukan, dan agak kurang ajar.
"Kita berdua ini, Nek, kita berdualah yang punya otak dalam keluarga ini."
"Kurang ajar kau!"
"Ayah saya percaya pada pertimbangan Nenek. Dia tahu bahwa Nenek bijak."
"Mungkin itu memang benar tapi tak perlu kau mengatakannya padaku."? ?Ipy tertawa.
"Sebaiknya Nenek memihak pada saya."
"Bicara apa kau tentang pihak-memihak?"
"Kakak-kakak saya merasa tak puas. Tak tahukah Nenek" Pasti Nenek tahu. Pasti
Henet sudah menceritakannya pada Nenek. Satipy menceramahi Yahmose siang-malam,
setiap ada kesempatan. Sobek telah tertipu waktu menjual kayu, dan dia takut
ayah akan marah besar kalau dia sampai tahu. Ketahuilah, Nek, dalam setahun dua
tahun 36 lagi, saya akan menjadi rekanan ayah, dan dia akan menuruti semua keinginan
saya." "Kau" Yang bungsu dalam keluarga ini?"
"Apalah artinya umur" Ayah sayalah yang punya kekuasaan, dan sayalah yang
tahu'bagaimana menangani ayah saya!"
"Jahat sekali bicaramu itu," kata Esa.
"Nenek tidak bodoh," kata Ipy dengan halus. "Nenek tahu betul bahwa meskipun'
bicaranya besar, ayah saya itu sebenarnya orang yang lemah..."
Mendadak ia berhenti bicara ketika melihat Esa memalingkan kepalanya, menoleh ke
belakang. Ia pun ikut menoleh, dan mendapati Henet berdiri dekat di belakangnya.
"Jadi Imhotep itu orang yang lemah, ya?" kata Henet dengan suara halusnya yang
mengundang rasa benci. "Saya rasa dia takkan senang kalau mendengar Andalah yang
berkata begitu tentang dia."
Ipy tertawa kecil dengan gelisah.
"Tapi kau kan tidak akan menceritakannya padanya, Henet.... Ayolah, Henet,
berjanjilah.... Henet yang baik...."
Henet berjalan dengan anggun ke arah Esa. Suaranya yang melengking sengaja
dikeraskannya. "Tentu. Saya tak pernah mau menimbulkan kesulitan And tahu itu saya sayang ? ?sekali pada kalian semua. Saya tak pernah mengadukan apa-apa, kecuali kalau saya
pikir itu merupakan kewajiban saya...."
"Aku hanya mengganggu Nenek saja tadi, tak
37 ada apa-apa," kata Ipy. "Aku akan berkata begitu juga pada Ayah. Ayah akan tahu
bahwa aku tak mungkin berbicara demikian dengan serius."
Ia mengangguk singkat dan tajam pada Henet, lalu keluar dari kamar itu.
Henet memandanginya dari belakang, lalu berkata pada Esa,
"Anak yang tampan... dia anak yang tampan dan telah tumbuh dengan baik. Dan berani
sekali dia berbicara!"
"Bicaranya itu berbahaya!" kata Esa tajam. "Aku tak suka mendengar gagasan-
gagasan dalam kepalanya itu. Anakku terlalu memanjakannya."
"Siapa yang tak ingin memanjakannya" Dia begitu tampan dan menarik."
"Tampan, kalau kelakuannya juga baik, itu baru bagus," kata Esa tajam.
Ia diam sebentar, lalu berkata lagi lambat-lambat,
"Henet... aku khawatir."
"Khawatir, Esa" Apa yang membuat Anda khawatir" Bukankah Tuan Imhotep akan
segera kembali" Semuanya pasti akan beres."
"Benarkah begitu" Aku tak yakin."
Sekali lagi ia berdiam diri, lalu berkata,
"Apakah cucuku Yahmose ada di rumah?"
"Saya melihatnya berjalan ke arah beranda, beberapa menit yang lalu."
"Katakan padanya bahwa aku ingin bicara dengannya." I
Henet pergi. Ditemukannya Yahmose di beranda
38 yang sejuk, yang pilar-pilarnya berwarna cerah. Lalu disampaikannya pesan Esa.
Yahmose segera memenuhi panggilan itu.
Esa langsung berkata, "Yahmose, ayahmu tak lama lagi akan kembali."
Wajah Yahmose yang lembut segera menjadi cerah.
"Ya, menyenangkan sekail"
"Apakah semuanya sudah beres untuk menyambutnya" Apakah semua urusan berkembang
dengan baik?" "Semua instruksi Ayah telah dilaksanakan, sebaik yang sanggup saya lakukan."
"Bagaimana dengan Ipy?" Yahmose mendesah.
"Ayah saya terlalu memanjakan anak itu. Itu tak baik baginya."
"Itu harus kaukatakan pada Imhotep."
Yahmose kelihatan ragu. "Aku akan mendukungmu," kata Esa dengan tegas.
"Kadang-kadang, saya merasa yang ada hanya kesulitan saja," kata Yahmose sambil
mendesah. "Tapi semuanya akan beres bila Ayah datang. Dia akan bisa mengambil
keputusan-keputusan sendiri. Sulit sekali bertindak menurut kehendaknya bila dia
tak ada, terutama bila saya tak punya kuasa apa-apa, dan hanya bertindak sebagai
wakilnya saja." Lambat-lambat Esa berkata,
39 "Kau pulra yang baik. Kau cinta dan setia padanya. Kau juga seorang suami yang
baik. Kau telah memenuhi peribahasa yang mengatakan bahwa seorang pria harus
mencintai istrinya dan memberinya tempat tinggal, bahwa dia harus mencukupi
kebutuhan sandang pangannya, serta memberinya minyak-minyak yang mahal untuk
merawat kecantikannya, dan bahwa dia harus menyenangkan hati istrinya itu selama
hidupnya. Tapi ada pula ajaran lanjutannya yang bunyinya begini: Cegahlah,
jangan sampai istrimu itu yang berkuasa. Kalau aku jadi kau, cucuku, aku akan
mencamkan ajaran itu...."
Yahmose memandangi neneknya, wajahnya jadi merah padam, lalu ia berbalik.
40 BAB III Bulan Ketiga Masa Pasang Naik hari ke-14?Di mana-mana tampak kesibukan dan persiapan. Beratus-ratus batang roti
dipanggang di dapur, bebek-bebek pun sedang dimasak. Tercium aroma daun bawang
dan bawang putih, membaur dengan bermacam-macam bumbu. Para wanita berteriak-
teriak dan memberikan perintah-perintah, para pelayan laki-laki berlari-lari
kian kemari. Di mana-mana terdengar orang bergumam, "Tuan besar Tuan besar akan
?datang...." Renisenb yang sedang membantu merangkai bunga poppy dan bunga teratai,
menikmati gejolak kebahagiaan yang muncul dalam hatinya. Ayahnya akan pulang!
Dalam beberapa minggu terakhir ini, sedikit demi sedikit ia telah membiarkan
dirinya masuk kembali ke dalam kehidupan lamanya. Perasaan asing dan aneh yang
menurutnya timbul akibat kata-kata Hori, kini telah lenyap. Ia tetap Renisenb


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sama dan Yahmose, Satipy, Sobek, dan Kait juga masih tetap sama. Kini, ?sebagaimana halnya di masa silam, terasa kesibukan dan keributan dari persiapan-
persiapan untuk menyambut kembalinya Imhotep. Sudah ada berita
41 bahwa ia sudah akan berada bersama mereka sebelum malam. Salah seorang pelayan
sudah disuruh berjaga-jaga di tebing sungai, untuk memberikan peringatan bila
sang majikan sudah mendekat Tiba-tiba terdengar suaranya, nyaring dan jelas,
meneriakkan panggilan sesuai dengan yang telah disepakati.
Renisenb melepaskan bunga-bunganya, lalu berlari ke luar dengan yang lain-lain.
Mereka bergegas ke tempat kapal bertambat di tebing sungai. Yahmose dan Sobek
sudah berada di sana, bersama sekumpulan orang desa, para nelayan, dan para
buruh tani. Mereka berteriak-teriak dengan ribut, sambil menunjuk-nunjuk.
Ya, perahu .layar itu sudah kelihatan, dengan layarnya yang besar dan segi
empat, melaju dengan cepat di sungai, karena tiupan angin utara. Tak jauh di
belakangnya, menyusul sebuah perahu kecil yang dipenuhi oleh pria dan wanita.
Tak lama kemudian, Renisenb dapat melihat ayahnya yang sedang duduk sambil
memegang sekuntum bunga teratai. Bersamanya ada seseorang, yang menurut
dugaannya adalah seorang penyanyi.
Pekik sorak orang di tebing makin menjadi-jadi. Imhotep melambaikan tangannya,
menyambut teriakan itu. Para awak kapal sibuk menghela dan menarik tali-tali
layar. Terdengar seman "Selamat datang, Tuan besar!" dan pekikan-pekikan pada
dewa-dewa, untuk menyatakan rasa syukur karena Imhotep telah' kembali dengan
selamat Beberapa menit kemudian, Imhotep naik ke darat. Ia me-42
nyalami keluarganya, dan membatas ucapan-ucapan selamat datang dengan nyaring,
sebagaimana dituntut dalam tata krama.
"Terpujilah Sobek, putra Neith, yang telah melindungi Anda dalam pelayaran!"
"Terpujilah Ptah, di selatan tembok Memphite, yang telah mengantarkan Anda pada
kami! Terpujilah Re, yang menerangi Dua Negara!"
Renisenb mendesak ke depan; hanyut dalam kegembiraan itu.
Imhotep bangkit dengan sikap sok penting, dan tiba-tiba Renisenb berpikir,
"Kecil sekali dia. Padahal seingatku dia jauh lebih besar daripada itu."
Semacam perasaan kecewa melandanya.
Apakah ayahnya telah menyusut" Atau kenangannya sendiri yang salah" Seingatnya,
ayahnya adalah makhluk yang hebat, agak kejam, sering 'cerewet, dan suka
memarahi semua orang. Kadang-kadang tingkah ayahnya membuatnya tertawa diam-diam
dalam hati. Meskipun demikian, ia tetap sebuah pribadi yang kuat. Tapi pria yang
sudah agak tua ini tampak begitu kecil, gendut, sok berwibawa, meskipun tak
mampu memberikan kesan itu. "Ada apa dengan diriku?" tanya Renisenb pada dirinya
sendiri. Ia tak mengerti mengapa pikiran-pikiran semacam itu sangat merasuki
benaknya. " Setelah selesai mengucapkan kata-kata indah dan resmi, Imhotep melanjutkan
dengan memberikan sambutan yang lebih pribadi. Ia-^ne/aogkuL, putra-putranya.
TAMAN ^1.*-" OUKAUURANSKf*-\ XOGXAKART43
"Oh, anakku Yahmose yang baik, yang selalu tersenyum. Aku yakin, kau pasti rajin
sekali selama aku tidak berada di tempat. Dan Sobek, anakku yang tampan, kulihat
kau tetap saja periang. Nah, ini Ipy Ipy anakku tersayang coba kulihat kau.
? ?Mundurlah nah, begitu. Kau sudah lebih besar, dan lebih jantan kelihatannya.
? Aku senang sekali bisa merangkulmu lagi! Dan Renisenb, putriku tercinta, kau
sudah kembali lagi ke rumah. Satipy, Kait, menantu-menantuku yang juga
kusayangi.... Dan ini Henet... Henet yang setia...."
Henet pun berlutut, memeluk lutut Imhotep, dan secara mencolok menyeka air mata
kegembiraan dari matanya.
"Aku senang bertemu denganmu lagi. Baik-baik sajakah kau" Apakah kau bahagia"
Kau pasti masih tetap penuh pengabdian. Senang sekali aku....
"Dan Hori yang luar biasa, yang amat pandai dalam pembukuan dan membuat laporan!
Apakah semuanya baik-baik saja" Aku yakin semua beres."
Kemudian, setelah acara penyambutan selesai dan suara gumam 'di sekitar tempat
itu mereda, Imhotep mengangkat tangannya, meminta semuanya diam. Lalu ia
berbicara dengan lantang.
"Putra-putraku, putri putriku teman-temanku. Ada berita yang akan kusampaikan ?pada kalian. Sebagaimana kalian ketahui, telah bertahun-tahun lamanya aku hidup
kesepian. Istriku (ibu kalian, Yahmose dan Sobek), dan kekasihku (ibumu, Ipy),
keduanya telah pergi ke Osiris, bertahun-tahun
44 yang lalu. Maka bagi kalian, Satipy dan Kait, kubawakan seorang ibu baru'untuk
tinggal bersama kalian. Lihatlah, inilah selirku, Nofret, yang harus kalian
sayangi demi aku. Dia datang bersamaku. Dia berasal dari Memphis di sebelah
utara, dan dia akan tetap tinggal di sini bersama kalian, bila aku bepergian."
Sambil berbicara, Imhotep menarik tangan seorang wanita. Wanita itu kini berdiri
di sampingnya, dengan kepala tegak dan mata yang agak disipitkan. Ia masih muda,
cantik, dan angkuh. Dengan agak terkejut Renisenb berpikir, "Wah, dia masih muda sekali mungkin
?lebih muda dan padaku."
Nofret berdiri tanpa bergerak. Di bibirnya terbayang seulas senyum samar senyum
?yang lebih banyak mengandung cemooh daripada untuk menyenangkan hati.
Alisnya hitam dan lurus sekali, kulitnya berwarna perunggu, sedangkan bulu
matanya amat tebal dan panjang, hingga matanya hampir tak kelihatan.
Seluruh keluarga terperanjat, dan hanya menatap saja dalam kediaman dan
keheranan. Dengan nada agak jengkel, Imhotep berkata lagi,
"Ayolah, anak-anakku, ucapkan selamat datang pada Nofret Tak tahukah kalian
bagaimana menyambut istri muda ayahmu, yang membawanya ke* rumahnya?"
Orang-orang pun mengucapkan selamat datang pada wanita itu, dengan ragu dan
tersendat-sendat 45 Dengan berpura-pura ceria, mungkin untuk menyembunyikan keresahannya, Imhotep
berseru, "Nah, itu lebih baik! Nofret, Satipy, Kait, dan Renisenb akan membawamu ke
tempat kediaman para wanita. Mana peti-petinya" Apakah peli-peti-nya sudah
diturunkan ke darat?"
Peti-peti perjalanan yang bagian atasnya bulat sedang diangkut dari perahu.
Kepada Nofret, Imhotep berkata,
"Semua perhiasan dan pakaianmu ada di dalam peti-peti ini. Simpanlah baik-baik."
Kemudian, setelah para wanita itu pergi bersama-sama, ia berpaling pada putra-
putranya. "Bagaimana dengan tanah-tanah pertanian kita" , Apakah semuanya berjalan dengan
baik?" "Ladang-ladang di bagian bawah, yang disewakan pada NakhL..," Yahmose mulai
memberikan laporannya, tapi ayahnya memotong kata-katanya.
"Jangan berikan laporan terperinci sekarang, anakku Yahmose. Nanti saja. Malam
ini kita ber-suka ria. Besok, aku, kau, dan Hori, akan mulai dengan urusan kita.
Mari Ipy, anakku, mari kita pulang ke rumah. Kau sekarang tinggi sekali.
Kepalamu sudah lebih tinggi daripada kepalaku."
Sobek berjalan di belakang ayahnya dan Ipy, dengan wajah cemberut. Ia berbisik
di telinga Yahmose, "Kaudengar itu" Perhiasan dan pakaian. Untuk itu rupanya keuntungan-keuntungan
dari tanah-tanah kita di sebelah utara dipakai. Padahal itu keuntungan-
keuntungan kita 46 "Ssst," bisik Yahmose. "Nanti Ayah mendengar."
"Biar saja dia mendengar! Aku tidak seperti ka*u. Kau terlalu takut padanya."
Setiba di rumah, Henet masuk ke kamar Imhotep untuk menyiapkan air mandinya.
Wajahnya menyunggingkan senyum manis.
Imhotep agak mengabaikan batas keramahan, dan bertanya,
"Nah, Henet, bagaimana pendapatmu mengenai pilihanku?"
Meskipun sudah bertekad untuk menjalankan segala-galanya berdasarkan keinginan
sendiri, ia tahu betul bahwa kedatangan Nofret akan mengundang badai paling ?tidak, di tempat kediaman para wanita di rumah itu. Tapi Henet lain. Ia adalah
makhluk yang penuh pengabdian. Henet tidak akan mengecewakannya.
"Dia cantik! Cantik sekali! Rambutnya bagus sekali, juga bagian-bagian tubuhnya
yang lain! Dia memang pantas untuk Anda, Imhotep. Apa lagi yang bisa saya
katakan. Istri-istri Anda yang sudah meninggal pasti senang Anda telah memilih
teman hidup yang begitu, untuk menyenangkan hidup Anda."
"Begitukah menurutmu, Henet?"
"Saya yakin betul, Imhotep. Setelah berdukacita selama bertahun-tahun, sekarang
sudah waktunya Anda menikmati hidup lagi."
"Kau memang kenal baik pada almarhum istriku. Aku juga merasa sudah waktunya aku
hidup 47 layak. Hm... menantu-menantuku dan putriku mungkin tidak begitu senang dengan
kehadirannya, ya?" "Semoga saja tidak demikian," kata Henet, "Sebab, bukankah mereka semua
bergantung pada Anda di rumah ini?"
"Benar sekali, benar sekali," kata Imhotep.
"Kekayaan Andalah yang memberi mereka sandang dan pangan. Kesejahteraan mereka
seluruhnya merupakan hasil usaha-usaha Anda."
"Ya, memang." Imhotep mendesah. "Aku masih aktif terus, demi mereka. Tapi
kadang-kadang aku ragu, apakah mereka menyadari segala pemberianku itu."
"Anda harus mengingatkan mereka," kata Henet sambil mengangguk. "Saya, Henet,
abdi Anda yang hina ini, tak pernah lupa akan utang budi saya pada Anda. Tapi
anak-anak meruang kadang-kadang tak bijak, hanya memikirkan diri mereka sendiri.
Mungkin mereka pikir merekalah yang penting, dan mereka tidak menyadari bahwa
mereka hanya menjalankan instruksi-instruksi yang Anda berikan."
"Benar sekali," kata Imhotep. "Sudah sering kukatakan bahwa kau wanita yang
cerdas, Henet" Henet mendesah. "Alangkah baiknya sekiranya yang lain juga berpikiran begitu,"
katanya. "Apa maksudmu" Adakah yang bersikap tak baik terhadapmu?"
"Ah, tidak. Maksud saya, mereka tidak bermaksud buruk. Mereka menganggap wajar
saja saya 48 harus bekerja tanpa henti (dan saya memang melakukannya dengan segala senang
hati), tapi seandainya ada yang menyatakan sayang dan menghargai saya, maka
keadaannya akan lain sekali."
"Itu akan selalu kaudapatkan dari aku," katj Imhotep. "Dan ingatlah bahwa rumah
ini akan selalu menjadi rumahmu."
"Anda baik sekali, tuanku." Henet diam sebentar, lalu berkata lagi, "Budak-budak
sudah siap di kamar mandi dengan air panas, tuanku, dan setelah Anda mandi dan
berpakaian, ibu Anda minta supaya Anda mendatanginya."
"Oh, ibuku" Ya... ya, tentu."
Tiba-tiba Imhotep nampak risi. Tapi perasaan itu ditutupinya dengan cepat-cepat
berkata, "Tentu... aku memang sudah berniat menemuinya. Beritahukan padanya bahwa aku akan
datang." II Esa, yang mengenakan gaunnya yang terbaik, dari bahan linen berlipit-lipit,
memandang ke arah putranya dengan tatapan senang bercampur cemooh.
"Selamat datang, Imhotep. Kau kembali kepada kami... dan kudengar tidak seorang
diri." Imhotep menenangkan dirinya, lalu menyabut dengan wajah malu,
"Oh, Ibu sudah mendengar rupanya."
"Tentu saja sudah. Seisi rumah mendengung
49 dengan berita itu. Kata mereka, wanita itu cantik dan muda sekali."
"Dia berumur sembilan belas tahun, dan... eh... dia tidak jelek."
Esa tertawa tawa sinis mengandung ejekan dari seorang wanita tua.?"Oh, benar juga," katanya, "memang tak ada yang lebih tolol daripada laki-laki
tua yang bodoh." "Ibuku sayang, aku benar-benar tak mengerti apa maksud Ibu."
Dengan tenang Esa menjawab,
"Sejak dulu kau memang bodoh, Imhotep."
Imhotep menenangkan dirinya. Meskipun biasanya ia sangat menyadari betapa
pentingnya dirinya, ibunya selalu bisa menembus benteng harga dirinya. Berada di
dekat ibunya, ia merasa kecil. Kilatan ejekan sesamar apa pun dari mata ibunya
yang sudah hampir buta itu selalu dapat mengacaukan perasaannya. Tak dapat
disangkal bahwa ibunya tak pernah punya penilaian berlebihan mengenai
kemampuannya. Dan meskipun ia yakin sekali akan kebenaran penilaiannya mengenai
dirinya sendiri, dan bahwa perilaku keibuan dari ibunya itu tak penting, namun
sikap ibunya tetap saja bisa mengacaukan kesombongan dirinya. Dengan tergagap-
gagap dan menahan marah, ia berkata,
"Apakah begitu aneh, seorang laki-laki membawa pulang seorang istri muda?"
"Sama sekali tidak. Laki-laki memang bodoh."
50 "Aku tak bisa melihat di mana letak kebodohan itu."
"Apakah kaukira kehadiran perempuan itu akan bisa membawa kedamaian di dalam
rumah tangga ini" Satipy dan Kait akan merasa kesal sekali. Dan mereka akan
menghasut suami-suami mereka."
"Apa hubungannya dengan mereka" Apa hak mereka untuk protes?"
"Tak ada." Imhotep lalu berjalan hilir-mudik dengan marah.
"Apakah aku tak bisa berbuat sesuka hati di rumahku sendiri" Bukankah aku yang
menanggung hidup putra-putraku dan istri-istri mereka" Apakah roti yang mereka
makan bukan dari aku" Bukankah hal itu sudah berulang kali kukatakan pada
mereka?" "Kau terlalu gemar mengatakan hal itu, Imhotep."
"Soalnya itu memang benar. Mereka semua bergantung padaku. Semuanya!"
"Dan yakinkah kau bahwa itu baik?"
"Apakah menurut Ibu tak baik bila seorang pria menanggung hidup keluarganya?"
Esa mendesah. "Mereka bekerja untukmu. Ingat itu!"
"Tentu saja mereka harus bekerja. Apakah Ibu ingin aku mendorong agar mereka
menganggur?" "Mereka adalah orang-orang dewasa setidaknya, Yahmose dan Sobek bahkan lebih
? ? daripada dewasa." "Pertimbangan-pertimbangan Sobek tak bisa di -
51 dengar. Semua yang dikerjakannya selalu salah. Dia juga sering kurang ajar. Aku
tak bisa membiarkan hal itu. Sedangkan Yahmose anak yang baik dan patuh...."
"Dia bukan anak kecil lagi."
"Tapi kadang-kadang aku harus memberitahunya dua atau tiga kali, baru dia
mengerti. Aku harus memikirkan segala-galanya... harus berada di mana-mana! Selama
aku tak berada di tempat, aku harus selalu mendiktekan surat pada juru tulis,
menuliskan instruksi-instruksi secara terperinci supaya putra-putraku itu bisa
melaksanakannya.... Aku hampir tak bisa beristirahat boleh dikatakan tak bisa ?tidur! Dan sekarang, setelah aku pulang dan mengecap rasa damai sedikit, ada
lagi kesulitan lain! Bahkan ibuku sendiri menolak hakku untuk memiliki selir,
sebagaimana laki-laki yang lain. Ibu marah..."
Esa menyela, "Aku bukannya marah. Aku merasa geli. Aku akan menonton kejadian-kejadian dalam
rumah tangga ini... tapi dengarlah kata-kataku. Bila kau pergi ke utara lagi,
sebaiknya kaubawa serta wanita itu."
"Tempatnya adalah di sini, di dalam rumah tanggaku! Awas kalau ada yang berani
memperlakukannya dengan buruk."
"Ini bukan soal perlakuan buruk. Tapi ingat, memendam api dalam jerami itu mudah
sekali. Ada peribahasa tentang kaum wanita, 'Di mana ada wanita, tempat itu jadi
tak baik'...." 52 Esa berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Nofret memang cantik, tapi ingat ini:
Kaum pria mudah tergoda oleh kulit wanita yang halus, padahal dalam waktu
singkat, kulit akan berubah warna menjadi seperti batu yang kusam...." Suara Esa
menjadi dalam waktu ia mengutip, "Sedikit demi sedikit, bagaikan mimpi, dan
akhirnya mautlah yang datang...."
53 BAB IV Bulan Ketiga Masa Pasang Naik hari ke-15
?Imhotep mendengarkan penjelasan Sobek mengenai penjualan kayu. Ia tampak kesal,
tapi tidak berkata apa-apa Wajahnya jadi merah padam, dan pelipisnya berdenyut
denyut. Sikap Sobek yang santai jadi berkurang. Semula ia berniat menangani persoalannya
dengan penuh percaya diri, tapi melihat wajah ayahnya yang mulai mengernyit, ia
mulai tergagap-gagap, dan keragu raguannya pun mulai timbul.
Akhirnya dengan tak sabar Imhotep memotong bicaranya.
"Ya, ya, ya. Kaupikir kau lebih tahu daripada aku. Kau telah menyimpang dari


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

instruksi-instruk-siku. Selalu begitu, kalau aku tidak berada di sini untuk
mengurus segala-galanya...." Ia mendesah. "Tak dapat kubayangkan apa yang akan
terjadi dengan kalian, tanpa aku!"
Sobek tetap berkeras, dan melanjutkan, "Saya melihat kesempatan untuk mendapat
keuntungan yang lebih besar, jadi saya memberanikan diri. Kita kan tak bisa
selalu berpikiran picik dan terlalu berhati-hati!"
"Kau sama sekali tidak berhati-hati, Sobek! Kau ceroboh, dan terlalu berani, dan
pertimbanganmu selalu salah."
"Pernahkah saya mendapat kesempatan melatih memberikan pertimbangan?"
Imhotep berkata dengan suara datar,
"Kali ini pun kau telah memberikan pertimbanganmu-r-meskipun tanpa perintah
khusus danku " "Perintah" Apakah saya selalu harus menuruti perintah" Bukankah saya sudah
dewasa?" Imhotep naik darah, lalu berteriak,
"Siapa yang memberimu makanan dan pakaian" Siapa yang memikirkan masa depan"
Siapa yang selalu memikirkan kesejahteraan kalian semua" Bila air Sungai Nil
surut dan kita terancam kelaparan, apakah aku tidak mengirimkan makanan kepada
kalian di selatan ini" Kalian beruntung punya ayah seperti aku yang memikirkan ?segala-galanya! Lalu apa yang kuminta sebagai balasannya" Hanya supaya kalian
bekerja keras, berusaha dengan sebaik-baiknya, dan mematuhi instruksi-instruksi
yang kukirimkan...."
"Ya," balas Sobek dengan berteriak pula. "Kami harus bekerja untuk Ayah sebagai
budak, supaya Ayah bisa membeli emas dan perhiasan-perhiasan lain untuk selir
Ayah itu!" Imhotep maju mendekatinya, mendidih karena marah.
"Anak kurang ajar! Berani kau berbicara begitu terhadap ayahmu! Hati-hati kau,
aku bisa menyu 55 ruhmu keluar dari rumah ini, dan kau bisa pergi ke tempat lain!"
"Dan kalau Ayah yang tidak berhati-hati, saya memang akan pergi! Saya punya
gagasan-gagasan ya, gagasan-gagasan yang baik, yang bisa menghasilkan kekayaan
?kalau saja saya tidak terikat oleh kehati-hatian yang picik, dan tak pernah
diperbolehkan bertindak sesuai dengan keinginan saya."
"Sudah selesai kau bicara?"
Suara Imhotep terdengar geram. Sobek yang sudah mulai gentar, bergumam dengan
marah, "Ya... ya... tak ada lagi yang ingin saya katakan sekarang*."
"Kalau begitu, pergilah mengurus ternak. Sekarang bukan waktunya bersantai-
santai." Sobek berbalik, lalu pergi dengan marah. Nofret sedang berdiri tak jauh dari
situ. Ketika Sobek lewat, ia melirik dengan ekor matanya, lalu tertawa.
Mendengar tawa itu, Sobek naik darah. Dengan marah ia melangkah mendekati wanita
itu, tetapi wanita itu tetap berdiri diam, sambil memandanginya dengan tatapan
mengejek, matanya setengah tertutup.
Sobek menggumamkan sesuatu, lalu pergi. Nofret tertawa lagi, lalu berjalan
lambat-lambat ke arah Imhotep, yang sekarang sudah mengalihkan perhatiannya pada
Yahmose. "Apa-apaan kau membiarkan Sobek bertindak bodoh begitu?" tanyanya jengkel.
"Seharusnya kaucegah itu! Belum tahu jugakah kau bahwa dia
56 tak mengerti soal jual-beli" Pikirnya segala-galanya akan berakhir menurut
keinginannya saja." Dengan meminta maaf, Yahmose berkata,
"Ayah tak mengerti kesulitan-kesulitan saya. Ayahlah yang menyuruh saya
mempercayakan penjualan kayu itu pada Sobek. Oleh karenanya, dia harus dibiarkan
menggunakan kebijaksanaannya sendiri."
"Kebijaksanaan" Kebijaksanaan" Dia tak punya kebijaksanaan! Dia hanya perlu
melakukan apa yang kuinstruksikan padanya dan kaulah yang harus menjaga supaya ?dia melakukannya. Itu saja."
Wajah Yahmose memerah. "Saya" Apa hak sayat"
"Hak apa" Kekuasaan yang kuberikan padamu."
"Tapi saya tak punya status yang jelas. Sekiranya saya rekanan Ayah yang sah..."
Kata-katanya terputus, karena Nofret datang. Wanita itu menguap, dan memutar-
mutar sekuntum bunga poppy dengan jari-jarinya.
"Mari kita pergi ke pondok peristirahatan di dekat danau, Imhotep. Di sana
sejuk, dan di sana sudah disiapkan buah-buahan dan bir Keda untukmu. Tentu kau
sudah selesai memberikan perintah-perintahmu, bukan?"
"Sebentar, Nofret, sebentar."
Dengan suara halus dan dalam, Nofret berkata,
"Sekarang saja. Aku ingin kau ikut sekarang...."
Imhotep kelihatan senang dan agak malu. Sebelum ayahnya sempat berbicara,
Yahmose cepat-cepat berkata,
L ABAD?"! "Mari kita bicarakan ini dulu. Ini penting. Saya ingin bertanya..."
Nofret langsung berbicara pada Imhotep, sambil membelakangi Yahmose.
"Apakah kau tak bisa berbuat menurut kehendakmu, di rumahmu sendiri?"
Imhotep berkata dengan tajam pada Yahmose,
"Lain kali saja, anakku. Lain kali."
Lalu ia pergi bersama Nofret, dan Yahmose berdiri di beranda, memandangi mereka
dari belakang. Satipy keluar dari rumah, dan berdiri di sampingnya.
"Bagaimana?" tanyanya dengan bergairah, "sudahkah kau berbicara dengannya" Apa
katanya?" Yahmose mendesah.
"Bersabarlah, Satipy. Waktunya... belum tepat"
Satipy berseru dengan marah,
"Ya, tentu kau pasti berkata begitu! Selalu begitu. Sebenarnya kau takut pada ?ayahmu itu kau penakut seperti anak domba kau hanya mengembik saja
? ?padanya kau tidak akan pernah berani menentangnya sebagai seorang pria! Apakah
?kau tak ingat janjimu padaku" Terus terang saja, aku . lebih berani dibandingkan
kau! Kau berjanji katamu, 'Akan kuminta pada ayahku secepatnya "egera, pada
? ? ?hari pertama.' Dan apa yang terjadi..."
Satipy berhenti sebentar untuk bernapas, bukan karena dia sudah selesai. Tapi
Yahmose memotong dengan lemah,
58 "Kau keliru, Satipy. Kami sudah mulai berbicara, tapi pembicaraan kami
terganggu." "Terganggu" Oleh siapa?" "Oleh Nofret"
"Nofret! Perempuan itu! Seharusnya ayahmu tak boleh membiarkan selirnya itu
mengganggu bila dia sedang membicarakan soal bisnis dengan putra sulungnya. Tak
pantas wanita turut campur dalam soal bisnis."
Mungkin Yahmose ingin sekali agar Satipy sendiri mempraktekkan kata-kata yang
diucapkannya dengan begitu fasih itu. Tapi ia tidak diberi kesempatan. Istrinya
berbicara terus. "Ayahmu harus segera menjelaskan hal itu pada perempuan itu."
"Ayahku sama sekali tidak memperlihatkan I tanda-tanda tak senang," sahut
Yahmose datar. "Memalukan sekali," kata Satipy. "Ayahmu benar-benar sudah tersihir olehnya.
Dibiarkannya saja perempuan itu berbicara dan berbuat sesuka hatinya."
Kata Yahmose sambil merenung,
"Dia cantik sekali...."
Satipy mendengus. "Oh, dia memang cukup cantik. Tapi tak tahu sopan santun! Dia tak peduli betapa
kasarnya sikapnya terhadap kita semua."
"Mungkin kau yang kasar terhadapnya."
"Aku orang yang paling sopan. Aku dan Kait memperlakukannya dengan sangat baik.
Pokoknya, 59 tak ada yang pantas dikeluhkannya pada ayahmu. Aku dan Kait sabar menunggu
saatnya." Yahmose mendongak dengan tajam.
"Apa maksudmu menunggu saatnya?"
?Satipy pergi meninggalkannya, sambil tertawa penuh arti.
"Maksud kata-kataku hanya berlaku bagi kaum wanita. Kau takkan mengerti. Kami
punya cara sendiri... juga senjata sendiri! Sebaiknya si Nofret itu mengurangi
sikap kurang ajarnya. Soalnya, bagaimana sih kehidupan seorang wanita" Hidupnya
toh dihabiskannya di bagian belakang rumah... di antara para wanita lainnya."
Ada sesuatu yang aneh dalam nada bicara Satipy. Ia berkata lagi,
"Ayahmu takkan selamanya berada di sini.... Dia akan pergi lagi meninjau tanah-
tanahnya di daerah utara. Nah, setelah itu... kita lihat saja."
"Satipy..." Satipy tertawa, nyaring dan melengking, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
II Di dekat danau, anak-anak sedang bermain-main dan berlari-lari kian kemari. Dua
orang putra Yahmose adalah anak-anak yang bagus dan tampan. Mereka lebih mirip
Satipy daripada ayah mereka. Kemudian ada pula tiga orang anak Sobek yang ?terkecil masih bayi dan baru belajar berjalan. Ada
60 pula Teti, gadis cilik berumur empat tahun yang cantik dan berwajah serius.
Mereka tertawa-tawa dan berteriak-teriak, sambil melempar-lempar bola. Sekali-
sekali terjadi pertengkaran, dan terdengarlah suara tangis kanak-kanak yang
tinggi melengking, karena marah.
Sambil duduk menghirup bir, dan didampingi oleh Nofret, Imhotep bergumam,
"Senang sekali anak-anak itu bermain-main di dekat air. Sepanjang ingatanku,
selalu begitu. Tapi, aduh, bukan main ributnya'
Nofret cepat-cepat berkata,
"Ya, padahal lebih enak jika di sini sepi.... Mengapa tak kausuruh saja mereka
pergi, kalau kau sedang berada di sini" Sebab, bila tuan rumah' ingin
beristirahat dengan santai, orang-orang harus menghormatinya. Bukankah begitu?"
"Aku.." ah....," Imhotep ragu-ragu. Pikiran itu masih baru baginya, tapi
menyenangkan. "Aku sebenarnya tak keberatan mereka ribut," katanya ragu-ragu.
Dengan agak lemah ditambahkannya, " "Mereka sudah terbiasa bermain-main di sini
sesuka hati." "Kalau kau sedang tak ada, tak apa-apa," kata Nofret cepat-cepat. "Tapi,
Imhotep, mengingat semua yang telah kaulakukan untuk keluargamu, mereka
seharusnya menunjukkan rasa hormat yang lebih besar padamu... terhadap kedudukanmu
yang begitu penting. Kau terlalu lembut... tidak tegas."
Imhotep mendesah dengan tenang.
61 "Itu memang kelemahanku. Aku tak pernah menuntut sikap-sikap hormat secara
formal." "Ya, dan perempuan-perempuan itu, para istri putra-putramu, memanfaatkan
kebaikan hatimu itu. Seharusnya mereka mengerti, bila kau datang kemari untuk
beristirahat, keadaa harus sepi dan tenang. Sebaiknya aku saja yang memberitahu
Kait agar membawa pergi anak-anaknya dan anak-anak yang lain juga. Supaya kau
bisa tenang dan senang di sini."
"Kau memang orang yang penuh perhatian, Nofret. Ya, kau memang baik. Kau selalu
memikirkan kesenanganku."
"Kesenanganmu kesenanganku juga," gumam "Nofret.
Lalu ia bangkit, dan pergi mendekati Kait yang sedang berlutut di dekat air,
bermain dengan sebuah perahu mainan kecil yang sedang dicoba luncurkan oleh
anaknya yang kedua, seorang anak laki-laki yang agak manja.
Dengan tegas Nofret berkata,
"Tolong bawa pergi anak-anak itu, KaiL"
Kait mendongak, terbelalak tak mengerti.
"Membawa pergi" Apa maksudmu" Mereka selalu bermain-main di sini."
"Hari ini tidak. Imhotep perlu ketenangan. Anak-anakmu itu ribut"
Wajah Kait yang bulat menjadi merah padam.
"Sebaiknya kauperbaiki cara bicaramu, Nofret! Imhotep suka melihat anak-anak
putranya bermain-main di sini. Dia sendiri suka berkata begitu."
62 "Hari ini tidak," kata Nofret lagi. "Aku disuruhnya memberitahukan padamu untuk
membawa pergi anak-anak yang ribut ini masuk ke dalam rumah, supaya dia bisa
duduk dengan tenang... bersamaku."
"Dengan kau...." Kait tiba-tiba berhenti bicara, tak jadi mengucapkan apa yang
akan dikatakannya. Lalu ia bangkit dan pergi ke tempat Imhotep duduk. Nofret
menyusulnya. Tanpa basa-basi, Kait berkata,
"Selir Anda berkata saya harus membawa pergi anak-anak. Mengapa"-Apa ada
perbuatan mereka yang salah" Dengan alasan apa mereka harus dibawa pergi?"
"Kupikir keinginan tuan rumah sudah cukup merupakan alasan," kata Nofret dengan
suara halus. "Tepat... tepat," kata Imhotep membeo. "Mengapa aku harus memberikan alasan"
Memangnya ini rumah siapa?"
"Saya rasa dialah yang menginginkan agar anak-anak dibawa pergi." Kait
berpaling, lalu melihat Nofret dari atas ke bawah.
"Nofret hanya memikirkan kenyamananku kesenanganku," kata Imhotep. "Tak ada ?orang lain di rumah ini yang memikirkan diriku... kecuali mungkin Henet" .
"Jadi anak-anak tak boleh bermain-main di sini lagi?"
"Ya, begitulah. Kalau aku datang kemari untuk beristirahat"
63 Tiba-tiba kemarahan Kait meledak,
"Mengapa Ayah membiarkan perempuan ini menjauhkan Ayah dari darah daging Ayah
sendiri" Mengapa dia harus mengacaukan cara hidup di rumah ini" Mengacaukan
semua kegiatan yang sudah biasa dilakukan di sini selama ini?"
Imhotep pun balas berteriak. Ia merasa perlu memperlihatkan kekuasaannya.
"Akulah yang berhak mengatakan apa-apa yang harus dikerjakan di rumah ini bukan
?kau! Kalian semua bersekongkol untuk berbuat sesuka hati kalian untuk mengatur
?segala sesuatu yang menyenangkan hati kalian. Dan bila aku, tuan rumah ini, ,
pulang, keinginan-keinginanku tidak diperhatikan. Tapi akulah kepala di rumah
ini, ketahuilah itu! Aku terus-menerus membuat rencana dan bekerja untuk
kesejahteraan kalian, tapi adakah rasa terima kasih yang diperlihatkan padaku"
Adakah keinginan-keinginanku dihormati" Tidak! Mula-mula Sobek yang kurang ajar
dan tidak bersopan santun, dan sekarang kau, Kait, mencoba menggertakku! Untuk
apa aku menunjang hidup kalian semua" Hati-hati kau! Bisa-bisa aku tak mau lagi
menunjang hidup kalian. Sobek sendiri sudah berkata bahwa dia ingin pergi. Biar
saja dia pergi dan membawa kau dan anak-anakmu serta."
Sesaat lamanya Kait berdiri saja, tanpa bergerak. Wajahnya yang lebar dan agak
hampa itu sama sekali tak berekspresi. Lalu, dengan suara yang sama sekali tak
mengandung emosi, ia berkata,
64 "Baiklah, akan saya bawa anak-anak masuk ke rumah...."
Ia maju selangkah dua langkah, lalu berhenti di dekat Nofret. Dengan suara
rendah ia berkata, "Ini gara-gara kau, Nofret. Aku takkan pernah lupa. Tidak, aku takkan lupa...."
65 BAB V Bulan Keempat Masa Pasang NaUe hari ke-S?Imhotep mendesah lega setelah menyelesaikan tugas resminya sebagai pendeta
pemakaman. Upacara keagamaan itu telah dilaksanakannya dengan cermat, sampai ke
soal-soal yang sekecil-kecilnya, karena Imhotep adalah orang yang amat teliti
dalam segala hal. Anggur pemujaan telah dituangnya, dupa telah dibakarnya, dan
makanan serta minuman yang biasa sudah pula dipersembahkannya.
Kini, dalam keteduhan kamar dari batu karang di sebelahnya, di mana Hori sudah
menunggunya, Imhotep pun kembali menjadi pemilik tanah dan pengusaha. Kedua pria
itu membahas soal-soal perusahaan, harga-harga, dan keuntungan-keuntungan yang
didapat dari hasil-hasil pertanian, ternak, dan kayu.
Setelah kira-kira satu setengah jam, Imhotep mengangguk puas.
"Kau memang punya kemampuan bisnis yang baik, Hori," katanya.
Hori tersenyum. "Memang sudah sewajarnya, Imhotep. Bukankah
66 sudah bertahun-tahun saya bekerja pada Anda, mengurus perusahaan-perusahaan
Anda?" "Ya, dan kau pun sangat setia. Sekarang ada satu hal yang ingin kubahas
denganmu. Soal yang berhubungan dengan Ipy. Dia mengeluh bahwa kedudukannya
terlalu tak berarti."
"Dia masih muda sekali."
"Tapi dia sudah memperlihatkan kemampuannya. Dia merasa kakaknya kakaknya tidak
selalu adil terhadapnya. Agaknya, Sobek kasar dan sok berkuasa, sedangkan
Yahmose terlalu berhati-hati dan takut-takut, sehingga Ipy kesal. Ipy itu punya
semangat tinggi. Dia tak suka diperintah perintah saja. Selain itu, dia berkata
bahwa hanya akulah, ayahnya, yang berhak untuk memerintah."
"Itu memang benar," kata Hori. "Saya juga mendapatkan kesan bahwa itulah
kelemahan dalam perusahaan ini. Bolehkah saya berbicara dengan bebas?"
"Tentu saja, Hori yang baik. Aku tahu, kata-katamu selalu sudah dipikirkan dan


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipertimbangkan dengan baik." #
"Begini saran saya, Imhotep. Bila Anda pergi, harus ada seseorang yang diberi
kekuasaan penuh di sini."
"Urusan-urusan di sini sudah kupercayakan padamu dan pada Yahmose...."
"Saya tahu. Kami selalu bertindak atas nama Anda bila Anda sedang tak ada, tapi
itu tak mudah. Mengapa tidak Anda tunjuk saja salah seorang putra Anda sebagai
rekanan" Persekutukan
67 dia dengan Anda, dengan suatu surat perjanjian, resmi."
Imhotep berjalan hilir-mudik dengan dahi berkerut.
"Putraku yang mana yang kauanjurkan"-Sobek punya bakat kepemimpinan, tapi dia
tak baik pada bawahan. Aku tak bisa mempercayainya. Perangainya tak baik."
"Saya cenderung pada Yahmose. Dia putra sulung Anda. Dia punya sifat yang halus
dan penuh kasih sayang. Dan dia juga penuh pengabdian pada Anda."
"Ya, dia memang punya sifat-sifat yang baik, tapi dia terlalu penakut dan
pengalah. Dia mau saja mengalah pada semua orang. Alangkah baiknya kalau Ipy
sudah lebih dewasa...."
Hori cepat-cepat berkata,
"Berbahaya memberikan kekuasaan pada orang yang terlalu muda."
"Benar... benar. Yah, Hori, akan kupikirkan kata-katamu itu. Yahmose memang
seorang putra yang baik... putra yang patuh...."
Dengan mendesak tapi halus, Hori berkata,
"Saya yakin Anda akan bersikap bijaksana."
Imhotep menatapnya dengan perasaan ingin tahu.
"Apa yang kaupikirkan, Hori?"
Lambat-lambat Hori berkata,
"Saya katakan tadi bahwa berbahaya memberikan kekuasaan pada orang yang masih
terlalu muda. Tapi terlambat memberikan kekuasaan... itu pun berbahaya."
68 "Maksudmu, dia lalu menjadi terlalu terbiasa mematuhi perintah, dan tak bisa
memberikan perintah sendiri. Yah, mungkin itu ada benarnya." Imhotep mendesah.
"Sulit sekali mengendalikan suatu keluarga! Lebih-lebih para wanitanya. Susah
diatur! Satipy, sifat pemarahnya tak dapat dikendalikan, dan Kait sering
merajuk. Tapi sudah kujelaskan pada mereka, bahwa Nofret harus diperlakukan
dengan pantas. Kurasa aku bisa berkata bahwa..."
Kata-katanya terputus. Seorang budak datang terengah-engah, setelah mendaki
jalan setapak I** yang sempit itu. "Ada apa?"
"Tuan besar... ada perahu datang. Seorang juru tulis bernama Kameni telah datang,
membawa pe-t san dari Memphis."
Imhotep bangkit dengan kesal.
"Ada kesulitan lagi," serunya. "Aku yakin, pasti ada kesulitan lagi! Kalau aku
tak berada di tempat untuk mengurus segala persoalan, segala-galanya jadi
salah." Ia pergi dengan marah, menuruni jalan setapak. Hori duduk saja tanpa bergerak,
memperhatikannya dari belakang.
Wajahnya membayangkan rasa khawatir.
II _ Renisenb sedang berjalan-jalan di sepanjang tebing Sungai Nil, waktu didengarnya
suara-suara teriak 69 an dan keributan. Dilihatnya orang-orang berlari-lari ke arah dermaga. *
Ia berlari dan menggabungkan diri dengan mereka. Sebuah perahu sedang
ditambatkan ke darat Di perahu itu berdiri seorang pria muda. Waktu .melihat
sosoknya dalam sinar yang terang, jantung Renisenb serasa berhenti sesaat.
Suatu pikiran gila dan tak masuk akal melanda dirinya.
"Itu Khay," pikirnya. "Khay kembali dari dunia orang mati."
Lalu diejeknya dirinya, karena mengangankan yang bukan-bukan. Hal itu terjadi
karena ia selalu ingat bahwa Khay sedang berlayar di Sungai Nil. Sedangkah pria
itu perawakannya memang mirip Khay.... Ia benar-benar sedang berangan-angan. Pria
itu lebih muda daripada Khay, gerakannya lincah dan lentur, sedangkan wajahnya
selalu tersenyum dan ceria.
Dikatakannya pada orang-orang yang berkumpul di situ bahwa ia datang dari daerah
utara, dari tanah-tanah milik Imhotep di sana. Ia seorang juru tulis, namanya
Kameni. Seorang budak diutus untuk memberitahu Imhotep, sedangkan Kameni diajak ke
rumah. Di sana ia disuguhi makanan dan minuman. Kemudian Imhotep datang, dan
terjadilah perundingan dan pembicaraan.
Inti pembicaraan itu lalu merembes ke luar, dan masuk ke bagian tempat tinggal
para wanita. Tentu saja Henet yang menjadi pembawa berita.
70 Kadang-kadang Renisenb ingin sekali tahu.bagaimana Henet selalu berhasil
mengetahui segala sesuatu.
Rupanya Kameni bekerja pada Imhotep dia adalah putra saudara sepupu Imhotep. ?Kameni telah menemukan beberapa kejanggalan ketidakberesan dalam pembukuan
?perusahaan di daerah utara. Dan karena persoalannya banyak kaitannya, serta
melibatkan para petugas perusahaan, maka pikirnya lebih baik ia datang sendiri
ke selatan untuk melaporkan hal itu.
Renisenb tidak begitu tertarik. Pandai sekali Kameni, sampai bisa menemukan
semuanya itu, pikirnya. Ayah pasti senang padanya.
Akibat langsung dari persoalan itu adalah Imhotep segera mengadakan persiapan-
persiapan untuk berangkat. Semula ia bermaksud pergi lagi dua bulan yang akan
datang, tapi sekarang, makin cepat ia berada di sana, makin baik.
Seluruh isi rumah dipanggil, dan tak terkira banyaknya instruksi serta petunjuk
yang diberikan pada mereka. Ini harus dilakukan, itu harus dikerjakan. Yahmose
sekali-kali tak boleh melakukan ini atau itu. Sobek harus sangat berhati-hati
sekali mengenai hal yang lain lagi. Semua itu sudah amat biasa, pikir Renisenb.
Yahmose mendengarkan dengan penuh perhatian, sedangkan Sobek cemberut saja.
Sebagaimana biasa, Hori tetap tenang dan efisien. Pertanyaan-pertanyaan dan
permintaan Ipy yang mendesak, ditolak dengan lebih tajam daripada biasanya.
71 "Kau terlalu muda untuk mendapatkan uang saku khusus. Patuhi Yahmose. Dia tahu
segala keinginan dan perintahku." Imhotep menepuk pundak putra sulungnya itu.
"Aku percaya padamu, Yahmose. Nanti bila aku kembali, kita akan membicarakan
lagi tentang kemungkinan bersekutu itu."
Wajah Yahmose segera memerah karena senang, dan berdirinya jadi lebih tegak.
Imhotep berkata lagi, "Jaga saja supaya semuanya beres selama aku tak berada di tempat. Jaga supaya
selirku selalu diperlakukan dengan baik, dihormati sebagaimana mestinya. Dia
kupercayakan padamu. Kaulah yang harus mengawasi kelakuan para wanita di dalam
rumah tangga ini. Jaga supaya Satipy menahan lidahnya. Jaga pula supaya Sobek
mengajari Kait dengan baik. Juga Renisenb harus berlaku sopan terhadap Nofret.
Lalu, aku tak mau ada yang menunjukkan sikap tak ramah terhadap Henet yang baik.
Aku tahu para wanita di sini kadang-kadang merasa jengkel padanya. Dia sudah
lama di sini, dan dia merasa berhak mengatakan hal-hal yang kadang-kadang orang
tak suka mendengarnya. Aku tahu bahwa dia tak cantik, juga tak cerdas, tapi
ingat, dia setia, dan selalu mengurus kepentingan-kepentinganku. Aku tak mau dia
dibenci dan diperlakukan sewenang-wenang."
"Semuanya akan dilaksanakan sesuai dengan kata Ayah," kata Yahmose. "Tapi Henet
kadang-kadang memang menyusahkan dengan lidahnya."
"Bah! Omong kosong! Semua perempuan me -
72 mang begitu. Henet tak lebih daripada perempuan-perempuan lain dalam hal itu.
Mengenai Kameni, dia akan tinggal di sini. Kita memang memerlukan seorang juru
tulis lagi, dan dia bisa membantu Hori. Mengenai tanah yang sudah kita sewakan1
pada perempuan bernama Yaii itu..."
Imhotep masih terus memberi petunjuk sampai soal yang.sekecil-kecilnya.
Ketika akhirnya semua siap berangkat, Imhotep tiba-tiba merasa resah. Dibawanya
Nofret menjauh, lalu ia berkata ragu-ragu,
"Nofret, benar-benarkah kau ingin tinggal di sini" Atau apakah tidak lebih baik
kau ikut aku saja?" Nofret menggeleng, lalu tersenyum.
"Kau takkan lama pergi," katanya. , "Tiga atau empat bulan. Siapa tahu?"
"Nah... itu tak lama. Aku akan senang di sini."
Imhotep berkata dengan perasaan galau,
"Aku sudah berpesan pada Yahmose pada semua putraku supaya kau sangat ? ?diperhatikan. Mereka harus bertanggung jawab kalau sampai ada keluhan darimu!"
"Aku yakin mereka akan melakukan segala perintahmu, Imhotep." Nofret diam
sebentar, lalu berkata lagi, "Siapakah di sini yang bisa kupercayai sepenuhnya"
Seseorang yang benar-benar mengabdi pada kepentingan-kepentinganmu" Maksudku,
bukan salah seorang anggota keluarga."
"Hori Hori yang baik! Dia tangan kananku dalam segala hal. Dia pria yang bijak
? dan pandai M 73 sekali membedakan mana yang baik dan mana "yang buruk."
Nofret berkata lagi lambat-lambat,
"Dia dan Yahmose seperti saudara. Mungkin..."
"Kalau begitu Kameni. Dia juga seorang juru tulis. Aku akan berpesan padanya
supaya dia selalu siap melayanimu. Kalau ada sesuatu yang kaukeluhkan, dia akan
menuliskan kata-katamu, dan akan dikirimkannya keluhan-keluhan itu padaku."
Nofret mengangguk senang.
"Itu pikiran yang baik. Kameni juga berasal dari daerah utara. Dia mengenal
ayahku. Dia tidak akan terpengaruh oleh pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan."
"Dan Henet," seru Imhotep. "Jangan lupa ada Henet."
"Ya," kata Nofret sambil berpikir. "Ada Henet Bagaimana kalau kau berbicara
dengannya sekarang di hadapanku?"?"Ya, itu suatu rencana yang hebat"
Henet dipanggil. Dan, seperti biasanya,,ia datang merangkak-rangkak, tapi dengan
penuh gairah. Ia mer tapkan penyesalan-penyesalannya mengenai keberangkatan
Imhotep. Imhotep memotong ratap n ratapannya itu dengan tegas.
"Ya, ya, Henet yang baik, tapi hal ini harus terjadi juga. Aku jarang bisa
mendapatkan kedamaian atau istirahat berlama-lama. Aku harus bekerja keras tanpa
henti untuk keluargaku, meskipun mereka kadang-kadang tidak menghargainya.
Sekarang aku ingin berbicara serius denganmu. Aku tahu kau menyayangiku dengan
setia dan' penuh pengabdian, jadi aku bisa mempercayaimu. Jaga Nofret baik-baik
di sini. Aku sayang sekali padanya."
"Siapa pun yang Anda sayangi, tuanku, saya sayangi pula," kata Henet dengan
bersemangat. "Baiklah. Jadi, kau mau mengabdikan dirimu pada kepentingan-kepentingan Nofret?"
Henet berpaling pada Nofret yang sedang memandanginya dengan termenung.
"Anda terlalu cantik, Nofret," katanya. "Itulah masalahnya. Itu sebabnya yang
lain menjadi iri. Tapi saya akan menjaga Anda. Akan saya sampaikan pada Anda
segala perkataan atau tingkah laku mereka. Anda bisa mempercayai saya!"
Keadaan hening, sementara kedua wanita itu saling bertatapan.
"Anda bisa mempercayai saya," ulang Henet.
Bibir Nofret perlahan mengembangkan seulas senyum senyum yang aneh.
?"Ya," katanya. "Aku mengerti, Henet. Kurasa aku akan bisa mempercayaimu."
Imhotep mendehem. "Kalau begitu, semuanya beres. Ya, semuanya memuaskan. Pengaturan... di situlah
selalu kekuatanku." Terdengar seseorang tertawa terkekeh. Imhotep menoleh dengan tajam. Didapatinya
ibunya sedang berdiri' di pintu kamar. Wanita tua itu bertumpu
75 74 pada tongkatnya, dan ia nampak lebih keriput. Ia memperlihatkan sikap
bermusuhan. "Bukan main hebatnya putraku!" katanya.
"Masih ada beberapa instruksi yang harus kusampaikan pada Hori. Aku tak bisa
menundanya...." Sambil bergumam dan menunjukkan sikap sok penting, Imhotep cepat-
cepat meninggalkan kamar itu. Ia berusaha mengelakkan pandangan mata ibunya.
Esa mengangguk penuh wibawa pada Henet, dan Henet dengan patuh menyelinap pergi
dari kamar itu. Nofret telah bangkit. Kini ia dan Esa saling bertatapan. Esa mendahului
berbicara, "Jadi anakku akan meninggalkanmu di sini. Sebenarnya lebih baik kalau
kau ikut dia, Nofret"
"Dia ingin saya tinggal di sini."
Suara Nofret lembut dan penuh khidmat Esa tertawa melengking.
"Memang tak banyak manfaatnya kalau kau ikut! Tapi mengapa kau tak mau ikut9 Aku
tak mengerti. Apa yang kauharapkan di sini" Kau biasa tinggal di kota-kota
besar, dan mungkin biasa bepergian. Mengapa kau memilih kehidupan yang monoton
di sini, di antara orang-orang yang terus terang saja tak suka padamu dan ? ? ?bahkan membencimu?"
"Jadi Anda membenci saya?"
Esa menggeleng. "Tidak, aku tak benci padamu. Aku sudah tua, dan meskipun penglihatanku sudah
amat kabur, 76 aku masih bisa melihat kecantikanmu, dan menikmatinya. Kau cantik, Nofret, dan
mataku yang tua ini senang melihat kecantikanmu. Karena kecantikanmu itu, aku
mengharapkan kau selamat. Sebab itu kuperingatkan padamu, ikutlah dengan anakku
ke utara." Nofret mengulangi ucapannya, "Dia mengingin kan-saya tinggal di sini."
Nadanya yang merendah itu kini jelas mengandung cemooh. Esa berkata dengan
tajam, "Kau pasti punya maksud tertentu tinggal di sini. Apa itu" Aku ingin tahu.
Baiklah, kau harus menanggung sendiri akibatnya. Tapi berhati-hatilah. Tunjukkan
sikap bijaksana. Dan jangan mempercayai siapa pun."
Ia berbalik dengan mendadak, lalu keluar. Nofret berdiri tanpa bergerak.
Perlahan-lahan bibirnya melengkung ke atas, membentuk senyuman lebar
seperti kucing. _ TAM m BACAAN / "JAVA * A - "
^ L.K*l>JRArKm fc.?77 BAB VI Bulan Pertama Musim Salju hari ke-4
?Renisenb mempunyai kebiasaan mendaki bukit pemakaman hampir setiap hari. Kadang-
kadang Yahmose dan Hori berada di sana, kadang-kadang Hori sendiri saja, dan
kadang-kadang tak ada seorang pun di sana. Tapi selalu saja Renisenb menemukan
semacam rasa lega dan kedamaian yang aneh di sana suatu perasaan bebas dan
?lepas. Ia paling senang bila menemukan Hori seorang diri " di situ. Sifat Hori
yang serius dan sambutannya yang tulus atas kedatangan Renisenb memberikan suatu
perasaan tenang yang aneh. Biasanya Renisenb duduk di keteduhan jalan masuk dari
kamar di dalam batu karang itu. Sebelah lututnya diangkat, dan kedua tangannya
memeluk lutut yang terangkat itu. Ia lalu menatap ke kejauhan, ke perkebunan-
perkebunan yang membentuk rantai hijau. Memandangi Sungai Nil yang biru pucat
ber-a kilau, dan hamparan pemandangan yang berwarna-warni, kuning muda dan merah
muda. Semua itu tampak samar-samar, dan melebur satu sama lain.
Beberapa bulan yang lalu, untuk pertama kalinya ia datang ke situ karena desakan
hati yang mendadak untuk melepaskan diri dari dunia kewanitaan yang dirasanya terlalu
ketat melingkupinya. Ia mendambakan ketenangan dan persahabatan yang tulus, dan
kedua hal itu ditemukannya di tempat ini. Hingga kini pun keinginan untuk
melepaskan diri itu masih dirasakannya, tapi itu bukan lagi sekadar keinginan
untuk terbebas dari tekanan dan kebisingan kehidupan rumah tangga, melainkan
sesuatu yang lebih pasti, lebih menakutkan.
Pada suatu hari, ia berkata pada Hori, "Aku takut..."
"Mengapa kau takut, Renisenb?" Hori memandanginya dengan bersungguh-sungguh.
Beberapa saat lamanya Renisenb berpikir, lalu ia berkata lambat-lambat,
"Ingatkah kau, kau pernah berkata bahwa ada dua macam kejahatan yang satu
?datang dari luar, dan yang satu lagi dari dalam?"
"Ya, aku ingat"
"Kemudian katamu kau sedang berbicara tentang penyakit yang sedang menyerang
buah-buahan dan hasil panen lainnya. Tapi aku lalu berpikir... dengan manusia pun
sama halnya." Hori mengangguk lambat-lambat
"Jadi kau sudah berpikir sampai ke situ.... Ya, kau benar, Renisenb."
Renisenb langsung menyambung,
"Hal itu sedang terjadi sekarang di rumah kita. Telah datang sesuatu yang jahat
?dari luar! Dan aku tahu siapa yang membawanya. Nofret"
79 78 "Begitukah pikiranmu?" kata Hori lambat-lambat
Renisenb mengangguk dengan yakin.
"Ya, ya, aku tahu apa yang kukatakan. Dengar, Hori. Waktu aku naik kemari


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangimu, dan berkata bahwa segala sesuatu masih seperti dulu, sampai-sampai
pada pertengkaran antara Satipy darj Kait itu memang benar. Tapi pertengkaran-?pertengkaran itu, Hori, bukan pertengkaran-pertengkaran yang sebenarnya.
Maksudku, Satipy dan Kait menikmati pertengkaran-pertengkaran itu, sebab itu
dapat melengah waktu. Mereka tidak benar-benar saling membenci! Tapi sekarang
keadaannya berubah. Sekarang mereka tidak hanya mengucapkan kata-kata yang kasar
dan tak menyenangkan saja. Kini mereka ingin saling menyakiti, dan bila
berhasil, mereka pun senang! Aku ngeri, Hori... ngeri! Kemarin Satipy demikian
marahnya, hingga lengan Kait ditusuknya dengan sebuah jarum panjang dari emas.
Dan dua-tiga hari yang lalu, Kait mengempaskan sebuah panci perunggu yang berat,
yang penuh dengan lemak mendidih, ke kaki Satipy. Dan keadaan semacam itu sama
saja di mana-mana. Satipy memaki-maki Yahmose sampai jauh malam. Kami semua bisa
mendengarnya. Yahmose kelihatan sakit, letih, dan lesu. Sementara itu Sobek
pergi ke desa, dan tinggal di sana bersama pelacur-pelacur, lalu kembali dalam
keadaan mabuk, berteriak-teriak dan membangga-banggakan diri, mengatakan betapa
pandainya dia!" 80 "Aku tahu bahwa beberapa di antara keadaan-keadaan itu memang benar," kata Hori
lambat-lambat. "Tapi mengapa Nofret yang kausalahkan?"
"Karena semua itu gara-gara dia! Selalu gara-gara apa-apa yang diucapkannya hal
?hal kecil yang licik-licik, yang selalu merupakan awalnya. Dia tak ubahnya
tongkat yang kjta tusukkan ke sapi. Dia pandai pula mencari tahu dengan tepat
apa yang harus dikatakannya. Kadang-kadang Kupikir Henet lah yang mengajarnya...."
"Ya," kata Hori sambil merenung. "Itu mungkin."
Renisenb bergidik. "Aku tak suka pada Henet Aku bencf akan caranya menyelinap ke sana kemari.
Katanya dia sangat mengabdikan dirinya pada kita semua, padahal tak seorang pun
di antara kita yang menginginkan pengabdiannya itu. Aku tak mengerti bagaimana
ibuku sampai bisa membawanya kemari, dan begitu suka padanya."
"Kita hanya bisa mendengar penjelasan dari Henet mengenai soal itu," kata Hori
datar. "Lalu, mengapa Henet bisa begitu sayang nada Nofret, mengikutinya ke mana pun
dia pergi, ber bisik-bisik padanya, dan menjilatnya! Oh, Hori, aku takut
Sungguh. Hori! Aku benci pada Nofret! Alangkah baiknya bila dia pergi. Dia
memang cantik, tapi dia kejam dan jahat!"
"Betapa kekanak kanakannya engkau, Renisenb," kata Hori.
Lalu ia menambahkan dengan tenang,
81 "Nah, Nofret sedang naik kemari."
Renisenb berpaling. Mereka berdua memperhatikan Nofret yang perlahan-lahan
mendaki jalan setapak yang curam, yang menuju permukaan batu karang itu. Ia
tersenyum sendiri, sambil menyenandungkan sebuah lagu perlahan-lahan.
Waktu tiba di tempat mereka berada, ia melihat ke sekelilingnya, lalu tersenyum.
Senyum senang yang mengandung rasa ingin tahu. "Rupanya ke sinilah kau
menyelinap setiap hari, Renisenb."
Renisenb tak menyahut Ia marah dan merasa dikalahkan, seperti anak kecil yang
tempat persembunyiannya ketahuan.
Nofret melihat lagi ke sekelilingnya.
"Dan ini rupanya pemakaman yang termasyhur itu?" ,
"Benar, Nofret," sahut Hori.
Nofret menoleh pada Hori. Mulutnya yang seperti mulut kucing, melengkung naik,
membentuk senyum. "Pantas kau merasakan tempat ini menguntungkan, Hori. Kudengar kau sangat pintar
dalam bisnis." Suaranya mengandung nada jahat, tapi Hori tidak terpengaruh. Senyumnya tetap
tenang dan bersungguh-sungguh.
"Semua ini menguntungkan bagi kita semua.... Kematian selalu menguntungkan...."
Nofret tampak bergidik waktu ia melihat ke sekelilingnya. Matanya memandangi
meja-meja 82 persembahan, jalan masuk ke kuil, dan pintu palsu.
Kemudian ia berkata dengan tajam, "Aku benci-kematian!"
"Itu tak perlu." Nada bicara Hori terdengar tenang. "Kematian merupakan sumber
utama kekayaan di Mesir ini. Lewat kematianlah barang-barang perhiasan Anda
dibeli, Nofret Kematian pula yang memberi Anda sandang dan pangan."
Nofret memandanginya dengan terbelalak.
"Apa maksudmu?"
"Maksud saya, Imhotep adalah seorang pendeta Ka seorang imam kematian. Semua ?tanah miliknya, ternaknya, kayunya, raminya, jelainya, adalah pemberian dari
pemakaman ini." Ia diam sebentar, lalu berkata lagi sambil merenung,
"Kita orang-orang Mesir memang aneh. Kita mencintai kehidupan... namun juga cepat
sekali menyiapkan diri untuk kematian. Untuk itulah kekayaan Mesir
digunakan untuk membangun piramida piramida makam-makam, dan untuk memberi
?persembahan bagi makam-makam itu."
Dengan keras Nofret berkata,
"Berhentilah berbicara tentang kematian, Hori! Aku tak suka!"
"Itu karena Anda orang Mesir sejati. Anda mencintai kehidupan, karena kadang-
?kadang Anda merasakan betapa dekatnya bayangan kematian itu...."
?"Berhenti!" **tmr> 83 j mm Ia berbalik menghadapi Hori. Lalu, sambil mengangkat bahunya, ia berbalik lagi,
pergi menuruni jalan setapak itu.
Renisenb mendesah lega. "Aku senang dia sudah pergi," katanya dengan kekanak-kanakan. "Kau telah
menakut-nakutinya, Hori."
"Ya... apakah aku membuatmu takut pula, Re- " nisenb?"
"Ti... tidak." Suara Renisenb terdengar tak yakin. "Apa yang kaukatakan tadi
benar, hanya aku tak pernah memikirkannya dengan cara begitu se- " belumnya.
Ayahku memang seorang pendeta kematian."
Dengan nada getir Hori berkata,
"Seluruh Mesir terobsesi oleh kematian! Tahukah kau sebabnya, Renisenb" Karena
kita memiliki * mata di tubuh kita, tapi tidak di dalam pikiran kita. Kita tak
bisa membayangkan kehidupan lain selain yang ini kehidupan setelah kematian. ?Kita hanya bisa membayangkan kelanjutan dari apa yang kita ketahui. Kita tidak
sungguh-sungguh percaya kepada dewa."
Renisenb menatapnya tak mengerti.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Hori" Bukankah kita punya banyak sekali
dewa" Demikian . banyaknya, hingga aku tak bisa menyebutkannya semua. Baru
semalam kami berbicang-bincang tentang dewa mana yang lebih kami sukai. Sobek
dengan tegas memilih Sakhmet, sedangkan Kait selalu berdoa pada Meskhant Kameni,
karena dia 84 juru tulis, bersumpah atas nama Thoth. Satipy lebih menyukai Horus yang
berkepala elang, juga Meresder yang kita puja. Yahmose berkata bahwa Ptah yang
harus dipuja, karena dia yang mencip-takan segala-galanya. Aku sendiri mencintai
Isis, sedangkan Henet memuja dewa setempat kita, Amun. Katanya, di antara para
pendeta ada ramalan bahwa Amun akan menjadi dewa terbesar di seluruh Mesir, maka
sejak sekarang dia selalu membawakan persembahan bagi Amun, selagi Amun masih
merupakan dewa kecil. Lalu ada pula Re, dewa matahari, dan Osiris. Di
hadapannyalah jiwa orang-orang yang sudah meninggal ditimbang."
Renisenb berhenti, kehabisan napas. Hori tersenyum padanya.
"Lalu Renisenb, apa beda antara seorang dewa dengan seorang manusia?"
Renisenb memandangnya dengan terbelalak.
"Dewa-dewa itu... mereka itu saktil"
"Hanya itu saja?"
"Aku tak mengerti maksudmu, Hori."
"Maksudku, bagimu seorang dewa hanyalah seorang laki-laki atau seorang wanita
yang bisa melakukan hal-hal tertentu, yang tak bisa dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan biasa."
"Bicaramu aneh-aneh! Aku tak bisa memahaminya."
Ia memandangi Hori dengan wajah keheranan. Ketika ia melayangkan pandangan ke
lembah di 85 bawah, perhatiannya tertarik oleh sesuatu yang lain.
"Lihat," serunya. "Nofret sedang bercakap-cakap dengan Sobek. Dia tertawa.
Aduh...!" Renisenb tiba-tiba tercekat. "Oh, tidak... tak apa-apa. Kukira Sobek akan
menamparnya. Nofret kembali ke rumah, dan Sobek sedang berjalan kemari."
Sobek tiba dengan wajah geram seperti tersapu awan.
"Mudah-mudahan perempuan itu disambar buaya!" serunya. "Ayahku lebih bodoh
daripada biasanya, waktu dia mengambilnya menjadi selirnya!"
"Apa yang dikatakannya padamu?" tanya Hori ingin tahu.
"Biasa! Dia menghinaku. Dia bertanya apakah ayahku masih mempercayai aku untuk
menjual kayu. Lidahnya benar-benar beracun, seperti ular kobra. Ingin rasanya
aku membunuhnya." Ia berjalan di sepanjang beranda kamar dalam batu karang itu. Lalu diambilnya
sebuah batu, dan dilemparkannya kuat-kuat ke lembah di bawah. Suara jatuhnya
batu yang menggema dari bawah, agaknya menyenangkan hatinya. Diungkitnya lagi
sebuah yang lebih besar, tapi kemudian ia melompat mundur, karena seekor ular
yang sedang bergelung di bawahnya, mengangkat kepalanya. Ular itu menegakkan
tubuhnya sambil mendesis, dan Renisenb melihat bahwa ular itu seekor ular kobra.
Sobek mengambil sebuah tongkat yang berat, lalu menyerangnya dengan geram.
Sebuah pukulannya tepat mematahkan punggung ular itu. Tapi
86 Sobek terus memukulinya dengan kepala mendongak dan mata berbinar. Dan dengan
berbisik di-gumamkannya sebuah kata yang hanya samar-samar terdengar oleh
Renisenb. "Berhenti, Sobek, berhenti!" teriak Renisenb. "Binatang itu sudah mati."
Sobek berhenti, lalu dilemparkannya kayu itu, dan ia tertawa. "Sudah berkurang
seekor ular beracun di dunia ini," katanya.
Ia tertawa lagi. Rasa humornya sudah pulih kembali, lalu ia berlari-lari
menuruni jalan setapak itu.
Dengan berbisik Renisenb berkata, "Kurasa Sobek suka membunuh!" "Ya,"
Tak ada nada heran dalam jawaban Hori. Ia hanya mengakui suatu kenyataan yang
agaknya sudah lama diketahuinya. Renisenb menoleh padanya dan menatapnya.
Lambat-lambat ia berkata,
"Ular memang berbahaya tapi alangkah cantiknya ular kobra itu...."?Ia menunduk, mengamati tubuh ular yang sudah tergeletak dan hancur itu. Entah
kenapa, hatinya terasa pedih.
Sambil merenung Hori berkata,
"Aku ingat waktu kita semua masih kecil. Pada suatu kali, Sobek menyerang
Yahmose. Yahmose setahun lebih tua, tapi Sobek lebih besar dan lebih kuat. Dia
memegang sebuah batu, dan batu itu dihantamkannya ke kepala Yahmose. Ibumu
datang, lalu memisahkan mereka. Aku ingat benar
87 bagaimana ibu kalian berdiri dan memandangi Yahmose... lalu dia berseru, 'Kau tak
boleh berbuat begitu, Sobek. Itu berbahaya! Dengar, itu berbahayaV" Hori
berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Ibumu cantik sekali.... Waktu masih kecil,
aku selalu berpikir betapa cantiknya dia. Kau seperti dia, Renisenb."
"Sungguh?" Renisenb merasa senang merasa hangat. Lalu ia bertanya,?"Apakah Yahmose cedera berat waktu itu?"
"Tidak, tidak begitu hebat Malah Sobek yang sakit parah keesokan harinya.
Mungkin karena dia salah makan. Tapi kata ibumu, itu gara-gara kemarahannya, dan
sengatan matahari yang panas waktu itu sedang musim panas."
?"Sobek memang penaik darah sekali," kata Renisenb sambil merenung.
Ia melihat lagi ke ular yang sudah mati itu, lalu membuang muka sambil bergidik.
II Ketika Renisenb tiba di rumah kembali, dilihatnya Kameni sedang duduk di beranda
depan, dengan segulung papirus. Ia sedang bernyanyi, dan Renisenb berhenti
sebentar untuk mendengarkan syair lagu itu.
"Aku akan pergi ke Memphis" begitu kata-kata nyanyiannya. "Aku akan menghadap
Ptah, dewa kebenaran. Akan kukatakan pada Ptah, 'Beri aku kekasih malam ini'
Maka air sungai akan menjadi
88 anggur. Ptah menjadi buluh-buluhnya, Sekhmet bunga teratainya, Earit merupakan
kuntumnya, dan Nefertum bunganya. Akan kukatakan pada Ptah, 'Berilah aku kekasih
malam ini.' Maka fajar akan menyingsing menampakkan kecantikannya. Dan Memphis
akan menjadi sepiring apel asmara yang tersedia di hadapan wajah yang elok itu..."
Kameni mengangkat wajahnya, lalu tersenyum pada Renisenb.
"Sukakah kau mendengar laguku, Renisenb?"
"Lagu apa itu?"
"Itu sebuah lagu cinta dari Memphis."
Sambil terus memandangi Renisenb, ia bernyanyi dengan suara halus,
"Lengannya penuh dengan tangkai-tangkai per-sea, di rambutnya bergantungan
bunga-bunga harum Dia serupa dengan putri dewa dari Negeri Dua."
Wajah Renisenb memerah. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumah, dan hampir
bertabrakan dengan Nofret
"Mengapa kau begitu terburu-buru, Renisenb?"
Suara Nofret terdengar tajam. Renisenb menatapnya dengan agak heran. Nofret
tidak tersenyum. Wajahnya tampak serius dan tenang, dan Renisenb melihat kedua
tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
"Maaf, Nofret, aku tidak melihatmu. Di sini terasa gelap, kalau kita datang dari
tempat yang terang di luar."
"Ya, di sini memang gelap...." Nofret berhenti sebentar. "Di luar akan lebih
menyenangkan?89 lebih-lebih di beranda, sambil mendengarkan nyanyian Kameni. Dia pandai
bernyanyi, bukan?" "Ya... kurasa begitulah."
"Mengapa kau tidak tinggal di situ untuk mendengarkannya" Kameni akan kecewa."
Pipi Renisenb terasa panas lagi. Pandangan Nofret yang dingin dan mengejek
membuatnya risi. "Apakah kau tak suka lagu-lagu cinta, Renisenb?"
"Adakah urusannya denganmu, Nofret, apa yang kusukai dan tak kusukai?"
"Rupanya kucing kecil punya cakar juga." "Apa maksudmu?"
Nofret tertawa. "Kau tidak sebodoh seperti kelihatannya, Renisenb. Jadi kaupikir
Kameni itu tampan" Yah, dia pasti senang jika tahu."
"Kau benar-benar memuakkan," kata Renisenb sengit.
Ia berlari melewati Nofret, pergi ke bagian belakang rumah. Masih didengarnya
suara tawa perempuan itu mengejek. Tapi di tengah tawa itu, masih terdengar
jelas dalam angannya gema suara Kameni, dan lagu yang dinyanyikannya sambil
menatap wajahnya.... III Malam itu Renisenb bermimpi.
Dia bersama Khay, berlayar dalam Kapal Kematian di Dunia Bawah. Khay sedang
berdiri di haluan kapal. Renisenb hanya bisa melihat bagian
90 belakang kepalanya. Lalu, waktu mereka makin dekat ke matahari terbit, Khay
menoleh, dan Renisenb melihat bahwa dia bukan Khay, melainkan Kameni. Pada saat
Kuda Kudaan Kumala 1 Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam Jodoh Si Mata Keranjang 7
^