Pencarian

Ledakan Dendam 3

Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie Bagian 3


hangat" "Anak itu memang tak pernah lamban," kata Esa.
"Benar kata Ibu. Demikian pula Sobek. Dulu aku tak senang padanya, tapi akhir-
akhir ini dia sudah berubah. Dia tidak lagi menghabiskan waktunya dengan
bermalas-malasan, dan dia lebih banyak mendengarkan kata-kataku dan kata-kata
Yahmose."Hari ini kau banyak memuji," kata Esa. "Yah, Imhotep, harus kuakui
bahwa rencanamu itu tepat Kau salah waktu berniat mencabut hak putra-putramu.
Tapi aku tetap berpendapat bahwa Ipy terlalu muda untuk diangkat sebagai
rekanan. Tak masuk akal memberikan kedudukan yang pasti pada anak seumur itu.
Apa yang bisa kauharapkan dari dia?"
"Ya, itu ada benarnya juga." Imhotep merenung, Lalu ia bangkit
"Aku harus pergi. Banyak yang harus kukerjakan. Para petugas pembalsam sudah
datang. Banyak yang harus diurus sehubungan dengan penguburan Satipy. Kematian-
kematian ini memakan biaya banyak sekali. Apalagi terjadi berturut-turut dalam
waktu singkat begini!"
"Ah, sudahlah," kata Esa menghibur. "Kita harapkan saja agar ini yang terakhir,
sampai... sampai tiba giliranku!"
"Kuharap Ibu masih akan hidup lama."
180 "Pasti kau berharap begitu," kata Esa sambil tertawa lebar. "Aku tak mau
penghematan dalam mengurus pemakamanku nanti! Rasanya aku ini orang yang tak
baik! Aku menginginkan banyak perlengkapan untuk menyenangkan hatiku di dunia
sana. Banyak makanan dan minuman, budak-budak tiruan, sebuah papan mainan yang
banyak hiasannya, perlengkapan-perlengkapan parfum dan alat-alat kecantikan, dan
aku menuntut diberi botol-botol obat-obatan yang paling mahal, yang terbuat dari
porselen paling halus."
"Ya, ya, tentu.' Imhotep mengubah sikap berdirinya dengan gugup, sebentar pada
sebelah kaki, lalu berganti pada kaki yang sebelah lagi. "Segala penghormatan
akan diberikan bila hari yang sedih itu tiba. Harus kuakui bahwa aku punya
perasaan lain mengenai Satipy. Kita memang tidak menghendaki skandal, tapi yah,
dalam keadaan seperti ini."
Imhotep tidak menyelesaikan kalimatnya lalu bergegas pergi.
Esa tersenyum mengejek. Ternyata hanya ungkapan seperti itu saja yang bisa
diucapkan Imhotep untuk menyatakan bahwa ia tak begitu percaya bahwa selir yang
disayanginya menemui ajalnya karena kecelakaan.
181 BAB XIV Bulan Pertama Musim Panas hari ke-25?Setelah semua anggota keluarga kembali dari pengadilan Nomarch, dan surat
pernyataan tentang persekutuan sudah ditandatangani, terasalah suasana yang
penuh kebahagiaan. Tapi tidak bagi Ipy, yang pada saat terakhir tidak dimasukkan
sebagai rekanan karena umurnya yang masih terlalu muda. Akibatnya ia cemberut
saja, dan sengaja menghilang dari rumah.
Imhotep yang sedang gembira sekali memerintahkan agar sekendi besar anggur
dibawa ke beranda. Di sana, kendi itu diletakkan di atas sebuah penyangga besar.
"Kau harus minum, anakku," katanya sambil menepuk bahu Yahmose. "Lupakanlah
sebentar kesedihanmu gara-gara musibah yang telah menimpamu. Sekarang, mari kita
pikirkan hari-hari baik mendatang."
Imhotep, Yahmose, Sobek, dan Hori minum-minum setelah saling memberi selamat.
Tapi kemudian seseorang datang memberitahukan bahwa seekor sapi jantan telah
dicuri. Keempat pria itu pun terburu-buru pergi untuk menyelidiki soal itu.
182 Waktu Yahmose masuk kembali ke pekarangan sejam kemudian, ia nampak letih dan
kepanasan. Ia pergi ke beranda. Kendi anggur tadi masih ada di sana, di atas
meja penyangganya. Dicelupkan nya sebuah cangkir perunggu ke dalam kendi itu,
lalu ia duduk sambil menghirup anggur itu perlahan-lahan. Tak lama kemudian
Sobek datang dengan langkah-langkah panjang, dan berseru dengan gembira,
"Ha," katanya. "Sekarang kita minum anggur lagi! Mari kita rayakan masa depan kita yang sudah mulai
cerah. Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan bagi kita berdua, Yahmose!"
Yahmose membenarkan. "Memang. Hidup ini akan jadi lebih mudah dalam segala hal."
"Kau selalu setengah-setengah dalam merasakan sesuatu, Yahmose."
Sobek tertawa sambil berbicara, dan mencelupkan sebuah cangkir ke dalam kendi
anggur. Minuman itu diminumnya sampai habis dalam satu tegukan, lalu ia menjilat
bibirnya sambil meletakkan cangkir itu kembali.
"Mari kita lihat sekarang, apakah ayah kita akan tetap mempertahankan cara-cara
berpikirnya yang kuno, atau apakah aku bisa membujuknya untuk menggunakan
metode-metode baru."
"Kurasa sebaiknya kita jangan terburu-buru," usul Yahmose. "Kau selalu ingin
cepat-cepat" Sobek tersenyum pada kakaknya dengan rasa sayang. Ia sedang bahagia sekali.
183 "Ah, kau memang selalu berprinsip biar lambat asal selamat," katanya pura-pura
marah. Yahmose tersenyum, sama sekali tidak tersinggung.
"Ya, sikap itulah yang terbaik. Apalagi bukankah Ayah sudah cukup baik pada
kita" Janganlah kita berbuat sesuatu yang menyusahkannya."
Sobek menatap dengan rasa ingin tahu.
"Kau sayang sekali pada Ayah, ya" Kau memang makhluk yang penyayang, Yahmose!
Kalau aku... yah, aku tak sayang pada siapa pun juga, kecuali pada Sobek sendiri
tentu. Semoga aku panjang umur!"
Ia meneguk anggur lagi. "Hati-hati," kata Yahmose memberi peringatan. "Kau belum banyak makan. Dalam
keadaan begitu, kadang-kadang bila kita meminum anggur..."
Ia terhenti, bibirnya tiba-tiba mengernyit.
"Ada apa, Yahmose?"
"Tak apa-apa. Aku... rasanya tiba-tiba sakit, tapi tak apa-apa."
Ia mengangkat tangannya untuk menyeka dahinya yang tiba-tiba basah karena
keringat. "Kau kelihatan sakit"
"Tadi aku tak apa-apa."
"Asal tak ada orang yang meracuni anggur itu saja." Sobek tertawa mendengar
kata-katanya sendiri, lalu mengulurkan tangannya ke arah kendi lagi. Tapi tiba-
tiba tangannya mengejang, tubuhnya terbungkuk karena rasa sakit yang tiba-tiba
menyerang. 184 "Yahmose," desahnya. "Yahmose... aku... juga..."
Yahmose tersungkur ke depan, tubuhnya terbungkuk. Ia berteriak dengan suara
tercekik. Wajah Sobek pun mengernyit kesakitan. Ia juga berteriak,
"Tolong panggilkan tabib."
Henet keluar berlari-lari.
"Anda memanggil" Apa kata Anda" Ada apa"
Pekik ketakutannya menyebabkan orang-orang berlarian ke luar pula.
Kedua bersaudara itu mengerang kesakitan.
Yahmose berkata tak jelas,
"Anggur itu... beracun. Panggil tabib!"
Henet memekik dengan suara melengking,
"Lagi-lagi musibah. Rumah ini sebenarnya sudah dikutuk. Cepat! Lekas! Panggil
Mersu, pendeta kuil. Dia seorang tabib yang pandai dan berpengalaman."
II Imhotep berjalan hilir-mudik di balai tengah rumah. Jubahnya yang terbuat dari
linen halus sudah kotor dan tak rapi lagi. Ia tidak mandi dan tidak berganti
pakaian. Di wajahnya terbayang kecemasan dan ketakutan.
Dari bagian belakang rumah terdengar suara orang-orang yang menangis dan
meratap. Itulah sumbangan wanita-wanita itu pada bencana besar yang sedang
melanda rumah tangga tersebut Suara
185 Henet terdengar paling keras memimpin orang-orang yang berkabung itu.
Dari kamar sebelah terdengar gumam suara tabib dan Pendeta Mersu yang sedang
berusaha menolong Yahmose yang terbaring tak bergerak. Renisenb diam-diam
menyelinap ke luar bagian tempat tinggal para wanita, masuk ke balai tengah,
karena tertarik oleh suara itu. Ia berjalan ke arah pintu yang terbuka, dan
berhenti di situ. Mantra-mantra yang diucapkan sang Pendeta dengan suara rendah
dan datar terasa menyejukkan.
"Oh, Isis yang mahabesar dan mahasakti, lepaskanlah aku, bebaskanlah aku dari
segala sesuatu yang jahat dan merah, dari siksaan seorang dewa, dari siksaan
seorang dewi, dari gangguan pria atau wanita yang sudah meninggal, dan dari
musuh-musuh laki-laki maupun wanita yang melawan diriku..."
Terdengar desah tak jelas dari mulut Yahmose. Renisenb ikut berdoa di dalam
hati. "Oh, Isis, oh, Isis yang mahabesar, selamatkanlah dia. Selamatkanlah
kakakku, Yahmose. Kau yang memiliki kesaktian...."
Kepalanya dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang timbul karena kata-kata dalam doa
itu. "Dari segala sesuatu yang jahat dan yang merah. Itulah yang selama ini
mengganggu orang-orang di dalam rumah ini. Ya, pikiran-pikiran yang jahat,
pikiran-pikiran merah kemarahan seorang wanita yang sudah meninggal."?Ia berbicara dalam batas pikirannya sendiri,
186 langsung menujukannya pada orang yang ada dalam pikirannya itu.
"Bukan Yahmose yang telah menyakitimu, Nofret. Dan meskipun Satipy adalah
istrinya, kau tak boleh menyuruh Yahmose yang bertanggung jawab atas perbuatan-
perbuatan perempuan itu. Dia tak pernah bisa menguasai istrinya itu tak seorang
?pun bisa. Satipy yang telah menyakitimu, kini sudah meninggal. Apakah itu tak
cukup" Sobek juga sudah meninggal Sobek yang hanya berbicara jahat tentang
?dirimu, padahal dia tak pernah benar-benar menyakitimu. Oh, Isis, jangan biarkan
Yahmose meninggal pula. Selamatkan dia dari kebencian Nofret yang penuh rasa
dendam itu." Imhotep yang sedang berjalan hilir-mudik dengan linglung, mengangkat mukanya.
Melihat putrinya, wajahnya menjadi lembut, penuh rasa cinta.
"Mari sini, Renisenb, anakku sayang."
Renisenb berlari menghampirinya, dan Imhotep merangkulkan lengannya pada
putrinya. "Oh, Ayah, apa kata mereka?"
Dengan berat Imhotep berkata, "Kata mereka, bagi Yahmose masih ada harapan.
Mengenai Sobek... kau sudah tahu?"
"Ya, sudah. Ayah kan mendengar kami meratap?"
"Dia meninggal subuh tadi," kata Imhotep. "Sobek, anakku yang kuat dan tampan."
Bicaranya terhenti, dan ia terdiam.
"Ah, jahat sekali, kejam sekali. Tak adakah yang bisa dilakukan untuk
menyelamatkannya?" 187 "Semua yang bisa dilakukan telab dilakukan. Dia sudah diberi obat supaya muntah.
Sudah diberi sari tanaman yang manjur. Sudah pula dipakaikan jimat-jimat suci
dan dibacakan doa-doa yang kuat. Tapi semuanya gagal. Mersu adalah tabib yang
pandai... amat pandai. Bila dia tak bisa menyelamatkan putraku, berarti sudah
kehendak dewa-dewa bahwa dia tak bisa diselamatkan."
Terdengar tabib yang merangkap pendeta itu mengucapkan doa terakhir dengan suara
tinggi. Setelah itu, ia keluar dari kamar sambil menyeka keringat di dahinya.
"Bagaimana?" sapa Imhotep dengan penuh rasa
ingin tahu. Dengan serius tabib itu berkata, "Berkat kebaikan Isis, putra Anda selamat. Dia
masih lemah, tapi krisisnya sudah lewat. Pengaruh jahat itu sudah berkurang."
Imhotep bicara lagi. Nadanya sudah berubah sedikit, jadi seperti biasa.
"Untung Yahmose minum anggur beracun itu dalam jumlah yang jauh lebih sedikit.
Dia hanya menghirupnya sedikit, sedangkan putra Anda, Sobek, meneguknya
sekaligus." Imhotep menggeram. "Memang itulah perbedaan yang khas antara mereka berdua. Yahmose memang selalu
takut-takut, berhati-hati, dan lamban dalam pendekatannya terhadap segala
sesuatu. Sampai-sampai pada makanan dan minuman pun dia begitu. Sedangkan
188 Sobek suka berlebihan, pemurah, dan selalu terbuka. Sayang, dia tidak berhati-
hati." Lalu ditambahkannya dengan tajam,
"Jadi sudah pasti anggurnya beracun?"
"Itu tak diragukan lagi, Imhotep. Sisa anggur itu sudah diperiksa oleh asisten
saya. Binatang-binatang yang diberi minum anggur itu semuanya mati dengan
cepat." "Padahal aku juga telah meminum anggur yang sama, tak sampai satu jam
sebelumnya. Tapi aku tidak merasakan akibat buruknya."
"Pasti waktu itu anggurnya belum diracuni. Racun itu dibubuhkan kemudian."
Imhotep menghantamkan telapak tangannya pada tangan satunya yang terkepal.
"Tak seorang pun," serunya, "tak seorang pun manusia hidup yang berani meracuni
putra-putraku di bawah atap rumahku sendiri! Itu tak mungkin. Tak seorang pun
yang beranil" Mersu agak menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi aneh.
"Mengenai hal itu, hanya Andalah yang bisa menilai, Imhotep."
Imhotep menggaruk-garuk belakang telinganya dengan gugup.
"Aku ingin Anda mendengar sesuatu," katanya tiba-tiba.
Ia bertepuk, dan waktu seorang pelayan datang berlari-lari, ia berkata,
"Suruh masuk anak gembala itu." Ia menoleh pada Mersu, lalu berkata,
'TAMAN BACAAN i " 3AYA -> 189 [oL. KALIURANG KSM 5.6 YOGYAKARTA
"Anak ini otaknya agak payah. Sulit sekali baginya memahami kata-kata orang, dan
dia tak bisa berpikir dengan baik. Tapi dia punya mata, dan penglihatannya baik,
apalagi dia sayang sekali pada Yahmose, yang selalu bersikap lembut padanya dan
selalu baik hati dalam menghadapi kekurangannya."
Pelayan tadi masuk lagi sambil menyeret seorang anak laki-laki kurus yang
kulitnya sangat hitam. Ia cuma mengenakan cawat, matanya juling, dan wajahnya
yang bodoh tampak ketakutan.
"Bicaralah," kata Imhotep dengan tajam. "Ceritakan lagi apa yang telah
kaukisahkan padaku tadi."
Anak laki-laki itu menunduk, lalu meremas-remas kain yang melilit pinggangnya.
"Bicaralah," teriak Imhotep.
Esa datang dengan tertatih-tatih, sambil bertopang pada tongkatnya. Dengan susah
payah ia mencoba melihat dengan matanya yang sudah kabur sekali.
"Kau membuat anak itu ketakutan. Ini, Renisenb, berikan gula-gula ini padanya.
Nah, ceritakanlah tentang apa yang kaulihat, Nak."
Anak laki-laki itu menatap mereka bergantian.
Esa terus membesarkan hatinya.
"Hal itu terjadi kemarin, waktu kau sedang melewati pintu halaman. Kau melihat
sesuatu. Apa yang kaulihat itu?"
Anak laki-laki itu menggeleng sambil melihat ke samping. Lalu ia bergumam,
190 "Mana tuan saya Yahmose?" ^~
Pendeta berbicara dengan tegas tapi lembut,
"Tuanmu Yahmose-lah yang menginginkan kau menceritakan itu pada kami. Jangan
takut Tak seorang pun akan menyakitimu."
Wajah anak laki-laki itu menjadi lebih cerah. "Tuan saya Yahmose selalu baik
pada saya. Saya mau melakukan apa saja yang diinginkannya."
Ia diam lagi. Kelihatannya Imhotep sudah akan meledak lagi, tapi pandangan penuh
arti dari tabib itu, membuatnya menahan diri.
Tiba-tiba anak itu berbicara dengan gugup, cepat-cepat, dan tergagap gagap,
sambil melihat kiri-kanatt, seolah-olah ketakutan kalau kalau ada makhluk yang
tak kelihatan, mendengarnya,
"Ada seekor keledai kecil... yang dilindungi oleh Dewa Seth. Keledai itu selalu
membuat kerusuhan. Saya mengejarnya dengan tongkat saya. Dia berlari melewati
gerbang besar di pekarangan, dan saya mengintip ke dalam rumah lewat pintu
gerbang itu. Di beranda rumah tak ada siapa-siapa, tapi di situ ada meja
penyangga wadah anggur, lalu seorang wanita seorang wanita yang tinggal di ?rumah ini juga keluar dari rumah ke beranda. Dia berjalan ke arah wadah anggur,
?lalu mengulurkan tangannya ke arah wadah itu, lalu... lalu... kalau tak salah, dia
masuk kembali ke dalam rumah. Saya tak tahu betul, karena saya mendengar
langkah-langkah seseorang. Saya menoleh, dan saya lihat Tuan Yahmose kembali
dari ladang. 191 Jadi saya terus pergi mencari keledai itu lagi, sedangkan Tuan Yahmose masuk ke
pekarangan." "Dan kau tidak memberikan peringatan apa-apa padanya," seru Imhotep dengan
marah. "Kail tidak mengatakan apa-apa."


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tak tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres," seru anak laki-laki itu. "Saya
hanya melihat wanita itu berdiri di situ, sambil tersenyum dan mengulurkan
lengannya ke wadah anggur itu. Saya tak melihat apa-apa lagi."
"Siapa wanita itu, Nak?" tanya Pendeta.
Anak laki-laki itu menggeleng dengan wajah hampa.
"Saya tak tahu. Tapi dia pasti salah seorang wanita di rumah ini. Saya tak kenal
pada mereka. Saya menggembalakan ternak di ujung lain perkebunan. Wanita itu
memakai baju linen yang diwarnai."
Renisenb terbelalak. "Seorang pelayan, barangkali?" tanya Pendeta, sambil memperhatikan anak itu.
Anak laki-laki itu menggeleng dengan yakin.
"Dia bukan pelayan, sebab dia memakai wig dan perhiasan-perhiasan. Seorang
pelayan tidak memakai perhiasan."
"Perhiasan?" tanya Imhotep. "Perhiasan apa?"
Anak laki-laki itu menjawab dengan bergairah dan yakin. Kelihatannya ia sudah
dapat mengatasi rasa takutnya, dan merasa yakin dengan apa yang akan
dikatakannya. 192 "Tiga untai kalung manik-manik dengan liontin singa dari emas."
Tongkat Esa jatuh berkelotak di lantai. Imhotep memekik dengan suara tertahan.
"Kalau kau berbohong, Nak...," kata Mersu mengancam.
"Itu benar. Saya berani bersumpah. Itu benar!" Suara anak laki-laki itu
meninggi, lantang, dan melengking.
Dari kamar sebelah, di mana orang yang sakit itu terbaring, Yahmose bertanya
dengan lemah, "Ada apa?"
Anak laki-laki itu berlari melalui pintu yang terbuka, lalu berjongkok di dekat
sofa, di mana Yahmose terbaring.
"Oh, tuanku, mereka akan menyiksa saya."
"Tidak, tidak." Dengan susah payah Yahmose memalingkan kepalanya pada bantal
kayu yang melengkung. "Jangan sakiti anak ini. Dia memang bodoh, tapi dia jujur.
Berjanjilah padaku."
"Tentu, tentu," kata Imhotep. "Tak ada gunanya menyiksa anak itu. Jelas dia
telah menceritakan segala-galanya yang diketahuinya, dan kurasa dia tidak
mengada-ada. Pergilah kau, Nak, tapi jangan kembali ke tempat penggembalaanmu
yang jauh itu. Dekat-dekat saja di rumah, supaya kami bisa memanggilmu lagi,
bila kami membutuhkanmu."
Anak itu bangkit. Ia membungkuk, dan kelihatannya enggan meninggalkan Yahmose.
"Anda sakit, Tuan Yahmose."
Yahmose tersenyum samar. 193 "Jangan takut. Aku tidak akan mati. Pergilah, dan patuhilah apa yang
diperintahkan orang padamu."
Dengan tersenyum bahagia anak itu pergi.-Pendeta memeriksa mata Yahmose, dan
menghitung kecepatan aliran darah di bawah kulitnya. Kemudian, setelah
menasihatinya supaya tidur, ia keluar lagi dan menggabungkan diri dengan yang
lain-lain, pergi ke balai tengah.
Ia berkata pada Imhotep, "Apakah Anda bisa mengenali gambaran yang dilukiskan anak itu?"
Imhotep mengangguk. Pipipya yang kecoklatan kini pucat, seperti orang sakit
"Hanya Nofret yang biasa memakai baju linen yang diwarnai," sahut Renisenb. "Itu
merupakan mode yang dibawanya dari kota-kota di daerah utara. Tapi baju-baju itu
sudah dikuburkan bersamanya."
Imhotep menyambung, "Sedangkan tiga untai kalung merjan dengan bandulan tiga kepala singa dari emas'
itu adalah pemberianku. Tak ada perhiasan lain seperti itu di dalam rumah ini.
Kalung itu luar biasa, dan mahal sekali. Semua perhiasannya sudah dikuburkan
bersamanya, dan sudah ditutup rapat dalam kuburnya, kecuali seuntai kalung
merjan yang tak berharga."
Ia mengangkat kedua lengannya.
"Berat sekali tuntutan ini. Besar sekaji pembalasan dendam ini! Selirku yang
sudah kuperlakukan dengan sangat baik, yang sudah begitu
194 kuhormati dan telah kukuburkan dengan upacara yang layak, tanpa memikirkan
biaya. Dia yang sudah kuajak makan-minum bersama dengan sikap bersahabat Semua
orang bisa menjadi saksi. Tak ada yang pantas dikeluhkannya. Aku sudah
memperlakukannya dengan pantas, lebih daripada semestinya. Sampai-sampai aku mau
memihak padanya dan merugikan anak-anakku, darah dagingku sendiri. Jadi mengapa
dia harus kembali dengan cara itu dari kematiannya, untuk menuntut aku dan
keluargaku?" Dengan serius Mersu berkata,
"Agaknya almarhumah bukan berniat menyakiti Anda pribadi. Anggur itu belum
diapa-apakan waktu Anda meminumnya. Siapakah dalam keluarga Anda yang pernah
menyakiti selir Anda itu?"
"Seorang wanita yang juga sudah meninggal," sahut Imhotep dengan singkat.
"Oh, saya mengerti. Maksud Anda istri Yahmose, putra Anda?"
"Ya." Imhotep diam sebentar, lalu berseru, "Tapi apa yang bisa dilakukan,
Pendeta" Bagaimana kita bisa melawan kejahatan ini" Ah, sial , sekali hari itu,
waktu aku membawa wanita itu ke dalam rumah ini."
"Memang hari yang sial," kata Kait dengan suara yang dalam, saat ia melangkah ke
luar pintu ruangan tempat tinggal para wanita.
Matanya bengkak karena menangis. Wajahnya yang tak cantik kini tampak kuat dan
membayangkan rasa percaya diri, hingga jadi mencolok.
195 Suaranya yang dalam dan serak bergetar karena marah..
"Memang hari yang sial waktu Anda membawa Nofret kemari, Imhotep. Dia telah
menewaskan putra Anda yang paling cerdas dan paling tampan! Dia telah
menyebabkan kematian Satipy, dan kematian Sobek ku sedangkan Yahmose nyaris pula
menjadi korban. Siapa lagi berikutnya" Apakah dia akan akan mencelakakan anak-
anak pula" Sebab dia pernah memukul anakku, Ankh. Anda harus bertindak,
Imhotep!" "Ya, kita harus bertindak," ulang Imhotep, sambil menatap dengan pandangan
memohon. Pendeta itu mengangguk dengan tenang.
"Ada beberapa cara dan langkah, Imhotep. Begitu kita yakin akan kenyataan-
kenyataan yang ada pada kita, kita bisa mengambil tindakan. Saya ingat akan
istri Anda yang pertama, almarhumah Ashayet. Dia berasal dari keluarga
berpengaruh. Dia akan bisa menanamkan pengaruhnya yang besar di Dunia Kematian
itu. Dia bisa bertindak demi kepentingan Anda, dan Nofret takkan berdaya
melawannya. Kita harus membicarakannya."
Kait tertawa singkat. "Jangan menunggu terlalu lama. Laki-laki di mana-mana sama saja. Ya, bahkan
pendeta-pendeta juga! Segala-galanya harus dilakukan menurut hukum, dan
berdasarkan apa yang telah terjadi sebelumnya. Tapi dengarlah kata-kata saya,
bertindaklah cepat Kalau tidak, akan ada lagi orang yang meninggal dalam rumah
ini." 196 Ia berbalik, lalu pergi. "Dia wanita yang baik sekali," gumam Imhotep. "Seorang ibu yang penuh kasih
sayang pada anak-anaknya, dan seorang istri yang penuh pengabdian. Tapi
kelakuannya kadang-kadang menyalahi aturan terhadap kepala rumah tangga. Pada ?saat seperti ini, aku tentu memaafkannya. Kita semua sedang kacau. Kita tidak
begitu menyadari apa yang kita lakukan."
Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
"Beberapa di antara kita memang jarang menyadari apa yang kita lakukan," kata
Esa. Imhotep melempar pandangan jengkel pada ibu hya Tabib bersiap-siap untuk pulang,
dan Imhotep ikut mengantarnya sampai ke beranda. Pendeta itu memberikan
instruksi-instruksi pada Imhotep mengenai perawatan terhadap Yahmose yang sakit.
Renisenb yang tinggal seorang diri, melihat pada neneknya dengan pandangan
bertanya. Esa duduk tanpa bergerak. Wajahnya mengernyit, dan ekspresinya demikian aneh,
hingga Renisenb bertanya dengan takut-takut,
"Apa yang dipikirkan, Nek?"
"Tepat sekali kalau kaukatakan berpikir, Renisenb. Aneh sekali kejadian-kejadian
di dalam rumah ini, hingga kita memang perlu berpikir."
"Mengerikan sekali kejadian-kejadian itu," kata Renisenb tergidik "Saya jadi
takut" "Aku juga takut," kata Esa. "Tapi mungkin dengan alasan lain."
Dengan gerakan yang merupakan kebiasaannya,, didorongnya wignya, hingga miring
letaknya. "Tapi Yahmose tidak akan mati," kata Renisenb. "Dia akan selamat"
Esa mengangguk. "Ya, untunglah seorang tabib jempolan cepat datang menolongnya. Tapi pada
kesempatan lain, mungkin dia tidak akan seberuntung sekarang."
"Apakah menurut Nenek akan ada kejadian-kejadian seperti ini lagi?"
"Kurasa, sebaiknya Yahmose, kau sendiri, Ipy... dan mungkin Kait juga, sangat
berhati-hati dengan apa yang kalian makan dan minum. Usahakan selalu supaya
seorang budak mencicipinya terlebih dulu."
"Dan Nenek sendiri?"
Esa tersenyum mengejek,"Aku, Renisenb, aku sudah tua. Aku mencintai hidup dengan
cara yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tua saja. Kami menikmati setiap
jam dan setiap menit yang masih tersisa. Dibanding kalian semua, akulah yang
mendapat kesempatan hidup paling baik, karena aku akan lebih berhati-hati
daripada kalian semua."
"Bagaimana dengan ayah saya" Pasti Nofret tak punya rasa dendam pada ayah saya,
bukan?" "Ayahmu" Entahlah. Aku tak tahu. Aku belum bisa melihatnya dengan jelas. Besok,
setelah aku memikirkan semuanya, aku akan berbicara dengan anak gembala itu. Ada
sesuatu dalam kisahnya yang..."
198 Kata-katanya terhenti, dan ia mengernyit Lalu ia bangkit sambil mendesah. Dengan
bertopang pada tongkatnya, ia berjalan tertatih-tatih dan lambat-lambat, kembali
ke tempat kediamannya sendiri.
Renisenb masuk ke kamar kakaknya. Yahmose sedang tidur, maka ia menyelinap lagi
perlahan-lahan ke luar. Setelah bimbang sesaat, ia pergi ke tempat tinggal Kait.
Ia berdiri di ambang pintu, tanpa terlihat Diperhatikannya Kait berdendang
menidurkan salah seorang anaknya. Wajah Kait tampak amat tenang. Ia kelihatan
seperti biasa lagi, hingga sesaat Renisenb merasa seolah-olah semua kejadian
menyedihkan selama dua puluh empat jam itu hanya sebuah mimpi.
Ia berbalik perlahan-lahan, lalu kembali ke tempat tinggalnya sendiri. Di atas
sebuah meja, di antara kotak-kotak dan botol-botol kosmetiknya sendiri,
dilihatnya kotak perhiasan kecil milik Ncv fret.
Renisenb mengambilnya, menaruhnya di telapak tangannya, lalu memperhatikannya.
Nofret telah memegangnya pula benda itu dulu miliknya.?Kini Renisenb pun dilanda rasa iba, disertai rasa mengerti yang aneh. Nofret tak
bahagia dalam hidupnya. Waktu ia memegang kotak kecil ini dulu, mungkin ia telah
bertekad untuk membalaskan ketidakbahagiaan itu dalam bentuk kejahatan dan
kebencian, dan sekarang pun rasa bencinya masih belum berkurang, masih mencari
saluran, 199 untuk membalas dendam.... Oh, pasti tidak begitu pasti tidak!
?Tanpa sadar, Renisenb memutar kedua kancing kotak itu, lalu membuka tutupnya.
Kalung merjan itu masih ada di situ, juga jimat yang patah, tapi ada pula
sesuatu yang lain.... Dengan hati berdebar keras, Renisenb menarik seuntai kalung manik-manik emas
berliontin singa dari emas.
200 BAB XV Bulan Pertama Musim Panas kari ke-30?Renisenb jadi amat ketakutan ketika menemukan kalung itu.
Ia terdorong untuk cepat-cepat mengembalikannya ke dalam kotak itu lagi,
mengatupkan tutupnya, dan mengikatkan tali pada kancing kancing nya. Nalurinya
menyuruhnya menutup mulut mengenai penemuannya itu. Ia bahkan menoleh ke
belakang dengan takut, untuk meyakinkan diri bahwa tak seorang pun melihat apa
yang dilakukannya. Malam itu ia tak bisa tidur. Berkali-kali ia bergulak gulik, dan berulang kali
pula memperbaiki letak penyangga kepalanya yang terbuat dari kayu melengkung.
Pagi harinya, diputuskannya bahwa ia harus membuka rahasianya pada seseorang. Ia
tak tahan menanggung sendiri rahasia tentang penemuannya yang mengganggu itu.
Tadi malam, dua kali ia terjaga, sambil bertanya-tanya mungkinkah ia telah
melihat sosok tubuh Nofret berdiri di sisinya dengan sikap mengancam. Tapi ia
tak melihat apa-apa. 201 Diambilnya kalung berliontin singa itu dari kotak perhiasan, lalu
disembunyikannya di dalam lipit-lipit baju linennya. Baru saja ia selesai
melakukannya, Henet masuk dengan terburu-buru. Matanya cerah dan tajam, karena
senang punya berita baru yang akan diceritakan.
"Coba bayangkan, Renisenb, apakah tidak mengerikan" Anak laki-laki itu anak
?gembala itu, Anda tahu kan dia kedapatan sedang tidur nyenyak sekali di dekat
?lumbung gandum. Semua orang mencoba membangunkannya dengan mengguncang-guncang
tubuhnya dan berteriak-teriak di telinganya. Tapi kelihatannya dia takkan pernah
bangun lagi. Kelihatannya dia telah minum sari tanaman poppy. Ya, mungkin itu
yang dilakukannya. Tapi kalau itu benar, siapa yang telah memberikannya padanya"
Saya yakin bukan seseorang dari sini. Dan tidak mungkin pula dia meminumnya
sendiri. Oh, seharusnya kita tahu bagaimana kejadiannya kemarin." Henet
mencengkeram salah satu jimat yang dipakainya. "Oh, Amun lindungilah kami dari
roh-roh jahat orang-orang yang sudah meninggal! Anak itu telah mengatakan apa
yang dilihatnya. Diceritakannya bahwa dia telah melihat wanita itu. Dan dia pun
lalu datang lagi, dan memberinya sari poppy itu, untuk menutup matanya untuk
selama-lamanya. Oh, dia kuat sekali. Kuat sekali Nofret itu! Dia pernah
bepergian ke tempat-tempat lain, di luar Mesir. Saya berani bersumpah bahwa dia
sudah mempelajari bermacam-macam ilmu hitam dari negeri-negeri itu.
202 Kita tak aman di rumah ini. Tak ada di antara kita yang aman. Seharusnya ayah
Anda mengorbankan beberapa ekor banteng untuk Dewa Amun bahkan kalau perlu
?seluruh ternaknya. Sekarang bukan waktunya berhemat. Kita harus melindungi diri
kita. Kita harus mohon pada ibu Anda Imhotep sudah merencanakan untuk
?melakukannya. Pendeta Mersu yang mengatakannya. Mereka akan mengirimkan sepucuk
surat penting pada si mati. Hori sedang sibuk mengarang suratnya sekarang. Ayah
Anda juga akan mengirim surat pada Nofret, memohon padanya, antara lain dengan
kata-kata, 'Nofret yang teramat baik, perbuatan jahat apa yang telah kulakukan
terhadapmu...,' dan seterusnya. Tapi menurut Pendeta Mersu, diperlukan langkah-
langkah yang lebih tegas daripada itu. Ibu Anda, Ashayet, adalah seorang wanita
yang agung. Pamannya seorang hakim, dan kakaknya kepala rumah tangga di rumah
menteri dari Thebes. Bila dia diberitahu, dia pasti akan bertindak. Dia takkan
membiarkan seorang selir biasa menghancurkan anak anaknya' Oh ya, kita harus
menuntut keadilan. Seperti saya katakan tadi, Hori sekarang sedang mengarang
surat permohonan itu padanya."
Renisenb sebenarnya berniat mencari Hori, dan menceritakan padanya tentang
penemuan kalung berliontin singa itu. Tapi kalau Hori sedang sibuk dengan para
pendeta di Kuil Dewi Isis, berarti tak akan ada harapan untuk bisa berbicara
berdua dengannya. Apakah sebaiknya ia mendatangi ayahnya" Re -
203 nisenb menggeleng dengan rasa tak puas. Keyakinan masa kanak-kanaknya, bahwa
ayahnya mahakuasa, kini telah berlalu. Kini dilihatnya betapa cepat ayahnya
hancur dalam keadaan kritis. Kekuatannya telah berubah menjadi sifat suka ribut-
ribut dan suka menyombong. Kalau saja Yahmose tak sakit, ia bisa menceritakannya
padanya, meskipun ia ragu apakah Yahmose akan bisa memberikan pendapat-pendapat
yang praktis. Yahmose pasti akan mendesak supaya hal itu disampaikan pada ayah
mereka. Padahal Renisenb sangat yakin bahwa itu justru harus dihindari dengan cara apa
pun. Yang pertama-tama akan dilakukan ayahnya adalah menyebarluaskan hal itu
kepada semua orang, dan naluri Renisenb mengatakan bahwa hal itu justru harus
dirahasiakan, walau ia tak dapat mengatakannya alasannya.
Ya, nasihat Hori-lah yang dibutuhkannya. Sebagaimana biasa, Hori selalu tahu apa
yang tepat untuk dilakukan. Hori akan mengambil kalung itu darinya, dan
sekaligus menghilangkan rasa susah dan bingungnya. Hori akan memandanginya
dengan matanya yang serius dan sabar, dan ia pun akan langsung merasa bahwa
sekarang semuanya sudah beres.
Sesaat timbul keinginan Renisenb untuk menceritakan hal itu pada Kait. Tapi Kait
tidak memenuhi syarat Ia tak pernah mendengarkan dengan baik. Mungkin bisa kalau
ia diajak pergi

Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

204 meninggalkan anak-anaknya. Tapi itu pun tak tepat Kait memang baik, tapi bodoh.
"Masih ada Kameni...," pikir Renisenb, "dan ada pula nenekku."
Kameni..." Ada sesuatu yang menyenangkan dalam keinginan untuk menceritakan hal
itu pada Kameni. Renisenb bisa membayangkan dengan jelas wajah
Kameni ekspresinya berubah, dari ekspresi menantang menjadi ekspresi penuh ?minat lalu menjadi khawatir karena memikirkan dia... atau mungkinkah bukan
?karena memikirkan dia"
Mengapa ada kecurigaan jahat yang tersembunyi ini" Mengapa ada kecurigaan bahwa
hubungan Nofret dan Kameni jauh lebih dekat daripada sekadar sahabat biasa"
Apakah karena Kameni telah membantu Nofret dalam usahanya untuk memisahkan
Imhotep dari keluarganya" Kameni memang telah membantah, dan mengatakan bahwa ia
terpaksa melakukannya. Tapi benarkah itu" Mudah saja berkata demikian. Semua
yang diucapkan Kameni terdengar mudah, wajar, dan benar. Tawanya begitu ceria,
hingga kita jadi ingin ikut tertawa. Gayanya berjalan begitu lentur, juga
palingan kepalanya di atas bahunya yang halus dan kecoklatan itu, serta matanya
yang memandangi kita yang memandangi kita pikiran Renisenb terputus dengan
? ?rasa bingung. Mata Kameni tidak seperti mata Hori yang teduh dan baik. Mata
Kameni menuntut dan menantang.
Pikiran itu membuat pipi Renisenb memerah, dan matanya jadi bersinar. Tapi
diputuskannya 205 pula bahwa ia takkan menceritakan penemuan kalung Nofret itu pada Kameni. Tidak,
ia akan mendatangi neneknya, Esa. Wanita tua itu telah membuatnya terkesan
kemarin. Meskipun sudah tua, neneknya dapat memahami banyak hal, dan punya
pandangan tajam, yang tak dapat disamai siapa pun juga dalam keluarga itu.
"Nenek memang sudah tua, tapi dia pasti tahu," pikir Renisenb.
t II Baru saja Renisenb menyebutkan tentang kalung itu, Esa cepat-cepat memandang ke
sekelilingnya, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir, dan mengulurkan
tangannya. Renisenb mencari-cari di dalam bajunya. Dikeluarkannya kalung itu,
lalu diletakkannya ke tangan Esa. Beberapa lama Esa memandangi benda itu dekat-
dekat ke matanya yang kabur, lalu menyembunyikannya di dalam bajunya. Kemudian
ia berkata dengan suara rendah dan berwibawa,
"Jangan berkata apa-apa lagi sekarang. Berbicara di dalam rumah ini sama dengan
berbicara pada seratus telinga. Hampir sepanjang malam aku, terjaga dan
berpikir. Banyak yang harus dikerjakan."
"Ayah dan Hori sedang pergi ke Kuil Isis untuk berunding dengan Pendeta Mersu,
mengenai suatu surat permohonan pada ibu saya, supaya dia campur tangan."
206 "Aku tahu. Yah, biarkan saja ayahmu bersusah payah sendiri dengan roh-roh orang
yang sudah meninggal itu. Pikiranku tersangkut pada hal-hal di dunia ini. Kalau
Hori kembali, suruh dia menemui aku di sini. Ada beberapa bal yang harus
dikatakan dan dibahas. Hori bisa kupercayai."
"Hori akan tahu apa yang harus dilakukan," kata Renisenb dengan ceria.
Esa menoleh padanya dengan pandangan bertanya.
"Kau sering naik ke tebing pemakaman untuk menemuinya, bukan" Apa yang kalian
bicarakan berdua?" Renisenb menggeleng perlahan.
"Oh, tentang Sungai Nil. Juga tentang Mesir... dan bagaimana cahaya berubah-ubah,
dan tentang warna-warni pasir di bawah, juga tentang batu karang.... Tapi lebih
sering lagi, kami sama sekali tak berbicara. Saya hanya duduk saja di sana, dan
saya pun merasa damai. Di sana tidak terdengar suara orang-orang marah-marah,
tak ada anak-anak yang menangis, dan tak ada orang-orang yang keluar masuk tanpa
henti. Saya bisa membiarkan pikiran saya bekerja sendiri di sana, dan Hori tidak
mengganggu. Lalu, kadang-kadang saya mengangkat muka dan melihat dia sedang
memperhatikan saya, dan kami pun sama-sama tersenyum.... Saya bisa merasa bahagia
di atas sana." Lambat-lambat Esa berkata, "Kau beruntung, Renisenb. Kau telah
menemukan kebahagiaan yang terdapat di dalam diri setiap
207 manusia. Bagi kebanyakan wanita, kebahagiaan berarti datang dan pergi, dan
bersibuk-sibuk mengenai soal-soal kecil. Juga berarti merawat anak-anak,
tertawa, mengobrol, dan bertengkar dengan wanita-wanita lain, serta mencintai
dengan diselingi kemarahan pada seorang pria. Kebahagiaan itu terjadi dari hal-
hal kecil yang terangkai bagai manik-manik pada seutas tali."
"Begitukah hidup Nenek selama ini?"
"Sebagian besar begitulah. Tapi setelah aku tua dan sering duduk sendirian, dan
penglihatanku sudah kabur serta berjalan pun sudah sulit, aku lalu menyadari
bahwa kehidupan bukan hanya ada di luar, tapi juga di dalam. Tapi sekarang aku
sudah terlalu tua untuk mengetahui cara yang sebenarnya, jadi aku memarahi
pelayan kecilku, dan menikmati makanan enak yang masih panas, langsung dari
dapur, serta mencicipi kelezatan segala macam roti yang dipanggang orang. Dan
dengan nikmat aku makan anggur masak dan minum sari buah delima. Hal-hal itu
tetap ada, sedang yang lain tak ada lagi. Anak-anak yang paling kucintai sudah
meninggal. Ayahmu, semoga dia dilindungi Dewa Re, adalah orang yang bodoh. Aku
sayang padanya waktu dia masih kecil dan masih belajar berjalan tertatih-tatih.
Tapi sekarang dia sering membuatku jengkel dengan sikapnya yang suka sok penting
itu. Di antara cucu-cucuku, aku paling sayang padamu, Renisenb. O, ya, ngomong
ngo mong tentang cucu-cucu, mana Ipy" Sejak kemarin dan sepanjang hari ini aku
tak melihatnya." 208 "Dia sedang sibuk mengawasi orang-orang menyimpan gandum. Ayah yang
menugaskannya." Esa tertawa lebar.
"Anak muda pesolek itu pasti senang sekali. Dia akan berjalan kian kemari dengan
sombongnya, dan dengan sikap sok penting. Kalau dia pulang untuk makan nanti,
suruh dia datang menemuiku."
"Baiklah, Nek."
"Selanjutnya, Renisenb, tutup mulut...." III
"Nenek ingin bertemu dengan saya?"
Ipy berdiri tegak sambil tersenyum dengan angkuh. Kepalanya agak dimiringkan.
Sekuntum bunga terselip di antara giginya yang putih. Kelihatannya ia merasa
sangat puas dengan dirinya, dan dengan hidup pada umumnya.
"Ya, kalau kau bisa meluangkan sedikit waktumu yang berharga itu," kata Esa
sambil memusatkan matanya, agar bisa melihat lebih baik, dan ia memperhatikan
anak muda itu dari atas sampai ke bawah.
Nada getir pada bicaranya tidak memberikan kesan apa-apa terhadap Ipy.
"Saya memang sibuk hari ini. Saya harus mengawasi semuanya, karena Ayah pergi ke
kuil." "Anjing muda nyaring gonggongnya," kata Esa.
Tapi Ipy tak bergeming. "Sudahlah, Nek. Pasti ada sesuatu yang lebih penting, yang ingin Nenek katakan."
209 "Memang-Banyak yang harus kukatakan. Pertama-tama, rumah ini adalah rumah penuh
duka cita. Tubuh kakakmu, Sobek, sudah dibalsam orang, tapi wajahmu ceria saja,
seolah-olah hari ini adalah hari pesta."
Ipy tertawa. "Nenek kan bukan orang munafik. Apakah Nenek ingin saya menjadi munafik" Nenek
tahu benar bahwa saya dan Sobek tidak saling menyukai. Segala usaha dilakukannya
untuk merintangi dan menyakiti hati saya. Dia memperlakukan saya seperti anak
kecil. Saya diberinya tugas-tugas yang sangat merendahkan dan kekanak-kanakan di
ladang. Dia sering mencemoohkan dan menertawakan saya. Waktu Ayah bermaksud
mengangkat saya sebagai rekanan, bersama kakak-kakak saya, Sobek-lah yang
membujuknya untuk tidak melakukannya."
"Mengapa kau begitu yakin bahwa Sobek-lah yang membujuknya?" tanya Esa dengan
tajam. "Kameni yang mengatakannya pada saya."
"Kameni?" Esa mengangkat alisnya, mendorong wignya ke satu sisi, lalu menggaruk
kepalanya. "Kameni, ya" Itu berita yang menarik."
"Katanya, dia mendengarnya dari Henet, dan kita semua sependapat bahwa Henet
selalu tahu segala-galanya."
"Tapi," kata Esa datar, "dalam satu hal ini, Henet keliru. Baik Sobek maupun
Yahmose memang sependapat bahwa kau terlalu muda untuk itu, tapi sebenarnya
akulah... ya, akulah yang
menganjurkan pada ayahmu untuk tidak mengikutsertakan kau."
"Nenek?" Anak muda itu terbelalak dan memandang neneknya dengan keheranan.
Kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi marah. Bunga tadi jatuh dari celah
giginya. "Mengapa Nenek berbuat begitu" Apa urusan Nenek?"
"Urusan keluargaku adalah urusanku."
"Dan Ayah mau mendengar kata-kata Nenek?"
"Pada saat itu, tidak," sahut Esa datar. "Tapi dengarlah, anak bagus, biar
kuberi kau suatu pelajaran. Kaum wanita bekerja secara tak langsung, dan mereka
belajar (kalau pengetahuan itu tidak dimiliknya sejak lahir) bagaimana cara
mempermainkan kelemahan kaum pria. Mungkin kau ingat, pada suatu malam kusuruh
Henet membawa papan permainan ke beranda, waktu udara sedang sejuk."
"Ya, saya ingat itu. Lalu saya dan Ayah main. Tapi apa hubungannya?"
"Begini. Kalian main tiga kali. Dan karena kau lebih pandai, setiap kali kau
mengalahkan ayahmu."
"Benar." "Itu saja," kata Esa sambil memejamkan matanya. "Sebagaimana semua pemain yang
kurang pandai, ayahmu tak suka dikalahkan, terutama oleh anak kecil Jadi dia
lalu ingat akan kata-kataku, dan dia memutuskan bahwa kau terlalu muda untuk
diangkat sebagai rekanan pula."
211 210 Ipy menatap neneknya beberapa saat Lalu ia tertawa tawa yang tak enak didengar.?"Nenek pandai sekali," katanya. "Ya, Nenek memang tua, tapi cerdas. Jelas bahwa
Nenek dan sayalah yang punya otak dalam keluarga ini. Nenek yang menang dalam
pertandingan kita di papan permainan ini. Tapi lihat saja nanti. Sayalah yang
akan memenangkan permainan kedua. Jadi waspadalah, Nek."
"Aku memang selalu ingin waspada," kata Esa. "Dan sebagai jawaban dari kata-
katamu sendiri, kunasihati agar kau juga waspada. Salah seorang kakakmu sudah
meninggal, sedang yang seorang lagi nyaris tewas. Kau juga putra ayahmu. Bisa-
bisa kau mengalami nasib yang sama."
Ipy tertawa mengejek. "Itu tak perlu ditakutkan."
"Mengapa tidak" Bukankah kau juga telah mengancam dan menghina Nofret?"
"Nofret!" Jelas terdengar nada cemooh dalam suara Ipy.
"Apa yang ada dalam otakmu itu?" tanya Esa tajam.
"Saya punya gagasan-gagasan sendiri, Nek. Dan bisa saya katakan bahwa Nofret dan
segala tipu muslihat rohnya takkan membuat saya gentar. Biar saja dia melakukan
hal-hal yang jahat" Terdengar suara melengking dan ratapan di belakang Ipy, dan Henet masuk berlari-
lari sambil berseru, "Anak bodoh! Anak ceroboh! Berani benar me -
212 nan tang orang yang sudah meninggal! Apalagi setelah kita semua menyaksikan
perbuatannya! Dan kau tidak memakai satu jimat pun untuk melindungi dirimu!"
"Pelindung" Aku akan melindungi diriku sendiri. Menyingkirlah kau, Henet, aku
harus bekerja. Biar buruh-buruh tani yang malas itu tahu bahwa mereka punya
seorang majikan sejati."
Sambil menyisihkan Henet, Ipy berjalan keluar dari kamar itu.
Esa menyuruh Henet menghentikan ratapan dan keluhannya.
"Berhentilah meratapi Ipy, Henet Sekarang dengarkan aku. Mungkin dia tahu apa
yang harus dilakukannya, atau mungkin pula tidak. Sikapnya memang aneh. Tapi
coba kaujawab pertanyaanku. Adakah kaukatakan pada Kameni bahwa Sobek-lah yang
membujuk Imhotep untuk tidak mengikutsertakan Ipy dalam surat pernyataan tentang
persekutuan itu?" Suara Henet jadi melengking lagi waktu ia menyahut,
"Saya terlalu sibuk bekerja di rumah ini. Mana sempat saya membuang-buang waktu
untuk ke sana-sini menceritakan macam-macam pada orang-orang. Apalagi untuk
menceritakan pada Kameni. Sungguh, saya tak pernah berbicara dengannya, kalau
dia tak datang dan berbicara pada saya. Tapi harus diakui, Esa, anak muda itu
benar-benar menyenangkan budi bahasanya. Bukan saya sendiri yang berpendapat
begitu. Sungguh! Bila seorang
213 janda muda ingin mengadakan hubungan baru, yah, biasanya dia mencari pria muda
yang tampan meskipun saya benar-benar tak tahu apa yang akan dikatakan Imhotep ?tentang hal itu. Soalnya Kameni hanya seorang juru tulis muda."
"Tak usah pikirkan apa dan siapa si Kameni itu! Jawab pertanyaanku, siapa yang
menceritakan padanya bahwa Sobek-lah yang menentang diikutsertakannya Ipy
sebagai rekanan ayahnya?"
"Sungguh, Esa, saya benar-benar tak ingat apa yang telah atau yang tidak saya
katakan. Saya benar-benar tidak pergi ke mana-mana untuk menceritakan macam-
macam pada siapa pun juga, itu pasti. Tapi ada kata-kata yang merembes di sana-
sini. Dan Anda sendiri tahu bahwa Sobek memang pernah mengatakan bahkan Yahmose
?juga, meskipun tidak terlalu nyaring dan tidak terlalu sering bahwa Ipy masih
?terlalu muda untuk diangkat sebagai' rekanan. Jadi saya rasa Kameni telah
mendengarnya sendiri, dan sama sekali bukan dari saya. Saya tak pernah
bergunjing, meskipun manusia diberi lidah untuk berbicara, dan saya bukan orang
bisu-tuli." "Kau memang sama sekali tidak bisu-tuli," kata Esa. "Dan lidah itu, Henet,
kadang-kadang bisa merupakan senjata. Lidah bisa pula menjadi penyebab
kematian bisa menjadi penyebab lebih dari satu kematian. Kuharap saja lidahmu,
?Henet, tidak menjadi penyebab kematian orang."
"Aduh, Esa, mengapa Anda berkata begitu" Apa yang Anda pikirkan" Saya sama
sekali tak pernah 214 mengatakan hal yang tidak-tidak pada siapa pun. Saya sayang sekali pada seluruh
keluarga ini. Saya bersedia mati demi siapa pun dalam keluarga ini. Ah, tapi
sayang, orang melecehkan pengabdian Henet tua ini. Saya sudah berjanji pada ibu
mereka..." "Nah," kata Esa, memotong kata-kata Henet,"ini dia burung pimpingku yang gemuk,
yang dimasak dengan daun bawang dan seledri. Hm, baunya sedap, dan memasaknya
tepat. Nah, karena kau begitu penuh pengabdian, Henet, kau boleh mencicipinya
sedikit... untuk memastikan apakah makanan itu telah diracuni atau tidak."
Esa'" pekik Henet. "Diracuni! Mengapa Anda berkata begitu" Padahal makanan itu
dimasak di dapur kita sendiri." . "Yah," kata Esa, "pokoknya harus ada seseorang
yang mencicipinya siapa tahu. Dan sebaiknya kaulah orangnya, Henet, karena kau ?yang bersedia mati untuk siapa pun dalam keluarga ini. Kurasa kematian begitu
tidak terlalu menyiksa. Ayolah, Henet. Lihat, betapa gemuknya, betapa banyak
sarinya, dan alangkah sedapnya. Tidak, aku tak mau kehilangan gadis kecil
budakku. Dia masih muda dan periang. Kau sudah puas hidup, Henet,dan apa pun
yang terjadi atas dirimu, tidak akan terlalu berarti. Ayolah, bukalah mulutmu.
Enak, kan" Astaga, mukamu sampai biru ketakutan! Apakah kau tidak menyukai
leluconku" Pasti tidak. Ha ha ha ha."
Esa tertawa-tawa, girang sekali. Setelah itu,
215 tiba-tiba ia diam, lalu dimakannya makanan kesukaannya itu dengan lahap.
Bulan Kedua Musim Panas hari ke-I
?BAB XVI Perundingan di kuil telah usai. Bentuk yang tepat dari surat permohonan itu
sudah direncanakan dan diperbaiki. Hori sibuk sekali dengan tugas itu, dibantu
oleh dua orang juru tulis kuil. Akhirnya diambillah langkah pertama.
Pendeta mengisyaratkan bahwa bentuk asli surat itu harus dibacakan.
Kepada Roh Ashayet yang mahamulia. Surat ini datang dari kekasih dan suamimu.
Sudah lupakah kau pada kekasihmu" Sebagai seorang ibu, apakah kau telah
melupakan anak-anak yang kaulahirkan" Apakah Ashayet yang mahamulia tahu bahwa
roh seseorang yang jahat sedang berbuat jahat terhadap anak-anaknya" Sobek,
putramu, telah berpulang ke Osiris karena diracuni.
Selama hidupmu, aku telah memperlakukan mu dengan penuh hormat Kuberikan padamu
perhiasan dan pakaian, bermacam-macam kain, parfum, dan minyak untuk tubuhmu.
Kita selalu duduk bersama waktu menyantap hidangan
216 217 enak, duduk dengan damai dan sikap bersahabat, sambil menghadapi meja yang penuh
makanan. Waktu kau sakit, aku tidak menghemat biaya. Kudatangkan seorang tabib
ahli untuk mengobatimu. Kau dimakamkan dengan segala kehormatan dan upacara yang
lazim, dan semua barang yang kaubutuhkan dalam hidupmu di dunia sana, kusediakan
untukmu lengkap dengan pelayan-pelayan tiruan, sapi, makanan dan minuman, juga?perhiasan dan pakaian. Bertahun-tahun lamanya aku berdukacita atas kematianmu.
Setelah amat lama, barulah aku mengambil seorang selir, supaya aku bisa hidup
layak sebagai seorang pria yang belum tua.
Selir itulah yang sekarang berbuat jahat terhadap anak-anakmu. Apakah kau tak
tahu" Barangkali kau memang tak tahu. Kalau kau tahu, Ashayet, pasti kau akan


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat-cepat bertindak untuk menolong putra-putra yang telah kaulahirkan.
Mungkinkah kau tahu, Ashayet, tapi kejahatan itu masih terus berlangsung karena
selir itu memiliki kekuatan jahat yang lebih kuat" Tapi, itu pasti berlawanan
dengan keinginanmu, Ashayet yang mahamulia. Jadi ingatlah bahwa di Tempat
Persembahan, kau punya sanak saudara yang hebat, dan pembantu yang kuat-kuat.
Ingatlah pada Ipi yang agung dan mulia, kepala pengurus rumah tangga menteri.
Mintalah bantuannya! Juga pamanmu, Meriptah, yang agung
dan berkuasa, hakim di propinsi Ceritakan padanya tentang keadaan yang memalukan
ini Mintalah padanya agar dia mengajukannya ke pengadilan. Suruhlah mereka
memanggil saksi-saksi Suruhlah saksi-saksi itu memberikan kesaksiannya,
menyatakan bahwa Nofret telah melakukan kejahatan itu. Mintalah supaya Nofret
diadili dan dihukum, dan suruh dia berjanji, bahwa dia takkan lagi berbuat jahat
di rumah ini Oh, Ashayet yang sangat baik, bila kau nut" rah pada kekasihmu, Imhotep ini,
karena telah mendengarkan bujuk rayu perempuan itu dan 'telah mengancam untuk
bersikap tak adil terhadap anak-anak yang telah kaulahirkan, maka ingatlah bahwa
bukan aku sendiri saja yang menderita, tapi juga anak-anakmu. Ampunilah
kekasihmu, Imhotep, demi anak-anakmu.
Juru tulis kepala berhenti membaca. Mersu mengangguk puas."Pernyataan itu sudah
baik dan betul. Saya rasa tak ada lagi yang ketinggalan." Imhotep pun bangkit.
'Terima kasih, Bapak Pendeta. Persembahannya akan Anda terima besok, sebelum
matahari terbenam, berupa hewan ternak, minyak, dan rami. Apakah kita tentukan
saja, lusa mengadakan upacaranya termasuk menempatkan guci bertulisan di kamar
?persembahan di pemakaman?"
Undurkanlah tiga hari lagi. Sebab gucinya ma -
219 sih harus ditulisi. Kami masih harus mempersiapkan doa-doa yang diperlukan."
"Baiklah, terserah Anda saja. Pokoknya saya tak ingin ada kejahatan lagi."
"Saya mengerti keinginan Anda, Imhotep. Dan jangan khawatir. Roh Ashayet yang
baik pasti akan memenuhi permohonan itu. Sanak saudaranya punya wewenang dan
kekuasaan. Mereka bisa menegakkan keadilan di mana sangat dibutuhkan."
"Semoga Isis merestui semua ini! Terima kasih, Mersu, juga karena Anda telah
merawat dan menyembuhkan anak saya, Yahmose. Mari, Hori, masih banyak yang harus
kita kerjakan. Mari kita kembali ke rumah. Ah, surat permohonan itu serasa
mengurangi beban pikiranku. Ashayet yang sangat baik takkan mengecewakan
kekasihnya yang sedang kebingungan."
II Waktu Hori memasuki pekarangan dengan membawa gulungan-gulungan papirus,
Renisenb memperhatikannya. Ia berlari-lari dari danau, menghampiri Hon.
"Hori!" Ya, Renisenb?"
"Maukah kau ikut aku ke tempat Esa" Dia menunggumu. Katanya dia membutuhkanmu "
'Tentu mau. Tapi aku harus melihat dulu apakah Imhotep..."
220 Tapi agaknya Imhotep sedang terlibat perca-I kapan dengan Ipy.
"Biar kuletakkan dulu gulungan-gulungan dan barang-barang ini. Setelah itu, aku
akan ikut kau, Renisenb."
Esa kelihatan senang waktu melihat Renisenb dan Hori datang, "r "Ini Hori, Nek.
Saya langsung mengajaknya kemari."
"Bagus. Cerahkah udara di luar?" "Saya... saya rasa begitu." Renisenb merasa agak
heran. "Kalau begitu, tolong ambilkan tongkatku. Aku ingin berjalan-jalan sedikit di
pekarangan." Esa jarang meninggalkan rumah, jadi Renisenb bertambah heran.
Dituntunnya wanita tua itu dengan memegang sikunya. Mereka berjalan melalui
baiat tengah, lalu keluar ke beranda. "Nenek mau duduk di sini?" "Tidak, aku
ingin berjalan sampai ke danau." Esa berjalan lamban sekali. Tapi meskipun
jalannya terseret-seret, ia masih kuat melangkah dan tidak memperlihatkan tanda-
tanda keletihan. Sambil melihat ke sekelilingnya, dipilihnya suatu tem-I pat di
mana bunga-bunga ditanam di sebuah galur kecil di dekat danau. Sebatang pohon
kurma memberikan keteduhan bagi mereka.
Lalu, setelah duduk dengan nyaman, ia berkata dengan puas,
"Nah! Sekarang kita bisa berbicara tanpa didengar orang."
221 "Anda bijak sekali, Esa," kata Hari memuji.
"Apa-apa yang akan kita perbincangkan ini hanya boleh diketahui oleh kita
bertiga. Aku percaya padamu, Hori. Kau sudah ikut kami sejak masih kecil. Selama
ini kau setia, tahu diri, dan bijak. Sedang Renisenb adalah cucu yang paling
kusayangi di antara semua anak Imhotep. Aku tak mau dia sampai disakiti, Hori."
' Takkan ada yang menyakitinya, Esa."
Suara Hori tidak meninggi, tapi tekanan suaranya dan ekspresi wajahnya waktu
membalas pandangan wanita tua itu, membuat Esa puas.
"Bagus caramu mengatakan itu, Hori tenang dan tidak dengan hati panas, ?melainkan sebagai orang yang bersungguh-sungguh dengan apa-apa yang
diucapkannya. Nah, coba ceritakan apa yang telah kalian lakukan hari ini."
Hori menceritakan tentang pembuatan surat permohonan itu dan isinya. Esa
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Sekarang dengarkan aku, Hori. Lihat ini." Dikeluarkannya kalung berliontin
singa itu dari bajunya, lalu diserahkannya pada Hori. Lalu ia berkata lagi,
"Katakan padanya, Renisenb, di mana kau menemukannya."
Renisenb menceritakannya. Setelah itu, Esa bertanya, "Nah, Hori, bagaimana
pendapatmu?" Hori diam beberapa saat Kemudian ia berkata,
"Anda sudah tua, tapi Anda bijaksana, Esa. Bagaimana pendapat Anda sendiril"
"Rupanya kau. orang yang tak suka berbicara
222 tanpa berpikir, dan tanpa disertai kenyataan-kenyataan, Hori. Kau pasti tahu
sejak awal, bagaimana Nofret menemui ajalnya, bukan?"
"Saya menduga kejadian yang sebenarnya. Hanya menduga saja."
"Bagus. Dan sekarang pun kita hanya punya dugaan saja. Tapi di sini, di antara
kita bertiga, kita bisa mengutarakan dugaan kita itu, dan setelah itu tidak kita
ucapkan lagi. Menurutku, ada tiga penjelasan mengenai peristiwa-peristiwa tragis
yang telah terjadi. Yang pertama, anak gembala itu mengatakan yang sebenarnya.
Dan bahwa apa yang dilihatnya memang hantu Nofret yang bangkit dari kematian.
Dan bahwa dia punya niat membalas dendam dengan menimbulkan kesedihan lebih
banyak lagi bagi keluarga kita. Mungkin itu benar, sebab pendeta-pendeta dan
orang-orang lain berkata bahwa itu mungkin terjadi, dan kita pun tahu bahwa
banyak penyakit yang disebabkan oleh roh-roh jahat Tapi aku yang sudah tua ini
cenderung tidak mempercayai kata-kata para pendeta dan orang-orang lain.
Menurutku, masih ada kemungkinan-kemungkinan lain."
"Misalnya?" tanya Hori.
"Kita akui saja bahwa Nofret dibunuh oleh Satipy, bahwa beberapa waktu
sesudahnya, di tempat yang sama pula, Satipy melihat bayangan Nofret, dan bahwa
karena rasa takut dan rasa bersalahnya, dia jatuh dan tewas. Semua itu jelas.
Tapi sekarang coba kita ambil pengandaian lain, yaitu bahwa sesudah itu ada
orang yang berkeinginan 223 membunuh dua orang putra Imhotep, dengan alasan yang masih harus kita cari.
Orang itu memperhitungkan adanya rasa takut berdasarkan takhayul, yang
menimbulkan keyakinan bahwa itu adalah perbuatan roh Nofret pendapat itu benar-?benar memudahkan."
"Tapi siapa yang ingin membunuh Yahmose atau Sobek?" seru Renisenb.
"Yang jelas, bukan seorang pelayan," kata Esa. "Mereka takkan berani. Dengan
demikian, tinggal sedikit yang patut dicurigai. Kita harus memilih, siapa
pelakunya di antara mereka."
"Salah seorang di antara kita sendiri" Tapi, Nek, itu tak mungkin!"
"Tanyakan pada Hori," kata Esa datar. "Kau lihat kan, dia tidak membantah."
Renisenb berpaling pada Hori. "Hori... benarkah?"
Hori menggeleng dengan bersungguh-sungguh.
"Renisenb, kau masih muda, dan mudah percaya. Kaupikir semua orang yang kaukenal
dan kaucintai adalah seperti yang kelihatan olehmu saja. Kau tak tahu hati
manusia, kau tak tahu rasa getir dan juga kejahatan yang mungkin ada di dalam
hati itu." "Tapi siapa" Yang mana...?"
Dengan tegas Esa memotong,
"Mari kita kembali pada kisah yang diceritakan anak gembala itu. Dia melihat
seorang wanita yang mengenakan baju linen berwarna, dan memakai kalung Nofret.
Nah, kalau itu bukan roh,
224 maka apa yang dilihatnya memang seperti apa yang dikatakannya yang berarti dia ?melihat seorang wanita, yang dengan sengaja ingin dikira Nofret Jadi wanita itu
mungkin Kait mungkin Henet dan mungkin pula kau, Renisenb! Dari jarak yang
? ?begitu jauh, siapa pun bisa saja mengenakan pakaian wanita dan wig. Ssst, biar
kulanjutkan dulu. Kemungkinan yang lain adalah anak laki-laki itu telah
berbohong. Dia bercerita berdasarkan apa yang telah diajarkan padanya. Dia
mematuhi perintah seseorang yang punya hak untuk. memerintahnya, dan mungkin
anak itu demikian tumpul otaknya, hingga dia bahkan tak tahu kisah apa yang
disuruheeritakan oleh orang yang telah menyuap atau membujuknya. Sekarang kita
takkan pernah bisa mengetahui hal itu, karena anak itu sudah meninggal. Hal itu
punya arti tersendiri pula. Aku cenderung berkeyakinan anak itu menceritakan
suatu kisah yang telah diajarkan padanya. Seandainya dia bisa kita tanyai dengan
gigih hari ini, kisah itu bisa saja berubah. Kalau kita sabar, mudah saja
mengetahui apakah seorang anak berbohong atau tidak."
"Jadi menurut Anda, orang yang telah membubuhkan racun itu salah satu dari
kita?" tanya Hori. "Benar," kata Esa. "Bagaimana pendapatmu?" "Saya juga menduga begitu," sahut
Hori. Renisenb memandangi kedua orang itu dengan putus asa. Hori berkata lagi,
225 "Tapi menurut saya, motifnya sama sekali tak jelas."
"Kurasa juga begitu," kata* Esa. "Itulah sebabnya aku tak tenang. Aku tak tahu
siapa lagi yang terancam."
Renisenb menyela, "Tapi... salah seorang di antara kita?" Nada bicaranya masih
mengandung rasa tak percaya.
"Ya, Renisenb, salah seorang di antara kita," kata Esa dengan tegas. "Henet,
atau Kait, atau Ipy, atau Kameni atau Imhotep sendiri ya, atau Esa, atau Hori,
?atau bahkan...," ia tersenyum..., "Renisenb."
"Tepat, Esa," kata Hori. "Kita harus mencurigai diri kita sendiri."
'Tapi mengapa?" Suara Renisenb mengandung rasa ingin tahu bercampur takut.
"Mengapa?" "Kalau kita bisa mengetahui sebabnya, boleh dikatakan kita akan tahu semua yang
ingin kita ketahui," kata Esa. "Sekarang kita hanya bisa menduga berdasarkan
siapa yang sudah diserang. Ingat, tanpa diduga Sobek ikut minum setelah Yahmose
mulai minum. Oleh karenanya, pastilah bahwa siapa pun yang melakukannya, ingin
membunuh Yahmose. Lebih kecil kemungkinannya bahwa orang itu juga ingin membunuh
Sobek." "Tapi siapa yang ingin membunuh Yahmose?" Renisenb bertanya dengan nada tak
percaya. "Di antara kita semua, Yahmose-lah yang pasti tak punya musuh. Dia
orang yang pendiam dan baik hati"
226 "Oleh karenanya, jelas bahwa motifnya bukanlah kebencian pribadi," kata Hori.
"Karena kau, Renisenb, mengatakan bahwa Yahmose bukanlah orang yang punya
musuh." "Tidak," kata Esa. "Motifnya lebih kabur daripada itu. Dalam hal ini, mungkin
kita menghadapi kebencian terhadap keluarga kita secara keseluruhan. Atau kalau
bukan itu, di balik semua ini tersembunyi keserakahan, yang sudah diperingatkan
pada kita dalam ajaran Ptahotep. Katanya, keserakahan adalah gabungan dari
segala macam kejahatan, dan kumpulan dari segala sesuatu yang tercela!"
"Saya mengerti ke mana arah pikiran Anda, Esa," kata Hori. "Tapi agar bisa
mengambil kesimpulan, kita harus membuat ramalan tentang masa depan."
Esa mengangguk dengan bersemangat, hingga wignya yang kebesaran bergeser, lalu
menutupi sebelah telinganya. Meskipun penampilannya jadi sangat lucu, tapi tak
ada yang berkeinginan untuk tertawa.
"Coba buat ramalan itu, Hori," katanya.
Hori diam beberapa saat, matanya nampak merenung. Kedua wanita itu menunggu.
Akhirnya Hori berbicara, "Seandainya Yahmose yang meninggal, sebagaimana diinginkan, maka yang akan
mendapat keuntungan paling besar adalah putra-putra Imhotep yang masih hidup,
yaitu Sobek dan Ipy. Pasti ada sebagian dari kekayaan ini yang disisihkan untuk
227 anak-anak Yahmose, tapi pengaturannya akan diserahkan ke tangan mereka
berdua khususnya ke tangan Sobek. Sobek-lah yang merupakan pihak yang paling ?beruntung. Mungkin dia kelak akan bekerja sebagai seorang pendeta Ka bila
Imhotep sedang tak berada di tempat, dan akan memperoleh kedudukan itu bila
Imhotep meninggal. Tapi meskipun Sobek merupakan orang yang akan mendapatkan
keuntungan, namun dia tak mungkin bersalah, karena dia sendiri meminum anggur
beracun itu demikian lahapnya, hingga dia meninggal. Oleh karenanya, sepanjang
penglihatan saya, kematian kedua orang itu hanya akan menguntungkan satu orang
(maksud saya, sementara ini), dan orang itu adalah Ipy."
"Benar," kata Esa. "Tapi kulihat, Hori, kau berpandangan jauh, dan aku
menghargai kata-katamu yang baik. Tapi mari kita menilai diri Ipy. Dia masih
muda dan tak sabaran dan pembawaannya secara umum pun tak baik. Pada usianya
ini, yang dianggapnya paling penting adalah memperoleh semua keinginannya. Dia
merasa marah dan benci terhadap kakak-kakaknya, dan dia beranggapan dirinya
telah disingkirkan dari persekutuan keluarga secara tak adil. Agaknya dia telah
pula mendengar beberapa hal yang kurang baik dari Kameni...." "Kameni?"
Renisenb yang menyela. Tapi begitu mengucapkan pertanyaan itu, wajahnya memerah,
dan digigitnya bibirnya. Hori menoleh padanya, dan me -
228 mandanginya. Pandangan Hori yang lama, lembut, dan menyelidik, terasa menyakiti
Renisenb. Ia tak mengerti mengapa begitu. Esa menjulurkan lehernya ke depan,
untuk melihat cucunya dengan lebih baik.
"Ya," katanya. "Kameni. Apakah Kameni mendapat dorongan dari Henet dalam hal
itu, itu soal r lain lagi. Yang jelas, Ipy ambisius dan-angkuh, dan membenci
wibawa kakak-kakaknya yang membawahinya. Dia juga menganggap dirinya orang yang
paling cerdas dalam keluarga ini. Hal itu sudah sejak lama dan berulang kali
dikatakannya." Nada bicara Esa tetap datar.
"Kepada Anda dia berkata begitu?" tanya Hori.
"Waktu itu dia sedang berbaik hati. Katanya .-aku sama cerdasnya dengan dia."
Dengan agak tak percaya, Renisenb bertanya,
"Apakah menurut Nenek, dia yang sengaja meracuni Yahmose dan Sobek?"
"Aku hanya menganggap itu sebagai suatu kemungkinan, tak lebih. Sekarang ini
kita sedang berbicara tentang kemungkinan. Kita belum mendapat bukti. Sejak
zaman dahulu, orang biasa membunuh kakak atau adiknya sendiri. Mereka "
sebenarnya tahu bahwa dewa-dewa membenci tindakan bunuh-membunuh itu, namun
mereka terdorong oleh hati yang jahat, akibat keserakahan atau kebencian. Dan
seandainya Ipy memang telah melakukan hal itu, takkan mudah bagi kita me
229 nemukan buktinya. Harus kuakui, Ipy memang pintar."
Hori mengangguk. 'Tapi seperti sudah kukatakan, yang kubicarakan di bawah pohon kurma sekarang
ini hanyalah dugaan kita. Sekarang kita harus terus menyoroti semua anggota
keluarga ini dengan rasa curiga. Dan seperti sudah kukatakan pula, aku
menyingkirkan kecurigaan atas para pelayan, karena sesaat * pun aku tak percaya
bahwa ada di antara mereka yang berani melakukan hal semacam itu. Kecuali
Henet." "Henet?" seru Renisenb. "Tapi Henet begitu mengabdi pada kita. Tak habis-
habisnya dia berkata begitu."
"Mengucapkan kebohongan itu sama mudahnya dengan mengucapkan kebenaran. Sudah
bertahun-tahun aku mengenal Henet. Aku sudah mengenalnya sejak dia datang kemari
sebagai seorang wanita muda, bersama ibumu. Dia sebenarnya keluarga ibumu. Dia
miskin dan tak beruntung. Suaminya tak sayang padanya, sebab Henet memang tak
cantik dan tak menarik, dan laki-laki itu menceraikannya. Satu-satunya anak yang
pernah dilahirkannya, meninggal waktu masih bayi. Dia datang kemari dan berpura-
pura mengabdi pada ibumu. Tapi aku sering memperhatikan matanya saat' memandangi
gerak-gerik ibumu di dalam maupun di luar rumah. Percayalah padaku Renisenb, aku
tidak melihat kasih sayang di mata itu. Tidak, yang lebih jelas kelihatan adalah
rasa iri dan rasa 230 getir. Dan mengenai cintanya terhadap kalian semua, aku tak percaya akan hal
itu." "Coba katakan, Renisenb," kata Hori, "apakah kau sendiri sayang pada Henet?"
"Ti... tidak," sahut Renisenb dengan enggan. "Aku tak bisa menyayanginya. Aku
sering memarahi diriku sendiri, karena aku tak suka padanya."
"Apakah menurutmu itu karena secara naluriah kau tahu bahwa kata-katanya palsu"
Pernahkah dia memperlihatkan kasih sayang yang selalu disebut-sebutnya itu


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padamu, dengan suatu jasa yang tulus" Tidakkah dia selalu menjadi penyebab
perpecahan antara kalian semua, dengan bisik-bisiknya dan kebiasaannya
menyebarluaskan perkataan-perkataan orang yang dapat menimbulkan luka dan rasa
marah?" "Ya, ya, itu memang benar." Esa mendehem.
"Kau memang punya mata dan telinga yang amat baik, Hori." Renisenb membantah.
"Tapi Ayah percaya sekali padanya, dan suka padanya."
"Anakku itu memang bodoh, sejak dulu," kata Esa. "Semua laki-laki suka dipuji,
sedangkan Henet rajin sekali mengumbar pujian, seperti wanita memakai krim untuk
pergi ke pesta! Mungkin perempuan itu memang benar-benar sayang padanya kadang ?kadang kurasa memang begitu tapi kepada yang lain-lain... tidak!"
?231 "Tapi tak mungkin dia... tak mungkin dia sampai membunuh," bantah Renisenb.
"Mengapa dia sampai mau meracuni salah seorang di antara kita" Apa manfaatnya
baginya?" "Tak ada. Memang tak ada. Kalau ditanya mengapa, aku tak tahu apa yang ada di
dalam kepala si Henet itu. Apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya, aku
tak tahu. Tapi kadang-kadang kupikir ada hal-hal aneh yang bergejolak di balik
sikapnya yang takut-takut dan menjilat-jilat itu. Bila demikian halnya, maka
kita, kau, aku, dan Hori, takkan tahu alasannya."
Hori mengangguk. "Saya pernah berkata pada Renisenb, bahwa ada kebusukan yang
dimulai dari dalam."
"Waktu itu aku tak mengerti," kata Renisenb. "Tapi sekarang aku mulai mengerti.
Yaitu sejak kedatangan Nofret kemari. Waktu itu aku menyadari bahwa tak seorang
pun di antara kita seperti yang kuduga semula. Aku jadi takut Dan sekarang...," ia
membuat suatu gerakan dengan tangannya, yang menyatakan dirinya tak berdaya,
"segala-galanya menakutkan...."
"Rasa takut itu disebabkan karena pengetahuan yang tak sempurna," kata Hori.
"Bila kita sudah tahu pasti, Renisenb, rasa takut itu akan hilang." ^
"Dan masih ada pula Kait," lanjut Esa.
"Tak mungkin Kait," bantah Renisenb. "Kait takkan mau membunuh Sobek. Itu tak
masuk akal." "Tak ada yang tak masuk akal," kata Esa. "Se -
232 tidaknya kenyataan itu kudapatkan dalam perjalanan hidupku. Kait adalah
perempuan yang amat bodoh, dan aku tak pernah percaya pada perempuan-perempuan
bodoh. Mereka berbahaya. Mereka hanya bisa memahami apa-apa yang berada di
seputar dirinya sendiri, dan tak memiliki pandangan luas. Kait hidup di dalam
inti sebuah dunia yang sempit, yang hanya terdiri dari dirinya sendiri, anak-
anaknya, dan Sobek-sebagai ayah dari anak-anaknya. Mungkin saja dia berpikiran
bahwa dengan membunuh Yahmose, anak-anaknya akan menjadi kaya. Karena Sobek
selalu tidak memuaskan di mata Imhotep dia gegabah, tak sabar dalam memimpin, ?dan tak dapat diandalkan. Yah mose-lah putra yang diandalkan oleh Imhotep. Tapi
dengan kematian Yahmose, Imhotep terpaksa harus mengandalkan Sobek. Kurasa Kait
mengerti soal itu, karena begitu sederhana."
Renisenb bergidik. Mau tak mau ia harus mengakui bahwa gambaran Esa tentang cara
hidup Kait memang benar. Kelembutannya, kehalusannya, tindak-tanduknya yang
tenang dan penuh kasih sayang, semuanya berkiblat pada anak-anaknya sendiri. Di
luar dirinya sendiri, anak-anaknya, dan Sobek, dunia ini tak ada baginya. Kait
memandang dunia ini tanpa rasa ingin tahu, dan tanpa minat.
Lambat-lambat Renisenb berkata, "Tapi tentu dia tahu bahwa besar kemungkinan
Sobek akan kembali dalam keadaan haus, dan meminum anggur itu juga. Dan ternyata
hal itu memang terjadi.' "Tidak," kata Esa. "Kurasa tidak. Seperti sudah
233 kukatakan, Kait itu bodoh. Dia hanya bisa mengerti apa yang ingin dimengertinya.
Yahmose yang minum, dan yang kemudian meninggal, dan perbuatan itu dianggap
sebagai campur tangan gaib dari Nofret yang cantik tapi jahat Dia hanya bisa
melihat satu hal yang sederhana, bukan beberapa macam kemungkinan. Karena dia
tidak menginginkan Sobek meninggal, maka tak pernah terpikir olehnya bahwa Sobek
akan kembali tanpa diduga."
"Dan sekarang ternyata Sobek yang meninggal, sedangkan Yahmose masih hidup!
Betapa mengerikan hal itu baginya, bila jalan pikiran Nenek tadi benar."
"Begitulah jadinya kalau orang bodoh," kata Esa. "Yang terjadi jauh berbeda dari
yang direncanakan." - Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Sekarang kita membahas tentang
Kameni." "Kameni?" Renisenb merasa perlu menyebutkan nama itu dengan tenang,
tanpa nada protes. Lagi-lagi ia merasa tak enak, karena merasakan pandangan Hori
pada dirinya. "Ya, kita tak dapat mengecualikan Kameni. Kita tak tahu motifnya untuk menyakiti
kita, tapi apa sebenarnya yang kita ketahui tentang dia" Dia datang dari daerah
utara, dari mana Nofret berasal. Dia telah membantu Nofret entah dengan rela ?atau tidak, tak seorang pun tahu untuk memalingkan hati Imhotep dari anak-anak
?kandungnya sendiri. Kadang-kadang aku memperhatikannya, dan terus terang,
sedikit sekali yang kuketahui
234 tentang dia. Menurutku, dia biasa-biasa saja, tapi otaknya cukup tajam. Kecuali
itu, dia juga tampan, dan memiliki sesuatu yang bisa menarik minat wanita. Ya,
kaum wanita selalu suka pada orang seperti Kameni, tapi kurasa dia bukanlah pria
yang setia tapi mungkin aku keliru. Dia selalu nampak ceria dan gembira, dan
?dia tidak memperlihatkan kesedihan berlebihan pada kematian Nofret
"Tapi semua itu hanya penilaian lahiriah. Kita tak bisa menebak hati manusia.'
Seorang pria yang punya pendirian, bisa saja bersandiwara dengan pandainya.
Apakah sebenarnya Kameni sangat marah atas kematian Nofret, dan karenanya ingin
membalas dendam" Karena Satipy yang telan, membunuh Nofret, apakah Yahmose,
suaminya, juga harus mati" Ya, juga Sobek, yang telah mengancamnya dan mungkin
?juga Kait yang telah memperlakukan Nofret dengan cara yang picik, dan juga Ipy,
yang membencinya" Kedengarannya terlalu dicari-cari, tapi siapa tahu?"
Esa diam. Ia melihat pada Hori. "Siapa yang tahu, ya, Esa?"
?Esa memandangi Hori dengan tajam.
"Mungkin kau yang tahu, Hori" Kau merasa bahwa kau tahu, bukan?"
Hori diam sejenak, kemudian ia berkata,
"Saya punya bayangan tentang siapa yang meracuni anggur itu, dan apa
alasannya tapi bayangan itu belum jelas benar. Lagi pula, saya tak mengerti..."
?Ia berhenti sejenak, dan mengerutkan
235 dahi, lalu menggelengkan kepala. "Tidak, saya tak bisa melemparkan tuduhan
pasti." "Kita memang sedang berbicara tentang kecurigaan. Teruskan, Hori. Bicaralah."
Hori menggelengkan kepala.
"Tidak, Esa. Ini cuma dugaan samar-samar. Kalaupun benar, sebaiknya Anda tak
tahu. Jika Anda tahu, bisa berbahaya bagi Anda. Begitu pula bagi Renisenb."
"Kalau begitu, berbahaya pulakah hal itu bagimu, Hori?"
"Ya. Saya rasa kita semua berada dalam bahaya, Esa. Tapi mungkin bagi Renisenb
bahaya itu paling kecil."
Sejenak Esa menatap Hori tanpa berkata-kata.
"Betapa inginnya aku mengetahui apa yang ada di dalam pikiranmu itu," katanya
akhirnya. Hori tak segera menjawab. Nampaknya ia sedang berpikir. Lalu katanya,
"Satu-satunya petunjuk untuk mengetahui pikiran manusia adalah dengan
memperhatikan tingkah lakunya. Jika seseorang bersikap aneh, tidak seperti
biasanya..." "Maka kita perlu mencurigainya?" tanya Renisenb.
"Tidak," sahut Hori. "Justru itulah maksudku. Orang yang punya pikiran dan niat
jahat biasanya menyadari hal itu, dan dia tahu, sedapat mungkin dia harus
menyembunyikan niatnya itu. Karenanya, dia tak mungkin berani bersikap aneh-
aneh." 236 "Apakah dia seorang laki-laki atau...?" tanya Esa.
"Laki-laki atau perempuan sama saja."
"Oh, begitu," kata Esa. Ia memandangi Hori dengan tajam, lalu bertanya, "Lalu
bagaimana dengan kita" Dalam kecurigaan macam apa kita terlibat?"
"Itu pun harus kita hadapi," kata Hori. "Selama ini, saya sangat dipercaya.
Pembuatan kontrak-kontrak, penjualan hasil panen, semuanya diserahkan pada saya.
Sebagai petugas administrasi, saya pula yang menangani soal pembukuan. Mungkin
saja saya telah melakukan pemalsuan sebagaimana yang terjadi di daerah utara, ?dan yang telah ditemukan oleh Kameni. Lalu mungkin Yahmose mulai bertanya-tanya,
dan dia mulai curiga. Oleh karenanya, penting sekali bagi saya untuk membungkam
Yahmose." Hori tersenyum samar mendengar kata-katanya sendiri.
"Oh, Hori," kata Renisenb, "mengapa kau berkata begitu! Semua orang yang
mengenalmu takkan percaya itu."
"Tak ada seorang pun yang mengenal orang lain, Renisenb. Sekali lagi kukatakan
hal itu padamu." "Bagaimana dengan aku?" tanya Esa. "Dalam hal apa kecurigaan menuding diriku"
Yah, aku sudah tua. Bila otak menjadi tua, dia kadang-kadang jadi sakit Apa-apa
yang dulu disayanginya, bisa berbalik dibencinya. Mungkin aku sudah bosan dengan
cucu-cucuku, dan memilih jalan me-237
musnahkan darah dagingku sendiri. Itu merupakan bencana yang ditimbulkan oleh
roh jahat, yang kadang-kadang terjadi atas diri orang-orang tua."
"Dan aku?" tanya Renisenb. "Mengapa aku harus mencoba membunuh kakak-kakakku
yang kucintai?" Hori berkata,
"Bila Yahmose, Sobek, dan Ipy meninggal, maka tinggal kau yang tersisa dari
anak-anak Imhotep. Ayahmu akan mencarikan suami untukmu, dan semua kekayaan ini
akan menjadi milikmu. Kau dan suamimu akan menjadi wali dari anak-anak Yahmose
dan Sobek." Lalu Hori tersenyum. "Tapi di bawah pohon kurma ini, kami tidak mencungaimu Renisenb."
"Baik di bawah pohon kurma, maupun tidak di bawah pohon kurma, kami tetap
menyayangimu," kata Esa.
238 BAB XVII Bulan Kedua Musim Panas hari ke-I?"Anda tadi pergi ke luar rumah, ya?" kata Henet, sambil mengikuti Esa yang
berjalan tertatih-tatih ke kamar. "Padahal sudah hampir setahun ini Anda tidak
keluar!" Matanya menatap Esa dengan pandangan bertanya.
"Orang tua memang kadang-kadang punya keinginan-keinginan mendadak."
"Saya melihat Anda duduk di dekat danau bersama Hori dan Renisenb."
?"Mereka berdua teman mengobrol yang menyenangkan. Adakah sesuatu yang tidak
kaulihat, Henet?" "Ah, Esa, apa maksud Anda" Semua orang juga bisa melihat Anda duduk di situ."
"Tapi tidak semua orang mendekat untuk ikut mendengarkan!" Esa tertawa, dan
Henet menahan amarahnya. "Saya tak mengerti mengapa Anda begitu benci pada saya! Ada saja yang Anda
kemukakan. Saya terlalu sibuk mengawasi agar segala sesuatu di rumah ini
dijalankan sebagaimana mestinya, dan
239 saya tak sempat mendengarkan percakapan orang lain. Lagi pula, saya tak peduli
apa yang dikatakan orang!"
"Aku sering meragukan hal itu."
"Hanya Imhotep yang mau menghargai saya..."
"Ya, hanya Imhotep!" sela Esa dengan tajam. "Kau bergantung pada Imhotep, bukan"
Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Imhotep..."
Kini giliran Henet yang memotong bicara,
"Takkan terjadi sesuatu atas diri Imhotep!"
"Bagaimana kau tahu, Henet" Apakah ada jaminan keselamatan di rumah ini" Sesuatu
telah terjadi atas diri Yahmose dan Sobek."
"Memang benar. Sobek telah meninggal dan Yahmose hampir meninggal pula...."
"Henet!" Esa membungkukkan tubuhnya. "Mengapa kau mengucapkan kalimatmu itu
dengan tersenyum?" "Saya" Tersenyum?" Henet tampak terkejut. "Anda mengigau, Esa! Pantaskah saya
tersenyum pada saat begini" Saat berbicara tentang hal yang begitu mengerikan!"
"Aku memang hampir buta," kata Esa, "tapi aku belum cukup buta. Kadang-kadang,
dengan adanya permainan cahaya, atau dengan mengangkat kelopak mataku, aku bisa
melihat dengan jelas. Biasanya, jika berbicara dengan orang yang diketahuinya
tak bisa melihat dengan baik, orang lalu menjadi ceroboh. Mereka berani
membiarkan wajahnya mengekspresikan sesuatu yang tak mungkin berani mereka
lakukan pada keadaan lain. Jadi
240 kuulangi pertanyaanku, mengapa kau tersenyum dengan rasa senang yang tersembunyi
begitu?" "Kata-kata Anda itu melampaui batas benar-benar melampaui batas!" "Nah, kau ?ketakutan, kan!" "Siapa yang tidak akan ketakutan dengan kejadian begini dalam
rumah ini?" seru Henet dengan suara melengking. "Saya yakin, kita semua
ketakutan dengan kembalinya roh-roh jahat dari orang-orang yang sudah meninggal,
untuk menyiksa kita! Tapi saya tahu, Anda suka mendengarkan kata-kata Hori. Apa
katanya tentang diri saya?" "Apa yang diketahui Hori tentang kau, Henet?" "Tak
ada tak ada apa-a ?pa. Sebaiknya Anda bertanya apa yang saya ketahui tentang dia?" Mata Esa menjadi
tajam. "Nah, apa yang kauketahui?" Henet mendongakkan kepalanya. "Ah, Anda semua
membenci Henet yang malang ini! Anda pikir dia jelek dan bodoh. Tapi saya tahu
apa yang sedang terjadi! Banyak sekali yang saya ketahui. Memang tak banyak yang
tidak saya ketahui mengenai kejadian-kejadian di dalam rumah ini. Saya memang
bodoh, tapi saya mengerti tingkah laku orang. Mungkin saya melihat lebih banyak
daripada orang-orang pintar seperti Hori. Bila Hori bertemu dengan saya di mana
pun juga, dia berbuat seolah-olah saya tak ada, seolah-olah dia melihat sesuatu
di belakang saya, sesuatu yang sebenarnya tak ada. Sebenarnya, sebaiknya dia
menatap saya! Mungkin dia menganggap saya remeh
241 dan bodoh, tapi tidak selalu orang-orang pandai yang tahu segala-galanya. Satipy
mengira dirinya pandai, dan coba lihat di mana dia sekarang?"
Henet berhenti berbicara dengan penuh rasa kemenangan, lalu tiba-tiba ia seperti
merasa pusing. Ia nampak ketakutan, dan menatap Esa dengan gugup.
Tapi Esa kelihatannya sedang terbenam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya
membayangkan perasaan sangat terkejut, ketakutan, dan kebingungan. Lalu katanya
sambil merenung, "Satipy...." Dengan nada meratap seperti biasa, Henet berkata lagi,
"Maafkan saya, Esa. Saya benar-benar telah kehilangan akal sehat saya. Saya tak
tahu lagi apa yang telah terjadi atas diri saya. Saya sama sekali tak bermaksud
apa-apa dengan kata-kata saya itu."
Sambil mengangkat kepala, Esa memotong bicaranya,
"Pergilah, Henet. Aku tak peduli apakah kau punya maksud tertentu ataukah tidak
dengan kata-katamu itu. Yang penting, kau telah mengucapkan satu kalimat yang
membuatku berpikir.... Pergi kau, Henet. Hati-hati dengan kata-kata dan
perbuatanmu. Kami tak menginginkan kematian lagi di rumah ini. Kuharap kau
mengerti." II Segala-galanya menakutkan..
242 Tanpa sadar, kata-kata ifu terucap oleh Renisenb dalam tukar pikiran di dekat
danau itu. Tapi baru kemudian ia mulai menyadari kebenarannya.
Tanpa disadarinya pula, ia kini berjalan ke luar, akan menggabungkan diri dengan
Kait dan anak-anak, yang sedang berkumpul di dekat pondok peristirahatan. Tapi
tiba-tiba kakinya terasa berat, lalu berhenti seolah-olah atas kemauannya
sendiri. Disadarinya bahwa ia merasa takut untuk mendatangi Kait serta melihat wajahnya
yang polos dan tenang itu. Ia takut kalau-kalau ia membayangkan bahwa yang
dilihatnya adalah wajah seseorang yang telah meracuni orang lain.
Diperhatikannya Henet berjalan ke beranda, lalu kembali lagi, dan disadarinya
bahwa rasa enggannya meningkat. Dengan putus asa ia berbalik ke arah pintu pagar
pekarangan, dan tak lama kemudian, ia bertemu dengan Ipy yang sedang berjalan
masuk. Kepalanya tegak, dan wajahnya yang menantang tersenyum ceria.
Renisenb memandanginya. Ipy adalah anak manja dalam keluarga itu. Ia ingat,
waktu ia pergi bersama Khay, anak itu masih kecil, tampan, dan keras hati....
"Hei, Renisenb, ada apa" Aneh sekali caramu memandangi aku." "Masa?" Ipy
tertawa. "Kau tampak seperti si tolol Henet" Renisenb menggeleng.
243 "Henet sama sekali tidak tolol. Dia amat cer^ das."
"Dia memang banyak akal busuknya, itu yang kuketahui. Dia pengacau di rumah inL
Aku ingin melenyapkannya."
Mulut Renisenb terbuka, lalu tertutup kembali. "Melenyapkannya?" bisiknya.
"Kakakku, ada apa denganmu hari ini" Apakah kau juga telah melihat roh-roh
jahat, seperti anak hitam tolol yang menjengkelkan itu?"
"Kau menganggap semua orang tolol!"
"Anak itu jelas tolol! Yah, aku memang cenderung untuk merasa tak sabar terhadap


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebodohan. Sudah terlalu banyak aku melihatnya. Ketahuilah, sama sekali tak enak
selalu saja diganggu oleh dua orang kakak yang lamban dan picik! Sekarang mereka
tak bisa mengganggu lagi, dan aku tinggal menghadapi Ayah. Kau akan melihat
perbedaannya. Ayahku pasti mau melakukan apa-apa yang kukatakan."
Renisenb mendongak, memandanginya. Betapa tampan dan angkuhnya Ipy! Ia
memancarkan semangat hidup, hidup yang penuh kemenangan dan kekuatan, yang
kelihatannya tidak wajar. Seolah-olah keadaannya yang begitu bersemangat
didukung oleh suatu tenaga dalam.
Dengan tajam Renisenb berkata,
"Kakak-kakak kita tidak semuanya meninggal seperti katamu itu. Yahmose masih
hidup." Ipy melihat padanya dengan mencemooh.
"Kaupikir dia akan sembuh kembali, ya?"
244 "Mengapa tidak?" Ipy tertawa.
"Mengapa tidak" Yah, terus terang aku tak sependapat denganmu. Yahmose sudah tak
berdaya... untuk selama-lamanya. Mungkin dia masih bisa merayap-rayap sedikit kian
kemari, dan duduk berjemur sambil mengerang. Tapi dia bukan seorang pria .lagi.
Dia memang sudah pulih dari ancaman racun itu, tapi kau bisa melihat sendiri
bahwa dia tidak mengalami kemajuan apa-apa."
"Mengapa tidak?" tanya Renisenb. "Tabib mengatakan bahwa dalam waktu singkat,
dia sudah akan kuat kembali seperti sediakala."
Ipy mengangkat bahu. "Tabib tak mungkin tahu segalanya. Mereka hanya pandai bicara dan menggunakan
banyak kata-kata. Tudinglah Nofret yang jahat kalau kau mau. Pokoknya, kakakmu
Yahmose yang baik itu sudah hancur."
"Lalu apakah kau sendiri tidak takut, Ipy?"
"Takut" Aku?" Anak muda itu tertawa sambil mendongakkan kepalanya yang bagus.
"Nofret juga tidak terlalu menyukaimu, Ipy." * "Tak ada apa pun yang bisa
menyakiti aku, Renisenb, kecuali kalau aku membiarkannya! Aku memang masih muda,
tapi aku dilahirkan untuk mencapai keberhasilan. Dan kau sendiri, Renisenb,
sebaiknya kau berpihak padaku. Kaudengar itu" Kau sering memperlakukan aku
sebagai anak kecil yang tak bertanggung jawab. Tapi aku sudah bukan anak kecil
lagi sekarang. Setiap bulan akan
245 menunjukkan perbedaan. Dalam waktu singkat, hanya kemauanku saja yang dituruti
di tempat ini. Mungkin ayahku yang memberikan perintah-perintah, tapi meskipun
suaranya yang mengucapkannya, otak yang melahirkannya adalah otakku!"
Ia berjalan selangkah dua langkah, berhenti sebentar, lalu menoleh dan berkata
lagi, "Jadi berhati-hatilah, Renisenb, jangan sampai aku merasa tak senang terhadap
kaul" Renisenb masih berdiri menatap Ipy dari belakang. Tiba-tiba didengarnya langkah-
langkah kaki seseorang. Ketika ia menoleh, dilihatnya Kait sudah berdiri di
sebelahnya. "Apa kata Ipy, Renisenb?"
Renisenb berkata perlahan-lahan,
"Dia berkata bahwa tak lama lagi dia yang akan menjadi tuan besar di sini."
"Begitu katanya?" kata Kait "Kurasa tidak."
III Dengan langkah-langkah ringan, Ipy menaiki tangga beranda, lalu masuk ke dalam
rumah. Melihat Yahmose sedang terbaring di sebuah sofa, ia kelihatan senang.
Dengan ceria ia berkata, "Bagaimana keadaanmu, kakakku" Apakah kami takkan pernah melihatmu di perkebunan
lagi" Aku tak mengerti mengapa segala-galanya tak ikut hancur tanpa kau!"
Dengan perasaan jengkel, Yahmose berkata dengan suara lemah,
246 "Aku sama sekali tak mengerti. Racunnya sudah hilang. Mengapa kekuatanku tak
pulih juga" Kucoba berjalan tadi pagi, tapi kakiku tak kuat menopangku. Aku
lemah! Lemah! Dan yang lebih menjengkelkan lagi, rasanya aku makin hari makin
lemah saja." Ipy menggeleng, pura-pura merasa kasihan.
"Itu berita buruk. Apakah tabib tidak memberikan obat?"
"Asisten Mersu datang setiap hari. Dia tak mengerti keadaanku. Aku minum
rebusan-rebusan mujarab dari tumbuh-tumbuhan obat. Setiap hari dipanjatkan pula
mantra-mantra pada dewa-dewa. Aku diberi makanan khusus yang bergizi tinggi.
Tabib mengatakan aku seharusnya cepat menjadi .kuat kembali. Tapi sebaliknya,
aku malah merasa makin parah saja."
"Ah, kasihan sekali," kata Ipy.
Ia berjalan lagi, sambil berdendang dengan suara halus, hingga tiba di tempat
ayahnya yang sedang berbincang-bincang dengan Hori. Hori sedang memegang
selembar kertas yang penuh dengan angka-angka pembukuan.
Imhotep yang nampak khawatir dan susah menjadi ceria waktu melihat putra bungsu
kesayangannya itu. "Ini dia anakku, Ipy. Apa yang akan kaulapor-kan dari perkebunan?"
"Semuanya beres, Ayah. Kami sudah memungut panen jelai. Hasilnya bagus."
"Ya, berkat Re, semuanya berjalan dengan baik,
247 di luar. Semoga di dalam rumah juga demikian. Tapi aku harus percaya pada
Ashayet. Dia takkan menolak membantu kita dalam kesusahan kita ini. Aku khawatir
melihat keadaan Yahmose. Aku tak mengerti mengapa dia jadi begitu lemah.
Keadaannya itu tak bisa dijelaskan."
Ipy tersenyum mengejek. "Yahmose memang orang lemah," katanya.
"Tidak juga," kata Hori dengan halus. "Sebelum peristiwa itu, kesehatannya baik-
baik saja." Ipy berkata dengan tegas,
"Kesehatan seseorang tergantung juga pada semangatnya. Yahmose tak punya
semangat. Dia bahkan tak berani'memberikan perintah-perintah."
"Akhir-akhir ini tidak begitu lagi," kata Imhotep. "Dalam bulan-bulan terakhir
ini, Yahmose sudah kelihatan sangat berwibawa. Aku sendiri juga heran. Tapi aku
khawatir melihat kelemahan tubuhnya itu. Padahal Mersu sudah meyakinkan bahwa
begitu akibat-akibat racun tersebut hilang, dia akan cepat pulih kembali."
Hori menyingkirkan beberapa lembar papirus.
"Ada racun-racun lain," katanya dengan tenang.
"Apa maksudmu"' tanya Imhotep sambil membalikkan tubuhnya.
Dengan suara halus dan penuh perhitungan, Hori berkata,
"Ada jenis racun yang tidak langsung bekerja, dan tidak begitu keras. Racun itu
bekerja dari dalam. Kalau diminum setiap hari, racun itu menumpuk. Setelah
berbulan-bulan dalam keadaan le -
248 mah, korban baru meninggal. Racun semacam itu dikenal di kalangan kaum wanita.
Mereka kadang-kadang menggunakannya untuk menyingkirkan suami mereka, supaya
seolah-olah kematian itu wajar."
Imhotep menjadi pucat. "Apakah menurutmu... itu yang sedang diderita oleh Yahmose?"
"Menurut saya, itu mungkin saja. Meskipun makanannya kini dicicipi dulu oleh
seorang budak sebelum dia memakannya, tindakan pengamanan semacam itu tidak
berarti, karena kadar racun yang terdapat dalam satu macam makanan pada satu
hari tidak akan menimbulkan akibat buruk."
"Omong kosong," seru Ipy nyaring. "Omong kosong belaka! Aku tak percaya ada
racun seperti itu. Aku tak pernah mendengar yang semacam itu."
Hori mengangkat matanya. "Kau masih muda sekali, Ipy. Masih ada beberapa hal
yang tidak kauketahui."
"Laly apa yang harus kita lakukan?" seru Imhotep. "Kita sudah memohon pada
Ashayet. Kita telah mengirim persembahan-persembahan pada kuil, meskipun aku tak
pernah menaruh keyakinan pada kuil-kuil. Kaum wanitalah yang amat percaya pada
urusan-urusan begitu. Apa lagi yang harus kita lakukan?"
Dengan serius Hori berkata,
"Suruh seorang budak yang terpercaya memasak
249 makanan Yahmose, dan budak itu harus diawasi terus."
"Tapi itu berarti bahwa... bahwa di dalam rumah ini..."
"Omong kosong," teriak Ipy. "Omong kosong besar!"
Hori mengangkat alisnya. "Sebaiknya kita coba saja dulu," katanya. "Akan segera kita lihat apakah itu
omong kosong." Dengan marah Ipy keluar dari kamar itu. Hori memperhatikannya dari belakang,
sambil merenung. Wajahnya mengernyit, ia tampak bingung.
IV Ipy keluar dari rumah dalam keadaan amat marah, hingga ia hampir bertabrakan
dengan Henet.. "Jangan menghalang-halangi aku, Henet Kau selalu saja menyelinap kian kemari,
dan menghalang-halangi orang."
"Kasar sekali Anda, Ipy. Lihat, lengan saya sampai memar."
"Bagus. Aku bosan melihat kau dan kecengeng-anmu. Makin cepat kau pergi dari
rumah ini untuk selamanya, makin baik. Dan aku akan berusaha supaya kau pergi."
Mata Henet menyala dengan jahat.
"Jadi Anda mau mengusir saya, ya" Padahal selama ini saya mengurus dan mengabdi
pada kalian semua. Saya telah mengabdikan diri pada seluruh keluarga ini. Ayah
Anda tahu betul itu."
250 "Yang benar adalah, Ayah telah sering mendengarnya! Begitu pula kami! Menurutku,
kau hanya , orang tua pengacau yang berlidah jahat Kau telah membantu Nofret
melaksanakan semua rencananya aku tahu benar itu. Lalu setelah dia meninggal, ?kau datang menjilat-jilat kami lagi. Tapi, nanti akan kaulihat, akhirnya kelak
ayahku akan mendengarkan kata-kataku, dan tidak lagi mendengarkan omong
kosongmu." "Anda sedang marah sekali, Ipy. Apa yang membuat Anda begitu marah?"
"Tak usah tahu."
"Anda kan tidak takut akan sesuatu, Ipy" Soalnya ada kejadian-kejadian di sini."
"Kau takkan bisa menakut-nakuti aku, kucing .tua!"
Ia melesat melewati Henet, dan keluar dari rumah. Henet berbalik lambat-lambat,
lalu masuk ke dalam rumah. Erangan Yahmose menarik perhatiannya. Yahmose telah
bangkit dari sofa, dan sedang mencoba berjalan. Tapi kakinya kelihatannya tak
kuat, dan kalau tidak cepat-cepat dibantu oleh Henet, ia pasti sudah jatuh.
"Aduh, Yahmose, aduh. Berbannglah lagi."
"Kau kuat sekali, Henet Kalau melihat fisikmu, orang takkan menyangka." Ia
berbaring lagi, dan meletakkan kepalanya ke penyangga kepala dari kayu. "Terima
kasih. Mengapa aku begini, ya" Mengapa aku merasa seolah-olah otot-ototku sudah
berubah menjadi cairan?"
"Soalnya rumah ini sudah diguna-gunai. Semua
ini ulah setan wanita yang datang kemari dari utara itu. Tak pernah ada hal yang
baik yang datang dari utara."
Yahmose menggumam dengan murung,
"Aku akan mati. Ya, aku pasti akan mati."
"Orang-orang lain akan meninggal sebelum Anda," kata Henet dengan yakin.
"Apa" Apa maksudmu?" Yahmose mencoba bangun dengan bertopang pada sebelah
sikunya, lalu menatap Henet.
"Saya yakin akan kebenaran kata-kata saya." Henet mengangguk beberapa kali.
"Bukan Anda yang akan meninggal berikutnya. Lihat saja nanti."
V % "Mengapa kau menghindariku, Renisenb?"
Kameni berdiri dengan tegap, menghalangi langkah Renisenb. Wajah Renisenb
memerah, dan ia merasa sulit memberikan jawaban yang tepat. Memang benar ia
sengaja membelok, setiap kali melihat Kameni berjalan ke arahnya.
"Mengapa, Renisenb" Tolong katakan."
Tapi Renisenb tak siap memberikan jawaban. Ia hanya bisa menggeleng, tanpa
berkata apa-apa. Lalu ia mendongak, memandangi Kameni yang berdiri menghadapinya. Ia merasa agak
takut, kalau kalau wajah Kameni juga akan kelihatan lain. Aneh, ia senang
melihat wajah itu tak berubah. Pria muda itu memandanginya dengan se-252
rius, dan kali ini bibirnya tak menyunggingkan senyum.
Renisenb tertunduk ditatap demikian oleh Kameni. Kameni selalu bisa
mengganggunya. Kehadiran Kameni mengusiknya secara fisik. Jantungnya jadi
berdebar lebih keras. "Aku tahu mengapa kau menghindari aku, Renisenb."
Kini Renisenb baru bisa bersuara, "Aku... tidak menghindarimu. Aku tidak
melihatmu." "Bohong." Kameni tersenyum, Renisenb bisa mendengarnya dari nada suaranya.
"Renisenb, kau cantik."
Renisenb merasa tangan Kameni yang kuat me-. lingkar di lengannya. Ia segera
membebaskan diri. 'Jangan sentuh aku! Aku tak suka disentuh."
"Mengapa kau melawan aku, Renisenb" Kau tahu betul apa yang ada di antara kita.
Kau masih muda, kuat, dan cantik. Tak wajar kalau kau menangisi suamimu terus-
menerus sepanjang hidupmu. Aku akan membawamu pergi dari rumah ini. Rumah ini
penuh dengan kematian dan kejahatan. Kau harus ikut aku, dan kau akan selamat
bersamaku." "Kalau aku tak mau ikut?" sahut Renisenb ketus.
Kameni tertawa. Giginya berkilat, putih dan kuat.
"Kau mau ikut, hanya saja kau tak mau mengakuinya! Hidup ini indah, Renisenb,
bila dua 253 orang kekasih bersatu. Aku mencintaimu dan akan membuatmu bahagia, dan kau akan
merupakan ladangku yang subur, sedangkan aku akan menjadi tempatmu berlindung.
Aku tak perlu lagi bernyanyi pada Ptah, 'Berikan kekasihku padaku malam ini,'
tapi aku akan pergi mendatangi Imhotep dan berkata, 'Berikan Renisenb,
kekasihku, padaku.' Tapi kurasa tempat ini tak aman bagimu, maka aku akan
membawamu pergi. Aku seorang juru tulis yang baik, dan aku bisa bekerja pada
salah seorang bangsawan besar di Thebes, kalau aku mau, meskipun sebenarnya aku
menyukai kehidupan pedesaan di sini perkebunan, peternakan, dan nyanyian-?nyanyian yang disenandungkan orang-orang saat panen, begitu pula kapal-kapal
pesiar kecil di Sungai Nil. Aku ingin berlayar di Sungai Nil bersamamu,
Renisenb. Kita akan ajak Teti. Dia anak yang cantik dan kuat, dan aku akan
mencintainya dan menjadi seorang ayah yang baik baginya. Bagaimana, Renisenb?"
Renisenb tak berkata apa-apa. Ia merasa jantungnya berdegup keras, dan saraf-
sarafnya melemah. Namun bersamaan dengan perasaan yang lembut dan penuh
kepasrahan itu, ada pula sesuatu yang lain suatu perasaan memberontak.
?"Baru saja dia menyentuh lenganku, aku sudah lemah begini...," pikirnya. "Gara-
gara kekuatannya... dadanya yang bidang... bibirnya yang selalu tersenyum.... Tapi aku
tak tahu apa-apa tentang jiwanya, pikirannya, dan hatinya. Tak ada kedamaian di
antara kami, tak ada keindahan.... Apa
254 yang kuinginkan" Entahlah,... Yang jelas, bukan ini... bukan ini...."
Didengarnya dirinya berbicara, tapi di telinganya sendiri kata-katanya terdengar
lemah dan tak meyakinkan.
"Aku tak menginginkan seorang suami baru. Aku ingin seorang diri... menjadi diriku
sendiri" "Tidak, Renisenb, kau salah. Kau tak pantas hidup seorang diri. Aku merasakannya
melalui tanganmu yang gemetar dalam genggamanku. Begitu, bukan?"
Renisenb menarik tangannya kuat-kuat
"Aku tak mencintaimu, Kameni. Kurasa aku malah membencimu," katanya. Kameni
tersenyum. "Aku tak peduli kau membenciku, Renisenb. Kebencian dekat sekali dengan cinta.
Nanti kita akan berbicara lagi tentang hal ini."
Kameni pergi meninggalkannya. Gerakannya cepat dan lincah, seperti seekor rusa
muda. Renisenb berjalan perlahan-lahan ke dekat danau, di mana Kait sedang
bermain-main dengan anak-anak.
Kait menyapanya. Renisenb menyahutinya dengan tak acuh.
Tapi Kait tidak merasakannya, atau seperti biasanya, pikirannya terlalu dipenuhi
oleh anak-anak, hingga ia tak bisa memberikan perhatiannya pada hal-hal lain.
Tiba-tiba Renisenb memecah kesunyian dengan bertanya,
"Bagaimana kalau aku menikah lagi, ya" Bagaimana pendapatmu, Kait?"
255 Kait menjawab dengan tenang, tanpa minat, "Kurasa itu baik. Kau masih muda dan
kuat, Renisenb, dan kau masih bisa punya banyak anak
lagi." "Hanya itukah hidup bagi seorang wanita, Kait" Menyibukkan diri di bagian
belakang rumah, melahirkan anak-anak, dan menghabiskan petang hari bersama anak-


Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak di dekat danau, di bawah pohon kurma?" *
"Hanya itulah yang penting bagi seorang wanita. Kau tentu tahu itu. Jangan
bicara seperti seorang budak. Kaum wanita di Mesir ini punya kekuatan
tersendiri. Melalui merekalah hak waris didapatkan oleh anak-anak mereka. Kaum
wanita merupakan denyut nadi di Mesir ini."
Renisenb memperhatikan Teti yang sedang merangkai bunga untuk bonekanya. Anak
itu mengerutkan dahinya sedikit dalam memusatkan per- * hatian pada ?kesibukannya itu. Dulu ia suka memajukan bibir bawahnya, dan agak memiringkan
kepalanya ke samping. Jika sedang demikian, Teti serupa benar dengan Khay,
hingga hati Renisenb terasa sakit karena cinta. Tapi kini Teti tidak lagi
melakukan kebiasaan itu, dan wajah Khay pun sudah kian samar dalam kenangan
Renisenb. Pada saat-saat lain, bila Renisenb merangkulnya erat-erat, ia merasa
anak itu masih merupakan bagian dari dirinya, darah dagingnya sendiri. "Dia
milikku, milikku sendiri," katanya pada diri sendiri, dengan kesadaran memiliki
yang kuat Kini, saat memperhatikan anak itu bermain-main, Renisenb berpikir, "Dia adalah
aku dan dia adalah Khay...."
?Lalu Teti mengangkat wajahnya, dan ketika melihat ibunya, anak itu tersenyum.
Suatu senyuman kecil yang tenang, ramah, menyatakan rasa senang, dan mengandung
rasa percaya diri. "Bukan," pikir Renisenb, "dia bukan aku, dan f dia bukan Khay dia adalah ?dirinya sendiri. Dia adalah Teti. Dia adalah dirinya sendiri, sebagaimana aku
adalah diriku sendiri, sebagaimana kita semua adalah diri kita sendiri. Bila di
antara kami ada cinta, maka kami akan bersahabat selama hidup kami, tapi bila
tak ada cinta di antara kami, dia akan tumbuh, dan kami akan merupakan dua orang
asing. Dia adalah Teti, dan aku adalah Renisenb."
Kait memperhatikannya dengan pandangan ingin tahu.
"Apa yang kauinginkan, Renisenb" Aku tak mengerti."
Renisenb tak menyahut. Bagaimana ia bisa'mengatakan pada Kait hal-hal yang ia
sendiri tak mengerti" Ia melihat ke sekelilingnya, ke tembok-tembok yang
mengelilingi pekarangan itu, ke beranda rumah yang beraneka warna, ke air danau
i ^ yang tenang dan pondok peristirahatan. yang kecil mungil, baris-baris
tanaman bunga yang rapi, dan rumpun-rumpun semak papirus. Semuanya aman,
terlindung, tak ada yang perlu ditakutkan. Di sekelilingnya terdengar gumam
suara para penghuni rumah, suara anak-anak yang ramai, suara para
256 257 wanita yang serak, nyaring, dan melengking di dalam rumah, diselingi lenguh
binatang ternak dari kejauhan.
Perlahan-lahan ia berkata,
"Kita tak bisa melihat Sungai Nil dari sini...."
Kait nampak heran. "Untuk apa kita melihatnya?"
Renisenb menjawab perlahan-lahan,
"Entahlah, aku ini bodoh...."
Di hadapannya, dilihatnya dengan jelas bentangan panorama yang hijau, subur, dan
rimbun. Dan lebih jauh lagi, terhampar suatu pemandangan menawan yang berwarna
merah muda keunguan, mengabur di cakrawala. Kedua pemandangan itu terbelah dua
oleh Sungai NU yang berwarna biru pucat keperakan
Renisenb menahan napasnya, karena bayangan, pemandangan, dan suara-suara di
sekelilingnya mengabur. Sebagai gantinya, terasa olehnya suatu kesepian dan
kepuasan yang tak terhingga .
Ia lalu berkata pada dirinya sendiri, "Kalau aku menoleh, aku akan melihat Hori.
Dia akan mengangkat kepalanya dari papirus yang sedang dihadapinya, dan
tersenyum padaku.... Kemudian matahari akan terbenam, kegelapan akan tiba, dan aku
pun akan tidur.... Itulah kematian."
"Apa katamu, Renisenb?"
Renisenb terkejut. Ia tak sadar telah menyuarakan pikirannya. Ia pun kembali ke
kenyataan dari angannya tadi. Kait sedang memandanginya dengan penuh rasa ingin
tahu. 258 "Kau menyebut-nyebut tentang kematian, Renisenb. Apa yang sedang kaupikirkan?"
"Entahlah. Aku tak bermaksud..." Ia melihat ke sekelilingnya. Betapa menyenangkan
semua ini, suasana kekeluargaan ini, dengan anak-anak yang bermain-main di dekat
air yang gemercik. Ia menarik napas panjang.
"Damai sekali di sini. Tak bisa kita membayangkan sesuatu yang... mengerikan...
terjadi di sini." Tapi ternyata justru di dekat danau itulah orang menemukan Ipy keesokan paginya.
Ia didapati dalam keadaan tertelungkup. Seseorang telah membenamkan wajahnya ke
dalam air. 259 BAB XVIII Bulan Kedua Musim Panas hari ke-10?Imhotep duduk seorang diri, sambil memeluk kedua lututnya. Ia kelihatan jauh
lebih tua. Seorang tua keriput yang semangatnya sudah hancur. Di wajahnya
terbayang pandangan bingung yang mengibakan.
Henet membawakannya makanan, dan membujuknya untuk makan.
"Sungguh, Imhotep, Anda harus menjaga kesehatan Anda."
"Untuk apa" Untuk apa kesehatan dan'kekuatan" Ipy itu kuat, muda, dan tampan,
dan sekarang dia terbaring dalam rendaman air garam.... Anakku, anakku yang paling
kusayangi. Dialah anakku yang terakhir."
"Tidak, tidak, Imhotep. Anda masih punya Yahmose, putra Anda. Yahmose yang
baik." "Untuk berapa lama" Sekarang saja keadaannya sudah parah. Kami semua sudah
dikutuk. Kuasa jahat apa yang sedang merundung kami ini" Mana kutahu bahwa semua
ini terjadi gara-gara aku membawa pulang seorang selir" Itu merupakan perbuatan
yang wajar, sah, dan tidak melanggar
hukum manusia maupun dewa-dewa. Aku memperlakukannya dengan hormat Lalu mengapa
hal-hal ini menimpa diriku" Atau apakah Ashayet yang membalas dendam padaku"
Apakah dia yang tak mau memaafkan" Dia sama sekali tidak memenuhi permintaanku.
Kejadian-kejadian jahat masih saja berlangsung."
"Tidak, tidak, Imhotep. Anda tak boleh berkata begitu. Mangkuk persembahan belum
lama diletakkan di dalam kamar persembahan. Padahal kita tahu, perlu waktu lama
untuk menangani urusan-urusan mengenai hukum dan keadilan. Betapa seringnya
perkara-perkara di pengadilan Nomarch ditunda, apalagi bila suatu perkara naik
banding ke menteri. Keadilan tetap keadilan, baik di dunia ini maupun di dunia
berikutnya. Keadilan merupakan urusan yang bergerak lamban, tapi pada akhirnya
ditangani dengan benar."
Imhotep menggeleng dengan ragu. Henet berkata lagi,
"Apalagi, Imhotep, Anda harus ingat bahwa Ipy bukan putra Ashayet Dia putra Anda
dari istri Anda, Ankh. Jadi untuk apa Ashayet bersusah payah demi
kepentingannya" Tapi dengan Yahmose akan lain halnya. Yahmose akan sembuh,
karena Ashayet akan berusaha untuk itu."
"Harus kuakui bahwa kata-katamu menghibur hatiku, Henet. Kata-katamu sangat
berarti. Memang benar kesehatan Yahmose kelihatannya makin membaik. Dia seorang
anak yang baik dan setia, tapi... aduhl Anakku, Ipy, yang begitu ber-261
260 semangat dan begitu tampan!" Imhotep mengerang lagi.
"Aduh! Sudahlah!" ratap Henet penuh pengertian.
"Gadis terkutuk yang cantik itu! Alangkah baiknya kalau aku dulu tak pernah
melihatnya." "Ya, benar, Tuan besar. Dia tepat sekali menjadi putri Seth. Dia pasti ahli
dalam ilmu-ilmu gaib dan jampi-jampi jahat"
Terdengar ketukan ketukan tongkat di lantai, dan Esa masuk ke balai itu dengan
tertatih-tatih. Ia mendengus mencemooh.
"Tak ada lagikah orang-orang berakal sehat dalam rumah ini" Apakah kau cuma bisa
mengutuk seorang gadis malang yang telah menarik hatimu, dan yang senang
melakukan, kejahatan kecil karena kesal melihat tingkah laku bodoh para istri
anak-anakmu yang bodoh-bodoh itu?"
"Kejahatan kecil karena kesal^-begitukah Ibu menamakannya" Di antara putraku
yang tiga orang, dua orang sudah meninggal, dan yang seorang lagi sedang
menunggu ajalnya. Aduh! Ibuku sendiri berkata begitu padaku!"
"Memang perlu ada yang mengatakannya, karena kau tak bisa lagi melihat
kenyataan-kenyataan sebagaimana adanya. Hapuskanlah dari pikiranmu kepercayaan
konyol akan takhayul, yang membuatmu berkeyakinan bahwa roh seorang wanita yang
sudah meninggallah yang menyebar kejahatan ini. Padahal tangan manusia hiduplah
yang menekan kepala Ipy di dalam danau hingga dia mati, dan
262 tangan manusia hidup pula yang telah membubuhkan racun ke dalam anggur yang
diminum Yahmose dan Sobek. Kau punya musuh, Imhotep. Ya, seorang musuh dalam
rumah ini. Buktinya, sejak usul' Hori diterima, dan Renisenb sendiri yang
memasak makanan Yahmose, atau seorang budak memasaknya di bawah pengawasannya,
dan sejak Renisenb sendiri yang mengantarkan makanan itu pada Yahmose, kulihat
sejak itu kesehatan dan kekuatan Yahmose membaik dari hari ke hari. Berhentilah
bersikap sebagai orang bodoh, Imhotep. Berhentilah berkeluh kesah dan memukuli
kepalamu dalam hal mana Henet sangat membantumu."?"Aduh, Esa, salah bgnar Anda menilai saya!"
"Kuulangi sekali lagi, dalam hal berkeluh kesah itu, Henet sangat
membantumu entah karena dia sendiri juga bodoh, atau untuk suatu alasan lain."
?"Semoga Dewa Re mengampuni Anda, Esa, karena Anda tak adil terhadap seorang
wanita malang yang kesepian!"
Esa berbicara terus sambil mengguncang gun cangkan tongkatnya dengan sikap
meyakinkan. "Sadarlah, Imhotep, dan berpikirlah. Istrimu, Ashayet, seorang wanita yang amat
cantik, dan dia tidak bodoh. Mungkin dia bisa menggunakan pengaruhnya di dunia
lain demi kepentinganmu, tapi kau tak bisa mengharapkan dia berpikir untukmu di
dunia ini! Kita harus bertindak, Imhotep. Kalau tidak, akan menyusul kemat an
kematian lain!" 263 "Seorang musuh yang hidup" Seorang musuh dalam rumah ini" Ibu yakin akan hal
itu?" "Tentu aku yakin, karena itulah satu-satunya yang paling masuk akal."
"Tapi kalau begitu, kita semua berada dalam bahaya?"
"Memang. Terancam, bukan oleh bahaya serangan-serangan dan tangan-tangan setan,
melainkan oleh perbuatan manusia oleh tangan-tangan hidup yang membubuhkan ?racun ke dalam makanan dan minuman, oleh sosok manusia yang menyelinap di
belakang seorang anak muda yang pulang larut malam dari desa, lalu membenamkan
kepalanya ke dalam air danau!"
"Untuk itu pasti dibutuhkan kekuatan," kata Imhotep sambil merenung.
"Ya, kelihatannya memang begitu. Tapi kurasa tidak juga. Soalnya, Ipy sudah
banyak minum-minum di desa. Dia sedang dalam keadaan mabuk dan banyak bualnya.
Mungkin dia berjalan dengan terhuyung-huyung, dan tanpa merasa takut pada orang
yang bertemu dengannya waktu itu, dia membenamkan sendiri mukanya ke air danau
untuk membasahinya. Selebihnya, hanya diperlukan-tenaga sedikit saja."
"Apa yang ingin Ibu kemukakan sebenarnya" Apakah bahwa seorang wanita yang telah
melakukan perbuatan itu" Tapi itu tak mungkin semuanya itu tak mungkin. Tak
?mungkin ada musuh di dalam rumah ini. Kalau ada, pasti kita tahu. Saya pasti
tahu!" 264 "Ada kejahatan yang bersarang di dalam hati, Imhotep. Yang tak tampak di wajah."
"Maksud Ibu, salah seorang pelayan kita, atau seorang budak...?"
"Bukan seorang pelayan, bukan pula seorang budak, Imhotep."
"Salah seorang di antara kita, kalau begitu" Atau maksud Ibu, Hori atau Kameni"
Tapi Hori sudah seperti anggota keluarga sendiri, dan dia sudah membuktikan
bahwa dia setia dan dapat dipercaya. Sedangkan Kameni memang benar, dia orang
?asing, tapi dia sedarah dengan kita, dan dia telah membuktikan pengabdiannya dan
kesungguhannya bekerja padaku. Apalagi, baru tadi pagi dia datang padaku dan
mendesak agar aku merestui pernikahannya dengan Renisenb."
"Oh, sudah melamar dia rupanya?" Esa nampak berminat "Lalu apa katamu?"
"Yah, apalah yang bisa kukatakan?" Imhotep tampak kesal. "Apakah sekarang waktu
yang .tepat untuk membicarakan tentang pernikahan" Begitu kataku padanya."
"Lalu apa jawabnya?"
"Katanya, justru sekaranglah waktu yang tepat untuk berbicara soal pernikahan.
Dendam Asmara 9 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Hina Kelana 25
^