Pencarian

Mata Rantai Yang Hilang 2

Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie Bagian 2


"Ya, boleh dikatakan begitulah. Maksud saya, saya sudah mendatangi seorang ahli
hukum. Joe yang menyuruh saya pergi ke sana. Joe memang tak pernah suka pada
Jackie." "Apakah Joe suami Anda?"
"Ya. Dia bekerja di perusahaan listrik. Pekerjaannya bagus, dan dia mendapat
perhatian dari atasan-atasannya. Sudah lama dia mengatakan bahwa Jackie itu
tidak beres. Tapi, yah, saya masih kanak-kanak dan masih bodoh waktu itu.
Sedangkan Jackie punya daya tarik yang besar."
"Begitulah yang saya dengar tentang dia."
"Dia pandai sekali bergaul dengan kaum wanita - sungguh, saya tak tahu. Dia
sebenarnya tidak tampan. Saya bahkan biasa menyebutnya 'wajah monyet'. Namun dia
pintar mengambil hati orang. Tahu-tahu kita sudah melakukan segala yang
diinginkannya. Meskipun sekali-dua kali hal itu ada manfaatnya. Tak lama setelah
kami menikah umpamanya, dia mengalami kesulitan di bengkel tempatnya bekerja,
akibat sesuatu yang telah dikerjakannya atas mobil seorang pelanggan. Saya tak
pernah tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Pokoknya majikannya marah sekali.
Tapi Jackie malah mendatangi istri majikannya itu. Wanita itu sudah tua, umurnya
sudah hampir lima puluh. Tapi Jackie merayunya, mempermainkannya dengan segala
macam cara, hingga wanita itu lupa diri. Akhirnya dia mau melakukan apa saja
untuk Jackie. Dia lalu berbicara dengan suaminya. Didesaknya suaminya itu supaya
tidak menuntut Jackie kalau Jackie mengganti uangnya. Tapi suaminya tak tahu
dari mana uang itu! Istrinya sendirilah yang memberikan uang itu. Peristiwa itu
membuat kami - saya dan Jackie - tertawa geli!"
Calgary memandangi wanita muda itu dengan rasa agak jijik. "Apakah... apakah itu
begitu lucu?" "Oh, ya, saya rasa begitu. Anda tidak merasa begitu" Wah, lucu sekali! Wanita
tua seperti itu tergila-gila pada Jackie, sampai mengorek tabungan untuknya."
Calgary mendesah. Banyak hal tidak seperti yang kita bayangkan, pikirnya. Setiap
hari dia merasa makin tak senang saja pada pria ini - pria yang namanya sedang ia
usahakan dengan susah payah agar kembali bersih. Boleh dikatakan ia mulai
mengerti dan sependapat dengan pandangan yang telah membuatnya begitu terkejut
di Sunny Point. "Saya datang kemari, Mrs. Clegg," katanya, "hanya untuk melihat apakah ada
sesuatu yang bisa... yah, saya lakukan untuk menebus apa yang telah terjadi."
Maureen Clegg melihat dengan agak heran.
"Wah, Anda baik sekali," katanya. "Tapi untuk apa Anda berbuat begitu" Kami
baik-baik saja. Joe berpenghasilan cukup, dan saya punya pekerjaan sendiri. Saya
menjadi penunjuk jalan di bioskop."
"Ya, saya tahu itu."
"Bulan depan kami akan membeli televisi," kata wanita itu dengan bangga.
"Saya senang sekali mendengarnya," kata Arthur Calgary, "lebih senang daripada
yang bisa saya ucapkan, bahwa... bahwa peristiwa yang tak menyenangkan itu tidak
meninggalkan... eh, bayangan abadi pada Anda."
Makin lama rasanya makin sulit memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan pada
wanita muda yang pernah menjadi istri Jacko ini. Semua yang diucapkannya
terdengar terlalu muluk-muluk dan dibuat-buat di telinganya sendiri. Mengapa ia
tak bisa berbicara dengan wajar pada wanita muda ini"
"Saya khawatir kalau-kalau itu akan merupakan kesedihan yang luar biasa bagi
Anda." Maureen menatapnya dengan matanya yang lebar dan biru, yang sama sekali tidak
memancarkan pengertian. "Saat itu memang mengerikan sekali," katanya. "Semua tetangga membicarakannya,
dan saya susah memikirkannya, meskipun boleh saya katakan bahwa dalam keadaan
itu polisi baik sekali. Mereka berbicara pada saya dengan sopan sekali, dan
berbicara baik-baik tentang segala sesuatu."
Calgary ingin tahu apakah wanita yang dihadapinya ini punya perasaan terhadap
pria yang sudah meninggal itu. Lalu ia mengajukan suatu pertanyaan dengan
mendadak. "Apakah menurut Anda memang dia yang melakukannya?" tanyanya.
"Maksud Anda, apakah dia yang telah membunuh ibunya?"
"Ya. Itulah." "Yah, tentulah... yah... yah... ya, ada juga saya menduga begitu. Dia tentu
berkata bahwa dia tidak melakukannya, tapi kita tak pernah bisa percaya apa-apa
yang dikatakan Jackie. Dan kelihatannya itu memang perbuatannya. Soalnya, Jackie
bisa jadi jahat sekali, kalau kita menentangnya. Saya tahu bahwa saya sedang
dalam kesulitan. Dia tidak mau bicara banyak pada saya. Dia hanya memaki-maki
kalau saya bertanya padanya. Tapi hari itu dia pergi dan berkata bahwa urusannya
akan beres. Katanya ibunya pasti mau membantu. Dia harus mau. Jadi saya tentu
percaya padanya." "Saya dengar, dia tak pernah mengatakan pada keluarganya tentang pernikahannya
dengan Anda. Apakah Anda pernah bertemu dengan mereka?"
"Belum. Soalnya mereka orang-orang terkemuka, punya rumah besar segala. Saya
tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri. Jackie merasa lebih baik kalau saya
disembunyikan saja. Apalagi, katanya kalau saya dibawa ke sana, ibunya pasti
akan mengatur hidup saya maupun hidupnya. Katanya, ibunya punya pembawaan suka
mengatur orang, dan dia sudah muak. Keadaan kami sudah cukup baik, katanya."
Wanita itu tidak membayangkan rasa benci, bahkan agaknya menganggap tindakan
suaminya wajar sekali. "Saya rasa Anda terkejut sekali waktu dia ditangkap, ya?"
"Yah, tentu. Apakah dia bisa melakukan hal semacam itu" tanya saya sendiri.
Tapi, yah, kita tak bisa mengelak dari kenyataan-kenyataan. Dia selalu mengamuk
kalau ada sesuatu yang merisaukannya."
Calgary membungkukkan tubuhnya.
"Jadi, rupanya begitu persoalannya. Agaknya Anda sama sekali tidak heran, suami
Anda memukul kepala ibunya dengan sebatang besi pengorek, dan mencuri sejumlah
besar uang darinya?"
"Yah, Mr.... eh... Calgary, maafkan saya, itu kedengarannya kasar sekali. Saya
rasa dia tidak bermaksud memukul ibunya kuat-kuat. Saya rasa dia tak bermaksud
membunuh ibunya. Ibunya tak mau memberinya uang, Jackie menangkap besi itu, lalu
mengancamnya. Waktu ibunya menahannya, dia naik pitam, lalu menghantamnya. Saya
rasa dia tidak bermaksud membunuhnya. Itulah nasib buruknya. Soalnya dia sangat
membutuhkan uang itu. Dia bisa masuk penjara kalau dia tak punya uang itu."
"Jadi, Anda tidak menyalahkannya?"
"Yah, tentu saja saya menyalahkannya. Saya tidak suka perbuatan jahat yang kasar
itu. Apalagi itu ibu sendiri! Tidak, saya rasa itu sama sekali bukan perbuatan
yang baik. Saya mulai berpikir bahwa Joe benar waktu mengatakan supaya saya
tidak berhubungan dengan Jackie. Tapi... yah, begitulah. Sulit sekali bagi
seorang gadis untuk mengambil keputusan. Joe orang yang bisa diandalkan. Saya
sudah lama kenal dengannya. Jackie lain. Dia pernah mendapatkan pendidikan dan
sebagainya. Kelihatannya dia kaya raya, selalu menghambur-hamburkan uangnya.
Apalagi, seperti sudah saya katakan, dia pandai mengambil hati orang. Dia bisa
menarik hati siapa saja. Dan dia juga merayu saya. 'Kau akan menyesal, Sayang,'
kata Joe. Saya pikir dia hanya iri dan tak suka dengan kesenangan orang saja.
Tapi akhirnya Joe benar."
Calgary memandanginya. Ia ingin tahu, apakah wanita itu masih saja tak mengerti
maksud ceritanya. "Benar dalam hal apa?" tanyanya.
"Yah, karena Jackie telah mengacaukan hidup saya. Maksud saya, kami orang-orang
yang cukup terhormat. Ibu saya membesarkan kami dengan baik. Kami selalu baik-
baik saja, dan tak pernah jadi bahan gunjingan orang. Tiba-tiba suami saya
ditangkap polisi! Dan semua tetangga tahu. Semuanya diberitakan di surat-surat
kabar. Juga menjadi berita dunia. Banyak sekali wartawan datang dan bertanya
macam-macam. Semuanya itu sangat memperburuk kedudukan saya."
"Tapi, anak yang baik," kata Arthur Calgary, "sekarang Anda kan tahu bahwa dia
tidak melakukannya?"
Sesaat wajah putih yang cantik itu kelihatan bingung.
"Tentu. Saya lupa itu. Meskipun demikian... yah, maksud saya, dia memang pergi
ke sana dan mengamuk, dan mengancam pula. Bila dia tidak melakukan semuanya itu,
dia pasti tidak akan ditangkap, bukan?"
"Tidak," kata Calgary, "tidak, itu memang benar."
Mungkin anak cantik yang bodoh ini ternyata lebih realis daripadaku sendiri,
pikir Calgary. "Oh, mengerikan sekali," lanjut Maureen. "Saya tak tahu apa yang harus saya
perbuat waktu itu. Lalu kata ibu saya, sebaiknya saya segera pergi menemui
keluarganya. Mereka harus melakukan sesuatu untuk saya, kata Ibu. 'Bagaimanapun
juga kau punya hak, dan sebaiknya perlihatkan pada mereka bahwa kau ingin
membela hakmu itu.' Maka saya pun pergi. Wanita asing itu yang membukakan pintu
untuk saya. Mula-mula sulit saya meyakinkannya. Agaknya dia tak bisa mengerti.
'Tak mungkin!' katanya berulang kali. 'Tak mungkin Jacko menikah dengan Anda!'
Saya agak tersinggung. 'Kami menikah dengan sah,' kata saya. 'Bukan di kantor
catatan sipil, melainkan di gereja. Itu kemauan ibu saya!' Lalu katanya, 'Itu
tidak benar. Aku tak percaya.' Lalu Mr. Argyle datang, dan dia baik sekali.
Katanya saya tak perlu susah lagi, dan dia akan melakukan segala-galanya untuk
membela Jackie. Ditanyakannya bagaimana keadaan keuangan saya, lalu setiap
minggu saya dikiriminya tunjangan. Dan itu masih dilakukannya sampai sekarang.
Joe tak suka saya menerimanya, tapi saya katakan padanya, 'Jangan bodoh. Mereka
mampu berbuat begitu, bukan"' Waktu saya menikah dengan Joe, dia bahkan mengirim
cek. Dikatakannya bahwa dia senang sekali, dan dia berharap agar pernikahan ini
akan lebih berbahagia daripada yang terdahulu. Ya, Mr. Argyle itu memang baik
sekali." Ia menoleh waktu pintu terbuka.
"Oh, ini Joe." Joe seorang anak muda berbibir tipis dan berambut pirang. Ia menyambut
penjelasan dan perkenalan Maureen dengan dahi berkerut.
"Saya berharap urusan itu sudah selesai," katanya dengan nada tak senang.
"Maafkan saya berkata begitu, Sir. Tapi tak ada gunanya mengorek masa lalu.
Begitulah perasaan saya. Maureen tak beruntung. Hanya itu yang bisa kita
katakan." "Ya," kata Calgary. "Saya mengerti betul pandangan Anda."
"Memang," kata Joe Clegg, "seharusnya Maureen sejak semula tidak bergaul dengan
anak muda seperti itu. Saya sudah tahu bahwa dia tidak beres. Sudah banyak
cerita tentang dia. Dua kali dia pernah dijatuhi hukuman percobaan. Sekali orang
mulai begitu, mereka biasanya terus begitu. Mula-mula menggelapkan uang, lalu
menipu wanita supaya mengeluarkan uang tabungannya, dan akhirnya membunuh."
"Tapi ini bukan pembunuhan," kata Calgary.
"Itu kata Anda, Sir," kata Joe Clegg. Kedengarannya ia sama sekali tak yakin.
"Jack Argyle punya alibi yang sempurna untuk waktu, saat pembunuhan itu terjadi.
Dia berada dalam mobil saya. Saya memberi tumpangan untuk pergi ke Drymouth.
Jadi Anda lihat, Mr. Clegg, tak mungkin dia yang melakukan kejahatan itu."
"Mungkin tidak, Sir," kata Clegg. "Tapi bagaimanapun juga, sia-sia saja
mengoreknya kembali, maafkan kata-kata saya. Soalnya dia sudah meninggal, dan
tidak akan ada lagi pengaruhnya terhadapnya. Para tetangga pun mulai berceloteh
lagi, dan mulai menduga macam-macam."
Calgary bangkit. "Yah, mungkin dari segi pandangan Anda, begitulah Anda
meninjaunya. Tapi ketahuilah, Mr. Clegg, masih ada yang disebut keadilan."
"Selama ini saya menyangka sidang-sidang perkara di Inggris ini yang paling
adil." "Sistem yang terbaik sekalipun di dunia ini bisa membuat kesalahan," kata
Calgary. "Soalnya, bagaimanapun juga keadilan ada di tangan manusia, dan manusia
bisa membuat kesalahan."
Setelah meninggalkan mereka dan berjalan di jalan, Calgary merasa pikirannya
lebih terganggu daripada sebelumnya. Tidakkah sebenarnya akan lebih baik bila
ingatanku tentang hari itu tidak kembali" pikirnya. Bagaimanapun juga, seperti
kata anak muda berbibir tipis yang begitu percaya diri itu, Jacko sudah
meninggal. Ia telah pergi menghadap hakim yang tak pernah membuat kesalahan.
Apakah ia akan dikenang sebagai pembunuh atau hanya sebagai pencuri biasa, sudah
tidak akan berbeda lagi baginya.
Lalu tiba-tiba ia dilanda rasa marah. "Tapi hal itu harus ada bedanya bagi
seseorang!" pikirnya. "Seharusnya ada seseorang yang merasa senang. Mengapa
mereka semua tak senang" Wanita muda ini, yah, aku mengerti betul. Mungkin dia
pernah tergila-gila pada Jacko, tapi tak pernah mencintainya. Bahkan mungkin dia
tak bisa mencintai siapa-siapa. Tapi yang lain-lain itu. Ayahnya. Adik perempuan
itu, perawatnya... mereka semua seharusnya senang. Mereka seharusnya punya
perasaan terhadapnya, sebelum mereka ketakutan untuk diri mereka sendiri. Ya,
seharusnya ada seseorang yang memikirkannya."
II "Miss Argyle" Di meja yang kedua di sana itu."
Calgary berdiri saja beberapa saat, memperhatikannya. Gadis itu rapi, bertubuh
kecil, sangat tenang dan tampak efisien. Ia mengenakan gaun berwarna biru tua,
dengan kerah dan manset putih. Rambutnya yang berwarna hitam pekat tergelung
rapi di tengkuknya. Kulitnya gelap, lebih gelap daripada warna kulit orang
Inggris umumnya. Tulang-tulangnya pun lebih kecil. Inilah anak blasteran yang
telah diambil Mrs. Argyle menjadi anak dalam keluarganya.
Mata yang terangkat itu, membalas pandangan Calgary, juga berwarna gelap dan
polos sekali. Mata itu tidak berkata apa-apa.
Suaranya rendah dan simpatik.
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Apakah Anda Miss Argyle" Miss Christina Argyle?"
"Ya." "Nama saya Calgary, Arthur Calgary. Mungkin Anda sudah mendengar..."
"Ya, saya sudah mendengar tentang Anda. Ayah saya sudah menulis surat."
"Saya ingin sekali berbicara dengan Anda."
Gadis itu mendongak melihat jam.
"Perpustakaan ini tutup setengah jam lagi. Apakah Anda bisa menunggu sampai
waktu itu?" "Tentu. Maukah Anda ikut minum teh dengan saya di suatu tempat?"
"Ya, terima kasih." Lalu ia mengalihkan perhatiannya pada seorang pria yang
datang di belakang Calgary. "Ya" Ada yang bisa saya bantu?"
Arthur Calgary menjauh. Ia berjalan berkeliling saja, memeriksa isi rak-rak
buku, sambil terus mengawasi Tina Argyle. Gadis itu tetap saja seperti semula,
tenang, cekatan, dan tidak terganggu. Setengah jam dirasakannya lama berlalu,
tapi akhirnya lonceng berbunyi, dan gadis itu mengangguk padanya.
"Akan saya jumpai Anda dalam waktu beberapa menit."
Ia tidak membiarkan Calgary menunggu lama. Ia tidak memakai topi, hanya sehelai
mantel tebal berwarna gelap. Calgary bertanya ke mana mereka sebaiknya.
"Saya tidak begitu tahu tentang Redmyn," jelasnya.
"Di dekat Katedral ada sebuah kedai minum teh. Tempatnya tidak begitu bagus,
tapi justru karena itulah, tempat itu tidak sepenuh tempat-tempat lain."
Tak lama kemudian, mereka duduk di sebuah meja kecil. Seorang pelayan wanita
yang kelihatan malas dan bosan menanyakan pesanan mereka tanpa semangat sama
sekali. "Teh di sini tidak begitu enak," kata Tina dengan rasa bersalah. "Tapi saya
pikir mungkin Anda ingin supaya kita tak terganggu."
"Memang begitu. Saya harus menjelaskan mengapa saya mendatangi Anda. Begini.
Saya telah mendatangi anggota-anggota keluarga Anda yang lain, termasuk - izinkan
saya mengatakannya - istri, eh, janda kakak Anda, Jacko. Andalah satu-satunya
anggota keluarga yang belum saya temui. O, ya, masih ada seorang lagi, kakak
Anda yang sudah menikah."
"Anda merasa perlu menemui kami semua?"
Kata-kata itu diucapkan dengan cukup sopan, tapi dalam suaranya terdengar
semacam jarak, yang membuat Calgary merasa agak serba salah.
"Ya, bukan sekadar suatu kebutuhan sosial," jelasnya dengan nada datar. "Dan
tidak pula sekadar ingin tahu." (Benarkah itu") "Saya hanya ingin menyatakan
secara pribadi pada Anda sekalian, penyesalan saya yang sedalam-dalamnya, karena
saya telah gagal memberikan kesaksian akan kebenaran kakak Anda pada saat sidang
itu." "Oh, begitu." "Sekiranya Anda sayang padanya... Sayangkah Anda padanya?"
Gadis itu merenung sebentar, lalu berkata,
"Tidak. Saya tidak sayang pada Jacko."
"Tapi saya dengar dari semua pihak bahwa dia... punya daya tarik yang besar."
Dengan jelas, meskipun tanpa gairah, ia berkata,
"Saya tak percaya dan tak suka padanya."
"Jadi Anda tak pernah - maafkan saya - punya perasaan ragu-ragu sedikit pun bahwa
dia yang membunuh ibu Anda?"
"Tak pernah terlintas di pikiran saya bahwa ada penyelesaian lain."
Pelayan mengantarkan teh mereka. Rotinya sudah lama, selainya aneh, seperti
agar-agar, sedangkan cake-nya mengilat dan tidak mengundang selera. Tehnya
pucat.

Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Calgary menghirup tehnya, lalu berkata,
"Agaknya orang-orang memberikan keyakinan pada saya bahwa informasi yang saya
bawa ini, yang sebenarnya membebaskan kakak Anda dari tuduhan membunuh itu, akan
menimbulkan akibat yang tidak begitu menyenangkan. Bahwa itu akan membawa...
kesulitan-kesulitan baru bagi Anda semua."
"Karena perkaranya akan dibuka kembali?"
"Ya. Apakah Anda sudah memikirkannya juga?"
"Menurut ayah saya, agaknya itu sudah pasti."
"Saya menyesal. Benar-benar menyesal."
"Mengapa Anda menyesal, Dr. Calgary?"
"Saya tak suka menjadi penyebab pembawa kesusahan baru bagi Anda."
"Tapi apakah Anda merasa senang kalau Anda diam saja?"
"Soal keadilankah yang Anda pikirkan?"
"Ya. Bukankah itu yang Anda pikirkan?"
"Tentu. Bagi saya keadilan itu penting sekali. Sekarang saya jadi ingin tahu,
apakah ada hal-hal yang lebih penting daripada itu."
"Seperti?" Pikiran Calgary melayang pada Hester.
"Seperti - yang tak bersalah, mungkin."
Mata gadis itu makin polos.
"Apa yang Anda rasakan, Miss Argyle?"
Beberapa saat lamanya gadis itu diam saja, kemudian ia baru berkata,
"Saya ingat kata-kata dalam Magna Carta. Tak ada orang yang akan dibiarkan tidak
mengecap keadilan." "Oh, begitu," kata Calgary. "Jadi itu jawaban Anda."
BAB VII DR. MACMASTER seorang pria tua beralis tebal, bermata tajam, dan dagunya
menjorok ke depan. Ia bersandar ke kursinya yang usang, dan mengamati tamunya.
Ia merasa menyenangi orang yang diperhatikannya itu.
Di pihak Calgary juga ada perasaan menyukai. Boleh dikatakan untuk pertama
kalinya sejak kembali ke Inggris, ia merasa sedang berbicara dengan seseorang
yang menghargai perasaan-perasaan dan pandangannya.
"Anda telah berbaik hati mau menerima saya, Dr. MacMaster," katanya.
"Tak apa-apa," kata dokter itu. "Saya bosan setengah mati sejak saya pensiun.
Orang-orang muda dalam profesi saya menyuruh saya duduk saja di sini seperti
boneka, untuk menjaga jantung saya. Tapi jangan dikira itu wajar bagi saya. Sama
sekali tidak. Saya mendengarkan radio, tapi saya kebisingan, lalu kadang-kadang
pengurus rumah tangga menganjurkan supaya saya nonton televisi, tapi... ah,
silau. Saya orang sibuk. Sepanjang hidup saya harus bekerja dan tak suka duduk
diam. Membaca meletihkan mata saya. Jadi tak usah meminta maaf karena meminta
waktu saya." "Yang pertama-tama saya ingin Anda mengerti adalah mengapa saya masih berdaya
upaya dalam semua ini," kata Calgary. "Saya rasa, secara logis saya sudah harus
puas karena sudah mengerjakan apa yang harus saya lakukan - yaitu menceritakan
tentang gegar otak saya dan keadaan kehilangan kesadaran saya yang menjengkelkan
itu. Dan saya telah membuktikan bahwa anak itu tak bersalah. Setelah itu, satu-
satunya hal yang paling bijak dan wajar yang seharusnya saya lakukan adalah
pergi dan mencoba melupakan semuanya. Benar begitu, bukan?"
"Tergantung," kata Dr. MacMaster. "Adakah sesuatu yang menyusahkan Anda?"
tanyanya dalam keadaan hening yang menyusul.
"Ada," sahut Calgary. "Semuanya menyusahkan saya. Soalnya, berita yang saya
sampaikan tidak diterima sebagaimana yang saya harapkan."
"Oh, begitu," kata Dr. MacMaster. "Itu tidak aneh. Itu terjadi setiap hari. Kita
menyiapkan sesuatu dalam pikiran kita sebelumnya, apa saja, entah itu konsultasi
dengan seorang dokter lain, lamaran menikah dengan seorang gadis, atau berbicara
dengan seorang teman sebelum masuk ke sekolah kembali. Tahu-tahu pada saatnya,
tak pernah terjadi seperti yang kita duga. Padahal kita sudah memikirkannya,
semua yang akan kita katakan, dan biasanya sudah pula kita karang apa-apa
jawabannya nanti. Nah, itulah yang setiap kali mengecewakan kita. Jawabannya
ternyata tak pernah seperti yang kita duga. Saya rasa itu yang merisaukan Anda,
ya?" "Ya," kata Calgary.
"Apa yang Anda harapkan" Anda mengharapkan mereka semua menyambut Anda dengan
senang hati?" "Saya mengharapkan..." - ia berpikir sebentar - "tudingan" Mungkin. Rasa benci"
Barangkali. Tapi juga rasa terima kasih."
MacMaster menggeram. "Ternyata tak ada rasa terima kasih itu, dan tidak pula ada
rasa benci seperti yang Anda duga?"
"Ya, begitulah," Calgary mengakui.
"Itu karena Anda tak tahu keadaannya sebelum Anda berada di sana. Mengapa
sebenarnya Anda mendatangi saya?"
Lambat-lambat Calgary berkata,
"Karena saya ingin mengerti lebih banyak tentang keluarga itu. Saya hanya ingin
tahu kenyataan-kenyataan yang diketahui pula oleh umum. Almarhumah seorang
wanita yang sangat baik dan tidak memikirkan diri sendiri, yang melakukan yang
terbaik bagi anak-anak angkatnya. Seorang wanita berjiwa kemanusiaan dan
berwatak baik. Dan sebaliknya, ada seorang anak yang biasa disebut anak yang
sulit - seorang anak yang salah jalan. Anak muda berandal. Hanya itu yang saya
ketahui. Saya tak tahu apa-apa lagi. Saya tak tahu apa-apa tentang Mrs. Argyle
sendiri." "Anda benar sekali," kata MacMaster. "Anda telah menyinggung soal yang ada
artinya. Tahukah Anda, bila kita pikirkan, itulah yang selalu merupakan bagian
menarik dari setiap pembunuhan. Bagaimana sebenarnya orang yang terbunuh itu.
Semua orang selalu sibuk menanyakan bagaimana pikiran si pembunuh. Mungkin Anda
berpikiran bahwa Mrs. Argyle seorang wanita yang seharusnya tak boleh dibunuh."
"Saya rasa semua orang berpikiran begitu."
"Secara etis, Anda benar sekali," kata MacMaster. "Tapi tahukah Anda?" Ia
menggosok-gosok hidungnya. "Orang Cina berpendapat bahwa jasa-jasa baik harus
dianggap dosa, bukan suatu kebaikan. Pendapat itu ada benarnya. Jasa baik banyak
akibatnya bagi orang. Bila kita berbuat baik terhadap seseorang, kita jadi
merasa baik hati terhadapnya. Kita menyukainya. Tapi orang yang telah menerima
jasa baik itu, apakah dia merasa senang pula pada kita" Apakah dia benar-benar
suka pada kita" Seharusnya dia tentu begitu. Tapi, apakah begitu pula yang
dirasakannya" "Yah," kata dokter itu lagi, setelah berhenti sebentar. "Begitulah keadaannya.
Mrs. Argyle boleh disebut ibu yang hebat. Tapi dia melakukan kebaikan itu dengan
berlebihan. Itu sudah pasti. Apakah itu memang keinginannya, atau dia benar-
benar mencoba berbuat begitu?"
"Mereka semua bukan anak-anak kandungnya, bukan?" Calgary mengingatkan.
"Bukan," kata MacMaster. "Saya rasa justru karena itulah timbul kesulitan. Kita
lihat saja seekor induk kucing yang biasa. Dia melahirkan, melindungi anak-
anaknya dengan hebat sekali, dan akan dicakarnya setiap orang yang mendekati
anak-anak itu. Tapi kira-kira seminggu kemudian, dia mulai menjalani hidup
seperti biasa lagi. Dia pergi, berburu sedikit, tidak lagi terus-menerus berada
di dekat anak-anaknya. Dia masih tetap melindunginya bila ada yang menyerang
anak-anak itu, tapi dia tidak lagi menjaga mereka mati-matian sepanjang waktu.
Dia akan bermain sedikit dengan mereka. Kalau mereka agak terlalu kasar, dia
berbalik pada mereka dan memukul mereka, dan mengatakan bahwa dia tak mau
diganggu terlalu banyak. Pokoknya, dia kembali pada alam. Dan dengan tumbuhnya
anak-anak itu, makin lama makin kurang dia mengurus mereka. Pikirannya makin
lama makin tertuju lagi pada si jantan tampan di sekitar tempat itu. Itulah yang
bisa kita sebut pola yang wajar dalam kehidupan seekor betina. Saya banyak
melihat gadis-gadis dan wanita-wanita yang memiliki naluri keibuan yang kuat,
yang ingin sekali menikah hanya karena dorongan untuk menjadi ibu, meskipun
mungkin mereka tak menyadarinya. Lalu mereka melahirkan, mereka berbahagia dan
merasa puas. Maka kehidupan pun kembali pada keadaan semula bagi mereka. Mereka
bisa memberikan perhatian pada suami mereka, kejadian-kejadian setempat, dan
gunjingan-gunjingan yang sedang beredar, dan tentu juga anak-anak mereka. Tapi
semuanya berjalan dengan seimbang. Pokoknya, naluri keibuannya dalam pengertian
fisik sudah terpuaskan. "Nah, pada Mrs. Argyle, naluri keibuan itu kuat sekali, tapi kepuasan fisik
untuk melahirkan seorang anak atau anak-anak tak pernah didapatnya. Jadi obsesi
keibuannya tak pernah benar-benar berkurang. Dia ingin anak, banyak anak. Dia
tak pernah merasa bosan dengan anak-anak. Seluruh pikirannya untuk anak-anak
itu, siang dan malam. Suaminya tidak berarti lagi. Pria itu tinggal di belakang
saja. Ya, segala-galanya untuk anak-anak. Memberi mereka makan, pakaian, bermain
dengan mereka, segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Terlalu banyak
yang dilakukannya untuk mereka. Satu-satunya yang tidak diberikannya pada mereka
adalah sedikit mengabaikan mereka, yang sebenarnya sangat mereka butuhkan dan
justru akan baik bagi mereka. Mereka tidak dibiarkan keluar kebun dan bermain
seperti anak-anak biasa di desa. Tidak, mereka diberi segala macam peralatan,
alat memanjat tiruan, batu-batu loncatan, rumah-rumah yang dibangun di pohon,
khusus dibelikan pasir dan dibuatkan pantai tiruan di tepi sungai. Makanan
mereka bukan makanan biasa. Sayur mereka pun harus disaring sampai mereka
berumur lima tahun. Susu mereka harus disterilkan, dan airnya dites. Kalori
makanannya harus ditimbang dan vitaminnya diperhitungkan! Ingat, saya berbicara
ini tidak sebagai orang awam. Mrs. Argyle sendiri tak pernah menjadi pasien
saya. Bila dia memerlukan dokter, dia pergi ke salah seorang dokter di Harley
Street Meskipun dia tak perlu sering pergi. Dia bertubuh tegap dan sehat.
"Tapi saya dokter setempat yang dipanggil untuk memeriksa anak-anaknya. Menurut
dia, saya agak meremehkan kesehatan anak-anak itu. Soalnya saya katakan padanya
supaya membiarkan mereka makan sedikit buah liar blackberry yang tumbuh di
pagar-pagar. Saya katakan, mereka tidak akan sakit bila kaki mereka dibiarkan
basah sedikit, dan kita boleh saja membiarkan mereka masuk angin sedikit. Dan
tidaklah berbahaya benar bila seorang anak demam dengan suhu badan 37,2 derajat.
Bahwa kita tak perlu khawatir sebelum suhunya melebihi 38,3 derajat. Anak-anak
itu terlalu dimanjakan, disuapi, diurus, dan disayangi, padahal dalam banyak
hal, itu tak baik bagi mereka."
"Maksud Anda, itu tak baik bagi Jacko?" kata Calgary.
"Oh, saya tidak hanya mengingat Jacko. Menurut saya, Jacko itu sudah ada
kelainan sejak kecil. Dengan istilah modern, anak seperti itu disebut 'anak yang
kacau'. Keluarga Argyle berusaha dengan segenap tenaga untuknya, mereka
melakukan segala-galanya yang bisa dilakukan. Selama hidup, saya sudah banyak
melihat anak-anak seperti Jacko itu. Di kemudian hari, setelah anak itu tak
tertolong lagi, orangtuanya akan berkata, 'Alangkah baiknya kalau aku lebih
keras terhadapnya waktu dia masih kecil,' atau sebaliknya mereka berkata, 'Aku
terlalu keras terhadapnya, alangkah baiknya kalau aku lebih baik padanya dulu.'
Menurut saya, semua itu tak ada gunanya. Ada anak-anak yang menjadi jahat karena
keluarga mereka tidak beres, dan pada dasarnya mereka tidak merasa disayangi.
Ada pula yang menjadi jahat karena memang dengan tekanan sedikit saja mereka
sudah menjadi jahat. Saya menggolongkan Jacko pada golongan yang kedua itu."
"Jadi Anda tidak terkejut," kata Calgary, "waktu dia ditangkap karena membunuh?"
"Terus terang saya terkejut. Bukan karena pembunuhan itu tak mungkin dilakukan
Jacko. Dia anak muda yang tak punya hati nurani. Tapi caranya melakukan
pembunuhan itu yang mengejutkan saya. Oh, saya tahu bahwa dia penaik darah dan
sebagainya. Waktu masih kecil, dia sering menyerang anak-anak lain, atau
memukulnya dengan mainannya yang berat atau dengan sepotong kayu. Tapi itu
biasanya dilakukannya terhadap anak-anak yang lebih kecil, dan biasanya itu
bukan karena kemarahan yang luar biasa, melainkan sekadar ingin menyakiti atau
mau mendapatkan apa yang diinginkannya. Pembunuhan yang dilakukan Jacko, yang
lebih masuk akal saya, bila itu memang dilakukannya, adalah cara yang lebih
pengecut. Umpamanya, beberapa anak mengadakan pengeroyokan, lalu polisi datang,
dan anak-anak seperti Jacko berkata, 'Hantam kepalanya, Bung. Biar dia rasakan.
Tembak dia.' Mereka menyukai pembunuhan, siap menghasut orang untuk membunuh,
tapi mereka tak punya keberanian untuk membunuh dengan tangan mereka sendiri.
Menurut saya, cara yang pertama itu lebih masuk akal dilakukan Jacko. Sekarang
ternyata dugaan saya memang benar," lanjut dokter itu.
Calgary menunduk, menatap alas lantai, sehelai karpet yang sudah usang, yang
polanya hampir tak kelihatan lagi.
"Saya tak tahu," katanya, "apa yang sedang saya hadapi. Saya tak menyadari akan
berarti apa tindakan saya itu bagi yang lain. Saya tak tahu bahwa itu mungkin -
bahkan pasti..." Dokter itu mengangguk dengan halus.
"Ya," katanya. "Kelihatannya begitu, ya" Kelihatannya Anda telah meluruskan
keadaan di tengah-tengah mereka."
"Saya rasa," kata Calgary, "untuk membicarakan itulah sebenarnya saya
mengunjungi Anda. Kelihatannya tak ada motif yang jelas pada salah seorang di
antara mereka untuk membunuhnya."
"Kelihatannya memang tak ada," dokter itu membenarkan. "Tapi kalau Anda melihat
ke balik yang nyata itu... oh, saya rasa Anda akan melihat banyak alasan mengapa
seseorang mungkin ingin membunuhnya."
"Mengapa?" tanya Calgary.
"Anda benar-benar merasa itu urusan Anda, bukan?"
"Saya rasa begitu. Mau tak mau, saya merasa begitu."
"Kalau saya jadi Anda, mungkin saya akan merasa begitu pula. Entahlah. Tapi yang
ingin saya katakan pada Anda adalah bahwa mereka semua tak punya kepribadian
sendiri-sendiri, selama ibu mereka - untuk mudahnya saya sebut saja dia begitu -
masih hidup. Sampai dewasa pun dia masih mengendalikan hidup mereka semua."
"Dalam hal apa?"
"Dalam hal keuangan misalnya, dia masih memberi mereka uang. Dalam jumlah besar.
Mereka diberi tunjangan. Uang itu dibagikan pada mereka dengan perimbangan yang
baik menurut para anggota trust. Meskipun Mrs. Argyle sendiri bukan anggota
trust itu, namun semua keinginannya dilaksanakan selama dia masih hidup." Orang
tua itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi,
"Sebenarnya menarik juga melihat bagaimana semuanya mencoba membebaskan diri.
Bagaimana mereka berjuang untuk menentang pola yang telah diaturnya untuk
mereka. Wanita itu memang sudah mengatur suatu pola, pola yang bagus sekali. Dia
ingin memberi mereka rumah yang baik, pendidikan yang baik, tunjangan yang besar, dan suatu awal yang baik dalam suatu pekerjaan yang dipilihkannya pula untuk
mereka. Dia ingin memperlakukan mereka seolah-olah mereka anak-anak kandungnya
dan Leo Argyle sendiri. Padahal anak-anak itu punya naluri sendiri, perasaan
sendiri, kemampuan otak dan tuntutan-tuntutan yang sangat berlainan. Si Micky
sekarang bekerja sebagai petugas penjualan mobil. Hester boleh dikatakan lari
dari rumah untuk naik pentas. Dia jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali
tak berarti, dan dia ternyata sama sekali bukan seorang aktris yang baik. Dia
terpaksa pulang kembali. Dan dia terpaksa mengakui - padahal dia tak suka mengaku -
bahwa ibunya benar. Mary Durrant bersikeras menikah dalam perang, dengan seorang
pria yang tak berkenan di hati ibunya. Dia seorang pria muda pemberani dan
cerdas, tapi buta dalam bidang bisnis. Lalu dia terserang penyakit polio. Dalam
rangka pemulihannya, dia dibawa ke Sunny Point. Mrs. Argyle mendesak agar mereka
menetap di sana. Si suami mau saja. Tapi Mary Durrant tetap menolak mati-matian.
Dia ingin memiliki sendiri rumah dan suaminya. Tapi dia pasti akan menyerah
juga, seandainya ibunya tidak meninggal.
"Micky, anak laki-laki yang seorang lagi, adalah pemuda yang cepat tersinggung.
Dia menjadi orang yang getir dan penuh kebencian karena merasa telah disia-
siakan ibu kandungnya. Waktu masih anak-anak pun dia sudah membenci keadaan itu,
dan hal itu tak pernah teratasinya sampai sekarang. Saya rasa dalam hatinya dia
selalu membenci ibu angkatnya.
"Lalu ada wanita pemijat yang dari Swedia itu. Dia tak suka pada Mrs. Argyle.
Dia sayang sekali pada anak-anak, dan suka sekali pada Leo. Dia menerima banyak
pemberian dari Mrs. Argyle, dan mungkin mencoba untuk berterima kasih, tapi tak
berhasil. Tapi saya rasa tak mungkin perasaan-perasaan tak sukanya itu sampai
menyebabkannya menghantam kepala orang yang telah berbuat baik padanya dengan
sebatang besi pengorek. Lagi pula, bukankah dia bisa saja pergi setiap saat"
Mengenai Leo Argyle..."
"Ya. Bagaimana dengan dia?"
"Dia akan menikah lagi," kata Dr. MacMaster, "dan dia beruntung. Wanita muda itu
baik sekali. Dia berhati hangat, baik, teman bicara yang menyenangkan, dan
sangat mencintainya. Sudah lama. Bagaimana perasaan gadis itu terhadap Mrs.
Argyle" Mungkin Anda bisa menebaknya sendiri. Kematian Mrs. Argyle tentu akan
mempermudah persoalan. Leo Argyle bukan seorang pria yang mau pacaran dengan
sekretarisnya di bawah satu atap dengan istrinya. Dan saya rasa dia juga tidak
akan mau meninggalkan istrinya."
Lambat-lambat Calgary berkata,
"Saya sudah bertemu dengan mereka berdua, dan sudah bercakap-cakap dengan
mereka. Saya rasa tak mungkin salah seorang di antara mereka..."
"Saya tahu," kata MacMaster. "Memang tak masuk akal kita, ya" Tapi bagaimanapun
juga, salah seorang di rumah itu yang melakukannya."
"Anda yakin itu?"
"Saya tak tahu apa lagi yang harus kita duga. Polisi boleh dikatakan sudah yakin
bahwa itu bukan perbuatan orang luar, dan mungkin polisi benar."


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi yang mana?" kata Calgary.
MacMaster mengangkat bahu. "Pokoknya kita tak tahu."
"Anda sendiri tak tahu, meskipun Anda kenal baik dengan mereka?"
"Kalaupun saya tahu, tidak akan saya beritahukan pada Anda," kata MacMaster.
"Soalnya, apa untungnya bagi Anda" Kecuali kalau ada faktor yang luput dari
penglihatan saya, rasanya tak seorang pun di antara mereka pembunuhnya.
Sebaliknya, tak ada pula di antara mereka yang bisa saya kecualikan. Pokoknya,"
lanjutnya lambat-lambat, "menurut saya, kita tak akan pernah tahu. Polisi pasti
akan menanyai orang-orang. Mereka berusaha, tapi untuk mendapatkan bukti setelah
sekian lama, dan atas dasar yang begitu lemah..." Ia menggeleng. "Tidak, saya
rasa kebenaran tentang hal itu tidak akan pernah diketahui. Anda bukannya tak
tahu adanya beberapa perkara yang seperti itu. Kita sering membaca berita-berita
begitu. Sejak lima puluh atau seratus tahun yang lalu, selalu ada saja perkara-
perkara yang pelakunya seorang dari tiga atau empat atau lima orang, tapi tak
cukup bukti. Dan tak seorang pun pernah bisa mengatakannya."
"Apakah menurut Anda begitu pula yang akan terjadi dalam hal ini?"
"Ya. Ah," kata MacMaster, "ya, begitulah." Ia menatap Calgary dengan pandangan
tajam. "Dan itulah yang mengerikan, bukan?" katanya.
"Mengerikan," kata Calgary, "untuk yang tak bersalah. Itulah yang dikatakannya
pada saya." "Siapa" Siapa mengatakan apa pada Anda?"
"Gadis itu - Hester. Katanya, saya tak mengerti bahwa yang tak bersalahlah yang
harus dipikirkan. Sama seperti kata Anda. Bahwa kita takkan pernah tahu..."
"...siapa yang tak bersalah?" Dokter menyelesaikan kalimat Calgary. "Ya,
alangkah baiknya bila kita tahu kebenarannya. Meskipun tidak sampai terjadi
penangkapan atau sidang atau keputusan hukuman. Asal kita tahu saja. Karena
kalau begitu..." Ia diam.
"Ya?" tanya Calgary.
"Selesaikan sendirilah," kata Dr. MacMaster. "Tidak, saya tak perlu
mengatakannya. Anda sendiri sudah tahu."
Ia berkata lagi, "Saya jadi teringat. Anda tentu tahu perkara Bravo itu - sudah hampir seratus
tahun yang lalu. Tapi orang masih menulis tentang perkara itu. Kasus itu jelas
sekali. Si istri yang menjadi terdakwa sebagai pelakunya, lalu diduga Mrs. Cox
yang melakukannya, atau Dr. Gully - atau bahkan dikatakan bahwa Charles Bravo
telah minum racun, meskipun hasil pemeriksaan mayat tidak mengatakan begitu.
Semua teori itu bisa diterima, tapi sampai sekarang tak seorang pun pernah tahu
yang sebenarnya. Maka Florence Bravo, yang telah dikucilkan keluarganya,
meninggal seorang diri gara-gara terlalu banyak minum minuman keras, dan Mrs.
Cox yang diasingkan bersama tiga anaknya yang masih kecil-kecil, sampai hari
tuanya masih hidup dengan dugaan sebagai pembunuh oleh orang-orang yang
dikenalnya. Sedangkan Dr. Gully, profesi maupun namanya hancur dalam pergaulan.
"Ada orang yang bersalah - dan berhasil lolos. Sedangkan yang lain-lain, yang tak
bersalah - tak bisa lolos, dan harus menderita."
"Itu tak boleh terjadi dalam hal ini," kata Calgary. "Tak boleh!"
BAB VIII HESTER ARGYLE sedang memandangi dirinya di cermin. Ia tidak merasa dirinya
cantik. Pandangannya lebih banyak mengandung pertanyaan yang dilatarbelakangi
rasa rendah diri seseorang yang tak pernah merasa yakin benar akan dirinya.
Ditariknya rambutnya dari dahi, ditariknya ke suatu sisi, lalu ia mengerutkan
dahi melihat hasilnya. Lalu waktu suatu wajah lain muncul di belakangnya di
cermin, ia terkejut, tersentak, lalu berputar ngeri.
"Aduh," kata Kirsten Lindstrom, "kau ketakutan!"
"Apa maksudmu ketakutan, Kirsty?"
"Kau takut padaku. Kaukira aku diam-diam datang dari belakangmu, dan mungkin aku
akan menyerangmu." "Aduh, Kirsty, jangan begitu bodoh. Aku sama sekali tak punya pikiran seperti
itu." "Pasti ada," Kata Kirsten. "Dan kau tak salah berpikiran begitu. Melihat
bayangan-bayangan, tersentak bila melihat sesuatu yang tidak begitu kaumengerti.
Karena dalam rumah ini memang ada sesuatu yang harus ditakuti. Sekarang kita
tahu itu." "Bagaimanapun juga, Kirsty sayang," kata Hester, "aku kan tak perlu takut pada
kau!" "Bagaimana kau tahu itu?" kata Kirsten Lindstrom. "Belum lama ini aku membaca di
surat kabar tentang seorang wanita yang telah bertahun-tahun hidup dengan
seorang wanita lain. Lalu pada suatu hari tiba-tiba dia membunuh teman
serumahnya itu. Wanita itu dicekiknya. Dia mencoba mengorek matanya keluar.
Mengapa" Wanita itu mengatakan dengan halus pada polisi bahwa teman serumahnya
itu sedang dirasuki setan. Dia pernah melihat pandangan setan terpancar dari
matanya, dan dia insaf bahwa dia harus kuat dan berani membunuh setan itu!"
"Oh, ya, aku ingat cerita itu," kata Hester. "Tapi wanita itu gila."
"Ya," Kata Kirsten, "tapi dia sendiri tak tahu bahwa dia gila. Dan bagi orang-
orang di sekitarnya, dia tidak kelihatan gila, karena tak seorang pun tahu apa
yang berkecamuk dalam pikirannya yang kacau itu. Jadi kukatakan padamu, kau pun
tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku. Mungkin saja aku gila. Mungkin
saja aku mengira bahwa ibumu kafir, lalu aku membunuhnya."
"Tapi, Kirsty, itu omong kosong! Omong kosong belaka."
Kirsten mendesah, lalu duduk.
"Ya," akunya, "itu omong kosong. Aku sayang sekali pada ibumu. Dia selalu baik
padaku. Tapi yang ingin kukatakan padamu, Hester, dan yang kuingin kau mengerti
adalah, kau tak bisa berkata 'omong kosong' tentang segala-galanya dan pada
setiap orang. Kau tak bisa percaya begitu saja padaku atau pada siapa pun juga."
Hester berpaling dan memandangi wanita itu.
"Aku jadi merasa bahwa kau serius," katanya.
"Aku memang sedang serius sekali," kata Kirsten. "Kita semua harus serius, dan
kita harus membuka diri. Tak baik berpura-pura bahwa tak pernah terjadi apa-apa.
Orang yang datang kemari itu, alangkah baiknya kalau dia tidak datang. Tapi dia
sudah datang, dan dia telah menjelaskan bahwa Jacko bukan pembunuh. Baiklah
kalau begitu. Jadi pembunuhnya orang lain, dan itu pastilah seorang di antara
kita." "Tidak, Kirsty, tidak. Dia pasti seseorang yang..."
"Yang apa?" "Yah, yang ingin mencuri sesuatu, atau yang punya rasa dendam terhadap Ibu,
entah dengan alasan apa, di masa lalu."
"Kaupikir ibumu mau menyuruh masuk orang itu?"
"Mungkin saja," kata Hester. "Kau kan tahu bagaimana Ibu. Bila seseorang datang
dengan kisah nasib buruk, bila seseorang datang menceritakan padanya mengenai
seorang anak yang disia-siakan atau diperlakukan dengan buruk, tak mungkinkah
Ibu menyuruhnya masuk, membawanya ke kamarnya, dan mendengarkan penuturannya?"
"Kupikir sangat tak mungkin," kata Kirsten. "Sekurang-kurangnya, kurasa tak
mungkin ibumu duduk saja di meja, membiarkan orang itu mengambil besi pengorek,
dan memukul tengkuknya. Tidak. Dia pasti dalam keadaan tenang, percaya penuh,
bersama seseorang yang dikenalnya dalam kamar itu."
"Alangkah baiknya kalau kau tidak berpikiran begitu, Kirsty," seru Hester.
"Aduh, kau jadi membawa orang itu begitu dekat, terasa begitu akrab."
"Karena dia memang dekat, memang akrab. Tidak, aku tidak akan berkata apa-apa
lagi sekarang. Tapi aku sudah memberimu peringatan bahwa meskipun kupikir kau
kenal betul pada seseorang, meskipun kau mengira bisa mempercayainya, jangan kau
merasa yakin. Jadi waspadalah terhadap aku, terhadap Mary, terhadap Micky, dan
terhadap Gwenda Vaughan."
"Bagaimana aku bisa tinggal di sini terus dan mencurigai semua orang?"
"Kalau kau mau mendengar nasihatku, akan lebih baik kalau kau meninggalkan rumah
ini." "Sekarang aku tak bisa."
"Mengapa tidak" Karena dokter muda itu?"
"Aku tak tahu apa maksudmu, Kirsty." Pipi Hester menjadi merah.
"Maksudku Dr. Craig. Dia memang pria muda yang baik sekali. Seorang dokter yang
cukup baik, ramah, dan tahu kewajibannya. Untung kau tidak mendapatkan orang
yang tak sebaik itu. Tapi bagaimanapun juga, kurasa akan lebih baik lagi kalau
kau meninggalkan tempat ini dan pergi."
"Semuanya itu omong kosong," seru Hester dengan marah, "omong kosong, omong
kosong, omong kosong. Aduh, alangkah baiknya kalau Dr. Calgary tak pernah
datang." "Aku pun merasa begitu," kata Kirsten, "dengan sepenuh hatiku."
II Leo Argyle menandatangani surat terakhir yang telah diletakkan Gwenda Vaughan di
depannya. "Yang terakhirkah itu?" tanyanya.
"Ya." "Hari ini kita cepat selesai."
Beberapa lama kemudian, setelah Gwenda menempelkan prangko dan menyusun surat-
surat itu, ia bertanya, "Apakah belum saatnya kau bepergian ke luar negeri?"
"Bepergian ke luar negeri?"
Leo Argyle agak heran terdengar, kata Gwenda,
"Ya. Tak ingatkah kau bahwa kau berencana pergi ke Roma dan Siena?"
"Oh, ya, ya, aku ingat."
"Kau akan pergi untuk melihat dokumen-dokumen dari arsip yang diberitahukan
Kardinal Massilini dalam suratnya padamu."
"Ya, aku ingat."
"Sudah bolehkah aku memesankan tempat di pesawat terbang, atau kau lebih suka
pergi naik kereta api?"
Leo menoleh pada gadis itu, seolah-olah baru kembali dari perjalanan jauh. Ia
tersenyum kecil. "Kelihatannya kau ingin sekali aku pergi dari sisimu, Gwenda," katanya.
"Oh, tidak, Sayang, bukan begitu."
Cepat-cepat ia menyeberangi ruangan itu, lalu berlutut di samping Leo.
"Tak pernah aku berkeinginan kau meninggalkan aku, tidak akan pernah. Tapi...
tapi kupikir... oh, kupikir akan lebih baik kalau kau pergi dari sini,
setelah... setelah..."
"Setelah minggu yang lalu?" kata Leo. "Setelah kunjungan Dr. Calgary itu?"
"Alangkah baiknya kalau dia tak pernah datang," kata Gwenda. "Alangkah baiknya
bila keadaan dibiarkan saja seperti sediakala."
"Dengan Jacko dihukum atas tuduhan sesuatu yang tidak dilakukannya?"
"Mungkin memang dia yang melakukannya," kata Gwenda. "Dia bisa saja melakukannya
setiap saat, dan kurasa suatu kebetulan saja dia tidak melakukannya."
"Aneh," kata Leo sambil merenung. "Aku tak pernah yakin benar bahwa dia yang
melakukannya. Maksudku, aku memang harus mengakui bukti-bukti yang ada, tapi
rasanya sangat tak masuk akal."
"Mengapa" Bukankah dia memang penaik darah?"
"Ya, itu memang benar. Dia suka menyerang anak-anak lain. Biasanya anak-anak
yang lebih kecil daripadanya. Aku tak pernah yakin benar bahwa dialah yang
menyerang Rachel." "Mengapa tidak?"
"Karena dia takut pada Rachel," kata Leo. "Kau kan tahu bahwa Rachel punya
wibawa besar sekali. Dan seperti juga yang lain-lain, Jacko merasakan benar
wibawa itu." "Tapi apakah kau tidak menduga," kata Gwenda, "bahwa justru karena itu -
maksudku..." Ia lalu diam.
Leo melihat padanya dengan pandangan bertanya. Sesuatu dalam pandangannya itu
membuat wajah Gwenda memerah. Ia berbalik, pergi ke perapian, lalu berlutut di
depannya sambil mengulurkan tangannya ke arah nyala api. Ya, pikirnya. Rachel
memang punya wibawa besar. Dia merasa senang sendiri, sangat percaya diri, tak
ubahnya seperti seekor ratu lebah yang menguasai kami semua. Apakah itu tak
cukup menimbulkan keinginan seseorang untuk menyerangnya, menutup mulutnya untuk
selama-lamanya" Rachel selalu benar, Rachel selalu paling tahu, segala sesuatu
selalu terjadi menurut keinginan Rachel.
Tiba-tiba ia bangkit. "Leo," katanya, "tak bisakah kita... tak bisakah kita menikah secepatnya, tak
perlu menunggu sampai bulan Maret?"
Leo memandanginya. Ia diam sebentar, lalu berkata,
"Tidak, Gwenda, tidak. Kurasa itu bukan suatu rencana yang baik."
"Mengapa tidak?"
"Kurasa," kata Leo, "tak baik tergesa-gesa melakukan sesuatu."
"Apa maksudmu?"
Gwenda mendatanginya lagi. Ia berlutut lagi di dekat Leo.
"Leo, apa sebenarnya maksudmu" Kau harus mengatakannya padaku."
Kata Leo, "Sayangku, aku hanya berpendapat, seperti kataku, tak baik kalau kita melakukan
sesuatu dengan tergesa-gesa."
"Tapi kita kan tetap menikah dalam bulan Maret seperti rencana kita, ya?"
"Kuharap begitu. Ya, kuharap begitu."
"Kau sepertinya tak yakin. Leo, apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?"
"Aduh, sayangku." Leo meletakkan tangannya ke pundak Gwenda. "Tentu saja aku
menyayangimu. Kau segala-galanya bagiku di dunia ini."
"Nah, kalau begitu," kata Gwenda tak sabar.
"Tidak." Leo bangkit. "Belum! Tidak sekarang. Kita harus menunggu. Kita harus
yakin dulu." "Yakin mengenai apa?"
Leo tak menjawab. Gwenda berkata lagi,
"Kau kan tak menduga... masa kau mengira..."
"Tidak, aku tidak menduga apa-apa."
Pintu terbuka, dan Kirsten Lindstrom masuk, membawa sebuah nampan yang
diletakkannya di meja kerja.
"Ini teh Anda, Mr. Argyle. Apakah kau ingin tehmu kubawakan kemari juga, Gwenda"
Atau kau mau minum bersama yang lain di lantai bawah?"
Gwenda menjawab, "Aku akan turun ke ruang makan. Surat-surat ini kubawa, ya" Soalnya harus
dikirim." Dengan tangan agak gemetar diambilnya surat-surat yang baru ditandatangani Leo,
lalu ia keluar membawanya. Kirsten Lindstrom memandanginya dari belakang, lalu
ia menoleh ke arah Leo. "Apa yang telah Anda katakan padanya?" tanyanya. "Apa yang telah Anda lakukan
sampai dia jadi sedih begitu?"
"Bukan apa-apa," kata Leo. Suaranya terdengar letih. "Sama sekali bukan apa-
apa." Kirsten Lindstrom mengangkat bahu, lalu keluar dari ruangan itu tanpa berkata
sepatah pun lagi. Namun kritiknya yang tak kelihatan dan tak diucapkan masih
tetap terasa. Sambil mendesah, Leo bersandar di kursinya. Ia merasa letih
sekali. Dituangnya tehnya, tapi tidak diminumnya. Ia duduk saja di kursinya,
menatap tanpa melihat apa-apa ke seberang ruangan. Pikirannya dipenuhi bayangan
masa lalu. *** Organisasi sosial yang diminatinya di East End di London. Di sanalah untuk
pertama kalinya ia bertemu dengan Rachel Konstam. Kini serasa terlihat jelas
bayangan Rachel di mata hatinya. Ia seorang gadis dengan tinggi sedang, bertubuh
tegap. Ia suka mengenakan pakaian yang saat itu tak berkenan di hatinya. Yaitu
pakaian mahal, tapi dipakai dengan cara sembrono. Wajahnya bulat dan serius,
berhati hangat, bergairah hidup, dan kepolosannya sangat menarik hati. Rachel
mengucapkan kata-kata dengan penuh semangat dan agak kacau. Katanya banyak
sekali yang harus dilakukan, banyak sekali yang pantas dikerjakan. Dan meskipun
ia sendiri berpembawaan ironis, hingga merasa ragu apakah pekerjaan yang pantas
dilakukan itu selalu berhasil sebagaimana seharusnya, ia pun membenarkannya.
Tapi Rachel tak punya keraguan semacam itu. Bila kita mengerjakan apa saja, bila
suatu badan diberi sumbangan, hasil-hasil perbuatan baik itu otomatis akan
menyusul. Kini disadarinya bahwa Rachel tak pernah memperhatikan unsur kemanusiaan. Ia
selalu memandang manusia sebagai suatu persoalan, sebagai masalah yang harus
ditangani. Tak pernah disadarinya bahwa setiap manusia itu berbeda, selalu
bereaksi dengan cara berlainan, dan memiliki ciri-ciri khas masing-masing. Ia
ingat, waktu itu ia mengatakan pada Rachel supaya tidak berharap terlalu banyak.
Tapi Rachel selalu berharap terlalu banyak, dan selalu membantah peringatan-
peringatannya. Rachel selalu berharap terlalu banyak, dan kemudian selalu merasa
kecewa. Boleh dikatakan ia langsung jatuh cinta pada Rachel, dan ia terkejut
sekali mendapati bahwa Rachel putri seorang kaya raya.
Mereka telah merencanakan hidup mereka berdua atas dasar pemikiran yang tinggi,
yang tidak terlalu berdasarkan hidup sederhana. Tapi kini disadarinya dengan
jelas apa yang terutama menariknya pada Rachel. Tak lain adalah kehangatan hati
Rachel. Tapi sayang, kehangatan hati itu sebenarnya bukan untuknya, di situlah


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

letak tragedinya. Ya, Rachel memang mencintainya. Tapi yang diinginkan Rachel
darinya dan dari hidup adalah anak-anak. Dan anak-anak itu tak pernah datang.
Mereka telah mendatangi dokter-dokter, mulai dari dokter-dokter yang punya nama,
sampai dokter-dokter yang tidak ternama, bahkan dukun-dukun. Dan kepastian
akhirnya adalah sesuatu yang terpaksa harus diterimanya. Ia takkan pernah bisa
melahirkan anak. Mereka telah menghubungi yayasan-yayasan adopsi, ketika pada
suatu kunjungan mereka ke New York, mobil mereka menabrak seorang anak yang
sedang berlari keluar dari suatu daerah pemukiman di bagian kota yang miskin.
Rachel melompat keluar mobil, lalu berlutut di jalan, di dekat anak itu. Anak
itu hanya lecet saja, tidak cedera. Ia seorang anak yang cantik, berambut
keemasan, dan matanya biru. Rachel bersikeras membawanya ke rumah sakit, untuk
meyakinkan bahwa ia tidak mengalami cedera. Ia menghubungi keluarga anak itu:
seorang bibi yang jorok dan suaminya yang peminum. Nyata benar bahwa mereka tak
punya perasaan terhadap anak yang mereka bawa tinggal bersama mereka, karena
kedua orangtua si anak sudah meninggal. Rachel mengusulkan agar anak itu tinggal
bersama mereka beberapa hari, dan wanita itu menyetujuinya dengan senang.
"Saya tak bisa mengurusnya dengan baik di sini," katanya.
Maka dibawalah anak itu ke kamar mewah mereka di hotel. Agaknya anak itu senang
dengan tempat tidur empuk dan kamar mandinya yang mewah. Rachel membelikannya
pakaian baru. Lalu tiba saatnya anak itu berkata,
"Saya tak mau pulang. Saya mau tinggal di sini bersama Anda."
Rachel melihat pada Leo, melihat padanya dengan penuh gairah, keinginan, dan
rasa senang. Waktu mereka tinggal berduaan saja, ia pun berkata,
"Mari kita pelihara dia. Pasti mudah mengurusnya. Kita adopsi dia. Dia akan
menjadi anak kita sendiri. Perempuan itu pasti akan senang sekali kalau dia kita
ambil." Leo langsung setuju. Anak itu kelihatannya tenang, bertingkah laku baik, dan
patuh. Kelihatannya ia pun tak punya perasaan terhadap bibi dan pamannya. Bila
hal itu bisa membuat Rachel senang, mereka akan melakukannya. Maka
dibicarakanlah hal itu dengan para ahli hukum, surat-surat ditandatangani, dan
mulai saat itu Mary O'Shaughnessy pun dikenal sebagai Mary Argyle, dan ikut
berlayar dengan mereka kembali ke Eropa. Leo mengira Rachel yang malang akhirnya
merasa bahagia. Ia memang berbahagia. Berbahagia dalam arti yang berapi-api dan
hampir-hampir kacau. Ia tergila-gila pada Mary, memberinya bermacam-macam mainan
mahal. Dan Mary menerima semuanya itu dengan tenang dan manis. Namun, pikir Leo,
selalu masih ada sesuatu yang terasa agak mengganggunya. Anak itu mudah dan
penurut. Ia tak pernah merasa rindu pada tempatnya yang lama dan keluarganya.
Leo berharap cinta kasih yang sebenarnya akan datang kemudian. Pada saat itu Leo
masih belum melihat tanda-tandanya. Mary menerima baik semua kebaikan, merasa
puas dan menikmati semua yang diberikan padanya. Tapi kasih sayang terhadap ibu
angkatnya yang baru" Belum, Leo belum melihatnya.
Maka sejak saat itu dan seterusnyalah, kenang Leo, ia mulai menarik dirinya ke
belakang kehidupan Rachel Argyle. Rachel seorang wanita berpembawaan keibuan,
bukan sebagai seorang istri. Setelah ia mendapatkan Mary, agaknya naluri
keibuannya tidak terpenuhi, melainkan baru terangsang. Seorang anak belum cukup
baginya. Semua usahanya sejak itu selalu dihubungkan dengan anak-anak. Minatnya tertuju
pada rumah-rumah yatim-piatu; sumbangan-sumbangan untuk anak-anak cacat;
masalah-masalah anak-anak terbelakang, cacat mental, cacat tulang - selalu anak-
anak. Mengagumkan sekali. Leo ikut merasakan bahwa itu sangat mengagumkan, tapi
itu lalu menjadi pusat kehidupan Rachel. Sedikit demi sedikit Leo pun mulai
menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatannya sendiri. Ia mulai mendalami latar
belakang sejarah perekonomian, yang memang selalu diminatinya. Makin lama ia
makin banyak menarik diri ke dalam ruang perpustakaannya. Ia menyibukkan dirinya
dengan riset, dan menulis risalah-risalah pendek tapi padat. Istrinya yang
selalu sibuk, yang bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan berbahagia,
mengurus rumah tangganya dan meningkatkan kegiatan-kegiatannya. Leo tetap siap
membantu dan menerima keadaan. Ia tetap mendorong Rachel dengan kata-kata, "Itu
proyek yang baik sekali, Sayang," atau, "Ya, ya, kurasa sebaiknya dilanjutkan
saja." Sekali-sekali diselipkannya juga kata-kata supaya Rachel berhati-hati.
"Kurasa kau pasti mau meneliti dulu keadaan itu baik-baik, sebelum
melaksanakannya. Tapi kau jangan sampai terpengaruh."
Rachel tetap berkonsultasi dengannya, tapi hal itu belakangan kadang-kadang
dilakukannya asal-asalan saja. Dengan berlalunya waktu, Rachel makin menjadi sok
berkuasa. Katanya ia tahu apa yang benar dan apa yang terbaik. Dengan rela pula
Leo mengurangi kritik-kritik dan peringatan-peringatannya.
Rachel sudah tidak membutuhkan bantuannya lagi, pikir Leo, sudah tidak
membutuhkan cintanya lagi. Ia sibuk, berbahagia, dan selalu bersemangat.
Di balik perasaan tersinggung yang mau tak mau dirasakannya, anehnya Leo juga
merasa kasihan pada istrinya. Seolah-olah ia tahu bahwa jalan yang sedang
ditempuh Rachel mungkin berbahaya.
Waktu perang pecah pada tahun 1939, kegiatan-kegiatan Mrs. Argyle langsung
berlipat ganda. Begitu mendapatkan gagasan untuk membuka sebuah panti asuhan
darurat bagi anak-anak dari daerah kumuh di London, ia langsung menghubungi
orang-orang berpengaruh di London. Departemen Kesehatan bersedia bekerja sama,
dan ia lalu mencari dan menemukan sebuah rumah yang cocok untuk tujuannya itu.
Sebuah rumah yang baru dibangun, modem, di bagian terpencil di Inggris, yang
kira-kira tidak akan dijatuhi bom. Di tempat itu ia bisa menampung sampai
delapan belas anak berumur antara dua sampai tujuh tahun. Anak-anak itu tidak
saja berasal dari keluarga-keluarga miskin, tapi juga dari keluarga-keluarga
yang tidak beruntung. Ada anak yatim-piatu, ada pula anak tidak sah yang ibunya
tak punya niat mengungsi dengan membawa mereka dan telah bosan memelihara
mereka. Anak-anak dari rumah-rumah tempat mereka diperlakukan dengan buruk atau
disia-siakan. Tiga atau empat orang di antara anak-anak itu lumpuh. Untuk
memberikan perawatan pada anak-anak lumpuh itu, ia membayar pekerja-pekerja
khusus, juga seorang ahli pijat dari Swedia dan dua orang perawat terlatih.
Semua itu dilakukannya tidak hanya dengan jaminan kenyamanan, tapi juga dengan
cara mewah. Pada suatu kali, Leo menegurnya.
"Jangan lupa, Rachel, anak-anak itu akan kembali ke tempat-tempat dari mana kita
mengambilnya. Jangan kau mempersulit mereka."
Dengan hangat Rachel menjawab,
"Tak ada yang terlalu baik untuk anak-anak malang ini. Tak ada!"
"Ya, tapi mereka akan kembali, ingat itu," desak Leo.
Tapi Rachel meremehkan peringatan itu. "Mungkin itu tak perlu. Mungkin... yah,
kita lihat saja nanti."
Keadaan darurat dalam perang telah membawa perubahan-perubahan. Para perawat
rumah sakit merasa tak sabar harus merawat anak-anak yang benar-benar sehat,
padahal sebenarnya tugas merawat yang sesungguhnya menunggu mereka. Mereka harus
sering diganti. Akhirnya tinggal seorang perawat rumah sakit dan Kirsten
Lindstrom yang tetap bertahan. Pembantu rumah tangga pun tak bisa bertahan, dan
Kirsten Lindstrom pun merangkap tugas itu pula. Ia bekerja dengan penuh
kerelaan, tanpa memikirkan kepentingannya sendiri.
Dan Rachel Argyle pun sibuk dan berbahagia. Leo ingat bahwa kadang-kadang ada
juga saat-saat yang membingungkannya. Umpamanya waktu Rachel merasa heran
melihat seorang anak laki-laki, Micky, yang berat badannya berkurang dan nafsu
makannya hilang. Dokter pun dipanggil. Dokter tidak menemukan sakit apa-apa.
Lalu dikemukakannya pada Mrs. Argyle bahwa anak itu mungkin rindu pada ibunya.
Tapi Rachel cepat menolak gagasan itu.
"Itu tak mungkin! Anda tak tahu rumah tempatnya berasal. Dia sering dipukul,
diperlakukan dengan buruk. Keadaan itu buruk sekali baginya."
"Meskipun demikian," kata Dr. MacMaster, "meskipun demikian, saya tidak heran.
Yang penting adalah menyuruhnya bicara."
Dan pada suatu hari berbicaralah Micky. Sambil terisak-isak di tempat tidurnya,
didorongnya Rachel dengan tinjunya, dan ia berteriak,
"Saya mau pulang. Saya mau pulang, ke Mama, ke Ernie."
Rachel merasa kesal, tak masuk akalnya.
"Masa anak itu ingin kembali pada ibunya. Perempuan itu sama sekali tak peduli
padanya. Anak itu dipukulinya kalau dia sedang mabuk."
Dan Leo berkata dengan halus, "Tapi kau melawan alam, Rachel. Perempuan itu
ibunya, dan dia mencintai ibunya itu."
"Perempuan itu tak pantas menjadi ibunya!"
"Dia darah dagingnya sendiri. Begitulah perasaan anak itu. Itu tak bisa diganti
dengan apa pun juga."
Dan Rachel menjawab, "Tapi sekarang seharusnya dia menganggap aku ibunya."
Kasihan Rachel, pikir Leo. Kasihan Rachel. Ia bisa membeli begitu banyak barang.
Bukan barang-barang untuk kepentingannya sendiri. Ia bisa memberikan pada anak
yang tak diinginkan orangtuanya, cinta kasih, perawatan, dan sebuah rumah. Semua
itu bisa dibelinya untuk mereka. Tapi ia tak bisa membeli cinta anak-anak itu
padanya. Lalu perang berakhir. Anak-anak mulai kembali ke London, karena diminta kembali
orang-tua atau sanak saudara mereka. Tapi tidak semuanya. Beberapa di antaranya
tetap tak diinginkan, dan waktu itu Rachel berkata,
"Leo, anak-anak ini sudah seperti anak-anak kita sendiri sekarang. Inilah
saatnya kita membangun keluarga kita sendiri. Empat atau lima orang dari anak-
anak ini bisa tinggal bersama kita. Kita adopsi mereka, kita pelihara mereka,
dan mereka akan benar-benar menjadi anak-anak kita."
Leo kurang setuju, tapi ia tak tahu mengapa. Bukan karena ia tidak menyukai
anak-anak itu, tapi nalurinya mengatakan bahwa itu tidak benar. Anggapan betapa
mudahnya membina keluarga sendiri dengan cara yang tak murni.
"Apakah kau tidak merasa bahwa itu berbahaya?" tanyanya.
Tapi Rachel menjawab, "Berbahaya" Apa salahnya kalau itu berbahaya" Itu pantas dilakukan."
Ya, Leo sependapat bahwa itu pantas dilakukan. Hanya saja ia tidak seyakin
Rachel. Waktu itu ia sudah merasa dirinya begitu jauh, begitu terpencil di
tempatnya sendiri yang dingin, berkabut. Ia jadi merasa tidak berhak membantah.
Maka diulanginya kata-kata yang sudah sering diucapkannya,
"Yah, lakukanlah apa yang kausukai, Rachel."
Rasa kemenangan Rachel terpenuhi, dan ia pun berbahagia sekali. Ia membuat
rencana-rencana, berbicara dengan para penasihat hukum, pokoknya melakukan
bermacam-macam hal dengan caranya yang selalu praktis. Maka didapatkannyalah
keluarganya. Mary, anak sulung yang mereka bawa dari New York dulu; Micky, anak
laki-laki yang selalu merindukan rumahnya, yang sering kali menangis di malam
hari, sampai tertidur, karena masih merindukan rumahnya yang kumuh serta ibunya
yang sembrono dan penaik darah itu; Tina, anak blasteran yang luwes, yang ibunya
pelacur dan ayahnya pelaut India; Hester, yang ibunya Irlandia, yang setelah
melahirkannya sebagai anak tidak sah ingin memulai hidup baru. Lalu Jacko, anak
laki-laki berwajah monyet yang mengasyikkan. Kelucuan-kelucuannya selalu membuat
mereka semua tertawa. Ia selalu bisa melepaskan diri dari hukuman dengan
kepandaiannya berkata-kata, dan pandai membujuk untuk mendapatkan permen
tambahan, bahkan dari Miss Lindstrom yang sangat ketat itu. Ayah Jacko sedang
menjalani hukuman penjara, dan ibunya lari dengan laki-laki lain.
Ya, pikir Leo, memang merupakan pekerjaan yang pantas mengambil anak-anak ini,
untuk diberi kenyamanan sebuah rumah, dan cinta kasih seorang ayah dan ibu.
Rachel memang berhak merasa menang, pikirnya. Tapi sayang, hasilnya tidak
seperti yang diduga... karena anak-anak itu bukan anak-anak Rachel dan dirinya.
Dalam tubuh mereka tidak mengalir darah leluhur Rachel yang pekerja keras dan
hemat, tak ada dorongan dan ambisi yang dimiliki keluarga Rachel yang semula
kurang terkemuka, untuk mendapatkan tempat yang mantap dalam masyarakat. Tidak
pula ada kebaikan dan ketulusan hati yang seingatnya dimiliki ayahnya sendiri,
kakek dan neneknya. Juga tidak ada kecerdasan otak dari kakek dan neneknya dari
pihak lain. Segala sesuatu yang bisa dilakukan lingkungan, dilakukan terhadap mereka. Itu
memang banyak pengaruhnya, tapi itu bukan segala-galanya. Yang jelas, sudah ada
bibit kelemahan yang menyebabkan mereka sampai dibawa ke panti asuhan, dan dalam
keadaan tertekan, bibit itu bersemi dan bisa berbunga. Hal itu terlihat nyata
pada Jacko. Jacko yang menawan, Jacko yang cerdik, dengan lelucon-leluconnya
yang ceria, daya tariknya, kebiasaannya yang dengan mudah mempermainkan orang-
orang. Ia benar-benar nakal luar biasa. Hal itu sudah tampak dengan dilakukannya
pencurian cara kanak-kanak. Kebohongan-kebohongannya, semuanya yang mereka
anggap sebagai akibat buruk dari asal-usul yang buruk dan caranya dibesarkan
dulu. Kata Rachel, semua itu bisa diatasi dengan mudah. Tapi nyatanya mereka tak
bisa mengatasinya. Hasil pelajaran di sekolah buruk. Ia dikeluarkan dari perguruan tinggi, dan
sejak itu terjadilah serangkaian panjang peristiwa menyakitkan. Dalam hal itu,
ia dan Rachel selalu berusaha memberikan keyakinan pada anak itu bahwa mereka
menyayanginya dan memberinya kepercayaan. Mereka mencarikannya pekerjaan yang
cocok dan menyenangkan untuknya, yang bisa menjanjikan keberhasilan bila ia
melamar sendiri. Mungkin mereka terlalu lemah menghadapi anak itu, pikir Leo.
Tapi tidak, lemah atau keras, dalam hal Jacko akhirnya akan sama saja, pikirnya
lagi. Apa yang diinginkannya harus didapatkannya dengan cara yang bagaimanapun
juga. Ia tidak begitu pandai untuk berhasil menjalankan kejahatan, bahkan
kejahatan kecil pun tidak. Maka tibalah hari terakhir itu, saat ia datang dalam
keadaan tak punya uang dan takut masuk penjara. Dengan marah-marah ia menuntut
uang yang katanya haknya, dan ia mengancam. Ia pergi sambil berteriak bahwa ia
akan kembali, Rachel sudah harus menyiapkan uang itu. Kalau tidak...!
Dan dengan demikian, Rachel meninggal. Betapa jauh rasanya masa lalu itu. Tahun-
tahun panjang selama perang, bersama anak-anak yang sedang tumbuh waktu itu.
Sedang ia sendiri" Ia juga jauh, tak berarti. Seolah-olah energi yang kuat dan
gairah besar untuk hidup yang dimiliki Rachel telah menelannya, meninggalkannya
dalam keadaan lumpuh dan lemah, serta sangat merasa membutuhkan kehangatan dan
cinta. Sampai sekarang ia rasanya tak ingat kapan ia baru menyadari betapa dekat kedua
hal itu melingkupinya. Siap dan sedia. Tidak disodorkan padanya, tapi ada.
Gwenda... sekretaris yang sempurna, sangat membantu, yang bekerja untuknya,
selalu siap, dan baik hati. Ada sesuatu pada gadis itu yang mengingatkannya pada
Rachel waktu ia pertama kali bertemu dengannya. Kehangatan yang sama dan
semangat hidup yang sama pula. Hanya pada Gwenda kehangatan itu adalah
kehangatan hati, dan semangat hidup itu seluruhnya untuknya. Serasa
menghangatkan tangan di perapian... tangan yang selama ini dingin dan kaku
karena tak terpakai. Kapan ia pertama kali menyadari bahwa Gwenda juga
menyayanginya" Sulit mengatakannya. Hal itu terjadi dengan mendadak.
Tapi tiba-tiba - pada suatu hari - ia tahu bahwa ia mencintai Gwenda.
Padahal, selama Rachel masih hidup, mereka tak bisa menikah.
Leo mendesah. Ia memperbaiki duduknya, lalu meminum tehnya yang sudah dingin
sekali. BAB IX BARU beberapa menit Calgary pergi, Dr. MacMaster menerima tamunya yang kedua.
Tamu yang ini dikenalnya dengan baik, dan ia menyambutnya dengan kasih sayang.
"Oh, Don, aku senang kau datang. Mari masuk dan ceritakan padaku apa yang
menjadi pikiranmu. Pasti ada sesuatu yang kaupikirkan. Aku sudah tahu kalau
melihat dahimu berkerut dengan cara begitu khas."
Dr. Donald Craig tersenyum sedih. Ia seorang pria muda yang serius dan tampan,
yang selalu menganggap serius, baik dirinya sendiri maupun pekerjaannya. Dokter
tua yang sudah pensiun itu sangat menyayangi penggantinya yang muda itu.
Tapi kadang-kadang ia ingin Dr. Craig lebih mudah bisa merasakan suatu lelucon.
Craig menolak ditawari minuman, dan langsung mengemukakan persoalannya.
"Aku susah sekali, Mac."
"Kuharap bukan kelainan vitamin lagi," kata Dr. MacMaster. Baginya, kelainan
vitamin merupakan lelucon yang lucu.
Seorang dokter hewan pernah mengatakan pada Dr. Craig bahwa kucing milik seorang
pasien kecil menderita sakit cacing gelang yang parah.
"Ini tak ada hubungannya dengan pasien-pasien," kata Don Craig. "Ini persoalan
pribadiku sendiri." Wajah MacMaster langsung berubah.
"Maaf, anakku. Maafkan aku. Apakah ada berita buruk?"
Anak muda itu menggeleng.
"Bukan itu. Begini, Mac. Aku harus berbicara dengan seseorang. Kau kenal dengan
semua orang di sini, kau sudah bertahun-tahun di sini, kau tentu tahu segalanya
tentang mereka. Dan aku harus tahu juga. Aku harus tahu bagaimana harus
bertindak, dan apa yang sedang kuhadapi."
Alis MacMaster perlahan-lahan naik.
"Coba kudengar kesulitannya," katanya.
"Keluarga Argyle. Kau tahu - dan kurasa semua orang tahu bahwa aku dan Hester
Argyle..." Dokter tua itu mengangguk.
"Suatu kenyataan kecil yang menyenangkan," katanya membenarkan. "Begitulah
istilah lamanya, dan itu memang bagus sekali."
"Aku cinta sekali padanya," kata Donald berterus terang, "dan kurasa - ya, aku
yakin - dia pun suka padaku. Lalu sekarang semuanya ini terjadi."
Wajah dokter tua itu menjadi cerah.


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, itu! Pengampunan bagi Jack Argyle itu," katanya.
"Pengampunan yang terlambat datangnya baginya."
"Ya. Itulah yang membuatku merasa... aku tahu bahwa salah sekali aku merasa
begitu, tapi aku tak bisa lain. Sebenarnya lebih baik bila... bila kenyataan
baru ini tak pernah muncul."
"Oh, bukan kau satu-satunya yang berperasaan begitu," kata MacMaster. "Sepanjang
pengetahuanku, hal itu dirasakan oleh mulai dari Agen Kepala Polisi, seluruh
keluarga Argyle, sampai-sampai pada pria yang baru kembali dari Kutub Selatan
dan membawa berita itu sendiri," katanya lagi. "Dia baru saja dari sini, petang
tadi." Donald Craig terkejut. "Begitukah" Apa katanya?"
"Maumu apa yang dikatakannya?"
"Apakah dia punya bayangan siapa yang...?"
Dr. MacMaster menggeleng perlahan-lahan.
"Tidak," katanya. "Dia tak punya bayangan. Bagaimana mungkin" Bukankah dia baru
saja datang, dan baru pertama kali bertemu dengan mereka semua" Agaknya,"
lanjutnya, "tak seorang pun punya bayangan."
"Ya, memang tak ada."
"Apa yang merisaukanmu, Don?"
Donald Craig menarik napas panjang.
"Waktu pria itu datang ke sana malam itu, Hester meneleponku. Rencananya aku dan
dia akan pergi ke Drymouth setelah selesai praktek, untuk mendengarkan ceramah
mengenai macam-macam kejahatan dalam buku-buku Shakespeare."
"Rencana yang bagus sekali," kata MacMaster.
"Lalu Hester menelepon, mengatakan bahwa dia tidak jadi pergi. Katanya ada
berita yang mengacaukan sekali."
"Oh, berita dari Dr. Calgary itu."
"Ya. Ya, meskipun waktu itu Hester tidak mengatakannya. Tapi kedengarannya dia
risau sekali. Kedengarannya dia... tak dapat kujelaskan bagaimana dia
kedengarannya." "Itu darah Irlandia-nya," kata MacMaster.
"Kedengarannya dia sangat tegang, ketakutan. Ah, tak bisa aku menjelaskannya."
"Yah, apa yang kauharapkan?" kata dokter itu. "Bukankah umurnya belum lagi dua
puluh tahun?" "Tapi mengapa dia begitu risau" Percayalah, Mac, dia ketakutan sekali."
"Hm, ya, kurasa mungkin saja," kata MacMaster.
"Apakah kaupikir... bagaimana pikiranmu?"
"Yang penting adalah apa yang kaupikir," kata MacMaster dengan tegas.
Anak muda itu berkata dengan getir,
"Kurasa, kalau saja aku bukan dokter, aku tidak akan berpikir macam-macam. Dia
gadisku, dan gadisku tak pernah berbuat salah. Tapi nyatanya..."
"Ya, teruskanlah. Keluarkanlah isi hatimu."
"Aku tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Hester. Dia... dia korban
dari keresahan masa kecilnya."
"Memang," kata MacMaster.
"Dia belum sempat menyesuaikan diri dengan baik. Pada saat pembunuhan itu, dia
sedang mengalami suatu perasaan yang wajar sekali bagi seorang wanita muda yang
sedang meningkat dewasa. Dia sedang mengalami kebencian terhadap wibawa. Dia
berusaha melarikan diri dari cinta kasih ibu yang menjadi penyebab begitu banyak
hal yang merugikan zaman sekarang, Dia ingin memberontak, ingin pergi. Semua itu
diceritakannya sendiri padaku. Dia pernah lari dan menggabungkan diri dengan
perkumpulan teater keliling murahan. Dalam hal itu, kurasa ibunya telah
bertindak bijaksana. Diusulkannya supaya Hester pergi ke London dan masuk
Akademi Seni untuk mempelajari seni peran dengan baik, bila memang itu yang
diinginkannya. Tapi bukan itu yang diinginkan Hester. Dia melarikan diri untuk
main drama, itu sebenarnya hanya suatu isyarat. Dia sebenarnya tak ingin
bersekolah drama, tidak pula menginginkan profesi itu. Dia hanya ingin
memperlihatkan bahwa dia bisa mandiri. Pokoknya, keluarga Argyle tidak berusaha
menahannya. Mereka malah memberinya tunjangan dalam jumlah besar."
"Suatu tindakan yang bijak sekali," kata MacMaster.
"Lalu dia bercintaan dengan seorang anggota perkumpulan yang sudah setengah
baya. Akhirnya disadarinya sendiri bahwa laki-laki itu tidak beres. Mrs. Argyle
datang, berbicara dengan laki-laki itu, dan Hester pulang."
"Dia sudah jera," kata MacMaster. "Tapi tak ada orang yang mau mengakui bahwa
dia jera. Hester pun tidak."
Donald Craig berkata lagi dengan sedih,
"Dia masih menyimpan rasa benci terpendam, lebih-lebih justru karena dia harus
mengakui, meskipun tidak terang-terangan, bahwa ibunya memang benar sekali,
yaitu bahwa dia sama sekali bukan aktris yang baik, dan laki-laki yang
dicurahinya cinta kasihnya adalah orang yang tak pantas menerima cinta kasih
itu. Sebenarnya dia juga tidak cinta pada laki-laki itu. Ibu selalu tahu apa
yang terbaik. Itulah yang selalu menggetirkan anak-anak."
"Ya," kata MacMaster. "Itulah salah satu kesulitan Mrs. Argyle yang malang itu,
meskipun hal itu tak pernah disadarinya. Nyatanya dia memang hampir selalu
benar, dia memang paling tahu. Seandainya dia seperti wanita-wanita lain, yang
dililit utang, sering kehilangan kuncinya, sering ketinggalan kereta api, suka
melakukan tindakan-tindakan bodoh hingga memerlukan bantuan orang lain untuk
menyelesaikannya, pasti seluruh keluarganya akan jauh lebih menyayanginya.
Menyedihkan dan kejam, tapi begitulah kehidupan. Padahal dia tidak mendapatkan
keinginan-keinginannya dengan tipu muslihat. Dia orang yang merasa puas diri.
Dia merasa senang dengan kekuasaan yang ada padanya dan penilaiannya sendiri,
dan dia amat percaya diri. Sikap-sikap itulah yang amat sulit dihadapi bila
seseorang masih muda."
"Oh, aku tahu itu," kata Donald Craig. "Aku menyadari semuanya itu. Dan karena
aku menyadari semuanya itulah aku merasa... aku bertanya sendiri..." Ia
berhenti. MacMaster berkata dengan halus,
"Sebaiknya kuselesaikan kalimatmu itu, ya, Don" Kau takut kalau-kalau Hester-mu
yang mendengar pertengkaran antara ibunya dan Jacko lalu punya niat. Dan gara-
gara nafsu pemberontakannya terhadap wibawa dan terhadap anggapan ibunya yang
merasa diri mahatahu, ia lalu masuk ke kamar itu, mengangkat besi pengorek
tersebut, dan membunuh ibunya. Itu yang kautakuti, bukan?"
Pria muda itu mengangguk dengan rasa serba salah.
"Tidak juga. Aku tak percaya itu, tapi... tapi aku merasa... aku merasa itu bisa
terjadi. Aku yakin, Hester tak punya keseimbangan batin. Kurasa dia masih muda
sekali, masih belum yakin akan dirinya, dan masih peka terhadap serangan-
serangan nafsu. Kuperhatikan keluarga itu, dan kurasa tak seorang pun di antara
mereka yang melakukannya, sampai aku melihat Hester. Lalu... lalu aku yakin."
"Oh, begitu," kata Dr. MacMaster. "Ya, aku mengerti."
"Bukannya aku benar-benar menuduhnya," kata Donald Craig cepat-cepat. "Kurasa
anak malang itu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Aku tak bisa menyebutnya
pembunuhan. Itu hanya suatu perbuatan yang merupakan perlawanan emosional, suatu
pemberontakan, keinginan untuk bebas, berdasarkan keyakinan bahwa dia tidak akan
pernah bebas, sampai... sampai ibunya sudah tak ada lagi."
"Yang terakhir itu memang benar," kata MacMaster. "Itu satu-satunya motif yang
ada, dan itu suatu motif yang aneh. Motif yang kelihatannya tak kuat di mata
hukum. Keinginan untuk bebas, bebas dari pengaruh seseorang yang lebih kuat.
Hanya karena tak seorang pun di antara mereka yang mewarisi uang dalam jumlah
besar dengan kematian Mrs. Argyle, hukum menganggap mereka tak punya motif.
Padahal kurasa, bahkan penanganan keuangan pun sebagian besar berada di tangan
Mrs. Argyle, melalui pengaruhnya terhadap para anggota trust. Memang kematiannya
membebaskan mereka semua. Bukan hanya Hester, anakku. Leo jadi bebas menikahi
wanita lain. Mary jadi bebas mengurus suaminya dengan caranya sendiri, Micky
jadi bebas menjalani hidupnya dengan cara yang disukainya sendiri. Bahkan si
kuda kecil hitam, Tina, yang duduk di kantor perpustakaannya itu pun mungkin
menginginkan kebebasan."
"Aku merasa harus datang dan berbicara denganmu," kata Donald. "Aku ingin tahu
bagaimana pikiranmu, apakah kaupikir... kaupikir itu mungkin benar?"
"Mengenai Hester?"
"Ya." "Kurasa itu mungkin benar," kata MacMaster lambat-lambat. "Tapi aku tak yakin."
"Apakah menurutmu mungkin terjadi seperti yang kukatakan?"
"Ya. Kurasa apa yang kaubayangkan itu tidak terlalu dicari-cari, dan ada unsur
kemungkinannya. Tapi itu sama sekali belum pasti, Don."
Anak muda itu mengangkat bahu sambil mendesah.
"Tapi aku ingin kepastian, Mac. Itulah satu-satunya yang kurasa penting. Aku
harus tahu. Kalau Hester menceritakannya padaku - kalau dia mengatakannya sendiri -
itu... itu tak apa-apa. Kami akan menikah secepat mungkin. Dan aku akan
menjaganya." "Kalau begitu, sebaiknya Inspektur Huish jangan sampai mendengar ucapanmu itu,"
kata MacMaster datar. "Pada dasarnya, aku seorang yang sadar hukum," kata Donald, "tapi kau sendiri
tahu betul, Mac, bagaimana orang menangani bukti-bukti psikologis dalam sidang-
sidang perkara. Padahal kupikir itu suatu kecelakaan yang mematikan, bukan suatu
pembunuhan karena darah panas."
"Kau benar-benar mencintai gadis itu," kata MacMaster.
"Ingat, hanya padamu aku berbicara begini."
"Aku mengerti," kata MacMaster.
"Aku hanya ingin mengatakan bahwa bila Hester menceritakannya padaku, dan aku
sudah tahu, kami akan menghadapinya bersama. Tapi dia harus menceritakannya
padaku. Aku tak bisa menjalani hidup tanpa mengetahui kebenarannya."
"Maksudmu, kau tidak bersedia menikah dengannya, dengan dibayangi kemungkinan
itu?" "Seandainya kau berada di tempatku, apakah kau mau?"
"Entahlah. Bila itu terjadi atas diriku waktu aku masih muda dulu, dan aku
mencintai gadis itu, mungkin aku akan tetap berkeyakinan bahwa dia tak
bersalah." "Bukan bersalah atau tak bersalah yang begitu penting, tapi aku harus tahu."
"Dan sekiranya dia memang telah membunuh ibunya, apakah kau akan bersedia
menikah dengannya, dan selanjutnya hidup berbahagia sepanjang masa, seperti kata
orang dalam dongeng?"
"Ya." "Jangan begitu yakin!" kata MacMaster. "Kau kelak akan bertanya-tanya apakah
rasa pahit dalam kopimu betul-betul pahitnya kopi, dan kau akan berpikir bahwa
besi pengorek di perapian kalian terlalu besar. Dan dia akan melihat
kecurigaanmu. Itu tak baik...."
BAB X "AKU yakin, Marshall, kau mau menerima alasanku untuk meminta datang dan
menghadiri pertemuan ini."
"Ya, tentu," kata Mr. Marshall. "Bahkan sekiranya Anda tidak mengusulkannya pun,
Mr. Argyle, saya sendirilah yang akan datang. Semua surat kabar pagi ini sudah
memuat berita itu, dan hal tersebut pasti akan menimbulkan kembali perhatian
pers pada perkara itu."
"Bahkan sudah ada beberapa yang menelepon kami dan meminta waktu untuk
wawancara," kata Mary Durrant.
"Ya, dan saya rasa itu memang wajar. Saya anjurkan supaya Anda menyatakan tak
bisa memberikan komentar apa-apa. Bahwa Anda tentu senang sekali dan sangat
bersyukur, tapi Anda lebih suka tidak membahas soal itu."
"Inspektur Huish, yang waktu itu bertugas menangani perkara itu, telah minta
izin untuk datang dan berbincang-bincang dengan kami besok pagi," kata Leo.
"Ya. Ya, saya rasa perkara mi memang akan dibuka kembali, meskipun saya ragu
sekali apakah polisi punya banyak harapan untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan. Soalnya, dua tahun sudah berlalu, dan apa-apa yang mungkin diingat
orang pada saat itu - maksud saya orang-orang di desa - sekarang tentu sudah
dilupakan. Hal itu memang sangat disayangkan, tapi tak bisa lain."
"Agaknya semuanya sudah jelas sekali," kata Mary Durrant. "Rumah ini terkunci
dengan aman terhadap pencuri. Tapi bila seseorang datang dan meminta bantuan Ibu
dalam suatu masalah khusus, atau mengaku temannya, saya tak ragu, orang itu
pasti diizinkan masuk oleh Ibu. Saya rasa itulah yang terjadi. Ayah menduga dia
mendengar bel pintu, jam tujuh lewat sedikit."
Marshall menoleh pada Leo dengan pandangan bertanya.
"Ya, kalau tak salah begitulah," kata Leo. "Sekarang tentu tak ingat benar, tapi
waktu itu rasanya aku mendengar bel. Aku sudah bersiap-siap akan turun, tapi
lalu rasanya aku mendengar pintu terbuka dan kemudian tertutup. Aku tidak
mendengar suara-suara, atau kemungkinan seseorang memaksa masuk atau bertindak
menyerang. Kurasa, kalau ada tentu aku mendengarnya."
"Ya, memang," kata Marshall. "Saya rasa tak diragukan lagi, begitulah
kejadiannya. Kita tahu betul, banyak orang tak berbudi yang mendapat izin masuk
ke sebuah rumah dengan menceritakan kisah sedih yang mudah dipercaya. Setelah
diizinkan masuk, orang itu lalu menyerang pemilik rumah dan melarikan uang yang
bisa didapatkannya. Ya, saya rasa kita sekarang harus beranggapan bahwa itulah
yang terjadi." Ia berbicara dengan suara sangat meyakinkan. Sambil berbicara, ia memandang ke
sekelilingnya, pada kumpulan kecil orang-orang itu. Diamatinya mereka dengan
cermat, dan dicatatnya dalam otaknya. Mary Durrant, cantik, tak banyak khayalan,
tak mau susah, agak menjaga jarak, dan kelihatannya yakin sekali pada dirinya
sendiri. Di belakangnya, suaminya duduk di kursi roda. Philip Durrant, pikir
Marshall, adalah orang yang cerdas. Ia seorang pria yang mungkin bisa berbuat
banyak dan bisa maju, kalau saja ia tidak mengalami kegagalan-kegagalan dalam
segala macam bisnisnya. Menurut Marshall, ia tidak setenang istrinya menanggapi
semuanya itu. Matanya penuh kewaspadaan dan pikiran. Ia pasti mengerti benar
duduk persoalannya. Meskipun tentu saja mungkin Mary tidak setenang
penampilannya. Baik sebagai anak dan kemudian wanita dewasa, ia selalu bisa
menyembunyikan perasaan-perasaannya.
Mata Philip Durrant yang cerdas memandangi ahli hukum itu dengan agak mengejek.
Waktu ia menggeser duduknya sedikit di kursi rodanya, Mary menoleh dengan
mendadak. Ahli hukum itu agak terkejut melihat betapa besar cinta kasih yang
terpancar dari matanya waktu ia memandang suaminya. Ia memang sudah tahu bahwa
Mary Durrant seorang istri yang penuh pengabdian. Tapi selama ini Mary
dianggapnya sebagai makhluk yang tenang, seolah-olah tak punya gairah, tanpa
rasa cinta atau rasa benci mendalam, hingga ia terkejut melihat pandangan itu.
Jadi, begitu rupanya perasaannya terhadap pria itu" Sedangkan Philip Durrant
sendiri kelihatan resah. Mungkin ia ngeri menghadapi masa depannya, pikir
Marshall. Memang pantas ia begitu!
Di seberang ahli hukum itu duduk Micky. Seorang muda yang tampan tapi getir,
pikir Marshall. Bukankah segala-galanya selalu dilakukan untuknya" Mengapa ia
harus selalu kelihatan seperti orang yang ingin menentang dunia" Di sampingnya
duduk Tina, yang kelihatan seperti seekor kucing hitam yang anggun. Kulitnya
gelap sekali, suaranya halus, matanya besar dan gelap, dan gerak-geriknya lentur
dan agak miring. Ia tenang, tapi apakah ada emosi di balik ketenangan itu"
Sedikit sekali yang diketahui Marshall tentang Tina. Ia bekerja sebagai seorang
ahli perpustakaan pada Perpustakaan Daerah, sesuai dengan yang dianjurkan Mrs.
Argyle. Ia tinggal di sebuah flat di Redmyn, hanya 38 kilometer dari tempat ini.
Namun Tina dan Micky bisa dianggap tak terlibat.
Marshall memandang sekilas pada Kirsten Lindstrom yang sedang memandanginya
dengan sikap bermusuhan. Mungkinkah dia yang telah menjadi mata gelap, lalu
menyerang majikannya" Itu tidak akan mengherankannya. Sebenarnya bahkan tak ada
yang mengherankan bagi seseorang yang sudah bertahun-tahun bergerak di bidang
hukum. Ada istilah khusus yang dipakai untuk orang-orang semacam dia, yaitu
"perawan tua yang tertekan". Mereka biasanya pengiri, cemburu, dan selalu sedih,
baik dengan alasan maupun tidak. Ya, begitu anggapan orang tentang mereka. Dan
kelihatannya memang tepat sekali, pikir Mr. Marshall. Ya, cocok sekali, apalagi
ia seorang asing dan bukan anggota keluarga ini. Tapi apakah ia mau dengan
sengaja menimpakan tuduhan palsu pada Jacko, karena ia mendengar pertengkaran
itu, lalu memanfaatkan keadaan itu" Itu lebih sulit dipercaya, karena Kirsten
Lindstrom amat menyayangi Jacko. Ia memang sayang sekali pada semua anak-anak
itu. Tidak, ia tak percaya perempuan itu begitu. Sayang sekali, tapi ia tak
boleh berpikiran begitu. Pandangannya beralih pada Leo Argyle dan Gwenda Vaughan. Pertunangan mereka
belum diumumkan. Itu bagus. Itu merupakan keputusan yang bijak. Ia bahkan pernah
menulis dan menyinggung soal itu. Meskipun mungkin itu sudah merupakan rahasia
umum, dan polisi sudah memikirkannya. Menurut pandangan polisi, itu merupakan
jawaban yang tepat. Sudah banyak sekali contoh sebelumnya. Suami, istri, dan
wanita ketiga. Tapi, entah mengapa, Marshall tak bisa percaya bahwa Leo Argyle
yang menyerang istrinya. Tidak, ia tak bisa percaya itu. Soalnya, sudah
bertahun-tahun ia mengenal Leo Argyle, dan ia mempunyai penilaian tinggi
mengenai diri pria itu. Leo seorang yang berpendidikan. Seorang pria yang
berhati hangat terhadap orang lain, banyak membaca, dan punya pandangan terhadap
hidup. Ia bukan tipe laki-laki yang mungkin membunuh istrinya dengan sebatang


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besi pengorek. Meskipun mungkin - pada umur tertentu, ketika seorang pria jatuh
cinta lagi - tapi tidak! Itu berita surat kabar yang enak dibaca pada hari-hari
Minggu di seluruh Kepulauan Britania! Tapi kita tak bisa membayangkan Leo...
Bagaimana dengan wanita itu! Ia tidak begitu tahu tentang Gwenda Vaughan. Tampak
bibirnya yang penuh dan potongan tubuhnya yang matang. Jelas ia mencintai Leo.
Bahkan mungkin sudah bertahun-tahun mencintainya. Bagaimana kira-kira perasaan
Mrs. Argyle mengenai perceraian" Ia benar-benar tak tahu. Tapi menurutnya, tak
mungkin Leo Argyle punya niat begitu, karena ia berpandangan kolot. Menurutnya,
Gwenda Vaughan bukan pula pacar gelap Leo Argyle. Dalam hal itu, makin besar
kemungkinan bahwa Gwenda Vaughan melihat kesempatan untuk menyingkirkan Mrs.
Argyle, karena yakin bahwa orang tak mungkin mencurigainya. Ia berhenti, tak mau
melanjutkan pikirannya itu. Mungkinkah Gwenda akan mau mengorbankan Jacko tanpa
ragu-ragu" Menurutnya, Gwenda tidak begitu suka pada Jacko. Daya tarik Jacko
tidak mempengaruhinya. Padahal Mr. Marshall tahu benar bahwa kaum wanita bisa
kejam sekali. Jadi kita tak bisa mengecualikan Gwenda Vaughan. Tapi setelah
sekian lama, sangat diragukan apakah polisi akan bisa mendapatkan bukti. Ia
sendiri pun tak bisa melihat bukti yang memberatkan Gwenda Vaughan. Gwenda
memang ada di rumah itu, pada hari itu. Ia berada bersama Leo Argyle di ruang
perpustakaan, mengucapkan selamat malam pada Leo, lalu meninggalkannya dan
menuruni tangga. Tak seorang pun bisa mengatakan apakah ia tidak membelok, masuk
ke kamar duduk Mrs. Argyle, lalu mengambil besi pengorek, dan berjalan ke
belakang wanita yang tidak merasa curiga itu, yang sedang menunduk menekuni
kertas-kertas di meja kerjanya. Lalu setelah itu, setelah menghantam Mrs. Argyle
yang tak sempat berteriak, Gwenda Vaughan melemparkan besi pengorek itu, keluar
lewat pintu depan, dan pulang seperti yang selalu dilakukannya.
Pandangannya beralih pada Hester. Seorang anak manis. Tidak, tidak hanya manis,
tapi benar-benar cantik. Kecantikan yang aneh dan kurang menyenangkan. Marshall
ingin tahu siapa orangtuanya yang sebenarnya. Kadang-kadang ia kelihatan kejam
dan liar. Ya, kita bisa menggunakan kata nekat untuknya. Tapi mengapa ia harus
nekat" Ia pernah melarikan diri dengan cara yang bodoh untuk naik pentas, dan
dengan bodoh pula ia menjalin cinta dengan seorang laki-laki yang tak beres.
Kemudian ia insaf, kembali pada Mrs. Argyle, dan hidup tenang lagi. Namun kita
tak bisa mengecualikan Hester, karena kita tak tahu bagaimana jalan pikirannya.
Kita tak tahu bagaimana reaksinya pada saat ia merasakan putus asa yang tak
beralasan itu. Tapi polisi pun tidak akan tahu itu.
Bahkan, pikir Mr. Marshall, meskipun polisi sudah memastikan siapa yang
bertanggung jawab, agaknya mereka tak mungkin bisa berbuat sesuatu. Hingga pada
umumnya, keadaannya jadi tidak memuaskan. Memuaskan" Ia agak terkejut sendiri
ketika terpikir olehnya perkataan itu. Tapi apakah itu memuaskan" Apakah jalan
buntu sebenarnya merupakan jalan keluar yang baik dalam perkara ini" Apakah
keluarga Argyle sendiri tahu keadaan yang sebenarnya, tanyanya sendiri. Lalu
dipastikannya sendiri bahwa tidak demikian halnya. Mereka tidak tahu. Kecuali
tentu seorang di antara mereka yang pasti tahu betul. Tidak, mereka tak tahu,
tapi apakah mereka curiga" Yah, kalau sekarang mereka tidak curiga, sebentar
lagi mereka akan curiga. Karena kalau kita tak tahu, mau tak mau kita tentu
bertanya-tanya, kita mencoba mengingat-ingat. Tidak menyenangkan. Ya, ya,
keadaan yang tidak menyenangkan.
Semua pikirannya itu tak banyak makan waktu. Mr. Marshall sadar dari
renungannya, dan menyadari pandangan Micky yang lekat pada dirinya. Pandangan
yang memancarkan ejekan. "Jadi itu keputusan terakhir Anda, Mr. Marshall?" kata Micky. "Dia adalah orang
luar, orang berwatak buruk yang telah membunuh, merampok, dan bisa lolos?"
"Agaknya itulah yang harus kita terima."
Micky mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu tertawa.
"Jadi itulah kisah kita, dan kita akan bertahan di situ, begitu?"
"Yah, begitulah Michael, itulah yang bisa saya anjurkan." Jelas terdengar nada
peringatan dalam suara Mr. Marshall.
Micky mengangguk. "Oh, begitu," katanya. "Itu yang Anda anjurkan. Ya, ya, saya yakin Anda benar.
Tapi Anda sendiri tak yakin, bukan?"
Mr. Marshall menatapnya dengan pandangan dingin. Itulah sulitnya dengan orang-
orang yang tak bijak. Mereka suka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya jauh
lebih baik bila tidak diucapkan.
"Pokoknya," katanya, "begitulah pendapat saya."
Pada bicaranya yang tegas, terdengar teguran keras. Micky memandang ke
sekeliling meja. "Bagaimana pendapat kita semua?" tanyanya secara umum.
"Hei, Tina sayang, jangan menunduk diam-diam begitu terus. Apakah kau tak punya
gagasan-gagasan" Yah, kata-kata yang tak berarti, umpamanya" Dan kau, Mary,"
kata Micky dengan agak tajam. "Kau tak banyak bicara."
"Aku tentu sependapat dengan Mr. Marshall," kata Mary dengan tajam. "Apakah ada
penjelasan yang lain dari itu?"
"Philip kelihatannya tidak sependapat denganmu," kata Micky.
Mary menoleh dengan mendadak, akan melihat pada suaminya. Philip Durrant berkata
dengan tenang, "Sebaiknya jaga mulutmu, Micky. Tak pernah ada baiknya bila orang terlalu banyak
bicara dalam keadaan terdesak. Dan kita sekarang dalam keadaan terdesak."
"Jadi tak ada seorang pun yang punya pendapat, ya?" kata Micky. "Baiklah. Biar
saja. Tapi sebaiknya kita semua memikirkannya sedikit, waktu kita akan berangkat
tidur nanti malam. Soalnya mungkin itu baik. Soalnya lagi, bukankah kita ingin
tahu bagaimana keadaan kita sebenarnya" Apakah kau tak tahu apa-apa, Kirsty"
Biasanya kau tahu banyak. Sepanjang ingatanku, kau selalu tahu apa yang terjadi,
meskipun terus terang, kau tak pernah mengatakannya."
Dengan sikap anggun Kirsten berkata,
"Kurasa kau memang harus menjaga mulutmu, Micky. Benar kata Mr. Marshall,
terlalu banyak bicara itu tak baik."
"Sebaiknya kita mengadakan pemungutan suara," kata Micky lagi. "Atau menuliskan
sebuah nama pada secarik kertas, lalu dikumpulkan. Kurasa akan menarik sekali,
ya, kalau kita melihat nama siapa yang terbanyak ditulis."
Kali ini suara Kirsten Lindstrom menjadi nyaring.
"Diam," katanya. "Jangan bodoh dan nekat seperti waktu kau masih kecil. Kau
sekarang sudah dewasa."
"Maksudku hanya, sebaiknya kita pikirkan," kata Micky dengan agak terkejut.
"Memang kita akan memikirkannya," kata Kirsten Lindstrom.
Suaranya terdengar getir.
BAB XI HARI telah malam di Sunny Point.
Dengan dilindungi tembok-temboknya, tujuh orang masuk ke kamar masing-masing
untuk beristirahat, tapi tak seorang pun bisa tidur nyenyak.
Philip Durrant - sejak ia sakit dan kehilangan kemampuan tubuhnya, makin lama
makin merasa mendapatkan hiburan dalam kegiatan mentalnya. Ia memang cerdas.
Kini ia sadar dan merasa sumber-sumbernya terbuka melalui kecerdasannya itu.
Kadang-kadang ia menghibur diri dengan meramalkan reaksi-reaksi orang-orang di
sekelilingnya terhadap rangsangan-rangsangan tertentu. Apa-apa yang dikatakan
dan dilakukannya sering kali bukan merupakan pernyataan yang wajar, melainkan
suatu pernyataan yang diperhitungkan, yang semata-mata dilakukannya untuk
mengamati reaksi terhadap perbuatannya itu. Itu menjadi suatu permainan yang
disukainya. Bila melihat reaksi seperti yang diharapkannya, ia merasa dirinya
menang. Sebagai akibat dari hiburannya sendiri itu, ia menemukan, untuk pertama kali
dalam hidupnya, bahwa ia suka sekali mengamati perbedaan-perbedaan dan
kenyataan-kenyataan dari kepribadian manusia.
Padahal sebelumnya kepribadian manusia tak pernah diminatinya benar. Ia hanya
bisa merasakan suka atau tak suka, terhibur, atau merasa bosan terhadap orang-
orang yang ada di sekelilingnya atau yang ditemuinya. Sebelumnya ia manusia
pekerja, bukan manusia pemikir. Daya khayalnya yang banyak itu, selama ini
dimanfaatkannya untuk melaksanakan berbagai rencana untuk mengumpulkan uang.
Semua rencana itu intinya sehat, tapi karena ia sama sekali tak punya kemampuan
menjalankan bisnis, usahanya selalu berakhir dengan kegagalan. Selama ini,
manusia hanya dianggapnya sebagai unsur dalam permainan saja. Kini, sejak
penyakitnya memutuskan hubungannya dari kehidupan aktifnya dulu, ia terpaksa
memperhatikan bagaimana manusia itu sendiri.
Hal itu telah dimulainya di rumah sakit, tempat ia terpaksa memperhatikan
kehidupan cinta para perawat, bentrokan-bentrokan dalam diam di antara mereka,
dan kesedihan-kesedihan kecil dalam hidup di rumah sakit, karena tak ada
kegiatan lain. Dan kini hal itu telah benar-benar menjadi kebiasaannya. Manusia -
hanya itulah kini yang menjadi perhatiannya. Ya, hanya orang-orang. Manusia
untuk dipelajari dan diteliti, untuknya menarik kesimpulan. Ia menentukan
sendiri apa yang membuat seseorang melakukan sesuatu, lalu menyelidiki apakah ia
benar. Dan hal itu ternyata memang bisa menarik sekali....
Malam ini umpamanya, saat ia duduk di ruang perpustakaan tadi, baru disadarinya
betapa sedikit sebenarnya ia mengenal keluarga istrinya. Seperti apa mereka
sebenarnya" Artinya, bagaimana batin mereka semuanya, bukan penampilan mereka di
luar, yang sudah cukup dikenalnya.
Aneh, betapa dangkalnya kita mengenal manusia. Bahkan istrinya sendiri.
Ia memandangi Mary sambil merenung. Berapa banyak sebenarnya yang diketahuinya
tentang Mary" Ia jatuh cinta pada Mary karena ia menyukai kecantikan dan pembawaan Mary yang
tenang dan serius. Juga karena Mary punya uang, dan hal itu penting baginya. Ia
akan berpikir dua kali sebelum mengawini seorang gadis yang tak punya uang.
Semuanya sesuai sekali, dan ia pun menikah dengannya, dan menggodanya dengan
menyebutnya Polly. Ia suka melihat pandangan Mary yang ragu bila ia membuat
lelucon yang artinya tak bisa ditangkap Mary. Tapi apa sebenarnya yang
diketahuinya tentang Mary" Tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan Mary" Ia
tahu pasti bahwa Mary mencintainya dengan kasih sayang yang dalam dan penuh
gairah. Dan mengenang kasih sayang itu, ia bergeser sedikit dengan susah payah,
menegangkan pundaknya, seolah-olah ingin meringankan suatu beban. Kasih sayang
memang menyenangkan bila kita bisa meninggalkannya selama sembilan atau sepuluh
jam dalam sehari. Memang menyenangkan kalau kita pulang disambut dengan kasih
sayang itu. Tapi kini ia dibalut dengan kasih sayang itu, dijaga, diurus,
dibelai. Kita jadi ingin agak diabaikan sedikit Kita bahkan ingin mencari jalan
untuk melepaskan diri. Dengan cara-cara mental, karena tak ada cara lain. Kita
jadi ingin melepaskan diri ke alam angan-angan atau spekulasi.
Ya, spekulasi. Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematian ibu
mertuanya, umpamanya. Selama ini ia memang tak suka pada ibu mertuanya itu,
begitu pula sebaliknya. Wanita itu tak menginginkan Mary menikah dengannya
(Apakah ia suka kalau Mary menikah dengan orang lain" tanyanya sendiri), tapi ia
tak berhasil mencegah mereka. Ia dan Mary memulai hidup dengan berbahagia dan
bebas. Lalu mulailah terjadi kesulitan-kesulitan. Mula-mula dengan perusahaan
Amerika Selatan itu, lalu dengan Perusahaan Peralatan Sepeda. Keduanya
sebenarnya merupakan perusahaan-perusahaan yang baik, tapi yang berwenang
menilai permodalannya buruk. Lalu disusul pula dengan pemogokan di bidang
perkeretaapian di Argentina. Itu merupakan puncak dari bencana-bencana tersebut.
Semuanya memang soal nasib buruk, tapi dalam beberapa hal, ia merasa Mrs.
Argyle-lah yang bertanggung jawab. Wanita itu tak ingin menantunya sukses. Lalu
datang pula penyakitnya. Agaknya, satu-satunya jalan keluar untuk mereka adalah
tinggal di Sunny Point, tempat mereka pasti diterima baik. Ia sendiri sebenarnya
tidak keberatan. Seorang laki-laki lumpuh yang tinggal setengahnya saja manusia,
apa bedanya di mana ia tinggal" Tapi Mary keberatan.
Yah, ternyata mereka tak perlu tetap tinggal di Sunny Point. Mrs. Argyle
terbunuh. Para anggota trust menyerahkan uang tunjangan Mary yang menjadi
haknya, dan mereka pun hidup sendiri lagi.
Ia tidak terlalu merasa sedih atas kematian Mrs. Argyle. Tentu saja lebih
menyenangkan bila wanita itu meninggal gara-gara sakit radang paru-paru atau
semacamnya, di tempat tidurnya. Pembunuhan adalah urusan menyakitkan yang
memberikan nama buruk dan berita-berita koran yang mencolok. Namun kalau
ditinjau dari sudut pembunuhan sendiri, itu merupakan suatu pembunuhan yang
baik. Agaknya pada diri si pembunuh terdapat sebuah sekrup yang tidak beres,
hingga bisa disimpulkan dengan sempurna sebagai suatu perbuatan yang berlatar
belakang kelainan jiwa. Ia bukan adik kandung Mary. Ia hanya seorang "anak
angkat" yang leluhurnya tak baik dan sering menjadi orang jahat. Tapi kini
keadaannya jadi tak baik. Besok Inspektur Huish akan datang untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dengan suara halusnya yang berlogat West Country itu.
Mungkin mereka harus memikirkan jawaban-jawabannya.
Mary sedang menyikat rambutnya yang pirang dan panjang di depan cermin. Ada
sesuatu dalam sikap tenangnya yang menjaga jarak itu yang menjengkelkan Philip.
"Sudah siap dengan jawabanmu untuk besok, Polly?" tanya Philip.
Mary menoleh padanya dengan pandangan heran.
"Besok Inspektur Huish akan datang. Dia akan mengulangi pertanyaan-pertanyaannya
lagi mengenai gerak-gerik kita pada malam tanggal 9 November itu."
"Oh, itu. Itu sudah lama sekali. Sulit sekali mengingatnya lagi."
"Tapi dia bisa, Polly. Itulah soalnya. Dia bisa. Itu semua tertulis dalam sebuah
buku catatan kecil kepolisian."
"Begitukah" Apakah mereka menyimpannya?"
"Mungkin mereka menyimpan segala sesuatu dalam rangkap tiga selama sepuluh
tahun! Yah, mengenai gerak-gerikmu sih sederhana sekali, Polly. Kau tidak
melakukan apa-apa. Kau berada di kamar ini bersamaku. Dan kalau aku jadi kau,
aku tidak akan menyebutkan bahwa kau meninggalkan kamar ini antara jam tujuh dan
setengah delapan." "Tapi itu kan hanya untuk pergi ke kamar mandi," kata Mary memberikan alasan.
"Semua orang kan harus pergi ke kamar mandi."
"Kau tidak berkata begitu padanya waktu itu. Aku yang mengatakannya, kau ingat,
kan?" "Kurasa aku lupa."
"Kurasa mungkin itu merupakan nalurimu untuk melindungi diri. Pokoknya aku
ingat, aku mendukungmu. Kita berada di sini, kita main picquet, mulai dari jam
setengah tujuh sampai Kirsty berteriak. Begitulah jawaban kita, dan kita harus
bertahan pada jawaban itu."
"Baiklah, Sayang." Kata persetujuan itu diucapkan dengan tenang, tanpa minat.
"Apakah dia tak punya daya khayal?" pikir Philip. "Tidakkah disadarinya bahwa
kami akan menghadapi masa sulit?"
Philip membungkukkan tubuhnya.
"Hanya itukah yang menarik bagimu" Polly, kau memang hebat."
Wajah Mary agak memerah. "Apakah ada yang aneh dalam hal itu?"
"Tidak, tak ada. Tapi, yah, aku lain. Aku ingin tahu."
"Kurasa kita tidak akan pernah tahu. Kurasa polisi pun tidak akan pernah tahu."
"Mungkin tidak. Pasti sedikit sekali yang bisa mereka jadikan dasar. Tapi
kedudukan kita lain sekali dari polisi."
"Apa maksudmu, Philip?"
"Yah, pada kita ada beberapa hal kecil di dalam, yang kita ketahui. Kita
mengenal orang-orang dalam lingkungan kecil kita ini dari dalam, kita mengerti
betul apa yang membuat mereka melakukan sesuatu. Kau juga pasti tahu. Kau telah
tumbuh bersama mereka. Coba kudengar pandangan-pandanganmu. Bagaimana pendapatmu
dalam hal ini?" "Aku tak tahu apa-apa, Philip."
"Kalau begitu, terka saja."
Dengan tajam Mary berkata,
"Aku lebih suka tak tahu siapa yang melakukannya. Aku bahkan lebih suka tidak
berpikir tentang hal itu."
"Kau bersikap seperti burung unta yang menyembunyikan kepalanya ke dalam tanah
dalam kesulitan," kata suaminya.
"Sungguh, aku tak mengerti apa gunanya menerka segalanya. Jauh lebih baik kalau
kita tak tahu. Supaya kita semua bisa hidup seperti biasa lagi."
"Oh, tidak. Itu tak bisa," kata Philip. "Di situlah kekeliruanmu, sayangku.
Keadaan sudah mulai memburuk."
"Apa maksudmu?"
"Yah, lihat saja Hester dan pacarnya - Dr. Donald, anak muda yang serius itu. Dia
anak muda yang baik dan serius, dan sekarang dia khawatir. Sebenarnya dia tak
yakin bahwa Hester yang melakukannya! Jadi dia lalu memandangi Hester dengan
khawatir sekali, kalau dirasanya Hester tak menyadarinya. Padahal sebenarnya
Hester sadar. Nah, begitulah! Mungkin memang Hester yang melakukan perbuatan itu
- kaulah yang lebih tahu daripada aku - tapi kalau dia tidak melakukannya,
bagaimana hubungannya dengan pacarnya itu" Apakah dia harus terus-menerus
berkata, 'Percayalah, bukan aku yang melakukannya.'" Tapi kurasa pasti dia
berkata begitu." "Ah, Philip, kurasa kau berangan-angan saja."
"Soalnya kau sama sekali tak bisa berangan-angan, sih, Polly. Lalu lihatlah Leo
yang malang. Rencana perkawinannya dengan Gwenda makin menjauh. Gadis itu susah
sekali karenanya. Tidakkah kaulihat itu?"


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sebenarnya tak mengerti untuk apa Ayah menikah lagi, pada usianya yang
sekian itu." "Dia tahu alasannya! Tapi dia juga menyadari bahwa percintaannya dengan Gwenda
menyebabkan mereka berdua jadi punya motif yang besar sekali untuk membunuh.
Sungguh tak enak!" "Rasanya tak masuk akal membayangkan barang sesaat saja bahwa Ayah yang membunuh
Ibu!" kata Mary. "Hal-hal serupa itu tak pernah terjadi."
"Pernah. Baca saja surat-surat kabar."
"Tapi mereka bukan orang-orang macam kita."
"Pembunuhan tidak pilih bulu, Polly. Lalu lihatlah Micky. Pasti ada sesuatu yang
menyiksanya. Dia anak muda yang aneh dan getir. Tina agaknya bebas, dia tidak
khawatir, tidak terpengaruh. Tapi wajahnya itu... datar sekali. Lalu ada pula si
Tua Kirsty yang malang."
Wajah Mary menjadi agak ceria.
"Nah, mungkin di situ letak penyelesaiannya!"
"Kirsty?" "Ya. Soalnya dia orang asing. Dan dia sering sekali pusing selama setahun-dua
tahun terakhir ini. Rasanya lebih mungkin dia yang melakukannya daripada siapa
pun di antara kita".
"Kasihan dia," kata Philip. "Tidakkah kausadari bahwa dia sendiri pun berkata
begitu" Yaitu bahwa kita semua pasti sependapat dialah yang melakukannya" Hanya
untuk mudahnya saja. Karena dia bukan anggota keluarga. Apa kau tidak lihat
tadi, bahwa dia ketakutan setengah mati" Dia berada dalam keadaan yang sama
dengan Hester. Apa yang bisa dikatakan atau dilakukannya" Haruskah dia berkata
pada kita, 'Aku tidak membunuh majikan yang sekaligus sahabatku itu!'" Apa
kekuatan pernyataan itu" Baginya keadaan ini mungkin yang terburuk daripada bagi
siapa pun juga, karena dia seorang diri. Akan diulang-ulanginya terus dalam otaknya setiap perkataan yang sudah diucapkannya, setiap
pandangan marah yang pernah ditujukannya pada ibumu - dengan merasa bahwa itu akan
diingat orang untuk membuktikan dirinya. Dia tak berdaya untuk membuktikan
dirinya tak bersalah."
"Sebaiknya kau agak lebih tenang, Phil. Soalnya, apalah yang bisa kita lakukan
dalam hal itu?" "Sekadar mencari tahu kebenarannya."
"Tapi bagaimana itu mungkin?"
"Mungkin ada saja jalannya. Aku ingin mencoba."
Mary kelihatan resah. "Bagaimana caranya?"
"Ah, hanya dengan mengatakan sesuatu, lalu melihat reaksi orang-orang. Bisa saja
kita mengarang-ngarang" - ia diam sebentar, sementara otaknya bekerja - "kata-kata
yang mungkin ada artinya bagi seseorang yang bersalah, tapi tak berarti bagi
seseorang yang tak bersalah." Ia diam lagi, terus membalik-balik pikirannya. Ia
mendongak, lalu berkata, "Tak inginkah kau membantu orang yang tak bersalah,
Mary?" "Tidak." Perkataan itu keluar bagaikan suatu ledakan. Lalu ia mendatangi Philip
dan berlutut di dekat kursi rodanya. "Aku tak ingin kau melibatkan diri dalam
semuanya ini, Phil. Jangan katakan apa-apa dan jangan memasang perangkap.
Biarkan sajalah keadaan ini begini. Aduh, demi Tuhan, tinggalkanlah persoalan
itu!" Alis Philip naik. "Ya-ah," katanya. Lalu diletakkannya tangannya ke atas kepala berambut halus
berwarna keemasan itu. II Michael Argyle terbaring saja tanpa bisa tidur. Ia menerawang dalam gelap.
Pikirannya berputar-putar seperti seekor tupai dalam sebuah sangkar, membolak-
balik masa lalu. Mengapa ia tak bisa melepaskan dirinya" Mengapa ia harus
menyeret masa lalunya sepanjang hidupnya" Lalu apa pengaruhnya" Mengapa ia harus
selalu mengingat dengan begitu jelas kamar pengap tapi menyenangkan di daerah
kumuh di London itu, tempat ia adalah "Micky kami". Suasana santai yang sangat
menyenangkan itu! Bersenang-senang di jalan-jalan! Berkelompok dengan anak-anak
lain! Ibunya yang berambut cerah keemasan (setelah dewasa, baru disadarinya
bahwa rambut itu selalu dikeramas dengan bahan murahan), kemarahan-kemarahannya
yang mendadak, pada saat ibunya memukulnya (pasti gara-gara minuman keras!), dan
betapa riang ibunya bila sedang dalam keadaan senang. Maka mereka akan makan
malam yang enak, terdiri atas ikan dan kentang goreng, dan ibunya pun
menyanyikan lagu-lagu, balada-balada yang menyentuh hati. Kadang-kadang mereka
pergi menonton bioskop. Dan tentu selalu ada saja oom-oom. Begitulah ia harus
menyebut mereka. Ayahnya sendiri sudah minggat sebelum ia sempat mengingatnya.
Tapi ibunya tak pernah membolehkan pria-pria itu menyentuhnya.
"Jangan sentuh Micky kami," katanya pada mereka.
Lalu pecahlah perang yang menegangkan itu. Semua orang takut pesawat-pesawat
pembom Hitler akan datang. Sirene-sirene berbunyi sebelum tiba saatnya. Mengaum-
aum. Mereka harus masuk ke lubang-lubang perlindungan dan tinggal di situ
sepanjang malam. Menyenangkan sekali! Penduduk di sepanjang jalan ada di situ.
Mereka membawa makanan dan minuman. Dan kereta-kereta api tetap saja menderu-
deru sepanjang malam. Itulah kehidupan, itu yang menyenangkan! Dengan segala
kesibukannya! Lalu ia dibawa kemari, ke pinggiran kota ini. Ke tempat yang hidup tapi terasa
mati ini, tempat tak ada kejadian apa-apa!
"Kau akan kembali, Sayang, bila semuanya ini sudah berlalu," kata ibunya dengan
nada ringan, seolah-olah itu tak benar. Agaknya ibunya tak peduli ia pergi. Lalu
mengapa ibunya tidak ikut" Padahal banyak anak-anak di jalan mereka yang
mengungsi bersama ibu-ibu mereka. Tapi ibunya tak mau pergi. Ia malah pergi ke
arah utara (dengan seorang oom yang terbaru, Oom Harry!). Katanya untuk bekerja
di bidang persenjataan. Seharusnya ia sudah tahu saat itu, meskipun ibunya mengucapkan kata perpisahan
dengan kasih sayang. Ibunya sebenarnya tidak menyayanginya. Minuman keras,
pikirnya, hanya itulah yang diinginkan ibunya. Minuman keras dan pria-pria.
Dan ia pun tinggal di sini, terperangkap, seperti narapidana. Ia makan tanpa
selera, makanan yang tak biasa dimakannya, pergi tidur pada jam yang tak masuk
akal, pukul enam sore, setelah makam malam, makanan yang tak masuk akal pula:
susu dan biskuit (susu dan biskuit, bayangkan!). Dan ia tak bisa tidur Ia
menangis dengan menyembunyikan kepalanya di bawah selimut. Menangisi ibu dan
rumahnya. Itu gara-gara perempuan itu! Perempuan itu telah menemukannya dan tak mau
melepaskannya lagi. Banyak omong kosongnya. Ia selalu disuruh memainkan
permainan-permainan bodoh. Perempuan itu menginginkan sesuatu darinya. Sesuatu
yang tidak akan diberikannya. Tapi biarlah. Ia akan menunggu. Ia akan bersabar!
Dan pada suatu hari kelak - suatu hari yang gemilang - ia akan pulang. Kembali ke
jalan-jalan anak-anak, bus-bus merah ceria dan stasiun bawah tanah, serta ikan
dengan kentang goreng, juga lalu lintas dan kucing-kucing jalanan. Dengan penuh
gairah pikirannya melayang ke hal-hal menyenangkan itu. Ia harus menunggu.
Peperangan tidak akan berlangsung terus. Ia terperangkap di tempat yang tak enak
ini, sementara seluruh kota London dijatuhi bom dan separo kota London terbakar -
uh! Betapa hebat nyalanya tentu; orang-orang terbunuh dan rumah-rumah ambruk.
Semua itu dilihatnya dalam angan-angannya, semuanya dalam warna-warni cemerlang.
Biarlah. Bila perang sudah usai, ia akan kembali kepada Ibu. Ibu pasti akan
terkejut sekali melihatnya sudah besar. Dalam gelap itu Micky mengembuskan
napasnya dengan berdesis.
Peperangan memang berlalu. Hitler dan Mussolini dikalahkan. Beberapa di antara
anak-anak pulang. Tak lama lagi. Lalu pada suatu hari perempuan itu kembali dari
London, dan mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal di Sunny Point, dan akan
menjadi anaknya sendiri. Ia bertanya, "Mana ibu saya" Apakah dia kena bom?"
Sekiranya ia tewas oleh bom, yah, itu tidak terlalu menyakitkan. Itu terjadi
atas para ibu anak-anak lain.
Tapi Mrs. Argyle berkata, "Tidak." Ibunya tidak tewas. Melainkan ada suatu
pekerjaan sulit yang harus dikerjakannya, dan ia tak bisa memelihara anak dengan
baik - pokoknya semacam itulah kata-katanya, kata-kata manis yang tak ada artinya.
Ibunya tidak mencintainya, tidak menginginkannya kembali. Ia harus tinggal di
sini, selama-lamanya. Setelah itu, diam-diam ia bersembunyi dan mencoba mendengarkan percakapan orang.
Dan akhirnya didengarnya sesuatu, meskipun hanya sepotong percakapan antara Mrs.
Argyle dan suaminya. "Dia malah senang sekali bisa berpisah dari anak itu. Dia
sama sekali tak peduli." Lalu didengarnya ucapan seratus pound. Dan tahulah ia,
ibunya telah menjualnya seharga seratus pound.
Rasa terhina, rasa perih - ia tak pernah sembuh dari perasaan-perasaan itu. Dan
perempuan itulah yang membelinya! Dilihatnya perempuan itu sebagai suatu
perwujudan kekuasaan, terhadap siapa ia tak berdaya, karena ia hanya memiliki
kekuatan yang tak berarti! Tapi ia akan tumbuh. Pada suatu hari nanti ia akan
menjadi kuat, menjadi seorang laki-laki. Lalu ia akan membunuh perempuan itu.
Setelah bertekad begitu, ia merasa lebih tenang.
Kemudian, setelah ia pergi untuk kuliah, keadaan jadi tidak begitu buruk. Tapi
ia benci pada hari-hari libur, karena akan bertemu dengan perempuan itu.
Perempuan itu mengurus segala-galanya, membuat rencana-rencana, dan memberinya
bermacam-macam hadiah. Perempuan itu kelihatan heran karena ia tak pernah
memperlihatkan kegembiraannya. Ia benci dicium perempuan itu. Dan kemudian ia
senang bisa menggagalkan rencana-rencana yang telah dibuat perempuan itu
untuknya. Ia disuruh bekerja di bank! Atau di perusahaan minyak. Ia tidak mau.
Ia mau pergi mencari pekerjaan sendiri.
Waktu duduk di perguruan tinggi, ia mencoba melacak ibunya. Didapatnya berita
bahwa ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dalam suatu kecelakaan
mobil, bersama seorang laki-laki yang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk
berat. Jadi, mengapa tidak dilupakan saja" Mengapa tidak dijalani saja hidup ini dan
bersenang-senang" Ya, mengapa tidak"
Dan kini, apa yang akan terjadi sekarang" Perempuan itu sudah meninggal, bukan"
Perempuan itu mengira ia bisa membeli dirinya seharga seratus pound. Dikiranya
ia bisa membeli segala-galanya - rumah-rumah, mobil-mobil, dan anak-anak, karena
ia tak bisa melahirkan sendiri. Dikiranya ia Tuhan Yang Mahakuasa!
Nah, ternyata bukan. Hanya suatu pukulan dengan sebatang besi pengorek di
kepalanya, dan ia pun menjadi mayat, sama seperti mayat-mayat lain! (Sama
seperti mayat berambut keemasan dalam kecelakaan mobil di Great North itu.)
Perempuan itu sekarang sudah meninggal, bukan" Mengapa harus pusing"
Ada apa dengan dirinya" Apakah... karena ia tak bisa membenci perempuan itu
lagi, gara-gara ia sudah meninggal"
Jadi itulah kematian. Tanpa rasa bencinya itu, ia merasa kehilangan - kehilangan dan takut.
BAB XII DALAM kamar yang rapi, terpelihara tanpa cacat, Kirsten Lindstrom menjalin
rambut pirangnya yang kaku, menjadi dua jalinan yang tidak bagus, lalu bersiap-
siap tidur. Ia susah dan takut. Polisi tidak menyukai orang-orang asing. Sudah sekian lama ia di Inggris ini,
hingga ia sendiri sudah tidak merasa seperti orang asing lagi. Tapi polisi tak
mau tahu itu. Dr. Calgary itu - mengapa ia harus datang dan menjadikannya begini"
Bukankah keadilan sudah dijalankan" Ia teringat akan Jacko, lalu diulanginya
lagi dalam hati bahwa keadilan sudah dijalankan.
Ia mengenang Jacko sebagaimana ia mengenalnya sejak anak itu masih kanak-kanak.
Selalu, ya, ia selamanya pembohong dan penipu! Tapi ia begitu menarik dan
Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 3 Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Ksatria Negeri Salju 1
^