Pencarian

Mata Rantai Yang Hilang 3

Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie Bagian 3


menawan. Orang selalu memaafkannya. Orang selalu mencoba melindunginya dari
hukuman. Ia pandai sekali berbohong. Itulah kenyataan yang menyakitkan. Begitu pandainya
ia berbohong, sampai orang percaya padanya, hingga mau tak mau orang percaya
padanya. Jacko, Jacko yang jahat, Jacko yang kejam.
Dr. Calgary bisa saja yakin akan apa yang dikatakannya! Tapi Dr. Calgary keliru.
Apalah artinya tempat, waktu, dan alibi! Jacko bisa mengatur hal-hal seperti itu
dengan mudah sekali. Sebenarnya tak ada orang yang mengenal Jacko sebaik dia,
Kirsten Lindstrom. Akan adakah orang yang percaya padanya bila diceritakannya pada mereka bagaimana
Jacko sebenarnya" Dan kini... besok, apa yang akan terjadi" Polisi akan datang.
Dan semua orang tertekan, penuh curiga. Saling memandang. Tak yakin apa yang
harus diduga. Ia menyayangi mereka semua. Sayang sekali. Ia lebih tahu tentang mereka semua
daripada siapa pun juga. Jauh lebih tahu daripada yang diketahui Mrs. Argyle.
Karena Mrs. Argyle telah dibutakan nafsu keibuannya yang posesif dan kuat
sekali. Mereka anak-anaknya - ia selalu menganggap mereka sebagai miliknya. Tapi
Kirsten melihat mereka sebagai perorangan, sebagai diri mereka sendiri, dengan
semua kesalahan dan kebaikannya. Sekiranya ia memiliki anak-anak sendiri,
mungkin ia juga merasa ingin memiliki, pikirnya. Tapi ia sendiri bukan seorang
wanita dengan naluri keibuan yang kuat. Cintanya yang utama akan dicurahkannya
pada suami yang tak pernah dimilikinya.
Ia merasa sulit memahami para wanita seperti Mrs. Argyle, yang begitu tergila-
gila pada anak-anak yang bukan anak-anaknya sendiri, dan memperlakukan suaminya
seolah-olah ia tak ada saja! Padahal suaminya seorang pria yang baik, tak ada
yang lebih baik. Tapi ia diabaikan, disisihkan. Mrs. Argyle terlalu asyik,
hingga tak terlihat olehnya apa yang sedang terjadi di ujung hidungnya sendiri.
Sekretaris itu, ia seorang gadis cantik dan wanita sejati. Yah, belum terlambat
bagi Leo - atau apakah sudah terlambat kini" Kini, dengan munculnya perkara
pembunuhan dari kuburan Mrs. Argyle. Apakah mereka berdua akan berani bersatu"
Kirsten mendesah dengan sedih. Apa yang akan terjadi atas diri mereka semua"
Atas diri Micky yang memendam rasa dendam begitu mendalam terhadap ibu
angkatnya, sampai-sampai hampir merupakan penyakit. Atas diri Hester yang tidak
memiliki rasa percaya diri dan begitu liar. Hester yang sebenarnya sudah hampir
menemukan kedamaian dan ketenangan bersama dokter muda yang baik dan bisa
diandalkan itu. Bagi Leo dan Gwenda yang punya motif. Ya, itu memang harus
dihadapi. Kesempatan untuk melakukannya, seperti yang pasti disadari mereka
berdua. Atas diri Tina, makhluk kecil yang seperti kucing licin itu. Atas diri
Mary yang egois dan berhati dingin, yang tak pernah memperlihatkan rasa kasih
sayang pada siapa pun juga sebelum ia menikah.
Pernah ia sendiri sangat sayang dan sangat mengagumi majikannya, pikir Kirsten.
Ia tak ingat dengan pasti kapan ia mulai membencinya, kapan ia mulai
menyalahkannya dan menganggapnya serakah. Majikannya dianggapnya terlalu percaya
diri, sok pemurah, dan tirani. Ia menjadi semacam perwujudan berjalan dari tokoh
IBU MAHATAHU. Padahal ia bukan pula seorang ibu! Seandainya ia pernah melahirkan
anak, mungkin ia agak rendah hati.
Ah, mengapa harus mengingat Rachel Argyle terus" Rachel Argyle sudah meninggal.
Ia harus memikirkan dirinya sendiri, dan yang lain-lain.
Dan memikirkan apa yang akan terjadi besok.
II Mary Durrant terbangun dengan terkejut.
Ia bermimpi bahwa ia anak kecil, dan berada di New York lagi.
Aneh sekali. Sudah bertahun-tahun ia tak mengingat hal itu lagi.
Ia bahkan heran mengapa ia masih ingat. Berapa umurnya waktu itu" Lima" Enam
tahun" Ia bermimpi bahwa ia dibawa pulang kembali ke daerah pemukimannya, dari hotel.
Suami-istri Argyle sudah berlayar kembali ke Inggris tanpa membawanya. Ia marah
dan mengamuk beberapa lama, sampai ia menyadari bahwa itu hanya mimpi.
Alangkah senangnya ia waktu itu. Dibawa naik mobil, lalu naik ke lantai delapan
belas hotel, dengan lift. Kamar mewah yang besar, kamar mandi indah, gambaran
tentang apa-apa yang ada di dunia ini - bila kita kaya! Alangkah senangnya bila ia
bisa tinggal di tempat itu, bila ia bisa memiliki terus semuanya ini, untuk
selamanya. Selamanya sama sekali tak ada kesulitan. Yang dibutuhkan hanyalah pernyataan
kasih sayang, suatu hal yang tak pernah mudah baginya, karena ia tidak
berpembawaan menyayangi. Tapi hal itu diusahakannya. Dan ia pun mendapatkan
kepastian hidup itu! Ayah dan ibu yang kaya, pakaian, mobil, kapal laut, pesawat
terbang, para pelayan yang siap melayaninya, boneka-boneka dan mainan-mainan
lain yang mahal. Seakan-akan sebuah dongeng yang menjadi kenyataan.
Sayang, anak-anak yang lain itu harus tinggal di situ pula. Itu gara-gara
perang. Atau itu tetap akan terjadi juga" Karena cinta kasih keibuan yang tak
ada batasnya itu! Memang ada sesuatu yang tak wajar dalam hal itu. Seperti hewan
saja. Ia selalu memandang agak rendah terhadap ibu angkatnya. Yang jelas, ia telah
bodoh dalam memilih anak-anak itu. Anak-anak dari kalangan tak terhormat itu!
Yang punya kecenderungan untuk berbuat jahat, seperti Jacko. Yang tak memiliki
keseimbangan jiwa, seperti Hester. Yang bersifat kasar seperti Micky. Dan Tina,
yang anak blasteran! Tak mengherankan kalau mereka semua menjadi tak baik.
Meskipun ia tak bisa menyalahkan pemberontakan mereka. Ia sendiri pun telah
memberontak. Ia terkenang pertemuannya dengan Philip, seorang penerbang muda yang hebat.
Ibunya tak setuju. "Tak baik kawin tergesa-gesa. Tunggulah sampai selesai
perang." Tapi ia tak mau menunggu. Kemauannya sama kerasnya dengan ibunya, dan
ayahnya mendukungnya. Mereka menikah, dan tak lama setelah itu perang berakhir.
Ia ingin memiliki Philip sendiri. Ia ingin pergi dari bayang-bayang ibunya.
Nasiblah yang telah mengalahkannya, bukan ibunya. Mula-mula mereka mengalami
kegagalan-kegagalan dalam rencana-rencana keuangan Philip, kemudian disusul oleh
pukulan mengerikan itu - penyakit polio yang melumpuhkan. Begitu Philip bisa
meninggalkan rumah sakit, mereka kembali ke Sunny Point. Agaknya tak bisa lain,
mereka harus tinggal di situ. Philip sendiri menganggap hal itu wajar. Uang
Philip sudah habis sama sekali, sedangkan tunjangannya sendiri, yang diterimanya
dari trust, tidak begitu besar. Ia meminta tambahan, tapi dijawab bahwa untuk
sementara mungkin sebaiknya mereka tinggal di Sunny Point. Padahal ia ingin
memiliki Philip sendiri, hanya untuknya sendiri. Ia tak mau Philip dijadikan
salah seorang "anak-anak" Rachel Argyle. Ia sendiri tidak menginginkan anak, ia
hanya menginginkan Philip.
Tapi Philip sendiri agaknya menerima gagasan tinggal di Sunny Point.
"Lebih memudahkan," kata Philip. "Lagi pula, orang-orang yang selalu datang dan
pergi di sana akan merupakan suatu selingan bagiku. Apalagi ayahmu teman bicara
yang menyenangkan sekali."
Mengapa Philip tak ingin berduaan saja dengannya, padahal ia ingin berduaan saja
dengan Philip" Mengapa Philip selalu menginginkan adanya orang-orang lain"
Apakah ia benar-benar ingin ditemani ayahnya, ataukah... Hester"
Dan Mary pun merasa marah sekali. Tapi seperti biasanya, kehendak ibunya yang
terjadi. Tapi hal itu tak sempat lama terjadi... ia meninggal.
Dan sekarang semuanya akan dikorek kembali. Mengapa, oh, mengapa"
Dan mengapa Philip bersikap begitu mengesalkan mengenai hal itu" Ia bertanya-
tanya, mencoba mencari tahu dan melibatkan diri dalam sesuatu yang bukan
urusannya. Ia akan memasang perangkap, katanya.
Perangkap apa" III Leo Argyle memperhatikan sinar matahari pagi perlahan-lahan memenuhi kamarnya
dengan sinar kelabu remang-remang.
Ia telah memikirkan semuanya dengan cermat.
Sudah jelas baginya, apa sebenarnya yang sedang mereka hadapi - ia sendiri dan
Gwenda. Sambil berbaring, ditinjaunya segala-galanya sebagaimana yang akan dilihat
Inspektur Huish nanti. Rachel masuk dan menceritakan pada mereka tentang Jacko -
kekasarannya dan ancaman-ancamannya. Dengan bijak Gwenda pergi ke kamar di
sebelah, dan mencoba menenangkan Rachel. Dikatakannya bahwa Rachel telah
bertindak tepat dengan ketegasannya, bahwa bantuan mereka terhadap Jacko di masa
lalu ternyata tak ada gunanya, dan bahwa apa pun akibatnya, anak itu harus mau
menerima apa yang akan terjadi. Dan Rachel pergi lagi dengan pikiran lebih
tenang. Lalu Gwenda masuk kembali ke ruang itu. Dikumpulkannya surat-surat yang akan
dibawa ke kantor pos, dan bertanya apakah masih ada yang harus dikerjakannya.
Suaranya berkata lebih banyak daripada kata-kata yang diucapkannya. Ia
mengucapkan terima kasih pada gadis itu dan mengatakan tak ada. Lalu Gwenda
mengucapkan selamat malam dam keluar dari ruang itu. Ia berjalan di sepanjang
lorong rumah, menuruni tangga, dan melewati kamar tempat Rachel sedang duduk di
meja kerjanya, lalu keluar dari rumah, tanpa ada yang memperhatikannya pergi.
Sedang ia sendiri duduk seorang diri di ruang perpustakaan, dan tak ada seorang
pun yang memeriksa apakah ia meninggalkan ruang itu dan turun ke kamar Rachel.
Begitulah keadaannya - adanya kesempatan bagi salah seorang di antara mereka.
Ada pula motifnya, karena pada saat itu ia sudah mulai mencintai Gwenda dan
Gwenda mencintainya. Dan tak seorang pun yang bisa membuktikan apakah salah seorang di antara mereka
berdua bersalah atau tak bersalah.
IV Kira-kira satu kilometer dari tempat itu, Gwenda terbaring dengan mata nyalang,
tak bisa tidur. Tangannya terkepal. Ia sedang berpikir, betapa bencinya ia pada Rachel Argyle.
Dan kini dalam gelap itu, Rachel Argyle serasa berkata, "Kaupikir begitu aku
mati kau bisa mendapatkan suamiku, ya" Tidak - tak bisa. Kau tidak akan pernah
bisa mendapatkan suamiku!"
V Hester bermimpi. Ia bermimpi sedang bersama Donald Craig, dan Donald tiba-tiba
meninggalkannya di tepi jurang yang dalam sekali. Ia berteriak ketakutan. Lalu
di seberang jurang itu dilihatnya Arthur Calgary berdiri sambil mengulurkan
tangan ke arahnya. Ia berteriak marah pada Calgary.
"Mengapa kau berbuat begitu terhadapku?" Dan Calgary menjawab,
"Aku datang untuk menolongmu..."
Lalu ia terbangun. VI Tina terbaring di tempat tidur kecil di kamar kosong untuk tamu. Napasnya halus
dan teratur, tapi ia tak bisa tidur.
Ia mengenang Mrs. Argyle, tanpa rasa terima kasih, tidak pula dengan rasa benci -
hanya dengan rasa cinta. Karena Mrs. Argyle-lah ia mendapatkan makanan dan
minuman, kehangatan dan kenyamanan dan mainan. Ia menyayangi Mrs. Argyle. Ia
menyayangkan kematiannya.
Tapi persoalannya tidak semudah itu.
Persoalannya sudah selesai bila pelakunya Jacko.
Tapi sekarang" BAB XIII INSPEKTUR HUISH melihat pada mereka semua di sekelilingnya, dengan pandangan
halus dan sopan. Waktu ia berbicara, nadanya terdengar membujuk dan mengandung
permintaan maaf. "Saya tahu bahwa ini pasti sangat menyakitkan bagi Anda sekalian," katanya.
"Kita sekali lagi harus mengulangi seluruh peristiwa itu. Tapi kita benar-benar
tak punya pilihan lain dalam hal ini. Saya rasa Anda sudah membaca pemberitaan
tentang hal itu. Semua surat kabar pagi memuatnya."
"Suatu pengampunan," kata Leo.
"Pengungkapannya selalu tak enak didengar," kata Huish. "Sebagaimana istilah
pada umumnya, artinya sudah tak cocok lagi dengan keadaan sekarang. Tapi artinya
jelas sekali." "Itu berarti Anda telah membuat kekeliruan," kata Leo.
"Ya," Huish mengakui dengan singkat. "Kami telah membuat kekeliruan." Sebentar
kemudian ditambahkannya, "Tapi seandainya tak ada keterangan yang telah
diberikan Dr. Calgary, keadaannya memang tak bisa lain."
Leo berkata dengan nada dingin,
"Waktu Anda menangkap anak saya, dia telah mengatakan bahwa dia pergi dengan
menumpang mobil orang malam itu."
"Benar. Dia berkata begitu pada kami. Dan kami telah berusaha menyelidiki
kebenaran pernyataan itu, tapi kami tak bisa menemukan apa-apa yang membenarkan
kata-katanya. Saya sadar betul, Mr. Argyle, bahwa Anda pasti merasa getir sekali
sehubungan dengan keadaan ini. Saya tidak mencari-cari alasan dan tidak
menyatakan penjelasan. Yang harus kami - para perwira polisi - lakukan hanyalah
mengumpulkan bukti-bukti. Bukti-bukti itu kami serahkan pada Kejaksaan Negeri,
dan merekalah yang memutuskan apakah akan ada perkara yang harus disidangkan
atau tidak. Dalam peristiwa ini. Jaksa memutuskan bahwa perkara itu harus
disidangkan. Kalau bisa, saya minta Anda membuang sebanyak mungkin kegetiran
dari pikiran Anda, dan kita bahas lagi fakta-fakta dan waktu."
"Apa gunanya sekarang?" tanya Hester dengan tajam. "Siapa pun yang telah
melakukannya, kini sudah berada jauh sekali, dan Anda tidak akan menemukannya
lagi." Inspektur Huish menoleh padanya.
"Itu mungkin - mungkin juga tidak," katanya dengan halus. "Anda akan heran melihat
kami bisa menemukan orang yang kami cari, bahkan kadang-kadang setelah bertahun-
tahun berlalu. Itu berkat kesabaran - kesabaran dan tak pernah menyerah."
Hester memalingkan kepala, dan Gwenda menggigil sebentar, seolah-olah diterpa
angin dingin. Daya khayalnya yang kuat merasakan ancaman di balik kata-kata yang
tenang itu. "Nah," kata Huish. Ia memandang pada Leo dengan harapan. "Kita akan mulai dengan
Anda, Mr. Argyle." "Apa lagi sebenarnya yang ingin Anda ketahui" Pernyataan saya yang asli pasti
sudah ada pada Anda, bukan" Sekarang mungkin saya malah akan kurang cermat.
Waktu-waktu yang tepat cenderung hilang dari ingatan orang."
"Oh, kami menyadari hal itu. Tapi selalu ada kemungkinan adanya fakta kecil yang
muncul, sesuatu yang waktu itu terlupakan."
"Apakah tak mungkin seseorang bisa melihat persoalan-persoalan dalam proporsinya
yang lebih baik bila dia menoleh lagi ke belakang, setelah masa bertahun-tahun
berlalu?" kata Philip.
"Ya, itu suatu kemungkinan," kata Huish sambil menoleh pada Philip dengan penuh
perhatian. "Orang ini cerdas," pikirnya. "Aku ingin tahu apakah dia tak punya gagasan
sendiri mengenai..."
"Nah, Mr. Argyle, tolong ceritakan lagi kejadian demi kejadian. Waktu itu Anda
sudah minum teh?" "Ya, kami minum teh di ruang makan, seperti biasa, jam lima sore. Kami semua
berada di sana, kecuali Mr. dan Mrs. Durrant. Mrs. Durrant membawa tehnya
sendiri dan untuk suaminya, ke kamar duduk mereka sendiri."
"Waktu itu kelumpuhan saya lebih parah daripada sekarang," kata Philip. "Saya
baru saja keluar dari rumah sakit."
"Ya." Huish berpaling pada Leo lagi. "Anda semua... siapa saja?"
"Saya dan istri saya, anak saya Hester, Miss Vaughan, dan Miss Lindstrom."
"Tolong ceritakan dengan kata-kata Anda sendiri."
"Setelah minum teh, saya kembali kemari bersama Miss Vaughan. Kami sedang
mengerjakan suatu bab dari buku saya mengenai perekonomian dalam Abad
Pertengahan yang sedang saya perbaiki. Istri saya pergi ke kamar duduk yang
merangkap kantornya, yang terletak di lantai bawah. Seperti Anda ketahui, dia
orang yang sibuk sekali. Dia sedang meneliti rencana untuk sebuah taman bermain
anak-anak, yang akan dihadiahkan pada Pemerintah Daerah di sini."
"Adakah Anda mendengar kedatangan putra Anda Jacko?"
"Tidak. Artinya, saya tak tahu bahwa itu adalah dia. Saya mendengar, kami
mendengar bel pintu depan berbunyi. Kami tak tahu siapa yang datang."
"Anda pikir siapa itu, Mr. Argyle?"
Leo tertawa kecil. "Waktu itu pikiran saya sedang berada dalam abad kelima belas, bukan abad kedua
puluh. Saya sama sekali tidak menduga apa-apa. Bisa siapa saja atau apa saja.
Istri saya, Miss Lindstrom, Hester, dan mungkin salah seorang dari pembantu
sehari-hari di lantai bawah," kata Leo. "Tak ada orang yang pernah mengharapkan
agar saya yang membuka pintu."
"Setelah itu?" "Tak ada apa-apa lagi. Sampai istri saya masuk, lama setelah itu."
"Berapa lama?" Leo mengerutkan alisnya. "Sekarang saya benar-benar tak bisa mengatakannya. Waktu itu mungkin saya telah


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan perkiraan saya. Setengah jam - tidak, lebih - mungkin tiga perempat jam."
"Kami selesai minum teh setengah jam lewat sedikit," kata Gwenda. "Saya rasa
kira-kira jam tujuh kurang dua puluh menit Mrs. Argyle masuk ke perpustakaan."
"Dan apa katanya?"
Leo mendesah. Lalu ia berbicara dengan nada tak senang.
"Sudah sering kita mengulang-ulangi hal ini. Katanya, Jacko baru saja
mendatanginya, dia mengaku sedang dalam kesulitan, lalu meminta uang dengan
kasar dan mengancam, serta berkata bahwa bila dia tak bisa segera mendapatkan
uang, dia akan masuk penjara. Istri saya dengan tegas menolak memberinya uang.
Dia khawatir apakah tindakannya itu benar atau salah."
"Mr. Argyle, izinkan saya bertanya. Waktu anak itu meminta uang, mengapa istri
Anda tidak memanggil Anda" Mengapa baru kemudian hal itu diceritakannya pada
Anda" Apakah itu tidak aneh bagi Anda?"
"Tidak." "Saya rasa, sewajarnya adalah kalau dia mengatakannya pada Anda pada saat itu.
Apakah hubungan antara Anda berdua sedang kurang baik?"
"Oh, tidak. Tapi istri saya memang terbiasa mengambil keputusan sendiri. Dia
sering berkonsultasi dengan saya sebelumnya, menanyakan pendapat saya, dan
biasanya mendiskusikan pula keputusan-keputusan yang telah diambilnya dengan
saya, setelah itu. Dalam persoalan khusus itu, saya dan dia berbicara serius
mengenai masalah Jacko - apa yang terbaik yang harus dilakukan. Sejauh itu, kami
selalu bernasib buruk dalam menangani anak itu. Istri saya sudah beberapa kali
mengeluarkan uang dalam jumlah-jumlah besar, untuk melindungi Jacko dari akibat
perbuatannya." "Meskipun demikian, istri Anda risau waktu itu?"
"Ya, dia risau. Kalau saja anak itu tidak begitu kasar dan tidak mengancam, saya
rasa dia akan luluh dan membantunya sekali lagi. Tapi sikap anak itu malah
mengokohkan keputusannya."
"Apakah Jacko sudah meninggalkan rumah waktu itu?"
"Sudah." "Apakah Anda tahu sendiri hal itu, atau Mrs. Argyle yang mengatakan hal itu pada
Anda?" "Istri saya yang memberitahu saya. Katanya anak itu sudah pergi sambil memaki-
maki, dan mengancam akan kembali, serta katanya istri saya sebaiknya sudah
menyiapkan uang tunai untuknya kalau dia datang kembali."
"Apakah Anda - ini penting - apakah Anda khawatir mendengar anak itu akan kembali?"
"Tentu saja tidak. Kami sudah terbiasa dengan gertakan-gertakan Jacko."
"Tak pernahkah terpikir oleh Anda bahwa dia akan kembali dan benar-benar
menyerang istri Anda?"
"Tidak. Sudah saya katakan hal itu pada waktu itu. Saya terkejut sekali."
"Dan rupanya Anda benar sekali," kata Huish dengan halus. "Ternyata memang bukan
dia yang menyerang istri Anda. Kapan tepatnya Mrs. Argyle meninggalkan Anda?"
"Itu saya ingat. Dan sudah sering kita ulangi. Jam tujuh kurang sedikit, kira-
kira kurang tujuh menit."
Huish berpaling pada Gwenda Vaughan.
"Bisa Anda membenarkan itu?"
"Bisa." "Dan percakapannya berlangsung seperti yang dikatakan Mr. Argyle" Tak bisakah
Anda menambah apa-apa" Apakah tak ada yang dilupakannya?"
"Saya tidak mendengar seluruhnya. Setelah Mrs. Argyle menceritakan permintaan
Jacko, saya pikir sebaiknya saya pergi. Saya takut kalau-kalau mereka tak enak
berbicara dengan bebas di hadapan saya. Saya masuk ke situ...," ia menunjuk
pintu di bagian belakang ruang perpustakaan, "ke kamar kecil tempat saya
mengetik. Waktu mendengar Mrs. Argyle sudah pergi, saya masuk kembali."
"Dan waktu itu jam tujuh kurang tujuh menit?"
"Ya." "Lalu setelah itu, Miss Vaughan?"
"Saya bertanya pada Mr. Argyle apakah dia masih mau bekerja terus, tapi katanya
pikirannya sudah terganggu. Saya tanyakan apakah masih ada yang bisa saya
lakukan, katanya tidak. Jadi saya membenahi barang-barang saya, lalu pergi."
"Waktunya?" "Jam tujuh kurang lima menit."
"Anda turun ke lantai bawah dan menuju pintu depan?"
"Ya." "Kamar duduk Mrs. Argyle berada tepat di sebelah kiri pintu depan, bukan?"
"Ya." "Apakah pintunya terbuka?"
"Pintu itu tidak tertutup - terbuka sedikit, kira-kira selebar tiga puluh
sentimeter." "Tidakkah Anda masuk atau mengucapkan selamat malam padanya?"
"Tidak." "Apakah itu tidak biasa Anda lakukan?"
"Tidak. Rasanya bodoh kalau saya harus mengganggunya bekerja, hanya untuk
mengucapkan selamat malam."
"Sekiranya Anda masuk, mungkin Anda menemukan jenazahnya."
Gwenda mengangkat bahu. "Saya rasa begitu. Tapi saya rasa - maksud saya, waktu itu kami mengira dia baru
dibunuh kemudian. Jacko belum akan sempat..."
Ia berhenti. "Anda masih membayangkannya sehubungan dengan Jacko yang membunuhnya. Tapi
sekarang tidak begitu lagi. Jadi mungkin waktu itu dia sudah meninggal?"
"Saya rasa... sudah."
"Anda meninggalkan rumah dan langsung pulang?"
"Ya. Ibu kos saya berbicara dengan saya waktu saya masuk."
"Oh, begitu. Dan Anda tidak bertemu dengan siapa-siapa di jalan, di dekat rumah
ini?" "Saya rasa tidak... tidak." Gwenda mengerutkan alisnya. "Saya tak ingat benar
sekarang. Waktu itu udara dingin dan gelap, dan jalan ini buntu. Saya rasa saya
tidak berpapasan dengan siapa-siapa, sampai saya di Red Lion. Di situ ada
beberapa orang." "Adakah mobil yang melewati Anda?"
Gwenda kelihatan terkejut.
"Oh, ya, saya ingat sekarang. Ada sebuah mobil. Soalnya mobil itu memercikkan
air ke rok saya. Saya harus mencuci lumpurnya setiba saya di rumah."
"Mobil apa?" "Saya tak ingat. Saya tidak memperhatikan. Mobil itu melewati saya tepat di
jalan masuk ke jalan kami. Mungkin akan pergi ke salah satu rumah."
Huish berpaling lagi pada Leo.
"Kata Anda, Anda mendengar bel berbunyi beberapa waktu setelah istri Anda
meninggalkan ruangan ini?"
"Yah, saya rasa begitu. Saya tidak begitu yakin."
"Jam berapa waktu itu?"
"Saya tak tahu. Saya tidak melihat jam."
"Tidakkah Anda menduga bahwa putra Anda Jacko yang mungkin datang lagi itu?"
"Saya tidak menduga apa-apa. Saya... asyik bekerja lagi."
"Satu hal lagi, Mr. Argyle. Tahukah Anda bahwa putra Anda sudah menikah?"
"Sama sekali tidak."
"Ibunya juga tak tahu" Menurut Anda, apakah tak mungkin dia tahu tapi tidak
menceritakannya pada Anda?"
"Saya yakin betul bahwa dia sama sekali tak tahu. Kalau tahu, dia pasti datang
pada saya untuk membicarakannya. Bukan main terkejutnya saya waktu istrinya
muncul keesokan harinya. Saya hampir-hampir tak percaya waktu Miss Lindstrom
masuk ke ruang ini dan berkata, 'Ada seorang perempuan muda di bawah. Dia
mengaku istri Jacko.' Itu sama sekali tak mungkin. Miss Lindstrom risau sekali,
begitu, kan, Kirsty?"
"Saya tak bisa percaya," kata Kirsten. "Sampai dua kali saya suruh dia
mengatakannya, sebelum saya naik memberitahukannya pada Mr. Argyle. Rasanya tak
masuk akal." "Saya dengar Anda bersikap baik sekali padanya, Mr. Argyle," kata Huish pada Leo
lagi. "Saya melakukan apa yang bisa saya perbuat. Sekarang dia sudah menikah lagi.
Saya senang sekali. Suaminya kelihatannya orang yang bisa diandalkan."
Huish mengangguk, lalu berpaling pada Hester.
"Nah, Miss Argyle, tolong ceritakan lagi apa yang Anda lakukan setelah minum teh
hari itu." "Saya tak ingat lagi sekarang," kata Hester cemberut. "Mana saya bisa! Sudah dua
tahun berlalu. Mungkin saya berbuat apa saja."
"Saya dengar, Anda membantu Miss Lindstrom mencuci alat-alat bekas minum teh."
"Itu benar," kata Kirsten. "Lalu," sambungnya, "kau naik ke kamar tidurmu. Kau
akan keluar malam harinya, ingat itu, Sayang" Kau akan pergi menonton
pertunjukan amatir drama Waiting for Godot di Gedung Kesenian di Drymouth."
Hester masih saja cemberut dan tak mau bekerja sama.
"Semuanya itu sudah Anda tuliskan," katanya pada Huish. "Mengapa diulangi lagi?"
"Karena kita tak tahu apa yang bisa membantu, Miss Argyle. Jam berapa Anda
meninggalkan rumah?"
"Jam tujuh - atau sekitar itu."
"Adakah Anda mendengar pertengkaran antara ibu Anda dan kakak anda?"
"Tidak, saya tak mendengar apa-apa. Saya di lantai atas."
"Tapi Anda masih melihat Mrs. Argyle sebelum Anda meninggalkan rumah?"
"Ya. Saya perlu uang. Saya kehabisan uang, dan saya ingat bensin di mobil saya
sudah habis. Saya harus mengisi bensin di tengah jalan ke Drymouth. Jadi, waktu
saya siap berangkat, saya masuk menemui Ibu dan meminta uang - hanya beberapa
pound - hanya sebegitu yang saya perlukan."
"Dan dia memberi Anda?"
"Kirsty yang memberi saya."
Huish kelihatan agak terkejut.
"Seingat saya, hal itu tak ada dalam pernyataan aslinya."
"Yah, begitulah kejadiannya," kata Hester menentang. "Saya masuk dan bertanya
apakah saya bisa minta sedikit uang tunai. Kirsty, yang ada di luar, mendengar
kata-kata saya, lalu berseru bahwa dia ada menyimpan uang dan bisa memberikannya
pada saya. Dia sendiri juga akan keluar. Dan Ibu berkata, 'Ya, ambil saja dari
Kirsty.'" "Saya akan pergi ke gedung Yayasan Wanita, membawa beberapa buku mengenai
merangkai bunga," kata Kirsten. "Saya tahu bahwa Mrs. Argyle sedang sibuk dan
tak suka diganggu." Dengan suara sedih, Hester berkata,
"Apa bedanya siapa yang memberikan uang itu pada saya" Anda ingin tahu kapan
saya terakhir melihat Ibu dalam keadaan hidup. Ya, waktu itulah. Dia sedang
duduk di meja kerjanya, meneliti berlembar-lembar rencana. Lalu saya katakan,
saya minta uang tunai, dan Kirsty berseru bahwa dia yang akan memberikannya pada
saya. Saya ambil uang itu, dan saya masuk lagi ke kamar Ibu, akan mengucapkan
selamat malam, dan dia berkata semoga saya senang menonton drama itu. Dia
memperingatkan supaya saya berhati-hati mengemudi mobil. Dia selalu berkata
begitu. Lalu saya keluar ke garasi dan mengeluarkan mobil."
"Dan Miss Lindstrom?"
"Oh, dia langsung pergi segera setelah memberikan uang itu pada saya."
Kirsten Lindstrom cepat-cepat berkata, "Mobil Hester melewati saya waktu saya
sampai di ujung jalan kami. Pasti dia berangkat segera setelah saya. Dia terus
mendaki bukit ke arah jalan utama, sedangkan saya membelok ke kiri, ke desa."
Hester membuka mulutnya akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian cepat-cepat
menutupnya kembali. Huish berpikir, apakah Kirsten akan meyakinkan padanya bahwa Hester tidak akan
punya cukup waktu untuk melakukan kejahatan itu" Apakah tak mungkin Hester tidak
mengucapkan selamat malam dengan baik-baik pada Mrs. Argyle, tapi sebaliknya
bertengkar, dan Hester kemudian menghantamnya"
Dengan tenang Huish berpaling pada Kirsten dan berkata,
"Nah, Miss Lindstrom, sekarang ceritakan apa yang Anda ingat."
Kirsten gugup. Tangannya diremas-remasnya.
"Kami minum teh. Lalu alat-alatnya kami bereskan. Hester membantu saya. Lalu dia
naik ke kamarnya di lantai atas. Lalu Jacko datang."
"Anda mendengarnya?"
"Ya. Saya yang membukakannya pintu. Katanya kunci pintu yang ada padanya hilang.
Dia langsung masuk ke kamar ibunya. Dia segera berkata, 'Saya dalam kesulitan.
Ibu harus menolong saya.' Saya tak mendengar apa-apa lagi. Saya kembali ke
dapur. Saya harus menyiapkan makan malam."
"Apakah Anda mendengar dia pergi?"
"Ya. Dia berteriak-teriak. Saya keluar dari dapur. Dia berdiri di ruang depan
dalam keadaan marah sekali, sambil berteriak bahwa dia akan kembali, dan bahwa
ibunya sebaiknya menyiapkan uang itu untuknya. Kalau tidak! Ya, begitu katanya.
'Kalau tidak!' Itu merupakan suatu ancaman."
"Dan kemudian?"
"Dia pergi sambil membanting pintu. Mrs. Argyle keluar ke ruang depan. Dia pucat
sekali dan kelihatan risau. Katanya pada saya, 'Kaudengar itu!'
"Kata saya, 'Dia dalam kesulitan lagi"'
"Mrs. Argyle mengangguk. Lalu dia naik ke lantai atas, ke ruang perpustakaan,
mendatangi Mr. Argyle. Saya menyediakan makan malam, setelah itu saya naik ke
lantai atas untuk menyiapkan pakaian bepergian. Yayasan Wanita akan
menyelenggarakan kontes merangkai bunga keesokan harinya. Ada beberapa buku
mengenai merangkai bunga yang telah kami janjikan pada mereka."
"Anda membawa buku-buku itu ke yayasan tersebut. Jam berapa Anda kembali ke
rumah?" "Kira-kira jam setengah delapan. Saya masuk dengan menggunakan kunci saya
sendiri. Saya langsung masuk ke kamar Mrs. Argyle, untuk menyampaikan pesan
ucapan terima kasih dan surat. Dia duduk di meja kerjanya, kepalanya
tertelungkup di tangannya. Besi pengorek itu terlempar di lantai, dan laci-laci
meja terbuka. Ada perampokan, pikir saya. Dia telah diserang. Dan ternyata saya
benar. Sekarang Anda tahu bahwa saya benar! Kejadian itu memang suatu perampokan
oleh seseorang dari luar!"
"Seseorang yang dibukakan pintu oleh Mrs. Argyle sendiri?"
"Mengapa tidak?" kata Kirsten menantang. "Dia orang baik, selalu baik sekali.
Dan dia tidak takut pada manusia atau pada apa pun juga. Apalagi dia merasa
tidak sendirian di rumah ini. Ada yang lain-lain - suaminya, Gwenda, Mary. Dia
hanya perlu berteriak."
"Tapi dia tidak berteriak," kata Huish.
"Tidak. Karena siapa pun orangnya, dia pasti telah menceritakan sesuatu yang
sangat masuk akal. Dia selalu mau mendengarkan. Maka dia lalu duduk di meja
kerjanya lagi, mungkin akan mencari buku ceknya, karena dia tidak curiga, dan
orang itu pun punya waktu untuk mencabut besi pengorek dan menghantamnya. Bahkan
orang itu mungkin tidak berniat membunuhnya. Dia hanya ingin membuatnya pingsan,
sementara dia mencari uang dan perhiasan, lalu pergi."
"Tak jauh-jauh dia mencari. Dia hanya membuka beberapa laci."
"Mungkin dia lalu mendengar suara-suara dari dalam rumah, atau dia lalu
kehilangan ke beranian. Atau mungkin dilihatnya Mrs. Argyle sudah tewas. Dia
jadi panik dan cepat-cepat pergi."
Kirsten membungkukkan tubuh.
Matanya membayangkan ketakutan dan permohonan.
"Pasti begitulah keadaannya - pasti!"
Huish jadi tertarik pada nadanya yang mendesak. Apakah perempuan ini ketakutan
sendiri" Ia bisa membunuh majikannya di tempat itu, lalu menarik laci-laci untuk
memberikan kesan adanya seorang perampok. Bukti medis tidak dapat memastikan
waktu yang lebih tepat daripada antara jam tujuh dan setengah delapan.
"Kelihatannya memang begitu," katanya membenarkan dengan sikap menyenangkan.
Terdengar desahan halus kelegaan dari Kirsten. Ia pun bersandar lagi. Lalu Huish
berpaling pada suami-istri Durrant.
"Apakah Anda berdua tidak mendengar apa-apa" Atau mungkin salah seorang di
antara Anda berdua?"
"Sama sekali tidak."
"Saya membawa naik senampan perlengkapan teh ke kamar kami," kata Mary. "Kamar
itu agak terpisah dari bagian-bagian yang lain. Kami terus berada di sana,
sampai kami mendengar seseorang berteriak. Ternyata Kirsty. Dia baru saja
menemukan Ibu meninggal."
"Selama itu Anda tidak meninggalkan kamar Anda?"
"Tidak." Mary membalas pandangan Huish dengan matanya yang jernih. "Kami sedang
main picquet." Philip tak mengerti mengapa ia merasa agak tak enak. Polly telah melakukan
sebagaimana yang disarankannya. Mungkin itu merupakan wataknya yang khas,
sempurna, tenang, tidak tergesa-gesa, dan selalu memperlihatkan percaya diri.
"Polly, kekasihku, kau seorang pembohong yang hebat!" bisiknya dalam hati.
"Sedangkan saya. Inspektur," katanya dengan nyaring, "waktu itu dan bahkan
sampai sekarang pun sama sekali tak bisa pergi ke mana-mana."


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi Anda sekarang sudah banyak kemajuan, bukan, Mr. Durrant?" kata Inspektur
dengan ceria. "Tak lama lagi Anda pasti sudah bisa berjalan."
"Penyakit ini makan waktu lama sekali."
Huish berpaling pada dua anggota keluarga yang sampai saat itu duduk saja tanpa
bersuara. Micky duduk dengan kedua lengan terlipat dan wajah membayangkan
ejekan. Tina, yang kecil dan luwes, bersandar di kursinya, matanya sekali-sekali
beralih dari satu wajah ke wajah lain.
"Saya tahu," kata Huish, "bahwa Anda berdua tidak ada di rumah saat itu. Tapi
mungkin Anda bisa mengingatkan saya kembali mengenai apa-apa yang Anda berdua
lakukan malam itu." "Apakah ingatan Anda perlu disegarkan?" tanya Micky dengan ejekan lebih terang-
terangan. "Saya sih masih bisa menceritakan kegiatan-kegiatan saya waktu itu.
Saya sedang keluar mengetes mobil. Ada yang tak beres dengan koplingnya. Lama
saya mengetesnya. Dari Drymouth mendaki Minchin Hill, lewat Moor Road, dan
kembali lewat Ipsley. Sayangnya mobil bisu, jadi tak bisa memberikan kesaksian."
Tina akhirnya memalingkan kepalanya. Ia menatap ke arah Micky. Wajahnya tetap
polos. "Dan Anda, Miss Argyle" Anda bekerja di Perpustakaan Daerah di Redmyn, bukan?"
"Ya. Kantor tutup jam setengah enam. Saya pergi berbelanja sedikit di High
Street. Lalu saya pulang. Saya tinggal di flat - sebuah flat yang kecil sekali - di
Morecombe Mansions. Saya memasak makan malam, lalu menghabiskan waktu malam itu
dengan tenang, sambil mendengarkan gramofon."
"Anda sama sekali tidak keluar?"
Keadaan hening sebentar sebelum ia berkata,
"Tidak, saya tidak keluar."
"Anda yakin itu, Miss Argyle?"
"Ya, saya yakin."
"Anda punya mobil, bukan?"
"Ada." "Mobil-mobilan," sela Micky. "Si cilik yang sering menyusahkan dan licik."
"Ya, mobil saya kecil sekali," kata Tina, tetap tenang dan serius.
"Di mana Anda menyimpannya?"
"Di jalan. Saya tak punya garasi. Ada jalan simpang di sebelah flat itu. Mobil-
mobil diparkir di sepanjang jalan itu."
"Jadi tak ada lagi yang akan Anda ceritakan, yang bisa membantu kami?"
Huish sendiri tak tahu mengapa dia begitu ngotot bertanya.
"Saya rasa tak ada lagi yang bisa saya ceritakan."
Micky memandang sekilas padanya.
Huish mendesah. "Saya rasa kami tak bisa membantu dengan baik, bukan, Inspektur?" kata Leo.
"Belum tahu, Mr. Argyle. Tahukah Anda ada satu hal yang paling aneh dalam
perkara ini?" "Saya" Saya rasa saya tak tahu maksud Anda."
"Uang itu," kata Huish. "Uang yang ditarik Mrs. Argyle dari bank termasuk uang
kertas senilai lima pound, yang di belakangnya bertuliskan nama Mrs.
Bottleberry, Bangor Road 17 itu. Bagian yang memberatkan dari perkara ini adalah
bahwa uang kertas lima pound itu ada pada Jack Argyle, bersama dengan uang yang
lain, waktu dia tertangkap. Dia bersumpah bahwa dia menerimanya dari Mrs.
Argyle. Padahal Mrs. Argyle jelas-jelas mengatakan pada Anda dan Miss Vaughan
bahwa dia sama sekali tidak memberikan uang pada Jacko. Jadi dari mana dia
mendapatkan uang lima puluh pound itu" Tak mungkin dia kembali kemari. Kesaksian
Dr. Calgary menjelaskan hal itu. Jadi dia pasti sudah memilikinya waktu dia
pergi dari sini. Siapa yang telah memberikannya padanya" Andakah?"
Ia berbalik dan menghadap tepat pada Kirsten Lindstrom, yang wajahnya menjadi
merah karena marah. "Saya" Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin?"
"Di mana uang yang ditarik Mrs. Argyle dari bank itu disimpan?"
"Biasanya disimpan dalam salah satu laci meja kerjanya," kata Kirsten.
"Dalam keadaan terkunci?"
Kirsten berpikir sebentar.
"Mungkin laci itu dikuncinya sebelum dia pergi tidur."
Huish menoleh pada Hester.
"Apakah Anda yang mengambil uang itu dari laci dan kemudian memberikannya pada
kakak Anda?" "Saya bahkan tak tahu dia ada di rumah waktu itu. Lagi pula, bagaimana saya bisa
mengambil uang itu tanpa sepengetahuan Ibu?"
"Anda bisa dengan mudah sekali mengambilnya, waktu ibu Anda naik ke ruang
perpustakaan untuk berbicara dengan ayah Anda," kata Huish.
Ia ingin melihat, apakah Hester menyadari dan kemudian menghindari perangkapnya
itu. "Tapi waktu itu Jacko sudah pergi. Saya..." Ia berhenti dengan kesal.
"Kalau begitu, Anda tahu bahwa kakak Anda sudah pergi," kata Huish.
Cepat-cepat dan dengan bernafsu Hester berkata,
"Saya... saya... sekarang saya tahu. Waktu itu tidak. Saya sedang di lantai
atas, di kamar saya. Saya tidak mendengar apa-apa. Lagi pula, saya tidak akan
mau memberi Jacko uang."
"Dan saya," kata Kirsten, wajahnya merah dan marah, "kalaupun saya memberi Jacko
uang, pasti uang saya sendiri yang saya berikan! Saya tidak akan mau
mencurinya!" "Tentu Anda tak mau," kata Huish. "Tapi sekarang Anda sekalian lihat sendiri apa
yang harus kita simpulkan. Tidak seperti yang dikatakan Mrs. Argyle pada Anda."
Ia menoleh pada Leo. "Tentu dia sendiri yang telah memberikan uang itu pada
Jacko." "Saya tak percaya itu. Mengapa tidak dikatakannya pada saya kalau itu
dilakukannya?" "Dia bukan satu-satunya ibu yang sebenarnya lebih berhati lemah daripada yang
mau diakuinya." "Anda keliru, Inspektur. Istri saya tak pernah mau mengalah karena harus
mengelak." "Saya rasa kali ini dia melakukannya," kata Gwenda Vaughan. "Sebenarnya dia
pasti telah melakukan... seperti yang dikatakan Inspektur. Itulah satu-satunya
jawabannya." "Bagaimanapun juga," kata Huish dengan suara halus, "kita harus melihat seluruh
peristiwa itu dari segi yang lain sekarang. Pada saat penangkapan, kita mengira
Jacko berbohong. Tapi sekarang kita tahu, dia telah berkata benar, bahwa waktu
itu dia menumpang mobil Calgary. Jadi agaknya dia berkata benar pula tentang
uang itu. Katanya ibunya yang memberikan uang padanya. Jadi agaknya itu memang
benar." Keadaan sepi - sepi yang menegangkan.
Huish bangkit. "Yah, terima kasih. Saya rasa jejak kejahatan itu memang sudah
dingin sekarang, tapi siapa tahu."
Leo mengantarnya sampai ke pintu. Waktu kembali, ia berkata sambil mendesah,
"Nah, sudah selesai. Untuk sementara."
"Untuk selamanya," kata Kirsten. "Mereka tidak akan pernah tahu."
"Apa gunanya itu bagi kita?" seru Hester.
"Sayangku." Ayahnya mendatanginya. "Tenanglah, anakku. Jangan begitu tegang.
Waktu bisa menyembuhkan segalanya."
"Dalam beberapa hal tidak bisa. Apa yang harus kita perbuat sekarang" Oh! Apa
yang harus kita lakukan?"
"Mari, Hester." Kirsten memegang pundak gadis itu.
"Aku tidak memerlukan siapa-siapa." Lalu ia berlari keluar dari ruangan itu.
Sesaat kemudian, mereka mendengar pintu depan terbanting.
"Gara-gara ini semua!" kata Kirsten. "Ini tak baik baginya."
"Tapi aku juga berpikir bahwa itu tak benar," kata Philip Durrant sambil
merenung. "Apa yang tak benar?" tanya Gwenda.
"Bahwa kita tidak akan pernah tahu keadaan yang sebenarnya. Aku bisa
merasakannya." Wajahnya yang seperti hantu hutan dan kelihatan agak nakal, jadi berseri dengan
senyum yang aneh. "Philip, berhati-hatilah," kata Tina.
Philip melihat padanya dengan senyum aneh.
"Tina kecil, apa yang kau tahu tentang ini semua?"
"Kuharap aku tak tahu apa-apa," kata Tina dengan lantang.
BAB XIV "KAU merasa tidak mendapatkan hasil apa-apa?" kata Agen Kepala Polisi.
"Tak ada yang pasti, Sir," kata Huish. "Tapi waktu saya tidak terbuang sia-sia
benar." "Coba ceritakan."
"Yah, mengenai waktu dan tempat yang utama, tetap sama. Jam tujuh kurang
sedikit, Mrs. Argyle masih hidup, berbicara dengan suaminya dan Miss Vaughan,
dan setelah itu ditemui di lantai bawah oleh Hester Argyle. Ketiga orang itu tak
mungkin bersekongkol. Sekarang Jacko Argyle bisa dibebaskan dari tuduhan. Jadi
itu berarti dia mungkin dibunuh oleh suaminya, antara jam tujuh lewat lima menit
dan setengah delapan; oleh Gwenda Vaughan jam tujuh lewat lima menit dalam
perjalanannya keluar akan pulang; oleh Hester, sebentar sebelum itu; oleh
Kirsten Lindstrom, waktu dia masuk setelah itu - katakanlah sedikit sebelum
setengah delapan. Kelumpuhan Durrant memberinya alibi, tapi alibi istrinya
tergantung padanya. Istrinya itu bisa saja turun lalu membunuh ibunya, kalau dia
mau, antara jam tujuh dan setengah delapan, bila suaminya mau mendukung
perbuatannya itu. Meskipun saya tak tahu mengapa dia harus melakukannya.
Sebenarnya, sejauh yang dapat saya lihat, hanya dua orang yang punya motif kuat
atas kejadian itu. Leo Argyle dan Gwenda Vaughan."
"Menurutmu, salah satu di antaranya atau keduanya?"
"Saya rasa mereka tidak terlibat bersama-sama. Menurut saya, ini merupakan
kejahatan berdasarkan dorongan kata hati saja, bukan kejahatan yang
direncanakan. Mrs. Argyle masuk ruang perpustakaan, menceritakan pada mereka
tentang Jacko yang menuntut uang dan ancaman-ancamannya. Katakanlah, Leo Argyle
kemudian turun untuk berbicara dengannya mengenai Jacko, atau tentang sesuatu
yang lain. Rumah sepi, tak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Leo masuk ke
kamar duduk itu. Istrinya duduk di meja tulisnya, membelakanginya. Besi pengorek
yang telah digunakan Jacko untuk mengancamnya mungkin masih terletak di tempat
anak itu melemparkannya sebelumnya. Laki-laki yang tenang dan tertekan seperti
dia, adakalanya meledak. Dibungkusnya tangannya dengan saputangan, supaya tidak
meninggalkan sidik jari, diambilnya besi pengorek itu, dihantamkannya ke kepala
istrinya, dan... selesai. Ditariknya keluar satu atau dua laci untuk memberikan
kesan orang mencari uang. Lalu dia naik lagi, sampai seseorang menemukan
istrinya. Atau misalkan Gwenda Vaughan yang sedang akan keluar, melihat ke dalam
kamar, lalu terserang dorongan untuk membunuh. Jacko akan merupakan kambing
hitam yang baik sekali, dan jalan untuk menikah dengan Leo Argyle pun terbuka."
Mayor Finney mengangguk sambil merenung.
"Ya. Itu mungkin. Dan mereka tentu berhati-hati untuk tidak mengumumkan
pertunangan mereka secepatnya. Sampai si setan kecil, Jacko yang malang itu,
benar-benar dihukum atas tuduhan pembunuhan tersebut. Ya, kelihatannya masuk
akal. Kejahatan memang tak pernah tanpa variasi. Suami dan orang ketiga, atau
istri dengan orang ketiga - selalu pola lama yang sama itu. Tapi apa yang bisa
kita lakukan, Huish" Apa yang bisa kita perbuat?"
"Saya juga tak tahu, Sir," kata Huish lambat-lambat, "apa yang bisa kita lakukan
dalam hal ini. Mungkin kita merasa yakin, tapi mana buktinya" Tak ada yang bisa
diajukan ke pengadilan."
"Tidak - tidak. Tapi yakinkah kau, Huish" Yakinkah kau akan pendapatmu itu?"
"Tidak seyakin yang saya inginkan, Sir," kata Inspektur Huish dengan sedih.
"Oh. Mengapa tidak?"
"Faktor manusianya, Sir - maksud saya Mr. Argyle itu."
"Bukan tipe orang yang mau membunuh?"
"Bukan begitu - bukan yang berhubungan dengan pembunuhan itu sendiri. Melainkan
sehubungan dengan anak itu. Saya tak bisa membayangkan Mr. Argyle menudingkan
tuduhan palsu pada anak itu."
"Ingat, itu bukan anaknya sendiri. Mungkin dia tidak begitu menyayangi anak itu -
bahkan mungkin dia membencinya - karena besarnya kasih sayang yang dicurahkan
istrinya pada anak itu."
"Mungkin begitu. Tapi kelihatannya dia sayang pada semua anak itu."
"Memang," kata Finney, sambil merenung. "Dia tahu, anak itu tidak akan
digantung. Mungkin itu ada bedanya."
"Yah, mungkin dalam hal itu Anda benar, Sir. Mungkin dia berpikir bahwa sepuluh
tahun dalam penjara, yaitu lamanya hukuman seumur hidup, tidak akan merugikan
anak itu." "Bagaimana dengan wanita muda itu - Gwenda Vaughan?"
"Bila dia yang melakukannya," kata Huish, "saya rasa dia tidak akan merasa
menyesal terhadap Jacko. Kaum wanita bisa kejam sekali."
"Pokoknya kau cukup puas memastikan mereka berdua?"
"Ya, cukup puas."
"Tapi tak lebih dari itu?" Agen Kepala mendesaknya.
"Tidak. Saya rasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Bisa disebut arus bawah."
"Coba jelaskan, Huish."
"Saya ingin sekali tahu bagaimana pikiran mereka masing-masing. Yang seorang
tentang yang lain." "Oh, begitu. Sekarang aku mengerti. Kau ingin tahu apakah mereka tahu siapa
pelakunya, begitu?" "Ya, saya tak dapat memastikan tentang itu. Apakah mereka semua tahu" Dan apakah
mereka semua sepakat untuk merahasiakannya" Saya rasa tidak. Saya bahkan merasa
mungkin mereka semua punya pikiran yang berbeda-beda. Wanita dari Swedia itu,
umpamanya, dia tegang sekali. Mungkin karena dia sendiri yang melakukannya. Dia
sedang mencapai umur saat otak orang mulai agak miring. Mungkin dia ketakutan,
entah untuk dirinya sendiri atau seseorang lain. Saya mendapat kesan, untuk
seseorang lain. Tapi mungkin saya keliru."
"Untuk Leo?" "Bukan. Saya rasa bukan Leo yang dirisaukannya. Saya rasa gadis itu - Hester."
"Hester, ya" Adakah kemungkinan Hester pelakunya?"
"Tak ada motif yang jelas. Tapi dia tipe gadis yang meledak-ledak, mungkin
karena kurang keseimbangan jiwa."
"Dan Lindstrom mungkin jauh lebih tahu tentang gadis itu daripada kita."
"Ya. Lalu ada pula gadis kecil berkulit gelap, yang bekerja di Perpustakaan
Daerah itu." "Dia tak ada di rumah malam itu, bukan?"
"Tidak. Tapi saya rasa dia tahu sesuatu. Mungkin dia tahu siapa yang
melakukannya." "Tahu" Atau menerka."
"Dia tampak khawatir. Jadi saya rasa dia tidak menerka."
Katanya lagi, "Lalu ada putra yang seorang lagi, Micky. Dia juga tak ada di
sana, tapi dia sedang keluar naik mobil. Tak seorang pun bersamanya. Katanya dia
sedang keluar naik mobil ke arah padang gersang dan Minchin Hill. Hanya dia
sendiri yang bisa menegaskan hal itu. Bisa saja dia pergi ke rumah itu. Dia
masuk, membunuhnya, lalu pergi lagi. Gwenda Vaughan mengatakan sesuatu yang tak
ada dalam pernyataannya semula. Katanya ada mobil yang melewatinya di dekat
jalan masuk ke jalan pribadi mereka. Ada empat belas rumah di sepanjang jalan
itu, jadi mungkin salah satu dari mereka. Padahal tidak akan ada seorang pun
yang ingat setelah dua tahun ini - tapi berarti pula ada kemungkinan mobil itu
mobil Micky." "Mengapa dia berkeinginan membunuh ibu angkatnya?"
"Kita tak tahu alasannya, tapi mungkin saja ada."
"Siapa yang mungkin tahu?"
"Mungkin mereka semua tahu," kata Huish. "Tapi mereka tak mau mengatakannya pada
kita. Maksud saya, mereka tidak akan mau menceritakannya atas kesadaran
sendiri." "Aku bisa menangkap niat jahatmu," kata Mayor Finney. "Siapa yang akan
kaukorek?" "Saya rasa Lindstrom. Kalau saya bisa mematahkan pertahanannya. Saya juga
berharap untuk mencari tahu apakah dia sendiri punya rasa dendam terhadap Mrs.
Argyle. "Lalu ada pula pria yang lumpuh itu," sambungnya, "Philip Durrant."
"Bagaimana dengan dia?"
"Yah, saya rasa dia mulai mendapatkan beberapa gagasan mengenai semuanya. Saya
rasa dia tidak akan mau menyampaikannya pada saya, tapi mungkin saya akan bisa
mendapatkan bayangan tentang cara kerja pikirannya. Dia cerdas, dan boleh
dikatakan tajam pengamatannya. Mungkin dia telah melihat beberapa hal yang
menarik." II "Ayo keluar, Tina, kita mencari udara segar."
"Udara segar?" Tina mendongak, melihat Micky dengan ragu. "Udaranya dingin


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali, Micky." Ia agak menggigil.
"Kurasa kau benci pada udara segar, Tina. Sebab itu kau bisa tahan terkurung di
perpustakaan itu sepanjang hari."
Tina tersenyum. "Aku tidak keberatan terkurung dalam musim salju. Di dalam perpustakaan itu
hangat dan nyaman." Micky memandanginya. "Dan kau duduk saja di situ, meringkuk seperti anak kucing kecil yang merasa
nyaman di depan perapian. Tapi bagaimanapun juga, akan baik bagimu kalau kau
keluar. Ayolah, Tina, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Aku ingin...
mendapatkan udara untuk paru-paruku. Lupakanlah semua urusan polisi yang
menjengkelkan itu." Tina bangkit dari kursinya dengan gerakan malas tapi luwes, tak ubahnya anak
kucing, sebagaimana Micky membandingkannya tadi.
Di ruang depan dikenakannya sehelai mantel triko berkerah bulu hewan, lalu
mereka keluar. "Kau tidak memakai mantel sama sekali, Micky?"
"Tidak, aku tak pernah merasa dingin."
"Brrrr," kata Tina perlahan-lahan. "Aku benci sekali pada negeri ini dalam musim
salju. Ingin rasanya aku pergi ke luar negeri. Aku ingin pergi ke suatu tempat
di mana matahari selalu bersinar, dan udaranya lembap, lembut, dan hangat."
"Aku baru mendapat tawaran pekerjaan di Teluk Parsi," kata Micky, "dari salah
satu perusahaan minyak. Pekerjaannya berhubungan dengan transportasi mesin-
mesin." "Kau mau pergi?"
"Tidak. Kurasa tidak.... Untuk apa?"
Mereka berjalan ke bagian belakang rumah, mulai melewati jalan yang berkelok-
kelok melalui pohon-pohon, yang akhirnya menuju tebing sungai. Di pertengahan
jalan itu ada sebuah rumah peristirahatan kecil yang terlindung dari angin.
Mereka tidak segera duduk, melainkan berdiri di depannya, memandang ke sungai.
"Indah di sini, ya?" kata Micky.
Tina memandangi pemandangan itu dengan mata tak acuh.
"Ya," katanya, "ya, mungkin."
"Kau tak yakin, ya?" kata Micky, sambil melihat padanya dengan pandangan sayang.
"Kau tidak menyadari keindahan, Tina. Sejak dulu kau begitu."
"Seingatku, selama kita tinggal di sini, kau tak pernah menikmati keindahan
tempat ini," kata Tina. "Kau selalu cemberut, dan selalu ingin kembali ke
London." "Itu soal lain," kata Micky. "Aku tidak merasa merupakan bagian di sini."
"Itu persoalannya, ya?" kata Tina. "Sebenarnya kau tidak merasa merupakan bagian
di mana pun juga." "Aku tidak merasa merupakan bagian di mana pun juga," ulang Micky dengan suara
serak. "Mungkin itu benar. Aduh, Tina, menakutkan sekali pikiran begitu. Ingat
lagu lama itu" Kalau tak salah, dulu Kirsten suka menyanyikannya untuk kita.
Sesuatu tentang seekor burung merpati. Oh, merpati cantik. Oh, merpati yang
kusayangi. Oh, merpati berdada putih. Ingatkah kau?"
Tina menggeleng. "Mungkin dia menyanyikannya untukmu, tapi... tidak, aku tak ingat."
Micky melanjutkan, setengah berbicara sambil setengah bersenandung,
"Oh, gadis terkasih, aku tidak berada di sini. Aku tak punya tempat, tak punya
bagian. Tak punya tempat tinggal di laut maupun di darat. Hanya di dalam
hatimu." Ia melihat pada Tina. "Kurasa itu bisa benar."
Tina memegang lengan Micky dengan tangannya yang kecil.
"Mari, Micky, kita duduk di sini. Di sini tak kena angin. Tidak dingin."
Micky menurutinya, dan Tina berkata lagi,
"Haruskah kau selalu begitu murung?"
"Sayangku, kau sama sekali tak mengerti tentang hal itu."
"Aku mengerti banyak," kata Tina. "Mengapa kau tak bisa melupakannya, Micky?"
"Melupakannya" Siapa maksudmu?"
"Ibumu," kata Tina.
"Melupakan dia!" kata Micky dengan getir. "Apakah mungkin kita melupakannya
setelah peristiwa tadi pagi - setelah semua pertanyaan itu! Bila seseorang telah
dibunuh, orang tidak membiarkan kita melupakannya!"
"Bukan itu maksudku," kata Tina. "Maksudku ibumu yang sesungguhnya."
"Untuk apa aku harus mengingatnya" Aku tak pernah melihatnya lagi sejak aku
berumur enam tahun."
"Tapi, Micky, kau selalu mengingatnya. Selalu."
"Pernahkah itu kukatakan padamu?"
"Kadang-kadang kita tahu saja tentang hal begitu," kata Tina.
Micky menoleh dan memandanginya.
"Kau benar-benar makhluk kecil yang halus dan pendiam, Tina. Seperti anak kucing
hitam. Aku ingin membelai bulumu dengan cara yang benar. Pusi manis! Pusi kecil
yang cantik!" Tangannya membelai lengan mantel Tina.
Tina yang tetap duduk dengan tenang, tersenyum pada Micky melihat perbuatannya
itu. Micky berkata lagi, "Kau tidak membencinya, ya, Tina" Padahal kami semua membencinya."
"Itu tak baik," kata Tina. Ia menggeleng pada Micky, lalu berkata lagi dengan
agak bersemangat, "Lihatlah apa yang telah diberikannya padamu, pada kalian
semua. Sebuah rumah, kehangatan, kebaikan hati, makanan enak, mainan, orang-
orang yang merawat dan melindungi kalian."
"Ya, ya," kata Micky tak sabaran. "Setatakan susu dan belaian-belaian sayang.
Hanya itu yang kauinginkan, bukan, kucing kecil?"
"Aku merasa berterima kasih atas semua itu," kata Tina. "Tak seorang pun di
antara kalian yang berterima kasih."
"Tidakkah kau mengerti, Tina, bahwa orang tak bisa berterima kasih bila kita
harus berterima kasih" Bahkan boleh dikatakan kita merasa lebih tak enak, karena
merasakan keharusan itu. Aku tak ingin dibawa kemari. Aku tak ingin diberi
lingkungan yang mewah ini. Aku tak ingin dibawa pergi dari rumahku sendiri."
"Kalau tidak, kau bisa-bisa kejatuhan bom," kata Tina. "Bisa-bisa kau tewas."
"Apa bedanya" Aku tak peduli kalau aku tewas. Aku tewas di tempat sendiri,
dengan dikelilingi orang-orang sejenisku sendiri. Tempat aku merasa merupakan
bagiannya. Nah, itulah. Kita kembali lagi pada soal itu. Tak ada yang lebih tak
menyenangkan daripada perasaan bahwa kita tidak berada di tempat kita sendiri.
Tapi kau, kucing kecil, kau hanya menyukai barang-barang nyata."
"Mungkin itu ada benarnya," kata Tina. "Mungkin itulah sebabnya perasaanku tidak
seperti perasaan kalian semua. Aku tidak merasakan kebencian yang aneh, yang
agaknya kalian semua rasakan - lebih-lebih kau, Micky. Bagiku mudah merasa
berterima kasih, karena aku tak ingin menjadi diriku sendiri. Aku tak ingin
berada di tempatku dulu. Aku ingin melepaskan diri dari diriku sendiri. Aku
ingin menjadi orang lain. Dan dia telah menjadikan aku seseorang yang lain. Dia
telah menjadikan aku Christina Argyle, yang punya rumah dengan kasih sayang.
Aman. Damai. Aku mencintai Ibu, karena dia telah memberiku semuanya itu."
"Bagaimana dengan ibumu sendiri" Tak pernahkah kau mengenangnya?"
"Untuk apa" Aku hampir-hampir tak bisa mengingatnya lagi. Ingat, umurku baru
tiga tahun waktu aku dibawa kemari. Aku selalu ketakutan, ngeri dengan pelaut-
pelaut itu, dan dia sendiri hampir selalu mabuk. Kurasa setelah aku dewasa aku
baru ingat benar." Tina berbicara dengan suara halus yang mengandung
kebimbangan. "Tidak, aku tidak mengenangnya, bahkan tak ingat padanya. Mrs.
Argyle-lah ibuku. Inilah rumahku."
"Itu mudah bagimu, Tina," kata Micky.
"Lalu mengapa itu sulit bagimu" Karena kau sendiri yang menjadikannya sulit.
Bukan Mrs. Argyle yang kaubenci, Micky, melainkan ibumu sendiri. Ya, aku yakin
apa yang kukatakan itu benar. Dan bila kau membunuh Mrs. Argyle, sebagaimana
yang mungkin telah kaulakukan, ibumu sendirilah yang ingin kaubunuh."
"Tina! Bicara apa kau?"
"Dan sekarang," lanjut Tina, bicaranya tetap tenang, "tak ada lagi yang bisa
kaubenci. Dan kau jadi kesepian sekali, bukan" Tapi kau harus belajar hidup
tanpa rasa benci, Micky. Itu memang sulit, tapi itu bisa dijalankan."
"Aku tak mengerti bicaramu itu. Apa maksudmu, mungkin aku yang telah
membunuhnya" Kau tahu betul bahwa aku sama sekali tidak berada di dekat tempat
ini hari itu. Aku sedang mengetes mobil seorang pelanggan di Moor Road, di dekat
Minchin Hill." "Betulkah itu?" kata Tina.
Ia bangkit dan maju selangkah, hingga berdiri tepat di Titik Peninjauan, dari
tempat itu orang bisa melihat ke sungai di bawah.
"Apa maksudmu, Tina?" Micky mendekati Tina dari belakang.
Tina menunjuk ke pantai sungai di bawah.
"Siapa dua orang di bawah itu?"
Micky melihat sekilas. "Kurasa Hester dengan pacarnya, si dokter itu," katanya. "Tapi, Tina, apa
maksudmu" Demi Tuhan, jangan berdiri di tepi tebing begitu."
"Mengapa" Apakah kau ingin mendorongku supaya jatuh" Bisa saja. Aku kan kecil
sekali." Dengan suara parau Micky berkata,
"Mengapa kaukatakan aku mungkin berada di sini malam itu?"
Tina tak menjawab. Ia berbalik, lalu mulai berjalan kembali ke rumah, lewat
jalan setapak. "Tina!" Dengan suaranya yang tenang dan halus, Tina berkata,
"Aku khawatir, Micky. Aku khawatir sekali mengenai hubungan Hester dengan Donald
Craig." "Tak usah peduli soal Hester dengan pacarnya."
"Tapi aku peduli. Aku khawatir Hester sedih sekali."
"Kita tidak berbicara tentang mereka."
"Aku yang berbicara tentang mereka. Soalnya mereka berarti bagiku."
"Apakah selama ini kau selalu beranggapan bahwa aku berada di sini, pada malam
Ibu dibunuh?" Tina tak menjawab. "Kau tak mengatakan apa-apa waktu itu."
"Mengapa harus kukatakan" Tak ada gunanya. Maksudku, sudah jelas Jacko yang
membunuhnya." "Dan sekarang jelas pula bahwa Jacko tidak membunuhnya."
Tina mengangguk lagi. "Jadi?" tanya Micky. "Jadi?"
Tina tidak menjawab, tapi terus berjalan di sepanjang jalan setapak ke rumah.
III Di pantai kecil Sungai Point, Hester menggeser-geser pasir dengan ujung
sepatunya. "Aku tak tahu apa yang harus dibicarakan," katanya.
"Kau harus mengatakannya," kata Donald Craig.
"Untuk apa" Membicarakan sesuatu tak pernah ada baiknya, tak pernah memperbaiki
keadaan." "Kau sekurang-kurangnya bisa menceritakan padaku, apa yang terjadi tadi pagi."
"Tak ada apa-apa," kata Hester.
"Apa maksudmu tak ada apa-apa" Bukankah ada polisi datang?"
"Oh, ya. Mereka memang datang."
"Nah, apakah mereka menanyai kalian semua?"
"Ya," sahut Hester, "mereka menanyai kami."
"Pertanyaan-pertanyaan apa?"
"Semua pertanyaan yang biasa," kata Hester. "Sama benar dengan dulu. Di mana
kami berada, apa yang kami lakukan, dan kapan kami melihat Ibu terakhir kali.
Sungguh, Don, aku tak ingin berbicara tentang itu lagi. Itu sudah berlalu
sekarang." "Belum, itu belum berlalu, Sayang. Itulah soalnya."
"Aku tak mengerti mengapa kau harus ribut," kata Hester. "Kau tidak terlibat
dalam urusan ini." "Sayangku, aku ingin menolongmu. Tak mengertikah kau?"
"Ah, dengan membicarakannya aku tidak tertolong. Aku hanya ingin melupakannya.
Kalau kau ingin membantuku untuk melupakannya, itu lain."
"Hester, Sayang, tak baik melarikan diri dari persoalan. Kita harus
menghadapinya." "Aku sudah menghadapinya sepanjang pagi."
"Hester, aku mencintaimu. Kau tahu itu, bukan?"
"Kurasa begitu," kata Hester.
"Apa maksudmu, kurasa begitu?"
"Karena kau terus mengulang-ulangi urusan itu saja."
"Tapi aku harus melakukannya."
"Aku tak mengerti, untuk apa. Kau bukan polisi."
"Siapa yang terakhir kali melihat ibumu dalam keadaan hidup?"
"Aku," kata Hester.
"Aku tahu. Waktu itu jam tujuh kurang sedikit, bukan" Tak lama sebelum kau
keluar menemui aku."
"Tak lama sebelumnya, aku keluar untuk pergi ke Drymouth - ke Gedung Kesenian,"
kata Hester. "Ya, dan aku ada di Gedung Kesenian itu, bukan?"
"Ya." "Waktu itu kau belum yakin bahwa aku mencintaimu, bukan, Hester?"
"Aku belum yakin," kata Hester. "Waktu itu aku bahkan belum yakin apakah aku
sudah mulai menyukaimu."
"Kau tak punya alasan, tak punya alasan kuat untuk menyingkirkan ibumu, bukan,
Hester?" "Tidak. Tidak juga," kata Hester.
"Apa maksudmu dengan tidak juga?"
"Aku sering berpikir ingin membunuhnya," kata Hester dengan suara datar. "Aku
pernah berkata, 'Alangkah baiknya kalau dia mati, aku ingin dia mati.' Kadang-
kadang," sambungnya, "aku bermimpi bahwa aku membunuhnya."
"Dengan cara bagaimana kau membunuhnya dalam mimpimu?"
Pada saat itu, Donald Craig bukanlah seorang pacar, melainkan seorang dokter
yang menaruh minat. "Kadang-kadang aku menembaknya," kata Hester dengan ceria, "dan kadang-kadang
aku menghantam kepalanya."
Dr. Craig menggeram. "Itu hanya mimpiku," kata Hester. "Aku memang sering kejam sekali dalam mimpi-
mimpiku." "Dengar, Hester." Pria muda itu memegang lengan Hester. "Kau harus menceritakan
kejadian yang sebenarnya padaku. Kau harus percaya padaku."
"Aku tak mengerti apa maksudmu," kata Hester.
"Kebenaran, Hester. Aku ingin kebenaran. Aku mencintaimu dan akan mendampingimu
selalu. Bila sekiranya kau yang membunuhnya, kurasa aku bisa menemukan
alasannya. Kurasa itu bukan benar-benar kesalahanmu. Mengertikah kau" Aku pasti
tidak akan mengatakannya pada polisi. Dan tidak akan ada orang lain yang akan
menderita. Perkara ini akan tetap tertutup, karena tak ada bukti. Tapi aku harus
tahu." Perkataan terakhir itu ditekankannya dengan keras.
Hester memandanginya. Matanya lebar, dan kelihatannya tidak terpusat pada apa-
apa. "Kau ingin aku mengatakan apa padamu?" tanyanya.
"Aku ingin kau menceritakan yang sebenarnya padaku."
"Kaupikir kau sudah tahu yang sebenarnya, bukan" Kaupikir aku yang membunuhnya."
"Hester, sayangku, jangan memandangiku seperti itu." Dipegangnya pundak gadis
itu, lalu diguncangnya perlahan-lahan. "Aku seorang dokter. Aku tahu alasan dari
hal-hal semacam ini. Aku tahu bahwa orang tidak selalu bisa bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatannya. Aku akan membantumu. Aku akan memeliharamu. Kita
akan menikah, lalu kita akan berbahagia. Kau tidak akan pernah menderita, tak
diinginkan, atau dikuasai. Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan sering
bersumber pada alasan-alasan yang kebanyakan orang tak mengerti."
"Begitulah yang kita katakan tentang Jacko, bukan?" kata Hester.
"Jangan pikirkan tentang Jacko. Kaulah yang kupikirkan. Aku sangat mencintaimu,
Hester. Tapi aku harus tahu kejadian yang sebenarnya."
"Kebenarannya?"
Perlahan-lahan seulas senyum ejekan menghiasi bibirnya.
"Tolong, kekasihku."
Hester memalingkan kepalanya, lalu mendongak.
"Itu Gwenda memanggilku. Pasti sudah waktunya makan siang."
"Hester!" "Apakah kau akan percaya kalau kukatakan bahwa aku tidak membunuhnya?"
"Tentu aku... aku percaya."
"Kurasa tidak," kata Hester.
Dengan mendadak ia berbalik membelakangi Donald Craig, lalu berlari menaiki
jalan setapak. Pacarnya bergerak akan menyusulnya, lalu membatalkan langkahnya.
"Ah, sialan," kata Donald Craig. "Sialan!"


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB XV "TAPI aku belum mau pulang," kata Philip Durrant. Bicaranya murung bercampur
jengkel. "Tapi, Philip, sungguh, tak ada gunanya lagi kita tinggal di sini. Maksudku,
kita disuruh datang kemari hanya untuk menemui Mr. Marshall untuk membicarakan
soal itu, lalu menunggu polisi datang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Dan sekarang sudah tak ada lagi yang menghalangi kita untuk segera pulang."
"Kurasa ayahmu senang kalau kita tinggal agak lebih lama lagi," kata Philip.
"Dia senang kalau ada teman main catur malam hari. Bukan main, jago sekali dia
main. Kukira aku cukup pandai, nyatanya aku tak pernah bisa mengalahkannya."
"Ayah bisa menemukan orang lain untuk teman main catur," kata Mary singkat.
"Apa" Maksudmu, memanggil seseorang dari Yayasan Wanita?"
"Pokoknya kita harus pulang," kata Mary. "Besok Mrs. Carden harus datang untuk menjalankan tugasnya menggosok barang-barang kuningan."
"Polly, si ibu rumah tangga yang sempurna!" kata Philip sambil tertawa.
"Bukankah Mrs. siapa-namanya-itu bisa menggosok barang-barang kuningan itu tanpa
kehadiranmu" Atau kalau tak bisa, kirim telegram padanya dan katakan supaya
membiarkan saja barang-barang itu berjamur barang seminggu lagi."
"Kau tak mengerti tentang urusan rumah tangga, Philip, dan betapa sulitnya hal-
hal itu." "Kupikir tak ada yang sulit bila kita tidak membuatnya sulit. Pokoknya aku ingin
di sini dulu." "Aduh, Philip," kata Mary dengan putus asa, "aku benci sekali di sini."
"Mengapa?" "Di sini murung sekali, tak enak, dan... dan... pokoknya semua yang telah
terjadi di sini. Pembunuhan dan segalanya itu."
"Ah, sudahlah, Polly. Masa kau menjadi tegang oleh hal-hal semacam itu. Aku tahu
betul bahwa kau bisa menghadapi hal-hal semacam itu tanpa bergeming. Tidak, kau
pasti ingin pulang karena kau ingin mengurus barang-barang kuninganmu, membuang
debu, dan meyakinkan diri bahwa mantel-mantel bulumu tidak dimakan ngengat."
"Dalam musim salju begini, mantel bulu tidak dimakan ngengat," kata Mary.
"Yah, pokoknya kau tahu apa maksudku, Polly. Yah, soal-soal begitulah. Tapi
mengertilah, bagiku di sini jauh lebih menyenangkan."
"Lebih menarik daripada di rumah sendiri?" Dalam suara Mary terdengar nada
terkejut dan tersinggung.
Cepat-cepat Philip melihat padanya.
"Maafkan aku, Sayang. Salah caraku menyatakannya. Tak ada yang lebih
menyenangkan daripada rumah kita sendiri, dan kau telah menjadikannya sangat
indah. Nyaman, rapi, dan menarik. Keadaannya akan lain sekali bila... bila aku
masih seperti dulu. Maksudku, akan banyak yang bisa kulakukan sepanjang hari.
Aku pasti banyak rencana. Dan aku akan berbahagia sekali pulang kepadamu dan
rumah kita sendiri, bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi
sehari itu. Tapi mengertilah bahwa sekarang sudah berbeda keadaannya."
"Oh, aku mengerti bahwa dalam hal itu memang berbeda keadaannya," kata Mary.
"Jangan kaukira aku lupa, Philip. Aku memikirkannya. Sungguh-sungguh
memikirkannya." "Ya," kata Philip dengan agak geram. "Ya, kau bahkan terlalu memikirkannya,
Mary. Demikian hebat kau memikirkannya, hingga aku jadi tak senang. Yang
kuinginkan hanyalah selingan dan... tidak!" Diangkatnya tangannya. "Jangan
katakan bahwa aku bisa mendapatkan selingan dengan mengisi teka-teki silang dan
segala macam tetek bengek dari terapi pengisian waktu, dan menyuruh orang-orang
datang mengobatiku, dan tak sudah-sudahnya membaca buku-buku. Aku kadang-kadang
ingin sekali punya kegiatan yang menarik! Dan di sini, di rumah ini, ada sesuatu
yang menarik untuk diselesaikan."
"Philip," napas Mary tertahan, "kau kan tidak tetap saja masih mau mengulang-
ulangi... gagasanmu itu?"
"Main pelacakan pembunuhan?" kata Philip. "Pembunuhan, pembunuhan, siapa yang
telah melakukan pembunuhan itu" Ya, Polly, kau tidak terlalu keliru. Aku mati-
matian ingin tahu siapa yang melakukannya."
"Tapi untuk apa" Dan bagaimana kau bisa tahu. Seandainya ada orang yang masuk
dengan paksa atau ternyata pintu terbuka..."
"Masih saja kau mengulangi teori orang dari luar itu, ya?" kata Philip. "Itu tak
masuk akal. Pak Tua Marshall menertawakan teori itu. Dia hanya tak mau kita
dipermalukan saja. Tak ada seorang pun yang percaya akan teori yang bagus itu.
Pokoknya, itu tidak benar."
"Kalau begitu, kau harus membuktikan bahwa itu memang tidak benar," potong Mary,
"bila teori itu memang tidak benar. Dan bila - seperti kaukatakan - salah seorang di
antara kamilah pelakunya - aku tak mau tahu. Untuk apa kita tahu" Tidakkah kita...
tidakkah seratus kali lebih baik kalau kita tidak tahu?"
Philip Durrant mendongak, memandanginya dengan pandangan bertanya.
"Kau membenamkan kepalamu ke dalam pasir, seperti burung unta, Polly. Tak adakah
padamu rasa ingin tahu yang wajar?"
"Sudah kukatakan aku tak mau tahu! Kurasa semuanya itu mengerikan. Aku ingin
melupakannya dan tidak mengingatnya lagi."
"Tidakkah kau sayang pada ibumu, hingga ingin tahu siapa yang membunuhnya?"
"Apa gunanya ingin tahu siapa yang membunuhnya" Selama dua tahun ini, kita sudah
puas dengan anggapan bahwa Jacko yang membunuh."
"Ya," kata Philip, "bagus sekali kita semua puas."
Istrinya memandanginya dengan ragu.
"Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu, Philip."
"Tak bisakah kau mengerti, Polly, bahwa ini merupakan suatu tantangan bagiku"
Suatu tantangan terhadap kecerdasanku" Maksudku, bukan aku sangat merasa
kehilangan dengan kematian ibumu, atau bahwa aku suka sekali padanya. Tidak. Dia
telah berusaha keras menghalangi aku menikah denganmu, tapi aku tidak mendendam
padanya gara-gara itu, karena aku telah berhasil membawamu pergi. Begitu, kan,
kekasihku" Tidak, bukan karena keinginanku untuk membalas dendam, bukan pula
karena dorongan kuat untuk menegakkan keadilan. Kurasa hanya... yah, sekadar
ingin tahu, meskipun sebenarnya ada sisinya yang lebih baik."
"Sebaiknya kau tidak melibatkan diri dalam hal semacam itu," kata Mary. "Tak ada
hasilnya kalau kau melibatkan diri. Aduh, Philip, jangan. Mari kita pulang dan
melupakan semuanya ini."
"Yah," kata Philip, "kau memang bisa saja mendorong kursi rodamu ini ke mana pun
kau suka, bukan" Tapi aku mau tinggal di sini. Tak maukah kau sekali-sekali
membiarkan aku melakukan apa yang kuinginkan?"
"Aku ingin kau mendapatkan segala-galanya yang kauinginkan di dunia ini," kata
Mary. "Sebenarnya tidak, Sayang. Kau hanya ingin memeliharaku seperti bayi yang masih
dalam gendongan, dan kau merasa tahu apa yang terbaik bagiku, setiap hari,
dengan segala cara." Ia tertawa.
Sambil memandanginya dengan ragu, Mary berkata,
"Aku tak pernah tahu kapan kau serius atau tidak."
"Kecuali karena rasa ingin tahu," kata Philip Durrant, "harus ada orang yang
mencari tahu keadaan sebenarnya."
"Untuk apa" Apa baiknya" Berusaha supaya seseorang dimasukkan ke penjara" Kurasa
itu suatu gagasan yang mengerikan."
"Kau tak mengerti," kata Philip. "Aku tidak mengatakan bahwa siapa pun orangnya -
bila aku menemukan pelakunya - akan kuserahkan pada polisi. Kurasa aku tidak akan
berbuat begitu. Hal itu tentu tergantung pada keadaan. Mungkin aku bahkan tidak
akan perlu menyerahkannya pada polisi, karena aku tetap berpendapat bahwa tidak
akan ada bukti yang benar."
"Lalu, bila tak ada bukti yang benar," kata Mary, "bagaimana kau akan menemukan
sesuatu?" "Karena," kata Philip, "banyak sekali cara untuk melacak sesuatu, untuk
mengetahuinya dengan pasti pada suatu saat. Dan kurasa itu perlu sekali. Keadaan
di rumah ini tidak baik, dan akan segera memburuk."
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau melihat apa-apa, Polly" Lihatlah bagaimana ayahmu dan Gwenda
Vaughan." "Ada apa dengan mereka" Apa-apaan ayahku itu, ingin menikah pada usianya..."
"Aku bisa memahami keadaannya," kata Philip. "Soalnya dia sudah mengalami masa
yang pahit dalam pernikahan. Sekarang dia punya kesempatan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sesungguhnya. Yah, bolehlah kita sebut kebahagiaan di usia
senja. Dan dia akan mendapatkannya. Tapi sekarang harus kita katakan, pernah
akan mendapatkannya. Namun sekarang keadaan sudah menjadi kurang baik bagi
mereka berdua." "Kurasa gara-gara semua urusan ini," kata Mary dengan tak yakin.
"Tepat," kata Philip. "Semua urusan ini makin lama makin memisahkan mereka. Dan
alasannya ada dua. Rasa curiga atau rasa bersalah."
"Curiga terhadap siapa?"
"Yah, yang seorang terhadap yang lain. Atau salah satu pihak merasa curiga dan
pihak yang lain merasa bersalah, atau sebaliknya."
"Jangan begitu, Philip, kau membuatku bingung." Tiba-tiba Mary memperlihatkan
sikap agak bergairah. "Jadi, kaupikir Gwenda?" tanyanya. "Mungkin kau benar.
Wah, melegakan sekali kalau pelakunya ternyata Gwenda."
"Kasihan Gwenda. Kaupikir karena dia bukan anggota keluarga, ya?"
"Ya," kata Mary. "Maksudku, bukan salah seorang di antara kita."
"Begitulah selalu perasaanmu, ya?" kata Philip. "Bagaimana pengaruh sesuatu atas
diri kita!" "Tentu," kata Mary.
"Tentu, tentu," kata Philip dengan jengkel. "Sulitnya, Polly, kau ini tak punya
daya khayal. Jadi kau tak bisa membayangkan dirimu berada di tempat orang lain."
"Untuk apa?" kata Mary.
"Ya, untuk apa?" kata Philip. "Kurasa, kalau aku jujur, aku akan berkata, untuk
melengah waktu. Tapi aku bisa membayangkan diriku berada di tempat ayahmu, atau
di tempat Gwenda. Dan bila mereka tak bersalah, alangkah tak enak keadaannya.
Betapa tak menyenangkan bagi Gwenda yang tiba-tiba dijauhi. Menyadari bahwa dia
tidak akan bisa lagi menikah dengan pria yang dicintainya. Lalu coba tempatkan
dirimu di tempat ayahmu. Dia tahu, mau tak mau, bahwa wanita yang dicintainya
punya kesempatan untuk membunuh, dan punya motif pula untuk itu. Dia berharap
bukan Gwenda yang melakukannya, dia merasa, wanita itu tidak melakukannya, tapi
dia tak yakin. Apalagi dia tidak akan pernah yakin."
"Padahal usianya...," kata Mary.
"Ah, usianya, usianya," kata Philip tak sabaran. "Tidakkah kausadari bahwa bagi
pria seusia dia justru lebih sulit" Itu cinta terakhir dalam hidupnya. Tidak
akan mungkin dia mendapatkannya lagi. Keadaan itu mendalam sekali akibatnya.
Lalu coba kita meninjaunya dari sisi lain," lanjutnya. "Seandainya Leo keluar
dari kabut dan bayang-bayang hidup yang jenuh, yang telah berhasil ditempuhnya
selama ini. Andaikan dia yang menghantam kepala istrinya" Orang bisa merasa
kasihan padanya, bukan?" Lalu ditambahkannya sambil merenung, "Meski sesaat pun
aku tak bisa membayangkan dia melakukan hal semacam itu. Tapi polisi bisa
membayangkannya. Nah, Polly, coba kudengar bagaimana pendapatmu. Menurutmu,
siapa yang melakukannya?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" kata Mary.
"Yah, mungkin kau tak bisa tahu," kata Philip, "tapi mungkin kau punya gagasan,
kalau kau mau berpikir."
"Sudah kukatakan, aku sama sekali tak mau memikirkan hal itu."
"Mengapa sebenarnya" Apa karena kau tak suka" Atau karena - mungkin - karena kau
tahu" Mungkin dalam pikiranmu yang dingin dan tenang itu kau merasa yakin
sekali... Demikian yakinnya hingga kau tak mau memikirkannya, hingga kau tak mau
menceritakannya padaku" Apakah Hester yang ada dalam pikiranmu?"
"Mengapa Hester ingin membunuh Ibu?"
"Tak ada alasan yang tepat, bukan?" kata Philip sambil merenung. "Tapi kita bisa
membaca hal-hal semacam itu. Seorang putra atau putri yang telah dipelihara
dengan baik sekali, yang boleh berbuat apa saja. Lalu pada suatu hari ada suatu
kejadian kecil yang tak berarti. Orangtua yang penuh kasih sayang itu tak mau
memberi uang untuk menonton, umpamanya, atau untuk membeli sepatu baru, atau
waktu akan pergi dengan pacarnya dia diharuskan pulang jam sepuluh. Kelihatannya
memang sangat tak berarti, tapi itu seperti menyulutkan korek api ke bara yang
sudah ada. Lalu remaja tersebut mengamuk dan menyerang dengan palu, atau mungkin
dengan sebatang besi pengorek. Hal-hal semacam itu sulit dijelaskan, tapi itu
terjadi. Itu merupakan puncak dari serangkaian panjang pemberontakan yang
tertekan. Pola begitulah yang sesuai dengan Hester. Sulitnya dengan Hester
adalah kita tak tahu apa yang bergejolak dalam kepalanya yang elok itu. Dia
memang lemah, dan dia membenci kelemahannya itu. Sedangkan ibumu bisa
menyadarkannya tentang kelemahannya itu. Ya," kata Philip, sambil membungkukkan
tubuh dengan bersemangat, "kurasa aku bisa menyusun perkara yang cukup baik
mengenai Hester." "Ah, sudahlah, jangan bicarakan soal itu lagi," seru Mary.
"Oh, ya, aku akan berhenti bicara," kata Philip. "Tak ada gunanya aku berbicara.
Atau adakah" Soalnya, kita harus menentukan dalam pikiran kita sendiri bagaimana
pola pembunuhan itu, dan mencocokkan pola itu pada masing-masing orang yang
berkepentingan. Lalu, setelah kita gambarkan dengan baik bagaimana kejadian
sebenarnya, barulah kita mulai memasang perangkap-perangkap kecil kita, dan
melihat apakah mereka masuk ke dalamnya."
"Hanya ada empat orang di rumah waktu itu," kata Mary. "Kau berbicara seolah-
olah ada enam orang atau lebih. Aku sependapat denganmu bahwa Ayah tak mungkin
melakukannya, dan sangat tak masuk akal kalau kita berpikir bahwa Hester punya
alasan untuk melakukan hal semacam itu. Tinggal Kirsty dan Gwenda."
"Kau lebih suka yang mana?" tanya Philip dengan nada suara mengandung ejekan.
"Aku tak bisa membayangkan Kirsty melakukan perbuatan semacam itu," kata Mary.
"Dia selalu sabar dan baik hati. Dia sayang sekali pada Ibu. Memang, kurasa dia
bisa tiba-tiba menjadi aneh. Itu biasa kita dengar, tapi rasanya dia tak pernah
aneh." "Memang," kata Philip sambil berpikir, "kurasa Kirsty memang normal sekali.
Seorang wanita normal yang mendambakan kehidupan wanita normal pula. Ada
persamaannya dengan Gwenda. Bedanya, Gwenda cantik dan menarik, sedangkan si Tua
Kirsty sama sekali tidak cantik. Kurasa tak seorang pun laki-laki yang pernah
menoleh dua kali padanya. Padahal dia pasti menginginkannya. Dia ingin sekali
jatuh cinta dan menikah. Pasti sangat tidak menyenangkan dilahirkan sebagai
wanita yang tidak cantik dan tidak menarik, lebih-lebih bila tak diimbangi
dengan memiliki bakat khusus atau otak cemerlang. Yang jelas, dia sudah terlalu
lama tinggal di sini. Sebenarnya lebih baik kalau dia pergi setelah perang usai
dulu, dan melanjutkan profesinya sebagai ahli pijat. Mungkin dia bisa menggaet
seorang pasien tua yang cukup berada."
"Kau sama saja dengan semua laki-laki," kata Mary. "Kaukira wanita tak punya
pikiran lain kecuali ingin menikah."
Philip tersenyum. "Aku tetap berpendapat bahwa itu pilihan pertama bagi setiap wanita," katanya.
"Omong-omong, apakah Tina belum punya pacar?"
"Setahuku, belum," sahut Mary. "Tapi dia tak banyak berbicara tentang dirinya."
"Memang, dia itu tikus kecil yang pendiam, ya" Tidak begitu cantik, tapi luwes
sekali. Aku ingin tahu apa yang diketahuinya tentang urusan ini."
"Kurasa dia tak tahu apa-apa," kata Mary.
"Kaupikir begitu?" kata Philip. "Kupikir, ada sesuatu yang diketahuinya."
"Ah, kau hanya berkhayal," kata Mary.
"Tentang ini aku tidak berkhayal. Tahukah kau apa yang dikatakan gadis itu"
Katanya dia sebenarnya tak ingin tahu apa-apa. Aneh sekali kata-katanya. Kurasa
dia tahu sesuatu." "Tahu apa?" "Mungkin ada sesuatu yang ada kaitannya dengan urusan itu, tapi dia sendiri
tidak menyadari di mana kaitan itu. Aku akan mencoba mengoreknya."
"Philip!" "Tak ada gunanya, Polly. Ini merupakan misiku dalam hidup ini. Aku sudah
bertekad bahwa ini merupakan kepentingan umum, dan aku harus turun tangan. Di
mana aku harus mulai, ya" Aku yakin, harus mulai dengan Kirsty dulu. Dalam
banyak hal, dia orang yang sederhana sekali."
"Alangkah baiknya - oh, alangkah baiknya," kata Mary, "kalau kau mau menghentikan
semua gagasan gila itu dan pulang. Di sana kita berbahagia sekali. Segala-
galanya berjalan dengan baik sekali..." Suaranya terputus dan ia berbalik.
"Polly!" Philip jadi khawatir. "Apakah kau betul-betul begitu keberatan" Tak
kusadari, kau begitu risau."
Mary memutar tubuhnya dengan pandangan penuh harapan.
"Jadi kau mau pulang, dan melupakan semuanya ini?"
"Aku tak bisa melupakan semuanya," kata Philip. "Kalau kita pulang, pasti aku
akan susah terus, bertanya-tanya terus dan berpikir terus. Begini sajalah, Mary.
Biarlah kita tinggal sampai akhir pekan ini. Setelah itu, yah, kita lihat lagi."
BAB XVI "BOLEHKAH saya tinggal di sini agak lebih lama, Ayah?" tanya Micky.
"Tentu boleh. Aku senang sekali. Apakah perusahaan tempatmu bekerja tidak
keberatan?" "Tidak," kata Micky. "Saya sudah menelepon mereka. Saya tak perlu kembali sampai


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesudah akhir pekan. Mereka memberikan pengertian mereka. Tina juga akan tinggal
sampai akhir pekan," katanya.
Ia berjalan ke jendela, melihat ke luar sebentar, lalu menyeberangi ruangan itu
dengan tangan di dalam saku. Sambil memandangi rak-rak buku, ia lalu berkata
dengan suara terputus-putus dan agak kaku,
"Saya ingin Ayah tahu bahwa saya sebenarnya menghargai semua yang telah Ayah
lakukan untuk saya. Akhir-akhir ini baru saya sadari - yah, saya menyadari bahwa
sikap saya selama ini sama sekali tidak menunjukkan rasa terima kasih."
"Ah, aku tidak mempersoalkan rasa terima kasih," kata Leo Argyle. "Kau anakku,
Micky. Begitulah aku selalu menganggapmu."
"Cara Ayah memperlakukan anak, aneh," kata Micky. "Ayah tak pernah menguasai
saya." Leo Argyle tersenyum, senyum yang terasa jauh.
"Apakah kaukira hanya itu fungsi seorang ayah?" katanya, "hanya untuk menguasai
anak-anaknya?" "Tidak," kata Micky, "tidak, saya rasa tidak begitu." Kemudian ia berkata lagi
cepat-cepat, "Selama ini saya bodoh sekali," katanya. "Ya, bodoh sekali. Ada
juga lucunya. Tahukah, Ayah, apa yang ingin saya lakukan" Apa rencana saya" Saya
ingin bekerja di sebuah perusahaan minyak di Teluk Parsi. Itulah yang diinginkan
Ibu dulu dari saya - mulai di sebuah perusahaan minyak. Tapi waktu itu saya tak
mau! Saya malah mencari pekerjaan sendiri."
"Waktu itu kau memang dalam usia begitu," kata Leo. "Yaitu, ingin memilih
sendiri, dan membenci apa-apa yang dipilihkan untukmu. Kau memang begitu, Micky.
Kalau kami ingin membelikanmu baju dingin berwarna merah, kau bersikeras ingin
yang biru, padahal mungkin sebenarnya yang kauinginkan yang merah."
"Memang benar," kata Micky sambil tertawa kecil. "Saya memang orang yang tak
mudah puas." "Kau hanya masih muda saja," kata Leo. "Suka memberontak. Takut menghadapi
kekang, pelana, dan pengendalian. Kita semua merasa begitu, sekali dalam hidup
ini. Tapi akhirnya kita akan sadar juga."
"Ya, saya rasa begitu," kata Micky.
"Aku senang sekali, kau punya gagasan itu untuk masa depanmu," kata Leo.
"Soalnya, kurasa pekerjaan sebagai petugas penjualan dan demonstrator mobil itu
tak cukup baik untukmu. Itu cukup baik, tapi masa depannya kurang baik."
"Saya suka mobil," kata Micky. "Saya memang pandai berkata-kata, kalau saya mau.
Berceloteh dan memuji-muji. Tapi saya tak suka cara hidup begitu. Pekerjaan yang
dijanjikan pada saya ini berhubungan dengan pengangkutan juga. Mengawasi
pemeliharaan mobil-mobilnya. Suatu pekerjaan yang cukup penting."
"Dengar, Micky," kata Leo, "sewaktu-waktu kau ingin berdiri sendiri, ingin
mendirikan perusahaan sendiri yang kauanggap baik untuk dirimu, uangnya
tersedia. Kau tentu tahu tentang trust yang bebas penggunaannya, bukan" Setiap
saat aku bersedia memanfaatkan wewenangku mengeluarkan jumlah uang yang akan
dibutuhkan untuk segala keperluan perusahaan itu, dalam batas-batas yang
dibenarkan. Kita akan meminta pendapat seorang ahli untuk itu. Pokoknya uangnya
ada, siap bila kau memerlukannya."
"Terima kasih, Ayah. Tapi saya tak mau menyusu terus pada Ayah."
"Ini bukan soal menyusu, Micky. Uang itu memang uangmu. Benar-benar disediakan
untukmu, bersama-sama saudara-saudaramu yang lain. Yang ada padaku hanyalah
kekuasaan memerintahkan pengeluarannya, kapan, dan untuk apa. Itu bukan uangku,
dan aku bukan akan memberimu. Itu uangmu sendiri."
"Sebenarnya itu uang Ibu," kata Micky.
"Trust itu sudah dibentuk beberapa tahun yang lalu," kata Leo.
"Saya tidak menginginkan uang itu!" kata Micky. "Saya tak mau menyentuhnya! Saya
tak bisa! Ya, begitulah, saya tak bisa." Wajahnya tiba-tiba memerah waktu ia
membalas pandangan ayahnya. Dengan tak yakin ia berkata, "Saya... bukan maksud
saya berkata begitu."
"Mengapa kau tak bisa menyentuhnya?" tanya Leo. "Kau sudah kami adopsi. Artinya
kami bertanggung jawab penuh atas dirimu, baik mengenai keuangan maupun yang
lain-lain. Merupakan suatu peraturan bahwa kau harus dibesarkan sebagai anak
kandung kami, dan kami harus mencukupi hidupmu dengan baik."
"Saya ingin mandiri, Ayah," ulang Micky.
"Ya, aku mengerti. Baiklah kalau begitu, Micky. Tapi kalau pikiranmu berubah,
ingatlah bahwa uang itu ada."
"Terima kasih, Ayah. Saya senang Ayah mengerti, dan mau membiarkan saya menuruti
keinginan saya. Alangkah senangnya kalau saya bisa menjelaskannya dengan lebih
baik. Harap Ayah mengerti, saya tak mau mengambil keuntungan dari... saya tak
mau memanfaatkan keuntungan dari... ah, persetan, sulit sekali mengatakannya."
Terdengar suatu ketukan di pintu, atau lebih tepat kalau dikatakan suatu
benturan. "Itu pasti Philip," kata Leo Argyle, "Coba bukakan dia pintu, Micky."
Micky menyeberangi ruangan untuk membuka pintu, dan Philip mendorong keretanya
sendiri memasuki kamar. Disapanya mereka berdua dengan senyuman lebar.
"Apakah Anda sibuk?" tanyanya pada Leo. "Kalau sibuk, katakan saja. Saya akan
diam saja dan tidak mengganggu Anda. Saya hanya akan melihat-lihat buku-buku."
"Tidak," kata Leo, "pagi ini tak ada yang harus kukerjakan."
"Gwenda tak ada?" tanya Philip lagi.
"Tadi dia menelepon dan mengatakan bahwa dia tak bisa masuk hari ini, karena
sakit kepala," kata Leo. Suaranya datar.
"Oh," kata Philip.
Micky berkata, "Nah, saya pergi saja. Saya akan mencari Tina, akan mengajaknya berjalan-jalan.
Anak itu tak suka udara sejuk."
Ditinggalkannya ruangan itu dengan langkah-langkah ringan dan luwes.
"Apakah saya keliru," tanya Philip, "ataukah benar ada perubahan pada diri Micky
akhir-akhir ini" Dia tidak lagi memandang dunia dengan pandangan cemberut
seperti biasanya, ya?"
"Dia sudah tumbuh," kata Leo. "Lama juga waktu yang dibutuhkannya untuk tumbuh."
"Ya, aneh juga waktu yang dipilihnya untuk menjadi ceria," kata Philip.
"Pertemuan dengan polisi kemarin tidak terlalu menyenangkan, bukan?"
Leo berkata dengan tenang,
"Memang menyakitkan perkara ini harus dibuka kembali."
"Anak muda seperti Micky itu," kata Philip, sambil mendorong keretanya di
sepanjang rak-rak buku, dan menarik satu-dua buku seenaknya saja, "apakah
menurut Anda dia memiliki hati nurani?"
"Itu pertanyaan yang aneh, Philip."
"Saya rasa tidak. Saya hanya ingin tahu tentang dia. Keadaannya sama dengan
orang yang tuli nada. Ada orang yang tak bisa benar-benar menghayati perasaan-
perasaan bersalah atau menyesal atas perbuatan-perbuatan mereka. Jacko
umpamanya, tak bisa."
"Memang," kata Leo, "Jacko memang tak bisa."
"Dan saya juga tahu tentang Micky," kata Philip. Ia berhenti sebentar, lalu
berkata lagi dengan datar, "Bolehkah saya bertanya, Sir" Berapa banyak
sebenarnya yang Anda ketahui tentang latar belakang putra-putri angkat Anda?"
"Mengapa kau ingin tahu, Philip?"
"Saya hanya ingin tahu saja, Sir. Soalnya, kita kadang-kadang ingin tahu tentang
sifat-sifat keturunan."
Leo tak menjawab. Philip memandanginya dengan penuh perhatian.
"Mungkin saya mengganggu Anda dengan menanyakan pertanyaan itu, ya, Sir?"
katanya. "Ah," kata Leo sambil bangkit, "sebenarnya tak ada salahnya kau bertanya. Kau
salah seorang anggota keluarga. Tak bisa disangkal bahwa sekarang ini orang-
orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sehubungan dengan itu. Anak-anak
kami diadopsi tidak dengan jalur biasa. Mary, istrimu, diadopsi dengan resmi dan
sah, tapi yang lain-lain kami dapatkan dengan cara yang tak biasa. Jacko anak
yatim piatu, dan diserahkan pada kami oleh seorang nenek tua. Nenek itu kemudian
tewas dalam serangan bom mendadak Jerman, dan anak itu pun tinggal dengan kami.
Begitu sederhananya. Micky anak tidak sah. Ibunya hanya menaruh minat pada laki-
laki. Dia hanya minta bayaran seratus pound. Kami tak pernah tahu apa yang
terjadi atas diri ibu Tina. Dia tak pernah menulis surat pada anak itu, tak
pernah meminta kembali anak itu setelah perang usai, dan kami tak bisa lagi
melacaknya." "Dan Hester?" "Hester juga anak tidak sah. Ibunya seorang juru rawat dari Irlandia. Tak lama
setelah Hester diserahkannya pada kami, dia menikah dengan seorang tentara
Amerika. Dia yang meminta supaya anak itu kami pelihara terus. Dia tak mau
menceritakan pada suami barunya tentang kelahiran anak itu. Setelah perang
berakhir, dia pergi ke Amerika Serikat bersama suaminya, dan kami tak pernah
lagi mendengar berita darinya."
"Semua kisah-kisah yang menyedihkan," kata Philip. "Semua anak-anak malang yang
tak diinginkan." "Ya," kata Leo. "Itulah sebabnya Rachel sayang sekali pada anak-anak itu. Dia
bertekad membuat mereka merasa diinginkan, memberi mereka suasana rumah sejati,
dan ingin menjadi ibu sejati bagi mereka."
"Perbuatan yang bagus sekali," kata Philip.
"Tapi... tapi itu tak pernah berhasil seperti yang diharapkannya," kata Leo.
"Rachel berkeyakinan bahwa pertalian darah tak ada pengaruhnya. Tapi ternyata
hubungan darah ada pengaruhnya. Biasanya ada sesuatu pada anak kandung orang,
suatu bentuk watak, semacam perasaan yang kita kenali dan kita pahami tanpa
perlu mengatakan apa-apa. Ikatan semacam itu tidak terdapat pada anak-anak yang
kita adopsi. Kita tak bisa mengerti secara naluriah mengenai apa yang terjadi
dalam pikiran mereka. Tapi kita harus mengerti bahwa pikiran dan perasaan kita
itu mungkin jauh sekali berbeda dari pikiran dan perasaan mereka."
"Saya rasa Anda mengerti semuanya itu," kata Philip.
"Aku sudah mengingatkan Rachel tentang hal itu," kata Leo, "tapi dia tentu saja
tak percaya. Dia tak mau percaya. Dia tetap menginginkan mereka sebagai anak-
anaknya sendiri." "Menurut saya, Tina tertutup sekali," kata Philip. "Mungkin itu karena darahnya
yang tidak berasal dari orang berkulit putih, ya" Tahukah Anda siapa ayahnya?"
"Kata orang, dia seorang pelaut. Mungkin orang India." Dengan nada datar
ditambahkannya, "Ibunya tak bisa mengatakannya."
"Tak ada orang yang tahu bagaimana reaksinya terhadap macam-macam hal, atau apa
yang dipikirkannya tentang itu. Bicaranya sedikit sekali." Philip diam sebentar,
lalu tiba-tiba ia bertanya, "Apa yang diketahuinya tentang urusan ini yang tidak
dikatakannya, ya?" Dilihatnya tangan Leo yang sedang membalik-balik kertas terhenti. Keadaan sepi
sebentar, lalu Leo berkata,
"Mengapa kau menduga, dia tidak mengatakan semua yang diketahuinya?"
"Wah, Sir, itu jelas sekali."
"Begitu tidak jelas," kata Leo.
"Ada sesuatu yang diketahuinya," kata Philip. "Mungkin sesuatu yang bisa
mencelakakan seseorang."
"Izinkan aku mengatakannya, Philip. Kurasa tak baik berspekulasi mengenai hal-
hal itu. Orang bisa membayangkan yang bukan-bukan."
"Apakah Anda memberi saya peringatan, Sir?"
"Apakah itu sebenarnya urusanmu, Philip?"
"Maksud Anda, saya bukan polisi?"
"Ya, itu maksudku. Polisi yang harus menjalankan tugas mereka. Mereka yang
memang harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan."
"Dan Anda tak suka bertanya-tanya?"
"Mungkin," kata Leo, "karena aku takut menghadapi apa yang akan kudapati."
Philip jadi bergairah, dan ia mencekam lengan kursinya. Dengan halus ia berkata,
"Mungkin Anda tahu siapa yang melakukannya, Sir?"
"Tidak." Philip terkejut mendengar betapa tegas dan kerasnya jawaban Leo itu.
"Tidak," kata Leo, sambil meletakkan tangannya ke meja. Tiba-tiba ia bukan lagi
pribadi lemah dan tak berarti, yang begitu dikenal Philip. "Aku tak tahu siapa
yang melakukannya! Kaudengar itu" Aku tak tahu. Sama sekali tak tahu. Dan aku...
aku tak ingin tahu!"
BAB XVII "SEDANG apa kau, Hester, anak manis?" tanya Philip.
Ia menjalankan kursi rodanya di sepanjang lorong rumah. Hester sedang
mengulurkan tubuhnya ke luar jendela yang terdapat di bagian tengah lorong itu.
Ia terkejut, lalu menarik tubuhnya masuk.
"Oh, kau," katanya.
"Apakah kau sedang melihat-lihat dunia, atau sedang mempertimbangkan usaha untuk
bunuh diri?" tanya Philip.
Dipandanginya Philip dengan menantang.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Hal itu pasti ada dalam pikiranmu, bukan?" kata Philip. "Tapi terus terang,
Hester, bila kau sedang mempertimbangkan perbuatan itu, jendela itu tak ada
gunanya. Jatuhnya kurang tinggi. Bayangkan betapa tak enaknya kalau tangan dan
kakimu patah umpamanya, dan bukannya kematian yang begitu kaudambakan,"
"Dulu Micky sering turun dari jendela ini, lewat pohon magnolia itu. Itu
merupakan jalan rahasianya untuk keluar dan masuk. Ibu tak pernah tahu."
"Memang banyak hal yang tidak diketahui orangtua! Kita bisa menulis buku tentang
hal itu. Tapi kalau kau mempertimbangkan untuk bunuh diri, Hester, di dekat
pondok peristirahatan itu ada tempat yang lebih baik untuk terjun."
"Tempat yang menjorok ke sungai itu" Ya, kita akan jatuh langsung ke batu-batu
besar di bawahnya!" "Sulitnya dengan kau ini, Hester, angan-anganmu selalu yang sedih-sedih.
Kebanyakan orang akan mengambil jalan singkat dengan membunuh dirinya di oven
gas, atau menelan pil tidur dalam jumlah besar."
"Aku senang kau ada di sini," kata Hester di luar dugaan. "Kau suka berbicara
tentang apa saja." "Yah, soalnya tak ada kegiatan lain yang bisa kukerjakan sekarang ini," kata
Philip. "Mari ke kamarku, dan kita bercakap-cakap lebih banyak." Waktu melihat
Hester bimbang, Philip berkata lagi, "Mary sedang di lantai bawah. Dia ingin
memasak sesuatu yang enak untukku, dengan tangannya yang halus itu."
"Soalnya, Mary tidak akan mengerti," kata Hester.
"Ya," Philip membenarkan. "Mary sama sekali tidak akan mengerti."
Philip menjalankan kursi rodanya sendiri, dan Hester berjalan di sampingnya.
Dibukanya pintu ruang duduk, dan Philip menjalankan kursi rodanya masuk. Hester
menyusul. "Tapi kau mengerti," kata Hester. "Mengapa?"
"Yah, memang ada saatnya seseorang berpikiran begitu. Waktu aku baru diserang
penyakit ini umpamanya, dan aku tahu bahwa aku akan lumpuh seumur hidupku."
"Ya," kata Hester, "pasti mengerikan sekali, ya" Ngeri sekali. Padahal kau
pernah menjadi penerbang, bukan" Kau pernah terbang."
"Jauh tinggi di atas dunia, seperti nampan di udara," kata Philip membenarkan.
"Kasihan sekali," kata Hester. "Sungguh. Seharusnya aku lebih sering ingat akan
hal itu, dan bersikap lebih simpatik!"
"Untung kau tidak berbuat begitu," kata Philip. "Tapi yang penting masa itu
sudah lewat sekarang. Orang selalu bisa terbiasa akan apa saja, ingat itu.
Itulah sesuatu yang tidak kausadari saat ini, Hester. Tapi kau akan
menyadarinya. Asal saja kau tidak telanjur melakukan sesuatu yang bodoh. Nah,
sekarang ceritakanlah semuanya. Apa kesulitanmu" Kurasa kau sedang bertengkar
dengan pacarmu, dokter muda yang serius itu. Begitu, kan?"
"Kami tidak bertengkar," kata Hester. "Lebih parah daripada itu."
"Itu akan beres," kata Philip.
"Tidak akan," kata Hester. "Tidak - tidak akan pernah lagi."
"Kata-katamu berlebihan sekali. Bagimu, segala sesuatu, kalau tidak hitam ya
putih, bukan, Hester" Tak ada jalan tengah."
"Aku memang begitu," kata Hester. "Sejak dulu aku begitu. Semuanya yang kukira
bisa kulakukan atau ingin kulakukan, selalu salah. Aku ingin menjalani hidupku
sendiri, menjadi seseorang, melakukan sesuatu. Tapi semuanya gagal. Aku tak
becus melakukan apa pun juga. Aku sering berpikir ingin bunuh diri. Sejak aku
berumur empat belas tahun."
Philip memandanginya dengan penuh minat. Dengan suara tenang tapi tegas ia
berkata, "Orang-orang yang berumur antara empat belas dan sembilan belas tahun memang
sering ingin bunuh diri. Itu merupakan umur ketika segala sesuatu serba salah.
Anak-anak sekolah membunuh diri, karena mereka pikir mereka tidak akan bisa
lulus ujian, dan anak-anak gadis membunuh diri karena ibu mereka tidak
mengizinkan mereka menonton film dengan teman pria yang tak cocok. Itu merupakan
masa ketika segala sesuatu muncul dalam aneka warna cerah. Kesenangan atau rasa
putus asa. Kemurungan atau kebahagiaan yang luar biasa. Lalu kita bebas dari
keadaan itu. Sulitnya dengan kau, Hester, kau lebih lama baru bisa bebas dari
keadaan itu, dibanding dengan orang-orang lain."
"Ibu selalu benar," kata Hester, "mengenai segala sesuatu yang ingin kulakukan,
tapi tak diizinkannya aku melakukannya. Dia selalu benar, dan aku selalu salah.


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak tahan dengan keadaan itu. Tak tahan! Jadi kupikir sebaiknya aku
melakukan sesuatu yang berani. Aku pergi sendiri. Aku harus mengetes diriku
sendiri. Dan segala-galanya gagal. Aku sama sekali tak bisa main drama."
"Memang kau tak bisa," kata Philip. "Kau tak tahu disiplin. Di kalangan teater,
istilahnya, kau tak bisa menyesuaikan diri dengan produksi. Kau asyik memainkan
dramamu sendiri. Dan tadi pun kau sedang berbuat begitu."
"Lalu kupikir aku menjalin hubungan cinta yang benar," kata Hester. "Bukan
sekadar percintaan bodoh yang kekanak-kanakan. Soalnya aku menjalin cinta dengan
seorang pria yang jauh lebih tua. Dia pernah kawin, tapi hidupnya sangat tidak
berbahagia." "Alasan yang umum," kata Philip, "dan laki-laki itu pasti menyalahgunakannya."
"Kupikir itu akan... yah, akan merupakan percintaan yang mendalam sekali. Kau
tidak menertawakan aku?" Ia berhenti berbicara dan memandangi Philip dengan
curiga. "Tidak, aku tidak menertawakanmu, Hester," kata Philip dengan lembut. "Aku
mengerti sekali bahwa waktu itu kau pasti merasa seperti di dalam neraka."
"Ternyata itu sama sekali tidak merupakan percintaan yang mendalam," kata Hester
dengan getir. "Itu hanya merupakan hubungan cinta murahan. Semua yang
diceritakannya padaku tentang hidup dan istrinya, tak ada satu pun yang benar.
Sedangkan aku... aku mudah saja menyerahkan diriku padanya. Bodoh sekali aku,
anak bodoh yang murahan."
"Kadang-kadang kita memang harus belajar dari pengalaman," kata Philip. "Itu
semua tidak merusakmu, bukan, Hester" Itu bahkan mungkin telah membantumu
tumbuh. Setidaknya, bila kau mau membiarkan dirimu dibantu."
"Ibu begitu... begitu tahu tentang segala-galanya," kata Hester dengan nada
benci. "Dia datang dan menyelesaikan segala-galanya. Lalu dikatakannya bahwa
kalau benar-benar ingin menjadi aktris yang baik, sebaiknya aku belajar di
sekolah drama dan menjalankannya dengan sempurna. Padahal aku sebenarnya tak
ingin menjadi aktris, apalagi waktu itu aku sudah tahu bahwa aku tak punya
kemampuan. Jadi aku pulang. Apa lagi yang bisa kulakukan?"
"Mungkin banyak sekali," kata Philip. "Tapi yang kaupilih itu memang yang
termudah." "Oh, ya," kata Hester dengan bersemangat. "Kau mengerti sekali. Tahukah kau, aku
ini lemah sekali. Aku memang selalu ingin melakukan yang mudah-mudah saja. Dan
bila aku memberontak, pemberontakanku selalu bodoh sifatnya dan tidak berhasil."
"Kau sangat tak percaya diri, ya?" kata Philip dengan halus.
"Mungkin karena aku hanya diadopsi," kata Hester. "Aku tak tahu tentang hal itu,
sampai aku berumur kira-kira enam belas tahun. Aku tahu bahwa yang lain-lain
diadopsi, lalu suatu hari aku bertanya, dan aku pun tahu bahwa aku diadopsi
juga. Aku jadi merasa bingung sekali, serasa aku bukan milik siapa-siapa."
"Hebat sekali kau mendramatisasi dirimu," kata Philip.
"Dia bukan ibu kandungku," kata Hester. "Dia tak pernah mengerti benar apa-apa
yang kurasakan. Dipandanginya saja aku dengan manis dan sikap baik, dan
dibuatnya rencana-rencana untukku. Oh! Benci sekali aku padanya. Jahat sekali
aku. Aku tahu, aku jahat sekali, tapi aku benci padanya!"
"Tahukah kau," kata Philip lagi. "Sebenarnya anak-anak gadis mengalami masa
singkat, ketika mereka membenci ibu mereka sendiri. Sebenarnya tak ada yang aneh
benar dalam hal itu."
"Aku benci padanya karena dia benar," kata Hester. "Mengerikan sekali rasanya
bila seseorang selalu benar. Kita jadi merasa diri makin tak berarti. Oh,
Philip, semuanya mengerikan sekali. Apa yang harus kuperbuat" Apa yang bisa
kulakukan?" "Menikahlah dengan anak muda yang baik itu," kata Philip, "dan hiduplah dengan
tenang. Jadilah istri dokter yang baik. Atau itu masih kurang hebat bagimu?"
"Sekarang dia tak mau menikah denganku," kata Hester dengan sedih.
"Benarkah itu" Apakah dia berkata begitu padamu" Atau itu hanya khayalanmu?"
"Dikiranya aku yang membunuh Ibu."
"Oh," kata Philip, lalu ia berhenti sebentar. "Memang benarkah itu?" tanyanya.
Hester memutar tubuhnya, menghadapi Philip.
"Mengapa kau bertanya begitu" Mengapa?"
"Kupikir menarik juga mengetahuinya," kata Philip. "Sekadar untuk diketahui
antarkeluarga saja. Bukan untuk dilaporkan kepada yang berwajib."
"Kalaupun aku yang membunuhnya, apa kaupikir aku akan mau mengatakannya padamu?"
kata Hester. "Lebih baik tidak," kata Philip membenarkan.
"Kata Don, dia yakin, akulah yang membunuh Ibu," kata Hester. "Katanya, kalau
saja aku mau mengaku, kalau saja aku mau berterus terang padanya, semuanya akan
beres. Kami akan menikah, dan dia akan menjagaku. Hal itu tidak akan
mempengaruhi hubungan kami."
Philip bersiul kecil. "Wah, wah, wah," katanya.
"Apa gunanya?" kata Hester. "Apa gunanya kukatakan padanya bahwa aku tidak
membunuh Ibu" Dia tidak akan percaya padaku, bukan?"
"Seharusnya dia percaya," kata Philip, "bila kau menceritakannya padanya."
"Aku tidak membunuh Ibu," kata Hester. "Mengertikah kau" Aku tidak membunuhnya.
Tidak, tidak, tidak." Suaranya terputus. "Kedengarannya tidak meyakinkan, ya?"
katanya lagi. "Kebenaran memang sering terdengar tak meyakinkan," kata Philip membesarkan
hatinya. "Kita tak tahu," kata Hester. "Tak seorang pun tahu. Kita semua berpandangan.
Mary memandangi aku. Juga mengira aku pelakunya. Mana ada kesempatan bagiku"
Begitulah keadaannya, mengertikah kau" Aku tak punya kesempatan. Makanya akan
lebih baik, jauh lebih baik bila aku pergi ke Sungai Point dan menceburkan
diriku." "Demi Tuhan, jangan bodoh, Hester. Banyak hal lain yang bisa kaulakukan."
"Hal-hal lain yang mana" Mana bisa" Aku sudah kehilangan segala-galanya.
Bagaimana aku bisa hidup terus dari hari ke hari?" Ia melihat pada Philip.
"Kaupikir aku ini liar, tak seimbang. Yah, mungkin aku yang membunuhnya. Mungkin
rasa kesal menggerogotiku di sini." Dengan penuh perasaan diletakkannya kedua
tangannya ke dada. "Jangan bodoh begitu," kata Philip. Diulurkannya tangannya, lalu ditariknya
gadis itu. Hester setengah terjatuh ke kursi roda, lalu Philip menciumnya.
"Yang kaubutuhkan adalah seorang suami, gadisku," katanya. "Bukan si Donald
Craig, keledai bodoh yang alim, yang kepalanya penuh dengan soal-soal kejiwaan
dan teka-teki itu. Kau memang bodoh dan tolol, tapi kau cantik sekali Hester."
Pintu terbuka. Mary Durrant terhenti mendadak di ambangnya. Hester berusaha
memperbaiki sikapnya untuk tegak, dan Philip tertawa tak enak pada istrinya.
"Aku sedang menghibur Hester saja, Polly," katanya.
"Oh," kata Mary.
Ia masuk dengan berhati-hati, lalu meletakkan nampan ke atas sebuah meja kecil.
Lalu didorongnya meja itu ke sisi Philip. Ia tidak menoleh pada Hester. Hester
melihat dengan bingung dari suami ke istrinya.
"Ah, sudahlah," katanya, "mungkin sebaiknya aku pergi dan..." Ia tidak
menyelesaikan kalimatnya.
Ia keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.
"Hester sedang dalam keadaan yang menyedihkan sekali," kata Philip. "Dia
berencana untuk bunuh diri. Aku mencoba mengurungkan rencananya itu," tambahnya.
Mary tak menyahut. Philip mengulurkan tangan ke arah istrinya. Mary menjauhinya.
"Polly, apakah aku telah membuatmu marah" Marah sekalikah kau padaku?"
Mary tetap tak menyahut. "Kurasa karena aku menciumnya, ya" Ayolah, Polly, jangan marah padaku hanya
gara-gara sebuah kecupan kecil. Dia begitu cantik dan bodoh, dan tiba-tiba aku
merasa... yah, aku merasa akan menyenangkan bila aku menjadi laki-laki yang
ceria lagi dan bercumbuan lagi sekali-sekali. Mary Polly, ciumlah aku. Berilah
aku ciuman, kita berbaikan lagi."
Mary Durrant berkata, "Kaldumu akan dingin kalau tidak kauminum."
Lalu ia pergi ke kamar tidur dan menutup pintunya.
BAB XVIII "DI bawah ada seorang wanita muda yang ingin bertemu dengan Anda, Sir."
"Seorang wanita muda?" Calgary kelihatan heran. Tak terbayang olehnya siapa yang
kira-kira ingin bertemu dengannya itu. Dilihatnya pekerjaannya berserakan di
meja kerja dan ia mengerutkan dahi. Terdengar lagi suara petugas penjaga pintu,
yang kini dihaluskannya, "Masih muda sekali dia, Sir. Seorang wanita muda yang manis sekali."
"Ah, sudahlah, suruhlah dia naik."
Calgary tersenyum kecil sendiri. Suara yang dihaluskan dan sikap yang meyakinkan
itu menggelitik rasa humornya. Ia ingin tahu, siapa gerangan yang ingin
menemuinya. Waktu bel pintu berbunyi, ia membuka pintu itu, dan tercengang waktu
berhadapan dengan Hester Argyle.
"Anda!" Kata seru itu terucap dengan betul-betul terkejut. Kemudian baru
disambungnya, "Mari masuk." Gadis itu ditariknya masuk, lalu ditutupnya pintu.
Anehnya, kesannya tentang gadis itu masih hampir sama dengan waktu pertama kali
ia melihatnya. Gadis itu berpakaian tanpa mengikuti kebiasaan di London. Ia tak
bertopi, rambutnya tergerai kusut di sekeliling wajahnya. Di bawah mantel triko
yang tebal tampak rok berwarna hijau tua dan baju rajutan. Ia kelihatan seperti
orang yang baru saja masuk dengan terengah-engah dari perjalanan di padang
gersang. "Tolong saya," kata Hester, "tolong. Anda harus membantu saya."
"Membantu Anda?" Calgary bertambah heran. "Dengan cara bagaimana" Tentu saja
saya mau membantu Anda kalau saya bisa."
"Saya tak tahu harus berbuat apa," kata Hester. "Saya tak tahu siapa yang harus
saya datangi. Tapi seseorang harus menolong saya. Saya tak tahan. Andalah yang
bisa membantu, soalnya Anda yang sudah memulai semuanya ini."
"Apakah Anda dalam kesulitan" Kesulitan besar?"
"Kami semua dalam kesulitan," kata Hester. "Tapi bukankah manusia egois" Maksud
saya, seperti saya umpamanya, saya hanya memikirkan diri saya sendiri."
"Duduklah, anak manis," kata Calgary dengan lembut.
Disingkirkannya kertas-kertas dari sebuah kursi, dan disuruhnya Hester duduk di
situ. Lalu ia pergi ke lemari di sudut.
"Kau harus minum anggur," katanya. "Maukah kau segelas dry sherry?"
"Terserah Anda saja."
"Di luar basah dan dingin sekali. Kau memerlukan sesuatu."
Ia kembali dengan membawa sebuah kendi kaca dan gelas. Hester duduk bersandar di
sudut kursi. Calgary terkesan melihat keanggunan dan kepasrahannya.
"Jangan khawatir," katanya dengan lembut, sambil meletakkan gelas itu di
dekatnya, lalu mengisinya. "Yakinlah, keadaan sebenarnya tak pernah seburuk yang
kita duga." "Kata orang begitu, tapi itu tidak benar," kata Hester. "Kadang-kadang
keadaannya bahkan lebih buruk daripada kelihatannya." Ia menghirup anggurnya,
lalu berkata lagi dengan nada menuduh, "Keadaan kami baik-baik saja, sampai Anda
datang. Sebenarnya tak apa-apa. Tapi lalu... lalu mulailah segalanya."
"Aku tak mau berpura-pura bahwa aku tak tahu apa maksudmu," kata Arthur Calgary.
"Aku benar-benar tercengang waktu pertama kali kau berkata begitu padaku. Tapi
sekarang aku mengerti lebih baik, apa akibat informasi yang telah kusampaikan
pada kalian." "Selama ini kami mengira Jacko-lah pelakunya," kata Hester, lalu ia terhenti.
"Aku tahu, Hester, aku tahu. Tapi kita harus mencari latar belakangnya. Kalian
hidup dalam keamanan yang palsu. Itu bukan keadaan sebenarnya, itu hanya keadaan
semu, seperti pemandangan di pentas yang terbuat dari karton. Kadang-kadang
kelihatannya memberikan keamanan, tapi sebenarnya tidak, dan takkan pernah
bisa." "Maksud Anda," kata Hester, "seseorang harus punya keberanian, bukan" Bahwa tak
baik kita menangkap sesuatu yang palsu dan mudah?" Ia diam sebentar, lalu
berkata lagi, "Anda sendiri punya keberanian! Saya akui itu, karena Anda telah
datang atas kesadaran sendiri dan mengatakannya pada kami, tanpa mengetahui
bagaimana kelak perasaan kami dan bagaimana kami akan bereaksi. Anda memang
berani. Saya mengagumi keberanian. Soalnya saya sendiri tidak begitu berani."
"Ceritakanlah," kata Calgary dengan halus, "ceritakanlah apa kesulitanmu
sekarang. Pasti ada yang luar biasa, ya?"
"Saya bermimpi," kata Hester. "Ada seseorang - seorang pria muda - seorang
dokter..." "Oh, ya," kata Calgary. "Kalian bersahabat, atau mungkin lebih daripada
bersahabat?" "Saya mengira kami lebih daripada bersahabat," kata Hester. "Dan dia juga
mengira begitu. Tapi sekarang, setelah semuanya ini terjadi..."
"Ya?" kata Calgary.
"Dia mengira saya yang melakukannya," kata Hester. Kata-katanya meluncur dengan
cepat. "Atau mungkin dia tak menyangka saya yang melakukannya, tapi dia tak
yakin. Dia tak bisa merasa yakin. Dia mengira... saya bisa melihat bahwa dia
menduga sayalah orang yang paling berpeluang untuk melakukannya. Mungkin memang
benar. Mungkin kami semua saling mengira begitu. Dan saya pikir, harus ada
seseorang yang menolong kami dalam kesulitan ini, lalu saya teringat akan Anda,
gara-gara mimpi saya itu. Dalam mimpi itu, saya tersesat dan tak bisa menemukan
Don. Dia telah meninggalkan saya, padahal di depan saya ada semacam celah besar,
sebuah jurang. Ya, sebuah jurang yang dalam sekali. Dalam sekali dan... dan tak
terseberangi. Dan Anda ada di seberangnya, Anda mengulurkan tangan Anda dan
berkata, 'Aku ingin menolongmu.'" Ia menarik napas panjang. "Sebab itu saya
datang pada Anda. Saya pergi diam-diam dan datang kemari, karena Anda harus
menolong kami. Kalau Anda tidak membantu kami, saya tak tahu apa yang akan
terjadi. Anda harus membantu kami. Anda yang menyebabkan semuanya ini. Mungkin
Anda akan berkata bahwa ini bukan urusan Anda. Setelah Anda mengatakannya pada
kami - mengatakan pada kami apa sebenarnya yang terjadi - itu sekarang bukan urusan
Anda lagi. Anda mungkin akan berkata..."
"Tidak," Calgary menyela. "Aku tidak akan berkata begitu. Itu menjadi urusanku,
Hester. Aku sependapat denganmu. Bila orang sudah mulai melakukan sesuatu, dia
harus melangkah terus. Aku sangat menyadarinya, seperti kau."
"Oh!" Wajah Hester menjadi merah padam. Dan seperti biasa, ia jadi kelihatan
cantik. "Jadi saya tidak sendiri!" katanya. "Masih ada seseorang."
"Benar, anak manis, masih ada seseorang - sekecil apa pun artinya. Sejauh ini aku
tak banyak berguna, tapi aku berusaha. Aku tidak akan berhenti mencoba
menolong." Ia duduk dan mendekatkan kursinya pada Hester. "Nah, sekarang
ceritakan semuanya," katanya. "Buruk sekalikah keadaannya?"
"Yang melakukannya salah seorang di antara kami," kata Hester. "Kami semua tahu
itu. Mr. Marshall datang dan kami berpura-pura berkeyakinan bahwa pelakunya
seseorang dari luar yang masuk dengan paksa. Tapi dia tahu bahwa itu tidak
benar. Pelakunya salah seorang di antara kami."
"Dan teman priamu itu - siapa namanya?"
"Don. Donald Craig. Dia seorang dokter."
"Don mengira kaulah pelakunya?"
"Don mengira sayalah orangnya," kata Hester. Ia meremas-remas tangannya dengan
gugup sekali, dan memandangi Calgary. "Mungkin Anda juga mengira bahwa saya
pelakunya?" "Oh, tidak," kata Calgary. "Oh, tidak, aku tahu betul bahwa kau tak bersalah."
"Anda kelihatannya benar-benar yakin."
"Aku memang benar-benar yakin," kata Calgary.
"Mengapa" Bagaimana Anda bisa yakin?"
"Karena ucapanmu waktu aku akan meninggalkan rumah kalian, setelah aku
mengatakan hal itu pada kalian. Ingatkah kau" Ucapanmu mengenai yang tak
bersalah. Kau tidak akan bisa berkata begitu, kau tidak akan bisa merasa begitu -
bila kau bersalah." "Oh," seru Hester. "Aduh - alangkah leganya! Karena saya tahu bahwa ada seseorang
yang benar-benar merasa begitu!"
"Jadi," kata Calgary, "sekarang kita bisa membicarakannya dengan tenang, bukan?"
"Ya," kata Hester. "Rasanya... rasanya lain sekali sekarang."
"Sekadar ingin tahu," kata Calgary, "dan ingat betul bagaimana perasaanku
mengenai hal itu, mengapa ada orang yang menduga bahwa kau yang membunuh ibu
angkatmu?" "Saya memang mungkin melakukannya," kata Hester. "Saya sering merasa ingin
melakukannya. Kadang-kadang kita memang merasa bisa gila karena kita marah
sekali, bukan" Kita merasa sia-sia karena begitu... begitu tak berdaya. Ibu
selalu tenang, benar-benar merasa paling hebat dan tahu segalanya, serta benar
dalam segala hal. Kadang-kadang saya berpikir, 'Aduh, ingin rasanya aku
membunuhnya.'" Ia melihat lagi pada Calgary. "Mengertikah Anda" Tak pernahkah
Anda merasa seperti itu waktu Anda masih muda?"
Kata-kata terakhir itu tiba-tiba terasa sebagai suatu pukulan bagi Calgary.
Mungkin seperti pukulan yang dirasakannya waktu Micky berkata di kamar hotelnya
di Drymouth, "Anda kelihatan lebih tua!" Kini Hester berkata, "Waktu Anda masih


Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda." Apakah menurut perkiraan Hester masa itu sudah lama sekali berlalu" Ia
mencoba mengingat-ingat kembali. Diingatnya dirinya waktu ia berumur sembilan
tahun. Ia berunding dengan seorang anak kecil lain di halaman sekolahnya. Dengan
bersungguh-sungguh mereka memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyingkirkan
Mr. Warborough, wali kelas mereka. Ia ingat betapa marahnya dia, tak berdaya,
waktu Mr. Warborough menegurnya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati.
Begitulah pula pasti perasaan Hester, pikirnya. Tapi apa pun yang
direncanakannya bersama - siapa nama anak itu, ya - Porch, ya, anak itu bernama
Porch - meskipun ia dan si Porch sudah berunding dan membuat rencana, mereka tak
pernah mengambil langkah apa-apa untuk menyingkirkan Mr. Warborough itu.
"Tahukah kau," katanya pada Hester, "seharusnya sudah sejak lama kau tidak lagi
memiliki perasaan seperti itu. Tapi aku mengerti."
"Itu gara-gara pengaruh Ibu atas saya," kata Hester. "Tapi sekarang saya sudah
mulai menyadari bahwa itu kesalahan saya sendiri. Saya rasa, kalau saja Ibu
hidup sedikit lebih lama lagi - sekurang-kurangnya sampai saya sedikit lebih tua
dan sudah merasa tenang - kami akan bisa bersahabat, meskipun dengan cara yang
agak aneh. Dan saya akan senang menerima uluran tangan dan petunjuk-petunjuknya.
Tapi... tapi nyatanya saya tak tahan, karena saya jadi merasa begitu tak
berguna, begitu bodoh. Semua yang saya lakukan jadi gagal, dan saya bisa melihat
sendiri bahwa apa-apa yang saya lakukan adalah hal-hal yang bodoh. Saya
melakukannya hanya karena ingin memberontak, ingin membuktikan diri saya
sendiri. Padahal saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seperti uap. Ya, itulah
perbandingan yang tepat," kata Hester. "Itulah perkataan yang tepat. Uap. Yang
hanya bisa mencobakan bentuk-bentuk - bentuk-bentuk orang lain yang saya kagumi.
Lalu saya pikir, kalau saya pergi dan main sandiwara, dan berhubungan cinta
dengan seseorang, maka..."
"Maka kau akan merasa menjadi seseorang, begitu?"
"Ya," kata Hester. "Ya, tepat begitulah. Dan sekarang saya benar-benar sadar
bahwa saya berkelakuan seperti anak bodoh saja. Tapi Anda pasti tak mengira, Dr.
Calgary, betapa saya ingin Ibu masih hidup sekarang. Karena keadaan ini sangat
tak adil - maksud saya tak adil baginya. Dia telah berbuat dan memberi banyak pada
kami. Kami tidak membalas apa-apa padanya. Dan sekarang sudah terlambat." Ia
Dendam Empu Bharada 23 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Badai Awan Angin 36
^