Pencarian

Kunanti Di Gerbang Pakuan 4

Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Bagian 4


sekitar enam orang menyerang empat tawanan Banyak Angga padahal keempat orang itu
sedang dalam keadaan terikat kedua tangannya.
Sudah barang tentu keadaan keempat orang dalam keadaan terikat, tak mungkin menyambut
dan melakukan perlawanan. Maka dalam beberapa gerakan saja, keempat orang itu sudah
menderita luka di sana-sini.
Pragola terkejut dengan kejadian ini. Padahal dia menginginkan tawanan tetap selamat karena
dia akan menyelidiki misteri mereka. Rupanya jalan pikiran ini pun sama terdapat di benak
Paman Manggala. Buktinya, baik Pragola mau pun Paman Manggala sama-sama meloncat
mendekati keempat orang tawanan. Dengan gerakan yang sama cepat, seolah-olah keduanya
saling berlomba menjatuhkan enam penyerang tawanan. Dan ketika keenam penyerang
terjungkal oleh pukulan-pukulan maut mereka, baik Pragola mau pun Paman Manggala segera
menghampiri empat orang tawanan yang nampak payah karena menderita luka parah.
Pragola menghampiri seorang tawanan yang masih mampu bergerak, demikian pun Paman
Manggala menghampiri satu orang lainnya yang dirasa masih bisa ditanya.
"Cepat katakan, siapa yang mengutusmu datang ke sini?" teriak Paman Manggala di tengah
hiruk-pikuk pertempuran. Dan, trang! Paman Manggala menangkis sebuah ayunan golok
dengan sebuah pedang yang dengan cepat dipungut dari tanah. Golok beserta pemegannya
sama-sama terlontar ke belakang.
"Lihatlah, pada akhirnya kalian pun mati oleh orang-orang yang sepertimu, yaitu diutus
seseorang untuk membunuh kami. Kamu membuang nyawa percuma sebab tuanmu tak setia
padamu. Sekarang masih ada waktu kamu menebus dosa. Cepat katakan, siapa yang
mengutusmu membunuh kami?" teriak pula Pragola. Buk! Ujung kaki pemuda itu menendang
seorang penyerang yang hendak mencecar dengan hunjaman pedang.
Baik Paman Manggala mau pun Pragola berusaha mendapatkan jawaban sambil berkelit dan
menangkis hunjaman dan cecaran senjat apara penyerang. Tangan kiri Pragola sibuk
mengguncang-guncang tawanan yang nampak tengah sekarat, sedangkan tangan kanannya
melakukan tangkisan bahkan balik menyerang kepada kaum penyerangnya.
"Cepat katakan! Sebentar lagi kau akan mati!" teriak Pragola jengkel.
Bak! Bik! Buk! Pragola menerima beberapa gebukan tongkat rotan di punggungnya. Pemuda
ini terpaksa membalikkan tubuh dan mendorongkan sepasang telapak tangannya. Terdengat
angin bersiutan dan tubuh tiga orang penggebuknya terlontar bagaikan daun tertiup angin.
Tubuh mereka berdebuk di atas tanah berbatu hampir empat depa jauhnya. Namun ketika
Pragola kembali berbalik menghampiri tawanan, hatinya sungguh terkejut. Tepat di atas perut
tawanan sudah tertancap sebuah tombak. Tapi Pragola masih penasaran. Dia segera
mendekatkan telinganya ke dekat bibir tawanan itu. Orang itu belum mati, nampak nyata
bibirnya bergerak-gerak sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 80
"Cepat Katakan! Cepar katakan!" kata Pragola tak sabar.
"Nyi Mas " Nyi Mas Layang " Layang Kingkinnn?" dan kemudian tawanan itu
menghembuskan napas terakhir.
Telinga Pragola masih menempel di mulut tawanan yang baru saja mati tapi mata pemuda itu
menatap ke arah Paman Manggala. Ternyata orang tua itu pun tengah mendekatkan telinganya
ke mulut tawanan lainnya yang sama terbaring lemah karena luka-lukanya. Paman Manggala
pun sama tengah menatap dirinya, sehingga akhirnya Pragola dan orang tua itu saling
memandang lama sekali. Pragola belum bisa menduga, apakah Paman Manggala pun telah mendapatkan berita yang
sama, namun yang pasti, sedikit rahasia mulai terkuak. Bahwa sebetulnya ada pihak yang lain
yang juga berkepentingan dalam upaya menghalangi misi perjalanan yang dilakukan Banyak
Angga ini. Nyi Mas Layang Kingkin" Berdebar jantung pemuda ini. Betulkah tawanan
Banyak Angga yang mati ini diutus oleh ibu suri Nyi Mas Layang Kingkin"
Dencingan-dencingan senjata yang beradu disertai teriakan kemarahan menggangu lamunan
Pragola, sehingga untuk sejenak dia menoleh ke arah pertempuran.
Tinggal sekitar tujuh atau delapn orang yang mengepung Banyak Angga dan Paman
Angsajaya. Melihat perkelahian ini, kendati orang itu dikeroyok tujuh atau delapan perampok,
namun nampak nyata sebetulnya tingkat kepandaian Banyak Angga dan Paman Angsajaya
satu atau dua tingkat di atas para pengeroyoknya. Namun mereka tak sanggup menyelesaikan
pertempuran karena kelemahan batin mereka sendiri. Baik Banyak Angga mau pun Paman
Angsajaya sepertinya tak pantas menjadi tulang punggung keamanan negri sebab mereka tak
bisa tegas dalam bertindak. Sudah jelas para pengeroyok menginginkan nyawa mereka tapi
mereka tetap tak mau menurunkan tangan kejam. Padahal kalau berniat, sebetulnya amat
mudah bagi mereka untuk membabat habis nyawa pengeroyok itu. Mungkin jalan pikiran
Banyak Angga tak pernah berubah, bahwa manusia berbuat jahat karena sakit jiwanya. Maka
untuk melenyapkan kejahatan, bukanlah badannya yang harus dibasmi, melainkan jiwanya
harus diobati. Itulah barangkali yang menyebabkan pemuda anak pejabat Pakuan ini tak
menurunkan tangan kejam. Akan halnya Paman Angsajaya, dia sebagai bawahan pemuda itu
pasti akan ikut berprilaku tuannya juga. Perkelahian yang dilakukan prajurit setengah baya ini
hanya menjaga agar dirinya tak terluka saja dan dia pun mengusahakan agar menundukkan
lawan dengan tidak membunuhnya.
Pragola menduga begitu, namun dia turun membantu agar tak punya anggapan bahwa dia
membiarkan Banyak Angga bekerja sendiri.
Pragola melibatkan diri dalam perkelahian tanpa menggunakan senjata. Dan manakala melihat
Pragola ikut terjun, Paman Manggala pun segera ambil bagian pula. Namun orang tua ini
rupanya tak mau bertele-tele seperti yang lainnya. Dia segera melakukan gerakan cepat. Maka
dalam belasan jurus saja, sudah banyak tubuh-tubuh berpelantingan. Mereka memang tak
mati, tapi setiap orang yang kena gebukan Paman Manggala rata-rata menderita luka dalam
cukup parah. Dua orang pengeroyok mengaduh-aduh karena tangan mereka patah-patah.
Empat orang pengeroyok sudah dilumpuhkan oleh Paman Manggala sendirian saja. Dan
empat orang lagi malah langsung menjatuhkan diri berlutut karena sudah merasa tak sanggup
memenangkan perkelahian. Tentu saja ini pemandangan mengherankan. Empat orang
bertubuh tinggi besar dengan wajah brewok merunduk-runduk minta ampun kepada dua orang
pemuda yang ukuran tubuhnya biasa-biasa saja.
Dari sekitar duapuluh lima orang perampok, hanya empat orang ini yang masih bisa duduk
kendati dengan tubuh menggigil seperti tikus tercemplung air. Sedangkan sebagian besar dari
mereka bergeletakan di tanah dengan tubuh tanpa daya.
Banyak Angga merunduk sedih ketika melihat banyak orang bergeletakan ini. Apalagi dari
sejumlah ini, ada belasan yang tewas.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 81
"Pemandangan ini sungguh membuat aku tak suka?" gumannya sendirian.
"Namun harus pula diingat olehmu Raden, bahwa misi yang tengah engkau emban ini pun
sebetulnya untuk persiapan ke arah kejadian seperti ini. Barangkali lebih besar dan lebih
mengerikan ketimbang ini," jawab Pragola secara tak sadar.
Banyak Angga menoleh heran dan Paman Manggala mengerutkan dahi.
"Mengapa engkau merasa seperti begitu?" tanya Banyak Angga.
"Secara diam-diam engkau dan ayahandamu berupaya mengumpulkan orang-orang pandai
dalam memperkuat kembali Pakuan. Ini adalah tindakan dengan risiko cukup besar. Kangjeng
Prabu Nilakendra belum tentu setuju dengan kebijaksanaan ini. Kalau benar tak setuju, maka
terjadi pertentangan di istana. Kalau pertentangan terjadi berlarut-larut, mungkin akan terjadi
adu kekuatan di antara kalian sendiri. Sebaliknya bila usaha kalian berhasil, maka musuh
Pajajaran yang berada di sekeliling kalian pun akan lebih meningkatkan kemampuannya.
Itulah risiko yang lebih besar dan barangkali akan menghasilkan korban serta kesengsaraan
yang lebih parah ketimbang pertempuran kecil hari ini," tutur Pragola panjang lebar. Nampak
nyata Paman Manggala semakin mengerutkan kening manakala mendengarkan Pragola
semakin banyak bicara ini. Jelas, Paman Manggala tak senang dengan ucapan yang
dikeluarkan Pragola ini. Sebaiknya dengan Banyak Angga. Pemuda ini menundukkan kepala dan wajahnya nampak
sedih. Ucapan Pragola sepertinya masuk dan meresap ke benaknya.
"Ya " pada akhirnya kita tak berdaya diombang-ambingkan situasi ini ?" gumam Banyak
Angga masih menundukkan kepalanya.
*** Aakhirnya perjalanan menjadi terlambat satu hari sebab keempat orang itu menjadi sibuk
mengurusi para pengeroyok itu. Semuanya bekerja keras membuat lubang untuk mengubur
perampok yang mati. Celakanya, yang paling keras bekerja membuat lubang adalah empat
orang itulah sebab kebanyakan pengeroyok sudah luka parah dan tak bisa dimanfaatkan
secara maksimal dalam membantu menguburkan teman-temannya.
Banyak Angga tetap ingin menempuh prosedur yang berlaku yaitu mengirimkan penjahatpenjahat
itu ke cutak terdekat agar diadili sebagaimana mestinya.
"Mengapa Paman setuju dengan kebijakan Raden Banyak Angga yang memaksa
mengirimkan tawanan agar diadili?" tanya Pragola kepada Paman Manggala."Kalau mereka
diperiksa, jangan-jangan mereka membuka rahasia penyamaran," tuturnya setengah
menyelidik. "Jalan pikiranmu terlalu polos, Pragola. Pada suatu saat, kepolosanmu ini akan menjebakmu
ke arah sesuatu yang membahayakan," gumam Paman Pragola, suaranya hampir-hampir
dingin. "Benar Paman, sehingga orang yang berpikiran polos perlu dibodohi," desis Pragola dengan
nada dingin pula. Paman Manggala menatap dengan alis berkerut. Pragola pun balik menatap,
sehingga kedua orang itu saling tatap.
"Aku tak mengerti maksudmu?" kata Paman Manggala pendek.
"Justru saya tak mengerti maksud Paman. Dan saya memerlukan keteranganmu," jawab
Pragola. "Tentang apa?" "Tentang siapa mereka!" menunjuk dengan matanya kepada sekelompok tawanan di sebelah
sana. "Mereka adalah perampok biasa. Makanya aku biarkan mereka diperiksa orang Pajajaran agar
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 82
mereka yakin bahwa kaum penghadang yang lainnya pun mereka sangka sebagai perampok
biasa juga," kata Paman Manggala.
"Berarti sudah ada tiga kelompok berlainan yang menghadang saya?" gumam Pragola.
"Aku tak mengerti maksudmu," tutur Paman Manggala. Namun percakapan mereka tak
diteruskan sebab Banyak Angga nampak mendekati.
"Kita terlambat satu hari," tutur Banyak Angga. Baik Pragola mau pun Paman Manggala
hanya mengangguk. "Kita memang banyak dihadang kesulitan. Maafkan saya telah membuat kalian repot," tutur
pemuda itu mengeluh. Pragola dan Paman Manggala buru-buru menimpali bahwa keributan
ini adalah sudah jadi bagian dari tugas negara dan yang harus mereka laksanakan dengan
penuh tanggung jawab. "Tapi kalau saya tak memilih kalian, tak nanti kaliam nantidirundung kesulitan dan dihadang
bahaya terus-menerus," tutur lagi Banyak Angga.
"Saya selalu siap membela Pakuan, Raden?" kata Pragola yang kemudian daun telinganya
serasa panas. Hatinya mengakui, sebenarnya ini adalah ucapan bohong belaka. Padahal yang
sesungguhnya tengah dia lakukan adalah berupaya mengagalkan usaha-usaha pemuda ini.
"Seorang raja hanya bisa bertitah tanpa mau tahu apakah itu berkenan atau tidak di hati
hambanya. Begitu seorang pemimpin, atau orang berpengaruh lainnya. Mereka punya
keinginan, gagasan atau rencana. Tapi hanya itu. Yang harus melaksanakannya adalah
bawahannya, atau orang-orang yang harus melaksanakan gagasan si pemimpin hati kecilnya
menolak. Anggota perampok yang mati itu belum tentu setuju merampok. Tapi karena
pemimpin memaksanya dan dia tak punya daya, dia akhirnya ikut jadi perampok. Ada juga
yang ikut-ikutan merampok karena tertekan sesuatu, oleh sesuatu keadaan misalnya," tutur
Banyak Angga panjang-lebar.
"Saya bekerja untukmu tanpa rasa tertekan atau keterpaksaan, Raden "."gumam Pragola,
namun kembali telinganya memerah sebab ucapannya berlawanan dengan hatinya.
Banyak Angga hanya termanggu untuk kemudian tersenyum tipis. Pragola tak bisa menduga
apa yang ada di benak pemuda itu ketika tersenyum ini.
Sementara itu malam telah semakin larut. Pragola menyodorkan diri untuk menjaga tawanan
sendirian sepanjang malam.
"Baik Raden mau pun kedua Paman pasti menderita kelelahan yang sangat. Biarlah kalian
bertiga beristirahat penuh, sehingga esok hari semuanya sudah dalam keadaan bugar," kata
Pragola memberikan alasan.
"Dan engkau sendiri bagaimana?" tanya Banyak angga.
"Lebih baik hanya satu orang yang kelelahan dari pada semuanya harus capek. Lagipula saya
belum merasa payah benar," tutur Pragola.
Akhirnya ketiga orang itu mau beristirahat dan Pragola sendirian menjaga tawanan.
Pragola duduk terpisah tiga sampai empat tindak dari ketiga orang yang tergolek tidur.
semEnntara lamunanny amenerawang ke mana-mana.
Pragola masih teringat kejadian tadi siang. Tawanan yang mati sebelumnya telah mengaku
sebagai utusan Nyi Mas Layang Kingkin. Siapa yang akan dibunuh Layang Kingkin" Banyak
Angga atau dirinyakah" Lantas apa kepentingan ibu suri membunuh mereka"
Selama dalam perjalanan, sebetulnya Pragola selalu teringat Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita cantik bekas selir terkasih mendiang Kangjeng Prabu Ratu Sakti ini demikian penuh
perhatian kepadanya. Dua kali pertemuan dengannya, wanita dewasa bermata binar itu seolah
menjanjikan sesuatu kepadanya.
"Jadilah mata-mataku agar segala keinginanmu terkabul," kata Nyi Mas Layang Kingkin
tempo hari. Janji yang disodorkan wanita berlesung pipit ini seperti tak ada ujung batasnya.
Sebab naliuri kelaki-lakiannya membisikkan bahwa ada janji cinta dari kerling manis mulut
mungil rona merah itu. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 83
"Janji cinta" Tapi mungkinkah orang yang mencinta akan melakukan pembunuhan"
Membunuhku" Atau membunuh Banyak Angga?" pikir Pragola.
Tiga kali menerima penyerangan memang dirinya selalu menjadi incaran lawan. Tak perlu
diherankan benar bila dalam pertempuran paling akhir tadi siang dia pun menerima ancaman
pembunuhan sebab kaum penyerang tadi siang merupakan perampok tulen seperti apa kata
Paman Manggala. Tapi penyerang yang kedua dan yang pertama, Pragola tak mengerti,
mengapa dia jadi sasaran pembunuhan"
Memang sudah ada khabar dari Pangeran Yudakara bahwa prajurit Cirebon secara rahasia
akan menghadang mereka agar perjalanan mencari orang pandai ke wilayah timur akan
terganggu. Para penghadang mungkin akan melakukan pembunuhan. Ya, mungkin begitu.
Tapi mengapa dirinya menjadi sasaran pembunuhan juga" Paman Manggala memang berkata
bahwa untuk memeperlihatkan serangan itu nyata, maka semua orang seolah-olah mengalami
bahaya yang sama. Tapi tetap saja ucapan ini meragukan. Apa pun dalihnya, Pragola merasa
bahwa nyawanya diancam orang. Siapa yang mengancamnya dan apa pentingnya dia
dibunuh" Pragola mencoba menganalisa jalan pikiran Pangeran Yudakara dan Nyi Mas Layang
Kingkin. Pangeran Yudakara mengirimkan dirinya untuk menyelundup ke puri Yogascitra
tentu karena percaya. Mengapa orang kepercayaan musti dibunuh"
Sekarang Pragola mencoba menelaah jalan pikiran Nyi Mas Layang Kingkin. Menyimak
bicaranya, wanita cantik ini orang yang pro terhadap Kangjeng Prabu Nilakendra dan sama
sekali menolak gagasan Pangeran Yogascitra yeng berupaya mengirim dan mengumpulkan
orang pandai ke Pakuan. Karena itulah Nyi Mas Layang Kingkin menyuruhnya ikut
menghalangi perjalanan Banyak Angga.
Yang dia tak menyangka bahwa Nyi Mas Layang Kingkin bisa juga bertindak keras dengan
mengirimkan pasukan pembunuh untuk melenyapkan Banyak Angga, bahkan dirinya.
Dirinya" Pragola mencoba menepiskan persankaan buruk ini. Bisa jadi serangan terhadap
dirinya adalah kekeliruan. Atau seperti apa kata Paman Manggala, semua dilakukan seperti
sungguh-sungguh agar Banyak Angga percaya bahwa semuanya bukan diatur.
Pragola mnjadi pusung sendiri sebab semua yang dia pikirkan hanya akan berupa dugaandugaan
belaka. Pemuda ini tersentak lamunannya ketika dai belakang ada gerakan halus. Ketika dia
membalikkan tubuh, ternyata Paman Manggala yang datang.
Pragola tak menyapanya. Dia merasakan ada kerenggangan di antara mereka. Atau paling
tidak, dia merasa bahwa Paman Manggala sudah menjadi renggang dengan dirinya sebab
orang tua itu dicurigai menyembunyikan sesuatu rahasia.
"Tidurlah, engkau pasti lelah dan mengantuk," bisik Paman Manggala. Pragola
menggelengkan kepala. "Kalau begitu kita berbincang saja," bisik lagi Paman Manggala. Orang tua itu terus berbisik,
menyadarkan Pragola bahwa Paman Manggala ingin pembicaraan penting yang hanya bisa
didengar berdua saja. "Engkau tentu menemukan sesuatu yang penting tadi siang," kata Paman Manggala.
"Paman sendiri bagaimana?"
"Ya, sebetulnya kita telah sama-sama menemukan sebuah misteri," jawab Paman Manggala.
"Ada lebih dari satu misteri bagiku dan Paman perlu menerangkannya padaku," gumam
Pragola. "Kau kan sudah tahu, tawanan yang mati itu diutus oleh siapa?"
"Kemudian siapa yang mengutus penghadang pertama yang yang kemudian Paman bunuh
itu?" tanya Pragola.
Paman Manggala terpekur sejenak, kemudian menghela napas.
"Aku membunuh tawanan yang sebetulnya orang sendiri itu agar rahasia kita tidak terkuak,"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 84
kata Paman Manggala. "Agar rahasia mereka juga dalam upaya membunuhku juga tidak terbongkar," potong
Pragola."Mengapa mereka hendak membunuhku?" tanya lagi Pragola dengan penuh desakan.
Kembali Paman Manggala menghela napas.
"Ya " aku juga sebetulnya merasakan bahwa sebetulnya merasakan bahwa sepertinya ada
upaya membunuhmu. Tapi aku belum tahu dasar kecurigaanku pada utusan Pangeran
Yudakara itu. Dan kalau pun aku bunuh mereka, sebetulnya aku lebih mengkhawatirkan
mereka buka mulut sewaktu diperiksa nanti. Makanya kulenyapkan saja mereka,"
Pragola tak berkomentar. "Sungguh, aku juga berpikir sepertimu, mengapa kau jadi sasaran pembunuhan. Dan
kebingungan kian bertambah ketika kita menerima hadangan kedua. Aku curiga mereka
bukan orang sendiri. Dan terbuktibahwa penghadang yang kedua diutus oleh Nyi Mas Layang
Kingkin. Ini mencurigakan,"


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman mengenal juga Nyi Mas Layang Kingkin?"
"Bekas selir mendiang Sang Prabu Ratu Sakti ini adalah kekasih gelap Pangeran Yudakara,"
bisik Paman Manggala. Serasa ada halilintar menyambar ubun-ubunnya manakala Pragola mendengar ucapan Paman
Manggala ini. Nyi Mas Layang Kingkin kekasih gelap Pangerab Yudakara"
"Aku bingung dan curiga. Nyi Mas Layang Kingkin punya pasukan tentu di luar pengetahuan
Pangeran Yudakara. Yang patut dicurigai, apa keperluan Nyi Mas Layang Kingkin
mengirimkan pasukan pembunuh sepertinya ingin berusaha menyaingi upaya-upaya Pangeran
Yudakara?" tanya Paman Manggala.
"Apakah Nyi Mas Layang Kingkin pun bekerja untuk Cirebon?" tanya Pragola setengah
menerawang kesana-kemari.
"Nyi Mas Layang Kingkin adalah orang Pakuan tulen namun merupakan tokoh yang
diasingkan di negrinya," kata lagi Paman Manggala.
Pembicaraan yang dilakukan dengan pelan menyerupai bisikan ini tidak dilanjutkan sebab ada
suara batuk. Yang batuk ternyata Paman Angsajaya. Dalam keremangan nampak dia bangun
dan duduk seraya menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.
*** Para perampok yang ditawan sudah diserahkan kepada cutak terdekat untuk diurus
sebagaimana mestinya. Sesudah tugas ini diselesaikan, keempat orang itu kembali
melanjutkan perjalanan. Perjalanan masih tetap dilakukan jalan kaki kendati cutak
menawarinya empat ekor kuda yang bagus-bagus.
Banyak Angga memberi alasan, lebih aman dilakukan jalan kaki ketimbang naik kuda.
Dengan berkuda hanya akan menarik perhatian orang, padahal perjalanan mereka harus
dilakukan dengan diam-diam.
"Kaum permapok akan menganggap kita saudagar kaya dan pihak musuh akan mencurigai
bahwa kita adalah orang-orang penting," tutur Banyak Angga.
Sekarang perjalanan tidak dilakukan tergesa-gesa walau pun sudah telat satu hari. Keempat
orang itu berjalan santai di samping kelelahan karena banyak mengalami bahaya, juga karena
mereka tahu, Sagaraherang letaknya sudah tak terlalu jauh lagi.
Mereka berjalan sambil tak terlalu banyak bicara, Banyak Angga berjalan di depan, kedua
adalah Pragola. Sedangkan melangkah paling belakang adalah Paman Manggala dan Paman
Angsajaya. Kedua orang itu hanya sesekali saja melakukan pembicaraan, itu pun bukan hal
yang penting. Sedangkan Banyak Angga lebih banyak diam ketimbang bicara. Ini membuat
Pragola lebih leluasa mengumbar lamunannya. Tak bisa dipungkiri, ada semacam pukulan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 85
batin kepada pemuda ini setelah mendengar berita perihal Nyi Mas Layang Kingkin.
Nyi Mas Layang Kingkin adalah wanita dewasa. Barangkali usianya dengan Pragola terpaut
lima tahun. Kalau Nyi Mas Layang Kingkin wanita biasa, barangkali Pragola harus
memanggilnya seperti seorang adik kepada kakak perempuannya. Tapi Nyi Mas Layang
Kingkin bukan wanita sembarangan. Dia adalah bekas selir mendiang raja terdahulu. Walau
pun wanita itu jadi orang terasing seperti apa kata Paman Manggala, namun wanita anggun itu
tetap menjadi penghuni puri di istana raja. Bahkan disebut-sebut sebagai wanita yang cukup
berpengaruh, terutama bagi Sang Prabu Nilakendra.
Ya, Nyi Mas Layang Kingkin adalah seorang agung di istana Pakuan. Tapi mengapa wanita
berdagu runcing dengan hidung kecil mancung itu demikian manis budi ke padanya"
Senyumnya selalu merekah, kerlingnya selalu membetot jantungnya. Ada kerling cinta
terhadapnya. Oh, hai Layang Kingkin, benarkah engkau cinta padaku"
Usia bukanlah halangan. Banyak lelaki mendapatkan wanita lebih muda. Mengapa wanita
yang lebih tua tak berhak mendapatkan lelaki lebih muda" Itu bukan sebuah dosa.
Yang menjadi ganjalan sekarang, betulkah Nyi Mas Layang Kingkin terlibat urusan politik"
Tapi semua orang punya keputusan sendiri-sendiri termasuk dalam politik. Itu tak jadi
halangan. Tapi kesedihan di hati Pragola adalah ucapan pahit Paman Manggala. Benarkah Nyi
Mas Layang Kingkin menjadi kekasih gelap Pangeran Yudakara"
Pahit sekali. Pahit dan menyakitkan. Nyi Mas Layang Kingkin yang bersikap manis
kepadanya, nyatanya punya kekasih gelap, Pangeran Yudakara lagi, yaitu seseorang yang
dianggap atasannya dan harus diseganinya.
Kekasih gelap" Mengapa harus menjadi kekasih gelap" Mengapa harus main sembunyi
bukankah Pangeran Yudakara seorang duda dan Nyi Mas Layang Kingkin seorang janda"
Apa yang membuat mereka main sembunyi seperti itu"
Pragola berharap, ini hanyalah khabar burung. Artinya, berita yang disampaikan Paman
Manggala terhadapnya hanyalah isu yang kebenarannya diragukan. Ya, itulah harapan
hatinya. Selama melakukan perjalanan, bila malam tiba atau bila suasana menjadi sunyi, sebetulnya
Pragola selalu terkenang Nyi Mas Layang Kingkin. Dia teringat akan pipi wanita itu yang
putih kemerahan di saat tubuh wanita itu jatuh dalam pelukan Pragola karena kakinya keseleo
di tepi kolam kaputren. Pragola pun sungguh ingat, betapa lekuk-relung tubuh Nyi Mas
Layang Kingkin demikian menantang ketika pakaian sutra tipisnya tersorot cahaya lentera.
Ya, pemuda itu baru sadar belakangan ini, bahwa Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya telah
menawarkan gelora cinta ke padanya, namun peluang yang ditawarkan ini dibuang percuma
olehnya. Nyi Mas, betapa sebetulnya engkau cinta padaku. Tapi benarkah orang lain bilang bahwa
engkau bermain asmara secara gelap dengan lelaki lain, keluh Pragola.
Dan kalau saja suasana sunyi di perjalanan terus berlangsung, barangkali lamunan Pragola
akan terus berlarut-larut.
Namun hati pemuda ini segera tersentak manakala pada jalanan setapak di depannya terlihat
seorang wanita berlari tergopoh-gopoh.
Wanita itu lari dengan penuh ketakutan. Apa yang menyebabkannya terbirit-birit seperti itu
bisa diketahui belakangan.
Ternyata wanita yang ditaksir usianya sekitar duapuluh lima tahunan ini tengah dikejar
seorang lelaki. Lelaki itu barangkali usianya tigapuluh lima, pantas menjadi suaminya. Tapi
mengapa lelaki itu seperti marah dan berniat hendak menganiaya wanita yang dikejarnya"
Siapa tak menduga hendak menganiaya sebab di tangan kanan lelaki itu terpegang erat sebuah
golok. Golok itu tak mengkilap benar, sebagai tanda kurang runcing. Namun setumpulKunanti
di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 86
tumpulnya golok, kalau dibacokkan ke kepala orang tentu berakibat fatal.
Wanita itu sudah nampak kepayahan karena dikejar terus. Satu dua tindak saja sudah terkejar.
Golok di tangan lelaki itu segera terayun. Nyata sekali akan segera mengenai belakang kepala
wanita itu. Namun sebelum benda itu menghantam kepala, secara tiba-tiba terlempar ke udara, kemudian
ujungnya menancap keras di dahan pohon. Pemegangnya sendiri terpental ke belakang dan
jatuh berdebuk. Lelaki itu meringis seraya memegangi pergelangan tangannya. Lelaki itu
demikian kaget, menatap Banyak Angga yang barusan melemparkan sebutir batu dan kena
telak di pergelangan tangannya.
"Perempuan laknat itu yang berdosa. Mengapa aku yang dihukum?" kata lelaki itu kasar.
"Siapakah perempuanitu dan mengapa hendak kau bunuh?" tanya Banyak Angga.
"Dibunuh atau tidak, itu urusanku sebab dia adalah istriku!" jawab lelaki itu bangkit dan
hendak memukul wanita yang nampak berdiri menggigil ketakutan. Namun sebelum
tujuannya terlaksana, lelaki berangasan itu sudah didorong mundur oleh Banyak Angga
sehingga tubuhnya kembali terjengkang.
"Dia adalah istrimu. Tapi bila sudah menyangkut keselamatan nyawa, maka semua orang bisa
ikut campur. Aku tak suka melihat orang dianiaya, apalagi seorang wanita," kata Banyak
Angga. Lelaki yang terjengkang itu sebenarnya tak punya kepandaian apa-apa, hanya berangasan saja.
Namun karena berangasan itulah, dia seperti tak memiliki rasa takut.
"Melihat pakaianmu dan juga kulit wajahmu yang sehat, tentu engkau seorang santana
(sebutan untuk kelompok masyarakat pertengahan). Engkau juga seorang gagah, hai pemuda.
Sayang kegagahanmu tidak kau gunakan di atas jalan kebijaksanaan. Kau hanya melihat
kulitnya saja. Hanya karena melihat seorang lelaki hendak menganiaya perempuan, maka
engkau langsung bersimpati pada si perempuan tanpa melihat sebab-musababnya," tutur si
lelaki berangasan sambil masih tetap memegangi pergelangan tangan kanannya.
"Tentu aku akan lihat permasalahannya. Karena itulah aku hentikan dulu perbuatan
penganiayaanmu," jawab Banyak Angga lagi."Sekarang sebutkanlah alasanmu, mengapa
begitu tega hendak mencelakai istri sendiri," lanjutnya.
Si lelaki berangasan itu mendengus dan memalingkan muka.
"Aku enggan menerangkan aib yang dilakukan bedebah itu. Tapi kalau engkau cinta dendang
prepantun, tentu engkau ingat kisah-kisah sedih Raden Banyak Angga yang kerap dilantunkan
prepantun," kata si berangasan. Seketika memerah kuli pipi Banyak Angga.
"Sudahlah Raden, kita tak perlu berurusan dengan mereka," tutur Paman Angsajaya
melibatkan diri dalam persoalan.
"Nah, sekarang tentu kalian tahu tentang permasalahan kami. Jadi tak perlu lagi melindungi
perempuan tak berharga yang gila pangkat dan gila harta ini," kata si lelaki berangasan sambil
bangkit menggenggam pisau. Demikian bencinya dia pada istrinya sehingga tetap bertekad
ingin membunuhnya. Namun untuk kesekian kalinya, Banyak Angga menghalangi tindakan
brutal lelaki itu. "Engkau selalu berusaha menghalangiku, apa hakmu?" teriak si berangasan.
"Hakku adalah menghalangi tindakan kejammu," kata Banyak Angga menatap namun dengan
sorot mata lesu. "Dan aku harus menghalangi agar kau tak bertindak kejam terhadap wanita,"
lanjutnya. "Maksudnya, engkau suruh aku agar punya hati lemah terhadap wanita seperti kisah-kisah
prepantun mengenai Raden Banyak Angga itu?" tanya si lelaki berangasan. "Ingat, aku
bukanlah Banyak Angga, melainkan seorang lelaki yang punya harga diri. Aku adalah lelaki
yang tak mau dihina oleh perempuan tidak seperti Banyak Angga yang mandah begitu saja
dikhianati Layang Kingkin, kekasih tak setianya itu!"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 87
Paman Angsajaya hendak menghambur ke depan dan nampak hendak melayangkan serangan
kepada lelaki kasar itu. Namun dengan sigapnya Banyak Angga menghalanginya.
Pemuda yang wajahnya kini pucat-pasi karena ucapan tajam si Berangasan segera
menghampir si wanita yang ada di belakangnya. Dengan gerakan tak terduga Banyak Angga
melayangkan tangan kanannya. Dan "plak" pipi kiri wanita itu ditamparnya sehingga
tubuhnya terpelanting. "Engkau memang patut dihukum. Tapi cepatlah pergi. Aku tak mau kau binasa karena
perbuatan burukmu itu!" desis Banyak Angga menatap tajam si wanita. Dan wanita itu
bangkit dengan mata berlinang. Dia pergi dari tempat itu dengan tergopoh-gopoh. Ada
terdengar isaknya yang tertahan. Makin lama terdengar makin pelan karena wanita itu
semakin menjauh. Namun si lelaki tak puas dengan keputusan ini. Dia segera mengejar istrinya yang kemudian
segera dihalangi Paman Angsajaya.
"Kalau kau tetap akan membunuh istrimu, maka kau pun akan kubinasakan!" teriak Paman
Angsajaya mengancam. Si berangasan malah menerjang menyerang Paman Angsajaya yang
ditepiskan dengan mudah oleh prajurit setengah baya ini.
Banyak Angga tak sempat melihat perkelahian kecil ini sebab dia segera pergi dari tempat itu
dengan wajah murung. Selang beberapa tindak, Pragola pun ikut melangkah di belakangnya.
Dia melangkah hanya dengan tanpa sadar sebab perasaannya kacau-balau.
Kini ke padanya sudah datang lagi berita baru mengenai Nyi Mas Layang Kingkin. Kemarin
malam dia dapatkan melalui Paman Manggala bahwa Nyi Mas Layang Kingkin adalah
kekasih gelap Pangeran Yudakara. Hari ini Pragola pun menambah perbendaharaan
pengetahuan lagi. Betulkah Nyi Mas Layang Kingkin pernah punya hubungan dengan Raden
Banyak Angga" *** Perburuan Tak Pernah Selesai
Banyak Angga berdiri mematung di atas tonjolan batu, melihata hamparan padang ilalang
bercampur tanah rawa di dataran rendah itu. Rawa ini banyak ikannya sehingga dalam masa
istirahat ditempat itu, mereka tak kekurangan bahan makanan.
Pragola pun sama berdiri di sana, agak surut di belakang Banyak Angga.
"Maafkan bila saya terlajur mengetahui peristiwa kelabu Raden?" tutur Pragola memecah
kesunyian. "Kalau engkau sering pergi malam-malam ke dayo Pakuan, maka di kedai tertentu suka ada
prepantun mendendangkan kisahku. Jadi dengan demikian, sudah banyak orang tahu
mengenaiku," gumam pemuda itu menunduk. "Yang aku sesalkan mengapa banyak pendapat
seperti itu. Sepertinya aku lemah terhadap wanita," sambungnya.
"Mungkin para penyimak cerita pantun mengenaia Banyak Angga berkeinginan, sekurangkurangnya
Banyak Angga melakukan suatu tindakan dan bukan sekadar bersedih berkeluh
kesah melihat Nyi Mas Layang Kingkin berkhianat seperti itu," kata Pragola.
Untuk yang kesekian Pragola mengulum senyum.
"Banyak cara laki-laki membenci wanita. Mungkin ada laki-laki yang marah besar karena
harga dirinya merasa dilangkahi. Sedangkan aku sendiri cenderung memilih menjauhi. Dan
aku tak percaya lagi kepada mereka," kata Banyak Angga.
"Raden mendendam Nyi Mas Layang Kingkin?" tanya Pragola.
"Mungkin begitu. Tapi lebih besar lagi perasaan kasihan terhadapnya. Lihatlah, hanya karena
terlalu besar mengejar ambisi pribadi, hidup Nyi Mas Layang Kingkin jadi seperti itu. Dia
mungkin tinggal di istana dengan kekayaan melimpah tapi hidupnya sebetulnya sepi. Semua
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 88
orang mengasingkannya," kata Banyak Angga.
"Demikian sepikah dia?" Pragola begitu tertarik sebab berita mengenai ibu suri datang
langsung dari Banyak Angga, lelaki yang semasa mereka remaja amat dekat hubungannya.
"Ya, aku kira demikian. Tak ada orang yang paling sengsara selain orang yang menderita
kesepian," tutur Banyak Angga.
Banyak Angga bercerita, dulu hubungan mereka amat baik. Satu sama lain berjanji akan
sehidup-semati. Namun kenyataan membuktikan lain. Mendiang Sang Prabu Ratu Sakti, raja
Pajajaran ketika itu (1543-1551 M), di sampjng menaksir Nyi Mas Banyak Inten, adik Banyak
Angga, juga sama memperhatikan Nyi Mas Layang Kingkin. Gadis iru bahkan tergoda dan
memilih menjadi selir raja ketimbang bersuamikan anak bangsawan biasa. Nyi Mas Layang
Kingkin bahkan menginginkan lebih dari itu. Untuk menempatkan dirinya sebagai satusatunya
selir terkasih, maka dia mencoba menyingkirkan Nyi Mas Banyak Inten dari
kedudukannya sebagai pesaing. Kakak tirinya Suji Angkara yang dikenal sebagai pemuda
hidung belang, dibantunya untuk menggoda Nyi Mas Banyak Inten dan menyebabkan gadis
itu itu dihukum masuk mandala ( asrama kaum wiku, pendeta wanita) karena dianggap
menghina Raja, (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
"Menjadi selir terkasih mungkin bisa terlaksana. Namun tentu saja sifatnya sementara.
Sesudah Sang Prabu wafat, tak ada cinta tak ada kekuasaan. Hanya karena segan terhadap
mendiang Raja terdahulu saja, maka Sang Prabu Nilakendra tak mendepaknya. Nyi Mas
Layang Kingkin diasingkan dari semua kegiatn istana, kendati diberinya berbagai kesenangan
duniawi," tutur Banyak Angga.
Pragola mengangguk-angguk. Namun begitu, dalam hatinya menyimpan pertanyaan. Tahukah
Banyak Angga kendati Nyi Mas Layang Kingkin seperti terasing di dalam tembok istana,
sebetulnya tengah punya gerakan tertentu"
Pragola kembali teringat, betapa ada pasukan yang dikendalikan ibu suri yang bertugas
membuntuti dan membunuh Banyak Angga. Mungkin pemuda itu tak pernah tahu. Dia hanya
menyangka, pasukannya tiga kali diserang oleh musuh yang sama, yaitu kalau bukan oleh
pasukan Cirebon, tentu oleh komplotan perampok.
Pragola tak mau tahu apakah Banyak Angga waspada atau tidak. Namun yang jelas, melihat
gerakan Nyi Mas Layang Kingkin, dia merasa bingung, apa yang dikehendaki wanita anggun
tapi misterius itu" Ya, Nyi Mas Layang Kingkin benar-benar misterius. Dalam pertemuan rahasia dengannya di
istana tempo hari, Nyi Mas Layang Kingkin akan memberi kesenangan padanya kalau mau
membantu. Namun belakangan, ternyata Pragola jadi sasaran pembunuhan pula.
"Suatu saat, teka-teki ini harus aku singkap," tuturnya dalam hati.
"Maafkan kalau sikapku mengganggumu, Pragola," suara Banyak Angga membuyarkan
lamunan Pragola. Pemuda ini menengok, belum paham apa yang dimaksud Banyak Angga.
"Mengapa harus mengganggu saya?" tanyanya.
"Sebab kalau kau menyimak tindak-tandukku yang tak menyukai wanita, seolah-olah
keberadaan mereka itu amat buruk. Padahal tentu tak semua wanita buruk seperti itu. Atau?"
kata Banyak Angga seperti tak mau melanjutkan kalimatnya.
"Atau tentu Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya tak buruk. Mengapa karena punya ambisi
maka orang dianggap buruk" Punya ambisi adalah berupaya mengejar sesuatu yang lebih
baik. Itu hal yang wajar. Mungkin aku tak suka padanya karena ambisi yang dia punyai
merugikanku," tutur Banyak Angga.
Pragola tersenyum mendengar pendapat Banyak Angga. Semakin nyata kini, bahwa pemuda
bangsawan ini sebenarnya punya kelemahan. Banyak Angga punya penyakit susah
menyalahkan orang lain. Kalau ada orang yang dirasa merugikannya, maka penyebabnya
selalu dilihat dulu dari sudut dirinya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 89
Kata Banyak Angga, Nyi Mas Layang Kingkin meninggalkannya, karena kedudukan dirinya
lebih rendah ketimbang Raja. Untuk mengejar ambisi, tentu saja wanita itu harus memilih
Raja ketimbang Banyak Angga.
"jadi, tak ada sesuatu yang aneh di sini. Hanya saja pengaruh dari tindakan Layang Kingkin
ini berpengaruh terhadapku sehingga pada akhirnya aku meragukan nilaian cinta seorang
wanita," kata Banyak Angga.
"Kalau Raden tak melihat bahwa sifat seperti itu tak terdapat pada semua wanita, mengapa
Raden tak berusaha mendapatkan cinta wanita lain?"
"Wanita yang bagaimana?"
"Cobalah wanita dari kalangan biasa, barangkali ambisinya tak terlalu besar," jawab Pragola.
"Mungkin juga benar, wanita dari kalangan kebanyakan akan taat dan menghormat bila
dikawini. Tapi belum tentu dasarnya karena cinta. Atau kalau pun cinta, dia hanya mencintai
kebangsawananku, bukan terhadap diriku," kata Banyak Angga.
Pragola merenung. Sulit sekali kalau semuanya sudah didahapkan kepada persangkaan. Nyi
Mas Layang Kingkin suatu kali seperti menawarkan cinta terhadapnya. Kalau Pragola harus
berpikir seperti Banyak Angga, benarkah wanita itu cinta dirinya" Dia ibu suri, sedangkan
Pragola prajurit biasa, hanya anak dari seorang cutak, itu pun cutak pemberontak karena
mencoba melawan pemerintahan Pajajaran. Mungkinkah wanita kalangan istana jatuh cinta


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada dirinya" Dan kalau pun benar menampakkan gejala ini, tentu ada sesuatudi luar
dirinya yang diharap. Pragola mengerutkan alis. Dia tak sanggup berpikir ruwet seperti Banyak Angga. Kalau
wanita itu mau mengajaknya bercinta. Tapi bila belakangan ternyata berniat jahat, maka akan
dia hadapi dengan cara lain pula. Tak perlu banyak pilihan seperti yang dipikirkan Banyak
Angga. *** Perjalanan kembali dilanjutkan. Tujuan utama wilayah Gunung Cakrabuana telah hampir
tercapai. Tapi semakin dekat ke tempat tujuan, perasaan Pragola semakin tak tenang. Dia
ingat, perjalanan yang berat ini sebetulnya ditempuh untuk perkara bohong belaka.
Ini adalah akal dari Pangeran Yudakara yang menginginkan dayo Pakuan kosong dari orangorang
pandai. Dengan memberitakan bahwa di Puncak Cakrabuana terkepung belasan perwira Pajajaran
oleh pasukan Cirebon, Pangeran Yudakara, atasan Pragola, berharap banyak orang pandai dari
Pakuan "keluar sarang" untuk menolong rekan-rekan mereka.
Akal ini belum sepenuhnya berhasil. Buktinya, yang pergi ke Cakrabuana bukan perwiraperwira
Pakuan, melainkan Banyak Angga.
Pangeran Yogascitra, penasihat Raja, sungguh pandai dan hati-hati. Dia tak langsung
mengirimkan belasan perwira untuk menjemput dan menyelamatkan "belasn perwira
terkepung" itu, melainkan hanya mengirim penyelidik, yaitu Banyak Angga dulu.
Yang jadi kekhawatiran Pragola, pada suatu saat Banyak Angga tahu bahwa terkepungnya
belasan perwira hanya merupakan berita palsu belaka. Dan kalau Banyak angga terlanjur tahu,
maka Pragola harus membunuhnya, kemudian melaporkannya ke Pakuan sebagai serangan
perampok. Dengan demikian, misi kedua dan seterusnya akan menyusul sampai sebagian
besar orang pandai yang setia pada Pajajaran terkuras habis.
Mengingat bahwa ada kecenderungan dirinya membunuh Banyak Angga, terbesit perasaan
tak enak pada dirinya. Banyak Angga memang musuh. Tapi sudah hampir empat tahun ini dia
bersamanya. Secara pribadi Pragola tak bermusuhan dengan Banyak Angga. Anak bangsawan
yang pemurung ini tak menampakkan alasan untuk dibenci. Banyak Angga ini orang baik.
Kendati anak seorang bangsawan berpengaruh di Pakuan, Banyak Angga tak sombong.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 90
Kepada siapa saja dia berlaku hormat, termasuk juga kepada bawahannya. Untuk melakukan
kebijaksanaan, terkadang dia minta pendapat bawahan-bawahannya. Banyak Angga misalnya,
kerapkali mengajak Pragola ikut memutuskan perkara.
Ini hanya menandakan bahwa Banyak Angga selalu menghargai dan mempercayainya. Dan
ingat akan masalah ini, Pragola menjadi semakin tak enak.
Pragola sedih. Semakin lama dirinya semakin dilibatkan dalam urusan politik, dan semakin
terasa bahwa kemanusiaannya terganggu. Pemuda ini mulai meraba bahwa politik ini jauh
dari rasa kemanusiaan. Bayangkanlah, Pragola harus menulikan telinga, mengatupkan mata
dan mengubur cinta kasih di hatinya hanya karena apa yang disebutnya sebagai perjuangan.
Banyak Angga yang sebetulnya pemuda baik dan pantas dijadikan sahabat sejati, harus
dianggap musuh karena urusan politik. Pragola sedih mengingatnya.
Sekarang perjalanan sudah tiba di wilayah antara Sagaraherang dan Sumedanglarang. Ini
adalah wilayah hutan jati yang kata orang amat angker.
Sebagian penduduk menganggapnya di hutan jati ini banyak dedemit (hantu) dan genderewo
(sebangsa jin). Bila ada orang memasuki wilayah ini susah untuk bisa kembali. Kebanyakan
hilang tak tentu rimbanya.
Tapi menurut pengamatan Pragola, hutan jati itu tak aman karena banyak dihuni orang jahat.
Ketika hendak menuju Pakuan seorang diri, Pragola pernah tersesak masuk hutan jati ini.
Pemuda ini pernah berurusan dengan perampok. Mereka adalah pelarian dari Pajajaran tapi
juga tak mau bergabung ke Sumedanglarang karena negri ini kendati telah melepaskan diri
dari Pakuan tapi telah menjadi negri pemeluk agama baru. Perampok juga ada yang dulunya
pernah menjadi penduduk Sumedanglarang.
Pragola pernah mendengar khabar, setelah Sumedanglarang memeluk agama baru, ada
sebagian yang tak setuju ikut penguasa agama baru. Mereka meninggalkan Sumedanglarang
dan memilih hidup mengasingkan diri. Namun belakangan, tujuan mereka bergeser. Yang
semula hanya mengasingkan diri dan tak mau mengabdi, beberapa kelompok di antaranya
berubah menjadi perampok dan kerjanya berbuat kekacauan.
Yang memusingkan, ada beberapa kelompok perampok punya selera mengadu-domba.
Contohnya, bila mereka menjarah ke wilayah Sumedanglarang, mereka mengaku sebagai
pasukan Pajajaran. Dan sebaliknya bila menjarah ke wilayah Pajajaran mereka mengaku dari
Sumedanglarang. Di wilayah utara bila menjarah orang Cirebon, mereka pun mengaku orang
Pajajaran. Mereka adalh kelompok yang membenci Pajajaran, juga tak suka terhadap penguasa agama
baru sebab pada dasarnya mereka beranggapan bahwa yang membuat dirinya hidup sengsara
dan menjadi terlunta-lunta adalah karena pertikaian berkepanjangan antara Cirebon dan
Pakuan. Cirebon selalu berupaya seluruh wilayah Jawa Kulon berada dalam pengaruhnya dan
di lain pihak Pakuan ingin keberadaan Pajajaran tetap lestari. Karena pertikaian ini, rakyat
menjadi terpecah-pecah. Begitu menurut pendapat mereka.
Namun tentu saja ini hanya akal-akalan kecil dan sederhana yang terlalu mudah untuk ditebak
oleh kedua belah pihak. Buktinya, kendati Cirebon dan Pakuan tetap bermusuhan, keduanya
tak pernah terpengaruh oleh akal bulus ini. Permusuhan Cirebon dan Pakuan yang terus
berlangsung, sebetulnya bukan hasil adu-domba mereka.
*** Ternyata dugaan Pragola benar. Mencari jalan memutar untuk menghindari perhatian
khalayak risikonya bertemu perampok.
Ketika sudah ada dalam kepungan hutan jati, mereka pun malah jadi kepungan kaum
penjahat. Mereka bagai sekelompok kancil yang dikepung sekumpulan srigala. Empat orang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 91
berdiri di tengah, dikelilingi oleh puluhan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan
penuh cambang-bauk di wajah. Semuanya bersenjatakan berat, mulai dari kelewang hingga
penggada. Mereka bertampang garang dan seperti siap membunuh.
"Serahkan harta atau nyawa!" teriak pemimpinnya.
"Kalian salah memilih. Kami tak punya harta, sedangkan nyawa pun tak akan berarti," tutur
Banyak Angga tenang. Pemimpin perampok yang bermata juling itu mendengus marah.
"Kalian melakukan perjalanan jauh tapi tetap segar dan tak kelihatan kumal. Hanya punya arti
bahwa kalian bukan orang kebanyakan. Coba serahkan buntalan kalian, barangkalai di
dalamnya berisi batangan emas, atau kepingan uang negri Parasi, Cina atau Portugis," kata si
juling. "Atau bisa juga pakaian di buntalan itu adalah kain satin buatan negri Campa," sambung yang
lainnya maju setindak dan bersikap mau merampas buntalan yang dibawa Paman Angsajaya.
Yang diancam segera mundur setindak, kemudian kedudukannya tergantikan oleh Paman
Manggala yang melangkah ke depan.
"harta kami hanya secuil kepandaian. Kalau kalian mau akan aku beri," kata Paman Manggala
mengepalkan tinju kirinya.
Ini adalah tantangan terang-terangan. Pragola mengerutkan kening, mengapa Paman Pragola
memancing-mancing perkelahian"
Pragola sudah bosan, setiap bertemu musuh selalu saja berkelahi. Sedangkan baik perkelahian
"pura-pura" mau pun yang beneran, selalu merepotkan dirinya.
Kelompok perampok itu belasan, mungkin puluhan banyaknya. Yang namanya perampok,
kendati berangasan tapi hanya mengandalkan tenaga kasar. Dengan taktik ilmu tinggi
sebetulnya mereka mudah dikalahkan. Tapi sekali lagi, Pragola malas melakukannya. Dia
takut salah tangan, sebab bila suatu saat terdesak, bisa-bisa pembunuhan terjadi lagi.
Tapi Paman Manggala seperti tak menyadarinya. Buktinya orang tua itu malah menantang.
Dan terbukti pula kelompok rampok itu marah besar karena kesembronoan Paman Manggala
ini. Dengan gerengan keras si juling mengayunkan goloknya. Terdengar suara
berciutankarena tenaga ayunan yang demikian besar. Tapi tenaga besar adalah kesalahan
dalam anggapan orang yang senang mengutak-atik taktik. Paman Manggala nampak
mengulum senyum ketika menerima serangan ini. Dan ayunan golok yang berciutan karena
kekuatan tenaga besar ini dengan mudahnya dikelitkannya. Tubuh si juling sedikit limbung
dan kuda-kudanya terganggu karena tenaga yang dia keluarkan malah membedol
kedudukannya. Dan inilah kesempatan terbaik bagi Paman Manggala untuk
melumpuhkannya. Paman Manggala hanya perlu "menambah" tenaga tolakan yang
dikerahkan si juling dengan sedikit dorongan ke punggung orang itu. Maka tak ayal, si juling
jatuh terjerembab dan hidungnya mencium tanah.
Namun kekalahan si juling bagaikan komando bagi teman-temannya. Buktinya, begitu si
juling berteriak kesakitan, yang lainnya segera menghambur menerjang. Maka dalam sekejap
terjadi pertempuran tak seimbang. Empat orang dikeroyok puluhan lawan yang kesemuanya
bersenjata lengkap. Sekali lagi, ini bisa disebut sebagai pertempuran tidak seimbang. Dari empat orang yang
terkepung, sebetulnya hanya Paman Angsajaya yang bertempur mati-matian. Prajurit tua ini di
samping berusaha menyelamatkan nyawanya, juga berusaha melumpuhkan lawan dan kalau
mungkin membunuhnya. Namun ketiga orang lainnya bertempur tidak mati-matian, kalau pun
tak disebut sebagai main-main.
Perlawanan yang dilakukan Banyak Angga memang tidak terkesan main-main, namun
Pragola tahu, pemuda usia tigapuluh tahun ini jiwanya dan tak sanggup memendam dendam.
Banyak Angga hanya berusaha mempertahankan keselamatan nyawanya dan secuil pun tak
bermaksud melukai apalagi membunuh lawan.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 92
Pragola sendiri berkelahi tak sungguh-sungguh. Dia hanya berusaha dirinya tak terluka dan
tak berniat membunuh lawan. Bukan karena belas kasihan seperti yang dimiliki hati Banyak
Angga tapi karena merasa tak punya kepentingan apa pun musti membunuh orang-orang tiada
arti itu. Pragola melihat, kepandaian para perampok itu hanyalah kepandaian biasa saja, hanya
mengandalkan tenaga kasar tanpa dibarengi teknik tinggi.
Tapi yang membuat Pragola heran, adalah tindak-tanduk Paman Pragola, orang tua itu
bertempur lebih terkesan sebagai asal-asalan saja, padahal penyulut kemarahan kaum
perampok adalah bermula dari sikap dirinya yang menantang.
Pragola menduga, Paman Manggala bersikap demikian karena seperti dirinya juga yaitu tak
merasa berkepentingan untuk menghajar para perampok.
Namun belum habis Pragola berpikir soal dugaannya ini, hatinya terkejut karena punya
dugaan lainnya. Paman Manggala barangkali sengaja berbuat demikian untuk memberikan
kesempatan kepda kaum perampok agar bisa membunuh Banyak Angga.
Membunuh Banyak Angga" Ya, mengapa tak begitu" Perjalanan rombongan ini hampir
berakhir sebab hutan jati ini terletak di wilayah segitiga antara Sagaraherang,
Sumedanglarang dan Talaga. Tujuan utama rombongan Banyak Angga adalah Gunung
Cakrabuana di wilayah Talaga. Pragola sendiri pernah berkhawatir, kalau rombongan sudah
tiba di Cakrabuana dan Banyak Angga tidak mendapatkan apa yang sebelumnya diberitakan,
maka bualan Pragola akan terbongkar. Ya, tak ada belasan perwira Pajajaran yang terkepung
di sana dan tak perlu mengirim belasan perwira penyelamat ke Puncak Cakrabuana. Jadi,
kalau Banyak Angg sudah tahu dia dikibuli, maka Pragola dan Paman Manggala dicurigai,
akan ditanyai dan akhirnya rahasia akan terbongkar pula.
Pragola tak merasa takut rahasianya terbongkar. Tapi ada satu perasaan yang melebihi rasa
takut. Perasaan itu bernama malu. Ya, Pragola akan merasa malu kepada Banyak Angga.
Pemuda itu seperti menyayangi dirinya, menghargainya dan selalu penuh percaya.
Betapa malunya Pragola kalau tiba-tiba Banyak Angga tahu bahwa dirinya pembual. Dan
bualan dirinya tidaklah sepele sebab menyangkut keselamatan negri Pajajaran, negri yang
amat dicintai Banyak Angga.
Sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara, bahwa suatu saat Banyak Angga harus
dibunuh. Barangkalai inilah yang tengah diusahakan Paman Manggala, membunuh Ksatria
Pajajaran itu melalui perampok.
Memang terbukti, Banyak Angga semakin sibuk menghindari serbuan dari kiri, kanan, depan
dan belakang. Oleh Paman Manggala yang posisinya berdekatan, Banyak Angga dibiarkan saj
adan tak dibantu sedikit pun. Padahal kalau mau, dengan amat mudahnya Paman Manggala
menghalau pengeroyok Banyak Angga.
Orang tua itu pun sebetulnya tengah dikepung beberapa pengeroyok. Namun Pragola yakin,
dalam satu gebrakan saja, sebetulnya Paman Manggala akan dengan mudah melumpuhkan
lawan. Yang telah sanggup melumpuhkan perampok hanyalah Paman Angsajaya. ada beberapa
anggota perampok yang terjungkal karena babatan kelewangnya. Namun dirinya sendiri pun
mengalami pendarahan karena banyak luka di sana-sini. Orang tua itu bahkan semakin lama
semakin lemah tenaganya. Gerakannya pun tidak segesit pada babak-babak awal. Bahkan
Pragola cenderung menilai bahwa gerakan Paman Angsajaya pada pertempuran paling akhir
ini semakin lamban saja. Dia memang sudah tua. Lagi pula dalam perjalan jauh ini, beberapa
kali Paman Angsajaya harus mengalami pertempuran.
Pragola menjadi bimbang dibuatnya. Kalau harus bertempur mati-matian di samping dia tak
punya kepentingan pribadi juga berarti bertolak belakang dengan keinginan Paman Manggala.
Tapi bila membiarkan suasana ini berlangsung, berarti menyuruh para perampok membunuh
Banyak Angga. Tegakah dia membiarkan pemuda itu mati dicecar golok golok-golok para
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 93
perampok" Pragola bimbang, secara politis, Banyak Angga adalah musuhnya, namun secara pribadi,
antara dia dan Banyak Angga tak punya pertentangan apa pun. Malah Banyak Angga adalah
lelaki yang budinya paling baik dan paling halus selama Pragola mengenal berbagai tipe
orang. Secara manusiawi, Pragola tak boleh membiarkan Banyak Angga celaka.
Namun untuk yang kesekian kalinya rasa bimbang menerpa hatinya. Antara naluri manusia
dan perintah yang diembannya terasa saling berbenturan. Dan selama hatinya berkecamuk,
adegan pertempuran terus berlangsung. Dia dengan mudah menghalau pengeroyoknya.
Namun Banyak Angga yang punya kepandaian di bawah dirinya, mengalami kerepotan.
Beberapa luka telah terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Luka itu tak seberapa tapi banyak
mengeliarkan aliran darah. Kalau dibiarkan terlalu lama Banyak Angga bisa dipastikan bakal
ambruk kehabisan darah. Namun Pragola masih tak memberikan bantuan. Dan di hatinya terjadi saling bedol antara dua
pendapat. Pragola sedikit menundukkan wajah ketika dilihatnya Banyak Angga melirik
padanya. Pragola tahu, tentu Banyak Angga minta bantuan pada dirinya yang kedudukannya
sedikit agak jauh. Mungkin Banyak Angga sudah tak memiliki harapan dapat bantuan Paman
Manggala sebab orang tua itu selalu bertempur membelakangi Banyak Angga. Lagi pula
Paman Manggala pun nampak sedang "sibuk" dikeroyok banyak orang.
Melihat betapa wajah Banyak Angga menampakkan permohonan, Pragola tergerak hatinya
dan berniat hendak menolongnya. Namun gerakannya terhenti manakala di kejauhan terlihat
sekumpulan orang. Pragola terkejut sebab kelompok itu adalah orang-orang Cirebon,
semuanya anak buah Pangeran Yudakara.
Pragola terkejut sebab di sana terlihat Perwira Goparana dan Jaya Sasana. Goparana adalah
lelaki tinggi besar pendatang dari tanah arab yang mengabdi pada Karatuan Cirebon.
Sedangkan Jaya Sasana adalah orang dari Karatuan Talaga yang juga sama mengabdi ke
Cirebon dan kini ditugaskan menyertai Pangeran Yudakara.
Pragola punya alasan untuk terkejut sebab di abisa menduga, kedua perwira itu pasti di utus
Pangeran Yudakara untuk melihat perkembangan. Perjalanan sudah hampir sampai ke tujuan
namun Banyak Angga masih selamat. Ini mungkin akan menjadi tanggung jawab dirinya dan
Paman Manggala, mengapa keadaan berlarut-larut. Padahal perintah Pangeran Yudakara
sudah jelas. Kalau Banyak Angga luput dari serbuan dan hadangan di perjalanan, maka
Paman Manggala dan Pragola harus tanggung jawab membereskannya.
Dugaan inilah yang mengejutkan dirinya. Dengan demikian, kedudukan Pragola kini terjepit.
Di lain pihak ada rasa kemanusiaan yang ingin dipertahankan. Namun di pihak lain dia
ditekan oleh urusan politik.
Namun sebelum dia memilih tindakan apa yang mesti dilakukan, secara tiba-tiba ada
bayangan berkelebat memasuki arena pertempuran. Bayangan itu berkelebat kesana-kemari
dan serentak terdengar jerit-jerit kesakitan. Tubuh-tubuh perampok terlempar kesana-kemari
dan jatuh berdebuk untuk tak bangun lagi. Kini yang terlihat di sana adalah dua tubuh
bergeletak. Tubuh Paman Angsajaya yang berlumuran darah dan tubuh Banyak Angga yang
juga tergeletak berlumuran darah. Sedangkan di antara dua tubuh tergeletak, berdiri seorang
lelaki. Lelaki itu berpakaian kumal warna hitam. Celana sontog dari kain kasar dan ada
tambalan di sana-sini nampak lebih kumal lagi.
Pragola tak sanggup menaksir berapa usia lelaki kumal itu, sebab wajahnya tertutup kumis
dan cambang yang lebat. Rambutnya panjang terurai dan riap-riapan. Yang menentukan lelaki
itu belum tua karena matanya bulat berbinar tak cekung ke dalam. Begitu pun kulit wajahnya
tak berkerut. Namun siapakah dia, inilah yang ingin Pragola tahu.
Rupanya itu pula yang diinginkan oleh Goparana dan Jaya Sasana. Kedua orang perwira
Cirebon itu nampak ternganga heran, betapa puluhan perampok bertumbangan hanya dalam
satu dua gerakan saja. Ini hanya menandakan, betapa hebatnya orang ini.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 94
Goparana dan Jaya Sasana langsung meloncat-loncat beberapa kali dan dalam sekejap sudah
tiba di hadapan lelaki berambut riap-riapan itu. Namun orang itu seperti tak peduli. Dia malah
menghampiri tubuh Banyak Angga yang tergeletak dan langsung memondongnya. Kemudian
lelaki itu hendak berlalu.
"Berhenti!" teriak Goparana yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu.
Lelaki berambut riap-riapan itu segera menghentikan langkahnya.
"Turunkan Banyak Angga!" kata Goparana bernada perintah.
Tapi lelaki itu tak menurut. Dia hanya berdiri saja sambil sepasang tangannya memondong
tubuh Banyak Angga. "Kuperintahkan, turunkan Banyak Angga!" jawab lelaki itu dengan nada datar.
"Hm, dengan kepandaianmu seperti itu, sengkau sudah bersikap sombong," dengus Goparana
bertolak pinggang. "Memang benar, terkadang tersembul pikiran ganjil pada diri kita. Ragu-ragu berbuat
kebenaran karena takut disalahkan," gumam lelaki itu, masih tetap memondong tubuh Banyak
Angga. "Sialan! Engkau tak jawab pertanyaanku. Barangkali pertanyaan seperti ini akan engkau
jawab!" teriak Goparana. Dan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu Goparana
menerjang. Cukup ganas dan membahayakan sebab Goparana mencoba menyerang ubunubun.
Ini serangan mengarah nyawa dan dilakukan ke arah bagian yang tak terlindung. Lelaki


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tengah memondong tubuh Banyak Angga yang pingsan karena banyak mengeluarkan
banyak darah. Artinya, sepasang tangan lelaki itu tengah tak berpungsi dan tak mungkin
melakukan tangkisan. Suara angin pukulan terdengar berciutan tanda pukulan itu dibarengi tenaga dalam yang amat
kuat. Pragola ngeri membayangkannya. Kalau serangan itu mengenai sasaran, batok kepala
lelaki itu akan pecah berhamburan.
Namun kenyataannya sungguh di luar dugaan. Lelaki bercambang bauk itu bukan saja bisa
menghindar tapi juga sanggup melakukan serangan balasan. Caranya amat luar biasa, ganjil
tapi menakjubkan. Ketika tubuh Goparana menerjang dan menyodok ke atas, lelaki itu sambil
tetap memondong tubuh Banyak Angga mundur tiga tindak dengan cepat. Akibatnya, sodokan
tangan kanan Goparana tak mencapai sasaran kecuali angin pukulan menerpa rambut yang
semakin riap-riapan. Sebelum Goparana melanjutkan serangan susulan dengan sodokan
tangan kiri, secara kilat lelaki misterius itu bersalto ke belakang sambil kedua ujung kakinya
melakukan serangan silang. Gerakan sepasang kaki ini sungguh ganjil. Kaki kiri melakukan
sabetan menyilang dari kanan ke samping kiri dan ujung kaki kanan diayun dari bawah ke
atas. Dengan demikian, dalam satu gerakan balasan, Goparana menerima dua serangan
sekaligus. Satu serangan mengarh pinggang kanannya dan satu serangan lainnya menendang
tangan kiri Goparana yang tengah melakukan sodokan.
Yang diserang nampak terkejut. Untuk menghindar sapuan ke arah pinggang, Goparana harus
sedikit membungkuk agar tubuh bagian perut tertarik ke belakang. Namun akibat dari
gerakannya ini, tubuh bagian atas seolah "menyodorkan" diri untuk menerima tendangan kaki
kanan musuh. Goparana nampak seperti serba salah, mana yang harus diselamatkan, apakah pinggangnya
atau tangannya. Kalau dua-duanya jelas tak mungkin. Namun memilih pinggang yang
selamat, risiko bukan tak ada. Dan ini barangkali yang menjadi kekeliruan pilihannya.
Serangan tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas adalah untuk menyerang sodokan
tangan kirinya yang terlanjur masuk. Kalau tangan itu ditarik selain sudah tak mungkin, juga
kalau pun bisa akan ada bagian tubuh lainnya yang akan terkena getahnya. Bagian tubuh
Goparana yang akan menerima serangan adalah dagunya bila tangannya bisa ditarik, maka
dagunya akan hancur kena tendangan lawan. Tangan kiri Goparana tetap amenyodok ke
depan dan menyerang angin. Dan sebelun tangan itu bergerak, secara kilat dihantam
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 95
tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas. Sungguh amat cepat sebab dilakukan sambil
bersalto ke belakang. Terdengar jerit kesakitan dari mulut Goparana karena perelangan tangannya kena hantaman
ujung kaki lawan. Dan ketika sepasang kaki itu menjejak bumi dengan ringannya, Goparana
yang tinggi besar jatuh bertekuk lutut sambil tangan kanannya memegangi pergelangan
tangan kiri yang terkulai patah.
"Sudahlah, jangan ada lagi perkelahian," gumam lelaki itu menatap Jaya Sasana yang berdiri
terpana. Namun keterpanaan ini hanya sejenak. Untuk selanjutnya Jaya Sasana segera
menghambur ke depan melakukan serangan dahsyat.
Serangan Jaya Sasana ini dihadapi dengan tangkisan-tangkisan sepasang kaki lelaki itu. Dan
sepasang kaki itu bisa melakukan serangan balik secara beruntun. Serangan itu amat dahsyat.
Bergantian kiri dan kanan secara cepat dan beruntun. Jaya Sasana kerepotan menghadapi
serangan ini. Kini bahkan giliran dia yang sibuk menangkis kiri dan kanan. Sampai pada suatu
saat dia pun menjerit dan tubuhnya terlempar ke udara karena tendangan ke arah ulu hatinya.
Jaya Sasana tak bergerak lagi ketika tubuhnya jatuh berdebum.
Kini yang berdiri di arena tinggal tiga orang. Lelaki misterius yang memondong Banyak
Angga serta Pragol adan Paman Manggala.
Lelaki berambut riap-riapan itu berdiri dengan sepasang kaki terpentang lebar. Matanya silih
berganti menatap ke arah Pragola dan Paman Manggala.
"Aneh sekali, kita gemar melakukan ketololan," gumamnya tanpa pragola tahu apa
maksudnya. Kemudian lelaki itu berbalik dan hendak berlalu.
"Hey, mau dibawa ke mana Banyak Angga?" tanya Pragola. Lelaki itu menghentikan
langkahnya sejenaka. "Tahukah engkau arti sahabat?" jawab lelaki itu."Sahabat adalah melakukan kebaikan tanpa
mengharapkan imbalan. Dia hadir di saat kita kesepian. Tidak selalu memuji namun berani
mengoreksi di saat kita salah. Kalau engkau melarangku membawa Banyak Angga, ada di
manakah kedudukanmu sebenarnya?"
Pragola tertunduk malu. Kemudian dia merasakan, betapa lelaki itu menertawakan dirinya.
Ketika Pragola mengangkat wajah, Banyak Angga sudah dibawa pergi. Sayup-sayup
terdengar lelaki misterius itu bersenandung, lirih dan sedih.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
Namun bila salah memilihnya
Kita adalah orang-orang yang kalah
*** "Siapakah orang itu?" tanya Perwira Goparana. Itulah yang juga menjadi pertanyaan di benak
Pragola. Namun tidak seorang pun yang sanggup menjawabnya. Paman Manggala hanya
termenung lesu padahal Pragola tahu, orang tua ini tak terlalu banyak menghabiskan tenaga
dalam perkelahian tadi. Dia bahkan terluka pun tidak. Pragola hanya menduga, kelesuan ini
karena Paman Manggla tak menyelesaikan tugas dengan baik. Banyak Angga lepas. Kendati
terluka parah, belum tentu mati. Dan kalau Banyak Angga tak mati, artinya rahasia
terbongkar. Dengan perasaan sebal Pragola pun terpaksa harus mengeluhkan hal ini. Betapa tidak, dia jadi
terlibat semakin dalam. Perwira Goparana juga terduduk lesu sambil memegangi tangannya yang menderita patah
tulang. Sedangkan beberapa prajurit yang menyertainya tengah sibuk mengurusi Perwira Jaya
Sasana yang masih pingsan. Sedangkan prajurit tua Angsajaya, anak buah Banyak Angga,
diketahui telah tewas karena terlalu banyak menderita luka.
Dari hampir tigapuluh perampok, ternyata hanya empat orang yang tewas. Itu pun
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 96
kesemuanya tewas oleh tangan Paman Angsajaya. Ini hanya punya arti bahwa bahwa
duapuluh enam perampok sisanya dilumpuhkan tanpa dibunuh. Hanya orang yang punya
kemampuan hebat saja yang sanggup mengatur perkelahian masal seperti itu tanpa membuat
kesalahan tangan membunuh.
Pragola hanya menatap saja ketika para perampok yang mulai bangun, satu-persatu
meninggalkan tempat itu tanpa menengok atau bicara apa pun. Seperti Pragola, yang lain pun
membiarkan para perampok pergi. Ini benar-benar menandakan bahwa mereka tak
berkepentingan dengan perampok. Kalau pun tadi pencetus pertempuran adalah Paman
Manggala, namun jelas tujuannya menyulut kemarahan perampok agar bisa membunuh
Banyak Angga dan Paman Angsajaya.
"Hebat sekali, orang itu melumpuhkan siapa pun tanpa membunuh?" kata Goparana sambil
masih meringis menahan sakit.
Serasa tersentak jantung Pragola ketika mendengarnya. Ucapan seperti ini pernah terlontar
dari mulut beberapa orang baik di wilayah Tanjungpura mau pun di Sagaraherang. Dan semua
orang sepakat menduga bahwa orang hebat yang mampu mengalahkan tanpa membunuh
adalah Ksatria Ginggi! Ginggi. Benarkah orang kumal tadi adalah Ginggi"
Pragola tak mau mengemukakan pendapat ini pada siapa pun. Mungkin karena ketegangan di
hatinya, atau juga mungkin juga karena perasaan was-was antara percaya dan tidak. Kalau dia
harus mempercayainya, maka dia telah berhasil menemukan musuh besarnya.
Merasa dia sudah menemukan apa yang dicari, Pragola berjingkat hendak meninggalkan
tempat itu. "Hai, mau ke mana kau?" Goparana menegur. Namun Pragola masih tetap hendak
melanjutkan langkahya. "Berhenti!" teriak Goparana."Manggala, cegah anak itu!"
Sungguh mengejutkan, ternyata Paman Manggala mentaati perintah ini. Dia meloncat
menghalangi perjalanan Pragola.
"Pragola, engkau tak bisa bertindak sekehendak hatimu. Perwira Goparana adalah wakil
Pangeran Yudakara," kata Paman Manggala.
"Mengapa saya tak boleh meninggalkan tempat ini?" tanya Pragola.
"Karena engkau ada di bawah kepemimpinan pangeran,"
"Sungguh bijaksana, seorang pemimpin hendak membantai anak buahnya sendiri," gumam
Pragola. "Jangan bicara lancang!" potong Paman Manggala tersinggung.
"Saya tak asal bunyi. Tapi ini bukti, ada ancaman pembunuhan terhadap saya,"
"Ngawur!" "Paman sudah sering menyembunyikan sesuatu. Sudah dua kali saya akan dibunuh, padahal
saya tahu, para penghadang itu adalah pasukan terselubung yang bertugas membunuh Banyak
Angga. Mengapa saya pun dimasukkan ke kelompok yang harus dibunuh?" tanya Pragola
sengit. "kau sendiri tahu, kelompok penghadang kedua adalah utusan Nyi Mas Layang Kingkin!"
jawab Paman Manggala. "Memang begitu pengakuannya. Tapi aku tak percaya Nyi Mas mau membunuhku!" sergah
Pragola. Baik Paman Manggala, Perwira Goparana mau pun Jaya Sasana yang sudah tertatih-tatih
bangun terlihat heran mendengar percakapan ini.
"Kalian menyebut-nyebut Nyi Mas Layang Kingkin, ada apakah ini sebenarnya?" tanya
Perwira Goparana. Pragola dan Paman Manggala saling pandang. Mungkin tengah saling tunggu siapa yang
harus memberi keterangan.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 97
"Ada pasukan lain selain yang dikirim Pengeran Yudakara," tutur Paman Manggala.
"Pasulak lain?" Goparana mengerutkan alisnya.
"Mereka tewas semua. Tapi ada yang sempat mengaku bahwa mereka diutus Nyi Mas Layang
Kingkin," Baik Goparana mau pun Jaya Sasana sama-sama mengerutkan kening.
"Apakah pasukan itu pun sama datang untuk membunuh Banyak Angga?" tanya Goparana.
Pragola merenung. Jawabannya tak perlu orang tahu. Bukankah ini rahasia bila Nyi Mas
Layang Kingkin pernah berkata cinta padanya"
"Sebab saya anak buahnya Pangeran Yudakara. Dan saya tahu, hubungan Nyi Mas dengan
Pangeran amat baik," tutur Pragola.
"Hm?" dengus Goparana pelan.
"Kita musti lapor kepada Pangeran sebab kalau benar demikian, tindakan Layang Kingkin
sungguh mencurigakan. Untuk apa dia punya pasukan sendiri padahal dia sedang menggalang
kerja-sama dengan Pangeran Yudakara?" kata Jaya Sasana yang nampak masih merasakan
sakit di ulu hatinya. "Pangeran Yudakara hanya mengutus satu pasukan untuk memburu Banyak Angga.
Sedangkan gangguan yang lainnya kami tak bertanggungjawab," kata Goparana menatap ke
arah Pragola. "Juga tak bertanggung jawab dalam upaya membunuh saya?" tanya Pragola sinis.
"Pangeran Yudakara yang bertanggung jawab semuanya, termasuk rencana membunuhmu!"
jawab Goparana tegas dan hal ini sangat mengejutkan Pragola.
"Terima kasih, kau beritahu saya," gumam Pragola tersenyum masam."Saya juga sudah
curiga demikian. Yang perlu saya tahu, apa penyebabnya, bukankah saya ini anak buahnya?"
tanya Pragola. "Engkau adalah anak buah yang kesetiaannya diragukan," tutur Goparana."Kau berjiwa
lemah dan selalu ragu-ragu dalam melakukan tindakan. Sebagai contoh, tugasmu kau kerjakan
berlarut-larut dan tak selesai. Ada kesan kau keberatan melenyapkan nyawa Banyak Angga.
Orang yang ragu-ragu tak pantas menjadi orang-orang Yudakara," kata Goparana panjanglebar.
Pragola tersenyum pahit mendengarnya.
"Saya pun sudah tak kerasan jadi anggota kelompok kalian. Saya akan undur diri," tuturnya
sambil beranjak hendak meninggalkan tempat itu.
"Pangeran memerintahkan kami agar membunuhmu!" cetus Goparana.
Pragola membalikkan tubuhnya menatap Perwira Goparana.
"kalian tak akan ada yangsanggup. Engkau dan juga Jaya Sasana sedang terluka parah," kata
Pragola. "Manggala, bunuh anak itu!" teriak Goparana.
Pragola terkejut mendengarnya. Kalau begitu, dengan amat sedih dia harus melawan orang
tua itu. Ini memang menyedihkan. Sudah bertahun-tahun dia bersamanya. Paman Manggala
sudah dianggap orang tuanya sendiri. Tapi Pragola tahu, Paman Manggala selama ini banyak
menyembunyikan sesuatu karena dia sudah menjadi pengikut Pangeran Yudakara.
Kini Pragola menghadap ke arah Paman Manggala. Sepasang tangannya menyilang di depan
dada dan kedua kakinya terpentang lebar, siap untuk bertarung.
Pragola tahu, sungguh berat melawan Paman Manggala. Kepandaiannya mungkin satu tingkat
di atasnya. Namun apa boleh buat, lebih baik melawan dulu dari pada mandah dibunuh begitu
saja. "Saya tak bisa membunuh anak itu, Gusti?" gumam Paman Manggala pelan.
"Manggala, apakah engkau pun sudah tak setia lagi kepada perjuangan Pangeran Yudakara,"
tanya Goparana tersinggung oleh sikap ini.
"Maafkan saya Gusti, sampai saat ini saya sebenarnya tak pernah mengerti perjuangan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 98
Pangeran Yudakara," tutur Paman Manggala dan hal ini amat mengagetkan Pragola.
"Aku tak paham maksudmu, Manggala," kata Goparana.
"Saya ragu terhadap perjuangan ini. Pangeran Yudakara mengaku orang Cirebon tapi begitu
akrab denganNyi Mas Layang Kingkin. Padahal, kita semua tahu, Nyi Mas Layang Kingkin
adalah tulen orang Pajajaran dan tak secuil pun berpikir untuk menyebrang ke Cirebon," kata
Paman Manggala. "Ini adalah urusan orang-orang besar. Tentu saja olehmu tak bisa dicerna. Tapi boleh aku
katakan, Pangeran Yudakara mendekati Nyi Mas Layang Kingkin hanyalah taktik belaka agar
bisa lebih mudah keluar-masuk istana," kata Goparana.
"Tapi ada satu pengetahuan yang membuat saya bingung. Semenjak Demak tak lagi punya
kekuatan, Cirebon pun sebetulnya sudah lemah. Kecuali lebih mendekatkan diri ke dalam
kegiatan keagamaan, Cirebon tak punya kekuatan militer untuk melakukan penyerbuan ke
Pakuan. Saya pernah menyelidik, sebetulnya puncak pimpinan di Cirebon tak berniat untuk
melakukan penyerbuan Pakuan. Kalau pengetahuan saya ini benar, berinduk ke manakah
sebenarnya rencana-rencana yang dilakukan Pangeran Yudakara ini?" tanya Paman
Manggala. Pertanyaan ini seperti amat mengejutkan baik kepada Perwira Goparana mau pun kepada Jaya
sasana yang masih tetap terduduk sambil memegangi ulu hatinya.
"Engkau terlalu banyak tahu, Manggala!" desis Perwira Goparana menahan kemarahan.
Perwira yang dulunya datang dari tanah arab ini mendelikkan matanya yang lebar. Dia berdiri
dan sepertinya hendak menerjang Paman Manggala. Namun tak pernah terjadi, betapa tangan
kirinya menderita kesakitan hebat karena tulangnya patah.
Goparana hanya saling pandang dengan Jaya Sasana yang juga tengah menderita luka dalam.
"Hari ini kalian selamat. Tapi Pangeran Yudakara tidak akan membiarkan penkhianat bebas.
Hati-hatilah kalian," gumam Goparana.
Pragola lega. Dia mencoba menutupi mayat Paman Angsajaya yang ternyata tewas dalam
pertempuran dengan perampok tadi. Ditutupinya mayat itu dengan berbagai ranting dan daundaunan.
Dengan perasaan sedih dia hanya bisa merawat mayat Paman Angsajaya seperti itu.
Orang tua itu selama dalam perjalanan tak banyak tingkah, sedikit bicara tapi sanggup
menampilkan kesetian kepada majikannya sampai akhir hayatnya. Pragola sedih sebab
sebetulnya dia perlu hormat kepadanya.
"Mari Paman, kita pergi dari tempat ini," ajaknya pada Paman Manggala.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, kedua orang itu pergi meninggalkan
tempat itu. Sekali lagi ada perasaan lega di hati Pragola. Ternyata paman Manggala masih punya waktu
untuk menyadari dan melepaskan diri dari urusan yang menurutnya tiada arti dan tak
melibatkan kepentingannya. Kalau saja tak begitu, sudah bisa dipastikan dia akan bentrok
dengan orang tua itu. *** Pragola ingin berjalan cepat, namun sebaliknya Paman Manggala seperti tak bersemangat. Dia
malah berjalan tertatih-tatih seperti orang luka.
"Mari Paman, kita harus bergerak cepat," seru Pragola tak sabar.
"Mau ke manakah berjalan cepat-cepat?" tanya Paman Manggala dengan nada datar.
"Mau ke mana" Kita harus mengejar orang asing yang pergi memondong Banyak Angga itu,"
jawab Pragola. Mendengar ini, Paman Manggala malah menghentikan langkah.
"Ada apa, Paman?" Pragola heran.
"Mengapa kita harus mengejarnya?" tanya Paman Manggala sambil duduk di tonjolan batu.
"Saya mencurigai orang misterius itu?" gumam Pragola.
"Ya, aku bisa menduga apa yang akan kau katakan. Kau pasti mencurigai orang itu adalah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 99
Ginggi," "Tepat dugaanmu, Paman. Tindak-tanduknya aneh. Dan yang lebih khas, dia selalu
mengalahkan lawan tanpa membunuh. Siapa lagi kalau bukan Ginggi?" kata Pragola yakin.
"Kalau benar dia Ginggi, mau apa?" tanya Paman Manggala. Pragola memandang heran
kepada orang tua itu. "Apakah Paman sudah lupa bahwa orang itu punya kaitan erat dengan terbunuhnya Ki Guru
pada belasan tahun silam?" tanya Pragola.
"Aku tak pernah lupa," jawab Paman Manggala.
"Kalau begitu mari kita kejar dia!"
Tapi Paman Manggala malah terlihat menghela napas.
"Mengapa, Paman?"
"Bukankah kau pernah bilang bahwa secuil pun tak punya kepentingan ikut terlibat kepada
kegiatan Pangeran Yudakara?" orang tua itu menjawab dengan cara balik bertanya.
"Ya, perjuangan Pangeran Yudakara terlalu besar dan tak saya mengerti. Lebih dari itu saya
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
merasa tak punya kepentingan untuk ikut terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, sudah sejak
lama saya ingin pergi dan melepskan diri dari urusan mereka," jawab Pragola.
"Nah, itu juga yang kau pikirkan sekarang ini," tukas Paman Manggala membuat Pragola
melenggak heran.

Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Paman tak ingin mengejar dan membalas dendam kepada Ginggi?" tanyanya.
"Aku tak punya kepentingan tentang itu. Engkau merasa berkepentingan karena Ki Sudireja
adalah gurumu," "Tapi Ki Guru adalah teman seperjuanganmu ketika di Karatuan Talaga," potong Pragola.
"Banyak yang menjadi teman seperjuangan ketika melawan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-
1551) belasan tahun silam. Yang tewas pun banyak. Kalau aku harus membalas dendam
kepada perseorangan, betapa banyaknya orang Pajajaran yang harus aku kejar. Kebanyakan
bahkan aku tak tahu siapa mereka," tutur Paman Manggala.
"Dengan kata lain, Paman tak mau membalaskan sakit hati teman-teman seperjuanganmu?"
tanya Pragola. Untuk kedua kalinya Paman Manggala terlihat menghela napas.
"Kami dulu berjuang bukan untuk kepentingan pribadi. Demikian pun kami bukan melakukan
perlawanan kepada orang-perorang. Kendati yang bertanggung jawab atas kemerosotan
wibawa Kerajaan Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti, tapi terjadinya berbagai
kemerosotan itu tidak semata-mata kesalahan raja itu sendiri. Itulah sebabnya, kebencian
pribadi tak berlaku di sini, tidak pula kepada orang yang bernama Ginggi. Apalagi kita tahu,
Ki Sudireja gurumu tidak tewas oleh tangan Ginggi. Kalau pun kita menyalahkan dia, hanya
karena bantuannya maka pasukan Pajajaran semakin kuat dan berhasil memukul mundur
pasukan kami," tutur Paman Manggala panjang-lebar.
Hal ini amat tak menyenangkan perasaan Pragola. Dia kecewa terhadap kenyataan ini.
Padahal sudah bertahun-tahun dia ikut Paman Manggala, bahkan mau bergabung dengan
Pangeran Yudakara, tadinya hanya karena punya harapan bisa "membonceng" agar bisa balas
dendam. Sekarang kenyataannya menjadi lain.
"Kalau begitu, mungkin kita bersilang jalan?" gumam Pragola kecewa.
"Barangkali begitu?" jawab Paman Manggala pendek.
Pragola membalikkan badan dan melangkah beberapa tindak.
"Jangan sesali sikapku sebab sebenarnya kita punya persamaan sikap yaitu tak kerasan
mengikuti pendapat orang lain yang tak bisa kita mengerti," kata Paman Manggala.
Pragola mengangguk. Sesudah itu dia kembali melangkahkan kakinya dan pergi
meninggalkan orang tua itu. Dia tak mau mencoba menoleh ke belakang, padahal dia
merasakan betapa sedih hatinya. Ini adalah perpisahan. Bukan sekadar perpisahan tubuh tapi
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 100
juga perpisahan dalam persesuaian pendapat. Ini yang membuat Pragola sedih. Perpisahan ini
membuat hatinya sepi sebab sesudah Paman Manggala pergi, tak ada lagi teman baginya.
Pragola terus berjalan ke arah selatan, mengikuti arah lelaki misterius itu lari membawa
Banyak Angga. Pemuda ini menduga, tentu lelaki yang dia duga sebagai Ginggi itu tengah
menuju Gunung Cakrabuana. Pragola mendengar khabar, Ki Darma adalah guru Ginggi dan
bersembunyi di puncak gunung itu. Jadi pemuda ini merasa yakin, lelaki misteius itu pasti
menuju ke selatan. Dan karena perkiraan inilah maka Pragola bergegas ke selatan.
Pragola bertekad ingin bertemu Ginggi. Inilah cita-citanya sejak awal. Dia ikut bergabung
dengan Pangeran Yudakara karena punya harapan pada suatu saat bisa ikut membasmi orang
Pajajaran yang telah membunuh Ki Sudireja, gurunya. Ginggi dielu-elukan orang Pakuan
karena berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang dipimpin Ki Sunda Sembawa.
Namun bagi Pragola, Ginggi orang yang paling dibencinya karena orang itulah pasukan
pemberontak gagal melumpuhkan Pakuan. Dan Ki Sudireja tewas oleh kepungan perwira
Pakuan. Pragola menganggap, karena Ginggilah maka Ki Sudireja tewas.
Tentu bukan Ginggi seorang yang harus dia kejar. Namun karena orang itu yang sudah dia
tahu, maka orang itulah yang pertama kalinya harus dikejar.
Di sepanjang jalan Pragola harus bertanya, kalau-kalau penduduk kampung melihat orang
yang pergi membawa seseorang yang lagi luka. Sebagian mengatakan tak tahu tapi sebagian
lainnya mengatakan pernah lihat.
"Ya, tadi pagi saya lihat seorang lelaki kumal membawa seseorang yang lagi luka parah.
Dibawanya dengan sebuah tandu sederhana yang diseret di belakangnya," tutur penduduk
yang ditanya. Ini adalah hari kedua dimana Pragola berusaha menguntit orang itu.
Di dusun itu hari sudah demikian senja. Kalau memaksakan diri melakukan perjalanan,
Pragola akan kemalaman di tengah hutan. Tapi kalau istirahat di dusun ini, berarti buruan
semakin jauh. Bertemu dengan orang itu lebih penting lagi. Maka Pragola pun memaksakan diri melajutkan
perjalanan. Hati kecilnya kagum kepada orang itu. Kendati sambil membawa Banyak Angga
yang terluka namun dia masih bisa berjalan dengan cepat. Sedangkan Pragola yang berjalan
tanpa beban, ternyata tertinggal hampir satu hari. Barangkali orang itu sudah hapal benar
dalam memilih jalan, sedangkan dia setiap saat musti berheti untuk bertanya sana-sini.
Namun pada akhirnya orang yang dikuntit telah membawanya ke Gunung Cakrabuana.
Gunung ini penuh misteri sebab sejak belasan bahkan puluhan tahun silam selalu
menghadirkan peristiwa penting namun kebenarannya selalu ada yang meragukannya.
Orang-orang Pakuan percaya, Ki Darma, bekas perwiradari pasukan Balamati (pasukan
pengawal raja) pergi bersembunyi di puncak Cakrabuana karena selalu dikejar-kejar pasukan
pemerintah yang ketika itu dirajai oleh Prabu Ratu Sang Mangabatan (1543-1551 M).
"Laporan" Pragola kepada Yogascitra, penasihat Raja Nilakendra sebenarnya tak seluruhnya
bohong. Ketika jamannya Prabu Ratu Sakti, belasan perwira kerajaan pernah dikirim untuk
mengejar Ki Darma ke Puncak Cakrabuana. Prabu Ratu Sakti mengirimkan pasukan ke sana
sebab mengira Ki Darma menguasai tombak pusaka Cuntangbarang. Cuntangbarang dulunya
kepunyaan Karatuan Talaga. Ketika negri itu jatuh ke tangan Cirebon (1530) ada beberapa
perwiranya yang tak setuju Talaga menyerah ke negri yang beraliran agama baru dan mereka
melarikan tombak pusaka ke Gunung Cakrabuana. Dan hanya karena Ki Darma
menyembunyikan diri di gunung itu, maka Prabu Ratu Sakti langsung menuduh Ki Darma
pergi ke gunung itu untuk menguasai tombak pusaka. itulah sebabnya belasan perwira dikirim
ke sana. Pertama untuk merebut tombak pusaka dan keduanya untuk menangkap atau
membunuh Ki Darma. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 101
Namun belakangan, belasan perwira Pakuan tak didengar khabar beritanya. Belasan tahun
lamanya hingga pemerintahan beralih dari tangan Prabu Ratu Sakti ke tangan Raja
Nilakendra. Peristiwa inilah yang dijadikan Pangeran Yudakara untuk "membujuk" Pakuan
agar mau mengirimkan kembali pasukan pencari. Pragola diatur agar mau melaporkan seolaholah
belasn perwira Pakuan tak bisa kembali karena jalan menuju lereng diblokade pasukan
Cirebon. Belasan perwira harus kembali dikirim untuk menyelamatkan mereka yang
terkepung. Ini adalah taktik untuk mengundang macan keluar. Orang-orang handal dari
Pakuan harus keluar agar pada saatnya Pakuan diserbu Cirebon, di sana sudah tak ada
kekuatan lagi. Namun seperti sudah disebutkan tadi di atas, sebetulnya tak seluruh ucapan Pragola bohong.
Belasan tahun silam, tepat di hari belasan perwira Pakuan tiba di lereng Cakrabuana, ada
pasukan lain yang juga tiba di sana. Khabar menyebutkan, itu adalah pasukan yang dikirim
Arya Damar, salah seorang Pangeran di Cirebon dan yang juga pernah menjadi mertua
Pangeran Yudakara. Tujuan mereka sama, yaitu hendak memerangi Ki Darma dan sekalian
merebut tombak pusaka Cuntangbarang. Namun seperti juga nasib pasukan Pakuan, pasukan
Cirebon pun sama tak didengar lagi khabar beritanya. Orang hanya menduga-duga, kedua
pasukan itu terlibat pertempuran di lereng dan saling bantai di antara mereka. Ada juga yang
menduga, semua pasukan, baik dari Pakuan mau pun dari Cirebon sebetulnya habis dibantai
Ki Darma. Hal ini mungkin terjadi sebab Ki Darma adalah orang terjepit. Oleh Cirebon dia
dimusuhi sebab ketika terjadi perang dengan Pakuan ketika dirajai Prabu Surawisesa (1527-
1543 M) Ki Darma adalah perwira handal yang banyak menewaskan prajurit Cirebon. Orang
Cirebon benci terhadap Ki Darma. Sebaliknya, orang Pakuan pun memendam perasaan tak
enak sebab KI Darma yang gemar mengkritik Raja dianggap pemberontak. Dan sungguh
ironis, Ki Darma dituding pengkhianat karena menolak perang.
Pragola tidak mendapatkan keterangan yang rinci sebab berita itu hanya datang secara
simpang-siur. Kalau bukan datang dari mulut ke mulut, tentu hanya bisa didapatkan melalui
kisah-kisah Ki Juru pantun yang membawakan cerita itu melalui dendang dan lantunan lagu
diiringi dawai-dawai kecapi. Hanya dari percakapan para anak buahnya yang mengabarkan
bahwa Pangeran Yudakara menjadi satu-satunya saksi pertemuan pasukan Cirebon dan
Pakuan di lereng Cakrabuana. Namun Pangeran Yudakara sendiri tak pernah bicara apa pun
padanya. Pragola tiba di lereng bukit pada dini hari. Bulan tersembul di langit sebelah barat dan
cahayanya amat pucat. Namun kendati begitu, cukup untuk menerangi lereng yang lebat
ditumbuhi pohon pinus. Tak ada kehidupan di sana kecuali suara binatang malam. Namun
ketika Pragola semakin naik ke lereng, sayup-sayup didengarnya suara lantunan orang.
Melantunkan apa dan di mana"
Pragola memicingkan mata melihat ke sebuah lembah. Remang-remang terlihat ada kerlapkerlip
cahaya pelita. Ada rumahkah di sana"
Pragola mencoba menuruni lembah dengan hati-hati. Dia tak ingin mengejutkan penghuni
rumah gubuk yang atapnya terbuat dari susunan ijuk itu.
Setelah agak dekat, pemuda itu, pemuda baru tahu bahwa di sana ada orang tengah
melantunkan ayat-ayat suci dari agama baru. Lantunan itu sungguh merdu dan terasa
membelah kalbu memberi ketenangan, padahal Pragola tak tahu maknanya.
Pragola tergerak dan ingin sekali tahu, siapa yang melantunkan ayat-ayat itu pada dini hari
yang dingin seperti ini. Dia semakin dekat ke pekarangan gubuk itu.
"Lantunan ayat-ayat sucimu enak didengar," terdengar satu suara di dalam sana. Si pelantun
ayat berhenti sejenak. "Kalau engkau sudah mengerti isinya, maka bukan enak didengar, melainkan meresap ke
dalam hati sanubari, menciptakan rasa damai dan mengenyahkan kerisauan," tutur suara lain.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 102
Pragola menduga, suara ini tentu yang tadi melantunkan ayat suci.
"Aku tidak menyuruhmu, hanya ingin mengatakan saja bahwa aku betah dalam agamaku
karena kedamaian," tutur si pelantun.
Terdengar tawa kecil sebagai jawaban dari perkataan tadi.
"Aku percaya omonganmu. Tapi tentu saja banyak kedamaian dari sejauh apa kita
mendapatannya," "Dari mana engkau mendapatkan kedamaian itu?" tanya si pelantun.
Tak ada jawaban langsung, kecuali terdengar suara serak melantunkan tembang. Syair
lantunannya amat mengejutkan Pragola sebab dia pernah dengar sebelumnya.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
Namun bila salah memilihnya
Maka kita adalah orang-orang yang kalah
Brakk!!! Pragola mendorong pintu gubuk sehingga berantakan. Penghuninya, dua orang
kakek-kakek yang diperkirakan usianya lebih delapan puluh tahun hanya sedikit menganga
heran tanpa beranjak dari duduknya.
Pragola melihat kesana-kemari seperti mencari sesuatu.
"Hai, apa yang kau cari anak gendeng?" tanya salah satu dari kakek itu.
"Mana Ginggi?" teriak Pragola.
"Ginggi" Tak ada anak bengal itu di sini!" jawab si kakek berambut putih yang tergelung
rapih di atas. "Barusan aku dengar lantunan tembangnya. Yang menembang seperti itu hanya Ginggi!" kata
Pragola dengan nada tinggi tak mengenal sopan-santun.
Pragola sendiri merasa aneh, mengapa dia bisa bertingkah kasar di hadapan orang-orang tua
seperti ini. Namun yang lebih aneh lagi, kedua orang tua itu sedikit pun tak merasa
tersinggung oleh sikapnya.
"Enak saja engkau bicara. Siapa bilang lantunan itu milik si Ginggi" Anak bawel itu hanya
meniru-niru aku sebab tembang itu aku yang punya. Sejak zaman Surawisesa puluhan tahun
silam aku sudah biasa melantunkan tembang itu," kata kakek berambut perak yang riapriapan.
"Engkau siapa kakek?" tanya Pragola.
"Hehehe! Begitu entengnya bocah gendeng ini bertindak-tanduk. Tiba-tiba datang mendobrak
pintu, lantas tanya itu tanya ini. Jayaratu, jawablah, barangkali bocah ini dulunya anak
buahmu juga," kata kakek berambut riap-riapan itu tanpa melirik ke arah Pragola.
"Mendengar logat lidahmu, sepertinya engkau datang dari Cirebon, anak muda," kata kakek
yang disebut sebagai Jayaratu.
Pragola sebentar menahan napasnya karena merasa tegang. Nama Ki Jayaratu pernah dia
dengar. Dulu puluhan tahun silam pernah terdengar ada pengikut Kanjeng Sunan dari Cirebon
yang hilang di Cakrabuana, bersamaan dengan bentrokan antara pasukan Cirebon dan
pasukan Pakuan di lereng gunung ini.
"Andakah Ki Jayaratu yang disebut-sebut puluhan tahun silam?" tanya Pragola dengan suara
bergetar. "Hehehe! Tempat ini sudah terlalu mudah didatangi siapa pun. Harimau kumbang dan lodaya
sudah tak sanggup mengusir pendatang. Engkau musti pindah makin ke atas, Jayaratu," kata
si kakek berambut riap-riapan.
"Aku tidak menjauhi keramaian sepertimu, Darma sebab agamaku harus diamalkan kepada
banyak orang," tutur Ki Jayaratu.
Semakin terkejut hati Pragola. Jadi kakek berambut riap-riapan ini adalah Ki Darma, tokoh
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 103
tersohor yang banyak dibicarakan orang.
Pragola bingung, mana yang harus diperhatikan sebab kedua orang di hadapannya ini adalah
orang-orang penting yang perlu diperhatikan. Ki Jayaratu banyak dibicarakan di Cirebon,
sebagai seorang pandai yang lenyap begitu saja. Sedangkan Ki Darma sudah jelas hampir
semua orang mengenal namanya. Kedua orang itu menjadi misterius sebab hilang bagaikan
ditelan bumi. Hanya Pragola seorang kini yang sanggup membuktikan bahwa orang-orang
penting ini berkumpul di sini.
"Ki Jayaratu, saya adalah utusan Cirebon, datang hendak membuat perhitungan dengan Ki
Darma atau siapa pun yang punya kaitan dengan Pakuan," kata Pragola. Tapi kemudian
Pragola bingung sendiri, mengapa musti bicara begitu. Padahal beberapa hari lalu dia sudah
berkata undur diri dari urusan politik. Barangkali dia berkata begitu karena tahu Ki Jayaratu
dulunya perwira Cirebon dan selalu berperang untuk negri dalam melawan Pajajaran. Dan
apabila tak salah dengar, Ki Darma adalah musuh besar Ki Jayaratu.
"Hehehe, kau hadapilah sendiri. Aku malas ketemu dengan orang-orang dungu macam ini,"
tutur Ki Darma masih tertawa-tawa. Entah bagaimana caranya, hanya secara tiba-tiba angin
berdesir dan Ki Darma hilang dari pandangan.
"Ki Darma!" teriak Pragola. Dia hanya melongok keluar namun suasana dingin dan sepi.
"Ki Jayaratu, tolonglah, saya ingin membalas dendam," kata Pragola duduk bersila dan
menyembah takzim. Ki Jayaratu tersenyum dan mengelus-ngelus jenggotnya yang menjuntai dan memutih.
"Kasihan sekali anak muda sudah demikian terlilit penderitaan," gumam Ki Jayaratu.
"Yang membuat saya menderita adalah Ginggi, murid Ki Darma. Gara-gara dia maka guru
saya Ki Sudireja tewas. Saya menderita karena hidup menjadi menderita dan terlunta-lunta.
Tolonglah, ajari saya berbagai ilmu kepandaian agar saya bisa melawan Ginggi dan kalau
mungkin melawan Ki Darma sebagai musuh Cirebon," pinta Pragola. Hanya dijawab oleh
senyum tipis orang tua itu.
"Mengapa berkata begitu kepadaku seolah-olah kau menganggap aku terlibat urusan seperti
itu," kata Ki Jayaratu.
"Bukankah dulu anda perwira Cirebon dan selalu melawan Pajajaran?"
"Kau katakan itu dulu. Sekarang tentu sudah tidak lagi," jawab Ki Jayaratu.
"Tapi segalanya belum berubah. Cirebon masih tetap akan memerangi Pakuan. Saya adalah
anak buah Pangeran Yudakara yang selalu berjuang untuk Cirebon," jawab Pragola.
"Kasihan, semua orang menderita karena ambisi pribadi,"
"Mengapa anda katakan ini ambisi pribadi?" tanya pragola.
"Engkau hanya berambisi ingin membalas dendam kematian gurumu dan Yudakara pun
berambisi untuk kepentingan dirinya. Yudakara itu pengkhianat. Dia bertindak sendiri tanpa
sepengetahuan Cirebon. Cirebon kini tidak terlibat urusan politik. Tapi lebih menitik beratkan
dalam pengembangan agama. Bagaimana mungkin Cirebon punya keinginan menyerang
Pakuan padahal tak punya kekuatan militer?" tanya Ki Jayaratu.
"Tapi Pangeran Yudakara punya pasukan prajurit. Itu semua prajurit Cirebon," kata Pragola.
"Bohong, tak ada prajurit Cirebon berkeliaran di wilayah Pajajaran. Kalau Yudakara punya
kekuatan militer, itu tentu dihimpun sendiri olehnya. Yudakara ingin melanjutkan cita-cita
kerabatnya yaitu Ki Sunda Sembawa yang dulu gagal melawan penguasa Pakuan. Seperti
Sunda Sembawa, Yudakara pun punya ambisi merebut Pakuan dan dia ingin jadi raja di
sana," tutur Ki Jayaratu.
Pragola melengak mendengar keterangan ini.
"Tapi anda tak pernah ke mana-mana, bagaimana mungkin bisa mengetahui peristiwa yang
terjadi," tanya Pragola. "Tak ke mana-mana bukan berarti tak memiliki pengetahuan. kI
Darma punya murid bernama Ginggi yang kerjanya bertualang kesana-kemari. Aku pun
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 104
banyak memilik murid yang berpencar ke seantero Pajajaran untuk meluaskan agama baru.
Mengapa aku tak bisa mendapatkan berita seperti itu?" Ki Jayaratu balik bertanya.
Pragola mengeluh dalam hatinya. Kalau benar begitu, jelas selama ini hidupnya terombangambing
oleh permainan yang tak menguntungkan. Dalam hal ini Ki Manggala benar, dia
sudah mencurigai bahwa gerakan Pangeran Yudakara tak utuh. Pragola dan Paman Manggala
hanya mengabdi kepada orang yang berjuang untuk ambisi pribadi.
"Pulanglah ke rumahmu dan jangan terlibat ke dalam urusan yang tak penting benar," kata Ki
Jayaratu. "Saya tak punya rumah. Kampung halaman saya di Caringin. Ayah saya seorang Cutak, tewas
karena peperangan dengan orang Pajajaran kendati tak secara langsung. Namun hal ini tak
mengurangi rasa benci saya terhadap Ginggi, atau siapa pun dari Pajajaran," keluh Pragola.
"Repot sekali kalau setiap orang diracuni perasaan dendam dan benci. Semua orang bisa
saling bunuh. Harap kau tahu, dulu aku punya murid bernama Purbajaya. Dia diutus Cirebon
untuk menyelundup ke Pakuan. Muridku tewas oleh Ginggi. Tapi mengapa aku harus benci.
Purbajaya berjuang untuk Cirebon dan Ginggi membelan negrinya. Keduanya sedang
menjalankan kewajibannya mempertahankan negaranya masing-masing. Dan kalau pun harus
berbicara urusan hukum-menghukum, tanpa aku membalas dendam, Ginggi sendiri pun sudah
merasa terhukum. Itulah pembunuhan satu-satunya yang pernah dia lakukan seumur
hidupnya. Dan peristiwa itu terus membekas di hatinya hingga kini," tutur Ki Jayaratu.
Pragola menghela napas. Pahit rasanya hidup ini. Tak ada orang yang mau mendengar keluhkesahnya.


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap bicara perihal kepahitan, setiap itu pula orang berkata perihal ketegaran dan
kehebatan Ginggi. Akhirnya Pragola menyembah kepada orang tua itu dan beranjak hendak keluar.
"Saya akan ke puncak mencari Ginggi ?" kata pragola pelan.
"Anak itu tak ada di sini," kata Ki Jayaratu.
"Saya menguntit dia dan saya yakin dia ke puncak,"
"Benar, tadi malam dia ke puncak, tapi sesudah menitipkan sahabatnya yang terluka, dia
segera turun gunung diperintah Ki Darma. Ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan
mereka di Pakuan," "Ginggi ke Pakuan?"
"Begitulah manusia dipermainkan nasib. Anak itu sudah ingin berhenti melibatkan diri di
dunia ramai, namun nasib menghendaki lain. Hahaha! Ki Darma itu tua bangkotan yang
berperangai licik. Dia sendiri sudah tak ingin ikut campur urusan dunia tapi masih tak rela
kalau negrinya diancam bahaya. Dia suruh muridnya untuk melaksanakan keinginannya.
Dasar tua bangkotan munafik. Hahaha " " kata Ki Jayaratu tertawa.
Hanya Pragola yang hatinya mengeluh. Dengan tubuh lunglai dia berdiri. Untuk kesekian
kalinya dia menghormat ke arah Ki Jayaratu.
"Saya mohon diri, Aki ?" kata Pragola.
"Katanya engkau ingin belajar di sini" Mari belajar di sini. Yang paling hebat di dunia ini
bukan dendam tapi sinar keagamaan. Bila sinar agama memasuki jiwamu, maka dunia akan
damai sebab benci dan dendam akan sirna," kata Ki Jayaratu.
"Saya hanya ingin berangkat ke Pakuan, Aki?" gumam Pragola sesudah terdiam agak
lama."Kalau sudah bertemu Ginggi barangkali kelak baru saya bisa ikut Aki di sini,"
lanjutnya. Ki Jayaratu hanya tersenyum tipis.
"Ya Allah, aku hanya sanggup berusaha. Tapi yang menentukan keputusan adalah engkau
jua," gumam Ki Jayaratu menengadahkan kedua belah tangannya. Sesudah itu dia menatap
Pragola. "Pada akhirnya hanya jalan pikiranmu yang membawamu. Hati-hatilah jangan sampai engkau
salah langkah " " tuturnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 105
Pragola menatap sebentar. Kemudian dia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu.
Dia kembali menuruni lereng gunung padahal daerah itu didakinya dengan susah-payah.
Ada suara ayam hutan berkokok. Ketika Pragola berjalan di tempat agak terbuka, suasana
sudah terang tanah. Pragola terus berjalan menuruni lereng. Pelan tak beremangat. Dia harus kembali melakukan
perjalanan jauh, pulang ke arah tempat semula, Pakuan. Entah apa yang dijalani kelak!
*** Berita Penyerbuan Ketika sepasang matanya dibuka, maka yang pertama kali dilihatnya adalah wajah seorang
kakek. Sulit ditaksir berapa usianya. Menilik rambutnya yang seluruhnya putih keperakperakan,
kakek itu kira-kira berumur dii atas delapan puluh tahunan. Namun bila melihat
kulitnya yang tanpa keriput, sepertinya dia baru berusia empat atau limapuluh tahun.
Namun yang pasti kakek itu benar-benar lelaki tua yang sehat. Gerak-geriknya tidak loyo dan
lamban walau pun tak dikatakan lincah.
Pemuda itu hendak bangkit. Tak sopan rasanya terbaring begitu saja ditunggui seorang tua.
"Engkau masih lemah, Angga. Tetaplah berbaring," kata kakek itu.
"Anda mengenal namaku, Ki?" tanya pemuda itu heran.
"Engkau Banyak Angga, putra Yogascitra, bukan?" tanya kakek itu.
Banyak Angga mengangguk mengiyakan. Namun tentu saja belum menebus rasa herannya
sebab dia sendiri tak kenal, siapa orang tua di hadapannya ini.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, mengingat-ingat peristiwa sebelum dia tiba-tiba terbaring
di atas balai-balai bambu ini.
Seingatnya, ketika itu dia terlibat pertempuran. Di tengah hutan jati di wilayah antara
Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Waktu itu empat orang kelompoknya terdiri dari
Paman Angsajaya, Paman Manggala, Pragola dan dia sendiri, dikepung puluhan perampok.
Kaum perampok menyerang membabi-buta membuat dirinya terdesak. Banyak Angga
menduga, barangkali hari itulah akhir hayatnya sebab banyak luka di sana-sini disertai
limbahan darah. Banyak Angga tubuhnya limbung, pandangannya berkunang-kunang sampai
akhirnya terjerembab dan tak ingat apa-apa.
Maka sungguh merasa aneh kalau tiba-tiba dia terbaring di gubuk yang berdinding gedek,
berlantai palupuh (lantai bambu ditumpuk rata) dan beratap ijuk ini. Di manakah tempat ini
dan siapa pula yang membawanya sampai di sini"
Dia merasakan betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan ngilu-ngilu. Ada beberapa bagian
badan yang dibebat lembaran dedaunan. Di bagian itu terasa perih namun ada juga rasa sejuk.
Mungkin karena daun-daun menempel itu .
"Aki mengenal saya, namun maafkan kebodohan saya yang tak tahu siapa Aki," gumam
Banyak Angga. "Tentu saja engkau tak kenal aku sebab waktu itu engkau belum lahir ke dunia. Bahkan aku
pun tak mengenalmu kalauy saja si Ginggi tak membawamu dan memperkenalkanmu
padaku," tersentak hati Banyak Angga ketika orang tua itu menyebut nama Ginggi. Jadi,
orang yang selama ini dicarinya bahkan pernah menolongnya.
"Ini tempat apa, Aki?" tanyanya.
"Tempat yang terpencil jauh dari keramaian dunia, terletak hampir di Puncak Gunung
Cakrabuana," tutur sang kakek.
Banyak Angga akan memcoba bangun namun rasa sakit mengganggunya. Maka yang dia
lakukan hanyalah menatap orang tua itu dengan penuh rasa hormat dan kagum.
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 36 Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera Suramnya Bayang Bayang 40
^