Kunanti Di Gerbang Pakuan 3
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Bagian 3
ketat menjaga kompleks puri itu. Namun belakangan, sesudah ada pengawal yang
mengenalnya, Pragola segera diizinkan memasuki kompleks puri.
Memasuki halaman yang luas dan asri karen adi sana banyak koleksi tanaman-tanaman hias,
Pragola tetap mendapatkan pengawalan.
Pemudaitu tidak tahu, apakah memang begitu biasanya, bahwa ibu suri selalu mendapatkan
pengawalan ketat setingkat raja, ataukah ini hanya keinginan Nyi Mas Layang Kingkin sendiri
karena sadar dirinya kurang disukai.
Yang jelas, ketika Pragola memasuki paseban, di sana sudah terdapat Nyi Mas Layang
Kingkin. Dia duduk berismpuh dengan anggunnya karena rambutnya yang halus hitam,
nampak berombak menuruni punggungnya.
Kini wanita cantik itu sudah mengenakan kebaya yang berbeda dengan yang dikenakan tadi
pagi. Jenis kainnya masih sama terbuat dari satin halusa, tapi yang ini buatan negri Cina.
Warnanya kuning jingga, juga dengan ornamen dan kelim yang dihiasi warna emas di setiap
sisi-sisinya. Kulit wajahnya nampak putih bersih. Bukan perbawa pupur (bedak) atau pun
sebangsa polesan lainnya, namun memang karena kulit wajah itu yang putih halus. Tak
terdapat bintik setitik, sepertinya nyamuk pun segan menyapanya.
Berdegup jantung Pragola ketika tiba-tiba dia sadar bahwa Nyi Mas Layang Kingkin
sebenarnya tengah tersenyum menertawai karena dia ternganga-nganga melihat purnama di
wajahnya. Pemuda itu segera menundukkan kepala dengan kulit wajah serasa merah padam
saking malunya. "Duduklah anak muda?" desisi wanita itu merdu dan menyengat jantung.
Pragola segera duduk bersila di bangsal berlantai kayu jati halus itu. Jaraknya ada sekitar tiga
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 54
tindak dari Nyi Mas Layang Kingkin yang tetap menatapnya dengan senyum dikulum.
Sebetulnya di sana banyak orang lain. Di luar bangsal Pragola menghitung pengawal ada
sekitar enam orang dengan tameng logam di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Di
samping itu, duduk bersimpuh di belakang Nyi Mas Layang Kingkin sempat orang dayang.
Para dayang itu berpakaian indah-indah dan berusia muda-muda. Wajahnya pun nampak
cantik-cantik, sehingga bila Pragola disuruh memilih, dia tentu akan bingung musti memilih
siapa. Sesudah Pragola duduk bersila, Nyi Mas Layang Kingkin bertepuk tiga kali. Demi mendengar
aba-aba itu, baik para dayang mau pun para pengawal, serentak mengundurkan diri dari
paseban. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk tidak bisa menyimak bila yang berada di
bangsal tengah melakukan percakapan.
Pragola kembali jantungnya berdegup. Dia menduga, ini adalah pertemuan penting, paling
tidak untuk Nyi Mas Layang Kingkin. Kalau tak begitu, mengapa orang lain musti pergi" Ini
hanya menandakan bahwa obrolan mereka tidak boleh didengar oleh siapa pun.
"Sudah berapa lama engkau mengabdi kepada Banyak Angga, anak muda?" tanya Nyi Mas
Layang Kingkin dengan senyum tetap tersungging.
"Hampir tiga tahun, Juragan?" jawab Pragola hormat sekali sambil tak kuasa untuk balik
memandang. "Hm" sudah cukup lama, akan tetapi aku satu kali pun belum pernah bertemu denganmu,
anak muda?" tutur lagi Nyi Mas Layang Kingkin. Ya, mengapa tak pernah bertemu satu kali
pun" Mengapa pula Pragola tak pernah tahu akan Nyi Mas Layang Kingkin, ibu suri istana"
Pragola termenung sejenak. Memang tak pernah ada yang membicarakan perihal keberadaan
ibu suri, tidak pula Banyak Angga yang selama hampir tiga tahun menjadi "majikan"nya.
"Saya terlalu disibukkan oleh tugas-tugas rutin, Juragan. Baru-baru ini saya pun habis pulang
dari pertempuran di wilayah barat perbatsan Cisadane. Tentu saja tak ada waktu untuk ?"
"Untuk apa, anak muda?"
"Misalnya untuk jalan-jalan ke puri ini?" jawab Pragola sekenanya. Terdengar tawa merdu
keluar dari mulut mungil wanita anggun ini, membuat debar jantung Pragola kian kencang.
"Kau sangka puri ini semacam taman, ya" Sedangkan untuk masuk ke Taman Mila Kancana
yang memang tempatnya untuk jalan-jalan engkau belum tentu mendapatkan izin," tutur Nyi
Mas Layang Kingkin dengan bunyi suara seperti dikulum.
Pragola tersipu dibuatnya. Pernyataan tadi tentu amat menyinggung perasaan Nyi Mas
Layang Kingkin kalau saja wanit aini orang pemarah. Namun nampaknya perangai wanita
anggun berbulu mata lentik ini tak seburuk yang disangka orang. Dia begitu manis budi
bahasanya. Dalam keadaan marah pun tetap mengulum senyum sehingga siapa pun akan
betah dimarahi olehnya. "Saya terlalu sembrono bicara, Juragan ?" tutur Pragola menundukkan kepala.
"Sebutlah aku Nyi Mas saja?" kata Nyi Mas Layang lembut.
Pragola menatapnya sejenak, "Saya tak berani, Juragan?"
"Kalau aku yang menyuruh, mengapa tak berani" Sudah terbiasakah engkau membantah
perintah yang lebih atas?" Nyi Mas Layang Kingkin menatap tajam.
"Sama sekali saya tak berani?"
"Masih tetap tak mau mentaati?"
"Maksud saya tak berani membantah setiap atasan?"
"Sebutlah aku Nyi Mas!"
"Baik Nyi Mas?"
"Nyi Mas Layang Kingkin!"
"Nyi Mas Layang Kingkin, Juragan!"
"Huss!!!" "Oh, ya Nyi Mas Layang Kingkin?"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 55
Dan terdengar tawa merdu dari mulut merah merekah itu. Begitu bebasnya tawa Nyi Mas
Layang Kingkin sehingga dia tak perlu menutupi mulutnya. Padahal setahu Pragola, setiap
wanita di Pajajaran tak berani tertawa bebas. Kalau pun ada yang tak bisa menahan untuk
tertawa, biasanya selalu menutupi mulut dengan punggung tangannya agar mulut tak bebas
dilihat orang. Namun hati pemuda itu tidak ada keinginan untuk menegur perilaku wanita itu. Nyi Mas
Layang Kingkin terlalu anggun, terlalu cantik dan setiap tindak-tanduknya mengandung
pesona. Betapa merdu tawa bebasnya, betapa renyah desah napasnya. Bibirnya itu yang merah
merekah, gigi-giginya itu yang putih bak mutiara berbaris"oh, hai, segalanya mengundang
degup, membuat debar bertambah kencang!
"Hai, kerjamu menganga saja anak muda. Bisa-bisa ada lalat memasuki lubang mulutmu!"
celoteh Nyi Mas Layang Kingkin membuat Pragola tersipu.
"Engkau ini orang serius tapi membuat yang melihatmu merasa geli karena lucu," kata Nyi
Mas Layang Kingkin. Mereka keduanya saling berpandangan sejenak. Wanita anggu itu kian
menantang namun Pragola menunduk kalah.
Sejenak mereka diam, sepertinya kehabisan pembicaraan. Namun ini merupakan kesempatan
untuk berpikir, sebetulnya apa maksud undangan wanita anggun ini" Rasanya sudah cukup
lama mereka saling mengobrol, namun Nyi Mas Layang Kingkin belum juga mengutarakan
maksud undangannya ini. Hanya sekedar ingin bersenda-gurau kepada seorang prajurit
rendahan seperti dia" Hanya akan membuat diri Nyi Mas Layang Kingkin terhina saja. Kalau
barusan wanita mengajaknya bercanda, itu barangkali karena sifat-sifat Nyi Mas Layang
Kingkin yang periang dan senang bergurau saja. Jadi bukan maksudnya mengundang Pragola
hanya untuk bercanda. *** Pragola ingin sekali bertanya perihal maksud undangannya ini. Namun dia tak berani
mengemukakannya. Dia takut menyinggung perasaan wanita itu, sepertinya Pragola tak
senang melihat Nyi Mas Layang Kingkin bercanda.
Tapi Nyi Mas Layang Kingkin rupanya bisa menduga hal ini. Buktinya dia mulai berkata
dengan sungguh-sungguh. "Sudah aku katakan tadi pagi bahwa melihatmu tinggal di puri Yogascitra, mengingatkanku
pada pembantu Banyak Angga. Kalau perjalanan waktu dikembalikan ke masa tigabelas tahun
silam, tentu engkau akan heran sebab ada seorang pemuda yang wajahnya mirip engkau.
Pemuda itu berwajah bulat telur, sepasang mata berbinar bundar. Kalau melirik matanya
berkilat tajam. Hanya bedanya, pemuda tigabelas tahun silam itu terkesan bodoh walau
kadang-kadang terkesan aneh dan macam-macam," kata Nyi Mas Layang Kingkin.
"Saya bisa menduganya, tentu pemuda itu bernama Ginggi," potong Pragola dengan nada
datar. "Betul sekali. Tapi dari mana kau tahu?"
Pragola hanya menunduk. "Tapi kepada pemuda itu aku tak senang. Aku bahkan sedikit membencinya?" gumam Nyi
Mas Layang Kingkin seperti menyesal karena percakapan perihal ini.
Pragola mengerutkan dahi. Semua orang di Pakuan seperti mendewa-dewakan lelaki bernama
Ginggi ini bila menyimak lakon kegagahan para ksatria Pajajaran yang biasa dilantunkan para
kaum prepantun. Adalah sesuatu hal yang aneh bila ada orang Pakuan yang tidak senang
kepadanya. Nyi Mas Layang Kingkin, mengapa musti tidak menyukai Ksatria Ginggi"
Bukankah pemberontakan yang dilakukan oleh Sunda Sembawa pada tigabelas tahun silam
sempat digagalkan oleh ksatria itu" Bukankah tindakan-tindakan Ksatria Ginggi waktu itu
telah menyelamatkan keberadaan suaminya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti"
"Tentu saja engkau tak sependapat denganku sebab engkau adalah orang dari puri Yogascitra,
sedangkan lelaki bernama Ginggi selalu menjadi kebanggaan mereka," tutur Nyi Mas layang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 56
Kingkin. Pragola sebetulnya ingin mengatakan bahwa dirinya pun tidak menyenangi orang itu. Ingin
pula dia katakan bahwa dirinya sebenarnya bukan dari kelompok puri Yogascitra. Tapi tentu
saja dia tak berani mengabarkannya mengingat hal ini adalah rahasia bagi orang Pakuan.
Sejauh apa pun Pragola menyukai wanita anggun ini, tokh kenyataanya Nyi Mas Layang
Kingkin adalah orang Pakuan dan tentu merupakan musuhnya pula.
"Saya hanyalah pengabdi kecil. Tentu saja harus setia kepada seorang majikan yang telah
memberinya kesejahteraan," tutur Pragola setelah merenung sejenak.
"Kalau ada orang lain yang memberi kesejahteraan jauh lebih baik dan terhormat, maukah
engkau bersetia kepada orang itu?" tanya Nyi Mas layang Kingkin tiba-tiba.
Pragola kembali merenung. Wanita cantik ini selalu menyodorkan teka-teki padanya. Tetapi
ini adalah sesuatu yang menarik buatnya. Nyi Mas Layang Kingkin sudah tahu Pragola "anak
buah" Banyak Angga. Tapi mengapa sepertinya dia mau menarik dirinya dari sana" Ini hanya
menandakan bahwa di antara keluarga Yogascitra dengan Nyi Mas Layang Kingkin ada
permasalahan. Masalah apa, Pragola tak tahu. Tapi dia ingin mengetahuinya. Itulah sebabnya,
dalam waktu singkat dia memutuskan untuk menerima undangan kedua dari wanita berwajah
manis ini. Dia mengangguk pelahan ketika Nyi Mas Layang Kingkin menatap seolah p[enuh
harap. "Tapi ingat, kali ini hanya aku seorang yang tahu akan kehadiranmu di puriku," gumam
wanita itu. Kembali Pragola mengangguk tanda mengerti apa maksud Nyi Mas Layang
Kingkin. Besok malamnya pemuda itu memenuhi janjinya untuk datang ke puri Layang Kingkin.
Sudah barang tentu, kali ini dia harus datang sambil main sembunyi. Nyi Mas Layang
Kingkin yang menginginkannya demikian. Inilah yang membuat Pragola tertarik intuk
memenuhi undangan tersebut. Wanita itu ingin melakukan pertemuan rahasia. Tentu apa yang
akan disampaikan kepadanya pun bersifat rahasia. Tentang apa, Pragola belum tahu.
Ke mana Pragola harus, tentu bukan ke paseban seperti undangan seperti kemarin sore.
Paseban hanyalah tempat pertemuan terbuka, tidak baik digunakan sebagai tempat
pembicaraan rahasia. Pragola harus menuju kompleks bagian belakang dari puri ini. Tempat wanita bersunyi diri
biasanya di sebuah taman. Dan taman biasanya dibuat di kompleks bagian belakang,
maksudnya agar bebas dari gangguan dan pandangan orang.
Pragola harus mencari taman puri, sebab dia menduga Nyi Mas Layang Kingkin menunggu
disana. Dan benar perkiraannya. Wanita cantik itu ditemukan di sebuah taman yang sunyi tapi
mempunyai panorama indah. Taman itu dipenuhi tanaman hias. Dibeberapa tempat ada
beberapa pohon-pohon rimbun, namun didepan pohon itu di pasang lentera dengan warna
cahaya temaram. Beberapa lentera seperti sengaja dikecilkan apinya sehingga cahayanya
demikian temaram, hampir remang-remang. Lentera yang apinya lemah terdapat di seputar
sebuah danau yang kecil yang berdiri di tepi kolam. Ada sebuah bayangan hitam di dalam
danau. Tapi Pragola tahu, itulah tubuh Nyi Mas Layang Kingkin. Wanita itu tengah duduk
bersimpuh menghadap kolam. Sepertinya dia tengah merenung sebab tubuhnya tak bergerak
barang sedikit. Udaranya terasa dingin, apa lagi ada angin semilir lewat di taman. Namun
sungguh heran , disaat udara demikian dingin, Nyi Mas Layang Kingkin seperti memakai
pakaian tipis terbuat dari kain sutra. Ini nampak dari kibaran selendang yang tertiup angin.
Ketika selendang itu berkibar, nampak lekuk relung pinggang wanita itu, samar-samar dalam
keremangan lentera. Sunyi sekali di sana, memungkinkan Pragola untuk memasukinya tanpa khawatir diketahui
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 57
orang lain. "Nyi Mas, saya datang " " gumam Pragola sedikit bergetar. Bagaimana tidak begiru, sebab
kendati dalam remang, mata pemuda itu sanggup memandang tubuh indah wanita itu. Benar,
Nyi Mas Layang Kingkin hanya menggunakan pakaian tipis yang ketat mencetak lekuk-lekuk
tubuhnya. Kain sutra tipis yang barangkali hanya digunakan untuk tidur saja. Mengapa Nyi
Mas Layang Kingkin menggunakan pakaian serba tipis padahal tahu akan kedatangan tamu,
pria lagi" Atau barangkali Pragola datang terlalu telat shingga wanita itu memutuskan untuk
tidur saja" Entahlah, Pragola tidak bisa memahaminya.
Pragola masih berdiri di luar dangau, sedang Nyi Mas Layang Kingkin masih duduk
membelakanginya. Ada semilir angin lewat kembali di sana dan pakaian tipis itu berkibar
lagi. Kali ini sang angin bahkan snggup menerpa rambut panjang tergerai dari wanita anggun
itu. Pragola berdebar dadanya sebab betapa indahnya pemandangan disana. Di balik cahaya
temarang, seorang wanita bertubuh molek tengah duduk melamun dengan pandangan tertuju
ke permukaan kolam. "Kau lihatlah Pragola, di kolam ada beberapa ikan berenang kian kemari?" kata Nyi Mas
Layang Kingkin tanpa menoleh ke belakang.
"Saya tak bisa menyaksikannya, Nyi Mas ?" jawab Pragola masih berdiri di belakang wanita
itu. "Tentu saja, melihat dari kejauhan tak akan menghasilkan pandangan yang benar. Kalau pun
bisa terlihat, hanyalah samar-samar belaka dan belum tentu menemukan sesuatu yang hakiki,
"tutur Nyi Mas Layang Kingkin penuh arti."
Pragola masih tertegun. "Mari duduk disampingku agar bisa menyaksikan isi kolam yang sebenarnya?" ajak Nyi
Mas Layang Kingkin. Pragola agak ragu-ragu. Namun pada akhirnya dia berani juga memasuki dangau mungil itu.
Dengan hati-hati dia duduk bersila disamping wanita itu. Harum semerbak bung-bungaan
keluar dari tubuh semampai itu, membuat dada pemuda itu kian bergetar.
Pragola ikut mematung sambil mata memandang ke permukaan kolam. Hanya remangremang
saja. Namun benar seperti yang dikatakan Nyi Mas Layang Kingkin, di kolam ada
serombongan ikan berenang kesana-kemari kendati hanya terlihat secara remang-remang saja.
"Coba lihatlah begitu banyak ikan berenang kesana-kemari," tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
"Tapi kau lihat pula, ada satu dua ekor ikan yang berenang memisahkan diri. Tak ada
persatuan disana. Serombongan besar berenang kesana dan serombongan kecil berenang
kemari. Yang satu tak ada artinya bagi yang lainnya. bila benar begitu, maka jumlah sebesr
apapun yang ada di kolam tidak memiliki makna. Ikan yang hidup terpisah dari rombongan
yang lebih besar akan tetap merasa kesunyian kendati di sekelilingnya banyak ikan?" kata
Nyi Mas Layang Kingkin panjang lebar namun sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
"Apakah anda merasa kesepian, Nyi Mas?"" Pragola tidak bisa menahan untuk mengajukan
pertanyaan seperti itu. Nyi Mas Layang Kingkin cepat menoleh ke samping seolah merasa kaget menerima
pertanyaan pemuda itu. Dua wajah saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Pragola menatap raut muka wanita itu. Betapa matangnya wajah wanita ini, matang dan
dewasa. Beda sekali dengan gadis-gadis yang Pragola lihat di tempat lain. Kaum perawan bila
berpapasan muka dengan lelaki asing tentu akan segera menunduk penuh malu, barangkali
juga dengan rona merah di pipi. nAmun wanita selir mendiang Prabu Ratu Sakti itu seolah
begitu menantangnya ketika ditatap pemuda itu. Barangkali benar wanita dewasa yang sudah
banyak makan asam-garam kehidupan akan berani melawan tatapan laki-laki, atau barangkali
juga karena kedudukannya sebagai selir Raja. Mengapa tidak berani menatap orang lain.
Kendati pun yang ditatapnya laki-laki, namun hanyalah orang rendahan belaka. Yang tidak
tahu diri sebenarnya dirinya itulah. Pragola hanya sekedar prajurit biasa, mengapa berani mati
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 58
menatap seperti itu"
Ingat kedudukannya yang rendah, Pragola segera menunduk bahkan duduknya pindah agak
menjauh. "Mengapa kau duduk menjauh?" tanya Nyi Mas Layang Kingkin masih menatapnya.
"Saya tidak berani, Nyi Mas?" ujar Pragola.
Terdengar wanita itu merahuh pendek.
"Semua orang memang menjauhiku. Dari mulai pejabat hingga prajurit sepertimu"."
Keluhnya. Pragola terkejut mendengar keluhan ini, sehingga tanpa dia sadari duduknya kembali
berpindah, bahkan kini lebih dekat lagi ke tubuh Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita itu menatap sambil mulut tersenyum manis. Ada desah napas yang menerpa wajah
pemuda itu, hangat dan harum.
Namun senyum tipis Nyi Mas Layang Kingkin hanya datang sejenak, sebab sejenak kemudian
sudah berganti menjadi kabut kelabu.
"Aku hidup di istana tapi sebatangkara. Rasanya hanya Sang Prabu Ratu Sakti saja yang
menyayangiku. Setelah itu tak ada kasih lagi yang menerpa diriku. Semuanya menjadi jauh,
barangkali mereka juga tidak menyukaiku?" gumamnya.
"Bukankah anda ibu suri di sini?""
"Hmm " ibu suri. Aku hanyalah selir dari seorang raja yang kini telah tiada," gumamnya
lagi. "Kata orang, anda amat berpengaruh di sini," kata Pragola.
"Hanya karena aku mencoba memberikan beberapa anjuran, maka orang mengatakan aku
ingin menanamkan pengaruh. Lantas mereka mencoba membatasiku. Aku disuruhnya
beristirahat, bersenang-senang atau kesibukan apa saja yang sekiranya jauh dari kesibukan
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istana. Tapi aku tahu, sebenarnya mereka memisahkanku dari kegiatan negara?" kata Nyi
Mas Layang Kingkin. "Wanita seanggun anda sebaiknya bersenang-senang di puri indah, atau di Taman Mila
Kancana dan tak perlu bersusah-susah ikut memikirkan negara?" sahut Pragola sekenanya
saja. "Kalau orang sudah mulai mengerti urusan kenegaraan, maka tisak bisa tidak akan ikut
memikirkannya," jawab Nyi Mas Layang Kingkin.
"Anda ikut memikirkan negara?"
Nyi Mas Layang Kingkin mengangguk.
"Ya, apalagi bila negara dalam keadaan kacau," jawabnya.
"Dalam keadaan kacau?" Pragola pura-pura terkejut.
"Jangan berpura-pura. Kalau engkau telah dekat dengan Banyak Angga tentu engkau pun tahu
apa yang tengah mereka kerjakan!"
"Mengerjakan apa?"
"Hm! Wajah tampanmu tidak punya bakat untuk berbohong. Jangn kira aku bodoh untuk
mengetahui rencana-rencana puri Yogascitra!" dengus Nyi Mas Layang Kingkin membuat
wajah Pragola memerah karena malu.
"Kalau engkau mau ikut denganku, engkau tak usah ikut melakukan perjalanan ke wilayah
timur yang lusa akan kalian tempuh itu!" kata Nyi Mas Layang Kingkin. Pragola terkejut, dari
mana wanita itu tahu, padahal rencana ke wilayah timur hanya diketahui oleh keluarga
Yogascitra saja. Kalau pun ada pihak lain yang tahu, paling hanya Pangeran Yudakara saja.
Itu pun karena dilapori oleh Pragola sendiri.
"Saya belum paham, mengapa Nyi Mas menawari saya untuk bergabung di puri ini?"" kata
Pragola penasaran. "Katamu, kau perlu mengabdi kepada orang yang memberimu kesejahteraan yang lebih dan
aku butuh pembantu. Mengapa engkau tidak tinggal saja di puriku?" tanya Nyi Mas Layang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 59
Kingkin. "Itu artinya mengkhianati orang yang pertama memberi saya kesejahteraan," jawab Pragola.
"Engkau hanya bisa disebut pengkhianat bila pengkhianatan itu diketahui mereka. Kalau
mereka tak merasakannya maka engkau pun akan tetap menjadi seseorang yang dihargai oleh
siapa saja. Lagi pula engkau harus ingat, tak selamanya sebuah tindakan memisahkan diri atau
penolakan sesuatu disebut mengkhianati. Kalau engkau berpaling dari perintah-perintah
Yogascitra belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bahkan mungkin sebaliknya, engkau
akan berjasa mengurangi berbagai kemelut dan kekacauan," tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
Berdebar dada pemuda ini. Semakin dalam melakukan pembicaraan dengan wanita ini, maka
semakin terkuak keberadaanya. Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan bahwa wanita
ini berbahaya, sebab Nyi Mas Layang Kingkin pun berpikir dan bekerja untuk kepentingan
politik juga. Tapi berbahaya untuk siapa" Sudah barang tentu, Pragola sendiri tidak
merasakan adanya bahaya, paling tidak untuk kepentingan dirinya. Menyimak pendapat Nyi
Mas Layang Kingkin, sepertinya wanita ini tidak menyukai rencana-rencana Pangeran
Yogascitra. Kalau benar begitu, maka antara Pragola dan Nyi Mas Layang Kingkin
sebenarnya "sehaluan". Namun untuk lebih menegaskan apa dan bagaimana keberadaan
wanita ini, sebaiknya dirinya harus terus berupaya mengorek pendapat dan pendirian Nyi
Mas Layang Kingkin. "Saya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Nyi Mas," kata Pragola mencoba mengorek
tujuan-tujuan wanita itu.
"Aku tahu, Yogascitra tengah menghimpun sebuah kekuatan militer. Dia berpendapat bahwa
keberadaan Pakuan bisa dikembalikan dengan kekuatan militer. Tapi pejabat ini tidak ingat,
bahwa rencana sebaik apa pun tanpa Raja berkenan menyetujuinya, maka tidak akan
menghasilkan kebaikan. Sang Prabu Nilakendra bahkan tidak senang Pakuan mencari
kekuatan militer," kata Nyi Mas Layang Kingkin.
"Dan menurut Nyi Mas, bagaimana sebaiknya?"
"Aku setuju dengan pendapat Sang Prabu, Pakuan tidak perlu militer,"
"Mengapa?" "Sang Prabu Nilakendra pencinta damai. Ibarat harimau yang punya taring, maka sang
harimau selalu ingin mencoba tajamnya taring dalam dalam melakukan sesuatu. Sedang yang
namanya melakukan sesuatu bagi yang memiliki senjata adalah melakukan pembunuhan.
Tapi kau lihatlah seekor siput. Dia tak punya senjata untuk membunuh, maka dia tak berniat
untuk melakukan pembunuhan. Asalkan dia punya pertahanan, maka keselamatan pun akan
terjamin. Begitu pun yang dipikirkan Sang Prabu Nilakendra. Pertahanan yang baik bukanlah
senjata, melainkan adalah sabar dan tak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sang
Prabu bahkan lebih menitikberatkan pertahanan dalam kehidupan keagamaan. Sebab menurut
Raja, lebih memperdalam kehidupan keagamaan merupakan jalan menuju keselamatan," tutur
Nyi Mas Layang Kingkin lagi.
Pragola termenung mendengar penjelasan wanita ini. Sekarang semakin terbuka siapa Nyi
Mas Layang Kingkin ini. Dia tentu kelompok yang setuju dengan kebijaksanaan Raja. Nyi
Mas Layang Kingkin adalah lawan dari Pangeran Yogascitra. Sekarang Pragola harus tahu,
apa maksud wanita ini menarik dirinya ke dalam kelompoknya.
"Apa kepentingan anda dan apa pula keuntungan anda bila menarik saya ke puri ini, Nyi
Mas?" tanya Pragola secara langsung.
"Aku perlu memiliki mata-mata dan aku pun perlu orang yang bisa bergerak menggagalkan
setiap rencana-rencana Yogascitra," jawab Nyi Mas Layang Kingkin."Engkau cocok untuk
melakukan misi ini sebab engkau telah dianggap orang-orang Yogascitra," lanjut wanita ini.
"Bagaimana anda yakin saya mampu melakukan apa yang diinginkan olehmu, Nyi Mas?""
"Kalau Banyak Angga menggunakanmu, tak nanti dia menyangsikan kemampuanmu," kata
Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 60
Pragola terdiam. Banyak Angga sebetulnya belum tahu sejauh mana kemampuan pemuda ini.
Kalaulah Pragola langsung dipercaya oleh keluarga Yogascitra, itu karena mereka tidak
menyangsikan kepada apa yang dikatakan Pangeran Yudakara. Pangeran itu "mengirim"kan
Pragola ke puri Yogascitra dan mengatakan bahwa selain pemuda ini memiliki cukup
kepandaian, Pragola pun merupakan orang yang amat "berguna" bagi Pakuan.
Sekarang Nyi Mas Layang Kingkin telah mempercayainya juga hanya karena Banyak Angga
seperti memerlukannya. "Bagaimana anda yakin bahwa saya akan memenuhi keinginanmu, Nyi Mas?" tanya Pragola
selanjutnya. Sebagai jawaban dari wanita ini hanyalah senyum manis yang membuat dada pemuda itu
kembali bergetar. "Jawabannya sudah ada di dalam hatimu sendiri, anak muda,"
Pragola sedikit terkejut. Nyi Mas Layang Kingkin begitu menduga dengan pasti bahwa
dirinya akan mau melayani permintaannya. Dari mana wanita ini mendapatkan keyakinannya,
padahal pemuda ini bisa saja menolak permintaan dengan alasan ingin melakukan kesetiaan
hanya pada keluarga Yogascitra saja.
Pemuda itu sendiri sebetulnya sudah memastikan bahwa dirinya menerima penawaran waniti
itu karena beberapa pertimbangan. Tujuan datang kemari bukanlah ingin mengabdi kepada
orang-orang Pakuan, melainkan akan melakukan penyelidikan seperti apa yang diperintahkan
Pangeran Yudakara. Siapa pun yang ada di Pakuan tentu harus dia selidiki, termasuk pula Nyi
Mas Layang Kingkin. Antara informasi dan kenyataan yang ada mengenai keberadaan wanita
ini benar-benar sesuai. Bahwa wanita ini hidup terasing di istana, memang diakui sendiri oleh
Nyi Mas Layang Kingkin. Belakangan informasi datang, bahwa wanita ini tidak setuju kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pangeran Yogascitra. Wanita ini akan memperalat dirinya agar
menggagalkan usaha-usaha Pangeran Yogascitra dalam memperkuat militer. Pragola tentu
akan sanggup, sebab ini pulalha yang menjadi misi Pangeran Yudakara. Keduanya punya misi
sama, sekali pun punya tujuan berbeda. Nyi Mas Layang Kingkin menolak kebijaksanaan
Pangeran Yogascitra karena sependapat dengan kebijaksanaan Raja. Sedangkan Pangeran
Yudakara mencoba menghalangi usaha Pangeran Yogascitra karena menghendaki Pakuan
semakin melemah sehingga memudahkan pasukan Cirebon dalam melakukan penyerbuan ke
pusat pemerintahan Pajajaran itu.
Pragola sebetulnya tidak perlu ikut bergabung dengan Nyi Mas Layang Kingkin sebab sudah
mengemban misi yang sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara. Namun entah mengapa,
ada sesuatu perasaan yang membuat dirinya ingin tetap berhubungan dengan janda mendiang
Sang Prabu Ratu Sakti ini. Wanita cantik ini kaya, pernah menjadi orang penting, namun
seperti hidup penuh kesunyian. Sunyi karena diasingkan oleh kalangan istana. Dia diasingkan
hanya karena dianggap ingin ingin mempengaruhi Raja dalam meletakkan dasar-dasar
kebijaksanaannya. Pragola kasihan dan sekaligus bersimpati. Hanya karena urusan perbedaan
politik, maka wanita anggun ini diasingkan. Dia dijauhkan dari kegiatan kenegaraan. Kendati
wanita ini di mana-mana dihormat, namun semuanya hanya penghormatan semu belaka.
"Lihatlah ada ikan yang berenang terpisah dari kelompok lainnya.
"Malam sudah larut. Saya harus kembali ke kesatriaan, Nyi Mas?" kata Pragola pada
akhirnya. Wanita itu menatap lama dengan wajah sedikit sayu, kemudian mengangguk perlahan. Dialah
malah yang berjingkat duluan. Namun entah mengapa, mungkin karena lantai dangau yang
licin karena kayunya halus mengkilap, tubuh wanita itu doyong ke depan dan hendak jatuh.
Pragola terkejut. Bila dibiarkan, maka tubuh Nyi Mas Layang Kingkin akan terjerembab ke
permukaan kolam. Maka satu-satunya jalan agar tubuh wanita itu selamat, Pragola harus
segera meraihnya. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 61
Pragola menghambur ke depan dan memeluk tubuh wanita ramping namun berisi padat itu.
Nyi Mas Layang Kingkin hanya sebentar memekik halus, untuk kemudian memegang dan
setengah memeluk tubuh pemuda itu.
Sejenak mereka saling berpelukan. Namun Pragola lebih dahulu menyadarinya. Dengan sertamerta
dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
"Maafkan saya telah melakukan hal yang tak senonoh," tutur Pragola dengan suara parau
bergetar karena menahan debar jantungnya.
"Tidak. Engkau adalah penolong yang baik. Kalau kau tak melindungiku, tentu aku sudah
kecebur ke kolam. Sudah lama aku tak punya penolong selagi mendapatkan kesulitan?" kata
wanita itu pelan dengan sedikit keluh.
"Saya mohon diri, Nyi Mas?" kata Pragola mundur dari tempat itu.
"Kapan engkau akan kembali lagi ke sini?" gumam Nyi Mas Layang Kingkin.
"Barangkali sesudah saya kembali dari wilayah timur, Nyi Mas?" kata Pragola ragu-ragu.
"Aku menunggu keberhasilan usahamu. Dan bila kau pulang membawa sukses, maka apa pun
yang engkau inginkan dariku akan kuberikan?" tutur Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum
manis. Pragola tak berani memandang senyum itu. Dia segera berbalik dan meloncat ke atas benteng
puri dengan amat cepatnya.
*** Pasukan-Pasukan Misterius
Kuda yang baik dan tangguh sudah disiapkan. Ada empat ekor banyaknya.
Karena kelihaian Pangeran Yudakara, maka Paman Manggala berhasil dipilih oleh Pangeran
Yogascitra untuk ikut misi yang diemban Banyak Angga.
Empat orang akan mengemban misi penyelidikan ke wilayah timur dalam upaya mencari
pasukan perwira yang terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Banyak Angga bertindak
sebagai pimpinan rombongan. Sedangkan yang jadi anggota, selain Paman Manggala dan
Pragola sendiri, ada seorang prajurit yang Pragola tak kenal. Paman Manggala pun mengaku
tak kenal kepada prajurit ini. Dan kalau Pangeran Yudakara pun tidak pernah mengenalnya
secara khusus, maka sudah diduga, bahwa prajurit ini tulen merupakan orang Pakuan.
Sekarang yang penting disimak oleh Pragola adalah sejauh mana peranan prajurit itu di dalam
rombongan kecil ini. Begitu pentingkah orang itu sehingga harus dibawa"
"Nanti aku kenalkan engkau kepada Paman Angsajaya," tutur Banyak Angga ketika Pragola
mencoba menanyakannya. Subuh hari manakala kokok ayam pertama mulai berbunyi, keempat penunggang kuda telah
keluar dari gerbang Pakuan. Suara kaki kuda berjalan perlahan di jalan berbalay yang
diselimuti kabut kecil. Dan semakin jauh meninggalkan pusat dayo (kota), langkah kaki kuda
semakin deras menderu sebab para penunggangnya memacu binatang tunggangan itu dengan
cepat. Tak ada percakapan di sepanjang jalan. Pragola hanya merasakan dinginnya cuaca subuh
sehingga tulang-tulangnya serasa ngilu.
Ada seberkas cahaya merah di ufuk timur manakala rombongan kecil ini tiba di sebuah
dataran agak tinggi. Banyak Angga menghentikan kudanya. Serentak yang di belakang pun
menarik tali kekang kuda.
"Ada apa Raden?" tanya Paman Angsajaya kaget.
" Lihatlah, pemandangan alam indah nian, " ujar pemuda itu menunjuk ke arah timur.
Merah membara merebak ke sela-sela mega. Cahaya itu terus merebak ke utara, menerpa
punggung Gunung Salak. " Begitu indah bumi Pajajaran ini. Kalau saja kedamaian pun ikut membantu, maka kehidupan
ini begitu sempurna " ujar Banyak Angga masih menatap rona merah di ufuk timur.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 62
Pragola dan Paman Manggala hanya saling pandang sejenak, sedangkan Paman Angsajaya
mengangguk mengiyakan. Setelah keadaan mulai terang tanah seperti inilah Pragola bisa mengamati prajurit yang
dipanggil Paman Ansajaya ini. Dia adalah seorang lelaki setengah baya. Barangkali usianya
hampir sama dengan Paman Manggala. Bedanya, prajurit ini sedikit jangkung dengan janggut
tipis menghiasi dagunya. Tadi malam ketika mempersiapkan keberangkatan, Banyak Angga mengatakan bahwa Paman
Angsajaya dipilih untuk mengikuti perjalanan ini karena sudah kenal dengan Ginggi.
" Dalam kurun waktu tigabelas tahun ini aku sendiri belum pernah bersua kembali dengan
pemuda itu. Dulu wajahnya mirip engkau, Pragol. Tapi menurut Paman Angsajaya, Ginggi
sekarang memelihara cambang bauk. Dalam enam tahun berselang ini, Paman Angsajayalah
yang pernah memergok Ginggi memasuki Pakuan," tutur Banyak Angga ketika membenahi
perbekalan yang harus dibawa.
" Benar Gusti, hampir berselang tiga tahun, dua kali berturut-turut, saya sempat bertemu
Ksatria Ginggi. Tiga tahun lalu saya bertemu dia walau pun hanya selintas dan dari kejauhan
saja. Tapi hamba yakin, dia adalah Ksatria Ginggi. Wajahnya bercambang seperti
kehadirannya tiga tahun sebelumnya," tutur Paman Angsajaya.
Paman Angsajaya selanjutnya mengatakan bahwa pada tiga tahun lalu Ksatria Ginggi
memasuki gerbang kota tepat di saat lawang seketeng (gerbang) akan ditutup karena senja
telah jatuh. Beberapa jagabaya bahkan hampir mencegahnya masuk kalau saja Ksatria Ginggi
tak mengatakan bahwa kehadirannya akan mengabarkan sesuatu hal penting kepada Pangeran
Yogascitra. " Tapi Ginggi tak pernah mengunjungi puri Yogascitra " gumam Banyak Angga.
Percakapan pemuda itu dengan Paman Angsajaya tadi malam membuat dada Pragola berdebar
keras. Pemuda ini menduga, tentu yang disangka Paman Angsajaya Ksatria Ginggi,
sebenarnya adalah dirinya. Tiga tahun lalu ketika pertama kali Pragola menyusup ke Pakuan,
berpura-pura sebagai prajurit dari wilayah timur dengan menggunakan cambang di wajah.
Ketika cambang itu dia lepas, Paman Manggala sempat menegurnya, kalau-kalau hali ini
mengundang masalah. Namun Pragola menolak bila cambang itu musti dia kenakan
sepanjang waktu. Dia bahkan memutuskan mengembalikan parasnya seperti sedia kala saja
sebab mustahil darisekian banyak prajurit yang keluar-masuk Pakuan dirinya bisa ditemukan.
Tokh mengaku untuk bertemu dan melaporkan sesuatu kepada Pangeran Yogascitra pun
hanya sekedar siasat untuk dapat memasuki gerbang saja. Namun tak disangka, belakangan
dirinya disuruh "menghadap" benar-benar karena Pangeran Yudakara pun punya siasat
seperti itu. Pragola berdebar karena khawatir siasatnya ketahuan orang Pakuan. Tapi juga ada semacam
rasa penasaran, mengapa Paman Angsajaya yang mengaku melihat dirinya dari kejauhan
dianggapnya sebagai Ksatria Ginggi"
Ini sesuatu hal yang menarik hatinya. Beberapa orang sudah mengatakan bahwa dirinya mirip
Ksatria Ginggi. Banyak Angga langsung mempercayai dia bahkan hampir menganggapnya
sebagai adik, hanya karena Pragola mirip Ginggi. Nyi Mas Banyak Inten pernah menatap
lama, barangkali karena hal yang sama. Dan belakangan Nyi Mas Layang Kingkin sang ibu
suri juga pernah berkata bahwa manakala melihat dirinya mengingatkan akan seorang pemuda
yang menjadi pembantu dekat keluarga puri Yogascitra pada belasan tahun silam. Tentu yang
dimaksud Nyi Mas Layang Kingkin adalah Ksatria Ginggi pula. Namun benarkah kata orang,
wajahnya mirip Ksatria Ginggi"
" Persetan dengan kemiripan itu! Yang penting aku tak punya hubungan apa-apa dengan
orang itu, sebab sebenarnya dia harus aku bunuh!" desisinya dalam hati. Ya, mengapa tidak
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 63
begitu, sebab berkali-kali dia tegaskan, Ksatria Ginggilah penyebab kematian Ki Guru
Sudireja. Semakin banyak yang katakan dirinya mirip Ksatria Ginggi, semakin benci dia
kepada orang itu. Itulah sebabnya penawaran Nyi Mas Layang Kingkin agar dia mau menggagalkan misi ini,
Pragola setuju sekali. Mengapa ibu suri yang masih muda dan cantik ini tak setuju dengan
misi ini, Pragola tak perlu tahu, yang penting tujuan wanita anggun itu sejalan dengan dirinya.
Tentu saja Pragola harus pro kepada keinginan Nyi Mas Layang Kingkin, dari pada harus
membantu Banyak Angga yang bahkan memiliki tujuan kebalikannya, yaitu ingin
menghimpun orang pandai dalam memperkuat Pakuan dan yang di antaranya akan berupaya
mencari Ksatria Ginggi. Jadi, bila sekarang dia ikut misi, bukan karena ingin membantu
Banyak Angga, melainkan ingin memanfaatkan pemuda dari puri Yogascitra ini dalam
mencari Ksatria Ginggi untuk dirinya. Banyak Angga yang mencari Ksatria Ginggi dan
Pragolalah yang kelak akan membereskan nyawa orang itu!
"Mari kita lanjutkan perjalanan"!" suara banyak Angga menyadarkan lamunan Pragola.
Pemuda ini hanya menoleh, ternyata Banyak Angga pun tengah menatap dirinya. Pragola
sedikit terkesiap sebab tentu Banyak Angga sejak tadi memperhatikan dirinya yang sarat
dengan lamunan. Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekarang kuda dipacu dengan keras karena hari itu juga
rombongan harus sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang.
Ketika matahari tepat di atas kepala, rombongan baru tiba di daerah kekuasaan Kandagalante
Tanjungpura. Banyak Angga ternyata kenal baik terhadap penguasa Tanjungpura, yaitu
Subangwara. Pejabat ini nampak sudah tua, barangkali usianya sekitar enampuluh tahunan.
Menggunakan pakaian dan baju jenis takwa dari beludru hitam dan kepalanya mengenakan
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bendo citak batik hihinggulan.
Ketika akan menerima kedatangan Banyak Angga, pejabat ini musti pergi dulu ke ruangan
pribadinya dan kembali lagi ke beranda sudah mengganti tutup kepalanya dari bendo citak
kepada jenis iket lohen. Pragola tersenyum tipis menyaksikan hal ini. Barangakali Kandagalante Subangwara takut
kesetiaannya kepada Pakuan diragukan. Iket lohen adalah tutup kepala khas orang Pajajaran,
sedangkan bendo citak adalah sejenis tutup kepala yang biasa digunakan orang Cirebon.
Begitu pun pakaian baju jenis takwa, yang biasa menggunakannya adalah pejabat Cirebon.
Namun Banyak Angga tidak begitu terpengaruh oleh soal pakaian.
Pragola mendapatkan, sebenarnya Banyak Angga tidak tersinggung dengan cara-cara
berpakaian. Bendo citak dan baju takwa misalnya, datang merasuk ke Pajajaran karena
pengaruh orang-orang kerajaan agama baru. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran
dikuasai negara agama baru yaitu Cirebon yang dibantu Demak (1527 Masehi), perdagangan
laut otomatis dikuasai kerajaan agama baru. Perdagangan di pantai utara misalnya, praktis
hanya dilakukam oleh orang-rang Cirebon bahkan Demak. Namun kendati begitu, yang
namanya dagang tetaplah dagang. Dan bagi kaum pedagang yang tujuannya mencari untung,
maka urusan politik bisa ditepis.
Sebelum pusat-pusat perdagangan pantai milik Pajajaran direbut Cirebon, orang-orang
Pakuan sudah terbiasa melakukan hubungan dagang dengan negara mana pun jua. Maka
ketika itu mengalir berbagai jenis keperluan sehari-hari dari kedua belah pihak. Pihak
Pajajaran menjual seribu jung (kapal) buah asem ke Andalas, atau sebaliknya membeli seribu
ekor kuda dari Sumba dalam setiap tahunnya. Orang-orang Pakuan pun sudah terbiasa
menjual kain jenis kasar kepada negri Cina tapi sebaliknya membeli kain sutra halus dari
mereka. Namun sesudah Cirebon menguasai perdagangan pantai, maka Pakuan sudah tak
sanggup lagi melakukan hubungan dagang secara langsung. Di luar kebijakan politik
pemerintah, maka perdagangan antara "dua musuh" dilakukan oleh pribadi-pribadi kaum
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 64
pedagang saja. Dalam hal ini tentu si penguasa perdaganganlah yang mendiktekan segalanya,
termasuk mendiktekan keinginan dalam menyebarkan perdagangan budaya. Budaya
berpakaian misalnya. Orang-orang pesisir utara hampir cenderung terpengaruhi budaya orangorang
Cirebon atau bahkan Demak dalam bertindak-tanduk, termasuk dalam tradisi
berpakaian. Tradisi ini sedikit demi sedikit merebak ke pedalaman, yaitu ke arah selatan, ke
wilayah Pajajaran. Dala kurun waktu hampir tigapuluh tahun sejak perpindahan kekuasaan
perdagangan wilayah pantai ini, tradisi berpakaian antara pesisir utara dengan penduduk
Pajajaran yang berbatasan dengan wilayah utara atau timur misalnya, sudah sulit dibedakan.
Orang-orang Pajajaran di wilayah perbatasan menggunakan jenis pakaian yang hampir sama
dengan orang-orang Cirebon karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena jenis pakaian itu
banyak dijajakan oleh pedagan Cirebon. Tapi ada juga yang bertahan karena punya pendapat
sendiri. "Bendo citak mungkin datang dari Demak melalui orang-orang Cirebon. Tapi baju takwa di
Pajajaran sudah ada sejak ratusan tahun silam," ujar Paman Angsajaya di saat istirahat di
Tanjungpura. Kata prajurit setengah baya ini, jenis baju takwa sudah masuk ke wilayah
Kerajaan Sunda sejak lama, yaitu semenjak orang-orang Cina melakukan hubungan dagang
ke wilayah Nusantara, termasuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Jadi menurut Paman Angsajaya,
baju takwa pertama kali digunakan oleh orang Cina. Namun sesudah datang ke Nusantara,
mengalami berbagai perubahan sedikit-sedikit sesuai dengan selera si pemakai.
Pendapat ini dipercaya juga oleh Banyak Angga. Itilah sebabnya dia tak begitu banyak aturan
perihal cara-cara berpakaian. Kalau pun Kandagalante subangwara menggunakan baju takwa
karena pengaruh orang Cirebon, itu wajar saja, mengingat Tanjungpura amat dekat ke wilayah
utara yang dikuasai Cirebon.
"Selamat datang di wilayah Tanjungpura ini, Raden?" kata Kandagalante Subangwara
hormat sekali. Pragola memang sudah tahu, pengaruh Pangeran Yogascitra sebagai penasihat
Raja demikian besar, terutama sesudah peristiwa pemberontakan Sunda Sembawa yang gagal
pada tigabelas tahun silam itu. Jadi tidak berlebihan bila Banyak Angga pun mendapatkan
penghormatan yang sama dengan ayahnya.
"Saya bersyukur karena bisa melakukan perjalanan ke sini dengan selamat tanpa mendapatkan
gangguan yang berarti di tengah perjalanan?" kata Banyak Angga duduk bersila saling
berhadapan. Kandagalante Subangwara hanya tersenyum dikulum. Sebetulnya semua orang
tahu, Tanjungpura merupakan wilayah rawan. Daerah ini terletak di perbatasan kekuasaan
orang-orang Cirebon, puluhan tahun silam sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara
pasukan Cirebon dengan pasukan Pajajaran. Namun belakangan, kekuasaan Cirebon semakin
kuat dan sebaliknya pasukan Pajajaran semakin lemah. Hanya karena pasukan Cirebon tak
berani menyerbu langsung ke pedalaman saja menyebabkan pertempuran besar dan habishabisan
tidak pernah berlangsung.
Ucapan Banyak Angga barusan mungkin hanya sekedar sindiran untuk mengatakan betapa
sulitnya melakukan perjalanan ke utara ini, sebab sesekali waktu akan bertemu musuh.
Barangkali ucapan ini pun adalah sebuah harapan. Sebagai orang pusat, Banyak Angga punya
keinginan agar wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran tetap tangguh dan
terjamin keamanannya. Kalau pun tak sanggup mengusir musuh yang ada di perbatasan,
paling tidak wilayah yang ada harus dipertahankan keutuhannya.
"Tanjungpura masih tetap milik Pajajaran, Raden. Kendati Cirebon masih menguasai wilayah
pesisir utara, namun kekuatannya tidaklah setangguh dahulu. Cirebon bahkan kini seperti tak
punya niat untuk melakukan peperangan dengan kita, apalagi sesudah pendukung utamanya,
yaitu Kerajaan Demak mulai melemah karena terlalu banyak percekcokan di dalam negrinya
sendiri. Namun harus saya akui, keamanan di wilayah perbatasan ini memang cukup rawan.
Bukan dari orang-orang Cirebon, melainkan dari kaum perampok," tutur Kandagalante
Subangwara. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 65
"Di mana-mana perampok selalu saja ada?" gumam Banyak Angga.
"Kadang-kadang mereka tidak mengatasnamakan perampok tulen, melainkan berkedok
politik,"tutur Kandagalante Subangwara. Banyak Angga melirik tajam.
"Yah, barangkali Raden juga sudah mengetahuinya sejak lama bahwa terjadi saling pengaruh
antara Cirebon dan kita. Tentu rakyatlah yang diperebutkan. Kita mempertahankan kita agar
tetap bersetia kepada pajajaran. Tapi di lain pihak Cirebon pun berupaya agar wilayahwilayah
yang ada di sekitar pajajaran mau bergabung dengan mereka. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Bila ada wilayah yang berniat melepaskan diri dari kita,
maka ada penjahat yang pura-pura jadi prajurit Pajajaran. Mereka akan mengancam
melaporkannya ke Pakuan kalau tak sanggup membayar upeti. Sebaliknya bila ada wilayah
yang masih bertahan dengan kesetiaannya terhadap Pakuan, maka mereka menyamar sebagai
prajurit Cirebon. Mereka menjarah harta rakyat, bahkan berani membunuh dan memperkosa
kaum wanita," "Kurang ajar"!" desis Banyak Angga."Tapi tidakkah mereka sebetulnya orang-orang
Cirebon?" tanyanya. "Kami pun pernah bercuriga seperti itu. Tapi rasa curiga ini malah menjadikan orang-orang
Cirebon marah. Hampir terjadi penyerbuan karena kemarahan ini. Menurut mereka, orang
Cirebon pemilik agama baru tak nanti harus melakukan tindakan bejat dan tak
berprikemanusiaan. Kalau pun mereka perang, maka bertempur di jalan agama. Begitu kata
mereka," tutur Kandagalante Subangwara. Dan ucapan pejabat ini amat melegakan perasaan
Pragola yang ikut menyimak percakapan ini.
"Pernah terjadi pertempuran besar?" tanya Banyak Angga lagi.
"Setahun yang lalu terjadi pertempuran dengan kelompok yang mengaku prajurit Cirebon.
Mereka ganas dan memeras rakyat. Jadi tak percaya mereka prajurit Cirebon. Tapi percaya
atau tidak, yang pasti mereka harus kami lawan. Maka terjadi bentrokan senjata. Mereka
sepertinya orang-orang yang pandai bertempur, prajurit Tanjungpura hampir terdesak, banyak
yang luka bahkan terbunuh. Tapi di saat genting seperti itu, tiba-tiba muncul seorang ksatria.
Kepandaiannya menakjubkan. Dalam beberapa saat saja satu pasukan penyerbu bisa
dilumpuhkan. Ksatria itu mengalahkan musuh tanpa membunuh. Saya baru ingat, ksatria
Pajajaran yang melumpuhkan musuh tanpa membunuh, tak ada lain, kecuali pemuda sakti
bernama Ginggi. Kaum prepantun (juru pantun) di Tanjungpura kerapkali menggambarkan
perangai dan tindak-tanduk Ksatria Ginggi seperti itu?" tutur Kandagalante Subangwara.
Hati Pragola berdebar keras ketika mendengar cerita ini. Ginggi, lelaki yang harus dia
temukan ini ternyata pernah ke tempat ini setahun yang lalu. Tapi begitu hebatkah kepandaian
orang itu" Masa satu pasukan dia kalahkan sambil tidak membunuh" Pragola membayangkan,
betapa sulitnya melumpuhkan banyak musuh tanpa membunuh. Yang pernah dia alami,
mencoba membebaskan diri dari sebuah kepungan hanya bisa dilakukan dengan mencoba
menurunkan tangan kejam. Kalau tak membunuh, sekurang-kurangnya mencederai lawan.
Mungkin orang-orang Tanjungpura melebih-lebihkannya. Namun benar atau tidak, Pragola
harus bertemu dengan lelaki itu. Bukan untuk sekadar mencoba kedigjayaannya, melainkan
untuk melawan dan mengalahkan orang itu. Ya, lelaki bernama Ginggi itu harus dia kalahkan.
Barangkali juga harus dia bunuh sebagai balasan kematian Ki Guru Sudireja.
"Tak ada orang yang memiliki kekuatan sempurna. Walau pun sedikit dan tak kentara, siapa
pun pasti memiliki kelemahan. Itulah peluang untuk mengalahkannya," kat Ki Guru Sudireja
ketika masih hidup. Pragola percaya akan perkataan gurunya ini, itulah sebabnya di atak
pernah takut, termasuk menghadapi Ginggi.
Yang tertarik atas berita kehadiran Ginggi ini, termasuk Banyak Angga. Pragola mendapatkan
wajah pemuda itu yang penuh harap. Betapa tidak, perjalanan jauh yang tengah dilakukan ini,
selain menyelidiki kebenaran perihal terkepungnya belasan perwira senior di Puncak
Cakrabuana, juga tengah mencari orang-orang pandai yang di antaranya Ginggi inilah.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 66
"Setahun yang lalu dia ada di sini?"" gumam pemuda itu.
"Saya sendiri tak sempat mencegahnya, sebab kata para prajurit, Ksatria Ginggi segera berlalu
setelah menyelesaikan tugasnya," tutur Kandagalante Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekur.
"Adakah sesuatu yang penting perihal dirinya, Raden?" tanya penguasa Tanjungpura ini.
Banyak Angga mengangguk. Kemudian dia memaparkan maksud perjalanannya ini. Betapa
ayahnya menginginkan Pakuan dipenuhi orang-orang tangguh untuk menjaga kemungkinan
penyerbuan dari musuh. "Pajajaran selalu dirundung malang. Sejak dulu musuh gemar mengganggu. Kini, siapa yang
dianggap berbahaya bagi negri kita, Raden?" tanya Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekue sambil memangku kedua belah tangannya di depan dada.
"Barangkali musuh akan datang dari mana-mana, termasuk dari dalam diri kita
sendiri?"gumam pemuda berkimuis tipis ini.
Kandagalante Subangwara menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam.
"Musuh yang datang dari luar bisa dilihat. Tapi musuh yang paling berbahaya adalah yang
ada di dalam. Mereka sembunyi di tempat terang. Mereka berkumpul dengan kita. Saling
bersua, saling menolong, barangkali juga bersahabat. Namun tentu itu semua palsu sebab
merupakan bagian dari siasat dan strategi mereka?"gumam Banyak Angga setengah
mengeluh. "Seperti yang dilakukan Purbajaya belasan tahun yang silam itu, Raden?"gumam
Subangwara. Banyak Angga menunduk dan menghela napas.
Pragola pernah mendengar kisah Purbajaya ini. Belasan tahun silam pemuda ini datang dari
wilayah Kandagalante Tanjungpura ini. Purbajaya yang pernah menjalin kasih dengan
kemenakan Kandagalante Subangwara, datang ke Pakuan dengan niat mengabdikan
keakhliannya sebagai puhawang (akhli lautan). Tentu saja Pakuan amat membutuhkan tenaga
seperti itu sebab Pajajaran punya niat kembali merebut wilayah pantai. Namun kehadiran
Purbajaya ke Pakuan sebenarnya hanya sebagai upaya penyusupan saja. Tujuan sebenarnya,
dia datang atas suruhan Cirebon dalam upaya melemahkan kedudukan Sang Prabu Ratu Sakti,
penguasa Pakuan ketika itu. Purbajaya hampir saja berhasil membunuh Sang Prabu Ratu
Sakti, kalu saja niat itu tak dihalangi Ksatria Ginggi. Pukulan telak yang dilakukan Purbajaya
ke arah Sang Prabu ditangkis keras oleh Ksatria Ginggi. Akibatnya, Purbajaya terlempar ke
belakang. Pemuda itu luka parah dan akhirnya tewas oleh tenaga pukulan membalik ke
tubuhnya sendiri. (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran)
Pragola tahu, Banyak Angga tentu sedih dengan kejadian itu sebab boleh dikata Purbajaya
adalah sahabatnya. Pemuda Tanjungpura ini memang mengabdi di puri Yogascitra. Dan
selama berada di sana, ke mana-mana selalu berdua. Barangkali pemuda ini tak menyangka
bahwa persahabatan hanya palsu belaka. Purbajaya hanya berpura-pura sebagai orang
Pajajaran. Padahal yang sebenarnya hanyalah akan menghancurkan Pajajaran.
Ingat sampai di sini, Pragola agak memerah pipinya. Bukankah dirinya pun hadir ke Pakuan
ini untuk menghancurkannya" Banyak Angga benar, musuh yang paling berbahaya adalah
yang sembunyi di tempat terang.
"Saya tak benci kepada Purbajaya. Tapi saya memang punya kesedihan yang dalam?"tutur
Banyak Angga."Terkadang kita terlalu lemah. Itulah salah satu musuh dalam diri kita
sendiri," tuturnya lagi."Kelemahan saya, saya selalu percaya semua orang. Mengapa saya
mesti tak percaya orang, padahal saya tak pernah membohongi mereka?" gumam Banya
Angga. Pragoal merasa disentil telinganya ketika mendengar ucapan ini.
Untunglah, percakapan hari itu sampai di situ saja, sehingga perasaan yang tak enak yang ada
pada diri Pragola tidak terus mengganggunya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 67
*** Hanya satu malam saja rombongan istirahat di Tanjungpura. Pagi hari seusai sarapan, mereka
segera melanjutkan perjalanan.
"Hati-hatilah Raden, perjalanan menuju Sagaraherang, keamanan kurang terjamin," kata
Subangwara memperingatkan.
Kata Kandagalante Subangwara, di hutan jati antara dua wilayah kandagalante itu banyak
didapat kelompok-kelompok jahat. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan diri dari
Pakuan, namun juga tak mau bergabung dengan kekuatan mana pun, termasuk Cirebon. Kerja
mereka hanyalah malang melintang di hutan-hutan jati menggangu keamanan. Setiap ada
rombongan pedagang lewat, pasti diganggu dan barangnya dirampok.
"Saya pun sudah mendengar, Paman. Menurut penyelidikan, mereka adalah sisa-sisa pengikut
Kandagalante Sunda Sembawa yang melarikan diri karena pemberontakannya bisa
digagalkan. Tentu saja kami harus hati-hati terhadap mereka sebab perampok hutan jati suka
berlaku kejam kepada orang yang datang dari Pakuan," kata Banyak Angga.
Akhirnya rombongan kecil ini berangkat meninggalkan Tanjugpura dan dilepas oleh doa-doa
pendeta agar perjalanan tak mendapatkan halangan.
Perjalanan menuju Sagaraherang akan memakan waktu sehari semalam bila dilakukan dengan
berkuda. Namun baik berjalan kaki mau pun menggunakan kendaraan tidak akan selancar
seperti yang diperkiraan. Ini karena perjalanan di wilayah utara harus dilakukan dengan hatihati.
Terkadang harus main sembunyi. Seperti sudah diterangkan, daerah utra adalah wilayah
Cirebon yang sudah puluhan tahun menjadi musuh bagi pajajaran. Tujuan Banyak Angga
melakukan perjalanan ke wilayah timur bukanlah untuk melakukan pertempuran di setiap
perjalanannya. Melainkan untuk melakukan penyelidikan perihal tertahannya belasan perwira
senior Pakuan di Puncak Cakrabuana. Banyak Angga tak berniat mencari kesulitan di tengah
jalan. Tapi Pragola sebenarnya lebih mengenal daerah ini ketimbang Banyak Angga. Hanya
kelompok anak muda ini yang tahu, betapa berbahayanya perjalanan yang dilakukan Banyak
Angga ini. Perjalanan menuju wilayah timur yang dilakukan Banyak Angga selain
kemungkinan bakal diganggu kaum perampok, secara pasti juga akan dihadang pasukan tak
resmi dari Cirebon. Sekurang-kurangnya begitu menurut berita yang disampaikan utusan
Pangeran Yudakara kepada Pragola sebelum keberangkatan bersama rombongan ini. Bukan
sekadar mengganggu, sebab barangkali juga akan membunuhnya.
Sudah menjadi tekad Pangeran Yudakara untuk tak membiarkan Pakuan menjadi kuat
kembali. Itulah sebabnya, berbagai siasat digunakan agar kekuatan Pakuan bisa dilumpuhkan.
Pangeran Yudakara bersiasat mengundang harimau keluar sarang, dengan tujuan agar sarang
itu sendiri menjadi kosong penghuni. Dalam upaya ini pulalah maka pasukan penghadang
sengaja disebar di sepanjang perjalanan.
Pangeran Yudakara tahu betul ke mana rombongan kecil ini akan melakukan perjalanan.
Memang mudah diduga, perjalanan ke wilayah timur hanya akan menyusuri jalan utama.
Sejak masa perkembangan Pakuan Pajajaran, memang ada jalan yang menghubungkan
wilayah barat dan timur. Yang di maksud jalan besar, adalah jalan yang bisa dilalui roda
pedati tau kendaraan berkuda lainnya. Jalan besar itu menghubungkan dayo Pakuan dengan
Galuh di timur, melalui Cileungsi, Warunggede, Tanjungpura, Karawng, Cikao, Purwakarta,
Sagaraherang, terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagluh, Talaga, Kawali dan
berakhir di Galuh. Itulah jalan besar yang mudah dilalui. Kaum pedagang mengunakan jalan
utama ini sebagai jalur ekonomi. Namun tentu saja bukan tanpa gangguan. Sejak dulu pun di
Pajajaran masih memiliki kejayaan, perampok dan pengacau keamanan kerapkali
menghadang yang lalu-lalang. Kaum pedagang dan pengelelanaanlah yang biasanya
diganggu. Sekarang, di mana Pajajaran mengalami kemerosotan kekacauan bahkan hampir
terjadi di mana-mana. Bukan saja kekacauan yang disebabkan oleh kaum penjahat biasa,
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 68
melainkan juga oleh golongan yang bertindak atas kepentingan politik. Contoh yang jelas saja
rencana penghadangan yanhg dilakukan orang-orang Yudakara terhadap rombongan kecil
yang dipimpin oleh Banyak Angga ini.
Benar seperti perkiraan Pragola, di hutan jati antara Tanjungpura-Sagaraherang, rombongan
dicegat oleh satu kelompok orang. Nereka tampak beringas. Tanpa memberi peringatan atau
ancaman terlebih dahulu, kelompok asing ini langsung melakukan penyerangan. Pragola bisa
melihat dengan jelas, serangan itu bertujuan untuk membunuh. Serangan mereka rata-rata
ganas dan menggunakan gobang (pedang) tajam terhunus. Ada juga yang membawa golok
bahkan gegendir (sejenis penggada) terbuat dari kayu jati tua.
Kaum penyerang itu belasan orang jumlahnya. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dengan
wajah bercambang. Pakaian mereka terbuat dari kain hitam kasar, baju kampret dan celana
sontog. Empat orang rombongan kecil ini segera dikepung rapat oleh para penghadang itu. Pragola
sendiri pun termasuk orang yang menjadi sasaran penyerangan ini, demikian juga Paman
Manggala. Serangan yang datang padanya terasa amat sungguh-sungguh dan tujuannya seperti mengarah
nyawa. Sambil mencoba menahan serangan yang datang bertubi-tubi dari kiri dan kanannya,
Pragola meneliti lebih seksama kepada bertempur dan penampilan mereka. Pemuda ini sedikit
mengerutkan dahinya sebab para penyerang tidak menampilkan gerakan dengan penuh
perhitungan, apalagi menggunakan strategi tempur seperti militer. Padahal kalau
pemberitahuan Pangeran Yudakara bisa dipercaya, yang melakukan penghadangan
rombongan kecil ini adalah tentara Cirebon yang menyamar sebagai kelompok penjahat.
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut Pangeran Yudakara, pasukan Cirebon akan mencegar Banyak Angga dan kalau
mungkin membunuhnya. Bila putra Pangeran Yogascitra ini tewas sebelum menunaikan
tugasnya, maka akan disusul lagi oleh utusan lainnya. Utusan kedua dan seterusnya akan
selalu dihadang dan dihancurkan sehingga pada akhirnya semua kekuatan di Pakuan
dilumpuhkan. Inilah siasat mengundang harimau keluar sarang seperti yang dikatakan
Pangeran Yudakara tempo hari.
Benarkah rombongan penghadang ini tentara Cirebon yang tengah menyamar" Pragola hafal
sekali gaya bertempur orang-orang Cirebon. Di samping ilmu berkelahi mereka tinggi-tinggi,
mereka juga menjungjung sifat-sifat ksatria. Kalau mau melakukan penyerangan selalu
memberikan peringatan terlebih dahulu kepada lawan dengan cara berteriak keras. Banyak
perwira Cirebon juga pantang membunuh kalau tidak perlu sekali. Mereka hanya ingin
melumpuhkan dan menaklukan lawan saja. Sebab kendati kata mereka membunuh dalam
peperangan dibenarkan dalam agama, namun pembunuhan itu sendiri bukanlah tujuan utama.
Tapi Pageran Yudakara memang sudah mengatakan, bila keadaan memaksa, Banyak Angga
harus dibunuh. Sekarang nampak nyata, pasukan penghadang itu bergerak bukan karena
terpaksa oleh keadaan, melainkan sudah menjadi tujuan utamanya. Mereka datang memang
untuk membunuh. Dan sialnya, mengapa dirinya sendiri pun sepertinya hendak dibunuh juga"
Gerakan-gerakan ganas bolehlah dilakukan. Tapi fungsinya sekadar untuk mengelabui
Banyak Angga saja. Sekarang, kelihatannya seperti bukan pura-pura dan Pragola meski
meningkatkan kewaspadaan kalau tak mau nyawanya melayang oleh sabetan golok atu
tusukan gobang. Pragola dikepung oleh tiga lawan. Satu menghadang di depan dan dua berada di samping kiri
dan kanannya. Ketik orng itu melakukan serangan saling susul-menyusul dengan cepat dan
ganas. Lawan di depan mengayunkan golok yang ujungnya berkilat saking tajamnya.
Sedangkan dari kiri kanannya, secara bersamaan menusukkan ujung gobangnya. Satu
mengarah ke lambung kiri, satunya ke rusuk kanan. Sedangkan ayunan golok dari depan
mengarah lurus pada keningnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 69
Pragola adalah seorang pemuda yang sejak kecil ditempa oleh berbagai kemelut dan
kekerasan. Perkelahian baginya bukan sesuatu hal yang baru. Sejak bersama gurunya Ki
Sudireja, Pragola banyak terlibat pertempuran, baik melawan Prajurit Pajajaran mau pun
kaum perompak dan segala macam orang jahat yang mengganggu rakyat. Itulah sebabnya,
mengahdapai ancaman maut seperti yang terjadi sekarang ini, tak ada rasa gentar secuil pun.
Yang ada dalam benaknya ini hanyalah rasa marah dan heran saja. Pemuda itu tetap merasa
bingung, mengapa orang-orang yang diduga sebagai utusan Pangeran Yudakara ini
melakukan serangan ganas dan sungguh-sungguh terhadapnya"
Serangan ganas dari tiga penjuru ini sulit untuk ditangkis begitu saja, apalagi Pragola tak
berbekal senjata. Maka satu-satunya jalan adalah menghindar dengan cara meloncat ke
belakang. Pemuda itu menekuk sepasang kakinya dan hampir-hampir seperti hendak jongkok.
Ini adalah gaya tolak menjejak bumi seperti tolakan kaki kodok dalam melakukan loncatan.
Bedanya, gerakan ini dilakukn kebalikan. Tidak meloncat ke depan seperti binatang itu,
melainkan ke belakang. Tenaga tolakan itu amat besar, sehingga tubuh Pragola seperti terlontar ke belakang. Tubuh
pemuda itu terlontar ke atas hampir tiga depa tingginya. Di atas udara dia bersalto beberapa
kali untuk melihat suasana di belakang dirinya dan sekaligus berjaga-jaga terhadap serangan
baru. Ketika tubuhnya bersalto, pemuda itu sempat menyaksikan, betapa Banyak Angga pun tengah
dikepung lawan. Yang mengepungnya bahkan lebih banyak lagi jumlahnya. Dalam selintas
Pragola menghitung, ada sekitar lima atau enam orang pengepung yang mencoba mengancam
nyawa pemuda itu. Entah dia sanggup menahannya atau tidak. Tapi Pragola tak mau tahu
tentang itu. Dengan kata lain Pragola akan membiarkan kalau tokh Banyak Angga harus mati
sebab itulah keputusan Pangeran Yudakara, itulah keputusan politik! Pangeran Yudakara yang
mengaku berjuang untuk kepentingan Cirebon tengah mencoba melumpuhkan kekuatan
Pakuan sedikit demi sedikit. Matinya Banyak Angga atau siapa pun yang datang dan
memihak Pakuan adalah kemenangan buat Pangeran Yudakara.
Pragola turun ke atas tanah dengan mantap, tepat membelakangi pertempuran lain yang
dilakukan Banyak Angga. Baru saja tubuhnya berdiri tegak, serangan sudah menghambur dari depannya. Yang
melakukan serangan adalah tiga orang tadi itu. Pragola harus siap-siap kembali menerima
serangan mereka. Namun sebelum mereka benar-benar dekat, terdengar teriakan Banyak
Angga jauh dibelakangnya.
"Pragola, awas di belakang!!!" teriak Banyak Angga. Dengan gerakan amat cepat Pragola
memutar tubuhnya. Ternyata tiga penyerang tengah mengayunkan golok besar ke arah
punggungnya. Pragola tak ada waktu untuk menghindar. Maka satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri adalah mencoba mendahului melakukan penyerangan. inI adalah lomba
kecepatan. Apakah serangan golok yang lebih dulu mencehcar dirinya, ataukah sodokan
sepasang kepalan tangannya yang mengarah kekiri dan kanannya.
Namun tak percuma Pragola digembleng bertahun-tahun oleh mendiang Ki Guru Sudireja.
Sejak usia dini dia telah dilatih melakukan gerakan-gerakan cepat. Mula-mula dalam waktu
singkat harus mampu melayangkan pukulan kiri-kanan ke batang pohon pisang masingmasing
seratus kali. Semakin usia latihan bertambah, maka jumlah pukulan harus semakin
banyak. Yang dipukul pun bukan sekadar batang pohon pisang lagi, melainkan batang pohon
enau. Dalam usia remaja, Pragoal sudah sanggup memukul hancur batang pohon kelapa sekali
tohok. Ini adalah lomba kecepatan. Dan gerakan cepat itu dilakukannya dengan kekuatan penuh.
Maka tak ayal, hasilnya adalah jeritan-jeritan kesakitan. Ketiga orang penyerangnya terlontar
keras hampir tiga depa ke belakang. Dua penyerang di kiri kanannya mendapatkan sodokan
keras dari sepasang tangan yang dilakukan secara silang dan penyerang yang berada di
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 70
tengah menerima tendangan telak di ulu hati.
Tentu ini adalah serangan yang cukup kejam sebab hasilnya adalah kematian. Betapa tiga
orang lawan yang terpental itu jatuh bergulingan beberapa kali, berkelojotan dan kemudian
diam tak bergerak. Untuk sementara Pragola bebas sari penyerang. Dengan kaki terpentang lebar dia berdiri
bertolak pinggang, mengawaskan sibuknya Banyak Angga menghindarkan kepungan dari
kiri-kanannya. Pragola juga mengawasi, betapa teman-temannya yang lain tengah mendapatkan kepungan.
Paman Manggal adikeroyok tiga orang dan Paman Angsajaya dikeroyok dua lawan. Pragola
tak perlu membantu kedua orang ini sebab dalam selintas pun dia sudah dapat menarik
kesimpulan bahwa kemampuan lawan masih di bawah kepandaian kedua orang itu. Paman
Manggala dengan entengnya berkelit ke sana-kemari menghindarkan serbuan golok-golok
lawan. Begitu pun Paman Angsajaya dengan amat indahnya menggerakkan langkah kaki
dalam upaya menghindari serbuan lawan. Paman Angsajaya sanggup bergerak indah mungkin
dia punya gaya berkelahi yang indah tapi mungkin juga karena sanggup mengendalikan lawan
yang kemampuannya di bawahnya. Baik Paman Angsajaya mau pun Paman Manggala
ternyata tak mencoba untuk membunuh lawan. Paman Manggala mungkin tak punya niat
sebab dia tahu, "musuh" yang menghadang ini sebenarnya teman. Tapi Pragola patut memuji
kepada Paman Angsajaya. Sudah jelas nyawanya selalu diancam sebab lawan berniat untuk
membunuhnya. Tapi prajurit Pajajaran setengah baya ini seperti tak berniat untuk
membunuhnya. Dia memang balik menyerang dan melakukan beberapa pukulan namun tak
ada pukulan telak yang mengarah nyawa lawan.
Mungkin Paman Angsajaya ingin menagkap lawan hidup-hidup untuk kelak diteliti
identitasnya tapi juga karena mungkin orang ini punya hti lembut. Seperti yang banyak
didengar Pragola, rata-rata orang Pajajaran punya kelembutan hati. Mereka tak suka
mengganggu orang lain tapi juga tak suka diganggu. Mereka tak suka membohongi tapi juga
tak suka dibohongi. Tapi menurut Pangeran Yudakara, sifat-sifat seperti ini adalah sesuatu
yang lemah. Karena selalu jujur maka orang Pajajaran pun selalu menganggap orang lain
jujur. Sekali dipermainkan oleh tindakan akal-akalan seperti permainan politik misalnya,
maka hancurlah mereka. Pragola kembali berpaling untuk memperhatikan nasib Banyak Angga. pemudA tampan
berusia sekitar 27 tahun atau lebih ini nampak sibuk sekali dikeroyok oleh lima orang
lawannya. Pragola tak sayang jiwa anak pejabat Pakuan ini. Kalau mati dalam pertempuran
ini tak mengapa sebab hanya punya arti satu bagian dari tugasnya sudah terselesaikan secara
tak langsung. Tapi Pragola pun tak mau orang bercuriga padanya. Kelima orang pengeroyok
itu memang masih bersikap mengepung namun sepertinya tak sanggup membunuh Banyak
Angga dalam waktu cepat. Kalau kesibukan pemuda itu tak cepat dibantu hanya akan
membuat curiga saja. Siapa pun tak boleh ada yang menduga bahwa Pragola berpihak pada
kaum penyerang. Maka untuk itu dia terpaksa harus membantu Banyak Angga untuk
menyapu "lawan".
Maka ketika melihat kelima orang itu begitu bertele-tele dalam upaya membunuh Banyak
Angga, Pragola hanya menganggap bahwa ini sebuah kegagalan. Kegagalan yang satu tak
boleh disusul oleh kegagalan yang lainnya. Timbullah rasa curiga orang-orang Pakuan karena
tak membantu Banyak Angga dalam membebaskan diri dari mara-bahaya hanya akan
menciptakan kegagalan lebih parah lagi. Maka untuk itu, dia segera turun melibatkan diri.
Kini Banyak Angga kepas dari kepungan bahkan dari bahaya kematian sesudah Pragola turun
membantu. Bahkan dalam waktu yang cukup singkat para pengepung sudah porak-poranda.
Semuanya sudah bisa dilumpuhkan oleh Pragola sebab perhatian para penyerbu tengah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 71
tertumpu kepada Banyak Angga.
Banyak Angga sendiri terpana melihat kehebatan Pragola. Barangkali pemuda itu sebelumnya
tidak pernah menduga bahwa pembantunya ini demikian tinggi ilmu berkelahinya.
Diperhatikan secara khusus seperti ini Pragola sedikit gagap dan merasa serba-salah.
Barangkali dia terlalu memperlihatkan kebolehannya di depan umum, teristimewa di hadapan
"majikan"nya, Banyak Angga. Mungkin Banyak Angga akan merasa tersimggung sebab
kegagahannya yang baru saja ditampilkan sepertinya mendudukkan pemuda itu ke tempat
yang rendah. Terlalu cepatnya Pragola menundukkan lawan hanya mencoreng harga diri
Banyak Angga, karena pemuda anak pejabat ini, yang mendapatkan tugas berat melakukan
perjalanan ke wilayah timur yang berbahaya ini, nyatanya tak memiliki kepandaian berarti.
Namun perkiraan-perkiraan yang membuat dada pragola berdebar adalah kalau saja Banyak
Angga berpikir lain. Bagaimana bila pemuda ini mencurigai dirinya" Pragola diperkenalkan
oleh Pangeran Yudakara ke pihak istana hanya sebagai prajurit biasa. Mungkinkah seorang
prajurit biasa memiliki kepandaian begitu tinggi" Ini yang membuat Pragola khawatir.
Dengan perasaan sedikit tegang Pragola menatap Banyak Angga yang datang mendekat untuk
melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.
Belakangan Banyak Angga datang ternyata hanya untuk memeluknya.
"Adikku, ternyata kepandaianmu demikian hebat. Aku bangga padamu," tutur pemuda itu
sejujurnya. Ditepuk-tepuknya punggung Pragola dengan penuh suka-cita.
Lega hati Pragola. Ternyata Banyak Angga tak berburuk sangka padanya.
"Pangeran Yudakara adalah seorang yang senang merendah. Dia tak pernah mengatakan
bahwa prajurit yang jadi bawahannya demikian tinggi ilmunya. Apakah Pangeran Yudakara
memiliki banyak prajurit sepertimu?" tanya Banyak Angga masih dengan tatapan kagum.
Pragola hanya menahan napas, tak tahu harus berkata apa.
"Kepandaian saya tak begitu hebat. Kebetulan saja perhatian para pengeroyok hanya
tertumpu padamu sehingga saya lolos dari penglihatan mereka," kata Pragola pada akhirnya.
"Jangan merendahkan diri. Kau tadi melumpuhkan tiga orang dalam satu gerakan.
Seranganmu cepat dan mantap. Tak sembarang orang sanggup melakukannya," susul lagi
Banyak Angga masih dengan nada memuji.
"Ah, Raden terlalu melebih-lebihkannya. Orang yang dicekam rasa takut bila ditekan keadaan
akan melakukan sesuatu kenekadan. Saya tadi takut sekali melihat tiga orang melakukan
serangan sekaligus dari tiga jurusan. Saking takutnya dilukai mereka, saya mendahului
menyerang mereka. Hanya sekenanya saja dan kebetulan kena," tutur Pragola, juga bicara
sekenanya. Banyak Angga hanya senyum dikulum. Dan Pragola tak bisa menduga apa yang ada dibalik
senyuman itu. "Radenlah yang menyelamatkan nyawa saya. Kalau saja Raden tak memperingatkan, saya
tentu sudah tewas oleh mereka," kata Pragola.
"Engkau pun berjasa. Kalau aku kau biarkan dikeroyok kelima orang itu. Sudah pasti aku
akan binasa. Aku akan khabarkan pada ayahanda bahwa engkau telah berjasa menyelamatkan
nyawaku. Pada peringatan Kuwerabakti tahun depan, akan aku perjuangkan agar kau ikut tes
keperwiraan. Engkau cukup pandai untuk dijadikan perwira," tutur lagi Banyak Angga.
Sementara itu Paman Manggala dan Paman Angsajaya telah meringkus para penghadang.
Lima orang penghadang tewas oleh Pragola dan Paman Manggala serta Paman Angsajaya.
Sisanya tujuh orang luka-luka walau pun tidak sampai membahayakan jiwa mereka.
"Semuanya sudah kami cangkalak (ringkus), Raden," lapor Paman Angsajaya.
"Perlukah mereka dibunuh?" tanya Pragola sedikit menguji.
"Jangan bunuh mereka!" sergah Banyak Angga.
"Mereka adalah orang jahat! Mereka perampok!" sekali lagi Pragola menguji. Namun Banyak
Angga menggelengkan kepala.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 72
"Kejahatan mereka karena sesuatu sebab juga dan tak berdiri sendiri. Semua saling berkaitan.
Kejahatan hanya bisa dilenyapkan dengan mencoba menciptakan keadaan agar orang tak
berpikir menjadi penjahat," tutur Banyak Angga.
"Lalu akan kita aoakan mereka kini?" tanya Pragola.
Nampak Banyak Angga termenung sejenak.
"Ya, pada akhirnya yang berbuat jahat akan mendapatkan hukuman.
Kita serahkan kepada para penguasa setempat. Kita akan membawa mereka ke cutak (pejabat
setingkat camat kini), untuk diproses lebih jauh," gumam pemuda itu sesudah menghela napa
beberapa kali. *** Mengubur lima mayat musuh korban pertempuran kecil itu ternyata cukup menyita waktu
juga. Ini menyebabkan rombongan kecil itu harus bermalam di tempat itu.
Untuk kesekian kalinya Pragola dipaksa harus memuji perilaku dan pendirian Banyak Angga.
Dengan alasan mengejar waktu, Pragola mengusulkan agar mayat-mayat berserakan itu
ditinggal begitu saja, atau paling tidak ditutupi dedaunan. Namun Banyak Angga berpikir lain.
Kata pemuda itu, selagi hidup bisa saja orang itu jahat. Namun sesudah mati yang sisa
hanyalah jasadnya. Dan jasad orang mati si jahat mau pun si baik tak ada bedanya, semua
harus dirawat dan dihormat.
Tentu saja pendirian Pragola pun sebetulnya begitu. Kalau pun dia tadi mengusulkan laibn, itu
karena ingin lebih mengenal karakter pemuda itu saja.
Pragola tahu, ada kebiasaan orang Pajajaran dalam menyempurnakan jasad si mati. Di
wilayah Pajajaran yang banyak didapat sungai besar seperti wilayah Galuh (Ciamis sekarang)
ada istilah nerebkeun (melabuhkan). Jasad orang mati dibenamkn ke dasar sungai atau telaga.
Tapi di wilayah pegunungan yang jauh ke sungai besar, terdapat istilah ngurebkeun
(mengubur). Jasad orang mati ditanam ke dalam tanah.
Malam hari keempat orang itu tidur giliran. Bila dua orang beristirahat, maka dua orang lagi
tugur (meronda). Pragoa memilih tugur bersama Paman Manggala padahal Banyak Angga
nampaknya ingin sekali satu kelompok dengannya.
"Kepanadaian Paman Manggala kurang begitu tinggi, begitu pun Paman Angsajaya. Supaya
kekuatan seimbang, terpaksa saya harus menyertai Paman Manggala dan sebaliknya Raden
menyertai Paman Angsajaya," tutur Pragoal memberikan alasan. Dan ini dapat dimengerti
pemuda pejabat itu yang lantas setuju dan mendapatkan jatah tidur paling awal.
Padahal yang sebetulnya diingini Pragola adalah bercakap-cakap dengan Paman Manggala
perihal kecurigaan yang ada dibenaknya.
Di saat Banyak Angga dan Paman Angsajaya tidur pulas, pragola mengajak Paman Manggala
agak menjauh dari tempat itu.
Paman Manggala memeriksa ke tujuh tawanan yang terikat jadi satu. Sesudah itu baru dia
menghampiri Pragola. "Ada apa?" tanya Paman Manggala. Mereka duduk bersila saling berhadapan.
"Saya heran dengan tindak-tanduk para penghadang. Benarkah mereka prajurit Cirebon.
Gerakan tempurnya kasar sekali. Mereka pun beringas dan kejam. Ke padaku mereka
melakukan serangan ganas, seolah-olah mereka menginginkanku mati?" kata lagi Pragola.
"Barangkali itu hanya perasaanmu saja, Pragola," gumam Paman Manggala.
"tak terasakah tindakan dan perlakuan mereka pada Paman?"
"Memang terasa. Tapi aku anggap itu wajar sebab penyamaran mereka tak boleh diketahui,"
"Kita bisa mati kalau kepandaian mereka berada di atas kita," tutur Pragola.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 73
"Itulah sebabnya kita dipercaya mengemban misi ini," kata Paman Manggala.
Di kegelapan malam Pragola mencoba menatap Paman Manggala, namun suasana terlalu
gelap. Setiap bermalam di tengah perjalanan memang tak pernah memasang api unggun, takut
diserang prajurit Cirebon.
"Bisakah mereka dipercaya seperti kita dalam mengemban misi ini?" tanya Pragola.
"Mereka bisa dipercaya,"
"Tak akan buka rahasia bahwa sebetulnya mereka bukan perampok melainkan prajurit
Cirebon yang dikendalikan Pangeran Yudakara?" tanya Pragola lagi.
"Tak akan buka rahasia!" jawab Paman Manggala yakin. Pragola puas dengan jawaban ini.
Tapi dia sendiri pun tak tahu mengapa merasa puas dengan jawaban Paman Manggala.
Beberapa lamanya kedua orang itu tugur. Beberapa kali Paman Manggala memeriksa tawanan
seolah-olah ingin meyakinkan tawanan tak akan melarikan diri.
"Bisakah kita usahakan mereka melarikan diri?" tanya Pragola.
"Tak bisa, mereka luka parah?" bisik Paman Manggala.
"Karena tadi mereka seperti berusaha membunuhku, aku terpancing dan marah, sehingga
mereka terbunuh?" keluh Pragola penuh sesal.
"Itu resiko mereka. Tapi kau pun ceroboh," "Aku terlalu kasar?"
"Maksudku kau ceroboh memperlihatkan kepandaian aslimu," gumam Paman Manggala.
Pragoal mengeluh pendek. "Mungkin penyamaranmu sedikit terkuak," desis Paman Manggala."
Akan ada sedikit kesulitan karena hal ini?" sambungnya lagi penuh sesal.
Beberapa kali Paman Manggala memeriksa tawanan, sampai tiba waktunya tugur mereka
selesai. Banyak Angga bangun tepat pada waktunya dia giliran tugur.
Pragola tidur nyenyak saking lelahnya. Namun serasa belum lama, dia segera terjaga di saat
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seberkas cahaya tipis sudah nampak di langit timur. Tapi yang membuat dirinya terbangun
bukan karena keadaan sudah terang tanah, melainkan karena didengarnya suara kaget Banyak
Angga. "Ada apa?" tanya Pragola sambil mengucak-ngucak kelopak matanya.
"Semua tawanan sudah tak bernapas!" teriak Banyak Angga.
"Mati?" tanya Pragola. Dia berjingkat mendekati kelompok tawanan yang nampak duduk
saling bersandar satu sama lainnya. Kedudukan mereka sebetulnya masih belum berubah
seperti tadi malam yaitu duduk berhimpitan saling beradu punggung. Tak dinyana ternyata
pagi ini semuanya sudah tak bernapas.
Pragola memeriksa, tak ada luka baru di tubuh mereka.
"Kenapa mereka mati?" tanyanya menatap Banyak Angga.
"Itulah yang ingin aku ketahui!" kata pemuda itu.
"Radenlah yang tugur. Jadi tentu Raden harus mengetahui mengapa mereka tewas," kata
Pragola sedikit keras karena tak senang tawanan itu tewas. Bukankah mereka sebetulnya
bagian dari kelompoknya"
"Mereka mati karena luka-lukanya?" kata paman Manggala yang ternyata tengah memeriksa
satu-persatu tawanan itu.
"Mati karena luka-lukanya?" tanya Pragola mengerutkan dahi.
Mereka memang menderita luka. Tapi rasanya terlalu jauh kalau harus mati secara tiba-tiba
ini. "Luka-luka mereka biasa saja. Tak semestinya mereka mati!" kata Pragola penuh sesal.
Ucapannya ini membuat Banyak Angga menatapnya. Begitu pun Paman Manggala
menatapnya secara khusus. Pragola cepat sadar terhadap kekeliruannya ini. Barangkali
Banyak Angga merasa heran terhadapnya. Mengapa secara tiba-tiba dia penuh perhatian
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 74
terhadap keselamatan para tawanan, padahal baru kemarin dia mengusulkan agar semua
"perampok" dibunuh saja. Paman Manggala yang menatapnya penuh seksama mungki
maksudnya menegur dia agar tidak menampakkan kemarahan ini.
"Lihatlah ada pembengkakan di seputar bekas luka. Aliran darah mereka mungkin terganggu
oleh pembengkakan ini," gumam Paman Manggala. Paman Angsajaya ikut memeriksa. Tapi
jelas dalam pandangan Pragola, prajurit ini tak tahu apa-apa perihal kondisi tubuh. Dia hanya
mengangguk-angguk saja ketika Paman Manggala memeriksa dan mengambil kesimpulan
seperti ini. "Tadi malam aku teledor tidak memeriksa mereka. Kalau tak begitu, kita bisa tahu saat kapan
mereka tewas," gumam Banyak Angga penuh sesal.
"Kami tak menyalahkanmu, Raden. Biarlah, ini keinginan Hyang (Yang Kuasa) semata?"
tutur Paman Manggala."Mari kita kureubkan saja cepat-cepat, jangan sampai perjalanan kita
terhambat lagi," tutur Paman Manggala sambil segera mengambil gobang (pedang) untuk
digunakan menggali tanah. Tindakannya ini segera diikuti oleh yang lainnya kendati nampak
nyata masih ada penasaran baik dari Pragola mau pun Banyak Angga.
Sampai matahari agak tinggi barulah pekerjaan mengubur tujuh mayat selesai.
Mereka akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Tujuannya, dalam waktu dua hari berjalan
kaki harus sudah tiba di Sagaraherang. Sagaraherabg ini adalah sebuah daerah yang dipimpin
oleh Pangeran Yudakara. Tigabelas tahun silam daerah ini pernah memberontak terhadap
Pajajaran dan sempat mengirimkan hmpis seribu pasukan untuk menyerang Pakuan. Berkat
kegagahan para ksatria Pajajaran yang dibantu oleh Ksatria Ginggi, pasukan pemberontak
bisa dibendung. Kandagalante Sunda Sembawa yang memimpin pemberontakan ini terbunuh
dalam sebuah pertempuran yang berlangsung di tepian Telaga Rena Mahawijaya, Pakuan.
Sebagian meloloskan diri, sebagian lagi kalau tak tewas, menyerahkan diri.
Kejadian itu berlangsung pada zamannya pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551
M) yang terkenal kejam dan ambisius.
Sekarang pada zamannya Prabu Nilakendra (1551-1567 M) wilayah Sagaraherang bukan saja
"tak dihukum", penguasanya bahkan diberi kemudahan dalam upaya memperluas wilayahnya.
Buktinya dalam waktu dekat wilayah ini akan diperlebar wilayahnya dan Pangeran Yudakara
akan diangkat setingkat bupati. Prabu Nilakendra sudah bosan dengan peperangan. Maka
untuk meredam berbagai pemberontakan, tekanan terhadap daerah yang dulu dianggap
pembangkang diperlunak. Buktinya, penguasa sagaraherang kini, yaitu Pangeran Yudakara
bahkan mendapatkan kepercayaan begitu besar, padahal seudah jelas dia punya hubungan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
dekat dengan Kandagalante Sunda Sembawa.
Menurut penilaian Pragola, ini salah besar, sebab kendati Pangeran Yudakara tak punya niat
pribadi melakukan pemberontakan, namun tetap saja pejabat ini akan melakukan tindakan
yang merugikan kepentingan Pakuan. Orang-orang Pajajaran tidak pernah menyangkanya,
bahwa Pangeran Yudakara adalah utusan Cirebon dalam upaya meruntuhkan Pajajaran.
Selama melakukan perjalanan yang kini dilakukan dengan jalan kaki, Pragola tak habishabisnya
berpikir perihal kejadian malam itu. Rasanya ada yang ganjil yang terdapat pada diri
Paman Manggala. Sudah belasan tahun Pragola kenal dengan orang tua ini. Sejak dirinya dilatih oleh Ki Guru
Sudireja dan bahkan sejak mereka diminta Pangeran Yudakara untuk membantu perjuangan
Cirebon, Pragola tak pernah melihat Paman Pragola seganjil ini.
Pragola mencoba menyimak kembali kejadian tadi malam. Tujuh tawanan diketemukan tewas
pada pagi harinya, padahal malam hari tak ditemui tanda-tanda tawanan akan mengalami
nasib sial seperti itu. Memang benar tawanan itu rata-rata menderita luka karena perkelahian.
Namun luka-lukanya tak mungkin menyebabkan kematian. Kalau pun ada, musthil pula
ketujuh tawanan itu mati secara bersamaan.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 75
Seperti apa kata Paman Manggala, memang benar ketujuh orang "perampok" itu mati karena
aliran darahnya tersumbat. Ini jelas terlihat dari pembengkakan-pembengkakan pada bagian
tubuh mereka. Mengapa aliran darah mereka tersumbat" Inilah yang mencurigakan. Walau pun hanya
selintas tapi Pragola bisa menduga, jaln darah ke tujuh orang itu sebenarnya sudah putus, atau
sengaja diputuskan. Oleh seseorangkah" Ya! Dan Pragola justru mencurigai Paman
Manggala. Pragola hafal betul kepandaian Paman Manggala. Dulu pernah menyaksikan Paman Manggala
melatih telunjuknya dengan keras dan tekun. Paman Manggala gemar melatih telunjuknya
dengan cara melakukan tusukan-tusukan jari ke berbagai benda. Mula-mula hanya menusuk
benda-benda lunak seperti batang pisang atau batang pepaya saja. Namun semakin keras dan
semakin tinggi tingkat latihannya, semakin keras juga benda yang jadi bahanperaganya.
Belakangan bahkan Paman Manggala sanggup menusuk sebongkah batu tanpa batu itu
menjadi hancur. Batu bahkan hanya berlubang dengan bentuk yang rapih.
Mudah diduga, latihan kekuatan jari ini diperuntukkan bagi keperluan perkelahian. Betapa
tengkorak atau ubun-ubun lawan akan tertembus oleh jari Paman Manggala.
Namun kata Ki Guru Sudireja, kepandaian Paman Manggala bahkan sudah lebih baik lagi dari
itu. Hasil serangan jari Paman Manggala lebih halus dan lebih beradab walau pun hasilnya
tetap saja sadis, yaitu menyebabkan kematian. Serangan jari halus kini sudah diperagakan
kepada Pragola. Ketujuh tawanan itu tewas karena urat darahnya putus oleh serangan jari
Paman Manggala. Pragola yakin itu. Tapi yang membuat pemuda ini mengerutkan dahi,
mengapa Paman Manggala melakukan semua ini" Mengapa pula merahasiakannya"
Pragola bingung memikirkannya. Ada terjadi beberapa keanehan dalam perjalanan ini. Mulamula
mereka mendapat serangan "komplotan perampok". Pragola sebetulnya yidak akan
kaget sebab sudah jauh hari dia diberitahu, bahwa untuk mengganggu perjalanan Banyak
Angga, mereka akan diserang sepasukan "perampok". Menurut khabar yang disampaikan,
"perampok" itu sebetulnya prajurit Cirebon yang ada di bawah kendali Pangeran Yudakara.
Pragola memang sudah tahu bakal ada penyerangan di tengah jalan. Dalam serangan itu,
kemungkinan orang-orang Pakuan akan dibunuh. Namun yang membuat Pragola heran,
mengapa dalam serangan itu sepertinya dia sendiri pun masuk daftar unuk dibunuh"
Sebelum rasa bingung ini sempat terjawab, sudah disusul lagi dengan kebingungan yang lain.
Tujuh tawanan tewas secara mencurigakan dan Pragola bercuriga Paman Manggalalah
pelakunya. Mengapa ini bisa terjadi"
Pragola hanya menduga, ketujuh perampok yang sebetulnya kawan sendiri itu sengaja
dibunuh Paman Manggala untuk melenyapkan jejak. Mereka perlu dilenyapkan sebab gagal
mengemban tugas. Tentu kalau mereka semua tewas oleh Banyak Angga bukanlah suata
masalah. Namun ternyata mereka telah jadi tawanan. Banyak Angga sudah berkata bahwa
tawanan akan diserahkan kepada cutak terdekat untuk segera diperiksa.
Barangkali inilah yang dipikirkan Paman Manggala sehingga memutuskan melenyapkan
tawanan sebelum rahasia terbongkar.
Bisa dimaklumi tindakan ini. Namun yang tak Pragola habis pikir, mengapa Paman Manggala
merahasiakan padanya" Jelas sekali Paman Manggala pura-pura tak melakukan sesuatu di
hadapannya. Ini hanya punya kesan bahwa Paman Manggala tak memperbolehkan dirinya
tahu. Sementara itu perjalanan sudah ada di ujung senja. Ini adalah hari pertama perjalanan. Berarti
satu hari lagi perjalanan harus dilakukan untuk sampai di tujuan.
Namun ketika empat orang itu sudah siap-siap untuk istirahat, bencana datang lagi. Untuk
yang kedua kalinya mereka diserbu lagi oleh "perampok".
Maka pertempuran pun kembali terjadi. Kali ini dilakukan di tengah hutan jati yang sudah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 76
mulai meremang karena senja mulai jatuh.
Untuk yang kesekian kalinya Pragola menjadi bingung sebab "perampok" benar-benar ingin
menghabisi jiwa mereka. Tidak saja ingin membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya,
tapi juga seperti ingin melenyapkan nyawa Pragola dan Paman Manggala.
Di tengah-tengah kepungan ini, selintas Pragola bisa melihat rasa heran yang sangat
diperlihatkan Paman Manggala. Melihat kebrutalan para penyerbu, Paman Manggala nampak
mengerutkan kening. Apalagi kebrutalan ini juga diarahkan kepadanya.
Para penyerbu yang jumlahnya mencapai puluhan itu memang melAkukan serangan brutal
dan tujuannya membabat habis keempat orang itu.
Serangan brutal ini telah memaksa Pragola untuk berlaku hati-hati. Jangan sampai dia terkena
sabetan golok atau tusukan pedang lawan.
Untuk yang kesekian kalinya pemuda ini pun merasa heran, bahwa cara berkelahi orang-orang
ini tidak seperti prajurit Cirebon. Dan di balik kebrutalan serbuan ini, Pragola sempat melihat
keanehan. Pemuda ini mendapatkan ada gerakan berkelahi mirip orang Pajajaran. Prajurit
Pajajaran yang memiliki kepandaian biasa-biasa saja cenderung menggunakan tenaga kasar
dalam bertanding. Terkadang bila emosinya timbul, mereka melakukan gerakan burtal.
Namun dalam kebrutalan ini selalu nampak ada kejujuran. Mereka tidak melakukan gerakan
menipu atau berbuat licik. Dalam upaya melumpuhkan lawan, mereka berterika terlebih
dahulu sehingga sebelum yang diserang terluka dia sudah menyadari bahwa dirinya tengah
diserang. Dan itulah yang diperlihatkan para pengepung ini. Jauh berbeda dengan pengepung
kemarin malam yang kesemuanya asing dan licik dalam pandangan Pragola.
Kalau melihat gerakan tipe berkelahi antara penyerbu kemarin dengan yang hari ini,
sepertinya mereka bukan dari satu kelompok. Dan karena ada kemiripan dengan cara
berkelahi orang Pajajaran, maka Pragola menduga bahwa mereka tentu ada pertalian dengan
orang Pajajaran. Apakah mereka merupakan prajurit Pajajaran yang mulai memalingkan muka
dari tuannya" Bila benar, Pargola memuji kepada kehebatan Pangeran Yudakara yang sudah
sanggup menarik orang Pajajaran untuk mengikutinya.
Yang tidak nampak bingung menghadapi gerakan pengeroyok adalah Banyak Angga dan
Paman Angsajaya. Mungkin mereka pun sudah menduga pula bahwa pengepungnya ini
adalah orang Pajajaran. Namun yang Banyak Angga yakini, tentu pengepung ini benar-benar
merupakan orang jahat semata. Seperti yang sudah dikhabarkan Kandagalante Subangwara,
sepanjang Tanjungpura dan Sagaraherang banyak kaum penjahat yang berupaya merampok
kaum penempuh perjalanan.
Yang tak diduga dalam pertempuran ini adalah gerakan-gerakan Paman Manggala.
Menghadapi serangan-serangan brutal lawan, disambutnya dengan gerakan yang tak kalah
ganasnya. Dalam satu dua gerakan tiga sampai empat orang pengepungnya jatuh
berpelantingan dan tak mampu bangun lagi. Paman Manggala bahkan tak kepalang tanggung
bergerak. Sesudah pengepungnya habis, dia segera meloncat mendekati para pengepung
Banyak Angga. Dengan gerakan cepat satu-persatu kaum pengeroyok dia lumpuhkan. Maka
tak ayal terdengar pekik-pekik kesakitan di tempat itu. Beberapa pengeroyok terlontar dan
tubuhnya menabrak batang pohon jati. Mereka tak sempat mengaduh atau pun menggerakkan
tubuh. Barangkali mereka sudah tewas oleh pukulan Paman Manggala sebelum tubuhnya
menubruk batang pohon. *** Pragola terkesiap melihat keganasan Paman Manggala. Dia pun amat heran, mengapa Paman
Manggala tak "memberi" kemenangan kepeda kaum penyerbu, bahkan sebaliknya seperti
berupaya memporak-porandakannya"
Pragola bingung memikirkannya. Dan karena teka-teki ini tak pernah terkuak, maka akhirnya
dia pun ikut-ikutan membabat lawannya. Hal ini dia lakukan tanpa ragu karena para
pengeroyoknya selalu berusaha untuk membunuhnya. Pragola tak bisa menahan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 77
kesabarannya. Walau pun sejak dini sudah diberitahu bahwa para pencegat itu adalah "orangorang
sendiri", tapi karena tindakan mereka terhadapnya demikina kejam dan berniat
membunuhnya, maka terpaksa dia pun menurunkan tangan kejam pula. Dan apalagi ini sudah
diberi contoh oleh Paman Manggala .
Pragola tak perlu mengeluarkan seluruh kepandaiannya sebab lawan pada umumnya hanyalah
prajurit-prajurit biasa yang punya kepandaian biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tubuh para
pengeroyoknya sudah berserakan, bergulingan dang mengaduh-aduh, sebagai tanda mereka
kalah tanpa tewas. "Sudah! Sebagian tak usah dibunuh" teriak Paman Manggala seperti memberi perintah. Tentu
saja Paman Manggala sebetulnya tak perlu berteriak begitu, sebab ketiga orang itu
dalamberkelahi tidak membunuh lawannya. Bukankah yang tega membunuh musuh hanya
Paman Manggala seorang"
Paman Manggala meminta kepada Banyak Angga agar tak membunuh para tawanan yang
masih hidup. Sudah barang tentu hal ini diizinkan pemuda itu sebab pada dasarnya Banyak
Angga bukanlah seorang yang kejam.
"Para tawanan ini akan kita serahkan kepada cutak agar diperiksa," tutur Banyak Angga."Kita
harus menjaga tawanan dengan baik jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi," kata
Banyak Angga. Malam harinya diadakab tugur lagi. Kali ini Pragola tugur bersama Banyak Angga dan Paman
Manggala bergabung dengan Paman Angsajaya.
Ada empat tawanan disini. Dengan kata lain, sebagian besar dari "perampok" mati terbunuh.
Ini sesuatau yang disesalkan Banyak Angga yang pada dasarnya berhati lemah juga. Pemuda
ini sebetulnya hanya menginginkan perampok dilumpuhkan saja tanpa harus dibunuh.
Pragola dan Banyak Angga menerima giliran jaga paling awal dan sebaliknya Paman
Manggala beserta Paman Angsajaya istirahat. Pada tengah malam giliran Banyak Angga dan
Pragola istirahat. Namun karena sudah bercuriga kepada Paman Manggala, Pragola hanya pura-pura tidur.
Yang sebenarnya terjadi, dia mencoba mengamati gerak-gerik Paman Manggala, takut
peristiwa malam kemarin terulang lagi.
Benar saja, Paman Manggala membuat tindak-tanduk yang mencurigakan. Entah dengan cara
apa, Paman Manggala telah membuat Paman Angsajaya mengantuk dan akhirya terlena di
batang kayu. Sesudah membuat teman jaganya tidur, Paman Manggala segera mendekati
keempat tawanan. Paman Manggala mencoba memeriksa tawanan-tawanan itu. Berbagai
pertanyaan dikemukakan dengan suara halus setengah berbisik namun bisa ditangkap telinga
Pragola yang cukup terlatih.
Paman Manggala mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Pragola bingung
memikirkannya. Paman Manggala mendesak kepada kepada keempat orang tawanan itu agar mau mengatakan
siapa yang mengutus mereka menyerang rombongan.
Inilah yang mengejutkan Pragola sebab dengan kata lain, Paman Manggala mencurigai bahwa
para penyerang ini bukanlah diutus oleh Pangeran Yudakara.
"Ada imbalan bagi kalian bila mau mengatakannya," bisik Paman Manggala.
Namun satu orang pun tak ada mau membuka mulut.
Beberapa kali Paman Manggala mendesak agar tawanan sudi berbicara. Namun Pragola
memuji keteguhan dan kesetiaan orang-orang itu. Semuanya tak mau membeberkan siapa
tuan mereka. Pragola menghela nafas sebab sudah menduga akan akan nasib keempat orang itu. Mereka
pasti dihabisi Paman Manggala menurunkan tangan kejam. Pragola perlu mencegah
pembunuhan sebab keselamatan keempat orang tawanan dibutuhkan Pragola. Untuk
mencegah tindakan Paman Manggala, Pragola akan pura-pura batuk kemudian bangun.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 78
Namun Pragola kecele. Paman Manggala ternyata tak melakukan sesuatu. Keempat orang
tawanan tidak diganggu dan Paman Manggala segera kembali mendekati tempat di mana
Paman Angsajaya tertidur. Paman Manggala pun nampak pura-pura merebahkan diri.
Ketika kokok ayam pertamam terdengar dari bagian hutan sana Paman Angsajaya terjaga
duluan. Dia sangat terkejut karena tidur, padahal seharusnya bertugas sebagai tugur.
"Oh, maafkan saya tertidur. Ngantuk sekali rasanya malam tadi?" gumam Paman Angsajaya
sedikit malu. Namun dengan pandainya Paman Manggala seolah memaklumi keadaan ini.
"Saya pun sebenarnya diganggu kantuk yang hebat. Memang kita semua lelah. Tanpa
melakukan perkelahian pun sebenarnya tenaga kita sudah terkuras banyak oleh perjalanan
yang demikian panjang," tutur Paman Manggala. Dan ucapan ini nampaknya membuat Paman
Angsajaya sedikit lega karena tak terlalu disalahkan.
Kedua orang itu tergopoh-gopoh memeriksa keempat orang tawanan masih segar-bugar.
"Sesudah sarapan pagi, kita segera melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya kita serahkan
tawanan itu pada cutak," kata Banyak Angga.
Yang dimaksud sarapan pagi adalah memakan daging burung walik yang mudah ditangkap di
hutan jati itu. Banyak Angga membagi daging walik bakar kepada keempat orang tawanan
padahal dia sendiri pun belum menerima bagian. Perilaku pemuda ini tak luput dari perhatian
Pragola. Sehingga Pragola terpaksa harus mengakui bahwa sebenarnya Banyak Angga
berbudi halus dan penyayang terhadap sesama.
Sesudah semua orang mendapatkan bagian daging, barulah pemuda itu berani makan.
*** Satu hari perjalanan menuju Kandagalante Sagaraherang. Sedangkan untuk mencapai wilayah
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kacutakan paling dekat, mereka harus berjalan kaki hampir setengah hari.
Maka untuk tidak terlalu banyak membuang waktu, mereka melakukan perjalanan cepat. Para
tawanan dipacu untuk ikut berjalan cepat padahal nampak nyata mereka kedodoran.
Namun sesuai dengan perkataan Kandagalante Tanjungpura, bahwa sepanjang perjalanan
Tanjungpura-Sagaraherang akan mengalami banyak hambatan sebab para penjahat malangmelintang
di sepanjang wilayah ini.
Baru saja perjalanan cepat dilakukan sepemakan sirih lamanya, mereka sudah mendapatkan
hadangan lagi. Ada puluhan orang dengan pakaian hitam-hitam, tubuh tinggi besar dan wajah
brewok bercambang-bauk. Belasan orang dengan pedang terhunus itu segera mengepung
keempat orang itu. "Kalau tak mau nyawa melayang, serahkan harta kalian!" teriak seseorang dari mereka yang
berdiri paling depan. Ancaman ini hanya dijawab dengan dengusan pendek Paman Manggala.
Dan sebelum belasan perampok melakukan gerakan, Paman Manggala sudah mendahului
dengan melancarkan serangan gencar. Paman Manggal dengan cepatnya menerjang ke depan,
sepasang jari-jari tangannya melayangkan serangan berbentuk cakaran. Pragola hafal betul,
inilah jurus Lodaya Ngangkang, sebuah terjangan meniru-niru loncatan harimau. Hanya
bedanya, bila harimau akan langsung melakukan serangan dengan cakarnya, maka Paman
Manggala hanyalah menggunakan cakaran sebagai tipuan belaka, sedangkan serangan yang
sebenarnya dilakukan melalui tendangan salto. Tubuh Paman Manggala melambung ke udara
melewati ubun-ubun lawan. Ketika berada di atas, Paman Manggala melakukan salto
beberapa kali. Ketika keududukan kaki ada di bawah, Paman Manggala segera melepaskan tendangan
beruntun. Tiga kepala lawan dalam satu kali sapuan terhajar telak. Maka tak ayal terdengar
tiga teriakan ngeri disusul oleh tiga tubuh berpelantingan ke sana ke mari. Semua temantemannya
kaget melihat gerakan ganas yang diperlihatkan Paman Manggala. Dan kekagetan
mereka merupakan kesempatan emas sebab Paman Manggala yang terus bersalto segera
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 79
melakukan serangan susulan. Kali ini adalah serangan cakaran silang kiri-kanan. Dua orang
lawan yang ada di kiri dan dua orang yang ada di kanan berteriak ngeri ketika pipi-pipi
mereka tersayat lima cakaran jari. Darah menyembur dari pipi-pipi mereka sebab sayatan
kuku demikian dalam. Tubuh empat orang lawan limbung dan akhirnya terjerembab tak
mampu bangun kembali. Dalam satu gebrakan, Paman Manggala telah melumpuhkan tujuh
orang penghadang. Dan untuk yang kesekian kalinya, semua orang terkejut dengan tindaktanduk
ini. Pragola menghitung, sudah dua kali pertempuran Paman Manggala melakukan
kekejaman terhadap lawan. Mengapa begitu, Pragola masih belum mengerti. Siapa para
penghadang ini sebenarnya. Apakah Paman Manggala mencurigai bahwa penghadangpenghadang
ini bukan anak buah Pangeran Yudakara"
Pragola tak sempat berpikir lama sebab pihak penghadang sudah mulai hilang kaget dan
tergantikan oleh kemarahan ketika melihat tujuh temannya ambruk dalam satu gebrakan.
Belasan orang mengepung dan menyerang empat orang dengan membabi-buta. Bahkan ada
Pedang Naga Kemala 9 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Harta Karun Di Galiung 1
ketat menjaga kompleks puri itu. Namun belakangan, sesudah ada pengawal yang
mengenalnya, Pragola segera diizinkan memasuki kompleks puri.
Memasuki halaman yang luas dan asri karen adi sana banyak koleksi tanaman-tanaman hias,
Pragola tetap mendapatkan pengawalan.
Pemudaitu tidak tahu, apakah memang begitu biasanya, bahwa ibu suri selalu mendapatkan
pengawalan ketat setingkat raja, ataukah ini hanya keinginan Nyi Mas Layang Kingkin sendiri
karena sadar dirinya kurang disukai.
Yang jelas, ketika Pragola memasuki paseban, di sana sudah terdapat Nyi Mas Layang
Kingkin. Dia duduk berismpuh dengan anggunnya karena rambutnya yang halus hitam,
nampak berombak menuruni punggungnya.
Kini wanita cantik itu sudah mengenakan kebaya yang berbeda dengan yang dikenakan tadi
pagi. Jenis kainnya masih sama terbuat dari satin halusa, tapi yang ini buatan negri Cina.
Warnanya kuning jingga, juga dengan ornamen dan kelim yang dihiasi warna emas di setiap
sisi-sisinya. Kulit wajahnya nampak putih bersih. Bukan perbawa pupur (bedak) atau pun
sebangsa polesan lainnya, namun memang karena kulit wajah itu yang putih halus. Tak
terdapat bintik setitik, sepertinya nyamuk pun segan menyapanya.
Berdegup jantung Pragola ketika tiba-tiba dia sadar bahwa Nyi Mas Layang Kingkin
sebenarnya tengah tersenyum menertawai karena dia ternganga-nganga melihat purnama di
wajahnya. Pemuda itu segera menundukkan kepala dengan kulit wajah serasa merah padam
saking malunya. "Duduklah anak muda?" desisi wanita itu merdu dan menyengat jantung.
Pragola segera duduk bersila di bangsal berlantai kayu jati halus itu. Jaraknya ada sekitar tiga
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 54
tindak dari Nyi Mas Layang Kingkin yang tetap menatapnya dengan senyum dikulum.
Sebetulnya di sana banyak orang lain. Di luar bangsal Pragola menghitung pengawal ada
sekitar enam orang dengan tameng logam di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Di
samping itu, duduk bersimpuh di belakang Nyi Mas Layang Kingkin sempat orang dayang.
Para dayang itu berpakaian indah-indah dan berusia muda-muda. Wajahnya pun nampak
cantik-cantik, sehingga bila Pragola disuruh memilih, dia tentu akan bingung musti memilih
siapa. Sesudah Pragola duduk bersila, Nyi Mas Layang Kingkin bertepuk tiga kali. Demi mendengar
aba-aba itu, baik para dayang mau pun para pengawal, serentak mengundurkan diri dari
paseban. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk tidak bisa menyimak bila yang berada di
bangsal tengah melakukan percakapan.
Pragola kembali jantungnya berdegup. Dia menduga, ini adalah pertemuan penting, paling
tidak untuk Nyi Mas Layang Kingkin. Kalau tak begitu, mengapa orang lain musti pergi" Ini
hanya menandakan bahwa obrolan mereka tidak boleh didengar oleh siapa pun.
"Sudah berapa lama engkau mengabdi kepada Banyak Angga, anak muda?" tanya Nyi Mas
Layang Kingkin dengan senyum tetap tersungging.
"Hampir tiga tahun, Juragan?" jawab Pragola hormat sekali sambil tak kuasa untuk balik
memandang. "Hm" sudah cukup lama, akan tetapi aku satu kali pun belum pernah bertemu denganmu,
anak muda?" tutur lagi Nyi Mas Layang Kingkin. Ya, mengapa tak pernah bertemu satu kali
pun" Mengapa pula Pragola tak pernah tahu akan Nyi Mas Layang Kingkin, ibu suri istana"
Pragola termenung sejenak. Memang tak pernah ada yang membicarakan perihal keberadaan
ibu suri, tidak pula Banyak Angga yang selama hampir tiga tahun menjadi "majikan"nya.
"Saya terlalu disibukkan oleh tugas-tugas rutin, Juragan. Baru-baru ini saya pun habis pulang
dari pertempuran di wilayah barat perbatsan Cisadane. Tentu saja tak ada waktu untuk ?"
"Untuk apa, anak muda?"
"Misalnya untuk jalan-jalan ke puri ini?" jawab Pragola sekenanya. Terdengar tawa merdu
keluar dari mulut mungil wanita anggun ini, membuat debar jantung Pragola kian kencang.
"Kau sangka puri ini semacam taman, ya" Sedangkan untuk masuk ke Taman Mila Kancana
yang memang tempatnya untuk jalan-jalan engkau belum tentu mendapatkan izin," tutur Nyi
Mas Layang Kingkin dengan bunyi suara seperti dikulum.
Pragola tersipu dibuatnya. Pernyataan tadi tentu amat menyinggung perasaan Nyi Mas
Layang Kingkin kalau saja wanit aini orang pemarah. Namun nampaknya perangai wanita
anggun berbulu mata lentik ini tak seburuk yang disangka orang. Dia begitu manis budi
bahasanya. Dalam keadaan marah pun tetap mengulum senyum sehingga siapa pun akan
betah dimarahi olehnya. "Saya terlalu sembrono bicara, Juragan ?" tutur Pragola menundukkan kepala.
"Sebutlah aku Nyi Mas saja?" kata Nyi Mas Layang lembut.
Pragola menatapnya sejenak, "Saya tak berani, Juragan?"
"Kalau aku yang menyuruh, mengapa tak berani" Sudah terbiasakah engkau membantah
perintah yang lebih atas?" Nyi Mas Layang Kingkin menatap tajam.
"Sama sekali saya tak berani?"
"Masih tetap tak mau mentaati?"
"Maksud saya tak berani membantah setiap atasan?"
"Sebutlah aku Nyi Mas!"
"Baik Nyi Mas?"
"Nyi Mas Layang Kingkin!"
"Nyi Mas Layang Kingkin, Juragan!"
"Huss!!!" "Oh, ya Nyi Mas Layang Kingkin?"
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 55
Dan terdengar tawa merdu dari mulut merah merekah itu. Begitu bebasnya tawa Nyi Mas
Layang Kingkin sehingga dia tak perlu menutupi mulutnya. Padahal setahu Pragola, setiap
wanita di Pajajaran tak berani tertawa bebas. Kalau pun ada yang tak bisa menahan untuk
tertawa, biasanya selalu menutupi mulut dengan punggung tangannya agar mulut tak bebas
dilihat orang. Namun hati pemuda itu tidak ada keinginan untuk menegur perilaku wanita itu. Nyi Mas
Layang Kingkin terlalu anggun, terlalu cantik dan setiap tindak-tanduknya mengandung
pesona. Betapa merdu tawa bebasnya, betapa renyah desah napasnya. Bibirnya itu yang merah
merekah, gigi-giginya itu yang putih bak mutiara berbaris"oh, hai, segalanya mengundang
degup, membuat debar bertambah kencang!
"Hai, kerjamu menganga saja anak muda. Bisa-bisa ada lalat memasuki lubang mulutmu!"
celoteh Nyi Mas Layang Kingkin membuat Pragola tersipu.
"Engkau ini orang serius tapi membuat yang melihatmu merasa geli karena lucu," kata Nyi
Mas Layang Kingkin. Mereka keduanya saling berpandangan sejenak. Wanita anggu itu kian
menantang namun Pragola menunduk kalah.
Sejenak mereka diam, sepertinya kehabisan pembicaraan. Namun ini merupakan kesempatan
untuk berpikir, sebetulnya apa maksud undangan wanita anggun ini" Rasanya sudah cukup
lama mereka saling mengobrol, namun Nyi Mas Layang Kingkin belum juga mengutarakan
maksud undangannya ini. Hanya sekedar ingin bersenda-gurau kepada seorang prajurit
rendahan seperti dia" Hanya akan membuat diri Nyi Mas Layang Kingkin terhina saja. Kalau
barusan wanita mengajaknya bercanda, itu barangkali karena sifat-sifat Nyi Mas Layang
Kingkin yang periang dan senang bergurau saja. Jadi bukan maksudnya mengundang Pragola
hanya untuk bercanda. *** Pragola ingin sekali bertanya perihal maksud undangannya ini. Namun dia tak berani
mengemukakannya. Dia takut menyinggung perasaan wanita itu, sepertinya Pragola tak
senang melihat Nyi Mas Layang Kingkin bercanda.
Tapi Nyi Mas Layang Kingkin rupanya bisa menduga hal ini. Buktinya dia mulai berkata
dengan sungguh-sungguh. "Sudah aku katakan tadi pagi bahwa melihatmu tinggal di puri Yogascitra, mengingatkanku
pada pembantu Banyak Angga. Kalau perjalanan waktu dikembalikan ke masa tigabelas tahun
silam, tentu engkau akan heran sebab ada seorang pemuda yang wajahnya mirip engkau.
Pemuda itu berwajah bulat telur, sepasang mata berbinar bundar. Kalau melirik matanya
berkilat tajam. Hanya bedanya, pemuda tigabelas tahun silam itu terkesan bodoh walau
kadang-kadang terkesan aneh dan macam-macam," kata Nyi Mas Layang Kingkin.
"Saya bisa menduganya, tentu pemuda itu bernama Ginggi," potong Pragola dengan nada
datar. "Betul sekali. Tapi dari mana kau tahu?"
Pragola hanya menunduk. "Tapi kepada pemuda itu aku tak senang. Aku bahkan sedikit membencinya?" gumam Nyi
Mas Layang Kingkin seperti menyesal karena percakapan perihal ini.
Pragola mengerutkan dahi. Semua orang di Pakuan seperti mendewa-dewakan lelaki bernama
Ginggi ini bila menyimak lakon kegagahan para ksatria Pajajaran yang biasa dilantunkan para
kaum prepantun. Adalah sesuatu hal yang aneh bila ada orang Pakuan yang tidak senang
kepadanya. Nyi Mas Layang Kingkin, mengapa musti tidak menyukai Ksatria Ginggi"
Bukankah pemberontakan yang dilakukan oleh Sunda Sembawa pada tigabelas tahun silam
sempat digagalkan oleh ksatria itu" Bukankah tindakan-tindakan Ksatria Ginggi waktu itu
telah menyelamatkan keberadaan suaminya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti"
"Tentu saja engkau tak sependapat denganku sebab engkau adalah orang dari puri Yogascitra,
sedangkan lelaki bernama Ginggi selalu menjadi kebanggaan mereka," tutur Nyi Mas layang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 56
Kingkin. Pragola sebetulnya ingin mengatakan bahwa dirinya pun tidak menyenangi orang itu. Ingin
pula dia katakan bahwa dirinya sebenarnya bukan dari kelompok puri Yogascitra. Tapi tentu
saja dia tak berani mengabarkannya mengingat hal ini adalah rahasia bagi orang Pakuan.
Sejauh apa pun Pragola menyukai wanita anggun ini, tokh kenyataanya Nyi Mas Layang
Kingkin adalah orang Pakuan dan tentu merupakan musuhnya pula.
"Saya hanyalah pengabdi kecil. Tentu saja harus setia kepada seorang majikan yang telah
memberinya kesejahteraan," tutur Pragola setelah merenung sejenak.
"Kalau ada orang lain yang memberi kesejahteraan jauh lebih baik dan terhormat, maukah
engkau bersetia kepada orang itu?" tanya Nyi Mas layang Kingkin tiba-tiba.
Pragola kembali merenung. Wanita cantik ini selalu menyodorkan teka-teki padanya. Tetapi
ini adalah sesuatu yang menarik buatnya. Nyi Mas Layang Kingkin sudah tahu Pragola "anak
buah" Banyak Angga. Tapi mengapa sepertinya dia mau menarik dirinya dari sana" Ini hanya
menandakan bahwa di antara keluarga Yogascitra dengan Nyi Mas Layang Kingkin ada
permasalahan. Masalah apa, Pragola tak tahu. Tapi dia ingin mengetahuinya. Itulah sebabnya,
dalam waktu singkat dia memutuskan untuk menerima undangan kedua dari wanita berwajah
manis ini. Dia mengangguk pelahan ketika Nyi Mas Layang Kingkin menatap seolah p[enuh
harap. "Tapi ingat, kali ini hanya aku seorang yang tahu akan kehadiranmu di puriku," gumam
wanita itu. Kembali Pragola mengangguk tanda mengerti apa maksud Nyi Mas Layang
Kingkin. Besok malamnya pemuda itu memenuhi janjinya untuk datang ke puri Layang Kingkin.
Sudah barang tentu, kali ini dia harus datang sambil main sembunyi. Nyi Mas Layang
Kingkin yang menginginkannya demikian. Inilah yang membuat Pragola tertarik intuk
memenuhi undangan tersebut. Wanita itu ingin melakukan pertemuan rahasia. Tentu apa yang
akan disampaikan kepadanya pun bersifat rahasia. Tentang apa, Pragola belum tahu.
Ke mana Pragola harus, tentu bukan ke paseban seperti undangan seperti kemarin sore.
Paseban hanyalah tempat pertemuan terbuka, tidak baik digunakan sebagai tempat
pembicaraan rahasia. Pragola harus menuju kompleks bagian belakang dari puri ini. Tempat wanita bersunyi diri
biasanya di sebuah taman. Dan taman biasanya dibuat di kompleks bagian belakang,
maksudnya agar bebas dari gangguan dan pandangan orang.
Pragola harus mencari taman puri, sebab dia menduga Nyi Mas Layang Kingkin menunggu
disana. Dan benar perkiraannya. Wanita cantik itu ditemukan di sebuah taman yang sunyi tapi
mempunyai panorama indah. Taman itu dipenuhi tanaman hias. Dibeberapa tempat ada
beberapa pohon-pohon rimbun, namun didepan pohon itu di pasang lentera dengan warna
cahaya temaram. Beberapa lentera seperti sengaja dikecilkan apinya sehingga cahayanya
demikian temaram, hampir remang-remang. Lentera yang apinya lemah terdapat di seputar
sebuah danau yang kecil yang berdiri di tepi kolam. Ada sebuah bayangan hitam di dalam
danau. Tapi Pragola tahu, itulah tubuh Nyi Mas Layang Kingkin. Wanita itu tengah duduk
bersimpuh menghadap kolam. Sepertinya dia tengah merenung sebab tubuhnya tak bergerak
barang sedikit. Udaranya terasa dingin, apa lagi ada angin semilir lewat di taman. Namun
sungguh heran , disaat udara demikian dingin, Nyi Mas Layang Kingkin seperti memakai
pakaian tipis terbuat dari kain sutra. Ini nampak dari kibaran selendang yang tertiup angin.
Ketika selendang itu berkibar, nampak lekuk relung pinggang wanita itu, samar-samar dalam
keremangan lentera. Sunyi sekali di sana, memungkinkan Pragola untuk memasukinya tanpa khawatir diketahui
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 57
orang lain. "Nyi Mas, saya datang " " gumam Pragola sedikit bergetar. Bagaimana tidak begiru, sebab
kendati dalam remang, mata pemuda itu sanggup memandang tubuh indah wanita itu. Benar,
Nyi Mas Layang Kingkin hanya menggunakan pakaian tipis yang ketat mencetak lekuk-lekuk
tubuhnya. Kain sutra tipis yang barangkali hanya digunakan untuk tidur saja. Mengapa Nyi
Mas Layang Kingkin menggunakan pakaian serba tipis padahal tahu akan kedatangan tamu,
pria lagi" Atau barangkali Pragola datang terlalu telat shingga wanita itu memutuskan untuk
tidur saja" Entahlah, Pragola tidak bisa memahaminya.
Pragola masih berdiri di luar dangau, sedang Nyi Mas Layang Kingkin masih duduk
membelakanginya. Ada semilir angin lewat kembali di sana dan pakaian tipis itu berkibar
lagi. Kali ini sang angin bahkan snggup menerpa rambut panjang tergerai dari wanita anggun
itu. Pragola berdebar dadanya sebab betapa indahnya pemandangan disana. Di balik cahaya
temarang, seorang wanita bertubuh molek tengah duduk melamun dengan pandangan tertuju
ke permukaan kolam. "Kau lihatlah Pragola, di kolam ada beberapa ikan berenang kian kemari?" kata Nyi Mas
Layang Kingkin tanpa menoleh ke belakang.
"Saya tak bisa menyaksikannya, Nyi Mas ?" jawab Pragola masih berdiri di belakang wanita
itu. "Tentu saja, melihat dari kejauhan tak akan menghasilkan pandangan yang benar. Kalau pun
bisa terlihat, hanyalah samar-samar belaka dan belum tentu menemukan sesuatu yang hakiki,
"tutur Nyi Mas Layang Kingkin penuh arti."
Pragola masih tertegun. "Mari duduk disampingku agar bisa menyaksikan isi kolam yang sebenarnya?" ajak Nyi
Mas Layang Kingkin. Pragola agak ragu-ragu. Namun pada akhirnya dia berani juga memasuki dangau mungil itu.
Dengan hati-hati dia duduk bersila disamping wanita itu. Harum semerbak bung-bungaan
keluar dari tubuh semampai itu, membuat dada pemuda itu kian bergetar.
Pragola ikut mematung sambil mata memandang ke permukaan kolam. Hanya remangremang
saja. Namun benar seperti yang dikatakan Nyi Mas Layang Kingkin, di kolam ada
serombongan ikan berenang kesana-kemari kendati hanya terlihat secara remang-remang saja.
"Coba lihatlah begitu banyak ikan berenang kesana-kemari," tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
"Tapi kau lihat pula, ada satu dua ekor ikan yang berenang memisahkan diri. Tak ada
persatuan disana. Serombongan besar berenang kesana dan serombongan kecil berenang
kemari. Yang satu tak ada artinya bagi yang lainnya. bila benar begitu, maka jumlah sebesr
apapun yang ada di kolam tidak memiliki makna. Ikan yang hidup terpisah dari rombongan
yang lebih besar akan tetap merasa kesunyian kendati di sekelilingnya banyak ikan?" kata
Nyi Mas Layang Kingkin panjang lebar namun sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
"Apakah anda merasa kesepian, Nyi Mas?"" Pragola tidak bisa menahan untuk mengajukan
pertanyaan seperti itu. Nyi Mas Layang Kingkin cepat menoleh ke samping seolah merasa kaget menerima
pertanyaan pemuda itu. Dua wajah saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Pragola menatap raut muka wanita itu. Betapa matangnya wajah wanita ini, matang dan
dewasa. Beda sekali dengan gadis-gadis yang Pragola lihat di tempat lain. Kaum perawan bila
berpapasan muka dengan lelaki asing tentu akan segera menunduk penuh malu, barangkali
juga dengan rona merah di pipi. nAmun wanita selir mendiang Prabu Ratu Sakti itu seolah
begitu menantangnya ketika ditatap pemuda itu. Barangkali benar wanita dewasa yang sudah
banyak makan asam-garam kehidupan akan berani melawan tatapan laki-laki, atau barangkali
juga karena kedudukannya sebagai selir Raja. Mengapa tidak berani menatap orang lain.
Kendati pun yang ditatapnya laki-laki, namun hanyalah orang rendahan belaka. Yang tidak
tahu diri sebenarnya dirinya itulah. Pragola hanya sekedar prajurit biasa, mengapa berani mati
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 58
menatap seperti itu"
Ingat kedudukannya yang rendah, Pragola segera menunduk bahkan duduknya pindah agak
menjauh. "Mengapa kau duduk menjauh?" tanya Nyi Mas Layang Kingkin masih menatapnya.
"Saya tidak berani, Nyi Mas?" ujar Pragola.
Terdengar wanita itu merahuh pendek.
"Semua orang memang menjauhiku. Dari mulai pejabat hingga prajurit sepertimu"."
Keluhnya. Pragola terkejut mendengar keluhan ini, sehingga tanpa dia sadari duduknya kembali
berpindah, bahkan kini lebih dekat lagi ke tubuh Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita itu menatap sambil mulut tersenyum manis. Ada desah napas yang menerpa wajah
pemuda itu, hangat dan harum.
Namun senyum tipis Nyi Mas Layang Kingkin hanya datang sejenak, sebab sejenak kemudian
sudah berganti menjadi kabut kelabu.
"Aku hidup di istana tapi sebatangkara. Rasanya hanya Sang Prabu Ratu Sakti saja yang
menyayangiku. Setelah itu tak ada kasih lagi yang menerpa diriku. Semuanya menjadi jauh,
barangkali mereka juga tidak menyukaiku?" gumamnya.
"Bukankah anda ibu suri di sini?""
"Hmm " ibu suri. Aku hanyalah selir dari seorang raja yang kini telah tiada," gumamnya
lagi. "Kata orang, anda amat berpengaruh di sini," kata Pragola.
"Hanya karena aku mencoba memberikan beberapa anjuran, maka orang mengatakan aku
ingin menanamkan pengaruh. Lantas mereka mencoba membatasiku. Aku disuruhnya
beristirahat, bersenang-senang atau kesibukan apa saja yang sekiranya jauh dari kesibukan
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istana. Tapi aku tahu, sebenarnya mereka memisahkanku dari kegiatan negara?" kata Nyi
Mas Layang Kingkin. "Wanita seanggun anda sebaiknya bersenang-senang di puri indah, atau di Taman Mila
Kancana dan tak perlu bersusah-susah ikut memikirkan negara?" sahut Pragola sekenanya
saja. "Kalau orang sudah mulai mengerti urusan kenegaraan, maka tisak bisa tidak akan ikut
memikirkannya," jawab Nyi Mas Layang Kingkin.
"Anda ikut memikirkan negara?"
Nyi Mas Layang Kingkin mengangguk.
"Ya, apalagi bila negara dalam keadaan kacau," jawabnya.
"Dalam keadaan kacau?" Pragola pura-pura terkejut.
"Jangan berpura-pura. Kalau engkau telah dekat dengan Banyak Angga tentu engkau pun tahu
apa yang tengah mereka kerjakan!"
"Mengerjakan apa?"
"Hm! Wajah tampanmu tidak punya bakat untuk berbohong. Jangn kira aku bodoh untuk
mengetahui rencana-rencana puri Yogascitra!" dengus Nyi Mas Layang Kingkin membuat
wajah Pragola memerah karena malu.
"Kalau engkau mau ikut denganku, engkau tak usah ikut melakukan perjalanan ke wilayah
timur yang lusa akan kalian tempuh itu!" kata Nyi Mas Layang Kingkin. Pragola terkejut, dari
mana wanita itu tahu, padahal rencana ke wilayah timur hanya diketahui oleh keluarga
Yogascitra saja. Kalau pun ada pihak lain yang tahu, paling hanya Pangeran Yudakara saja.
Itu pun karena dilapori oleh Pragola sendiri.
"Saya belum paham, mengapa Nyi Mas menawari saya untuk bergabung di puri ini?"" kata
Pragola penasaran. "Katamu, kau perlu mengabdi kepada orang yang memberimu kesejahteraan yang lebih dan
aku butuh pembantu. Mengapa engkau tidak tinggal saja di puriku?" tanya Nyi Mas Layang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 59
Kingkin. "Itu artinya mengkhianati orang yang pertama memberi saya kesejahteraan," jawab Pragola.
"Engkau hanya bisa disebut pengkhianat bila pengkhianatan itu diketahui mereka. Kalau
mereka tak merasakannya maka engkau pun akan tetap menjadi seseorang yang dihargai oleh
siapa saja. Lagi pula engkau harus ingat, tak selamanya sebuah tindakan memisahkan diri atau
penolakan sesuatu disebut mengkhianati. Kalau engkau berpaling dari perintah-perintah
Yogascitra belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bahkan mungkin sebaliknya, engkau
akan berjasa mengurangi berbagai kemelut dan kekacauan," tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
Berdebar dada pemuda ini. Semakin dalam melakukan pembicaraan dengan wanita ini, maka
semakin terkuak keberadaanya. Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan bahwa wanita
ini berbahaya, sebab Nyi Mas Layang Kingkin pun berpikir dan bekerja untuk kepentingan
politik juga. Tapi berbahaya untuk siapa" Sudah barang tentu, Pragola sendiri tidak
merasakan adanya bahaya, paling tidak untuk kepentingan dirinya. Menyimak pendapat Nyi
Mas Layang Kingkin, sepertinya wanita ini tidak menyukai rencana-rencana Pangeran
Yogascitra. Kalau benar begitu, maka antara Pragola dan Nyi Mas Layang Kingkin
sebenarnya "sehaluan". Namun untuk lebih menegaskan apa dan bagaimana keberadaan
wanita ini, sebaiknya dirinya harus terus berupaya mengorek pendapat dan pendirian Nyi
Mas Layang Kingkin. "Saya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Nyi Mas," kata Pragola mencoba mengorek
tujuan-tujuan wanita itu.
"Aku tahu, Yogascitra tengah menghimpun sebuah kekuatan militer. Dia berpendapat bahwa
keberadaan Pakuan bisa dikembalikan dengan kekuatan militer. Tapi pejabat ini tidak ingat,
bahwa rencana sebaik apa pun tanpa Raja berkenan menyetujuinya, maka tidak akan
menghasilkan kebaikan. Sang Prabu Nilakendra bahkan tidak senang Pakuan mencari
kekuatan militer," kata Nyi Mas Layang Kingkin.
"Dan menurut Nyi Mas, bagaimana sebaiknya?"
"Aku setuju dengan pendapat Sang Prabu, Pakuan tidak perlu militer,"
"Mengapa?" "Sang Prabu Nilakendra pencinta damai. Ibarat harimau yang punya taring, maka sang
harimau selalu ingin mencoba tajamnya taring dalam dalam melakukan sesuatu. Sedang yang
namanya melakukan sesuatu bagi yang memiliki senjata adalah melakukan pembunuhan.
Tapi kau lihatlah seekor siput. Dia tak punya senjata untuk membunuh, maka dia tak berniat
untuk melakukan pembunuhan. Asalkan dia punya pertahanan, maka keselamatan pun akan
terjamin. Begitu pun yang dipikirkan Sang Prabu Nilakendra. Pertahanan yang baik bukanlah
senjata, melainkan adalah sabar dan tak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sang
Prabu bahkan lebih menitikberatkan pertahanan dalam kehidupan keagamaan. Sebab menurut
Raja, lebih memperdalam kehidupan keagamaan merupakan jalan menuju keselamatan," tutur
Nyi Mas Layang Kingkin lagi.
Pragola termenung mendengar penjelasan wanita ini. Sekarang semakin terbuka siapa Nyi
Mas Layang Kingkin ini. Dia tentu kelompok yang setuju dengan kebijaksanaan Raja. Nyi
Mas Layang Kingkin adalah lawan dari Pangeran Yogascitra. Sekarang Pragola harus tahu,
apa maksud wanita ini menarik dirinya ke dalam kelompoknya.
"Apa kepentingan anda dan apa pula keuntungan anda bila menarik saya ke puri ini, Nyi
Mas?" tanya Pragola secara langsung.
"Aku perlu memiliki mata-mata dan aku pun perlu orang yang bisa bergerak menggagalkan
setiap rencana-rencana Yogascitra," jawab Nyi Mas Layang Kingkin."Engkau cocok untuk
melakukan misi ini sebab engkau telah dianggap orang-orang Yogascitra," lanjut wanita ini.
"Bagaimana anda yakin saya mampu melakukan apa yang diinginkan olehmu, Nyi Mas?""
"Kalau Banyak Angga menggunakanmu, tak nanti dia menyangsikan kemampuanmu," kata
Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 60
Pragola terdiam. Banyak Angga sebetulnya belum tahu sejauh mana kemampuan pemuda ini.
Kalaulah Pragola langsung dipercaya oleh keluarga Yogascitra, itu karena mereka tidak
menyangsikan kepada apa yang dikatakan Pangeran Yudakara. Pangeran itu "mengirim"kan
Pragola ke puri Yogascitra dan mengatakan bahwa selain pemuda ini memiliki cukup
kepandaian, Pragola pun merupakan orang yang amat "berguna" bagi Pakuan.
Sekarang Nyi Mas Layang Kingkin telah mempercayainya juga hanya karena Banyak Angga
seperti memerlukannya. "Bagaimana anda yakin bahwa saya akan memenuhi keinginanmu, Nyi Mas?" tanya Pragola
selanjutnya. Sebagai jawaban dari wanita ini hanyalah senyum manis yang membuat dada pemuda itu
kembali bergetar. "Jawabannya sudah ada di dalam hatimu sendiri, anak muda,"
Pragola sedikit terkejut. Nyi Mas Layang Kingkin begitu menduga dengan pasti bahwa
dirinya akan mau melayani permintaannya. Dari mana wanita ini mendapatkan keyakinannya,
padahal pemuda ini bisa saja menolak permintaan dengan alasan ingin melakukan kesetiaan
hanya pada keluarga Yogascitra saja.
Pemuda itu sendiri sebetulnya sudah memastikan bahwa dirinya menerima penawaran waniti
itu karena beberapa pertimbangan. Tujuan datang kemari bukanlah ingin mengabdi kepada
orang-orang Pakuan, melainkan akan melakukan penyelidikan seperti apa yang diperintahkan
Pangeran Yudakara. Siapa pun yang ada di Pakuan tentu harus dia selidiki, termasuk pula Nyi
Mas Layang Kingkin. Antara informasi dan kenyataan yang ada mengenai keberadaan wanita
ini benar-benar sesuai. Bahwa wanita ini hidup terasing di istana, memang diakui sendiri oleh
Nyi Mas Layang Kingkin. Belakangan informasi datang, bahwa wanita ini tidak setuju kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pangeran Yogascitra. Wanita ini akan memperalat dirinya agar
menggagalkan usaha-usaha Pangeran Yogascitra dalam memperkuat militer. Pragola tentu
akan sanggup, sebab ini pulalha yang menjadi misi Pangeran Yudakara. Keduanya punya misi
sama, sekali pun punya tujuan berbeda. Nyi Mas Layang Kingkin menolak kebijaksanaan
Pangeran Yogascitra karena sependapat dengan kebijaksanaan Raja. Sedangkan Pangeran
Yudakara mencoba menghalangi usaha Pangeran Yogascitra karena menghendaki Pakuan
semakin melemah sehingga memudahkan pasukan Cirebon dalam melakukan penyerbuan ke
pusat pemerintahan Pajajaran itu.
Pragola sebetulnya tidak perlu ikut bergabung dengan Nyi Mas Layang Kingkin sebab sudah
mengemban misi yang sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara. Namun entah mengapa,
ada sesuatu perasaan yang membuat dirinya ingin tetap berhubungan dengan janda mendiang
Sang Prabu Ratu Sakti ini. Wanita cantik ini kaya, pernah menjadi orang penting, namun
seperti hidup penuh kesunyian. Sunyi karena diasingkan oleh kalangan istana. Dia diasingkan
hanya karena dianggap ingin ingin mempengaruhi Raja dalam meletakkan dasar-dasar
kebijaksanaannya. Pragola kasihan dan sekaligus bersimpati. Hanya karena urusan perbedaan
politik, maka wanita anggun ini diasingkan. Dia dijauhkan dari kegiatan kenegaraan. Kendati
wanita ini di mana-mana dihormat, namun semuanya hanya penghormatan semu belaka.
"Lihatlah ada ikan yang berenang terpisah dari kelompok lainnya.
"Malam sudah larut. Saya harus kembali ke kesatriaan, Nyi Mas?" kata Pragola pada
akhirnya. Wanita itu menatap lama dengan wajah sedikit sayu, kemudian mengangguk perlahan. Dialah
malah yang berjingkat duluan. Namun entah mengapa, mungkin karena lantai dangau yang
licin karena kayunya halus mengkilap, tubuh wanita itu doyong ke depan dan hendak jatuh.
Pragola terkejut. Bila dibiarkan, maka tubuh Nyi Mas Layang Kingkin akan terjerembab ke
permukaan kolam. Maka satu-satunya jalan agar tubuh wanita itu selamat, Pragola harus
segera meraihnya. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 61
Pragola menghambur ke depan dan memeluk tubuh wanita ramping namun berisi padat itu.
Nyi Mas Layang Kingkin hanya sebentar memekik halus, untuk kemudian memegang dan
setengah memeluk tubuh pemuda itu.
Sejenak mereka saling berpelukan. Namun Pragola lebih dahulu menyadarinya. Dengan sertamerta
dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
"Maafkan saya telah melakukan hal yang tak senonoh," tutur Pragola dengan suara parau
bergetar karena menahan debar jantungnya.
"Tidak. Engkau adalah penolong yang baik. Kalau kau tak melindungiku, tentu aku sudah
kecebur ke kolam. Sudah lama aku tak punya penolong selagi mendapatkan kesulitan?" kata
wanita itu pelan dengan sedikit keluh.
"Saya mohon diri, Nyi Mas?" kata Pragola mundur dari tempat itu.
"Kapan engkau akan kembali lagi ke sini?" gumam Nyi Mas Layang Kingkin.
"Barangkali sesudah saya kembali dari wilayah timur, Nyi Mas?" kata Pragola ragu-ragu.
"Aku menunggu keberhasilan usahamu. Dan bila kau pulang membawa sukses, maka apa pun
yang engkau inginkan dariku akan kuberikan?" tutur Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum
manis. Pragola tak berani memandang senyum itu. Dia segera berbalik dan meloncat ke atas benteng
puri dengan amat cepatnya.
*** Pasukan-Pasukan Misterius
Kuda yang baik dan tangguh sudah disiapkan. Ada empat ekor banyaknya.
Karena kelihaian Pangeran Yudakara, maka Paman Manggala berhasil dipilih oleh Pangeran
Yogascitra untuk ikut misi yang diemban Banyak Angga.
Empat orang akan mengemban misi penyelidikan ke wilayah timur dalam upaya mencari
pasukan perwira yang terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Banyak Angga bertindak
sebagai pimpinan rombongan. Sedangkan yang jadi anggota, selain Paman Manggala dan
Pragola sendiri, ada seorang prajurit yang Pragola tak kenal. Paman Manggala pun mengaku
tak kenal kepada prajurit ini. Dan kalau Pangeran Yudakara pun tidak pernah mengenalnya
secara khusus, maka sudah diduga, bahwa prajurit ini tulen merupakan orang Pakuan.
Sekarang yang penting disimak oleh Pragola adalah sejauh mana peranan prajurit itu di dalam
rombongan kecil ini. Begitu pentingkah orang itu sehingga harus dibawa"
"Nanti aku kenalkan engkau kepada Paman Angsajaya," tutur Banyak Angga ketika Pragola
mencoba menanyakannya. Subuh hari manakala kokok ayam pertama mulai berbunyi, keempat penunggang kuda telah
keluar dari gerbang Pakuan. Suara kaki kuda berjalan perlahan di jalan berbalay yang
diselimuti kabut kecil. Dan semakin jauh meninggalkan pusat dayo (kota), langkah kaki kuda
semakin deras menderu sebab para penunggangnya memacu binatang tunggangan itu dengan
cepat. Tak ada percakapan di sepanjang jalan. Pragola hanya merasakan dinginnya cuaca subuh
sehingga tulang-tulangnya serasa ngilu.
Ada seberkas cahaya merah di ufuk timur manakala rombongan kecil ini tiba di sebuah
dataran agak tinggi. Banyak Angga menghentikan kudanya. Serentak yang di belakang pun
menarik tali kekang kuda.
"Ada apa Raden?" tanya Paman Angsajaya kaget.
" Lihatlah, pemandangan alam indah nian, " ujar pemuda itu menunjuk ke arah timur.
Merah membara merebak ke sela-sela mega. Cahaya itu terus merebak ke utara, menerpa
punggung Gunung Salak. " Begitu indah bumi Pajajaran ini. Kalau saja kedamaian pun ikut membantu, maka kehidupan
ini begitu sempurna " ujar Banyak Angga masih menatap rona merah di ufuk timur.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 62
Pragola dan Paman Manggala hanya saling pandang sejenak, sedangkan Paman Angsajaya
mengangguk mengiyakan. Setelah keadaan mulai terang tanah seperti inilah Pragola bisa mengamati prajurit yang
dipanggil Paman Ansajaya ini. Dia adalah seorang lelaki setengah baya. Barangkali usianya
hampir sama dengan Paman Manggala. Bedanya, prajurit ini sedikit jangkung dengan janggut
tipis menghiasi dagunya. Tadi malam ketika mempersiapkan keberangkatan, Banyak Angga mengatakan bahwa Paman
Angsajaya dipilih untuk mengikuti perjalanan ini karena sudah kenal dengan Ginggi.
" Dalam kurun waktu tigabelas tahun ini aku sendiri belum pernah bersua kembali dengan
pemuda itu. Dulu wajahnya mirip engkau, Pragol. Tapi menurut Paman Angsajaya, Ginggi
sekarang memelihara cambang bauk. Dalam enam tahun berselang ini, Paman Angsajayalah
yang pernah memergok Ginggi memasuki Pakuan," tutur Banyak Angga ketika membenahi
perbekalan yang harus dibawa.
" Benar Gusti, hampir berselang tiga tahun, dua kali berturut-turut, saya sempat bertemu
Ksatria Ginggi. Tiga tahun lalu saya bertemu dia walau pun hanya selintas dan dari kejauhan
saja. Tapi hamba yakin, dia adalah Ksatria Ginggi. Wajahnya bercambang seperti
kehadirannya tiga tahun sebelumnya," tutur Paman Angsajaya.
Paman Angsajaya selanjutnya mengatakan bahwa pada tiga tahun lalu Ksatria Ginggi
memasuki gerbang kota tepat di saat lawang seketeng (gerbang) akan ditutup karena senja
telah jatuh. Beberapa jagabaya bahkan hampir mencegahnya masuk kalau saja Ksatria Ginggi
tak mengatakan bahwa kehadirannya akan mengabarkan sesuatu hal penting kepada Pangeran
Yogascitra. " Tapi Ginggi tak pernah mengunjungi puri Yogascitra " gumam Banyak Angga.
Percakapan pemuda itu dengan Paman Angsajaya tadi malam membuat dada Pragola berdebar
keras. Pemuda ini menduga, tentu yang disangka Paman Angsajaya Ksatria Ginggi,
sebenarnya adalah dirinya. Tiga tahun lalu ketika pertama kali Pragola menyusup ke Pakuan,
berpura-pura sebagai prajurit dari wilayah timur dengan menggunakan cambang di wajah.
Ketika cambang itu dia lepas, Paman Manggala sempat menegurnya, kalau-kalau hali ini
mengundang masalah. Namun Pragola menolak bila cambang itu musti dia kenakan
sepanjang waktu. Dia bahkan memutuskan mengembalikan parasnya seperti sedia kala saja
sebab mustahil darisekian banyak prajurit yang keluar-masuk Pakuan dirinya bisa ditemukan.
Tokh mengaku untuk bertemu dan melaporkan sesuatu kepada Pangeran Yogascitra pun
hanya sekedar siasat untuk dapat memasuki gerbang saja. Namun tak disangka, belakangan
dirinya disuruh "menghadap" benar-benar karena Pangeran Yudakara pun punya siasat
seperti itu. Pragola berdebar karena khawatir siasatnya ketahuan orang Pakuan. Tapi juga ada semacam
rasa penasaran, mengapa Paman Angsajaya yang mengaku melihat dirinya dari kejauhan
dianggapnya sebagai Ksatria Ginggi"
Ini sesuatu hal yang menarik hatinya. Beberapa orang sudah mengatakan bahwa dirinya mirip
Ksatria Ginggi. Banyak Angga langsung mempercayai dia bahkan hampir menganggapnya
sebagai adik, hanya karena Pragola mirip Ginggi. Nyi Mas Banyak Inten pernah menatap
lama, barangkali karena hal yang sama. Dan belakangan Nyi Mas Layang Kingkin sang ibu
suri juga pernah berkata bahwa manakala melihat dirinya mengingatkan akan seorang pemuda
yang menjadi pembantu dekat keluarga puri Yogascitra pada belasan tahun silam. Tentu yang
dimaksud Nyi Mas Layang Kingkin adalah Ksatria Ginggi pula. Namun benarkah kata orang,
wajahnya mirip Ksatria Ginggi"
" Persetan dengan kemiripan itu! Yang penting aku tak punya hubungan apa-apa dengan
orang itu, sebab sebenarnya dia harus aku bunuh!" desisinya dalam hati. Ya, mengapa tidak
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 63
begitu, sebab berkali-kali dia tegaskan, Ksatria Ginggilah penyebab kematian Ki Guru
Sudireja. Semakin banyak yang katakan dirinya mirip Ksatria Ginggi, semakin benci dia
kepada orang itu. Itulah sebabnya penawaran Nyi Mas Layang Kingkin agar dia mau menggagalkan misi ini,
Pragola setuju sekali. Mengapa ibu suri yang masih muda dan cantik ini tak setuju dengan
misi ini, Pragola tak perlu tahu, yang penting tujuan wanita anggun itu sejalan dengan dirinya.
Tentu saja Pragola harus pro kepada keinginan Nyi Mas Layang Kingkin, dari pada harus
membantu Banyak Angga yang bahkan memiliki tujuan kebalikannya, yaitu ingin
menghimpun orang pandai dalam memperkuat Pakuan dan yang di antaranya akan berupaya
mencari Ksatria Ginggi. Jadi, bila sekarang dia ikut misi, bukan karena ingin membantu
Banyak Angga, melainkan ingin memanfaatkan pemuda dari puri Yogascitra ini dalam
mencari Ksatria Ginggi untuk dirinya. Banyak Angga yang mencari Ksatria Ginggi dan
Pragolalah yang kelak akan membereskan nyawa orang itu!
"Mari kita lanjutkan perjalanan"!" suara banyak Angga menyadarkan lamunan Pragola.
Pemuda ini hanya menoleh, ternyata Banyak Angga pun tengah menatap dirinya. Pragola
sedikit terkesiap sebab tentu Banyak Angga sejak tadi memperhatikan dirinya yang sarat
dengan lamunan. Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekarang kuda dipacu dengan keras karena hari itu juga
rombongan harus sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang.
Ketika matahari tepat di atas kepala, rombongan baru tiba di daerah kekuasaan Kandagalante
Tanjungpura. Banyak Angga ternyata kenal baik terhadap penguasa Tanjungpura, yaitu
Subangwara. Pejabat ini nampak sudah tua, barangkali usianya sekitar enampuluh tahunan.
Menggunakan pakaian dan baju jenis takwa dari beludru hitam dan kepalanya mengenakan
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bendo citak batik hihinggulan.
Ketika akan menerima kedatangan Banyak Angga, pejabat ini musti pergi dulu ke ruangan
pribadinya dan kembali lagi ke beranda sudah mengganti tutup kepalanya dari bendo citak
kepada jenis iket lohen. Pragola tersenyum tipis menyaksikan hal ini. Barangakali Kandagalante Subangwara takut
kesetiaannya kepada Pakuan diragukan. Iket lohen adalah tutup kepala khas orang Pajajaran,
sedangkan bendo citak adalah sejenis tutup kepala yang biasa digunakan orang Cirebon.
Begitu pun pakaian baju jenis takwa, yang biasa menggunakannya adalah pejabat Cirebon.
Namun Banyak Angga tidak begitu terpengaruh oleh soal pakaian.
Pragola mendapatkan, sebenarnya Banyak Angga tidak tersinggung dengan cara-cara
berpakaian. Bendo citak dan baju takwa misalnya, datang merasuk ke Pajajaran karena
pengaruh orang-orang kerajaan agama baru. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran
dikuasai negara agama baru yaitu Cirebon yang dibantu Demak (1527 Masehi), perdagangan
laut otomatis dikuasai kerajaan agama baru. Perdagangan di pantai utara misalnya, praktis
hanya dilakukam oleh orang-rang Cirebon bahkan Demak. Namun kendati begitu, yang
namanya dagang tetaplah dagang. Dan bagi kaum pedagang yang tujuannya mencari untung,
maka urusan politik bisa ditepis.
Sebelum pusat-pusat perdagangan pantai milik Pajajaran direbut Cirebon, orang-orang
Pakuan sudah terbiasa melakukan hubungan dagang dengan negara mana pun jua. Maka
ketika itu mengalir berbagai jenis keperluan sehari-hari dari kedua belah pihak. Pihak
Pajajaran menjual seribu jung (kapal) buah asem ke Andalas, atau sebaliknya membeli seribu
ekor kuda dari Sumba dalam setiap tahunnya. Orang-orang Pakuan pun sudah terbiasa
menjual kain jenis kasar kepada negri Cina tapi sebaliknya membeli kain sutra halus dari
mereka. Namun sesudah Cirebon menguasai perdagangan pantai, maka Pakuan sudah tak
sanggup lagi melakukan hubungan dagang secara langsung. Di luar kebijakan politik
pemerintah, maka perdagangan antara "dua musuh" dilakukan oleh pribadi-pribadi kaum
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 64
pedagang saja. Dalam hal ini tentu si penguasa perdaganganlah yang mendiktekan segalanya,
termasuk mendiktekan keinginan dalam menyebarkan perdagangan budaya. Budaya
berpakaian misalnya. Orang-orang pesisir utara hampir cenderung terpengaruhi budaya orangorang
Cirebon atau bahkan Demak dalam bertindak-tanduk, termasuk dalam tradisi
berpakaian. Tradisi ini sedikit demi sedikit merebak ke pedalaman, yaitu ke arah selatan, ke
wilayah Pajajaran. Dala kurun waktu hampir tigapuluh tahun sejak perpindahan kekuasaan
perdagangan wilayah pantai ini, tradisi berpakaian antara pesisir utara dengan penduduk
Pajajaran yang berbatasan dengan wilayah utara atau timur misalnya, sudah sulit dibedakan.
Orang-orang Pajajaran di wilayah perbatasan menggunakan jenis pakaian yang hampir sama
dengan orang-orang Cirebon karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena jenis pakaian itu
banyak dijajakan oleh pedagan Cirebon. Tapi ada juga yang bertahan karena punya pendapat
sendiri. "Bendo citak mungkin datang dari Demak melalui orang-orang Cirebon. Tapi baju takwa di
Pajajaran sudah ada sejak ratusan tahun silam," ujar Paman Angsajaya di saat istirahat di
Tanjungpura. Kata prajurit setengah baya ini, jenis baju takwa sudah masuk ke wilayah
Kerajaan Sunda sejak lama, yaitu semenjak orang-orang Cina melakukan hubungan dagang
ke wilayah Nusantara, termasuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Jadi menurut Paman Angsajaya,
baju takwa pertama kali digunakan oleh orang Cina. Namun sesudah datang ke Nusantara,
mengalami berbagai perubahan sedikit-sedikit sesuai dengan selera si pemakai.
Pendapat ini dipercaya juga oleh Banyak Angga. Itilah sebabnya dia tak begitu banyak aturan
perihal cara-cara berpakaian. Kalau pun Kandagalante subangwara menggunakan baju takwa
karena pengaruh orang Cirebon, itu wajar saja, mengingat Tanjungpura amat dekat ke wilayah
utara yang dikuasai Cirebon.
"Selamat datang di wilayah Tanjungpura ini, Raden?" kata Kandagalante Subangwara
hormat sekali. Pragola memang sudah tahu, pengaruh Pangeran Yogascitra sebagai penasihat
Raja demikian besar, terutama sesudah peristiwa pemberontakan Sunda Sembawa yang gagal
pada tigabelas tahun silam itu. Jadi tidak berlebihan bila Banyak Angga pun mendapatkan
penghormatan yang sama dengan ayahnya.
"Saya bersyukur karena bisa melakukan perjalanan ke sini dengan selamat tanpa mendapatkan
gangguan yang berarti di tengah perjalanan?" kata Banyak Angga duduk bersila saling
berhadapan. Kandagalante Subangwara hanya tersenyum dikulum. Sebetulnya semua orang
tahu, Tanjungpura merupakan wilayah rawan. Daerah ini terletak di perbatasan kekuasaan
orang-orang Cirebon, puluhan tahun silam sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara
pasukan Cirebon dengan pasukan Pajajaran. Namun belakangan, kekuasaan Cirebon semakin
kuat dan sebaliknya pasukan Pajajaran semakin lemah. Hanya karena pasukan Cirebon tak
berani menyerbu langsung ke pedalaman saja menyebabkan pertempuran besar dan habishabisan
tidak pernah berlangsung.
Ucapan Banyak Angga barusan mungkin hanya sekedar sindiran untuk mengatakan betapa
sulitnya melakukan perjalanan ke utara ini, sebab sesekali waktu akan bertemu musuh.
Barangkali ucapan ini pun adalah sebuah harapan. Sebagai orang pusat, Banyak Angga punya
keinginan agar wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran tetap tangguh dan
terjamin keamanannya. Kalau pun tak sanggup mengusir musuh yang ada di perbatasan,
paling tidak wilayah yang ada harus dipertahankan keutuhannya.
"Tanjungpura masih tetap milik Pajajaran, Raden. Kendati Cirebon masih menguasai wilayah
pesisir utara, namun kekuatannya tidaklah setangguh dahulu. Cirebon bahkan kini seperti tak
punya niat untuk melakukan peperangan dengan kita, apalagi sesudah pendukung utamanya,
yaitu Kerajaan Demak mulai melemah karena terlalu banyak percekcokan di dalam negrinya
sendiri. Namun harus saya akui, keamanan di wilayah perbatasan ini memang cukup rawan.
Bukan dari orang-orang Cirebon, melainkan dari kaum perampok," tutur Kandagalante
Subangwara. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 65
"Di mana-mana perampok selalu saja ada?" gumam Banyak Angga.
"Kadang-kadang mereka tidak mengatasnamakan perampok tulen, melainkan berkedok
politik,"tutur Kandagalante Subangwara. Banyak Angga melirik tajam.
"Yah, barangkali Raden juga sudah mengetahuinya sejak lama bahwa terjadi saling pengaruh
antara Cirebon dan kita. Tentu rakyatlah yang diperebutkan. Kita mempertahankan kita agar
tetap bersetia kepada pajajaran. Tapi di lain pihak Cirebon pun berupaya agar wilayahwilayah
yang ada di sekitar pajajaran mau bergabung dengan mereka. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Bila ada wilayah yang berniat melepaskan diri dari kita,
maka ada penjahat yang pura-pura jadi prajurit Pajajaran. Mereka akan mengancam
melaporkannya ke Pakuan kalau tak sanggup membayar upeti. Sebaliknya bila ada wilayah
yang masih bertahan dengan kesetiaannya terhadap Pakuan, maka mereka menyamar sebagai
prajurit Cirebon. Mereka menjarah harta rakyat, bahkan berani membunuh dan memperkosa
kaum wanita," "Kurang ajar"!" desis Banyak Angga."Tapi tidakkah mereka sebetulnya orang-orang
Cirebon?" tanyanya. "Kami pun pernah bercuriga seperti itu. Tapi rasa curiga ini malah menjadikan orang-orang
Cirebon marah. Hampir terjadi penyerbuan karena kemarahan ini. Menurut mereka, orang
Cirebon pemilik agama baru tak nanti harus melakukan tindakan bejat dan tak
berprikemanusiaan. Kalau pun mereka perang, maka bertempur di jalan agama. Begitu kata
mereka," tutur Kandagalante Subangwara. Dan ucapan pejabat ini amat melegakan perasaan
Pragola yang ikut menyimak percakapan ini.
"Pernah terjadi pertempuran besar?" tanya Banyak Angga lagi.
"Setahun yang lalu terjadi pertempuran dengan kelompok yang mengaku prajurit Cirebon.
Mereka ganas dan memeras rakyat. Jadi tak percaya mereka prajurit Cirebon. Tapi percaya
atau tidak, yang pasti mereka harus kami lawan. Maka terjadi bentrokan senjata. Mereka
sepertinya orang-orang yang pandai bertempur, prajurit Tanjungpura hampir terdesak, banyak
yang luka bahkan terbunuh. Tapi di saat genting seperti itu, tiba-tiba muncul seorang ksatria.
Kepandaiannya menakjubkan. Dalam beberapa saat saja satu pasukan penyerbu bisa
dilumpuhkan. Ksatria itu mengalahkan musuh tanpa membunuh. Saya baru ingat, ksatria
Pajajaran yang melumpuhkan musuh tanpa membunuh, tak ada lain, kecuali pemuda sakti
bernama Ginggi. Kaum prepantun (juru pantun) di Tanjungpura kerapkali menggambarkan
perangai dan tindak-tanduk Ksatria Ginggi seperti itu?" tutur Kandagalante Subangwara.
Hati Pragola berdebar keras ketika mendengar cerita ini. Ginggi, lelaki yang harus dia
temukan ini ternyata pernah ke tempat ini setahun yang lalu. Tapi begitu hebatkah kepandaian
orang itu" Masa satu pasukan dia kalahkan sambil tidak membunuh" Pragola membayangkan,
betapa sulitnya melumpuhkan banyak musuh tanpa membunuh. Yang pernah dia alami,
mencoba membebaskan diri dari sebuah kepungan hanya bisa dilakukan dengan mencoba
menurunkan tangan kejam. Kalau tak membunuh, sekurang-kurangnya mencederai lawan.
Mungkin orang-orang Tanjungpura melebih-lebihkannya. Namun benar atau tidak, Pragola
harus bertemu dengan lelaki itu. Bukan untuk sekadar mencoba kedigjayaannya, melainkan
untuk melawan dan mengalahkan orang itu. Ya, lelaki bernama Ginggi itu harus dia kalahkan.
Barangkali juga harus dia bunuh sebagai balasan kematian Ki Guru Sudireja.
"Tak ada orang yang memiliki kekuatan sempurna. Walau pun sedikit dan tak kentara, siapa
pun pasti memiliki kelemahan. Itulah peluang untuk mengalahkannya," kat Ki Guru Sudireja
ketika masih hidup. Pragola percaya akan perkataan gurunya ini, itulah sebabnya di atak
pernah takut, termasuk menghadapi Ginggi.
Yang tertarik atas berita kehadiran Ginggi ini, termasuk Banyak Angga. Pragola mendapatkan
wajah pemuda itu yang penuh harap. Betapa tidak, perjalanan jauh yang tengah dilakukan ini,
selain menyelidiki kebenaran perihal terkepungnya belasan perwira senior di Puncak
Cakrabuana, juga tengah mencari orang-orang pandai yang di antaranya Ginggi inilah.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 66
"Setahun yang lalu dia ada di sini?"" gumam pemuda itu.
"Saya sendiri tak sempat mencegahnya, sebab kata para prajurit, Ksatria Ginggi segera berlalu
setelah menyelesaikan tugasnya," tutur Kandagalante Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekur.
"Adakah sesuatu yang penting perihal dirinya, Raden?" tanya penguasa Tanjungpura ini.
Banyak Angga mengangguk. Kemudian dia memaparkan maksud perjalanannya ini. Betapa
ayahnya menginginkan Pakuan dipenuhi orang-orang tangguh untuk menjaga kemungkinan
penyerbuan dari musuh. "Pajajaran selalu dirundung malang. Sejak dulu musuh gemar mengganggu. Kini, siapa yang
dianggap berbahaya bagi negri kita, Raden?" tanya Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekue sambil memangku kedua belah tangannya di depan dada.
"Barangkali musuh akan datang dari mana-mana, termasuk dari dalam diri kita
sendiri?"gumam pemuda berkimuis tipis ini.
Kandagalante Subangwara menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam.
"Musuh yang datang dari luar bisa dilihat. Tapi musuh yang paling berbahaya adalah yang
ada di dalam. Mereka sembunyi di tempat terang. Mereka berkumpul dengan kita. Saling
bersua, saling menolong, barangkali juga bersahabat. Namun tentu itu semua palsu sebab
merupakan bagian dari siasat dan strategi mereka?"gumam Banyak Angga setengah
mengeluh. "Seperti yang dilakukan Purbajaya belasan tahun yang silam itu, Raden?"gumam
Subangwara. Banyak Angga menunduk dan menghela napas.
Pragola pernah mendengar kisah Purbajaya ini. Belasan tahun silam pemuda ini datang dari
wilayah Kandagalante Tanjungpura ini. Purbajaya yang pernah menjalin kasih dengan
kemenakan Kandagalante Subangwara, datang ke Pakuan dengan niat mengabdikan
keakhliannya sebagai puhawang (akhli lautan). Tentu saja Pakuan amat membutuhkan tenaga
seperti itu sebab Pajajaran punya niat kembali merebut wilayah pantai. Namun kehadiran
Purbajaya ke Pakuan sebenarnya hanya sebagai upaya penyusupan saja. Tujuan sebenarnya,
dia datang atas suruhan Cirebon dalam upaya melemahkan kedudukan Sang Prabu Ratu Sakti,
penguasa Pakuan ketika itu. Purbajaya hampir saja berhasil membunuh Sang Prabu Ratu
Sakti, kalu saja niat itu tak dihalangi Ksatria Ginggi. Pukulan telak yang dilakukan Purbajaya
ke arah Sang Prabu ditangkis keras oleh Ksatria Ginggi. Akibatnya, Purbajaya terlempar ke
belakang. Pemuda itu luka parah dan akhirnya tewas oleh tenaga pukulan membalik ke
tubuhnya sendiri. (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran)
Pragola tahu, Banyak Angga tentu sedih dengan kejadian itu sebab boleh dikata Purbajaya
adalah sahabatnya. Pemuda Tanjungpura ini memang mengabdi di puri Yogascitra. Dan
selama berada di sana, ke mana-mana selalu berdua. Barangkali pemuda ini tak menyangka
bahwa persahabatan hanya palsu belaka. Purbajaya hanya berpura-pura sebagai orang
Pajajaran. Padahal yang sebenarnya hanyalah akan menghancurkan Pajajaran.
Ingat sampai di sini, Pragola agak memerah pipinya. Bukankah dirinya pun hadir ke Pakuan
ini untuk menghancurkannya" Banyak Angga benar, musuh yang paling berbahaya adalah
yang sembunyi di tempat terang.
"Saya tak benci kepada Purbajaya. Tapi saya memang punya kesedihan yang dalam?"tutur
Banyak Angga."Terkadang kita terlalu lemah. Itulah salah satu musuh dalam diri kita
sendiri," tuturnya lagi."Kelemahan saya, saya selalu percaya semua orang. Mengapa saya
mesti tak percaya orang, padahal saya tak pernah membohongi mereka?" gumam Banya
Angga. Pragoal merasa disentil telinganya ketika mendengar ucapan ini.
Untunglah, percakapan hari itu sampai di situ saja, sehingga perasaan yang tak enak yang ada
pada diri Pragola tidak terus mengganggunya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 67
*** Hanya satu malam saja rombongan istirahat di Tanjungpura. Pagi hari seusai sarapan, mereka
segera melanjutkan perjalanan.
"Hati-hatilah Raden, perjalanan menuju Sagaraherang, keamanan kurang terjamin," kata
Subangwara memperingatkan.
Kata Kandagalante Subangwara, di hutan jati antara dua wilayah kandagalante itu banyak
didapat kelompok-kelompok jahat. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan diri dari
Pakuan, namun juga tak mau bergabung dengan kekuatan mana pun, termasuk Cirebon. Kerja
mereka hanyalah malang melintang di hutan-hutan jati menggangu keamanan. Setiap ada
rombongan pedagang lewat, pasti diganggu dan barangnya dirampok.
"Saya pun sudah mendengar, Paman. Menurut penyelidikan, mereka adalah sisa-sisa pengikut
Kandagalante Sunda Sembawa yang melarikan diri karena pemberontakannya bisa
digagalkan. Tentu saja kami harus hati-hati terhadap mereka sebab perampok hutan jati suka
berlaku kejam kepada orang yang datang dari Pakuan," kata Banyak Angga.
Akhirnya rombongan kecil ini berangkat meninggalkan Tanjugpura dan dilepas oleh doa-doa
pendeta agar perjalanan tak mendapatkan halangan.
Perjalanan menuju Sagaraherang akan memakan waktu sehari semalam bila dilakukan dengan
berkuda. Namun baik berjalan kaki mau pun menggunakan kendaraan tidak akan selancar
seperti yang diperkiraan. Ini karena perjalanan di wilayah utara harus dilakukan dengan hatihati.
Terkadang harus main sembunyi. Seperti sudah diterangkan, daerah utra adalah wilayah
Cirebon yang sudah puluhan tahun menjadi musuh bagi pajajaran. Tujuan Banyak Angga
melakukan perjalanan ke wilayah timur bukanlah untuk melakukan pertempuran di setiap
perjalanannya. Melainkan untuk melakukan penyelidikan perihal tertahannya belasan perwira
senior Pakuan di Puncak Cakrabuana. Banyak Angga tak berniat mencari kesulitan di tengah
jalan. Tapi Pragola sebenarnya lebih mengenal daerah ini ketimbang Banyak Angga. Hanya
kelompok anak muda ini yang tahu, betapa berbahayanya perjalanan yang dilakukan Banyak
Angga ini. Perjalanan menuju wilayah timur yang dilakukan Banyak Angga selain
kemungkinan bakal diganggu kaum perampok, secara pasti juga akan dihadang pasukan tak
resmi dari Cirebon. Sekurang-kurangnya begitu menurut berita yang disampaikan utusan
Pangeran Yudakara kepada Pragola sebelum keberangkatan bersama rombongan ini. Bukan
sekadar mengganggu, sebab barangkali juga akan membunuhnya.
Sudah menjadi tekad Pangeran Yudakara untuk tak membiarkan Pakuan menjadi kuat
kembali. Itulah sebabnya, berbagai siasat digunakan agar kekuatan Pakuan bisa dilumpuhkan.
Pangeran Yudakara bersiasat mengundang harimau keluar sarang, dengan tujuan agar sarang
itu sendiri menjadi kosong penghuni. Dalam upaya ini pulalah maka pasukan penghadang
sengaja disebar di sepanjang perjalanan.
Pangeran Yudakara tahu betul ke mana rombongan kecil ini akan melakukan perjalanan.
Memang mudah diduga, perjalanan ke wilayah timur hanya akan menyusuri jalan utama.
Sejak masa perkembangan Pakuan Pajajaran, memang ada jalan yang menghubungkan
wilayah barat dan timur. Yang di maksud jalan besar, adalah jalan yang bisa dilalui roda
pedati tau kendaraan berkuda lainnya. Jalan besar itu menghubungkan dayo Pakuan dengan
Galuh di timur, melalui Cileungsi, Warunggede, Tanjungpura, Karawng, Cikao, Purwakarta,
Sagaraherang, terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagluh, Talaga, Kawali dan
berakhir di Galuh. Itulah jalan besar yang mudah dilalui. Kaum pedagang mengunakan jalan
utama ini sebagai jalur ekonomi. Namun tentu saja bukan tanpa gangguan. Sejak dulu pun di
Pajajaran masih memiliki kejayaan, perampok dan pengacau keamanan kerapkali
menghadang yang lalu-lalang. Kaum pedagang dan pengelelanaanlah yang biasanya
diganggu. Sekarang, di mana Pajajaran mengalami kemerosotan kekacauan bahkan hampir
terjadi di mana-mana. Bukan saja kekacauan yang disebabkan oleh kaum penjahat biasa,
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 68
melainkan juga oleh golongan yang bertindak atas kepentingan politik. Contoh yang jelas saja
rencana penghadangan yanhg dilakukan orang-orang Yudakara terhadap rombongan kecil
yang dipimpin oleh Banyak Angga ini.
Benar seperti perkiraan Pragola, di hutan jati antara Tanjungpura-Sagaraherang, rombongan
dicegat oleh satu kelompok orang. Nereka tampak beringas. Tanpa memberi peringatan atau
ancaman terlebih dahulu, kelompok asing ini langsung melakukan penyerangan. Pragola bisa
melihat dengan jelas, serangan itu bertujuan untuk membunuh. Serangan mereka rata-rata
ganas dan menggunakan gobang (pedang) tajam terhunus. Ada juga yang membawa golok
bahkan gegendir (sejenis penggada) terbuat dari kayu jati tua.
Kaum penyerang itu belasan orang jumlahnya. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dengan
wajah bercambang. Pakaian mereka terbuat dari kain hitam kasar, baju kampret dan celana
sontog. Empat orang rombongan kecil ini segera dikepung rapat oleh para penghadang itu. Pragola
sendiri pun termasuk orang yang menjadi sasaran penyerangan ini, demikian juga Paman
Manggala. Serangan yang datang padanya terasa amat sungguh-sungguh dan tujuannya seperti mengarah
nyawa. Sambil mencoba menahan serangan yang datang bertubi-tubi dari kiri dan kanannya,
Pragola meneliti lebih seksama kepada bertempur dan penampilan mereka. Pemuda ini sedikit
mengerutkan dahinya sebab para penyerang tidak menampilkan gerakan dengan penuh
perhitungan, apalagi menggunakan strategi tempur seperti militer. Padahal kalau
pemberitahuan Pangeran Yudakara bisa dipercaya, yang melakukan penghadangan
rombongan kecil ini adalah tentara Cirebon yang menyamar sebagai kelompok penjahat.
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut Pangeran Yudakara, pasukan Cirebon akan mencegar Banyak Angga dan kalau
mungkin membunuhnya. Bila putra Pangeran Yogascitra ini tewas sebelum menunaikan
tugasnya, maka akan disusul lagi oleh utusan lainnya. Utusan kedua dan seterusnya akan
selalu dihadang dan dihancurkan sehingga pada akhirnya semua kekuatan di Pakuan
dilumpuhkan. Inilah siasat mengundang harimau keluar sarang seperti yang dikatakan
Pangeran Yudakara tempo hari.
Benarkah rombongan penghadang ini tentara Cirebon yang tengah menyamar" Pragola hafal
sekali gaya bertempur orang-orang Cirebon. Di samping ilmu berkelahi mereka tinggi-tinggi,
mereka juga menjungjung sifat-sifat ksatria. Kalau mau melakukan penyerangan selalu
memberikan peringatan terlebih dahulu kepada lawan dengan cara berteriak keras. Banyak
perwira Cirebon juga pantang membunuh kalau tidak perlu sekali. Mereka hanya ingin
melumpuhkan dan menaklukan lawan saja. Sebab kendati kata mereka membunuh dalam
peperangan dibenarkan dalam agama, namun pembunuhan itu sendiri bukanlah tujuan utama.
Tapi Pageran Yudakara memang sudah mengatakan, bila keadaan memaksa, Banyak Angga
harus dibunuh. Sekarang nampak nyata, pasukan penghadang itu bergerak bukan karena
terpaksa oleh keadaan, melainkan sudah menjadi tujuan utamanya. Mereka datang memang
untuk membunuh. Dan sialnya, mengapa dirinya sendiri pun sepertinya hendak dibunuh juga"
Gerakan-gerakan ganas bolehlah dilakukan. Tapi fungsinya sekadar untuk mengelabui
Banyak Angga saja. Sekarang, kelihatannya seperti bukan pura-pura dan Pragola meski
meningkatkan kewaspadaan kalau tak mau nyawanya melayang oleh sabetan golok atu
tusukan gobang. Pragola dikepung oleh tiga lawan. Satu menghadang di depan dan dua berada di samping kiri
dan kanannya. Ketik orng itu melakukan serangan saling susul-menyusul dengan cepat dan
ganas. Lawan di depan mengayunkan golok yang ujungnya berkilat saking tajamnya.
Sedangkan dari kiri kanannya, secara bersamaan menusukkan ujung gobangnya. Satu
mengarah ke lambung kiri, satunya ke rusuk kanan. Sedangkan ayunan golok dari depan
mengarah lurus pada keningnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 69
Pragola adalah seorang pemuda yang sejak kecil ditempa oleh berbagai kemelut dan
kekerasan. Perkelahian baginya bukan sesuatu hal yang baru. Sejak bersama gurunya Ki
Sudireja, Pragola banyak terlibat pertempuran, baik melawan Prajurit Pajajaran mau pun
kaum perompak dan segala macam orang jahat yang mengganggu rakyat. Itulah sebabnya,
mengahdapai ancaman maut seperti yang terjadi sekarang ini, tak ada rasa gentar secuil pun.
Yang ada dalam benaknya ini hanyalah rasa marah dan heran saja. Pemuda itu tetap merasa
bingung, mengapa orang-orang yang diduga sebagai utusan Pangeran Yudakara ini
melakukan serangan ganas dan sungguh-sungguh terhadapnya"
Serangan ganas dari tiga penjuru ini sulit untuk ditangkis begitu saja, apalagi Pragola tak
berbekal senjata. Maka satu-satunya jalan adalah menghindar dengan cara meloncat ke
belakang. Pemuda itu menekuk sepasang kakinya dan hampir-hampir seperti hendak jongkok.
Ini adalah gaya tolak menjejak bumi seperti tolakan kaki kodok dalam melakukan loncatan.
Bedanya, gerakan ini dilakukn kebalikan. Tidak meloncat ke depan seperti binatang itu,
melainkan ke belakang. Tenaga tolakan itu amat besar, sehingga tubuh Pragola seperti terlontar ke belakang. Tubuh
pemuda itu terlontar ke atas hampir tiga depa tingginya. Di atas udara dia bersalto beberapa
kali untuk melihat suasana di belakang dirinya dan sekaligus berjaga-jaga terhadap serangan
baru. Ketika tubuhnya bersalto, pemuda itu sempat menyaksikan, betapa Banyak Angga pun tengah
dikepung lawan. Yang mengepungnya bahkan lebih banyak lagi jumlahnya. Dalam selintas
Pragola menghitung, ada sekitar lima atau enam orang pengepung yang mencoba mengancam
nyawa pemuda itu. Entah dia sanggup menahannya atau tidak. Tapi Pragola tak mau tahu
tentang itu. Dengan kata lain Pragola akan membiarkan kalau tokh Banyak Angga harus mati
sebab itulah keputusan Pangeran Yudakara, itulah keputusan politik! Pangeran Yudakara yang
mengaku berjuang untuk kepentingan Cirebon tengah mencoba melumpuhkan kekuatan
Pakuan sedikit demi sedikit. Matinya Banyak Angga atau siapa pun yang datang dan
memihak Pakuan adalah kemenangan buat Pangeran Yudakara.
Pragola turun ke atas tanah dengan mantap, tepat membelakangi pertempuran lain yang
dilakukan Banyak Angga. Baru saja tubuhnya berdiri tegak, serangan sudah menghambur dari depannya. Yang
melakukan serangan adalah tiga orang tadi itu. Pragola harus siap-siap kembali menerima
serangan mereka. Namun sebelum mereka benar-benar dekat, terdengar teriakan Banyak
Angga jauh dibelakangnya.
"Pragola, awas di belakang!!!" teriak Banyak Angga. Dengan gerakan amat cepat Pragola
memutar tubuhnya. Ternyata tiga penyerang tengah mengayunkan golok besar ke arah
punggungnya. Pragola tak ada waktu untuk menghindar. Maka satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri adalah mencoba mendahului melakukan penyerangan. inI adalah lomba
kecepatan. Apakah serangan golok yang lebih dulu mencehcar dirinya, ataukah sodokan
sepasang kepalan tangannya yang mengarah kekiri dan kanannya.
Namun tak percuma Pragola digembleng bertahun-tahun oleh mendiang Ki Guru Sudireja.
Sejak usia dini dia telah dilatih melakukan gerakan-gerakan cepat. Mula-mula dalam waktu
singkat harus mampu melayangkan pukulan kiri-kanan ke batang pohon pisang masingmasing
seratus kali. Semakin usia latihan bertambah, maka jumlah pukulan harus semakin
banyak. Yang dipukul pun bukan sekadar batang pohon pisang lagi, melainkan batang pohon
enau. Dalam usia remaja, Pragoal sudah sanggup memukul hancur batang pohon kelapa sekali
tohok. Ini adalah lomba kecepatan. Dan gerakan cepat itu dilakukannya dengan kekuatan penuh.
Maka tak ayal, hasilnya adalah jeritan-jeritan kesakitan. Ketiga orang penyerangnya terlontar
keras hampir tiga depa ke belakang. Dua penyerang di kiri kanannya mendapatkan sodokan
keras dari sepasang tangan yang dilakukan secara silang dan penyerang yang berada di
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 70
tengah menerima tendangan telak di ulu hati.
Tentu ini adalah serangan yang cukup kejam sebab hasilnya adalah kematian. Betapa tiga
orang lawan yang terpental itu jatuh bergulingan beberapa kali, berkelojotan dan kemudian
diam tak bergerak. Untuk sementara Pragola bebas sari penyerang. Dengan kaki terpentang lebar dia berdiri
bertolak pinggang, mengawaskan sibuknya Banyak Angga menghindarkan kepungan dari
kiri-kanannya. Pragola juga mengawasi, betapa teman-temannya yang lain tengah mendapatkan kepungan.
Paman Manggal adikeroyok tiga orang dan Paman Angsajaya dikeroyok dua lawan. Pragola
tak perlu membantu kedua orang ini sebab dalam selintas pun dia sudah dapat menarik
kesimpulan bahwa kemampuan lawan masih di bawah kepandaian kedua orang itu. Paman
Manggala dengan entengnya berkelit ke sana-kemari menghindarkan serbuan golok-golok
lawan. Begitu pun Paman Angsajaya dengan amat indahnya menggerakkan langkah kaki
dalam upaya menghindari serbuan lawan. Paman Angsajaya sanggup bergerak indah mungkin
dia punya gaya berkelahi yang indah tapi mungkin juga karena sanggup mengendalikan lawan
yang kemampuannya di bawahnya. Baik Paman Angsajaya mau pun Paman Manggala
ternyata tak mencoba untuk membunuh lawan. Paman Manggala mungkin tak punya niat
sebab dia tahu, "musuh" yang menghadang ini sebenarnya teman. Tapi Pragola patut memuji
kepada Paman Angsajaya. Sudah jelas nyawanya selalu diancam sebab lawan berniat untuk
membunuhnya. Tapi prajurit Pajajaran setengah baya ini seperti tak berniat untuk
membunuhnya. Dia memang balik menyerang dan melakukan beberapa pukulan namun tak
ada pukulan telak yang mengarah nyawa lawan.
Mungkin Paman Angsajaya ingin menagkap lawan hidup-hidup untuk kelak diteliti
identitasnya tapi juga karena mungkin orang ini punya hti lembut. Seperti yang banyak
didengar Pragola, rata-rata orang Pajajaran punya kelembutan hati. Mereka tak suka
mengganggu orang lain tapi juga tak suka diganggu. Mereka tak suka membohongi tapi juga
tak suka dibohongi. Tapi menurut Pangeran Yudakara, sifat-sifat seperti ini adalah sesuatu
yang lemah. Karena selalu jujur maka orang Pajajaran pun selalu menganggap orang lain
jujur. Sekali dipermainkan oleh tindakan akal-akalan seperti permainan politik misalnya,
maka hancurlah mereka. Pragola kembali berpaling untuk memperhatikan nasib Banyak Angga. pemudA tampan
berusia sekitar 27 tahun atau lebih ini nampak sibuk sekali dikeroyok oleh lima orang
lawannya. Pragola tak sayang jiwa anak pejabat Pakuan ini. Kalau mati dalam pertempuran
ini tak mengapa sebab hanya punya arti satu bagian dari tugasnya sudah terselesaikan secara
tak langsung. Tapi Pragola pun tak mau orang bercuriga padanya. Kelima orang pengeroyok
itu memang masih bersikap mengepung namun sepertinya tak sanggup membunuh Banyak
Angga dalam waktu cepat. Kalau kesibukan pemuda itu tak cepat dibantu hanya akan
membuat curiga saja. Siapa pun tak boleh ada yang menduga bahwa Pragola berpihak pada
kaum penyerang. Maka untuk itu dia terpaksa harus membantu Banyak Angga untuk
menyapu "lawan".
Maka ketika melihat kelima orang itu begitu bertele-tele dalam upaya membunuh Banyak
Angga, Pragola hanya menganggap bahwa ini sebuah kegagalan. Kegagalan yang satu tak
boleh disusul oleh kegagalan yang lainnya. Timbullah rasa curiga orang-orang Pakuan karena
tak membantu Banyak Angga dalam membebaskan diri dari mara-bahaya hanya akan
menciptakan kegagalan lebih parah lagi. Maka untuk itu, dia segera turun melibatkan diri.
Kini Banyak Angga kepas dari kepungan bahkan dari bahaya kematian sesudah Pragola turun
membantu. Bahkan dalam waktu yang cukup singkat para pengepung sudah porak-poranda.
Semuanya sudah bisa dilumpuhkan oleh Pragola sebab perhatian para penyerbu tengah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 71
tertumpu kepada Banyak Angga.
Banyak Angga sendiri terpana melihat kehebatan Pragola. Barangkali pemuda itu sebelumnya
tidak pernah menduga bahwa pembantunya ini demikian tinggi ilmu berkelahinya.
Diperhatikan secara khusus seperti ini Pragola sedikit gagap dan merasa serba-salah.
Barangkali dia terlalu memperlihatkan kebolehannya di depan umum, teristimewa di hadapan
"majikan"nya, Banyak Angga. Mungkin Banyak Angga akan merasa tersimggung sebab
kegagahannya yang baru saja ditampilkan sepertinya mendudukkan pemuda itu ke tempat
yang rendah. Terlalu cepatnya Pragola menundukkan lawan hanya mencoreng harga diri
Banyak Angga, karena pemuda anak pejabat ini, yang mendapatkan tugas berat melakukan
perjalanan ke wilayah timur yang berbahaya ini, nyatanya tak memiliki kepandaian berarti.
Namun perkiraan-perkiraan yang membuat dada pragola berdebar adalah kalau saja Banyak
Angga berpikir lain. Bagaimana bila pemuda ini mencurigai dirinya" Pragola diperkenalkan
oleh Pangeran Yudakara ke pihak istana hanya sebagai prajurit biasa. Mungkinkah seorang
prajurit biasa memiliki kepandaian begitu tinggi" Ini yang membuat Pragola khawatir.
Dengan perasaan sedikit tegang Pragola menatap Banyak Angga yang datang mendekat untuk
melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.
Belakangan Banyak Angga datang ternyata hanya untuk memeluknya.
"Adikku, ternyata kepandaianmu demikian hebat. Aku bangga padamu," tutur pemuda itu
sejujurnya. Ditepuk-tepuknya punggung Pragola dengan penuh suka-cita.
Lega hati Pragola. Ternyata Banyak Angga tak berburuk sangka padanya.
"Pangeran Yudakara adalah seorang yang senang merendah. Dia tak pernah mengatakan
bahwa prajurit yang jadi bawahannya demikian tinggi ilmunya. Apakah Pangeran Yudakara
memiliki banyak prajurit sepertimu?" tanya Banyak Angga masih dengan tatapan kagum.
Pragola hanya menahan napas, tak tahu harus berkata apa.
"Kepandaian saya tak begitu hebat. Kebetulan saja perhatian para pengeroyok hanya
tertumpu padamu sehingga saya lolos dari penglihatan mereka," kata Pragola pada akhirnya.
"Jangan merendahkan diri. Kau tadi melumpuhkan tiga orang dalam satu gerakan.
Seranganmu cepat dan mantap. Tak sembarang orang sanggup melakukannya," susul lagi
Banyak Angga masih dengan nada memuji.
"Ah, Raden terlalu melebih-lebihkannya. Orang yang dicekam rasa takut bila ditekan keadaan
akan melakukan sesuatu kenekadan. Saya tadi takut sekali melihat tiga orang melakukan
serangan sekaligus dari tiga jurusan. Saking takutnya dilukai mereka, saya mendahului
menyerang mereka. Hanya sekenanya saja dan kebetulan kena," tutur Pragola, juga bicara
sekenanya. Banyak Angga hanya senyum dikulum. Dan Pragola tak bisa menduga apa yang ada dibalik
senyuman itu. "Radenlah yang menyelamatkan nyawa saya. Kalau saja Raden tak memperingatkan, saya
tentu sudah tewas oleh mereka," kata Pragola.
"Engkau pun berjasa. Kalau aku kau biarkan dikeroyok kelima orang itu. Sudah pasti aku
akan binasa. Aku akan khabarkan pada ayahanda bahwa engkau telah berjasa menyelamatkan
nyawaku. Pada peringatan Kuwerabakti tahun depan, akan aku perjuangkan agar kau ikut tes
keperwiraan. Engkau cukup pandai untuk dijadikan perwira," tutur lagi Banyak Angga.
Sementara itu Paman Manggala dan Paman Angsajaya telah meringkus para penghadang.
Lima orang penghadang tewas oleh Pragola dan Paman Manggala serta Paman Angsajaya.
Sisanya tujuh orang luka-luka walau pun tidak sampai membahayakan jiwa mereka.
"Semuanya sudah kami cangkalak (ringkus), Raden," lapor Paman Angsajaya.
"Perlukah mereka dibunuh?" tanya Pragola sedikit menguji.
"Jangan bunuh mereka!" sergah Banyak Angga.
"Mereka adalah orang jahat! Mereka perampok!" sekali lagi Pragola menguji. Namun Banyak
Angga menggelengkan kepala.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 72
"Kejahatan mereka karena sesuatu sebab juga dan tak berdiri sendiri. Semua saling berkaitan.
Kejahatan hanya bisa dilenyapkan dengan mencoba menciptakan keadaan agar orang tak
berpikir menjadi penjahat," tutur Banyak Angga.
"Lalu akan kita aoakan mereka kini?" tanya Pragola.
Nampak Banyak Angga termenung sejenak.
"Ya, pada akhirnya yang berbuat jahat akan mendapatkan hukuman.
Kita serahkan kepada para penguasa setempat. Kita akan membawa mereka ke cutak (pejabat
setingkat camat kini), untuk diproses lebih jauh," gumam pemuda itu sesudah menghela napa
beberapa kali. *** Mengubur lima mayat musuh korban pertempuran kecil itu ternyata cukup menyita waktu
juga. Ini menyebabkan rombongan kecil itu harus bermalam di tempat itu.
Untuk kesekian kalinya Pragola dipaksa harus memuji perilaku dan pendirian Banyak Angga.
Dengan alasan mengejar waktu, Pragola mengusulkan agar mayat-mayat berserakan itu
ditinggal begitu saja, atau paling tidak ditutupi dedaunan. Namun Banyak Angga berpikir lain.
Kata pemuda itu, selagi hidup bisa saja orang itu jahat. Namun sesudah mati yang sisa
hanyalah jasadnya. Dan jasad orang mati si jahat mau pun si baik tak ada bedanya, semua
harus dirawat dan dihormat.
Tentu saja pendirian Pragola pun sebetulnya begitu. Kalau pun dia tadi mengusulkan laibn, itu
karena ingin lebih mengenal karakter pemuda itu saja.
Pragola tahu, ada kebiasaan orang Pajajaran dalam menyempurnakan jasad si mati. Di
wilayah Pajajaran yang banyak didapat sungai besar seperti wilayah Galuh (Ciamis sekarang)
ada istilah nerebkeun (melabuhkan). Jasad orang mati dibenamkn ke dasar sungai atau telaga.
Tapi di wilayah pegunungan yang jauh ke sungai besar, terdapat istilah ngurebkeun
(mengubur). Jasad orang mati ditanam ke dalam tanah.
Malam hari keempat orang itu tidur giliran. Bila dua orang beristirahat, maka dua orang lagi
tugur (meronda). Pragoa memilih tugur bersama Paman Manggala padahal Banyak Angga
nampaknya ingin sekali satu kelompok dengannya.
"Kepanadaian Paman Manggala kurang begitu tinggi, begitu pun Paman Angsajaya. Supaya
kekuatan seimbang, terpaksa saya harus menyertai Paman Manggala dan sebaliknya Raden
menyertai Paman Angsajaya," tutur Pragoal memberikan alasan. Dan ini dapat dimengerti
pemuda pejabat itu yang lantas setuju dan mendapatkan jatah tidur paling awal.
Padahal yang sebetulnya diingini Pragola adalah bercakap-cakap dengan Paman Manggala
perihal kecurigaan yang ada dibenaknya.
Di saat Banyak Angga dan Paman Angsajaya tidur pulas, pragola mengajak Paman Manggala
agak menjauh dari tempat itu.
Paman Manggala memeriksa ke tujuh tawanan yang terikat jadi satu. Sesudah itu baru dia
menghampiri Pragola. "Ada apa?" tanya Paman Manggala. Mereka duduk bersila saling berhadapan.
"Saya heran dengan tindak-tanduk para penghadang. Benarkah mereka prajurit Cirebon.
Gerakan tempurnya kasar sekali. Mereka pun beringas dan kejam. Ke padaku mereka
melakukan serangan ganas, seolah-olah mereka menginginkanku mati?" kata lagi Pragola.
"Barangkali itu hanya perasaanmu saja, Pragola," gumam Paman Manggala.
"tak terasakah tindakan dan perlakuan mereka pada Paman?"
"Memang terasa. Tapi aku anggap itu wajar sebab penyamaran mereka tak boleh diketahui,"
"Kita bisa mati kalau kepandaian mereka berada di atas kita," tutur Pragola.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 73
"Itulah sebabnya kita dipercaya mengemban misi ini," kata Paman Manggala.
Di kegelapan malam Pragola mencoba menatap Paman Manggala, namun suasana terlalu
gelap. Setiap bermalam di tengah perjalanan memang tak pernah memasang api unggun, takut
diserang prajurit Cirebon.
"Bisakah mereka dipercaya seperti kita dalam mengemban misi ini?" tanya Pragola.
"Mereka bisa dipercaya,"
"Tak akan buka rahasia bahwa sebetulnya mereka bukan perampok melainkan prajurit
Cirebon yang dikendalikan Pangeran Yudakara?" tanya Pragola lagi.
"Tak akan buka rahasia!" jawab Paman Manggala yakin. Pragola puas dengan jawaban ini.
Tapi dia sendiri pun tak tahu mengapa merasa puas dengan jawaban Paman Manggala.
Beberapa lamanya kedua orang itu tugur. Beberapa kali Paman Manggala memeriksa tawanan
seolah-olah ingin meyakinkan tawanan tak akan melarikan diri.
"Bisakah kita usahakan mereka melarikan diri?" tanya Pragola.
"Tak bisa, mereka luka parah?" bisik Paman Manggala.
"Karena tadi mereka seperti berusaha membunuhku, aku terpancing dan marah, sehingga
mereka terbunuh?" keluh Pragola penuh sesal.
"Itu resiko mereka. Tapi kau pun ceroboh," "Aku terlalu kasar?"
"Maksudku kau ceroboh memperlihatkan kepandaian aslimu," gumam Paman Manggala.
Pragoal mengeluh pendek. "Mungkin penyamaranmu sedikit terkuak," desis Paman Manggala."
Akan ada sedikit kesulitan karena hal ini?" sambungnya lagi penuh sesal.
Beberapa kali Paman Manggala memeriksa tawanan, sampai tiba waktunya tugur mereka
selesai. Banyak Angga bangun tepat pada waktunya dia giliran tugur.
Pragola tidur nyenyak saking lelahnya. Namun serasa belum lama, dia segera terjaga di saat
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seberkas cahaya tipis sudah nampak di langit timur. Tapi yang membuat dirinya terbangun
bukan karena keadaan sudah terang tanah, melainkan karena didengarnya suara kaget Banyak
Angga. "Ada apa?" tanya Pragola sambil mengucak-ngucak kelopak matanya.
"Semua tawanan sudah tak bernapas!" teriak Banyak Angga.
"Mati?" tanya Pragola. Dia berjingkat mendekati kelompok tawanan yang nampak duduk
saling bersandar satu sama lainnya. Kedudukan mereka sebetulnya masih belum berubah
seperti tadi malam yaitu duduk berhimpitan saling beradu punggung. Tak dinyana ternyata
pagi ini semuanya sudah tak bernapas.
Pragola memeriksa, tak ada luka baru di tubuh mereka.
"Kenapa mereka mati?" tanyanya menatap Banyak Angga.
"Itulah yang ingin aku ketahui!" kata pemuda itu.
"Radenlah yang tugur. Jadi tentu Raden harus mengetahui mengapa mereka tewas," kata
Pragola sedikit keras karena tak senang tawanan itu tewas. Bukankah mereka sebetulnya
bagian dari kelompoknya"
"Mereka mati karena luka-lukanya?" kata paman Manggala yang ternyata tengah memeriksa
satu-persatu tawanan itu.
"Mati karena luka-lukanya?" tanya Pragola mengerutkan dahi.
Mereka memang menderita luka. Tapi rasanya terlalu jauh kalau harus mati secara tiba-tiba
ini. "Luka-luka mereka biasa saja. Tak semestinya mereka mati!" kata Pragola penuh sesal.
Ucapannya ini membuat Banyak Angga menatapnya. Begitu pun Paman Manggala
menatapnya secara khusus. Pragola cepat sadar terhadap kekeliruannya ini. Barangkali
Banyak Angga merasa heran terhadapnya. Mengapa secara tiba-tiba dia penuh perhatian
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 74
terhadap keselamatan para tawanan, padahal baru kemarin dia mengusulkan agar semua
"perampok" dibunuh saja. Paman Manggala yang menatapnya penuh seksama mungki
maksudnya menegur dia agar tidak menampakkan kemarahan ini.
"Lihatlah ada pembengkakan di seputar bekas luka. Aliran darah mereka mungkin terganggu
oleh pembengkakan ini," gumam Paman Manggala. Paman Angsajaya ikut memeriksa. Tapi
jelas dalam pandangan Pragola, prajurit ini tak tahu apa-apa perihal kondisi tubuh. Dia hanya
mengangguk-angguk saja ketika Paman Manggala memeriksa dan mengambil kesimpulan
seperti ini. "Tadi malam aku teledor tidak memeriksa mereka. Kalau tak begitu, kita bisa tahu saat kapan
mereka tewas," gumam Banyak Angga penuh sesal.
"Kami tak menyalahkanmu, Raden. Biarlah, ini keinginan Hyang (Yang Kuasa) semata?"
tutur Paman Manggala."Mari kita kureubkan saja cepat-cepat, jangan sampai perjalanan kita
terhambat lagi," tutur Paman Manggala sambil segera mengambil gobang (pedang) untuk
digunakan menggali tanah. Tindakannya ini segera diikuti oleh yang lainnya kendati nampak
nyata masih ada penasaran baik dari Pragola mau pun Banyak Angga.
Sampai matahari agak tinggi barulah pekerjaan mengubur tujuh mayat selesai.
Mereka akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Tujuannya, dalam waktu dua hari berjalan
kaki harus sudah tiba di Sagaraherang. Sagaraherabg ini adalah sebuah daerah yang dipimpin
oleh Pangeran Yudakara. Tigabelas tahun silam daerah ini pernah memberontak terhadap
Pajajaran dan sempat mengirimkan hmpis seribu pasukan untuk menyerang Pakuan. Berkat
kegagahan para ksatria Pajajaran yang dibantu oleh Ksatria Ginggi, pasukan pemberontak
bisa dibendung. Kandagalante Sunda Sembawa yang memimpin pemberontakan ini terbunuh
dalam sebuah pertempuran yang berlangsung di tepian Telaga Rena Mahawijaya, Pakuan.
Sebagian meloloskan diri, sebagian lagi kalau tak tewas, menyerahkan diri.
Kejadian itu berlangsung pada zamannya pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551
M) yang terkenal kejam dan ambisius.
Sekarang pada zamannya Prabu Nilakendra (1551-1567 M) wilayah Sagaraherang bukan saja
"tak dihukum", penguasanya bahkan diberi kemudahan dalam upaya memperluas wilayahnya.
Buktinya dalam waktu dekat wilayah ini akan diperlebar wilayahnya dan Pangeran Yudakara
akan diangkat setingkat bupati. Prabu Nilakendra sudah bosan dengan peperangan. Maka
untuk meredam berbagai pemberontakan, tekanan terhadap daerah yang dulu dianggap
pembangkang diperlunak. Buktinya, penguasa sagaraherang kini, yaitu Pangeran Yudakara
bahkan mendapatkan kepercayaan begitu besar, padahal seudah jelas dia punya hubungan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
dekat dengan Kandagalante Sunda Sembawa.
Menurut penilaian Pragola, ini salah besar, sebab kendati Pangeran Yudakara tak punya niat
pribadi melakukan pemberontakan, namun tetap saja pejabat ini akan melakukan tindakan
yang merugikan kepentingan Pakuan. Orang-orang Pajajaran tidak pernah menyangkanya,
bahwa Pangeran Yudakara adalah utusan Cirebon dalam upaya meruntuhkan Pajajaran.
Selama melakukan perjalanan yang kini dilakukan dengan jalan kaki, Pragola tak habishabisnya
berpikir perihal kejadian malam itu. Rasanya ada yang ganjil yang terdapat pada diri
Paman Manggala. Sudah belasan tahun Pragola kenal dengan orang tua ini. Sejak dirinya dilatih oleh Ki Guru
Sudireja dan bahkan sejak mereka diminta Pangeran Yudakara untuk membantu perjuangan
Cirebon, Pragola tak pernah melihat Paman Pragola seganjil ini.
Pragola mencoba menyimak kembali kejadian tadi malam. Tujuh tawanan diketemukan tewas
pada pagi harinya, padahal malam hari tak ditemui tanda-tanda tawanan akan mengalami
nasib sial seperti itu. Memang benar tawanan itu rata-rata menderita luka karena perkelahian.
Namun luka-lukanya tak mungkin menyebabkan kematian. Kalau pun ada, musthil pula
ketujuh tawanan itu mati secara bersamaan.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 75
Seperti apa kata Paman Manggala, memang benar ketujuh orang "perampok" itu mati karena
aliran darahnya tersumbat. Ini jelas terlihat dari pembengkakan-pembengkakan pada bagian
tubuh mereka. Mengapa aliran darah mereka tersumbat" Inilah yang mencurigakan. Walau pun hanya
selintas tapi Pragola bisa menduga, jaln darah ke tujuh orang itu sebenarnya sudah putus, atau
sengaja diputuskan. Oleh seseorangkah" Ya! Dan Pragola justru mencurigai Paman
Manggala. Pragola hafal betul kepandaian Paman Manggala. Dulu pernah menyaksikan Paman Manggala
melatih telunjuknya dengan keras dan tekun. Paman Manggala gemar melatih telunjuknya
dengan cara melakukan tusukan-tusukan jari ke berbagai benda. Mula-mula hanya menusuk
benda-benda lunak seperti batang pisang atau batang pepaya saja. Namun semakin keras dan
semakin tinggi tingkat latihannya, semakin keras juga benda yang jadi bahanperaganya.
Belakangan bahkan Paman Manggala sanggup menusuk sebongkah batu tanpa batu itu
menjadi hancur. Batu bahkan hanya berlubang dengan bentuk yang rapih.
Mudah diduga, latihan kekuatan jari ini diperuntukkan bagi keperluan perkelahian. Betapa
tengkorak atau ubun-ubun lawan akan tertembus oleh jari Paman Manggala.
Namun kata Ki Guru Sudireja, kepandaian Paman Manggala bahkan sudah lebih baik lagi dari
itu. Hasil serangan jari Paman Manggala lebih halus dan lebih beradab walau pun hasilnya
tetap saja sadis, yaitu menyebabkan kematian. Serangan jari halus kini sudah diperagakan
kepada Pragola. Ketujuh tawanan itu tewas karena urat darahnya putus oleh serangan jari
Paman Manggala. Pragola yakin itu. Tapi yang membuat pemuda ini mengerutkan dahi,
mengapa Paman Manggala melakukan semua ini" Mengapa pula merahasiakannya"
Pragola bingung memikirkannya. Ada terjadi beberapa keanehan dalam perjalanan ini. Mulamula
mereka mendapat serangan "komplotan perampok". Pragola sebetulnya yidak akan
kaget sebab sudah jauh hari dia diberitahu, bahwa untuk mengganggu perjalanan Banyak
Angga, mereka akan diserang sepasukan "perampok". Menurut khabar yang disampaikan,
"perampok" itu sebetulnya prajurit Cirebon yang ada di bawah kendali Pangeran Yudakara.
Pragola memang sudah tahu bakal ada penyerangan di tengah jalan. Dalam serangan itu,
kemungkinan orang-orang Pakuan akan dibunuh. Namun yang membuat Pragola heran,
mengapa dalam serangan itu sepertinya dia sendiri pun masuk daftar unuk dibunuh"
Sebelum rasa bingung ini sempat terjawab, sudah disusul lagi dengan kebingungan yang lain.
Tujuh tawanan tewas secara mencurigakan dan Pragola bercuriga Paman Manggalalah
pelakunya. Mengapa ini bisa terjadi"
Pragola hanya menduga, ketujuh perampok yang sebetulnya kawan sendiri itu sengaja
dibunuh Paman Manggala untuk melenyapkan jejak. Mereka perlu dilenyapkan sebab gagal
mengemban tugas. Tentu kalau mereka semua tewas oleh Banyak Angga bukanlah suata
masalah. Namun ternyata mereka telah jadi tawanan. Banyak Angga sudah berkata bahwa
tawanan akan diserahkan kepada cutak terdekat untuk segera diperiksa.
Barangkali inilah yang dipikirkan Paman Manggala sehingga memutuskan melenyapkan
tawanan sebelum rahasia terbongkar.
Bisa dimaklumi tindakan ini. Namun yang tak Pragola habis pikir, mengapa Paman Manggala
merahasiakan padanya" Jelas sekali Paman Manggala pura-pura tak melakukan sesuatu di
hadapannya. Ini hanya punya kesan bahwa Paman Manggala tak memperbolehkan dirinya
tahu. Sementara itu perjalanan sudah ada di ujung senja. Ini adalah hari pertama perjalanan. Berarti
satu hari lagi perjalanan harus dilakukan untuk sampai di tujuan.
Namun ketika empat orang itu sudah siap-siap untuk istirahat, bencana datang lagi. Untuk
yang kedua kalinya mereka diserbu lagi oleh "perampok".
Maka pertempuran pun kembali terjadi. Kali ini dilakukan di tengah hutan jati yang sudah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 76
mulai meremang karena senja mulai jatuh.
Untuk yang kesekian kalinya Pragola menjadi bingung sebab "perampok" benar-benar ingin
menghabisi jiwa mereka. Tidak saja ingin membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya,
tapi juga seperti ingin melenyapkan nyawa Pragola dan Paman Manggala.
Di tengah-tengah kepungan ini, selintas Pragola bisa melihat rasa heran yang sangat
diperlihatkan Paman Manggala. Melihat kebrutalan para penyerbu, Paman Manggala nampak
mengerutkan kening. Apalagi kebrutalan ini juga diarahkan kepadanya.
Para penyerbu yang jumlahnya mencapai puluhan itu memang melAkukan serangan brutal
dan tujuannya membabat habis keempat orang itu.
Serangan brutal ini telah memaksa Pragola untuk berlaku hati-hati. Jangan sampai dia terkena
sabetan golok atau tusukan pedang lawan.
Untuk yang kesekian kalinya pemuda ini pun merasa heran, bahwa cara berkelahi orang-orang
ini tidak seperti prajurit Cirebon. Dan di balik kebrutalan serbuan ini, Pragola sempat melihat
keanehan. Pemuda ini mendapatkan ada gerakan berkelahi mirip orang Pajajaran. Prajurit
Pajajaran yang memiliki kepandaian biasa-biasa saja cenderung menggunakan tenaga kasar
dalam bertanding. Terkadang bila emosinya timbul, mereka melakukan gerakan burtal.
Namun dalam kebrutalan ini selalu nampak ada kejujuran. Mereka tidak melakukan gerakan
menipu atau berbuat licik. Dalam upaya melumpuhkan lawan, mereka berterika terlebih
dahulu sehingga sebelum yang diserang terluka dia sudah menyadari bahwa dirinya tengah
diserang. Dan itulah yang diperlihatkan para pengepung ini. Jauh berbeda dengan pengepung
kemarin malam yang kesemuanya asing dan licik dalam pandangan Pragola.
Kalau melihat gerakan tipe berkelahi antara penyerbu kemarin dengan yang hari ini,
sepertinya mereka bukan dari satu kelompok. Dan karena ada kemiripan dengan cara
berkelahi orang Pajajaran, maka Pragola menduga bahwa mereka tentu ada pertalian dengan
orang Pajajaran. Apakah mereka merupakan prajurit Pajajaran yang mulai memalingkan muka
dari tuannya" Bila benar, Pargola memuji kepada kehebatan Pangeran Yudakara yang sudah
sanggup menarik orang Pajajaran untuk mengikutinya.
Yang tidak nampak bingung menghadapi gerakan pengeroyok adalah Banyak Angga dan
Paman Angsajaya. Mungkin mereka pun sudah menduga pula bahwa pengepungnya ini
adalah orang Pajajaran. Namun yang Banyak Angga yakini, tentu pengepung ini benar-benar
merupakan orang jahat semata. Seperti yang sudah dikhabarkan Kandagalante Subangwara,
sepanjang Tanjungpura dan Sagaraherang banyak kaum penjahat yang berupaya merampok
kaum penempuh perjalanan.
Yang tak diduga dalam pertempuran ini adalah gerakan-gerakan Paman Manggala.
Menghadapi serangan-serangan brutal lawan, disambutnya dengan gerakan yang tak kalah
ganasnya. Dalam satu dua gerakan tiga sampai empat orang pengepungnya jatuh
berpelantingan dan tak mampu bangun lagi. Paman Manggala bahkan tak kepalang tanggung
bergerak. Sesudah pengepungnya habis, dia segera meloncat mendekati para pengepung
Banyak Angga. Dengan gerakan cepat satu-persatu kaum pengeroyok dia lumpuhkan. Maka
tak ayal terdengar pekik-pekik kesakitan di tempat itu. Beberapa pengeroyok terlontar dan
tubuhnya menabrak batang pohon jati. Mereka tak sempat mengaduh atau pun menggerakkan
tubuh. Barangkali mereka sudah tewas oleh pukulan Paman Manggala sebelum tubuhnya
menubruk batang pohon. *** Pragola terkesiap melihat keganasan Paman Manggala. Dia pun amat heran, mengapa Paman
Manggala tak "memberi" kemenangan kepeda kaum penyerbu, bahkan sebaliknya seperti
berupaya memporak-porandakannya"
Pragola bingung memikirkannya. Dan karena teka-teki ini tak pernah terkuak, maka akhirnya
dia pun ikut-ikutan membabat lawannya. Hal ini dia lakukan tanpa ragu karena para
pengeroyoknya selalu berusaha untuk membunuhnya. Pragola tak bisa menahan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 77
kesabarannya. Walau pun sejak dini sudah diberitahu bahwa para pencegat itu adalah "orangorang
sendiri", tapi karena tindakan mereka terhadapnya demikina kejam dan berniat
membunuhnya, maka terpaksa dia pun menurunkan tangan kejam pula. Dan apalagi ini sudah
diberi contoh oleh Paman Manggala .
Pragola tak perlu mengeluarkan seluruh kepandaiannya sebab lawan pada umumnya hanyalah
prajurit-prajurit biasa yang punya kepandaian biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tubuh para
pengeroyoknya sudah berserakan, bergulingan dang mengaduh-aduh, sebagai tanda mereka
kalah tanpa tewas. "Sudah! Sebagian tak usah dibunuh" teriak Paman Manggala seperti memberi perintah. Tentu
saja Paman Manggala sebetulnya tak perlu berteriak begitu, sebab ketiga orang itu
dalamberkelahi tidak membunuh lawannya. Bukankah yang tega membunuh musuh hanya
Paman Manggala seorang"
Paman Manggala meminta kepada Banyak Angga agar tak membunuh para tawanan yang
masih hidup. Sudah barang tentu hal ini diizinkan pemuda itu sebab pada dasarnya Banyak
Angga bukanlah seorang yang kejam.
"Para tawanan ini akan kita serahkan kepada cutak agar diperiksa," tutur Banyak Angga."Kita
harus menjaga tawanan dengan baik jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi," kata
Banyak Angga. Malam harinya diadakab tugur lagi. Kali ini Pragola tugur bersama Banyak Angga dan Paman
Manggala bergabung dengan Paman Angsajaya.
Ada empat tawanan disini. Dengan kata lain, sebagian besar dari "perampok" mati terbunuh.
Ini sesuatau yang disesalkan Banyak Angga yang pada dasarnya berhati lemah juga. Pemuda
ini sebetulnya hanya menginginkan perampok dilumpuhkan saja tanpa harus dibunuh.
Pragola dan Banyak Angga menerima giliran jaga paling awal dan sebaliknya Paman
Manggala beserta Paman Angsajaya istirahat. Pada tengah malam giliran Banyak Angga dan
Pragola istirahat. Namun karena sudah bercuriga kepada Paman Manggala, Pragola hanya pura-pura tidur.
Yang sebenarnya terjadi, dia mencoba mengamati gerak-gerik Paman Manggala, takut
peristiwa malam kemarin terulang lagi.
Benar saja, Paman Manggala membuat tindak-tanduk yang mencurigakan. Entah dengan cara
apa, Paman Manggala telah membuat Paman Angsajaya mengantuk dan akhirya terlena di
batang kayu. Sesudah membuat teman jaganya tidur, Paman Manggala segera mendekati
keempat tawanan. Paman Manggala mencoba memeriksa tawanan-tawanan itu. Berbagai
pertanyaan dikemukakan dengan suara halus setengah berbisik namun bisa ditangkap telinga
Pragola yang cukup terlatih.
Paman Manggala mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Pragola bingung
memikirkannya. Paman Manggala mendesak kepada kepada keempat orang tawanan itu agar mau mengatakan
siapa yang mengutus mereka menyerang rombongan.
Inilah yang mengejutkan Pragola sebab dengan kata lain, Paman Manggala mencurigai bahwa
para penyerang ini bukanlah diutus oleh Pangeran Yudakara.
"Ada imbalan bagi kalian bila mau mengatakannya," bisik Paman Manggala.
Namun satu orang pun tak ada mau membuka mulut.
Beberapa kali Paman Manggala mendesak agar tawanan sudi berbicara. Namun Pragola
memuji keteguhan dan kesetiaan orang-orang itu. Semuanya tak mau membeberkan siapa
tuan mereka. Pragola menghela nafas sebab sudah menduga akan akan nasib keempat orang itu. Mereka
pasti dihabisi Paman Manggala menurunkan tangan kejam. Pragola perlu mencegah
pembunuhan sebab keselamatan keempat orang tawanan dibutuhkan Pragola. Untuk
mencegah tindakan Paman Manggala, Pragola akan pura-pura batuk kemudian bangun.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 78
Namun Pragola kecele. Paman Manggala ternyata tak melakukan sesuatu. Keempat orang
tawanan tidak diganggu dan Paman Manggala segera kembali mendekati tempat di mana
Paman Angsajaya tertidur. Paman Manggala pun nampak pura-pura merebahkan diri.
Ketika kokok ayam pertamam terdengar dari bagian hutan sana Paman Angsajaya terjaga
duluan. Dia sangat terkejut karena tidur, padahal seharusnya bertugas sebagai tugur.
"Oh, maafkan saya tertidur. Ngantuk sekali rasanya malam tadi?" gumam Paman Angsajaya
sedikit malu. Namun dengan pandainya Paman Manggala seolah memaklumi keadaan ini.
"Saya pun sebenarnya diganggu kantuk yang hebat. Memang kita semua lelah. Tanpa
melakukan perkelahian pun sebenarnya tenaga kita sudah terkuras banyak oleh perjalanan
yang demikian panjang," tutur Paman Manggala. Dan ucapan ini nampaknya membuat Paman
Angsajaya sedikit lega karena tak terlalu disalahkan.
Kedua orang itu tergopoh-gopoh memeriksa keempat orang tawanan masih segar-bugar.
"Sesudah sarapan pagi, kita segera melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya kita serahkan
tawanan itu pada cutak," kata Banyak Angga.
Yang dimaksud sarapan pagi adalah memakan daging burung walik yang mudah ditangkap di
hutan jati itu. Banyak Angga membagi daging walik bakar kepada keempat orang tawanan
padahal dia sendiri pun belum menerima bagian. Perilaku pemuda ini tak luput dari perhatian
Pragola. Sehingga Pragola terpaksa harus mengakui bahwa sebenarnya Banyak Angga
berbudi halus dan penyayang terhadap sesama.
Sesudah semua orang mendapatkan bagian daging, barulah pemuda itu berani makan.
*** Satu hari perjalanan menuju Kandagalante Sagaraherang. Sedangkan untuk mencapai wilayah
Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kacutakan paling dekat, mereka harus berjalan kaki hampir setengah hari.
Maka untuk tidak terlalu banyak membuang waktu, mereka melakukan perjalanan cepat. Para
tawanan dipacu untuk ikut berjalan cepat padahal nampak nyata mereka kedodoran.
Namun sesuai dengan perkataan Kandagalante Tanjungpura, bahwa sepanjang perjalanan
Tanjungpura-Sagaraherang akan mengalami banyak hambatan sebab para penjahat malangmelintang
di sepanjang wilayah ini.
Baru saja perjalanan cepat dilakukan sepemakan sirih lamanya, mereka sudah mendapatkan
hadangan lagi. Ada puluhan orang dengan pakaian hitam-hitam, tubuh tinggi besar dan wajah
brewok bercambang-bauk. Belasan orang dengan pedang terhunus itu segera mengepung
keempat orang itu. "Kalau tak mau nyawa melayang, serahkan harta kalian!" teriak seseorang dari mereka yang
berdiri paling depan. Ancaman ini hanya dijawab dengan dengusan pendek Paman Manggala.
Dan sebelum belasan perampok melakukan gerakan, Paman Manggala sudah mendahului
dengan melancarkan serangan gencar. Paman Manggal dengan cepatnya menerjang ke depan,
sepasang jari-jari tangannya melayangkan serangan berbentuk cakaran. Pragola hafal betul,
inilah jurus Lodaya Ngangkang, sebuah terjangan meniru-niru loncatan harimau. Hanya
bedanya, bila harimau akan langsung melakukan serangan dengan cakarnya, maka Paman
Manggala hanyalah menggunakan cakaran sebagai tipuan belaka, sedangkan serangan yang
sebenarnya dilakukan melalui tendangan salto. Tubuh Paman Manggala melambung ke udara
melewati ubun-ubun lawan. Ketika berada di atas, Paman Manggala melakukan salto
beberapa kali. Ketika keududukan kaki ada di bawah, Paman Manggala segera melepaskan tendangan
beruntun. Tiga kepala lawan dalam satu kali sapuan terhajar telak. Maka tak ayal terdengar
tiga teriakan ngeri disusul oleh tiga tubuh berpelantingan ke sana ke mari. Semua temantemannya
kaget melihat gerakan ganas yang diperlihatkan Paman Manggala. Dan kekagetan
mereka merupakan kesempatan emas sebab Paman Manggala yang terus bersalto segera
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 79
melakukan serangan susulan. Kali ini adalah serangan cakaran silang kiri-kanan. Dua orang
lawan yang ada di kiri dan dua orang yang ada di kanan berteriak ngeri ketika pipi-pipi
mereka tersayat lima cakaran jari. Darah menyembur dari pipi-pipi mereka sebab sayatan
kuku demikian dalam. Tubuh empat orang lawan limbung dan akhirnya terjerembab tak
mampu bangun kembali. Dalam satu gebrakan, Paman Manggala telah melumpuhkan tujuh
orang penghadang. Dan untuk yang kesekian kalinya, semua orang terkejut dengan tindaktanduk
ini. Pragola menghitung, sudah dua kali pertempuran Paman Manggala melakukan
kekejaman terhadap lawan. Mengapa begitu, Pragola masih belum mengerti. Siapa para
penghadang ini sebenarnya. Apakah Paman Manggala mencurigai bahwa penghadangpenghadang
ini bukan anak buah Pangeran Yudakara"
Pragola tak sempat berpikir lama sebab pihak penghadang sudah mulai hilang kaget dan
tergantikan oleh kemarahan ketika melihat tujuh temannya ambruk dalam satu gebrakan.
Belasan orang mengepung dan menyerang empat orang dengan membabi-buta. Bahkan ada
Pedang Naga Kemala 9 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Harta Karun Di Galiung 1