Pencarian

Naga Bhumi Mataram 1

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
PROLOG Tlatah Yawadw?pa satu setengah abad di ujung milenium
pertama berakhir. Pada waktu itu, telah berdiri sebuah kerajaan
besar. Kerajaan dengan warisan berupa mahakarya dunia.
Warisan itu lahir dari prakarsa dan kebesaran para penguasa
kerajaan itu. Maha karya luar biasa. Diakui salah satu keajaiban
dunia. Kerajaan itu tercatat dengan nama kerajaan Medang atau
Mataram Kuno. Catatan lain menyebutnya dengan Bhumi
Mataram. Kerajaan itu telah tegak berdiri sejak abad kedelapan,
menguasai tanah Yawadw?pa lebih dari empat abad.
1 Sebagaimana tergurat dari catatan pada sebuah batu, Pendiri
Kerajaan itu adalah Raka i Mataram Ratu Sanjaya, Sang
Wam?akarta (pendiri wangsa). Wangsa Sanjaya (Canggal, 732
Masehi). Banyak sumber mengatakan bahwa Raja itu menguasai
kitab suci, seni bela diri, dan juga kekuatan militer. Dengan
kekuatannya, dia telah menaklukkan daerah-daerah tetangga
sekitar kerajaannya dan memerintah dengan bijaksana sehingga
tanah Yawadw?pa diberkati dengan perdamaian dan
kemakmuran. Setelah lebih dari dua dasawarsa memerintah, Raka i Mataram
Ratu Sanjaya digantikan Putranya, Raka i Tejah Purnapana
Panangkaran. Di masa pemerintahan Putra Sanjaya ini, muncul
kekuatan lain. Yakni Wangsa Syailendra, yang tampil menguasai
Bhumi Mataram. Sejak masa pemerintahan Raka i Tejah
Purnapana Panangkaran, Bhumi Mataram terbagi ke dalam dua
kekuatan besar, yaitu: Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.
Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa menguasai Bhumi
Mataram di Bagian Utara, sedangkan Wangsa Syailendra yang
beragama Buddha menguasai Bhumi Mataram di Bagian Selatan.
Dalam perjalanannya, diakui atau tidak dua Wangsa Utama itu
terus bersaing untuk tampil menjadi Penguasa Bhumi Mataram.
Persaingan itu begitu mendalam. Berurat-akar dan beranak-pinak
menjangkau keturunan dua Wangsa Utama itu. Bahkan,
persaingan antar-wangsa telah tampil dalam bentuk benturanbenturan. Benturan-benturan yang
melibatkan angkatan perang di
bawah dua wangsa itu. Tampil seorang Samaratungga. Penguasa berdarah Syailendra.
Pembangun mahakarya dunia tak lekang waktu. Dua wangsa
yang bersaing telah direkatkan. Direkatkan oleh Samaratungga.
2 Lewat mahligai perkawinan figur utama dua wangsa. Perkawinan
antara Puterinya, Pramodyawardani, Puteri Wangsa Syailendra,
dengan Raka i Pikatan dari Wangsa Sanjaya. Perkawinan itu
telah meleburkan persaingan menjadi penyatuan. Penyatuan dua
Wangsa di Bhumi Mataram. Melalui pernikahan itu, Raka i
1 Pikatan didampingi Pramodhawardhani, sebagai Permaisuri,
tampil berkuasa di Bhumi Mataram (883-856 M).
Penyatuan atas dua wangsa ini, bukan tanpa halangan.
Balaputradewa, anak Samaratungga dengan Dewi Tara, wanita
dari kerajaan Sriwijaya, telah menentang keras ikatan perkawinan
itu. Takut perkawinan itu menghancurkan kekuasaan dari
Wangsa Syailendra yang sudah dibangun kuat dan besar pada
masa Samaratungga. Tidak dapat dihindari, pertentangan ini telah membangkitkan
perang saudara. Perang antara pihak yang ingin
mempertahankan kejayaan Wangsa Syailendra dengan pihak
yang hendak melakukan perluasan kekuasaan. Perluasan lewat
penyatuan dua Wangsa Syailendra-Sanjaya melalui perkawinan
itu. Balaputeradewa dan pendukungnya tidak sekuat
Pramodyawardani dan Raka i Pikatan. Ia kalah dan menyingkir
dari Yawadw?pa. Menyingkir ke Suarnadwipa dan membangun
kekuatan Sriwijaya di sana. Di tangan Balaputeradewa, Sriwijaya
meraih kebesaran. Tercatat sebagai salah satu Kerajaan
Pemersatu Nusantara. Kebesaran Sriwijaya tidak lebih dari hasil
sampingan guncangan dua Wangsa Utama di Bhumi Mataram.
Sejak perang saudara padam, Bhumi Mataram sepenuhnya ada
dalam kekuasaan Raka i Pikatan dan Pramodyawardani. Sejak
saat itu, Bhumi Mataram mengalami kejayaan, berkembang luas
3 menjangkau wilayah Yawadw?pa Tengah dan Timur. Kebesaran
dari dua Wangsa dalam kesatuan.
Kesatuan dua wangsa tidak hanya mendatangkan kebesaran,
tapi juga kerukunan dan kemesraan. Antara dua keyakinan utama
di Bhumi Mataram: Hindu dan Buddha. Dua keyakinan utama
berjalan berdamping di bawah kesatuan dua wangsa. Sejumlah
bangunan suci dibangun dan didirikan. Baik bercorak Buddha
maupun Hindu. Tanda paling kental dari kerukunan dan kemesraan mengemuka
pada Candi Plaosan. Sebuah candi, bangunan suci Hindu,
dengan corak Buddha. Candi bercorak Buddha itu dibangun oleh
Raka i Pikatan. Penguasa penganut Hindu, sebagai
persembahan untuk Pramodyawardani. Persembahan untuk
kebesaran keyakinan yang dipeluk Pramodyawardani, Permaisuri
Pikatan. Persembahan bagi Hyang Buddha!
Suami isteri, Pikatan-Pramodyawardani, tidak hanya
mendatangkan keadaan makmur dan sejahtera tapi juga
kehidupan rukun dan mesra. Bebas dari sekat-sekat wangsa dan
keyakinan. Begitulah seharusnya kehidupan berlangsung:
makmur sejahtera dan rukun mesra!
Sayangnya, kehidupan itu selalu terancam oleh penghianatan. Ia
tidak berlangsung sebagaimana mestinya: makmur sejahtera dan
rukun mesra! Begitupun kehidupan di Bhumi Mataram. Tidak
lepas dari ancaman penghianatan itu.
2 Sepeninggalan Raka i Pikatan, kekuasaan di Bhumi Mataram
diteruskan ke tangan Raka i Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Anak Raka i Pikatan-Pramodyawardani. Penghianatan terhadap
kehidupan di Bhumi Mataram tampil mengemuka dan mengusik
keadaan makmur sejahtera dan rukun mesra. Sumber
4 penghianatan itu tidak lain: persaingan dua Wangsa Utama.
Persaingan antara dua wangsa utama kembali mengeras dan
tampil ke permukaan. Persaingan antara wangsa untuk duduk
berkuasa di atas tahta. Tidak seperti sebelumnya, persaingan
antara wangsa pada Bhumi Mataram di bawah Raka i Kayuwangi
ditunjukkan secara terang terbuka. Bukan hal tabu yang harus
ditutup rapat. Ini dapat ditunjukkan dengan tampil sejumlah nama raja. Nama
raja lain di luar Raka i Kayuwangi. Disebut-sebut sebagai
penguasa di luar Raka i Kayuwangi: Maharaja Raka i Gurunwangi
dan Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan
kalau pada saat itu Raka i Kayuwangi bukanlah satu-satunya
penguasa dari Bhumi Mataram.
*** Kisah NAGA BHUMI MATARAM mengambil latar pada masamasa akhir dari kerajaan Mataram
Kuno atau Bhumi Mataram itu.
Yakni, di saat persaingan antar kedua wangsa itu mencapai
babak akhir. Kisah ini merupakan suatu fiksi yang dibangun
berdasarkan informasi yang ada seputar era akhir kerajaan
Mataram Kuno. Tokoh utamanya adalah seorang pemuda
bernama Arga Tiwikrama. Yang tidak diketahui siapa ayah
ibunya, hanya dikatakan tinggal sejak kecil bersama seorang
Paman. Pejabat Utama Kota Tembelang sekaligus Ketua
Perguruan Merak Mas. Pemuda itu beruntung mendapatkan warisan dari seorang tokoh
masa silam. Naga Branjangan. Berbekal warisan itu, ia
menelusuri jejak asal usulnya dan berdiri tegak sebagai Satria
5 Pembela Bhumi Mataram. NAGA BHUMI MATARAM bertutur
mengenai perjalanan pemuda itu. Bagaimana itu akan
berkesudahan" Whatever will be, will be.
Selamat menikmati. *** CATATAN: Kisah ini sebelumnya telah dimuat di www.indozone.net dengan
judul Warisan Naga Branjangan. Maaf, tulisan tersebut tidak
tamat. Sebagai penebusan, kisah itu dimuat kembali dalam judul
Naga Bhumi Mataram: Mengungkap Jati Diri dalam bentuk
yang sudah tamat. 6 3 Ia dipanggil dengan nama Arga. Ya, karena memang nama
lengkapnya adalah Arga Triwikrama. Arga berarti gunung.
Sementara, Triwikrama diambil dari tiga langkah "Dewa Wisnu"
atau Atma Sejati (energi kehidupan). Tiga langkah dalam
melakukan proses penitisan. Lima tahun, Arga telah tinggal di
sebuah gua terpencil. Lima tahun sejak lari dari kediaman
seseorang yang disebut sebagai Paman.
Gua itu terletak pada sebuah lembah di lereng gunung. Gunung
yang ia sendiri tidak tahu pasti namanya. Tapi, pernah ia ingat
orang menyebut gunung itu Pawaka Jantera. Penampakan
gunung itu memang memutar. Bulat seperti roda. Selalu
mengeluarkan asap. Tanda di tubuh gunung itu terdapat api.
Gunung berapi yang aktif. Mungkin, karena serupa dengan roda
(Jantera) dan selalu berapi (Pawaka), gunung itu disebut Pawaka
Jantera. Roda Api. Selama tinggal di gua, selain aktivitas harian seperti makan,
minum, mandi dan lain-lain, setiap hari Arga sibuk dan bertekun
mempelajari berbagai ilmu. Ilmu itu tanpa sengaja ditemukan di
dalam gua. Gua yang sebelumnya pernah ditinggali oleh
seseorang, Bratasenawa, dan yang menurut pengakuannya
sendiri, disebut sebagai Naga Branjangan.
Sebuah nama unik. Gabungan dua jenis makhluk. Naga (makhluk
berbentuk ular raksasa, namun bercakar elang dan bertanduk)
dan Branjangan (sejenis burung kicauan yang pandai meniru
suara burung lain). Tentang orang itu, tidak banyak ditemukan keterangan. Yang
diungkapkan hanya nama, gelar dan beragam ilmu. Ilmu-ilmu itu
tersebar di lingkungan gua. Diukirkan pada dinding. Diguratkan di
atas batu-batu besar. Batu-batu yang terserak di dalam gua.
7 Di luar itu, ada sepenggal keterangan lain. Keterangan bahwa ia
telah mendiami gua itu selama empat puluh tahun, lalu pergi
untuk suatu sebab yang tidak diceritakan. Terhadap ilmu-ilmu
yang telah ditinggalkan, orang itu berpesan bahwa siapa saja
yang mempelajari agar menggunakan secara bijak.
Ada banyak peninggalan Naga Branjangan. Olah meditasi. Teknik
pernafasan. Cara menghimpun tenaga murni. Teknik pengobatan.
Gerakan-gerakan bela diri. Itu semua terukir pada dinding dan
batu-batu di dalam gua. Di luar itu, sang Naga juga meninggalkan
banyak kitab mengenai ajaran-ajaran keutamaan dan
kebijaksanaan kuno. Sebuah pesan telah ditulis di antara apa yang ditinggalkan.
"Siapa pun yang ingin mempelajari ilmu peninggalanku, harus
memulai dengan olah meditasi dan teknik pernafasan serta cara
menghimpun tenaga murni. Sambil melatih teknik-teknik itu,
hendaknya diimbangi dengan membaca kitab-kitab keutamaan
dan kebijakan agar jiwa menjadi lebih bersih dan tidak kosong.
Jangan terburu-buru mempelajari teknik gerak bela diri. Itu akan
sia-sia. Tidak dapat menjangkau intisarinya. Perkuat batin dan
4 jiwa itu lebih mulia. Kemuliaan untuk menyelami Naga Semesta. "
*** Arga Triwikrama menemukan gua itu di usia dua belas tahun.
Usia akil balik. Semangat untuk tampil di depan. Di depan
sebagai yang perkasa. Tergila-gila untuk membentuk keras tanpa
lelah keperkasaan. Lewat olah kanuragan. Begitu umum,
semangat usia akil balik. Terpenjara mengejar keperkasaan lewat
olah kanuragan. Setinggi-tingginya.
8 Tapi, itu tidak mewujud pada diri seorang Arga. Ia justru tidak
suka dengan olah kanuragan. Dulu di kediaman Paman, ia lebih
banyak memacu diri belajar baca dan tulis. Tidak seperti temanteman sebaya. Termasuk dua anak
Paman. Sangat gandrung pada olah kanuragan. Membentuk diri menjadi perkasa. Karena
ketidaksukaan pada olah kanuragan, Arga jauh tertinggal. Sangat
jauh tertinggal dibandingkan anak-anak seusia. Ketertinggalan
yang selalu menjadikan anak itu korban latihan.
Itu berlaku pada olah kanuragan. Tapi, tidak untuk baca dan tulis.
Sejak usia enam tahun, Paman membimbing dan mengajar baca
tulis. Kegiatan itu selalu mengasyikkan. Dari keasyikan, muncul
pada anak itu kegemaran. Ia sangat menggemari baca-tulis. Di
usia dua belas tahun, ia telah melahap banyak kitab. Ragam kitab
sudah dibaca, walau tidak dimengerti sepenuhnya. Kemampuan
baca dan tulis anak itu sejajar dengan yang berusia tujuh atau
bahkan sepuluh tahun di atasnya. "Dasar kutu kitab!". Begitu
seorang teman pernah mengejek anak itu.
*** Kegemaran dan kemampuan baca-tulis telah memberi
keuntungan bagi Arga selama tinggal di gua. Ia dapat memahami
apa yang terukir dan tergurat pada gua. Memahami untuk melatih
sesuai yang tergurat. Sudah menjadi kebiasaan anak itu, bahwa sehabis bangun tidur
dan mencari makanan di hutan sekitar gua, lantas terbenam
dalam olah meditasi. Meditasi sesuai petunjuk Naga Branjangan.
Teknik meditasi dengan tujuh cara.
Meditasi Cakra Dasar. Bermanfaat memperkuat kepercayaan diri,
9 kedisiplinan, dan daya tahan tubuh. Caranya, duduk bersila
tangan di pangkuan (di bawah pusar), dua telapak menghadap
atas, yang kanan menumpang (menempel) di kiri dan jari-jari
rapat, jempol ditekuk. Cakra Dasar sangat berpengaruh pada
penghimpunan energi kehidupan.
Meditasi Cakra Suci. Berdayaguna merangsang daya cipta,
antusiasme, dan memperlancar metabolisme tubuh. Dilakukan
dengan kedua tangan di depan dada, ujung jari menghadap atas,
dan dua telapak ditempelkan (telapak tangan kiri menghadap
kanan, sedang yang kanan menghadap kiri). Cakra Suci
berpengaruh pada kreativitas dan membangun keintiman dan
5 kepekaan hubungan dengan alam sekitar.
Meditasi Cakra Ulu Hati (solar plexus). Baik untuk meredam
ketegangan, ketakutan, rasa was-was dan menumbuhkan
kedamaian dan ketenangan.
Meditasi Cakra Jantung. Dua tangan di depan dada, ujung-ujung


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jari menghadap bawah, dan jari kanan dan kiri saling menempel
dan renggang. Membentuk pola segitiga terbalik. Latihan ini
membuat keseimbangan jiwa dan raga, juga untuk penyembuhan.
Meditasi Cakra Tenggorokan. Dua tangan di depan dada, posisi
lengan horizontal, dan telapak tangan kiri menghadap atas,
sedang yang kanan menghadap bawah. Posisi menangkup.
Meditasi Cakra Kening. Dua tangan di atas lutut, dua telapak
menghadap atas, dan tempelkan jempol dengan telunjuk
(membentuk pola lingkaran). Meditasi ini membuka cakrawala
berpikir, meningkatkan daya analisa atas kondisi sekitar, dan
mempertajam intuisi. Terakhir, Meditasi Cakra Mahkota. Dua tangan di atas lutut, dan
jari-jari dikuncupkan. Meditasi Cakra Mahkota berpengaruh untuk
10 mempertebal dan memperkuat daya batin dan spiritualitas.
Kecuali olah meditasi, Arga juga melatih berbagai teknik
pernafasan sesuai ajaran Naga Branjangan. Teknik Pernafasan
Perut. Menarik nafas, perut mengembang dan mengembuskan
nafas, perut mengempis. Teknik Pernafasan Dada. Menarik
nafas, dada dikembangkan dan saat menghembuskan nafas
dada dikempiskan. Teknik Pernafasan Pundak. Menarik nafas,
menujukan udara ke bagian pundak atau dada bagian atas,
sehingga pundak akan naik. saat menghembuskan nafas pundak
diturunkan kembali ke posisi biasa. Teknik Pernafasan
Sempurna. Teknik terakhir bertujuan untuk membuat udara masuk dengan
sempurna memenuhi seluruh ruang pada paru-paru. Ditempuh
dengan melakukan pernafasan gabungan. Penggabungan teknik
pernafasan perut, dada dan pundak sekaligus pada saat
bersamaan. Saat menarik nafas udara menuju ke bagian perut,
dada dikembangkan dan pundak diangkat ke atas. Kemudian
udara dikeluarkan lewat hembusan nafas dengan mengempiskan
perut dilanjutkan menurunkan dada dan pundak.
Latihan meditasi dan olah pernafasan membuat Arga lebih
tenang. Tidak dihantui oleh was-was dan kekhawatiran. Tidak
was-was dan khawatis melewati tahun demi tahun di salah satu
gua di kaki gunung Pawaka Jantera. Melewati tahun-tahun,
seorang diri. Untuk mengisi dan mempertebal kekuatan batin dan jiwa, Naga
Branjangan memberi Anunga Abiwara Catur (empat ajaran
utama).Tresna (cinta kasih), Gumbira (bahagia), Upeksa (tidak
mencampuri urusan orang lain) dan Kamitraan (setia kawan).
Anunga Abiwara Catur ditulis dengan diguratkan pada lepengan
11 6 batu. Selama melewati tahun-tahun di gua, Arga telah berulang-ulang
membaca, melafalkan keras serta mendalami Anunga Abiwara
Catur. Bahkan, Anunga Abiwara Catur menjadi keasyikan untuk
dingat-ingat dan dihadirkan dalam kesadaran di saat melakukan
olah meditasi dan teknik pernafasan. Keuntungan kembali telah
diperoleh. Keuntungan bukan karena kebetulan. Tapi, buah dari
suatu kebiasaan. Kebiasaan ajek. Olah meditasi dan pernapasan
serta keasyikan menghadirkan Anunga Abiwara Catur dalam
kesadaran, sebagai kebiasaan ajek setiap hari, telah
membangkitkan tenaga dalam atau tenaga inti. Kekuatan
Semesta. Tanpa disadari. *** Di dalam gua terdapat mata air. Tanpa henti terus mengalir.
Membentuk sebuah kolam. Kolam tempat Arga membersihkan
diri, sekaligus melatih teknik pernapasan di dalam air. Teknik ini
membawa kemajuan menghimpun tenaga murni. Kemajuan yang
sangat berarti. Kemajuan karena latihan itu ajeg dan benar. Ajeg
menunjukkan bahwa latihan itu telah menjadi kebiasaan.
Sementara, benar menyatakan bahwa latihan itu didasarkan pada
suatu petunjuk. Petunjuk dari Naga Branjangan sendiri. Orang itu
telah meninggalkan catatan dan petunjuk tentang teknik meditasi
dan pernafasan di dalam air.
Semula, Arga hanya dapat bertahan kurang dari sependeresan
nira*) di dalam air. Setelah berlatih secara ajeg dan benar, tahap
demi tahap mendapat kemajuan dalam bertahan di dalam air. Di
tahun ketiga, ia mampu bertahan di dalam kolam hingga tiga
12 penderesan nira. Terhitung tahun ini, Arga telah melewati tahun kelima berdiam di
gua. Seorang diri. Olah meditasi, melatih Teknik Pernafasan
termasuk di dalam air, serta merapal Anunga Abiwara Catur telah
menjadi kebiasaan ajeg. Begitu juga, mengikuti olah gerak dan
langkah-langkah yang juga ditinggalkan oleh Naga Branjangan.
Tidak lupa ia pun mulai melatih gerakan Merak Mas. Gerakan
Perguruan Paman Wira. Siapakah sebenarnya anak yang bernama Arga" Anak yang telah
lima tahun tinggal di dalam gua. Tidak ada yang tahu. Bahkan,
anak itu sendiri tidak tahu siapa dirinya. Sejak kecil Arga telah
berada dalam asuhan seseorang. Paman Wira. Paman
Samaragrawira, lengkapnya. Akan tetapi, orang itu tidak pernah
sekalipun menyinggung mengenai jati diri.
Bagi anak itu, jati diri adalah sesuatu yang gelap. Jauh tak
terjangkau, di luar ingatan anak itu. Ayah dan ibu tidak dikenal,
bahkan tidak sama sekali terbayang. Samar sekalipun, rupa raut
muka dua orangtua itu tidak terbayang. Sejak sangat dini, ia
terpisah dari dua orang yang seharusnya menjadi pendamping.
Mungkin, hanya Paman Wira yang mengenal asal-usulnya.
7 Sebagai pengganti ayah dan ibu, sekali lagi, Arga hanya
mengenal lelaki yang dipanggil Paman Wira. Lelaki terpandang.
Pejabat Utama pemerintahan sebuah kota. Kota Tembelang.
Tidak sekedar pejabat, menurut kabar, Paman Wira masih
memiliki ikatan dengan Raja. Karena ikatan itu, Paman telah
diberi tugas oleh Raja menangani pemerintahan di Kota
Tembelang. Kota terpenting kerajaan, selain ibukota itu sendiri.
Kecuali sebagai Pejabat Utama Tembelang, Paman Wira
13 merangkap Ketua perguruan ternama. Perguruan Swarna
Manyura (Merak Mas). Di perguruan itu, berhimpun ratusan
murid. Dengan kedudukan di pucuk pimpinan Merak Mas, Paman
Wira telah berdiri sebagai tokoh utama pesilatan di Yawadw?pa.
Itulah Paman Wira. Samaragrawira. Pejabat Utama Kerajaan di
Tembelang. Pesilat Utama Yawadw?pa. Ketua Perguruan Merak
Mas. Sebuah perguruan besar.
Perguruan Merak Mas sudah berdiri jauh sebelum Arga tinggal
menetap di sana. Menetap selama dua belas tahun. Perguruan
itu didirikan kakek guru dari Paman Wira. Dharanindra. Sejak
Ketua Perguruan beralih ke Paman Wira, pusat pergurunan
Merak Mas pindah. Dipindahkan ke Kota Tembelang dari Kota
Mamrati. Kota yang terakhir disebut merupakan pusat
pemerintahan Bhumi Mataram sejak Raka i Pikatan berkuasa.
Kota dari mana Paman Wira berasal. Pemindahan Merak Mas ke
Tembelang bertujuan agar Paman Wira dapat menangani urusan
pemerintahan yang telah dipercayakan kepadanya sekaligus
menata dan membesarkan perguruan Merak Mas.
*** Perguruan Merak Mas merupakan salah satu pilar penyangga
utama kerajaan. Dua perguruan penyangga lain adalah Butala
Wyaghra (Macan Bumi) dan Salaka Banth?ng (Banteng Perak).
Tiga perguruan itu memiliki tali temali erat satu sama lain. Berakar
dari sumber yang sama, kendati dikembangkan menurut jalur
masing-masing. Juga para pendiri perguruan-perguruan itu
adalah kerabat. Mereka bersaudara satu sama lain dan terbilang
masih keluarga dekat dari Penguasa.
14 Sebagai satu ikatan, tiga perguruan tersebut saling bekerjasama.
Bantu membantu. Dalam urusan pengembangan ilmu silat dan
sastra, serta menopang kemajuan pemerintahan. Dalam hal
terakhir, tiga perguruan itu menjadi bagian penting dari kerajaan.
Rutin tiga perguruan itu melakukan pertemuan dengan kerajaan.
Pertemuan untuk memajukan pemerintahan sekaligus
mengembangan ilmu silat dan sastra di Bhumi Mataram,
utamanya pada tiga perguruan itu sendiri. Raja sendiri turut hadir
pada pertemuan itu. Tidak hanya sekedar seremonial. Tapi,
terlibat sungguh-sungguh dalam mendalami dan membicarakan
berbagai permasalahan. Permasalahan yang berkembang baik di
8 tataran pemerintahan maupun persilatan.
Jalinan dan ikatan itu telah mendatangkan manfaat bagi semua
pihak. Lewat tiga perguruan, Kerajaan mendapat keterangan
perihal peta kekuatan dunia persilatan dan gerakan-gerakan dari
tokoh-tokoh pesilatan, terutama gerakan-gerakan yang berpotensi
mengancam kekuasaan dan kewibawaan Kerajaan. Keterangan
itu dihimpun dan dikumpulkan lewat jaringan tiga perguruan yang
menjangkau luas melintasi batas-batas kerajaan. Dari Kerajaan,
tiga perguruan itu mendapat kitab-kitab yang berisi jurus-jurus
atau teknik-teknik pengembangan silat langka. Kitab-kitab itu
sebagian diperoleh lewat pertukaran cinderamata dari Kerajaan
lain, termasuk Kerajaan yang terletak di negeri seberang
samudera. Ikatan Kerajaan dan tiga perguruan sudah dikenal luas. Tidak ada
pembicaraan mengenai Kerajaan tanpa melibatkan tiga
perguruan. Demikian sebaliknya, tidak ada pembicaraan
mengenai tiga perguruan tanpa mengikutsertakan Kerajaan.
Tidak mengherankan, apabila banyak pihak segan dan enggan
15 berurusan dengan tiga perguruan itu. Mereka segan dan enggan,
karena di samping berhadapan dengan orang-orang yang
mumpuni dari salah satu perguruan itu, juga harus berhadapan
dengan dua perguruan lain berikut dengan kekuatan Kerajaan.
*** Dua belas tahun, Arga telah tinggal bersama Paman Wira di
Perguruan Merak Mas, di selatan kota Tembelang. Ia diasuh dan
dibesarkan oleh Paman Wira. Pejabat Utama Tembelang
sekaligus Ketua Merak Mas. Seingat Arga, Paman Wira dijuluki
Suddha Manyura (Merak Putih). Di luar Paman Wira, pada
perguruan Merak Mas, ada Paman Gilingwesi yang bergelar
Jingga Manyura (Merak Jingga).
Orang yang terakhir disebut namanya adalah Wakil Ketua Merak
Mas. Adik Seperguruan Paman Wira. Mereka berdua telah lama
menjalani hidup bersama. Hidup bersama dari sejak usia muda.
Tidak hanya Saudara Seperguruan, mereka pun telah
mengikatkan diri sebagai Saudara. Layaknya saudara
sekandung. Saudara sekandung yang berasal dari kasta berbeda.
Paman Samaragrawira berasal dari keluarga bangsawan bahkan
istana, sementara Paman Gilingwesi adalah orang kebanyakan.
Karena sibuk dalam pemerintahan, Paman Wira telah
mempercayakan urusan Merak Mas kepada Paman Gilingwesi.
Perguruan Merak Mas memiliki 5 bangunan. Aktivitas perguruan
berpusat pada bangunan besar yang disebut Manyura Grha
(Wisma Merak). Bangunan paling besar. Dengan tanah lapang
luas berhiaskan arca besar seekor merak anggun tepat di tengahtengah lapangan itu. Arca merak
anggun simbol perguruan. 16 Wisma Merak menarik perhatian siapa pun. Di lapangan depan
9 wisma, murid-murid Perguruan Merak Mas melakukan berbagai
kegiatan. Setiap hari Wisma Merak tidak pernah sepi dari
kegiatan. Kegiatan yang kadang masih berlangsung hingga larut
malam. Kegiatan itu adalah baris berbaris menurut tata gerak tertentu.
Kadang menyerupai kepiting atau udang. Kadang seperti bangau,
dan lainnya. Secara berkelompok murid-murid Merak Mas
melakukan latih tarung. Bertangan kosong, juga bersenjata. Di
luar itu, sebagaian murid berlatih sendiri-sendiri. Memainkan
jurus-jurus utama Merak Mas.
Di luar bangunan utama, ada Puruhita Grha (Wisma untuk
mereka yang berguru). Terdiri dari 3 bangunan, tidak jauh dari
Wisma Merak. Murid-murid perguruan tinggal dan menetap di
Puruhita Grha itu. Umumnya, murid-murid yang masih lajang.
Atau, murid yang telah diangkat menjadi pengurus perguruan.
Yang terpenting pada perguruan Merak Mas justru sebuah
bangunan terkecil, Pusaka Grha (Wisma Pusaka). Bangunan itu
selalu mendapat penjagaan ketat, tidak boleh dimasuki oleh
sembarang orang. Pada Wisma Pusaka tersimpan berbagai
benda-benda berharga. Senjata pusaka atau kitab-kitab rahasia
berbagai perguruan. Tersimpan juga pada Wisma Pusaka simbol
perguruan. Sesuatu yang paling dikramatkan. Simbol itu
berbentuk sebuah arca merak, berukuran sekepalan bayi, terbuat
dari emas dihiasi butiran-butiran permata. Benda keramat itu
disimpan tersembunyi. Sebagai Ketua Perguruan, Paman Wira mendiami bangunan
terpisah dari wisma-wisma itu. Masih di dalam Perguruan Merak
Mas. Dibandingkan kebanyakan bangunan di kota Tembelang,
17 bangunan kediaman Paman Wira lebih menonjol. Bangunan itu
tidak terbuat dari kayu atau bambu dengan atap ijuk atau rumbia.
Bangunan kediaman Paman Wira berdinding batu dan beratap
genting dari tanah liat. *** Di salah satu bilik dari bangunan berdinding batu dan beratap
genting tanah liat, Arga pernah menghabiskan waktu hingga dua
belas tahun lamanya. Bilik itu kecil, namun nyaman dan layak
dihuni. Arga telah menghabiskan waktu satu setengah windu
sebagai bagian Perguruan Merak Mas. Ia tinggal di sana dalam
asuhan dan bimbingan Paman Wira. Orang yang sejak bayi telah
menampungnya. Sekalipun Paman Wira telah membesarkannya lebih dari satu
dasawarsa, ia tidak mengerti benar ikatan antara dirinya dengan
Paman Wira. Yang ia tahu pasti, Paman Wira itu telah memberi
perhatian. Perhatian seperti seorang Ayah. Arga tidak pernah
bertanya siapakah dia sebenarnya" Mengapa ia berada di
perguruan Merak Mas" Siapa ayah dan ibunya" Bagaimana
sekarang dua orangtua itu" Di mana mereka sekarang"
Perhatian Paman Wira menutup itu semua. Terpenting baginya,
10 ia telah mendapatkan pemenuhan kebutuhan layak dan dapat
beraktivitas sebagaimana mestinya anak-anak seusia.
Selama berada di perguruan Merak Mas, Arga menerima
perlakukan sama seperti murid-murid seusia lain. Keberadaan
sebagai bagian dari keluarga Ketua Perguruan, tidak lantas
memberikan suatu perbedaan istimewa. Arga melakukan aktivitas
sama seperti para murid Merak Mas lain seusia. Bangun pagi.
18

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melatih pernafasan. Olah badan dan tata gerak dasar jurus-jurus
Merak Mas. Membersihkan istal kuda. Memberi makan hewan
ternak. Belajar baca tulis. Dan sebagainya.
Pembeda Arga dengan murid-murid Merak Mas umum, tidak
terletak pada perlakuan tapi kebiasaan dan kegemaran.
Kebiasaan dan kegemaran yang telah diputuskan dan ditempuh
sendiri oleh Arga. Kebanyakan murid-murid lain biasa dan gemar
akan oleh kanuragan. Melatih gerakan jurus-jurus silat. Mengurai
dan mengamati penuh kegairahan teori-teori pukulan atau
tendangan. Pukulan atau tendangan andalah Perguruan Merak
Mas. Termasuk pukulan dan tendangan berbagai aliran lain.
Lain dari mereka, Arga keras mengejar dan hanyut bergairah
mendalami baca dan tulis. Hampir seluruh waktu, dihabiskan dan
dicurahkan pada membaca kitab-kitab. Setiap hari hingga
menjelang malam. Pun jika teman-temannya datang kepadanya
untuk mengajak bermain. Entah mencari ikan di kali atau latih
tarung. Arga lebih sering menolak halus ajakan itu. Ia lebih
tertarik untuk membenamkan diri pada dunia baca dan tulis.
Kebiasaan dan kegemaran anak itu, terdukung penuh. Terdukung
oleh keberadaan dan ketersediaan kitab-kitab pada Perguruan
Merak Mas. Tersedia di Ruang Kitab.
Selama berada di perguruan itu, sudah banyak kitab dilalap tamat
oleh Arga. Aneka kitab. Mulai dari Kitab Susastra dari Pujangga
Ternama, Kitab Pengetahuan dan Keutamaan Pemikirian para
Begawan dan Rishi (guru besar), hingga pengetahuan umum
biasa. Satu paling menarik hati anak itu. Kitab Susunan Semesta. Kitab
itu mengupas unsur-unsur utama semesta. Unsur atau anasir
sandaran dari keberadaan alam ciptaan. Unsur-unsur itu tidak
19 hanya terkait pada apa yang berada di luar sana, tapi juga apa
yang ada di dalam diri manusia. Begitu menarik, Arga telah
berulang-ulang membaca kitab itu dan terus menggali menurut
kemampuan jangkauan pemahaman yang ada.
Selalu saja, manakala tersedia kitab baru, Arga terhanyut dalam
kegairahan seperti ikan kecil yang rindu akan samudera luas.
Tidak hanya itu, Arga selalu mendapat energi yang mendebarkan
dan menyegarkan, setiap kali ia mampu menguak dan memahami
pengertian dan makna yang terkandung di dalam kitab yang
dicernanya. Di usia yang sangat muda untuk ukuran penguasaan
11 baca tulis, Arga sudah memiliki kemampuan membaca dan
memahami pengertian-pengertian yang seharusnya dimiliki oleh
orang dewasa. *** Perguruan Merak Mas memulai pengajaran olah kanuragan mulai
di usia tujuh tahun. Sejak usia itu, Arga pun diperkenalkan
dengan gerak-gerak dasar perguruan itu. Di bawah bimbingan
Paman Wira, Arga berlatih jurus-jurus Merak Mas. Karena lebih
memilih untuk mendalami baca tulis, kemampuan olah kanugaran
Arga sangat jauh tertinggal dibandingkan murid-murid perguruan
Merak Mas lain yang sebaya. Padahal, ia berada dalam asuhan
dan bimbingan Ketua Peguruan Merak Mas sendiri.
Di usia dua belas tahun, atau lima tahun telah dilalui, kemampuan
olah kanuragan anak itu masih berhenti pada tataran penguasaan
gerakan dasar. Tidak lebih dari itu. "Payah!" Kata seorang Putera
Paman Wira, Janaloka, teman sekaligus saudara. Celakanya,
Arga sering menjalani latih tarung. Latih tarung dengan murid
20 seusia. Tak ayal, latih tarung itu selalu menjadi diri anak itu
korban. Syukur kalau hanya memar atau benjol-benjol. Pernah
pada suatu latih tarung, ia tertendang dan terkapar pingsan. Tidak
sadar setengah harian. Seterusnya, jadi bahan olok-olok. "Cara
bodhon kapidhara". Mudah dibikin pingsan.
Latihan tarung. Kalah. Latihan tarung lagi. Kalah lagi. Terus dan
terus terjadi. Setiap kali Arga dihadapkan dengan murid seusia.
"Pecundang!" Serta merta Arga mendapat sebutan baru: Uncalan.
Selalu terlontar atau keluar dari gelanggang. Sebutan dari hasil
latih tarung. Selalu kalah. Terus kalah dalam setiap berlatih
tarung. Bahkan, berhadapan dengan murid-murid yang belum
lama bergabung di perguruan pun, juga keluar sebagai
pecundang. Uncalan. Begitulah Arga sering digoda dan diolok-olok. Paman
Wira bukannya tidak acuh dan khawatir. "Bagaimana
kemajuanmu Engg?r?". Sering Paman Wira bertanya begitu pada
Arga. Pertanyaan penuh perhatian. Perhatian atas ketertingalan
Arga dalam ilmu silat. Sebuah catatan pernah diberikan Paman
Wira. Catatan tentang garis-garis besar gerakan-gerakan silat
seluruh jurus-jurus Perguruan Merak Mas. Catatan itu selalu
dibawa Arga. Hadiah istimewa Paman Wira. Catatan jurus Merak
Mas yang ditulisnya sendiri. Akan tetapi, karena ketidaktertarikan
pada ilmu silat, Arga hanya membaca dan mengingatnya, tanpa
pernah mempraktekkan. Jurus-jurus itu tinggal dalam pikiran
tanpa menyatu dengan dirinya.
Arga masih mengingat, catatan itu berisikan dasar teknik enam
jurus andalan Merak Mas. Salah satunya, Mangwa Jrabang
Swarna Manyura (Merak Mas Merah Membara). Teknik dari jurus
ini berpusat pada jantung, dengan tingkat keahlian yang tinggi
21 12 seseorang dapat melakukan pengerahan hawa panas dari
jantung (api) untuk mengobarkan udara di sekitar sehingga dapat
menjadi kekuatan penyerang yang sangat dahsyat. Sifat dari
jurus ini panas meledak-ledak dan tak terbantahkan.
Tidak hanya memberikan catatan, demi kemajuan diri anak itu,
Paman Wira sering mengajak Arga berbincang-bincang mengenai
jurus-jurus utama Merak Mas. Bahkan, Paman Wira
mempertunjukkan cara memainkan jurus-jurus. Enam Jurus
Utama Merak Mas. Landasan utama Perguruan Merak Mas.
Selain jurus Merak Mas Merah Membara, Arga mengingat
terdapat lima jurus utama lain, yakni: Sahasra Hasta Obat-abit
Manyura (Merak Mengayun 1000 Hasta), Nawa Wihaya Manuja
Widyuta Manggal Manyura (Merak Melontarkan Halilintar ke
Sembilan Langit), Madyantara Ili Bangg?l Manyura (Merak
Membalik Arus Jagat Raya), Wihaya Ratan Luwer Marbuka
Manyura (Merak Membuka Sirkulasi Jalan Langit), dan
Madyantara Kampita Cancala Manyura (Merak Menggetarguncangkan Semesta).
Jika Merak Mas Merah Membara merupakan jurus yang
bersumber dari unsur api yang panas dan keras, maka jurus
Merak Mengayun 1000 Hasta*) mengacu pada unsur angin yang
dingin dan lembut. Jurus ini merupakan jurus andalan perguruan
Merak Mas. Berupa gerakan-gerakan cepat, tangkas, luwes dan
terukur. Gerakan untuk mengelak dari serangan lawan. Dengan
memanfaatkan unsur angin, pengerahan jurus ini dapat
melenyapkan sergapan dengan kelembutan dan mampu
mengelak dari serangan yang bersifat keras dan beringas.
Lalu, Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan Langit dilakukan
dengan lambaran tenaga. Lambaran tenaga yang mengolah22
padukan tiga anasir alam. Air. Api. Angin. Perpaduan tiga anasir
itu menghasilkan kekuatan maha dahsyat. Halilintar. Bagaimana
itu bisa terjadi" Sangat sederhana. Jurus itu menarik elemen air
dan mengalirkan elemen api. Terjadi kabut uap air. Pada kabut
uap air itu deras ditiupkan elemen angin. Di dalam kabut uap air
bagian atas terjadi aliran angin yang bergerak deras ke arah
bawah. Aliran itu membentuk kanal saluran angin memuat sifat
tertentu, dan bersifat menekan kabut uap air bagian bawah.
Karena tekanan itu, bagian bawah kabut uap air akan mencair
menjadi air, juga memuat sifat tertentu. Sifat berlawanan dengan
sifat sebelumnya. Benturan antara sifat yang berlawanan
selanjutnya menghasilkan halilintar. Halilintar sebagai akibat yang
dilepaskan oleh benturan untuk menetralkan dua sifat berlawanan
dalam kabut uap air itu. Tingkat kedahsyatan halilintar yang dihasilkan dari pengarahan
jurus ini, tergantung pada himpunan tenaga murni yang dimiliki
oleh orang yang melepaskan jurus ini. Jurus Merak Melontarkan
Halilintar ke Sembilan Langit sangat efektif dalam menyerang
lawan, khususnya lawan bertenaga dalam yang bersifat dingin,
dan dapat melumpuhkan sekaligus mematikan organ tubuh
mereka yang terkena jurus ini. Jurus ini menyengat dan meledakledak. Sengatan dan ledakan
13 halilintar. Merak Membalik Arus Jagat Raya merupakan jurus yang elastis
bersumber pada unsur tanah. Pengerahan jurus ini dapat
mengubah atau menggonta-ganti sifat tenaga yang dikerahkan.
Dari keras ke lembut ataupun sebaliknya. Kemampuan
menggonta-ganti sifat tenaga ini dapat dilakukan sekehendak
hati. Tergantung kemapanan penguasaan seseorang atas jurus
ini. Perubahan sifat tenaga, apabila digunakan dalam
23 pertarungan, akan membingungkan lawan, karena ia akan sulit
untuk mengantisipasi jenis tenaga mana yang datang
menyerangnya. Seperti halnya Merak Mengayun 1000 Hasta, jurus Merak
Membuka Sirkulasi Jalan Langit merupakan teknik menghindar.
Hanya saja, jurus ini didasarkan pada gerak sirkulasi bendabenda angkasa. Penguasaan tata rasi
bintang merupakan insiprasi dari terciptanya jurus ini. Di kalangan murid perguruan
Merak Mas, jurus ini menjadi legenda. Penguasaan yang
sempurna terhadap jurus ini memungkinkan seseorang
menghindar sekaligus menyerang secara bersamaan. Jurus ini
menciptakan keseimbangan serentak antara unsur mengelak
sekaligus menyerang. Paman Gilingwesi merupakan tokoh Merak
Mas yang telah berada pada penguasaan jurus ini di tingkat
sempurna. Dengan penguasaan ini, Paman Gilingwesi dapat
sesuka hati untuk menahan sekaligus menyerang lawannya.
Merak Menggetar-guncangkan Semesta. Jurus pamungkas
Perguruan Merak Mas. Jurus ini bersumberkan pada
penggabungan unsur angin, air, api, tanah, dan swasana. Seperti
tercermin dari namanya, pengerahan jurus ini berdaya rusak
tinggi. Efeknya tidak hanya pada objek yang diserang. Tapi juga
pada lingkungan sekitar. Daya yang dihasilkan oleh jurus ini
begitu menakutkan. Tidak bisa dihentikan. Sekali dilontarkan,
hanya akan terhenti apabila sudah menemui sasaran. Bisa
dikatakan, pengerahan jurus ini mengunci sang pengguna.
Mengunci untuk menghancurkan lawan. Karena dampak yang
ditimbulkan, Perguruan Merak Mas tidak mengajarkan jurus ini
kepada sembarang murid. Hanya murid-murid pilihan, yang telah
melewati persyaratan dan ujian lahir dan batin, diizinkan melatih
24 dan mendalami jurus ini. Lewat enam jurus utama itu, Perguruan Merak Mas telah
menapak berdiri dan diakui sebagai Perguruan Utama. Perguruan
yang tidak dipandang sebelah mata. Banyak orang muda
memimpikan bergabung dengan perguruan itu. Siapa pun telah
mengenal perguruan Merak Mas. Merak Mas dari Kota
Tembelang. *** Kejadian itu masih diingatnya benar. Kejadian pada lima tahun
14 silam. Di usia yang keduabelas, ketika ia masih tinggal bersama
Paman Wira. Masih tinggal menjadi bagian dari perguruan Merak
Mas. Pagi itu, Arga diminta Paman Wira untuk memandikan Karkasa
Bayu (angin yang perkasa). Seekor kuda kesayangan. Kuda itu
tinggi besar. Berwarna hitam. Kuda istimewa pemberian Raja
Bhumi Mataram. Kuda sangat istimewa. Kuat dan cepat berlari,
seperti namanya. Menurut cerita, kuda itu mampu berlari cepat
selama seharian tanpa henti hingga menjangkau puluhan pal**).
"Engg?r Arga, hari ini tolong bawa dan bersihkan kuda Paman.
Jangan lupa bawa juga Karkasa Bayu mencari makan". Pagi itu
Paman Wira meminta Arga memandikan Karkasa Bayu.
Setelah menghabiskan sepotong ketela dan segelas teh manis,
Arga beranjak pergi ke istal utama. Mengeluarkan dan menuntun
Karkasa Bayu ia pergi berjalan ke sungai. Sungai itu mengalir
melingkari Perguruan Merak Mas. Keberadaan sungai itu seakanakan diletakkan secara sengaja
sebagai pembatas. Pembatas
perguruan itu dengan pemukiman dan persawahan penduduk
25 sekitar. Tiba di tepi sungai, Arga tidak sendirian. Di pagi itu, sudah
banyak murid-murid Perguruan Merak Mas. Mereka melakukan
aktivitas di sungai. Entah mencuci pakaian. Mandi berenang
sembari bersenda gurau. Atau mencuci rerumputan sebagai
pakan ternak. Sambil bernyanyi riang, Arga memandikan Karkasa Bayu. Tubuh
hitam besar kokoh digosok bersih seluruhnya. Punggung. Perut.
Leher. Kepala. Paha. Kaki. Termasuk, bulu tengkuk dan bulu
ekor. Karkasa Bayu bergoyang keras, waktu Arga menggosok
telinga. Bagian sensitif umumnya binatang. Termasuk pada kuda.
Yang tersulit adalah menggosok membersihkan mulut dan gigi.
Karkasa Bayu selalu berontak meronta. Padahal, tindakan itu
penting untuk mencegah sariawan pada kuda.
Sekitar tiga penderesan nira berlalu. Seluruh tubah Karkasa Bayu
telah digosok bersih dan dibilas. Arga pun mulai mengeringkan
tubuh sambil memijat-mijat merelaksasikan otot-otot Karkasa
Bayu. Ini memberikan kenyamanan bagi kuda itu.
Mengikuti permintaan Paman, Arga membawa Karkasa Bayu ke
sebuah lapangan di kaki bukit. Bukit sebelah barat di luar
Perguruan Merak Mas. Lapangan itu ditumbuhi rerumputan hijau.
Di tempat itu, murid-murid Merak Mas, termasuk dirinya, biasa
membawa kuda-kuda makan. Bukan baru kali ini, Arga membawa Karkasa Bayu ke tempat itu.
Tidak seperti sebelumnya, ia membawa kuda istimewa itu naik
jauh ke atas bukit. "Sementara kuda itu makan, aku akan
bersantai-santai menikmati kitab yang ku bawa. Ke tempat yang
agak jauh. Di situ aku dapat mencerna kitab tanpa gangguan.
Gangguan dari murid-murid Perguruan Merak Mas lain. Mereka
26 15 sering mencemooh dan mencela diriku. Mencela dan mencemooh
apa yang aku sukai. Membaca kitab. Mereka bilang aku hanya
membuang-buang waktu atau bermalas-malasan. Kitab tidak
berguna meningkatkan kemampuan silat." Arga membatin dan
terus membawa Karkasa Bayu ke atas bukit. Ke tempat yang
diinginkan. Bebas dari gangguan murid-murid Merak Mas.
Setibanya di tempat tujuan, Arga langsung menambat Karkasa
Bayu pada sebatang pohon mahoni. Pohon itu seukuran paha
kaki. Mahoni banyak tumbuh di bukit itu. Kuda itu langsung
menarik rumput dengan lidah, mengunyah benda hijau itu hingga
hancur. Menguyah dengan gigi-gigi besar. Gigi-gigi yang telah


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digosok bersih di sungai.
Berjalan ke arah pohon gaharu tua. Satu tumbak***) jauhnya dari
Karkasa Bayu. Duduk di bawah pohon gaharu tua rimbun, Arga
tenggelam membaca kitab. Kitab itu tentang tumbuh-tumbuhan
dan sifat-sifat serta kegunaan. Hampir dua belas penderesan
nira, ia duduk tenang mencerna. Di depan Karkasa Bayu asyik
mencabut dan mengunyah rerumputan. Namun, entah datang
dari mana tiba-tiba terdengar desisan panjang. Desisan terputusputus dari arah Karkasa Bayu.
Sejurus kemudian, sekelebat
gerakan terlihat mengoyang rerumputan. Gerakan itu cepat dan
segera berlalu menjauh dari tempat kuda itu berada. Bersamaan
itu, Arga melihat Karkasa Bayu telah tertidur terkapar di atas
rerumputan. Kejadian itu sontak menjadi dirinya panik kaget. Ia
pun langsung berlari ke arah kuda itu, dan memeriksa
keadaanya. "Karkasa Bayu, mati!", Arga berteriak spontan ketakutan.
Senyatanya, memang kuda itu telah terkapar mati. Tanpa
ringkikan suara sebelumnya. Ia mati dengan sebuah jejak luka.
27 Luka di paha kanan belakang. Jejak luka yang kini berwarna
hitam kehijau-hijauan. Melihat jejak luka pada paha itu, pasti
Karkasa Bayu telah terkena gigitan ular. Kepastian itu diperkuat
dengan suara desisan yang terdengar. Wankaysarpa. Ular
bangkai atau ular mayit. Hanya wankaysarpa mampu mematuk
dan mengirim wisya (racun atau bisa) mematikan dalam sekejab.
Wankaysarpa adalah jenis ular langka yang dikenal sebagai ular
pemakan bangkai. Kekuatan racun ular itu dihasilkan dari
akumulasi bangkai-bangkai yang dimakannya. Bangkai apa saja,
termasuk bangkai kawanan sendiri, yang telah dibunuhnya.
Kaget. Takut. Panik. Bingung. Semua itu bercampur aduk di
dalam diri Arga. Kaget karena kejadian itu begitu tiba-tiba. Takut
jangan-jangan ular itu belum pergi jauh dan justru siap-siap
menjadikan dirinya sebagai korban yang menyusul. Panik dan
bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Khususnya,
nanti mengatakan kepada Paman Wira bahwa Karkasa Bayu,
kuda kesayangan itu, telah mati. Sudah pasti Paman akan murka,
menilai ia tidak mampu menjaga Karkasa Bayu dengan baik. Di
16 luar itu, Arga pun tidak tahu apa yang harus dilakukan atas tubuh
Karkasa Bayu. Tubuh yang jauh lebih besar dari badannya.
Suasana kian menjadi-jadi oleh teriknya matahari. Seakan-akan
bulatan api itu ingin membakarhangus dirinya.
Yang segera terpikir olehnya adalah pergi. Kabur meninggalkan
perguruan Merak Mas. Enyah menghilang. Takut akan
kemarahan dan hukuman yang sudah tentu akan dikenakan.
Berpikir beberapa lama, dengan penuh keraguan, Arga
membulatkan keputusan untuk melarikan diri. Pergi kabur enyah
menghilang dari Peguruan Merak Mas.
Siang itu juga, Arga terus berjalan ke arah selatan menjauhi
28 perguruan Merak Mas. Ia berjalan tanpa henti. Dengan memintaminta di sepanjang perjalanan,
tanpa terasa anak itu telah dua
hari dua malam melakukan perjalanan. Perjalanan meninggalkan
perguruan Merak Mas. Pada malam ketiga, Arga tiba di pinggir hutan di kaki sebuah
gunung. Rasa takut yang teramat sangat menghantui. Seorang
diri berada di tepi hutan. Di malam gelap gulita. Serta merta bulu
kuduk anak itu berdiri. Ia telah menjadi sangat khawatir dan waswas dengan apa yang berlangsung
di sekitarnya. Sekedar bunyibunyian hewan malam, atau bahkan suara gesekan ranting
pepohonan tertiup angin, sudah cukup membangkitkan rasa takut
yang mendalam. Tapi, ia tidak punya pilihan atau jalan lain. Sudah terlanjur tiba di
tempat itu. Tempat yang menakutkan, namun jauh dari jangkauan
Merak Mas. Perguruan itu mungkin sedang mencari dan
berusaha menemukan dirinya. Mencari dan menemukan untuk
menjatuhkan hukuman. Hukuman sebagai penebusan atas
Karkasa Bayu yang telah menemui ajalnya karena dirinya.
Malam gelap gulita di tepi hutan terpaksa dilewatkan oleh Arga.
Dilewatkan dengan gemetar, penuh rasa takut. Menjalar dan
menekan sepanjang malam. Karena ketakutan, Arga tidak dapat
tidur hingga malam beranjak larut. Sangat larut. Baru menjelang
pagi, saat batas ketahanan tubuh yang telah habis akibat
kelelahan berjalan jauh dan lebih-lebih beban rasa takut yang
menumpuk, akhirnya ia tertidur. Tertidur dengan bersandar di
sebuah batang pohon besar.
Matahari sudah meninggi saat anak itu terbangun. Kawanan
hewan hutan pun telah bermunculan. Dua ekor branjangan
berjalan tidak jauh dari tempat ia tidur. Anak itu terbangun, karena
29 lapar sudah tidak tertahan. Lima enam kali perut itu berbunyi,
seakan-akan berteriak minta diisi. Yang pertama-tama dicari
adalah menemukan apa pun yang dapat dimakan di hutan. Apa
pun itu! "Syukurlah, di sana terdapat beberapa pohon duku. Beruntung
pohon-pohon itu sedang berbuah. Cukup banyak. Bisa dimakan."
Anak itu terlihat cerah. Ia mendapatkan sesuatu untuk dimakan:
17 buah duku. Mencari pohon yang tidak terlalu tinggi, ia naik dan memetik buah
duku. Dipilih yang masak. Pada pohon itu, sebagian buahnya
mengelantung menempel pada batang. Ya, begitulah duku. Buah
itu seperti durian, mengelantung pada batang. Memang, tidak
seperti buah-buahan lain, berbuah pada pucuknya, pohon duku
meletakkan buah sebagian pada batang atau dahan. Sering buah
itu terletak menempel pada batang utama. Buah itu bergumpalan
pada batang dan dahan. Demikian juga pada pohon-pohon duku
di hutan itu, berbuah membentuk gumpalan pada batang, batang
utama. Ia pun memetik buah itu sebanyak yang ia bisa.
Siang itu perut Arga seluruhnya terisi dengan duku. Duku yang
telah dimakan sekenyang-kenyangnya. Tidak berpikir soal akibat.
Terpenting perut itu tidak lagi berbunyi. Berbunyi minta diisi.
"Tempat ini sepi dan jauh dari Perguruan Merak Mas. Pada
tempat ini pun cukup tersedia makanan. Paling tidak buah duku.
Buah itu dapat aku jadikan makanan. Setidaknya, untuk beberapa
hari ke depan. Sebaiknya, aku mencari tempat di sekitar sini.
Tempat untuk tinggal. Tinggal untuk sementara." Sambil melahap
duku, anak itu membuat pertimbangan dan memutuskan untuk
mencari tempat tinggal di sekitar hutan. Hutan yang berada di
kaki sebuah gunung. 30 Selepas perutnya telah menjadi kenyang, Arga pun beranjak
pergi memapar kaki gunung itu. Terus anak itu mencari. Ia
bergerak naik ke punggung gunung. "Ah, agaknya di punggung
gunung ada sebuah lembah". Cepat ia menuruni lembah. Lembah
yang tidak terlalu luas. Benar. Itu memang lembah. Tapi, tidak
juga tepat dikatakan lembah. Hanya sebidang padang rumput
pada punggung gunung. Beristirahat, anak itu berbaring di atas
rumput. Dari situ ia melihat sebuah ceruk. Sebuah gua. Bergegas,
ia mendatangi ceruk itu. "Sebuah gua" Mungkin aku bisa
menetap di sini." Pikir anak itu. Sejak malam itu, Arga menetap
tinggal gua itu. Butuh waktu satu purnama untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupan di gua itu. Gua itu kemudian dijadikan
tempat tinggal. *** Pada purnama kedua sejak melarikan diri, Arga pernah datang
diam-diam ke perguruan Merak Mas. Datang sekedar mencari
tahu mengenai kematian Karkasa Bayu dan kepergian dirinya dari
perguruan itu. Agaknya, suasana perguruan itu sudah seperti
biasa. Tidak ada tanda-tanda untuk mengejar dan bersikeras
menghadapkan dirinya pada suatu hukuman. Tidak seperti yang
dikhawatirkan, murid perguruan itu tampak menjalani kegiatan
sebagaimana biasa. Akan tetapi, keadaan itu tidak juga
mengurangi apalagi melenyapkan rasa takut. Rasa takut karena
telah menyebabkan Karkasa Bayu kehilangan ajal.
Bahkan, kini rasa takut itu semakin bertambah meningkat.
Bertambah karena ia telah melarikan diri. Tidak memberikan
18 tanggungjawab atas apa yang telah terjadi. Hal kedua itu
31 kemudian mendorong untuk tidak kembali ke perguruan Merak
Mas. Ia memutuskan terus tinggal menetap di gua pada lereng
gunung. *** Sudah lima tahun Arga mendiami gua yang ditemukan.
Ditemukan setelah ia pergi kabur enyah menghilang dari
Peguruan Merak Mas. *** Sudah lima tahun Arga mendiami gua yang ditemukan di lereng
gunung. Gua itu pernah dihuni oleh orang yang menamakan diri
Naga Branjangan. Orang itu meninggalkan sejumlah ilmu dan
petunjuk. Pelajaran berharga. Ilmu dan petunjuk itu telah
memenuhi dahaga Arga akan pengetahuan. Berkat peninggalan
Naga Branjangan, ia dapat melupakan kerinduan pada orangorang dekat di Perguruan Merak Mas.
Terutama, Paman Wira dan Janaloka, anak laki-laki Paman Wira.
Tidak banyak kegiatan harus dilakukan Arga. Paling-paling
mencari makanan dan kegiatan sehari-hari pada umumnya. Di
luar itu, segenap waktu ia telah pergunakan untuk menekuni dan
mempraktekkan ajaran yang diwariskan oleh pendekar itu.
Tempat itu sungguh terpencil. Hanya beberapa pemburu datang
mendekat dan menginjakkan kaki hingga ke lereng gunung.
Dalam perhitungannya, kunjungan pemburu itu pun terbilang
sangat jarang. Di tahun lalu saja, hanya datang dua kelompok
pemburu. Terdiri dari 4 hingga 5 orang pada masing-masing
32 kelompok. Di tempat itu, Arga memang terpencil dan terkucil. Tapi, tidak
terbelenggu. Ia justru menjadi sangat bebas. Bebas lepas.
Tempat itu telah memberi keleluasaan serta ketenangan. Arga
merasa sepunuhnya terbebaskan dari gangguan. Dengan penuh
keleluasaan dan ketenangan, Arga mencerna warisan dari Naga
Branjangan. Warisan sangat berharga. Lewat ilmu dan petunjuk
peninggalan Naga Branjanga, Arga menemukan jalan untuk
membuka dan memperluas cakrawala. Bekal menjalani
kehidupan. Sepanjang lima tahun itu pula, Arga telah mengembleng dan
melatih berbagai pelajaran yang diguratkan Naga Branjangan.
Seluruh praktek Meditasi Cakra dan Teknik Pernafasan, yang
pada dasarnya merupakan sarana untuk menghimpun tenaga
murni, sepenuhnya dikuasai dengan sempurna. Buah dari latihan
berdasarkan kebiasaan yang ajeg dan benar. Lewat keajegan,
praktek itu terjaga. Terjaga dalam hal jadual waktu maupun
semangat. Lewat cara yang benar, praktek itu mendapat
kedalaman hingga menembus ke intisari.
Di luar Meditasi Cakra dan Teknik Pernafasan, Arga juga
19 mempraktekkan gerakan-gerakan. Sekali lagi mempraktekkan
menurut cara yang ajeg dan benar. Setiap saat, Arga secara ajeg
meniru gerakan-gerakan atau langkah-langkah pada guratan atau
ukiran di beberapa sudut gua. Dalam penilaia Arga, langkah dan
gerakan-gerakan itu berharga. Sangat berharga, tidak hanya
untuk mengisi waktu luang tapi juga menyegarkan tubuh dan
melancarkan peredaran aliran darah.
Semakin sering Arga melakukan gerakan-gerakan dan langkahlangkah itu, ia semakin menikmati.
Itulah cara yang benar. Selalu
33 dapat dinikmati. Gerakan-gerakan dan langkah-langkah itu sangat
sederhana. Sangat sederhana dalam satu kesatuan rangkaian
sistematis. Selain melatih gerakan-gerakan dan langkah-langkah
itu, Arga juga melakukan gerakan-gerakan dari catatan Paman
Wira. Catatan istimewa dari Paman Wira. Catatan itu adalah
enam jurus utama Merak Mas Merah Membara. Catatan yang
selalu tersimpan di balik baju, dan terbawa serta hingga ia tinggal
di gua. Gerakan-gerakan dan langkah-langkah yang terukir dan tergurat
dalam gua penuh dengan kombinasi dan perubahan. Memukul.
Menebas. Menotok. Mencakar. Menyikut. Membanting. Menarik.
Menghempas. Menendang. Menyepak. Melompat. Memutar.
Menjingkat. Menyerong zig zag. Dan sebagainya. Guratan dan
ukiran pada gua itu dibuat begitu runtut. Sangat memudahkan
untuk diikuti. Pertama kali melihat guratan dan ukiran gerakan-gerakan dan
langkah-langkah itu, Arga berpikir bahwa itu adalah jurus-jurus
Naga Semesta. Jurus sebagaimana dikatakan Naga Branjangan.
Ia pun menjadi ragu untuk berlatih. Akan tetapi, dengan
memperhatikan dan mencermati secara seksama, Arga
menyakini bahwa apa yang terukir dan tergurat bukan jurus Naga
Semesta. Atas keyakinan itu, Arga pun mengikuti gerakangerakan dan langkah-langkah sesuai
urutan dan keterangan yang
diberikan. Seperti halnya latihan meditasi dan pernafasan, gerakan-gerakan
dan langkah-langkah itu pun secara ajeg dan benar dilakoni hari
demi hari. Gerakan-gerakan dan langkah-langkah itu terus dan
terus dilatih. Intisari adalah muara latihan itu berujung. Arga tidak
hanya hanyut pada bentuk, melainkan juga isi dari gerakan dan
34 langkah itu. Mengurai sesuatu menurut bentuk sekaligus isi
adalah kebiasaan pemuda itu. Kebiasaan yang tumbuh dari
ketekunan baca tulis. Mengurai menurut bentuk dan isi, hingga
tiba pada intisari. Kembali, ini membawa keuntungan bagi Arga.
Ia bisa menyelaraskan gerakan-gerakan dan langkah-langkah itu
dengan teknik meditasi dan pernafasan.
Keselarasan itu memberi kelegaan dan keleluasaan. Setiap
melakukan gerakan-gerakan dan langkah-langkah itu, Arga
20 merasakan kelegaan dan keleluasaan gerakan aliran tenaga di
dalam dirinya. Tenaga itu bersumber dari pusat di perut
menyebar ke segala arah. Waktu pertama kali, aliran tenaga itu muncul, ia terkejut. Aliran
tenaga aneh itu tiba-tiba melesat dan terus bergerak berputar
menjangkau sejumlah bagian tubuh. Keanehan itu sungguh
membingungkan Arga. Akan tetapi, Arga tidak merasakan
pengaruh apa pun pada bagian-bagian tubuh yang telah dialiri
tenaga itu. Kelegaan dan keleluasaan. Itu sepenuhnya dirasakan
Arga. Atas dasar pengamatan itu, Arga pun berlatih dalam keselarasan
antara gerakan-gerakan dan langkah-langkah dengan teknik
meditasi dan pernafasan. Lewat latihan dalam keselarasan, Arga
menikmati sepenuhnya kehadiran tenaga itu. Tidak hanya sampai
di situ, Arga sering mendorong mempercepat dan memperkuat


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aliran tenaga itu, sehingga bergerak bebas pada seluruh bagianbagian tubuh.
Aliran tenaga aneh itu terkadang terasa hangat, kemudian
memanas. Kadang terasa sejuk, lalu menjadi sangat dingin. Bila
sudah terasa sangat panas atau sangat dingin, Arga cenderung
berhenti. Ia bergegas ke luar, mencari tempat terik mengurangi
35 pengaruh hawa dingin. Atau beredam pada kolam di dalam gua,
manakala panas terasa menyengat. Demikian, ia melakukan hal
itu selama bertahun-tahun. Lima tahun.
Karena ketekunannya dalam menyerap apa yang terkandung di
dalam setiap gerakan dan langkah itu, pada tahun kelima Arga
secara utuh memahami apa yang terkandung sebagai intisari
gerakan dan langkah itu. Bahkan, ia telah mampu memainkan
gerakan dan langkah itu sesuka hatinya. Menjalankan gerakangerakan dan langkah-langkah
menurut perubahan yang dikembangkan dan difikirkan.
Hal yang sama juga dilakukannya terhadap enam jurus Merak
Mas. Ia melatih jurus itu selama lima tahun. Dilatih secara terus
menerus berdasarkan catatan Paman Wira. Dengan pengertian
yang telah dicapainya, Arga menambahkan di sana sini
perubahan pada jurus itu. Di tangan anak muda itu, jurus Merak
Mas telah menjadi berbeda, sekalipun masih jelas tergambar apa
yang dimainkannya memang jurus utama Merak Mas.
Demikian lima tahun telah lewat. Terlewat dengan berbagai olah
diri: jasmani dan rohani. Arga menjalani semua dengan
kegembiraan. Kegembiraan itu dicerna dan ditangkap lewat
ajaran Gumbira (bahagia).
*** Arga telah menyelesaikan kegiatan harian. Bermeditasi. Olah
pernapasan. Latihan gerakan-gerakan dan langkah-langkah. Pagi
itu, Arga membersihkan diri. Ia berencana mengumpulkan
ranting-ranting kayu. "Jika aku beruntung, tidak hanya ranting-rangting kayu yang aku
36 21 dapatkan. Semoga seperti sebelumnya. Aku menangkap hewan
hutan seperti ayam hutan atau anak celeng (babi hutan). Hewan
yang lumayan untuk dijual pada penduduk yang berdiam di kaki
gunung ini. Atau dapat aku tukar dengan pakaian ala kadar.
Mengganti pakaian lusuh yang masih melekat pada tubuh."
Demikian Arga berkata dalam batin.
Menangkap hewan hutan, bukan lagi menjadi halangan bagi
Arga. Kecepatan gerak dan tingkat daya refleks memungkinkan
hal itu. Hasil latihan lewat cara ajeg dan benar. Latihan itu terbukti
mendatangkan manfaat memenuhi kebutuhan. Kebutuhan hidup.
Enam penderesan nira berjalan sejak Arga meninggalkan gua.
Kini ia berada di tengah hutan. Penuh ditumbuhi pepohon perdu
(semak). Ia sengaja mendatangi semak-semak itu. Di sana
biasanya hewan-hewan hutan berada. Merunduk mengendapendap, Arga mengamati keberadaan
hewan hutan. Dengan ketajaman penglihatan, ia memastikan ada kunthing waraha.
Seekor babi hutan kecil. Kulit hitamnya tersamar di balik gelap
rimbunan semak perdu. Arga berancang-ancang, dan segera
menerobos masuk ke dalam semak-semak itu. Ia merunduk dan
bergerak cepat, berupaya menangkap kunthing waraha.
Sayang, gerakan anak muda itu terhambat terhalang.
Kerimbunan semak perdu itu berjejal sesak. Sesak untuk dilewati
tubuh anak muda itu. Serta merta hewan itu mencium bahaya.
Lincah dan cepat, kunthing waraha menyusup dan menerobos
sela-sela batang-batang perdu. Bergerak sekencang, hewan itu
mampu. Melepaskan diri dari bahaya dan ancaman. Tidak ingin
kehilangan kunthing waraha yang sedang diburu, Arga pun terus
berlari cepat menerobos pepohonan, mengejar mengikuti ke
mana kunthing waraha berlari.
37 Pengejaran pun berlangsung. Hanya sesaat saja, kunthing
waraha telah lenyap tak berbekas. Arga kehilangan jejak hewan
buruan. Ia masih terus berusaha mencari keberadaan kunthing
waraha dengan menyibakkan pepohonan. Ia berharap hewan itu
ketakutan dan muncul kembali. Kendati matahari sudah mulai
tegak di atas kepalanya, ia masih meneruskan usahanya.
"Ah. Agaknya usaha yang aku lakukan akan sia-sia. Kunthing
waraha telah raib entah ke mana." Ia pun menghentikan
pencarian. Sekalipun berhenti mencari, mata Arga tetap terus
melacak. Melacak kalau-kalau kunthing waraha itu terlihat
kembali. "Hei, ada yang aneh tampak di depanku, di antara rimbunan
semak-semak itu. Benda apa yang memantulkan cahaya dari
sana?" Arga masih terdiam pada tempatnya. Hanya matanya
lebih diarahkan untuk memandang dengan seksama. Memastikan
apa yang telah dilihat. Mengucak-ucakkan dua mata, meyakinkan
diri kalau-kalau itu hanya sebuah ilusi. Ilusi setelah harapan pada
kunthing waraha sirna. Tapi, pantulan itu tetap ada. Pantulan itu
22 memang tetap ada, sekalipun diamatinya dari sudut pandang
berbeda. Merasa penasaran akan pantulan itu, Arga pun
menyibakkan semak dan mendatangi apa yang telah
memantulkan sinar di balik rimbunan semak. "Ah, kembali ada
sebuah gua." Pelahan ia mendekati gua itu.
Setiba di mulut gua itu, anak muda itu melihat sebuah benda
tergantung. Benda itu merupakan sumber pantulan. Salaka
Pending. Timang atau ikat pinggang. Benda itu putih terbuat dari
perak. Pelahan ia meraih timang itu dan sejenak mengamati
benda itu. "Timang yang indah dan begitu mengesankan." Dua
tangan Arga meraba sebuah ukiran pada timang perak.
38 Keberadaan benda itu pun segara membangkitkan keinginan
menyusur masuk ke dalam gua.
Penuh hati-hati dan kewaspadaan, Arga melangkah perlahan
masuk ke dalam gua. Ia masuk dengan oncor (obor) yang dibuat
sejumlah ranting kecil yang disatukan. Disatukan seperti sapu lidi.
Di bawah penerangan oncor, anak muda itu bergerak. Sebentar
kemudian berhenti. Mengamati keadaan. Yakin aman, ia bergerak
kembali. Dua tiga kali, anak muda itu berhenti, lalu menyusur
kembali. Jauh masuk ke dalam gua itu. Selama bergerak
menyusur, ia berlaku waspada. Berjaga-jaga, kalau-kalau ada
hewan berbahaya yang mungkin tiba-tiba menyerang.
Sependeresan nira (red-satu kali sepuluh menit) ia telah berjalan
memasuki perut gua. Pada perut gua, keadaan justru lebih terang. Sebuah lubang telah
menjebol langit-langit gua. Cahaya masuk dari lubang itu dan
menerangi seisi perut gua. Di salah satu dinding pada perut gua
itu, terlihat serangkaian aksa bertuliskan: Branjangan Naga Anta
Pakuwon. Persemayaman Terakhir Naga Branjangan.
"Sang Naga tidak pergi meninggalkan gunung ini, tapi menetap
pada gua lain. Gua yang lebih tersembunyi. Gua ini. Terus tinggal
hingga ajal menyemput." Tulisan yang tidak sempurna.
Diguratkan asal saja, namun tetap terbaca.
Dengan oncor yang masih tersisa, anak muda itu kembali
memasuki lorong gua lebih dalam. Tidak berapa lama, anak
muda itu melihat sebuah batu besar dengan permukaan atas rata.
Di atas batu itu terlihat tulang beluang manusia. Sebagian telah
jatuh di bawah batu itu. Tulang belulang itu telah memutih
dimakan usia. Arga menyimpulkan, tulang-tulang itu milik Naga
Branjangan. Bratasenawa. 39 Dengan penuh rasa hormat, ia mengumpulkan tulang-tulang itu
untuk disemayamkan sesuai kebiasaan yang berlaku. Mengikatsatukan tulang-tulang itu dengan
batang rotan seukuran jari
kelingking. Membungkus dengan daun pisang hutan. Menggali
liang. Liang itu tepat di bawah rangkaian kata-kata:
Persemayaman Terakhir Naga Branjangan. Anak muda itu
23 menyemayamkan tulang belulang itu pada bagian terang perut
gua. Bagian yang telah diterobos oleh cahaya surya lewat sebuah
lubang menganga. Selepas mengebumikan tulang belulang, Arga
kembali mengamati keadaan gua secara lebih teliti.
"Aku yakin, tokoh ini pun telah meninggalkan sesuatu di sini,
sebagaimana telah ia lakukan pada gua sebelumnya." Arga
bergerak dan mencari mengikuti suatu keyakinan. Tidak keliru, di
salah satu sudut gua Arga menemukan lima Janges Gendhaga
(Kotak Hitam Mengkilap). Kotak hitam terbuat dari kayu. Kayu itu
tampak sangat kokoh dan kuat. Dibuat dari kayu pilihan.
Dengan hati-hati Arga memeriksa kotak-kotak itu. Pelahan ia
membuka. Pada kotak pertama, Arga menemukan benda-benda
rumah tangga. Benda-benda itu tentu telah digunakan oleh Naga
Branjangan. Di antara benda-benda itu, terdapat peralatan makan
minum perak, sebilah pisau baja mungil dan tipis namun sangat
tajam, bejana tembaga dan sejumlah peralatan lain.
Pada kotak kedua, Arga mendapati tiga buntalan kain emas
penuh hiasan indah. Dengan penuh rasa ingin tahu, pelan-pelan
Arga membuka isi salah satu buntalan. Sebuah lipatan kulit
berwana kecoklatan. Di atas kulit itu tertera aksa, Panchajanya
(Kitab Lima Elemen Semesta). Lalu, kulit berlipat sejenis juga ia
dapatkan, terbungkus pada kain kedua. Tulisan pada kulit itu,
Jagattraya Naga Walgita (Kitab Naga Semesta). Begitu juga pada
40 kain ketiga yang membebat tersembunyi kulit serupa. Di situ
tertulis Jagattraya Naga Japa (Mantra Naga Semesta).
Penemuan atas tiga lipatan kulit itu sangat menggembirakan
Arga. Sudah lama tidak bertemu dengan apa yang dapat dibaca.
Kitab. Bahkan, tiga buah kitab. Langsung ia membuka
Panchajanya, Kitab Lima Elemen Semesta. Di sana diuraikan dan
dijelaskan lima elemen alam dasar, yakni: Anala (Api), Bayu
(Angin), Bhumi (Tanah), Udhaka (Air) dan Swasana (Suasana).
Lima anasir itu ialah wujud segenap zat. Demikianlah sebagian
diuraikan: "Bhumi (Tanah) sebagai daging, kulit, urat dan tulang.
Udhaka (Air) sebagai darah, lemak sumsum dan lendir. Anala
(Api) sebagai mata. Bayu (Angin) sebagai nafas. Swasana
(Suasana) sebagai bagian-bagian badan yang halus dan sebagai
roma. Demikianlah adanya lima anasir utama itu membentuk
segenap makhluk. Di samping itu, lima anasir itu pun memiliki
bermacam-macam sifat, seperti: bumi berbau, air berasa, api
bertokoh, angin berperasa, swasana dapat berkata. Itu semua,
dikatakan dalam kitab itu, telah membentuk manusia sehingga
manusia bisa bertokoh, mempunyai rasa, mempunyai penciuman
serta perasaan dan dapat berkata. Manusia akan semakin
sempurna, apabila ia mampu mengendalikan lima anasir di dalam
dirinya". Menurut kitab itu, lima elemen itu bisa diserap dan dihimpun
menjadi hawa murni. Panchajanya menjabarkan cara menyerap
dan menghimpun elemen itu menjadi kekuatan inti. Hawa murni.
24 Tenaga dalam. Lima anasir semesta terhubung satu sama lain menurut pola
lingkaran. Setiap elemen lebih lemah dari yang satu dan lebih
kuat dari yang lain. Elemen api kuat melawan angin tapi lemah
41 terhadap air. Elemen angin kuat atas swasana tapi lemah
terhadap api. Swasana kuat pada tanah, tetapi lemah terhadap
angin. Tanah kuat mengatasi air tapi lemah pada swasana, dan
air kuat terhadap api tetapi lemah pada tanah.
Pada dasarnya, dalam diri manusia terkandung lima elemen itu
dengan kecenderungan salah satu elemen lebih kuat dari empat
lainnya. Akan tetapi, dengan teknik Ahwaya (penggabungan)
yang dilatih terus menerus, lima elemen itu dapat dibangkitkan
pada tataran sama kuat dan saling dihubungkan serta
dipersatukan sehingga menghasilkan himpunan tenaga dahsyat.
Kitab Panchajanya membeberkan langkah-langkah
membangkitkan lima unsur. Langkah-langkah menuju tataran
tinggi yang seimbang. Panchajanya mengurai untuk
menghubungkan dan menyatukan satu elemen dengan elemen
lain untuk mendapatkan tenaga hebat. Panchajanya merupakan
teknik menghimpun, meningkatkan dan menyalurkan tenaga
murni. Tenaga murni yang disadap dari unsur-unsur alam, baik
secara sendiri-sendiri maupun sebagai satu kesatuan.
Dari pengamatan dan penilaian Arga, kitab Panchajanya
merupakan teknik lebih lanjut dari teknik meditasi dan
pernapasan yang selama ini telah ia latih. Suatu kesinambungan
dari apa yang sudah menjadi kebiasaan ajeg diri Arga. Dilatih
sesuai dengan petunjuk goresan dan ukiran pada dinding dan
batu-batu di dalam gua. Selama lima tahun.
Pada bagian akhir, dikatakan bahwa Panchajanya merupakan
lambaran (alas) bagi jurus-jurus Naga Semesta. Panchajanya
tidak hanya menuntun pada kemahiran dan kematangan
penguasaan jurus-jurus Naga Semesta, tapi mengantar pada
kesempurnaan pemilikan jurus-jurus Naga Semesta. Cukup ia
42 membaca kitab Panchajanya.
Lipatan kulit berterakan Jagattraya Naga Japa (Mantra Naga
Semesta) di tangan. Kitab itu tertuliskan ujaran-ujaran mengenai
pemahaman inti terhadap semesta. Nilai-nilai sebagai sandaran
dari jurus-jurus Naga Semesta. Penghayatan atas ujaran-ujaran
itu akan menumbuhkan kemampuan pengendalian terhadap efek
penghancur dari jurus Naga Semesta. Jagattraya Naga Japa
merupakan mantra pengendali dari jurus Naga Semesta.
Jagattraya Naga Walgita (Kitab Naga Semesta) memuat gerakangerakan inti jurus-jurus Naga
Semesta. Jurus-jurus itu merupakan
gubahan langsung Naga Branjangan. Jurus-jurus yang disarikan
dari pengalaman mengarungi pengembaraan, malang melintang
dalam dunia persilatan. Naga Branjangan mengingatkan bahwa
25 sekalipun belum terkalahkan ia bukanlah orang terkuat.
"Dalamnya lautan tiada terukur." Tulisnya di awal kitab.
Jagattraya Naga Walgita berintikan empat gelar jurus utama:
Parusa Jagattraya Naga (Naga Semesta Tajam dan Menusuk),
Usnika Jagattraya Naga (Naga Semesta Membara), Gala
Jagattraya Naga (Naga Semesta Meraung), dan Cadudasa
Jagattraya Naga (Naga Semesta Cemerlang). Dari nama-nama
jurus saja, sudah terbayang bahwa empat gelar jurus Naga
Semesta itu sangat berdaya rusak tinggi. Dibutuhkan suatu
lambaran kekuatan dan keteguhan batin untuk menjaga dan
menyeimbangkan kekuatan dahsyat jurus itu.
Jurus Naga Semesta Tajam dan Menusuk dimainkan dengan
lambaran unsur dingin. Entah itu elemen angin atau elemen air,
bahkan gabungan kedua elemen itu. Lewat rangkaian gerakangerakan pada jurus itu, himpunan
energi dingin diserap, diolahpadukan, dialirkan atau dilontarkan lewat pukulan, cakaran,
43 tendangan. Efeknya, sambaran-sambaran hawa dingin selalu
mengiringi ke mana gerakan-gerakan itu terarah. Penggabungan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua elemen dingin (air dan angin) pada tataran tertinggi, jurus ini
dapat membekukan benda-benda sekitar. Membekukan lawan
yang terkena Naga Semesta Tajam dan Menusuk.
Kebalikan dari jurus sebelumnya, Naga Semesta Membara justru
menciptakan efek panas membara. Lambaran jurus ini adalah
penghimpunan unsur panas (api atau swasana). Sengatan hawa
panas menjadi ciri khas pada jurus ini. Penguasaan dalam tataran
mapan dapat melontarkan efek panas ke sasaran pada
jangkauan jarak tertentu.
Naga Semesta Meraung adalah tingkatan lebih tinggi dari dua
jurus di atas. Jurus ini menghasilkan lontaran tenaga. Tenaga
hasil penggabungan elemen bersifat panas dan dingin (air, angin,
api dan swasana). Hawa dingin dan panas dapat silih berganti
menjadi efek dari jurus ini. Tingkat kemahiran dan kematangan
memainkan jurus ini akan menentukan seberapa cepat proses
pengalihan hawa-hawa itu. Dengan penguasaan yang mapan,
hawa dingin dan panas itu dapat digunakan secara bersamaan.
Bahkan, pada tingkatan sempurna, hawa dingin dan panas itu
dapat dilontarkan lewat suara. Suara Meraung. Itulah sebabnya
jurus ini disebut Naga Semesta Meraung.
Jurus Naga Semesta Cemerlang merupakan pamungkas dari
Naga Semesta. Jurus ini dilambari dengan penggabungan lima
elemen serentak. Pengerahan jurus ini akan mempengaruhi
keadaan alam sekitar. Menjadi ciri dari jurus ini akan muncul sinar
cemerlang di sekeliling tubuh yang memainkan. Ini merupakan
efek kasatmata penyatuan lima elemen itu. Apabila terus
ditingkatkan hingga tataran tertinggi, kecermerlangan itu akan
44 menyilaukan mata. Begitu silau, berpengaruh mendatangkan
gangguan pada mata. Bisa sesaat, bisa permanen alias buta.
26 Kecuali fenomena sinar cemerlang, jurus ini menimbukan tenaga
berupa sinar. Sinar dengan bersifat chedana (membelah-belah)
apapun yang dilewati. Sinar berdaya rusak tinggi.
Di luar empat jurus itu, Jagattraya Naga Walgita juga memuat dua
teknik lain yang disebut Naga Kawaca (Jubah Perang Naga) dan
Apsara Naga (Naga Meluncur). Jubah Perang Naga merupakan
teknik pelindung diri untuk menahan hawa serangan lawan. Baik
langsung maupun tidak langsung. Jubah Perang Naga
mendasarkan pada elemen tanah, sebagai unsur netral, yang
bersifat sahya (kuat bertahan, mampu menyerap tanpa batas).
Sementara Naga Meluncur, merupakan teknik gerak menghindar.
Menghindar lewat secara cepat dan tidak terduga. Gerakan Naga
Meluncur didasarkan pada sifat air dan angin. Menjadi ringan dan
mengalir adalah ciri dari pengerahan teknik ini. Siapa pun yang
menguasi teknik ini dapat bergerak ringan dan fleksibel. Sulit
untuk dijangkau, apalagi disentuh oleh serangan lawan.
*** Arga melonjak penuh kegembiraan dengan penemuan atas tiga
kulit berlipat itu. Bukan karena kedahsyatan dari jurus-jurus yang
sepintas dibaca, tetapi lebih-lebih karena menemukan obat
kerinduan. Kerinduan atas kitab. Kini, tiga kulit berlipat terpapar di
tangan. Tiga kulit berlipat yang tidak lain tiga buah kitab.
Bagaimana tidak melonjak gembira, tiga kitab sekaligus didapat.
Didapat setelah begitu lama tidak bertemu dengan sebuah kitab
sama sekali. Gelora kerinduan itu telah menjadikan Arga lupa akan tiga kotak
45 lainnya. Hingga jauh malam dengan penerangan api ungun dari
ranting-ranting pohon, ia tenggelam menekuni isi tiga kitab itu.
Satu per satu kitab itu dibaca. Pelahan, cermat seksama dan
teliti. Sejak penemuan gua Persemayaman Terakhir Naga Branjangan
itu, Arga tidak lagi tinggal di gua sebelumnya. Di situ, ia
mendalami warisan Naga Branjangan. Warisan sesungguhnya.
Jagattraya Naga Walgita. Kitab Naga Semesta.
*** Sesuai dengan sifat dan pembawaan, kitab pertama yang lebih
dahulu dilalap habis oleh anak muda itu adalah Mantra Naga
Semesta. Sebentar saja, kitab itu telah menjadi kitab favorit. Kitab
itu banyak membantu dalam membuka pemahanan akan nilainilai semesta. Pemahaman itu telah
memberikan bobot bagi kehidupan yang dilakoni. Kehidupan yang membawa penyatuan
dan kesatuan dengan semesta.
"Nilai-nilai semesta menjangkau tanpa batas. Selalu melahirkan
sesuatu yang baru. Mengalir terus, terus dan terus tanpa akhir".
Katanya dalam batin. Pada intinya, Mantra Naga Semesta memuat ajaran mengenai
nilai-nilai semesta yang mengalir dari Om. Simbol suci dan
keramat. Simbol itu dihadirkan dalam tiga aksara A, U, M.
27 Dilafalkan sebagai vokal bulat, hampir tertutup panjang atau
lantang yang disengaukan. Om merupakan wujud tunggal yang
memenuhi bhuana (alam). Om adalah lambang kekuatan
mencipta, memelihara dan melebur dunia. Seluruh alam semesta
bergerak karena Om dan akhirnya kembali pada Om.
46 Om itu memuat tiga kekuatan. Kekuatan utpatti (mencipta)
ditandai dengan aksara A, yang pengucapannya menjadi Ang,
manifestasi Sang Ada yang berwujud Brahma. Kekuatan sthiti
(memelihara) dilambangkan dengan aksara U, yang
pengucapannya menjadi Ung, menifestasi Sang Ada berwujud
Wisnu. Terakhir, kekuatan pralina (melebur) dinyatakan dengan
aksara M, yang pengucapannya menjadi Mang, manifestasi Sang
Ada berwujud Siwa. A (Ang), U (Ung), M (Mang) ini dinamakan triaksara suci. Gaib. Agung.
Mempesona. Tiga aksara dengan
kekuatan menentramkan dan menyucikan. Menentramkan dan
menyucikan tiga laku utama raga sarira (manusia), yaitu: sabda
(berbicara), bayu (bertindak) dan idep (berpikir).
Biasanya suku kata Om ini selalu diikuti oleh kata namah yang
berarti hormat. Dalam Mantra Naga Semesta itu, Arga berulangulang mendapati tulisan berisi satu
mantra dengan tujuh hurup
hidup dalam abjad Sangsekerta: Om ang ang namah. Om ing ing
namah. Om ung ung namah. Om reng reng namah. Om ing eng
namah. Om eng aing namah. Om ong aung namah. Om ang ah
namah. Tujuan pembacaan Mantra Naga Semesta adalah
membebaskan diri dari beban masa lalu sekaligus membebaskan
diri dari hasrat masa depan. Jivanmukta atau meraga-sukma
adalah capaian yang dapat diraih melalui laku Mantra Naga
Semesta. Jagattraya Naga Japa juga mengajarkan untuk membentuk,
menggugah dan menanamkan serta menumbuhkembangkan
empat keutamaan: Tresna (cinta kasih), Gumbira (b
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ahagia), Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain) dan Kamitraan
(setia kawan). Lagi empat keutamaan yang sebelumnya telah
terguratkan pada dinding gua. Empat keutamaan itu telah menjadi
47 bagian diri anak muda itu. Empat keutamaan itu merupakan
ajaran inti Naga Branjangan.
Hanya saja, kini ia mengerti bahwa empat keutamaan itu harus
diletakkan dalam gerak kekuatan Om. Kekuatan dari semesta itu
sendiri. Mendudukan dan menghayati empat keutamaan itu
dalam cakrawala Om yang tanpa batas. Ini merupakan hakekat
untuk melambari jurus Naga Semesta. Kesadaran akan kehadiran
Om adalah sikap hakiki menyelami jurus Naga Semesta
menjangkau pada tataran puncak.
Tentang empat keutamaan itu, Jagattraya Naga Japa
memberikan uraian lebih lanjut. Tresna adalah sikap untuk selalu
bertindak atas dasar welas asih. Diberi contoh bagaimana
semesta telah lakukan. Semesta telah memberikan kehidupan
dan memenuhi segala kebutuhan dari makhluk hidup. Dengan itu,
makhluk-makhluk hidup dapat melangsungkan kehidupan dari
generasi ke generasi. Gumbira menanamkan sifat untuk
menjalani hidup dengan lapang dada, penuh suka cita dan tanpa
beban. Gumbira bermuara pada penerimaan penuh.Kepasrahan
sempurna. Penyerahan diri ke pangkuan semesta.
Upeksa mengartikulasikan sifat tidak mengganggu atau bergerak
di luar jalur yang ada, dan tidak usil terhadap sekitar. Menurut
Jagattraya Naga Japa, semesta telah memberi contoh nyata
bagaimana terus bergerak pada jalur yang ada tanpa
mengganggu kehidupan di dalamnya. Kamitraan lebih
menanamkan sifat menjaga keharmonisan dengan semesta.
Demikian, Jagattraya Naga Japa memberikan pandangan yang
lebih luas dan mendalam terhadap ajaran mengenai empat
keutamaan yang selama ini telah Arga pahami.
Melalui Mantra Naga Semesta, inti empat keutamaan semesta
48 secara setahap demi setahap, terus ia serap dan dalami. Nilainilai keutamaan itu, dari waktu ke
waktu, kian memberi pengertian
dan penghayatan semakin luas terhadap kehadiran semesta.
Dalam setiap permenungan saat meditasi, nilai-nilai semesta
terus menuntun dan membawa Arga kepada hal-hal baru. Selalu
baru. "Mengalirkan terus hal-hal baru merupakan esensi dari
semesta". Demikian sebuah kalimat tertulis dalam Jagattraya
Naga Japa. "Semesta selalu melahirkan dan memberi. Dan, itu terus
berlangsung tanpa batasan, tak terjangkau." Arga menyimpulkan
tentang hakekat dari semesta.
1 Seiring dengan ketekunan menghayati kehadiran dan hakekat
dari semesta, tanpa disadari, nilai-nilai keutamaan semesta terus
menerus menerobos masuk ke dalam pori-pori. Terbawa dalam
keutamaan itu muatan-muatan kekuatan semesta. Kekuatan itu
bergerak mengarah ke tujuh titik. Tujuh Pusat Cakra. Dubur.
Bawah Pusar. Ulu Hati. Jantung.Tenggorakan. Kening. Ubunubun.
Setahap demi setahap Arga mengolah energi itu menurut teknikteknik Panchajanya. Silih berganti
dan kadang terbaur satu sama
lain, sifat-sifat elemen semesta itu berputar-putar dan mengendap
terhimpun pada tujuh Pusat Cakra. Latihan ajeg menurut cara
yang benar semakin meningkatkan kemampuan tubuh anak
muda itu menyerap dan menghimpun energi semesta. Tidak saja
meningkatkan kemampuan mengatur cepat atau lambatnya aliran
energi, tapi juga mengatur kelenturan pembesaran atau
pengecilan pori-pori. Pintu masuk bagi energi semesta ke dalam
tubuh. Telah enam purnama, Arga mendalami dua kitab, Panchajanya
49 dan Jagattraya Naga Japa. Didalami bersamaan serentak
menurut cara ajeg dan benar. Kelebihan dalam penalaran, buah
dari kebiasaan baca tulis, memungkinkan anak muda itu
mendalami dua kitab dalam kesatuan dengan teknik meditasi dan
olah pernafasan serta gerakan-gerakan dan langkah-langkah. Ini
telah membuahkan kemapanan. Kemapanan dalam pengendalian
diri serta pengendalian tenaga. Dua pengendalian utama sebagai
alas atau lambaran melatih dan merambah kekuatan Jagattraya
Naga Walgita. Kitab Naga Semesta.
Akan tetapi, Arga itu tidak langsung masuk ke dalam gelar jurusjurus Naga Semesta. Ia
memutuskan untuk lebih dahulu
menyelesaikan Naga Kawaca (Jubah Perang Naga) dan Apsara
Naga (Naga Meluncur). Dua teknik itu dinilainya lebih cocok
dengan keadaan. Dua teknik itu lebih dibutuhkan untuk
memberikan perlindungan diri. Naga Meluncur memungkinkan
Arga menghindar dan mengelak dari lawan. Bahkan, bila perlu
melarikan diri. Jubah Perang Naga akan memberikan
perlindungan manakala ia terpaksa terbentur oleh lawan.
"Dengan dua teknik itu, aku akan lebih dapat melindungi diri. Pun
mampu melindungi diri jika terpaksa terbentur oleh lawan." Kata
anak muda itu pada dirinya sendiri. Kata-kata itu sesuai dengan
keutamaan Kamitraan. Selalu menjaga keharmonisan.
Menghindari benturan atau bentrokan sebisa mungkin.
Selama tiga purnama, Arga menyelami isi dan bentuk dari kedua
teknik menghindar itu. Sekali lagi, ia sangat terbantu dengan
latihan selama lima tahun, khususnya latihan mengenai langkahlangkah dari ukiran di gua
sebelumnya. Langkah-langkah itu
merupakan dasar utama teknik Naga Meluncur. Penguasaan atas
langkah-langkah itu mempermudah dan mempercepat Arga
50 2 menuntaskan teknik Naga Meluncur. Menuntaskan sampai ke
dasar-dasarnya. Hal yang sama juga dialaminya, saat menekuni teknik Jubah
Perang Naga. Kebiasaannya melakukan olah meditasi dan
pernafasan serta pendalaman mengenai teknik Panchajanya,
telah membantu menguasai teknik perlindungan diri itu. Dengan
apa yang telah dicapai, Arga tidak hanya mampu mengalaskan
Jubah Perang Naga semata-mata pada elemen tanah (bhumi).
Lebih jauh, anak muda itu pun dapat memanfaatkan empat
elemen lain menjadi kekuatan pelindung. Kekuatan penopang
dari elemen tanah sebagai benteng perlindungan yang lebih
kokoh, tangguh dan bergeming.
Baru setelah sanggup menerapkan Jubah Perang Naga dan
menari dengan teknik Naga Meluncur pada tingkat mapan, Arga
menilik masuk jurus-jurus utama Jagattraya Naga Walgita.
*** Dua belas purnama dibutuhkan untuk merampung secara tuntas
Parusa Jagattraya Naga (Naga Semesta Tajam dan Menusuk)
pada tataran mapan. Itu pun dilewati dengan latihan yang keras
dan tekun. Latihan menurut cara yang ajeg dan benar.
Teknik Naga Semesta Tajam dan Menusuk berintikan enam belas
tata gerak utama. Tata gerak itu terdiri dari aneka gebrakan,
berupa aksi langsung atau aksi tipuan atau trik. Aksi terakhir ini
lebih merupakan gerak pancingan mengelabuhi lawan. Gerak
semu menjebak lawan. Kekuatan teknik ini berupa serangan dalam wujud gerakan
menebas dan menusuk. Tebasan itu dapat dilakukan menurut
51 gerak membelah dari atas ke bawah, menyamping, horizontal
dengan arah lurus langsung atau dengan memutar tubuh.
Serangan Naga Semesta Tajam dan Menusuk berbahaya.
Gerakan jurus ini menggunakan seluruh tubuh. Baik gerakan
melingkar halus dan bergulung-gulung deras. Gerakan ini
membangun gaya sentripetal, yang memungkinkan suatu
manuver cepat di sekitar lawan. Mengurung rapat dan mendesak.
Jurus itu juga memanfaatkan teknik gerakan tangan dan kaki.
Cepat. Ringkas. Dinamis. Berubah-ubah. Pada gerakan kaki, ada
gerakan melompat. Menendang. Menyepak. Menggunting dengan
kedua kaki. Menyerang dengan lutut. Sementara gerakan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan tangan dilakukan dalam bentuk tinju, sabetan, dan yang
paling istimewa tusukan. Tusukan yang terarah pada berbagai
sasaran. Gerakan tubuh, kaki dan tangan dilancarkan lewat jurus ini seperti
"meteorit jatuh". Tidak pernah memberikan waktu bagi lawan
untuk keluar dari kepungan dan kejaran serangan itu.
Pada penguasaan saat ini, Arga mampu melakukan tusukan ke
delapan titik dalam waktu yang hampir bersamaan. Serangan
tusukan pada delapan titik dengan kecepatan yang tidak berjarak.
Dengan lambaran kekuatan tenaga inti yang dimiliki, Arga dapat
3 membelah atau melubangi benda keras. Melakukan itu dengan
tebasan dan tusukan menurut gelar jurus Naga Semesta Tajam
dan Menusuk. Itulah puncak dari penguasaan salah satu jurus
Warisan Naga Branjangan. Tahap berikut, Arga memfokuskan latihan menguasai Usnika
Jagattraya Naga (Naga Semesta Membara). Jurus ini terdiri dari
dua puluh empat gerakan utama. Dirangkai sistematis dengan
ampat perubahan. Dilandasi pengerahan elemen-elemen
52 semesta panas, baik secara berdiri sendiri atau gabungan, jurus
ini menimbulkan efek panas membakar. Sesuai dengan petunjuk
yang ada, ia melatih pengerahan jurus Naga Semesta Membara.
Lewat pengerahan itu, ia melontarkan kekuatan elemen semesta
ke suatu sasaran pada jarak tertentu. Sejalan dengan intensitas
dan kedalaman latihan yang ia jalani, kemampuan menebarkan
dan melontarkan hawa panas itu semakin meningkat dengan
suhu yang terus meninggi dan jarak jangkauan sasaran yang kian
merenggang jauh. *** Pada suatu malam setelah sehari penuh membenamkan laku
raga dan pikiran menyelami Naga Semesta Membara, Arga telah
membuka tiga kotak hitam yang masih tersisa. Pada sebuah
kotak itu, Arga mendapati tiga ikat gulungan, bukan lipatan.
Gulungan kulit kambing yang telah diolah. Di atas satu gulungan,
yang berisi 7 lembar kulit kambing, ia membaca aksara yang
tertera di situ: Sahwahita Prayoga (Teknik yang Bermanfaat Bagi
Semua). Pada gulungan lain, yang terdiri dari 2 lembar kulit
kambing, terbaca sebuah judul: Samana Yatna (Pengerahan
Tenaga untuk Memperoleh Nafas Hidup).
Sahwahita Prayoga merupakan teknik pengobatan. Di dalamnya
termuat cara-cara merawat dan menyembuhkan aneka cedera
dan penyakit, termasuk juga pengaruh racun yang menyerang
tubuh. Yang menarik anak muda itu adalah gulungan kulit yang
memuat teknik jahit dan bedah jaringan tubuh serta menyambung
tulang, juga penjelasan tentang pengolahan dan peracikan jenisjenis tumbuhan dan rempah rempah
untuk dimanfaatkan 53 memperkuat daya tahan tubuh dan mempercepat proses
penyembuhan. Tidak berbeda dengan Sahwahita Prayoga, Samana Yatna juga
merupakan teknik pengobatan. Hanya saja, teknik ini dilakukan
dengan cara yang berbeda. Pengobatan dari teknik Samana
Yatna ditempuh melalui penyaluran dan pengerahan tenaga
murni. Teknik ini sangat bermanfaat untuk meredam dan
menawarkan tenaga asing atau liar yang merasuk dan
mengganggu fungsi organ tubuh. Melalui teknik Samana Yatna,
tenaga itu dapat diredam dan ditawarkan dengan cara menyedot,
mendesak dan mendorong ke luar, serta mengunci dan
4 melarutkan hingga sirna. Tentu saja, teknik ini membutuhkan
kemapanan dan kesempurnaan penguasaan dan pengoperan
tenaga dalam dari orang yang bertindak untuk melakukan
penyembuhan. Tidak hanya itu, teknik itu juga berguna untuk
mendesak dan menahan pengaruh racun.
Untuk meleburkan tenaga atau racun yang mengendap dalam
tubuh, Samana Yatna memuat suatu teknik tersendiri. Warastika
Sambega. Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang. Menurut
catatan itu, Warastika Sambega dapat diterapkan sebagai teknik
menjinakkan tenaga serangan lawan. Warastika Sambega dapat
difungsikan menjadi pelindung diri dalam suatu pertempuran.
"Ah, catatan mengenai dua teknik penyembuhan dan perawatan".
Penemuan itu sangat menggembirakan hati Arga. Ia bergembira
karena mendapatkan tambahan kitab yang sangat diminati. Sejak
penemuan itu, Arga tidak hanya melatih Naga Semesta
Membara, tetapi juga larut terbenam dalam mempelajari
Sahwahita Prayoga dan Samana Yatna. Khusus untuk
memperdalam penguasaan atas Sahwahita Prayoga, anak muda
54 itu hampir setiap hari keluar gua. Ia berjalan menyusuri punggung
gunung, mencari tanaman-tanaman yang berguna untuk
pengobatan. Pada ikatan gulungan yang terakhir, ada enam lembar kulit yang
sama. Di atasnya tertulis Paripurna Satata Saganantara (Angkasa
yang Tertata Sempurna). Pada pembukaan Paripurna Satata
Saganantara ada sebuah catatan kecil. "Pendhem Baris
Rempaka Miguna. Katong Kathung" (Berguna untuk Menyusun
Barisan Tersembunyi. Diangkat untuk Diberikan Raja). Dua
kalimat yang tidak dimengerti. Tersembunyi apa maksud di balik
itu. Paripurna Satata Saganantara berisi penjelasan mengenai
susunan dan tata gerak benda angkasa. Taranggana Pranahara
(Ilmu Perbintangan). Di dalam enam gulungan itu tercatat
bagaimana benda-benda angkasa tersusun dan bergerak secara
sempurna. Tidak saling membentur bertabrakan. Benda-benda itu
bergerak menurut sifat dan pola. Setiap posisi dan pergerakan
benda-benda itu mempengaruhi kehidupan di bumi.
Menurut Paripurna Satata Saganantara, posisi dan pergerakan
benda-benda angkasa telah menghimpun dan menebarkan
kekuatan semesta (energi kosmis) yang membawa
keseimbangan dan keharmonisan pada makhluk dan kehidupan
dalam semesta. Oleh Paripurna Satata Saganantara, kekuatan itu
disebut Naga Ambekan (Tarikan Nafas Naga). Kekuatan ini
dipercaya memberikan keseimbangan gerakan benda-benda
langit. Selain susunan benda-benda angkasa, Paripurna Satata
Saganantara memberi penjelasan tentang penentuan panjangpendek tiap-tiap musim, fenomena
bintang selatan dan tengah
55 5 pada tiap bulan, pencatatan penentuan baca serta penjelasan
terhadap bermacam-macam gejala gerak bintang yang tidak
normal. *** Seiring dengan peningkatan kemampuan yang telah dijangkau,
Arga membutuhkan waktu lebih singkat dalam merampungkan
Usnika Jagattraya Naga (Naga Semesta Membara) pada tingkat
kematangan. Jauh lebih cepat dibandingkan dengan penguasaan
atas jurus Naga Semesta lain. Hanya enam purnama ia berlatih,
jurus itu telah rampung dan tuntas dikuasai. Kini dengan teknik
itu, Arga mampu melontarkan hawa panas menjangkau hingga 10
hingga 15 hasta. Suatu pencapaian yang luar biasa bagi anak
muda yang belum menginjak usia dua dasawarsa.
Sambil terus menekuni teknik Sahwahita Prayoga dan Samana
Yatna, Arga merambah pada tingkat yang lebih tinggi dari jurus
Naga Semesta. Gala Jagattraya Naga (Naga Semesta Meraung).
Tidak seperti dua jurus inti lain, Naga Semesta Meraung hanya
terdiri dari empat gerakan utama. Teknik ini tidak menekankan
pada bentuk atau gerakan-gerakan tubuh, melainkan pada isi
atau himpunan tenaga inti. Jurus bermuatan tenaga dalam.
Serangan jurus Naga Semesta Meraung bukan serangan dalam
rupa gerakan tubuh, tetapi dalam bentuk lontaran tenaga dalam.
Teknik Naga Semesta Meraung jauh lebih sederhana dari dua
jurus sebelumnya. Akan tetapi, seringan apa pun serangan yang
dilambari dengan jurus ini memberi pengaruh lebih dahsyat dari
dua jurus itu. Dalam gerakan sederhana dari jurus itu, tenaga
panas dan dingin silih berganti terlontar, bahkan terlontar secara
56 bersama-sama. Pada purnama ketujuh, Arga berhasil menelusuri dan merambah
puncak kemapanan dari Naga Semesta Meraung. Sebagaimana
dilakukannya pada suatu tempat di punggung gunung itu, Arga
telah melontarkan kekuatan Naga Semesta Meraung melalui
suara. Suara itu telah terisi dan dialiri dengan tenaga dari rapalan
Naga Semesta Mengaung. Sejenak suara raungan itu dilepaskan,
tebing batu di depan anak muda itu telah runtuh sebagian.
Runtuh diterjang tenaga yang dilontarkan melalui raungan. Ia pun
melakukan kembali raungannya, dan efek yang sama pun
terulang terjadi. Seperti nama itu sendiri, Naga Semesta Meraung
merupakan teknik melontarkan kekuatan dengan suara. Ambrung
Yoni Manggal. Melontar Kekuatan Gaib dengan Suara
Menggelegar. Tahap terakhir dari jurus Naga Semesta pun siap dijajagi.
Cadudasa Jagattraya Naga (Naga Semesta Cemerlang). Naga
Semesta Cemerlang, puncak dari jurus-jurus Naga Semesta.
Jurus itu hanya memuat tiga petunjuk utama. Satu petunjuk
memberikan bagaimana menggelar serangkaian gerakan.
Gerakan-gerakan sederhana yang agaknya merupakan langkahlangkah menjalankan Naga
6 Semesta Cemerlang. Satu petunjuk
lainnya adalah bagaimana memanfaatkan dan menyatukan
secara penuh gerakan-gerakan sederhana tadi dengan tenaga
yang dihasilkan oleh teknik Panchajanya. Sekali lagi,
Panchajanya merupakan lambaran Naga Semesta.
Seperti sebelumnya, Arga pun menekuni dua petunjuk itu. Tiga
purnama telah berlalu. Segenap nalar pikiran dan pengerahan
tenaga dalam dipusatkan dalam melakoni petunjuk itu. Selama
memperagakan gerakan-gerakan lewat petunjuk yang ada, dari
57 tubuh anak muda itu berpedar cahaya cemerlang menyilaukan.
Cahaya itu selalu mengiring ke mana pun ia bergerak. Anak
muda itu sering bermain dan memainkan cahaya itu. Cahaya
yang sangat berbahaya, karena bersifat chedana (membelahbelah). Membelah dan memangkas
apapun yang dilewati. Ia tercenung bergidik menyaksikan efek dari cahaya yang dihasilkan
dari jurus Naga Semesta Cemerlang. Bergidik karena kekuatan
jurus itu. Jurus yang membinasakan.
"Jurus yang sangat membinasakan. Sembarang turun tangan
akan membawa celaka. Aku tidak akan menggunakan jurus ini
tanpa suatu alasan yang dapat aku pertanggungjawabkan". Anak
muda itu mengikatkan suatu janji kepada dirinya, sebagai
pertanggungjawaban atas penguasaan suatu jurus
membinasakan. Yang membuat kening anak muda itu terus berkerut, adalah
petunjuk terakhir yang tertulis pada jurus Naga Semesta
Cemerlang. Petunjuk itu mengenai sebuah gerakan. Gerakan
yang berdasarkan teknik Naga Meluncur, hanya saja gerakan itu
dilakukan melejit vertikal ke atas, dan pada saat itu juga dibarengi
dengan pengerahan penuh Panchajanya. Anak muda itu tidak
sedang berfikir keras untuk memahami gerakan itu, melainkan
berfikir mengenai lima baris kalimat yang tertera pada akhir
petunjuk itu. Di sana tertulis rentetan kata-kata:
"Membuka diri pada semesta,
melebur dalam kepenuhan hadirnya,
berdiri satu sebagai dirinya...
Biarkan semesta bebas memilih jalan:
Jalan baginya sendiri".
Arga tidak memahami kata-kata itu. Makna di balik kata-kata itu
58 sangat membingungkan. Tetap membingungkan sekalipun terus
direnungkan. Bahkan, direnungkan sambil melakukan gerakan
sesuai petunjuk ketiga itu. Berada pada jalan buntu, Arga hanya
menghapalkan sambil sering melafalkan kata-kata itu. Melafalkan
dalam semadi. Melafalkan hingga kata-kata itu menjadi bagian
dari kesadaran. Setiap kali muncul begitu saja, saat Arga
terbenam dalam meditasi. "Biarlah kata-kata itu tinggal diam di sanubariku." Batin anak
7 muda itu melepaskan diri dari kebuntuan. Kebuntuan memahami
makna di balik kata-kata itu. Kata-kata penutup pada Warisan
Naga Branjangan. *** Waktu cepat berlalu, tiga tahun sudah, Arga mendiami gua
tempat disemayamkan tokoh bernama Naga Branjangan. Gua
kedua yang kemudian ditemukan setelah lima tahun tinggal di
gua yang lain.Kedua gua itu terletak di lereng gunung gunung
Pawaka Jantera. Terhitung sejak meninggalkan Perguruan Merak
Mas, anak muda itu telah tinggal delapan tahun di gunung itu.
gunung Pawaka Jantera, sebuah dataran yang menjulang, di
sebelah selatan Tembelang. Menjulang memutar seperti roda
dengan asap mengepul pada puncak.
*** Di sebuah lereng gunung, yang berjarak kurang delapan
setengah pal dari Tembelang, suara kicauan burung hutang
ramah menyambut sinar surya yang mulai menerobos celahcelah rimbunnya dedaunan. Pagi itu
Arga berencana pergi. Pergi
59 meninggalkan gua di lereng gunung Pawaka Jantera. Ia akan
menapakkan langkahnya untuk menatak nasibnya, dan terutama
mengurai jati dirinya. "Siapakah aku?" adalah pertanyaan yang
selalu menghantuinya. Arga sangat memahami bahwa
kehadirannya di dunia ini tentu ada yang mengantarnya, tetapi
"siapakah mereka?" Tidak ada setitik pun bekas jejak dari
"mereka" yang dimaksudkannya. Tiada jejak yang dapat
diingatnya mengenai "mereka" itu: ayah dan ibunya. Pertanyaan:
Siapakah aku" Siapakah ayah ibunya" Di mana mereka berada"
Mengapa mereka menitipkannya pada Paman Wira" Apa
hubungan mereka dengan Paman Wira" Merupakan rentetan
pertanyaan yang saat ini mengisi penuh pikiran hingga rongga
dadanya. Pertanyaan-pertanyaan itu telah memicu kegairahan untuk
melakukan pengungkapan. Kegairahan itu sama dengan
kegairahan yang dirasakan manakala menyelami seluruh pusaka
warisan Naga Branjangan. Warisan yang ditinggalkan pada dua
buah gua. Setelah mengambil beberapa keping logam mulia dari salah satu
kotak yang ditinggalkan Naga Branjangan, anak muda itu tampak
berkemas-kemas. Arga telah mengambil dan menyisipkan pisau
baja kecil tipis namun tajam di balik baju, lalu memasang timang
perak melingkarkan pada perut. Timang itu tersembunyi di balik


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baju. Setelah menutup-samarkan gua dengan semak-semak,
Arga pun berjalan menuruni tebing Gunung Pawaka Jantera.
Menuruni dengan riang. Tidak lupa ia singgah sebentar di gua
yang lain, untuk menyatakan perpisahan, Demikian, pagi itu Arga
berlalu meninggalkan tempat yang telah mengubah dirinya.
60 8 Mengubah dari anak akil balik usia dua belas tahun menjadi anak
muda jejaka dua puluh tahun.
*** Adwaya Lokeswara atau Raja Dunia Tunggal. Siapapun ingin
nama itu dilekatkan pada dirinya. Menjadi raja dunia satusatunya, diimpikan oleh banyak orang, dari
segala kasta. Gelar itu menyatakan suatu tingkat kuasa. Kuasa pada puncak. Adwaya
Lokeswara adalah yang berkuasa di puncak. Siapa tidak ingin
berada di puncak kuasa, apalagi di puncak kuasa pada tanah
Yawadw?pa. Sebuah pulau mulia yang diberkati dengan
kelimpahan beras dan emas.
Tidak hanya kaya beras dan emas, Yawadw?pa juga telah
menjadi tujuan perdagangan utama. Para saudagar dari banyak
negeri, termasuk dua negeri utama di seberang samudera, telah
datang singgah berdagang ke Yawadw?pa. Berdagang untuk
menjual aneka barang, di antaranya keramik, kain sutera,
perhiasan, dan sebagainya. Mereka sendiri membeli hasil bumi
dari Yawadw?pa. Daya tarik Yawadw?pa telah mempesona para
pendatang dari jauh itu. Tidak sedikit, di antara mereka
memutuskan untuk tinggal menetap di Yawadw?pa dan tumbuh
berkembang membentuk sebuah Wangsa.
Salah satu keluarga yang telah tinggal menetap adalah keluarga
berwangsa Syailendra. Keluarga itu disebut-sebut berasal dari
sebuah pulau yang berdampingan dengan Yawadw?pa. Pulau itu
dikenal dengan nama Suarnadwipa atau Pulau Emas.
Kehadiran keluarga Syailendra di Yawadw?pa sangat menarik
penduduk sekitar. Penduduk setempat yang telah mendiami
61 daerah itu sebelum kedatangan keluarga besar itu. Di tempat
asal, didengar bahwa keluarga Syailendra merupakan keluarga
terpandang. Tidak jelas mengapa, keluarga terpandang itu
meninggalkan asalnya untuk menetap di Yawadw?pa tengah
bagian selatan. Yang amat menarik dari keluarga itu adalah keyakinan dan
perilaku. Keluarga itu tidak memuja Brahma, Wisnu dan Siwa
Juga tidak dewa-dewi lain. Pada keluarga itu juga tidak mengenal
apa itu kaum brahmana, kesatria, waisya, dan sudra. Empat
kasta menurut Hindu. Juga mereka tidak melakukan pemujaan di
kuil-kuil, sebagaimana dilakukan penduduk setempat pada
umumnya. Menurut kabar berita, keluarga itu lebih banyak menempatkan
arca-arca dari seseorang. Seseorang yang agung, bertelinga
besar, senyuman yang hangat dan mesra, dan dibentuk dengan
aneka posisi. Yang paling menonjol dan mudah diingat adalah
arca dari orang yang sama bersila sempurna. Bersila di atas
sesuatu yang menyerupai teratai raksasa. Telapak tangan kiri
menengadah ke atas diletakkan atas paha. Tangan kanan
setengah menekuk disorongkan ke depan. Telapak tangan itu
9 terbuka menghadap ke depan. Suatu sikap agung nan sempurna.
Sikap agung, bukti telah mencapai pencerahan.
Lagi menurut berita, keluarga itu sering membicarakan
pengetahuan berdasarkan Tripitaka (tiga keranjang), bukan Veda.
Orang-orang itu berperilaku mengikuti apa yang mereka sebut
Empat Kebenaran Utama dan Delapan Jalan kebenaran. Mereka
melakukan semedi di tempat khusus yang telah mereka bangun.
Seperti juga umumnya penduduk setempat, mereka juga
melakukan perayaan. Suatu perayaan besar. Akan tetapi,
62 perayaan itu tidak dilakukan pada hari Raksha atau Bandhan,
juga tidak pada Navaratri atau Dusserah, bahkan Nyepi
sekalipun. Mereka melakukan perayaan pada hari yang mereka
namakan Waisak. Begitulah, keyakinan dan perilaku keluarga Syailendra. Berbeda
dan sungguh berbeda. Apa yang berbeda itu telah menarik
perhatian. Perhatian penduduk setempat, yang umumnya kaum
sudra. Kaum paling bawah menurut tatanan kasta Hindu. Tidak
sedikit penduduk di sana pada akhirnya membuka diri terhadap
apa yang diyakini oleh keluarga besar itu. Mereka pun mengikuti
ajaran dan perilaku sebagaimana berlaku di lingkungan keluarga
itu. Bagi kaum sudra, tawaran untuk melepaskan ikatan kasta
merupakan gagasan yang sangat menarik.
Ikatan kasta telah menempatkan kaum sudra di tempat terbawah,
dengan ruang gerak kehidupan yang sangat terbatas. Terbatas
dalam banyak hal, baik itu urusan ritual keagamaan, hubungan
antara keluarga atau kekerabatan (sosial), penghidupan atau
mata pencarian (ekonomi), dan banyak lagi yang lainnya,
termasuk ikatan perkawinan. Kaum sudra adalah yang selalu
tersingkirkan dan terpinggirkan dalam tatanan kehidupan.
Demikian keyakinan dan perilaku keluarga Syailendra, yang
menawarkan pelepasan atas belenggu ikatan kasta pada kaum
sudra, diterima secara terbuka oleh penduduk yang berada di
sekitar keluarga itu. Tidak hanya menerima keyakinan dan perilaku, penduduk
setempat juga telah masuk dan mengikatkan diri dengan keluarga
itu. Mereka menyatakan diri sebagai bagian dari keluarga
Syailendra. Seiring berjalannya waktu, orang yang mengikatkan
dan menyatakan diri sebagai bagian dari keluarga Syailendra,
63 semakin bertambah. Baik dari jumlah maupun cakupan wilayah.
Keluarga Syailendra telah menjadi semakian melebar, demikian
juga dengan pengaruhnya di tanah Yawadw?pa, terutama pada
wilayah Yawadw?pa tengah bagian selatan.
Keluarga Syailendra, yang sudah semakin besar dan
berpengaruh, terus menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar
dari negeri-negeri jauh yang berada melintas samudra. Bisa jadi,
hubungan itu juga terjalin dengan penguasa dari negeri
10 sebelumnya keluarga itu berasal. Dengan kemampuan yang telah
ada pada keluarga itu, ratusan pendeta atau guru ternama
diundang datang berkunjung. Melalui mereka, keluarga
Syailendra menyerap dan menimba pengetahuan serta
pengertian untuk mengatur hubungan dalam suatu ikatan tertata.
Tidak mengherankan, keluarga itu memiliki kemampuan untuk
membangun kekuatan perang dan tatanan pemerintahan.
Kemampuan untuk menjaga dan mengatur kegiatan-kegiatan
kemasyarakat yang berada di bawah pengaruhnya.
Demikian, keluarga Syailendra telah mengapai kebesarannya.
Kebesaran yang pernah disematkan di tanah asal-usulnya.
Kebesaran itu kini pun diraih kembali, diraih setelah mereka
menetap di tanah Yawadw?pa.
*** Adwaya Lokeswara di atas tlatah Jawa mewujud dalam sebuah
singgasana. Singgasana kraton Bhumi Mataram. Kraton yang
telah berdiri tegak atas nama Raka i Mataram Sang Ratu
Sanjaya, hampir satu setengah abad silam. Adwaya Lokeswara
yang mumpuni dalam pengetahuan kitab suci, seni bela diri, dan
64 juga kekuatan militer. Dicatat oleh anak keturunannya, Sang Ratu
Sanjaya telah menaklukkan penguasa-penguasa sekitar dan
menundukkan mereka dalam suatu ikatan di bawah
penguasaannya. Sang Ratu Sanjaya adalah raja yang taat
memuja Siwa dan memerintah dengan bijaksana. Tanahnya
The Broker 7 Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo Berakhir Di Ujung Fajar 2
^