Naga Bhumi Mataram 2
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 2
diberkati dengan perdamaian dan kemakmuran. Kemakmuran itu
dinikmati oleh semua rakyat. Rakyat Bhumi Mataram.
Setelah dua puluh dua tahun berdiri tegak sebagai Adwaya
Lokeswara atas Bhumi Mataram, Sang Ratu Sanjaya melepaskan
singgasana kepada putranya, Sr? Maharaja Raka i Panangkaran.
Sayangnya, Putera dari Sang Wam?akarta itu tidak mampu
menampilkan kebesaran ayahnya. Ia telah luruh di hadapan
kebesaran pengaruh Wangsa Syailendara, yang berpusat di
Yawadw?pa tengah bagian selatan. Luruh dan terpukul pada
peristiwa pertempuran yang terjadi di Kalasan seratus tahun
silam. Di desa Kalasan, Sr? Maharaja Raka i Panangkaran dari Wangsa
Sanjaya telah berhadapan dengan penguasa Wangsa Syailendra
bernama Wisnu, lengkapnya Wisnuwarman. Hampir seabad lalu,
di desa bernama Kalasan, Raka i Panangkaran dan ribuan
prajurit berhadapan dengan ribuan prajurit di bawah pimpinan
seorang dari keluarga Syailendra. Di dalam pertempuran itu,
berbagai wyuha (bentuk-bentuk barisan dan gerak prajurit yang
digunakan strategi perang) digelar oleh kedua pihak yang terlibat
pertempuran. Di antara berbagai wyuha, beberapa wyuha favorit
telah digelar dalam perang di desa Kalasan itu, yakni: garuda
wyuha (barisan perang garuda), makara wyuha (barisan perang
udang), cakra wyuha (barisan perang cakra), padma wyuha
(barisan perang bunga), ardhacandra wyuha (barisan perang
11 65 bulan sabit), dan kanana wyuha (barisan perang hutan).
Sebagai penganut Buddha, penguasa Syailendra kala itu sangat
menyukai gelar cakra wyuha dan padma wyuha. Dengan kedua
wyuha itu, Wisnu telah mendesak, memukul mundur dan
mengalahkan Raka i Panangkaran yang sangat menguasai dan
menyukai gelar makara wyuha dan garuda wyuha. Pertempuran
itu berujung pada kekalahan Raka i Panangkaran, dan kekalahan
itu terus terekam dalam sebuah prasasti Kalasan meskipun
peristiwa itu telah satu abab berlalu. Atas pengakuan kekalahan,
pada prasasti itu disebutkan Raka i Panangkaran diperintahkan
oleh Wisnu untuk mendirikan sebuah candi di desa Kalasan. Di
desa tempat ia dikalahkan oleh seorang putra dari Wangsa
Syailendra. Sejak saat itu, telah berdiri sebuah wangsa penguasa
yang lain di tanah Yawadw?pa. Maharaja Wisnu dari Wangsa
Syailendra. Kendatipun telah keluar sebagai pemenang, Maharaja Wisnu
tidak menghentikan pemerintahan Sanjayawam?a di bawah Sr?
Maharaja Raka i Panangkaran. Pemerintahan Wangsa Sanjaya di
Bhumi Mataram terus berlangsung terus, berjalan di samping
pemerintahan ?ailendrawam?a.
Demikian, dua penguasan dengan latar belakang yang berbeda
tampil di Bhumi Mataram. Keluarga Sanjaya yang beragama
Hindu Siwa berkuasa dengan pusat di Yawadw?pa tengah bagian
utara, dan keluarga Syailendra yang memeluk Buddha Mahayana
berkuasa di Yawadw?pa tengah bagian selatan.
Dua matahari telah tampil di tanah Yawadw?pa yang kaya akan
beras dan emas. *** 66 Catatan pada prasasti Kalasan satu abad silam, tidak
menyatakan titik akhir persaingan antara dua wangsa di Bhumi
Mataram. Dua wangsa yang kemudian ingin mengejar Adwaya
Lokeswara, sebagaimana pernah ditampilkan oleh Raka i
Mataram Sang Ratu Sanjaya di masa kelahiran Bhumi Mataram.
Selepas pemerintahan Wisnu, tampil Dharanindra sebagai
penguasa dari Wangsa Syailendra. Pada masa pemerintahan
Dharanindra, Bhumi Mataram mengalami kejayaan. Tidak hanya
sebagai negeri pertanian tetapi juga maritim. Dharanindra
menduduki tahta berdamping dengan dua penguasa dari Wangsa
Sanjaya secara berturut-turut. Yakni, Sri Maharaja Raka i
Panunggalan dan disusul kemudian oleh Sri Maharaja Raka i
Warak. Empat dasawarsa Dharanindra duduk di atas tahta, kemudian
diganti oleh putranya, Samaratungga. Di masa kekuasaan putra
Dharanindra inilah sebuah mahakarya yang ajaib diselesaikan
pembangunannya. Mahakarya itu dibangun di atas sebuah bukit
di desa Borobudur. Ia berupa bangunan berukuran rakasasa
12 dengan arsitektur menyerupai bunga teratai. Karya itu merupakan
wujud pencapaian peradaban nan mencenggangkan, yang
pernah dicapai manusia. Bangunan itu berupa candi, yang di
dalamnya terungkap gambaran tatanan alam semesta.
Bangunan itu berdiri sebagai satu kesatuan. Dengan susunan
terdiri dari teras-teras yang bermacam-macam. Masing-masing
mewakili kehadiran tingkatan alam semesta. Menurut paham
sebagaimana tergambar pada candi itu, alam semesta terbagi
atas tiga bagian: kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.
Kamadhatu adalah hawa nafsu dan ini digambarkan dengan jelas
pada bagian bawah. Di sini hidup orang yang masih terikat oleh
67 hawa nafsu dan segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu
adalah dunia rupa, atau alam yang terbentuk, yang digambarkan
pada lima teras. Gambaran kehidupan Sang Buddha Gautama.
Arupadhatu adalah alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pusat
dari alam ini adalah stupa di puncak. Kosong. Yang kosong itu
menggambarkan sunyata atau nirwana atau Adhi Buddha.
Bersamaan dengan masa berkuasa Samaratungga, pada Bhumi
Mataram di Yawadw?pa tengah bagian utara juga berkuasa Sri
Maharaja Raka i Garung dari Wangsa Sanjaya. Di tangan
penguasa ini, Bhumi Mataram di belahan utara maju berkembang
dan dapat menyaingi kebesaran Bhumi Mataram di selatan.
Kebesaran Bhumi Mataram di utara itu tidak lepas dari peran
seorang yang bernama Jatiningrat, Putera Raka i Garung sendiri.
Kebesaran dan pengaruh kekuasaan Bhumi Mataram utara
sangat dirasakan oleh Samaratungga. Ia pun menjadi sangat
kuatir akan kemungkinan datangnya serangan. Serangan oleh
penguasa Bhumi Mataram utara, khususnya serangan dari
Jatiningrat yang dikenal luar biasa dan ambisius. Menurut
Samaratungga, serangan itu dapat mengancam keberadaan dan
kelanggengan kekuasaan Wangsa Syailendra di atas Bhumi
Mataram. Untuk menghindari kemungkinan itu, Samaratungga
merencanakan suatu penyatuan atas dua wangsa. Penyatuan
dalam bentuk perkawinan antara Puterinya, Pramodhawardhani,
dengan Jatiningrat yang kemudian memakai gelar Sri Maharaja
Raka i Pikatan Mpu Manuku setelah naik tahta menggantikan
ayahnya, Sri Maharaja Raka i Garung. Dikatakan bahwa
Pramodyawardani selain cantik juga sangat cerdas. Demikianlah,
perkawinan itu telah menyatukan dua wangsa dan meredakan
68 pertikaian antara dua wangsa. Dua wangsa utama yang memiliki
kekuasaan di Bhumi Mataram.
Memang benar, perkawinan itu telah meredam persaingan antar
dua wangsa. Akan tetapi, sejarah telah membelokkan perang
antara dua wangsa itu menjadi perang saudara di dalam tubuh
Wangsa Syailendra. Dan, perang saudara antar Wangsa
13 Syailendra itu telah menyeret Wangsa Sanjaya turut serta di
dalamnya. Perang saudara itu berakhir pada hampir lima puluh
tahun silam. Perang saudara antar Wangsa Syailendra dipicu oleh
ketidakpuasan Balaputradewa atas tindakan ayahnya sendiri.
Samaratungga. Balaputradewa adalah putera Samaratungga dari
ibu yang bernama Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Sebagai anak
laki-laki, Balaputradewa merasa memiliki hak atas tahta. Tetapi,
oleh Samaratungga tahta itu telah dialihkan kepada
Pramodyawardani yang berkuasa dengan Raka i Pikatan,
suaminya, yang merupakan keturunan Sanjaya.
Balaputradewa menentang tindakan Samaratungga, yang selain
menikahkan Pramodyawardani dengan Raka i Pikatan dari
Wangsa Sanjaya, juga meneruskan tahta Bhumi Mataram kepada
Puterinya. Didukung oleh banyak pengikut, Balaputradewa
mengangkat senjata menyatakan penentangan. Salah satu
alasan dari Balaputradewa dan pengikutnya menentang
perkawinan itu, lebih-lebih penyerahan tahta oleh Samaratungga
kepada Pramodyawardani, adalah kekhawatiran atas apa yang
dilakukan ayahnya itu akan menghancurkan kekuasaan dan
pengaruh Wangsa Syailendra di tanah Yawadw?pa.
Tidak dapat dihindari pertentangan ini telah membangkitkan
perang saudara, antara pihak yang ingin mempertahankan
69 kejayaan Wangsa Syailendra dan pihak yang hendak melakukan
perluasan kekuasaan dengan melakukan penyatuan dengan
Wangsa Sanjaya melalui perkawinan itu. Karena kekuatan
Balaputeradewa tidak sebesar kekuatan koalisi Pramodyawardani
dan Raka i Pikatan, maka akhirnya ia pun kalah. Ia dikalahkan
dalam pertempuran di bukit Ratu Boko dan menyingkir ke
Sriwijaya dan membangun kekuatan di sana. Sementara
beberapa pengikutnya melarikan diri ke Yawadw?pa bagian barat.
Terus menunggu kesempatan berkuasa lagi di Bhumi Mataram.
Sejak perang saudara berakhir pada lima puluh tahun silam,
Bhumi Mataram sepenuhnya ada dalam kekuasaan Raka i
Pikatan dan Pramodyawardani. Di bawah pemerintahan mereka,
Bhumi Mataram kembali mengalami kejayaan dan berkembang
luas menjangkau wilayah Yawadw?pa bagian tengah dan timur.
Kebesaran Bhumi Mataram saat itu juga ditandai dengan banyak
bangunan suci yang didirikan. Baik bangunan bercorak Buddha
maupun Hindu. Agama Buddha dan Hindu berjalan berdamping
dengan rukun di bawah kekuasaan suami isteri itu.
Bukti dari kerukunan itu tampil dalam rupa bangunan yang
disebut Candi Plaosan. Candi itu dibangun oleh Raka i Pikatan
yang beragama Hindu dalam wujud bangunan bercorak Buddha.
Candi ini merupakan persembahan dari Raka i Pikatan untuk
Pramodyawardani. Di bawah pemerintahan Raka i Pikatan dan Pramodyawardani,
Bhumi Mataram telah kembali berada dalam pangkuan Adwaya
14 Lokeswara, bahkan Adwaya Lokeswara yang mengakar pada dua
wangsa utama. Dua wangsa paling berkuasa di tlatah
Yawadw?pa. 70 Sepeninggalan Raka i Pikatan dan Pramodyawardani, kekuasaan
Bhumi Mataram kini jatuh diwariskan ke tangan Raka i Kayuwangi
atau Dyah Lokapala. Putra dari Raka i Pikatan dengan
Pramodyawardani ini mewariskan kekuasaan dan kebesaran
pendahulunya. Seperti halnya pada era ayah ibunya berkuasa,
kegiatan perdagangan Bhumi Mataram, baik di dalam maupun ke
luar kerajaan, berlangsung ramai. Jauh dari masa sebelumnya,
sejumlah orang dari negeri seberang datang berdagang,
khususnya berkunjung ke Mamrati. Pusat pemerintahan Raka i
Kayuwangi. Di luar pusat pemerintahan itu, Bhumi Mataram memiliki sejumlah
kota dengan kedudukan penting, di antaranya Mataram (tempat di
mana dulu Raja Sanjaya memerintah), Poh Pitu, Carangsoka,
Watugaluh, Wwatan dan Tembelang (Tamwlang). Terhitung
dengan ibukota, pada Bhumi Mataram terdapat tujuh kota*).
Tujuh kota itu diperintah keturunan dan kerabat utama dua
wangsa penguasa. Tujuh kota itu dijalankan mengacu suatu
aturan. Aturan sebagaimana digariskan Raka i Pikatan. Penguasa
Bhumi Mataram sebelum Raka i Kayuwangi.
*** Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memerintah Bhumi Mataran dari
Mamrati. Sebuah kota di sebelah utara tempat Raja Sanjaya
menegakkan dan memerintah Bhumi Mataram pada satu
setengah abad silam. Istana Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri megah di tepat di
tengah-tengah Mamrati. Bangunan itu dikelilingi oleh dinding dari
batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam Raja
beserta keluarganya dan para abdi. Tempat itu dinamakan
71 Rajadhani (tempat raja). Mengelilingi Rajadhani terdapat beberapa tempat-tempat utama
menurut arah mata angin. Di barat Rajadhani terdapat tempat
penting yang dinamakan Pattana (kota), tempat aktivitas
perekonomian dijalankan. Ke arah barat lagi, terdapat Saragana,
tempat yang terdiri dari barak-barak prajurit kerajaan.
Di selatan Rajadhani terdapat Nandana (taman kesenangan). Di
tempat ini, biasanya keluarga raja menghabiskan waktu luang
dan bercengkrama. Ke arah timur dari Rajadhani tersedia Dayaka, yakni tempat yang
disediakan untuk tinggal sanak saudara raja juga para pejabat
penting istana. Ke timur lagi ada tempat yang dinamakan Gata,
yakni tempat berdiamnya prajurit-prajurit pilihan untuk
pengamanan keluarga raja dan pejabat penting.
15 Kemudian terdapat Batararaja (tempat arwah para leluhur raja
atau makam) di utara Rajadhani, yang apabila terus bergerak lagi
semakin ke utara terdapat Danalaya (tempat berkorban).
Penduduk Mamrati tinggal pada perkampungan-perkampungan di
luar tembok kota. Tempat mereka tinggal disebut perkampungan
wanua (penduduk desa). Pada umumnya kehidupan masyarakat Bhumi Mataram bersifat
agraris. Bertani dan berkebun merupakan sumber kehidupan
kebanyakan rakyat di Bhumi Mataram. Wanua juga mendapatkan
nafkah dari memelihara ternak. Ternak peliharaan mereka berupa
kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Beberapa juga
memelihara kuda, tetapi tidak diambil dagingnya, melainkan dijual
sebagai tunggangan untuk bepergian.
Di luar itu, masih ada wanua yang menjadi pengrajin. Mereka
bekerja mengolah tanah liat atau menempa besi. Tidak sedikit di
72 antara wanua sekedar bekerja sebagai tenaga kerja upahan atau
pencari kayu bakar di hutan. Kendatipun berjumlah sedikit, ada
juga penduduk Bhumi Mataram yang bergerak dalam
perdagangan. Sekali lagi, jumlahnya sangat sedikit dan itu pun
hanya berdagang kecil-kecilan. Saat ini perdagangan lebih
merupakan urusan kraton dan kerabatnya, bukan urusan rakyat
pada umumnya. Mamrati merupakan kota yang ramai. Keramaian itu didukung
oleh kegiatan perdagangan yang dilakukan di pasar. Namun,
kegiatan itu tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir,
berdasarkan pada hari pasaran menurut kalend er yang berlaku.
Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking
atau Pahing, pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari
Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage,
pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat
perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desadesa lain. Mereka datang dengan
berbagai cara, melalui jalan
darat maupun sungai sambil membawa barang dagangan seperti
beras, buah-buahan, dan ternak untuk ditukar dengan kebutuhan
yang lain. Di beberapa desa dan perkampungan pada sekitar Mamrati, telah
berkembang usaha kerajinan rumah tangga. Beberapa hasil dari
kegiatan ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari
besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan
kapur sirih. Hasil kegiatan ini dapat diperoleh di pasar-pasar tadi.
*** 73 Sudah menjadi kebiasaan seorang yang berjasa terhadap istana,
sang raja memberikan hadiah kepadanya. Kepada yang
bersangkutan, raja bisanya melimpahkan kuasa atau hak memiliki
16 tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang
kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi
tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru
dihadiahkan kepadanya. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana
atau rahib untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka,
dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau
wihara. Di samping penguasaan atas suatu tempat, raja juga bisa
memberikan suatu jabatan sebagai hadiah kepada orang yang
berjasa. Jabatan itu bisa akuwu (kepala desa), senopati, atau
adipati atau menteri tergantung dari besar penilaian raja atas jasa
yang telah diberikan. Semasa Raka i Pikatan dan Pramodyawardani berkuasa,
beberapa kerabat dinilai telah berjasa khususnya berjasa dalam
menundukkan Balaputradewa dalam perang saudara. Kepada
paman sendiri, Raka i Pikatan memberikan kuasa untuk
memerintah atas kota Mataram dan Poh Pitu. Juga, adik dari Sri
Kahulunan Samaratungga (permaisuri raja Samaratungga),
Paman dari Pramodyawardani menurut garis ibu, diberi kuasa
atas kota Carangsoka dan Watugaluh. Terakhir, raja itu juga
memberi kuasa kepada adik laki-laki sendiri. Adik laki-laki itu
diberi kuasa atas kota Wwatan dan Tembelang. Demikian, tujuh
kota utama di Bhumi Mataram diperintah oleh kerabat istana dan
keturunannya. 74 *** Tahun ini adalah tahun 798 ?aka (876 M). Atau dua dasawarsa
telah lewat, sejak kekuasaaan di Mamrati telah mengalami
peralihan dari Raka i Pikatan dan Pramodyawardani ke Raka i
Kayuwangi. Kurun waktu dua dasawarsa merupakan waktu yang
cukup bagi terjadinya perubahan. Perubahan atas keadaan
Bhumi Mataram. Seperti terjadi di Mamrati, peralihan kekuasaan juga telah terjadi
pada kota-kota yang pernah dikuasakan oleh Raka i Pikatan
kepada para kerabat. Kerabat yang telah berjasa mengalahkan
Balaputradewa. Pergantian kekuasaan pada tiga pemerintahan
kota yang lain itu pun telah terjadi. Terjadi lebih dari satu
dasawarsa. Di kota Mataram dan Poh Pitu, kekuasaan telah beralih turun dan
diwariskan kepada sepupu Raka i Pikatan. Anak dari Paman yang
padanya Raka i Pikatan telah memberikan kuasa atas dua kota
itu. Kini orang itu telah berkuasa atas kota Mataram dan Poh Pitu
dengan gelar Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra selama tiga
belas tahun. Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra memerintah
dari kota Mataram, tempat nenek moyangnya dulu membangun
kekuasaan. Begitu juga, kekuasaan di Carangsoka dan Watugaluh telah
17 disematkan kepada sepupu Ratu Pramodyawardani,
Bhumisambhara. Saat naik berkuasa atas kedua kota itu, ia
kemudian memakai gelar Sri Wairiwarawiramardana, sama
dengan gelar kakeknya. Tahun ini adalah tahun ketujuhbelas ia
berkuasa atas dua kota itu. Sri Wirawairimathana menetapkan
pusat pemerintahan di Carangsoka.
75 Keadaan yang sama juga berlaku bagi kota Wwatan dan
Tembelang, yang semula berada di tangan adik laki-laki dari
Raka i Pikatan. Kekuasaan di sana telah beralih ke Maharaja
Raka i Gurunwangi, anak dari adik laki-laki Raka i Pikatan atau
sepupu dari Raka i Kayuwangi sendiri. Sekalipun terhitung paling
kemudian duduk di atas tahta, tahun ini Maharaja Raka i
Gurunwangi telah berkuasa di atas tahta selama sebelas tahun.
Tahta itu dipusatkan di Wwatan.
*** Orang telah berganti, demikian juga hubungan di antara mereka.
Empat penguasa itu adalah pewaris. Pewaris-pewaris yang tidak
pernah merasakan suatu kebersamaan dalam suatu
pertempuran. Tidak pernah bersama-sama mencium amisnya
darah yang terhampar, mendengar erangan dan merintih dari
mereka yang terluka, serta melihat serakan tubuh-tubuh yang
telah membujur kaku karena tiada lagi nyawa dikandung badan.
Perang di bukit Ratu Boko yang terjadi hampir lima puluh tahun
silam telah merekatkan ikatan di antara ayah-ayah mereka. Ikatan
sebagai satu saudara yang telah berdiri bersama-sama hingga di
garis depan pertempuran. Mempertaruhkan nyawa dan
kebesaran Bhumi Mataram. Tidak seperti orang tua mereka, para
pewaris itu tidak pernah melakukan pertempuran bersama.
Tidak adanya lagi pertempuran yang dirasakan bersama telah
menjadi hubungan di antara para pewaris itu menjadi mengendur
satu sama lain. Ikatan yang telah mengendur di antara mereka
berimbas pada hubungan pemerintahan antara kota dalam Bhumi
Mataram. Hubungan antara satu kota dengan kota lain menjadi
sangat longgar, bahkan hambar.
76 Akibatnya, persaingan dua wangsa yang di masa kekuasaan
Raka i Pikatan teredam surut, kini persaingan itu kembali
mengeras dan tampil ke permukaan. Bahkan, persaingan itu telah
mengemuka bukan sebagai hal tabu yang harus ditutup rapat.
Sebaliknya, persaingan itu telah menjadi menguak terbuka. Ini
dapat ditunjukkan dengan tampilnya empat nama penguasa
secara sendiri-sendiri. Seakan-akan ada raja lain di luar Raka i
Kayuwangi. Entah itu yang menyebut namanya Maharaja Raka i
Gurunwangi, Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra dan Sri
Wirawairimathana. Demikian di atas Bhumi Mataram seakan-akan telah berdiri empat
pemerintahan utama dengan penguasa dan pusat pemerintahan
18 masing-masing. Raka i Kayuwangi memerintah dari Mamrati,
yang merupakan pusat pemerintahan Bhumi Mataram. Sri
Wirawairimathana berdiam dan memerintah dari Carangsoka.
Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra bertahta dari kota
Mataram. Terakhir, Maharaja Raka i Gurunwangi bertahta dan
berkuasa di Wwatan. Empat penguasa dari dua wangsa yang
berbeda. Baik Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra dan
Maharaja Raka i Gurunwangi merupakan dua penguasa berdarah
asli Wangsa Sanjaya. Sri Wirawairimathana berdarah murni
keturunan Wangsa Sailendra. Sementara, Raka i Kayuwangi
berdarah campuran, Sanjaya dan Syailendra. Namun, yang
tampil mengemuka sebagai penguasa utama, justru adalah Raka
i Kayuwangi, penguasa yang tidak lagi berdarah murni.
Yang tidak berdarah murni, namun duduk paling berkuasa, telah
menimbulkan pertanyaan bahkan keraguan di antara tiga
penguasa lain yang mengklaim sebagai turunan murni salah satu
wangsa. Di dalam hati mereka tersimpan tidak hanya
77 kewaspadaan melainkan juga kecurigaan: "Jangan-jangan Raka i
Kayuwangi telah bersekutu dengan salah satu wangsa, untuk
kembali menegakkan kebesaran wangsa itu dan melenyapkan
wangsa lainnya". Suatu kecurigaan yang masuk akal, mengingat dua wangsa itu
pernah sama-sama telah mengibarkan kebesarannya di masa
lampau. Kebesaran yang telah dimunculkan oleh satu wangsa
dengan menyingkirkan ke pinggir kekuasaan wangsa lain.
Kebesaran menegakkan sebuah wangsa berkuasa di
Yawadw?pa. Berkuasa tanpa berbagi. Utuh dan sempurna.
Persaingan dua wangsa di masa silam kini kembali tampil ke
permukaan. Persaingan itu hanya reda dan redam sementara.
Berhenti semu. Persaingan dua wangsa memang tidak
sepenuhnya terhenti itu. Karena itu, kini telah dimunculkan
kembali. Lebih dari itu, persaingan dua wangsa telah tampil dengan warna
baru, yakni campur tangan pengaruh Balaputradewa dari
Suarnadwipa. Pengaruh yang terus menyulutkan dendam untuk
melakukan penebusan atas kekalahan pada masa lalu.
Kekalahan di Bukit Ratu Boko. Kekalahan dalam sebuah Perang
Saudara. Empat lima dasawarsa silam.
Mendung pun telah siap kembali menggantung di Bhumi
Mataram. Mendung yang sangat pekat. Mungkin lebih pekat dari
perang saudara itu sendiri.
*** CATATAN: *) Berikut ini adalah perkiraan ahli mengenai keberadaan tujuh
kota itu. Mamrati kemungkinan terletak di daerah Kedu. Mataram
78 terletak di daerah Yogyakarta dan Poh Pitu di Sleman.
19 Carangsoka kemungkinan terletak di Pati. Watugaluh dan
Tembelang (Tamwlang) kemungkinan terletak di daerah
Jombang. Wwatan kemungkinan terletak di Madiun.
"BRAAAKKK". Meja kayu hitam itu bergetar keras. Dipukul oleh
orang yang sedang murka. Ia telah menjadi murka, karena apa
yang diminta, tidak dikabulkan. Tidak dikabulkan oleh ayahnya,
yang katanya sangat mencintai. Padahal, apa yang diminta
adalah sesuatu yang tidak istimewa. Tidak istimewa karena itu
haknya. Hak yang sudah seharus ia diterima. Ia terima baik
karena kedudukan maupun jasa. Jasa yang telah dilakukan
selama lima tahun ini. Orang yang sedang murka itu adalah seorang laki-laki muda.
Tubuh berbalut pakaian istimewa. Pakaian tanda ia berasal dari
golongan berada. Lebih dari itu. Kening orang itu mengenakan
suatu hiasan. Hiasan itu memberi ciri pada orang itu kalau ia
adalah golongan penguasa. Lelaki muda itu adalah anak lelaki
dari penguasa dua kota: Carangsoka dan Watugaluh. Putra dari
Sri Wairiwarawiramardana. Dalam dirinya telah mengalir darah
mulia. Darah dari Syailendra. Darah Syailendra yang sangat
murni. Ayahnya, Sri Wairiwarawiramardana, adalah adik kandung
dari Samaratungga, penguasa Bhumi Mataram dari keluarga
Syailendra. Samaratungga, ayah dari Ratu Pramodyawardani.
Lelaki muda itu bernama Pangeran Sikara. Pangeran Siwanda
Sikara lengkapnya. Nama itu mengandung arti keras
berkehendak mengejar dunia. Memang, begitulah wataknya. Kini
usianya telah menginjak tiga puluh satu tahun. Usia yang
menurutnya sudah sangat pantas untuk menggenggam tahta.
79 Tahta Sri Wairiwarawiramardana. Ayahnya. Tahta yang sangat
didamba, bahkan didamba sejak usia muda. Akan tetapi, ayahnya
yang telah berusia separuh abad, usia yang dianggap terlalu tua
dan lamban mengurus tahta, tidak juga menunjukkan tanda-tanda
akan mundur meletakkan tahta dan menyerahkan itu kepada
dirinya. Pangeran Sikara. Sikara untuk berkuasa pada
Carangsoka dan Watugaluh.
"Lima tahun lalu. Ya, lima tahun lalu. Sri Wairiwarawiramardana
memanggil dan membicarakan kepadaku sebuah daerah di
pesisir. Kata Raja tua lamban itu, daerah pesisir dengan sebuah
bandar persinggahan. Di sana dapat membagun besar bandar itu.
Bandar yang mengalirkan saudagar ke Yawadw?pa untuk
memberikan kemajuan bagi Bhumi Mataram." Bergetar tubuh
Pangeran Sikara mengingat peristiwa lima tahun silam.
"Lalu, selang satu purnama, hanya satu purnama. Ia
menyerahkan daerah pesisir itu dan meminta diriku berkuasa di
sana. Di daerah tandus kering bernama Kambang Putih*).
Menyakitkan!" Kekesalan itu tidak tertahan, meja hitam telah
menjadi korban. Keras dipukul.
Baginya, Kambang Putih itu tidak lebih dari sekedar batu putih
mengapung, sebagaimana arti dari dua kata itu sendiri: Batu
20 Apung Putih. Bebatuan itu memang banyak ditemukan di daerah
itu. Selain merupakan pesisir, Kambang Putih juga dilintasi
sederet Pegunungan Kapur. Pegunungan Kapur itu merentang
panjang pada bagian timur Yawadw?pa sebelah utara. Pada
pegunungan itu, terdapat banyak gua-gua. Kambang Putih juga
dikenal sebagai daerah Sahasra Giya (Seribu Goa). Atas bujukan
seseorang, pada akhirnya Pangeran Sikara datang dan berkuasa
pada Kambang Putih. Bujukan sesorang yang sangat ia hormati,
80 lebih dari Sri Wairiwarawiramardana.
Demikian, Pangeran Sikara menunggu lima tahun sia-sia. Ia
menunggu tahta dari tempat kering dan tandus di pesisir bagian
timur Yawadw?pa. Menunggu tahta dari Kambang Putih. Tahta itu
sama sekali belum juga bertanda akan diserahkan kepada
dirinya. Hingga kini, ia tetap masih berdiri sebagai Penguasa
Kambang Putih. Bukan penguasa Carangsoka dan Watugaluh.
Dua kota utama di Bhumi Mataram.
*** Sekalipun diberi kuasa atas daerah pesisir, yang pada waktu itu
sudah sering digunakan sebagai tempat persinggahan bagi
pedagang-pedagang ke Bhumi Mataram, Pangeran Sikara tidak
merasa puas atas keputusan ayahnya. Ia lebih menginginkan
duduk berkuasa atas Watugaluh. Kota yang tidak jauh dari
Carangsoka tempat Sri Wairiwarawiramardana berkuasa. Seperti
Carangsoka, Watugaluh merupakan daerah yang subur dan kaya.
Tidak demikian dengan Kambang Putih. Daerah pesisir dan
pegunungan kapur yang tandus dan kering. Tanah yang lebih
banyak ditumbuhi oleh hutan bakau atau gerombolan pepohonan
nira. "Lima tahun sudah aku mengikuti apa yang telah dimintanya.
Dalam selama ini, aku telah bekerja keras sendiri di atas tanah
kering dan tandus, tanpa pernah meminta apapun darinya. Kini,
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah segalanya telah menjadi berbeda, aku hanya memintanya
memberikan dua ribu prajuritnya di bawah kuasa Kambang Putih.
Kambang Putih yang telah aku bangun menjadi sebuah bandar
persinggahan. Bandar yang telah mengalirkan keuntungan bagi
Carangsoka dan Watugaluh". Kembali Pangeran Sikara
81 mengungkapkan rasa kesal dan ketidakpuasannya dengan nada
keras dan agak berteriak.
Memang, sejak enam purnama lalu, Pangeran Sikara telah
datang sendiri ke Carangsoka bertemu dengan ayahnya, untuk
menyampaikan apa yang diinginkan. Namun, hingga kini
keinginan itu belum juga terkabulkan. Jangankan terkabulkan,
sepotong jawaban pun tidak juga didapatkan dari Sri
Wairiwarawiramardana, ayahnya.
"Meminta atau menagih sesuatu kepada raja atas suatu jasa,
memang perbuatan yang tidak tahu adat. Tetapi, aku tidak
21 meminta kepada Sri Wairiwarawiramardana sebagai seorang raja.
Aku meminta kepada Sri Wairiwarawiramardana sebagai ayahku."
Sambung Pangeran Sikara masih dengan nada geram yang
sama. Nada geram yang membuat enam orang yang telah
berada bersama di ruangan besar itu, terus terdiam dan semakin
menundukkan kepala. Enam orang itu mengenal betul watak anak muda itu. Tandusnya
kapur dan kering panasnya pesisir, semakin mengubah watak
Pangeran itu. Watak yang semakin menjadi keras bahkan
cenderung kejam dan telengas. Mereka masih teringat, dua tahun
lalu, pada saat anak muda itu menghukum adik dari isterinya,
Udarana. Ia menghukum iparnya itu dengan tangan sendiri.
Memenggal putus hingga sebatas lengan, tangan kiri dari kerabat
sendiri. Tindakan yang menyeramkan itu masih ditambah dengan
kata-kata yang menakutkan. Kata-kata yang terus diingat oleh
enam orang itu. "Kalian semua tahu, aku sangat mencintai Udarana. Mencintai
seperti adikku sendiri. Jika aku bisa memenggal hingga putus
lengan dari orang yang aku sayangi, maka kalian tentu bisa
82 membayangkan apa yang akan aku lakukan terhadap orang yang
aku benci. Orang yang aku benci karena melawan dan
menentang kehendakku. Camkan itu". Demikian dua tahun lalu
Pangeran Sikara pernah mengatakan hal itu. Dikatakan hanya
sesaat setelah memenggal putus tangan Udarana. Kata-kata itu
diucapkan di muka banyak pengikut. Kata-kata yang terekam kuat
dalam ingatan siapapun yang mendengar.
Enam orang itu sebenarnya adalah orang-orang kepercayaan
Pangeran Sikara. Mereka telah mengikuti Pangeran itu. Tidak
hanya mengikuti, tapi juga menjaga dirinya sebagai Putera Sri
Wairiwarawiramardana. Menjaga lelaki muda itu sejak usia lima
tahun. Di tengah kebisuan enam orang pengikut kepercayaan Pangeran
itu, dari arah dalam muncul seorang yang sudah sangat tua. Kulit
tubuh dan wajah sudah menjadi keriput. Dan, wajah itu tampak
putih memucat. Memucat ganjil dan menyeramkan. Ia berpakaian
layaknya seorang petapa. Rambut panjang memutih dan digulung
bersanggul ke atas. Orang tua itu datang mendekati Pangeran
Sikara. "Sudahlah Anakmas. Apabila Sri Wairiwarawiramardana tidak
mengabulkan apa yang kau minta, biarlah kita menempuh jalan
dan cara kita sendiri untuk mewujudkan itu." Orang tua itu berkata
menghibur Pangeran Sikara. Penghiburan datang dari orang yang
sangat dihormati Pangeran Sikara, dihormati lebih dari Sri
Wairiwarawiramardana, ayah sekaligus rajanya.
Sesungguhnya, Pangeran Sikara sangat menghormati orang tua
itu lebih dari siapapun. Orang tua itu merupakan guru, yang tidak
hanya menurunkan ilmu dan kekuatan kepada dirinya, melainkan
juga telah membentuk dirinya. Membentuk dirinya hingga tampil
22 83 sebagai orang yang berwatak keras, ambisius dan telengas.
Sudah dua dasawarsa, Pangeran itu berada di bawah bimbangan
dan asuhannya, atau tepatnya di bawah penguasaannya.
"Memang Eyang, aku telah memutuskan untuk menempuh
jalanku sendiri. Akan tetapi, ini tidak berarti aku harus
melepaskan permintaanku. Permintaan itu wajar untuk aku tagih,
setelah lima tahun aku telah memberi keuntungan kepada Sri
Wairiwarawiramardana. Lagi pula, yang aku minta hanya dua ribu
prajurit." Pangeran Sikara masih menyatakan kekerasan hati. Ia
menuntut apa yang diminta: dua ribu prajurit untuk ditempatkan di
Kambang Putih. Mendengar perkataan murid kesayangannya, orang tua itu
menarik segaris senyum pada bibirnya. Senyum yang
menandakan kepuasan hati. Kepuasan sebagai cerminan bahwa
keputusan yang telah ia ambil pada dua puluh tahun silam, kini
telah menampakkan hasil sebagaimana diinginkan.
*** Dua puluh tahun silam, ia menemukan Pangeran muda itu. Saat
itu juga ia telah menarik suatu keputusan. Keputusan untuk
membentuk Pangeran itu menjadi sesuatu yang ia inginkan. Hal
itu terjadi di tahun kelima sejak ia pulang kembali ke Yawadw?pa.
Pulang setelah lebih dari seperempat abad mendampingi
keponakannya, Balaputradewa, menyingkir dan tinggal menetap
di Sriwijaya. Keponakan itu sangat ia sayangi. Keponakan yang
terpaksa terbuang dan tersingkir saat berebut tahta dengan
saudara perempuannya. Pangeran muda itu dipilih karena pada dirinya mengalir darah
84 murni Wangsa Syailendra, sebagaimana darah itu mengalir
dalam dirinya sendiri. "Aku akan membangunkan semangat dan
jiwa Wangsa Syailendra pada anak itu. Membangkitkan Wangsa
Syailendra untuk tampil menjadi Adwaya Lokeswara di Bhumi
Mataram seperti di masa kejayaan ayahku, Dharanindra, pada
delapan puluh tahun silam". Orang itu mengatakan pada diri
sendiri semua itu, manakala ia bertemu Pangeran Sikara untuk
pertama kali. Dua puluh tahun lalu.
Sejak saat itu, orang tua yang menyebut Raja Dharanindra
sebagai ayahnya, dengan keras dan tekun mengembleng
Pangeran muda Putera dari Sri Wairiwarawiramardana, untuk
tumbuh menjadi salah seorang yang dapat memenuhi sebuah
keinginan. Nindita Gardajita. Keinginan Mulia.
Ia tidak hanya menurunkan kesaktian kepada Pangeran itu,
melainkan juga mengajarkan bagaimana cara-cara bertindak atas
sesuatu. Bertindak untuk mengejar kekerasan hati dan keinginan
untuk tampil sebagai Adwaya Lokeswara. Mengejar tuntas
dengan segala bayarannya.
*** 23 Masih di ruangan yang sama, namun kini hanya tinggal lima
orang yang berada di sana. Pangeran Sikara, gurunya dan tiga
orang pembantu utamanya, yakni: senopati Tiyasa Tadya,
senopati Satya Sewagati dan Pangeran Udarana. Orang yang
disebut terakhir adalah orang dengan tangan kiri kosong, karena
pernah dipenggal putus dua tahun silam. Kelima orang itu tampak
serius. Sangat serius mendengarkan orang tua bermuka pucat,
Guru Pangeran Sikara, berbicara. Selain orang tua itu, hanya
85 Pangeran Sikara yang sesekali bicara untuk meminta penjelasan.
Setelah tiga penderesan nira lewat, orang tua itu berkata, "Aku
menegaskan agar setiap orang di sini menjalankan peran masingmasing sesuai rencana. Aku harap
kalian membantu Pangeran menjalankan rencana atas Watugaluh beberapa hari di muka.
Rencana yang beberapa saat lalu telah aku katakan dengan
sejelas-jelasnya. Jangan sekali-sekali menyimpang dari rencana.
Sebab, aku tidak ingin suatu kejutan terjadi pada diriku. Yang aku
inginkan adalah kejutan itu terjadi di luar sana. Di Bhumi
Mataram". Orang tua itu telah mengatakan rencana atas
Watugaluh, peringatan sekaligus ancamannya. Setelah berkata
demikian, ia mengakhiri pertemuan pada ruangan itu.
*** Selepas kepergian tiga orang pembantunya, Pangeran Sikara
masih tinggal di ruang itu bersama dengan gurunya. Orang tua itu
telah meminta tetap tinggal sebentar karena ia ingin Pangeran
Muda itu mengetahui juga rencana yang sedang dijalankan.
Rencana di atas tanah Tembelang.
"Anakmas, sebagaimana engkau telah ketahui, kita telah memulai
rencana kita sejak empat tahun silam dan mematangkan itu
selama satu tahun. Baru setelah itu, kita menjalankan rencana itu.
Mulai dengan kegemparan di Poh Pitu Racana (Bencana di Poh
Pitu) tiga tahun silam, lalu Prasoda Nawa Sanghara
(Penghancuran Sembilan Bangunan) di lereng gunung Ungaran
satu tahun setelah peristiwa Poh Pitu. Dua kegemparan yang
telah berhasil mengguncang Bhumi Mataram. Dengan bantuan
sahabat-sahabatku, dua kegemparan itu telah disulutkan.
86 Beberapa hari ke depan, hal yang sama akan terjadi di
Watugaluh. Apa yang akan terjadi di Watugaluh sepenuhnya aku
serahkan kepada Anakmas. Jalankan hal itu sesuai dengan
rencana yang telah kita susun." Orang tua yang bersama dengan
Pangeran itu mengatakan kegemparan-kegemparan yang telah
dilakukan dua tiga tahun silam di atas Bhumi Mataram, dan
menyerahkan kegemparan selanjutnya kepada Pangeran.
"Di luar itu, aku telah meminta sahabat-sahabatku untuk
membayang-bayangi Tembelang. Aku akan menunggumu di
Kambang Putih. Setelah Anakmas menyelesaikan rencana di
Watugaluh, kita akan mengarahkan mata ke Tembelang. Di sana
24 kita akan kembali menghembuskan kegemparan di atas tanah
Bhumi Mataram. Kegemparan yang sama sebagaimana telah
tancapkan di wilayah-wilayah lain sebelumnya". Kata orang tua itu
kepada Pangeran Sikara. "Anakmas, rencana di Tembelang dalam beberapa purnama ke
depan akan menjadi pelengkap bagi rencana-rencana
sebelumnya. Biarlah tanah Bhumi Mataram kembali memanas
keadaannya. Memanas karena bara api dari timur telah disulut".
Orang tua itu berkata demikian dengan wajah memancarkan
suatu kegembiraan. Seulas senyuman kepuasan pun menghiasi
wajah pucat ganjil orang tua itu.
*** Kini usianya telah menginjak 20 tahun. Dalam keadaan saat ini,
Arga telah tumbuh menjadi seorang pria yang sedang menapak
pada kedewasaan. Tubuh terbilang kekar dan berotot. Tinggi
badan tidak menonjol. Hanya lebih tinggi sedikit dari rata-rata pria
87 dewasa umumnya. Tidak ada perubahan yang mencolok pada
wajah. Seperti semula, wajah itu lonjong bulat. Hanya saja, yang
kini tampil beda adalah sinar mata. Mata itu tajam bersinar cerah.
Siapapun akan terkesan memandang dua mata anak muda itu. Di
sana ada sesuatu yang selalu tampil dari dua pupil mata itu.
Kegembiraan. Ia memang terus menjalani kehidupan dengan
penuh kegembiraan, dan itu terlihat jelas pada dua matanya.
Dengan dua mata itu, Arga tampil penuh daya tarik.
Sudah setengah hari, Arga melangkah menempuh perjalanan.
Tentu, yang pertama terpikir olehnya adalah pergi mengunjungi
Perguruan Merak Mas, yang telah ditinggalkan tujuh delapan
tahun silam. Anak muda itu melangkah ringan. Tidak diburu oleh
sesuatu. Ia selalu mengamati dan menikmati setiap tempat yang
dilalui. Sawah. Tegalan. Dusun dan perkampungan penduduk.
Saat hari telah menjelang senja, Arga melihat sebuah gapura di
jalan. Gapura itu merupakan suatu tanda. Tanda istimewa atas
sebuah wilayah. Kehadiran gapura selalu mencerminkan
keagungan dan kebesaran wilayah yang dibatasi. Apalagi gapura
itu tampak istimewa, berhiaskan batu-batu yang memuat aneka
bentuk arca dan ukiran indah di atasnya.
Setelah beberapa lama berjalan melewati gapura, dan terus
melintasi sederetan pemukiman yang terhampar semakin menjadi
padat, Arga pun telah tiba pada pusat kota. Melihat seorang pria
berjalan dari arah depan, Arga pun menghentikan orang itu dan
bertanya. "Maaf, pak apa nama kota ini?" Ia bertanya pada pria separuh
baya telah berpapasan lewat.
"Oh, ini kota Hita Harsita." Jawab orang itu singkat dan bergegas
pergi. 88 "Hita Harsita Praja, Kota Gembira karena Peruntungan." Gumam
25 anak muda itu lirih. Karena tidak memiliki uang yang berlaku, ia pun pergi mencari
tempat penukaran barang berharga. Setelah mendapatkan, anak
muda itu langsung masuk menukar sebagian kepingan logam
mulia miliknya. "Andhika, keping emas ini seharga 10 Masa*) (Ma)." Setelah
dengan teliti orang pada penukaran barang berharga memeriksa
dan menimang berat kepingan yang disodorkan Arga. Anak muda
itu setuju saja. Ia pun menerima sepuluh kepingan mata uang Ma.
Mata uang berbentuk segiempat kecil terbuat dari emas.
Karena desakan perut yang lapar, Arga memasuki sebuah rumah
makan lalu memesan seekor ayam bakar dan sayur kari serta
sebakul nasi. Makanan yang sangat jarang didapat. Sehari-hari
perut anak muda itu, paling-paling diisi dengan umbi-umbian,
buah-buahan dan hewan hutan tangkapan di hutan. Sambil
menunggu hidangan tersaji, Arga mengamati seluruh ruangan
dan tamu yang ada di sana.
Di pojok sebelah kanan, terpisah empat meja, empat laki-laki
dengan usia 20-an tahun asyik menyantap hidangan sambil
bercakap-cakap. Dari penampilan mereka, dapat dipastikan
empat orang itu adalah murid-murid Perguruan Merak Mas. Hal
itu terlihat jelas dari sulaman pada kerah baju yang mereka
kenakan. Pada kerah baju itu, terlihat sulaman lambang dari
perguruan itu. Seekor merak yang tersulam anggun.
"Kang Tedja, sudah lama aku tidak melihat Ketua. Menurut kabar
Ketua dan Wakil Ketua sedang menekuni jurus-jurus utama
perguruan". Pemuda paling hitam bertanya.
"Benar. Aku juga mendengar tentang kabar itu". Jawab singkat
89 orang yang disebut Kang Tedja. Orang itu duduk tepat di
hadapan pemuda hitam itu.
"Menggabungkan empat jurus pusaka perguruan" Bukankah
jurus-jurus itu sudah sangat tangguh dan tanpa tanding" Apa
perlu jurus-jurus itu digabungkan" " Sambung pemuda paling
jangkung di sisi kiri orang yang disebut Kang Tedja.
"Kau tidak boleh bicara begitu. Itu sikap jumawa. Kemunculan
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelompok yang menamakan diri Chandrakapala (Tengkorak
Rembulan) tiga tahun belakangan ini telah menyedot perhatian
dari Ketua dan Wakil Ketua, juga Tetua Perguruan Macan Bumi
dan Banteng Perak, serta pihak Kerajaan. Sepak terjang
kelompok itu sangat misterius, sangat matang dan selalu
meninggalkan kerugian luar biasa. Ingat peristiwa Prasoda Nawa
Sanghara (Penghancuran Sembilan Bangunan) adalah ulah
mereka. Hingga kini peristiwa itu belum juga terungkap dan siapa
pelakunya pun tidak terjamah, padahal dua tahun peristiwa itu
sudah berlaku. Yang ditemukan hanya panji bersimbolkan
tengkorak bertaring di atas bulan sabit dengan tulisan
Chandrakapala di bawahnya." Murid Merak Mas di sisi kiri dari
pemuda hitam itu memberi penjelasan panjang.
26 "Ehm. Kita harus berhati-hati dan waspada. Saat ini ada pihakpihak yang memang ingin
memperlemah pengaruh perguruan
kita. Ah, sudahlah ayo kita makan". Kata kang Tedja memberi
peringatan dan berniat menyudahi pembicaraan.
Lewat penggalan pembicaraan itu, Arga menyimpulkan bahwa
Paman Wira dan Paman Gilingwesi sedang meningkatkan
penguasaan ilmu, bahkan kembali mendalami jurus-jurus utama
Merak Mas. Mendalami untuk menciptakan penggabungan yang
lebih dahsyat. Yang lebih menarik dari percakapan itu adalah
90 kelompok Chandrakapala. Kelompok yang disebut-sebut
misterius. Begitu dahsyatkah sepak terjang sang tengkorak,
sampai-sampai Paman Wira dan Paman Gilingwesi secara
bersama-sama menerobos kembali simpul-simpul jurus Merak
Mas" "Ehm, menarik. Sangat menarik." Pikir Arga.
Rasa ketertarikan anak muda itu terhadap kelompok yang
menamakan diri Chandrakapala telah menumbuhkan dorongan
kuat untuk melakukan penyelidikan. Rasa itu mengalahkan sifat
upeksa, tidak mencampuri urusan orang lain, yang telah
tertanam. "Ah, mencari tahu itu tidak sama dengan campur tangan." Kata
anak muda itu dalam hati. Membela diri. "Aku hanya ingin tahu
siapa itu Chandrakapala. Tidak ada salahnya apabila dalam satu
purnama ke depan ini, aku menelusuri jejak-jejak Chandrakapala.
Apapun hasilnya." Arga menyatakan keputusan itu.
Menyantap habis seluruh hidangan yang tersaji dan
menyelesaikan tagihan, dengan santai ia berjalan keluar dan
menunggu di kejauhan empat orang muda dari perguruan Merak
Mas itu keluar dari rumah makan. Tidak berapa lama, empat
orang yang dinanti ke luar. Mereka berjalan beriringan dan
tampaknya menuju ke sebuah tempat penginapan. Si hitam dan
Kang Tedja langsung memasuki penginapan itu, sementara dua
pemuda lain pergi berlalu meninggalkan tempat itu untuk
menyelesaikan sesuatu. "Ah, ada baiknya aku menginap di tempat itu. Syukur-syukur
mendapat informasi tambahan baik mengenai Merak Mas atau
Chandrakapala." Kata Arga dalam hati. Arga memilih sebuah bilik
yang terletak di sisi paling kanan dekat dengan penambatan
91 kuda-kuda. Sebuah bilik yang tentu tidak disukai banyak
pengunjung, karena beraroma kotoran kuda. Setelah
membersihkan diri, ia berbaring untuk beristirahat di bilik itu.
Selang enam penderesan nira kemudian, pintu bilik diketuk.
Setelah dipersilahkan masuk, seorang lelaki beruban yang
bertugas melayani tamu muncul dan bergerak masuk untuk
menyalakan senthir (alat penerangan menggunakan minyak
kelapa) pada bilik itu. 27 "Tuan, apakah tuan ingin memesan makan malam." Lelaki
beruban menawarkan jasa kepada Arga.
"Terima kasih, Ki. Aku sudah kenyang." Katanya. Ia pun pergi
meninggalkan bilik Arga. Menjelang tengah malam, sewaktu Arga terbenam dalam teknik
Panchajanya, di luar sana terdengar langkah-langkah
sekelompok orang. Mungkin 5 hingga 6 orang. Dengan tingkat
kepekaan yang telah dicapai, Arga tidak hanya mampu
memastikan jumlah mereka melalui gerakan, tetapi juga mampu
mendeteksi elemen-elemen utama yang menjadi lambaran ilmu
mereka. Lewat pendengaran, Arga mendeteksi ada 6 orang,
tetapi hanya ada 5 pancaran elemen yang diterima nyata. Tentu,
karena tingkat yang telah matang, yang seorang itu telah mampu
meredam keluar aliran energinya. Ia dapat mengatur energi di
dalam tubuh sekehendak hati.
"Mereka pasti datang ingin berurusan dengan murid-murid Merak
Mas. Mereka tentu kelompok yang ingin memperlemah pengaruh
perguruan Merak Mas, seperti dikatakan salah seorang murid
Merak Mas, yang disebut Kang Tedja. Mereka merupakan
kelompok atau bagian dari kelompok yang secara tidak langsung
ingin membentur Perguruan Merak Mas dengan mengusik murid92
murid perguruan itu." Demikian pikir Arga menduga maksud
kedatangan orang-orang itu.
"Aneh. Yang aku tahu, keempat murid perguruan itu menempati
bilik dekat pintu samping sebelah kiri, terletak cukup jauh
berhadapan dengan bilikku. Tetapi, mengapa kelompok ini justru
bergerak ke arah bilikku." Anak muda itu menyatakan keheranan.
Heran bahwa dugaannya tidak sesuai dengan yang dilakukan
oleh kelompok itu. Belum tuntas dia mencerna apa yang berlangsung, terdeteksi dua
gerakan cepat menerobos masuk ke dalam bilik. Kini, di hadapan
anak muda itu telah berdiri dua sosok sangar. Dua lelaki
berbadan kekar mengenakan pakaian berwarna gelap.
"Anak muda, serahkan seluruh kepingan emas yang kau bawa.
Jangan bertindak bodoh. Kami tidak segan-segan untuk
membuatmu cidera, atau bahkan meninggalkanmu dengan tidak
bernyawa." Kata seorang dengan parut bekas luka melintang
panjang di kening. Sebuah luka akibat terkena sabetan benda
tajam. Belum habis orang itu bicara, seorang yang lain bergerak cepat
mencengkram bahu kanan Arga, sambil menekan titik syaraf
yang berada di situ. Tentu saja, anak muda itu merasakan
desakan energi panas menyengat yang menerobos masuk di
seputar bahu, khususnya pada titik syaraf itu. Dia membiarkan
saja orang itu menghadiahkan aksi "menyiksa".
Tanpa berpura-pura, Arga, yang memang sedang menanggung
rasa sakit pada bahu, mengungkapkan rasa sakit itu di raut
wajah. Raut wajah menyeringai menahan rasa sakit. Sekalipun
telah menderita sakit, bagi Arga rasa itu sekedar mengena pada
28 bagian luar, hanya pada permukaan saja, tidak sampai membawa
93 efek yang merusak otot atau fungsi syaraf di bahu. Daya Jubah
Perang Naga, yang diterapkan pada tingkat tertentu, telah
memusnahkan efek dari tindakan orang itu terhadap bagian
dalam tubuh. Sementara menekan dan mencengkram, orang itu menggunakan
satu tang (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
an untuk mengeladah sisi dalam pakaian anak muda itu.
Menemukan apa yang dicari, cepat tangan orang itu bergerak
merampas uang milik Arga, lalu melakukan dorongan keras
hingga menghempaskan tubuh anak muda itu mundur menjauh.
Saat terlontar mundur, dengan sengaja tangan Arga menyambar
alas meja yang di atasnya terletak kendi dan cangkir dari tanah
liat. Sambaran itu membuat kendi dan cangkir jatuh pecah. Jatuh
pecah dengan suara gaduh yang cukup keras untuk
menghentikan mimpi tamu lain. Sontak sejumlah orang
mendatangi bilik itu, dan ada di antaranya keempat murid dari
Perguruan Merak Mas. "Hei, apa yang kalian perbuat di kamar itu" Kalian apakan anak
muda itu?" Kata murid Merak Mas yang paling jangkung.
"Oh, rupanya mau membuat onar di wilayah naungan Perguruan
Merak Mas." Sambung si hitam, rekan si jangkung yang berada di
samping. Terlihat ada kekagetan tersirat pada wajah beberapa anggota
kelompok itu. Hanya orang yang berpakaian paling rapi dan
berusia paling muda, dengan elemen energi tidak terdeteksi,
terlihat tetap tenang. Ia mengangguk kepada salah seorang
anggota kelompok itu, sepertinya ia memberi isyarat setuju, dan
orang itu menggeser untuk berhadap-hadapan dengan murid
Perguruan Merak Mas. "Kami bertindak atas kehendak kami. Apa pun itu. Jangankan
94 kalian. Seluruh Hita Harsita Praja pun tidak dapat mencegahurungkan apa yang menjadi kehendak
kami. Jadi, apapun yang kami kehendaki itulah yang terjadi". Kata anggota itu membentak
keras menyatakan tantangan.
Sesaat Arga menganalisa situasi dengan cepat. "Agaknya,
kelompok ini sejatinya tidak berencana untuk membentur
langsung Perguruan Merak Mas. Mereka hanya membuat
kekacauan dan guncangan di wilayah pengawasan perguruan itu.
Guncangan-guncangan itu dengan sendirinya akan menciderai
kewibawaan perguruan Merak Mas, dan memunculkan
pertanyaan mengenai kemampuan perguruan itu dalam
memberikan pengayoman keamanan." Demikian Arga menarik
suatu kesimpulan. Ketegangan begitu mencengkram suasana, waktu berjalan
menjadi sangat lambat. Masing-masing orang yang hadir terdiam
sesaat, hanyut dalam pertimbangan masing-masing.
"Baik, ayo kita selesaikan urusan ini di luar sana." Hardik si
jangkung menjawab tantangan kelompok itu. Ia menjawab
tantangan juga dengan tantangan.
"Bawalah mereka ke tanah lapang di tepi sungai sebelah utara
dari sini. Kalian bisa menghabisi mereka di sana. Nanti aku akan
menyusul ke sana." Bisik orang paling muda, yang agaknya
1 menjadi pimpinan dari kelompok itu Ia menyampaikan hal itu
kepada pria kekar yang telah menghempaskan Arga.
Pria kekar itu pun mengatakan kepada murid Perguruan Merak
Mas, di mana persoalan akan dituntaskan, dan segera dua
kelompok itu pun secara beriringan pergi meninggalkan bilik Arga.
Mereka bergerak menuju tempat yang telah ditentukan. Kini,
hanya tiga orang tersisa di bilik itu: Arga, pimpinan kelompok itu,
95 dan seorang pegawai penginapan. Pegawai itu segera bergegas
pergi ketakutan karena diancam oleh Pimpinan Kelompok.
Diancam melalui tatapan matanya.
"Anak muda, siapa namamu" Darimana asalmu" Berapa banyak
lagi uang yang kamu miliki?" Dengan suara tegas dan kaku,
Pimpinan Kelompok itu bertanya kepada Arga, sesaat setelah
petugas penginapan berlalu. Sambil bertanya, ia terus mengamati
sosok anak muda itu. "Agaknya, orang itu telah menjadi heran. Bahkan, tidak merasa
yakin bahwa pemuda berpenampilan biasa-biasa seperti diriku,
memiliki dan menyimpan uang dalam jumlah besar, lalu keluyuran
seorang diri tanpa pengawalan." Demikian Arga mengira-ngira
apa yang terjadi di dalam diri orang yang tengah mengamati
dirinya. "Kalau bukan dari kawanan begal, kau tentu anak nakal
bangsawan yang minggat dengan menyamar?" Orang itu
menerka sambil tersenyum mengejek dan bergerak ringan
perlahan mendekati anak muda itu. Arga masih tetap berdiam,
menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. Untuk berjagajaga terhadap serangan yang
mungkin saja dilakukan oleh orang
itu, ia pun telah melambari diri dengan Jubah Perang Naga.
"Ayo, ikut aku". Dengan sangat cepat orang itu menarik tangan
Arga. Pada saat menyentuh tangan itu, Arga baru dapat
merasakan sifat energi Pimpinan Kelompok. Energi orang itu
kadang bersifat panas, kadang dingin. Tanda, ia sudah pada
tahap kemampuan mengendalikan energi sesuka hati. Orang itu
mengajak Arga pergi meninggalkan penginapan. Ia
menggandeng tangan anak muda itu santai, seolah-olah
membawa adik atau seorang kerabat.
96 *** Dua kelompok itu pun tiba di tempat yang ditentukan. Secara
naluriah mereka berdiri sebagai satu kelompok berhadapan
dengan kelompok yang lain.
"Prajanata, kau majulah terlebih dahulu. Jangan beri ampun siapa
pun lawanmu." Kata seseorang yang mewakili pemimpin
kelompok itu. "Baik, Kang Rumita." Kata orang itu mantap, sambil beranjak
maju mendekati kelompok murid Merak Mas.
"Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku". Tantang Prajanata
2 kepada murid Merak Mas. Si jangkung pun bergerak maju. "Adhi Anala, berhati-hatilah",
murid Merak Mas yang disebut Kang Tedja memperingatkan.
Tedja sadar bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah suatu latih
tanding, tetapi suatu pertarungan yang sebenarnya. Sesuatu
yang tidak diinginkan bisa saja terjadi sebagai hasil suatu
pertarungan. "Mari Ki Sanak, aku terima tantanganmu". Kata Anala sesampai
di tempat orang yang telah menyerukan tantangan.
Merekapun berhadapan, bersiap-siap dengan ancang-ancang
ilmu masing-masing. Tampak begitu tegang justru si hitam.
"Kang Tedja, apakah Anala mampu menghadapi orang itu?"
Katanya. Yang ditanya diam tidak menjawab, lebih berkonsentrasi
memperhatikan situasi yang terus berkembang.
"Tenanglah Adhi Anggasta. Sekalipun cepat naik darah, dengan
tingkatan Adhirajasa, Anala memiliki bekal ilmu yang cukup". Kata
murid Merak Mas yang lain.
Rupanya empat murid Merak Mas itu merupakan murid-murid
97 pilihan yang memiliki cukup bekal ilmu. Dalam perguruan Merak
Mas, setelah menjalani latihan dasar umum selama kurang lebih
2 atau 3 tahun, murid naik ke jenjang khusus. Pada jenjang
khusus itu, terdapat lima tingkatan, yakni: Adhimukti
(Bersemangat), Adhirajasa (Tangguh), Adhipramana (Penguasa
Pertama), Adhigana (Golongan Unggul atau Pilihan) dan
Adhyasta (Pengawas). Pada tingkatan Adhimukti, murid digembleng untuk menguasai
jurus Merak Mas Merah Membara dan Merak Mengayun 1000
Hasta. Setelah lulus ujian, mereka akan naik ke tingkatan
Adhirajasa. Di tingkat ini mereka mempelajari jurus Merak
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melontarkan Halilintar ke Sembilan Langit. Terus naik lagi ke
jenjang Adhipramana mempelajari Merak Membalik Arus Jagat
Raya dan kemudian jenjang Adhigana menekuni jurus Merak
Membuka Sirkulasi Jalan Langit.
Tingkatan Ahyasta dipilih dan diangkat dari murid-murid tingkatan
Adhigana. Yakni, mereka yang memiliki bakat dan kemampuan
pengaturan (organisasi). Dari tingkatan Adhyasta ini, dengan
sangat berhati-hati dan cermat, Tetua Perguruan menseleksi dan
memilih serta mengizinkan seorang murid untuk mempelajari
jurus pamungkas perguruan: Merak Menggetar-guncangkan
Semesta. Prajanata membuka serangan dengan gerakan sederhana, yakni
pukulan yang diarahkan ke rahang Anala. Juga dengan langkah
sederhana, Anala mengeser ke samping mengelak serangan
yang datang, kemudian membalas dengan sebuah totokan ke
arah leher. Sejauh ini, gerakan-gerakan yang mereka lakukan
masih pada tataran "bermain-main". gerakan-gerakan itu belum
dilambari ilmu masing-masing. Satu sama lain hanya mencoba
98 3 menjajaki tingkat kemampuan ilmu lawan.
Telah sependeresan nira Prajanata dan Anala saling bergebrak.
Sesekali, baik Prajanata maupun Anala mendarat serangan di
tubuh lawan, akan tetapi serangan-serangan itu tidak
mempengaruhi keadaan. "Prajanata, berhentilah bermain-main". Sebuah teguran
ketimbang perintah. Meloncat mundur menentukan suatu jarak, Prajanata mengambil
suatu sikap tertentu. Dua tangan telah disilangkan tepat di depan
dada. "Bersiap-siaplah, aku tidak ingin bermain-main. Terimalah jurus
Soma Jamanika (Tabir Rembulan)." Kata Prajanata.
Tak ayal, Anala pun merespon sikap lawan dengan
mempersiapkan diri memainkan Merak Mas Merah Membara.
Setelah beberapa saat mempersiapkan diri, hampir secara
bersamaan keduanya maju bergerak dengan lambaran ilmu
masing-masing. Ketika memainkan Tabir Rembulan, tubuh
Prajanata beralih kian memutih diiringi dengan hawa dingin di
seputar orang itu. Ini menandakan bahwa ia sedang
meningkatkan jurus itu selapis demi selapis. Hal yang sama
terjadi pada Anala, hanya saja hawa yang tercipta adalah panas.
Agaknya, benturan-benturan antara Prajanata dan Anala yang
dilambari ilmu masing-masing berimbang. Karena lawan masih
belum juga dapat dirobohkan, Prajanata mulai meningkatkan
ilmu. Ia memainkan Janggala Soma (Rembulan Gersang). Jurus
ini lebih kuat dari sebelumnya, dan itu dirasakan oleh Anala ketika
membentur dengan Prajanata. Benturan lewat dua tangan
masing-masing. Anala merasakan aliran hawa dingin tajam menerobos masuk.
99 Berupaya meredam pengaruh hawa dingin itu, Anala
meningkatkan ilmu menapaki Teknik Merak Melontarkan Halilintar
ke Sembilan Langit. Pengaruh jurus Anala, tidak bisa dikatakan
ringan. Sengatan-sengatan listrik telah dihasilkan oleh gerakangerakan jurus itu.
Sengatan-sengatan itu sangat menggangu
Prajanata. Tidak jarang ia terpaksa menghentikan gerakangerakan untuk menghindar dari
sengatan. Sampai pada suatu kesempatan, Prajanata pun mengerahkan
tataran tertinggi dari ilmu yang dimiliki, Jina Soma (Rembulan
Pemenang). Ia bergerak dengan kekuatan yang telah dilambari
penuh himpunan tenaga dalam. Saat itu juga, ia berniat
mengakhiri pertempuran itu. Dengan segenap kekuatan yang
telah dihimpun, ia membenturkan sebuah serangan pada Anala.
"Desss." Tidak terdengar keras. Tapi itu cukup untuk
menandakan bahwa dua orang yang tengah bertempur itu telah
membenturkan ilmu masing-masing. Membenturkan dengan
kekuatan penuh. Akibat benturan itu, dua orang itu terdorong mundur surut.
4 Agaknya, benturan itu lebih berpengaruh terhadap Anala.
Prajanata tetap berdiri tegak. Berbeda dengan Anala. Telihat
tubuh murid Merak Mas itu agak terbungkuk, tangan kanan
memegang ulu hati. Ia seakan-akan telah menahan sesuatu.
Sesuatu yang menekan pada bagian tubuh itu. Menekan seperti
meremas. Tak berapa lama, Anala pun jatuh tidak kuasa menahan tubuh.
Tiga murid Perguruan Merak Mas bergerak cepat menghampiri
Anala. Tedja langsung memeriksa keadaan Anala. Terlihat wajah
Anala memucat atau bahkan menjadi putih dengan darah
menghiasi di sudut kiri mulut. Seperti orang tersedak, Anala
100 terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulut lalu tidak sadarkan
diri. Murid-murid itu pun memapah tubuh Anala menjauh dari
kelompok Prajanata. Di tempat yang agak menjauh itu, Anggasta
meloncat berdiri untuk maju menghadapi Prajanata. Tetapi
tindakan itu dicegah Tedja. "Adhi, jangan menambah korban".
Katanya tegas. Sesaat setelah mengendalikan dan meredam pengaruh benturan
tadi, Prajanata berteriak, "Ayo, siapa lagi yang ingin maju".
"Adhi, biarlah aku yang akan maju menghadapi orang itu. Biarkan
Anala berbaring dan jaga dia baik-baik." Setelah berkata
demikian, Tedja bangun berdiri, berjalan menghampiri Prajanata.
"Baiklah Ki Sanak, aku yang akan maju meneruskan permainan
ini". Kata Tedja singkat.
"Mundur kau, Prajanata. Biar aku akan melumat sendiri anak
perguruan Merak Mas ini". Terdengar suara dari arah belakang
Prajanata. Sekalipun terlihat kesal, Prajanata pun beranjak tanpa
membantah Ia segera meninggalkan Tedja, berjalan untuk
menyatu dengan kelompoknya. Beranjak dengan rasa kesal yang
tersimpan dalam hati. "Anak muda, aku tidak segan-segan mencabut selembar jiwamu.
Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, karena aku akan
mengujimu dengan jurus Lohita Soma (Rembulan Memerah)."
Kata orang itu sambil bergerak maju mendekati Tedja.
Tidak seperti sebelumnya, pertarungan kali ini tidak dimulai
dengan "bermain-main". Panasnya suasana saat itu, telah
membuat dua orang yang sudah saling berhadapan itu langsung
memainkan ilmu andalan masing-masing. Tidak tanggung101
tanggung, mereka memainkan ilmu pada tataran tertinggi.
Tataran tertinggi yang mereka gapai. Tedja, sebagai murid Merak
Mas tingkatan adhigana, melambari diri dengan jurus-jurus
andalan Merak Mas yang telah dikuasai secara matang.
Hanya sesaat saja keduanya telah bergerak cepat mengirimkan
serangan silih berganti. Saling serang-menghindar berlangsung
cukup lama. Sesekali terjadi benturan yang tak terhindarkan. Dari
5 benturan itu, agaknya lambaran tenaga Tedja masih berada di
bawah orang itu. Menyadari kekurangan ini, Tedja menerapkan
teknik menghindar yang bersumber pada Merak Membalik Arus
Jagat Raya dan Merak Membuka Sirkulasi Jalan Langit, sambil
sesekali melontarkan Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan
Langit. Penguasaan Tedja akan jurus-jurus Merak Mas jauh
berada di atas Anala, baik dari kecepatan, kekuatan dan
kemantapan. Demikian pertarungan itu berjalan imbang. Yang satu lebih kuat
dalam hal tenaga murni, sementara yang lain lebih lincah dalam
menghindar sekaligus mengirimkan serangan balasan.
Kini, pertempuran ini sudah akan mendekati pada puncak. Dua
tangan pimpinan kelompok itu telah berubah putih kebiruan, dan
dengan perwaba dari ilmu yang dimainkan terus mendesak Tedja.
Sejak saat itu pertarungan telah berubah. Sekalipun masih dapat
menghindari tekanan dan pengaruh dari jurus orang itu, Tedja
terlihat berada pada posisi yang kian terpojok. Hanya menunggu
waktu saja, kekalahan akan menimpa Tedja. Kedua murid
perguruan Merak Mas yang menyaksikan pertarungan itu menjadi
khawatir dan was-was. Kesempatan pun tiba, orang itu dapat membenturkan sebuah
pukulan pada Tedja yang memang sudah terpojokkan.
102 "Desss." Tubuh Tedja pun terlontar hampir setengah tumbak,
dengan menerapkan Merak Mengayun 1000 Hasta, Tedja
meredam daya lontar benturan itu agar tidak terjatuh. Memang ia
tidak terjatuh. Tapi, ia merasakan seluruh tubuh telah bergolak.
Bergolak karena aliran hawa dingin merembes masuk.
Menyaksikan lawan telah terpukul surut dan terkena efek jurus
Rembulan Memerah, orang itu bersiap-siap untuk bergegas
melanjutkan serangan. Serangan untuk menutup tuntas
pertarungan itu. Keringat dingin telah mengalir dari sekujur tubuh Tedja. Keringat
itu keluar karena membayangkan kemungkinan apa yang dapat
menimpa. Benturan yang sesaat lalu terjadi, telah
mengguncangkan bagian dalam. Tetapi hal itu hanya
berlangsung sesaat. Sebab, Tedja telah melihat orang itu tengah
siap bergerak. Bergerak untuk menyerang kembali.
Dalam keadaan saat ini, tidak mungkin bagi Tedja untuk
menerima benturan orang itu. Menerima benturan, tanpa sesuatu
pengaruh yang berbahaya. Pengaruh yang jauh lebih buruk
dibandingkan yang telah dirasakan pada benturan sebelumnya.
Di saat kritis itu, tiba-tiba terdengar suara keras. Suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga tertentu.
"Cukup hentikan". Demikian suara itu terdengar nyaring dan
bertenaga. Agaknya, orang itu kaget mendengar suara yang datang
mencegah. Ia pun urung meneruskan serangan terhadap murid
perguruan Merak Mas yang sudah berada diambang kekalahan.
6 "Siapa kau?" Katanya.
"Hah! Kau, mana Pimpinan Kami?" Seru orang itu penuh
103 kekagetan, ketika mengetahui orang yang datang mencegah
adalah Arga. Anak muda yang diketahui tengah berada dengan
pimpinannya.Rasa kaget bercampur heran telah melanda orang
itu. Yang kemudian dilakukan adalah celingukan memandang
sekeliling, mencari sesuatu atau seseorang. Tampak jelas, orang
itu tidak mempercayai apa yang tengah dilihatnya.
Agaknya, bukan hanya orang-orang dalam kelompok itu yang
tidak mempercayai apa yang terjadi. Ketiga murid Merak Mas itu
pun berlaku sama. Mana mungkin seorang anak muda yang tidak
berdaya melepaskan diri dari pimpinan kelompok yang
anggotanya sendiri mampu menyudutkan murid pilihan Perguruan
Merak Mas. "Ki Sanak, orang yang kamu cari baik-baik saja, sekalipun tidak
punya daya. Ia ada dalam penguasaanku. Ini buktinya." Kata
anak muda itu sambil melemparkan sesuatu ke arah orang itu.
Sesuatu yang menjadi simbol kelompok mereka, sebuah lencana
dari emas yang berukirkan lambang rembulan dengan sebuah
mata yang besar di tengah-tengah.
"Locana Soma (Rembulan Bermata). Bagaimana benda ini bisa
ada padamu?" Kata orang itu setelah menerima dan memeriksa
benda itu. Anggota lain dari kelompok itu bergegas mendatangi
orang menerima lencana, hendak melihat sendiri bahwa benda itu
memang Locana Soma. Mendengar kata Locana Soma disebutkan, tampak murid-murid
Perguruan Merak Mas terhenyak.
"Jadi, kalian dari perguruan Kanaka Soma (Rembulan Emas).
Mau apa kalian datang dan bertingkah di wilayah penguasaan
Perguruan Merak Mas?" Kata salah seorang murid perguruan itu
seakan-akan mewakili kekagetan murid-murid lainnya.
104 Tanpa menanggapi pertanyaan itu, orang yang menerima
lencana menatap dan mengamati diri Arga dengan tajam. Lalu,
memandang kepada seluruh kelompok itu yang agaknya
merupakan isyarat bertindak. Tanpa bertanya, lima orang itu
bersama-sama bergerak maju mendekat ke arah anak muda itu.
Arga tetap tenang, karena sudah mengetahui seberapa jauh
tataran ilmu kelompok itu, sekalipun mereka maju secara
bersama-sama. Arga memutuskan hanya akan mengusir mereka
pergi dan menolong empat murid Merak Mas, yang salah satu di
antaranya telah terkapar tak sadarkan diri. Pun jika terpaksa ia
hanya melumpuhkan sebagian dari mereka, khususnya orang
yang memimpin kelompok ini, dan mengirimkan pesan kepada
perguruan Rembulan Emas. Mencermati keadaan, terutama ketenangan sikap dari anak muda
yang telah membawa Locana Soma, kelompok itu agaknya raguragu untuk bertindak. Tidak seperti
7 sewaktu di tempat penginapan, di mana mereka begitu beringas, kini mereka
bertindak terbata-bata. Setelah beberapa saat membeku, anggota
kelompok itu bergerak mengambil posisi masing-masing
mengurung Arga. Sedari tadi memang anak muda itu telah
bersiap-siap, termasuk bertarung menghadapi pengeroyakan
yang mungkin dilakukan oleh kelompok itu. Kemungkinan itu saat
ini sedang dihadapi. Dua orang anggota kelompok itu serentak bergerak menyerang,
satu dari arah di belakang dan satu lagi dari sisi kanan. Hampir
bersamaan serangan mereka tiba di tubuh anak muda itu. Tidak
mengelak, Arga biarkan serangan itu mengena pada tubuh.
Tubuh yang sudah dilambari dengan Jubah Perang Naga.
"Buk. Buk." 105 Dua serangan itu mendarat telak di tubuh Arga. Satu menyasar
pada dada kiri dan satu lagi tepat leher belakang. Dua serangan
berbahaya. Tertuju pada bagian-bagian penting tubuh. Yang
paling berbahaya adalah serangan di dada kiri. Hawa serangan
itu langsung mengarah pada jantung. Dua serangan orang itu
mengandung hawa dingin yang sangat kuat.
Yang kemudian menyusul, adalah rasa kaget yang terlukis di
wajah dua orang yang telah mendaratkan serangan. Mereka
sangat kaget, serangan mereka tidak membawa pengaruh
apapun terhadap diri orang yang telak terpukul oleh serangan.
Apa yang telah terjadi merupakan pengaruh Jubah Perang Naga.
Ilmu pelindung tubuh yang telah dilatih secara ajeg dan benar.
Lewat Jubah Perang Naga, energi dari dua serangan yang telak
mendarat dengan seketika telah diserap sekaligus dilebur.
Diserap dan dilebur seketika.
"Durbiksa Jnana (ilmu siluman/setan)". Desis dua penyerang
anak muda itu hampir bersamaan, sambil serta merta bergerak
mundur.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Sanak, hentikan serangan kalian. Itu hanya akan sia-sia
belaka. Aku tidak berniat membuat kalian sulit, apalagi terluka."
Sambil berkata demikian, Arga telah mengarahkan pandangan
pada pimpinan kelompok itu.
"Sekali lagi Ki Sanak, pimpinan kalian ada dalam penguasaanku.
Tapi, aku jamin bahwa ia tidak akan kurang sesuatu apa pun. Aku
hanya ingin pimpinan yang bertanggungjawab atas pergerakan di
wilayah ini, datang menemui diriku. Saat itu, aku akan
menyerahkan orang yang ada dalam penguasaanku." Demikian
Arga menyampaikan suatu pesan kepada pimpinan kelompok itu.
Pesan untuk mengundang pimpinan Rembulan Emas
106 menampakkan diri. "Kapan dan di mana, kami dapat menemuimu." Kata pimpinan
kelompok itu. Ia tidak meneruskan serangan setelah menilai
8 situasi dan kedudukan. "Tentang waktu dan tempat, biar pimpinan kalian yang
menentukan. Satu dua hari ke depan, aku masih berada di
penginapan itu. Kalian dapat mengirimkan utusan untuk
menyampaikan perihal pertemuan itu. Ingat satu dua hari, lebih
dari itu aku tidak tahu di mana aku akan berada." Sementara Arga
berkata demikian, masing-masing anggota kelompok itu bergerak
mengumpul menyatu. Sejenak mereka terdiam. "Baik, kami akan menyampaikan
pesanmu kepada pimpinan kami. Kelompok besar kami pasti
akan cepat merespon pesan itu, karena kejadian ini telah
menanamkan duri di dalam tubuh kelompok kami." Sebuah
ancaman dikemukakan orang itu.
"Mari kita pergi." Orang itu memerintah yang lain.
Selepas kepergian kelompok itu, Arga menghampiri murid-murid
Merak Mas dan memberi hormat kepada mereka.
"Kakang semuanya, terima kasih, telah sudi menolong aku.
Perkenalkan namaku Arga. Mungkin Kakang sekalian pernah
mendengar nama itu, karena memang aku pernah menjadi
bagian dari Perguruan Merak Mas. Itu setidaknya tujuh delapan
tahun silam." "Maaf Adhi, aku tidak ingat nama itu. Kalau tadi Adhi sudah
memperkenalkan diri, aku akan mewakili mereka
memperkenalkan diri. Tetapi, sebelumnya aku mengucapkan
terimakasih atas pertolongan Adhi. Aku bernama Tedja Permana,
sedangkan yang terbaring tidak sadarkan diri adalah Anala. Di
107 sisi kananku ini adalah Anggasta. Seorang lagi Satwika." Kata
Tedja tidak beranjak. Ia berkata demikian sambil menopang
Anala yang masih tidak sadarkan diri.
"Tidak mengapa Kakang," jawab Arga memaklumi. "Boleh aku
memeriksa Kakang Anala". Arga pun bergerak mendekat murid
Merak Mas. Ia berjongkok berhadap-hadapan dengan tubuh yang
telah menjadi lemah itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung membuka baju dan
memeriksa dada Anala. Setelah mengamati kondisi murid yang
telah terluka itu, Arga bergerak menuju kaki. Dengan mengacu
pada petunjuk Samana Yatna (Pengerahan Tenaga untuk
Memperoleh Nafas Hidup), anak muda itu menempelkan telapak
tangan kanan pada telapak kaki kiri Anala lalu mengerahkan
tenaga penyedot, menarik hawa dingin yang mendekam pada
tubuh murid Merak Mas. Reaksi yang timbul dari tindakan Arga
adalah terbentuk kumpulan serbuk putih yang merupakan bungabunga es hasil transformasi hawa
dingin yang telah tersedot.
Sebentar kemudian dan menilai keadaan Anala sudah cukup
membaik, ia pun menghentikan teknik pengerahan tenaga itu.
"Biarkan Kakang Anala terus terbaring, dan tunggu ia siuman
dengan sendirinya". Keheranan, mungkin lebih tepatnya kekaguman, masih terus
9 membekas di wajah tiga murid Merak Mas itu. Arga tahu mereka
dihantui perasaan penasaran yang mendalam, ingin menggali
banyak mengenai dirinya. "Adhi Arga, boleh tahu dari perguruan mana Adhi berasal?"
Tanya Anggasta sepertinya meledakkan gumpalan rasa
penasaran yang sudah tidak kuat ditahan.
"Aku tidak berasal dari suatu perguruan mana pun. Hanya
108 kebetulan datang ke kota itu lewat." Singkat Arga memberikan
penjelasan. Tidak secara terbuka.
"Kalau mungkin Kakang sekalian tidak mengingat namaku,
mungkin Kakang ingat nama Karkasa Bayu, kuda kesayangan
Ketua Perguruan Merak Mas. Akulah anak yang waktu itu diminta
untuk membersihkan dan memberi makan Karkasa Ba..."
"Ah, jadi kau itu anak yang pernah kami cari-cari karena diduga
kabur melari...!" Satwika berteriak memotong perkataan Arga,
namun ucapan itu juga tidak selesai. Dihentikan oleh kakang
Tedja dengan tepukan pada sebuah lengan. Pembicaraan
terhenti sesaat. "Kakang, aku tidak kabur membawa lari kuda itu. Tetapi kuda itu
mati dipagut ular beracun sewaktu aku memberi makan. Karena
takut, aku meninggalkan kuda itu dan melarikan diri dari
Perguruan Merak Mas" Lanjut Arga menjelaskan duduk
perkaranya. "Adhi Arga, Ketua sendiri memang waktu itu murka karena
kehilangan kuda kesayangan yang merupakan pemberian Raja.
Tetapi, itu hanya beberapa saat. Setelah ditemukan jasad
Karkasa Bayu, kemarahan beliau mereda dan memerintahkan
beberapa orang murid perguruan mencari dan membawa pulang
Adhi. Oleh karena itu, apabila Adhi tidak berkeberatan setelah
urusan dengan Perguruan Rembulan Emas ini selesai, baiklah
Adhi mampir berkunjung ke perguruan." Kata Kakang Tedja
mengajukan usulan, tepatnya suatu ajakan kepada Arga.
Di tengah-tengah pembicaraan itu, tiba-tiba tangan Anala
bergerak tanda ia mulai siuman.
"Bagaimana keadaanmu Anala?" Kalimat itu spontan keluar dari
mulut Anggasta sekalipun mata Anala belum membuka. Tentu
109 saja, Anggasta tahu pertanyaan itu tidak akan terjawab.
Sebenarnya, ia sendiri tidak membutuhkan suatu jawaban.
Kalimat itu terlontar lebih sebagai ekspresi kekhawatiran akan
keadaan teman. "Agaknya, kita bisa pergi dari tempat ini. Anala mulai siuman, dan
sudah dapat kita papah pergi." Kata Kakang Tedja.
"Tetapi Kakang, Adhi Arga belum bercerita banyak mengenai
dirinya dan memenuhi ajakan berkunjung ke perguruan". Protes
Anggasta. "Ah, sudah, kita bisa membicarakan itu secara lebih leluasa dan
10 panjang lebar di tempat penginapan. Dan, aku juga ingin tahu
bagaimana Adhi Arga bisa lolos dari Pimpinan Kelompok
berlencana Locana Soma. Juga bagaimana keadaan orang itu?"
Jawab Kakang Tedja menanggapi protes itu.
Demikianlah, dengan hat-hati Anggasta dan Satwika memapah
Anala lalu beranjak pergi menuju penginapan. Lima orang itu pun
beranjak pergi berjalan secara berdampingan.
*** Saat itu hari sudah menjelang pagi. Setibanya di tempat
penginapan, tampak di sana empat orang petugas keamanan
telah hadir. Hadir setelah laporan pihak penginapan melapor.
Sementara Kakang Tedja menemui petugas-petugas itu, Arga
dan dua murid perguruan Merak Mas lain langsung menuju kamar
untuk membaringkan Anala beristirahat. Setelah itu, mereka
berkumpul di ruang tamu penginapan itu.
Tak berapa lama, Kakang Tedja pun bergabung di ruang tamu
penginapan itu. Mengesar sebuah kursi, Kang Tedja duduk tepat
110 di hadapan Arga. "Ayo, Adhi Arga, ceritakan bagaimana Adhi bisa lolos dari
Pimpinan Kelompok itu?" Anggasta bertanya penuh gairah,
demikian juga dua murid Merak Mas lainnya. Mereka sangat ingin
tahu bagaimana Arga dapat melepaskan diri pimpinan Rembulan
Emas yang menyandang lencana Locana Soma.
"Keluar dari penginapan, pimpinan kelompok yang dikenal
belakangan berasal dari Rembulan Emas membawa aku pergi ke
suatu tempat. Tempat itu merupakan sebuah bangunan, yang
biarpun sudah larut malam tampak masih ada kegiatan. Ketika
kami datang, orang-orang di sana menghentikan kegiatannya dan
bergegas menyambut orang itu." Demikian Arga memulai cerita
pada saat menjadi tawanan orang yang menyandang lencana
Locana Soma. Lencana Rembulan Bermata.
*** "Selamat datang Tuan Rasendriya." Sambut salah seorang
sambil membungkuk dan berjalan di depan orang yang disebut
Rasendriya, manakala orang itu tengah membawa seorang anak
muda menuju suatu ruangan. Ruangan itu kosong tanpa
perabotan dan tidak seberapa luas, tetapi dapat menampung 10
hingga 12 orang untuk berkumpul. Di sana telah terhampar empat
buah tikar yang dianyam dari daun pandan kering. Orang yang
disebut Rasendriya itu pun mendudukkan Arga di tikar itu dan
beranjak pergi keluar, entah untuk apa, lalu duduk menempati
suatu posisi berhadap-hadapan dengan Arga dengan jarak kirakira 5 hasta. Terlihat ia
mengeluarkan kantung penyimpanan
111 uang milik anak muda yang berada di hadapannya.
"Anak muda, sekali lagi aku bertanya siapa kau sebenarnya?" Ia
bertanya sambil menimang-nimang kantung penyimpanan uang.
11 Kantong itu sejak dari penginapan telah diserahkan oleh anggota
kelompoknya. Karena tidak mendapat jawaban dari anak muda
yang ditanya, wajah orang itu mengeras. Wajah itu menunjukkan
bahwa ia tidak senang atau bahkan murka.
"Ayo, lekas jawab. Habis sudah kesabaranku". Ia membentak
sambil menggebrak lantai beralas tikar dengan tangan kanan,
dan tetap meletakkan organ itu menekan lantai. Dari arah tangan
itu mengalir serangkaian hawa dingin ke arah anak muda itu.
Hawa dingin menghantam bak gelombang yang tidak terputus,
dengan kekuatan yang semakin meningkat.
"Hai, siapa kau sebenarnya" Pintar sekali kau menyembunyikan
diri." Cetusnya dengan suara penuh selidik namun
menggelorakan suatu kegairahan. Melihat upaya itu tidak
menunjukkan hasil yang diinginkan, ia pun dengan tangan kiri
melakukan hal sama. Yang luar biasa, kalau sebelumnya hawa
dingin telah mengalir dan masih terus berlangsung tanpa
berkurang kekuatannya, kini arus panas yang datang menyerang.
Sesungguhnya, ini adalah kali pertama Arga menerima sebuah
serangan. Dan, serangan itu tidak main-main datang
bergelombang tidak terputus dalam dua bentuk lambaran energi
yang berbeda. Untuk berjaga-jaga melindungi diri, secara
bersamaan Arga pun mengerahkan dua teknik perlindungan:
Naga Kawaca (Jubah Perang Naga) dan Warastika Sambega
(Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang). Ini didasarkan pada
kekhawatiran, jangan-jangan Jubah Perang Naga, yang
bersumber pada anasir tanah dengan sifat menyerap, tidak akan
112 kuat atau jebol menahan serangan orang itu, yang sesaat
sebelum mengajak pergi meninggalkan rumah penginapan
terdeteksi menghimpun hawa panas dan dingin.
Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang merupakan teknik
penjinakan terhadap suatu tenaga yang datang menyerang.
Teknik yang dipelajari Arga sebagai bagian dari Samana Yatna
(Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh Nafas Hidup)
Putaran waktu seakan-akan terhenti oleh suasana yang
menegang. Tak selang beberapa lama, dua tangan orang itu
telah berubah, yang kanan tampak kian memutih, sementara
yang kiri telah membiru agak berkilat. Rupanya selain elemen air,
ia telah mengerahkan elemen swasana untuk menyerang.
Serangan hawa dingin terserap tuntas oleh Jubah Perang Naga,
sementara hawa panas dari serangan elemen swasana dapat
ditolak-alihkan oleh Sambega Warastika. Efek pengalihan hawa
panas itu telah mengakibatkan berberapa benda di sekitar
menjadi hangus, khususnya tikar di mana Arga duduk bersila.
"Baik lah, permainan ini kita hentikan." Ia pun menarik tangan dari
lantai dan telah bangkit berdiri.
*** "Aku semakin tertarik dengan dirimu. Anak muda, boleh kutahu
siapa namamu dan dari trah aliran mana kau menyadap ilmu."
12 Kata orang itu sambil berdiri memandang anak muda yang masih
duduk bersila di hadapannya.
"Dan kau sudah dengar dari orang tadi bahwa namaku adalah
Rasendriya." Ia menyebut nama dirinya dengan suara ditekan
untuk menunjukkan keramahan sekalipun terasa amat janggal.
113 "Ki Rasendriya, begitu berhargakah namaku. Kalau memang
demikian adanya, Ki Sanak boleh memanggil Arga." Jawab anak
muda itu penuh ketenangan.
"Arga.... Baik akan kuingat nama itu. Kau begitu percaya diri,
hanya karena mampu menahan serangan tadi. Kuingatkan, aku
masih menyimpang ilmu-ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada
yang tadi kau terima. Sayang, bila anak muda berbakat seperti
dirimu harus menjadi korban dari salah satu ilmu-ilmu itu. Baik
bagimu mengatakan jati diri yang sebenarnya, dan apabila aku
berkenan, dapat membawamu untuk masuk bergabung dengan
kelompok di bawah pimpinanku." Ajakan itu diiringi dengan katakata yang menyimpan ancaman.
"Maaf Ki Rasendriya, aku tidak akan mengatakan apapun
mengenai dari mana aku berasal. Tentang ajakan bergabung
dengan kelompok Ki Sanak, sejauh ini aku tidak berniat untuk
bergabung dengan kelompok manapun." Jawab anak muda itu
menolak apa yang diinginkan oleh orang yang bernama
Rasendriya, sekalipun orang itu telah mengeluarkan ancaman.
"Hmm.. Agaknya kita harus melanjutkan permainan tadi. Dan,
permaian lanjutan ini akan lebih serius, jauh lebih serius dari yang
tadi sudah berlangsung". Kata orang itu memberikan suatu
peringatan. Sesaat kemudian anak muda itu berdiri. Di ruangan itu kini dua
orang terlihat berdiri. Berdiri saling berhadapan dengan jarak
seperti semula, kira-kira setengah tumbak. Untuk beberapa saat,
keduanya sama-sama terdiam, tetap pada posisi masing-masing
dan berkonsentrasi menghimpun penilaian atas keadaan yang
dihadapi. Tidak berapa lama, orang itu bergerak santai menyerang. Namun,
114 begitu mendekati sasaran, serangan itu menjadi sangat cepat.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hebatnya lagi, serangan itu mengarah pada enam sasaran
berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Dada kiri dan
kanan serta uluhati menjadi sasaran serangan yang dilakukan
melalui tangan kiri, sementara mata, kening dan pelipis jadi
sasaran tangan kanan. Akan tetapi, serangan itu dapat dihindari Arga dengan teknik
Apsara Naga (Naga Meluncur). Lewat gerakan seperti orang yang
secara tiba-tiba terpeleset dan jatuh dalam posisi berjongkok
pada kemiringan tertentu, serangan itu dapat diluputkan. Hanya
saja hawa serangan itu tetap terasa menyengat: panas dan
dingin. Teknik Naga Meluncur menyimpan gerakan-gerakan yang aneh
13 tidak terduga untuk menghindari serangan. Gerakan itu bisa
berupa gerakan seperti orang yang tiba-tiba terpeleset dan jatuh
terjongkok, berputar secara berulir entah merendah atau
melambung, atau dengan kemiringan tertentu memutar-mutar
tubuh ke kiri atau kekanan secara elastis dan cepat pada suatu
sumbu tumpuan tetap, merayap cepat secara meliuk-liuk ke kiri
atau ke kanan seperti ular, melenting tinggi seperti ulat nangka
atau udang, dan lain-lain.
Saat serangan pertama gagal, Rasendriya tidak berhenti
melainkan menyambung serangan itu dengan mengirimkan
sebuah tendangan ke arah perut. Dengan merayap cepat meliukliuk seperti ular, serangan itu hanya
mengenai ruang kosong. Demikian Apsara Naga dapat meredam serangan-serangan
Rasendriya yang mengarah kepada sejumlah titik sasaran baik itu
ke bagian-bagian tubuh yang vital atau bagian-bagian lain seperti
persendian siku, dengkul atau pergelangan tangan.
115 Sudah hampir limapuluh serangan dilancarkan Rasendriya
melalui ratusan gerakan yang sangat sistematis. Tapi semua itu
lewat berlalu tanpa hasil. Ia pun meloncat surut mengambil jarak,
dan tampak pada diri suatu perubahan. Tangan kiri telah berubah
membiru berkilap, sementara tangan kanan memutih. Sebuah
pemandangan amat kontras, sebagai hasil reaksi dari ilmu yang
telah dilatih selama bertahun-tahun. Dilatih dan disadap dari
Perguruan Rembulan Emas. *** Di luar ruangan terdeteksi ada 4 orang yang tetap berdiri di balik
pintu, tanpa berani membuka pintu itu, apalagi masuk.
"Ayo, anak muda, kita bukan sedang memainkan permainan
kanak-kanak. Jangan hanya menghindar."
"Sejauh ini, kau memang cukup hebat anak muda. Jarang orang
mampu menghindari Usnika Soma (Rembulan Bersinar Panas)
dan Tusara Soma (Rembulan Salju) yang tadi sudah aku
mainkan. Kini, berhati-hatilah aku akan melumatmu dengan
Lokatara Lohita Soma (Rembulan Memerah Luar Biasa) dan
Labdajaya Soma (Rembulan Mencapai Kemenangan)," Sambung
orang itu dengan berkata keras seolah-olah memberi peringatan,
padahal ia ingin mengumbar ancaman dan memamerkan diri
lewat jurus yang telah dikuasai.
Parusa Jagattraya Naga (Naga Semesta Tajam dan Menusuk)
dan Usnika Jagattraya Naga (Naga Semesta Membara), dua
jurus warisan Naga Branjangan, yang telah dirampungkan Arga
memang belum menampakkan wujud untuk membentur jurusjurus orang itu. Sengaja kedua jurus
itu tertahan, tidak dimainkan.
116 Maklum, kedua jurus itu belum pernah dipraktekkan oleh Arga
dalam situasi pertempuran yang nyata. Selama ini, kedua jurus itu
hanya dijalan dan dimainkan dalam latihan dengan lawan-lawan
14 semu, yang dimunculkan melalui imajinasi pikiran anak muda itu.
Dua jurus itu tidak pernah dihadapkan pada lawan yang
sebenarnya. Memainkan dua jurus itu untuk pertama kali pada suatu
pertarungan nyata, serta merta berjalan canggung dan kikuk. Apa
yang dihadapi anak muda itu adalah laga nyata dengan situasi
khusus yang tidak terduga. Sebab, lawan di depan sana bukan
lawan yang bergerak dalam pikiran melainkan lawan yang
bergerak dengan kehendak mandiri. Kehendak bebas penuh
anomali dan tidak terduga.
Gerakan-gerakan dan langkah-langkah untuk menghindar, yang
telah dilakukan secara terus menerus oleh Arga, merupakan cara
anak muda itu mengatasi kekikukan dan kecanggungan. Dengan
terus mengelak, Arga telah memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengamati bentuk dan isi kekuatan jurus lawan. Melalui
pengamatan pada saat menghindar tadi, serangan lawan telah
dapat dikenali oleh anak muda itu. Dikenali baik bentuk dan
perubahan, unsur-unsur dan sifat-sifat, dan yang terpenting
jangkauan dan tingkat daya rusak dari serangan itu.
Dengan pengenalan itu, anak muda itu memutuskan untuk
meladeni lawan. Meladeni dengan dua jurus warisan Naga
Branjangan. Sekalipun jurus itu baru pertama dimainkan untuk
menghadapi lawan nyata, Arga telah memperoleh pandangan
terhadap penyesuaian yang akan dilakukan lewat kedua jurus itu.
Penyesuaian yang dinilai akan menjadikan gerakan-gerakan yang
dimainkan menjadi lebih efektif dan efisien dalam meladeni
117 lawan. "Seperti yang Ki Sanak inginkan aku tidak akan lagi bertindak
untuk menghindar. Aku akan memapak ilmu-ilmu yang Ki Sanak
usung." Kata Arga pelan dan jelas, serta langsung mengambil
sikap menurut tata gerak Naga Semesta Tajam dan Menusuk.
Tarikan nafas yang teratur tampak telah dilakukan oleh
Rasendriya. Agaknya, orang itu sedang melakukan
penghimpunan energi yang jauh melampaui yang telah
diperlihatkan sebelumnya. Kalau semula tangan kiri tampak biru
berkilap, dengan apa yang tengah dilakukan, tangan itu justru
terlihat biru memutih dan sementara tangan kanan putih membiru.
Suatu pengerahan penggabungan tenaga yang telah matang.
Mendahului bergerak, sebuah serangan pembuka dari Naga
Semesta Tajam dan Menusuk telah dikirimkan oleh Arga. Yang
menjadi sasaran adalah titik-titik peka yang tepat berada pada
sendi. Persendian yang menyambungkan lengan dengan badan.
Titik ini tidak mematikan, hanya melumpuhkan. Sentuhan pada
titik ini akan membuat tangan lumpuh tidak bisa bergerak.
Sentuhan itu akan memutus aliran tenaga murni ke tangan.
Melihat serangan itu datang, Rasendriya mengelak dengan
bergerak mengeser cepat ke samping kanan.
Menyadari serangan hanya mengena pada ruang hampa, Arga
15 melakukan serangan susulan. Serangan itu dilakukan dengan
berjongkok dan bergerak meliuk-liuk sempurna dan sebuah
cakaran tangan telah dilancarkan mengancam paha kiri orang itu.
Lagi, serangan ini dihindari oleh Rasendriya dengan loncatan
melambung dan segera sesudahnya bersiap-siap untuk
mengirimkan serangan balasan. Namun serangan balasan itu,
tidak dapat dilakukan. Karena, rangkaian serangan Naga
118 Semesta Tajam dan Menusuk, datang mendesak susul menyusul
dan tidak memberi ruang atau kesempatan kepada Rasendriya
untuk membalas. Selain cepat dan penuh perubahan, serangan
Naga Semesta Tajam dan Menusuk itu bersifat rapat yang tidak
membiarkan celah. Tak ayal, ini semua menjadikan Rasendriya
hanya dapat menghindar dan terus menghindar.
Seiring dengan kian terpojoknya Rasendriya, ruangan di mana
pertarungan itu berlangsung telah menjadi dingin membeku.
Tubuh Rasendriya sendiri berubah sedikit demi sedikit berbinar
biru keputihan. "Hebat. Jurus yang Hebat. Permainan ini menjadi sangat...
sangat menggairahkan". Katanya sambil melenting tinggi dan
mendarat pada jarak satu tumbak. Arga pun telah menghentikan
gerakan Naga Semesta Tajam dan Menusuk, tidak mengejar
untuk memburu dan menyerang lawan.
"Luar biasa. Rangkaian serangan yang luar biasa. Cepat, rapat
dan penuh perubahan. Sampai-sampai, tidak menyisakan ruang
bagiku untuk memainkan Lokatara Lohita Soma (Rembulan
Memerah Luar Biasa) dan Labdajaya Soma (Rembulan Mencapai
Kemenangan). Hawa dari serangan pun tajam kuat menusuk.
Kau boleh bangga anak muda, hawa itu menerobos masuk
menembus, sekalipun belum mampu mengoyakkan ilmu
pelindung Tibra Soma (Rembulan Kuat dan Keras) yang telah
kuterapkan. Tanpa itu, mungkin hawa seranganmu telah
mencacah tubuhku seperti baju yang aku kenakan ini." Sekalipun
memuji, ia tetap menggumandangkan ketangguhan ilmunya yang
tidak terpengaruh oleh serangan-serangan itu.
"Anak muda, mari lanjutkan permainan ini sampai pada puncak
sandaran kita masing-masing. Siapapun yang tinggal berdiri
119 tegak di ruangan ini dialah pemenang."
Setelah berkata demikian, Rasendriya merentangkan kedua
tangan lebar-lebar dengan mata memandang tajam ke arah
lawan. Sesaat kemudian, tubuh yang sepenuhnya berbinar biru
keputihan melayang naik sejengkal dari tanah. Suatu teknik
Mahitala Nasti (Tidak Terpengaruh Oleh Permukaan bumi).
Melihat hal itu, Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega pun
sudah berada pada tataran yang mapan. Bersamaan dengan itu,
Naga Semesta Tajam dan Menusuk pun sudah disandingkan
dengan Naga Semesta Membara. Tidak terbendung lagi, apa
16 yang sedang berlangsung akan segera tiba pada puncak.
Bergerak secepat kilat dari posisi melayang, dengan memainkan
secara sekaligus Lokatara Lohita Soma dan Labdajaya Soma,
Rasendriya meloncat tinggi hingga setengah tumbak lalu menukik
menyerang. Saat meloncat dan bergerak mengapai sasaran,
aneka teknik gerakan secepat kilat dipertunjukkan mulai dari
memukul, menendang, mencakar dan membabat. Dengan
gerakan-gerakan itu sulit untuk menduga, bentuk teknik apa yang
akan tiba kepada sasaran. Perpaduan jurus yang amat cepat dan
kaya akan perubahan. Gerakan dalam gerakan, begitulah apa
yang tengah dimainkan oleh Rasendriya. Begitu cepat seranganserangan itu telah dilancarkan,
sangat sulit untuk dielakkan.
"Tidak ada cara lain untuk meredam jurus-jurusnya, kecuali
bertindak untuk membentur." Demikian penilaian Arga atas apa
yang tengah berlangsung. "CESSS. CESSS. CESSS."
Tiga kali rentetan suara keras, bunyinya seperti besi panas
membara dimasukkan ke dalam air. Itulah suara yang timbul
akibat benturan itu. Benturan yang telah melontarkan dua pihak
120 secara bertolak arah dan menciptakan jarak kurang lebih satu
setengah tumbak. Jarak yang lebih melebar dari posisi keduanya
pada saat sebelum terjadi benturan.
Tiga bunyi yang terdengar, merupakan efek dari tiga benturan
yang berasal dari tiga bentuk teknik serangan yang mengena
pada sasaran: satu pukulan, satu tendangan dan satu babatan.
Tetapi serangan-serangan itu tidak mengena pada sesuatu yang
tidak beralas, tetapi justru terpapak pada sesuatu yang sudah
dipersiapkan. Pukulan itu tertahan dengan pukulan, begitu juga
babatan dengan babatan. Sementara, tendangan terpapas oleh
lutut yang tertekuk. Jadi, kepalan bertemu kepalan, ruas tangan
dengan ruas tangan, dan tumit dengan lutut.
Sungguh, benturan itu berpengaruh pada Jubah Perang Naga
dan Sambega Warastika. Tapi, hanya membuat bagian-bagian di
mana terjadinya benturan tadi mati rasa karena terserang hawa
dingin. Tidak mengoyak jauh. Agaknya, efek benturan itu juga
dirasakan oleh Rasendriya. Hanya ia terkena pengaruh hawa
serangan dari energi yang berbeda sifat. Tidak dingin, melainkan
panas membara. Sekejap menetralkan dan meredam pengaruh lewat teknik
Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh Nafas Hidup, anak muda
itu telah menjadi pulih. Pulih sepenuhnya, seperti sedia kala.
Menyusul itu, ia pun menyiapkan sebuah serangan dengan teknik
Naga Semesta Membara. Serangan itu pun telah dilesatkan cepat
ke sasaran. Seperti serangan yang telah dilakukan Rasendriya
beberapa saat lalu, serangan itu tidak dapat dielakkan, hanya
bisa dipapas. "Ahhh..." Terdengar suara Rasendriya pada saat membentur dan
menangkis serangan itu. Tubuh orang itu melesat dengan posisi
17 121 melengkung di udara seperti membentuk tapal kuda dengan dua
tangan tersilang di depan dada, terus meluncur dan baru terhenti
karena tertahan dinding ruangan di belakang.
BRAAAK. Benturan tubuh dan dinding itu menimbulkan suara keras. Sangat
keras memekakkan telinga.
"Cukup, anak muda. Aku menyerah. Silahkan perbuat apa pun
yang kau kehendaki, sebagaimana aku selalu perbuat pada
setiap lawanku". Orang itu menyerah dengan posisi tubuh
melengkung terbaring memiring.
Masih berdiri diam sesaat untuk meredakan dan
"mengkandangkan" secara berangsur-angsur sisa energi yang
telah terhentakkan keluar, Arga membuat pertimbangan. "Ia
sudah menyerah, tidak perlu melakukan tindakan lain yang
melampaui batas. Tetapi, orang ini berguna untuk menelisik jejakjejak kekuatan yang
memungkinkannya bergerak sejauh ini. Ia
adalah bayang-bayang dari kekuatan itu, yang dapat mengantar
pada sumbernya." Anak muda itu membuat rencana atas orang
yang baru saja ia kalahkan.
Tidak lama kemudian, Arga mendekat dan memeriksa kondisi
orang itu. Lalu menekan beberapa titik penting di tubuhnya. Hal
itu dibuat, selain untuk meredakan dan meringankan pengaruh
benturan pada orang itu, sekaligus untuk menyegel aliran energi.
Menguasai orang itu sepenuhnya. Setelah itu, Arga membiarkan
ia terbaring tidur terlentang. Agaknya, di bangunan itu hanya
tinggal mereka berdua. Orang-orang yang sebelumnya sibuk
bekerja, sudah melengser pergi.
Setelah membiarkan beristirahat untuk sesaat, Arga
menggeledah dengan seksama tubuh Rasendriya. Sebuah
122 lencana tersimpan di sana, lalu ia mengambil benda itu dan
memasukkan ke kantung di balik baju. Selanjutnya, ia pun
mengangkat dan menggendong lawan kemudian membawa
pergi. Ia bergerak cepat kembali ke penginapan lalu menyelinap
masuk diam-diam untuk "menyimpan" Rasendriya di bawah
pembaringan di dalam biliknya. Menyimpan orang itu dengan
kondisi sadar namun seluruh titik syaraf gerak terkunci, termasuk
titik syaraf bersuara. Memastikan segalanya berjalan baik, Arga
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun pergi menyusul ke tempat pertarungan di tepi sungai.
*** Begitulah Arga mengungkapkan kejadian yang telah dialami.
Yakni, bagaimana ia telah melepaskan diri sebagai tawanan dari
penyandang lencana Locana Soma, dan mengapa bisa muncul
ke tempat pertarungan di tepi sungai. Melepaskan diri sebagai
tawanan untuk kemudian ia menawan orang yang terlebih dahulu
menawan. Yang ditawan menjadi penawan. Penawan tertawan.
Suatu yang Ironis. 18 Tiga murid Perguruan Merak Mas itu terkesiap mendengar apa
yang telah dituturkan oleh Arga. Lebih mudah untuk tidak
mempercayai cerita itu. Tetapi, apa yang diceritakan anak muda
itu bukan suatu karangan, melainkan sesuatu yang telah mereka
saksikan sebagai suatu kebenaran. Kebenaran itu mereka lihat
dengan mata kepala sendiri. Bahkan, mereka telah menjadi
bagian dari kebenaran itu sendiri. Menyangsikan kebenaran itu,
sama halnya dengan menyangsikan keberadaan mereka. Oleh
karena itu, yang muncul kemudian sebagai tanggapan dari cerita
123 anak muda itu bukanlah ketidakpercayaan karena suatu
kesangsian, melainkan ketidakpercayaan karena suatu
kekaguman dan ketakjuban.
"Wayaaaah, jadi orang itu Adhi sembunyikan di penginapan ini".
Seru Anggasta meminta kepastian lebih lanjut mengenai
keberadaan penyandang lencana Locana Soma yang telah
dibekuk dan ditawan oleh Arga.
"Iya. Tapi itu hanya sementara sampai ada tempat lain yang lebih
baik. Kerena keberadaanya di sini tentu akan berpengaruh pada
penginapan ini." Kata anak muda memberikan pembenarannya
sekaligus menyatakan risiko yang dapat berkembang lebar
menyasar pada yang tidak diinginkan.
"Apakah Kakang mengenal tempat lain di kota ini yang dapat
itu membuka suatu percakapan untuk menangani tawanan.
Empat orang muda membicarakan masalah itu secara mendalam
dan mencari jalan keluar yang paling tepat. Keputusan yang
mereka ambil adalah menyewa tempat lain dengan tingkat risiko
minimal. Untuk itu, Tedja memerintahkan Satwika untuk
secepatnya mencari dan secara diam-diam menyewa suatu
tempat sesuai syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Pembicaraan lain adalah siasat menghadapi Perguruan
Rembulan Emas, induk kekuatan dari kelompok yang dipimpin
oleh orang berlencana Locana Soma. Agaknya, tiada siasat lain
terkait hal itu kecuali menunggu. Menunggu utusan Rembulan
Emas datang menyampaikan penetapan waktu dan tempat
pertemuan untuk "menjemput" penyandang lencana Soma
Locana. Memang, hanya menunggu. Karena, tidak ada seorang pun di
124 antara empat anak muda itu yang memiliki pengertian dan
penilaian yang terang mengenai perguruan itu. Mungkin, tokohtokoh seperti Paman Wira dan
Gilingwesi, yang diperkuat oleh
jajaran tilik sandi luas, yang memiliki penilaian tentang Rembulan
Emas. Tidak banyak waktu tersedia untuk menggali informasi
menjangkau Rembulan Emas.
"Maaf tuan-tuan, sarapan sudah tersedia. Silahkan mengambil
sendiri-sendiri atau ingin dikirimkan ke kamar masing-masing."
Seorang petugas penginapan menawarkan pelayanannya kepada
19 empat anak muda itu. Tawaran itu memotong dan menghentikan pembicaraan di antara
anak-anak muda itu. Dan tanpa menunggu lama, empat anak
muda itu pergi ke tempat sarapan telah disediakan. Cepat mereka
menghabiskan sarapan. Kang Tedja tidak lupa untuk meminta
salah seorang petugas penginapan untuk membawakan sarapan
ke bilik Anala. Tidak beberapa lama kemudian, empat anak muda
itu pun memutuskan membubarkan diri dan mengurus keperluaan
masing-masing. Sebelum berpisah, Arga mengatakan menjelang
makan siang akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan
Anala. *** Hari pun berlalu cepat, tanpa ada hal yang istimewa terjadi. Yang
agak mengemuka adalah kunjungan Arga ke kamar Anala.
Satwika masih bertugas mencari tempat "penitipan". Siang itu,
dengan ditemani oleh Kang Tedja dan Anggasta, Arga memeriksa
luka dalam Anala yang masih tertinggal. Ia memijat-mijat bagian
tubuh tertentu di seputar dada, belakang leher dan dua bahu
125 Anala lalu menyalurkan tenaga melalui titik-titik syaraf penting di
situ. Lewat tindakan itu, Arga menjalankan upaya pemulihan dengan
merangsang-pulihkan fungsi organ-organ yang terganggu akibat
serangan yang telah diterima oleh murid Merak Mas yang saat ini
masih terbaring. "Agaknya kakang Anala membutuhkan waktu 1,5 hingga 2
purnama untuk pulih. Boleh berlatih, tetapi harus membatasi diri.
Baik, apabila ia diberikan ramuan yang aku catat di atas daun
lontar itu. Ramuan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh."
Kata Arga kepada Kang Tedja dan Anggasta, sesaat setelah
menilai kondisi Anala pada siang itu. Kedua murid Perguruan
Merak Mas itu mendengarkan semua penjelasan-penjelasan yang
dikatakan Arga. Sore menjelang malam, kembali anak muda itu berkumpul di bilik
Kang Tedja. Mereka berkumpul lengkap empat orang. Satwika
menyampaikan usahanya yang belum juga berhasil menemukan
tempat "penitipan" yang cocok. Dan, ia akan berusaha lagi
mencari pada esok hari. Jadi, tidak ada perkembangan berarti.
Tidak banyak pembicaraan yang dapat dikatakan di bilik itu.
Mereka pun memutuskan untuk makan malam dan memindahkan
pembicaraan di ruang makan.
Pada saat melintasi ruang tunggu untuk menuju ruang makan,
Arga melihat ada seorang duduk di ruang tunggu tamu dengan
penampilan yang tidak mencolok. Ia sempat memperhatikan
kehadiran orang itu namun mengabaikan arti pentingnya.
Menurutnya, orang itu hanya sedang menunggu, sebagaimana
tingkah yang diperlihatkan saat itu: duduk sambil menepuk-nepuk
paha, seperti layaknya orang yang tidak sabar menunggu.
126 20 Setelah menyelesaikan makan malam, anak muda itu berpisah
menuju pembaringan masing-masing. Atas permintaan Kang
Tedja, Satwika tidak lupa membawa makanan dan minuman
hangat untuk Anala. Sementara, Arga melakukan hal yang sama
untuk penyandang lencana Locana Soma.
Di dalam biliknya, Arga langsung tenggelam dalam teknik
meditasi Lima Elemen Semesta. Tidak sampai menyusup ke
dasar teknik itu, ia mendengar pintu biliknya diketuk. Ia pun
memberi izin masuk, lalu muncullah seorang petugas
penginapan. "Tuan, di depan ada orang menunggu ingin bertemu." Ia
menyampaikan pesan itu cepat, dan setelah itu mengundurkan
diri meninggalkan kamar. "Yang kutunggu telah datang." Pikir Arga.
Tanpa menunggu lama, anak muda itu pun bergegas keluar
menuju tempat yang diberitahukan petugas itu. Tidak sulit
menemukan orang yang dimaksud, karena di sana hanya ada
seseorang. Yakni, orang telah duduk di situ seolah-olah
menunggu. Orang itu sebenarnya tidak menunggu, tetapi
mencari. Dengan kemunculan Arga di hadapannya, apa yang
dicari sudah ditemukan. Arga pun duduk menempati kursi di samping orang itu. Orang itu
tidak langsung berbicara, tetapi memberi senyuman. Suatu
senyum yang ingin memberi sapaan kepada orang yang belum
dikenal. "Terima kasih, Andika mau menemui aku." Kata orang itu sambil
beringsut mendekat dan menempatkan diri berhadap muka
dengan muka terhadap Arga.
"Aku hanya ingin menyampaikan suatu pesan. Pesan
127 sebagaimana Andika pernah sampaikan pada malam itu kepada
murid-murid penyandang Locana Soma". Katanya.
"Arjuna Aswattha (Hutan Beringin Putih) di Praja Kanta (Batas
Kota) sebelah utara, tidak jauh dari tepi sungai kejadian malam
itu, besok menjelang matahari tepat di ubun-ubun". Kata orang itu
sembari terus melakukan pengamatan.
"Bawa serta anggota kami yang dalam penguasaan Andika.
Seperti yang Andika janjikan, jangan ada jejak-jejak penderitaan
pada orang itu. Itu akan berakibat buruk yang dapat meluas."
Lanjut orang itu mengingatkan dan memperingatkan.
"Apa yang dipesankan, telah aku sampaikan. Aku mohon pamit
dan sampai bertemu kembali." Ia pun bangkit berdiri dan memberi
hormat yang juga dibalas dengan sikap hormat yang sama.
Sepeninggalan orang itu, Arga masih duduk di ruang tunggu itu.
Sungguh hebat orang itu, dapat melakukan penyamaran dengan
sempurna. Kalau sebelumnya tampil seperti orang asing yang
canggung dan kikuk, kini berubah seratus delapan puluh derajat:
penuh percaya diri dan mampu mengendalikan situasi seutuhnya.
21 Kelompok macam apa Kanaka Soma itu! Di dalamnya berhimpun
orang-orang yang luar biasa. Sekedar penyandang Locana Soma
saja sepak terjangnya sudah mengetarkan. Bagaimana dengan
pimpinannya" Pesan itu pun sampai ke Kang Tedja. Empat anak muda itu
Suka Suka Cinta 2 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Menuntut Balas 16
diberkati dengan perdamaian dan kemakmuran. Kemakmuran itu
dinikmati oleh semua rakyat. Rakyat Bhumi Mataram.
Setelah dua puluh dua tahun berdiri tegak sebagai Adwaya
Lokeswara atas Bhumi Mataram, Sang Ratu Sanjaya melepaskan
singgasana kepada putranya, Sr? Maharaja Raka i Panangkaran.
Sayangnya, Putera dari Sang Wam?akarta itu tidak mampu
menampilkan kebesaran ayahnya. Ia telah luruh di hadapan
kebesaran pengaruh Wangsa Syailendara, yang berpusat di
Yawadw?pa tengah bagian selatan. Luruh dan terpukul pada
peristiwa pertempuran yang terjadi di Kalasan seratus tahun
silam. Di desa Kalasan, Sr? Maharaja Raka i Panangkaran dari Wangsa
Sanjaya telah berhadapan dengan penguasa Wangsa Syailendra
bernama Wisnu, lengkapnya Wisnuwarman. Hampir seabad lalu,
di desa bernama Kalasan, Raka i Panangkaran dan ribuan
prajurit berhadapan dengan ribuan prajurit di bawah pimpinan
seorang dari keluarga Syailendra. Di dalam pertempuran itu,
berbagai wyuha (bentuk-bentuk barisan dan gerak prajurit yang
digunakan strategi perang) digelar oleh kedua pihak yang terlibat
pertempuran. Di antara berbagai wyuha, beberapa wyuha favorit
telah digelar dalam perang di desa Kalasan itu, yakni: garuda
wyuha (barisan perang garuda), makara wyuha (barisan perang
udang), cakra wyuha (barisan perang cakra), padma wyuha
(barisan perang bunga), ardhacandra wyuha (barisan perang
11 65 bulan sabit), dan kanana wyuha (barisan perang hutan).
Sebagai penganut Buddha, penguasa Syailendra kala itu sangat
menyukai gelar cakra wyuha dan padma wyuha. Dengan kedua
wyuha itu, Wisnu telah mendesak, memukul mundur dan
mengalahkan Raka i Panangkaran yang sangat menguasai dan
menyukai gelar makara wyuha dan garuda wyuha. Pertempuran
itu berujung pada kekalahan Raka i Panangkaran, dan kekalahan
itu terus terekam dalam sebuah prasasti Kalasan meskipun
peristiwa itu telah satu abab berlalu. Atas pengakuan kekalahan,
pada prasasti itu disebutkan Raka i Panangkaran diperintahkan
oleh Wisnu untuk mendirikan sebuah candi di desa Kalasan. Di
desa tempat ia dikalahkan oleh seorang putra dari Wangsa
Syailendra. Sejak saat itu, telah berdiri sebuah wangsa penguasa
yang lain di tanah Yawadw?pa. Maharaja Wisnu dari Wangsa
Syailendra. Kendatipun telah keluar sebagai pemenang, Maharaja Wisnu
tidak menghentikan pemerintahan Sanjayawam?a di bawah Sr?
Maharaja Raka i Panangkaran. Pemerintahan Wangsa Sanjaya di
Bhumi Mataram terus berlangsung terus, berjalan di samping
pemerintahan ?ailendrawam?a.
Demikian, dua penguasan dengan latar belakang yang berbeda
tampil di Bhumi Mataram. Keluarga Sanjaya yang beragama
Hindu Siwa berkuasa dengan pusat di Yawadw?pa tengah bagian
utara, dan keluarga Syailendra yang memeluk Buddha Mahayana
berkuasa di Yawadw?pa tengah bagian selatan.
Dua matahari telah tampil di tanah Yawadw?pa yang kaya akan
beras dan emas. *** 66 Catatan pada prasasti Kalasan satu abad silam, tidak
menyatakan titik akhir persaingan antara dua wangsa di Bhumi
Mataram. Dua wangsa yang kemudian ingin mengejar Adwaya
Lokeswara, sebagaimana pernah ditampilkan oleh Raka i
Mataram Sang Ratu Sanjaya di masa kelahiran Bhumi Mataram.
Selepas pemerintahan Wisnu, tampil Dharanindra sebagai
penguasa dari Wangsa Syailendra. Pada masa pemerintahan
Dharanindra, Bhumi Mataram mengalami kejayaan. Tidak hanya
sebagai negeri pertanian tetapi juga maritim. Dharanindra
menduduki tahta berdamping dengan dua penguasa dari Wangsa
Sanjaya secara berturut-turut. Yakni, Sri Maharaja Raka i
Panunggalan dan disusul kemudian oleh Sri Maharaja Raka i
Warak. Empat dasawarsa Dharanindra duduk di atas tahta, kemudian
diganti oleh putranya, Samaratungga. Di masa kekuasaan putra
Dharanindra inilah sebuah mahakarya yang ajaib diselesaikan
pembangunannya. Mahakarya itu dibangun di atas sebuah bukit
di desa Borobudur. Ia berupa bangunan berukuran rakasasa
12 dengan arsitektur menyerupai bunga teratai. Karya itu merupakan
wujud pencapaian peradaban nan mencenggangkan, yang
pernah dicapai manusia. Bangunan itu berupa candi, yang di
dalamnya terungkap gambaran tatanan alam semesta.
Bangunan itu berdiri sebagai satu kesatuan. Dengan susunan
terdiri dari teras-teras yang bermacam-macam. Masing-masing
mewakili kehadiran tingkatan alam semesta. Menurut paham
sebagaimana tergambar pada candi itu, alam semesta terbagi
atas tiga bagian: kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.
Kamadhatu adalah hawa nafsu dan ini digambarkan dengan jelas
pada bagian bawah. Di sini hidup orang yang masih terikat oleh
67 hawa nafsu dan segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu
adalah dunia rupa, atau alam yang terbentuk, yang digambarkan
pada lima teras. Gambaran kehidupan Sang Buddha Gautama.
Arupadhatu adalah alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pusat
dari alam ini adalah stupa di puncak. Kosong. Yang kosong itu
menggambarkan sunyata atau nirwana atau Adhi Buddha.
Bersamaan dengan masa berkuasa Samaratungga, pada Bhumi
Mataram di Yawadw?pa tengah bagian utara juga berkuasa Sri
Maharaja Raka i Garung dari Wangsa Sanjaya. Di tangan
penguasa ini, Bhumi Mataram di belahan utara maju berkembang
dan dapat menyaingi kebesaran Bhumi Mataram di selatan.
Kebesaran Bhumi Mataram di utara itu tidak lepas dari peran
seorang yang bernama Jatiningrat, Putera Raka i Garung sendiri.
Kebesaran dan pengaruh kekuasaan Bhumi Mataram utara
sangat dirasakan oleh Samaratungga. Ia pun menjadi sangat
kuatir akan kemungkinan datangnya serangan. Serangan oleh
penguasa Bhumi Mataram utara, khususnya serangan dari
Jatiningrat yang dikenal luar biasa dan ambisius. Menurut
Samaratungga, serangan itu dapat mengancam keberadaan dan
kelanggengan kekuasaan Wangsa Syailendra di atas Bhumi
Mataram. Untuk menghindari kemungkinan itu, Samaratungga
merencanakan suatu penyatuan atas dua wangsa. Penyatuan
dalam bentuk perkawinan antara Puterinya, Pramodhawardhani,
dengan Jatiningrat yang kemudian memakai gelar Sri Maharaja
Raka i Pikatan Mpu Manuku setelah naik tahta menggantikan
ayahnya, Sri Maharaja Raka i Garung. Dikatakan bahwa
Pramodyawardani selain cantik juga sangat cerdas. Demikianlah,
perkawinan itu telah menyatukan dua wangsa dan meredakan
68 pertikaian antara dua wangsa. Dua wangsa utama yang memiliki
kekuasaan di Bhumi Mataram.
Memang benar, perkawinan itu telah meredam persaingan antar
dua wangsa. Akan tetapi, sejarah telah membelokkan perang
antara dua wangsa itu menjadi perang saudara di dalam tubuh
Wangsa Syailendra. Dan, perang saudara antar Wangsa
13 Syailendra itu telah menyeret Wangsa Sanjaya turut serta di
dalamnya. Perang saudara itu berakhir pada hampir lima puluh
tahun silam. Perang saudara antar Wangsa Syailendra dipicu oleh
ketidakpuasan Balaputradewa atas tindakan ayahnya sendiri.
Samaratungga. Balaputradewa adalah putera Samaratungga dari
ibu yang bernama Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Sebagai anak
laki-laki, Balaputradewa merasa memiliki hak atas tahta. Tetapi,
oleh Samaratungga tahta itu telah dialihkan kepada
Pramodyawardani yang berkuasa dengan Raka i Pikatan,
suaminya, yang merupakan keturunan Sanjaya.
Balaputradewa menentang tindakan Samaratungga, yang selain
menikahkan Pramodyawardani dengan Raka i Pikatan dari
Wangsa Sanjaya, juga meneruskan tahta Bhumi Mataram kepada
Puterinya. Didukung oleh banyak pengikut, Balaputradewa
mengangkat senjata menyatakan penentangan. Salah satu
alasan dari Balaputradewa dan pengikutnya menentang
perkawinan itu, lebih-lebih penyerahan tahta oleh Samaratungga
kepada Pramodyawardani, adalah kekhawatiran atas apa yang
dilakukan ayahnya itu akan menghancurkan kekuasaan dan
pengaruh Wangsa Syailendra di tanah Yawadw?pa.
Tidak dapat dihindari pertentangan ini telah membangkitkan
perang saudara, antara pihak yang ingin mempertahankan
69 kejayaan Wangsa Syailendra dan pihak yang hendak melakukan
perluasan kekuasaan dengan melakukan penyatuan dengan
Wangsa Sanjaya melalui perkawinan itu. Karena kekuatan
Balaputeradewa tidak sebesar kekuatan koalisi Pramodyawardani
dan Raka i Pikatan, maka akhirnya ia pun kalah. Ia dikalahkan
dalam pertempuran di bukit Ratu Boko dan menyingkir ke
Sriwijaya dan membangun kekuatan di sana. Sementara
beberapa pengikutnya melarikan diri ke Yawadw?pa bagian barat.
Terus menunggu kesempatan berkuasa lagi di Bhumi Mataram.
Sejak perang saudara berakhir pada lima puluh tahun silam,
Bhumi Mataram sepenuhnya ada dalam kekuasaan Raka i
Pikatan dan Pramodyawardani. Di bawah pemerintahan mereka,
Bhumi Mataram kembali mengalami kejayaan dan berkembang
luas menjangkau wilayah Yawadw?pa bagian tengah dan timur.
Kebesaran Bhumi Mataram saat itu juga ditandai dengan banyak
bangunan suci yang didirikan. Baik bangunan bercorak Buddha
maupun Hindu. Agama Buddha dan Hindu berjalan berdamping
dengan rukun di bawah kekuasaan suami isteri itu.
Bukti dari kerukunan itu tampil dalam rupa bangunan yang
disebut Candi Plaosan. Candi itu dibangun oleh Raka i Pikatan
yang beragama Hindu dalam wujud bangunan bercorak Buddha.
Candi ini merupakan persembahan dari Raka i Pikatan untuk
Pramodyawardani. Di bawah pemerintahan Raka i Pikatan dan Pramodyawardani,
Bhumi Mataram telah kembali berada dalam pangkuan Adwaya
14 Lokeswara, bahkan Adwaya Lokeswara yang mengakar pada dua
wangsa utama. Dua wangsa paling berkuasa di tlatah
Yawadw?pa. 70 Sepeninggalan Raka i Pikatan dan Pramodyawardani, kekuasaan
Bhumi Mataram kini jatuh diwariskan ke tangan Raka i Kayuwangi
atau Dyah Lokapala. Putra dari Raka i Pikatan dengan
Pramodyawardani ini mewariskan kekuasaan dan kebesaran
pendahulunya. Seperti halnya pada era ayah ibunya berkuasa,
kegiatan perdagangan Bhumi Mataram, baik di dalam maupun ke
luar kerajaan, berlangsung ramai. Jauh dari masa sebelumnya,
sejumlah orang dari negeri seberang datang berdagang,
khususnya berkunjung ke Mamrati. Pusat pemerintahan Raka i
Kayuwangi. Di luar pusat pemerintahan itu, Bhumi Mataram memiliki sejumlah
kota dengan kedudukan penting, di antaranya Mataram (tempat di
mana dulu Raja Sanjaya memerintah), Poh Pitu, Carangsoka,
Watugaluh, Wwatan dan Tembelang (Tamwlang). Terhitung
dengan ibukota, pada Bhumi Mataram terdapat tujuh kota*).
Tujuh kota itu diperintah keturunan dan kerabat utama dua
wangsa penguasa. Tujuh kota itu dijalankan mengacu suatu
aturan. Aturan sebagaimana digariskan Raka i Pikatan. Penguasa
Bhumi Mataram sebelum Raka i Kayuwangi.
*** Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memerintah Bhumi Mataran dari
Mamrati. Sebuah kota di sebelah utara tempat Raja Sanjaya
menegakkan dan memerintah Bhumi Mataram pada satu
setengah abad silam. Istana Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri megah di tepat di
tengah-tengah Mamrati. Bangunan itu dikelilingi oleh dinding dari
batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam Raja
beserta keluarganya dan para abdi. Tempat itu dinamakan
71 Rajadhani (tempat raja). Mengelilingi Rajadhani terdapat beberapa tempat-tempat utama
menurut arah mata angin. Di barat Rajadhani terdapat tempat
penting yang dinamakan Pattana (kota), tempat aktivitas
perekonomian dijalankan. Ke arah barat lagi, terdapat Saragana,
tempat yang terdiri dari barak-barak prajurit kerajaan.
Di selatan Rajadhani terdapat Nandana (taman kesenangan). Di
tempat ini, biasanya keluarga raja menghabiskan waktu luang
dan bercengkrama. Ke arah timur dari Rajadhani tersedia Dayaka, yakni tempat yang
disediakan untuk tinggal sanak saudara raja juga para pejabat
penting istana. Ke timur lagi ada tempat yang dinamakan Gata,
yakni tempat berdiamnya prajurit-prajurit pilihan untuk
pengamanan keluarga raja dan pejabat penting.
15 Kemudian terdapat Batararaja (tempat arwah para leluhur raja
atau makam) di utara Rajadhani, yang apabila terus bergerak lagi
semakin ke utara terdapat Danalaya (tempat berkorban).
Penduduk Mamrati tinggal pada perkampungan-perkampungan di
luar tembok kota. Tempat mereka tinggal disebut perkampungan
wanua (penduduk desa). Pada umumnya kehidupan masyarakat Bhumi Mataram bersifat
agraris. Bertani dan berkebun merupakan sumber kehidupan
kebanyakan rakyat di Bhumi Mataram. Wanua juga mendapatkan
nafkah dari memelihara ternak. Ternak peliharaan mereka berupa
kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Beberapa juga
memelihara kuda, tetapi tidak diambil dagingnya, melainkan dijual
sebagai tunggangan untuk bepergian.
Di luar itu, masih ada wanua yang menjadi pengrajin. Mereka
bekerja mengolah tanah liat atau menempa besi. Tidak sedikit di
72 antara wanua sekedar bekerja sebagai tenaga kerja upahan atau
pencari kayu bakar di hutan. Kendatipun berjumlah sedikit, ada
juga penduduk Bhumi Mataram yang bergerak dalam
perdagangan. Sekali lagi, jumlahnya sangat sedikit dan itu pun
hanya berdagang kecil-kecilan. Saat ini perdagangan lebih
merupakan urusan kraton dan kerabatnya, bukan urusan rakyat
pada umumnya. Mamrati merupakan kota yang ramai. Keramaian itu didukung
oleh kegiatan perdagangan yang dilakukan di pasar. Namun,
kegiatan itu tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir,
berdasarkan pada hari pasaran menurut kalend er yang berlaku.
Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking
atau Pahing, pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari
Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage,
pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat
perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desadesa lain. Mereka datang dengan
berbagai cara, melalui jalan
darat maupun sungai sambil membawa barang dagangan seperti
beras, buah-buahan, dan ternak untuk ditukar dengan kebutuhan
yang lain. Di beberapa desa dan perkampungan pada sekitar Mamrati, telah
berkembang usaha kerajinan rumah tangga. Beberapa hasil dari
kegiatan ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari
besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan
kapur sirih. Hasil kegiatan ini dapat diperoleh di pasar-pasar tadi.
*** 73 Sudah menjadi kebiasaan seorang yang berjasa terhadap istana,
sang raja memberikan hadiah kepadanya. Kepada yang
bersangkutan, raja bisanya melimpahkan kuasa atau hak memiliki
16 tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang
kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi
tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru
dihadiahkan kepadanya. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana
atau rahib untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka,
dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau
wihara. Di samping penguasaan atas suatu tempat, raja juga bisa
memberikan suatu jabatan sebagai hadiah kepada orang yang
berjasa. Jabatan itu bisa akuwu (kepala desa), senopati, atau
adipati atau menteri tergantung dari besar penilaian raja atas jasa
yang telah diberikan. Semasa Raka i Pikatan dan Pramodyawardani berkuasa,
beberapa kerabat dinilai telah berjasa khususnya berjasa dalam
menundukkan Balaputradewa dalam perang saudara. Kepada
paman sendiri, Raka i Pikatan memberikan kuasa untuk
memerintah atas kota Mataram dan Poh Pitu. Juga, adik dari Sri
Kahulunan Samaratungga (permaisuri raja Samaratungga),
Paman dari Pramodyawardani menurut garis ibu, diberi kuasa
atas kota Carangsoka dan Watugaluh. Terakhir, raja itu juga
memberi kuasa kepada adik laki-laki sendiri. Adik laki-laki itu
diberi kuasa atas kota Wwatan dan Tembelang. Demikian, tujuh
kota utama di Bhumi Mataram diperintah oleh kerabat istana dan
keturunannya. 74 *** Tahun ini adalah tahun 798 ?aka (876 M). Atau dua dasawarsa
telah lewat, sejak kekuasaaan di Mamrati telah mengalami
peralihan dari Raka i Pikatan dan Pramodyawardani ke Raka i
Kayuwangi. Kurun waktu dua dasawarsa merupakan waktu yang
cukup bagi terjadinya perubahan. Perubahan atas keadaan
Bhumi Mataram. Seperti terjadi di Mamrati, peralihan kekuasaan juga telah terjadi
pada kota-kota yang pernah dikuasakan oleh Raka i Pikatan
kepada para kerabat. Kerabat yang telah berjasa mengalahkan
Balaputradewa. Pergantian kekuasaan pada tiga pemerintahan
kota yang lain itu pun telah terjadi. Terjadi lebih dari satu
dasawarsa. Di kota Mataram dan Poh Pitu, kekuasaan telah beralih turun dan
diwariskan kepada sepupu Raka i Pikatan. Anak dari Paman yang
padanya Raka i Pikatan telah memberikan kuasa atas dua kota
itu. Kini orang itu telah berkuasa atas kota Mataram dan Poh Pitu
dengan gelar Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra selama tiga
belas tahun. Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra memerintah
dari kota Mataram, tempat nenek moyangnya dulu membangun
kekuasaan. Begitu juga, kekuasaan di Carangsoka dan Watugaluh telah
17 disematkan kepada sepupu Ratu Pramodyawardani,
Bhumisambhara. Saat naik berkuasa atas kedua kota itu, ia
kemudian memakai gelar Sri Wairiwarawiramardana, sama
dengan gelar kakeknya. Tahun ini adalah tahun ketujuhbelas ia
berkuasa atas dua kota itu. Sri Wirawairimathana menetapkan
pusat pemerintahan di Carangsoka.
75 Keadaan yang sama juga berlaku bagi kota Wwatan dan
Tembelang, yang semula berada di tangan adik laki-laki dari
Raka i Pikatan. Kekuasaan di sana telah beralih ke Maharaja
Raka i Gurunwangi, anak dari adik laki-laki Raka i Pikatan atau
sepupu dari Raka i Kayuwangi sendiri. Sekalipun terhitung paling
kemudian duduk di atas tahta, tahun ini Maharaja Raka i
Gurunwangi telah berkuasa di atas tahta selama sebelas tahun.
Tahta itu dipusatkan di Wwatan.
*** Orang telah berganti, demikian juga hubungan di antara mereka.
Empat penguasa itu adalah pewaris. Pewaris-pewaris yang tidak
pernah merasakan suatu kebersamaan dalam suatu
pertempuran. Tidak pernah bersama-sama mencium amisnya
darah yang terhampar, mendengar erangan dan merintih dari
mereka yang terluka, serta melihat serakan tubuh-tubuh yang
telah membujur kaku karena tiada lagi nyawa dikandung badan.
Perang di bukit Ratu Boko yang terjadi hampir lima puluh tahun
silam telah merekatkan ikatan di antara ayah-ayah mereka. Ikatan
sebagai satu saudara yang telah berdiri bersama-sama hingga di
garis depan pertempuran. Mempertaruhkan nyawa dan
kebesaran Bhumi Mataram. Tidak seperti orang tua mereka, para
pewaris itu tidak pernah melakukan pertempuran bersama.
Tidak adanya lagi pertempuran yang dirasakan bersama telah
menjadi hubungan di antara para pewaris itu menjadi mengendur
satu sama lain. Ikatan yang telah mengendur di antara mereka
berimbas pada hubungan pemerintahan antara kota dalam Bhumi
Mataram. Hubungan antara satu kota dengan kota lain menjadi
sangat longgar, bahkan hambar.
76 Akibatnya, persaingan dua wangsa yang di masa kekuasaan
Raka i Pikatan teredam surut, kini persaingan itu kembali
mengeras dan tampil ke permukaan. Bahkan, persaingan itu telah
mengemuka bukan sebagai hal tabu yang harus ditutup rapat.
Sebaliknya, persaingan itu telah menjadi menguak terbuka. Ini
dapat ditunjukkan dengan tampilnya empat nama penguasa
secara sendiri-sendiri. Seakan-akan ada raja lain di luar Raka i
Kayuwangi. Entah itu yang menyebut namanya Maharaja Raka i
Gurunwangi, Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra dan Sri
Wirawairimathana. Demikian di atas Bhumi Mataram seakan-akan telah berdiri empat
pemerintahan utama dengan penguasa dan pusat pemerintahan
18 masing-masing. Raka i Kayuwangi memerintah dari Mamrati,
yang merupakan pusat pemerintahan Bhumi Mataram. Sri
Wirawairimathana berdiam dan memerintah dari Carangsoka.
Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra bertahta dari kota
Mataram. Terakhir, Maharaja Raka i Gurunwangi bertahta dan
berkuasa di Wwatan. Empat penguasa dari dua wangsa yang
berbeda. Baik Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra dan
Maharaja Raka i Gurunwangi merupakan dua penguasa berdarah
asli Wangsa Sanjaya. Sri Wirawairimathana berdarah murni
keturunan Wangsa Sailendra. Sementara, Raka i Kayuwangi
berdarah campuran, Sanjaya dan Syailendra. Namun, yang
tampil mengemuka sebagai penguasa utama, justru adalah Raka
i Kayuwangi, penguasa yang tidak lagi berdarah murni.
Yang tidak berdarah murni, namun duduk paling berkuasa, telah
menimbulkan pertanyaan bahkan keraguan di antara tiga
penguasa lain yang mengklaim sebagai turunan murni salah satu
wangsa. Di dalam hati mereka tersimpan tidak hanya
77 kewaspadaan melainkan juga kecurigaan: "Jangan-jangan Raka i
Kayuwangi telah bersekutu dengan salah satu wangsa, untuk
kembali menegakkan kebesaran wangsa itu dan melenyapkan
wangsa lainnya". Suatu kecurigaan yang masuk akal, mengingat dua wangsa itu
pernah sama-sama telah mengibarkan kebesarannya di masa
lampau. Kebesaran yang telah dimunculkan oleh satu wangsa
dengan menyingkirkan ke pinggir kekuasaan wangsa lain.
Kebesaran menegakkan sebuah wangsa berkuasa di
Yawadw?pa. Berkuasa tanpa berbagi. Utuh dan sempurna.
Persaingan dua wangsa di masa silam kini kembali tampil ke
permukaan. Persaingan itu hanya reda dan redam sementara.
Berhenti semu. Persaingan dua wangsa memang tidak
sepenuhnya terhenti itu. Karena itu, kini telah dimunculkan
kembali. Lebih dari itu, persaingan dua wangsa telah tampil dengan warna
baru, yakni campur tangan pengaruh Balaputradewa dari
Suarnadwipa. Pengaruh yang terus menyulutkan dendam untuk
melakukan penebusan atas kekalahan pada masa lalu.
Kekalahan di Bukit Ratu Boko. Kekalahan dalam sebuah Perang
Saudara. Empat lima dasawarsa silam.
Mendung pun telah siap kembali menggantung di Bhumi
Mataram. Mendung yang sangat pekat. Mungkin lebih pekat dari
perang saudara itu sendiri.
*** CATATAN: *) Berikut ini adalah perkiraan ahli mengenai keberadaan tujuh
kota itu. Mamrati kemungkinan terletak di daerah Kedu. Mataram
78 terletak di daerah Yogyakarta dan Poh Pitu di Sleman.
19 Carangsoka kemungkinan terletak di Pati. Watugaluh dan
Tembelang (Tamwlang) kemungkinan terletak di daerah
Jombang. Wwatan kemungkinan terletak di Madiun.
"BRAAAKKK". Meja kayu hitam itu bergetar keras. Dipukul oleh
orang yang sedang murka. Ia telah menjadi murka, karena apa
yang diminta, tidak dikabulkan. Tidak dikabulkan oleh ayahnya,
yang katanya sangat mencintai. Padahal, apa yang diminta
adalah sesuatu yang tidak istimewa. Tidak istimewa karena itu
haknya. Hak yang sudah seharus ia diterima. Ia terima baik
karena kedudukan maupun jasa. Jasa yang telah dilakukan
selama lima tahun ini. Orang yang sedang murka itu adalah seorang laki-laki muda.
Tubuh berbalut pakaian istimewa. Pakaian tanda ia berasal dari
golongan berada. Lebih dari itu. Kening orang itu mengenakan
suatu hiasan. Hiasan itu memberi ciri pada orang itu kalau ia
adalah golongan penguasa. Lelaki muda itu adalah anak lelaki
dari penguasa dua kota: Carangsoka dan Watugaluh. Putra dari
Sri Wairiwarawiramardana. Dalam dirinya telah mengalir darah
mulia. Darah dari Syailendra. Darah Syailendra yang sangat
murni. Ayahnya, Sri Wairiwarawiramardana, adalah adik kandung
dari Samaratungga, penguasa Bhumi Mataram dari keluarga
Syailendra. Samaratungga, ayah dari Ratu Pramodyawardani.
Lelaki muda itu bernama Pangeran Sikara. Pangeran Siwanda
Sikara lengkapnya. Nama itu mengandung arti keras
berkehendak mengejar dunia. Memang, begitulah wataknya. Kini
usianya telah menginjak tiga puluh satu tahun. Usia yang
menurutnya sudah sangat pantas untuk menggenggam tahta.
79 Tahta Sri Wairiwarawiramardana. Ayahnya. Tahta yang sangat
didamba, bahkan didamba sejak usia muda. Akan tetapi, ayahnya
yang telah berusia separuh abad, usia yang dianggap terlalu tua
dan lamban mengurus tahta, tidak juga menunjukkan tanda-tanda
akan mundur meletakkan tahta dan menyerahkan itu kepada
dirinya. Pangeran Sikara. Sikara untuk berkuasa pada
Carangsoka dan Watugaluh.
"Lima tahun lalu. Ya, lima tahun lalu. Sri Wairiwarawiramardana
memanggil dan membicarakan kepadaku sebuah daerah di
pesisir. Kata Raja tua lamban itu, daerah pesisir dengan sebuah
bandar persinggahan. Di sana dapat membagun besar bandar itu.
Bandar yang mengalirkan saudagar ke Yawadw?pa untuk
memberikan kemajuan bagi Bhumi Mataram." Bergetar tubuh
Pangeran Sikara mengingat peristiwa lima tahun silam.
"Lalu, selang satu purnama, hanya satu purnama. Ia
menyerahkan daerah pesisir itu dan meminta diriku berkuasa di
sana. Di daerah tandus kering bernama Kambang Putih*).
Menyakitkan!" Kekesalan itu tidak tertahan, meja hitam telah
menjadi korban. Keras dipukul.
Baginya, Kambang Putih itu tidak lebih dari sekedar batu putih
mengapung, sebagaimana arti dari dua kata itu sendiri: Batu
20 Apung Putih. Bebatuan itu memang banyak ditemukan di daerah
itu. Selain merupakan pesisir, Kambang Putih juga dilintasi
sederet Pegunungan Kapur. Pegunungan Kapur itu merentang
panjang pada bagian timur Yawadw?pa sebelah utara. Pada
pegunungan itu, terdapat banyak gua-gua. Kambang Putih juga
dikenal sebagai daerah Sahasra Giya (Seribu Goa). Atas bujukan
seseorang, pada akhirnya Pangeran Sikara datang dan berkuasa
pada Kambang Putih. Bujukan sesorang yang sangat ia hormati,
80 lebih dari Sri Wairiwarawiramardana.
Demikian, Pangeran Sikara menunggu lima tahun sia-sia. Ia
menunggu tahta dari tempat kering dan tandus di pesisir bagian
timur Yawadw?pa. Menunggu tahta dari Kambang Putih. Tahta itu
sama sekali belum juga bertanda akan diserahkan kepada
dirinya. Hingga kini, ia tetap masih berdiri sebagai Penguasa
Kambang Putih. Bukan penguasa Carangsoka dan Watugaluh.
Dua kota utama di Bhumi Mataram.
*** Sekalipun diberi kuasa atas daerah pesisir, yang pada waktu itu
sudah sering digunakan sebagai tempat persinggahan bagi
pedagang-pedagang ke Bhumi Mataram, Pangeran Sikara tidak
merasa puas atas keputusan ayahnya. Ia lebih menginginkan
duduk berkuasa atas Watugaluh. Kota yang tidak jauh dari
Carangsoka tempat Sri Wairiwarawiramardana berkuasa. Seperti
Carangsoka, Watugaluh merupakan daerah yang subur dan kaya.
Tidak demikian dengan Kambang Putih. Daerah pesisir dan
pegunungan kapur yang tandus dan kering. Tanah yang lebih
banyak ditumbuhi oleh hutan bakau atau gerombolan pepohonan
nira. "Lima tahun sudah aku mengikuti apa yang telah dimintanya.
Dalam selama ini, aku telah bekerja keras sendiri di atas tanah
kering dan tandus, tanpa pernah meminta apapun darinya. Kini,
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah segalanya telah menjadi berbeda, aku hanya memintanya
memberikan dua ribu prajuritnya di bawah kuasa Kambang Putih.
Kambang Putih yang telah aku bangun menjadi sebuah bandar
persinggahan. Bandar yang telah mengalirkan keuntungan bagi
Carangsoka dan Watugaluh". Kembali Pangeran Sikara
81 mengungkapkan rasa kesal dan ketidakpuasannya dengan nada
keras dan agak berteriak.
Memang, sejak enam purnama lalu, Pangeran Sikara telah
datang sendiri ke Carangsoka bertemu dengan ayahnya, untuk
menyampaikan apa yang diinginkan. Namun, hingga kini
keinginan itu belum juga terkabulkan. Jangankan terkabulkan,
sepotong jawaban pun tidak juga didapatkan dari Sri
Wairiwarawiramardana, ayahnya.
"Meminta atau menagih sesuatu kepada raja atas suatu jasa,
memang perbuatan yang tidak tahu adat. Tetapi, aku tidak
21 meminta kepada Sri Wairiwarawiramardana sebagai seorang raja.
Aku meminta kepada Sri Wairiwarawiramardana sebagai ayahku."
Sambung Pangeran Sikara masih dengan nada geram yang
sama. Nada geram yang membuat enam orang yang telah
berada bersama di ruangan besar itu, terus terdiam dan semakin
menundukkan kepala. Enam orang itu mengenal betul watak anak muda itu. Tandusnya
kapur dan kering panasnya pesisir, semakin mengubah watak
Pangeran itu. Watak yang semakin menjadi keras bahkan
cenderung kejam dan telengas. Mereka masih teringat, dua tahun
lalu, pada saat anak muda itu menghukum adik dari isterinya,
Udarana. Ia menghukum iparnya itu dengan tangan sendiri.
Memenggal putus hingga sebatas lengan, tangan kiri dari kerabat
sendiri. Tindakan yang menyeramkan itu masih ditambah dengan
kata-kata yang menakutkan. Kata-kata yang terus diingat oleh
enam orang itu. "Kalian semua tahu, aku sangat mencintai Udarana. Mencintai
seperti adikku sendiri. Jika aku bisa memenggal hingga putus
lengan dari orang yang aku sayangi, maka kalian tentu bisa
82 membayangkan apa yang akan aku lakukan terhadap orang yang
aku benci. Orang yang aku benci karena melawan dan
menentang kehendakku. Camkan itu". Demikian dua tahun lalu
Pangeran Sikara pernah mengatakan hal itu. Dikatakan hanya
sesaat setelah memenggal putus tangan Udarana. Kata-kata itu
diucapkan di muka banyak pengikut. Kata-kata yang terekam kuat
dalam ingatan siapapun yang mendengar.
Enam orang itu sebenarnya adalah orang-orang kepercayaan
Pangeran Sikara. Mereka telah mengikuti Pangeran itu. Tidak
hanya mengikuti, tapi juga menjaga dirinya sebagai Putera Sri
Wairiwarawiramardana. Menjaga lelaki muda itu sejak usia lima
tahun. Di tengah kebisuan enam orang pengikut kepercayaan Pangeran
itu, dari arah dalam muncul seorang yang sudah sangat tua. Kulit
tubuh dan wajah sudah menjadi keriput. Dan, wajah itu tampak
putih memucat. Memucat ganjil dan menyeramkan. Ia berpakaian
layaknya seorang petapa. Rambut panjang memutih dan digulung
bersanggul ke atas. Orang tua itu datang mendekati Pangeran
Sikara. "Sudahlah Anakmas. Apabila Sri Wairiwarawiramardana tidak
mengabulkan apa yang kau minta, biarlah kita menempuh jalan
dan cara kita sendiri untuk mewujudkan itu." Orang tua itu berkata
menghibur Pangeran Sikara. Penghiburan datang dari orang yang
sangat dihormati Pangeran Sikara, dihormati lebih dari Sri
Wairiwarawiramardana, ayah sekaligus rajanya.
Sesungguhnya, Pangeran Sikara sangat menghormati orang tua
itu lebih dari siapapun. Orang tua itu merupakan guru, yang tidak
hanya menurunkan ilmu dan kekuatan kepada dirinya, melainkan
juga telah membentuk dirinya. Membentuk dirinya hingga tampil
22 83 sebagai orang yang berwatak keras, ambisius dan telengas.
Sudah dua dasawarsa, Pangeran itu berada di bawah bimbangan
dan asuhannya, atau tepatnya di bawah penguasaannya.
"Memang Eyang, aku telah memutuskan untuk menempuh
jalanku sendiri. Akan tetapi, ini tidak berarti aku harus
melepaskan permintaanku. Permintaan itu wajar untuk aku tagih,
setelah lima tahun aku telah memberi keuntungan kepada Sri
Wairiwarawiramardana. Lagi pula, yang aku minta hanya dua ribu
prajurit." Pangeran Sikara masih menyatakan kekerasan hati. Ia
menuntut apa yang diminta: dua ribu prajurit untuk ditempatkan di
Kambang Putih. Mendengar perkataan murid kesayangannya, orang tua itu
menarik segaris senyum pada bibirnya. Senyum yang
menandakan kepuasan hati. Kepuasan sebagai cerminan bahwa
keputusan yang telah ia ambil pada dua puluh tahun silam, kini
telah menampakkan hasil sebagaimana diinginkan.
*** Dua puluh tahun silam, ia menemukan Pangeran muda itu. Saat
itu juga ia telah menarik suatu keputusan. Keputusan untuk
membentuk Pangeran itu menjadi sesuatu yang ia inginkan. Hal
itu terjadi di tahun kelima sejak ia pulang kembali ke Yawadw?pa.
Pulang setelah lebih dari seperempat abad mendampingi
keponakannya, Balaputradewa, menyingkir dan tinggal menetap
di Sriwijaya. Keponakan itu sangat ia sayangi. Keponakan yang
terpaksa terbuang dan tersingkir saat berebut tahta dengan
saudara perempuannya. Pangeran muda itu dipilih karena pada dirinya mengalir darah
84 murni Wangsa Syailendra, sebagaimana darah itu mengalir
dalam dirinya sendiri. "Aku akan membangunkan semangat dan
jiwa Wangsa Syailendra pada anak itu. Membangkitkan Wangsa
Syailendra untuk tampil menjadi Adwaya Lokeswara di Bhumi
Mataram seperti di masa kejayaan ayahku, Dharanindra, pada
delapan puluh tahun silam". Orang itu mengatakan pada diri
sendiri semua itu, manakala ia bertemu Pangeran Sikara untuk
pertama kali. Dua puluh tahun lalu.
Sejak saat itu, orang tua yang menyebut Raja Dharanindra
sebagai ayahnya, dengan keras dan tekun mengembleng
Pangeran muda Putera dari Sri Wairiwarawiramardana, untuk
tumbuh menjadi salah seorang yang dapat memenuhi sebuah
keinginan. Nindita Gardajita. Keinginan Mulia.
Ia tidak hanya menurunkan kesaktian kepada Pangeran itu,
melainkan juga mengajarkan bagaimana cara-cara bertindak atas
sesuatu. Bertindak untuk mengejar kekerasan hati dan keinginan
untuk tampil sebagai Adwaya Lokeswara. Mengejar tuntas
dengan segala bayarannya.
*** 23 Masih di ruangan yang sama, namun kini hanya tinggal lima
orang yang berada di sana. Pangeran Sikara, gurunya dan tiga
orang pembantu utamanya, yakni: senopati Tiyasa Tadya,
senopati Satya Sewagati dan Pangeran Udarana. Orang yang
disebut terakhir adalah orang dengan tangan kiri kosong, karena
pernah dipenggal putus dua tahun silam. Kelima orang itu tampak
serius. Sangat serius mendengarkan orang tua bermuka pucat,
Guru Pangeran Sikara, berbicara. Selain orang tua itu, hanya
85 Pangeran Sikara yang sesekali bicara untuk meminta penjelasan.
Setelah tiga penderesan nira lewat, orang tua itu berkata, "Aku
menegaskan agar setiap orang di sini menjalankan peran masingmasing sesuai rencana. Aku harap
kalian membantu Pangeran menjalankan rencana atas Watugaluh beberapa hari di muka.
Rencana yang beberapa saat lalu telah aku katakan dengan
sejelas-jelasnya. Jangan sekali-sekali menyimpang dari rencana.
Sebab, aku tidak ingin suatu kejutan terjadi pada diriku. Yang aku
inginkan adalah kejutan itu terjadi di luar sana. Di Bhumi
Mataram". Orang tua itu telah mengatakan rencana atas
Watugaluh, peringatan sekaligus ancamannya. Setelah berkata
demikian, ia mengakhiri pertemuan pada ruangan itu.
*** Selepas kepergian tiga orang pembantunya, Pangeran Sikara
masih tinggal di ruang itu bersama dengan gurunya. Orang tua itu
telah meminta tetap tinggal sebentar karena ia ingin Pangeran
Muda itu mengetahui juga rencana yang sedang dijalankan.
Rencana di atas tanah Tembelang.
"Anakmas, sebagaimana engkau telah ketahui, kita telah memulai
rencana kita sejak empat tahun silam dan mematangkan itu
selama satu tahun. Baru setelah itu, kita menjalankan rencana itu.
Mulai dengan kegemparan di Poh Pitu Racana (Bencana di Poh
Pitu) tiga tahun silam, lalu Prasoda Nawa Sanghara
(Penghancuran Sembilan Bangunan) di lereng gunung Ungaran
satu tahun setelah peristiwa Poh Pitu. Dua kegemparan yang
telah berhasil mengguncang Bhumi Mataram. Dengan bantuan
sahabat-sahabatku, dua kegemparan itu telah disulutkan.
86 Beberapa hari ke depan, hal yang sama akan terjadi di
Watugaluh. Apa yang akan terjadi di Watugaluh sepenuhnya aku
serahkan kepada Anakmas. Jalankan hal itu sesuai dengan
rencana yang telah kita susun." Orang tua yang bersama dengan
Pangeran itu mengatakan kegemparan-kegemparan yang telah
dilakukan dua tiga tahun silam di atas Bhumi Mataram, dan
menyerahkan kegemparan selanjutnya kepada Pangeran.
"Di luar itu, aku telah meminta sahabat-sahabatku untuk
membayang-bayangi Tembelang. Aku akan menunggumu di
Kambang Putih. Setelah Anakmas menyelesaikan rencana di
Watugaluh, kita akan mengarahkan mata ke Tembelang. Di sana
24 kita akan kembali menghembuskan kegemparan di atas tanah
Bhumi Mataram. Kegemparan yang sama sebagaimana telah
tancapkan di wilayah-wilayah lain sebelumnya". Kata orang tua itu
kepada Pangeran Sikara. "Anakmas, rencana di Tembelang dalam beberapa purnama ke
depan akan menjadi pelengkap bagi rencana-rencana
sebelumnya. Biarlah tanah Bhumi Mataram kembali memanas
keadaannya. Memanas karena bara api dari timur telah disulut".
Orang tua itu berkata demikian dengan wajah memancarkan
suatu kegembiraan. Seulas senyuman kepuasan pun menghiasi
wajah pucat ganjil orang tua itu.
*** Kini usianya telah menginjak 20 tahun. Dalam keadaan saat ini,
Arga telah tumbuh menjadi seorang pria yang sedang menapak
pada kedewasaan. Tubuh terbilang kekar dan berotot. Tinggi
badan tidak menonjol. Hanya lebih tinggi sedikit dari rata-rata pria
87 dewasa umumnya. Tidak ada perubahan yang mencolok pada
wajah. Seperti semula, wajah itu lonjong bulat. Hanya saja, yang
kini tampil beda adalah sinar mata. Mata itu tajam bersinar cerah.
Siapapun akan terkesan memandang dua mata anak muda itu. Di
sana ada sesuatu yang selalu tampil dari dua pupil mata itu.
Kegembiraan. Ia memang terus menjalani kehidupan dengan
penuh kegembiraan, dan itu terlihat jelas pada dua matanya.
Dengan dua mata itu, Arga tampil penuh daya tarik.
Sudah setengah hari, Arga melangkah menempuh perjalanan.
Tentu, yang pertama terpikir olehnya adalah pergi mengunjungi
Perguruan Merak Mas, yang telah ditinggalkan tujuh delapan
tahun silam. Anak muda itu melangkah ringan. Tidak diburu oleh
sesuatu. Ia selalu mengamati dan menikmati setiap tempat yang
dilalui. Sawah. Tegalan. Dusun dan perkampungan penduduk.
Saat hari telah menjelang senja, Arga melihat sebuah gapura di
jalan. Gapura itu merupakan suatu tanda. Tanda istimewa atas
sebuah wilayah. Kehadiran gapura selalu mencerminkan
keagungan dan kebesaran wilayah yang dibatasi. Apalagi gapura
itu tampak istimewa, berhiaskan batu-batu yang memuat aneka
bentuk arca dan ukiran indah di atasnya.
Setelah beberapa lama berjalan melewati gapura, dan terus
melintasi sederetan pemukiman yang terhampar semakin menjadi
padat, Arga pun telah tiba pada pusat kota. Melihat seorang pria
berjalan dari arah depan, Arga pun menghentikan orang itu dan
bertanya. "Maaf, pak apa nama kota ini?" Ia bertanya pada pria separuh
baya telah berpapasan lewat.
"Oh, ini kota Hita Harsita." Jawab orang itu singkat dan bergegas
pergi. 88 "Hita Harsita Praja, Kota Gembira karena Peruntungan." Gumam
25 anak muda itu lirih. Karena tidak memiliki uang yang berlaku, ia pun pergi mencari
tempat penukaran barang berharga. Setelah mendapatkan, anak
muda itu langsung masuk menukar sebagian kepingan logam
mulia miliknya. "Andhika, keping emas ini seharga 10 Masa*) (Ma)." Setelah
dengan teliti orang pada penukaran barang berharga memeriksa
dan menimang berat kepingan yang disodorkan Arga. Anak muda
itu setuju saja. Ia pun menerima sepuluh kepingan mata uang Ma.
Mata uang berbentuk segiempat kecil terbuat dari emas.
Karena desakan perut yang lapar, Arga memasuki sebuah rumah
makan lalu memesan seekor ayam bakar dan sayur kari serta
sebakul nasi. Makanan yang sangat jarang didapat. Sehari-hari
perut anak muda itu, paling-paling diisi dengan umbi-umbian,
buah-buahan dan hewan hutan tangkapan di hutan. Sambil
menunggu hidangan tersaji, Arga mengamati seluruh ruangan
dan tamu yang ada di sana.
Di pojok sebelah kanan, terpisah empat meja, empat laki-laki
dengan usia 20-an tahun asyik menyantap hidangan sambil
bercakap-cakap. Dari penampilan mereka, dapat dipastikan
empat orang itu adalah murid-murid Perguruan Merak Mas. Hal
itu terlihat jelas dari sulaman pada kerah baju yang mereka
kenakan. Pada kerah baju itu, terlihat sulaman lambang dari
perguruan itu. Seekor merak yang tersulam anggun.
"Kang Tedja, sudah lama aku tidak melihat Ketua. Menurut kabar
Ketua dan Wakil Ketua sedang menekuni jurus-jurus utama
perguruan". Pemuda paling hitam bertanya.
"Benar. Aku juga mendengar tentang kabar itu". Jawab singkat
89 orang yang disebut Kang Tedja. Orang itu duduk tepat di
hadapan pemuda hitam itu.
"Menggabungkan empat jurus pusaka perguruan" Bukankah
jurus-jurus itu sudah sangat tangguh dan tanpa tanding" Apa
perlu jurus-jurus itu digabungkan" " Sambung pemuda paling
jangkung di sisi kiri orang yang disebut Kang Tedja.
"Kau tidak boleh bicara begitu. Itu sikap jumawa. Kemunculan
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelompok yang menamakan diri Chandrakapala (Tengkorak
Rembulan) tiga tahun belakangan ini telah menyedot perhatian
dari Ketua dan Wakil Ketua, juga Tetua Perguruan Macan Bumi
dan Banteng Perak, serta pihak Kerajaan. Sepak terjang
kelompok itu sangat misterius, sangat matang dan selalu
meninggalkan kerugian luar biasa. Ingat peristiwa Prasoda Nawa
Sanghara (Penghancuran Sembilan Bangunan) adalah ulah
mereka. Hingga kini peristiwa itu belum juga terungkap dan siapa
pelakunya pun tidak terjamah, padahal dua tahun peristiwa itu
sudah berlaku. Yang ditemukan hanya panji bersimbolkan
tengkorak bertaring di atas bulan sabit dengan tulisan
Chandrakapala di bawahnya." Murid Merak Mas di sisi kiri dari
pemuda hitam itu memberi penjelasan panjang.
26 "Ehm. Kita harus berhati-hati dan waspada. Saat ini ada pihakpihak yang memang ingin
memperlemah pengaruh perguruan
kita. Ah, sudahlah ayo kita makan". Kata kang Tedja memberi
peringatan dan berniat menyudahi pembicaraan.
Lewat penggalan pembicaraan itu, Arga menyimpulkan bahwa
Paman Wira dan Paman Gilingwesi sedang meningkatkan
penguasaan ilmu, bahkan kembali mendalami jurus-jurus utama
Merak Mas. Mendalami untuk menciptakan penggabungan yang
lebih dahsyat. Yang lebih menarik dari percakapan itu adalah
90 kelompok Chandrakapala. Kelompok yang disebut-sebut
misterius. Begitu dahsyatkah sepak terjang sang tengkorak,
sampai-sampai Paman Wira dan Paman Gilingwesi secara
bersama-sama menerobos kembali simpul-simpul jurus Merak
Mas" "Ehm, menarik. Sangat menarik." Pikir Arga.
Rasa ketertarikan anak muda itu terhadap kelompok yang
menamakan diri Chandrakapala telah menumbuhkan dorongan
kuat untuk melakukan penyelidikan. Rasa itu mengalahkan sifat
upeksa, tidak mencampuri urusan orang lain, yang telah
tertanam. "Ah, mencari tahu itu tidak sama dengan campur tangan." Kata
anak muda itu dalam hati. Membela diri. "Aku hanya ingin tahu
siapa itu Chandrakapala. Tidak ada salahnya apabila dalam satu
purnama ke depan ini, aku menelusuri jejak-jejak Chandrakapala.
Apapun hasilnya." Arga menyatakan keputusan itu.
Menyantap habis seluruh hidangan yang tersaji dan
menyelesaikan tagihan, dengan santai ia berjalan keluar dan
menunggu di kejauhan empat orang muda dari perguruan Merak
Mas itu keluar dari rumah makan. Tidak berapa lama, empat
orang yang dinanti ke luar. Mereka berjalan beriringan dan
tampaknya menuju ke sebuah tempat penginapan. Si hitam dan
Kang Tedja langsung memasuki penginapan itu, sementara dua
pemuda lain pergi berlalu meninggalkan tempat itu untuk
menyelesaikan sesuatu. "Ah, ada baiknya aku menginap di tempat itu. Syukur-syukur
mendapat informasi tambahan baik mengenai Merak Mas atau
Chandrakapala." Kata Arga dalam hati. Arga memilih sebuah bilik
yang terletak di sisi paling kanan dekat dengan penambatan
91 kuda-kuda. Sebuah bilik yang tentu tidak disukai banyak
pengunjung, karena beraroma kotoran kuda. Setelah
membersihkan diri, ia berbaring untuk beristirahat di bilik itu.
Selang enam penderesan nira kemudian, pintu bilik diketuk.
Setelah dipersilahkan masuk, seorang lelaki beruban yang
bertugas melayani tamu muncul dan bergerak masuk untuk
menyalakan senthir (alat penerangan menggunakan minyak
kelapa) pada bilik itu. 27 "Tuan, apakah tuan ingin memesan makan malam." Lelaki
beruban menawarkan jasa kepada Arga.
"Terima kasih, Ki. Aku sudah kenyang." Katanya. Ia pun pergi
meninggalkan bilik Arga. Menjelang tengah malam, sewaktu Arga terbenam dalam teknik
Panchajanya, di luar sana terdengar langkah-langkah
sekelompok orang. Mungkin 5 hingga 6 orang. Dengan tingkat
kepekaan yang telah dicapai, Arga tidak hanya mampu
memastikan jumlah mereka melalui gerakan, tetapi juga mampu
mendeteksi elemen-elemen utama yang menjadi lambaran ilmu
mereka. Lewat pendengaran, Arga mendeteksi ada 6 orang,
tetapi hanya ada 5 pancaran elemen yang diterima nyata. Tentu,
karena tingkat yang telah matang, yang seorang itu telah mampu
meredam keluar aliran energinya. Ia dapat mengatur energi di
dalam tubuh sekehendak hati.
"Mereka pasti datang ingin berurusan dengan murid-murid Merak
Mas. Mereka tentu kelompok yang ingin memperlemah pengaruh
perguruan Merak Mas, seperti dikatakan salah seorang murid
Merak Mas, yang disebut Kang Tedja. Mereka merupakan
kelompok atau bagian dari kelompok yang secara tidak langsung
ingin membentur Perguruan Merak Mas dengan mengusik murid92
murid perguruan itu." Demikian pikir Arga menduga maksud
kedatangan orang-orang itu.
"Aneh. Yang aku tahu, keempat murid perguruan itu menempati
bilik dekat pintu samping sebelah kiri, terletak cukup jauh
berhadapan dengan bilikku. Tetapi, mengapa kelompok ini justru
bergerak ke arah bilikku." Anak muda itu menyatakan keheranan.
Heran bahwa dugaannya tidak sesuai dengan yang dilakukan
oleh kelompok itu. Belum tuntas dia mencerna apa yang berlangsung, terdeteksi dua
gerakan cepat menerobos masuk ke dalam bilik. Kini, di hadapan
anak muda itu telah berdiri dua sosok sangar. Dua lelaki
berbadan kekar mengenakan pakaian berwarna gelap.
"Anak muda, serahkan seluruh kepingan emas yang kau bawa.
Jangan bertindak bodoh. Kami tidak segan-segan untuk
membuatmu cidera, atau bahkan meninggalkanmu dengan tidak
bernyawa." Kata seorang dengan parut bekas luka melintang
panjang di kening. Sebuah luka akibat terkena sabetan benda
tajam. Belum habis orang itu bicara, seorang yang lain bergerak cepat
mencengkram bahu kanan Arga, sambil menekan titik syaraf
yang berada di situ. Tentu saja, anak muda itu merasakan
desakan energi panas menyengat yang menerobos masuk di
seputar bahu, khususnya pada titik syaraf itu. Dia membiarkan
saja orang itu menghadiahkan aksi "menyiksa".
Tanpa berpura-pura, Arga, yang memang sedang menanggung
rasa sakit pada bahu, mengungkapkan rasa sakit itu di raut
wajah. Raut wajah menyeringai menahan rasa sakit. Sekalipun
telah menderita sakit, bagi Arga rasa itu sekedar mengena pada
28 bagian luar, hanya pada permukaan saja, tidak sampai membawa
93 efek yang merusak otot atau fungsi syaraf di bahu. Daya Jubah
Perang Naga, yang diterapkan pada tingkat tertentu, telah
memusnahkan efek dari tindakan orang itu terhadap bagian
dalam tubuh. Sementara menekan dan mencengkram, orang itu menggunakan
satu tang (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
an untuk mengeladah sisi dalam pakaian anak muda itu.
Menemukan apa yang dicari, cepat tangan orang itu bergerak
merampas uang milik Arga, lalu melakukan dorongan keras
hingga menghempaskan tubuh anak muda itu mundur menjauh.
Saat terlontar mundur, dengan sengaja tangan Arga menyambar
alas meja yang di atasnya terletak kendi dan cangkir dari tanah
liat. Sambaran itu membuat kendi dan cangkir jatuh pecah. Jatuh
pecah dengan suara gaduh yang cukup keras untuk
menghentikan mimpi tamu lain. Sontak sejumlah orang
mendatangi bilik itu, dan ada di antaranya keempat murid dari
Perguruan Merak Mas. "Hei, apa yang kalian perbuat di kamar itu" Kalian apakan anak
muda itu?" Kata murid Merak Mas yang paling jangkung.
"Oh, rupanya mau membuat onar di wilayah naungan Perguruan
Merak Mas." Sambung si hitam, rekan si jangkung yang berada di
samping. Terlihat ada kekagetan tersirat pada wajah beberapa anggota
kelompok itu. Hanya orang yang berpakaian paling rapi dan
berusia paling muda, dengan elemen energi tidak terdeteksi,
terlihat tetap tenang. Ia mengangguk kepada salah seorang
anggota kelompok itu, sepertinya ia memberi isyarat setuju, dan
orang itu menggeser untuk berhadap-hadapan dengan murid
Perguruan Merak Mas. "Kami bertindak atas kehendak kami. Apa pun itu. Jangankan
94 kalian. Seluruh Hita Harsita Praja pun tidak dapat mencegahurungkan apa yang menjadi kehendak
kami. Jadi, apapun yang kami kehendaki itulah yang terjadi". Kata anggota itu membentak
keras menyatakan tantangan.
Sesaat Arga menganalisa situasi dengan cepat. "Agaknya,
kelompok ini sejatinya tidak berencana untuk membentur
langsung Perguruan Merak Mas. Mereka hanya membuat
kekacauan dan guncangan di wilayah pengawasan perguruan itu.
Guncangan-guncangan itu dengan sendirinya akan menciderai
kewibawaan perguruan Merak Mas, dan memunculkan
pertanyaan mengenai kemampuan perguruan itu dalam
memberikan pengayoman keamanan." Demikian Arga menarik
suatu kesimpulan. Ketegangan begitu mencengkram suasana, waktu berjalan
menjadi sangat lambat. Masing-masing orang yang hadir terdiam
sesaat, hanyut dalam pertimbangan masing-masing.
"Baik, ayo kita selesaikan urusan ini di luar sana." Hardik si
jangkung menjawab tantangan kelompok itu. Ia menjawab
tantangan juga dengan tantangan.
"Bawalah mereka ke tanah lapang di tepi sungai sebelah utara
dari sini. Kalian bisa menghabisi mereka di sana. Nanti aku akan
menyusul ke sana." Bisik orang paling muda, yang agaknya
1 menjadi pimpinan dari kelompok itu Ia menyampaikan hal itu
kepada pria kekar yang telah menghempaskan Arga.
Pria kekar itu pun mengatakan kepada murid Perguruan Merak
Mas, di mana persoalan akan dituntaskan, dan segera dua
kelompok itu pun secara beriringan pergi meninggalkan bilik Arga.
Mereka bergerak menuju tempat yang telah ditentukan. Kini,
hanya tiga orang tersisa di bilik itu: Arga, pimpinan kelompok itu,
95 dan seorang pegawai penginapan. Pegawai itu segera bergegas
pergi ketakutan karena diancam oleh Pimpinan Kelompok.
Diancam melalui tatapan matanya.
"Anak muda, siapa namamu" Darimana asalmu" Berapa banyak
lagi uang yang kamu miliki?" Dengan suara tegas dan kaku,
Pimpinan Kelompok itu bertanya kepada Arga, sesaat setelah
petugas penginapan berlalu. Sambil bertanya, ia terus mengamati
sosok anak muda itu. "Agaknya, orang itu telah menjadi heran. Bahkan, tidak merasa
yakin bahwa pemuda berpenampilan biasa-biasa seperti diriku,
memiliki dan menyimpan uang dalam jumlah besar, lalu keluyuran
seorang diri tanpa pengawalan." Demikian Arga mengira-ngira
apa yang terjadi di dalam diri orang yang tengah mengamati
dirinya. "Kalau bukan dari kawanan begal, kau tentu anak nakal
bangsawan yang minggat dengan menyamar?" Orang itu
menerka sambil tersenyum mengejek dan bergerak ringan
perlahan mendekati anak muda itu. Arga masih tetap berdiam,
menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. Untuk berjagajaga terhadap serangan yang
mungkin saja dilakukan oleh orang
itu, ia pun telah melambari diri dengan Jubah Perang Naga.
"Ayo, ikut aku". Dengan sangat cepat orang itu menarik tangan
Arga. Pada saat menyentuh tangan itu, Arga baru dapat
merasakan sifat energi Pimpinan Kelompok. Energi orang itu
kadang bersifat panas, kadang dingin. Tanda, ia sudah pada
tahap kemampuan mengendalikan energi sesuka hati. Orang itu
mengajak Arga pergi meninggalkan penginapan. Ia
menggandeng tangan anak muda itu santai, seolah-olah
membawa adik atau seorang kerabat.
96 *** Dua kelompok itu pun tiba di tempat yang ditentukan. Secara
naluriah mereka berdiri sebagai satu kelompok berhadapan
dengan kelompok yang lain.
"Prajanata, kau majulah terlebih dahulu. Jangan beri ampun siapa
pun lawanmu." Kata seseorang yang mewakili pemimpin
kelompok itu. "Baik, Kang Rumita." Kata orang itu mantap, sambil beranjak
maju mendekati kelompok murid Merak Mas.
"Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku". Tantang Prajanata
2 kepada murid Merak Mas. Si jangkung pun bergerak maju. "Adhi Anala, berhati-hatilah",
murid Merak Mas yang disebut Kang Tedja memperingatkan.
Tedja sadar bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah suatu latih
tanding, tetapi suatu pertarungan yang sebenarnya. Sesuatu
yang tidak diinginkan bisa saja terjadi sebagai hasil suatu
pertarungan. "Mari Ki Sanak, aku terima tantanganmu". Kata Anala sesampai
di tempat orang yang telah menyerukan tantangan.
Merekapun berhadapan, bersiap-siap dengan ancang-ancang
ilmu masing-masing. Tampak begitu tegang justru si hitam.
"Kang Tedja, apakah Anala mampu menghadapi orang itu?"
Katanya. Yang ditanya diam tidak menjawab, lebih berkonsentrasi
memperhatikan situasi yang terus berkembang.
"Tenanglah Adhi Anggasta. Sekalipun cepat naik darah, dengan
tingkatan Adhirajasa, Anala memiliki bekal ilmu yang cukup". Kata
murid Merak Mas yang lain.
Rupanya empat murid Merak Mas itu merupakan murid-murid
97 pilihan yang memiliki cukup bekal ilmu. Dalam perguruan Merak
Mas, setelah menjalani latihan dasar umum selama kurang lebih
2 atau 3 tahun, murid naik ke jenjang khusus. Pada jenjang
khusus itu, terdapat lima tingkatan, yakni: Adhimukti
(Bersemangat), Adhirajasa (Tangguh), Adhipramana (Penguasa
Pertama), Adhigana (Golongan Unggul atau Pilihan) dan
Adhyasta (Pengawas). Pada tingkatan Adhimukti, murid digembleng untuk menguasai
jurus Merak Mas Merah Membara dan Merak Mengayun 1000
Hasta. Setelah lulus ujian, mereka akan naik ke tingkatan
Adhirajasa. Di tingkat ini mereka mempelajari jurus Merak
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melontarkan Halilintar ke Sembilan Langit. Terus naik lagi ke
jenjang Adhipramana mempelajari Merak Membalik Arus Jagat
Raya dan kemudian jenjang Adhigana menekuni jurus Merak
Membuka Sirkulasi Jalan Langit.
Tingkatan Ahyasta dipilih dan diangkat dari murid-murid tingkatan
Adhigana. Yakni, mereka yang memiliki bakat dan kemampuan
pengaturan (organisasi). Dari tingkatan Adhyasta ini, dengan
sangat berhati-hati dan cermat, Tetua Perguruan menseleksi dan
memilih serta mengizinkan seorang murid untuk mempelajari
jurus pamungkas perguruan: Merak Menggetar-guncangkan
Semesta. Prajanata membuka serangan dengan gerakan sederhana, yakni
pukulan yang diarahkan ke rahang Anala. Juga dengan langkah
sederhana, Anala mengeser ke samping mengelak serangan
yang datang, kemudian membalas dengan sebuah totokan ke
arah leher. Sejauh ini, gerakan-gerakan yang mereka lakukan
masih pada tataran "bermain-main". gerakan-gerakan itu belum
dilambari ilmu masing-masing. Satu sama lain hanya mencoba
98 3 menjajaki tingkat kemampuan ilmu lawan.
Telah sependeresan nira Prajanata dan Anala saling bergebrak.
Sesekali, baik Prajanata maupun Anala mendarat serangan di
tubuh lawan, akan tetapi serangan-serangan itu tidak
mempengaruhi keadaan. "Prajanata, berhentilah bermain-main". Sebuah teguran
ketimbang perintah. Meloncat mundur menentukan suatu jarak, Prajanata mengambil
suatu sikap tertentu. Dua tangan telah disilangkan tepat di depan
dada. "Bersiap-siaplah, aku tidak ingin bermain-main. Terimalah jurus
Soma Jamanika (Tabir Rembulan)." Kata Prajanata.
Tak ayal, Anala pun merespon sikap lawan dengan
mempersiapkan diri memainkan Merak Mas Merah Membara.
Setelah beberapa saat mempersiapkan diri, hampir secara
bersamaan keduanya maju bergerak dengan lambaran ilmu
masing-masing. Ketika memainkan Tabir Rembulan, tubuh
Prajanata beralih kian memutih diiringi dengan hawa dingin di
seputar orang itu. Ini menandakan bahwa ia sedang
meningkatkan jurus itu selapis demi selapis. Hal yang sama
terjadi pada Anala, hanya saja hawa yang tercipta adalah panas.
Agaknya, benturan-benturan antara Prajanata dan Anala yang
dilambari ilmu masing-masing berimbang. Karena lawan masih
belum juga dapat dirobohkan, Prajanata mulai meningkatkan
ilmu. Ia memainkan Janggala Soma (Rembulan Gersang). Jurus
ini lebih kuat dari sebelumnya, dan itu dirasakan oleh Anala ketika
membentur dengan Prajanata. Benturan lewat dua tangan
masing-masing. Anala merasakan aliran hawa dingin tajam menerobos masuk.
99 Berupaya meredam pengaruh hawa dingin itu, Anala
meningkatkan ilmu menapaki Teknik Merak Melontarkan Halilintar
ke Sembilan Langit. Pengaruh jurus Anala, tidak bisa dikatakan
ringan. Sengatan-sengatan listrik telah dihasilkan oleh gerakangerakan jurus itu.
Sengatan-sengatan itu sangat menggangu
Prajanata. Tidak jarang ia terpaksa menghentikan gerakangerakan untuk menghindar dari
sengatan. Sampai pada suatu kesempatan, Prajanata pun mengerahkan
tataran tertinggi dari ilmu yang dimiliki, Jina Soma (Rembulan
Pemenang). Ia bergerak dengan kekuatan yang telah dilambari
penuh himpunan tenaga dalam. Saat itu juga, ia berniat
mengakhiri pertempuran itu. Dengan segenap kekuatan yang
telah dihimpun, ia membenturkan sebuah serangan pada Anala.
"Desss." Tidak terdengar keras. Tapi itu cukup untuk
menandakan bahwa dua orang yang tengah bertempur itu telah
membenturkan ilmu masing-masing. Membenturkan dengan
kekuatan penuh. Akibat benturan itu, dua orang itu terdorong mundur surut.
4 Agaknya, benturan itu lebih berpengaruh terhadap Anala.
Prajanata tetap berdiri tegak. Berbeda dengan Anala. Telihat
tubuh murid Merak Mas itu agak terbungkuk, tangan kanan
memegang ulu hati. Ia seakan-akan telah menahan sesuatu.
Sesuatu yang menekan pada bagian tubuh itu. Menekan seperti
meremas. Tak berapa lama, Anala pun jatuh tidak kuasa menahan tubuh.
Tiga murid Perguruan Merak Mas bergerak cepat menghampiri
Anala. Tedja langsung memeriksa keadaan Anala. Terlihat wajah
Anala memucat atau bahkan menjadi putih dengan darah
menghiasi di sudut kiri mulut. Seperti orang tersedak, Anala
100 terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulut lalu tidak sadarkan
diri. Murid-murid itu pun memapah tubuh Anala menjauh dari
kelompok Prajanata. Di tempat yang agak menjauh itu, Anggasta
meloncat berdiri untuk maju menghadapi Prajanata. Tetapi
tindakan itu dicegah Tedja. "Adhi, jangan menambah korban".
Katanya tegas. Sesaat setelah mengendalikan dan meredam pengaruh benturan
tadi, Prajanata berteriak, "Ayo, siapa lagi yang ingin maju".
"Adhi, biarlah aku yang akan maju menghadapi orang itu. Biarkan
Anala berbaring dan jaga dia baik-baik." Setelah berkata
demikian, Tedja bangun berdiri, berjalan menghampiri Prajanata.
"Baiklah Ki Sanak, aku yang akan maju meneruskan permainan
ini". Kata Tedja singkat.
"Mundur kau, Prajanata. Biar aku akan melumat sendiri anak
perguruan Merak Mas ini". Terdengar suara dari arah belakang
Prajanata. Sekalipun terlihat kesal, Prajanata pun beranjak tanpa
membantah Ia segera meninggalkan Tedja, berjalan untuk
menyatu dengan kelompoknya. Beranjak dengan rasa kesal yang
tersimpan dalam hati. "Anak muda, aku tidak segan-segan mencabut selembar jiwamu.
Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, karena aku akan
mengujimu dengan jurus Lohita Soma (Rembulan Memerah)."
Kata orang itu sambil bergerak maju mendekati Tedja.
Tidak seperti sebelumnya, pertarungan kali ini tidak dimulai
dengan "bermain-main". Panasnya suasana saat itu, telah
membuat dua orang yang sudah saling berhadapan itu langsung
memainkan ilmu andalan masing-masing. Tidak tanggung101
tanggung, mereka memainkan ilmu pada tataran tertinggi.
Tataran tertinggi yang mereka gapai. Tedja, sebagai murid Merak
Mas tingkatan adhigana, melambari diri dengan jurus-jurus
andalan Merak Mas yang telah dikuasai secara matang.
Hanya sesaat saja keduanya telah bergerak cepat mengirimkan
serangan silih berganti. Saling serang-menghindar berlangsung
cukup lama. Sesekali terjadi benturan yang tak terhindarkan. Dari
5 benturan itu, agaknya lambaran tenaga Tedja masih berada di
bawah orang itu. Menyadari kekurangan ini, Tedja menerapkan
teknik menghindar yang bersumber pada Merak Membalik Arus
Jagat Raya dan Merak Membuka Sirkulasi Jalan Langit, sambil
sesekali melontarkan Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan
Langit. Penguasaan Tedja akan jurus-jurus Merak Mas jauh
berada di atas Anala, baik dari kecepatan, kekuatan dan
kemantapan. Demikian pertarungan itu berjalan imbang. Yang satu lebih kuat
dalam hal tenaga murni, sementara yang lain lebih lincah dalam
menghindar sekaligus mengirimkan serangan balasan.
Kini, pertempuran ini sudah akan mendekati pada puncak. Dua
tangan pimpinan kelompok itu telah berubah putih kebiruan, dan
dengan perwaba dari ilmu yang dimainkan terus mendesak Tedja.
Sejak saat itu pertarungan telah berubah. Sekalipun masih dapat
menghindari tekanan dan pengaruh dari jurus orang itu, Tedja
terlihat berada pada posisi yang kian terpojok. Hanya menunggu
waktu saja, kekalahan akan menimpa Tedja. Kedua murid
perguruan Merak Mas yang menyaksikan pertarungan itu menjadi
khawatir dan was-was. Kesempatan pun tiba, orang itu dapat membenturkan sebuah
pukulan pada Tedja yang memang sudah terpojokkan.
102 "Desss." Tubuh Tedja pun terlontar hampir setengah tumbak,
dengan menerapkan Merak Mengayun 1000 Hasta, Tedja
meredam daya lontar benturan itu agar tidak terjatuh. Memang ia
tidak terjatuh. Tapi, ia merasakan seluruh tubuh telah bergolak.
Bergolak karena aliran hawa dingin merembes masuk.
Menyaksikan lawan telah terpukul surut dan terkena efek jurus
Rembulan Memerah, orang itu bersiap-siap untuk bergegas
melanjutkan serangan. Serangan untuk menutup tuntas
pertarungan itu. Keringat dingin telah mengalir dari sekujur tubuh Tedja. Keringat
itu keluar karena membayangkan kemungkinan apa yang dapat
menimpa. Benturan yang sesaat lalu terjadi, telah
mengguncangkan bagian dalam. Tetapi hal itu hanya
berlangsung sesaat. Sebab, Tedja telah melihat orang itu tengah
siap bergerak. Bergerak untuk menyerang kembali.
Dalam keadaan saat ini, tidak mungkin bagi Tedja untuk
menerima benturan orang itu. Menerima benturan, tanpa sesuatu
pengaruh yang berbahaya. Pengaruh yang jauh lebih buruk
dibandingkan yang telah dirasakan pada benturan sebelumnya.
Di saat kritis itu, tiba-tiba terdengar suara keras. Suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga tertentu.
"Cukup hentikan". Demikian suara itu terdengar nyaring dan
bertenaga. Agaknya, orang itu kaget mendengar suara yang datang
mencegah. Ia pun urung meneruskan serangan terhadap murid
perguruan Merak Mas yang sudah berada diambang kekalahan.
6 "Siapa kau?" Katanya.
"Hah! Kau, mana Pimpinan Kami?" Seru orang itu penuh
103 kekagetan, ketika mengetahui orang yang datang mencegah
adalah Arga. Anak muda yang diketahui tengah berada dengan
pimpinannya.Rasa kaget bercampur heran telah melanda orang
itu. Yang kemudian dilakukan adalah celingukan memandang
sekeliling, mencari sesuatu atau seseorang. Tampak jelas, orang
itu tidak mempercayai apa yang tengah dilihatnya.
Agaknya, bukan hanya orang-orang dalam kelompok itu yang
tidak mempercayai apa yang terjadi. Ketiga murid Merak Mas itu
pun berlaku sama. Mana mungkin seorang anak muda yang tidak
berdaya melepaskan diri dari pimpinan kelompok yang
anggotanya sendiri mampu menyudutkan murid pilihan Perguruan
Merak Mas. "Ki Sanak, orang yang kamu cari baik-baik saja, sekalipun tidak
punya daya. Ia ada dalam penguasaanku. Ini buktinya." Kata
anak muda itu sambil melemparkan sesuatu ke arah orang itu.
Sesuatu yang menjadi simbol kelompok mereka, sebuah lencana
dari emas yang berukirkan lambang rembulan dengan sebuah
mata yang besar di tengah-tengah.
"Locana Soma (Rembulan Bermata). Bagaimana benda ini bisa
ada padamu?" Kata orang itu setelah menerima dan memeriksa
benda itu. Anggota lain dari kelompok itu bergegas mendatangi
orang menerima lencana, hendak melihat sendiri bahwa benda itu
memang Locana Soma. Mendengar kata Locana Soma disebutkan, tampak murid-murid
Perguruan Merak Mas terhenyak.
"Jadi, kalian dari perguruan Kanaka Soma (Rembulan Emas).
Mau apa kalian datang dan bertingkah di wilayah penguasaan
Perguruan Merak Mas?" Kata salah seorang murid perguruan itu
seakan-akan mewakili kekagetan murid-murid lainnya.
104 Tanpa menanggapi pertanyaan itu, orang yang menerima
lencana menatap dan mengamati diri Arga dengan tajam. Lalu,
memandang kepada seluruh kelompok itu yang agaknya
merupakan isyarat bertindak. Tanpa bertanya, lima orang itu
bersama-sama bergerak maju mendekat ke arah anak muda itu.
Arga tetap tenang, karena sudah mengetahui seberapa jauh
tataran ilmu kelompok itu, sekalipun mereka maju secara
bersama-sama. Arga memutuskan hanya akan mengusir mereka
pergi dan menolong empat murid Merak Mas, yang salah satu di
antaranya telah terkapar tak sadarkan diri. Pun jika terpaksa ia
hanya melumpuhkan sebagian dari mereka, khususnya orang
yang memimpin kelompok ini, dan mengirimkan pesan kepada
perguruan Rembulan Emas. Mencermati keadaan, terutama ketenangan sikap dari anak muda
yang telah membawa Locana Soma, kelompok itu agaknya raguragu untuk bertindak. Tidak seperti
7 sewaktu di tempat penginapan, di mana mereka begitu beringas, kini mereka
bertindak terbata-bata. Setelah beberapa saat membeku, anggota
kelompok itu bergerak mengambil posisi masing-masing
mengurung Arga. Sedari tadi memang anak muda itu telah
bersiap-siap, termasuk bertarung menghadapi pengeroyakan
yang mungkin dilakukan oleh kelompok itu. Kemungkinan itu saat
ini sedang dihadapi. Dua orang anggota kelompok itu serentak bergerak menyerang,
satu dari arah di belakang dan satu lagi dari sisi kanan. Hampir
bersamaan serangan mereka tiba di tubuh anak muda itu. Tidak
mengelak, Arga biarkan serangan itu mengena pada tubuh.
Tubuh yang sudah dilambari dengan Jubah Perang Naga.
"Buk. Buk." 105 Dua serangan itu mendarat telak di tubuh Arga. Satu menyasar
pada dada kiri dan satu lagi tepat leher belakang. Dua serangan
berbahaya. Tertuju pada bagian-bagian penting tubuh. Yang
paling berbahaya adalah serangan di dada kiri. Hawa serangan
itu langsung mengarah pada jantung. Dua serangan orang itu
mengandung hawa dingin yang sangat kuat.
Yang kemudian menyusul, adalah rasa kaget yang terlukis di
wajah dua orang yang telah mendaratkan serangan. Mereka
sangat kaget, serangan mereka tidak membawa pengaruh
apapun terhadap diri orang yang telak terpukul oleh serangan.
Apa yang telah terjadi merupakan pengaruh Jubah Perang Naga.
Ilmu pelindung tubuh yang telah dilatih secara ajeg dan benar.
Lewat Jubah Perang Naga, energi dari dua serangan yang telak
mendarat dengan seketika telah diserap sekaligus dilebur.
Diserap dan dilebur seketika.
"Durbiksa Jnana (ilmu siluman/setan)". Desis dua penyerang
anak muda itu hampir bersamaan, sambil serta merta bergerak
mundur.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Sanak, hentikan serangan kalian. Itu hanya akan sia-sia
belaka. Aku tidak berniat membuat kalian sulit, apalagi terluka."
Sambil berkata demikian, Arga telah mengarahkan pandangan
pada pimpinan kelompok itu.
"Sekali lagi Ki Sanak, pimpinan kalian ada dalam penguasaanku.
Tapi, aku jamin bahwa ia tidak akan kurang sesuatu apa pun. Aku
hanya ingin pimpinan yang bertanggungjawab atas pergerakan di
wilayah ini, datang menemui diriku. Saat itu, aku akan
menyerahkan orang yang ada dalam penguasaanku." Demikian
Arga menyampaikan suatu pesan kepada pimpinan kelompok itu.
Pesan untuk mengundang pimpinan Rembulan Emas
106 menampakkan diri. "Kapan dan di mana, kami dapat menemuimu." Kata pimpinan
kelompok itu. Ia tidak meneruskan serangan setelah menilai
8 situasi dan kedudukan. "Tentang waktu dan tempat, biar pimpinan kalian yang
menentukan. Satu dua hari ke depan, aku masih berada di
penginapan itu. Kalian dapat mengirimkan utusan untuk
menyampaikan perihal pertemuan itu. Ingat satu dua hari, lebih
dari itu aku tidak tahu di mana aku akan berada." Sementara Arga
berkata demikian, masing-masing anggota kelompok itu bergerak
mengumpul menyatu. Sejenak mereka terdiam. "Baik, kami akan menyampaikan
pesanmu kepada pimpinan kami. Kelompok besar kami pasti
akan cepat merespon pesan itu, karena kejadian ini telah
menanamkan duri di dalam tubuh kelompok kami." Sebuah
ancaman dikemukakan orang itu.
"Mari kita pergi." Orang itu memerintah yang lain.
Selepas kepergian kelompok itu, Arga menghampiri murid-murid
Merak Mas dan memberi hormat kepada mereka.
"Kakang semuanya, terima kasih, telah sudi menolong aku.
Perkenalkan namaku Arga. Mungkin Kakang sekalian pernah
mendengar nama itu, karena memang aku pernah menjadi
bagian dari Perguruan Merak Mas. Itu setidaknya tujuh delapan
tahun silam." "Maaf Adhi, aku tidak ingat nama itu. Kalau tadi Adhi sudah
memperkenalkan diri, aku akan mewakili mereka
memperkenalkan diri. Tetapi, sebelumnya aku mengucapkan
terimakasih atas pertolongan Adhi. Aku bernama Tedja Permana,
sedangkan yang terbaring tidak sadarkan diri adalah Anala. Di
107 sisi kananku ini adalah Anggasta. Seorang lagi Satwika." Kata
Tedja tidak beranjak. Ia berkata demikian sambil menopang
Anala yang masih tidak sadarkan diri.
"Tidak mengapa Kakang," jawab Arga memaklumi. "Boleh aku
memeriksa Kakang Anala". Arga pun bergerak mendekat murid
Merak Mas. Ia berjongkok berhadap-hadapan dengan tubuh yang
telah menjadi lemah itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung membuka baju dan
memeriksa dada Anala. Setelah mengamati kondisi murid yang
telah terluka itu, Arga bergerak menuju kaki. Dengan mengacu
pada petunjuk Samana Yatna (Pengerahan Tenaga untuk
Memperoleh Nafas Hidup), anak muda itu menempelkan telapak
tangan kanan pada telapak kaki kiri Anala lalu mengerahkan
tenaga penyedot, menarik hawa dingin yang mendekam pada
tubuh murid Merak Mas. Reaksi yang timbul dari tindakan Arga
adalah terbentuk kumpulan serbuk putih yang merupakan bungabunga es hasil transformasi hawa
dingin yang telah tersedot.
Sebentar kemudian dan menilai keadaan Anala sudah cukup
membaik, ia pun menghentikan teknik pengerahan tenaga itu.
"Biarkan Kakang Anala terus terbaring, dan tunggu ia siuman
dengan sendirinya". Keheranan, mungkin lebih tepatnya kekaguman, masih terus
9 membekas di wajah tiga murid Merak Mas itu. Arga tahu mereka
dihantui perasaan penasaran yang mendalam, ingin menggali
banyak mengenai dirinya. "Adhi Arga, boleh tahu dari perguruan mana Adhi berasal?"
Tanya Anggasta sepertinya meledakkan gumpalan rasa
penasaran yang sudah tidak kuat ditahan.
"Aku tidak berasal dari suatu perguruan mana pun. Hanya
108 kebetulan datang ke kota itu lewat." Singkat Arga memberikan
penjelasan. Tidak secara terbuka.
"Kalau mungkin Kakang sekalian tidak mengingat namaku,
mungkin Kakang ingat nama Karkasa Bayu, kuda kesayangan
Ketua Perguruan Merak Mas. Akulah anak yang waktu itu diminta
untuk membersihkan dan memberi makan Karkasa Ba..."
"Ah, jadi kau itu anak yang pernah kami cari-cari karena diduga
kabur melari...!" Satwika berteriak memotong perkataan Arga,
namun ucapan itu juga tidak selesai. Dihentikan oleh kakang
Tedja dengan tepukan pada sebuah lengan. Pembicaraan
terhenti sesaat. "Kakang, aku tidak kabur membawa lari kuda itu. Tetapi kuda itu
mati dipagut ular beracun sewaktu aku memberi makan. Karena
takut, aku meninggalkan kuda itu dan melarikan diri dari
Perguruan Merak Mas" Lanjut Arga menjelaskan duduk
perkaranya. "Adhi Arga, Ketua sendiri memang waktu itu murka karena
kehilangan kuda kesayangan yang merupakan pemberian Raja.
Tetapi, itu hanya beberapa saat. Setelah ditemukan jasad
Karkasa Bayu, kemarahan beliau mereda dan memerintahkan
beberapa orang murid perguruan mencari dan membawa pulang
Adhi. Oleh karena itu, apabila Adhi tidak berkeberatan setelah
urusan dengan Perguruan Rembulan Emas ini selesai, baiklah
Adhi mampir berkunjung ke perguruan." Kata Kakang Tedja
mengajukan usulan, tepatnya suatu ajakan kepada Arga.
Di tengah-tengah pembicaraan itu, tiba-tiba tangan Anala
bergerak tanda ia mulai siuman.
"Bagaimana keadaanmu Anala?" Kalimat itu spontan keluar dari
mulut Anggasta sekalipun mata Anala belum membuka. Tentu
109 saja, Anggasta tahu pertanyaan itu tidak akan terjawab.
Sebenarnya, ia sendiri tidak membutuhkan suatu jawaban.
Kalimat itu terlontar lebih sebagai ekspresi kekhawatiran akan
keadaan teman. "Agaknya, kita bisa pergi dari tempat ini. Anala mulai siuman, dan
sudah dapat kita papah pergi." Kata Kakang Tedja.
"Tetapi Kakang, Adhi Arga belum bercerita banyak mengenai
dirinya dan memenuhi ajakan berkunjung ke perguruan". Protes
Anggasta. "Ah, sudah, kita bisa membicarakan itu secara lebih leluasa dan
10 panjang lebar di tempat penginapan. Dan, aku juga ingin tahu
bagaimana Adhi Arga bisa lolos dari Pimpinan Kelompok
berlencana Locana Soma. Juga bagaimana keadaan orang itu?"
Jawab Kakang Tedja menanggapi protes itu.
Demikianlah, dengan hat-hati Anggasta dan Satwika memapah
Anala lalu beranjak pergi menuju penginapan. Lima orang itu pun
beranjak pergi berjalan secara berdampingan.
*** Saat itu hari sudah menjelang pagi. Setibanya di tempat
penginapan, tampak di sana empat orang petugas keamanan
telah hadir. Hadir setelah laporan pihak penginapan melapor.
Sementara Kakang Tedja menemui petugas-petugas itu, Arga
dan dua murid perguruan Merak Mas lain langsung menuju kamar
untuk membaringkan Anala beristirahat. Setelah itu, mereka
berkumpul di ruang tamu penginapan itu.
Tak berapa lama, Kakang Tedja pun bergabung di ruang tamu
penginapan itu. Mengesar sebuah kursi, Kang Tedja duduk tepat
110 di hadapan Arga. "Ayo, Adhi Arga, ceritakan bagaimana Adhi bisa lolos dari
Pimpinan Kelompok itu?" Anggasta bertanya penuh gairah,
demikian juga dua murid Merak Mas lainnya. Mereka sangat ingin
tahu bagaimana Arga dapat melepaskan diri pimpinan Rembulan
Emas yang menyandang lencana Locana Soma.
"Keluar dari penginapan, pimpinan kelompok yang dikenal
belakangan berasal dari Rembulan Emas membawa aku pergi ke
suatu tempat. Tempat itu merupakan sebuah bangunan, yang
biarpun sudah larut malam tampak masih ada kegiatan. Ketika
kami datang, orang-orang di sana menghentikan kegiatannya dan
bergegas menyambut orang itu." Demikian Arga memulai cerita
pada saat menjadi tawanan orang yang menyandang lencana
Locana Soma. Lencana Rembulan Bermata.
*** "Selamat datang Tuan Rasendriya." Sambut salah seorang
sambil membungkuk dan berjalan di depan orang yang disebut
Rasendriya, manakala orang itu tengah membawa seorang anak
muda menuju suatu ruangan. Ruangan itu kosong tanpa
perabotan dan tidak seberapa luas, tetapi dapat menampung 10
hingga 12 orang untuk berkumpul. Di sana telah terhampar empat
buah tikar yang dianyam dari daun pandan kering. Orang yang
disebut Rasendriya itu pun mendudukkan Arga di tikar itu dan
beranjak pergi keluar, entah untuk apa, lalu duduk menempati
suatu posisi berhadap-hadapan dengan Arga dengan jarak kirakira 5 hasta. Terlihat ia
mengeluarkan kantung penyimpanan
111 uang milik anak muda yang berada di hadapannya.
"Anak muda, sekali lagi aku bertanya siapa kau sebenarnya?" Ia
bertanya sambil menimang-nimang kantung penyimpanan uang.
11 Kantong itu sejak dari penginapan telah diserahkan oleh anggota
kelompoknya. Karena tidak mendapat jawaban dari anak muda
yang ditanya, wajah orang itu mengeras. Wajah itu menunjukkan
bahwa ia tidak senang atau bahkan murka.
"Ayo, lekas jawab. Habis sudah kesabaranku". Ia membentak
sambil menggebrak lantai beralas tikar dengan tangan kanan,
dan tetap meletakkan organ itu menekan lantai. Dari arah tangan
itu mengalir serangkaian hawa dingin ke arah anak muda itu.
Hawa dingin menghantam bak gelombang yang tidak terputus,
dengan kekuatan yang semakin meningkat.
"Hai, siapa kau sebenarnya" Pintar sekali kau menyembunyikan
diri." Cetusnya dengan suara penuh selidik namun
menggelorakan suatu kegairahan. Melihat upaya itu tidak
menunjukkan hasil yang diinginkan, ia pun dengan tangan kiri
melakukan hal sama. Yang luar biasa, kalau sebelumnya hawa
dingin telah mengalir dan masih terus berlangsung tanpa
berkurang kekuatannya, kini arus panas yang datang menyerang.
Sesungguhnya, ini adalah kali pertama Arga menerima sebuah
serangan. Dan, serangan itu tidak main-main datang
bergelombang tidak terputus dalam dua bentuk lambaran energi
yang berbeda. Untuk berjaga-jaga melindungi diri, secara
bersamaan Arga pun mengerahkan dua teknik perlindungan:
Naga Kawaca (Jubah Perang Naga) dan Warastika Sambega
(Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang). Ini didasarkan pada
kekhawatiran, jangan-jangan Jubah Perang Naga, yang
bersumber pada anasir tanah dengan sifat menyerap, tidak akan
112 kuat atau jebol menahan serangan orang itu, yang sesaat
sebelum mengajak pergi meninggalkan rumah penginapan
terdeteksi menghimpun hawa panas dan dingin.
Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang merupakan teknik
penjinakan terhadap suatu tenaga yang datang menyerang.
Teknik yang dipelajari Arga sebagai bagian dari Samana Yatna
(Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh Nafas Hidup)
Putaran waktu seakan-akan terhenti oleh suasana yang
menegang. Tak selang beberapa lama, dua tangan orang itu
telah berubah, yang kanan tampak kian memutih, sementara
yang kiri telah membiru agak berkilat. Rupanya selain elemen air,
ia telah mengerahkan elemen swasana untuk menyerang.
Serangan hawa dingin terserap tuntas oleh Jubah Perang Naga,
sementara hawa panas dari serangan elemen swasana dapat
ditolak-alihkan oleh Sambega Warastika. Efek pengalihan hawa
panas itu telah mengakibatkan berberapa benda di sekitar
menjadi hangus, khususnya tikar di mana Arga duduk bersila.
"Baik lah, permainan ini kita hentikan." Ia pun menarik tangan dari
lantai dan telah bangkit berdiri.
*** "Aku semakin tertarik dengan dirimu. Anak muda, boleh kutahu
siapa namamu dan dari trah aliran mana kau menyadap ilmu."
12 Kata orang itu sambil berdiri memandang anak muda yang masih
duduk bersila di hadapannya.
"Dan kau sudah dengar dari orang tadi bahwa namaku adalah
Rasendriya." Ia menyebut nama dirinya dengan suara ditekan
untuk menunjukkan keramahan sekalipun terasa amat janggal.
113 "Ki Rasendriya, begitu berhargakah namaku. Kalau memang
demikian adanya, Ki Sanak boleh memanggil Arga." Jawab anak
muda itu penuh ketenangan.
"Arga.... Baik akan kuingat nama itu. Kau begitu percaya diri,
hanya karena mampu menahan serangan tadi. Kuingatkan, aku
masih menyimpang ilmu-ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada
yang tadi kau terima. Sayang, bila anak muda berbakat seperti
dirimu harus menjadi korban dari salah satu ilmu-ilmu itu. Baik
bagimu mengatakan jati diri yang sebenarnya, dan apabila aku
berkenan, dapat membawamu untuk masuk bergabung dengan
kelompok di bawah pimpinanku." Ajakan itu diiringi dengan katakata yang menyimpan ancaman.
"Maaf Ki Rasendriya, aku tidak akan mengatakan apapun
mengenai dari mana aku berasal. Tentang ajakan bergabung
dengan kelompok Ki Sanak, sejauh ini aku tidak berniat untuk
bergabung dengan kelompok manapun." Jawab anak muda itu
menolak apa yang diinginkan oleh orang yang bernama
Rasendriya, sekalipun orang itu telah mengeluarkan ancaman.
"Hmm.. Agaknya kita harus melanjutkan permainan tadi. Dan,
permaian lanjutan ini akan lebih serius, jauh lebih serius dari yang
tadi sudah berlangsung". Kata orang itu memberikan suatu
peringatan. Sesaat kemudian anak muda itu berdiri. Di ruangan itu kini dua
orang terlihat berdiri. Berdiri saling berhadapan dengan jarak
seperti semula, kira-kira setengah tumbak. Untuk beberapa saat,
keduanya sama-sama terdiam, tetap pada posisi masing-masing
dan berkonsentrasi menghimpun penilaian atas keadaan yang
dihadapi. Tidak berapa lama, orang itu bergerak santai menyerang. Namun,
114 begitu mendekati sasaran, serangan itu menjadi sangat cepat.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hebatnya lagi, serangan itu mengarah pada enam sasaran
berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Dada kiri dan
kanan serta uluhati menjadi sasaran serangan yang dilakukan
melalui tangan kiri, sementara mata, kening dan pelipis jadi
sasaran tangan kanan. Akan tetapi, serangan itu dapat dihindari Arga dengan teknik
Apsara Naga (Naga Meluncur). Lewat gerakan seperti orang yang
secara tiba-tiba terpeleset dan jatuh dalam posisi berjongkok
pada kemiringan tertentu, serangan itu dapat diluputkan. Hanya
saja hawa serangan itu tetap terasa menyengat: panas dan
dingin. Teknik Naga Meluncur menyimpan gerakan-gerakan yang aneh
13 tidak terduga untuk menghindari serangan. Gerakan itu bisa
berupa gerakan seperti orang yang tiba-tiba terpeleset dan jatuh
terjongkok, berputar secara berulir entah merendah atau
melambung, atau dengan kemiringan tertentu memutar-mutar
tubuh ke kiri atau kekanan secara elastis dan cepat pada suatu
sumbu tumpuan tetap, merayap cepat secara meliuk-liuk ke kiri
atau ke kanan seperti ular, melenting tinggi seperti ulat nangka
atau udang, dan lain-lain.
Saat serangan pertama gagal, Rasendriya tidak berhenti
melainkan menyambung serangan itu dengan mengirimkan
sebuah tendangan ke arah perut. Dengan merayap cepat meliukliuk seperti ular, serangan itu hanya
mengenai ruang kosong. Demikian Apsara Naga dapat meredam serangan-serangan
Rasendriya yang mengarah kepada sejumlah titik sasaran baik itu
ke bagian-bagian tubuh yang vital atau bagian-bagian lain seperti
persendian siku, dengkul atau pergelangan tangan.
115 Sudah hampir limapuluh serangan dilancarkan Rasendriya
melalui ratusan gerakan yang sangat sistematis. Tapi semua itu
lewat berlalu tanpa hasil. Ia pun meloncat surut mengambil jarak,
dan tampak pada diri suatu perubahan. Tangan kiri telah berubah
membiru berkilap, sementara tangan kanan memutih. Sebuah
pemandangan amat kontras, sebagai hasil reaksi dari ilmu yang
telah dilatih selama bertahun-tahun. Dilatih dan disadap dari
Perguruan Rembulan Emas. *** Di luar ruangan terdeteksi ada 4 orang yang tetap berdiri di balik
pintu, tanpa berani membuka pintu itu, apalagi masuk.
"Ayo, anak muda, kita bukan sedang memainkan permainan
kanak-kanak. Jangan hanya menghindar."
"Sejauh ini, kau memang cukup hebat anak muda. Jarang orang
mampu menghindari Usnika Soma (Rembulan Bersinar Panas)
dan Tusara Soma (Rembulan Salju) yang tadi sudah aku
mainkan. Kini, berhati-hatilah aku akan melumatmu dengan
Lokatara Lohita Soma (Rembulan Memerah Luar Biasa) dan
Labdajaya Soma (Rembulan Mencapai Kemenangan)," Sambung
orang itu dengan berkata keras seolah-olah memberi peringatan,
padahal ia ingin mengumbar ancaman dan memamerkan diri
lewat jurus yang telah dikuasai.
Parusa Jagattraya Naga (Naga Semesta Tajam dan Menusuk)
dan Usnika Jagattraya Naga (Naga Semesta Membara), dua
jurus warisan Naga Branjangan, yang telah dirampungkan Arga
memang belum menampakkan wujud untuk membentur jurusjurus orang itu. Sengaja kedua jurus
itu tertahan, tidak dimainkan.
116 Maklum, kedua jurus itu belum pernah dipraktekkan oleh Arga
dalam situasi pertempuran yang nyata. Selama ini, kedua jurus itu
hanya dijalan dan dimainkan dalam latihan dengan lawan-lawan
14 semu, yang dimunculkan melalui imajinasi pikiran anak muda itu.
Dua jurus itu tidak pernah dihadapkan pada lawan yang
sebenarnya. Memainkan dua jurus itu untuk pertama kali pada suatu
pertarungan nyata, serta merta berjalan canggung dan kikuk. Apa
yang dihadapi anak muda itu adalah laga nyata dengan situasi
khusus yang tidak terduga. Sebab, lawan di depan sana bukan
lawan yang bergerak dalam pikiran melainkan lawan yang
bergerak dengan kehendak mandiri. Kehendak bebas penuh
anomali dan tidak terduga.
Gerakan-gerakan dan langkah-langkah untuk menghindar, yang
telah dilakukan secara terus menerus oleh Arga, merupakan cara
anak muda itu mengatasi kekikukan dan kecanggungan. Dengan
terus mengelak, Arga telah memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengamati bentuk dan isi kekuatan jurus lawan. Melalui
pengamatan pada saat menghindar tadi, serangan lawan telah
dapat dikenali oleh anak muda itu. Dikenali baik bentuk dan
perubahan, unsur-unsur dan sifat-sifat, dan yang terpenting
jangkauan dan tingkat daya rusak dari serangan itu.
Dengan pengenalan itu, anak muda itu memutuskan untuk
meladeni lawan. Meladeni dengan dua jurus warisan Naga
Branjangan. Sekalipun jurus itu baru pertama dimainkan untuk
menghadapi lawan nyata, Arga telah memperoleh pandangan
terhadap penyesuaian yang akan dilakukan lewat kedua jurus itu.
Penyesuaian yang dinilai akan menjadikan gerakan-gerakan yang
dimainkan menjadi lebih efektif dan efisien dalam meladeni
117 lawan. "Seperti yang Ki Sanak inginkan aku tidak akan lagi bertindak
untuk menghindar. Aku akan memapak ilmu-ilmu yang Ki Sanak
usung." Kata Arga pelan dan jelas, serta langsung mengambil
sikap menurut tata gerak Naga Semesta Tajam dan Menusuk.
Tarikan nafas yang teratur tampak telah dilakukan oleh
Rasendriya. Agaknya, orang itu sedang melakukan
penghimpunan energi yang jauh melampaui yang telah
diperlihatkan sebelumnya. Kalau semula tangan kiri tampak biru
berkilap, dengan apa yang tengah dilakukan, tangan itu justru
terlihat biru memutih dan sementara tangan kanan putih membiru.
Suatu pengerahan penggabungan tenaga yang telah matang.
Mendahului bergerak, sebuah serangan pembuka dari Naga
Semesta Tajam dan Menusuk telah dikirimkan oleh Arga. Yang
menjadi sasaran adalah titik-titik peka yang tepat berada pada
sendi. Persendian yang menyambungkan lengan dengan badan.
Titik ini tidak mematikan, hanya melumpuhkan. Sentuhan pada
titik ini akan membuat tangan lumpuh tidak bisa bergerak.
Sentuhan itu akan memutus aliran tenaga murni ke tangan.
Melihat serangan itu datang, Rasendriya mengelak dengan
bergerak mengeser cepat ke samping kanan.
Menyadari serangan hanya mengena pada ruang hampa, Arga
15 melakukan serangan susulan. Serangan itu dilakukan dengan
berjongkok dan bergerak meliuk-liuk sempurna dan sebuah
cakaran tangan telah dilancarkan mengancam paha kiri orang itu.
Lagi, serangan ini dihindari oleh Rasendriya dengan loncatan
melambung dan segera sesudahnya bersiap-siap untuk
mengirimkan serangan balasan. Namun serangan balasan itu,
tidak dapat dilakukan. Karena, rangkaian serangan Naga
118 Semesta Tajam dan Menusuk, datang mendesak susul menyusul
dan tidak memberi ruang atau kesempatan kepada Rasendriya
untuk membalas. Selain cepat dan penuh perubahan, serangan
Naga Semesta Tajam dan Menusuk itu bersifat rapat yang tidak
membiarkan celah. Tak ayal, ini semua menjadikan Rasendriya
hanya dapat menghindar dan terus menghindar.
Seiring dengan kian terpojoknya Rasendriya, ruangan di mana
pertarungan itu berlangsung telah menjadi dingin membeku.
Tubuh Rasendriya sendiri berubah sedikit demi sedikit berbinar
biru keputihan. "Hebat. Jurus yang Hebat. Permainan ini menjadi sangat...
sangat menggairahkan". Katanya sambil melenting tinggi dan
mendarat pada jarak satu tumbak. Arga pun telah menghentikan
gerakan Naga Semesta Tajam dan Menusuk, tidak mengejar
untuk memburu dan menyerang lawan.
"Luar biasa. Rangkaian serangan yang luar biasa. Cepat, rapat
dan penuh perubahan. Sampai-sampai, tidak menyisakan ruang
bagiku untuk memainkan Lokatara Lohita Soma (Rembulan
Memerah Luar Biasa) dan Labdajaya Soma (Rembulan Mencapai
Kemenangan). Hawa dari serangan pun tajam kuat menusuk.
Kau boleh bangga anak muda, hawa itu menerobos masuk
menembus, sekalipun belum mampu mengoyakkan ilmu
pelindung Tibra Soma (Rembulan Kuat dan Keras) yang telah
kuterapkan. Tanpa itu, mungkin hawa seranganmu telah
mencacah tubuhku seperti baju yang aku kenakan ini." Sekalipun
memuji, ia tetap menggumandangkan ketangguhan ilmunya yang
tidak terpengaruh oleh serangan-serangan itu.
"Anak muda, mari lanjutkan permainan ini sampai pada puncak
sandaran kita masing-masing. Siapapun yang tinggal berdiri
119 tegak di ruangan ini dialah pemenang."
Setelah berkata demikian, Rasendriya merentangkan kedua
tangan lebar-lebar dengan mata memandang tajam ke arah
lawan. Sesaat kemudian, tubuh yang sepenuhnya berbinar biru
keputihan melayang naik sejengkal dari tanah. Suatu teknik
Mahitala Nasti (Tidak Terpengaruh Oleh Permukaan bumi).
Melihat hal itu, Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega pun
sudah berada pada tataran yang mapan. Bersamaan dengan itu,
Naga Semesta Tajam dan Menusuk pun sudah disandingkan
dengan Naga Semesta Membara. Tidak terbendung lagi, apa
16 yang sedang berlangsung akan segera tiba pada puncak.
Bergerak secepat kilat dari posisi melayang, dengan memainkan
secara sekaligus Lokatara Lohita Soma dan Labdajaya Soma,
Rasendriya meloncat tinggi hingga setengah tumbak lalu menukik
menyerang. Saat meloncat dan bergerak mengapai sasaran,
aneka teknik gerakan secepat kilat dipertunjukkan mulai dari
memukul, menendang, mencakar dan membabat. Dengan
gerakan-gerakan itu sulit untuk menduga, bentuk teknik apa yang
akan tiba kepada sasaran. Perpaduan jurus yang amat cepat dan
kaya akan perubahan. Gerakan dalam gerakan, begitulah apa
yang tengah dimainkan oleh Rasendriya. Begitu cepat seranganserangan itu telah dilancarkan,
sangat sulit untuk dielakkan.
"Tidak ada cara lain untuk meredam jurus-jurusnya, kecuali
bertindak untuk membentur." Demikian penilaian Arga atas apa
yang tengah berlangsung. "CESSS. CESSS. CESSS."
Tiga kali rentetan suara keras, bunyinya seperti besi panas
membara dimasukkan ke dalam air. Itulah suara yang timbul
akibat benturan itu. Benturan yang telah melontarkan dua pihak
120 secara bertolak arah dan menciptakan jarak kurang lebih satu
setengah tumbak. Jarak yang lebih melebar dari posisi keduanya
pada saat sebelum terjadi benturan.
Tiga bunyi yang terdengar, merupakan efek dari tiga benturan
yang berasal dari tiga bentuk teknik serangan yang mengena
pada sasaran: satu pukulan, satu tendangan dan satu babatan.
Tetapi serangan-serangan itu tidak mengena pada sesuatu yang
tidak beralas, tetapi justru terpapak pada sesuatu yang sudah
dipersiapkan. Pukulan itu tertahan dengan pukulan, begitu juga
babatan dengan babatan. Sementara, tendangan terpapas oleh
lutut yang tertekuk. Jadi, kepalan bertemu kepalan, ruas tangan
dengan ruas tangan, dan tumit dengan lutut.
Sungguh, benturan itu berpengaruh pada Jubah Perang Naga
dan Sambega Warastika. Tapi, hanya membuat bagian-bagian di
mana terjadinya benturan tadi mati rasa karena terserang hawa
dingin. Tidak mengoyak jauh. Agaknya, efek benturan itu juga
dirasakan oleh Rasendriya. Hanya ia terkena pengaruh hawa
serangan dari energi yang berbeda sifat. Tidak dingin, melainkan
panas membara. Sekejap menetralkan dan meredam pengaruh lewat teknik
Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh Nafas Hidup, anak muda
itu telah menjadi pulih. Pulih sepenuhnya, seperti sedia kala.
Menyusul itu, ia pun menyiapkan sebuah serangan dengan teknik
Naga Semesta Membara. Serangan itu pun telah dilesatkan cepat
ke sasaran. Seperti serangan yang telah dilakukan Rasendriya
beberapa saat lalu, serangan itu tidak dapat dielakkan, hanya
bisa dipapas. "Ahhh..." Terdengar suara Rasendriya pada saat membentur dan
menangkis serangan itu. Tubuh orang itu melesat dengan posisi
17 121 melengkung di udara seperti membentuk tapal kuda dengan dua
tangan tersilang di depan dada, terus meluncur dan baru terhenti
karena tertahan dinding ruangan di belakang.
BRAAAK. Benturan tubuh dan dinding itu menimbulkan suara keras. Sangat
keras memekakkan telinga.
"Cukup, anak muda. Aku menyerah. Silahkan perbuat apa pun
yang kau kehendaki, sebagaimana aku selalu perbuat pada
setiap lawanku". Orang itu menyerah dengan posisi tubuh
melengkung terbaring memiring.
Masih berdiri diam sesaat untuk meredakan dan
"mengkandangkan" secara berangsur-angsur sisa energi yang
telah terhentakkan keluar, Arga membuat pertimbangan. "Ia
sudah menyerah, tidak perlu melakukan tindakan lain yang
melampaui batas. Tetapi, orang ini berguna untuk menelisik jejakjejak kekuatan yang
memungkinkannya bergerak sejauh ini. Ia
adalah bayang-bayang dari kekuatan itu, yang dapat mengantar
pada sumbernya." Anak muda itu membuat rencana atas orang
yang baru saja ia kalahkan.
Tidak lama kemudian, Arga mendekat dan memeriksa kondisi
orang itu. Lalu menekan beberapa titik penting di tubuhnya. Hal
itu dibuat, selain untuk meredakan dan meringankan pengaruh
benturan pada orang itu, sekaligus untuk menyegel aliran energi.
Menguasai orang itu sepenuhnya. Setelah itu, Arga membiarkan
ia terbaring tidur terlentang. Agaknya, di bangunan itu hanya
tinggal mereka berdua. Orang-orang yang sebelumnya sibuk
bekerja, sudah melengser pergi.
Setelah membiarkan beristirahat untuk sesaat, Arga
menggeledah dengan seksama tubuh Rasendriya. Sebuah
122 lencana tersimpan di sana, lalu ia mengambil benda itu dan
memasukkan ke kantung di balik baju. Selanjutnya, ia pun
mengangkat dan menggendong lawan kemudian membawa
pergi. Ia bergerak cepat kembali ke penginapan lalu menyelinap
masuk diam-diam untuk "menyimpan" Rasendriya di bawah
pembaringan di dalam biliknya. Menyimpan orang itu dengan
kondisi sadar namun seluruh titik syaraf gerak terkunci, termasuk
titik syaraf bersuara. Memastikan segalanya berjalan baik, Arga
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun pergi menyusul ke tempat pertarungan di tepi sungai.
*** Begitulah Arga mengungkapkan kejadian yang telah dialami.
Yakni, bagaimana ia telah melepaskan diri sebagai tawanan dari
penyandang lencana Locana Soma, dan mengapa bisa muncul
ke tempat pertarungan di tepi sungai. Melepaskan diri sebagai
tawanan untuk kemudian ia menawan orang yang terlebih dahulu
menawan. Yang ditawan menjadi penawan. Penawan tertawan.
Suatu yang Ironis. 18 Tiga murid Perguruan Merak Mas itu terkesiap mendengar apa
yang telah dituturkan oleh Arga. Lebih mudah untuk tidak
mempercayai cerita itu. Tetapi, apa yang diceritakan anak muda
itu bukan suatu karangan, melainkan sesuatu yang telah mereka
saksikan sebagai suatu kebenaran. Kebenaran itu mereka lihat
dengan mata kepala sendiri. Bahkan, mereka telah menjadi
bagian dari kebenaran itu sendiri. Menyangsikan kebenaran itu,
sama halnya dengan menyangsikan keberadaan mereka. Oleh
karena itu, yang muncul kemudian sebagai tanggapan dari cerita
123 anak muda itu bukanlah ketidakpercayaan karena suatu
kesangsian, melainkan ketidakpercayaan karena suatu
kekaguman dan ketakjuban.
"Wayaaaah, jadi orang itu Adhi sembunyikan di penginapan ini".
Seru Anggasta meminta kepastian lebih lanjut mengenai
keberadaan penyandang lencana Locana Soma yang telah
dibekuk dan ditawan oleh Arga.
"Iya. Tapi itu hanya sementara sampai ada tempat lain yang lebih
baik. Kerena keberadaanya di sini tentu akan berpengaruh pada
penginapan ini." Kata anak muda memberikan pembenarannya
sekaligus menyatakan risiko yang dapat berkembang lebar
menyasar pada yang tidak diinginkan.
"Apakah Kakang mengenal tempat lain di kota ini yang dapat
itu membuka suatu percakapan untuk menangani tawanan.
Empat orang muda membicarakan masalah itu secara mendalam
dan mencari jalan keluar yang paling tepat. Keputusan yang
mereka ambil adalah menyewa tempat lain dengan tingkat risiko
minimal. Untuk itu, Tedja memerintahkan Satwika untuk
secepatnya mencari dan secara diam-diam menyewa suatu
tempat sesuai syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Pembicaraan lain adalah siasat menghadapi Perguruan
Rembulan Emas, induk kekuatan dari kelompok yang dipimpin
oleh orang berlencana Locana Soma. Agaknya, tiada siasat lain
terkait hal itu kecuali menunggu. Menunggu utusan Rembulan
Emas datang menyampaikan penetapan waktu dan tempat
pertemuan untuk "menjemput" penyandang lencana Soma
Locana. Memang, hanya menunggu. Karena, tidak ada seorang pun di
124 antara empat anak muda itu yang memiliki pengertian dan
penilaian yang terang mengenai perguruan itu. Mungkin, tokohtokoh seperti Paman Wira dan
Gilingwesi, yang diperkuat oleh
jajaran tilik sandi luas, yang memiliki penilaian tentang Rembulan
Emas. Tidak banyak waktu tersedia untuk menggali informasi
menjangkau Rembulan Emas.
"Maaf tuan-tuan, sarapan sudah tersedia. Silahkan mengambil
sendiri-sendiri atau ingin dikirimkan ke kamar masing-masing."
Seorang petugas penginapan menawarkan pelayanannya kepada
19 empat anak muda itu. Tawaran itu memotong dan menghentikan pembicaraan di antara
anak-anak muda itu. Dan tanpa menunggu lama, empat anak
muda itu pergi ke tempat sarapan telah disediakan. Cepat mereka
menghabiskan sarapan. Kang Tedja tidak lupa untuk meminta
salah seorang petugas penginapan untuk membawakan sarapan
ke bilik Anala. Tidak beberapa lama kemudian, empat anak muda
itu pun memutuskan membubarkan diri dan mengurus keperluaan
masing-masing. Sebelum berpisah, Arga mengatakan menjelang
makan siang akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan
Anala. *** Hari pun berlalu cepat, tanpa ada hal yang istimewa terjadi. Yang
agak mengemuka adalah kunjungan Arga ke kamar Anala.
Satwika masih bertugas mencari tempat "penitipan". Siang itu,
dengan ditemani oleh Kang Tedja dan Anggasta, Arga memeriksa
luka dalam Anala yang masih tertinggal. Ia memijat-mijat bagian
tubuh tertentu di seputar dada, belakang leher dan dua bahu
125 Anala lalu menyalurkan tenaga melalui titik-titik syaraf penting di
situ. Lewat tindakan itu, Arga menjalankan upaya pemulihan dengan
merangsang-pulihkan fungsi organ-organ yang terganggu akibat
serangan yang telah diterima oleh murid Merak Mas yang saat ini
masih terbaring. "Agaknya kakang Anala membutuhkan waktu 1,5 hingga 2
purnama untuk pulih. Boleh berlatih, tetapi harus membatasi diri.
Baik, apabila ia diberikan ramuan yang aku catat di atas daun
lontar itu. Ramuan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh."
Kata Arga kepada Kang Tedja dan Anggasta, sesaat setelah
menilai kondisi Anala pada siang itu. Kedua murid Perguruan
Merak Mas itu mendengarkan semua penjelasan-penjelasan yang
dikatakan Arga. Sore menjelang malam, kembali anak muda itu berkumpul di bilik
Kang Tedja. Mereka berkumpul lengkap empat orang. Satwika
menyampaikan usahanya yang belum juga berhasil menemukan
tempat "penitipan" yang cocok. Dan, ia akan berusaha lagi
mencari pada esok hari. Jadi, tidak ada perkembangan berarti.
Tidak banyak pembicaraan yang dapat dikatakan di bilik itu.
Mereka pun memutuskan untuk makan malam dan memindahkan
pembicaraan di ruang makan.
Pada saat melintasi ruang tunggu untuk menuju ruang makan,
Arga melihat ada seorang duduk di ruang tunggu tamu dengan
penampilan yang tidak mencolok. Ia sempat memperhatikan
kehadiran orang itu namun mengabaikan arti pentingnya.
Menurutnya, orang itu hanya sedang menunggu, sebagaimana
tingkah yang diperlihatkan saat itu: duduk sambil menepuk-nepuk
paha, seperti layaknya orang yang tidak sabar menunggu.
126 20 Setelah menyelesaikan makan malam, anak muda itu berpisah
menuju pembaringan masing-masing. Atas permintaan Kang
Tedja, Satwika tidak lupa membawa makanan dan minuman
hangat untuk Anala. Sementara, Arga melakukan hal yang sama
untuk penyandang lencana Locana Soma.
Di dalam biliknya, Arga langsung tenggelam dalam teknik
meditasi Lima Elemen Semesta. Tidak sampai menyusup ke
dasar teknik itu, ia mendengar pintu biliknya diketuk. Ia pun
memberi izin masuk, lalu muncullah seorang petugas
penginapan. "Tuan, di depan ada orang menunggu ingin bertemu." Ia
menyampaikan pesan itu cepat, dan setelah itu mengundurkan
diri meninggalkan kamar. "Yang kutunggu telah datang." Pikir Arga.
Tanpa menunggu lama, anak muda itu pun bergegas keluar
menuju tempat yang diberitahukan petugas itu. Tidak sulit
menemukan orang yang dimaksud, karena di sana hanya ada
seseorang. Yakni, orang telah duduk di situ seolah-olah
menunggu. Orang itu sebenarnya tidak menunggu, tetapi
mencari. Dengan kemunculan Arga di hadapannya, apa yang
dicari sudah ditemukan. Arga pun duduk menempati kursi di samping orang itu. Orang itu
tidak langsung berbicara, tetapi memberi senyuman. Suatu
senyum yang ingin memberi sapaan kepada orang yang belum
dikenal. "Terima kasih, Andika mau menemui aku." Kata orang itu sambil
beringsut mendekat dan menempatkan diri berhadap muka
dengan muka terhadap Arga.
"Aku hanya ingin menyampaikan suatu pesan. Pesan
127 sebagaimana Andika pernah sampaikan pada malam itu kepada
murid-murid penyandang Locana Soma". Katanya.
"Arjuna Aswattha (Hutan Beringin Putih) di Praja Kanta (Batas
Kota) sebelah utara, tidak jauh dari tepi sungai kejadian malam
itu, besok menjelang matahari tepat di ubun-ubun". Kata orang itu
sembari terus melakukan pengamatan.
"Bawa serta anggota kami yang dalam penguasaan Andika.
Seperti yang Andika janjikan, jangan ada jejak-jejak penderitaan
pada orang itu. Itu akan berakibat buruk yang dapat meluas."
Lanjut orang itu mengingatkan dan memperingatkan.
"Apa yang dipesankan, telah aku sampaikan. Aku mohon pamit
dan sampai bertemu kembali." Ia pun bangkit berdiri dan memberi
hormat yang juga dibalas dengan sikap hormat yang sama.
Sepeninggalan orang itu, Arga masih duduk di ruang tunggu itu.
Sungguh hebat orang itu, dapat melakukan penyamaran dengan
sempurna. Kalau sebelumnya tampil seperti orang asing yang
canggung dan kikuk, kini berubah seratus delapan puluh derajat:
penuh percaya diri dan mampu mengendalikan situasi seutuhnya.
21 Kelompok macam apa Kanaka Soma itu! Di dalamnya berhimpun
orang-orang yang luar biasa. Sekedar penyandang Locana Soma
saja sepak terjangnya sudah mengetarkan. Bagaimana dengan
pimpinannya" Pesan itu pun sampai ke Kang Tedja. Empat anak muda itu
Suka Suka Cinta 2 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Menuntut Balas 16