Pencarian

Naga Bhumi Mataram 4

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 4


saat melihat rombongan prajurit perang datang dari empat
penjuru. Ia pun mengambil sesuatu dari balik baju, dengan satu
tangan. Benda itu segera diletakkan di mulut dan ditiup.
TRREEEETTTT. TRREEEETTTT. TRREEEETTTT.
Tiga kali suara itu terdengar. Orang-orang berikat kepala kuning
pun mengerti isyarat itu. Mereka bergerak cepat melenting dan
melompat meninggalkan barisan yang telah porak-poranda.
Mereka bergerak menyebar dengan sangat cepat, menyusup
masuk di antara kerumunan khalayak yang telah kocar-kacir. Di
sana mereka melepaskan ikat kepala dan penutup wajah, dan
berlaku bingung mencari-cari sesuatu seperti dilakukan khalayak
saat itu. Untuk lebih menyamarkan diri, mereka menggendong
anak yang mereka dapati, atau menuntun memapah seseorang
yang sebelumnya terjatuh dan terinjak terluka. Demikian,
kelompok penyerang itu pergi. Pergi tanpa seorang pun dari
mereka ada yang tertinggal. Tidak ada yang tertinggal. Yang
190 tertinggal hanya sebuah panji bersimbolkan tengkorak bertaring di
atas bulan sabit dengan tulisan Chandrakapala di bawah.
*** "Lima orang senopati utama ditambah empat puluh prajurit
barisan makara wyuha dan lima ratus wanua (penduduk desa).
Oh, Hyang Agung. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan
aib ini kepada leluhurku. Benar-benar sebuah racana (bencana).
Perayaan berubah menjadi bencana. Poh Pitu Pancawara
sungguh-sungguh telah berubah menjadi Poh Pitu Racana
(Bencana di Poh Pitu)." Orang yang berkata demikian adalah
Raka i Limus Dyah Dewendra. Raja itu mengungkapkan
4 perkataan penuh kesedihan. Kesedihan yang tidak
disembunyikan dari orang-orang yang berada di hadapannya di
ruangan Istana Poh Pitu. Raja itu merasa sangat sedih, di
samping murka dan merasa kesal tidak berdaya. Tidak berdaya
terhadap keadaan, khususnya terhadap kelompok yang
menyerang prajurit. Ia tidak berdaya, karena kelompok itu tidak meninggalkan
seseorang yang dapat segera ditanya. Yang tertinggal hanyalah
sekeping lempengan logam. Kepingan logam yang membisu dan
hingga kini tetap tinggal tanpa makna. "Chandrakapala...
Chandrakapala... Chandrakapala... " Tiga kali raja itu menyebut
tulisan pada lempeng logam itu. Menyebut secara terputus-putus.
Lempeng logam itu masih berada di genggaman tangan.
"Ki Patih, malam ini juga aku akan kembali ke kota Bhumi
Mataram. Kumpulkan tokoh-tokoh persilatan yang terikat padaku,
khususnya Adhi Labdagati, Ketua Perguruan Rembulan Emas.
191 Besok malam, aku akan bertemu dengan mereka." Kata Raka i
Limus Dyah Dewendra menjatuhkan suatu perintah.
*** Begitulah, tiga tahun silam. Poh Pitu telah dilanda kegemparan.
Kegemparan atas nama Chandrakapala. Chandrakapala yang
telah bergerak pada saat Poh Pitu Pancawara . Kegemparan itu
telah membuat Pancawara menjelma sebagai Racana. Suka-cita
menjadi bencana. *** Mamrati, 796 ?aka (874 M). Lewat satu tahun kegemparan di Poh
Pitu. Tidak jauh dari kota pusat pemerintahan Raka i Kayuwangi,
terletak sebuah gunung dengan tiga puncak. Gunung Ungaran.
Konon, dalam Kisah Suci Ramayana, Hanoman telah menimbun
tubuh Dasamuka. Menimbun Dasamuka hidup-hidup dengan
gunung Ungaran. Tinggi gunung itu tidak terlalu tinggi dibanding
dengan gunung lain, sebagaimana ada di tanah Bhumi Mataram.
Kendati tidak terlalu tinggi, Gunung Ungaran adalah gunung yang
istimewa. Bukan karena tiga puncak, melainkan karena di salah
satu puncak gunung itu telah berdiri sejumlah bangunan.
Sesuai dengan jumlah, bangunan itu dinamakan Prasoda Nawa
(Sembilan Bangunan). Penetapan jumlah sembilan, tidak
sembarang. Jumlah sembilan berhubungan dengan kekuasaan
gaib yang menguasai atmosfir dunia. Kekuatan Nawa Dewata
(Sembilan Dewa), penguasa delapan penjuru mata angin, dengan
sentral di tengah-tengah sebagai pusat. Bangunan itu erat terkait
192 dengan keberadaan Dewata Penguasa Semesta. Gunung
Ungaran adalah perwujudan dari kahyangan, tempat
bersemayam para dewa. Prasoda Nawa merupakan tempat suci.
Tempat agung dan keramat.
Kesucian, keagungan dan kekeramatan Prasoda Nawa
5 bercampur dan bertambah dengan digunakan tempat itu sebagai
persemayaman para raja. Raja-raja yang merupakan leluhur dari
Penguasa di Bhumi Mataram. Leluhur dari Sri Maharaja Raka i
Kayuwangi, Penguasa Bhumi Mataram saat ini. Prasoda Nawa
tidak hanya dimuliakan sebagai singgasana para Dewa
melainkan juga singgasana raja-raja di masa silam, para leluhur
penguasa Bhumi Mataram. Di Prasoda Nawa itu berkuasa para
Dewa bersama-sama dengan para leluhur. Suatu paham
kebatinan yang luar biasa, pengabungan antara paham global
dan lokal.Suatu sinkretisme*) paham kebatinan.
Tidak seperti umumnya bangunan, Prasoda Nawa adalah
bangunan istimewa, yang berupa candi. Keberadaan candi
umumnya digunakan menurut dua fungsi utama. Entah sebagai
tempat pemujaan atau ibadah, atau sebagai tempat pemakaman.
Pada Prasoda Nawa pemilahan fungsi candi seperti itu tidak
berlaku. Prasoda Nawa dipakai sebagai tempat pemujaan atau
ibadat, sekaligus tempat pemakaman. Pemakaman bagi mereka
yang dulu telah berkuasa dan disembah sebagai raja, kemudian
sekarang, pada Prasoda Nawa, mereka pun tetap disembah
sebagai roh leluhur yang telah berkuasa bersama para Dewata.
*** 193 Maha Siwaratri. Malam Betara Siwa yang Agung. Siwaratri adalah
malam untuk memusatkan pikiran pada Sang Hyang Siwa guna
mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap.
Malam itu adalah malam kesadaran atau malam pejagraan
(berjaga). Pada hakekatnya, Siwaratri itu suatu namasmaran?m.
Selalu mengingat dan memuja nama Yang Maha Kuasa dalam
perwujudan Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk
melenyapkan segala kegelapan batin. Kegelapan batin
sebagaimana tergambar dalam rupa kegelapan malam. Malam
gelap karena bulan berada dalam posisi tilem atau mati. Mati
secara penuh dan sempurna. Memang, Siwaratri itu diperingati
pada saat bulan mati. Dan, Maha Siwaratri setiap tahun dirayakan
pada saat Purwaning Tilem Kepitu. Yakni, malam gelap satu hari
sebelum bulan mati ketujuh.
Pada saat Siwaratri, dilakukan berbagai kebajikan, di antaranya
brata (janji atau sumpah untuk berbuat kebaikan), mengunjungi
tempat suci, memberi dana seperti batu mulia (emas dan
permata), melakukan berbagai jenis upacara yaj?a (pemujaan),
menjalani berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan
japa atau membaca mantra untuk memuja keagungan-Nya.
Tindakan-tindakan itu dilakukan semua lapisan. Tidak terkecuali
Raja sendiri. *** Prasoda Nawa, di salah satu puncak Gunung Ungaran sebelah
selatan. Gunung itu terletak kira-kira 17 pal dari Mamrati, pusat
pemerintahan Kraton Bhumi Mataram. Di kiri dan kanan sisi jalan
6 naik ke puncak itu, terhampar rimbunan pepohonan. Hijau
194 permai. Jalan setapak yang kecil memanjang dan berkelok, terus
naik dan turun, menuntun langkah siapapun yang akan
berkunjung ke Bangunan Sembilan. Bangunan Suci di Gunung
Ungaran. Memang, jalan menuju ke Saguna Kadhaton (Istana
Kemuliaan) berbukit-bukit dan berliku. Terhitung dari kaki gunung,
ketinggian puncak itu menjulang mendekati satu pal.
Di sisi jalan setapak, tumbuh subur pohon-pohon gandapura dan
rimbunan perdu serta semak. Gandapura banyak tumbuh di
lereng gunung itu. Pohon-pohon itu tumbuh dekat kawah
belerang dan harum daun serta bunga gandapura menyamarkan
bau belerang yang menyengat. Dari balik rimbunan pepohonan
dan semak, selalu terdengar suara unggas-unggas liar. Suara itu
terdengar syahdu, menambah keindahan panorama alam
sepanjang lereng gunung itu. Panorama indah berbalut dengan
udara sejuk menyegarkan. Sungguh suatu khayangan. Tempat
tinggal Dewata: indah, sejuk, tenang, tenteram dan agung.
Pada ketinggian mendekati 1 pal itu, yang dilalui selama enam
penderesan nira lewat jalan berbukit-bukit yang berliku-liku dan
melingkar naik turun, terletak bangunan. Bangunan itu menandai
permulaan dari keberadaan Prasoda Nawa. Dari tempat ini
terbentang pemandangan maha indah. Selain dua puncak
Gunung Ungaran lain, terlihat Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing pada arah barat laut, Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu pada sebelah timur, serta Gunung Telomoyo di sebelah
tenggara. Memang, benar-benar "negeri atas". Minggah Nagri.
Itulah bangunan pertama dari Sembilan Bangunan. Bangunan
paling rendah di antara bangunan yang lain. Bangunan itu
berdenah bujur sangkar dengan masing-masing sisi satu
setengah tumbak. Pada bangunan itu terdapat batur (kaki candi)
195 dengan bentuk dasar segi empat dihiasi dengan deretan
lempengan pahatan bermotif padma (bunga) dan sulur-suluran
yang sederhana. Tinggi batur sekitar seperempat tumbak, dengan
tangga menuju ruangan kecil dalam tubuh bangunan itu terletak
di sisi timur. Permukaan batur membentuk selasar (beranda)
selebar sekitar seperdelapan tumbak mengelilingi tubuh
bangunan itu. Sepanjang tepi selasar diberi pagar rapat
mengeliling. Pintu bangunan itu menghadap ke arah barat dan berhiaskan
Kalamakara**) (kepala raksasa). Badan bangunan itu berbentuk
bujur sangkar dengan satu penampil yang berfungsi sebagai
pintu. Pada dinding bangunan itu tidak terdapat relung. Atap
bangunan itu bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama terdapat
hiasan bagian atap bermotif permata. Di dalam bangunan itu
terdapat Yoni yang berbentuk persegi panjang yang menjadi
salah satu keistimewaan karena pada umumnya Yoni berbentuk
7 bujur sangkar. Pada dinding bagian dalam bilik bangunan itu
terdapat relung-relung. Relung-relung tempat arca-arca dewa,
utamanya arca Dewa Siwa. Di halaman terdapat beberapa arca.
Di antaranya adalah arca Ganesha, Durga Mahisasura Mardini
dan Nandiswara. Tiga arca itu sangat terkait dengan Siwa.
Ganesha adalah anak Siwa, sementara Durga itu sakti (isteri)
Siwa dan Nandiswara adalah kendaraan berupa sapi.
Kurang lebih sepertiga pal jauhnya terletak bangunan kedua.
Satu bangunan induk dan satu lagi bangunan perwara
(pendamping). Kedua bangunan itu berhadapan satu sama lain.
Yang mencolok adalah apa yang terdapat pada bangunan induk.
Bangunan induk itu memiliki denah dasar bujur sangkar, dengan
tubuh berdiri di atas batur setinggi sekitar seperempat tumbak.
196 Pelipit atas batur menjorok ke luar membentuk selasar selebar
seperdelapan tumbak mengelilingi tubuh bangunan itu. Di sisi
timur terdapat tangga naik ke selasar. Tangga itu tepat di depan
pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh bangunan itu. Pintu itu
dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang menjorok ke luar
sekitar seperempat tumbak dari tubuh bangunan itu. Di atas
ambang pintu kembali dihiasi dengan pahatan Kalamakara.
Pada dinding luar sisi utara, selatan dan barat, terdapat susunan
batu menjorok ke luar dinding dan membentuk bingkai sebuah
relung. Tempat arca. Karena beberapa hari lagi akan ada
perayaan Siwaratri, terlihat sebuah arca Siwa diletakkan pada
relung itu. Siwa Perkasa. Pada bagian depan bingkai relung,
terdapat hiasan pahatan berpola kertas tempel. Bagian bawah
bingkai berhiaskan sepasang kepala naga dengan mulut
menganga. Di bagian atas bingkai terdapat hiasan kalamakara
tanpa rahang bawah. Hiasan-hiasan itu kian menambah
keperkasaan arca Siwa yang berada di tengah. Siwa sebagai
perwujudan dari Penguasa Alam Semesta.
Atap bangunan itu berbentuk tiga balok kubus bersusun. Makin
ke atas makin mengecil dengan puncak runcing. Sekeliling
masing-masing kubus pada atap bangunan dihiasi pahatan pola
kertas tempel. Di setiap sudut ada hiasas berbentuk seperti
mahkota bulat berujung runcing.
Di tempat lebih tinggi pada lereng gunung itu, berdiri dinding teras
pemisah dengan dataran di bawah. Di sisi utara dinding itu
terletak sekelompok bangunan. Terdiri tiga bangunan, yakni:
bangunan utama, bangunan pendamping dan bangunan
pengapit. Itulah bangunan ketiga dari Prasoda Nawa. Bangunan
utama menghadap ke barat. Berdiri berhadapan dengan
197 bangunan itu bangunan pendamping. Di sisi kanan bangunan
utama terletak bangunan pengapit.
Pada kaki dan badan bangunan utama sama sekali tidak dihias.
Di tengah dinding belakang dan dinding samping kiri-kanan,
8 terdapat sebuah relung. Pada dinding depan relung itu terdapat
pula dua pintu masuk, di kiri dan di kanan. Di dalam badan
bangunan terdapat ruangan berbentuk bujur sangkar dengan
masing-masing sisi berukuran sekitar 4 hasta. Dinding-dinding
bilik halus dan tidak dihias sama sekali. Atap bangunan bertingkat
dan mempunyai menara di sudut-sudut.
Di dalam bangunan utama terdapat relung-relung di dalamnya
tersimpan arca. Arca Mahadewa ditempatkan di bilik tengah dan
yang keduanya difungsikan sebagai penjaga pintu utama
bangunan itu, dengan posisi Nandisywara di relung kiri dan
Mahakala di relung kanan. Kemudian, arca Mahaguru (Agastya)
ditempatkan pada relung di dinding selatan, dan arca Durga
Mahisasura Mardini di relung utara, serta Ganesha ditempatkan
pada relung di dinding belakang.
Demikian seterusnya, sepanjang lereng Gunung Ungaran itu,
setelah melewati bangunan ketiga tadi, satu demi satu akan
ditemui masing-masing bangunan: bangunan keempat, kelima,
keenam dan terakhir ketujuh. Bangunan ketujuh merupakan
bangunan terakhir dan terletak paling tinggi. Bangunan-bangunan
itu memiliki bentuk yang mirip dengan bangunan sebelumnya.
Semuanya merupakan bangunan sebagai pemujaan terhadap
Siwa. Di luar tujuh bangunan pada Prasoda Nawa itu, terdapat dua
bangunan terpisah. Terpisah cukup jauh dari ketujuh bangunan di


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

198 lereng Gunung Ungaran. Letak dua bangunan itu masing-masing
berjarak seperlima pal dari bangunan keenam dan bangunan
ketujuh. Mengapa dua bangunan itu terpisah" Tidak. Dua
bangunan itu tidak terpisah. Tetapi, dua bangunan itu memang
didirikan sengaja dipisah. Sengaja dipisah untuk suatu tujuan.
Tujuan yang sama sekaligus berbeda.
Sama, karena memang bangunan itu juga merupakan tempat
pemujaan. Berbeda, karena yang dipuja sebagai dewa bukan
Siwa, melainkan Sanjaya. Sanjaya, sang pendiri Wangsa
Sanjaya, penguasa Bhumi Mataram. Di dalam tubuh bangunan
itu, yakni bangunan yang tertinggi, tepat di tengah-tengah
diletakkan sebuah arca besar. Arca sang wam?akarta (pendiri
wangsa). Sanjaya wam?akarta (pendiri wangsa Sanjaya). Arca
wam?akarta itu digambarkan dalam kesatuan dengan Siwa.
Kesatuan dengan dewa yang dipuja. Siwasanjaya, begitulah arca
itu disebut. Sanjaya yang sudah menyatu dengan atau sudah
menjadi Siwa.***) Kecuali sebagai pemujaan, bangunan itu juga merupakan tempat
perabuan. Perabuan dari Raka i Mataram Ratu Sanjaya. Pada
bangunan itu tersimpan abu sisa pembakaran jasad pendiri
Kraton Bhumi Mataram, berserta keturunannya, termasuk Raka i
Pikatan, ayah dari Sri Maharaja Raka i Kayuwangi, Penguasa
Bhumi Mataram. Bangunan itu merupakan tempat pemujaan
sekaligus pemakaman Raja. Raja Bhumi Mataram dari trah
9 Sanjaya. Bangunan lain yang sengaja dipisahkan adalah bangunan untuk
berdiam sejumlah penjaga sekaligus pemelihara. Pemelihara
tempat pemujaan sekaligus pemakaman Raja. Mereka adalah
Danirmala Aswana Gopala (penjaga tempat yang sangat suci).
199 Gopala bukanlah orang sembarangan. Mereka itu merupakan
orang pilihan dan telah mengikatkan diri pada suatu brata (taat
akan sumpah atau janji). Sumpah untuk mengabdikan diri
menjaga dan memelihara Danirmala Aswana. Sumpah itu berlaku
seumur hidup dan tidak terbatalkan. Sebagai gopala, mereka juga
orang pilihan karena memiliki kemampuan. Lahir dan batin.
Kemampuan itu sangat penting untuk menjaga Danirmala
Aswana dari segala gangguan, termasuk gangguan dari kaum
pesilatan. Mintuhu uga linuwih (taat sekaligus berkemampuan
unggul) merupakan syarat utama dari seorang gopala. Pada
bangunan itu tinggal dua puluh empat gopala. Dua puluh empat
penjaga yang perkasa. Sebab, mereka masing-masing telah
menjalani latihan selama bertahun-tahun untuk kemudian
mengikatkan diri dalam suatu sumpah menjadi gopala.
Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi penanggungjawab
utama dalam mendidik seseorang menjadi gopala adalah raja
sendiri. Atas permintaan raja, tokoh-tokoh utama pesilatan yang
terikat dengan kraton turun tangan. Mereka mendidik langsung
para gopala. Pada dasarnya, para gopala itu tidak lain muridmurid didikan langsung tokoh-tokoh
utama pesilatan. Tokoh pesilatan yang berakar di Bhumi Mataram maupun tokoh-tokoh
lain di luar Bhumi Mataram. Tokoh-tokoh Utama yang memiliki
ikatan dengan Raja. Ikatan dengan penanggungjawab para
gopala sendiri. Di tangan tokoh-tokoh itu, para gopala dibentuk menjadi orang
yang perkasa. Perkasa dalam menjalankan jurus-jurus dahsyat,
memainkan aneka senjata dan menghimpun tenaga dalam. Tidak
hanya itu, mereka juga dilatih secara mendalam untuk menjalani
pertarungan berkelompok. Tingkat kemapanan yang telah dicapai
200 dalam bertarung secara kelompok, telah menjadikan gopala
sangat disegani. Shiva Trisula Pretana (Barisan Trisula Dewa
Siwa) dan Shiva Karatala Astha (Delapan Telapak Siwa)
merupakan dua formasi gopala yang tidak terkalahkan. Tidak
terkalahkan lebih dari seabad lamanya.
*** Barisan Trisula Dewa Siwa dan Delapan Telapak Siwa
merupakan dua teknik yang menjadi ciri gopala dari Gunung
Ungaran. Dua teknik maha sakti. Hanya dikuasai dua puluh
empat orang. Dua puluh empat orang itu tinggal menetap dan
mengikatkan diri lewat suatu sumpah untuk tidak pernah
meninggalkan Danirmala Aswana. Kendatipun tidak pernah
10 keluar dari kawasan Gunung Ungaran, kedahsyatan Barisan
Trisula Dewa Siwa dan Delapan Telapak Siwa telah berhembus
menerobos lereng-lereng gunung dan hinggap menjadi legenda.
Legenda tidak hanya bagi khalayak, melainkan juga bagi kaum
pesilatan. Kedahsyatan barisan gopala dari Gunung Ungaran, bukan
sekedar kabar belaka. Sesungguhnya, dua teknik itu
dikembangkan oleh seorang ahli dari masa Raka i Panangkaran.
Raja kedua Bhumi Mataram setelah Ratu Sanjaya, sekaligus raja
yang membangun dan membentuk Danirmala Aswana Gopala di
Gunung Ungaran. Lebih dari satu abad silam, raja Bhumi
Mataram yang memiliki kedekatan dengan kaum pendeta Buddha
itu, telah mengundang seorang pendeta Buddha dari negeri
seberang. Tokoh ini sejak masih sangat muda menyadap ajaran
Bodhi Darma****) dalam kemurnian. Melalui tangan tokoh itulah
201 para gopala menjalani dan menyadap teknik-teknik ajaran Bodhi
Darma. *** Lima malam lagi, Maha Siwaratri akan jatuh. Menurut rencana, Sir
Maharaja Raka i Kayuwangi akan menjalani Malam Betara Siwa
yang Agung di tempat leluhur dan sembahannya bersemayam.
Raja itu akan melakukan yaj?a (pemujaan) dan japa (pengucapan
mantra) serta pejagraan di Sanjaya Danirmala Aswana (tempat
suci bagi Sanjaya) pada malam Maha Siwaratri.
Hanya satu setengah pal di kaki Gunung Ungaran, di sebuah
bangunan yang di depan dihiasi dengan sebuah kolam berbentuk
bunga teratai mekar, terlihat tujuh orang telah berkumpul.
Berkumpul di sebuah bilik berdinding batu sempit yang tertutup
rapat di sisi kanan dari bangunan itu. Mereka telah berkumpul di
sana beberapa saat lamanya.
Mereka adalah orang-orang yang sudah lanjut usia. Dua di
antaranya dapat dikenali sebagai ayah beranak. Yang lebih tua
berkulit keriput dengan wajah pucat seram, dan yang lain
berbusana mewah layaknya seorang Pejabat Utama. Lima yang
lain tidak dikenal. Dua dari lima orang itu tampil lebih istimewa
dibandingan tiga yang tersisa. Istimewa, karena salah satu di
antaranya adalah seorang wanita tua, sementara yang satu lagi
terlihat bukan orang Yawadw?pa. Seorang pendeta dari negeri
asing. "Terima kasih sahabat-sahabatku. Kalian telah berkumpul di sini.
Terlebih Adhi Wajra Sasmaka Kunta, yang telah menyusul
bergabung dengan Adhi Utpala Waliwis, Adhi Duhkata Gandra
dan Nimas Iswara Taragnyana." Demikian orang tua pucat itu
202 menyapa empat orang di sana. Ia menyapa mereka dengan
sebutan saudara. Saudara dengan kedudukan lebih muda.
"Satu tahun silam, di Poh Pitu, suatu kegemparan telah
11 disulutkan. Sebagian yang berada di ruang ini tentu mengetahui
betul apa yang telah terjadi di Poh Pitu itu. Sebab, hal itu
merupakan salah satu bagian dari serangkaian permainan yang
sedang dijalankan. Kegemparan itu telah menerbit suatu
pengaruh sesuai dengan apa yang aku inginkan. Suatu kejutan.
Kejutan yang telah memberi sengatan teramat panas bagi Bhumi
Mataram." Orang tua berwajah pucat itu tersenyum puas.
Senyum itu membayangkan suatu isyarat, bahwa suatu tahapan
dari tujuan yang telah ditetapkan sudah diraih.
"Di atas sana, di lereng Gunung Ungaran, pada dua bangunan
dari Prasoda Nawa, kembali aku menginginkan suatu
kegemparan. Kegemparan di atas Sanjaya Danirmala Aswana.
Tempat Suci bagi Sanjaya." Wajah pucat itu semakin
menyeramkan. Sama seramnya dengan rencana yang akan
ditaburkan di atas Gunung Ungaran.
"Oleh Bhumi Mataram, Sanjaya Danirmala Aswana adalah tempat
istimewa: Minulya (dimuliakan) dan Awya (terlarang). Tempat itu
tak terjamah. Dimuliakan sebagai tempat bersemayam
Siwasanjaya. Terlarang karena dijaga. Dijaga ketat oleh
Danirmala Aswana Gopala. Dua puluh empat pendekar Mintuhu
uga linuwih dalam Barisan Trisula Dewa Siwa dan Delapan
Telapak Siwa. Dua puluh empat orang itu ikut terseret tumbuh
sebagai legenda hidup, bersama dengan legenda diam,
Siwasanjaya. Tujuanku adalah menghancurkan dan
menguburkan dua legenda itu. Legenda hidup dan legenda diam."
Orang tua berwajah pucat itu memperlihatkan raut wajah
203 mengeras. "Kangmas Pangeran, aku telah mendengar bahwa dua puluh
empat gopala itu sangat sulit untuk diatasi. Sepanjang hidup, aku
belum mendengar penjaga itu dikalahkan. Konon, aku dengar
kekuatan para gopala itu setara dengan dua ribu prajurit pilihan.
Bagaimana kekuatan itu dapat dihancurkan oleh kita yang
berkumpul di sini. Pertanyaan itu bukan untuk meragukan
kekuatan diri kita. Tapi, sejauh mana persiapan yang telah
Kangmas Pangeran matangkan untuk mengalahkan dua puluh
empat gopala di atas sana." Kata Ki Wajra Sasmaka Kunta.
"Baiklah Adhi Wajra Sasmaka Kunta, aku akan mengatakan apa
yang telah aku pikirkan." Orang tua berwajah pucat itu mulai
mengutarakan persiapannya.
"Hampir satu tahun belakangan ini, dengan sangat cermat dan
mendalam, aku mengenali ciri-ciri utama dari kekuatan Trisula
Dewa Siwa dan Delapan Telapak Siwa dari Danirmala Aswana
Gopala. Untuk itu, aku telah mengundang seorang dari negeri
seberang, asal muasal kekuatan Trisula Dewa Siwa dan Delapan
Telapak Siwa. Orang itu adalah Pendeta Utama Fu Nan*****). Ia
mengenal betul teknik ajaran Bodhi Darma yang menjadi
landasan dari kekuatan para gopala." Dari perkataan orang tua
bermuka pucat itu disebut-sebut seorang pendeta dari negeri Fu
12 Nan. Sebuah negeri yang jauh di seberang lautan.
Selanjutnya, orang tua pucat itu menjelaskan latar belakang
pendeta itu. Ia mengatakan bahwa pendeta itu disebut-sebut di
tempat asal dengan nama Pendeta Hong Mei atau Pendeta Alis
Merah. "Biarlah Pendeta Hong Mei memberikan penjelasan
mengenai kekuatan Trisula Dewa Siwa dan Delapan Telapak
Siwa. Penjelasan yang berguna untuk melumpuhkan dua
204 kekuatan itu". Setelah berkata demikian, orang tua bermuka pucat itu
mempersilahkan orang dari negeri jauh memberikan
penjelasannya, dan orang tua pucat itu pun menjelaskan seluruh
perkataan pendeta itu agar dapat dipahami oleh orang-orang
yang telah dipanggil untuk berkumpul di tempat itu. Orang tua
pucat yang sangat luar biasa, ia menguasai banyak kemampuan.
Tidak hanya olah kanuragan, melainkan juga sastra dan bahasa.
Sungguh-sungguh, seorang dengan segudang talenta. Telenta
yang kini sedang digunakan untuk mengaduk Bhumi Mataram.
Menurut penjelasan pendeta itu, Barisan Trisula Dewa Siwa
adalah formasi khusus yang diciptakan sendiri oleh Bodhi Darma.
Tujuan dari barisan itu adalah mengepung dan melemahkan
musuh. Barisan itu dibentuk dengan jumlah yang bervariasi. Bisa
kurang dari sepuluh, bisa lebih, bahkan bisa juga dibentuk dari
ratusan hingga ribuan orang. Menjadi ciri utama dari bentuk
barisan itu adalah ditempatkan berpasangan-pasangan menjajar
dan berlapis-lapis dari depan hingga ke belakang.
Barisan Trisula Dewa Siwa, mengacu pada sumbernya, berdiri
atas empat bagian. Masing-masing terdiri dari enam orang. Tiga
bagian berjajar berdiri di depan membentuk tiga mata trisula.
Sementara satu bagian tersisi menjadi penyangga dari tiga
bagian di depan itu. Jangan bayangkan, masing-masing orang
dalam barisan-barisan berdiri dan terpaku diam pada tempatnya.
Yang terjadi pada barisan itu, masing-masing orang bergerak
cepat, bahkan sangat cepat, untuk memberikan seutuhnya
perlindungan pada yang lain. Pada rekan dalam barisan itu.
Perlindungan itu diberikan seutuhnya, tanpa batas. Itulah prinsip
utama dari barisan yang di tanah Yawadw?pa ini dikenal sebagai
205 Barisan Trisula Dewa Siwa.
Pada prinsipnya, Trisula Dewa Siwa adalah barisan yang terdiri
dari orang yang tidak berpikir untuk diri sendiri. Ia telah
melepaskan diri. Melepaskan diri hingga kosong, kosong untuk
diberikan mengisi orang lain yang bersama dengannya. Itulah
kosong adalah penuh, penuh adalah kosong. Ini hanya
dimungkinkan apabila orang melandaskan diri pada kemauan,
yakni kekuatan tekad dan kehendak bukan kekuatan fisik ragawi.
Kekuatan tekad dan kehendak adalah kunci kekuatan dari
Barisan Trisula Dewa Siwa.
13 Untuk formasinya, Barisan Trisula Dewa Siwa bergerak atas
dasar tata delapan belas gerak, sebagaimana disadap dari
sumber asli, Delapan Belas Lohan atau Arhats. Delapan Belas
Jalan Buddha. Saat bergerak dalam barisan itu, mereka
menggemakan nama-nama Delapan Belas Lohan Buddha.
Nama-nama yang digemakan tidak sekedar bunyi, namun
sesungguhnya adalah kode untuk perubahan formasi agar tidak
bisa ditembus lawan. "Delapan belas Lohan Buddha itu adalah Nantimitolo (Lohan
Penjinak Naga), Kanaka sang Bharadvaja (Lohan bola-bola nasi
terangkat), Asita (Lohan Alis panjang), Vajraputra (Lohan singa
yang tertawa), Pindola (Lohan penjinak Harimau), Angida (Lohan
Tas Belacu), Nagasena (Lohan telinga tergaruk), Nandimitra
(Lohan pagoda terangkat), Nakula (Lohan meditasi), Kanaka
sang Vatsa (Lohan kebahagiaan), Bodhidruma (Lohan seberang
lautan), Truna Pantha (Lohan penjaga pintu), Vanavasa (Lohan
Pisang raja), Gobaka (Lohan membuka hati), Tuha Pantha
(Lohan tangan terangkat), Kalika (Lohan menunggang gajah),
Rahula (Lohan berpikir) dan Pindola sang Bharadvaja (Lohan
206 menduduki rusa)." Demikian orang tua berwajah pucat itu
menjelaskan perkataan Pendeta Hong Mei menurut bahasa yang
dimengerti oleh orang-orang lain di ruangan itu.
Pendeta Fu Nan itu melanjutkan bahwa Delapan Belas Lohan
Buddha itu pada akhirnya dapat melebur ke dalam bentuk yang
terdahsyat. Vajrabhairava. Barisan petir itu mengerikan dan
menakutkan. Dalam bentuk itu akan tampil bentuk Buddha yang


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murka (beralih rupa) menjadi Yamantaka (Dewa Kematian).
"Sementera itu, Delapan Telapak Siwa tidak lain adalah jelmaan
dari delapan Tapak Buddha. Terdiri dari delapan jurus utama:
Bayang-bayang Seribu Tapak Buddha, Sinar Tapak Buddha dari
Khayangan, Tapak Buddha Menggemakan Semesta, Tapak
Buddha Tumbuh Bersemi, Tapak Buddha Beraksara, Tapak
Buddha Menerjang Badai, Tapak Sempurna Buddha, dan Tapak
Buddha Emas. Jurus-jurus tapak yang telah melegenda di dunia,
hingga ke puncak Himalaya". Begitu penjelasan Pendeta Hong
Mei sebagaimana telah dialihbahasakan oleh orang tua berwajah
pucat itu. "Tapak Buddha pada dasarnya adalah teknik yang dilandaskan
pada penyerapan energi panas dari surya atau candra. Jurus
tapak itu akan berdaya jauh sangat dahsyat, apabila dimainkan di
bawah pancaran dua benda angkasa itu. Mulai dengan malam ini,
candra akan terlihat padam di langit dan semakin padam pada
lima hari ke depan. Oleh karena itu, daya dari Tapak Buddha pun
akan jauh menyurut susut. Malam-malam seperti ini merupakan
saat yang tepat untuk meredam kekuatan jurus itu." Demikian
Pendeta Fu Nan itu menyelesaikan penjelasan mengenai
kekuatan dua puluh empat gopala di atas lereng Gunung
Ungaran. Dua puluh empat penjaga Siwasanjaya. Dua puluh
14 207 empat pendekar dalam Barisan Trisula Dewa Siwa dan Delapan
Telapak Siwa. "Sebagaimana telah dijelaskan Pendeta Hong Mei, besok malam
kita akan bergerak ke atas gunung itu. Bergerak menyergap dan
menghancurkan Danirmala Aswana Gopala. Malam itu akan
menjadi malam kegemparan. Kegemparan yang akan
mengoncangkan Gugon Galih (inti utama kepercayaan)
Penguasa Bhumi Mataram. Besok malam, aku akan mengubur
dan menghapus legenda hidup itu bersama-sama dengan
legenda yang dijaga. Bersamaan dengan legenda itu menghilang,
akan muncul legenda baru. Legenda atas Chandrakapala yang
aku torehkan. Chandrakapala yang telah membumihanguskan
Sanjaya Danirmala Aswana (Tempat Suci bagi Sanjaya)." Seusai
mengutarakan tujuan sekaligus tekad, orang tua bermuka pucat
itu selanjutnya menjelaskan rencana. Rencana yang sangat rinci.
Rencana itu melibatkan tujuh orang untuk turun tangan bersama.
Tujuh orang luar biasa. Lima di antaranya adalah tokoh-tokoh
masa silam, termasuk dirinya. Orang tua berwajah pucat, tokoh
yang menyatakan Balaputradewa sebagai seorang kemenakan.
*** Empat malam sebelum Maha Siwaratri, tujuh orang yang
sebelumnya telah mempersiapkan diri, telah beranjak pergi dari
sebuah bangunan di lereng Gunung Ungaran. Gerakan mereka
ringkas dan tangkas. Alih-alih tergesa-gesa, mereka bergerak
ringan dan mantap. Tujuh orang itu membagi diri ke dalam empat
kelompok. Tiga kelompok terdiri dari dua orang, dan satu
kelompok lagi hanya terdiri satu orang. Dan, yang seorang itu
208 tidak lain adalah orang tua berwajah pucat. Kelompok itu
berpencar menurut empat mata arah angin. Orang tua berwajah
pucat itu, yang kini tampil dalam wujud yang istimewa, bergerak
menyusur naik dari sisi barat. Pendeta Fu Nan dan orang yang
berbusana layaknya Pejabat Utama bergerak dari sisi timur. Lalu,
satu-satunya perempuan tua ditemani oleh orang tua yang baru
bergabung bergerak dari sisi selatan. Dua orang tua sisanya
bergerak dari utara lereng gunung. Tujuan mereka sama, dua
bangunan yang menjadi Danirmala Aswana di puncak Gunung
Ungaran. Dengan kemampuan mereka, jarak satu setengah pal
naik ke puncak gunung itu ditempuh hanya dalam sependeresan
nira. *** Gelap gulita. Malam itu di puncak Gunung Ungaran sangat gelap
gulita. Pada salah satu bangunan di puncak gunung itu, terlihat
empat golapa berjaga. Masing-masing berjaga di empat mata
arah angin yang berbeda. Mereka berjaga di empat pintu utama
bangunan itu. Di sisi dalam bangunan, yakni di ruang utama, enam belas gopala
15 sedang menjalani semadi. Semadi sempurna membentuk sebuah
mandala (lingkaran) mengeliligi empat gopala lain, yang
bersamadi di tengah-tengah lingkaran itu. Empat orang itu adalah
Pinasthika Gopala (Penjaga Utama). Pemimpin dari barisan
gopala. Dibandingkan dengan gopala pada umumnya, tiga dari
empat orang yang bersamadi di tengah-tengah itu jauh lebih tua.
Mereka adalah gopala yang masih tersisa dari generasi yang
diangkat langsung oleh Raka i Garung, raja wangsa Sanjaya
sebelum Raka i Pikatan, pada lima puluh tahun silam.
209 Yang sedang mereka lakukan adalah suatu laku untuk
mengaktifkan panca indera. Mengaktifkan panca indera untuk
menjadi lebih peka terhadap kehadiran semesta. Laku itu
ditempuh melalui jalan mantra (pernyataan magis yang diucapkan
berulang) dan mudra (sikap tangan pada saat semedi) serta
mandala yantra (membentuk figur geometris dan simbolik, yakni
figur mistik yang sempurna, sebuah mandala). Gaung suara yang
ditimbulkan dari matra yang mereka lantunkan begitu khidmat,
khusyuk, syahdu, bahkan agung. Suara kemurnian semesta yang
telah mengalir ke dalam mandala yang dibentuk oleh para gopala
di ruangan utama bangunan itu.
*** "Nantimitolo..... Kalika..... Nagasena..... Vajraputra....." Empat
kata-kata yang bukan merupakan mantra terdengar. Empat kata
dari empat orang di tengah-tengah mandala. Mereka satu per
satu secara berturut-turut menyerukan empat kata itu. Siapa yang
memulai tidaklah jelas. Yang jelas apa yang telah diserukan
adalah suatu isyarat. Isyarat untuk memulai barisan Trisula Dewa
Siwa. Sejenak kemudian, telah terbentuk empat barisan, dan
empat gopala yang tadi sedang berjaga pun telah masuk ke
dalam barisan itu. Menghadap pintu utara, telah digelar Nantimitolo Pretana (barisan
penakluk naga), dan membelakangi barisan ini menghadap ke
pintu selatan, terbentuk Nagasena Pretana (Barisan Pasukan
Naga). Lalu, menghadap ke pintu barat telah ada Kalika Pretana
(Barisan Penunggang Gajah), dan terakhir menghadap ke timur
terbentuk Vajraputra Pretana (Barisan Pemburu Singa). Masing210
masing barisan itu terdiri dari enam gopala, dengan satu
Pinasthika Gopala tergabung dalam setiap barisan.
"Ki Sanak, apa keperluan kalian datang ke tempat ini. Jika Ki
sanak tidak memiliki urusan berarti, mohon tinggalkan tempat ini.
Biarkan kami meneruskan laku kami." Kata salah seorang
Pinasthika Gopala yang berada di dalam barisan Vajraputra.
Tidak ada jawaban. Tidak ada sosok yang segera muncul. Itu
hanya sesaat saja. Karena, di pintu barat yang dijaga oleh
barisan Kalika, satu sosok bayangan bergerak mendekat masuk
ke dalam ruangan utama bangunan itu. Bayangan itu terbentuk
oleh penerangan di depan pintu gapura. Terus membesar karena
16 semakin mendekat. Sewaktu sosok itu telah sepenuhnya menampakkan diri kepada
gopala yang berada di ruangan itu, tampil jelas sosok yang tadi
hanya berupa bayangan. Sosok itu tidak lain dari orang tua
berwajah pucat. Orang tua yang biasanya menampilkan wujud
sebagai seorang petapa. Malam itu, di hadapan para gopala,
orang tua bermuka pucat tampil istimewa. Ia berdiri dengan
pakaian yang selalu dikenakan di masa muda. Pakaian yang oleh
siapa pun orang di ruangan itu pasti dikenali: pakaian seorang
Pangeran. Pangeran Bhumi Mataram.
Memang demikianlah, orang tua bermuka pucat itu mengenakan
sebuah kain sutera putih halus yang menyelempang menutupi
setengah tubuh atas. Di dua lengan terbelit kelat bahu (gelang
bahu) dari emas dengan ukiran mencolok simbol kebesaran
Bhumi Mataram: bulan, air dan teratai. Begitu juga simbol itu
tertera jelas pada benda, yang juga terbuat dari emas, di dada.
Benda itu tergantung oleh seutas rantai dari leher. Masih
mengenai simbol yang sama, juga dinyatakan pada kepala ikat
211 pinggang emas yang dilingkarkan pada pinggang. Sebilah keris
pusaka terselip di punggung kanan orang tua itu.
Yang paling mencolok adalah apa yang ada di atas kepala. Orang
tua itu mengenakan sebuah mahkota. Mahkota Putra Raja.
Mahkota itu dikenali oleh Pinasthika Gopala pada barisan Kalika
sebagai mahkota yang sama dengan mahkota dari Dharanindra,
Putra Wisnuwarman, raja yang merupakan junjungan dari pendiri
tempat ini, Raka i Panangkaran******) . Dengan kehadiran
mahkota Dharanindra di ruangan itu, Pinasthika Gopala pimpinan
barisan Kalika mengenali siapa orang itu. Serta merta, ia pun
bersimpuh berlutut memberi hormat dan berkata. "Yang Mulia
Pangeran Abhipraya." Abhipraya, itulah nama orang tua bermuka
pucat. Sebuah nama besar di masa silam, nama yang terikat
dengan sebuah keluarga utama dari penguasa di tanah
Yawadw?pa. Hanya tiga orang di antara dua puluh empat gopala yang
mengenal nama itu. Namun itu cukup untuk menarik yang lain
bersimpuh menyembah memberi hormat pada orang tua bermuka
pucat itu. Sesungguhnya, tiga orang gopala yang mengenal orang
itu, mereka hanya mengenal orang tua itu di masa lima puluh
tahun silam. Beberapa tahun sebelum perang saudara pecah di
atas Bhumi Mataram. Perang yang telah mendudukkan orang tua
itu pada pihak yang melawan Tahta Bhumi Mataran dan kalah
tersingkir. Tiga gopala itu mengenal orang tua berwajah pucat itu sebagai
adik dari Samaratungga, Raja Bhumi Mataram. Samaratungga
semasa muda bernama Abhirama (berarti, anak laki-laki yang
menyenangkan karena diberkati dewa-dewa). Orang itu adalah
Paman dari Pramodyawardani yang bersama-sama Raka i
212 17 Pikatan bertahta atas Bhumi Mataram, dan mewariskan tahta itu
kepada Raka i Kayuwangi, junjungan mereka sekarang. Yang
telah berdiri di sana dengan segala kebesarannya adalah adik
kandung dari Eyang junjungan mereka.
Sekalipun penuh tanda tanya, dua puluh empat gopala di sana
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap lingkaran terdekat dari Raja
yang berkuasa, yang pada Raja itu para gopala menyatakan
sumpah. Para gopala hanya tidak berdaya di hadapan Raja, atau
orang-orang di lingkaran dekat Raja, apalagi sesepuh dari sang
Raja sendiri. Pangeran Sepuh Abhipraya atau orang tua berwajah
pucat sangat mengerti betul semangat terdalam dari para gopala.
Mengabdi penuh utuh kepada Raja. Siasat ini yang sedang
dimainkan. Siasat itu begitu sempurna dirancang. Siasat yang langsung
meredupkan tekad dan kehendak dari para gopala. Padahal,
tekad dan kehendak merupakan landasan utama dari kekuatan
barisan para penjaga Danirmala Aswana. Dengan menghadirkan
diri tampil sebagai sesepuh Raja, Pangeran Sepuh Abhipraya
telah menghantam barisan legenda itu pada inti kekuatan gopala.
"Ehm... apa yang kuingin akan segera terwujud di depan mata.
Kehadiranku telah meredupkan tekad dan kehendak para
penjaga itu seperti redupnya sinar bulan di malam ini...Tinggal
selangkah dan sesaat lagi aku akan mengubur barisan legenda
itu bersama-sama legenda yang dijaga." Pangeran Sepuh itu
berkata dalam batinnya. Memang demikianlah adanya.
Bagaimana mungkin para gopala itu bertempur tanpa tekad dan
kehendak" Tekad dan kehendak yang sudah tidak dimiliki. Tidak
dimiliki oleh setidak-tidaknya tiga Pinasthika Gopala yang menjadi
pimpinan dari tiga barisan itu.
213 Jika di saat awal mengisyaratkan empat bentuk barisan, tiga
Pinasthika Gopala itu masih memancarkan tekad dan kehendak
bertempur, maka kini dua dorongan batin itu telah sirna dalam diri
tiga orang itu. Dalam diri mereka telah berkecamuk suatu perang
batin yang sangat menekan. Perang batin yang mempertanyakan
keberadaan diri mereka sebagai seorang gopala. Pelindung
sekaligus penjaga atas apa yang telah dikuasakan Raja kepada
mereka. Akan tetapi, saat ini yang hadir berhadapan dengan
mereka adalah Raja itu sendiri dalam wujud sesepuhnya. Inilah
yang telah menghancurkan tekad dan kehendak tiga Pinasthika
Gopala. Tekad dan kehendak itu hancur bersamaan dengan
tindakan bersimpuh menyembah.
Orang yang bersimpuh menyembah, khususnya menyembah
pada junjungannya, tidak pernah bersiap. Sebab, dengan
tindakan itu ia sepenuhnya telah berpasrah. Demikian halnya
dengan dua puluh empat gopala itu. Saat itu mereka bersimpuh
menyembah dalam kepasrahan pada orang yang disembah.
"Kesempatan yang aku tunggu telah tiba". Orang tua bermuka
18 pucat itu telah bertindak. Bertindak sangat cepat.
Tangan kanan telah menggenggam sebilah keris. Sebilah keris
pusaka Sang Yuyurumpung yang diciptakan oleh Mpu Dewayasa
tiga abad silam. Keris itu telah lebih dari setengah abad
bersamanya. Di tangannya, benda itu telah menjadi biru menyala.
Sementara tangan kiri orang tua itu terlihat menyala, seperti keris
yang telah diloloskan dari sarungnya. Yang tampak aneh pada
tangan kiri itu adalah bentuknya. Tangan itu tidak keriput lagi
melainkan mengeras berotot. Itulah teknik Pratyangga Tuntum
Rosan (Kekuatan Pemulih Tubuh) yang telah menyatu sempurna
sehingga tangan itu menjadi menyala hijau kebiruan.
214 Hanya dalam dua gebrakan, enam gopala pada barisan Kalika
sudah terkapar tidak bernyawa. Empat orang tersabet oleh
Yuyurumpung dan dua sisanya terhantam Kekuatan Pemulih
Tubuh tepat di bagian kepala. Darah telah mengalir dalam
bangunan itu. Darah dari penjaga melegenda. Ia pun berkelebat
ke arah kiri, memberangus barisan Nagasena. Tiga orang
seketika itu juga menjadi korban. Kembali, korban dari
Yuyurumpung dan Kekuatan Pemulih Tubuh. Tiga gopala di
barisan itu telah meloncat ke belakang menjauh. Akan tetapi,
pada saat yang bersamaan dari belakang mereka muncul tiga
tangan dan sebuah tombak pendek berkilauan merah membara.
Dua tangan yang ramping dan sebuah tangan kiri yang sangat
besar. Sepasang tangan ramping itu telah berhasil mendaratkan
cekikan. Cekikan yang langsung mematahkan leher seorang
gopala. Sementara tangan kiri yang besar itu telah meremukkan
tulang belakang seorang gopala dan tombak pendek di tangan
kanan telah menembus pinggang gopala lain. Tiga gopala dari
barisan Nagasena yang sementara lolos dari Yuyurumpung dan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan Kekuatan Pemulih Tubuh, pada akhirnya menyusul tiga
rekan lain. Mereka tewas di tangan Ki Wajra Sasmaka Kunta dan
Nyai Iswara Taragnyana. Dua orang tua yang telah datang
menyerang dengan gebrakan mematikan. Dua barisan gopala
telah dihapuskan. Hanya tinggal legenda.
Kini tinggal dua barisan. Tetapi dua barisan yang telah kehilangan
tekad dan kehendak. Dari sisi pintu timur dan utara, terlihat
serentak empat bayangan bergerak. Di timur, dua bayangan
menyerang barisan Nantimitolo. Serangan itu dilakukan oleh
seorang berpakaian Pejabat Utama didampingi oleh seorang
pendeta. Terhadap serangan itu, barisan Nantimitolo pun
215 memainkan tata gerak. Cepat dan ringan, namun kosong. Benarbenar kosong, bukan kosong
adalah penuh dan penuh adalah
kosong. Sekalipun cepat dan ringan, barisan Nantimitolo digelar
tidak dilandaskan oleh tekad dan kehendak. Akibatnya, apa yang
kosong pada gerakan mereka, memang menjadi sungguhsungguh kosong. Begitu juga terjadi pada
barisan Vajraputra. 19 Barisan yang telah diserang oleh dua orang tua lain. Dua orang
yang telah diundang oleh Pangeran Sepuh Abhipraya untuk
menebarkan kegemparan. Kegemparan yang terjadi tidak hanya
di tempat ini, melainkan juga telah terjadi di Poh Pitu, satu tahun
yang lalu. Terlihat jelas dua barisan gopala yang masih tersisa sedang
berupaya mengembalikan dan menempatkan tekad dan
kehendak dalam diri mereka. Tetapi segalanya telah menjadi
terlambat. Terlambat, manakala Pangeran Sepuh Abhipraya telah
bergerak. Ia ikut menyerang dua barisan tersisa. Tidak lagi
menggunakan keris pusaka, tapi empat pukulan jarak jauh. Ia
telah melontarkan pukulan itu pada jarak sekitar satu tumbak dari
sasaran. Pukulan itu telah mewujud dalam bentuk empat leret
sinar berwarna biru. Itulah Manila Widyutmala Tebah (Pukulan
Mata Petir Intan Biru). CESSS. CESSS. CESSS. CESSS.
Empat suara itu hampir tidak berjeda berturut-turut terdengar.
Suara-suara itu adalah wujud Pukulan Mata Petir Intan Biru yang
telah membentur pada sasaran. Empat orang gopala dalam
barisan Nantimitolo telah terkapar roboh. Satu di antarnya adalah
Pinasthika Gopala barisan Nantimitolo. Mereka ambruk dengan
tubuh telah menjadi hangus tersambar oleh sinar biru. Suatu
pukulan yang sangat mematikan dan keji. Pukulan itu adalah
216 pukulan paling menakutkan yang pernah ada di tanah
Yawadw?pa. Melihat pukulan itu, tidak hanya delapan sisa gopala yang telah
menjadi terkejut, tetapi orang-orang yang tergabung sebagai
penyerang itupun terkejut bukan kepalang. "Mata Petir Intan Biru."
Serentak empat orang tua dari tanah Yawadw?pa itu berseru.
Berseru tidak percaya. Tidak percaya bahwa Pangeran Sepuh itu
telah melontarkan satu dari tiga Acalapati Krastala Bithi (Pukulan
Sakti Tertinggi) yang disebut-sebut pernah mengemparkan tlatah
Yawadw?pa. Sebenarnyalah, Pangeran Sepuh Abhipraya memang sengaja
menggelar salah satu pukulan terampuh dari tanah Yawadw?pa.
Ia berbuat demikian untuk menyatakan siapa dirinya. Dirinya yang
pantas berdiri di depan orang-orang yang diminta mengikuti.
Kembali suatu siasat telah dilancarkan oleh orang tua bermuka
pucat itu. Siasat itu tepat mengena. Mengena telak pada lima
sasaran yang diinginkan. Di hadapan Pukulan Mata Petir Intan
Biru, mana berani mereka menjajarkan diri dengan Pangeran
Sepuh itu. "Aku merasakan kekagetan mereka menjadi bukti
ketaklukan, tunduk di bawah Mata Petir Intan Biru." Batin
Pangeran Abhipraya tersenyum puas. Senyum bahwa ia telah
menguasai semua, gopala sekaligus empat Wilmuka (harafiah:
pimpinan para raksasa), empat tokoh menakutkan dunia
persilatan pada empat dasawarsa silam. Tokoh-tokoh yang hanya
takluk dan tunduk pada kedigjayaan kemampuan orang lain di
20 atas dirinya. Demikian, tidak lama berselang delapan sisa gopala itu pada
akhirnya bergerak menyatu ke alam Siwasanyaja. Ke alam orangorang mati. Dua orang terkapar
oleh Mata Petir Intan Biru. Enam
217 sisanya, masing-masing tewas di tangan enam orang yang
datang bersama dengan Pangeran Sepuh. Sangat mudah
menjatuhkan gopala yang tersisa, karena tiada tekad dan
kehendak yang tersisa pada diri mereka. Dua puluh empat
penjaga keramat yang melegenda, kini habis terbantai. Legenda
hidup itu akan segera menjadi sebuah legenda selamanya. Ia
akan terkubur menghilang bersama-sama dengan legenda yang
selama lebih satu abad dijaga.
*** Cepat kelompok penyerang itu bergerak. Mengumpulkan seluruh
jenasah yang berada di ruangan itu. Meletakkan mereka di
tengah-tengah ruangan. Bertumpuk-tumpuk. Lalu, berpencar
terbagi dalam dua kelompok. Satu bergerak naik menuju
bangunan yang berada di puncak tertinggi gunung itu. Masingmasing kelompok itu kemudian
mengumpulkan kayu-kayu dan
ranting-ranting serta merobohkan beberapa pohon dengan
kekuatannya. Meletakkan gugusan dan tumpukan kayu berikut
ranting itu di dalam bangunan dan sekitar badan bangunan di
luar. Sekitar dua belas penderesan nira lamanya dua kelompok
itu bekerja. Bangunan itu telah terisi dan tertutup oleh kayu dan
ranting. "Ha....ha....ha.....ha....ha....ha..... Bhumi Mataram, lihat siapa yang
akan datang." Orang tua bermuka pucat itu tertawa seram dan
panjang. Tawa untuk menyatakan dua hal. Pertama, perasaan
puas mengenai sebuah pencapaian besar yang telah diraih.
Kedua, pernyataan atas kekuatan yang ia miliki dan kekuatan itu
sedang gerak terus menuju muara: Menyalakan Bara Api di atas
218 Bhumi Mataram. Ia segera meminta dua orang, yang bersamanya
di dalam kelompok itu, menyalakan api dan membakar bangunan
itu. Demikian, dalam waktu yang tidak berselang lama, dua
bangunan dari Prasoda Nawa di lereng tertinggi Gunung Ungaran
telah dibumihanguskan. Dibumihanguskan menjadi puing-puing
dan debu. Lenyap sudah legenda hidup Danirmala Aswana
Gopala dan Siwasanjaya dalam onggokan puing-puing kayu dan
debu-debu yang berterbangan.
"Kelak siapa pun yang menemukan tempat ini, ia tidak akan
menjumpai bentuk legenda apa pun. Ia hanya akan menjumpai
bongkahan arang dan onggokan debu." Orang tua itu berkata
puas sambil mencantelkan sebuah lencana pada sebatang dahan
dan ditancapkan di atas tanah. Lencana berupa sebuah panji
bersimbolkan tengkorak bertaring di atas bulan sabit dengan
tulisan Chandrakapala di bawah. Lencana Chandrakapala.
21 *** Berita pembumihangusan dua bangunan Prasoda Nawa sampai
pada Raka i Kayuwangi esok hari. Hal itu telah membuatnya
sangat murka. Sangat murka karena yang telah dimusnahkan
adalah dua bangunan utama dari Prasoda Nawa. Dua bangunan
yang dimuliakan dan dikeramatkan oleh leluhurnya, Raka i
Panangkaran. Menimang-nimang lencana Chandrakapala yang
telah dibawa kepadanya, Raja itu pun berkata. "Paman Patih,
siang ini juga kumpulkan para panglima utama. Kita akan
melakukan pertemuan. Pertemuan besar untuk mengurai
kelompok di balik lencana yang bertuliskan Chandrakapala."
Peristiwa yang terjadi atas Prasoda Nawa jauh lebih mengemuka
219 dibandingkan peristiwa Poh Pitu setahun lalu. Peristiwa yang
terjadi di puncak Gunung Ungaran empat malam sebelum Maha
Siwaratri, telah memberi corengan yang sangat dalam terhadap
Penguasa Bhumi Mataram. Terhitung saat ini sudah ada dua kegemparan yang terjadi.
Kegemparan di tempat berbeda, namun memiliki tujuan sama:
Menyalakan Bara Api di atas Bhumi Mataram
Lima tahun silam Sri Wairiwarawiramardana telah membagi
kekuasaan kepada dua anaknya. Pangeran Sarkara dan
Pangeran Sikara. Dua kakak adik satu ayah lain ibu. Pangeran
Sarkara lebih tua setengah tahun dari adiknya, Sikara. Oleh Sri
Wairiwarawiramardana, Pangeran Saskara diberi kuasa untuk
membawahi wilayah Watugaluh. Wilayah itu berada seratus dua
puluh pal di sebelah tenggara Carangsoka.
Watugaluh adalah wilayah subur. Kaya akan hasil pertanian dan
ternak serta hutan. Kegiatan perdagangan ramai terjadi di atas
bumi Watugaluh. Sejumlah hasil kerajinan juga telah berkembang
di Watugaluh. Apa yang terjadi di Watugaluh itu telah
berlangsung jauh hari sebelum wilayah itu dikuasakan Pangeran
Sarkara. Pangeran itu telah menerima kuasa dari ayahnya untuk
memerintah wilayah yang sudah berkembang dan makmur.
Di atas wilayah Watugaluh itu Pangeran Sarkara telah duduk
berkuasa selama lima tahun. Waktu yang sama dengan adiknya,
Pangeran Sikara, menguasai wilayah Kambang Putih.
*** 220 798 ?aka (876 M). Dua pekan sejak pertemuan Pangeran Sikara
dengan orang tua berwajah pucat di Kambang Putih. Di belakang
sebuah bangunan batu yang berdiri kokoh di tengah kota
Watugaluh, terlihat delapan puluh prajurit tengah bersiap-siap.
Sesuai rencana, mereka akan mengiringi Pangeran Sarkara
berburu. Berburu bersama dengan adiknya Pangeran Sikara.
Sudah dua hari lalu, adik dari Pangeran Penguasa Watugaluh
berkunjung. Ia datang dari Kambang Putih. Wilayah yang kurang
22 lebih berjarak lima puluh pal di utara Watugaluh.
Pangeran dari Kambang Putih itu datang diiringi oleh dua puluh
prajurit berkuda. Prajuri itu juga dikatakan akan turut serta dalam
berburu. Berburu di Hutan Welirang. Hutan itu terletak di kaki
Gunung Welirang. Kurang lebih 6 pal jauhnya di selatan kota
Watugaluh. Di hutan itu banyak berkeliaran hewan liar. Ada babi
hutan, rusa, kancil bahkan harimau. Dua pangeran itu berencana
tidak akan sembarang berburu. Mereka akan memburu raja hutan
sebagai sasaran. "Kakang, sudah waktunya kita berangkat." Sang adik mengajak
kakaknya saat ia masuk ke ruangan utama bangunan megah itu.
Di sana ia melihat kakaknya sedang berbincang-bincang dengan
dua orang sesepuh Watugaluh. Kepada dua orang tua itu,
Pangeran Sarkara menyerahkan urusan Watugaluh selama ia
melakukan perburuan di Hutan Welirang. "Tunggu Adhi, biarkan
aku menyelesaikan urusan Watugaluh". Sarkara berpaling
menatap sesaat, lalu meneruskan perbincangan dengan dua
orang tua itu. Tidak lama kemudian, Pangeran Sarkara
mendatangi adiknya yang sedang memandangi pahatan-pahatan
batu yang terukir pada dindingan bangunan itu.
"Ayo Adhi, aku sudah siap". Pangeran Sarkara menyentuh
221 pundak adiknya yang tenggelam dalam pengamatan atas ukiran
batu. "Sungguh karya yang luar biasa." Sang adik memberikan
penilaian atas ukiran batu sambil bergegas bersama kakaknya
untuk bersiap menuju Hutan Welirang. Hutan yang telah
ditetapkan kakak beradik itu sebagai lahan perburuan mereka.
*** Tiga kelompok rombongan berjalan ke luar kota Watugaluh. Di
depan, dua orang Pangeran anak dari Sri Wairiwarawiramardana
duduk di atas kudanya yang berjalan pelahan. Di samping
mereka, di kiri dan kanan, juga duduk di atas kuda dua orang
senopati utama pengawal Pangeran Penguasa Watugaluh. Tepat
di belakang rombongan yang berjalan di muka itu, dua puluh
prajurit berkuda Watugaluh dan dua puluh prajurit berkuda
Kambang Putih. Di belakang, empat puluh prajurit berjalan kaki
dan membawa peralatan yang diperlukan selama berburu.
Rombongan itu terus bergerak ke selatan sedikit ke timur untuk
tiba di tempat yang dituju. Karena berjalan lambat, rombongan itu
tiba di Gunung Welirang setelah matahari melewati ujung kepala
mereka. Hutan Welirang adalah hutan yang cukup luas. Hutan itu
membentang dari kaki gunung hingga ke puncak. Hutan di
Gunung Welirang memang masih sangat lebat berupa belantara
dengan pohon hutan asli. Bukit-bukitnya sebagian besar terjal
dengan kemiringan yang tajam. Mata air hampir ada di manamana, bahkan di musim kemarau
tempat itu tidak pernah kekurangan air. Di sebelah barat lereng gunung itu, terletak
sebuah sumber mata air yang tertampung membentuk sebuah
23 222 kolam. Pada tempat itu biasa hewan-hewan liar di Gunung
Welirang, seperti babi hutan, rusa dan kancil, melepaskan
dahaga. Ini tentu mengundang harimau juga datang ke tempat itu.
Raja hutan itu datang tidak hanya untuk minum melainkan juga
berburu dan memangsa hewan-hewan di sana. Tempat itu yang
menjadi tujuan perburuan dua Pangeran kakak beradik anak dari
Sri Wairiwarawiramardana. Tempat yang cukup tinggi dan
terpencil. "Kakang, kita langsung bergerak ke kolam mata air di sebelah
barat gunung ini". Pangeran Sikara cepat mengambil
perlengkapan berburunya. Pedang panjang digantungkan di sisi
pinggang kiri. Busur digenggam dengan tangan kiri, dan seikat
anak panah telah dibawa dengan tangan kanan. Tanpa
menunggu kakaknya, ia dengan sigap bergerak naik ke sisi barat
gunung itu. Gerakan Pangeran itu sangat cepat dan sebentar saja
sudah meninggalkan kakaknya dan yang lain.
"Tunggu Adhi,...." Pangeran Sarkara yang telah siap dengan alat
buruan, termasuk sebilah keris yang terselip di balik punggung,
cepat bergerak mengejar sang adik. Bergerak ke tempat yang
telah disebutkan oleh adiknya. Tetapi, sebelum itu ia meminta
kepada pengawal untuk tidak menyusul. Ia tidak ingin terganggu
saat berburu dengan adiknya. Setelah itu, tidak kalah sigap ia
telah mengejar adiknya menaiki lereng sebelah barat Gunung
Welirang. Dalam dua penderesan nira, Pangeran Sarkara telah melihat
adiknya mengendap-endap di sebuah batu dekat kolam mata air
di lereng itu. Ia pun pelan mendekat. "Ssstttt.... ada dua.... satu di
kiri dan satu lagi di kanan". Pangeran Sikara memberi isyarat.
Benar, seperti yang ditunjukkan adiknya, ia melihat sepasang
223 harimau dewasa. Dua hewan itu juga seperti diri mereka sedang
mengintai buruan. Mereka pun membagi tugas.
"Kakang, aku akan mengambil yang di sebelah kiri." Pangeran


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sikara telah memilih sasaran buruan. Dua Pangeran itu pun
mengendap-endap hendak berpisah membidik buruan masingmasing. Dengan suatu tindakan yang
tidak kentara, Pangeran Sikara menabrak hingga patah busur kakaknya.
KRAARK. Suara benturan tanda busur kayu itu telah menjadi patah. Patah
karena kekuatan yang telah dialirkan oleh sang adik saat
menabrak busur itu. "Oh, maafkan aku Kakang. Biar kau gunakan busurku ini. Aku
dapat menggunakan pedang panjang untuk memburu harimau
itu". Pangeran Sikara menyorongkan tangan kiri yang
menggenggam busur. Tanpa ragu sedikit pun sang kakak
menerima busur itu dan bergegas pergi menuju buruan. Mereka
telah bergerak berpisah ke kolam mata air itu. Hanya satu
24 penderesan nira, dua pangeran itu telah bertemu di dekat kolam.
Di sebuah tempat agak lapang yang di pinggir sebelah utara
terdapat jurang cukup curam. Sepuluh tumbak dalamnya, dengan
bebatuan pada dasar. Pangeran Sikara terlihat memanggul sesuatu yang sangat besar
di atas pundaknya. Harimau dewasa yang telah mati oleh pedang
panjang. Sementara, Pangeran Sarkara tampak gemetar
memegang busur. "Kakang, mana buruanmu. Aku telah
membunuh seekor harimau besar, dan sebentar lagi aku pun
akan membunuh yang lain". Kata-kata itu bersayap dan
diucapkan dengan pandangan mata yang menyimpan arti
tertentu. Arti yang hanya dimengerti oleh yang mengucapkan.
224 "membunuh seekor harimau .... akan membunuh yang lain" itu inti
dari ucapan bersayap itu. Kata-kata itu, bisa berarti akan
membunuh "penguasa hutan", bisa juga akan membunuh
"Penguasa Watugaluh", Pangeran Sarkara. Kakaknya sendiri.
"Luar biasa. Ia telah membunuh harimau besar itu dengan
pedang." Pangeran Sarkara memberi penilaian atas apa yang
telah dilakukan adiknya, sambil bergerak ke tanah lapang dekat
kolam mata air itu dengan tubuh membelakangi jurang yang
curam menganga. "Ah, Adhi. Aku tidak mampu melepaskan
panah ku. Tiba-tiba tanganku gemetar dan terasa linu-linu.
Busurmu tidak cocok untukku". Perkataan itu disambut dengan
tawa yang keras dari sang adik. Suara tawa yang menyeramkan.
Penuh hawa kematian. "Ha....ha....ha.... Kakang, Kakang.... Sungguh malang engkau.
Aku sengaja telah mengoleskan pada busur itu picung upas*)
(racun picung). Lihat tangan Kakang telah menjadi kemerahan
tanda pembuluh-pembuluh darah pada bagian itu telah menjadi
pecah." Senyum puas terlihat di wajah Pangeran Sirkara dan ia
pun melempar beban di punggung ke arah kakaknya. Bersamaan
dengan itu, ia telah menyerang sang kakak yang berdiri di
hadapannya. Menyerang secepat kilat. Diserang demikian cepat,
Pangeran Sarkara tidak punya pilihan lain kecuali membenturnya.
BUMMM. Sebuah benturan telah berlangsung. Pangeran Sarkara mencelat
ke belakang dan tidak bisa langsung mendarat ke tanah, karena
tepat di belakang terdapat jurang yang menganga.
"Ehmmm. Luar biasa. Guru sungguh-sungguh tidak hanya
membentuk kekuatan dalam diri adikku, melainkan juga
membentuk wataknya. Watak yang sesuai dengan namanya:
225 keras berkehendak mengejar dunia." Demikian sang kakak
membatin, pada saat tubuhnya meluncur ke dalam jurang
sedalam sepuluh tumbak. Tampak tidak ada rasa khawatir
tampak pada wajah Pangeran Sikara, saat ia meluncur bebas ke
dalam jurang. 25 Pangeran Sikara menghampiri jurang, terlihat samar di bawah
sana secarik pakaian yang dikenakan kakaknya. Ia yakin pada
pakaian itu membungkus tubuh kakaknya. Tubuh yang telah
terkena picung upas dan tersambar oleh pukulannya serta
terhempas pada bebatuan di dasar jurang yang sedalam sepuluh
tumbak. Tubuh itu tentu sudah menjadi tidak bernyawa. Untuk
tidak memancing kecurigaan, Pangeran Sikara tidak langsung
turun ke bawah. Ia menunggu matahari beranjak condong ke
barat. Setelah dirasakan tepat, Pangeran itu pun memutuskan hendak
turun ke bawah. Namun, sebelum itu sebuah persiapan telah
dilakukan. Dengan cakar harimau yang telah dibunuh, ia
merobek-robek baju hingga menembus kulit. Sejumlah bagian di
tubuh, termasuk pada bagian wajah. Pada pipi kiri, terlihat
sejumlah luka. Luka cukup dalam. Pada dada, punggung, paha
dan lambung terlihat goresan luka dan basah oleh darah. Darah
yang bukan darahnya, melainkan darah dari harimau yang telah
dibunuhnya. Untuk lebih menguatkan alasan yang akan
dikemukakan, ia memasukkan tangan kiri ke mulut harimau yang
telah mati itu, lalu menekan sekuat tenaga. Darah pun memuncat
dari luka di tangan kiri. Luka dari taring kuat harimau yang telah
menggigit. Saat Pangeran Sikara melakukan semua yang akan menguatkan
dan tidak menimbulkan keraguan terhadap apa yang
226 dikemukakan, sepasang mata mengamati dari tempat
tersembunyi. Tersembunyi di balik rimbunnya pohon. Sepasang
mata tajam, dengan dua tangan membiru dan berhiaskan bercakbercak merah dari darah yang
sebagian belum mengering.
"Sekali lagi, guru benar-benar telah menanamkan bagaimana
harus bersiasat. Bersiasat secara sempurna dan tanpa jejak
terbuka". Batin orang di balik rimbunnya pepohonan itu.
Setelah menilai cukup, Pangeran Sikara pun turun. Ia telah berlari
turun dari lereng Gunung Welirang. Sangat tergesa-gesa,
seakan-akan telah diburu oleh sesuatu.
Dalam sependeresan nira, ia sudah tiba di tempat pasukan
Watugaluh dan Kambang Putih menggelar motha (kemah). Ia
berharap prajurit-prajurit di sana akan menjadi terkejut atas apa
yang terjadi pada dirinya dan kakaknya. Akan tetapi, tidak
demikian yang terjadi. Yang menjadi terkejut justru dirinya.
Di sana, telah bergetakkan mayat-mayat prajurit dengan luka di
kepala atau dada. Luka itu belum lama diidap, paling-paling tidak
lebih dari enam penderesan nira. Luka-luka dengan tanda
membekas sama. Membiru. Tanda-tanda yang sangat
dikenalnya. "Ah, guru telah turun tangan. Meringankan diriku agar tidak perlu
menjelaskan kepada prajurit di sana, dan mencari jejak kakakku
di atas sana. Berpikir sejenak, ia pun naik kembali ke kolam mata
air, lalu cepat turun kembali membawa tubuh harimau yang telah
26 mati. Sesampainya kembali di tengah-tengah tubuh kaku yang
berserakan. Ia melepaskan pakaian bagian bawah Senopati
Utama. Pakaian yang sama dengan yang dikenakan oleh
kakaknya. Segera mengenakan pada seorang prajurit yang
berpostur mirip dengan kakaknya, lalu mencabik-cabik muka dan
227 tubuh prajurit itu dengan cakar dan taring kokoh harimau.
Mencabik-cabik sedemikian rupa, sehingga tubuh itu sudah tidak
dikenali lagi. Hanya dikenali sebagai seorang yang cukup muda
dengan pakaian bagian bawah menunjukkan bahwa ia adalah
seorang Pejabat Utama Watugaluh. Tidak lupa Pangeran Sikara
juga membaluri sekujur tubuh orang itu dengan darah yang
diambil dari tubuh prajurit lain yang berserakan di sana. Terakhir
ia pun mencari tempat tersembunyi untuk menguburkan bangkai
harimau yang telah ia bunuh. Suatu upaya menyamarkan
sempurna. Setelah melakukan itu semua, Pangeran Sikara menaikkan tubuh
itu di atas kuda, lalu membawa pergi. Pergi kembali ke Kota
Watugaluh untuk menceritakan kisah dengan bukti-bukti yang
telah ia persiapkan. Bukti yang meyakinkan, sempurna, tanpa
jejak. Namun sebelum pergi, tidak lupa ia meninggalkan sekeping
lencana. Lencana berupa sebuah panji bersimbolkan tengkorak
bertaring di atas bulan sabit dengan tulisan Chandrakapala di
bawah. Ia yakin lencana itu akan ditemukan oleh mereka saat
menelusur jejak peristiwa di Hutan Welirang. Hutan, di mana telah
berlangsung sebuah Watugaluh P?ngeran Pati. Pembunuhan
seorang Pangeran Penguasa Watugaluh.
*** Apa yang terjadi di Hutan Welirang telah tiba pada Sri
Wairiwarawiramardana, dua hari sejak peristiwa itu terjadi. Raja
itu pun memanggil satu-satunya orang yang selamat dalam
peristiwa itu. Pangeran Sikara, salah satu putranya. Ia memanggil
Pangeran itu untuk mendapatkan penjelasan dari orang yang
228 terkait langsung dengan peristiwa itu.
Di istana Carangsoka, terlihat seorang muda duduk bersimpuh di
hadapan Sri Wairiwarawiramardana. Orang itu adalah Pangeran
Sikara. Di wajahnya masih membekas beberapa garis luka yang
sedang mengering. Luka cakaran raja hutan. Dengan nada penuh
kesedihan, Pangeran itu menceritakan bagaimana dirinya dan
kakaknya telah diserang oleh sekawanan harimau. Ia tidak
mengerti mengapa dirinya bisa selamat. Selamat dengan
sejumlah luka di sekujur tubuh. Padahal sewaktu harimau itu
menyerang, ia telah menjadi tidak sadarkan diri. Tidak sadarkan
diri diterjang seekor harimau sangat besar. Menurut cerita
Pangeran itu, terjangan itu telah melempar dengan keras dan
membenturkan kepala dengan sebuah batu sehingga telah
membuat dirinya kehilangan kesadaran.
27 Manakala ia sadar, tubuhnya tampak telah terseret dan penuh
luka. Ia pun segera bangkit mencari sang kakak. Tidak berapa
jauh dari tempat mereka diserang oleh kawanan harimau itu
terlihat tubuh kakaknya telah membujur kaku dengan luka-luka di
sekujur tubuhnya. Yang aneh menurutnya, pada tubuh kakaknya
itu, di antara luka-luka cakaran dan gigitan raja hutan itu, terdapat
sebuah luka. Luka pukulan. Lebih mengherankan lagi, seluruh
perhiasan milik kakaknya hilang, termasuk keris yang telah
disandang sewaktu berburu. Ada tangan lain kecuali serangan
harimau itu yang telah mengakibatkan kematian kakaknya.
Tangan itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang telah
membunuh enam puluh prajurit di perkemahan.
"Suatu kematian yang sangat mengenaskan dan tragis".
Lengkingan itu tidak keluar keras karena tertahan oleh kesedihan
yang sedang dimainkan. 229 Mendengar penuturan anaknya yang sangat menyakinkan, Sri
Wairiwarawiramardana itu sangat sedih. Ia pun turun dari
singasana dan memeluk anaknya yang telah menangis keras
karena kehilangan saudara. Saudara satu ayah lain ibu.
Pada peristiwa itu, Sri Wairiwarawiramardana mengalami dua
hantaman sekaligus. Pertama, kehilangan seorang anak laki
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
-laki. Anak laki-laki yang diharapkan akan meneruskan kekuasaan di
Carangsoka. Kedua, tercoreng dengan serangan sebuah
kelompok yang menamakan diri Chandrakapala. Kelompok itu
telah menyapu habis dua orang Senopati Utama dan delapan
puluh prajurit Watugaluh dan Kambang Putih yang merupakan
dua wilayah di bawah kekuasaannya.
*** Sejak saat itu, nama Chandrakapala dicatatnya lekat-lekat.
Dicatat untuk diungkap jejaknya dan diminta pertanggungjawaban
atas apa yang telah diperbuatnya di Hutan Welirang. Perbuatan
yang tidak bisa dimaafkannya.
*** Setibanya di tempat penginapan, Satwika dan Anggasta langsung
mencegat kedatangan Arga dan Tedja. Raut mereka lelah karena
kecemasan. Serangkaian pertanyaan susul menyusul dilontarkan
tanpa henti. Dari lima kata tanya yang ada, kata "bagaimana"
yang paling banyak diumbar. Hanya beberapa pertanyaan itu
terjawab, khususnya mengenai keberadaan Rasendriya yang
tidak mereka lihat. "Sudah kembali kepada kelompoknya."
230 Begitulah, hanya sebuah jawaban singkat. Ada kekecewaan di
raut wajah dua Murid Merak Mas itu, tetapi segera sirna oleh
luapan rasa gembira, karena dapat menjumpai dua orang yang
lama dinanti-nanti telah kembali tanpa kekurangan suatu apa pun.
Ingin cepat beristirahat, Arga pamit mohon diri. Mereka tidak
berusaha menahan, menyadari betapa penting arti suatu rehat
bagi orang yang telah menguras tenaga dalam suatu pertarung.
Ya, rehat adalah hal terpenting yang harus dilakukan usai
menyelesaikan suatu pertarungan. Tidak hanya untuk
memulihkan tenaga dan kebugaran, tetapi lebih-lebih memeriksa
pengaruh-pengaruh pertempuran terhadap fungsi organ. Baik
satu per satu maupun dalam tata kerjanya sebagai satu kesatuan
yang menyeluruh. Di bilik penginapan, Arga cepat duduk bersila di pembaringan dan
memeriksa pengaruh pertempuran terhadap fungsi organ penting.
Ia tidak mendapati sesuatu yang asing atau mengganggu. Semua
berjalan seperti sedia kala.
Yang kemudian dilakukan Arga adalah memutar kembali dalam
ingatan pertarungan di Hutan Beringin Putih. Bagian per bagian
secara cermat. Sebisa mungkin sedikit yang terlewat. Dengan
ingatan itu, ia mengurai jurus-jurus Rembulan Emas. Mengurai
untuk mengenali ciri dan sifat jurus-jurus itu, khususnya Telapak
Rembulan Bersemi. Jurus Pamungkas Rembulan Emas. Suatu
kesimpulan dapat dikatakan. Telapak Rembulan Bersemi adalah
jurus dahsyat, namun pengerahan jurus itu akan lebih hebat jika
digabungkan dengan Dahayu Soma Bana (Anak Panah
1 Rembulan Cantik Molek). Pengabungan jurus ini akan
menghasilkan lontaran tenaga lewat telapak, bukan sentilan atau
jentikan. "Dua jurus yang hebat". Anak muda itu melihat
231 kemungkinan penggabungan dua jurus itu.
Hingga menjelang fajar, Arga mengurai apa yang telah
berlangsung. Pertarungan di Hutan Beringin Putih. Laga yang
sangat istimewa. Pada akhirnya, Arga berhenti dan merebahkan
diri di pembaringan. Ia membiarkan tubuh beristirahat untuk
memperoleh kebugaran kembali.
*** Matahari telah meninggi, Arga merasa lapar. Ia pun memutuskan
keluar untuk makan. Melangkah ringan ke luar kamar, Arga
langsung berjalan menuju ruang makan pada penginap itu.
Memesan hidangan seadanya.


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat pagi, Adhi". Sapa Kang Tedja yang datang menghampiri
sementara Arga masih sedang menyelesaikan "sarapan". Hanya
anggukan yang menjadi jawaban sapaan itu, karena mulut orang
yang disapa sedang dipenuhi oleh nasi dan lauk yang dikunyah.
"Adhi, kami berempat hendak kembali ke perguruan siang ini.
Adhi Anala agaknya sudah dapat berjalan kendati masih lemah
kondisinya. Untuk itu, aku memutuskan secepatnya kembali, agar
Adhi Anala memperoleh kesempatan untuk mendapatkan
perawatan yang layak. Apabila berkenan kami mengajak serta
Adhi Arga untuk berkunjung ke Perguruan Merak Mas". Yang
menjadi penekanan dari perkataan itu adalah kalimat terakhir:
ajakan mengunjungi tempat di mana anak muda itu pernah
dibesarkan. Yang ditanya terdiam menimbang-nimbang.
Sementara itu, tiga murid Perguruan Merak Mas lain datang
mendekat dan terlihat Anala berjalan tertatih-tatih sekalipun tidak
lagi dipapah oleh seorangpun rekannya. "Ayo Adhi pergi bersama
kami ke Merak Mas". Ajakan penuh harapan dan kegairahan
232 keluar dari mulut Anggasta. Ajakan yang terbuka dan spontan,
sesuai dengan sifat orang itu.
"Maaf Kakang. Aku pasti akan berkunjung ke Perguruan Merak
Mas, tempat di mana dahulu aku pernah dibesarkan dan padanya
aku sangat berhutang budi yang tidak terukur. Tetapi, tidak untuk
saat ini. Apa yang menamakan diri kelompok Chandrakapala
telah menarik perhatianku, aku telah memutuskan untuk
menelusuri jejak-jejaknya enam purnama ke depan, apa pun itu
hasilnya. Bila tidak ada suatu halangan, sesudah itu aku segera
datang berkunjung Perguruan Merak Mas." Suatu penolakan
halus dan sebuah janji diberikan oleh Arga.
"Ah, Adhi soal Chandrakapala bisa kau lakukan nanti seusai
berkunjung ke perguruan kami. Bagaimana?". Kata Anggasta
memprotes. Tidak ada respon dari protes itu.
"Baiklah Adhi, kalau memang begitu kehendak Adhi. Sebentar
2 lagi kami mohon diri. Kami berharap dapat berjumpa lagi dengan
adhi enam purnama berselang saat berkunjung ke Perguruan
Merak Mas. Suatu kunjungan yang sangat dinanti, bukan hanya
oleh kami berempat, tetapi juga oleh ketua. Selamat jalan Adhi
dan berhati-hatilah". Kata Kang Tedja, yang lebih dapat menahan
diri dan mengerti mengenai apa yang aku ingin lakukan. Kang
Tedja bangkit berdiri, dan Arga pun mengikutinya berdiri lalu
keduanya saling memberi hormat. Baik Satwika dan Anggasta
agaknya agak enggan berdiri sekalipun akhir berdiri yang juga
memberi hormat. Keengganan mereka merupakan ungkapan
ketidakrelaan untuk berpisah. Sementara Anala sambil duduk
juga memberi hormat. Setelah saling memberikan salam
perpisahan, keempat murid itu pun berlalu meninggalkan
penginapan untuk kembali ke perguruan mereka.
233 *** Sepeninggalan murid-murid Merak Mas, Arga memutuskan untuk
tinggal satu dua pekan di kota Hita Harsika. Tinggal lebih panjang
di penginapan itu. Dari kota itu, Arga mencoba untuk menelusuri
jejak Chandrakapala. "Mengurai Chandrakapala" Bagaimana itu
dilakukan" Darimana memulainya?" Pertanyaan-pertanyaan ini
berputar-putar dalam benak Arga. Dan, ia pun memilih untuk
mendalami Chandrakapala melalui pertanyaan ketiga, "darimana
memulainya?" Chandrakapala adalah kelompok "tanpa sosok
yang dikenali", yang mengemuka padanya secara terang
benderang hanyalah sebuah kepentingan. Kepentingan yang
dibalut dengan tindakan-tindakan yang memberikan guncangan
dan rongrongan terhadap kewibawaan pemangku negeri ini.
Itulah ciri yang dipertunjukkan oleh mereka yang ada di balik
nama Chandrakapala. Untuk mencari sebagaimana dipertunjukkan melalui sesuatu yang
disebut Chandrakapala, yang sontak mengemuka dalam pikiran
anak muda itu adalah tempat bernama pasar. Menurutnya, pasar
adalah tempat dari segala sesuatu yang bersifat tuna asma
(tanpa nama), tidak ada itu ki Barda, juga tidak pula ada Ki
Dharma, atau sosok pribadi manapun. Yang ada di pasar
hanyalah daruna (kepentingan) atau tepatnya c?n?ng daruna
(kepentingan yang saling dipertautkan). Di dalam pasar berbagai
macam kepentingan saling dipertukarkan secara taut menaut
membentuk jejaring yang rumit seperti sarang laba-laba. Bukan
tidak mungkin kepentingan Chandrakapala juga tertaut di
dalamnya, bahkan hingga menjangkau kota ini, Hita Harsika
Praja. 234 "Aku akan bertanya pada penduduk kota ini, tentang letak pasar
terbesar dan pada hari apa pasar itu dibuka." Itulah catatan awal
yang dikemukakan Arga. Tidak sulit baginya untuk mendapatkan
keterangan tentang letak dan kapan ada kegiatan pada pasar di
3 Hita Harsika Praja. "Tiga hari lagi hari pasar akan berlangsung.
Biarlah aku menghabiskan waktu berdiam di bilik penginapan
atau sekedar berjalan-jalan berkeliling Hita Harsika." Anak muda
itu memutuskan kegiatan yang akan dilakukan selama menunggu
pasar dibuka. *** Hari yang dinanti pun tiba. Pagi-pagi benar, anak muda itu telah
pergi sarapan. Sebagai persiapan awal yang dibutuhkan,
sebelum ia beranjak pergi mencermati kegiatan yang berlangsung
di pasar. Saat sarapan ia melihat sebuah sosok berpenampilan
gelap di pojok kiri ruang makan ini, yang agaknya tidak ingin
menyatakan jati diri dengan terang-terangan. Sosok yang sedari
memasuki ruang makan ini, sudah tertangkap kehadirannya.
Sosok itu hanya berdiam diri di sana. Hanya seorang diri. Sosok
yang beberapa hari ini terlihat di penginapan itu.
Setelah menyelesaikan sarapan, anak muda itu meninggalkan
penginapan. Tanpa tergesa-gesa ia bergerak ke tempat tujuan.
Tempat yang sebelumnya telah didatangi. Sesampainya di
tempat itu, telah berjejalan banyak orang berkerumun. Tempat itu
berupa lapangan cukup luas untuk menampung ratusan orang.
Letaknya, dekat dengan sebuah sungai yang cukup besar.
Sungai itu dipergunakan sebagai pengangkut hasil bumi yang
akan dijual. Diangkut dengan rembaya (perahu kecil atau
235 sampan). Terlihat oleh anak muda itu sejumlah orang sibuk
memindahkan muatan dari atas empat buah rembaya yang
ditambat di tepi sungai itu.
Kecuali diangkut dengan rembaya, barang yang dibawa untuk
dijual di pasar itu juga biasa diangkut oleh gerobak atau pedati
yang ditarik hewan. Beberapa di antaranya sapi dan kuda. Ada
juga yang membawa barang jualan dengan dipikul. Dipikul
dengan sebatang tongkat dari tangkai bambu sepanjang kira-kira
setengah tumbak, dengan kedua ujung terdapat ikatan dari rotan
atau bilah bambu yang telah dibelah kecil dan dihaluskan.
Pada pasar itu berkumpul sejumlah barang yang diperdagangkan.
Di sisi paling luar beberapa molang (pedagang ternak) membawa
aneka hewan peliharaan: ayam, itik, sapi, kambing, bahkan babi
hutan. Hewan-hewan itu seluruhnya terikat. Di tengah lapangan
yang digunakan sebagai pasar, ada para craki (penjual bahan
jamu dan obat-obatan), lalu brabadan (penjual kebutuhan seharihari atau pedagang kelontong)
serta pedagang-pedagang makanan yang dapat langsung disantap.
Di luar itu ada juga pedagang selaku pengumpul. Pedagang
dalam kelompok ini adalah banija (pedagang besar). Mereka
banyak membawa barang dagangan dari luar wilayah kota Hita
Harsika, bahkan dari luar Bhumi Mataram. Biasanya barang yang
mereka bawa itu berupa perhiasan, pakaian, kain, hasil kerajinan,
kamini (wewangian kaum hawa), dan beberapa lainnya.
Saat itu Arga sedang berada di depan seorang kuwad?an banija
4 (pedagang besar kain dan pakaian). Ia memang sangat ingin
membeli sebuah pakaian untuk menggantikan pakaian yang telah
begitu lama dikenakan. Begitu banyak warna yang ditawarkan.
Saat Arga tenggelam dalam kegiatannya. Empat pasang mata
236 mengamati dari jarak tiga tumbak. Mata itu adalah milik dua orang
yang telah lanjut usia dan dua orang yang masih sangat muda.
"Kita akan terus membayangi anak muda itu. Anak muda yang
telah membentur dan menundukkan perguruan Rembulan Emas
di Hutan Beringin Putih." Salah satu orang tua menyatakan
rencana setelah mereka menyaksikan peristiwa di Hutan Beringin
Putih. Setelah berkata demikian, mereka pun membagi ke dalam
dua kelompok membayangi anak muda itu.
Hingga menjelang siang, anak muda itu berada di tengah
kerumunan orang di pasar. Arga terus mengamati orang yang lalu
lalang dan segala kegiatan yang dilakukan. Ia berharap
menemukan sesuatu yang dapat menuntun pada jejak
Chandrakapala di tengah kegiatan yang berlangsung di pasar.
Akan tetapi, apa yang diharapkan tidak kunjung didapati.
Sepanjang siang itu, ia tidak mendapati gerak-gerik yang
tertangkap sebagai tanda-tanda kehadiran Chandrakapala. Dari
pasar itu, yang didapat adalah sepotong pakaian baru yang telah
dibeli dari seorang kuwad?an. Kerumunan orang mulai surut
menipis. Memastikan tidak mendapat sesuatu dari pasar itu, Arga
beranjak pergi. Ia tidak langsung menuju penginapan, melainkan beranjak ke
tempat yang belum dikunjungi di kota itu. Setelah cukup lama
berjalan, anak muda itu tiba di suatu persimpangan yang agak
sepi. Di sana telah berdiri seseorang menanti. Seseorang yang
telah dikenali sebagai sosok berpenampilan gelap yang duduk di
pojok ruang makan penginapan. Saat berpapasan dengan orang
itu, terdengar suara berat atau diberat-beratkan, "Anak muda, aku
sangat tertarik padamu. Tertarik bagaimana kau menundukkan
Kanaka Soma." Serta merta Arga terhenyak mendengar
237 perkataan itu. "Siapa kau, Ki Sanak" Mengapa Ki Sanak membayang-bayangi
aku sedari tadi" Bahkan mungkin jauh sebelumnya, sampaisampai Ki Sanak mengerti apa yang
berlangsung antara aku dengan kelompok Kanaka Soma." Anak muda itu menyelidik.
"Kalau aku mengatakan bahwa aku tertarik padamu, ya aku
memang tertarik. Bukankah wajar, seseorang itu bertindak
mengikuti apa yang telah membuat ia tertarik. Apakah diperlukan
alasan lain atas tindakan itu, selain dari alasan tertarik itu sendiri."
Kata orang itu menjawab tepat pada intinya sekalipun menyimpan
makna samar. Merasa tidak perlu menanggapi, Arga pun beranjak akan pergi.
Orang itu tidak menghalang-halangi, tetapi menahan yang ingin
5 berlalu dengan sebuah kalimat yang memancing.
"Tidakkah kau tertarik dengan Curirana, yang disebut-sebut
memiliki ikatan dengan sumber dari apa yang ada di dalam
dirimu?" Semakin jelas bahwa orang itu menyaksikan apa yang telah
terjadi di Hutan Beringin Putih. Arga pun semakin diliputi tanda
tanya mengenai sosok dalam penyamaran itu. Apa yang
dikatakan orang itu telah berhasil menahan Arga.
"Baiklah Ki Sanak, aku tidak akan mengusik apapun yang hendak
Ki Sanak lakukan, termasuk membayang-bayangi diriku. Tentang
apa yang Ki Sanak sebut-sebut Curirana, aku tidak
mengenalnya." Arga menanggapi apa adanya.
"Tidak mengenal" Bagaimana bisa sesuatu yang sudah
Atau itu hanya suatu penyangkalan, suatu penyangkalan
keberadaan Curirana di dalam dirimu." Orang itu bersikeras,
238 bahkan telah melontarkan suatu tuduhan. Tuduhan bahwa anak
muda itu tidak mengakui yang ada pada dirinya.
"Percaya atau tidak terhadap apa yang aku katakan, itu urusan Ki
Sanak". Setelah menyelesaikan perkataan itu, Arga pun
melenggang pergi. Melihat orang itu terus membayangi, Arga pun mengerahkan
tenaga dan berlari cepat untuk melepaskan diri dari orang yang
membayang-bayangi. Ia bergerak cepat seperti meluncur menuju
hutan yang ada di perbatasan kota. Hutan adalah tempat sangat
tepat untuk menghilangkan jejak dengan bersembunyi di balik
rimbunan pepohonan atau semak. Tetapi, orang itu tetap
mengejar dengan jarak yang sama. Semakin cepat orang yang
berada di depan itu bergerak, semakin cepat juga sosok dalam
penyamaran itu bergerak. Kejar mengejar pun terjadi.
"Ini sungguh mengganggu." Pikir anak muda itu. Dengan
menapakkan dua kaki pada posisi setengah menyiku dari
permukaan tanah, Arga tidak melakukan gerak melenting maju ke
depan, tetapi justru menjejakkan dua kaki untuk memantulkan diri
bergerak meluncur ke belakang. Ia meluncur ke arah sosok yang
justru sedang bergerak mengejar. Akibatnya, antara yang dikejar
dan yang mengejar tidak lagi berjarak, melainkan bertemu.
Pertemuan itu terjadi sangat cepat. Pada momen di mana
pertemuan itu terjadi, yang dikejar dengan kecepatan tinggi
menyambar orang yang mengejar. Perubahan yang mendadak itu
membuat orang yang mengejar sangat terkejut. Ia pun berkelit
menyamping menghindari sambaran. Sekalipun telah
menghindar, sambaran itu telah membetot penutup kepala yang
dikenakan untuk menyembunyikan wajah. Penyamaran pun
terbuka. 239 Berdiri diam dua sosok yang tadi kejar mengejar. Yang seorang
berdiri dengan tangan kanan memegang selempang kain,
6 sementara di belakangi berdiri sosok yang sudah terurai
penyamarannya. Yang memegang kain masih diam tidak
bergerak dengan tetap membelakangi sosok yang sekarang
bergerak mendekat. Pada jarak 3 depa orang itu berhenti
melangkah. Tanpa memalingkan muka, orang yang datang
mendekat itu telah dikenali. Namun demikian, Arga masih
berdiam di tempat, dan tetap tidak mengeluarkan satu kata pun.
"Kau telah menyingkapkan penyamaranku. Bagiku itu tidak
bermakna sebagai suatu cegahan. Yakni, cegahan agar aku
menghentikan tindakanku untuk membayang-bayangimu lewat
suatu penyamaran. Sebaliknya, apa yang sekarang telah terjadi,
kunilai sebagai suatu ajakan. Ajakan agar aku tidak lagi
membayang-bayangi, melainkan datang mendekat dan berjalan
bersama beriringan dengan terbuka." Kata orang yang telah
terbuka samarannya. Perkataan dengan penalaran yang
janggal*). "Arga, kalau kau berniat menghindar atau melepaskan diri dari
penguntitan yang aku lakukan, itu bisa kau lakukan semudah ikan
gabus bergerak cepat masuk menyusup ke dalam lumpur di


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasar sungai, dan menghilang tanpa bekas." Katanya lagi sambil
menyebut nama anak muda itu. Arga tidak heran manakala orang
itu telah menyebutkan namanya. Sebab, ia sendiri telah
memperkenalkan namanya kepada orang itu.
"Kau keliru, Put..." Perkataan anak muda hendak menyebutkan
nama orang yang mengejarnya, terpenggal putus. Anak muda itu
memang telah mengenali orang yang membayang-bayangi
dirinya. Ia mengenal orang itu sebagai Puteri Nirbita Rajni. Orang
240 itu telah dikenali saat datang mendekat, yang bersamaan dengan
itu tercium anggara kamini (wewangian khas wanita) yang sama
dengan orang yang ia tempur di Hutan Beringin Putih.
"Panggil aku, Rajni, dan berbaliklah". Katanya pelan memotong
pembicaraan Arga dan mengajukan permintaan. Dua permintaan.
Pertama, soal cara memanggil dirinya. Kedua, cara berbicara
dengannya pada saat itu. Sebenarnya, Arga lebih nyaman berbicara dengan cara
membelakangi, sebab berbicara dengannya secara berhadapan
apalagi hanya berjarak 3 depa akan membuat canggung dan
kikuk. Menekan kuat kedua perasaan itu, anak muda itu
membalikkan badan dan menghadap padanya. Yang ia lihat saat
ini sungguh berbeda dengan apa yang disaksikan di arena
pertempuran. Orang yang sekarang berdiri di hadapannya adalah
seorang gadis berpenampilan biasa dengan rambut dibiarkan
terurai hingga menyentuh pinggul.
Berbeda dengan penampilan sebelumnya, di mana ia tampil
dengan segala kebesarannya. Pakaian yang dikenakan pun tidak
seperti sebelumnya yang terbuat dari sutera halus. Ia hanya
tampil dalam pakaian kebanyakan, seperti pada umumnya
dikenakan oleh seorang dara, berwarna coklat kegelapan yang
7 cukup kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat.
Rambutnya pun yang semula tergelung ke atas kini dibiarkan
terurai tanpa hiasan lambang rembulan warna emas.
Penampilannya itu sungguh amat mempesona. Penampilan itu
membuat Arga diam terpana dalam beberapa saat, dan telah
mengurungkan niat untuk mengatakan bahwa ia sungguhsungguh merasa terganggu berada di
bawah bayang-bayang orang, apalagi orang dalam suatu penyamaran.
241 "Kita bicara di bawah pohon besar itu." Katanya memecahkan
keheningan dan berjalan mengarah ke pohon yang dimaksudkan.
Duduk santai pada akar sebesar paha yang mencuat dari
permukaan tanah, ia menunggu Arga yang berjalan mengikuti.
Berjarak sepelukan pohon, Arga duduk pada batu tanpa berani
menatap wajahnya. "Arga, tentu kau bertanya mengenai alasan mengapa aku
meninggalkan rombonganku, juga Kanaka Soma, dan pergi
mengikutimu. Alasan pertama adalah Curirana. Sesuatu yang
kukenali mengendap dalam dirimu, sekalipun sejauh ini tidak
disadari atau mungkin dipungkiri. Yang kedua, adalah
kemampuan dirimu yang telah mengatasi aku dalam pertempuran
itu. Kemampuan yang sangat membuatku penasaran, terlebih
apa yang kau kerahkan menjelang benturan terakhir." Katanya
membuka percakapan di bawah pohon itu.
"Baiklah, sebelum menguraikan tentang Curirana, yang bagiku
adalah sebuah tabir mengapa itu bisa berada padamu, aku akan
mengungkapkan siapa diriku dan perguruan Soma Kanaka. Aku
berharap engkau memiliki kesabaran untuk menyimak". Katanya
memberi isyarat bahwa apa yang akan dikatakan merupakan
kisah yang panjang dan menyimpan suatu kerumitan.
"Perguruan Rembulan Emas merupakan perguruan yang terkait
erat dengan pemerintahan sebuah wilayah Bhumi Mataram di
sebelah barat kota ini. Berjarak kira-kira seratus enam puluh pal
dari kota ini. Pada wilayah itu berkuasa Sri Maharaja Rakai Limus
Dyah Dewendra. Ia adalah salah satu raja yang berkuasa di
negeri ini. Saat ini Paman memerintah bersama-sama dengan
dua penguasa lain di wilayah berbeda pada Bhumi Mataram. Tiga
Penguasa itu berkuasa di bawah Raka i Kayuwangi yang
242 memerintah Bhumi Mataram dari Mamrati." Gadis itu
menghentikan penjelasan dan membasahi kedua belah bibir
mungil dengan lidah. Bibir yang agak mengering setelah
berbicara panjang. Tanpa sadar, Arga menatap gadis itu. Gadis
yang baru saja menyapu bibir dengan lidah. Anak muda itu
semakin mengagumi daya tariknya. Lalu, gadis itu membuat satu
tarikan nafas yang lembut dan bersiap melanjutkan cerita.
"Seperti halnya kerajaan yang menguasai negeri ini,
pemerintahan di bawah penguasaan Paman memiliki sejumlah
8 perguruan untuk menyangga kekuasaan. Kanaka Soma
merupakan pilar terkuat dari perguruan-perguruan yang
menyangga kekuasaan Paman. Sebenarnya, Ketua dari Kanaka
Soma bukanlah diriku, melainkan Ayah. Dibantu oleh tiga
Saudara Perguruan, yakni Paman Antargata, Paman Anubhawa
dan Paman Rasendriya. Mereka merupakan Tetua yang
mengendalikan Kanaka Soma. Setelah peristiwa yang disebutsebut Poh Pitu Pancawara, Ayah
diminta oleh Paman Maharaja
untuk menyelidiki suatu gerakan. Hal itu telah berjalan kurang
lebih tiga tahun belakangan ini. Kelompok itu dikatakan sangat
samar-samar dan tak berjejak. Namun, kelompok itu telah
memberikan guncangan di wilayah kekuasaan Paman. Sebagai
upaya tindak penyelidikan, Kanaka Soma telah menelusuri
kemungkinan adanya sebuah kekuatan di negeri ini, sebagai
kekuatan di balik jejak kelompok itu. Kemungkinan itu termasuk
kekekuatan dari pemerintahan di sini. " Ia memberikan alasan
tentang keberadaan Kanaka Soma di tempat ini.
"Keguncangan itu ditimbulkan oleh kelompok yang selalu
memberi ciri terhadap guncangan yang ditinggalkan dengan
suatu panji tengkorak bertaring di atas bulan sabit..." Kalimat
243 gadis itu terputus oleh sebuah desisan dari mulut anak muda itu.
"Chandrakapala". Tanpa sadar Arga menyebut nama itu. Nama
yang masih menjadi suatu misteri dan kini nama itu juga disebut
oleh gadis yang sedang berada bersamanya.
"Apa" Kau juga mengenal nama itu?" Katanya kaget. Untuk
meredam kekagetan itu, Arga pun menjelaskan bahwa ia
mendengar nama itu untuk pertama kalinya dari murid-murid
Merak Mas. Usai rasa keget itu mereda, Puteri Rajni pun
melanjutkan penuturan. "Karena menilai ada kemungkinan kelompok itu berada di balik
kekuatan penguasa negeri ini, Ayah memutuskan untuk
melakukan penyelidikan jauh hingga ke tempat ini. Untuk itu,
Ayah telah meminta Paman Antargata dan dua orang adik
seperguruannya untuk menebarkan bayang-bayang kekuatan
Kanaka Soma hingga ke kota ini. Upaya untuk memancing keluar
kelompok itu dari tabir yang selama ini mereka gunakan untuk
menutup diri. Namun, hingga saat ini kelompok itu belum juga
dapat ditangkap jejaknya. Yang justru mengemuka adalah saling
membayang-membayangi antara kekuatan yang bersumber dari
pemerintahan Paman dengan Penguasa negeri ini." Wajah lesu
terlihat pada raut gadis itu. Raut wajah menunjukkan suatu
kekecewaan. "Kehadiran aku bergerak jauh ke sini, hingga akhirnya terlibat
dalam peristiwa di hutan Beringin Putih, semata-mata karena
kekerasan hatiku. Enam purnama lalu, aku datang kepada Ayah
agar mengizinkan aku bergabung dengan tiga Paman Guru,
dengan alasan melihat dunia luar dan menarik pengalaman untuk
mematangkan apa yang telah aku pelajari. Sebenarnya, ia
9 melarang namun aku terus memaksa dan dengan berat hati
244 akhirnya membiarkan aku pergi." Kekerasan hati memang sangat
jelas membayang pada diri gadis itu.
"Ketika mendengar Paman Rasendriya telah dilumpuhkan dan
menerima lencana Locana Soma-nya yang kau kirimkan, kami
menduga kuat, bahwa kau merupakan bagian dari kelompok
Chandrakapala yang selama ini kami cari. Paman Rasendriya
adalah petarung pilih tanding, hanya sedikit orang mampu
menandinginya, apalagi mengalahkan dan menguasainya. Hal itu
hanya bisa dilakukan oleh suatu kekuatan yang besar. Bukan
tidak mungkin Chandrakapala yang berada di balik apa yang
tengah terjadi. Nah, undanganmu untuk bertemu dengan
pimpinan penyandang Locana Soma, sangat menarik diriku.
Ketertarikanku pada undangan itu bukan karena dirimu, yang
dikatakan Paman Antargata sebagai orang muda yang memiliki
ciri lain dari kebanyakan pemuda, melainkan karena ingin
mendalami kekuatan di balik dirimu yang kami duga bersumber
pada Chandrakapala." Katanya mengungkapkan alasan, dan
bersuara agak melemah ketika mengatakan "yang dikatakan
Paman Antargata sebagai orang muda yang memiliki ciri lain dari
kebanyakan pemuda". Lewat suara yang melemah saat
mengatakan serangkaian kata itu, Arga menangkap gadis ini
memiliki kesan tersendiri terhadap dirinya. Kesan itu telah
membuat hatinya bergetar.
"Seperti kau sendiri ketahui, saat dalam pertempur di Hutan
Beringin Putih aku sempat melontarkan kata Curirana, dan pada
saat itu juga Paman Antargata dapat langsung mengenali dirimu
dan berkesimpulan bahwa kau bukanlah bagian dari kelompok
yang kami cari, dan karena itu ia pun memintaku untuk
menghentikan pertempuran. Bukan tanpa alasan, Paman
245 Antargata pernah mengatakan "Curirana telah mengantarkan
Curirana sekalipun bagimu itu merupakan sebuah tabir yang
belum tersingkap." Ia berhenti berkata-kata dan menatap lekatlekat.
Sebelum mengurai lebih jauh mengenai Curirana, gadis itu
mengatakan bahwa setelah meninggalkan Hutan Beringin Putih,
Ki Antargata telah memberikan penjelasan mengenai Curirana.
Penjelasan rinci yang dimintanya. Penjelasan itu tidak hanya
membuat gadis itu menjadi tertarik pada Curirana. Lebih dari itu,
ia sangat tertarik pada orang yang menyimpan dalam dirinya
kekuatan itu. Begitu tertarik, sampai-sampai ia memutuskan untuk
meninggalkan orang-orangnya dan menelusuri dalam-dalam
orang yang terkait dengan Curirana. Orang itu adalah anak muda
lawan tarung di Hutan Beringin Putih.
"Segala sesuatu itu memiliki sumber. Termasuk yang terkuat pun
memiliki sumber. Akan tetapi, dari semua sumber yang
daripadanya mengalir suatu kekuatan, seorang ibu dengan
10 segala apa yang ada padanya merupakan sumber terkuat dalam
semesta ini. Itulah Curirana, yang tersimpan di dalam dirimu."
Ujarnya membuka penjelasan mengenai Curirana dan
menekankan suaranya saat mengatakan "yang tersimpan di
dalam dirimu". Penjelasan yang disadap dari keterangan Paman
Antargata. Diam beberapa lama, agaknya ia masih memikirkan
bagaimana itu bisa terjadi, untuk kemudian melanjutkan
penjelasan. "Tentu kau pernah membaca atau setidaknya mendengar
keagungan dan kedahsyatan apa yang mengalir dari seorang ibu
sebagaimana diceritakan pada Kisah Suci Ramayana. Dengan
246 dalam satu malam saja dapat memberangus ibukota di mana
seorang raja maha perkasa berkuasa." Katanya berhenti sejenak,
membuat pertimbangan, apakah perlu untuk menceritakan kisah
itu kepada anak muda itu. Kisah itu tentu sudah pernah dibaca
oleh anak muda itu, bahkan tidak hanya sekali. Dengan
menganggukan kepala, Arga mengisyaratkan kepada gadis itu
untuk menceritakan saja kisah itu.
"Sebagaimana telah kau ketahui, kekuatan itu dimiliki oleh Dewi
Sinta, Isteri Ramawijaya yang diculik oleh Raja Rahwana, dari
Kerajaan Alengka. Dewi Sinta memperoleh kekuatan itu selama
mengalami penderitaan dalam sekapan Rahwana. Rahwana
dikenal akan kesaktian tak terkalahkan, dan bahkan, dalam Kisah
Suci itu, Rahwana dikatakan tidak dapat dibunuh. Padahal ia
berwatak jahat sumber angkara murka. Badannya gagah
perkasa, kemampuan perang tak tertandingi. Sakti luar biasa. Tak
terkalahkan. Tetapi berhadapan dengan Dewi Sinta, yang telah
diculik dan disekapnya, Rahwana tidak berkutik. Tidak mampu
menjamah bagian apa pun dari tubuh Sinta. Kenapa" Karena
Sinta memiliki kekuatan itu. Kekuatan yang tidak dapat terjamah
oleh kekuatan sebesar apa pun". Ia menahan cerita itu sesaat
dan meneruskan penuturannya. Penuturan untuk menjelaskan
bagaimana kekuatan itu diberikan kepada seorang utusan
suaminya, yang berwujud Kera Putih bernama Anoman.
"Pada saat Dewi Sinta memberikan kekuatan yang berasal dari
daya seorang ibu kepada kera putih Anoman yang menjadi
utusan Ramawijaya, Anoman pun mengheningkan cipta. Maka
angin dari rumput katang-katang meniup lemah. Di gua-gua
malam bergema, tangis bahagia berlinangan dari derita seorang
247 wanita. Bagaikan bayi yang tak mau tahu tentang derita, Anoman
melihat kebahagiaan itu terbuka laksana sepasang buah dada
yang indah tersembunyi di dalam lipatan malam raba-raba.
Seperti bayi menangis Anoman merengek-rengek minta susu
ibunya. Capung-capung beterbangan, bingung mendengar tangis
sang jabang bayi. Anoman menyusup dalam gulita, lipatan malam
disingkapkannya. Pejam matanya meraba-raba, sedap malam
11 bertebaran dengan aroma, dan terpeganglah olehnya buah dada
yang telanjang indah. Betapa nikmat kebahagiaan Anoman. Ia
bagaikan bersandarkan di kehangatan purnama kembar. Anoman
menghisap kehangatan itu, dan capung-capung pun terdiam
tenang. Bagaikan bayi yang haus akan susu ibunya, Anoman tak
mau terlepas dari kehangatan buah dada itu. Kera putih itu
menikmati air penderitaan seorang wanita, yang merelakan diri
untuk menjadi ibunya. Sepuas-puasnya Anoman menyusu, dan
air penderitaan itu mengalir seakan tiada habisnya, mengalir dari
mata air kebahagiaan. Maka makin air penderitaan itu tertumpah,
makin buah dadanya mekar menjadi amat indahnya." Dengan
indah Puteri Rajni melukiskan bagaimana kekuatan itu dialirkan
kepada sang utusan. "Anoman tak merasa, daya hidup sedang mengalir ke dalam
dirinya yang menjadi jabang bayi. Bayi ini menjadi besar tak
terbayangkan. Demikian hakekat kekuatan itu, ia mengalir dari
buah dada sang ibu yang menderita, memberi bagi anaknya daya
dan kehidupan yang mengalir dari kebahagiaannya. Anoman
terhentak ketika daya dan kehidupan itu memasuki dirinya. Dan
ketika sadar kembali, maka Anoman pun mempunyai tenaga
sebesar tujuh gunung seribu gajah. Siapakah yang dapat
menandingi daya kekuatan yang sakti itu" Siapa dapat


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

248 mengalahkan daya kasih seorang ibu yang memberi daya kepada
manusia dengan susu-susunya yang menghidupkan"
Menandinginya sama dengan melawan kehidupan ini. Siapa yang
sanggup melawan hidup ini" Mukjizat kebesaran kasih sayang
seorang ibu, bisa memberikan kehidupan luar biasa, sebesar
tujuh gunung seribu gajah...." Ia menghentikan kisah itu dengan
mengatakan bagaimana seluruh istana kerajaan Alengka porak
poranda dalam satu malam dan tidak berdaya berhadapan
dengan kekuatan itu. "Arga, dari penjelasan Paman Antargata yang sejauh ini telah
menekuni berbagai cara menghimpun tenaga dalam sepanjang
hidupnya, aku mendapat keterangan bahwa kekuatan yang
disadap dan dialirkan dari kekuatan seorang ibu sampai ke tanah
Yawadw?pa dalam bentuk apa yang dikenal dengan Curirana.
Pada intinya, Curirana adalah daya kehidupan yang mengalir dari
seorang ibu. Kekuatan itu tidak diciptakan, melainkan mengalir
muncul dari sumber secara begitu saja untuk menyatakan diri dan
merasuki seseorang yang seakan-akan telah dipilih. Tidakkah
kekuatan, yang dikatakan sebesar tujuh gunung seribu gajah, itu
diperoleh oleh sang Dewi "selama mengalami penderitaan dalam
Demikian gadis ini mengantar Arga pada asal muasal kekuatan
yang bernama Curirana. "Seperti yang aku sudah katakan, di tanah Yawadw?pa ini
kekuatan itu pernah menyatakan wujud dalam diri seseorang.
Dan itu bukan sembarang orang, melainkan seseorang yang telah
dipilih dan dinyatakan sebagai Adyuta Anaga Arakata (Pelindung
12 Seperti Naga Yang Menerangi), yang kemudian dikenal sebagai
Raja Sanna, cikal bakal salah satu penguasa Bhumi Mataram."
249 Kata gadis itu mengakhiri penjelasan mengenai Curirana
sebagaimana ia ketahui dari Ki Antargata.
Sungguh, sampai dengan gadis itu menutup penjelasan
mengenai Curirana, Arga sama sekali tidak melihat benang
merah antara Curirana dengan warisan Naga Branjangan. Semua
itu masih menjadi tabir bagi Arga. Hanya saja sempat melintas
sesaat suatu pertanyaan apakah Raja Sanna itu adalah orang
yang sama dengan Naga Branjangan yang diingat memiliki nama
Bratasenawa. Menurut anak muda itu, ada dua hal yang agaknya terkait dari
satu disebut Adyuta Anaga Arakata (Pelindung Seperti Naga
Yang Menerangi), sementara yang lain terang-terangan disebut
Naga Branjangan. Kedua, kedua tokoh itu memiliki nama dengan
penyebutan mirip, yakni "Sanna "dan "sena" (Brata-sena-wa).
Tetapi, keterkaitan itu terlalu jauh untuk membuka hubungan
antara dua tokoh itu satu sama lain. Melihat Arga menatap jauh
dan terdiam merenungkan sesuatu, gadis itu pun ikut terdiam
yang agaknya ingin memberikan keleluasaan mengunyah apa
yang sedang mengelayuti benak anak muda itu.
"Baiklah, mungkin langkah pertama yang perlu kita lakukan, itu
pun kalau kau setuju, adalah memastikan apakah kekuatan itu
memang benar-benar Curirana." Gadis itu pun meminta Arga
melakukan persiapan untuk mengeluarkan apa yang tersimpan di
dalam dirinya. Tidak memakan waktu yang lama, teknik Jubah Perang Naga dan
Warastika Sambega pun telah dikerahkan oleh Arga hingga
tataran yang diminta gadis itu. Setelah mengamati dan meyakini
persiapan anak muda itu, dengan suara lembut gadis itu meminta
250 Arga, lewat jurus yang pernah membenturnya, memapak sekuat
tenaga sebatang pohon dengan ukuran lima kali lingkaran
pelukan orang dewasa. BRUUUK. Terdengar suara cukup keras. Hanya suara. Tanpa efek apapun
telah terjadi pada pohon itu.
Sejurus kemudian gadis itu telah melihat sekeliling, dan
mendapati apa yang diinginkan. Ia mengajak Arga melangkah
mendekati sebuah batu gunung hitam seukuran tiga kali kerbau
besar. Gadis itu meminta melakukan hal yang sama, namun kini
sasaran dialihkan pada batu itu.
BLAARR. Suara itu memekakkan telinga. Batu besar itu telah hancur.
Berkepingan-kepingan dan melontarkan kepingan-kepingan itu ke
segala arah. Berserakan jatuh ke segala arah. Suatu efek sangat
berbeda dari sebelumnya. Efek pada pohon yang menerima
13 kekuatan sama. "Hah! Itulah Curirana." Suara itu spontan meloncat dari mulut
mungil, dan tanpa sadar ia melonjak penuh kegirangan sambil
memperlihatkan sebuah tawa lebar yang sangat manis.
Sementara, ia berpolah demikian, Arga justru termanggu tidak
mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Bagaimana suatu
pukulan yang sama memiliki efek yang sangat berbeda pada dua
jenis sasaran. "Itulah ciri dari Curirana." Katanya sekali lagi mendaku
(mengklaim), bahwa apa yang baru saja disaksikan itu memang
adalah Curirana. Sementara gadis itu berpolah kegirangan, Arga
termanggu diam. Diam beberapa lama. Tidak mengerti dengan
apa yang terjadi. Ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
251 Sebab sewaktu melatih diri di lereng Pawaka Jantera,
pengerahan jurus yang sama selalu membawa efek yang luar
biasa. Jurus yang sama telah memporak-porandakan apa pun
yang dikenai. Tidak peduli benda mati atau benda hidup. Ia tidak
mengerti mengapa jurus itu tidak berpengaruh terhadap benda
hidup, yakni pohon besar itu, ketika jurus itu digelar bersamaan
dengan pengerahan teknik Jubah Perang Naga dan Warastika
Sambega. Pengerahan yang telah melahirkan apa yang
dikatakan gadis itu sebagai Curirana. Apa yang telah terjadi
sungguh melampaui jangkauan pemahamannya saat ini.
*** Tanpa disadari dua anak muda itu, di balik semak-semak sebelah
timur, terlihat sepasang mata. Sepasang mata yang sedari tadi
menaruh perhatian dan pengamatan yang seksama atas apa
yang berlangsung. Pemilik sepasang mata itu diam membisu
dengan pikiran jauh melayang. Melayang jauh dan berhenti pada
sebuah rencana. "Tidak sekedar Curirana. Di dalam diri anak
muda itu menyimpan sesuatu yang jauh daripada itu." Raut orang
tua itu mengeras namun kemudian tersenyum dan beranjak pergi
Nurseta Satria Karang Tirta 6 Roro Centil 18 Penunggang Kuda Setan Puri Rodriganda 8
^