Pencarian

Naga Bhumi Mataram 5

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 5


dari tempat itu. *** Tiba-tiba dari balik rimbunnya semak sebelah barat, telah melejit
cepat sesosok bayangan ke arah dua anak muda itu. Sosok itu
rupanya juga sudah sejak tadi berdiam di sana dan menyaksikan
seluruh peristiwa yang terjadi.
252 "Paman Antargata" Mengapa Paman berada di sini?" Tanya
gadis itu dengan wajah yang masih kental ditandai dengan
kegembiraan. "Seperti halnya Puteri, Paman pun merasa terusik dan tertarik
untuk mengenal dan memastikan apakah Curirana telah
menyatakan dirinya kembali di tanah Yawadw?pa. Dan, mana
mungkin aku membiarkan Puteri pergi bergerak sendirian tanpa
pengawasan mengikuti jejak seorang pemuda yang tidak
14 diketahui juntrungannya" Bagaimana aku dapat memberikan
suatu pertanggungjawaban kepada ayahmu, jika sesuatu yang
buruk terjadi menimpa dirimu?" Dua alasan telah diutarakan oleh
orang tua itu. Alasan mengapa ia berada di sana. Sesaat
kemudian, orang tua itu pun menggeser sedikit tubuhnya dan
menatap lekat pemuda itu dengan penuh rasa heran dan takjub.
"Apa yang aku saksikan telah membuka mataku, bahwa memang
Curirana telah kembali ke tanah Yawadw?pa. Dan, itu dinyatakan
melalui dirimu, Engg?r Arga". Kata-kata itu berisi suatu keyakinan
yang diliputi dengan rasa penuh ketakjuban. Bagi Arga, di dalam
kata-kata orang tua itu, terdengar suatu kejanggalan, yakni
perkataan yang telah menyebutkan sebuah nama. Nama dirinya
ditambah "Engg?r" di depan. Engg?r sebutan mesra dan akrab
untuk anak laki-laki. Lewat penyebutan nama itu, Arga menilai
bahwa orang tua itu tidak lagi menganggapnya seorang asing.
Menarik nafas untuk sekedar meredakan rasa takjubnya, orang
tua itu melanjutkan perkataannya. "Baiklah aku akan memberi
penjelasan tentang apa yang terjadi di balik ini semua. Curirana
adalah kekuatan yang bersumberkan daya kehidupan. Bahkan,
Curirana itu adalah suatu Jenggama Akara (jelmaan dari
kehidupan) itu sendiri. Karena merupakan daya kehidupan,
253 Curirana tidak akan pernah merusak sesuatu yang memiliki daya
kehidupan. Ia tidak mungkin merusak sesuatu yang merupakan
bagian dari diri sendiri."
Mengambil sebuah kepingan dari batu yang telah tercerai-berai
itu, dan menimang-nimang, orang tua itu melanjutkan. "Tinjumu
yang disalurkan lewat jurus dengan lambaran kekuatan Curirana
sama sekali tidak berpengaruh terhadap pohon besar itu, karena
pada pohon itu ada daya kehidupan. Sangat berbeda dengan apa
yang terjadi pada batu besar itu, yang merupakan benda mati
tanpa daya kehidupan, menjadi hancur berkeping-keping dan
tercerai-berai seperti ini. Dan sekali lagi itulah ciri khas Curirana,
kekuatan dahsyat yang tidak membawa pengaruh terhadap
sesuatu yang menyimpan daya kehidupan, sekalipun itu hanya
berwujud dalam sebuah pohon." Arga tampak khusyuk menyimak
apa yang dikatakan orang tua itu, dan tetap tidak memberikan
suatu tanggapan. Anak muda itu belum dapat menyentuh suatu
kepastian untuk menilai apa yang ada padanya itu sejatinya
memang Curirana. Menimpali orang tua itu, Puteri Rajni memberikan penilaian atas
dasar pengalaman bertempur dengan anak muda itu. "Arga,
ketika kau mengerakkan jurusmu pada pertempuran, khususnya
jurus terakhir, aku merasakan perbawa dari jurus itu. Jurus itu
seolah jelmaan naga raksasa yang menyeruak ingin menelan
lebur apa pun di sekitar. Suatu jurus yang memperlihatkan secara
jelas bayang-bayang penghancur dengan daya yang akan
memporak-porandakan apa pun yang dibentur. Tetapi, sangat
aneh ketika jurus itu membentur diriku, aku sama sekali tidak
15 merasakan sifat-sifat penghancur yang jelas-jelas dipertunjukkan
oleh jurus itu dalam bayang-bayang. Ada sesuatu yang
254 mengendalikan dan meredam atau tepatnya memberikan
keseimbangan agar kekuatan dari jurus itu tidak menerjang lepas
bebas untuk meleburkan apa yang dikenai. Dan, dengan
mengenali sifat-sifat dari kekuatan penyeimbang itu, yang aku
pernah katakan seperti seorang ibu yang memeluk anaknya, aku
memiliki suatu keyakinan bahwa kekuatan penyeimbang itu,
adalah Curirana. Peristiwa pohon dan batu yang baru saja terjadi,
semakin membulatkan keyakinan itu."
Apa yang dikatakan orang tua dan gadis itu, masih menjadi
sebuah tabir gelap. Tabir gelap bagi Arga. Tabir yang masih
menyelimuti kesimpulan mengenai keberadaan Curirana, apalagi
Curirana yang dikatakan telah memilih untuk berdiam dan
menjelmakan perwujudannya. Berdiam dan menjelma di dalam
dirinya. Namun demikian, perkataan dua orang itu telah membawa Arga
tiba pada suatu ingatan. Ingatan mengenai pesan dari Naga
Branjangan, bahwa jurus-jurus Naga Semesta peninggalannya
harus dipelajari dengan lambaran jiwa yang bersih dan tidak
kosong untuk menjaga dan menyeimbangkan kekuatan dahsyat
jurus itu. Apakah mungkin kekuatan penyeimbang yang
dimaksudkan oleh sang pewaris adalah Curirana. Bukankah,
tenaga itu muncul begitu saja sebagai suatu daya yang dihasilkan
saat aku mengerahkan Jubah Perang Naga dan Warastika
Sambega" Sebuah tenaga gabungan yang hingga kini belum
diberikan nama" Mungkinkah itu Curirana, tenaga yang seperti
dikatakan Puteri Rajni muncul begitu saja, tanpa melalui suatu
proses pembentukan" Semua itu telah membentuk sebuah tanda
tanya besar. Tanda tanya yang menyerang pikiran anak muda itu.
"Ah, sudahlah." Kata orang tua itu dengan paras yang
255 menunjukkan suatu kelegaan. "Biarlah waktu yang akan
menuntun Engg?r untuk menyatakan kepastian mengenai
kekuatan yang ada pada Engg?r. Sekalipun, saat ini tabir dari
Curirana itu sepenuhnya masih belum terkuak, tetapi setidaknya
sepotong dari tabir itu telah disingkapkan. Bahwa, ada seorang di
tanah Yawadw?pa ini telah dinyatakan dan dipilih untuk
mewujudkan suatu tenaga seperti layaknya Curirana." Katanya
menarik suatu kesimpulan.
Pembicaraan telah berlangsung lama, namun orang tua dan
gadis itu masih menahan diri untuk tidak bertanya mengenai jati
diri Arga, khususnya bagaimana dan dari mana ia menyadap ilmu
yang sekarang ada padanya. Dua pertanyaan itu jelas
membayang di wajah orang tua dan gadis itu dan terus
meninggalkan rasa penasaran yang mendalam. Arga menangkap
apa yang terus membayang di wajah mereka. Menimbang bahwa
16 sebelumnya mereka telah menceritakan jati diri mereka, Arga pun
berniat untuk membuka jati dirinya dalam batas-batas yang ingin
disampaikannya. "Boleh aku mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam
diriku?" Suatu pernyataan yang sebenarnya tidak perlu.
Pernyataan itu serta merta memberi perubahan pada dua wajah
orang itu. Perubahan wajah penuh kegairahan. Seperti
kegairahan seorang anak kecil yang ingin mendengarkan cerita
kesukaan yang telah lama dijanjikan.
"Sebenarnya, aku menyadap apa yang aku miliki dari warisan
yang ditinggalkan oleh seseorang, yang secara tidak sengaja aku
temukan dalam sebuah gua. Kekuatan yang disebut-sebut oleh
Paman dan Puteri berdua tadi, dan bernama Curirana, adalah
kekuatan yang muncul sebagai gabungan dari pengerahan Naga
256 Kawaca (Jubah Perang Naga) dan Warastika Sambega
(Melunakkan Kristal dengan Kasih Sayang) yang aku pelajari dari
peninggalan orang itu." Penjelasan tentang dirinya telah dibuka.
Penjelasan tanpa menyebut identitas Naga Branjangan. Pada
penjelasan itu Arga telah memanggil orang tua itu dengan
sebutan "Paman". Sebutan itu sebagai isyarat menerima
keakraban yang sebelumnya telah ditawarkan oleh orang tua itu
dengan memanggil namanya.
"Baik Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega merupakan
teknik perlindungan diri, dengan sifatnya masing-masing. Yang
satu bersifat menyerap dan menyedot sementara yang lainnya
bersifat menolak atau mengalihkan. Dua sifat itu sebenarnya
berlawanan. Tetapi, lewat suatu latihan Jubah Perang Naga dan
Warastika Sambega dapat disatukan dan dimainkan dengan
nyaman. Itu semua berkat teknik Panchajanya (Lima Elemen
Semesta) ...." Kata-kata itu tidak selesai diucapkan Arga, suara
lirih orang tua itu terdengar memotong. Suara lirih itu berkali-kali
telah menyebut sesuatu. Sesuatu yang sedang diingat-ingat
dengan sekuat tenaga. "Panchajanya.... Panchajanya..." Kata Ki Antargata lirih dengan
kening berkerut sebagai tanda sedang mengingat sesuatu yang
samar-samar. "Berkat Panchajanya itu Jubah Perang Naga dan Warastika
Sambega dapat tersatukan. Pengerahan dua teknik itu di bawah
Panchajanya ternyata selain memberi rasa nyaman, ternyata juga
telah menghasilkan tenaga perlindungan diri yang mampu
menahan serangan lawan. Bersamaan dengan tenaga itu, telah
muncul pula kekuatan yang bersifat mengendalikan aliran tenaga
dari dalam diriku. Tenaga yang biasanya terlontar bersama jurus
257 yang aku kerahkan." Begitulah anak muda itu mengakhiri
penjelasan. Sesaat kemudian tiga orang yang berada di tempat
itu terdiam. Terdiam hanyut dalam pemikiran masing-masing.
17 Orang tua itu agaknya terus memikirkan Panchajanya dan
mencoba mengurai pada ingatan: kapan, di mana atau siapa
yang sebelumnya telah mengatakan nama itu. Sang gadis justru
telah terhanyut oleh suatu kesan yang sangat mendalam
terhadap anak muda itu. Kesan itu telah mengguratkan
kekaguman tak terperi. Sementara, anak muda itu tetap digelayuti
oleh pertanyaan apakah itu semua memang Curirana adanya.
Kebisuan ketiga orang itu pada akhirnya terpecahkan oleh
sebuah suara. "Engg?r Arga, setelah berlangsungnya semua ini, apa rencana
yang hendak Engg?r lakukan?" Suara itu ternyata keluar dari
mulut si orang tua. Tanpa berpikir lama, yang ditanya pun menjawab pertanyaan itu.
"Paman, sebenarnya aku berniat untuk mencari dan menelusuri
jejak suatu kelompok yang bernama Chandrakapala, yang telah
melepaskan pengaruh terhadap kekuasaan di atas negeri ini.
Mencari dan menelusuri untuk beberapa waktu yang telah aku
tentukan. Apapun hasilnya." Suatu rencana singkat telah
diutarakan. "Ah, Paman kita bisa menelurusi jejak kelompok itu bersamasama". Kata gadis ini dengan suara
penuh keriangan, sambil menarik tangan orang tua itu, tanpa menyembunyikan wajahnya
yang berbinar-binar. Orang tua itu memandang penuh kegelian
orang yang telah menarik tangannya, dan melepaskan kalimat
untuk menggodanya. "Engg?r Arga, agaknya ada orang yang ingin berada dekat-dekat
258 dengan Engg?r." Katanya ringan. Mendengar itu Arga hanya
terdiam menimbang-nimbang. Berjalan bersama dengan seorang
gadis" Tentu ini akan membuatnya jengah dan kikuk. Tetapi, itu
ada baiknya juga. Ia akan memiliki teman seperjalanan dalam
pencarian jejak yang penuh misteri. Apalagi, salah satu teman
perjalanan itu adalah seorang tua yang memiliki banyak
pengalaman. "Mungkin, apabila Paman juga turut serta, aku dengan senang
hati melakukan pencarian bersama-sama." Keberadaan orang tua
itu dinyatakan oleh anak muda itu sebagai syarat dari pencarian
bersama. "Ah, rupanya yang satu minta ditemani." Kata orang tua itu
menggoda. Kalimat itu menjadi kata sepakat bahwa pencarian
jejak Chandrakapala dilakukan secara bersama-sama. Setelah
memberi suatu isyarat, orang tua itu pun beringsut berjalan di
depan diikuti dengan anak muda dan gadis itu yang berjalan
dengan langkah riang karena sebuah keinginan telah terpenuhi.
*** "Eyang, mereka telah pergi. Apa yang kemudian hendak kita
lakukan". Orang muda itu berpaling kepada dua orang tua yang
telah dipanggil Eyang. Orang muda itu bersembunyi di balik
rimbunan pohon bersama tiga orang lain.
18 Di tempat yang sama, sepeninggalan tiga orang tadi, berkelebat
dengan kecepatan luar biasa empat bayangan. Dua di antaranya
adalah lelaki tua dengan postur tubuh yang tetap tegap
menunjukkan bahwa usia seakan-akan tidak mempengaruhi diri
mereka. Sementara dua orang lagi berusia jauh lebih muda.
259 Dua orang tua itu berjalan mendekati dua sasaran pukulan Arga.
Satu berjalan ke arah pohon dan satu lagi ke arah batu besar.
Setelah beberapa saat memeriksa dengan seksama tanda-tanda
yang ditinggalkan oleh pukulan Arga, dan merasa telah mendapat
suatu kepastian, masing-masing berjalan kembali menuju ke arah
dua orang muda yang bersamanya. Dua orang muda itu masih
terlihat bingung. Bingung terhadap yang dilakukan oleh dua orang
tua itu. Setelah kembali berkumpul bersama, dua orang tua itu
masing-masing hanya memberikan sebuah anggukan, dan itu
rasanya cukup sebagai laporan atas penyelidikan mereka berdua.
"Kita akan terus membayangi tiga orang tadi, khususnya si anak
muda. Pada waktunya nanti, kita akan mengundang anak muda
itu. Mengundang untuk menemui Pangeran." Dua anak muda itu
bertambah bingung. Semakin bingung manakala salah seorang
tua itu mengatakan "Mengundang untuk menemui Pangeran".
Tetapi, tidak satu pun dari mereka yang berani bertanya, apa
yang dimaksud oleh orang tua itu. Hanya sesaat mereka di
tempat itu. *** Tiga pekan sudah, Arga, orang tua yang bernama Ki Antargata,
dan Puteri Ketua Perguruan Rembulan Emas, Puteri Rajni,
berada bersama di Hita Harsika Praja. Mereka terus menyusur,
kadang bersama-sama kadang berpencar sendiri-sendiri, jejakjejak Chandarakapala di kota itu. Tiga
pekan telah memberikan kesempatan kepada dua orang muda itu melalui hari bersama.
Akan tetapi, hal itu tidak mengubah sama sekali hubungan di
antara mereka. Kikuk, canggung, dan kaku.
260 Beberapa kali di Hita Harsika Praja, mereka berganti penginapan.


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berganti dengan harapan di salah satu penginapan itu, mereka
dapat mendengar kabar mengenai Chandrakapala. Akan tetapi
sejauh ini, usaha mereka tidak juga menemukan hasil. Bayangbayang Chandrakapala tidak juga
menyembul tampil ke permukaan. Yang mereka dapati hanya cerita-cerita mengenai
Chandrakapala. Cerita yang lebih banyak sebagai kabar angin,
namun semua kabar itu berisi hal yang hampir semua sama.
Kabar itu menyatakan sesuatu yang telah menanamkan rasa
takut dan ngeri. Siang itu, tiga orang itu kembali berbaur dalam kerumunan orang
di pasar. Sebelumnya, sudah dua kali mereka mengunjungi pasar
itu. Kali ini adalah kunjungan ketiga mereka mengunjungi pasar
yang sama. Satu-satunya pasar terbesar di Hita Harsika. Pasar
19 yang sepekan sekali dibuka, dibuka setiap Pahing. Dibandingkan
dengan dua kunjungan sebelumnya, keadaan pasar pada
kunjungan kali ini pun tidak jauh berbeda. Mereka juga mendapati
sejumlah pedagang yang sama. Pedagang yang menjual jenis
barang yang juga sama. Akan tetapi, dari salah seorang kuwad?an banija (pedagang
besar kain dan pakaian) mereka mendengar selentingan kabar.
Kabar dari Watugaluh. Salah satu kota utama di Bhumi Mataram
yang tidak jauh letaknya dari Kota Tembelang.
"Ki Sanak, tiga hari lalu, aku telah menjadi sangat kecewa dengan
apa yang aku alami di Watugaluh. Aku telah datang jauh-jauh ke
kota itu. Datang untuk menggelar daganganku di pasar besar
pada kota itu. Akan tetapi, pasar yang seharusnya berlangsung
pada hari itu tidak terjadi. Dibatalkan oleh penguasa di sana.
Dibatalkan karena manastapa (berdukacita). Dikatakan Pangeran
261 Penguasa dari kota itu telah terbunuh. Ia terbunuh bersama-sama
dengan dua Senopati Utama dan delapan puluh prajurit di lereng
Gunung Welirang. Terbunuh saat berburu. Dan disebut-sebut ada
sebuah lencana tengkorak yang tertinggal saat pembunuhan itu
telah berlangsung." Raut wajah pedagang itu terlihat kecewa,
namun di balik rasa kecewa terselip suatu kebanggaan. Bangga
karena ia mengetahui sesuatu yang istimewa dari Kota
Watugaluh. Kabar manastapa dari Watugaluh.
Tiga orang yang mendengar cerita itu saling berpandangan. Tiga
orang yang kebetulan sedang menelurus jejak lencana tengkorak.
Mereka adalah Ki Antargata, Puteri Rajni dan Arga. "Ki Sanak,
apa yang kemudian terjadi di Kota Watugaluh." Orang itu
kemudian bercerita panjang lebar. Cerita itu lebih banyak memuat
dugaan, bahkan khayalan. Sesuatu yang dibesar-besarkan, untuk
menambah kesan luar biasa pada diri orang yang bercerita.
Maklum, yang bertanya padanya adalah seorang gadis. Gadis
yang sangat manis. "Cukup.... Ki Sanak. Terima kasih". Orang tua itu telah menarik
pergi dua anak muda yang bersamanya. Undur diri. Mereka
memutuskan pergi ke tempat yang lebih nyaman untuk
membicarakan kabar yang baru saja mereka dengar dari seorang
kuwad?an banija. Kabar mengenai pembunuhan Pangeran Kota
Watugaluh. Sebuah kedai makanan sederhana menjadi tujuan
mereka. Mengambil tempat yang sedikit terpisah, tiga orang itu
memesan makanan dan membicarakan kabar itu.
"Ehm.. jadi Chandrakapala juga telah menebarkan kegemparan di
wilayah Watugaluh. Kegemparan itu bahkan telah menyentuh
keluarga utama penguasa. Siapa mereka dan apa sebenarnya
yang mereka inginkan." Sambil menghirup teh panas, Ki
262 Antargata melontarkan pertanyaan itu. Cukup lama tiga orang itu
berbincang mengutarakan pandangan masing-masing.
20 "Ehm.. kita kedatangan tamu...." Suara lirih keluar dari mulut
orang tua itu. Suara yang sebenarnya tidak perlu dikatakan
kepada dua lainnya, karena mereka juga menyadari apa yang
dikatakan. Benar. dua orang berjalan mendekat ke meja mereka.
Tidak tergesa-gesa. Karena yang dihampiri tidak bergerak. Tetap
duduk diam di meja mereka. Dua orang itu adalah dua orang
yang masih sangat muda. Tidak ada ketegangan atau
kegelisahan pada dua kelompok yang kemudian bertemu itu.
Yang ada hanya keingintahuan yang mendalam. Keingintahuan di
dalam diri orang-orang pada dua kelompok itu.
"Maaf, kami terpaksa mengganggu pembicaraan Andhika
sekalian... Kami datang hanya ingin menyampaikan sebuah
undangan. Undangan dari seorang Pangeran yang ingin bertemu
dengan Andhika sekalian." Barang tentu, tiga orang itu yang
tadinya bertanya-tanya kini menjadi sangat terkejut. Disapa oleh
kelompok yang tidak dikenal, tentu telah menimbulkan
pertanyaan besar. Lalu, diundang, bahkan diundang oleh orang
yang dinyatakan sebagai Pangeran. Siapa yang tidak terkejut
mendapatkan undangan macam itu.
Lalu, orang itu melanjutkan perkataan. "Pangeran mengundang
kalian untuk bertemu di tempat anak muda itu telah menyatakan
kekuatan pada sebatang pohon besar dan sebongkah batu
raksasa." Perkataan itu kian mengejutkan tiga orang yang
diundang. "Kelompok ini telah membayang-bayangi apa yang
telah terjadi. Siapa mereka?" Mata Ki Antargata tajam penuh
selidik di tengah suasana batin yang penuh rasa terkejut. Rasa
terkejut yang sangat rapi disembunyikan. "Menjelang senja,
263 Pangeran menunggu Andhika sekalian di tempat itu." Semua
berlangsung sangat cepat. Kini, yang mengundang telah pergi.
Pergi dengan meninggalkan keterkejutan dan pertanyaan besar.
*** Satu pekan sebelum undangan itu disampaikan. Di sebuah
padepokan. Padepokan yang sangat asri. Pagi itu, empat orang
berkumpul di sebuah ruangan dari padepokan itu. Mereka adalah
empat orang yang telah membayangi Arga melepaskan kekuatan
pada sebuah pohon dan sebongkah batu.
"Eyang...." Wajah orang muda itu terlihat riang. Riang
menyambut seorang telah datang. Tiga purnama ia tidak bersama
dengan orang tua itu. Rasa rindu telah menjadi begitu dalam.
Rasa rindu itu memang selalu membayangi. Terus menerus
membayangi, manakala orang tua itu telah pergi
meninggalkannya. Kadang hanya satu dua pekan, kadang satu
purnama. Saat ini tiga purnama, orang tua itu telah pergi. Pergi
untuk sesuatu yang ia tidak ketahui.
"Pangeran." Dua orang tua itu berdiri dan memberi hormat.
Yang datang adalah seorang yang sudah sepantasnya dipanggil
Eyang. Kerena memang orang itu sudah sangat tua.
Berpenampilan biasa dengan rambut tergelung ke atas. Orang
21 tua itu duduk bergabung bersama dengan empat orang yang
sebelumnya ada di ruang itu. Dua orang tua itu pun mencerikan
tentang seorang anak muda yang telah menantang Rembulan
Emas dan melepaskan kekuatan pada sebatang pohon dan
sebongkah batu. Kekuatan istimewa. Lalu, memutuskan untuk
mengundang anak muda itu.
264 "Baik, aku setuju mengundang anak muda itu". Orang tua itu
mengamini. Ia sebenarnya tidak mengamini undangan itu. Tapi,
mengamini sebuah rencana. Karena ia pun telah melihat anak
muda itu saat melepaskan kekuatannya. Anak muda yang
istimewa. Undangan pun diputuskan untuk disampaikan. Disampaikan lewat
dua orang muda di sana. *** Matahari telah bersarang condong ke sebelah barat. Tiga orang
bergerak menuju tempat yang tiga pekan sebelumnya telah
mereka kunjungi. Di tempat itu, telah berdiri menunggu lima
orang. Tiga orang tua dan dua orang yang masih sangat muda.
Sesampai di tempat itu, satu dari tiga orang yang baru saja
datang menjadi sangat terkejut. Terkejut oleh tiga orang yang
berdiri di hadapannya. Tiga orang yang pernah dikenal. Dua
puluh tahun silam. Di hadapan tiga orang itu, Ki Antargata
membungkuk hormat, tanda ia masih tetap mengingat siapa
mereka. "Pangeran.... Salam hormat kepada Pangeran Abhinaya...."
Belum selesai salam itu dikatakan oleh Ki Antargata, salah
seorang orang tua di antara lima orang itu telah menghentikan
salamnya. "Ki Antargata, sudahlah. Tidak usah sungkan." Orang tua yang
berdiri di tengah-tengah lima orang itu memenggal salam Ki
Antargata. "Sudah lebih dari dua dasawarsa kita tidak saling
bertemu. Aku hanya mendengar bahwa andika bahu membahu
dengan Labdagati membesarkan perguruan Rembulan Emas
hingga berdiri kokoh menjadi pilar utama dari Rakai Limus Dyah
265 Dewendra." Gadis di samping Arga terlihat terkejut. "Orang tua itu
mengenal ayahku", pikir Puteri Rajni.
"Senang, kembali dapat berjumpa dengan seorang pendekar pilih
tanding, penyandang nama besar Niratmaya Puraka (Tanpa
Pribadi, Hadir Di Mana-Mana)" Kata orang tua itu menyebutkan
gelar Ki Antargata dalam dunia kanuragan, yang selain mumpuni
dalam olah tenaga dalam dan ilmu silat juga ahli dalam laku tilik
sandi dan penyamaran. "Kau, Cah Ayu, tentu Puteri Labdagati"
Pandangan orang tua itu terarah pada Puteri Rajni dan beberapa
saat kemudian mengalihkan pandangan kepada Arga, dengan
tatapan mata yang penuh selidik, tanpa sepatahkan
mengeluarkan kata-kata. 22 "Ki Antargata, tentu engkau masih mengenal dua sahabat yang
berada di sisiku. Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita." Ada jeda
sesaat orang tua itu menyebut dua nama orang di sisinya.
"Pangeran, mana mungkin hamba melupakan dua Senopati
Utama yang gagah perkasa". Jeda itu diisi oleh perkataan Ki
Antargata. Pangeran dan senopati utama" Dua kata itu membuat
Puteri Rajni dan Arga terkejut. Orang-orang tua itu adalah
seorang Pangeran dan dua Senopati Utama: orang yang
terpandang dan pilihan. Kedua anak muda itu bertanya-tanya
dalam hati, terutama terhadap orang tua yang berbicara mewakili
kelompok itu. Siapakah gerangan Pangeran itu" Bagaimana
mungkin ia bisa berada jauh hingga sampai di tempat ini"
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin diajukan, hanya
bersembunyi di dalam hati.
"Ki Antargata, tentu Andika sungkan bertanya kepadaku:
mengapa dan untuk apa aku berada di sini?" Orang tua yang
disebut dengan Pangeran Abhinaya itu telah meluncurkan
266 pernyataan jitu tepat pada inti apa yang mereka bertiga ingin
ketahui. Pernyataan sebagai permulaan dari penjelasannya.
"Apa yang menarikku jauh hingga ke sini mulanya adalah
benturan antara Rembulan Emas dengan anak muda yang
dikatakan dari Perguruan Merak Mas. Seorang anak muda yang
begitu berani. Tentu, hal itu hanya dilakukan apabila anak muda
itu memiliki suatu dukungan di belakangnya. Dan, aku menduga
di balik anak muda itu tentu ada bayang-bayang kekuatan
Suddha Manyura (Merak Putih), Samaragrawira. Tentu saja,
benturan dua perguruan besar sangat menarik untuk disaksikan
dari dekat." Orang tua itu mengutarakan alasan awal sambil
menyebut nama Samaragrawira si Merak Putih, pimpinan
Perguruan Merak Mas. "Ah, orang tua itu juga mengenal Paman
Wira", pikir Arga. Sambil memandang kepada Arga dan Puteri
Rajni secara bergantian, orang tua itu melanjutkan
penjelasannya. "Di hutan Beringin Putih, dikatakan telah terjadi suatu
pertempuran antara dua orang muda. Suatu pertempuran yang
sama sekali tidak membuat hati tergiris, melainkan terpesona
oleh suatu Palapa Ratimaya Yatalia (Pertunjukan dalam
Bayangan keindahan yang Memikat Hati). Tentu saja, aku
mengenali ciri-ciri gerak dan lambaran yang ditunjukkan sang
gadis. Lemah gemulai penuh kelincahan dan kecepatan.
Gerakan-gerakan yang dilambari kekuatan dahsyat. Kekuatan
tenaga inti air dan swasana. Suatu bakat yang luar biasa yang
jarang ditemukan." Orang yang dibicarakan penuh pujian pun,
tidak dapat menahan diri untuk menjadi bangga, bahkan
tersanjung, dan tersipu malu-malu. Semakin manis saja. "Ia
menjadi semakin manis apabila sedang tersipu." Mata anak muda
267 23 lekat menatap rona wajah gadis di sampingnya.
"Yang sangat mencekau dan menjadi titik perhatianku
sepenuhnya adalah apa yang dipertunjukkan dalam diri anak
muda itu. Sesuatu yang bagiku tidak asing tetapi sangat samarsamar. Sesuatu yang sebagian telah
Andika kenali sebagai Curirana. Bagiku, tidak sekedar itu, sebab yang aku lihat
sesungguhnya jauh daripada sekedar Curirana. Dua orang
sahabatku ini dengan seksama memeriksa pohon dan batu besar
yang pada tiga pekan lalu menjadi sasaran kekuatanmu. Dari
pemeriksaan itu, aku mendapatkan sesuatu yang semakin
membuka jalan ke arah keyakinan itu. Oleh sebab itu, aku telah
mengundang kalian bertiga lewat dua anak muda yang
bersamaku untuk datang ke tempat ini." Sebuah tatapan lekat
berhenti pada Arga yang dari tadi hanya diam. Diam menyimak
uraian orang tua itu. "Anak muda, apa yang kau pertunjukkan dalam pertarungan di
hutan Beringin Putih dan di tempat ini tiga pekan lalu, begitu luar
biasa. Suatu pertunjukan yang membuka mata tuaku bahwa pada
akhirnya Yang Kuasa menyatakan kehendakNya. Untuk
memastikan sesuatu atas dirimu... bersediakan kau mendekat ke
mari" Dengan pupil mata yang sebagian telah memutih, orang tua
itu memandang tajam Arga.
Anak muda itu masih tercenung, dan tidak segera menanggapi
permintaan orang tua itu. Baru sadar sesaat kemudian, tetapi ia
pun tidak juga langsung bergerak ke arah orang tua itu. Ia justru
berpaling kepada Ki Antargata. Orang tua itu kemudian
menganggukkan kepalanya memberikan persetujuan. Mendapat
isyarat itu, Arga bergerak untuk memenuhi permintaan salah satu
orang tua di hadapannya. Akan tetapi, langkah Arga terhenti oleh
268 sebuah tangan halus yang memegang lengan. Secara spontan, ia
berpaling kepada sang pemilik tangan itu dan dua anak muda itu
pun saling menatap. Orang yang ditatap, agaknya sadar terhadap
apa yang dibuat, dan tertunduk malu. Ia merasa menjadi orang
yang sangat bodoh, karena tidak mampu menahan diri untuk
mengekang rasa khawatir. Rasa khawatir akan sesuatu yang
buruk menimpa pemuda itu. Selepas itu, Arga berjalan perlahan
menghampiri orang tua dan kesempatan itu dipergunakan untuk
memperhatikan empat orang yang berdiri mengelilingi orang tua


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Anak muda, aku yang tua ini biasa dipanggil Abhinaya. Aku
kebetulan lahir dari rahim wanita yang menjadi isteri seorang
Raja. Banyak orang sudah tidak mengenal nama itu. Sudah lama
aku tidak menampilkan diri." Secara tidak langsung orang tua itu
telah membenarkan apa yang dikatakan Ki Antargata. Memang
benar, ia adalah seorang Pangeran.
Untuk memastikan sesuatu atas diri anak muda, orang tua telah
memintanya datang mendekat. "Mari mendekat..." Sambil berkata
demikian, orang tua itu mengerakkan tangan ke arah janggut
24 olah-olah ingin meraba jenggot putih setengah hasta. Dari
gerakan kecil ringan itu, gelombang energi lembut dan halus
bergerak memancar merayap cepat ke arah Arga yang hanya
berjarak tiga hasta. Sekali pun tampak tenang, Ki Antargata yang
mengenal orang itu tidak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya, dan lirih samar menyebut sepenggal kalimat yang
hanya terdengar sebagian saja, "Samudra ....".
Yang sangat terkejut adalah Arga yang menjadi tujuan dari
serangkum energi dari gerakan orang tua itu. Sebenarnya, itu
adalah tenaga Samudra Manthana (Pengaduk Samudara).
269 Tenaga itulah yang sesungguhnya ingin diungkapkan oleh Ki
Antargata lewat kata-kata lirih samar yang terputus. Ki Antargata
tahu betul kedahsyatan kekuatan Samudra Manthana, tenaga inti
sang bayu, apalagi ketika dikerahkan keluar dari seorang ahli
yang sudah sangat mumpuni, Pangeran Abhinaya, tokoh sepuh
yang lama menghilang. Samudra Manthana adalah kekuatan
yang tidak terlihat, namun dapat membentuk badai atau pusaran
yang mampu menguncang-guncangkan lautan, itulah sebabnya
tenaga itu dinamakan Pengaduk Samudara atau Lautan. Yang
menjadi ciri dari energi itu adalah semakin lembut dan halus,
maka semakin berisi kekuatannya. Dan, yang datang pada Arga
adalah Samudra Manthana yang lembut dan halus, yang
merupakan pertanda bahwa energi yang mengarah kepadanya
berisikan kekuatan dahsyat.
Terhadap serangan jarak dekat dan dilakukan dengan begitu
saja, tiga pilihan yang dapat dilakukan: menghindar, memapak
atau membentur, dan menerima. Pada situasi yang saat ini
dihadapi Arga, pilihan pertama tidak mungkin dilakukan karena
tidak ada kesempatan untuk itu. Yang tinggal adalah memapak
atau membentur dan menerima.
Pada situasi itu, Arga memilih tindakan ketiga: menerima seutuhutuhnya energi itu. Desiran itu
datang mendahului inti kekuatan
yang tepat mengena di ulu hati pemuda itu dan seketika
menyebar pecah dan menerobos ke empat belas titik utama
penyaluran energi di tubuh Arga. Dan, pada saat itu juga tubuh
Arga tersentak mundur hingga lima hasta dari tempat semula,
dengan tubuh tetap berdiri tegap, dua tangan merentang
membentang, kepala mendongak ke atas, dan dua kaki merapat
tiga jengkal di atas permukaan tanah, melayang.
270 "Udhadhi Nampa (menerima lautan)." Kali ini salah seorang
Senopati Utama yang telah menjadi terkejut menyerukan sebuah
nama. Arga sendiri mendengar ucapan Senopati Utama itu.
Hanya ia tidak mengerti makna yang diucapkan itu. Yang ia tahu,
saat ini ia sedang menggelar salah satu sikap dari ajaran
Panchajanya. Arga menerima utuh Samudra Manthana dari orang tua, yang
25 menamakan diri Pangeran Abhinaya, dengan salah satu sikap
Panchajanya. Dengan sikap itu, tubuh Arga pun bergerak
melayang berputar-putar dengan sudut kemiringan yang tidak
beraturan dan kadang begitu miring hingga mendekati permukaan
tanah. Gerakan-gerakan itu mengikuti putaran dari energi
Pengaduk Samudra. Namun demikian, Arga tetap
mempertahankan posisi dua kaki. Dua kaki itu berada di sebelah
bawah dan bergeming pada tumpuan yang tidak berubah.
Keadaan itu persis sama dengan sebatang bambu melikuk-likuk
bergoyang-goyang dan berputar-putar bahkan melengkung landai
hingga akan menyentuh permukaan tanah, pada saat badai
melanda, namun batang bambu itu tetap berdiri pada posisinya.
Puteri Rajni, yang sejak semua sudah merasa khawatir, hendak
bergerak membantu anak muda itu, namun tindakan gadis itu
telah dicegah oleh Ki Antargata.
Mata orang tua itu berkilat dan segera mendorongkan dua tangan
ke depan meningkatkan pengerahan tenaga. Seketika tekanan
Samudra Manthana semakin kuat datang menerpa. Peningkatan
tekanan Samudra Manthana tanpa henti mengalir terus, semakin
kuat dan kuat. Keadaan itu telah membuat tubuh Arga menjadi
membesar membengkak, tanda bahwa seluruh tubuh dan poripori pemuda itu telah terisi dengan
tenaga dari Samudra 271 Manthana. Membiarkan terus keadaan itu, tentu akan berakibat buruk.
Kemampuan tubuh untuk menerima tenaga Samudra Manthana
ada batas. Menyadari keadaan itu, Arga pun mengerahkan Naga
Semesta Membara. "Tubuh anak muda itu memerah!" Wajah
Pengeran Sepuh itu berkerut. Saat itu posisi tubuh Arga sedang
miring rendah seakan-akan menelungkup dengan tangan
merentang, dan membelakangi orang tua yang mengalirkan
Samudra Manthana. Dengan kecepatan yang tak telihat mata, Arga memukulkan
tangan kanan ke tanah, yang selain dilakukan untuk melepaskan
ke bumi sebagian energi yang telah mengelembungkan tubuh,
juga sebagai pijakan untuk melenting ke atas dan membalikkan
badan serta meluncur cepat sambil mengerakkan tangan kiri
mengirim sebuah pukulan yang telah dilambari dengan Naga
Semesta Membara dan sebagian dari energi Samudra Manthana
yang masih diserap melalui sikap yang disebut oleh salah
seorang Senopati Utama itu sebagai Udhadhi Nampa. "Maafkan
atas kelancanganku." Kalimat itu masih sempat keluar dari mulut
Arga pada saat meluncur ke arah Pangeran Abhinaya. Dengan
dua telapak tangan, orang tua itu memapak pukulan itu.
PLLEEKK. PLLEEKK . Dua benturan berakibat luar biasa. Benturan itu menguncang
keadaan sekitar. Pusaran angin kencang dan hawa panas
menebar. Syukurlah, orang-orang yang ada di sekitar itu merupakan
26 pendekar yang berkepandaian tinggi, sekalipun mereka
terguncang, namun pusaran angin dan hawa panas itu tidak
menjadikan mereka terluka. Keadaan yang mengkhawatirkan
272 justru terjadi pada Arga, yang terlontar sejauh tujuh delapan hasta
dan kemudian mendarat keras ke tanah dengan dua lutut dan
kaki melipat ke belakang. Arga tidak merasakan sama sekali
guncangan pada peredaran darah. Yang dirasakan justru
kesesakan yang luar biasa, dadanya seakan-akan terhimpit oleh
dua buah bukit tak kasat mata. Sejurus kemudian ia membatukbatuk yang agaknya memang
sengaja dilakukan untuk mengurangi dan mengatasi tekanan menghimpit dada dan
meremas jantung. Melihat keadaan itu, dua bayangan bergerak cepat ke arah Arga,
Puteri Rajni dan Ki Antargata. Dua orang itu sangat
mencemaskan keadaan pemuda itu yang telah membenturkan
kekuatan dengan tokoh sepuh, Pangeran Abhinaya. Pangeran
yang sedari muda sudah menorehkan jejak di dalam dunia
kanugaran. Setelah mengamati keadaan Arga, Puteri Rajni
bergegas bangkit dan bersiap menyerang orang tua yang telah
menjadi lawan Arga. "Puteri, tahan..." Suara itu mencegah apa yang akan dilakukan
oleh Puteri Rajni. Kali ini suara mencegah itu tidak datang dari Ki
Antargata, melainkan dari pemuda yang masih duduk bertumpu
pada kedua lutut. "Paman, tolong bawa Puteri Rajni menyingkir." Kata pemuda ini
setelah beberapa saat terbatuk-batuk. Ki Antargata sangat
tanggap dan menyadari bahwa pemuda itu tidak mengalami
pengaruh serius, dan sekarang bersiap-siap kembali memasuki
laga. "Luar biasa. Bagaimana mungkin anak itu bisa begitu cepat pulih
setelah menumbuk Samudra Manthana milik orang yang telah
melatih dan mematangkan kekuatan itu lebih dari lima
273 dasawarsa. Lima dasawarsa....." Orang tua itu pun menarik halus
sang Puteri. Dengan berat hati gadis itu meninggalkan Arga. Dua
orang itu beranjak pergi. Kembali ke tempat mereka berada
semula. Tidak kalah terkejut adalah lawan anak muda itu. Orang tua yang
disebut Pangeran Abhinaya. Benturan itu sungguh telah
mengguncang. Mengguncang lewat dua jenis tenaga. Satu
adalah tenaga angin serupa tenaga miliknya. Yang lain, tenaga
panas luar biasa. Tajam menyengat. Ia membutuh waktu
beberapa saat menetralisir efek dari dua tenaga itu. Memang,
orang tua itu tidak terbatuk-batuk, namun telah tergeser mundur
satu hasta dari tempat semula.
"Dalam adu tenaga, hanya tokoh-tokoh tertentu yang mampu
membuatku beranjak. Luar biasa. Kau telah melakukannya. Dan,
27 benturan tadi agaknya pun hanya membuatmu tertekan sesaat.
Tanpa pengaruh berarti pada dirimu. Anak muda. Hati-hati, aku
akan bertindak lebih jauh." Setelah berkata demikian, Pangeran
Abhinaya tampak menerawang jauh dan siap merambah pada
tataran ilmu lebih jauh. Demikian, orang tua itu menerapkan
sesuatu yang lebih jauh atas anak muda itu. Kekuatan samudera
hingga pada puncak. Sementara itu, Arga pun telah mempersiap diri dengan
melakukan gerakan yang menjadi alas dari jurus-jurus Naga
Semesta, dan melambari diri dengan Jubah Perang Naga serta
Warastika Sambega. Seperti sebelumnya, ia pun mempersiapkan
jurus Usnika Jagattraya Naga dengan empat perubahan. Yang ia
masuki adalah perubahan Usnika Jagattraya Naga - Balun (Naga
Semesta Membara-Menggulung).
Diawali dengan teriakan keras, tubuh Arga melesat seperti anak
274 panah, melambung tinggi dan menggulung-gulung berpilin-pilin
serta meluncur cepat ke arah o
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
rang tua itu. Yang dituju juga tidak
tinggal diam, ia pun berkelebat cepat bergerak menyongsong
serangan yang datang dan juga telah memainkan jurus-jurus
andalan. Saat itu dua orang telah bertemu dalam jurus-jurus yang
mereka mainkan. Waktu cepat berlalu. Dua penderesan nira. Jurus-jurus yang
dilalui terus meningkat dalam kecepatan dan kekuatan. Pangeran
Abhinaya sangat terkejut dalam laga itu. Ia sungguh-sungguh
merasakan kehadiran bayang-bayang Naga. Makhluk raksasa itu
seperti bergulung-gulung, terus mengitari dan melontarkan
kekuatan. Kekuatan hawa panas menyengat dan tajam mengiris.
Kalau saja sedari tadi ia tidak melindungi diri dengan Carmi
Samudra (Samudera Kaca), pelindung diri tingkat tinggi
berlambarkan pada kekuatan angin, tak ayal tubuhnya dapat
tersayat-sayat dan melepuh akibat sengatan hawa serangan yang
dimainkan anak muda itu. Dengan Carmi Samudra, pengaruh
energi yang menyertai serangan anak muda itu dapat ditahan dan
diredam. "Carmi Samudra" Yang telah lewat dan aku kira tidak akan
pernah muncul lagi, ternyata hari ini dapat aku saksikan.
Saksikan dengan mataku sendiri." Kata Ki Antargata lirih.
Ki Antargata pun menjelaskan kepada Puteri Rajni, bahwa apa
yang dimainkan oleh Pangeran Abhinaya adalah salah satu dari
empat ilmu pelindung tubuh mustika. Ilmu langka yang paling
unggul masa silam. Ilmu itu lebih banyak tinggal cerita pada saat
ini. "Tiga mustika lain, adalah Candani Ibha (Gajah Pualam),
Ruciragati Nantha (Pelindung Lembut Luwes), dan Pastika
275 Niwasana (Kain Kristal). Baik Carmi Samudra dan Candani Ibha
merupakan pelindung diri bersifat keras dan menahan serta
meredam, sementara Ruciragati Nantha dan Pastika Niwasana
adalah pelindung tubuh lembut luwes dan bersifat mengurai serta
melemahkan kekuatan serangan lawan. Di masa lampau, empat
teknik pelindungi diri dimiliki oleh empu-empu rimba hijau, salah
satu di antaranya Sang Reshi Agung Mahendradewanta, Guru
Pangeran Abhinaya." Puteri Rajni mengangguk saat mendengar
penjelasan Ki Antargata. Laga masih terus berlangsung antara pesilat dari dua generasi
yang berbeda. Yang tua agaknya lebih membiarkan diri untuk
mendapat gempuran dari yang muda. Ia memang ingin
memastikan sedalam-dalamnya sebuah keyakinan. Sementara,
anak muda itu bertarung dengan penuh semangat dan merasa
mendapat tempat yang tepat untuk memastikan pada dirinya dan
tentunya pada sang Naga Branjangan bahwa ia sepenuhnya
telah melakoni warisannya dengan sempurna dan tidak membuat
tokoh itu menanggung malu karena ketidakbecusan. Yang satu
1 memberi ruang, dan yang lain mengisi ruang itu. Mengisi dengan
semangat dan kegairahan bertempur. Setahap demi setahap
Naga Semesta Membara merambah pada puncak dan tubuh
Arga semakin memerah, sementara orang tua itu pun terus
meningkatkan kemampuan dari Carmi Samudra sehingga
tubuhnya berkilat-kilat. Di sisi lain, dua Senopati Utama pun memperlihatkan wajah cerah
dan bersemangat. Biarpun sudah sepuh, namun semangat muda
masih menyala dalam diri mereka berdua, dan merasa gatal
untuk menjajagi sendiri apa yang dimainkan oleh anak muda.
Sejak semula mereka berdua sangat tertarik dengan apa yang
276 ada di dalam diri pemuda itu. Apalagi, sekalipun banyak memberi
ruang, mereka menyaksikan sendiri bagaimana junjungan mereka
ternyata dapat diimbangi oleh pemuda itu.
Di arena pertarungan, Arga telah mengerahkan Naga Semesta
Membara dalam perubahan Balun (menggulung-gulung). Pada
dasarnya jurus ini mengandal kecepatan, ketangkasan,
keluwesan dan kekuatan. Jurus itu memang sungguh merepotkan
Pangeran Abhinaya. Ia mendapat serangan dari aneka jurusan
dengan kecepatan dan kekuatan besar. Serangan itu bisa tibatiba mengarah ke perut, tetapi
kemudian cepat berpindah ke
punggung, lalu pindah lagi mengarah pada kedua paha, demikian


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seterusnya. Serangan-serangan itu datang deru menderu dengan
kecepatan dan kekuatan serta keluwesan bayang-bayang seekor
Naga perkasa. Arga menilai, sejauh ini jurus Naga Semesta Membara
Menggulung-gulung agaknya tidak memberi tekanan yang berarti
terhadap tokoh sepuh itu. Dua tiga kali jurus itu mampu masuk
dan menyentuh tubuh orang tua, namun selalu saja membentur
pada lapisan perisai tubuh yang sangat kuat dan bersifat
memantulkan kembali kekuatan yang ia kerahkan. Tiga
penderesan nira berlalu. Jurus Naga Semesta Membara
Menggulung-gulung telah dimainkan tuntas dari awal hingga
penutupan. "Edan! Bagaimana mungkin anak semuda itu menguasai jurus itu.
Jurus yang sangat ganjil, serba cepat, kuat dan luwes. Apalagi,
dibarengi dengan lambaran tenaga inti yang telah disadap dari
elemen-elemen utama alam semesta. Hebatttt." Kata Ki
Gardapati kepada kawannya Ki Gardagarjita. Dan, ia pun
berpaling kepada dua orang muda yang bersamanya dan berujar.
277 "Lihat betapa perkasanya pemuda itu, beruntung siapapun yang
berhasil memilikinya". "Eyang..." Kata salah seorang itu.
Sementara itu, Ki Antargata pun, yang sejak tadi mengamati
pertempuran dengan cermat, mengetahui dengan detil
pertarungan itu berjalan. Beberapa kali orang tua itu
mengeluarkan suara decak kagum sambil menggeleng-gelengkan
2 kepala. Ia pun berkata kepada Puteri Rajni, "Puteri, agaknya jika
anak itu menghendaki, pertarungan di Hutan Beringin Putih itu
tidak perlu berlangsung lama. Pada laga itu, ia tidak sepenuhnya
menggunakan kekuatannya seperti yang ditunjukkannya pada
laga dengan Pangeran sepuh saat ini." Yang diajak bicarakan pun
tertunduk malu, menyadari kebenaran yang dikatakan oleh Ki
Antargata. Pada penutupan Naga Semesta Membara Menggulung-gulung,
tubuh Arga melenting vertikal setinggi 10 hasta lalu kemudian
berbalik dan menukik ke bawah. Ketika tiba pada sasarannya, ia
tidak langsung menyambar bagian atas dari sasaran itu
sebagaimana jurus-jurus lain pada umumnya. Jurus itu, dengan
lentur tanpa berkurang kekuatannya, justru tiba-tiba berbelok arah
menjadi sebuah sergapan ke bagian belakang tubuh orang tua
itu. Bagian punggung kanan orang tua itu adalah sasaran yang
terbuka untuk sergapan itu. Apa yang diperlihatkan Arga sekali
lagi mengundang decak kagum semua orang di sana.
"Sadi...sadi... (indah, bagus dan mempesona)." Kata seorang tua
di pinggir laga. Decakan kagum itu diarahkan pada sergapan
yang dilakukan oleh anak muda. Sebuah sergapan yang demikian
cepat dan mengarah pada jurusan yang tidak diduga. Tidak
terduga, sekalipun oleh orang tua yang sudah sangat
berpengalaman menjalani ratusan laga. Serta merta sergapan itu
278 telak mengena pada punggung orang tua itu. Akibatnya, tubuh
orang itu bergetar dan terdorong ke depan. Hanya karena daya
kekuatan Carmi Samudra, serangan itu tidak mempengaruhi
Pangeran Sepuh itu. Anak muda yang telah mendaratkan
serangan pada punggung orang tua itu pun terdorong karena
terpengaruh oleh lontaran kekuatan Carmi Samudra.
Orang tua itu membalikkan badan, sebuah senyum menutup
wajahnya. Sama sekali tidak terlihat roman muka gusar. "Anak
muda, engkau sungguh berhasil mengguncang diriku yang terisi
penuh oleh kekuatan Carmi Samudra. Aku tahu engkau masih
memiliki yang lain, ayo kerahkan itu semua." Orang tua itu
memancing Arga dengan suara memberat.
Bagi Arga sendiri, perkataan ini bukanlah suatu tantangan
permusuhan melainkan undangan. Lebih dari sebuah undangan
di tempat ini. Undangan itu seperti orang tua yang hendak
mengajak anaknya untuk pergi bertamasya: undangan yang
memberi kegairahan. Tanpa banyak waktu, Arga pun bersiap
dengan Usnika Jagattraya Naga - Buntara (Naga Semesta
Membara yang Mengelora), yang merupakan perubahan kedua
dari jurus itu. Jika pada perubahan balun (menggulung-gulung)
mengutamakan gerakan di udara yang didasarkan pada kekuatan
api dan angin, maka perubahan buntara (menggelora)
mengutamakan gerakan di atas permukaan tanah dengan
menyadap kekuatan api dan bumi (tanah).
Udara ditarik dalam. Dihembuskan. Lima kali. Selepas itu, Arga
3 berkelebat cepat. Tubuh melandai sembari mengeposkan dua
tangan ke bumi dan menggelinding membentuk lingkaran dengan
tubuh di atas permukaan tanah. Gerakan mengepos tanah dan
menggelinding pada permukaan bumi itu dilakukan untuk menarik
279 masuk kekuatan elemen bumi sebagai lambaran dari jurus Naga
Semesta Membara Bergelora. Dengan gerakan-gerakan itu, jurus
tersebut menampakkan perbawa.Suara gemuruh menderu
melontarkan bebatuan. Menerbangkan kerikil dan debu serta
ranting dedaunan. Semua itu membentuk gumpalan awan tebal
dengan warna hitam kemerahan. Tanda bahwa hawa panas jurus
itu telah merayap menjalar mempengaruhi apa saja yang dilewati.
Sesungguhnya, Arga dapat mengarahkan bebatuan yang
sebagian telah menjadi panas itu agar berterbangan menuju ke
arah lawan. Lontaran bebatuan itu dapat berfungsi sebagai
serangan sampingan pendahulu, yang bersifat memberi
gangguan kepada lawan sehingga membagi konsentrasi. Lawan
harus berkonsentrasi sekaligus pada lontaran bebatuan panas
yang meluncur cepat maupun inti dari serangan jurus itu sendiri.
Tetapi, hal itu tidak dilakukan oleh Arga. Jurus yang saat ini
sedang bekerja hanya melontarkan bebatuan dan debu-debu
begitu saja ke sembarang arah. Sebab, Arga memandang laga
yang saat ini sedang dijalani bukanlah laga yang didorong oleh
suatu sikap permusuhan, tetapi lebih-lebih permainan untuk
menguji dirinya berhadapan dengan salah satu empu kanuragan
jaman ini. "Suatu permainan yang sangat berharga." Arga menilai.
"Ah, jurus itu seperti dongeng masa kecil yang sering diceritakan
tentang pendekar di tanah Yawadw?pa yang menamakan diri para
naga. Jurus yang sudah menghilang lebih dari dua generasi."
Kembali Ki Gardapati berkata-kata dengan wajah berkerut, seolah
mengatakan hal itu kepada diri sendiri. Agaknya, Ki Gardapati
tidak sanggup untuk menahan gejolak hatinya melihat
pertunjukkan dari pemuda itu. Ia melihat sendiri bagaimana jurus
itu telah menciptakan serangan yang dipenuhi dengan gelora
280 panas dan badai. Pemandangan yang sangat menggidikkan hati
siapa pun yang melihat. Tidak hanya Ki Gardapati, anak muda yang sedang memainkan
jurus itu pun menjadi tertegun. Tertegun oleh dahsyatnya
pengaruh dari jurus yang sedang dikerahkan. Serta merta, hal ini
memberikan pengertian dan peringatan semakin dalam pada
anak muda itu. Pengertian dan peringatan pesan sang pewaris:
Tidak menggunakan ilmu warisannya, tanpa alas batin bersih dan
murni. Bila itu dilakukan, yang terjadi hanyalah kehancuran,
karena jurus itu akan merangsek hancur apa pun tanpa
terkendali. Alas batin bersih dan murni sebagai pengendali dari
pengaruh jurus itu. Menyongsong datangnya serangan yang sudah diduga lebih
4 hebat dari sebelumnya, Pangeran Abhinaya meningkatkan Carmi
Samudra hingga tingkat kedelapan, hanya selapis di bawah
puncak tertinggi pengerahan ilmu mustika itu. Dua Senopati
Sepuh menggeleng-gelengkan kepala, dan saling berpandangan
takjub. "Bagaimana mungkin seorang pemuda mampu
membangkitkan pengerahan ilmu mustika junjungan mereka pada
tataran itu." Batin salah seorang Senopati Sepuh itu.
Kalau sebelumnya, orang tua itu hanya menerima dan berupaya
mengendalikan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Arga.
Kini, setelah meyakini kemampuan pemuda itu, ia pun
memutuskan untuk mengisi laga itu dengan serangan-serangan.
Setelah mengambil sikap di saat serangan anak muda sedang
menuju ke arahnya, orang tua itu pun bergerak secepat kilat maju
melayang sambil membentangkan tangan yang kini tampak
dijalari oleh sinar hijau kebiruan.
"Adwitiya Astula Samudra (Samudra Luas Tiada Dua), lihat
281 Eyang telah mengerahkan jurus itu". Kata salah satu orang muda,
yang bersama dengan dua Senopati Sepuh, seolah memberitahu
orang muda lain. Baik Ki Gardapati maupun Ki Gardagarjita
menganggukkan kepala membenarkan pendapat orang muda itu.
Bahkan, Ki Gardagarjita menambahkan suatu penjelasan
mengenai ilmu itu. "Adwitiya Astula Samudra merupakan ilmu
yang dilandaskan pada perpaduan tiga elemen alam sekaligus,
yakni: air, angin dan swasana. Ciri utama ilmu itu adalah
menciptakan kekuatan dalam bentuk gulungan gelombang yang
tiada henti. Jurus itu sangat serasi dengan Carmi Samudra, yang
bersifat menolak, menahan dan meredam. Pengerahan kedua
ilmu itu, selain di satu sisi menahan dan melemahkan bahkan
menolak kekuatan serangan lawan, juga sekaligus
menghempaskan lawan dengan hantaman gelombang kekuatan
yang tiada henti. Jadi, menolak sekaligus menghempaskan di
saat yang bersamaan."
Di saat kedua orang yang berlaga itu bertemu, di sekeliling arena
pertarungan itu berlangsung, aliran udara yang tadinya normal
tenang kini berubah penuh dengan hempasan-hempasan
gelombang kekuatan yang menyambar-nyambar ke segala arah.
Rupanya sebagian dari hempasan gelombang itu berisikan hawa
panas. Hawa itu telah memberi pengaruh pada keadaan sekitar
laga. Semak-semak di seputar gelanggang tampak berubah
warna menjadi coklat kehitaman terkena oleh hawa panas
pertarungan dua orang itu. Dalam laga itu, telah terjadi lima enam
kali benturan. Dari benturan itu tampak si anak muda melesat
mundur namun cepat kembali bergerak maju, dan orang tua itu
pun bergetar terpengaruh oleh benturan yang berlangsung.
Menilai bahwa Naga Semesta Membara Mengelora tidak dapat
282 menembus dan mendesak kedudukan orang tua itu, apalagi
5 jurusnya bila terus dilakukan hanya akan menambah kerusakan
di sekitar arena, maka Arga memutuskan untuk tidak memainkan
jurus itu hingga penutupannya. Ia memutuskan mengubah
permainannya di tengah jalan, yakni dengan menerapkan Usnika
Jagattraya Naga - Bhadrasana (Naga Semesta Membara
Bermeditasi) perubahan ketiga dari jurus itu.
Perubahan jurus itu telah mengubah drastis arena laga. Jika
sebelumnya pertarungan berlangsung keras, cepat, menderuderu, meletup-letup dan
menghentak-hentak, kini semua itu sirna
dalam sekejab. Yang tersaji pada laga itu adalah langkah-langkah
gerakan yang dilambari dengan keluwesan, kelembutan dan
ketenangan. Semua gerakan yang diperlihatkan Arga serba
ringan, seakan-akan tanpa bobot. Itulah hakekat dari meditasi,
menciptakan kekosongan, ketenangan, keadaan ringan tanpa
beban. Oleh Naga Branjangan, intisari dari meditasi telah
diterjemahkan dan dialihkan ke dalam bentuk gerak perubahan
dari Naga Semesta Membara.
Sesungguhnya, memainkan perubahan ini sangat sulit karena di
dalamnya mengandung suatu kontradiksi. Hal saling berlawanan.
Yakni, antara unsur keras dan berisi (yang memang melekat pada
jurus Naga Semesta Membara) dengan unsur lembut (ringan) dan
kosong. Memainkan perubahan ini berarti menggabungkan dua
unsur yang saling berlawanan itu. Pada perubahan ketiga dari
jurus itu, unsur keras dan berisi sama sekali tidak hilang, tetapi
menyatu melebur dengan unsur lembut (ringan) dan kosong. Oleh
karena itu, sekalipun yang tampak pada permukaan adalah
gerakan-gerakan ringan tanpa bobot, namun sebenarnya di sana
terdapat unsur keras dan berisi yang sewaktu-waktu bisa tampil
283 mengantikan unsur sebelumnya. Inilah yang menjadi keampuhan
jurus ini. Sewaktu-waktu bisa berubah sifat.
Hal itu sungguh dirasakan sendiri oleh pangeran Abhinaya. Orang
tua itu sesaat tampak tertekan oleh perubahan jurus yang
dimainkan Arga. Ia seperti berhadapan dengan dua orang yang
berbeda. Yang satu dapat dengan kelembutan, yang satu lagi
dengan keras. Bahkan, keduanya dapat datang seketika terpilinpilin. Pengerahan kekuatan keras
lembut yang terpadu secara
harmonis, mengikuti kehendak yang mengerahkannya. Ini hanya
dimungkinkan karena Arga telah melatih perubahan itu dalam
pengaruh kekuatan teknik Panchajanya. Sekali lagi, di bawah
teknik itu, Arga dapat menarik atau mengerahkan kekuatan
tenaga murni lima anasir semesta secara begitu saja. Kekuatan
lima unsur, termasuk di dalamnya anasir-anasir yang berciri keras
dan lembut, sepertinya telah menyatu dengan aliran darah dan
hembusan nafas anak muda itu.
Berhadapan dengan aliran tenaga yang sewaktu-waktu berubah
sifat tentu tidak membuat pengerahan jurus-jurus Pangeran
Abhinaya menjadi kacau. Ia hanya terhenyak sesaat, untuk
kemudian melakukan penyesuaian. Luas dan dalam pengalaman
6 yang telah dilalui menjadikan orang tua itu dengan cepat keluar
dari tekanan. Ia telah menjajarkan kembali keadaannya pada
posisi yang lebih leluasa dan tidak tertekan.
Justru dengan memainkan perubahan Naga Semesta Membara
Bermeditasi, Arga merasa sangat nyaman dan mendapat suatu
keseimbangan untuk mengendalikan kekuatan panas membara
dari jurusnya. Ia tidak lagi membuat kegaduhan dan ancaman
pada keadaan sekitar laga. Pengaruh jurus yang dimainkan
sepenuhnya bersifat tenang, terukur dan terkendali. Hanya
284 menyasar pada lawan. Demikian, Naga Semesta Membara
Bermeditasi telah mengartikulasikan kekuatan sesungguhnya dari
jurus yang dimainkan. Kekuatan yang tidak menyebar secara
membabi-buta, melainkan terfokus pada suatu bidang sasaran.
Yaitu, lawan yang dihadapi.
Dengan terpusatnya kekuatan itu, otomatis daya serang dari jurus
yang dimainkan menjadi lebih mantap dan terus menerus
meningkat daya tekan. Tekanan-tekanan jurus itu tidak datang
menderu dan bergelora, tetapi sayup-sayup dan hanya mendesis
lembut, namun di dalamnya berisi daya yang berisi kekuatan lima
unsur. Agaknya, Pangeran Abhinaya sudah menduga hal itu
karena muatan dari jurus yang dimainkan anak muda itu sangat
mirip dengan Samudra Manthana (Pengaduk Samudara)
milikinya. Pada intinya, jurus-jurus itu bermuatan kekuatan yang
berlawanan: di dalam kelembutan terdapat kekuatan yang berifat
maha keras.

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian berlangsung pertemuan antara Adwitiya Astula
Samudra yang terkadang berubah menjadi Carmi Samudra
dengan Usnika Jagattraya Naga-Bhadrasana. Yang tampak
menarik di mata orang-orang di pinggir laga adalah
pemandangan pada dua sosok yang berlaga. Kalau yang muda
mengeluarkan unsur tenaga yang keras dan berisi, maka yang
tua merespon dengan kekuatan lembut dan ringan. Demikian
sebaliknya, dan itu berlangsung silih berganti. Tanpa disadari
matahari telah beranjak menuju ke peranduan, namun belum juga
ada tanda-tanda laga akan berhenti.
Bahkan, pertarungan itu semakin merayap menuju kemapanan.
Agaknya, keduanya memang seperti merindukan saat-saat
seperti ini. Yang seorang mendapat ruang untuk mencoba
285 sesuatu yang telah dimiliki secara utuh penuh dan tuntas,
sementara yang satu lagi dipenuhi oleh suatu kegairahan
menuntuskan sesuatu yang menjadi keyakinan. Keyakinan yang
hanya dimengerti orang tua itu.
*** Suasana telah menjadi gelap. Dua orang dari generasi yang
berbeda masih terus melangsungkan pertarungan. Beberapa kali
dua petarung itu menerima sentuhan dari lawan. Sejauh ini,
7 sentuhan-sentuhan itu tidak berpengaruh. Jubah Perang Naga
dan Warastika Sambega mampu meredam, mengurai dan
meleburkan kekuatan Adwitiya Astula Samudra maupun Samudra
Manthana. Sementara, Carmi Samudra menolak tanpa bekas
kekuatan Naga Semesta Membara. Sentuhan-sentuhan itu hanya
memberi rasa pegal kaku pada bagian tubuh.
"Ah, aku harus mencoba perubahan keempat dari Naga Semesta
Membara," batin Arga yang segera mencelat mundur sekitar
empat hasta. Agaknya, orang tua itu pun mengerti apa yang ada
di balik pikiran anak muda itu. Ia pun tersenyum dan segera
menyiapkan diri menerapkan apa yang dimiliki: Aksata Samudra
(Samudra Yang Tidak Terputus). Lalu, sesaat kemudian terjadi
perubahan pada arena laga. Masing-masing telah tampil sebagai
figur berbeda. Lambaran ilmu telah mengubah wadag dua orang
di tengah arena laga. Yang muda telah tampil telanjang dada, karena telah melepaskan
pakaian yang telah koyak di sana sini, dan tampak jelas rona
merah berkilau membungkus sekujur tubuh. Itulah perubahan
keempat jurus yang dimainkan Arga, Usnika Jagattraya Naga286
Baswara (Naga Semesta Membara-Berkilauan). Orang tua itu
tampak terkesima sesaat. Terkesima dengan benda perak yang
melingkar di pinggang anak muda itu. Benda yang sangat ia
kenali. Benda itu telah mengantar pada suatu kepastian.
Kepastian itu terlihat jelas pada raut wajah tua itu.
Tetapi hal itu hanya berlangsung sesaat. Ia melihat anak muda itu
telah mengambil posisi pembuka jurus. Tubuh merendah
berjongkok dengan kaki kanan di depan, dua jari tangan
membentuk cakar. Tangan kiri di depan menyiku membuat suatu
sudut. Tangan kanan tertentang lebar tersembunyi di belakang
tubuh. Secepat kijang Arga melompat dan menyergap orang tua
itu. Melihat anak muda itu telah melesat cepat, orang tua itu pun tidak
lama menunggu. Seluruh permukaan tubuh berbalur sinar hijau
tua. Tidak kalah gesit dan tangkas, ia juga berkelebat menyambut
serangan. Saat itu, Arga mengirimkan cakaran dengan tangan
kanan ke arah pundak kiri orang tua itu. Tidak membiarkan bahu
tersentuh oleh cakar yang datang, orang tua itu dengan gerakan
yang sangat cepat dan ringan merendahkan tubuh melepaskan
diri dan segera mengirimkan pukulan dengan tangan kiri ke arah
perut Arga. Aneh, anak muda itu tampak tidak menghindari
pukulan itu tetapi menghalau dengan lutut kanan, serta merta
terjadi benturan antara kepalan tangan dengan lutut.
DESS. Terdengar suara tidak keras menandai benturan itu.
Memanfaatkan benturan yang sedikit telah melontarkan ke
belakang, Arga menutulkan kaki kiri untuk bergerak melambung
dan menyeruak ke depan lalu menukik tajam dengan dua telapak
tangan menyatu yang disorongkan ke depan. Dua tapak
287 8 berkekuatan penuh itu mengarah pada tubuh orang tua itu. Betulbetul suatu gerakan yang sangat
indah, dengan memanfaatkan
situasi pertarungan yang begitu sempit, dalam sekejab saja Arga
telah mampu menciptakan serangan yang cepat dan sulit untuk
dihindari. Dengan menyilangkan dua tangan di depan dada,
orang tua itu menghalau serangan telapak tangan Arga.
PLLAAAKKK. Kembali terjadi benturan. Kali ini pun benturan itu tidak
menimbulkan suara keras. Kini, telapak tangan anak muda itu
telah melekat pada dua lengan lawan. Dua lengan yang telah
disilangkan di depan dada. Lengan yang terlihat sangat kuat.
Hijau kebiruan. Di laga pertempuran yang gelap itu, tampak segaris tubuh berona
merah yang berada pada posisi sejajar horizontal dengan
permukaan tanah dan sosok berwarna hijau kebiruan. Dua sosok
itu tampak diam tidak bergerak pada posisinya. Yang satu sejajar
horizontal dan yang lainnya tegak lurus di atas permukaan tanah.
Dari sosok yang berdiri tegak, terlihat rona hijau kebiruan
semakin merebak membesar dan meluas. Tanda si orang tua
kian meningkatkan pengaliran tenaga. Sementara itu, rona merah
justru semakin menyempit dan mengecil. Sekalipun semakin
menebar menyempit dan terus mengecil, anehnya rona merah itu
tidak memudar dan menghilang, tetapi justru terlihat semakin
bersinar tegas dan terang, dengan sebuah bintil menyala di
tengah. Bintil itu bergerak berputar-putar mengelilingi sosok itu.
Enam orang yang hadir di pinggir laga sangat takjud dengan apa
yang disaksikan, dan tanpa sadar mereka saling mendekat.
Mereka tidak lagi berdiri dalam posisi dua kelompok yang saling
berhadapan, melainkan telah menyatu membaur. Puteri Rajni
288 berdiri di samping Ki Antargata bersebelahan dengan Ki
Gardapati dan Ki Gardagarjita, lalu kemudian dua orang muda
lain. Tiga orang muda yang menyaksikan peristiwa itu, termasuk
Puteri Rajni yang terus menjadi sangat gelisah, tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. Tidak demikian tiga orang tua itu. Tanpa
dikomando, mereka saling berpandangan tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun. Sesungguhnya, tiga orang tua itu mengerti apa yang sedang
terjadi. Di saat terjadi benturan yang telah melekatkan dua orang
yang berlaga itu, otomatis terjadi benturan antar dua tenaga:
tenaga yang tersimpan di dalam diri anak muda dengan tenaga
yang tersimpan di dalam diri orang tua yang menjadi lawannya.
Sekalipun tidak ada tolak menolak pada benturan itu, tetap saja
dalam keadaan yang saling melekat, tenaga inti dari dua orang itu
bekerja. Bekerja sesuai sifat tenaga itu sendiri.
Sifat tenaga orang tua itu seperti samudera, yang bergerak
menerobos deras dengan daya kekuatan yang terus melebar dan
meluas untuk merasuki apa pun yang dilalui. Inilah yang
9 membuat sinar rona hijau kebiruan itu menjadi semakin lebar dan
luas. Rona hijau kebiruan terus bergerak mengisi tiap ruang
sekecil apapun di sekitar laga, termasuk ruang di dalam tubuh
Arga, yang menjadi lawannya bertarung. Seharusnya, pihak yang
diterobos oleh kekuatan orang tua itu akan terpengaruh. Sebagai
tanda dari pengaruh itu, tubuh lawan akan dirasuki dan diresapi
oleh binar-binar sinar hijau kebiruan. Semakin kuat kekuatan
orang tua itu bekerja, maka semakin menghijau membiru pula
jadinya tubuh lawan. Yang tidak masuk dalam perhitungan ketiga tokoh kawakan dunia
persilatan itu adalah mengapa tanda-tanda itu tidak terjadi pada
289 anak muda itu! Tidak ada setitik rona hijau kebiruan meresap
pada tubuh anak muda itu, padahal rona hijau kebiruan telah
semakin membesar bahkan kehadiran rona hijau kebiruan itu
telah menjangkau samar-samar ke tempat di mana mereka
berenam berdiri. Untuk menghalau pengaruh samar dari kekuatan
itu mereka telah mengerahkan pelindung diri pada tataran yang
masing-masing miliki. Sekali lagi, pada diri anak muda dengan
posisi tubuh melekat melayang horizontal sejajar dengan
permukaan tanah tidak ada secercah rona hijau kebiruan. Justru
rona merah semakin berbinar terang sekalipun terus menyempit.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi" Saat keduanya telah saling
melekat, kekuatan orang tua yang sangat dahsyat itu datang
mengalir dengan tataran yang kian menguat. Aliran itu datang
terus menekan dan menghimpit diri anak muda. Anak muda, yang
terus ditekan dan dihimpit oleh kekuatan orang tua itu, telah
mempersiapkan diri. Ia telah mengerahkan kemampuan, agar
kekuatannya tidak menjadi terurai dan membuyar sirna oleh
terjangan kekuatan orang tua itu. Terlihat jelas pada laga itu, Arga
dapat meredam kekuatan yang mengalir deras menyerang. Ia
telah mengendalikan kekuatan seorang orang tua itu. Dengan
kata lain, kekuatan orang tua itu hanya mendesak dan menjepit,
tidak mampu menggasak sirna kekuatan lawan, apalagi
menguasai dan menaklukkan. Sekalipun demikian, siapapun
yang menyaksikan laga itu akan berkesimpulan sama. Orang tua
itu akan segera mengatasi lawannya. Itu hanya soal waktu.
Waktu seakan telah berhenti berputar. Pemandangan itu
berlangsung cukup lama. Dua penderesan nira telah dilewati. Dua
orang yang berlaga tetap pada posisinya. Saling melekat. Hanya
saja rona hijau semakin melebar dan meluas, sementara bintil
290 rona kemerahan pun terus mengecil. Kecil tapi terang menyala.
Bintil kecil menyala itu terus berputar dengan kecepatan terus
meningkat. Lebih dari dua penderesan nira anak muda itu telah bertahan di
bawah tekanan dan himpitan tenaga Pangeran Abhinaya. Suatu
yang tidak terduga. Di luar perkiraan tiga tokoh kawakan itu,
10 Mereka pun menjadi sangat kagum. Apalagi, tidak ada tandatanda bahwa anak muda itu telah
berada dalam penguasaan kekuatan lawan. Padahal, rambatan kekuatan orang tua itu telah
semakin kuat menekan. Bahkan, tekanan itu telah menjangkau
mereka yang cukup jauh dari pusat laga.
Bagi Arga, apa yang saat ini berlangsung sudah diperhitungkan.
Arga memang telah memutuskan untuk melakukan benturan,
tetapi benturan yang tidak seperti sebelumnya. Pada benturan
kali ini, ia membiarkan tubuhnya terbuka untuk menerima dan
diterobos oleh kekuatan lawan. Serta merta kekuatan yang
masuk itu diredam, dileburkan dan dikendalikan dengan paduan
Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega yang dikerahkan
secara berbarengan. Untuk sesaat, upaya itu memang mempengaruhi dan
menimbulkan guncangan pada dirinya. Namun seiring dengan
peningkatan pengerahan daya kerja dua ilmu yang telah
diterapkan, keadaan menjadi seperti sedia kala. Pengerahan
paduan Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega telah
bekerja meredam kekuatan orang tua yang masuk menyerang.
Paduan yang oleh Puteri Rajni dan Ki Antargata dikatakan
menimbulkan efek tenaga Curirana.
Tidak hanya itu, paduan dua ilmu itu telah mengubah kekuatan
lawan, yang telah diredam dan dilebur serta dikendalikan,
291 menjadi "senyawa". Inilah yang justru membangkitkan inti
kekuatan anak muda itu. Inti kekuatan itu tampak berupa bintil
yang menyala semakin terang dan berputar-putar mengelilingi
tubuh anak muda itu. Sesungguhnya, bintil itu tidak bergerak berputar sembarang arah
melainkan menuju titik-titik penting pada tubuh di mana energi inti
bersumber. Tujuannya, selain memberikan semacam
perlindungan pada titik-titik pusat pembangkit energi murni, juga
menerobos titik pusat energi yang sulit dibangkitkan sebelumnya.
Dengan mengerakkan bintil itu, Arga telah menerobos seluruh
titik-titik pembangkit energi murni. Akibatnya, himpunan energi di
dalam dirinya semakin meningkat dan itu telah membuat dirinya
tampil sebagai sosok rona merah yang bersinar semakin tegas
dan terang. Selain itu, inti kekuatan Naga Semesta Membara-Berkilauan yang
seharusnya mengarah ke luar, telah tertekan dan terjepit oleh
tenaga orang tua itu. Kekuatan Naga Semesta MembaraBerkilauan pun "ikut terolah" bersama
dengan kekuatan orang tua
itu yang menerobos masuk. Dua kekuatan itu bekerja
berbarengan membuat bintil merah tampil kian mengecil dan
menyempit. Tapi terlihat semakin solid dan kuat. Bintil itu
memusat dan semakian memusat. Solid dan kuat.
Sebenarnya rona merah pada tubuh Arga menjadi sempit dan
mengecil bukan karena tekanan dan desakan kekuatan orang tua
itu. Dalam jepitan dan tekanan tenaga orang tua itu, kekuatan
11 Arga telah memusat dan semakin memusat. Kekuatan anak
muda itu tidak melawan dengan menyebar menebar ke luar,
melainkan menyatu memusat ke dalam. Anak muda itu telah
masuk pada tataran kekuatan yang lebih solid dan kuat. Jadi,
292 anak muda itu sama sekali tidak tertekan atau terjepit. Anak muda
itu melawan. Melawan dengan cara tersendiri: memusat ke
dalam, tidak menebar ke luar. Begitulah sifat tenaga anak muda
itu bekerja. Bekerja melawan tenaga samudera.
Sebagai petarung kawakan, hal itu dipahami sepenuhnya oleh
Pangeran Abhinaya. Alih-alih mengendorkan aliran tenaga, orang
tua itu justru meningkatkan aliran itu. Meningkatkan daya
kekuatan hingga tataran tertinggi.
"Tidak salah. Anak muda itu telah bertumpu padanya. Bertumpu
pada sumber yang disadap dari Pemilik Ikat Pinggang yang
melingkar pada pinggangnya. Biarlah, anak muda itu menerima
Aryasatya Samudra (Samudra Kemuliaan) seutuhnya." Sebuah
keputusan telah ditetapkan. Keputusan untuk menerapkan
Aryasatya Samudra (Samudra Kemuliaan). Bukan yang lain.
Setelah menyatakan keputusan itu, Pangeran Abhinaya membuat
suatu gerakan untuk mengubah posisi. Ia menangkap kedua
lengan Arga agar tidak melepaskan rekatan yang terjadi, lalu
bergeser sedikit untuk membentuk posisi tegak yang membentuk
sudut sembilan puluh derajat dengan tubuh Arga. Pada posisi itu,
ia melepaskan Aryasatya Samudra dan tubuh orang tua itu
berangsur-angsur berubah membiru, termasuk dua tangan yang
telah menjadi kekar berotot, seiring dengan tahapan Aryasatya
Samudra yang terus meningkat dilalui.
"Aryasatya Samudra... Agaknya, Pangeran terus bergerak maju


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan apa yang menjadi miliknya". Kata Ki Gardagarjita lirih.
Saat tubuh orang tua itu sepenuhnya bersinar membiru, Arga
merasakan aliran tenaga lebih kuat deras menerobos masuk.
Tapi, pada dirinya telah terjadi suatu reaksi berbeda. Berbeda
dari sebelumnya. Kalau aliran tenaga sebelumnya langsung
293 diredam dan dilebur oleh paduan Jubah Perang Naga dan
Warastika Sambega, maka kali ini tenaga itu langsung melebur
dan menyatu dengan dirinya. "Aneh!" Lirih anak muda itu berkata
pada diri sendiri. Kata itu pun terlontar juga oleh Pangeran
Abhinaya. Hanya dinyatakan membatin.
Anak muda itu pun segera memeriksa pengaruh dari tenaga
orang tua itu yang tiba-tiba berubah sifat. Tenaga yang melebur
begitu saja. Tenaga yang telah melebur itu tidak dirasakannya
sebagai hal yang negatif, tetapi malah memberikannya semangat
dan rasa ringan yang nyaman sehingga ia mampu mempercepat
gerakan bintil ke seluruh titik-titik penting tubuh, bahkan ke titiktitik yang tidak terjangkau oleh
latihan empat hingga lima
dasawarsa. 12 Anak muda itu tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.
Bahwa aliran tenaga Pangeran Sepuh, tenaga yang semula harus
diredam dan dilebur serta dinetralisir, setelah beberapa saat lalu
bergelombang merasuk dalam dirinya, telah bersenyawa penuh
dengan kekuatannya. Persenyawaan yang telah dihasilkan dari
kekuatan Curirana. Kekuatan yang telah dibangkitkan dalam
dirinya. Persenyawaan itu yang kemudian telah meleburkan
begitu saja aliran tenaga yang saat ini lebih kuat dialirkan oleh
Pangeran Sepuh. Persenyawaan itu telah memperlihatkan
sesuatu yang tidak terduga. Pemindahan tenaga. Dari seorang
Pangeran Sepuh ke anak muda itu. "Ah...." Pangeran Abhinaya
mendesah lirih cemas. Keadaan itu terus berlangsung lebih dari tiga penderesan nira
lamanya. Setelah itu, Arga menyadari bahwa aliran kekuatan
yang mengalir dari orang tua itu menjadi semakin melemah. Anak
muda itu pun menjadi terkejut dan spontan mengatakan.
294 "Apa yang sedang Eyang lakukan?" Ia mengubah panggilan
"orang tua" menjadi "Eyang", karena menilai orang tua itu telah
memindahkan sesuatu kepada dirinya. Yakni, sebagian besar
kekuatan yang selama ini telah dipupuk. Kekuatan yang sangat
berharga. *** Di tengah keterkejutan yang berlangsung, anak muda itu sejenak
berpikir. Atas dasar pertimbangannya, ia pun membuat gerakan
melepaskan rekatan mereka. Arga melakukan sebuah tepukan
menepis dengan punggung telapak tangan. Punggung telapak itu
menyasar pada kedua lengan orang tua yang memegangnya.
Disusul kemudian dengan sebuah hentakan ringan dan lembut
yang telah melepas genggaman orang tua itu atas lengannya.
Genggaman orang tua itu telah lepas seketika, karena
kekuatannya telah menjadi sangat lemah. Sesaat kemudian, anak
muda itu cepat melenting ke atas lalu bersalto dan mendarat
tepat di belakang orang tua itu. Sebelum tubuhnya menyentuh
tanah, Arga cepat menahan tubuh orang tua itu dari belakang.
Cepat ia memapahnya menuju sebuah batu untuk
mengistirahatkannya. "Eyang..." Sebuah suara mengema dari salah seorang yang
berdiri di tepi laga. Menyusul suara itu, seluruh orang yang
tadinya berdiri menonton pertarungan berkelebat cepat ke arah di
mana Arga mengistirahatkan orang tua itu. Ia menyeruak ke
depan dan langsung menyentuh tubuh orang tua yang duduk di
atas sebongkah batu menyandar pada dada Arga yang tidak
terbungkus busana. 295 Orang tua itu bersandar dengan wajah yang semakin putih
memucat dan memejamkan kedua mata, mengatur nafas pelan
dan teratur. Orang tua itu berupaya melakukan pemulihan. Dari
13 arah punggung orang tua itu Arga mengalirkan tenaga Samana
Yatna. Tenaga anak muda itu mengalir masuk dengan lembut.
Tenaga itu aktif melebur untuk menyatu dan memperkuat kondisi
orang tua yang lemah bersandar. Anak muda itu merasakan sifatsifat yang melambari kekuatan
orang tua itu. Sifat-sifat yang
dikenali telah merasuk ke dalam dirinya. Merasuk dalam takaran
yang besar. "Aneh!" Arga merasakan ada sesuatu yang lain di
samping sifat-sifat yang telah ia dikenali.
Tiga penderesan nira telah lewat. Tangan anak muda itu masih
diletakkan pada punggung orang tua itu. Lewat tangan itu, tenaga
murni Arga masih terus dialirkan. Dialirkan untuk memperkuat
kondisi Pangeran Abhinaya. Lambat tapi pasti, wajah orang tua
itu mulai berubah. Namun, tetap putih memucat. Merasa sudah
cukup mendapat pemulihannya, orang tua itu membuka mata.
Arga pun menghentikan pengaliran tenaganya.
Selepas penghentian pengaliran tenaga itu, suasana di sana
sudah menjadi sangat gelap, hanya sinar rembulan yang tidak
seberapa terang yang telah membantu pengamatan untuk melihat
sosok-sosok yang hadir di sana. Sekalipun masih lemah, orang
tua itu pun bergerak berdiri yang diikuti oleh Arga. Pangeran
Abhinaya bergerak ke salah satu orang muda yang bersamanya,
dan tanpa diminta orang muda itu langsung mengapit tangan
Pangeran Abhinaya untuk memapah berjalan. Tidak ada katakata yang memecahkan suasana yang
sunyi di sana. Mengikuti langkah orang tua yang bergerak dipapah, Ki Gardapati dan Ki
Gardagarjita berjalan mengiring. Dua orang tua itu diikuti oleh
296 seorang yang lebih muda. Mereka beranjak pergi dari tempat itu.
Tiga sosok yang masih tertinggal di belakang tampak saling
berpandangan dan tanpa berkata-kata, mereka sepakat berjalan
untuk mengikuti lima orang yang baru saja berlalu. Arga yang
saat itu tidak mengenakan baju menjadi sangat rikuh. Sama
rikuhnya dengan Puteri Rajni yang sesekali mencuri pandang
melihat sosok tegap bertelanjang dada. Ki Antargata, yang
berjalan di tengah-tengah, mengetahui hal itu namun hanya diam.
Ia lebih mencurahkan pikirannya pada pertanyaan: Siapakah
anak muda ini" Baru beberapa saat menyatakan diri, namun ia
telah menarik keluar salah satu tokoh utama dunia persilatan,
bahkan tokoh setingkat Pangeran Abhinaya yang sudah lama
menghilang. *** Dua belas penderesan nira, dibutuhkan oleh dua rombongan
untuk tiba ke tempat yang dituju. Waktu yang cukup lama.
Padahal, tempat itu hanya berjarak enam pal jauhnya. Tempat
yang dituju adalah sebuah bangunan besar dengan pohon-pohon
bambu lebat di sekeliling. Gesekan batang bambu yang tertiup
angin telah membentuk alunan suara riuh. Pohon-pohon itu
seakan-akan menyambut kedatangan rombongan itu. Sekalipun
malam telah cukup larut, tampak di dalam bangunan itu masih
14 berlangsung kegiatan. Beberapa pemuda agaknya tengah tekun mempelajari buku dan
empat orang di antaranya serius membicarakan sesuatu. Di sisi
lain, delapan hingga sepuluh orang sibuk berlatih, sebagian
dalam kelompok dan sebagian lainnya sendiri-sendiri. Agaknya,
297 bangunan itu merupakan sebuah padepokan, seperti halnya
Perguruan Merak Mas. Hanya saja, di sana tidak terlihat simbolsimbol yang menyatakan ciri khas
dari kelompok itu. Tanpa diberi
aba-aba, semua orang yang tadinya hanyut dalam kegiatan
masing-masing, pergi bergegas menyambut kehadiran
rombongan yang baru saja tiba. Seluruhnya menampilkan sikap
yang sangat hormat kepada yang baru saja tiba.
"Eyang Kawiswara (Kakek Yang Mulia)". Sapa mereka serempak
memberi salam, sambil membungkukkan badan.
Di raut wajah sebagian besar yang menyambut rombongan itu
terlihat bayang-bayang kental raut keheranan, ketika
menyaksikan orang yang mereka sebut sebagai Eyang
Kawiswara berjalan memasuki padepokan dengan langkah
dipapah oleh cucunya. Mereka mengenal orang tua itu sebagai
sesepuh yang tingkat ilmunya tidak terbayangkan, tidak terukur.
Tokoh macam apa, pikir mereka, yang telah membuat Eyang
Kawiswara tampak lemah. Semua itu hanyalah pertanyaan yang
terpendam dalam hati, tidak ada seorang pun memiliki keberanian
untuk mengutarakan isi hati yang dipenuhi keheranan.
Rombongan itu langsung menuju ruang utama pada padepokan,
yang di dalamnya terhampar sebuah permadani coklat muda
halus hampir memenuhi seisi ruangan itu. Sebelum memasuki
ruangan itu, seorang murid padepokan yang sebelumnya diminta
oleh Ki Gardapati mengambilkan sehelai baju, datang tergopohgopoh menemui Arga dan
menyerahkan sepotong pakaian
kepada pemuda itu. Selesai mengenakan pakaian itu, agak
kebesaran ukurannya, Arga pun masuk ke ruangan utama di
mana rombongan yang datang bersamanya telah berada. Orang
tua itu terlihat duduk di tempat di mana ia biasa menduduk.
298 Rambutnya terurai, tidak lagi digelung ke atas. Di belakangnya,
duduk orang muda yang sepanjang perjalanan memapah orang
tua itu. Orang muda itu ramping dengan anak-anak rambut halus
di kening. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Arga memperhatikan
penampilan orang muda itu. Sosok yang sangat ramping, namun
berbalutkan pakaian sebagaimana umumnya dikenakan pemuda
laki-laki. Hasil pengamatan itu mengejutkannya. Ia baru
menyadari bahwa orang muda itu bukanlah seorang laki-laki. Ia
hanya mengenakan pakaian kaum laki-laki. Seorang gadis yang
mengenakan pakaian laki-laki untuk sebuah penyamaran. Pantas,
ia begitu khawatir pada saat orang tua itu jatuh lunglai di atas
15 tanah. "Hanya kaum wanita yang mampu menunjukkan rasa
khawatir seperti itu", pikir Arga. Arga melihat orang tua itu
memberi isyarat kepadanya untuk duduk mendekat, menyatu
dengan mereka yang telah berkumpul di ruangan itu.
*** "Maaf Ki Antargata, kami tidak dapat memberi yang sepantasnya
untuk menyambut kehadiran Tetua Perguruan Rembulan Emas."
Sambutan pembuka telah diutarakan oleh orang yang disebutsebut sebagai Pangeran Abhinaya
pada salah satu orang tertua
dari tiga orang yang telah dianggap sebagai tamu kehormatan.
"Baiklah, sebelumnya aku sudah memperkenalkan dua
sahabatku, Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita. Di dekatku ini
adalah cucuku, Kanistha, dan anak muda di samping Ki
Gardapati adalah Labdajaya, murid tunggal dari dua sahabatku."
Orang tua itu memalingkan wajah pada masing-masing orang
299 yang ia sebutkan namanya. "Kanistha...berarti yang selalu muda.
Nama yang mempesona." Batin Arga. Seakan-akan mendapat
kesempatan, saat orang tua menyebut nama itu, Arga pun
memalingkan pandangan ke orang yang namanya sedang diingat
dalam batinnya. Sesaat orang tua itu menghentikan pembicaraan untuk memberi
kesempatan kepada murid-murid padepokan menyuguhkan
hidangan pada yang hadir di ruangan itu. Setelah
mempersilahkan untuk mengecap suguhan yang tersedia, orang
tua itu pun mengambil segelas air dan minum. Tidak berapa lama
kemudian, ia pun melanjutkan apa yang ingin diutarakan.
"Padepokan ini merupakan pusat kegiatan dari apa yang kami
namakan Chandrakapala..." Belum selesai kalimat itu tuntas
dikatakan, berkelebat sebuah sosok berdiri di tengah kelilingan
orang-orang yang duduk di ruangan itu. Sosok itu tidak hanya
berdiri, tetapi bergetar. Bergetar dalam kegeraman dan
kegusaran yang sangat mendalam. Sosok itu adalah Puteri Rajni,
yang dengan sontak bereaksi pada saat nama Chandrakapala
disebut oleh orang tua itu. Baik Arga maupun Ki Antargata juga
terhentak kaget mendengar bahwa padepokan ini merupakan
kekuatan yang ada di balik kelompok Chandrakapala. Nama yang
selama ini menjadi teka-teki dan ingin ditelusuri keberadaannya.
Tidak seperti gadis itu, Ki Antargata dan Arga dapat menahan diri
untuk tidak menunjukkan suatu reaksi. Dalam diri mereka, ada
keraguan yang menyembul. Apakah mungkin padepokan ini
menjadi pusat dari Chandrakapala, kelompok yang telah
menebarkan mendung hitam pada langit dua kerajaan. Keraguan
itu begitu kentara tampil pada ruat wajah dua orang itu. Wajah
dengan kening berkerut. Tanda dari hati yang dipenuhi oleh
300 keraguan. Saat Puteri Rajni bergerak berdiri di tengah-tengah ruangan itu,
16 telah datang menyongsong orang muda, yang disebut Pangeran
Abhinaya sebagai Kanistha. Dua orang muda itu telah berdiri
berhadapan. Yang satu bergetar penuh kegusaran dan
kegeraman, sementara yang satu lagi berdiri memasang kudakuda dengan dua tangan mengepal
disilangkan di depan dada.
Sebelum keduanya bergerak untuk saling bergebrak, orang tua
itu meminta cucunya untuk kembali ke tempat semula. Menyusul
perkataan itu, Ki Gardagarjita dan Ki Antargata telah bergerak.
Masing-masing berada di sisi dua anak muda yang saling
berhadapan. Dua orang tua itu berupaya mencegah keadaan
berkembang ke arah yang tidak diinginkan.
"Puteri, biarkan Pangeran Abhinaya menyelesaikan apa yang
ingin dikatakan. Atas dasar itu, kita menilai apa yang nanti akan
dilakukan." Bujuk Ki Antargata pada Puteri Ketua Perguruan
Rembulan Emas itu. Cegahan Pangeran Abhinaya dan kehadiran Ki Gardagarjita serta
Ki Antargata telah menghindarkan benturan antara dua orang
muda itu. Ketegangan yang sesaat melintas telah diredakan.
Diiringi dengan dua orang tua itu, Puteri Rajni dan Kanistha telah
duduk kembali ke tempat semula. Suasana ruangan tetap hening.
Ketegangan belum sepenuhnya menghilang.
"Chandrakapala sebagai sebuah kelompok, memang tidak lepas
dari diriku. Chandrakapala lahir dari rahim pikiran dan
semangatku". Pelan namun jelas suara itu memecahkan
keheningan. "Dua puluh lima tahun aku telah membesarkannya".
Batin orang tua itu. "Sebagaimana telah aku katakan sebelumnya, aku secara
301 kebetulan dilahirkan dari seorang wanita yang bersandingkan
seorang raja sebagai suaminya. Raja itu merupakan salah satu
orang yang pernah menguasai Bhumi Mataram. Menguasai
dengan seutuhnya. Bersama-sama dengan diriku, dari raja yang
sama juga telah dilahirkan dua anak laki-laki lain. Mereka lahir


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum diriku. Lahir dari Bibi Paramesti, yang di masa muda
adalah Puteri Agung Wangsa Syailendra dari tanah Suarnadwipa.
Salah seorang dari dua anak laki-laki itu kemudian menggantikan
Ayah menjadi penguasa. Ia kemudian memakai gelar
Samaratungga." Puteri Rajni sangat terkejut dengan pengakuan
itu. Ia berasal dari kalangan istana. Samaratungga begitu lekat
dalam banyak cerita di istana. Raja itu sangat dihormati dan telah
memberikan kemakmuran bagi rakyat di Bhumi Mataram.
"Sekalipun lahir dari dua wanita yang berbeda dan lain wangsa,
kami bertiga besar bersama. Yang tertua dan kemudian bergelar
sebagai Samaratungga, sewaktu kecil dipanggil Abhirama. Yang
seorang lagi disapa dengan nama Abhipraya. Dan, aku sendiri
bernama Abhinaya. Kami bersama-sama hingga menjelang usia
akil balig. Selepas itu, dikirim berguru pada tokoh-tokoh utama
saat itu. Atas permintaan Ibunda, yang berasal dari Wangsa
Sanjaya, aku diserahkan dalam bimbingan Sang Reshi Agung
17 Mahendradewanta. Sejak menempuh bimbingan di bawah Adi
Acarya (Guru Utama), kami berpisah. Kami menempuh hidup
menurut jalan masing-masing." Pangeran Sepuh menatap tajam
tiga orang tua di hadapannya. Ia ingin mencari sesuatu pada
wajah mereka. Tiada raut heran atau bertanya pada mereka.
"Sejak tinggal di padepokan guru, aku tidak lagi menjejakkan kaki
di istana. Kehidupan sederhana wanua (rakyat biasa) telah
memikat diriku. Hanya sesekali aku ke istana. Mengunjungi Ibuda
302 dan sowan kepada Ayanda Dharanindra sekaligus berkumpul
dengan saudara-saudaraku. Bila memang kebetulan kami bertiga
berkumpul bersama, maka saat itu menjadi kesempatan berharga
untuk saling menjajagi kemampuan masing-masing. Dalam setiap
kesempatan itu, Kakang Abhipraya selalu tampil sebagai
pemenang. Ia memang seorang yang dibekali dengan bakat dan
kecerdasan luar biasa." Kenangan itu terasa hadir dekat dengan
orang tua itu. Kenangan saat mereka bertiga bersama-sama
saling berlatih tanding. "Menjelang usia empat dasawarsa, aku dipanggil untuk
menghadap istana. Waktu itu, tepat pada peringatan lima belas
tahun kakakku, Abhirama atau Samaratungga, naik tahta
menggantikan Ayahanda. Peristiwa itu seharusnya merupakan
saat yang membahagiakan, apalagi di saat yang bersamaan,
Samaratungga mengumumkan rencana pernikahan puterinya,
Pramodyawardani, dengan Pangeran Jatiningrat. Pernikahan dua
wangsa. Sebenarnya, baik Pramodyawardani maupun Jatiningrat,
keduanya memiliki ikatan denganku. Pramodyawardani adalah
anak dari kakakku, sementara Jatiningrat adalah anak dari Raka i
Garung yang masih terbilang kemenakan dari Ibunda. Jadi,
mereka berdua adalah para kemenakanku." Secawan air putih
telah diangkat dan diminun perlahan oleh orang tua itu.
"Bagiku, perkawinan itu adalah sesuatu yang luar biasa. Atas
nama perkawinan itu, dua wangsa utama di tanah Yawadw?pa
akan bersatu. Akan tetapi, apa yang terjadi tidaklah demikian.
Karena saat itu, Samaratungga pun telah menyatakan
mengangkat Pramodyawardani sebagai pewaris tahta.
Pengangkatan ini mendapat reaksi keras, khususnya dari
kemenakan laki-lakiku, Putera Samaratungga sendiri,
303 Balaputradewa. Kemenakanku itu tidak berdiri seorang diri
menentang keputusan ayahnya. Berada di belakangnya adalah
kakang Abhipraya. Pertentangan itu, dari waktu ke waktu, terus
menajam. Suasana hubungan kami bertiga menjadi tidak lagi cair.
Aku berada di tengah-tengah tarik menarik kedua kakakku.
Seorang kakak yang menginginkan penyatuan dua wangsa
melalui perkawinan, dan seorang lain bersikeras agar tahta
Bhumi Mataram tetap berada pada darah Syailendra yang murni.
Yakni, tahta yang harus diteruskan oleh Balaputradewa, bukan
18 oleh Pramodyawardani yang berbagi dengan suaminya, yang
merupakan darah Sanjaya. Aku berdiri di tengah dua kakakku
yang bertentangan". Getir suara itu terdengar.
"Pertentangan itu terus bergerak memuncak. Tepat enam tahun
sejak pengumuman itu, yakni beberapa waktu setelah Kakang
Abhirama meninggal dunia dan digantikan oleh puterinya, perang
saudara pun pecah. Perang saudara yang digerakkan oleh orangorang yang dekat denganku.
Perang antara satu kemenakan
melawan kemenakan yang lain. Dengan perang itu, sesuatu yang
sangat menyakitkan hati telah berlangsung di hadapanku, tanpa
dapat aku hentikan dan cegah. Suatu yang sangat kejam telah
dipicu oleh keluargaku sendiri. Kejam karena perang itu telah
menyeret banyak pihak masuk ke dalamnya dan menjadi korban
daripadanya. Satu tahun perang itu berkobar dan memangsa
ribuan jiwa. Ribuan jiwa yang lenyap sia-sia." Mata tua itu terlihat
berkaca-cara. Berkaca-kaca penuh keharuan mengenang yang
terjadi pada empat puluh empat tahun silam.
"Karena tidak tahu bagaimana menghentikan dan mencegah, aku
pergi meninggalkan istana. Lalu, mengikrarkan brata (sumpah)
tidak akan pernah mencampuri urusan tahta. Selama di luar
304 istana, sebagian besar hidupku ada bersama-sama dengan
wanua. Aku hidup di antara mereka. Mengikat persaudaraan
dengan mereka." Wajah tua yang tampak lelah dan sangat pucat
berkeriput tampak mengeras. Mengeras atas sumpah yang telah
ia katakan. "Atas nama ikatan persaudaraan itu, aku mengumpulkan pribadipribadi yang mencita-citakan
keyakinan sama. Keyakinan untuk
melepaskan diri dari belunggu wangsa, keyakinan dan
kekuasaan. Keyakinan yang bertujuan untuk menyatukan dua
negeri atas dasar Jalma Manungsa (kemanusiaan sejati). Itulah
hakekat persaudaraan yang aku nyatakan sebagai
Chandrakapala pada dua puluh lima tahun silam." Arga tertegun.
Tertegun kagum terhadap orang tua itu. Kagum atas gagasan,
sikap dan pandangan hidup orang tua itu. Gagasan yang
dicetuskan orang tua itu pada dua puluh lima tahun silam.
"Chandrakapala, ikatan yang aku bentuk dari dua kata. Chandra
atau rembulan dalam wujudnya yang paling indah, dan kapala
(kepala) tempat di mana gagasan berasal. Melalui dua kata itu,
aku ingin menyatakan keyakinan. Keyakinan mengenai gagasan
yang seindah rembulan. Gagasan atas ikatan persaudaraan yang
tidak terbelenggu oleh perbedaan wangsa, keyakinan dan
kekuasaan. Itulah arti sebenarnya dari nama Chandrakapala."
Puteri Rajni yang mendengar uraian Pangeran Sepuh itu
tertunduk. Ia merasa telah berprasangka buruk terhadap orang
tua itu. Prasangka yang seharusnya tidak diungkapkan dalam
bentuk sikap gusar sebagaimana telah ia nyatakan.
"Perang saudara memang pada akhirnya telah padam. Dua
wangsa dapat duduk bersama. Sayangnya, itu tidak berlangsung
19 lama. Ada pihak-pihak yang terus berupaya membenturkan dua
305 wangsa pada suatu pertikaian. Pertikaian yang akan menyeret
seluruh isi dari Bhumi Mataram. Beberapa tahun ini dari tangantangan mereka telah lahir
kegemparan di banyak tempat pada
Bhumi Mataram. Kegemparan itu selelu berhubungan dengan
panji bersimbolkan tengkorak bertaring di atas bulan sabit dengan
dua kata di bawahnya. Kata-kata itu berbunyi Chandrakapala.
Mereka telah mengatasnamakan Chandrakapala untuk
menebarkan keguncangan. Aku sendiri telah meminta Ki
Gardapati dan Ki Gardagarjita untuk menelisik aneka peristiwa
yang telah menyegelkan nama Chandrakapala. Dari peristiwaperistiwa yang telah diselidiki, kami
mendapat kesimpulan bahwa
di balik kegemparan itu justru terpaut kuat dengan bayangbayang yang memicu pertikaian antara
dua wangsa." Kekhawatiran yang mendalam terbayang kembali di wajah tua.
Kekhawatiran akan berlangsungnya kembali peristiwa empat
puluh empat tahun silam. Perang antara dua wangsa.
*** Semua orang yang berada di ruangan itu, menjadi terdiam.
Terdiam bersama dengan kekhawatiran yang terbayang pada
wajah orang tua itu. Di tengah suasana diam itu, Ki Antargata
menyatakan suatu pertanyaan. "Pangeran, mengapa nama
Chandarakapala dipilih masuk ke dalam pusaran yang akan
memicu kembali pertikaian antara dua wangsa".
Pertanyaan itu sulit dijawab. Karena jawaban itu hanya bisa
diberikan oleh orang yang berada di balik kegemparan itu sendiri.
Yang bisa diungkapkan sebagai jawaban dari pertanyaan itu,
hanyalah sebuah dugaan. Dugaan yang tidak sepenuhnya berdiri
sebagai kebenaran. 306 "Sebelum segala kegemparan itu terjadi, Chandrakapala
hanyalah sebuah perkumpulan yang bersifat cair dan longgar,
lebih sebagai suatu ikatan persaudaraan. Itulah sebabnya,
Chandrakapala tidak memiliki ciri yang dikenali. Ciri sebagaimana
umumnya ada pada perkumpulan atau perguruan. Memang,
melekatkan suatu kegemparan pada perkumpulan yang sama
sekali tidak memiliki ciri, bukanlah hal lumrah. Tetapi, aku
menduga dan hanya menduga, justru tindakan itu adalah
tindakan yang cerdas, dirancang dengan cermat dan penuh
perhitungan. Siapapun yang ada di balik kegemparan itu, sejak
awal ia tidak menginginkan apa yang sedang terjadi, dapat
tercium dan terurai." Suatu peringatan telah dinyatakan oleh
orang tua itu. Peringatan atas sebuah rencana lihai.
"Apabila kegemparan itu diatasnamakan pada sebuah kelompok
yang memiliki ciri yang telah dikenali, maka itu akan mudah
ditelusuri. Setidak-tidaknya, penelusuran itu bisa dimulai dari
kelompok atau perkumpulan yang digunakan. Apalagi,
20 pengatasnamaan kegemparan pada suatu kelompok yang
dikenali, akan memancing kelompok yang bersangkutan untuk
menyibakkan kegemparan. Kelompok itu bersikeras membuktikan
dan membersihkan namanya kepada kalangan luas bahwa
sebenarnya mereka tidak terlibat. Nama perkumpulan mereka
hanya digunakan oleh pihak lain. Kelompok yang merasa
dirugikan itu tentu akan mengejar siapa sebenarnya yang telah
menggunakan nama kelompok mereka." Orang tua itu berdiam
diri membiarkan pendengarnya mencerna apa yang
dikatakannya. "Lain halnya, bila kegemparan itu menggunakan nama kelompok
yang tidak berciri, seperti Chandrakapala. Orang akan sulit untuk
307 menelusuri kelompok itu. Karena, memang sesungguhnya tidak
ada kelompok atau perkumpulan yang memiliki ciri sebagaimana
tergambar pada panji yang digunakan. Yang ada hanya sebuah
kesamaan dalam dua kata yang disatukan: Chandrakapala.
Kecuali itu, penggunaan nama kelompok yang tidak berciri, tidak
akan memancing pihak-pihak tertentu untuk membuktikan dan
membersihkan nama, sebagaimana akan dilakukan oleh
kelompok atau perkumpulan yang berciri ketika mendapati nama
mereka telah dilekatkan pada suatu kegemparan. Kejadiankejadian itu hanya akan muncul untuk
kemudian didiamkan tanpa menarik perhatian pihak-pihak tertentu melakukan penyelidikan
yang mendalam. Dengan demikian, menjadi suatu yang sulit
untuk mengungkapkan kekuatan di balik kejadian-kejadian itu.
Lebih-lebih, ada tangan-tangan yang tidak terlihat, yakni tangantangan kuat yang diduga berada di
balik kejadian-kejadian itu.
Singkatnya, apa yang telah dilakukan oleh mereka yang berada di
balik kejadian-kejadian yang telah menarik nama Chandrakapala,
merupakan sebuah gerakan cerdas yang penuh kecermatan dan
perhitungan. Sudah pasti, pelakunya bukan orang biasa, tetapi
Lokatara (orang yang luar biasa, genius) dan mengenal betul apa
yang ia mainkan." Orang tua itu menutup penjelasan dengan
pujian terhadap pelaku di balik apa yang telah terjadi, hanya saja
di dalam kata-kata pujian itu tersimpan suatu kewaspadaan di
balik apa yang akan terjadi.
Orang tua itu menarik nafas panjang dan perlahan
menghembuskan. Melihat kepada tiga orang tamu, lalu ia
meneruskan apa yang akan disampaikan. "Sesungguhnya, apa
yang telah terjadi tidak sepenuhnya membawa kerugian pada
Chandrakapala. Yang aku maksudkan adalah kejadian yang telah
308 menimbulkan banyak kehebohan atas nama Chandrakapala,
ternyata telah menumbuhkan suatu semangat yang sama di
antara saudara-saudara yang terikat dalam Chandrakapala.
Semenjak kegemparan itu, kerekatan ikatan dalam
Chandrakapala yang tadinya cair dan longgar berubah menjadi
21 kental dan solid. Setahun lalu, atas dasar kesepakatan dari
Tetua-tetua dalam persaudaraan Chandrakapala, telah
diputuskan untuk menyatakan Chandrakapala sebagai kelompok
yang dikenali layaknya sebuah perguruan pada umumnya.
Dengan pertimbangan yang cermat, Chandrakapala
menggunakan sebuah simbol. Simbol sebagai ciri untuk dikenali.
Simbol itu berupa panji yang sama dengan panji yang telah
dipergunakan oleh kekuatan yang sebelumnya
mengatasnamakan Chandrakapala. Hanya terdapat sedikit
perubahan atasnya. Yakni, menggantikan simbol tengkorak
bertaring dengan lingkaran berwarna emas. Hanya saja, sebagai
sebuah kumpulan dengan ciri yang dikenali, hingga saat ini
Chandrakapala belum dinilai tepat untuk menampilkan diri di atas
permukaan." Rencana menampilkan Chandrakapala sebagai
sebuah perkumpulan layaknya perguruan terungkap dalam
perkataan orang tua itu. "Ki Antargata tentu mengerti betul bahwa diperlukan suatu
persiapan untuk memunculkan suatu kelompok dengan ciri yang
dikenali. Tidak cukup hanya sekedar dengan sebuah panji atau
simbol. Yang lebih penting dari itu adalah kesatuan semangat dan
impian. Untuk yang satu ini, tidak diragukan lagi, telah dimiliki
oleh Chandrakapala. Kecuali dua hal tersebut, sebuah
perkumpulan dengan ciri yang dikenali harus memiliki satu figur.
Figur yang menjadi penopamg dan harapan untuk mengerakkan
309 perkumpulan dalam semangat yang telah digelorakan bersama,
yang dalam semangat itu ia menapak di depan untuk menarik
impian agar tidak lagi menjauh melainkan hadir mendekat dan
menjadi milik semua orang, baik di dalam perkumpulan maupun
di luar perkumpulan. Terus terang, Chandrakapala sedang dan
terus mencari figur itu. Seorang Ascarya (figur yang tampil di
muka) bagi Chandrakapala." Ki Antargata tidak mengerti,
bukankan di dalam Chandrakapala ada Pangeran Abhinaya.
Mengapa Chandrakapala harus mencari orang lain sebagai
tumpuan Chandrakapala. "Di antara Tetua telah sepakat untuk tidak menampilkan diri


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai figur terdepan dari Chandrakapala. Sepanjang tahun lalu,
aku bersama dengan Tetua lain menjelajah seluruh negeri untuk
menemukan Ascarya. Di hari-hari ini, keberuntungan justru
datang kepadaku." Entah kapan itu dilakukan, orang tua itu
berhenti bicara dan telah mengarah pandangan pada Arga.
Pemuda itu menjadi serba rikuh, karena mendadak sontak
seluruh orang pada ruangan itu pun telah mengikuti apa yang
dilakukan oleh orang tua itu. "Rencananya telah ditangkap oleh
anak muda itu". Perasaan Arga bergolak hebat. Sementara Ki Antargata yang
duduk di sebelahnya pun dihinggapi perasaan yang tidak kalah
berkecamuk. "Orang tua itu agaknya telah menjatuhkan pilihan
kepada pemuda itu untuk tampil sebagai Chandrakapala Ascarya.
22 Figur terdepan bagi Chandrakapala. Melihat bakat dan
kemampuan yang dimiliki pemuda itu, memang pantas dan tepat
pilihan itu jatuh padanya. Tetapi sanggupkah pemuda itu nanti
menjalankan peran memenuhi harapan dan mimpi mereka yang
bernaung di dalam Chandrakapala" Bisakah orang semuda itu
310 tampil untuk menopang perkumpulan yang keberadaannya
melintasi batas-batas negeri" Bagaimana mungkin orang tua itu
begitu cepat menjatuhkan suatu pilihan yang sangat penting bagi
keberadaan Chandrakapala, dengan begitu saja" Bagaimana jika
pilihan itu keliru?" Begitulah, serangkaian pertanyaan hinggap di
dalam benak Ki Antargata, yang mungkin akan terus menjadi
lebih banyak lagi apabila tidak terhenti oleh suara orang tua itu
melanjutkan penuturannya.
*** Pangeran Sepuh itu pun telah mengalihkan pandangan dari anak
muda itu. Ia kembali mengambil cawan. Aliran air pada
tenggorakan telah menjadi saat bagi Pangeran Sepuh itu
menenangkan diri. Menenangkan diri untuk mengurai seluruh
rencananya. "Suatu kebetulan bahwa aku mendengar seorang anak muda
bertempur dan bahkan lebih dari itu menjajagi sendiri laga
dengannya. Aku merasakan kehadiran seekor Naga perkasa
dalam setiap jurus geraknya. Jurus itu seperti jurus yang tampil
keluar dari dongeng masa kecil. Jurus yang diceritakan telah
menguasai tanah Yawadw?pa, dan telah menjelmakan mereka
yang memainkan jurus itu tampil sebagai Para Naga. Dari cerita
yang sama, aku mendengar bahwa Naga terakhir telah
menghilang begitu saja lewat dari dua generasi lalu. Entah
bagaimana, tiba-tiba ia menyeruak muncul dalam diri seorang
pemuda. Sesungguhnya, aku sendiri tidak asing dengan sang
pemilik jurus itu sebelumnya... Sang pemilik jurus yang juga telah
meninggalkan sebuah ikat pinggang yang aku lihat melingkar di
311 pinggang anak muda yang telah menjadi lawanku." Arga menjadi
sangat terkejut manakala orang tua itu mengatakan mengenal
ikat pinggang yang ia kenakan.
Setelah berkata demikian, orang tua itu menggerakkan tangan
kanan dan mengambil sesuatu dari balik baju. Sebuah gelang
laki-laki berwarna perak yang dua ujungnya tidak menyatu
melainkan terpisahkan. Terpisah oleh dua buah bulatan gepeng
sebesar kancing. Ia pun memberikan gelang itu kepada Kanistha,
cucunya, untuk menyerahkan benda itu kepada Arga. Sosok
ramping berpenampilan laki-laki itu pun berjalan ringan menuju
pemuda yang dimaksudkan Eyangnya.
Arga menjadi tergetar. Tergetar bukan karena benda yang akan
diterima, melainkan karena orang yang membawa benda itu,
yang telah ia kenali bukan seorang pemuda melainkan seorang
23 gadis. Gadis dalam penampilan busana laki-laki. Namun,
tampilan itu tidak kuasa untuk menutupi pesona kecantikannya.
Jantung Arga semakin berdebar seiring dengan makin
mendekatnya orang itu, dan ketika ia menerima benda yang
diberikan kepadanya, tercium wewangian khas seorang gadis
yang sangat halus. "Anak muda, apakah engkau mengenali benda itu. Sebuah
gelang dari perak". Saat benda itu telah berada di tangan Arga,
sebuah pertanyaan dinyatakan oleh orang tua itu.
Arga pun mengamati benda itu. Benda yang berupa sebuah
gelang laki-laki. Yang kemudian memukau perhatian adalah dua
bulatan gepeng sebesar kancing di masing-masing ujung gelang
itu. Di sana tertera dua ukiran berupa gambar serupa. Dua ukiran
itu sangat ia kenali. Ukiran itu serupa dengan ukiran yang tergurat
pada timang yang ia kenakan. Timang yang ditemukan di dalam
312 gua tempat Persemayaman Terakhir Naga Branjangan. Dan
gambar itu juga serupa dengan gambar sampul dari Kitab Naga
Semesta. Lama Arga tercenung dengan apa yang sedang
dipegang. "Agaknya, benda ini merupakan benda istimewa dari
orang tua itu, dan itu memiliki kaitan dengan Naga Branjangan."
Renung Arga. Pemuda itu terhanyut dalam pikiran untuk merabaraba hubungan antara Eyang
Kawiswara dengan Naga Branjangan. Orang tua itu membiarkan Arga beberapa saat
tenggelam dalam pemikiran, dan kemudian ia melanjutkan
perkataan. "Pemilik terakhir jurus yang telah menjelmakan seseorang
menjadi bayang-bayang seekor Naga, tidak lain adalah Buyutku.
Kakek dari ayahku. Tiga generasi sebelum diriku. Gelang itu
merupakan tanda dari pemilik terakhir jurus para Naga."
Keterkaitan antara sesuatu yang telah dimilikinya dengan
Pangeran Sepuh itu mulai sedikit dimengerti oleh anak muda itu.
"Menurut apa yang aku dengar, beliau pada masa hidupnya tidak
hanya berdiri sebagai pendekar utama melainkan juga salah satu
penguasa di tanah Yawadw?pa. Penguasa yang pernah
bersanding dengan pendiri Bhumi Mataram, Raka i Mataram Ratu
Rajawali Hitam 9 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Wanita Gagah Perkasa 13
^