Pencarian

Seratus Hari 1

Seratus Hari Karya Nein Arimasen Bagian 1


SSSSEEEERRRRAAAATTTTUUUUSSSS HHHHAAAARRRRIIII
Penulis: Nein Arimasen Bagian 1 Buku-buku Baru "Ayo kita ke tokonya Paman B"cher!" ucap seorang anak kepada
teman-temannya yang sebagian sedang duduk berdiskusi dan yang
lain tampak asik membaca di meja besar yang berdiri di selasar
sebuah gedung tua. "Wah, ada buku baru ya?" ucap teman sang anak yang langsung
antusia begitu kata 'buku' menyentuh gendang telinganya.
"Pastilah!" ucap rekan yang lain. "Ini 'kan hari Selasa pertama awal
bulan, hari di mana buku-buku baru diantara ke toko Paman B"cher,"
tambahnya cepat sebelum teman-temannya berkesempatan menyahuti.
"Ayo, ayo!" seru yang lain. Dan bergegas mereka beranjak dari sana
menuju ke sebuah toko buku yang umumnya dikenal orang sebagai
Toko Buku Paman B"cher.
Diantara banyak anak tersebut tampak seorang yang terlihat agak
sedih walaupun sama-sama bersemangat hendak melihat buku-buku
baru apa saja yang baru turun di toko tersebut. Ia bernama Arme.
Arme dan kawan-kawannya adalah murid-murid sebuah perguruan
tulis-menulis, yang lulusannya secara umum berkarya di bidang
kesusastraan. Tepatnya sebagai penulis.
"Hei Arme, kenapa engkau tidak terlihat agak sedih?" tanya seorang
kawannya. Saat mereka berjalan bergegas ke tujuan mereka, tak luput
dari pemantauannya bahwa temannya ini terlihat agak sedih.
"Ehhh, tidak..," ucap Arme cepat. Ia tidak ingin orang tahu
permasalahannya dan dikasihani. Dengan cepat ia memaksa untuk
merubah suasana hatinya dan tersenyum sambil berkata, "Ayo kita
bergegas, nanti telat kita mendapat kabar buku-buku yang baru
datang." Kawannya mengangguk cepat. Keduanya pun segera memacu langkah
mereka mengejar teman-teman mereka yang telah setombak dua
berjalan di depan mereka. Berlari kecil mungkin lebih tepat bila dilihat
dari langkah-langkah lebar dan juga cepatnya langkah mereka, serta
jarangnya kedua kaki menapak secara bersamaan di atas jalan beralas
batu yang sedikit berdebu.
Arme hanya punya satu kekuatiran: tigaan. Ia tidak punya cukup
banyak tigaan untuk membeli buku-buku. Dari satu angkatannya, ia
adalah yang paling miskin. Walaupun demikian karena orang-orang
yang ingin menjadi sastrawan umumnya telah membaca banyak ujar-
ujar kuno dan juga buku-buku perihal budi pekerti, mereka tidak
membedakan orang berdasarkan kekayaannya. Tapi meskipun
demikian kadang Arme merasa minder bukan karena ia berpakaian
lebih sederhana dari yang lain, akan tetapi ketidakmampuannya untuk
membeli buku-buku yang menarik perhatiannya.
Ia kadang sampai mengilar demi melihat teman-temannya dapat
dengan mudah membeli buku dan melahapnya dari kulit muka sampai
kulit belakang. Ia pun mendapat kesempatan dengan dipinjamkan, tapi
tentu saja sudah beda rasanya, tidak lagi terkini dalam merasakan
wacana dalam buku baru tersebut. Tapi Arme tidak mengeluh. Sudah
beruntung dapat bersekolah di sini dan akan tetap mengejar cita-
citanya menjadi sastrawan dan menulis cerita yang dapat membuat
kehidupan ini berubah, terutama kehidupan orang-orang kecil seperti
dirinya. Dan sudah tentu kisah-kisah yang dapat terjangkau oleh
siapapun yang ingin membacanya.
Seorang rekannya, yang barusan mendapatinya terlihat sedih, bernama
Reiche. Reiche inilah yang sering meminjamkan buku-buku barunya
kepada Arme. Ia menyukai rekannya yang miskin ini karena
pandangannya yang luas dan cara melihat isi suatu buku yang kadang
lain dari yang lain. Tidak membeo dari hasil pendapat orang. Padahal
buku yang mereka baca adalah buku yang sama. Perbedaan tingkat
penghidupan dan pemahamanlah yang menyatukan kedua anak
tersebut. "Paman B"cher!!" sorak mereka saat tiba di depan tokok buku yang
dimaksud. Segera seorang tua keluar dengan senyum merekah. Sudah diduganya
para langganan ciliknya yang setia akan tiba hari ini. Hari di mana
buku-buku baru dari Kota Kern dikirim. Segera ia mempersilakan
mereka semua masuk dan menjelajahi kulit muka dan judul-judul
buku baru yang sengaja dipajangnya di atas sebuah meja besar dekat
kaca depan tokonya. Suasana pun segera sunyi. Hanya suara kertas-kertas halaman buku
dibalik-balik. Berpasang-pasang mata tampak liar dan cepat
menjelajahi berbaris-baris kata-kata dalam kalimat. Tampak wajah-
wajah berseri atau berkernyit dahi setelah membaca ringkasan buku-
buku baru tersebut. Bagian 2 Kebaikan Sahabat dan Seorang Tua
"Sudahlah, ambil saja..!" ucap Reiche sambil menyodorkan sebuah
buku ke dalam tangan Arme kawannya.
"Tapi...," ucap temannya yang merasa tidak enak dengan pemberian
tersebut, walaupun ia tahu pemberian itu dilakukan dengan tulus oleh
sahabatnya itu. Melihat ketidaknyamanan temannya itu segera Reiche berpikir keras,
lalu ucapnya, "Baiklah.., ini bukan pemberian tapi upah. Jika engkau
bisa melaksanakan tugas yang aku minta, buku ini untukmu. Bila
tidak, akan aku ambil kembali. Setuju!"
"Eh.., tentu! Tapi sejauh tugas itu bisa aku laksanakan..," jawab Arme
yang masih agak bingung dengan perkataan sahabatnya yang tiba-tiba
memiliki 'tugas' untuknya.
"Engkau harus membaca buku itu dan menuliskan rangkumannya
kepadaku. Terserah jangka waktunya, tapi harus kurang dari sebulan.
Jika dapat, berikan rangkuman itu dan bukunya untukmu. Bila gagal...,
ya jangan gagal ya!" ucap temannya itu dengan mimik yang serius.
"Te..rima kasih!!" ucap Arme yang menyadari bahwa 'tugas' itu hanya
diada-adakan untuk membantunya menjaga harga dirinya. Tugas
untuk membaca suatu buku yang ingin ia baca dan membuat
rangkumannya, itu bukan tugas sebenarnya. Ia semakin berterima
kasih dan kagum atas siasat sahabatnya yang terlihat cerdik itu. Untuk
soal kecerdikan meman Reiche tidak ada lawannya di kelas mereka.
"Dua minggu..., aku akan selesaikan tugas itu dua minggu!!" ucap Arme
yakin. Keduanya pun tertawa gembira. Lepas sudah beban masing-
masing, yang satu ingin memberi dan yang satu tidak ingin diberi
dengan cuma-cuma. Begitulah kedekatan dan persahabatan kedua
anak yang berguru di perguruan tulis-menulis tersebut.
Merekapun berpisah dalam suatu simpang jalan. Armee menuju ke
satu arah sedangkan Reiche menuju ke arah lain yang berlawanan.
Menari-nari dalam jalan dan hatinya Arme bergegas pulang. Saking
gembiranya sampai ia tidak melihat bahwa ia hampir saja melanggar
seorang tua yang sedang berjalan dalam arah yang berpotongan
dengan dirinya. "Hee.., hati-hati, nak!" ucap orang tua itu perlahan.
"Aduh.., maaf.. maaf!" ucap Arme sambil menyesali jalannya yang tidak
berhati-hati. "Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka 'kan?" berkata orang
tua itu lagi dengan kali ini sambil tersenyum. Rupanya ia memaklumi
keriangan anak yang hampir menabraknya itu.
"Maaf paman, saya mohon diri dulu.., hendak pulang," kata Arme
kemudian. Entah bagaimana ia merasa bahwa orang tua itu
memperhatikannya dengan sangat. Ia merasa lebih baik bila ia cepat-
cepat berlalu dari sana. "Silakan.. silakan!!" ucap orang tua itu sambil terus menatap Arme
yang sekarang berjalan bergegas-gegas dan hilang di pengkolan sana.
Gumamnya kemudia, "Masak sih anak itu yang dimaksud" Tapi.. boleh
jadi.." Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Perlahan-lahan ia menyerat
tubuhnya yang telah tua dan renta itu. Sambil sekali-kali ia berbicara
pada dirinya sendiri, mengangguk-angguk dan kemudian menggeleng-
gelengkan kepalanya, seperti sedang mengiyakan suatu pemikiran dan
menentangnya sendiri. Tak sadar bahwa di pengkolan sana Arme mengintipnya dari pojokan,
tersembunyi tidak terlihat. Sang anak entah mengapa, merasa bahwa
orang tua yang hampir ditabraknya itu ada apa-apanya. Suatu saat
mungkin mereka akan bersilang jalan kembali.
Setelah orang tua itu berada cukup jauh, Arme pun berbalik
melangkah ke rumahnya sambil tak lupa membayangkan malam yang
akan diisinya dengan membaca buku yang menjadi 'tugas' baginya
untuk diselesaikan. Sekelebat bayangan dengan ringan melayang rendah di balik
rerimbunan di belakang sang anak. Langkah-langkah yang tadi
terseret-seret renta beralih jadi gerak terlatih sigap. Dalam dirinya si
bayangan bergumam, "Anak yang cerdik, mungkin benar adalah ia
yang dimaksud..." Sesaat ditunggunya sampai Arme lenyap dalam di
balik pagar rumahnya yang sederhana, pohon-pohon singkong diayam
dan tumbuh. Lalu sang bayangan segera berlalu dari sana, memikirkan
apa hal yang harus selanjutnya ia lakukan.
Bagian 3 Harapan Orang Tua "Ayah..., ayah...!! Lihat ini apa yang kau dapat..!!" ucap Arme segera
setelah ia masuk ke dalam rumahnya.
Tampak di dalam rumah yang hampir tidak berperabot itu seorang tua
sedang menanak nasi dan memasak sayur-sayuran untuk makan
malam anak dan dirinya. Ia hanya tersenyum saat mendengar teriakan
anak satu-satunya itu. Anak yang diharapkan kelak tidak akan seperti
dirinya, menjadi buruh lepasan perkebunan yang makan hari-harinya
benar-benar di tangan para pemilik kebun. Dari satu hari ke hari lain
pindah dari satu kebun ke kebun lain. Sukur-sukur ada pemilik kebun
yang cukup baik sehingga pulangnya ia dibekali dengan makanan baik
matang maupun mentah. Bila tidak, cukup ia membawa uang
secukupnya yang kadang habis dibelikan makan untuk hari itu. Jika
bersisa, ditabungnya untuk dibelikan sandang anaknya dan keperluan
lain di rumah itu. Untuk sekolah anaknya, untunglah ada peraturan yang membantu
anak-anak yang kurang mampu akan tetapi cerdas. Syukur kepada
Sang Pencipta bahwa Arme anaknya adalah anak yang cerdas. Apa-apa
yang dibacanya tak pernah ia lupakan. Ingatannya itulah yang dulu
membantunya diterima di perguruan tulis-menulis tempat ia sekarang
menuntut ilmu. "Apa yang ada ditanganmu itu, nak" Pasti buku ya!" tanya ayahnya.
Kadang ia sedih karena ia tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya
diluar makan dan pakaian.
"Aku memperoleh buku baru, ayah! Tapi bukan pemberian melainkan
upah pekerjaan..," ucapnya bangga.
"Upah.." Maksudmu?" tanya ayahnya balik dengan tidak mengerti.
Lalu Arme pun menjelaskan perihal perjanjiannya dengan Reiche
sahabatnya yang memintanya untuk menuliskan ringkasan buku baru
itu dalam waktu dua minggu. Bila selesai pada waktu tersebut, ia boleh
memiliki buku itu. "Hahahaha.., pintar sahabatmu itu!" ucap ayahnya gembira, "baik hati
dia dan juga tetap menjaga muka orang."
"Iya, ayah! Menurutku juga demikian," jawab Armee.
"Perhatikan baik-baik sahabatmu itu, nak. Jaman susah ini sudah
jarang orang seperti dia. Suatu saat ia pasti jadi orang 'besar' bila tetap
bisa menjaga sikap seperti itu," ucap ayahnya.
"Maksud ayah?" tanya anaknya balik. Ia sudah sering membaca orang-
orang besar dalam sejarah, akan tetapi tidak menangkap apa yang
dikatakan ayahnya itu mengenai sahabatnya Reiche.
"Bukan orang besar seperti dalam buku-bukumu, nak! Melainkan orang
yang berjiwa besar, menghormati orang lain bukan karena kedudukan
dan kekayaan, serta berupaya membantu orang dengan tidak
merendahkan atau melalui belas kasihan. Orang-orang seperti itu yang
banyak dibutuhkan oleh tlatah ini," jelas ayahnya.
Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan ayahnya. Ayahnya
tidak bersekolah tetapi pergaulannya luas. Dari omong-omong dengan
orang-orang di pasar, warung dan ladang ia mendapat banyak
informasi yang tidak diperolhe Arme di sekolah. Informasi yang hanya
dibicarakan di kalangan rakyat jelata. Jika orang besar adalah seperti
itu, adalah sosok yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat untuk
menjadi pemimpin dari mereka.
Pernah sekali ayahnya mengatakan bahwa kita harus luwes dalam
menuntut ilmu, bisa dari sekolah dan buku, akan tetapi bisa juga dari
orang-orang di sekitar kita. Pendidikan itu tak ada batasnya. Jangan
pernah meremehkan orang yang tidak bersekolah, karena bisa saja
mereka memiliki pengetahuan-pengatahuan yang tidak dimiliki oleh
orang bersekolah karena belum pernah dituliskan. Orang-orang
sekolah juga membaca buku yang merupakan hasil dari orang-orang
yang berbuat. Orang-orang yang berbuat merupakan orang-orang
kebanyakan. Rakyat jelata.
Oleh karena itu Arme amat menghormati ayahnya. Dari sekolah dan
ayahnya serta buku-buku yang dibacanya ia mulai memahami
kehidupan di sekitarnya sampai ia bercita-cita mengubahnya dengan
menulis suatu cerita nanti. Cerita yang bisa menggugah siapa saja
yang membacanya. "Jika begitu, mulailah tugasmu itu! Nanti ayah panggil bila makan telah
siap," usul ayahnya.
Arme pun mengangguk mengiyakan. Terasa sekali rasa kasih ayahnya.
Tidak seperti kebanyakan orang tua-orang tua yang kurang mampu,
ayahnya tidak memaksa ia untuk membantu bekerja di kebun.
Menurutnya tak baik bagi seorang anak kecil seperti Arme langsung
bekerja, ia harus lebih dulu belajar. Bila telah cukup ilmunya, barulah
ia bekerja. Dan ayahnya mengharapkan Arme untuk tidak menjadi
buruh sepertinya melainkan bekerja dalam bidang tulis-menulis.
Menyampaikan cerita-cerita buruh-buruh seperti dirinya agar orang-
orang di pusat tlatah, di kota Kern, tahu bahwa tidak semua tempat
indah-indah seperti di sana. Agar mereka mau turun ke desa-desa dan
memperhatikan nasib para rakyatnya sendiri.
Bagian 4 Pertemuan Kedua Hari ini tepat dua minggu sejak Arme mendapat 'tugas' dari Reiche
temannya untuk meringkas buku baru yang dibeli di toko Paman
B"cher. Dengan berlari-lari kecil ia menuju sekolahnya, perguruan
tulis-menulis untuk ikut pelajaran hari ini. Bukan pelajaran hari ini
yang menarik hatinya, melainkan selesainya tugas membuat ringkasan
yang diberikan Reichelah yang menjad penyebabnya. Ia telah membuat
rangkuman atas buku itu dan sekarang akan menyerahkannya kepada
kawannya itu. Sebagai upahnya ia boleh memiliki buku tersebut.
Bagi Arme itu adalah tugas yang menyenangkan, membaca buku dan
membuat ulasan mengenai hal itu. Ringkasan, sehingga orang tidak
perlu membaca menyeluruh buku tersebut bila hanya ingin tahu
isinya. Dan itu pun telah diketahui oleh Reiche bahwa Arme pandai
membuat ringkasan. Pandangannya mengenai isi suatu buku yang juga
lain dari anak yang lain membuatnya semakin mengagumi temannya
itu. Walau kadang sering bentrok dengan gurunya dalam hal
perpendapat, tetapi Arme tetap dikagumi oleh Reiche.
Tiba-tiba "Bugggg!!!" sesosok beban terasa dilanggar oleh Arme. Saat ia
berbalik tampak olehnya seorang tua tersungkur di jalan batu yang
berdebu itu. "Aduh paman, maaf-maaf!" katanya cepat sambil membantu orang itu
berdiri.

Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa..., tidak apa-apa!" ucap orang itu sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang sudah tua ini yang tidak
melihat jalan.." "Err.. aku juga.. tidak melihat jalan, paman," ucap Arme malu. Ya tadi
saking ia bersemangat ia sempat tidak memperhatikan jalan.
Walaupun ia sedikit merasa aneh, bagaimana paman yang tersungkur
itu bisa tiba-tiba muncul dari jalan yang sepi itu dan langsung
terlanggar olehnya. "Hahahahaha!!" tiba-tiba meledak tawa orang tua itu, "Engkau jujur
sekali, nak. Aku suka sikapmu itu, terus terang!"
Keanehan kemunculan orang tua itu yang tiba-tiba, yang tadi masih
menjadi pemikirannya lenyap ditelah oleh kegembiraannya yang
segera menular kepada Arme.
"Itu 'kan wajar, paman. Masak hal seperti ini saja pake berhohong?"
tanyanya balik. "Benar-benar, engkau benar, nak!" ucap orang tua itu mengangguk-
angguk. "Eh, sepertinya saya sudah pernah melihat atau bertemu dengan
paman?" tanyanya tiba-tiba saat ia teringat hari di mana ia baru
memperoleh buku yang ada dalam tangannya itu.
"Di mana?" tanya orang itu balik, "salah kali engkau?"
"Tidak, aku yakin bahwa itu dirimu, paman. Jika tidak salah, persis
seperti keadaan hari ini. Tapi waktu itu aku hanya hampir
menabrakmu. Belum melanggarmu seperti sekarang ini," demikian
jelas Arme kepada orang tua itu.
"Mungkin juga.. mungkin juga..," ucap orang tua itu sambil terlihat
berpikir-pikir dengan megerutkan dahi di mukanya yang sudah penuh
kerut-kerut ketuaan. "Aku sering lupa akhir-akhir ini," katanya
kemudian. "Wajah, paman. Orang tua katanya memang begitu. Itu sudah alami,"
ucap bocah itu seakan-akan menggurui orang yang malah lebih tepat
menjadi gurunya dari sisi umur.
Mengangguk-angguk kembali orang tua itu, seakan-akan ia sedang
mendapat petuah dari gurunya. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Aku lihat
engkau suka membaca. Benar, tidak?"
Arme yang tidak menduga pertanyaan itu, tanpa sadar mengangguk.
"Bagus kalau begitu. Aku punya sebuah buku yang menarik, tapi tidak
untuk dipinjamkan. Kalau mau nanti aku kasih pinjam untuk dibaca di
tempat, bagaimana?" ucapnya kemudian setelah berpikir-pikir sesaat
dengan terdiam. "Buku apa, paman" Kok sulit sekali! Jika tidak ingin dipinjamkan, ya
sudah..!" kata bocah itu dengan cueknya.
"Ehhh.., ini buku menarik. Pasti engkau akan tertarik karena sulit
mengartikannya, lebih tepat membacanya," ucapnya kemudian.
"Sulit mengartikannya?" ucap Arme. Minatnya pun tumbuh mendengar
hal itu. Jarang ada buku yang sulit untuk dibaca walaupun ia tidak
selalu dapat mengerti. "Baik kalau begitu, nanti sore kita ketemu di tepi hutan sana, dekat
sungai kecil yang ada pohon besar yang tumbang dan menjadi
jembatan," ucap orang tua itu.
"Saya tahu tempatnya, paman!" ucap Arme kemudian. "Baiklah, saya
akan datang." "Tapi sendiri, jangan bawa siapa-siapa!" ucap orang itu kemudian.
"Mengapa?" tanya Arme balik. Walaupun demikian ia tidak mencurigai
orang tua itu. Terasa bahwa orang itu tidaklah bermaksud jelek
terhadap dirinya. Intuisi seorang anak kecil.
"Nanti aku ceritakan," ucap orang itu kemudian, "sekarang lebih baik
engkau sekolah dan serahkan rangkuman itu kepada temanmu..."
Arme yang saat itu sedang menunduk karena bukunya tiba-tiba
meleset jatuh dari tangannya, seketiga melengak begitu mendengar
'rankuman'. Tapi saat ia menegadahkan kepalanya orang tua itu telah
lenyap dari pandangan matanya. Ke empat penjuru angin ia melihat
tak tampak pun sisa-sisa kehadiran orang itu.
Dengan mengangkat bahunya tanda tak mengerti, Arme pun
melanjutkan perjalanannya ke sekolahnya. Perguruan tulis-menulis
sudah tampak di kejauhan, di ujung jalan di mana ia saat itu berada.
Bagian 5 Di Tepi Hutan Bergegas Arme berjalan sepulangnya dari ia belajar hari itu di
perguruan tulis-menulis. Biasanya ia pulang bersama-sama dengan
Reiche, sahabatnya, berjalan bersama-sama sampai persimpangan
jalan menuju rumah masing-masing tiba. Hari ini ia beralasan ada
keperluan sehingga perlu buru-buru pulang. Untung saja Reiche pun
mempunyai hajat yang mirip, yaitu kenalan ayahnya akan berkunjung
sore ini. Orang yang boleh dikatakan sebagai pamannya. Dengan
demikian Reiche tidak terlalu mempermasalahkan bahwa mereka hari
ini tidak pulang bersama-sama.
"Sebentar lagi sampai..," ucap Arme pada dirinya sendiri. Entah
mengapa, ia bersemangat sekali akan tawaran orang yang baru dua
kali ditemuinya itu mengenai sebuah buku yang tidak saja sulit
dimengerti tetapi juga sulit dibaca. Suatu tantangan yang tidak akan ia
lewatkan begitu saja. Ringkasan yang ia berikan kepada Reiche, sesuai dengan pesanannya,
memuaskan temannya itu. Suatu ringkasan yang rapi dan terstruktur.
Gembira rekannya itu menerima 'laporan' dari Arme. Demikian pula
dengan sang penulis rangkuman, upahnya pun sudah berada di
tangannya. Sebuah buku baru yang dua minggu lalu mereka beli
bersama. "Sebuah buku baru..," demikian gumam Arme yang memang minat
bacanya gila-gilaan. Teman-temannya, sesama murid perguruan tulis-
menulis sudah pasti memiliki minat baca di atas kebanyakan orang,
akan tetapi Reiche ini lebih dari itu. Untung saja ia terhalang kendala
ekonomi, bila tidak, sudah dipastikan rumahnya akan penuh dengan
tumpukan buku-buku. Akhirnya langkah-langkah kecil Arme membawanya tiba di tepi hutan
yang ada di desanya. Dicarinya dengan mata kecilnya sungai yang ia
tahu berada di suatu tempat dekat situ yang segera ditemukannya.
Sekarang ia hanya perlu menyusurinya sedikit ke hulu sampai bertemu
sebatang pohon yang tumbang, yang digunakan sebagai jembatan
untuk menyeberang. "Nah itu dia..," gumam sang bocah. Segera ia celingak-celinguk mencari
orang yang berjanji akan menemuinya di tempat itu. Tapi tak sesosok
bayanganpun ada. "Apa di seberang sana ya...," ucapnya lagi pada dirinya sendiri. Ya
mereka, ia dan orang tua itu, memang tidak mengatakan di sisi mana
mereka akan bertemu di tempat ini.
Tapi sebelum ia sempat menaiki batang kayu dari pohon tua yang
telah rebah melintang di tengah sungai itu, tampak si orang tua
dengan santainya duduk di tengah-tengah batang pohon dan
tersenyum kepadanya. "Eh, paman... tadi 'kan...," ucapnya bingung.
"Maksudmu tadi paman belum ada di sini?" ucapnya jenaka sambil
memperhatikan wajah bocah yang kebingungan itu.
"Err.., iya begitu maksudku," ucapnya masih dengan wajah sedikit
bingung. "Tidak, sedari tadi paman telah berada di sini. Hanya mungkin engkau
saja yang tidak melihat aku duduk di sini," ucap orang tua itu serius.
Arme terdiam sambil mengingat-ingat apakah memang tadi ia agak
melamun sehingga tidak benar-benar memperhatikan apakah memang
tidak ada orang yang duduk di tengah-tengah batang pohon melintang
itu. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak, paman.
Saya yakin tadi. Paman belum berada di sini saat saya datang."
"Yakin?" tanya orang tua itu lagi. Dan sebelum Reiche berbantahan,
saat ia mengedipkan mata, suatu gerakan normal mata yang mulai
kering, ia tidak lagi melihat orang tua itu duduk di tempatnya semula.
"Paman...?" tanyanya.
Dan kembali saat ia mengedipkan mata secara alami, orang tua itu
muncul kembali. "Bagaimana bisa...?" tanyanya ingin tahu. Benar-benar tertarik ia pada
peragaan menghilang dan muncul yang diperagakan orang tua itu di
hadapannya. "Mau mempelajarinya?" tanya orang tua itu kemudian setelah
memberikan beberapa saat Reiche mencerna peragaan 'ilmu' yang baru
ia lakukan. "Mau, paman!" ucap bocah itu dengan sorot mata yang bersemangat.
"Baik, jika begitu. Kita bisa segera mulai," ucap orang itu. Ia pun
berjalan dengan asal di atas batang pohon melintang yang telah
ditumbuhi lumut itu. Tak terpeleset ataupun tergelincir. Segera ia tiba
di depan sang bocah. Bagian 6 Menanti Mata Berkedip "Ilmu dari gerakan yang tadi, yang aku peragakan itu dinamakan
Menanti Mata Berkedip," jelas orang tua itu. Saat itu ia telah duduk
bersama-sama dengan Arme di atas suatu batu ceper yang banyak
terdapat di pinggir sungai kecil berair jernih di pinggir hutan itu.
"Menanti Mata Berkedip" Nama yang aneh, paman," tanggap Arme
lekas. "Engkau senang nama itu?" tanya orang tua itu balik.
Bocah itu mengangguk sambil tersenyum.
"Dinamakan demikian untu menunjukkan saat yang penting di mana
gerakan tersebut baru tepat untuk dilakukan," jelasnya kepada sang
bocah yang duduk dan memperhatikan penjelasannya, "sama seperti
Pukulan Menghembus Napas dan Langkah Bergesar Menahan Napas."
Lalu dijelaskan oleh orang tua itu bahwa apabila gerakan tersebut
tidak dilakukan sesuai dengan arti tersirat dari namanya, tidak akan
maksimal hasil yang diperoleh.
Mengagguk-angguk saja bocak itu mendengar penjelasan orang tua itu,
orang yang bahkan belum ia kenal namanya dan mungkin juga tidak
tahu namanya. Tapi mengapa mereka berdua telah panjang lebar
bercerita ke sana-ke mari seakan-akan telah kenal lama.
"Nah, untuk awalnya ini buku yang aku janjikan," ucapnya sambil
mengangsurkan sejilid kitab kusam yang berisikan tulisan yang rapih.
Tulisan yang tertera berupa lambang-lambang yang Arme sendiri
belum pernah melihat. "Dengan membaca ini, pertama-tama kamu
hapalkan saja dulu, kita akan mulai gerakan menghilang tadi,"
lanjutnya. "Tapi, paman... Bagaimana cara membaca tulisan-tulisan aneh ini?"
kata Arme sambil menunjuk huruf-huruf yang tidak dikenalnya.
"Ah, aku lupa! Itu ada cara membacanya," jawab orang tua tersebut.
Lalu ia pun menunjukkan kotak-kotak dan silangan yang diisi oleh
angka dan huruf yang masing-masing menandakan padanan huruf-
huruf itu dengan huruf-huruf yang dikenal oleh Arme dan orang-orang
secara umum. "Ini semacam sandi, paman?" tanya bocah itu. Ia pernah membaca
bahwa orang-orang yang ingin bertukar pesan tanpa orang lain tahu
dan dapat mengartikan pesan mereka menuliskan beritanya dalam
huruf-huruf sandi yang kuncinya hanya diketahui oleh kedua pihak
yang bersangkutan. Mengangguk orang tua itu meniyakan, "Pintar kamu!"
Saat Armee mulai membaca, ia telah dapat menghafal kata-kata
tersebut sehingga dapat segera membaca, orang tua itu
menghentikannya, "Jangan kau lafalkan dengan bahasa biasa, nanti
ada yang mendengar. Lafalkan dengan ini!" Ia kemudian mencoret-
coret kota-kotak lain yang menjelaskan bagaimana huruf-huruf sandi
tersebut 'dibunyikan'. Mengangguk-angguk Arme atas petunjuk itu. Keanehan buku yang
dibaca, adanya sandi membaca dan juga melafalkan rupanya tidak
mengusik keingintahuan anak itu. Hal baru yang menarik telah
menyedot semua perhatiannya sehingga malah tidak bertanya lebih
jauh mengapa harus ada cara-cara untuk merahasiakan isi kitab
tersebut. "Baik, engkau sudah bisa bagian pertama. Lafalkan sekali lagi dan
hafalkan!" perintah orang tua itu.
Setelah mendengar Arme dapat mengulanginya dengan baik dan tanpa
salah, oran tua itu kemudian mengambil kitab tersebut dan
menyimpannya ke dalam sela bajunya. Lalu katanya, "Sekarang kita
bagaimana gerakan dari bagian pertama itu."
/ u L ) o c 7 n ^ -- delapan arah dan satu pusat
o, '/ o' 'L ,L | )' '/ ), '/ ,o | o, 'u )' '/ ,u ,L '/ )' | ), 'L ,L 'L o' '/ )' -- tarik napas
tenangkan pikiran ... Demikian Armee membacakan apa yang telah dihafalkannya dari
bagian pertama kitab tersebut. Disusul kemudian orang tua itu
memperagakan, menunjukkan apa arti dari halapan tersebut,
bagaimana pesan tersebut harus diwujudkan dalam gerakan dan juga
tarikan napas serta penyatuan pikiran.
Terkejut juga orang itu demi melihat Arme dengan tanpa kesulitan
berarti dapat menirukan apa yang ia tunjukkan. "Mungkin benar
bahwa ini adalah anak yang dimaksud," gumamnya tak jelas. Arme
yang sedang berkonsentrasi serius tak menyadari gumaman orang itu.
"Selesai untuk hari ini!" ucap orang itu setelah beberapa saat mereka
melatih gerakan tersebut. "Latihlah sering-sering, tapi jangan sampai
dilihat orang. Nanti paman kasih kabar kapan kita kembali bertemu
dan di mana." Sebelum Arme sempat berkata lebih lanjut orang tua itu pun telah
menghilang saat matanya sekejap berkedip. Lamat-lamat didengarnya
suara, "Setelah berlatih seminggu tubuhmu akan siap untuk gerakan
'menghilang'. Jangan buru-buru! Sampai ketemu lagi..."
Kembali Arme kagum akan menghilangnya orang tua itu. Tapi tidak
seperti tadi ia sudah tahu sedikit dasar ilmu tersebut dari kalimat-
kalimat yang dihapalkannya. Orang tua itu memanfaatkan kebiasaan
mata, yang secara alami berkedip, untuk menutupi geraknya. Yang
sulit adalah bagaimana kita tahu kapan mata orang yang hendak
ditinggalkan itu akan berkedip. Dan ia belum bisa untuk itu. Gerakan
yang baru bisa dilakukan oleh Arme adalah Merendah Tak Dianggap.
Suatu gerakan dasar untuk bersembuyi ke arah bawah dari
penglihatan orang dengan memanfaatkan keterbatasan sudut pandang
mata manusia. Bagian 7 Tamu dari Jauh Sementara itu di sebuah rumah besar, bila tidak dikatakan terbesar di
daerah itu, tampak seorang anak bergegas pulang. Tadi siang selepas
bersekolah ia tidak lagi seperti biasanya bersama-sama dengan
sahabat karibnya berjalan pulang bersama dan kadang menghabiskan
waktu dengan bercerita tentang buku-buku yang mereka baca di
bawah pohon teduh atau di pinggir danau jernih.
Ya, hari ini ia harus cepat pulang. Begitulah pesan ayahnya sebelum ia
pergi belajar pagi itu ke perguruan tulis-menulis. Akan ada kenalan
ayahnya, yang telah dikenalnya baik, sampai ia memanggilnya paman,
yang akan berkunjung. Setelah sekian lama tidak melihat dirinya, sang
keponakan, sudah tentu sang paman amat ingin bertemu. Dan karena
kunjungannya singkat, tidak sampai sore hari, haruslah ia sebagai
yang dikunjungi siap sedia segera setelah bersekolah.
"Aku sudah pulang...!!" teriak bocah tersebut saat ia memasuki
rumahnya yang megah untuk ukuran orang di tempat itu. Gapura
menghadang orang masuk ke dalam pekarangannya. Langit-langit yang
tinggi dan dinding batu berukiran menghias rumahnya yang kontras
dengan bangunan terbuat dari kayu dan bambu yang tampak di
sekelilingnya. Masih dalam lingkungan pekarangan yang berpagar
tinggi dan bergapura itu.


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nak Reiche sudah ditunggu bapak dan tamunya di pendopo..," ucap
seorang tua yang bekerja sebagai pengasuhnya di rumah itu.
"Baik, paman. Saya ganti baju dulu," sahutnya gembira. Rupanya sang
tamu yang ingin bertemu dengannya telah lama tiba. Segera ia berganti
baju yang lebih rapih dan masih bersih, khusus untuk menyambut
tamu. "Memang sebaiknya begitu, nak!" ucap orang tua itu lagi sambil sedikit
membungkuk hormat. Ia pun meninggalkan anak asuhannya untuk
memberitahu kepada ayah sang anak bahwa anak asuhnya akan segera
muncul sehabis salin busana.
"Hahahaha!! Ini rupanya sekarang keponakanku Reiche..., sudah besar
engkau sekarang!!" tawa menggelegar dan ungkapan senang yang kasar
tampak membahana. Sudah tampak peringai tamu yang berkunjung
itu. Kasar akan tetapi jujur.
"Paman..!" ucap Reiche sambil sedikit menunduk hormat. "Apa kabar"
Saya lihat paman juga semakin 'besar'," ucapnya balik menggoda. Dan
memang sejak tidak lama bertemu sang tamu memang telah
bertambah subur. Kembali tertawa membahana menerjang ruang-ruang dari rumah
gedongan itu, menimbulkan gema dan gaung di sana-sini. Orang-orang
yang sedang bekerja di dapur atau kandang kuda dan sapi melengak,
tapi kemudian kembali bekerja setelah diberitahu bisik-bisik bahwa itu
hanya ketawa seorang tamu yang punya rumah.
"Aku dengar engkau sekarang telah bersekolah, Reiche. Di perguruan
tulis-menulis. Pintar nanti jadinya! Jangan seperti pamanmu ini, hanya
besar tenaga -- hahahaha," ucapnya ceplas-ceplos.
"Ya, paman!" mengiyakan saja Reiche atas wejangan singkat pamannya
itu. Sang paman yang berbadan besar dan subur itu tidaklah hanya
berisikan daging dan tulang, ia juga jago berkelahi. Ilmu beladiri dan
kanuragan dimilikinya, suatu hal yang mutlak dipelajarinya. Apalagi
jika melihat pekerjaan yang ditekuninya, mengantar kiriman barang.
"Ini, aku ada hadiah buatmu!" katanya sambil memasukkan tangannya
yang besar dan berbulu ke dalam kantong di dekat ia duduk. Tak lama
setelah mencari-cari keluarlah sebuah kitab kusam dan kumuh. Sebuah
kitab kuno. "Ini aku dapat sebagai bayaran suatu hantaran barang,
katanya bernilai tinggi," jelasnya, "aku terima karena teringat engkau,
Reiche, yang katanya bakal jadi sasterawan."
"Terima kasih, paman!" jawab Reiche yang segera matanya berbinar-
binar saat melihat kitab kuno tersebut. Suatu kitab kuno sebagai
bayaran menghantar barang. Bisa jadi memang suatu barang berharga
atau juga tidak. Bila yang terakhir, pastilah pamannya telah dibohongi
oleh langganannya itu. "Jaga baik-baik itu pemberian pamanmu," ucap ayahnya, "siapa tahu
itu benar-benar berharga dan bisa dijual kembali."
Reiche kembal mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum dibukanya
kitab itu. Ia masih menimbang-nimbang dan membayangkan apa yang
akan ditemui dibalik kulit muka dari buku yang kusam itu.
Setelah beberapa saat bercerita mengenai perjalanannya dan sang
paman juga menanyakan mengenai sekolahnya, akhirnya Reiche pun
diminta meninggalkan mereka berdua. Ada urusan pekerjaan yang
tidak menarik bagi anak kecil, demikian kata mereka. Bagi Reiche
sendiri ia tidak merasa tersinggung, ia lebih tertarik untuk mulai
membaca kitab barunya itu.
Sebelum ia beranjak dari pendopo tempat menerima tamu itu,
pamannya menanyakan apakah ia berminat untuk belajar ilmu
kanuragan darinya. Katanya, walaupun ia berminat jadi sastrawan tak
ada salahnya belajar satu dua jurus. Untuk menjaga diri katanya.
Reiche yang saat ini hanya senang membaca menolak dengan halus.
Sedikit terlihat kekecewaan di wajah sang paman. Ayahnya pun
menghiburnya dan mengatakan mungkin sekarang waktunya terlalu
cepat. Coba beberap tahun lagi, begitu usulnya. Seketika kembali tawa
tersebut membahana ke sana-ke mari. Dan Reiche pun mohon diri
untuk pergi ke kamarnya. Bagian 8 Kitab Kuno Bersandi Segera setelah tiba di kamarnya, Reiche pun menutup pintu kamarnya
dan menghempaskan diri di tempat tidurnya. Kayu terdengar berderit.
Setelah seperti menerawang dan mengatur napasnya, menenangkan
hatinya yang penuh dengan debaran keingintahuan, perlahan ia mulai
membuka kitab kuno pemberian pamannya itu.
"Seratus Hari" Judul yang cukup menarik untuk disimak tapi belum mengisyaratkan
apa isi buku tersebut. Sampulnya yang kusam hanya menyisakan judul
itu untuk di baca. Hiasan-hiasan dan tulisan kecil-kecil yang mungkin
dulunya ada tinggal sisa-sisanya saja. Tak lagi terbaca.
Beberapa halaman awal bercerita mengenai penulis kitab itu,
pengalaman dia sebagai pendekar sekaligus penulis cerita. Merantau
ke berbagai tempat. Bertempur dengan lawan dan bertanding dengan
kawan. Menuliskan kisah-kisahnya dan kembali merantau. Tertarik
juga Reiche atas kisah hidup yang terdengar bebas dan lepas seperti
itu. Terbang ke mana ia mau dan berdiam di mana ia merasa nyaman.
Tak terasa bagian cerita-cerita tentang sang penulis pun telah habis
dilahapnya. Segera ia membuak bagian baru yang dipisahkan dengan bagian
sebelumnya oleh beberapa lembaran kosong. Di awal bagian
berikutnya itu terdapa sebuah halaman mengawali yang berisikan
diagram-diagaram dengan lambang-lambang aneh. Lambang-lambang
yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Reiche.
Sesaat setelah pusing dan tidak mengerti apa-apa yang dituliskan di
sana, ia pun membuka lembarang-lembaran berikutnya. Tapi apa yang
ditemuinya kemudian malah membuatnya semakin bingung. Mulai dari
halaman tersebut sampai buku yang cukup tebal itu habis, hanya
tulisan-tulisan yang dibuat dari lambang-lambang aneh yang ada.
Tulisan-tulisan yang tidak bisa ia baca.
Dengan jengkel ia pun menghempaskan dirinya di atas tempat tidur.
Menutup matanya dan berusaha mengingat-ingat tentang pelajaran
bahasa-bahasa kuno yang pernah diajarkan di sekolahnya. Tiba-tiba ia
bangkit mencari-cari dalam rak buku di samping tempat tidurnya,
yang berisikan jika tidak puluhan mungkin ratusan buku, suatu buku
yang mungkin dapat membantunya membaca isi kitab tua yang baru
diperolehnya itu. Sesaat setelah mencari-cari, diambilnya sebuah buku dengan sampul
yang masih relatif terlihat baru apabila dibandingkan dengan kitab tua
di atas tempat tidurnya itu. Dibolak-baliknya buku itu dan ia pun
tersenyu. "Buku ini ditulis dalam bahasa sandi, bukan bahasa asing,"
ucapnya gembira, "sekarang aku hanya harus memecahkan sandi yang
digunakan dan kembal membacanya."
Terlarut dalam gembiranya ia pun mulai mencoba mengartikan
diagram-diagram, yang menurut buku rujukannya merupak kunci
untuk membaca sandi tersebut. Bolak-balik dicobanya untuk
mencocokkan jenis-jenis diagram dengan contoh-contoh yang ada. Ada
yang membolak-balik huruf, menerjemahkan lambang satu-satu ke
lambang baru. Membuat kotak-kotak dan mengisikan huruf-huruf
hidup saja. Huruf matinya ditebak belaka. Dalam bahasa tersebut tidak
banyak terdapat kata yang mirip sehingga cara tersebut dapat
dilakukan. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk sandi yang lain, yang
sayangnya tidak ada yang cocok dengan bentuk diagram seperti
dilukiskan dalam kitab tua tersebut.
"Baiknya kutanyakan saja pada Arme," tiba-tiba ia teringat pada
sahabatnya yang cerdik itu. "Tapi.. kalau ini benar-benar berharga.."
Akhirnya ia pun memutuskan untuk menyalin diagram-diagram
tersebut dan juga beberapa halaman contoh untuk ditunjukkan
kepada Arme temannya. Tidak semua buku akan ditunjukkannya.
Untuk itu ia akan mengatakan bahwa ia mendapat suatu teka-teki dari
pamannya yang butuh untuk dipecahkan. Jika Arme berhasil
memecahkan, akan ia serahkan bagian-bagian buku tersebut dalam
urutan yang acak sehingga rekannya tidak bisa mengartikan secara
utuh. Entah mengapa Reiche yang biasanya senang berbagi dengan
sahabatnya merasa bahwa kitab tua itu terlalu berharga untuk
diberikan kepada Arme untuk diartikan dan dibaca secara
keseluruhan. Mungkin keegoisan seorang anak belaka. Setelah
menyalin beberapa bagian lagi dan merekatkannya dalam urut-urutan
yang salah ia pun merasa lelah. Menyingkirkan pekerjaan yang baru
dilakukannya dan tak lama kemudian pun tertidur.
Tak dirasakannya ketukan perlahan oleh pengasuhnya yang hendak
membawakan makan siang. Sang pengasuh pun hanya masuk
sebentar, membetulkan letak tidur anak asuhnya, membereskan
kertas-kertas yang berserakan dan meletakkan makan siang di atas
meja. Lalu perlahan ia meninggalkan Reiche yang telah tertidur pulas
dan senyum di bibirnya. Bagian 9 Pertemuan Terakhir "Bagus!! Engkau sudah banyak kemajuan dalam beberapa minggu ini,"
ucap orang tua itu sambil memperhatikan gerakan-gerakan yang
dilakukan Arme. Mengangguk-angguk puas ia.
Bocah yang dipuji itu tampak kelelahan dengan napas yang terputus-
putus. Berat rupanya gerakan-gerakan dasar untuk 'menghilang' yang
diajarkan oleh orang tua itu. Orang yang belum mau dipanggilnya
sebagai guru, walaupun telah ia menurunkan ilmu-ilmunya kepada
bocah itu. "Jangan pikirkan sebutan-sebutan tak bermakna itu," ucapnya suatu
saat waktu Arme bermaksud memanggilnya sebagai guru. "Berlakulah
cerdik! Bila engkau suatu saat mendapat keuntungan dengan mengaku
guru kepadaku, gunakan. Bila sebaliknya, ingkari saja. Temanmu yang
memberimu 'tugas', seperti yang engkau ceritakan itu.., tirulah
kecerdikannya." Arme pun mengangguk-angguk mengiyakan walau ia tidak seratus
prosen setuju dengan pendapat orang tua yang berdiri di hadapannya
itu. Dari banyak kitab-kitab dituliskan bahwa kita harus menghormati
orang tua dan guru kita. Dan sebutan amatlah penting, karena dari
situlah sikap hormat ditumbuhkan. Tanpa sebutan yang menghormat
sulit sikap-sikap lain mengikuti.
"Untuk ukuran umurmu sekarang, engkau lebih maju dariku saat
belajar dulu," ucap orang tua itu setelah mereka sama-sama duduk di
atas suatu batu ceper yang banya terdapat di tepi sungai di pinggir
hutan tersebut. Orang tua itu menghentikan latihan hari itu karena
dilihatnya Arme telah cukup memahami dan juga sudah terlihat lelah.
Arme hanya mengangguk bangga. Pujian orang tua itu bukanlah
kosong. Dari sekian lama berinteraksi dengannya ia telah kenal sedikit
banyak perangai orang itu. Salah satunya adalah tak banyak peradatan
dan bicara apa adanya. "Kitab ini kuberikan kepadamu..," katanya tiba-tiba setelah terdiam
sesaat dan terlihat menimbang-nimbang apakah langkah yang
dilakukannya itu benar adanya.
"Tapi, paman..," jawab Arme tak mengerti. Selama ini orang itu benar-
benar menjaga kitab itu hati-hati. Ia bahkan hanya boleh membacanya
saat benar-benar duduk di depannya. Dengan bingung Arme menerima
kitab yang diangsurkan kepadanya itu.
"Aku...," ucap orang tua itu. Tak diselesaikannya percakapannya. Agak
ragu-ragu ia terlihat hendak menyampaikan sesuatu.
Hening pun mengisi suasana di antara mereka. Angin semilir bertiup
menyejukkan, menyejukkan tubuh-tubuh yang baru menjadi panas
akibat berlatih. "Beberapa saat yang lalu aku melihat seorang yang aku kenal,
berbedan besar dan gemuk, bertandang ke tempat ini. Seorang dari
masa laluku," ucapnya hati-hati, "Aku tidak tahu apa maksudnya.
Hanya mengurusi pekerjaannya atau ada hubungannya dengan aku
dan kitab ini." Arme hanya terdiam mendengarkan. Ia tidak mengerti ke mana arah
pembicaraan itu akan berlanjut.
"Jika aku tidak lagi datang ke tempat ini, kau pelajari kitab itu baik-
baik," ucapnya serius. Susana pun berubah menjadi tegang dan tidak
menyenangkan. "Maksud, paman?" tanyanya tidak mengerti. Dalam hatinya kira-kira ia
telah sedikit dapat menduga sesuatu. Tapi pikiran itu disimpannya
dalam hati. "Jalankan saja apa yang aku minta. Dan berjanjilah jangan ceritakan
siapa-siapa pun mengenai kitab ini. Bila engkau berlatih sendiri,
pergilah lebih jauh ke dalam hutan. Sekarang-sekarang ini kita berlatih
di sini ada aku yang masih bisa merasakan apakah ada orang yang
mengintip atau tidak," ucapnya, "Jika engkau sendiri, pastikan tidak
ada orang yang mematai. Baik juga apabila kitab tersebut engkau
sembunyikan di suatu tempat. Di bawah batu, di dalam lubang pohon
atau di sarang ular. Terserah tempat mana yang menurutmu baik dan
tidak terpikirkan oleh orang lain."
Arme hanya mengangguk mengiyakan. "Jadi ini mungkin pertemuan
terakhir kita...," tanyanya agak sedih. Beberapa minggu ini telah sedikit
tumbuh kedekatannya dengan orang tua tersebut.
"Kelihatannya..." ucap orang itu tak pasti. Wajahnya terlihat sedikit
mengeras. "Paman, boleh tahu nama paman..?" tanyan Arme setelah sedikit lama
terdiam. Orang tua itu tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Engkau terlalu
banyak membaca ujar-ujar kuno," katanya. Lalu ia berkata lagi, "Aku
sendiri sudah tidak lagi memakai namaku, tapi untukmu..., aku...
adalah keturunan dari Bayangan Menangis Tertawa..."
Bagian 10 Menghormati Rahasia Orang Lain
"Ini bagian terakhir, tolong ya!" ucap Reiche sambil menyodorkan
beberapa helai kertas yang dituliskan dengan lambang-lambang
tertentu yang bukan berasal dari lambang-lambang umum yang
dikenal orang. "Baik. Dan ini yang kemarin," ucap Arme sambil mengangsurkan kertas
dengan isi lambang-lambang yang mirip akan tetapi telah disisipkan
tulisan-tulisan tangannya, menjelaskan apa terjemahan dari kata-kata
tersebut. Keduanya terdiam. Jika Reiche terdiam karena membaca hasil
terjemahan Arme, maka Arme terdiam karena membaca lembaran-
lembaran baru dari Reiche yang harus ia terjemahkan. Keduanya
sudah melakukan ini hampir dua bulan lamanya.
Arme sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan, antara lain apa
sebenarnya yang diberikan oleh Reiche ini. Apakah sebuah kitab atau
hanya kumpulan-kumpulan lembaran-lembaran tulisan. Akan tetapi
Reiche tidak mau menceritakannya dengan jelas dan terbuka. Dan
karena Arme bukan jenis orang yang senang memaksa, ia membiarkan
saja pertanyaan itu mengisi kepalanya tanpa jawaban.
Di lain pihak Reiche sendiri pun kadang bertanya-tanya, misalnya dari
mana Arme tahu dan terlihat yakin bahwa terjemahannya itu benar.
Arme hanya berkata bahwa ia pernah diajari mengenai hal itu oleh
seorang yang ditemuinya di pinggir hutan. Tapi sekarang orang itu lagi
ditemuinya. Dan untuk yang terakhir ini, Arme memang tidak
berbohong seluruhnya. Sedangkan Reiche tidak berani banyak-banyak
bertanya dan mencari tahu lebih jauh karena takut sahabatnya itu
tidak mau membantunya menerjemahkan lambang-lambang tersebut.
Ketepatan terjemahan diperiksanya dengan mencocokkan keselarasan
bacaan antar halaman yang telah dipisah-pisahnya. Sampai saat ini
semuanya cocok. Lalu mengapa Reiche masih meminta Arme untuk menerjemahkan dan


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak meminta cara membaca lambang-lambang aneh tersebut.
Ternyata terdapat aturan pengalihan lambang yang rumit yang
bergantung pada nomor halaman dari kitab tersebut. Untuk halaman
yang berbeda berlaku aturan yang berbeda. Dan entah mengapa Arme
dapat dengan mudah menjelaskannya kepada Reiche akan tetapi tidak
dengan mudah dapat dicerna oleh Reiche. Untuk ia yang sanggup
'membayar' jasa Arme, lebih baik bila ia tinggal menerima saja
bersihnya, terjemahan tiap halaman tersebut. Jadi dalam bulan-bulan
tersebut Arme dapat dengan bebasnya 'membeli' buku-buku baru yang
ia sukai dari toko Paman B"cher atas dukungan Reiche sebagai
pembayaran 'tugas' yang ia lakukan.
Arme sendiri pada awalnya terkejut demi melihat lembarang yang
berisi lambang-lambang yang sama dengan lambang-lambang dalam
kitab kuno yang diberikan oleh orang tua di tepi hutan sana. Hanya
dalam lembaran-lembaran yang diberikan Reiche terjadi pergeseran
tempat padanan huruf-huruf yang digunakan. Pergeseran yang
dijelasan pada akhir tiap halaman dan bukan di awal. Jadi tiap
halaman punya aturan sendiri walaupun dengan kumpulan lambang-
lambang yang sama. Dan cerdiknya Reiche, ia tidak membiarkan Arme sempat menyalin
lembaran-lembaran yang ia berikan. Ia berikan cukup banyak tugas
dan minta diisikan di sela-sela tulisannya. Dengan demikian Arme mau
tak mau harus mengembalikan lembaran-lembaran tersebut ditambah
terjemahannya. Saat ditanya tentang apa kitab tersebut, Reiche hanya
tersenyum dan tidak menjelaskan.
Akan tetapi mau tidak mau ada juga yang mengendap di dalam kepala
Arme. Daya ingatnya yang kuat membuatnya dapat memanggil
kembali ingatannya mengenai lambang-lambang yang tertulis pada
lembaran-lembaran yang diberikan oleh Reiche. Tidak urutnya
halaman yang diberikan, yang pada awalnya sudah dirasakan aneh,
sedikit menghambatnya untuk mengingat-ingat dan menyambung-
nyambungkan tulisan-tulisan tersebut. Walaupun bukan termasuk
orang-orang yang Sekali-Baca-Tak-Pernah-Lupa, tapi Arme memiliki
ingatan yang cukup baik dibandingkan dengan teman-temannya.
Mungkin hal ini dikarenakan 'kekurangannya' dalam hal tigaan
sehingga ia harus sering meminjam buku baik pada temannya atau di
perpustakaan sekolahnya, perguruan tulis-menulis, sehingga sebagian
besar yang ia baca harus ia 'tulis' dalam otaknya tersebut.
Keduanya tiba-tiba tertawa setelah satu sama lain saling melihat
keseriusan yang lain. Tawa yang memecahkan kesunyian setelah
adanya kerahasiaan antar mereka berdua dalam dua bulan belakangan
ini. Rahasia yang sama-sama mereka saling hormati antar dua orang
sahabat dan tidak lagi saling menanyakan.
"Mari kita pulang! Sudah tinggal kita berdua di sini," ucap Arme
kemudian setelah mengedarkan padangannya dan melihat bahwa
pekarangan perguruan tulis-menulis telahlah sepi.
Reiche pun mengangguk sambil memberesi barang-barangnya dan
memasukkannya ke dalam tas. Arme sendiri hanya menyisipkan
lembaran-lembaran tersebut ke dalam bajunya. Ia tidak punya tas,
hanya berbekal buku tipis dan alat tulis, yang semuanya disimpannya
dalam jubahnya yang terbuat dari kain kasar sederhana.
Keduanya pun berjalan beriringan bersama sampai di persimpangan
jalan untuk kemudian mengambil arah ke rumah masing-masing.
Bagian 11 Belajar Beladiri Bersama Waktu pun berlalu dengan cepat. Tak terasa telah enam bulan berlalu
sejak Arme mendapat kitab kuno dari orang yang mengaku keturunan
Bayangan Menangis Tertawa dan di saat yang hampir bersamaan
Reiche menerima kitab Seratus Hari dari kenalan ayahnya yang sudah
dianggapnya paman sendiri.
Arme semakin tekun melatih gerakan-gerakan yang ditulis dalam kitab
kuno yang diberikan kepadanya itu dan Reiche semakin bingung
dengan penjelasan-penjelasan yang dibacanya, hasil terjemahan Arme.
Bukan karena terjemahannya yang kurang tepat melainkan karena
Reiche belum pernah sekalipun belajar beladiri sehingga tidak paham
istilah-istilah yang digunakan. Untuk itu akhirnya ia meminta kepada
ayahnya agar pamannya yang dulu menawari ia untuk mengajarkan
bela diri, sudi mewujudkan niatnya tersebut. Yang sudah tentu
disambut dengan gembira oleh orang tersebut.
Reiche yang telah banyak membaca dan mendengar bahwa belajar
ilmu beladiri itu kadang membosankan orang mencapai suatu tahapan,
memohon kepada ayahnya agar Arme dapat menemaninya. Dengan
bersama-sama berlatih mereka dapat saling menghilangkan kejenuhan.
Awalnya orang yang sudah dianggap paman sendiri oleh Reiche agak
keberatan karena ia tidak ingin ilmu andalannya diajarkan kepada
orang yang bukan pilihannya. Tetapi setelah didesak oleh Reiche dan
dipesan oleh ayah Reiche agar mengajarkan Arme dasar-dasar saja dan
bukan gerakan-gerakan pamungkas, akhirnya orang itu pun setuju.
Jadi Arme dan Reiche berlatih setelah pulang sekolah sampai
menjelang senja, jurus-jurus dasar, kuda-kuda dan langkah-langkah
kaki. Setelah Arme pulang, Reiche masih berlatih sedikit lagi jurus-
jurus andalan dari orang yang dipanggilnya paman itu ditambah pula
dengan kitab Seratus hari yang dipelajarinya secara diam-diam.
Bila mana Reiche masih berlatih dengan gurunya, Arme pun demikian.
Tapi ia melatih jurus-jurus yang tertulis di dalam kitab kuno miliknya.
Rangkaian gerakan yang diberi nama Menanti Mata Berkedip, suatu
gerakan untuk menghilang dari pandangan orang yang dihadapi dalam
bertarung. Gerakan yang berisi jurus-jurus menghindar dan
bersembunyi di balik sudut mati mata.
Arme sedikit banyak berterima kasih atas kesempatan ia belajar
bareng beladiri bersama Reiche. Dengan berlatih bersama dan
berpasangan dalam menyerang dan bertahan, ia dapat mulai
memahami maksud dari gerakan-gerakan dalam kitab kuno miliknya.
Setelah sorenya berpasangan saling menyerang, ia dapat
membayangkan sikap dan posisi tubuhnya dalam imaginasi dan
melakukan gerakan-gerakan yang dulu diajarkan oleh orang tua di
pinggir hutan tersebut. Jadi boleh dikatakan bahwa baik Arme maupun Reiche mendapat
kemajuan masing-masing sesuai 'kesempatan' yang mereka miliki.
Demikianlah waktu berlalu, memberikan kesempatan kepada kedua
anak manusia untuk saling mengembangkan diri mereka masing-
masing. Bagian 12 Pertarungan di Malam Hari
"Degg!! Plak-plak-plak!!" bunyi beradunya pukulan dan tangkisan dari
dua orang yang sedang berlaga di bawah sinar bulan yang temaram.
Akibat benturan barusan keduanya terlempar dua tiga langkah
mundur. Sama-sama dengan napas yang terengah-engah. Boleh dikata
keduanya memilki ilmu yang setingkat.
"Boleh juga engkau sekarang, Pambuka!" seru seorang yang tampak
bertubuh besar dan subur. Walaupun besar tapi langkah-langkahnya
tidaklah berat melainkan ringan, menandakan ilmu ringan tubuhnya
yang telah cukup tinggi. "Sedari dulu, aku begitu-begitu saja Panutu. Malau engkau yang telah
banyak berkembang pesat," ucap lawannya yang bertubuh lebih kurus
akan tetapi dengan tinggi tubuh yang sama. Rambutnya yang putih
tidak cocok dengan raut mukanya yang belum terlalu tua. Belum
cukup tua untuk dinaungi rambut-rambut yang hampir seluruhnya
telah memutih tersebut. Tiba-tiba orang berambut putih tersebut tidak lagi terlihat oleh
lawannya. Akan tetapi alih-alih merasa terkejut, orang yang dipanggil
Panutu tetap terlihat tenang. Malah ia menutup mata. Bukan karena ia
meremehkan melainkan untuk lebih menajamkan indera
pendengarannya ketimbang indera penglihatannya yang sulit untuk
mengatasi gerakan-gerakan lawan.
Dan "degggg!!" tendangan lawan pada kepalanya dapat dengan mudah
ia tangkis dan segera memberikan serangan balasan lurus ke arah
dada. Pukulan bertenaga penuh dan keras. Lawannya yang kaget
karena serangan dengan tipuan 'menghilang' tadi dapat dengan mudah
ditangkis segera melemaskan tubuhnya, mengikuti kesiuran angin
serangan ke arah dadanya dan terbang melayang menjauh.
Meringankan efek pukulan tersebut, yang tetap dirasanya sedikit
menyesakkan dada, "Hmmm, Bulu Angsa Dihembus Angin...!" ucap orang yang dipanggil
Panutu, "sudah bisa engkau rapalkan itu rupanya..."
"Bila tidak sudah remuk dadaku terkena Pukulan Meriam-mu itu...,"
jawab lawannya perlahan menanggapai, ".. dan Menanti Mata Berkedip
milikku sudah tidak berguna lagi kelihatannya di hadapanmu..."
Hening sejenak menyelak pertarungan itu. Baik Pambuka maupun
Panutu sedang menimbang-nimbang jurus-jurus apa yang sebaiknya
segera dikeluarkan. Dalam beberapa gebrakan barusan telah terlihat
bahwa masing-masing telah berhasil memecahkan serangan lawan.
Jadi tidak ada lagi gunanya menggunakan gerakan yang telah dapat
ditebak dan telah dapat diatasi dengan mudah oleh lawan. Mungkin
unsur kejutan lebih berguna di saat ini. Lebih-lebih karena ilmu
mereka memang setingkat. Seakan-akan saling mengerti keduanya tiba-tiba meloncat kembali ke
tengah dan bertemu di udara dalam suatu benturan keras, "desss!!!"
yang mengakibatkan Pambuka terlempar beberapa langkah lebih jauh
dari Pambuka yang hanya perlu mengeser selangkah. Dalam benturan
depan bobot tubuh memilki pengaruh besar. Dalam hal berat tubuh
Pambuka jelas kalah dari Panutu. Ia tidak seharusnya mengadu keras
lawan keras. Pambuka tampak mengusap sudut bibirnya yang telah mengeluarkan
darah. Telah tumbuh luka dalamnya akibat gempuran terakhir tadi.
Tenaga panas dan bergelombang dari Panutu dirasakannya mengalir
menggetarkan kedua tangannya dan terus melaju ke dada. Dengan
sedikit membuang ke arah samping, ia masih bisa menyelamatkan isi
dada dan perutnya. Tapi untuk itu ia harus mengorbankan terlempar
tiga empat langkah lebih jauh.
Senyum tampak mengembang di wajah Panutu. Dari benturan tadi ia
merasakan bahwa tenaga Pambuka tidaklah terlalu sulit untuk
dibendung. Ia dapat dengan mudah mengatasinya. Hanya keluwesan
dan kecepatan gerak Pambuka yang masih menjadi ganjelan baginya.
Makanya tadi ia agak terkejut saat Pambuka menggempur keras lawan
keras. Kuatir pula bila lawannya itu memiliki ilmu simpanan. Tapi
ternyata tidak. Mungkin bermodalkan nekat Pambuka berencana
mencoba menjajal tenaganya keras lawan keras. Pilihan yang salah.
Akibat benturan itu telah dapat dilihatnya.
Tapi belum Panutu berpikir lebih jauh, kembali Pambuka
menyerangnya dengan serangan yang mirip. Keras, sederhana dan
lurus. Bagai mengharapkan benturan depan dan kembali keras lawan
keras. Tanpa jauh lebih berpikir Panutu segera menanggapi dengan
kuda-kuda berat maju setengah langkah sambil menghentakkan
kakinya. "Dharrr!!" lantai batu di bawahnya bergetar retak seiring
dengan serangkum tenaga yang dihampurkannya lurus ke arah
Pambuka. Kembali Pambuka mencoba melawannya dengan tenaga dan
kecepatannya. "Degg!!" dan ia pun kembali terlempar tapi kali ini
dengan posisi yang telah sigap berdiri. Lebih jauh ia terlempar dari
benturan sebelumnya. "Apakah engkau berpikir dengan mengambil jarak lebih jauh, bisa
menambah kekuatan seranganmu, Pambuka?" ucap Panutu yang masih
belum merasakan hawa serangan Pambuka menyentuh dadanya. Lain
dengan Pambuka yang telah dua kali sesak napasnya.
"Siapa tahu..," ucap Pambuka pendek. Menarik napas dan kembali
menyerang dengan cara yang sama.
"Tak ada gunanya," jengek Panutu, "akan muncul hasil yang sama.."
"Dherr!!" kembali kakinya menjejak sebelum ia memuntahkan Pukulan
Meriam-nya yang disambut dengan pesatnya gerakan Pambuka yang
seolah-olah menghadapinya dari depan. Dan... tak dirasakan benturan
tenaga oleh Panutu... "Tidak..., ini..," ucapnya setelah baru menyadari bahwa serangan ini
hanyalah tipuan. Pambuka telah 'menghilang' sebelum serangannya
dimuntahkan. Dan yang ditumbuk oleh Pukulan Meriam-nya hanyalah
sisa bayangnya yang segera buyar dan tidak memberikan tekanan
balasan. Dan sebelum Panutu sempat mengolah tenaga lebih jauh, suatu
kelemahan Pukulan Meriam yang habis tenaganya di satu serangan dan
butuh waktu untuk mengisinya kembali, Pambuka telah tiba di
depannya. Tiba dalam jarak yang benar-benar lekat. Kurang dari
selengan panjang. Panik segera mengisi perasaan Panutu, bahwa Pambuka akan segera
menjatuhkan tangan mautnya. Beberapa pukulan sempat ia tangkis
dengan tenaga seadanya, karena belum pulih. Tapi totokan-totokan
selanjutnya tak bisa ia singkirkan. Dalam suatu gempuran terakhir
Panutu terdorong dua tiga langkah dan ujung bibirnya terlihat mulai
memerah. Nafasnya pun sesak. Udara terasa miskin untuk dihirup dan
pandangannya mulai terlihat gelap.
Luka dalam. Ia telah terluka akibat totokan-totokan terakhir itu.
Lawan yang baru saja memperoleh kemenangan itu juga tidak berada
dalam kondisi baik. Ia tampak pucat dan lebih putih dari sebelumnya.
Mungkin mengalahi putih rambutnya. Kembali pula ia mengusap ujung
bibirnya yang kembali berwarna merah. Warna dari darah yang
menyembur dari dadanya yang sesak. Walaupun oleh Pukulan Meriam
ketiga ia tidak berbentur langsung, tapi luka dari pukulan sebelumnya
telah merusak kemampuan ia bernafas dan mengalirkan tenaga.
Pemaksaan untuk gerak terakhir, menghilang dan menyerang dengan
totokan-totokan telah membuat tubuhnya melewati batas lelahnya.
Keduanya tampak terdiam. Menarik napas masing-masing dan berpikir
apa pertarungan harus dilanjutkan sampai seorang dari mereka tidak
lagi bernyawa. Atau... Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang, "Paman Panutu...., paman
Panutu..., di mana engkau?"
Segera berobah wajah Pambuka. Satu lawan baru sudah terlalu banyak
baginya. Segera ia mengempos tenaganya yang masih tersisa untuk
berlalu dari situ. Pergi melayang keluar dari halaman rumah paling
besar dan indah di daerah itu.
Bagian 13 Sama-sama Terluka Dengan napas terengah-engah sesosok bayangan tampak berlari
terpincang-pincang di tengah kegelapan malam. Bulan yang tadinya
ada samar-samar mulai tertutup awan sehingga semakin menghindari
orang untuk melihat sosok itu berjalan tertatih-tatih.
Ia tampak berpikir sejenak di suatu simpang jalan, ke arah mana ia
akan menuju. "Tak mungkin ke rumah Arme," gumamnya, ".. belum
saatnya ia tahu kejadian ini.., tapi.." Akhirnya setelah sedikit lama
bergulat dengan pikirannya ia memutuskan untuk menuju tempat di
mana ia dan Arme, seorang anak yang diajarnya, berlatih. Sebuah
hutan kecil yang di salah satu sisinya terdapat sungai yang mengalir.
Tak lama sampailah ia di tempat itu. Saat ini telah tengah malam lewat
sejak pertarungan dengan lawannya tadi. Orang yang sudah lama ia
kenal. Orang yang dulu dekat dengannya. Ia pun menghela napas saat
mengingat waktu-waktu lalu di mana mereka berdua menghabiskan
waktu belajar ilmu-ilmu dari guru mereka. Waktu yang indah
menurutnya. "Sekarang bukan saatnya bernostalgia," tiba-tiba sebuah
pikiran menyadarkannya. Segera ia beranjak dari situ, menyeberangi
sungai melalui sebuah batang pohon yang melintang rebah dan segera
tiba di tepi hutan di seberang sungai. Seperti memperhatikan dan
mendengarkan sesuatu, kemudian ia pun bergerak dan lenyap di balik
semak-semak yang tumbuh di dalam hutan itu.


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hening setelah desah napas terengah-engah itu lenyap di telan malam
dalam kerimbunan hutan. Sementara itu jauh dari sana di sebuah halaman rumah besar di
daerah itu, seorang tua bertubuh subur dan besar tampak berjalan
tertatih-tatih disanggah seorang pemuda yang memperhatikannya
dengan kuatir. "Paman Panutu, apa yang terjadi" Dengan siapa paman
bertarung tadi?" Menggeleng-geleng saja orang tua yang dipapah itu sebagai
tanggapannya atas pertanyaan sang pemuda. "Lupakan saja.. lupakan
saja..," ucapnya pelan sambil menahan sakit di dadanya. Totokan-
totokan Pambuka, lawannya tadi, melukai isi dadanya. Luka yang jelas
tidak ringan saja. "Perlu dipanggilkan tabib, paman?" tanya pemuda itu setelah
merebahkan orang tua itu di atas dipannya.
"Tidak perlu.. Tinggalkan saja aku dulu..," ucapnya pelan, ".. nanti aku..
bila butuh bantuan.."
"Panggil saja aku bila paman Panutu butuh sesuatu," potong pemuda
itu demi melihat sulitnya orang tua itu berbicara.
Panutu hanya mengangguk lemah. Ia kemudian menutup matanya dan
mencoba beristirahat. Pemuda itu segera keluar dan menutup pintu
kamar itu dengan perlahan.
Bagian 14 Masa Seratus Hari "Paman...!" ucap Arme perlahan saat ia melihat sesosok tubuh yang
dikenalinya tampak bersila dengan wajah yang pucat di sebuah batu di
dalam hutan itu. Tempat di mana ia sering berlatih sendirian, sejak
orang yang bersila di hadapannya itu berpisah dengannya. Tak
dinyana ia kembali bertemu dengan orang tersebut, yang terlihat tidak
dalam kondisi yang baik. Ya, Arme sedikit banyak telah dapat membedakan antara seorang yang
bersila menghumpulkan hawa murni dan seorang yang sedang dalam
upaya mengobati dirinya. Orang di hadapannya ini sedang berada
dalam keadaan kedua. Ini terlihat dari uap putih di atas ubun-ubunya,
yang melayang halus, mukanya yang pucat dan bulir-bulir keringat
yang terlihat membasahi sekujur tubuhnya. Orang yang sedang
mengumpulkan hawa murni tidak akan berkeringat seperti itu. Dan
yang pasti mukanya akan terlihat merah muda dan segar. Tidak pucat
seperti ini. Tidak mau mengganggu konsentrasi orang tersebut, yang dapat
membahayakan diri orang yang sedang bersemedi, Arme pun beranjak
dari situ. Tak terlalu jauh. Ia pun kemudian mulai melakukan latihan-
latihan seperti yang dulu diajarkan. Perlahan-lahan dan kemudian
semakin cepat. Berpindah dari satu kaki ke kaki lain. Merunduk,
meloncat, berguling dan sebagainya. Setelah itu ia mulai melengkapi
gerakan-gerakannya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-
tendangan sebagaimana diajarkan oleh seorang bertubuh subur dan
besar yang mengajarnya bela diri bersama-sama dengan Reiche di
rumah temannya itu. Tak terasa waktu pun berlalu dan Arme semakin larut dalam
latihannya. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengusik rasanya.
Serangkum hawa terasa menjelangnya dari belakang. Segaera ia
bergeser untuk melihat apa atau siapa yang melakukan tersebut.
Sekelebat bayangan tampak dari sudut matanya. Tapi saat ia berputar
untuk matanya menangkap bayangan tersebut, kembali ia hanya
melihat sisanya dari sudut mata. Begitu pula saat ia membalik arah
putaran dirinya dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Si bayangan seolah-
olah tahu di akan berputar ke arah mana.
Suatu ingatan akan seseorang mengusiknya. Segera ia mengalihkan
pandangannya ke arah tempat orang yang dipanggilnya paman tadi
bersila, sekilas terlihat kosong tapi kemudian berisikan orang yang
tampak sedang berkonsentrasi. Segera saja Arme tersenyum, "Paman...,
jangan bergerak terlalu keras! Paman 'kan sedang terluka.."
Sosok yang sedang bersila tersebut tampak menyunggingkan senyum
dan lalu membuka matanya, "Cerdik juga engkau memeriksa kembali
apa aku ada di tempat atau tidak. Jika tidak pasti engkau tidak bisa
menebak siapa yang tadi mengusikmu."
Arme hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Ia senang bahwa sang
paman telah berbicara dan terlihat lebih baik dari tadi.
"Apa yang terjadi, paman?" tanyanya perlahan. Ia tahu bahwa orang
yang mengajarnya ilmu Menanti Mata Berkedip ini menyimpan banyak
rahasia darinya. Dan pertanyaan ini belum tentu dijawabnya dengan
suka-rela. Tampak orang itu terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Ia tampak
berpikir. Mungkin sedang memutuskan apa yang hendak dikatakan
dan apa yang tidak hendak dikatakannya kepada Arme. "Aku
berbenturan dengan seseorang.. bertarung..," ucapnya akhirnya.
"Ah!! Dan paman terluka karenanya?" ucap Arme.
Orang tua itu mengangguk. "Jangan tanya dengan siapa aku bertarung
dan mengapa!" jelasnya sebelum Arme sempat membuka mulutnya
untuk bertanya lebih lanjut. "Tapi aku minta engkau memperhatikan
sesuatu," kata orang itu kemudian.
"Apa itu, paman" Harus memperhatikan apa?" tanya Arme tidak
mengerti. "Bahwa dalam seratus hari kedepan kabarkan padaku bila ada hal-hal
aneh, luar biasa atau apa saja yang tidak umum, yang engkau dengar.
Boleh dari mana saja, ayahmu, gurumu di perguruan tulis-menulis,
rekanmu Reiche, guru beladirimu di rumah gedong itu, orang-orang
desa. Pokoknya siapa saja," ucap orang itu sambil sesekali menahan
napas. Terlihat bahwa berbicara banyak menimbulkan rasa sakit di
dadanya. "Baik, paman!" ucap Arme patuh. Ia semakin tidak mengerti apa
hubungannya antara kabar yang luar biasa dengan terlukanya orang
itu. Tapi ia diam saja dan menanti penjelasan atau percakapan
selanjutnya. "Aku lihat engkau telah berkembang pesat dalam gerakan. Serangan-
serangan barusan itu hasil pengajaran gurumu di rumah gedong itu?"
tanya sang paman. "Iya, paman! Semoga paman tidak keberatan..," ucapnya. Ia tahu bahwa
ia belum meminta ijin pada orang itu untuk berguru pada orang lain.
"Tidak... tidak!! Sudah pasti aku tidak berkeberatan..!" ucap orang itu
cepat. "Engkau harus belajar ilmu apa saja dari siapa saja. Meramunya
dan menciptakan ilmumu sendiri suatu saat. Itu baru pengkristalan
ilmu sejati." "Ya, paman!" jawabnya tak mengerti perihal 'pengkristalan ilmu sejati'.
"Dan engkau boleh memanggilku sekarang dengan nama Pambuka..,"
ucapnya pelan. "Ya, paman... Pambuka," ucap Arme pelan. Agak aneh, karena biasanya
ia hanya memanggil 'paman' saja kepada orang itu.
"Sekarang tolonglah aku untuk mencari bahan-bahan ini untuk
mengobati lukaku ini," katanya sambil mengangsurkan sebuah catatan,
yang di atasnya tertulis bahan-bahan obat berupa daun-daun, akar dan
biji-bijian. "Dibeli atau dicari, paman Pambuka?" tanya Arme mengingat ia tak
punya banyak uang untuk membeli apapun.
"Ah, aku lupa!" ucap orang itu. Segera ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan segenggam tigaan perunggu. "Gunakan ini, dan juga beli
makanan untuk beberapa hari!"
Lalu ia menjelskan di mana sebaiknya Arme membeli bahan-bahan dan
makanan agar tidak dicurigai orang. Di desa sebelah mungkin lebih
baik, di mana Arme tidak begitu dikenal. Dan ia meminta Arme untuk
beberapa hari ini bermalam bersamanya di hutan itu. Ada hal yang
harus diselesaikan dan diceritakan. Dan sudah mepet waktunya jelas
orang itu. Arme hanya menggangguk dan berkata bahwa ia harus meminta ijin
dari ayahnya dulu. Jika tidak bisa mencurigakan bahwa ia beberapa
hari tidak pulang. Untuk itu Pambuka mengatakan bahwa tidak akan
ada masalah, ia bisa membuatkan surat kepada guru Arme di
perguruan tulis menulis agar mengadakan semacam 'kegiatan diskusi
malam'. Paginya sudah tentu Arme bersekolah seperti biasa.
Arme kembali hanya mengangguk. Ia masih bingung bagaimana bisa
Pambuka meyakinkan gurunya di sekolah bahwa ia akan memberikan
surat keterangan kepada ayahnya bahwa ia boleh bermalam di hutan
ini. Tapi ia hanya diam saja dan menerima saat Pambuka memberikan
sebuah batu putih pipih berukir lambang-lambang. Kecil hanya selebar
dua ibu jari dan berpanjang dua kali lebarnya.
"Tunjukkan saja ini!" kata Pambuka, "sedangkan soal suratnya, engkau
karang sendiri saja. Lebih bagus engkau yang menulis kiranya."
Arme kembali hanya mengangguk mengiyakan walaupun hatinya
masih menyimpan banyak pertanyaan.
Bagian 15 Berangkat Bermalam di Hutan
Ajakan pulang Reiche yang biasanya diterima Arme ditolaknya engan
halus dengan alasan ia ingin berbicara dengan gurunya soal pelajaran
tadi. Dan saat Reiche hendak menunggunya ia mengatakan bahwa hal
tersebut akan lama, sebaiknya Reiche pulang saja. Ia juga menitip
pesan kepada paman Panutu bahwa dalam beberapa hari ini tidak ikut
belajar beladiri di rumah Reiche. Alasan tapi tidak diberikannya.
Reiche yang mendengar itu hanya mengangkat bahu. Ia dan Arme
sama-sama saling tahu bahwa antara mereka banyak terdapat rahasia
dan satu tidak akan mendesak yang lain. Setelah mengangguk
mengiyakan ia pun pulang. Dalam hatinya Reiche masih bertanya-
tanya apa yang hendak dilakukan Arme dan bolos tidak latihan kok
bertepatan dengan terlukanya paman Panutu. Saking aneh dan
kebetulannya Reiche sampai lupa memberitahu Arme bahwa sampai
dua minggu ke depan tidak ada dulu latihan beladiri di rumahnya.
"Ada apa, Arme?" ucap orang yang sedari tadi ditunggu oleh Reiche
demi melihat muridnya itu masih berdiri di luar kelas saat ia hendak
menuju ruangannya. "Ada sesuatu yang hendak saya bicarakan..," ucap Arme perlahan. Ia
tidak ingin teman-teman sekolahnya yang masih banyak berseliweran
mendengar percakapan mereka.
Melihat sikap yang agak 'rahasia' ini sang guru pun mengajaknya
untuk membicarakannya di dalam ruangnya. Guru-guru di perguruan
tulis menulis memiliki ruang kerja sendiri-sendiri yang berupa rumah-
rumah kecil dengan satu dan lain rumah dipisahkan oleh taman kecil
atau kolam kecil. Mereka rata-rata adalah penulis dan penulis
memerlukan ketenangan. Oleh karena itu tempat kerja mereka ditata
sedemikian rupa sehingga mendatangkan ketenangan dan
ditempatkan di atas bukit di belakang bangsal tempat pengajaran
berlangsung. "Baik, katakanlah sekarang!" ucap sang guru setelah mereka berada di
dalam ruang kerjanya. "Saya ingin meminta surat dari guru Panengah ditujukan kepada ayah
saya, bahwa saya selama beberapa hari ini akan bermalam di hutan.
Paginya saya akan tetap bersekolah seperti biasa. Hanya malamnya
saja di hutan. Dan ini dikaitkan dengan sebuah tugas dari guru
Panengah," ucapnya. Terasa kata-katanya agak aneh dan kering. Ia
sendiri juga merasa aneh atas permintaan gurunya Pambuka soal ini.
Tapi mau tak mau ia pun melakukannya.
"Permintaan yang aneh," ucap gurunya. Suatu reaksi yang sudah
diduga oleh Arme. Dan sebelumnya gurunya itu menanyakan perihal mengapa ia hendak
bermalam di hutan, Arme mengangsurkan batu pipih putih berukir
yang diteriman dari Pambuka. Segera terlihat perubahan raut muka
Panengah, gurunya itu. "Baik akan aku buatkan surat itu, atau engkau sudah memilikinya
tinggal aku salin dan tanda-tangan?" ucapnya setelah terdiam sesaat.
Arme pun mengangsurkan selembar kertas berisi tulisan. Panengah
membacanya sekilas, mencoret beberapa kalimat dan menggantinya
dengan kalimatnya sendiri. Lalu ia mengambil selembar kertas kosong,
menyalin dengan cepat kalimat-kalimat yang telah diubahnya itu dan
menandatangani surat ijin dan juga menyertakan cap di atasnya. Lalu
diberikan surat itu kepada Arme setelah dilipatnya.
"Hati-hati engkau di hutan nanti!" ucapnya sambil mengembalikan batu
putih pipih yang tadi sempat ditimang-timangnya.
Arme mengangguk walau semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya
terjadi di balik semua ini.
"Pergilah!" ucap guru Panengah, "Persiapkan dirimu untuk 'diskusi
malam' di hutan nanti."
"Baik, guru. Terima kasih!" ucapnya lalu mohon diri.
Di rumah tak banyak pertanyaan dari ayahnya. Orang tua itu selalu
memperbolehkan Arme melakukan apa yang diminta oleh sekolahnya.
Ia berharap banyak bahwa Arme akan mendapatkan pengetahuan dan
pendidikan yang baik, sehingga tidak perlu hidup susah seperti
dirinya. Ia pun hanya membaca sekilas surat dari guru Panengah dan
mengangsurkan kembali kepada anaknya, "Simpan saja olehmu!
Bersama ayah, bisa hilang nanti" Mereka pun kemudian makan
bersama. Tak lama setelah itu Arme pun bergegas keluar untuk pergi ke hutan.
Ayahnya berpesan agar ia hati-hati dan banyak-banyak mengambil
manfaat dari kegiatannya itu. "Apa yang ditugaskan kepadamu, pasti
ada nilai baiknya," begitu pesannya.
Arme mengangguk mengiyakan. Dan ia pun berlalu menuju hutan di
mana gurunya Pambuka menunggunya.
Bagian 16 Malam di Tengah Hutan "Guru... di mana engkau..," panggil Arme perlahan saat ia telah tiba di
tempat ia biasanya berlatih. Tempat di mana kemarin ia menemukan
gurunya dalam keadaan terluka.
Hening tak ada jawaban. Angin malam membelai pelan membuat
daun-daun saling berbisik.
Tiba-tiba terdengar lirih suara gurunya, "Masuk lebih jauh sedikit
sampai ada sungai kecil.. ikuti sampai ke hulu.."
Bergegas Arme mengikuti petunjuk suara gurunya. Rupanya guru
Pambuka telah berpindah tempat sejak kemarin mereka bertemu.
Mungkin dengan alasan makin ke dalam hutan akan semakin baik dan
tidak diganggu orang. Arme pun berbegas mengikuti sungai kecil, jauh lebih kecil dari sungai
di pinggir hutan. Terus ia berjalan menyusuri ke arah hulu. Di kiri
kanannya tampak semak-semak melebar tinggi. Bila tidak tahu posisi
tepatnya sungai tersebut, akan sulit menemuinya dalam hutan ini.
Tersembunyi di balik daun-daun yang melebat.
Tak berapa lama sampailah Arme di suatu lapangan kecil yang berada
tak jauh dari sungai kecil tersebut, yang masih jauh menghilang di
dalam kegelapan malam. Cahaya apilah yang menariknya ke arah
lapangan kecil tersebut. Suatu lapangan yang tampak baru dibuat.
Gurunya, Pambuka tampak duduk di tepi sebuah api kecil yang hendak
ia besarkan. "Di sini kurasa sudah cukup jauh ke dalam hutan. Semoga tak ada
yang melihat api ini dari arah desa," ucapnya pelan seperti kepada
dirinya sendiri. Arme hanya mengangguk dan meletakkan barang-barang pesanan
gurunya di pinggir api tersebut. Ia pun kemudian duduk dan
menunggu hal apa yang akan dilakukan gurunya sehingga memerlukan
dirinya untuk beberapa hari menemaninya di tempat itu. Di tengah
hutan di pinggir desa. "Ada kejadian aneh di desa atau di tempat lain," tanya gurunya, "yang
engkau dengar?" Arme menggeleng saja. Ya, ia tidak mendengar berita apa-apa yang
dianggapnya aneh.

Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atau ada berita apa yang disampaikan orang-orang.." Atau ceritakan
saja apa yang engkau alami dan dengar.." pintanya kemudian
Arme tampak bingung, lalu dengan perlahan ia menceritakan apa yang
diminta. Gurunya tampak mendengarkan sambil sesekali menyela untuk
menanyakan sesuatu. Jika orang bercerita, kadang berbeda
penekanannya dengan yang mendengar. Setiap orang boleh jadi secara
sadar akan memilih sendiri titik berat dari ceritanya. Demikian pula
dengan Arme. "Menarik bahwa ada yang terlambat pulang dari mengembalakan
kambing-kambingnya," ucap gurunya kemudian setelah semua cerita
selesai ditumpahkan. "Itu berita aneh?" tanya Arme ingin tahu.
"Tidak, bila dalam keadaan biasa," jawab gurunya.
"Maksud guru?" tanya Arme dengan semakin bingung.
"Sebelum aku jawab, kelihatannya engkau sekarang sudah terbiasa
memanggilku 'guru', ya?" katanya sambil tertawa, "Apa sebabnya?"
"Eh... itu kebiasaan dari sekolah, orang yang mengajar dipanggil guru,"
ucapnya perlahan. "Tak apa-apa," jawab Pambuka, "tapi ingat pesanku, akuilah aku guru
jika bermanfaat bagimu di luar sana. Akan tetapi jika malah
membahayakan dirimu, ingkari saja. Bagiku sebutan itu tak penting."
Arme mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, aku berhutang banyak cerita kepadamu," ujarnya. Lalu ia pun
mulai bercerita setelah ia meminum ramuan obat yang telah dibuatnya
dengan bahan-bahan yang baru saja dibawakan oleh Arme.
Angin pun berhenti berhembus. Jengkerik terdiam sunyai. Awan pun
menipis. Semua seakan-akan bersiap mendengarkan cerita yang
mengalir perlahan dari mulut Pambuka.
Bagian 17 Air Lawan Api "Jadi itu sebabnya masa seratus hari itu penting, guru?" tanya Arme
berusaha meyakinkan apa yang baru saja diceritakan oleh gurunya itu.
Pambuka mengangguk. "Benar! Oleh sebab itu aku minta engkau
mendengar-denger apa yang terjadi dalam seratus hari ini sejak aku
terluka kemarin," jawabnya.
Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan Pambuka. Terjawab
sudah sedikit keinginantahuannya mengapa dalam masa tersebut ia
harus memperhatikan kabar-kabar di sekelilingnya.
"Sekarang tidurlah, aku akan matikan apinya!" ucap Pambuka.
"Mangapa harus dimatikan, guru?" tanya Arme ingin tahu. Ia tidak
takut tetapi akan lebih nyaman tentunya tidur dengan api yang
menyala dekat mereka. "Tubuh saat tidak terkena cahaya akan mengeluarkan zat-zat yang
diperlukan untuk mengobati bagian-bagian yang rusak. Melantonin
orang sebut zat itu. Beberapa pengujar telah mengamati dan mencatat
hal itu. Selain itu udara hasil pembakaran ini tidak baik bagi paru-paru
kita. Tidak sadar kita akan menghirupnya secara dalam saat kita
tidur," jelas gurunya.
Arme mengangguk mendengar penjelasan gurunya. Penjelasan yang
masuk akal. Mereka pun kemudian merebahkan tubuhnya. Hanya saja Arme tidak
dapat langsung tidur. Bukan disebabkan oleh situasi di mana mereka
berada, melainkan cerita yang baru saja dilantunkan oleh Pambuka,
gurunya. Suatu cerita yang membuatnya semakin bersemangat untuk
belajar beladiri lebih lanjut. Saat ini ia baru belajar ilmu untuk
menghindari serangan dan sedikit menyerang dari guru bersama ia
dengan Reiche. Ia ingin bener-benar belajar ilmu beladiri sebenarnya
sehingga bisa sehebat gurunya, Pambuka.
"Alam ini dipercaya oleh para pengujar tersusun atas empat elemen.
Air, api, udara dan tanah begitu mereka menamakannya," jelas
gurunya tadi. "Atas elemen-elemen itulah para pengujar beladiri
menggubah ilmu-ilmu mereka, menirukan sifat-sifat alam dan
mengejawahntahkannya dalam gerak tubuh dan aliran tenaga dalam."
Arme mendengarkan dengan tekun uraian tersebut. Falsafah yang
mendasari gerakan beladiri ternyata memukai hatinya, jauh melebihi
ujar-ujar akan sikap hidup dan juga ilmu sastra yang selama ini
dipelajarinya di perguruan tulis-menulis. Ilmu beladiri ternyata tidak
hanya buk-bak-bik-buk dengan kepalan dan tendangan belaka. Ada
pemikiran yang melandasi mengapa gerakan ini begini dan mengapa
begitu. Sudah tentu di samping kegunaannya yang ringkas dalam
menyerang dan bertahan. "Ilmuku lebih bersumber pada elemen udara atau juga sering disebut
angin. Juga ilmu yang engkau pelajari. Dengan memanfaatkan sifat-
sifat udara orang dapat berberak dengan bebas tanpa beban. Lihatlah
udara di sekeliling kita ia bergerak bebas ke atas ke bawah tanpa harus
mengeluarkan tenaga," jelas gurunya lagi. "Selain itu aku juga memiliki
ilmu berdasarkan elemen air. Hal-hal yang mengalir dan juga bersifat
dingin. Atas dua unsur inilah ilmu yang aku miliki dikembangkan dulu
kala oleh guru dari guru dari guruku, Rancana si Bayangan Menangis
Tertawa." Bagi Arme menjadi semakin jelas bahwa Menanti Mata Berkedip adalah
bentuk dasar dari ilmu menghindar menggunakan sifat udara. Bila
aliran hawa udara telah dimiliki tidak lagi seseorang perlu menanti
mata lawannya untuk berkedip. Perbedaan tarikan napas atau
perubahan lainnya yang menandakan seseorang sekejap tidak dapat
memantau lawannya, segera dapat dimanfaatkan untuk menghilang
dan bersembunyi di balik sudut mati mata. Untuk pemula, memang
Arme sebaiknya mengamati mata.
"Banyak variasi dari keempat elemen dengan takaran-takaran yang
berbeda. Dari sifat-sifat tersebut turunlah berbagai jenis ilmu beladiri
dan juga ilum-ilmu lain. Termasuk di dalamnya adalah tulis-menulis
yang engkau pelajari itu," ucap gurunya kemudian.
Demi melihat bahwa Arme tampak tak percaya bahwa ilmu tulis-
menulis memilki kekerabatan yang tidak jauh dari ilmu beladiri
Pambuka hanya tersenyum, lalu tambahnya, "Untuk yang satu ini aku
tidak dapat menjelaskan. Suatu saat engkau akan bertemu dengan
guru lain yang mungkin bisa menjelaskannya."
"Guruku, dari hasil pencariannya kemana-mana dan berlama-lama
dalam akhir hidupnya, berhasil menciptakan apa yang disebut sebagai
pukulan Seratus Hari. Suatu pukulan yang tidak ramah terhadap lawan
yang terluka karenanya. Dengan pukulan ini seseorang akan mencari
tahu unsur elemen apa yang dipunyai lawan, yang menjadi bagian
Kisah Pendekar Bongkok 9 Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata Jentera Bianglala 2
^