Pencarian

Seratus Hari 2

Seratus Hari Karya Nein Arimasen Bagian 2


terbesarnya, dan melawannya dengan elemen lawannya. Engkau tahu
lawan air adalah api dan lawan udara adalah tanah," berkata Pambuka.
"Musuh yang terluka memiliki waktu seratus hari untuk sembuh atau
tidak sama sekali." "Dan.. guru telah bertarung menggunakan pukulan itu" Sehingga lawan
guru terluka dan...," ucap Reiche tak dapat membayangkan seseorang
yang bergulat dalam mempertahankan nyawanya dalam seratus hari.
"Benar! Tapi tidak hanya itu, lawanku itu pun telah memuntahkan
pukulan yang sama terhadapku," jawab gurunya sambil terlihat agak
murung, "Kami sama-sama terluka dan hanya punya waktu seratus
hari untuk sembuh atau pergi dari dunia ini."
"Jika ilmu guru berdasarkan elemen air dan angin, berarti lawan guru
itu.. air dan..," tebak Arme.
"Tidak harus mutlak lawan dari keduanya. Bisa salah satu saja.
Sejujurnya lawanku itu adalah adik perguruanku sendiri," ucap
Pambuka sedih. "Kami sama-sama mewarisi gerakan-gerakan
berdasarkan elemen angin dari guru kami akan tetapi jika aku
kemudian mempelajari elemen air yang juga merupakan ilmu guru, dia
mempelajari elemen api yang entah diperolehnya dari mana. Ia
mendengar bahwa api dapat mengalahkan air dan ia ingin
mengalahkanku." Termenung sejenak Pambuka. Kisah masa lalunya tidak terlalu
mengggembirakan untuk diceritakan. Atau setidaknya ia tidak bangga
akan hal itu. "Mengapa kami bersaing, sebaiknya tidak aku ceritakan. Itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku menurunkan ilmuku kepadamu,"
ucapnya kemudian setelah berpikir sejenak. Agak muram wajahnya
ketika mengingat penyebab perseteruannya.
Terdiam Arme mendengarkan penjelasan gurunya. Itu rupanya salah
satu sisi buruk ilmu beladiri. Saudara seperguruan yang bagai saudara
bisa baku hantam karena suatu hal. Tapi ia tidak segera bisa menilai.
Ia tidak tahu apa sebab tersebut.
"Jelasnya, ia menggunakan Pukulan Meriam. Memuntahkan hawa api
ke dalam tubuh lawan. Menggetarkan isi perut dan jantung. Aku telah
berusaha menghindar dengan Bulu Angsa Dihembus Angin, gerakan
terakhir dari Menanti Mata Berkedip," terang Pambuka, "Dengan
mengulang-ulang gerakan yang sama sehingga ia terus menerus
mengeluarkan Pukulan Meriam, ia menjadi tak siap saat aku
menghindarinya. Menyelinap masuk dan memberikan totokan-totokan
ke tubuhnya. Menyalurkan tenaga air untuk merusak aliran hawa api
miliknya. Ia berhasil kulukai setelah sebelumnya aku sendiri terluka."
"Lalu di mana seratus harinya, guru?" tanya Reiche ingin tahu. Ia tidak
melihat kaitan dari nama itu dengan serangan-serangan gurunya.
"Menggunakan elemen berlawanan dalam menyerang adalah sudah
unsur pukulan Seratus Hari, tapi dimasukkan sehingga lawan terluka.
Keras lawan keras," jelas gurunya. "Aku terkena akibat Seratus Hari
karena ingin menjebaknya sedangkan ia terkena akibat tak siap
mengunci hawa totokanku."
Mengangguk-angguk Arme mendengarkan penjelasan gurunya. "Jadi
Air lawan Api...," ucapnya tanpa sadar.
"Tepat!!" ucap gurunya. Senang ia melihat bahwa muridnya telah dapat
menangkap apa yang ia ceritakan.
Tanpa terasa Arme membayangkan bagaimana gurunya dan sang
lawan bertarung. Berkelebat sana-sini serta saling lempar pukulan dan
tendangan sampai keduanya terluka. Tanpa sadar ia pun mengantuk
dan akhirnya tertidur. Bagian 18 Mengendalikan Air "Arme, bangunlah! Engkau harus sekolah!" ujar
Pambuka perlahan menggugah tubuh Arme yang
masih tampak meringkuk tertidur tak jauh dari
bekas api unggun di tengah lapangan kecil
tersebut. "Sekolah?" Di mana aku?"" ucap Arme perlahan dengan nada bingung.
Ia lupa bahwa sejak malam kemarin ia telah tinggal bersama Pambuka,
gurunya di dalam hutan di luar desanya.
"Engkau berada di dalam hutan bersamaku," jelas gurunya sambil
tersenyum demi melihat Arme yang masih mengantuk itu.
"Ah iya.. aku lupa..," ucapnya malu. Setelah duduk dan mengucak-ucak
matanya ia kemudian berkata, "Saya pikir tidak harus bersekolah saat
menemani guru di hutan ini?"
"Tentu saja tidak! Engkau harus tetap sekolah," ucap gurunya. "Hanya
saja engkau bermalam di sini. Malam nanti akan kita mulai sesuatu
yang harus segera dilakukan. Dan bagaimana bisa engkau
mendengarkan kabar-kabar dalam seratus hari ini bila engkau tidak
pergi ke sekolah?" "Ah, betul! Mendengar kabar-kabar," ucapnya lagi. Teringat akan cerita
gurunya kemarin malam. "Ini, sudah kubuatkan sarapan untukmu. Makanlah!" ucap Pambuka
seraya menunjuk sebuah mangkok kayu kosong dan sebuah kuali besi
yang di dalamnya tampak semacam bubur masih mengepulkan asap.
Baru saja dimasak. "Apa itu paman?" tanyanya ingin tahu.
"Bubur dari umbi dan buah yang kutemukan di sekitar sini. Makanlah!
Baik untuk kesehatanmu yang mulai hari ini akan tidur larut malam,"
ucapnya seraya mengisi mangkoknya sendiri dengan bubur tersebut.
Keduanya kemudian makan tanpa berkata-kata lagi.
Setelah itu Arme pun pamit dan berangkat ke sekolah seperti biasanya.
Belajar di perguruan tulis-menulis, mendengarkan kabar-kabar dan
sebentar pulang menengok ayahnya. Menjelang senja kembali ia ke
hutan tempat ia akan kembali menemani gurunya yang sedang terluka.
"Guru!" panggilnya.
"Di sini Arme, di balik pohon besar itu!" ucap gurunya dari kejauhan.
Bergegas Arme mengikuti suara itu dan sampailah di suatu lapangan
kecil lain yang tampaknya baru dibuat gurunya. Lebih kecil dari
tempat mereka bermalam. Di sekeliling tanah tersebut terdapat
secarik-carik aliran air.
"Tempat yang cocok untuk mulai berlatih," kata gurunya. "Cukup
banyak air, tapi tidak terlalu banyak."
Arme hanya terdiam memperhatikan apa yang akan selanjutnya
dilakukan oleh Pambuka. "Sudah siap?" tanya Pambuka kemudian setelah ia mempersiapkan
kayu bakar dan mulai menyalakannya. Saat itu matahari telah mulai
pergi dari kaki langit. Menghilang dan meninggalkan kegelapan di atas
kepala. Arme hanya mengangguk. Lalu ia pun kemudian duduk setelah
gurunya memerintahkan. Keduanya duduk berhadapan bersila dan saling memandang. "Aku
akan tunjukkan dengan apa yang disebut Mengendalikan Air," jelas
gurunya, "memanfaatkan air yang ada di sekeliling kita melepaskannya
mengambang di udara dan menggerakkannya sesuka hati kita."
"Mungkinkah itu, guru?" tanya Arme tidak percaya bahwa hal tersebut
dapat dilakukan. "Lihat saja!" ucap gurunya tersenyum. Lalu ia pun mulai
memperagakan bagaimana air yang ada di carik-carik di dekat mereka
mulai perlahan mengambang membentuk kumpulan titik-titik di udara
dan kemudian bersatu. Dengan memutar-mutar tangannya Pambuka
mengendalikan titik-titik tersebut sehingga bergerak ke sana-ke mari
seperti angin. Menggumpal, menyebar, naik, turun dan semacamnya.
Setelah selesai memperagakan mulailah Pambuka mengajari Arme
bagaimana mula-mula ia merasakan adanya air, mengeluarkan hawa
tubunya untuk mencapai air yang ia rasa dan 'memanggil' air tersebut
agar mau mengikuti kehendaknya.
"Pertama-tama memang selalu sulit," ucap gurunya, "tapi cobalah
terus.. pusatkan pikiranmu!"
Dan waktupun berlalu saat guru dan murid berlatih bersama-sama itu.
Angin bergemerisik di sela-sela daun dan burung-burung malam mulai
berbunyi. Bagian 19 Sebuah Pembicaraan "Hai Arme!" "Hai Reiche!" Keduanya tertawa saat menyadari bahwa mereka hampir bersamaan
saling menyapa. Saat itu siang sehabis pelajaran hari itu di perguruan
tulis-menulis. Para murid pulang lebih cepat dari biasanya karena para
guru ada kepentingan untuk membicarakan sesuatu.
"Terburu-buru pulang?" tanya Reiche.
"Tidak. Dan engkau?" bertanya balik Arme.
Yang ditanya menggeleng. Keduanya pun tersenyum. Bertahun-tahun
saling bersahabat membuat mereka kadang dapat saling meengerti
tanpa saling terlebih dahulu mengucap. Dan saat ini mereka merasa
membutuhkan waktu untuk bersama bermain, bercerita atau hal-hal
lain yang biasa mereka lakukan bersama akan tetapi beberapa masa
belakangan ini tidak dapat lagi dilakukan. Sebab yang masing-masing
yang tahu. Rahasia yang dihormati oleh yang lain.
"Bagaimana kalau kita ke toko paman Buecher?" usul Reiche kemudian
setelah kesunyian menyelinap di antara mereka.
"Usul yang bagus! Mari kita ke sana!" jawab Arme yang segera berlari.
"Hei, tunggu aku!" ucap Reiche yang segera mengikuti.
Keduanya pun kemudian tampak berkejar-kejaran keluar dari halaman
sekolah, melintasi pasar dan akhirnya berhenti di ujung deretan toko-
toko. Di sebuah rumah yang agak terpisah tampak sebuah toko buku
yang mereka tuju. Satu-satunya toko buku di sekitar tempat tinggal
mereka. Toko buku paman Buecher.
Keduanya pun segera menghilang di balik pintu toko tersebut dengan
disertai sorak-sorai gembira. Kegembiraan para kutu buku
menemukan barang kegemarannya.
Bagian 20 Menyelaraskan Titik Terendah
"Tak terasa sudah sebulan berlalu..," ucap Pambuka suatu saat, ".. dan
tidak terjadi apa-apa seperti yang aku takutkan..." Mengambang kata-
katanya dalam kalimat yang tidak selesai itu.
Arme yang mendengarkan mencoba untuk mengerti. "Apa yang
seharusnya terjadi, guru?" tanyanya hati-hati. Ya, telah berulang kali ia
mencoba bertanya, akan tetapi selalu Pambuka, gurunya, mencoba
utuk tidak menjawab tuntas.
"Orang itu -- yang betempur denganku -- memiliki sebuah ilmu
simpanan yang aku belum tahu pasti, sempai mana ia telah
menguasainya. Ilmu untuk mengobati luka dalam dirinya dengan
memanfaatkan kehidupan lain..," jelasnya dengan nada seakan-akan
sedang bicara pada dirinya sendiri.
"Memanfaatkan kehidupan lain, guru?" tanya Reiche kembali. Kali ini
dengan penekanan dalam kata-kata 'kehidupan lain' itu.
"Lupakanlah... lupakanlah!!" ucap gurunya sambil menggoyang-
goyangkan tangannya. "Bila aku sudah pasti, aku akan jelaskan
kepadamu sejelas-jelasnya. Sejauh yang aku tahu," katanya kemudian.
"Sekarang tetaplah dengar kabar-kabar yang berseliweran dan tidak
normal." "Baik, guru!" jawab sang murid patuh.
Setelah terdiam sesaat kemudian Pambuka mengajak Arme untuk
melatih kembali Mengendalikan Air. Ia telah melihat bahwa muridnya
telah bisa sedikit-sedikit menirunya. Tapi baru dalam keadaan duduk.
Yang perlu malah orang harus dapat melakukan itu dalam keadaan
apa saja, duduk, berdiri, berlari. Bila telah bisa, barulah ilmu itu dapat
dimanfaatkan untuk bertahan dari atau menyerang lawan.
"Sekarang kita melatihnya dengan berdiri," perintahnya kemudian
setelah Arme berhasil memperagakan dengan baik Mengendalikan Air
sambil duduk. "Baik, guru!" jawab Arme yang segera melaksanakan perintah
Pambuka. Dalam posisi kuda-kuda sejajar, posisi kuda-kuda paling dasar dalam
hampir tiap aliran beladiri, Arme mencoba lagi ilmu yang telah
berhasil ia rapalkan dalam posisi bersila tadi. Gagal!
"Sulit, guru!" katanya, ".. tenagaku tak mau keluar.. ini.."
"Itu karena engkau masih menghimpunnya dalam ketinggian pusat
saat engkau bersila tadi," jelas gurunya yang melihat jelas kesalahan
muridnya. "Saat berdiri, pusat tenaga tetap di bawah pusat, bukan
sejengkal dari atas tanah. Ingat sifat air yang selalu mencari titk
terendah. Engkau harus angkat sedikit titik terendahnya sehingga
sejajar dengan dua jari di bawah pusarmu!"
Mengangguk Arme atas penjelasan gurunya. Ia pun segera
mempraktekkannya. Sedikit mulai menampakkan hasil walaupun
belum sesempurna hasil sebelumnya dalam posisi bersila. Tapi terlihat
bahwa Arme mulai dapat mengerti. Lebih sulit ternyata karena ia
harus memusatkan pikiran pada dua hal, menjaga titik terendah hawa
dalam tubuhnya dan juga bentuk air yang dikendalikannya.
"Bagus!" ucap gurunya, "Terus rasakan dan lakukan!"
Beberapa saat pun berlalu dan Arme terlihat semakin bisa menjaga
bentuk air yang diubah-ubahnya mengambang di udara. Menandakan
bahwa ia telah bisa mengeluarkan dan mengandalikan tenaganya.
Tiba-tiba gurunya datang mendekat dan menekan pundaknya.
"Pyesss!!" hancur berantakan bentuk air yang tadinya mengambang,
lepas kendali dan membuyar menghantam tanah.
"Lakukan lagi, tapi aku akan mengubah-ubah tinggi rendah berdirimu!"
perintah gurunya. Arme pun mengangguk mengerti. Dan mulai melakukannya lagi. Saat
bentuk air yang dikendalikan mulai teratur, gurunya menekan
perlahan pundaknya sehingga kaki-kakinya membentuk kuda-kuda
yang rendah. Ia pun berusaha kembali menggeser titik terendah hawa
air dalam tubuhnya. Saat telah berhasil kembali, pundaknya pun
diangkat sehingga kembali ia sulit mengendalikan tenagannya.
Berulang-ulang sampai ia mulai dapat merasakan posisi titik terendah
hawa air dalam tubuhnya dan mulai dapat mengendalikannya sesuka
hati lepas dari posisi tinggi rendah kuda-kudanya.
"Bagus sekali, Arme!" ucap gurunya yang terlihat amat puas dengan
kemajuannya hari itu. "Bila begini terus, minggu depat bisa kita mulai
dengan kuda-kuda bergerak dan melompat."
Arme hanya mengangguk. Pikirannya masih terpusat pada hawa air
yang mengalir keluar masuk tubuhnya melalui tangan turun ke titik di
bawah pusar dan kembali menggelung keluar dari tangan pada sisi
yang berlawanan. Bagian 21 Pembicaraan Menjelang Pagi
"Terima kasih engkau mau menuliskan surat ijin untuk Arme." ucap
sebuah suara. "Terus terang aku kaget melihat lencana batu pipihmu itu," jawab
suara yang lain, "tak kuduga engkau akan berlabuh di sini."
"Itu belum semua.. ada yang lain pula..," kembali suara yang pertama
berkata. "Maksudmu?" tanya lawan bicaranya.
"Engkau sudah dengar pertarunganku?" tanya suara pertama tak
langsung menjawab pertanyaan tersebut.
"Aku bisa mengira-ngira..," jawab suara kedua mengambang. "Entah
engkau terluka atau engkau hendak mewarisi suatu ilmu yang tidak
boleh terhenti dan hanya bisa dilakukan malam hari.."
"Aku telah bertarung dengannya," jelas suara pertama. Ia menekankan
pada kata "nya" saat mengucapkan.
"Tidak mungkin!" desis suara kedua. "Apa yang dicarinya di ini?"
"Tidak tahu! Aku hanya kebetulan berbenturan saja dengannya. Dan ia


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang telah bertambah maju sejak dulu menghilang," jawab suara
pertama sambil menghela napas.
"Tong-tong-tong!!" kentungan berbunyi tiga kali. Hari telah menjelang
fajar. Satu-dua jam lagi matahari akan mulai nampak.
"Sebaiknya aku pergi sekarang," ucap suara pertama.
"Hati-hati!" ucap yang kedua.
"Engkau juga. Dia walaupun tidak pernah berseteru denganmu dulu,
tapi tetap engkau harus berhati-hati!" pesan suara pertama.
Lawan bicaranya hanya mengangguk mengiyakan. Lalu dalam
sekelebat orang pertama hilang dari tempatnya melalui jendela yang
terbuka. Melesat. Orang kedua semakin kagum atas pesatnya ilmu dari
orang yang baru saja pergi, walaupun ia melihat bahwa napas orang
tersebut belum benar-benar pulih dari lukanya. Masih terdengar suara
deru halus saat ia bernapas. Paru-parunya belum sembuh benar.
Orang kedua pun menutup jendela kamarnya. Memadamkan lilin dan
mencoba satu-dua jam tidur. Sebentar lagi murid-murid akan
berdatangan untuk menuntut ilmu dan ia masih merasa letih setelah
pembicaraan tadi. Perbincangan dengan orang dari dan mengenai
masa lalu. Suatu masa dalam hidupnya yang masih mengejarnya
sampai saat ini dan ke tempat ini.
Bagian 22 Memanfaatkan Kehidupan Lain
"Reiche..," panggil sebuah suara yang terdengar agak berat akibat luka
dalam yang dideritanya. "Ya, guru Panutu," jawab seorang pemuda yang tampak duduk di dekat
pembaringannya. "Sudah engkau dapat apa yang kupeksan?" tanyanya dalam nada suara
yang lemah. Walaupun demikian tampak bahwa sorot matanya dan
hawa keinginannya masih tampak kuat, yang membuat Reiche merasa
tidak nyaman. "Sulit guru," ucap Reiche pelan. "Tidak mudah untuk mendapatkan
seorang yang mau diambil darahnya.." Reiche tidak meneruskan kata-
katanya. Permintaan gurunya untuk mendapatkan darah, tepatnya
darah manusia, membuatnya kelimpungan. Ayahnya saat itu tidak ada
di rumah dan baru bulan depan pulang. Mau tak mau Panutu adalah
satu-satunya yang memiliki pengaruh terbesar di rumah itu
sebagaimana ayahnya mempercayai dia.
"Sudah pasti tidak ada yang ingin bila engkau menanyakannya," ujar
gurunya dengan tidak sabar, "engkau paling tidak harus
membohonginya. Akan diberi upah tinggi bila ia mau datang
menemuiku." "Tapi guru..," ucap Reiche ngeri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang
akan terjadi bila ada orang yang bersedia menemui gurunya. Ia sendiri
kadang-kadang menjadi tidak tenang berada di samping gurunya
setelah ia menceritakan cara cepat untuk mengobati luka dalamnya
itu. "Engkau tidak usah kuatir akan dirimu," ucap gurunya demi melihat
Reiche yang tidak tenang, "Aku sudah pasti tidak akan menggunakan
darahmu, darah muridku sendiri. Itu sebabnya aku minta engkau
mencari orang untuk dikorbankan. Jika aku tidak selemah ini sudah
pasti aku pergi sendiri."
"Baiklah, aku akan minta paman pengasuhku untuk mencari orang-
orang yang seperti guru minta," ucapnya pelan.
"Aku telah bilang, engkau harus mengusahakannya sendiri. Semakin
sedikit yang tahu semakin baik..," ucap Panutu dengan sedikit tidak
sabar. "Iya, guru..," jawab Reiche dengan menunduk.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah bergegas Reiche menuju
suatu simpang jalan di mana banyak orang-orang sering berkumpul,
terutama orang-orang muda yang tidak jelas pekerjaannya. Mereka
hanya menghabiskan waktu berdiam di sana dan berbincang-bicang
sambil kadang diselingi minum-minum dan merokok.
"Eh lihat itu, siapa!" ujar seorang dari mereka demi melihat Reiche
celingak-celinguk tampak bingung. Ya, daerah itu bukan tempat
mainnya, melainkan tempat yang sering ia hindari. Sebagai anak dari
seorang beruang di desanya, bukan tempat kawan-kawan yang nyaman
baginya untuk berdiam di sana.
"Hei, kamu Reiche bukan?" ucap seorang dari mereka. "Bisa-bisanya
kamu nyasar ke sini! Nanti dicari pengasuhmu!" Ucapan terakhir ini
segera disambut gelak tawa anak-anak muda yang lain. Orang-orang
yang usianya tiga-empat tahun lebih tua dari Reiche.
"Aku.. aku..," ia berbicara agak tergagap, bukannya takut melainkan
geram dengan penghinaan mereka. Dulu mungkin ia merasa takut, tapi
setelah belajar dari guru Panutu ia merasa lebih berani dan yakin bakal
dapat mengalahkan mereka jika berhadapan satu-satu. Sayangnya
kelompok orang-orang seperti itu senangnya melakukan keroyokkan
dan kabur bila salah seorang rekan mereka telah kalah atau sejajar
dengan tanah. Ia tidak boleh sampai kehilangan kesabarannya demi
tercapai tujuannya, mengajak seorang dari mereka untuk menemui
gurunya. "Aku butuh pertolongan..," ucapnya perlahan.
"Wah-wah, boleh juga nih!" ucap salah seorang dari mereka.
"Ada bayarannya nggak?" menimpali yang lain.
"Ya, benar! Ada bayarannya nggak?" sorai yang lain lagi.
"Ada, tapi aku hanya butuh satu orang...," jawab Reiche kembali.
"Wah jangan hanya satu dong, kalau bisa semuanya," ucap seseorang
dari mereka. "Iya, supaya kita bisa dapet semua, sama-sama dapet tigaan," ujar yang
lain lagi. "Sebenarnya pekerjaannya banyak, dua-tiga hari sekali, tapi setiap kali
hanya butuh satu orang," jelas Reiche setelah ia menimbang-nimbang
apa yang ia ucapkan. Dengan cara ini mereka-mereka ini bisa
digunakan oleh gurunya. "Boleh-boleh!" ucap seorang dari mereka. "Jadi giliran siapa hari ini?"
Masing-masing menunjuk dirinya. Semua ingin segera menerima tigaan
yang segera dapat mereka gunakan untuk merokok dan minum-
minum. Tak selintas pun terpikirkan oleh mereka pekerjaan apa yang
harus mereka lakukan. Ya, tigaan membutakan mata mereka. Mereka
akan melakukan apapun untuk memperolehnya. Tidak lagi peduli
dengan apa yang akan terjadi.
Begitulah seorang dari mereka ikut dengan Reiche untuk 'bekerja'
dengan imbalan tigaan, setelah terlebih dahulu diundi. Teman-
temannya hanya melihat dengan iri, menunggu sampai giliran mereka
tiba. Keduanya pun berjalan bukan menuju pusat desa melainkan ke
arah luar. Ke arah perbukitan yang berseberangan dengan arah luar
desa lain, hutan. "Eh, kita tidak menuju rumahmu?" tanya orang yang dibawa Reiche itu
agak bingung. "Tidak! Pekerjaanya di sini, bukan di rumahku," jelas Reiche.
"Sebenarnya apa sih pekerjaannya?" tanya orang itu. Suatu pertanyaan
yang baru diajukannya sekarang dan bukan dari awal-awal tadi.
"Menggali harta karun!" ucap Reiche pendek.
"Menggali harta karun?" ucap orang itu hampir berteriak.
"Sssstt!! Jangan keras-keras! Engkau tentu tidak ingin orang lain tahu,
bukan?" ucapnya pelan.
"Iya.. iya!!" mengangguk-angguk dengan keras orang itu kepalanya. Ya,
harta karun pastilah berjumlah besar dan orang itu sudah
membayangkan bagaimana ia akan memperolehnya. Sudah lupa ia tadi
bahwa pekerjaan ini berlangsung tiap dua-tiga hari sekali dan satu
orang. Tidak cocok dengan gagasan menggali harta karun.
"Itu di sana!?" ucap Reiche sambil menunjuk sebuah bukit di mana
seorang tua bertubuh subur dan besar telah menanti.
"Hei, telah ada seseorang di sana!" ucap orang yang datang bersama
Reiche. "Itu guruku! Ia yang tahu keterangan harta karun tersebut," jelas
Reiche melanjutkan bohongnya.
"Dan engkau dan aku yang akan menggalinya?" tanya orang itu.
"Tepat!!" jawab Reiche cepat, kuatir orang itu segera curiga.
Kemudian setelah memperkenalkan orang itu kepada gurunya, mereka
lalu mengambil jalan sedikit lebih ke atas bukit sampai ke sebuah
hutan kecil dengan banyak pohon-pohon yang tumbuh jarang.
"Di sini, kita mulai menggali!" ucap Panutu.
Segera Reiche dan orang yang dibawanya menerima alat-alat menggali
dari Panutu dan mulai menggali. Tak berapa lama terkuaklah sebuah
lubang besar yang cukup untuk menampung orang untuk dibaringkan.
"Sudah cukup dalam, tapi mana hartanya?" ucap orang itu tidak sabar.
Peluh telah meluluh dari sekujur tubunya. Ia tidak tahu saat tadi
sedang asiknya menggali bahwa Reiche hanya berpura-pura, terlihat
dari kurang berkeringatnya anak itu.
"Kamu...!!" tanyanya dengan bingung.
Dan sebelum ia berbalik untuk mencari Panutu, sebuah totokan
mengenai tengkuk dan bawah ketiaknya. Ia pun berdiri kaku.
"Bagu juga idemu!" ucap Panutu kepada Reiche. Orang yang tertotok
kaku tersebut masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Menggali lubang untuk dirinya sendiri. Suatu penghematan."
Mendadak terbesit kecemasan dalam benak orang itu demi mendengar
'..lubang untuk dirinya sendiri..'. Segera wajahnya menjadi pucat pasi
dan semakin banyak keringat bercucuran. Namun kali ini adalah
keringat dingin. Seberkas rasa sakit menyerang lehernya. Ia tidak bisa melihat karena
masih dalam kondisi kaku tertotok. Hanya rasa dingin dan denyut-
denyut pada jalan darah di dekat leher yang semakin jelas
dirasakannya. Tubuhnya terasa semakin lemas, dingin dan
kesadarannya pun menghilang.
"Sudah.., sudah cukup!" ucap Panutu demi melihat sejumlah darah dari
orang itu memenuhi wadah kayu yang menampung cucuran darah dari
lehernya oleh sebuah pipa besi berujung runcing. "Aku akan mulai
dengan latihanku mumpung darah ini masih hangat. Engkau kuburkan
ia di dalam lubang tersebut!"
Reiche hanya mengangguk. Ia pun mendorong orang yang masih
tertotok berdiri tersebut akan tetapi sudah tidak bernyawa itu.
Berdebum jatuh bunyinya. Tepat di tengah-tengah lubang yang orang
itu gali sendiri. Lalu ia pun mulai menutupi jasad orang itu dengan
pasir dan tanah yang ada di sekelilingnya. Secepatnya, untuk
kemudian menyusul gurunya.
Bagian 23 Air Kehidupan Panutu dengan tubuhnya yang besar dan subur akan tetapi dengan
wajah yang pucat tanpak bersila di tengah tanah lapang yang
berumput pendek itu. Wajahnya kian bertambah mengerikan demi
adanya percikan-percikan darah di sana-sini. Di hadapannya sebuah
wadah kayu, semacam baskom, tampak penuh terisi cairan merah.
Darah. Darah dari orang yang barusan dikuburkan oleh muridnya,
Reiche. Orang tua itu pun tampak berkonsentrasi sebentar kemudian dari
ubun-ubunya tampak uap mengepul ke atas. Semakin lama semakin
putih dan tebal. Butir-butir keringat pun tampak mulai bermunculan
dan berjatuhan dari wajah dan lehernya.
"Hehhhh!!!" dengan diiringi hembusan napas yang penuh pemusatan
pikiran ia mulai menggerak-gerakkan tangannya. Perlahan dan
kemudian semakin cepat. Keras lalu lemah. Mengalir lalu patah.
Sampai suatu saat ia terdiam dan mulai memandang ke dalam basok
berisi darah manusia itu. Perlahan cairan merah yang ada di dalam
wadah tersebut tampak seperti hidup, berbuih-buih dan mulai
meloncat-locat tapi tidak terpercik ke mana-mana. Lengket.
Dengan suatu hentakan cairan tersebut naik ke udara dan bergerak
bagaikan api yang menyala. Cairan berwarna merah kehitaman.
Menyebar membentuk uap dan mengelilingi diri sang empunya.
Perlahan uap merah yang menyebar itu perlahan mengental dan
melingkupi orang tua tersebut. Membalutnya dalam warna merah
indah dan dingin. Darah. Reiche yang baru saja tiba sehabis menguburkan orang yang
dibohonginya itu tampak tertegun melihat apa yang dilakukan oleh
gurunya. Ia belum pernah menyaksikan atau membaca mengenai hal
tersebut. Ia pun diam untuk tidak mengganggu pemusatan pikiran
gurunya. "Syesss!!!" cairan kental berwarna merah yang tadinya membungkus
rapat tubuh Panutu tampak seperti air yang dimasukkan ke dalam
tungku panas, menguap dan langsung hilang. Perlahan seluruh cairan
yang tadi tampak hidup itu menguap dan hilang sama sekali. Hanya
warna-warna kemerahan tampak tertinggal pada sekujur tubuh
Panutu. "Segar rasanya!!" ucap Panutu saat ia selesai dari rapalan ilmunya dan
mulai bangkit. Ia melihat bahwa semua darah telah digunakan dan
diserap olehnya tadi. "Terima kasih, Reich!" ujarnya demi melihat muridnya duduk tak jauh
dari sana. "Tapi aku masih butuh beberapa kali lagi. Sepuluh orang
mungkin sudah cukup,"
Reiche hanya mengangguk lemah. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Mencari sembilan orang lagi untuk dibawa ke sini, bukan perkara
mudah. Tapi gurunya pasti tidak mau tahu, permintaan itu harus
dituruti demi pengobatannya.
"Kepalang tanggung," tiba-tiba sebuah suara berbicara di kepalanya,
"lebih baik tanya-tanya mengenai hal ini. Siapa tahu suatu saat ia bisa
memanfaatkannya." Setelah membulatkan tekadnya, ia pun mulai
berbicara, "Guru, itu ilmu apa tadi?"
"Itu disebut Menyerap Air Kehidupan, bagian dari Memanfaatkan
Kehidupan Lain," jelasnya.
"Air Kehidupan" Darah maksudnya?" tanya Reiche yang pikirannya
tiba-tiba saling mengait setelah menyaksikan apa yang barusan itu.
"Benar! Darah adalah Air Kehidupan. Orang dapat memanfaatkan air
kehidupan dari makhluk lain untuk apa saja. Tapi yang paling bagus
adalah dari jenis makhluk yang sama. Dan untuk kita, ya.. darah
manusia," ujar gurunya. Tak tampak adanya rasa risih dalam
menjelaskan itu. Tampak baginya memanfaatkan nyawa dan tubuh
manusia lain adalah biasa-biasa saja.
Lalu diceritakannya sedikit bahwa ilmunya itu berdasar dari ujaran
empat elemen penyusun alam ini, yaitu air, api, udara dan tanah.
Kedua elemen yang dilatihnya adalah api dan berdasar dari gerakan
udara. "Tapi darah itu..?" tanya Reiche tanpa sadar.
"Hahahaha!! Engkau pintar, Reiche! Baru sedikit diceritakan sudah bisa
mengira-ngira. Ya, betul.. darah itu bukan air murni. Melainkan air
mengandung api -- sumber perubahan, kehidupan," jelasnya. "Karena
kau dilukai oleh pukulan dengan elemen yang berlawanan, yaitu air,
aku harus mengobatinya dengan air lagi tapi yang mengandung api.
Air mengandung api, yaitu darah itu."
"Lalu, lawan guru harus mengobati dirinya dengan api mengandung
air?" tebak Reiche demi mendengar penjelasan itu. "Dan itu..."
"Benar.., benar demikian!" jawab Pambuka terbahak-bahak, "Api
mengandung air. Api yang sifatnya mengalir dan dingin. Tidak mudah
memperolehnya. Dan aku sangsikan ia akan dapat memilikinya."
"Adakah bendanya guru?" tanya Reiche lanjut.
"Mengapa engkau ingin tahu?" tanya Pambuka balik. Ia melihat dengan
selidik wajah muridnya. "Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu suatu saat aku terluka dalam
keadaan itu," jawab Reiche serius.
"Baik.. baik itu untuk tahu. Tapi sejujurnya aku tidak tahu. Guruku
pernah bilang dulu ada kitab yang namanya Seratus Hari, di sana
orang menuliskan hal-hal yang berlawanan tersebut dan bagaimana


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengobatinya," terang Panutu.
Teringat Reiche pada kitab kuno yang diberikan oleh gurunya itu dulu
kepadanya. Apa kitab itu"
"Bukan.., bukan kitab itu!" ujar gurunya yang seakan-akan dapat
menebak pikiran Reiche, "Kitab yang aku berikan itu lebih berisi cerita-
cerita mengenai kitab sebenarnya. Dan lagi di tengahnya ada tulisan-
tulisan aneh. Sudah pasti bukan kitab yang dimaksud itu."
Reiche hanya mengangguk namun dalam pikirannya berkecamuk hal
lain. Hanya ia yang tahu bagian kitab yang sudah diuraiakn sandinya
itu. Mungkin dengan membacanya sekali lagi ia dapa melihat apa itu
kitab yang asli atau bukan. Dan ia belum dapat memutuskan apa akan
memberitahu Panutu, gurunya, atau tidak.
"Mari kita pulang!" ajak Panutu. "Curiga nanti orang-orang, bila kita
terlalu lama menghilang."
Reiche mengangguk mengiyakan. Mereka pun kemudian kembali ke
tempat tinggal mereka tidak lewat jalan mereka tadi datang ke tempat
itu. Di sana di tempat dari mana mereka pergi telah muncul sebuah
gundukan baru. Sebuah makam orang yang baru saja 'air kehidupan'-
nya diambil dan dibiarkan mati kekeringan karenanya.
Bagian 24 Orang-orang yang Hilang "Bagus Arme! Engkau sudah lebih menguasainya sekarang," ucap
Pambuka demi melihat Arme telah dapat dengan luwes mengendalikan
air sesuka hatinya, baik dalam posisi berdiri, duduk ataupun jongkok.
"Sedikit lagi, engkau akan segera dapat melakukannya sambil
bergerak," tambah gurunya itu lagi.
Perkembangan Arme sesuai dengan yang diperkirakan Pambuka. Perlu
satu minggu Arme untuk membiasakan dan merasakan perubahan
titik terendahnya yang harus dijaga selalu berada dua jari di bawah
pusarnya. Dan hari ini mungkin bisa dimulai latihan kelanjutannya.
"Terima kasih, guru! Ini juga tas bimbinganmu," ucap Arme dengan
bangga. Senang ia bahwa kemajuannya memuaskan hati gurunya.
"Sekarang coba engkau lakukan seperti tadi, tapi posisi antara jongkok
dan berdiri tidak memutuskan pengendalian airmu. Jadi engkau
melakukan jongkok berdiri sambil terus mengendalikan air tersebut,"
usul gurunya. Arme pun mengangguk mengiyakan dan mulai mencoba-coba.
Rupanya bagian berikut dari latihan lebih sulit dari yang dibayangkan
oleh Arme. Ia tidak dapat dengan mudah memecah pikirannya untuk
mengendalikan air dan berjongkok beridir. Berkali-kali ia mencoba,
akan tetapi masih saja gagal. Terlihat air yang dikendalikannya kadang
hilang bentuknya dan jatuh memecah di atas tanah. Perlu waktu untuk
mengembalikan bentuknya dalam posisi berdiri yang baru.
"Sudah.. sudah.., jangan terlalu dipaksakan! Besok kita ulangi lagi,"
ucap gurunya. Arme yang sudah kelelahan mengangguk setuju. Ia kemudian
menghirup napas panjang, menggerakkan tangannya membentuk
lingkaran dan menurunkannya menutup ke arah pusar sambil
menghembuskan napas. Gerakan menutup dan mengembalikan hawa
yang berkeliaran kembali ke bawah pusar. Pusat hawa dalam tubuh.
"Ada kabar baru?" tanya Pambuka setelah mereka duduk berdua di
tepi api unggun yang mereka baru nyalakan.
"Kebetulan ada guru. Ada kabar aneh dari orang-orang pasar," jawab
Arme. "Tengan apa?" tanya Pambuka kembali dengan wajah agak was-was. Ia
tidak ingin dugaan jeleknya terwujud. Firasat yang sudah menyerang
kepalanya beberapa hari belakangan ini.
"Para pemuda yang sering nongkrong di pasar katanya bertambah
sedikit," jelas Arme.
"Pemuda-pemuda yang mana?" tanya gurunya kemudian.
"Pemuda-pemuda yang sering nongkrong, kerja serabutan, minum-
minum dan sebagainya. Sering buat onar," jelas muridnya.
"Sudah berapa lama dan berapa yg hilang?" tanya Pambuka. Ia
menekankan kata 'hilang' dalam pertanyaannya itu.
"Tidak jelas, karena kadang-kadang memang mereka pindah-pindah
dan kabur, kembali lagi atau datang orang baru dan sebagainya.
Awalnya para pedagang dan pembeli di pasar tidak menyadari, tapi
kok lama-lama pasar terasa lebih nyaman tanpa kehadiran mereka.
Dan saat diperhatikan, memang jumlah mereka berkurang banyak,"
cerita Arme. "Kira-kira berapa yang hilang?" tanya Pambuka lagi, mendesak karena
ia ingat akan sesuatu. Sepuluah seharusnya sudah cukup. Tapi baru
seminggu saat semua aman-aman saja.
"Entah, guru. Ada yang bilang lima ada tujuh. Ada pula yang bilang
sudah sepuluh. Jumlahnya semua simpang-siur," jawab Arme.
"Tidak mungkin sebanyak itu dalam seminggu," ucap Pambuka. "Lima
mungkin jumlah yang wajar."
"Apa maksdunya 'jumlah yang wajar', guru?" tanya Arme balik. Ia tidak
dapat mengikuti pemikiran gurunya.
"Maksudnya adalah jumlah yang seharusnya 'boleh' hilang dalam
kurun waktu seminggu," ucap gurunya sambil agak menerawang.
Mencoba-coba memikirkan hal lain, jikalau jumlah tersebut, yang
diberitakan orang-orang, benar adanya.
Dengan perlahan kemudian Pambuka menceritakan pada muridnya
mengenai ilmu sesat yang memanfaatkan Air Kehidupan untuk
menyembuhkan luka akibat pukulannya itu. Suatu cara dengan
mengorbankan kehidupan lain.
Bagian 25 Menggali Lubang Masing-masing
Hilangnya para pemuda pembuat onak di pasar tidaklah menjadi
pembicaraan dan meresahkan apabila dalam kurun waktu yang cukup
singkat terjadi terlalu sering. Belasan dalam dua minggu. Perubahan
yang mencolok dalam kelompok tukang nonkrong itu.
Desas-desus pun mulai dihembuskan angin. Ada yang bilang mereka
pindah ke tempat lain, mencari lahan pekerjaan yang lebih baik. Ada
yang bilang mereka bergabung dengan gerombolan begal di sisi lain
hutan. Ada juga yang bilang mereka mungkin insaf dan kembali ke
kampung mereka masing-masing. Ya, sebagaian besar dari mereka
memang tidak berasal dari sini, melainkan dari tempat lain.
Reiche yang bertugas untuk menjemput para pemuda tersebut dan
mengantarkannya kepada gurunya Panutu tidak lagi melakukan hal itu
seperti kali-kali pertama. Terlalu mencurigakan bahwa ia muncul dan
kemudian orang yang pergi bersamanya benar-benar hilang. Untuk
kali-kali awal ia dapat berbohong bahwa mereka telah memperoleh
imbalan dan tidak ingin kembali ke kelompoknya untuk berbagi. Suatu
alasan yang diterima oleh orang-orang yang memikirkan dirinya
sendiri itu. Dan dengan bertambah baiknya kesehatan gurunya, Panutu
mulai dapat bergerak lebih lincah, walaupun belum sembuh benar,
sehingga dapat mencegat sendiri para pemuda mangsanya itu saat
mereka berjalan sendiri di malam hari.
Hilangnya para pemuda yang terlihat acak, membuat kecurigaan tidak
lagi tertuju pada Reiche. Pada awal-awalnya sempat para pemuda itu
menangkap dan menanyakan hal itu kepada dirinya. Akan tetapi
dengan berkelit dan menjanjikan sejumlah imbalan, mereka segera
lupa dan mau melakukan permintaannya. Untuk itu beberapa benar-
benar bekerja menggali dan diberi uang dan kembali. Untuk menutupi
kecurigaan. Panutu saat itu tidak datang ke tempat hanya menunggu
di rumah. Pun kegiatan itu memang hanya untuk menutupi kejadian
sebenarnya, bukan benar-benar untuk memangsa mereka.
Demikianlah selain hilangnya para pemuda tukang onar yang menjadi
pembicaraan, juga adanya harta karun yang akan digali. Tapi berita
terakhir ini hanya diantara para pemuda itu beredar dan mereka
berencana untuk menggalinya sendiri, tidak lagi menunggu Reiche
untuk menunjukkan tempatnya. Peta dari Reiche telah mereka rampas.
Yang mereka tidak tahu bahwa peta itu adalah palsu belaka.
Dan malam ini mereka berniat untuk pergi ke sana. Ke bukit di sisi lain
desa. Sisi luar yang berlawanan dengan hutan di luar sisi lain desa.
Bersepuluh mereka bergegas berjalan. Sisa dari teman-teman mereka
yang ada. Mereka tak ambil pusing bahwa jumlah mereka telah
berkurang. Jumlah yang sedikit akan membuat mereka dapat lebih
banyak bagian dari harta karun itu. Begitu pikir mereka. Anda saja
mereka tahu apa yang akan menjelang mereka di bukit sana.
"Ini tempatnya?" tanya seorang dari mereka.
"Ya, betul! Dulu aku menggali di sana!" ucap seorang dari mereka.
Orang itu adalah yang dibiarkan pulang dengan selamat oleh Reiche
dan diberi imbalan sebenarnya, Tigaan. Ada dua orang yang benar-
benar bekerja dan selamat.
Rekannya yang juga mengenali tempat itu menangguk mengiyakan.
Dengan demikian yakinlah rekan-rekannya yang lain.
"Dan mana galianmu?" tanya seseorang kepada orang yang
mengiyakan tempat itu. "Di sana, di belakang pohon itu!" tunjuknya pada sebuah pohon besar
yang berdiri angker di atas sebuah bongkahan tanah. Batu-batu besar
tampak berjejer menemaninya.
"Hmmm..," ucap seorang dari mereka. Terlihat bahwa ia yang paling
dapat 'berpikir' di antara mereka. "Jika sudah dua tempat digali dan
belum ketemu.., bagaimana kita bisa yakin akan menemukannya" Bukit
ini cukup luas untuk semuanya digali dan batu-batunya dibalikkan..,
untuk dilihat ada apa di bawahnya."
"Ya, betul!" ucap seseorang.
"Kalau begitu...?" tanya yang lain.
"Lebih baik kita lihat peta yang telah dirampas dari Reiche itu," usul
seseorang. Rekan-rekannya mengangguk setuju. Peta tersebut pun dibentangkan
di atas batu ceper yang ada di sana. Kesepuluh orang itu berkerumun
dan mulai memperhatikan apa-apa yang tertera di sana.
"Ada dua puluh tujuh titik di peta ini..," ucap seseorang sambil
menunjukkan titik-titik yang diberi tanda khusus di atas peta itu. "Dan
beberapa telah diberi tanda silang!"
"Mungkin telah digali dan dicari tapi tidak ada?" ucap yang lain sambil
memperhatikan dan katanya kemudian, "... benar!! Lihat dua lubang
terakhir itu juga telah disilang!!"
"Kalau begitu, kita tinggal menggali titik-titik yang lain..," ucap
seseorang. "Pas sepuluh titik lagi..," tiba-tiba seorang dari mereka menyeletuk
setelah tak sengaja ia menghitung jumlah titik-titik yang masih tersisa.
"Ayo, siapa tahu satu dari kita beruntung!!" sorai seseorang yang
segera mengambil alat galinya dan menuju ke suatu tempat yang telah
dihapalnya dari atas peta itu.
Rekan-rekannya yang tahu mau ketinggalan segera memilih posisinya
masing-masing. Hanya seseorang yang tadi masih tampak berpikir
sedang melihat-lihat posisi titik-titik itu. Teringat olehnya lokasi titik-
titik itu seperti mengingatkannya pada sesuatu. Entah apa. Ia telah
lupa. Sorak-sorai rekan-rekannya mengalahkan kegalauannya akan
posisi dan jumlah titik-titik itu. Ia pun bergegas menggapai alat
galinya, meraup peta itu ke dalam sakunya dan bergegas menggali
setelah tiba di tempat yang dimaksud. Tempat yang tersisi dari titik-
titik yang ditunjukkan oleh peta tersebut.
Sementara itu, tak jauh dari sana tampak seorang bertubuh besar dan
subur mengamat-amati dari jauh. Langkah yang ringan membuat
geraknya tak terdengar. Hanya napasnya yang masih agak kasar dan
memburu, menunjukkan ia masih menderita luka dalam. Panutu. Ia
tampat tersenyum menyaksikan calon-calon korbannya sedang
menggali kuburnya sendiri. Malam ini ia akan berpesta. Tepat pula
dengan waktu bulan purnama. Waktu yang sengaja dipilih para
pemuda, sehingga mereka tidak perlu membawa penerangan yang
berlebihan. Kondisi yang tepat untuk kebutuhan Panutu.
Kukuk burung hantu tampak terdengar takut-takut, seakan-akan tahu
bahwa air kehidupan orang-orang itu akan segera tertumpah tak lama
lagi. Darah akan membasahi bumi dan memuaskan dahaga seorang
yang lupa akan rasa hormatnya terhadap kehidupan, bahkan terhadap
sesamanya. Bagian 26 Malam Bulan Penuh "Cepat Arme!" ucap Pambuka yang masih tampak agak pucat. Ya, ia
belum sembuh benar. Tapi firasatnya mengatakan bahwa malam ini
akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu sulit untuk
dibayangkan masih ada di masa ini.
"Mau ke mana kita guru?" tanya Arme yang bergegas mematikan api
dan membereskan perlengkapannya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-
tiba gurunya mengajak ia berlalu dari sana. Padahal hari ini masih
dalam hari di mana ia harus menginap di hutan dan melanjutkan
latihannya. "Ke bukit di luar desa sana, di balik desa!" ucap gurunya. "Cepat,
mungkin nanti kita tidak akan keburu mencegahnya bila terlambat."
"Mecegah apa guru?" tanya Arme kembali. Saat itu mereka telah
berjalan perlahan menelusuri jalan setapak dalam hutan dan hampir
sampai di tepinya. "Mencegah seseorang yang akan melakukan hal yang tidak baik. 'Dipsa
sanguini'." ucap gurunya. "Haus akan air kehidupan. Darah."
Arme kemudian teringat akan cerita gurunya di mana orang dapat
menggunakan darah untuk menyembuhkan luka yang disebabkan oleh
pukulan unsur yang berlawanan, seperti dituliskan dalam kitab
Seratus Hari. "Guru maksud lawan guru akan menggunakan cara sesat itu untuk
kesembuhannya?" tanya Arme yang dalam hatinya telah dapat
membaca kegundahan gurunya, bahwa tebakannya itu benar.
Gurunya mengangguk. Lalu tambahnya, "Dan yang tidak diketahui oleh
orang itu, adalah akibat lainnya. Dipsa sanguini. Kecanduan darah.
Kecanduan hawa air kehidupan. Selalu haus."
"Ia akan terus mencari korban-korban untuk memuaskan dahaganya,
juga setelah lukanya sembuh nanti. Kelezatan dari air kehidupan dan
kemudahan pemulihan luka darinya akan menyebabkan orang
ketagihan," jelas gurunya setelah terdiam beberapa saat. Tampak
bahwa lukanya masih jauh dari sembuh yang cukup.
"Jadi kita akan melanggarnya di sana" Bertempur?" tanya Arme
memastikan. Ia masih kuatir dengan kondisi gurunya yang masih jauh
dari sehat untuk dapat kembali bertarung. "Tapi engkau belum
sembuh benar, guru!"
"Untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk muncul, mungkin aku
harus mengorbankan tubuh tua ini," ujar gurunya perlahan.
Saat itu mereka telah berada di luar hutan dan mencapai jalan
memutar desa. Mereka tidak berjalan menembus desa, walaupun itu
jalan yang singkat. Malam saat bulan penuh ini, akan jelas terlihat
orang dalam ketergesa-gesaan berjalan dan bisa menimbulkan banyak
pertanyaan. Lebih baik memutar. Lebih aman.
"Engkau nanti hanya melihat, ya!" pesan gurunya. "Biarkan guru yang
bertempur dengan orang itu. Engkau hanya memperhatikan bagaimana
gerakan-gerakan yang aku ajari dapat digunakan dalam pertempuran
sebenarnya." "Tapi guru..!!" bantah Reiche yang segera terdiam setelah melihat tatap
serius wajah gurunya itu. Wajah yang terlihat semakin pucat dan
lemah. Hanya semangatnya yang memacunya untuk tetap memaksa
dirinya untuk terus bergerak.
Sesaat keduanya terdiam hanya langkah-langkah mereka terdengar
bergesekan dengan rumput-rumput dan batu-batu kecil.
"Aneh..!!" ucap Pambuka kemudian seraya memperlambat langkahnya.
"Terlihat seperti ada kegiatan di dalam desa sana. Di malam seperti
ini?"

Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arme yang segera memalingkan wajahnya melihat ke arah desa di
mana tampak orang-orang berkumpul dengan membawa obor dan
peralatan bertani. Tampak mereka bersuara satu sama lain. Jarak yang
jauh menghalangi Pambuka dan Arme untuk menangkap pembicaraan
mereka. "Kita sebaiknya menunggu dulu mereka berlalu," usul gurunya. "Masih
lama waktu sebelum tengah malam."
Arme hanya mengangguk. Dan mereka pun duduk di salah satu dahan pohon, di balik
rerimbunan sehingga orang-orang desa yang berkumpul dari kejauhan,
apabila kebetulan melihat ke arah mereka, tak akan dapat tahu ada
orang di situ. "Guru, boleh tahu siapa lawan guru itu?" tanya Arme memecah
keheningan, Pambuka tidak langsung menjawab. Ia tampak termenung dan
wajahnya semakin memucat. "Ia adalah adik seperguruanku sendiri.
Panutu namanya." "Adik seperguruan guru" Paman guruku?" ucap Arme terkejut. Tak
disangka bahwa lawan gurunya, yang malam ini juga akan disambangi,
adalah masih saudara seperguruan dengan gurunya.
Gurunya mengangguk. "Ya, Panutu adalah adik seperguruanku. Kami
sama-sama berguru kepada keturunan Rancana, si Bayangan Menangis
Tertawa. Tapi jika aku mewarisi ilmu berlatar elemen angin dari guru
dan juga air, Panutu hanya air dan entah dari mana ia memperoleh
yang lain, api." "Dan kitab Seratus Hari itu" Hasil karya kakek guru Rancana?" tanya
Arme yang ingin tahu sejarah nenek-moyang gurunya.
"Aku tidak tahu itu. Tapi guruku mengajarkan cara itu tapi tidak
memperlihatkan kitabnya dan juga memberitahu siapa yang
menulisnya. Jadi aku tidak tahu siapa yang menuliskannya. Kitabnya
sendiri aku belum pernah melihatnya," jelas gurunya.
Kembali keheningan menyerabak di antara mereka berdua. Kasak-
kusuk yang tadinya terdengar kejauhan di dalam desa juga semakin
meluruh. Sekarang malam ini benar-benar terasa sunyai. Sepi. Lengang.
"Ayo, kita kembali berangkat!" ajak Pambuka.
Bergegas mereka kembali melanjutkan perjalannya semua ke bukit di
sisi lain luar desa. Sambil berjalan bertanya-tanya mereka dalam hati
ke mana orang-orang desa itu menuju atau apa yang hendak mereka
lakukan di malam-malam larut seperti ini.
Bagian 27 Siasat Menepuk Beberapa Lalat Sekaligus
Pemuda itu tampak tegang. Dengan cepat dibolak-baliknya lembar-
lembar kertas yang ada ditangannya. Ditatapinya satu persatu dan
dibandingkannya dengan yang lain. Tak percaya ia kemudian
mengambil sebuah kitab kuno dan melihat tulisan aslinya,
membandingkan dengan rumusanya ia buat dan hasil terjemahan
kawannya. Persis. Sama. Tidak mungkin terjadi salah menerjemahkan.
"Pengobatan dengan menggunakan air kehidupan mencapai puncaknya
saat bulan purnama. Di saat itu orang yang diobati dengan
meniadakan kehidupan lain akan pula memiliki kelemahan: hawa
energinya menjadi paling tinggi dan dapat dengan mudah dipindahkan
lagi ke tubuh yang baru berikut energinya sendiri. Habis. Oleh karena
itu jenis pengobatan ini tidak dianjurkan dilakukan antara orang-orang
belum benar-benar kenal dan saling percaya. Manfaat energi yang
menggoda dan mudah dipindahkan sering memicu pertentangan dan
pengkhianatan." Keringat dingin tampak menetes di dahi pemuda itu. Ia sempat
bergumam, "Jika aku lakukan.., energi guru Panutu akan menjadi
milikku. Juga energi dari orang-orang itu.." Matanya tampak menyipit
dan keningnya berkerut. Tak lama ia tampak menjadi tenang dan
kerutan di wajahnya hilang. Rupanya telah tiba keputusan dalam
benaknya. Entah apa. "Tok-tok-tok!!" ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Segera
ia mengamankan kertas-kertas dan kitab yang berserakan itu.
Merapikannya dan menyelipkannya dalam tumpukan buku-buku yang
menyemut di rak buku dekatnya berada.
"Maaf, nak Reiche! Ada orang-orang dari desa yang ingin bertemu.
Tampaknya ada hal-hal yang kurang baik," ucap pengasuhnya, orang
yang mengetuk pintu itu. "Terima kasih, paman!" jawabnya cepat. Ia pun bergegas keluar untuk
menemui orang-orang yang menginginkannya.
"Hati-hati, nak!" pesan pengasuhnya.
"Ya, paman!" jawabnya kembali pendek. Ya, ia sudah ada rencana.
Rencana yang bisa menyelesaikan semuanya. Membereskan
kebingungannya selama ini. Sekali tepuk beberapa lalat akan berkalang
tanah. Sesampainya di depan pendopo rumahnya tampak dua puluhan orang
sudah menunggu. Beberapa dikenalnya karena sering berurusan
dengan ayahnya dalam hal berdagang, lainnya paling tidak sudah ia
kenal wajahnya karena sering bersua walau sekedar bertegur sapa
belaka. Mereka pun mengutarakan maksud mereka berkenaan dengan kabar
tak sedap yang menyangkut hilangnya para pemuda tukang nongkron
di pasar. Dan juga adanya desas-desus harta karun di bukit di luar
desa. Mendengar itu Reiche dengan sabar menjelaskan bahwa ia tidak tahu
apa-apa, itu semua adalah permintaan dari gurunya Panutu yang minta
ia mencarikan bala bantuan untuk suatu urusan di bukit sana.
"Mungkinkan orang itu, Ki Panutu yang membunuh pemuda-pemuda
itu?" tanya seorang dari mereka.
Reiche hanya mengangkat bahu. Tapi ia menambahkan, "Mungkin
baiknya kita bertemu sendiri saja dengannya untuk minta penjelasan."
Usulnya itu disambut dengan berbagai anggukan dari orang-orang
yang berkumpul. "Nanti malam kabarnya ia ada di sana, dekat tengah malam," ujar
Reiche. "Baik, jika begitu. Sebelum tengah malam kita berkumpul dan
bersama-sama ke sana. Mungkin saja bila ia pelakukan, kita bisa
menangkap basah ia," ujar seseorang.
Yang lain-lain mengangguk-angguk mengiyakan. Mereka pun kemudian
bubar untuk nanti malam kembali berkumpul di alun-alun desa.
Selepasnya orang-orang itu pergi, Reiche kembali memikirkan masak-
masak apa yang harus ia lakukan agar rencananya benar-benar
berjalan dengan lancar dan tidak mengarahkan kecurigaan kepada
dirinya. Bila saja guru Pambuka sempat berbuka cakap, bisa habis ia
juga menjadi sasaran orang-orang desa. Ia perlu hati-hati. Dan yang
harus segera dilakukan adalah memastikan bahwa guru Pambuka
berada di sana pada malam ini. Untuk itu ia menugaskan seseorang
untuk mengirim pesan ke sana.
Yang tidak diketahui Reiche adalah bahwa sisa-sisa pemuda tukang
nongkrong itu juga bersiap-siap malam ini untuk pergi ke bukit sana.
Untuk menggali harta karun yang didengarnya dari dua orang anggota
mereka yang telah membantu Panutu menggali sebuah lubang masing-
masing satu. Bagian 28 Dipsa sanguini "Tidak ada apa-apa di sini!" ujar seorang pemuda yang telah
menuntaskan lubangnya tempat ia menggali. Sudah cukup dalam dan
lebar tanah dikuat dengan cangkut di tangannya. Di sisi lubang
tersebut telah terdapat setumpuk tanah dan batu-batu.
"Di sini juga tidak ada!" ucap yang lain.
Masing-masing tampaknya telah menyelesaikan lubang-lubang di
tempat yang ditunjukkan oleh titik-titik di atas peta itu.
Seseorang dari mereka tiba-tiba teringat sesuatu. "Mungkin di tempat
yang telah dicoret itulah terdapat harta karun yang dimaksud,"
gumammnya, "Eh, apa maksudmu?" ucap teman yang berdiri di dekatnya, yang
mendengar gumamannya. Orang yang bergumam tadi pun segera beranjang dengan diikuti oleh
pandangan penuh tanda tanya oleh rekan-rekannya. Ia memperhatikan
peta dan menuju ke salah satu titik yang sudah diberi tanda silang,
tapi bukan titik yang masih berlubang galian melainkan yang telah
ditimbun kembali. Dengan semangat menggila ia menggali tempat
yang ditunjukkan itu. Rekan-rekannya yang bagai mendapat semangat
pun kemudian membantunya. Menggali dan menggali. Mereka pun
mengais-ngais tanah untuk membuat lubang di atasnya.
Sementara itu sesosok bayangan tampak bergerak cepat, menyusuri
tempat-tempat di mana terdapat lubang-lubang yang baru digali yang
di sisinya atau di dalamnya ada seorang pemuda yang sedang
mengamati atau mencari-cari. Dengan cepat ia menotok sana-sini.
Tanpa suara pemuda-pemuda itu menjadi kaku dan berdiri, jonkok
atau duduk mematung. Bayangan itu terdiam sesaat tinggal beberapa orang yang masih belum
ia bekukan. Orang-orang yang menggali lubang bersama-sama ini. Ia
tidak ingin ada keributan dan lebih baik bila mereka tidak melihat
dirinya. Dengan perlahan ia bergerak dan menotok mereka satu-satu
pemuda-pemuda yang menonton penggalian itu. Tinggal tiga orang
saja masih menggali. "Ada, ada sesuatu di sini!" ucap seorang yang sedang menggali itu.
Bergegas ketiganya membuang cangkul mereka dan meneruskannya
dengan tangan, takut cankul merusak apa yang tertanam di dalam
sana. Tak sadar mereka bahwa rekan-rekan mereka telah berdiam
seperti patung dengan sorot mata ketakukan.
"Ini... si Srampi!!" ucap seorang yang segera mengenali bahwa 'sesuatu'
itu adalah mayat teman mereka yang telah lama menghilang.
"Hiyyyy!!!" ucap yang lain.
"Ada apa sebe...," ucap yang lain lagi tapi segera terputus saat melihat
kedua rekannya sedang terdiam dengan sorot mata melotot
ketakukan. Ia pun berbalik dan melihat seorang bertubuh subur dan
besar sedang mengamat-amatinya. Sebelum ia sempat berucap, sosok
itu telah menjulurkan tangannya dan badannya pun menjadi kaku.
"Bagus, bagus..!! Semua sudah lengkap. Tinggal menuai hasilnya aku!"
ucapnya. Ia pun dengan enteng membawa satu-satu pemuda itu ke
lubangnya masing-masing. Memudahkan untuk menguburkannya
nanti. Tak lama ia pun memulai dengan mengucurkan darah dari seorang
pemuda. Rekan-rekannya yang lain, yang hanya dapat kaku berdiri dan
kebetulan dalam posisi memandanginya, hanya dapat melihat dengan
kengerian saat darah pemuda itu mengucur perlahan memenuhi
wadah yang diletakkan di dekatnya. Cairan merah tua dan agak kental
mengucur perlahan. Uapnya tampak sedikit membumbung dalam
udara malam yang cukup dingin itu.
Setelah melakukan untuk dua orang lagi, Panutu pun pergi ke
tempatnya merapal ilmu untuk memanfaatkan air kehidupan itu.
Tidak semua pemuda dapat dimanfaatkannya sekaligus. Harus
bertahap. Terlalu berlebih bisa-bisa ia keracunan dan mendapatkan
luka dalam. Sementara itu rombongan orang-orang telah menjelang di kaki bukit.
Dengan muka tegang mereka berjalan menuju atas, berharap-harap
cemas apa yang akan mereka hadapi nanti.
"Sebaiknya nak Reiche dulu yang muncul,.," tiba-tiba usul seseorang,
"..orang itu 'kan gurunya.."
Usul itu segera disetujui oleh beberapa orang lain. Dengan berpura-
pura keberatan Reiche akhirnya menyetujui hal itu. Lancar. Mirip
dengan apa yang telah ia rencanakan. Desas-desus tambahan yang ia
hembuskan tadi pagi telah menyebar dan membuahkan kesempatan
kepadanya. "Baik, aku akan ke sana. Tapi jika aku nanti berteriak butuh
pertolongan, paman-paman harus segera keluar untuk membantu..,
setuju!" ucapnya. "Baik!!" ucap seseorang dan diamini oleh yang lain.
Lalu dengan berlangkah agak ragu-ragu Reiche meninggalkan mereka
mulai mendaki menuju tempat guru dan para pemuda yang sedang
menunggu ajalnya itu berada. Ia berharap rencananya berjalan lancar
sama sekali. Bagian 29 Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari
Sesosok bayangan tampak mengendap-endap merambat pelan di
antara pepohonan yang tumbuh di bukit itu. Tak lama di depannya
tampak pemandangan yang tetap saja menumbuhkan bulu romanya
kendati ia telah berharap keadaan seperti itu akan ia temui.
Di bawah sinar bulan yang hampir penuh tampak beberapa sosok
manusia kaku berdiri dalam lubang masing-masing. Diam tertotok.
Hanya dari helaan napas dan kerlingan mata dapat terlihat bahwa
beberapa mereka masih hidup. Terdapat pula sosok yang telah kaku
dan dingin. Dari bagian tubuhnya terdapat lubang sebesar jempol yang
telah kering darahnya. Terlihat bahwa air kehidupannya telah dialirkan
sampai habis keluar, mengikuti tarikan bumi.
Beberapa kerlingan mata dan desahan napas lebih keras dari orang-
orang kaku berdiri yang masih hidup tidak diindahkan oleh sosok itu.
Seorang pemuda. Reiche. Ia masih ingat akan niatnya. Ia perlu saksi.
Dan saksi mata dengan hanya mengetahui sedikit mungkin lebih baik
dari yang bebas. Oleh karena itu ia tidak membebaskan totokan
mereka melainkan hanya menenangkan dengan anggukan kepala dan
memberitahu dengan isyarat seakan-akan berkata bahwa ia akan
membereskan masalah itu dan menolong mereka kemudian.
Reiche pun berjalan pelan, melewati pepohonan yang kemudian
membawanya kepada sebuah ruang terbuka yang agak luas di mana
seorang bertubuh subur dan besar tampak bersila dan menggerakkan
kedua tangannya. Buliran-buliran air kehidupan berwarna merah
tampak bergerak liar di udara meliuk-liuk mengelilingi tubuhnya dan
akhirnya mengendap masuk melalui kedua telinganya. Sejenak mata
orang menjadi merah sama sekali, bersinar dan kemudia meredup
untuk kembali menjadi normal.
Ia pun membuka matanya demi melihat orang yang mengendap datang
di hadapannya, "Ah.., Reiche! Engkau datang untuk melihat
kepulihanku dan tenaga baru yang berhasil aku kumpulkan ini?"
Reiche diam seribu bahasa. Ia masih berpikir apa yang harus
dijawabnya sehingga gurunya Panutu tidak curiga dan menggagalkan
rencananya. Ia pun kemudian mengangguk.
"Orang-orang dari desa datang.. mereka sudah menunggu tak jauh dari
sini..," ucapnya lirih agar orang-orang yang kaku tertotok tidak bisa
mendengarkannya. Mendengus Panutu mendengar hal itu. "Tak usah engkau pikirkan
mereka, aku bisa mengatasi mereka setelah tahap akhir ini pulih. Sisa
orang-orang itu bisa untuk engkau," ucapnya terbahak.
"Tapi aku tidak menginginkannya guru. Guru sebaiknya menghentikan
ini, ini tidak benar!" kali ini ia mengucapkannya dengan lantang. Sudah
tentu dengan maksud agar ucapannya itu terdengar.
"Sudah tidak usah banyak bacot! Angsurkan wadah terakhir itu ke
sini.. atau engkau jadi yang berikutnya?" ucapnya bengis. Hilang sudah
keramahannya. Pengaruh air kehidupan telah membuatnya haus.
Orang yang tidak setuju dengannya adalah sesuatu yang dapat
dimanfaatkan untuk menambah kekuatannya. Demikian pula dengan
muridnya sendiri. Tanpa bersuara Reiche mengangsurkan wadah berisi cairan merah itu
dan menunggu kesempatan bagi dirinya.
Panutu yang sudah dirasuki keingingan untuk mendapatkan
kesembuhan ditambah dengan tenaga yang berlipat ganda menjadi
tidak wasapa terhadap perubahan sikap Reiche yang agak berani


Seratus Hari Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantah. Ia menerima wadah tersebut dan memulai lagi tahap
akhir latihan penyembuhannya. Ia pun menutup mata dan mulai
memusatkan pikiran. Dan kembali berlangsung keheningan saat gumpalan-gumpalan air
kehidupan mulai bergolak liar dan membumbung gaman di udara.
Menari kesana-kemari. Dan dengan dengusan napas keras, gerakan
terakhir aliran kemerahan itu membumbung, menukik dan mulai
masuk ke dalam mulut, lubang hidung dan telinga Panutu. Pada saat
akhir itu, tepat sebelum ia sempat mengunci pusat tenagannya di bawa
pusar, ia merasakan adanya suatu benda dingin menyeruak
punggungnya, tepat di pusat putaran tenaga tulang belakang. Tak bisa
dicegah aliran tenaga dari tubuhnya, dan juga aliran yang baru saja ia
masukkan mengalir deras keluar. Bobol. Dan sebelum ia bisa berkata
apa-apa pandangannya gelap dan ia pun tersungkur. Mati. Dalam kejap
terakhirnya dapat ia menduga siap yang melakukannya itu. Tapi
semua sudah terlambat. Bagian 30 Panggung Sandiwara Dengan cepat Reiche mengikuti tulisan yang pernah dibacanya dalam
kitab Seratus Hari, Mencuri Hawa Curian. Perlahan genangan darah
yang tadi keluar dari punggung gurunya mengental dan mulai
membentuk sesuatu. Hawa kental dalam darah yang menggumpal.
Segera ia memusatkan pikirannya pada gumpalan tersebut sebelum
hawa saktinya memudar dan kembali ke alam sekitarnya, seperti
wajarnya makhluk hidup berpulang kepada yang menciptakannya.
Tangannya mengejang dengan keras saat kesepuluh jari-jarinya
menyentuh gumpalan tersebut. Sengatan hawa segera menerjangnya.
Pusat tenaga dan simpul-simpul dalam tubuhnya telah ia buka
sehingga penyerapan aliran tenaga bisa semampunya terjadi.
Mengalir deras rasa hangat dan nyaman. Terus-menerus sampai tidak
lagi nyaman dan ia merasakan panas luar biasa. Tangannya terasa
melepuh dan wajahnya terasa terbakar, sampai akhirnya tak tahan ia
berteriak keras dan terjungkal pingsang. Rubuh tak sadarkan diri tidak
jauh dari tubuh gurunya yang telah lebih dulu meninggalkan dunia ini.
Rupanya teriakan Reiche menyadarkan orang-orang yang sedang
menunggu-nunggu dirinya tak jauh dari sana. Mereka menunggu
isyarat dari Reiche untuk bersama-sama menyerang orang yang
mereka curigai. Juga dengan alasan sebenarnya, bahwa mereka masih
merasa jerih terhadap Panutu.
Bergegas orang-orang tersebut berjalan perlahan dan bergerombol.
Saat menemukan para pemuda yang kaku dan sebagaian telah mati
dengan berdiri dalam lubang seperti kubur, nyali mereka berkurang
beberapa bagian. Setelah beberapa saat menunggu dan memanggil-
manggil Reiche, akhirnya mereka memberanikan diri untuk terus
berlanjut, menuju ke arah yang ditunjukkan oleh kerlingan mata para
pemuda yang masih kaku tersebut. Tak ada yang mempu
membebaskan mereka dari totokan Panutu. Jadi dibiarkanlah para
pemuda itu berdiri kaku seolah dalam calon kubur masing-masing.
Sementara itu tak jauh dari kaki bukit Pambuka dan Arme tampak
tergugah saat mendegar teriakan orang kesakitan itu. "Itu suara
Reiche, guru!" ucap muridnya. Keduanya bergegas memacu langkahnya
menaiki bukit. Menuju tempat di mana sesuatu baru saja terjadi.
"Benar... ia benar-benar melakukannya..!!" ucap Pambuka demi melihat
lubang kubur di mana-mana dengan calong pengisi dan pengisinya
berdiri kaku. Ia segera mendekati yang masih bernafas dan
membebaskan totokan mereka satu demi satu. Segera masing-masing
yang baru bebas itu langsung terduduk lunlai di atas tanah. Tiada lagi
tenaga karena nyali mereka telah terbang ke langit. Dengan petunjuk
suara lemah salah satu dari mereka Pambuka dan Reiche tahu ke mana
mereka harus seterusnya menuju.
Di sana di ruang terbuka itu tampak dua tubuh terbujur di atas tanah
bergelimpangan darah. Salah satunya tengkurap dengan sebuah
bambu berlubang pada punggungnya. Tampak cairan merah pekat
telah mengering di lubang bambu tersebut. Bisa diduga darah sang
empunya mengalir keluar dari batang itu. Yang satunya lagi tampak
masih bernapas dengan napas satu-dua. Beberapa orang berusaha
menyadarkannya. Membalikkannya dan membawanya pulang.
Sementara yang lain tampak mengikat jasad Panutu dengan kayu dan
membawanya seperti membawa binatang hasil buruan.
Pambuka yang tahu bahwa kehadiran mereka belum diketahui oleh
orang-orang desa di situ segera mengisyaratkan Arme untuk
bersembunyi di belakang semak-semak dan memperhatikan apa yang
sedang berlangsung. "Anak Reiche telah bertarung dan berhasil
mengalahkan orang ini," begitu kata seseorang.
"Ya, ia seorang yang berani. Lihat sampai terluka seperti ini," timpal
yang lain. Segera orang-orang dari desa itu beranjang pergi dari sana. Masing-
masing membantu pemuda yang telah bebas totokannya dan terduduk
lemah di lubang masing-masing. Pemuda-pemuda yang telah tiada
napasnya dibiarkan dulu, lebih berat membawa orang yang telah tiada
nyawa. Beberapa orang tinggal untuk menjaga agar jasad-jasad baru
itu tidak diganggu binatang buas.
Seperginya orang-orang itu Pambuka segera mengajak Arme pergi dari
sana. Wajah muridnya yang penuh dengan pertanyaan tak
diindahkannya. Ia memberi isyarat bahwa ia akan memberikan
penjelasan nanti, setelah mereka tiba di hutan sana.
Bulan purnama pun pelan tertutup awan hitam, seakan bersedih
terhadap apa yang baru saja terjadi. Pertumpahan darah, penghianatan
dan sebuah sandiwara. Bagian 31 Pesan Perpisahan "Apa yang engkau dengar dari kejadian semalam di atas bukit itu?"
tanya Pambuka kepada Arme yang baru saja membeli beberapa
keperluan dari pasar. "Orang-orang bilang bahwa Reiche telah berkelahi dengan orang jahat
itu, yang membunuhi para pemuda untuk ilmunya. Reiche sekarang
menjadi pahlawan," terang Arme.
Mengangguk-angguk Pambuka mendengar penjelasan itu. Sudah
diduganya akhir kejadian semalam akan menjadi seperti itu.
"Dan kamu percaya itu?" tanyanya menguji muridnya.
"Saya merasa ada yang janggal, guru..," jawab Arme jujur. Ya, ia
merasa ada sesuatu yang aneh mengenai kejadian semalam, dan
terlebih bukan saja karena ia adalah teman dekat Reiche, melainkan
situasi tempat itu tidak tampak seperti bekas perkelahian. Dan
sahabatnya itu bukan jenis orang seperti itu, dari hasil-hasil
pembicaraan di antara mereka.
"Sahabatmu itu adalah orang yang pintar. Amat pintar bahkan..," ucap
gurunya hati-hati. Ia tidak tahu bagaimana dekatnya hubungan
muridnya dengan Reiche. Jadi ia ingin menyampaikan pesan yang
sebaik-baiknya demi kebaikan muridnya ini.
"Maksud guru?" tanya Arme kemudian.
"Bisa jadi apa yang dikatakan orang-orang itu adalah benar adanya.
Reiche pada akhirnya memutuskan untuk melawan gurunya karena
hati nuraninya telah tidak tahan. Dan bila begitu, itu hal yang bagus.
Sesuatu perubahan telah timbul dalam murid keponakanku itu. Ia
tidak lagi mewarisi watak jelek gurunya," ucap Pambuka. Ia mengambil
napas sebentar sebelum melanjutkan. "Yang aku takutkan adalah, apa
yang terlihat bukan apa yang sebenarnya terjadi. Melainkan sama
sekali lain." Sunyi sesaat karena Arme menunggu penjelasan lebih lanjut dari
gurunya. "Bahwa Reiche tidak melawan gurunya, melainkan membunuh gurunya
dengan tujuan mencuri hawa kehidupan gurunya dan juga korban-
korban gurunya," perlahan-lahan Pambuka dalam menyampaikan hal
ini. Berubah wajah Arme demi mendengar hal ini. Sama sekali tak bisa
dibayangkan bahwa sahabatnya dapat melakukan hal yang sekeji itu.
Tunduk pada perintah jahat sang guru sudah sulit ia menerimanya,
dan ini melakukan dengan sadar kekejian yang lebih dalam.
Penghianatan. "Tidak!! Kelihatannya tidak mungkin, guru!" ucapnya terkejut.
"Ya, aku tahu kedekatanmu dengan Reiche. Sulit untuk menerima hal
itu, bila benar adanya," ucap gurunya menenangkan. "Oleh karena itu
aku harus melakukan sesuatu untukmu."
"Apa itu guru?" tanya Arme tidak mengerti.
"Aku akan mengoperkan tenagaku yang sudah pulih hampir lebih dari
setengahnya kepadamu. Terima kasih atas perawatanmu selama ini.
Aku harap setengah tenagaku ini cukup untuk engkau menjaga diri
dan mengawasi sahabatmu itu," jelasnya. "Sisanya seperempat aku
perlukan untuk mencari sang Tabib Semesta untuk mohon
pengobatannya." "Jangan.. jangan guru berikan tenagamu itu!!" ucap Arme berusaha
mencegah gurunya melakukan hal itu. Ia tahu itu akan membahayakan
dan melemahkan kondisi kesehatan gurunya.
"Tidak apa-apa, muridku!" ucapnya sambil menepuk kedua bahu
muridnya. "Pemberian tenaga ini bukan cuma-cuma, engkau mendapat
tugas yang berat. Engkau harus mengawasi sahabatmu itu dan
membetulkan kesalahannya, bila tebakanku ini benar, bahwa ia telah
mencuri hawa gurunya. Dan untuk tugas ini engkau belum cukup kuat
melakukannya dengan tenagamu sendiri."
Arme hanya mengangguk saja. Ya, ia tahu. Apalagi bila tebakan
gurunya itu benar, sudah bisa dipastikan bahwa Reiche akan memiliki
tenaga yang berlipat ganda. Dan ia perlu waktu lama untuk menyamai
itu. Operan tenaga dari gurunya adalah satu-satunya jalan cepat untuk
menjembatani hal itu. "Setelah pemindahan setengah tenagaku selesai, aku akan pergi.
Engkau tak usah menunggu kedatanganku lagi. Mungkin aku tidak
kembali. Untuk mengawasi Reiche, mintalah nasehat dari guru tulis-
menulismu, guru Panengah dan juga penjual buku B"cher!"
"Paman B"cher dan guru Panengah?" ucap Arme bingung. "Guru kenal
dengan mereka?" "Mereka adalah kawan-kawan dari masa lampau, sebagaimana juga
Panutu. Entah kebetulan kami bisa berdiam di tempatmu ini. Boleh
dibilang B"cher dan Panengah malah sudah lama lalu ada di sini.
Sudah mapan posisi mereka. Orang-orang pasti tidak curiga jika
mereka berasal dari tempat lain," ucapnya sambil tersenyum. "Untuk
tahu lebih lanjut, engkau tanya saja mereka. Dan untuk kasus dengan
Reiche ini, bisa dipastikan mereka akan senang memberikan nasehat."
Arme menangguk dan berjanji akan menjalankan baik-baik pesan
gurunya. Bersahabat dengan Reiche untuk selalu menjaganya dari
melakukan hal-hal yang tidak baik.
Bagian 32 Penutup Pagi yang cerah. Burung-burung bernyanyi riang, Demikian pula
dengan suasana hati dua orang pemuda yang telah menamatkan
belajarnya di perguruan tulis-menulis dan hendak melanjutkan belajar
ke kota Kern, kota pusat tlatah Nusantara. Reiche dan Arme akan pergi
menuntut ilmu bersama-sama. Mereka berdua telah memenangkan
semacam beasiswa dari perkumpulan penulis di kota tersebut. Adalah
Paman B"cher yang mengajak mereka untuk ikut melamar dan
mengirimkan karya-karya mereka mengenai ulasan buku-buku dari
perkumpulan tersebut. Dengan persetujuan orang tua kedua pemuda
tersebut Paman B"cher menjadi penanggung jawab mereka selama
mereka bermukin di kota Kern.
Dikarenakan lamanya mereka akan belajar di sana, paman B"cher
menawarkan Reiche agar ia menjual semua buku-bukunya. Bisa
menjadi usaha yang menguntungkan bagi seorang pedagan buku
seperti dirinya. Sebenarnya niat sebenarnya adalah untuk mencari
sebuah kitab yang diduga dimiliki oleh Reiche. Kitab Seratus Hari.
Guru Panengah yang ternyata berilmu tinggi pula telah berusaha
menyatroni kamar Reiche di malam hari saat pemiliknya berada di
toko buku akan tetapi tidak berhasil menemukan apa yang dimaksud.
Kitab itu seperti hilang ditelah bumi. Reiche sendiri mengaku tidak
tahu menahu mengenai kitab itu, walaupun ia mengakui pernah
membacanya dan menyuruh Arme menerjemahkannya. Paman B"cher
yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Paras Tampan yang
keturuan Rawarang, si Maling Kitab, merasa bertanggung jawab
apabila kitab yang berisikan ilmu yang agak sesat itu terjatuh ke
tangan sembarang orang. Reiche sendiri yang dicurigai telah
menjalankan suatu ilmu yang tidak baik, tidak bisa dibuktikan
kesalahannya. Jadi Arme, paman B"cher dan guru Panengah masih
mencari-cari kitab itu. Yang tidak diketahui oleh Reiche adalah
hubungan antar ketiganya. Ia merasa ketertarikan paman B"cher
terhadap kitab itu adalah biasa suatu ketertarikan pemilik toko buku
terhadap buku-buku langka belaka. Kitab itu telah ia sembunyikan
dengan baik di suatu tempat. Jadi ia dengan lega menjual seluruh
koleksinya kembali kepada paman B"cher, dari mana ia dulu
membelinya. Demikianlah kisah dua orang anak yang tumbuh di bawah didikan
guru yang berbeda, menghasilkan watak yang berbeda pula. Sikap
saling menghargai satu-sama lain sampai saat ini tidak membuat
keduanya bersilang kepalan. Entah nanti di suatu waktu di masa
depan. Waktu pun terus berlanjut mengiringi orang-orang yang terus mencari
ilmu untuk membuat hidupnya bermakna.
Selesai convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16 Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Maut Dari Hutan Rangkong 3
^